Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 288

Buku 288

Ketika mereka memasuki regol halaman, maka Sabungsari berdesis, “Agaknya Ki Rangga Wibawa sudah ada di rumah.”

“Mungkin. Jika Ki Rangga berangkat pagi-pagi, maka ia sudah lama berada di rumah,” jawab Glagah Putih.

Sabungsari mengangguk-anggguk. Tetapi ia tidak menjawab.

Namun ternyata keduanya tidak melihat seekor kuda pun berada di halaman. Karena itu, maka Glagah Putih justru berdesis, “Tidak nampak seekor kuda pun. Apakah mereka belum datang?”

Sabungsari mengangguk-angguk sambil berdesis, “Atau justru mereka tidak datang hari ini?”

Keduanya masih belum tahu jawabnya.

Sebenarnyalah ketika mereka masuk ke ruang dalam dan duduk bersama Agung Sedayu, maka Agung Sedayu justru berkata, “Ki Rangga Wibawa masih belum datang.”

Glagah Putih dan Sabungsari saling berpandangan sejenak. Kemudian Glagah Putih pun menjawab, “Menurut keterangannya, Ki Rangga akan menyusul pagi ini. Mungkin ia masih harus menyelesaikan tugasnya, sehingga ia baru dapat datang sore hari atau bahkan esok pagi.”

(dalam cetakan buku asli terdapat bagian yang hilang di sini)

“Kita berdoa agar keadaannya menjadi semakin baik,“ berkata Agung Sedayu. “Ketika aku katakan bahwa Ki Rangga akan datang, maka wajahnya nampak sedikit cerah.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Syukurlah. Jika Ki Rangga benar datang, mudah-mudahan akan menambah ketegaran hati Wacana.”

Demikianlah, setelah makan Glagah Putih dan Sabungsari pun telah meninggalkan ruang dalam. Sabungsari telah pergi ke gandok menemui kawan-kawannya dari kelompok Gajah Liwung, sementara Glagah Putih menengok Rara Wulan sejenak, yang keadaannya sudah semakin baik. Bahkan Rara Wulan sudah dapat turun dari pembaringan dan pergi ke dapur.

Dari bilik Rara Wulan, Glagah Putih sempat melihat Wacana yang masih terbaring diam.

Ketika kemudian Glagah Putih duduk di sampingnya, maka Wacana pun berdesis, “Apakah Paman tidak jadi datang?”

“Aku kira Ki Rangga tentu datang. Tetapi mungkin karena tugasnya, maka kedatangannya telah tertunda.”

“Apakah seluruh Tanah Perdikan sudah aman?” bertanya Wacana pula.

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Tiba-tiba saja ia mulai memikirkan keselamatan Ki Rangga di perjalanan. Bahkan timbul niatnya untuk menyongsong perjalanan Ki Rangga.

Tetapi Glagah Putih tidak tahu, jalan manakah yang akan ditempuh oleh Ki Rangga. Meskipun menurut perhitungan, jalan yang paling banyak dilalui adalah justru jalan yang melalui penyeberangan sebelah selatan.

Dalam pada itu, maka Glagah Putih pun kemudian beringsut dari tempatnya sambil berdesis, “Usahakan agar kau dapat tidur, Wacana. Tidur termasuk pengobatan yang baik bagimu.”

Wacana menganguk kecil sambil berdesis, “Aku akan mencobanya Glagah Putih.”

Demikianlah, ketika Glagah Putih pergi ke gandok, iapun berkata kepada Sabungsari, “Apakah sebaiknya kita lihat ke penyeberangan sebelah selatan?”

Sabungsari mengangguk sambil menjawab, “Mari, kita mencoba melihatnya.”

“Aku ikut,” sahut Naratama.

Sabungsari memandang Glagah Putih sekilas. Ternyata bahwa Glagah Putih mengangguk, sehingga Sabungsari pun menjawab, “Marilah. Kita melihat ke lintasan penyeberangan selatan.”

Setelah memberitahukan kepada Agung Sedayu, maka Glagah Putih dan Sabungsari telah meninggalkan halaman rumah itu. Ternyata kemudian bukan hanya Naratama saja yang ikut, tetapi juga Pranawa.

Sejenak kemudian, mereka berempat telah berpacu di jalan-jalan bulak Tanah Perdikan Menoreh.

Melihat hijaunya tanaman di sawah yang membentang dari padukuhan yang satu sampai ke padukuhan berikutnya, rasa-rasanya Tanah Perdikan Menoreh tidak baru saja disentuh oleh peperangan yang merenggut banyak jiwa dari kedua belah pihak. Batang padi yang bergetar ditiup angin yang lembut, justru memancarkan suasana yang tenang dan damai.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Iapun merasa prihatin bahwa di sisi yang lain dari ketenangan dan kedamaian itu masih saja tercium bau darah.

Tetapi Glagah Putih tidak berkata sesuatu. Meskipun demikian wajahnya nampak bersungguh-sungguh, sehingga untuk beberapa saat mereka yang berkuda menuju ke lintasan penyeberangan di sebelah selatan itu saling berdiam diri.

Mereka tertarik ketika mereka melihat dua orang berkuda berpacu cepat sekali menyilang jalan mereka di sebuah simpang empat. Namun keempat orang itu tidak mengejarnya.

“Kita memang tidak dapat mencurigai setiap orang meskipun kita mempunyai alasan yang lain,“ berkata Glagah Putih

Sabungsari mengangguk-angguk. Dua orang berkuda dan berpacu dengan kencang bukan selalu berarti kurang baik.

Beberapa saat kemudian mereka telah mendekati jalan simpang. Jika mereka akan pergi ke lintasan penyeberangan, maka mereka harus berbelok ke kiri.

“Sampai di sini kita belum bertemu dengan Ki Rangga. Mungkin Ki Rangga memang menunda kepergiannya ke Tanah Perdikan. Mungkin besok atau lusa,“ berkata Sabungsari.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Sampai di sini kita tidak melihat bekas kekerasan terjadi. Mudah-mudahan kelambatan Ki Rangga bukan karena hambatan di perjalanan, atau bahkan kekerasan. Tetapi Ki Rangga memang menunda kepergiannya.”

“Apakah kita tidak melihat kemungkinannya sampai ke penyeberangan di Kali Praga itu?”

“Ya,“ jawab Glagah Putih dengan serta-merta, “kita akan terus sampai ke tepian Kali Praga. Tetapi kita tidak akan menyeberang ke timur.”

Pranawa mengangguk-angguk. Ia memang ingin melihat tepian Kali Praga.

Meskipun sudah beberapa kali ia menyeberang, tetapi setiap ia berada di tepian Kali Praga, ia merasakan sesuatu yang menyentuh perasaannya. Hamparan pasir yang luas, kemudian wajah air yang bergerak mengalir tidak ada henti-hentinya. Rakit yang hilir mudik menghubungkan kedua tepian, serta kerja keras tukang satang yang dengan satangnya mendorong rakit-rakit itu menyeberang. Tukang satang yang setiap hari kakinya basah dan bahkan terendam air Kali Praga, sedangkan kepala dan tubuhnya dijemur di panasnya terik matahari.

Demikianlah, beberapa saat kemudian Pranawa dan ketiga orang yang bersamanya itu sudah mendekati Kali Praga. Sementara matahari telah condong jauh ke barat. Namun cahayanya masih tajam menukik menyentuh tubuh-tubuh yang berwarna tembaga dan mengkilat karena keringatnya, di atas rakit dengan satang di tangan mereka.

Sejenak kemudian maka Glagah Putih yang ada di paling depan telah memberikan isyarat untuk berhenti. Mereka memperhatikan orang-orang yang turun dari rakit yang baru saja merapat di tepian sebelah barat. Tetapi mereka tidak melihat Ki Rangga Wibawa di antara mereka. Bahkan mereka tidak melihat seekor kuda pun yang diturunkan dari rakit.

“Agaknya Ki Rangga memang tidak jadi datang hari ini,“ berkata Glagah Putih.

“Jika hanya karena tertunda, syukurlah. Mudah-mudahan memang demikian dan bukan karena hambatan apapun,” sahut Sabungsari.

Yang lain mengangguk-angguk. Namun Pranawa-lah yang kemudian meloncat turun sambil berkata, “Biarlah aku bertanya kepada tukang satang.”

“Bagaimana ia dapat membedakan di antara orang-orang berkuda yang menyeberang, bahwa seorang di antara mereka adalah Ki Rangga Wibawa?” bertanya Naratama.

“Mungkin di antara mereka terdapat prajurit Mataram,“ jawab Pranawa.

Naratama mengangguk-angguk. Sementara itu Pranawa pun telah melangkah mendekati rakit yang baru saja merapat. Rasa-rasanya ia memang tertarik berbincang dengan tukang satang yang keringatnya telah membasahi seluruh tubuhnya.

Seorang di antara tukang satang itu pun kemudian duduk beristirahat di atas rakitnya sambil meneguk air, yang memang dibawanya sebagai bekal di dalam sebuah kendi. Sedangkan kawannya berdiri di tepian setelah menambatkan tali pengikat rakitnya, sambil menunggu penumpang yang akan naik. Sementara itu rakit yang mulai bergerak justru menyeberang ke arah timur.

Pranawa pun kemudian mendekati tukang satang yang sedang minum itu dan berdiri di tepian sambil berpegangan pada ujung rakit itu.

Kepada tukang satang itu Pranawa menanyakan, apakah ia membawa penumpang atau melihat satu dua orang prajurit yang menyeberang dari timur ke barat.

Tukang satang itu mengingat-ingat sejenak. Namun kemudian ia menggeleng, “Aku belum melihat, Ki Sanak. Memang ada beberapa penumpang berkuda lewat. Tetapi mereka bukan prajurit. Setidak-tidaknya mereka tidak berpakaian prajurit. Entahlah jika mereka berpakaian orang kebanyakan.”

Pranawa mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Baiklah Ki Sanak. Terima kasih atas keterangan Ki Sanak.”

“Kenapa Ki Sanak menanyakan tentang prajurit yang menyeberang Kali Praga?” tukang satang itu ganti bertanya.

“Saudaraku akan berkunjung ke rumahku. Saudaraku seorang prajurit. Aku sudah menunggu sejak pagi, tetapi ia belum juga datang,“ jawab Pranawa.

Tukang satang itu hanya mengangguk-angguk saja.

“Mungkin ia menunda keberangkatannya,“ berkata Pranawa kemudian.

Iapun kemudian minta diri kepada tukang satang itu. Namun Pranawa itu telah mengambil sekeping uang dari kantong ikat pinggangnya dan diberikannya kepada tukang satang itu.

Tukang satang itu mengerutkan dahinya. Ia justru menjadi heran. Karena itu ia bertanya, “Uang apa itu ki Sanak?”

“Aku sudah mengganggu. Seharusnya kau beristirahat,“ jawab Pranawa.

Ternyata orang itu menolak. Katanya, “Jika kau menyeberang, aku terima uang itu. Jika tidak, uang itu sama sekali bukan hakku.”

“Tetapi aku sudah mengganggumu,“ berkata Pranawa.

“Aku diupah untuk membawa penumpang menyeberang. Tidak untuk sekedar menjawab pertanyaan-pertanyaan,“ jawab tukang satang itu. Bahkan ia berkata selanjutnya, “Maaf Ki Sanak. Aku memang bekerja keras untuk mencari uang. Tetapi aku tidak ingin sekedar menerima belas kasihan. Aku akan dengan senang hati menerima upah dari kerjaku. Bahkan aku akan minta upah itu dibayar jika ada yang dengan sengaja berusaha menghindar setelah menyeberang. Jika perlu memaksanya. Tetapi bukan sekedar pemberian seperti ini.”

Pranawa menarik nafas dalam-dalam. Setiap kali ia merasa kasihan melihat tukang satang itu berendam di air dan berjemur di panasnya matahari, mendorong rakit dengan mengerahkan tenaga hampir sehari penuh. Namun ternyata mereka adalah orang-orang yang mempunyai harga diri yang tinggi.

Karena itu, maka Pranawa itu pun berkata, “Maaf Ki Sanak. Bukan maksudku untuk sekedar memberi atau apalagi belas kasihan. Aku hanya merasa berkewajiban karena aku telah mengganggu Ki Sanak. Tetapi jika Ki Sanak berkeberatan, maka aku minta maaf.”

“Sudahlah, lupakan saja,“ berkata tukang satang itu sambil bangkit berdiri. Iapun kemudian meloncat turun ke tepian dan berdiri di sebelah kawannya untuk menunggu penumpang. Dua orang sudah naik ke atas rakitnya, sementara itu dua orang yang lain tengah berjalan cepat-cepat menuju ke rakit itu pula.

Dengan demikian, maka Pranawa pun melangkah kembali menemui ketiga orang yang datang bersamanya ke tepian. Iapun mengatakan bahwa tidak ada seorang prajurit pun yang lewat sejak pagi hari.

“Kecuali jika Ki Rangga dan kawan-kawannya tidak mengenakan pakaian keprajuritan,“ berkata Pranawa kemudian.

“Namun agaknya Ki Rangga Wibawa memang belum lewat,” desis Glagah Putih.

“Jika demikian, marilah, kita kembali saja,“ ajak Sabungsari yang nampak gelisah.

Demikianlah, maka keempat orang itu pun telah meninggalkan tepian. Tetapi Glagah Putih mengajak mereka menempuh jalan yang lain, sekaligus melihat-lihat keadaan. Mereka menempuh jalan yang dilalui oleh kedua orang penunggang kuda yang mereka jumpai ketika mereka berangkat ke tepian.

Namun di sepanjang perjalanan kembali itu pun mereka tidak mengalami hambatan atau melihat sesuatu di luar kewajaran. Ketika mereka bertemu dengan pengawal yang bertugas di sebuah padukuhan, maka pengawal itu juga mengatakan bahwa keadaan sudah menjadi semakin tenang.

“Syukurlah,“ berkata Glagah Putih, “mudah-mudahan untuk selanjutnya tidak ada sesuatu yang dapat menimbulkan kekacauan lagi di padukuhan ini.”

Karena itu, maka keempat orang itu pun telah menempuh jalan langsung kembali ke padukuhan induk.

Ketika mereka kemudian memasuki halaman rumah Agung Sedayu, maka mereka masih belum melihat seekor kuda pun yang tertambat di halaman depan rumah itu. Karena itu, maka mereka menduga bahwa Ki Rangga benar-benar telah menunda perjalanannya.

Selelah menambatkan kuda mereka langsung di belakang, maka mereka pun melangkah langsung menuju pendapa. Tetapi Naratama dan Pranawa berbelok menuju ke gandok, sementara Glagah Putih dan Sabungsari telah naik ke pendapa dan menuju ke pintu pringgitan.

Keduanya tertegun ketika mereka mendengar suara yang lain di ruang dalam. Karena itu, maka keduanya menjadi termangu-mangu sejenak. Namun mereka justru terdorong untuk segera mengetahui, siapakah yang ada di ruang dalam. Jika mereka tamu, maka biasanya mereka diterima di pringgitan atau di pendapa. Tidak langsung ke ruang dalam.

Namun demikian keduanya mendorong pintu pringgitan, maka keduanya terkejut. Yang mereka lihat adalah tiga orang prajurit yang duduk di ruang dalam.

Namun agaknya di ruang dalam itu sedang disiapkan hidangan makan bagi mereka.

Melihat keduanya ragu-ragu, maka terdengar suara Agung Sedayu memanggil, “Marilah. Kita akan makan bersama-sama.”

Glagah Putih masih termangu-mangu sejenak. Waktu makan siang sudah jauh lampau. Ia sudah makan sebelum pergi ke tepian. Namun karena ada tamu, maka ia tidak dapat menolak.

Karena itu, maka bersama Sabungsari Glagah Putih pun melangkah masuk ke ruang dalam.

Namun keduanya pun terkejut. Lebih-lebih Sabungsari.

Demikian mereka berdua melangkah tlundak pintu, maka mereka pun segera melihat Ki Rangga Wibawa duduk di sisi Wacana yang terbaring. Bukan hanya Ki Rangga. Namun di sebelahnya duduk Raras dengan mata yang basah.

Keduanya tidak dapat melangkah surut. Apalagi ketika sekali lagi Agung Sedayu minta agar keduanya duduk bersama mereka.

Ki Rangga Wibawa yang melihat Glagah Putih dan Sabungsari, telah beringsut dari tempat duduknya, turun dari pembaringan, untuk kemudian duduk dan saling mengucapkan selamat di atas tikar pandan bersama Agung Sedayu, para prajurit yang datang bersamanya, dan Ki Lurah Branjangan.

Sementara itu Sekar Mirah yang telah selesai menghidangkan minuman dan makanan bersama anak yang membantu di rumah itu, telah mendekati Raras dan minta agar Raras pun bersedia makan bersama.

Tetapi Raras menolak. Ia masih ingin menunggui Wacana yang sedang sakit. Sekali-sekali Raras masih mengusap matanya yang basah.

Namun sebenarnyalah ketika ia melihat Glagah Putih dan Sabungsari masuk ke ruang dalam, jantungnya berdegup cepat. Semula ia tidak sempat memikirkan kehadiran Sabungsari di Tanah Perdikan, karena ia didesak oleh keinginannya bertemu dengan Wacana, yang sudah dianggapnya sebagai kakak kandungnya sendiri, meskipun Wacana sendiri bersikap lain.

Tetapi setelah ia berada di Tanah Perdikan dan bertemu dengan Sabungsari, maka hatinya menjadi berdebar-debar.

Karena itu, maka Raras semakin memilih untuk tetap duduk di sebelah Wacana, daripada duduk di ruang dalam untuk makan bersama dengan Sabungsari.

Sekar Mirah memang tidak dapat memaksa. Katanya, “Baiklah. Nanti kau makan bersama aku dan Wulan. Ia sudah menjadi semakin baik.”

Raras tidak menyahut. Namun yang kemudian menjadi basah bukan hanya pipinya oleh titik-titik air mata, tetapi kemudian juga bajunya yang menjadi basah oleh keringat.

Demikianlah, maka Agung Sedayu mempersilahkan tamu-tamunya untuk makan. Sementara itu untuk mengurangi ketegangan, Sabungsari telah bertanya, “Dimanakah Ki Jayaraga, Ki Ajar Gurawa dan yang lain?”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Mereka sedang keluar sebentar. Nanti mereka akan datang.”

Sabungsari tidak bertanya lebih banyak. Ia justru menundukkan kepalanya. Rasa-rasanya apa yang dilakukannya menjadi tidak wajar.

Namun akhirnya semuanya mulai menyenduk nasi dan makan bersama-sama.

Selama mereka makan, memang tidak banyak yang mereka bicarakan. Namun Ki Rangga sempat menceritakan perjalanannya bersama Raras dan para prajurit.

Ternyata mereka hanya berjalan kaki saja, dan melintas di penyeberangan sisi utara.

“Lewat penyeberangan sisi utara agak lebih dekat, karena dengan berjalan kaki kami dapat memilih jalan memintas. Bahkan lorong-lorong kecil yang sudah aku kenal dengan baik sejak di masa remajaku yang senang menjelajahi lingkungan,“ berkata Ki Rangga Wibawa.

Glagah Putih dan Sabungsari mengangguk kecil. Dengan nada dalam Glagah Putih pun berkata, “Kami telah menyongsong Ki Rangga ke penyeberangan di lintasan selatan.”

“Jika kami berkuda, memang lebih baik menyeberang di penyeberangan di sebelah selatan,“ jawab Ki Rangga Wibawa.

“Kita berselisih jalan,” desis Glagah Putih kemudian.

“Tetapi kami sudah tiba di sini dengan selamat,“ berkata Ki Rangga kemudian. “Demikian kalian berangkat, maka kami pun datang.”

Ki Rangga pun bercerita bagaimana Raras memaksa untuk ikut setelah ia mendengar bahwa Wacana terluka cukup parah.

“Wacana sudah dianggapnya sebagai kakak kandungnya sendiri,“ berkata Ki Rangga Wibawa kemudian.

Agung Sedayu mengangguk-angguk, sementara Sabungsari menjadi semakin gelisah sehingga seolah-olah duduk di atas bara. Tetapi ia tidak dapat beringsut sebelum waktu makan itu dianggap selesai.

Dalam pada itu, Ki Rangga pun berdesis, “Raras tidak ingin kehilangan kakaknya. Tetapi sementara itu ia menjadi sangat cemas bahwa ia tidak akan dapat bertemu dengan Wacana lagi.”

Dengan nada rendah Agung Sedayu kemudian berkata, “Kita belum kehilangan harapan. Keadaan Wacana tidak menjadi semakin buruk akhir-akhir ini. Disertai dengan doa, kita berharap bahwa Wacana akan dapat sembuh.”

Ki Rangga Wibawa mengangguk-angguk. Namun ia tidak menyahut lagi. Angan-angannya agaknya mulai menerawang atas kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi atas Wacana.

Sementara itu, Raras masih juga duduk di sisi Wacana. Sekali-sekali Raras mengusap kening Wacana yang basah oleh keringat. Bahkan Wacana yang sedang sakit itu pun nampak gelisah.

Dengan suara yang sendat, Wacana itu kemudian bertanya, “Apakah mereka telah selesai makan?”

Raras mengangguk kecil sambil menjawab, “Sudah Kakang.”

“Kenapa kau tidak makan bersama mereka?”

“Nanti saja. Aku belum lapar,“ jawab Raras.

Wacana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Jika demikian Raras, tolong, panggil Sabungsari kemari.”

Wajah Raras menjadi tegang. Ia merasa menjadi serba salah. Jika ia tidak memenuhi permintaan itu, maka Wacana akan menjadi kecewa. Tetapi jika ia melakukannya, maka ia merasa sangat segan.

Dalam kebimbangan itu, maka Raras pun telah memanggil ayahnya, Ki Rangga Wibawa.

“Ayah,” desis Raras.

Ki Rangga yang masih duduk di ruang dalam itu pun berpaling. Dilihatnya Raras memberi isyarat kepadanya untuk mendekat.

“Ada apa Raras?” bertanya Ki Rangga.

“Kakang Wacana memanggil Ayah,“ jawab Raras.

Ki Rangga pun kemudian beringsut mendekati Wacana dan duduk di sebelahnya. Namun Wacana itu pun kemudian berkata perlahan, “Paman. Aku ingin berbicara dengan Sabungsari.”

“Angger Sabungsari?” bertanya Ki Rangga.

“Ya, Paman,“ jawab Wacana.

Sabungsari yang mendengar namanya disebut oleh Ki Rangga menjadi berdebar-debar. Namun Ki Rangga itu benar-benar berpaling kepadanya dan berkata, “Angger Sabungsari. Wacana ingin berbicara dengan Angger.”

Sabungsari benar-benar menjadi gelisah. Namun Agung Sedayu berdesis pula, “Mendekatlah. Ia ingin berbicara kepadamu. Jangan kau kecewakan anak muda yang sedang sakit itu.”

Sabungsari memang tidak dapat ingkar lagi. Bahkan kemudian Glagah Putih telah bangkit dan menarik tangannya sambil berkata, “Marilah.”

Ketika kemudian Sabungsari bangkit dan melangkah mendekati Wacana yang terbaring itu, Raras-lah yang beringsut untuk meninggalkan pembaringan Wacana. Tetapi Wacana masih sempat berdesis, “Raras, jangan pergi.”

“Aku akan ke pakiwan sebentar Kakang,“ jawab Raras.

“Tunggulah. Aku ingin berbicara kepadamu,“ berkata Wacana cemudian.

Raras memang menjadi bingung. Demikian pula Sabungsari. Sementara Ki Rangga Wibawa telah beringsut untuk memberi tempat kepada Sabungsari yang termangu-mangu.

Agung Sedayu melihat kegelisahan itu. Meskipun ia tidak mendengar seluruhnya apa yang dipercakapkan oleh orang-orang yang ada di dekat Wacana itu, namun ia melihat kegelisahan yang terjadi. Karena itu, maka Agung Sedayu pun telah memberi isyarat kepada Sekar Mirah untuk mendekat.

Sekar Mirah memang beringsut meskipun tidak menjadi terlalu dekat. Ia berdiri beberapa langkah dari pembaringan Wacana, sebagaimana Glagah Putih.

Ketika Wacana minta Sabungsari mendekat, maka Sabungsari tidak dapat menolaknya, Demikian pula Raras. Wacana minta Raras tetap di tempatnya.

“Raras,“ berkata Wacana kemudian, “dengarlah. Tetapi kau jangan menyalahkan aku, justru aku dalam keadaan seperti ini. Jika kau masih ingin melihat aku sembuh lagi Raras, kau harus menerima pemberitahuanku ini dengan lapang, karena sebenarnyalah aku bermaksud baik kepadamu.”

Raras memang menjadi sangat berdebar-debar. Namun Wacana berkata selanjutnya, “Raras. Aku sudah berkata terus-terang kepada Sabungsari.”

“Kakang,“ Raras hampir terpekik.

Tetapi dengan memaksa diri Wacana berkata, “Dengar Raras. Aku minta kau maafkan aku, agar luka dalamku tidak semakin parah.”

Gejolak perasaan Raras justru membuat mulutnya bagaikan terbungkam. Namun Wacana pun kemudian berkata, “Raras. Aku tidak dapat menyembunyikan lagi sebagaimana kau minta, ketika Sabungsari berterus-terang kepadaku. Aku tidak dapat berbuat lain daripada menjawab pertanyaannya dengan kenyataan yang sebenarnya. Tanpa keterus-terangan ini, maka persoalan di antara kalian tidak akan pernah selesai dan berakhir dengan baik.”

Wajah Sabungsari pun menjadi tegang. Wacana ternyata tidak mengatakan yang sebenarnya. Ia tidak pernah merasa menyatakan perasaannya lebih dahulu. Justru Wacana datang dengan gejolak perasaannya yang tidak terkendali, sehingga Wacana telah menantangnya untuk bertanding.

Namun dalam pada itu Wacana pun berkata, “Sabungsari. Maaf bahwa aku berterus-terang kepada Raras. Dengan demikian, maka kalian dapat menempuh jalan untuk membuat penyelesaian akhir yang paling baik.”

Sabungsari bagaikan membeku. Sementara itu, Raras benar-benar menjadi gelisah. Perasaan malu, bahkan bersalah dan berbagai macam perasaan yang berbaur, membuatnya kehilangan kendali. Dengan serta-merta Raras itu pun bergeser turun dari pembaringan. Tanpa diduga, maka Raras berlari ke pintu pringgitan.

Namun Sekar Mirah ternyata bergerak lebih tangkas. Dengan cepat ia sempat menangkap dan memeluk Raras yang kebingungan.

Sentuhan tangan Sekar Mirah ternyata dapat menyentuh pula perasaan Raras. Di luar sadarnya, iapun telah memeluk Sekar Mirah pula. Gadis itu tidak lagi dapat menahan air matanya yang mengalir dengan derasnya.

“Kau tidak usah menangis, Raras,” desis Sekar Mirah.

“Aku malu sekali. Bukankah aku perempuan yang tidak berharga, yang telah menawarkan diri kepada seorang laki-laki.”

“Tidak Raras,“ jawab Sekar Mirah, “bukan kau yang datang untuk menawarkan diri. Bukankah kau datang untuk melihat Wacana yang sudah kau anggap sebagai kakak kandungmu sendiri?”

“Tetapi Kakang Wacana sudah mengatakannya,“ desis Raras disela-sela isaknya.

“Bukankah Wacana mengatakan bahwa ia hanya menanggapi pertanyaan Sabungsari? Bukankah dengan demikian ia tidak bersalah? Apalagi ia sekarang dalam keadaan sakit, Raras. Cobalah kau menilai persoalannya dengan hati yang bening.”

Raras tidak menjawab. Tetapi ia masih belum melepaskan Sekar Mirah.

Glagah Putih yang berdiri di sebelahnya hanya termangu-mangu saja. Bahkan ia tidak tahu apa yang harus dilakukannya.

Namun Ki Rangga Wibawa-lah yang kemudian mendekati anak gadisnya sambil berkata, “Sudahlah Raras. Bukankah dengan demikian persoalannya justru menjadi terbuka? Kau tidak dapat menyimpan perasaanmu itu di dalam hatimu. Tidak akan ada seorang pun yang mengetahuinya. Karena itu kau harus menanggapinya dengan wajar. Apa artinya percik-percik cinta yang dibenamkan dalam-dalam di dasar jantung, karena yang didambakan oleh cinta bukanlah daun-daun yang rimbun yang memenuhi relung-relung hati. Tetapi yang dituntut adalah bunganya, yang kemudian menghasilkan buah.” Ki Rangga Wibawa itu pun terdiam sejenak.

Isak tangis Raras memang sedikit mereda, sementara ayahnya berkata selanjutnya, “Raras, siapakah yang berhak menilaimu? Jika kau menganggap aku, ayahmu, juga berhak menilaimu, maka kau tidak perlu menyalahkan dirimu sendiri.”

Raras sama sekali tidak menjawab. Sekar Mirah-lah yang kemudian membimbingnya duduk di bibir amben yang besar di ruang dalam itu. Sementara Ki Rangga duduk pula di sebelahnya.

Sabungsari tidak dapat berbuat apapun juga. Ia juga tidak dapat membantah pernyataan Wacana, bahwa ialah yang telah menyatakan perasaannya sehingga Wacana telah menanggapinya dengan mengatakan perasaan Raras kepadanya. Karena jika ia membantahnya, maka kedudukan Wacana dalam persoalan Raras akan menjadi semakin sulit.

Karena itu, Sabungsari hanya dapat semakin menundukkan kepalanya saja.

Dalam pada itu, Wacana yang sedang sakit itu menjadi tegang. Sikap Raras kepadanya tergantung sekali kepada sikap Sabungsari. Jika Sabungsari tidak mengiakan keterangannya, dan mengatakan yang sebenarnya apa yang terjadi, maka rasa-rasanya tidak ada gunanya lagi baginya untuk meneruskan pengobatan yang diberikan oleh Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan tabib terbaik di Tanah Perdikan Menoreh itu.

Dalam pada itu, Sabungsari duduk termangu-mangu. Wajahnya sekali-sekali menjadi merah, namun kemudian menjadi pucat. Keringatnya mengalir membasahi punggungnya. Bahkan bajunya menjadi basah seperti baru saja kehujanan.

Jantung Sabungsari memang bergejolak. Sekali-sekali dipandanginya wajah Wacana yang sedang sakit karena luka dalamnya itu. Ketegangan di wajah Wacana membuatnya seakan-akan menjadi semakin parah. Bahkan nafasnya menjadi tersengal-sengal.

Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Diendapkannya gejolak perasaannya. Dengan susah payah Sabungsari mengetrapkan penalarannya.

Karena itu, maka kemudian dengan nada yang berat ia berkata, “Maafkan aku Ki Rangga. Aku merasa terlalu berat untuk memikul beban perasaanku. Karena itu, maka aku tidak dapat menyimpannya lagi ketika Wacana datang ke Tanah Perdikan ini. Ternyata Wacana telah menyimpan pula pengakuan Raras, meskipun sebelumnya hanya diperuntukkan bagi dirinya sendiri.”

Pengakuan Sabungsari itu bagaikan udara yang segar yang dihembuskan ke dalam ruang sempit yang panas dan pengap. Semua orang menarik nafas dalam-dalam. Ki Rangga Wibawa mengangguk-anggukkan kepalanya, sementara Agung Sedayu berdesah lembut.

Wacana yang juga mendengar pengakuan itu, tidak dapat menahan gejolak perasaannya. Di luar sadarnya bibirnya bergerak mengucap syukur. Rasa-rasanya Wacana telah terlepas dari ujung tanduk yang telah menyentuh kulitnya. Bahkan terasa matanya menjadi panas oleh titik-titik air yang mengembun.

Sementara itu Sabungsari pun berkata selanjutnya, “Sebenarnya aku ingin menyimpan perasaan ini dan mengendapkan sedalam-dalamnya. Namun suatu ketika akhirnya bergejolak juga, dan harus tertuang keluar ketika Wacana hadir di Tanah Perdikan ini.”

Ki Rangga-lah yang kemudian berkata, “Aku telah mendengar pengakuan kalian. Aku telah melihat jalan panjang yang terbentang di hadapan anak gadisku.”

“Aku mohon maaf Ki Rangga. Tetapi apa yang aku katakan, bukanlah yang sebaiknya aku lakukan. Aku harus mengulanginya lewat jalan yang wajar, meskipun semuanya sudah Ki Rangga ketahui,“ berkata Sabungsari pula.

Ki Rangga menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk kecil ia berkata, “Baiklah. Aku tidak akan menutup mata pada kenyataan ini. Aku menghargai sikap Angger Sabungsari, bahwa ia masih akan mengulangi pernyataannya lewat jalan sewajarnya. Namun itu adalah sekedar tata-cara dan unggah-ungguh. Namun hakikat dari perasaan kalian agaknya sudah bertemu. Karena itu, maka aku tidak dapat bersikap tanpa mengingat kenyataan ini, seakan-akan segala sesuatunya terjadi pada saat-saat tata-cara itu dilakukan.”

Sabungsari mengangguk dalam-dalam. Ternyata Ki Rangga bukan seorang yang berpandangan sempit dengan segala macam ikatan-ikatan yang mati, tanpa melihat kenyataan yang tersimpan di dalamnya. Karena itulah maka Sabungsari merasa bersyukur karenanya.

Meskipun demikian, ada sepercik persoalan yang terasa membelit jantungnya. Apalagi di situ hadir pula Ki Lurah Branjangan. Ki Lurah tentu tahu benar, bahwa Raras pernah menjalin hubungan dengan Raden Teja Prabawa, cucu Ki Lurah.

Karena itu, maka beberapa kali Sabungsari memandang sekilas Ki Lurah yang duduk sambil sekali-sekali mengangguk-angguk. Namun agaknya Ki Lurah tidak menghiraukannya.

Tetapi ternyata bukan hanya Sabungsari saja-lah yang teringat akan hal itu. Sebenarnyalah bahwa Ki Rangga juga menyadari, bahwa Raras memang pernah berhubungan dengan cucu Ki Lurah.

Ketika keadaan sudah menjadi tenang, maka Sekar Mirah-lah yang kemudian mengajak Raras untuk pergi ke ruang sebelah. Di ruang itu Sekar Mirah minta Raras duduk sambil berkata, “Kita makan bersama, Raras. Bukankah kau belum makan?”

Raras tidak menjawab, sementara itu, Sekar Mirah sempat membawa Rara Wulan yang sudah menjadi semakin baik ke ruang itu pula.

Ketika Raras melihat Rara Wulan yang sedang dibimbing Sekar Mirah memasuki ruang itu, maka iapun segera bangkit dan berlari ke arahnya. Rara Wulan yang melihat Raras dengan serta-merta berdesis, “Raras.”

Keduanya berpelukan, meskipun Rara Wulan masih harus menyeringai menahan nyeri yang masih terasa.

Sejenak kemudian, maka keduanya duduk di amben panjang di ruang itu, sementara Sekar Mirah menyiapkan makan bagi mereka.

Raras yang melihat keadaan Rara Wulan pun telah bertanya, “Apa yang terjadi padamu, Wulan?”

Rara Wulan pun berceritera tentang pertempuran yang terjadi di Tanah Perdikan beberapa waktu yang lalu.

“Hampir semua orang terluka,“ berkata Rara Wulan, “Mbokayu Sekar Mirah juga terluka. Kakang Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan yang lain. Tetapi ada yang parah dan ada yang tidak. Kakang Wacana termasuk salah seorang yang parah. Aku juga terhitung parah. Bahkan Kakang Agung Sedayu dan Ki Jayaraga, Kakang Rumeksa, dan murid-murid Ki Ajar Gurawa. Namun yang perkembangannya agak lambat adalah Kakang Wacana.”

Raras menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian bertanya, “Tetapi bukankah Kakang Wacana masih mungkin disembuhkan?”

“Aku kurang mengetahui perkembangannya. Tetapi menurut Mbokayu Sekar Mirah, keadaan Kakang Wacana tidak menjadi semakin buruk. Dan itu berarti bahwa masih banyak harapan untuk menyembuhkannya. Agaknya kedatanganmu juga akan dapat menambah gairah kesembuhannya.”

“Bagaimana dengan kau sendiri?” bertanya Raras.

“Sebagaimana kau lihat, aku sudah menjadi semakin baik,“ jawab Rara Wulan.

Raras mengangguk-angguk. Ia memang melihat keadaan Rara Wulan yang sudah tidak lagi mengalami banyak kesulitan karena luka-lukanya, meskipun tenaga dan kekuatannya masih belum pulih kembali.

Demikianlah, maka sejenak kemudian makan pun telah tersedia. Meskipun Rara Wulan sudah makan, tetapi ia ikut pula makan bersama Raras dan Sekar Mirah.

Malam itu, Ki Rangga Wibawa bermalam di rumah Agung Sedayu. Rumah yang memang tidak begitu besar itu terasa semakin sempit. Namun anak-anak muda dari kelompok Gajah Liwung dapat saja tidur di mana-mana. Bahkan beberapa orang di antara mereka justru ikut berkumpul bersama para pengawal dan anak-anak muda di banjar.

“Kami menumpang tidur di sini,“ berkata Suratama.

“Kenapa tidur di sini?” bertanya salah seorang pengawal.

“Di rumah Kakang Agung Sedayu ada beberapa orang tamu dari Mataram. Keluarga Wacana yang terluka dalam itu,“ jawab Suratama mewakili kawan-kawannya.

Sementara itu, meskipun Sabungsari tidak pergi ke banjar, tetapi ia selalu berada di serambi gandok bersama Glagah Putih. Kepada Glagah Putih ia mengatakan, betapa ia terjepit sehingga tidak mempunyai kesempatan untuk memilih sikap.

“Menurut pendapatku, sikapmu sudah benar,“ berkata Glagah Putih, “jika kau ingkari kata-kata Wacana, maka keadaannya akan menjadi semakin gawat.”

Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sadari itu.”

“Sekarang, setelah ia mendengar kau mengiyakan keterangannya, wajahnya nampak lebih cerah. Mudah-mudahan segala sesuatunya akan dapat membuat dadanya lebih lapang, sehingga kesempatannya untuk sembuh menjadi lebih besar.”

Sabungsari mengangguk kecil. Tetapi ia tidak menjawab. Pandangan matanya menerawang menembus ke kegelapan malam.

Dalam pada itu, Glagah Putih yang melihat kegelisahan Sabungsari itu pun berkata, “Sudahlah. Kakang Sabungsari jangan terlalu memikirkannya. Semuanya itu sudah terjadi. Dan kau pun tahu bahwa Ki Rangga Wibawa nampaknya tidak tersinggung karenanya. Kau tidak sengaja melamarnya begitu saja tanpa suba-sita. Jika semuanya itu kau katakan di hadapan Ki Rangga Wibawa, bukankah kau tidak dapat dianggap tidak tahu unggah-ungguh?”

Sabungsari itu pun mengangguk.

“Yang penting adalah apa yang akan kau lakukan kemudian, dalam hubunganmu dengan Raras. Sekarang persoalan yang sebenarnya telah terbuka. Justru di hadapan Ki Rangga Wibawa dan di hadapan Ki Lurah Branjangan.”

“Aku merasa telah menjadi orang ketiga yang berdiri di antara Raras dan Raden Teja Prabawa.”

“Bukankah Wacana juga pernah terlibat?” bertanya Glagah Putih, “Meski-pun agaknya di luar pengetahuan Raras.”

Sabungsari mengangguk pula.

“Sudahlah,“ berkata Glagah Putih, “kau sudah masuk ke dalam arus air, seandainya kau menyeberang. Kau sudah basah dan kau tidak perlu harus naik kembali ke tepian. Ingat, sebelum kau terlibat langsung seperti sekarang ini, Raras sudah mulai berpaling dari Raden Teja Prabawa.”

“Bagaimanapun juga aku masih memikirkan tanggapan Ki Lurah Branjangan. Bahkan Rara Wulan,” desis Sabungsari.

“Rara Wulan dapat berpikir panjang dalam hal ini. Ki Lurah juga bukan orang tua yang berpikiran pendek. Mereka melihat kenyataan yang melemahkan kedudukan Raden Teja Prabawa,“ jawab Glagah Putih. “Karena itu, maka kau justru harus melangkah terus, meskipun kau harus berhati-hati.”

Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Glagah Putih adalah seorang anak muda yang umurnya lebih muda daripadanya. Tetapi rasa-rasanya Sabungsari memang harus mendengarkan pendapatnya.

Sementara itu di ruang dalam, Ki Rangga Wibawa sedang berbicara dengan Agung Sedayu dan Ki Lurah Branjangan. Sementara itu Ki Jayaraga dan Ki Ajar Gurawa justru berada di serambi samping. Mereka tahu bahwa Ki Rangga akan lebih banyak berbicara tentang anak gadisnya dengan Ki Lurah Branjangan. Kakek dari Raden Teja Prabawa.

Sebenarnyalah bahwa Ki Rangga Wibawa telah menyampaikan kegelisahannya kepada Ki Lurah Branjangan. Ternyata bahwa sikap Raras terhadap Raden Teja Prabawa benar-benar telah berubah.

Ki Lurah Branjangan tersenyum mendengarnya. Katanya, “Aku sudah mengetahuinya Ki Rangga. Nampaknya Teja Prabawa pun harus menerima kenyataan ini. Namun yang membesarkan hati, bahwa Teja Prabawa ternyata tidak kehilangan gairah hidupnya. Ia menganggap bahwa yang terjadi itu merupakan satu pengalaman pahit. Ia justru bangkit dari kemanjaannya selama ini. Ia mulai memandang kehidupan ini dengan sikap yang lebih dewasa.”

Ki Rangga Wibawa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Syukurlah. Mudah-mudahan Raden Teja Prabawa berhasil.”

“Aku yakin bahwa ia akan berhasil,” berkata Ki Lurah.

Ki Rangga mengangguk-angguk. Ketika ia berpaling kepada Agung Sedayu, maka Agung Sedayu itu pun mengangguk-angguk pula.

Sementara itu di ruang yang lain, Sekar Mirah masih juga menenangkan perasaan Raras. Seperti ayahnya, maka Raras merasa telah menyinggung perasaan Ki Lurah Branjangan. Bahwa ia berpaling dari Raden Teja Prabawa, tentu telah menyentuh perasaan Rara Wulan pula.

Tetapi ternyata bahwa Rara Wulan itu berkata, “Jangan risaukan Kangmas Teja Prabawa, Raras. Ia harus menerima kenyataan ini. Jika kau kemudian kecewa terhadapnya, bukannya tidak beralasan. Apalagi hubunganmu dengan Kangmas Teja Prabawa masih terbatas pada penjajagan akan sifat dan watak masing-masing. Bukankah Ayah dan Ibu masih belum berbicara lebih jauh dengan ayah dan ibumu?“

Raras itu mengangguk.

“Sepengetahuanku Raras, Ayah dan Ibu tidak merasa tersinggung oleh sikapmu. Sejak Kangmas Teja Prabawa mulai mengeluh atas sikapmu, maka keluarga kami mencoba untuk mengerti. Dan menurut pertimbangan kami, segala sesuatunya itu terjadi karena ada sebabnya.”

Raras menundukkan wajahnya dalam-dalam. Sambil mengusap matanya ia bertanya kepada Rara Wulan yang sudah dikenalnya dengan akrab itu, “Bagaimana penilaianmu terhadap aku Wulan?”

“Apa maksudmu?” bertanya Wulan.

“Apakah kau menganggap bahwa aku adalah seorang perempuan yang tidak setia?”

“Tidak. Tentu tidak, Raras. Jika kau mengambil keputusan untuk meninggalkan Kangmas Teja Prabawa sekarang, justru lebih baik. Kau mempunyai alasan yang sangat kuat dan wajar. Bukan sekedar dibuat-buat. Sementara itu, perasaanmu mulai ditumbuhi benih cinta yang tertabur di hatimu karena alasan yang kuat pula. Jika hal ini terjadi justru setelah kau dan Kangmas Teja Prabawa memasuki jenjang kehidupan berkeluarga, maka akibatnya akan menjadi lebih pahit.”

Raras mengusap matanya yang basah. Kemudian dengan kata-kata yang sendat ia bertanya, “Apakah Mbokayu Sekar Mirah juga berpendapat demikian?”

“Aku sependapat dengan Rara Wulan. Bukan sekedar untuk menenangkan hatimu Raras. Tetapi sebenarnya demikian,“ jawab Sekar Mirah.

Raras menundukkan wajahnya. Sementara Sekar Mirah pun kemudian berkata, “Sudahlah Raras. Jangan kau pikir terlalu dalam. Kau harus menerima kenyataan yang terjadi atas dirimu. Sementara orang lain dapat mengertinya. Sebaiknya kau beristirahat. Bukankah kau letih setelah menempuh perjalanan yang panjang?”

Raras tidak menjawab. Namun kepalanya masih saja menunduk.

Malam itu Raras dipersilahkan tidur bersama Rara Wulan. Untunglah keadaan Rara Wulan sudah berangsur baik, sehingga ia tidak lagi merasa terganggu oleh kehadiran Raras di pembaringannya. Sementara itu, Ki Rangga Wibawa dipersilahkan tidur di bilik kecil di gandok sebelah kanan.

“Kami tidak mempunyai tempat yang cukup luas,“ berkata Agung Sedayu, “kami mohon maaf bahwa tempat kami terlalu sempit. Apalagi anak-anak muda kawan-kawan Glagah Putih dan Sabungsari berada di sini. Mereka telah membantu menyelesaikan orang-orang perkemahan yang datang menyerang rumah ini.”

“Yang tersedia bagi kami sudah sangat mencukupi,“ jawab Ki Rangga Wibawa.

Agung Sedayu mengangguk kecil. Ketiga orang prajurit yang datang bersama Ki Rangga telah dipersilahkan untuk tidur di gandok pula, meskipun pembaringan dan biliknya tidak cukup luas. Sementara anak-anak Gajah Liwung ada yang tidur di banjar bersama anak-anak muda dan para pengawal yang bertugas.

Ternyata kehadiran anak-anak muda dari kelompok Gajah Liwung itu menambah ketenangan mereka yang sedang berada di banjar, karena pada umumnya kemampuan anak-anak muda itu lebih tinggi dari para pengawal dan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh.

Di hari berikutnya, cahaya pagi pun nampak cerah. Sebelum matahari terbit, rumah Agung Sedayu itu sudah terbangun. Perempuan-perempuan yang ada di rumah itu dipersilahkan untuk pergi ke pakiwan lebih dahulu. Baru kemudian yang lain-lain.

Namun beberapa orang anak muda dari kelompok Gajah Liwung lebih senang pergi bersama-sama ke sungai selagi hari masih remang-remang. Bersama dengan mereka adalah Glagah Putih dan Sabungsari.

Di sungai, Glagah Putih sempat melihat bahwa pliridan pembantu di rumahnya memang sudah menjadi baik. Bahkan nampak lebih kuat dan sedikit lebih panjang. Tanggulnya menjadi sedikit lebih tinggi, sehingga air yang menggenang di pliridan itu saat dibuka di malam hari menjadi lebih dalam.

“Anak itu memang mempunyai kelebihan tersendiri,“ berkata Glagah Putih.

“Kenapa?” bertanya Sabungsari.

“Ia masih saja memelihara pliridannya dengan baik. Sementara anak-anak yang sebayanya sudah mulai menjadi jemu. Bahkan anak-anak yang lebih muda pun ada yang tidak lagi mau turun ke sungai di malam hari.”

“Tetapi di tikungan itu masih ada juga pliridan. Tentu bukan anak itu yang membuatnya,“ berkata Sabungsari.

“Ya. Memang masih ada satu dua. Tetapi orang yang memeliharanya sudah berganti,“ jawab Glagah Putih.

Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya, “Agaknya anak itu memang anak yang tekun, yang tidak mudah menjadi jemu. Apakah hal ini kau hubungkan dengan niatnya untuk belajar berkelahi?”

“Sudah aku katakan, aku tidak mau mengajarinya berkelahi,“ jawab Glagah Putih. “Tetapi nampaknya ia masih belum dapat membedakan antara berkelahi dan membela diri.”

“Jangan kau paksa untuk mengerti dalam sesaat,“ berkata Sabungsari, “namun menurut pendapatku, jika ia berlatih kanuragan maka ia memang tidak akan menjadi jemu sebagaimana ia memelihara pliridannya. Sementara itu, kau masih akan dapat membentuk watak dan sifatnya sehingga menjadi keutuhan pribadinya.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menyahut, “Tetapi masih harus dilihat perkembangannya lebih jauh.”

Hari itu, matahari yang kemudian terbit nampak cerah di Tanah Perdikan Menoreh. Cahayanya yang kuning memantul di atas dedaunan yang basah oleh embun. Berkilat-kilat oleh angin yang menggetarkan dedaunan itu.

Wacana yang untuk beberapa lama perkembangan keadaannya sangat lambat, bahkan hampir tidak tampak, hari itu seakan-akan telah terjadi satu loncatan. Wajahnya nampak terang. Dahinya tidak lagi berkerut dalam-dalam. Tubuhnya juga tidak lagi terasa panas. Bahkan ketika Agung Sedayu melihat perkembangannya pagi itu, Wacana sudah nampak tersenyum.

Ketika kepadanya diberikan obat cair untuk diminum, Wacana tidak lagi terdengar mengeluh, seolah-olah obat itu tidak berarti lagi baginya.

“Minumlah,“ berkata Agung Sedayu. Perlahan-lahan Agung Sedayu mengangkat kepalanya dan meletakkan mangkuk obat itu di bibirnya.

Dalam beberapa teguk obat itu sudah habis ditelannya.

“Ternyata Wacana sudah dapat melepaskan sebagian beban perasaannya,“ berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.

Glagah Putih pun melihat perkembangan yang menggembirakan itu pula. Kepada Sabungsari ia berdesis, “Kau telah membantu memperingan penderitaannya, Kakang. Wacana menjadi semakin baik. Kegairahan hidupnya akan sangat membantu penyembuhannya.”

Sabungsari mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih berkata, “Bagimu Kakang, tidak ada lagi hambatan. Berlakulah wajar terhadap Raras. Jangan biarkan gadis itu menekan perasaannya. Selama hubungan masih belum terbuka, maka Raras tentu masih merasakan beban yang sangat berat.”

Sabungsari tidak segera menjawab. Tetapi di luar sadarnya ia masih saja mengangguk-angguk.

“Dengan demikian,“ berkata Glagah Putih kemudian, ”kita dapat mengambil kesimpulan, bahwa Wacana telah benar-benar mengiklhaskan Raras. Jika ia sekedar berpura-pura, maka sakitnya tentu akan menjadi semakin parah.”

“Aku mengerti,” desis Sabungsari, “tetapi bagaimana aku harus melakukannya?”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia memang tidak dapat memberikan pendapatnya. Namun kemudian katanya, “Segala sesuatunya akan berlangsung. Berlakulah wajar.”

Sabungsari masih saja termangu-mangu. Ia mengerti maksud Glagah Putih. Tetapi hampir di luar sadarnya ia berdesis, “Tetapi bagaimana berlaku wajar itu?”

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Tetapi ialah yang kemudian termangu-mangu. Ternyata memang sulit untuk menunjukkan, bagaimana berlaku wajar itu dalam keadaan sebagaimana Sabungsari saat itu.

Tetapi yang tidak disangka-sangka itu pun terjadi. Sekar Mirah yang kemudian mendekati keduanya berkata, “Aku tawarkan kepada Raras untuk melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan ini. Tentu lebih sepi dibandingkan dengan Mataram. Tetapi mungkin ada juga yang menarik. Mungkin Raras dapat melihat-lihat pasar.”

“Maksud Mbokayu?” bertanya Glagah Putih.

“Glagah Putih,“ berkata Sekar Mirah kemudian, “aku minta kau berdua dengan Sabungsari bersedia mengantar Raras.”

Glagah Putih menarik nafas panjang. Sambil berpaling kepada Sabungsari ia berkata, “Tentu kita tidak dapat menolaknya.”

“Kau saja-lah yang mengantar,“ berkata Sabungsari, “aku akan berbicara dengan anak-anak.”

“Apa yang akan kau bicarakan? Tentang pertempuran yang telah terjadi, atau tentang orang-orang di tepian Kali Praga, atau tentang apa?” bertanya Glagah Putih.

Sabungsari memang tidak dapat segera menjawab, sehingga karena itu maka Glagah Putih pun berkata, “Baiklah. Kami berdua akan mangantar Raras. Aku yakin, Raras tentu juga tidak mau jika hanya diantar oleh Sabungsari saja.”

Sekar Mirah tertawa tertahan. Katanya, “Baiklah. Aku akan mengatakannya kepada Raras.”

Sebenarnyalah bahwa sejenak kemudian Sekar Mirah telah datang kembali bersama Raras. Namun ternyata Raras minta Sekar Mirah ikut bersamanya pergi ke pasar.

“Aku masih harus mengobati luka Rara Wulan,“ jawab Sekar Mirah.

“Bukankah Wulan telah menjadi baik?” sahut Raras.

“Tetapi ia belum dapat mengobati lukanya sendiri,“ jawab Sekar Mirah.

Sementara itu Glagah Putih pun berkata, “Mbokayu Sekar Mirah tentu mempunyai kesibukan di rumah. Marilah, biarlah aku dan Kakang Sabungsari mengantarmu ke pasar. Mungkin kau akan melihat sesuatu yang baru di sini. Pasar di Tanah Perdikan ini memang berbeda dengan pasar di Kotaraja.”

Raras menjadi bimbang. Namun sekali lagi Sekar Mirah berkata, ”Pergilah. Bukankah Ki Rangga Wibawa telah mengijinkan?”

“Tetapi sepengertian Ayah, Mbokayu Sekar Mirah juga akan pergi ke pasar.”

“Tidak. Ki Rangga sudah tahu bahwa kau akan pergi bersama Glagah Putih dan Sabungsari.”

Raras tidak dapat menolak lagi. Ia tidak mau menyinggung perasaan Glagah Putih, dan apalagi Sabungsari, yang belum begitu dikenalnya.

Dengan demikian, maka mereka bertiga telah pergi ke pasar. Agar Raras tidak terlalu kaku, maka Glagah Putih telah mengajak Mandira yang sedang berdiri di pintu regol halaman.

Beberapa saat kemudian, berempat mereka menempuh jalan yang membelah padukuhan induk itu menuju ke pasar. Di sepanjang jalan Raras melihat bahwa padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh merupakan padukuhan yang cukup besar dan ramai. Rumah-rumah yang berdiri di sebelah menyebelah jalan nampak bersih dan terawat. Meskipun tidak berkesan sebagai rumah-rumah orang yang kaya raya, namun setidak-tidaknya tataran kehidupan orang-orang Tanah Perdikan, terutama di padukuhan induk itu, cukup baik.

Di sepanjang jalan, Raras memang tidak banyak berbicara. Glagah Putih-lah yang sekali-sekali memancing pembicaraan Raras dan Sabungsari. Sementara Mandira sekali-sekali juga ikut memancing pembicaraan.

Sepatah dua patah Sabungsari memang sudah mulai berbicara dengan Raras, meskipun masih sangat terbatas. Namun nampaknya mereka bukan lagi sebagai seorang asing yang hanya saling memandang saja.

Ketika mereka sampai ke pasar, maka Glagah Putih telah mempersilahkan Raras untuk melihat-lihat, dan barangkali ingin membeli sesuatu yang tidak banyak dijual di Mataram.

Raras memang bertanya ketika ia melihat sebuah roda yang besar yang terbuat dari tanah liat, namun yang di sisir halus dengan welat melingkar. Sisiran tanah liat itu telah digoreng tanpa minyak sehingga menjadi merah kecoklat-coklatan.

“Itu namanya ampo, Raras,“ jawab Glagah Pulih.

“Untuk apa?” bertanya Raras.

“Dimakan sedikit-sedikit, seolah-olah tidak terasa,“ jawab Glagah Putih.

Raras mengerutkan dahinya. Tetapi ia tidak bertanya lagi.

Beberapa lama Raras melihat-lihat keadaan pasar di Tanah Perdikan. Memang berbeda dengan pasar yang sering dilihatnya di Mataram. Di pasar di Tanah Perdikan itu ada juga beberapa orang pande besi yang membuka tempat kerjanya di pinggir pasar, sebagaimana di Mataram. Tetapi dalam takaran yang lebih kecil. Sedangkan beberapa jenis makanan yang banyak terdapat di pasar itu hampir tidak dijumpainya di Mataram.

Dalam pada itu, selagi Raras sibuk melihat-lihat, tiba-tiba saja Glagah Putih berkata, “Raras, maaf aku akan menemui seseorang sebentar di luar pasar ini. Hanya sebentar. Nanti aku segera menemanimu kembali. Mandra akan pergi bersamaku. Biarlah Sabungsari mengawanimu.”

“Glagah Putih,“ panggil Sabungsari yang menjadi berdebar-debar, “nanti kita akan bersama-sama menemui seseorang itu.”

“Jangan. Nanti Raras tergesa-gesa. Mungkin masih banyak yang ingin dilihatnya.”

Tetapi Raras menyahut, “Tidak. Aku tidak ingin melihat apa-apa lagi. Aku sudah selesai.”

“Ah, jangan begitu,“ berkata Mandira, “mungkin kau ingin membeli sesuatu yang belum pernah kau lihat sebelumnya. Mungkin di Mataram jarang sekali ditemui growol atau ampo, atau yang lain. Seharusnya Kakang Sabungsari tidak perlu membuat Raras tergesa-gesa.”

Sabungsari merasa serba salah. Sementara itu Glagah Putih dan Mandira telah bergerak, menyusup di antara orang-orang yang seakan-akan menjadi semakin banyak.

Sejenak Sabungsari dan Raras berdiri termangu-mangu. Namun kemudian Sabungsari mencoba mengatasi kebekuan itu, “Hari ini hari pasaran, sehingga pasar ini menjadi lebih ramai dari hari-hari yang lain.”

Raras mengangguk kecil. Rasa-rasanya memang masih segan untuk berdua saja, meskipun di tengah-tengah keramaian orang yang hilir mudik, bahkan berdesak-desakan.

Raras memang teringat pada Raden Teja Prabawa. Raden Teja Prabawa tentu tidak akan segan membimbingnya, menyusup di antara orang-orang yang berdesakan itu.

Namun Raras sadar, bahwa hidup yang akan mereka jalani tidak selalu berada di tempat ramai dan hiruk-pikuk. Iapun teringat pula apa yang terjadi di pinggir susukan Kali Opak. Bagaimana laki-laki itu telah mendekapnya, mendorongnya dan bahkan membantingnya, namun justru untuk menyelamatkannya. Satu tindakan yang tidak dapat dilakukan oleh Raden Teja Prabawa.

Karena Raras masih saja termangu-mangu, maka Sabungsari pun kemudian bertanya, “Bukankah kau masih ingin melihat-lihat?”

Raras mengangguk kecil. Katanya, “Ya. Aku masih ingin melihat-lihat.”

Keduanya pun kemudian melangkah pula di antara orang-orang yang berdesakan itu. Menyusup di antara mereka untuk melihat-lihat. Tanpa disadari, Raras telah pergi ke tempat orang-orang berjualan sayuran. Kemudian makanan, dan bahkan berjualan kain lurik.

Tetapi Raras ternyata tidak ingin membelinya. Sabungsari yang mengikutinya memang bertanya, “Apakah kau akan membeli kain lurik buatan Tanah Perdikan Menoreh?”

Raras menggeleng. Katanya, “Aku kurang tertarik warnanya, yang rata-rata nampak buram.”

“Warna yang disukai di sini,” jawab Sabungsari.

Raras tidak menyahut. Namun Sabungsari dapat mengerti, bahwa di Mataram tentu terdapat kain yang lebih semarak.

Yang kemudian justru menarik bagi Raras adalah berjenis makanan yang sulit didapatkannya di Mataram.

Demikianlah, keduanya pun mendapat banyak kesempatan untuk melihat-lihat isi pasar itu. Bahkan ketika mereka menjadi lelah, Glagah Putih dan Mandira masih belum menyusul mereka.

Raras memang mulai nampak gelisah. Bahkan iapun kemudian bertanya, “Apakah kita harus menunggu Glagah Putih dan Mandira di sini?”

Tetapi Sabungsari menjawab, “Tidak usah Raras. Jika kau sudah merasa cukup, biarlah kita keluar dari pasar. Kita dapat menunggu di pintu gerbang.”

Dengan demikian maka keduanya pun telah melangkah menuju ke pintu gerbang pasar. Mereka sudah merasa cukup lama berdesak-desakan, sehingga keringat mereka sudah membasahi tubuh dan pakaian mereka.

Demikian mereka keluar, maka mereka melihat Glagah Putih dan Mandira berdiri di seberang jalan, di bawah sebatang pohon waru. Di sebelahnya terdapat penjual daun pisang yang tidak mendapat tempat di dalam pasar. Bahkan masih banyak orang-orang yang berjualan berjajar di pinggir jalan, karena pasar telah menjadi penuh di hari pasaran.

“Kami menunggu,” desis Raras demikian mereka keluar dari pintu gerbang.

“Aku justru menjadi cemas bahwa kita akan dapat berselisih jalan,“ jawab Glagah Putih.

“Kami baru saja selesai berbicara dengan seseorang yang kami cari,“ sambung Mandira.

“Bohong,” desis Raras.

Mandira dan Glagah Putih tertawa. Sementara Sabungsari bertanya, “Dimana orang yang kalian cari itu?”

“Baru saja ia melangkah pergi,” Mandira memang berpura-pura melihat orang-orang yang menyusuri jalan yang menjadi sempit.

Tetapi sekali lagi Raras berdesis, “Bohong. Bohong.”

Mandira tertawa. Katanya, “Bagaimana aku harus membuktikannya. Tetapi ia benar-benar belum beranjak lebih dari seratus langkah dari tempat ini.”

Raras justru mencibir. Tetapi Mandira dan Glagah Putih tidak dapat menahan tertawanya. Sementara itu Sabungsari menggeram, “Awas kau Glagah Putih. Nanti aku laporkan kepada Agung Sedayu.”

Glagah Putih dan Mandira masih tertawa. Sedangkan Raras pun telah melangkah meninggalkan pintu gerbang pasar itu. Sabungsari masih termangu-mangu sejenak. Namun Glagah Putih memberi isyarat agar Sabungsari berjalan mengikutinya.

“Apakah kau tidak akan pulang?” bertanya Sabungsari.

“Ya. Aku akan pulang juga sekarang.”

Tetapi Glagah Putih dan Mandira berjalan di belakang ketika kemudian Sabungsari mengikuti Raras.

Sejak saat itu, maka hubungan antara Sabungsari dan Raras menjadi semakin dekat. Mereka tidak lagi saling berdiam diri atau bahkan saling menjauhi secara kewadagan. Sementara hati mereka sudah saling bertaut.

Ki Rangga Wibawa memang harus melihat kenyataan itu. Ia pernah menyaksikan anaknya berhubungan akrab dengan Raden Teja Prabawa. Namun kemudian ia harus melihat anaknya mulai berhubungan dengan Sabungsari.

Tetapi Ki Rangga Wibawa tidak dapat berbuat banyak. Ia tidak akan sampai hati memperlakukan anak gadisnya sebagaimana kebanyakan orang. Anak gadis yang sudah seusia Raras, tentu sudah mulai dipingit. Anak-anak perempuan, tidak pantas untuk memilih jodohnya sendiri. Apalagi berganti-ganti, apapun alasannya.

Namun yang terjadi kemudian, memang lain dari kebiasaan itu.

Sementara itu, keadaan Wacana benar-benar telah berubah. Wajahnya tidak lagi nampak pucat dan kosong. Meskipun masih agak pucat, tetapi matanya mulai bercahaya. Seolah-olah harapan yang telah dilepaskannya, mulai digenggamnya kembali.

Keadaannya itu sangat membantu pengobatan yang dilakukan oleh Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan tabib terbaik di Tanah Perdikan itu. Wacana tidak lagi merasa segan untuk minum obat cair yang diberikan kepadanya. Juga tidak mengeluh jika tubuhnya diolesi dengan jenis param yang dapat menghangatkan dan menguatkan tubuhnya.

Dengan demikian, maka perkembangan keadaannya pun menjadi lebih baik.

Agung Sedayu yang menanganinya bersama Ki Jayaraga sempat berdesis, “Keadaan Wacana yang mencemaskan ternyata memberikan akibat baik bagi Sabungsari dan Raras. Kedatangan Raras ke Tanah Perdikan, justru karena keadaan Wacana, telah memungkinkan hubungannya dengan Sabungsari menjadi terbuka.”

Ki Jayaraga mengangguk-angguk kecil. Dengan nada dalam ia berkata, “Menurut pendapatku, keluarga Raden Teja Prabawa, termasuk Rara Wulan dan Ki Lurah Branjangan, tidak menaruh keberatan atas sikap Raras yang berpaling dari anak muda itu.”

“Ya,“ Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Bagaimanapun juga aku masih melihat kekecewaan di sorot mata Ki Lurah. Mungkin karena Raras yang meninggalkan Teja Prabawa ternyata tidak dapat ditanggapinya dengan mapan antara perasaannya dan penalarannya. Berbeda dengan Rara Wulan yang juga seorang gadis. Ia dapat mengerti sepenuhnya gejolak perasaan Raras dalam hubungannya dengan Raden Teja Prabawa, karena sebagai adik kandungnya, Rara Wulan tentu mengetahui benar-benar sifat dan watak kakaknya itu.”

Ki Jayaraga tidak menjawab lagi. Iapun kemudian telah meninggalkan Agung Sedayu dan pergi ke serambi belakang. Ki Lurah Branjangan, Ki Rangga Wibawa dan Ki Ajar Gurawa duduk di serambi yang terbuka. Angin yang sejuk bertiup menyusup dedaunan menyentuh wajah mereka yang sedang duduk-duduk di serambi.

Di Tanah Perdikan Menoreh, Ki Rangga Wibawa bermalam tiga malam. Di hari berikutnya, Ki Rangga berniat untuk kembali ke Mataram.

“Apakah Kakang Wacana sudah dapat ditinggal, Ayah?” bertanya Raras.

“Bukankah sebagaimana kau lihat, keadaannya sudah berangsur baik?”

“Tetapi ia masih memerlukan perawatan. Siapakah yang akan membantunya makan dan minum? Selama ini aku-lah yang menyuapinya,” desis Raras.

“Kita percayakan saja kakakmu kepada Ki Lurah Agung Sedayu. Jika tidak Ki Lurah sendiri, maka di sini ada banyak orang yang dapat membantunya.”

“Rasa-rasanya aku tidak sampai hati meninggalkannya, Ayah,“ berkata Raras dengan suara yang hampir tidak terdengar.

Ayahnya menarik nafas dalam-dalam. Namun ayahnya justru berpikir lain. Selain Raras memang merawat Wacana, tetapi justru di rumah itu ada Sabungsari.

Tetapi hati Ki Rangga tidak selonggar orang tua Rara Wulan yang bersedia melepaskan anak gadisnya untuk tinggal di Tanah Perdikan Menoreh. Namun agaknya hal itu karena di Tanah Perdikan itu ada Ki Lurah Branjangan, kakek Rara Wulan yang akan dapat ikut mengawasi gadis itu.

Meskipun demikian Ki Rangga itu bertanya, “Raras, apakah kau akan tinggal di sini, sementara Ayah pulang?”

“Tidak Ayah. Maksudku tidak demikian,“ jawab Raras dengan serta-merta.

Ki Rangga mengerutkan dahinya. Dengan nada datar iapun bertanya, “Jadi, maksudmu?”

“Apakah Ayah tidak dapat menunggu barang satu dua hari lagi, sampai keadaan Kakang Wacana menjadi semakin baik?”

“Raras,“ jawab Ki Rangga, “aku tidak dapat meninggalkan tugasku terlalu lama. Sementara itu, menurut mereka yang mengikuti perkembangan keadaan Wacana, termasuk Ki Lurah Agung Sedayu, sudah menjadi semakin baik. Meskipun tidak terlalu cepat, namun tanda-tandanya sudah menunjukkan bahwa luka dalamnya berangsur sembuh. Mudah-mudahan perhitungan Ki Lurah itu tepat. Di Mataram kita memang harus selalu berdoa untuk kesembuhannya.”

Raras menarik nafas dalam-dalam. Ia memang dapat mengerti bahwa ayahnya harus segera kembali ke dalam tugasnya. Karena itu, betapapun ia ingin tetap tinggal di Tanah Perdikan, namun ia tidak dapat menahan ayahnya untuk meninggalkan tugasnya lebih lama lagi.

Sementara itu, ayahnya itu pun berkata pula, “Akupun tidak dapat menahan para prajurit itu terlalu lama di sini, Raras.”

Raras mengangguk kecil.

“Pada kesempatan lain, kita akan melihat Wacana itu lagi,“ berkata Ki Rangga kemudian.

Dengan demikian, maka Ki Rangga tidak dapat menunda lagi. Meskipun Agung Sedayu, Ki Jayaraga, Ki Ajar Gurawa, dan bahkan Sekar Mirah dan Lurah Branjangan, juga menahannya untuk satu dua hari lagi, namun Ki Rangga terpaksa minta diri untuk kembali ke Mataram.

Dalam satu kesempatan, maka Sabungsari itu pun berkata kepada Ki Rangga, “Ki Rangga. Mungkin Ki Rangga menganggap aku tidak tahu diri dan tidak tahu unggah-ungguh. Tetapi pada satu saat aku akan menghadap Ki Rangga sebagaimana seharusnya. Meskipun orang tuaku tidak lagi sanggup datang bertemu dengan Ki Rangga karena mereka memang sudah tidak ada, maka biarlah Agung Sedayu atau Ki Tumenggung Untara akan aku mohon untuk mewakili kedua orang tuaku, karena sebenarnyalah bahwa selama ini mereka rasa-rasanya sudah menganggap aku sebagai keluarga mereka di sini.”

Ki Rangga mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah Ngger. Aku memang tidak akan dapat berenang menentang arus. Apalagi Raras adalah anak perempuan satu-satunya.”

Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Ketika hal itu dapat diutarakannya kepada Ki Rangga, maka rasa-rasanya persoalan yang menyumbat dadanya telah terbuka. Beban yang ditanggungnya seolah-olah telah dapat diletakkannya.

Demikianlah, maka seisi rumah Agung Sedayu itu pun harus melepaskan Ki Rangga Wibawa untuk meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh kembali ke Mataram, setelah beberapa lama mereka menunggui Wacana yang terluka di bagian dalam tubuhnya.

Ketika Raras minta diri kepada Wacana, maka titik-titik air matanya memang nampak mengembun di pelupuknya. Tetapi dengan tersenyum Wacana berkata, “Aku sudah menjadi semakin baik, Raras. Mudah-mudahan hari-harimu akan menjadi cerah.”

Raras menunduk sambil berdesis, “Aku mohon kau berdoa untuk masa depanku Kakang. Aku juga akan selalu berdoa bagimu. Bagi kesembuhanmu dan bagi hari-harimu mendatang.”

Ketika kemudian Raras menyentuh tangan Wacana, maka getar yang halus masih saja merambat sampai ke jantung. Namun Wacana kemudian berkata, “Aku harap kau akan dapat datang pada kesempatan lain.”

“Tetapi bukankah kau akan segera sembuh dan segera kembali ke Mataram?”

“Ya. Aku akan segera sembuh dan segera kembali ke Mataram. Semoga yang Maha Agung mengabulkan keinginan itu,” desis Wacana perlahan-lahan.

Raras hanya dapat mengangguk-angguk kecil. Namun Raras dan Ki Rangga pun segera telah minta diri untuk kembali ke Mataram.

Ternyata Sabungsari dan Glagah Putih tidak melepaskan mereka begitu saja. Keduanya telah minta ijin kepada Agung Sedayu untuk mengantar Ki Rangga Wibawa, Raras dan beberapa orang prajurit yang menyertainya, sampai ke tepian Kali Praga.

Keduanya masih saja teringat, beberapa orang telah mencegatnya di tepian di penyeberangan sebelah utara itu, meskipun sebenarnya Sabungsari juga mempunyai kepentingan yang lain.

Dalam perjalanan itu, meskipun Sabungsari dan Glagah Putih membawa kuda masing-masing, namun kuda itu hanya mereka tuntun saja di saat mereka berangkat.

Perjalanan itu ternyata terlalu cepat bagi Sabungsari dan Raras. Rasa-rasanya sebelum mereka sempat berbicara panjang, mereka telah sampai di tepian Kali Praga.

Ternyata tidak ada gangguan apapun di sepanjang perjalanan sampai ke tepian itu. Bahkan rakit pun telah hilir mudik sebagaimana biasanya.

Demikianlah, maka Ki Rangga Wibawa, Raras dan ketiga orang prajurit yang menyertainya segera naik ke atas rakit yang berada di tepian di sisi barat, untuk membawa mereka ke seberang.

Ketika rakit itu mulai bergerak, maka mereka yang ada di atas rakit itu pun telah melambaikan tangan mereka sebagaimana Sabungsari dan Glagah Putih.

Semakin lama maka rakit itu pun menjadi semakin ke tengah, mengarungi arus Kali Praga yang berwarna kecoklatan itu.

Untuk beberapa saat Sabungsari dan Glagah Putih masih berdiri tegak di tepian. Namun kemudian Glagah Putih berkata, “Mereka sudah mencapai seberang.”

Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian beringsut dari tempatnya.

Sejenak kemudian, maka kedua orang itu telah melarikan kuda mereka kembali ke padukuhan induk Tanah Perdikan. Namun di sepanjang perjalanan, Sabungsari memang lebih banyak merenung, sedangkan Glagah Putih yang mengerti perasaan Sabungsari tidak banyak mengganggunya.

Ketika mereka sampai di rumah, mereka pun telah memberitahukan kepada Agung Sedayu, bahwa Ki Rangga Wibawa, Raras dan para prajurit telah menyeberang Kali Praga.

Dalam pada itu, sebagaimana Sabungsari, Raras pun lebih banyak berdiam diri. Ia masih saja mengenang Wacana yang masih belum banyak berubah. Namun Raras juga selalu dibayangi oleh angan-angannya tentang Sabungsari. Dalam beberapa hari selama ia berada di Tanah Perdikan, Raras serba sedikit dapat mengenal watak dan sifat Sabungsari. Bagi Raras, Sabungsari ternyata bukan seorang yang kasar sebagaimana ia di medan pertempuran. Tetapi Sabungsari memiliki sifat kebapakan. Bagi Raras yang sedang dililit perasaannya itu, Sabungsari adalah seorang yang dapat melindunginya.

Di mata Raras, Sabungsari memang jauh berbeda dengan Raden Teja Prabawa yang manja dan perajuk. Kepada Raras pun kadang-kadang Teja Prabawa sempat bermanja-manja. Raras-lah yang harus berlaku keibuan di hadapan Raden Teja Prabawa. Bahkan Raras kadang-kadang harus memperlakukan Raden Teja Prabawa seperti memperlakukan anak-anak.

Sementara itu, Ki Rangga Wibawa pun mau tidak mau harus memikirkan sikap Raras. Bagaimanapun juga Raras pernah berhubungan dengan Raden Teja Prabawa sepengetahuan kedua orang tua anak muda itu. Namun untunglah pembicaraan tentang Raden Teja Prabawa dan Raras itu belum jauh.

Di rumah, Nyi Rangga menunggu suami dan anak gadisnya dengan gelisah. Tetapi setiap kali, seorang laki-laki yang sudah lewat separuh baya, pembantu di rumah itu, berusaha menenangkannya.

“Ki Rangga tidak berjalan sendiri. Tetapi ia dikawani oleh tiga orang prajurit pilihan.”

Nyi Rangga mengangguk-angguk. Ia juga tahu bahwa Ki Rangga pergi bersama tiga orang prajurit. Namun setiap kali jantungnya masih saja merasa berdesir.

Karena itu, ketika kemudian Ki Rangga Wibawa dan Raras pulang, maka jantungnya serasa disiram air embun yang dingin.

Dengan tergesa-gesa ia menyongsongnya. Digandengnya Raras naik pendapa dan memasuki pintu pringgitan. Demikian Raras duduk di ruang dalam, maka Nyi Rangga pun telah menghujaninya dengan pertanyaan-pertanyaan. Tidak saja keselamatannya di perjalanan, tetapi juga tentang keadaan Wacana yang sedang sakit itu.

Raras memang mencoba menjawab semua pertanyaan ibunya. Namun Raras sama sekali tidak menyinggung hubungannya dengan Sabungsari.

Namun ketika kemudian Raras pergi ke pakiwan untuk mandi, Ki Rangga Wibawa-lah yang telah menceriterakan persoalan hubungan Raras dengan Sabungsari.

Nyi Rangga hanya dapat manarik nafas dan mengelus dada. Tetapi kemudian katanya, “Barangkali hal itu akan menjadi lebih baik Kakang.”

Ki Rangga mengangguk kecil. Katanya, “Mudah-mudahan.”

“Jika hati Raras memang sudah terpaut dengan anak muda itu, apa yang akan dapat kita lakukan? Sejak semula kita sudah tidak berniat untuk memperlakukan gadis kita itu seperti kawan-kawannya, meskipun tidak selonggar Rara Wulan. Tetapi kita sepakat untuk tidak mengurungnya dalam pingitan.”

“Aku merasa cemas bahwa hal itu akan dapat terjadi lagi atas Raras,” desis Ki Rangga.

“Maksud Ki Rangga, bahwa Raras akan meninggalkan Sabungsari dan hinggap pada seorang laki-laki yang lain?” bertanya Nyi Rangga dengan nada tinggi.

“Aku hanya mencemaskannya Nyi.”

“Jika Raras meninggalkan Raden Teja Prabawa, itu karena ia mempunyai alasan yang mapan. Raras memang pernah menyinggungnya, dan bahkan pernah menghindari kedatangan Raden Teja Prabawa. Bukankah kita sudah mengetahuinya sebelumnya?”

“Benar Nyi. Tetapi aku belum pernah berpikir dengan sungguh-sungguh sebagaimana ketika aku melihat sikap Raras terhadap Sabungsari dan sebaliknya. Juga ketika Wacana menyatakan sikap perasaan Sabungsari dan Raras, yang seakan-akan masih saling disimpan di dalam hati masing-masing.”

“Kita tidak usah mencemaskan sikap Raras itu. Ia tentu tidak akan berbuat demikian jika Raden Teja Prabawa bersikap sebagaimana seorang laki-laki yang melindungi perempuan.”

“Nyi,” desis Ki Rangga, ”sepanjang perjalanan aku tidak dapat menghindar dari persoalan Raras. Seakan-akan aku mendapat banyak kesempatan untuk menilainya. Menurut pendapatku, bukankah Raras sudah lama mengenal Raden Teja Prabawa? Di saat-saat ia melangkah memasuki hubungan yang khusus dengan Raden Teja Prabawa, bukankah Raras juga sudah berpikir dan membuat penilaian? Raras adalah kawan baik Rara Wulan, sehingga kesempatannya untuk menilai Raden Teja Prabawa cukup panjang.”

“Tetapi ketika terjadi peristiwa yang gawat, barulah kenyataan Raden Taja Prabawa terungkap seluruhnya.”

“Bagaimana jika ada sesuatu cacat pada Sabungsari, yang kemudian diketahui dan tidak disenangi oleh Raras?”

Nyi Rangga menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Kita jangan berpikir terlalu jauh. Kita tidak dapat menuduh bahwa Raras adalah seorang perempuan yang tidak setia. Meskipun demikian, aku tidak berkeberatan jika kita memberinya bekal pengertian tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi dalam satu keluarga. Jika keluarga itu sudah terbentuk, maka kedua belah pihak harus bersedia menerima sisihannya secara utuh. Raras tentu tidak boleh menerima Sabungsari hanya dari sisi yang baik-baik saja. Sabungsari harus bersedia menerima Raras dengan senyumnya, tetapi juga dengan tangisnya. Sebaliknya Raras pun harus menerima Sabungsari seutuhnya pula. Namun itu bukan alasan bahwa kedua belah pihak tidak berusaha untuk saling mendekatkan diri, menguasai nalar dan budinya dalam usaha mereka untuk menegakkan rumah tangga mereka. Apalagi jika mereka sudah mempunyai anak kelak.”

Ki Rangga mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, ”Aku harap kau dapat menyampaikannya. Tentu tidak harus hari ini. Tetapi semakin cepat semakin baik. Hubungannya dengan Sabungsari nampaknya akan berlanjut, meskipun Sabungsari ada di Tanah Perdikan Menoreh. Karena bagi Sabungsari, jarak antara Tanah Perdikan Menoreh dan Mataram tentu tidak terlalu jauh. Berkuda mereka akan dapat melintasi jarak itu dengan cepat. Bahkan pagi-pagi Sabungsari masih makan pagi di Tanah Perdikan Menoreh, maka setelah mengunjungi Mataram ia masih belum terlambat untuk makan siang di Tanah Perdikan Menoreh pula.”

“Baiklah Kakang,“ jawab Nyi Rangga, “tetapi sudah tentu tugas untuk membimbing Raras jangan diserahkan hanya kepadaku saja. Tetapi beban itu sebagian ada pula di pundak Ki Rangga.”

“Aku mengerti Nyi. Tetapi hal-hal yang paling peka menurut sifat kegadisannya, maka sebaiknya kau saja-lah yang menanganinya, sehingga tentu akan lebih berarti bagi Raras, serta hatinya pun tentu akan lebih terbuka.”

Nyi Rangga mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya. Mudah-mudahan segala sesuatunya akan berjalan dengan baik bagi semua pihak.”

Keduanya pun terdiam ketika melihat Raras yang sudah mandi lewat, langsung ke biliknya. Namun kemudian Ki Rangga berdiri sambil berkata, “Kita akan membicarakannya di kesempatan lain. Aku akan pergi ke gandok. Para prajurit itu aku minta beristirahat di gandok, sebelum nanti malam mereka akan kembali ke barak mereka. Aku akan melihat mereka sejenak.”

Ki Rangga pun kemudian telah pergi ke gandok. Para prajurit duduk di serambi gandok menghadapi hidangan yang disuguhkan kepada mereka. Minuman hangat dan beberapa potong makanan. Sementara itu, di dapur telah dipersiapkan pula makan untuk para prajurit yang lelah setelah menempuh perjalanan yang terhitung panjang, apalagi ditempuh hanya dengan berjalan kaki.

Sementara itu di Tanah Perdikan Menoreh, Wacana telah minta pula kepada Sabungsari, bahwa hubungannya dengan Raras agar dilanjutkan.

“Aku akan merasa lebih berbahagia jika Raras kelak benar-benar dapat menjadi istrimu, daripada harus menjadi istri Raden Teja Prabawa. Aku mengenalmu dan mengenal Raden Teja Prabawa dengan baik,“ berkata Wacana sendat.

Sabungsari mengangguk kecil. Tetapi ia tidak menjawab.

Namun kesediaan Sabungsari itu telah membuat hati Wacana menjadi semakin terang. Dengan demikian, maka keadaannya pun telah terpengaruh oleh karenanya.

Dalam pada itu, karena keadaan Agung Sedayu telah menjadi semakin baik, maka iapun sudah memutuskan untuk pergi ke barak pasukannya di keesokan harinya. Ki Lurah Branjangan justru telah mendahuluinya, dan sebagaimana sebelumnya ia memilih tinggal di dalam barak itu bersama-sama dengan para prajurit dari Pasukan Khusus. Sebagai perintis pembentukan Pasukan Khusus di Tanah Perdikan, maka barak itu bagi Ki Lurah telah menjadi rumahnya sendiri.

Selain Agung Sedayu, maka orang-orang yang terluka di rumah Agung Sedayu itu pun sudah menjadi berangsur baik pula. Demikian pula para pengawal Tanah Perdikan. Meskipun masih ada satu dua orang yang masih harus berbaring di pembaringan sebagaimana Wacana, tetapi pada umumnya mereka telah dapat mulai melatih diri untuk melakukan kerja sehari-hari.

Ketika kehidupan Tanah Perdikan itu mulai pulih kembali, maka berita yang datang dari Mataram justru menggelisahkan. Hubungan antara Mataram dan Pati terasa menjadi semakin jauh. Orang-orang Mataram menjadi kehilangan harapan untuk dapat melihat hubungan antara Panembahan Senapati dengan Adipati Pati menjadi pulih kembali.

Kerukunan yang tercermin pada hubungan antara Ki Ageng Pemanahan dan Ki Panjawi tinggal menjadi dongeng saja, karena anak-anak mereka telah menjadi saling menjauhi.

Ketika Agung Sedayu telah mulai memimpin pasukannya kembali, maka perintah yang pertama-tama diterimanya adalah mensiagakan pasukannya sebaik-baiknya.

“Pendekatan yang dilakukan oleh Panembahan Senapati masih belum berhasil,“ berkata salah seorang utusan dari Mataram yang diterima oleh Agung Sedayu dan Ki Lurah Branjangan.

“Seberapa dalam luka hati Kanjeng Adipati Pati, sehingga kerukunan dan kehidupan yang cerah di masa lalu itu harus dilupakan sama sekali?” desis Agung Sedayu.

“Mungkin karena landasan berpikir kita terlalu sederhana,“ berkata Ki Lurah Branjangan.

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, “Kenapa terlalu sederhana?”

“Yang kita ketahui hanyalah bahwa Kanjeng Adipati Pati telah meninggalkan Madiun saat pasukan Mataram, termasuk pasukan Adipati Pati, merebut Madiun. Kanjeng Adipati begitu saja pergi dan untuk seterusnya hubungannya dengan Mataram menjadi retak. Tetapi kita tidak mengetahui apakah sejak sebelumnya Kanjeng Adipati telah membawa persoalan di dalam hatinya, sehingga apa yang terjadi di Madiun itu sekedar percikan api yang menyulut minyak yang sudah tertumpah sejak sebelumnya.”

Agung Sedayu mengangguk-anguk. Katanya, “Benar Ki Lurah. Mungkin yang kita lihat hanya permukaannya saja. Seharusnya kita juga melihat ke kedalaman, kenapa Kanjeng Adipati Pati menjadi patah arang.”

“Banyak persoalan yang membuatnya semakin jauh dari Mataram,” desis Ki Lurah kemudian.

“Ya. Kita memang harus melihat dari banyak segi. Kekuasaan Mataram yang berkembang akan mempengaruhi arus perdagangan. Sementara itu dari sisi yang lain, Kanjeng Adipati Pati merasa bahwa kedudukannya tidak lebih rendah dari kedudukan Panembahan Senapati di Mataram, dilihat dari segi kehadiran Pati dan Mataram. Bahkan Pati telah lebih dahulu tumbuh dan berkembang,“ berkata Agung Sedayu.

“Tetapi ada satu kelebihan Panembahan Senapati di masa mudanya,“ berkata Ki Lurah.

“Maksud Ki Lurah?” bertanya Agung Sedayu.

“Panembahan telah diangkat anak oleh Kanjeng Sultan Pajang.”

“Tetapi di samping Raden Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar itu, sebenarnya masih ada putra Kanjeng Sultan,” sahut Agung Sedayu.

“Bukankah Pangeran Benawa menolak untuk menggantikan kedudukan ayahandanya?”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Bagaimanapun juga, yang kemudian memerintah Mataram adalah Panembahan Senapati, yang pengaruhnya semakin lama semakin luas.

Demikianlah, maka Agung Sedayu pun berusaha untuk menjalankan perintah itu sebaik-baiknya. Iapun telah memerintahkan para prajurit dari Pasukan Khusus di Tanah Perdikan itu mempersiapkan diri. Mereka harus melakukan latihan-latihan untuk meningkatkan kemampuan dan ketahanan tubuh mereka, lebih banyak dari sebelumnya.

Sementara itu di rumah Agung Sedayu, anak-anak muda dalam kelompok Gajah Liwung sudah merasa cukup lama berada di Tanah Perdikan. Rumeksa pun telah menjadi pulih kembali. Demikian pula murid Ki Ajar Gurawa. Karena itu, maka mereka menganggap bahwa tugas mereka di Tanah Perdikan memang sudah selesai.

Karena itulah, maka Ki Ajar Gurawa telah berbicara dengan Sabungsari, apakah yang sebaiknya mereka lakukan.

“Kita sudah dapat kembali ke Mataram,“ berkata Ki Ajar Gurawa. “Bukankah menurut keterangan Ki Gede sendiri, Tanah Perdikan sudah dapat diamankan seluruhnya? Tidak ada lagi sisa-sisa dari orang-orang perkemahan di seberang bukit. Semua yang dapat dirampas dari mereka sudah menjadi pembicaraan khusus, yang akan segera dilaporkan kepada para pemimpin di Mataram.”

“Sebaiknya kita minta pertimbangan Glagah Putih dan Agung Sedayu,“ sahut Sabungsari. Namun kemudian bertanya, “Tetapi aku sendiri ternyata mempunyai beban yang harus aku selesaikan. Aku harus berbicara lebih sungguh-sungguh dengan Ki Rangga Wibawa. Untuk itu aku sudah berjanji, bahwa yang mewakili orang tuaku mungkin Agung Sedayu, tetapi mungkin pula Ki Untara. Tetapi kemudian aku cenderung untuk minta Ki Untara untuk menemui Ki Rangga Wibawa, jika Ki Untara bersedia. Karena Agung Sedayu tentu dianggap masih terlalu muda umurnya. Sementara Ki Untara lebih tua, juga karena Ki Untara adalah panglimaku.”

Ki Ajar Gurawa mengangguk-angguk. Katanya, “Sebaiknya kau memang menyelesaikan persoalan pribadimu itu.”

“Malam nanti kita berbicara dengan Agung Sedayu dan Glagah Putih. Persoalanku dengan Raras memang tidak dapat ditunda-tunda lebih lama lagi.”

Ki Ajar Gurawa pun tersenyum. Katanya, “Glagah Putih mulai lebih dahulu, namun agaknya kau akan berpacu lebih cepat.”

Sabungsari mengerutkan dahi. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Maksud Ki Ajar?”

“Glagah Putih telah lebih dahulu berhubungan dengan Rara Wulan. Namun nampaknya kau akan lebih dahulu memasuki hidup kekeluargaan.”

Sabungsari tersenyum pula. Sambil menunduk ia berkata, “Tetapi umurku memang lebih tua dari Glagah Putih.”

Ki Ajar tertawa. Katanya, “Ya. Aku berpendapat bahwa lebih baik kau hidup berkeluarga. Umurmu memang sudah cukup. Bahkan menurut pendapatku, pribadimu memang sudah masak untuk hidup berkeluarga.”

“Karena itu, selain kehadiran kawan-kawan dari Gajah Liwung di Tanah Perdikan, maka aku juga akan berbicara tentang persoalan pribadiku,“ berkata Sabungsari. Namun katanya kemudian, “Sementara itu, hubungan Mataram dengan Pati menjadi semakin hangat. Jika Ki Lurah Agung Sedayu menerima perintah untuk bersiaga sepenuhnya, maka Ki Untara pun tentu menerima perintah yang sama bagi pasukan Mataram yang ditempatkan di Jati Anom.”

Ki Ajar Gurawa mengangguk-angguk. Dengan bergumam seakan-akan berbicara kepada dirinya sendiri, Ki Ajar itu berkata, “Ya. Tentu pasukan Mataram di Jati Anom juga harus bersiaga sepenuhnya, sebagaimana para prajurit dari Pasukan Khusus di Tanah Perdikan ini.”

“Tetapi baiklah. Apa saja pendapat Agung Sedayu dan Glagah Putih menanggapi persoalan pribadiku. Meskipun aku lebih tua dari mereka, tetapi kedudukan mereka mununtut agar aku mendengarkan pendapat mereka.”

Dengan demikian, seperti yang direncanakan, setelah lewat senja Sabungsari minta untuk dapat berbicara dengan Agung Sedayu dan Glagah Putih.

“Apakah hanya dengan kami berdua?” bertanya Agung Sedayu.

“Tidak,“ jawab Sabungsari, “aku tidak berkeberatan jika yang lain juga mendengarkannya. Mungkin dengan demikian aku mendapat lebih banyak pertimbangan yang berarti.”

Dengan demikian maka Ki Jayaraga, Ki Ajar Gurawa, bahkan Sekar Mirah ikut pula duduk di ruang dalam.

“Ada dua hal yang ingin aku bicarakan,“ berkata Sabungsari, ”yang satu hal mengenai kelompok Gajah Liwung, dan yang lain adalah tentang kepentingan pribadiku sendiri.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia sudah tanggap maksud pembicaraan Sabungsari. Meskipun demikian Agung Sedayu masih menunggu apa yang akan dikatakan Sabungsari selanjutnya.

“Seperti apa yang sudah kami bicarakan dengan Ki Ajar Gurawa, agaknya tugas anak-anak Gajah Liwung di Tanah Perdikan ini sudah dapat dianggap selesai. Karena itu, apakah menurut pertimbanganmu, anak-anak Gajah Liwung sudah diperkenankan meninggalkan Tanah Perdikan ini?”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku hanya dapat mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Menurut pendapatku, keadaan Tanah Perdikan ini memang sudah menjadi tenang. Meskipun demikian, sebaiknya kita minta waktu kepada Ki Gede untuk menghadap dan bertemu. Jika kalian akan meninggalkan Tanah Perdikan ini, maka kalian akan sekaligus minta diri kepada Ki Gede.”

“Tetapi bukankah menurut pendapatmu, tugas kami sudah selesai?” bertanya Sabungsari.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Menurut pendapatku memang demikian.”

“Sementara itu, aku sendiri juga harus minta diri. Aku akan memberikan laporan kepada Ki Untara mengenai persoalan pribadiku. Jika Ki Untara bersedia, maka aku akan mohon Ki Untara mewakili orang tuaku berbicara dengan Ki Rangga Wibawa,“ berkata Sabungsari agak tersendat. Namun katanya kemudian, “Tetapi jika Ki Untara tidak sempat melakukannya karena tugasnya, maka aku minta agar kau-lah yang melakukannya.”

“Aku?” bertanya Agung Sedayu.

“Ya. Aku sudah mengatakan kepada Ki Rangga. Salah seorang di antara Ki Untara atau Ki Lurah Agung Sedayu akan mewakili orang tuaku, karena aku sudah tidak mempunyai orang tua lagi.”

“Tetapi apakah aku pantas melakukannya? Umurku tidak lebih tua dari umurmu,“ jawab Agung Sedayu.

“Mungkin. Tetapi keberadaanmu tentu dapat dianggap lebih tua dari aku,“ jawab Sabungsari.

“Baiklah,“ jawab Agung Sedayu, “jika Kakang Untara tidak mepunyai waktu, maka biarlah aku menjadi walimu datang melamar Raras.”

Orang-orang yang mendengar jawaban Agung Sedayu itu tersenyum. Bahkan Agung Sedayu sendiri dan Sekar Mirah tertawa pula. Sabungsari juga tertawa, meskipun sambil menundukkan wajahnya yang menjadi agak kemerah-merahan.

Sementara itu, Agung Sedayu telah minta kepada anak-anak muda dari kelompok Gajah Liwung itu di hari berikutnya menghadap Ki Gede untuk minta diri. Kepada Ki Ajar, Agung Sedayu berkata, “Biarlah Glagah Putih besok pagi menyampaikan permohonan itu. Jika Ki Gede tidak berkeberatan, besok sore setelah aku pulang dari barak kita akan menghadap bersama-sama.”

“Baiklah,“ berkata Ki Ajar, “kita akan dapat melanjutkan tugas-tugas kami di Mataram. Namun agaknya tugas kami tidak akan terlalu banyak lagi.”

“Meskipun demikian, kalian harus tetap selalu berhubungan dengan Ki Wirayuda, agar kalian tidak mengambil langkah yang justru dapat merugikan kedudukan Ki Wirayuda sendiri.”

Ki Ajar mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Tetapi kami tentu akan kecewa jika kelompok ini sudah akan menyusut. Setidak-tidaknya Angger Sabungsari akan mempunyai kesibukan sendiri. Mungkin Angger Glagah Putih masih harus masih berada di Tanah Perdikan ini untuk beberapa lama.”

“Tetapi pada saat tertentu aku akan berada di antara anggauta Gajah Liwung,“ berkata Glagah Putih. Lalu katanya, “Karena menurut pendapatku, untuk sementara kelompok Gajah Liwung sebaiknya masih tetap ada, membantu tugas-tugas Ki Wirayuda dengan cara yang khusus.”

Dengan demikian, tidak ada perbedaan pendapat dan sikap di antara mereka, sehingga mereka memutuskan besok sore kelompok Gajah Liwung itu akan mengahadap Ki Gede untuk minta diri.

“Biarlah besok Ki Lurah Branjangan juga aku minta datang untuk bersama-sama menghadap Ki Gede,“ berkata Agung Sedayu.

Seperti yang direncanakan, maka di hari berikutnya Glagah Putih dan Sabungsari telah pergi menghadap Ki Gede untuk menyampaikan permohonan Agung Sedayu, yang akan membawa anak-anak muda dari kelompok Gajah Liwung menghadap.

“Jika Ki Gede berkenan dan tídak dalam kesibukan,“ berkata Glagah Putih kemudian.

“Tentu aku tidak berkeberatan,“ berkata Ki Gede, ”aku tunggu kedatangan mereka sore nanti.”

Sementara itu di rumah Agung Sedayu, anak-anak muda dari kelompok Gajah Liwung telah bersiap untuk meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Menurut rencana, besok mereka akan berangkat ke Mataram.

Di sore hari, ketika Agung Sedayu kembali dari barak Pasukan Khusus bersama Ki Lurah Branjangan, maka anak-anak muda dari kelompok Gajah Liwung itu pun telah bersiap pula untuk menghadap Ki Gede.

“Aku dan Kakang Sabungsari telah menyampaikan permohonan untuk menghadap,“ berkata Glagah Putih.

“Bagaimana tanggapan Ki Gede?” bertanya Agung Sedayu.

“Ki Gede tidak berkeberatan,“ jawab Glagah Putih.

“Baiklah,“ Agung Sedayu pun mengangguk-angguk, “kita akan langsung saja pergi ke rumah Ki Gede.”

Agung Sedayu dan Ki Lurah Branjangan pun kemudian membawa anak-anak muda dari kelompok Gajah Liwung itu ke rumah Ki Gede. Ternyata Ki Gede memang sudah menunggu mereka bersama Prastawa dan beberapa orang bebahu Tanah Perdikan Menoreh.

Setelah mereka duduk sejenak serta mendapat suguhan minuman dan makanan, maka Agung Sedayu pun telah menyampaikan maksud mereka menghadap Ki Gede.

“Anak-anak muda ini datang untuk mohon diri, Ki Gede. Tugas mereka di Tanah Perdikan ini sudah selesai. Yang terluka di antara mereka pun telah sembuh pula,“ berkata Agung Sedayu.

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam Ki Gede berkata, “Tanah Perdikan ini berhutang budi pada kalian.”

“Mereka hanya sekedar menjalankan kewajiban,” sahut Agung Sedayu.

“Lebih dari itu,” sahut Ki Gede, “mereka telah meletakkan beban kewajiban di atas pundak mereka sendiri.”

“Itu adalah tanggung jawab mereka, karena mereka memang telah meletakkan dasar perjuangan mereka untuk ikut menegakkan tatanan dan paugeran yang berlaku dalam arti yang luas.”

Ki Gede mengangguk-anguk kecil. Namun berkali-kali ia mengucapkan terima kasih kepada kelompok Gajah Liwung itu.

“Apa yang kalian lakukan adalah kepedulian anak-anak muda atas tatanan kehidupan yang luas,“ berkata Ki Gede kemudian.

Tetapi Agung Sedayu menyahut, “Bukan hanya anak-anak muda, Ki Gede. Seorang di antara mereka bukan anak muda.”

Ki Gede mengerutkan dahinya. Namun iapun kemudian tersenyum sambil memandang Ki Ajar Gurawa. Katanya, “Maaf, bukan maksudku mengesampingkan yang bukan anak muda lagi.”

“He, aku juga masih muda,” sahut Ki Ajar Gurawa, “hanya ujud lahiriahnya saja barangkali aku sudah tidak muda lagi.”

Mereka yang mendengar jawaban Ki Ajar itu tertawa. Ki Ajar sendiri pun tertawa pula.

Demikianlah, Ki Gede memang tidak dapat menahan mereka lagi. Sebenarnya Ki Gede ingin menunda keberangkatan mereka barang satu hari. Tetapi para anggota Gajah Liwung itu ternyata sudah terlanjur menentukan hari keberangkatan mereka, esok hari.

Namun Ki Gede pun kemudian berkata, “Tetapi aku tetap mempersilahkan kalian untuk dapat hadir lagi di Tanah Perdikan ini dalam keadaan yang lebih baik. Pada waktunya aku akan mengundang kalian untuk bersama-sama para pengawal Tanah Perdikan bergembira merayakan keberhasilan kita mengusir orang-orang yang berniat jahat itu dari Tanah Perdikan ini. Apa yang kalian lakukan tidak pernah dapat kami lupakan. Kalian telah mempertaruhkan segala-galanya, bahkan hidup kalian, untuk membantu menyelamatkan Tanah Perdikan ini.”

“Kami tentu akan datang,” sahut Ki Ajar Gurawa, “kapan saja Ki Gede memanggil.”

Dalam kesempatan itu, Sabungsari secara pribadi juga minta diri kepada Ki Gede. Ia akan pergi ke Jati Anom untuk menemui Ki Untara, karena sudah lama ia berada di Mataram, dan terakhir di Tanah Perdikan Menoreh.

“Tidak ada yang dapat kami katakan selain mengucapkan terima kasih yang tiada terhingga,” desis Ki Gede.

“Tetapi aku tetap akan berada di Tanah Perdikan, Ki Gede,“ berkata Glagah Putih.

“Syukurlah. Tanah Perdikan ini tidak akan menjadi sangat sepi,” desis Ki Gede kemudian.

Selain Ki Gede, maka Prastawa pun mengucapkan terima kasih pula kepada para anggota kelompok Gajah Liwung, yang ternyata telah memberikan bantuan dan bahkan menentukan bagi keberhasilan Tanah Perdikan Menoreh mempertahankan dirinya.

Di malam terakhir mereka berada di Tanah Perdikan Menoreh, para anggota kelompok Gajah Liwung itu telah menjadi tamu dan makan bersama-sama dengan Ki Gede dan beberapa orang bebahu Tanah Perdikan Menoreh. Sehingga mereka berada di rumah Ki Gede sampai larut malam.

Pagi hari berikutnya, maka para anggota kelompok Gajah Liwung itu pun sudah bersiap. Ternyata Ki Gede, Prastawa dan beberapa orang pemimpin pengawal telah hadir pula di rumah Agung Sedayu, untuk ikut melepas mereka yang berangkat kembali ke Mataram.

Demikianlah, ketika matahari mulai memanjat langit, sebuah iring-iringan telah meninggalkan rumah Agung Sedayu. Para anggota kelompok Gajah Liwung itu telah mendapat penghormatan sebagai upacara terima kasih kepada mereka, karena mereka telah berbuat banyak bagi kepentingan Tanah Perdikan itu.

Ki Lurah Branjangan yang juga hadir sempat berbisik kepada Ki Ajar Gurawa, “Titip anak-anakmu. Jangan biarkan mereka nakal. Agar kehadiran mereka tetap memberi arti bagi orang banyak.“

Ki Ajar Gurawa tersenyum. Katanya hampir berbisik, “He, bukankah aku juga sebaya dengan mereka? Kenapa anak-anakku?”

Ki Lurah pun tertawa sambil menjawab, “Seharusnya kau-lah yang aku titipkan kepada mereka.”

Agung Sedayu yang mendengar percakapan itu sempat tertawa pula.

Bagaimanapun juga kepergian para anggota Gajah Liwung itu membuat rumah Agung Sedayu terasa sepi. Bahkan Wacana yang masih terbaring di pembaringannya pun merasa rumah itu menjadi lengang. Rasa-rasanya ia ingin ikut bersama mereka. Tetapi keadaannya masih belum mengijinkannya.

Ketika iring-iringan itu hilang di tikungan, maka Agung Sedayu telah mempersilahkan Ki Gede untuk duduk di pendapa.

Ternyata Ki Gede tidak menolak. Ki Gede, Prastawa, beberapa orang bebahu dan pimpinan pengawal telah duduk di pendapa rumah Agung Sedayu yang tidak terlalu besar. Ki Jayaraga, Glagah Putih dan Ki Lurah Branjangan ikut pula menemui mereka.

Selain sekali lagi Ki Gede mengucapkan terima kasih, maka Ki Gede pun telah berbicara pula tentang barang-barang yang berharga yang ditinggalkan oleh orang-orang perkemahan.

“Apakah sebaiknya barang-barang berharga itu kami kirimkan ke Mataram?”

“Untuk sementara belum Ki Gede. Ki Gede sebaiknya memberikan laporan saja lebih dahulu. Baru kemudian jika ada perintah, maka perintah itulah yang Ki Gede laksanakan,“ berkata Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu pun kemudian berkata, “Tetapi persediaan bahan makanan dan lain-lain, tentu dapat Ki Gede pergunakan untuk memberi makan para tawanan, sebelum ada penyelesaian apakah para tawanan itu dibawa ke Mataram, atau diserahkan kepada Pasukan Khusus untuk menyelenggarakan sementara, atau Mataram mengambil kebijaksanaan untuk meneliti apakah di antara mereka ada yang dapat dilepas, dipekerjakan pada tugas-tugas tertentu, atau harus dengan ketat disimpan dalam bilik, sampai persoalan Mataram dengan Pati terpecahkan.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan membuat laporan yang lebih terperinci. Juga mengenai barang-barang berharga yang ditinggalkan oleh orang-orang di perkemahan itu. Barang-barang itu sementara ada di rumahku. Kecuali bahan makanan, senjata dan peralatan penting yang kita ambil dari perkemahan itu, berada di banjar.”

“Aku kira dengan demikian barang-barang berharga itu akan menjadi aman Ki Gede. Sementara bahan makanan dan peralatan dapat dipergunakan jika diperlukan. Bukankah para tawanan itu harus makan?”

Ki Gede mengangguk-angguk. Namun katanya, “Aku lebih senang jika para tawanan itu diambil untuk dibawa ke Mataram. Tetapi jika diserahkan kepada kami, maka kami tidak berkeberatan. Tetapi penyelesaiannya tentu aku serahkan kepada kebijaksanaan Mataram yang memang berwenang.”

“Dalam waktu dekat, aku juga akan pergi ke Mataram lagi, Ki Gede. Jika mungkin Prastawa dapat pergi bersamaku,“ berkata Agung Sedayu kemudian.

“Ya. Aku cenderung mengirimkannya ke Mataram,“ berkata Ki Gede. Namun sambil tersenyum Ki Gede berpaling kepada Prastawa dan berkata, “Namun sekarang di sela-sela persoalan Tanah Perdikan, Prastawa masih mempunyai persoalan dengan orang tuanya.”

“Persoalan apa?” bertanya Agung Sedayu dengan serta merta.

Ki Gede masih saja tersenyum, sementara Prastawa juga menahan senyumnya sambil menunduk.

“Ia sedang menyelesaikan persoalannya dengan orang tuanya. Semula pilihannya berbeda dengan pilihan orang tuanya. Tetapi nampaknya orang tuanya mulai mengalah, karena Prastwa mengancam untuk menolak semuanya dan akan hidup wadat.”

Agung Sedayu pun tertawa pula. Sementara Ki Lurah Branjangan berkata, “Menunggu apa lagi Ngger? Glagah Putih yang lebih muda sudah bersiap-siap pula. Sabungsari nampaknya sudah mulai memasuki jalan setapak pula.”

“Tetapi nampaknya jalan udak terlalu licin bagi Prastawa. Tetapi itu adalah hal yang biasa,“ berkata Ki Gede kemudian.

“Justru di situ-lah terasa betapa menggairahkan hidup ini,“ desis Ki Jayaraga sambil tertawa pula.

Demikianlah, beberapa saat kemudian setelah Sekar Mirah dibantu oleh Glagah Putih menyuguhkan hidangan bagi tamu-tamunya, maka Ki Gede pun telah minta diri. Ketika ia meninggalkan regol halaman, ia masih berdesis, ”Pada suatu saat aku akan mengundang anak-anak muda yang baru saja kembali ke Mataram itu.”

“Mereka tentu akan datang Ki Gede,” sahut Agung Sedayu.

Sepeninggal Ki Gede, Prastawa dan pengiringnya, maka Agung Sedayu dan Ki Lurah pun segera bersiap-siap untuk pergi ke barak. Kepada yang ditinggalkan di rumah Agung Sedayu berpesan agar mereka tetap berhati-hati. Mungkin masih ada sesuatu yang tertinggal dalam persoalan yang memang belum tuntas itu.

Dalam pada itu, maka para anggota Gajah Liwung yang kembali ke Mataram itu pun segera menempati sarang mereka kembali. Sabungsari dan Ki Ajar Gurawa tidak menunggu sampai esok untuk menemui dan memberitahukan kepada Ki Wirayuda.

“Baiklah,“ berkata Ki Wirayuda, “untuk sementara kalian mendapat kesempatan untuk beristirahat. Tidak ada tugas yang mendesak. Laporan kalian tentang Tanah Perdikan akan menjadi bahan perbandingan dari laporan yang diberikan oleh Agung Sedayu sebagai pemimpin Pasukan Khusus di Tanah Perdikan, serta laporan dari Ki Gede Menoreh.”

Namun dalam kesempatan itu, Sabungsari telah minta diri kepada Ki Wirayuda untuk kembali ke Jati Anom karena ada persoalan pribadi yang harus diselesaikan.

“Persoalan apa?” bertanya Ki Wirayuda.

Ki Ajar Gurawa yang menjawab sambil tersenyum, “Sabungsari telah menemukan sesuatu yang akan menjadi sangat berharga dalam hidupnya.”

“Maksud Ki Ajar?” bertanya Ki Wirayuda.

“Bukankah sampai sekarang Angger Sabungsari masih jejaka? Nah, dalam tugasnya yang berat, ia menemukan yang sebelumnya tidak pernah diketemukan.”

“Maksud Ki Ajar yang berharga dalam batas-batas tataran hidupnya?” bertanya Ki Wirayuda.

“Ya Ki Wirayuda,“ jawab Ki Ajar.

Ki Wirayuda tersenyum. Katanya, “Aku mengucapkan selamat.”

“Satu kebetulan. Tetapi demikianlah, Yang Maha Agung telah memberikan kurnia kepadaku,“ jawab Sabungsari sambil menunduk.

“Kau harus mensukuri kurnia itu,“ berkata Ki Wirayuda. “Dengan demikian maka kau akan menempuh satu kehidupan wajar dalam lingkungan sesama.”

“Karena itu, aku ingin menyampaikan hal ini kepada Ki Untara,“ berkata Sabungsari.

“Tidak seorang pun yang akan dapat menghalangimu,“ berkata Ki Wirayuda. “Jadi kapan kau akan berangkat?”

“Dalam satu dua hari ini Ki Wirayuda.”

“Salamku buat Ki Tumenggung. Selebihnya aku berdoa agar kau segera dapat menyelesaikan persoalan pribadimu itu.”

Sebenarnyalah bahwa Sabungsari memang sudah bersiap-siap untuk pergi ke Jati Anom. Bukan saja kembali ke induknya sebagai seorang prajurit, tetapi memang ia ingin segera menyelesaikan persoalannya serta memenuhi janjinya kepada Ki Rangga Wibawa.

Sementara itu di Tanah Perdikan Menoreh, Ki Gede telah memerintahkan untuk meneliti dan menghitung barang-barang berharga yang ditinggalkan oleh Resi Belahan dan orang-orangnya. Barang-barang berharga yang disiapkannya untuk membiayai perjuangannya yang diperhitungkan akan memakan waktu yang lama. Namun ternyata semua rencananya kandas di tengah jalan.

Apabila semua penelitian dan perhitungan itu sudah selesai, maka Prastawa akan diperintahkan untuk pergi ke Mataram bersama Agung Sedayu, memberikan laporan yang terperinci serta untuk menerima perintah-perintah berikutnya tentang para tawanan yang ada di Tanah Perdikan Menoreh.

Tetapi ternyata Prastawa bukan saja menghadapi tugasnya untuk pergi ke Mataram. Seperti Sabungsari, Prastawa juga terlibat dengan persoalan pribadinya. Namun karena campur tangan Ki Gede, maka orang tua Prastawa nampaknya berusaha untuk bersikap lebih lunak.

Tetapi Prastawa masih juga menyampaikan keluhan kepada Ki Gede, “Paman. Mungkin persoalannya tidak akan begitu mudah dipecahkan. Masih ada usaha-usaha untuk mempersoalkannya.”

Tetapi Ki Gede menepuk bahu kemenakannya itu sambil berkata, ”Aku akan membantu memecahkan persoalanmu, Prastawa. Kau masih mempunyai tugas-tugas penting bagi Tanah Perdikan ini, sehingga persoalan pribadimu sebaiknya tidak menghalangi tugas-tugasmu itu. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa kau harus menyingkirkan persoalan itu. Tetapi justru sebaiknya segera diselesaikan, agar untuk selanjutnya kau menjadi tenang.”

Prastawa mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab lagi.

Dalam pada itu, tiga orang bebahu yang diawasi langsung oleh Prastawa dengan teliti telah meneliti dan menghitung barang-barang berharga yang ditinggalkan oleh Resi Belahan. Di antaranya terdapat jenis senjata yang sangat mahal. Keris dengan wrangka yang terbuat dari emas dengan tretes berlian. Timang yang dibuat dari emas dan permata. Perhiasan dan berbagai macam benda-benda berharga yang lain.

Selain itu, di banjar masih terdapat berbagai jenis senjata dalam jumlah yang terhitung banyak. Bahan makanan dan peralatan untuk berbagai macam kepentingan, bahkan bahan pakaian.

Sementara Tanah Perdikan sibuk menghitung benda-benda berharga, maka Sabungsari telah minta diri kepada para anggota kelompok Gajah Liwung. Sabungsari tidak dapat menunda lagi rencananya untuk menemui Untara. Selain untuk memberikan laporan tentang kegiatannya selama ia berada di Mataram, Sabungsari juga mempunyai kepentingan pribadi.

Kawan-kawannya memang merasa berat untuk melepaskannya. Tetapi mereka pun mengerti, bahwa Sabungsari tidak dapat mengorbankan kepentingan pribadinya secara mutlak.

“Aku tentu akan kembali lagi dalam waktu yang tidak terlalu lama,“ berkata Sabungsari.

Dengan demikian, para anggota Gajah Liwung yang telah beberapa lama berjuang dengan cara yang khusus itu telah melepas keberangkatan Sabungsari yang akan menempuh perjalanan ke Jati Anom. Jarak yang memang tidak sangat panjang.

Meskipun demikian Sabungsari telah meninggalkan tempat tinggal kelompok Gajah Liwung ketika matahari baru terbit.

“Kau akan menempuh perjalanan menentang matahari,“ berkata Ki Ajar Gurawa.

“Matahari pagi, udara yang cerah dan angin lembut akan membuat perjalananku terasa nyaman,“ jawab Sabungsari.

“Meskipun demikian, berhati-hatilah,“ pesan Ki Ajar.

Sabungsari mengangguk. Katanya, ”Kita akan saling mendoakan. Semoga kita masih akan bertemu lagi di kesempatan lain.”

“Bukankah kau akan kembali dalam waktu yang tidak terlalu lama?” bertanya Naratama.

“Aku memang berniat demikian,“ jawab Sabungsari.

“Bahkan bersama Ki Untara,” sahut Rumeksa.

Sabungsari tersenyum. Namun sejenak kemudian iapun telah meloncat ke punggung kudanya.

Beberapa saat kemudian, kuda Sabungsari pun mulai bergerak. Sabungsari masih sempat melambaikan tangannya. Demikian pula kawan-kawannya yang ditinggalkannya.

Sinar matahari pagi mulai menghangatkan tubuh Sabungsari ketika ia meninggalkan pintu gerbang kota. Kudanya yang tegar berlari menyusuri jalan-jalan panjang di antara kotak-kotak sawah yang ditumbuhi oleh batang-batang padi yang hijau.

Ketika kudanya berpacu semakin cepat justru menentang matahari yang menjadi semakin tinggi, maka Sabungsari teringat kepada Swandaru yang tinggal di Sangkal Putung. Ada niatnya untuk singgah. Tetapi dorongan keinginannya untuk segera bertemu dengan Untara telah mengurungkan niatnya itu.

“Kapan-kapan aku dapat pergi ke Sangkal Putung untuk memberikan keterangan serba sedikit tentang Tanah Perdikan. Terutama kepada Pandan Wangi,“ berkata Sabungsari kepada dirinya sendiri.

Karena itu, maka Sabungsari akan memilih jalan lain yang tidak usah melalui Sangkal Putung. Karena ada jalan pintas yang lebih dekat, meskipun menyusuri kaki Gunung Merapi.

Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka jalan yang ditempuh oleh Sabungsari pun mulai terasa memanjat naik meskipun masih landai. Kotak-kotak sawah dari kejauhan nampak seperti tangga raksasa bersusun di lereng gunung. Meskipun demikian sawah-sawah itu sama sekali tidak kekurangan air. Kotak-kotak sawah telah digenangi air yang justru melimpah ke kotak-kotak di bawahnya.

Sabungsari sempat beristirahat sejenak untuk memberi kesempatan kudanya minum dan makan rerumputan segar di tanggul-tanggul parit. Sementara Sabungsari sendiri duduk di atas bongkah-bongkah batu padas sambil memandangi puncak Gunung Merapi. Asap yang putih kelabu membubung dari kawah yang selalu bergejolak mengungkapkan panas perut bumi.

Tetapi Sabungsari tidak terlalu lama merenungi Gunung Merapi yang menyimpan tenaga yang tidak terbayangkan. Letusan gunung itu akan dapat menimbulkan malapetaka yang tidak terduga besarnya, menyapu lereng dan dataran yang sangat luas.

Sejenak kemudian, maka Sabungsari pun telah melanjutkan perjalanannya menuju ke Jati Anom yang berada di kaki sebelah timur Gunung Merapi itu.

Kedatangan Sabungsari yang tiba-tiba memang mengejutkan. Sabungsari memang tidak langsung menuju ke baraknya. Tetapi ia langsung menuju ke rumah Ki Untara.

Istri Untara-lah yang menerima kedatangan Sabungsari itu. Dipersilahkannya ia naik dan duduk di pendapa.

“Kakang Untara ada di barak,“ berkata istri Untara itu.

“Jika demikian, biarlah aku pergi menemuinya,” sahut Sabungsari yang sudah beringsut.

“Duduk sajalah. Biar Kakang Untara diberitahu bahwa kau datang,“ jawab Nyi Untara.

Sabungsari tidak menjawab lagi. Ia tahu bahwa barak yang dimaksud berada di belakang rumah Untara. Bangunan khusus yang dibuat bagi para prajurit, karena rumah Untara yang besar itu tidak dapat menampungnya.

Demikianlah, maka sesaat kemudian Untara telah datang. Sabungsari yang telah lama berada di Mataram itu rasa-rasanya memang seperti tamu yang diperlakukan lain dengan kedudukannya sebagai prajurit.

Untara menerima Sabungsari dengan gembira, sebagaimana ia menerima keluarganya yang sudah lama tidak bertemu. Banyak hal yang ditanyakan oleh Untara tentang keadaan Mataram, dan kewajiban khusus Sabungsari bersama Glagah Putih dan beberapa orang anak muda yang lain.

Sabungsari memang sempat bercerita panjang, sementara istri Untara menghidangkan minuman dan makanan baginya.

Bahkan Sabungsari pun telah bercerita tentang peristiwa yang membakar Tanah Perdikan Menoreh. Baik yang dilakukan oleh Ki Manuhara maupun Resi Belahan.

Untara mendengarkan keterangan Sabungsari itu sambil mengangguk-angguk. Untara itu dapat membayangkan apa yang telah terjadi di Tanah Perdikan itu. Bahkan ia dapat membayangkan peranan apakah yang telah dilakukan oleh adiknya, Agung Sedayu.

Akhirnya cerita Sabungsari merambat pada tingkah laku seorang upahan yang bernama Bajang Bertangan Baja, juga yang disebut Bajang Bertangan Embun. Sabungsari juga bercerita tentang seorang gadis yang telah diambil oleh Bajang Bertangan Baja itu untuk menjadi taruhan, agar Rara Wulan diserahkan kepadanya. Sebenarnya Rara Wulan-lah sasaran utama Bajang Bertangan Baja.

Dengan agak terperinci Sabungsari kemudian menceritakan bagaimana ia sempat membebaskan gadis yang telah diculik itu, bersama-sama dengan Agung Sedayu dan kelompoknya yang dinamai kelompok Gajah Liwung.

Untara mendengarkan keterangan Sabungsari dengan seksama. Semula ia menduga bahwa Sabungsari ingin menyatakan kebanggaan akan keberhasilannya. Namun ternyata kemudian dugaan Untara itu salah. Sabungsari sama sekali tidak menceritakan lebih panjang keberhasilannya. Tetapi yang kemudian diceritakan adalah persoalan yang timbul kemudian, sehingga akhirnya Sabungsari dengan jantung yang berdebar-debar bercerita tentang dirinya sendiri.

“Aku ingin memenuhi janjiku kepada Ki Rangga Wibawa. Aku akan memberanikan diri mohon Ki Tumenggung untuk mewakili orang tuaku,“ berkata Sabungsari kemudian dengan kepala tunduk.

“Aku mewakili orang tuamu melamar seorang gadis?” bertanya Untara sambil tertawa pendek.

“Ya. Aku mohon,“ jawab Sabungsari hampir tidak terdengar.

Untara justru tertawa lebih keras. Katanya, ”Apakah aku tidak terlalu muda untuk mewakili orang tuamu?”

“Persoalannya tidak saja tergantung pada umur. Tetapi Ki Tumenggung adalah pimpinanku. Senapati dalam kesatuanku,“ jawab Sabungsari.

“Baiklah. Baiklah. Aku akan pergi,“ jawab Untara. “Aku akan mendapatkan satu pengalaman baru.” Namun Ki Untara tidak dapat menahan tertawanya.

Ternyata bahwa Sabungsari tidak dapat menunda persoalannya sampai esok. Katika ia mendengar Untara menyanggupinya, maka dengan nada dalam ia berkata, “Terima kasih Ki Tumenggung. Nanti malam aku akan dapat tidur nyenyak.”

“Kapan menurut pendapatmu sebaiknya aku datang menemui Ki Rangga Wibawa?” bertanya Untara.

“Terserah Ki Tumenggung. Aku-lah yang harus menyesuaikan diri,“ jawab Sabungsari.

Untara mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan memberitahukan, kapan sebaiknya aku pergi ke Mataram. Sebaiknya tentu dalam waktu singkat. Jika waktunya tertunda-tunda, maka akan dapat terdesak dengan satu kepentingan yang lebih besar lagi.”

Sabungsari termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian bertanya, “Maksud Ki Tumenggung?”

“Aku sudah mendapat perintah untuk bersiaga sepenuhnya. Agaknya persoalan antara Mataram dan Pati justru menjadi semakin panas,” desis Untara.

Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya, “Ki lurah Agung Sedayu juga sudah menerima perintah seperti itu.”

“Aku pun sudah menduga, karena perintah ini dikirimkan kepada semua pimpinan kesatuan Mataram dimana pun pasukan itu berada. Bahkan aku sudah mendapat perintah untuk menyebarkan perintah ini kepada semua lingkungan yang memiliki kemampuan keprajuritan, seperti Sangkal Putung yang pernah ikut serta dalam lawatan keprajuritan ke timur. Demikian pula kademangan-kademangan lain yang memungkinkan. Karena pada saat yang diperlukan, bukan hanya prajurit sajalah yang akan turun ke medan perang, karena kewajiban untuk mempertahankan diri dibebankan kepada semua orang. Terutama laki-laki.”

Sabungsari mengangguk-angguk, sementara Untara berkata, “Adalah kebetulan bahwa kau datang hari ini. Di samping kesediaanku pergi ke Mataram, maka aku minta kau besok pergi bersamaku ke Sangkal Putung. Selain menyampaikan perintah Ki Patih Mandaraka atas nama Panembahan Senapati, maka ada baiknya kau menyampaikan kabar tentang Tanah Perdikan Menoreh. Bukankah Pandan Wangi itu anak Ki Gede Menoreh, yang mempunyai hak mewarisi Tanah Perdikan itu?”

Sabungsari mengangguk sambil menjawab, ”Aku tentu akan bersiap melakukannya. Bahkan hampir saja aku singgah di Sangkal Putung ketika aku menempuh perjalanan dari Mataram tadi. Untunglah aku telah mengurungkannya.”

“Jika demikian maka kau dapat beristirahat sekarang Sabungsari,“ berkata Untara. Namun ia kemudian masih bertanya, ”Apakah kemudian kau masih akan kembali ke dalam kelompok Gajah Liwungmu itu?”

“Saat ini tidak ada tugas-tugas tertentu yang harus segera dilakukannya,“ jawab Sabungsari.

“Baiklah. Nanti segala sesuatunya akan dapat dipertimbangkan lagi. Tentu juga dengan pertimbangan bahwa semua kesatuan harus bersiap menghadapi segala kemungkinan dalam hubungannya dengan Pati,“ berkata Untara kemudian.

Demikianlah, maka Untara pun telah mempersilahkan Sabungsari untuk pergi ke barak. Sudah lama ia tidak bertemu dengan kawan-kawannya.

Sambil meninggalkan pendapa rumah Untara, maka Sabungsari telah menganyam satu masa depan yang manis. Namun demikian, melintas juga ingatannya tentang tajamnya ujung senjata jika persoalan antara Pati dan Mataram menjadi tak terkendali.

Kedatangan Sabungsari disambut dengan gembira oleh kawan-kawannya. Pada umumnya kawan-kawan Sabungsari mengerti akan tugas khusus yang dibebankan kepadanya. Tetapi mereka tidak tahu pasti apakah yang harus dilakukannya.

Namun Sabungsari masih belum menerima perintah apapun juga. Apakah ia harus kembali masuk ke dalam kesatuannya, atau masih diperintahkan untuk kembali ke Mataram sebagaimana ditanyakan oleh Untara, atau perintah-perintah lain. Namun besok Sabungsari harus menyertai Untara pergi ke Sangkal Putung.

Seperti yang direncanakan, maka keesokan harinya Untara telah memanggil Sabungsari untuk segera pergi ke Sangkal Putung. Selain Sabungsari, Untara juga telah memerintahkan dua orang prajurit untuk menyertainya pula.

Jarak dari Jati Anom ke Sangkal Putung memang tidak terlalu jauh. Karena itu, maka mereka tidak memerlukan waktu yang lama di perjalanan.

Sabungsari sempat tersenyum ketika mereka melewati sebatang pohon randu alas. Agung Sedayu pernah bercerita, betapa ngerinya saat-saat ia harus melewati jalan itu di waktu mudanya.

“Pohon randu alas itu memang sudah tua sekali,“ berkata Sabungsari di dalam hatinya.

Ternyata Untara pun sedang mengenang adiknya yang ketakutan jika lewat di bawah pohon randu alas itu. Apalagi di malam hari. Batang randu alas yang besar seakan-akan telah berubah menjadi sosok hantu yang besar, bertangan seribu tetapi hanya bermata satu. 

Hampir di luar sadarnya Untara berkata, “Agung Sedayu menjadi ketakutan jika ia membayangkan sosok hantu bermata satu.”

Sabungsari pun tersenyum. Katanya, “Agung Sedayu masih sering mengenang masa mudanya yang sulit itu.”

Untara mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia sudah tidak tersenyum lagi. Bahkan mulai terbayang, bagaimana ia mengalami kesulitan di perjalanan ketika ia bertemu dengan Alap-alap Jalatunda dan Pande Besi Sendang Gabus. Orang-orang yang menjadi pengikut Macan Kepatihan.

Untara juga membayangkan orang yang menamakan dirinya Tanu Metir, yang telah menyelamatkannya, yang kemudian telah menjadikan Agung Sedayu dan Swandaru muridnya.

Untara menarik nafas dalam-dalam ketika kudanya mendekati Kademangan Sangkal Putung. Karena itu, maka iapun kemudian berkata, “Kita sudah hampir sampai. Kau saja-lah nanti yang bercerita tentang Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi jangan membuat Pandan Wangi gelisah.”

Sabungsari mengangguk sambil menjawab, “Baik Ki Tumenggung.”

“Sebaiknya jangan panggil aku Ki Tumenggung di Sangkal Putung,“ berkata Untara.

“Kenapa? Bukankah Ki Untara telah mendapat anugrah pangkat Tumenggung dan berhak menyandang sebutan itu?” bertanya Sabungsari.

“Tetapi tidak usah disebut-sebut di Sangkal Putung. Kau tahu sifat Swandaru?”

“Apakah ia tidak mengakuinya?”

“Bukan tidak mengakui,“ jawab Untara, “tetapi kadang-kadang ia berpikir aneh. Ia akan dapat menganggap aku sombong dan dengan sengaja memamerkan derajat itu di hadapannya.”

“Tetapi ia tidak dapat menolak kenyataan itu,“ jawab Sabungsari sambil mengerutkan dahinya.

Tetapi Untara tersenyum sambil berkata, “Sudahlah. Aku tidak ingin menyinggung perasaannya. Aku memerlukan kekuatan yang akan aku dapatkan dari Sangkal Putung jika keadaan mendesak. Terutama dalam hubungannya dengan Pati.”

Sabungsari mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab.

Demikianlah, beberapa saat kemudian mereka berempat telah memasuki padukuhan induk Kademangan Sangkal Putung. Sebuah kademangan yang terhitung besar, melampaui kademangan-kademangan lain di sekitarnya. Bukan saja luas wilayahnya, tetapi juga tingkat kesejahteraannya. Di bawah kerja keras Swandaru dan Pandan Wangi, yang mengerti dan mampu menggerakkan peranan perempuan yang ternyata mampu berperan dengan baik di Kademangan Sangkal Putung, maka tataran kehidupan di Sangkal Putung menjadi semakin meningkat.

Perempuan di Sangkal Putung ternyata mampu ikut berperan dalam kehidupan sehari-hari dalam batas-batas kewajaran tatanan. Mereka tidak sekedar lagi menanak nasi dan merawat anak-anak. Tetapi di rumah-rumah tertentu, terdengar alat-alat tenun, yang gemeretak seolah-olah saling menyahut.

Perempuan-perempuan juga memelihara kebun mereka dengan tertib. Pohon buah-buahan dan juga empon-empon, yang menjadi bahan utama obat-obatan dan jamu-jamuan, serta bumbu masak dan minuman.

Demikianlah, kedatangan Untara dan pengiringnya telah diterima dengan baik di Kademangan. Swandaru yang kebetulan ada di rumah mempersilahkan mereka naik ke pendapa.

Ki Demang yang menjadi semakin tua itu pun telah ikut menemuinya pula.

Setelah menanyakan keselamatan masing-masing, maka Untara pun segera menyampaikan kepentingannya datang ke Sangkal Putung. Mengemban perintah dari Mataram, maka Sangkal Putung diminta untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya.

“Bukan hanya Sangkal Putung,“ berkata Untara, “meskipun kademangan-kademangan lain tidak memiliki andalan kekuatan yang memadai.”

Swandaru mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia berkata, “Kami tentu akan menjalankan segala perintah. Kapanpun perintah itu datang, maka kami siap untuk melaksanakan. Jika kami harus berangkat ke medan, maka kami akan berangkat.”

“Terima kasih,“ berkata Untara, “aku yakin bahwa Sangkal Putung akan menjadi bagian yang berarti dari pasukan Mataram, sebagaimana yang pernah terjadi.”

“Kami menyadari hal itu. Karena itu kami tetap akan menjaga agar para pengawal di Kademangan Sangkal Putung tetap memiliki kesiagaan dan kemampuan yang tinggi. Sebelum mereka yang menjadi semakin tua harus meninggalkan kelompoknya, maka para remaja sudah dipersiapkan untuk menggantikan mereka. Justru dalam keadaan yang lebih baik.”

“Syukurlah,“ berkata Untara, “meskipun kita akan selalu berharap bahwa tidak akan terjadi benturan kekuatan antara Pati dan Mataram.”

“Setiap orang memang tidak ingin terlibat dalam peperangan. Tetapi jika hal itu harus kita jalani, maka kita tidak akan lari. Kita akan turun ke medan dengan dada tengadah. Apalagi kita yakin bahwa kita tidak bersalah. Agaknya sudah sepantasnya bahwa sekali-sekali Mataram memberi sedikit peringatan kepada Pati.”

“Tetapi bagaimanapun juga Mataram berusaha untuk menempuh jalan lain dari jalan kekerasan. Hanya jika tidak ada kemungkinan lain, maka jalan yang tidak kita inginkan itu terpaksa kita tempuh,“ jawab Untara.

“Kita tidak usah berpura-pura menjadi orang yang pandai mengendalikan diri. Orang yang berhati lapang dan berbudi luhur. Jika akhirnya perang itu harus terjadi, maka untuk apa kita masih menunda-nunda lagi? Menurut pendapatku, jika alasan sudah cukup kuat, maka kita kerahkan prajurit dan kita pergi Ke Pati.”

Namun Ki Demang-lah yang menyahut, “Mataram tentu tidak akan tergesa-gesa. Jika ternyata salah langkah, maka kita semua akan menyesal. Sementara itu Mataram dan Pati terikat oleh cikal bakal yang seakan-akan memancar dari satu sumber.”

“Jika kita membuat pertimbangan-pertimbangan yang sangat rumit seperti Kakang Agung Sedayu, maka setiap kali kita akan kehilangan waktu yang paling berharga, justru saat benturan kekuatan itu mulai. Karena justru pada saat kita membuat pertimbangan-pertimbangan, saat kita masih memikirkan bahwa kita tidak mau disebut mendahului, atau pamrih untuk disebut berbudi luhur serta berdada lapang seluas lautan, maka lawan itu datang untuk memukul kita. Baru setelah wajah kita menjadi merah biru, kita baru menyadari keterlambatan kita.”

“Bukan begitu Swandaru,” sahut Ki Demang, “kita tetap harus waspada. Tetapi kita tidak harus menuruti saja gejolak perasaan kita. Kita harus mempergunakan penalaran.”

“Baiklah. Baiklah. Sebenarnya dalam hal ini aku memang hanya menunggu perintah. Tidak lebih,“ jawab Swandaru.

Namun Untara pun berkata, “Aku mengerti jalan pikiranmu, Swandaru. Tetapi persoalan yang dihadapi Mataram sekarang benar-benar masih sangat meragukan. Seakan-akan Mataram dihadapkan pada keadaan yang tidak menentu, samar-samar dan tentu saja dilakukan usaha-usaha untuk mendapatkan penyelesaian terbaik. Bukan perang. Tetapi seperti yang aku katakan, jika tidak ada jalan lain, apa boleh buat.”

Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, “Bukankah dengan demikian tugasku hanya mempersiapkan pasukan pengawal Kademangan? Selanjutnya aku tinggal menunggu perintah?”

Hampir saja terlontar jawaban dari mulut Sabungsari. Tetapi untunglah bahwa ia masih dapat menahan diri, meskipun rasa-rasanya jantungnya berdetak semakin cepat.

Dalam pada itu, pembicaraan mereka telah terhenti sejenak. Pandan Wangi sendiri-lah yang membawa hidangan ke pendapa. Demikian selesai meletakkan hidangan, maka iapun ikut mengucapkan selamat datang serta menanyakan keselamatan tamu-tamunya.

“Kebetulan sekali,“ berkata Untara kemudian, “selain perintah yang aku emban, Sabungsari juga ingin sedikit bercerita tentang keadaan Tanah Perdikan Menoreh. Ia baru datang dari Tanah Perdikan itu.”

“O,“ Pandan Wangi mengangguk-angguk, “senang sekali mendengar berita dari Tanah Perdikan Menoreh. Sudah lama aku masih belum sempat mengunjungi ayah dan keluarga di Tanah Perdikan.”

Swandaru-lah yang kemudian berkata, “Ceritakan. Bagaimana perkembangan Tanah Perdikan itu sekarang.”

Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Namun sebelum ia mulai, Pandan Wangi sempat mempersilahkan tamunya untuk minum. Sejenak kemudian maka Sabungsari telah menceritakan apa yang terjadi di Tanah Perdikan Menoreh. Tanah Perdikan telah diguncang oleh kehadiran orang-orang yang tidak dikenal untuk mengacaukan, dan bahkan berusaha untuk menguasai, Tanah Perdikan itu. Pertempuran yang keras telah terjadi. Beberapa orang telah menjadi korban dan terluka, termasuk Agung Sedayu sendiri.

Swandaru manarik nafas panjang. Katanya, “Berapa kali Kakang Agung Sedayu mengalami hal seperti itu? Setiap kali terulang lagi. Dalam pertempuran yang keras ia selalu terluka. Bahkan parah. Sekarang hal itu terjadi lagi.”

“Tetapi sekarang keadaannya sudah menjadi baik,“ berkata Sabungsari. Lalu katanya pula, “Bahkan kekuatannya sudah hampir pulih kembali.”

“Kakang Agung Sedayu sebenarnya harus tanggap pada keadaan seperti itu, yang selalu berulang,“ berkata Swandaru kemudian.

Sabungsari termangu-mangu sejenak. Tetapi ia menahan diri untuk tidak menjawab.

Sementara itu Pandan Wangi pun berkata, “Sebenarnya aku juga ingin melihat keadaan Tanah Perdikan sekarang. Jika Kakang Swandaru mempunyai waktu, kami akan datang ke Tanah Perdikan Menoreh dalam waktu dekat ini.”

“Aku akan mengusahakan waktu itu,” sahut Swandaru, “rasa-rasanya aku juga ingin pergi ke Tanah Perdikan. Selain melihat keadaan Tanah Perdikan, aku juga ingin berbicara dengan Kakang Agung Sedayu.”

“Kalian tentu akan disambut dengan gembira,“ berkata Sabungsari kemudian, “Ki Gede tentu sudah sangat rindu kepada kalian.”

“Mudah-mudahan dalam dua tiga hari ini kami dapat pergi,” berkata Swandaru, yang kemudian berpaling kepada ayahnya, “bukankah Ayah tidak berkeberatan jika kami pergi barang sepekan?”

“Tentu tidak,“ jawab Ki Demang, “apalagi waktu panen baru saja lewat. Sawah sudah ditanami. Rasa-rasanya tidak banyak persoalan akan timbul.”

Demikianlah, untuk beberapa lama Untara dan Sabungsari masih berbincang dengan Swandaru. Namun rasa-rasanya waktu yang tidak terlalu lama itu sangat melelahkan. Untara dan Sabungsari harus mendengarkan bagaimana Swandaru merasa kecewa terhadap Agung Sedayu, yang tidak mempunyai kemauan cukup untuk meningkatkan ilmunya sebagaimana diinginkan oleh gurunya.

“Pada mulanya aku sangat kagum kepada Kakang Agung Sedayu. Sebelum ia memilki kemampuan dalam olah kanuragan, ia sudah memiliki kemampuan bidik alami yang jarang ada duanya. Kakang Agung Sedayu mampu memanah burung yang sedang terbang. Bahkan memanah anak panah yang meluncur di udara. Juga pada saat-saat kami menapak untuk menyadap ilmu kanuragan. Rasa-rasanya Kakang Agung Sedayu banyak memiliki kelebihan. Namun ketika kami sudah dapat dianggap dewasa dalam olah kanuragan, maka Kakang Agung Sedayu menjadi malas untuk meningkatkan ilmunya.”

“Tentu tidak begitu,“ Ki Demang-lah yang menyahut, “hanya kau saja-lah yang tidak mengetahui apa yang dilakukan oleh Angger Agung Sedayu. Seandainya ia setiap hari berada di dalam sanggarnya, kau juga tidak melihatnya.”

“Tetapi apa yang selalu terjadi atas dirinya Ayah? Setiap kali Kakang Agung Sedayu tentu terluka jika ia harus menghadapai lawan yang sedikit memiliki ilmu kanuragan. Coba, seingat Ayah, berapa kali Kakang Agung Sedayu terluka dalam pertempuran?”

“Tetapi itu bukan ukuran,“ jawab ayahnya, “tentu juga tergantung siapakah lawan Angger Agung Sedayu itu.”

Swandaru memang tidak ingin berbantah dengan ayahnya, sementara Pandan Wangi hanya berdiam diri saja. Sebenarnya ia tidak sependapat dengan suaminya. Tetapi iapun tidak ingin berbantah, sehingga Pandan Wangi menganggap bahwa lebih baik ia berdiam diri saja.

Menurut pendapat Pandan Wangi, Swandaru memang sulit untuk melihat kelebihan orang lain, apalagi Agung Sedayu, yang tinggal di tempat yang jauh. Sedangkan Pandan Wangi sendiri yang istrinya, juga tidak pernah mendapat perhatiannya dalam olah kanuragan. Swandaru seakan-akan tidak melihat kelebihan Pandan Wangi, yang mampu menyentuh sasaran sebelum wadagnya langsung menyentuhnya. Adapun kepanjangannya, setelah Pandan Wangi mencoba memahaminya, mendalaminya dan mengembangkannya, Pandan Wangi mampu menyerang lawannya tanpa menyentuh dengan wadagnya. Serangan-serangannya dapat mengenai lawannya satu dua jengkal dari jarak wadagnya sendiri, sehingga lawannya akan menjadi terlambat menghindar atau menangkisnya.

Sejak Pandan Wangi mulai mengembangkan gejala ilmunya yang timbul itu, Swandaru tidak terlalu banyak memberikan perhatian. Bahkan ketika Pandan Wangi menjadi semakin mapan dengan kemampuannya itu, Swandaru seakan-akan masih saja tidak berniat untuk mengenalinya.

Apalagi sejak Swandaru sendiri berhasil mencapai tataran setingkat lebih tinggi dari ilmu cambuknya, meskipun masih belum mampu mendekati kemampuan Agung Sedayu, yang sudah sampai ke puncak kemampuan ilmu cambuk sebagaimana dikuasai gurunya, Kiai Gringsing.

Demikianlah, setelah Untara dan Sabungsari cukup lama duduk berbincang sambil minum minuman dan makan makanan yang dihidangkan, maka mereka pun segera minta diri.

“Baiklah,“ berkata Swandaru, “aku akan melaksanakan perintah Mataram lewat perintah Ki Untara. Aku akan mempersiapkan pasukanku sebaik-baiknya. Setiap saat kami siap untuk menjalankan perintah untuk memasuki medan dimanapun juga. Namun mudah-mudahan hal itu tidak akan terjadi dalam satu dua pekan ini, karena kami ingin pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.”

“Perintah yang sama juga diberikan kepada Agung Sedayu di barak Pasukan Khususnya. Ki Gede Menoreh pun tentu juga akan mendapat perintah yang sama. Sehingga jika hal yang tidak diinginkan itu terjadi, maka kalian juga akan mengetahuinya di Tanah Perdikan, sehingga kalian dapat segera kembali ke Sangkal Putung,“ berkata Untara.

Swandaru mengangguk-angguk. Jawabnya, “Ya. Kami akan dapat mendengar perintah yang sama di Tanah Perdikan.”

Demikianlah, Untara Dan Sabungsari pun telah minta diri kepada Ki Demang, Swandaru dan Pandan Wangi. Berempat mereka melarikan kuda mereka ke Jati Anom.

Dalam pada itu, untuk sementara maka Sabungsari telah diperintahkan untuk berada di kesatuannya. Meskipun demikian, Untara masih mempertimbangkan beberapa kemungkinan bagi Sabungsari. Apakakah ia akan kembali ke Mataram, atau justru akan mendapat tugas lain. Jika Untara kelak pergi ke Mataram, ia akan melihat kemungkinan bagi Sabungsari. Namun Untara mengetahui bahwa Sabungsari mempunyai kepentingan pribadi jika ia berada di Mataram.

Meskipun demikian, masih ada beberapa kemungkinan bagi Sabungsari, karena hubungannya dengan Raras tidak akan terputus seandainya Sabungsari berada di Jati Anom. Jarak antara Mataram dan Jati Anom tidak sangat jauh. Tidak terpaut banyak dengan jarak antara Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh.

Namun sebagaimana dijanjikan, Untara harus mempersiapkan diri datang ke Mataram menemui Ki Rangga Wibawa. Sekaligus untuk melihat kemungkinan-kemungkinan bagi tugas Sabungsari selanjutnya. Apakah ia harus kembali ke Mataram atau tidak.

Sementara Sabungsari masih berada di Jati Anom, maka Swandaru dan Pandan Wangi benar-benar telah bersiap untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun Swandaru mengetahui bahwa di Tanah Perdikan Menoreh baru saja terjadi pergolakan yang mengguncang ketenangan Tanah Perdikan ini, namun Swandaru sama sekali tidak merasa perlu membawa pengawal.

Karena itu, maka Swandaru akan menempuh perjalanan ke Tanah Perdikan hanya dengan Pandan Wangi. Mereka telah menitipkan anak mereka kepada keluarga di Sangkal Putung.

Demikianlah, di hari yang telah ditentukan, Swandaru dan Pandan Wangi telah bersiap untuk berangkat. Pagi-pagi sekali keduanya telah berbenah diri. Sebelum matahari terbit, keduanya telah turun ke halaman, sementara dua ekor kuda telah dipersiapkan pula.

Ki Demang dan beberapa orang keluarga mereka telah melepaskan keduanya sampai ke regol halaman, sementara anak mereka harus dibujuk untuk tidak merengek minta ikut ayah dan ibunya.

Swandaru yang sangat yakin akan dirinya sama sekali tidak merasa perlu membawa satu dua orang pengawal. Bagi Swandaru, pengawal justru akan menjadi beban di perjalanan. Jika sesuatu terjadi, maka ia harus melindungi pengawalnya itu.

Namun ternyata keduanya memang tidak menjumpai hambatan di perjalanan. Ketika mereka singgah di sebuah kedai menjelang mereka memasuki Mataram, keduanya memang mendapat sedikit gangguan. Tetapi Swandaru dengan cepat mengatasinya.

Beberapa orang anak muda yang melihat Pandan Wangi dalam pakaiannya yang khusus, menjadi sangat tertarik karenanya. Apalagi ketika mereka melihat bahwa Pandan Wangi hanya ditemani oleh seorang laki-laki yang bertubuh agak gemuk. Meskipun Pandan Wangi membawa sepasang pedang, namun anak-anak muda itu nampaknya tidak menghiraukannya. Apalagi ada di antara mereka yang juga membawa senjata. Menurut perhitungan mereka, orang yang bertubuh agak gemuk itu tidak akan berbuat banyak, apalagi orang itu justru tidak nampak membawa senjata.

Seorang anak muda yang memang berniat mengganggu Pandan Wangi yang nampak cantik dan segar itu berdesis di telinga kawannya, ”Jika orang gemuk itu marah, kita akan mempermainkannya.”

“Tetapi perempuan itu tentu bukan perempuan kebanyakan. Ia membawa sepasang pedang,” bisik kawannya.

“Ah, bukankah kita berenam, sementara pedangnya hanya dua?” berkata orang yang pertama itu pula.

Kawannya mengangguk-angguk. Yang lain pun mengangguk-angguk pula.

Sejenak kemudian, maka anak-anak muda itu mulai mengganggu Pandan Wangi. Dua orang dengan sengaja duduk di sebelahnya, sementara yang lain duduk di depannya.

Seorang anak muda yang duduk dekat di sisi Pandan Wangi itu mulai bertanya, “Kalian akan pergi kemana Ki Sanak?”

Pandan Wangi memang bergeser sedikit, justru mendesak Swandaru. Tetapi anak muda yang duduk di sisinya itu mendesak lagi.

Sikap Swandaru memang berbeda dengan Agung Sedayu. Sifat anak itu bagi Swandaru sudah tidak dapat dimaafkan lagi. Karena itu, maka iapun tidak banyak berbicara. Ia langsung bangkit berdiri, meloncat mendekati anak muda yang mendesak Pandan Wangi itu. Diraihnya bajunya, dan anak muda itu dilemparkannya melewati sandaran lincak bambunya.

Anak muda itu jatuh terlentang. Terdengar ia mengaduh tertahan. Meskipun demikian, anak muda itu juga berusaha untuk bangkit berdiri. Namun demikian ia tegak, maka Swandaru telah memukul keningnya, sehingga sekali lagi anak muda itu terlempar jatuh. Tetapi ia tidak lagi terlentang. Justru anak muda itu berjerembab mencium lantai.

Kawan-kawannya menjadi marah. Serentak mereka bangkit berdiri. Ada di antara mereka langsung menarik senjatanya dan siap untuk bertempur.

Pandan Wangi sendiri telah meloncati sandaran tempat duduknya yang memanjang. Demikian pula Swandaru. Tetapi Pandan Wangi masih merasa belum perlu menarik sepasang pedangnya.

Ketika anak-anak muda itu mulai mengepungnya, maka tiba-tiba saja Swandaru telah mengurai cambuknya yang semula tidak dilihat oleh anak-anak muda itu. Dengan kemarahan yang bergejolak di dadanya, maka Swandaru pun telah memutar cambuknya. Sekali hentak, maka lincak bambu panjang itu terpotong menjadi dua.

Betapa terkejutnya anak-anak muda itu. Mereka melihat batang-batang pring wulung yang besar dan kuat, yang dibuat sebagai kerangka lincak bambu itu serta galamya sekaligus, seakan-akan tidak lebih keras dari buah ranti yang masak yang dibelah dengan sebilah pisau yang sangat tajam.

Karena itu, tanpa menghiraukan lagi kawannya yang masih belum dapat bangkit, anak-anak muda itu serentak berlari keluar dari kedai itu.

Swandaru memang akan mengejar mereka. Tetapi Pandan Wangi dengan cepat memegangi lengannya sambil berdesis, “Sudahlah Kakang. Mereka tentu tidak akan mengganggu lagi.”

“Tetapi mereka harus menjadi jera. Jika lain kali ada orang lain yang singgah di kedai ini bersama istrinya, maka dapat saja mereka mengganggu tanpa ada yang dapat menghalangi.”

“Aku kira apa yang baru saja terjadi akan membuat mereka berpikir ulang untuk melakukan hal yang sama,“ berkata Pandan Wangi.

Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Kita teruskan perjalanan kita.”

Namun keduanya sempat mendekati pemilik kedai yang menjadi gemetar ketakutan. Ia belum pernah melihat sebagaimana apa yang terjadi saat itu. Beberapa batang pering wulung itu rantas terpotong oleh juntai cambuk.

Sambil melemparkan beberapa keping uang Swandaru berkata, “Ambil uang itu untuk membuat tempat duduk yang baru.”

“Tidak. Tidak perlu Ki Sanak,” suara pemilik kedai itu bergetar, ”harganya tidak seberapa.”

“Ambil!” Swandaru membentak sambil membelalakkan, “Kau ambil, atau aku putuskan lehermu seperti lincak bambumu itu.”

“Baik. Baik Ki Sanak.” Orang itu menjadi semakin gemetar ketika tangannya meraih keping-keping uang yang dilemparkan oleh Swandaru.

Demikianlah, sejenak kemudian Swandaru dan Pandan Wangi telah melanjutkan perjalanannya. Sementara itu pemilik kedai yang ketakutan itu berdesis, “Aku telah melihat hantu di siang hari begini.”

Sementara itu seorang yang duduk di sudut berkata, “Jantungku rasa-rasanya sudah terlepas dari tangkainya.”

Seorang yang lebih tua agaknya sudah dapat menguasai gejolak perasaannya. Dengan jantung yang berdebaran ia mendekati anak muda yang terjerambab jatuh menelungkup. Anak muda itu memang sudah berusaha untuk bangkit. Tetapi terasa kepalanya menjadi pening.

“Marilah, duduklah.“

Anak muda itu pun telah dibantu berdiri dan melangkah beberapa tapak. Kemudian anak muda itu didudukkan pada sebuah lincak bambu.

“Minumlah,“ berkata orang yang menolongnya.

Anak muda itu minum beberapa teguk. Tetapi matanya masih saja kabur, sementara itu kepalanya merasa pening.

“Lain kali berhati-hatilah,“ berkata orang yang menolongnya itu.

Anak muda itu mencoba mengangguk. Tetapi kepalanya masih terasa sakit sekali untuk digerakkan.

Sementara itu Swandaru dan Pandan Wangi telah menjadi semakin jauh. Bahkan rasa-rasanya mereka tidak lagi merasa haus.

Mereka tidak berhenti lagi di perjalanan. Kuda-kuda mereka mendapat kesempatan beristirahat saat mereka menyeberang Kali Praga. Sambil menunggu rakit, maka kuda-kuda itu sempat makan rumput di pinggir tepian berpasir.

Kedatangan Swandaru dan Pandan Wangi di Tanah Perdikan Menoreh telah disambut oleh Ki Gede dengan gembira. Ia memang sudah merasa rindu karena anak dan menantunya itu memang sudah terhitung lama tidak datang berkunjung.

“Marilah, duduk saja di ruang dalam,” berkata Ki Gede. Setelah menyerahkan kuda-kuda mereka kepada seorang pembantu di rumah itu, maka Swandaru dan Pandan Wangi pun langsung masuk ke ruang dalam.

Setelah Ki Gede menanyakan keselamatan mereka di perjalanan, maka Ki Gede pun berkata, “Baru saja Tanah Perdikan ini mengalami suatu peristiwa yang telah mengguncang ketenangan hidup para penghuninya.”

“Sabungsari telah datang ke Kademangan Sangkal Putung,” sahut Pandan Wangi. “Ia telah menceritakan kejadian yang baru saja mengganggu ketenangan Tanah Perdikan itu, sehingga aku dan Kakang Swandaru menjadi sangat ingin berkunjung ke Tanah Perdikan ini.”

“Aku gembira sekali menerima kunjungan kalian,“ jawab Ki Gede. Sejenak kemudian Ki Gede itu pun berkata pula, “Untunglah bahwa di Tanah Perdikan ini ada Angger Agung Sedayu dan beberapa orang kawannya, dan para prajurit Mataram dari Pasukan Khusus itu, sehingga kami dapat bekerja sama dengan mereka untuk mengatasi kesulitan yang timbul pada saat itu.”

“Apakah benar bahwa Kakang Agung Sedayu terluka parah?” bertanya Swandaru.

“Ya. Angger Agung Sedayu memang terluka parah. Tetapi kini keadaannya sudah berangsur baik. Ia sudah melakukan tugasnya sehari-hari sebagai pemimipin prajurit Mataram dari Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan Menoreh.”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Seharusnya Kakang Agung Sedayu dapat menghindarinya jika ia mempersiapkan dirinya lebih baik.”

“Maksudmu?“ berkata Ki Gede.

“Ia masih mempunyai kesempatan yang cukup untuk meningkatkan ilmunya,“ jawab Swandaru.

“Lawannya waktu itu adalah Resi Belahan,“ jawab Ki Gede, “seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.”

“Menurut Sabungsari, banyak di antara kita yang terluka,“ berkata Pandan Wangi mendahului suaminya.

“Ya. Yang terluka dan yang gugur. Resi Belahan memang membawa kekuatan yang besar. Bahkan di antara mereka terdapat orang-orang yang masih berada dalam tatanan kehidupan yang agak ketinggalan dari tatanan kehidupan kita.”

Pandan Wangi mengangguk-angguk. Sementara Ki Gede berkata selanjutnya, “Mudah-mudahan kekerasan seperti yang dilakukan oleh Resi Belahan itu tidak terjadi lagi di Tanah Perdikan ini. Kami di sini sudah merasa sangat letih menghadapi kekerasan yang datang dari luar.”

“Tetapi sulit bagi kita untuk menghindar sama sekali,“ berkata Swandaru. “Kita memang tidak mencari musuh. Tetapi jika musuh itu datang, maka apa boleh buat.”

Ki Gede menarik nafas panjang. Katanya, “Ya. Kita memang tidak dapat menyerahkan Tanah ini begitu saja kepada siapapun juga.”

Namun Pandan Wangi-lah yang kemudian membelokan pembicaraan mereka. Pandan Wangi pun kemudian menanyakan kehidupan dan kesejahteraan rakyat Tanah Perdikan Menoreh pada umumnya.

“Besok aku ingin melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan ini,” berkata Pandan Wangi.

“Sudah banyak perbaikan dilakukan di Tanah Perdikan. Tatanan kehidupannya menjadi semakin baik,“ jawab Ki Gede. “Ternyata Prastawa mampu berbuat banyak atas Tanah Perdikan ini. Jika semula Agung Sedayu dapat mencurahkan tenaganya bagi Tanah Perdikan ini, sekarang waktunya lebih terikat pada tugas-tugasnya di barak Pasukan Khusus itu. Meskipun demikian, ia masih menyempatkan diri untuk membantu kami dalam keadaan yang gawat.”

“Bagaimana dengan Glagah Putih?” bertanya Pandan Wangi.

“Anak yang rajin,“ jawab Ki Gede, “tidak banyak berbeda dengan Agung Sedayu. Sudah beberapa lama ia berada di Mataram. Tetapi pada saat-saat terakhir, ia berada di Tanah Perdikan ini.”

Pandan Wangi mengangguk-angguk. Ketika ia melewati jalan-jalan panjang di Tanah Perdikan Monoreh, ia memang sempat melihat tatanan kehidupan yang baik dan mapan. Meskipun masih dilihatnya rumah-rumah kecil yang bahkan mulai condong, namun rata-rata di Tanah Perdikan ini sudah menjadi semakin baik.

Demikianlah, sejenak kemudian Ki Gede pun telah mempersilahkan menantu dan anaknya itu beristirahat. Sementara Swandaru berniat lewat senja akan pergi ke rumah Agung Sedayu.

Tetapi keduanya memang tidak segera dapat beristirahat. Ketika keduanya kemudian duduk di serambi, maka Prastawa-lah yang telah menemui mereka.

“Apakah Kakang dan Mbokayu sudah lama berada di sini?” bertanya Prastawa yang baru saja datang dari melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan.

“Belum terlalu lama,“ jawab Swandaru.

Prastawa yang ikut duduk di serambi itu pun kemudian telah berbincang-bincang panjang dengan Swandaru dan Pandan Wangi, sambil menghirup minuman hangat dan memandangi halaman rumah Ki Gede yang luas. Selebar-lebarnya dedaunan kering yang ditempa angin berjatuhan di halaman.

Seperti masa kanak-kanaknya Pandan Wangi sering memperhatikan dedaunan yang runtuh dari pegangannya. Bersama Sidanti ia sering menyapu halaman yang luas itu.

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Sidanti sudah tidak ada lagi.

Ketika di luar sadarnya ia berpaling kepada Prastawa, maka ia sama sekali tidak melihat persamaan di antara kedua orang saudara yang menurut gelarnya adalah saudara sepupu itu. Berbeda dengan Agung Sedayu dan Glagah Putih, yang masih nampak beberapa persamaan di wajah mereka.

Tetapi Pandan Wangi tidak pernah mengatakannya kepada siapapun tentang hal itu, karena setiap kenangan kepada Sidanti akan dapat melukai hati ayahnya, dan juga hatinya sendiri.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar