Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 279

Buku 279

Raras tidak menjawab. Tetapi dari sorot matanya nampak bahwa ia tidak yakin akan kata-kata Raden Teja Prabawa, dan bahkan kata-kata ibunya.

Raden Teja Prabawa sendiri masih saja berdiri termangu-mangu menanggapi sikap Raras. Namun Nyi Rangga-lah yang kemudian mempersilahkan duduk.

Raden Teja Prabawa pun kemudian duduk di sebelah Wacana. Tetapi ia tidak segera dapat menyatakan sesuatu. Suasana menjadi hening dan kaku.

Dalam pada itu, seperti orang yang mengigau Raras berkata perlahan-lahan hampir tidak terdengar, “Waktu itu aku melihat orang-orang yang tidak aku kenal telah merebutku dari tangan orang-orang yang mengambil dan kemudian menyekapku. Aku telah dipertukarkan dengan Raden Antal,“ Raras mengingat-ingat. Lalu katanya, “Ya. Aku didorongnya supaya aku berjalan dari satu ujung ke ujung yang lain. Sedangkan Raden Antal dari ujung yang sebaliknya.“ Tiba-tiba suara Raras bagaikan tertelan. Yang terdengar kemudian adalah isaknya yang tertahan-tahan, “Orang-orang itu telah membebaskan aku. Aku tidak tahu bagaimana terjadinya, sehingga akhirnya Ayah datang menjemputku, setelah terjadi perkelahian-perkelahian yang tidak aku mengerti. Namun seorang di antara mereka telah melindungi aku dan mengusir orang-orang yang masih ingin menangkapku.”

“Sudahlah,“ berkata ibunya, “semua sudah lewat. Kau telah aman di rumah. Rumah ini masih tetap dijaga sekelompok prajurit, selain ada ayahmu dan Wacana.”

“Tetapi bukankah aku tidak akan dijaga prajurit untuk selama-lamanya? Bukankah itu berarti bahwa aku memerlukan seorang pelindung, yang akan dapat melindungi aku tanpa prajurit-prajurit itu Ibu?“ bertanya Raras.

“Jangan kau pikirkan sekarang, Raras. Kau harus berusaha untuk membuat hatimu sendiri tenang. Kau singkirkan perasaan takut dan cemas. Apalagi kecemasan bagi masa depan yang jauh,“ berkata ibunya sambil mengusap rambut anak gadisnya.

Raras mengangguk kecil sambil menjawab, “Ya Ibu. Aku mengerti. Aku akan berusaha untuk tidak selalu dibayangi oleh ketakutan dan kecemasan itu.”

“Nah, biarlah Ibu pergi ke dapur, Raras. Di pendapa ada beberapa orang tamu. Biarlah Raden Teja Prabawa dan Wacana menemanimu dahulu.”

Raras mengangguk kecil, sementara ibunya pun segera bangkit dan meninggalkan bilik itu sambil berkata, “Silahkan Ngger, Raras masih belum tenang benar. Jika ia banyak istirahat, maka keadaannya akan segera baik kembali.”

“Terima kasih Nyi Rangga,“ jawab Teja Prabawa ragu-ragu.

Nyi Rangga pun kemudian telah pergi ke dapur untuk menyiapkan minuman bagi tamu-tamunya. Sementara Teja Prabawa berada di dalam bilik itu bersama Wacana yang menunggui Raras. Namun Raras ternyata masih saja berdiam diri. Matanya memandang atap di atas pembaringannya.

“Raras,“ desis Raden Teja Prabawa kemudian, “bukankah kau tidak apa-apa? Maksudku selama kau berada di tangan orang-orang jahat itu?”

Raras termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia justru bertanya, “Apakah yang Kakangmas maksudkan?”

“Maksudku, kau tidak diapa-apakan oleh mereka,“ jawab Teja Prabawa.

Wacana-lah yang kemudian menjelaskan, “Maksud Raden Teja Pabawa, bukankah kau tidak disakiti?”

“Aku disakiti. Tubuhku dan hatiku,“ jawab Raras.

“Apa yang telah terjadi atasmu?“ desak Raden Teja Prabawa.

“Mereka adalah laki-laki kasar. Tetapi kenapa Kakangmas tidak berbuat apa-apa?“ desak Raras pula.

“Aku telah pergi ke Tanah Perdikan Menoreh,“ desis Teja Prabawa, “aku sudah berusaha agar Rara Wulan bersedia menuruti keinginan Raden Antal sehingga kau dibebaskannya. Tetapi Wulan memang keras kepala.”

“Itukah yang kau lakukan? Kau sampai hati mencoba untuk mengorbankan adikmu sendiri? Bukankah itu berarti bahwa kau hanya mementingkan dirimu sendiri?”

“Jadi apa maksudmu sebenarnya?“ bertanya Teja Prabawa.

“Seandainya Rara Wulan bersedia dan aku dibebaskan karena itu, maka aku akan menyesalinya sepanjang hidupku,“ desis Raras.

“Jadi, jadi bagaimana?“ Teja Prabawa menjadi semakin bingung sehingga wajahnya menjadi tegang.

“Aku ingin kau membebaskan aku sebagaimana beberapa orang laki-laki yang telah melakukannya, tanpa mengorbankan orang lain. Meskipun akhirnya mereka harus bertempur, namun mereka sama sekali tidak memilih jalan sebagaimana akan kau lakukan. Mungkin mereka dapat mengambil Rara Wulan dan membawanya ke Tegal Wuru untuk ditukarkan dengan aku. Tetapi itu adalah cara yang licik. Bukan cara seorang laki-laki.”

“Tetapi Raras,“ potong Wacana yang mencoba menengahi, “bukankah hal itu tidak terjadi? Bukankah Rara Wulan tidak dikorbankan untuk membebaskanmu? Sebenarnya Raden Teja Prabawa juga tidak ingin mengorbankan Rara Wulan. Yang dilakukan adalah sekedar penjajagan. Tetapi karena kehadiran Raden Teja Prabawa di Tanah Perdikan itulah, maka Ki Lurah Agung Sedayu telah mengambil langkah-langkah.”

“Dan Kakangmas Teja Prabawa sendiri tidak berbuat apa-apa, selain mencoba untuk memaksa Rara Wulan menyerahkan dirinya,“ sahut Raras.

“Tetapi Raras,“ potong Raden Teja Prabawa, “sebenarnya Agung Sedayu dan Glagah Putih juga mementingkan diri sendiri. Mereka berusaha untuk membebaskanmu bukan karena mereka ingin kau bebas. Kau tahu bahwa Glagah Putih dan Rara Wulan telah sepakat untuk hidup bersama-sama. Karena itu jika Glagah Putih membantu, itu juga karena kepentingannya, agar ia tidak kehilangan Rara Wulan.”

“Nah, begitulah seharusnya yang Kakangmas lakukan. Glagah Putih itu telah mempertaruhkan nyawanya untuk berusaha membebaskan aku, yang akibatnya juga menyelamatkan Rara Wulan. Tetapi seandainya ia tidak berbuat apa-apa, tetapi sekedar menunggui Rara Wulan agar tidak hilang, sebenarnya sudah cukup baginya, jika ia sekedar mementingkan dirinya sendiri.”

“Sudahlah,“ Wacana kembali berusaha menengahi, “kita wajib bersyukur bahwa bencana ini sudah kita lewati. Tidak ada gunanya untuk saling menyalahkan sekarang.”

Raras menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian katanya, “Aku akan berusaha untuk dapat tidur.”

Wacana mengangguk. Katanya, “Baiklah, tidurlah.”

Raras pun kemudian telah memejamkan matanya, tanpa menghiraukan lagi Raden Teja Prabawa yang masih ada di dalam biliknya.

Sementara itu Wacana pun berdesis kepada Raden Teja Prabawa, “Biarlah ia beristirahat Raden.”

Raden Teja Prabawa mengangguk kecil. Iapun kemudian bangkit berdiri dan melangkah keluar. Wacana yang mengantarkannya sampai ke pintu berkata perlahan-lahan, “Biarlah Raras beristirahat, Raden. Goncangan-goncangan perasaan telah membuatnya sangat gelisah, dan dengan demikian maka penalarannya pun seakan-akan agak terganggu. Jika ia menjadi tenang kembali, maka ia akan bersikap lain.”

Raden Teja Prabawa mengangguk kecil. Namun iapun kemudian telah kembali ke pendapa. Duduk di antara tamu-tamu Ki Rangga yang lain.

Sementara itu, Nyi Rangga pun telah menghidangkan sendiri minuman yang baru saja selesai dibuatnya bagi tamu-tamunya.

“Kami telah merepotkan Nyi Rangga,“ berkata Ki Wirayuda, “kami sebenarnya hanya ingin singgah sebentar.”

“Hanya air Ki Wirayuda,“ jawab Nyi Rangga.

Tetapi justru karena itu maka para tamu Ki Rangga itu harus duduk lebih lama lagi, menunggu minuman mereka menjadi agak dingin.

Dengan demikian maka mereka sempat berbicara tentang peristiwa di Tegal Wuru itu berkepanjangan, sehingga karena itu maka Raden Teja Prabawa itu mendapat gambaran serba sedikit tentang pertempuran yang telah terjadi saat mereka membebaskan Raras.

Ketika kemudian Nyi Rangga mempersilahkan mereka minum, maka tiba-tiba saja di luar dugaan, maka pintu pringgitan rumah Ki Rangga Wibawa itu terbuka. Yang muncul di pintu adalah Raras. Di belakangnya Wacana menyusulnya sambil berkata, “Sudahlah Raras. Bukankah kau masih pening dan letih? Sebaiknya kau berbaring saja di pembaringan. Jika kau dapat tidur barang sejenak, maka keadaanmu tentu akan menjadi lebih baik. Tubuhmu akan terasa semakin segar, sedangkan pikiranmu akan menjadi bening.”

“Kau kira pikiranku sekarang sedang kacau?“ bertanya Raras.

“Bukan maksudku. Tetapi kau masih terlalu letih,“ jawab Wacana bimbang,

Namun Raras sama sekali tidak menjawab. Sekilas wajah gadis itu nampak menegang. Di luar sadarnya dipandanginya wajah Sabungsari. Meskipun malam itu gelap, namun Raras dapat mengenal orang yang telah menolongnya itu. Seorang yang telah menarik tangannya, membimbingnya, sekali-sekali mendorongnya dan bahkan memeluknya. Tetapi Raras sadar, bahwa orang itu tidak bermaksud buruk. Tetapi pada getar perasaannya, bahwa laki-laki yang justru kadang-kadang menyakiti lengannya saat ia menariknya itu, semata-mata karena ia ingin menyelamatkannya dari orang-orang yang masih saja berusaha menangkapnya. Orang itu sama sekali tidak gentar bertempur menghadapi dua atau tiga orang sekaligus saat ia berusaha melindunginya.

Di luar sadarnya pula Raras memperhatikan orang yang bertubuh gagah pideksa itu. Tidak terlalu besar, tetapi juga tidak kecil. Tidak terlalu tinggi, tetapi juga seorang yang tidak bertubuh rendah. Dari sorot matanya yang tajam nampak betapa orang itu memiliki ketajaman penalaran.

Namun ketika kemudian Sabungsari yang juga memandanginya itu menatap matanya, maka Raras terkejut. Tiba-tiba pula iapun berbalik dan lari kembali ke biliknya. Wacana yang mengikutinya itu pun ikut pula berlari-lari ke bilik Raras. Namun ketika ia melihat Raras membanting dirinya dan berbaring menelungkup, Wacana tidak mengganggunya.

Tetapi Wacana itu terkejut, ketika tiba-tiba saja ia mendengar Raras terisak.

“Raras, kenapa kau?“ bertanya Wacana.

Raras tidak menjawab. Tetapi ia berusaha untuk menahan tangisnya itu.

Wacana memang agak menjadi bingung. Tiba-tiba saja Raras minta untuk keluar. Namun tiba-tiba pula Raras berlari masuk kembali ke dalam biliknya.

Tetapi Wacana tidak bertanya lagi. Ia masih saja menganggap bahwa ketakutan yang amat sangat telah membuat Raras menjadi bingung. Menurut perhitungan Wacana, hal itu akan berlangsung untuk beberapa lama.

Di pendapa, Ki Rangga Wirayuda, Nyi Rangga dan tamu-tamunya juga menjadi bingung. Nyi Rangga-lah yang kemudian bangkit dan dengan tergesa-gesa menuju ke bilik Raras.

“Ia menangis,“ desis Wacana.

Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Sambil duduk di bibir pembaringan Raras, Nyi Rangga bertanya, “Ada apa sebenarnya Raras? Sebaiknya kau tidak usah memikirkan apa-apa lebih dahulu. Kau pulihkan saja perasaanmu, penalaranmu dan juga kewadaganmu yang sangat letih.”

Raras tidak menjawab. Tetapi isaknya memang mereda.

“Sudahlah, sebaiknya kau memang tidur,“ berkata ibunya kemudian.

Raras masih belum menjawab. Tetapi tangisnya telah tidak terdengar lagi. Meskipun satu-satu tubuhnya masih digoncang oleh isaknya, namun terasa bahwa gejolak perasaannya telah mereda.

Nyi Rangga pun kemudian meninggalkan bilik itu lagi dan kembali menemui tamu-tamunya. Namun ternyata tamu-tamunya itu telah minta diri untuk meninggalkan rumah Ki Rangga.

“Begitu tergesa-gesa?“ bertanya Nyi Rangga.

“Kami masih mempunyai tugas yang harus kami selesaikan Nyi,“ jawab Ki Wirayuda.

“Sekali lagi, kami sekeluarga menyatakan terima kasih yang tidak terhingga. Karena dengan pertolongan kalian semuanya, maka Raras dapat dibebaskan dari tangan orang-orang yang telah menculiknya,“ berkata Nyi Rangga dengan suara yang bergetar.

“Itu sudah menjadi kewajiban kami Nyi,“ jawab Ki Wirayuda.

Demikianlah, sejenak kemudian, maka para tamu Ki Rangga Wibawa itu telah meninggalkan rumah itu. Mereka langsung menuju ke rumah Ki Wirayuda untuk menemui anak-anak dari kelompok Gajah Liwung yang ada di sana.

Namun Raden Teja Prabawa yang melihat arah perjalanan mereka bertanya, “He, akan pergi kemana?”

“Ke rumahku,“ jawab Ki Wirayuda, “bukankah kita memang akan pergi ke rumahku? Bukankah kita hanya singah sebentar saja di rumah Ki Rangga Wibawa, sebagaimana kita rencanakan? Bahkan kita sudah terlalu lama berada di rumah Ki Rangga Wibawa untuk menunggu minuman menjadi dingin.”

Wajah Raden Teja Prabawa menegang. Dengan lantang ia berkata, “Aku tidak mempunyai kepentingan di rumah Ki Wirayuda.”

“Tidak apa-apa Raden,“ jawab Ki Wirayuda, “bukankah Raden tidak pemah berkunjung ke rumahku?”

“Tetapi tidak di saat seperti ini,“ jawab Raden Teja Prabawa, “aku ingin segera pulang.”

Ki Wirayuda mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah, jika Raden ingin pulang. Kami ingin meneruskan perjalanan kami.”

Dalam pada itu Agung Sedayu pun menyambung, “Aku, Glagah Putih dan Sabungsari ingin bertemu dengan kawan-kawan kami yang telah membantu kami membebaskan Raras. Karena itu, jika berkenan, ada baiknya Raden bertemu dengan mereka.”

Wajah Raden Teja Prabawa semakin menegang. Ia memang merasa terlalu kecil di antara orang-orang yang disebut Raras sendiri sebagai orang-orang yang telah menolong membebaskannya. Tetapi justru karena itu, maka Raden Teja Prabawa merasa perlu menggelembungkan dirinya, agar nampak lebih besar dari perasaannya sendiri. Karena itu maka katanya, “Tidak. Aku akan pulang. Jika orang-orang itu sempat, biarlah mereka singgah di rumah. Aku memang ingin mengucapkan terima kasih kepada mereka.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Memang sulit baginya untuk menerima cara berpikir Raden Teja Prabawa. Namun Agung Sedayu memang sudah mengira bahwa yang dilakukan oleh anak muda itu justru karena ia merasa dirinya terlalu kecil.

Karena itu, maka iapun berkata, “Jika demikian, apa boleh buat. Tetapi pernyataan terima kasih itu akan aku sampaikan kepada kawan-kawan kami itu.”

Raden Teja Prabawa ternyata masih termangu-mangu sejenak. Karena itu, maka Agung Sedayu dan Ki Wirayuda pun hampir berbareng berkata, “Marilah Raden.”

Tetapi demikian mereka bergerak, Raden Teja Prabawa segera bertanya, “Kalian akan pergi kemana?”

Ki Wirayuda yang keheranan menjawab, “Bukankah sudah kami katakan, kami akan pergi ke rumahku untuk bertemu dengan beberapa kawan yang sudah ada di sana.”

“Tetapi aku ingin pulang dahulu,“ berkata Raden Teja Prabawa dengan wajah yang tegang.

“Silahkan Raden. Silahkan. Bukankah kami sudah mempersilahkan jika Raden akan pulang lebih dahulu?”

“Dan kalian?“ bertanya Teja Prabawa.

Ki Wirayuda semakin tidak mengerti. Karena itu iapun bertanya, “Bagaimana maksud Raden sebenarnya?”

Raden Teja Prabawa memang menjadi ragu-ragu. Namun katanya kemudian, “Bukankah kita berangkat bersama-sama?”

“Ya,“ jawab Ki Wirayuda.

Raden Teja Prabawa masih saja nampak ragu-ragu. Tetapi kemudian ia berkata pula, “Jika demikian, kenapa kita tidak pulang bersama-sama?”

Ki Wirayuda menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Glagah Putih yang tidak sabar lagi bertanya, “Apakah Raden tidak berani pulang sendiri?”

Wajah Raden Teja Prabawa menjadi merah. Tetapi ia masih sempat membentak, “Siapa yang berkata begitu? Aku hanya mengatakan bahwa kita berangkat bersama-sama. Seharusnya kita pulang bersama-sama!”

“Kami akan pergi ke rumah Ki Wirayuda. Terserah kepada Raden, apakah Raden akan ikut pergi bersama kami atau akan pulang mendahului kami,“ sahut Glagah Putih kemudian.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sebaiknya Raden pulang saja lebih dahulu. Agaknya tidak akan terjadi sesuatu di perjalanan. Di kota ini kewaspadaan telah ditingkatkan Para prajurit meronda di sepanjang hari. Bahkan juga di malam hari.”

Wajah Raden Teja Prabawa yang merah terasa menjadi panas. Namun kepada diri sendiri ia memang tidak dapat ingkar, bahwa ia tidak ingin bertemu dengan Bajang Bertangan Baja di perjalanan pulang. Atau orang lain yang disebut Resi Belahan itu. Orang yang masih belum pernah dilihatnya. Tetapi sudah pernah didengarnya tentang kelebihan mereka.

Dalam keragu-raguan itu, Ki Wirayuda melihat empat orang prajurit yang meronda lewat. Beruntunglah Ki Wirayuda mengenal dua di antara mereka. Karena itu, maka Ki Wirayuda telah memanggil mereka.

“Ki Wirayuda,“ desis salah seorang di antara mereka.

Ki Wirayuda pun kemudian berkata, “Bawa Raden Teja Prabawa kembali ke rumahnya. Kami masih akan melanjutkan perjalanan kami sebentar, karena masih ada tugas yang masih akan kami selesaikan.”

“Aku dapat pulang sendiri,“ potong Raden Teja Prabawa dengan nada keras, “aku sama sekali tidak ketakutan untuk pulang. Aku hanya mengatakan, jika kita berangkat bersama-sama, seharusnya kita kembali bersama-sama.”

Raden Teja Prabawa tidak menunggu jawaban. Iapun telah memacu kudanya meninggalkan orang-orang itu, langsung menuju ke rumahnya. Sementara para prajurit itu menjadi kebingungan.

“Jangan ikut menjadi bingung,“ berkata Ki Wirayuda, “Raden Teja Prabawa memang sedang bingung. Bukankah kalian tahu sebabnya sehingga anak muda itu kadang-kadang kehilangan kekang akan dirinya sendiri?”

Para prajurit itu mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka bertanya, “Jadi?”

“Teruskan tugas kalian,“ jawab Ki Wirayuda.

Para prajurit itu saling berpandangan sejenak. Namun seorang di antara mereka pun kemudian berkata, “Baiklah Ki Wirayuda. Kami minta diri.”

“Terima kasih atas kesediaan kalian,“ jawab Ki Wirayuda.

Dengan demikian maka mereka pun telah berpisah. Ki Wirayuda meneruskan perjalanannya bersama beberapa orang kembali ke rumahnya, sedang para prajurit itu pun meneruskan tugasnya menelusuri jalan-jalan di Kotaraja untuk mengamati keadaan.

Sementara itu Raden Teja Prabawa melarikan kudanya di jalan-jalan yang terhitung ramai. Seorang perempuan yang menggandeng anaknya menyeberangi jalan, hampir saja disambar oleh kuda Raden Teja Prabawa yang tegar. Namun untunglah bahwa kuda itu berlari sejengkal saja di hadapannya. Anginnya-lah yang menyambar perempuan dan anaknya itu, sehingga anak itu pun menjerit ketakutan. Beberapa orang kemudian berlari-larian menggandeng perempuan dan anaknya itu menepi. Kemudian membawanya duduk di bawah sebatang pohon yang rindang.

Perempuan yang gemetar itu kemudian memeluk anaknya yang menangis.

“Terima kasih, terima kasih,“ desis perempuan itu kepada beberapa orang yang berdiri termangu-mangu di sebelah-menyebelahnya. Seorang diantaranya bertanya, “Bukankah Bibi tidak apa-apa?”

“Tidak Ki Sanak,“ jawab perempuan itu, “kami tidak mengalami sesuatu. Kami hanya terkejut.”

Sementara itu Raden Teja Prabawa masih melarikan kudanya tanpa berpaling. Beberapa orang mengumpatinya dengan kasar, karena mereka tidak tahu siapa yang melarikan kudanya seperti dikejar hantu itu.

“Anak-anak muda sekarang kadang-kadang tidak mau bertimbang rasa,“ berkata seorang laki-laki separuh baya, “mereka mengira bahwa jalan-jalan itu adalah miliknya.”

Dalam pada itu, Raden Teja Prabawa memang menjadi sangat tergesa-gesa. Meskipun jalan-jalan di Kotaraja itu cukup ramai, namun Teja Prabawa masih juga mencemaskan bahwa tiba-tiba saja di-antara mereka muncul Bajang Bertangan Baja yang luput dari penangkapan, atau orang yang disebut-sebut bernama Resi Belahan. Mereka akan dapat melontarkan dendam kepadanya karena mereka telah kehilangan Raras. Jika kedua orang itu muncul, maka ia tentu tidak akan dapat melawannya. Bahkan seandainya ia berteriak-teriak, maka belum tentu ada orang yang mampu menolong membebaskannya dari tangan orang-orang berilmu sangat tinggi itu, sehingga dengan demikian maka ia akan dapat mengalami nasib yang sangat buruk.

Karena itu, maka Raden Teja Prabawa memang ingin segera sampai ke rumah. Rasa-rasanya sepanjang perjalanan ia selalu dibayangi oleh kemungkinan yang buruk itu. Menurut angan-angannya, Bajang Bertangan Baja dan Resi Belahan itu dapat saja muncul dari sembarang tempat. Dari antara orang-orang yang lewat, dari balik pepohonan yang tumbuh di sebelah-menyebelah jalan, dari regol-regol halaman rumah, dan dari manapun juga.

Apalagi jika kebetulan Raden Teja Prabawa bertemu dengan orang yang bertubuh pendek, maka jantungnya rasa-rasanya akan terlepas dari tangkainya.

Tetapi ternyata bahwa perjalanan Raden Teja Prabawa itu sama sekali tidak terganggu. Ketika ia memasuki regol halaman rumahnya, maka rasa-rasanya di ujung ubun-ubunnya telah terpercik air sedingin embun.

Kakeknya yang kebetulan berada di pendapa menjadi berdebar-debar melihat kuda cucunya berlari kencang memasuki halaman rumah. Namun kemudian Raden Teja Prabawa itu pun telah menarik kendali kudanya, dan kudanya pun berhenti di sebelah pendapa rumahnya itu.

Ki Lurah dengan tergesa-gesa bangkit berdiri dan menyongsong cucunya, yang kemudian meloncat turun dari kudanya.

“Ada apa?“ bertanya Ki Lurah.

Tetapi Raden Teja Prabawa mengerutkan dahinya. Anak muda itu justru bertanya, “Maksud Kakek?”

“Kau nampak gugup dan tergesa-gesa,“ jawab kakeknya.

“Tidak ada apa-apa,“ jawab Teja Prabawa.

“Kau berpacu memasuki halaman ini tanpa memperlambatnya. Seandainya ada orang yang kebetulan keluar dari regol halaman rumah ini, maka orang itu akan dapat terinjak kaki-kaki kudamu yang berlari kencang itu.”

“Bukankah aku sudah memperhitungkannya Kakek. Kakek jangan selalu cemas atas apa saja yang aku lakukan. Bukankah aku sudah cukup dewasa dan berpengalaman di atas punggung kuda?”

Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Tetapi sebaiknya kau harus lebih berhati-hati.”

Teja Prabawa mengangguk-angguk. Katanya, “Aku selalu berhati-hati, Kakek. Tetapi Kakek tidak usah terlalu memikirkan aku. Aku sudah dapat memilih apa yang baik aku lakukan, dan mana yang seharusnya tidak aku lakukan.”

“Syukurlah,“ desis Ki Lurah Branjangan, “itu adalah salah satu ciri dari seorang yang telah dewasa.“ Ki Lurah terhenti sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, “Dimana kawan-kawanmu yang berangkat bersamamu tadi?”

“Mereka ternyata tidak tahu unggah-ungguh,“ jawab Teja Prabawa dengan wajah muram.

“Kenapa?“ bertanya kakeknya.

Teja Prabawa termangu-mangu sejenak. Sambil melangkah naik ke pendapa iapun berkata, “Orang-orang itu ternyata tidak ingin kembali bersamaku.”

“Mungkin mereka masih mempunyai kepentingan yang lain,“ sahut Ki Lurah Branjangan.

“Tetapi kami berangkat bersama-sama. Seharusnya kami pulang bersama-sama. Tetapi mereka ternyata memilih meneruskan perjalanan mereka ke rumah Ki Wirayuda, dan membiarkan aku pulang sendiri.”

Ki Lurah mengerutkan keningnya. Namun iapun berkata, “Apa kata mereka?”

Raden Teja Prabawa pun kemudian meceritakan perjalanan mereka ke rumah Raras, dan selanjutnya yang lain akan pergi ke rumah Ki Wirayuda.

Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk pula. Namun sambil tersenyum ia berkata, “Ya. Seharusnya jika kalian berangkat bersama-sama, maka kalian pun pulang bersama-sama pula.”

“Nah, bukankah begitu?“ sahut Raden Teja Prabawa.

“Ya. Seharusnya kaupun pergi ke rumah Ki Wirayuda, dan kembali bersama-sama dengan mereka.”

Raden Teja Prabawa terkejut. Dengan kerut di dahinya ia bertanya, “Kenapa harus aku yang mengalah? Bukankah mereka berada di rumahku, di rumah ayahku?”

“Mereka berempat, sedang kau seorang diri. Apalagi kau hanya sekedar pulang, sementara yang lain masih mempunyai tugas yang harus diselesaikan.”

“Itu kepentingan mereka. Mereka juga harus melihat kepentinganku pula,“ jawab Teja Prabawa.

“Kepentinganmu apa? Pulang, hanya itu kan? Pulang ke rumah. Pulang kepada ayah dan ibu.”

Teja Prabawa termanagu-mangu sejenak. Tetapi iapun menjawab, “Bukankah pulang ke rumah ini juga kepentingan mereka? Mereka mau pulang kemana jika tidak ke rumah ini?”

“Tetapi kenapa mereka berada di sini? Juga kenapa Ki Jayaraga berada di sini? Kenapa Angger Sekar Mirah juga berada di sini? Dan bahkan para prajurit itu?”

“Apapun alasannya, Kek. Tetapi mereka berada di rumahku. Di rumah ayahku. Mereka-lah yang harus menyesuaikan dirinya dengan segala macam ketentuan dan kebiasaan serta unggah-ungguh di rumah ini.”

“Dengar cucuku. Mereka berada di sini karena kita memerlukan mereka. Seandainya mereka tidak berada di rumah ini, maka mereka dapat berada di mana saja. Di rumahku, di rumah Ki Wirayuda, atau bahkan di Kepatihan. Lebih dari itu, mereka dapat saja bermalam di istana, karena Agung Sedayu adalah sahabat Panembahan Senapati di masa mudanya. Mereka bersama-sama mengembara dari satu tempat ke tempat yang lain. Mereka berprihatin menelusuri kehidupan. Mereka rajin mencari makna dari tingkah laku dan kehidupan mereka. Tetapi mereka juga bekerja keras untuk mencari bekal bagi masa depan mereka. Mereka menyingkir dari sekedar bersenang-senang kini tanpa memikirkan hari depan. Nah, lihat kepada dirimu sendiri. Apa yang telah kau lakukan?”

Wajah Teja Prabawa menegang. Namun kemudian iapun melangkah memasuki pintu pringgitan sambil bersungut, “Kakek selalu membelokkan pembicaraan tentang apapun juga, sekedar untuk menjelek-jelekkan aku. Seakan-akan tidak ada yang benar yang aku lakukan selama ini.”

Ki Lurah Branjangan tidak menyahut. Ia kembali duduk di pendapa sambil merenungi peristiwa-peristiwa yang baru saja terjadi. Iapun merasa prihatin atas sikap dan kelakuan cucunya. Justru cucunya yang laki-laki. Kemanjaannya membuatnya kehilangan ketegaran jiwanya sebagai seorang laki-laki. Ia lebih banyak bergantung kepada kedua orang tuanya daripada berusaha untuk bangkit dan berdiri sendiri.

Sementara itu, Ki Wirayuda dan ketiga orang yang menyertainya sudah berada di rumahnya. Namun yang sikapnya agak berbeda adalah Sabungsari. Sejak di perjalanan ia lebih banyak diam. Seakan-akan ada sesuatu yang sedang dipikirkannya.

Tetapi Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak bertanya kepadanya. Apalagi perhatian mereka lebih banyak tertuju kepada anak-anak Gajah Liwung. Mereka mengira bahwa Sabungsari memang sedang letih. Peristiwa yang terjadi di Tegal Wuru itu agaknya telah memberikan kesan yang dalam di hatinya. Usaha penculikan dan kekerasan yang diperlihatkan oleh keluarga Ki Tumenggung Wreda Sela Putih atas keluarga Ki Rangga Wibawa dan Ki Tumenggung Purbarumeksa.

Namun sebenarnyalah tidak seorangpun yang tahu, apa yang sedang bergejolak di hati Sabungsari.

Ketika ia berada di Tegal Wuru, maka ia sudah bertemu dan bahkan menolong seorang gadis yang bernama Raras itu. Tetapi pada waktu itu, ia sama sekali tidak sempat untuk memperhatikan gadis yang sedang ditolongnya itu. Perhatiannya sepenuhnya tertuju kepada usaha untuk melindungi dan menyelamatkan Raras, apapun yang dilakukannya pada waktu itu.

Namun ketika ia kemudian melihat Raras muncul dari balik pintu pringgitan saat ia berada di rumah Ki Rangga Wibawa, maka perasaannya justru menjadi lain. Tiba-tiba saja ia melihat Raras sebagai seorang gadis cantik yang meningkat ke usia dewasa sepenuhnya.

Bahkan tanpa sesadarnya Sabungsari telah memperhatikan Raras dengan sungguh-sungguh. Ia terkejut ketika kemudian Raras berlari masuk kembali ke dalam.

Sabungsari saat itu hanya dapat menundukkan wajahnya. Ia merasa beruntung bahwa tidak ada orang yang memperhatikannya, selain Raras sendiri. Tetapi hal itu sudah dapat membuat hatinya menjadi berdebar-debar. Mungkin Raras menjadi marah dan menuduh bahwa ia menolongnya karena ia mempunyai pamrih.

Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah berjanji kepada dirinya sendiri untuk tidak akan lagi melakukan perbuatan yang dapat merugikan orang lain. Karena itu, maka ia berniat untuk tidak bertemu lagi dengan Raras.

“Aku telah menolongnya. Sebenarnyalah hanya itu yang ingin aku lakukan. Tidak lebih,“ berkata Sabungsari kepada diri sendiri sambil menundukkan kepalanya.

Ketika kemudian mereka bertemu dengan anak-anak dari kelompok Gajah Liwung, Sabungsari berhasil mengesampingkan angan-angannya tentang Raras. Ia sempat menenggelamkan diri dalam pembicaraan yang riuh, sehingga dengan demikian Agung Sedayu dan Glagah Putih telah melupakan pula sikap Sabungsari di perjalanan.

“Raden Teja Prabawa dan sudah tentu keluarganya, mengucapkan terima kasih kepada kalian,“ berkata Agung Sedayu kepada anggota kelompok Gajah Liwung, termasuk Ki Ajar Gurawa yang berada di tempat itu pula.

“Kami sekedar menjalankan kewajiban kami,“ jawab Ki Ajar Gurawa. Lalu katanya pula, “Mudah-mudahan untuk selanjutnya Ki Tumenggung Wreda Sela Putih tidak lagi mendendam, karena dendam yang berkepanjangan hanya akan menimbulkan malapetaka saja.”

“Agaknya Ki Patih Mandaraka akan menyelesaikan persoalan ini dengan tuntas tetapi tentu cukup bijaksana, sehingga tidak akan ada akibatnya lagi di hari kemudian,“ jawab Ki Wirayuda.

“Tetapi persoalannya kemudian adalah Bajang Bertangan Baja dan orang yang disebut-sebut bernama Resi Belahan,“ desis Agung Sedayu.

“Ya. Itu akan tetap menjadi perhatian kita,“ sahut Ki Wirayuda, “karena persoalan yang dibawa Ki Manuhara bukan sekedar persoalan keluarga Ki Tumenggung Purbarumeksa. Tetapi tentu jauh lebih besar dari itu. Jika ia terlibat dalam persoalan ini, maka ia telah terseret oleh kepentingan Bajang Bertangan Baja.”

Yang lain mengangguk-angguk. Sementara Agung Sedayu berkata, “Dengan demikian maka kita masih harus berhati-hati terhadap mereka. Seandainya Ki Tumenggung Wreda Sela Putih tidak lagi mendendam, namun belum tentu dengan Bajang Bertangan Baja dan kawan-kawan Ki Manuhara. Di samping itu, Resi Belahan akan dapat meneruskan tugas-tugas Ki Manuhara, meskipun Resi Belahan tidak mau bekerja sama dengan Bajang Bertangan Baja.”

Dengan demikian, maka orang-orang yang berkumpul itu telah bersepakat bahwa kelompok Gajah Liwung masih diperlukan kehadirannya di Mataram.

“Masih banyak yang harus kita lakukan,“ berkata Agung Sedayu. Lalu katanya, “Karena itu maka kehadiran kita di Mataram masih diperlukan. Tentu Ki Wirayuda tidak akan berkeberatan untuk membiarkan kelompok Gajah Liwung melakukan kegiatan-kegiatannya di Mataram, sudah tentu untuk waktu yang terbatas.”

Ki Wirayuda mengangguk-angguk. Katanya, “Aku memang memerlukan kehadiran kelompok ini, di samping para petugas sandi. Tetapi aku tetap minta agar kelompok ini tidak berbenturan dengan petugas-petugas sandi dan para prajurit di Mataram.”

“Kami akan menjaga hal itu sebaik-baiknya,“ berkata Sabungsari, yang masih tetap diakui sebagai pimpinan kelompok Gajah Liwung, meskipun untuk sementara tugasnya telah diambil alih oleh Ki Ajar Gurawa.

Demikianlah, maka kehadiran Agung Sedayu di rumah Ki Wirayuda itu telah memberikan dorongan jiwani kepada kelompok Gajah Liwung yang masih akan tetap hadir di bumi Mataram, meskipun harus tetap terkendali.

Selanjutnya Agung Sedayu pun telah memberikan obat-obatan bagi anggota Gajah Liwung yang terluka. Naratama dan Mandira adalah di antara mereka yang agak parah. Meskipun lukanya sudah berangsur baik, tetapi obat Agung Sedayu yang diberikan akan dapat membantu mempercepat penyembuhannya.

Ketika pembicaraan mereka sudah selesai, maka Agung Sedayu pun telah minta diri. Untuk sementara Sabungsari dan Glagah Putih masih akan mengikuti Agung Sedayu ke rumah Ki Tumenggung Purbarumeksa. Bahkan Agung Sedayu pun kemudian berkata, “Mungkin keduanya masih akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh jika persoalannya masih rumit.”

Sabungsari bahkan ingin untuk sementara berada di Tanah Perdikan. Meskipun hal itu tidak dikatakannya, namun ia sudah menjadi sedikit berlega hati bahwa Agung Sedayu masih berniat untuk membawanya.

Dengan demikian, maka ia tidak akan bertemu lagi dengan Raras, yang ternyata telah menyentuh perasaannya. Padahal ia tahu benar, bahwa Raras adalah seorang gadis yang telah menyatakan diri menyongsong hari depannya bersama Raden Teja Prabawa, seorang anak muda putra Ki Tumenggung Purbarumeksa.

Tetapi Sabungsari tidak sempat merenung lagi. Agung Sedayu pun kemudian telah minta diri untuk meninggalkan rumah Ki Wirayuda.

Sejenak kemudian maka Agung Sedayu, Sabungsari dan Glagah Putih telah menyusuri jalan-jalan kota menuju ke rumah Ki Tumenggung Purbarumeksa.

Ketika mereka sampai di rumah Ki Tumenggung dan kemudian duduk di pendapa bersama Ki Lurah Branjangan dan Ki Jayaraga, maka Ki Lurah pun berkata, “Teja Prabawa sedang merengek di ruang dalam.”

“Apa lagi yang dipersoalkan?“ bertanya Agung Sedayu.

“Anak itu minta ayah dan ibunya untuk pergi ke rumah Ki Rangga Wibawa,“ jawab Ki Lurah Branjangan.

“Untuk apa?“ bertanya Agung Sedayu pula, “Bukankah sudah tidak ada masalah lagi? Tinggal menunggu Raras menjadi tenang. Goncangan perasaan yang dialaminya membuatnya selalu gelisah, dan bahkan kadang-kadang menjadi bingung. Tetapi itu akan segera dapat sembuh.”

“Bukan soal itu,“ jawab Ki Lurah Branjangan, “selama ini hubungan antara Teja Prabawa dan Raras baru sekedar diketahui oleh orang tua masing-masing. Tetapi hubungan itu belum secara resmi dibicarakan oleh kedua-belah pihak.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Meskipun demikian ia berkata, “Sebaiknya Raden Teja Prabawa tidak tergesa-gesa. Biarlah Raras menjadi tenang. Suasananya masih belum menguntungkan jika Ki Tumenggung Purbarumeksa datang ke rumah Ki Rangga Wibawa sekarang. Juga karena di rumah Ki Rangga masih dijaga para prajurit Mataram. Bukankah kurang mapan jika para prajurit yang siang malam berjaga-jaga itu harus menyaksikan sekelompok orang datang melamar Raras. Seakan-akan ketegangan dan kesiagaan itu sudah berakhir.”

“Aku sependapat Ngger,“ sahut Ki Lurah Branjangan, “aku kira demikian pula pendapat kedua orang tua Teja Prabawa, sehingga karena itu Teja Prabawa sekarang harus merengek minta ayah dan ibunya segera datang ke rumah Ki Rangga.”

Sebenarnyalah, saat itu di ruang dalam Raden Teja Prabawa sedang berbicara dengan ayah dan ibunya. Rara Wulan ikut pula mendengarkan pembicaraan itu. Semula Teja Prabawa berkeberatan adiknya ikut duduk bersama mereka. Tetapi ayahnya-lah yang kemudian berkata, “Biarlah ia mendengar pembicaraan ini. Adikmu juga sudah dewasa. Iapun sedang mengalami masa-masa sebagaimana hubunganmu dengan Raras. Apalagi ia adalah satu-satunya saudaramu, sehingga sepatutnyalah ia ikut mengetahui persoalan yang kita bicarakan. Mungkin ia dapat mengambil manfaat bagi dirinya sendiri, tetapi mungkin ia dapat memberikan pendapat yang pantas untuk dipertimbangkan, karena kedudukannya yang mirip dengan kedudukan Raras sekarang ini.”

“Tetapi anak itu tidak boleh terlalu banyak berbicara,“ minta Raden Teja Prabawa.

Rara Wulan hampir saja menjawab jika ibunya tidak mendahuluinya, “Rara Wulan tidak akan berbicara apapun jika tidak sangat perlu. Tetapi mungkin kita akan minta pendapatnya tentang sesuatu hal jika perlu.”

Teja Prabawa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Tidak ada yang perlu ditanyakan kepadanya.”

“Sudahlah,“ berkata Ki Tumenggung. “Sekarang katakan, apakah maksudmu. Jika kau masih saja mengulangi permintaanmu agar kami datang kepada Ki Rangga Wibawa, maka jawabku pun akan sama saja. Sebaiknya kita menunggu untuk beberapa saat, setelah keadaan menjadi reda.”

“Tetapi mungkin terjadi perubahan-perubahan pada sikap dan jalan pikiran Raras,“ jawab Raden Teja Prabawa.

“Perubahan bagaimana? Bukankah tidak ada masalah yang dapat merubah pikirannya?“ bertanya Ki Tumenggung.

“Ketika aku menemuinya, maka sikapnya menjadi agak aneh. Aku tidak tahu apa yang telah terjadi dengan dirinya,“ jawab Raden Teja Prabawa.

“Tentu karena keseimbangan jiwanya belum pulih kembali. Selama ia berada di tangan orang-orang yang menyekapnya, maka ia berada dalam ketakutan, kecemasan dan bahkan seakan-akan tidak berpengharapan. Itulah sebabnya maka hatinya berguncang. Ia memang memerlukan waktu untuk sempat menemukan ketenangan jiwanya kembali. Karena itu, aku minta kau bersabar. Biarlah jiwanya menjadi tenang, sehingga ia dapat menilai lamaranmu itu dengan wajar. Tidak dipengaruhi oleh ketakutan dan kecemasan,“ berkata ayahnya.

“Tetapi semakin tertunda-tunda, maka kemungkinan-kemungkinan yang tidak diinginkan itu akan dapat terjadi,“ jawab Teja Prabawa.

“Apa misalnya? Raras mengurungkan niatnya untuk hidup bersamamu? Atau kemungkinan apa?“ bertanya Ki Tumenggung.

“Antara lain seperti yang Ayah katakan itu,“ jawab Teja Prabawa.

“Jika memang demikian, maka apa boleh buat,“ jawab ayahnya.

“Hanya begitu?“ bertanya Teja Prabawa dengan nada tinggi.

“Lalu apa yang akan kita lakukan? Seperti Raden Antal? Minta bantuan Bajang Bertangan Baja atau Resi Belahan untuk mengambil Raras?“ bertanya Ki Tumenggung.

“Karena itu sebaiknya Ayah dan Ibu segera datang ke rumah Ki Rangga,“ minta Teja Prabawa.

“Sudah aku katakan. Keadaannya tentu tidak akan menguntungkan. Tentu aku sendiri yang akan menyesal kemudian. Seandainya ada perubahan pikiran pada Raras, kau justru beruntung bahwa hal itu terjadi sekarang. Tidak setelah kau hidup bersamanya.”

Wajah Raden Teja Prabawa menjadi merah. Dengan nada tingggi ia berkata, “Ayah, meskipun aku tidak ingin minta agar Ayah berbuat sebagaimana Ki Tumenggung Wreda Sela Putih, tetapi setidak-tidaknya kita harus berbuat sesuatu. Kita tidak akan mendapatkan sesuatu jika kita tidak berusaha.” “Aku mengerti,“ jawab ayahnya, “tetapi bukankah kita harus memperhitungkan keadaan? Kita tidak boleh terlalu mementingkan diri sendiri tanpa menghiraukan perasaan dan tanggapan orang lain. Seperti sudah aku katakan, para prajurit itu masih berjaga-jaga siang malam dalam ketegangan, kantuk, letih dan tanggung-jawab. Sedangkan kita datang sambil berlenggang meminang anak yang masih dalam pengawasan ketat para prajurit itu. Apakah itu pantas?”

“Soalnya bukan pantas atau tidak pantas Ayah. Tetapi aku tidak mau kehilangan,“ jawab Teja Prabawa.

“Jika demikian, pergilah sendiri,“ jawab Ki Tumenggung.

“Bukankah itu kewajiban Ayah? Salah satu tanggung jawab Ayah terhadap anaknya,“ jawab Teja Prabawa.

“Ya, jika anaknya itu mau mendengarkan pendapat ayahnya,” jawab Ki Tumenggung Purbarumeksa.

Bukan saja wajah Raden Teja Prabawa yang menjadi resah. Tetapi juga matanya menjadi merah dan panas. Dengan susah payah Raden Teja Prabawa menahan titik-titik air mata kemarahan yang rasa-rasanya mendesak di pelupuknya. Ia tidak mau adiknya itu akan menuduhnya seorang laki-laki yang cengeng.

Dalam pada itu, maka ibu Teja Prabawa itu pun berkata, “Teja Prabawa. Kenapa kau tidak dapat bersabar sedikit? Ayahmu bukannya tidak bersedia memenuhi kewajibannya. Tetapi ayahmu hanya minta agar pelaksanaannya saja ditangguhkan, karena keadaan. Seandainya Ayah dan Ibu pergi juga ke rumah Ki Rangga, maka hal ini akan dapat menyinggung perasaan para prajurit yang masih berjaga-jaga siang malam, seakan-akan lingkungan kecil itu berada dalam keadaan perang. Jika mereka merasa tersinggung dan meninggalkan rumah Ki Rangga, maka keadaannya akan menjadi gawat, karena orang-orang yang mendendamnya akan dapat melakukan pembalasan. Orang yang mendendam tidak lagi berpikir untuk apa ia berbuat. Tetapi sekedar untuk melepaskan dendamnya dan untuk mendapat kepuasan batin. Tidak peduli apakah yang dilakukan itu baik atau buruk.”

Teja Prabawa menundukkan kepalanya, sementara Rara Wulan menjadi gelisah. Sebenarnya ia ingin menyatakan pendapatnya. Tetapi ia berusaha untuk menahannya, karena hal itu hanya akan memperburuk keadaan.

Untuk beberapa saat keadaan menjadi hening tegang. Jantung Teja Prabawa rasa-rasanya hampir meledak karenanya.

Tetapi Raden Teja Prabawa tidak dapat memaksa ayahnya untuk pergi ke rumah Ki Rangga Wibawa, meskipun seandainya ia menangis meraung-raung. Karena Raden Teja Prabawa pun mengenal sifat ayahnya. Jika ia sudah mengatakan tidak, maka apapun yang dilakukannya, ayahnya akan tetap pada sikapnya itu.

Dalam pada itu ayahnya berkata, “Aku bukannya tidak bersedia. Tetapi aku hanya akan menunda saja beberapa hari sehingga keadaan menjadi tenang kembali. Tetapi perasaanmu pun harus aku persiapkan menghadapi kenyataan apapun atas Raras. Aku tidak ingin membuat hatimu cemas. Tetapi kau tidak boleh meletakkan harapanmu seutuhnya kepada gadis yang mengalami kesulitan di hari-hari terakhir ini. Memang peristiwa yang sangat berkesan mendalam di hati seseorang, ketakutan dan tidak berpengharapan, akan dapat mempengaruhi sikap dan pendapat seseorang tentang sesuatu. Juga penilaiannya terhadap orang lain.”

Raden Teja Prabawa menundukkan kepalanya. Tetapi ia sudah mendengar pertanyaan Raras, kenapa ia tidak berbuat sesuatu atau ikut serta membebaskannya, ketika ia berada di tangan Bajang Bertangan Baja itu.

Bagi Raden Teja Prabawa, pertanyaan itu sudah cukup menggelisahkannya. Apalagi ayahnyapun memberikan pesan yang senada, seolah-olah ayahnya mendengar pertanyaan Raras. Meskipun orang lain mengatakan bahwa hal itu semata-mata dipengaruhi oleh goncangan jiwa Raras yang belum tenang.

Tetapi bagaimana sikap Raras itu justru jika jiwanya sudah tenang dan ia mulai menilai sikapnya?

Teja Prabawa memang menyesal, kenapa ia tidak ikut berbuat sesuatu di Tegal Wuru. Tetapi iapun ngeri mendengar pertempuran yang terjadi. Beberapa orang telah terluka, dan bahkan ada yang terbunuh. Pertempuran itu benar-benar satu pertempuran yang mempertaruhkan nyawa.

Raden Teja Prabawa yang serba sedikit telah mepelajari ilmu kanuragan itu sebenarnya sudah mulai bangkit dan bersikap tegar sebagai seorang laki-laki. Tetapi ketika di hadapannya berdiri persoalan yang rumit dan keras, maka jantungnya menjadi kuncup. Ia merasa terlalu kecil jika ia mendengar nama orang-orang berilmu tinggi, meskipun ia belum menjajagi seberapa tinggi tingkat ilmu orang bernama Bajang Bertangan Baja atau Ki Manuhara itu. Apalagi menjajagi, mendengar tingkat kemampuannya pun jantungnya sudah mulai bergejolak.

Raden Teja Prabawa itu mengangkat wajahnya ketika ia mendengar ibunya berkata, “Sudahlah. Bersabarlah. Pada saatnya aku dan ayahmu akan menemui Ki Rangga Wibawa. Kau tidak usah cemas. Kami tidak akan mengingkari kewajiban kami.”

Raden Teja Prabawa mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia tidak menjawab.

Sementara itu Rara Wulan masih saja duduk termangu-mangu. Ketika kemudian Raden Teja Prabawa meninggalkan mereka dan ayahnya pergi ke pendapa, Rara Wulan berkata kepada ibunya, “Aku sebenarnya juga ingin bertemu dengan Raras.”

“Aku juga sudah berpikir, apakah kau tidak ingin menemuinya,“ sahut ibunya.

“Aku akan minta ijin kepada Ayah. Jika Ayah mengijinkan, biarlah Kakang Glagah Putih mengantarkan aku pergi ke rumah Ki Rangga Wibawa,“ berkata Rara Wulan kemudian, “Bagaimanapun juga, kesulitan yang dialami Raras telah menyangkut namaku.”

“Mintalah ijin kepada ayahmu,“ berkata ibunya. “Tetapi kau harus sangat berhati-hati. Menurut pendengaranku, orang-orang berilmu tinggi yang tentu mendendam itu masih berkeliaran.”

“Ya Ibu,“ jawab Rara Wulan, “tetapi aku percaya bahwa Kakang Glagah Putih akan berbuat sebaik-baiknya.”

“Syukurlah bahwa Glagah Putih mempunyai bekal yang cukup untuk menghadapi kesulitan-kesulitan yang dapat timbul, sebagaimana dialami oleh Raras. Sebenarnya aku juga merasa prihatin tentang Teja Prabawa. Aku mengira bahwa dengan bekal yang mulai dimilikinya, ia akan menjadi seorang laki-laki yang berjiwa tegar. Sikapnya yang nampaknya mulai tumbuh dan berkembang menghadapi keluarga Raden Antal, telah membuat hatiku dan terutama ayahmu menjadi besar. Namun ternyata dalam keadaan yang gawat, ia tidak menunjukkan sikap seorang laki-laki yang dapat dibanggakan. Ia menjadi kecil dan kehilangan keberanian.”

“Ia harus mendapat perhatian khusus, Ibu, terutama menyangkut harga dirinya sebagai seorang laki-laki. Adalah kebetulan ia adalah kakakku. Seandainya ia anak muda yang melamarku, maka aku akan mempertimbangkannya berulang kali.”

“Aku justru merasa kasihan kepadanya,“ berkata ibunya.

“Ya. Mudah-mudahan pada satu saat terjadi perubahan pada dirinya,“ desis Rara Wulan.

Demikianlah, maka Rara Wulan pun kemudian telah menyusul ayahnya di pendapa. Ia minta ijin untuk menemui Raras di rumahnya. Namun Agung Sedayu-lah yang menjawabnya, “Kami baru saja menemuinya. Biarlah ia beristirahat. Besok sajalah kau pergi menengoknya.” 

Rara Wulan tidak membantah. Apalagi ketika Agung Sedayu berkata, “Biarlah besok Mbokayumu ikut menengok gadis itu.”

Rara Wulan mengangguk sambil menjawab, “Baiklah Kakang. Biar besok saja kami menengoknya.”

Hari itu keluarga Raras memang menghendaki agar Raras sempat beristirahat. Mereka berharap bahwa dengan istirahat sebaik-baiknya, maka keadaannya akan segera pulih kembali. Sementara itu para prajurit yang bertugas di rumah Ki Rangga Wibawa masih juga menjalankan tugasnya dengan baik. Mereka sudah mendengar peristiwa yang terjadi di Tegal Wuru. Cerita tentang pertempuran itu selalu disampaikan oleh para prajurit kepada para petugas yang menggantikan mereka, sehingga dengan demikian setiap kelompok yang bertugas menyadari bahwa mereka harus berhati-hati.

Ki Rangga Wiramijaya yang pernah juga dilukai Bajang Bertangan Baja telah menengok keadaan Raras pula. Meskipun ia sadar bahwa kemampuannya sama sekali tidak dapat diperbandingkan dengan Bajang Bertangan Baja, namun Ki Rangga sama sekali tidak merasa ketakutan. Ia seorang diri telah pergi ke rumah Ki Rangga Wibawa demikian ia mendengar peristiwa yang menimpa Raras, sementara keadaannya pun sudah menjadi semakin baik.

Tetapi Ki Rangga Wiramijaya yang melihat keadaan Raras memang hanya dapat menggeretakkan giginya. Ia tidak dapat berbuat apa-apa menghadapi orang-orang yang berilmu sangat tinggi itu.

Ki Rangga Wiramijaya itu hanya dapat berkata, “Syukurlah bahwa keluarga Ki Tumenggung Purbarumeksa benar-benar merasa ikut bertanggung jawab, sehingga akhirnya Raras dapat diselamatkan, tanpa menghitung kemungkinan buruk yang dapat terjadi atas diri mereka sendiri.”

“Ya,“ sahut Ki Rangga Wibawa, “ternyata mereka tidak sekedar menyembunyikan Rara Wulan. Tetapi mereka benar-benar berusaha membebaskan Raras.”

“Ternyata mereka berhasil,“ sahut Ki Rangga Wiramijaya.

“Tetapi sayang, bahwa Raden Teja Prabawa sendiri tidak terlalu banyak ikut berusaha membebaskan Raras,“ berkata Ki Rangga Wibawa.

“Kenapa?“ bertanya Ki Rangga Wiramijaya.

“Ia berharap pada belas kasihan Rara Wulan,“ jawab Ki Rangga Wibawa.

“Tentu Rara Wulan dan keluarganya tidak mau mengorbankan Wulan. Tetapi seperti yang Kakang katakan, mereka tidak sekedar menyembunyikan dan mempertahankan Wulan. Tetapi mereka telah bekerja keras dengan mempertaruhkan nyawa untuk membebaskan Raras. Ternyata mereka berhasil, setelah Ki Wirayuda menjadi pening dan hampir tidak berpengharapan lagi.”

“Usaha pembebasan Raras itu dipimpin langsung oleh Ki Lurah Agung Sedayu, pemimpin Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh,“ berkata Ki Rangga Wibawa.

“Kenapa tiba-tiba Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan itu ikut campur?“ bertanya Ki Rangga Wiramijaya.

“Bukan sebagai pemimpin Pasukan Khusus, tetapi ia sepupu Glagah Putih. Anak muda yang telah mengikat hati Rara Wulan.”

Ki Rangga Wiramijaya mengangguk-angguk. Katanya, “Untunglah, bahwa Ki Tumenggung Purbarumeksa mempunyai kaitan dengan seorang yang memiliki ilmu yang tinggi.”

“Ya. Menurut pendengaranku, selain Ki Lurah Agung Sedayu, Glagah Putih sendiri adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Sehingga dengan demikian, maka mereka telah berhasil membebaskan Raras,“ jawab Ki Rangga Wibawa.

“Tentu seorang berilmu tinggi. Jika tidak berilmu tinggi, tentu tidak akan dapat menjadi pemimpin Pasukan Khusus,“ desis Ki Rangga Wiramijaya.

“Tetapi lain dengan Ki Lurah Agung Sedayu,“ jawab Ki Rangga Wibawa, “murid dari Perguruan Orang Bercambuk itu memiliki ilmu yang berlebihan bagi tataran seorang Lurah Prajurit. Meskipun dari Pasukan Khusus sekalipun.”

“Tetapi kenapa ia masih saja seorang Lurah?“ bertanya Ki Rangga Wiramijaya.

“Ki Lurah Agung Sedayu memang belum terlalu lama menjadi seorang prajurit. Betapapun tinggi ilmunya, maka ia harus merambat dari tataran ke tataran. Ia tentu tidak dapat dengan tiba-tiba menjadi seorang Senapati dengan pangkat Tumenggung. Sedang kakaknya masih baru saja diangkat menjadi Tumenggung, sementara kakaknya itu sudah mengabdi di lingkungan keprajuritan sejak masa kekuasaan Pajang di bawah Kanjeng Sultan Hadiwijaya.”

Ki Rangga Wiramijaya mengangguk-angguk. Namun iapun bertanya, “Siapakah kakak Ki Lurah Agung Sedayu itu?”

“Untara,“ jawab Ki Rangga Wibawa, “Senapati prajurit Mataram yang berada di Jati Anom.”

Ki Rangga Wiramijaya mengangguk-angguk. Katanya, “Pantas. Ki Untara adalah seorang Senapati yang mumpuni.”

“Memang. Sebagai seorang Senapati Ki Untara jarang ada duanya. Namun menurut pendengaranku, secara pribadi adiknya, Ki Agung Sedayu, memiliki kelebihan dari kakaknya itu,“ sahut Ki Rangga Wibawa.

Ki Rangga Wiramijaya kemudian berdesis, “Beruntunglah bahwa kesulitan kita berkait dengan kepentingan Ki Lurah Agung Sedayu, sehingga Raras dapat dibebaskan.”

“Ya. Tetapi ada sesuatu yang ternyata membuat aku gelisah,“ gumam Ki Rangga Wibawa, seakan-akan sekedar ditujukan kepada dirinya sendiri.

“Kenapa? Dendam Bajang itu? Atau apa?“ bertanya Ki Rangga Wiramijaya.

“Bukan,“ jawab Ki Rangga Wibawa.

“Jadi apa?“ bertanya Ki Rangga Wiramijaya pula.

Ki Rangga Wibawa termenung sejenak. Baru kemudian ia berkata, “Aku sekarang berpikir tentang Raras.”

“Kenapa dengan Raras? Apakah ia masih terancam? Tetapi bukankah di rumah ini terdapat sekelompok prajurit yang dapat melindunginya, di samping keluarga Raras sendiri, termasuk Wacana, yang menurut pendengaranku juga memiliki kemampuan yang tinggi? Sehingga dengan demikian keselamatan Raras sudah terjaga sebaik-baiknya?”

“Bukan tentang keselamatan Raras. Tetapi tentang perasaan dan sikap batin Raras. Ternyata ia merasa sangat kecewa terhadap Raden Teja Prabawa. Menurut pendengarannya, Raden Teja Prabawa hanya dapat mengeluh, merengek, dan bahkan berusaha untuk membujuk adiknya agar mau dipertukarkan dengan Raras. Dengan demikian, Raden Teja Prabawa kurang menunjukkan sikapnya sebagai seorang laki-laki.”

“Darimana Raras tahu akan hal itu?“ bertanya Ki Rangga Wiramijaya.

“Ketika terjadi pertempuran memperebutkannya di Tegal Wuru, Raden Teja Prabawa memang tidak ikut serta. Tetapi itu sebenarnya dapat dimengerti, karena pertempuran di Tegal Wuru itu terjadi antara mereka yang berilmu sangat tinggi. Jika Raden Teja Prabawa hadir, maka ia akan berada di antara raksasa-raksasa yang haus dan lapar, sehingga nasibnya tidak dapat diperhitungkan,“ jawab Ki Rangga Wibawa.

Ki Rangga Wiramijaya menarik nafas panjang. Katanya, “Satu pertanda bahwa mendung akan menyelimuti hubungan antara keduanya. Namun sebenarnya sebelum hal ini terjadi, Raras justru telah beberapa kali menyatakan keluhannya kepada bibinya, bahwa Raden Teja Prabawa ternyata bukan seorang laki-laki yang diharapkannya.”

“Apakah ia pernah mengatakannya?“ bertanya Ki Rangga Wibawa.

“Ya, kepada bibinya. Bahkan beberapa kali. Tetapi Raras tidak dapat berterus-terang kepada Raden Teja Prabawa sendiri,“ berkata Ki Rangga Wiramijaya. “Juga kepadaku Raras tidak pernah mengatakannya.”

“Tidak hanya kepadamu. Kepadaku pun Raras tidak pernah mengeluh tentang hubungannya dengan Raden Teja Prabawa. Bahkan kepada ibunya sendiri Raras juga tidak pernah berkata sesuatu tentang anak muda itu. Selama ini aku mengira bahwa hubungan mereka baik-baik saja, meskipun memang terasa sikap Raras yang agak dingin,“ desis Ki Rangga Wibawa sambil mengangguk-angguk.

“Sebaiknya sikap itu mendapat perhatian yang sungguh-sungguh,“ berkata Ki Rangga Wiramijaya, “justru sebelum segala sesuatunya terlanjur.”

“Tetapi aku merasa agak segan terhadap Raden Teja Prabawa dan Ki Tumenggung Purbarumeksa,“ jawab Ki Rangga Wibawa.

Ki Rangga Wiramijaya mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berdesis, “Ya. Aku dapat mengerti. Tetapi sudah tentu bahwa kita tidak dapat berdiam diri. Semakin lama, kesalahan-kesalahan ini justru akan menjadi semakin dalam.”

“Aku memang akan bertanya kepada Raras. Ia harus bersikap. Tetapi sudah tentu jika jiwanya sudah menjadi tenang,“ sahut Ki Rangga Wibawa.

“Akan lebih baik jika Raras sendiri serba sedikit menyampaikan sikap hatinya itu kepada Raden Teja Prabawa, sehingga pada saatnya keluarganya tidak menganggap bahwa kita yang tua-tua inilah yang berkeberatan,“ berkata Ki Ranggga Wiramijaya kemudian.

“Aku akan mencoba untuk berbicara dengan Raras,“ berkata Ki Rangga Wibawa selanjutnya.

Demikianlah, untuk beberapa saat Ki Rangga Wiramijaya berada di rumah Ki Rangga Wibawa. Menjelang senja Ki Rangga Wiramijaya itu baru minta diri kepada Ki Rangga dan Nyi Rangga Wibawa untuk kembali ke rumahnya.

Malam itu, Raras sudah lebih banyak tidur nyenyak. Nyi Rangga semalaman menungguinya dan tidur di sebelahnya. Meskipun demikian, menjelang fajar Raras sudah terbangun dan tidak dapat tidur lagi. Ia mulai gelisah, dan sekali-sekali bangkit duduk di bibir pembaringan. Sementara Nyi Rangga pun telah bangun pula dan duduk di sebuah lincak kecil di sisi pembaringan itu.

“Raras,“ berkata ibunya, “hari masih sangat pagi. Langit masih hitam, meskipun sebentar lagi fajar akan naik.”

“Ibu,“ suara Raras tersendat. Tiba-tiba saja matanya mulai mengembun.

“Apalagi yang kau pikirkan Raras? Apakah kau masih dibayangi oleh ketakutan itu?“ bertanya ibunya.

“Ibu. Apakah untuk selamanya aku harus dilindungi oleh prajurit Mataram?“ bertanya Raras.

“Tentu tidak Raras. Keadaan akan menjadi semakin baik. Orang-orang jahat itu akan segera ditangkap. Bukankah Raden Antal dan ayahnya, Ki Tumenggung Wreda Sela Putih, sudah berada di tangan Ki Patih Mandaraka? Jika sumbernya sudah dipadamkan, maka alirannya pun akan mati dengan sendirinya.”

“Tetapi bukankah bahaya dan bencana itu dapat datang dari segala pihak? “justru Raras yang bertanya.

“Maksudmu?“ bertanya ibunya.

“Bukankah perempuan yang lemah seperti aku ini memerlukan perlindungan?“ bertanya Raras pula.

“Ya, ya Raras. Kau akan selalu mendapat perlindungan. Ayahmu dan Wacana akan selalu melindungimu selain para prajurit. Juga apabila saatnya para prajurit itu melepaskan perlindungannya karena keadaan sudah dianggap semakin baik.”

Raras menarik nafas dalam-dalam. Dengan lengan bajunya Raras mengusap matanya yang basah. Suaranya menjadi sendat ketika ia kemudian berkata, “Tetapi apakah selamanya aku akan bersama ayah dan Wacana?”

Ibunya termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian bertanya, “Apakah maksudmu sebenarnya Raras? Jika kau ingin mengatakan sesuatu, katakanlah. Mungkin hal itu akan dapat mengurangi beban kepenatan jiwamu.”

Raras termangu-mangu sejenak. Namun ibunya justru mulai mengetahui arah pembicaraan Raras. Ki Rangga sudah mengatakan kepadanya tentang sikap Raras yang pernah disampaikan kepada bibinya, Nyi Rangga Wiramijaya. Menurut Ki Rangga, Raras memang merasa kecewa atas sikap Raden Teja Prabawa.

Karena Raras tidak segera menjawab, maka Nyi Rangga pun bertanya sekali lagi, “Raras apakah ada sesuatu yang masih ingin kau katakan?”

Raras memang nampak ragu-ragu. Tetapi akhirnya ia berkata dengan suara bergetar, “Ibu, kenapa Raden Teja Prabawa tidak bersikap sebagaimana beberapa orang laki laki yang telah membebaskan aku di Tegal Wuru?”

Ibunya memandang Raras dengan tajamnya. Untunglah bahwa ia pernah mendengar dari suaminya keluhan Raras seperti itu, yang disampaikan kepada bibinya, sehingga ia tidak terlalu terkejut karenanya.

Dengan lembut ibunya pun berkata, “Raras. Raden Teja Prabawa masih muda. Segala sesuatunya masih akan dapat berkembang. Menurut pendengaranku, Raden Teja Prabawa sedang berguru. Dengan demikian maka harapan masa depan masih terbuka baginya. Jika dalam keadaannya sekarang ia memaksa diri untuk melakukan sesuatu di luar jangkauan kemampuannya, maka hal itu akan membahayakan keselamatan jiwanya.”

“Aku mengerti Ibu. Tetapi sikapnya sama sekai tidak meyakinkan. Ia masih sering merengek dan manja. Beberapa waktu yang lalu aku melihat bahwa ada sedikit perubahan pada sikap hatinya, sehingga ia menjadi agak tegar dan bersikap sebagaimana seorang laki-laki. Tetapi aku tidak tahu kenapa ia telah berubah lagi. Dalam keadaan yang gawat, maka ia hanya dapat lari kepada orang tuanya,“ desis Raras.

“Sudah aku katakan. Jiwanya akan tumbuh sejalan dengan kepercayaannya kepada diri sendiri. Jika ilmunya menjadi semakin mapan, maka ia akan menjadi semakin tatag menghadapi persoalan-persoalan dalam kehidupannya. Sehingga dengan demikian maka jiwa dan keprihatinannya akan segera terbentuk. Ia akan menjadi seorang yang bertanggung jawab.”

Raras menarik nafas dalam-dalam. Sambil memandang lewat lubang pintu yang sedikit terbuka, Raras berkata lirih, “Kapan hal itu akan terjadi Ibu? Besok, lusa, atau sesudah kami hidup bersama, jika hal itu terjadi, atau sesudah aku tua dan tidak berharga lagi?”

“Raras,“ desis ibunya yang kemudian duduk di sebelahnya. Sambil membelai rambut anaknya, Nyi Rangga Wibawa berkata, “Kau merasa dikecewakan oleh Raden Teja Prabawa pada saat jiwamu terguncang Raras, dalam keadaan seperti ini kau jangan mengambil kesimpulan tentang sesuatu.”

Raras mengangguk. Tetapi tidak menjawab lagi.

“Nah Raras, sekarang apakah kau akan tidur lagi, atau kau akan ke pakiwan lebih dahulu?“ bertanya ibunya.

“Aku sudah tidak akan dapat tidur lagi. Aku akan ke pakiwan saja Ibu. Tetapi bukankah Ibu bersedia mengantarku?“ bertanya Raras.

“Tentu Raras. Marilah. Bukankah jika kau pergi ke pakiwan Ibu juga yang mengantar?“ jawab ibunya.

Ketika Raras kemudian mandi, maka Nyi Rangga sempat berkata kepada Ki Rangga, bahwa secara tidak langsung Raras memang sudah mengetahui tentang sifat Raden Teja Prabawa yang dianggapnya kurang bertanggung jawab.

“Aku sudah mengatakan kepadanya, bahwa kemampuan Raden Teja Prabawa tidak akan mungkin dapat mengimbangi orang-orang berilmu tinggi itu. Jika ia memaksa diri maka akibatnya akan sangat buruk bagi Raden Teja Prabawa,“ berkata Nyi Rangga.

“Lalu apa katanya?“ bertanya Ki Rangga.

“Aku tidak tahu apa yang dipikirkannya,“ jawab Nyi Rangga.

Ki Rangga hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Memang masih sulit untuk dapat berbicara terbuka dengan Raras, yang masih belum dapat benar-benar melupakan apa yang pernah terjadi atas dirinya.

Sementara itu, Ki Rangga Wibawa masih belum dapat meninggalkan rumahnya untuk melakukan tugasnya. Ia mendapat iin khusus untuk beberapa hari tidak melakukan tugasnya. Apalagi Raras memang masih belum bersedia ditinggal oleh ayahnya, meskipun di rumah itu ada Wacana dan beberapa orang prajurit.

Dalam pada itu, Rara Wulan di rumah Ki Tumenggung Purbarumeksa telah bersiap-siap untuk pergi ke rumah Raras bersama Sekar Mirah. Agung Sedayu yang semula akan mengantar mereka bersama Glagah Putih, terpaksa mengurungkan niatnya, karena Agung Sedayu, Ki Lurah Branjangan dan Ki Tumenggung Purbarumeksa telah dipanggil oleh Ki Patih Mandaraka.

Karena itu, maka Agung Sedayu pun telah menemui Sabungsari untuk minta kepadanya menemani Glagah Putih mengantar Rara Wulan menengok Raras.

Sabungsari termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Bagaimana jika bukan aku saja?”

“Kenapa? Tidak ada orang lain di sini. Sebenarnya aku sendiri yang akan menemani Glagah Putih. Tetapi tiba-tiba saja ada utusan dari Kepatihan,“ berkata Agung Sedayu kemudian.

“Bagaimana jika Ki Jayaraga saja?“ bertanya Sabungsari.

“Tentu kurang pantas, justru karena di sini ada kau,“ jawab Agung Sedayu. Namun kemudian Agung Sedayu itu pun bertanya, “Tetapi lepas dari pada itu, kenapa dengan Glagah Putih? Apakah ada sesuatu yang menyebabkan kau tidak dapat pergi bersama Glagah Putih?”

“Tidak. Sama sekali tidak,“ jawab Sabungsari dengan serta merta, “aku sama sekali tidak berkeberatan pergi bersama Glagah Putih kemanapun. Bukankah itu selalu aku lakukan? Tetapi tidak ke rumah Ki Rangga Wibawa.”

“Kenapa?“ desak Agung Sedayu.

Sabungsari memang menjadi kebingungan. Ia tidak dapat mengatakan alasan yang sebenarnya, kenapa ia segan pergi ke rumah Ki Rangga Wibawa. Sabungsari sebenarnya tidak lagi berniat bertemu atau melihat lagi gadis yang bernama Raras. Demikian ia melihat gadis yang berwajah sendu itu, demikian hatinya telah bergelar. Sementara itu, ia tahu bahwa Raras telah dinyatakan, bahkan oleh orang tuanya meskipun belum resmi, bahwa hubungannya dengan Raden Teja Prabawa telah mengarah ke hubungan yang lebih erat dari sekedar seorang sahabat. Kedua orang tua mereka nampaknya tidak berkeberatan atas ikatan yang mulai menjerat jantung kedua orang anak muda itu.

Justru karena itu, Sabungsari menjadi kebingungan. Ia juga tidak dapat menolak untuk pergi bersama Glagah Putih. Dengan demikian Agung Sedayu akan dapat menjadi salah paham, seakan-akan ia tidak mau pergi bersama-sama dengan Glagah Putih, saat Glagah Putih bepergian bersama Rara Wulan. Atau prasangka-prasangka lain yang dapat mengganggu hubungannya dengan Glagah Putih itu sendiri.

Karena itu, maka Sabungsari pun telah memaksa diri untuk pergi menemani Glagah Putih, betapapun sebenarnya ia berkeberatan.

“Baiklah,“ jawab Sabungsari kemudian, “tetapi bukankah ada orang lain selain Rara Wulan dan Glagah Putih?“ Sabungsari membelokkan perhatian Agung Sedayu.

“Ada. Sekar Mirah akan pergi juga bersama Rara Wulan,“ jawab Agung Sedayu.

“Baiklah. Jika demikian aku tidak akan dianggap sebagai orang yang tidak tahu diri,“ jawab Sabungsari sambil tertawa.

“Ah, kau,“ gumam Agung Sedayu sambil tersenyum pula.

Dengan demikian maka Agung Sedayu pun telah berbicara pula dengan Sekar Mirah dan Rara Wulan, bahwa ia terpaksa tidak dapat menemani mereka menengok Raras, karena tiba-tiba saja telah dipanggil oleh Ki Patih Mandaraka, juga dalam persoalan Raden Antal dan ayahnya. “Tetapi berhati-hatilah,“ pesan Agung Sedayu kepada Glagah Putih ketika mereka sudah akan berangkat.

Ketika Sekar Mirah dan Rara Wulan minta diri kepada Ki Tumenggung dan Nyi Tumenggung Purbarukeksa, maka Raden Teja Prabawa yang mendengar segera bertanya, “Untuk apa kalian pergi menemui Raras?”

“Sekedar menengok,“ jawab Rara Wulan, “bukankah aku teman yang dahulu pernah akrab sebelum aku meninggalkan Kotaraja?”

“Jika kau sekedar menengok, kenapa kau harus pergi dengan sekian banyak orang?“ bertanya Raden Teja Prabawa.

“Sekian banyak? Maksudmu?“ Rara Wulan justru bertanya.

“Kenapa kau harus pergi bersama orang lain,“ sahut kakaknya dengan wajah tegang.

“Jika kau keberatan, tolong antar aku ke rumah Raras. Biarlah yang lain tidak usah pergi,“ desis Rara Wulan.

Wajah Raden Teja Prabawa menjadi merah. Sementara Rara Wulan berkata, “Terus-terang, aku tidak berani pergi sendiri. Aku memerlukan seseorang yang mengantarkan aku.”

Raden Teja Prabawa memandang Sekar Mirah sejenak. Namun Rara Wulan tanggap maksudnya. Karena itu maka iapun menjawab, “Meskipun Mbokayu Sekar Mirah memiliki ilmu yang tinggi, tetapi iapun tidak berani pergi tanpa ditemani oleh orang-orang yang dianggap mampu melindunginya.”

Raden Teja Prabawa hanya dapat menggeretakkan giginya. Sementara ibunya berusaha menengahinya, “Sudahlah Teja Prabawa. Apakah keberatanmu jika Rara Wulan pergi diantar oleh siapapun? Bukankah hal itu akan lebih baik baginya? Jika terjadi sesuatu, maka kita tidak akan menyesal. Apalagi kau tahu, bahwa orang-orang yang menghendaki mengambilnya masih berkeliaran di Mataram, karena ia berhasil melepaskan diri di Tegal Wuru.”

“Untuk apa sebenarnya Rara Wulan pergi ke sana? Ia akan dapat justru disangka mengejeknya,“ gumam Teja Prabawa.

“Tentu tidak,“ sahut ibunya, “mereka adalah kawan yang terhitung akrab. Bukankah wajar jika Rara Wulan pergi menengoknya di saat-saat kawan akrabnya itu mengalami kesulitan? Kawan yang baik adalah kawan yang hadir di setiap saat. Bukan hanya saat suka, tetapi juga di saat-saat duka.”

Teja Prabawa tidak menjawab lagi. Apalagi ketika ayahnya berkata, “Sudahlah. Kita tidak usah berpikir bermacam-macam. Sekarang pergilah.”

Rara Wulan dan Sekar Mirah pun kemudian berangkat menuju ke rumah Raras, diantar oleh Glagah Putih dan Sabungsari, sementara Agung Sedayu sendiri segera bersiap-siap untuk pergi menghadap Ki Patih Mandaraka bersama Ki Tumenggung dan Ki Lurah Branjangan. Mereka telah menitipkan rumah itu serta Nyi Tumenggung kepada Ki Jayaraga dan beberapa orang prajurit, yang masih juga berada di rumah Ki Tumenggung.

Raden Teja Prabawa sendiri memang menjadi bingung. Ia ingin pergi ke rumah Raras. Tetapi ia segan pergi bersama Glagah Putih dan Sabungsari. Tetapi Raden Teja Prabawa tidak mempunyai cukup keberanian untuk pergi sendiri meskipun di siang hari.

Karena itu maka Raden Teja Prabawa hanya dapat bersungut-sungut di rumah, bahkan di dalam biliknya. Anak muda itu memang telah meraih pedangnya yang tergantung di dinding biliknya. Tetapi kemudian pedang itu telah digantungkannya kembali.

Dengan gelisah Raden Teja Prabawa kemudian pergi ke ruang tengah. Terasa rumah itu terlalu sepi, karena ibunya berada di dapur. Ketika ia pergi ke pringgitan, maka dilihatnya Ki Jayaraga duduk sendiri. Ayahnya, kakeknya dan Agung Sedayu telah berangkat ke Kepatihan beberapa saat sebelumnya. Di serambi gandok rumahnya, Raden Teja Prabawa melihat dua orang prajurit yang berjaga-jaga. Teja Prabawa tahu bahwa selain keduanya, masih ada prajurit yang bertugas di halaman rumahnya.

“Marilah Ngger,“ Ki Jayaraga mempersilahkan.

Raden Teja Prabawa memang ragu-ragu. Namun ia kemudian duduk bersama Ki Jayaraga, yang semula duduk sendiri menghadapi semangkok minuman hangat dan beberapa potong makanan.

“Angger tidak minum?“ bertanya Ki Jayaraga.

“Terima kasih,“ jawab Teja Prabawa

“Sebentar lagi keadaan akan berangsur-angsur tenang,“ berkata Ki Jayaraga, “kita tinggal menunggu keputusan Ki Patih Mandaraka tentang Ki Tumenggung Wreda Sela Putih dan anaknya. Kecuali jika hal itu akan dilaporkan kepada Panembahan Senapati.”

Raden Teja Prabawa mengangguk-angguk. Tetapi iapun bertanya

(dalam cetakan buku asli terdapat bagian yang hilang di sini)

“Bajang Bertangan Baja ternyata adalah orang upahan. Ia tidak akan melakukan apa-apa jika tidak ada orang yang mengupahnya. Ia menghargai setiap gerakannya dengan keping-keping uang. Seandainya ia mendendam dengan keluarga Raden, jika hal itu tidak mendatangkan upah, maka ia akan segan melakukan sesuatu,“ jawab Ki Jayaraga.

“Tetapi bukankah ia dapat menyimpan dendam pribadinya?“ bertanya Raden Teja Prabawa.

Ki Jayaraga termangu-mangu sejenak. Ia melihat kecemasan membayang di wajah anak muda itu. Dengan nada rendah Ki Jayaraga, “Ngger, seandainya Bajang itu mendendam, tentu tidak akan mendendam Raden Teja Prabawa. Bajang itu tentu akan mendendam Angger Glagah Putih yang telah mengusirnya dari Tegal Wuru, atau Angger Agung Sedayu yang telah mengambil Raden Antal dan dengan demikian telah menggagalkan rencananya untuk mendapatkan Rara Wulan.”

Tetapi Raden Teja Prabawa masih juga berkata, “Bajang itu tahu benar bahwa aku adalah kakak Rara Wulan. Justru karena itu ia telah mengambil Raras, untuk memancing agar Rara Wulan bersedia untuk memenuhi keinginan Raden Antal.“

“Tetapi Raden tidak terlibat dalam usaha membebaskan Raras. Karena itu, Bajang tidak akan berbuat apa-apa atas Raden. Kecuali jika ada orang lain yang mengupahnya. Tetapi bukankah Ki Tumenggung Wreda Sela Putih telah berada di Kepatihan? Tentu tidak ada orang lain lagi yang akan mengupahnya.”

Raden Teja Prabawa mengangguk-angguk. Nalarnya memang dapat mengerti alasan-alasan yang dikatakan oleh Ki Jayaraga. Tetapi ia tidak dapat dengan mudah mengusir kecemasannya.

Untuk beberapa saat Raden Teja Prabawa masih duduk bersama Ki Jayaraga, yang dapat membuat hati anak muda itu agak tenang.

Dalam pada itu, Rara Wulan dan Sekar Mirah yang diantar oleh Glagah Putih dan Sabungsari berjalan lewat jalan-jalan kota menuju ke rumah Ki Rangga Prabawa. Jarak perjalanan yang memang cukup panjang, karena tempat tingal mereka berada di sisi yang berlainan dari Kotaraja.

Sekar Mirah yang termasuk jarang-jarang pergi ke kota, sempat memperhatikan keramaian sepanjang jalan yang dilewatinya. Memang sansat berbeda dengan Tanah Perdikan Menoreh, bahkan padukuhan induknya sekalipun.

Selain jalan yang lebar dan terawat, rumah-rumah di sebelah-menyebelah jalan yang nampak pada umumnya rumah-rumah yang cukup besar dan terpelihara rapi. Dinding halamannya, regolnya dan bahkan halamannya yang nampak di belakang pintu regol yang terbuka, kelihatan bersih. Halaman-halaman yang luas dengan pertamanan yang asri ternyata sangat menarik perhatian.

“Apa yang Mbokayu perhatikan?“ bertanya Rara Wulan.

“Aku juga ingin halaman yang bersih, rapi dan terpelihara seperti halaman-halaman rumah itu,“ sahut Sekar Mirah sambil memandangi halaman-halaman rumah yang mereka lewati. “Rasa-rasanya aku sudah memelihara tanaman di halaman rumah kita di Tanah Perdikan. Namun ternyata halaman itu masih dapat diatur lebih baik lagi. Pada kesempatan lain, aku ingin belajar mengatur halaman agar nampak lebih pantas lagi.”

“Tetapi halaman rumah kita di Tanah Perdikan itu juga sudah tampak rapi dan asri,“ sahut Rara Wulan.

“Di Tanah Perdikan memang demikian. Tetapi seandainya kita bawa halaman rumah itu kemari?“ bertanya Sekar Mirah.

“Maksud Mbokayu?” Rara Wulan justru bertanya.

“Dibanding dengan halaman rumah itu, halaman rumah kita di Tanah Perdikan masih banyak terdapat rumpun bambu,“ jawab Sekar Mirah sambil tertawa.

Rara Wulan pun tertawa. Namun tiba-tiba wajahnya pun berkerut ketika tiba-tiba saja Glagah Putih berkata, “Kau lihat orang yang duduk di bawah bayangan pepohonan, beberapa puluh langkah dari sini?”

Rara Wulan tidak segera menjawab. Namun kemudian ia melihat orang yang dimaksud oleh Glagah Putih. Sambil melangkah terus Glagah Putih berkata, “Itu adalah orang yang menyebut dirinya Bajang Bertangan Baja.”

Rara Wulan dan Sekar Mirah terkejut. Dengan nada tinggi Rara Wulan berkata, “Ah, kau jangan mengganggu aku.”

“Tidak. Aku berkata sebenarnya,“ jawab Galah Putih.

“Apakah yang dikatakan itu benar, Kakang Sabungsari?“ bertanya Rara Wulan.

Ternyata Sabungsari mengangguk sambil menjawab, “Ya. Orang itu adalah Bajang Bertangan Baja.”

Rara Wulan mengangguk-angguk kecil. Bagaimanapun juga jantungnya menjadi berdebar-debar. Bahkan Rara Wulan itu pun bertanya, “Apa yang harus kita lakukan?”

“Tidak akan terjadi apa-apa di jalan yang ramai ini,“ jawab Glagah Putih, “kecuali jika aku dan Kakang Sabungsari ingin menangkapnya.”

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apakah Kakang akan berusaha menangkapnya?”

“Tentu tidak pada saat seperti ini. Jika demikian, di daerah ini akan timbul keributan, sementara itu kami tidak yakin akan dapat menangkapnya,“ jawab Glagah Putih.

“Bersama Kakang Sabungsari?“ bertanya Rara Wulan. “Bahkan bertiga dengan Mbokayu Sekar Mirah?”

“Bajang itu memiliki kemampuan melepaskan diri dari tangan lawanya. Ia dapat berlari menggelinding demikian cepatnya. Menyuruk di bawah pagar-pagar bambu, dan meloncati dinding-dinding batu,“ jawab Glagah Putih.

Namun Rara Wulan tidak bertanya lagi. Mereka melihat orang kerdil itu bangkit dan berdiri demikian mereka menjadi semakin dekat.

Karena itulah maka keempat orang yang sedang berjalan ke rumah Ki Rangga Wibawa itu pun menjadi semakin berhati-hati. Glagah Putih-lah yang kemudian berjalan di paling depan. Bahkan dengan sengaja Glagah Putih telah melangkah mendekati Bajang Bertangan Baja, yang berdiri di bawah sebatang pohon.

Ketika kemudian Glagah Putih berhenti beberapa langkah di hadapan Bajang Bertangan Baja, maka Sekar Mirah, Rara Wulan dan Sabungsari pun telah berhenti pula. Namun mereka menjadi sangat berhati-hati, justru karena mereka sangat mengenali orang yang bertubuh kecil dan pendek itu.

“Ki Sanak,“ berkata Glagah Putih, “apakah kepentinganmu menunggu aku di sini?“

“Maaf Ngger. aku sama sekali tidak sengaja menunggumu, karena aku tidak tahu bahwa kau akan lewat jalan ini,“ jawab Bajang Bertangan Baja.

“Aku merasa sangat sulit untuk mempercayaimu Ki Sanak,“ berkata Glagah Putih kemudian, “aku justru menduga bahwa kau selalu mengawasi kami. Ketika kau melihat kami keluar rumah dan menduga tujuan kami, maka kau telah mendahului kami melalui lorong-lorong kecil dan menunggu kami di sini.”

“Aku memang harus mempercayaimu Ngger, bahwa kau selalu menaruh prasangka buruk padaku, karena memang begitulah yang pernah aku lakukan,“ berkata Bajang Bertangan Baja itu. “Tetapi kau memang harus mengetahui sebab-sebabnya, kenapa aku berbuat demikian.”

“Aku sudah dapat menduganya Ki Sanak. Kau memang seorang yang diupah untuk melakukan sesuatu, baik atau buruk. Tegasnya kau adalah orang upahan. Dengan upah itu kau dapat saja diperintahkan untuk membunuh orang sekalipun,“ berkata Glagah Putih.

“Aku memang tidak dapat mengingkarinya,“ jawab Bajang Bertangan Baja.

“Demikian pula apa yang kau lakukan atas Raras,“ berkata Glagah Putih pula.

“Ya Ngger. Kau benar. Tetapi karena itu pula aku ingin mengatakan bahwa aku tidak ingin mengganggumu lagi. Aku tidak akan mengganggu keluarga Ki Tumenggung Purbarumeksa, dan tidak akan mengganggu keluarga Ki Rangga Wibawa,“ berkata Bajang itu pula.

“Karena Ki Tumenggung Wreda Sela Putih telah ditanggkap langsung oleh Ki Patih Mandaraka,“ berkata Glagah Putih. Lalu katanya pula, “Dengan demikian maka tidak ada lagi orang yang mengupahmu.”

“Ya,“ jawab Bajang Bertangan Baja, “bukankah dengan demikian berarti bahwa kerjaku telah selesai? Bahkan upahku yang telah dijanjikan masih belum dibayarkan sepenuhnya.”

“Justru karena Ki Tumenggung Wreda telah ditahan di Kepatihan,“ sahut Glagah Putih.

“Ya. Karena itulah maka aku tidak akan berbuat apa-apa lagi. Akupun sama sekali tidak merasa bermusuhan dengan kalian, juga dengan Angger Rara Wulan,“ berkata Bajang Bertangan Baja.

“Tetapi bagaimana jika ada orang lain yang mengupahmu agar kau membunuh aku, atau Mbokayu Sekar Mirah, atau Rara Wulan?“ bertanya Glagah Putih.

Bajang Bertangan Baja itu tersenyum. Katanya, “Tidak ada orang yang akan mau mengupahku.“

“Ki Sanak,“ berkata Glagah Putih, “jadi hanya seharga upah itukah harga dirimu sebagai manusia?”

Bajang Bertangan Baja itu mengerutkan dahinya. Dengan nada berat ia bertanya, “Apa maksudmu Ngger?“

“Apapun yang harus kau lakukan, jika kau mendapat upah. Dengan demikian maka kau adalah orang yang sangat berbahaya. Setiap saat kau dapat melakukan sesuatu yang dapat mengganggu, bahkan mencelakai orang lain, hanya karena kau ingin mendapatkan upah. Kau jual ilmumu yang tinggi serta hubunganmu dengan Yang Maha Pencipta, karena kau tidak mempunyai wawasan lain dalam hidupmu selain upah,“ berkata Glagah Putih dengan geram.

Bajang kerdil itu termangu-mangu sejenak. Namun sebelum ia mengatakan sesuatu, Glagah Putih telah berkata pula, “Ki Sanak, apakah kau tidak pernah berpikir bahwa pada suatu saat, betapapun tinggi ilmumu, kau tentu akan mati? Apakah arti semua harta benda dan uang yang kau miliki dengan menjual harga diri dan bahkan menjual nilai-nilai kemanusiaanmu itu, kelak jika saat itu datang? Kau akan kehilangan dua kali. Kau akan kehilangan segala macam harapan abadi di dalam alam kematianmu. Seandainya kau tidak mempercayainya, maka kaupun telah kehilanggan kewajaran hidup di dunia yang fana ini. Kau tidak pernah merasakan betapa nikmatnya bermain dengan anak cucu di rumah. Betapa damainya hati duduk bersama tetangga sebelah-menyebelah di sore hari, sambil menunggui burung saat padi yang mulai menjadi kuning di sawah, atau duduk di serambi rumah sahabat dan kenalan, tanpa dibayangi oleh kegelisahan dan perasaan bersalah.”

Bajang Bertangan Besi itu mengerutkan dahinya. Dipandanginya wajah Glagah Putih dengan tajamnya. Hampir di luar sadarnya ia bertanya, “Berapa umurmu Ngger?”

“Untuk apa kau tanyakan itu?“ Glagah Putih justru bertanya dengan heran.

“Kau masih nampak terlalu muda. Tetapi apa yang kau katakan menyatakan kedewasaan jiwamu,“ sahut Bajang Bertangan Baja.

Tetapi Glagah Putih menggeleng. Katanya, “Aku hanya menirukan apa yang pernah dikatakan oleh orang-orang tua kepadaku. Tetapi aku senang bahwa aku sempat mendengarnya. Aku yakin bahwa kaupun pernah mendengarnya. Tetapi aku tidak tahu kenapa kau melupakannya.”

Bajang Bertangan Baja itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau benar. Aku pernah mendengarnya. Tetapi kau harus tahu bahwa warna hidupku ini tidak terbentuk dalam satu dua hari. Aku dengan warna yang kau lihat sekarang ini, terbentuk sejak aku masih kanak-kanak. Bahkan mungkin sejak aku masih ada dalam kandungan. Karena itu maka seandainya perubahan itu harus terjadi pada diriku, tentu juga diperlukan waktu yang lama. Tetapi nampaknya sulit bagiku untuk menjalani satu perubahan seperti yang kau maksudkan itu.”

“Ternyata kau jujur Ki Sanak,“ jawab Glagah Putih, “baiklah. Dengan demikian aku mengerti bahwa pada suatu saat kita masih mungkin akan berhadapan sebagai lawan.”

“Mudah-mudahan tidak Ngger. Bukankah tanpa Ki Tumenggung Wreda, kita tidak mempunyai persoalan?“ bertanya orang kerdil itu dengan dahi yang berkerut.

“Selama kau masih melakukan pekerjaanmu yang tercela itu, dengan menerima upah dari seseorang untuk melakukan apa saja berdasarkan atas upah orang lain, maka kemungkinan untuk berhadapan dengan kami masih saja ada, karena kami tidak akan tinggal diam melihat kesewenang-wenangan itu terjadi.”

Bajang Bertangan Baja itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mudah-mudahan kepentingan kita tidak berbenturan.”

“Ingat Ki Sanak,“ berkata Glagah Putih, “kami telah menempatkan diri kami di pihak mereka yang mengalami perlakuan sewenang-wenang. Kau tentu akan berpijak pada alas kemampuanmu yang tinggi untuk melakukan kesewenang-wenangan itu untuk mendapatkan upah. Sebaliknya aku berdiri di pihak yang lain.”

Bajang Bertangan Baja itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Bagaimanapun juga aku masih berharap bahwa kita tidak akan bertemu lagi.”

“Aku justru berpengharapan lain. Jika kau masih juga melakukan perbuatan yang tercela itu, mudah-mudahan kita bertemu lagi, di manapun juga,“ jawab Glagah Putih.

Bajang Bertangan Baja itu termangu-mangu sejenak. Dengan nada dalam ia bergumam, “Kau memang keras kepala.”

“Aku atau kau yang keras kepala?“ sahut Glagah Putih.

Bajang Bertangan Baja memandang Glagah Putih dengan tajamnya. Namun Glagah Putih justru berkata, “Kalau kau berkeberatan, apa maumu?”

Bajang Bertangan Baja itu mengerutkan keningnya. Ia bukan seorang yang sabar. Tetapi Bajang itu berkata, “Anak Muda, kau membuat hatiku menjadi panas. Tetapi aku harus mengakui bahwa aku tidak dapat berbuat apa-apa sekarang ini atasmu. Kau datang bersama dengan seorang yang berilmu sangat tinggi, selain kau sendiri memang memiliki ilmu yang jarang ada bandingnya, apalagi seumurmu. Selain kawanmu itu, maka akupun tahu bahwa Angger Sekar Mirah dan Angger Rara Wulan juga bukannya orang yang tidak berilmu. Seandainya aku sekarang marah dan terpancing untuk berkelahi, artinya sama saja dengan menyerahkan leherku. Karena itu, maka sebaiknya aku menahan diri betapapun terasa bagaikan membara.”

“Kenapa kau harus menahan diri? Bukankah kau juga seorang yang berilmu sangat tinggi?“ bertanya Glagah Putih.

“Bukankah aku tidak boleh kehilangan penalaran?“ Bajang Bertangan Baja itu justru bertanya.

“Bagaimana jika aku memaksakan perkelahian itu terjadi di sini, karena kami ingin menangkapmu hidup atau mati?“ bertanya Glagah Putih.

“Aku sudah siap untuk melarikan diri. Meskipun jalan ini cukup ramai, tetapi aku yakin bahwa kalian tidak dapat menangkapku. Kalian juga tidak akan dapat menyerangku dari jarak jauh, karena dengan demikian kalian justru akan dapat membunuh orang-orang yang lewat itu.”

“Kau licik,“ desis Glagah Putih, “tetapi aku percaya bahwa kau jujur. Tetapi kejujuranmu adalah kejujuran yang tidak bertanggung jawab. Kau hanya sekedar mengatakan apa adanya tanpa memperdulikan nilai-nilai dan tanggung jawab atas sikapmu itu.”

“Terserahlah, apa yang kau katakan tentang diriku. Tetapi aku tidak berniat memusuhi kalian. Apalagi Angger Agung Sedayu,” berkata Bajang itu.

“Sikapku pun jelas. Aku akan membantu orang-orang yang memerlukan bantuanku. Termasuk korban tingkah lakumu yang sewenang-wenang karena kau mendapat upah.”

Bajang Bertangan Baja itu menggeram. Tetapi ia memang tidak dapat berbuat apa-apa. Seperti yang dikatakannya, ia tidak akan mampu menghadapi Glagah Putih dan Sabungsari berdua.

Karena itu maka katanya kemudian, “Sudahlah. Ternyata kau benar-benar anak yang keras kepala. Baiklah, aku akan berusaha menghindari kalian. Sekarang, aku akan minta diri. Ternyata Mataram bukan ladang yang subur bagiku. Di sini banyak orang-orang yang berilmu sangat tinggi. Anak-anak penggembala seperti kalian pun ternyata mampu mengimbangi ilmuku, apalagi Ki Patih Mandaraka.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Tetapi memang ia tidak akan dapat berbuat banyak atas Bajang Bertangan Baja itu. Seperti yang dikatakannya, maka ia akan melepaskan diri dengan cara sebagaimana dikatakannya itu. Ia dapat berbaur dengan orang-orang yang berlalu-lalang, sehingga dengan demikian maka ia akan dapat menghilang, karena Glagah Putih dan Sabungsari tidak akan dapat mencegahnya dengan serangan-serangannya dari jarak jauh, justru karena jalan itu cukup ramai.

Karena itu, Glagah Putih dan Sabungsari hanya memang dapat menyaksikan Bajang itu bergeser surut sambil berkata, “Sudalah Anak-Anak Muda. Aku akan meninggalkan Tanah yang gersang ini. Tetapi seperti yang kukatakan, jika harus terjadi perubahan warna hidupku, maka itu diperlukan waktu yang lama.”

Glagah Putih dan Sabungsari tidak menjawab. Mereka melihat Bajang Bertangan Baja itu kemudian melangkah, larut di antara orang-orang yang lewat di jalan yang cukup ramai di kota Mataram itu.

Sabungsari yang bergeser mendekat berkata, “Aku tidak yakin bahwa ia akan benar-benar meninggalkan Mataram. Tetapi nampaknya ia bersungguh-sungguh. Orang itu nampaknya memang terbuka. Ia berkata sebagaimana adanya. Sayang, ia tidak mau menghargai nilai-nilai kehidupan.”

Untuk beberapa saat mereka masih berdiri di pinggir jalan memperhatikan Bajang kerdil yang berjalan semakin lama semakin jauh. Namun iapun kemudian mempercepat langkahnya.

“Sudahlah, marilah,“ berkata Glagah Putih kemudian, “kita meneruskan perjalanan kita. Tetapi aku berharap bahwa ia benar-benar meninggalkan Mataram agar tidak lagi menimbulkan persoalan-persolalan yang baru di sini.”

Sabungsari mengangguk-angguk, namun iapun bergumam, “Marilah, mumpung belum terlalu siang.”

Sejenak kemudian, maka mereka berempat pun telah melanjutkan perjalanan mereka menuju ke rumah Ki Rangga Wibawa. Tetapi di sepanjang jalan mereka masih berbicara tentang Bajang Bertangan Baja yang kerdil itu.

“Jika saja tubuhnya tinggi dan tegap, apakah ia juga memiliki ilmu yang tinggi?” bertanya Rara Wulan.

Sekar Mirah tertawa. Katanya, “Aku kira justru tidak. Karena tubuhnya yang kecil itulah, maka ia memerlukan sesuatu untuk menjadi imbangannya. Nampaknya Bajang itu telah memilih olah kanuragan.”

“Ya. Dan ternyata ia berhasil,“ sahut Sabungsari.

Rara Wulan mengangguk-angguk. Ia bahkan sempat membayangkan, betapa ngerinya Raras ketika dibawa oleh orang kerdil itu. Orang yang bertubuh kerdil dan pendek, tetapi mempunyai kekuatan yang sangat besar.

Demikianlah, beberapa saat kemudian keempat orang itu telah memasuki halaman rumah Ki Rangga. Dua orang prajurit yang ada di serambi gandok memandangi mereka yang memasuki regol itu. Sementara dua orang yang lain yang sedang duduk di depan telah bangkit menyongsong mereka.

Ternyata para prajurit yang bertugas itu masih belum mengenal Glagah Putih dan Sabungsari. Apalagi Sekar Mirah dan Rara Wulan.

Mereka baru semalam menggantikan tugas para prajurit yang bertugas sebelumnya, “Maaf Ki Sanak,“ betanya salah seorang dari mereka, ”siapakah Ki Sanak, dan untuk apa Ki Sanak datang kemari?“

“Kami datang untuk menengok Raras,“ jawab Glagah Putih. “Apakah Ki Rangga ada di rumah?”

“Silahkan naik Ki Sanak. Biarlah aku menyampaikan kepada Ki Rangga.”

Keempat orang itu pun kemudian telah naik dan duduk di pendapa, sementara seorang di antara para prajurit itu telah menyampaikan kedatangan keempat orang itu kepada Wacana, yang ada di serambi belakang.

Baru sejenak kemudian Ki Rangga keluar dari pintu pringgitan menemui keempat orang tamunya bersama Wacana, sementara Nyi Rangga menunggui Raras di biliknya.

“Selamat datang Angger berempat,“ desis Ki Rangga sambil mengangguk hormat. Ia masih saja merasa berhutang budi kepada Glagah Putih dan Sabungsari, yang telah ikut dengan langsung membebaskan anak gadisnya.

Sejenak kemudian setelah mereka saling menanyakan keselamatan diri, maka Glagah Putih telah menyampaikan niat mereka untuk menengok Raras.

“Terima kasih Ngger,” jawab Ki Rangga Wibawa, “mudah-mudahan kedatangan Angger akan dapat menambah ketenangan jiwanya yang mulai membaik, meskipun kadang-kadang masih juga bergejolak. Namun akan segera mereka kembali.”

“Syukurlah Ki Rangga,“ desis Glagah Putih.

“Apalagi Angger Rara Wulan yang akan langsung menemuinya. Ia memang sering menyebut-nyebut nama Angger,“ berkata Ki Rangga kemudian.

“Mudah-mudahan Raras tidak marah kepadaku, Ki Rangga,“ desis Rara Wulan ragu-ragu.

“Tidak Ngger, tidak. Raras tahu bahwa Angger sama sekali tidak bersalah,“ jawab Ki Rangga dengan serta merta.

Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Jika demikian, apakah aku dapat menemuinya sekarang Ki Rangga?”

Ki Rangga mengangguk-angguk kecil. Tetapi kemudian katanya, “Baiklah. Aku akan menyampaikannya.”

Ketika Ki Rangga kemudian masuk ke ruang dalam, maka Wacana sempat menceritakan perkembangan keadaan Raras. Katanya kemudian, “Mudah-mudahan untuk selanjutnya keadaannya menjadi semakin baik.”

“Goncangan perasaannya memang dapat dimengerti,“ desis Sekar Mirah, “siapapun yang mengalaminya, hatinya tentu akan terguncang.”

“Apalagi Raras,“ sahut Wacana. “Gadis yang memang agak manja.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Katanya, “Suatu pengalaman yang tidak akan pernah dilupakan sepanjang umurnya. Namun sudah tentu tidak seorangpun yang ingin ikut mengalaminya.”

Sementara itu Ki Rangga Wibawa yang menemui Raras di biliknya telah memberitahukan bahwa Rara Wulan telah datang untuk menengoknya. “Apakah sebaiknya aku persilahkan untuk datang ke bilikmu, atau kaulah yang akan keluar ke pendapa untuk menemui mereka?

Raras memang agak ragu-ragu. Tetapi kemudian katanya, “Biarlah aku pergi ke pendapa, Ayah. Bilik ini lembab, dan barangkali agak kotor selama aku sakit.”

“Baiklah. Marilah.”

“Biarlah anak ini berbenah diri sejenak,“ potong Nyi Rangga.

Ki Rangga mengangguk sambil berkata, “Baiklah. Segera ajak Raras ke pendapa. Jangan biarkan mereka terlalu lama menunggu.”

“Sementara itu biar disiapkan minuman bagi mereka,“ desis Nyi Rangga.

Ketika Ki Rangga kembali ke pendapa dan Raras berbenah diri, ternyata Raras berkeberatan ketika ibunya pergi ke dapur untuk menyiapkan minuman dan makanan bagi tamu-tamunya. Tetapi Nyi Rangga pun kemudian telah minta kepada pembantunya agar menyuguhkan hidangan itu kepada tamu-tamunya ke pendapa, sementara Nyi Rangga telah kembali ke bilik Raras.

Ternyata Raras pun telah selesai pula berbenah diri. Ia telah menyisir rambutnya, berganti baju dan sedikit merias wajahnya yang masih pucat.

“Selain Wulan, siapa saja yang ada di pendapa itu?” bertanya Raras.

Ibunya mengerutkan dahinya. Katanya, “Aku belum tahu Raras. Tetapi menurut ayahmu semuanya ada empat orang.”

Raras termangu-mangu sejenak. Namun ibunya telah mendesak, “Marilah. Jangan biarkan tamumu terlalu lama menunggu.”

Raras mengangguk kecil. Tetapi di luar sadarnya ia bertanya, “Apakah di antara mereka terdapat Teja Prabawa ?”

Sekali lagi ibunya menjawab, “Aku belum tahu, Raras.”

“Mudah-mudahan anak cengeng itu tidak akan datang kemari.“

“Raras,“ potong ibunya. Tetapi ibunya tidak melanjutkan kata-katanya ketika ia melihat Raras menundukkan wajahnya dalam-dalam. Nyi Rangga tidak mau membuat hati anaknya menjadi gelisah lagi. Karena itu, yang dapat dilakukan kemudian hanya menarik nafas dalam-dalam.

Demikianlah, maka Nyi Rangga pun telah mengantar Raras ke pendapa. Dengan dada yang berdebar-debar Raras membuka pintu pringgitan.

Namun, demikian ia membuka pintu, yang pertama-tama dilihatnya adalah Rara Wulan. Rara Wulan yang melihat Raras berdiri di pintu dengan serta merta telah bangkit berdiri dan berlari mendapatkanya.

“Raras,“ desis Rara Wulan.

Raras pun telah menyongsong Rara Wulan pula. Keduanya pun kemudian telah berpelukan. Bahkan Raras tidak dapat menahan air matanya yang menitik di bahu Rara wulan, sehingga mata Rara Wulan pun menjadi basah pula.

“Syukurlah bahwa kau selamat,“ desis Rara Wulan.

“Yang Maha Agung telah melindungi aku,“ suara Raras hampir tidak terdengar.

“Aku minta maaf Raras, bahwa karena aku kau harus mengalami perlakuan yang sangat kasar itu,“ berkata Rara Wulan pula.

“Kau tidak bersalah, Wulan,“ sahut Raras.

Rara Wulan kemudian menggandeng Raras untuk duduk bersama dengan yang lain. Ibunya pun telah mengikutinya pula, sementara yang lain pun justru telah bangkit berdiri pula.

“Ini Mbokayu Sekar Mirah, istri Kakang Agung Sedayu,“ berkata Rara Wulan ketika ia memperkenalkan Sekar Mirah.

Sekar Mirah pun mengangguk hormat sebagaimana Raras, sementara Rara Wulan berkata, “Sedangkan kedua anak muda ini, bukankah pernah datang kemari sebelumnya?”

Barulah Raras menyadari, bahwa di antara keduanya itu terdapat anak muda yang telah langsung menyelamantkannya di Tegal Wuru.

Karena itu, maka terasa jantungnya pun berdebar semakin cepat di dadanya. Tetapi Raras tidak dapat menghindar lagi. Apalagi ketika kemudian ayahnya mempersilahkan mereka untuk duduk kembali.

Demikianlah, maka Raras pun telah duduk bersama keluarganya dan keempat orang di pendapa. Rara Wulan yang banyak bertanya tentang keadaannya. Sekali-kali Sekar Mirah pun berbicara pula menyela pembicaraan Rara Wulan yang panjang.

Namun kadang-kadang Raras tidak langsung menjawab pertanyaan Rara Wulan. Justru ia memandang Glagah Putih sambil berkata, “Ki Sanak itulah yang lebih tahu, bagaimana aku akhirnya dapat dibebaskan dari tangan orang kerdil itu.”

Sekali-kali Glagah Putih menyambung pembicaraan itu pula. Namun Sabungsari-lah lebih yang banyak menunduk dan berdiam diri. Hanya satu dua saja ia menanggapi pertanyaan yang kadang-kadang dilemparkan kepadanya. Kemudian menunduk kembali dan berdiam diri. Bahkan kadang-kadang di luar sadarnya, Raras menyatakan kekecewaannya terhadap Raden Teja Prabawa yang ternyata tidak berbuat sesuatu yang berarti untuk membebaskanya. Namun setiap kali Raras tanpa sadar menyatakan kekecewaannya itu, maka ayah atau ibunya yang membelokan pembicaraannya.

Ternyata kehadiran Rara Wulan memang memberikan kesegaran pada Rara. Gadis itu sekali-sekali sudah dapat tersenyum dan bahkan tertawa. Sementara itu suasana menjadi semakin longgar pula. Sabungsari telah dapat ikut masuk dalam pembicaraan yang sekali-kali menyinggung keadaan Mataram sehari-hari. Sementara Nyi Rangga pun telah mempersilahkan berkali-kali untuk menghirup minuman dan makan makanan yang disuguhkan.

Untuk membantu menenangkan Raras, maka Glagah Putih pun telah menceritakan pertemuannya dengan Bajang Bertangan Baja dalam perjalanannya menuju ke rumah Ki Rangga.

“Benar begitu?“ bertanya Ki Rangga Wibawa.

“Benar Ki Rangga,“ Sekar Mirahlah yang menjawab, “kami memang tidak mengira bahwa kami akan bertemu dengan Bajang. Nampaknya ia bersungguh-sungguh untuk meninggalkan Mataram, setelah Ki Tumenggung Wreda berada di tangan Ki Patih Mandaraka untuk mendapatkan keputusan atas kesalahan yang pernah dilakukannya.”

“Syukurlah,“ Ki Rangga mengangguk-angguk. Lalu katanya kepada Raras, “Nah, kau dengar itu Raras? Dengan demikian maka kau seharusnya menjadi lebih tenang, karena ancaman atasmu telah tidak ada lagi.”

Raras mengangguk kecil. Meskipun demikian, sudah tentu bahwa hatinya tidak akan dapat dengan serta merta menjadi tenang, meskipun Bajang Bertangan Baja itu sudah berjanji untuk tidak berbuat apa-apa lagi, bahkan akan meninggalkan Kotaraja.

Meskipun demikian, berita tentang kepergian Bajang Bertangan Baja meninggalkan Kotaraja itu diterima oleh Ki Rangga Wibawa dengan harapan, bahwa ketenangan keluarganya akan segera dapat kembali.

Meskipun demikian, masih ada sesuatu yang terasa mengganggu perasaan kedua orang tua Raras. Justru sikap Raras kepada Raden Teja Prabawa. Apalagi ketika kedua orang tua Raras itu mengetahui dari Ki Rangga Wiramijaya, bahwa sebenarnya sudah beberapa lama Raras merasa kecewa terhadap sikap Raden Teja Prabawa, sehingga apa yang terjadi kemudian itu justru menekankan kekecewaannya itu.

Tetapi kedua orang tua itu masih harus menunggu sikap Raras yang sebenarnya, setelah hatinya menjadi tenang.

Dalam pada itu, maka Rara Wulan yang sudah cukup lama tidak bertemu dengan Raras, sementara Raras baru saja mengalami kesulitan, tidak segera minta diri. Sekar Mirah juga membiarkan keduanya mendapat kesempatan berbincang panjang. Bahkan Ki Rangga dan Nyi Rangga ikut berbesar hati bahwa kedatangan Rara Wulan agaknya mempunyai pengaruh yang baik atas Raras.

Tetapi bukan saja Rara Wulan yang membuat Raras sedikit cerah. Ternyata kehadiran orang-orang yang telah menyelamatkannya itu memberikan perasaan tenang kepadanya. Di luar kehendaknya Raras telah mengagumi anak-anak muda yang bersikap jantan, sebagaimana Glagah Putih dan Sabungsari.

Kekaguman itu seakan-akan telah mendorongnya untuk lebih memperhatikan anak-anak muda itu, sadar atau tidak sadar. Lebih-lebih anak muda yang telah melindunginya di Tegal Wuru. Dan Raras pun tahu anak muda itu bernama Sabungsari.

Tetapi pertemuan itu pun akhirnya sampai ke batasnya. Setelah cukup lama Rara Wulan berada di rumah Raras, maka iapun akhirnya telah minta diri pula, bersama-sama dengan Sekar Mirah, Glagah Putih dan Sabungsari.

Dalam pada itu maka Glagah Putih dan Sabungsari harus segera memberi laporan tentang Bajang Betanagan Baja itu kepada Agung Sedayu, sedangkan Agung Sedayu akan melaporkannya kepada Ki Wirayuda.

Sepeninggal keempat tamu itu, maka Raras pun kembali ke dalam biliknya dengan wajah murung. Meskipun demikian gadis itu memang nampak menjadi agak tenang. Agaknya berita tentang Bajang Bertangan Baja yang akan meninggalkan Mataram itu memang berpengaruh atas ketenangan perasaannya.

Tetapi di sisi lain, Ki Rangga dan Nyi Rangga memang merasa agak heran, dari mana Raras mengetahui banyak hal tentang Raden Teja Prabawa yang dianggapnya kurang jantan itu.

Ketika Raras sudah berada di biliknya, maka Ki Rangga dan Nyi Rangga pun telah mengikutinya pula. Bahkan keduanya pun kemudian duduk pula di amben panjang di sebelah pembaringan Raras.

Ternyata Nyi Rangga tidak dapat menahan diri untuk tidak menanyakan kepada anak gadisnya, dari mana ia mengetahui, atau kenapa ia menganggap, bahwa Teja Prabawa tidak bersifat sebagai laki-laki jantan, meskipun Nyi Rangga tidak ingin menanyakan sikap Raras terhadap anak muda itu.

Karena itu, maka katanya, “Raras. Sikapmu akhir-akhir ini terhadap Raden Teja Prabawa agak berubah. Darimana kau tahu atau mendengar bahwa sikap Raden Teja Prabawa telah mengecewakanmu, sebagaimana kau katakan ?”

Raras menarik nafas dalam-dalam. Dengan agak ragu ia menjawab, “Bukankah aku mengenalnya dengan baik, Ibu? Selama aku menjadi kawannya yang terdekat, maka aku semakin mengenali sifat-sifatnya. Semakin lama aku justru semakin kecewa. Raden Teja Prabawa memang tidak menunjukan sifat seorang laki-laki yang bertanggung jawab. Ia selalu mencoba untuk menghindarkan diri dari beban kewajibanya, dan setiap terjadi kesalahan, ia selalu berusaha mencari sasaran untuk menimpakan kesalahan itu. Bahkan kadang-kadang jika hal itu terjadi di antara kami, aku-lah yang selalu harus mempertanggung-jawabkanya. Bahkan ketika aku diambil orang kerdil itu, Teja Prabawa tidak berusaha membebaskan aku, tetapi mencoba membujuk adiknya untuk bersedia menjadi taruhan.”

“Siapakah yang mengatakan kepadamu, bahwa ketika kau berada di tangan orang kerdil itu Teja Prabawa tidak berbuat sesuatu kecuali membujuk adiknya?“ bertanya Ki Rangga.

Jawab Raras benar-benar mengejutkan Ki Rangga dan Nyi Rangga Wibawa. Dengan tidak ragu-ragu Raras menjawab, “Wacana, Ayah.”

“Wacana?“ berkata ayahnya dengan dahi yang berkerut, “Jadi Wacana yang berkata kepadamu, bahwa Teja Prabawa adalah seorang laki-laki cengeng dan tidak bertanggung jawab? Terutama ketika kau di tangan orang kerdil itu?”

“Ya,“ jawab Raras dengan pasti, “Wacana menjadi tidak telaten dengan sikap Raden Teja Prabawa. Ia sudah merintis satu langkah tertentu. Namun ternyata Ki Lurah Agung Sedayu dengan Kakang Glagah Putih dan Kakang Sabungsari telah mendahuluinya.”

Ki Rangga mengangguk-angguk. Tetapi bahwa Wacana telah menyampaikan hal itu kepada Raras, telah menjadikan kedua orang tuanya menjadi gelisah. Sebuah pertanyaan telah menggelitik keduanya, “Apakah maksud Wacana sebenarnya dengan mengatakan hal itu kepada Raras? Buklankah Wacana ikut mengantar Teja Prabawa ke Tanah Perdikan Menoreh? Atau Wacana juga merasa kecewa melihat sikap Raden Teja Prabawa sebagai orang laki-laki?”

Tetapi baik Ki Rangga atau Nyi Rangga tidak bertanya lebih lanjut. Mereka masih harus menunggu Raras benar-benar menjadi tenang.

Namun dalam pada itu, ternyata Raras telah digelisahkan oleh persoalan yang lain. Kepergian Bajang Bertangan Baja dari Mataram, meskipun hal itu masih belum pasti, membuat Raras agak menjadi tenang. Tetapi kekecewaannya terhadap Raden Teja Prabawa justru telah membuat gelisah pula. Lebih dari itu, di luar kehendaknya ia telah mengagumi orang yang telah menyelamatkannya. Meskipun setiap kali Raras berusaha untuk menjelaskan kepada diri sediri bahwa perasaan itu timbul karena merasa berhutang budi.

Kepada diri sendiri Raras mencoba bersungguh-sungguh untuk meyakinkan.

Beberapa saat kemudian maka Ki Rangga pun berkata, “Sudahlah. Beristirahatlah Raras, agar kau segera benar-benar menjadi sehat kembali. Biarlah ibumu yang mengawanimu di sini.”

Raras mengangguk kecil, sementara ibunya berkata, “Berbaringlah dan tidurlah.”

Ketika ayahnya keluar dari bilik itu, maka Raras pun berbaring sambil berkata, “Bukankah Ibu tidak akan pergi?”

“Tidak,” jawab ibunya, “aku akan menungguimu. Karena itu tidurlah. Kau tentu merasa lebih tenang sekarang, karena orang kerdil itu berniat untuk meninggalkan Mataram. Meskipun demikian, biarlah para prajurit tetap berjaga-jaga untuk beberapa hari. Baru setelah dapat diyakinkan bahwa Bajang Bertangan Baja itu benar-benar tidak ada di Mataram, maka penjagaan dapat ditiadakan.”

Raras mengangguk-angguk kecil. Iapun kemudian telah membaringkan dirinya, meskipun matanya tidak terpejam, sementara ibunya duduk di sebuah amben panjang bersandar didinding. Seperti Raras, ternyata angan-angan Nyi Rangga juga menerawang jauh menelusuri jalan kehidupan anak gadisnya, di hari-hari yang lewat atau di masa mendatang.

Dalam pada itu, Rara Wulan, Sekar Mirah, Glagah Putih dan Sabungsari menyusuri jalan kota menuju ke rumah Rara Wulan. Di sepanjang jalan mereka masih berbicara tentang Raras yang menjadi semakin baik. Tetapi pembicaraan mereka, terutama Rara Wulan, tidak luput dari sikap Raras terhadap kakaknya, Teja Prabawa.

“Tetapi bukan salah Raras,“ desis Rara Wulan, “Kakangmas Teja Prabawa memang kurang bertanggung jawab. Bahkan aku pernah berkata kepada Ayah, seandainya Kakangmas Teja Prabawa itu bukan kakakku, tetapi seorang anak muda yang melamarku, maka aku akan berpikir berulang kali untuk menerimanya.”

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Satu pertanda yang kurang baik bagi hubungan antara Raras dan Raden Teja Prabawa. Peristiwa pahit yang harus dialami Raras merupakan dorongan yang sangat kuat bagi Raras untuk menilai anak muda yang sangat akrab dengan dirinya itu.

Sementara itu, ternyata jantung Sabungsari terasa bergejolak di dadanya. Ia sendiri tidak tahu, perasaan apakah yang mencekamnya waktu itu. Ia sama sekali tidak berniat untuk menjadi orang kedua di hati Raras, di sampaing Teja Prabawa. Apalagi sebelumnya hubungan antara Raras dan Teja Prabawa seakan-akan telah diketahui oleh orang tua dari kedua delah pihak.

Karena itu, maka Sabungsari sudah berniat untuk menyingkir dari garis hubungan keduanya.

Tetapi sejak ia melihat Raras di rumahnya setelah peristiwa di Tegal Waru itu terjadi, maka wajah itu selalu membayang. Sebelumnya Sabungsari tidak pernah membayangkan wajah seorang gadis, meskipun umurnya sudah lewat batas dewasa. Selama ia berada di Jati Anom, maka seluruh waktunya dicurahkannya pada tugasnya serta olah kanuragan.

Rasa-rasanya beban yang harus ditanggungnya untuk menebus sikap lahir dan batinnya yang sebelumnya diwarnai oleh kekelaman tidak juga kunjung berakhir. Baru setelah dituntun oleh Agung Sedayu, ia berhasil membebaskan diri dari hambatan-hambatan di dalam dirinya, maka rasa-rasanya dadanya menjadi lapang. Sehingga dengan demikian ia dapat melepaskan diri dari himpitan perasaan bersalah yang terus-menerus mengejarnya, meskipun dengan sadar hal itu sudah ditinggalkannya, dan dengan sadar pula ia telah menempuh jalan kehidupan yang lain sejak ia bertemu dengan Agung Sedayu.

Setelah beberapa saat berselang, dan setelah hambatan yang ada di dalam dirinya dapat disingkirkannya, maka tiba-tiba hatinya telah disentuh oleh kelembutan wajah seorang gadis, yang justru baru saja mengalami malapetaka yang hampir saja merampas seluruh masa depannya.

Meskipun demikian Sabungsari masih tetap berpegang pada penalarannya. Raras adalah kawan akrab Raden Teja Prabawa, sehingga seharusnya ia memang tidak menyentuh dan apa lagi mempengaruhi hubungan itu.

Karena itu, maka Sabungsari berusaha untuk melupakan Raras dan berusaha untuk memancing pembicaraan yang lain. Ketika ia mendapat kesempatan, maka ia mulai berbicara tentang Bajang Bertangan Baja yang menyatakan diri untuk pergi dari Mataram.

“Kita segera menyampaikan kepada Agung Sedayu,“ berkata Sabungsari.

“Ya. Segera setelah kita tiba di rumah,“ jawab Glagah Putih.

Sabungsari mengangguk-angguk. Namun ia masih berusaha untuk mempertahankan pembicaraan mereka tentang Bajang Bertangan Baja, sehingga tidak berputar kembali kepada Raras.

Beberapa saat kemudian mereka pun sudah sampai di rumah Ki Tumenggung Purbarumeksa. Namun ternyata Ki Tumenggung, Ki Lurah Branjangan dan Agung Sedayu masih belum datang. Sementara Ki Jayaragap un telah berada di serambi gandok, duduk bersama dua orang prajurit yang bertugas di rumah itu.

Dengan demikian maka Glagah Putih dan Sabungsari masih harus menunggu Agung Sedayu kembali dari Kepatihan.

Di Kepatihan, Agung Sedayu, Ki Lurah Branjangan dan Ki Tumenggung Purbarumeksa diminta untuk memberikan kesaksian tentang tingkah laku, sikap dan perbuatan Ki Tumenggung Wreda Sela Putih, sebagai bahan untuk mengambil keputusan atas Ki Tumenggung Wreda dan anak laki-lakinya, Raden Antal. Apalagi yang mereka lakukan telah menimbulkan jatuhnya korban di dekat susukan Kali Opak. Tidak hanya seorang, tetapi beberapa orang.

Justru pada saat menunggu kedatatangan Agung Sedayu pula, Glagah Putih sempat menilai sikap Sabungsari. Sebenarnya beberapa kali Glagah Putih sempat memandang wajah Sabungsari ketika mereka berada di rumah Ki Rangga Wibawa. Namun Glagah Putih sama sekali tidak berani mengambil kesimpulan apapun tentang anak muda yang memang tidak terlalu mudah menunjukan ungkapan perasaan serta sikap batinnya itu.

Dalam pada itu, Raden Teja Prabawa yang tengah gelisah menemui Rara Wulan sambil bertanya, “Apa yang kalian lakukan di rumah Raras ?”

“Kami ingin melihat keadaannya,“ jawab Rara Wulan.

“Aku tahu. Tetapi apa yang sudah kalian kerjakan?“ desak Teja Prabawa dengan dahi berkerut.

“Aku tidak tahu maksud Kakangmas,“ jawab Rara Wulan.

“Kalian perlakukan apa saja Raras ketika kalian ada di sana berempat?“ jawab Teja Prabawa justru mulai membentak.

“Pertanyaanmu aneh,“ jawab Rara Wulan. Bahkan telah timbul pula niatnya mengganggu kakaknya, “Kami bergantian memijit dan mengusap kepala Raras agar hatinya menjadi tenang.”

“Kau atau Mbokayu Sekar Mirah, atau siapa?“ desak Teja Prabawa pula.

“Kami berempat. Aku, Mbokayu, Sekar Mirah, Kakang Glagah Putih dan Kakang Sabungsari. Ternyata Raras memang tenang kami tunggui berempat, serta dipijit kakinya dan dibelai keningnya.”

“Bohong!“ bentak Raden Teja Prabawa yang wajahnya menjadi merah.

Melihat wajah kakaknya yang menjadi merah padam, maka Rara Wulan justru tersenyum, meskipun sebenarnya ia menjadi kasihan juga. Karena itu, maka katanya kemudian, “Kenapa kau tidak pergi menengoknya Kakangmas? Raras memang memerlukan seorang yang dianggapnya dapat melindunginya. Jika kau dapat menunjukkan sikap seperti itu, maka kau tentu sangat diperlukannya dalam keadaan seperti sekarang ini.”

“Tetapi katakan, apa yang kalian lakukan. Kau belum menjawab yang sebenarya!“ bentak kakaknya.

“Karena yang datang adalah orang-orang yang telah menyelamatkannya, serta aku yang dianggap kawannya yang akrab, maka Raras menerima kami di pendapa rumahnya bersama ayah dan ibunya serta Wacana. Dari pembicaraan kami waktu itu, terasa betapa Raras sangat merindukan seseorang yang dapat melindunginya dalam keadaan apapun,“ sahut Rara Wulan.

Raden Teja Prabawa menundukkan kepalanya. Jantungnya berdesir keras. Kata-kata Rara Wulan itu bagaikan ujung sembilu yang menyayat dasar hatinya, yang menjadi hatinya sangat pedih.

Bagaimanapun juga Raden Teja Prabawa tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa ia memang tidak dapat berbuat apa-apa saat Raras mengalami malapetaka, selain merengek kepada ayah dan ibunya, serta mencoba untuk mebujuk agar adiknya itu mau menolongnya. Berbeda dengan langkah-langkah yang diambil oleh Agung Sedayu Glagah Putih dan Sabungsari.

Tanpa berkata sepatah pun Raden Teja Prabawa kemudian telah melangkah meninggalkan adiknya yang termangu-mangu. Tetapi Rara Wulan memang tidak dapat berbuat apa-apa, selain persaan kasihan yang bergejolak di dalam dadanya.

Dalam pada itu, maka sampai menjelang sore Agung Sedayu, Ki Lurah Branjangan dan Ki Tumenggung Purbarumeksa baru datang. Ternyata mereka telah didengar keterangan-keterangan mereka tentang hilangnya dan dikeketemukannya kembali Raras di Tegal Wuru, yang disaksikan oleh Ki Patih Mandaraka sendiri.

Setelah mereka beristirahat sejenak, maka Glagah Putih dan Sabungsari pun telah menceritakan apa yang telah terjadi. Pertemuan yang tidak disangka-sangka, serta pernyataan Bajang Bertangan Baja untuk meninggalkan Mataram.

“Aku mempercayainya,“ berkata Glagah Putih.

“Bagaimana pendapatmu?“ bertanya Agung Sedayu kepada Sabungsari.

“Ia nampak bersungguh-sungguh. Tetapi menilik sifatnya, maka ada kemungkinan lain, bahwa ia akan tetap berada di Mataram,” jawab Sabungsari. “Tegasnya, aku memang agak ragu, meskipun aku setuju dengan Glagah Putih bahwa Bajang ternyata berkata apa adanya, meskipun tanpa pertanggung-jawaban.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Baginya memang sulit untuk dapat begitu saja percaya kepada Bajang Bertangan Baja itu, namun ia tidak dengan mutlak menolak pendapat Glagah Putih, karena Agung Sedayu tentu merasa lebih baik berhati-hati daripada mereka akan yang menyesal di kemudian hari.

Karena itu, maka Agung Sedayu pun kemudian berkata, “Baiklah. Aku akan memberi laporan kepada Ki Wirayuda. Mungkin Ki Wirayuda mempunyai pertimbangan sendiri.”

Karena itu, setelah istirahat beberapa saat, maka Agung Sedayu pun telah mengajak Glegah Putih dan Sabungsari untuk pergi menemui Ki Wirayuda di rumahnya. Ketika pernyataan Bajang Bertangan Baja itu disampaikan kepada Ki Wirayuda, maka Ki Wirayuda pun berkata, “Baiklah. Untuk beberapa lama biarlah para petugas sendiri mengamati keadaan. Jika dalam waktu tertentu tidak seorangpun yang pernah melihat orang kerdil itu, kemungkinan ia benar-benar telah pergi. Itupun kita masih memperhitungkan bahwa Bajang Bertangan Baja itu sengaja menunggu, sampai pada suatu saat kita melupakan persoalan ini sehingga kita menjadi lengah karenanya. Pada saat yang demikian, Bajang itu akan dapat muncul dengan tugasnya yang baru, yang diterimanya dari orang yang bersedia mengupahnya.”

“Aku sependapat Ki Wirayuda,“ sahut Agung Sedayu, “kita memang harus berhati-hati menghadapai seperti orang semacam Bajang Bertangan Baja itu. Sementara itu, aku tentu tidak akan dapat berlama-lama berada di Kotaraja. Aku harus kembali ke Tanah Perdikan untuk menjalankan tugasku sebagai seorang prajurit.”

“Baiklah Ki Lurah Agung Sedayu,“ berkata Ki Wirayuda selanjutnya. “Tetapi aku perlu peringatkan, bahwa di samping Bajang Bertangan Baja ada orang lain yang disebut Resi Belahan. Tidak seorangpun yang pernah melihat orang itu di antara kita, dan bahkan orang-orang dari prajurit sandi di Mataram. Kita baru mendengar namanya dan kemungkinan-kemungkinan yang dapat mereka lakukan bersama pengikut-pengikutnya. Agaknya Resi Belahan memang berbeda dengan Bajang Bertangan Baja yang bekerja seorang diri. Namun di Mataram ia sempat memanfaatkan Ki Manuhara yang agaknya merasa berhutang budi kepadanya.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun katanya, “Tetapi bukankah kita sudah mendapat ancar-ancar tentang orang itu? Beberapa orang yang telah tertangkap di rumah Ki Tumenggung Purbarumeksa dapat memberikan sedikit keterangan tentang ujud, wajah, ciri-ciri serta kira-kira umurnya.”

Ki Wirayuda mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Kita memang sudah mengenal ciri-cirinya. Tetapi bukankah kita belum pernah bertemu dan melihat orang yang bernama Resi Belahan? Mengetrapkan pengenalan kita atas ciri-ciri seorang tidak selalu tepat, karena mungkin ada beberapa orang yang mempunyai ciri-ciri yang mirip.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Ya. Agaknya memang demikian. Mungkin aku atau Ki Wirayuda pernah berpapasan dengan orang itu, tetapi kita tidak segera dapat mengenalnya. Atau sebaliknya, orang yang kita kenali karena ciri-cirinya belum tentu orang itulah yang kita cari.”

“Kita memang harus bertekun dan bersabar menghadapi orang-orang seperti itu. Sementara itu, kita pun belum jelas apakah sebenarnya yang mereka kehendaki. Apakah mereka ingin mendahului langkah-langkah yang diambil oleh Kanjeng Adipati Pati, atau sekedar mencari kesempatan untuk kepentingan diri sendiri, atau mereka memang mendapat tugas dari Kangjeng Adipati. Tetapi yang terakhir itu agaknya bukan sifat Kanjeng Adipati.“

“Itupun merupakan persoalan bagi kita, sebagaimana persoalan untuk menemukan orangnya itu sendiri. Ki Jayaraga yang telah mengetahui rumah yang pernah dipergunakannya kadang-kadang juga berusaha untuk mengamatinya. Tetapi Ki Jayaraga belum menemukan sesuatu.”

“Ya. Para petugas sandi yang pernah mendapat laporan tentang rumah yang pernah dipergunakannya itu pun belum pernah mendapat petunjuk apapun, meskipun para petugas sandi masih saja mengamatinya,“ berkata Ki Wirayuda sambil mengangguk-angguk.

“Nampaknya Resi Belahan tidak akan kembali lagi ke rumah itu, karena iapun mempunyai perhitungan yang sama dengan kita, bahwa pemilik rumah itu masih saja dibiarkan. Resi Belahan pun tahu bahwa itu tentu sekedar pancingan,“ desis Agung Sedayu kemudian.

Nampaknya keduanya mempunyai pandangan yang sama dalam beberapa hal. Juga mengenai Resi Belahan, Bajang Bertangan Baja dan hubungan antara Mataram dan Pati yang masih tetap suram.

Setelah beberapa lama Agung Sedayu berada di rumah Ki Wirayuda, maka Agung Sedayu pun telah minta diri. Bahkan Agung Sedayu pun telah memberitahukan bahwa ia tidak akan terlalu lama lagi berada di Mataram, karena tugas-tugasnya telah menunggu di Tanah Perdikan Menoreh.

“Bagaimana dengan Glagah Putih dan Sabungsari?“ bertanya Ki Wirayuda.

Agung Sedayu tidak segera menjawab. Tetapi demikian ia berpaling kepada Sabungsari, maka dengan serta merta Sabungsari itu menjawab, “Aku dan Glagah Putih diminta oleh Agung Sedayu untuk berada di Tanah Perdikan, meskipun hanya sementara.”

Agung Sedayu tersenyum. Tetapi ia tidak tahu apakah sebenarnya yang bergejolak di hati anak muda itu, sehingga dengan serta merta ia menyatakan bahwa ia akan diminta untuk ikut ke Tanah Perdikan Menoreh.

Sementara itu Ki Wirayuda bertanya, “Bukankah anak-anak Gajah Liwung masih akan tetap dalam kegiatannya?”

“Ya,“ jawab Agung Sedayu, “bahkan Glagah Putih dan Sabungsari pun akan segera bergabung dengan mereka kembali. Baru kemudian setelah persoalan Bajang Bertangan Baja itu benar-benar selesai, serta tidak ada persoalan baru yang ditimbulkan oleh Resi Belahan, maka keberadaan Gajah Liwung akan dapat ditinjau kembali.”

Ki Wirayuda mengangguk-angguk. Katanya, “Untuk sementara aku masih memerlukan bantuan mereka. Ternyata ada hal yang tidak dapat dilakukan oleh para prajurit sandi, tetapi dapat dilakukan oleh kelompok Gajah Liwung.”

“Ya. Dan mereka akan melakukannya dengan senang hati,“ jawab Agung Sedayu.

Demikianlah, maka sejenak kemudian Agung Sedayu pun telah kembali bersama Glagah Putih dan Sabungsari. Mereka menyusuri jalan-jalan Kotaraja yang mulai redup karena matahari telah menjadi suram di bibir langit sebelah barat. Warna-warna senja telah membayang di langit. Mega yang mengalir tinggi di atas kota Mataram nampak menjadi kemerah-merahan karena sinar matahari senja.

Beberapa saat kemudian maka mereka pun sampai di rumah Ki Tumenggung Purbarumeksa. Namun demikian mereka duduk di pendapa, maka Ki Tumenggung yang duduk bersama mereka telah memberitahukan bahwa besok mereka dipanggil sekali lagi oleh Ki Patih Mandaraka.

“Bukan hanya kita bertiga, tetapi kita diminta datang bersama Ki Rangga Wibawa dan Ki Rangga Wiramijaya,“ berkata Ki Tumenggung Purbarumeksa.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Besok kita menghadap lagi. Sementara itu biarlah Glagah Putih dan Sabungsari memberitahukan kepada Ki Rangga Wibawa, agar mengajak Ki Rangga Wiramijaya untuk menghadap Ki Patih.”

Sabungsari mengerutkan dahinya. Hampir di luar sadarnya ia bertanya, “Apakah tidak sebaiknya kau singgah ke rumahnya sambil berangkat ke rumah Ki Patih?”

“Jika demikian kami harus mengelilingi kota lebih dahulu,“ jawab Agung Sedayu, “karena itu sebaiknya kau berdua dengan Glagah Putih sajalah yang pergi ke rumah Ki Rangga Wibawa. Kami bertiga akan langsung menghadap Ki Patih Mandaraka.”

Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat mengelak lagi.

Sementara itu Raden Teja Prabawa menjadi semakin murung. Kadang-kadang anak muda itu sulit untuk diajak berkumpul bersama keluarganya. Bahkan saat makan sekalipun.

Keadaan itu tidak luput dari perhatian kedua orang tuanya. Sehingga keduanya telah memanggil Rara Wulan untuk berbicara khusus mengenai anak muda itu.

“Apakah kau mengetahui, setidak-tidaknya dapat menduga, apakah sebabnya kakakmu menjadi murung?“ bertanya ibunya.

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menceritakan sikap Raras terhadap kakaknya.

“Agaknya Raras merasa kecewa terhadap Kakangmas Teja Prabawa. Agaknya Raras merasa bahwa Kakangmas Teja Prabawa tidak akan dapat melindunginya, sehingga Raras tidak akan mendapat ketenangan di sampingnya.”

“Apakah ia mengatakan hal itu kepadamu?“ bertanya ayahnya.

“Raras memang tidak berterus-terang. Tetapi keluhan-keluhannya menyiratkan perasaannya itu,“ jawab Rara Wulan.

Ki Tumenggung Purbarumeksa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku memang merasa kasihan kepada Teja Prabawa. Tetapi aku tidak dapat menyalahkan Raras. Meskipun Raras dan Teja Prabawa sebelumnya pernah berhubungan dan bahkan nampak akrab, tetapi goncangan perasaan Raras itu memang mungkin merubah sikapnya. Ia sadar bahwa sebagian dari mimpinya akan tertinggal jika ia terbangun dari tidurnya yang nyenyak. Karena itu maka Raras telah menilai kembali angan-angannya yang menerawang ke masa depannya.”

“Tetapi dengan demikian, hati Teja Prabawa akan dapat menjadi patah,“ desis Nyi Tumenggung Purbarumeksa.

“Ada dua kemungkinan, Nyi,“ sahut ki Tumenggung, “hatinya hancur dan anak itu menjadi semakin kehilangan kemauannya untuk hidup, atau ia akan bangkit dan menjadi anak muda yang tegar menghadapi masa-masa depan yang sulit. Mudah-mudahan kita dapat membantunya, setidak-tidaknya memberikan arah perjalanan hidupnya mendatang.”

Nyi Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia dapat mengerti kata-kata suaminya. Bahkan Rara Wulan pun kemudian berkata, “Kakangmas Teja Prabawa harus merubah sikapnya. Pribadinya harus berkembang jika ia ingin dapat menjadi seorang laki-laki sejati. Memang tidak semua orang harus memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi ia dapat menunjukkan sikap sebagai seorang laki-laki yang bertanggung jawab dalam keterbatasannya.”

“Seandainya Raras menarik diri dari hubungannya dengan Teja Prabawa pun dapat kita mengerti,“ berkata Ki Tumenggung kemudian, “karena ia merasa bahwa hidupnya kemudian tidak akan mendapat perlindungan dari laki-laki yang diharapkannya.”

“Apakah kita tidak dapat membantu, Ki Tumenggung?“ bertanya Nyi Tumenggung.

Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Nyi. Kita baru saja mendapat pengalaman yang berharga. Bagaimana Ki Tumenggung Wreda Sela Putih memanjakan anak laki-lakinya. Akibatnya justru sangat buruk, bukan saja bagi Raden Antal, tetapi juga bagi seluruh keluarganya.”

“Tentu kita tidak akan mengambil jalan sebagaimana dilakukan oleh Ki Tumenggung Wreda,“ jawab Nyi Tumenggung, “persoalannya pun berbeda. Waktu itu Wulan memang menolak Raden Antal sejak semula. Tetapi tidak dengan Raras. Ia sudah menerima Teja Prabawa sebelumnya. Ia hanya merasa kecewa setelah malapetaka itu terjadi atas dirinya. Jika Teja Prabawa kemudian dapat meyakinkan bahwa iapun dapat melindungi Raras di kemudian hari, maka agaknya Raras akan berpikir ulang.”

“Kemungkinan Teja Prabawa dapat menunjukkan dirinya sebagai seorang laki-laki itulah yang sulit baginya. Akupun sudah dapat memperhitungkan bahwa untuk dapat merubah pribadinya, Teja Prabawa memerlukan waktu yang panjang.”

“Jadi bagaimana menurut pendapat Ki Tumenggung, jika dugaan Wulan tentang sikap Raras itu benar?“ bertanya Nyi Tumenggung.

“Biarlah Teja Prabawa mendapat pengalaman yang sangat berharga bagi masa depannya yang masih panjang.”

“Tetapi bagaimana jika Teja Prabawa karena itu justru kehilangan gairah hidupnya?“ bertanya Nyi Tumenggung pula.

“Itulah yang harus kita perhatikan. Teja Prabawa harus kita arahkan agar ia menemukan satu sikap yang sebaliknya. Ia harus bangkit dan menempuh hidupnya mendatang dengan dada tengadah.”

Nyi Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Sebagai seorang ibu ia benar-benar merasa kasihan kepada Teja Prabawa. Tetapi sebagai seorang perempuan iapun dapat mengerti sikap Raras, seandainya apa yang dikatakan oleh Rara Wulan itu benar.

“Sudahlah,“ berkata Ki Tumenggung kemudian, “bagaimanapun juga kita akan berdoa bagi Teja Prabawa, apapun yang akan dihadapinya. Tetapi ia tidak boleh kehilangan akal sebagaimana Raden Antal dan ayahnya. Tetapi iapun tidak boleh kehilangan gairah hidupnya. Setiap antukan batu di kakinya, hendaknya menjadi pengalaman bagi perjalanannya yang masih sangat panjang itu.”

Nyi Tumenggung hanya dapat mengangguk kecil, sementara Rara Wulan menundukkan kepalanya. Bagi kedua orang tuanya, gadis bungsu itu justru bersikap lebih dewasa dari kakaknya, seorang laki-laki.

Sementara itu, di rumah Ki Rangga Wibawa, Raras nampak menjadi semakin baik. Namun Ki Rangga dan Nyi Rangga justru mulai mengamati tingkah laku Wacana. Bagi mereka berdua sebelumnya, Wacana dianggap sebagai kakak sendiri bagi Raras. Tetapi setelah keduanya mendengar dari Raras bagaimana Wacana berpendapat tentang Raden Teja Prabawa, keduanya justru mulai tertarik untuk memperhatikannya. Semula mereka mengira bahwa sikap Wacana itu sekedar menunjukkan kekecewaannya kepada Raden Teja Prabawa. Tetapi agaknya ada persoalan lain yang tersembunyi pada sikapnya itu. Meskipun Wacana bersedia mengantar Teja Prabawa ke Tanah Perdikan Menoreh, serta membantunya dalam beberapa hal, namun di mata kedua orang tua Raras, nampak bahwa Wacana ingin menjadi bukan sekedar kakak sepupu bagi Raras.

Sebenarnya bahwa Wacana-lah yang telah memberitahukan dan bahkan mempengaruhi jalan pikiran Raras, bahwa Teja Prabawa bukan seorang laki-laki yang dapat bertanggung jawab.

Dalam pembicaraan-pembicaraan dengan ayah dan ibunya, Raras terpancing untuk mengatakan bahwa pendapat Wacana tentang Teja Prabawa itu sudah dikatakannya sejak sebelum peristiwa di Tegal Wuru itu terjadi.

“Hatiku telah dikecewakan oleh Kakangmas Teja Prabawa sejak sebelum aku mengalami malapetaka itu. Namun aku mencoba untuk bertahan, meskipun Kakang Wacana juga mengatakan bahwa Raden Teja Prabawa bukan sosok laki-laki yang bertanggung jawab. Tetapi ternyata akhirnya aku harus melihat kenyataan itu.”

Dalam kesempatan Ki Rangga Wibawa dan Nyi Rangga duduk hanya berdua, mereka mulai membicarakan sikap Wacana.

“Wacana memang sepupu Raras,“ berkata Ki Rangga, “tetapi ia seorang laki-laki muda, sementara Raras adalah seorang gadis yang tumbuh dewasa.”

“Aku juga mulai memperhatikan bagaimana Wacana memperhatikan Raras. Bagaimana Wacana bersikap terhadap Raras,“ sahut Nyi Rangga.

“Mudah-mudahan dugaan kita salah,“ berkata Ki Rangga.

“Tentu saja kita tidak akan dapat bertanya langsung kepada Wacana, karena dengan demikian kita akan dapat menyinggung perasaannya. Apalagi jika hal itu sama sekali tidak ada di angan-angannya,“ berkata Nyi Rangga kemudian.

Keduanya memang mengalami kesulitan menanggapi sikap Wacana. Namun satu hal yang mereka yakini, apapun perasaan yang tersimpan di dalam hati anak muda itu, namun anak muda itu tidak akan melakukan satu perbuatan yang bertentangan dengan tatanan kehidupan, karena mereka yakin bahwa Wacana bukan seorang anak muda yang liar.

Sementara itu, sikap Raras sendiri terhadap Wacana memang tidak ada bedanya sebagaimana sikap seorang adik kepada kakaknya. Bahkan kadang-kadang agak manja.

Tetapi justru karena itu maka perhatian Wacana terhadap Raras menjadi berlebih-lebihan. Bahkan menurut pengamatan kedua orang tua Raras, sikap Wacana memang telah bergeser. Bukan saja sikap seorang kakak terhadap adiknya, tetapi sudah mulai diwarnai dengan sikap seorang anak muda kepada seorang gadis.

Namun baik Ki Rangga maupun Nyi Rangga sama sekali tidak merubah sikap mereka kepada Wacana, meskipun beban mereka semakin terasa bertambah. Sikap Raras yang mulai menjauhi Raden Teja Prabawa itu sudah membuat Ki Rangga dan Nyi Rangga gelisah. Apalagi kemudian tumbuh persoalan baru, sikap Wacana kepada Raras. Rasa-rasanya memang ada kesengajaan, bahwa Wacana ingin merenggangkan hubungan antara Raras dan Teja Prabawa. Apalagi karena Teja Prabawa sendiri memang mempunyai kelemahan yang pantas disesali. Terutama bagi Raras, yang jika hubungannya dengan Raden Teja Prabawa diteruskan, maka ia akan menggantungkan dirinya kepada anak muda itu.

Demikianlah, dalam kegelisahan yang masih diendapkan di dasar jantung, kedua orang tua Raras itu terkejut bahwa di hari berikutnya, sementara matahari baru saja terbit, Glagah Putih dan Sabungsari telah datang ke rumahnya.

Keterkejutan Ki Rangga dan Nyi Rangga itu dilengkapi pula dengan sikap Raras. Demikian ia tahu bahwa yang datang itu Glagah Putih dan Sabungsari, maka iapun segera berbenah diri. Tanpa diminta ia berkata kepada ibunya, “Apakah aku boleh ikut menemui mereka?”

Ibunya memang menjadi heran. Namun sebelum ia bertanya, Raras telah berkata, “Ibu, aku merasa tenang jika aku berada di antara mereka. Bukankah keduanya dan Ki Lurah Agung Sedayu itulah yang menyelamatkan aku?”

Ibunya memang tidak dapat mencegahnya. Karena itu maka katanya, “Baiklah. Marilah.”

Namun demikian mereka keluar dari dalam biliknya, Wacana dengan tergesa-gesa mendekati mereka sambil bertanya, “Kau akan kemana, Raras?”

“Aku ingin menemui mereka,“ jawab Raras.

“Paman sudah ada di pendapa,“ berkata Wacana.

“Ya,“ sahut Raras, “aku akan menemani Ayah dan Ibu menerima mereka. Bukankah mereka orang-orang yang telah menyelamatkan aku ketika aku mendapat malapetaka?”

“Tetapi sebaiknya kau beristirahat saja. Marilah, aku temani kau di dalam bilikmu,“ ajak Wacana.

“Tidak. Aku akan menemui mereka,“ jawab Raras.

“Itu kurang pantas bagimu Raras,“ desis Wacana.

Raras memandang Wacana dengan heran. Sambil berpaling kepada ibunya ia bertanya, “Apakah benar kurang pantas bagiku menemui orang-orang yang telah menolongku, Ibu?”

Ibunya tersenyum sambil menjawab, “Marilah, bersama Ibu.” Lalu katanya pada Wacana, “Biarlah aku mengantarkannya, Wacana. Bukankah di pendapa ada pamanmu pula?”

Wacana temangu-mangu sejenak. Namun ia tidak dapat mencegah lagi. Apalagi Raras menuju ke pendapa bersama ibunya.

Karena itu, justru Wacana-lah yang ikut bersama Raras dan ibunya ke pendapa menemui Glagah Putih dan Sabungsari.

Demikian Raras duduk di pendapa, maka jantung Sabungsari menjadi berdebar-debar. Raras pun merasa heran akan perasaannya sendiri. Jantungnya merasa berdesir tajam ketika ia melihat anak muda yang telah dengan langsung menolongnya di Tegal Waru. Bagaimana anak muda itu dengan tegar dan berani menghadapi orang-orang yang ingin menangkapnya kembali. Bahkan Raden Antal dan Ki Tumenggung Wreda Sela Putih sendiri.

Meskipun agak sendat, ternyata Raras juga mengucapkan selamat datang kepada kedua tamunya. Wajahnya terasa agak panas, namun dipaksanya juga untuk mengucapkanya.

Dalam pada itu, Ki Rangga Wibawa pun kemudian telah memberitahukan kepada Nyi Rangga, Wacana dan Raras, bahwa kedua orang tamu itu telah menyampaikan pesan, agar Ki Rangga Wibawa bersama Ki Rangga Wiramijaya menghadap Ki Patih Mandaraka untuk memberikan keterangan tentang perbuatan Ki Tumenggung Wreda Sela Putih, yang telah mengambil Raras sebagai upaya untuk mendapatkan Rara Wulan.

“Aku akan menghadap sekarang juga,“ berkata Ki Rangga Wibawa. “Aku akan singgah sebentar di rumah Adi Rangga Wiramijaya dan membawanya menghadap. Mudah-mudahan ia belum pergi ke tempat tugasnya sehingga aku harus menyusulnya.”

“Apakah Ki Rangga akan pergi untuk waktu yang panjang?“ bertanya Nyi Rangga.

“Aku belum tahu,“ jawab Ki Rangga.

Sementara itu Glagah Putih berkata, “Kemarin Kakang Agung Sedayu memerlukan waktu yang agak lama di Kepatihan.“

Ki Rangga Wibawa menggangguk-angguk. Katanya, “Tergantung pada persoalan yang akan dibicarakan. Tetapi mungkin juga memerlukan waktu yang agak lama, sebagaimana Ki Lurah kemarin.“ Lalu katanya pula, “Tetapi para prajurit itu masih ada di sini. Wacana juga ada di rumah. Bahkan jika tidak ada keperluan apapun juga, Angger Glagah Putih dan Angger Sabungsari dapat duduk di sini beberapa lama.”

Glagah Putih dan Sabungsari saling berpandangan sejenak. Namun Wacana-lah yang kemudian menyahut, “Syukurlah jika berdua mereka dapat menemani aku di sini. Tetapi jika keduanya mempunyai keperluan lain, aku dapat menunggui Raras bersama para prajurit yang bertugas di sini. Bukankah mereka memang ditugaskan untuk menjaga Raras?”

Ki Rangga Wibawa mengangguk-angguk kecil. Namun sikap Wacana itu telah melengkapi bahan pemikiran Ki Rangga tentang anak muda itu, meskipun Ki Rangga itu masih belum sampai pada batas kecemasan tentang hubungan antara Wacana dan Raras.

Tetapi Ki Rangga masih saja menjawab, “Baiklah. Sekarang biarlah aku berangkat lebih dahulu. Angger Glagah Putih dan Angger Sabungsari aku persilahkan tinggal. Jika Angger berdua nanti akan meninggalkan tempat ini, biarlah Wacana dan para prajurit itu menjaga Raras. Apalagi Bajang Bertangan Baja itu telah berniat meninggalkan Mataram. Aku hanya dapat mengucapakan terima kasih atas kesediaan kalian datang memberitahukan pesan dari Kepatihan itu.”

Sejenak kemudian, maka Ki Rangga Wibawa pun telah keluar dari regol halaman rumahnya menuju ke rumah Ki Rangga Wiramijaya, untuk bersama-sama pergi ke Kepatihan. Mereka pun tahu bahwa di Kepatihan ada Ki Tumenggung Purbarumeksa, Ki Lurah Branjangan dan Ki Lurah Agung Sedayu.

Sementara Ki Rangga pergi, maka Glagah Putih dan Sabungsari masih tinggal dirumah Ki Rangga. Di pendapa Nyi Rangga masih menemani Raras menemui kedua orang yang telah menyelamatkanya itu. Bahkan semakin lama maka sikap wajar Raras telah mulai nampak. Ia memang seorang gadis yang ramah dan bahkan sedikit manja.

Namun ternyata Wacana nampak tidak begitu senang melihat sikap Raras yang semakin banyak berbicara dengan Glagah Putih dan Sabungsari. Tetapi Wacana tidak dapat mencegahnya, justru karena Nyi Rangga juga ada bersama mereka. Jika Nyi Rangga saja tidak berkeberatan, maka Wacana tidak akan dapat menyatakan keberatannya.

Tetapi justru karena sikap Raras, maka rasa-rasanya Sabungsari tidak ingin segera meninggalkan tempat itu. Sedangkan Glagah Putih tidak ingin membuat kawannya itu menjadi kecewa. Meskipun demikian, Glagah Putih justru mulai memikirkan sikap Sabungsari itu. Sementara ia tahu bahwa Raras telah berhubungan dengan Raden Teja Prabawa.

Untuk beberapa saat mereka masih berbincang. Raras bahkan telah mengajukan pertanyaan yang menurut telinga Wacana selalu diulang-ulang. Peristiwa yang terjadi di dekat susukan Kali Opak itu sudah diketahuinya dengan jelas. Tetapi Raras masih saja bertanya bagaimana Sabungsari dapat melakukannya. Dari pembicaraan itu tersirat kebanggaan Raras atas keberhasilan Sabungsari yang telah menyelamatkannya.

Tetapi ternyata bahwa Glagah Putih dan Sabungsari tidak terlalu lama berada di rumah Ki Rangga Wibawa. Beberapa saat kemudian sepeninggal Ki Rangga, keduanya telah minta diri untuk kembali ke rumah Ki Tumenggung Purbarumeksa.

Namun sebelum keduanya meninggakan tempat itu, Raras telah berpesan, “Ajaklah Wulan sering datang kemari. Ia adalah satu-satunya sahabatku yang datang kepadaku dalam segala keadaan. Selain Wulan, belum pernah ada kawanku yang lain yang sudi datang kepadaku.”

“Mereka bukannya tidak mau datang menengokmu Raras,“ sela ibunya, “tetapi mungkin mereka tidak mempunyai keberanian sebagaimana Angger Rara Wulan. Karena itu mereka masih belum berani datang kemari. Apalagi di sini masih nampak dijaga oleh para prajurit.” 

Raras tidak menjawab. Tetapi ia mengangguk kecil.

Demikianlah, maka sejenak kemudian Glagah Putih dan Sabungsari telah meninggalkan rumah Ki Rangga Wibawa. Kembali Glagah Putih merasakan sesuatu yang lain pada Sabungsari. Anak muda itu justru lebih banyak merenung dari pada berbicara dengannya.

Tetapi Glagah Putih masih menahan diri untuk tidak bertanya sesuatu kepada Sabungsari, meskipun di dalam hati Glagah Putih mulai memikirkan kemungkinan bahwa Sabungsari telah tertarik kepada Raras. Bahkan bukan hanya Sabungsari yang telah tertarik kepada gadis yang pernah ditolongnya itu, agaknya Raras pun menjadi kagum atas kelebihan Sabungsari.

“Tetapi bagaimana dengan Raden Teja Prabawa?“ pertanyaan itu telah mengganggu perasaan Glagah Putih.

Dalam pada itu, perasaan Wacana pun semakin terguncang karenanya. Ia melihat sikap Raras yang semakin menggelisahkan. Wacana memang tidak dapat mengingkari perasaannya sendiri. Ia sadar bahwa Raras adalah adik sepupunya. Tetapi sebagai seorang anak muda, maka Raras baginya adalah seorang gadis yang cantik. Bahkan Wacana merasa bahwa tidak semestinya bahwa Raras kelak menjadi istri Raden Teja Prabawa yang tidak akan dapat melindunginya. Dan itupun kemudian telah ternyata bahwa Raden Teja Prabawa tidak mampu berbuat apa-apa ketika Raras hilang.

Wacana memang merasa kecewa, bahwa orang lain-lah yang telah menyelamatkan Raras, bukan dirinya. Sehingga kebanggaan Raras justru tertuju kepada orang lain.

Perasaan Wacana menjadi semakin pahit ketika ia melihat perubahan pada diri Raras. Ia berangsur mampu mengatasi ketakutannya. Bahkan kemudian ia sudah berani berada di dalam biliknya sendiri, asal di rumah itu ada orang lain, di samping para prajurit yang untuk sementara masih berjaga-jaga.

Dalam pada itu, persoalan Ki Tumenggung Wreda Sela Putih memang sudah berada bukan saja di tangan Ki Patih Mandaraka. Tetapi hal itu telah dilaporkan kepada Panembahan Senapati sendiri. Panembahan Senapati memang menyerahkan persoalan itu kepada Ki Patih Mandaraka untuk menyelesaikan, bersama beberapa orang yang telah ditunjuk.

Di hari berikutnya, yang menjadi pusat perhatian Agung Sedayu nampaknya telah bergeser. Ketika ia bertemu dengan Ki Wirayuda, maka Ki Wirayuda telah memberitahukan bahwa Bajang Bertangan Baja memang tidak pernah dijumpai lagi di Kotaraja. Meskipun belum dapat diambil kesimpulan bahwa Bajang Bertangan Baja itu benar-benar telah pergi. Namun yang kemudian dipersoalkan oleh Ki Wirayuda adalah orang yang bernama Resi Belahan.

“Orang itu perlu mendapat perhatian khusus. Adalah kurang meyakinkan bahwa Resi Belahan itu begitu saja pergi meninggalkan Mataram sebagaimana Bajang Bertangan Baja. Mereka berada di Mataram dengan landasan kepentingan yang berbeda. Bajang adalah semata-mata orang upahan. Sementara Resi Belahan, sebagaimana Ki Manuhara, tentu membawa kepentingan yang lebih berarti baginya dari pada sekedar upah. Terbukti bahwa Resi belahan tidak mau membantu Bajang Bertangan Baja di saat-saat terakhir. Bahkan Resi Belahan telah menyalahkan Ki Manuhara yang telah terlibat dalam pekerjaan Bajang, yang sama sekali tidak tersangkut paut dengan kepentingan Ki Manuhara,“ berkata Ki Wirayuda.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Nampaknya Ki Manuhara terjerat oleh hutang budi kepada Bajang Bertangan Baja, sehingga Ki Manuhara tidak dapat menghindari permintaan Bajang Bertangan Baja untuk membantunya.”

“Ya. Justru hal itu telah menyeretnya ke dalam maut,“ desis Ki Wirayuda.

“Baiklah Ki Wirayuda,“ berkata Agung Sedayu, “jika pada saatnya aku kembali ke Tanah Perdikan, maka aku selalu bersiap untuk membantu jika tenagaku diperlukan. Sementara itu anak-anak, termasuk Ki Ajar Gurawa yang menyatakan diri begabung dengan kelompok Gajah Liwung, selalu siap memberikan bantuan jika diperlukan.“

“Jika demikian,“ berkata Ki Wirayuda, “apakah Glagah Putih dan Sabungsari dapat ditinggalkan di Mataram?“ bertanya Ki Wirayuda.

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Katanya kemudian, “Mereka sudah menyatakan untuk ikut aku ke Tanah Perdikan.”

“Bagaimana jika Ki Lurah menugaskan keduanya untuk tinggal di Kotaraja? Bukankah di Tanah Perdikan, selain Ki Lurah Agung Sedayu sendiri ada Ki Jayaraga dan Ki Gede serta pengawalnya, di samping Pasukan Khusus Ki Lurah?”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar