Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 285

Buku 285

“Ya Paman. Jika pertempuran telah terjadi, maka aku akan membawa pasukan terkuat di sisi barat ke selatan.”

“Jangan terlambat. Kita harus memperhitungkan kemungkinan buruk bagi pasukan yang ada di sisi selatan,” berkata Ki Gede.

“Aku akan menemui pemimpin pengawal di sisi barat,” berkata Prastawa kemudian.

“Jangan lewat jalan di depan rumah Agung Sedayu,” pesan Ki Gede.

Sejenak kemudian, maka Prastawa dengan beberapa orang pengawal telah berderap menuju ke sebelah barat padukuhan.

Sementara itu, pasukan induk dari perkemahan demikian mendengar isyarat, mereka pun telah bergerak mendekati padukuhan induk. Mereka sama sekali belum melihat bahwa di sela-sela pepohonan dan di belakang setiap bongkahan batu di dinding padukuhan, bersembunyi para pengawal dan laki-laki bersenjata.

Seperti pesan Ki Gede, maka Prastawa tidak mengambil jalan lewat di depan rumah Agung Sedayu, untuk menghindari pertemuan dengan orang-orang berilmu tinggi dari perkemahan.

Demikian Prastawa sampai di pertahanan di sisi barat, maka iapun segera memerintahkan sebagian besar dari mereka bergeser ke selatan, untuk melawan serangan pasukan induk dari perkemahan yang menyerang dari sisi selatan.

“Sebagian kecil dari kalian akan tetap berada di sini untuk mengawasi kemungkinan lain. Kalian juga harus menempatkan diri sebagai pasukan cadangan, yang setiap saat dapat dipanggil ke medan sebagaimana para pengawal yang berada di tempat lain.”

Demikianlah, maka sebagian besar dari pengawal, anak-anak muda dan bahkan laki-laki yang masih sanggup untuk turun ke medan, telah bergeser ke sisi selatan. Mereka diperintahkan untuk bergerak di dalam dinding padukuhan induk.

“Hindari jalan di sekitar rumah Agung Sedayu. Biarlah serangan dengan sasaran rumah Agung Sedayu diselesaikan oleh Agung Sedayu sendiri,“ perintah Prastawa kemudian.

Demikianlah, terjadi aliran para pengawal di dalam dinding padukuhan induk. Namun karena para pengawal sudah mengenali sudut-sudut padukuhannya dengan baik, maka mereka pun dengan cepat berada di garis pertahanan mereka yang baru. Sementara para pengawal yang telah berada lebih dahulu di tempat itu, sudah siap dengan busur dan anak panah mereka. Bahkan lembing dan tombak.

Sementara itu. Resi Belahan telah berada di regol halaman rumah Agung Sedayu. Dengan cepat ia memerintahkan orang-orangnya untuk memasuki halaman itu dan mengepungnya.

“Pasukan induk kita tentu sudah bergerak. Kita berharap bahwa pasukan induk itu akan dapat menghancurkan pasukan Tanah Perdikan di induk pasukan ini lebih cepat dari kekalahan pasukan kita yang menyerang Pasukan Khusus di baraknya, serta padukuhan-padukuhan kecil itu. Dengan demikian maka tidak akan ada kesempatan para prajurit membantu Tanah Perdikan ini, karena jika mereka berniat membantu setelah pasukan induk kita menghancurkan pasukan di padukuhan induk ini, maka akan datang giliran kita menghancurkan para prajurit itu.”

Orang-orang berilmu tinggi itu tidak menunggu lebih lama lagi. Mereka pun tidak bertanya, apa yang akan terjadi kemudian setelah Tanah Perdikan itu mereka duduki, sedangkan Mataram ikut campur pula. Namun agaknya Resi Belahan memperhitungkan bahwa Pati pun akan segera bergerak pula, sehingga kedudukan mereka di Tanah Perdikan Menoreh akan memberikan dukungan, setidak-tidaknya dapat mengganggu ketahanan Mataram.

Dalam waktu yang singkat, rumah Agung Sedayu itu memang sudah terkepung. Beberapa orang berada di halaman, yang lain di halaman samping dan halaman belakang. Sementara itu beberapa orang pilihan yang ikut bersama mereka telah memperapat kepungan.

Di dalam rumah itu. Agung Sedayu menyadari sepenuhnya bahwa rumahnya sudah terkepung. Tetapi ia memang sengaja membiarkan hal itu terjadi. Agung Sedayu memang berusaha untuk menghisap orang-orang berilmu tinggi dari perkemahan itu memasuki halaman rumahnya, dan dengan demikian maka akan terjadi pertempuran yang sangat seru. Namun Agung Sedayu berharap bahwa korban tidak akan bertebaran. Jika orang-orang berilmu tinggi itu menyebar di medan pertempuran, maka korban tentu akan berserakan dimana-mana.

“Menang atau kalah, kita akan dapat membatasi korban. Di luar rumah ini masih ada Prastawa dan Ki Gede Menoreh, yang akan dapat mengatur perlawanan dengan sebaik-baiknya,” berkata Agung Sedayu kepada orang-orang yang ada di rumahnya.

Sementara itu, menjelang matahari terbit, di halaman rumah Agung Sedayu terdengar suara lantang, “He, Agung Sedayu! Rumahmu sudah terkepung. Padukuhan induk Tanah Perdikan ini pun sudah terkepung. Bangunlah. Di Tanah Perdikan ini akan terjadi pertumpahan darah yang mungkin tidak akan terkendali.”

Resi Belahan menunggu sejenak. Namun tidak segera terdengar jawaban. Karena itu, maka iapun berbisik kepada Ki Tempuyung Putih, “Apakah ia berada di antara para pengawal yang melakukan baris pendem itu?”

“Jika demikian, kita akan terkecoh,” desis Ki Tempuyung Putih.

“Tidak. Sebab kita masih mempunyai kesempatan,“ jawab Resi Belahan, “bahkan kita akan dapat menghancurkan pasukan Tanah Perdikan dari dalam padukuhan induk itu sendiri.”

Tetapi Resi Belahan itu terdiam ketika ia mendengar pintu rumah Agung Sedayu terbuka. Demikian Agung Sedayu melangkah keluar, maka terdengar Resi Belahan menyapanya, “Ternyata kau ada di rumah, Agung Sedayu.“

“Siapakah kalian ini, Ki Sanak?” bertanya Agung Sedayu.

“Aku-lah yang disebut Resi Belahan. Aku-lah yang memimpin pasukan yang sekarang menyerang Tanah Perdikan Menoreh ini,“ jawab Resi Belahan.

“Bukankah yang ada di sebelahmu itu bernama Tempuyung Putih?” tiba-tiba saja seseorang muncul dari balik pintu. Demikian tiba-tiba, sehingga tidak seorangpun yang mampu mencegahnya. Orang itu adalah Bajang Bertangan Baja.

Ki Tempuyung Putih terkejut. Di luar sadarnya ia menggeram, ”Bajang Bertangan Baja.”

“Ya. Aku menunggu kesempatan ini Ki Tempuyung Putih. Aku pernah kau siksa sehingga tubuhku hampir kau remukkan.”

Wajah Ki Tempuyung Putih memang menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia menjawab, “Setan kau Bajang. Ternyata kau sempat melepaskan diri. Jika aku tahu bahwa kau akan berhasil melepaskan diri, maka kaki atau tanganmu tentu sudah aku potong.”

Bajang Bertangan Baja itu tertawa. Katanya, “Ternyata orang-orang Tanah Perdikan Menoreh telah berbaik hati menolongku. Nah, sekarang kita mempunyai kesempatan untuk berhadapan. Kita akan bertempur seorang melawan seorang.”

“Bagus Bajang Iblis. Aku telah gagal memotong tanganmu di perkemahanku. Sekarang aku berkesempatan memotong lidahmu.”

Resi Belahan-lah yang kemudian menyahut, “Bagus. Ki Tempuyung Putih telah mendapatkan lawannya.”

“Orang inilah yang telah menjerumuskan Ki Manuhara ke dalam kematian yang mengecewakan. Ki Manuhara telah dibujuknya untuk berbuat sesuatu yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan niatnya datang ke Mataram,“ jawab Ki Tempuyung Putih.

Tetapi Bajang Bertangan Baja itu menjawab, “Omong kosong. Ki Manuhara telah mati di halaman rumah ini. Umur yang tersisa adalah karena aku telah menolongnya mengobati luka-luka dalamnya yang sudah siap membunuhnya. Karena itu, aku merasa berhak untuk memanfaatkan sisa hidup Ki Manuhara, meskipun aku juga berjanji untuk membantunya jika persoalanku sendiri sudah selesai.”

“Setan kau. Yang kau manfaatkan bukan hanya Ki Manuhara. Tetapi juga orang-orangnya,” geram Ki Tempuyung Putih.

“Aku tidak peduli. Sekarang, bersiaplah Ki Tempuyung Putih.”

Ki Tempuyung Putih tidak menjawab lagi. Tetapi ia bergeser selangkah. Iapun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Dalam pada itu Resi Belahan pun berkata, “Agung Sedayu. Dimana kawan-kawanmu? Aku tidak mempunyai waktu banyak. Aku akan segera menghancurkan rumahmu seisinya. Kecuali jika kalian menyerah tanpa syarat dan tidak menolak kami perlakukan menurut kehendak kami.”

“Baiklah Resi Belahan. Karena kau yang memimpin kawan-kawanmu memasuki halaman rumahku, sedang aku adalah kepala keluarga di sini, maka aku akan menghadapimu sebagai lawan.”

“Aku sudah mengira. Dan aku pun sudah mendengar bahwa Agung Sedayu adalah seorang yang berilmu tinggi. Tetapi betapapun tinggi ilmu seseorang, namun ia tentu mempunyai kelemahan-kelemahan yang akan dapat ditembus,“ berkata Resi Belahan.

“Ya. Aku pun berpendirian seperti itu. Betapapun tingginya ilmu Resi Belahan, tetapi tentu ada kelemahan-kelemahan yang akan dapat ditembus.”

Resi Belahan pun kemudian memberikan isyarat kepada orang-orangnya. Bahkan ia sempat memperkenalkan beberapa orang kepada Agung Sedayu.

Agung Sedayu tersenyum melihat beberapa orang pengikut Resi Belahan yang diperkenalkan kepadanya itu. Katanya, “Ternyata kau memiliki beberapa orang berilmu tinggi. Baiklah Resi Belahan. Aku sudah tahu rencanamu. Karena itu, biarlah kawan-kawanku yang ada di rumah ini mempertahankan dirinya. Termasuk Bajang Bertangan Baja. Ternyata ia berpihak kepadaku.”

Resi Belahan tidak menunggu lebih lama lagi. Terdengar iapun bersuit nyaring. Dengan demikian maka orang-orangnya yang mengepung rumah itu pun mulai bergerak.

Selain orang-orang yang berilmu tinggi yang datang bersama Resi Belahan, maka para pengikutnya yang terpilih pun telah menyebar ke segala penjuru halaman rumah Agung Sedayu.

Namun dalam pada itu, maka suitan Resi Belahan itu pun merupakan perintah pula bagi orang-orang yang berada di dalam rumah dan di dalam gandok untuk berloncatan keluar. Tidak saja lewat pintu depan, tetapi juga lewat pintu-pintu butulan dan seketheng.

Resi Belahan memang terkejut. Ternyata yang ada di rumah itu bukan saja Agung Sedayu dan beberapa orang berilmu tinggi. Tetapi beberapa orang lain telah berada di rumah itu pula.

“Ternyata kau licik seperti Ki Gede Menoreh,” geram Resi Belahan.

“Kenapa?” bertanya Agung Sedayu.

“Kau membuat baris pendem sebagaimana Tanah Perdikan ini.”

“Apa salahnya?” bertanya Agung Sedayu. Lalu katanya pula, “Kami memang sudah tahu pasti akan kedatangan kalian pada hari ini. Prasanta dan Saramuka telah memberikan keterangan kepada kami, sehingga kami dapat mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Kami pun tahu bahwa sebagian pasukan kecilmu akan menyerang padukuhan-padukuhan di dekat lereng perbukitan. Sedang yang lain akan menyerang barak Pasukan Khusus, untuk mengikat agar para prajurit dari Pasukan Khusus itu tidak keluar dari baraknya.”

“Kalian memang licik seperti iblis,“ geram Resi Belahan kemudian, “tetapi itu semua tidak ada gunanya. Hari ini Tanah Perdikan ini akan musnah menjadi debu.”

“Kami akan mencoba melawan sebaik-baiknya, dengan keyakinan bahwa kami akan mampu melakukannya. Karena kami yakin bahwa yang bersalah tidak akan mencapai niatnya yang jahat itu. Yang Maha Agung akan selalu melindungi kami.”

“Persetan dengan sesorahmu,“ sahut Resi Belahan, “kau akan menyesal, karena aku tidak akan dapat kau persamakan dengan Manuhara. Orang yang tidak mempunyai pendirian yang tegak dan tegar. Tetapi hatinya lemah seperti batang ilalang, yang merunduk ke mana arah angin bertiup.”

Agung Sedayu pun harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Sementara itu, Resi Belahan sempat memperhatikan beberapa orang yang berloncatan dari gandok rumah Agung Sedayu. Mereka adalah anak-anak dari Kelompok Gajah Liwung. Seorang anggota dari Gajah Liwung yang tertua tidak ada di antara mereka, karena Ki Ajar Gurawa dan kedua muridnya ada di halaman belakang.

Tetapi Resi Belahan tidak menjadi gentar. Iapun membawa beberapa orang kepercayaannya selain orang-orang berilmu tinggi. Resi Belahan berharap bahwa orang-orangnya akan dapat menghancurkan orang-orang yang berada di rumah Agung Sedayu itu.

Dalam pada itu, seperti yang diperhitungkan oleh Resi Belahan, maka Putut Rahinaya telah memerintahkan pasukannya untuk menyerang padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.

Perintah itu pun menjalar dari mulut setiap pemimpin kelompok pasukannya dari ujung sampai ke ujung.

Putut Rahinaya memang tidak menyusun gelar khusus bagi pasukannya. Mereka mengandalkan kemampuan pribadi mereka masing-masing. Mereka datang menyerang padukuhan induk bagaikan samodra rob. Seperti ombak di samudra yang bergulung-gulung menghantam pantai.

Di belakang dinding padukuhan, di setiap batang pepohonan dan di belakang gerumbul-gerumbul yang rimbun, para pengawal Tanah Perdikan telah siap menunggu kedatangan orang-orang dari perkemahan itu. Prastawa sendiri memimpin pasukan pengawal yang bertahan, sementara seorang bebahu yang memiliki kelebihan dari sesamanya memimpin orang-orang Tanah Perdikan di padukuhan induk. Meskipun sudah tak terhitung muda lagi, tetapi ia masih memiliki kesanggupan untuk bertempur.

Seperti para pengawal dan anak-anak muda di Tanah Perdikan, maka orang-orang yang sudah tidak terhitung muda lagi itu juga terbagi dalam kelompok-kelompok yang dipimpin oleh pemimpin kelompok.

Demikianlah, ketika pasukan yang menyerang padukuhan induk itu menghambur menyerang dari arah selatan, maka para pengawal pun telah menyambut mereka dengan lontaran anak panah dari balik setiap pepohonan.

Perlawanan itu memang mengejutkan. Putut Rahinaya segera mengetahui bahwa para pengawal telah melakukan pertahanan yang tersembunyi. Luput dari pengamatan orang-orang yang bertugas sandi di Tanah Pedikan, karena laporan yang sampai kepada Ki Tempuyung Putih mengatakan bahwa pertahanan di Tanah Perdikan itu, khususnya di padukuhan induk, sangat rapuh.

Lontaran anak panah yang bagaikan hujan itu menunjukkan bahwa pertahanan di padukuhan induk itu bukan pertahanan yang rapuh. Namun pasukan yang menyerang itu memang sudah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Dengan tangkasnya maka orang-orang yang berperisai pun segera bergerak di paling depan.

Namun mereka yang bersenjata pedang, tombak, canggah dan bahkan trisula dan kapak pun dengan cekatan telah menangkis anak-anak panah yang meluncur dari balik pepohonan. Namun orang-orang Tanah Perdikan yang sempat memanjat pepohonan dan membidikkan anak panahnya sambil duduk di atas dahan-dahan yang besar, merupakan serangan yang berbahaya.

Demikianlah, maka ketika matahari memancarkan sinarnya menyentuh rerumputan yang basah oleh embun, maka pertempuran pun telah membakar padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.

Ternyata pertempuran tidak saja terjadi di padukuhan induk. Ada dua padukuhan lain yang juga telah mengalami serangan. Padukuhan yang tidak jauh dari perbukitan.

Para pengawal yang memang tidak cukup banyak, karena hanya terdiri dari para pengawal, anak-anak muda dan laki-laki yang masih mampu bertempur dari padukuhan itu sendiri, serta sedikit bantuan dari padukuhan yang lain, harus berjuang mati-matian untuk mempertahankan padukuhan itu. Beberapa padukuhan yang lain memang tidak dapat banyak memberikan bantuan, karena para pengawal Tanah Perdikan Menoreh sebagian besar ada di padukuhan induk untuk menghadapi serangan terbesar pasukan dari perkemahan.

Namun ternyata kelompok-kelompok prajurit dari Pasukan Khusus meskipun tidak terlalu banyak, telah datang membantu para pengawal dan para penghuni padukuhan-padukuhan yang sedang bertahan itu. Apalagi kekuatan lawan memang juga tidak terlalu besar, karena serangan itu sekedar serangan untuk mengelabuhi kesiagaan Tanah Perdikan Menoreh.

Sementara itu di barak prajurit Pasukan Khusus pun pertempuran telah berkobar dengan sengitnya. Orang-orang yamg berbindi yang pada umumnya memilki kekuatan wadag yang sangat besar itu bertempur dengan membabi buta. Tetapi para prajurit dari Pasukan Khusus yang terlatih itu tidak banyak mengalami kesulitan menghadapi mereka. Kesulitan utama dari para prajurit itu justru menjaga jangan sampai korban dari lawan mereka terlalu banyak. Mereka justru menghindari kematian dari orang-orang yang tidak tahu apa yang mereka lakukan itu.

Orang-orang yang hanya mengandalkan kekuatan kewadagan mereka itu memang menjadi bingung menghadapi gelar para prajurit dari Pasukan Khusus itu. Ketika mereka merasa mampu menembus sela-sela pertahanan Pasukan Khusus itu, justru mereka terjebak ke dalam pusaran kekuatan yang tidak tertembus.

Karena itu. para penyerang itu menjadi bingung. Kekuatan kewadagan mereka ternyata tidak banyak membantu melawan ketangkasan bukan saja dalam olah kanuragan, tetapi juga penalaran dari para prajurit itu.

Itulah sebabnya, maka mereka tidak dapat berbuat banyak ketika mereka menghadapi putaran ujung senjata para prajurit dari Pasukan Khusus yang bergerak dengan cepat di sekitar mereka. Orang-orang yang rata-rata memiliki kekuatan sangat besar itu menjadi bingung. Para prajurit itu bagaikan berterbangan di sekitar mereka. Ujung-ujung senjata mereka-lah yang singgah di tubuh mereka.

Bindi-bindi mereka pun seakan-akan tidak berdaya sama sekali. Jika senjata itu terayun, maka tidak ada sasaran yang dapat mereka kenai. Senjata-senjata mereka yang berat itu bagaikan melayang menembus kekosongan udara.

Tetapi para prajurit dari Pasukan Khusus yang sudah mendapat pesan dari Agung Sedayu dan para pemimpin mereka agar tidak memperlakukan lawan mereka dengan semena-mena, memang berusaha agar korban tidak terlalu banyak jatuh. Para prajurit itu justru menjadi iba karena lawan mereka yang tidak mampu menempatkan diri dalam dalam satu pertempuran yang didasari pada kemampuan ilmu serta olah kanuragan.

Tetapi orang yang tidak tahu pasti untuk apa mereka bertempur itu pada umumnya memang orang-orang yang keras kepala. Mereka tidak segera mengakui kenyataan bahwa mereka tidak memiliki bekal yang cukup untuk melawan para prajurit dari Pasukan Khusus itu.

Karena itu, maka para prajurit yang sebenarnya mulai merasa iba terhadap orang-orang yang dianggap dungu itu, kadang-kadang menjadi jengkel. Karena itulah maka orang-orang yang kasar dan keras yang kebanyakan bersenjata bindi itu banyak yang mengalami luka yang cukup berat. Luka-luka yang ringan tidak mampu menghentikan perlawanan mereka. Bahkan seolah-olah mereka yang sudah tergores senjata di kulitnya justru mengamuk sejadi-jadinya, sehingga para prajurit harus menghentikannya dengan melukainya lebih banyak lagi. Bahkan kadang-kadang ada yang menjadi parah.

Sementara itu, di padukuhan kecil di dekat perbukitan itu pun pertempuran menjadi semakin sengit. Ketika kelompok-kelompok prajurit dari Pasukan Khusus datang di padukuhan-padukuhan itu, maka orang-orang yang datang dari perkemahan itu pun segera mengalami kesulitan.

Tetapi mereka yang menyerang itu pun menyadari, bahwa kemenangan di padukuhan itu bukan tujuan. Mereka sekedar berusah memancing perhatian para pengawal Tanah Perdikan.

Suara kentongan di padukuhan itu memang telah membuat penyerang itu merasa berhasil memancing perhatian. Tetapi ternyata bahwa tidak ada pasukan pengawal yang datang dari padukuhan-padukuhan di sebelahnya, dan apalagi dari padukuhan induk. Tetapi yang datang justru dari Pasukan Khusus.

Meskipun dalam kesulitan, tetapi pasukan dari perkemahan itu masih saja bertempur terus. Mereka harus bertahan sampai batas kemungkinan pasukan induknya menghancurkan padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Jika kemudian mereka memang tidak mampu menguasai padukuhan itu, mereka diwajibkan untuk pergi ke padukuhan induk Tanah Perdikan dan bergabung dengan pasukan induknya, yang diharapkan sudah menguasai padukuhan induk itu.

Sementara itu, pertempuran di padukuhan induk benar-benar menjadi sengit. Pasukan yang datang benar-benar merupakan pasukan yang kuat. Tetapi pertahanan di padukuhan induk bukannya pertahanan yang rapuh sebagaimana keterangan yang mereka terima dari Prasanta dan Saramuka. Para pengawal bukannya orang-orang yang sekedar hilir mudik di jalan-jalan padukuhan, sementara anak-anak muda bukannya sekedar berada di gardu-gardu untuk berjudi. Tetapi mereka adalah kekuatan yang besar yang mempertahankan padukuhan induk dengan kemampuan yang memadai. Bahkan orang-orang yang sudah tidak terhitung muda lagi, tetapi masih sangup bertempur, ada pula di antara mereka yang mempertahankan Tanah Perdikan itu. Apalagi mereka yang bekas pengawal Tanah Perdikan itu, bahkan bekas prajurit. Meskipun tenaga mereka mulai susut, tetapi pengalaman mereka merupakan bekal yang sangat berarti.

Putut Rahinaya dengan garangnya telah meneriakkan aba-aba untuk memecahkan pertahanan para pengawal. Tetapi pekerjaan itu bukan pekerjaan yang mudah. Para pengawal yang ada di pepohonan masih saja menyerang dengan anak panah dan lembing.

Dengan demikian, maka garis pertahanan pasukan Tanah Perdikan Menoreh masih belum bergeser. Pasukan induk dari perkemahan itu belum mampu menembus garis pertahanan, apalagi memasuki padukuhan induk.

Sementara itu, pertempuran yang lain telah terjadi pula di halaman rumah Agung Sedayu. Orang-orang berilmu tinggi itu memperhitungkan bahwa mereka akan dapat menghancurkan seisi rumah itu.

Yang kemudian bertempur dengan garangnya adalah Ki Tempuyung Putih melawan Bajang Bertangan Baja yang mendendamnya. Keduanya memang orang yang berilmu sangat tinggi. Dengan demikian maka pertempuran di antara mereka pun terjadi dengan sengitnya. Kaki-kaki mereka seakan-akan tidak lagi berjejak di atas tanah. Mereka berloncatan bagaikan bayangan. Meskipun sinar matahari menjadi semakin gatal menggigit kulit, namun keduanya masih saja seakan-akan gumpalan-gumpalan yang kabur berputaran di sudut halaman.

Pertempuran di halaman rumah Agung Sedayu itu memang telah menebar ke seluruh halaman depan, samping dan belakang. Benturan-benturan kekuatan dan ilmu telah terjadi di mana-mana.

Seperti yang pernah disebut-sebut, maka di halaman rumah itu memang hadir Ki Sembada, Putut Permati dan Ki Carang Ampel, serta beberapa orang lagi selain para pengikut Resi Belahan yang terpercaya.

Bahkan di antara mereka terdapat seorang bangsawan dari Pati, yang pernah berusaha untuk mengambil Rara Wulan dan bahkan dengan Sekar Mirah sekaligus. Seorang yang selalu mengenakan pakaian yang bagus dan rapi. Seorang yang disebut Raden Bomantara. Ia memang ikut dalam kelompok itu untuk kepentingan sendiri. Raden Bomantara ingin mendapatkan kedua orang perempuan yang tinggal di rumah itu.

Karena itu, maka iapun berusaha untuk menghindari pertempuran dengan orang-orang berilmu tinggi. Bahkan ia telah mengajak seorang yang sudah lewat separo baya untuk melindunginya, karena ia tahu bahwa kedua orang perempuan yang ada di rumah itu adalah perempuan-perempuan yang berilmu tinggi pula.

“Seharusnya kau tidak berbuat bodoh seperti itu,” berkata orang yang sudah lewat separo baya, “biarlah pertempuran ini berlangsung. Kita harus ikut serta melibatkan diri dalam pertempuran ini. Nanti jika pertempuran itu sudah berakhir, maka kau dapat mengambil kedua orang perempuan itu.”

“Aku memerlukannya. Jika aku terlambat dan keduanya mati di pertempuran, aku tentu akan merasa kehilangan,“ jawab Raden Bomantara.

“Kedua orang perempuan itu tentu tidak akan dibunuh.”

“Meskipun hal itu tidak direncanakan dilakukan, tetapi dapat saja hal itu terjadi,“ jawab Raden Bomantara.

“Tetapi jika kita berusaha memasuki rumah itu sekarang, maka kita harus menerobos pertempuran yang sengit itu. Bahkan kita akan dapat terjebak dalam pertempuran yang sulit kita atasi.”

“Kau jangan terlalu banyak membantah. Antar aku mengambil kedua perempuan itu. Jika mereka melawan, kau harus dapat menguasai mereka. Jika perlu aku akan mengikatnya dan membawa mereka ke perkemahan,“ berkata Raden Bomantara.

Orang yang sudah berumur lewat separo baya itu memang menjadi bimbang. Tetapi ia memang mendapat tugas untuk mengikuti dan menjaga keadaan Raden Bomantara.

Sementara itu pertempuran pun berlangsung dengan garangnya. Ki Tempuyung Putih dan Bajang Bertangan Baja telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Keduanya saling menyerang, bukan saja dengan kekuatan kewadagan mereka, tetapi mereka sudah tenggelam dalam pertempuran ilmu yang dahsyat.

Karena itulah, maka anak-anak Gajah Liwung dan para pengikut pilihan dari perkemahan tidak berusaha untuk mendekat. Mereka cenderung untuk menjauhi lingkaran pertempuran di antara keduanya yang berilmu tinggi itu.

Sementara itu, Resi Belahan sendiri telah berhadapan langsung dengan Agung Sedayu. Keduanya merasa bertanggung jawab atas pihak masing-masing. Sehingga keduanya telah menempatkan diri mereka sebagai lawan.

Tetapi mereka masih belum menenggelamkan diri dalam pertempuran di antara mereka berdua. Keduanya masih berkepentingan untuk melihat pertempuran yang terjadi di halaman rumah Agung Sedayu itu.

Sebenarnyalah bahwa pertempuran telah terjadi di segala tempat. Di sebelah gandok, dua orang anak muda dari Kelompok Gajah Liwung tengah bertempur melawan orang-orang pengikut terpercaya Resi Belahan. Namun Naratama dan Suratama yang memiliki kekuatan yang sangat besar itu tidak segera terdesak. Senjata mereka terayun-ayun dengan derasnya. Ketika terjadi benturan senjata, maka rasa-rasanya senjata lawannya itu pun akan terlepas dari genggaman. Bahkan telapak tangannya terasa bagaikan menggenggam bara.

Dalam pada itu, Raden Bomantara telah memaksa Ki Pamekas untuk menyusup memasuki rumah Agung Sedayu lewat pintu butulan. Bomantara yakin, bahwa Ki Pamekas yang berilmu tinggi itu akan dapat menembus setiap perlawanan yang menghalangi usaha mereka untuk menemukan Sekar Mirah dan Rara Wulan.

Namun ketika mereka memasuki seketheng, tiba-tiba saja mereka telah bertemu dengan Wacana yang juga masih berada di rumah itu. Wacana yang juga merasa berkewajiban untuk membantu Agung Sedayu dalam keadaan yang rumit itu, telah mencegah Ki Pamekas.

“Kalian akan kemana Ki Sanak?” bertanya Wacana.

Yang menjawab adalah Raden Bomantara, “Minggirlah. Kami ingin bertemu, berbicara dan kemudian menyelamatkan kedua orang perempuan yang tinggal di rumah ini.”

“Siapakah yang kau maksud?” bertanya Wacana.

“Jangan terlalu banyak bertanya. Menurut pengamatanku, di rumah ini hanya ada dua orang perempuan cantik. Dan biarlah kami menyelamatkan mereka. Jika kami tidak menolong mereka, maka mereka akan dapat mati terbunuh di sini. Di seluruh halaman rumah ini telah terjadi pertempuran yang sengit. Sementara itu orang-orang berilmu tinggi berniat untuk menghancurkan seluruh isi rumah ini, termasuk kedua orang perempuan itu. Karena itu, berikan kesempatan kepada kami untuk menyelamatkan keduanya.”

“Mereka sudah selamat,“ berkata Wacana, “mereka berdua telah diungsikan ke rumah Ki Gede. Meskipun keduanya juga berilmu, tetapi sebaiknya mereka tidak terlibat dalam pertempuran di antara orang-orang berilmu tinggi.”

Wajah Raden Bomantara menjadi tegang. Dengan lantang ia berkata, “Bohong. Kau berbohong.”

Tetapi Wacana menyahut, “Jika kau tidak percaya, marilah, aku antar kau melihat seisi rumah. Di dalam tinggal ada dua orang kawanku yang menjaga agar bagian dalam rumah ini tidak dirusak orang. Tetapi jika kau ingin sekedar melihat apakah kedua orang perempuan itu ada atau tidak, aku tidak berkeberatan. Tetapi setelah kau yakin bahwa keduanya tidak ada, maka kau harus keluar lagi. Kita dapat berkelahi di longkangan atau dimana saja. Kecuali jika kau menyerah.“

“Setan kau,” geram Raden Bomantara, “kau kira aku percaya?”

“Karena itu, marilah. Sudah aku katakan, aku antar kau melihat-lihat ke dalam,“ berkata Wacana.

“Tidak,“ geram Ki Pamekas, “aku akan membunuhmu lebih dahulu. Baru kemudian aku akan melihat ke dalam.”

Tetapi Bomantara memotong, “Tidak. Kita lihat saja ke dalam. Kedua orang itu akan sempat bersembunyi.”

Wacana yang telah bersiap menghadapi segala kemungkinan itu pun menyahut, “Nah, bicarakan dahulu di antara kalian. Apakah kalian akan bertempur dahulu melawan aku, atau akan melihat-lihat dahulu ke dalam.”

“Jangan memperbodoh aku,“ geram Ki Pamekas, “kau akan menjebak kami di dalam rumah itu.”

Raden Bomantara yang hampir berteriak mengajak Ki Pamekas memasuki rumah itu justru mulai berpikir. Ia mulai memikirkan kemungkinan bahwa penghuni rumah itu akan menjebaknya.

Tetapi Wacana menjawab, “Ki Sanak. Kami tidak merasa perlu untuk menjebak kalian, karena kami dengan dada tengadah berani menghadapi kalian.”

“Omong kosong,“ jawab Ki Pamekas, “dengan licik Tanah Perdikan ini menyiapkan baris pendem. Demikian pula kalian berusaha menjebak kami di halaman rumah ini. Sekarang kau akan menjebak aku dan momonganku ini.”

“Jika demikian, apa yang akan kau lakukan? Aku sudah siap. Kawan-kawanmu sudah terlibat dalam pertempuran di seluruh halaman ini. Kau masih saja berbicara ke sana-kemari. Jika kau tidak segera mulai, maka biarlah aku yang memulainya.”

Telinga Ki Pamekas menjadi merah. Karena itu, maka iapun menjawab lantang, “Anak Muda. Seandainya kau berilmu rangkap tujuh, tetapi kau yang baru kemarin sore turun dari perguruanmu, akan segera terkejut melihat garangnya dunia olah kanuragan.“

“Apapun yang akan terjadi, aku sudah siap Ki Sanak,“ geram Wacana.

Ki Pamekas tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan. Sementara itu Raden Bomantara tidak tinggal diam. Iapun telah menyiapkan diri untuk membantu Ki Pamekas.

Tetapi sebelum mereka terlibat dalam pertempuran, Rumeksa yang ada di dalam telah menjenguk keluar lewat pintu butulan. Ketika ia melihat Wacana bersiap melawan dua orang lawan, maka Rumeksa itu pun meloncat keluar sambil berkata, “Biarlah aku melawan anak muda itu.”

Raden Bomantara menggeram. Katanya, “Jika kau ikut campur, maka lehermu akan menjadi taruhan.”

Tetapi Rumeksa itu tertawa. Katanya, “Semua orang yang ada di lingkungan halaman rumah ini akan ikut campur, sebagaimana kau juga ikut campur.”

“Persetan kau. Jangan menyesali nasibmu yang buruk,“ desis Raden Bomantara.

Rumeksa tidak menjawab. Tetapi ia justru meloncat menyerang anak muda yang berpakaian rapi itu.

Raden Bomantara dengan tangkasnya mengelak. Bahkan kemudian iapun telah berputar menyerang. Kakinya terayun cepat mengarah ke dada lawan.

Namun Rumeksa sempat bergeser ke samping, sehingga serangan Raden Bomantara tidak menyentuhnya.

Ketika keduanya terlibat dalam pertempuran yang semakin sengit, maka Wacana dan Ki Pamekas pun telah mulai bertempur pula. Ki Pamekas yang menganggap Wacana masih terlalu kanak-kanak itu ternyata telah terkejut. Wacana memiliki kematangan ilmu yang harus diperhitungkan sebaik-baiknya.

Karena itu, maka Ki Pamekas tidak lagi bertempur dengan semena-mena. Apalagi setiap kali Wacana mampu memotong serangan-serangannya. Bahkan dengan serangan-serangan pula.

“Anak ini ternyata memiliki ilmu yang tinggi pula,” berkata Ki Pamekas di dalam hatinya.

Dalam pada itu, semakin tinggi matahari memanjat langit, maka pertempuran pun menjadi semakin sengit. Rasa-rasanya seluruh halaman rumah Agung Sedayu itu bagaikan terbakar oleh api pertempuran. Seakan-akan tidak ada sejengkal tanah pun yang luput dari loncatan-loncatan kaki mereka yang sedang mempertaruhkan nyawa mereka dalam pertempuran yang semakin sengit pula.

Namun tidak hanya di halaman rumah Agung Sedayu. Pertempuran di sisi selatan padukuhan induk pun telah menjalar. Pasukan dari perkemahan yang tidak segera dapat menembus pertahanan yang kuat di sisi selatan, telah memerintahkan sekelompok di antara mereka untuk menebar ke timur dan ke barat. Mereka harus berusaha untuk memasuki padukuhan induk. Bahkan dari arah manapun.

“Kita tidak dapat menunggu orang-orang berilmu tinggi itu membuka pintu untuk kita! Kita harus memecahkan pertahanan para pengawal dan memasuki padukuhan induk ini!“ teriak Putut Rahinaya.

Kelompok-kelompok yang dianggap akan mampu memecahkan pertahanan para pengawal memang telah menebar. Mereka tidak lagi terikat untuk memasuki padukuhan induk dari sisi selatan. Apalagi ketika matahari menjadi tinggi. Mereka pun tidak lagi menjadi cemas akan menjadi silau sebelum mereka mencapai padukuhan.

Namun ternyata pertahanan pasukan induk Tanah Perdikan berada di dinding padukuhan induk.

Sekelompok orang dari perkemahan yang pergi ke barat ternyata menemukan satu sudut yang lemah dari pertahanan di padukuhan induk. Dengan tangkasnya orang-orang itu, yang sebagian di antaranya terdiri dari orang-orang yang bertubuh keras dan kasar serta bersenjata bindi, namun yang memiliki kekuatan secara pribadi pada umumnya lebih besar dari orang kebanyakan, telah berhasil memecahkan pertahanan para pengawal yang jumlahnya memang tidak begitu banyak. Ketika dua orang penghubung menghubungi pasukan induk yang bertahan di sisi selatan, maka orang-orang yang menyerang padukuhan induk itu sudah berhasil meloncati dinding.

Pertempuran memang menjadi sengit. Tetapi sekelompok orang itu sempat menebar di dalam lingkungan dinding padukuhan induk.

Dengan demikian pertempuran di dinding padukuhan induk itu sudah menyala. Sementara itu beberapa kelompok yang lain telah mengikuti keberhasilan kawan-kawannya yang terdahulu. Mereka menyusul memasuki padukuhan induk lewat pertahanan yang berhasil mereka tembus itu.

Prastawa yang mendapat laporan itu segera memerintahkan pasukan cadangan untuk mengatasinya. Mereka harus menahan orang-orang yang menyerang padukuhan induk itu agar tidak menggapai banjar dan rumah Ki Gede, sebagai tempat pengungsian. Di kedua tempat itu banyak sekali perempuan dan anak-anak. Di antara mereka adalah Sekar Mirah dan Rara Wulan, yang membantu para pengawal mengatur para pengungsi itu.

Dengan cepat para pengawal yang termasuk dalam pasukan cadangan segera menempatkan diri. Mereka pun menebar di lorong-lorong utama padukuhan induk. Bahkan di lorong-lorong sempit pula.

Selain para pengawal dan anak-anak muda dari pasukan cadangan, maka orang-orang yang sudah tidak terhitung muda lagi, namun masih tidak mau ketinggalan mempertahankan kampung halamannya, telah turun pula bersama-sama para pengawal dan anak-anak muda menahan arus pasukan dari perkemahan yang berhasil memasuki dinding padukuhan induk.

Dengan demikian maka pertempuran pun telah terjadi di mana-mana. Bahkan bukan saja di jalan-jalan utama dan lorong-lorong di padukuhan induk itu. Tetapi juga di halaman dan kebun-kebun.

Dalam pada itu, maka para pengawal yang bertugas mengawal para pengungsi di banjar dan di rumah Ki Gede itu pun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi.

Ketika para pengawal di sisi selatan yang bertahan di dinding padukuhan induk mendapat laporan tentang pecahnya pertahanan di padukuhan induk itu, maka mereka pun segera menempatkan diri. Mereka yakin bahwa orang-orang perkemahan yang telah berhasil memasuki padukuhan induk itu akan menyerang para pengawal dari belakang garis pertahanan, agar pertahanan di sisi itu pun terbuka pula.

Karena itu, maka sebagian dari mereka justru telah bergeser masuk lebih ke dalam di padukuhan induk.

Ternyata perhitungan mereka memang benar. Kelompok-kelompok kecil pasukan dari perkemahan itu memang berusaha untuk menarik perhatian para pengawal yang sedang bertahan.

Dengan demikian, maka pertempuran itu pun menjadi semakin menyebar. Kelompok-kelompok kecil saling berhadapan. Bahkan kemudian seorang melawan seorang.

Dalam pada itu, pertempuran di barak prajurit dari Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh itu sudah dapat dianggap selesai. Beberapa orang memang jatuh menjadi korban dari kedua belah pihak. Namun para prajurit dari Pasukan Khusus telah menahan diri untuk tidak membantai lawan-lawan mereka, betapapun mereka menjadi marah karena ada di antara kawan-kawan mereka yang gugur.

Dengan demikian, maka menjelang tengah hari, tidak lagi terjadi pertempuran di barak Pasukan Khusus itu. Pertempuran berakhir jauh lebih cepat dari yang diduga oleh orang-orang yang menyerang barak itu. Mereka memang menjadi bingung dan kehilangan pegangan, ketika mereka harus bertempur menghadapi gelar yang tidak mereka mengerti.

Sementara itu, orang-orang perkemahan yang bertempur di kedua padukuhan kecil itu pun telah dapat dikacaukan oleh para pengawal dan beberapa kelompok prajurit dari Pasukan Khusus yang datang membantu. Bahkan beberapa saat kemudian, maka mereka pun telah menjadi kehilangan gairah perjuangan mereka, sehingga para pemimpin mereka telah memberikan isyarat agar orang-orang perkemahan itu mengundurkan diri.

Meskipun tercerai berai, namun orang-orang perkemahan yang melarikan diri itu telah berusaha untuk mencapai lereng perbukitan. Sambil sekali-sekali melakukan perlawanan, mereka memang berhasil mendekati lereng perbukitan itu. Beberapa kelompok di antara mereka memang berhasil melarikan diri, hilang di antara pepohonan hutan lereng perbukitan. Namun sebagian dari mereka telah dapat ditangkap oleh para pengawal dan para prajurit dari Pasukan Khusus.

Dengan cepat para prajurit dari Pasukan Khusus itu menangani orang-orang yang telah tertangkap. Mereka terpaksa diikat kaki dan tangan mereka, dan menempatkannya di banjar padukuhan. Sementara itu para prajurit dari Pasukan Khusus yang cemas bahwa orang-orang yang melarikan diri itu akan bergabung dengan pasukan induk mereka yang menyerang padukuhan induk, maka pemimpin prajurit dari Pasukan Khusus yang ada di kedua padukuhan itu pun memerintahkan pasukannya bergerak ke padukuhan induk.

Para prajurit itu minta para pengawal di padukuhan-padukuhan itu untuk tetap bersiaga. Bahkan jika perlu mereka diminta untuk membunyikan tanda bahaya.

“Tetapi menurut perhitungan, mereka tidak akan kembali. Tetapi mereka akan bergabung dengan pasukan induk mereka,” berkata pemimpin prajurit dari Pasukan Khusus yang bertempur di padukuhan itu. Lalu katanya, “Karena itu, kami akan pergi ke padukuhan induk. Mungkin tenaga kami diperlukan. Sementara itu kalian agar tetap berhati-hati.”

Demikianlah, para prajurit dari Pasukan Khusus yang ada di kedua padukuhan itu pun telah pergi ke padukuhan induk. Beberapa orang di antara mereka yang terluka terpaksa tinggal di banjar padukuhan itu.

Di padukuhan induk, pertempuran memang menjadi semakin sengit. Orang-orang perkemahan semakin banyak merembes memasuki dinding padukuhan. Sehingga dengan demikian maka pertempuran pun telah menyebar semakin dalam pula.

Seperti yang diperhitungkan oleh para prajurit yang ada di padukuhan kecil yang baru saja berhasil mengusir orang-orang yang menyerang padukuhan itu, maka orang-orang perkemahan yang terusir itu telah berusaha untuk pergi ke padukuhan induk. Mereka bergeser di antara pepohonan di lereng perbukitan. Dengan isyarat yang mereka kenal, mereka berusaha untuk mengumpulkan kawan-kawan mereka yang tercerai-berai.

Ternyata mereka berhasil mengumpulkan beberapa kelompok yang akan dapat bergabung dengan pasukan induk mereka. Beberapa orang yang terluka cukup parah akan ditinggal di lereng bukit, agar mereka berusaha untuk dapat mencapai perkemahan.

Dengan kekuatan seadanya, beberapa kelompok itu pun dengan tergesa-gesa pergi ke padukuhan induk. Mereka berharap bahwa mereka akan dapat mempengaruhi keseimbangan pertempuran. Mereka berharap bahwa kehadiran mereka di padukuhan induk akan dapat mengurangi kesalahan mereka, bahwa mereka dengan mudah dapat didera oleh lawan mereka di padukuhan-padukuhan kecil itu.

Orang-orang perkemahan yang pergi ke padukuhan induk itu, sejak turun dari lereng perbukitan berusaha untuk tidak melalui padukuhan-padukuhan yang menurut perhitungan mereka akan dapat mengganggu dan bahkan mungkin mengurangi kekuatan mereka, karena mereka menduga bahwa di setiap padukuhan tentu terdapat pengawal-pengawal padukuhan yang telah bersiap.

Karena itu, maka beberapa kelompok orang perkemahan itu telah berlari-lari melalui pematang sawah dan pategalan.

Di arah lain, beberapa kelompok prajurit dari Pasukan Khusus juga sedang menuju ke padukuhan induk.

Di padukuhan induk, khususnya di halaman rumah Agung Sedayu, pertempuran berkobar dengan sengitnya. Ki Carang Ampel yang merasa dirinya memiliki ilmu yang sangat tinggi, tidak banyak menghiraukan pertempuran yang sedang terjadi di sekitarnya. Ia melangkah saja langsung menuju ke pintu dapur.

Tetapi langkahnya tertegun ketika ia melihat seorang tua berdiri menghadangnya. Bahkan orang tua itu sempat mengangguk hormat sambil bertanya, “Kau akan pergi kemana Ki Sanak?”

“Siapa kau? Menyingkirlah. Di halaman rumah ini sedang terjadi perang,“ berkata Ki Carang Ampel.

“Aku adalah bagian dari perang itu,“ jawab orang yang rambutnya sudah mulai memutih.

“Namamu?” bertanya Ki Carang Ampel.

“Namaku Jayaraga,“ jawab orang tua itu.

“Jayaraga,“ orang itu mengulang, “nama yang bagus. Namaku Ki Carang Ampel. Apakah kau pernah mendengar?”

Ki Jayaraga menggeleng. Katanya, “Tidak. Aku belum pernah mendengar,“ jawab Ki Jayaraga.

“Aku tidak peduli, apakah kau pernah mendengar atau tidak. Sekarang kita bertemu sebagai lawan. Jika benar kau bagian dari perang ini, bersiaplah,“ geram Ki Carang Ampel.

“Aku sudah siap,“ jawab Ki Jayaraga.

Ki Carang Ampel tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun segera menyerang dengan garangnya. Namun ternyata orang tua itu pun memiliki kemampuan yang tinggi. Bahkan Ki Jayaraga sambil bertempur telah bertanya, “Apakah kau kenal Ki Manuhara?”

“Manuhara yang tidak setia kepada kewajibannya itu?” Ki Carang Ampel justru bertanya. Namun iapun telah meloncat sambil mengayunkan tangannya mendatar, hampir saja mengenai pelipis Ki Jayaraga. Namun Ki Jayaraga sempat menarik kepalanya, sehingga tangan Ki Carang Ampel tidak menyentuhnya.

Baru kemudian Ki Jayaraga bertanya, “Aku hampir berhasil membunuhnya. Tetapi ia telah berhasil melarikan diri, sehingga Bajang Bertangan Baja sempat mengobati luka-luka yang hampir merenggut nyawanya itu.”

“Tidak ada yang menyesali kematiannya,” geram Ki Carang Ampel.

Ki Jayaraga termangu-mangu sejenak. Ia sudah bersiap ketika Ki Carang Ampel bergeser setapak, kemudian meloncat dengan tangkasnya. Kakinya terjulur lurus sambil memiringkan tubuhnya menggapai lambungnya.

Tetapi Ki Jayaraga dengan cepat pula mengelak. Ketika kaki Ki Carang Ampel terjulur, dengan cepat Ki Jayaraga bergeser ke samping. Dengan cepat ia sempat menebas kaki itu dengan tangannya, sementara kakinya-lah yang bergeser menyambar ke arah kening. Tetapi serangan Ki Jayaraga pun tidak mengenai sasarannya. Ki Carang Ampel sempat menggeliat mengambil jarak.

Sementara itu Ki Jayaraga berkata, “Ki Carang Ampel. Apakah kau kira langkah yang diambil oleh Resi Belahan sekarang ini akan bermanfaat? Menurut perhitunganku, langkah-langkah yang diambil oleh Resi Belahan kali ini tidak lebih baik dari yang dilakukan oleh Ki Manuhara. Karena itu, maka yang akan terjadi atasmu, atas Resi Belahan dan orang-orang lain yang datang bersama mereka, tidak akan lebih baik dari yang pernah terjadi atas Ki Manuhara dan orang-orangnya.”

Tetapi Ki Carang Ampel menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tentu tidak. Kami mempunyai perhitungan yang lebih cermat. Jika Ki Manuhara telah gagal, maka kami tentu akan berhasil. Ki Manuhara waktu itu gagal membunuhmu. Sekarang, aku tentu berhasil tanpa mengalami kesulitan. Tetapi aku berjanji, jika kau menyerah, maka aku tidak akan membunuhmu.”

“Kenapa bukan aku saja yang berjanji?” sahut Ki Jayaraga, “Jika kau menyerah, maka kau pun tidak akan mati di sini.”

“Persetan kau,” geram Ki Carang Ampel.

Nampaknya Ki Carang Ampel tidak ingin bertempur berkepanjangan. Karena itu, maka iapun segera meningkatkan ilmunya pada tataran yang lebih tinggi. Namun Ki Jayaraga pun telah berbuat demikian pula, sehingga karena itu maka pertempuran pun segera meningkat menjadi semakin sengit.

Di sudut yang lain, pertempuran menjadi semikin keras. Anak-anak muda dari kelompok Gajah Liwung telah mengerahkan kemampuan mereka. Meskipun lawan jumlahnya lebih banyak, tetapi anak-anak muda dari kelompok Gajah Liwung itu masih mampu menguasai keadaan. Satu-satunya anggota kelompok Gajah Liwung yang bukan anak muda lagi, tengah bertempur berhadapan dengan seorang yang bertubuh kekurus-kurusan. Namun yang memiliki ketangkasan dan kemampuan yang tinggi.

Ki Ajar Gurawa yang ada di belakang rumah Agung Sedayu melihat orang bertubuh kekurus-kurusan itu bertempur dengan tangkasnya melawan kedua orang muridnya. Dengan kecepatan yang tinggi, orang itu berloncatan menghindari serangan-serangan lawan-lawannya. Namun demikian dengan cepat pula meluncurkan serangan-serangan.

Dengan kemampuan pengamatannya, maka Ki Ajar Gurawa segera mengetahui bahwa orang itu adalah seorang yang berilmu tinggi. Karena itu, maka iapun segera mendekati muridnya dan mengambil alih lawan mereka. Katanya, ”Biarlah aku yang menyelesaikan orang ini.”

Orang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan itu justru meloncat surut. Dipandanginya orang tua yang datang memasuki arena pertempuran itu. Dengan nada tinggi ia berkata, “Jadi kau ikut-ikutan untuk bertempur kakek tua?”

“He, aku belum tua. Lihat, gigiku masih utuh. Mataku belum rabun, dan telingaku masih mendengar kau mengumpat,” jawab Ki Ajar Gurawa yang kemudian justru tertawa berkepanjangan.

“Setan kau,“ geram yang kekurus-kurusan itu, “siapa namamu dan apa kepentinganmu ikut bertempur di Tanah Perdikan ini?”

“Aku orang Tanah Perdikan ini. Orang memanggilku Ajar Gurawa. Nah, sebut namamu sebelum kau kehilangan kesempatan meninggalkan Tanah Perdikan ini.”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Namaku Gemak Cemani. Aku salah seorang dari mereka yang tersinggung oleh solah tingkah Panembahan Senapati. Anak pidak pedarakan yang merasa berhak menjadi raja di bumi ini. Jika Senapati merasa berhak memegang kekuasaan tertinggi, kenapa bukan Kanjeng Adipati di Pati? Mereka berdua adalah anak-anak dari dua orang yang berderajat sama serta saudara seperguruan pula.”

“Ada bedanya,” jawab Ki Ajar Gurawa, “Panembahan Senapati ketika masih kanak-kanak adalah putera angkat Kanjeng Sultan Hadiwijaya di Pajang dengan gelar Mas Ngabehi Loring Pasar.”

“Apa artinya anak angkat Karebet itu?” bertanya Gemak Cemani.

“Sudahlah. Kita tidak usah membicarakan darah keturunan. He, jika kau berniat mengungkit kedudukan Panembahan Senapati, kenapa kau tidak pergi ke Mataram, tetapi ke Tanah Perdikan ini, yang bukan merupakan pusat pemerintahan Panembahan Senapati?” bertanya Ki Ajar Gurawa.

Gemak Cemani itu menggeram, “Dungu kau. Tanah Perdikan ini akan dapat menjadi landasan kekuatan Kanjeng Adipati Pati. Juga akan mampu mendukung persediaan makan bagi pasukannya.”

“Apakah Kanjeng Adipati Pati memerintahkan kalian untuk mempersiapkan landasan bagi pasukannya itu?” bertanya Ki Ajar Gurawa.

“Apakah seorang pejuang harus menunggu perintah? Bukankah kami dapat mengambil langkah mendahului perintah, asal dengan keyakinan bahwa yang kita lakukan itu akan memberikan arti,” berkata Gemak Cemani.

Tetapi Ki Ajar Gurawa menjawab, “Yang kau lakukan tidak memberikan apa-apa.”

Wajah Putut Cemani menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Kenapa? Kenapa kau menganggap bahwa apa yang kami lakukan sekarang tidak berarti apa-apa?”

“Kalian akan gagal. Apa yang terjadi atas Ki Manuhara akan terulang kembali atas kalian. Jika waktu itu kami gagal membunuh Ki Manuhara, maka sekarang kegagalan itu akan dapat ditebus. Bajang Bertangan Baja tidak lagi berpihak kepada kalian, sehingga ia tidak akan dapat membantu mengobati orang-orang kalian yang terluka. Apalagi mengobati kau atau Resi Belahan.”

“Persetan dengan Bajang kerdil itu. Kami tidak tergantung kepadanya. Jika kali ini ia berhadapan dengan Ki Tempuyung Putih apalagi Resi Belahan, maka ia akan berhadapan dengan maut itu sendiri.”

Ajar Gurawa tidak menjawab lagi. Tetapi iapun segera bergeser selangkah lebih mendekat. Tetapi Gemak Cemani justru meloncat menyerang dengan garangnya, sehingga Ki Ajar Gurawa harus meloncat surut.

Namun sejenak kemudian, maka pertempuran pun segera terjadi dengan sengitnya. Kedua-duanya tidak lagi membuang waktu. Mereka segera meningkatkan ilmu mereka semakin tinggi.

Di sebelah gandok sebelah kanan, Sabungsari berhadapan dengan seorang yang bertubuh raksasa yang mengaku bernama Ki Samekta. Dengan garangnya Ki Samekta melibat Sabungsari dalam pertempuran yang keras dan kasar. Orang bertubuh raksasa itu memiliki kekuatan yang sangat besar, sehingga untuk beberapa saat kemudian Sabungsari telah terdesak. Tetapi Sabungsari memiliki ketangkasan yang sangat tinggi. Ia mampu bergerak dengan cepat. Tubuhnya bagaikan tidak menyentuh tanah. Namun demikian, jika terjadi benturan, dengan mengerahkan tenaga dalam maka kekuatan Sabungsari masih mampu mengimbangi kekuatan lawannya.

Di bagian lain, Glagah Putih telah memasuki lingkaran pertempuran yang rumit. Ketika ia berhasil mendesak beberapa orang pengikut Resi Belahan, maka tiba-tiba tiga orang yang umurnya sedikit lebih tua daripadanya telah mengepungnya. Dengan lantang seorang di antara mereka berkata, “Anak Muda. Kau mengamuk seperti banteng ketaton. Barangkali masih ada kesempatan bagimu untuk menyebut namamu.”

Glagah Putih menghadapi ketiga orang itu dengan hati-hati. Namun iapun menjawab, “Namaku Glagah Putih.”

“O, jadi kau-lah yang bernama Glagah Putih. Seorang anak muda yang berilmu sangat tinggi. Adik sepupu Agung Sedayu. Seorang anak muda yang telah menyembunyikan gadis di Tanah Perdikan Menoreh ini.”

“Apa?“ jantung Glagah Putih bagaikan berhenti berdetak.

Anak muda itu tertawa. Katanya, “Kau sembunyikan seorang gadis cantik. Namanya Rara Wulan. Gadis yang sedang diburu oleh Bajang Bertangan Baja itu. Bahkan ia sempat menjerat Ki Manuhara untuk melibatkan diri ke dalamnya. Tetapi ternyata usaha Bajang Bertangan Baja yang telah menculik seorang gadis sebagai sasaran antara telah gagal.”

“Darimana kau tahu?“ geram Glagah Putih.

Seorang di antara anak-anak muda yang lain tertawa pula. Katanya, “Semua orang Mataram tahu, Glagah Putih berhasil melarikan gadis seorang Tumenggung dan membawanya ke Tanah Perdikan. Meskipun keduanya belum menjadi suami istri, tetapi mereka sudah berada dibawah satu atap.”

Anak muda yang lain lagi tertawa pula berkepanjangan. Katanya, “Apa arti langkah-langkah yang kau ambil itu Glagah Putih? Kau sudah menyimpang dari paugeran hidup bebrayan. Bukankah seharusnya kau masih belum dapat menganggap Rara Wulan itu istrimu?”

Wajah Glagah Putih menjadi merah padam. Dengan geram ia bertanya, “Siapa nama kalian?”

“Aku seorang Putut. Namaku Permati,“ jawab yang nampaknya paling berpengaruh di antara mereka.

“Putut Permati,“ desis Glagah Putih, “yang lain?”

“Kami bertiga adalah Putut dari sebuah padepokan yang dipimpin oleh Resi Belahan. Namaku Manengah.”

“Putut Manengah,“ Glagah Putih mengulang pula.

“Namaku Patala. Aku adalah Putut yang termuda di antara kami bertiga.”

“Bagus,“ desis Glagah Putih, “ternyata kalian adalah murid-murid yang terpercaya dari Resi Belahan. Tetapi sayang bahwa kalian telah mempergunakan cara yang licik untuk mempengaruhi perlawananku secara jiwani. Kau sengaja melontarkan tuduhan yang kau sangka dapat berpengaruh terhadap perasaanku. Kau sengaja mengungkit kemarahanku agar perhitunganku menjadi kabur.“

Wajah ketiga orang Putut itu berkerut. Mereka saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Putut Permati itu tertawa, “Glagah Putih. Adalah wajar jika kau mengelak. Tetapi siapa dapat percaya akan kata-katamu? Apakah kau membantah bahwa Rara Wulan juga tinggal di rumah itu? Sedangkan kau juga, sebagaimana Agung Sedayu tinggal di rumah ini bersama Sekar Mirah.”

Telinga Glagah Putih rasa-rasanya bagaikan tersentuh bara. Tetapi Glagah Putih masih sempat menyadari, bahwa ia harus mengendalikan diri. Jika perasaannya terguncang karena kata-kata lawannya yang sengaja memancing gejolak perasaannya itu, maka ia akan kehilangan penalaran yang bening.

“Nah, apa yang akan kau katakan Glagah Putih?” desis Putut Manengah.

Kedua orang Putut yang lain telah tertawa pula berkepanjangan. Bahkan Putut Patala itu berkata, “Katakan Glagah Putih, bahwa kau tidak peduli pendapat orang lain. Kau berhak menentukan jalan hidupmu sendiri. Juga nilai-nilai keadaan yang berlaku di lingkungan masyarakat di sekitarmu dapat saja kau injak-injak sesukamu. Apalagi kau adalah seorang anak muda yang berilmu tinggi. Tidak seorangpun berani mengganggumu. Bahkan Ki Gede Menoreh sendiri.”

“Persetan dengan omonganmu. Kau tidak tahu apa yang sebenarnya ada di dalam rumah ini.”

Ketiga orang Putut itu tertawa. Semakin lama terdengar di telinga Glagah Putih menjadi semakin keras.

Suara tertawa itu ternyata telah membuat Glagah Putih menjadi pening. Kemarahan dan kebencian yang membakar jantungnya yang seakan-akan telah didera oleh suara tertawa yang tidak berkeputusan itu terasa berputar-putar tidak henti-hentinya. Udara di sekitarnya pun seakan-akan telah ikut berputar pula.

Glagah Putih memang menjadi pening. Ketika ia melihat ketiga orang Putut itu rasa-rasanya mereka ikut berputaran. Wajah-wajah mereka seakan-akan telah berubah menjadi wajah-wajah yang lain, yang tidak seimbang sebagaimana dilihat sebelumnya. Ketiga orang Putut itu bukan termasuk orang-orang berwajah keras dan kasar. Mereka adalah sebagaimana kebanyakan anak-anak muda dengan wajah yang bersih. Namun tiba-tiba mata mereka seakan-akan menjadi semakin besar. Gigi-gigi mereka menonjol keluar, sementara hidung mereka menjadi panjang.

Glagah Putih benar-benar menjadi pening. Namun kemudian iapun segera menyadari keadaannya. Ia telah dibelit oleh semacam ilmu yang membuat penglihatannya menjadi berubah. Kabur dan tidak menentu. Suara tertawa itu adalah awal dari kebingungan yang mencengkam otaknya. Semakin tajam suara tertawa itu menusuk telinganya, maka iapun menjadi semakin bingung menghadapi ketiga orang Putut itu.

Untunglah bahwa Glagah Putih tidak terlambat menyadari keadaannya. Tiba-tiba saja ia menggeretakkan giginya. Agaknya kemarahan yang berhasil ditiupkan oleh ketiga orang Putut itu membuatnya kehilangan kendali atas perasaannya, sehingga ilmu lawannya dengan cepat menyusup ke hatinya.

Kesadaran Glagah Putih itu ternyata mampu mengendapkan perasaannya. Meskipun giginya gemeretak, tetapi ia mampu mempergunakan penalarannya.

“Hampir saja mereka dorong aku ke dalam kesulitan penalaran,“ berkata Glagah Putih di dalam hatinya

Dengan kesadaran itu, serta dengan mengerahkan tenaga dalamnya yang ditrapkan untuk mendukung kekuatan jiwani yang goyah itu, maka Glagah Putih berangsur-angsur dapat menguasai dirinya kembali. Wajah-wajah itu telah menjadi seperti semula dalam tangkapan matanya. Kepala-kepala itu tidak lagi nampak membesar dengan mata yang membelalak kemerah-merahan. Glagah Putih tidak lagi melihat gigi-gigi yang menonjol keluar seperti taring-taring raksasa, serta hidung para Putut itu tidak lagi memanjang seperti hidung Blancir.

Ketiga orang Putut itu telah berubah kembali dalam bentuk wajar mereka. Bersih, dan terutama Putut Manengah, adalah seorang anak muda yang tampan.

Namun Glagah Putih sengaja tidak menunjukkan perubahan dan penguasaan diri itu. Ia masih kelihatan bingung dan pening. Sekali-sekali Glagah Putih telah memijit keningnya, kemudian mengibas-ibaskan kepalanya.

Ketiga orang Putut itu masih saja tertawa berkepanjangan. Mereka mulai bergerak menyamping berputar di sekeliling Glagah Putih. Suara tertawa itu pun berkepanjangan, bergelombang menghentak-hentak.

Glagah Putih masih tetap berdiri di tengah-tengah mereka. Tetapi Glagah Putih sempat memusatkan nalar budinya. Ia harus dengan cepat bergerak dan mengurangi jumlah lawannya karena Glagah Putih tahu bahwa lawan-lawannya itu memiliki bekal ilmu yang tinggi. Mereka adalah murid-murid Resi Belahan.

Karena itu, maka kesempatan itu datang saat Patala yang masih saja tertawa itu bergeser di hadapannya. Tertawanya terdengar menghentak ketika ia melihat Glagah Putih memegangi keningnya sambil menunduk.

“Kenapa kau Anak Muda? Apakah kau sedang memikirkan Rara Wulan? Jangan mencemaskan nasibnya. Jika kau mati, kami bertiga bersedia membawanya ke padepokan kami.”

Glagah Putih tidak menahan diri lagi. Ia melihat satu kesempatan terbuka. Karena itu dengan tanpa diduga-duga sebelumnya, maka Glagah Putih telah menghimpun tenaga dalamnya serta memusatkannya pada telapak kakinya.

Satu serangan yang tiba-tiba telah terjadi. Glagah Putih itu meloncat seperti sebatang lembing yang meluncur dari tangan yang sangat kuat. Kakinya yang merupakan ujung lembing itu langsung mengarah ke lambung.

Putut Patala yang tidak mengira akan mendapat serangan yang demikian kuatnya serta mengarah ke sasaran yang mapan, terkejut bukan buatan. Demikian ia melihat serangan itu, dengan gerak naluriah Patala telah memiringkan tubuhnya. Ia sedikit merendah dan berusaha melindungi lambungnya dengan siku tangannya.

Tetapi serangan Glagah Putih demikian derasnya. Dengan kekuatan yang sangat besar kaki Glagah Putih membentur tangan yang melindungi lambung Putut Patala.

Ternyata Putut Patala tidak dapat menahan derasnya serangan Glagah Putih. Karena itu, maka tangannya yang melindungi lambung itu telah menekan lambungnya demikian kuatnya. Bahkan Putut Patala itu telah terdorong beberapa langkah surut. Putut itu tidak lagi mampu menguasai keseimbangannya, sehingga setelah terhuyung beberapa saat, maka ia gagal untuk tetap bertahan tegak di atas kedua kakinya.

Putut Patala itu pun kemudian jatuh terbanting di tanah. Sekejap Putut Permati dan Putut Manengah juga terkejut melihat serangan yang tiba-tiba itu. Keduanya tidak segera berbuat sesuatu. Baru ketika mereka melihat Putut Patala terjatuh, maka hampir berbareng Putut Permati dan Putut Manengah telah menyerang Glagah Putih.

Tetapi Glagah Putih benar-benar telah bersiap, ia memang sudah memperhitungkan bahwa keduanya akan segera menyerangnya. Karena itu, ketika serangan itu benar datang, maka dengan tangkasnya Glagah Putih menghindar. Bahkan kemudian iapun telah meloncat menyerang Putut Permati dengan kecepatan yang tinggi.

Putut Permati sempat mengelak dan luput dari serangan itu. Namun pada saat itu Putut Patala mencoba untuk bangkit berdiri. Tetapi perhitungan Glagah Putih demikian matang, sehingga ketika serangannya atas Putut Permati tidak mengenai sasaran sebagaimana diperhitungkannya, maka iapun segera berputar. Satu kakinya terayun mendatar dengan kekuatan yang sangat besar.

Putut Patala yang baru bangkit itu tidak menduga bahwa serangan Glagah Putih akan demikian cepatnya datang. Sekali lagi ia kehilangan kesempatan untuk menghindar. Kaki Glagah Putih yang berputar dan terayun mendatar itu justru telah mengenai tengkuknya.

Putut Patala mengaduh tertahan. Tetapi ia terdorong dengan derasnya dan kemudian terjerembab jatuh menelungkup. Wajahnya menyuruk tanah, sehingga hidungnya berdarah. Bahkan keningnya rasa-rasanya telah terantuk batu demikian kerasnya.

Putut Patala masih berusaha untuk bangkit. Tetapi kepalanya terasa demikian peningnya. Keningnya yang terantuk batu itu terasa sangat sakit. Sedangkan darah mengalir lewat lubang hidungnya. Sementara itu matanya pun menjadi berkunang-kunang.

Dengan demikian, seperti yang direncanakan maka Glagah Putih telah mengurangi seorang dari tiga orang lawannya, sehingga untuk selanjutnya ia hanya akan bertempur melawan dua orang Putut. Ia berharap bahwa Putut Patala tidak akan segera dapat bangkit dan membantu saudara-saudara seperguruannya.

Sebenarnyalah bahwa Putut Patala memang tidak dapat segera bangkit. Kepalanya menjadi pening dan matanya menjadi kabur. Hidungnya masih saja berdarah, sedangkan di wajahnya nampak barut-barut kemerah-merahan. Ketika Putut Patala mencoba berdiri di atas lututnya, maka rasa-rasanya dunia telah berputar.

Putut Permati dan Putut Manengah memang menjadi sangat marah melihat keadaan Putut Patala. Karena itu, maka keduanya segera mengerahkan kemampuannya bersama-sama menyerang Glagah Putih.

Tetapi Glagah Putih sudah siap menghadapi mereka. Dengan tangkasnya ia berloncatan. Sekali-sekali terjadi benturan diantara mereka. Namun Putut Permati dan Putut Manengah yang lebih tua dari Glagah Putih itu menjadi sangat heran bahwa Glagah Putih mempunyai tenaga dalam yang sangat besar.

Meskipun demikian Glagah Putih masih sangat berhati-hati. Ia tidak boleh terpancing lagi sehingga hampir saja kehilangan kendali atas penalaran dan bahkan perasaannya. Hampir saja ia terjerat oleh usaha lawan-lawannya membakar kemarahannya, sehingga lepas dari kesadaran.

Dalam pada itu, maka pertempuran di seluruh halaman rumah Agung Sedayu itu menjadi semakin sengit. Anak-anak Gajah Liwung bertempur dengan garangnya menghadapi para pengikut Resi Belahan yang bertempur tanpa landasan kesadaran dan keyakinan. Tetapi kesetiaan mereka kepada Resi Belahan benar-benar memberikan kebanggaan. Mereka tidak lagi mencemaskan dirinya apapun yang akan mereka alami.

Pertempuran yang sengit itu tidak saja terjadi di halaman rumah Agung Sedayu, tetapi di padukuhan induk itu pertempuran telah menyebar pula di mana-mana. Tetapi para pengawal masih dapat membatasi gerak orang-orang perkemahan itu sehingga tidak mendekati banjar dan rumah Ki Gede Menoreh, yang dipergunakan sebagai tempat pengungsian perempuan dan anak-anak.

Para pengawal yang bertugas melindungi para pengungsi itu menjaga dengan ketat jalan-jalan yang menuju ke banjar dan ke rumah Ki Gede. Bahkan dinding-dinding halaman mendapat pengawasan yang ketat, karena mereka tahu bahwa orang-orang yang menyerang Tanah Perdikan itu telah berhasil merembes masuk dan berusaha untuk mencapai banjar sebagai pusat kegiatan para pengawal dan anak-anak muda, serta rumah Kepala Tanah Perdikan sebagai pusat kendali pemerintahan.

Maka setiap kelompok yang berusaha mendekati kedua tempat itu, selalu didesak mundur oleh pasukan pengawal yang cukup kuat serta pasukan cadangan, anak-anak muda dan orang-orang padukuhan induk yang meskipun sudah tidak terhitung muda lagi, tetapi masih sanggup untuk bertempur.

Betapapun kelompok-kelompok yang berhasil menyusup itu berusaha untuk menembus sampai ke jantung Tanah Perdikan Menoreh, tetapi mereka menghadapi perlawanan yang gigih dimana-mana. Jika satu dua orang berhasil lolos, namun usaha mereka tidak akan berhasil mendekati banjar. Mereka akan segera berhadapan dengan kelompok-kelompok pengawal terpilih yang ditunjuk untuk melindungi perempuan dan anak-anak.

Ternyata lapis-lapis pertahanan Tanah Perdikan Menoreh itu membuat orang-orang perkemahan menjadi gelisah. Mereka yang merasa berhasil menembus satu lapis pertahanan, namun mereka telah menemui lapis pertahanan berikutnya.

Orang-orang itu hanya dapat mengumpat-umpat. Laporan yang mereka dengar tentang Tanah Perdikan itu jauh berbeda dengan kenyataan yang mereka hadapi. Pertahanan di Tanah Perdikan itu, khususnya di padukuhan induk, sama sekali bukan pertahanan yang rapuh. Bahkan seakan-akan di setiap jengkal tanah terdapat pengawal yang siap untuk mempertahankan tanah kelahiran itu dengan mempertaruhkan jiwanya.

Karena itulah, maka usaha orang-orang perkemahan itu tidak segera dapat berhasil. Mereka tidak segera dapat menembus sampai ke pusat kendali pemerintahan di Tanah Perdikan itu.

Dalam pada itu, kelompok-kelompok orang-orang perkemahan yang telah menarik diri dari padukuhan-padukuhan kecil yang tidak berhasil mereka kalahkan, telah bergerak menuju ke padukuhan induk. Mereka yang sempat berkumpul di lereng bukit itu pun merayap menyusuri jalan-jalan bulak menghindari padukuhan-padukuhan. Mereka berusaha bergabung dengan pasukan induk, dan dengan kekuatan kecil yang tersisa berniat untuk bertempur lagi bersama pasukan induk mereka.

Tetapi hampir bersamaan dengan mereka telah datang pula beberapa kelompok kecil prajurit dari Paukan Khusus, yang telah membantu mengusir orang-orang perkemahan itu dari kedua padukuhan kecil di sebelah lereng perbukitan itu.

Sementara itu pasukan yang ditugaskan oleh Resi Belahan untuk menyerang barak Pasukan Khusus benar-benar telah dipatahkan. Mereka benar-benar telah dikuasai oleh para prajurit dari Pasukan Khusus itu. Satu hal yang sama sekali tidak dapat mereka bayangkan sebelumnya, bahwa mereka akan menjadi tawanan dan memberikan pergelangan tangannya untuk diikat.

Dalam pada itu, di halaman rumah Agung Sedayu pertempuran menjadi semakin sengit. Orang-orang berilmu tinggi telah meningkatkan ilmu mereka sampai ke puncak. Bajang Bertangan Baja yang bertempur melawan Ki Tempuyung Putih tidak lagi mengekang diri mereka masing-maing. Dendam yang menyala di dada mereka benar-benar telah membakar segala macam pertimbangan yang dapat meredam api yang menyala di dada mereka itu.

Ki Tempuyung Putih yang menjadi kepercayaan Resi Belahan itu benar-benar telah sampai ke puncak ilmunya. Tubuhnya seakan-akan justru menjadi semakin ringan. Ia mampu berloncatan dan berputaran mengelilingi Bajang Bertangan Baja. Kemudian menyerang dengan tiba-tiba seperti lepasnya anak panah dari busurnya.

Bajang memang tidak terlalu banyak terpancing oleh gerak berputar Ki Tempuyung Putih. Tetapi setiap unsur gerak yang dilepaskannya telah mendebarkan jantung lawannya. Ayunan tangannya telah menimbulkan desir angin yang deras menampar tubuh Ki Tempuyung Putih.

Namun serangan Ki Tempuyung Putih itu pun kemudian bagaikan putaran angin pusaran yang semakin lama semakin keras. Bahkan debu pun mulai terangkat dan sebuah putaran pasir telah naik ke udara.

Orang-orang yang bertempur di sebelah kedua orang itu pun tanpa mereka kehendaki telah bergeser semakin jauh. Daun-daun kering dan bahkan ranting-ranting pepohonan di sekitar lingkaran pertempuran itu telah ikut terputar dan terangkat tinggi-tinggi.

Tetapi Bajang kecil itu tidak dapat terangkat oleh kekuatan ilmu Ki Tempuyung Putih. Betapa ilmu itu mencapai puncak kekuatannya, namun kekuatan ilmu itu tidak mampu mengangkat orang kerdil itu dan menghempaskannya ke bumi

Bajang Bertangan Baja itu benar-benar menjadi seberat besi baja. Bukan hanya tangannya, tetapi tubuhnya yang melekat di tanah bagaikan berakar menghunjam jauh ke dalam bumi. Bahkan Bajang Bertangan Baja itu dengan daya tahannya yang sangat tinggi, serta ilmu puncaknya pula, masih juga mampu memotong putaran ilmu Ki Tempuyung Putih, sehingga kadang-kadang angin pusaran itu bagaikan terhempas oleh semburan angin prahara dan pecah berserakan. Namun sejenak kemudian, jika serangan Bajang yang luput itu lewat, maka pusaran itu pun kembali berputar dan udara pun telah dikotori oleh debu, daun-daun kering dan ranting-ranting yang patah.

Demikiankah, dendam yang membara di hati kedua orang itu telah menampakkan diri dalam pertempuran yang dahsyat. Bahkan para pengawal dan orang-orang perkemahan yang bertempur tidak terlalu dekat dengan rumah Agung Sedayu itu pun melihat pusaran pasir, debu dan bahkan kerikil-kerikil dan kayu-kayuan ikut terangkat dan terlempar naik ke udara.

Orang-orang itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Juga anak-anak anggota Gajah Liwung menjadi berdebar-debar melihat pertempuran yang dahsyat itu.

Mereka sama sekali tidak dapat menebak, siapakah yang bakal keluar sebagai pemenang. Bahkan mereka yang bertempur tidak terlalu jauh dari keduanya pun tidak dapat melihat lagi apa yang terjadi.

Orang-orang yang berilmu tinggi yang berada di halaman rumah itu masih terikat dengan lawan mereka masing-masing, sehingga mereka tidak sempat memperhatikan apa yang terjadi dengan orang lain. Namun mereka ternyata melihat juga angin pusaran yang mengangkat debu, pasir, kerikil dan bahkan dedaunan dan ranting-ranting pepohonan, sehingga diatas rumah Agung Sedayu itu bagaikan berkembang sebuah payung raksasa.

Bajang Bertangan Baja yang ada di tengah-tengah putaran angin pusaran masih saja berdiri tegak. Kedua kakinya masih saja bagaikan berakar sampai ke pusat bumi. Tetapi debu dan pasir rasa-rasanya membuat nafasnya menjadi sesak.

Namun Bajang itu tidak tinggal diam. Sekali-sekali dengan sigapnya ia meloncat menyerang Ki Tempuyung Putih yang sedang memusatkan nalar budinya. Serangan-serangan itu memang berpengaruh atas lontaran ilmu Ki Tempuyung Putih. Namun setiap kali Ki Tempuyung Putih melontarkan kembali ilmunya yang membuat Bajang Bertangan Baja harus bertahan. Dengan demikian, maka kesempatan Bajang Bertangan Baja itu pun tidak terlalu banyak. Jika ia tidak berhati-hati melontarkan serangan, maka rasa-rasanya tubuhnya akan terangkat.

Namun sekali tangannya sempat menyentuh lengan Ki Tempuyung Putih, maka rasa-rasanya tulang Ki Tempuyung Putih menjadi retak, sehingga Ki Tempuyung Putih harus menyeringai menahan sakit.

Dengan demikian, maka kedua orang berilmu tinggi itu semakin lama menjadi semakin dalam menumpahkan ilmunya. Bahkan akhirnya keduanya telah berusaha menghentakkan segala kekuatan, tenaga dalam dan kemampuan ilmunya.

Ki Tempuyung Putih yang menghembuskan angin pusaran itu pun telah sampai ke puncak kemampuannya, sehingga Bajang Bertangan Baja yang bertahan itu mulai mengalami kesulitan. Ketika hentakan kekuatan ilmu KiTempuyung Putih memutar dan menyeret Bajang itu, seakan-akan memutar dan mematahkan akar-akar kekuatannya untuk tetap bertahan berdiri di atas tanah. Sekali ia terlepas dan terangkat tinggi, maka iapun akan terhempas jatuh di atas tanah sehingga tulang-tulangnya akan berpatahan.

Bajang yang merasa pertahanannya itu menjadi semakin rapuh, maka iapun telah berbuat sesuatu. Selagi kakinya belum terlepas dari tanah, maka iapun telah mempergunakan sisa tenaga dan ilmunya. Dengan kecepatan yang tidak diperhitungkan oleh Ki Tempuyung Putih justru karena keadaan Bajang yang semakin sulit itu, Bajang Bertangan Baja telah menyambar lengan Ki Tempuyung Putih.

Ki Tempuyung Putih memang terkejut. Tetapi ia tidak mau melepaskan ilmunya. Angin pusaran itu bertiup semakin keras, sehingga Bajang itu terputar semakin cepat. Namun dengan demikian, maka Ki Tempuyung Putih pun ikut terseret karena pegangan tangan Bajang Bertangan Baja.

Ki Tempuyung Putih memang mengalami kesulitan. Tangan Bajang itu benar-benar bagaikan jari-jari baja yang mencengkamnya. Rasa-rasanya lengannya yang satu itu akan menjadi retak pula.

Bahkan Bajang itu tidak saja mencengkam lengannya, tetapi selagi Ki Tempuyung Putih menjadi ragu karena dirinya sendiri ikut terseret dalam putaran itu, tangan Bajang Bertangan Baja yang lain sempat menggapai lehernya.

Ki Tempuyung menjadi semakin mengalami kesulitan. Jari-jari Bajang Bertangan Baja mulai mencengkam lehernya, sehingga jari-jari Bajang Bertangan Baja itu seakan-akan telah mulai menembus kulitnya dan meremas lehernya.

Ki Tempuyung Putih tidak dapat berbuat lain, ia harus melepaskan ilmu Cleret Tahunnya. Kemudian dengan mengerahkan tenaga dalamnya yang tersisa, maka keempat jari-jari tangannya telah merapat. Demikian nafasnya terasa hampir terputus karena cekikan tangan Bajang Bertangan Baja, maka keempat jari-jari tangannya yang merapat itu telah menusuk bagian bawah dada Bajang kerdil di arah ulu hatinya.

Ternyata bahwa kekuatan Ki Tempuyung Putih itu sangat dahsyat pula. Keempat jari-jari tangannya itu telah menusuk bagaikan sebilah ujung bambu yang diruncingkan menikam sampai ke ulu hati.

Bajang Bertangan Baja itu terpekik keras-keras. Namun dengan demikian maka tenaganya pun telah menghentak. Jari-jarinya benar-benar telah menghunjam mencengkam leher Ki Tempuyung Putih.

Sementara itu, angin pusaran itu pun telah tidak lagi berputar karena Ki Tempuyung Putih telah melepaskan ilmu Cleret Tahunnya. Debu, pasir, dedaunan dan ranting-ranting pun mulai berhamburan. Lingkaran pertempuran antara Ki Tempuyung Putih dan Bajang Bertangan Baja itu menjadi semakin terang, karena angin pusaran itu pun telah terkuak.

Yang kemudian nampak adalah dua tubuh yang terbaring diam dengan darah yang mengalir dari luka masing-masing. Ki Tempuyung Putih telah terluka di lehernya, sementara Bajang Bertangan Baja telah tertembus ulu hatinya.

Orang-orang yang bertempur, terutama yang bertempur di halaman depan rumah Agung Sedayu itu, sempat melihat bagaimana darah mengalir dari kedua tubuh yang terbaring diam itu. Mereka pun segera tanggap bahwa Bajang Bertangan Baja dan Ki Tempuyung Putih yang saling mendendam itu, telah bersama-sama melepaskan dendam mereka. Keduanya telah mati sampyuh.

Pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya di halaman rumah Agung Sedayu. Tetapi setelah angin pusaran itu mereda, maka angin pun seakan-akan telah berhenti mengalir. Dedaunan bagaikan diam membeku untuk sesaat, seakan-akan terpana menyaksikan dua orang musuh bebuyutan itu tergolek diam bersama-sama.

Namun sejenak kemudian, halaman itu telah diguncangkan kembali oleh pertempuran-pertempuran yang tidak kalah sengitnya.

Di sudut lain dari halaman rumah Agung Sedayu, Glagah Putih telah bertempur dengan garangnya melawan dua orang murid Resi Belahan. Putut Permati dan Putut Manengah yang menjadi sangat marah karena Glagah Putih telah melukai seorang saudara seperguruan mereka. Biasanya bertiga mereka merupakan kekuatan yang sangat berbahaya, tidak ubahnya bagaikan Resi Belahan sendiri. Namun Glagah Putih yang menghentakkan kemampuannya, telah mengurangi lawannya seorang. Putut Patala yang tidak cukup siap melawan serangan kekuatan tenaga dalam Glagah Putih.

Dengan demikian, maka Glagah Putih masih harus bertempur melawan dua di antara ketiga Putut murid terpercaya Resi Belahan itu.

Meskipun hanya berdua, namun Putut Permati dan Putut Manengah itu merupakan pasangan yang sangat berbahaya bagi Glagah Putih.

Namun dalam pada itu, Putut Patala bukannya tidak berbuat apa-apa. Ia berusaha untuk memperbaiki keadaannya. Setelah bergeser beberapa langkah menjauh, maka Putut Patala itu pun duduk melekat sebatang pohon untuk memusatkan nalar budinya, mengatur pernafasannya untuk meningkatkan daya tahannya mengatasi rasa sakitnya.

Glagah Putih pun mengetahui usaha Putut Patala itu. Tetapi Glagah Putih tidak segera dapat berbuat sesuatu. Putut Permati dan Putut Manengah berusaha untuk mengikat Glagah Putih dalam satu perang yang sengit, sehingga Glagah Putih tidak sempat berbuat sesuatu atas Putut Patala.

Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih harus bekerja keras untuk mengimbangi kedua orang lawannya. Putut Permati dan Putut Manengah mampu bekerja bersama dengan sangat baiknya, seakan-akan keduanya telah digerakkan oleh otak yang sama, sehingga Glagah Putih harus berloncatan, melenting dan menggeliat menghindari serangan-serangan yang datang tidak berkeputusan itu.

Namun Glagah Putih adalah anak muda yang pernah menjadi kawan seperguruan Raden Rangga. Karena itu, maka seakan-akan Glagah Putih pun memiliki apa yang pernah dimiliki oleh Raden Rangga. Apalagi pada saat-saat terakhir, seakan-akan Raden Rangga telah menuangkan landasan kemampuan yang dapat meningkatkan atas kemampuan Glagah Putih.

Selain itu, Glagah Putih sebagai salah seorang di antara pewaris ilmu Perguruan Orang Bercambuk serta murid Ki Jayaraga, maka ia adalah lawan yang mendebarkan bagi murid-murid Resi Belahan.

Sebenarnyalah bahwa murid-murid Resi Belahan yang merasa tidak terkalahkan itu menjadi gelisah menemukan lawan sebagaimana Glagah Putih. Bertiga mereka merasa bahwa kemampuan mereka sulit untuk dicari tandingnya. Tetapi ketika mereka bertemu dengan Glagah Putih, maka mereka harus menilai kembali, bahwa ternyata ada juga seorang anak muda yang sebaya, bahkan lebih muda dari mereka, memiliki ilmu yang sangat tinggi.

Apalagi setelah salah seorang dari antara mereka dapat dilumpuhkan oleh Glagah Putih, maka ketiga orang Putut itu merasa bahwa kekuatan mereka tidak lagi utuh.

Tetapi kedua orang Putut itu memang mencoba berusaha untuk memberi kesempatan Putut Patala untuk bangkit. Meskipun mereka harus mengerahkan tenaga mereka, namun mereka berusaha untuk menahan agar Glagah Putih tidak dapat mendekati Putut Patala yang sedang memusatkan nalar budi, mengatur pernafasannya untuk mempertinggi daya tahan tubuhnya, serta usaha untuk memulihkan tenaga serta kekuatannya. Seandainya tenaganya tidak pulih seutuhnya, namun dapat mencapai pada tataran yang memadai, maka bertiga mereka tentu akan dapat mengalahkan Glagah Putih.

Memang Glagah Putih pun menyadari akan hal itu. Karena itu, ia harus berpacu dengan perkembangan tenaga dan kemampuan Putut Patala. Ia harus dapat mengalahkan, atau setidak-tidaknya menyusut sejauh-jauhnya kemampuan Putut Permati dan Putut Manengah, sebelum Putut Patala mampu bangkit dan ikut bertempur bersama kedua orang saudara seperguruannya.

Dengan demikian, maka Glagah Putih pun telah mengerahkan tenaga, kekuatan dan kemampuannya. Dengan perhitungan bahwa Putut Patala akan mampu meningkatkan daya tahannya, maka Glagah Putih pun tidak mempunyai pilihan selain meningkatkan serangan-serangannya atas kedua orang lawannya. Bahkan Glagah Putih telah sampai pada tataran landasan atas ilmunya sebagaimana diletakkan oleh Raden Rangga.

Putut Permati dan Putut Manengah menjadi heran menghadapi Glagah Putih. Berdua mereka tidak mampu menguasai anak muda itu. Ilmu yang disadap dari jalur ilmu perguruan Ki Sadewa, Orang Bercambuk, serta Ki Jayaraga, di atas landasan atas yang diletakkan oleh Raden Rangga, merupakan perpaduan ilmu yang sangat sulit diatasi oleh kedua orang Putut itu.

Dengan demikian, untuk melindungi diri mereka, maka Putut Permati dan Putut Manengah harus mengerahkan segenap kemampuan mereka pula. Meskipun demikian, tekanan Glagah Putih atas mereka terasa menjadi semakin berat

Tanpa Putut Patala, maka kedua orang Putut itu berusaha untuk membuat Glagah Putih kebingungan. Berdua mereka kemudian berloncatan dan berlarian mengelilinginya. Dengan aba-aba yang tidak dapat dimengerti oleh Glagah Putih, maka keduanya bergerak seakan-akan tidak beraturan. Namun ternyata keduanya tidak pernah berbenturan, sehingga Glaah Putih yakin bahwa gerak-gerak yang nampaknya tidak teratur itu adalah salah satu unsur dari gerakan-gerakan ilmu yang diwarisinya dari Resi Belahan.

Dengan kemampuan pengamatan yang tinggi, Glagah Putih masih selalu dapat mengatasi serangan-serangan yang datang di antara gerak-gerak yang tidak dimengertinya itu. Bahkan kadang-kadang demikian tiba-tiba dan tidak terduga-duga. Tetapi dengan ketenangan dan kecermatan Glagah Putih, maka semuanya itu mampu diatasi. Bahkan Glagah Putih dapat mendesak keduanya atau salah seorang di antaranya, sehingga terpaksa berloncatan surut beberapa langkah untuk mengambil jarak, sementara saudara seperguruannya bergegas datang membantunya.

Sementara itu Putut Patala justru telah mengatasi masa yang paling sulit. Karena itu, maka keadaannya sudah berangsur membaik. Kepalanya sudah tidak lagi terlalu pening dan nyeri. Sementara itu pedih-pedih di wajahnya sudah jauh menyusut. Tenaganya telah mulai merayapi urat-urat nadinya lagi.

Tiba-tiba saja Putut Patala itu bangkit berdiri. Sambil mengangkat kedua tangannya dengan jari-jari mengepal, maka Putut Patala itu berteriak nyaring. Suaranya telah menggetarkan udara di halaman rumah Agung Sedayu itu.

Glagah Putih memang menjadi berdebar-debar. Dengan menghentakkan tenaganya, ia berhasil mendesak lawannya. Tangannya sempat menyentuh lambung Putut Manengah, sehingga Putut itu terdorong surut. Tetapi sentuhan itu tidak banyak berpengaruh, sebagaimana serangan Glagah Putih yang mengenai pundak Putut Permati. Meskipun terasa nyeri, tetapi keduanya masih tetap bertempur dengan garangnya.

Namun dalam pada itu, teriakan Putut Patala telah memperingatkan Glagah Putih untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Jika Putut itu genap bertiga, maka keadaan Glagah Putih akan menjadi semakin sulit.

Karena itu, maka Glagah Putih harus bertindak cepat, sebelum Putut Patala memasuki arena. Ketika gema teriakan Putut Patala itu lenyap, maka Putut itu mulai melangkah mendekati arena pertempuran.

Namun pada saat itu pula, Glagah Putih telah menghentakkan kemampuannya. Yang menjadi sasarannya adalah Putut Manengah. Meskipun mula-mula Glagah Putih menyerang Putut Permati seakan-akan tanpa menghiraukan Putut Manengah sehingga Putut Permati berloncatan surut, namun Glagah Putih telah membuat perhitungan yang mapan.

Sebagaimana diperhitungkan oleh Glagah Putih, ketika serangannya yang dilandasi dengan segenap kemampuannya mendesak Putut Permati, maka Glagah Putih telah memburunya. Dengan serangan-serangan beruntun, Glagah Putih semakin mendesak Putut Permati sehingga beberapa langkah surut. Sementara itu, Putut Manengah ternyata menganggap bahwa dengan bangkitnya Putut Patala, Glagah Putih ingin menekan Putut Permati untuk melemahkan perlawanannya terutama setelah Putut Patala memasuki arena.

Dengan demikian maka Putut Manengah itu telah meloncat memburu pula. Ia harus membebaskan Putut Permati, setidak-tidaknya sampai Putut Patala memasuki lingkaran pertempuran.

Tetapi demikian ia meloncat memburu, maka Glagah Putih pun telah menggeliat. Dengan satu loncatan sambil berputar di udara, ia justru menyongsong serangan Putut Manengah. Glagah Putih yang memang sedikit tergesa-gesa itu telah menghentakkan kekuatan, tenaga dan kemampuan ilmunya untuk langsung menyongsong Putut Manengah.

Putut Manengah memang terkejut. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain kecuali membentur serangan Glagah Putih.

Ternyata benturan itu berakibat gawat bagi Putut Manengah. Ia telah terlempar beberapa langkah surut dan bahkan kehilangan keseimbangan, sehingga jatuh terbanting di tanah. Punggungnya terasa bagaikan retak, sementara pundaknya pun menjadi sangat nyeri.

Dalam benturan itu Glagah Putih juga telah terdorong surut. Meskipun keadaannya lebih baik dari Putut Manengah, namun Glagah Putih yang masih belum bersiap seluruhnya itu mendapat serangan yang sangat kuat dari Putut Permati.

Glagah Putih memang tidak sempat mengelak. Meskipun demikian Glagah Putih sempat memiringkan tubuhnya dan sedikit merendah ketika kaki lawannya terjulur ke arah lambungnya.

Tetapi serangan itu telah menghantam lengan Glagah Putih. Namun Glagah Putih sengaja tidak membentur serangan itu. Ia justru berusaha menjatuhkan dirinya searah dengan serangan itu.

Dorongan serangan itu memang terlalu kuat, sehingga Glagah Putih telah jatuh berguling beberapa kali.

Namun demikian, maka yang terjadi adalah benturan yang lunak. Meskipun Glagah Putih juga harus menyeringai menahan sakit. Namun ternyata bahwa ia masih dapat meloncat bangkit dengan cepat.

Dalam pada itu, Putut Manengah pun berusaha untuk segera bangkit. Tetapi ia tidak dapat segera berdiri tegak. Punggungnya masih saja terasa sakit, sehingga ia tidak lagi dapat bergerak dengan bebas.

Sejenak kemudian, maka Glagah Putih pun telah bersiap menghadapi ketiga orang Putut yang ternyata telah mendekatinya bersama-sama. Namun menilik sikap dan langkah mereka, maka Glagah Putih mengambil kesimpulan bahwa Putut Patala masih belum mendapatkan tenaga dan kemampuannya seluruhnya. Sementara itu Putut Manengah masih merasa punggungnya nyeri sekali.

Karena itu, maka Glagah Putih masih berharap bahwa ia akan dapat menghadapi ketiga lawannya itu. Meskipun demikian, jika keadaan menyudutkannya, sementara ketiga orang Putut itu mempergunakan kemampuan puncak mereka, maka Glagah Putih tentu akan mengimbanginya.

Putut Permati yang melihat kedua adik seperguruannya telah bersiap, segera membuka serangan. Iapun menyadari bahwa kedua adik seperguruannya masih belum mendapatkan kemampuan mereka seluruhnya. Tetapi mereka akan dapat bersama-sama melawan Glagah Putih yang memiliki ilmu yang tinggi itu.

Sementara Glagah Putih bertempur dengan sengitnya, maka Resi Belahan yang melihat kenyataan bahwa Ki Tempuyung Putih harus mati bersama-sama dengan Bajang Bertangan Baja, menjadi semakin marah. Ki Tempuyung Putih adalah seorang yang berilmu tinggi dan memiliki wawasan yang luas. Ia hampir tidak percaya bahwa Bajang Bertangan Baja itu mampu membunuh Ki Tempuyung Putih, meskipun juga harus dibayar dengan nyawanya.

Tetapi ternyata Ki Tempuyung Putih memang tidak bangkit lagi. Sementara itu orang-orangnya masih belum sempat merawat tubuhnya yang masih tetap berada di tempatnya.

Kemarahan Resi Belahan memang ditumpahkan kepada Agung Sedayu. Dengan garangnya Resi Belahan itu menyerang lawannya yang masih terhitung muda. Namun Agung Sedayu memiliki bekal yang cukup untuk mengimbangi kemampuan Resi Belahan.

Bahkan setelah bertempur beberapa saat lamanya, Resi Belahan sempat berkata dalam hatinya, “Orang ini memiliki kemampuan yang tidak ada duanya di antara orang-orang yang pernah aku temui sepanjang umurku.”

Namun pengakuan itu telah membuat Resi Belahan menjadi sangat berhati-hati, betapapun kemarahan membakar jantungnya.

Ternyata kematian Ki Tempuyung Putih itu kemudian didengar pula oleh kawan-kawannya yang tidak bertempur di halaman depan. Beberapa orang pengikut Resi Belahan telah memberitahukan kepada kawan-kawannya, yang kemudian merambat dari telinga ke telinga. Selain itu, maka anak-anak Gajah Liwung justru telah meneriakkan kabar kematian Ki Tempuyung Putih itu kepada kawan-kawannya yang sempat dilihatnya bertempur di manapun juga.

Ternyata bahwa Ki Carang Ampel pun akhirnya mendengar juga tentang kematian Ki Tempuyung Putih. Karena itu, maka darahnya bagaikan menggelegak di dadanya. Ki Tempuyung Putih memiliki ilmu yang sangat tinggi. Ki Carang Ampel yang telah beberapa lama bersama-sama dengan Ki Tempuyung Putih menjelajahi tempat-tempat yang dianggap dapat membantu meningkatkan kemampuan mereka, menganggap bahwa Ki Tempuyung Putih akan sulit mendapat lawan yang seimbang. Namun ternyata Ki Tempuyung Putih mati sampyuh dengan seorang pertualang yang menjual kemampuannya untuk mendapatkan upah bagi kepentingan dirinya sendiri, tanpa menghiraukan nilai-nilai dan tatanan kehidupan orang banyak.

Sementara Ki Jayaraga sempat berdesis ketika iapun mendengar berita tentang kematian Ki Tempuyung Putih, “Bagaimana pendapatmu tentang kematian orang yang berilmu sangat tinggi itu? Bukankah dengan demikian berarti bahwa kekuatan kalian sudah mulai menjadi goyah?”

“Tidak,” jawab Ki Carang Ampel. Lalu katanya pula, “Katakan saja bahwa Ki Tempuyung Putih tidak pernah hadir di halaman ini.”

“Tetapi kenyataan itu mengatakan bahwa Ki Tempuyung Putih hadir di halaman ini, dan mati sampyuh dengan Bajang Bertangan Baja yang sangat mendendamnya.“

“Nah, itulah. Aku menganggap bahwa di halaman rumah ini tidak pernah hadir Ki Tempuyung Putih dan Bajang Bertangan Baja. Bajang Engkrek Bertangan Iblis itu.”

“Tetapi ia juga disebut Bajang Bertangan Embun,” desis Ki Jayaraga.

“Persetan dengan Bajang kerdil itu. Yang penting bagiku, kau harus mati. Jika kau mati, maka aku akan dapat menggulung tikus-tikus kecil itu, atau membunuh kawan-kawanmu yang lain,” geram Ki Carang Ampel.

Ki Jayaraga tidak menjawab lagi. Ia sadar bahwa Ki Carang Ampel itu meskipun kedudukannya tidak sepenting Ki Tempuyung Putih, namun ilmunya tentu tidak berada di bawah ilmu dan kemampuan Ki Tempuyung Putih.

Karena itu, maka Ki Jayaraga menjadi sangat berhati-hati menghadapi orang yang mulai menginjak kemampuan puncak itu.

Yang terjadi di halaman itu memang menjadi semakin menegangkan. Orang-orang berilmu tinggi itu sudah memanjat ke tataran tertinggi dari ilmu mereka.

Sabungsari harus mengerahkan tenaga dalamnya untuk dapat mengimbangi kekuatan tenaga dalam lawannya yang bertubuh raksasa. Ki Samekta yang mula-mula menganggap bahwa lawannya yang masih muda itu tidak akan dapat bertahan sepenginang, ternyata harus menghadapi kenyataan bahwa tubuhnya yang tinggi besar bagaikan raksasa itu tidak dapat memaksa lawannya untuk segera menghentikan perlawanannya.

Benturan-benturan yang terjadi kemudian membuat raksasa itu semakin marah. Sabungsari tidak dapat didesaknya dengan kekuatannya yang sangat besar itu. Bahkan benturan-benturan yang terjadi telah membuat tulang-tulangnya menjadi sakit.

Orang bertubuh raksasa itu pun terkejut ketika ia mendengarkan seseorang berteriak, “Tempuyung Putih mati! Tempuyung Putih mati!”

“Nah, kau dengar?“ desis Sabungsari.

“Omong kosong,” geram Ki Samekta, “cara yang licik untuk mempengaruhi lawannya secara jiwani. Ki Tempuyung Putih tidak akan mati.”

“Jadi kau kagum akan kemampuan ilmu Ki Tempuyung Putih?” bertanya Sabungsari.

“Ya. Karena itu aku yakin bahwa ia tidak mati,“ jawab Ki Samekta.

“Jika kau kagumi ilmu Ki Tempuyung Putih, maka ilmumu tentu belum setingkat dengan Ki Tempuyung Putih,“ berkata Sabungsari kemudian.

“Iblis kau. Kau akan mati sebelum kau melihat betapa tingginya ilmu Ki Tempuyung Putih,“ geram Ki Samekta.

Sabungsari tidak menjawab. Iapun telah meningkatkan serangannya melibat raksasa itu. Namun Ki Samekta yang merasa dirinya memiliki tenaga yang sangat besar, telah membentur serangan-serangan Sabungsari meskipun tulang-tulangnya menjadi nyeri. Namun Sabungsari pun harus mengakui, bahwa orang itu memiliki kekuatan yang sangat besar. Bahkan juga tenaga dalamnya cukup kuat untuk mendukung tenaganya yang sudah terlalu kuat itu.

Namun kecepatan gerak dan kemampuan Sabungsari dengan unsur-unsur gerak yang rumit telah membuat raksasa itu kadang-kadang terkejut. Sabungsari yang telah terbebas dari hambatan yang ada di dalam dirinya itu telah membuka kekuatan tenaga dalamnya sepenuhnya, sehingga dengan demikian, maka orang yang bertubuh raksasa itu semakin lama semakin menyadari, bahwa anak muda yang tubuhnya tidak sebesar tubuhnya sendiri itu mampu mengimbangi kekuatannya. Bahkan kadang-kadang terasa ia semakin mendesak.

Karena itu, maka tidak ada pilihan lain dari Ki Samekta yang oleh orang-orang perkemahan itu disejajarkan dengan orang-orang berilmu tinggi lainnya, harus mengerahkan kemampuan puncaknya untuk menundukkan lawannya. Namanya akan menjadi tercemar jika ia tidak berhasil mengalahkan lawannya yang masih muda itu.

Namun Sabungsari pun telah siap menghadapi segala kemungkinan yang akan terjadi. Juga jika lawannya yang bertubuh raksasa itu mempergunakan ilmu puncaknya.

Sementara itu, anak-anak muda yang tergabung dalam kelompok Gajah Liwung benar-benar telah menggoyahkan pertahanan para pengikut Resi Belahan. Beberapa orang di antara mereka tidak mampu bertahan untuk tetap melakukan perlawanan. Beberapa orang telah terkapar di halaman depan, di halaman samping, bahkan di halaman belakang.

Ki Gemak Cemani ternyata tidak mampu bertahan menghadapi kegarangan ilmu Ki Ajar Gurawa. Beberapa kali ia terdesak surut. Bahkan kemudian ilmu puncaknya seakan-akan tidak banyak berarti dalam perlawanannya melawan tataran tertinggi ilmu Ki Ajar Gurawa.

Sedangkan kedua orang murid Ki Ajar Gurawa pun telah berhasil menguasai empat orang lawannya. Para pengikut Resi Belahan yang ternyata telah membentur kemampuan murid Ki Ajar Gurawa yang tidak dapat mereka atasi.

Namun yang mengalami kesulitan adalah Wacana. Ternyata Ki Pamekas, seorang yang mendapat tugas untuk menjadi pelindung Raden Bomantara, adalah orang yang memang berilmu tinggi. Meskipun Wacana memiliki bekal yang cukup, namun ternyata ia mengalami kesulitan untuk menghadapi Ki Pamekas.

Tetapi di sisi yang lain, Raden Bomantara harus mengerahkan segenap tenaga dan kemampuannya untuk mempertahankan dirinya dari serangan-serangan Rumeksa. Apalagi ketika Rumeksa melihat bahwa Wacana memang telah terdesak oleh lawannya yang berilmu sangat tinggi itu, maka Rumeksa pun berusaha membuat imbangan untuk mempengaruhi pemusatan nalar budi Ki Pamekas.

Karena itu, maka dengan garangnya Rumeksa berusaha dengan segenap kemampuannya untuk menekan Raden Bomantara.

Ketika pertempuran antara orang-orang berilmu tinggi di halaman rumah Agung Sedayu itu berlangsung semakin sengit, maka pertempuran di padukuhan induk itu pun menjadi semakin seru pula. Sinar matahari yang terik bagaikan membakar padukuhan induk dengan sinarnya. Namun api pertempuran rasa-rasanya telah menyala melampaui panas sinar matahari.

Beberapa kelompok kecil orang-orang perkemahan telah bergabung dengan induk pasukan mereka yang dipimpin oleh Putut Rahinaya. Namun beberapa kelompok kecil prajurit dari Pasukan Khusus telah berada di padukuhan induk itu pula.

Namun bagaimanapun juga orang-orang perkemahan itu berusaha, bahkan dengan korban yang berjatuhan, namun mereka tidak mampu menggapai pusat pengendali pemerintahan di Tanah Perdikan itu.

Meskipun pertempuran terjadi dimana-mana, namun pertahanan para pengawal memang sangat rapat. Orang-orang yang berusaha dengan diam-diam menembus pertahanan yang berlapis-lapis lewat halaman-halaman rumah pun, dapat dibendung oleh para pengawal Tanah Perdikan.

Putut Rahinaya yang memimpin serangan itu telah berada di dalam padukuhan induk itu pula. Namun dengan kelompoknya yang terdiri dari orang-orang pilihan masih juga tidak berhasil memasuki lingkaran pertahanan yang berlapis. Meskipun Putut Rahinaya telah mendapat keterangan yang jelas tentang jalan-jalan yang ada di padukuhan induk, ciri-ciri yang ada serta kemungkinan yang dapat ditembus untuk mencapai banjar serta rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh, namun langkahnya selalu tersendat. Bahkan kemudian tertahan sama sekali. Pertempuran yang terjadi bebarapa puluh patok dari rumah Ki Gede benar-benar telah menahan gerak maju Putut Rahinaya bersama kelompok-kelompok terpilihnya, karena mereka harus menghadapi para pengawal terpilih pula. Bahkan kelompok-kelompok kecil yang datang menggabungkan diri dengan pasukan induk itu pun tidak mampu berbuat banyak. Mereka harus mengulangi keterlibatan mereka dalam pertempuran melawan para prajurit dari Pasukan Khusus.

Namun demikian, orang-orang perkemahan itu tidak henti-hentinya berusaha untuk sampai ke rumah Ki Gede. Mereka berharap jika rumah Ki Gede itu dapat mereka duduki, maka perlawanan orang-orang Tanah Perdikan itu akan kehilangan tumpuan. Apalagi jika mereka dapat menangkap Ki Gede itu sendiri.

Putut Rahinaya yang menjadi semakin marah atas kegagalan-kegagalan pasukannya, telah bertekad untuk menyusup sendiri langsung memasuki halaman rumah Ki Gede. Ia sadar, bahwa di rumah itu pun tentu terdapat lapisan pertahanan. Namun Putut Rahinaya sendiri merasa memiliki kemampuan untuk memecahkan pertahanan itu.

Karena itu, maka Putut itu pun telah memerintahkan pasukan induk itu bertempur terus dan berusaha mendekati rumah Ki Gede. Sementara Putut itu sendiri akan berusaha untuk mencari jalan lain menuju ke rumah Ki Gede.

Dengan serangan-serangan yang makin garang, maka-pasukan dari perkemahan itu berusaha untuk memancing perhatian pertahanan para pengawal agar mereka tidak tertarik untuk mengamati Putut Rahinaya dan beberapa orang yang dianggapnya paling baik, yang menyusup menuju ke rumah Ki Gede. Mereka berniat membuka jalan untuk menguasai rumah itu, dan lebih-lebih Ki Gede Menoreh sendiri.

Ketika Ki Gede ingin turun ke medan, maka Prastawa telah minta kepadanya agar Ki Gede tetap berada di rumahnya. Dengan demikian, maka dari rumahnya Ki Gede akan dapat mengendalikan pertahanan atas padukuhan induk Tanah Perdikan itu.

“Kami akan dapat menghubungi Ki Gede setiap saat kami perlukan,” berkata Prastawa.

Meskipun sebenarnya bagi Ki Gede ia merasa lebih mapan berada di pertempuran, namun ia memang harus mengendalikan seluruh kekuatan dengan sebaik-baiknya.

Putut Rahinaya yang berusaha untuk menyusup menembus lapisan pertahanan itu memang telah melingkari beberapa halaman rumah yang penuh dengan tanaman yang rimbun. Dengan diam-diam mereka seakan-akan telah merangkak di sela-sela tanaman di kebun-kebun itu. Mereka dengan hati-hati pula meloncati dinding yang menyekat halaman-halaman para penghuni Tanah Perdikan itu.

Pada umumnya rumah-rumah itu memang kosong. Perempuan dan anak-anak telah diungsikan, sehingga setiap pintu rumah itu tertutup rapat-rapat.

Langkah Putut Rahinaya itu terhenti ketika di depannya, di sebuah halaman rumah yang luas, telah terjadi pertempuran. Karena itu, maka ia telah memberikan isyarat kepada orang-orangnya untuk merayap mundur. Mereka pun kemudian telah mengambil jalan lain untuk menyusup menuju ke rumah Ki Gede.

Putut Rahinaya yang memiliki wawasan yang luas di peperangan itu kemudian ternyata berhasil mendekati halaman rumah Ki Gede. Ketika Putut itu menjengukkan kepalanya dari sela-sela dedaunan yang tumbuh di dalam sebuah halaman, maka ia melihat kelompok pengawal yang berjaga-jaga di halaman rumah Ki Gede.

Kepada kepercayaannya Putut itu berdesis, “Lihat, apakah kita akan dapat menguasai mereka?”

“Kita akan mencoba,” jawab kepercayaannya.

“Kau serang para pengawal itu dari belakang. Empat orang akan bersamamu melalui arah lain untuk langsung memasuki rumah Ki Gede. Mudah-mudahan Ki Gede ada di rumah, sehingga aku dapat menangkapnya.”

“Ki Gede adalah seorang yang berilmu tinggi,“ desis kepercayaannya itu.

“Tetapi ia cacat kaki. Jika aku bertempur melawan Ki Gede, aku harus memancingnya agar Ki Gede itu lebih banyak berloncatan, sehingga kakinya akan terasa sakit dan geraknya menjadi lamban. Sementara itu senjata yang sering dipergunakannya adalah sebuah tombak pendek yang menjadi sipat kandelnya. Namun aku sudah bersedia dengan pedang dan perisai untuk mengatasi tombaknya itu,“ berkata Putut Rahinaya, yang kemudian berpesan pula, “berhati-hatilah dengan kelompok orang-orang terpilih ini. Kalian harus memancing perhatian para pengawal.”

Kepercayaannya itu menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa bahwa ia telah dibebani tugas yang berat. Namun kemudian dengan tegar ia berkata, “Baiklah. Aku akan menghancurkan para pengawal itu. Mudah-mudahan kita dapat berhasil.”

“Jika kita berhasil menduduki rumah Ki Gede dan apalagi menangkapnya, maka kita akan dapat mengguncang tekad para pengawal untuk bertempur terus. Mereka akan menjadi ragu-ragu, bahkan mereka akan menghentikan perlawanan mereka.”

Kepercayaannya itu mengangguk-angguk. Sementara Putut Rahinaya telah mempersiapkan diri lahir dan batin. Kemudian sambil menggeram ia berkata kepada empat orang yang telah ditunjuknya. ”Marilah.”

Putut Rahinaya itu segera bergerak ke arah yang berbeda dari sekelompok pengikutnya yang terpilih itu.

Demikian Putut itu hilang di balik gerumbul-gerumbul tanaman di kebun itu, maka kepercayaannya itu telah memerintahkan orang-orangnya untuk menyerang para pengawal dari arah samping rumah Ki Gede.

Sejenak kemudian, kegelisahan memang telah terjadi di sekitar rumah Ki Gede. Beberapa orang pengungsi menjadi ketakutan. Bahkan ada anak-anak yang mulai menangis.

Namun para pengawal dengan sigap telah berloncatan menyongsong serangan itu, sehingga pertempuran pun telah terjadi dengan sengitnya.

Pada saat itulah, Putut Rahinaya merayap mendekati rumah itu. Kemudian dengan serta merta ia telah meloncat dan memasuki halaman depan rumah Ki Gede yang ditinggalkan oleh para pengawal ke halaman samping. Hanya ada dua orang pengawal yang berdiri di tangga depan rumah Ki Gede itu.

Melihat serangan itu, maka kedua orang pengawal itu pun dengan sigapnya telah menyongsong keempat orang itu. Sementara itu beberapa orang perempuan telah menjerit ketakutan.

Ki Gede yang ada di ruang dalam terkejut. Ketika ia keluar melihat apa yang terjadi, maka ia melihat seorang pengawal telah terkapar di halaman, sementara seorang lagi masih bertempur dengan salah seorang pengawal Putut Rahinaya.

Sementara Putut Rahinaya sendiri telah berlari ke tangga pendapa.

Sementara itu Ki Gede telah berdiri di ujung pendapa dengan tombak di tangan. Demikian ia melihat empat orang siap untuk meloncat naik ke pendapa yang penuh dengan perempuan dan anak-anak, maka tombak Ki Gedepun telah merunduk.

“Siapakah kalian?” bertanya Ki Gede.

Putut Rahinaya memang berhenti. Namun kemudian iapun menebak, “Aku tentu berhadapan dengan Ki Gede Menoreh.”

Ki Gede termangu-mangu sejenak. Namun Ki Gede bukan pengecut yang bersembunyi jika bahaya datang. Karena itu, maka iapun menjawab, “Ya. Aku adalah pemimpin Tanah Perdikan ini.”

“Bagus Ki Gede,” berkata Putut Rahinaya, “aku tidak mempunyai banyak waktu. Menyerahlah. Kemudian perintahkan pengawal-pengawalmu menyerah.”

“Ki Sanak,“ jawab Ki Gede, “pantaskah jika dalam keadaan seperti ini begitu saja aku menyerah, sementara rakyatku telah banyak sekali menjadi korban?”

“Soalnya bukan pantas atau tidak pantas. Tetapi Ki Gede tidak mempunyai pilihan lain. Akan lebih buruk lagi jika aku terpaksa membunuh Ki Gede.”

“Siapa namamu?” bertanya Ki Gede.

“Aku adalah seorang Putut. Namaku Rahinaya.”

“Dengar Putut Rahinaya. Apapun yang terjadi, aku tidak akan menyerah.”

“Lihat, seorang pengawalmu telah terlibat dalam pertempuran dengan seorang pengikutku. Aku tahu, pengawal itu tentu pengawal pilihan. Tetapi ia tidak akan dapat memenangkan pertempuran itu. Seorang kawannya telah terkapar, dan sekarang Ki Gede berhadapan dengan aku dan tiga orang kawanku.”

“Kau kira aku menjadi gemetar?” desis Ki Gede.

“Bagus. Ki Gede memang seorang pemimpin yang bertanggung jawab. Tetapi jangan menyesal bahwa pedangku akan mengoyak tubuh Ki Gede.”

Ki Gede justru beberapa langkah maju menuruni tangga pendapa dengan tombak di tangan. Rahinaya dengan tiga orang kawannya pun telah mengambil jarak yang seorang dengan yang lain. Mereka siap untuk mengepung dan kemudian berusaha menangkap Ki Gede hidup-hidup.

Ketika tombak Ki Gede mulai bergetar, maka Putut Rahinaya mulai menggerakkan perisainya pula. Pedangnya pun mulai teracu, sementara kawan-kawannya pun mulai mengayun-ayunkan senjata mereka. Seorang di antara mereka bersenjata pedang, seorang lagi bersenjata bindi, sedangkan yang tertua di antara mereka yang di samping Putut Rahinaya sendiri, bersenjata semacam tombak pendek berujung rangkap. Dengan canggah yang menggetarkan jantung itu, maka ia bergerak ke belakang Ki Gede.

“Ki Gede,” berkata orang tertua di antara kawan-kawannya itu, “kau memang tidak mempunyai pilihan selain menyerah. Jika ujung canggahku ini mematuk punggungmu, maka di punggungmu akan terukir lubang rangkap.”

Ki Gede sama sekali tidak menghiraukan ancaman itu. Namun tombaknya mulai bergerak. Kakinya bergeser setapak.

Putut Rahinaya yang berdiri di hadapan Ki Gede dengan pedang di tangan kanan dan perisai di tangan kiri telah mulai menggerakkan pedangnya pula. Dengan nada berat ia berkata, ”Masih ada kesempatan untuk menyerah Ki Gede.”

“Mungkin tubuhku akan menyerah. Tetapi jiwaku tidak akan menyerah,“ geram Ki Gede.

“Bagus,” Putut Rahinaya mulai kehilangan kesabaran, “jika demikian, apa boleh buat.”

Ternyata Ki Gede tidak menunggu lagi. Dengan sigapnya Ki Gede meloncat menyerang dengan menjulurkan tombaknya. Namun ujung tombak itu telah menyentuh perisai Putut Rahinaya. Sementara itu, yang tertua di antara pengikut Putut itu benar-benar telah menusuk dengan canggahnya ke arah punggung. Tetapi Ki Gede sudah memperhitungkannya. Nalurinya sebagi seorang yang memiliki kemampuan dalam olah kanuragan telah memperingatkannya, sehingga dengan cepat iapun telah berputar. Demikian ujung rangkap senjata lawannya itu terjulur, maka Ki Gedepun telah meloncat ke samping. Tombaknya yang berputar dengan mendorong senjata lawannya telah membebaskannya dari sengatan kedua ujung canggah itu.

Namun sejenak kemudian, kedua orang pengikut Putut Rahinaya yang lain pun telah menyerang pula hampir bersamaan.

Sebenarnyalah bahwa Ki Gede menjadi tegang. Meskipun ia mempunyai ketrampilan bermain tombak yang tinggi, tetapi melawan empat orang, Ki Gede harus benar-benar mengerahkan tenaganya. Sementara itu, Putut Rahinaya yang telah mengetahui kelemahan Ki Gede itu justru berkata, “Marilah Ki Gede. Kita akan bermain loncat-loncatan. Tidak akan memerlukan waktu sepenginang, maka kaki Ki Gede akan mengalami kesulitan.”

Ki Gede menggeram marah. Tetapi ia tidak akan dapat lari dari kenyataan, bahwa kakinya memang sudah cacat.

Namun dalam pada itu, ketika perempuan-perempuan di pendapa itu menjadi ketakutan, maka dua orang di antara mereka justru telah turun pula dari tangga pendapa. Dengan lantang seorang dari mereka berkata, “Marilah Ki Gede. Aku akan ikut bermain.”

Ki Gede sempat berpaling sejenak. Apalagi ketika lawan-lawannyapun berpaling pula, sehingga seakan-akan mereka memberikan waktu kepada Ki Gede untuk memperhatikan orang itu.

“Maaf Ki Gede, apakah aku terlambat?” bertanya perempuan itu setelah ia berdiri di halaman.

“Angger Sekar Mirah,” desis Ki Gede.

“Ya Ki Gede. Aku sedang memperhatikan pertempuran di sebelah. Nampaknya mereka sengaja memancing perhatian para pengawal untuk bergeser ke sebelah. Sementara itu, beberapa orang pemimpin mereka telah datang dari arah depan,” berkata Sekar Mirah.

“Ya, agaknya memang demikian,” jawab Ki Gede tanpa meninggalkan kewaspadaan.

“Untunglah ada yang memberitahukan kepadaku tentang kedatangan orang-orang itu,” berkata Sekar Mirah kemudian.

Putut Rahinaya yang memperhatikan Sekar Mirah dan Rara Wulan itu ternyata tidak segera menyerang Ki Gede. Dengan nada yang tinggi ia bertanya, “He, apa yang akan kalian lakukan? Siapakah kalian berdua?”

“Kami adalah dua orang dari antara perempuan-perempuan yang sedang mengungsi itu,” jawab Sekar Mirah.

“Jadi kau mau apa?” bertanya Putut Rahinaya itu berteriak.

“Kami tidak dapat membiarkan Ki Gede bertempur seorang diri melawan kalian.”

“Kau akan ikut bertempur?” bertanya Putut Rahinaya.

”Ya,” jawab Sekar Mirah.

Putut Rahinaya termangu-mangu sejenak. Namun jantungnya menjadi berdebar-debar ketika ia melihat tongkat baja di tangan Sekar Mirah, sementara itu di tangan Rara Wulan tergenggam sepasang pedang. Rara Wulan memang sedang memperdalam ilmu pedangnya di bawah bimbingan Sekar Mirah dan Agung Sedayu, karena Rara Wulan tidak mempunyai tongkat baja putih sebagaimana dimiliki oleh Sekar Mirah.

Putut Rahinaya itu memang menjadi berdebar-debar. Tetapi kedua perempuan itu nampaknya begitu yakin akan kemampuan mereka, sehingga keduanya sama sekali tidak gentar melihat Putut Rahinaya dan kawan-kawannya.

Sebenarnyalah maka sejenak kemudian Sekar Mirah itu pun berkata, “Marilah Ki Sanak. Kita teruskan pertempuran ini. Ki Gede akan bertempur bersama kami berdua.”

Putut Rahinaya tidak mau terlambat. Selagi pertempuran di sebelah rumah Ki Gede masih belum selesai, maka bersama orang orangnya, Putut itu harus dapat menundukkan Ki Gede. Bahkan jika tak ada jalan untuk menangkapnya hidup-hidup, maka Ki Gede itu akan dibunuh saja.

Putut Rahinaya tidak membuang waktu lagi. Iapun segera meloncat menyerang Ki Gede dengan garangnya. Namun orang yang bersenjata canggah itu tidak sempat lagi menyerang Ki Gede. Sekar Mirah dengan cepat menyerangnya. Sementara itu, pedang rangkap Rara Wulan telah berputar pula.

Dalam pada itu, Ki Gede memang masih harus menghadapi dua orang lawan. Putut Rahinaya sendiri dengan seorang pengikutnya. Orang tertua di antara para pengikut Putut Rahinaya itu telah terlibat dalam pertempuran melawan Sekar Mirah, sedangkan yang seorang lagi telah bertempur melawan Rara Wulan.

Orang yang berhadapan dengan Sekar Mirah itu ternyata masih sempat bertanya, ”Darimana kau mendapatkan senjatamu? Menilik ujudnya, maka senjatamu itu tentu senjata ciri dari sebuah perguruan. Aku tidak yakin bahwa kau, seorang perempuan cantik, khusus memesan senjata yang mendebarkan jantung itu. Ujud tengkorak pada pangkal senjatamu mengingatkan aku pada satu bayangan kegelapan.”

“Ternyata kau telah terkecoh oleh ujud Ki Sanak,” jawab Sekar Mirah. Namun kemudian iapun menjawab, “Mungkin senjata itu telah mengalir dari satu tangan ke tangan yang lain. Ujudnya memang tidak berubah. Tetapi tangan yang memegangnya-lah yang mempunyai watak yang berbeda dari tangan yang satu dengan tangan yang lain.”

“Bahwa kau memilih ujud itu tentu ada ungkapan dari dalam dadamu. Mungkin dari dasar yang paling dalam di hatimu. Namun justru itu warna hatimu yang sebenamya,” berkata orang itu.

Tetapi Sekar Mirah justru menjawab, “Terima kasih atas anggapanmu itu Ki Sanak. Mudah-mudahan tongkatku ini akan dapat selalu memperingatkan aku, bahwa ujudnya tidak akan memberikan pengaruh atas tangan yang memegangnya. Sebagaimana pusaka-pusaka terbaik yang jatuh di tangan orang-orang yang berwatak hitam akan juga menjadi bayangan kehitaman itu. Karena sebenarnya senjata yang manapun akan sangat tergantung pada tangan-tangan yang memegangnya.”

“Persetan dengan sesorahmu,” geram orang yang tertua di antara kawan-kawannya itu. Namun kemudian iapun berkata, “Tetapi kenapa kita tidak berbicara tentang satu kemungkinan yang baik bagimu dan bagi Tanah Perdikan ini.”

“Apa maksudmu?” bertanya Sekar Mirah.

“Kenapa kau harus mempertaruhkan nyawamu untuk membantu Ki Gede, yang sebentar lagi akan kehilangan segala-galanya? Bahkan nyawanya.”

“Aku mempertaruhkan nyawaku, agar yang kau katakan itu tidak terjadi.”

“Satu mimpi buruk. Tentu akan terjadi. Tidak seorangpun akan dapat menawarnya. Sementara itu, di rumah orang terbaik di Tanah Perdikan ini telah terjadi pula pertempuran yang akan mengakhiri petualangan orang-orang berilmu tinggi itu di atas Tanah Perdikan ini.”

Tetapi Sekar Mirah menjadi muak mendengar kata-kata itu. Karena itu, maka katanya, “Sudahlah. Jangan mengigau saja. Bukankah kita akan bertempur?”

Orang itu mengerutkan dahinya. Sekilas ia sempat melihat seorang di antara kawannya yang bertempur melawan Rara Wulan. Ternyata bahwa perempuan yang masih muda itu memiliki ilmu pedang yang tinggi. Dengan pedang rangkap ia telah melibat lawannya dalam pertempuran yang cepat.

Ternyata lawannya yang juga bersenjata sebilah pedang harus mengerahkan kemampuannya melawan pedang rangkap Rara Wulan yang berputar menyambar-nyambar.

Sekar Mirah memang membiarkan lawannya mengamati pertempuran itu. Sekar Mirah sendiri memang ingin melihat keseimbangan pertempuran antara Rara Wulan dan lawannya.

Namun Sekar Mirah tidak menjadi cemas. Ia memperhitungkan bahwa Rara Wulan akan dapat mengimbangi kemampuan lawannya itu.

Ketika Sekar Mirah mengamati pertempuran antara Ki Gede melawan dua orang lawannya, maka keningnya sedikit berkerut. Bagaimanapun juga umur Ki Gede sudah menjadi semakin tua. Apalagi cacat kakinya yang dapat kambuh jika terlalu banyak bergerak. Sementara itu, agaknya kedua orang lawannya dengan sengaja memancing pertempuran pada jarak panjang, sehingga Ki Gede harus meloncat-loncat.

Sekar Mirah memang menjadi berdebar-debar. Ia menduga bahwa pertempuran itu akan berlangsung lama, kecuali jika para pengawal di sebelah segera dapat menguasai lawan-lawan mereka dan segera membantu Ki Gede. Jika tidak, maka cacat kaki Ki Gede itu akan segera kambuh kembali.

Karena itu, maka Sekar Mirah harus berusaha untuk dapat berbuat sesuatu sebelum kaki Ki Gede itu kambuh.

Tetapi Sekar Mirah pun menyadari, bahwa ia harus bertempur dengan orang yang bersenjata canggah itu. Agaknya orang itu juga seorang yang memiliki ilmu yang tinggi, sehingga ia harus sangat berhati-hati.

Sejenak kemudian Sekar Mirah pun telah mulai mengayunkan senjatanya. Tongkat baja putih yang berkilat-kilat oleh cahaya matahari yang semakin terik.

Ternyata lawannya memang memiliki kecepatan bergerak. Canggahnya yang bertangkai pendek itu berputaran. Sepasang mata canggahnya yang runcing dengan duri pandan yang tajam, sekali-kali menyambar, namun kemudian mematuk ke arah leher. Jika Sekar Mirah lengah, maka lehernya akan dapat terjepit oleh sepasang mata canggah itu.

Tetapi orang itu tidak mengira sama sekali bahwa Sekar Mirah mampu bergerak dengan cepat dan tangkas pula sebagaimana dilakukannya. Sementara itu Sekar Mirah memiliki kekuatan yang mampu mengimbangi kekuatannya. Tenaga dalam Sekar Mirah yang semakin matang itu telah mendukung tenaganya melampaui yang diperhitungkan oleh lawannya.

Orang itu menggeram. Dengan mengerahkan tenaganya, maka orang itu berusaha bergerak melampaui kecepatan gerak Sekar Mirah. Tetapi ternyata bahwa usahanya itu sia-sia.

Sementara itu, Rara Wulan pun telah membingungkan lawannya pula. Pedang rangkap Rara Wulan yang berputaran itu seakan-akan telah menjadi bukan saja sepasang, tetapi dua, tiga, bahkan berpasang-pasang.

Melihat kemampuan kedua orang perempuan itu, Putut Rahinaya menjadi semikin marah. Tetapi juga heran. Karena itu, maka iapun berusaha untuk dengan cepat menyelesaikan Ki Gede Menoreh. Bahkan jika Ki Gede itu harus terbunuh sekalipun.

Dengan demikian, maka Putut Rahinaya itu pun telah memberi isyarat kepada kawannya yang bersenjata bindi untuk segera menguasai Ki Gede hidup atau mati.

Orang bersenjata bindi itu pun telah mengerahkan segenap kemampuannya. Bindinya berputaran dan menyambar-nyambar. Sekali-sekali terjulur lurus mengarah ke lambung. Namun Ki Gede dengan sigapnya telah berloncatan menghindar. Sementara itu tombak pendeknya mematuk-matuk seperti mulut seekor ular bandotan.

Dengan loncatan-loncatan panjang, Putut Rahinaya sengaja memancing agar Ki Gede bertempur dengan lebih banyak mempergunakan gerak kakinya yang memang sudah cacat itu. Namun agaknya Ki Gede menyadari sepenuhnya usaha lawannya untuk memanfaatkan kelemahannya itu.

Karena itu, maka Ki Gede pun menjadi sangat berhati-hati. Kakinya yang masih nampak kokoh itu tidak terlalu banyak bergerak. Ki Gede lebih banyak berdiri tegak di tempatnya meskipun harus berputar-putar. Hanya dalam keadaan yang memaksa Ki Gede itu berloncatan surut, dan kadang-kadang memburu lawannya yang mengelakkan serangannya.

Namun Putut Rahinaya juga seorang yang memiliki landasan ilmu yang tinggi. Karena itu, maka semakin lama iapun semakin memahami cacat yang telah disandang oleh Ki Gede. Apalagi jika sekali-sekali Ki Gede mengibaskan kakinya seakan-akan ingin melontarkan perasaan sakitnya yang mulai terasa.

Putut Rahinaya yang sejak ia berangkat menuju ke padukuhan induk telah dibekali dengan pengertian tentang kelemahan Ki Gede itu, berusaha untuk mempergunakan sebaik-baiknya. Ketika ia melihat Ki Gede menekan pinggangnya sambil menggerak-gerakkan pergelangan kakinya, maka Putut itu tertawa sambil berkata, “Nah Ki Gede. Sebentar lagi sakit kakimu akan kambuh lagi. Sebaiknya kau berpikir ulang. Apakah kau akan melanjutkan perlawananmu atau tidak.”

“Aku tidak akan merubah sikapku. Bahkan seandainya aku harus mati di halaman rumahku ini,” geram Ki Gede.

“Bukankah itu sia-sia? Jika kematianmu dapat menyelamatkan Tanah Perdikanmu, maka kematianmu baru berarti. Tetapi jika setelah kau mati, maka Tanah Perdikan ini akhirnya juga kami kuasai, maka apa artinya kematianmu itu ? Bahkan selelah kau mati, maka orang-orang yang lain pun segera menyerah, dan tidak seorang pun lagi yang merasa perlu menuntut balas kematianmu.”

“Putut Rahinaya,“ jawab Ki Gede sambil berloncatan menghindari serangan lawannya, “aku bukan kanak-kanak lagi yang dapat kau takut-takuti seperti itu. Bahkan seandainya demikian, maka akupun tidak akan merajuk. Aku tidak akan menuntut agar orang lain juga mati semuanya, seandainya aku gagal mempertahankan diri sekarang ini.”

“Kau memang keras kepala Ki Gede. Rambutmu sudah memutih. Kakimu sudah cacat. Namun kesombonganmu masih saja menggelegak di jantungmu.”

Ki Gede tidak menjawab. Tetapi mata tombaknya telah terayun mendatar menyambar kening.

Putut Rahinaya bergeser sambil memiringkan kepalanya. Namun kemudian sambil mengumpat ia telah menyerang Ki Gede susul menyusul dengan pengikutnya yang bersenjata bindi.

Sebenarnyalah bahwa Ki Gede memang sudah merasakan kakinya yang mulai nyeri. Namun demikian, ia masih tetap berbahaya bagi kedua lawannya. Bahkan Ki Gede berusaha untuk tetap menyembunyikan perasaan sakitnya agar lawannya tidak merasa bahwa kemenangannya telah hampir tiba.

Sekar Mirah yang juga mengetahui kelemahan Ki Gede memang menjadi gelisah pula. Ia masih merasa mampu untuk melindungi dirinya sendiri dari ancaman mata canggah yang rangkap itu. Tetapi jika Ki Gede harus bertempur terlalu lama, maka keadaannya akan menjadi semakin buruk.

Dengan mengerahkan kemampuannya, maka Sekar Mirah berusaha secepatnya menguasai lawannya. Namun lawannya pun agaknya berusaha untuk berbuat demikian pula, karena ia juga menyangsikan apakah Putut Rahinaya akan dapat benar-benar menguasai Ki Gede Menoreh.

Dengan demikian pertempuran antara Sekar Mirah melawan orang bersenjata canggah itu semakin menjadi sengit. Keduanya berloncatan semakin cepat. Senjata mereka terayun-ayun mengerikan.

Lawan Sekar Mirah kadang-kadang memang berloncatan surut, juga putaran senjata Sekar Mirah yang bagaikan gulungan awan putih itu menerjangnya. Namun ketika tongkat baja Sekar Mirah itu menyangkut di antara kedua mata canggah lawannya, maka canggah itu pun dengan serta merta telah berputar.

Hampir saja Sekar Mirah kehilangan tongkatnya. Namun dengan mengerahkan tenaga dalamnya, maka Sekar Mirah masih berhasil mempertahankan senjatanya itu. Kepala tongkat itu yang berujud tengkorak itulah yang ternyata menjadi pegangan yang kuat, sehingga tongkat itu tidak terlepas dari tangannya.

Namun sesaat kemudian, kepala tongkatnya itulah yang terayun, hampir saja menyambar dahi orang yang bersenjata bercanggah itu. Tetapi orang yang bersenjata canggah itu masih sempat mengelak, sehigga dahinya tidak menjadi retak.

Meskipun demikian, ayunan tongkat itu memang membuat jantung orang itu berdebar-debar. Orang itu menyadari sepenuhnya, betapa kuatnya tenaga perempuan yang bersenjata tongkat itu.

Di lingkaran pertempuran yang lain, ternyata seorang pengawal yang bertempur melawan seorang pengikut Putut Rahinaya agak mengalami kesulitan. Meskipun demikian ia masih mampu bertahan untuk beberapa lama. Dengan tenaganya yang sudah mulai menyusut, pengawal itu berloncatan untuk menghindari serangan-serangan lawannya yang masih nampak garang. Karena itu, maka pengawal itu sekali-sekali harus berloncatan surut dan mengambil jarak dari lawannya yang selalu memburunya.

Tetapi di bagian lain, Rara Wulan dengan cepat menguasai lawannya. Pedang tangkapnya ternyata sangat membingungkan lawannya yang semula menganggap bahwa gadis itu akan segera dapat ditundukkannya. Bahkan orang itu sudah berharap bahwa gadis itu bukan saja dapat dikalahkan, tetapi akan dapat dijadikan tawanannya.

Tetapi yang terjadi justru di luar dugaannya. Gadis itu ternyata memiliki ilmu pedang yang sulit ditandinginya. Pedang rangkapnya yang berputar itu kadang-kadang menjadi seakan-akan lebih dari sepasang. Namun kemudian putaran pedang yang sepasang itu menjadi bagaikan putaran kabut putih yang melibatnya. Sementara anginnya berdesing menampar tubuhnya.

“Perempuan ini ternyata sangat berbahaya,“ berkata pengikut Putut Rahinaya itu di dalam hatinya.

Sementara itu Putut Rahinaya sendiri telah bertempur dengan mengerahkan tenaganya. Bersama orang yang bersenjata bindi, ia memancing Ki Gede untuk mempergunakan kakinya pada langkah-langkah yang panjang. Meskipun Ki Gede cukup menyadari keadaan kakinya, namun ia tidak dapat mengelakkan kemungkinan untuk berloncatan menghindari serangan dari kedua lawannya, sehingga karena itu, semakin lama cacat kakinya semakin terasa. Perasaan nyeri mulai menggigit tulang-tulang di kakinya.

Dengan garang Putut Rahinaya itu menyerang seperti banjir bandang. Sementara bindi kawannya berputaran bergulung-gulung seperti ombak yang menghantam bebatuan di pantai yang curam.

Ki Gede sendiri memang merasa cemas akan keadaan kakinya. Sementara itu kedua lawannya masih saja bertempur dengan garangnya. Putut Rahinaya adalah seorang putut yang memiliki ketangkasan yang tinggi.

Semakin lama memang semakin nampak pada Putut Rahinaya dan kawannya, bahwa Ki Gede semakin mengalami kesulitan dengan kakinya. Ki Gede tidak lagi memburu lawannya jika lawannya meloncat menjauh. Sementara itu, Ki Gede lebih banyak menangkis serangan-serangan lawannya daripada menghindarinya. Perisai dan pedang Rahinaya kadang-kadang memang menyulitkan Ki Gede, sementara lawannya yang seorang lagi selalu mengayunkan bindinya dengan kekuatan yang besar.

Namun dalam pada itu, ketika Ki Gede semakin mengalami kesulitan, maka terdengar teriakan kemarahan, namun juga kesakitan.

Semua orang yang sedang bertempur di halaman rumah Ki Gede itu sempat berpaling. Mereka melihat lawan Sekar Mirah berguling-guling kesakitan sambil memegangi kepalanya. Canggahnya terpelanting jatuh beberapa langkah daripadanya.

Ternyata kepala tongkat Sekar Mirah telah mengenai lawannya tepat di telinga kanannya, sehingga orang itu menjadi sangat kesakitan. Meskipun kepala tongkat itu tidak tepat membentur sasarannya, tetapi sentuhan ayunan tongkat itu telah membuat orang yang bersenjata canggah itu tidak dapat mengaisi perasaan sakit. Bukan saja tulang kepalanya yang serasa retak, tetapi bagian dalam telinganya rasa-rasanya telah pecah pula.

Demikian sakitnya bagian dalam telinga dan tulang kepalanya, sehingga orang itu tidak lagi mampu menguasai keseimbangannya. Bukan saja keseimbangan tubuhnya, tetapi juga keseimbangan penalarannya.

Sekar Mirah berdiri termangu-mangu. Ada niatnya untuk menghancurkan sama sekali lawannya itu. Namun ada sesuatu yang terasa mengekangnya.

Karena itu, maka Sekar Mirah pun meninggalkan lawannya yang masih berguling-guling kesakitan itu. Rasa-rasanya Sekar Mirah justru ingin menolongnya mengurangi perasaan sakit yang menggigit bagian dalam telinganya itu.

Tetapi Sekar Mirah itu pun segera teringat kepada Ki Gede yang mulai mengalami kesulitan yang gawat. Apalagi Putut Rahinaya yang kehilangan kawannya itu menjadi sangat marah. Sehingga karena itu, maka iapun berusaha untuk semakin meningkatkan serangan-serangannya atas Ki Gede yang semakin terganggu kakinya.

Namun setelah kehilangan lawannya itu, maka Sekar Mirah segera meloncat mendekati arena pertempuran antara Ki Gede dan kedua lawannya sambil berkata, “Ki Gede, biar adil, maka aku akan mengambil salah seorang lawan Ki Gede.”

Ki Gede masih harus bergeser setapak-setapak menghindari serangan dua orang lawannya. Namun ia sempat berkata kepada Sekar Mirah, “Kau terluka Ngger. Lenganmu.”

Sekar Mirah terkejut. Ketika ia meraba lengannya, maka terasa cairan hangat membasahi tangannya. Darah.

Wajah Sekar Mirah menjadi merah. Kemarahanya telah membakar jantungnya, sehingga darahnya serasa mendidih karenanya. Semula ia tidak merasa bahwa ujung canggah itu menggores lengannya. Agaknya ujung canggah itu demikian tajamnya, sehingga ia tidak merasakan luka di lengannya itu.

Baru kemudian luka itu mulai terasa pedih ketika keringatnya mengalir semakin banyak. Namun Sekar Mirah itu menjawab, “Ya Ki Gede. Tetapi tidak apa-apa.”

“Sebaiknya kau obati dulu lukamu itu Ngger,“ berkata Ki Gede sambil menangkis serangan Putut Rahinaya.

Tetapi Sekar Mirah menjawab, “Maaf Ki Gede. Aku akan melibatkan diri dalam lingkungan pertempuran Ki Gede. Aku mohon Ki Gede memperkenankan aku mengambil alih seorang di antara lawan Ki Gede, atau aku bertempur berpasangan dengan Ki Gede sebagaimana dilakukan oleh lawan Ki Gede.”

“Silahkan Ngger. Aku harus mengakui bahwa Angger akan mampu melakukannya,“ jawab Ki Gede.

Sekar Mirah tidak menunggu lebih lama lagi. Tongkatnya pun segera berputar menghantam bindi salah seorang lawan Ki Gede yang ingin mempergunakan kesempatan.

Benturan pun telah terjadi. Orang yang membawa bindi itu benar-benar terkejut. Tenyata perempuan itu memiliki kekuatan yang sangat besar.

“Apakah ada kekuatan iblis di dalamnya?” bertanya orang itu di dalam hatinya.

Namun Putut Rahinaya yang sempat melihat tongkat baja putih Sekar Mirah yang mempunyai kepala tengkorak berwarna kuning itu terkejut. Hampir di luar sadarnya ia bertanya, “Apakah kau yang mempunyai kaitan dengan Patih Mantahun di Jipang, atau Macan Kepatihan, atau Ki Sumangkar, semasa hidup mereka ?”

“Apa pedulimu?” bertanya Sekar Mirah.

Putut Rahinaya masih bertanya sambil bertempur, “He, dari siapa kau mendapatkan tongkat itu?”

Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi tongkamya terayun semakin cepat, sehingga seakan-akan menjadi gumpalan asap putih yang bergerak melibat lawannya yang bersenjata bindi itu.

Orang yang bersenjata bindi itu tidak dapat berbuat lain daripada memusatkan perhatiannya kepada perempuan yang ternyata memiliki ilmu yang tinggi itu. Bahkan ia harus melangkah beberapa langkah surut.

Dengan demikian maka lawan Ki Gede itu memang terbagi. Seorang yang bersenjata bindi itu harus bertempur melawan Sekar Mirah, sementara Putut Rahinaya sendiri bertempur melawan Ki Gede yang mulai terganggu kakinya.

Meskipun demikian, setelah lawannya tinggal seorang, maka keadaan Ki Gede menjadi semakin baik. Ia tidak harus memperhatikan dua orang yang kadang-kadang menyerang berbareng dari dua arah. Meskipun Putut Rahinaya mampu bergerak dengan tangkasnya, namun Ki Gede yang dapat memusatkan perhatiannya kepadanya, tidak segera mengalami kesulitan yang gawat. Bahkan sekali-sekali Ki Gede sempat mengambil jarak dan sedikit kesempatan untuk mengurangi perasaan sakit kakinya yang cacat itu.

Dalam pada itu, pengawal Tanah Perdikan yang harus bertempur melawan salah seorang pengikut Putut Rahinaya benar-benar tidak lagi mempunyai harapan untuk dapat bertahan. Tubuhnya sudah mulai mengalirkan darah dari lukanya di beberapa tempat Bahkan sekali-sekali ia harus berlari berputaran mengelilingi sebatang pohon untuk sekedar berlindung.

Ketika keadaannya menjadi semakin gawat, maka pengawal itu benar-benar menjadi berputus asa. Meskipun ia tidak membiarkan lawannya menghujamkan senjatanya di dadanya, tetapi pengawal itu sudah siap untuk mati.

Namun dalam keadaan yang paling gawat itu, tiba-tiba saja ia melihat lawan Rara Wulan terlempar dari arena pertempuran. Ujung pedangnya yang dipegangnya dengan tangan kirinya sempat menggapai tubuhnya ketika pedangnya yang di tangan kanan justru menangkis dan seakan-akan menyibak pertahanan lawannya itu.

Orang itu terkejut. Dengan serta-merta ia meloncat mundur. Namun Rara Wulan tidak melepaskannya. Dengan cepat ia meloncat memburu dengan tangan kanan terjulur lurus. Ujung pedangnya yang kemudian sempat menyusul lawannya itu menghujam ke dadanya.

Orang yang sedang bergerak surut itu justru bagaikan didorong oleh ujung pedang Rara Wulan.

Orang itu pun telah terlempar jatuh dengan luka yang meyilang di dadanya. Tetapi juga tusukan yang menghujam jauh menyentuh jantung.

Pengikut Putut Rahinaya yang sedang memburu dan siap mengakhiri pengawal itu pun terkejut. Kawannya yang terlempar itu jatuh beberapa langkah di hadapan kakinya, sehingga orang itu terhenti untuk beberapa saat.

Kesempatan itu ternyata telah dapat dipergunakan oleh Rara Wulan. Dengan tangkasnya ia meloncat dan berdiri di hadapan pengawal yang telah berputus-asa itu.

Pengikut Putut Rahinaya itu mengumpat kasar. Sambil mengacukan senjata ia berkata, “Apakah kau, seorang perempuan, akan bertempur melawan aku?”

Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi ia menunjuk lawannya yang telah terbaring diam.

Pengikut Putut Rahinaya yang hampir saja dapat membunuh pengawal Tanah Perdikan itu menggeram. Katanya, “Kau kira, kau dapat memperlakukan aku seperti tikus yang telah kau bunuh itu? Kau akan menyesal.”

“Kau kira kau mempunyai kemampuan lebih baik dari kawanmu itu? Kau-lah yang akan menyesal jika kau tidak menyerah.”

Pengikut Putut Rahinaya itu mengumpat kasar. Namun kemudian senjatanya pun mulai bergetar. Dengan keras ia berteriak, “Marilah, majulah bersama-sama! Kalian akan mati bersama-sama pula!”

Tetapi suasana perang itu telah membuat Rara Wulan menjadi garang. Karena itu, maka iapun segera mengacukan pedang rangkapnya dan siap meloncat menyerang lawannya.

Pengikut Putut Rahinaya itu pun telah bersiap pula. Ketika Rara Wulan bergeser selangkah, maka orang itu pun segera menyerang. Senjata terjulur lurus ke arah dada.

Tetapi Rara Wulan pun telah bersiap sepenuhnya. Dengan pedang di tangan kanannya ia menangkis serangan itu, namun kemudian pedang di tangan kirinya terayun mendatar.

Lawannya masih sempat menghindar. Tetapi Rara Wulan tidak melepaskannya. Iapun segera memburu dengan serangan-serangan berikutnya.

Pengawal yang telah terluka beberapa bagian tubuhnya serta yang sudah berputus asa itu memperhatikan pertempuran antara Rara Wulan dan pengikut Putut Rahinaya itu dengan mata yang tidak berkedip.

Ternyata bahwa Rara Wulan yang baru saja menyelesaikan lawannya yang terdahulu, dengan tangkasnya telah mulai mendesak lawannya yang baru itu.

Demikianlah, pertempuran itu menjadi semakin lama semakin sengit. Sementara itu di sebelah rumah Ki Gede, para pengawal masih berusaha bertahan terhadap serangan orang-orang pilihan yang dibawa oleh Putut Rahinaya. Namun para pengawal yang bertugas di rumah Ki Gede itu juga pengawal-pengawal pilihan, sehingga karena itu usaha para pengawal Putut Rahinaya itu tidak segera berhasil.

Di saat pertempuran itu masih berlangsung, Putut Rahinaya berusaha dengan mengerahkan segala kemampuannya untuk menguasai Ki Gede Menoreh yang memang sudah mempunyai cacat kaki.

Tetapi ternyata bahwa tombak Ki Gede masih cukup garang. Tanpa banyak bergeser dan berloncatan, Ki Gede mampu bertahan atas serangan-serangan Putut Rahinaya yang datang beruntun.

Di lingkaran pertempuran yang lain, orang yang bersenjata bindi itu pun tidak lagi mempunyai kesempatan untuk mempertahankan dirinya lebih lama lagi. Sekar Mirah yang lengannya telah terluka menjadi semakin garang. Lawanya seakan-akan tidak mendapat kesempatan lagi untuk memberikan perlawanan.

Benturan-benturan senjata yang terjadi telah membuat telapak tangan orang itu menjadi semakin pedih. Bahkan semakin lama, rasanya tangannya tidak mampu lagi untuk mempertahankan bindi itu.

Sekar Mirah yang melihat keadaan lawannya tidak lagi mampu memberikan perlawanan yang berarti, ternyata tidak dengan serta-merta menghancurkannya. Betapapun kemarahan menghentak-hentak di dadanya, namun Sekar Mirah masih sempat berkata, “Menyerahlah, sebelum kau mengalami nasib seperti kawanmu yang bersenjata canggah itu.”

Orang itu menjadi ragu-ragu. Selagi ia membuat pertimbangan-pertimbangan, Sekar Mirah memang berusaha mengekang serangan-serangannya. Namun dalam pada itu terdengar Putut Rahinaya berteriak, “Cepat, selesaikan perempuan itu! Jika ia berkeras untuk bertempur terus, bunuh saja meskipun ia cantik.”

Perintah Putut Rahinaya itu memang memberikan dorongan tekad bagi orang yang bersenjata bindi itu. Karena itu dengan serta-merta, hampir di luar kendali penalarannya, ia telah mengayunkan bindi sepenuh kekuatannya yang tersisa mengarah ke kepala Sekar Mirah.

Tetapi Sekar Mirah telah siap menyambutnya. Dengan cepat ia mengangkat tongkatnya membentur bindi lawannya itu.

Benturan yang keras memang telah terjadi. Namun orang bersenjata bindi itu ternyata benar-benar telah kehilangan kesempatan. Tangannya yang sudah pedih itu bagaikan menggenggam bara arang tempurung kelapa. Begitu panasnya sehingga ia tidak mampu lagi bertahan. Bindinya justru telah terlepas dari genggaman tangannya dan terlempar jatuh beberapa langkah dari kakinya.

Ternyata orang itu pun terkejut. Beberapa langkah ia meloncat surut untuk mengambil jarak. Namun sebenarnyalah bahwa ia tidak mampu lagi berbuat sesuatu lagi ketika Sekar Mirah meloncat memburunya. Ujung tongkat baja putihnya tiba-tiba saja sudah melekat di perut lawannya itu, sementara orang itu masih menyeringai menahan panas di telapak tangannya.

“Menyerahlah,“ berkata Sekar Mirah sambil menekan perut orang itu dengan ujung tongkatnya.

Lawannya menjadi bingung. Sementara itu Putut Rahinaya masih bertempur dengan sengitnya melawan Ki Gede Menoreh.

Orang yang sudah tidak bersenjata itu memang tidak dapat berbuat lain. Dengan suara bergetar ia berkata, “Aku menyerah. Tapi jangan bunuh aku.”

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Iapun mengurangi tekanan ujung tongkatnya. Kemudian katanya, “Kau jangan melakukan sesuatu yang dapat mencelakaimu.”

“Aku sudah menyerah. Aku tidak dapat berbuat apa-apa,“ sahut orang itu.

Namun terdengar Putut Rahinaya berteriak, “Pengecut! Aku bunuh kau!”

Orang itu memang menjadi ketakutan. Namun Sekar Mirah pun berkata, “Kau kira aku tidak dapat membunuhmu?”

Orang itu benar-benar dicekam oleh ketakutan yang sangat. Wajahnya menjadi putih seperti kapas. Sementara itu ujung tongkat baja putih Sekar Mirah mulai menyentuh perutnya lagi, sehingga orang itu bergeser setapak surut.

Sejenak kemudian, maka Sekar Mirah pun telah memanggil pengawal yang telah diselamatkan oleh Rara Wulan. Meskipun tenaganya sudah jauh surut, namun ia masih juga mampu mencari seutas tali untuk mengikat tangan orang yang sudah menyerah itu.

“Jaga orang itu baik-baik. Dengan sisa tenagamu kau akan dapat membunuhnya jika ia memberontak. Tangannya sudah terikat,“ berkata Sekar Mirah.

Orang yang sudah terluka di beberapa bagian tubuhnya itu ternyata masih memiliki tekad yang besar untuk ikut mempertahankan Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, meskipun ia sudah merasa lemah, namun ia masih juga mengangguk sambil berkata tegas, “Aku akan menjaganya.”

“Bagus,“ desis Sekar Mirah. Sementara itu ia memandang Putut Rahinaya yang masih bertempur melawan Ki Gede.

Sebenarnyalah bahwa Putut Rahinaya adalah seorang putut yang memiliki dasar ilmu yang matang. Itulah sebabnya Ki Gede tidak dapat segera menguasai putut itu. Apalagi karena kakinya benar-benar tidak mampu lagi mendukung kemampuannya. Semakin lama nyeri kakinya serasa semakin menggigit. Sementara itu, Putut Rahinaya yang melihat keadaan kawan-kawannya telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk segera menguasai Ki Gede. Satu-satunya cara untuk menyelamatkan diri adalah menguasai Ki Gede dan mengancam agar orang lain tidak berbuat sesuatu.

Tetapi ternyata sangat sulit baginya. Kemana ia meloncat untuk menyerang, serta dari manapun ia meloncat menyerang, ujung tombak Ki Gede seakan-akan telah menunggunya. Tanpa beranjak dari tempatnya Ki Gede berputar-putar ke segala arah sambil mengacukan ujung tombaknya itu.

Dalam pada itu, Sekar Mirah yang telah melepaskan lawannya mulai bergerak mendekati Ki Gede. Putut Rahinaya menyadari bahwa kemudian ia harus bertempur melawan dua orang. Dua orang yang berilmu tinggi.

Betapapun ia mengerahkan ilmunya, namun Putut Rahinaya harus mengakui kenyataan, bahwa mustahil baginya untuk dapat mengalahkan Ki Gede, yang meskipun sudah merasa sangat terganggu oleh kakinya yang cacat, tetapi bersama dengan Sekar Mirah, Ki Gede tentu masih sangat berbahaya.

Selagi Putut Rahinaya itu mempertimbangkan kemungkinan yang akan terjadi, maka tiba-tiba saja ia mendengar teriakan yang menggetarkan halaman. Pengikutnya yang bertempur melawan Rara Wulan mengumpat kasar. Namun kemudian berteriak melepaskan dendamnya lewat suaranya yang menghentak oleh sisa tenaganya yang terakhir.

Kemudian suaranya pun terputus. Orang itu terbanting jatuh. Ternyata sepasang pedang Rara Wulan hampir bersamaan telah menembus dadanya.

Getar suara orang itu pun lenyap disapu angin. Yang kemudian termangu-mangu adalah Putut Rahinaya.

Ternyata ia tidak mempunyai pilihan lain. Putut Rahinaya berniat untuk meninggalkan arena pertempuran dan bergabung dengan para pengikutnya yang bertempur di sebelah rumah Ki Gede.

Karena itu, selagi Sekar Mirah belum turun ke arena, maka Putut itupun berusaha menghentakkan kekuatannya mendesak Ki Gede.

Ki Gede memang beringsut surut. Putut Rahinaya tidak memburunya. Ia justru berlari meninggalkan Ki Gede yang sudah bersiap menghadapi seranganya.

Dengan kecepatan yang sangat tinggi, Putut Rahinaya meloncat meninggalkan lawannya.

Rara Wulan yang baru saja mengakhiri pertempuran, melihat Putut melarikan diri lewat beberapa langkah dari padanya. Karena itu, maka Rara Wulan pun meloncat pula mencegat Putut Rahinaya.

Sekar Mirah terkejut. Ia memang berlari ke arah Rara Wulan sambil berteriak, “Hati-hati.”

Rara Wulan memang kurang memperhitungkan keadaan. Putut Rahinaya adalah seorang putut yang berilmu tinggi. Karena itu, ketika ia melihat Rara Wulan memotong jalannya, maka kemarahannya telah memuncak. Ia tidak lagi mengekang diri, siapapun yang dihadapinya.

Sekar Mirah benar-benar menjadi cemas. Tetapi jaraknya dari Rara Wulan tidak terlalu dekat. Meskipun demikian, ia memang berusaha mencapai gadis itu sebelum ia mengalami bencana, justru karena Rara Wulan memotong jalan Putut Rahinaya yang seakan-akan telah kehilangan kesempatan untuk mempertahankan dirinya.

Tetapi Rara Wulan yang jantungnya sedang membara itu tidak sempat menilai lawan yang dihadapinya.

Demikian Putut Rahinaya itu melihat Rara Wulan memotong jalannya, maka Putut Rahinaya sama sekali tidak berusaha menghindar. Dengan tangkasnya ia justru menyerang Rara Wulan.

Pedang rangkap Rara Wulan pun berputar. Tetapi ketika ia mencoba untuk menangkis serangan Putut Rahinaya dengan pedang di tangan kanannya dan mecoba menusuk dengan pedang di tangan kirinya, maka pedangnya itu justru telah membentur perisai Putut Rahinaya. Dengan cepat Putut Rahinaya memutar perisainya membuka pertahanan Rara Wulan. Demikian pula pedang Rara Wulan yang lain, seakan-akan telah dihempaskan menyamping.

Rara Wulan melihat kelebat ujung senjata lawannya mematuk ke arah dadanya. Sepasang pedangnya seakan-akan tidak lagi mampu mengimbangi kecepatan gerak senjata Putut itu. Karena itu, maka yang dilakukannya adalah sekedar memiringkan tubuhnya agar ujung senjata lawannya itu tidak melubangi dadanya dan menembus jantungnya.

Namun Rara Wulan tidak dapat membebaskan dirinya sepenuhnya. Pedang Putut Rahinaya memang tidak menembus jantungnya. Tetapi ujung senjata itu telah melubangi pundaknya.

Demikian cepatnya Putut Rahinaya itu mencabut senjatanya. Tubuh Rara Wulan terhuyung-huyung sejenak lalu jatuh menelungkup di tanah.

Sekar Mirah menjerit tinggi. Loncatannya yang panjang ternyata tidak mampu mendahului Putut Rahinaya yang juga dapat bergerak cepat.

Semua orang yang menyaksikan terkejut karenanya. Namun Putut Rahinaya tidak mau kehilangan waktu sekejap pun. Demikian ia menarik senjatanya, maka iapun segera meloncat berlari meninggalkan korbannya.

Tetapi Putut Rahinaya itulah yang kemudian berteriak keras-keras sambil mengumpat kasar. Ki Gede Menoreh yang menyaksikan bagaimana Putut Rahinaya itu menusuk dan menghunjamkan pedangnya ke tubuh Rara Wulan, maka ia tidak dapat mengekang dirinya lagi. Kakinya yang cacat memang tidak dapat dipergunakannya untuk mengejar Putut Rahinaya. Namun tenaganya ternyata masih mampu untuk mendorong melemparkan tombaknya ke punggung Putut Rahinaya.

Putut itu pun jatuh terjerambab pula. Ternyata tombak ki Gede Menoreh telah menghunjam di punggungnya saat ia berniat untuk melarikan dirinya.

Putut Rahinaya tidak sempat menggeliat. Tombak itu ternyata telah membunuhnya.

Sekar Mirah lah yang kemudian menjatuhkan dirinya di sisi Rara Wulan. Dengan cepat tubuh gadis itu diputarnya. Jantungnya serasa berhenti berdetak ketika ia melihat darah yang mengalir dari luka Rara Wulan.

Sekar Mirah tidak akan menjadi begitu gugup seandainya pundaknya sendiri yang terluka. Iapun telah melupakan luka di lengannya sendiri. Apalagi luka itu tidak begitu dalam. Tetapi yang terluka itu justru Rara Wulan, seorang gadis yang masih belum banyak memiliki banyak pengalaman, serta sedang saatnya berkembang dan mekar.

“Wulan, Wulan,“ suara Sekar Mirah menjadi serak.

Rara Wulan memandang wajah Sekar Mirah. Sekali-sekali Rara Wulan memang harus menahan sakit yang menggigit di lukanya.

“Tahankan dirimu Wulan. Aku akan mencari obat untuk memampatkan darahmu.”

Namun Ki Gede sudah berdiri di sebelahnya. Sambil memberikan bumbung kecil ia berkata, “Obatilah meskipun hanya untuk sementara. Obat itu dapat mengurangi arus darahnya yang keluar. Nanti biarlah ia mendapatkan pengobatan yang lebih baik.”

Sekar Mirah menerima obat itu. Dengan tangan gemetar ia membuka bumbung kecil itu dan menaburkan obat pada luka di pundak Rara Wulan. Luka yang terhitung dalam. Luka itu memang terasa sangat pedih.

Namun Sekar Mirah masih sangat berpengharapan. Glagah Putih yang pernah mengalami luka karena Aji Pacar Wutah sehingga pundaknya terluka seperti sarang tawon pun dapat disembuhkan. Sedangkan di luka-lukanya itu masih bersarang senjata lawannya yang disemburkan lewat mulutnya dengan kekuatan Aji Pacar Wutah itu.

Obat Ki Gede ternyata memang dapat membantu mengurangi arus darahnya. Bahkan kemudian justru menjadi pampat.

“Jangan bergerak-gerak dahulu,” berkata Ki Gede.

Rara Wulan memang tidak bergerak-gerak. Sekar Mirah masih saja jongkok di sampingnya menungguinya.

Ketika ia memandang pengikut Putut Rahinaya yang terikat tangannya, orang itu menggigil ketakutan. Kemarahan perempuan yang garang itu dapat ditimpakan kepadanya.

Tetapi Sekar Mirah tidak berbuat apa-apa.

Dalam pada itu, maka Ki Gede yang berdiri selangkah di sebelah Sekar Mirah telah menerima laporan, bahwa para pengawal telah menguasai para pengikut Putut Rahinaya, yang menyerang dari sebelah rumah Ki Gede untuk memancing perhatian dan memberi kesempatan kepada Putut Rahinaya untuk menyerang Ki Gede.

Beberapa pengawal memang telah berdatangan, sementara yang lain menggiring beberapa orang tawanan. Namun di antara mereka terdapat mereka yang terluka. Bahkan yang terbunuh di pertempuran masih belum sempat dibawa ke pendapa.

“Ambil lincak kecil di serambi,“ perintah Ki Gede kepada dua orang pengawal di antara mereka yang datang mendekat untuk melihat apa yang terjadi.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar