Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 289

Buku 289

Beruntunglah bahwa beberapa saat kemudian, ada beberapa orang lagi yang datang menemui mereka. Demikian mereka mendengar bahwa Pandan Wangi dan Swandaru datang, dua tiga orang bebahu telah memerlukan datang untuk sekedar berbincang dengan mereka.

Seperti yang direncanakan, maka ketika senja turun Swandaru pun telah bersiap-siap untuk pergi ke rumah Agung Sedayu. Namun ternyata bahwa justru Agung Sedayu-lah yang telah datang ke rumah Ki Gede. Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih.

Sebenarnyalah Glagah Putih merasa agak segan ikut menemui Swandaru. Tetapi Agung Sedayu dan Sekar Mirah telah mengajaknya, sementara Glagah Putih tidak dapat memberikan alasan untuk menolak. Jika ia mengatakan keseganannya, maka tentu tidak akan dapat dimengerti oleh Agung Sedayu.

Karena itu, betapapun juga, Glagah Putih telah ikut pergi ke rumah Ki Gede Menoreh.

Karena sudah agak lama mereka sudah tidak saling bertemu, maka pertemuan itu memberikan kegembiraan kepada kedua belah pihak. Pandan Wangi telah memeluk Sekar Mirah sambil berkata, “Kau menjadi semakin segar sekarang Mirah.”

Sekar Mirah tersenyum. Katanya, “Kau-lah yang menjadi semakin cantik.”

Mereka pun kemudian telah dipersilahkan duduk di ruang dalam. Glagah Putih yang juga ikut duduk di ruang dalam sesaat memang melupakan keseganannya.

Wajah Ki Gede memang menjadi cerah. Prastawa yang ikut duduk di antara mereka pun nampak gembira.

Sejenak kemudian, mereka pun telah saling mengucapkan selamat dan mempertanyakan keselamatan keluarga mereka masing-masing.

Swandaru pun kemudian mengabarkan, bahwa Sabungsari dan Untara telah pergi ke Sangkal Putung. Selain mengemban tugas, Sabungsari juga sempat memberitahukan apa yang baru saja terjadi di Tanah Perdikan ini.

“Rasa-rasanya kami tidak sabar lagi menunggu untuk datang kemari,“ berkata Swandaru.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Tanah Perdikan ini mendapat tekanan yang sangat berat. Tetapi ternyata Yang Maha Agung masih melindungi kami di sini.”

“Kakang telah terluka parah?” desis Swandaru.

Agung Sedayu mengangguk sambil teratawa kecil. Katanya, ”Ya. Aku memang terluka. Juga beberapa orang yang lain. Tetapi sekali lagi kami mengucapkan syukur, bahwa kami sudah menjadi berangsur baik. Namun di samping itu, kami pun harus melepaskan beberapa orang terbaik dari Tanah Perdikan ini.”

“Itu wajar sekali,“ jawab Swandaru.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah terlalu sering mendengarkan Agung Sedayu dan Swandaru berbincang. Karena itu, maka iapun sudah dapat menduga apa yang akan dikatakan oleh Swandaru.

Tetapi Glagah Putih justru merasa heran, bahwa Swandaru tidak segera sesorah tentang kelemahan Agung Sedayu. Biasanya Swandaru segera mengajari Agung Sedayu untuk memanfaatkan waktunya sebaik-baiknya sebagai murid utama Orang Bercambuk.

Namun saat itu Swandaru pun berkata, “Meskipun wajar, tetapi Tanah Perdikan ini tidak boleh melupakan jasa mereka yang telah gugur.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Demikian pula Ki Gede.

Adalah di luar dugaan Glagah Putih bahwa Swandaru tidak segera menilai kemampuan Agung Sedayu yang baru saja terluka. Tetapi Swandaru telah bercerita tentang keadaan kademangannya. Namun ceritanya terputus ketika Sekar Mirah dan Pandan Wangi sibuk berbicara tentang anak Pandan Wangi yang ditinggalkan di Sangkal Putung.

“Alangkah lucunya,“ berkata Sekar Mirah dengan nada dalam.

Agung Sedayu memang menjadi berdebar-debar. Sudah beberapa kali Sekar Mirah menyebut-nyebut tentang anak. Bahkan kadang-kadang Sekar Mirah itu merenung sendiri menerawang memandang kejauhan. Anak bagi Sekar Mirah merupakan satu persoalan tersendiri.

“Untunglah ada Rara Wulan di rumah,“ berkata Agung Sedayu di dalam hatinya, “kehadirannya dapat mengurangi kesepian di hati Sekar Mirah. Meskipun Rara Wulan tidak dapat dianggap sebagai anak-anak, tetapi Rara Wulan telah memberikan kesibukan tersendiri bagi Sekar Mirah.”

Namun agaknya Pandan Wangi pun melebar ke persoalan-persoalan yang lain yang menyangkut rumah tangganya.

Glagah Putih yang duduk di dekat Prastawa telah mentertawakan dirinya sendiri. Ia tergesa-gesa menduga bahwa sikap Swandaru tentu akan sangat menjemukan.

Namun dalam pada itu, ternyata oleh umurnya yang semakin banyak, serba sedikit terjadi juga perkembangan sikap Swandaru. Meskipun keinginannya untuk mengatakan ketidak-puasannya atas kemampuan Agung Sedayu seakan-akan telah menggelegak sampai ke kerongkongannya, namun Swandaru berusaha untuk menahan diri. Ia tidak ingin dalam pertemuan yang terjadi setelah mereka cukup lama berpisah, langsung memberikan petunjuk-putunjuk bagi kakak seperguruannya itu. Satu hal yang tidak akan dapat dilakukan beberapa tahun yang lewat.

“Aku masih mempunyai banyak waktu,” bekata Swandaru di dalam hatinya. Iapun sudah dapat mempertimbangkan, bahwa Agung Sedayu tentu akan berkecil hati jika ia memberikan petunjuk-petunjuk kepada kakak seperguruannya di hadapan banyak orang.

Karena itu, maka pertemuan itu merupakan pertemuan yang gembira. Tidak terganggu oleh sikap-sikap yang tidak menyenangkan dari semua pihak.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Pandan Wangi bertanya kepada adik sepupunya, “Prastawa. Kapan kau akan meninggalkan masa lajangmu? Menurut pendapatku, kau sudah waktunya berkeluarga. Kau sudah melewati usia remajamu. Bahkan kau sudah dewasa penuh.”

Prastawa menunduk. Tetapi sebelum ia menjawab, Ki Gede pun berkata, “Prastawa sudah mulai melangkah turun ke jalan yang menuju hidup kekeluargaan itu.”

Pandan Wangi tersenyum sambil berkata, “Syukurlah. Jika kamu berkeluarga, maka tatanan hidupmu akan segera berubah. Kau akan menjadi seorang kepala keluarga.”

Prastawa masih saja menunduk. Sementara Ki Gede berkata, “Ada sedikit selisih pendapat dengan orang tuanya. Tetapi mudah-mudahan segera teratasi.”

“O,” Pandan Wangi termangu-mangu sejenak, “apanya yang tidak sependapat?”

Ki Gede tersenyum. Katanya, “Sebaiknya kau tengok pamanmu. Ia jarang sekali keluar jika tidak ada persoalan yang sangat penting. Bahkan ketika di Tanah Perdikan ini terjadi pergolakan, pamanmu sama sekali tidak menampilkan diri. Ia mewakilkan kegiatannya kepada Prastawa.”

Pandan Wangi mengangguk-angguk. Ia mengerti kenapa pamannya tidak lagi mau mencampuri urusan pemerintahan di Tanah Perdikan Menoreh, meskipun sebenarnya ia berhak dan berkewajiban. Tetapi bahwa ia pernah tergelincir ke dalam satu sikap yang sangat tercela karena sudah memberontak, maka perasaan bersalah itu demikian dalam mencengkam jantungnya.

Namun menurut penglihatan Pandan Wangi, bahkan ayahnya Ki Gede Menoreh, Prastawa mempunyai sikap yang sangat berbeda dengan ayahnya. Ia tidak menyia-nyiakan kepercayaan yang diberikan oleh Ki Gede. Dengan bersungguh-sungguh Prastawa ingin mengabdikan dirinya kepada Tanah Perdikan Menoreh, justru untuk menebus dosa yang pernah diperbuat oleh ayahnya.

Dalam pada itu, maka Pandan Wangi itu pun kemudian berkata, “Baiklah, aku akan bertemu dengan Paman.”

“Jangan membicarakan persoalan yang menyangkut pemerintahan di Tanah Perdikan ini,” desis Prastawa, “setiap kali Ayah mendengar persoalan yang berhubungan dengan pemerintahan di Tanah Perdikan ini, jantung Ayah menjadi berdebar-debar. Keringatnya mengalir deras, seperti orang yang baru saja menyelam di dalam air, sehingga pakaiannya pun menjadi basah.”

Pandan Wangi mengangguk kecil. Katanya sambil tersenyum, “Aku tidak akan berbicara tentang pemerintahan di Tanah Perdikan ini. Aku hanya akan berbicara tentang umurmu yang sudah dewasa.”

Prastawa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Persoalannya justru menjadi rumit.”

“Bukankah ayahmu sudah menyetujui pendapatku?” bertanya Ki Gede Menoreh.

“Nampaknya memang demikian,“ jawab Prastawa.

“Lalu apa lagi?” bertanya Ki Gede.

Prastawa tidak segera menjawab. Namun kepalanya menunduk semakin dalam.

Pandan Wangi-lah yang kemudian berkata, “Baiklah. Aku besok atau lusa akan mengunjungi Paman.”

Prastawa nampak menjadi tegang. Namun kemudian iapun memandang berkeliling. Agaknya karena banyak orang berkumpul itu, Prastawa menjadi agak segan mengatakannya.

Glagah Putih yang duduk di sampingnya, yang sejak semula hanya berdiam diri saja, tiba-tiba berkata, “Kau tidak usah segan. Semakin banyak orang yang mendengarkan persoalanmu, akan semakin banyak pula orang yang dapat memberikan saran kepadamu.”

“Ah. Kau tidak mempunyai persoalan serumit persoalanku. Jalanmu agaknya sudah lapang, lurus dan rata,” sahut Prastawa.

Pandan Wangi tertawa kecil. Bahkan iapun bertanya, “Apakah Glagah Putih sudah mulai menapak kehidupan berkeluarga?”

“Ah, belum Mbokayu,“ jawab Glagah Putih, “agaknya jalan masih panjang.”

“Tetapi nampaknya sudah pasti,” sahut Prastawa.

Sekar Mirah tertawa pula. Katanya, “Mudah-mudahan. Menurut gelar lahiriahnya, Glagah Putih memang tinggal menunggu waktu.”

“Apa pula masalahmu?” bertanya Glagah Putih tiba-tiba kepada Prastawa.

Tetapi Prastawa ternyata tidak mau mengatakannya. Dengan nada rendah ia berkata, “Sebaiknya Mbokayu Pandan Wangi berbicara saja dengan Ayah.”

“Baik. Baik. Aku akan berbicara dengan Paman. Tetapi jika Paman tidak juga mengatakan kepada Ayah, apakah Paman mau mengatakannya kepadaku?”

“Agaknya Paman akan mengatakannya,“ jawab Prastawa.

Dengan demikian, maka mereka tidak lagi berbincang tentang Prastawa. Meskipun demikian, Ki Gede, Pandan Wangi dan orang-orang yang ada di ruang itu mengetahui, bahwa masih ada persoalan yang harus dipecahkan sebelum jalan benar-benar terbuka bagi Prastawa.

Demikianlah, pembicaraan selanjutnya pun bergeser dari satu persoalan ke persoalan yang lain. Namun tidak seperti yang diduga oleh Glagah Putih, ternyata Swandaru tidak dengan serta merta melontarkan pendapatnya langsung tentang kemampuan Agung Sedayu seperti biasanya.

“Untunglah, bahwa aku tidak menolak ketika aku diajak kemari,“ berkata Glagah Putih di dalam hatinya. “Seandainya aku menolak, apalagi dengan alasan kesegananku mendengar sesorah Kakang Swandaru, Mbokayu Sekar Mirah akan dapat tersinggung karenanya.”

Demikianlah, Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih berada di rumah Ki Gede sampai jauh malam. Baru lewat wayah sepi wong, mereka mohon diri untuk pulang.

“Besok aku akan berkunjung ke rumah Kakang Agung Sedayu,” berkata Swandaru, “setelah kami mengunjungi Paman.”

Seperti yang direncanakan, maka ketika matahari naik sepenggalah, maka Swandaru dan Pandan Wangi sudah bersiap-siap untuk pergi ke rumah pamannya. Sudah agak lama ia memang tidak singgah. Namun karena mereka mendengar ada sedikit persoalan dengan Prastawa, maka rasa-rasanya Pandan Wangi ingin ikut berbicara.

Kedatangan mereka benar-benar mengejutkan pamannya. Dengan tergopoh-gopoh pemannya-pun mempersilahkan mereka duduk.

“Apakah kalian tidak bersama Prastawa?” bertanya pamannya ketika dilihatnya bahwa Pandan Wangi hanya berdua saja.

“Prastawa ada di rumah Ayah,“ jawab Pandan Wangi.

“Kenapa ia tidak ikut bersama kalian?” bertanya paman Pandan Wangi itu.

“Ada yang sedang dikerjakan bersama Ayah,“ jawab Pandan Wangi.

Demikianlah, maka mereka pun kemudian duduk di pringgitan. Pembicaraan mereka pun berputar dari satu persoalan ke persoalan yang lain. Namun kemudian berkisar pada anak Pandan Wangi yang tumbuh dengan cepat.

Di sela-sela pembicaraan itu, tiba-tiba saja Swandaru bertanya, “Apakah Paman tidak sering mengunjungi Ki Gede?”

Pamannya menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat ia menjawab, “Paman ini tidak lebih dari sampah, Ngger. Paman tidak mempunyai hak lagi untuk datang mengunjungi Ki Gede. Bahkan untuk menginjak halaman rumahnya pun aku tidak pantas lagi.”

“Jangan begitu Paman,” sahut Pandan Wangi, “Ayah masih tetap menganggap paman sebagai adiknya.”

“Aku mengerti Ngger. Ayahmu memang tidak mempunyai perasaan apa-apa terhadapku. Segala kesalahan yang pernah aku lakukan sudah dimaafkan. Aku yakin akan hal itu. Tetapi apakah aku harus menjadi orang yang tidak tahu diri? Orang yang tidak berperasaan sama sekali?“ berkata pamannya.

Pandan Wangi berusaha untuk mengalihkan pembicaraan mereka, justru ke arah yang ingin dibicarakannya dengan pamannya. Katanya, “Tetapi bukankah Ayah juga sering datang mengunjungi Paman? Bukankah Ayah pernah berbicara dengan Paman tentang masa depan Prastawa?”

Pamannya menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia menjawab, “Ya. Ayahmu memang pernah satu dua kali mengunjungi aku. Seperti yang kau katakan, ayahmu memang tidak mempunyai perasaan apa-apa terhadapku.”

“Tetapi bagaimana sesungguhnya dengan Prastawa?” bertanya Pandan Wangi.

“Tentang apa yang kau maksudkan?“ bertanya pamannya.

Pandan Wangi tersenyum. Dengan nada rendah ia berkata, “Menurut pendengaranku, Prastawa sudah berniat untuk memasuki hidup kekeluargaan,“ jawab Pandan Wangi.

Pamannya menarik nafas dalam-dalam. Dengan ragu-ragu ia berkata, “Dosaku yang bertumpuk, membuat jalan hidup ini tersendat-sendat. Semula ada beberapa perbedaan pendapat antara Prastawa dan aku. Namun Ki Gede ternyata telah ikut campur. Sebenarnya aku dapat mengerti perasaan Prastawa. Aku juga tidak ingin melawan pendapat Ki Gede, yang nampaknya ingin membantu memecahkan persoalan yang sedang aku hadapi.”

“Jika demikian, bukankah sudah tidak ada persoalan lagi?” bertanya Pandan Wangi. Lalu katanya kemudian, “Paman tinggal memilih hari. Nah, segala sesuatunya akan dapat dilaksanakan dengan baik. Paman akan segera mempunyai seorang cucu, sebagaimana Ayah.”

“Belum tentu,” sahut Swandaru.

“Kenapa?” bertanya Pandan Wangi.

“Sekar Mirah sampai sekarang belum punya anak,“ jawab Swandaru.

“Ah, itu adalah hal yang jarang terjadi,“ sahut Pandan Wangi, “tetapi jangan kau katakan hal itu di depan adikmu.”

Swandaru mengangguk. Katanya, “Aku mengerti. Ia sangat merindukan seorang anak.”

Sementara itu, paman Pandan Wangi itu pun kemudian berkata, “Aku pun sudah pula merindukan seorang cucu.”

“Nah, jika demikian, maka segala sesuatu akan dapat berlangsung segera,“ berkata Pandan Wangi.

Tetapi pamannya menggeleng. Katanya dengan nada dalam, “Tidak Pandan Wangi. Ada persoalan yang rumit, yang harus dipecahkan lebih dahulu.”

“Persoalan apa itu Paman?“ bertanya Swandaru.

Pamannya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku sedang mencoba memecahkannya.”

“Jika semua pihak sudah sependapat, apa lagi yang masih harus dipertimbangkan?” desak Pandan Wangi

“Sebenarnya memang demikian. Tetapi justru ada pihak yang akan dapat mengganggu pelaksanaannya,“ jawab pamannya.

“Paman, jika saja Paman bersedia mengatakannya, mungkin kami akan dapat membantu,“ berkata Swandaru.

“Sudahlah. Jangan hiraukan. Itu adalah persoalanku. Sampai sekarang aku juga belum pernah mengatakan persoalan ini kepada Ki Gede,“ jawab pamannya.

“Paman. Prastawa adalah anak muda yang sangat berarti bagi Ki Gede. Bukan saja karena kemenakannya, tetapi juga karena Prastawa telah membantunya dengan sangat baik mengendalikan Tanah Perdikan ini,“ berkata Sekar Mirah.

Pamannya mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Aku mengerti. Tetapi bagaimana aku akan dapat mengatakannya? Aku sudah pernah berkhianat kepada Ki Gede. Yang tidak lebih dan tidak kurang adalah saudara tuaku sendiri. Tetapi yang juga pemimpinku di Tanah Perdikan ini. Ia sudah mengampuni aku dan melepaskan aku dari hukuman yang seharusnya aku tanggungkan. Apakah sekarang aku masih harus membuat kesulitan-kesulitan baru baginya, sementara persoalan yang dihadapinya sangat banyak dan rumit.”

“Namun bagaimanapun juga, ikut mengurangi persoalan Prastawa, akan juga berarti mengatasi satu hambatan dari tugas Ki Gede sendiri. Karena Prastawa sangat dibutuhkan oleh Ayah dalam tugas-tugasnya,“ berkata Pandan Wangi. “Apalagi sebagai seorang Paman, maka adalah wajar jika Ayah ikut serta memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi oleh Prastawa.”

Ki Argajaya itu menarik nafas dalam-dalam. Namun agaknya Pandan Wangi mampu meyakinkan pamannya, bahwa sebaiknya persoalan yang masih menjadi hambatan bagi Prastawa itu dikatakannya.

Pandan Wangi yang masih melihat kebimbangan itu berkata, “Paman, selagi aku berada di sini. Sebenarnyalah bahwa aku juga ingin ikut membantu penyelesaian persoalan yang Paman hadapi mengenai Prastawa.”

Pamannya masih saja termangu-mangu. Dipandanginya Swandaru dan Pandan Wangi berganti-ganti. Namun Pandan Wangi itu pun kemudian bergeser mendekati pamannya sambil berdesis, “Kenapa masih ragu-ragu? Apakah Paman tidak percaya kepadaku?”

“Tentu aku percaya kepadamu, Pandan Wangi,“ berkata pamannya, “tetapi sebenarnya aku tidak ingin melibatkanmu dan Ki Gede terlalu jauh dalam persoalan ini.”

“Apa salahnya Paman? Persoalan yang Paman hadapi juga persoalanku, juga persoalan Ayah. Jika pada suatu saat terjadi sesuatu dan Ayah tidak tahu menahu, betapa kecewanya Ayah sebagai paman Prastawa.”

Ki Argajaya itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian dengan nada datar, “Baiklah Pandan Wangi. Kau berhasil meyakinkan aku, bahwa sebaiknya aku tidak memikul beban ini sendiri.”

“Paman. Kami akan bersedia untuk ikut membawa beban itu, betapapun beratnya,“ berkata Pandan Wangi kemudian.

Ki Argajaya itu mengangguk-angguk kecil. Nampak di wajahnya, betapa pamannya itu menahan gejolak perasaannya.

Dengan nada rendah pamannya itu berkata, “Pandan Wangi. Persoalan yang sebenarnya tidak terletak pada Prastawa, aku, atau keluarga gadis yang diinginkan oleh Prastawa itu. Tetapi karena sebelumnya aku telah melakukan satu kesalahan, maka nampaknya kesalahan itu sulit untuk diluruskan lagi.”

Pandan Wangi tidak menyahut. Ia melihat agaknya pamannya telah mulai terbuka hatinya, sehingga ia akan bersedia untuk mengatakan, apakah kesulitan yang sedang dihadapinya.

“Pandan Wangi,“ berkata pamannya, “sebenarnya persoalan yang langsung menyangkut hubungan antara Prastawa dan gadis yang dikehendakinya itu tidak menemui persoalan lagi. Prastawa dan gadis itu sudah sepakat untuk membina satu keluarga, sementara orang tua gadis itu juga tidak berkeberatan, menurut keterangan Prastawa.”

“Apakah Paman belum pemah bertemu dengan orang tua gadis itu?” bertanya Swandaru.

Ki Argajaya menggeleng. Katanya, “Belum Ngger. Aku memang belum pernah datang menemuinya. Tetapi Prastawa yakin bahwa orang tua gadis itu tidak akan menolak.”

“Dan Paman sendiri tidak berkeberatan,“ potong Pandan Wangi.

Pamannya termangu-mangu sejenak. Dengan nada dalam ia menjawab, “Akhirnya aku juga tidak berkeberatan. Aku kemudian menyadari bahwa tidak ada gunanya untuk memaksa Prastawa. Apalagi Ki Gede menganggap bahwa sikapku itu keliru.”

“Jika demikian, apalagi? Bukankah sudah tidak ada masalah yang dapat menjadi hambatan?” desis Pandan Wangi.

“Tetapi ternyata bahwa aku telah membuat lubang yang telah menyeretku terperosok ke dalamnya,“ berkata paman Pandan Wangi sambil menunduk.

“Apalagi, Paman?“ Pandan Wangi hampir tidak sabar.

“Sebelum aku mengambil keputusan, aku sudah pernah berhubungan dengan orang yang pernah aku kenal dengan baik. Ia satu-satunya orang yang masih selalu datang mengunjungi aku di saat-saat aku dalam kesunyian mengurung diri di rumah ini. Ia masih tetap menghargai aku dan membesarkan hatiku. Ia masih selalu mengingatkan aku untuk tetap bertahan hidup di Tanah Perdikan ini. Setidak-tidaknya untuk masa depan Prastawa. Orang itu pula yang selalu mengingatkan aku, bahwa Prastawa adalah kemenakan Ki Gede yang memegang pimpinan tertinggi di Tanah Perdikan ini. Bahwa Prastawa mempunyai kesempatan yang baik di masa depan. Apalagi Prastawa ternyata mampu mengemban tugas-tugas penting di Tanah Perdikan ini.”

“Apa hubungannya dengan keputusan Paman untuk menyetujui hubungan Prastawa dengan gadis yang dikehendakinya?” bertanya Pandan Wangi.

“Pandan Wangi,“ suara pamannya merendah, “orang itu mempunyai seorang anak gadis.”

“O,“ Pandan Wangi dan Swandaru mengangguk-angguk. Mereka langsung mengerti persoalan yang dihadapi oleh Ki Argajaya. Orang yang nampaknya baik hati itu ternyata mempunyai pamrih.

Dengan dahi yang berkerut, Swandaru bertanya, “Paman, bukankah orang itu ingin agar anak gadisnya menjadi istri Prastawa?”

“Ya. Itulah soalnya,“ jawab Ki Argajaya.

“Tetapi apakah Paman pernah menyatakan kesediaan Paman, bahwa Paman akan mengambil gadis itu menjadi menantu Paman?”

“Seingatku, aku belum pernah dengan tegas menyatakan bahwa aku akan menjodohkan gadis itu dengan Prastawa. Orang itu memang pernah mengatakan kepadaku keinginannya itu. Tetapi aku belum menjawab dengan pasti. Aku katakan kepadanya, bahwa aku tidak berkeberatan. Tetapi segala sesuatunya masih harus dibicarakan dengan Prastawa.”

“Apakah Paman sudah menyampaikan hasil pembicaraan Paman dengan Prastawa kepadanya?”

“Aku sudah mengisyaratkan kepadanya, bahwa Prastawa merasa gadis itu tidak akan dapat sesuai baginya. Namun untuk beberapa lamanya, aku dan Prastawa memang berselisih pendapat. Aku ingin Prastawa memenuhi keinginanku. Namun agaknya Prastawa tetap berkeberatan. Meskipun mula-mula Prastawa tidak dengan tegas menolak, tetapi baru kemudian aku tahu bahwa ternyata Prastawa telah mempunyai pilihannya sendiri.”

“Apakah Prastawa sudah mengenal gadis yang Paman maksudkan itu?” bertanya Pandan Wangi.

“Sudah. Ia sudah mengenal gadis itu dengan baik. Prastawa pernah mengantar aku berkunjung ke rumah gadis itu. Gadis itu pun pernah diajak oleh ayahnya datang kemari. Bahkan Prastawa pernah mewakili aku datang ke rumah gadis itu ketika keluarganya sedang mempunyai keperluan. Hubungan Prastawa dengan gadis itu pun baik dan akrab. Namun menurut Prastawa, karena ayah gadis itu merupakan seorang yang aku anggap sahabat yang akrab, maka Prastawa pun menganggap gadis itu sebagai keluarga sendiri. Keakrabannya dengan gadis itu, bukan karena Prastawa tertarik kepadanya.”

“Dan hal itu telah menimbulkan salah paham?” bertanya Pandan Wangi.

“Ya,“ jawab pamannya, “ternyata sulit bagiku untuk dapat meluruskan persoalan ini.”

“Dan Ayah belum mengetahui persoalan ini seutuhnya?” bertanya Pandan Wangi pula.

“Mungkin Prastawa sudah menceritakannya serba sedikit. Kakang Argapati hanya menganggap bahwa aku ingin memaksakan kehendakku atas Prastawa. Karena itu, Kakang Argapati telah datang kepadaku dan minta agar aku tidak bersikap terlalu keras terhadap Prastawa. Ki Gede menganggap bahwa sebaiknya Prastawa yang sudah dewasa itu dapat menentukan hari depannya sendiri, terutama untuk memilih sisihannya.”

“Dan Paman sudah menyetujuinya?” desak Pandan Wangi.

“Ya. Akhirnya aku menyetujui. Tetapi itu belum selesai, Pandan Wangi,” sahut pamannya.

“Sahabat Paman itu menuntut lebih dari persahabatan, sehingga ia tidak mau mengerti atas isyarat yang sudah Paman berikan,“ berkata Pandan Wangi.

“Ya. Dan hal inilah yang tidak dapat aku sampaikan kepada Ki Gede,“ desah Ki Argajaya.

Pandan Wangi mengangguk-angguk. Ia melihat kegelisahan yang bergejolak di dalam dada pamannya itu.

“Kenapa Paman tidak mengatakannya kepada Ki Gede?“ bertanya Swandaru.

“Aku tidak dapat mengatakannya, Ngger. Persoalan ini agaknya akan berkepanjangan. Biarlah aku menanggungnya sendiri. Yang kemudian justru menggelisahkan aku adalah keselamatan Prastawa itu sendiri.”

“Apakah orang itu tidak mau mengerti dan justru mengancam?“ bertanya Swandaru.

Ki Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku sekarang sudah tidak lagi pernah merasa ketakutan apapun yang akan terjadi, sejak aku merasa bahwa umurku seakan-akan telah diperpanjang. Tetapi sudah tidak sepantasnya aku merengek kepada Kakang Argapati, karena aku sudah terlalu banyak menyusahkannya.”

“Tidak Paman.” berkata Pandan Wangi, “bukan untuk kepentingan Paman. Tetapi untuk kepentingan Prastawa. Prastawa sebagai seorang pemimpin pengawal Tanah Perdikan ini tentu berhak mendapat perlindungan. Para pengawal Tanah Perdikan ini melindungi semua penghuni Tanah Perdikan. Tentu termasuk pemimpin pengawal itu sendiri.”

“Aku tidak telaten,“ berkata Swandaru. “Paman. Katakan di mana rumahnya. Aku akan datang kepadanya dan berbicara baik-baik dengan orang itu. Aku akan menuntaskan semua pembicaraan agar tidak lagi berkepanjangan. Semuanya akan menjadi jelas. Prastawa tidak akan dapat mereka harapkan lagi, karena Prastawa sudah memutuskan untuk menikah dengan orang lain.“

“Angger Swandaru,” desis Ki Argajaya, “aku berterima kasih atas kesediaanmu membantu memecahkan persoalanku. Tetapi jangan tergesa-gesa.”

“Aku tidak akan berbuat apa-apa Paman. Aku akan datang untuk membuat penyelesaian tuntas. Bukankah itu baik, sehingga kesalah-pahaman, keragu-raguan dan ketidak-pastian akan dapat dihindarkan,“ berkata Swandaru.

Ki Argajaya memang menjadi semakin bimbang menghadapi persoalan anak laki-lakinya itu. Namun akhirnya ia berkata, “Angger Swandaru. Di belakang keluarga yang kecewa itu, berdiri sekelompok orang yang siap memaksakan kehendaknya. Berhasil, atau kalau tidak justru dihancurkannya sama sekali.”

Wajah Swandaru menegang sejanak. Namun justru katanya kemudian, “Jika demikian, kita malahan tidak perlu berteka-teki lagi. Semuanya menjadi jelas, bahwa mereka akan mempergunakan kekerasan. Bukankah dengan demikian persoalannya malahan menjadi mudah?“

“Maksud Angger?” bertanya Ki Argajaya.

“Kita datang kepada mereka. Jika masih mungkin, kita selesaikan persoalannya dengan baik. Tetapi jika tidak mungkin, kita akan bertempur. Apakah mereka mengira bahwa mereka dapat mengalahkan Tanah Perdikan Menoreh? Tetapi Paman belum mengatakan kepadaku, siapakah orang itu?”

“Angger Swandaru,“ berkata Ki Argajaya, “soalnya bukan mengalahkan Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi mereka tentu akan menuntut penyelesaian secara pribadi. Mereka tentu akan menantang keluarga Prastawa. Alasannya tentu alasan lama sebagaimana sering kita dengar, mereka ingin membuat penyelesaian jantan.”

Swandaru justru tertawa pendek. Katanya, “Menyenangkan sekali. Paman, kita akan menyelesaikan persoalan ini dengan tuntas selagi aku ada di sini.”

“Ah, jangan tergesa-gesa,“ Pandan Wangi-lah yang berusaha untuk menahan sikap Swandaru, apalagi Pandan Wangi tahu benar sifat Swandaru. Katanya, “Aku sependapat dengan sikap Kakang semula. Kita datang untuk berbicara baik-baik. Mudah-mudahan mereka dapat mengerti.”

“Bukankah aku tidak berubah dari sikap itu?” sahut Swandaru. “Tetapi jika dengan sikap itu tidak diketemukan penyelesaian yang tuntas, maka kita akan menanggapi keinginan mereka. Bukankah mereka yang sejak semula sudah mempersiapkan tindakan kekerasan? Nah, aku tahu bahwa Paman Argajaya pun memiliki kemampuan olah kanuragan. Kita berdua akan dapat membantunya karena kita termasuk keluarganya. Nah, apalagi? Jika mereka membawa-bawa orang lain pula, maka di sini ada Kakang Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Nah, apalagi? Jika mereka menggerakkan kekuatan berjumlah besar, Prastawa punya pasukan.”

Ki Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya kemudian, “Sudahlah Ngger. Biarlah aku menanganinya sendiri, apapun yang bakal terjadi. Aku memang telah menyisihkan diri dari jajaran kepemimpinan Tanah Perdikan ini. Tetapi itu bukan berarti bahwa aku tidak lagi mempunyai harga diri terhadap pihak lain. Karena itu, biarlah aku akan menunggu, apa saja yang akan mereka lakukan.”

“Tetapi itu akan menyiksa perasaan Paman. Sampai kapan Paman harus menunggu dan menunggu tanpa penyelesaian? Sementara itu Prastawa merasa bahwa hidupnya masih saja dibayangi oleh keluarga itu, sehingga Prastawa masih belum dapat menikah dengan tenang. Nah, keadaan ini akan berlangsung sampai kapan? Sementara umur Prastawa semakin lama menjadi semakin tua, sehingga akhirnya ia akan menjadi berkeriput. Mungkin Prastawa sendiri tidak akan banyak mengalami penderitaan batin, karena ia seorang laki-laki. Tetapi bagaimana dengan gadis yang menjadi pilihan Prastawa? Apakah ia harus menunggu dalam ketidak-pastian dan keragu-raguan?“ berkata Swandaru.

Ki Argajaya mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti Ngger. Tetapi aku sudah tidak lagi pantas mengganggu Kakang Argapati.”

“Paman tidak usah mengganggu Ki Gede. Aku akan melakukannya. Tunjukkan di mana rumahnya, aku akan pergi menemuinya.”

Ki Argajaya masih termangu-mangu. Namun Swandaru mendesaknya, “Paman, aku dan Pandan Wangi bersedia menjadi utusan Paman.”

Pandan Wangi termangu-mangu sejenak. Ia dapat mengerti maksud suaminya. Prastawa memang tidak boleh berdiri dalam kebimbangan dan ketidak-pastian, sementara umurnya tidak dapat dihentikan untuk sementara.

Karena itu, maka Pandan Wangi itu pun berkata, “Kami memang wajib untuk membantu Paman dalam hal ini. Jika Paman berkenan, maka biarlah kami menemui orang itu. Kami memang berniat untuk membuat penyelesaian dengan baik.”

“Baiklah Pandan Wangi,“ berkata pamannya, “tetapi aku harus berbicara dahulu dengan Ki Gede, apakah Ki Gede mengijinkan atau tidak. Aku sudah terlalu banyak membuat kesalahan.”

Pandan Wangi dan Swandaru mengangguk-angguk. Dengan nada dalam Swandaru berkata, “Jika demikian tentu akan lebih baik Paman. Tetapi aku mohon Paman segera menemui Ki Gede.”

“Nanti sore aku akan pergi menemui Ki Gede,“ jawab Ki Argajaya.

Untuk beberapa saat Swandaru dan Pandan Wangi masih berbincang dengan Ki Argajaya. Terutama tentang Prastawa dan keluarga yang telah dikecewakannya itu.

Namun kemudian, Swandaru dan Pandan Wangi itu pun minta diri untuk melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan.

“Kami belum berkunjung ke rumah Kakang Agung Sedayu, Paman,” berkata Swandaru.

“Jadi, kalian belum bertemu dengan Angger Agung Sedayu?” bertanya Ki Argajaya.

“Sudah. Di rumah Ki Gede. Kakang Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih telah menemui aku di sana,“ jawab Swandaru. Lalu katanya, “Tetapi rasa-rasanya aku ingin singgah di rumahnya.”

“Sebaiknya kalian memang singgah di rumahnya. Tetapi biasanya Agung Sedayu pulang di sore hari dari barak prajurit itu,“ berkata Ki Argajaya.

“Jika demikian, kami sempat untuk melihat-lihat lebih dahulu di sekitar padukuhan induk ini,“ berkata Swandaru.

Demikianlah, maka Swandaru dan Pandan Wangi pun minta diri. Mereka memang ingin melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan Menoreh yang sudah lama tidak mereka kunjungi.

Beberapa orang yang bertemu mereka di sepanjang jalan, dengan akrab menyapa dan bahkan mempersiiahkan mereka singgah. Setiap orang Tanah Perdikan kecuali anak-anak kecil, mengenal siapakah Pandan Wangi dan Swandaru.

Tetapi mereka selalu mohon maaf bahwa mereka masih belum dapat singgah, karena mereka masih ingin berjalan-jalan melihat-lihat kampung halaman yang sudah lama ditinggalkan.

Pandan Wangi dan Swandaru memang tidak langsung pergi ke rumah Agung Sedayu, karena Agung Sedayu baru pulang di sore hari. Tetapi setelah melihat-lihat padukuhan induk dan sekitarnya, maka mereka pun lebih dahulu kembali ke rumah Ki Gede.

Pandan Wangi dan Swandaru masih sempat berbicara tentang Prastawa serta persoalan, yang dihadapi oleh pamannya, Ki Argajaya, yang untuk beberapa lama seakan-akan telah menyingkir dari pergaulan di Tanah Perdikan Menoreh.

Ki Gede mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, “Argajaya terlalu tenggelam dalam penyesalan yang tidak berkeputusan, sehingga ia tidak mau minta pertimbangan kepadaku tentang persoalan yang dihadapinya. Prastawa memang telah berbicara serba sedikit. Tetapi Argajaya tidak pernah menyampaikan kepadaku secara utuh. Apalagi minta pendapatku. Terlebih-lebih lagi minta bantuanku.”

“Kami sudah menyatakan kesediaan kami untuk membantu, Ayah,“ berkata Pandan Wangi. “Paman tidak berkeberatan jika Ayah juga tidak berkeberatan. Kami berdua bersedia untuk menjadi utusan, datang ke rumah keluarga yang kecewa itu untuk memberi penjelasan, dan jika Paman menghendaki, kami akan mohon maaf. Tetapi kami, tentu saja atas nama Paman, mohon persoalannya dapat dianggap selesai, sehingga tidak akan timbul persoalan di kemudian hari.”

“Pada dasarnya aku tidak berkeberatan. Tetapi kalian harus berhati-hati menghadapi sekelompok orang yang kecewa.”

“Kami sudah memperhitungkan hal itu,” sahut Swandaru.

“Tetapi kami datang untuk membuat penyelesaian dengan baik,“ berkata Pandan Wangi.

“Apakah kalian hanya akan datang berdua saja atau akan datang bersama pamanmu, atau Prastawa, atau siapa?” bertanya Ki Gede.

“Kami akan datang berdua saja. Karena pada dasarnya kami hanya akan memberikan penjelasan,“ jawab Swandaru.

Ki Gede mengangguk-angguk. Namun memang terbayang kekhawatirannya, bahwa akan dapat terjadi sesuatu pada anak dan menantunya jika mereka hanya berdua saja, karena keluarga yang kecewa itu, jelas atau tidak jelas, sudah mengancam keluarga Prastawa.

Karena itu, maka Ki Gede itu pun berkata, “Apakah kalian tidak mengajak orang lain untuk menyertai kalian? Misalnya suami istri Agung Sedayu dan Sekar Mirah? Bukankah wajar saja jika kalian dua pasang suami istri datang mewakili paman kalian menenemui keluarga itu? Atau barangkali akan lebih baik jika ada di antara kalian seorang yang sudah berusia agak lebih tua, sebagaimana kebiasaan dari sekelompok utusan yang akan berbicara tentang hubungan antara keluarga.”

“Tetapi kami tidak sedang melamar seorang gadis atau menjawab lamaran. Kami datang untuk memberikan penjelasan, Ayah,“ jawab Pandan Wangi.

“Aku mengerti Pandan Wangi. Tetapi terus-terang, aku mencemaskan kalian jika kalian hanya berdua. Selain itu, bukankah agaknya akan nampak lebih bersungguh-sungguh jika kalian datang dalam satu kelompok kecil bersama seorang yang dituakan? Bagaimanapun juga pembicaraan antara orang-orang yang sudah lebih tua akan nampak lebih bersungguh-sungguh.”

Swandaru termangu-mangu sejenak. Katanya, “Tetapi jika orang-orang yang kecewa itu menjadi mata gelap, maka orang tua itu akan menjadi beban bagi kami.”

“Sebaiknya kalian datang bersama-sama seorang tua yang akan dapat melindungi dirinya sendiri,“ sahut Ki Gede.

“Siapa?” bertanya Swandaru.

“Ki Jayaraga. Seorang yang tinggal di rumah Agung Sedayu. Ia adalah salah seorang guru Glagah Putih,“ berkata Ki Gede.

Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Jika orang itu memiliki kemampuan untuk melindungi dirinya sendiri, aku tidak berkeberatan.”

Demikianlah, maka ternyata Ki Gede telah mengusulkan agar yang datang ke rumah keluarga yang kecewa itu adalah dua pasang suami istri dan seorang yang dituakan, Ki Jayaraga.

Ketika di sore hari Swandaru dan Pandan Wangi datang berkunjung ke rumah Agung Sedayu, maka Swandaru agaknya telah melupakan niatnya untuk berbicara dengan Agung Sedayu tentang kemungkinan bagi Agung Sedayu untuk lebih meningkatkan ilmunya. Tetapi demikian mereka duduk dan mulai berbincang, Pandan Wangi langsung berbicara tentang Prastawa. Menurut Ki Gede, sebaiknya yang menjadi utusan Ki Argajaya adalah dua pasang suami istri dan seorang atau lebih yang dituakan, sebagaimana kebiasaan yang berlaku.

“Tetapi bukankah kita tidak akan datang melamar?“ bertanya Sekar Mirah.

“Aku sudah mengatakan hal itu kepada Ayah,“ jawab Pandan Wangi.

Agung Sedayu yang kemudian menyahut, “Mungkin Ki Gede ingin menunjukkan bahwa apapun yang ingin dijelaskan, namun Ki Argajaya telah memakai cara yang terbiasa dilakukan dalam pembicaran mengenai hubungan antara seorang anak muda dan seorang gadis.”

“Jangan-jangan justru akan dapat menimbulkan salah paham. Kedatangan kita justru dikira akan melamar,“ berkata Sekar Mirah.

“Jika demikian, persoalannya memang akan menjadi semakin gawat. Keluarga itu akan menjadi semakin kecewa,” sahut Pandan Wangi.

“Aku kira mereka tidak akan salah paham. Bukankah Paman Argajaya sudah memberikan isyarat bahwa hubungan antara Prastawa dan gadis itu tidak akan dapat dilanjutkan? Bahkan keluarga itu pun sudah memberikan isyarat jawaban, bahwa mereka akan memaksakan kehendak mereka atau akan menghancurkan keluarga Paman itu sama sekali,“ berkata Swandaru.

Pandan Wangi mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Paman memang mengatakan demikian.”

“Baiklah,“ berkata Sekar Mirah, “jika demikian, maka kami tentu tidak akan berkeberatan. Bukankah begitu, Kakang?”

“Aku tidak akan berkeberatan. Tetapi siapakah yang akan kita minta sebagai orang yang kita tuakan itu?” bertanya Agung Sedayu.

“Kemungkinan buruk dapat terjadi, mengingat keluarga yang kecewa itu sudah terlanjur mengancam. Karena itu, orang yang akan pergi bersama kita itu harus seorang yang umurnya memang sudah tua, tetapi yang memiliki kemampuan melindungi dirinya sendiri. Ki Gede telah menyebut nama Ki Jayaraga untuk memimpin utusan dari Paman Argajaya ini,“ berkata Swandaru.

“Ki Jayaraga?” Agung Sedayu mengulang.

“Ya,“ jawab Swandaru dan Pandan Wangi berbareng.

Orang-orang yang sedang berbincang itu memang langsung minta kepada Ki Jayaraga untuk menyertai mereka datang kepada keluarga yang kecewa itu.

“Maksud kedatangan kita mengemban niat yang baik,“ berkata Pandan Wangi, “selama ini persoalan Prastawa seakan-akan hanya terkatung-katung tanpa penyelesaian. Sementara itu umurnya sudah menjadi semakin tua.”

Ternyata Ki Jayaraga juga tidak berkeberatan. Apalagi menurut pendapatnya sendiri, luka-lukanya sudah sembuh sama sekali, sebagaimana Agung Sedayu.

Dengan demikian, maka mereka pun telah mendapat kesepakatan untuk berangkat mewakili Ki Argajaya menemui keluarga yang telah dikecewakannya itu. Agaknya Pandan Wangi memang tidak dapat membiarkan adik sepupunya itu selalu dibayangi oleh-ketidak pastian untuk waktu yang tidak diketahui.

“Jika demikian,“ berkata Pandan Wangi, “besok kita menghadap Paman Argajaya untuk mendapat penjelasan yang lebih terperinci sebelum kita berangkat menemui keluarga itu.”

Sepeninggal Swandaru dan Pandan Wangi, maka Glagah Putih sempat berkata kepada Ki Jayaraga ketika mereka hanya berdua saja, “Kakang Swandaru nampaknya sudah sedikit berubah. Ia tidak lagi menggurui Kakang Agung Sedayu sebagaimana biasanya jika mereka bertemu.”

“Maksudmu?“ bertanya Ki Jayaraga.

Glagah Putih sempat bercerita serba sedikit tentang sifat Swandaru. Glagah Putih pun berharap agar Ki Jayaraga yang belum banyak mengenalnya tidak terkejut, jika pada suatu saat ia menghadapi sikap Swandaru yang jauh berbeda dengan sikap Agung Sedayu, meskipun mereka saudara seperguruan.

Namun Ki Jayaraga sambil tersenyum berkata, “Bukankah itu wajar sekali, Glagah Putih? Memang sulit diketemukan dua orang yang mempunyai watak yang sama. Jika di satu perguruan terdapat sepuluh orang murid, maka di sana juga terdapat sepuluh watak yang berbeda. Mungkin ada di antara mereka yang mempunyai persamaan, tetapi tentu ada yang berbeda.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian tersenyum sambil berkata, “Agaknya Kakang Swandaru sedang tertarik oleh sebuah persoalan lain, sehingga ia lupa memberi peringatan kepada Kakang Agung Sedayu meskipun kakang Agung Sedayu baru saja terluka.”

Di keesokan harinya, seperti yang sudah disepakati, demikian Agung Sedayu kembali dari barak, serta setelah memperbarui obat-obat bagi Wacana yang sudah berangsur baik, bersama Sekar Mirah mereka telah pergi ke rumah Ki Gede, untuk selanjutnya pergi menemui Ki Argajaya untuk mendapatkan penjelasan tentang hubungannya dengan keluarga yang telah dikecewakan itu. Bersama mereka telah pergi pula Ki Jayaraga, yang mungkin akan mengejutkan Ki Argajaya.

Sebenarnyalah bahwa Ki Argajaya telah terkejut menerima kehadiran kelima orang itu. Ia tidak mengira sama sekali bahwa Swandaru dan Pandan Wangi akan mengajak Agung Sedayu dan istrinya, apalagi Ki Jayaraga.

Karena itu, maka Pandan Wangi harus menjelaskan bahwa ayahnya, Ki Gede, menasehatkan agar di antara utusan Ki Argajaya itu terdapat seorang yang sudah dapat dianggap sebagai orang tua dan pantas untuk mewakili pembicaraan yang dianggap penting dalam hubungan antara dua keluarga.

“Menurut Ayah, bukan sekedar anak-anak saja-lah yang akan membicarakan persoalan yang dianggap penting,“ berkata Pandan Wangi kemudian.

Ki Argajaya termangu-mangu sejenak. Di wajahnya nampak betapa ia merasa ragu-ragu. Tetapi Ki Jayaraga sendiri kemudian berkata, “Ki Argajaya. Aku senang menerima kepercayaan ini. Dahulu, justru ketika aku masih belum terhitung tua, juga pernah mewakili saudara sepupuku untuk membatalkan rencana perkawinan anaknya dengan seorang gadis. Keluarga gadis itu marah. Namun setelah aku memberi penjelasan, maka orang tua gadis itu akhirnya dapat mengerti. Aku berharap bahwa orang tua gadis yang kecewa itu pun hendaknya dapat mengerti juga.”

Ki Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Seharusnya aku tidak mengganggu ketenangan Ki Jayaraga dengan hal-hal yang sama sekali tidak berarti seperti ini.”

“Bukan begitu, Ki Argajaya,” sahut Ki Jayaraga, “bukankah hal itu wajar sekali?”

“Aku akan dengan bangga mohon perkenan Ki Jayaraga untuk mewakili aku jika aku melamar seorang gadis bagi Prastawa nanti. Tetapi sekarang, persoalannya tidak seperti itu.”

“Aku mengerti, Ki Argajaya. Tetapi sebaiknya kita tidak usah memikirkan bermacam-macam hal. Aku sudah merasa mendapat satu kepercayaan. Bukan saja dari Ki Argajaya, tetapi juga dari Ki Gede, karena menurut pendengaranku, Ki Gede-lah yang mengusulkan agar aku ikut serta bersama dua pasang suami istri itu.”

“Baiklah, Ki Jayaraga,“ berkata Ki Argajaya, “Aku hanya dapat mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga.”

“Sekali lagi aku mengucapkan terima kasih atas kepercayaan ini,” desis Ki Jayaraga kemudian.

Ki Argajaya mengangguk-angguk kecil. Namun jantungnya masih saja terasa berdebar-debar. Namun Ki Argajaya itu tahu pasti, terutama dari Prastawa, bahwa Ki Jayaraga adalah seorang yang berilmu tinggi.

Dengan demikian, lima orang yang akan berangkat menemui keluarga yang sedang kecewa itu adalah orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Sehingga jika terjadi sesuatu di tempat gadis itu, mereka akan dapat menyelesaikan.

Dengan demikian, maka Ki Jayaraga pun kemudian bertanya tentang persoalan yang sedang mereka hadapi dengan terperinci.

“Agar aku tahu pasti, apa yang dapat aku lakukan,“ berkata Ki Jayaraga kemudian.

“Dimanakah rumah orang itu?” bertanya Swandaru kemudian.

“Rumahnya di Kademangan Kleringan,“ jawab Ki Argajaya.

“Kleringan. Bukankah baru saja kita membantu Kleringan dari gangguan orang-orang perkemahan?“ desis Agung Sedayu.

“Kenapa?“ bertanya Ki Argajaya.

“Orang-orang yang berkemah di seberang bukit telah mengganggu Kademangan Kleringan pula. Karena itu, setelah kita mengatasi kesulitan yang timbul dari orang-orang yang berada di perkemahan itu, Kademangan Kleringan pun telah terbebas pula dari gangguan mereka,“ jawab Agung Sedayu.

“Mungkin orang itu tidak merasa langsung mengalami kesulitan dengan kehadiran orang-orang perkemahan itu,“ jawab Ki Argajaya. Namun katanya kemudian, “Sebenarnya orang itu dahulu juga tinggal di Tanah Perdikan ini. Tetapi kemudian ia bergeser dan tinggal di Kademangan Kleringan.”

“Persoalan orang itu memang tidak berhubungan langsung dengan persoalan yang timbul karena kedatangan orang-orang yang membuat perkemahan di seberang itu,” desis Agung Sedayu kemudian, “tetapi jika ia berani mengancam Ki Argajaya, berarti ia memiliki kekuatan. Namun kekuatan itu tidak nampak sama sekali ketika orang-orang yang membuat perkemahan di seberang bukit itu juga mengganggu Kademangan Kleringan.”

“Itulah yang harus dipertanyakan,“ berkata Ki Argajaya, “mungkin orang itu bersandar pada kekuatan yang didatangkannya dari lingkungan lain. Mungkin ia mempunyai sanak-kadang yang tinggal di tempat lain agak jauh, yang akan mampu mendukung niatnya memaksakan kehendaknya atas keluarga kami.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk, katanya, “Hal seperti itu memang dapat terjadi. Namun sebagaimana rencana kita semula, kita datang dengan niat untuk menjelaskan persoalannya sehingga dapat dicapai satu penyelesaian tuntas yang baik.”

“Itulah yang kami harapkan, Ngger,” desis Ki Argajaya. Dalam pada itu, Ki Jayaraga pun kemudian bertanya, “Siapakah nama orang itu, Ki Argajaya?”

Ki Argajaya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab, “Namanya Ki Suracala.”

“Suracala,“ Ki Jayaraga mengulang. Lalu katanya, “Baiklah. Kami akan datang mengunjungi Ki Suracala. Kami akan memberikan penjelasan untuk mendapat pengertian serta penyelesaian tuntas yang baik. Mudah-mudahan kami berhasil.”

“Ki Jayaraga,“ suara Ki Argajaya merendah, “menurut pengenalanku, Ki Suracala adalah orang yang baik. Aku tidak tahu kenapa ia telah berubah. Bahkan, lewat seorang utusannya yang beberapa hari yang lalu datang menemuiku, Ki Suracala minta menyelesaikan dalam waktu yang dekat.”

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, mungkin memang ada orang lain yang telah mempengaruhinya. Tetapi baiklah kita membuktikannya. Mudah-mudahan persoalannya menjadi jernih. Apalagi kita datang secara resmi sebagaimana sekelompok utusan yang pantas. Bukan sekedar utusan yang datang sekedarnya saja.”

Dengan nada rendah Ki Argajaya menjawab, “Baiklah Ki Jayaraga. Mudah-mudahan semuanya dapat berakhir dengan baik.”

“Agaknya kita tinggal menentukan, kapan kita akan berangkat menemui keluarga Ki Suracala.”

Ki Argajaya termangu-mangu sejenak. Dengan ragu ia berkata, “Sebenarnya segala sesuatunya terserah kepada Ki Jayaraga. Tetapi sebagai bahan pertimbangan, sebagaimana aku katakan tadi, bahwa beberapa hari yang lalu telah datang seorang yang mengaku utusan Ki Suracala, yang minta agar persoalannya segera diselesaikan.”

“Jika demikian, maka kami akan segera pergi ke Kademangan Kleringan. Tetapi sebaiknya Ki Argajaya mengirimkan seseorang untuk memberitahukan bahwa besok sore kami berlima akan datang sebagai utusan resmi Ki Argajaya,“ berkata Ki Jayaraga.

“Baiklah,“ berkata Ki Argajaya, “besok pagi aku akan mengirimkan seorang yang akan memberitahukan kedatangan Ki Jayaraga besok sore.”

Namun kesepakatan itu pecah, ketika tiba-tiba saja mereka dikejutkan oleh derap kaki kuda di halaman. Dua orang berkuda segera turun dari kuda mereka setelah mereka berada beberapa langkah saja dari pendapa rumah itu.

“Siapakah mereka Paman?” bertanya Swandaru.

“Aku belum mengenalnya, Ngger,“ jawab Ki Argajaya.

“Orang-orang yang deksura itu tidak mau turun dari kudanya ketika mereka memasuki regol halaman,” geram Swandaru.

Namun Pandan Wangi menggamitnya ketika Swandaru sudah beringsut untuk bangkit.

“Sudahlah,“ berkata Ki Argajaya, “biarlah aku mempersilahkan mereka.”

Ki Argajaya-lah yang kemudian bangkit telah mempersilahkan kedua orang itu untuk naik ke pendapa.

“Maaf Ki Sanak,“ berkata Ki Argajaya, “kami ternyata masih belum pernah mengenal Ki Sanak. Apakah kami dapat mengetahui siapakah Ki Sanak berdua?”

“Kami berdua datang atas perintah Ki Suracala,“ jawab salah seorang dari mereka, “beberapa hari yang lalu, seorang kawan kami telah datang kemari. Ki Suracala minta persoalan anaknya segera diselesaikan. Tetapi Ki Argajaya nampaknya sama sekali tidak menghiraukan.”

Ki Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu sekali lagi Pandan Wangi menggamit suaminya yang beringsut.

“Sekarang ini kami sedang membicarakan hal itu, Ki Sanak. Aku sedang memanggil kemanakan-kemenakanku, yang besok akan datang menemui Ki Suracala, memenuhi pesannya beberapa hari yang lalu,“ jawab Ki Argajaya.

“Ki Suracala sudah tidak sabar lagi. Ia sudah menunggu terlalu lama,“ berkata orang itu.

“Bukankah masih banyak waktu. Kenapa harus tergesa-gesa?” sahut Ki Argajaya.

“Mungkin Ki Argajaya tidak merasa gelisah sebagaimana Ki Suracala, karena anak Ki Argajaya laki-laki. Tetapi anak Ki Suracala adalah seorang gadis. Aib yang melekat pada gadis itu telah membuat Ki Suracala hampir kehilangan akal.”

Wajah Ki Argajaya menegang. Demikian pula mereka yang mendengar keterangan itu. Dengan suara yang bergetar Ki Argajaya bertanya, “Apa maksud Ki Sanak?”

“Ki Argajaya,“ jawab orang itu, “jangan berpura-pura seperti itu. Ki Argajaya tentu tahu apa yang telah dilakukan oleh anak laki-laki Ki Argajaya itu.”

“Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan itu, Ki Sanak.”

“Baiklah. Jika Ki Argajaya memang merasa tidak tahu atau berpura-pura tidak tahu, biarlah aku mengatakannya. Perut anak Ki Suracala sudah menjadi semakin besar. Karena itu, maka Ki Suracala tidak akan dapat menunggu lebih lama lagi.”

Jantung Ki Argajaya rasa-rasanya bagaikan berhenti berdetak. Dengan suara sendat ia bertanya, “Maksud Ki Sanak, bahwa anakku telah melakukannya?”

“Prastawa telah melakukannya. Kemudian dengan ringan hati ia berkata, bahwa ia tidak merasa perlu untuk bertanggung jawab. Nah, aku minta Ki Argajaya mempertimbangkannya baik-baik. Bagaimana kiranya jika keadaannya terbalik. Ki Argajaya mempunyai anak seorang gadis, sedangkan Ki Suracala mempunyai seorang anak laki-laki.”

Wajah Ki Argajaya menjadi merah. Dengan geram ia berkata, “Anak setan. Dosa apakah yang akan ditanggungkannya. Ki Sanak. Jika benar keterangan Ki Sanak, maka aku akan berbuat apa saja atas Prastawa. Aku minta Ki Sanak menunggu sebentar. Aku akan memanggil anak itu.”

“Persoalan itu bukan persoalanku lagi Ki Argajaya. Terserah apakah yang akan Ki Argajaya bicarakan dengan Prastawa. Tugasku menyampaikan pesan ini sudah selesai,“ berkata orang itu. Namun kemudian katanya, “Keluarga Ki Suracala tentu tidak akan dapat berdiam diri. Ki Argajaya tahu, bahwa kami akan dapat berbuat banyak jika Prastawa mengingkari tanggung jawabnya.”

Dada Ki Argajaya rasa-rasanya menjadi sesak. Sementara itu, yang lain pun menjadi termangu-mangu. Keterangan itu memang sangat mengejutkan. Bahkan Swandaru pun hanya diam mematung. Jika benar keterangan itu, maka memang tidak ada gunanya untuk melindungi Prastawa lagi. Bahkan mereka seharusnya menganjurkan agar Prastawa menyelesaikan persoalannya dengan wajar.

Dalam pada itu, orang yang mengaku utusan Ki Suracala itu berkata selanjutnya, “Ki Argajaya. Kami tahu bahwa Prastawa adalah pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Kami pun tahu betapa kuatnya Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi persoalannya bukan persoalan Tanah Perdikan, sehingga Prastawa dan Ki Argajaya tentu tidak akan menyalah-gunakan kedudukan. Persoalannya adalah keluarga Ki Argajaya dan keluarga Ki Suracala. Bukan antara Tanah Perdikan Menoreh dan keluarga Ki Suracala.”

Tiba-tiba kata-kata itu menggelitik Swandaru yang sebelumnya lebih dahulu berdiam diri, apalagi setelah ia mendengar keadaan gadis Ki Suracala itu. Hampir di luar sadarnya Swandaru berkata, “Bagus Ki Sanak. Persoalannya adalah persoalan keluarga Ki Suracala dan keluarga Ki Argajaya. Sebenarnya aku ikut menyesal seandainya Prastawa benar-benar berbuat demikian. Tetapi ancamanmu terdengar seperti tantangan.”

“Aku tidak berkeberatan jika kau mengartikannya demikian,“ jawab orang itu. Lalu katanya, “Tetapi kami tidak akan berbuat demikian jika Prastawa tidak dengan semena-mena menghina kami.”

Namun Ki Jayaraga-lah yang kemudian menyahut, “Sebaiknya kita tidak terdorong oleh perasaan semata-mata. Tetapi kita harus berpikir jernih. Karena itu, maka sebaiknya kami akan berbicara dengan Angger Prastawa lebih dahulu.”

“Silahkan Ki Sanak,“ berkata orang itu, “tetapi kami tidak dapat menunggu terlalu lama. Kami menunggu kepastian selambat-lambatnya tiga hari. Bukan sekedar keterangan atau penjelasan.”

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Baik. Baik. Dalam tiga hari kami akan datang. Sebenarnya besok sore kami akan mengunjungi Ki Suracala. Tetapi karena persoalan yang kalian katakan itu, maka kami akan mengadakan pembicaraan-pembicaraan lagi. Tetapi tentu tidak lebih dari tiga hari.”

“Terima kasih,“ berkata orang itu. Namun kemudian katanya, “Kami minta diri.”

“Kenapa tergesa-gesa?“ Ki Jayaraga-lah yang menjawab. Ia tahu bahwa Ki Argajaya sedang dicengkam oleh kebingungan mendengar keterangan orang itu. “Kami akan mempersilahkan Ki Sanak untuk minum lebih dahulu.”

“Terima kasih,“ jawab orang itu, “keperluanku sudah cukup. Kami minta diri.”

Kedua orang itu tidak menunggu jawaban. Keduanya segera beringsut dan langsung bangkit serta melangkah turun dari pendapa.

Tanpa berpaling lagi maka keduanya segera meloncat ke punggung kudanya dan melarikannya meninggalkan halaman rumah Ki Argajaya.

“Sikapnya menyakitkan hati,” desis Swandaru.

“Mereka adalah orang-orang yang marah dan kecewa,” sahut Ki Jayaraga.

“Aku mengerti,“ jawab Swandaru, “tetapi seharusnya mereka tidak berbuat sekasar itu.”

Ki Jayaraga tidak sempat menjawab. Sementara itu Ki Argajaya berkata, “Aku mohon semuanya sudi untuk menunggu sejenak. Aku akan minta seseorang mencari Prastawa sampai ketemu. Aku ingin berbicara dengan anak itu sekarang.”

“Baiklah Ki Argajaya,“ jawab Ki Jayaraga, “kami akan menunggu. Tetapi aku mohon Ki Argajaya menahan hati. Kita masih belum mendengar penjelasan Prastawa.”

“Ki Jayaraga,“ berkata Ki Argajaya dengan suara yang bergetar. Agaknya hatinya benar-benar telah terguncang mendengar keterangan utusan Ki Suracala itu, “Selama ini aku telah menyisih dari lingkungan keluarga Tanah Perdikan ini karena namaku sudah tercemar. Aku pernah disebut seorang pengkhianat. Namun aku telah diampuni. Dan sekarang, selagi aku berusaha untuk mendapat ketenangan hidup di hari tuaku, Prastawa telah menimpuk keningku dengan lumpur.”

“Tetapi apakah Ki Argajaya yakin, bahwa hal itu telah terjadi?” bertanya Ki Jayaraga.

“Aku akan memanggil anak itu,“ geram Ki Argajaya. Demikianlah, maka Ki Argajaya telah memerintahkan seorang pembantunya untuk mencari Prastawa. Dengan nada tinggi ia berkata, “Cepat, cari Prastawa sampai ketemu. Bawa ia pulang sekarang juga. Pakai kuda, supaya cepat.”

Orang yang mendapat perintah itu pun segera berangkat. Derap kaki kudanya pun kemudian menyusuri jalan utama di padukuhan induk. Yang pertama-tama dituju adalah rumah Ki Gede. Biasanya Prastawa ada di rumah itu, jika ia tidak sedang bertugas.

Kedatangan orang itu telah mengejutkan Prastawa, dan bahkan Ki Gede. Pembantu di rumah Ki Argajaya itu juga mengatakan bahwa Ki Jayaraga, Agung Sedayu dan Swandaru suami istri masih berada di rumah Ki Argajaya. Semuanya sedang menunggu kedatangan Prastawa.

“Ada apa sebenarnya?” bertanya Ki Gede.

“Aku tidak tahu. Tetapi nampaknya Ki Argajaya sedang sangat gelisah,“ jawab orang itu.

Ki Gede termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Prastawa, marilah, aku juga ingin bertemu dengan ayahmu. Agaknya ada persoalan yang agak rumit.”

Prastawa mengangguk. Ketika pembantu Ki Argajaya itu mengatakan bahwa baru saja ada tamu dua orang berkuda yang nampaknya tergesa-gesa, maka iapun bertanya, “Siapakah mereka?”

“Aku tidak tahu,“ jawab orang itu.

Prastawa memang menjadi gelisah. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya ingin dikatakan ayahnya kepadanya.

Demikianlah, sejenak kemudian, bersama Ki Gede diiringi oleh pembantu Ki Argajaya, Prastawa pergi memenuhi panggilan ayahnya. Sementara itu, lampu-lampu minyak sudah mulai nampak dinyalakan di rumah-rumah sebelah-menyebelah jalan. Bahkan satu dua oncor nampak dipasang di regol-regol halaman.

Di rumah Ki Argajaya, Ki Jayaraga berusaha untuk menenangkan Ki Argajaya yang menjadi sangat gelisah. Rasa-rasanya Prastawa tidak pantas lagi untuk menjadi panutan anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh.

Ketika kemudian Prastawa memasuki regol halaman rumahnya, maka jantungnya memang menjadi semakin berdebar-debar. Lampu pun telah dinyalakan pula di pendapa rumahnya, dan bahkan juga di regol halaman.

Demikian Ki Argajaya melihat Prastawa memasuki halaman, maka iapun segera bangkit berdiri dengan wajah yang tegang. Tetapi Ki Jayaraga pun cepat bangkit pula sambil berdesis, “Tenanglah Ki Argajaya.”

Ki Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya ia ingin mengendapkan gejolak perasaan di dalam dadanya.

Namun Ki Argajaya pun benar-benar harus menahan dirinya ketika ia melihat Ki Gede datang pula bersama Prastawa.

Demikianlah, maka sejenak kemudian mereka pun telah duduk di pendapa. Ki Gede yang duduk di sebelah Ki Argajaya merasakan desah nafas adiknya yang memburu, seakan-akan Ki Argajaya itu baru saja berhenti mengejar seekor kijang yang berlari di padang rumput.

Yang kemudian bertanya dengan nada sareh adalah Ki Gede, “Kamu memanggil anakmu?”

“Ya, Kakang,“ jawab Ki Argajaya.

“Nampaknya ada persoalan yang penting. Orangmu itu juga mengatakan bahwa baru saja ada dua orang tamu berkuda datang. Tetapi orangmu tidak tahu, siapakah mereka,“ berkata Ki Gede kemudian.

“Orang itu adalah utusan Ki Suracala, Kakang,“ jawab Ki Argajaya.

“Siapakah Ki Suracala itu?”

Nampaknya Ki Argajaya memang sulit untuk menahan perasaannya yang bergejolak. Karena itu, dengan singkat ia menceritakan tentang kedua orang itu, dan tentang orang yang bernama Ki Suracala. Kemudian dengan suara yang bergetar Ki Argajaya berkata, “Kakang. Ternyata semua kesalahan itu terletak di pundak Prastawa. Syukurlah bahwa Kakang juga hadir sekarang ini. Aku ingin minta penjelasan Prastawa, di hadapan orang-orang yang selama ini telah berusaha membantu aku memecahkan persoalannya.”

“Apa yang telah dilakukan oleh Prastawa?” bertanya Ki Gede.

Dengan tajamnya Ki Argajaya memandangi anaknya. Dengan geram iapun kemudian berkata, “Prastawa, berkatalah terus-terang. Apa yang sudah kau lakukan atas anak gadis Ki Suracala?”

“Maksud Ayah?” Prastawa nampak menjadi bingung.

“Kenapa kau justru telah menolak gadis itu setelah gadis itu mengandung?” bertanya Ki Argajaya dengan geram.

“Ayah, aku tidak mengerti,” desis Prastawa yang juga menjadi tegang.

“Kau jangan berpura-pura. Bukankah kau seorang laki-laki? Kenapa kau harus berusaha untuk melarikan diri dari tanggung jawab setelah iblis merasuk di dalam jantungmu.”

“Aku tidak mengerti, Ayah,“ Prastawa menjadi semakin bingung.

Ki Gede-lah yang kemudian berkata, “Argajaya. Coba katakan, apa yang telah dilakukan Prastawa. Apa kesalahannya, dan tanggung jawab apakah yang harus dipikulnya. Kau sebut-sebut tentang seorang gadis yang mengandung, apakah maksudmu kau menuduh bahwa Prastawa telah bersalah dalam hal ini?”

“Ya, Kakang. Utusan Ki Suracala itu mengatakan, bahwa gadis itu telah mengandung karena hubungannya dengan Prastawa.”

“Ayah,“ potong Prastawa, “itu tidak benar.”

“Sudah tentu kau mengelak. Tetapi utusan itu berkata dengan pasti. Kau ternyata memang licik. Kau mengatakan bahwa hatimu telah tertambat kepada seorang gadis, tetapi sementara itu, kau telah melakukan satu perbuatan yang keji terhadap gadis yang lain.”

“Tidak. Aku tidak melakukannya,“ bantah Prastawa.

“Prastawa. Kau harus berbuat sebagai seorang laki-laki. Besok kau harus datang ke rumah Ki Suracala. Kita akan mengatur hari perkawinan segera dengan gadis yang sudah mengandung itu. Bukankah itu merupakan aib, terutama bagi keluarga Ki Suracala?“ Ki Argajaya berhenti sejenak, lalu, “Nah, sekarang aku tahu, kenapa keluarga Ki Suracala itu telah mengancamku. Ternyata kau-lah yang telah memancing persoalan.”

“Jadi Ayah percaya kepada Ki Suracala, atau orang-orangnya yang datang kemari?”

“Jika tidak, bagaimana mungkin mereka dapat berkata demikian tentang kau dan anak gadis itu?”

“Ayah, aku memang mengenal gadis itu dengan baik. Hubunganku memang cukup akrab. Tetapi tidak lebih dari anggapanku bahwa ia adalah adikku sendiri. Aku sama sekali tidak tertarik kepadanya dalam arti sebagai seorang laki-laki terhadap seorang perempuan.”

Tetapi Ki Argajaya yang marah itu seakan-akan tidak mendengar kata-kata anaknya itu. Dengan geram ia berkata, “Prastawa. Ki Suracala adalah seorang yang baik. Ia tidak akan mengada-ada dengan cerita yang ngayawara itu, jika sama sekali tidak ada kebenarannya. Aku tahu, bahwa kau merasa mempunyai dukungan yang kokoh di Tanah Perdikan ini. Kau adalah salah seorang pemimpin pengawal yang berpengaruh. Kau tentu berharap bahwa kau akan dapat mempergunakan kekuatan pengawal-pengawal Tanah Perdikan ini untuk melindungimu jika terjadi sesuatu.”

“Tidak. Tidak,“ jawab Prastawa. “Ayah. Aku mohon Ayah sempat mengurai hubunganku dengan gadis itu. Aku mengenalnya sudah cukup lama, sebagaimana Ayah mengenal Ki Suracala. Ayah tentu ingat, sejak kapan aku mengatakan kepada Ayah, bahwa aku sama sekali tidak tertarik kepada gadis itu. Ketika itu Ayah mengatakan kepadaku bahwa hubungan baik antara Ayah dan Ki Suracala hendaknya diikat dengan ikatan yang lebih erat. Aku tahu maksud Ayah. Dan bukankah aku sudah menyatakan pendapatku? Ayah memang marah kepadaku. Hubungan kita memang menjadi renggang. Apalagi ketika aku mengatakan kepada Ayah, bahwa aku telah mempunyai pilihan sendiri.“ Prastawa berhenti sejenak. Lalu katanya kemudian, “Sejak itu hubungan kita menjadi semakin jauh. Jika aku pulang, maka Ayah menjadi acuh tak acuh. Meskipun demikian, aku masih juga sering bercerita kepada Ayah tentang Tanah Perdikan ini. Tentang segala seluk-beluknya, meskipun aku tahu bahwa Ayah memang tidak tertarik. Bukan saja karena Ayah memang sudah menyingkir dari pergaulan di Tanah Perdikan karena Ayah merasa selalu dikejar oleh dosa Ayah, tetapi Ayah memang tidak lagi banyak menaruh perhatian terhadapku. Nah, sejak kapan hal itu terjadi? Dan sejak kapan gadis itu mengandung? Ayah, katakan ia mengandung tiga bulan, bahkan empat bulan. Apakah Ayah masih percaya bahwa aku yang melakukannya, sementara aku sudah mengatakan kepada Ayah bahwa aku tidak tertarik kepadanya, dan memang tidak pernah tertarik kepada gadis itu?”

“Kau dapat berbicara apa saja, Prastawa. Kau dapat memperbodoh ayahmu, yang barangkali memang terlalu bodoh di hadapanmu. Tetapi Ki Suracala telah mengirimkan utusannya. Apakah kau kira Ki Suracala dapat berbohong?”

“Itu fitnah, Ayah.”

“Diam!“ tiba-tiba Ki Argajaya membentak. Dengan tajamnya ia memandang Prastawa yang menunduk.

“Sudahlah,“ Ki Gede-lah yang menengahi. “Kau jangan terlalu percaya kepada orang lain, Argajaya. Sementara itu, kau sama sekali tidak mau mendengarkan keterangan anakmu. Bukankah dapat dimengerti penjelasan Prastawa bahwa ia menolak gadis itu sejak lama. Karena itu, maka kita harus menilai persoalan ini dengan tenang. Banyak hal yang harus dilihat dan didengar.”

Sementara itu, Ki Jayaraga pun menyela, “Kami sudah bersiap-siap untuk datang kepada Ki Suracala, Ki Gede. Sebelum kami di sini menerima kedua orang utusan Ki Suracala, kami memang berniat untuk datang dan memberikan penjelasan. Tetapi kedatangan kedua orang itu telah menyudutkan Angger Prastawa. Semula kami hanya menganggap bahwa kebaikan sikap Ki Suracala itu menyimpan pamrih. Bahkan menilik Ki Suracala itu seorang yang baik, maka tentu ada pihak lain yang telah mempengaruhinya.”

“Tetapi ternyata kenyataannya Prastawa bukan seorang laki-laki yang bertanggung jawab,“ potong Ki Argajaya, “ia justru berusaha untuk ingkar.”

“Ki Argajaya,“ berkata Ki Jayaraga dengan nada rendah, “bagaimana jika kita tetap mempunyai dugaan, sekali lagi dugaan, bahwa memang ada orang yang mempengaruhi Ki Suracala itu?”

“Tetapi bagaimana mungkin mereka dapat membuat perut gadis itu menjadi besar?” bertanya Ki Argajaya.

“Bukankah kita masih belum melihat kenyataan itu?“ jawab Ki Jayaraga.

“Tetapi mereka tentu tidak berbohong, karena hal itu adalah satu hal yang kasat mata, yang dapat dilihat langsung kebenarannya. Jika Ki Suracala berbohong, apakah ia tidak akan cemas bahwa satu saat kebohongan itu akan tersingkap?“ jawab Ki Argajaya.

“Bagaimana jika memang tidak? Maksudku, tidak cemas? Mungkin saja hal itu sengaja dilakukan untuk memaksakan kehendaknya. Apapun yang terjadi kemudian, namun gadis itu sudah menjadi istri Prastawa,“ berkata Ki Jayaraga.

“Jadi Ki Jayaraga mempunyai prasangka buruk terhadap Ki Suracala?”

“Bukan Ki Suracala. Tetapi seperti sebelum utusan itu datang, kita berpikir bahwa orang lain yang mempengaruhinya. Bukankah pikiran ini sudah ada sejak kita berniat untuk datang memberi penjelasan? Katakanlah kita mempunyai prasangka buruk terhadap Ki Suracala. Pikiran itu tidak datang sesudah kita mendengar keterangan kedua orang itu,“ Ki Jayaraga mencoba menjelaskan.

“Dengarlah pendapat orang lain, Argajaya. Jangan terjerat oleh gejolak perasaanmu sendiri. Sebaiknya kita memang membuktikannya,” berkata Ki Gede.

“Bagaimana caranya kita membuktikannya?“ bertanya Ki Argajaya.

Tiba-tiba saja Swandaru menyela, “Kita datangi rumahnya. Kita lihat kebenarannya.”

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, “Mungkin salah satu jalan yang dapat kita tempuh memang demikian. Tetapi barangkali kita dapat mencari jalan lain.”

“Sulit untuk mencari jalan lain. Kita tentu tidak akan dapat bertanya kepada orang lain selain keluarga Ki Suracala. Jika benar, hal ini tentu masih dirahasiakan kepada orang lain, untuk menutup aib sampai saatnya hari perkawinan tiba. Tetapi kita pun tentu tidak akan dapat mencari jawab, jika hal itu memang tidak benar.”

“Kita dapat menemui gadis itu,“ tiba-tiba saja Pandan Wangi berdesis.

“Menemui bagaimana?” bertanya Swandaru. “Keluarganya tentu tidak akan mengijinkannya.”

“Kita tidak datang ke rumahnya. Kita temui gadis itu dimana saja. Kita bertanya kepadanya, apakah yang dikatakan kedua orang itu benar. Jika tidak, maka perasaan gadis itu tentu akan meronta. Ia akan menolak, dan ia akan mengatakan keadaan yang sebenarnya tentang dirinya.”

“Bagaimana jika gadis itu berbohong?” bertanya Swandaru, “Apakah ia akan mengatakannya kepada orang lain yang bahkan belum dikenalnya.”

“Tetapi kita akan dapat menangkap suasana hatinya. Apakah ia berbohong atau tidak. Bahkan kita akan dapat melihat ujud kewadagannya, jika terjadi perubahan dari masa kegadisannya,“ berkata Pandan Wangi.

“Tetapi jika yang dikatakan itu benar,“ berkata Sekar Mirah, “mungkin gadis itu akan mengurung diri. Bagaimana gadis itu dapat ditemui?“

“Mungkin. Tetapi ada kemungkinan lain. Ia akan tetap berbuat wajar, justru agar tidak dicurigai. Jika tiba-tiba ia mengurung diri, maka orang justru akan bertanya-tanya.”

“Agaknya memang dapat dicoba,“ berkata Ki Jayaraga kemudian, “tetapi siapakah yang akan pergi ke Kademangan Kleringan? Tentu bukan Angger Sekar Mirah dan Angger Pandan Wangi, karena kedua orang yang datang itu sudah mengenalnya.”

Pandan Wangi dan Sekar Mirah saling berpandangan. Keduanya mengangguk kecil, sementara Pandan Wangi berkata, “Ya. Kami sudah dikenal. Setidak-tidaknya oleh kedua orang itu. Jika mereka melihat kami di Kademangan Kleringan, maka mereka akan curiga.”

Sejenak kemudian keadaan menjadi hening. Namun tiba-tiba saja Agung Sedayu berkata, “Bagaimana jika Rara Wulan?”

“Rara Wulan?“ Sekar Mirah mengulang, “Tetapi apakah ia sudah sembuh benar?”

“Aku kira sudah,“ jawab Agung Sedayu.

“Tetapi ia masih terlalu muda. Apakah ia akan dapat mengetahui dan melakukan tugas ini dengan meyakinkan, meskipun ia berhasil menemui gadis itu?“ desis Pandan Wangi.

“Kita akan memberikan pesan-pesan. Kita dapat memberikan petunjuk,” sahut Sekar Mirah. “Aku kira ia dapat mengerti. Gadis itu cukup cerdas.”

Ki Gede tiba-tiba saja ikut berbicara, “Aku mengenal gadis itu. Ia memang cerdas dan tanggap akan keadaan. Tetapi jika ia diminta untuk menemui anak Ki Suracala itu, maka tugas ini merupakan tugas yang sangat berat baginya. Tentu saja ia tidak dapat pergi sendiri, sementara beberapa orang di antara kita sudah dilihat oleh kedua orang utusan Ki Suracala itu.”

“Masih ada di antara kita yang belum dilihat oleh utusan Ki Suracala,“ berkata Agung Sedayu.

“Aku?” bertanya Ki Gede sambil tersenyum.

Agung Sedayu pun tersenyum. Jawabnya, “Glagah Putih.”

Namun Ki Argajaya pun memotong, “Sebenarnya aku tidak ingin mengganggu kalian. Apalagi terlalu banyak orang yang ikut terlibat ke dalam persolanku.”

“Jangan hiraukan itu, Paman,” desis Pandan Wangi, “kita semuanya ingin semua persoalan menjadi segera tuntas. Biarlah kita melihat apa yang sebenarnya terjadi. Bukan sekedar saling menyalahkan.”

“Tetapi apakah aku pantas melibatkan sekian banyak orang dalam persoalan keluargaku?” desis Ki Argajaya.

“Bukankah sewajarnya bahwa kita memang harus saling membantu?” sahut Ki Gede. Lalu katanya, “Sudahlah Argajaya. Jangan memikirkan bermacam-macam hal. Kita melakukan hal yang wajar.”

Ki Argajaya menarik nafas dalam-dalam. Sekilas dipandanginya Prastawa yang duduk sambil menunduk. Namun hatinya masih saja terasa bergejolak. Jika benar Prastawa melakukan hal itu, maka ia tidak boleh ingkar. Ki Argajaya akan memaksanya. Jika perlu dengan kekerasan. Seijin atau tidak seijin Ki Gede sendiri.

Namun malam itu, Ki Gede dan mereka yang ada di rumah Ki Argajaya itu sepakat untuk minta bantuan Rara Wulan dan Glagah Putih untuk pergi ke Kademangan Kleringan, meskipun sebenarnya Ki Argajaya sendiri agak berkebaratan.

“Masih ada waktu tiga hari,“ desis Ki Jayaraga. “Bukankah kita mendapat waktu tiga hari?”

“Ya. Tiga hari. Justru lebih panjang dari waktu yang kita tentukan sendiri, karena sebenarnya besok kita akan pergi ke Kleringan,” sahut Swandaru.

Demikianlah, sejenak kemudian Ki Gede dan tamu-tamu yang lain pun telah minta diri. Malam sudah terasa mulai dingin. Sementara suara angkup dan derik belalang bersahut-sahutan mengisi sepinya malam.

Malam itu, Agung Sedayu dan Sekar Mirah masih mempunyai tugas untuk berbicara dengan Rara Wulan dan Glagah Putih. Ternyata mereka mendapat tugas yang berat dalam hubungannya dengan persoalan yang menyangkut Prastawa.

Namun ketika hal itu disampaikan kepada Rara Wulan dan Glagah Putih, ternyata keduanya sama sekali tidak berkeberatan.

“Tetapi apakah kau sudah sembuh benar?” bertanya Sekar Mirah kepada Rara Wulan.

“Sudah. Aku sudah sembuh,“ jawab Rara Wulan, “tidak ada kelainan apapun pada tubuhku.”

“Baiklah,“ berkata Agung Sedayu, “namun karena kau sudah agak lama tidak berada di sanggar, aku minta kau sempat melihat apakah kau benar-benar sudah pulih kembali.”

Rara Wulan memandang Sekar Mirah sejenak. Kemudian katanya, “Mbokayu. Apakah aku diijinkan ke sanggar sekarang?”

“Kenapa sekarang?” bertanya Sekar Mirah, “Hari telah malam. Kenapa tidak besok pagi saja?”

“Bukankah besok pagi kami akan pergi ke Kleringan?“ justru Rara Wulan-lah yang bertanya.

“Kita mempunyai waktu tiga hari. Kau dapat pergi ke Kleringan lusa,“ berkata Sekar Mirah.

“Waktu terlalu sempit. Kita harus memanfaatkan waktu sebaik-baiknya,” sahut Rara Wulan.

Sekar Mirah yang mengetahui sifat gadis itu pun tersenyum sambil menjawab, “Baiklah. Marilah, kita pergi ke sanggar.”

Keduanya pun kemudian telah pergi ke sanggar. Rara Wulan harus mulai dengan gerakan-gerakan yang sederhana lebih dahulu. Hanya sekedar untuk menguji, apakah tenaganya sudah pulih kembali setelah untuk beberapa lama beristirahat.

Beberapa saat keduanya berada di dalam sanggar dengan lampu minyak yang remang-remang. Namun Sekar Mirah dapat melihat bahwa keadaan Rara Wulan memang sudah baik. Meskipun Rara Wulan baru sekedar melemaskan otot-otot dan syarafnya, namun Sekar Mirah dapat menganggap bahwa keadaan Rara Wulan memang sudah pulih kembali. Kekuatannya dan kemampuannya.

Demikian Sekar Mirah menghentikannya, maka Rara Wulan segera bertanya, “Bagaimana menurut pendapat Mbokayu?”

“Kau sudah sepenuhnya baik,“ jawab Sekar Mirah.

“Terima kasih,“ wajah Rara Wulan yang basah oleh keringat itu menjadi cerah, “besok aku akan pergi ke Kleringan dengan Kakang Glagah Putih.”

“Kenapa besok? Kau dapat pergi besok lusa,“ berkata Sekar Mirah. “Dengan demikian, besok sehari kau dapat berlatih. Setelah berislirahat cakup lama, maka kau perlu melihat kembali apakah penguasaan tubuhmu tidak goyah.”

“Kenapa tidak sekarang saja?” desak Rara Wulan.

Sekar Mirah tersenyum. Katanya, “Sudahlah. Beristirahatlah. Jika kau besok akan berangkat, berangkatlah bersama Glagah Putih. Tetapi berhati-hatilah. Mungkin kau akan menemui persoalan yang tidak kita duga sebelumnya.”

“Baiklah Mbokayu. Kami akan berhati-hati.”

Namun dalam pada itu, Sekar Mirah masih memberikan beberapa pesan khusus menghadapi gadis Ki Suracala itu. Sekar Mirah pun memberitahukan ciri-ciri seseorang yang mulai mengandung.

“Kita memang belum pemah mengalaminya,“ berkata Sekar Mirah, “tetapi aku sering memperhatikan perempuan-perempuan yang mulai mengandung. Selain itu, kau tentu akan dapat menangkap pernyataan-pernyataan yang terlontar dari bibirnya. Kau akan dapat menangkap dengan panggraitamu, apakah ia berkata jujur atau tidak.”

Rara Wulan mengangguk-angguk.

Sementara itu Agung Sedayu pun telah memberikan pesan-pesan pula kepada Glagah Putih. Bahkan Agung Sedayu telah mengatakan kepada Glagah Putih, bahwa ada kemungkinan ia akan berhadapan dengan tindak kekerasan.

“Bukankah kami harus membela diri?” bertanya Glagah Putih.

“Ya, sudah tentu. Tetapi jangan memancing persoalan sehingga harus terjadi benturan kekerasan. Apalagi keluarga Ki Suracala sudah pernah mengancam keluarga Ki Argajaya.”

“Maksud Kakang, bahwa mereka sudah benar-benar bersiap?” bertanya Glagah Putih.

“Ya,“ jawab Agung Sedayu.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara Agung Sedayu berkata, “Namun kita tetap berdoa, agar persoalannya dapat selesai dengan baik.”

Glagah Putih pun mengangguk-angguk.

Demikianlah, malam itu Rara Wulan dan Glagah Putih hanya sempat beristirahat beberapa saat. Namun bagi mereka agaknya sudah cukup untuk menyegarkan tubuh mereka. Sementara mereka akan mengemban tugas yang cukup berat.

Karena Kleringan tidak terlalu jauh dari Tanah Perdikan, meskipun harus melewati perbukitan, maka Glagah Putih tidak harus berangkat terlalu pagi. Tetapi mereka sempat menunggu matahari mulai membayang di langit.

Dari Prastawa, Sekar Mirah mendengar bahwa anak gadis Ki Suracala itu mempunyai kebiasaan pergi ke pasar di pagi hari. Kemudian menjelang tengah hari pergi ke sawah mengantar makanan bagi ayahnya atau keluarganya yang bekerja di sawah. Terutama menjelang musim tanam padi di Kleringan seperti saat itu.

Setelah Rara Wulan mengetahui ciri-ciri gadis itu, maka iapun bertanya, “Siapakah namanya?”

Sekar Mirah dan Agung Sedayu yang mengantar keduanya sampai ke regol halaman bersama Ki Jayaraga telah menjawab, “Namanya Kanthi.”

“Kanthi,“ Rara Wulan mengulangi, “nama yang baik. Sesuai dengan orangnya.”

“Kau belum pernah melihat orangnya,“ desis Ki Jayaraga.

“Tetapi Mbokayu Sekar Mirah telah memberitahukan ciri-cirinya. Kulitnya kuning langsat, tubuhnya memang tidak terlalu tinggi, tetapi serasi dengan bentuknya. Rambutnya panjang, dan apalagi?” Rara Wulan justru bertanya.

“Suaranya sedikit serak. Tidak terlalu banyak berbicara,“ jawab Sekar Mirah.

Demikianlah, maka Rara Wulan bersama Glagah Putih pun segera berangkat menuju ke Kleringan. Rara Wulan mengenakan pakaiannya sehari-hari sebagaimana jika ia pergi ke sawah. Demikian pula Glagah Putih. Sama sekali tidak menunjukkan bahwa mereka akan pergi ke kademangan sebelah. Berdua mereka seakan-akan hanya akan pergi ke sawah di sebelah padukuhan.

Justru dengan pakaian yang demikian, maka keduanya telah memilih jalan yang tidak terlalu sering melewati padukuhan. Mereka memang menghindari anak-anak muda, yang tentu akan banyak bertanya jika mereka melihat keduanya mengenakan pakaian sebagaimana sering mereka pakai sehari-hari di rumah atau di sawah.

Namun justru dengan pakaian yang demikian, mereka berharap bahwa kehadiran mereka di Kleringan tidak menarik perhatian orang. Mereka yang melihat sekilas akan menyangka bahwa mereka adalah anak-anak muda dari Kleringan itu sendiri.

Sebenarnyalah bahwa ketika mereka berada di bulak-bulak sawah di Kleringan, rasa-rasanya memang tidak ada orang yang secara khusus memperhatikan mereka. Apalagi orang-orang yang lewat dari dan pergi ke pasar.

Keduanya pun kemudian telah memasuki jalan yang diancar-ancarkan oleh Prastawa. Jalan yang menghubungkan padukuhan tempat tinggal Ki Suracala dengan pasar yang ada di padukuhan sebelah.

“Tetapi kita tidak dapat berdiri di sini mengamati setiap orang yang lewat untuk mencari Kanthi. Jika kita mengamati setiap perempuan muda dan menduga-duga apakah perempuan itu Kanthi, maka kita akan dapat dicurigai orang,“ berkata Glagah Putih.

“Jadi bagaimana sebaiknya?” bertanya Rara Wulan.

“Kita berjalan menuju ke padukuhan tempat tinggal Ki Suracala. Kita akan melihat-lihat keadaannya. Mungkin Kanthi justru ada di rumah,“ jawab Glagah Putih.

“Apakah ia tidak pergi ke pasar?”

“Bukankah kita belum tahu? Mungkin ia pergi ke pasar pagi-pagi, sehingga ia sudah pulang, karena bahan-bahan yang dibelinya di pasar akan segera dimasak untuk dibawa ke sawah siang nanti.”

“Atau kita lihat ke sawahnya saja? Bukankah kita sudah mendapat ancar-ancar pula.”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Tentu belum waktunya membawa masakan ke sawah. Masih terlalu pagi.”

“Jadi apa yang kita lakukan?” bertanya Rara Wulan.

“Kita tidak boleh tergesa-gesa. Seperti kataku tadi, kita melihat-lihat keadaan rumahnya.”

“Meskipun Kanthi ada di rumah, tetapi ia berada di dalam. Apa kita mengetahuinya?”

“Tentu tidak. Tetapi mungkin kita dapat melihat sesuatu.“

Rara Wulan tidak menjawab. Namun mereka pun segera menelusuri jalan menuju ke padukuhan tempat tinggal Ki Suracala.

Karena Glagah Putih sudah terbiasa melakukan pengembaraan, maka ia sama sekali tidak mengalami kesulitan. Dengan petunjuk yang didapat maka iapun segera dapat mengetahui letak rumah Ki Suracala.

“Regol itu tentu regol rumah Ki Suracala,“ berkata Glagah Putih.

“Ya,” desis Rara Wulan. “cirinya sebagaimana dikatakan oleh Kakang Agung Sedayu.”

“Ciri yang mana?” bertanya Glagah Putih.

“Bukankah Kakang Agung Sedayu mengatakan bahwa regol itu terletak berseberangan dengan regol di seberang jalan? Kemudian di sebelah regol terdapat dua batang pohon kelapa yang diantarai oleh sebatang pohon jambu air.”

“Bagus,“ Glagah Putih memuji, “ternyata kau mampu mengenali ciri-ciri sesuatu tempat dengan cepat.”

“Bukankah itu mudah sekali?” sahut Rara Wulan.

“Satu kebetulan. Tetapi apakah kau mengenali ciri-ciri jalan menuju ke tempat itu?” bertanya Glagah Putih.

Rara Wulan mengerutkan keningnya. Ia memang tidak berusaha untuk melihat ciri-ciri jalan yang sedang dilaluinya. Ia mengikuti saja Glagah Putih kemana ia pergi.

Namun ia masih juga menjawab, “Itu tugasmu. Tugasku mengenali regol halaman rumahnya.”

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Kau memang cerdik.”

Rara Wulan pun tertawa pula. Katanya, “Bukankah harus ada pembagian tugas?”

Keduanya terdiam ketika mereka sampai di muka regol halaman rumah Ki Suracala. Mereka melihat seorang perempuan yang masih muda keluar dari regol. Tetapi menurut ciri-cirinya, bukan Kanthi. Sementara itu seorang laki-laki yang garang mengantar perempuan itu sampai keluar pintu regol.

Glagah Putih dan Rara Wulan tidak berhenti. Apalagi ketika mereka melihat orang yang nampak garang itu memandang mereka meskipun hanya sekilas. Tetapi orang itu agaknya tidak tertarik melihat Glagah Putih dan Rara Wulan.

Namun ketika orang yang garang itu menghilang lagi di balik pintu regol, maka Glagah Putih mengajak Rara Wulan untuk kembali mengikuti perempuan muda yang berjalan ke arah yang berlawanan.

“Nampaknya perempuan itu akan pergi ke pasar atau ke sawah,“ berkata Rara Wulan.

“Atau sekedar ke rumah tetangga di sebelah,” sahut Glagah Putih.

“Jadi buat apa kita mengikutinya?” bertanya Rara Wulan.

“Bukankah kita sedang mencari kemungkinan-kemungkinan untuk dapat bertemu dengan Kanthi? Jika kita gagal menemuinya hari ini, besok kita masih mempunyai kesempatan. Bahkan sampai besok lusa,“ berkata Glagah Putih.

“Kenapa besok atau besok lusa? Hari ini kita harus bertemu,“ jawab Rara Wulan.

“Bukankah kita tidak dapat mengatur agar Kanthi berbuat sesuatu sehingga kita dapat menemuinya, Rara, dalam tugas seperti ini kita harus sabar. Bahkan dalam tugas tertentu kita memerlukan waktu sepekan, bahkan dua pekan atau lebih,“ berkata Glagah Putih.

“Tetapi waktu kita hanya tiga hari,“ jawab Rara Wulan.

“Maksudku, bahwa kita tidak dapat tergesa-gesa. Jika kita memaksakan diri untuk dapat menemukan sekarang, mungkin kita justru akan terjebak dalam satu kesulitan, atau bahkan Kanthi tidak akan pernah dapat kita temui,“ berkata Glagah Putih.

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun ia harus mendengarkan kata-kata Glagah Putih, karena ia tahu bahwa Glagah Putih mempunyai pengalaman yang luas sebagai pengembara, bahkan berpetualangan bersama Raden Rangga, sebagaimana pernah diceritakan kepadanya, yang bahkan bagi Rara Wulan ternyata sangat menarik.

Demikianlah, keduanya mengikuti perempuan muda itu dari jarak yang tidak terlalu dekat.

Tetapi ternyata bahwa perempuan itu tidak pergi ke pasar. Ia telah mengambil jalan lain dan meninggalkan jalan yang langsung menuju ke pasar di padukuhan sebelah.

“Orang itu tidak pergi ke pasar,“ desis Rara Wulan.

“Nampaknya demikian,“ jawab Glagah Putih.

“Dan kita masih akan mengikutinya terus?“ bertanya Rara Wulan pula.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku ingin tahu apa yang dilakukannya. Bukankah Rara juga?”

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk sambil menjawab, “Ya. Memang menarik untuk mengikuti seseorang.”

Dengan demikian maka Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun melangkah terus pada jarak yang tidak terlalu dekat. Beberapa kali keduanya harus memperlambat langkah mereka, karena perempuan muda yang mereka ikuti itu berhenti dan berbicara dengan beberapa orang perempuan. Nampaknya perempuan muda itu selalu bertanya kepada perempuan yang ditemuinya. Beberapa orang perempuan yang berbicara dengan perempuan muda itu sekali-sekali menunjuk ke satu arah.

“Tentu ada yang dicarinya,“ desis Glagah Putih.

“Apa yang dicari menurut pendapatmu?” bertanya Rara Wulan.

“Tentu aku tidak dapat menebak. Mungkin seseorang. Mungkin yang lain,“ jawab Glagah Putih.

Rara Wulan tidak bertanya lagi. Namun mereka berdua mengikuti orang itu selanjutnya.

Ternyata orang itu menempuh jalan yang lebih kecil. Bahkan sebuah lorong sempit dan menurun. Bahkan berbatu-batu.

“Perempuan itu menuju ke sungai,“ desis Glagah Putih. Keduanya semakin tertarik. Perempuan itu berjalan semakin cepat dan kemudian ia benar-benar turun ke tepian.

Glagah Putih dan Rara Wulan segera menyelinap ke belakang gerumbul perdu. Untunglah bahwa tepian itu nampak sepi. Namun keduanya segera melihat perempuan muda itu berlari-lari menuju ke bawah serumpun bambu.

Glagah Putih dan Rara Wulan terkejut. Baru kemudian mereka melihat seseorang duduk di atas batu di bawah serumpun bambu itu.

“Kanthi,” Rara Wulan berdesis. Hampir saja ia meloncat berlari mendapatkan gadis itu.

“Tunggu.” Untunglah dengan cepat Glagah Putih menangkap lengannya sambil bertanya, “Kau mau apa?”

“Kanthi? Itu Kanthi. Sesuai dengan ciri-ciri yang dikatakan oleh Mbokayu Sekar Mirah dan Kakang Agung Sedayu.”

“Aku setuju kalau gadis itu Kanthi. Tetapi apa yang akan kau lakukan sekarang?” bertanya Glagah Putih.

“Bukankah kita harus menemuinya?” sahut Rara Wulan.

“Tetapi sudah tentu tanpa orang lain. Kita harus berusaha untuk bertemu dengan gadis itu tanpa orang lain menyaksikannya. Atau setidak-tidaknya tidak menarik perhatian orang lain.”

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun katanya, “Apakah kita akan mendapat kesempatan itu?”

“Aku yakin, kita akan mendapatkannya,“ jawab Glagah Putih.

Rara Wulan tidak bertanya lagi. Mereka mencoba untuk mendengar percakapan kedua orang itu.

Sementara itu, perempuan muda yang diikuti oleh Glagah Putih dan Rara Wulan itu telah berdiri di hadapan gadis yang duduk merenung di atas batu di bawah serumpun bambu itu.

Perempuan muda yang menyusul Kanthi itu pun kemudian berkata dengan nada marah, “Kanthi. Kenapa kau malah di sini?”

“Aku senang disini Mbokayu. Di sini aku merasa tenang.”

“Kau harus segera pulang. Matahari sudah tinggi. Kau harus membantu menyiapkan makan dan minum yang akan kau bawa ke sawah. Sebentar lagi orang-orang yang bekerja di sawah itu akan beristirahat. Makanan dan minuman harus sudah siap di sawah.”

“Biar orang lain saja membawa makanan dan minuman itu ke sawah, Mbokayu. Aku merasa sangat letih. Perutku mual dan rasa-rasanya selalu akan muntah.”

“Itu salahmu sendiri. Kenapa kau lakukan itu? Sekarang kau menyesalinya. Bukankah kesalahan itu harus kau cari pada dirimu sendiri?”

“Aku mengerti Mbokayu. Aku mengerti. Tetapi jika kesalahan itu harus aku akui, apakah itu berarti bahwa aku harus mengalami perlakuan yang semakin menyiksa?“ sahut Kanthi.

“Siapa yang menyiksamu? Bukankah tugas ini memang tugasmu sehari-hari menjelang musim tanam? Bukankah ini harus kau lakukan dari musim ke musim? Kenapa sekarang kau menganggap bahwa pekerjaan itu semakin menyiksamu?”

Kanthi tidak menjawab. Ia tidak dapat memberikan banyak alasan yang tidak berarti lagi. Karena itu, maka iapun segera bangkit dan berjalan di tepian berpasir menuju ke lorong sempit berbatu-batu itu.

Sementara itu perempuan muda yang mencarinya itu mengikutinya di belakangnya, sambil berkata dengan nada yang berubah menjadi lembut, “Sudahlah Kanthi. Kau tidak boleh menyesali peristiwa yang sudah terlanjur itu berkepanjangan. Bukankah Paman sudah berusaha menyelesaikan persoalanmu?”

“Apa yang dilakukan Paman?” Kanthi justru bertanya. Namun katanya kemudian, “Usaha Paman justru menambah hatiku semakin pahit.”

“Sudahlah. Turuti saja keinginannya. Tidak ada orang yang dapat mencegahnya. Ayah juga tidak.”

Glagah Putih dan Rara Wulan semakin membenamkan diri di belakang gerumbul perdu. Sementara Kanthi mulai mengusap matanya yang basah. Sedangkan perempuan yang menyusulnya itu telah merangkulnya sambil berkata, “Sudahlah Kanthi. Jangan membuat Ibu semakin menderita.”

“Bukan maksudku Mbokayu. Tetapi aku pun merasa terlalu berat menyandang penderitaan ini.”

“Sudahlah. Tenanglah. Mudah-mudahan persoalanmu segera menjadi jernih.”

Ketika Kanthi dan perempuan yang mencarinya itu berjalan lewat di sebelah gerumbul tempat Glagah Putih dan Rara Wulan bersembunyi, terdengar Kanthi itu terisak. Namun masih terdengar di sela-sela isaknya ia berkata, “Aku tidak mau dengan cara yang ditempuhnya.”

“Kita memang terlalu lemah untuk menolaknya, Kanthi. Bahkan Ayah pun menyesalinya. Tetapi Ayah juga tidak dapat berbuat apa-apa. Segala sesuatunya telah ditentukan oleh Paman.”

Tiba-tiba Kanthi berhenti. Isaknya semakin keras. Suaranya pun menjadi sendat, “Tetapi semuanya itu memang salahku, Mbokayu. Salahku.”

Kemarahan perempuan itu telah larut. Bahkan suaranya menjadi sendu. “Syukurlah Kanthi. Sudahlah. Jangan tenggelam dalam perasaan bersalah tanpa berkesudahan.”

“Bukankah Mbokayu juga menganggap aku sendiri yang bersalah dalam hal ini?”

“Maaf Kanthi. Aku tidak bermaksud demikian. Di rumah aku dimarahi Paman karena kau tidak ada. Jadi aku bawa kejengkelanku itu dan aku tumpahkan kepadamu. Tetapi sudahlah. Marilah kita pulang.”

Kanthi tidak menjawab. Tangannya sibuk mengusap matanya yang basah. Sementara perempuan yang masih merangkulnya itu berkata, “Bersikaplah wajar Kanthi, agar tidak menarik perhatian orang lain, serta menumbuhkan pertanyaan-pertanyaan di dalam hatinya, sampai saatnya persoalanmu diselesaikan.”

Kanthi masih terisak. Namun keduanya pun kemudian melanjutkan langkah mereka memasuki lorong sempit berbatu-batu itu.

Demikian mereka pergi, maka Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Sambil bangkit berdiri dan menggeliat ia berkata, “Kita tahu, bahwa Kanthi akan pergi ke sawah.”

“Ya. Kita mendapat jalan untuk menemuinya.“

Karena itu, maka Glagah Putih dan Rara Wulan itu pun langsung menuju ke jalan bulak yang agaknya akan dilalui Kanthi. Mereka sudah mendapat ancar-ancar letak sawah Ki Suracala. Kebiasaan Kanthi memang pergi ke sawah dengan membawa kiriman makan dan minum bagi mereka yang bekerja di sawah menjelang musim tanam.

Keduanya pun kemudian mencari tempat yang terbaik untuk menunggu. Di bawah sebatang pohon preh yang rindang, di sebuah simpang tiga. Satu arah menuju ke padukuhan tempat tinggal Ki Suracala, satu arah menuju ke sawah menurut ancar-ancar, dan yang satu arah tidak penting lagi bagi mereka berdua.

Keduanya duduk di dekat seorang penjual dawet cendol dengan pemanis legen kelapa. Meskipun bukan kebiasaan mereka, tetapi di tempat yang agak asing dan tidak dikenal orang, keduanya telah membeli dawet cendol yang segar itu.

Ternyata nikmat juga minum dawet saat matahari terik di langit, sambil duduk di bawah sebatang pohon preh yang rindang. Sekali-sekali mereka melihat orang lewat. Bahkan ada juga penunggang kuda yang memacu kudanya sehingga debu pun berhamburan.

“Orang tidak tahu diri,“ penjual dawet itu bergeremang. Perempuan yang sudah separuh baya itu mengibas-kibaskan selembar daun pisang untuk mengusir debu.

Selama Glagah Putih dan Rara Wulan duduk di sebelah penjual dawet itu, tiga empat orang lewat singgah untuk membeli dawet pula. Sambil mengusap keringat, mereka meneguk dawet cendol itu dengan nikmat pula.

Tetapi Rara Wulan menjadi gelisah setelah beberapa lama Kanthi masih belum lewat. Bahkan penjual dawet itu mulai bertanya tentang mereka.

“Aku belum pernah melihat kalian sebelumnya,“ berkata penjual dawet itu. Lalu iapun bertanya, “Apakah kau juga anak Kleringan?”

“Ya Bibi,“ jawab Glagah Putih, “aku tinggal di lereng bukit. Apakah Bibi pernah ke sana?”

“Lereng bukit yang mana?” bertanya perempuan itu.

“Kami tinggal di Dukuh Celeban,“ jawab Glagah Putih.

“O,” perempuan itu mengangguk-angguk, “jadi kalian anak-anak Celeban?”

“Ya,“ jawab Glagah Putih.

“Kenapa kalian berada di sini?” bertanya perempuan itu pula.

Glagah Putih memang agak berpikir sejenak. Ia tidak dapat mengatakan bahwa ia mengunjungi seseorang, karena perempuan itu tentu mengenal setiap orang di padukuhan itu. Karena itu, maka Glagah Putih pun berkata, “Kami hanya ingin melihat-lihat. Kami berjalan saja sejak pagi. Seharusnya kami berada di sawah. Tetapi parit tidak mengalir. Bendungan sedang diperbaiki.”

“Kau tidak ikut kerja memperbaiki bendungan?” bertanya perempuan itu.

“Tidak. Aku sudah menyerahkan sebuah brunjung bambu di padukuhanku. Siapa yang telah menyerahkan brunjung bambu, diperkenankan tidak ikut kerja memperbaiki bendungan,“ jawab Glagah Putih.

“Dan kau lebih senang berjalan-jalan melihat-lihat?“ bertanya perempuan itu.

“Adikku ingin melihat padukuhan-padukuhan lain. Aku sudah sering kemari. Tetapi adikku ini belum,“ jawab Glagah Putih.

Perempuan itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian, “Kalian memang anak Dukuh Celeban?”

“Ya, kenapa?” bertanya Glagah Putih, yang memang sudah pernah pergi ke Dukuh Celeban.

Perempuan itu mengerutkan dahinya. Katanya kemudian, “Kalian nampaknya bukan anak padukuhan. Adikmu itu tidak pantas disebut anak Celeban.”

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Kami anak-anak Celeban sejak lahir. Mungkin karena adikku lahir di tengah malam saat bulan purnama, maka ia nampaknya memang seperti bulan purnama.”

“Ah kau.“ Wajah Rara Wulan rasa-rasanya menjadi panas. Apalagi kata-kata itu diucapkan oleh Glagah Putih.

Glagah Putih yang tidak sadar akan ucapannya, terkejut sendiri. Tetapi ia sudah terlanjur mengatakannya.

Namun pembicaraan mereka terputus ketika mereka melihat seorang perempuan muda, yang berjalan menggendong bakul berisi nasi sambil menjinjing kendi minuman.

“Kanthi,“ desis Rara Wulan.

Glagah Putih memberi isyarat agar ia tidak berbicara apapun tentang gadis itu. Bahkan ketika Kanthi lewat, Glagah Putih sama sekali tidak menghiraukannya. Baru kemudian, setelah Kanthi itu menjauh, Glagah Putih bangkit sambil berkata, “Marilah. Kita sudah cukup lama beristirahat.”

Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi keduanya pun kemudian minta diri kepada penjual dawet itu, setelah mereka membayar harga dawet yang telah mereka minum.

Demikian mereka meninggalkan penjual dawet itu, maka Glagah Putih pun berdesis, “Susul gadis itu. Buatlah janji, kapan kita dapat bertemu. Mungkin sore nanti atau besok pagi, di bawah rumpun bambu itu. Katakan bahwa kau adalah saudara sepupu Prastawa. Kemudian, jika Kanthi bersedia, kau dapat berbicara sebagaimana dipesankan oleh Kakang Agung Sedayu dan Mbokayu Sekar Mirah.”

Rara Wulan mengangguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan minta waktu agar kita dapat berbicara dengan Kanthi.”

Demikianlah, maka Rara Wulan pun segera menyusul Kanthi.

Demikian ia berjalan di sebelahnya, maka Rara Wulan pun berdesis, ”Kanthi.”

Kanthi terkejut. Diamatinya perempuan yang berjalan di sebelahnya. Tetapi ia merasa belum pemah mengenalnya.

Sebelum Kanthi bertanya, Rara Wulan berdesis, “Aku saudara sepupu Prastawa.”

“Kau/” Kanthi terkejut, sehingga langkahnya terhenti.

“Ya,“ jawab Rara Wulan, “marilah. Bukankah kau akan pergi ke sawah?”

“Tetapi apa maksudmu menemui aku?” bertanya Kanthi.

“Aku membawa pesan dari Kakang Prastawa untukmu Kanthi,“ jawab Rara Wulan.

“Prastawa?“ wajah Kanthi menegang, “Bagaimana mungkin ia memberi pesan untukku?”

Rara Wulan tersenyum. Katanya, “Kapan kita dapat bertemu dan berbicara agak panjang? Pesannya memang penting untuk segera aku sampaikan kepadamu.”

Kanthi termangu-mangu sejenak. Di luar sadarnya ia berpaling. Ketika ia sempat melihat wajah Rara Wulan yang bersih, maka telah timbul kepercayaannya kepada gadis itu.

“Kau lihat gumuk itu?” bertanya Kanthi.

“Di pinggir jalan itu?“ Rara Wulan justru bertanya pula.

“Ya. Di belakang gumuk itu ada sebuah sungai. Tidak begitu besar. Aku akan turun ke sungai itu,“ jawab Kanthi.

“Apakah kau tidak akan dicari?“ bertanya Rara Wulan pula.

“Aku memang sering turun ke sungai itu jika aku pulang dari sawah,“ jawab Kanthi.

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Ia tahu bahwa sungai itu adalah kepanjangan sungai yang dilihatnya tadi, ketika Kanthi duduk di bawah serumpun bambu di tepinya.

“Kau tidak usah cemas,“ berkata Kanthi kemudian, “kadang-kadang terdapat satu dua orang yang memandikan lembunya atau mencuci alat-alat yang dipergunakan di sawah di sungai itu. Tetapi mereka tidak akan menghiraukan aku.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan menunggumu di tepian.”

“Tunggulah. Aku tidak terlalu lama. Jika orang-orang yang bekerja di sawah itu selesai makan, maka aku akan segera pulang. Aku akan segera singgah.”

Demikianlah, maka Rara Wulan memisahkan diri. Dibiarkannya Kanthi berjalan sendiri menuju ke sawah sambil membawa kiriman bagi orang-orang yang sedang menggarap sawahnya.

Rara Wulan pun kemudian berdiri bersandar sebatang pohon randu, menunggu Glagah Putih yang menyusulnya.

“Kita pergi ke tepian,” desis Glagah Putih setelah Rara Wulan menceritakan pembicaraan singkatnya dengan Kanthi.

Keduanya memang langsung pergi ke tepian sungai di belakang gumuk. Menilik tempatnya, maka tempat itu memang sering dipergunakan untuk memandikan lembu dan kerbau yang pulang dari sawah. Tebingnya yang landai serta jejak-jejak yang terdapat di tepian memang menunjukkan bahwa tepian itu bukan tempat yang terasing.

“Kenapa Kanthi justru minta kita menunggu di sini?” bertanya Rara Wulan.

“Bukankah dengan demikian pertemuanmu dengan Kanthi tidak akan menarik perhatian? Kalian bertemu di tempat yang banyak dikunjungi orang, sehingga orang lain yang melihatnya tidak akan mencurigai pertemuanmu dengan Kanthi.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kita akan menunggu di tepian. Mudah-mudahan tidak terlalu lama.”

“Sudah aku katakan, dalam tugas seperti ini kita harus bersabar,” sahut Glagah Putih.

“Bukankah aku juga bersabar? Aku hanya berharap mudah-mudahan tidak terlalu lama,“ berkata Rara Wulan.

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Sudahlah. Kita sebaiknya mencari tempat untuk menunggu.”

Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi keduanya memang mencari tempat yang agak jauh dari tebing sungai yang landai, yang nampaknya juga menjadi tempat penyeberangan.

Rara Wulan yang melihat air sungai yang sangat jernih itu berkata, “Rasa-rasanya aku ingin mandi.”

“Mandilah jika kau ingin mandi,“ berkata Glagah Putih.

“Bagaimana aku dapat mandi di sini?” sahut Rara Wulan.

Glagah Putih hanya tersenyum saja. Tetapi ia tidak menjawab.

Beberapa saat keduanya menunggu. Ternyata Rara Wulan mulai menjadi gelisah. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu, karena ia tahu bahwa Glagah Putih tentu hanya akan mengatakan bahwa mereka harus bersabar.

Sementara mereka menunggu, dua tiga orang telah lewat menyeberang sungai itu. Tetapi mereka sama sekali tidak memperhatikan Glagah Putih dan Rara Wulan yang duduk di bawah sebatang pohon di atas tanggul sungai.

Demikianlah, setelah matahari mulai turun ke arah barat, maka yang mereka tunggu itu pun datang. Kanthi.

Rara Wulan sendiri-lah yang kemudian menyongsongnya. Keduanya pun kemudian duduk di atas batu yang besar, tidak terlalu dekat dengan jalan penyeberangan serta tempat yang sering dipergunakan untuk memandikan lembu dan kerbau.

Kanthi yang nampaknya segera ingin tahu tentang pesan yang dibawa oleh Rara Wulan itu pun bertanya, “Pesan apakah yang kau sebut itu?”

“Bukankah kau telah mengenal Prastawa dengan baik?” bertanya Rara Wulan.

“Ya, aku mengenalnya dengan baik,“ jawab Kanthi.

“Kanthi,“ berkata Rara Wulan kemudian, “Prastawa sekarang berada dalam kesulitan.”

Wajah Kanthi menegang. Namun kemudian kepalanya menunduk. Katanya, “Aku mengerti. Tetapi itu sama sekali bukan niatku.”

“Kami tahu bahwa kau memang mengandung, Kanthi. Kami ikut prihatin. Namun yang kemudian menjadi tersudut adalah Kakang Prastawa. Paman Argajaya, ayah Kakang Prastawa, menjadi sangat marah kepada Kakang Prastawa itu. Bahkan hampir saja kehilangan kekang diri. Untung waktu itu Paman Argapati ada, sehingga ia dapat melerainya.”

“Aku menyesal sekali bahwa Prastawa ikut mengalami penderitaanku. Bagiku, beban penderitaan itu harus aku pikul, karena aku memang bersalah. Tetapi Prastawa tidak bersalah.”

“Maksudmu, bahwa kau memang benar-benar mengandung, tetapi bukan karena peibuatan Kakang Prastawa?”

Kanthi termangu-mangu sejenak. Matanya memandang ke kejauhan. Namun wajahnya itu pun kemudian menunduk. Tangannya mulai mengusap matanya yang basah.

“Kanthi,” desis Rara Wulan, “sudahlah. Jangan terlalu bersedih. Aku hanya ingin mengetahui, apakah Kakang Prastawa bersalah atau tidak. Jika ia memang bersalah, maka ia harus menjunjung tinggi martabatnya sebagai seorang laki-laki. Tetapi jika seperti yang dikatakan oleh Kakang Prastawa bahwa ia tidak merasa bersalah, maka sebaiknya didudukkan di tempat yang sewajarnya.”

Kanthi mulai terisak. Katanya, “Prastawa memang tidak bersalah. Jika ia mengaku demikian, maka ia berkata sebenarnya.”

“Atau kau sekedar ingin melindungi Kakang Prastawa, Kanthi?”

“Tidak. Aku bukan sekedar melindungi Prastawa,” sahut Kanthi.

Adalah di luar dugaan Rara Wulan ketika Kanthi kemudian berkata, “Aku memang mencintainya. Tetapi aku sadar bahwa Prastawa sama sekali tidak tertarik kepadaku.“

Rara Wulan justru termangu-mangu, sehingga ia tidak tahu apa yang harus dikatakannya. Sementara itu Kanthi melanjutkan ceritanya, “Sebelumnya, orang tuaku memang berniat untuk menjodohkan aku dengan Kakang Prastawa. Paman Argajaya nampaknya tidak berkeberatan. Justru pada saat hatiku mulai berbunga, Paman Argajaya memberikan isyarat bahwa Prastawa nampaknya tidak tertarik pada pembicaraan itu. Justru karena sudah ada perempuan lain.”

Cerita Kanthi terputus ketika isaknya menjadi semakin menyesakkan dadanya. Di luar sadarnya, Rara Wulan merangkulnya sambil berdesis, “Sudahlah Kanthi. Jangan menangis. Kau harus tabah menghadapi kenyataan itu. Seharusnya Kakang Prastawa tidak begitu kejam membiarkan hatimu menjadi pedih.”

“Bukan salah Prastawa,” desis Kanthi disela-sela isaknya, “ia memang baik kepadaku. Tetapi ia memang belum pernah menunjukkan sikap lebih dari seorang sahabat. Aku-lah yang bersalah.”

Suara Kanthi terputus lagi. Tangannya sibuk mengusap air matanya yang mengalir semakin deras.

“Sudahlah Kanthi,“ mata Rara Wulan mulai menjadi panas. Tetapi Rara Wulan tidak mau ikut menangis.

Ketika tangis Kanthi mereda, maka Rara Wulan itu pun bertanya, “Jadi bagaimana kau dapat mengandung?”

“Bencana itu datang ketika hatiku serasa patah. Anak sepupu Ayah nampaknya melihat satu kesempatan. Sementara dalam keputus-asaan, aku seperti orang gila, dan bahkan tidak lebih dari langkah menghancurkan diri sendiri. Terjadilah bencana itu,” tangis Kanthi justru mengeras.

Rara Wulan bahkan menjadi bingung. Ia tidak dapat berkata lain kecuali justru bertanya, “Jika demikian, bukankah tidak ada kesulitan lagi, Kanthi? Bukankah laki-laki itu jelas dan dikenal dengan baik oleh keluargamu? Bukankah ia anak sepupu ayahmu?”

“Tetapi Paman, sepupu Ayah itu, tidak setuju perkawinan dilangsungkan. Laki-laki itu sudah beristri dan mempunyai dua orang anak. Sementara itu, kami berhubungan darah pada keturunan ketiga. Dan menurut kata Paman, kami tidak dibenarkan untuk kawin, meskipun aku harus menjadi istri kedua sekalipun.”

“Jadi?” desak Rara Wulan kemudian.

“Bencana itulah yang dibebankan kepada Prastawa. Paman mengetahui bahwa aku dan Prastawa bersahabat. Paman tahu bahwa Ayah pernah berbicara dengan Paman Argajaya tentang kemungkinan untuk mempertemukan aku dan Prastawa di pelaminan. Dan Paman tahu bahwa Kakang Prastawa tidak bersedia menerima aku menjadi istrinya,“ suara Kanthi tenggelam dalam tangisnya.

“Sudahlah, Kanthi. Sudahlah,” desis Rara Wulan.

Kanthi berusaha untuk menahan tangisnya. Dengan suara yang tidak jelas Kanthi bertanya, “Siapa namamu?”

“Wulan. Panggil aku Wulan,“ jawab Rara Wulan.

Kanthi mengangguk kecil. Lalu katanya, “Wulan. Aku tidak ingin Prastawa mengalami kesulitan karena kesalahanku. Bagaimanapun juga aku tetap mencintainya. Katakan kepadanya, aku minta maaf bahwa ia harus ikut terkena getahnya, karena aku saat itu benar-benar telah kehilangan akal. Bahkan saat ini rasa-rasanya aku ingin membunuh diri.”

“Itu bukan jalan terbaik, Kanthi. Kau tidak boleh melakukannya, karena hal itu bertentangan dengan kehendak Yang Maha Agung. Bagaimanapun juga kau harus tetap tabah. Kau tidak dapat merubah kenyataan yang sudah terjadi.“ Rara Wulan berhenti sejenak. Lalu katanya pula, “Kanthi, jika kau merasa mampu mengangkat beban hidupmu, kau masih mempunyai sandaran.”

“Ayah tidak lagi dapat berbuat apa-apa atas sepupu Ayah itu. Ia seorang yang berilmu tinggi, bahkan ia mempunyai kawan-kawan yang bersedia membantunya memaksakan kehendaknya itu.“ Kanthi masih berusaha menahan isaknya. Kemudian dengan sendat ia berkata, “Tetapi bukankah Prastawa seorang pemimpin pengawal? Bukankah ia dapat melawan niat Paman jika ia hendak memaksakan kehendaknya?”

“Kanthi,“ berkata Rara Wulan kemudian, “jika ayah dan keluargamu tidak lagi mampu berbuat apa-apa, kau masih dapat bersandar kepada Yang Maha Agung. Ia akan dapat menjadi perlindunganmu yang paling baik. Ada seribu cara untuk melepaskanmu dari perkara ini, bahkan dengan cara yang mungkin tidak dapat dicerna dengan nalar kita.”

Kanthi mengangguk kecil. Dengan nada dalam ia berkata, “Tetapi bagaimana dengan Prastawa?”

“Jangan pikirkan Kakang Prastawa, Kanthi. Seperti kau, maka iapun akan bersandar kepada Yang Maha Agung. Yang diinginkannya hanya penjelasan. Ia ingin meyakinkan keluarganya, bahwa ia tidak bersalah. Karena itu, maka aku datang menemuimu.”

Kanthi mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Wulan. Sekali lagi aku minta, sampaikan permintaan maafku kepada Prastawa. Yang aku katakan kepadamu adalah satu kebenaran. Bukan karena aku ingin melindungi Prastawa, meskipun aku memang mencintainya. Jika hal ini aku katakan Wulan, karena aku memang sudah tidak mempunyai harga diri lagi. Tidak biasanya seorang gadis menyatakan perasaannya terhadap seorang laki-laki. Aku pun tidak akan mengatakannya jika aku masih pantas menghargai diriku sendiri. Tetapi aku memang sudah tidak berharga, sehingga jika karena pengakuanku ini aku menjadi semakin tidak berharga, maka biarlah aku sekaligus menanggungkannya.”

“Tidak Kanthi. Kau tidak boleh menganggap dirimu tidak berharga. Aku menganggap bahwa hatimu memang terbuka terhadap Kakang Prastawa. Mudah-mudahan keterbukaan itu akan dapat mengurangi pedih di hatimu.”

Kanthi mengangguk-angguk. Sementara seorang yang menggiring lembunya menuruni tebing yang landai. Nampaknya orang itu akan memandikan lembunya setelah pekerjaannya di sawah selesai.

Orang yang akan memandikan lembunya itu melihat Kanthi dan Wulan duduk berdua. Namun ia sama sekali tidak menaruh perhatian. Ia memang sering melihat perempuan-perempuan singgah di sungai untuk mencuci muka atau kepentingan yang lain.

Namun Glagah Putih-lah yang harus berusaha untuk tidak menarik perhatian. Karena itu, ia memilih duduk di tempat yang agak terlindung.

Melihat orang yang akan memandikan lembunya itu Kanthi berkata, “Wulan. Sudahlah, aku harus segera pulang, agar orang-orang di rumah tidak mencariku. Kau sudah mengetahui kebenaran yang melibat diriku. Prastawa tidak bersalah.”

“Baiklah Kanthi. Berhati-hatilah. Mudah-mudahan segala sesuatunya segera menjadi terang. Ayahmu minta selambat-lambatnya tiga hari sejak kemarin, agar Paman Argajaya memberikan jawaban.”

Kanthi mengangguk. Namun iapun kemudian telah bangkit dan turun ke dalam air. Dicucinya wajahnya dengan air sungai yang jernih itu. Ia juga ingin menghilangkan kesan tangisnya.

Dengan mata yang sayu, Kanthi pun kemudian melangkah meninggalkan Rara Wulan berdiri termangu-mangu.

Orang yang kemudian memandikan lembunya itu memang tidak menaruh perhatian sama sekali. Demikian pula ketika Rara Wulan naik melalui tebing yang landai itu.

Ketika kemudian Glagah Putih mendekatinya setelah Rara Wulan berada di atas tebing, Rara Wulan justru mengusap matanya yang basah.

“Kau juga menangis?” bertanya Glagah Putih.

“Kasihan Kanthi,” desis Rara Wulan, “ia seorang gadis yang baik. Bahkan ia akan dapat menjadi gadis yang setia jika Prastawa mengambilnya menjadi seorang istri. Dalam keputus-asaan, Kanthi telah menyerahkan diri ke mulut seekor srigala, yang kemudian menghisap darahnya sampai kering dan kemudian melemparkan tanggung-jawabnya kepada orang lain,” desis Rara Wulan.

Sepanjang perjalanan, Rara Wulan menceritakan hasil pembicaraannya kepada Glagah Putih, yang hanya dapat mengangguk-angguk saja.

Namun akhirnya Glagah Putih itu menyahut, “Ya. Kasihan Kanthi. Tetapi Prastawa memang tidak bersalah.”

“Prastawa hanya akan menjadi kambing hitam dari perbuatan orang yang tidak bertanggung jawab itu,“ berkata Rara Wulan.

“Jika demikian, orang itulah yang pantas dihukum. Bukan Prastawa,“ berkata Glagah Putih kemudian.

Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, “Kita akan menyerahkan persoalannya kepada Ki Gede dan Paman Argajaya.”

Demikianlah, keduanya pun segera meninggalkan Kademangan Kleringan. Mereka kemudian melintasi punggung perbukitan dan turun kembali di lingkungan Tanah Perdikan Menoreh.

Ketika keduanya sampai di rumah saat matahari sudah jauh turun di sisi barat, Agung Sedayu belum ada di rumah. Tetapi Rara Wulan tidak sabar menunggu, sehingga karena itu maka iapun sudah bercerita kepada Sekar Mirah dan Ki Jayaraga.

“Tidak ada tindakan kekerasan,“ berkata Rara Wulan, “orang-orang Kleringan tidak menghiraukan kami,” sambung Rara Wulan kemudian.

“Persoalannya memang tidak menyangkut Kademangan Kleringan, sehingga orang-orang Kleringan sama sekali tidak merasa mempunyai persoalan apa-apa. Sepeninggal orang-orang yang ada di perkemahan itu, mereka tentu merasa tenang kembali,“ berkata Ki Jayaraga.

“Nanti, jika Kakang Agung Sedayu pulang, maka kita akan menghadap Ki Gede dan selanjutnya kita akan pergi ke rumah Ki Argajaya,“ berkata Sekar Mirah.

Sebenarnyalah ketika Agung Sedayu datang dan mendengar laporan Glagah Putih dan Sekar Mirah, iapun berkata, “Luar biasa. Dalam sehari kalian sudah dapat menyelesaikan tugas kalian dengan baik. Justru tugas yang berat dan rumit.”

Rara Wulan tersenyum. Namun katanya kemudian, “Mungkin hanya satu kebetulan.”

“Kebetulan atau tidak, namun tugas kalian selesai dengan cepat dan baik. Dengan demikian, maka kita akan dapat segera menyelesaikan persoalan ini,“ berkata Agung Sedayu.

“Lebih baik jika kita nanti dapat langsung menemui Ki Argajaya. Hatinya akan menjadi tenang jika ia tahu bahwa anaknya tidak bersalah,“ berkata Ki Jayaraga.

“Aku sependapat,“ Agung Sedayu mengangguk-angguk, “kita akan mengajak Adi Swandaru dan Pandan Wangi. Syukur jika Prastawa bersedia bersama kami bertemu dengan ayahnya.”

“Agaknya ia tidak akan berkeberatan, karena dengan demikian namanya justru akan dibersihkan,“ berkata Sekar Mirah.

Demikianlah, setelah Agung Sedayu beristirahat serta telah berbenah diri, maka mereka seisi rumah itu telah pergi ke rumah Ki Gede.

Ketika di sepanjang jalan beberapa orang bertanya, maka Agung Sedayu menjawab, “Ada tamu dari jauh di rumah Ki Gede. Kami akan menemui mereka.”

Orang-orang itu mengangguk-angguk. Mereka memang mengetahui bahwa ada tamu di rumah Ki Gede. Karena itu, mereka tidak merasa heran bahwa seisi rumah Agung Sedayu beramai-ramai pergi ke rumah Ki Gede.

Kedatangan Agung Sedayu dan seisi rumahnya diterima oleh Ki Gede di pendapa. Prastawa yang kebetulan berada di rumah Ki Gede, ikut menemui mereka pula, selain Swandaru dan Pandan Wangi.

Setelah duduk sejenak, maka Agung Sedayu pun segera memberikan laporan hasil pengamatan Glagah Putih dan Rara Wulan di Kademangan Kleringan sehingga hari itu juga mereka mendapat kesimpulan bahwa Prastawa memang tidak bersalah.

Prastawa mendengarkan keterangan Agung Sedayu yang kemudian dilengkapi oleh Rara Wulan sendiri sambil menundukkan kepalanya. Ia memang merasa iba kepada Kanthi yang dianggapnya sebagai seorang gadis yang baik. Tetapi Prastawa tentu tidak akan dapat memaksa hatinya untuk mencintainya. Apalagi Prastawa memang sudah terjerat oleh seorang gadis yang lain.

“Kanthi memang mencintai Kakang Prastawa,“ desis Rara Wulan. “tetapi iapun sadar, bahwa Kakang Prastawa tidak tertarik kepadanya. Karena itu, maka Kanthi seakan-akan telah membenturkan kepalanya pada selapis batu karang yang tajam. Tetapi akibatnya harus disesalinya sepanjang hidupnya.”

Jantung Prastawa rasa-rasanya menjadi semakin cepat berdetak. Berbagai macam perasaan bergejolak di dalam hatinya. Ia merasa bersyukur bahwa namanya akan dapat dibersihkan. Setidak-tidaknya di hadapan ayahnya. Tetapi ketika ia mendengar betapa hati Kanthi bagaikan mangkuk yang jatuh di atas batu, pecah berserakan, maka iapun ikut bersedih karenanya.

Dalam pada itu, Pandan Wangi-lah yang berkata, “Kita menghadap Paman Argajaya. Semakin cepat semakin baik, selagi hari belum malam.”

Ki Gede mengangguk-angguk kecil. Sementara itu lampu memang sudah mulai dinyalakan.

“Baiklah,“ berkata Ki Gede kemudian. Lalu katanya kepada Prastawa, “Marilah Prastawa. Kita tidak usah menunda-nunda persoalan ini. Semakin cepat diselesaikan tentu semakin baik buat segala pihak. Bahkan tentu akan lebih baik pula buat Kanthi, yang tidak perlu menunggumu lagi.”

Prastawa tidak menolak. Rasa-rasanya ia memang ingin segera berteriak di hadapan ayahnya, “Aku tidak bersalah.”

Beriringan mereka menuju ke rumah Ki Argajaya. Tetapi jalan-jalan sudah menjadi semakin sepi, sehingga hanya satu dua orang yang kebetulan keluar dari rumahnya saja-lah yang melihat.

Kedatangan sekelompok orang yang diantaranya ad alah Ki Gede memang mengejutkan Ki Argajaya. Tetapi iapun segera mengetahui bahwa Ki Gede tentu akan berbicara tentang Prastawa.

Sebenarnyalah bahwa setelah mereka dipersilahkan duduk, maka Ki Gede ternyata langsung berbicara tentang persoalan yang mereka bawa. Ki Gede pun kemudian telah minta kepada Rara Wulan langsung untuk bercerita, apa yang telah ditemui, dilihat dan didengar ketika ia berhasil menemui Kanthi di Kleringan.

“Begitu cepat kau dapat menemuinya?“ Ki Argajaya pun menjadi heran.

Rara Wulan mengangguk-angguk sambil menjawab, “Mungkin memang satu kebetulan, Ki Argajaya.”

“Nah, ceritakan. Aku memang ingin segera mendengar.“

Rara Wulan pun kemudian telah menceritakan duduk persoalan yang semula membelit Prastawa. Namun yang ternyata Prastawa sama sekali tidak terlibat langsung.

Ki Argajaya mendengarkan keterangan Rara Wulan itu dengan wajah menunduk. Demikian Rara Wulan selesai, maka Ki Argajaya berdesis, “Ternyata kau tidak bersalah Prastawa. Aku minta maaf.”

“Ayah juga tidak bersalah,” sahut Prastawa hampir tidak terdengar.

Namun Ki Argajaya kemudian berkata, “Kasihan juga gadis itu. Kanthi adalah gadis yang baik.”

“Aku juga merasa kasihan kepadanya, Ayah. Tetapi aku tidak dapat berbuat apa-apa,” desis Prastawa.

Ki Argajaya itu mengangguk-angguk kecil. Sementara Ki Gede pun berkata, “Jika demikian, Argajaya, bukankah kau dapat menjelaskan hal itu kepada Ki Suracala? Maksudku, bukan kau sendiri. Tetapi utusanmu, sebagaimana telah direncanakan.”

“Kakang, menurut keterangan Angger Rara Wulan, maka Ki Suracala sudah tidak mempunyai kesempatan lagi untuk mengambil keputusan.”

“Meskipun demikian, tetapi Ki Suracala adalah ayah gadis itu. Jika orang-orang itu datang kepadamu untuk berbicara tentang Kanthi, mereka selalu menyebut dirinya utusan Ki Suracala. Karena itu, maka sebaiknya kau tidak berbicara dengan orang lain kecuali Ki Suracala, siapapun yang ternyata kemudian mengambil alih persoalannya,” berkata Ki Gede.

Ki Argajaya mengangguk-angguk. Sementara Swandaru berkata, “Paman. Besok kami akan pergi ke rumah Ki Suracala. Kami akan menyampaikan ketegasan sikap Paman, bahwa Paman tidak dapat menerima perlakuan mereka atas Prastawa, karena ternyata Prastawa memang tidak bersalah. Kemudian terserah apa yang akan mereka lakukan. Kita hanya akan mengimbanginya.”

“Ya,“ Ki Gede menyahut, “agaknya kau memang harus berbuat demikian Argajaya. Sebaiknya rencanamu diteruskan. Kau minta Ki Jayaraga pergi ke Kleringan bersama Agung Sedayu dan Swandaru suami istri. Mereka akan menjadi utusan resmi untuk menyampaikan persoalan Prastawa, dan sekaligus mengambil keputusan-keputusan jika diperlukan.”

Ki Argajaya mengangguk-angguk kecil. Namun nampak bahwa ia masih merasa ragu. Bahkan iapun berkata, “Tetapi Ki Suracala adalah orang yang baik.”

“Jika persoalannya diambil alih oleh adik sepupunya, maka bukankah Ki Argajaya tidak akan berselisih dengan Ki Suracala?“ berkata Ki Jayaraga.

Ki Argajaya mengangguk-angguk sambil berdesis, “Ya. Kau benar Ki Jayaraga.”

“Jadi, bagaimana maksud Paman selanjutnya?” bertanya Swandaru.

“Baiklah. Aku akan mohon Ki Jayaraga untuk pergi ke Kleringan dua hari lagi,“ jawab Ki Argajaya.

“Kenapa dua hari lagi?” bertanya Swandaru, “bukankah besok kita dapat pergi ke rumah Ki Suracala?”

“Bukankah waktu yang diberikan itu tiga hari?” sahut Ki Argajaya.

“Kita tidak terikat kepada waktu yang mereka berikan. Mereka tidak berhak membatasi waktu kita. Jika kita ingin pergi besok, biarlah kita pergi. Tetapi jika kita ingin pergi tiga hari lagi atau sepekan lagi, biarlah kita pergi sesuai dengan keinginan kita,“ berkata Swandaru.

Ki Argajaya mengangguk-angguk. Namun yang kemudian menyahut adalah Ki Gede, “Semakin cepat persoalan ini kita selesaikan, akan menjadi semakin baik. Mudah-mudahan keluarga Ki Suracala, terutama adik sepupunya itu, dapat mengerti.”

“Kita memang harus mencoba,“ berkata Ki Jayaraga kemudian, “meskipun kita tahu, bahwa segala sesuatunya nampak memang sudah dipersiapkan oleh adik sepupu Ki Suracala itu. Namun selagi kita masih mendapat kesempatan untuk berbicara, maka tentu masih ada harapan untuk dapat saling mengerti.”

Ki Argajaya pun kemudian berkata, “Baiklah. Aku serahkan pembicaraan selanjutnya kepada Ki Jayaraga.”

Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku akan mencoba berbuat sebaik-baiknya.”

Demikianlah, malam itu mereka sepakat untuk mengirimkan Ki Jayaraga, Agung Sedayu dan Swandaru suami istri ke Kleringan besok sore. Agung Sedayu akan pulang lebih awal dari barak Pasukan Khususnya. Sementara itu, mereka pun memutuskan untuk mengutus Glagah Putih dan Rara Wulan besok pagi ke rumah Ki Suracala, untuk memberitahukan bahwa utusan resmi Ki Argajaya akan datang di sore harinya, tanpa mengatakan apapun juga mengenai persoalan Prastawa dan Kanthi.

“Kalian harus menganggap diri kalian tidak tahu apa-apa. Kalian hanya diperintahkan untuk memberitahukan bahwa sore nanti lima orang utusan Ki Argajaya akan datang. Mereka adalah Ki Jayaraga yang sudah terhitung tua, Agung Sedayu dan Swandaru suami istri. Mereka adalah sepupu Prastawa,“ berkata Ki Gede kemudian.

Glagah Putih dan Rara Wulan mengangguk-angguk saja. Mereka memang merasa senang dapat membantu melakukan tugas-tugas yang sedikit menegangkan.

“Hati-hatilah Glagah Putih,“ desis Agung Sedayu. “Kau tidak boleh melakukan sesuatu di luar kerangka tugasmu.”

Glagah Putih mengangguk. Tetapi justru Rara Wulan-lah yang bertanya, “Tetapi dalam keadaan yang terpaksa, bukankah kami dapat melindungi diri kami?”

“Bagaimana mungkin hal seperti itu dapat terjadi? Kalian hanya akan menyampaikan bahwa nanti sore akan ada tamu di rumah Ki Suracala. Bukankah tidak ada kemungkinan apapun yang dapat memaksa kalian harus melindungi diri sendiri?”

“Siapa tahu bahwa dahi kami akan terantuk awan,“ jawab Rara Wulan.

“Ah, apa yang sebenarnya kau katakan?” sahut Sekar Mirah.

Tetapi Swandaru justru berkata sambil tertawa, “Kau benar Rara. Kau harus mempersiapkan diri.”

Agung Sedayu pun tersenyum pula. Namun ia berkata, “Mudah-mudahan tidak ada awan yang merendah. Kecuali jika awan itu sudah menjadi hujan.”

Dengan demikian, sambil berbicara tentang berbagai macam kemungkinan maka para tamu Ki Argajaya itu masih duduk beberapa lama. Baru kemudian setelah malam menjadi semakin dalam, mereka pun minta diri.

Dalam pembicaraan itu telah ditetapkan bahwa besok, berlima utusan Ki Argajaya itu akan langsung berangkat ke Kleringan tanpa harus menemui Ki Argajaya lagi.

“Jika ada persoalan yang penting, biarlah aku datang ke rumah Kakang Argapati,“ berkata Ki Argajaya kemudian.

Demikianlah, malam itu Agung Sedayu dan Sekar Mirah telah memberikan pesan-pesannya kepada Glagah Putih dan Rara Wulan agar mereka berhati-hati di Kleringan. Yang akan menjelaskan persoalannya adalah Ki Jayaraga, sehingga kepergian mereka ke Tanah Perdikan Menoreh tidak lebih dari sekedar memberitahukan akan kedatangan utusan itu, sehingga utusan itu dapat diterima oleh Ki Suracala. Tanpa pemberitahuan itu, maka mungkin sekali Ki Suracala justru sedang bepergian.

Glagah Putih dan Sekar Mirah mengangguk-angguk.

“Meskipun demikian,“ berkata Agung Sedayu, “kalian harus tetap berhati-hati.”

“Ya,“ Sekar Mirah menyambung, “aku dapat mengerti kesiapan Rara Wulan jika tiba-tiba saja harus terantuk awan. Nampaknya keluarga Ki Suracala sudah tidak menghargai lagi unggah-ungguh.”

Agung Sedayu pun kemudian mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku mengerti.”

“Jika yang akan kalian temui besok kakangmu Agung Sedayu, maka tentu tidak akan terjadi sesuatu,“ berkata Sekar Mirah kemudian, “tetapi yang akan kalian temui besok adalah orang-orang kecewa yang kebingungan.”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Ternyata aku tidak termasuk orang yang kecewa dan kebingungan.”

Yang lain pun tersenyum pula. Bahkan Ki Jayaraga menyambung, “Kalau saja kau sudah menjadi kebingungan Ngger, maka semua prajurit dari Pasukan Khusus itu pun akan kebingungan pula, sehingga akan menjadi sangat membahayakan lingkungannya.”

Rara Wulan tertawa. Katanya, “Nah, bukankah sikapku benar Kakang? Jika awan itu mengambang semakin rendah, maka aku harus menghembusnya.”

Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun tertawa pula.

Demikianlah, sejenak kemudian mereka pun telah pergi ke bilik mereka masing-masing. Agung Sedayu minta agar Rara Wulan beristirahat sebaik-baiknya, karena besok ia akan mengemban tugas yang berat.

Ketika orang-orang lain memasuki biliknya, maka Glagah Putih telah keluar lewat pintu butulan. Ia melihat anak yang tinggal di rumah itu sudah siap untuk turun ke sungai. Demikian ia melihat Glagah Putih, maka ia pun bertanya, “Kapan kau sempat mengajari aku berkelahi?”

“Sudah berapa kali aku mengatakan, aku tidak akan mengajarimu berkelahi. Tetapi aku akan memberikan sedikit petunjuk tentang membela diri,“ berkata Glagah Putih.

“Apapun namanya, bagiku sama saja,“ jawab anak itu.

“Tidak. Seharusnya bagaimanapun tidak sama. Selama kau masih tidak dapat membedakan antara berkelahi dan membela diri, aku tidak akan mengajarimu.”

Anak itu mengangguk kecil. Dengan agak terpaksa ia berkata, “Ya. Membela diri.”

“Kau tidak boleh hanya sekedar mengucapkannya. Tetapi kau harus benar-benar mengerti maksudnya. Mungkin apa yang kita lakukan sama. Berlatih berkelahi dan berlatih membela diri. Namun landasan kita untuk melakukannya sudah berbeda,“ berkata Glagah Putih kemudian.

Anak itu mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih kemudian berkata, “Sudahlah. Jika kau akan turun ke sungai, pergilah. Lain kali kita akan mulai setelah aku tidak lagi sibuk.”

Anak itu pun kemudian telah melangkah pergi sambil membawa icir, kepis dan cangkul. Namun ia masih bergumam, “Apa saja yang dilakukannya, sehingga ia tidak pernah tidak merasa sibuk?”

Glagah Putih masih mendengar gumam anak itu. Tetapi ia hanya tersenyum saja. Meskipun demikian ia berjanji kepada diri sendiri, bahwa jika ia memang mempunyai waktu luang, ia akan mengajari anak itu dalam olah kanuragan untuk kepentingan membela diri.

Sejenak Glagah Putih masih berada di luar. Udara yang semakin dingin rasa-rasanya menggigit sampai ke tulang.

“Alangkah dinginnya air sungai malam ini,“ berkata Glagah Putih di dalam hatinya.

Namun ternyata mereka yang sudah turun ke sungai, sama sekali tidak merasakan lagi dinginnya air sungai itu.

Jauh lewat tengah malam Glagah Putih baru dapat tidur. Namun rasa-rasanya malam menjadi demikian panjangnya, sehingga ketika Glagah Putih terbangun, ternyata fajar baru mulai membayang.

Pagi itu Glagah Putih dan Rara Wulan pun segera menyiapkan dirinya. Mereka tidak mengenakan pakaian sebagaimana dipakai ketika mereka mencari Kanthi, tetapi mereka mengenakan pakaian yang lebih pantas. Tetapi sebagaimana telah dikatakannya, Rara Wulan tetap bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Karena itu, di bawah pakaiannya yang nampak, ia telah mengenakan pakaian khususnya.

Glagah Putih mengetahui bahwa Rara Wulan benar-benar telah mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih juga sependapat, sebaiknya mereka bersiap-siap. Karena orang yang ada di rumah Ki Suracala itu adalah orang yang tidak lagi menghiraukan tatanan hidup bebrayan.

Tetapi keduanya tidak berangkat terlalu pagi. Bahkan Agung Sedayu telah lebih dahulu berangkat ke baraknya. Sebelum berangkat, Agung Sedayu berpesan bahwa ia akan pulang lebih awal dari biasanya.

“Katakan kepada keluarga Ki Suracala, bahwa kami akan datang sore hari, agar saat kami pulang tidak kemalaman di jalan,“ pesan Agung Sedayu.

Baru kemudian, ketika sinar matahari mulai terasa gatal di kulit, Glagah Putih dan Rara Wulan pun telah berangkat menuju ke Kademangan Kleringan di seberang perbukitan.

Betapapun Rara Wulan merasa perlu bersiap menghadapi segala kemungkinan, namun ia merasa tidak pantas untuk membawa pedang. Tetapi Rara Wulan telah meminjam selendang khusus milik Sekar Mirah. Selendang yang pada kedua ujungnya terdapat beberapa bandul timah kecil-kecil yang tidak dapat segera dilihat. Selendang itu bukan senjata khusus Sekar Mirah, karena Sekar Mirah lebih banyak mempergunakan tongkatnya jika diperlukan. Namun selendang itu telah dipergunakan oleh Rara Wulan dalam latihan-latihan, karena Sekar Mirah memberikan latihan kepadanya untuk mempergunakan segala macam senjata, termasuk tongkat, sulur-sulur pepohonan, sepotong bambu, tampar, dan juga selendang.

Melihat selendang itu, Glagah Putih sempat tersenyum. Sementara Rara Wulan bertanya, “Kenapa Kakang tersenyum?”

“Aku jarang melihat kau mempergunakan selendang,“ jawab Glagah Putih, “nampaknya kali ini kau benar-benar berpakaian lengkap.”

“Aku juga pasti, bahwa kau kenakan ikat pinggangmu pemberian Ki Patih Mandaraka,“ berkata Rara Wulan. Lalu katanya pula, “Karena itu, kau tidak memerlukan pedang.”

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia masih juga tersenyum.

Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih memang memakai ikat pinggang pemberian Ki Patih itu. Seperti juga Rara Wulan, maka tidak pantas baginya untuk membawa pedang, seakan-akan ia pergi ke Kleringan untuk menantang perkelahian. Namun seperti Rara Wulan juga iapun merasa perlu bersiap-siap untuk mendukung kemampuannya tanpa melepaskan ilmu-ilmu puncaknya, yang akan sangat menarik perhatian jika dipergunakannya. Kecuali dalam keadaan yang sangat terpaksa.

Beberapa saat mereka berjalan, maka mereka pun telah sampai ke kaki perbukitan. Dengan berpakaian pantas, maka Rara Wulan justru tidak dapat berjalan secepat ketika ia berpakaian pakaian kesehariannya.

Namun kaki-kakinya yang terlatih, masih juga dapat merayap tanpa kesulitan yang berarti.

Demikianlah, maka beberapa saat kemudian mereka pun telah berada di Kademangan Kleringan. Karena mereka sudah mengenal arah perjalanan mereka, maka mereka dengan cepat telah sampai ke jalan yang langsung menuju ke padukuhan tempat tinggal Ki Suracala. Di simpang tiga tempat mereka berhenti sehari sebelumnya, mereka melihat penjual dawet cendol sudah berada di tempat itu pula. Tetapi mereka justru berusaha untuk tidak dikenali.

Penjual dawet itu memang tidak tertarik sama sekali ketika Glagah Putih dan Rara Wulan lewat. Jalan itu memang merupakan jalan yang terhitung ramai, sehingga ada bermacam-macam ragam orang lewat. Penjual dawet yang sibuk melayani pembeli itu memang tidak pernah mempergunakan waktu khusus untuk melihat orang lewat

Ketika Glagah Putih dan Rara Wulan memasuki padukuhan, maka langkah mereka menjadi lamban. Rara Wulan yang berkeringat itu berterus-terang, “Aku menjadi berdebar-debar.”

Glagah Putih mengangguk sambil menjawab, “Aku juga. Tetapi kita harus yakin, bahwa tugas kita tidak seberat tugas Ki Jayaraga, Kakang Agung Sedayu dan Kakang Swandaru suami istri sore nanti.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Sikap Glagah Putih memang dapat mengurangi ketegangannya.

Beberapa saat kemudian, mereka telah sampai di regol rumah Ki Suracala. Kemarin mereka melihat seorang perempuan keluar dari regol itu bersama seorang laki-laki. Tetapi laki-laki itu segera kembali masuk, sementara perempuan muda itu telah mencari Kanthi. 

Untuk beberapa saat Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu. Namun kemudian Glagah Putih telah mengetuk pintu regol yang tertutup meskipun di siang hari.

Ternyata ketukan pintu regol itu tidak ada jawaban. Karena itu, maka Glagah Putih pun telah mendorong pintu itu sehingga menjadi sedikit terbuka.

Sekali lagi Glagah Putih mengetuk. Agak keras.

Ketika dari sela-sela pintu yang terbuka sedikit itu Glagah Putih melihat seseorang yang sedang menjemur padi di halaman samping di depan seketheng, maka Glagah Putih mengetuk pintu itu semakin keras.

Ternyata orang itu mendengar ketukan pintu itu. Dengan tergesa-gesa orang itu berjalan menuju ke regol halaman.

Demikian ia membuka pintu, maka dahinya pun telah berkerut. Ia merasa belum pernah melihat kedua orang yang berdiri di muka pintu regol halaman itu.

Karena itu, maka orang itu pun segera bertanya, “Siapakah kalain berdua?”

Glagah Putih dan Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Pertanyaan itu memang menunjukkan betapa orang-orang yang ada di rumah itu dibebani oleh kecurigaan yang tinggi terhadap orang lain, sehingga yang ditanyakan mula-mula adalah tentang mereka berdua. Orang itu sama sekali tidak mempersilahkannya masuk lebih dahulu, atau pertanyaan-pertanyaan yang lain.

Namun Glagah Putih-lah segera menjawab, “Kami datang dari Tanah Perdikan Menoreh untuk bertemu dengan Ki Suracala. Apakah Ki Suracala ada di rumah?”

“Untuk apa kalian mencari Ki Suracala?” bertanya orang itu pula.

“Kami membawa pesan penting untuk Ki Suracala,“ jawab Glagah Putih.

“Pesan apa?” desak orang itu.

“Ki Sanak,“ berkata Glagah Putih kemudian, “tolong, sampaikan kepada Ki Suracala, bahwa kami berdua ingin bertemu untuk menyampaikan pesan penting.”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Tunggulah. Aku akan menyampaikannya.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian berdiri saja di halaman rumah itu untuk menunggu. Wajah Rara Wulan mulai menjadi buram. Bahkan iapun berdesah, “Kenapa kita diperlakukan seperti ini? Apakah kita dianggap orang-orang yang berbahaya, atau barangkali sepasang pengemis yang akan minta-minta?”

“Sudahlah Rara,” desis Glagah Putih, “kita harus tahu, bahwa di rumah ini nampaknya memang terjadi sedikit kekalutan. Kita harus tahu bahwa penghuni rumah ini selalu dibayangi oleh kecurigaan terhadap orang lain, terutama yang belum dikenalnya.”

Rara Wulan mengerutkan dahinya. Kemudian iapun bergumam, “Aku ingin menjadi seseorang yang penuh pengertian seperti Kakang dan Kakang Agung Sedayu.”

“Bukan begitu Rara. Tetapi bukankah kita memang harus menunggu, seperti yang diminta oleh orang itu?“ jawab Glagah Putih.

Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi ia nampak gelisah. Sementara itu pintu regol sudah tertutup pula.

Sambil menunggu, Rara Wulan sempat memperhatikan pepohonan di halaman rumah itu. Buah jambu air yang bergayutan kemerahan di dahan dan bahkan di ujung-ujung rantingnya. Bahkan di luar sadarnya Rara Wulan telah melangkah mendekati pohon jambu air yang buahnya tidak terhitung itu. Di halaman yang nampaknya telah disapu bersih itu, bertebaran jambu yang rontok dari tangkainya.

Nampaknya tidak seorang pun berminat untuk memetik buahnya yang banyak itu.

Rara Wulan terkejut ketika ia mendengar suara dari pendapa rumah itu, “He, Anak Muda. Siapa yang kau cari?”

Rara Wulan berpaling. Iapun segera melangkah mendekati Glagah Putih. Dengan ragu-ragu keduanya pun kemudian mendekati tangga pendapa. Seorang yang bertubuh tinggi tegap dan kekar berdiri di bibir pendapa sambil memandangi Glagah Putih dan Rara Wulan dengan tajamnya.

Sambil mengangguk hormat Glagah Putih berkata, “Kami datang untuk menemui Ki Suracala.”

“Siapakah kalian?” bertanya orang itu pula.

“Kami berdua adalah utusan Ki Argajaya,“ jawab Glagah Putih.

“Ki Argajaya? Jadi Ki Argajaya telah mengutus anak-anak untuk mengadakan pembicaraan yang penting?” bertanya orang itu.

“Kami akan menyampaikan satu pesan kepada Ki Suracala,“ berkata Glagah Putih kemudian.

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun di wajahnya nampak gejolak perasaannya.

Untuk beberapa saat orang itu berdiri mematung. Namun kemudian iapun berkata dengan nada berat, “Ki Argajaya memang sombong. Ia merasa persoalan yang sedang dihadapi oleh Ki Suracala cukup dibicarakan dengan anak-anak. Tetapi baiklah. Karena kalian hanya merupakan utusan, maka biarlah Ki Suracala menerima kalian untuk mendengar pesan Ki Argajaya. Naiklah.”

Glagah Putih dan Rara Wulan pun kemudian telah naik pula dan duduk di atas tikar pandan yang telah terbentang di pringgitan.

Ketika orang itu masuk ke ruang dalam, maka Rara Wulan berdesis, “Suasananya memang menegangkan. Seharusnya Kakang Agung Sedayu melihatnya.”

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk-angguk kecil.

Beberapa saat kemudian, dari ruang dalam orang yang bertubuh tinggi kekar itu telah keluar lagi bersama seorang laki-laki separo baya dengan, sikap yang jauh berbeda dengan sikap orang yang bertubuh tinggi besar itu. Ia mengangguk kepada Glagah Putih dan Rara Wulan. Sedang di belakangnya seorang yang sudah lebih tua lagi ikut pula menemui Glagah Putih dan Rara Wulan yang menjadi berdebar-debar. Tetapi menilik ciri-cirinya, maka orang yang kedua itu-lah yang bernama Ki Suracala.

Ternyata dugaan mereka benar. Orang itu-lah yang kemudian bertanya, “Angger berdua, siapakah Angger berdua ini? Apakah benar Angger berdua membawa pesan dari Ki Argajaya?”

“Maaf Paman. Apakah kami berhadapan dengan Ki Suracala?”

“Ya. Aku-lah Suracala itu.”

“Terima kasih, bahwa Paman sudah bersedia menerima kedatangan kami berdua.”

Namun dalam pada itu, orang yang bertubuh tinggi kekar itu tiba-tiba saja telah membentak, “Kau belum menjawab, siapakah kau berdua?”

“Kami adalah utusan Paman Argajaya,“ jawab Glagah Putih.

“Namamu. Siapa namamu, dan siapa nama perempuan ini, he?”

“Namaku Glagah Putih, dan ini adikku, Rara Wulan.”

“Nama yang bagus,” desis Ki Suracala. Lalu iapun bertanya pula, “Jadi kalian datang sebagai utusan Ki Argajaya?”

“Benar Ki Suracala,“ jawab Glagah Putih, “kami telah diutus oleh Paman Argajaya untuk menyampaikan pesannya kepada Ki Suracala.”

“Katakan Ngger. Apakah pesan Ki Argajaya itu,“ berkata Ki Suracala.

“Ki Suracala,“ berkata Glagah Putih, yang menganggap bahwa pertemuan itu ternyata bukan satu pertemuan yang baik, “biarlah kami langsung menyampaikan pesan itu. Nanti sore, akan datang utusan paman Argajaya yang akan memberikan keterangan tentang Kakang Prastawa.”

Ki Suracala menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berkata, “Jadi, Ki Argajaya akan mengirimkan utusan lagi?”

“Benar, Ki Suracala. Ki Argajaya berharap agar Ki Suracala sore nanti ada di rumah, serta bersedia menerima utusan Paman Argajaya itu,“ jawab Glagah Putih.

Ki Suracala mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah Ngger. Nanti sore aku tidak akan pergi. Aku akan menunggu kedatangan utusan resmi Ki Argajaya di rumah sampai mereka datang.”

Namun sebelum Glagah Putih menyahut, orang yang bertubuh tinggi kekar itu-lah yang memotong lebih dahulu, “Jadi apa maksud Ki Argajaya sebenarnya? Apakah ia sengaja mempermainkan kami? Jika nanti sore ia akan mengirimkan utusan kemari, buat apa kalian datang pagi ini?”

“Kami datang untuk memberitahukan bahwa nanti sore utusan resmi Ki Argajaya akan datang,“ jawab Glagah Putih. “Jika kami tidak datang lebih dahulu, maka mungkin sekali sore nanti Ki Suracala telah mempunyai rencana atau janji yang lain, sehingga kedatangan utusan resmi Ki Argajaya tidak dapat bertemu dengan Ki Suracala.”

“Kenapa mesti harus dengan cara yang berbelit-belit seperti itu? Kau berdua tentu tahu, apa yang akan dikatakan oleh utusan Ki Argajaya bahwa ia berniat menyelenggarakan keramaian perkawinan anaknya dengan anak perempuan Ki Suracala. Itu saja yang kami butuhkan. Kami tidak memerlukan apakah hal itu dikatakan oleh utusan resmi atau bukan,“ berkata orang yang bertubuh tinggi besar itu.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun sebelum anak muda itu menjawab, Ki Suracala telah mendahuluinya, “Anak muda ini tentu tidak akan dapat mengatakan apa-apa. Ia hanya diutus untuk memberitahukan, bahwa sore nanti, akan datang utusan yang memang dibekali dengan pembicaraan tentang Kanthi.”

“Tetapi anak ini tentu tahu, Kakang. Ia tentu mendengar pembicaraan tentang hal itu di rumah Ki Argajaya,“ berkata orang yang bertubuh tinggi kekar itu.

“Aku akan menunggu sampai sore nanti,“ berkata Ki Suracala.

Orang yang sudah lebih tua, yang sejak semula hanya berdiam diri saja itu pun kemudian berkata, “Nah, kita lihat sekarang betapa liciknya Ki Argajaya. Ia sengaja mengulur-ulur waktu. Sementara itu, ia dapat berbuat sesuatu untuk memaksakan kehendaknya, tanpa menghiraukan kesulitan orang lain yang ditimbulkan karena tingkah lakunya itu.”

“Ki Argajaya tidak mengulur waktu,” Ki Suracala-lah yang menjawab, “bukankah kita memberikan waktu tiga hari? Hari ini baru hari kedua sejak kita memberikan batasan waktu itu. Ia masih mempunyai satu hari tersisa.”

Orang yang lebih tua itu termangu-mangu sejenak. Namun katanya, “Aku tidak senang dengan permainan semacam ini.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar