Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 274

Buku 274

“Ternyata mereka adalah orang-orang yang juga berilmu tinggi. Mungkin mereka memiliki kelebihan seperti Ki Podang Abang dan Ki Wanayasa. Namun agaknya mereka mempunyai caranya tersendiri untuk mengacaukan Mataram, dan bahkan kedua kelompok itu agaknya justru bersaing. Karena itu, demikian Ki Wanayasa dan Ki Podang Abang lenyap dari Mataram, mereka telah hadir untuk melaksanakan cara mereka sendiri,” berkata Ki Wirayuda.

“Dengan demikian, maka mereka tentu orang-orang yang berbahaya,” desis Ki Ajar Gurawa.

“Ya. Agaknya memang demikian. Karena itu, kalian memang harus berhati-hati,” berkata Ki Wirayuda, “mereka mengetahui bahwa kalian berada di sini tentu melalui pengamatan yang seksama.”

“Nampaknya mereka memang memburu pembunuh lembu jantan yang liar itu,” berkata Ki Ajar, “beberapa kali mereka mengatakan hal itu. Mereka menganggap dengan membunuh pembunuh lembu jantan itu, maka mereka tentu merasa dapat memecahkan sebagian dari kebanggaan anak-anak muda Mataram. Mungkin juga karena mereka mendendam, bahwa rencana mereka dengan melepaskan lembu jantan dapat dipatahkan.”

Ki Wirayuda mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian kita benar-benar harus berhati-hati. Di antara mereka tantu masih terdapat orang-orang berilmu tinggi yang lain. Sementara itu, kalian akan selalu mendapat pengamatan yang ketat karena orang itu tidak mau kehilangan kalian.”

“Tetapi apakah dengan demikian berarti kami harus bersembunyi atau harus mendapat pengawalan sekelompok prajurit?” bertanya Ki Ajar Gurawa.

“Tentu tidak. Tetapi yang pasti kalian harus berhati-hati. Aku condong untuk menempatkan seluruh kekuatan Gajah Liwung di rumah ini. Tetapi sudah tentu kita harus menghubungi Ki Lurah Branjangan, apakah ia tidak berkeberatan. Tetapi jika Ki Lurah berkeberatan, maka kita harus mencari tempat lain,” berkata Ki Wirayuda.

Namun dalam pada itu Sabungsari berkata, “Aku berpendirian lain. Kita justru harus memancing mereka. Tanpa dipancing, agaknya mereka tidak akan mau menyerang rumah ini lagi. Mereka tentu mengira bahwa rumah ini selalu mendapat pengamatan ketat pula dari para prajurit.”

Ki Wirayuda mengangguk-angguk. Katanya, “Kau benar. Agaknya mereka memang harus dipancing.”

“Kita akan memancing mereka ke Tanah Perdikan Menoreh,” berkata Glagah Putih dengan tiba-tiba.

Ki Wirayuda mengerutkan dahinya. Namun ia bertanya, “Apakah kau mempunyai gambaran, bagaimana caranya memancing mereka ke Tanah Perdikan Menoreh?”

“Kami akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Jika mereka benar-benar mengamati kami, maka mereka pun tentu akan mengikuti kami Ke Tanah Perdikan. Mereka tentu mengira bahwa kami akan bersembunyi. Namun sebagaimana Ki Wirayuda ketahui, di Tanah Perdikan Menoreh ada beberapa orang yang dapat membantu kami. Kakang Agung Sedayu, Ki Jayaraga, Ki Gede Menoreh, Mbokayu Sekar Mirah, dan di Tanah Perdikan juga terdapat pasukan khusus yang akan dapat digerakkan setiap saat, di samping para pengawal Tanah Perdikan yang juga siap untuk bertempur jika diperlukan. Bukan berarti bahwa di Kotaraja tidak ada kekuatan seperti itu, tetapi setiap gejolak di Kotaraja akan mempengaruhi bukan saja sekedar lingkungan dinding kota, tetapi juga berpengaruh atas wibawa Mataram. Agak berbeda jika kericuhan itu terjadi di Tanah Perdikan Menoreh.”

Ki Wirayuda mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti pendapat Glagah Putih. Namun iapun berkata, “Aku akan melaporkannya kepada Ki Patih. Tetapi aku sendiri dapat menyetujui pendapat itu. Sementara itu, aku telah berhasil melakukan pendekatan dengan kelompok-kelompok anak muda di Mataram. Mereka akan dapat dihimpun dan diajak bekerja sama untuk menegakkan ketenangan di kota ini.”

“Jika demikian, maka sebelum kami benar-benar berangkat ke Tanah Perdikan, maka Ki Wirayuda dapat memerintahkan satu dua orang yang sudah dikenal Kakang Agung Sedayu untuk menghubunginya lebih dahulu. Jika terjadi sesuatu dengan tiba-tiba, ia tidak akan terkejut.”

Ki Wirayuda mengangguk-angguk. Ternyata penalaran anak-anak muda itu berjalan dengan baik, sehingga mereka mampu menyatakan pendapat mereka yang patut mendapat perhatian.

Setelah berbincang lebih lama lagi, maka Ki Wirayuda pun minta diri untuk meninggalkan rumah itu. Beberapa orang prajuritnya telah ditinggal di rumah Ki Lurah Branjangan. Sementara dua sosok mayat itu pun telah dibawa oleh para prajurit untuk dikuburkan.

Sementara itu, langit pun menjadi semburat merah.

Ki Ajar Gurawa dan keempat orang yang ada di rumah Ki Lurah Branjangan sempat tidur sejenak. Beberapa orang prajurit yang ditinggalkan Ki Wirayuda berjaga-jaga seputar rumah itu, sehingga matahari mulai membayangkan warna sinarnya di langit.

Namun pagi-pagi yang mulai turun ke Kotaraja telah diwarnai dengan hiruk-pikuk orang mempercakapkan pertempuran yang telah terjadi di rumah Ki Lurah Branjangan. Anak-anak muda yang tergabung dalam kelompok yang semula hanya membuat keributan saja itu pun ikut merasa tersinggung atas serangan orang-orang yang tidak dikenal itu. Apalagi sekelompok prajurit peronda yang dikirim langsung oleh Ki Wirayuda selain yang dibawanya ke rumah Ki Lurah Branjangan, sama sekali tidak dapat menemukan jejak orang-orang yang datang menyerang itu. Mereka seakan-akan begitu saja lenyap ditelan bumi di Kotaraja itu.

Tetapi agaknya Ki Wirayuda telah memanggil para pemimpin kelompok itu. Sekali lagi Ki Wirayuda menunjukkan bahwa Mataram memang sedang mengalami goncangan-goncangan yang harus mendapat perhatian dengan sungguh-sungguh.

“Kami sangat memerlukan bantuan kalian,” berkata Ki Wirayuda.

Ternyata para pemimpin kelompok-kelompok yang semula menyebut dirinya Macan Putih, Sidat Macan, Kelabang Ireng dan yang lain-lain benar-benar telah menyadari, betapa tenaga mereka sangat dibutuhkan oleh Mataram. Jika mereka masih saja menuruti keinginan mereka sendiri serta kesenangan mereka tanpa pertimbangan lain, maka mereka akan membuat Mataram menjadi semakin prihatin.

Dalam pada itu, Ki Wirayuda pun telah menghadap Ki Patih Mandaraka untuk memberikan laporan terperinci tentang peristiwa yang telah terjadi di rumah Ki Lurah Branjangan. Ki Wirayuda pun telah melaporkan pendapat Glagah Putih, bahwa anak-anak dari Tanah Perdikan itu ingin memancing orang-orang yang berusaha membunuh mereka itu ke Tanah Perdikan Menoreh.

“Tidak sepantasnya kita membebani mereka dengan tugas yang berat itu,” berkata Ki Patih, “apakah kita tidak dapat menyelesaikannya di sini?”

“Glagah Putih ternyata juga memikirkan wibawa Mataram, jika setiap kali Kotaraja ini menjadi ajang keributan,” jawab Ki Wiayuda.

“Namun apakah tidak akan memberikan kesan seolah-olah Mataram telah melemparkan tanggung jawab dan beban yang harus disandang itu kepada Tanah Perdikan Menoreh? Bukankah seharusnya justru kita melindungi Tanah Perdikan itu seisinya? Seakan-akan di Mataram ini kita sudah kehilangan kemampuan untuk melakukannya,” berkata Ki Patih.

“Tetapi bukankah di Tanah Perdikan juga ada Pasukan Khusus Mataram yang dapat digerakkan untuk melawan orang-orang yang membuat keributan itu?” sahut Ki Wirayuda.

“Kenapa harus pasukan yang ada di Tanah Perdikan? Bukankah kita memiliki pasukan di luar Kotaraja ini di beberapa tempat? Kenapa tidak di Pegunungan Kidul, atau justru di Jati Anom atau Ganjur?” bertanya Ki Patih Mandaraka.

“Tetapi Glagah Putih yang mendapat ancaman itu adalah anak muda yang telah cukup lama tinggal di Tanah Perdikan, sekaligus mempersiapkan Tanah Perdikan menjadi satu lingkungan yang bukan saja memiliki landasan bagi peningkatan kesejahteraan hidup rakyatnya, namun sekaligus mengamankannya dan melindunginya dari kemungkinan-kemungkinan buruk yang dapat terjadi,” jawab Ki Wirayuda.

“Dan Sabungsari?” bertanya Ki Patih Mandaraka.

“Ia adalah seorang prajurit. Jika untuk memancing orang-orang yang berusaha membunuhnya Sabungsari harus kembali ke kesatuannya, maka aku kira orang-orng itu tidak akan berani memburunya, karena prajaurit Mataram di Jati Anom dianggap pasukan yang sangat kuat dan akan dapat menghancurkan orang-orang yang menyerang itu, meskipun di antara mereka tidak ada orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi, selain Sabungsari dan Untara sendiri. Namun tiga atau empat orang perwira akan mampu menghadapi orang-orang berilmu tinggi bersama sekelompok prajurit yang berlatih di bawah pimpinan Untara sendiri. Betapapun tinggi ilmu seseorang, namun mereka mempunyai keterbatasan juga. Dan Untara telah melatih prajurit-prajuritnya untuk menghadapi orang-orang yang demikian dalam kelompok-kelompok,” berkata Ki Wirayuda.

Ki Patih Mandaraka termangu-mangu. Sebenarnya menurut pendapat Ki Patih, persoalannya tidak akan banyak berbeda, apakah Sabungsari dan Glagah Putih pergi ke Jati Anom atau Tanah Perdikan Menoreh. Namun karena itu, maka Ki Patih pun berkata, “Baiklah. Tetapi hal itu harus dibicarakan lebih dahulu dengan Lurah Prajurit Mataram dalam Pasukan Khusus yang ada di Tanah Perdikan.”

“Maksud Ki Patih, Ki Lurah Agung Sedayu?” bertanya Ki Wirayuda.

“Ya,” jawab Ki Patih.

Ki Wirayuda mengangguk-angguk sambil berkata, “Aku sendiri akan menemui Ki Lurah Agung Sedayu. Bahkan Ki Gede Menoreh. Jika Ki Gede nampaknya keberatan bahwa Glagah Putih dan Sabungsari akan memancing orang-orang yang berusaha membunuhnya itu ke Tanah Perdikan, maka niat ini pun akan kami urungkan.”

“Hati-hatilah. Kita jangan melemparkan beban ini kepada orang lain. Meskipun aku dapat mengerti alasannya, namun kita tidak boleh mengambil keputusan sendiri tanpa orang yang paling berkepentingan.”

“Ya Ki Patih,” jawab Ki Wirayuda. Lalu Katanya, “Nampaknya orang-orang yang kini berada di Kotaraja ini memang bukan sekedar bermain-main.”

Demikianlah, maka Ki Wirayuda sendiri bersama dua orang pengawalnya telah meninggalkan Kotaraja menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Ki Wirayuda tidak menunggu sampai esok. Hari itu pula ia telah berangkat.

Kedatangan Ki Wirayuda di barak Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan memang mengejutkan Agung Sedayu. Dengan serta merta iapun bertanya, “Bagaimana dengan anak-anak Gajah Liwung?”

“Mereka selamat,” jawab Ki Wirayuda, “ternyata mereka benar-benar mampu menempatkan diri dalam berbagai keadaan di Mataram.” “Syukurlah,” desis Agung Sedayu.

Namun dalam pada itu, Ki Wirayuda pun segera menceritakan perkembangan terakhir yang terjadi di Mataram. Di rumah Ki Lurah Branjangan.

“Ki Lurah Branjangan harus segera mengetahuinya,” desis Agung Sedayu sambil mengangguk-angguk.

Seorang prajurit telah diperintahkan oleh Agung Sedayu untuk memanggil Ki Lurah yang sedang sibuk di dalam sanggar bersama beberapa orang pemimpin kelompok.

Ketika Ki Lurah Branjangan mendengar laporan Ki Wirayuda tentang rumahnya, maka wajahnya menjadi merah. Namun Ki Wirayuda pun segera menjelaskan rencana Sabungsari dan Glagah Putih untuk memancing orang-orang yang ingin membunuh kedua orang anak muda itu ke Tanah Perdikan Menoreh.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Jika menurut perhitungan Ki Wirayuda hal itu mungkin dilakukan, maka aku kira kami tidak berkeberatan. Bahkan kami dapat mengerti bahwa jika sering terjadi pergolakan di Kotaraja, maka wibawa Mataram akan dapat terpengaruh. Namun dengan menarik pergolakan itu menepi, maka agaknya Mataram tidak nampak mudah digoyahkan.”

“Tetapi bagaimana pendapat Ki Gede Menoreh tentang hal ini?” bertanya Ki Wirayuda.

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Katanya, “Marilah. Kita menghadap Ki Gede.”

Bersama Agung Sedayu dan Ki Lurah Branjangan, maka Ki Wirayuda pun segera menghadap Ki Gede Menoreh. Ketika segala persoalannya diajukan kepada Ki Gede, maka Ki Gede pun kemudian telah menanggapinya, “Baiklah. Menurut pendapatku, menggeser gejolak yang terjadi di Kotaraja ke Tanah Perdikan Menoreh adalah wajar sekali. Bahkan itu merupakan bagian dari kewajiban kami di sini.”

“Terima kasih Ki Gede. Dengan demikian maka aku akan mendapat kesempatan lebih banyak untuk membina jiwa anak-anak muda yang mulai bangun dari mimpi buruk mereka. Kelompok-kelompok yang semula hanya berkeliaran dan bahkan saling berkelahi dan mengganggu ketenangan, agaknya mulai melihat bahwa mereka sendiri termasuk pilar-pilar penyangga tegaknya Mataram, serta perkembangan Mataram di kemudian hari,” berkata Ki Wirayuda.

“Syukurlah jika anak-anak muda di Kotaraja itu mulai mengerti apakah sebenarnya yang sedang terjadi di Mataram itu,” berkata Ki Gede Menoreh. Lalu katanya, “Jika kemudian mereka dapat digalang, maka mereka merupakan kekuatan yang sangat besar untuk mendukung perkembangan Mataram di masa depan.”

Dengan ijin dan restu Ki Gede Menoreh, maka Ki Wirayuda segera mohon diri untuk kembali ke Mataram.

“Besok mungkin Sabungsari dan Glagah Putih akan memasuki Tanah Perdikan Menoreh. Kemana mereka berdua harus masuk? Ke rumah Ki Lurah Agung Sedayu atau ke rumah Ki Gede, atau kemana? Karena rumah itu akan menjadi sasaran serangan mereka sebagaimana rumah Ki Lurah Branjangan,” bertanya Ki Wirayuda.

Agung Sedayu memang berpikir sejenak. Namun kemudian Katanya, “Yang paling baik, biarlah Glagah Putih dan Sabungsari pulang ke rumahku. Malam nanti aku akan memberitahu Sekar Mirah, Rara Wulan, dan terutama Ki Jayaraga.”

“Baiklah,” berkata Ki Wirayuda kemudian, “namun agaknya besok keduanya juga memerlukan pengamanan di perjalanan. Demikian mereka memasuki Tanah Perdikan, maka banyak kemungkinan dapat terjadi. Apalagi mereka hanya berdua. Sebelumnya dua atau tiga orang akan mengantar mereka sampai Kali Praga.”

“Kami akan mengaturnya,” jawab Agung Sedayu.

“Akan lebih baik jika Ki Ajar Gurawa dan kedua orang muridnya juga bersedia pergi ke Tanah Perdikan,” berkata Ki Wirayuda kemudian.

“Kami pun akan menerimanya dengan senang hati,” jawab Agung Sedayu.

“Tetapi sasaran utamanya memang Sabungsari dan Glagah Putih,” sambung Ki Wirayuda.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sebenarnya orang-orang seperti Sabungsari dan Glagah Putih memang tidak perlu diantar oleh dua tiga orang sebagaimana dikatakan oleh Ki Wirayuda. Tetapi agaknya Ki Wirayuda membayangkan sekelompok orang yang berilmu sangat tinggi akan dapat menghentikan perjalanan Sabungsari dan Glagah Putih di perjalanannya.

Menurut perhitungan Ki Wirayuda, di antara mereka yang membuat kerusuhan di Mataram tentu terdiri dari orang-orang yang berilmu tinggi. Mereka tentu sudah mendengar, bahwa orang berilmu tinggi seperti Podang Abang dan Ki Wanayasa tidak mampu keluar dari halaman Kepatihan, meskipun mereka sudah dibantu oleh dua orang Rangga dari lingkungan Mataram sendiri. Dengan demikian, orang yang datang kemudian itu tentu merasa memiliki kelebihan dari sekelompok orang yang dipimpin oleh Ki Wanayasa dan Podang Abang.

Demikianlah, sepeninggal Ki Wirayuda, Agung Sedayu dan Ki Lurah Branjangan telah berbenah diri. Ki Lurah Branjangan terpaksa tidak dapat melihat rumahnya yang telah mendapat serangan orang-orang yang tidak dikenal itu. Namun menurut Ki Wirayuda, rumah itu tidak mengalami kerusakan, karena orang-orang yang bermalam di rumahnya malam itu, berusaha untuk bertempur di luar rumah.

Di barak Pasukan Khusus, Agung Sedayu telah berbicara dengan beberapa orang pemimpin kelompok tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi. Sekelompok prajurit dari Pasukan Khusus itu harus disiapkan untuk bergerak setiap saat jika Tanah Perdikan memerlukan bantuan mereka.

“Kita sedang memancing ikan yang besar. Karena itu umpannya pun cukup besar juga. Sabungsari, seorang perwira prajurit Mataram yang bertugas di Jati Anom, namun yang untuk sementara mendapat tugas khusus bersama Glagah Putih, dan Glagah Putih sendiri. Seandainya terjadi keributan, maka biarlah keributan itu terjadi di luar Kotaraja, sehingga wibawa Mataram tidak terguncang-guncang. Jika di Kotaraja itu setiap kali terjadi kerusuhan, maka seakan-akan memberikan kesan bahwa Mataram tidak cukup kuat untuk membuat Kotaraja menjadi tenang,” berkata Agung Sedayu.

Para pemimpin kelompok itu memahami sepenuhnya. Perintah Agung Sedayu untuk membentuk kelompok khusus pun segera mereka lakukan pula. Beberapa ekor kuda pun telah siap untuk dipergunakan setiap saat.

Di sore hari, ketika Agung Sedayu telah kembali dari barak Pasukan Khusus, maka iapun telah berbicara dengan Ki Jayaraga dan Sekar Mirah tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di rumah itu, jika Glagah Putih pulang bersama Sabungsari.

Lewat senja, Agung Sedayu telah berada di rumah Ki Gede Menoreh, yang memanggil beberapa orang pemimpin kelompok Pengawal Tanah Perdikan.

Dengan demikian, maka Tanah Perdikan benar-benar telah bersiap sebaik-baiknya. Prastawa malam itu juga telah mempersiapkan sekelompok Pengawal Tanah Perdikan terbaik untuk mengatasi kekerasan jika itu terjadi.

Beberapa orang pengawal pilihan itu akan berada di rumah Ki Gede serta tersebar di sekitar rumah Agung Sedayu, namun dalam keadaan sandi, selain mereka yang berada di gandu-gardu peronda sebagaimana biasanya. Meskipun yang kemudian berada di gardu itu pengawal-pengawal pilihan.

Meskipun tidak nampak jelas, malam itu di Tanah Perdikan memang telah terjadi kesibukan. Tetapi para pengawal tidak ingin para penghuni padukuhan induk Tanah Perdikan itu menjadi gelisah.

Sementara itu, Prastawa telah memerintahkan kepada para pengawal di padukuhan-padukuhan untuk juga mempersiapkan diri tanpa membuat para penghuni padukuhan menjadi gelisah.

Di hari berikutnya seperti yang telah direncanakan, maka atas ijin Ki Wirayuda, Sabungsari dan Glagah Putih telah pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Empat orang petugas sandi telah mendapat perintah untuk mengawasi perjalanannya dari jarak tertentu tanpa mendekatinya. Orang-orang itu mengenal Sabungsari dan Glagah Putih dari isyarat-isyarat yang diberikan oleh Ki Wirayuda. Demikian pula Sabungsari dan Glagah Putih mengetahui keempat petugas sandi itu dari ciri-ciri mereka yang diberitahukan oleh Ki Wirayuda. 

Empat orang petugas sandi itu membagi diri menjadi dua, sehingga yang nampak adalah dua orang berkuda menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Di belakangnya dua orang yang lain dalam perjalanan pula ke arah barat.

Namun ternyata selain keempat orang petugas sandi, masih ada beberapa orang lain yang juga berkuda menempuh perjalanan melintasi Kali Praga, sebagaimana Sabungsari dan Glagah Putih.

Dalam pada itu, ternyata Ki Ajar Gurawa dan kedua orang muridnya tidak ikut pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Mereka tetap berada bersama anak-anak muda dari kelompok Gajah Liwung. Ki Ajar Gurawa dan kedua muridnya akan menjadi kekuatan di dalam kelompok yang ditinggalkan oleh Sabungsari dan Glagah Putih.

Sementara itu, sebenarnyalah bahwa Sabungsari dan Glagah Putih masih saja diawasi oleh orang-orang yang tidak dikenal. Ketajaman panggraita kedua orang itu tahu, bahwa dua orang berkuda termasuk orang-orang yang mengikutinya ke Tanah Perdikan Menoreh.

Tetapi Sabungsari dan Glagah Putih dengan sengaja membiarkan diri mereka diikuti terus. Bahkan sampai mendekati padukuhan induk. Dua orang berkuda pada jarak yang agak jauh ikut pula memasuki regol padukuhan induk. Sedangkan pada jarak yang lebih jauh, dua orang yang lain juga berkuda searah. Namun para petugas sandi-lah yang justru sudah tidak nampak lagi, karena mereka langsung pergi ke barak Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh untuk bertemu dengan Agung Sedayu, memberi laporan tentang perjalanan Sabungsari dan Glagah Putih.

Dalam pada itu, perjalanan kedua orang anak muda itu pun tidak terlepas dari pengawasan beberapa orang yang memang ditugaskan oleh Agung Sedayu. Orang-orang yang kelihatannya bekerja di sawah. Namun mereka telah mengamati perjalanan Sabungsari dan Glagah Putih.

Tetapi tidak terjadi hambatan apapun di perjalanan Sabungsari dan Glagah Putih. Tidak ada orang yang berilmu tinggi yang menghambat dan apalagi menghentikan perjalanan mereka. Namun yang terjadi adalah, bahwa perjalanan itu memang diikuti dan diawasi oleh orang-orang yang tentu ditugaskan oleh pemimpin mereka yang telah datang di rumah Ki Lurah Branjangan.

Karena itu, dengan sengaja Sabungsari dan Glagah Putih membiarkan orang-orang itu mengetahui ke regol yang mana mereka masuk, sehingga rumah itu akan menjadi sasaran serangan sebagaimana rumah Ki Lurah Branjangan

Orang-orang yang mengikuti dan mengawasi perjalanan Sabungsari dan Glagah Putih memang merasa berhasil. Ketika mereka kemudian menempuh perjalanan kembali ke Mataram, maka di sepanjang jalan mereka dengan gembira membicarakan keberhasilan mereka.

“Ternyata kedua orang anak muda itu telah bersembunyi di tempat yang cukup jauh,” berkata salah seorang di antara mereka.

“Mereka tentu tidak mengira bahwa kita sempat mengetahui tempat persembunyian mereka. Jika saja Ki Patitis menyetujui rencana kami untuk membunuh saja keduanya di perjalanan, maka pekerjaan kita tentu sudah selesai,” berkata yang lain.

“Tidak semudah itu,” desis orang yang pertama. “Kedua anak muda itu termasuk anak-anak muda yang berilmu tinggi. Mereka bukan saja mampu membunuh seekor lembu jantan. Masing-masing seorang diri. Tetapi keduanya juga mampu membunuh kawan Ki Patitis dan murid terpilih Ki Manuhara.”

Yang lain mengangguk. Namun katanya, “Jika yang melakukan itu Ki Manuhara dan Ki Patitis sendiri?”

“Tidak mungkin. Keduanya tidak boleh dikenal oleh banyak orang di sini, sehingga rencana yang lebih besar itu akan gagal karena kedua anak muda itu,” jawab orang yang pertama.

Kawannya tidak menjawab. Namun keduanya telah mempercepat derap kuda mereka agar mereka segera dapat menceritakan keberhasilan mereka.

Empat petugas sandi yang berangkat dari Mataram mengikuti perjalanan Glagah Putih dan Sabungsari, telah bertemu pula dengan Agung Sedayu. Mereka menyampaikan berita bahwa kedua anak muda itu telah berada di Tanah Perdikan Menoreh.

“Terima kasih,” berkata Agung Sedayu, “kami akan mengambil alih persoalan mereka menghadapi orang-orang yang akan membunuh mereka.”

Keempat orang petugas sandi itu tidak terlalu lama berada di barak Pasukan Khusus. Mereka pun segera minta diri dan kembali ke Mataram untuk menghadap Ki Wirayuda.

Di Tanah Perdikan, Sabungsari dan Glagah Putih memang tidak meninggalkan rumah Agung Sedayu. Keduanya seakan-akan tidak berani meninggalkan regol halaman, sehingga di hari berikutnya, keduanya seakan-akan hanya hilir mudik saja di halaman rumah Agung Sedayu.

Seperti yang diperhitungkan, maka Ki Manuhara memang mengirim orang untuk meyakinkan, apakah kedua, anak muda itu benar-benar berada di rumah yang dikatakan oleh kedua orang berkuda yang mengikuti perjalanan Sabungsari dan Glagah Putih.

“Kita tidak boleh menunggu terlalu lama,” berkata Ki Manuhara, “kita bukan saja berusaha meruntuhkan kebanggaan anak-anak muda Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh, tetapi kita harus menghapus kesan buruk atas kegagalan kita membunuh keduanya di rumah Ki Lurah Branjangan. Nampaknya di Tanah Perdikan mereka tidak sekedar bersembunyi, tetapi agaknya mereka merasa terlindung. Apalagi di Tanah Perdikan terdapat barak Pasukan Khusus.”

“Tetapi barak Pasukan Khusus itu letaknya cukup jauh dari padukuan induk,” jawab orang yang telah melihat-lihat keadaan di Tanah Perdikan

“Kau melihat kegiatan yang menarik perhatian sebagai isyarat perlindungan atas kedua orang anak muda itu?” bertanya Ki Manuhara.

“Tidak,” jawab orang itu.

Namun Ki Manuhara masih juga memerintahkan orang-orangnya untuk melihat keadaan Tanah Perdikan di malam hari. Sebenarnyalah di malam hari pun mereka tidak melihat kegiatan yang berlebihan. Mereka hanya melihat anak-anak muda yang bergurau di gardu perondan. Sementara itu di rumah yang dianggap sebagai persembunyian Sabungsari dan Glagah Putih nampaknya sepi-sepi saja.

Ketika hal itu di keesokan harinya dilaporkan kepada Ki Manuhara, maka Ki Manuhara pun telah mengambil keputusan. Mengambil dan membunuh kedua orang anak muda itu, dan meletakkan mayatnya di rumah Ki Lurah Branjangan di Kotaraja.

Namun dalam pada itu, anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh justru telah menunggu-nunggu. Bahkan Prastawa telah bertanya kepada Agung Sedayu, apakah ancaman bagi Sabungsari dan Glagah Putih itu masih berlaku.

“Masih,” jawab Agung Sedayu, “semalam beberapa orang telah ada di halaman rumahku. Aku mendengar langkah perlahan-lahan sekali melekat dinding. Tetapi kami seisi rumah dengan sengaja telah membiarkannya.”

Prastawa mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Beberapa orang anak muda masih ada di sekitar rumahmu. Ada lima rumah di sekitar rumahmu yang masing-masing diisi oleh dua orang pengawal pilihan. Sementara itu di dua gardu di mulut lorong diisi pula oleh beberapa orang. Namun mereka mulai mempertanyakan, apakah rencana itu masih berlaku.”

“Masih. Aku yakin mereka akan datang,” jawab Agung Sedayu.

“Di banjar dan di rumah Paman juga sudah bersiaga masing-masing sekelompok anak muda yang dengan sengaja disamarkan, sehingga tidak nampak sama sekali. Aku memang menjadi cemas, bahwa anak-anak muda itu menjadi tidak betah melakukannya lebih lama lagi,” berkata Prastawa.

“Aku minta, anak-anak muda itu melakukannya beberapa malam lagi,” jawab Agung Sedayu.

Sementara itu di rumah Agung Sedayu, Rara Wulan pun diliputi kecemasan tentang nasib Glagah Putih. Tetapi karena Glagah Putih hampir selalu bersama Sabungsari, maka Rara Wulan tidak terlalu memikirkan tentang kecemasannya itu. Di sore hari, biasanya mereka duduk bersama-sama di ruang dalam. Kemudian setelah malam turun, mereka segera berada di bilik masing-masing, dengan selalu memperhatikan keadaan di sekitarnya.

Namun pada satu kesempatan, Glagah Putih dan Sabungsari dapat melihat Rara Wulan yang sedang berlatih bersama Sekar Mirah.

Rara Wulan ternyata memiliki beberapa kelebihan dari yang diduga oleh Glagah Putih. Tingkat ilmunya jauh lebih tinggi dari yang dibayangkan oleh anak muda itu, diperhitungkan dengan waktu yang dipergunakan.

“Kakangmu Agung Sedayu ikut campur dalam peningkatan ilmunya,” berkata Sekar Mirah.

“Luar biasa,” desis Sabungsari, “apa yang mendorongnya mencapai kemajuan yang begitu pesat?”

“Kemauannya sungguh besar,” desis Glagah Putih.

Namun dengan demikian, maka jika rumah itu didatangi oleh orang-orang yang tidak dikehendaki kehadirannya di Mataram itu, keadaan Rara Wulan tidak terlalu membahayakan. Ia akan mampu melindungi dirinya sendiri setidak tidaknya untuk waktu yang cukup lama, sambil menunggu keseimbangan menjadi mapan dan menguntungkan bagi seisi rumah itu.

Namun ketika Rara Wulan menyuguhkan minuman panas di sore hari, sementara Sabungsari sedang berada di pakiwan, Rara Wulan sempat berdesis, “Aku merasa cemas tentang kau berdua dengan Sabungsari, Kakang. Seperti yang aku dengar, maka beberapa orang berilmu tinggi tentu akan datang ke rumah ini. Jika di rumah kakek kau sudah menunjukkan tingkat kemampuan sehingga kau terpaksa membunuh seorang yang berilmu tinggi, maka yang akan datang tentu orang-orang yang sudah diperhitungkan.”

“Jangan cemas Rara. Aku merasa aman di bawah perlindungan Kakang Agung Sedayu dan Ki Jayaraga. Kecuali itu, anak-anak muda pengawal Tanah Perdikan yang telah dipersiapkan, akan dengan cepat datang membantu,” berkata Glagah Putih.

“Tetapi sampai kapan mereka dengan telaten menunggu?” desis Rara Wulan.

Namun sebenarnyalah mereka tidak akan menunggu terlalu lama. Beberapa orang pengikut Ki Manuhara telah menempatkan diri di ujung sebuah hutan yang tidak terlalu lebat, namun yang jarang dikunjungi orang. Dari landasan itulah Ki Manuhara dengan para pengikutnya akan bergerak.

“Keadaanya berbeda dengan di Kotaraja,” berkata Ki Manuhara, “kita tidak dapat mempergunakan rumah orang-orang yang dapat kita bujuk untuk membantu kita. Meskipun dengan uang sekalipun, sebagaimana dapat kita lakukan di Kotaraja.”

“Nampaknya landasan gerakan kita ini justru lebih baik dari yang pernah kita lakukan di Kotaraja. Di sini kita dapat langsung berkumpul dengan jumlah orang yang tidak terbatas. Orang-orang kita pun telah mengenal dengan baik, jalur yang harus kita lewati sampai ke padukuhan induk,” jawab Ki Patitis.

“Tetapi seperti kita ketahui, kedua orang anak muda itu sendiri memiliki ilmu yang sangat tinggi. Di Tanah Perdikan ini tentu ada pula orang-orang yang dianggapnya mampu melindunginya atau setidak-tidaknya membantunya. Karena itu, kita harus lebih hati-hati. Namun justru karena itu, maka aku akan turun sendiri ke gelanggang,” berkata Ki Manuhara.

“Perhitungan Kiai mungkin benar. Tetapi menurut pendapatku, jika kedua orang anak muda itu merasa tenang di sini, semata-mata karena mereka merasa persembunyiannya belum kita ketahui,” berkata Ki Patitis.

“Mungkin. Tetapi lebih baik kita berpikir bahwa ada beberapa orang yang dapat membantunya dan berilmu tinggi pula,” berkata Ki Manuhara.

Namun dengan demikian, maka Ki Manuhara benar-benar mempersiapkan sekelompok orang yang berilmu tinggi. Bahkan saudara seperguruannya pun ada pula di antara mereka.

Menurut rencana yang telah dipersiapkan oleh Ki Manuhara, maka malam itu juga mereka akan mengambil kedua orang anak muda yang telah membunuh dua ekor lembu jantan yang liar itu. Persoalannya memang sudah berkembang. Jika semula mereka hanya ingin mematahkan kebanggaan anak-anak muda Mataram atas dua orang yang mampu membunuh lembu jantan yang liar itu, kemudian niat itu sudah diwarnai dendam dan harga diri.

Di rumah Ki Lurah Branjangan, mereka tidak berhasil membunuh kedua orang anak muda itu. Bahkan dua orang di antara para pengikut Ki Manuhara justru telah terbunuh. Sehingga dengan demikian maka harga diri itu harus ditegakkan kembali. Mereka akan mengambil kedua anak muda itu, membunuhnya dan meletakkan mayatnya di halaman rumah Ki Lurah Branjangan.

Karena itu, demikian malam turun, maka mereka pun telah bersiap untuk pergi ke padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Dua orang yang telah diperintahkan untuk melihat-lihat barak Pasukan Khusus telah kembali, memberitahukan bahwa tidak ada kesibukan apapun di barak itu. Nampaknya barak itu sepi-sepi saja.

Ki Manuhara yang disertai saudara seperguruannya Kiai Samepa, telah mempersiapkan kekuatan yang cukup besar. Mereka sadar bahwa Sabungsari dan Glagah Putih yang berada di Tanah Perdikan itu bukan saja sekedar bersembunyi, tetapi mereka tentu merasa mendapat perlindungan dari orang-orang yang dianggapnya juga berilmu tinggi.

Selain Ki Manuhara dan Kiai Samepa. maka ikut pula Ki Patitis, Ki Tangkil dan beberapa orang berilmu, di samping para murid Ki Manuhara dan Kiai Samepa. Bahkan beberapa orang lain yang sejalan dengan rencana Ki Manuhara untuk membuat Mataram menjadi resah dan kehilangan kewibawaan.

Ketika pasukan itu bergerak, maka pasukan itu bukannya sekedar sekelompok orang yang akan menangkap dan membunuh dua orang anak muda. Tetapi pasukan itu adalah pasukan yang siap bertempur melawan seisi padukuhan induk Tanah Perdikan. Orang-orang yang tidak tertampung di Kotaraja karena tidak ada lagi tempat yang tersedia, telah dipanggil untuk bersama-sama menyerang padukuhan induk Tanah Perdikan, yang diduga akan memberikan perlindungan kepada dua orang anak muda yang digelari Pembunuh Lembu Jantan oleh anak-anak muda Mataram.

“Kita serba sedikit pernah mendengar kebesaran nama Tanah Perdikan Menoreh,” berkata Ki Manuhara.

“Jangan berlebihan memuji kekuatan Tanah Perdikan ini,” berkata Kiai Samepa. Lalu katanya, “Orang-orang Kotaraja itu tidak tahu pasti apa yang mereka katakan.”

“Satu hal yang harus menjadi perhatian kita,” berkata Ki Manuhara, “murid Orang Bercambuk itu ada di Tanah Perdikan Menoreh.”

Kiai Samepa mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku juga mendengar ketika seorang Putut melaporkan hal itu kepadamu. Tetapi siapakah Orang Bercambuk itu? Tidak lebih dari sebuah nama dari gambaran yang menerawang. Tidak ada apa-apanya dengan Orang Bercambuk itu. Apalagi muridnya.”

“Kita jangan terlalu merendahkan lawan kita,” desis Ki Manuhara. “Di Kotaraja, Ki Patitis dan kawan-kawannya yang kita anggap berilmu tinggi telah kalah oleh anak-anak muda itu. Demikian pula seorang pututku telah terbunuh pula.”

Kiai Samepa masih mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Baiklah. Tetapi jika aku tahu yang manakah murid Orang Bercambuk itu, maka aku akan melawannya.”

Ki Manuhara tidak menjawab lagi. Perjalanan mereka telah menjadi semakin dekat dengan padukuhan induk. Tanpa menghiraukan tanaman di sawah dan pategalan, mereka telah mengambil jalan pintas. Namun mereka tidak mau memasuki padukuhan-padukuhan yang seharusnya mereka lewati. Mereka ingin demikian memasuki padukuhan, padukuhan itu adalah padukuhan induk.

Dalam pada itu, di padukuhan induk, anak-anak muda mulai merasa jemu menunggu. Mereka yang telah disiapkan di rumah sekitar rumah Agung Sedayu, rasa-rasanya sudah tidak betah lagi setelah beberapa malam mereka menginap. Bagaimanapun juga mereka lebih senang tidur di rumah mereka sendiri, atau di gardu bersama kawan-kawan mereka. Demikian pula anak-anak muda yang harus tidur di banjar. Mereka diminta untuk tidak menampakkan diri. Mereka tidak dibenarkan untuk bergurau, bermain-main untuk dapat menahan kantuk. Yang berada di rumah Ki Gede masih merasa sedikit longgar. Di serambi belakang rumah Ki Gede, mereka masih dapat bermain macanan atau bas-basan, asal mereka tidak membuat gaduh.

Seorang di antara anak-anak muda yang berada di banjar itu berkata kepada pemimpin kelompok pengawal yang bertugas bersamanya, “Sampai kapan kami harus menunggu? Beberapa malam kita berada di sini dalam keadaan yang tegang dan sepi.”

“Bukankah kita berbuat demikian bagi kepentingan Ki Lurah Agung Sedayu? Kita tahu siapa Ki Lurah Agung Sedayu dan apa yang sudah dilakukannya bagi Tanah Perdikan ini,” berkata pemimpin kelompok itu.

Anak muda itu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Seandainya hal ini bukan bagi kepentingan Ki Lurah Agung Sedayu, agaknya kami sudah tidak betah lagi. Kami tentu akan mengambil cara lain dari cara yang kita lakukan sekarang.”

Pemimpin pengawal itu mengerutkan keningnya. Dengan nada tinggi ia berkata, “Kita memang dapat memakai cara lain. Kita memasang baris pendem di sekitar padukuhan induk ini. Tetapi Ki Lurah Agung Sedayu nampaknya mempunyai rencana tersendiri menghadapi lawan-lawannya.”

Anak muda itu masih saja mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu, seorang anak muda dari pasukan pengawal telah datang menemui pemimpin kelompok itu untuk memberitahukan bahwa pengawas di dinding padukuhan induk nampaknya telah melihat pasukan yang mendekati pintu gerbang sebelah timur.

“Kau yakin?” bertanya pemimpin pengawal itu.

“Ya. Pengawas itu yakin,” jawab pengawal itu.

“Baiklah. Hal ini harus dilaporkan kepada para pengawal di rumah Ki Gede,” berkata pemimpin sekelompok pengawal di banjar itu.

“Sudah ada pengawal yang melaporkan ke sana,” jawab pengawal itu. “Mereka sudah mengetahuinya. Mereka telah bersiap-siap,” jawab pengawal itu.

Namun sebelum pengawal itu selesai, maka telah menyusul pengawal yang lain yang memberikan laporan pula tentang gerakan pasukan di luar padukuhan induk itu.

“Kenapa dengan mereka?” bertanya pemimpin pengawal itu.

“Mereka justru berhenti di luar padukuhan,” jawab pengawal yang datang kemudian.

Pengawal itu segera tanggap, sebagaimana pesan Prastawa sesuai dengan pesan Agung Sedayu. Mereka tentu akan mengirimkan orang khusus menyerang langsung rumah Agung Sedayu. Baru kemudian mereka akan menyerang padukuhan itu, jika mereka menganggap perlu.

“Jika gerakan sebagian kecil dari pasukan itu sudah berhasil membunuh Sabungsari dan Glagah Putih, maka pasukan itu tidak akan menyerang padukuhan ini, karena yang mereka inginkan hanya Sabungsari dan Glagah Putih. Tetapi jika Sabungsari dan Glagah Putih mendapat perlindungan khusus dari padukuhan ini, maka pasukan itu tentu akan menyerang,” berkata pemimpin kelompok itu berdasarkan pesan Agung Sedayu lewat Prastawa.

“Jadi, apa yang harus kita lakukan?” bertanya pengawal itu.

“Apakah kau sudah menemui Prastawa?” bertanya pemimpin kelompok itu.

“Seorang kawan sedang menemuinya di rumah Ki Gede,” jawab pengawal itu.

“Kita tunggu perintah Prastawa. Tetapi jika perintah itu belum datang dan orang-orang itu menyerang, maka mereka harus ditahan di pintu gerbang. Kami akan segera membawa pasukan kami ke pintu gerbang.”

Sementara itu, seseorang memang telah memberitahukan kepada Prastawa bahwa pasukan yang bergerak ke padukuhan itu, telah berhenti di luar padukuhan.

“Tetapi Agung Sedayu menghendaki Sabungsari dan Glagah Putih diumpankan untuk memancing orang-orang yang akan membunuhnya itu,” berkata Prastawa yang menghadap Ki Gede.

“Awasi rumah Agung Sedayu. Yang diharapkan Agung Sedayu adalah orang-orang yang akan membunuh Sabungsari dan Glagah Putih. Jika seisi padukuhan ini bergerak, baru kemudian pasukan itu akan menyerang. Karena itu, maka pasukan yang berhenti di luar padukuhan itu tentu menunggu isyarat,” berkata Ki Gede.

“Lalu, apakah kita harus bergerak sekarang?” bertanya Prastawa.

“Tidak. Biarlah orang-orang yang dikehendaki Agung Sedayu datang ke rumahnya. Beberapa orang pengawal pilihan akan membantu Agung Sedayu, karena mereka berada di sebelah-menyebelah rumahnya. Kita menunggu isyarat, apakah Agung Sedayu memerlukan bantuan atau tidak. Jika tidak, maka tentu lawannya-lah yang akan memerlukan bantuan. Nah. kita akan memotong gerakan mereka yang akan membantu itu,” berkata Ki Gede.

Prastawa mengangguk-angguk. Namun menurut perhitungannya, hal itu akan dapat membahayakan keadaan Agung Sedayu dan keluarganya. Jika mereka tidak mendapat kesempatan untuk memberi isyarat, maka keadaan mereka akan menjadi buruk sekali.

Namun Prastawa mengerti, bahwa Agung Sedayu dan Ki Jayaraga adalah orang-orang yang berilmu sangat tinggi, sehingga karena itu maka mereka tentu tidak akan kehilangan akal.

Sebenarnyalah perhitungan Agung Sedayu itu benar. Ternyata orang yang berilmu tinggi telah memisahkan diri dari seluruh pasukan. Mereka akan memasuki halaman rumah Agung Sedayu tanpa mengusik padukuhan induk yang dianggapnya tidur lelap. Jika mereka dapat menyelesaikan tugas mereka dengan baik tanpa membangunkan isi padukuhan itu, maka agaknya akan lebih baik. Namun jika padukuhan itu terbangun, maka pasukan yang sudah siap menunggu di luar pintu gerbang padukuhan itu akan siap menerobos masuk. Yang mereka lihat sebelumnya lewat para petugas sandi mereka hanyalah sekelompok anak anak muda yang sedang meronda di gardu di belakang regol yang tertutup itu.

Sejenak kemudian, maka orang-orang berilmu tinggi yang bergerak lewat jalan lain itu telah berhasil memasuki padukuhan induk dengan meloncati dinding padukuhan.

Dengan hati-hati mereka menyusup lewat jalan-jalan sempit yang sudah mereka pelajari lebih dahulu dari seorang yang ditugaskan sebelumnya, sehingga beberapa saat kemudian mereka telah sampai ke rumah Agung Sedayu.

“Di sini-lah kedua anak itu bersembunyi,” desis Ki Manuhara.

“Kita akan langsung mengambilnya?” berkata Kiai Samepa.

“Ya. Hanya jika mengalami kesulitan atau padukuhan ini terbangun, kita akan memberikan isyarat kepada para murid,” desis Ki Manuhara.

Ki Patitis-pun kemudian telah memerintahkan seseorang untuk bersiap-siap dengan panah sandarennya apabila diperlukan. Sementara itu, sekelompok orang orang berilmu tinggi itu pun segera bersiap-siap untuk mengambil Sabungsari dan Glagah Putih.

Kehadiran mereka ternyata telah diketahui oleh Agung Sedayu dan seisi rumah itu. Dengan berdebar-debar mereka mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Orang yang paling lemah di antara mereka yang ada di rumah itu adalah Rara Wulan. Namun Rara Wulan tidak mau diungsikan ke rumah Ki Gede yang dijaga oleh sepasukan pengawal yang siap bergerak.

Namun Glagah Putih masih teringat pula kepada anak yang membantu di rumah itu. Karena itu, maka iapun segera pergi ke belakang dan membangunkan anak itu.

“Apakah kau akan pergi ke sungai sekarang?” bertanya anak itu.

“Sst,” desis Glagah Putih, “masuklah ke ruang dalam.”

“Ada apa?” bertanya anak itu.

“Cepat. Jangan bertanya sekarang,” sahut Glagah Putih.

“Kau jangan aneh-aneh,” desis anak itu, “jika kau tidak mau pergi ke sungai, biarlah aku pergi sendiri.”

Glagah Putih menarik tangan anak itu sambil membentak, “Ikut aku! Atau aku harus memukulmu sampai pingsan dan menyeretmu ke dalam?”

“Ada apa sebenarnya dengan kau ini?” anak itu meloncat bangkit.

Tetapi Glagah Putih menjadi tidak sabar lagi, karena orang-orang yang ada di luar mulai bergerak. “Cepat! Kalau tidak, kepalamu akan dipancung. Kakang Agung Sedayu memanggilmu.”

Anak itu tidak sempat menjawab. Glagah Putih menariknya lewat longkangan yang berada di antara bagian belakang rumah itu sekaligus dapur dengan rumah induk. Namun longkangan itu masih berada di lingkungan dinding rumah itu

Ketika anak itu sudah berada di ruang dalam, maka Agung Sedayu-lah yang memberinya pesan, “Hati-hati. Jangan keluar dari ruang ini.”

Anak itu mengangguk-angguk kecil. Namun ia mulai tahu apa yang sedang terjadi.

Demikianlah, maka orang-orang yang ada di rumah itu pun telah bersiap sepenuhnya. Agung Sedayu, Ki Jayaraga, Sabungsari dan Glagah Putih. Selain mereka adalah Sekar Mirah dan Rara Wulan, yang oleh Agung Sedayu diminta untuk tetap berada di ruang dalam bersama anak pembantu rumah itu.

Dalam pada itu, Ki Manuhara memang tidak ingin membuang banyak waktu. Karena itu maka iapun segera naik ke pendapa menuju ke pintu pringgitan. Sementara Glagah Putih telah pergi ke longkangan belakang sekali lagi. Longkangan itu memang berada di lingkungan dinding rumah Agung Sedayu, tetapi longkangan itu tidak diberi atap.

Seperti yang telah direncanakan, maka Glagah Putih harus memberikan isyarat kepada para pengawal pilihan yang berada di rumah sebelah-menyebelah. Karena itu, maka Glagah Putih pun telah mengambil sebutir batu yang tidak begitu besar dan dilemparkannya ke arah sebuah rumah, di belakang rumah Agung Sedayu.

Jarak lemparan batu itu pun telah dipelajari oleh Glagah Putih sebelumnya, sehingga karena itu dari tiga batu yang dilemparkannya, dua tepat mengenai atap rumah itu.

Dua orang pengawal tidur di rumah itu. Bahkan keduanya telah berjanji untuk bergantian berjaga-jaga. Karena itu, ketika terdengar lemparan batu sebagaimana disepakati sebelumnya, mereka pun segera menyadari bahwa mereka sudah harus bertindak. Agaknya orang yang mereka tunggu-tunggu telah datang.

Kedua orang pengawal terpilih itu pun segera mempersiapkan diri. Keduanya pun telah membagi diri untuk menghubungi dua rumah bersebelahan. Selanjutnya dua rumah lagi, sehingga lima rumah di sekitar rumah Agung Sedayu itu akan terbangun, karena di dalamnya masing-masing ditempatkan dua orang pengawal pilihan.

Demikianlah, dalam waktu singkat, sepuluh orang pengawal terpilih telah mengepung rumah Agung Sedayu. Mereka sadar, bahwa orang yang berada di halaman rumah Agung Sedayu itu tidak boleh terlepas dari tangan mereka. Justru Sabungsari dan Glagah Putih telah dijadikan umpan untuk memancing mereka datang ke rumah itu.

“Nampaknya orang-orang itu sangat diperlukan oleh Mataram,” berkata salah seorang pengawal.

“Tetapi tidak mudah untuk menangkap orang berilmu tinggi hidup-hidup,” berkata salah seorang pengawal.

“Itu adalah tugas Ki Lurah Agung Sedayu dan Ki Jayaraga,” jawab kawannya.

Namun mereka tidak berbicara lagi. Mereka harus mengendap-endap mendekati dinding.

Dalam pada itu, terdengar pintu pringgitan diketuk oleh Ki Manuhara.

Agung Sedayu yang ada di ruang dalam pun bertanya, “Siapa?”

“Aku,” jawab Ki Manuhara.

“Aku siapa?” desak Agung Sedayu.

“Nama tidak penting dalam keadaan seperti ini. Buka pintu dan serahkan dua orang anak muda yang bernama Sabungsari dan Glagah Putih,” jawab Ki Manuhara.

“Untuk apa?” bertanya Agung Sedayu.

Ki Manuhara pun telah memberikan isyarat kepada orang-orangnya untuk mengawasi semua pintu keluar. Pintu seketheng dan pintu dapur.

“Dengarlah, aku membutuhkan kedua orang anak muda itu. Aku tidak mau mempersoalkannya untuk apa dan sebab apa. Waktuku tidak terlalu banyak,” berkata kiai Kanuhara. Lalu katanya pula, “Karena itu pintu harus segera dibuka, dan kedua anak muda itu harus segera kau serahkan kepada kami. Kalau tidak, maka kami akan mengambil sendiri. Aku tahu bahwa kedua orang anak muda itu berilmu tinggi. Tetapi betapapun tinggi ilmu anak itu, namun mereka masih tetap anak-anak. Karena itu maka bagi kebaikan anak anak itu sendiri, serahkan anak-anak itu kepadaku.”

“Sayang Ki Sanak,” jawab Agung Sedayu dari dalam, “aku tidak dapat menyerahkan anak-anak itu. Mereka adalah saudara sepupuku. Bagaimanapun juga aku wajib untuk membantunya menyelamatkan diri dari kejaran kalian.”

“Jangan mempersulit diri sendiri,” geram Ki Manuhara.

“Tetapi kenapa kalian memburu adikku sejak di rumah Ki Lurah Branjangan, kemudian sampai mereka menyingkir ke tempat ini? Apakah sebenarnya salah mereka?” bertanya Agung Sedayu.

“Buka pintu! Atau aku akan memecahkannya!” bentak Ki Manuhara.

“Pintu itu adalah pintu rumahku. Aku akan marah jika pintu itu kau rusakkan,” berkata Agung Sedayu.

Tetapi Ki Manuhara tidak menghiraukannya lagi. Iapun kemudian telah melangkah mundur beberapa langkah. Demikian pula para pengikutnya, dan bahkan Kiai Samepa. Perlahan-lahan Ki Manuhara telah mengangkat tangannya. Kedua telapak tangannya menghadap ke arah pintu.

Segulung angin yang keras telah meluncur dengan derasnya menghantam daun pintu rumah Agung Sedayu. Bahkan pecahan-pecahan kayunya telah berserakan terbang ke ruang dalam. Namun Ki Manuhara yang sudah mulai melangkah maju terkejut, sehingga iapun segera meloncat surut. Tiba-tiba dari ruang dalam lidah api telah menyembur menjilat keluar lewat pintu yang sudah tidak berdaun lagi.

Ternyata Ki Jayaraga yang menguasai ilmu yang tidak kalah tinggi merasa tersinggung karenanya.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Apalagi ketika kemudian Ki Jayaraga itu telah meloncat dengan kecepatan yang sangat tinggi melalui pintu itu juga, dan sekejap kemudian ia sudah berada di pendapa, menghadapi beberapa orang yang telah lebih dahulu berada di pendapa itu.

Sudah tentu Agung Sedayu tidak membiarkannya. Iapun kemudian melangkah pula ke pintu sambil berdesis kepada Sabungsari dan Glagah Putih, “Berhati-hatilah. Mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi. Agaknya mereka bukan seorang yang merasa perlu berbasa-basi. Pintu itu sudah dihancurkannya.”

Sabungsari dan Glagah Putih tidak menjawab. Namun ketika kemudian Agung Sedayu melangkah keluar, mereka pun segera mengikutinya.

“Bagus,” geram Ki Manuhara, “ternyata kalian berlindung di belakang orang yang mampu bermain api ini. Tetapi permainannya hanya dapat mengejutkan saja. Dalam pertempuran yang sebenarnya, lidah api itu tidak akan berarti apa-apa.”

“Apapun yang kau katakan,” desis Ki Jayaraga, “tetapi niatku untuk mengejutkan kalian sudah terjadi, sebagaimana kalian mengejutkan kami dengan merusak pintu. Karena anak-anak pun akan dapat merusak pintu sebagaimana kau lakukan.”

Ki Manuhara tertawa. Katanya, “Apakah aku harus mengerahkan ilmu yang berlebihan hanya untuk membuka pintu? Baiklah. Sekarang kalian telah membawa kedua orang anak muda itu keluar. Serahkan keduanya kepadaku, Aku tahu keduanya memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi betapapun tinggi tingkat ilmunya, namun di hadapan kami keduanya tidak berarti apa-apa. Seperti lidah api yang tidak mampu membakar itu.”

Namun Ki Jayaraga sama sekali tidak kehilangan penalaran meskipun orang yang datang itu berusaha memancing kemarahannya. Bahkan ia telah menjawab, “Sebaiknya kau bertanya langsung kepada kedua orang anak muda itu. Apakah mereka bersedia kalian bawa atau tidak.”

“Aku tidak senang dengan lelucon ini Ki Sanak. Aku bertanya kepadamu, apakah kau mau menyerahkan kedua orang anak muda itu?” desis Ki Manuhara.

Ki Jayaraga menggeleng. Katanya, “Sayang, aku tidak mau menyerahkan mereka.”

“Ketahuilah, bahwa padukuhan induk Tanah Perdikan ini telah terkepung oleh murid-murid dari dua perguruan besar yang tentu tidak akan terlawan. Bahkan seluruh penghuni Tanah Perdikan ini tidak akan mampu melawan mereka, karena setiap murid perguruanku dan perguruan saudaraku ini akan sama nilainya dengan sepuluh orang anak muda Tanah Perdikan ini, Bahkan Pasukan Khusus Mataram di barak itu pun tidak akan mampu menolong Tanah Perdikan ini.”

Ki Jayaraga lah yang kemudian tertawa. Katanya, “Kau memang pandai membual. Berapa jumlah murid dari dua perguruan, sehingga kau mengaku dapat menandingi seisi Tanah Perdikan ini, bahkan seisi barak Pasukan Khusus itu? Ceritamu seperti dongeng bagi anak-anak menjelang tidur.”

“Baiklah,” jawab Ki Manuhara, “kita akan membuktikannya. Tetapi para murid yang dipimpin oleh beberapa orang Putut yang tidak akan terlawan oleh berapapun jumlah anak muda padukuhan ini, baru akan bergerak kemudian, jika kalian tetap keras kepala.”

“Terima kasih,” jawab Ki Jayaraga.

Ki Manuhara mengerutkan dahinya. Hampir di luar sadarnya ia bertanyam “kenapa kau berterima kasih kepadaku?”

“Kau memberi waktu prajurit dari Pasukan Khusus itu datang ke padukuhan induk ini. Bukankah baru nanti murid-muridmu bergerak? Sementara itu, kami akan mempersiapkan isyarat yang akan dapat mengundang mereka. Dengan demikian maka kita benar-benar bersama-sama akan membuktikan, siapakah yang akan lebur malam ini.”

Wajah Ki Manuhara berkerut semakin dalam. Katanya, “Ternyata aku berhadapan dengan seorang yang bukan saja berilmu tinggi, tetapi ketahanan jiwani yang dimilikinya pun sangat tinggi. Tetapi aku akan senang sekali bermain-main dengan kau Ki Sanak.”

Ki Jayaraga menjadi semakin bersiaga, Orang itu dapat saja dengan tiba-tiba menyerang. Namun Ki Jayaraga masih bertanya, “Siapa namamu, dan untuk apa semuanya ini kalian lakukan?”

“Sebut saja aku sesukamu. Dan berilah alasan yang paling baik, kenapa aku ingin mengambil dua orang anak muda yang digelari Pembunuh Lembu Jantan itu,” jawab Ki Manuhara.

“Baik. Jika demikian, kami sudah siap,” jawab Ki Jayaraga.

Namun tiba-tiba Kiai Samepa yang sejak tadi berdiam diri tiba-tiba bertanya, “Aku dengar salah seorang murid dari Orang Bercambuk ada di Tanah Perdikan ini. Orang itu tentu ikut serta berusaha melindungi kedua orang anak muda itu.”

“Tidak seperti kalian, kami tidak perlu merahasiakan diri,” berkata Ki Jayaraga, “murid Orang Bercambuk itu memang ada di sini.”

“Siapa?” desak Kiai Samepa.

Agung Sedayu hanya dapat menarik nafas panjang. Ki Jayaraga telah menyebutnya, sehingga iapun menjawab, “Akulah orangnya. Rumah ini memang rumahku. Anak-anak muda yang kau cari adalah adik-adikku.”

“Bagus,” desis Kiai Samepa, “ku sudah bertekad untuk menghapuskan perguruan Orang Bercambuk itu. Menurut pendengaranku, hanya ada dua orang murid utama dari perguruan itu.”

Agung Sedayu tidak menanggapinya tentang jumlah murid utama perguruan Orang Bercambuk. Namun iapun telah bergeser sambil bertanya, “Kenapa kau mendendam perguruan Orang Bercambuk?”

“Aku memang tidak mempunyai persoalan dengan Orang Bercambuk. Tetapi aku tidak ingin murid-muridnya dihormati berlebihan. Apalagi salah seorang muridnya telah melindungi anak-anak muda yang harus dilenyapkan pula,” jawab Kiai Samepa.

“Begitu mudahnya menentukan orang-orang yang harus dilenyapkan,” desis Agung Sedayu.

“Aku memiliki kemampuan untuk melakukannya. Tidak ada orang yang akan dapat mencegahnya. Bahkan seandainya Orang Bercambuk itu sendiri datang kemari,” geram Kiai Samepa.

Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Tetapi iapun segera bergeser menepi.

Sebelum Agung Sedayu mengatakan sesuatu. Kiai Samepa pun telah berkata, “Aku setuju. Bukankah kau ingin bertempur di halaman rumahmu? Tidak di pendapa yang tentu akan terasa terlalu sempit ini.”

Agung Sedayu dengan cepat melangkah turun. Namun ia sama sekali tidak kehilangan kewaspadaan, karena lawannya akan dapat berbuat sesuatu yang tidak diduga-duga.

Perhitungan Agung Sedayu ternyata benar. Demikian ia turun ke halaman, maka orang itu pun telah menyambarnya dengan cepat sekali, sehingga seakan-akan orang itu terbang dari pendapa dan kemudian menjejakkan kakinya di halaman.

Serangan Kiai Samepa itu merupakan isyarat, bahwa pertempuran akan segera dimulai. Ki Manuhara pun telah bersiap pula, sementara Ki Jayaraga ternyata juga lebih senang bertempur di halaman. Namun sikap Ki Jayaraga agak berbeda dengan sikap Agung Sedayu. Dengan seenaknya ia berkata, “Aku akan turun ke halaman. Jika kau berani melawanku, marilah. Tetapi rasa-rasanya kau lebih senang bertempur dengan anak-anak itu.”

Ki Manuhara benar-benar tersinggung. Karena itu maka iapun segera meloncat menyerang pula. Karena Ki Manuhara adalah saudara seperguruan Kiai Samepa, maka iapun mampu terbang dan menyambar Ki Jayaraga sebagaimana dilakukan Kiai Samepa.

Namun Ki Jayaraga telah siap menghadapinya, sehingga iapun sempat mengelakkan diri.

Dengan demikian maka pertempuran pun segera mulai membakar halaman rumah Agung Sedayu. Sementara itu, beberapa orang murid terpilih dari dua perguruan itu telah berloncatan pula menyerang. Ki Patitis dan Ki Tangkil berusaha menempatkan diri menghadapi Sabungsari dan Glagah Putih, sementara Ki Manuhara berteriak nyaring, “Jangan lepaskan kedua orang anak muda itu!”

Namun dalam pada itu, dari luar dinding halaman, sepuluh orang anak-anak muda pengawal Tanah Perdikan yang juga terpilih, telah berloncatan memasuki halaman itu pula.

Pertempuran pun telah berkobar dimana-mana. Sementara itu, Ki Manuhara yang melihat kehadiran anak-anak muda itu pun berteriak, “Kau memang bodoh. Kau libatkan anak-anak muda Tanah Perdikan. Mereka akan terbantai di sini. Dan kau-lah yang harus bertanggung jawab.”

“Kau mulai cemas,” desis Ki Jayaraga singkat. Namun kata-kata itu membuat Ki Manuhara semakin tersinggung.

Karena itu, maka Ki Manuhara pun dengan cepat meningkatkan serangan-serangannya pula. Apalagi Ki Manuhara menyadari bahwa lawannya memiliki ilmu yang sangat tinggi pula.

Dalam pada itu, seorang murid Ki Manuhara dengan tangkasnya telah melintasi pendapa dan langsung masuk ke ruang dalam melalui pintu yang sudah dipecahkan itu.

Tetapi ia terkejut. Di dalam rumah itu, ia sama sekali tidak menemukan perempuan yang ketakutan. Tetapi di ruang dalam seorang perempuan telah menunggunya dengan tongkat baja putih. Namun kening murid Ki Manuhara itu berkerut ketika ia melihat hiasan pada tongkat baja putih itu. Sebuah tengkorak kecil yang kekuning-kuningan.

“Darimana kau temukan tongkat itu?” desis orang yang memasuki ruang dalam itu.

Sekar Mirah yang telah siap pula justru bertanya, “Kau pernah melihat tongkat seperti ini?”

Orang itu termangu-mangu. Namun ia tidak mendapat kesempatan lebih banyak untuk merenung. Ketika tongkat baja itu berputar, maka orang itu harus bersiap menghadapinya.

Sementara itu Rara Wulan pun telah bersiap pula. Namun ia masih berdiri di sudut dengan sebilah pedang di tangannya. Sedang anak yang membantu di rumah itu pun ternyata tidak menjadi ketakutan. Ia telah mendapatkan parang yang sering dipergunakannya untuk membelah kayu. Bahkan ia sudah mengacu-acukan parangnya itu.

“Duduklah,” desis Rara Wulan.

Tetapi anak itu tidak mau duduk. Ia berdiri di belakang Rara Wulan dengan senjata di tangannya.

Sejenak kemudian maka Sekar Mirah pun telah menyerang orang yang memasuki rumahnya itu. Tongkatnya berputaran, sementara ruangannya tidak cukup luas. Karena itu keduanya harus bergerak dengan cepat. Menangkis dan menghindar. Bahkan Sekar Mirah telah berloncatan pula di atas amben bambunya, Namun ia sudah berlatih untuk berbuat demikian. Di dalam sanggar rumah Agung Sedayu itu memang terdapat sebuah amben yang sudah tua, justru sebagai tempat berlatih berloncatan dan bertempur di atasnya.

Ternyata lawannya tidak mempunyai ketangkasan seperti Sekar Mirah, sehingga jika orang itu juga mencoba meloncat ke atas amben bambu itu, maka rasa-rasanya amben bambu itu akan berpatahan, sehingga orang itu pun dengan cepat meloncat turun. Ia tidak mampu mengatur keseimbangannya jika ia tetap berada di atas amben itu.

Dengan demikian, maka murid Ki Manuhara itu pun beberapa saat kemudian telah mengalami kesulitan. Selain tangkas dan bergerak cepat, ternyata perempuan yang besenjata tongkat baja putih itu juga memiliki kekuatan yang sangat besar.

Sebenarnyalah Sekar Mirah yang telah membangunkan kekuatan cadangan di dalam dirinya, seakan-akan menjadikan kekuatannya berlipat ganda. Karena itulah, maka murid Ki Manuhara itu pun segera menyadari bahwa ia berhadapan dengan seorang perempuan yang berilmu tinggi.

Beberapa saat kemudian, murid Ki Manuhara itu menjadi semakin mengalami kesulitan menghadapi tongkat baja putih itu. Jika Sekar Mirah meloncat ke atas amben bambu, maka orang itu sama sekali tidak berani menyusulnya. Bahkan ia berusaha untuk memancing Sekar Mirah turun dari amben bambu itu.

Sambil tertawa Sekar Mirah berkata, “Marilah. Kenapa kau ragu-ragu? Agaknya kau biasanya terlalu merendahkan seorang perempuan, sehingga kau terkejut bertemu dengan seorang perempuan yang tidak menggigil ketakutan melihat tampangmu yang keras dan kasar itu.”

“Iblis betika kau,” geram orang itu, “kau akan menyesal karena kau mencoba melawan aku.”

“Jangan berkata begitu Ki Sanak,” desis Sekar Mirah, “siapakah yang mulai menyesal sekarang ini?”

Orang itu menggeram. Sambil berteriak ia menyerang Sekar Mirah dengan garangnya. Namun ketika senjatanya membentur tongkat baja putih di tangan Sekar Mirah, maka hampir saja senjatanya terlepas dari tangannya.

Karena itu, maka ia telah meloncat surut untuk memperbaiki pegangannya atas senjatanya.

Pada saat yang demikian, selagi orang itu membelakangi Rara Wulan dan anak yang membantu di rumah Agung Sedayu itu, maka anak itu telah mengayunkan parangnya. Hampir saja parang itu terayun dan mengenai punggung orang yang didesak oleh Sekar Mirah dan hampir kehilangan senjatanya itu. Namun pedang Rara Wulan telah menahan parang itu sehingga anak itulah yang justru mengaduh karena telapak tangannya menjadi pedih.

“Jangan menyerang dari belakang saat orang itu tidak menyadari kehadiran kita,” berkata Rara Wulan.

Anak itu menjadi marah. Katanya, “Tetapi ia telah menyerang rumah kita.”

“Kita dapat disebut licik,” desis Rara Wulan.

Sekar Mirah justru tertawa. Katanya kepada anak itu, “Jangan bermain api, Nanti tanganmu tersengat panasnya.”

“Nah kau dengar itu?” desis Rara Wulan.

Namun justru murid Ki Manuhara itu menjadi heran. Bahkan ia telah bertanya, “Kenapa kau cegah parang itu mengenai punggungku?”

“Kami harus mengajarinya bersikap sebagai seorang laki-laki, meskipun aku dan adikku itu seorang perempuan,” jawab Sekar Mirah.

“Kalian telah menghina dan mempermainkan aku,” geram orang itu.

“Bukan maksud kami. Kami sama sekali tidak berpikir tentang Ki Sanak. Tetapi kami berpikir tentang anak itu,” jawab Sekar Mirah.

Orang itu tidak menjawab. Tiba-tiba saja ia bersuit nyaring tiga kali.

Isyarat itu memang membuat Sekar Mirah dan Rara Wulan berdebar-debar. Mereka tidak tahu artinya dengan pasti. Tetapi tentu akan terjadi perubahan, khususnya di ruang dalam itu.

Sebenarnyalah isyarat itu adalah isyarat untuk mendapatkan bantuan. Orang-orang yang bertempur di luar rumah Agung Sedayu juga mendengar isyarat itu.

Meskipun pertempuran di halaman rumah itu rasa-rasanya masih belum dapat diketahui siapakah yang akan menang, namun salah seorang saudara seperguruan dari murid minta bantuan segera berusaha untuk meloncat ke pendapa dan melintas memasuki pintu yang terbuka itu. Seorang pengawal Tanah Perdikan itu memang mengejarnya. Namun murid Ki Manuhara itu dengan cepatnya telah berada di ruang dalam.

Namun perlahan-lahan ia harus bergeser ke pintu butulan dan bahkan agak tersudut, ketika sebilah pedang tiba-tiba telah bergetar di hadapannya. Rara Wulan seakan-akan dengan sengaja telah menjemputnya dan mendesaknya ke sudut.

Pengawal yang bergerak memasuki ruang dalam itu tertegun. Ia sempat meihat bagaimana Sekar Mirah mendesak lawannya pula, sementara Rara Wulan telah menghadapi orang yang baru saja memasuki ruangan itu, sementara anak yang tinggal di rumah Agung Sedayu itu masih mengacu-acukan parangnya.

“Tolong, jaga anak itu,” desis Rara Wulan.

“Aku tidak usah dijaga!” anak itu berteriak.

“Jangan keras kepala. Nanti telingamu diputar Kakang Agung Sedayu,” sahut Sekar Mirah.

Saat yang pendek itu telah dipergunakan sebaik-baiknya oleh lawan Sekar Mirah. Dengan hentakan yang cepat maka ia telah menyerang, sehingga Sekar Mirah memang agak terkejut karenanya. Tetapi ia masih sempat dengan tangkas menghidar. Satu loncatan kecil telah melemparkannya ke atas amben bambu di ruang dalam itu.

Tetapi lawan Sekar Mirah sama sekali tidak mendesaknya lagi. Ia justru mempergunakan saat yang terbuka itu untuk menyelamatkan diri. Dengan serta merta mereka berlari keluar dari ruang dalam itu.

Sekar Mirah tidak melepaskannya. Iapun segera memburu keluar. Ternyata orang itu memang tidak dapat dengan mudah melepaskan diri dari Sekar Mirah, sehingga di pendapa ia harus bertempur untuk melindungi dirinya lagi dari kejaran tongkat baja putih Sekar Mirah.

Di ruang dalam, murid Ki Manuhara yang berhadapan dengan Rara Wulan pun telah mulai menyerang. Demikian cepatnya sambil menghentakkan segenap kemampuannya, sehingga Rara Wulan bergeser surut. Tetapi sejenak kemudian, gadis itu pun menjadi mapan. Pedangnya segera berputaran dengan cepatnya. Sekali-sekali ujung pedang itu mematuk dengan cepatnya bagaikan kepala seekor ular bandotan.

Tetapi lawannya, murid Ki Manuhara, juga sudah menempa diri untuk beberapa lama. Karena itu, maka iapun telah mampu menempatkan dirinya bertempur di ruang yang sempit itu. Apalagi Rara Wulan masih belum setangkas Sekar Mirah.

Karena itu, Rara Wulan tidak dapat mendesak lawannya sebagaimana dilakukan oleh Sekar Mirah. Nampaknya murid Ki Manuhara itu telah cukup lama berguru. Ia tentu merupakan salah seorang murid pilihan, sehingga ia telah ditunjuk untuk menyertai gurunya mengambil dua orang anak muda yang harus dilenyapkan itu.

Beberapa saat Rara Wulan yang belum terlalu lama berlatih dengan sungguh-sungguh dalam olah kanuragan itu ternyata telah terdesak. Meskipun ia masih akan mampu bertahan beberapa lama, tetapi lawannya itu memang selapis lebih tinggi daripadanya.

Ketika Rara Wulan berada dalam kesulitan, maka anak muda yang berdiri termangu-mangu di sebelah anak yang memegang parang itu tidak dapat berdiam diri saja. Karena itu maka katanya kepada anak yang memegang parang itu, “Hati-hatilah, yang terjadi bukan semacam permainan binten atau mbek-mbekan. Tetapi senjata-senjata itu akan mampu membunuhmu. Lebih baik kau lepaskan parang itu dan duduk saja di sudut.”

Tetapi anak muda itu tidak menunggu jawaban anak itu. Dengan tangkasnya pengawal terpilih dari Tanah Perdikan itu segera meloncat bergabung dengan Rara Wulan melawan murid Ki Manuhara itu. Dengan demikian maka keseimbangan beralih. Murid Ki Manuhara itu ternyata mengalami kesulitan untuk bertempur melawan dua orang di tempat yang sempit. Karena itu maka iapun berusaha untuk dapat keluar dari ruang dalam itu.

Dalam pada itu di halaman, pertempuran pun menjadi semakin sengit. Kiai Samepa benar-benar telah berhadapan dengan murid Orang Bercambuk.

“Kenapa tidak kau panggil gurumu untuk melindungi adikmu itu?” bertanya Kiai Samepa yang menyerang Agung Sedayu dengan cepatnya. Tangannya terayun hampir saja menyambar wajah Agung Sedayu yang sempat berpaling. Jika saja kukunya yang tajam itu mengenai kulit wajahnya, maka Agung Sedayu akan mengalami kesulitan. Darah tentu akan mengalir dari kulitnya yang terkoyak, yang akan dapat menutup pandangan matanya. Selain perasaan pedih, maka luka itu akan meninggalkan bekas, seandainya Agung Sedayu dapat lolos dari tangan Kiai Samepa itu.

Agung Sedayu bergeser selangkah surut, la sempat melihat kuku-kuku jari tangan Ki Samepa yang mengembang.

Ternyata Ki Samepa menyadari bahwa Agung Sedayu memperhatikan kuku-kukunya. Karena itu maka iapun berkata, “Jangan heran. Bukan dari jari-jariku tumbuh kuku-kuku baja yang tajam seperti itu. Tetapi aku sempat membuatnya agar aku dapat mengoyak wajahmu. Lihat, jari-jari tanganku yang sebelah kanan ditumbuhi kuku-kuku sewajarnya.”

“Kau tidak yakin akan kekuatan dan kemampuan tubuhmu sendiri, sehingga kau perlu membuat kuku-kuku dari baja itu,” desis Agung Sedayu.

“Hampir semua orang tidak yakin. Ternyata mereka juga bersenjata,” jawab Kiai Samepa.

“Kau benar,” desis Agung Sedayu, “Guru juga bersenjata cambuk.”

“Nah, sekali lagi aku bertanya, dimana gurumu?” desis Kiai Samepa.

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia yakin bahwa Kiai Samepa memang mengenal gurunya, meskipun nampaknya umurnya tidak sebaya. Meskipun Kiai Samepa sudah berangkat tua, tetapi ia masih jauh lebih muda dari Kiai Gringsing. Karena itu maka Agung Sedayu pun bertanya, “Apakah kau mengenal Guru? Atau gurumu pernah berhubungan dengan guruku?”

Kiai Samepa tertawa. Katanya, “Jika ia ada, aku ingin melawannya. Itu saja.”

Tetapi Agung Sedayu menjawab, “Biar aku sajalah yang mewakilinya. Meskipun kemampuanku belum apa-apa dibandingkan dengan guru, tetapi aku akan berbuat atas namanya.”

Kiai Samepa menggeram. Katanya dengan nada tinggi, “Kau anak yang sombong. Tetapi baiklah. Dengan membunuh murid-murid utamanya, maka Perguruan Orang Bercambuk itu akan lenyap pula pada akhirnya.”

“Seandainya Guru datang kemari, bukankah kau juga akan dianggapnya masih terlalu muda untuk melawannya?” desis Agung Sedayu kemudian.

Kiai Samepa tidak menjawabnya lagi. Kembali tangan kirinya menyambarnya. Tetapi Agung Sedayu masih sempat juga mengelak.

Sejenak kemudian keduanya telah terlibat lagi dalam pertempuran yang sengit. Ternyata Kiai Samepa memang terlalu garang. Ia berloncatan sambil menghentak-hentak. Tangannya berputaran menyerang dengan cepatnya. Apalagi tangan kirinya, yang diberinya semacam kuku dari baja yang runcing dan tajam.

Namun Agung Sedayu mampu bergerak cepat pula, sehingga serangan-serangan Kiai Samepa tidak menyentuhnya. Namun sebaliknya, Agung Sedayu pun merasa sulit untuk mengenainya.

Semakin lama keduanya bergerak semakin cepat, melampaui kecepatan gerak burung sikatan menyambar belalang.

Kiai Samepa yang merasa memiliki ilmu yang sangat tinggi itu memang mampu bergerak dengan kecepatan melampaui kecepatan gerak orang lain. Tubuhnya menjadi seakan-akan lebih ringan. Bobotnya seakan-akan menjadi susut. Tangannya seakan-akan menjadi semakin panjang dan bahkan seolah-olah terjulur kemana Agung Sedayu bergeser

Tetapi yang menjadi gelisah bukannya Agung Sedayu. Justru Kiai Samepa, yang merasa dirinya memiliki kemampuan bergerak lebih cepat dari setiap orang. Ilmunya memang memungkinkannya berbuat demikian, sehingga dalam setiap pertempuran, lawannya akan mengalami kesulitan untuk menghindari serangan-serangannya apabila ia sudah sampai pada tataran kemampuan puncaknya.

Mula-mula Kiai Samepa ingin mendesak Agung Sedayu untuk menunjukkan betapa Perguruan Orang Bercambuk tidak mampu berbuat apa-apa menghadapi ilmunya.

Ternyata Agung Sedayu tidak mengalami kesulitan karenanya. Seakan-akan Agung Sedayu hanya perlu sekedar menyesuaikan dirinya saja, sehingga pertempuran itu menjadi semakin cepat.

Kiai Samepa tidak menduga sama sekali bahwa Agung Sedayu memiliki kemampuan ilmu meringankan tubuhnya, sehingga iapun seakan-akan tidak lagi diganggu oleh bobot tubuhnya, sehingga ia tidak banyak mengalami kesulitan untuk mengimbangi kecepatan gerak Kiai Samepa.

Karena itulah maka Kiai Samepa yang memiliki tanggapan yang tajam atas ilmu lawannya segera mengetahui, bahwa kecepatan geraknya tidak akan mampu menggoyahkan pertahanan murid utama Orang Bercambuk itu. Bahkan semakin lama Kiai Samepa menyadari bahwa murid Orang Bercambuk itu tidak akan dapat dikalahkannya hanya dengan kecepatan geraknya saja.

Dengan demikian maka Kiai Samepa yang memiliki senjata pada ujung jari-jari tangan kirinya itu harus berusaha untuk mempergunakan senjata yang lain. Kuku-kuku bajanya tidak dapat diandalkannya untuk menundukkan lawannya yang masih terhitung muda itu.

Itulah sebabnya, di samping kuku-kukunya yang tajam di-tangan kiri, maka tangan kanannya pun telah menggenggam senjata pula. Sebilah pedang yang pendek dan yang ternyata tajam di kedua sisinya.

Namun, demikian pedang pendek itu berada di tangan Kiai Samepa, maka Agung Sedayu menjadi berdebar-debar, karena ia melihat seutas rantai yang terkait pada tangkai pedang pendek itu, sedangkan ujung rantai itu bergelang dan dikenakannya pada pergelangan tangan kanannya itu.

“Pedang itu tentu dapat terbang,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.

Sebenarnyalah sebelum Agung Sedayu berbuat sesuatu, maka Kiai Samepa telah menunjukkan kemampuannya mempergunakan senjatanya itu.

Hampir saja ujung pedang pendek Kiai Samepa itu menyambar wajah Agung Sedayu. Untunglah Agung Sedayu mempunyai kemampuan bergerak cepat sekali. Demikian pedang pendek itu terbang mematuk wajahnya, maka dengan cepat Agung Sedayu telah bergeser ke samping. Meskipun ia dapat menduga panjang rantai yang terkait di tangkai pedang pendek itu, namun ia masih belum tahu apa yang dapat dilakukan oleh Kiai Samepa dengan senjatanya yang menggetarkan itu.

Namun Kiai Samepa tidak ingin melepaskan Agung Sedayu, justru saat lawannya itu belum mengenal senjatanya itu dengan baik.

Karena itu, maka pedang yang ditariknya sendal pancing itu tidak segera ditangkapnya, tetapi pedang itu bagaikan melayang berputaran dan sekali lagi menyambar wajah Agung Sedayu.

Agung Sedayu meloncat surut. Dengan kecepatan yang sangat tinggi karena tubuhnya yang seakan-akan tidak berbobot, Agung Sedayu telah melenting mengambil jarak.

Agung Sedayu termangu-mangu ketika ia melihat lawannya memutar pedangnya pula seperti baling-baling di atas kepalanya. Rantai pedangnya itu seakan-akan semakin lama menjadi semakin pendek.

Tetapi Agung Sedayu sama sekali tidak lengah. Ia sadar bahwa lawannya itu memiliki kemampuan yang sangat tinggi, sehingga senjatanya itu akan dapat menjadi sangat berbahaya.

Sebenarnyalah ketika rantai itu menjadi tinggal sejengkal, maka orang itu telah meloncat dengan kecepatan yang sangat tinggi, seakan-akan terbang menyambar langsung tubuh Agung Sedayu. Sementara itu pisaunya telah meluncur mematuk ke arah jantung.

Agung Sedayu memang agak terkejut melihat serangan itu. Karena itu maka iapun telah mengerahkan kemampuan ilmunya untuk meringankan tubuhnya. Dengan segenap kemampuannya Agung Sedayu telah meloncat tinggi-tinggi, dan sekali berputar di udara justru ke arah yang berlawanan. Ternyata Agung Sedayu mampu meloncat lebih tinggi dari Ki Samepa, sehingga karena itu maka seakan-akan kedua orang itu telah berlaga di udara.

Tetapi ternyata bahwa baik Ki Samepa maupun pedang pendeknya sama sekali tidak menyentuh Agung Sedayu. Bahkan pakaiannyapun tidak.

Ki Samepa menjadi sangat marah, sehingga di luar sadarnya ia telah berteriak nyaring. Bahkan kemudian umpatan yang kasar telah terloncat dari mulutnya.

Ki Manuhara dan para muridnya yang telah mengenal sifat-sifatnya segera mengetahui, bahwa kemarahan Ki Samepa telah sampai ke puncaknya. Teriakan nyaring dan umpatan kasar, seakan-akan telah menjadi cirinya jika kemarahannya telah sampai ke ubun-ubun.

Sementara itu, Agung Sedayu mulai merasa kesulitan menghadapi pedang pendek Ki Samepa yang seakan-akan dapat terbang itu. Pedang yang mampu melayang-layang, menyambar sambil menukik tajam, bahkan kemudian mematuk secepat kepala ular bandotan.

Karena itu maka demikian kaki Agung Sedayu menginjak tanah, maka tangannya pun telah menggenggam sebuah cambuk. Tangkainya di tangan kanan, sedangkan ujungnya yang berjuntai di tangan kirinya.

Ki Samepa yang dengan cepat mempersiapkan dirinya untuk menyerang, tiba-tiba saja telah dikejutkan oleh ledakan cambuk Agung Sedayu yang bagaikan ledakan petir di udara. Namun Ki Samepa pun kemudian justru berdiri tegak sambil menimang pedang pendeknya. Senyumnya justru nampak menghiasi bibirnya yang baru saja meneriakkan umpatan kasar.

“Ledakan cambukmu memang memekakkan telinga. Tetapi sama sekali tidak menggetarkan jantungku. Aku juga sering mendengar gembala di padang rumput bermain-main dengan cambuk dan meledakkan cambuknya sekeras ledakan cambukmu. Aku juga pernah mendengar sais pedati yang melecut lembunya dengan menghentakkan cambuk sekeras hentakkan cambukmu. Karena itu, ternyata murid utama Perguruan Orang Bercambuk itu sama sekali tidak memiliki kelebihan apapun.”

Agung Sedayu berdiri termangu-mangu, Namun kemudian iapun tersenyum pula sambil menjawab, “Kau benar, Ki Sanak. Aku juga pernah mendengar orang lain membunyikan cambuknya sekeras bunyi cambukku. Tetapi mudah-mudahan nanti kau dapat mengenali perbedaan antara cambukku dan cambuk para gembala dan sais pedati.”

“Ya, ya, aku setuju,” jawab Ki Samepa, “tetapi apa yang selanjutnya terjadi jangan menyakiti hatimu. Kau harus menerima kenyataan bahwa cambuk dari perguruan Orang Bercambuk itu memang tidak lebih dari cambuk para gembala dan sais pedati.”

Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Iapun dengan penuh kewaspadaan telah memperhatikan gerak pedang pendek yang masih ditimang-timang oleh Ki Samepa. Namun juga gerak tubuh Ki Samepa itu sendiri.

Sementara itu, Ki Samepa telah bersiap pula untuk menyerang. Di mulutnya masih tersisa senyumnya yang mengejek kemampuan lawannya yang masih dianggapnya terlalu muda untuk melawannya itu, meskipun ia adalah murid utama dari perguruan Orang Bercambuk.

Dalam pada itu, sejenak kemudian maka pedang pendek Ki Samepa telah mulai bergerak lagi. Perlahan-lahan, namun semakin lama menjadi semakin cepat,

Ketika Ki Samepa siap melontarkan pedang pendeknya, maka Agung Sedayu pun telah menghentakkan cambuknya pula. Sekali lagi terdengar ledakan yang memekakkan telinga.

Ki Samepa memang urung menyerang. Namun ia masih juga dapat tertawa sambil berkata, “Kau hanya dapat mengejutkan lawanmu. Tetapi kau tidak dapat berbuat demikian terus-menerus. Pada suatu saat aku akan terbiasa dengan bunyi cambukmu. Dan itu adalah pertanda bahwa perlawananmu akan berakhir.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia sudah bersiap untuk menghadapi pertempuran berikutnya. Namun Agung Sedayu menyadari sepenuhnya bahwa yang akan terjadi adalah puncak dari pertarungan ilmu yang dahsyat.

Sementara itu pertempuran di halaman rumah Agung Sedayu itu semakin lama menjadi semakin sengit. Masing-masing pihak telah menunjukkan kemampuan mereka yang tinggi. Mereka berusaha untuk mengatasi ilmu lawan-lawan mereka masing-masing dengan meningkatkan ilmu mereka mendekati puncak kemampuan mereka. Namun pada umumnya mereka masih ingin membuat perbandingan ilmu dengan lawan-lawan mereka, sehingga mereka tidak langsung melepaskan ilmu-ilmu puncak mereka. Namun setelah beberapa lama mereka bertempur dan tidak dapat mengalahkan lawan-lawan mereka, maka barulah mereka merambah ke ilmu puncak masing-masing.

Dalam pada itu, Ki Patitis dan Ki Tangkil merasa bahwa tugasnya menjadi sangat berat. Mereka berhadapan langsung dengan anak-anak muda yang mereka cari. Dua orang anak muda yang disebut Pembunuh Lembu Jantan itu. Kedua orang anak muda itu tidak boleh lolos dari tangan mereka. Keduanya harus dapat ditangkap hidup atau mati.

Karena itu, maka baik Ki Patitis maupun Ki Tangkil harus mengerahkan kemampuan mereka untuk melakukan tugas mereka itu,

Dalam pertempuran yang terjadi kemudian, maka ternyata bahwa anak-anak muda itu benar-benar anak-anak muda yang memiliki ilmu yang tinggi. Ki Patitis memang terkejut ketika serangan-serangannya yang pertama sama sekali tidak berarti. Anak muda itu dengan mudahnya menghindarkan diri dari garis serangannya. Kecepatan geraknya jauh melampaui dugaannya.

Karena itu, maka Ki Patitis tidak mau membuang waktu terlalu banyak. Ia merasa bertanggung jawab atas keberhasilan tugas mereka dalam keseluruhan. Jika ia gagal menangkap lawannya hidup atau mati, maka gagal-lah tugas seluruhnya. Apa yang mereka lakukan dalam kelompok yang besar itu tidak berarti sama sekali, selain melemparkan beberapa korban tanpa arti.

Ki Tangkil pun menjadi tegang sejak ia mulai melangkahkan kakinya dalam pertempuran yang keras itu. Lawannya masih muda. Bahkan menurut pendapatnya masih terlalu muda. Tetapi ternyata dalam umurnya yang masih muda itu, ia telah memiliki bekal ilmu yang tinggi. Serangan-serangannya tidak segera dapat mengenai lawannya yang semula dianggapnya tidak akan dapat memberikan perlawanan terlalu lama. Namun ternyata dugaannya itu keliru. Anak muda yang telah berhasil membunuh lembu jantan itu benar-benar seorang anak muda yang mumpuni.

Namun Ki Tangkil juga orang yang berilmu tinggi. Dengan mengerahkan ilmunya ia berusaha untuk mengatasi kemampuan lawannya yang masih sangat muda itu.

Tetapi ternyata bahwa Ki Tangkil telah menemui kesulitan sebagaimana Ki Patitis. Bahkan hampir semua orang yang datang ke rumah Agung Sedayu itu mengalami kesulitan. Apalagi lawan Sekar Mirah. Bahkan mereka yang harus bertempur melawan para pengawal pun mengalami kesulitan pula. Para pengawal terpilih telah bertempur berpasangan, apalagi setelah beberapa orang pengawal yang meronda ikut memasuki halaman rumah Agung Sedayu itu.

Ternyata Ki Manuhara yang memiliki pengalaman yang luas itu tanggap akan keadaan yang dihadapinya. Ia sadar bahwa lawannya benar-benar seorang yang berilmu tinggi. Demikian pula lawan Ki Samepa. Murid Orang Bercambuk itu adalah lawan yang sangat berat bagi Ki Samepa. Meskipun mula-mula ledakan cambuknya hanya sekedar memekakkan telinga, tetapi orang-orang yang berilmu tinggi itu menyadari, bahwa anak yang dianggap masih sangat muda dalam lingkungan orang-orang berilmu itu memiliki kemampuan yang lebih tinggi.

Karena itu, maka Ki Manuhara telah mengambil satu keputusan untuk memanggil orang-orangnya yang ditinggalkannya di luar padukuhan. Sehingga dengan demikian maka Ki Manuhara telah berniat untuk membuka satu medan yang jauh lebih besar dari sekedar menangkap kedua orang anak muda yang digelari Pembunuh Lembu Jantan itu.

Dengan demikian Ki Manuhara ingin mempengaruhi lawannya dan orang-orangnya di halaman itu, agar perhatian mereka terpecah karena sergapan orang-orangnya akan mengacaukan seluruh padukuhan induk Tanah Perdikan.

Dengan demikian maka Ki Manuhara pun tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun segera memerintahkan orang-orang yang telah ditunjuknya untuk melepaskan isyarat.

Sebenarnyalah orang-orang itu pun segera melakukan tugas mereka, karena mereka pun merasa betapa tekanan orang-orang Tanah Perdikan itu semakin lama seakan-akan semakin tidak tertahankan lagi.

Karena itu maka dengan serta merta maka tiga anak panah sendaren telah meloncat ke udara, susul menyusul dari sebuah busur, seakan-akan menjerit di udara.

Namun isyarat yang ditujukan kepada sepasukan pengikut Ki Manuhara yang berada di luar padukuhan induk itu telah didengar oleh para pengawal Tanah Perdikan. Maka mereka pun telah tanggap pula. Panah sendaren itu tentu mempunyai hubungan dengan sekelompok orang yang telah diamati oleh pengawal yang bertugas untuk itu.

Sebenarnyalah, demikian panah sendaren itu menjerit, maka sekelompok pengikut Ki Manuhara yang cukup kuat dan menunggu dengan tidak sabar di luar padukuhan segera mulai bergerak.

Tetapi bersamaan dengan itu, maka Prastawa yang selalu waspada pun telah memerintahkan anak-anak muda Tanah Perdikan untuk bergerak pula.

Dengan sigapnya para pengawal yang hampir menjadi jemu setelah menunggu untuk beberapa hari itu, segera bergerak pula. Seperti air yang mengalir mereka justru keluar dari regol padukuhan induk menyongsong sekelompok pengikut Ki Manuhara.

Tetapi ternyata para pengikut Ki Manuhara tidak memasuki padukuhan induk lewat regol padukuhan. Mereka dengan serta merta telah berloncatan memasuki padukuhan induk dengan memanjat dinding padukuhan.

Dengan demikian maka para pengawal dan anak-anak muda padukuhan induk itu pun segera menyesuaikan diri. Sebagian dari mereka segera kembali masuk ke padukuhan induk dan menyongsong orang orang yang telah berada di dalam dinding padukuhan. Sedang beberapa orang yang lain masih sempat meloncati dinding padukuhan.

Dengan demikian maka pertempuran pun telah merambat dan terjadi di luar halaman rumah Agung Sedayu, sehingga orang-orang padukuhan induk itu menjadi sangat terkejut karenanya. Mereka sama sekali tidak mengira bahwa tiba-tiba saja padukuhan mereka telah digemparkan oleh pertempuran yang seru di lorong-lorong yang membelah padukuhan itu. Bahkan terjadi juga di halaman-halaman rumah. Namun para pengawal sempat meneriakkan peringatan agar orang-orang di padukuhan induk itu tidak gelisah.

“Kami, para pengawal telah bersiap melindungi kalian!” teriak para pengawal.

“Jangan gelisah dan jangan takut!” teriak yang lain.

Namun demikian, perempuan-perempuan pun segera memeluk anak-anak mereka yang masih kecil, sementara laki-laki yang tidak termasuk dalam pasukan pengawal dan sudah tidak terhitung muda lagi, telah mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan. Jika para pengawal dan anak-anak muda padukuhan induk itu memerlukan, maka mereka tentu akan segera keluar dari rumah mereka. Apalagi mereka yang bekas pengawal Tanah Perdikan atau bekas prajurit, sebagaimana Ki Gede Menoreh sendiri. Meskipun umurnya sudah di ambang senja, namun mereka masih tetap memiliki tekad seorang prajurit.

Namun ternyata bahwa para pengawal yang cukup banyak di padukuhan induk itu telah mampu menahan arus serangan para pengikut Ki Manuhara. Mereka sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk mencapai rumah Agung Sedayu. Hampir di setiap pintu lorong, simpang tiga dan simpang empat telah dijaga oleh para pengawal. Sehingga demikian mereka memasuki simpangan, maka mereka harus bertempur dengan para pengawal yang siap dengan senjata telanjang.

Meskipun demikian, ternyata ada juga orang-orang yang tidak menuju rumah Agung Sedayu dengan melalui lorong dan jalan-jalan sempit di padukuhan induk itu. Tetapi mereka telah berloncatan melewati dinding-dinding halaman, sehingga ada satu dua orang yang lolos sehingga mereka dapat mencapai sasaran.

Sementara itu pertempuran di halaman rumah Agung Sedayu semakin lama menjadi semakin sengit. Orang-orang berilmu tinggi itu telah mengerahkan kemampuannya, sementara Ki Manuhara menunggu hasil isyarat yang telah dilontarkan kepada para murid dan pegikutnya yang berada di luar padukuhan.

Namun ternyata bahwa pengaruh itu tidak segera nampak. Hanya ada satu dua orang saja yang memasuki halaman. Meskipun mereka berteriak-teriak untuk menyatakan kehadiran mereka, namun sama sekali tidak mempengaruhi pertempuran itu. Keseimbangan pertempuran itu masih saja tidak berubah. Satu dua orang pengikut Ki Manuhara yang memasuki halaman rumah itu, selalu diikuti oleh kehadiran satu dua orang pengawal.

Ki Manuhara yang mampu memperhitungkan keadaan medan memang menjadi gelisah. Bahkan Ki Samepa dan para pemimpin yang lain pun menjadi gelisah pula. Apa yang mereka hadapi di halaman rumah itu sama sekali jauh lebih berat dari yang mereka bayangkan. Ki Samepa sama sekali tidak menduga bahwa ia akhirnya benar-benar berhadapan dengan seorang yang berilmu sangat tinggi. Bahkan lebih tinggi dari dugaannya atas kemampuan Orang Bercambuk itu sendiri. Murid utamanya kini bahkan telah mempergunakan kemampuan ilmu yang tidak dilihatnya pada jenis-jenis ilmu dari Orang Bercambuk.

Ki Patitis dan Ki Tangkil pun rasa-rasanya tidak mempunyai harapan untuk dapat mengalahkan lawan-lawan mereka. Padahal mereka menyadari, bahwa kedua orang itulah yang sebenarnya menjadi sumber persoalan sehingga Ki Manuhara dan para pengikutnya hadir di Tanah Perdikan Menoreh.

Karena itu, maka baik Ki Patitis maupun Ki Tangkil telah bertekad untuk bertempur sampai kemungkinan yang penghabisan. Mereka sadar, bahwa mereka bertanggung jawab atas keberhasilan tugas mereka di Tanah Perdikan Menoreh itu. Jika mereka gagal, maka tebusannya hanyalah nyawa mereka.

Tetapi mereka masih berharap, jika pasukan yang ada di luar padukuhan induk itu datang membantu, maka mereka masih mempunyai kemungkinan untuk berhasil.

Telapi seperti Ki Manuhara, mereka pun menjadi berkecil hati, bahwa orang-orang yang berada di luar padukuhan tidak dapat berbuat banyak.

Sebenarnyalah, meskipun orang-orang yang ada di halaman itu sudah menunggu, bahkan menurut perhitungan mereka sudah terlalu lama, namun masih belum cukup banyak pengikut Ki Manuhara yang berhasil masuk ke halaman rumah Agung Sedayu.

Karena itu, maka Ki Manuhara telah memutuskan untuk mempergunakan cara yang terakhir. Cara yang paling kasar yang dapat ditempuhnya.

Namun Ki Manuhara tidak mempunyai pilihan lain. Karena itu maka tanpa ragu-ragu Ki Manuhara telah menjatuhkan perintah kepada pengikutnya yang telah ditunjuk untuk melontarkan isyarat bahwa pertempuran telah sampai ke babak yang paling kasar yang akan dilakukan oleh Ki Manuhara dan para pengikutnya.

Demikianlah, maka sejenak kemudian, beberapa anak panah telah lepas lagi ke udara. Bukan panah sendaren sebagaimana telah dilepaskan sebelumnya. Tetapi panah yang ujungnya dibalut dengan kain berminyak dan kemudian dinyalakan. Panah api.

Orang-orang yang sedang bertempur itu pun menjadi terkejut karenanya. Mereka yakin, bahwa yang terbang di udara itu tentu merupakan isyarat sebagaimana sebelumnya. Tetapi mereka pun tidak tahu, arti dari isyarat itu.

Namun kemudian terdengar Ki Manuhara berteriak, “Aku terpaksa mempergunakan cara yang terakhir, yang tidak biasa aku lakukan! Tetapi kali ini, aku akan melakukannya karena aku tidak mempunyai pilihan lain. Aku tidak mau mengulangi kegagalan yang telah terjadi di rumah Ki Lurah Branjangan.”

“Apa yang akan kau lakukan?” bertanya Ki Jayaraga.

“Apapun. Namun yang penting bagi kami adalah kedua orang anak muda itu. Jika keduanya kau serahkan kepada kami, maka Tanah Perdikan ini akan diselamatkan. Tetapi jika tidak, maka tebusannya akan sangat mahal sekali. Padahal akhirnya keduanya akan tetap jatuh ketanganku,” jawab Ki Manuhara. Tetapi Ki Jayaraga menjawab tidak kalah lantangnya, “Kami mempunyai kesetia-kawanan yang tinggi. Karena itu, jangan bermimpi bahwa kami akan menyerahkan anak-anak kami. Lebih baik orang-orang tua inilah yang pantas dikorbankan, karena hari depan kami tidak akan sepanjang anak-anak muda itu lagi. Namun bagaimanapun juga kami pasti berusaha untuk menggagalkan rencanamu yang gila itu.”

“Jika itu yang kau kehendaki, maka baiklah. Tanah Perdikan ini akan menjadi karang abang!” teriak Ki Manuhara.

Teriakan itu memang mendebarkan. Namun mereka yang bertempur di halaman itu sama sekali tidak menjadi gemetar oleh ancaman itu.

Sementara itu, panah api yang terbang di udara itu telah memancarkan cahaya kemerahan ke segala arah. Panah api itu sendiri terbang ke empat penjuru, sehingga para pengikut Ki Manuhara dimana pun dapat melihat isyarat yang dilemparkan ke udara itu.

Karena itu, maka langkah-langkah yang mereka ambil pun menjadi jelas. Mereka harus melakukan cara yang paling buruk untuk memaksakan kehendak mereka atas orang-orang yang bertempur di padukuhan induk itu.

Para pengawal yang bertempur di luar dinding halaman rumah Agung Sedayu itu pun menyadari, bahwa isyarat itu tentu akan membuat pertempuran menjadi semakin sengit. Bahkan mungkin akan terjadi hal-hal yang tidak diduga sebelumnya.

Sebenarnyalah yang terjadi memang demikian. Di luar dugaan para pengawal, para pengikut Ki Manuhara seakan-akan telah beruban menjadi liar, Pertempuran menjadi tidak menentu lagi. Bahkan beberapa orang seakan-akan telah hilang di dalam kegelapan.

Namun tiba-tiba terdengar jerit dan teriakan yang menggetarkan jantung. Bukan dari antara mereka yang bertempur. Tetapi jerit perempuan dan bahkan anak-anak.

Ternyata sejenak kemudian, nampak asap naik ke udara. Kemudian disusul lidah api mulai menjilat langit yang kehitam-hitaman.

Para pengawal terkejut melihat kenyataan itu. Ternyata telah timbul kebakaran di padukuhan induk itu. Penghuni rumah yang terbakar itu telah berlari-lari seperti anak ayam kehilangan induknya.

Para pengawal memang cepat tanggap. Sebagian dari mereka segera berlari ke arah api. Sementara yang lain menggapai kentongan dan memukulnya dengan nada titir.

Tanah Perdikan Menoreh, khususnya di padukuhan induk itu, tidak lagi dapat dijaga agar penghuninya tidak menjadi ketakutan. Apalagi ternyata tidak hanya satu dua rumah saja yang terbakar. Tetapi beberapa rumah yang letaknya tidak terlalu berjauhan.

Padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh memang menjadi gempar. Beberapa orang pengawal tidak lagi dapat bertempur, karena mereka harus mengendalikan penduduk yang berlari-larian ketakutan. Namun demikian, setiap laki-laki yang semula berada di dalam rumahnya karena dianggap terlalu tua untuk ikut bertempur, telah turun pula dengan senjata di tangan.

Dengan sigap para pengawal berusaha untuk membawa orang-orang yang ketakutan dan menjadi kalut itu ke banjar padukuhan. Beberapa pengawal telah menjaga banjar itu dengan sebaik-baiknya, sehingga tidak akan terjadi bahwa banjar itu pun akan ikut terbakar pula.

Namun demikian, padukuhan induk itu benar-benar telah menjadi kacau. Para pengawal tidak lagi mampu membendung para pengikut Ki Manuhara agar tidak mencapai halaman rumah Agung Sedayu.

Karena itu maka beberapa orang di antara para pengikut Ki Manuhara telah berhasil mencapai pintu gerbang rumah Agung Sedayu. Beramai-ramai mereka memasuki halaman sambil berteriak-teriak. Dengan demikian mereka berusaha untuk mempengaruhi ketahanan jiwani pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang berada di halaman itu.

Sebenarnyalah, orang-orang yang bertempur di halaman rumah Agung Sedayu itu menjadi gelisah. Mereka melihat cahaya merah menjulang ke langit. Kemudian lidah api yang menjilat dedaunan.

“Gila!” teriak Ki Jayaraga, “Apa yang telah kau lakukan atas padukuhan induk Tanah Perdikan ini?”

“Bukan aku-lah yang bertanggung jawab,” jawab Ki Manuhara, “aku sudah memperingatkan agar kalian tidak membuat padukuhan induk ini menjadi karang abang. Jika kalian menyerahkan kedua orang anak muda itu, maka keadaan yang sangat buruk itu tidak akan terjadi di padukuhan induk ini.”

“Aku sama sekali tidak mengira, bahwa orang yang memiliki ilmu setinggi kau ini masih juga dapat kehilangan nalar dan bertindak dengan liar, bahkan melampaui buasnya serigala,” geram Ki Jayaraga yang dengan marah menyerang Ki Manuhara.

Tetapi Ki Manuhara masih sempat mengelak sambil berkata, “Jika kau serahkan kedua anak itu. maka aku dan orang-orangku akan segera meninggalkan padukuhan induk ini tanpa mengganggu para penghuninya.”

“Kebiadaban itu sudah terlanjur kau lakukan. Kau harus menebusnya,” geram Ki Jayaraga yang serangan-serangannya menjadi semakin garang. Namun bagaimanapun juga Ki Jayaraga tidak dapat menyembunyikan kegelisahannya karena api yang semakin lama menjadi semakin besar. Bahkan di beberapa tempat.

Agung Sedayu pun menggeretakkan giginya. Kemarahannya telah membakar jantungnya pula. Bahkan hampir saja Agung Sedayu kehilangan penalarannya.

“Apaboleh buat,” katanya, “memang tidak ada pilihan lain kecuali menghancurkan mereka semuanya.”

Dengan penuh kesadaran bahwa lawannya adalah orang yang berilmu tinggi pula, maka Agung Sedayu pun telah meningkatkan ilmunya pula. Ketika cambuknya terhentak sendai pancing justru tanpa meledakkan bunyi yang memekakkan telinga, Ki Samepa menjadi semakin berdebar-debar Getaran cambuk yang tidak lagi meledak memekakkan telinga itu terasa telah menampar dada Ki Samepa sehingga terasa nafasnya menjadi sesak.

“Setan kau,” geram Ki Samepa.

“Kita sudah sampai ke batas terakhir dari kesabaran kita masing-masing,” desis Agung Sedayu.

“Kau mencoba untuk menakut-nakuti aku?” desis Ki Samepa.

“Kau sendiri menjadi gelisah. Juga orang yang kau anggap sebagai pemimpinmu, yang telah memberikan perintah yang gila untuk membakar rumah-rumah orang yang tidak bersalah sama sekali,” geram Agung Sedayu.

“Itu adalah tanggung jawab kalian,” jawab orang itu, “jika kalian serahkan kedua orang anak muda itu. maka orang-orang yang tidak bersalah tidak akan terpercik oleh ganasnya api pertempuran ini.”

“Kalian dapat saja melemparkan tanggang jawab. Atau barangkali memang demikian itulah sifat para pengecut. Tetapi setiap orang akan dapat menilai apa yang terjadi di tanah Perdikan ini,” sahut Agung Sedayu.

“Aku tidak peduli penilaian orang lain. Aku dan kawan-kawanku hanya ingin tugas kami dapat kami lakukan dengan baik. Kami harus dapat membawa anak muda itu hidup atau mati,” geram Ki Samepa.

“Aku beri waktu kau sejenak untuk melihat pertempuran antara orang-orangmu dengan kedua orang anak muda yang kau cari itu. Umur mereka tidak akan lama lagi jika orang-orangmu itu tidak mau menyerah saja,” berkata Agung Sedayu kemudian.

“Omong kosong!” teriak Ki Samepa sambil menyerang. Pedangnya berputar di atas kepalanya. Namun kemudian melayang langsung menebas ke arah leher Agung Sedayu.

Tetapi Agung Sedayu terlalu tangkas bagi putaran pedang Ki Samepa. Karena itu, pedang Ki Samepa terbang tanpa menyentuh sasarannya sama sekali. Bahkan Ki Samepa harus dengan tergesa-gesa meloncat mengambil jarak, karena tangan Agung Sedayu mulai menggerakkan cambuknya.

Sebenarnyalah cambuk Agung Sedayu telah menggelepar. Suaranya sama sekali tidak mengejutkan lagi. Tidak pula memekik tinggi. Namun getarannya bagaikan menerpa dada Ki Samepa sehingga terasa nafasnya menjadi sesak sesaat.

Ki Samepa memang menjadi berdebar-debar. Getaran cambuk itu sudah cukup membuat jantungnya berdegup semakin keras. Apalagi jika ujung cambuk itu sempat menyentuh kulitnya.

“Bagus!” teriak Ki Samepa untuk menyembunyikan kegelisahannya. Lalu katanya pula sambil memutar pedang pendeknya, “Tetapi kau tidak akan dapat mengalahkan aku sebelum rumah-rumah di padukuhan induk ini habis menjadi abu.”

Wajah Agung Sedayu memang menegang, ia tidak mampu menyembunyikan kegelisahannya.

Sementara kekacauan di padukuhan induk itu masih berlangsung terus. Orang-orang berlarian kesana-kemari kebingungan. Sementara itu para pengawal harus bekerja keras untuk memenangkan mereka sambil bertempur dengan garangnya.

Dengan demikian maka kesempatan para pengikut Ki Manuhara untuk mencapai halaman rumah Agung Sedayu menjadi lebih besar. Beberapa orang sambil berteriak-teriak telah berebut dahulu menyusup regol halaman dan langsung terjun ke pertempuran.

Melihat kehadiran mereka Ki Manuhara memang menjadi lebih tenang. Bagaimanapun juga orang-orang terpenting Tanah Perdikan yang berilmu tinggi tidak dapat menutup mata, bahwa kehadiran orang-orang itu memang mempengaruhi pertempuran. Apalagi di antara mereka tentu akan mengganggu pula para pemimpin dan orang-orang berilmu tinggi dari Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun kemampuan mereka tidak banyak berarti, tetapi gangguan-gangguan itu akan memberi peluang kepada lawan-lawan mereka yang berilmu tinggi untuk menyerang.

Sementara itu, di luar halaman rumah Agung Sedayu, para pengawal memang menjadi sangat gelisah. Mereka tidak dapat memusatkan perhatian mereka kepada para pengikut Ki Manuhara yang semakin banyak yang berhasil menembus pertahanan para pengawal.

Dalam pada itu, maka peristiwa itu telah didengar pula oleh Ki Gede Menoreh yang tetap tinggal di rumahnya sepanjang keadaan masih dapat dikuasai. Namun laporan tentang orang-orang yang membakar rumah serta kehadiran para pengungsi di rumahnya, membuat wajah Ki Gede menjadi merah. Darahnya serasa mendidih di jantungnya, sehingga karena itu maka iapun telah berteriak memerintahkan menyiapkan kudanya.

Prastawa yang ada di pendapa rumah Ki Gede segera menghampirinya serta bertanya, “Paman akan pergi kemana?”

“Kau dengar laporan itu, bahwa para perampok itu telah membakari rumah orang orang yang tidak tahu menahu persoalannya sama sekali?”

“Sebaiknya Paman tinggal di rumah saja. Aku akan mengatasinya,” berkata Prastawa.

Tetapi Ki Gede yang telah memegang tombak pendeknya itu berkata, “Aku akan pergi.”

Prastawa tahu benar sifat Ki Gede. Karena itu maka ia tidak berusaha mencegah lagi. Tetapi iapun dengan serta merta telah menyiapkan kudanya pula bersama dua orang pengawal terpilih.

Sejenak kemudian, maka empat ekor kuda telah berderap berlarian menyusuri jalan padukuhan.

Ternyata Ki Gede yang usianya sudah semakin tua itu masih tetap garang. Jika dijumpainya para pengikut Ki Manuhara, maka tombak pendeknya segera berputar dan mematuk dengan garangnya tanpa ampun lagi.

Tetapi Ki Gede pun tidak dapat menutup mata terhadap para pengungsi, Dalam keadaan yang kalut itu, maka Ki Gede pun telah membantu para mengungsi untuk pergi ke banjar atau ke rumahnya.

Sementara itu, api pun berkobar dimana-mana. Para pengikut Ki Manuhara benar-benar tidak berjantung lagi. Mereka sama sekali tidak terpengaruh mendengar jerit dan tangis perempuan dan anak-anak.

Sementara itu, pertempuran di halaman rumah Agung Sedayu memang telah menjadi kalut pula. Orang-orang yang menjadi liar dan buas itu menjadi tidak terkendali lagi.

Namun dalam pada itu, selain Ki Gede bersama Prastawa yang marah yang telah turun ke medan, maka nyala api telah nampak pula dari barak Pasukan Khusus Mataram yang ada di Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan prajurit yang bertugas telah melihat pula panah api yang naik ke udara.

“Bukan isyarat dari orang-orang Tanah Perdikan Menoreh,” berkata prajurit yang bertugas itu kepada kawannya.

“Jadi?” desis yang pertama.

“Justru isyarat dari orang-orang lain, yang agaknya orang-orang yang dipancing ke rumah Ki Lurah Agung Sedayu itu.”

Prajurit itu pun segera melaporkan kepada perwira yang bertugas malam itu. Perwira yang sudah mendapat berbagai pesan dari Agung Sedayu itu segera mengeluarkan perintah kepada sekelompok prajurit khusus yang telah dipersiapkan.

Sejenak kemudian, maka kaki-kaki kuda pun telah berderap berpacu dari barak Pasukan Khusus menuju ke padukuhan induk Tanah Perdikan. Apalagi ketika nampak api mulai menjilat langit. Maka kuda-kuda itu pun segera berpacu semakin cepat.

“Agaknya telah terjadi kebakaran di Tanah Perdikan,” berkata perwira yang memimpin sekelompok pasukan itu.

“Tetapi tidak terdengar kentongan bernada tiga ganda. Yang terdengar adalah nada titir,” sahut seorang prajurit.

“Ya. Bukan kebakaran, tetapi rumah-rumah yang dibakar,” desis perwira itu.

Karena itu, maka para prajurit itu pun berusaha secepatnya sampai ke padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.

Dalam pada itu, kekalutan di padukuhan induk semakin menjadi-jadi. Para pengikut Ki Manuhara yang telah berhasil memasuki halaman rumah Agung Sedayu menjadi semakin garang. Para pengawal justru mulai terdesak, karena sebagian para pengawal masih sibuk berjaga-jaga di banjar, yang lain di rumah Ki Gede, sedang yang lain lagi masih berusaha menenangkan kekalutan yang terjadi.

Hanya sebagian kecil saja dari para pengawal yang memasuki halaman rumah Agung Sedayu untuk membantu kawan-kawannya yang terdesak. Sehingga dengan demikian maka pertempuran pun telah memenuhi halaman rumah Agung Sedayu dan melebar sampai ke halaman samping dan kebun di belakang rumah. Bahkan kemudian di jalan di depan rumah Agung Sedayu.

Dengan demikian maka usaha Ki Manuhara untuk mengacaukan pemusatan sasaran orang-orang Tanah Perdikan Menoreh telah berhasil. Agung Sedayu, Ki Jayaraga bahkan Sabungsari dan Glagah Putih menjadi gelisah melihat pertempuran yang menjadi semakin kisruh.

Beberapa orang pengikut Ki Manuhara yang merasa memiliki sedikit kelebihan, telah mulai mengganggu Ki Jayaraga, Agung Sedayu, Sabungsari dan Glagah Pulih. Orang-orang itu berusaha mengacaukan perlawanan mereka agar Ki Manuhara dan orang-orang terpenting di antara mereka sempat membangunkan serangan-serangan yang berbahaya atas lawan-lawan mereka.

Ki Jayaraga dan Agung Sedayu masih sempat mempertimbangkan sasaran kemampuan ilmunya. Namun Sabungsari dan Glagah Putih agaknya telah mengambil sikap yang lain. Mereka masih lebih mudah dibakar oleh panas yang menyala di dadanya, sehingga karena itu maka Sabungsari dan Glagah Putih telah mengerahkan kemampuannya untuk menghancurkan lawan-lawannya. Apalagi mereka menyadari bahwa para pengawal memerlukan bantuan mereka, serta keadaan di seluruh padukuhan induk itu pun perlu mendapat penanganan yang cepat.

Dua tiga orang yang mendekat, telah langsung disapu oleh Sabungsari dan Glagah Putih dengan kemampuan mereka yang tinggi. Tanpa mempergunakan puncak kemampuan mereka, Sabungsari dan Glagah Putih yang bersenjata pedang ternyata telah berhasil menggoreskan senjatanya ke tubuh para pengikut Ki Manuhara yang mencoba melibatkan diri untuk melawan mereka. Ujung-ujung senjata mereka telah menjadi merah oleh darah lawan-lawannya, meskipun mereka belum mampu melukai Ki Patitis dan Ki Tangkil.

Sementara itu Ki Jayaraga dan Agung Sedayu pun merasa terganggu pula oleh murid-murid Ki Manuhara yang mencoba untuk mengaburkan pemusatan perhatian mereka atas lawan-lawan mereka. Dengan terpaksa, maka keduanya memang harus mengakhiri gangguan itu. Ujung cambuk Agung Sedayu pun telah beberapa kali mengoyak tubuh orang-orang yang mengganggunya. Setiap kali cambuk Agung Sedayu bergetar, maka terdengar pekik kesakitan atau keluhan tertahan. Sambil menghindari tajamnya pedang lawannya, yang bagaikan berterbangan di sekitarnya sambil menyambar-nyambar, maka cambuk Agung Sedayu pun berputaran dan sekali-sekali menghentak. Meskipun cambuk itu tidak meledak memekakkan telinga, tetapi getarannya telah membuat orang-orang yang berada di sekitarnya menjadi berdebar-debar. Apalagi mereka yang tergores ujung cambuk itu. Maka luka pun telah menganga mengoyak kulit daging.

Namun bagaimanapun juga, orang-orang Ki Manuhara yang telah mengalir ke halaman itu telah mempengaruhi keseimbangan pertempuran itu. Sementara masih juga ada sebagian pengikut Ki Manuhara yang tetap membuat kekacauan di padukuhan induk itu.

Namun dalam pada itu, sejalan dengan derap kaki kuda Ki Gede Menoreh yang menyusuri jalan-jalan di padukuhan induk dengan ujung tombak pendeknya yang telah basah oleh darah, maka sekelompok prajurit dari Pasukan Khusus telah berderap memasuki padukuhan induk itu.

Kehadiran para prajurit itu ternyata telah berhasil merubah keadaan. Sebagian dari mereka telah menggabungkan diri dengan Ki Gede dan Prastawa. Sebagian memencar, dan sebagian lagi atas petunjuk para pengawal langsung menuju ke halaman rumah Agung Sedayu. 

Ki Manuhara dan para pengikutnya-lah yang kemudian terkejut melihat kehadiran para prajurit itu. Demikian para prajurit itu berloncatan dari punggung kudanya serta menyerahkan kuda-kuda itu kepada kawan-kawannya yang bertugas untuk itu, maka mereka pun segera terjun ke medan. Untuk beberapa saat mereka mengamati keadaan. Namun mereka pun segera tanggap atas medan yang mereka hadapi. Karena itu, maka sekelompok prajurit itu pun segera menebar ke halaman samping dan kebun di belakang rumah Agung Sedayu.

Kehadiran para prajurit itu benar-benar telah menggelisahkan Ki Manuhara dan pengikutnya. Baru saja mereka mendapat kesempatan untuk bernafas. Namun ternyata bahwa kesempatan itu hanya berlangsung dalam waktu yang terlalu singkat. Belum lagi mereka sempat mempergunakan perubahan, keseimbangan itu telah berubah lagi. Karena demikian para prajurit itu memasuki halaman, maka para pengikut Ki Manuhara-lah yang kemudian harus bertahan mati-matian.

Ki Manuhara-lah yang kemudian menjadi gelisah. Ia tidak mempunyai cara yang lain lagi untuk menggetarkan halaman rumah Agung Sedayu itu. Cara yang terakhir dan paling kasar itu pun telah ditempuhnya. Namun ternyata bahwa Tanah Perdikan Menoreh memang memiliki kekuatan yang cukup besar. Apalagi kehadiran Pasukan Khusus itu benar-benar mengacaukan rencananya.

Namun ibarat orang yang menyeberang sungai, pakaiannya telah terlanjur basah kuyup. Karena itu, maka Ki Manuhara pun tidak segera mengambil keputusan untuk mengurungkan niatnya mengambil kedua orang anak muda yang disebutnya Pembunuh Lembu Jantan itu.

Bahkan dengan suara lantang iapun berkata, “Cepat, selesaikan kedua orang anak muda itu! Jika kita tidak dapat membawa mayatnya, maka kita sudah merasa puas bahwa keduanya telah berhasil kita selesaikan. Mereka tidak akan dapat menjadi lambang kejantanan anak-anak muda Mataram lagi. Pembunuh Lembu Jantan itu telah terbunuh. Anak-anak muda Mataram sama sekali memang tidak berarti bagi kita.”

Ki Patitis dan Ki Tangkil yang mendengar teriakan itu menjadi semakin gelisah. Tugas untuk membunuh kedua orang yang dimaksudkan tentu tertompang di pundaknya.

Namun keduanya merasa ragu, apakah mereka dapat melakukannya atau tidak. Apalagi ketika para pengikut Ki Manuhara yang ikut membantu mereka, mengganggu pemusatan nalar budi lawan-lawan mereka, telah meninggalkannya, karena mereka sudah mendapat lawan-lawan mereka sendiri demikian sepasukan prajurit Pasukan Khusus datang memasuki halaman rumah itu.

Tetapi keduanya memang tidak dapat ingkar. Mereka harus berusaha sampai kemungkinan terakhir untuk menangkap hidup atau mati kedua orang yang dianggap sebagai lambang kejantanan anak-anak muda di Mataram itu.

Karena itulah, maka Ki Patitis yang bertempur melawan Sabungsari itu telah mengerahkan segenap ilmunya. Bahkan kemudian ia telah merambah sampai ke ilmu puncaknya.

Dengan mengerahkan kemampuan serta tenaga di dalam dirinya, maka Ki Patitis telah menyerang Sabungsari dengan ilmu puncaknya, justru saat Sabungsari meloncat sambil mengayunkan tangannya. Ternyata bahwa Ki Patitis yang melihat serangan itu, tanggap akan kekuatan yang sangat besar pada ayunan tangan Sabungsari. Berbareng dengan itu, maka Ki Patitis telah menyongsongnya dengan ilmunya yang mendebarkan.

Kekuatan ilmu Ki Patitis ternyata telah menghentakkan Sabungsari. Hembusan yang sangat kuat telah menghantam tubuh Sabungsari yang sedang meloncat menyerang.

Sabungsari terkejut melihat serangan itu. Ia mencoba menggeliat. Namun serangan Ki Patitis itu masih juga mengenai bagian tubuhnya, sehingga Sabugsari itu terputar di udara. Tubuhnya melayang dan terlempar beberapa langkah surut. Untunglah bahwa serangan itu tidak seutuhnya menghantam tubuhnya, sehingga Sabungsari masih dapat memperhitungkan kemungkinan yang dapat terjadi atas dirinya.

Sabungsari jatuh terguling di tanah. Tetapi Sabungsari masih sempat menempatkan dirinya. Demikian ia jatuh berguling, maka Sabungsari justru berguling beberapa kali mengambil jarak. Baru kemudian dengan tangkasnya Sabungsari telah meloncat berdiri.

Tetapi demikian Sabungsari meloncat, maka serangan Ki Patitis telah memburunya pula. Sergapan angin yang sangat kencang, bagai dihembuskan lewat sebuah lubang yang mengarah ke kepalanya.

Sabungsari pun segera meloncat menghindar. Ia berhasil luput dari serangan itu, Meskipun ia merasa sapuan angin pada kulit tubuhnya, namun kekuatan angin itu tidak mendorongnya dengan sepenuh tenaga.

Tetapi serangan Ki Patitis tidak terhenti sampai sekian. Ia ingin memaksa lawannya kehilangan kesempatan untuk menghindar, apalagi menyerang. Karena itu maka serangannya pun datang beruntun, mengejar kemana saja Sabungsari bergeser.

Tetapi Sabungsari tidak membiarkan dirinya menjadi sasaran serangan lawannya tanpa berbuat sesuatu. Karena itu,maka Sabungsari ingin mencari kesempatan untuk membalasnya.

Karena itu, ketika serangan-serangan Ki Patitis masih memburunya, maka Sabungsari pun telah berusaha untuk menghindari serangan-serangan itu sambil bergeser mendekat. Ketika ia merasa jaraknya cukup, tiba-tiba saja Sabungsari yang berloncatan dan berguling besama pedangnya itu, telah dengan serta merta melemparkan pedangnya.

Ki Patitis memang terkejut. Tetapi dengan tangkasnya ia berusaha menghindar. Meskipun hampir saja pedang itu menyentuh kulitnya, namun Ki Patitis masih sempat tertawa. Bahkan sambil berkata lantang, “Anak dungu. Sekarang kau sudah tidak bersenjata lagi. Akhirnya kau harus menerima kenyataan, bahwa umurmu tidak akan lebih sampai hari ini. Berikutnya kau akan mengalami siksaan yang tidak pernah kau bayangkan. Aku akan menyerangmu dengan ilmu puncakku. Mungkin sekali dua kali, bahkan mungkin sepuluh kali kau mampu menghindar. Namun akhirnya kau tentu akan kehilangan kesempatan itu. Kau akan terlempar, terbanting dan berputaran di udara, sehingga tulang-tulangmu akan berpatahan. Kulitmu akan terkelupas, dan akhirnya kau akan melepaskan nyawamu dalam keadaan yang paling pahit.”

Sabungsari sama sekali tidak menjawab. Namun ia telah mempersiapkan diri dengan puncak ilmunya pula.

Karena itu, demikian Ki Patitis selesai berbicara, maka Sabungsari pun bertanya, “Apakah kau sudah cukup puas mengigau?”

Pertanyaan itu memang mendebarkan. Ia tidak melihat Sabungsari menjadi cemas atau ketakutan. Bahkan suaranya masih tetap menantang.

Sejenak Ki Patitis justru menjadi ragu-ragu melihat sikap Sabungsari itu. Apalagi ketika Sabungsari itu bertanya sekali lagi, “Apakah kau sudah selesai bicara? Jika sudah, maka kita akan sampai pada ilmu puncak kita masing-masing. Mungkin kau ingin melihat aku terlempar ke udara, terbanting dan jatuh berguling-guling sehingga kulitku terkelupas sebelum aku mati. Tetapi kau tentu akan merasa kecewa, bahwa mimpimu itu tidak akan pernah terjadi sama sekali.”

Wajah Ki Patitis pun menjadi tegang. Namun ia masih menggeram, “Anak dungu yang sombong. Baiklah. Kau memang harus mengalami perlakuan kasar dan menyakitkan itu. Karena itu, bersiaplah. Kau akan segera menyesal menjelang saat terakhirmu.”

Sabungsari pun segera bersiap. Ia tidak menjawab lagi. Ia tahu bahwa Ki Patitis pun akan segera menyerangnya.

Sebenarnyalah, sesaat kemudian Ki Patitis pun telah mulai menggerakkan tangannya. Namun Sabungsari tidak mau menjadi bulan-bulanan lagi. Pada saat itu pula, maka iapun telah menghentakkan ilmunya lewat sorot matanya.

Demikianlah, pada saat Ki Patitis siap melepaskan ilmunya, maka iapun terkejut. Ia melihat seleret sinar meloncat dari sepasang mata anak muda yang akan dibunuhnya itu, meluncur dengan kecepatan yang sangat tinggi.

Ki Patitis yang tidak mengira akan mendapat serangan ilmu yang mendebarkan itu, sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk mengelak. Seleret sinar itu meluncur seakan-akan langsung menghunjam ke dadanya, menusuk menembus kulit dagingnya, mematahkan tulang-tulang iganya dan meremas seluruh isi dadanya. Ki Patitis itu pun mengaduh tertahan. Sesaat kemudian, maka iapun telah jatuh berguling. Namun ia tidak sempat lagi mengaduh, karena kekuatan ilmu Sabungsari itu telah menghancurkan kesombongannya.

Ki Patitis itu ternyata tidak mampu melawan kekuatan ilmu Sabungsari.

Beberapa orang pengikut Ki Manuhara, dan bahkan Ki Manuhara dan Ki Samepa melihat, bagaimana Ki Patitis terlempar jatuh dan tidak mampu untuk bangkit kembali. Demikian pula Ki Tangkil yang masih bertempur melawan Glagah Putih. Jantungnya seakan-akan telah berhenti berdetak. Tidak seorang pun mengira, bahwa Ki Patitis yang memiliki ilmu yang tinggi itu demikian cepatnya harus mengakhiri perlawanannya.

Sementara itu Ki Tangkil pun menjadi berdebar-debar pula. Ia sadar bahwa anak yang dianggapnya masih terlalu muda itu ternyata memiliki ilmu yang sangat tinggi. Beberapa orang yang membantunya bertempur melawan Glagah Putih telah terhisap karena kehadiran Pasukan Khusus yang memasuki halaman rumah itu. Sementara yang lain telah dilumpuhkan oleh pedang Glagah Putih itu sendiri.

Tetapi ia tidak dapat bergeser surut. Ki Patitis telah terbunuh. Berarti seorang dari kedua orang anak muda yang harus ditangkap hidup atau mati sudah terlepas dari tangan mereka. Karena itu, maka Ki Tangkil pun merasa bahwa ia tidak boleh gagal, Ia harus berhasil menangkap anak muda yang disebut Pembunuh Lembu jantan itu.

Tetapi setiap kali ia masih digelisahkan oleh kematian Ki Patitis. Dengan demikian maka lawan Ki Patitis itu tidak terikat lagi dengan siapapun, sehingga ia akan dapat bergabung dengan anak yang masih terlalu muda yang menjadi lawannya itu.

Tetapi ternyata Sabungsari yang telah terbebas dari lawannya, Ki Patitis, tidak segera datang membantu Glagah Putih. Tetapi ia masih saja berdiri termangu-mangu, meskipun beberapa kali ia memang berpaling ke arah Glagah Putih.

Namun Sabungsari itu masih sempat mendekati tubuh Ki Patitis yang terbaring. Meraba tubuhnya yang terbaring diam. Tetapi tubuh itu benar-benar sudah tidak bernafas lagi.

“Aku tidak mempunyai pilihan lain,” desis Sabungsari.

Sementara itu pertempuran semakin lama menjadi semakin seru. Namun kematian Ki Patitis adalah satu isyarat yang sangat buruk bagi Ki Manuhara dan para pengikutnya.

Dalam pada itu, Ki Tangkil tidak mau kehilangan kesempatan. Karena itu, maka iapun telah mengerahkan segenap kemampuannya. Sebagai seorang yang berilmu tinggi maka Ki Tangkil pun juga mempunyai ilmu andalan yang hanya dilepaskan di saat-saat yang paling gawat.

Agaknya saat itu ia sudah menganggap bahwa keadaan menjadi sangat gawat setelah kematian Ki Patitis. Itulah sebabnya, maka Ki Tangkil pun merasa perlu untuk mengerahkan kemampuannya yang tertinggi untuk secepatnya mengakhiri perlawanan anak yang dianggapnya masih terlalu muda itu.

Namun Glagah Putih pun telah mempersiapkan diri pula untuk menghadapi lawannya. Menilik sikapnya, Glagah Putih dapat membaca bahwa lawannya tentu sudah mempersiapkan diri untuk secepatnya mengakhiri pertempuran itu. Tetapi Glagah Putih masih belum tahu apa yang akan dihadapinya kemudian.

Sementara itu, Ki Tangkil berusaha untuk menekan lawannya dengan kemampuannya bergerak cepat. Tetapi Glagah Putih pun mampu mengimbanginya. Tetapi ketika Ki Tangkil itu menyerang dengan hentakan yang tiba-tiba, maka Glagah Putih memang agak terdesak surut.

Tetapi Ki Tangkil tidak memburunya, la justru meloncat surut untuk mengambil jarak.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Tangkil telah mempersiapkan diri untuk segera berusaha menghabisi perlawanan Glagah Putih.

Ketika Glagah Putih bersiap untuk menyerang, maka ia melihat Ki Tangkil memasukkan sesuatu ke dalam mulutnya, sehingga karena itu maka Glagah Putih pun dengan seksama memperhatikan, apakah yang akan dilakukan oleh Ki Tangkil dengan mulutnya itu.

Namun Ki Tangkil tidak segera menyerangnya dengan serangan yang menentukan. Ia masih berusaha untuk melangkah mendekat dan menyerang dengan senjatanya.

Glagah Putih menangkis serangan itu dengan pedangnya. Namun perhatiannya memang sudah terbagi. Sambil memperhatikan senjata Ki Tangkil, ia masih harus memperhatikan mulutnya yang setiap saat akan dapat dipergunakan untuk menyerangnya.

Namun Glagah Putih tidak mau berlama-lama dalam kegelisahan. Untuk memaksa lawannya segera mempergunakan kemampuan puncaknya, maka Glagah Putih telah berusaha untuk menekan Ki Tangkil dengan ujung pedangnya.

Sebenarnyalah, ketika ujung pedang Glagah Putih seakan-akan memburunya dan bahkan seakan-akan telah menyentuh kulitnya, Ki Tangkil tidak menunda-nunda lagi. Ketika ia terdesak beberapa langkah surut, maka iapun telah menghembuskan senjata rahasianya ke arah tubuh Glagah Putih.

Benar-benar satu serangan yang mengejutkan. Meskipun Glagah Putih telah menduganya, tetapi rasanya serangan itu datang begitu cepatnya, seperti anak panah yang meloncat dari busurnya pada jarak yang terlalu pendek.

Glagah Putih melihat butiran-butiran lembut terhambur dari mulut lawannya. Namun Glagah Putih menyadari, bahwa butiran lembut itu tentu bukan sekedar dihembuskan lewat mulut lawannya dengan dorongan kekuatan wajarnya. Tentu senjata rahasia itu telah dihembuskan dengan kekuatan ilmu yang tinggi.

“Aji Pacar Wutah,” desis Glagah Putih di dalam hatinya. Sementara itu iapun telah berusaha dengan segenap kemampuannya untuk menghindari serangan itu.

Namun Glagah Putih tidak mampu bergerak secepat terbangnya butiran-butiran senjata rahasia yang dilontarkan dari mulut Ki Tangkil itu. Aji Pacar Wutah itu benar-benar telah menyentuh tubuh Glagah Putih. Meskipun hanya pada pundaknya, karena Glagah Putih yang dengan cepat menggeliat. Namun butiran-butiran kecil itu bagaikan telah menembus masuk sampai ke tulang,

Glagah Putih telah mengaduh tertahan. Perasaan pedih yang sangat telah menyengat pundaknya yang terluka itu,

Dengan demikian Glagah Putih tidak sempat berpikir panjang. Ia sadar bahwa lukanya itu akan dapat mengurangi kemampuannya, sehingga perlawanannya akan menjadi semakin lemah. Karena itu, maka Glagah Putih pun tidak mempunyai pilihan lain. Selagi ia masih mampu melakukannya.

Karena itulah maka Glagah Putih telah mempergunakan kesempatan terakhir itu untuk menyelesaikan lawannya.

Tanpa menghiraukan luka-lukanya, maka Glagah Putih telah menghentakkan segenap kemampuan serta ilmu puncaknya. Dengan memusatkan nalar budinya tanpa menghiraukan perasaan sakit yang mencengkamnya, maka Glagah Putih telah menghentakkan ilmunya dilambari oleh kemarahan yang membakar jantungnya.

Pada saat lawannya, Ki Tangkil siap menyemburkan butiran-butiran senjata rahasianya, maka Glagah Putih yang sudah siap lahir dan batinnya itu telah mengangkat tangannya dengan telapak tangan menghadap ke arah lawannya. Satu gerakan yang khusus dilakukan oleh Glagah Putih ternyata telah mengejutkan lawannya yang memiliki ilmu Pacar Wutah itu. Seleret sinar telah memancar langsung menyambar ke arah Ki Tangkil, yang hampir saja sempat melepaskan senjata rahasianya dengan kemampuan Aji Pacar Wutah.

Namun Ki Tangkil telah mengurungkan serangannya. Dengan tangkas pula Ki Tangkil itu meloncat menghindarkan dirinya. Ketika ia terjatuh, maka iapun segera berguling beberapa kali, karena serangan Glagah Putih berikutnya telah memburunya.

Namun Glagah Putih tidak menyerangnya lagi ketika ia sempat meloncat bangkit. Bahkan seakan-akan Glagah Putih tidak lagi sempat menyerangnya, sehingga Ki Tangkil merasa mempunyai kesempatan untuk menyemburkan senjata rahasianya dengan lambaran Aji Pacar Wutah.

Namun agaknya Glagah Putih memang menunggu. Dengan penuh keyakinan dan percaya diri, maka Glagah Putih berusaha untuk membentur ilmu Pacar Wutah itu dengan lontaran ilmunya. Namun dengan doa dan pasrah diri di dalam hati kepada Maha Penciptanya.

Dengan demikian, maka kedua ilmu yang menggetarkan telah berbenturan. Ternyata bahwa kepercayaan diri Glagah Putih dalam kepasrahannya itu tidak sia-sia. Ilmu Glagah Putih yang muda itu ternyata memang selapis lebih tinggi dari ilmu lawannya, sehingga karena itu maka benturan ilmu itu telah menentukan akhir dari pertempuran antara Glagah Putih melawan Ki Tangkil.

Semburan senjata rahasia Ki Tangkil yang memancar ke arah tubuh Glagah Putih itu ternyata telah disapu oleh kekuatan ilmu yang dilontarkan oleh Glagah Putih, demikian senjatanya meloncat dari mulut Ki Tangkil.

Terdengar Ki Tangkil itu terpekik kesakitan. Sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya, maka Ki Tangkil itu jatuh berguling-guling di tanah.

Glagah Putih sendiri ternyata terkejut melihat akibat dari benturan itu. Ia tidak mengira bahwa senjata rahasia yang dilontarkan dari mulut Ki Tangkil itu telah berbalik, justru mengenai wajahnya sendiri. Namun karena kekuatan Aji Pacar Wutah itu, maka hentakan balik karena benturan dengan kekuatan ilmu Glagah Putih kekuatannya pun telah melemah. Baik ilmu Glagah Putih sendiri, apalagi ilmu Ki Tangkil yang telah terhempas oleh kekuatan ilmu Glagah Putih itu.

Namun dengan demikian maka senjata rahasia Ki Tangkil itu tidak didorong oleh kekuatan yang cukup untuk menghancurkan dan membunuh Ki Tangkil. Sehingga dengan demikian, maka butiran-butiran lembut yang terhempas oleh ilmu Glagah Putih yang melemah karena benturan ilmu itu justru hanya melukai wajah Ki Tangkil. Namun luka itu agaknya cukup parah.

Bahkan Glagah Putih menjadi ngeri melihat akibat dari benturan itu. Apalagi ketika Ki Tangkil masih juga berusaha untuk membalasnya. Dengan sisa kekuatannya, ternyata Ki Tangkil telah bangkit dan berdiri pada lututnya. Ketika ia membuka kedua tangannya yang menutup wajahnya, maka jantung Glagah Putih telah tergetar.

Karena itu, maka Glagah Putih benar-benar ingin dengan cepat mengakhiri lawannya.

Namun ternyata Glagah Putih agak terlambat, justru karena ia termangu-mangu melihat sasarannya. Karena itu, Glagah Putih justru harus meloncat menghindari lawannya lebih dahulu. Lawannya dengan wajah yang mengerikan itu. Wajah yang penuh dibasahi dengan darah karena luka-lukanya.

Namun demikian Glagah Putih menghindar, maka iapun dengan cepat telah melontarkan serangannya pula.

Serangan yang dilontarkan dengan kekuatan ilmu puncaknya dari jarak beberapa langkah itu telah meluncur ke arah Ki Tangkil yang terluka di wajahnya itu. Serangan yang tepat mengenai sasarannya.

Sekali lagi Ki Tangkil berteriak. Bukan saja karena kesakitan. Tetapi justru karena kemarahan, kekecewaan dan kebencian yang menghentak-hentak di dadanya, sementara ia merasa bahwa ia tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi. Karena ia sadar, bahwa serangan anak yang masih terlalu muda itu akan menghabisi perlawanannya.

Sebenarnyalah bahwa tusukan ilmu Glagah Putih yang tepat mengenainya, telah melemparkannya. Demikian teriakannya terhenti sesaat ia jatuh berguling, maka Ki Tangkil itu pun terdiam untuk selama-lamanya.

Dengan demikian maka ketahanan jiwani para pengikut Ki Manuhara menjadi goncang. Orang-orang yang ditugaskan secara langsung untuk menangkap hidup atau mati sasaran utama mereka datang ke Tanah Perdikan Menoreh itu, justru sudah terbunuh oleh anak-anak muda yang akan mereka tangkap itu sendiri. Sementara Ki Manuhara dan Ki Samepa telah mendapat lawan yang berilmu sangat tinggi, sehingga mampu mengimbangi ilmu Ki Manuhara dan Ki Samepa, yang dianggap oleh para pengikutnya sebagai orang yang tidak terkalahkan.

Ki Manuhara sendiri tidak dapat menutup kenyataan itu. Dua orang yang dianggap memiliki kemampuan terbaik di antara para pengikutnya itu telah terbunuh.

Tetapi Ki Manuhara sendiri bukan orang yang mudah menyerah. Demikian pula Ki Samepa yang memang ingin mematahkan jalur perguruan Orang Bercambuk, di samping tugasnya mendampingi Ki Manuhara yang datang ke Mataram dengan satu niat yang matang.

Kedua orang itu masih berharap untuk menghancurkan lawan-lawan mereka, Jika mereka berhasil, maka yang lain tidak akan sulit untuk menyelesaikannya.

Namun kenyataan yang terjadi memang menggelisahkannya. Para pengikutnya mengalami kesulitan untuk menghadapi para pengawal dan prajurit dari Pasukan Khusus yang memasuki halaman rumah itu. Sementara itu pengikut Ki Manuhara sendiri, agaknya seluruhnya yang tersisa telah berada dihalaman itu. Tidak ada lagi lidah api yang baru melonjak menggapai langit. Meskipun api masih berkobar, tetapi Ki Manuhara menduga bahwa di luar halaman rumah itu, para pengawal dan prajurit dari Pasukan Khusus itu sudah dapat menguasai keadaan.

Sebenarnyalah, Ki Gede Menoreh, Prastawa dan para pengawal, dibantu oleh beberapa orang prajurit dari Pasukan Khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan Menoreh itu, sudah menguasai keadaan. Orang-orang yang menjadi ketakutan dan mengungsi ke banjar atau ke rumah Ki Gede sudah mulai ditenangkan, meskipun di antara mereka masih ada yang seakan-akan kehilangan akal. Tetapi mereka telah berada di tempat yang aman, di bawah pengawasan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.

Beberapa orang laki-laki yang memiliki keberanian, dibantu oleh para pengawal, berusaha untuk memadaman api yang masih menyala menelan beberapa rumah. Tetapi mereka memang mengalami kesulitan karena tidak hanya sebuah rumah yang terbakar, sehingga api menjadi sulit untuk dikuasai. Yang kemudian dilakukan oleh orang-orang pedukuhan induk Tanah Perdikan itu adalah mencegah menjalarnya api ke bangunan-bangunan yang masih belum terbakar, tetapi terlalu dekat dengan api.

Sementara itu pertempuran masih berlangsung di halaman rumah Agung Sedayu. Ki Manuhara dan Ki Samepa yang gelisah telah meningkatkan ilmunya menuju ke kemampuan puncak. Sementara itu, mereka masih menunggu, apakah kedua orang anak muda yang menjadi sasaran utama kehadiran mereka di Tanah Perdikan Menoreh, namun justru telah membunuh orang-orang yang ditugaskan untuk menangkap mereka itu, akan melibatkan diri dalam pertempuran antara orang-orang berilmu sangat tinggi itu.

Namun ternyata bahwa Sabungsari justru telah mendekati Glagah Putih yang terduduk. Luka-luka di pundaknya justru menjadi semakin menggigit. Perasaan sakit yang sangat telah menusuk-nusuk sampai ke tulang.

Agung Sedayu menjadi cemas ketika ia melihat Glagah Putih telah dipapah oleh Sabungsari ke serambi gandok, sementara pertempuran masih berlangsung terus.

Yang kemudian juga berlari-lari mendekat adalah Rara Wulan. Setelah berusaha melepaskan diri dari lawannya, maka iapun segera berlari demikian ia melihat Glagah Putih nampaknya terluka di pertempuran itu, sementara seorang prajurit telah menahan seorang yang berusaha memburunya.

“Kau kenapa Kakang?” bertanya Rara Wulan dengan nafas yang terengah-engah. Sebenarnyalah ia telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk menundukkan lawannya, dan kemudian berlari menghampur ke arah Glagah Putih yang disangkanya terluka parah.

Namun luka di pundak Glagah Putih memang cukup parah. Darah memang tidak terlalu banyak mengalir dari luka lukanya itu. Namun baik Sabungsari maupun Rara Wulan mengetahui bahwa luka-luka Glagah Putih cukup berbahaya. Butiran-butiran yang lembut telah menyusup kulit dan dagingnya. Tidak hanya satu dua, tetapi lebih dari sepuluh, bahkan dua puluh, luka terdapat di pundaknya itu. Sehingga pundak Glagah Putih itu menjadi seperti sarang lebah.

Namun Glagah Putih masih mencoba untuk tersenyum sambil menjawab, “Tidak apa-apa Rara.”

Ketika Rara Wulan melihat luka itu, iapun segera memalingkan wajahnya sambil berkata, “Luka itu cukup berbahaya bagimu Kakang.”

“Biarlah ia beristirahat,” berkata Sabungsari.

“Tetapi luka-lukanya itu?” bertanya Rara Wulan.

“Memang perlu segera diobati. Tetapi aku tidak dapat melakukannya. Nanti kita serahkan kepada Agung Sedayu, yang serba sedikit telah memiliki pengetahuan tentang obat-obatan yang diwarisinya dari Kiai Gringsing,” jawab Sabungsari yang juga menjadi gelisah.

“Tetapi kapan Kakang Agung Sedayu selesai?” bertanya Rara Wulan.

Di luar sadarnya Sabungsari berpaling ke halaman. Namun justru jantungnya menjadi semakin cepat bergetar. Ia melihat lawan Agung Sedayu telah mengerahkan ilmunya, sehingga nampaknya ia berhasil mendesak Agung Sedayu.

Bahkan Rara Wulan yang juga sempat memandang ke arena berdesis, “Kakang, turunlah ke arena. Biar aku menjaga Kakang Glagah Putih.”

Tetapi Sabungsari yang memiliki kemampuan lebih tinggi dari Rara Wulan tidak segera bergeser. Ia memang melihat pedang pendek di tangan lawan Agung Sedayu itu telah menjadi merah membara. Agaknya bukan saja pedang itu menjadi panas, tetapi udara yang bergetar oleh ayunan pedang pendek itu pun menjadi panas pula, sehingga beberapa kali Agung Sedayu terdesak surut. Meskipun ujung cambuk Agung Sedayu masih tetep menggelepar, namun agaknya senjata lawannya itu telah berpengaruh pula atas medan pertempuran itu. 

Namun sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu telah mengetrapkan ilmu kebalnya, sehingga panas yang terpancar dari pedang pendek yang berpuraran menyambar dan mematuk itu tidak terlalu berpengaruh terhadap Agung Sedayu.

Meskipun beberapa kali Agung Sedayu memang bergeser surut, namun sebenarnyalah bahwa ujung cambuknya masih juga sangat berbahaya bagi lawannya. Meskipun ujung cambuk itu belum berhasil menggores kulit Ki Samepa, namun getarannya yang sangat kuat itu setiap kali memang terasa bagaikan menekan jantung, sehingga Ki Samepa itu kadang-kadang harus menahan diri justru saat-saat ia mendapat kesempatan untuk menyerang.

Karena itu, maka Ki Samepa pun tidak menunggu lagi. Meskipun ia juga melihat bahwa seorang di antara anak-anak muda yang diburunya itu terluka, namun iapun masih saja digelisahkan oleh pertempuran itu dalam keseluruhan,

Apalagi ketika ia menyadari bahwa sentuhan-sentuhan panas senjatanya tidak begitu berpengaruh terhadap lawannya. Bahkan ketika ia merasakan sentuhan pedang pendeknya atas kulit lawannya tidak menimbulkan luka, maka orang itu pun sadar bahwa lawannya itu tentu memiliki ilmu kebal.

Karena itu maka tidak ada cara lain untuk menundukkan lawannya selain dengan mengerahkan ilmu puncaknya.

Sabungsari, Rara Wulan dan bahkan Glagah Putih pun menjadi gelisah. Ia melihat pedang pendek yang membara itu seakan-akan menjadi semakin panas. Cahaya yang kemerah-merahan itu telah menjadi semakin merah, bagaikan besi baja diperapian seorang pande besi. Ketika pedang itu menjadi kebiru-biruan, maka Sabungsari pun dengan tidak sengaja telah bergeser selangkah maju.

Glagah Putih yang terluka sempat berdesis, “Kakang Sabungsari. Nampaknya lawan Kakang Agung Sedayu itu sudah sampai ke puncak ilmunya.”

Sabungsari tidak menjawab. Tetapi wajahnya menjadi semakin tegang,

“Mendekatlah,” Rara Wulan hampir berteriak.

“Kakang Agung Sedayu nampaknya masih belum mempergunakan ilmu pamungkasnya,” desis Glagah Putih.

“Tetapi mendekatlah,” ulang Rara Wulan

“Agung Sedayu mempunyai harga diri yang tinggi. Jika aku mencampuri pertempuran itu, aku tidak yakin apakah Agung Sedayu tidak justru marah kepadaku,” sahut Sabungsari.

Namun Sabungsari ternyata tidak menunggu lebih lama lagi. Ketika ia melihat Sekar Mirah mendekati Agung Sedayu, maka Sabungsari pun telah mendekatinya pula. Ia tidak mencemaskan Agung Sedayu, apalagi Agung Sedayu masih belum mempergunakan ilmu puncaknya. Tetapi ia justru mencemaskan Sekar Mirah, jika tiba-tiba saja ia mendapat serangan dari lawan Agung Sedayu itu. Meskipun ilmu Sekar Mirah juga telah berkembang, namun ilmu lawan Agung Sedayu itu agaknya memang sangat tinggi.

Yang kemudian menunggui Glagah Putih adalah Rara Wulan. Dengan penuh kewaspadaan ia memperhatikan pertempuran yang terjadi di halaman rumah itu. Namun agaknya orang-orang yang menyerang rumah itu untuk menangkap Sabungsari dan Glagah Putih telah menjadi semakin terdesak.

Dalam pada itu, pertempuran antara Ki Samepa dan Agung Sedayu memang menjadi semakin sengit. Pedang pendek Ki Samepa menjadi semakin cepat berputaran. Panas yang dilontarkannya menjadi semakin tajam sehingga mampu menembus perisai ilmu kebal Agung Sedayu. Dengan demikian maka Agung Sedayu itu setiap kali memang harus berloncatan surut menghindari lingkaran udara panas yang seakan-akan dihamburkan oleh pedang pendek yang beterbangan itu.

Dengan cambuknya Agung Sedayu berusaha menahan getaran udara panas serta serangan pedang pendek lawannya. Namun semakin lama terasa tekanan Ki Samepa itu menjadi semakin berat. Rasa-rasanya kemana ia pergi dan menghindar, ujung pedang itu selalu memburunya. Kadang-kadang terasa sentuhan-sentuhan tajamnya pedang yang membara bahkan sampai kebiru-biruan itu.

Dengan demikian Agung Sedayu pun menyadari, bahwa pedang pendek lawannya itu telah mampu menggetarkan perisai ilmu kebalnya. Jika Ki Samepa sempat meningkatkan selapis lagi ilmunya, maka ilmu kebalnya tentu akan tertembus oleh pedang pendek yang membara kebiru-biruan itu.

Karena itulah, maka Agung Sedayu tidak lagi menunggu. Namun Agung Sedayu memang berniat untuk menyelesaikan pertempuran itu dengan mempergunakan cambuknya. Ia sudah berada pada tataran yang lebih tinggi dari ilmu yang diwarisinya dari gurunya, Kiai Gringsing, berdasarkan kitab yang dipelajarinya.

Sementara itu Sabungsari dan Sekar Mirah menjadi cemas. Mereka seakan-akan melihat bahwa Agung Sedayu tidak sempat mengambil jarak untuk melontarkan ilmu pamungkasnya lewat sorot matanya, sebagaimana dilakukan oleh Sabungsari. Bahkan beberapa kali Agung Sedayu harus berloncatan menghindari serangan pedang lawannya yang bagaikan terbang mengitarinya

Apalagi ketika mereka melihat ujung pedang itu sempat menyentuh lengan Agung Sedayu. Bukan saja mengoyakkan pakaiannya, tetapi juga mengoyakkan kulit dagingnya.

Lukanya bukan saja karena kulitnya terkoyak. Tetapi luka itu juga bagaikan luka bakar yang menghanguskan pakaian dan kulitnya.

Agung Sedayu berdesis menahan pedih. Namun Sekar Mirah-lah yang terpekik kecil. Ia sadar bahwa lawan Agung Sedayu itu tentu orang yang berilmu sangat tinggi, yang mampu memecahkan ketahanan ilmu kebal Agung Sedayu. Bahkan lawan Agung Sedayu itu juga mampu bergerak secepat Agung Sedayu pula.

Luka itu membuat Agung Sedayu semakin mantap mengerahkan kemampuannya. Cambuknya berputar semakin cepat. Hentakan-hentakannya tidak lagi bersuara. Namun getarannya bagaikan memukul dinding dada lawannya. Tulang-tulang iganya seakan-akan menjadi retak karenanya.

Semakin lama pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Ujung pedang pendek Ki Samepa yang membara hingga kebiru-biruan itu telah menyentuh tubuh Agung Sedayu sekali lagi. Meskipun hanya goresan tipis karena Agung Sedayu sempat menggeliat menghindar, namun lambungnya terasa digigit oleh perasan pedih.

Agung Sedayu menggeretakkan giginya. Ia sudah dilukai oleh lawannya di lengan dan lambungnya. Seandainya ia tidak mempergunakan ilmu kebal, maka luka itu tentu akan menganga lebar, bahkan mungkin akan sampai ke tulang.

Namun demikian, Agung Sedayu tidak lagi dapat membiarkan lawannya mengenai tubuhnya lagi. Cambuknya pun semakin cepat bergetar, menyusup di sela-sela putaran pedang pendek lawannya yang membara.

Ternyata ilmu Agung Sedayu yang telah meningkat itu benar-benar dahsyat. Ia sengaja tidak mempergunakan serangan lewat sorot matanya. Namun putaran cambuknya, ternyata kemudian mampu mengatasi kecepatan putaran pedang lawannya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar