Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 284

Buku 284

“Ya. Kadang-kadang mereka memang berada di antara para pengawal. Tetapi di pagi hari mereka biasanya ada di rumah. Seandainya mereka ikut meronda, maka lewat tengah malam mereka pulang,“ jawab Prasanta.

“Baiklah. Tunggulah sampai esok pagi. Kau akan mendengar keputusanku,“ berkata Resi Belahan.

Malam itu juga Resi Belahan telah memanggil orang-orang terpenting di antara orang-orang yang berada di perkemahan itu. Kepada mereka Resi Belahan memberitahukan laporan tentang Tanah Perdikan Menoreh. Karena pada umumnya para pemimpin di perkemahan itu pernah mencari keterangan lewat kepercayaan mereka masing-masing tentang Tanah Perdikan Menoreh.

Pada umumnya para pemimpin di perkemahan itu tidak berkeberatan atas laporan Prasanta. Mereka juga menganggap bahwa kekuatan Tanah Perdikan Menoreh diletakkan di padukuhan-padukuhan, terutama di padukuhan yang menghadap langsung perkemahan di seberang perbukitan itu.

Sedangkan para pemimpin itu pun berpendapat bahwa rumah Agung Sedayu itu memang harus mendapat perhatian khusus.

“Nah, jika demikian, apalagi yang kita tunggu? Besok, sepekan lagi atau kapanpun, akhirnya benturan kekuatan memang tidak dapat dielakkan,“ berkata Resi Belahan. “Karena itu, maka sebaiknya kita lakukan dalan waktu yang dekat. Kita harus mempelajari kekalahan yang dialami oleh Ki Manuhara yang juga menyerang rumah Agung Sedayu itu.”

“Ki Manuhara memang memusatkan serangannya pada rumah itu. Tetapi mereka tidak mempersiapkan serangan yang seimbang atas kekuatan yang ada di padukuhan induk. Karena itu, maka kekuatan Ki Manuhara dan beberapa orang berilmu tinggi itu tidak didukung oleh kekuatan pasukan yang cukup,“ berkata salah seorang di antara para pemimpin di perkemahan itu yang telah mempelajari kekalahan Ki Manuhara. “Karena itu, maka para pengawal Tanah Perdikan sempat menyelamatkan mereka yang ada di rumah Agung Sedayu. Bagaimanapun juga, kehadiran mereka ikut berpengaruh atas pertempuran yang terjadi antara orang-orang berilmu tinggi itu.”

Resi Belahan mengangguk-angguk. Sedangkan Ki Tempuyung Putih kemudian berkata, “Jika demikian, maka orang orang berilmu tinggi yang akan menyerang rumah Agung Sedayu itu harus didukung oleh pasukan yang kuat, sehingga para pengawal Tanah Perdikan tidak dapat membantu orang-orang berilmu tinggi itu. Menurut perhitungan, Ki Gede tentu akan berada bersama para pengawal, sebagaimana Prastawa dan para pemimpin pengawal yang lain.”

“Ya,“ Resi Belahan mengangguk-angguk, “kita akan memancing perhatian kekuatan mereka di padukuhan-padukuhan di seberang pebukitan ini. Kita siapkan pasukan-pasukan kecil. Dua atau tiga padukuhan akan kita kacaukan. Kemudian satu lagi pasukan yang tidak terlalu kecil akan menyerang barak prajurit Pasukan Khusus. Agung Sedayu adalah lurah prajurit pada Pasukan Khusus itu. Ia akan dapat mempergunakan prajuritnya untuk melindungi Tanah Perdikan. Karena itu, maka barak itu harus diikat dengan satu pertempuran, agar para prajuritnya tidak keluar dari baraknya.”

Para pemimpin perkemahan itu mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata, “Untunglah bahwa kita telah membawa orang-orang dungu itu beserta kita. Mereka akan dapat kita umpankan di padukuhan-padukuhan kecil itu serta di barak prajurit dari Pasukan Khusus. Karena akhirnya mereka harus kita singkirkan juga.”

“Jaga mulutmu!“ bentak Ki Tempuyung Putih.

“Mereka tidak mendengar. Seandainya mereka mendengar, mereka tidak akan tahu maksudnya,” jawab orang itu.

“Kau jangan takabur seperti itu,“ berkata Ki Tempuyung Putih dengan nada keras. Sementara Resi Belahan berkata, “Jangan memaksa aku mengoyak mulutmu.”

Orang itu terdiam. Tetapi ia yakin bahwa orang-orang dungu itu benar-benar tidak dapat berpikir. Mereka akan dapat digerakkan untuk kepentingan apapun tanpa dapat memperhitungkan untung ruginya.

Malam itu juga, para pemimpin di perkemahan itu mulai menyusun rencana. Meskipun rencana yang terperinci belum dapat mereka buat, tetapi mereka telah meletakkan landasan dasarnya.

Sementara itu Ki Tempuyung Putih telah memerintahkan Prasanta dan Saramuka untuk kembali ke Tanah Perdikan, mengamati keadaan sampai saatnya mereka menyerang.

“Beri isyarat jika jalan menjadi berbahaya,“ berkata Ki Tempuyung Putih, “pada hari ketiga setelah hari ini, kita akan menyerang dengan rencana yang matang. Kita akan menyerang padukuhan induk menjelang fajar, yang menurut perkiraan, seisi rumah Agung Sedayu ada di rumah itu.”

Prasanta dan Saramuka mengangguk-angguk. Mereka memang menduga bahwa menjelang fajar, keluarga Agung Sedayu lengkap berada di rumahnya.

Pagi-pagi Prasanta dan Saramuka telah berada di rumah Ki Makerti kembali. Dengan wajah yang cerah Prasanta berkata, “Aku akan menyarankan agar Ki Makerti menunda rencananya lewat tiga hari. Dengan demikian maka ketika padukuhan induk itu dihancurkan, uang Ki Marbudi masih utuh. Uang itu akan dapat kita ambil lagi. Bahkan bukan hanya uang itu, tetapi semua kekayaan Ki Marbudi, termasuk emas intan yang dimilikinya.”

“Kalau ia mempertahankan?“ bertanya Ki Makerti.

Prasanta tertawa. Katanya, “Siapa akan mempertanyakan seseorang yang terbunuh dalam keadaan yang kacau? Jika Ki Marbudi mati, maka ia adalah salah seorang dari korban pertempuran.”

Saramuka pun tertawa pula. Katanya, “Selain itu, maka Prasanta masih dapat menghitung uang yang dipinjamkan dengan bunga atas nama Ki Makerti.”

“Bukan hanya untuk aku sendiri. Tetapi juga bagi kalian,“ berkata Prasanta.

Hari itu mereka bertiga merencanakan untuk menemui Ki Marbudi. Prasanta dan Saramuka tidak merasakan keletihan dan kantuk. Dengan nada berat Prasanta berkata, “Kita selesaikan pekerjaan kita sama sekali. Nanti kita akan tidur sehari penuh tanpa terganggu.”

Ketika kemudian mereka pergi ke rumah Ki Marbudi, ternyata bahwa Ki Marbudi masih berada di rumahnya. Prasanta, Saramuka dan Ki Makerti diterima dengan baik oleh Ki Marbudi sebagaimana biasanya.

“Aku telah memperhitungkan hari terbaik bagi rencana Ki Marbudi untuk membangun kembali rumah ini.”

“Jadi kapan aku dapat mulai menurut perhitungan Ki Prasanta, agar dapat aku selesaikan dengan baik dan selamat?”

“Ternyata menurut hari kelahiran Ki Marbudi, tidak ada hari yang menjadi pantangan. Tetapi menurut petunjuk itu, Ki Marbudi baru dapat mulai membangun rumah ini setelah lewat tiga hari setelah Ki Marbudi memastikan akan mulai dengan pembangunan itu. Menurut perhitunganku, kepastian Ki Marbudi itu adalah saat kami menyerahkan uang yang Ki Marbudi butuhkan. Sehingga dengan demikian maka baru setelah tiga hari kemudian, Ki Marhudi dapat memulainya.”

“Tetapi bukankah sejak sekarang aku telah dibenarkan untuk melakukan persiapan?“ bertanya Ki Maibudi.

“Apakah yang Ki Marbudi maksudkan dengan persiapan? Jika hal itu sekedar menemui orang-orang yang akan mengerjakan pembangunan rumah ini, agaknya bukan soal. Tetapi Ki Marbudi tidak dibenarkan untuk mengeluarkan uang sekeping pun sebelum lewat tiga hari itu.”

Ki Marbudi mengangguk-angguk. Tetapi ia bertanya, “Bagaimana jika aku harus membayar bahan-bahan yang aku beli sebelum lewat tiga hari?”

Prasanta menggelengkan. Katanya, “Lebih baik jangan Ki Marbudi. Lebih baik agak terlambat mulai, daripada harus berhenti di tengah-tengah kerja yang besar itu.”

Ki Marbudi tersenyum. Katanya, “Tentu Ki Prasanta. Aku memang tidak tergesa-gesa. Apalagi hanya sebatas tiga hari.”

Ki Makerti yang kemudian tertawa itu pun berkata, “Apa artinya yang tiga hari itu dibandingkan dengan masa pemakaian rumah yang akan dibangun? Dengan kayu jati yang tua dan terpilih, maka rumah yang akan dibangun itu akan mampu bertahan ratusan tahun.”

“Ya. Ya,” Ki Marbudi mengangguk-angguk.

“Nah,“ berkata Prasanta, “aku mengucapkan selamat kepada Ki Marbudi. Ingat, jika Ki Marbudi mengadakan syukuran, hendaknya kami diundang untuk ikut bergembira bersama keluarga Ki Marbudi di sini.”

“Aku akan mengadakan syukuran sekaligus selamatan untuk memulai dengan pembangunan rumah ini,“ berkata Ki Marbudi, “tentu lewat tiga hari setelah hari ini.”

“Mudah-mudahan semua dapat berlangsung dengan lancar, baik dan selamat,“ berkata Ki Makerti kemudian.

Namun dalam pada itu Ki Marbudi bertanya, “Tetapi Ki Makerti belum pernah membicarakan, bagaimana aku harus mengembalikan uang itu.”

Ki Makerti mengerutkan dahinya. Kemudian katanya, “Aku ingin membantu Ki Marbudi. Aku percaya bahwa Ki Marbudi dapat mempertimbangkan sendiri, kapan Ki Marbudi akan mengembalikan uang itu. Mungkin setiap bulan Ki Marbudi akan mencicil sehingga akhirnya akan lunas. Aku pun tidak menentukan berapa bunga yang harus Ki Marbudi bayar atas hutang Ki Marbudi itu. Ki Marbudi tentu sudah sering berbincang dengan Nyi Marbudi, sehingga Ki Marbudi mengetahui ancar-ancar pembayaran bunga atas uang itu.”

“Terima kasih Ki Makerti,“ jawab Ki Marbudi, “ternyata Ki Makerti dan kedua orang saudara Ki Makerti itu benar-benar terlalu baik terhadap keluargaku. Aku tidak akan dapat membalas kebaikan itu, selain berdoa agar kalian mendapat gantinya yang jauh lebih banyak.”

“Sudahlah,“ berkata Ki Makerti, “sebenarnya aku sama sekali tidak berbuat kebaikan apapun, karena aku pun akan mendapat keuntungan daripadanya.”

Demikianlah, maka Ki Makerti dan kedua orang yang diakunya sebagai saudaranya itu pun minta diri. Mereka sudah yakin bahwa tiga hari lagi mereka akan dapat mengambil uang mereka kembali. Dan bahkan apa saja yang ada di rumah itu, termasuk Nyi Marbudi. Karena Saramuka telah pernah mengatakan kepada Prasanta dan Ki Makerti, bahwa Nyi Marbudi itu adalah seorang perempuan yang sangat cantik menurut penglihatannya.

Ketika tiga orang itu turun dari pendapa, maka Ki Marbudi pun berkata kepada mereka, “Aku juga akan segera pergi ke rumah Ki Gede. Ada pertemuan di sana. Pertemuan orang-orang yang tidak pernah mempunyai ketegasan sikap dan selalu dibayangi oleh keragu-raguan. Ki Gede tidak lagi dapat mengambil keputusan, karena selalu dibayangi oleh sikap Agung Sedayu.”

Ki Makerti pun menyahut, “Salamku buat saudara-saudara kita di pertemuan itu.”

Ki Marbudi mengangguk sambil menyahut, “Baiklah. Aku akan menceritakan kebaikan hati Ki Makerti kepada para bebahu, yang pada umumnya menjadi sangat gelisah seperti aku.”

“Jangan Ki Marbudi. Aku saat ini tidak dapat memberikan apa-apa lagi kepada orang lain karena uangku masih beredar. Jika mereka berduyun-duyun datang ke rumahku, maka aku akan menjadi kebingungan. Jika aku berhubungan dengan Ki Marbudi, itu karena lebih dahulu aku sudah berhubungan dengan Nyi Marbudi. Dari hubungan itu aku tahu, bahwa keluarga Ki Marbudi adalah keluarga yang jujur, yang tidak akan mengingkari janji dan kesanggupannya. Juga tentang pinjam-meminjam ini.”

Ki Marbudi tertawa. Katanya, “Baiklah. Aku akan diam saja lebih dahulu.”

Sebenarnyalah seperti yang dikatakan oleh Ki Marbudi, sepeninggal Ki Makerti, Prasanta dan Saramuka, maka Ki Marbudi pun telah pergi ke rumah Ki Gede, sementara Nyi Marbudi berada di pasar. Tetapi beberapa orang pembantu rumah itu sudah terbiasa ditinggal oleh suami istri itu sesuai dengan kewajibannya masing-maing. Merekalah yang mengawasi dan mengasuh anak Ki Marbudi selama ayah dan ibunya tidak ada di rumah.

Ternyata di rumah Ki Gede justru sedang agak lengang. Tidak terlalu banyak orang yang ada di sana. Dengan demikian maka Ki Marbudi pun tidak terlalu lama berada di pendapa rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh itu. Namun Ki Marbudi mengetahui bahwa malam nanti, beberapa orang pemimpin Tanah Perdikan itu akan berkumpul.

Bagi Ki Marbudi, siang itu rasa-rasanya terlalu panjang. Tidak biasa dilakukannya sebelumnya, hari itu Ki Marbudi membawa kegelisahannya ke pasar untuk melihat istrinya yang sedang berdagang. Ki Marbudi memang melihat bahwa dagangan istrinya menjadi semakin banyak karena modalnya pun semakin besar. Nampaknya apa yang diperjual-belikan dapat perhatian yang cukup banyak dari orang-orang yang ada di pasar itu.

Bahkan Ki Marbudi berada di pasar sampai waktunya istrinya menutup dagangannya.

“Kau nampak gelisah Kakang,” bertanya Nyi Marbudi.

“Tidak. Aku tidak apa-apa,” jawab Ki Marbudi, “apakah kau melihat sesuatu yang lain padaku?”

Nyi Marbudi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jarang sekali Kakang datang ke pasar. Apalagi sampai waktunya aku pulang di hari pasaran yang cukup ramai seperti sekarang ini.”

Ki Marbudi menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sekali lagi ia menggeleng sambil berdesis, “Aku tidak apa-apa Nyi.”

Nyi Marbudi tidak mendesak lagi. Tetapi sampai senja turun, ia melihat bahwa suaminya masih saja gelisah.

Ketika kemudian malam turun, maka Ki Marbudi itu pun memberitahukan kepada istrinya bahwa ia akan pergi ke rumah Ki Gede.

“Apakah Kakang dipanggil oleh Ki Gede?“ bertanya istrinya.

“Ada pertemuan malam ini. Pertemuan yang menjemukan,“ jawab Ki Marbudi.

Sebenarnyalah bahwa Nyi Marbudi ikut menjadi gelisah meskipun ia tidak tahu sebabnya kenapa suaminya gelisah. Karena itu, sepeninggal Ki Marbudi maka Nyi Marbudi tidak segera masuk ke dalam biliknya. Untuk beberapa saat ia menunggui anaknya menjelang tidur. Namun kemudian Nyi Marbudi itu pun duduk di ruang dalam menunggui suaminya pulang.

Di rumah Ki Gede telah berkumpul beberapa orang pemimpin Tanah Perdikan. Tetapi tampaknya memang sangat terbatas. Yang tampak adalah Ki Gede, Prastawa, Agung Sedayu dan Glagah Putih. Seorang bebahu yang sudah menjelang hari-hari tuanya, namun adalah seorang yang menjadi kepercayaan dari Ki, Gede dan kemudian telah hadir pula Ki Marbudi.

Ternyata Ki Gede tidak memanggil orang lain lagi.

“Marilah Ki Marbudi,“ berkata Ki Gede mempersilahkan. Ki Marbudi bergeser selangkah maju. Ia masih saja nampak gelisah. Namun Ki Marbudi berusaha untuk menenangkan hatinya.

“Kami ingin mendengar keteranganmu,“ berkata kemudian Ki Gede dengan nada rendah.

Ki Marbudi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku sudah berusaha Ki Gede. Mudah-mudahan orang-orang perkemahan itu mendapat gambaran yang dapat membuat mereka keliru menilai kekuatan Tanah Perdikan ini. Sampai saat ini menurut pengertianku, mereka menganggap bahwa pertahanan di padukuhan induk ini lemah. Mereka percaya bahwa pertahanan di padukuhan induk ini rapuh. Kekuatan yang sebenarnya ada, tidak lebih dari yang nampak di gardu-gardu itu saja. Sementara kekuatan yang lain berada di padukuhan-padukuhan kecil yang ada di dekat perbukitan.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Kemudian iapun bertanya, “Apa saja yang mereka ingin ketahui tentang Tanah Perdikan, ini selain pertahanan di padukuhan induk yang dinilainya rapuh?”

“Mereka ingin meyakinkan, siapa saja yang tinggal di rumah Angger Agung Sedayu,” jawab Ki Marbudi.

“Kau sebut semuanya?” bertanya Ki Gede pula.

“Ya. Mereka sebelumnya memang sudah mengetahui nama-nama itu. Adi Agung Sedayu, Adi Glagah Putih, seorang tamunya yang bernama Sabungsari, dan Adi Sekar Mirah serta Adi Rara Wulan. Mereka pun mengetahui bahwa di rumah itu juga tinggal Ki Jayaraga. Karena itu, aku tidak dapat membohonginya.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Sementara itu Agung Sedayu bertanya, “Apakah mereka pernah menyebut orang-orang berilmu tinggi di perkemahan itu ?”

“Ya. Suatu saat terloncat nama-nama itu, meskipun mereka mengatakan bahwa nama-nama itu justru mereka dapat dari para pengawal di Tanah Perdikan. Agaknya yang dimaksud adalah para pengawal dalam tugas sandi.”

“Siapa saja yang pernah disebutnya ?”

“Mereka menyebut nama selain Resi Belahan adalah Ki Tempuyung Putih, Ki Sembada, Putut Permati dan Ki Carang Ampel.”

“Mungkin masih ada satu dua orang lagi,” desis Ki Gede.

“Memang mungkin. Tetapi orang-orang yang disebut itu tentu orang-orang terbaik di antara mereka,” desis Agung Sedayu.

“Lalu apa lagi yang dapat kau tangkap dari sikap mereka?“ bertanya Ki Gede pula.

“Mereka minta agar aku tidak tergesa-gesa memperbaki rumah, meskipun uang itu telah mereka berikan kepadaku. Mereka minta secepatnya tiga hari setelah hari ini, baru aku dibenarkan untuk mempergunakan uang itu. Sebelumnya, sekepingpun tidak boleh berkurang,” jawab ki Marbudi.

“Batas yang diberikan itu tentu mempunyai arti,” desis Agung Sedayu.

Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, ”Ya. Orang-orang itu tidak akan menyebutkan bilangan tiga tanpa ada maksudnya.”

“Agaknya hari itu adalah hari yang penting bagi mereka,” tiba-tiba saja Glagah putih menyela, “agaknya pada hari ketiga akan terjadi sesuatu, sehingga mereka berharap bahwa kerja Ki Marbudi tidak terganggu.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Hampir kepada diri sendiri ia bergumam, “Agaknya mereka akan datang pada hari ketiga dengan pengertian bahwa pertahanan di Tanah Perdikan ini rapuh, sebagaimana dikesankan oleh Ki Marbudi kepada mereka.”

“Mereka pun tentu mencoba meyakinkannya. Mereka tentu tidak akan begitu saja percaya,” desis Ki Marbudi, “namun kesan terakhir yang aku dapatkan, agaknya mereka sependapat.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk pula. Katanya, “Aku yakin bahwa Prastawa berhasil mengatur para pengawal sehingga kesannya memang demikian. Khususnya di padukuhan induk ini.”

Prastawa yang kemudian mengerti mengapa ia harus bersabar berkata, “Mudah-mudahan. Jika kita berhasil, maka kita akan memancing kekuatan di perkemahan itu untuk menyerang padukuhan induk Tanah Perdikan ini.”

“Kita harus memperhatikan apa yang mereka maksudkan dengan lewat tiga hari. Mungkin mereka ingin agar pembangun rumah Ki Marbudi tidak terganggu, atau yang sudah terlanjur dibangun selama tiga hari itu rusak jika terjadi pertempuran besar di padukuhan induk ini,“ berkata Agung Sedayu kemudian.

Sementara itu Glagah Putih pun berkata, “Atau orang-orang itu berharap bahwa uang mereka yang berada di rumah Ki Marbudi masih tetap utuh.”

“Kenapa?“ bertanya Agung Sedayu.

“Dengan demikian mereka akan dapat mengambilnya kembali, jika terjadi pertempuran di Tanah Perdikan ini.”

Agung Sedayu merenung sejenak. Dengan nada rendah ia berkata, “Memang mungkin.”

“Ya,” desis Ki Gede. “aku sependapat dengan Glagah Putih.“

“Jika demikian kita harus bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan pada hari yang ketiga,“ berkata Agung Sedayu, “sementara itu, kami akan mengamati perkemahan itu, apakah ada tanda-tanda bahwa mereka akan menyerang.”

“Terima kasih Ngger,“ berkata Ki Gede, “mudah-mudahan kita tidak akan tenggelam. Beberapa kali kita mengalami goncangan-goncangan yang berakibat buruk atas Tanah Perdikan ini. Tetapi nampaknya kali ini kita akan mendapatkan goncangan yang lebih besar, menilik kekuatan yang mereka persiapkan di perkemahan mereka.”

Dengan demikian maka beberapa orang pemimpin Tanah Perdikan itu telah mengatur dan membagi tugas masing-masing. Agung Sedayu dalam tugasnya untuk mengamat-amati perkemahan itu dari dekat. Sementara Prastawa akan mengatur pengawalan Tanah Perdikan itu sebaik-baiknya.

Hampir tengah malam, maka pertemuan itu pun dianggap telah cukup. Namun mereka masih akan selalu mengadakan pembicaraan di antara mereka menghadapi perkembangan keadaan. Khususnya menjelang hari ketiga.

Setelah Ki Gede menutup pertemuan itu, maka para pemimpin Tanah Perdikan itu pun telah memohon diri meninggalkan rumah Ki Gede Menoreh.

Demikian pula Ki Marbudi. Iapun segera meninggalkan halaman rumah Ki Gede menelusuri jalan padukuhan.

Namun Ki Marbudi itu terkejut ketika di sebuah tikungan yang gelap ia melihat seorang berdiri bersandar di dinding halaman di sebelah jalan itu. Ketika Ki Marbudi kemudian berhenti dua langkah di hadapan orang itu, maka Ki Marbudi pun berdesis, “Ki Makerti. Malam-malam kau di sini?”

“Udara terasa panas sekali Ki Marbudi. Aku berjalan-jalan saja tanpa tujuan. Ternyata aku melihati Ki Marbudi lewat, sehingga aku menunggu di tikungan.”

Ki Marbudi mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak segera melihat Ki Makerti sebelum menjadi begitu dekat.

Meskipun demikian Ki Marbudi tidak mengatakannya. Namuri ia bertanya, “Sekarang Ki Makerti akan pergi kemana? “

“Pulang,“ jawab Ki Makerti, “aku tidak lagi merasa dipanggang oleh panasnya udara. Udara malam di luar membuat tubuh menjadi sejuk. Aku mulai mengantuk.”

“Kalau begitu, kita akan berjalan bersama-sama sampai ke simpang empat itu,“ berkata Ki Marbudi.

Ki Makerti tidak menjawab. Tetapi ia melangkah di sebelah Ki Marbudi.

Dalam pada itu, sambil berjalan Ki Makerti berkata, “Apakah Ki Marbudi baru saja pulang dari rumah Ki Gede?”

“Ya. Di rumah Ki Gede telah diselenggarakan sebuah pertemuan khusus.”

“Pertemuan apa?“ bertanya Ki Makerti, “Apakah ada hal-hal penting yang dibicarakan?”

“Tetang perkemahan itu,“ jawab Ki Marbudi.

“Apakah ada perkembangan pembicaraan?“ bertanya Ki Makerti pula.

“Aku tidak tahu apakah alasan Agung Sedayu untuk selalu menunda persoalan ini. Tetapi Agung Sedayu mengusulkan untuk menyerang saja perkemahan itu. Tetapi sekali lagi sikapnya sangat menjemukan. Ia minta waktu sepekan untuk menentukan kekuatan yang akan dibawanya.”

“Sepekan?“ bertanya Ki Makerti sambil tertawa pendek, “Seisi Tanah Perdikan ini akan mengutuknya jika akhirnya Tanah Perdikan ini menjadi karang abang.”

“Aku tidak peduli,“ jawab Ki Marbudi, “yang penting rumahku akan aku kerjakan tepat pada hari setelah pada hari ketiga itu lewat. Aku sudah berbicara dengan lima orang tukang terbaik. Mereka tentu akan mengajak beberapa orang pembantu masing-masing.”

Ki Makerti mengangguk-angguk kecil, sementara Ki Marbudi berkata, “Aku pikir para pemimpin di Tanah Perdikan ini sama dungunya, sama pengecutnya, dengan orang-orang yang ada di perkemahan. Mereka tahu bahwa akhirnya mereka harus bertempur. Tetapi mereka sama-sama menunda-nunda persoalan.”

Ki Makerti mengerutkan dahinya. Di luar dugaan ia berkata, “Tetapi agaknya orang-orang di perkemahan itu masih lebih tangkas berpikir daripada Agung Sedayu.”

“Siapa yang mengatakan seperti itu? Kau lihat sampai sekarang orang-orang di perkemahan itu juga tidak bergerak sama sekali. Bahkan begitu biadabnya mereka berusaha untuk menculik seorang gadis. Tetapi mereka tidak berani menyerang Tanah Perdikan yang rapuh ini.” Ki Marbudi berhenti sejenak. Dengan ragu ia berkata, “Tetapi sudahlah. Jika orang-orang di perkemahan itu mendengar betapa rapuhnya pertahanan di padukuhan induk, mereka akan dengan beraninya menyerang.”

“Jika demikian yang terjadi, bukankah itu bukan salahmu?” berkata Ki Makerti.

“Tentu bukan. Segala sesuatunya harus dipertanggungjawabkan oleh Agung Sedayu,” sahut Ki Marbudi.

“Nampaknya kau tidak senang dengan Agung Sedayu?” bertanya Ki Makerti.

“Bukan tidak senang. Tetapi sebagai seorang yang lahir dan dibesarkan di Tanah Perdikan, aku merasa memiliki tanah ini. Tapi aku kira Agung Sedayu tidak.”

“Ya,” Ki Makerti mengangguk-angguk, “mendengar ceritamu, aku juga menjadi kecewa sekali. Tetapi aku bukan orang penting di Tanah Perdikan ini.”

“Sudahlah. Aku memang tidak peduli lagi apa yang terjadi.” Ki Marbudi terdiam. Ketika mereka lewat di sebuah gardu, maka mereka memang melihat anak-anak muda di gardu itu bermain dadu.

“Nah kau lihat,” berkata Ki Marbudi, “bukankah mereka tidak melihat kita lewat di sini?”

Tetapi ternyata ada juga dua orang yang tidak ikut bermain dadu, sempat mengagguk kecil. Seorang di antara mereka bertanya, “Baru pulang Ki Marbudi dan Ki Makerti?”

“Ya,” jawab Ki Marbudi, “aku baru pulang dari rumah Ki Gede.”

“Apakah ada pertemuan di sana?“ bertanya anak muda itu.

“Tidak,” jawab Ki Marbudi, “sekedar mendengarkan orang berbicara kesana-kemari tidak ada juntrungnya.”

Ki Makerti menggamit Ki Marbudi sambil berbisik, “Anak-anak itu dapat melaporkan kepada Agung Sedayu.”

“Biar saja. Aku memang ingin Agung Sedayu itu mendengarkan kekecewaan orang Tanah Perdikan ini.”

Ki Makerti mengangguk-angguk. Hampir di luar sadarnya pula ia berkata, “Akhirnya Agung Sedayu akan menyesali dirinya sendiri.”

“Kenapa?” bertanya Ki Marbudi.

“Ia akan melihat Tanah Perdikan ini hancur sebagimana kehancuran keluarganya,“ desis Ki Makerti.

Tetapi Ki Marbudi tertawa kecut. Katanya, “Tidak. Agung Sedayu memang ingin melihat Tanah Perdikan ini hancur. Sementara itu, ia dapat bertahan dengan seluruh keluarganya, karena keluarganya terdiri dari orang-orang berilmu tinggi. Ia akan tertawa melihat kehancuran itu, karena ia akan bangkit dan berdiri di atas timbunan bangkai orang-orang Tanah Perdikan Menoreh dan orang-orang perkemahan yang dungu itu, serta menyebut dirinya sebagai Kepala Tanah Perdikan Menoreh.”

Ki Makerti justru termangu-mangu sejenak. Tetapi ia masih bertanya, “Bukankah masih ada orang lain lagi yang berhak untuk menyebut dirinya Kepala Tanah Perdikan ini? Bukankah masih ada Pandan Wangi, yang menjadi istri Swandaru Geni dari Sangkal Patung? Mereka akan dapat datang dan mengambil alih pimpinan.”

“Bukankah itu baru akan terjadi kemudian?” bertanya Ki Marbudi, “mungkin sebulan lagi. Mungkin setahun, dan bahkan mungkin Swandaru, yang akan memegang kepemimpinan sebuah kademangan yang besar seperti Sangkal Putung itu, tidak lagi memperdulikan Tanah Perdikan ini.”

Ki Makerti mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia berkata, “Tetapi itu tidak akan terjadi.”

“Kenapa?” bertanya Ki Marbudi.

“Jika Tanah Perdikan ini hancur, maka seisi rumah Agung Sedayu itu juga akan lebur menjadi debu,” desis Ki Makerti.

“Apakah kau belum pernah mendengar bahwa seisi rumah itu berilmu tinggi? Bukankah kau tahu juga akibat perbuatan Ki Manuhara beberapa waktu yang lalu?”

“Aku tahu,” jawab Ki Makerti, “tetapi orang-orang perkemahan itu tentu juga dipimpin oleh orang-orang yang berilmu tinggi. Orang-orang berilmu tinggi itu tentu akan mengarahkan sasaran serangannya atas keluarga Agung Sedayu, sedangkan yang lain akan menghancurkan seisi Tanah Perdikan, terutama padukuhan induk ini. Karena itu justru keluarga Agung Sedayu yang akan lebih dahulu dihancurkan.”

“Memang terlalu mudah untuk mengatakannya. Tetapi aku tidak yakin orang-orang perkemahan itu mempunyai penalaran sedemikian jauh,” sahut Ki Marbudi.

“Kenapa tidak?” bertanya ki Makerti.

“Mereka dungu, tidak beradab, dan juga barangkali pengecut,” jawab Ki Marbudi.

“Kau telah mendapat gambaran yang salah tentang orang-orang perkemahan,” berkata Ki Makerti.

Ki Marbudi masih akan menjawab. Tetapi mereka sudah sampai di persimpangan jalan. Mereka akan menempuh jalan mereka masing-masing untuk pulang.

Demikian mereka berpisah, maka Ki Makerti pun segera ditemui oleh kedua orang dari perkemahan. Prasanta dengan hati-hati bertanya, “Apa yang dikatakannya kepadamu?”

“Tidak ada apa-apa, selain kekesalannya kepada Agung Sedayu. Nampaknya Agung Sedayu masih belum menemukan jalan terbaik untuk memecahkan masalah orang-orang perkemahan itu.”

“Betapa dungunya orang itu meskipun mereka berilmu tinggi,“ desis Saramuka sambil tertawa kecil, “orang-orang Tanah Perdikan temu akan menyesal karena kelambanan mereka. Tiga hari lagi Tanah Perdikan ini akan menjadi debu.”

“Tidak genap tiga hari,“ sahut Prasanta, “saat matahari terbit pada hari ketiga setelah hari yang kita lalui, Tanah Perdikan ini akan digilas oleh kekuatan yang tidak terbendung. Sementara padukuhan-padukuhan kecil itu akan menjadi sasaran semu. Namun bukan berarti bahwa padukuhan-padukuhan itu tidak akan dihancurkan pula. Setidak-tidaknya pertahanannya.”

“Aku masih meragukan kemampuan sekelompok orang yang akan mengikat pertempuran dengan prajurit dari barak Pasukan Khusus itu,” desis Saramuka.

“Itu tidak penting. Orang-orang dungu itu akan melakukan perintah dengan tanpa berpikir. Mereka akan dapat mengikat para prajurit itu sehingga tidak akan keluar dari baraknya,” jawab Prasanta.

Saramuka mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak berkata sesuatu lagi.

Demikianlah, maka ketiga orang itu pun menelusuri jalan padukuhan di tengah malam. Namun Ki Makerti berusaha untuk menghindari gardu-gardu yang terisi oleh para peronda. Tetapi seperti pernah dikatakan oleh Ki Marbudi, bahwa sebagian dari mereka tidak lebih dari sibuk bermain dadu atau permainan yang lain. Bahkan permainan macanan pun nampaknya dapat mereka jadikan permainan dengan taruhan.

Sementara itu Ki Marbudi berjalan sendiri pula ke rumahnya. Ketika ia mengetuk pintu, maka dengan serta-merta Nyi Marbudi pun telah membukakannya.

“Kau belum tidur Nyi?“ bertanya Ki Marbudi.

“Aku tidak dapat tidur Kakang. Aku menjadi gelisah, karena kau tidak segera pulang,“ jawab istrinya.

“Bukankah aku sudah terbiasa berada di rumah Ki Gede sampai malam jika ada kepentingan?“ jawab suaminya.

“Tetapi Kakang hari ini tampak gelisah. Sikap Kakang terhadap Agung Sedayu menimbulkan berbagai macam kemungkinan, sehingga aku menjadi gelisah pula karenanya,” jawab istrinya.

“Sudahlah Nyi. Sebaiknya kau tidak usah memikirkan persoalanku. Aku akan menjaga diriku sebaik-baiknya,“ berkata Ki Marbudi kemudian.

“Aku tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi atas diri Kakang jika Kakang benar-benar berselisih dengan Agung Sedayu, yang menurut pendengaranku berilmu sangat tinggi itu,” desah istrinya.

“Aku tidak berdiri sendiri. Bahkan Prastawa pun tidak sabar menunggu keputusan Agung Sedayu. Sayangnya, Ki Gede lebih mendengarkan suaranya dari suara Prastawa, kemenakannya itu.”

Nyi Marbudi memang tidak bertanya lagi. Betapapun gelisah hatinya, namun malam itu Ki Marbudi telah pulang.

Sementara itu Ki Makerti dan kedua orang dari perkemahan itu pun telah berada di rumahnya pula. Namun mereka sama sekali tidak mengetahui, bahwa dua orang telah mengikuti mereka. Gelapnya malam telah melindungi Agung Sedayu dan Glagah Putih yang mengawasi perjalanan Ki Marbudi, karena mereka mencemaskan keselamatannya jika saja orang-orang yang meghubunginya menjadi curiga. Namun mereka justru tertarik untuk mengikuti Ki Makerti yang telah menjumpai Ki Marbudi, apalagi setelah berpisah, Ki Makerti itu telah ditemui oleh dua orang yang diakunya sebagai saudaranya itu.

Kelebihan Agung Sedayu dan Glagah Putih atas orang-orang itu memungkinkannya untuk mengikutinya tanpa disadari oleh ketiga orang yang diikutinya itu. Bahkan keduanya sempat mendengarkan beberapa bagian dari pembicaraan mereka.

Dengan demikian, maka baik Agung Sedayu maupun Glagah Putih telah mendapatkan kepastian apa yang akan terjadi di Tanah Perdikan itu. Bahkan di barak Pasukan Khusus.

Sambil berjalan pulang maka Agung Sedayu berkata, “Aku harus mengawasi perkemahan itu.”

“Malam ini?” bertanya Glagah Putih.

Agung Sedayu menggeleng. Jawabnya, “Tidak. Besok malam.”

“Apakah aku dapat ikut serta?” bertanya Glagah Putih.

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian, “Baiklah. Kau dan Ki Jayaraga akan ikut bersamaku. Biarlah Sabungsari dan Wacana menemani Bajang Bertangan Baja di rumah.”

“Tetapi agaknya apa yang kita dengar itu benar-benar akan terjadi,” berkata Glagah Putih.

“Nampaknya memang begitu. Hari ketiga setelah hari yang lewat, menjelang matahari terbit, mereka akan melakukan serangan. Sasarannya agaknya bukan hanya padukuhan induk.”

Glagah Putih mengangguk kecil. Katanya, “Perang akan terjadi di lingkungan yang luas. Sebagian besar Tanah Perdikan akan dilibat perang.”

“Kita harus menyesuaikan diri menghadapi keadaan itu,“ desis Agung Sedayu.

Dengan demikian maka rasa-rasanya bahan pengamatan Agung Sedayu atas orang-orang perkemahan itu menjadi semakin lengkap. Karena itu, maka Agung Sedayu akan dapat membuat persiapan-persiapan yang lebih mengarah.

Malam itu Agung Sedayu dan seisi rumahnya, termasuk Bajang Bertangan Baja, sempat berbincang panjang. Bahkan Bajang Bertangan Baja itu berkata, ”Aku berharap bahwa mereka benar-benar datang ke rumah ini. Seandainya aku mendapat kesempatan untuk melarikan diri dari rumah ini sekalipun, aku tidak akan melakukanya. Aku ingin bertemu dan mengukur kemampuan dengan Ki Tempuyung Putih, yang telah memperlakukan aku dengan sewenang-wenang saat tubuhku diikat, dijaga oleh beberapa orang berilmu tinggi, sehingga aku tidak berdaya sama sekali.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun sebelum ia berkata sesuatu, Bajang Bertangan Baja telah menyambungnya, ”Mungkin hal seperti ini tidak sesuai dengan landasan perjuanganmu Agung Sedayu. Kau tentu menilai bahwa aku melakukan hal ini hanya didorong oleh dendam semata-mata. Aku sadari bahwa kau sulit mempercayaiku, bahwa yang aku lakukan bukannya sekedar didorong oleh dendam setelah aku diperlakukan sewenang-wenang. Tetapi aku juga berharap bahwa orang lain tidak akan mengalami perlakuan sebagaimana aku alami. Apalagi mereka, orang-orang yang tidak seburuk itu. Orang-orang yang tidak pernah terjerumus ke dalam perilaku yang tercela.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku tentu akan mengucapkan terima kasih jika kau bersedia membantu Tanah Perdikan ini menghadapi orang-orang yang ingin mengacaukan Tanah Perdikan ini, dan tentu saja arahnya untuk mengguncang ketahanan Mataram.”

“Mudah-mudahan aku dapat sedikit mengurangi beban perasaanku atas noda-noda hidupku di masa lampauku,” desis Bajang itu.

Setalah mendapat beberapa kesepakatan, maka mereka pun telah masuk ke dalam bilik mereka masing-masing. Mereka mencoba untuk dapat mempergunakan sisa malam itu untuk beristirahat.

Sedikit lewat saat matahari terbit, maka Agung Sedayu telah pergi ke barak. Ia telah memanggil beberapa orang pemimpin di barak itu. Iapun berbicara pula dengan Ki Lurah Branjangan yang sedang berada di barak itu, tentang rencana orang-orang di perkemahan.

“Mereka memang merencanakan untuk menyerang barak ini,“ berkata Agung Sedayu, “tetapi itu sekedar usaha mereka untuk mencegah agar para prajurit di barak ini tidak turun ke medan pertempuran di Tanah Perdikan.”

Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Jika demikian kita akan mengatur diri. Sebagian pasukan akan berada di luar barak pada hari yang sudah ditentukan itu. Menurut perhitungan, maka serangan ke barak ini tentu akan dilakukan lebih dahulu dari serangan mereka atas Tanah Perdikan. Sebagaimana serangan-serangan mereka pada padukuhan-padukuhan kecil, yang mereka perkirakan justru mendapat pengawalan yang kuat.”

Untuk beberapa lama Agung Sedayu telah memberikan perintah-perintah kepada para prajurit dari Pasukan Khusus yang jumlahnya memang tidak terlalu banyak. Namun karena mereka telah ditempa untuk menghadapi berbagai macam tantangan, maka para prajurit dari Pasukan Khusus itu selalu diperhitungkan di setiap medan pertempuran.

Dengan bahan-bahan yang dibawanya dari Pasukan Khususnya, maka di sore hari, setelah ia kembali dari barak, maka iapun telah mempersiapkan sebuah rencana yang sebaiknya dilakukan oleh Tanah Perdikan bersama-sama dengan para prajurit dari Pasukan Khusus, untuk menghadapi orang-orang yang berada di perkemahan, yang jumlahnya cukup banyak.

Sore itu juga, di rumah Ki Gede, Agung Sedayu yang datang bersama dengan Glagah Putih telah mempelajari rencana yang dibuat oleh Agung Sedayu itu bersama-sama dengan Ki Gede dan Prastawa.

“Rencana yang baik Agung Sedayu,” berkata Ki Gede. Kepada Prastawa Ki Gede bertanya, “Apakah rencana itu menurut pendapatmu dapat dilaksanakan?”

“Dapat Paman,” jawab Prastawa, “aku akan segera mengumpulkan semua pemimpin kelompok. Tetapi tidak di sini, agar terlepas dari penglihatan Ki Makerti dan orang-orang yang disebutnya sebagai saudaranya itu.”

Ki Gede sama sekali tidak berkeberatan. Karena itu maka katanya, “Aku percaya kepada kalian, karena sebenarnyalah aku memang harus mempercayakan Tanah Perdikan ini kepada anak-anak muda seperti kalian. Namun aku memerlukan laporan secepatnya jika kalian telah mendapatkan keputusan-keputusan.”

Malam itu, Prastawa telah menyelenggarakan pertemuan di padukuhan yang terhitung dekat dengan perbukitan di seberang perkemahan. Mereka memperhitungkan bahwa pertemuan itu akan dapat dilihat oleh satu dua orang yang ditugaskan oleh orang-orang di perkemahan untuk melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan, karena mereka tidak dapat mempercayakan sepenuhnya kepada Prasanta dan Saramuka. Tetapi jika demikian, maka kesan yang mereka dapatkan tentu akan memperkuat laporan kedua orang yang tinggal di rumah Ki Marbudi itu, bahwa terdapat timbunan kekuatan di padukuhan-padukuhan kecil di sebelah perbukitan.

Agung Sedayu dan Glagah Putih bahkan bersama Ki Jayaraga telah hadir pula dalam pertemuan itu.

Namun pertemuan itu sendiri telah benar-benar mendapat penjagaan yang ketat. Tidak setiap orang boleh mendekat dan apalagi mendengarkan pembicaraan antara pemimpin pengawal itu. Dalam pertemuan itu Prastawa dan Agung Sedayu menjelaskan apa yang harus mereka lakukan dalam waktu dua hari mendatang. Prastawa telah memerintahkan untuk menyembunyikan kesiagaan itu. Terutama di padukuhan induk, karena Tanah Perdikan itu memang dengan sengaja memancing kekuatan terbesar dari orang-orang perkemahan itu untuk menyerang padukuhan induk.

“Kita akan menyusun baris pendem,“ berkata Prastawa, “mudah-mudahan kita mampu menjaga dan melindungi kampung halaman kita sendiri. Apapun yang terjadi, bumi kita harus kita pertahankan sampai batas kemampuan kita yang terakhir. Kita tahu bahwa kekuatan yang ada di sebelah perbukitan itu adalah kekuatan yang besar.”

“Bagaimana dengan kademangan sebelah-menyebelah?“ bertanya salah seorang pemimpin pengawal, “apakah kita tidak dapat bekerja bersama dengan mereka?”

“Kita memang selalu berhubungan dengan mereka. Tetapi kita harus tetap menjaga jarak. Kita tidak tahu, apakah rahasia yang sampai ke telinga mereka tidak akan tembus sampai ke telinga para pemimpin di perkemahan itu. Seandainya bukan Ki Marbudi, mungkin orang-orang perkemahan itu sudah sempat membuat lubang-lubang untuk menempelkan telinga mereka. Untunglah, bahwa Ki Marbudi adalah seorang yang memiliki tanggung jawab yang besar terhadap bumi kelahirannya, sehingga keping-keping uang itu tidak menggoyahkan kesetiannya. Bahkan dengan cerdik Ki Marbudi mampu menyadap beberapa hal yang penting dari mulut orang-orang yang justru ingin menyadap keterangan dari mulut Ki Marbudi, yang dianggap salah seorang bebahu penting di Tanah Perdikan ini.”

Para pemimpin pengawal itu mengangguk-angguk, sementara Prastawa berkata selanjutnya, “Apa yang dapat kami lakukan adalah berusaha menyelesaikan orang-orang di perkemahan itu sendiri, meskipun kita sudah selalu memperingatkan agar para Demang bersiap menghadapi segala kemungkinan.”

Para pemimpin pengawal itu pun mengerti bahwa kademangan-kademangan di sekitar Tanah Perdikan itu pun tentu tidak terlepas dari pengamatan orang-orang perkemahan itu. Namun yang terpenting bagi mereka tentu Tanah Perdikan Menoreh, sebagai kekuatan terbesar di sebelah barat Kali Praga.

Malam itu Agung Sedayu pun telah memberikan petunjuk-petunjuk, apa yang harus dilakukan oleh para pengawal jika pertempuran terjadi di daerah yang luas. Agung Sedayu pun memberikan pertimbangan, bagaimana sebaiknya menempatkan para pengungsi, karena jika terjadi perang, maka perempuan dan anak-anak harus ditempatkan di tempat yang paling aman.

“Menurut perhitungan kami, maka yang harus mendapatkan perhatian terbesar adalah padukuhan induk,“ berkata Agung Sedayu. “Selain padukuhan itu terhitung padukuhan yang besar dan luas, penghuninya pun terhitung paling padat dan paling banyak. Karena itu, maka sebaiknya dibentuk petugas khusus yang akan mengurus perempuan dan anak-anak, termasuk melindungi mereka.”

Demikianlah, malam itu para pemimpin pengawal itu telah mendapatkan gambaran yang jelas, apa yang mungkin terjadi dan apa yang harus mereka lakukan. Baik di padukuhan induk, maupun di padukuhan-padukuhan yang lain, terutama yang terdekat dengan perbukitan di sisi barat Tanah Perdikan Menoreh.

Ketika kemudian pembicaraan itu berakhir, maka Prastawa pun berpesan, “Kita harus menjaga rahasia pembicaraan ini sebaik-baiknya. Jika rahasia ini sampai ke telinga siapapun juga yang tidak berhak, maka sia-sialah perjuangan Ki Marbudi. Bahkan mungkin nyawanya akan terancam, karena orang-orang perkemahan itu tidak segan-segan berbuat apa saja. Tetapi selain nasib buruk Ki Marbudi, maka mereka tentu akan merubah semua rencana yang telah mereka susun, sehingga kita harus mulai segala-segalanya dari permulaan lagi. Jika sampai saat ini kalian sudah hampir kehilangan kesabaran, maka tentu kalian akan merasa semakin jemu lagi jika kita harus mulai dari permulaan sekali.”

Demikianlah, maka pertemuan itu pun selesai sedikit lewat tengah malam. Namun segala-galanya telah menjadi jelas bagi para pengawal. Mereka pun mendapat petunjuk untuk dapat dengan cepat mengambil langkah-langkah yang penting, jika ada hal-hal yang tidak sesuai bahkan berlawanan sekali dengan perhitungan mereka. Sementara itu di setiap pedukuhan harus dipersiapkan selain kentongan, juga panah sendaren dan panah api, untuk memberikan isyarat pada malam hari.

Dalam pada itu, setelah selesai dengan pertemuan itu, maka Agung Sedayu, Glagah Putih dan Ki Jayaraga tidak segera kembali ke padukuhan induk. Mereka bertiga, sesuai dengan rencana mereka, langsung mendaki bukit dan berusaha mendekat perkemahan itu, tetapi dari jurusan barat. Mereka berjalan melingkar agak jauh. Namun dengan demikian mereka berharap untuk dapat melihat keadaan perkemahan itu dengan baik.

Sebenarnyalah bahwa keliga orang itu telah berhasil mendekati perkemahan, sebagaimana pernah dilakukan oleh Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Bajang Bertangan Baja.

Ketiga orang itu memperhatikan keadaan perkemahan itu dengan seksama. Ternyata mereka melihat peningkatan kegiatan di perkemahan itu. Di malam yang telah larut itu mereka melihat orang-orang perkemahan itu masih saja hilir mudik. Nampaknya mereka benar-benar mempersiapkan diri untuk mengadakan penyerangan atas Tanah Perdikan Menoreh. Jika benar yang dikatakan oleh Prasanta dan Saramuka, maka tinggal tersisa dua malam lagi, serangan akan dilakukan atas Tanah Perdikan Menoreh. Malam itu dan malam berikutnya. Karena itu, maka nampaknya persiapan-persiapan telah dilakukan dengan sebaik-baiknya.

“Besok kita harus melihat sekali lagi perkemahan ini,” berkata Agung Sedayu.

“Ya,“ jawab Jayaraga. “aku justru yakin, bahwa serangan atas Tanah Perdikan Menoreh akan dilakukan dua hari lagi sebagaimana kita perhitungkan, berdasarkan pendengaranmu atas pembicaraan dua orang yang disebut sebagai saudara Ki Makerti itu.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Kita akan melihat lebih dekat lagi. Mungkin kita akan dapat melihat bagian-bagian dari kekuatan mereka.”

Ki Jayaraga dan Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi mereka bergeser menyusuri perkemahan itu. Mereka memang melihat seakan-akan ada sekat-sekat di antara para penghuni gubug-gubug yang ada di perkemahan itu. Agaknya penghuni perkemahan itu pun terbagi dalam beberapa kelompok yang berasal dari lingkungan yang berbeda.

Namun kemudian semuanya berada di bawah pimpinan Resi Belahan yang keras, dibantu oleh Ki Tempuyung Putih yang tidak kalah kerasnya. Mereka pun orang-orang yang berilmu sangat tinggi dan disegani oleh semua pihak yang ada di perkemahan itu.

Dalam pada itu, ketiga orang itu terkejut ketika mereka mendengar keributan yang datang dari arah luar perkemahan. Karena itu, maka ketiga orang itu pun dengan cepat telah berusaha berlindung di balik dedaunan dan di sela-sela pohon perdu.

Beberapa saat kemudian mereka melihat dua orang yang digiring ke perkemahan. Kedua orang itu sama sekali sudah tidak berdaya. Sekali-sekali mereka jatuh tertelungkup. Namun mereka telah dipukul, ditendang, atau bahkan dicambuk untuk bangkit dan berjalan terus ke perkemahan.

Glagah Putih yang melihat hal itu hampir saja meloncat dari persembunyiannya. Namun dengan cepat Agung Sedayu menggamitnya.

Glagah Putih memandang Agung Sedayu dengan penuh keheranan. Tetapi ia tidak berani bertanya apapun juga, karena suaranya akan dapat didengar oleh orang-orang yang menyeret dan memaksa kedua orang itu berjalan.

Baru setelah orang-orang itu menjauh beberapa langkah, Glagah Putih bertanya, “Apakah kita tidak akan menolongnya Kakang?”

Satu pergolakan yang sengit dalam diri Agung Sedayu. Karena itu, maka ia tidak segera menjawab. Keringat dingin mulai mengembun di dahi dan keningnya.

Agung Sedayu benar-benar berdiri di simpang jalan. Jika ia menolong orang yang diseret itu, berarti orang-orang di perkemahan akan sadar bahwa ada orang lain yang berhasil mendekati perkemahan dan melihat kesiagaan mereka. Tetapi jika ia tidak berbuat apa-apa, nasib orang itu akan menjadi sangat buruk.

Ternyata bukan saja Agung Sedayu yang menjadi gelisah dan bimbang. Tetapi Ki Jayaraga pun berdesis, “Apa yang sebaiknya kita lakukan?”

Glagah Putih kemudian juga menyadari kebimbangan yang mencekam jantung Agung Sedayu dan Ki Jayaraga. Bahkan ia sendiri akhirnya menjadi bimbang.

Namun akhirnya Agung Sedayu tidak dapat menahan dirinya. Meskipun masih terkesan kebimbangannya, tetapi ia berkata, “Kita selamatkan orang itu. Tetapi orang-orang perkemahan itu pun harus hilang dari lingkungannya.”

Ternyata Ki Jayaraga dan Glagah Putih pun tanggap. Dengan tangkas mereka meloncat menyusul orang-orang yang menyeret dua orang itu. Mereka hanya memerlukan waktu sekejap untuk melumpuhkan lima orang yang menyeret dua orang yang sudah tidak berdaya itu. Lima orang itu pun telah menjadi pingsan.

Kedua orang yang telah dibebaskan itu pun berulang kali mengucapkan terima kasih kepada Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Glagah Putih.

“Kita tidak sempat berbicara sekarang,“ berkata Agung Sedayu. Namun katanya kemudian, “Kita harus menjauhkan orang-orang yang pingsan itu dari lingkungan ini.”

“Apa yang akan kita lakukan?“ bertanya Glagah Putih.

“Kita bawa mereka menyingkir. Nanti kita bicarakan apa yang sebaiknya kita lakukan.”

“Bagaimana kita membawa mereka?“ bertanya Glagah Putih kemudian.

“Kita terpaksa menyeretnya,“ jawab Agung Sedayu.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Di luar sadarnya dipandanginya orang yang telah medapatkan siksaan yang menyakitkan itu.

Ternyata orang-orang itu tanggap. Seorang di antara mereka berkata, “Kami akan mencoba ikut menyeret mereka menjauhi tempat ini. Mudah-mudahan masih ada tenaga yang tersisa.”

Demikianlah, meskipun dengan agak bersusah payah dan lambat, mereka telah menyeret orang yang pingsan itu menjauhi perkemahan.

Kedua orang yang sebelumnya telah mengalami nasib buruk itu telah kehabisan tenaga mereka, sehingga mereka tidak dapat menyeret orang-orang yang pingsan itu lebih jauh lagi. Tetapi Agung Sedayu pun kemudian berkata, “Kita sudah cukup jauh dari perkemahan. Kita menunggu orang-orang itu sadar dari pingsan.”

“Untuk apa?” bertanya salah seorang dari orang-orang yang telah mengalami siksaan yang hampir saja membuat mereka tidak sempat melihat matahari terbit esok pagi.

“Jika mereka menjadi sadar, maka kita tidak perlu menyeret mereka. Kita dapat memaksa mereka untuk berjalan sendiri,” jawab Agung Sedayu.

Kedua orang itu mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih berkata, “Kita siram saja mereka dengan air, agar mereka dapat menjadi sadar.”

Agung Sedayu tidak berkeberatan. Karena itu, maka mereka pun telah mengambil air parit dengan daun lumbu yang cukup lebar yang tumbuh di tepi parit itu.

Dengan menuang air ke wajah-wajah mereka yang pingsan, maka kelima orang itu pun perlahan-lahan menjadi sadar.

Mula-mula orang-orang itu memang berniat untuk melawan. Tetapi mereka kemudian menyadari bahwa senjata-senjata mereka telah berada di tangan kelima orang yang menungguinya. Dua orang di antaranya adalah orang yang telah mereka seret ke perkemahan.

“Kau tidak akan dapat melawan kami,” desis Agung Sedayu.

Orang-orang itu pun termangu-mangu sejenak. Namun mereka menyadari bahwa dalam waktu yang sangat pendek, mereka telah menjadi pingsan menghadapi tiga orang yang berloncatan dari kegelapan. Apalagi kemudian mereka berhadapan dengan lima orang. Meskipun dua orang di antara mereka sudah hampir saja mereka hancurkan di perkemahan.

Kini dua orang itu telah berdiri di sisi ketiga orang yang lain sambil bertolak pinggang. Bahkan seorang di antara mereka berkata, “Kini datang gilirannya, kalian akan mengalami nasib sebagimana aku alami.”

Kelima orang itu saling berpandangan sejenak. Tetapi di antara mereka masih saja merasakan kepalanya pening. Sementara itu kelima orang yang berdiri di sekitar mereka telah mengacukan senjata mereka.

“Ikut kami. Jangan membuat sesuatu yang dapat memisahkan nyawamu dari tubuhmu,“ ancam Agung Sedayu.

Kelima orang itu masih berdiri termangu-mangu. Namun Agung Sedayu telah mendorong seorang di antara mereka sambil berkata, “Marilah. Berjalanlah.”

“Kemana?” bertanya orang itu.

“Aku akan memberikan perintah-perintah kepada kalian.”

Kelima orang itu tidak dapat berbuat lain. Mereka harus mengikuti perintah Agung Sedayu, yang berjalan di belakang mereka, dengan golok yang dirampasnya dari salah seorang di antara kelima orang itu, teracu kepada mereka. Demikian pula Glagah Putih, Ki Jayaraga dan kedua orang itu, yang masih saja nampak terlalu lemah.

Namun kemudian Agung Sedayu dan salah seorang di antara kedua orang yang hampir kehabisan tenaganya itu berjalan agak ke belakang. Agung Sedayu ingin mendapat keterangan tentang kedua orang yang sebelumnya belum dikenalnya itu.

“Kami adalah orang-orang Kademangan Kleringan,” desis salah seorang dari mereka.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kepada orang yang berjalan di sebelahnya itu ia bertanya, “Kenapa kalian justru telah diseret oleh kelima orang itu?”

“Kami mencoba mendekati perkemahan. Kami ingin menemukan kembali dua orang perempuan yang hilang dari kademangan kami,” jawab orang itu. Lalu katanya, “Tetapi nasib kami berdua ternyata tidak baik. Kami terjebak ke dalam pengawasan mereka, yang segera menangkap kami. Kami berdua tidak mampu melawan kelima orang itu.“ Orang itu berhenti sejenak, lalu ia pun bertanya, “Tetapi sipakah kalian bertiga?”

“Kami kebetulan saja lewat daerah ini,“ Agung Sedayu mencoba mengelak. Ia masih merasa cemas, bahwa di Kleringan terdapat pula orang-orang yang menyadap rahasia, sebagaimana dilakukan oleh kedua orang yang tinggal di rumah Ki Makerti.

Orang itu ternyata tidak mendesaknya. Sementara itu, mereka berjalan semakin jauh dari perkemahan.

Namun dalam pada itu, jantung Agung Sedayu pun berdebar semakin keras. Dua orang perempuan telah hilang di perkemahan. Nasib mereka tentu jauh lebih buruk dari nasib kedua orang yang telah diseret oleh kelima orang pengawas di perkemahan itu.

Ketika mereka sampai di persimpangan, maka Agung Sedayu pun telah mempersilahkan kedua orang itu segera kembali ke Kademangan. Beruntunglah ternyata kedua orang itu tidak terlalu banyak mengenal Tanah Perdikan dan penghuninya, sehingga kedua orang itu masih belum mengenal Agung Sedayu. Nampaknya perbukitan yang membujur ke utara itu memang memperlebar jarak antara Kademangan Kleringan dan Tanah Perdikan Menoreh, meskipun para pemimpinnya selalu berhubungan yang satu dengan yang lain.

Ketika kedua orang itu lalu memisahkan diri, maka Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Galagah Putih yang menggiring kelima orang tawanan mereka melingkari jalan yang agak panjang, naik ke perbukitan dan kemudian turun ke tlatah Tanah Perdikan Menoreh.

“Apakah kita menuju ke Tanah Perdikan Menoreh?” bertanya salah seorang dari kelima orang yang tertawan itu.

Yang menjawab adalah Glagah Putih, “Ya. Di hadapanmu adalah Tanah Perdikan Menoreh.”

“Apakah kalian orang Tanah Perdikan Menoreh?” bertanya orang itu lagi.

“Ya,” jawab Glagah Putih singkat.

Orang itu terdiam. Namun jantungnya menjadi berdebar-debar. Mereka tahu bahwa mereka tentu tidak akan dapat melepaskan diri. Sementara itu para pemimpin mereka telah mempersiapkan serangan besar-besaran atas Tanah Perdikan Menoreh.

Namun mereka justru berharap dalam serangan besar-besaran itu mereka akan dapat dibebaskan oleh kawan-kawannya. Meskipun demikian, mereka merasa cemas juga bahwa mungkin mereka akan dihabisi saat itu juga.

Dalam pada itu Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Glagah Putih telah membawa kelima orang itu dengan sangat berhati-hati. Tidak ada seorangpun yang boleh mengetahuinya, karena jika berita tentang penangkapan itu didengar oleh seseorang, maka tidak mustahil berita itu akan sampai ke telinga Ki Makerti dan orang-orang yang ada di rumahnya.

Karena itu, maka Agung Sedayu yang pulang ke rumahnya itu seakan-akan menjadi orang asing yang akan menyusup ke Tanah Perdikan itu. Dengan sangat berhati-hati mereka menempuh jalan-jalan yang sepi dan tidak banyak disentuh orang. Demikian pula ketika mereka memasuki padukuhan induk.

Namun karena Agung Sedayu telah mengenali lingkungannya sebagaimana ia mengenali sudut-sudut rumahnya, maka iapun berhasil membawa kelima orang itu sampai di rumahnya tanpa dilihat oleh seorangpun. Para peronda di gardu-gardu dan mereka yang beronda keliling padukuhan induk, tidak sempat melihat mereka, meskipun mereka berjalan beriringan delapan orang.

Agung Sedayu telah memutuskan bahwa di hari yang tersisa kelima orang itu tidak boleh keluar dari rumahnya. Orang-orang yang ada di rumahnya cukup kuat untuk menjaga kelima orang yang kemudian dimasukkan ke dalam satu bilik di gandok. Memang agak terlalu sempit. Tetapi tidak ada ruang lain yang dapat mereka berikan kepada kelima orang itu.

Ketika kemudian Bajang Bertangan Baja memasuki ruangan mereka bersama Glagah Putih, maka orang-orang itu pun terkejut. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa mereka akan bertemu dengan orang yang pernah ditangkap dan hampir saja mati di perkemahan.

Bajang Bertangan Baja yang melihat wajah-wajah mereka yang tegang berkata, “Nah, agaknya kalian telah mengenal aku. Setidak-tidaknya kalian pernah melihat aku diikat di sebatang pohon di perkemahanmu.”

Tidak seorang pun di antara kelima orang itu menjawab. Tetapi mereka memang pernah melihat Bajang Bertangan Baja itu. Justru karena bentuk tubuhnya yang agak lain dari kebanyakan orang itulah, maka Bajang Bertangan Baja itu menarik perhatian orang, sehingga orang yang pernah melihatnya tidak mudah melupakannya.

“Nah Ki Sanak,“ berkata Bajang itu pula, “pada suatu saat aku ingin bertemu dengan Ki Tempuyung Putih dalam keadaan berbeda dari keadaanku waktu itu. Aku tahu Ki Tempuyung Putih adalah seorang yang berilmu tinggi. Tetapi aku tidak gentar menghadapinya.”

Kelima orang itu masih berdiam diri. Sementara Bajang Bertangan Baja itu berkata selanjutnya, “Sekarang yang ada di sini adalah kalian. Dengan mudah aku dapat membunuh kalian. Atau lebih memuaskan lagi, menyakiti kalian sebagaimana aku disakiti.”

Wajah-wajah kelima orang itu menjadi tegang. Namun Bajang itu berkata, “Tetapi tidak sekarang. Sekarang aku hanya ingin bertanya, kapan kawan-kawanmu akan menyerang Tanah Perdikan ini? Aku ingin mendengar kalian menjawab dengan jujur, karena sebenarnya kami di sini sudah tahu jawabannya. Jika jawaban kalian tidak sama dengan rencana kalian yang sebenarnya, maka kalian akan menyesal.”

Kelima orang itu menjadi semakin tegang. Sementara Bajang Bertangan Baja berkata, ”Nah aku ingin mendengar jawab kalian. Kapan kawan-kawan kalian akan datang kemari?”

Seorang di antara kelima orang itu dengan ragu-ragu menjawab, “Kami tidak tahu, itu adalah rahasia para pemimpin kami.”

Tetapi Bajang Bertangan Baja tertawa. Katanya, “Jika waktunya masih lama, maka hal itu memang mungkin. Tetapi karena waktunya sudah terlalu dekat, maka kalian tentu sudah mengetahuinya. Apalagi perkemahan itu sudah melakukan persiapan-persiapan yang masak. Dengan demikian maka tidak mungkin jika kalian menjawab bahwa kalian tidak tahu. Memang mungkin orang-orang dungu dan kasar yang ada di perkemahan kalian itu tidak mengetahuinya. Yang mereka tahu adalah makan dan janji serta harapan-harapan dalam kedunguan mereka. Tetapi kalian tidak.”

Kelima orang itu menjadi semakin bedebar-debar. Ia sadar, bahwa mata Bajang Bertangan Baja itu telah memancarkan dendam yang tiada taranya, sehingga ia akan dapat berbuat apa saja atas mereka yang sudah tidak berdaya itu.

Ketika Bajang Bertangan Baja itu menangkap tangan salah seorang di antara mereka, maka rasa-rasanya tulang-tulangnya menjadi remuk seketika.

Orang itu mengaduh kesakitan. Namun Bajang itu berkata, “Aku belum benar-benar meremukkan tanganmu. Kau tentu tahu aku disebut Bajang Bertangan Baja. Tetapi juga Bajang Bertangan Embun. Aku dapat meremukkan tulang-tulangmu dalam sekejap, tetapi aku dapat memulihkannya dalam sekejap juga.”

Wajah orang itu menjadi pucat. Apalagi ketika Bajang itu meraba kepalanya. Orang itu memang percaya bahwa tangan Bajang itu akan meremukkan tulang-tulang kepalanya pula.

Karena itu, ketika Bajang itu membentaknya dan bertanya kapan orang-orang perkemahan akan bergerak, orang itu terpaksa menjawab, “Dua hari lagi.”

“Bagus,” jawab Bajang itu, “kau tidak berbohong. Kami sudah tahu bahwa dua hari lagi kalian akan menyerang. Pasukan kalian yang terbesar akan menyerang padukuhan induk. Tetapi kalian juga akan menyerang padukuhan-padukuhan kecil di dekat perbukitan yang berseberangan dengan perkemahan kalian.”

Orang-orang yang tertawan itu tidak dapat berkata apapun. Ternyata orang-orang Tanah Perdikan telah mengetahui segala rencana yang telah disusun oleh para pemimpin perkemahan.

“Nah,” berkata Bajang Bertangan Baja, “aku telah menunggu Ki Tempuyung Putih. Aku harap ia dan beberapa orang terpilih akan datang kemari. Kami sudah siap menunggu kedatangan mereka.”

Orang-orang itu masih terdiam. Sementara Bajang Bertangan Baja itu berkata, “Baiklah. Untuk sementara kalian terpaksa tidur di tempat yang barangkali agak terlalu sempit bagi kalian berlima. Tetapi di rumah ini tidak ada tempat yang lebih pantas bagi kalian. Ingat, siapapun di antara kalian yang mencoba melarikan diri atau melakukan sesuatu yang tidak kami kehendaki, maka aku tidak akan segan-segan memilin lehernya sampai patah. Kalian harus percaya bahwa aku dapat melakukannya, karena kalau kalian tidak percaya, maka aku akan mengambil salah seorang dari kalian untuk aku jadikan contoh.”

Kelima orang itu masih berdiam diri. Meraka memang tidak dapat menjawab, karena mereka benar-benar dalam kedudukan yang sangat lemah.

Ketika Bajang Bertangan Baja dan Glagah Putih keluar dari ruangan itu, maka kelima orang itu menarik nafas dalam-dalam. Mereka pun kemudian merebahkan diri di pembaringan. Tetapi kerena pembaringan itu terlalu sempit untuk berlima, maka dua di antara mereka akan tidur di lantai.

“Yang tidur di amben tidak memerlukan tikar,” berkata mereka yang tidur di lantai.

Kawan-kawannya yang tidur di pembaringan memang tidak mencegah ketika kawan-kawan mereka yang tidur di lantai menarik tikar di pembaringan.

Kelima orang itu mencoba melupakan kegelisahan mereka di sisa malam yang pendek itu. Namun agaknya mereka selalu saja dibayangi kegelisahan, sehingga mata mereka tidak dapat terpejam.

Sementara itu, maka penghuni rumah itu pun bergantian menunggui orang-orang yang tertawan. Wacana pun mendapat bagian pula. Ia yang sempat tidur di ujung malam, harus menunggui kelima orang yang ada di gandok. Sementara itu Sabungsari harus mengawasi Bajang Bertangan Baja. Meskipun Agung Sedayu yakin bahwa Bajang Bertangan Baja itu tidak akan melarikan diri, namun ia masih juga berhati-hati menghadapi Bajang yang sebelumnya dikenal berotak ular itu.

Dalam pada itu, di perkemahan, penghuninya memang merasa kehilangan. Lima orang diantara mereka tidak kembali setelah di malam hari mereka meronda di sisi barat perkemahan.

“Apakah mereka ditangkap oleh orang-orang Kleringan?” bertanya pemimpin kelompok yang merasa kehilangan itu.

“Aku tidak yakin,” jawab seorang kawannya.

“Jadi, apakah mereka melarikan diri?”

“Bagaimana dengan orang-orang Tanah Perdikan?” bertanya yang lain.

“Mereka tidak bertugas ke lingkungan yang berhadapan dengan Tanah Perdikan. Mereka tidak mendaki perbukitan. Tetapi mereka meronda di sisi barat, di tanah dataran yang menghadap Kademangan Kleringan.”

“Setan orang-orang Kleringan,“ geram seorang di antara mereka, ”jika kami datang dengan kelompok kecil saja, maka seluruh Kademangan itu sudah tergilas.”

“Agaknya orang-orang Kleringan menjadi marah karena mereka telah kehilangan gadis-gadisnya.”

“Tetapi mereka tidak berhak menangkap dan barangkali menghukum kelima orang itu.” jawab seorang yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan, “kita akan dapat menyapu kademangan itu menjadi debu.”

“Kita harus menahan diri. Kekuatan kita diperlukan seluruhnya untuk menghancurkan Tanah Perdikan Menoreh. Setelah itu, maka apapun yang akan kita lakukan akan dapat kita lakukan. Bukan hanya Kademangan Kleringan, tetapi kademangan-kademangan yang lain akan segera dapat kita kuasai. Kademangan-kademangan yang subur itu serta Tanah Perdikan Menoreh sendri akan dapat menjadi landasan persediaan bahan makan untuk gerakan selanjutnya.”

Orang-orang yang marah itu memang harus menahan diri. Mereka memerlukan seluruh kekuatan untuk menyerang Tanah Perdikan.

Sementara itu waktunya sudah merangkak semakin dekat. Mereka tinggal mempunyai waktu sehari, karena besok mereka akan menyerang Tanah Perdikan Menoreh bersamaan dengan merekahnya fajar.

Karena itu, maka orang-orang perkemahan itu untuk sementara membiarkan kelima orangnya hilang. Mereka menyangka bahwa kelima orang itu telah ditangkap oleh orang-orang Kleringan yang marah karena mereka telah kehilangan gadis-gadis mereka.

Hari itu perkemahan itu pun menjadi sangat sibuk. Persiapan-persiapan telah mereka lakukan sebaik-baiknya. Kekuatan mereka telah tersusun. Kelompok-kelompok yang akan menyerang dua padukuhan terdekat, kelompok yang akan mengikat barak Pasukan Khusus dalam pertempuran, dan pasukan induk yang akan menyerang padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Menghancurkan rumah-rumah orang-orang berilmu tinggi, dan selanjutnya kekuatan Tanah Perdikan itu pun akan menjadi lumpuh.

Sementara itu, di Tanah Perdikan telah dilakukan persiapan sebaik-baiknya. Tetapi sesuai dengan rencana, maka Tanah Perdikan telah membangun benteng pendem, sehingga sulit untuk dilihat ujudnya. Hanya di beberapa padukuhan terdekat dengan perbukitan kesiagaan itu sengaja diperlihatkan.

Hari itu Agung Sedayu yang juga pergi ke barak telah mengatur kekuatan yang ada di barak itu. Sekelompok telah dipersiapkan untuk menahan serangan yang bakal datang. Yang lain telah dipersiapkan sesuai dengan perkembangan keadaan. Namun di barak itu sudah dipersiapkan pula pasukan berkuda meskipun hanya kecil. Tetapi para prajurit dari Pasukan Khusus itu memiliki kelebihan tertentu.

Hari itu, Ki Makerti dan kedua orang yang diakuinya sebagai saudaranya itu juga pergi ke pasar. Mereka memang tidak menunjukkan sikap yang lain dari sebelumnya. Mereka menemui Nyi Marbudi sebagaimana biasa. Sedangkan sikap Nyi Marbudi pun sama sekali tidak berubah, karena Nyi Marbudi memang tidak tahu apa-apa tentang tugas-tugas suaminya.

Ketika Ki Makerti bertanya tentang Ki Marbudi, maka iapun menjawab, “Tadi Ki Marbudi ada di rumah. Hari ini akan datang tiga orang tukang yang akan melihat-lihat rumah kami. Mana yang harus diperbaiki, yang mana yang harus dirubah, dan apakah perlu membuat bagian-bagian yang baru.”

“Tetapi bukankah pembangunan itu belum dimulai?”

“Belum. Tukang-tukang itu baru melihat-lihat keadaan,“ jawab Nyi Marbudi.

“Jika demikian, kami akan menemui Ki Marbudi,” berkata Ki Makerti.

Seperti yang dikatakan, Ki Makerti, Prasanta dan Saramuka pun telah pergi ke rumah Ki Marbudi. Seperti yang dikatakan oleh Nyi Marbudi pula, maka di rumah Ki Marbudi memang ada tiga orang tukang kayu yang sedang mengamati rumah itu. Mereka sedang mengukur ruangan, pintu dan bagian-bagian lain dari rumah Ki Marbudi.

Kedatangan Ki Makerti bersama dua orang yang diakuinya sebagai saudaranya itu telah disambut baik oleh Ki Marbudi. Ki Marbudi pun mengatakan kepada mereka tentang ketiga orang yang sedang sibuk itu.

“Tetapi hari ini masih belum lewat hari ketiga Ki Marbudi,” Prasanta memperingatkan.

“Ya. Besok baru hari ketiga,“ jawab Ki Marbudi.

“Bukankah Ki Marbudi belum mempergunakan uang itu barang sekeping pun?” bertanya Prasanta hampir berbisik, agar tidak didengar oleh tukang-tukang kayu yang sibuk itu.

“Belum. Belum. Tukang-tukang itu baru melihat-lihat keadaan rumah ini. Mereka belum menerima upah untuk itu.”

“Syukurlah,“ Prasanta mengangguk-angguk.

“Besok aku baru menghubungi para pedagang bahan bangunan. Terutama kayu,“ jawab Ki Marbudi, “dan baru lusa aku mengeluarkan keping-keping uang itu.”

Prasanta tertawa. Katanya, “Maaf Ki Marbudi. Sebenarnya aku tidak perlu mencampuri rencana Ki Marbudi. Setelah kami menyerahkan uang, sebenarnya tugas kami sudah selesai. Jika aku mempersoalkan kapan Ki Marbudi akan mulai, itu semata-mata karena hubungan kita yang sudah sangat baik.”

Ki Marbudi mengangguk kecil. Katanya, “Terima kasih. Aku mengerti niat baik kalian.”

Untuk beberapa saat Ki Makerti, Prasanta dan Saramuka telah ikut melihat-lihat keadaan rumah Ki Marbudi. Namun kemudian mereka telah minta diri. Sebenarnyalah bahwa Prasanta dan Saramuka ingin melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan itu. Apakah Tanah Perdikan itu meningkatkan kesiagaannya atau tidak.

Namun ternyata mereka tidak melihat benteng pendem yang disusun oleh para pengawal Tanah Perdikan. Apalagi yang ditentukan baru rencana pertahanan tersembunyi itu. Prastawa memang memerintahkan untuk tidak tergesa-gesa memasang kelompok-kelompok kekuatan di tempat-tempat yang sudah ditentukan.

Karena itu, maka Prasanta dan Saramuka tidak melihat peningkatan pertahanan itu. Dengan demikian maka keduanya pun telah minta diri kepada Ki Makerti untuk memberikan laporan kepada pemimpinnya.

Namun Prasanta dan Saramuka sama sekali tidak menyadari bahwa mereka selalu diawasi oleh petugas sandi Tanah Perdikan Menoreh. Para petugas sandi pun tahu bahwa Prasanta dan Saramuka telah pergi ke bukit. Namun menilik sikap mereka, maka mereka tidak membawa persoalan yang tergesa-gesa harus mereka laporkan kepada pemimpin mereka.

Nampaknya Prasanta dan Saramuka berjalan seenaknya. Meskipun kemudian mereka berusaha untuk diam-diam menyelinap ke arah perbukitan dan hilang di hutan lereng pegunungan.

Dua orang petani yang bekerja di sawah tengah mengawasi mereka. Petani yang dalam tugas sandinya itu berusaha agar kedua orang yang diawasinya tidak melihat mereka. Tetapi seandainya mereka melihat, maka yang dilihatnya adalah dua orang yang sedang menyiangi tanaman di sawah, tidak terlalu jauh dari padukuhan terakhir di sebelah lereng.

Sebenarnya bahwa kedua orang itu telah menyampaikan laporan kepada para pemimpin di perkemahan. Mereka memberitahukan bahwa mereka tidak melihat peningkatan kegiatan di Tanah Perdikan selain di padukuhan-padukuhan terdekat dengan kepebukitan.

“Kenapa terjadi peningkatan kesiagaan di padukuhan-padukuhan itu? Apakah orang-orang padukuhan itu mengetahui bahwa padukuhan mereka akan mendapat serangan?” bertanya Ki Tempuyung Putih dengan jantung berdebaran.

“Tidak Ki Tempuyung Putih,” jawab Prasanta, “peningkatan kesiagaan di padukuhan terdekat itu sudah dilakukan setiap kali. Terutama setelah seorang gadis mereka hampir saja diseret naik ke perbukitan.”

Ki Tempuyung Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, besok kita hancurkan Tanah Perdikan Menoreh sebagaimana kita rencanakan. Sekelompok dari antara kita akan mengikat pertempuran dengan Pasukan Khusus. Kita umpankan orang-orang dungu itu di barak harimau lapar itu. Biar mereka ditelan habis. Kita tidak memerlukan mereka lagi. Dengan demikian kita berharap bahwa prajurit dari Pasukan Khusus itu tidak akan keluar dari baraknya. Apalagi Agung Sedayu akan kita kurung di rumahnya sejak fajar, sehingga ia tidak akan sempat memberikan perintah-perintah bagi prajurit-prajuritnya.”

Resi Belahan pun menyetujuinya pula. Dengan kesungguhan ia berkata, “Orang-orang kita sudah mulai jemu untuk lebih lama tinggal di sini. Mereka sudah melakukan tindakan-tindakan di luar kendali. Karena itu, maka kita akan melaksanakan rencana kita esok.”

“Lalu bagaimana dengan kami? Apakah kami harus kembali ke Tanah Perdikan atau besok bersama-sama seluruh pasukan memasuki padukuhan induk?”bertanya Prasanta.

“Kembalilah ke Tanah Perdikan. Kalian tidak usah pergi lagi ke perkemahan ini. Hanya jika ada persoalan yang mendesak sajalah kalian datang memberikan laporan. Tetapi jika tidak ada persoalan apa-apa, maka kau menunggu saja kedatangan kami esok menjelang fajar di padukuhan induk,” jawab Resi Belahan.

Prasanta dan Saramuka mengangguk-angguk. Mereka menanggapi perintah itu dengan sangat gembira meskipun hanya di hati. Mereka akan mendapat kesempatan untuk menjadi orang pertama yang datang ke rumah Ki Marbudi untuk mengambil uangnya kembali. Sementara itu Saramuka sudah berjanji kepada dirinya sendiri untuk mengambil isi rumahnya yang lain, termasuk Nyi Marbudi.

“Dalam kekacauan tidak akan ada orang yang memperhatikan hilangnya seorang perempuan dari padukuhan di Tanah Perdikan yang akan menjadi debu itu,” berkata Saramuka dalam hatinya.

Sebenarnyalah sejak ia meminjamkan uang kepada Nyi Marbudi, maka perempuan itu sudah menarik perhatiannya.

Demikianlah, sambil berdendang keduanya melintasi puncak perbukitan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Dengan hati-hati mereka menuruni lereng bukit. Untuk beberapa saat mereka memperhatikan keadaan di bawah bukit itu. Ketika menurut pendapat mereka jalan itu sepi, maka mereka pun segera memasuki bulak menuju padukuhan induk.

Ternyata bahwa orang-orang yang mengawasinya dari balik dinding padukuhan terdekat masih saja mengawasinya. Meskipun kedua orang petani di sawah sudah tidak ada di tempatnya, tetapi ada orang lain yang melihat keduanya menuju ke rumah Ki Makerti.

Ternyata keduanya sama sekali tidak terganggu. Tidak ada orang yang menghiraukan mereka. Tidak pula ada tanda-tanda perubahan apapun di padukuhan-padukuhan. Para pengawal pun tidak nampak berjaga-jaga di tempat-tempat tertentu, sehingga dengan demikian maka Prasanta dan Saramuka menjadi semakin yakin bahwa Tanah Perdikan itu sama sekali tidak mempersiapkan diri menghadapi serangan terbesar yang pernah dilakukan terhadap Tanah Perdikan itu.

Sampai senja turun, memang tidak nampak kegiatan apapun di Tanah Perdikan itu. Ketika Prasanta dan Saramuka bersama Ki Makerti datang lagi ke rumah Ki Marbudi, maka tiga orang tukang yang sedang melihat-lihat rumah Ki Marbudi itu sudah tidak ada lagi. Yang ada di rumah tinggal Ki Marbudi, anaknya dan Nyi Marbudi yang baru saja mandi berbenah diri.

Saramuka yang melihat Nyi Marbudi baru saja mandi, jantungnya berdebar-debar. Rasa-rasanya ia tidak lagi sabar menunggu sampai besok, saat pasukan dari perkemahan menghancurkan seisi Tanah Perdikan itu.

“Besok adalah hari terakhir dari batasan waktu itu Ki Marbudi,” berkata Prasanta, “besok lusa, Ki Marbudi sudah dapat mulai membelanjakan uang yang kami serahkan itu.”

“Baiklah,“ jawab ki Marbudi, “besok tukang-tukang itu baru akan membuat perincian apa saja yang harus aku beli. Nah, baru besok lusa aku memesan kebutuhan-kebutuhan itu.”

Prasanta tersenyum, sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Dengan demikian aku ikut berharap agar apa yang Ki Marbudi lakukan benar-banar akan menghasilkan kerja yang paling baik.”

Sepeninggal Prasanta, maka Ki Marbudi pun duduk termangu-mangu di pringgitan. Ia memang sudah membayangkan bahwa jika terjadi pergolakan di Tanah Perdikan, uang yang dipinjamnya itu tentu akan diambil kembali. Bukan hanya itu. Tetapi juga uang bahkan seluruh harta kekayaannya.

Ki Marbudi pun melihat betapa buasnya mata Saramuka menatap wajah istrinya. Ia sadar, tentu istrinya tidak memperhatikan sikap itu. Apalagi bagi istrinya. Ki Makerti dan kedua orang yang disebut saudaranya itu adalah orang-orang yang sangat baik.

Ki Marbudi bergeser setapak ketika istrinya ikut duduk di pringgitan itu pula. Dengan ragu-ragu istrinya bertanya, “Kakang. Apa yang sebenarnya Kakang pikirkan? Dalam bebarapa hari ini Kakang nampak gelisah saja.”

“Tidak apa-apa Nyi. Aku justru sedang mereka-reka bentuk rumah kita nanti. Aku memang tidak mau kalah dari para bebahu yang lain. Rumahku harus lebih baik dari rumah Ki Sana Sepuh.”

“Ah, itu tidak perlu Kakang,” desis istrinya.

“Rumah Ki Sana Sepuh masih belum sebesar dan sebaik rumah Ki Gede?” Ki Marbudi justru bertanya.

“Tetapi biar sajalah rumah Ki Sana Sepuh dianggap rumah yang terbaik selain rumah Ki Gede. Ia adalah bebahu tertua di Tanah Perdikan ini. Apa kata orang jika rumah kita tiba-tiba saja menjadi besar dan baik sebagaimana rumah Ki Sana Sepuh?” bertanya istrinya.

“Aku sudah mengatakan beberapa kali, jangan hiraukan kata orang. Mereka akan dapat mengatakan apa saja tentang kita. Tentu yang jelek-jelek. Karena itu aku tidak peduli lagi,” jawab Ki Marbudi.

“Tentu tidak dapat Kakang. Kita hidup di antara mereka. Di tengah-tengah mereka. Sehingga kita tidak akan terlepas dari lingkungan kita. Aku senang rumah ini akan diperbaiki bahkan mungkin akan mendapat bentuk yang lebih baik. Tetapi tidak berlebihan.”

Ki Marbudi termenung sejenak. Tetapi ia tidak sampai hati membuat istrinya gelisah karena tugas sandi-sandinya. Karena itu, maka katanya, “Baiklah, jika itu yang kau kehendaki Nyi. Besok jika tukang-tukang itu kembali, aku akan memberitahukan kapada mereka, bahwa rencana yang sudah dibuat akan dilaksanakan terus, tetapi dengan ukuran yang sedikit lebih kecil.”

Nyi Marbudi-lah yang kemudian iba melihat suaminya kecewa. Nyi Marbudi menganggap bahwa suaminya benar-benar sedang terbenam dalam mimpi indah tentang sebuah rumah yang besar, bersih dan bagus buatannya. Dengan saka guru dan uleng susun berukir dan disungging halus.

Hampir saja ia merubah keputusan untuk minta agar rencana suaminya disederhanakan. Ia memang menjadi cemas bahwa suaminya yang kecewa itu akan merenung berkepanjangan. Ia sudah merasa dikecewakan oleh Ki Gede yang seakan-akan tidak menghiraukannya lagi. Kemudian ia akan kecewa pula karena rencananya untuk membuat rumahnya menjadi rumah terbaik di Tanah Perdikan itu urung.

Namun sebelum Nyi Marbudi membatalkan niatnya, maka justru Ki Marbudi-lah yang berkata, “Ternyata aku sependapat dengan kau, Nyi. Aku akan menyederhanakan bentuk luar dari rumah kita. Tetapi bagian dalam rumah kita harus menjadi rumah rumah terbaik di Tanah Perdikan ini.”

Nyi Marbudi tidak menjawab. Ia tidak akan merubah lagi niat suaminya. Apalagi bagian dalam rumahnya tidak akan dapat dilihat oleh banyak orang.

Namun dalam pada itu. Ki Marbudi pun berkata, “Baiklah Nyi. Besok kita bicarakan lagi tentang rumah kita. Sekarang aku akan pergi ke rumah Ki Gede. Bagaimanapun juga aku harus menampakkan diri. Setidak-tidaknya hadir meskipun sambil terkantuk-kantuk.”

“Apalagi yang akan dibicarakan Kakang?” bertanya Nyi Marbudi, “Hampir setiap malam Kakang pergi ke rumah Ki Gede. Tetapi kemudian kembali dengan kecewa.”

“Biarlah mereka berbuat apa saja. Aku akan mengejutkan mereka dengan rumahku kelak,” jawab Ki Marbudi.

Namun ketika Ki Marbudi turun ke halaman, terbayang sorot mata Saramuka yang bagaikan srigala yang lapar memandangi istrinya. Karena itu, maka iapun berkata, “Sudahlah Nyi. Masuklah. Hati-hatilah. Bagaimanapun juga kita mengerti bahwa di seberang perbukitan ada sebuah perkemahan yang dapat mengancam ketenangan hidup Tanah Perdikan ini.”

“Tetapi bukankah selama ini kita tidak merasa terganggu karenanya?” bertanya Nyi Marbudi.

“Apakah kau belum pernah mendengar, bagaimana orang-orang kasar itu menyeret seorang gadis ke lereng perbukitan? Untunglah bahwa gadis itu sempat tertolong. Jika tidak, tidak dapat dibayangkan apa yang akan terjadi dengan gadis itu,“ sahut Ki Marbudi sungguh-sungguh.

Nyi Marbudi mengangguk kecil. Katanya, “Baik Kakang. Aku akan segera menyelarak pintu.”

“Jika terjadi sesuatu, panggil Sarju dan Sirat. Jika perlu biarlah mereka memukul kentongan,” berkata Ki Marbudi.

“Ya Kakang,” Nyi Marbudi mengangguk-angguk.

Demikianlah, sejenak kemudian Ki Marbudi itu pun telah meninggalkan rumahnya, pergi ke rumah Ki Gede. Ternyata di rumah itu telah hadir beberapa orang yang lain.

Kecuali Ki Gede dan Prastawa, masih ada beberapa orang terpenting di antara para pemimpin pengawal. Beberapa orang bebahu terpercaya, dan hadir pula Agung Sedayu dan Glagah Putih.

Malam itu adalah malam terakhir dari segala persiapan yang dapat dilakukan oleh Tanah Perdikan Menoreh. Malam itu baris pendem harus disempurnakan. Menjelang fajar, mereka semua, pengawal, anak-anak muda, laki-laki muda dan bahkan semua laki-laki yang masih sanggup ikut serta mempertahankan Tanah Perdikan, harus dikerahkan. Semalam itu juga semuanya harus dapat dilaksanakan.

Ketika malam menjadi semakin malam, maka Ki Gede pun telah mengisyaratkan, pelaksanaan sudah dapat dimulai.

“Bagaimana dengan kedua orang itu?” bertanya Prastawa.

“Bagaimana dengan laporan terakhir tentang mereka?” bertanya Ki Gede.

“Senja ini mereka datang ke rumahku, Ki Gede,” berkata Ki Marbudi, “tetapi aku tidak tahu, kemana mereka kemudian pergi.”

“Dua orang yang ditugaskan untuk mengawasi mereka melaporkan bahwa mereka berada di rumah Ki Makerti,“ sahut Prastawa.

“Jika demikian, maka segalanya sudah dapat dimulai. Awasi kedua orang itu. Jika mereka keluar dari halaman rumah Ki Makerti, maka kita harus tahu kemana mereka pergi.”

“Sampai sekarang mereka tetap diawasi. Rumah Ki Makerti sudah dikepung. Tidak hanya di bagian depan, tetapi juga samping dan belakang. Tetapi para pengawal itu masih tetap bersembunyi,“ jawab Prastawa.

“Jika demikian, para pemimpin pengawal sudah dapat mulai mengatur pertahanan. Kita tetap mempergunakan baris pendem. Seandainya kedua orang itu lolos dari pengawasan, mereka tidak dengan mudah melihat pertahanan kita,“ perintah Ki Gede.

Sementara itu Agung Sedayu berkata, “Kami masih ingin melihat perkemahan itu sekali lagi. Jika mereka masih tetap pada rencana mereka untuk menyerang esok pagi, maka malam ini tentu sudah nampak kesibukan mereka. Setidak-tidaknya orang-orang yang bertugas di dapur.”

“Baiklah,“ berkata Ki Gede, “kami menunggu laporan kalian.”

Dengan demikian pertemuan itu segera berakhir. Masing-masing mulai menjalankan tugas mereka. Agung Sedayu dan Glagah Putih akan pergi ke perkemahan tanpa mengajak Ki Jayaraga, karena Ki Jayaraga harus tetap berada di rumah. Jika saja orang-orang perkemahan mempunyai rencana khusus atas rumah Agung Sedayu itu.

Sementara itu, Prasanta dan Saramuka memang masih tetap berada di rumah Ki Makerti. Semakin malam, Saramuka menjadi semakin gelisah. Bahkan Saramuka tidak segera pergi ke pembaringan.

Prasanta yang melihat Saramuka gelisah sempat bertanya dari pembaringannya, ”He, kau kenapa sebenarnya? Apakah kau gelisah menghadapi perang besok?”

“Tidak. Aku tidak pernah gelisah menghadapi perang yang bagaimanapun juga,“ jawab Saramuka.

“Jadi kenapa dengan kau?“ desak Prasanta.

“Jika besok terjadi perang, bukankah ada kemungkinan kita atau salah seorang dari kita mati?“ bertanya Saramuka.

“Ya. Kenapa? Bukankah itu biasa, dan merupakan akibat yang wajar dari peperangan?“ bertanya Prasanta.

“Sebenarnya aku tidak pernah takut mati,” berkata Saramuka, “tetapi rasa-rasanya sekarang aku segan mati dalam perang esok.”

“Apa sebenarnya yang kau pikirkan?” bertanya Prasanta tidak sabar.

“Aku tidak mau mati sebelum aku berhasil mengambil Nyi Marbudi,“ jawab Saramuka.

“Kau gila,” geram Prasanta.

“Aku ingin mengambilnya sekarang. Kau dapat juga mengambil uangmu sekarang. Tidak ada orang tahu. Kita akan membunuh Ki Marbudi. Bukankah waktunya tinggal sedikit? Tidak akan ada orang yang sempat mengetahui bahwa Ki Marbudi mati. Bahkan kau telah mengambil kembali uangmu dan aku mengambil Nyi Marbudi. Bahkan jika kita berhasil membunuh Ki Marbudi, aku tidak akan membawa Nyi Marbudi kemana-mana. Aku-lah yang akan berada di rumahnya malam ini.”

“Kau memang gila,“ geram Prasanta, ”kau tidak dapat melakukannya sekarang. Jika kau tertangkap dan mereka sempat memeras keterangan dari mulutmu, maka masih ada waktu bagi orang-orang Tanah Perdikan untuk mengerahkan orang-orangnya.”

“Orang-orang Tanah Perdikan ini tidak akan menghubungkan kematian Ki Marbudi dengan perkemahan itu. Mereka justru mengira bahwa yang terjadi adalah perampokan biasa. Perhatian mereka justru akan tertuju pada rumah Ki Marbudi. Tidak kepada perkemahan kita. Bukankah itu justru menguntungkan? Sedangkan aku tidak peduli seandainya aku akan tertangkap malam ini jika aku gagal membunuh Ki Marbudi.”

“Sudahlah, jangan menjadi gila seperti itu. Jika kau melakukannya juga, mungkin ada sesuatu yang terjadi di luar dugaan kita. Sedangkan hal itu tidak terjadi jika kita tidak berusaha membunuh Ki Marbudi.”

“Tetapi aku tidak mau mati sebelum aku berhasil merampas Nyi Marbudi itu,“ Saramuka menggeram. “Malam ini aku akan pergi ke rumah Ki Marbudi, aku akan membunuhnya dan merampas istrinya. Apapun yang terjadi.”

“Kau jangan kehilangan akal. Kau harus melihat persoalan kita sehubungan dengan rencana besar Resi Belahan.”

Ternyata nama Resi Belahan mampu menggetarkan jantung Saramuka yang hampir saja kehilangan kendali. Dengan tetapan mata yang meredup ia berkata, “Apakah dalam persoalan ini aku juga harus tunduk kepada Resi Belahan?”

“Untunglah kau bahwa hanya aku yang mendengar pertanyaanmu itu,“ desis Prasanta, “jika keluhanmu itu terdengar orang lain, maka akibatnya akan sangat buruk bagimu.”

“Aku mengerti. Aku akan berusaha untuk mengekang diri. Tetapi aku besok akan mendahului langkah-langkah yang akan diambil oleh Resi Belahan. Jika Resi Belahan akan sampai di padukuhan induk bersamaan dengan lahirnya fajar, maka aku akan membunuh Ki Marbudi pada dini hari. Aku masih mempunyai waktu beberapa saat sebelum perang itu terjadi.”

“Setan kau,” geram Prasanta.

“Bukankah aku tidak akan mengganggu serangan yang akan dilakukan oleh Resi Belahan?“ bertanya Saramuka.

“Apakah kau yakin bahwa kau dapat membunuh Ki Marbudi?” Prasanta justru bertanya.

“Jika aku yang terbunuh, maka itu adalah akibat dari satu pencapaian keinginan. Aku tidak akan menyesal,“ jawab Saramuka, “kecuali jika kau mau pergi bersamaku ke rumah Ki Marbudi. Kau akan mendapatkan uangmu kembali dan aku akan mendapatkan Nyi Marbudi.” 

“Kau tidak memerlukan uang itu sama sekali?” bertanya Prasanta.

“Terserah kepadamu. Jika kau masih ingat untuk memberi sebagian kepadaku, aku akan berterima kasih. Jika tidak, maka aku tidak akan mendendammu,“ jawab Saramuka.

“Ternyata hatimu lebih pekat dari hatiku, yang kau anggap hati iblis karena aku telah mempermainkan uang Resi Belahan,” geram Prasanta.

Saramuka justru tertawa. Katanya, “Kepentinganmu berbeda dengan kepentinganku secara pribadi, meskipun kita sama-sama diikat dalam satu kesatuan yang dipimpin oleh Resi Belahan.”

Prasanta tidak menjawab lagi. Ia mencoba untuk tidak mempedulikan tingkah laku Saramuka yang gelisah. Namun seandainya Saramuka akan pergi ke rumah Ki Marbudi di dini hari, agaknya memang tidak akan banyak mengganggu serangan yang akan dilakukan oleh Resi Belahan ke padukuhan induk. Prasanta juga berpikir, seandainya keributan di rumah Ki Marbudi itu terdengar oleh para peronda dan para pengawal, maka keributan itu justru akan sempat mengalihkan perhatian para pengawal dari kesiagaan mereka.

Saramuka kemudian terdiam pula. Ketika kemudian Prasanta berusaha untuk sempat tidur, maka Saramuka masih saja duduk dengan gelisah.

Sementara Saramuka gelisah di rumah Ki Makerti, maka Ki Marbudi pun menjadi gelisah pula di rumahnya. Sorot mata Saramuka yang seolah-olah ingin menelan istrinya bulat-bulat membuatnya gelisah. Tetapi Ki Marbudi pun gelisah pula karena iapun mengetahui bahwa pada saat fajar menyingsing, perang yang cukup besar akan terjadi. Sementara itu, iapun membuat perhitungan tersendiri tentang petunjuk Prasanta agar ia menunda penggunaan uangnya sampai lewat tiga hari sejak ia memberikan uang itu kepadanya.

Kegelisahan itu telah membuatnya bersiaga sepenuhnya. Ia tidak sampai hati untuk minta kepada Prastawa perlindungan atas dirinya, karena semua pengawal dan bahkan juga Ki Marbudi sendiri seharusnya ikut menyusun baris pendem di padukuhan induk.

Tetapi Ki Marbudi bukan seorang pengecut. Di luar sadarnya ia melangkah mendekati ploncon tempat ia meletakkan beberapa pucuk senjatanya. Dua batang tombak pendek dan sebuah tombak bertangkai panjang. Di dinding tergantung dua buah pedang yang bersilang masih dalam sarungnya.

Tetapi ternyata Ki Marbudi masih belum puas dengan senjata-senjatanya itu. Iapun telah mengambil pusakanya yang paling akrab dengan dirinya. Sebilah keris yang disimpan di dalam biliknya.

Nyi Marbudi menjadi semakin gelisah ketika ia melihat malam itu Ki Marbudi mengenakan keris pusakanya itu, dan bahkan duduk di sebelah ploncon senjatanya.

“Kakang. Apa yang akan terjadi?” bagaimanapun juga naluri Nyi Marbudi tidak dapat dibohongi lagi.

Ki Marbudi pun menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Nyi. Aku kira kita sudah tidak mempunyai waktu lagi. Karena itu maka aku tidak akan berpura-pura lagi. Aku minta maaf jika aku membuatmu bertanya-tanya selama ini, justru karena tugasku sebagai bebahu Tanah Perdikan Menoreh.”

Wajah Nyi Marbudi membayangkan kegelisahannya. Sementara itu Ki Marbudi pun bercerita kepada istrinya yang kemudian duduk di sebelahnya, tentang orang-orang di perkemahan yang akan menyerang padukuhan induk itu di saat fajar datang.

“O,” Nyi Marbudi menjadi sangat cemas, “jadi bagaimana dengan rencanamu membangun rumah ini?”

Ki Marbudi pun kemudian tidak lagi merahasiakan kedudukannya dalam hubungan dengan tugas sandinya. Dengan nada dalam ia berkata, “Ketahuilah, bahwa Prasanta dan Saramuka adalah bagian dari orang-orang perkemahan itu.”

“Jadi kita sudah berhubungan dengan orang-orang perkemahan itu? Bagaimana jika Ki Gede mengatahuinya Kakang?” bertanya istrinya dengan nada ketakutan.

“Ki Gede sudah tahu. Justru itu adalah tugasku,” jawab Ki Marbudi.

Nyi Marbudi memang tidak segera menjadi jelas. Namun Ki Marbudi telah memberitahukan dengan gamblang apa yang telah dilakukannya menjelang hari-hari terakhir.

Nyi Marbudi menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun berkata sendat, “Jadi jelasnya, selama ini Ki Marbudi telah membohongi aku.”

“Bukan maksudku membohongimu, Nyi,“ jawab Ki Marbudi.

“Jika demikian, Kakang tidak percaya kepadaku?” desak istrinya.

“Bukan begitu. Tetapi aku tidak ingin membebanimu. Jika kau tahu akan tugas-tugasku, sedang kau harus merahasiakannya, bukankah itu berarti kau telah mendapat beban karenanya? Tetapi jika kau memang tidak mengetahuinya, maka perasaanmu tentu berbeda. Kau tidak merasa membawa beban yang sangat berat setiap hari kau berhubungan dengan orang lain. Terutama dengan Prasanta dan Saramuka itu sendiri. Termasuk sudah tentu Ki Makerti,” jawab suaminya.

Nyi Marbudi mengangguk-angguk kecil. Namun iapun kemudian berdesis, “Dan kau telah membawa beban itu sendiri Kakang.”

“Tetapi itu memang tugasku Nyi, sebagaimana kau merahasiakan harga beli daganganmu terhadap para pembelimu,” desis Ki Marbudi.

Nyi Marbudi mengangguk-angguk kecil. Bahkan kemudian ia menundukkan kepalanya. Ia mulai membayangkan betapa berat tugas suaminya. Sementara itu ia tidak dapat berbagi beban dengan siapapun juga, bahkan dengan istrinya sendiri.

“Nah, sekarang kau sudah tahu. Karena itu berhati-hatilah. Menurut rencana, perempuan dan anak-anak akan diungsikan menjelang fajar, agar tidak diketahui kesiagaan Tanah Perdikan ini, khususnya padukuhan induk. Karena itu, benahi barang-barangmu yang kau anggap penting untuk dibawa.”

“Kita akan mengungsi kemana?” bertanya istrinya.

“Perempuan dan anak-anak akan dikumpulkan di banjar padukuhan induk dan di rumah Ki Gede. Akan diberikan khusus pengawalan atas mereka, jika orang-orang perkemahan itu jadi menyerang.”

“Bagaimana kita tahu mereka jadi menyerang padukuhan induk ini?” bertanya istrinya.

“Sekarang Agung Sedayu dan Glagah Putih sedang melihat perkemahan itu,“ jawab Ki Marbudi.

Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Glagah Putih tengah mendekati perkemahan dari arah yang berlawanan dari arah Tanah Perdikan. Meskipun mereka harus melingkar, namun dengan kemampuan mereka yang tinggi, maka keduanya segera dapat sampai ke tujuan.

Sebenarnyalah bahwa di perkemahan itu telah dilakukan persiapan. Bahkan nampaknya pasukan yang besar telah siap untuk bergerak. Di barak yang khusus, nampak sekelompok orang sedang sibuk. Agung Sedayu dan Glagah Putih segera mengetahui bahwa mereka adalah orang-orang yang bertugas menyiapkan makan dan minum bagi mereka yang akan bertempur.

Tetapi Agung Sedayu tidak dapat melihat persiapan dalam keseluruhan. Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak melihat perincian dari pasukan yang akan menyerang barak Pasukan Khusus dan padukuhan-padukuhan kecil di seberang bukit.

Namun dengan kepastian itu, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih pun segera meninggalkan tempat itu. Mereka harus segera memberikan isyarat kepada Prastawa dan para pemimpin pengawal untuk menyiapkan segala-galanya dalam waktu singkat.

Tetapi karena segala sesuatunya telah diatur dengan baik, maka persiapan itu pun akan dapat diselesaikan tepat pada waktunya. Sehingga saat fajar menyingsing, maka Tanah Perdikan telah benar-benar siap bertempur.

Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih pun telah meninggalkan tempat itu. Seperti saat mereka datang, maka saat pergi pun mereka telah memilih jalan melingkar.

Meskipun demikian, mereka memang masih harus mendaki bukit dan kemudian menuruni lereng. Yang pertama-tama akan didatangi adalah tiga buah padukuhan terdekat dari perbukitan. Padukuhan itu harus benar-benar bersiap menghadapi segala kemungkinan. Jika perlu sekali, maka mereka diharapkan untuk membunyikan isyarat khusus sebagaimana sudah disepakati.

Namun ketika mereka menuruni lereng dan meloncat ke jalan sempit di bawah bukit, mereka terkejut. Mereka melihat sesosok tubuh yang terbang bagaikan bayangan.

Agung Sedayu dan Glagah Putih yang yakin bahwa bayangan itu telah melihat mereka, tidak mau melepaskannya. Orang itu akan dapat menjadi sebab kegagalan tugasnya.

Namun bayangan itu benar-benar bagaikan terbang. Agung Sedayu dan Glagah Putih harus mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk mengejarnya.

Tetapi beberapa saat kemudian, ketika keduanya meloncat dengan tangkasnya di atas batu-batu padas di tebing, maka begitu saja mereka melihat seseorang duduk di atas batu padas dengan kaki bersilang.

Ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih berhenti selangkah di hadapan orang itu, maka terdengar Agung Sedayu berdesis dengan suara bergetar, “Rudita.”

Yang duduk itu memang Rudita. Tetapi ia sama sekali tidak menjawab. Bahkan Rudita yang tunduk itu tidak pula mengangkat wajahnya.

Agung Sedayu dan Glagah Putih memang termangu-mangu berdiri di hadapannya. Dengan nada lembut Agung Sedayu berdesis, “Rudita. Sudah lama kita tak bertemu.”

Rudita memang mengangkat wajahnya. Dipandanginya Agung Sedayu berganti-ganti. Namun Agung Sedayu dan Glagah Putih terkejut. Dalam kegelapan malam mereka melihal setitik cahaya memantul dari pelupuk mata Rudita. Tidak hanya setitik. Tetapi cahaya bintang di langit itu telah memantul dari beberapa titik air di mata Rudita. Bahkan kemudian Agung Sedayu dan Glagah Putih mendengar Rudita terisak, betapapun Rudita itu mencoba menahannya.

Ketajaman penglihatan Agung Sedayu dan Glagah Putih telah melihat titik-titik air di pelupuk mala Rudita, sedangkan ketajaman pendengaran mereka telah mendengar isak yang tertahan itu.

“Rudita,” bertanya Agung Sedayu dengan jantung berdebaran, “apa yang telah terjadi? Apakah sesuatu terjadi dengan Ki Waskita?”

Tetapi Rudita mengeleng.

“Lalu apa? Kenapa kau menangis? Kau adalah seorang yang dalam pilihan jalan hidupmu termasuk seorang yang berhati baja. Aku tidak pernah membayangkan bahwa pada suatu kali kau akan menangis,” desak Agung Sedayu.

Rudita sama sekali tidak menjawab.

“Kenapa kau diam saja? Bagaimana aku mengetahui persoalan yang bergejolak di dalam hatimu jika kau lidak mengatakannya kepadaku?”

Rudita memandang Agung Sedayu dan Glagah Putih dengan tatapan mata yang sayu. Isaknya memang sudah tidak terdengar. Namun matanya masih tetap basah.

Adalah di luar dugaan bahwa tiba-tiba saja Rudita itu bangkit berdiri. Sesaat ia masih menatap Agung Sedayu dan Glagah Putih. Namun kemudian iapun melangkah pergi meninggalkan mereka berdua.

“Rudita, Rudita,” panggil Agung Sedayu.

Tetapi Rudita berjalan terus. Ia sama sekali tidak berhenti. Bahkan berpalingpun tidak.

Ketika Glagah Putih akan menyusulnya, maka Agung Sedayu menahannya sambil berdesis, “Jangan, Kita tidak akan dapat memaksanya untuk berbuat apapun tanpa dikehendakinya sendiri.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun demikian Rudita hilang di kegelapan, Glagah Putih bertanya, “Kenapa ia menangis Kakang?”

“Aku tidak tahu pasti, apakah sebabnya. Tetapi aku kira Rudita dengan ketajaman panggraitanya, mengetahui bahwa akan terjadi perang yang cukup besar esok pagi. Itulah sebabnya ia menangis.”

Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Ia sudah mengetahui sifat dan watak Rudita. Seorang yang sama sekali tidak ingin melihat kekerasan terjadi. Baginya, kekerasan bukanlah warna yang pantas di dalam kehidupan. Karena sebenarnya kehidupan adalah pancaran dari kasih sayang.

Agung Sedayu masih saja berdiri termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Marilah. Kita teruskan rencana kita.”

“Bagaimana dengan sikap Rudita?”

“Aku kagum kepadanya. Ia adalah seorang yang tegak berdiri pada keyakinannya,” jawab Agung Sedayu.

“Bagaimana jika Rudita sendiri mengalami kekerasan yang justru akan dapat mengancam jiwanya?” bertanya Glagah Putih.

“Aku pernah bertanya tentang hal itu kepadanya,“ sahut Agung Sedayu.

“Apa jawabnya?” bertanya Glagah Putih pula.

“Ia hanya menunjukkan bahwa dirinya masih tetap hidup. Bahkan Rudita sempat bertanya, bukankah seseorang menghadapi kekerasan dengan kekerasan untuk mempertahankan hidupnya?”

“Tidak,“ Glagah Putih menyahut dengan serta merta, “jika kita melakukan kekerasan sekarang ini, bukan semata-mata untuk mempertahankan kelangsungan hidup kita pribadi. Tetapi karena kita merasa berkewajiban untuk melindungi seseorang, sekelompok orang, atau katakan untuk melindungi kelangsungan hidup, tanpa menghiraukan kelangsungan hidup kita sendiri.”

“Tetapi jika setiap orang bersikap dan berkeyakinan seperti Rudita, maka kita akan benar-banar hidup dalam suasana yang damai lahir batin,” jawab Agung Sedayu.

Glagah Putih terdiam. Memang terbersit di hatinya bahwa kasih Yang Maha Agung saat manusia diciptakan-Nya, sama sekali tidak terpercik warna kekerasan.

“Tetapi ternyata kekerasan, kebencian, kedengkian telah tersebar di seisi bumi,“ berkata Glagah Putih di dalam hatinya.

Tetapi mereka tidak sempat berbicara terlalu banyak. Dengan cepat mereka menuju ke padukuhan terdekat dengan perbukitan. Satu demi satu, tiga padukuhan telah dipersiapkan untuk menghadapi serangan orang-orang perkemahan, sekedar untuk mengalihkan perhatian dari serangan yang sebenarnya, yang mereka tujukan kepada padukuhan induk Tanah Perdikan.

Setelah ketiganya mengerti dengan pasti apa yang harus dilakukan oleh para pengawalnya dan para penghuninya, maka dengan cepat Agung Sedayu dan Glagah Putih telah menggerakkan seisi padukuhan induk. Semua rencana yang sudah disiapkan telah diterapkan dengan lancar, sampai pada pengungsian perempuan dan anak-anak.

Di saat-saat Glagah Putih menyaksikan kesibukan itu, maka sekali lagi sempat merenungi sikap Rudita. Seandainya tidak pernah terjadi kekerasan di bumi, betapa perempuan dan anak-anak itu tidak terganggu dari kedamaian hidupnya, lahir dan batin. Betapa anak-anak dan perempuan bahkan semua orang merasakan ketenangan hidup bersama.

Tetapi yang terjadi itu adalah sebaliknya. Di tengah malam yang kelam, anak-anak dan perempuan harus meninggalkan rumah mereka dan berkumpul di banjar dan rumah Ki Gede, untuk mendapatkan perlindungan dari tindak kekerasan.

Tetapi menghadapi keadaan yang berkembang saat itu, orang-orang Tanah Perdikan itu tidak dapat berbuat lain.

Dalam pada itu, sesuai dengan perintah yang diberikan kepada para pengawal yang mengatur pengungsian, maka keluarga Ki Makerti sama sekali tidak disentuhnya. Di rumah itu terdapat Prasanta dan Saramuka, selain Ki Makerti dan istri serta kedua anaknya yang sudah tumbuh remaja.

Namun Saramuka yang tidak dapat tidur itu akhirnya mendengar keributan di jalan di depan rumah Ki Makerti.

Dengan gelisah iapun membangunkan Prasanta sambil bertanya, ”He, apa yang terjadi di jalan di depan rumah itu?”

“Orang dungu kau. Tentu aku tidak tahu. Bukankah aku baru bangun dari tidur? Itupun kau pula yang membangunkanku,“ jawab Prasanta.

“Jika demikian, marilah kita lihat, apa yang terjadi jalan itu,” ajak Saramuka.

Mereka berdua pun kemudian membagunkan Ki Makerti untuk melihat keadaan di jalan di depan rumah Ki Makerti itu.

Mereka pun terkejut ketika mereka melihat dari balik pintu regol yang sedikit terbuka, perempuan dan anak-anak berjalan beriringan menuju ke banjar.

“Ada apa?” bertanya Ki Makerti.

“Apakah mereka sedang mengungsi?“ bertanya Prasanta.

“Nampaknya memang demikian,” jawab Ki Makerti.

“Cobalah, kau tanyakan kepada mereka,” desis Prasanta.

Ki Makerti-lah yang kemudian turun ke jalan. Dilihatnya dua orang pengawal yang berdiri di seberang jalan mengamati orang-orang yang sedang mengungsi itu. Karena itu, maka iapun telah memotong jalan mendekati pengawal itu.

“He, apa yang terjadi di sini?” bertanya Ki Makerti

“Mereka sedang pergi ke banjar, Ki Makerti,” jawab salah seorang pengawal itu.

“Kenapa?” bertanya Ki Makerti.

Pengawal itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian seorang yang lebih tua dari mereka datang mendekatinya. Ki Makerti sama sekali tidak melihat orang itu sebelumnya, sehingga karena itu maka iapun terkejut melihat kehadirannya.

Orang yang muncul dari kegelapan itu pun tersenyum melihat Ki Makerti yang terkejut itu. Katanya, “Selamat malam Ki Makerti.”

“Ki Marbudi,“ desis Ki Makerti.

“Ya, Ki Makerti,“ jawab Ki Marbudi, “kami, para bebahu dan pengawal Tanah Perdikan, sedang sibuk. Kami sedang mengungsikan perempuan dan anak-anak. Pada saat fajar naik, maka Tanah Perdikan ini akan menjadi ajang perang.”

“Perang? Perang apa?” bertanya Ki Makerti.

Ki Marbudi tertawa. Katanya, “Kau tentu sudah mengerti lebih dahulu dari aku. Bertanyalah kepada Prasanta dan Saramuka.”

“Apa yang akan terjadi? Apa?“ Ki Makerti mendesak.

Namun Ki Marbudi masih saja tertawa. Katanya, “Dimana Prasanta dan Saramuka?”

“Mereka ada di rumah,” jawab Ki Makerti.

“Aku ingin bertemu dengan mereka,” berkata Ki Marbudi kemudian dengan sungguh-sungguh.

Ki Mekerti termangu-mangu sejenak. Tetapi pengawal yang berdiri di sebelah-menyebelahnya melangkah mendekat. Seorang di antara mereka berdesis, “Marilah Ki Makerti.”

Ki Makerti tidak dapat berbuat sesuatu lagi. Bersama Ki Marbudi dan kedua pengawal itu, Ki Makerti berjalan menuju ke pintu regol.

Prasanta dan Saramuka memperhatikan semua itu dari balik regol. Ketika mereka melihat Ki Marbudi bersama kedua pengawal itu membawa Ki Makerti ke regol halaman, maka mereka pun menduga bahwa keadaan berkembang ke arah yang tidak mereka kehendaki.

Demikian keempat orang itu memasuki regol, maka Prasanta dan Saramuka segera mempersiapkan diri. Segala kemungkinan memang dapat terjadi. Apalagi Saramuka sejak semula memang sudah berniat membunuh Ki Marbudi.

Ki Marbudi yang melihat Prasanta dan Saramuka berdiri di belakang regol pun segera berhenti. Demikian pula dua orang pengawal yang menyertainya.

“Selamat malam Ki Prasanta dan Ki Saramuka,” sapa Ki Marbudi sambil tersenyum.

“Apa yang terjadi di padukuhan ini Ki Marbudi?“ bertanya Prasanta.

“Justru aku-lah yang harus bertanya kepada kalian,“ jawab Ki Marbudi.

Prasanta dan Saramuka segera tanggap akan keadaan. Agaknya orang-orang Tanah Perdikan sudah mengetahui, apa yang akan terjadi nanti saat fajar menyingsing.

Karena itu, maka tiba-tiba saja Saramuka itu meloncat ke pintu regol. Dengan cepat ia menutup pintu regol itu sambil barkata, “Baiklah Ki Marbudi. Agaknya rahasia kami sudah diketahui oleh orang-orang Tanah Perdikan. Agaknya kau pun telah mengetahuinya pula. Namun bagaimanapun juga kita pernah berhubungan. Kau telah meminjam banyak uang kepada kami.”

Ki Marbudi memandang pintu yang tertutup rapat itu sejenak. Namun kemudian menjawab, “Aku memang harus melakukannya Saramuka. Dengan demikian maka aku mempunyai rambatan untuk mengetahui apa yang kalian lakukan di Tanah Perdikan ini.”

“Tetapi kau pun telah mengkhianati Tanah Perdikanmu dengan keterangan-keterangan yang pernah kau berikan,” geram Prasanta.

Ki Marbudi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku sudah menjalankan tugasku dengan baik. Aku telah memberikan gambaran yang salah kepadamu atas kekuatan di Tanah Perdikan ini.”

“Omong kosong,” geram Prasanta, “kau adalah sejenis pisau bermata dua, atau seekor ular berkepala dua. Kau menggigit ke dua arah.”

Tetapi Ki Marbudi menggeleng. Katanya, “Tidak Prasanta. Aku telah melaksanakan tugasku dengan baik. Sesuai dengan petunjuk Ki Gede dan Agung Sedayu. Itulah sebab yang sebenarnya kenapa Agung Sedayu menunda setiap rencana serangan ke perkemahan. Ia dan Ki Gede memang berharap kalian yang datang menyerang ke Tanah Perdikan dengan membagi kekuatan kalian.”

“Setan kau,” geram Saramuka. Lalu katanya, “Ki Marbudi, adalah kebetulan sekali kau datang ke rumah ini. Sebenarnya aku-lah yang akan datang ke rumahmu. Aku memang akan membunuhmu. Aku ingin mengambil istrimu. Jika kau nanti mati di sini, maka aku-lah yang akan memasuki bilikmu.”

“Kau kira kau akan dapat membunuhku?” bertanya Ki Marbudi, “Sebenarnyalah aku sudah mengira, melihat sorot matamu yang bagaikan srigala memandangi istriku. Karena itu aku sengaja datang kepadamu. Selain persoalan yang menyangkut Tanah Perdikan ini, maka aku ingin membuat penyelesaian sebagai seorang laki-laki. Pandangan matamu atas istriku sudah merupakan penghinaan terhadapku, suaminya. Karena itu aku ingin membuat perhitungan sebagai seorang laki-laki dengan seorang laki-laki. Biarlah serangan orang-orang perkemahan atas Tanah Perdikan ini diselesaikan oleh para pengawal.”

“Iblis kau. Kau kira kau dapat melawan aku?” geram Saramuka yang segera mempersiapkan diri.

Ki Marbudi bergeser selangkah surut. Ia pun kemudian berkata kepada kedua orang pengawal yang menyertainya memasuki halaman rumah itu, “Awasi Prasanta dan Ki Makerti. Keduanya tidak boleh melarikan diri.”

Tetapi Prasanta justru tertawa. Karena Saramuka telah bergeser dari tempatnya untuk menghadapi Ki Marbudi, maka Prasanta-lah yang kemudian berdiri di muka pintu sambil berkata, “Kalian-lah yang tidak boleh melarikan diri. Kalian bertiga akan segera mati. Tidak seorangpun yang akan mampu menangkap kami berdua.”

Tetapi kedua pengawal itu pun segera bersiap. Seorang menghadapi Prasanta, dan seorang lagi menghadapi Ki Makerti.

Ki Makerti yang menyadari kedudukannya, memang tidak mempunyai pilihan selain melawan para pengawal. Karena itu, maka iapun segera bersiap pula untuk bertempur bersama Prasanta dan Saramuka.

Demikianlah, maka sejenak kemudian Ki Marbudi yang merasa terhina karena sikap Saramuka telah menyerang. Ki Marbudi yang membawa salah satu di antara tombak pendeknya itu menjulurkan tombaknya ke arah jantung.

Tetapi Saramuka masih sempat mengelak. Dengan cepat ia mencabut pedangnya. Dengan tangkas pula ia memukul landean tombak Ki Marbudi. Namun landean tombak itu telah terangkat.

Saramuka yang marah itu pun tidak menyia-nyiakan kesempatan. Dengan tangkasnya ia meloncat. Pedangnya yang gagal menyentuh landean tombak Ki Marbudi telah berputar dan terayun menyambar lambung. Tetapi Ki Marbudi ternyata juga cukup tangkas. Dengan cepat ia mengelak sambil merundukkan tombaknya.

Sejenak kemudian, maka keduanya telah bertempur dengan sengitnya. Ternyata Saramuka yang dipercaya untuk melakukan tugas sandi di Tanah Perdikan itu adalah seorang yang memiliki bekal ilmu yang cukup matang. Namun sebaliknya, bahwa Ki Marbudi bebahu terpercaya yang harus menghadapi tugas sandi itu dengan laku sandi pula, memang memiliki kemampuan yang memadai.

Namun dalam pada itu, pengawal yang melawan Prasanta-lah yang dengan cepat mengalami kesulitan. Sementara kawannya yang menghadapi Ki Makerti masih mampu bertahan, karena Ki Makerti juga bukan seorang pilihan. Bahkan beberapa saat kemudian, Ki Makerti-lah yang mulai terdesak oleh pengawal itu.

Sementara itu, pengawal yang bertempur melawan Prasanta benar-benar tidak mampu bertahan lebih lama lagi. Semakin lama ia menjadi semakin terdesak, sehingga harus berloncatan surut menjahui lawannya. Tetapi Prasanta masih saja memburunya sambil berkata lantang, “Kau akan segera mampus, Anak Dungu. Tetapi itu lebih baik bagimu daripada kau harus melihat Tanah Perdiakn ini menjadi karang abang.”

Tetapi Prasanta terkejut. Dua orang pengawal ternyata telah muncul dari kegelapan. Mereka langsung menempatkan diri bersama kawannya yang semakin terdesak itu.

“Licik kau,” geram Prasanta.

Tetapi pengawal itu pun bertanya, “Kenapa?”

“Kau tidak berani berhadapan sebagaimana seorang laki-laki,” jawab Prasanta.

“Kami datang untuk menangkapmu, karena kau petugas sandi dari perkemahan itu,” jawab pengawal itu. “Apakah itu licik? Rumah ini memang sudah dikepung. Tidak seorangpun dapat lolos. Di halaman belakang rumah ini sudah bertebaran para pengawal.”

“Setan kau. Kau dan kawan-kawanmu harus mati mendahului Tanah Perdikan ini menjadi debu.”

Tetapi Prasanta tidak banyak mendapat kesempatan. Beberapa pengawal segera mengepungnya. Ujung-ujung senjata teracu ke arahnya dari segala penjuru.

“Menyerahlah,” berkata seorang pengawal, “kau tidak akan mampu melawan kami semua.”

Prasanta tidak menjawab. Tetapi dengan cepat ia meloncat memutar senjatanya. Dengan demikian maka pertempuran pun terjadi pula dengan sengitnya.

Sementara itu beberapa pengawal yang telah muncul, telah mengepung Ki Makerti pula. Ketika beberapa pucuk senjata diarahkan ke tubuhnya, maka Ki Makerti itu pun menjadi ketakutan. Tanpa banyak perlawanan maka Ki Makerti itu pun telah menyerahkan kedua tangannya untuk diikat.

Ketika beberapa orang pengawal mengepung Saramuka yang bertempur melawan Ki Marbudi, maka Ki Marbudi itu pun berkata, “Jangan kalian ganggu, aku ingin menyelesaikan persoalanku dahulu dengan srigala ini. Jika ternyata kemudian aku berhasil dibunuh oleh srigala iblis ini, maka terserah, apa yang akan klian lakukan terhadapnya.”

“Bagus Marbudi,” geram Saramuka, “ternyata kau juga seorang laki-laki.”

Sementara Ki Makerti diikat tangannya, maka beberapa orang telah memasuki rumah itu. Bagaimanapun juga Nyi Makerti masih tetap harus mendapat perlindungan. Karena itu, maka dua orang pengawal telah mengajak Nyi Makerti ke banjar.

“Bagaimana dengan suamiku,“ tangis Nyi Makerti.

“Jangan cemas Nyi. Persoalannya akan diselesaikan dengan baik oleh Ki Gede. Kita tidak akan mengambil tindakan-tindakan sendiri,” jawab pengawal itu.

Dalam pada itu, Prasanta yang bertempur melawan beberapa orang pengawal benar-benar mengamuk seperti orang kesurupan. Tetapi justru karena itu, maka para pengawal tidak mempunyai pilihan lain. Mereka tidak dapat berusaha menangkap Prasanta hidup-hidup tanpa melukainya.

Dalam keadaan tanpa pilihan menghadapi Prasanta yang mengamuk itu, maka ujung-ujung tombak pun menyentuh kulitnya, sehingga luka pun mulai menganga.

Tetapi Prasanta sama sekali tidak mau meletakkan senjatanya.

Bahkan seorang pengawal yang gagal menebas lambungnya telah tertusuk oleh ujung pedangnya.

Pengawal itu mengeluh tertahan. Namun kemudian tubuhnya terlempar beberapa langkah surut. Seorang kawannya terpaksa meninggalkan arena untuk menolongnya, memapahnya menjahui lingkaran pertempuran.

Tetapi darah sudah cukup banyak mengalir dari tubuh Prasanta, sehingga tenaganya pun semakin lama semakin susut. Sementara itu, beberapa orang pengawal berdiri termangu-mangu menyaksikan Ki Marbudi yang bertempur melawan Saramuka. Agaknya Ki Marbudi benar-banar tidak mau dicampuri. Ia sudah berniat membuat perhitungan dengan Saramuka sebagai seorang laki-laki.

Saramuka yang sudah dipercaya untuk melakukan tugas sandi itu ternyata memang memiliki kemampuan yang cukup besar. Tetapi Ki Marbudi adalah bebahu terpercaya dari Tanah Perdikan. Ki Marbudi yang pernah menjadi pengawal pula sebelum ia diangkat menjadi bebahu, telah menempanya sehingga ia memiliki kemampuan yang dapat mengimbangi kemampuan Saramuka.

Karena itu, maka pertempuran di antara keduanya semakin lama menjadi semakin sengit.

Saramuka yang melihat Ki Makerti sudah tertangkap, serta Prasanta dalam kesulitan, sementara beberapa orang pengawal telah mengepungnya, menjadi kehilangan harapan. Sehingga yang dilakukannya kemudian menjadi semakin kasar dan liar. Ia menjadi berputus asa karena ia tidak mungkin lagi dapat keluar dari halaman itu dengan selamat. Tetapi jika ia harus mati di halaman itu, maka ia akan menyeret Ki Marbudi mati bersamanya.

Tetapi sudah tentu Ki Marbudi tidak merelakan dirinya hanyut ke dalam maut. Ia bertahan dengan sekuat tenaganya. Dan bahkan serangan-serangannya pun menjadi semakin garang.

Saramuka yang gelisah dan putus asa tidak lagi mampu menguasai dirinya dengan baik. Unsur-unsur gerakkannya menjadi kabur oleh dorongan luapan perasaannya. Sementara Ki Marbudi yang mendendam karena perhatian Saramuka kepada istrinya yang berlebihan, membuat pertempuran antara keduanya itu pun menjadi semakin keras dan kasar. Keduanya sama sekali tidak berusaha mengekang diri.

Ujung-ujung senjata mereka pun seakan-akan menjadi semakin haus akan darah lawannya.

Para pengawal tidak dapat berbuat sesuatu. Yang terbayang di angan-angan mereka adalah kematian. Karena itu, maka dua orang pengawal telah berlari-lari mendekati putaran pertempuran Prasanta yang bertempur melawan beberapa orang pengawal.

Kedua orang pengawal itu justru memperingatkan kawan-kawannya agar berusaha untuk dapat menangkap Prasanta itu hidup-hidup meskipun terluka parah. Ia akan dapat menjadi sumber keterangan lebih lengkap lagi jika hal itu dapat dilakukan.

Tetapi nampaknya Prasanta pun tidak ingin tertangkap hidup. Agaknya ia akan memilih mati dalam pertempuran itu.

Sementara itu, Ki Marbudi yang bertempur melawan Saramuka menjadi semakin garang. Ujung tombaknya berputar dengan cepat. Mematuk dengan garangnya seperti mulut seekor ular yang berbisa. Namun kemudian menyambar dengan cepat dalam ayunan yang deras, bagaikan ujung kuku burung alap-alap yang tajam.

Saramuka pun mengimbangi pula. Ia pun berloncatan dengan cepat. Sementara ayunan senjatanya pun dilambarinya dengan tenaga yang kuat, sehingga anginnya berdesir menerpa tubuh lawannya. Tetapi Ki Marbudi bagaikan terbang melenting sambil memutar tombaknya. 

Pertempuran yang bukan saja dilambari oleh kemarahan yang memuncak, tetapi juga dendam dan harga diri itu, menjadi semakin garang. Ketika ujung senjata Saramuka sempat menyentuh ujung lengan Ki Marbudi, maka Ki Marbudi menggeram marah sambil meloncat mengambil jarak. Sementara itu Saramuka berteriak keras, “Marbudi, tengadahkan wajahmu, pandangilah angkasa untuk yang terakhir kalinya! Besok pagi kau tidak akan sempat melihat matahari terbit di cakrawala!”

Ki Marbudi merundukkan tombaknya. Demikian mulut Saramuka terkatup, Ki Marbudi menyerang dengan menjulurkan tombaknya ke arah dada.

Tetapi dengan tangkasnya Saramuka menangkis serangan itu. Senjatanya terayun memukul landean tombak Ki Marbudi.

Namun tombak Ki Marbudi itu pun menggeliat. Dengan satu putaran yang cepat ujung tombak itu menyambar lambung.

Saramuka bergeser selangkah surut. Ujung tombak itu pun luput dari sasaran. Bahkan Saramuka sempat menepis ujung tombak itu ke samping, kemudian memutar mengangkatnya. Selagi pedang itu terangkat, dengan cepat Saramuka meloncat sambil mengayunkan senjatanya.

Ki Marbudi mencoba menghindar. Tetapi ujung senjata Saramuka telah menyayat pundaknya.

Sekali lagi Saramuka berteriak, “Kematianmu sudah menjadi semakin dekat! Aku-lah yang di sisa malam ini akan memasuki bilik istrimu!”

Ki Marbudi sudah tidak tahan lagi mendengarnya. Karena itu, maka ia tidak dapat lagi berpikir panjang. Ia tidak menunggu sampai jantungnya meledak.

Demikian mulut Saramuka terkatup, maka Ki Marbudi telah merundukkan tombaknya tepat ke arah dada. Dengan mengerahkan segenap kemampuannya, maka ia pun meloncat sambil berteriak nyaring menyerang Saramuka.

Saramuka berusaha meloncat ke samping sambil menangkis serangan itu. Karena itu, maka ujung tombak itu sama sekali tidak menyentuh sasaran. Bahkan Saramuka sempat mengayunkan senjatanya menebas leher Ki Marbudi.

Ki Marbudi yang sudah terluka itu tidak mau terluka lagi. Ketika ia melihat ayunan senjata mengarah ke lehernya, maka ia pun dengan cepat merendahkan dirinya. Dengan cepat Ki Marbudi berlutut pada satu kakinya.

Ki Marbudi yang marah itu tidak mau melepaskan kesempatan itu. Demikian senjata lawannya terayun di atas kepalanya, maka ia pun memutar tombaknya.

Sambil sekali lagi berteriak, maka Ki Marbudi mengayunkan ujung tombaknya. Terasa di tangannya ujung tombak itu menyentuh sasaran. Segores luka menyilang di dada Saramuka. Namun Saramuka tidak membiarkan lawannya terlepas. Pedangnya-lah yang kemudian menggeliat dan mematuk tubuh Ki Marbudi yang masih berlutut. Ki Marbudi tidak sempat bangkit. Ia justru menjatuhkan dirinya. Tetapi ujung senjata lawannya memang sempat mengenai bahunya. Namun pada saat yang bersamaan Ki Marbudi menusukkan tombaknya ke lambung Saramuka.

Saramuka berteriak. Kesakitan, kemarahan, dendam bercampur baur mewarnai suaranya yang melengking di malam yang kelam.

Namun suaranya pun kemudian terputus. Saramuka terhuyung-huyung beberapa langkah surut. Meskipun ia masih mencoba mengangkat senjatanya, tetapi tangannya sudah tidak mampu lagi melakukannya. Karena itu, maka ketika tubuhnya jatuh terlentang, tangannya pun menjadi lunglai.

Ki Marbudi masih berusaha untuk bangkit. Tetapi luka di lengan, pundak dan bahunya cukup parah. Darah mengalir dengan derasnya.

Seorang pengawal dengan serta merta meloncat menahannya, ketika Ki Marbudi terhuyung-huyung dan hampir saja kehilangan keseimbangannya.

Seorang yang lain pun dengan suara yang bergetar berkata, “Ki Marbudi harus segera mengobati luka-luka itu. Darah Ki Marbudi terlalu banyak mengalir.”

Ki Marbudi termangu-mangu sejenak. Dengan suara yang lemah ia bertanya, “Bagaimana dengan orang itu?”

Para pengawal itu pun sempat berpaling memandang tubuh Saramuka yang terbaring diam.

Seorang di antara para pengawal itu pun kemudian mendekati dan berjongkok di sebelahnya. Dirabanya tubuh Saramuka yang diam. Kemudian ketika orang itu meraba dadanya, maka dada itu sama sekali tidak bergerak lagi. Namun darah telah membanjir membasahi halaman rumah Ki Makerti.

Dalam pada itu, Prasanta ternyata tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Luka-luka di tubuhnya menjadi kian parah. Meskipun ia sama sekali tidak berniat menyerah, namun tenaganya benar-benar terkuras habis.

Di saat terakhir, Prasanta berniat mempergunakan tenaga yang masih tersisa untuk menghujamkan senjatanya ke dadanya sendiri, namun para pengawal sempat mencegahnya.

Prasanta berhasil ditangkap hidup-hidup, namun dalam keadaan yang sangat parah.

Dalam pada itu, selagi di rumah Ki Makerti terjadi pertempuran, maka pengungsian terutama di padukuhan induk itu pun telah selesai. Semua perempuan dan anak-anak telah berada di banjar dan di rumah Ki Gede Menoreh. Sepasukan pengawal khusus telah dipersiapkan untuk melindungi para pengungsi itu.

Prastawa yang memimpin pengawal di seluruh Tanah Perdikan itu telah menempatkan pembantu-pembantunya di beberapa tempat yang paling rawan. Sementara itu di sekitar padukuhan induk telah dilakukan baris pendem, yang tidak mudah dilihat oleh lawan jika mereka menyerang padukuhan induk itu.

Sementara Perastawa menyiapkan seluruh pasukannya di seluruh Tanah Perdikan, maka Agung Sedayu telah bersiap-siap di dalam rumahnya bersama beberapa orang berilmu tinggi.

Agung Sedayu percaya, bahwa orang-orang berilmu tinggi dari perkemahan itu akan datang untuk menghancurkan seisi rumah itu terlebih dahulu, sebelum mereka akan menghancurkan seluruh padukuhan induk.

Karena itu, maka Agung Sedayu telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk menyongsong kedatangan mereka.

Namun dalam pada itu, selagi segala-galanya telah bersiap, maka beberapa ekor kuda telah memasuki Tanah Perdikan Menoreh dari arah Kali Praga.

Meskipun mereka datang dari arah timur, namun mereka tidak terlepas dari pengamatan para pengawal. Namun setiap kelompok pengawal yang menghentikan mereka, tidak terlalu banyak pertanyaan dan apalagi kesulita., Mereka dipersilahkan melanjutkan perjalanan, karena ternyata kelompok kecil itu dipimpin oleh Ki Lurah Branjangan.

Tetapi kelompok kecil itu tidak menuju ke banjar atau ke rumah Ki Gede. Kelompok kecil itu langsung menuju ke rumah Agung Sedayu.

Dengan tergesa-gesa seisi rumah Agung Sedayu telah menyongsong mereka. Bahkan mereka langsung dipersilahkan naik bukan saja di pendapa, tetapi langsung masuk ke ruang dalam.

Sekelompok orang itu adalah orang-orang yang tergabung dalam kelompok Gajah Liwung. Ki Lurah Branjangan atas persetujuan Agung Sedayu dengan diam-diam telah menjemput mereka ke Mataram dan membawanya ke Tanah Perdikan, beberapa saat saja sebelum saat yang ditentukan oleh orang-orang perkemahan menyerang Tanah Perdikan, untuk menghindari pengamatan orang-orang perkemahan itu.

“Terima kasih atas kesediaan kalian,” berkata Agung Sedayu.

Orang-orang dari kelompok Gajah Liwung itu terkejut ketika mereka melihat bahwa Bajang Bertangan Baja ada pula di rumah itu.

Agung Sedayu pun kemudian menceritakan kenapa Bajang Bertangan Baja itu ada di Tanah Perdikan Menoreh, sementara Wacana juga secara kebetulan berkunjung ke Tanah Perdikan itu pula.

“Ki Lurah Branjangan telah mengejutkan kami,” berkata Ki Ajar Gurawa. “Baru kemarin siang kami tahu apa yang harus kami lakukan malam ini. Agaknya perjalanan ini memang dirahasiakan.”

Agung Sedayu pun mengangguk-angguk kecil sambil tersenyum. Katanya, ”Kami memang merahasiakan kekuatan kami untuk memancing serangan orang-orang di perkemahan. Kami pun merahasiakan kekuatan yang ada di rumah ini, karena rumah ini pun akan menjadi sasaran serangan orang-orang berilmu tinggi di perkemahan itu. Karena itu, maka di rumah ini tidak ada seorang pengawal pun yang berjaga-jaga. Semuanya akan kita lakukan sendiri, karena para pengawal pun harus mengerahkan kekuatan dan kemampuan mereka untuk mempertahankan padukuhan induk ini.”

Orang-orang dari kelompok Gajah Liwung itu mengangguk-angguk ketika kemudian Agung Sedayu memberikan penjelasan tentang kewajiban mereka menghadapi orang-orang perkemahan itu.

Baru kemudian Agung Sedayu itu berkata, “Karena itu, maka sebaiknya kuda-kuda kalian itu tidak berada di halaman ini.”

“Jadi kemana kami akan menyimpan kuda-kuda kami?” bertanya Mandira.

Agung Sedayu pun kemudian berkata kepada Glagah Putih, “Selagi masih ada waktu, panggil beberapa orang pengawal di banjar. Biarlah kuda-kuda itu kita titipkan di banjar. Sementara itu jika perlu, kuda-kuda itu dapat dipinjam oleh para pengawal.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Bersama Sabungsari mereka pun pergi ke rumah Ki Gede untuk menemui Ki Gede dan Prastawa. Mereka melaporkan kedatangan kelompok Gajah Liwung, serta minta beberapa orang pengawal untuk mengambil kuda-kuda kelompok Gajah Liwung itu.

“Kuda-kuda itu dapat dipinjam jika diperlukan,“ berkata Glagah Putih kemudian.

Demikianlah, di dini hari, semua persiapan di padukuhan induk itu pun telah selesai. Baris pendem telah dipasang di sekitar padukuhan induk. Para pengawal, anak-anak muda, dan bahkan setiap laki-laki yang masih sanggup turun ke medan, apalagi mereka yang pernah menjadi pengawal Tanah Perdikan itu selagi mereka masih muda, atau bekas prajurit Mataram.

Para petugas yang mempersiapkan makanan bagi para pengawal pun telah menjadi sibuk pula. Mereka dengan cara yang telah diperhitungkan dengan baik, membagikan makanan bagi para pengawal dan mereka yang bersiap untuk bertempur, tanpa kecuali. Para pengawal yang berada di tempat perempuan dan anak-anak diungsikan, dan bahkan mereka yang berjaga-jaga di manapun di Tanah Perdikan. Dapur yang dipergunakan untuk menyiapkan makanan yang demikian banyaknya itu terbagi justru di padukuhan-padukuhan yang jauh dari perbukitan, dan yang menurut perhitungan tidak akan dijamah oleh orang-orang perkemahan itu.

Sementara itu, di sepinya dini hari, perkemahan di lereng perbukitan itu rasa-rasanya sedang bergejolak. Para pemimpin di perkemahan telah selesai menyusun pasukan mereka. Seperti telah direncanakan, maka mereka akan menyerang beberapa tempat sekedar untuk memecah perhatian pasukan pengawal Tanah Perdikan.

Karena sampai saat terakhir tidak ada laporan dari Prasanta dan Saramuka, serta petugas pengawasan yang lain, maka para pemimpin perkemahan itu memutuskan untuk melaksanakan rencana mereka. Sekelompok pasukan yang terdiri dari orang-orang yang kasar, keras dan berkekuatan rata-rata melampaui kekuatan orang kebanyakan, telah dipersiapkan untuk menyerang barak Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan.

“Hancurkan pasukan yang jumlahnya tidak terlalu banyak itu. Bakar baraknya. Tetapi lebih dahulu ambil apa saja yang ada di barak itu. Kalian akan mendapatkan senjata, kuda dan tentu ada simpanan di barak itu,” berkata Ki Tempuyung Putih. “Kau kira bahwa prajurit-prajurit itu tidak menimbun harta benda di dalam baraknya? Jika kita kelak berhasil, maka tempat itu akan kalian miliki. Di atas abu reruntuhan barak itu, akan dibangun tempat tinggal yang bagus bagi kalian. Kalian akan mendapat sawah yang luas, dan setiap laki-laki akan dapat mengambil istri di Tanah Perdikan, terutama mereka yang belum beristri dan tidak meninggalkan istri mereka di tempat tinggal kalian yang lama. Karena kalian tentu akan menjemput mereka dan mengajak mereka hidup senang di tempat kalian yang baru.”

Orang-orang yang merasa mendapat kepercayaan serta janji itu merasa gembira. Mereka semakin bergairah untuk memenangkan perang, tanpa mengetahui dengan pasti siapakah lawan mereka itu sebenarnya. Tanpa mengetahui bahwa yang disebut prajurit Mataram dari Pasukan Khusus itu memiliki kelebihan dan kemampuan khusus untuk menghadapi lawan yang bagaimanapun juga. Mereka pun tidak tahu bahwa Pasukan Khusus itu sudah dipersiapkan sebaik-baiknya oleh Agung Sedayu, meskipun Agung Sedayu sendiri tidak ada di antara pasukannya.

Sementara itu dua kelompok pasukan yang lebih kecil dipersiapkan untuk menyerang dua padukuhan, yang akan dapat memancing pasukan yang lebih besar ke padukuhan-padukuhan itu.

Demikianlah, ketika segala persiapan sudah selesai, maka pasukan yang besar itu pun mulai bergerak.

Pasukan yang akan menyerang Pasukan Khusus akan bergerak sebelum fajar. Demikian pula dua pasukan yang akan menyerang dua padukuhan kecil di dekat perbukitan. Sedangkan pasukan yang bergerak ke padukuhan induk, akan menyerang tepat saat fajar menyingsing, menyongsong terbitnya matahari. Pasukan itu tidak akan menyerang padukuhan induk dari arah barat, tetapi mereka akan menyerang dari arah selatan, agar mereka tidak menjadi silau oleh cahaya matahari yang akan terbit, apabila mereka tertahan sebelum memasuki padukuhan induk. Namun dalam pada itu, bersamaan waktunya, Resi Belahan dan beberapa orang berilmu tinggi sudah harus siap dan memasuki halaman Agung Sedayu.

Ternyata Resi Belahan tidak mau mempercayakan serangan atas rumah Agung Sedayu itu kepada orang lain. Ia berniat untuk melakukannya sendiri, dengan perhitungan bahwa tidak ada orang lain yang akan mampu mengimbangi kemampuan Agung Sedayu.

Tetapi Resi Belahan tidak mau mengalami kegagalan lagi sebagaimana terjadi atas Ki Manuhara. Selain orang-orang berilmu tinggi, maka iapun telah mempersiapkan orang-orang pilihan yang akan membantu orang-orang berilmu tinggi itu, mencegah campur tangan para pengawal sebelum pasukan dari perkemahan itu berhasil menghisap semua kekuatan yang ada di Tanah Perdikan.

Ketika Ki Tempuyung Putih mengusulkan agar serangan atas Tanah Perdikan itu dilakukan lebih dahulu untuk menarik semua pengawal turun ke medan, maka Resi Belahan berkata, “Jika serangan itu dilakukan, maka Agung Sedayu dan orang-orang yang penting itu tentu sudah keluar dari sarang mereka dan berada di medan. Kita akan mengalami kesulitan untuk menemukan mereka. Karena Itu, maka biarlah kita berada di halaman rumah itu lebih dahulu, baru serangan atas padukuhan induk itu dilakukan. Dengan demikian, maka kita akan dapat menutup kemungkinan Agung Sedayu dan orang-orang yang tinggal bersamanya keluar dari halaman rumahnya. Sementara itu, sekelompok orang-orang terpilih akan menghalangi para pengawal mencampuri persoalan di halaman rumah itu. Namun dengan perhitungan yang cermat, serangan atas padukuhan induk harus sudah dimulai.”

Ternyata Ki Tempuyung Putih dapat mengerti perhitungan Resi Belahan. Karena itu, maka orang-orang berilmu tinggi yang sudah dipersiapkan untuk memasuki halaman rumah Agung Sedayu pun telah mendapat perintah-perintah berikutnya.

Ketika saatnya telah tiba, maka Resi Belahan pun memberikan perintah terakhir kepada para pemimpin di perkemahan itu. Kemudian dengan lantang ia herkata, “Selamat berjuang saudara-saudaraku! Kita harus berhasil menghancurkan kekuatan Tanah Perdikan. Dengan demikian kita akan mendapatkan apa yang kita cari selama ini. Saudara-saudaraku yang selama ini terbiasa hidup dalam pengembaraan sehingga tidak mempunyai tempat tinggal yang tetap dan baku, maka kalian akan segera mendapatkannya. Kalian akan tinggal di atas tanah bekas barak prajurit Mataram yang tidak begitu banyak jumlahnya, namun merampas tanah yang sangat luas itu. Kalian akan dapat menggarap sawah yang akan menjadi milik kalian. Sedangkan yang lain akan mendapatkan landasan perjuangan berikutnya. Karena di seberang Kali Praga itu kekuasaan Mataram mencengkeramkan akar-akar kekuatannya. Memang harus ada pengorbanan yang kita berikan. Tetapi pengorbanan itu tidak akan sia-sia.

Orang-orang di perkemahan itu pun hatinya menjadi mekar. Mereka merasa diri mereka pahlawan-pahlawan yang pantas mendapat penghormatan setelah memenangkan perang. Sementara perang itu belum terjadi.

Orang-orang yang ditunjuk untuk menyerang Pasukan Khusus itu pun berbangga pula. Resi Belahan telah mengatakan kepada mereka, bahwa mereka terpilih sebagai orang-orang yang terpercaya. Dengan nada berat penuh gelora Resi Belahan berkata, “Aku tidak mempunyai pilihan lain kecuali kalian. Tidak ada kekuatan yang menyamai kekuatan kalian, baik seorang-seorang maupun dalam kelompok. Karena itu harapan kami hanya tertuju kepada kalian.”

Pemimpin dari orang-orang yang bertubuh keras dan berwajah kasar itu berteriak, “Serahkan kepada kami!”

Bindi-bindi pun terangkat tinggi-tinggi. Bindi yang memang terlalu besar menurut ukuran kebanyakan orang. Tetapi orang-orang itu sama sekali tidak merasa terganggu oleh bobot senjatanya.

Kebanyakan mereka memang bersenjata bindi. Tetapi ada pula di antara mereka yang bersenjata tombak dan golok-golok besar. Bahkan kapak-kapak yang mendebarkan jantung.

Sejenak kemudian pasukan di perkemahan itu mulai bergerak. Mereka terbagi sesuai dengan tugas mereka masing-masing. Namun menurut perhitungan, maka pertempuran harus terjadi di barak Pasukan Khusus itu. Kemudian di padukuhan-padukuhan kecil. Baru kemudian di padukuhan induk. Itupun didahului dengan sergapan di rumah Agung Sedayu, untuk menahan agar isi rumah itu tidak sempat keluar dan ikut dalam pertempuran.

Sementara itu Resi Belahan telah meyakini, bahwa tidak ada persiapan yang khusus untuk menyongsong gerakan pasukan dari perkemahan itu. Sehingga dengan demikian, maka Agung Sedayu dan seisi rumahnya akan berada di rumah.

Pasukan yang harus disiapkan untuk menyerang Pasukan Khusus itu pun berjalan dengan cepat, mendaki bukit menuju ke barak. Mereka menyandang senjata mereka dengan penuh kebanggaan. Tidak ada kelompok yang lain yang dipercaya untuk menyerang Pasukan Khusus itu selain kelompok orang-orang kasar dan berwajah keras yang terbiasa hidup dalam pengembaraan. Mereka merasa bahwa kelebihan mereka dari kemampuan pasukan yang lain itu telah diakui oleh Resi Belahan, sehingga Resi Belahan sama sekali tidak menaruh kepercayaan kepada siapapun kecuali kepada kelompok itu.

Pemimpin kelompok itu adalah seorang yang tidak begitu tinggi. Tetapi tubuhnya bagaikan terbuat dari batu hitam. Ototnya yang mencuat dari kulitnya yang berwarna sawo agak kehitam-hitaman. Pundaknya sedikit terangkat dengan tulang-tulang yang menonjol. Matanya cekung, tetapi tulang pelipisnya agak terlalu maju.

Di tangannya tergenggam sebuah kapak yang terhitung agak besar. Namun di ikat pinggang kulit yang lebar tetapi buatannya kasar, terselip sebuah pisau panjang dengan sarung kulit pula.

Dengan bangga ia mengemban tugas yang dibebankan kepadanya oleh Resi Belahan. Bagi pemimpin kelompok pengembara yang kasar dan keras itu, Resi Belahan adalah orang yang paling pantas untuk dituruti perintah-perintahnya di seluruh dunia. Bagi orang itu, Penembahan Senapati sama sekali tidak berarti apa-apa.

Seperti yang diperhitungkan, maka pasukan yang menuju ke barak itulah yang pertama kali sampai ke sasaran. Setelah menuruni bukit, maka mereka bergegas menyusuri jalan sempit memotong arah. Pemimpin pasukan itu membagi pasukannya menjadi dua kelompok yang akan menyerang barak Pasukan Khusus dari dua arah.

Sementara itu dua kelompok lain pun segera berpisah. Masing-masing akan menyerang sebuah padukuhan untuk memancing perhatian pasukan Tanah Perdikan, agar mereka menuju ke padukuhan-padukuhan yang sedang mendapat serangan itu.

Dalam pada itu, para pengawas dari Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan Menoreh itu pun telah melihat kedatangan pasukan yang akan menyerang barak mereka. Karena itu, maka seisi barak itu pun segera bersiap.

Namun seperti dipesankan oleh Agung Sedayu, maka sebagian dari isi barak itu justru sudah berada di luar barak. Mereka sudah siap untuk pergi kemanapun yang memerlukan bantuan mereka, termasuk ke padukuhan induk. Meskipun demikian, mereka masih juga menunggu. Jika pasukan yang datang menyerang barak mereka terlalu besar, maka mereka memang tidak akan pergi kemanapun juga. Mereka harus mempertahankan barak mereka sampai mereka yakin bahwa barak mereka akan selamat.

Para pengawas dari Pasukan Khusus itu juga melihat bahwa pasukan yang menyergap barak itu dibagi menjadi dua bagian.. Karena itu, maka dengan cepat mereka pun telah memberitahukan kepada pasukan yang masih ada di barak untuk membagi diri.

Orang-orang yang menyerang barak itu ternyata tidak menyia-nyiakan waktu. Mereka langsung saja berlari menyerang barak itu dari dua arah. Dari utara dan dari barat.

Pasukan Khusus yang masih ada di barak yang telah bersiap mempertahankan baraknya, tidak membentur langsung serangan orang-orang perkemahan itu. Meskipun mereka justru bergerak maju menyongsong, tetapi mereka membuat pasukan mereka lentur.

Ketika benturan terjadi antara orang-orang perkemahan yang mempunyai kekuatan yang besar dan kasar itu, maka para prajurit dari Pasukan Khusus itu telah bergerak mundur. Namun orang-orang yang menyerang barak itu, yang merasa mampu mendesak Pasukan Khusus yang bergerak mundur itu, tidak menyadari bahwa pada gerak maju mereka, satu-satu orang-orang mereka berjatuhan. Demikian Pasukan Khusus itu mendekati dinding barak mereka, maka terdapat celah-celah pada pertahanan mereka. Dengan garangnya maka orang-orang yang menyerang barak itu menembus celah-celah itu. Mereka merasa bahwa mereka dapat menyusup pertahanan lawan dan selanjutnya akan dapat memasuki dinding barak.

Tetapi perhitungan mereka salah. Celah-celah itu ternyata dengan sengaja telah dibuat oleh prajurit dari Pasukan Khusus itu, sehingga seakan-akan telah menghisap dan menelan sebagian dari lawan-lawan mereka. Sementara itu, lapis kedua pasukan pertahanan itulah yang akan menyelesaikan orang-orang yang merasa berhasil menyusup memasuki pertahanan Pasukan Khusus itu.

Orang-orang yang tidak mengira akan menjumpai jenis gelar yang tidak mereka perhitungkan sebelumnya itu memang menjadi agak bingung. Namun mereka memang tidak berpegang pada penalaran untuk memenangkan pertempuran. Mereka mengandalkan kekuatan dan kekerasan tenaga mereka.

Dengan demikian, maka pertempuran itu menjadi semakin sengit, ketika para prajurit dari Pasukan Khusus itu tidak bergerak mundur lagi. Namun ketika mereka saling membenturkan kekuatan, maka orang-orang yang menyerang barak itu pun telah menjadi susut dengan cepat.

Dengan demikian, maka para prajurit dari Pasukan Khusus yang ada di barak itu, sama sekali tidak merasa kesulitan untuk menghadapi serangan orang-orang keras dan kasar yang menyerang barak itu. Namun sebagaimana pesan Agung Sedayu, jika yang datang ke barak itu orang-orang yang kebanyakan bersenjata bindi, maka mereka bukan lawan yang harus dibinasakan. Mereka adalah orang-orang yang tidak mengerti apa yang mereka lakukan. Karena itu, maka sejauh mungkin para prajurit dari Pasukan Khusus itu harus menghindarkan diri dari pembunuhan. Seandainya mereka harus melumpuhkan orang-orang yang menyerang itu, maka mereka harus mengusahakan agar mereka tidak mati karena itu.

Memang sulit untuk menghindarkan kematian. Tetapi jika itu harus terjadi, maka kematian itu diusahakan disusut menjadi sekecil-kecilnya.

Dengan demikian, maka prajurit dari Pasukan Khusus yang telah berada di luar barak akan dapat bergerak kemana mereka diperlukan. Isyarat yang kemudian terdengar dibunyikan di barak itu, mengabarkan kepada para prajurit dari Pasukan Khusus, bahwa prajurit yang ada di barak tidak memerlukan bantuan lagi.

Namun ketika suara kentongan dari barak Pasukan Khusus itu didengar dari kejauhan oleh orang-orang dari perkemahan yang menyerang sasaran yang lain, mereka mengira bahwa para prajurit di barak itu mengalami kesulitan.

Dalam waktu yang pendek, maka para prajurit yang berada di luar barak itu lelah bergerak ke padukuhan padukuhan yang mungkin akan menjadi sasaran serangan kelompok-kelompok kecil dari orang-orang di perkemahan itu, sebelum mereka bergerak ke padukuhan induk jika diperlukan.

Ketika pertempuran di barak masih berkobar, sementara terdengar suara kentongan yang memecah keheningan malam, maka dua kelompok pasukan dari perkemahan telah menyerang dua padukuhan kecil di hadapan perbukitan. Dalam waktu pendek, pertempuran memang telah terjadi. Para pengawal yang dipersiapkan di padukuhan-padukuhan itu telah menyongsong pasukan lawan di luar dinding padukuhan.

Seperti di barak Pasukan Khusus, maka di padukuhan itu pun terdengar suara kentongan. Tetapi nada kentongan itu bukan nada isyarat untuk memanggil bantuan. Apalagi setelah kelompok-kelompok kecil Pasukan Khusus sampai di padukuhan itu.

Dalam pada itu, langit pun menjadi semakin cerah. Orang-orang perkemahan dalam pasukan induk mereka mendengar suara kentongan pula. Mereka memperhitungkan bahwa para pengawal justru akan terpancing ke padukuhan-padukuhan kecil yang telah mendapat serangan itu.

Dengan demikian maka pasukan induk dari perkemahan yang akan menyerang padukuhan induk itu meluncur dengan cepat. Pada saat fajar mekar di timur, maka pasukan itu sudah berada di sebelah selatan padukuhan induk. Sebagaimana direncanakan, pasukan itu tidak akan menyerang dari arah barat.

Namun pasukan itu terhenti beberapa saat di sebelah selatan padukuhan induk. Sementara itu Resi Belahan dengan beberapa orang pilihan serta sekelompok kecil kepercayaannya akan mendahului pasukannya, menyerang rumah Agung Sedayu.

“Kami akan melontarkan panah sendaren sebagai isyarat kalian menyerang padukuhan induk,“ berkata Resi Belahan.

Seorang putut yang bernama Pulut Rahinaya telah mendapat tugas dari Resi Belahan untuk memimpin pasukan yang akan menghancurkan padukuhan induk tanah Perdikan Menoreh.

Sesaat menjelang matahari terbit, maka dengan cepat Resi Belahan bergerak. Tanpa menghiraukan pengawasan di padukuhan induk, maka Resi Belahan telah memasuki gerbang padukuhan, langsung menuju ke rumah Agung Sedayu. Beberapa orang peronda yang masih ada di gardu di depan pintu gerbang sama sekali tidak menghalangi mereka. Para peronda itu justru bergegas berlari meniggalkan gardu dan hilang di halaman sebelah-menyebelah jalan yang menuju ke rumah Agung Sedayu.

Resi Belahan dan Ki Tempuyung Putih sempat tersenyum. Dengan nada tinggi Resi Belahan berkata, “Inikah pertahanan sebuah Tanah Perdikan yang besar dan disuyuti oleh kademangan-kademangan di sekitarnya?”

Ki Tempuyung Putih belum sempat menjawab ketika tiba-tiba Resi Belahan berkata, “Tunggu. Aku mencurigai keadaan di padukuhan induk ini.”

“Ya,“ sahut Ki Tempuyung Putih, “aku mencium adanya baris pendem.”

“Setan orang-orang Tanah Perdikan, “geram Resi Belahan. “Cepat, kita harus segera mencapai rumah Agung Sedayu.”

Sekelompok orang itu pun segera berlari menuju ke rumah Agung Sedayu. Namun Resi Belahan masih bergumam, “Mudah-mudahan baris pendem Tanah Perdikan ini tidak banyak berarti bagi pasukan kita. Aku kira sebagian dari mereka harus pergi ke padukuhan-padukuhan yang membunyikan kentongan itu. Sementara prajurit Mataram dari Pasukan Khusus itu sudah terikat dalam pertempuran.”

Ki Tempuyung Putih mengangguk kecil. Namun iapun menggeram, “Apa kerja Prasanta dan Saramuka? Mereka seharusnya menyongsong kedatangan kita.”

“Persetan dengan pengecut itu,“ geram Resi Belahan, “lepaskan panah sendaren. Di hadapan kita itu pasti rumah Agung Sedayu. Ciri-cirinya dapat kita baca dengan jelas.”

“Ya,“ jawab ki Tempuyung Putih, “nampaknya halaman rumah itu masih sepi.”

“Atau ada juga baris pendem di halaman rumah Agung Sedayu,“ jawab Resi Belahan.

Ki Tempuyung Putih memang tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun segera memerintahkan seorang pengikutnya untuk melepaskan tiga buah panah sendaren yang diarahkan ke selatan.

Tetapi panah sendaren itu juga merupakan isyarat kepada para pengawal Tanah Perdikan yang membuat baris pendem, barisan yang tidak mudah dilihat. Tetapi para pemimpin pengawal agak salah hitung. Mereka mengira bahwa serangan terberat akan datang dari arah barat, meskipun ada serangan lain yang datang dari arah yang berbeda.

Namun di sisi selatan pun sudah ada sekelompok kecil pengawal yang menunggu kedatangan lawan. Mereka akan dapat bertahan sampai saat pasukan terbesar bergeser ke selatan pula.

Sementara itu isyarat itu telah memperingatkan seisi rumah Agung Sedayu. Suara sendaren yang bergaung di udara itu bagaikan suara sangkakala yang meneriakkan aba-aba bagi seluruh kekuatan di Tanah Perdikan Menoreh yang sudah bersiap menunggu lawan. Sementara itu, dua orang pengawas yang dipasang oleh para pengawal di Tanah Perdikan itu telah memberikan laporan selengkapnya kepada Ki Gede. Mereka telah melihat sekelompok orang yang menurut pengamatan mereka berilmu tinggi, langsung memasuki gerbang Tanah Perdikan, sementara para peronda yang masih ada di gardu sengaja menyingkir. Sementara itu dari arah selatan, pasukan induk dari perkemahan telah datang dengan kekuatan yang sangat besar.

“Prastawa,” berkata Ki Gede, “tarik pasukan di sebelah barat ke selatan.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar