Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 268

Buku 268

Namun Ki Ajar Gurawa itu berkata, “Untuk menghilangkan keragu-raguanmu, marilah kita bertemu dengan Ki Patih Mandaraka.”

Glagah Putih tidak dapat menolak. Ia memang ingin membuktikan apakah orang itu tidak berbohong.

Demikianlah, maka sejenak kemudian, lima orang telah berkuda menuju ke Mataram. Ki Ajar ternyata juga membawa seekor kuda yang disembunyikannya ditempat yang sepi.

Glagah Putih dan Sabungan membiarkan ketiga orang itu berkuda di depan. Ia benar-benar ingin membuktikan apakah Ki Ajar Gurawa itu benar-benar mengenal Ki Patih Mandaraka.

Demikian mereka memasuki Kotaraja, maka jantung Glagah Putih dan Sabungsari menjadi berdebar-debar. Dengan perlahan-lahan Sabungari berkata, “Nampaknya kita benar-benar menuju ke rumah Ki Patih.”

“Ya,” desis Glagah Putih, “tetapi biarlah kita menghadap Ki Patih Mandaraka. Akupun ingin tahu, apakah hubungannya antara Ki Patih dan Ki Wirayuda, sehingga orang itu telah merambat dari Ki Patih ke Ki Wirayuda, sebelum menemui kita.”

Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya, “Di hadapan Ki Patih aku tidak akan dapat bersembunyi lagi, jika benar Ki Patih mengetahui apa yang bersama-sama kita lakukan.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Kita baru akan tahu nanti.”

Tetapi seperti yang dikatakan oleh Sabungsari, mereka benar-benar menuju ke rumah Ki Patih Mendaraka. Orang terpenting di Mataram setelah Panembahan Senapati. Bahkan kedudukannya lebih penting dari para Pangeran, adik dan putra-putra Panembahan Senapati sendiri.

Sebenarnyalah, beberapa saat kemudian, mereka telah memasuki regol halaman rumah Ki Patih Mandaraka. Mereka menuntun kuda mereka melintasi halaman, setelah menjawab beberapa pertanyaan dari seorang prajurit yang bertugas di regol.

“Kita harus menunggu di gardu itu,” berkata orang yang menyebut dirinya Ki Ajar Gurawa.

Mereka berlima pun kemudian telah pergi ke gardu di sebelah gandok kiri. Beberapa orang prajurit bertugas di gardu itu. Dalam keadaan yang tenang, biasanya tidak nampak beberapa orang prajurit yang berjaga-jaga di gardu itu. Biasanya hanya dua atau tiga orang saja. Namun nampaknya Mataram memang belum tenang setelah perang dengan Madiun berakhir. Sebab keadaan Kota Mataram sendiri yang sering diganggu oleh anak-anak nakal, dan bahkan kemudian orang-orang yang mengaku dari kelompok Gajah Liwung yang kuat, yang sengaja datang dari luar Kotaraja Mataram, selain hubungan Mataram dengan Pati yang nampaknya telah disaput oleh mendung yang semakin menebal. Sejak Adipati Pati meninggalkan Madiun mendahului pasukan Panembahan Senapati yang masih akan menuju ke timur, maka Adipati Pati itu tidak mau lagi datang ke Mataram. Bahkan Pati mulai menunjukkan sikap bermusuhan dengan Mataram.

Pemimpin prajurit yang bertugas memang mempersilahkan mereka menunggu.

“Ki Patih baru saja datang dari paseban,” berkata pemimpin prajurit itu. “Kami akan menyampaikannya kepada Pelayan Dalam.”

Ki Ajar Gurawa bersama kedua muridnya serta Glagah Putih dan Sabungsari kemudian duduk di gardu itu untuk menunggu, apakah Ki Patih dapat menerima mereka atau tidak.

Ternyata Ki Patih sama sekali tidak berkeberatan. Ketika ia mendengar Ki Ajar Gurawa ingin menghadap, maka Pelayan Dalam itu pun telah diperintahkannya untuk membawa Ki Ajar Gurawa itu ke serambi.

Demikian kelima orang tamu itu menghadap, maka Ki Patih pun telah menyambut mereka sambil menyapa, “Jadi Ki Ajar telah bertemu dengan Glagah Putih dan Sabungsari?”

“Sabungsari? Pemimpin kelompok Gajah Liwung yang Ki Patih maksudkan?” bertanya Ki Ajar.

“Ya. Apakah Ki Ajar belum mengenal orang itu?” bertanya Ki Patih pula.

Ki Ajar memang termangu-mangu sejenak. Namun panggraitanya yang tajam segera membuatnya tanggap. Sambil memandang Sabungsari yang duduk di sebelah Glagah Putih, Ki Ajar itu pun berkata, “Jadi anakmas inikah yang bernama Sabungsari?”

“Ya,” Ki Patih tertawa, “nampaknya Sabungsari belum memperkenalkan dirinya.”

Sabungsari tertawa pula tertahan. Katanya sambil mengangguk hormat, “Aku memang belum memperkenalkan diriku Ki Patih.”

“Nah, sekarang kalian telah mengenal semuanya. Sabungsari dan Glagah Putih, sementara itu mereka berdua tentu sudah mengenal Ki Ajar Gurawa bersama kedua muridnya,” berkata Ki Patih.

“Sudah Ki Patih,” Sabungsari dan Glagah Putih menjawab hampir bersamaan.

“Aku memang sudah mengira bahwa kalian tentu akan datang pada suatu saat. Aku yakin bahwa Sabungsari dan Glagah Putih tidak akan percaya begitu saja kepada Lenggana dan Paripih. Bahkan ternyata juga kepada Ki Ajar Gurawa. Tetapi itu wajar sekali,” berkata Ki Patih Mandaraka.

“Kami berdua sama sekali belum pemah mengenal mereka, Ki Patih. Kami takut kalau-kalau mereka justru menyalahgunakan nama Ki Patih,” berkata Sabungsari.

“Ya, ya. Aku mengerti,” jawab Ki Patih. Lalu katanya selanjurnya, “Tetapi bukankah Ki Ajar Gurawa telah menceritakan niat kedua muridnya untuk bergabung dengan kalian?”

“Ya Ki Patih,” jawab Sabungsari.

“Kalian berkeberatan?” bertanya Ki Patih pula.

“Jika hal ini telah diketahui oleh Ki Patih, sudah tentu kami tidak akan berkeberatan,” jawab Sabungsari.

Ki Patih tersenyum. Ia sempat bertanya, “Bagaimana kedua murid Ki Ajar itu dapat bertemu dengan Glagah Putih?”

“Ancar-ancar itu ternyata dapat segera kami kenali. Tidak ada seorangpun yang memiliki kuda setegar kuda Glagah Putih. Apalagi ketika kami menjumpainya di Tanah Perdikan Menoreh,” jawab Ki Ajar Gurawa.

Dengan singkat Ki Ajar Gurawa sempat menceritakan bagaimana caranya kedua muridnya memperkenalkan diri kepada Glagah Putih dan Sabungsari.

“Satu cara yang bagus,” desis Ki Patih.

Namun Ki Ajar itu berkata, “Meskipun jantungku hampir terlepas ketika Glagah Putih yang mulai kehilangan kesabaran berdiri tegak dengan tangan mulai terangkat untuk bersilang di dadanya. Untunglah muridku tanggap dan segera menghentikan pertempuran. Demikian pula adiknya yang bertempur melawan Sabungsari.”

Ki Patih tertawa. Katanya, “Nah, untuk seterusnya terserah kepada Sabungsari dan Glagah Putih.”

Tetapi Sabungsari ternyata telah memberanikan dirinya untuk bertanya, “Tetapi ternyata Ki Patih telah mengetahui kegiatan kami selama ini.”

Ki Patih Mandaraka tersenyum. Katanya, “Bukankah aku mengenal seorang prajurit sandi yang bernama Ki Wirayuda?”

Sabungsari mengangguk-angguk kecil. Sementara Ki Patih berkata selanjutnya, “Aku memang telah memberikan persetujuan ketika Wirayuda memberitahukan kepadaku tentang sebuah kelompok yang menamakan diri kelompok Gajah Liwung. Ki Wirayuda dengan terperinci telah melaporkan tentang tujuan dari kelompok ini serta pendukung-pendukungnya.”

Sabungsari masih saja mengangguk-angguk.

“Aku memang bukan seorang yang mempunyai kebebasan mutlak untuk menempuh segala macam cara menanggapi perkembangan keadaan di Mataram dan lingkungannya. Namun aku mencoba dengan cara yang tidak sesuai sepenuhnya dengan paugeran untuk mengatasi gejolak yang terjadi. Aku lebih condong menilai siapakah orang-orang yang melakukannya, daripada cara yang akan dipergunakannya. Dengan menilai siapakah orangnya, maka sudah termasuk di dalamnya cara yang dipakainya, batas-batas tindakan yang diambil, serta usaha untuk tetap menjunjung tinggi nilai-nilai yang berlaku di dalam tata kehidupan. Seandainya yang melakukannya orang lain, mungkin aku akan berkeberatan atau bahkan sangat berkeberatan. Tetapi setelah aku mendengar nama-nama Sabungsari, salah seorang perwira yang terpercaya di Jati Anom yang turun ke dalam kelompok ini atas ijin Untara, Glagah Putih yang dilepas oleh Agung Sedayu, serta beberapa orang lain yang dapat dipercaya, maka aku yakin bahwa kelompok ini akan melakukan tugas-tugasnya sesuai dengan niatnya sejak semula. Karena itu, ketika terjadi kematian dalam satu benturan dengan kelompok lain, maka dengan cepat Ki Wirayuda menghubungi kalian. Namun Ki Wirayuda menilai bahwa korban benturan itu memang tidak mungkin dihindarkan. Sementara itu, Ki Wirayuda juga sudah melaporkan tentang peti-peti yang diketemukan oleh kelompok kalian dan sekarang telah tersimpan dengan baik dalam bangsal perbendaharaan. Jika pada suatu saat diketahui siapa pemiliknya, maka benda-benda berharga itu dapat dikembalikan. Jika tidak mungkin, maka benda-benda berharga itu dapat dipergunakan untuk kepentingan orang banyak,” Ki Patih Mandaraka menjelaskan.

Sabungsari mengangguk-angguk semakin dalam. Ternyata apa yang dilakukan oleh kelompoknya sudah diketahui oleh Ki Patih Mandaraka, meskipun hal itu bukan berarti bahwa dengan sendirinya Panembahan Senapati juga sudah mengetahui.

Namun dalam pada itu Ki Patih telah berkata selanjurnya, “Kelompok yang juga menyebut dirinya Gajah Liwung itu benar-benar satu kelompok yang kuat.”

Dalam pada itu, Ki Ajar Gurawa telah menyela, “Apakah menurut Ki Patih Mandaraka, kelompok yang juga menyebut namanya Gajah Liwung itu ada hubungannya dengan sikap Pati?”

“Agaknya tidak,” jawab Ki Patih Mandaraka, “Angger Adipati Pati termasuk seorang laki-laki yang mempunyai harga diri yang tinggi. Aku kira Angger Adipati tidak akan bekerja sama dengan kelompok-kelompok seperti itu. Meskipun dalam perang, banyak cara yang dapat ditempuh, yang kadang-kadang lepas dari penalaran.”

“Maksudku, bukan sebagai alat dari Adipati Pati untuk mengganggu Mataram. Tetapi orang itu telah menangkap kemelut yang terjadi di perbatasan antara Pati dan Mataram, maka orang-orang itu telah mempergunakan kesempatan untuk memancing ikan saat air keruh,” berkata Ki Ajar Gurawa.

Tetapi Ki Patih menggeleng sambil menjawab, “Aku belum dapat memastikan, apakah sikap mereka mempunyai hubungan tidak langsung dengan persoalan yang timbul antara Pati dan Mataram. Tetapi aku yakin, bahwa tidak ada hubungan langsung antara mereka dengan Pati dalam persoalan ini.”

Ki Ajar Gurawa mengangguk-angguk. Katanya, “Sayang sekali bahwa Pati tidak dapat mengendalikan diri, sehingga hubungan yang terjalin sejak Ki Gede Pemanahan dan Ki Penjawi itu harus pecah. Kedua saudara seperguruan itu telah menempuh satu jalur kehidupan yang panjang dalam derap langkah yang serasi.”

“Bukankah aku orang ketiga di antara mereka?” sela Ki Patih.

“Ki Patih waktu itu sebagai Ki Juru Martani, menjadi panutan mereka berdua,” jawab Ki Ajar Gurawa.

Ki Patih Mandaraka menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ya Ki Ajar tentu tahu benar akan hal itu.”

“Meskipun aku berdiri di luar lingkaran persaudaraan Ki Patih dengan Ki Gede Pemanahan dan Ki Penjawi, tetapi aku merasa bahwa aku sangat dekat berhubungan dengan mereka,” berkata Ki Ajar Gurawa.

“Karena itu, aku percaya kepadamu Ki Ajar,” sahut Ki Patih, “sehingga aku setuju kedua muridmu bergabung dengan kelompok Gajah Liwung untuk mendapatkan pengalaman yang lebih luas.”

Ki Ajar Gurawa itu pun mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia berdesis, “Terima kasih Ki Patih. Kami, aku dan murid-muridku, akan menjunjung tinggi kepercayaan ini.”

“Serahkan kedua muridmu dengan penuh kepercayaan pula kepada Sabungsari dan Glagah Putih,” berkata Ki Patih Mandaraka. “Tentu Ki Patih,” jawab Ki Ajar Gurawa, “aku telah mempercayakan kedua muridku kepada mereka. Apalagi setelah aku melihat, betapa keduanya memiliki ilmu yang sangat tinggi.”

Ki Patih Mandaraka pun mengangguk-angguk. Dengan demikian ia yakin bahwa kelompok Gajah Liwung akan menjadi semakin kuat.

Namun dalam pada itu Glagah Putih pun berkata, “Sebenarnyalah Ki Patih, Guru pun sekarang berada di antara kami, kelompok Gajah Liwung.”

“Siapa?” bertanya Ki Patih.

“Ki Jayaraga,” jawab Glagah Putih.

Ki Patih Mandaraka pun mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih berkata, “Guru mempunyai kepentingan khusus dengan Ki Podang Abang, yang ternyata orang yang justru melindungi kelompok yang juga mengaku kelompok Gajah Liwung itu. Ada semacam perhitungan yang akan dibuat oleh Podang Abang ketika mereka bertemu. Namun perhitungan itu agaknya masih tertunda.”

Ki Patih Mandaraka mengangguk-angguk. Katanya, “Ada baiknya gurumu berada di dalam lingkungan kelompok itu. Ia akan dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan bagi kalian jika kalian menghadapi persoalan yang gawat, selain Ki Wirayuda.”

“Jika demikian,” tiba-tiba Ki Ajar Gurawa menyambung, “aku akan ikut sama sekali di dalam kelompok itu.”

Ki Patih tersenyum. Namun katanya, “Baiklah. Jika kau memang sudah berniat. Agaknya baik juga kau ikut mengawasi anak-anak itu. Dengan demikian maka kelompok ini akan semakin terikat pada tujuannya. Gejolak perasaan akan lebih terkendali.”

“Tetapi segala sesuatunya tergantung kepada Sabungsari dan Glagah Putih,” berkata Ki Ajar Gurawa.

“Tentu kami akan sangat bergembira menerima Ki Ajar. Ki Jayaraga tidak akan merasa kesepian,” berkata Sabungsari.

Ternyata bahwa Ki Ajar Gurawa benar-benar menyatakan dirinya untuk menemani Ki Jayaraga. Dengan demikian maka Ki Ajar Gurawa telah menyatakan diri untuk ikut bersama-sama dengan anak-anak muda itu menuju ke Sumpyuh.

“Namun kami berdua masih harus menghadap Ki Wirayuda,” berkata Sabungsari.

“Untuk apa?” bertanya Ki Patih.

“Kami harus melaporkan bahwa ada perubahan dalam susunan anggota kami,” jawab Sabungsari.

“Ki Wirayuda sudah tahu bahwa dua orang murid Ki Ajar Gurawa akan menjadi anggota Gajah Liwung. Tetapi Ki Wirayuda memang belum tahu bahwa Ki Ajar sendiri akan ikut pula di dalamnya,” berkata Ki Patih kemudian.

“Bukan kedua murid Ki Ajar itu Ki Patih,” berkata Sabungsari.

“Jadi siapa?” bertanya Ki Patih.

“Rara Wulan, cucu Ki Lurah Branjangan, telah mengundurkan diri dari kelompok Gajah Liwung,” jawab Sabungsari.

“Cucu Ki Lurah Branjangan?” bertanya Ki Patih, “Kenapa?”

“Nampaknya gadis itu telah mendekati satu masa peralihan. Dari seorang gadis menjadi seorang perempuan yang utuh,” jawab Sabungsari.

Ki Patih mengangguk-angguk. Katanya, “Apa boleh buat. Alasan itu kuat sekali. Namun lepas dari alasan itu, aku sependapat bahwa di dalam kelompok ini tidak ada seorang gadis. Tugas-tugas yang berbahaya serta kemungkinan-kemungkinan buruk akan dapat terjadi. Mungkin salah seorang di antara kalian tertangkap. Nah, bayangkan jika yang tertangkap itu seorang gadis.”

Bulu tengkuk Sabungsari dan Glagah Putih memang meremang mengingat bahaya yang pernah mereka hadapi bersama dengan Rara Wulan. Seperti yang dikatakan oleh Ki Patih, apa jadinya jika Rara Wulan tertangkap. Sementara itu ada di antara orang-orang dari kelompok yang juga mengaku bernama Gajah Liwung yang dengan sengaja telah menculik gadis-gadis, sebagaimana pernah dibebaskan oleh kelompok Gajah Liwung yang dipimpin oleh Sabungsari itu.

Namun kini Rara Wulan tidak lagi ikut dalam kegiatan yang berbahaya itu. Ia sudah aman berada di Tanah Perdikan, meskipun mungkin ada juga orang yang mengetahuinya. Yang menjadi persoalan bagi Rara Wulan kemudian bukan lagi kelompok-kelompok lain yang mungkin menangkapnya, tetapi anak-anak muda yang pernah tertarik kepadanya. Bahkan pernah melamarnya kepada orang tuanya.

Tetapi serba sedikit Rara Wulan mempunyai bekal untuk melindungi dirinya sendiri. Karena itu, maka bersama-sama dengan Sekar Mirah agaknya tidak ada yang dapat mengganggunya lagi.

Meskipun sebenarnya masih juga ada dua atau tiga orang anak muda yang mendendam kepada Rara Wulan. Sikap Rara Wulan yang ramah telah menimbulkan salah paham, sehingga ada di antara anak-anak muda yang kemudian merasa dipermainkan oleh Rara Wulan.

Tetapi pada umumnya mereka tidak tahu, kemana Rara Wulan bersembunyi.

Demikianlah, maka Ki Patih Mandaraka menyatakan bahwa mereka tidak perlu melapor khusus kepada Ki Wirayuda.

“Aku akan mengatakannya,” berkata Ki Patih itu kemudian.

“Terima kasih Ki Patih,” Sabungsari membungkuk hormat.

Dengan demikian, maka beberapa orang yang menghadap Ki Patih itu pun segera mohon diri untuk pergi ke Sumpyuh, sarang kelompok Gajah Liwung yang untuk sementara menanggalkan namanya lebih dahulu.

Ki Patih Mandaraka pun telah melepas mereka sampai ke tangga serambi. Kemudian, kelima orang itu pun langsung menuju ke halaman.

Beberapa saat kemudian, kelima orang itu telah meninggalkan halaman Kepatihan. Kuda-kuda itu pun telah berderap di atas jalan-jalan di kota Mataram.

Namun dalam pada itu, Glagah Putih telah melihat seseorang mengawasinya dengan tatapan mata yang tidak berkedip. Seorang yang telah dikenalnya sebelumnya.

“Untunglah orang itu tidak melihat kita keluar dari regol Kepatihan,” desis Glagah Putih.

Sabungsari mengangguk kecil. Namun Sabungsari justru menarik kekang kudanya, sehingga kudanya pun menepi mendekap orang itu yang termangu-mangu.

“Apakah ada yang kau tunggu Ki Podang Abang?” bertanya Sabungsari.

Orang itu mencoba tersenyum. Katanya, “Tidak. Aku hanya sekedar berjalan-jalan saja. Tiba-tiba saja aku melihat kalian. Nampaknya kalian mempunyai satu keperluan di kota ini.”

“Aku memang tinggal di kota ini,” jawab Sabungsari.

Podang Abang tersenyum. Katanya, “Aku memang belum menemukan sarangmu. Tetapi barangkali aku dapat titip pesan, sampaikan kepada Ki Jayaraga. Aku menunggunya.”

“Ki Jayaraga tahu benar kalau Ki Podang Abang menunggunya,” jawab Sabungsari, “mungkin Ki Podang Abang dan Ki Jayaraga selalu berselisih jalan. Nah, apakah Ki Podang Abang berpesan saja kepadaku, kapan dan dimana Ki Podang Abang ingin bertemu dengan Ki Jayaraga?”

“Aku tidak dapat menentukan,” jawab Ki Podang Abang, “ika demikian maka kalian akan dapat berbuat curang. Kalian akan datang dengan seluruh pengikut kalian.”

Sabungsari tertawa. Katanya, “Bukankah kita pernah menimbang kemampuan?”

Ki Podang Abang justru tertawa. Katanya, “Nah. Salamku buat Ki Jayaraga.”

“Aku akan menyampaikannya,” jawab Sabungsari.

Namun tiba-tiba saja Podang Abang itu bertanya, “Sekarang kalian akan pergi kemana?”

Hampir saja Sabungsari menjawab bahwa mereka akan pergi ke Sumpyuh. Untunglah bahwa ia segera menyadarinya. Karena itu maka jawabnya, “Aku akan melihat-lihat suasana. Meskipun aku tinggal di kota ini, tetapi aku jarang mendapat kesempatan untuk melihat-lihat, karena kesibukanku.”

“Kesibukan? Apa kerjamu selanjutnya?” bertanya Podang Abang.

“Bukankah aku seorang pande besi? Aku membuka pande besi di pinggir pasar. Di sana ada lima pande besi berjajar, masing-masing dalam gubugnya. Aku yang di tengah-tengah. Tetapi kau tentu tidak akan menemukan aku di sana hari ini, karena aku ada di sini,” jawab Sabungsari.

Ki Podang Abang mengerutkan keningnya. Namun ketika Sabungsari tertawa, Ki Podang Abang pun tertawa pula. Katanya, “Sebut saja pekerjaan yang jarang dilakukan orang.”

Sabungsari masih tertawa. Namun kemudian iapun berkata, “Baiklah. Aku akan meneruskan perjalanan.”

“Silahkan. Pada suatu saat, aku akan membuat penyelesaian dengan Ki Jayaraga itu,” berkata Podang Abang.

“Pada suatu saat,” Sabungsari mengulang.

Ki Podang Abang mengerutkan dahinya. Tetapi ia tidak berbicara apapun lagi.

Sementara itu, Sabungsari pun telah meneruskan perjalanannya. Yang lain berhenti beberapa langkah daripadanya. Demikian Sabungsari mulai bergerak, yang lain pun telah bergerak pula.

Demikian mereka mulai meninggalkan tempat itu, Podang Abang pun telah pergi pula ke arah yang berlawanan.

“Itulah Podang Abang,” berkata Glagah Putih kepada Ki Ajar Gurawa.

“Jadi orang itukah yang mempunyai persoalan dengan Ki Jayaraga?” bertanya Ki Ajar Gurawa.

“Ya. Ia seorang yang berilmu sangat tinggi. Kehadirannya di Mataram tidak begitu dimengerti. Apakah maksudnya yang sebenarnya. Apakah sekedar ingin merampok dan menyamun sebagaimana dilakukannya sekarang, atau ada maksud yang lain. Misalnya dalam hubungannya dengan Pati,” sahut Sabungsari. “Meskipun menurut penilaian Ki Patih bahwa Adipati Pati tidak akan melakukan cara yang licik, namun segala sesuatunya akan dapat terjadi. Mungkin hubungan tak langsung, atau untuk kepentingan yang lain.”

Yang lain mengangguk-angguk. Pendapat Sabungsari memang masuk akal. Agaknya Ki Patih Mandaraka masih saja dibayangi oleh sikap dan persahabatannya dengan ayah Adipati Pati.

Sementara itu Ki Ajar Gurawa berkata, “Pendapat Ki Patih dapat dimengerti. Apalagi mereka yang telah mengenal Ki Panjawi, saudara seperguruan Ki Gede Pemanahan ayahanda Panembahan Senapati, serta saudara seperguruan pula dengan Ki Patih Mandaraka yang waktu itu bernama Ki Juru Martani seperti yang telah aku katakan. Tetapi kita juga melihat kemungkinan seseorang itu berubah sikap. Karena sesuatu hal yang sangat berkesan di dalam hatinya, maka kemungkinan itu dapat terjadi.”

Sabungsari dan Glagah Putih mengangguk-angguk. Mereka pun sependapat, bahwa dalam keadaan yang rumit, mungkin saja terjadi perubahan sikap.

Namun mereka tidak berbicara berkepanjangan. Mereka pun kemudian telah menuju ke pintu gerbang kota. Mereka tidak ingin diikuti oleh Podang Abang dengan cara apapun juga. Karena itu maka demikian mereka keluar dari Kotaraja, mereka pun telah berderap semakin cepat menuju ke Sumpyuh.

Namun kemudian mereka pun yakin bahwa tidak seorangpun sempat mengikuti mereka. Bahkan mengawasi dari jarak yang jauh. Apalagi mereka tidak mengambil jalan yang langsung menuju ke sasaran. Tetapi mereka telah mengambil jalan melingkar, karena jarak beberapa ratus patok tidak menjadi persoalan bagi kuda-kuda mereka.

Ketika mereka sampai di sarang mereka, maka mereka telah disambut oleh kawan-kawan mereka kelompok Gajah Liwung, termasuk anggauta yang tertua, Ki Jayaraga.

Yang pertama dilakukan oleh Sabungsari adalah memperkenalkan Ki Ajar Gurawa bersama kedua muridnya kepada Ki Jayaraga dan para anggta kelompok itu.

“Anggta kita akan bertambah dengan dua orang,” berkata Sabungsari.

“Tiga orang,” sahut Ki Ajar Gurawa, “aku telah menyatakan diri untuk menjadi anggota Gajah Liwung, untuk menemani Ki Jayaraga.”

Ki Jayaraga tertawa. Katanya, “Tetapi jangan menggeser kedudukanku sebagai anggota yang tertua di sini.”

“Mudah-mudahan tidak. Mudah-mudahan umurku lebih muda dari Ki Jayaraga,” jawab Ki Ajar Gurawa.

Ketika mereka kemudian berbincang-bincang agak panjang, sekali-sekali diselingi dengan kelakar yang segar, Sabungsari dan Glagah Putih mulai melihat bahwa Ki Ajar Gurawa termasuk seorang yang gembira. Caranya memperkenalkan murid-muridnya kepada Glagah Putih pun aneh pula. Agaknya Ki Ajar dapat bergaul dengan baik dan sesuai dengan Ki Jayaraga, dan jika ada, Ki Lurah Branjangan.

Dengan demikian maka kelompok kecil itupun menjadi semakin kuat. Namun Sabungsari pun kemudian berkata, “Kami masih harus mulai lagi dari awal sejak sarang kami yang pertama dibakar hangus. Karena itu, untuk sementara kita tidak berbuat sesuatu kecuali menunggu satu perkembangan yang memungkinkan kita bergerak.”

“Kita akan mengamati keadaan lebih dahulu,” berkata Rumeksa.,

Namun dalam pada itu, beberapa orang anggota yang lain telah menanyakan Rara Wulan. Apakah ia benar-benar tidak akan hadir lagi di antara anggota-anggota kelompok Gajah Liwung.

“Kedua orang tuanya berkeberatan,” Sabungsari-lah yang menjawab. “Jika kelak bekalnya sudah cukup, maka ia akan turun lagi ke dalam kegiatan kita yang berbahaya ini.”

Tetapi yang lain tertawa sambil berkata, “Sebaiknya ditanyakan saja kepada Glagah Putih.”

Wajah Glagah Putih memang menjadi kemerah-merahan. Namun ia hanya tersenyum saja mendengar kata-kata itu. Bahkan beberapa orang yang lain mulai mengganggunya pula.

Demikianlah, sejak saat itu anggota kelompok itu menjadi bertambah banyak. Tetapi rasa-rasanya tanpa Rara Wulan kelompok itu menjadi kering. Seperti sekelompok anak-anak yang kehausan ditinggal ibunya pergi untuk waktu yang tidak ditentukan. Rasa-rasanya tidak ada lagi yang menyediakan minuman bagi mereka. Menyapa dengan suara lembut, meskipun Rara Wulan juga sering marah, serta suara tertawanya yang sejuk.

Tetapi mereka tidak dapat minta agar gadis itu berada kembali di antara mereka.

Di hari-hari berikutnya, maka kelompok itu telah mulai mengadakan pengamatan. Namun setiap kali mereka harus memperhatikan dua kemungkinan yang dapat terjadi atas mereka. Mereka di curigai dan ditangkap prajurit, atau mereka masuk ke dalam perangkap kelompok yang juga menyebut dirinya dengan nama Gajah Liwung, serta Podang Abang. Sementara itu Ki Jayaraga dengan penuh kewaspadaan telah mempersiapkan dirinya pada setiap saat menghadapi Podang Abang itu.

Dalam pada itu, kelompok-kelompok yang lain, yang sebelum kehadiran kelompok yang menamakan dirinya Gajah Liwung termasuk kelompok yang besar, ternyata telah menghentikan sebagian besar kegiatan mereka. Dari Ki Wirayuda, Rumeksa mendapat keterangan bahwa telah terjadi benturan yang pahit dengan kelompok yang menamakan dirinya Sidat Macan. Tiga orang dari kelompok Sidat Macan terbunuh. Nampaknya orang-orang dari kelompok yang menyebut dirinya Gajah Liwung itu jauh lebih kuat dari lawannya. Di saat kelompok Sidat Macan mencoba muncul di gelanggang, maka peristiwa yang pahit itu telah terjadi. Meskipun hal itu dirahasiakan oleh kelompoknya, namun prajurit sandi berhasil mencium baunya.

Dengan demikian maka kelompok Macan Putih, kelompok Klabang Ireng dan kelompok-kelompok yang lain lagi, untuk sementara merasa lebih baik mutlak menghentikan kegiatan mereka.

Keterangan itu memang menarik perhatian. Justru karena kelompok-kelompok yang lain mutlak menghentikan kegiatan mereka, maka kelompok Gajah Liwung merasa terpanggil untuk turun ke gelanggang.

“Tanpa lawan sama sekali, maka kelompok yang juga menyebut namanya kelompok Gajah Liwung akan menjadi semakin ganas,” berkata Naratama.

“Tetapi para prajurit sandi tidak akan merasa terganggu oleh kehadiran kelompok-kelompok yang lain, sehingga mereka akan lebih mudah untuk bertindak,” desis Pranawa

“Prajurit Mataram akan bertindak sesuai dengan paugeran. Kadang-kadang, dengan mengikuti jalur paugeran, mereka justru terlambat,” sahut Mandira.

Pranawa mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Setiap kali orang-orang yang dicurigai harus dilepaskan kembali, karena pada mereka tidak terdapat bukti apapun.”

“Kita akan dapat bersikap lain jika kita yakin bahwa orang itu memang bersalah,” desis Sabungsari.

“Aku menangkap maksudmu,” sahut Glagah Putih, “justru dalam keadaan seperti ini, kita dapat tampil.”

Ternyata semua anggota Gajah Liwung sependapat. Mereka akan tampil ke gelanggang untuk melawan kejahatan yang semakin meningkat, yang dilakukan dengan cerdik sehingga sulit untuk dibuktikan. Para prajurit Mataram yang tidak dapat bertindak tanpa kekuatan bukti dan saksi, memang menjadi ragu-ragu. Tetapi orang-orang Mataram justru telah diliputi oleh perasaan yang aneh menghadapi kelompok yang menyebut dirinya Gajah Liwung. Banyak orang yang menolak untuk menjadi saksi dalam satu perkara, karena mereka tidak berani menanggung akibatnya. Mereka akan dapat terbunuh kapanpun, dan bahkan mungkin keluarganya sekali.

Ki Ajar Gurawa dan Ki Jayaraga, orang-orang tua dalam kelompok itu pun ternyata sependapat, bahwa harus ada sekelompok orang yang berani melawan kelompok Gajah Liwung itu dengan cara yang lebih cepat dari cara yang dilakukan para prajurit Mataram.

Dalam pada itu, sejalan dengan kegiatan yang meningkat dari orang-orang Gajah Liwung, maka meningkat pula-lah kegiatan yang meracuni rakyat Mataram. Anak-anak muda semakin dekat dengan tuak, judi dan permainan-permainan yang mengarah kepada perjudian. Sabung ayam, sabung gemak dan bahkan gamparan dan jirak kemiri pun menjadi alat perjudian, karena setiap butir miri dalam permainan jirak itu dinilai dengan uang. Sementara itu, kumandang dari kebesaran nama Yang Maha Agung pun rasa-rasanya menjadi susut.

Namun di saat keputusan itu jatuh, dan sebelum orang-orang Gajah Liwung turun, telah terjadi pula satu kejahatan yang sangat berani di tengah-tengah Kota Mataram. Rumah seorang saudagar yang kaya dan berpengaruh telah dirampok habis-habisan. Empat orang yang diupah oleh Ki Saudagar untuk ikut menjaga rumahnya selain keluarganya, tidak dapat berbuat apa-apa. Bahkan ketika mereka mencoba melawan, dua di antara mereka telah terbunuh.

Sedangkan saudagar itu sendiri mengalami luka luka. Seorang anak laki-lakinya yang meningkat dewasa telah dibawa oleh para perampok, dan diketemukan keesokan harinya dalam keadaan yang mencemaskan karena luka-luka pula di tubuhnya. Namun agaknya nyawanya masih akan dapat diselamatkan.

“Bukan pekerjaan yang mudah untuk menemukan para perampok itu,” berkata Rumeksa, “bahkan jika kita tidak berhati-hati, kita akan dapat berbenturan dengan para prajurit sandi.”

Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya, “Yang mereka lakukan telah keterlaluan.”

“Itulah sebabnya, prajurit sandi tentu juga bersedia melacaknya,” jawab Rumeksa.

“Kita akan menemui saudagar itu,” desis Glagah Putih. Tetapi Rumeksa menyahut, “Kita tidak dapat tergesa-gesa melakukannya. Tentu ada prajurit sandi yang mengawasinya. Jika mereka menganggap kedatangan kita mencurigakan, maka mungkin kita akan ditangkap.” 

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Jika kita ingin berbuat sesuatu, bagaimana kita akan mulai?”

“Aku akan mulai,” desis Ki Jayaraga.

“Darimana Ki Jayaraga berangkat?” bertanya Sabungsari.

“Memancing pertemuan dengan Podang Abang,” jawab Ki Jayaraga.

Sabungsari mengangguk-angguk. Satu-satunya orang yang akan dapat dikenalinya.

“Aku akan pergi ke Kota. Menurut pendapatku, Podang Abang dan beberapa orangnya tentu selalu berkeliaran di Kota. Mereka berusaha untuk mendapat keterangan tentang apapun. Aku akan mengikuti jalur jalan yang kita bicarakan sebelumnya. Kemudian beberapa orang mengawasi aku dan jalan yang aku lalui. Mudah-mudahan Podang Abang benar-benar menemui aku dimanapun juga. Tetapi di antara kita pun harus melihat kemungkinan orang-orangnya ikut berkeliaran di sekitamya,” berkata Ki Jayaraga.

Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya, “Satu usaha. Kita tidak tahu usaha ini akan berhasil atau tidak. Tetapi kita harus membuat perencanaan yang sebaik-baiknya.”

“Orang itu tentu tidak mengenal aku,” berkata Ki Ajar Gurawa, “meskipun kami pernah bertemu.”

Ki Jayaraga mengerutkan keningnya. Tetapi kemudian ia bertanya, “Bagaimana jika orang itu mengenali Ki Ajar?”

“Tentu tidak. Waktu itu aku berhenti agak jauh. Aku sudah berusaha untuk tidak menghadap kepada orang yang ternyata Podang Abang itu, karena aku memang berniat untuk tidak dapat diketahui, meskipun aku tidak tahu siapa orang itu,” jawab Ki Ajar Gurawa. “Namun tujuanku agak berbeda. Aku hanya tidak ingin dikenal jika aku menjadi anggota kelompok ini. Waktu itu aku tidak berpikir lebih jauh.”

“Agaknya waktu itu Podang Abang juga tidak memperhatikan orang-orang lain kecuali kami berdua,” sahut Sabungsari.

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku kira kita akan dapat membuat sebuah permainan untuk memancing Podang Abang dan orang-orangnya. Dari sana kita akan berangkat, melihat apa yang selama ini mengganggu Kotaraja.”

Dengan demikian maka orang-orang dari kelompok Gajah Liwung itu telah menyusun satu rencana untuk memancing Podang Abang. Di hari yang sudah direncanakan, Ki Jayaraga akan berjalan-jalan di jalan-jalan Kota. Di tempat-tempat tertentu anggota yang lain akan mengawasi keadaan. Mungkin mereka akan dapat menemukan satu dua orang dari kelompok yang juga menyebut dirinya Gajah Liwung, yang tentu juga mengawasi Podang Abang yang nampaknya sendirian.

Namun sebelumnya, Ki Ajar Gurawa dan kedua muridnya telah bersedia untuk melihat-lihat Kota. Suasananya dan mungkin ada beberapa hal yang mencurigakan.

“Kalian harus memasuki daerah-daerah yang menjadi pusat perjudian atau sabung ayam,” berkata Ki Jayaraga.

Ki Ajar Gurawa mengangguk. Katanya, “Ya. Mungkin di tempat semacam itu akan dapat ditelusuri juga jalur yang menuju ke kelompok yang sedang dihadapi itu. Menurut prajurit sandi, tentu ada hubungan antara kelompok itu dengan berkembangnya tempat-tempat yang dapat disebut gelap.”

“Tetapi berhati-hatilah,” pesan Ki Jayaraga, “jika kalian justru menjadi mabuk tuak di tempat-tempat seperti itu dan mengigau sekehendak perutmu, maka justru sarang kita-lah yang akan menjadi sasaran sebagaimana pernah terjadi.”

Ki Ajar Gurawa tertawa. Katanya, “Aku tidak dapat mabuk berapapun banyaknya aku minum tuak.”

“Nah,” berkata Sabungsari, “kita masih mempunyai waktu tiga hari untuk mempersiapkan rencana kita memancing Podang Abang. Jika Ki Ajar Gurawa akan memanfaatkan waktu yang tiga hari itu, kami persilahkan. Beberapa orang di antara kami juga akan mencoba menghubungi jalur-jalur yang mungkin dapat memberikan petunjuk. Terutama pasukan sandi Mataram lewat Ki Wirayuda.”

Dengan demikian, sebelum para anggota Gajah Liwung itu melakukan rencananya memancing Podang Abang, maka mereka telah mencari jalan samping yang mungkin dapat membantu rencana mereka. Beberapa orang di antaranya adalah Ki Ajar Gurawa yang akan berada di Kotaraja bersama kedua orang muridnya. Demikian pula Sabungsari dan Glagah Putih. Namun Sabungsari dan Glagah Putih tidak akan berhubungan dengan Ki Wirayuda, karena Podang Abang dan barangkali orang-orangnya sudah mengenali mereka.

Dengan bekal beberapa keterangan tentang orang-orang yang juga menyatakan dirinya dari kelompok Gajah Liwung, Ki Ajar Gurawa memasuki Kota sebagaimana orang kebanyakan. Dengan pakaian yang sedikit kasar, tingkah laku yang keras dan pembawaan lain yang membuat mereka menjadi pantas memasuki arena sabung ayam, serta tempat-tempat perjudian yang tersebar meskipun agak tersembunyi.

Berdasarkan pengalaman yang luas, maka Ki Ajar Gurawa akhirnya mendapat keterangan kemana ia harus pergi jika ia ingin memasuki arena sabung ayam. Dua orang yang menjinjing ayam jantan pilihan telah ditemuinya, dan sedikit pembicaraan telah berhasil memancing orang-orang itu untuk berbicara tentang arena sabung ayam itu.

Hari itu, Ki Ajar Gurawa dengan dua orang muridnya telah memasuki lingkungan sabung ayam dan ikut pula bertaruh, meskipun masih belum terlalu besar. Bahkan ternyata Ki Ajar Gurawa sendiri menang dalam taruhan itu, sementara murid-muridnya menderita kekalahan. Tetapi beruntung kekalahan mereka bertiga menjadi tidak seberapa. Namun dalam pada itu, ketika Rumeksa berhasil menghubungi Ki Wirayuda, ternyata ia mendapat pesan dari Ki Patih Mendaraka agar Glagah Putih datang menghadapnya. Ia boleh datang bersama dengan Sabungsari atau siapapun juga untuk menemaninya.

Glagah Putih memang menjadi berdebar-debar mendengar pesan itu. Ki Wirayuda tidak dapat mengatakan, soal apakah yang akan dibicarakan oleh Ki Patih Mandaraka.

“Apakah ada persoalan khusus tentang Ki Ajar Gurawa?” bertanya Glagah Putih kepada diri sendiri. Namun pertanyaan itu tidak akan dapat dijawabnya jika ia belum menghadap Ki Patih Mandaraka.

“Sebaiknya kita segera menghadap,” berkata Sabungsari, “tetapi kita harus berhati-hati.”

Seperti dikatakan oleh Sabungsari, maka di hari berikutnya ia dan Glagah Putih merencanakan untuk menghadap K i Patih. Sementara Ki Ajar Gurawa dan kedua orang muridnya masih akan pergi ke lingkaran sabung ayam. Sedangkan beberapa orang yang lain akan melihat-lihat keadaan.

Sabungsari dan Glagah Putih ternyata harus berhati-hati agar tidak ada seorangpun yang mengawasi mereka saat mereka memasuki Kepatihan.

Ternyata Sabungsari dan Glagah Putih sampai di Kepatihan sebelum Ki Patih Mandaraka menghadap ke paseban.

“Kemarilah,” berkata Ki Patih ketika keduanya dibawa oleh seorang pelayan dalam menghadap di serambi, “aku masih mempunyai waktu untuk berbincang sejenak.”

“Ampun Ki Patih, jika Ki Patih akan segera pergi, biarlah kami berdua menunggu sampai Ki Patih pulang nanti,” berkata Glagah Putih.

“Tidak. Aku masih mempunyai waktu. Yang aku bicarakan pun tidak begitu banyak,” jawab Ki Patih.

Glagah Putih dan Sabungsari hanya dapat menundukkan kepalanya saja, sementara Ki Patih kemudian berkata, “Persoalan yang akan aku bicarakan kali ini agak lain dengan persoalan yang pernah kita bicarakan dengan Ki Ajar Gurawa.”

Glagah Putih dan Sabungsari hanya mengangguk-angguk kecil. Tetapi jantung mereka berdebaran.

“Glagah Putih,” desis Ki Patih, “kau kenal dengan Ki Tumenggung Purbarumeksa?”

Dengan serta merta Glagah Putih mengangkat wajahnya. Dengan nada ragu ia menjawab, “Ya Ki Patih. Aku mengenalnya.”

“Apa hubunganmu dengan Ki Tumenggung Purbarumeksa?” bertanya Ki Patih kemudian.

Glagah Putih termangu-mangu. Sementara Ki Patih berkata, “Glagah Putih. Kau bagiku adalah seorang anak muda yang menarik. Sejak kau masih selalu berhubungan dengan Raden Rangga yang telah tidak ada lagi, kau aku anggap sebagai seorang anak yang memiliki kemungkinan yang baik bagi masa depanmu. Karena itu, aku telah memberikan ikat pinggang yang akan dapat kau pergunakan sebagai senjata. Apalagi ketika Raden Rangga untuk sementara berada di Kepatihan, kau menjadi semakin sering datang kemari. Karena itu, ketika aku mendengar bahwa kau telah terlibat dalam persoalan pribadi, maka aku rasa-rasanya menjadi ingin tahu.”

Glagah Putih menundukkan kepalanya. Tetapi ia tidak dapat mengingkari hubungannya dengan Ki Tumenggung Purbarumeksa, ayah Rara Wulan.

Karena itu, maka Glagah Putih pun berkata, “Ampun Ki Patih. Aku memang mempunyai hubungan dengan Ki Tumenggung Purbarumeksa, meskipun belum dapat disebut resmi. Ki Tumenggung Purbarumeksa telah mengijinkan aku berhubungan dengan anak gadisnya yang bernama Rara Wulan.”

Ki Patih mengangguk-angguk. Katanya, “Hal seperti itu pula-lah yang pernah dikatakan oleh Ki Tumenggung Purbarumeksa. Tetapi apakah kau menyadari, bahwa justru karena itu, ada beberapa persoalan yang kemudian berkait?”

“Maksud Ki Patih?” bertanya Glagah Putih.

“Ki Tumenggung Purbarumeksa telah datang menghadap kepadaku untuk menyampaikan laporan, bahwa rumahnya selalu dibayangi oleh kekuatan yang seakan-akan dengan sengaja menakutinya. Baru ternyata kemudian bahwa orang-orang yang menakut-nakuti itu adalah orang-orang upahan. Mereka adalah orang-orang yang kecewa karena hubunganmu dengan Rara Wulan,” berkata Ki Patih.

Wajah Glagah Putih menjadi tegang. Namun Ki Patih berkata selanjutnya, “Karena itu aku memanggilmu kemari. Ki Tumenggung telah memilih jalur yang baik untuk memecahkan persoalannya. Ki Tumenggung telah minta aku mencampuri persoalannya agar tidak terjadi permusuhan yang lebih meluas, justru karena orang-orang yang kecewa itu telah menyewa beberapa orang upahan, serta memanfaatkan kedudukannya untuk memberikan tekanan-tekanan kepada Ki Tumenggung Purbarumeksa.”

“Jadi apa yang harus kami lakukan Ki Patih?” bertanya Glagah Putih.

“Aku memang ingin memberitahukan kepadamu, dalam hal ini jangan kau pergunakan kekuatan kelompok Gajah Liwungmu,” berkata Ki Patih Mandaraka.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku mengerti Ki Patih.”

“Bukan berarti bahwa kau tidak boleh ikut campur untuk mengamankan lingkungan Ki Tumenggung Purbarumeksa, tetapi Ki Tumenggung ingin persoalannya dapat diselesaikan dengan baik, meskipun aku tahu Ki Tumenggung termasuk orang yang keras hati,” berkata Ki Patih. Lalu katanya pula, “Tetapi jika kau pergunakan kekuatan Gajah Liwung, maka akibatnya akan lain.”

Glagah Putih mengangguk-angguk hormat. Katanya, “Ya Ki Patih.”

“Ada dua orang yang paling keras memusuhi Ki Tumenggung Purbarumeksa. Seorang anak muda yang kini menjadi Lurah Pelayan Dalam, sedang yang seorang lagi, juga bekas Lurah Pelayan dalam, namun kini sudah diangkat menjadi Narpacundaka,” berkata Ki Patih Mandaraka.

Glagah Putih termangu-mangu. Hampir di luar sadarnya ia bertanya, “Narpacundaka? Narpacundaka siapa Ki Patih?”

“Ia telah diangkat menjadi Narpacundaka Pepatih di Mataram ini,” jawab Ki Patih.

“Maksud Ki Patih?” bertanya Glagah Putih.

“Anak itu menjadi salah seorang Narpacundaka di Kepatihan ini,” jawab Ki Patih.

Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Demikian pula Sabungsari. Jika Ki Patih bermaksud membantu Narpacundaka di Kepatihan itu, maka Glagah Putih akan mengalami kesulitan. Apalagi jika Ki Patih memerintahkan kepada Ki Tumenggung Purbarumeksa agar Rara Wulan diijinkan berhubungan dengan anak muda yang disebutnya sebagai Narpacundaka di Kepatihan itu. Namun anak muda itu tentu bukan Raden Antal atau yang juga disebut Raden Arya Wahyudewa. Tentu seorang anak muda yang lain.

“Dengan demikian,” berkata Ki Patih Mandaraka, “hampir setiap hari, atau di saat-saat tertentu, aku selalu berhubungan dengan anak muda itu. Ia melayani aku dalam hubungannya dengan bangsal kepustakan.”

Glagah Putih masih saja mengangguk-angguk. Tetapi debar jantungnya serasa menjadi semakin cepat.

Untuk beberapa saat Glagah Putih dan Sabungsari hanya dapat menundukkan kepalanya saja. Mereka mencoba untuk mengurai perintah Ki Patih, agar mereka tidak mempergunakan kekuatan kelompok Gajah Liwung untuk menghadapi orang-orang yang selalu membayangi dan menakut-nakuti Ki Tumenggung Purbarumeksa dan keluarganya.

Namun dalam pada itu, Ki Patih itu pun berkata, “Glagah Putih. Tetapi jangan salah mengartikan keteranganku. Aku sama sekali tidak bermaksud membantu seorang anak muda yang menjadi pembantuku di Kepatihan, khususnya yang mengurus masalah kepustakaan itu. Kau masih dapat mempercayai aku, tidak ada seorangpun yang pernah aku beri senjata sebagaimana aku berikan kepadamu. Karena itu maka dalam persoalan hubunganmu dengan Ki Tumenggung Purbarumeksa, aku bersedia untuk membantumu. Aku akan menghubungi orang tua anak-anak muda yang masih saja marah kepada Ki Tumenggung Purbarumeksa, apalagi orang tua mereka adalah Tumenggung Wreda. Kedua-duanya. Mereka mempunyai kedudukan lebih baik dari Ki Tumenggung Purbarumeksa yang masih baru itu, sehingga mereka dapat mempergunakan jabatannya untuk memaksakan kehendak mereka. Tetapi kau boleh yakin, bahwa Tumenggung Purbarumeksa bukan seorang yang berhati rapuh. Apalagi ia sudah menghubungi aku dan berterus terang kepadaku. Meskipun ia tidak tahu bahwa aku telah mengenalmu lebih baik dari anak-anak muda itu.”

Jantung Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Sambil membungkuk dalam-dalam ia berkata, “Terima kasih Ki Patih. Aku mengucapkan beribu terima kasih.”

“Tetapi ingat, bahwa kau jangan tergesa-gesa melibatkan kelompok Gajah Liwungmu. Sementara ini, para prajurit sandi sedang sibuk berhubungan dengan sekelompok orang yang justru membuat Mataram menjadi keruh. Anak-anak muda yang nakal dan tidak bertanggung jawab, tidak mempunyai tempat lagi. Yang ada sekarang memang segerombolan perampok yang memanfaatkan keadaan. Justru karena itu, maka mereka adalah orang-orang yang memiliki perhitungan yang cermat,” berkata Ki Patih Mandaraka.

Glagah Putih sekali lagi mengangguk hormat.

“Baiklah,” berkata Ki Patih Mandaraka, “kepentinganku memanggilmu memang hanya dalam hubunganmu dengan Ki Tumenggung Purbarumeksa. Aku juga sudah berpesan kepada Tumenggung Purbarumeksa, agar ia mempercayakan persoalan ini kepadaku. Aku akan berusaha menyelesaikannya tanpa kekerasan. Tetapi jika hal itu menjadi di luar kuasaku dalam tataran kedudukan mereka, maka kau memang dapat mengambil langkah-langkah sendiri. Maksudku, jika kedua Tumenggung Wreda itu sudah berjanji tidak akan menekan dengan cara apapun, tetapi di luar itu, apakah karena anak muda itu sendiri yang tidak dapat dikendalikan atau alasan apapun juga, masih melakukan langkah-langkah yang mengarah pada kekerasan, maka terserah kepadamu untuk mengatasinya. Sudah tentu aku tidak dapat terlibat dalam tindak kekerasan itu, kecuali langsung memanggil salah seorang di antara mereka yang aku anggap bersalah.”

“Terima kasih Ki Patih,” jawab Glagah Putih berulang kali.

“Aku akan mempertemukan para Tumenggung itu, bukan mempersoalkan tata pemerintahan, tetapi tentang anak-anak mereka yang sedang merajuk. Tetapi anak-anak mereka itu ternyata juga termasuk orang-orang pemerintahan,” berkata Ki Patih Mandaraka.

Demikianlah, maka Ki Patih yang akan menghadap ke paseban itu pun segera meninggalkan kedua orang anak muda itu. Namun keduanya juga sudah mohon diri untuk meninggalkan Kepatihan setelah Ki Patih berangkat.

Glagah Putih yang masih ada di serambi itu masih sempat mengenang, saat-saat ia masih sering berada di Kepatihan bersama Raden Rangga. Anak muda yang memiliki ilmu tanpa dapat dijajagi, namun yang ternyata tidak berumur panjang. Kesetiaannya kepada ayahandanya Panembahan Senapati, namun yang dilakukan dengan takaran baik dan buruk menurut seleranya, maka kadang membuat ayahandanya menjadi marah kepadanya. Betapapun baik tujuannya, namun yang dilakukan oleh Raden Rangga kadang-kadang tidak sesuai dengan pikiran orang banyak dan tidak masuk akal.

Beberapa saat kemudian, maka Sabungsari dan Glagah Putih itu pun telah keluar dari regol Kepatihan. Mereka berharap tidak ada orang-orang dari kelompok yang juga menyebut dirinya Gajah Liwung itu melihat mereka.

Namun Glagah Putih dan Sabungsari tidak segera meninggalkan Kota. Mereka telah singgah di pasar untuk melihat-lihat.

Setelah menitipkan kuda mereka, maka Sabungsari dan Glagah Putih itu pun segera masuk ke dalam pasar, yang meskipun sudah tidak sepadat sebelumnya, namun pasar itu masih cukup ramai.

Sabungsari dan Glagah Putih termangu-mangu sejenak melihat kesibukan yang terjadi di sudut pasar. Orang-orang berjejalan mengelilingi seseorang yang duduk di sudut pasar, dibayangi oleh dua orang di sebelah-menyebelah. Orang-orang bertubuh tinggi kekar dan nampak kasar.

Tetapi orang-orang merasa tidak takut untuk melibatkan diri dalam kegiatan mereka. Ternyata ketika Sabungsari dan Glagah Putih sempat melihatnya, mereka tengah bermain dadu.

Sabungsari dan Glagah Putih hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Perjudian yang dilakukan, apalagi di tempat terbuka, itu dilarang. Tugas untuk melakukan penggerebegan adalah para prajurit atau para petugas di pasar itu sendiri. Namun nampaknya para petugas di pasar itu tidak lagi mampu mengatasi mereka.

Namun Sabungsari dan Glagah Putih menjadi semakin tertarik ketika mereka melihat Ki Ajar Gurawa dan kedua orang muridnya ternyata ikut berjongkok dan bermain dadu. Ternyata Ki Ajar Gurawa dan kedua muridnya juga melihat Sabungsari dan Glagah Putih. Namun mereka tidak saling menegur. Bahkan karena di tempat itu sudah ada Ki Ajar Gurawa dan murid-muridnya, maka Sabungsari dan Glagah Putih telah mengambil jarak dan melihat dari kejauhan. Sekilas Sabungsari dan Glagah Putih melihat bahwa Ki Ajar Gurawa ternyata memiliki keberuntungan yang tinggi. Ia lebih banyak menang dari kalahnya. Tetapi tidak demikian dengan kedua muridnya.

Sementara itu, para petugas di pasar itu yang merasa tidak mampu mencegahnya, telah menghubungi prajurit Mataram. Dengan serta merta telah dikirim beberapa orang prajurit untuk membubarkan perjudian yang dilakukan di sudut pasar itu.

Tujuh orang prajurit sandi telah mendekati pasar. Mereka telah mendapat keterangan, dimana perjudian itu dilakukan.

Dengan hati-hati para prajurit sandi itu menyusup di antara orang-orang yang sibuk berbelanja. Tidak seorangpun di antara mereka yang menduga, bahwa tujuh orang prajurit sandi telah bersiap di seputar orang-orang yang berkelompok di sudut pasar itu.

Ternyata para petugas sandi itu memang tidak melakukan tugasnya dengan serta merta, karena mereka juga memikirkan orang-orang yang masih ramai di pasar itu. Kepada para petugas di pasar itu, para prajurit sandi minta agar mereka berusaha untuk mengatur dan menenangkan mereka, jika terjadi keributan karena orang-orang yang sedang berjudi itu melawan.

Atas kesepakatan ketujuh orang itu, maka mereka tidak segera bertindak. Tetapi mereka sudah berada di tempat mereka masing-masing. Setiap saat mereka sudah siap untuk menangkap orang yang membuka perjudian itu.

Semakin siang, maka kesibukan pasar itu pun menjadi semakin berkurang. Orang-orang yang berbelanja menjadi semakin sedikit. Sementara beberapa orang yang berjualan pun telah kehabisan barang dagangan.

Ketika seorang di antara ketujuh orang prajurit sandi itu melihat gelagat bahwa perjudian sudah akan selesai, maka iapun segera memberikan isyarat.

Dengan cepat ketujuh orang prajurit sandi itu mengepung tempat perjudian itu. Seorang di antara mereka berteriak nyaring, “Menyerah sajalah! Tidak ada gunanya perlawanan dari siapapun. Kalian semua kami tangkap. Yang tidak bersalah akan segera kami lepaskan.”

Orang-orang yang berdiri di seputar tempat perjudian itu terkejut. Dengan serta merta mereka bangkit dan berdesakan untuk melarikan diri. Tetapi tujuh orang prajurit sandi telah berdiri di segala arah, sementara di arah yang lain, pagar pasar itu cukup tinggi.

Keributan memang terjadi. Orang-orang yang berada di pasar itu sebagian telah berlarian. Para petugas pasar berusaha untuk menenangkan mereka dan mengatur, agar mereka dengan tertib keluar dari pasar itu.

Beberapa saat para penjudi itu seakan-akan sudah dapat dikuasai oleh para petugas sandi. Namun tiba-tiba beberapa orang telah mendorong orang-orang yang berdiri termangu mangu itu dari pusat kumpulan para prajurit itu. Demikian mereka berdesakan dan menjadi ribut, beberapa orang berusaha untuk melarikan diri.

Dengan sigap para petugas sandi mulai bertindak tegas. Beberapa orang telah terbanting jatuh, sementara memang ada satu dua yang sempat melarikan diri.

Tetapi kekisruhan di pasar itu sendiri membuat tugas para prajurit menjadi semakin sulit.

Namun ternyata di antara orang-orang yang berusaha melarikan diri itu, memang ada orang yang dengan sengaja telah melawan. Seorang yang memutar dadu dan dua orang yang mengawalnya telah berusaha menerobos kepungan. Mereka memang terpaksa harus berkelahi, ketika para prajurit berusaha mencegah. Orang-orang itu berusaha mempertahankan uang yang banyak sekali yang didapat dari perjudian itu, karena mereka seakan-akan telah menghisap uang dari setiap orang yang ikut dalam perjudian itu.

Tetapi mereka bertiga merasa tidak dapat bertahan terlalu lama menghadapi para prajurit. Apalagi para prajurit sandi yang kemudian mengetahui bahwa ketiga orang itu adalah orang-orang yang telah membuka kesempatan dadu, telah memusatkan perhatian mereka kepada ketiga orang itu.

Sebenarnya ketiga orang itu cukup tangkas, namun menghadapi para prajurit yang berjumlah tujuh orang, mereka pun menjadi semakin terjepit. Mereka menjadi semakin sulit, ketika orang-orang yang lain telah melarikan diri menyusup di antara para petugas yang sedang sibuk berkelahi melawan ketiga orang itu.

Dalam keadaan yang sulit, tiba-tiba saja tiga orang telah membantu ketiga orang pembuka judi itu. Mereka dengan sigap telah menyerang para prajurit dengan tiba-tiba sambil berteriak, – Cepat! Keluar dari kepungan!”

Para prajurit yang tidak mengira bahwa ada orang-orang yang membantu para penjudi itu memang terkejut. Mereka kehilangan waktu sekejap. Agaknya yang sekejap itu sempat dipergunakan oleh ketiga orang yang membuka perjudian itu, sehingga mereka telah berlari-larian di antara keributan orang sepasar. Demikian pula tiga orang yang telah membantu mereka. Mereka pun berlarian berpencaran.

Sabungsari dan Glagah Putih yang berada beberapa langkah dari keributan itu sama sekali tidak beranjak dari tempat mereka, kecuali sedikit bergeser menepi dan berdiri di dekat seorang penjual telur yang ketakutan, tetapi tidak sempat melarikan diri karena justru telah dipagari oleh beberapa buah bakul berisi telur. Untuk menginjak telur-telur dagangannya itu, rasa-rasanya masih juga tidak sampai hati.

“Tenang sajalah,” berkata Sabungsari, “kita tidak berurusan dengan mereka.”

Penjual telur itu mengangguk-angguk, meskipun ia masih gemetar.

Sebenarnyalah bahwa keributan itu sama sekali tidak menyentuh penjual telur itu. Para prajurit memang berusaha menangkap orang-orang yang telah melakukan perlawanan dan melarikan diri. Tetapi di antara keributan pasar, ternyata para petugas sandi itu kehilangan jejak. Enam orang yang telah melakukan perlawanan itu berlari menyebar dan menyusup di antara orang banyak.

Para petugas di pasar itu pun tidak dapat mengatakan, kemana orang-orang yang telah membuka permainan dadu serta kawan-kawannya itu melarikan diri.

Kemarahan yang bergejolak di dalam dada para petugas sandi itu membuat darahnya bagaikan mendidih. Tetapi mereka benar-benar telah kehilangan buruan mereka.

“Kita tidak tahu bahwa selain ketiga orang itu, masih ada tiga orang lagi kawan mereka,” geram salah seorang petugas sandi itu.

Pemimpin para prajurit sandi itu berkata dengan suara bergetar oleh kemarahannya yang menggelegak di dada, “Sebaiknya lain kali kita tidak perlu memberikan peringatan lagi. Kita dapat langsung menyerang dan menangkap mereka.”

“Ya. Pada kesempatan lain kita akan langsung bertindak,” desis yang lain, “ternyata peringatan yang kita berikan telah mereka manfaatkan sebaik-baiknya, sehingga mereka sempat meloloskan diri.”

Beberapa saat kemudian, maka para petugas pasar itu telah berhasil menenangkan isi pasar itu dibantu oleh para prajurit sandi yang gagal menangkap buruan mereka. Namun perasaan tidak tenang telah mencengkam para pedagang, apalagi para pembeli, sehingga mereka tidak lagi melanjutkan pekerjaan mereka untuk hari itu. Para pedagang telah mengemasi dagangan mereka, sedang orang-orang yang berbelanja telah meninggalkan pasar itu.

Di dalam pasar, pedagang telur itu pun telah mengemasi telur-telurnya. Sementara Sabungsari berkata, “Bukankah keributan itu tidak menyentuh kita?”

Pedagang telur itu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Tetapi bagaimanapun juga aku menjadi ketakutan. Lebih baik pulang. Mudah-mudahan besok aku sudah mempunyai cukup keberanian untuk berjualan lagi.”

Sabungsari dan Glagah Putih tidak mencegahnya. Bahkan keduanya telah melangkah pula meninggalkan pasar itu.

Demikian mereka keluar dari regol pasar, Glagah Putih berkata, “Jika Ki Ajar Gurawa dan kedua muridnya ikut campur, bahkan membantu para penjudi itu, tentu ia mempunyai maksud tertentu.”

Sabungsari mengangguk-angguk. Namun dengan nada rendah ia berkata, “Tetapi untuk apa hal itu dilakukannya?”

Keduanya terdiam. Mereka sedang mencoba untuk mencari jawab atas pertanyaan Sabungsari itu.

Sabungsari dan Glagah Putih memang terkejut ketika mereka melihat Ki Ajar Gurawa menyerang para prajurit yang sedang berusaha menangkap para penjudi itu. Bahkan kedua orang muridnya telah melakukannya pula. Padahal Ki Ajar Gurawa tahu benar bahwa Sabungsari dan Glagah Putih ada di dekat mereka.

Hampir di luar sadarnya, Sabungsari berdesis, “Kita akan mengetahui dengan pasti setelah kita menanyakan langsung kepada orangnya.”

Kedua orang itu pun kemudian telah mengambil keputusan untuk kembali saja ke Sumpyuh. Mereka telah mendengar persoalan yang dikemukakan oleh Ki Patih Mandaraka. Glagah Putih telah berniat untuk minta pertimbangan Ki Jayaraga sebagai gurunya, karena untuk menghubungi Agung Sedayu ia memerlukan waktu. Sementara itu, nampaknya akan ada perkembangan baru pada kelompok Gajah Liwung karena sikap Ki Ajar Gurawa dan kedua orang muridnya.

Ketika Sabungsari dan Glagah Putih sampai ke rumah tempat tinggal mereka di Sumpyuh, ternyata Ki Ajar Gurawa memang belum datang. Kedua orang itu sempat berbincang dengan beberapa orang yang ada di rumah. Juga dengan Ki Jayaraga. Bahkan sampai menjelang malam, ketiga orang guru dan murid itu masih juga belum datang.

“Apa yang sebenarnya mereka lakukan?” desis Sabungsari.

“Apakah Ki Ajar Gurawa justru tertangkap dan mengatakan hubungannya dengan kita?” desis Suratama.

“Jika ia tidak sengaja melakukannya, maka aku kira mereka mengerti bahwa hal itu tidak sebaiknya mereka lakukan,” desis Ki Jayaraga.

Namun ketika malam memasuki wayah sepi bocah, maka mereka pun mendengar derap kaki kuda memasuki halaman. Mereka yang ada di dalam rumah itu yakin, bahwa yang datang itu adalah Ki Ajar Gurawa bersama kedua orang muridnya.

Sebenarnyalah, beberapa saat kemudian, setelah membenahi kuda mereka dan menempatkannya di gedogan, maka ketiga orang itu pun telah mengetuk pintu butulan. Naratama yang membuka pintu itu dengan serta merta telah berkata, “Kami telah menjadi berdebar-debar. Kami membicarakan satu kemungkinan Ki Ajar tertangkap oleh para prajurit sandi di pasar.”

Ki Ajar Gurawa tertawa. Katanya, “Satu permainan yang mengasyikkan.”

Naratama pun kemudian mempersalahkan mereka bertiga. Namun ia masih bertanya, “Permainan apa yang sudah Ki Ajar lakukan?”

“Sabungsari dan Glagah Putih melihatnya,” jawab Ki Ajar.

Sabungsari yang mendengar jawaban itu menyahut, “Kami memang melihat. Tetapi kami tidak mengerti apa yang telah Ki Ajar lakukan.”

Ki Ajar pun kemudian telah duduk pula di ruang dalam, bersama hampir semua anggota kelompok Gajah Liwung.

“Kami telah dikejar-kejar prajurit sandi,” berkata Ki Ajar.

“Tetapi Ki Ajar telah dengan sengaja melibatkan diri,” sahut Sabungsari.

“Ya. Aku sudah menunggu kesempatan itu. Jika para petugas sandi akan menangkap orang-orang yang membuka kesempatan untuk berjudi itu, maka aku dan kedua muridku memang berniat untuk melibatkan diri. Karena itu, orang-orang yang membuka kesempatan untuk berjudi itu berhasil membebaskan dirinya dari para petugas sandi,” jawab Ki Ajar Gurawa.

“Untuk apa hal itu Ki Ajar lakukan?” bertanya Glagah Putih.

“Dengan demikian kami bertiga pun telah ikut dikejar-kejar oleh para petugas sandi pula. Tetapi seperti orang-orang yang membuka kesempatan untuk berjudi itu, aku telah berhasil membebaskan diri,” jawab Ki Ajar.

“Hanya untuk membuktikan bahwa Ki Ajar dapat membebaskan diri dari tangan para prajurit sandi?” bertanya Glagah Putih pula.

“Tentu tidak,” jawab Ki Ajar Gurawa, “dengan demikian maka aku dapat mengenal orang-orang yang membuka perjudian dadu di pasar itu. Ketika kami bertiga kemudian beristirahat di tengah-tengah bulak, maka kami telah bertemu lagi dengan orang-orang itu. Mereka telah berpisah yang satu dengan yang lain. Tetapi seorang di antara mereka yang menjumpai kami, telah mengajak kami menemui kawan-kawannya yang akhirnya juga berkumpul.”

Yang mendengarkan cerita itu mengangguk-angguk. Mereka mulai mengerti maksud Ki Ajar Gurawa.

Dengan nada rendah Ki Ajar Gurawa meneruskan ceritanya, “Tetapi ternyata mereka cukup berhati-hati. Mereka bertanya dengan teliti, siapa kami dan untuk apa kami membantu mereka.”

“Apa jawabmu?” bertanya Ki Jayaraga.

“Aku adalah seorang penjudi. Aku tidak sengaja telah membantu mereka, seakan-akan ada kewajiban yang mendesak untuk membantu menyelamatkan diri,” jawab Ki Ajar Gurawa.

“Mereka percaya?” bertanya Ki Jayaraga.

“Mereka percaya. Mereka agaknya melihat tampangku memang tampang seorang penjudi berat. Demikian pula kedua orang muridku,” jawab Ki Ajar. “Nah, dengan demikian, aku telah merintis jalan menuju ke lingkungan mereka. Meskipun mereka belum menyebutkan siapa mereka sesungguhnya, tetapi aku mendapat kesempatan untuk ikut berjudi lagi. Tiga hari lagi, mereka akan berada di Pasar Ganjur, tepat di hari pasaran. Meskipun pasarnya jauh lebih kecil dari pasar di Kotaraja, tetapi di hari pasaran akan lebih ramai. Ganjur memang menjadi pusat perdagangan antara beberapa daerah yang cukup ramai. Jodog, Bapang, Kepandak, dan bahkan orang-orang Mangir banyak yang datang ke Ganjur. Terutama para pedagang lembu dan kerbau. Nah, perjudian akan mendapat tempat yang baik, sementara di sana tidak akan dijumpai prajurit sandi atau kekuatan apapun yang dapat memaksa para penjudi itu membubarkan lingkaran perjudiannya.”

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Kau mencari hubungan antara mereka dengan kelompok yang menyebut dirinya kelompok Gajah Liwung itu?”

“Ya,” jawab Ki Ajar Gurawa, “meskipun perjudian semacam itu sudah lama ada, tetapi mereka tidak setangkas dan seberani orang-orang yang membuka perjudian itu di pasar tadi. Nah, aku menduga bahwa mereka adalah orang-orang yang memiliki sandaran kekuatan yang cukup.”

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Kita melihat satu jalan lagi untuk menemukan jejak orang-orang itu. Jika demikian, rencana kita yang pertama dapat ditunda barang dua tiga hari. Besok, pada hari pasaran di Pasar Ganjur, kita akan pergi ke Ganjur.” 

“Pasar Ganjur yang juga disebut Pasar Pon. Perjudian itu akan diadakan sejak matahari terbit, karena para pedagang sapi biasanya menjual dan membeli dagangannya pagi-pagi sekali. Mereka yang telah menjual lembu atau kerbaunya tentu mempunyai banyak uang. Demikian pula di Ganjur terkenal dengan jual beli permata. Mataram sisi selatan, semuanya berkiblat pada Pasar Ganjur,” berkata Ki Ajar Gurawa. “Ya. Permata dan wesi aji,” sahut Ki Jayaraga. “Dengan demikian, maka Pasar Ganjur memang menjadi salah satu sasaran yang berarti dari kelompok Gajah Liwung itu.”

“Kita akan membuat rencana khusus untuk membuka permainan di Pasar Ganjur. Mudah-mudahan dapat merintis jalan menuju ke sarang mereka. Sementara itu, aku juga berharap bahwa aku dapat menang berjudi pula,” sambung Ki Ajar Gurawa sambil tertawa.

“Ternyata Ki Ajar memiliki kemampuan yang tinggi untuk berjudi,” desis Sabungsari.

Ki Ajar Gurawa tertawa. Katanya, “Aku mempunyai pengalaman yang luas dalam dunia perjudian. Sabung ayam, sabung gemak, dan bahkan binten.”

Yang mendengarnya pun tertawa. Ki Jayaraga dengan nada tinggi berkata di sela-sela derai tertawanya, “Tidak ada orang yang dapat mengalahkan Ki Ajar dalam taruhan binten, karena Ki Ajar mengetrapkan ilmu kebal.”

“Ah, tidak. Aku tidak memiliki ilmu itu,” jawab Ki Ajar sambil tersenyum.

“Tetapi siapa yang mampu mengimbangi kekerasan tulang Ki Ajar?” Rumeksa pun tertawa berkepanjangan.

Ki Ajar Gurawa sendiri tertawa. Demikian pula kedua orang muridnya.

Namun malam itu mereka sempat menyusun rencana permainan yang akan mereka lakukan di Pasar Ganjur. Tetapi dalam pada itu Sabungsari berkata, “Aku, Adi Glagah Putih dan Ki Jayaraga tidak dapat ikut dalam permainan itu. Setidak-tidaknya Podang Abang akan dapat mengenal kami. Jika ia juga berada di Ganjur, maka persoalannya akan menjadi hambar.”

“Ya,” jawab Ki Jayaraga, “kami tidak dapat ikut. Tetapi yang lain cukup banyak untuk ikut dalam permainan itu.”

“Kecuali kalian memakai topeng,” berkata Ki Ajar Gurawa sambil tersenyum.

Akhirnya orang-orang dari kelompok Gajah Liwung itu menemukan satu cara yang mungkin akan menarik. Memang tidak pasti berhasil, namun mereka akan mencobanya di Pasar Ganjur.

Di hari berikutnya, kegiatan orang-orang dari kelompok Gajah Liwung masih saja tidak berubah. Satu dua di antara mereka melihat-lihat keadaan kota. Sementara itu, prajurit sandi pun telah berusaha keras untuk menemukan jejak perampok yang sangat berani itu. Namun mereka masih belum berhasil, meskipun mereka sudah mengarahkan tuduhan mereka kepada kelompok yang juga menyebut namanya dengan kelompok Gajah Liwung. Namun mereka masih belum menemukan bukti serta orang-orang yang dapat dituduh melakukannya.

Karena dalam dua hari berikutnya tidak ada perkembangan baru, maka di hari ketiga, seperti yang direncanakan, maka anak-anak dari kelompok Gajah Liwung itu benar-benar akan pergi ke Pasar Ganjur. Ki Jayaraga sebagai anggota tertua, tidak ikut pergi. Tetapi Ki Ajar Gurawa, anggota yang juga termasuk tertua, pergi bersama murid-muridnya.

Seperti direncanakan, pagi-pagi sekali mereka telah berada di Pasar Ganjur. Para pedagang lembu dan kerbau telah berdatangan dari padukuhan-padukuhan di sekitarnya. Bahkan dari tampat yang agak jauh. Dari Jodog, dari Kepandak dan Sapuangin dan bahkan dari Mangir dan Sanden. Ada juga pedagang dari Kotaraja yang datang membeli lembu atau kerbau untuk dijual kembali di pasar-pasar Kotaraja dan sekitarnya.

Selain lembu, kerbau dan ternak yang lain, maka di bangsal khusus, beberapa orang pedagang emas, permata dan wesi aji pun mulai berdatangan. Di bangsal itu, beberapa orang petugas pasar yang terpilih selalu berjaga-jaga, karena dagangan yang diperjual-belikan di bangsal itu adalah barang-barang yang sangat berharga. Tetapi pada umumnya para pedagang emas itu sendiri adalah orang-orang yang mampu melindungi diri mereka sendiri. Apalagi bersama-sama dengan beberapa orang kawan mereka, apabila mereka sedang berkumpul di pasar seperti itu.

Ternyata jual beli terutama lembu dan kerbau itu pun telah terjadi pagi-pagi sekali. Ketika matahari nampak mulai terbit di timur, maka beberapa orang yang menjual lembu dan kerbau atau ternak yang lain, telah menerima uang pembayaran. Mereka yang menjual milik sendiri untuk beberapa keperluan, sudah berkemas untuk pulang. Namun ada di antara mereka yang menyempatkan diri singgah di kedai-kedai kecil di pinggir pasar. Minum-minuman hangat dan beberapa potong makanan.

Tetapi orang-orang yang berkumpul di sudut pasar itu telah menarik perhatian mereka. Beberapa orang memang tidak dapat menahan diri untuk ikut berjongkok melihat permainan dadu yang semakin lama menjadi semakin ramai. Hanya sedikit saja orang yang mampu menguasai dirinya sendiri melawan keinginan yang menyesatkan itu. Bahkan ada di antara mereka yang lupa sama sekali bahwa uang yang ada di kantong ikat pinggangnya itu adalah hasil penjualan lembu, karena di rumah, istrinya telah sibuk mempersiapkan peralatan kecil untuk menyongsong tujuh bulan saat bayinya yang pertama bersemayam di perutnya.

Demikian dahsyatnya angin perjudian itu berhembus membius orang-orang yang hatinya lemah dan tidak mampu berlindung pada perisai ketahanan jiwani, sehingga seakan-akan tangan-tangan iblis yang hitam dan dahsyat mencengkam jantungnya dan meremas meremukkannya sampai lumat.

Jika demikian, maka biasanya kesadaran datangnya selalu terlambat, meskipun kadang-kadang ada juga yang menemukan kekuatan yang teguh bagaikan batu karang, yang dapat dipergunakannya untuk berpegangan dan meronta keluar dari arus banjir bandang yang akan menghanyutkannya ke dalam kegelapan yang pekat.

Pagi itu, yang ikut berjongkok di antara mereka yang terlihat dalam permainan dadu itu adalah Ki Ajar Gurawa dengan dua orang muridnya.

Ternyata Ki Ajar Gurawa seperti yang dikatakan, memiliki pengalaman yang luas dalam perjudian. Beberapa kali ia memenangkan taruhan, dan seakan-akan dadu-dadu itu mengikuti saja angka-angka yang dipilihnya.

Tetapi kedua muridnya tidak memasang pada angka-angka yang sama dengan gurunya. Mereka seakan-akan telah mempersiapkan diri untuk bermain dadu dan kalah. Tetapi taruhan mereka ternyata jauh lebih kecil dari taruhan Ki Ajar Gurawa.

Sementara itu ada beberapa orang yang sempat mengetahui bahwa Ki Ajar Gurawa sering kali memenangkan taruhan, sehingga satu dua orang mencoba memasang taruhan pada angka yang sama.

Namun Ki Ajar tidak mau mengorbankan orang yang membuka perjudian itu. Jika sudah ada beberapa orang memasang di angka yang sama, maka taruhannya pun menjadi kecil dan Ki Ajar itu pun kalah.

Ternyata semakin tinggi matahari, perjudian itu tidak menjadi semakin surut. Justru semakin banyak orang yang berkerumun, sehingga perjudian itu menjadi semakin ramai.

Ki Ajar Gurawa sempat memperhatikan orang-orang yang mengawal permainan dadu itu. Tidak hanya dua orang, tetapi tiga orang. Dua orang justru berbeda dengan orang yang pernah ikut di pasar di Kotaraja. Sedangkan yang seorang memang sudah dikenalnya bersama orang yang membuka perjudian.

Namun beberapa saat kemudian, keasyikan orang-orang yang sedang berjudi itu terganggu. Tiba-tiba saja muncul beberapa orang yang mengepung tempat itu. Seorang di antara mereka berteriak, “Menyerahlah! Atas nama Senapati prajurit sandi Mataram!”

Tetapi orang-orang yang sedang berjudi itu justru menjadi ribut. Beberapa orang yang ada di pusat kerumunan itu telah mendorong orang-orang yang menjadi kebingungan, sehingga orang-orang yang sedang berjudi itu pun telah berlari bercerai-berai.

Perkelahian memang terjadi. Orang-orang yang membuka perjudian beserta pengawalnya tidak begitu saja menyerah. Mereka telah bertempur dengan garangnya.

Tetapi para petugas sandi itu pun telah menekan mereka dengan kekuatan penuh. Mereka sama sekali tidak mengihiraukan orang-orang lain. Tetapi mereka memusatkan perhatian mereka kepada orang-orang yang telah membuka perjudian itu.

Ternyata beberapa saat kemudian, para petugas sandi seakan-akan telah menguasai keadaan. Para penjudi tidak mampu bertahan terlalu lama lagi.

Tetapi dalam keadaan seperti itu, Ki Ajar Gurawa dengan kedua orang muridnya telah turun kembali ke arena, sehingga pertempuran pun menjadi semakin seru.

Namun pasar di Ganjur tidak seramai pasar di Kotaraja. Itulah sebabnya, maka orang-orang yang bertempur melawan para petugas sandi itu tidak segera mampu mengelak dan melarikan diri. Sementara keempat orang yang membuka perjudian itu sempat berpencar dan lari menyusup di antara orang-orang yang menjadi kacau, Ki Ajar Gurawa dan kedua muridnya justru masih bertempur. Ternyata keempat orang yang membuka perjudian itu sama sekali tidak berusaha saling membantu. Mereka telah memanfaatkan keadaan untuk membebaskan diri mereka dari tangan para prajurit sandi.

Dalam keributan itu, maka di bangsal khusus para pedagang emas, intan berlian dan wesi aji telah bersiap pula. Mereka telah mengemasi barang-barang mereka. Tetapi mereka sama sekali tidak melarikan diri. Dua orang petugas khusus di pasar itu justru telah melihat apa yang terjadi, sementara dua orang yang lain bersiap menghadapi segala kemungkinan, bersama-sama dengan para pedagang itu sendiri.

Tetapi kedua petugas itu segera kembali sambil berkata, “Para prajurit sandi menangkap beberapa orang penjudi.”

Pemimpin petugas pasar yang ada di tempat itu termangu-mangu sejenak. Katanya, “Kenapa mereka tidak menghubungi kita?”

“Entahlah. Mungkin para prajurit sandi itu tergesa-gesa,” jawab kawannya.

“Mereka sudah menghina kita. Nampaknya mereka tidak percaya kepada kita. Mungkin mereka mengira bahwa kita justru telah memberi tempat kepada mereka, para penjudi itu,” geram pemimpin petugas itu.

“Sudahlah,” berkata seorang pedagang, “jangan membuat persoalan dengan para prajurit sandi. Mungkin ada beberapa kesulitan untuk berbicara dengan kalian, mungkin mereka memang cemas bahwa rencananya menjebak para penjudi bocor. Lepas dari percaya atau tidak percaya kepada kalian. Kemungkinan lain, mereka memang tidak sempat. Begitu mereka datang, mereka melihat para penjudi itu sudah dikerumuni orang banyak.”

Pemimpin petugas itu termangu-mangu. Namun akhirnya ia tidak berbuat apa-apa.

Sementara itu Ki Ajar Gurawa dan kedua orang muridnya harus bertempur dengan sengitnya melawan para petugas sandi. Sekali-sekali murid Ki Ajar Gurawa itu terlempar jatuh. Namun mereka segera bangkit kembali.

Ki Ajar Gurawa sendiri telah menunjukkan kelebihannya. Prajurit sandi yang bertempur melawannya sama sekali tidak mampu mendesaknya. Bahkan beberapa kali prajurit sandi itu harus berloncatan menjauh. Namun setelah keempat orang penjudi itu melarikan diri, maka Ki Ajar Gurawa harus bertempur melawan dua orang prajurit sandi.

Pertempuran itu semakin lama memang menjadi semakin sengit. Semua ada lima orang prajurit sandi.

Salah satu sudut pasar Ganjur yang menjadi ajang pertempuran itu pun telah menjadi porak poranda. Beberapa jenis dagangan telah terinjak-injak. Untunglah di sekitar tempat itu kebanyakan hanya terdapat beberapa jenis sayur-sayuran. Kangkung, lembayung, daun ketela muda, daun so dan sebagainya, sehingga tidak banyak kerugian yang diderita oleh pertempuran yang semakin lama menjadi sengit.

Namun akhirnya, Ki Ajar Gurawa tidak dapat bertahan lebih lama lagi. Semakin lama Ki Ajar dan kedua orang muridnya menjadi semakin terdesak, sehingga merekapun kemudian telah mengambil keputusan untuk melarikan diri.

Meskipun agak mengalami kesulitan, namun ketiga orang itu akhirnya telah mencapai gerbang pasar dan dengan serta merta berlari keluar. Demikian pula lima orang prajurit sandi itu pun telah berlari menyusul dan bahkan mengejar mereka.

Demikianlah, sejenak kemudian pasar Ganjur itu menjadi tenang kembali. Orang-orang yang berlari-larian meninggalkan pasar itu berangsur-angsur telah kembali. Para petugas di pasar itu dengan cepat menguasai keadaan, sehingga tidak ada orang yang sempat memanfaatkan keadaan itu untuk mencuri dan apalagi merampok.

“Kita menunggu para prajurit sandi itu,” berkata pemimpin petugas di pasar itu.

“Apakah mereka akan kembali?” bertanya seorang kawannya.

“Seharusnya mereka kembali dan memberitahukan kepadaku, apa saja yang telah mereka lakukan dan atas perintah siapa,” jawab pemimpin petugas pasar itu.

“Aku tidak yakin,” jawab kawannya yang lain, “mereka mengejar para penjudi itu. Jika mereka berhasil menangkapnya, mereka akan segera membawa mereka ke Kotaraja. Tetapi jika tidak, maka mereka tentu segan singgah pula.”

“Mereka harus melaporkan kehadirannya kepadaku,” geram pemimpin petugas di pasar itu, “aku mempunyai wewenang di sini. Sementara itu selama ini hampir tidak pernah ada prajurit yang datang ke pasar ini.”

“Sudahlah,” berkata salah seorang pedagang, “jangan terlalu hiraukan para prajurit sandi itu. Tugas mereka memang tidak terduga-duga. Sekali ia muncul di satu tempat, kemudian menghilang lagi. Mereka memang orang-orang yang harus mampu bergerak cepat, dan lebih dari itu tidak menarik perhatian. Karena itu, maka aku kira mereka tidak akan kembali dan memberitahukan kepadamu.”

Pemimpin petugas itu mengerutkan dahinya. Namun ia masih bergumam, “Aku merasa dilampauinya.”

“Mungkin mereka tidak sengaja berbuat demikian,” berkata pedagang itu, “kau justru harus berterima kasih bahwa perjudian itu telah dibubarkan. Tertangkap atau tidak tertangkap.”

Akhirnya pemimpin petugas itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kali ini aku tidak akan mempersoalkan.”

Sementara itu para petugas yang lain telah berhasil menertibkan kembali para pedagang. Namun sebagian dari mereka telah membenahi dagangan mereka. Lebih baik mereka pulang daripada mengalami kesulitan di pasar itu.

Orang-orang yang berjualan di sudut pasar yang menjadi arena pertempuran itu hanya dapat memandang bekas sayuran yang semula nampak hijau segar. Namun yang kemudian telah menjadi hancur. Untunglah bahwa sebagian dari sayur-sayuran itu adalah hasil kebun para penjual itu sendiri, sehingga mereka tidak mengalami kerugian terlalu banyak.

Dalam pada itu, Ki Ajar Gurawa dan kedua muridnya yang berlari berpencaran memang berhasil melepaskan diri dari kejaran para prajurit sandi. Agak jauh dari Pasar Ganjur, mereka telah berkumpul kembali. Mereka berada di sebuah jalan kecil, yang menurut keterangan para penjudi itu sebelumnya, menjadi jalan yang sering dilaluinya.

“Kami datang dari arah Gunung Sepikul,” berkata orang yang membuka perjudian itu.

“Mudah-mudahan mereka atau salah seorang dari mereka akan melewati jalan ini,” berkata Ki Ajar Gurawa.

Mereka memang menunggu beberapa lama. Ternyata seorang dari ketiga orang itu benar-benar melewati jalan itu, justru dari arah yang lain dari arah Pasar Ganjur.

“Aku sudah mengira kalian ada di sini,” berkata orang itu.

“Kau dari mana?” bertanya Ki Ajar Gurawa, “bukankah arah yang kau tempuh itu bukan arah dari Pasar Ganjur?”

“Tidak,” jawab orang itu, “aku sudah sempat singgah sebentar di rumah kawan untuk menyimpan alat-alat judiku. Baru kemudian aku sengaja melihat-lihat, apakah kau berada di jalan ini. Bukankah kau tahu bahwa aku di rumah kawanku di Gunung Sepikul.”

“Kau sudah sampai ke Gunung Sepikul?” bertanya Ki Ajar Gurawa.

“Belum. Aku baru sampai di Talangtelu. Seorang kawan kami tinggal di Talangtelu,” jawab orang itu.

“Di Gunung Sepikul dan di Talangtelu?” bertanya Ki Ajar Gurawa.

“Aku bekerja sama dengan orang-orang Gunung Sepikul. Orang Talangtelu itu kami kenal lewat orang-orang Gunung Sepikul,” berkata penjudi itu.

Ki Ajar Guwara mengangguk-angguk. Namun nafasnya masih saja terengah-engah. Bahkan seorang muridnya yang ‘diakunya sebagai kemanakannya, masih merasa kesakitan. Perutnya menjadi sangat mulas. Sedangkan yang lain kepalanya menjadi pening.

“Kenapa kalian meninggalkan kami justru saat kami membantu kalian?” berkata kemanakan Ki Ajar yang tua.

“Maaf. Kami sangat tergesa-gesa. Kami memang ingin menyelamatkan uang kami. Baru kemudian kami berniat untuk membantu kalian. Tetapi ketika kami kembali ke pasar itu, setelah seorang dari kawan kami berhasil melepaskan diri, maka kalian telah berhasil lolos,” jawab penjudi itu.

“Tetapi aku hampir mati,” desis kemanakan Ki Ajar yang muda.

“Sekarang, marilah. Apakah kalian berminat singgah di rumah kawan kami?” bertanya orang itu.

“Dimana?” bertanya Ki Ajar Gurawa, “Di Gunung Sepikul?”

“Di Talangtelu,” jawab orang itu.

Ki Ajar Gurawa menarik nafas dalam-dalam. Orang-orang itu memang cerdik. Ia dengan sengaja menyembunyikan sarang induk mereka, sehingga yang dilihat oleh orang lain adalah justru rumah kawan-kawannya yang tidak terlalu jauh terlibat dalam kelompok mereka. 

Namun Ki Ajar Gurawa tidak menolak. Iapun kemudian telah mengikuti orang itu ke Talangtelu.

Namun di sepanjang jalan Ki Ajar berkata di dalam hati, “Nampaknya mereka mempunyai sarang-sarang kecil seperti ini di Kotaraja, di saat-saat mereka membuka perjudian di Kotaraja.”

Tetapi Ki Ajar Gurawa masih berharap bahwa ia akan memasuki satu lingkungan yang memiliki hubungan dengan orang-orang yang sedang dicari. Meskipun jalan yang ditempuhnya menjadi agak jauh.

Beberapa saat kemudian, keempat orang itu memasuki padukuhan Talangtelu. Sebenarnya Ki Ajar ingin langsung menuju ke Gunung Sepikul.

Sejenak kemudian, maka mereka berempat pun telah memasuki padukuhan Talangtelu. Mereka singgah di rumah yang tidak begitu besar. Halamannya pun tidak terlalu luas. Sehingga rumah itu tidak secara khusus menarik perhatian.

Ketika Ki Ajar Gurawa dan kedua muridnya masuk ke ruang dalam, maka yang ditemuinya adalah orang-orang yang telah membuka perjudian di pasar Ganjur. Bersama mereka duduk seorang yang belum pernah dilihatnya.

Ternyata orang itu adalah pemilik rumah yang dipergunakan untuk landasan gerak para penjudi itu di daerah selatan. Meskipun mereka mempunyai landasan yang lebih baik di Gunung Sepikul, namun agaknya landasan mereka di Talangtelu itu juga cukup memadai untuk menjadi rambatan untuk memasuki lingkungan yang lebih besar.

“Kenapa kalian melarikan diri tanpa menghiraukan kami?” tiba-tiba murid Ki Ajar yang diakunya sebagai kemanakannya itu menggeram.

“Bukankah aku sudah memberi penjelasan,” jawab orang yang menjemputnya.

“Aku ingin kesaksian kalian semua. Apakah benar kalian kembali lagi ke pasar untuk membantu kami, setelah ada di antara kalian menyembunyikan uang kalian?” bertanya orang yang diaku kemanakan Ki Ajar itu.

“Ya. Kami memang telah kembali ke pasar. Tetapi karena kalian telah berhasil melarikan diri, maka kami tidak membakar perkelahian lagi dengan para prajurit sandi,” jawab penjudi yang lain.

“Prajurit sandi yang datang ke Ganjur berbeda dengan prajurit sandi yang memasuki pasar di Kotaraja. Prajurit sandi di Ganjur memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari prajurit sandi di Kotaraja itu. Mungkin mereka telah membuat persiapan yang lebih baik setelah mereka gagal,” berkata kemanakan Ki Ajar itu. Lalu katanya pula, “Tetapi dengan demikian, hampir saja justru kami yang tertangkap. Kami hampir kehilangan kesempatan untuk melarikan diri, karena pasar di Ganjur lebih kecil dari pasar di Kotaraja, meskipun di Ganjur hari ini adalah hari pasaran.”

“Kami hanya dapat mengucapkan terima kasih. Tetapi yakinlah, bahwa tiga orang di antara kami telah kembali ke pasar,” jawab salah seorang di antara mereka.

“Syukurlah kami selamat. Tetapi kepalaku serasa akan pecah,” desis murid Ki Ajar.

Sedangkan muridnya yang lain berkata, “Perutku rasa-rasanya akan tumpah dengan seluruh isinya. Ususnya, jantungnya, bahkan tulang-tulang iganya.”

“Sekali lagi kami mengucapkan terima kasih. Tetapi lebih dari itu, maka kalian berhak sebagian dari kemenangan yang kami peroleh, karena kalian telah ikut menyelamatkannya,” berkata penjudi itu.

Ki Ajar Gurawa menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Nah, begitu caranya jika kalian ingin bersahabat. Kami tentu akan mendapat bagian dari kemenangan kalian. Tidak hanya di Ganjur. Tetapi juga di Kotaraja.”

“Baiklah,” berkata penjudi itu, “kami akan memberimu uang cukup.”

Penjudi itu ternyata tidak berbohong. Ia telah mengambil sebagian dari kemenangannya dan memberikannya kepada Ki Ajar Gurawa sambil berkata, “Bukankah kau juga memenangkan perjudian itu?”

“Itu soal lain,” berkata Ki Ajar, “itu adalah memang hakku.”

“Nampaknya kau juga seorang pedagang yang kehilangan daerah jelajah,” berkata penjudi itu.

“Aku berbuat apapun asal mendapatkan uang,” berkata Ki Ajar Gurawa.

Para penjudi itu mengerutkan keningnya. Namun yang tertua di antara mereka berkata, “Kau mau bekerja sama dengan kami?”

“Membuka perjudian seperti yang kalian lakukan?” bertanya Ki Ajar Gurawa. Lalu katanya kemudian, “Sebenarnya aku tidak telaten. Tetapi karena aku sedang tidak mempunyai pekerjaan yang lain yang lebih mantap, maka aku berkeliling dari satu lingkaran perjudian ke lingkaran perjudian yang lain. Aku mempunyai keahlian untuk memenangkan perjudian seperti itu. Atau pergi ke lingkaran sabung ayam.”

“Jika kau tidak telaten, apakah kau mempunyai minat pada pekerjaan yang lain?” bertanya penjudi itu.

“Yang lebih jantan daripada melemparkan dadu,” jawab Ki Ajar.

“Misalnya?” bertanya penjudi itu.

“Apa saja yang mengandung nafas petualangan. Menyenangkan sekali. Hasil yang didapat pun memadai,” berkata Ki Ajar. “Tetapi sayang, aku tidak mempunyai kawan cukup banyak untuk menyaingi yang sudah ada.”

“Kenapa kau tidak bergabung saja?” bertanya penjudi itu.

Ki Ajar mengerutkan keningnya. Namun ia menjawab, “Bergabung dengan kalian? Sudah aku katakan, sebenarnya aku tidak telaten. Tetapi jika tidak ada pekerjaan lain, apa boleh buat. Aku dapat memperoleh sedikit uang untuk membeli tuak dan makan kami bertiga.”

Para penjudi itu tersenyum. Yang tertua di antara mereka berkata, “Kau dapat mulai bersamaku. Jika kau menunjukkan sikap yang meyakinkan, maka kau akan mendapat tempat yang lebih baik.”

“Apakah kalian tidak meyakinkan, sehingga kalian sampai sekarang masih saja mendapat pekerjaan yang menjemukan itu?” bertanya Ki Ajar Gurawa.

“Bukan begitu,” jawab orang yang bermain dadu, “soalnya aku adalah orang yang terbaik untuk permainan ini. Karena itu aku tidak akan mendapat pekerjaan lain. Aku berbeda dengan kau. Jika kau tidak telaten, maka aku menyukai pekerjaan ini.”

Ki Ajar Gurawa mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Sekarang aku akan pergi. Besok aku kembali. Tetapi kemana aku dapat menemui kalian?”

“Aku besok berada di Kotaraja,” jawab orang yang memainkan dadu.

“Gila kau. Kau ingin ditangkap para prajurit sandi? Dua kali mereka gagal. Mereka tentu menjadi sangat marah, dan jika mereka melihat kau bermain dimanapun juga besok, maka akan dikerahkan sepasukan prajurit untuk menangkapmu. Apalagi jika kau berani bermain di Kotaraja,” berkata Ki Ajar.

Tetapi orang itu tersenyum. Katanya, “Aku tidak akan membuka perjudian besok. Tetapi aku akan berada di lingkaran sabung ayam.”

“Ada beberapa lingkaran sabung ayam,” berkata Ki Ajar Gurawa. ,

“Aku berada di Tegalrampet. Nah, temui aku di sana. Ada beberapa orang yang dapat kita ajak berbicara tentang keinginanmu bergabung dengan kami,” berkata orang itu. “Baik,” jawab Ki Ajar, “besok kami akan pergi ke Tegalrampet. Lingkaran sabung ayam yang termasuk besar dengan taruhan yang besar pula. Tetapi aku senang datang ke tempat itu. Besok aku harus membawa uangku semuanya, termasuk uang yang tadi kau berikan. Mudah-mudahan aku mujur.”

“Kau seorang penjudi yang baik,” berkata orang yang membuka permainan dadu itu.

Ki Ajar Gurawa tersenyum. Namun iapun kemudian telah minta diri.

Menyusuri jalan-jalan sempit, keduanya kembali ke sarang mereka. Namun mereka harus mencari jalan yang tidak memungkinkan seorang pun mengikuti jejak mereka sehingga mereka sampai ke Sumpyuh.

Ketika mereka memasuki ruang dalam, maka para anggota yang lain telah ada di rumah pula. Ki Ajar Gurawa yang dengan serta merta disambut oleh Mandira, tidak menolak untuk mengikuti tarikan tangannya. Dengan nada tinggi Mandira berkata, “Nah, aku berhasil menangkapnya.”

Yang lainnya tertawa. Sementara kedua murid Ki Aja rpun telah duduk pula di antara para anggota kelompok Gajah Liwung itu.

“Satu permainan yang bagus,” berkata Ki Ajar Gurawa, “tetapi kalian pantas untuk menjadi prajurit sandi.”

Sabungsari yang ikut tertawa berkata, “Ketika aku mendengar permainan kalian, rasa-rasanya aku ingin ikut pula. Tetapi jika Podang Abang ada di sekitar tempat itu, maka permainan itu tidak akan menjadi meriah.”

Ki Ajar Gurawa pun kemudian menceritakan bahwa ia dan murid-muridnya telah dibawa singgah di salah satu tempat persinggahan para penjudi itu di padukuhan Talangtelu. Mereka pun telah mendapat kesempatan besok untuk bertemu dengan beberapa orang yang lain di lingkungan perjudian Tegalrampet.

“Mudah-mudahan jalan ini dapat kita tempuh,” berkata Ki Jayaraga, “atau kedua-duanya. Aku akan memancing Podang Abang bersama Sabungsari dan Glagah Putih yang tidak dapat ikut bermain menjadi prajurit sandi. Yang mana nanti yang akan berhasil lebih dahulu.”

Ki Ajar Gurawa mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Besok kita akan pergi ke Kotaraja. Tetapi besok kita tidak memerlukan prajurit sandi. Karena itu, anggota yang lain akan dapat membantu Ki Jayaraga memancing Podang Abang.”

“Tetapi aku masih belum yakin bahwa ia akan muncul,” berkata Ki Jayaraga, “namun ada baiknya kita mencobanya.”

Dengan demikian maka para anggota kelompok Gajah Liwung itu telah menyusun satu rencana. Namun mereka memperhitungkan bahwa usaha Ki Ajar Gurawa akan lebih berhasil daripada memancing Podang Abang. Podang Abang dapat saja membuat jarak antara dirinya dengan orang-orangnya yang telah melakukan kejahatan itu.

Namun demikian Ki Jayaraga akan mencobanya.

Malam itu, kedua murid Ki Ajar Gurawa sempat bercerita, betapa kepalanya memang menjadi pening. Ternyata salah seorang yang bermain menjadi prajurit sandi telah benar-benar mengenai tengkuknya.

“Perutku rasa-rasanya akan tumpah,” berkata murid Ki Ajar Gurawa itu.

Ternyata permainan di Pasar Ganjur justru menjadi landasan kelakar yang sedap.

Dalam pada itu, di keesokan harinya para anggota kelompok Gajah Liwung itu sudah siap menjelang matahari terbit. Mereka telah membagi diri dalam tugas mereka masing-masing. Hanya dua orang saja-lah yang akan menunggui sarang mereka. Suratama dan Naratama. 

Ki Jayaraga telah bersepakat dengan Sabungsari dan Glagah Putih, jalan-jalan manakah yang akan dilaluinya. Sabungsari dan Glagah Putih akan mengawasi. Mungkin Ki Podang Abang sendiri atau orang lain yang diperintahkan oleh Ki Podang Abang akan mengikuti Ki Jayaraga. Atau mereka justru mengawasi Ki Podang Abang sendiri jika terjadi sesuatu.

Sementara itu, Ki Ajar Gurawa dan kedua muridnya akan pergi ke lingkaran sabung ayam. Mereka yakin, bahwa tidak akan ada kelompok lain yang berani mencampuri perjudian di Mataram, selain orang-orang yang ada hubungannya atau mendapat perlindungan dari kekuatan terbesar yang ada di Mataram saat itu.

Sedangkan anggota yang lain akan berjalan-jalan saja di Kotaraja, menyilang jalan yang akan ditempuh oleh Ki Jayaraga.

Mungkin mereka akan bertemu dengan orang-orang yang pantas mereka curigai dalam hubungannya dengan perjalanan Ki Jayaraga, yang masih mempunyai janji untuk membuat perhitungan dengan Podang Abang.

Demikianlah, mereka pun berangkat pada saat yang tidak sama. Mereka telah menempuh jalan mereka masing-masing, sehingga sama sekali tidak menarik perhatian. Sabungsari dan Glagah Putih berjalan beberapa saat setelah Ki Jayaraga berangkat. Meskipun jalan yang mereka tempuh adalah jalan yang sama, tetapi nampaknya mereka tidak mempunyai hubungan yang satu dengan yang lain.

Sedangkan Ki Ajar Gurawa telah memilih jalan pintas. Mereka melewati lorong-lorong sempit menuju ke Kotaraja. Sedangkan Rumeksa, Mandira dan Pranawa telah mengikuti jalan yang lain lagi. Meskipun agak jauh, tetapi mereka akan berjalan melalui sebuah sendang yang asri. Di setiap pagi sendang itu menjadi ramai karena banyak orang yang mencuci pakaian dan mandi. Sedangkan tidak jauh dari sendang itu terdapat sebuah padang rumput yang meskipun tidak terlalu panas, tetapi menjadi padang penggembalaan kambing. Para gembala sempat bermain-main di antara mereka. Sedangkan yang lain menyabit rumput untuk dibawa pulang. Bahkan kadang-kadang di padang rumput itu sering diselenggarakan gladi tari kuda lumping yang mengasyikkan. Di sudut padang rumput itu terdapat sebuah gerumbul yang rimbun di atas segundukan tanah, dan sebuah batu besar terletak di bawah sebatang pohon beringin tua yang tumbuh subur. Batu itu adalah tempat para penari kuda lumping menempatkan kuda lumping mereka disertai sedikit sesaji dan asap kemenyan, agar dengan demikian penunggang kuda lumping itu akan menjadi kerasukan dan mampu melakukan hal-hal di luar penalaran.

Tetapi ketika ketiga orang anggota Gajah Liwung itu lewat, hari memang masih terlalu pagi, sehingga baru satu dua orang yang berada di sendang untuk mencuci. Sedangkan padang rumput masih nampak sepi. Yang terhampar adalah hijaunya rerumputan yang masih basah oleh titik-titik embun.

Jalan yang terdekat ditempuh adalah jalan yang diambil oleh Ki Ajar Gurawa dan kedua orang muridnya. Mereka memang lebih dahulu memasuki lingkungan yang ramai, meskipun masih di luar gerbang kota.

Meskipun hari masih pagi, tetapi sudah banyak orang yang keluar dari pintu gerbang kota. Agaknya mereka masuk pagi-pagi benar sambil membawa barang dagangan yang mereka jual ke kota. Hasil bumi dan ternak.

Ki Ajar Gurawa dan kedua orang muridnya yang memasuki gerbang kota memang langsung menuju ke Tegalrampet. Agaknya di lingkaran sabung ayam itu juga sudah banyak orang yang berdatangan dari berbagai sudut padukuhan di luar kota.

Namun mereka masih duduk dalam kelompok-kelompok kecil berpencar di halaman sebuah rumah yang besar dengan dinding halaman yang tinggi. Beberapa batang pohon gayam tumbuh menjulang melindungi halaman yang luas itu. Di sudut-sudut halaman depan nampak rumpun-rumpun batang pisang yang subur. Beberapa batang di antaranya telah berbuah bergayutan pada tangkainya yang memanjang.

Ki Ajar Gurawa dengan gaya seorang penyabung ayam berjongkok di bawah sebatang pohon gayam. Dua orang muridnya duduk di sebelah-menyebelah. Mereka mengamati orang-orang yang berkumpul itu. Tetapi mereka masih belum melihat penjudi yang mereka jumpai beberapa hari yang lalu di pasar, dan yang kemudian berada di Pasar Ganjur.

Tetapi Ki Ajar Gurawa yakin mereka akan datang.

Sementara itu, ketiga anggota kelompok Gajah Liwung yang lain memang sudah memasuki Kota. Mereka adalah Rumeksa, Mandira dan Pranawa. Mereka telah berada di ujung jalan yang direncanakan akan mereka lalui dan menyilang jalan Ki Jayaraga.

Tetapi untuk beberapa saat mereka masih menunggu. Menurut perjanjian yang mereka buat, mereka masih mempunyai waktu untuk singgah di sebuah kedai kecil di pinggir jalan.

Sementara itu Sabungsari dan Glagah Putih pun telah berada di Kota itu pula. Mereka mempunyai jalur perjalanan sendiri, meskipun juga berhubungan dengan jalan yang akan ditempuh oleh Ki Jayaraga.

Di kedai kecil, Rumeksa dan kedua orang kawannya sempat mendengarkan pembicaraan bebarapa orang yang akan pergi ke lingkaran sabung ayam di Tegalrampet. Lingkaran sabung ayam yang juga didatangi oleh Ki Ajar Gurawa dengan kedua orang muridnya.

Tetapi pembicaraan mereka tidak memberikan petunjuk apa-apa, kecuali sekali-sekali mengucapkan ancaman-ancaman kepada orang-orang tertentu yang nampaknya memang sudah saling bermusuhan.

Rumeksa dan kedua kawannya sama sekali tidak menunjukkan sikap khusus terhadap mereka. Tetapi mereka tahu bahwa Ki Ajar Gurawa tentu akan melakukan langkah-langkah tertentu untuk memancing perhatian.

Sebenarnyalah Ki Ajar Gurawa, yang masih saja berjongkok di bawah sebatang pohon gayam bersama kedua orang muridnya, mulai menilai keadaan. Ketika beberapa orang penyabung ayam yang sebenarnya sudah mulai berdatangan, maka suasana pun menjadi semakin ramai. Sementara matahari pun sudah menjadi semakin tinggi.

Ketika dua orang yang membawa ayam sabungan lewat di hadapan Ki Ajar, maka tiba-tiba saja Ki Ajar berkata, “Ayam sakit-sakitan dibawa juga ke kalangan.”

Kata-kata Ki Ajar cukup keras, sehingga kedua orang yang membawa ayam sabungan itu berhenti.

Seorang yang bermata merah melangkah mendekatinya sambil bertanya lantang, “Kau berkata apa, he?”

Ki Ajar tiba-tiba saja tersenyum sambil menjawab, “Tidak Ki Sanak. Aku tidak berkata apa-apa.”

“Kau kira aku tuli he?” geram orang bermata merah dengan sebuah golok pendek di pinggangnya dan sepotong akar yang berwarna kehitaman melilit di pergelangan tangan kirinya.

“Aku tidak bermaksud apa-apa,” berkata Ki Ajar, “aku hanya asal saja mengucap. Aku minta maaf.”

“Cukup begitu?” bertanya orang itu.

Kawannya yang juga membawa ayam aduan menggamitnya sambil berkata, “Sudahlah. Ia sudah minta maaf.”

“Begitu sudah dianggap cukup?” jawabnya, “Belum cukup.”

“Lalu kau mau apa? Sebentar lagi sabung ayam itu akan dimulai,” berkata kawannya.

“Ia sudah menghina aku,” jawab orang itu.

“Sudahlah Ki Sanak,” berkata Ki Ajar Gurawa, “aku benar-benar tidak berniat demikian. Aku mohon maaf.”

Tetapi orang yang bermata merah itu agaknya benar-benar tersinggung. Ketika Ki Ajar sekali lagi minta maaf, maka tiba-tiba saja orang itu telah meludahinya. Untunglah Ki Ajar sempat mengelak sehingga tidak mengenai wajahnya. Tetapi bahwa pundaknya-lah yang terkena, maka Ki Ajar pun menjadi marah.

Karena itu, maka iapun segera bangkit berdiri sambil memaki, “Anak iblis. Kau telah menghina aku, he? Bukankah aku hanya menyebut ayammu sakit-sakitan? Bukankah aku sudah minta maaf? Tetapi kau justru menghina aku dengan kasar dan kotor, yang tidak aku lakukan meskipun hanya terhadap ayammu.”

“Persetan!” bentak orang itu, “Kau mau apa? Kau belum mengenal aku, he? Aku yang disebut Sura Kenceng, Alap-Alap Gunung Wudun. Jika kau sekali lagi membuka mulutmu, aku sumbat dengan tumitku.”

Ki Ajar Gurawa yang memang memancing persoalan merasa berhasil. Ternyata orang itu pun agaknya orang yang merasa dirinya mempunyai nama. Karena itu maka Ki Ajar memang harus berhati-hati.

Dengan lagak seorang gegedug Ki Ajar bergeser surut sambil berkata lantang, “Apa peduliku dengan Sura Kenceng yang disebut Alap-Alap Gunung Wudun? Kau kira aku menjadi silau, he? Buka matamu. Lihat aku baik-baik. Buka telingamu. Dengar namaku baik-baik. Aku adalah Kerta Dangsa Wanda Geni dari Kepandak.”

Orang bermata merah itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia belum pernah mendengar nama itu. Ia belum pernah selama petualangannya bertemu atau mendengar nama Kerta Dangsa Wanda Geni.

Tetapi orang itu sudah terlanjur marah. Diberikannya ayamnya kepada kawannya sambil berkata, “Tolong. Bawa ayamku. Orang itu harus mendapat sedikit peringatan untuk tidak dengan seenaknya menghina Sura Kenceng dari Gunung Wudun.”

Kedua orang itu ternyata telah menarik perhatian. Beberapa orang datang mendekat. Tetapi hampir tidak ada usaha mereka melerai keduanya yang sudah bersiap untuk berkelahi itu. Bahkan beberapa orang merasa mendapat tontonan yang tentu akan menyenangkan sekali sebelum sabung ayam dimulai.

Ketika keduanya sudah bersiap, maka Ki Ajar Gurawa sempat melihat penjudi yang ditemuinya di Pasar Ganjur dan yang telah memberinya bagian keuntungan di padukuhan Talangtelu itu. Ternyata ia datang bersama beberapa orang kawannya, yang di antaranya belum pernah dilihatnya. Orang-orang yang nampak berwajah garang.

“Mudah-mudahan ada di antara mereka orang-orang yang sedang kami cari,” berkata Ki Ajar di dalam hatinya.

Tetapi ia tidak mendapat banyak kesempatan untuk merenung. Orang-orang itu datang dan ikut melingkarinya untuk melihat satu tontonan yang menarik. Mungkin mereka menganggap perkelahian sebagai satu pengantar sabung ayam, atau bahkan perkelahian itu akan lebih menarik dari sabung ayam itu sendiri.

Sejenak kemudian, orang yang bernama Sura Kenceng itu mulai bergeser. Tangannya mulai bergerak, sementara Ki Ajar Gurawa yang menyebut dirinya Kerta Dangsa Wanda Geni dari Kepandak telah mengimbanginya.

Sejenak kemudian, dengan kasar Sura Kenceng itu pun mulai menyerang. Kerta Dangsa masih sempat mengelak. Namun dengan tidak kalah kasarnya ia meloncat sambil berteriak menggapai leher lawannya. Tetapi ternyata Sura Kenceng masih juga bergeser surut.

Demikianlah, sejenak kemudian keduanya telah berkelahi dengan keras dan kasar. Sura Kenceng menyerang dengan tangan dan kakinya. Sementara Kerta Dangsa hampir selalu membentur setiap serangan dengan serangan, sehingga seakan-akan keduanya tidak lebih dari beradu kekuatan.

Penjudi di pasar Ganjur itu tersenyum-senyum melihat perkelahian itu. Bahkan tiba-tiba saja ia berteriak, “Ayo Kerta Dangsa. Pilin saja leher lawanmu.”

Kawannya menggamitnya sambil berkata, “Kau tidak boleh berpihak.”

“Ia kawanku. Bukankah aku telah bercerita tentang tiga orang yang membantuku melepaskan diri dari tangan prajurit sandi?” berkata penjudi itu.

“Jadi orang itukah?” bertanya kawannya.

“Ya. Dan dua orang kemanakannya,” jawab penjudi itu.

“Pantas,” desis kawannya, “nampaknya ia memiliki kelebihan. Sura Kenceng tidak akan mampu mengalahkannya.”

“Sudah banyak orang berbicara tentang Sura Kenceng,” berkata penjudi itu.

“Ya. Ia memang keras, kasar dan pemarah. Tetapi nampaknya kali ini ia terbentur pada seorang yang memiliki tabiat serupa dengan dirinya. Bahkan memiliki kelebihan dalam olah kanuragan,” desis kawannya.

Keduanya terdiam. Perkelahian itu semakin lama memang menjadi semakin keras dan kasar. Sura Kenceng mulai mengumpat-umpat, bahkan sekali dua kali meludahi lawannya. Beberapa kali kuku-kukunya yang panjang berusaha mencengkam kulit lawannya. Tetapi tidak berhasil.

Bahkan ketika Sura Kenceng itu lengah, maka sikut Kerta Dangsa telah menjamah keningnya, meskipun nampaknya tidak sengaja. Karena ketika Kerta Dangsa memukul keningnya, Sura Kenceng berusaha mengelak, sehingga yang mengenai tubuh Sura kenceng justru siku Kerta Dangsa.

Kedua murid Ki Ajar Gurawa sempat tersenyum melihat cara gurunya berkelahi. Sama sekali tidak nampak unsur-unsur dari ilmu yang dikuasainya. Seakan-akan Ki Ajar yang mengaku Kerta Dangsa itu berkelahi tanpa lambaran ilmu apapun, meskipun kadang-kadang dengan tatanan gerak yang seakan-akan tidak sengaja berhasil luput dari serangan lawan.

Selain kedua orang muridnya yang dapat mengenali unsur-unsur gerak khusus gurunya, maka orang-orang yang menunggui perkelahian itu tidak ada yang menilai Ki Ajar Gurawa sebagai seorang yang berilmu tinggi. Ia hanya dianggap seorang yang memiliki kekuatan dan ketangkasan yang melebihi orang lain.

Sebenarnyalah orang bermata merah yang menyebut dirinya Sura Kenceng itu tidak banyak mendapat kesempatan. Ketika keringat mereka mulai membasahi punggung, maka Sura Kenceng telah benar-benar terdesak. Beberapa kali Kerta Dangsa berhasil memukul tubuh lawannya itu. Bahkan kakinya pun telah berhasil mendorong Sura Kenceng beberapa langkah surut.

Kawan Sura Kenceng yang membawakan ayam aduannya sama sekali tidak berniat membantunya. Bahkan ketika Sura Kenceng itu terjatuh sampai dua kali, sebuah tendangan yang keras berhasil mengenai lambungnya, sehingga Sura Kenceng itu terdorong surut dan bahkan jatuh terduduk. Namun demikian ia berdiri, maka tangan Kerta Dangsa menyambar keningnya keras sekali, sehingga Sura Kenceng itu sekali lagi terlempar jatuh. Bahkan bukan saja terduduk. Tetapi ia jatuh terbaring di tanah dan berguling sampai dua kali.

Sura Kenceng menggeram sambil mengumpat-umpat. Tetapi ketika perkelahian itu dilanjutkan lagi, tangan Kerta Dangsa telah menyambar hidung Sura Kenceng, sehingga hidung itu berdarah.

Dengan lengah bajunya Sura Kenceng mengusap darah yang keluar dari hidungnya, sehingga bajunya menjadi merah. Namun Sura Kenceng masih belum merasa kalah. Bahkan dengan geram Sura Kenceng meloncat menerkam lawannya dengan serta merta, demikian ia melihat lawannya termangu-mangu.

Kerta Dangsa memang terkejut. Selagi ia melihat Sura Kenccng mengusap darah di hidungnya, tiba-tiba saja orang itu telah mencengkam lehernya dan berusaha mencekiknya.

Kerta Dangsa telah terdorong beberapa langkah surut. Bahkan kemudian ia telah menjatuhkan dirinya, sehingga justru tangan Sura Kenceng terlepas dari lehernya.

Beberapa kali Kerta Dangsa terguling. Namun kemudian dengan cepat ia bangkit. Sedikit lebih cepat dari lawannya, Sura Kenceng.

Dengan demikian, maka keduanya telah bersiap. Mereka telah bergeser beberapa langkah. Sura Kenceng yang marah agaknya tidak lagi dapat mengendalikan diri.

Sementara itu, orang-orang yang akan ikut bertaruh dalam sabung ayam pun telah menjadi semakin banyak. Beberapa orang di antara mereka langsung menonton perkelahian itu. Tetapi ada di antara mereka yang sudah menjadi jemu dan meninggalkan perkelahian itu, dan mulai menempatkan diri di putaran sabung ayam. Bagi para penjudi dan orang-orang yang terbiasa datang ke tempat perjudian dan lingkaran sabung ayam, maka perkelahian bukan lagi sesuatu yang sangat menarik perhatian. Perkelahian memang sudah sering terjadi di antara orang-orang yang bertaruh. Namun biasanya disebabkan oleh perbedaan penilaian atas persetujuan yang telah mereka buat. Bukan sekedar lontaran kata-kata yang menyinggung perasaan, seperti yang diucapkan oleh Kerta Dangsa.

Kerta Dangsa yang melihat orang-orang yang mengerumuninya menjadi jemu, maka iapun menjadi jemu pula. Karena itu maka beberapa saat kemudian, Ketta Dangsa telah berhasil mengenai tengkuk orang itu sehingga jatuh tersungkur.

Namun ternyata orang itu mengalami kesulitan ketika ia akan bangkit. Punggungnya serasa sakit sebagaimana dahinya. Wajahnya penuh dengan debu yang melekat karena keringat yang membasah di kening.

Kerta Dangsa berdiri termangu mangu. Namun ketika ia melihat Sura Kenceng tidak segera bangkit berdiri, iapun berkata, “Nah. Aku beri kau kesempatan. Jika kau masih ingin meneruskan, nanti setelah sabung ayam ini selesai.”

Sura Kenceng tidak menjawab. Ia memang tidak dapat meneruskan perkelahian seandainya lawannya itu menantangnya. Karena itu, ketika ia melihat lawannya bergeser menjauhinya, maka iapun telah menarik nafas dalam-dalam.

Demikian Kerta Dangsa melangkah menjauhi lawannya, maka penjudi dadu yang ditemuinya kemarin di Ganjur itu mendekatinya sambil berkata, “kau memang kuat seperti seekor orang hutan.”

“Kau mulai menghinaku?” bertanya Kerta Dangsa.

“Tidak,” jawab orang itu, “aku berkata sebenarnya.”

“Terima kasih,” berkata Kerta Dangsa sambil memandang berkeliling. Tiba-tiba saja ia bertanya, “Aku melihat kau berdiri bersama beberapa orang kawanmu. Atau barangkali hanya sekedar berdiri bersama-sama menonton sabung ayam?”

“Mereka memang kawan-kawanku,” jawab penjudi dadu itu.

“Dimana mereka sekarang?” bertanya Kerta Dangsa.

“Mereka menyiapkan sabung ayam itu. Marilah, aku ingin memperkenalkan kau kepada mereka,” berkata penjudi dadu itu.

Kerta Dangsa tidak menolak. Iapun mengajak dua orang yang disebutnya sebagai kemanakannya itu mengikuti penjudi dadu menuju ke pendapa rumah yang cukup besar dan berhalaman cukup luas itu.

Beberapa orang pun kemudian beringsut untuk memberi tempat kepada Kerta Dangsa dan kedua orang kemanakannya itu.

“Kau-kah yang pernah menyelamatkan kawanku dari tangkapan prajurit sandi sampai dua kali?” bertanya seorang yang bertubuh tinggi tegap, berkumis melintang dengan tatapan mata yang tajam seperti tatapan mata burung hantu.

“Ya,” jawab Kerta Dangsa, “di Kotaraja dan di Ganjur. Hampir saja kawan-kawanmu itu tertangkap dan sudah tentu uangnya akan dirampas. Untung bahwa aku dan kedua kemanakanku ini sempat menolong mereka. Tanpa pertolongan kami, kawanmu itu sekarang tentu tidak akan dapat hadir di sini.”

“Aku mengucapkan terima kasih,” jawab orang berkumis melintang, “tetapi kau jangan menyombongkan diri di hadapanku. Aku akan menjadi muak.”

Kerta Dangsa mengerutkan keningnya. Dipandanginya orang-orang yang ada di sekitarnya satu persatu. Dua orang di antara mereka pernah dikenalnya selain penjudi dadu itu. Keduanya adalah orang-orang yang melindungi penjudi dadu itu di Pasar Ganjur.

“Nah,” berkata orang berkumis melintang itu,  “aku mendengar dari kawanku ini, bahwa kau ingin bergabung dengan kami. Tetapi tidak sebagai penjudi dadu. Tetapi lebih dari itu. Merampok misalnya. Bukankah begitu?”

“Ya,” jawab Kerta Dangsa tegas, “aku ingin merampok, menyamun atau pekerjaan serupa, sebagaimana pernah aku lakukan. Tetapi sekarang, aku tidak mempunyai cukup kawan untuk menyaingi kelompok-kelompok besar sebagaimana yang ada di Mataram ini.” Orang itu mengerutkan keningnya. Hampir di luar sadarnya ia berpaling kepada seseorang sambil bertanya, “Bagaimana pendapat Ki Rangga?”

Ki Ajar Gurawa yang menyebut dirinya Kerta Dangsa itu menjadi berdebar-debar. Seorang di antara mereka disebut Ki Rangga. Meskipun ia tidak boleh dengan cepat mengambil kesimpulan bahwa Rangga yang dimaksudkan adalah salah satu jenjang kepangkatan. Mungkin memang nama orang itu Rangga, sebagaimana pernah ada seorang pangeran bernama Rangga di Mataram yang dikenal dengan Raden Rangga.

Orang yang disebut Ki Rangga itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berkata, “Menilik kemampuannya, ia dapat menjadi seorang kawan yang berarti. Ia memiliki keberanian. Mereka telah berani melawan para prajurit sandi untuk menolong salah seorang di antara kita. Tetapi kita belum mengenal nama orang itu sepenuhnya.”

“Baiklah,” berkata orang berkumis melintang, “jika demikian, maka kita akan melihat bukan saja kemampuanmu, tetapi juga kesetiaanmu. Kau akan menerima tugas yang berat. Jika kau berhasil, maka kau akan mendapat tempat yang baik di antara kami.”

“Tugas apa yang harus kami lakukan?” bertanya Kerta Dangsa.

“Kau harus menyingkirkan musuh utama kami,” jawab orang berkumis melintang itu.

“Siapa?” bertanya Kerta Dangsa.

“Ki Rangga Resapraja,” jawab orang berkumis melintang itu. Kerta Dangsa termangu-mangu sejenak. Katanya, “Aku belum mengenal orang yang bernama Ki Rangga Resapraja.”

“Kau dapat mencarinya. Kau mempunyai mulut untuk bertanya. Jika kau sudah menemukannya, maka kau harus memasuki rumahnya dan membunuhnya. Jika kau berhasil, maka kau akan dengan senang hati kami terima menjadi salah satu di antara orang terpenting di antara kami,” kata orang berkumis melintang itu.

Kerta Dangsa mengangguk-angguk kecil. Ketika ia sempat memandang orang yang dipanggil Ki Rangga itu, nampak kerut di dahinya.

Namun Kerta Dangsa itu pun kemudian berkata, “Baik. Aku akan melakukannya. Berapa hari waktu yang diberikan kepadaku?”

“Aku ingin membantumu sedikit. Waktu yang paling baik kau lakukan adalah besok malam Pahing. Di malam Pahing rumahnya biasanya dilakukan upacara kecil-kecilan, karena Ki Rangga itu lahir pada hari Kamis Pahing. Pada hari itu, Ki Rangga biasanya ada di rumah,” berkata orang berkumis melintang.

“Apakah Ki Rangga Resapraja sering bepergian?” bertanya Kerta Dangsa.

“Ya. Hampir tidak pernah di rumah,” jawab orang berkumis melintang itu.

“Baik. Sekarang hari Senin Wage. Besok Selasa Kliwon. Lalu Rabo Legi, dan hari berikutnya tepat hari Kamis Pahing. Ia tentu ada di rumahnya. Lakukan saat itu,” berkata orang berkumis melintang itu selanjutnya.

Kerta Dangsa mengangguk-angguk. Tetapi ia masih bertanya, “Bagaimana jika hal itu aku lakukan tidak di rumahnya? Dimana saja asal tidak lebih dari besok Kamis Pahing?”

Wajah orang berkumis melintang itu tiba-tiba menjadi tegang. Namun kemudian katanya, “Aku nasehatkan agar hal itu tidak kau lakukan. Kau tidak akan mampu melakukannya, tetapi aku yakin bahwa kau-lah yang akan mati terbunuh. Kelemahan Ki Rangga satu-satunya adalah saat ia tidur. Ia memang tidak cepat tanggap dalam tidurnya. Kau dapat masuk ke biliknya seperti kau akan mencuri. Kau dapat menusuknya selagi ia masih tertidur nyenyak.”

“Bagaimana dengan Nyi Rangga?” bertanya Kerta Dangsa.

“Keduanya sering berselisih. Keduanya berada di bilik yang berbeda. Nah, ketahuilah, bilik Ki Rangga adalah bilik yang khusus. Di dinding biliknya tergantung beberapa jenis senjata. Ada senjata yang sekedar sebagai hiasan, tetapi ada senjata yang benar- benar dapat dipergunakan. Karena itu, demikian kau masuk, maka kau harus langsung membunuhnya. Menusuk selagi ia masih terbujur di pembaringannya,” berkata orang berkumis melintang itu.

“Baik. Aku akan melakukannya. Pada malam Kamis Pahing, aku akan membunuh Ki Rangga Resapraja,” berkata Kerta Dangsa. Namun ia masih bertanya, “Tetapi apa salah orang itu?”

“Kau tidak perlu tahu,” jawab orang berkumis melintang, “itu persoalan kami. Tetapi barangkali sedikit kejelasan dapat kami berikan. Ia adalah termasuk salah satu di antra orang-orang yang memburu kami seperti memburu kelinci.”

Kerta Dangsa mengangguk-angguk. Katanya, “Apakah aku harus membawa kepalanya?”

“Tidak. Jika kau berhasil, maka seluruh Kotaraja akan menjadi ribut. Kami akan segera tahu, apakah kau berhasil atau tidak,” berkata orang berkumis melintang itu.

Kerta Dangsa itu pun kemudian berkata, “Jika demikian, aku minta diri. Waktuku tinggal sedikit. Aku harus mengenal orang yang harus aku bunuh, agar tidak keliru. Jika terjadi kekeliruan, maka kerjaku sia-sia, sementara korban telah jatuh.”

“Terserah kepadamu. Tetapi masih ada beberapa hari lagib,” berkata orang berkumis melintang.

Tetapi Kerta Dangsa tidak lagi memasuki lingkaran sabung ayam. Ia justru meninggalkan halaman itu dan berjalan menyusuri jalan kota.

“Satu ujian yang berat,” berkata Ki Ajar Gurawa, “jika saja tidak membunuh orang.”

“Apa yang akan guru lakukan?” bertanya muridnya yang tua.

“Aku harus berbicara dahulu dengan anggota-anggota Gajah Liwung,” jawab Ki Ajar Gurawa, “mungkin ada di antara mereka yang sudah mengenal Ki Rangga Resapraja.”

Kedua muridnya mengangguk-angguk. Namun yang muda pun kemudian bertanya, “Kita akan kemana sekarang?”

“Pulang ke Sumpyuh dan tidur,” jawab Ki Ajar, “mudah-mudahan aku bermimpi baik.”

Kedua muridnya yang sudah mengenal sifat-sifat gurunya itu tahu benar. Jika gurunya sudah berniat untuk tidur saja, itu berarti Ki Ajar Gurawa itu benar-benar bingung.

Karena itu, maka kedua muridnya mengikuti saja langkah gurunya. Sedikit berputar-putar, namun kemudian meninggalkan Kota. Ki Ajar dengan sengaja telah mencari jalan lain sehingga tidak akan berpapasan dengan Ki Jayaraga.

“Mudah-mudahan Ki Jayaraga mendapat jalan yang lebih baik untuk menemukan orang yang sedang kita cari,” berkata K i Ajar Gurawa.

Ketika Ki Ajar dan kedua orang muridnya sampai di sarang mereka, maka rumah itu masih sepi. Tetapi Suratama dan Naratama yang menunggui rumah itu pun kemudian telah menemui Ki Ajar Gurawa dan menanyakan hasil perjalanannya.

“Ternyata lingkaran yang memagari kelompok mereka sulit ditembus,” berkata Ki Ajar Gurawa yang kemudian dengan singkat menceritakan syarat yang harus dipenuhinya.

“Apakah kalian mengenal Ki Rangga Resapraja?” bertanya Ki Ajar.

Tetapi baik Suratama maupun Naratama belum pernah mengenal orang yang bernama Resapraja itu.

“Entahlah kalau Sabungsari dan Glagah Putih,” jawab Naratama.

Ki Ajar mengangguk-angguk. Ia memang harus menunggu semua anggota Gajah Liwung berkumpul.

Hari itu rasa-rasanya berjalan dengan lamban. Namun akhirnya satu demi satu anggota Gajah Liwungpun telah berkumpul. Ternyata tidak seorangpun yang berhasil memancing hubungan dengan orang-orang yang mereka cari. Hubungan yang lunak maupun hubungan yang keras.

Baru setelah semuanya mandi dan siap untuk makan malam, Ki Ajar pun mulai menceritakan hasil usahanya mencari hubungan dengan orang-orang yang mungkin akan dapat membawa mereka pada orang-orang yang untuk beberapa lama telah menghantui dan membuat Mataram menjadi resah dan gelisah.

“Nah,” berkata Ki Ajar Gurawa, “aku mengalami kesulitan justru karena aku harus membunuh seseorang.”

Para anggota Gajah Liwung itu pun menjadi termangu-mangu. Termasuk Ki Jayaraga.

Dalam pada itu, selagi para anggota Gajah Liwung itu kebingungan mencari jalan keluar, maka Ki Jayaraga pun berkata, “Sebaiknya kalian berusaha untuk bertemu dengan Ki Wirayuda.

Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya dengan nada dalam, “Aku sependapat. Aku kira dari Ki Wirayuda kita akan mendapat beberapa keterangan dan petunjuk.”

Malam itu juga Sabungsari, Glagah Putih dan Ki Ajar Gurawa telah memutuskan untuk pergi bertiga menemui Ki Wirayuda. Justru malam hari, agaknya tidak akan banyak orang yang melihatnya. Bahkan mereka di saat memasuki halaman rumah Ki Wirayuda berusaha untuk tidak dilihat oleh seorangpun.

Ketiga orang yang berilmu tinggi itu dengan hati-hati telah menempuh perjalanan ke Mataram. Perjalanan yang memang agak panjang. Namun mereka sengaja tidak membawa kuda mereka langsung ke rumah Ki Wirayuda. Tetapi mereka telah pergi ke rumah Ki Lurah Branjangan. Justru karena Ki Lurah tidak ada di rumah, maka agaknya tidak ada orang yang mengawasi rumahnya itu.

Kepada orang yang menunggui rumah itu, Glagah Putih yang sudah dikenal oleh penghuni rumah itu telah menitipkan kudanya dan kuda yang lain.

“Besok kami akan mengambilnya,” berkata Glagah Putih, “tetapi hati-hati. Biar kuda-kuda kami berada di halaman belakang.”

Yang menunggu rumah Ki Lurah itu pun tanggap. Karena itu, sambil mengangguk-angguk ia menjawab, “Baiklah Anak Muda. Kudamu akan berada di belakang.”

Dari rumah Ki Lurah Branjangan, maka ketiga orang itu pun langsung menuju ke rumah Ki Wirayuda dengan satu keyakinan, bahwa tidak seorangpun yang melihat perjalanan mereka.

Ki Wirayuda memang terkejut. Mereka sampai ke rumah Ki Wirayuda sudah jauh malam. Namun Ki Wirayuda tidak menolak kedatangan mereka, karena ia sadar bahwa tentu ada yang penting yang akan dibicarakan.

Ketika Sabungsari memperkenalkan Ki Ajar Gurawa, ternyata Ki Wirayuda sudah mengetahuinya langsung dari Ki Patih Mandaraka, bahwa ia merupakan anggota baru dari kelompok Gajah Liwung bersama dengan dua orang muridnya.

Dalam pada itu, dengan singkat Ki Ajar Gurawa pun telah menceritakan semua usaha yang pernah dilakukan untuk merintis jalan memasuki kelompok yang sedang dicari oleh kelompok Gajah Liwung dan para prajurit sandi Mataram. Sampai pada saat terakhir, Ki Ajar Gurawa telah diuji, apakah ia mampu membunuh seorang Rangga yang bernama Ki Rangga Resapraja.

Ki Wirayuda mendengarkan keterangan Ki Ajar Gurawa dengan sungguh-sungguh. Ketika ia mendengar nama Resapraja, maka keningnya telah berkerut.

“Kenapa Resapraja?” bertanya Ki Wirayuda.

Ki Ajar pun kemudian menceriterakan pembicaraannya dengan orang berkumis melintang dan seorang yang disebut Ki Rangga oleh orang berkumis itu.

“Kami sedang mengawasi orang yang bernama Ki Rangga Resapraja itu,” berkata Ki Wirayuda, “orang itu telah melakukan tindakan-tindakan yang kadang-kadang kurang dimengerti oleh kawan-kawannya terdekat. Hal itu telah sampai ke telinga prajurit sandi. Namun demikian, karena hal ini penting, maka aku ingin berbicara langsung dengan Ki Patih Mandaraka.”

Ketiga orang yang menemuinya itu termangu-mangu. Namun Ki Wirayuda itu berkata, “Kalian tunggu aku di sini.”

Malam itu juga Ki Wirayuda telah pergi menghadap Ki Patih Mandaraka untuk berbicara tentang Ki Rangga Resapraja. Iapun telah menirukan segala keterangan yang telah diberikan oleh Ki Ajar Gurawa.

Ki Patih Mandaraka yang masih saja mengusap matanya mengangguk-angguk kecil, sehingga beberapa kali Ki Wirayuda harus mohon maaf, bahwa ia telah mengganggu.

“Tidak. Aku tidak merasa terganggu oleh kedatanganmu. Aku justru merasa terganggu oleh kantukku,” jawab Ki Patih.

Ki Wirayuda sempat juga tersenyum, betapapun hatinya ditegangkan oleh persoalan yang dihadapinya.

Yang menarik perhatian Ki Patih adalah justru beberapa petunjuk yang diberikan oleh orang berkumis melintang itu, sehingga waktu seakan-akan telah ditetapkan, besok malam Kamis Pahing. Apalagi orang itu berkeberatan, langsung atau tidak, pembunuhan itu dilakukan di luar rumahnya.

Rangga Resapraja memang seorang yang berilmu tinggi menurut penilaian Ki Patih dan Ki Wirayuda. Tetapi Ki Ajar Gurawa pun seorang yang memiliki kelebihan.

Namun tiba-tiba Ki Patih berkata, “Aku setuju Ki Ajar Gurawa melakukan perintah itu.”

Ki Wirayuda mengangguk-anggauk. Ia mengerti maksud Ki Patih, sehingga karena itu maka katanya, “Baiklah. Aku akan mengatakannya kepada Ki Ajar Gurawa. Iapun tentu akan tanggap. Apalagi aku mengatakan kepadanya bahwa Ki Rangga Resapraja sedang dalam pengawasan.”

“Kau katakan, bahwa ia mempunyai banyak hubungan dengan orang Pati karena ia memang berasal dari Pati?” bertanya Ki Patih.

Ki Wirayuda menggeleng, “Aku ragu untuk mengatakannya.”

Ki Patih Mandaraka mengangguk-angguk. Katanya, “Sebenarnya persoalannya bukan karena ia berasal dari mana. Orang-orang Mataram dapat saja melakukan kesalahan terhadap Mataram. Yang penting adalah pribadi-pribadi itu sendiri. Namun ternyata Ki Rangga Resapraja mungkin melakukan kesalahan itu. Orang-orang yang ingin mengganggu ketenangan Mataram itu mempunyai peluang untuk menghubunginya, karena alasan yang tidak kita ketahui.”

Ki Wirayuda yang tanggap akan sikap Ki Patih itu pun segera minta diri. Ia ingin dengan segera memberikan jawaban kepada Sabungsari, Glagah Putih dan Ki Ajar Gurawa sebelum fajar.

Ketika Ki Ajar Gurawa mendengar jawaban Ki Patih lewat Ki Wirayuda, ia masih tetap ragu-ragu. Dengan bimbang ia bertanya, “Tetapi bukankah semuanya itu baru dugaan?”

“Ya. Pergilah kepada korbanmu itu. Bukankah Ki Ajar memiliki kemampuan untuk melihat, apakah yang Ki Ajar hadapi di pembaringan Ki Rangga itu?” berkata Ki Wirayuda.

Ki Ajar Gurawa mengangguk-angguk. Sementara itu Sabungsari dan Glagah Putih pun mengerti tugas yang harus dilakukan oleh Ki Ajar Gurawa.

Malam itu, di dini hari ketiganya telah meninggalkan rumah Ki Wirayuda. Mereka mengambil kuda di rumah Ki Lurah Branjangan, dan sebelum matahari terbit, mereka telah berpacu meninggalkan Kotaraja. Mereka dengan sengaja telah mengambil jalan yang tidak seharusnya mereka lalui. Sedikit berputar, sehingga menjadi lebih jauh.

Tugas Ki Ajar untuk melakukan ujian kesetiaan itu memang berat. Menjelang menyelesaikan ujiannya, Ki Ajar tidak pernah pergi ke mana-mana. Ia tidak ingin dilihat orang yang mungkin sengaja mengamatinya. Apalagi berada di antara kelompok Gajah Liwung.

Di hari berikutnya, Ki Ajar Gurawa telah bersiap-siap. Dari Rumeksa yang mengambil alih tugas Ki Ajar meneliti rumah Ki Rangga Resapraja, Ki Ajar itu mendapat beberapa keterangan tentang rumah itu.

“Aku mendapat petunjuk dari Ki Wirayuda,” berkata Rumeksa.

Ki Ajar Gurawa mengangguk-angguk. Ia harus memperhatikan petunjuk itu baik-baik, sehingga ia akan sampai ke longkangan kanan. Bilik Ki Rangga ada di sebelah kanan. Dari longkangan, bilik itu hanya dibatasi dinding papan.

“Jalan yang paling baik agaknya memasuki rumah itu lewat bagian yang paling lemah dari rumah itu. Baru setelah berada di dalam, Ki Ajar cari bilik yang harus Ki AJar amati lebih dahulu dari longkangan sebelah kanan itu,” berkata Rumeksa.

Ki Ajar Gurawa mengangguk-angguk. Namun Ki Ajar itu pun mengerti bahwa di hari malam Kamis Pahing, di rumah itu akan diselenggarakan upacara kecil-kecilan memperingati hari lahir Ki Rangga Resapraja.

Demikianlah, pada hari yang sudah ditentukan, Ki Ajar telah meninggalkan sarang kelompok Gajah Liwung itu untuk melakukan ujiannya. Ia sengaja tidak membawa kawan yang lain kecuali kedua orang muridnya, karena kedua orang muridnya itu telah dikenal oleh orang-orang yang menguji kesetiaannya itu sebagai kemanakannya yang selalu bersamanya.

“Apakah aku boleh mengamati dari kejauhan?” bertanya Sabungsari.

“Jangan,” berkata Ki Ajar Gurawa, “jika hal ini diketahui, maka persoalannya akan menjadi berbeda. Seakan-akan aku telah membawa orang lain untuk mencampuri persoalan ini. Apalagi jika mereka mengira kalian adalah prajurit sandi Mataram.”

Sabungsari mengangguk-angguk. Meskipun ia menjadi agak cemas, namun ia harus percaya kepada langkah yang diambil oleh Ki Ajar Gurawa. Apalagi karena Ki Ajar sudah dikenal dengan baik oleh Ki Patih Mandaraka.

Malam itu, Ki Ajar dan kedua orang muridnya telah menyusup ke dalam Kota. Yang mereka lakukan mula-mula adalah menemukan rumah itu. Namun pekerjaan itu sama sekali bukan pekerjaan yang sulit bagi Ki Ajar. Dengan sangat berhati-hati ia melihat keadaan rumah itu. Dari dinding halaman di belakang, ketiganya telah meloncat masuk. Justru pada saat di rumah itu sedang dilakukan upacara kecil-kecilan, seperti yang dikatakan oleh orang berkumis melintang itu.

Ki Ajar mendekati rumah itu justru dari halaman belakang. Ketika Ki Ajar mendengar senggot timba berderit, maka mereka tahu bahwa upacara nampaknya sudah selesai. Beberapa orang pembantu di rumah itu sudah mulai mencuci mangkuk di dekat sumur. Apalagi ketika mereka kemudian melihat cahaya lampu minyak di dekat sumur itu.

Seperti petunjuk Rumeksa, maka Ki Ajar berusaha untuk sampai ke longkangan sebelah kanan. Ternyata longkangan itu memang sudah menjadi sepi. Tetapi masih terdengar dari longkangan itu suara orang-orang yang tertawa di pringgitan.

Agaknya beberapa orang tamu yang masih mempunyai hubungan dekat telah minta diri. Tidak terlalu banyak. Hanya beberapa orang saja dengan keluarga masing-masing. Nampaknya mereka pun tinggal tidak terlalu jauh dari rumah, itu, karena di antara mereka terdengar suara anak-anak. Sementara itu, mereka tidak terasa bergegas meskipun malam menjadi sumakin dalam.

Seperti dikatakan oleh Rumeksa, maka di dinding yang menghadap ke longkangan sebelah kanan terdapat sebuah lubang memanjang. Lubang yang terjadi karena pengeret dan sunduk pada bagian atas dinding itu tidak saling melekat. Jarak antara pengeret dan sunduk itulah yang dapat dipergunakan untuk melihat ke belakang dinding itu, meskipun tidak sepenuhnya nampak.

Dengan penalaran dan kemampuannya, maka Ki Ajar Gurawa akhirnya mendapatkan satu kesimpulan bahwa di belakang dinding itu adalah bilik yang dipergunakan oleh Ki Rangga Resapraja, karena di dalam bilik itu terdapat beberapa benda khusus yang merupakan ciri dari bilik Ki Rangga itu. Beberapa jenis senjata melekat di dinding bilik itu.

Ternyata Ki Ajar tidak menunggu sampai rumah itu menjadi benar-benar sepi. Ki Ajar bahkan ingin mempergunakan kesempatan selagi pintu-pintu rumah masih belum tertutup rapat.

Dengan kemampuannya yang tinggi, maka Ki Ajar pun telah menyelinap lewat sebuah pintu yang masih terbuka, meskipun Ki Ajar ternyata telah masuk ke serambi kanan yang agak gelap, yang agaknya malam itu tidak dipergunakan.

Dengan cepat Ki Ajar telah berada di kolong sebuah amben bambu yang tidak terlalu besar. Tikar pandan putih yang dibentangkan di atas amben bambu itu tergerai menutup sebagian dari kolong itu.

Namun beberapa saat kemudian, ketika segalanya telah selesai, maka pintu-pintu pun telah ditutup dan diselarak. Sebuah lampu kecil justru telah dipasang di serambi yang semula gelap itu. Beberapa peralatan yang dipergunakan dalam upacara kecil itu telah dibenahi, dan yang telah dicuci bersih telah diletakkan di serambi itu.

Demikianlah, maka Ki Ajar Gurawa yang ada di bawah kolong amben itu menunggu sehingga keadaan menjadi semakin sepi. Lewat tengah malam, maka seakan-akan seisi rumah itu telah tertidur nyenyak.

Namun demikian, Ki Ajar Gurawa tidak tergesa-gesa. Ia masih menunggu beberapa saat. Baru kemudian, ketika ia sudah yakin bahwa seisi rumah itu telah beristirahat, maka Ki Ajar pun mulai bergerak.

Melihat bentuk dan pembagian ruangan di rumah itu, Ki Ajar segera mengetahui kemana ia harus pergi. Menurut pengamatannya, rumah itu adalah sebagaimana rumah orang-orang berada pada umumnya, sehingga ruangan-ruangan yang ada pun tidak jauh berbeda dengan rumah-rumah yang pernah dikenalnya.

Dengan demikian, maka Ki Ajar pun tidak terlalu sulit untuk menemukan bilik Ki Rangga yang telah dilihatnya dari longkangan.

Ketika Ki Rangga memasuki ruangan dalam, maka lampu pun telah menjadi redup. Tempat yang nampaknya dipergunakan untuk melakukan upacara kecil-kecilan itu sudah dibersihkan dan dibenahi lagi.

Dengan cepat Ki Ajar tahu, ke bilik yang mana ia harus masuk.

Namun, demikian ia berada di dekat pintu bilik itu, maka ia justru telah tertarik pada bilik di sebelahnya. Dengan sangat berhati-hati ia bergeser dan melekat pada pintu di bilik sebelah.

Ki Ajar tersenyum. Dengan kemampuannya ia dapat menangkap, apa yang kira-kira akan terjadi setelah ia melakukan tugasnya.

Sejenak kemudian Ki Ajar telah kembali ke pintu semula. Ketika ia dengan perlahan-lahan sekali menyentuh pintu itu, maka iapun segera mengetahui bahwa pintu itu tidak diselarak dari dalam.

Ki Ajar termangu-mangu sejenak.

Namun tiba-tiba saja terdengar suara batuk di bilik yang lain lagi. Suara seorang perempuan. Agaknya bilik itu adalah bilik yang dipergunakan oleh Nyi Rangga, yang dikatakan sering sekali berselisih dengan Ki Rangga, sehingga Nyi Rangga itu telah mempergunakan bilik yang lain dari bilik Ki Rangga.

Dengan cepat Ki Ajar telah mencari tempat untuk bersembunyi ketika ia mendengar desir gesekan kaki. Sejenak kemudian pintu bilik yang lain itu telah terbuka. Seorang perempuan telah keluar dari bilik itu.

Ki Ajar harus bersembunyi lagi di kolong amben yang terdapat di ruangan dalam. Amben yang agak lebih besar dari amben di serambi.

Rasa-rasanya udara di bawah amben itu sangat pengab. Sarang laba-laba bertebaran dan nyamuk pun berterbangan di sekitar telinga Ki Ajar,

Ternyata perempuan itu telah pergi ke sebuah geledeg kayu untuk mengambil semangkuk air. Agaknya malam memang terasa panas, sehingga Nyi Rangga menjadi kehausan.

Baru setelah Nyi Rangga kembali ke biliknya, serta pintu telah tertutup kembali dan diselarak dari dalam, Ki Ajar telah keluar dari kolong amben bambu itu.

Sekali lagi Ki Ajar pergi ke pintu bilik yang diduganya merupakan bilik Ki Rangga Resapraja. Periahan-lahan sekali ia mendorong pintu sehingga terbuka sedikit.

Dari celah-celah pintu ia melihat Ki Rangga terbujur diam di atas pembaringan kayu. Di dinding di atas pembaringan itu tergantung sebatang tombak dan sehelai pedang.

Ki Ajar Gurawa adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Jauh lebih tinggi dari yang diduga oleh orang berkumis melintang, yang telah mengujinya untuk membunuh Ki Rangga Resapraja. Karena itu, demikian Ki Rangga itu menyadari bahwa pintu tidak diselarak dari dalam, serta sesosok tubuh yang berselimut rapat dalam keremangan cahaya lampu minyak itu seakan-akan membelakangi pintu, maka Ki Ajar Gurawa segera tanggap, apa yang sebenarnya dihadapi.

Karena itu, tanpa ragu-ragu lagi Ki Ajar pun segera bergeser masuk, Dengan sengaja iapun telah meloncat sambil menggeram keras. Sementara tangannya yang memegang sebilah pisau belati terangkat, dan terayun dengan derasnya mengarah ke lambung sosok yang terbaring itu.

“Mati kau,” geram Ki Ajar Gurawa. Beberapa kali ia mengangkat pisaunya dan menghunjamkannya ke sosok yang terbaring itu.

Namun sosok itu sama sekali tidak bergerak. Yang kemudian terjadi adalah bagian dari dinding bilik itu telah bergerak. Kemudian sebuah pintu rahasia telah terbuka.

Sambil membawa lampu minyak yang lebih terang, orang berkumis tebal itu melangkah masuk diiringi oleh orang yang dipanggil Ki Rangga, dan yang seorang lagi adalah Ki Rangga Resapraja sendiri.

Ki Ajar Gurawa sendiri sebenarnya sama sekali tidak terkejut. Namun ia berpura-pura terkejut. Dengan tangkasnya ia meloncat menggapai pedang yang tersangkut di dinding bilik di atas pembaringan itu. Sementara kakinya yang menginjak sosok yang berselimut itu merasa, bahwa ia telah menginjak sejenis bantal yang diselimuti kain panjang.

Sambil mengacukan pedang itu Ki Ajar berteriak, “Apa yang sebenarnya kalian lakukan atasku? Menjebakku atau mengumpankan aku?”

“Tidak, tidak Ki Sanak,” berkata orang berkumis tebal itu, “kau telah berhasil.”

“Apa yang berhasil? Permainan apa yang sebenarnya sedang kau lakukan?” Ki Ajar Gurawa yang mengaku bernama Kerta Dangsa itu berteriak semakin keras.

“Jangan berteriak-teriak begitu. Nanti tetangga-tetangga berdatangan,” minta orang yang disebut Ki Rangga.

“Aku tidak peduli. Aku tidak takut!” bentak Kerta Dangsa. “Di luar ada dua kemanakanku. Keduanya akan dapat membunuh tetangga-tetanggamu yang berdatangan.”

“Tenanglah,” orang ketiga yang sebenarnya adalah Ki Rangga Resapraja itu melangkah maju. Katanya, “Aku-lah Rangga Resapraja.”

“Jadi kau-lah yang harus aku bunuh,” geram Kerta Dangsa sambil bergeser maju.

“Tidak. Jangan. Perintah yang kau terima itu benar-benar satu ujian, apakah kau benar-benar berniat untuk bergabung dengan kami atau tidak,” berkata Ki Rangga Resapraja.

“Aku tidak mengerti maksudmu,” desis Kena Dangsa.

“Kau memang diperintahkan untuk membunuh Ki Rangga Resapraja. Perintah itu mempunyai dua tujuan. Selain untuk menguji kemampuanmu, juga untuk menguji kesungguhanmu. Ternyata kau memiliki kemampuan yang tinggi. Kami yang sudah menunggu-menunggu di bilik sebelah yang dihubungkan dengan pintu rahasia ini, hampir tidak mengetahui bahwa kau sudah ada di dalam bilik ini. Jika kau tidak berteriak di saat kau membunuh, maka kami sama sekali tidak siap menerima kedatanganmu,” berkata Ki Rangga Resapraja.

“Jadi..” Kerta Dangsa tidak melanjutkan kata katanya.

“Kami telah menyiapkan satu permainan di sini. Kau tahu sendiri, bahwa yang berbaring itu ternyata bukan Ki Rangga yang sebenarnya.”

Kerta Dangsa itu pun kemudian telah meloncat turun dari pembaringan. Tetapi pedangnya masih teracu.

“Aku mau pulang,” geramnya, “permainan ini tidak menarik.”

“Bukankah kau akan bergabung dengan kami?” bertanya orang berkumis melintang itu.

“Kerja sama macam apa yang dapat kita bangun? Hubungan kita sudah dimulai dengan saling mencurigai dan ketidak-percayaan. Buat apa aku bekerja bersama kalian jika aku selalu dicobai, diamati dan tidak dipercaya?” jawab Kerta Dangsa.

“Tentu tidak. Setelah kami mendapatkan keyakinan ini, maka kami percaya sepenuhnya kepadamu. Kau benar-benar memiliki kemampuan dan kesunguhan bekerja sama dengan kami, sehingga tugas yang sangat berat dengan membunuh seorang pejabat di Mataram pun telah kau lakukan,” berkata Ki Rangga yang dijumpainya di lingkungan sabung ayam.

Kerta Dangsa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Katanya, “Aku akan berpikir. Aku akan berbicara dengan kemenakanku yang menunggu aku di luar.”

“Kau sudah memasuki lingkungan kami. Kau tidak akan dapat keluar lagi,” berkata Ki Rangga Resapraja.

“Aku mengerti. Tetapi tidak untuk selalu dicurigai,” jawab Kerta Dangsa.

“Bukankah kami sudah menyatakan kepercayaan kami?” jawab Ki Rangga Resapraja.

Ki Ajar Gurawa yang menyebut dirinya Kerta Dangsa itu termangu-mangu sejenak. Baru kemudian ia berkata, “Baiklah. Aku akan bergabung dengan kalian. Tetapi tidak sekedar membuka permainan dadu. Aku ingin satu cara yang langsung, sebagaimana pernah aku katakan.”

“Untuk itu kau diuji. Namun kau benar-benar telah memenuhi syarat sehingga kau dapat bekerja bersama kami,” berkata orang berkumis melintang itu.

“Dimana aku dapat menemui kalian?” bertanya Kerta Dangsa itu.

“Di tempat sabung ayam itu. Rumah itu adalah rumah yang kami pergunakan untuk saling bertemu. Tetapi jika keadaan menjadi gawat karena petugas sandi yang sering mengganggu sabung ayam itu, maka kau dapat menjumpai kami di rumah Ki Rangga Ranawandawa. Datanglah lewat senja,” berkata orang berkumis melintang.

“Siapakah Ki Rangga Ranawandawa?” bertanya Kerta Dangsa.

Orang berkumis melintang itu tersenyum. Sambil menunjuk orang yang dipanggil Ki Rangga itu, ia berkata, “Kau memang belum mengenalnya. Baru sekarang kau tahu nama lengkapnya.”

“Dimana rumahnya?” bertanya Kerta Dangsa.

Orang berkumis melintang itu pun kemudian telah memberikan ancar-ancar rumah Ki Rangga Ranawandawa

Kerta Dangsa mengangguk-angguk. Namun ia masih bertanya, “Siapa namamu?”

Orang berkumis melintang itu tersenyum. Katanya, “Namaku Dipacala. Aku adalah orang terpenting dalam kerjasama ini, selain kedua orang Rangga yang sudah kau kenal ini. Mereka adalah penghubung-penghubung yang memberikan banyak bahan bagiku. Sedang aku adalah orang yang bergerak langsung di medan yang sangat berat di Mataram ini.”

“Kenapa sangat berat?” bertanya Kerta Dangsa, “Jika ada beberapa kawan, pekerjaan ini adalah pekerjaan yang paling menyenangkan.”

“Datanglah besok malam ke rumah Ki Rangga Ranawandawa. Rumah itu letaknya jauh lebih ketepi dari rumah Ki Rangga Resapraja. Waktu yang ada pun jauh lebih luas dari waktu Ki Rangga Resapraja,” berkata Dipacala.

Kerta Dangsa itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baik. Besok malam aku akan datang. Aku akan membawa kedua orang kemanakanku.”

“Dimana mereka sekarang?” bertanya Ki Rangga Resapraja.

“Di halaman belakang. Mereka dapat bertindak jauh lebih kasar lagi dari yang dapat aku lakukan. Karena itu, jika menjelang fajar aku belum keluar dari rumah ini, maka rumah ini akan dapat mereka bakar,” jawab Kerta Dangsa.

“Aku tidak berkeberatan mereka ikut. Tetapi kau harus menanggungnya. Jika keduanya melakukan pelanggaran atas ketentuan dan tatanan kelompok kita, maka kau-lah yang akan bertanggung jawab,” berkata Dipacala.

“Baik. Mereka adalah kemanakanku yang segala-galanya tergantung kepadaku,” berkata Kerta Dangsa itu.

Demikianlah, sebelum fajar, Kerta Dangsa memang sudah keluar dari rumah itu untuk menemui kedua kemanakannva. Dengan isyarat yang sudah disepakati maka kedua kemanakannya itu pun datang mendekat. Baru kemudian mereka meninggalkan halaman rumah Ki Rangga Resapraja itu.

Dalam keremangan dini hari ketiga orang itu menyusuri jalan kota yang sepi. Mereka tidak keluar dari kota melewati gerbang utama, karena di gerbang utama ada beberapa orang prajurit yang meronda, yang kadang-kadang seluruh kelompok masih terbangun. Sehingga jika mereka mengajukan pertanyaan bersama-sama, maka agak bingung juga untuk menjawabnya.

Karena itu maka mereka bertiga telah keluar lewat pintu gerbang butulan. Pintu gerbang yang tidak begitu ketat diawasi. Memang di dekat pintu gerbang butulan itu terdapat sebuah gardu perronda, tetapi yang terisi anak-anak muda dari padukuhan sebelah pintu butulan itu. Sedangkan hanya ada dua orang prajurit yang membantu anak-anak muda itu berjaga-jaga, atau sebaliknya, dua orang prajurit yang bertugas di bantu oleh anak-anak muda.

Di pintu gerbang butulan itu, Ki Ajar Gurawa juga dihentikan. Seorang di antara kedua orang prajurit yang bertugas mendekatinya sambil bertanya, “Kemana Ki Sanak?”

“Kami akan pergi ke Pasar Jodog Ki Sanak. Kami memerlukan seekor lembu untuk peralatan besok,” jawab Ki Ajar Gurawa.

Prajurit itu tidak bertanya lebih lanjut. Orang-orang yang pergi ke pasar hewan biasanya memang berangkat menjelang fajar, agar mereka masih sempat memilih ternak yang sesuai dengan keinginannya.

Ternyata bukan hanya Ki Ajar dan kedua orang muridnya sajalah yang lewat pintu butulan itu. Beberapa orang yang membawa dagangan telah melewati pintu itu justru masuk ke dalam kota. Mereka membawa hasil bumi dan sayur-sayuran segar untuk mereka bawa ke pasar.

Kedatangan Ki Ajar di sarang kelompok Gajah Liwung sangat ditunggu-tunggu dan sempat membuat kawan-kawannya menjadi cemas. Namun ternyata akhirnya Ki Ajar itu kembali dengan selamat bersama kedua orang muridnya.

Dalam sekejap anggota kelompok Gajah Liwung itupun telah berkumpul. Mandira yang ternyata masih tertidur hadir pula sambil mengusap matanya yang kemerah-merahan karena semalam ia bertugas berjaga-jaga. Sedangkan Pramawa dan Rumeksa meskipun sedang sibuk di dapur namun memerlukan ikut hadir.

“Pengalaman apa lagi yang dibawa Ki Ajar malam ini?” bertanya Sabungsari.

Ki Ajar itu tersenyum. Katanya, “Aku telah mendapat kesempatan itu.”

“Kesempatan apa?” bertanya Glagah Putih.

“Masuk ke dalam lingkungan mereka,” jawab Ki Ajar, yang kemudian dengan singkat telah menceritakan pengalamannya. Dengan nada tinggi iapun kemudian berkata, “Nah, Ki Patih Mandaraka dan Ki Wirayuda telah melihat kemungkinan itu. Karena itu mereka tidak berkeberatan aku melakukan perintah yang berupa ujian itu.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar