Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 281

Buku 281

Glagah Putih pun kemudian duduk di amben bambu yang besar di ruang dalam bersama Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Diceritakannya apa yang telah dilihatnya di kebun belakang. Ditunjukannya lingkaran besi baja yang bergerigi itu kepada Agung Sedayu. Gerigi yang hampir saja mengoyak kulitnya.

“Tentu tidak ada hubungannya dengan sikap Wacana,“ desis Glagah Putih.

“Ya,” Agung Sedayu mengangguk-angguk sambil mengamati lingkaran besi baja yang bergerigi itu.

Ternyata mereka sepakat bahwa senjata itu tentu saja dari salah seorang pengikut Resi Belahan. Mungkin orang yang ditemuinya di tepian Kali Praga serta yang telah berusaha mengambil Sekar Mirah dan Rara Wulan itu. Atau orang yang bersamanya dan yang disebut Paman itu. Atau orang lain yang diminta oleh orang itu. Namun mereka tentu orang di antara para pengikut Resi Belahan itu.

“Bukankah itu yang kita kehendaki?“ berkata Agung Sedayu, “Bahkan mudah-mudahan Resi Belahan sendiri akan datang ke rumah ini.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Kita memang mengharapkan Resi Belahan itu sendiri yang datang.”

“Baiklah,” berkata Agung Sedayu kemudian, “besok yang lain kita beri tahu pula tentang lingkaran bergerigi ini. Sayang, besok pagi-pagi aku dan Ki Jayaraga harus menyaksikan sesuatu yang sebenarnya tidak perlu terjadi.”

“Ya,” Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya selanjutnya, “Tetapi kita sudah tidak mampu lagi mencegahnya.”

“Sekarang tidurlah. Kau besok sendirian di rumah. Aku dan Ki Jayaraga akan menjadi saksi dari perang tanding yang akan terjadi di antara Wacana dan Sabungsari. Nampaknya Wacana juga orang yang berilmu, sementara Sabungsari yang telah berhasil membuka hambatan-hambatan di dalam dirinya, tentu akan menjadi sangat berbahaya jika ia tidak dapat mengekang diri.”

Glagah Putih mengangguk kecil. Katanya kemudian, “Baiklah. Aku akan tidur sekarang.“

Glagah Putih telah meninggalkan Agung Sedayu dan Sekar Mirah yang masih duduk di ruang dalam. Keduanya masih mengamati lingkaran besi baja yang bergerigi itu untuk beberapa saat.

Malam yang semakin menukik ke kedalamannya itu menjadi semakin sepi. Bunyi belalang dan angkup nangka terdengar seolah-olah bersahut-sahutan mengusik sepinya malam.

Ketika Agung Sedayu dan Sekar Mirah akan kembali ke bilik mereka, mereka terkejut. Mereka mendengar isak tangis dari bilik Rara Wulan.

Sejak keduanya saling berpandangan. Meskipun agak ragu, Sekar Mirah berdesis, “Aku akan menengoknya.”

Agung Sedayu mengangguk. Iapun kemudian duduk kembali di amben yang besar itu, sementara Sekar Mirah melangkah menuju ke bilik Rara Wulan.

Perlahan-lahan Sekar Mirah mengetuk pintu bilik Rara Wulan sambil berdesis, “Rara ?”

Terdengar langkah lembut mendekati pintu. Perlahan-lahan selarak pintu pun diangkat dan pintu itu pun berderti perlahan.

Sekar Mirah melangkah masuk dan duduk di sisi Rara Wulan yang duduk di bibir pembaringannya.

“Ada apa Rara? Aku dengar kau terisak,” desis Sekar Mirah.

Rara Wulan mengusap matanya yang basah. Ia berusaha menahan isaknya. Namun sekali-sekali dadanya masih juga terangkat. Tangannyalah yang sibuk mengusap air matanya dengan lengan bajunya.

“Apa yang telah terjadi?“ bertanya Sekar Mirah.

Rara Wulan menunduk dalam-dalam.

“Katakanlah Rara. Setidak-tidaknya kau akan dapat mengurangi beban yang menggantung di dadamu,” desak Sekar Mirah.

“Mbokayu,“ suara Rara Wulan bergetar di sela-sela isaknya, “kenapa persoalannya berkembang sedemikian buruknya. Aku merasa bahwa aku adalah sumber dari peselisihan yang berlarut. Seandainya aku tidak pernah dikenal oleh Raden Antal.“

“Sudahlah Rara. Jangan menyalahkan diri sendiri. Jika saja Raden Antal mempunyai landasan jiwani setidak-tidaknya sebagaimana orang kebanyakan, maka ia tidak akan menimbulkan malapetaka ini. Wacana tidak akan pernah berselisih dengan Sabungsari karena salah paham, karena tidak seorangpun yang perlu menyelamatkan Raras dari tangan Bajang Bertangan Baja serta Ki Manuhara. Sehingga dengan demikian maka Raras tidak akan pernah berkenalan dengan Sabungsari.“

Rara Wulan mengangguk kecil. Tetapi katanya kemudian, “Sebenarnya aku juga merasa kasihan kepada Kakangmas Teja Prabawa. Ia seorang anak muda yang manja, hampir mirip dengan Raden Antal. Tapi hatinya jauh lebih kecil dari hati Raden Antal. Jika Raras melepaskan diri darinya, maka hatinya akan terpukul. Mungkin ia akan kehilangan gairah untuk menantang hari depannya, dan tersisih dari lingkungannya. Dirinya akan terasa semakin kecil dan tidak berarti.”

“Mudah-mudahan tidak Rara. Mudah-mudahan ia akan bangkit dan menghadapi masa depannya dengan dada tengadah. Yang terjadi itu akan menjadi pengalaman yang dapat menempa jiwanya,” berkata Sekar Mirah.

“Tetapi aku juga tidak dapat menyalahkan Wacana jika ia ingin menggeser Kakangmas Teja Prabawa yang lemah itu.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Ya. Kita dapat mengerti bahwa Wacana yang setiap hari menunggui Raras, akan dapat tertarik dan bahkan jatuh cinta kepadanya. Tetapi sebaiknya ia tidak kehilangan akal. Kenapa ia ingin menyelesaikan persoalannya dengan Sabungsari mempergunakan cara yang keras, yang barangkali akan justru dapat menyinggung perasaan Raras jika ia tahu? Kenapa persoalannya tidak diserahkan saja kepada Raras untuk menentukan pilihannya? Atau katakan bahwa yang dilakukan biarlah sayembara pilih, bukan sayembara tanding sebagaimana dilakukan sekarang.”

Rara Wulan menarik napas panjang. Katanya, “Ya. Kekerasan akan dapat berakibat sangat buruk meskipun semula tidak dikehendaki.”

“Tetapi apapun yang terjadi, itu bukan salahmu Rara,” desis Sekar Mirah.

Rara Wulan mengangguk. Tetapi ia tidak menjawab.

“Rara,“ berkata Sekar Mirah kemudian untuk mengalihkan perhatian Rara Wulan, “baru saja telah terjadi sesuatu yang tidak kita inginkan atas Glagah Putih.”

“Apa yang terjadi?“ Rara Wulan terkejut.

“Apakah kau tidak mendengarkan pembicaraan kami? Maksudku antara Glagah Putih dengan Kakang Agung Sedayu.”

“Bukankah kalian membicarakan perang tanding esok pagi?“ bertanya Rara Wulan ragu-ragu.

Sekar Mirah pun kemudian menceritakan apa yang terjadi atas Glagah Putih yang berada di halaman belakang rumah itu. Hampir saja tubuhnya dikoyakkan oleh sebuah lingkaran besi baja bergerigi yang menyambarnya dari kegelapan.

“O,” Rara Wulan menjadi cemas, “bagaimana dengan Kakang Glagah Putih sekarang?”

“Ia tidak apa-apa. Ia sekarang berada di dalam biliknya,“ jawab Sekar Mirah, “tetapi peristiwa ini merupakan satu peringatan bagi kita, bahwa orang-orang yang kita temui di tepian Kali Praga itu benar-benar telah terpancing. Mungkin kita dapat menyebut bahwa usaha kita berhasil memancing mereka. Tetapi di samping itu, kita pun harus menjadi sangat berhati-hati.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Sementara Sekar Mirah berkata, “Besok Glagah Putih sendiri yang menemani kita di rumah, karena Kakang Agung Sedayu dan Ki Jayaraga akan menjadi saksi perang tanding antara Wacana dengan Sabungsari.”

Rara Wulan hanya dapat termangu-mangu. Sementara Sekar Mirah berkata selanjutnya, “Nah, sekarang, tidurlah Rara. Malam sudah menjadi semakin larut.”

Rara Wulan memandang Sekar Mirah dengan tatapan mata yang sayu. Sambil tersenyum Sekar Mirah menepuk bahunya sambil berkata, “Aku juga akan tidur. Besok kita harus bangun pagi-pagi sekali. Kita harus menyiapkan minuman dan makanan sebelum Wacana dan Sabungsari pergi ke tempat yang terasing untuk berperang tanding, dengan disaksikan oleh Kakang Agung sedayu dan Ki Jayaraga. Tetapi biar sajalah itu terjadi. Itu persoalan mereka. Bukan persoalan kita. Bukan pula salahmu, Rara.”

Demikianlah, maka Sekar Mirah pun kemudian meninggalkan bilik Rara Wulan. Gadis itu memang mencoba untuk dapat segera tidur. Tetapi ternyata itu memerlukan waktu yang cukup panjang, karena angan-angannya masih saja menerawang jauh. Tetapi akhirnya gadis itu pun sempat tidur pula lewat tengah malam.

Seperti yang dikatakan oleh Sekar Mirah, maka Sekar Mirah itu pun bangun pagi-pagi sekali. Ketika ia sudah berada di dapur, maka Rara Wulan pun menyusulnya pula. Matanya masih nampak bekas tangisnya semalam.

Tetapi sejenak kemudian mereka telah mendengar derit senggot di sumur. Sabungsari agaknya telah bangun pula dan mengisi jambangan di pakiwan. Tetapi Wacana agaknya masih berada di biliknya.

Ki Jayaraga yang kemudian juga berada di dapur sambil memanasi tangannya di depan perapian berdesis perlahan, “Wacana apakah memang terlalu yakin akan dirinya? Ia masih belum bangun. Agaknya ia tidur nyenyak sekali tanpa digelisahkan oleh perang tanding yang akan dilakukan pagi ini.”

Sekar Mirah mengangguk kecil. Katanya, “Agaknya ilmunya memang cukup tinggi. Jika ia tidak berilmu tinggi, maka ia tentu tidak akan menantang Sabungsari dalam perang tanding, karena ia sudah mendengar bagaimana Sabungsari mampu melindungi Raras dalam pertempuran di dekat susukan Kali Opak itu.”

Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Hampir berbisik ia berdesis, “Ya. Dan itulah yang mencemaskan.”

Sekar Mirah tidak menyahut lagi. Sementara Ki Jayaraga pun kemudian bangkit dan pergi ke belakang lewat pintu butulan di dapur. Sambil menggeliat Ki Jayaraga menghirup udara sejuk di dini hari.

Menjelang fajar maka semuanya telah berbenah diri. Wacana pun telah mandi pula. Mereka masih menghirup minuman hangat bersama-sama serta makan beberapa potong makanan. Tetapi mereka tidak lagi banyak berbicara.

Sejenak kemudian, maka mereka pun telah bersiap pergi ke tempat yang akan ditentukan oleh Agung Sedayu.

Ketika mereka meninggalkan regol halaman rumah, Agung Sedayu berpesan, “Hati-hatilah Glagah Putih. Kau sendiri yang harus melindungi seisi rumah ini.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia sadar bahwa tanggung jawabnya menjadi besar. Tetapi Glagah Putih tidak dapat mengingkarinya. Apalagi orang-orang yang harus dilindunginya serba sedikit memiliki kemampuan untuk menjaga diri mereka masing-masing. Bahkan Sekar Mirah yang menuntun Rara Wulan dalam olah kanuragan itu, sengaja atau tidak sengaja telah meningkatkan kemampuannya pula, karena ia hampir setiap hari berada di sanggar setelah pekerjaannya selesai dengan atau tidak dengan Rara Wulan, sambil menunggu Agung Sedayu pulang dari barak Pasukan Khusus.

Sementara itu, Agung Sedayu telah membawa Wacana dan Sabungsari ke lereng pegunungan yang jarang dikunjungi orang. Mereka menuju di dataran yang agak luas di sela-sela dua buah bukit kecil. Ki Jayaraga meskipun agak segan berjalan sambil menunduk di belakang mereka. Tertapi orang tua itu pun tidak mampu merubah keputusan kedua orang yang akan berperang tanding.

Tetapi Ki Jayaraga berharap bahwa perang tanding itu akan berlangsung jujur dan tidak dibakar oleh perasaan semata-mata, sehingga perang tanding itu akan dapat diakhiri tanpa harus merenggut korban jiwa salah seorang di antara mereka.

Ketika mereka sampai di tempat yang dimaksud oleh Agung Sedayu, ternyata langit sudah menjadi terang. Matahari bahkan sudah hampir menyingsing.

“Nah,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “kami berdua akan menyaksikan perang tanding yang kalian maksud. Kalian adalah laki-laki yang bertanggung jawab atas perbuatan dan kata-kata kalian. Karena itu, maka perang tanding ini akan kalian hormati sebagai keputusan jantan. Siapa yang kalah akan mengaku kalah tanpa mendendam. Selanjutnya yang kalah akan memenuhi janji, tidak akan berhubungan lagi dengan Raras. Tentu saja dengan maksud yang khusus, karena persahabatan akan dapat saja berlangsung seterusnya.“

“Apakah yang dimaksud dengan persahabatan akan dapat berlangsung seterusnya?“ bertanya Wacana.

“Maksudku,“ berkata Agung Sedayu, “siapa yang kalah akan melepaskan niatnya untuk memperistri Raras. Bukankah jelasnya demikian? Tetapi apakah itu berarti bahwa yang kalah harus menyingkir dari Mataram dan tidak akan boleh bertemu lagi dengan Raras? Itu sama sekali tidak wajar. Perkenalan dan persahabatan dapat saja terjadi tanpa harus berniat memperistri seseorang. Dan niat itu terikat oleh janji yang telah kalian ucapkan. Siapakah yang menang dan siapakah yang kalah.”

Wacana nampaknya masih belum puas. Tetapi Agung Sedayu berkata, “Kami berdua bukannya saksi yang mati. Berbeda dengan bebatuan dan rerumputan yang menyaksikan perang tanding ini. Mereka tidak akan berbuat apa-apa meskipun kalian kemudian tidak menepati janji kalian. Tetapi kami tidak. Kami dapat setidak-tidaknya memperingatkan jika ada di antara kalian yang melanggar janji yang telah kalian ucapkan dalam perang tanding ini. Jika peringatan itu tidak kalian dengar, maka kami akan merasa terhina, karena kesaksian kami tidak berarti apa-apa. Nah, kalian tentu mengetahui maksud kami, karena kami bukan saksi-saksi hidup yang tidak berdaya.”

“Baiklah,” berkata Wacana, “aku setuju. Tetapi bagaimana dengan Sabungsari ?”

“Aku tidak mempunyai syarat apapun. Aku hanya ingin kejelasan, siapakah yang terkuat di antara kita. Bahkan seandainya tidak ada seseorang yang bernama Raras sekalipun,“ jawab Sabungsari dengan nada datar.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, betapa Sabungsari merasa tersinggung oleh sikap Wacana justru pada saat Sabungsari menjauhi Raras.

Demikianlah, maka sejenak kemudian Agung Sedayu pun telah mempersilahkan keduanya untuk bersiap. Katanya kepada Ki Jayaraga, “Marilah. Kita mempunyai tugas yang sama sekali tidak menyengkan hati kita. Tetapi keadaan kita untuk menjadi saksi tentu akan lebih baik daripada kita tidak menghiraukan sama sekali peristiwa ini.”

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Satu persoalan yang sangat aku benci. Pertengkaran karena seorang perempuan.”

“Perempuan merupakan lambang masa depan kita, Ki Jayaraga,” sahut Wacana.

“Dan hidupku hancur karena seorang perempuan,“ jawab Ki Jayaraga. Namun katanya kemudian, “Tetapi baiklah. Aku akan menjadi saksi yang baik. Bukan waktunya untuk mengenang masa laluku sendiri sekarang.”

“Terima kasih,” desis Agung Sedayu. Lalu katanya kepada Wacana dan Sabungsari, “Bersiaplah. Kita akan mulai.”

Demikianlah, maka ketika matahari terbit, keduanya pun segera mempersiapkan diri. Fajar memang sudah lewat. Tetapi waktu memang masih cukup panjang. Bahkan seandainya tidak cukup sehari, maka perang tanding itu dapat berlangsung sehari semalam, atau dua atau tiga hari sekalipun.

Wacana dan Sabungsari telah berdiri berhadapan. Sejenak kemudian mereka mulai bergeser selangkah-selangkah. Karena masing-masing sama sekali belum mengetahui tingkat kemampuan lawan mereka, maka mereka pun nampak berhati-hati. Agung Sedayu dan Ki Jayaraga memang menjadi berdebar-debar. Mereka menyadari bahwa keduanya memiliki ilmu yang tinggi, sehingga keduanya nampak sangat yakin akan dirinya.

Setelah bergeser beberapa langkah, maka Wacana pun mulai menyerang. Meskipun hanya sekedar untuk memancing lawan, namun ayunan tangannya telah menggetarkan udara di sekitarnya.

Sabungsari bergeser melangkah surut. Sentuhan getaran udara itu semakin mengingatkannya, bahwa ia tidak boleh tergesa-gesa.

Dengan langkah-langkah pendek, keduanya memang mulai saling menyerang. Ketika kaki Wacana terjulur, Sabungsari bergeser ke samping. Tangannya terayun mendatar mengarah lambung. Namun Wacana dengan cepat menggeliat sekaligus memutar tubuhnya bertumpu pada satu kakinya, sedang kakinya yang lain terayun menyambar ke arah kening. Sabungsari melihat kesempatan yang terbuka. Sambil menjatuhkan dirinya ia menyapu kaki Wacana yang menahan berat tubuhnya, dengan cepat sekali. Wacana memang tidak sempat mengelak. Dibiarkannya kakinya di sambar kaki Sabungsari. Tetapi Wacana yang terjatuh justru berguling sekali menjauh. Dengan cepat ia telah melenting berdiri dan siap untuk menghadapi segala kemungkinan, hampir berbareng dengan Sabungsari yang telah bangkit pula.

Demikianlah, semakin lama perang tanding itu menjadi semakin cepat. Keduanya semakin meningkatkan kemampuan mereka selapis demi selapis.

Agung Sedayu dan Ki Jayarga menyaksikan perang tanding itu dengan dada yang berdebar-debar. Keduanya mampu meningkatkan kemampuan mereka sejalan dengan tataran ilmu mereka, sehingga sama sekali masih belum diketahui, siapakah di antara mereka yang terbaik. Keduanya telah saling menyerang dan saling menangkis serangan-serangan, yang kadang-kadang harus membenturkan kekuatan.

Kaki kedua orang yang berperang tanding itu berloncatan di atas tanah berpadas di atas bukit. Sekali-sekali mereka melenting tinggi. Namun keduanya kemudian menyerang dengan tangannya yang menyambar. Seakan-akan dua ekor alap-alap sedang berlaga di udara. Tangan-tangan mereka yang kadang-kadang telentang seperti sayap-sayap yang kukuh. Sementara kaki-kaki mereka dengan garangnya menyambar ke sasaran yang lemah di tubuh lawan.

Di langit matahari merangkak semakin tinggi. Sinarnya mulai terasa mulai memanasi tubuh. Keringat mulai mengalir di tubuh mereka yang sedang bertempur itu. Meskipun demikian tenaga mereka masih tetap utuh dan segar.

Wacana memang sudah mendengar tentang kelebihan Sabungsari. Apalagi dari Raras yang mengaguminya saat Sabungsari itu melindunginya di dekat susukan Kali Opak. Bahkan seorang Tumenggung Wreda pun tidak mampu menembus dinding pertahanannya. Dengan perang tanding itu Wacana dapat langsung mengetahui, bahwa sebenarnyalah Sabungsari adalah seorang yang berilmu tinggi.

Sebaliknya, Sabungsari pun setelah menjajagi kemampuan Wacana harus mengakui, bahwa Wacana adalah seorang yang mempunyai kekuatan yang sangat bersar dan ketrampilan olah kanurangan yang tinggi. Anak muda itu mampu bergerak dengan cepat dan kadang-kadang tidak terduga.

Dalam pada itu, Ki Jayaraga yang mengikuti perang tanding itu semakin lama menjadi semakin lama menjadi semakin berdebar-debar. Beberapa lapis mereka meningkatkan kemampuan mereka, namun keduanya masih mampu saling mengimbangi. Jika mereka meningkatkan semakin tinggi, maka akhirnya mereka akan sampai ke puncak kemampuan mereka. Jika demikian, maka sulit bagi keduanya untuk tetap mengekang diri.

Sebenarnyalah kedua anak muda itu semakin lama menjadi semakin meningkatkan ilmu mereka. Benturan-benturan yang keras mulai terjadi. Sekali-sekali Wacana-lah yang terdesak surut. Namun pada kesempatan lain, Sabungsari-lah yang terdorong mundur.

Agung Sedayu pun semakin lama menjadi semakin tegang. Sebagai seorang yang berilmu sangat tinggi, Agung Sedayu menjadi cemas atas perang tanding yang mencapai tataran ilmu yang semakin tinggi itu. Wacana memang memiliki kekuatan yang sangat besar. Tetapi Sabungsari juga seorang yang mumpuni.

Dengan demikian maka perang tanding itu memang tidak segera selesai. Ketika matahari mendekati sampai ke puncak, maka keduanya masih bertempur dengan sengitnya. Desak-mendesak, serang-menyerang. Keduanya masih belum menunjukkan bahwa tenaga dan kemampuan mereka mulai menyusut.

Ketika kamudian matahari mulai bergerak turun, Wacana tampak mulai gelisah. Ia masih belum melihat tanda-tanda bahwa ia akan dapat memaksa Sabungsari mengakui kekalahannya, dan untuk selanjutnya tidak akan mendekati Raras. Ketika benturan-benturan kekuatan terjadi, maka Wacana masih merasakan betapa kekuatan Sabungsari masih utuh sebagaimana mereka memulai dengan pertempuran itu.

Berbeda dengan Wacana, maka ternyata Sabungsari yang merasa tidak menyulut api perang tanding itu masih saja bertempur dengan wajar. Ia tidak digelisahkan oleh beban apapun juga dalam dirinya. Meskipun ketika ia memasuki arena perang tanding itu ia merasa direndahkan oleh Wacana dengan tantangannya yang menyinggung perasaan, namun Sabungsari yang semakin mengenali kemampuan Wacana tidak terlalu didorong perasaannya untuk segera memenangkan perang tanding itu. Seandainya ia lebih banyak bertahan dan memelihara ketahanan wadag dan jiwanya untuk dipergunakan di saat-saat terakhir, rasa-rasanya itu sudah cukup. Yang penting baginya, ia tidak dapat dikalahkan oleh Wacana, cepat atau lambat.

Tetapi Wacana ternyata dapat membaca isi dada Sabungsari itu. Maka ia berusaha untuk memaksa Sabungsari untuk bertempur dengan mengerahkan kemampuannya.

Dengan gejolak di dalam jantungnya, maka Wacana semakin meningkatkan kemampuannya. Tataran demi tataran telah dipanjatnya, sehingga Wacana pun hampir sampai pada tataran akhir dari kemampuannya. Gerakannya menjadi semakin cepat. Tenaganya tidak semakin menyusut, tetapi justru menjadi semakin meningkat, sejalan dengan peningkatan tenaga dalam yang diungkapkannya dalam perang tanding itu.

Dengan demikian maka Sabungsari memang terpaksa mengerahkan kemampuannya pula. Ia tidak dapat membiarkan dirinya semakin terdesak, sementara ia masih memiliki kemampuan untuk melawannya, bahkan mengatasinya.

Karena itu maka pertempuran itu menjadi semakin sengit. Benturan-benturan menjadi semakin kuat. Serangan-serangan dari kedua belah pihak yang menembus pertahanan lawannya pun menjadi semakin sering.

Pertempuran yang semakin sengit itu memang telah menghisap tenaga kedua belah pihak. Keringat semakin deras terperas dari tubuh keduanya, sehingga pakaian mereka menjadi basah, seakan-akan mereka sedang bertempur di dalam air. Pada kulit tubuh mereka terasa nyeri dan sakit yang menggigit karena serangan-serangan lawan yang mampu menembus pertahanan masing-masing.

Namun bagaimanapun juga Wacana masih belum dapat menundukkan Sabungsari. Sabungsari masih saja bertempur mengimbangi tataran kemampuan Wacana yang semakin meningkat itu.

Kegelisahan Wacana menjadi semakin nampak. Juga pada tata geraknya. Serangan-serangannya memang menjadi semakin cepat. Tetapi sasarannya menjadi kurang mapan.

Sabungsari melihat kegelisahan itu. Namun Sabungsari yang mempunyai pengalaman yang luas itu justru menjadi semakin berhati-hati. Ada dua kemungkinan yang dihadapinya. Jika Wacana kemudian sampai pada puncak kemampuannya maka ia akan dapat mengakui kekalahannya, atau justru anak muda yang sedang terseret arus perasaannya itu akan melepaskan ilmu andalan yang dimilikinya.

Ternyata bukan hanya Sabungsari saja-lah yang kemudian menjadi semakin tegang menghadapi Wacana. Agung Sedayu dan Ki Jayaraga pun berpendapat demikian. Dalam keadaan yang kalut itu, maka Wacana akan dapat kehilangan kendali, meskipun agaknya Sabungsari justru mampu menguasai perasaannya, betapapun ia mulai tersinggung oleh sikap Wacana.

Namun sementara itu keduanya masih bertempur dengan serunya.

Wacana benar-benar telah mengerahkan kekuatan dan kemampuannya. Bahkan kemudian tenaga dalamnya pun telah diungkapkannya dalam pertempuran yang semakin sengit.

Sabungsari memang harus mengimbanginya. Serangan-serangan Wacana menjadi semakin keras dan kuat. Ketika Sabungsari gagal menghindari serangan Wacana yang kuat sehingga serangan Wacana mengenai lambungnya, maka Sabungsari telah terdorong beberapa langkah. Hampir saja ia kehilangan keseimbangan. Namun Sabungsari menjatuhkan dirinya dan berguling beberapa kali ketika Wacana memburunya. Namun kemudian dengan cepat ia melenting berdiri. Hampir saja kakinya menginjak bibir tebing bukit, yang dapat menyeretnya bergulung ke dalam jurang. Namun Sabungsari cepat bergeser. Ketika Wacana memburunya, justru Sabungsari-lah yang meloncat menyerang. Karena itu, maka iapun segera menyilangkan tangannya di depan dadanya.

Ternyata serangan Sabungsari demikian kuatnya. Ketika kakinya membentur kedua tangan Wacana yang bersilang, maka Wacana itu pun terguncang. Tetapi sambil melangkah surut melangkah, Wacana pun segera bersiap. Sebelah kakinya agak ke depan dan ditekuknya pada lututnya. Sedikit agak memiringkan tubuhnya, Wacana siap menerima serangan Sabungsari berikutnya.

Sabungsari memang tidak langsung menyerang. Tetapi ia bergeser ke samping memperhitungkan arah. Namun Wacana-lah yang menyerangnya dengan cepat. Tubuhnya berputar sedangkan kakinya terayun mendatar.

Sabungsari memang tidak mengelak. Ia membentur serangan itu dengan kedua tangannya yang merapat. Kakinya merenggang. Dibebankannya berat badannya sedikit ke depan.

Benturan yang terjadi memang keras. Sabungsari bergeser setapak mundur, sementara Wacana pun terguncang sesaat. Namun Wacana dengan cepat berdiri tegak. Tetapi ternyata Sabungsari bergerak lebih cepat. Kakinya melangkah panjang ke depan. Sebelah tangannya menjulur lurus ke depan dengan kelima jari-jarinya yang terbuka merapat. Ujung jari-jarinya itu dengan kuat telah menekan lambung Wacana.

Terdengar Wacana mengaduh tertahan. Sementara itu, Sabungsari telah melangkah semakin dekat. Ketika Wacana sedikit terbungkuk oleh serangan jari-jari tangannya, maka dengan cepat Sabungsari menghantam kening Wacana dengan punggung tangannya yang mengepal. Demikian kerasnya sehingga Wacana tergeser beberapa langkah ke samping. Namun ketika Sabungsari memburunya, Wacana meloncat dengan cepat mengambil jarak. Sabungsari tertegun sejenak. Ternyata Wacana mempergunakan kesempatan itu sebaik-baiknya untuk menyerang, meskipun dengan tergesa-gesa.

Sabungsari memang tidak menduga. Serangan Wacana datang begitu cepat seperti anak panah yang meluncur dari busurnya. Demikian deras dan kuatnya serangan itu, sehingga tubuh Wacana seakan-akan merupakan sepotong galah yang meluncur. Kedua kakinya yang menyambar mengarah ke dada Sabungsari.

Tidak ada kesempatan untuk mengelak. Yang dilakukan Sabungsari kemudian adalah mengerahkan kekuatannya dengan dukungan tenaga dalamnya, yang sudah terbuka tanpa hambatan di dalam dirinya, pada kedua tangannya yang melindungi dadanya membentur serangan Wacana, yang dikerahkannya dengan segenap kekuatannya.

Satu benturan yang sangat keras telah terjadi. Dorongan serangan Wacana benar-benar telah mengguncang pertahanan Sabungsari, sehingga beberapa langkah ia terdorong surut. Bahkan hampir saja Sabungsari kehilangan keseimbangannya. Namun meskipun terhuyung-huyung sesaat, Sabungsari masih mampu bertahan. Dengan cepat iapun telah tegak kembali untuk menghadapi segala kemungkinan.

Sementara itu, kedua kaki Wacana yang merapat seakan-akan telah membentur bukit karang. Betapa sakit terasa menggigit tulang dan lututnya. Bahkan Wacana telah terpental surut dan jatuh terbanting di tanah, di dataran yang berbatu padas di antara bukit-bukit kecil itu.

Wacana berguling beberapa kali untuk mengambil jarak. Namun kemudian dengan tangkasnya iapun lelah meloncat bangkit berdiri. Tetapi demikian ia tegak, maka perasaan sakit pada tulang-tulangnya seakan-akan telah mematahkan perlawanannya.

Wacana menggeram menahan kemarahan yang menyala di dadanya. Dipandanginya Sabungsari yang masih berdiri tegak. Bahkan melihat keadaan Wacana, maka justru Sabungsari menjadi semakin tenang. Menurut perhitungannya, maka ia akan mampu bertahan untuk tidak dikalahkan oleh Wacana, meskipun Sabungsari itu merasa bahwa tenaganya memang mulai menyusut. Tetapi iapun melihat bahwa keadaan Wacana agak lebih buruk daripada keadaannya.

Tetapi Sabungsari masih tetap berhati-hati. Ia masih belum membayangkan apa yang akan dilakukan oleh Wacana. Menilik sikapnya yang keras, maka ia tidak akan terlalu mudah untuk menyerah.

Dalam pada itu, maka Wacana merasa bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan Sabungsari dengan tataran kemampuannya. Tetapi ia yang sudah menyulut perang tanding itu, tidak akan menyerah. Wacana sudah siap menghadapi keadaan yang paling buruk sekalipun dalam perang tanding itu. Iapun merasa seandainya ia membuat lawannya terluka bahkan parah atau bahkan terbunuh, ia tidak dapat dipersalahkan.

Karena itu, maka apa yang dicemaskan Sabungsari itu pun terjadi. Wacana agaknya tidak mau begitu cepat mengakui kekalahannya setelah ia berhasil memaksa Sabungsari untuk berperang tanding.

Karena itu, ketika ia merasa bahwa dengan tingkat kemampuan di tataran tertingginya tidak mampu mengatasi lawannya, maka Wacana telah merambah ke ilmu andalannya.

Sabungsari menjadi berdebar-debar ketika ia melihat Wacana berdiri tegak sambil menakupkan kedua telapak tangannya di depan dadanya. Ia melihat tangan Wacana itu mulai berasap tipis.

Agung Sedayu dan Ki Jayaraga juga melihat asap tipis itu. Karena itu, maka Agung Sedayu pun dengan serta merta berusaha mencegahnya. Dengan serta merta Agung Sedayu berkata, “Wacana. Jangan.”

Tetapi Wacana yang sudah dibakar oleh api yang menyala di dadanya justru membentak, “Kau hanya berhak menyaksikan pertandingan ini! Kecuali jika Sabungsari menyerah.”

Sekali lagi Sabungsari merasa tersinggung. Hampir saja ia kehilangan kendali dan menyerang Wacana dengan ilmu pamungkasnya. Untunglah di tempat itu ada Agung Sedayu, yang mengingatkan apa yang pernah dilakukan Agung Sedayu pada waktu itu. Waktu yang telah lama berlalu. Yang telah membuka mata hatinya untuk meninggalkan dunianya yang hitam dan memasuki kehidupan wajar. Agung Sedayu pada waktu itu dengan mudah dapat mengatasi ilmunya yang mempunyai kesamaan ungkapan dengan ilmu Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu tidak mau langsung melakukannya atas dirinya. Seandainya hal itu dilakukannya, maka umur Sabungsari tentu akan terpenggal sampai saat itu. Tetapi Agung Sedayu tidak melakukannya.

Hal itulah yang agaknya mampu mengendalikan gejolak perasaannya. Meskipun demikian, ketika ia melihat Wacana yang bediri di depan dinding padas tebing bukit kecil yang membatasi arena perang tanding itu, maka Sabungsari pun dengan cepat telah mengerahkan nalar budinya. Dikerahkannya segenap kekuatan dan kemampuan ilmunya. Apalagi setelah segala macam hambatan di dalam dirinya telah berhasil disingkirkannya.

Sementara itu, Wacana pun telah siap pula untuk melontarkan ilmu andalannya pula. Tangannya yang berasap tipis itu telah menjadi kemerah-merahan. Telapak tangannya seakan-akan telah menjadi bara.

Sabungsari menyadari jika tangan itu menyentuh tubuhnya, maka tubuhnya akan menjadi hangus karenanya, setidak-tidaknya seluas sentuhan telapak tangan yang telah membara itu. Karena itu, maka Sabungsari tidak mau didahului oleh serangan Wacana yang sangat berbahaya itu. Sebagai seorang yang juga berilmu tinggi dengan taruhan harga diri dan namanya, Sabungsari juga tidak mau dianggap kalah dalam perang tanding itu.

Karena itu, maka Sabungsari pun telah siap untuk melepaskan ilmunya. Serangan yang dipancarkan lewat sorot matanya.

Agung Sedayu dan Ki Jayaraga benar-benar menjadi tegang. Sebagai seorang yang berilmu tinggi, pada saat terakhir mereka melihat perbandingan ilmu kedua orang itu. Betapapun tinggi ilmu Wacana, tetapi ia tidak akan dapat bertahan atas serangan Sabungsari dengan ilmu pamungkasnya, setelah ia bebas dari segala hambatan di dalam dirinya. Jika serangan kekuatan ilmu Sabungsari itu benar-benar diluncurkan itu lewat sorot kedua matanya dan mengenai Wacana, maka Wacana tentu akan dihancurkan tanpa ampun.

Sementara itu, agaknya Wacana tidak menyadari akan bahaya yang mengancamnya. Ia sama sekali tidak berniat untuk meloncat mengelakkan serangan Sabungsari, atau mungkin Wacana memang tidak menyadari bahwa dari kedua mata Sabungsari itu akan meluncur serangan yang akan dapat menghancurkan isi dadanya.

Bahkan Wacana itu telah bersiap untuk meloncat menyerang Sabungsari dengan telapak tangannya yang telah membara.

Sebenarnyalah bahwa Sabungsari telah siap melepaskan serangannya. Agung Sedayu dan Ki Jayaraga tahu pasti, bahwa saat yang paling menegangkan itu akan segera meledak oleh serangan Sabungsari yang meluncur lewat kedua matanya.

Namun yang terjadi adalah di luar dugaan Agung Sedayu dan Ki Jayaraga. Ternyata ingatan Sabungsari atas kekalahannya dari Agung Sedayu tanpa mencederainya, telah mendorong Sabungsari untuk melakukan hal yang sama. Justru pada saat terakhir, Sabungsari telah berkisar dari sasaranya. Matanya tidak tertuju pada Wacana lagi, tetapi tertuju pada sebongkah batu karang yang melekat di tebing bukit di belakang Wacana, agak ke samping.

Dengan segenap kekuatan, kemampuan serta ilmu yang jarang ada tandingannya itu, apalagi setelah segala macam hambatan dalam dirinya telah terbuka, maka Sabungsari telah meluncurkan seranganya lewat sorot matanya menghantam batu karang yang melekat pada dinding tebing bukit kecil.

Seakan-akan sebuah ledakan telah terjadi. Batu karang itu pecah dan kepingannya pun rontok berhamburan.

Wacana yang sudah siap meloncat untuk menyerang Sabungsari dengan ilmunya yang dianggapnya akan dapat menyelesaikan perang tanding itu dengan memaksakan kemenangan, terkejut bukan buatan. Ia melihat seleret sinar meluncur dari sepasang mata Sabungsari. Kemudian disusul dengan ledakan, dan tebing itu seakan-akan telah runtuh.

Sesaat Wacana telah temangu-mangu. Yang terjadi itu bagaikan sebuah mimpi yang dahsyat. Seandainya seleret sinar itu menyambar tubuhnya, maka tubuhnya itulah yang akan hancur seperti batu karang itu. Daya tahan tubuhnya tidak akan mampu melawan ilmu yang demikian menggetarkan jantungnya itu.

Agung Sedayu dan Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Ketegangan yang mencekam dada mereka tiba-tiba bagaikan telah diurai dan menjadi cair, sehingga mereka pun menjadi berlega hati. Sabungsari yang tesinggung oleh sikap Wacana itu ternyata masih mampu menahan diri.

Sementara itu, Sabungsari sendiri berdiri tegak dengan kaki renggang. Kedua tangannya tergantung di sisi tubuhnya. Bagaimanapun juga ia masih bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan.

Dalam pada itu, Wacana berdiri termangu-mangu memandang Sabungsari, Agung Sedayu dan Ki Jayaraga berganti-ganti. Terasa jantungnya berdegup semakin keras. Bahkan kakinya terasa bergetar. Ia benar-benar terkejut melihat serangan Sabungsari yang sengaja diarahkan pada sebongkah batu karang yang ada di tebing bukit kecil itu.

Namun tiba-tiba Wacana itu mengangguk dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berkata, “Aku mengaku kalah. Ternyata kau benar-benar seorang yang berilmu sangat tinggi.”

Sabungsari yang masih siap sepenuhnya itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Agung Sedayu dan Ki Jayaraga melangkah mendekati mereka yang berperang tanding itu.

“Bukankah dengan demikian berarti bahwa perang tanding ini sudah berakhir?“ bertanya Agung Sedayu.

“Ya,“ jawab Wacana dengan suara lirih, “aku sudah menyatakan diriku kalah. Apapun yang aku lakukan kemudian, aku tidak akan dapat menang.”

“Baiklah,“ berkata Agung Sedayu, “aku menjadi saksi dari perang tanding ini. Aku dan Ki Jayaraga telah melihat hasilnya, dan kami berdua akan selalu memberi kesaksian sebagaimana yang telah terjadi.”

“Ya,“ jawab Wacana, “aku tidak akan ingkar. Aku mengakui kekalahan dan akan menepati perjanjian yang telah kita buat.”

“Bagaimana menurut pendapatmu Sabungsari?” bertanya Agung Sedayu.

“Jika Wacana sudah menganggap bahwa perang tanding ini selesai, aku hanya dapat mengiyakannya,“ jawab Sabungsari.

Bahkan Wacana pun kemudian berkata, “Aku menerima kekalahan ini dengan mengucapkan terima kasih. Ternyata selama ini aku benar-benar tidak tahu diri. Seandainya serangan Sabungsari itu diarahkan kepadaku, maka yang akan meninggalkan bukit ini hanyalah tinggal namaku saja.”

Agung Sedayu menepuk bahu Wacana sambil berkata, “Ternyata kau cukup jantan untuk mengakui kekalahanmu.”

Wacana menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Bukan soal jantan. Tetapi aku tidak dapat mengingkari kenyataan ini. Aku memang kalah.”

“Pengakuan itulah yang aku maksudkan,“ berkata Agung Sedayu, “karena jarang sekali orang mengakui kekurangannya. Hanya mereka yang berjiwa besar saja-lah yang dengan ikhlas mau mengakui kekurangannya. Termasuk kekalahan.”

Wacana mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia berdesis, “Aku juga berterima kasih kepadamu, bahwa kau memandangku dari segi yang baik. Karena orang lain justru akan mengatakan bahwa aku adalah seorang pengecut. Seorang laki-laki jantan akan menyelesaikan perang tanding sampai akhir hayatnya.”

“Yang terbaik adalah mereka yang memegang janji dalam perang tanding. Bukankah kalian tidak menyatakan bahwa perang tanding akan diakhiri dengan kematian? Bukankah kalian hanya ingin mengetahui siapakah di antara kalian yang menang dan yang kalah? Dan hal itu sudah kalian lakukan, sehingga segala sesuatunya telah terjadi,“ berkata Agung Sedayu pula.

Wacana mengangguk-angguk pula. Namun kemudian iapun berkata, “Aku akan melengkapi kekalahanku dengan minta maaf kepadamu, Sabungsari. Aku menyadari tergesa-gesaanku.”

“Tidak ada yang salah di antara kita,” berkata Sabungsari.

“Tentu ada,” jawab Wacana, “dan untuk selanjutnya aku tidak akan mengganggu hubunganmu dengan Raras. Meskipun aku akan tetap menjaganya sebagai kakak sepupunya. Aku tahu bahwa hal ini akan dapat membuat hatiku pedih. Tetapi lambat laun kau akan dapat mengatasinya.”

“Kau memang tidak harus memisahkan diri secara mutlak dengan Raras,“ berkata Agung Sedayu pula.

Wacana mengangguk lagi. Dengan wajah menunduk ia berkata, “Kesalahanku yang lain, bahwa semula aku tidak merenungkan dalam-dalam.”

“Sudahlah,” berkata Agung Sedayu, “kita akan kembali. Glagah Putih tentu sudah menjadi gelisah. Siapapun yang menang dan yang kalah, perang tanding ini membuatnya gelisah. Sementara itu, peristiwa semalam perlu mendapat perhatian kita pula.”

Ki Jayaraga yang sejak semula lebih banyak berdiam diri berkata, “Kita lupakan saja peristiwa yang telah menimbulkan perselisiahan, sehingga harus diselesaikan dalam perang tanding ini. Kita harus memikirkan kehadiran orang asing di rumah kita.”

“Ya,” jawab Agung Sedayu. “Kita sudah cukup lama berada di sini. Marilah, kita akan pulang. Seperti dikatakan Ki Jayaraga, kita akan melupakannya.”

“Aku akan melupakannya, kecauli janji yang sudah kami buat bersama Sabungsari,“ berkata Wacana kemudian.

Tetapi Sabungsari segera menyahut, “Aku tidak peduli akan janji itu. Apakah yang kita lakukan di sini berpengaruh terhadap perasaan Raras terhadap kita, dan juga Raden Teja Prabawa? Jika kita memaksakan hasil perang tanding ini kepadanya, bukankan sama saja bahwa hal itu merupakan pemerkosaan terhadap perasaan gadis itu? Apalagi jika hasilnya bertentangan dengan keinginannya. Jika Raras itu membenciku, apakah kemenanganku akan merubah perasaannya terhadapku? Karena itu segala sesuatunya biarlah Raras yang memutuskan. Jika ia memutuskan untuk kembali kepada Raden Teja Prabawa, biarlah ia kembali. Jika ia kemudian ternyata mencintai Wacana, biarlah cintanya tidak terganggu oleh kehadiranku.”

Wacana menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa semakin kecil di hadapan Sabungsari. Dengan nada rendah dan hampir tidak terdengar Wacana berkata, ”Sabungsari. Aku sendiri mendengar pengakuannya, bahwa ia tertarik kepadamu.”

“Aku setuju pendapatmu, bahwa Raras tertarik kepadaku karena perasaan berhutang budi, dan barangkali sedikit mengagumi aku karena aku telah melindunginya di dekat susukan Kali Opak. Tetapi perasaan kagum atau terima kasih itu tidak selalu menumbuhkan perasaan cinta yang sebenarnya. Karena itu, biarlah Raras menentukan apa yang akan dilakukannya, karena persoalannya adalah persoalan perasaannya. Kita adalah orang-orang yang bediri di luar dirinya, sehingga kita tidak akan dapat membuat ketentuan yang mendasar di hatinya. Apapun yang kita lakukan dengan perjanjian atau sumpah demi langit dan bumi sekalipun.”

Wacana merasa menjadi semakin kerdil. Pendirian dan sikapnya telah mencoreng arang di wajahnya sendiri, sehingga Wacana menjadi malu sekali terhadap dirinya. Tetapi semuanya sudah terjadi. Sehingga yang dapat dilakukannya kemudian adalah memperbaiki tingkah lakunya. Yang terjadi merupakan pengalaman yang sangat berharga baginya.

Demikianlah, maka mereka berempat pun segera bersiap-siap meninggalkan tempat itu. Tempat yang jarang sekali dikunjungi orang karena letaknya di antara bukit kecil, yang dilingkungi oleh hutan yang memanjat lereng dekat dengan perbatasan.

Matahari yang merangkak di langit telah bergulir di sisi barat. Tetapi sinarnya justru menyengat kulit. Ketika mereka bergeser dari tempat mereka, maka mereka telah menyusuri lereng pegunungan di sisi barat Tanah Perdikan Menoreh, menyusup di antara hutan-hutan pegunungan yang tidak terlalu lebat. Jalan yang mereka telusuri justru memanjat tebing untuk beberapa ratus patok, sebelum mereka menuruni jalan setapak ke pedukuhan kecil di kaki bukit itu.

Tetapi langkah mereka tertegun ketika mereka melihat asap yang mengepul di balik puncak perbukitan yang berderet membujur ke utara itu.

Agung Sedayu yang berjalan paling depan berdesis, “Apakah adi api di hutan di balik puncak bukit itu?”

“Ya,” sahut Ki Jayaraga, ”nampaknya memang demikian. Asap itu tentu berasal dari api.”

“Siapakah yang membuat api di hutan? Dalam teriknya panas seperti ini akan dapat menyebabkan kebakaran hutan di lereng perbukitan itu,” berkata Agung Sedayu pula.

“Apakah sebelah bukit itu masih termasuk lingkungan Tanah Perdikan Menoreh?“ bertanya Sabungsari.

“Ya,“ jawab Agung Sedayu, “masih ada beberapa puluh patok di bawah bukit itu termasuk Tanah Perdikan Menoreh.”

“Tetapi ketika aku dan Glagah Putih menjumpai kelompok orang yang menebangi hutan di bawah bukit di sisi barat, daerah itu sudah bukan daerah Tanah Perdikan lagi.”

“Daerah Kademangan Kleringan maksudmu?“ bertanya Agung Sedayu.

“Ya. Daerah Kademangan Kleringan,“ jawab Sabungsari.

“Di beberapa bagian di sebelah barat bukit memang sudah bukan daerah Tanah Perdikan lagi. Daerah Kademangan Kleringan memang ada yang menjorok sampai ke kaki bukit. Tetapi tidak di bawah kaki bukit ini. Bahkan di kaki bukit sebelah barat dari Gunung Waras itu sudah termasuk Kademangan yang lain lagi. Kademangan Waja,“ jawab Agung Sedayu.

“Jika di sisi barat bukit ini masih termasuk Tanah Perdikan, bukankah ada baiknya jika kita melihat siapa yang telah membuat api di hutan lereng bukit itu? Atau jika terjadi kebakaran dedaunan kering karena panasnya matahari, selagi belum menjadi semakin besar,” berkata Ki Jayaraga.

“Marilah,“ jawab Agung Sedayu.

Namun Sabungsari memperingatkan, “Beberapa saat yang lalu, ada sekelompok orang-orang yang nampaknya pendatang, menebangi pepohonan di kaki perbukitan. Waktu itu mereka sudah berjanji untuk menghubungi Ki Demang Kleringan. Tetapi tidak mustahil bahwa mereka telah melanggar janji itu.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Kita memang harus berhati-hati. Mungkin terjadi sesuatu yang tidak kita kehendaki di kaki bukit itu.”

Ki Jayaraga-lah yang kemudian berkata, “Orang-orang yang ingin mengambil Sekar Mirah dan Rara Wulan ketika mereka pergi ke pasar bersamaku itu mengatakan, mereka akan membawa kedua perempuan itu ke tempat yang tidak akan dapat diketahui oleh keluarga mereka.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Tetapi pada dasarnya kita harus hati-hati. Memang banyak kemungkinan dapat terjadi. Tetapi mungkin juga beberapa orang pencari kayu yang tidak berhati-hati membuat perapian.”

Demikianlah, mereka berempat dengan hati-hati justru memanjat bukit semakin tinggi. Ketika mereka melewati puncaknya, maka mereka menjadi semakin berhati-hati. Di sela-sela pepohonan hutan puncak bukit itu, mereka bergeser ke arah asap api yang mengepul.

Keempat orang itu terkejut. Mereka melihat sebuah perkemahan di lereng bukit itu. Gubug-gubug kecil berserakan di antara pepohonan. Berbeda dengan yang telah dilihat oleh Sabungsari dan Glagah Putih, orang-orang yang agaknya tinggal di perkemahan itu tidak menebangi pepohonan yang ada di sekitar perkemahan.

“Siapakah mereka?” desis Agung Sedayu yang masih berada di tempat yang agak tinggi.

“Sekelompok orang yang jumlahnya cukup banyak,” desis Ki Jayaraga.

“Tentu bukan orang-orang yang kehilangan tempat tinggalnya karena tanah longsor dan banjir itu,“ berkata Agung Sedayu.

“Ya, agaknya memang bukan,“ jawab Sabungsari, “mereka tidak membuat perkemahan seperti itu. Mereka ingin membuka tempat penghunian dengan menebangi pepohonan bahkan di lereng bukit.”

“Kita akan mendekat,“ berkata Sabungsari.

“Jangan sekarang,“ berkata Agung Sedayu, “melihat perkemahan yang mereka dirikan, jumlah mereka tentu cukup banyak.”

“Kita hanya akan melihat saja. Kita tidak akan mengambil tindakan apa-apa,“ berkata Sabungsari kemudian.

Agung Sedayu memandang Ki Jayaraga sejenak. Kemudian iapun berdesis, “Bagaimana jika kita melihat perkemahan itu tanpa mendekat?”

Ki Jayaraga mengangguk. Katanya, “Marilah. Setidaknya kita mempunyai sedikit gambaran tentang mereka.”

“Bagaimana pendapatmu Wacana?” bertanya Agung Sedayu pula.

“Aku setuju. Kita melihat meskipun tidak terlalu dekat,” jawab Wacana.

Demikianlah maka mereka berempat pun merayap dengan sangat berhati-hati menuruni tebing di sisi barat. Daerah itu tidak termasuk Kademangan Kleringan, karena masih ada di lingkungan Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi nampaknya perkemahan itu membujur memanjang di kaki bukit, sehingga ujung perkemahan itu dapat saja memasuki daerah Kademangan Kleringan.

Tetapi keempat orang itu tidak mengamati perkemahan itu terlalu dekat. Meskipun demikian, mereka sempat terkejut melihat beberapa orang yang berada di sekitar perkemahan itu.

“Nampaknya mereka orang-orang yang pernah aku temui bersama Glagah Putih,” berkata Sabungsari kemudian, “tetapi kini jumlahnya jauh lebih banyak.”

Ki Jayaraga bergeser selangkah maju. Sambil berjongkok di belakang pohon ia melihat beberapa orang melintas sambil memikul seekor babi hutan yang agaknya hasil buruan mereka. Melihat pakaian mereka yang sangat sederhana, agaknya mereka termasuk orang-orang yang masih hidup dalam lingkungan yang agak terbelakang.

“Sangat menarik untuk diamati,“ berkata Ki Jayaraga. “Tetapi kita tidak boleh tertipu oleh penglihatan kewadagan. Mungkin yang nampak adalah sekedar topeng untuk menutupi wajah mereka yang sebenarnya. Atau seandainya cara hidup mereka masih tertinggal satu dua langkah dari cara hidup kita, mungkin mereka tidak bergerak menurut kehendak mereka sendiri.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Kita memang harus berhati-hati. Tetapi bukan berarti kita tidak berbuat sesuatu. Malam nanti kita akan mencoba untuk melihat lebih dekat. Untuk sementara kita menghubungkan kehadiran mereka dengan orang-orang yang pernah berusaha membawa Sekar Mirah dan Rara Wulan. Juga dengan kehadiran Resi Belahan di Mataram.”

Demikianlah, maka keempat orang itu pun segera meninggalkan tempat itu. Mereka bergegas untuk mencapai padukuhan yang terdekat dan langsung menemui Ki Bekel di padukuhan itu.

Dengan singkat Agung Sedayu memberitahukan bahwa di sebelah perbukitan itu terdapat sebuah perkemahan dari orang-orang yang tidak dikenal. Nampaknya belum terlalu lama. Karena itu, padukuhan itu hendaknya berhati-hati. Mungkin orang-orang yang ada di perkemahan itu akan melintasi puncak bukit dan turun ke padukuhan itu untuk mencari makan, atau untuk hal-hal yang lain. Bahkan mungkin merampok.

“Jumlah mereka cukup banyak. Karena itu hubungi padukuhan-padukuhan terdekat, sehingga jika diperlukan kalian saling dapat membantu. Di padukuhan induk, kami juga akan menyiapkan pengawal Tanah Perdikan yang siap bergerak setiap saat.”

“Terima kasih atas pemberitahuan ini,” jawab Ki Bekel, “saat ini juga biarlah kami menghubungi padukuhan-padukuhan terdekat.”

“Tetapi ingat,” pesan Agung Sedayu, “jangan mendekati perkemahan itu. Jangan memancing persoalan dengan mereka, sebelum kita yakin apa yang sebenarnya kita hadapi.”

Ki Bekel pun mengangguk mengiakan. Katanya, “Kami akan berbuat sebaik-baiknya bagi keselamatan kita semua.”

Demikianlah, maka Agung Sedayu dan ketiga orang yang lain dengan cepat melintasi bulak dan padukuhan. Mereka ingin segera sampai di padukuhan induk dan memberikan laporan kepada Ki Gede tentang orang-orang di sebelah bukit itu. Namun mereka pun ingin segera bertemu dengan Glagah Putih, Sekar Mirah dan Rara Wulan, yang tentu menjadi sangat gelisah menunggu kedatangan mereka yang sedang berperang tanding serta saksi-saksinya.

Sebenarnyalah ketika mereka memasuki regol halaman rumahnya, maka mereka melihat Glagah Putih, Sekar Mirah dan Rara Wulan duduk di pendapa. Agaknya mereka menjadi tegang menunggu mereka yang berperang tanding itu pulang.

Demikian mereka melihat keempat orang itu masih utuh memasuki regol, maka dengan serta merta mereka segera bangkit dan turun ke halaman.

Glagah Putih yang berjalan paling depan menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat Agung Sedayu tersenyum. Kesan yang nampak pada senyum Agung Sedayu sudah sedikit mengurangi ketegangan perasaan Glagah Putih, Sekar Mirah dan Rara Wulan.

Apalagi ketika ia melihat Ki Jayaraga, bahkan Sabungsari juga tersenum, sementara Wacana ternyata hanya dapat menunduk dalam-dalam.

“Apa yang terjadi?” bertanya Glagah Putih.

“Marilah, duduklah. Kalian tidak perlu menjadi gelisah,“ berkata Agung Sedayu.

Sejenak kemudian maka mereka pun telah duduk bersama-sama di pendapa. Dengan singkat Agung Sedayu menceritakan apa yang sudah terjadi di tempat yang diapit oleh dua buah bukit kecil.

“Jadi kalian pergi ke Bukit Talang?” bertanya Glagah Putih.

“Ya,” jawab Agung Sedayu.

“Syukurlah bahwa semuanya sudah dapat dilalui dengan baik,“ desis Sekar Mirah, “jantung kami bagaikan hampir meledak menunggu kalian pulang.”

“Aku mohon maaf Mbokayu,” berkata Wacana sambil menunduk, “aku memang tidak tahu diri. Aku kira aku adalah orang yang memiliki ilmu terbaik di muka bumi. Setidak-tidaknya di Mataram. Tetapi ternyata jiwaku-lah yang sangat kecil. Untunglah bahwa Sabungsari adalah orang yang bijaksana dan sabar. Hatinya luas tidak bertepi.”

“Sudahlah,” sahut Sabungsari, “jangan memuji lagi.”

“Aku tidak bermaksud memuji. Tetapi apa yang harus aku katakan tentang kenyataan yang aku hadapi sekarang ini?” sahut Wacana.

Glagah Putih kemudian berdesis, ”Agaknya persoalan di antara Wacana dan Kakang Sabungsari telah dapat diselesaikan. Namun ternyata bahwa kita menghadapi persoalan baru yang cukup rumit.”

“Persoalan apa?” bertanya Agung Sedayu.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Sekar Mirah dan Rara Wulan. Dengan ragu-ragu ia berkata, “Biarlah Mbokayu Sekar Mirah saja-lah yang menyampaikannya.”

“Sudahlah,” sahut Sekar Mirah, “katakanlah.”

“Kakang,” berkata Glagah Putih, “tadi ada utusan Ki Gede kemari. Jika Kakang tidak pergi ke barak, Kakang dipanggil oleh Ki Gede.”

“O,“ wajah Agung Sedayu berkerut, “apa katamu ?”

“Aku katakan bahwa Kakang memang tidak pergi ke barak, tetapi Kakang sedang pergi untuk menyelesaikan satu masalah,” jawab Glagah Putih, “Tetapi aku tidak mengatakan masalah apa yang sedang Kakang selesaikan itu.”

“Apakah persoalan yang ingin disampaikan Ki Gede itu sangat penting?”

“Nampaknya memang demikian,“ jawab Glagah Putih, “menurut utusan Ki Gede, di rumah Ki Gede ada utusan dari Kademangan Kleringan.”

“Kademangan Kleringan?“ ulang Agung Sedayu.

“Ya,” jawab Glagah Putih, “agaknya utusan itu menunggu sampai Kakang datang.”

“Baiklah,” berkata Agung Sedayu, “Jika demikian biarlah aku pergi ke rumah Ki Gede bersama Glagah Putih.”

“Sebenarnyalah sejak tadi aku juga ingin pergi ke sana. Mbokayu Sekar Mirah pun telah menyetujui agar aku pergi. Tetapi aku selalu saja ragu-ragu, justru karana kedatangan orang yang tidak kita kenal semalam.”

“Baiklah. Marilah kita pergi,” berkata Agung Sedayu.

Tetapi Sekar Mirah menahan mereka sejenak. “Makan telah lama disiapkan.” Karena itu, maka mereka diminta untuk makan lebih dahulu.

Demikian mereka selesai makan, maka Agung Sedayu pun telah minta diri bersama Glagah Putih pergi ke rumah Ki Gede. Kepada Ki Jayaraga ia menitipkan seisi rumahnya. Bukan saja karena ada ancaman dari luar, tetapi nampaknya Agung Sedayu masih mencemaskan hubungan antara Sabungsari dan Wacana, meskipun ia percaya bahwa sikap Wacana adalah jujur, sementara Sabungsari sama sekali tidak ingin bermusuhan.

Kedatangan Agung Sedayu dan Glagah Putih di rumah Ki Gede ternyata memang ditunggu-tunggu. Utusan dari Kademangan Kleringan masih berada di rumah Ki Gede.

Setelah Agung Sedayu dan Glagah Putih duduk di antara mereka yang sudah lebih dahulu berada di pendapa, maka Ki Gede pun berkata langsung pada persoalannya, “Utusan dari Kademangan Kleringan ini akan memberitahukan kepada kita tentang kehadiran orang yang tidak dikenal di lingkungannya.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Apa yang akan disampaikan oleh utusan itu sudah diketahuinya. Namun demikian Agung Sedayu tidak memotongnya.

Setelah Ki Gede mempersilahkan, maka orang itu pun segera menceritakan kembali kedatangan beberapa kelompok orang yang telah membuat perkemahan di daerah Kademangan Kleringan, sebagaimana sudah dilaporkan kepada Ki Gede. Namun kemudian utusan Ki Demang itu berkata, “Tetapi perkemahan mereka ternyata telah menebar sampai ke wilayah Tanah Perdikan Menoreh. Mereka telah berkemah di sisi barat perbukitan.”

“Nah,” berkata Ki Gede setelah utusan selesai berbicara, “sudah tentu bahwa kita tidak dapat tinggal diam.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Ki Gede. Sebenarnyalah bahwa aku telah melihat mereka. Aku baru saja menyusuri perbukitan dari selatan ke utara. Orang-orang yang ada di perkemahan itu ujudnya mirip dengan orang-orang yang pernah datang lebih dahulu beberapa waktu yang lalu.”

“Ya,” jawab utusan itu, “penglihatanmu tepat. Orang-orang yang datang lebih dahulu itu telah menghadap Ki Demang. Jumlah mereka tidak telalu banyak, sehingga Ki Demang memang menempatkan mereka di hutan perdu. Setelah dibuat parit melintasi daerah itu dengan membendung sungai kecil yang membujur di pinggir padang perdu itu, ternyata tanahnya cukup baik untuk ditanami.”

“Apakah yang sekarang datang juga sudah menghubungi Ki Demang?” bertanya Agung Sedayu.

“Belum,” jawab utusan itu, “tetapi seandainya mereka menghubungi Ki Demang pun, Ki Demang tentu tidak akan dapat memberikan tempat kepada mereka.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Dengan nada dalam ia berkata, “Tetapi orang-orang yang datang sekarang tidak menebangi hutan di lereng bukit itu. Mereka hanya membuat gubug-gubug bambu beratap ilalang kering.”

“Ya, tepat,“ berkata utusan itu.

“Kita belum tahu apa maksud mereka berkemah di tempat itu,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “tetapi kita akan menyelidiki.”

“Terima kasih,“ berkata utusan Ki Demang, “Kami, Kademangan Kleringan yang tidak mempunyai kekuatan seperti yang ada di Tanah Perdikan ini akan menunggu, tindakan apa yang akan diambil oleh Tanah Perdikan ini.”

“Baiklah Ki Sanak,” berkata Agung Sedayu, “tetapi aku mohon agar Ki Demang di Kleringan berhati-hati menghadapi orang-orang itu. Nampaknya mereka tidak akan mematuhi semua paugeran. Mereka terbiasa hidup bebas menurut keinginan mereka sendiri.”

Utusan Ki Demang memang mengangguk-angguk sambil berkata, “Baiklah Ngger. Aku akan menyampaikan pesan Angger dan pesan Ki Gede yang tadi sudah diberikan kepada Ki Demang Kleringan.”

“Jika terjadi sesuatu, segera hubungi kami Ki Sanak,“ pesan Ki Gede Menoreh kemudian.

“Jangan berkecil hati,” berkata Agung Sedayu, “selain kesediaan Ki Gede Menoreh untuk bekerja sama, maka aku janjikan Pasukan Khusus Mataram yang ada di Tanah Perdikan ini akan membantu jika memang terjadi sesuatu.”

Demikianlah maka utusan itu pun segera minta diri untuk menyampaikan pesan Ki Gede dan Agung Sedayu kepada Ki Demang di Kleringan.

Sepeninggal utusan Ki Demang, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih masih tinggal beberapa lama di rumah Ki Gede. Mereka masih membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di Tanah Perdikan Menoreh. Prastawa yang hadir pula dalam pembicaraan itu telah mendapat perintah dari Ki Gede untuk mempersiapkan para pengawal menghadapi segala kemungkinan.

“Malam ini kami akan melihat lingkungan mereka,” kata Agung Sedayu, “besok kami akan menyampaikan hasil pengamatan kami kepada Ki Gede. Aku juga akan menyiapkan Pasukan Khusus itu, agar jika diperlukan setiap saat, kami dapat dengan cepat bergerak.”

“Terima kasih Ngger. Mudah-mudahan Tanah Perdikan ini tidak diguncang lagi dengan benturan kekerasan yang hanya akan mengganggu kehidupan yang tenang di Tanah Perdikan ini,“ berkata Ki Gede kemudian.

Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Namun di dalam hatinya telah tejadi pergolakan yang membuat degup jantungnya bergetar semakin cepat. Agung Sedayu seakan-akan merasa bersalah, bahwa ia telah menarik persoalan Resi Belahan ke Tanah Perdikan itu. Sehingga dengan demikian akan dapat timbul benturan kekerasan yang akan menelan korban jiwa orang-orang yang tidak bersalah sama sekali. Agung Sedayu tidak mengira bahwa Resi Belahan telah membawa kekuatan yang cukup besar untuk mengguncang ketenangan hidup di Tanah Perdikan. Dan itu dapat berarti isyarat buruk bagi penghuni Tanah Perdikan Menoreh.

Tetapi Agung Sedayu tidak dapat menarik kembali apa yang telah terjadi di Tanah Perdikan itu. Orang-orang yang diduga para pengikut Resi Belahan itu telah berada di Tanah Perdikan Menoreh dan di Kademangan Kleringan. Nampaknya mereka ingin membuat perhitungan sampai tuntas. Tetapi agaknya yang akan dilakukan itu juga dimaksudkan sebagai peringatan bagi Mataram.

Setelah berbincang beberapa lama, maka Agung Sedayu pun kemudian telah minta diri. Kepada Ki Gede ia berjanji untuk segera memberikan laporan tentang orang-orang yang berada di kaki sebelah barat perbukitan itu.

Tetapi di dalam hati Agung Sedayu berjanji, bahwa persoalan yang akan berkembang itu tidak akan menjadi malapetaka bagi Tanah Perdikan yang sudah terlalu sering dibakar oleh api peperangan. Kerusakan yang timbul di padukuhan induk oleh kelicikan Ki Manuhara rasanya baru saja kemarin diperbaiki. Namun agaknya mendung yang kelam telah membayang lagi di atas Tanah Perdiakan itu.

Ketika keduanya berada di rumah, maka mereka pun mulai membicarakan rencana mereka untuk mengintai perkemahan itu. Agung Sedayu pun kemudian memutuskan untuk pergi bersama Glagah Putih dan Sabungsari. Agung Sedayu minta Ki Jayaraga dan Wacana untuk berada di rumah dan melindungi seisi rumah itu jika terjadi sesuatu.

“Baiklah,“ berkata Ki Jayaraga, “aku akan menunggui rumah. Sebenarnya aku akan melihat air di sawah, malam nanti kita mendapat giliran air.”

“Biarlah kita minta tolong anak sebelah. Bukankan anak muda itu sudah sering juga membantu kita memelihara sawah kita?” sahut Agung Sedayu.

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Ia mengerti kenapa kita tidak dapat pergi ke sawah setiap kali.”

Dengan demikian maka Glagah Putih dan Sabungsari pun telah bersiap-siap. Malam nanti mereka akan ikut bersama Agung Sedayu melihat perkemahan orang-orang yang belum dikenal itu di seberang perbukitan.

Ketika saja turun, maka Agung Sedayu pun berkata kepada Glagah Putih dan Sabungsari, “Setelah makan, beristirahatlah sebaik-baiknya. Mungkin kita akan berada di bukit sampai fajar.”

“Kapan kita akan berangkat?” bertanya Glagah Putih.

“Wayah sepi wong,“ jawab Agung Sedayu.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia dan Sabungsari memang mendapat kesempatan untuk beristirahat setelah makan, dan berbaring di pembaringan sejenak. Tetapi karena mereka tidak terbiasa tidur di ujung malam, maka mereka justru lebih senang duduk di serambi sambil berbincang-bincang. Bahkan kemudian Rara Wulan telah menghidangkan minuman panas bagi mereka.

Seperti yang direncanakan maka setelah wayah sepi wong, maka Agung Sedayu, Glagah Putih dan Sabungsari pun segera berangkat. Sementara itu Ki Jayaraga dan Wacana berada di rumah bersama Sekar Mirah dan Rara Wulan. Wacana yang telah menyesali perbuatannya, telah berjanji untuk membantu dan berbuat apa saja bagi keluarga itu dan Tanah Perdikan.

Agung Sedayu dan kedua orang anak muda yang pergi bersamanya sengaja mengambil jalan yang tidak melewati padukuhan-padukuhan, apalagi setelah mereka mendekati perbukitan. Dengan cepat mereka memanjat lereng perbukitan, melintasi puncaknya, dan ketika mereka mulai menuruni tebing di sisi sebelah barat, maka mereka mulai berhati-hati.

Dari atas tebing mereka telah melihat sinar lampu minyak. Nampaknya orang-orang yang di perkemahan itu memang berusaha agar lampu-lampu di perkemahan tidak terlalu terang, sehingga nyalanya akan dapat dilihat dari jauh.

“Mereka berusaha menyembunyikan sinar lampu di gubug-gubug itu,” desis Sabungsari.

“Tetapi mereka membuat perapian di siang hari,“ berkata Agung Sedayu.

“Agaknya mereka tidak dapat menghindari mengepulnya asap, karena mereka harus memanggang binatang buruan yang mereka dapatkan. Mereka juga harus merebus air dan menanak nasi,” berkata Glagah Putih.

“Ya,“ desis Agung Sedayu sambil memandangi perkemahan itu. Ternyata ia melihat sesuatu yang menarik perhatiannya.

“Lihat agak ke utara,” berkata Agung Sedayu.

Perhatian mereka semula memang tertuju pada sekelompok gubug yang berada di sebuah lekukan lereng bukit. Ketika mereka memandang ke arah yang lain, maka mereka melihat pula sinar lampu yang temaram di sebuah kelompok gubug-gubug yang lain.

“Marilah, kita mendekati kelompok yang lain itu,“ ajak Agung Sedayu.

Ketiganya pun kemudian mendekati kelompok gubug-gubug yang lain. Bahkan mereka masih juga melihat kelompok-kelompok gubug yang lain lagi. Di siang hari mereka dapat melihat jelas, kelompok-kelompok gubug itu berderet justru memasuki daerah Kademangan Kleringan.

“Jumlahnya cukup banyak,“ desis Glagah Putih yang belum melihat perkemahan itu di siang hari.

“Ya. Karena itu, kita harus berhati-hati. Maksudku Tanah Perdikan Menoreh dan Kademangan Kleringan.”

Ketika mereka bertiga bergeser lebih ke utara, maka mereka pun melihat sesuatu yang menarik. Ketiganya yang merayap semakin dekat itu melihat beberapa orang yang meninggalkan satu tempat di antara gubug-gubug itu, berjalan perlahan-lahan.

Dengan cepat mereka telah berlindung di balik gerumbul-gerumbul liar di bawah pepohonan hutan. Malam yang pekat menjadi lebih pekat di dalam hutan, meskipun hutan itu tidak terlalu rapat sebagaimana hutan yang tidak berada di lereng berbatu padas dan mengandung kapur.

“Kenapa iblis itu tidak segera dibunuh saja,“ terdengar salah seorang dari mereka bergumam.

“Resi Belahan masih ingin menemuinya. Resi Belahan baru akan datang esok atau lusa,” sahut yang lain.

“Lusa orang itu sudah mati dengan sendirinya. Luka-lukanya menjadi semakin banyak. Anak-anak tidak dapat dikekang lagi,“ terdengar suara yang lain.

“Tetapi kita harus menjaga agar setan itu tetap hidup. Jika ia mati sebelum Resi Belahan menemuinya, maka kita semua akan dianggap bersalah. Dengan susah payah beberapa orang terbaik kita berusaha menangkapnya,“ terdengar jawaban.

Pembicaraan itu memang sangat menarik. Sementara itu yang lain berkata, “Apakah iblis itu tidak akan dapat melarikan diri dari tempatnya ?”

“Ia memang berilmu sangat tinggi. Tetapi ia tidak diikat dengan tali tampar, serabut atau ijuk. Tetapi iblis itu diikat dengan janget. Ia tidak akan dapat memutuskan janget yang dirangkap tiga itu. Bahkan seandainya ia memiliki Aji Guntur Geni sekalipun,“ terdengar jawaban.

“Bukankah penjagaannya cukup baik?“ terdengar seseorang bertanya.

“Ya. Dua orang mengawasinya terus-menerus. Sementara itu, Ki Tempuyung Putih ada di gubug di sebelahnya. Jika iblis itu berusaha melarikan diri, maka yang mengawasinya akan dapat memanggil Ki Tempuyung Putih.”

“Aku kurang yakin kepada Singa Larap dan Wirasandi. Mereka kadang-kadang kehilangan kewaspadaan,” berkata seorang di antara mereka.

“Tidak apa-apa. Janget itu tidak akan dapat putus.”

Namun Agung Sedayu dan kedua orang anak muda yang bersamanya itu tidak dapat mendengar pembicaraan mereka selanjutnya, karena mereka menjadi semakin jauh. Jika dikehendaki, Agung Sedayu dapat mengikuti pembicaraan itu dengan mengetrapkan ilmunya Sapta Pangrungu. Namun baginya persoalan yang terpenting telah dapat didengarnya.

“Ternyata mereka menyimpan seorang tawanan,“ desis Agung Sedayu kemudian.

“Ya,” sahut Sabungsari, “ditunggui oleh seorang yang berilmu tinggi yang bernama Ki Tempuyung Putih.”

“Kita akan mencoba untuk melihatnya,“ desis Agung Sedayu.

Bertiga mereka beringsut. Sementara Agung Sedayu berpesan agar mereka sangat berhati-hati. Di perkemahan itu tentu terdapat beberapa orang lain yang meninggalkan tempat itu pergi ke gubug-gubug di kelompok yang lain.

Demikianlah, maka mereka bertiga pun dengan sangat berhati-hati mendekati sekelompok perkemahan itu. Mereka sadar, bahwa di dalam salah satu dari beberapa gubug yang ada itu, tinggal seorang berilmu tinggi yang bernama Ki Tempuyung Putih.

Ketika mereka menjadi semakin dekat, maka mereka melihat bahwa di antara beberapa gubug itu terdapat lingkungan yang sedikit terbuka. Dengan mempergunakan kemampuan ilmu Sapta Pandulu, Agung Sedayu dapat melihat remang-remang seseorang yang terikat pada sebatang pohon yang cukup besar. Dua orang yang menjaganya duduk tidak jauh dari orang yang diikat itu, bersandar pohon pula.

Agung Sedayu menyadari bahwa kedua orang anak muda yang menyertainya itu masih belum melihat orang yang terikat itu.

Karena itu, dengan berbisik Agung Sedayu memberitahukan apa yang dilihatnya, dan mengajak kedua orang anak muda itu lebih mendekat lagi. Tetapi sudah tentu mereka harus semakin berhati-hati. Mereka tidak boleh mengejutkan kedua orang yang sedang berjaga-jaga itu. Mereka pun tidak boleh menimbulkan desir yang dapat didengar oleh orang yang disebut Ki Tempuyung Putih itu.

Demikianlah, sesuai dengan penglihatan Agung Sedayu, maka mereka bertiga pun mendekati orang yang sedang terikat pada sebatang pohon di tempat yang sedikit terbuka itu.

Dengan sangat berhati-hati pula mereka menghindari beberapa gubug yang berkelompok itu, untuk mencapai tempat yang agak terbuka yang dipergunakan untuk mengikat orang yang nampaknya sudah sangat lemah itu.

Untunglah bahwa ketiga orang itu adalah orang-orang yang berilmu tinggi, sehingga mereka dapat bergeser mendekat tanpa menimbulkan suara yang dapat didengar oleh kedua orang yang sedang berjaga-jaga. Namun Agaknya keduanya memang tidak terlalu menghiraukan orang yang terikat itu. Selain orang itu sudah diikat dengan janget yang kuat rangkap tiga, orang itu pun nampaknya sudah terlalu lemah, sehingga kedua orang yang bertugas itu menganggap bahwa orang itu tidak akan mungkin dapat melepaskan diri.

Karena itu, maka kedua orang itu sempat asyik berbincang untuk menghilangkan perasaan kantuk yang mulai menjamah mata mereka.

“Bagaimana kalau aku tidur sejenak?“ seorang di antara mereka berdesis.

“Jika kau tidur, aku bunuh kau,” geram kawannya.

Kawannya tertawa. Katanya, “Nanti kita bergantian. Bukankah orang yang terikat itu sudah akan mati?”

“Tetapi ia orang berilmu sangat tinggi. Jika orang itu lepas, justru saat kita bertugas, maka kita-lah yang akan rnati.”

“Tetapi melihat ujud dan keadaannya, bukankah ia tidak akan dapat melepaskan dari ikatannya?” sahut kawannya.

“Ya. Meskipun demikian, kita harus tetap berjaga-jaga.”

“Tugas yang paling aku benci. Lebih baik aku ditugaskan pergi ke padukuhan untuk mencari bahan makan atau merampok sama sekali.”

Keduanya pun kemudian terdiam. Mereka bersandar sebatang pohon menghadap ke arah yang berbeda. Seorang di antara mereka membawa tombak pendek, sedangkan yang lain membawa parang yang besar.

Tetapi sejenak kemudian, seorang di antara mereka mulai berbicara lagi tentang mimpinya semalam.

“Aku mimpi diterkam seekor burung elang raksasa semalam.”

“Kau akan digantung besok,” jawab kawannya.

Orang yang bermimpi itu tertawa. Katanya, “Kau jadi bengis sekali malam ini.”

“Aku juga jemu dengan tugas ini,“ jawabnya.

“Kita tidak dapat memilih tugas,“ desis yang lain.

Agung Sedayu dan kedua orang anak muda yang menyertainya memang masih menunggu. Kedua orang itu agaknya memang tidak akan berani tidur meskipun bergantian. Orang yang terikat itu adalah orang yang mereka anggap sangat berbahaya Meskipun kedua orang yang menungguinya itu menganggap bahwa orang itu tidak akan mungkin mampu melepaskan diri, tetapi orang itu harus tetap diawasi.

Agung Sedayu memberi isyarat kepada Glagah Putih dan Sabungsari untuk bersabar. Mereka juga menunggu orang yang ada di gubug-gubug itu sampai mereka tertidur, setidak-tidaknya mereka telah terbaring di pembaringan mereka masing-masing.

Glagah Putih dan Sabungsari memang menjadi hampir tidak sabar. Nyamuk ternyata terlalu banyak, sehingga keduanya menjadi gatal di tangan dan di kaki mereka.

Baru beberapa saat kemudian, ketika gubug-gubug itu benar-benar menjadi sepi, Agung Sedayu berbisik, “Kita akan mulai.”

“Apa yang akan mula-mula kita lakukan?” bertanya Glagah Putih. “Apakah kita akan melihat siapakah orang yang diikat itu?”

“Ya,” berkata Agung Sedayu, “tetapi sebelunya kita harus membungkam kedua orang itu.”

“Apakah kita harus membunuhnya?“ bertanya Glagah Putih.

“Tidak perlu. Kita akan membuat mereka pingsan,” desis Agung Sedayu.

Agung Sedayu pun kemudian telah membagi tugas. Glagah Putih dan Sabungsari harus dengan cepat menguasai kedua orang itu. Keduanya tidak perlu dibunuh. Pukulan pada tengkuk mereka akan membuat mereka pingsan untuk waktu yang cukup lama. Sementara itu Agung Sedayu akan mendekati orang yang terikat itu.

Demikianlah, maka dengan isyarat Agung Sedayu ketiganya mulai bergerak. Glagah Putih dan Sabungsari dengan sangat berhati-hati mendekati kedua orang yang duduk bersandar pohon itu. Hampir berbareng keduanya menggamit kedua orang itu sehingga kedua orang itu terkejut. Namun demikian keduanya bangkit berdiri, maka Glagah Putih dan Sabungsari hampir berbareng pula telah menghantam tengkuk kedua orang itu.

Orang itu tidak sempat mengaduh. Keduanya pun segera jatuh tersungkur. Namun Glagah Putih dan Sabungsari dengan cepat menangkap mereka, sehingga tubuhnya yang terjatuh itu tidak menimbulkan bunyi yang menarik perhatian, karena mereka yakin bahwa di dalam gubug itu tentu masih ada orang yang belum tidur nyenyak.

Sementara itu Agung Sedayu pun mendekati orang yang masih terikat itu. Semakin dekat Agung Sedayu memang menjadi semakin tertarik. Bahkan ia sempat mengira bahwa yang terikat itu adalah orang yang masih sangat muda, menilik tubuhnya yang nampaknya masih terlalu kecil bagi seorang dewasa. Bahkan mungkin seorang remaja. Tetapi orang-orang yang menjaganya itu menyebutnya bahwa ilmunya sangat tinggi.

Ketika Agung Sedayu berhenti beberapa langkah di hadapannya, dalam keremangan malam ia melihat orang itu mengangkat wajahnya. Dengan mata yang sayu ia memandangi Agung Sedayu yang mendekat.

“Kau,“ desis Agung Sedayu.

Orang itu pun terkejut melihat Agung Sedayu, Glagah Putih dan Sabungsari yang mendekat. Hampir di luar sadarnya orang itu berdesis lambat, “Kenapa kalian sampai ke tempat ini?”

“Bajang Bertangan Baja,” gumam Sabungsari.

“Ya. Aku ditangkap oleh anak buah Resi Belahan. Aku dianggap bersalah karena aku melibatkan Ki Manuhara dalam persoalan yang sebenarnya tidak bersangkut paut dengan kepentingan Ki Manuhara. Bahkan Ki Manuhara justru terbunuh karenanya.”

“Mereka mampu menangkapmu?“ bertanya Glagah Putih hampir berbisik.

“Beberapa orang berilmu tinggi memburuku,“ desis Bajang Bertangan Baja.

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Tetapi ia tidak mempunyai banyak waktu. Karena itu, maka katanya perlahan-lahan, “Kami akan melepaskanmu. Kami tidak tahu apa yang akan kami lakukan kemudian. Mungkin kami juga akan membunuhmu kelak.”

“Terima kasih,” jawab Bajang itu, “aku lebih senang kalian bunuh daripada aku harus mengalami siksaan yang hampir tidak tertahankan lagi di sini.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia masih bertanya, “Kenapa kau tidak mampu memutuskan tali pengikatmu itu?”

“Tali janget itu terlalu kuat. Apa lagi tenagaku sudah hampir habis. Aku telah mengalami siksaan habis-habisan sambil menunggu kehadiran orang yang disebut Resi Belahan.”

“Jadi kau belum betemu dengan Resi Belahan?“ bertanya Glagah Putih.

“Belum,“ jawab Bajang Bertangan Baja.

Agung Sedayu pun tidak membuang waktu lebih banyak lagi. Iapun kemudian telah melepaskan ikatan yang kuat itu. Agaknya memang sulit untuk memutuskan janget yang rangkap tiga itu. Sedangkan untuk melepaskan ikatan tali patinya saja memerlukan waktu yang cukup lama.

Sebelum kedua orang yang pingsan itu sadar, maka Agung Sedayu serta kedua anak muda yang menyertainya telah membawa Bajang Bertangan Baja untuk menyingkir. Mereka secepatnya telah menjauhi perkemahan itu. Meskipun jalan di lereng pegunungan itu agak sulit, apalagi ditempuh di malam hari, sementara tubuh Bajang Bertangan Baja itu sudah menjadi lemah sekali, namun ternyata kemauan Bajang yang sangat besar untuk menghindarkan diri dari tangan para pengikut Resi Belahan telah membuatnya sanggup berjalan sendiri, meskipun sekali-sekali Glagah Putih dan Sabungsari membantunya juga.

Ketika mereka melewati puncak bukit, maka mereka pun berhenti sejenak untuk beristirahat.

“Marilah, aku bantu kau berjalan,” berkata Glagah Putih, setelah mereka duduk beberapa saat sambil menghirup segarnya udara malam yang dingin.

“Aku masih sanggup berjalan sendiri,” desis Bajang Bertangan Baja sambil terengah-engah.

“Kau terlalu lemah,” berkata Sabungsari.

“Tidak,” jawab Bajang yang kerdil itu, “kecuali jika kalian takut aku melarikan diri. Tetapi biarlah aku berjanji, bahwa aku tidak akan melarikan diri. Aku akan menerima hukuman apapun yang akan kalian berikan padaku, termasuk hukuman mati. Karena sepeti yang sudah aku katakan, aku akan berterima kasih jika kalian membunuhku, daripada membiarkan aku berada di tangan para pengikut Resi Belahan itu.”

“Baiklah, marilah kita berjalan terus,” kata Agung Sedayu.

Keempat orang itu pun kemudian menuruni lereng perbukitan dan langsung melintasi bulak-bulak di Tanah Perdikan, menuju ke rumah Agung Sedayu di padukuhan induk Tanah Perdikan.

Sementara itu langit pun mulai dibanyangi oleh bayangan fajar. Namun hari masih gelap ketika mereka memasuki pintu gerbang padukuhan induk.

Beberapa orang peronda masih berada di gardu. Mereka melihat empat orang memasuki gerbang padukuhan induk. Mereka memang bertanya, dari mana mereka malam-malam baru kembali ke padukuhan induk.

Sementara itu sambil tersenyum Agung Sedayu menjawab, “Sekali-sekali kami ingin melihat-lihat keadaan di Tanah Perdikan di waktu malam.”

Anak-anak muda itu juga tertawa. Tetapi mereka tidak memperhatikan orang keempat yang bersama mereka. Apalagi Glagah Putih dan Sabungsari sengaja menutup-nutupi orang kerdil yang berjalan dengan lemah, meskipun ia berusaha untuk tidak memberikan kesan demikian. Sinar lampu oncor yang berkeredipan di gardu itu tidak cukup terang untuk memperlihatkan luka-luka di tubuh Bajang Bertangan Baja itu. Juga bajunya yang kotor dan lusuh. Bahkan bernoda darah.

Menjelang fajar, mereka berempat memasuki halaman rumah Agung Sedayu. Ketika mereka naik ke pendapa, maka pintu pringgitan pun telah terbuka. Agaknya Ki Jayaraga telah mendengar geremang orang-orang yang baru datang itu. Dengan cepat Ki Jayaraga dapat mengenali suara Agung Sedayu dan kedua anak muda yang pergi bersamanya.

Ketika pintu terbuka serta keempat orang itu naik ke pendapa, maka Ki Jayaraga terkejut melihat orang kerdil yang datang bersama Agung Sedayu.

“Bajang Engkrek,” desis Ki Jayaraga.

Bajang Bertangan Baja menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah tahu kalau Ki Jayaraga ada di rumah itu. Dengan nada dalam ia berdesis, “Ya. Ini aku.”

Ki Jayaraga termangu-mangu ketika ia melihat tubuh Bajang Bertangan Baja yang kotor, lusuh dan terluka. Darah telah mengotori pakaian dan kulitnya.

Menurut dugaan Ki Jayaraga, Bajang Bertangan Baja itu telah bertempur melawan Agung Sedayu dan kedua anak muda yang menyertainya, atau salah seorang dari mereka. Namun Agung Sedayu yang seakan-akan dapat membaca perasaan Ki Jayaraga itu berkata, “Aku menemukannya dalam keadaan demikian.”

“Kenapa?“ bertanya Ki Jayaraga.

“Sebaiknya kita duduk saja lebih dahulu. Ceritanya cukup panjang.”

Sementara itu Wacana yang berada di gandok telah mendengar pula kehadiran Agung Sedayu bersama Glagah Putih dan Sabungsari. Karena itu, maka iapun telah keluar pula dari biliknya di gandok untuk menemui mereka. Tetepi iapun terkejut melihat orang kerdil yang datang bersama mereka dengan penuh luka di tubuhnya.

Dengan serta-merta Wacana berkata, “Siapa orang ini?”

Agung Sedayu yang tidak memikirkan akibat dari jawabannya berdesis, “Inilah orangnya, Bajang Bertangan Baja.”

“Jadi orang ini yang telah mengambil Raras? Jika demikian biarlah ia tetap hidup. Aku akan menantangnya berperang tanding,” geramnya.

“Duduklah,” berkata Agung Sedayu, “kau tidak boleh tergesa-gesa mengambil sikap. Bukankah pengalaman mengajarmu, bahwa tergesa-gesa mengambil sikap sama sekali tidak menguntungkan?”

“Apapun yang terjadi atas diriku, aku tidak akan menyesal. Aku tahu Bajang Bertangan Baja seorang yang berilmu tinggi. Tetapi aku tidak akan gentar menghadapinya.”

“Aku tahu,” berkata Agung Sedayu, “tetapi duduklah. Dengarlah, biarlah aku bercerita mengapa aku membawa Bajang itu kemari.”

Wacana yang wajahnya telah menjadi merah itu berkata, “Aku tidak akan membunuhnya saat ia tidak berdaya. Aku akan menunggu sampai keadaannya menjadi pulih kembali.”

“Dengarlah,” berkata Agung Sedayu lagi.

Wacana menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian duduk pula bersama mereka di pendapa rumah Agung Sedayu. Sementara itu langit pun menjadi terang oleh fajar yang menyingsing.

Agung Sedayu pun kemudian menceritakan apa yang telah terjadi dengan Bajang Bertangan Baja itu. Agung Sedayu pun menceritakan bahwa ia menemukan Bajang Bertangan Baja itu dalam keadaan terikat dan terluka seperti itu.

“Ia telah ditangkap setelah diburu untuk beberapa saat oleh beberapa orang pengikut Resi Belahan yang juga berilmu tinggi, sehingga mereka mampu menangkap Bajang Bertangan Baja itu.”

Ki Jayaraga pun mengangguk-angguk. Agaknya dendam Resi Belahan tidak terkekang lagi karena kematian Ki Manuhara. Bagi Resi Belahan, kegagalan Ki Manuhara adalah karena telah terbujuk untuk ikut serta membantu Bajang Bertangan Baja, justru untuk tugas yang sama sekali tidak berhubungan dengan yang tujuan sebenarnya di Mataram.

Namun justru karena itu, maka Ki Jayaraga menganggap bahwa masih harus dipikirkan cara yang sebaik-baiknya untuk mengambil tindakan terhadap Bajang yang dikenalnya bernama Bajang Engkrek itu.

“Orang ini masih mungkin berubah,” berkata Ki Jayaraga dalam hatinya. Namun Ki Jayaraga sadar, bahwa dengan serta-merta mempercayai orang itu adalah satu keputusan yang sangat tergesa-gesa.

Ketika kemudian Sekar Mirah dan Rara Wulan hadir pula di pendapa, maka tengkuk Rara Wulan pun terasa meremang. Bajang itulah yang sebenarnya ingin mengambilnya, karena ia telah diupah oleh Raden Antal. Jika saja Bajang itu berhasil, maka nasibnya akan menjadi sangat buruk di tangan Raden Antal.

Ketika Rara Wulan bersama dengan Sekar Mirah, Glagah Putih dan Sabungsari bertemu dengan orang itu di Mataram, Bajang itu nampak lain dengan Bajang yang dijumpainya sekarang. Meskipun waktu itu Bajang Bertangan Baja itu dalam keadaan utuh baik tubuhnya maupun tenaganya, namun karena ia berniat meninggalkan Mataram, maka rasa-rasanya Bajang itu tidak menakutkan seperti saat itu. Justru karena Bajang Bertangan Baja itu dalam keadaan lemah dan luka yang agak parah, maka diwajahnya membayang dendam dan kebencian.

Namun ketika Sekar Mirah dan Rara Wulan mendengar cerita tentang Bajang yang berhasil diburu dan ditangkap oleh beberapa orang berilmu tinggi yang mendapat perintah langsung dari Resi Belahan, maka mereka pun merasa sedikit iba melihatnya.

Dalam pada itu, maka sejenak kemudian Sekar Mirah dan Rara Wulan pun telah menyiapkan minuman hangat bagi mereka. Juga Bagi Bajang Bertangan Baja. Ketika Bajang itu sempat menghirup minuman hangat dengan gula kelapa, maka terdengar suara berdesah.

“Kenapa?“ bertanya Agung Sedayu.

“Aku sudah tidak berharap untuk dapat meneguk minuman hangat dengan gula kelapa seperti ini. Ketika tubuhku terikat, maka aku hanya berharap agar lekas mati. Tetapi ternyata aku masih sempat duduk di pendapa ini sambil meneguk minuman hangat dan gula kelapa. Aku merasa bahwa seolah-olah aku telah hidup kembali setelah aku duduk di mulut di liang kubur.”

“Minumlah secukupnya. Bukankah aku sudah mengatakan kepadamu, bahwa mungkin kami juga akan membunuhmu?“ desis Agung Sedayu.

“Bukan lagi soal bagiku,” jawab Bajang Engkrek itu. Katanya kemudian, “Tetapi aku sudah sempat menikmati segarnya minuman hangat ini.”

“Nah, mana yang lebih nikmat? Kau tanpa harta benda yang bertumpuk yang kau kumpulkan bahkan dengan melakukan apa saja, membunuh menculik dan apa saja, namun seperti sekarang ini bangkit dan berpengharapan dari sekedar minum minuman hangat dengan gula kelapa? Atau kau dengan harta bendamu itu, tetapi terikat di batang pohon dengan janget yang kuat rangkap tiga, dengan badan yang penuh luka yang menjadi sangat pedih karena titik-titik embun yang runtuh dari dedaunan?”

“Aku tidak mengerti,“ desis Bajang Bertangan Baja.

“Bajang Bertangan Baja,“ berkata Agung Sedayu, “bukankah kenikmatan itu tidak selalu kau dapatkan dari harta benda yang barangkali menumpuk di sarangmu? Dengan susah payah kau kumpulkan uang, benda-benda berharga dan apa saja dengan cara yang justru bertentangan dengan nilai-nilai yang berlaku, bahkan tanpa segan-segan mengorbankan nyawa orang lain, namun yang akhirnya justru telah menyeretmu ke dalam kesulitan.”

“Itu adalah kemungkinan yang sudah diperhitungkan sebelumnya,“ jawab Bajang Bertangan Baja itu sambil menunduk.

“Tetapi suatu saat kau merasa bahwa seolah-olah kau hidup kembali setelah duduk di mulut liang kubur. Apakah itu terjadi karena kau memiliki harta benda dan uang yang banyak sekali?”

Bajang Bertangan Baja itu mengangguk-angguk. Sudah berpuluh bahkan beratus kali ia mendengar teguran, nasehat dan pendapat bahwa ia telah menempuh jalan sesat. Tetapi memang ia telah memilih jalan itu, sehingga beratus kali ia mendengar hal yang buruk dari tingkah lakunya, maka sebanyak itu pula ia mencibir dan mentertawakannya. Namun ketika ia tersudut dalam keadaan yang pahit itu, maka apa yang dikatakan oleh Agung Sedayu itu bagaikan langsung menikam sampai ke pusat jantungnya. Bajang Bertangan Baja itu memang bertanya kepada diri sendiri, apa arti semua yang telah dilakukannya itu, jika akhirnya ia terikat tanpa dapat berbuat apapun juga selama ia mengalami siksaan yang hampir tidak tertahankan lagi.

Agung Sedayu yang melihat Bajang itu merenung, tidak segera berbicara lagi. Agung sedayu sengaja memberi kesempatan Bajang itu untuk menilai kembali tingkah lakunya.

Di luar sadarnya Bajang itu memandang kepada Ki Jayaraga, seakan-akan ingin melihat jauh ke dasar hatinya. Ki Jayaraga yang melihat tatapan mata Bajang itu berkata, “Bajang Engkrek. Nasibmu memang mirip dengan nasibku. Jika harta bendamu telah menjerumuskanmu ke dalam kesulitan, apalagi ketamakanmu itu, maka kesombongan dan kebanggaanku atas ilmuku pun telah membuat hatiku sakit. Mungkin kau telah mendengar bahwa semua murid-muridku telah terjerumus ke dalam dunia yang kelam. Semuanya. Bahkan ada di antara mereka yang telah menjadi bajak laut yang ganas. Karena itu, aku harus menilai kembali langkah-langkah yang pernah aku tempuh untuk sebagian besar waktuku selama aku hidup. Baru kemudian aku menemukan sesuatu yang berarti, setelah aku menjadi semakin tua, bahkan hampir renta sekarang ini. Aku menemukan seorang murid yang benar-benar mampu menebus kegagalan-kegagalanku sebelumnya. Maksudku, aku menumpang mengakunya sebagai muridku, meskipun kepribadiannya sudah terbentuk sebelumnya.”

Bajang Bertangan Baja menarik nafas dalam-dalam. Katanya hampir kepada dirinya sendiri, “Seandainya aku masih mempunyai waktu untuk merenungi keadaanku.”

“Kenapa seandainya?“ bertanya Agung Sedayu.

“Jika kalian mengambil keputusan untuk membunuhku, maka aku tidak akan sempat merenunginya apalagi memperbaikinya,“ jawab Bajang Bertangan Baja.

“Ya,” Agung Sedayu mengangguk-angguk, “kemungkinan itu memang ada. Sampai sekarang persoalan Raras masih belum tuntas. Jika Resi Belahan mendendammu karena Ki Manuhara telah kau seret ke dalam becana, bahkan kematian, maka kami pun mendendam karena persoalan Raras sampai sekarang justru berkembang semakin buruk. Raras sendiri masih terganggu ketenangannya. Ia selalu dibayangi ketakutan. Bahkan setiap saat.”

Bajang itu menundukkan kepalanya.

“Semua itu adalah karena kau menginginkan upah,” desis Agung Sedayu.

Bajang Bertangan Baja itu mengangguk-angguk. Katanya dengan nada berat, “Ya. Sekarang aku sempat melihat. Itulah yang aku lakukan.”

“Baiklah,“ berkata Agung Sedayu, “untuk sementara kau berada di sini bersama kami. Aku belum tahu apa yang ingin kami lakukan. Salah satu kemungkinan adalah membunuhmu. Tetapi kami tidak ingin mengurungmu seperti mengurung seorang tawanan. Meskipun kau diawasi, tetapi kau bebas bergerak di halaman rumahku. Tetapi ingat, di sini ada Rara Wulan yang justru merupakan sasaran utama dari kerjamu selama kau di Mataram. Bukankah kau mendapat upah untuk mengambil Rara Wulan? Jika kau masih mencoba untuk menjualnya, maka kau akan tahu akibatnya. Kami dapat berbuat lebih buruk dari Resi Belahan.”

“Tidak,” jawab Bajang Bertangan Baja, “aku tidak akan berbuat apa-apa lagi. Bukankah Tumenggung Wreda Sela Putih Sudah ditangkap?”

“Jadi karena tidak ada lagi orang yang mengupahmu maka kau urungkan niatmu?” berkata Agung Sedayu, “Bagaimana jika kelak ada orang lain yang mengupahmu untuk mengambil Rara Wulan atau Raras, atau mungkin istriku?”

“Tidak. Tentu tidak,” jawab Bajang Bertangan Baja, “tetapi beri kesempatan aku untuk merenungi jalan hidupku. Jika kalian akan membunuhku, lakukanlah setelah tenggang waktu beberapa lama. Sebelum mati aku ingin mengenali diriku dan menyembuhkan luka-lukaku. Bahkan seandainya aku harus berada di dalam bilik yang sepi dan gelap.”

“Sudahlah. Sekarang jika kau ingin membersihkan dirimu, lakukanlah. Jika kau mencoba untuk melarikan diri, maka hidupmu akan diakhiri. Bukankah kau tahu bahwa Glagah Putih hampir saja membunuhmu di pinggir susukan Kali Opak itu?“ berkata Agung Sedayu sambil berpaling kepada Glagah Putih.

Di luar sadarnya Bajang Bertangan Baja itu memandang Glagah Putih pula. Anak itu masih sangat muda. Tetapi ilmunya bukan kepalang. Anak itu pula yang disebut oleh Ki Jayaraga anak muda yang diakunya sebagai muridnya, meskipun kepribadiannya sudah terbentuk sejak sebelumnya.

“Aku tidak akan melarikan diri,” berkata Bajang Bertangan Baja, “aku berjanji, meskipun di sini ada kemungkinan bagiku untuk dihukum mati.”

“Kami belum dapat dengan serta-merta mempercayaimu,” desis Agung Sedayu pula.

“Aku mengerti,” sahut Bajang Bertangan Baja.

Kemudian diantar oleh Glagah Putih, Bajang Bertangan Baja itu pergi ke pakiwan. Ternyata bukan hanya Glagah Putih yang mengawasinya. Tetapi juga Sabungsari dan bahkan Wacana.

Tetapi Bajang Bertangan Baja memang tidak berniat untuk melarikan diri. Ketika ia mandi, maka alangkah pedihnya luka-luka di tubuhnya. Tetapi Bajang itu membersihkan dirinya dari noda-noda darah dan debu dan kotoran lainnya. Sementara itu Agung Sedayu telah meminjaminya pakaian, meskipun terlalu besar.

Demikian Bajang Bertangan Baja selesai mandi, maka iapun tidak menemui Agung Sedayu lagi di rumahnya. Ternyata Agung Sedayu telah pergi ke barak.

Karena itu kepada Ki Jayaraga ia berkata, “Apakah aku diijinkan untuk mengobati luka-lukaku?”

“Dengan apa?” bertanya Ki Jayaraga.

“Aku kira di sini ada obat apapun juga,“ jawab Bajang Bertangan Baja itu.

“Bukankah kau memiliki pengetahuan yang tinggi tentang obat-obatan? Ki Manuhara tidak akan bertahan hidup jika ia tidak kau obati. Kami yakin akan hal itu,“ jawab Ki Jayaraga.

“Ya. Aku telah menolongnya. Aku telah menyelamatkan nyawanya. Karena itu, maka ia bersedia membantuku meskipun agak terpaksa, sehingga justru telah merenggut nyawanya, sehingga membuat Resi Belahan menjadi sangat marah kepadaku,” jawab Bajang Bertangan Baja. “Tetapi apakah aku sempat membuatnya sekarang? Dalam keadaan seperti ini?”

“Jika kau ingin membuat, buatlah jika bahannya dapat kita temukan di halaman rumah ini,” berkata Ki Jayaraga. “Tetapi Angger Agung Sedayu memang mempunyai tanaman berjenis-jenis empon-empon, karena murid Orang Bercambuk itu juga mempelajari serba sedikit tentang pengobatan.”

Bajang Bertangan Baja itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Tolonglah, jika kau tidak berkeberatan, aku ingin melihat tanaman empon-empon itu.”

Glagah Putih dan Sabungsari kemudian membawa Bajang Bertangan Baja itu ke kebun di belakang. Ternyata bahwa di kebun itu ditemukan jenis empon-empon yang diperlukan Bajang Bertangan Baja untuk mengobati luka-lukanya yang cukup parah.

“Kami juga mempunyai obat yang sudah jadi jika kau memerlukannya,” berkata Glagah Putih.

Tetapi Bajang itu berdesis, “Aku telah menemukan bahan obat-obatan yang sangat baik. Di sini tentu ada pipisan.”

Dengan pipisan Bajang itu telah membuat obat bagi dirinya sendiri. Justru karena Bajang itu memiliki pengetahuan yang tinggi tentang ilmu obat-obatan, maka ia lebih yakin akan obatnya sendiri.

Sementara itu, di barak Pasukan Khusus Mataram yang ada di Tanah Perdikan Menoreh, Agung Sedayu telah menyiapkan satu kelompok khusus yang dapat bergerak setiap saat. Melihat jumlah gubug-gubug yang tiba-tiba saja muncul di lereng bukit itu, maka Agung Sedayu memperkirakan bahwa jumlah orang yang membuatnya dan yang tinggal di dalamnya cukup banyak. Mungkin mereka memang orang-orang yang peradabannya agak tertinggal di belakang dibanding dengan penghuni Tanah Perdikan Menoreh, tetapi mungkin juga justru orang yang memiliki kecerdikan namun licik, sehingga ujud itu hanya sekedar topeng untuk mengelabuhi orang-orang Tanah Perdikan Menoreh dan Kademangan Kleringan.

“Kita harus berjaga-jaga. Segala kemungkinan dapat terjadi,“ berkata Agung Sedayu. Kepada Ki Lurah Branjangan yang ada di barak itu ia berpesan, “Mungkin besok aku tidak datang, atau terlambat datang di barak ini. Di rumahku ada Bajang Bertangan Baja.”

“Bagaimana mungkin Bajang itu ada di rumahmu?“ bertanya Ki lurah Branjangan.

Dengan singkat Agung Sedayu menceritakan malapetaka yang menimpa Bajang Bertangan Baja itu, sehingga orang kerdil itu jatuh ke tangan Agung Sedayu.

“Memang mungkin seseorang itu berubah,” berkata Ki Lurah Branjangan. “Tetapi bagaimanapun juga kau harus berhati-hati dengan Bajang itu. Ia tentu orang yang licik, cerdik, dan sama sekali tidak berbelas kasihan, apa lagi merasa berhutang budi.”

“Ya Ki Lurah,” berkata Agung Sedayu, “kami semua tidak begitu saja mempercayainya.”

Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Namun persoalan yang disampaikan Agung Sedayu bukan saja tentang kehadiran Bajang Bertangan Baja di rumahnya, tetapi juga persoalan antara Wacana dan Sabungsari.

“Tetapi persoalan Wacana dan Sabungsari telah dapat diselesaikan. Ternyata Sabungsari cukup bijaksana, meskipun sebelumnya perasaannya seperti terbakar oleh sikap Wacana,“ berkata Agung Sedayu kemudian.

Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Syukurlah. Mudah-mudahan persoalan Raras itu cepat dapat diselesaikan. Namun sementara itu persolan Resi Belahan telah mulai membayangi Tanah Perdikan ini.”

“Ya. Itulah sebabnya aku telah menyiapkan sekelompok prajurit pilihan dari antara Pasukan Khusus ini yang setiap saat dapat digerakkan, sebagaimana ketika Tanah Perdikan ini diganggu oleh Ki Manuhara.”

Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Katanya, “Ternyata masih banyak yang harus kita lakukan. Justru kita mengaku bagian dari keutuhan Mataram.”

“Ya,” sahut Agung Sedayu, “itu merupakan tanggung jawab kita di sini.”

“Besok aku akan pergi ke padukuhan induk,“ berkata Ki Lurah Brajangan pula.

Demikianlah, hari itu Agung Sedayu memang pulang lebih cepat dari biasanya. Kehadiran Bajang Bertangan Baja di rumahnya tetap merupakan persoalan baginya. Agung Sedayu masih belum tahu, apa yang akan dilakukannya kemudian atas Bajang Bertangan Baja. Atau kemudian ia harus mempercayainya bahwa Bajang Bartangan Baja itu akan berubah.

Demikian Agung Sedayu sampai di rumah, maka yang pertama-tama ditanyakan adalah Bajang Bertangan Baja, yang ternyata ada di serambi samping bersama Ki Jayaraga.

Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Sementara Sekar Mirah menghidangkan minumannya, maka iapun berdesis perlahan, “Yang memerlukan perhatian bukan Bajang Bertangan Baja itu.”

“Jadi siapa?“ bertanya Agung Sedayu.

“Sabungsari, “jawab Sekar Mirah.

“Kenapa ?” Agung Sedayu mendesak.

“Ia lebih banyak diam dan termenung. Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk pula. Sekar Mirah yang duduk di sebelahnya berdesis, “Tetapi kepada Glagah Putih ia bertanya, kenapa Raras justru tertarik kepadanya, sebagaimana dikatakan oleh Wacana.”

Agung Sedayu tersenyum sambil berdesis, “Ia justru mulai memikirkan gadis itu.”

“Tetapi bagaimana dengan Raden Teja Prabawa?” bertanya Sekar Mirah.

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Dengan nada rendah ia menjawab, “Sebenarnya Sabungsari tidak ingin menyakiti hati Raden Teja Prabawa. Sebelum Wacana datang kepadanya dan mempersoalkan hubungan Sabungsari dengan Raras, Sabungsari sudah berniat untuk menyingkir dari garis hubungan antara Raras dengan Raden Teja Prabawa, meskipun sebenarnya hatinya memang terarik kepada gadis itu. Namun sekarang keadaannya jadi berbeda. Justru karena Sabungsari mendengar bahwa Raras tertarik kepadanya, maka ia mulai memikirkan kembali gadis yang memang menarik perhatiannya itu.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Sebenarnya aku merasa kasihan kepada Sabungsari, tetapi juga kasihan kepada Raden Teja Prabawa.”

“Kita memang tidak dapat terlalu banyak ikut campur dalam persoalan ini. Berbeda dengan persoalan hilangnya Raras.”

Sekar Mirah bangkit dari tempat duduknya sambil berdesah, “Mudah-mudahan diketemukan jalan yang terbaik.“ Namun demikian ia berkata, “Kau makan lagi Kakang?”

“Tidak. Aku sudah makan di barak. Nanti saja bersama-sama dengan yang lain.”

Sekar Mirah pun kemudian meninggalkan Agung Sedayu sambil berkata, “Aku akan mempersiapkan makan malam. Rara Wulan sudah berada di dapur.”

Sepeninggal Sekar Mirah, maka Agung Sedayu meneguk minumannya sampai kering. Kemudian iapun pergi ke serambi pula dan duduk bersama Ki Jayaraga dan Bajang Bertangan Baja.

Bajang Bertangan Baja sudah nampak lebih tenang. Wajahnya pun sudah tidak nampak terlalu pucat lagi.

“Aku telah mengambil beberapa jenis akar empon-emponmu,“ berkata Bajang itu.

“Kau telah meramu obat-obatan bagimu sendiri?“ bertanya Agung Sedayu.

“Ya,“ jawab Bajang Bertangan Baja, “di kebunmu terdapat berjenis-jenis empon-empon dan perdu yang baik sekali untuk membuat obat-obatan. Bahkan jenisnya terlalu banyak, sehingga apapun yang diperlukan bagi obat-obatan terdapat di kebunmu.”

“Hanya sekedarnya, sesuai dengan pengetahuanku yang sempit tentang pengobatan,“ jawab Agung Sedayu. Bahkan katanya kemudian, “Sedangkan kau tentu memiliki ilmu pengobatan yang tinggi, sehingga kau mampu mengobati Ki Manuhara setelah orang itu berbenturan ilmu dengan Ki Jayaraga.”

“Ki Jayaraga juga berkata demikian,“ sahut Bajang itu.

Agung Sedayu itu pun kemudian bertanya kepada Bajang Bertangan Baja itu, “Nah, keadaanmu sekarang sudah menjadi lebih baik. Apa rencanamu?”

Bajang Bertangan Baja itu mengerutkan dahinya. Pertanyaan itu justru membuatnya heran. Sejenak kemudian maka iapun menjawab, “Aku tidak mempunyai rencana apapun. Bukankah kau yang akan menentukan nasibku? Bahkan mungkin kau akan membunuhku. Tetapi seperti yang sudah aku katakan, aku sudah merasa sangat berterima kasih, bahwa aku masih sempat mengecap asinnya garam dan manisnya gula untuk sehari ini. Jika aku masih saja terikat di batang pohon itu, maka yang akan aku terima tidak kurang dari lecutan cambuk dan sayatan pisau di tubuhku.”

Agung Sedayu menarik nafas panjang. Dipandanginya Bajang Bertangan Baja itu sekilas. Ternyata orang itu sudah benar-benar pasrah. Agung Sedayu tidak lagi melihat sepercik api pun di matanya.

Namun dengan demikian, kepercayaan yang memang mulai tumbuh di dada Agung Sedayu justru menjadi semakin besar. Meskipun demikian Agung Sedayu tetap berhati-hati menghadapi orang selicin Bajang Bertangan Baja itu. Ia dapat mengenakan berpuluh kedok di wajahnya untuk menyamarkan warna hatinya yang sebenarnya.

Dalam pada itu, orang-orang yang berada di perkemahan telah menjadi gempar. Tawanan mereka yang dianggap tidak akan dapat lolos itu ternyata telah hilang.

Dua orang yang bertugas jaga malam itu telah dihadapkan langsung kepada Ki Tempuyung Putih.

“Kami telah diserang dengan tiba-tiba,“ Singa Larap mencoba membela diri.

Tetapi Ki Tempuyung Putih membentak, “Kau tentu tertidur nyenyak! Demikian pula Wirasandi.”

“Tidak Ki Tempuyung Putih. Kami duduk bersandar pohon. Tiba-tiba saja kami disentuh oleh orang-orang yang tidak kami ketahui datangnya. Ketika kami bangkit, maka tengkuk kami telah dipukulnya sehingga kami menjadi pingsan.”

“Jadi begitu mudahnya Singa Larap dan Wirasandi dijatuhkan lawan? Lalu apa artinya nama yang selama ini kau sombongkan kepada kawan-kawanmu?“ bentak Ki Tempuyung Putih.

“Tetapi yang terjadi benar-benar di luar kemampuan kami,“ jawab Wirasandi.

Agaknya Ki Tempuyung Putih benar-benar sudah menjadi marah, sehingga tangannya telah menyambar mulut Wirasandi sehingga ia mengaduh kesakitan.

“Jika kau tidak tertidur, telingamu yang kau banggakan itu tentu mendengar langkah orang itu mendekat,“ Ki Tempuyung Putih hampir berteriak.

Wirasandi tidak berani menjawab lagi. Kepalanya justru menunduk dalam-dalam. Demikian pula Singa Larap yang garang itu.

Sebenarnyalah bahwa Ki Tempuyung Putih memang menjadi bingung. Ia bertanggung jawab atas hilangnya Bajang Bertangan Baja, meskipun ia masih merasa beruntung bahwa ia pula-lah yang memimpin beberapa orang berilmu tinggi saat memburu Bajang Bertangan Baja, sehingga Resi Belahan tentu akan memperhitungkannya pula. Meskipun bagaimanapun juga Resi Belahan akan menanyakannya, tetapi kesalahan itu tentu akan diperhitungkan dengan hasil penangkapannya pula.

Tetapi Ki Tempuyung Putih memang merasa sangat kecewa, bahwa usahanya dengan susah payah memburu Bajang Bertangan Baja itu akhirnya sia-sia.

Tetapi Ki Tempuyung Putih tidak menghukum Wirasandi dan Singa Larap lebih berat lagi, karena keduanya pun telah membantunya memburu Bajang Bertangan Baja itu.

Ketika kemudian Ki Tempuyung Putih mengumpulkan orang-orang yang dianggap berilmu di lereng pebukitan itu, maka semuanya tidak dapat memberikan keterangan, bahkan dugaan, tentang hilangnya Bajang Bertangan Baja itu. Tidak seorangpun dapat mengatakan atau menduga-duga, apakah yang telah terjadi.

“Bajang Bertangan Baja adalah seorang yang bekerja seorang diri. Ia tidak mempunyai kelompok atau gerombolan yang merasa kehilangan saat ia kita tangkap. Tidak ada pula saudara-saudara seperguruannya, apalagi pedepokan atau perguruan yang akan menuntut balas atas penangkapan atas dirinya,“ berkata Ki Tumpuyung Putih.

“Ya,“ jawab seorang tua yang berjanggut putih, “memang suatu hal yang aneh bahwa ada orang yang memerlukan memberikan pertolongan kepada Bajang Bertangan Baja itu.”

Namun dalam pada itu, dua orang telah memberikan laporan tentang dataran di antara dua bukit kecil.

“Adalah kebetulan kami sampai ke tempat itu saat kami berburu babi hutan. Di antara dua bukit kecil itu agaknya telah terjadi pertempuran antara dua orang berilmu tinggi. Batu-batu padas berguguran. Ranting dan cabang pepohonan yang ada berpatahan dan tumbang,“ berkata seorang di antara mereka.

“Siapa yang telah bertempur di tempat ini?“ bertanya Ki Tempuyung Putih, “Tentu bukan salah seorang di antara kita.”

“Tidak ada seorangpun di antara kita yang terlibat dalam pertempuran tanpa memberikan laporan,“ jawab salah seorang di antara mereka yang berada di ruang itu dan berbicara dengan Ki Tempuyung Putih.

“Kita harus lebih berhati-hati,“ berkata Ki Tempuyung Putih kemudian, “hilangnya Bajang Bertangan Baja mengisyaratkan kepada kita, bahwa tempat ini sudah diketahui oleh seseorang, dari manapun datangnya. Dengan demikian maka kita harus meningkatkan pengamatan dan panjagaan di sekitar perkemahan ini.”

“Mungkin orang yang mengambil Bajang Bertangan Baja itu tidak bermaksud menolongnya, tetapi orang itu pun berniat untuk membunuhnya, sehingga terjadi pertempuran di antara kedua bukit kecil itu,“ berkata salah seorang di antara mereka.

“Memang mungkin terjadi. Tetapi kemungkinan itu kecil sekali. Membunuh Bajang Bertangan Baja yang dalam keadaan sekarat itu tidak memerlukan pertempuran yang meruntuhkan batu-batu padas di tebing. Dengan memijit hidungnya saja. Bajang itu tentu akan mati,“ jawab Ki Tempuyung Putih.

Yang lain mengangguk-angguk. Bajang Bertangan Baja memang sudah menjadi lemah sekali. Jika ia dapat meninggalkan tempatnya, menurut perhitungan Ki Tempuyung Putih tentu harus dibantu oleh orang lain.

Namun pertemuan itu tidak dapat membuat kesimpulan apapun juga, selain bahwa mereka harus menjadi semakin berhati-hati.

“Kita menunggu Resi Belahan. Mudah-mudahan besok ia datang. Kita harus dengan cepat mengambil alih kekuasaan di Tanah Perdikan. Jika benar Kanjeng Adipati Pati akan bergerak ke Mataram, maka Tanah Perdikan ini akan dapat menjadi landasan penyediaan bahan makanan, karena Tanah ini ternyata cukup subur,“ berkata Ki Tempuyung Putih.

“Tetapi barak Pasukan Khusus itu harus kita perhitungkan,“ berkata salah seorang dari mereka.

“Sudah kita perhitungkan,“ jawab Ki Tempuyung Putih. Yang lain mengangguk-angguk. Meskipun mereka sadar, bahwa jumlah orang mereka tidak sebanyak pengawal Tanah Perdikan Menoreh ditambah dengan prajurit dari Pasukan khusus itu, namun orang-orang berilmu sangat tinggi yang ada di antara mereka masing-masing dapat dihitung sama dengan sedikitnya dua puluh lima orang prajurit. Bahkan jika mendapat kesempatan, mungkin akan dapat diperbandingkan lebih dari itu. Dengan kemampuan ilmu Guntur Geni, seorang berilmu tinggi akan dapat menghalau dan bahkan menghancurkan sekelompok pengawal Tanah Perdikan dalam satu kali lontaran ilmu. Yang lain lagi mempunyai kekuatan ilmu Gelap Ngampar atau Sapu Angin, Rog-Rog Asem dan sebagainya.

Orang-orang itulah yang diharapkan akan dapat menghancurkan kekuatan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan prajurit Mataram yang ada di Tanah Perdikan, disamping para pengikut yang jumlahnya juga cukup memadai. Di antara mereka juga terdapat orang yang dianggap masih memiliki tata cara hidup yang sedikit agak tertinggal. Namun orang-orang itu ternyata dapat dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Resi Belahan, Ki Tempuyung Putih dan beberapa kawannya yang bertekad untuk menghancurkan Mataram.

“Anak Pemanahan itu memang tidak seharusnya memegang pimpinan tertinggi di atas Bumi Demak,“ desis Ki Tempuyung Putih.

Dalam pada itu, maka Agung Sedayu di rumahnya telah berbincang pula bersama seisi rumahnya. Mereka sadar, bahwa hilangnya Bajang Bertangan Baja dari perkemahan di sebelah bukit itu tentu akan membuat penghuninya semakin berhati-hati. Mereka tentu menyadari bahwa Bajang Bertangan Baja itu tidak terlepas karena ia berhasil melepaskan diri. Bahwa dua orang yang menjaganya menjadi pingsan adalah pertanda bahwa ada orang yang melepaskan Bajang Bertangan Baja itu.

“Karena itu, apapun maksud mereka datang ke bawah bukit di wilayah Tanah Perdikan Menoreh dan Kademangan Kleringan itu, tentu akan terjadi perubahan-perubahan perencanaan. Mereka agaknya akan mempercepat rencana mereka, yang nampaknya tentu bukan hal yang baik bagi Tanah Perdikan Menoreh dan Kademangan Kleringan. Nampaknya persoalannya tidak lagi sesempit persoalan Raras dan Rara Wulan,“ berkata Agung Sedayu.

Bajang Bertangan Baja hanya dapat menundukkan kepalanya, sementara Ki Jayaraga berkata, “Ya. Persoalan yang telah dirintis oleh Ki Manuhara, namun telah gagal. Resi Belahan agaknya datang untuk mentuntaskan tugas Ki Manuhara, seandainya Ki Manuhara berhasil membuat kekisruhan di Mataram.”

“Satu hal yang masih harus diperhitungkan. Apakah hal ini ada hubungannya dengan sikap Kanjeng Adipati Pati? Sejak semula kita menganggap bahwa Kanjeng Adipati Pati tidak akan mempergunakan cara seperti ini. Namun mungkin ada pihak-pihak yang berusaha mengambil keuntungan dengan kabut yang semakin tebal bertiup dari Pati ke langit Mataram yang mulai buram,“ berkata Agung Sedayu.

Yang lain mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu, Agung Sedayu pun berkata, “Aku harus memberikan laporan ke Mataram selaku Lurah pada Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan. Aku akan mohon petunjuk dan perintah-perintah untuk menghadapi orang-orang itu. Sementara itu, Tanah Perdikan Menoreh pun harus bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan.”

“Apakah kau akan pergi ke Mataram?“ bertanya Ki Jayaraga.

“Ya,“ jawab Agung Sedayu, “besok pagi aku berangkat. Siang hari aku sudah berada di Tanah Perdikan kembali.”

“Dengan siapa Kakang akan pergi?“ bertanya Glagah Putih.

“Biarlah aku pergi bersama Ki Lurah Branjangan. Kalian diperlukan di sini,“ jawab Agung Sedayu. Lalu katanya pula, “Nanti malam kita berbicara dengan Ki Gede.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia mengerti kenapa Agung Sedayu tidak membawanya. Di rumah itu ada Bajang Bertangan Baja, sementara di lereng pegunungan itu terdapat perkemahan yang dapat bergerak setiap saat.

Meskipun Glagah Putih tidak akan ikut ke Mataram, namun pada malam harinya Glagah Putih telah menghadap Ki Gede bersama-sama dengan Agung Sedayu. Kepada Ki Gede telah dilaporkan apa yang telah mereka lihat di perkemahan. Mereka juga telah melaporkan bahwa mereka telah membebaskan Bajang Bertangan Baja, yang ternyata telah ditawan oleh orang-orang yang berada di perkemahan itu. Mereka adalah para pengikut orang yang disebut Resi Belahan.

Ki Gede mengangguk-angguk. Namun laporan Agung Bedayu dan Glagah Putih telah memberikan gambaran kepada Ki Gede, bahwa orang-orang yang ada di perkemahan itu dipimpin oleh orang-orang berilmu tinggi.

“Kita memang harus berhati-hati Ki Gede,“ berkata Agung Sedayu, “agaknya mereka ingin menghancurkan atau menguasai Tanah Perdikan Menoreh.”

“Jika demikian, persoalannya tentu tidak sekedar terbatas persoalan Angger Agung Sedayu atau Glagah Putih atau yang lain. Tetapi tentu ada sangkut pautnya dengan kedudukan Tanah Perdikan Menoreh di bumi Mataram,“ berkata Ki Gede.

“Nampaknya memang begitu Ki Gede,“ jawab Agung Sedayu, “karena itu, maka besok aku dan Ki Lurah Branjangan akan pergi ke Mataram untuk memberikan laporan tentang orang-orang di lereng pebukitan itu.”

Ki Gede mengerutkan dahinya. Katanya, “Apakah bukan kewajiban kita di sini untuk mengatasinya?”

“Ya Ki Gede,“ jawab Agung Sedayu, “namun Mataram sebaiknya mengetahui apa yang terjadi di sini. Seandainya kita mendapat kesulitan, maka sudah menjadi kewajiban Mataram untuk memberikan perlindungan kepada kita di sini.”

“Ya,“ desis Ki Gede sambil mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Tetapi sejauh dapat kita atasi sendiri, maka kita tidak akan mengganggu ketenangan Mataram.”

“Tetapi nampaknya apa yang kita hadapi adalah kekuatan yang besar Ki Gede. Karena itu, maka aku merasa perlu untuk memberikan laporan kepada Mataram.”

“Baiklah,“ berkata Ki Gede, “sementara itu Prastawa akan mengatur pengawasan atas lingkungan itu. Penjagaan akan dilakukan di sepanjang puncak-puncak pebukitan. Sementara itu, aku akan menghubungi Ki Demang di Kleringan.”

“Besok aku akan pergi ke Mataram. Sementara itu di rumahku ada Bajang Bertangan Baja. Tetapi Ki Jayaraga, Sabungsari dan Glagah Putih akan mengawasinya.”

“Jadi besok Glagah Putih tidak ikut pergi ke Mataram?“ bertanya Ki Gede.

Agung Sedayu mengangguk sambil menjawab, “Ya Ki Gede. Glagah Putih tidak akan pergi meninggalkan Tanah Perdikan. Karena itu jika diperlukan, ia ada di rumah, atau mungkin berada di antara anak-anak muda dan para pengawal. Selain Glagah Putih, di rumah juga ada Ki Jayaraga, Sabungsari dan Wacana, selain Bajang Bertangan Baja.”

“Baiklah,“ Ki Gede mengangguk-angguk, “Prastawa akan mengatur para pengawal yang akan mengawasi daerah pegunungan itu.”

Demikianlah, Agung Sedayu pun kemudian telah minta diri. Bersama Glagah Putih ia menyusuri jalan padukuhan induk. Beberapa orang pengawal yang langsung dipimpin oleh Prastawa telah bersiap-siap di depan rumah Ki Gede. Sebagian dari mereka akan meronda bukan saja di padukuhan induk, tetapi mereka akan pergi ke padukuhan terdekat dengan pebukitan yang rawan, karena di balik pebukitan itu telah tinggal kelompok-kelompok orang yang tidak dikenal.

Glagah Putih yang bertemu dengan Prastawa di regol halaman rumah Ki Gede berkata, “Panggil aku jika perlu.”

“Untuk sementara kami hanya akan mengawasi lingkungan yang rawan itu,“ jawab Prastawa, “tetapi jika memang diperlukan, aku akan memanggilmu. Atau bahkan padukuhan-padukuhan terdekat itu akan membunyikan isyarat.”

Malam itu Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak meninggalkan rumah. Sedangkan di rumah itu ada Sabungsari, Ki Jayaraga, Wacana dan bahkan Bajang Bertangan Baja, selain Sekar Mirah dan Rara Wulan.

Sementara itu Prastawa bersama lima orang pengawal pilihan telah pergi ke padukuhan terdekat dengan tempat-tempat perkemahan di seberang bukit, sebagaimana dikatakan oleh Agung Sedayu. Tetapi sadar bahwa di perkemahan itu ada orang-orang berilmu tinggi, maka Prastawa hanya akan mengawasi mereka di puncak-puncak perbukitan, tanpa menuruni lereng di sisi barat.

Di padukuhan terdekat Prastawa beristirahat sejenak sambil menunggu malam semakin larut. Dua orang pengawal terbaik dari padukuhan telah ikut pula bersamanya mendaki perbukitan, sehingga kelompok itu kemudian terdiri dari delapan orang. Empat orang berjalan di depan, dan empat orang yang lain beberapa langkah di belakang.

Ketika mereka sampai di puncak-puncak perbukitan, maka mereka tidak segera melihat sesuatu. Mereka sadar bahwa perkemahan itu berada di bawah kaki perbukitan itu. Sedang hutan lereng pegunungan meskipun tidak begitu lebat, tetapi telah menutupi pandangan mata mereka.

Prastawa memutuskan bahwa mereka tidak turun ke bawah. Mereka hanya akan berada di puncak-puncak perbukitan itu untuk mengamati keadaan. Apalagi Agung Sedayu memang berpesan, bahwa orang-orang di perkemahan itu tentu juga menjadi semakin berhati-hati menanggapi keadaan setelah hilangnya Bajang Bertangan Baja dari tangan mereka.

Karena itu maka mereka kemudian telah menebar ke lingkungan yang agak luas, agar penglihatan mereka menjadi lebih luas pula. Namun tidak lebih dari jangkauan bunyi suitan.

Beberapa saat mereka duduk di kegelapan. Mereka sibuk mengusir nyamuk yang rasa-rasanya mengerumuni mereka dari ujung kaki sampai ke ujung rambut. Bahkan sekelompok di antara nyamuk-nyamuk itu telah berterbangan di sekeliling telinga mereka.

Namun tiba-tiba dua orang yang duduk di ujung tebaran pengamatan mereka itu terkejut. Mereka mendengar desir langkah orang. Bahkan orang yang sedang bercakap-cakap. Tiba-tiba saja seakan-akan telah berada di ujung hidung.

Keduanya tidak sempat beringsut. Bahkan keduanya justru diam mematung, agar kehadiran mereka tidak segera diketahui.

Tetapi yang terjadi tidak seperti yang mereka harapkan.

Orang-orang itu justru berjalan menyusuri sela-sela pepohonan hutan pegunungan ke arah kedua orang itu. Keduanya tidak mempunyai pilihan. Keduanya berusaha untuk menghindarkan diri sambil merangkak ke tepi.

Tetapi agaknya orang-orang yang berjalan di paling depan di antara orang-orang datang itu melihat mereka dan mendengar desir sentuhan tubuh mereka dengan tanah dan dedaunan kering.

Karena itu, dua orang di antara mereka dengan cepat meloncat mendekat sambil bertanya lantang, “He, siapa kalian?”

Kedua orang pengawal Tanah Perdikan itu tidak dapat mengelak lagi. Mereka harus bersiap menghadapi segala kemungkinan. Apalagi menilik sikap dan pakaian yang tidak begitu jelas dalam kegelapan, mereka bukan orang-orang Tanah Perdikan atau orang Kleringan. 

Karena itu, maka kedua orang itu pun kemudian berdiri tegak sambil bersiap sepenuhnya. Seorang di antara mereka bertanya tidak kalah lantangnya, “Siapa kalian berkeliaran di sini malam-malam begini?”

“Setan kau,“ geram orang-orang yang datang itu, “kami bertanya siapa kau?”

“Kami-lah yang harus bertanya, karena kami adalah orang-orang Tanah Perdikan ini. Siapa kalian? Jawab, karena kami adalah peronda yang mempunyai wewenang di atas tanah ini.”

“Jadi kalian orang-orang Tanah Perdikan Menoreh?”

“Ya. Siapakah kalian? Kalian belum menjawab,“ bertanya salah seorang pengawal itu semakin keras, sehingga dua orang yang lain yang duduk tidak terlalu jauh mendengarnya pula.

Dalam pada itu beberapa orang yang datang bersama dengan dua orang yang terdahulu itu pun dengan cepat mengepung dua orang pengawal Tanah Perdikan itu. Seorang di antara mereka berkata, “Adalah kebetulan bahwa kami bertemu dengan peronda dari Tanah Perdikan Menoreh. Kami telah kehilangan tawanan kami. Barangkali kalian dapat menunjukkan kepada kami, dimana tawanan kami yang hilang itu. Atau bahkan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh tahu, siapa yang telah mengambil tawanan kami itu.”

Tetapi pengawal itu justru bertanya semakin keras, “Siapakah kalian? Jawab, atau kami akan menangkap kalian.”

“Kau tidak akan dapat menangkap kami,“ jawab orang itu, “kami berenam, sementara kau hanya berdua.”

Tetapi pengawal itu masih saja membentak, “Sebut, siapakah kalian dan siapakah tawanan yang kalian maksud?”

“Sudahlah,“ berkata orang itu, “marilah, ikut kami. Kami hanya ingin berbicara dengan kalian. Kami ingin keterangan kalian. Tidak lebih.”

“Kalian sajalah yang ikut kami. Kami ingin mendapat keterangan kalian. Siapakah kalian, dan untuk apa kalian memasuki Tanah Perdikan Menoreh dengan cara yang tidak wajar.”

“Jangan banyak bicara!“ salah seorang dari mereka membentak, “Kau tidak mempunyai pilihan lain. Jangan menunggu kami marah. Kami dapat berbuat kasar.”

Bahkan tiba-tiba dua orang di antara mereka melangkah maju sambil berkata, “Berikan keduanya kepada kami. Kami akan mematahkan lehernya.”

Kedua orang pengawal itu terkejut melihat kedua orang yang melangkah maju itu. Dalam keremangan kedua pengawal itu melihat samar-samar bahwa pakaian kedua orang itu, sikap serta kata-katanya lebih kasar dari orang-orang yang lain. Mereka membawa bindi yang lebih besar sebagai senjata mereka.

Tetapi seorang di antara kelompok itu berusaha mencegahnya. Katanya, “Jangan bunuh orang itu. Kami memerlukan keterangan mereka.”

Kedua orang yang berpakaian lain dari kawan-kawannya itu termangu-mangu. Dengan heran seorang di antara mereka bertanya, “Kenapa orang-orang itu tidak dibunuh saja? Jika perlu, kami berdua akan menangkap lagi orang-orang Tanah Perdikan, besok atau malam nanti di padukuhan. Berapa orang yang kalian butuhkan?”

“Tidak perlu,“ jawab seorang yang lain di antara mereka yang termangu-mangu, “kami tidak perlu berburu lagi. Kita sudah mendapatkannya sekarang. Karena itu, kita tidak akan membunuhnya. Kita memerlukan keterangannya.”

Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Seorang di antara mereka kemudian berkata, “Di Tanah Perdikan ini terdapat banyak orang. Kenapa kita harus berhemat? Apa arti dua orang ini? Jika kedua orang ini kau serahkan kepada kami malam ini, maka kami akan merasakan bahwa malam ini tidak terlalu dingin. Besok kami akan mengganti dengan sepuluh orang.”

“Belum waktunya kita membunuh sekarang. Marilah, kita bawa orang itu ke perkemahan. Kita paksa mereka berbicara tentang tawanan kita yang hilang. Orang-orang Tanah Perdikan tentu mengetahuinya,“ berkata yang lain.

Tetapi salah seorang dari kedua orang yang nampaknya tidak sabar itu berkata, “Terserahlah kalian. Tetapi sesudah kalian tidak memerlukan mereka, maka serahkan mereka kepadaku.”

“Itu tergantung pada keadaan nanti,“ jawab orang yang lain itu. Sementara ia memberi isyarat kepada kawan-kawannya sambil berkata, “Marilah. Kita bawa mereka berdua.”

Tetapi kedua orang pengawal itu telah bersiap. Seorang di antara mereka berkata, “Kau jangan bersikap dungu. Kau kira aku sebodoh kerbau untuk dicocok hidungku? Dengar, kami adalah pengawal-pengawal Tanah Perdikan. Daripada kami harus ikut bersama kalian untuk diperas keterangan kami dan kemudian dibunuh, bukankah lebih baik kami mati di sini dengan pedang di tangan kami?”

Orang yang nampaknya memimpin sekelompok orang-orang yang berkemah di lereng pebukitan itu berkata, “Kalian-lah yang bodoh. Kalian tentu tahu apa yang dapat kami perbuat atas kalian. Jika kalian menyerah, perlakuan kami tentu berbeda dengan jika kalian melawan kami.”

“Ya aku tahu. Jika kami menyerah, maka nasib kami akan sama dengan seekor kerbau dungu. Tetapi jika kami melawan, maka kalian akan terbunuh di sini. Itulah perbedaannya.”

“Jangan membuat kami kehilangan kesabaran,“ desis orang yang memimpin kelompok orang-orang yang datang dari perkemahan itu, “kami tidak mempunyai banyak waktu untuk bergurau.”

“Letakkan senjata kalian!“ seorang dari kedua orang pengawal itu justru membentak.

Kedua orang kasar yang sudah melangkah maju itu benar-benar sulit mengekang diri. Seorang di antara mereka berteriak, “Tutup mulutmu! Aku remukkan kepalamu!“ Lalu katanya kepada pemimpin kelompoknya, “Aku akan membunuh satu. Yang satuu biar hidup jika kalian perlukan.”

“Jangan dibunuh. Tangkap saja. Seret mereka ke perkemahan. Itu sudah cukup,“ jawab pemimpin kelompok itu.

Kedua orang yang paling kasar itu menggeram. Tetapi mereka tidak dapat melanggar perintah itu.

Enam orang itu pun mulai bergerak. Tetapi kedua orang pengawal itu segera menarik senjata mereka. Dengan senjata teracu seorang di antara mereka berkata, “Jangan memaksa kami membunuh. Jika kalian menurut perintah kami, maka kalian berenam akan tetap hidup.”

“Cukup! Kau tidak usah membual lagi,“ bentak pemimpin kelompok dari para pendatang itu.

Keenam orang itu pun kemudian benar-benar mulai bergerak dari enam arah. Mereka pun telah mengacukan senjata mereka pula.

Tetapi mereka terkejut ketika tiba-tiba saja mereka mendengar suara di belakang mereka, “Jangan melawan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Kami mempunyai wewenang yang luas untuk berbuat apa saja atas mereka yang melawan kami.”

Orang-orang itu berpaling ke arah suara itu. Yang muncul adalah seorang anak muda dari antara beberapa orang.

“Aku Prastawa. Pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Aku perintahkan kalian menyerah dan mengikuti kami menghadap Ki Gede. Ki Gede akan mendengarkan keterangan kalian. Jika kalian tidak bersalah, maka kalian akan segera dibebaskan.”

Orang yang memimpin sekelompok orang dari perkemahan itu menjadi tegang. Dengan lantang ia berkata, “Kalian tikus-tikus Tanah Perdikan jangan terlalu sombong. Kami adalah orang-orang yang bertualangan di antara tajamnya senjata. Jangan menganggap kami seperti pencuri ayam yang dengan mudah kau paksa untuk menyerah dan kau bawa menghadap pemimpinmu.”

“Kami tidak dapat berbuat lain,“ jawab Prastawa.

Pemimpin kelompok itu memang menjadi termangu-mangu. Ternyata pengawal itu tidak hanya berdua. Tetapi dalam kegelapan mereka melihat bayangan beberapa orang yang lain.

Tetapi sudah tentu bahwa mereka tidak akan menyerah. Karena itu, maka pemimpin kelompok itu segera berteriak, “Bunuh mereka semuanya! Sisakan satu atau dua orang saja agar dapat memberikan keterangan kepada pemimpin kita di perkemahan.”

Orang-orang itu pun segera bergerak. Dua orang yang kasar dan bersenjata bindi itu telah menyerang kedua orang pengawal yang mereka jumpai pertama. Sementara yang lain telah menebar dan bertempur dengan pengawal yang lain, yang telah dikumpulkan oleh Prastawa yang mendapat laporan tentang kehadiran orang-orang dari perkemahan itu,

Sejenak kemudian telah terjadi pertempuran yang sengit. Ternyata jumlah para pengawal lebih dari orang-orang yang datang dari perkemahan itu.

Tetapi orang-orang dari perkemahan itu adalah orang-orang yang sudah terbiasa hidup dalam bayangan kekerasan dan pertempuran. Karena itu salah seorang dari mereka berteriak, “He, tikus-tikus kecil. Kenapa kalian menjadi kehilangan akal? Apa yang kalian harapkan dari pertempuran seperti ini selain kematian yang pahit?”

Tetapi para pengawal Tanah Perdikan itu sama sekali tidak menjadi gentar. Meskipun pada umumnya mereka masih muda, tetapi bukan berarti bahwa mereka tidak mempunyai pengalaman menghadapi orang-orang kasar sebagaimana yang mereka hadapi itu. Mereka justru mempunyai bakal yang cukup mantap dengan latihan-latihan yang diberikan oleh para pemimpin pengawal Tanah Perdikan, dan sekali-sekali mereka mendapat tuntunan langsung dari Agung Sedayu atau Glagah Putih. Bahkan Agung Sedayu pernah mengirimkan beberapa orang prajurit Pasukan Khusus untuk memberikan latihan-latihan kepada para pengawal Tanah Perdikan itu.

Apalagi jumah para pengawal itu lebih banyak dari orang-orang yang datang dari perkemahan itu. Sehingga karena itu, maka para pengawal itu sama sekali tidak berniat untuk melangkah surut. Prastawa bahkan telah meneriakkan perintah, “Tangkap mereka hidup atau mati!”

Sejenak kemudian pertempuran di dalam kegelapan itu berlangsung semakin sengit. Meskipun demikian, mereka yang sedang bertempur itu harus berhati-hati. Justru karena jumlah mereka tidak sama, maka setiap orang harus memperhatikan benar-benar siapa lawan dan siapa kawan.

Orang-orang kasar dari perkemahan.itu memang menjadi heran. Para peronda yang mereka anggap anak-anak muda padukuhan yang hanya memiliki keberanian tanpa perhitungan itu ternyata mampu bertahan beberapa lama. Bahkan kadang-kadang mereka mampu membuat lawan-lawannya terdesak surut.

Dengan demikian pertempuran itu menjadi semakin sengit. Orang-orang yang datang dari perkemahan itu berteriak-teriak dengan kasarnya. Dua orang yang bersenjata bindi itu pun berkelahi seperti orang kesetanan. Keduanya sama sekali tidak memperhatikan paugeran apapun dan bahkan benar-benar tanpa tatanan. Meskipun demikian, keduanya justru berhasil mendesak kedua orang pengawal yang melawan mereka berdua. Bindi mereka terayun-ayun mengerikan. Nampaknya kekuatan kedua orang itu memang sangat besar. Ranting dan cabang pepohonan yang tertebas oleh bindi mereka ternyata telah berpatahan.

Prastawa melihat kesulitan kedua orang pengawal yang melawan kedua orang kasar itu. Karena itu, maka iapun segera meloncat mendekati mereka sambil berkata, “Serahkan seorang di antaranya kepadaku.”

Kedua orang pengawal itu dengan cepat tanggap. Sebenarnya mereka berdua tidak menjadi gentar menghadapi kedua orang itu. Tetapi kekasaran orang itu membuat mereka memang agak mengalami kesulitan.

Demikian Prastawa mendekat, maka kedua orang itu pun segera bergabung. Berdua mereka menghadapi salah seorang dari antara kedua orang bersenjata bindi itu.

Ternyata tanpa Iandasan ilmu kanuragan, kedua orang itu mampu membuat lawan-lawannya terdesak. Bindi mereka berputaran terayun deras, menebas mendatar dan sekali-kali mematuk ke arah dada. Ketika terjadi benturan, maka senjata pengawal itu hampir saja terlepas dari tangannya.

Namun Prastawa tidak terpancing oleh kekasaran itu. Dengan tangkasnya ia berloncatan mengambil arah. Baru kemudian pedangnya terayun menyerang.

Tetapi ternyata tidak semudah yang diduga untuk dapat mengenai lawannya. Orang berbindi itu seakan-akan membentengi dirinya dengan putaran senjatanya. Karena itu, maka hampir setiap serangan Prastawa itu sulit untuk menyentuh sasaran, karena ia harus segera mengambil jarak.

Namun demikian, bindi orang itu pun tidak dapat menyentuh tubuh Prastawa. Jika orang yang bersenjata bindi itu maju mendesak dengan ayunan senjatanya, maka dengan tangkas Prastawa meloncat ke samping, dan bahkan kemudian tiba-tiba saja ia sudah berada di belakang lawannya. Tetapi secepat itu pula bindi yang berat itu terayun memburunya.

Namun Prastawa tidak kehilangan akal. Ia bertempur bukan saja dengan ketangkasannya, tetapi ia harus mempergunakan penalarannya sebaik-baiknya.

Karena itu, maka lawannya itu semakin lama menjadi semakin marah. Jantungnya serasa terbakar, sementara darahnya mendidih di dalam tubuhnya.

Dengan demikian maka ayunan bindinya pun menjadi semakin lama semakin cepat. Sambil berteriak-teriak dan mengumpat kasar ia berusaha memburu lawannya.

Tetapi Prastawa yang mempergunakan nalarnya sebaik-baiknya, mampu mengatasinya. Ketika orang itu memburu Prastawa yang meloncat beberapa langkah surut, maka Prastawa justru meloncat ke samping. Demikian orang itu bergeser, maka Prastawa justru menjatuhkan dirinya berguling. Namun demikian ia melenting bangkit dan melihat lawannya meloncat ke arahnya, maka pedangnya dengan cepat terjulur lurus.

Bindi lawannya terayun deras sekali ke arah kepalanya. Jika bindi itu benar-benar mengenai kepalanya, maka kepalanya tentu akan pecah. Karena itu dengan cepat Prastawa meloncat surut.

Namun dalam pada itu, orang itu berteriak marah sekali. Ternyata ujung pedang Prastawa telah menyentuh pundaknya.

Hangatnya darah telah membuat orang itu bagaikan kehilangan akal. Sambil berteriak-teriak ia mengayun-ayunkan bindinya yang berat itu.

Sementara itu, dua orang pengawal yang bertempur melawan salah seorang dari antara orang yang bersenjata bindi itu pun menjadi semakin sengit. Berdua para pengawal itu tidak lagi mengalami kesulitan karena kekasaran dan kekuatan orang bersenjata bindi itu. Dengan landasan ilmu kanuragan, maka kedua orang pengawal itu mampu membuat orang bersenjata bindi itu menjadi bingung. Kedua orang lawannya itu setiap kali berloncatan berputaran. Namun tiba-tiba saja mereka meloncat menyerang dengan cepatnya. Senjata mereka yang teracu mulai terasa menyentuh kulitnya.

Karena itulah maka kedua orang bersenjata bindi itu telah mengamuk. Dalam kegelapan malam bindinya terayun-ayun berputaran. Cabang dan ranting pepohonan pun berpatahan. Bahkan batang-batang perdu bagaikan dicerai-beraikan angin pusaran.

Di sisi yang lain, maka orang-orang yang datang dari perkemahan itu pun telah bertempur dengan para pengawal. Setiap orang harus menghadapi seorang pengawal, sementara seorang di antara para pengawal itu telah berloncatan di antara pertempuran itu membantu kawan-kawannya yang terdesak.

Orang-orang dari perkemahan itu telah bertempur dengan keras dan kasar. Ternyata bukan saja kedua orang bersenjata bindi itu, tetapi yang lain pun telah bertempur dengan kasarnya pula.

Namun para pengawal yang terlatih itu masih mampu menempatkan diri mereka. Mereka tidak segera terseret dalam pertempuran yang tidak berbentuk. Para pengawal itu masih mampu mempergunakan penalaran mereka dengan bening, sehingga betapapun keras dan kasarnya lawan-lawan mereka, namun para pengawal itu masih tetap bertahan dan bahkan kadang-kadang mereka telah mendesak lawannya. Apalagi salah seorang di antara para pengawal itu dapat menempatkan diri sesuai dengan kebutuhan.

Sementara itu, kedua orang yang bersenjata bindi itu menjadi semakin terdesak. Prastawa telah berhasil memantapkan diri menghadapi lawannya itu. Meskipun lawannya masih tetap bertempur seperti seekor harimau yang terluka, namun Prastawa mampu mendapatkan sela-sela pertahanannya. Pedangnya sekali lagi menyusup di antara putaran bindi yang berat itu dan menggapai lambungnya. Meskipun hanya segores kecil karena Prastawa harus segera meloncat menghindari ayunan bindinya, namun luka itu pun telah menitikkan darah sebagaimana luka di pundaknya.

Orang itu mengumpat kasar. Kemarahannya telah membakar ubun-ubunnya. Apalagi ketika luka-lukanya menjadi pedih karena keringatnya sendiri.

Yang harus melawan dua orang pengawal ternyata menjadi semakin bingung. Betapapun kuatnya, tetapi kedua pengawal itu ternyata bergerak lebih cepat dan lebih tangkas.

Karena itu, maka kedua orang bersenjata bindi itu mulai mengalami kesulitan. Bagi orang itu, Prastawa sulit untuk dapat dikuasainya. Seperti bayangan, Prastawa berloncatan di antara pepohonan. Namun tiba-tiba saja anak muda itu telah meloncat dengan pedang terjulur.

Semakin lama maka luka-luka di tubuh orang berbindi itu menjadi semakin banyak. Karena Prastawa masih sulit untuk menyerang dari jarak yang lebih dekat, maka luka-luka yang timbul oleh sentuhan ujung pedangnya pun masih saja goresan-goresan tipis saja. Meskipun demikian perasaan pedih semakin menyengat-nyengat kulitnya.

Empat orang yang datang dari perkemahan itu pun tidak berhasil segera menguasai para pengawal. Bahkan pertempuran pun semakin lama menjadi semakin sengit. Seorang di antara para pengawal itu bertempur seperti hantu. Tiba-tiba saja ia menyerang dari arah yang tidak terduga-duga. Namun kemudian hilang di dalam kegelapan. Bahkan serangannya telah menimbulkan goresan-goresan kecil di tubuh orang-orang perkemahan itu.

Namun pemimpin dari kelompok kecil orang-orang perkemahan itu ternyata juga memiliki kelebihan dari kawan-kawannya. Serangannya kadang-kadang sulit diperhitungkan.

Anak muda yang berhadapan dengan orang itu memang mengalami kesulitan. Dalam kegelapan orang itu seakan-akan memiliki pasangan mata rangkap, sehingga kemanapun pengawal itu meloncat, ujung senjatanya selalu mengejarnya. Meskipun pengawal itu cukup tangkas untuk menghindar dan menangkis serangan-serangannya, namun ujung senjata lawannya itu sempat melukai lengannya pula.

Pengawal itu meloncat surut. Lengannya terasa menjadi pedih. Sementara itu darahnya yang hangat telah meleleh membasahi kulitnya. Pengawal itupun menjadi marah. Tetapi ia tidak dapat ingkar dari kenyataan bahwa lawannya memang memiliki kemampuan olah senjata.

Sejenak kemudian, pengawal yang telah terluka itu pun menjadi semakin terdesak. Senjata lawannya rasa-rasanya menjadi semakin sering berdesing di telinganya. Seperti seekor nyamuk yang terbang berputaran dan bahkan sekali-sekali menyentuh kulitnya.

Seorang pengawal yang berdiri bebas dan yang berloncatan dari satu lawan ke lawan yang lain sempat melihat keadaan kawannya yang mengalami kesulitan itu. Karena itu, maka iapun dengan cepat mendekatinya dan menempatkan diri bersama kawannya itu.

Pemimpin sekelompok orang perkemahan itu menggeram. Namun ia tidak mempunyai kesempatan lagi. Dua orang lawannya menyerang bersama-sama dari arah yang berbeda. Karena itu, maka iapun harus mengerahkan kemampuannya untuk menghadapi dua orang lawan yang terasa menjadi cukup berat baginya.

Pertempuran di bukit itu semakin lama memang menjadi semakin sengit. Prastawa semakin mendesak lawannya yang bersenjata bindi, sementara dua orang pengawal yang bertempur bersama itu pun semakin menguasai lawannya pula. Demikian pula dua orang pengawal yang bertempur berpasangan melawan pemimpin kelompok orang-orang perkemahan itu.

Namun dua orang pengawal Tanah Perdikan masih saja mengalami kesulitan karena lawannya yang keras dan kasar.

Beberapa saat kemudian, maka dua orang bersenjata bindi itu benar-benar tidak mempunyai kesempatan lagi. Demikian pula pemimpin kelompok orang-orang dari perkemahan itu. Mereka menjadi semakin terdesak. Bahkan tubuh mereka pun telah tergores oleh luka.

Tetapi dalam pada itu, seorang pengawal Tanah Perdikan telah terkoyak pula lambungnya. Dengan memaksa diri ia masih berjuang untuk mempertahankan hidupnya, betapapun perasaan sakit dan pedih menggigit lukanya itu. Namun agaknya maut semakin membayanginya. Ia semakin terdesak, sementara darah semakin banyak mengalir.

Prastawa yang bertempur tidak jauh daripadanya, tidak sempat menyaksikannya. Ia sendiri masih terlibat dalam pertempuran. Apalagi malam yang gelap meliputi lingkungan hutan pegunungan.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar