Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 265

Buku 265

“Utusan itu berpesan, agar Ki Lurah segera datang ke rumah putra Ki Lurah itu,” berkata pembantunya itu.

“Bukan aku yang harus datang kepadanya. Tetapi ia harus datang kepadaku,” berkata Ki Lurah.

“Tetapi nada-nadanya, mereka tahu bahwa Ki Lurah tidak ada di rumah,” berkata pembantunya itu.

“Agaknya malah sudah ada utusan ke Tanah Perdikan sebelumnya, dan memberitahukan bahwa aku sudah kembali ke Mataram,” desis Ki Lurah. Namun iapun segera berkata pula, “Itu hanya satu kemungkinan.”

Pembantu rumah itu mengangguk-angguk. Namun Ki Lurah pun berkata, “Baiklah. Aku akan menyelesaikannya nanti. Aku harus kembali ke Tanah Perdikan karena tugas-tugasku.”

“Tetapi dimana Rara Wulan sekarang?” bertanya pembantunya itu.

“Kau ikut menjadi gelisah?” bertanya Ki Lurah. Pembantunya itu menarik nafas dalam-dalam, tetapi ia tidak mengatakan sesuatu lagi.

Sebenarnyalah Ki Lurah Branjangan tidak terlalu lama berada di rumahnya. Setelah minum minuman hangat dan makan beberapa potong makanan, maka keduanya pun telah meninggalkan rumah itu pula. Tetapi Ki Jayaraga sempat bergumam, “Orang-orang yang berada di pinggir hutan itu tentu akan berburu pula.”

Ki Lurah tersenyum. Katanya, “Aku akan membawa beras.”

“Tetapi bagaimana Ki Lurah akan membawanya? Apakah kita akan membawa sebakul beras atau sekeranjang?”

Ki Lurah tersenyum. Agaknya memang sulit untuk membawa beras tanpa menarik perhatian orang. Karena itu maka katanya, “Biarlah orang-orang itu berburu lagi. Ternyata mereka adalah pemburu-pemburu yang baik.”

Ki Jayaraga hanya tersenyum saja, Sementara keduanya berjalan menuju ke rumah seorang yang masih mempunyai hubungan keluarga dengan Ki Lurah Branjangan.

Namun ternyata Ki Jayaraga tidak dapat menahan dorongan perasaannya, sehingga dengan nada dalam ia bertanya, “Bagaimana penilaian Ki Lurah terhadap Glagah Putih?”

Ki Lurah termangu-mangu sejenak. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apakah maksud Ki Jayaraga? Penilaian dalam hal apa? Jika aku harus menilai tentang kemampuannya, maka ia adalah anak muda yang luar biasa. Ia memiliki berbagai macam ilmu yang jarang dimiliki oleh anak-anak muda sebayanya. Bahkan orang-orang yang lebih tua dan berpengalaman sulit untuk dapat mengimbangi kemampuannya.”

Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih bertanya lagi, “Maksudku, bagaimana penilaian Ki Lurah terhadap Glagah Putih sebagai seorang anak muda seutuhnya? Unggah-ungguhnya, sifat-sifatnya, pandangan hidupnya dan masa depan-nya.”

Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia menjawab, “Glagah Putih dalam keseluruhan adalah anak muda yang baik. Beberapa sifat Agung Sedayu mempengaruhi sikap dan wataknya. Tetapi pada saatnya, agaknya Glagah Putih mempunyai pandangan hidup yang agak berbeda. Ada pengaruh Raden Rangga, tetapi juga pengaruh sikap ayahnya sebagai seorang prajurit. Glagah Putih menurut keterangan yang pernah aku dengar, lahir, tumbuh dan berkembang dengan cara yang berbeda dengan Agung Sedayu.”

“Ya. Aku pernah mendengar,” jawab Ki Jayaraga, “tetapi apakah menurut Ki Lurah, Glagah Putih cukup berharga sebagai seorang anak muda yang menjelang masa depannya?”

“Aku juga pernah mendengar pertanyaan yang hampir sama dari Agung Sedayu,” desis Ki Lurah Branjangan, “tetapi aku dapat mengerti, karena Glagah Putih adalah murid sekaligus adik sepupu Agung Sedayu, namun juga murid Ki Lurah Jayaraga.”

Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya Ki Lurah mulai dapat menebak arah bicaranya. Namun karena itu, maka Ki Jayaraga pun tidak mendesaknya. Ia mencoba memancing agar Ki Lurah itu memberikan tanggapannya sesuai dengan sikapnya terhadap anak muda itu.

Beberapa saat keduanya saling berdiam diri. Ki Lurah Branjangan berjalan sambil menundukkan kepalanya. Hampir di luar sadarnya ia bergumam, “Glagah Putih adalah anak muda yang baik. Jika ia mendapat lahan yang memadai, maka ia akan dapat tumbuh subur mengimbangi kakak sepupunya.”

Ki Jayaraga mengangguk kecil. Tetapi ia tidak segera menjawab. Sementara Ki Lurah masih saja bergumam, “Tetapi aku tidak dapat berbuat banyak atas Rara Wulan, karena segala sesuatunya memang tergantung kepada ayah dan ibunya.”

Ki Jayaraga yang sudah ubanan itu tidak menyahut. Ia mengerti sepenuhnya perasaan Ki Lurah Branjangan. Karena itu maka Ki Jayaraga pun tahu benar penilaian Ki Lurah atas Glagah Putih. Sementara itu nampaknya Ki Lurah pun melihat hubungan antara Rara Wulan dan Glagah Putih yang lebih dari hubungan sebagaimana kawan-kawannya yang lain.

Tetapi Ki Lurah Branjangan adalah kakek Rara Wulan, yang wewenangnya tidak lebih besar dari wewenang orang tua Rara Wulan.

Keduanya pun kemudian telah saling berdiam diri pula untuk beberapa saat, sampai akhirnya Ki Lurah Branjangan berkata, “Kita memasuki lorong itu. Saudaraku tinggal di belakang rumah joglo yang besar itu.”

Kedatangan Ki Lurah Branjangan dan Ki Jayaraga disambut dengan gembira oleh keluarga Ki Makerti. Sudah agak lama Ki Lurah Branjangan yang masih mempunyai sangkut paut keluarga meskipun tidak begitu dekat, tidak bertemu dengan Ki Makerti itu.

Ketika keduanya kemudian duduk di pendapa ditemui oleh Ki Makerti, maka Ki Lurah pun telah memperkenalkan Ki Jayaraga sebagai sahabatnya yang tinggal di Tanah Perdikan Menoreh.

“Sudah lama Ki Lurah tidak mengunjungi kami,” berkata Ki Makerti kemudian, setelah ia menanyakan keadaan keluarga Ki Lurah.

“Sebenarnya aku harus merasa malu, bahwa justru setelah lama aku tidak berkunjung, aku datang pada saat-saat aku membutuhkan bantuan Ki Makerti,” berkata Ki Lurah sambil tertawa pendek.

Ki Makerti pun tertawa. katanya, “Ki Lurah tentu bergurau.”

“Kali ini aku mencoba untuk bersungguh-sungguh,” berkata Ki Lurah, “aku memang memerlukan bantuan Ki Makerti.”

“Jika aku dapat melakukannya, aku akan mencobanya,” jawab Ki Makerti.

Ki Lurah mengangguk-angguk. katanya, “Baiklah. Aku akan bercerita serba sedikit. Aku tahu Ki Makerti tentu dapat mengerti dan kemudian bersedia membantuku, meskipun mengandung kemungkinan yang dapat mendatangkan kesulitan.”

“Kau membuat aku gelisah,” berkata Ki Makerti.

Tetapi Ki Lurah justru tertawa. Katanya, “Sebenarnya aku tidak percaya bahwa orang seperti Ki Makerti dapat juga menjadi gelisah. Aku kenal Ki Makerti sebagai seorang pengembara yang berpengalaman luas.”

“Itu dahulu Ki Lurah. Pada saat Ki Lurah masih menjadi seorang prajurit, aku sudah menjadi seorang pemalas yang jinak di rumah. Aku tidak pernah pergi kemana-mana. Bahkan ke pasar pun segan. Seandainya istriku bukan seorang yang berjualan di pasar, aku tentu tidak akan pernah masuk ke tempat yang berjejal dan pengab itu. Tetapi aku harus ikut membawa barang-barang jualannya ke pasar, dan kadang-kadang harus menjemput lewat tengah hari,” berkata Ki Makerti.

Ki Lurah masih saja tertawa. Katanya kemudian, “Aku sebenarnya memang menjadi heran bahwa Ki Makerti dapat tekun bekerja di pasar. Tetapi perubahan sikap seseorang memang memungkinkan.”

“Tentu Ki Lurah. Setelah aku menjadi seorang ayah dari dua orang anak, maka aku tidak dapat lagi menuruti keinginan perasaanku. Mengembara menjelajahi jurang dan lereng-lereng gunung, menyeberangi bulak-bulak panjang dan melintasi padukuhan-padukuhan. Aku harus mempertanggung-jawabkan kelangsungan hidup keluargaku, sehingga aku benar-benar telah menjadi seorang petani. Di samping itu, istriku ikut pula membantu memperingan beban hidup kami sekeluarga,” sahut Ki Makerti sambil tersenyum-senyum kecil.

“Baiklah Ki Makerti,” berkata Ki Lurah kemudian, “aku mohon maaf sebelumnya, jika apa yang aku katakan nanti tidak berkenan di hati Ki Makerti.”

“Ah. Jangan begitu Ki Lurah,” jawab Ki Makerti, “Ki Lurah tahu siapa aku, dan aku pun tahu siapa Ki Lurah itu. Meskipun kaitan darah keturunan kita sudah agak jauh, tetapi ada segi lain yang mentautkan kita lebih rapat. Lebih-lebih di saat muda kita. Kita sama-sama memiliki kesenangan bertualang. Sedikit menyentuh bahaya, dan satu saat bermalas-malasan. Tidur sepanjang hari.”

“Tetapi berkeliaran dari gardu ke gardu meskipun tidak sedang mendapat giliran ronda, hampir setiap malam, sehingga hidup rasa-rasanya seperti seekor kelelawar. Tetapi aku sekarang baru menyesali sikap itu. Hidupku menjadi kurang berarti. Baik bagi keluargaku, aku sendiri, apalagi bagi orang banyak,” berkata Ki Makerti.

“Aku juga merasakannya, Ki Makerti. Selama aku menjadi prajurit, yang dapat aku lakukan jauh terlampau kecil dibandingkan dengan mereka yang hidupnya memang dipersiapkan untuk menghadapi masa depan yang panjang dan besar,” Ki Lurah pun mengangguk-angguk pula.

Ki Makerti merenung sejenak. Namun iapun kemudian bertanya, “Nah, apa yang sebenarnya ingin Ki Lurah katakan?”

Ki Lurah Branjangan bergeser sejenak. Lalu katanya, “Ki Makerti. Sebelumnya aku ingin bertanya, bukankah Ki Makerti masih mempunyai sebuah rumah yang tidak dipergunakan di luar kota?”

Ki Makerti mengerutkan dahinya. Namun ia mengangguk sambil berdesis, “Ya, Ki Lurah. Tetapi tidak lebih dari sebuah gubug yang buruk. Letaknya di Kademangan Sumpyuh.”

Ki Lurah mengangguk-angguk. katanya, “Kalau tidak salah, aku kira aku pernah singgah di rumah Ki Makerti di Sumpyuh itu. Saat itu kita berdua pergi mengunjungi seorang sanak kita yang sedang menyelenggarakan perhelatan, karena seorang anaknya perempuan sedang menikah.”

“Ya. Aku juga masih ingat itu Ki Lurah. Memang rumah itu masih ada. Tetapi rumah itu tidak pantas lagi didiami. Tua dan buruk. Rumah itu adalah peninggalan paman yang kebetulan tidak mempunyai anak. Namun karena aku sendiri belum memerlukannya, maka rumah itu masih kosong sampai sekarang,” jawab Ki Makerti.

Ki Lurah pun kemudian telah berterus terang. Rara Wulan, cucunya yang telah dikenal pula oleh Ki Makerti, dan beberapa orang kawannya, memerlukan rumah tempat tinggal sementara. Beberapa orang telah bergabung dalam satu kelompok yang menyebut kelompok mereka itu Gajah Liwung. Sekelompok anak-anak muda yang sedang bergejolak.

Wajah Ki Makerti berkerut. Dipandanginya Ki Lurah Branjangan dengan tajamnya. Namun kemudian Ki Makerti itu pun bertanya, “Jadi Rara Wulan berada di dalam gerombolan itu?”

“Ya,” jawab Ki Lurah.

“Ada berapa orang perempuan yang bergabung dalam gerombolan itu?” bertanya Ki Makerti.

“Hanya cucuku sendiri,” jawab Ki Lurah. “Bagaimana hal itu dapat terjadi? Apakah Ki Lurah tidak berusaha sesuatu untuk mengeluarkan cucu Ki Lurah itu dari antara orang-orang yang selalu membuat onar di Mataram itu?” bertanya Ki Makerti.

Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian bercerita pula bahwa ada dua kelompok yang menyebut kelompoknya dengan nama Gajah Liwung.

Ki Makerti termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian berkata, “Ya, ya. Kesan tentang nama kelompok Gajah Liwung memang pernah dianggap satu kelompok yang lain dengan kelompok-kelompok yang membuat keresahan di Mataram. Tetapi kemudian justru kelompok Gajah Liwung itulah yang dianggap paling berbahaya bagi Mataram. Tingkah laku dari anggota-anggota kelompok Gajah Liwung sudah keterlaluan. Dan Ki Lurah membiarkan cucu Ki Lurah itu ada di dalamnya. Seorang anak perempuan lagi.”

“Dua kelompok itu yang satu dengan yang lain tidak mempunyai hubungan apa-apa Ki Makerti. Bahkan keduanya saling bermusuhan, sehingga dalam benturan kekerasan yang pernah terjadi, keduanya tidak lagi dapat menahan diri. Kelompok Gajah Liwung yang kemudian membuat Mataram menjadi gelisah itu adalah kelompok yang tampil kemudian,” jawab Ki Lurah.

“Seandainya demikian Ki Lurah,” berkata Ki Makerti, “sebaiknya Ki Lurah tidak membiarkan cucu perempuan Ki Lurah itu ada di dalam salah satu dari kedua kelompok yang bermusuhan itu. Apalagi cucu Ki Lurah itu adalah satu-satunya perempuan di antara mereka.”

Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Namun Ki Lurah pun telah bercerita lebih banyak tentang kedua kelompok itu. Tentang kelahirannya serta perkembangannya. Kemudian tentang kedatangan kelompok baru yang menyebut kelompok itu bernama kelompok Gajah Liwung. 

Ki Makerti mendengarkan cerita Ki Lurah itu dengan saksama. Ki Lurah pun bercerita pula tentang benturan besar yang pernah dua kali terjadi antara kedua kelompok yang sama-sama bernama Gajah Liwung itu.

Ki Makerti mengangguk-angguk. Ia menjadi jelas mengenali kedua kelompok yang sebenarnya justru bermusuhan itu, meskipun mempergunakan nama yang sama.

Namun sambil termangu-mangu Ki Makerti berkata, “Aku mengerti Ki Lurah. Aku dapat membayangkan watak dan sifat kedua kelompok yang menyebut kelompok mereka bernama Gajah Liwung. Tetapi bagaimanapun juga aku tidak dapat mengerti, kenapa Ki Lurah membiarkan gadis cucu Ki Lurah itu ada di dalamnya.”

Ki Lurahpun kemudian tidak dapat ingkar lagi tentang isi dari kelompok Gajah Liwung yang pertama. Katanya, “Mereka adalah orang-orang yang dapat dipertanggung-jawabkan. Bahwa mereka membentuk satu kelompok anak-anak muda, itu justru karena mereka membawa beban tugas di pundak mereka.”

Ki Makerti itu mengangguk-angguk pula. Ia berusaha untuk dapat mengerti kenapa Rara Wulan ada di dalamnya. Betapapun tinggi niat yang terkandung di dalamnya serta betapapun telitinya anggota-anggota Gajah Liwung itu dipilih, namun kehadiran seorang gadis memang agak mendebarkan.

Namun Ki Makerti mencoba untuk memisahkan tanggapannya terhadap kehadiran Rara Wulan di dalam kelompok itu, dengan kepentingan Ki Lurah tentang papan bagi kelompok itu.

Karena itu, maka Ki Makerti pun kemudian berkata, “Ki Lurah. Aku dapat mengerti apa yang Ki Lurah katakan. Aku pun ingin dapat membantu Ki Lurah mendapatkan tempat tinggal bagi anak-anak muda yang berkelompok dalam kelompok Gajah Liwung itu. Tentang cucu Ki Lurah itu, seharusnya aku memang tidak terlalu banyak mencampurinya. Tetapi karena aku juga mempunyai cucu seorang gadis, maka rasa-rasanya yang terlibat itu adalah cucuku sendiri.”

Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. katanya, “Aku dapat mengerti Ki Makerti. Sebenarnya ada juga perasaan seperti yang Ki Makerti rasakan. Tetapi cucuku memang seorang gadis yang sulit untuk dikekang kemauannya. Apalagi gadis itu merasa dikecewakan oleh kedua orang tuanya di saat-saat ia menjelang dewasa, sehingga anak itu menjadi semakin mengeraskan hatinya mengikuti perasaannya.”

Ki Makerti menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Baiklah Ki Lurah. Aku ingin dapat membantu Ki Lurah. Karena yang aku punya hanya rumah yang sebenarnya sudah tidak pantas didiami itu, sedangkan yang diperlukan oleh Ki Lurah justru rumah itu, maka aku sama sekali tidak berkeberatan untuk menyerahkan rumah itu kepada anak-anak muda kelompok Gajah Liwung itu.”

Ki Lurah Branjangan termangu-mangu sejenak. Dengan nada tinggi Ki Lurah Branjangan bertanya, “Jadi Ki Makerti tidak berkeberatan?”

“Tidak Ki Lurah. Tetapi sudah aku katakan berulang kali. Rumah itu sudah tidak pantas dihuni,” jawab Ki Makerti.

“Terima kasih Ki Makerti. Biarlah kami membersihkannya dan kemudian mempergunakannya. Kami akan menjaga rumah itu agar tidak menjadi rusak. Namun seperti yang sudah aku katakan, bahwa ada kemungkinan buruk dapat terjadi, karena kelompok ini mempunyai musuh yang sangat garang dan bahkan buas,” berkata Ki Lurah.

“Kelompok yang juga menamakan dirinya Gajah Liwung itu?” bertanya Ki Makerti.

“Ya. Jika mereka mengetahui bahwa rumah itu adalah rumah Ki Makerti, maka Ki Makerti akan dapat tersentuh getahnya,” jawab Ki Lurah.

Ki Makerti tersenyum. Katanya, “Beberapa puluh langkah dari rumahku itu adalah barak prajurit Mataram. Bukankah hal itu dapat menjadi pijakan keselamatanku?”

“Tentu bukan hanya itu. Justru karena aku mengenal Ki Makerti,” berkata Ki Lurah. Lalu katanya, “Sedangkan sandaran orang-orang yang juga mengaku dari kelompok Gajah Liwung itu adalah seorang yang berilmu tinggi. Namanya Podang Abang,” berkata Ki Lurah sambil berpaling kepada Ki Jayaraga, “bukankah begitu?”

Ki Jayaraga mengangguk sambil menjawab, “Benar Ki Lurah. Podang Abang adalah seorang yang memimpin sebuah perguruan di sebuah padepokan. Dahulu aku pernah berhubungan dengan orang itu. Tetapi sudah lama aku tidak pernah bertemu, sehingga pada suatu saat tiba-tiba kami telah berhadapan dalam kelompok-kelompok yang saling bermusuhan.”

Ki Makerti mengangguk-angguk. Sepertinya Ki Makerti itu sedang mengingat-ingat sesuatu yang sudah dilupakannya.

Namun tiba-tiba saja ia berkata, “Ya. Aku pernah mendengar nama Podang Abang. Memang orang yang berilmu tinggi. Tetapi ia sudah lama menghilang dari dunia kanuragan.”

“Ki Makerti juga mengenalnya?” bertanya Ki Jayaraga.

“Bukan aku,” jawab Ki Makerti, “aku hanya pernah mendengar namanya. Beberapa orang kawanku pernah menyebut-nyebut nama itu. Tetapi jika aku tidak salah ingat, Podang Abang bukan seorang yang beraliran bersih.”

Ki Jayaraga mengangguk mengiakan. Katanya, “Ki Makerti benar. Ki Podang Abang memang bukan seorang dari aliran bersih. Dan itu dapat kita lihat pada murid-muridnya yang turun ke kota ini dengan nama Gajah Liwung. Persamaan nama itu tentu bukan hanya sebuah kebetulan. Tetapi Podang Abang tentu telah memperhitungkannya, karena Gajah Liwung adalah nama dari satu kelompok yang semula nampak banyak memberikan harapan bagi penghuni kota itu, bahwa kelompok itu akan dapat membantu membersihkan kelompok-kelompok anak-anak nakal yang kehilangan pegangan justru di dalam masa pergolakan seperti ini. Pada saat yang demikian, telah hadir sekelompok yang lain yang kuat dan jumlah anggotanya berlipat ganda dengan mempergunakan nama yang sama.”

Ki Makerti mengangguk-angguk. katanya, “Aku mengerti.”

“Bahkan kelompok Gajah Liwung yang timbul kemudian itu ternyata terdiri dari dua perguruan yang bergabung menjadi satu,” sahut Ki Jayaraga.

“Dua perguruan?” bertanya Ki Makerti.

“Ya. Tetapi kami belum tahu, separuh dari mereka dari perguruan apa dan dimana,” jawab Ki Jayaraga, “tetapi kami dapat melihat dari sikap dan tata gerak mereka bahwa seluruh kekuatan kelompok itu terbagi atas dua perguruan.”

Ki Makerti mengangguk-angguk pula. Katanya, “Mungkin tidak seluruh perguruan hadir dalam kelompok itu. Tetapi dengan demikian kelompok itu memang menarik perhatian.”

“Para prajurit Mataram juga sudah mulai bertindak tegas terhadap mereka,” berkata Ki Lurah Branjangan.

“Aku juga sudah mendengar,” jawab Ki Makerti.

“Tetapi bagi para prajurit, semua langkah harus didasari atas landasan yang kuat dan dapat dipertanggung-jawabkan. Semuanya dalam lingkungan paugeran yang berlaku, sehingga para prajurit tidak akan dapat bertindak hanya berdasarkan atas kenyataan yang mereka ketemukan di medan,” berkata Ki Makerti. “Berbeda dengan anak-anak Gajah Liwung. Mereka dapat bertindak menghadapi anak-anak nakal sebagaimana anak-anak nakal. Tetapi ternyata tidak demikian dengan kelompok yang juga menyebut dirinya kelompok Gajah Liwung itu. Mereka ternyata bukan sekedar anak nakal.”

“Dan terhadap mereka para prajurit justru dapat bertindak tegas,” jawab Ki Makerti.

“Ya. Tetapi kedua kelompok yang bernama Gajah Liwung itu sudah terlanjur bermusuhan,” jawab Ki Lurah.

Ki Makerti mengangguk-angguk. Ia sudah mendapat gambaran yang lengkap tentang kelompok-kelompok anak muda yang ada di Mataram. Iapun mengerti apa sebenarnya yang telah dilakukan oleh kelompok yang besar yang juga menyebut kelompoknya bernama Gajah Liwung itu.

Namun dengan demikian Ki Makerti pun menyadari, bahwa jika ia memberikan tempat tinggal bagi kelompok Gajah Liwung yang kecil, maka ia akan dapat dimusuhi oleh kelompok Gajah Liwung yang lain, yang jumlah anggotanya jauh lebih banyak.

Tetapi Ki Makerti yang di masa mudanya juga seorang petualang itu tidak menjadi ketakutan.

Bahkan kemudian Ki Makerti itu bertanya, “Kapan kalian akan pergi ke rumah itu? Aku akan datang pula. Seorang tua menunggu rumah itu. Ia membersihkan halaman dan isi rumah itu setiap hari. Aku akan memberitahukan kepadanya, bahwa rumah itu akan dipergunakan oleh Ki Lurah Branjangan. Tetapi biarlah orang tua itu tetap tinggal di rumah itu. Ia tidak mempunyai sanak kadang lagi. Ia hidup seorang diri. Anaknya hanya seorang. Tetapi anak itu seakan-akan telah hilang beberapa tahun yang lalu. Istrinya sudah meninggal, dan ia tidak mempunyai sanak kadang dimanapun, apalagi saudara kandung.”

“Terima kasih Ki Makerti,” jawab Ki Lurah, “malam nanti aku akan membawa anak-anak muda itu ke rumah Ki Makerti. Di malam hari, perjalanan kami tidak akan banyak menarik perhatian. Apabila perlu, kami akan lebih mudah bersembunyi daripada di siang hari.”

Ki Makerti tertawa. Katanya, “Apakah satu-satunya rencana Ki Lurah justru bersembunyi?”

Ki Lurah pun tertawa pula. Sambil tersenyum Ki Jayaraga menyahut, “Kemungkinan yang paling mudah dilakukan.”

Sementara itu Ki Makerti pun berkata, “Baiklah Ki Lurah. Lewat senja aku akan berada di rumah itu.”

Ki Lurah Branjangan pun mengangguk-angguk sambil berdesis, “Terima kasih Ki Makerti. Aku, atas nama anak-anak Gajah Liwung, mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya. Rumah itu akan menjadi landasan bagi perjuangan anak-anak kami berikutnya.”

Ki Makerti tersenyum. Katanya, “Rumah itu sendiri tentu tidak akan berarti apa-apa Ki Lurah.”

Ki Lurah masih mengangguk-angguk. Tetapi iapun tersenyum pula sambil berkata, “Segala sesuatunya akan bersumber dari rumah itu.”

Demikianlah, setelah mengucapkan terima kasih sekali lagi, Ki Lurah Branjangan dan Ki Jayaraga telah minta diri. Mereka melanjutkan perjalanan mereka mumpung Ki Lurah berada di kota.

Tetapi Ki Lurah itu pun justru berkata, “Aku tidak akan singgah di rumah orang tua Wulan.”

Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Bukankah Ki Lurah datang ke kota untuk menemui kedua orang tua Rara Wulan yang mencari anaknya ke Tanah Perdikan?”

Ki Lurah tersenyum. Jawabnya, “Sebenarnya memang demikian. Tetapi ternyata aku belum siap menjawab pertanyaan-pertanyaannya. Ternyata Rara Wulan tidak mau lagi berbicara dengan ayah dan ibunya. Sebenarnya aku ingin membawa Rara Wulan menemui kedua orang tuanya agar persoalannya menjadi jelas, apapun keputusan terakhir yang akan diambil. Tetapi tanpa Rara Wulan, aku tidak siap menjawab pertanyaan-pertanyaan dari kedua orang tuanya. Bahkan mungkin dari orang lain yang akan dipertemukan dengan aku.”

Ki Jayaraga tersenyum. katanya, “Ternyata Ki Lurah mengalami kesulitan dengan cucu Ki Lurah itu.”

“Ya. Kedua orang tuanya telah menyalahkan aku. Tetapi aku pun dapat mengerti, kenapa mereka membebankan tanggung jawab tentang anaknya itu di atas pundakku,” jawab Ki Lurah Branjangan.

“Jadi apa yang akan Ki Lurah lakukan sekarang?” bertanya Ki Jayaraga.

“Aku akan bertemu Ki Wirayuda di rumahnya. Mudah-mudahan ia tidak berada di barak pasukannya,” berkata Ki Lurah.

“Apa yang akan dibicarakan?” bertanya Ki Jayaraga.

“Aku akan memberitahukan bahwa anak-anak Gajah Liwung mempunyai tempat tinggal yang baru,” jawab Ki Lurah Branjangan.

“Sekedar untuk mengisi waktu. Ki Lurah nampaknya menjadi gelisah karena Ki Lurah merasa tidak siap untuk bertemu dengan kedua orang tua Rara Wulan.”

Ki Lurah tidak menjawab. Tetapi di luar sadarnya ia mengangguk-angguk kecil.

Demikianlah, Ki Lurah Branjangan dan Ki Jayaraga telah menemui Ki Wirayuda. Tetapi mereka tidak mendapatkan Ki Wirayuda di rumahnya. Mereka harus pergi ke barak sekelompok pasukan Mataram. Di barak itu tinggal pula beberapa orang prajurit sandi di bawah pimpinan Ki Wirayuda.

Kepada Ki Lurah dan Ki Jayaraga, Ki Wirayuda memberitahukan bahwa peti-peti itu sudah berada di tempat yang aman. Ki Wirayuda hanya menunggu kesempatan menyerahkan peti-peti itu di saat yang tepat.

Hari itu Ki Lurah dan Ki Jayaraga telah berada di antara anak-anak Gajah Liwung yang bersiap-siap menempati tempatnya yang baru. Ki Wirayuda yang telah dihubungi oleh Ki Lurah tidak sempat datang hari itu. Tetapi pada saat lain, ia akan memerlukan mengunjungi rumah yang disebut-sebut oleh Ki Lurah Branjangan itu.

Ketika malam turun, maka anak-anak anggota Gajah Liwung itu telah bergerak. Mereka meninggalkan hutan yang kelam itu menuju ke sebuah padukuhan yang agak jauh. Tetapi dengan demikian mereka akan mendapatkan satu tempat yang baru sebagai sarang mereka, setelah sarang mereka yang terdahulu dibakar oleh orang-orang yang juga mengaku berasal dari kelompok yang bernama Gajah Liwung. Namun orang-orang yang mengaku dari kelompok itu harus membayar mahal. Bukan saja sebagian besar dari barak-barak mereka terbakar, tetapi mereka telah kehilangan harta benda yang telah mereka kumpulkan selama mereka berada di Mataram. Bahkan mereka telah kehilangan beberapa orang yang terbunuh dalam benturan kekerasan antara kedua kelompok yang memiliki nama yang sama itu. Satu hal yang sulit dimengerti oleh orang-orang yang juga menyebut kelompoknya itu bernama Gajah Liwung, yang mempunyai anggota jauh lebih banyak.

Tetapi sebenarnyalah hal itu telah terjadi.

Dalam kegelapan malam, maka orang-orang Gajah Liwung yang dipimpin oleh Sabungsari itu telah bergerak di antara batang-batang ilalang. Kemudian mereka melintas bulak-bulak panjang, menuju ke Kademangan Sumpyuh.

Meskipun mereka berjalan di malam hari dan terlindung oleh kegelapan, namun mereka harus tetap berhati-hati. Delapan orang anggauta Gajah Liwung serta tiga orang tamu mereka itu berjalan terpisah-pisah. Ki Lurah Branjangan, Ki Jayaraga dan Agung Sedayu berjalan di paling depan. Kemudian Sabungsari, Glagah Putih dan Rara Wulan. Baru kemudian yang lain di belakang mereka, sehingga antara ujung dan pangkal dari iring-iringan yang hanya terdiri dari sebelas orang itu berjarak agak panjang.

Sebelum tengah malam, mereka baru memasuki regol halaman rumah yang telah disebut-sebut Ki Lurah Branjangan. Rumah yang meskipun sudah tua, namun masih nampak kokoh. Halamannya cukup luas. Bukan saja halaman depan, tetapi juga halaman samping dan kebun di belakang rumah.

Demikian mereka semuanya memasuki halaman, maka seorang telah keluar dari seketheng dan menyapa dengan ramah, “Marilah. Silahkan naik ke pendapa.”

Ki Lurah Branjangan segera dapat mengenalinya. Orang itu adalah Ki Makerti yang sudah lebih dahulu tiba di rumah tuanya itu. Anak-anak muda anggota Gajah Liwung beserta tamu-tamu mereka itu pun segera naik ke pendapa, setelah pintu gerbang halaman rumah itu ditutup rapat.

Ki Lurah Branjangan pun segera memperkenalkan orang-orang yang menyertainya itu seorang demi seorang. Ketika Ki Lurah menunjuk Rara Wulan, maka Ki Lurah itu justru bertanya, “Apakah Ki Makerti sudah mengenal anggota Gajah Liwung yang seorang ini?”

Ki Makerti mengerutkan keningnya. Ia tidak segera mengenal Rara Wulan. Tetapi karena nama Rara Wulan belum disebut di antara ketujuh orang anggota kelompok itu yang lain, maka iapun segera mengetahui bahwa yang seorang itu tentu Rara Wulan.

Karena itu, maka Ki Makerti pun kemudian menjawab, “Tentu aku mengenalnya. Rara Wulan.”

Ki Lurah tertawa. Katanya, “Ingatan Ki Makerti begitu tajamnya. Sudah berapa tahun Ki Makerti tidak melihat cucuku itu?”

“Bukankah semuanya adalah delapan orang selain para tamu. Jika yang tujuh sudah Ki Lurah sebutkan, maka aku tinggal menebak yang seorang lagi.”

“Ki Makerti benar,” sahut Ki Lurah.

Sambil menggeleng-gelengkan kepalanya Ki Makerti berkata, “Aku sebelumnya tidak mengira bahwa Rara Wulan sudah sebesar itu. Tetapi melihat ujud lahiriahnya, semula aku kira ia seorang laki-laki. Ia terlalu gagah bagi ujud seorang perempuan.”

“Tetapi dengan pakaian wajarnya, ia tetap seorang gadis yang menarik,” sahut Ki Jayaraga.

Ki Makerti tertawa. Katanya, “Aku tidak mengira bahwa anak ini akan berkembang seperti ini. Ketika ia masih kanak-kanak, ia nampak lembut, sedikit pemalu dan memang nampak berkemauan keras.”

“Nah, sekarang Ki Makerti melihat di saat ia dewasa,” berkata Ki Lurah.

Rara Wulan sendiri hanya menundukkan kepalanya saja. Tetapi ia menjadi kurang senang, bahwa ia telah menjadi bahan pembicaraan oleh orang-orang tua itu. Rara Wulan memang pernah mengenal Ki Makerti. Tetapi sebelum ia menjadi dewasa sepenuhnya seperti sekarang ini.

Sementara itu Ki Makerti masih juga berkata, “Sekarang anak ini nampak keras dan memang mirip seorang laki-laki. Tetapi jika kita sempat memperhatikan wajahnya, maka wajah itu memang wajah gadis yang lembut sebagaimana aku kenal di masa remajanya.”

“Ia memang menjadi seorang laki-laki,” berkata Ki Lurah.

“Tetapi bagaimanapun juga ia adalah seorang gadis,” berkata Ki Makerti.

Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Rara Wulan nampak semakin gelisah.

Untunglah bahwa seorang yang sudah berambut putih datang untuk menghidangkan minuman hangat. Wedang sere dengan gula kelapa.

“Inilah orang yang aku katakan itu,” berkata Ki Makerti, “ia akan berada di rumah ini. Ia dapat membantu membersihkan kebun belakang dan mengambil air sebagaimana dilakukan setiap hari.”

“Baiklah Ki Makerti. Kami akan menerimanya sebagai seorang tetua kami di sini,” berkata Ki Lurah Branjangan.

“Aku titipkan orang tua itu kepada kalian,” berkata Ki Makerti.

“Tidak,” jawab Ki Lurah, “aku titipkan anak-anak itu kepadanya.”

Ki Makerti tertawa. Sementara itu, orang tua yang menghidangkan minuman itu berkata dengan suara terbata-bata, “Aku hanya seorang abdi di sini.”

“Tidak,” berkata Ki Lurah, “perlakukan anak-anakku sebagai anakmu sendiri.”

Ki Makerti-lah yang menjawab, “Jangan membuat orang tua itu bingung. Ia memang tidak banyak mengerti tentang hubungan kita. Tetapi serba sedikit aku sudah memberitahukan kepadanya tentang kalian yang akan tinggal di rumah ini.”

Ki Lurah tersenyum. Sambil menepuk bahu orang tua yang meletakkan mangkuk-mangkuk minuman itu iapun berkata, “Kita akan tinggal bersama-sama di sini Ki Sanak. Tetapi aku sendiri tidak. Anak-anakku-lah yang akan berada di sini.”

“Dengan seorang cucu,” desis orang itu.

Ki Lurah tertawa. Katanya, “Ya. Dengan seorang cucu.” Tetapi sejenak kemudian orang tua itu pun telah bergeser pergi ke belakang.

“Biarlah ia beristirahat,” berkata Ki Lurah, “malam-malam begini ia masih harus menyediakan minuman buat kami.”

Ki Makerti tertawa lagi sambil berkata, “Bukankah itu sudah kewajibannya, sebagaimana kita malam-malam masih juga duduk di sini karena kita melakukan kewajiban kita masing-masing.”

“Tetapi ia sudah terlalu tua untuk bekerja keras,” berkata Ki Lurah.

Ki Makerti mengangguk-angguk. Sementara Rara Wulanpun berkata, “Biarlah aku membantunya.”

“Tidak. Tidak ada lagi yang akan dilakukannya,” cegah Ki Makerti.

“Bukankah ia seorang gadis?” sahut Ki Lurah Branjangan, “Sudah sepantasnya ia berada di dapur.”

Rara Wulan tidak menunggu lagi. Ia memang lebih suka meninggalkan pembicaraan itu, karena ia sadar bahwa kakeknya dan Ki Makerti tentu masih akan menyinggung-nyinggung dirinya dalam pembicaraan berikutnya.

Ketika Rara Wulan sampai ke dapur, ternyata bahwa orang tua itu masih sibuk. Bahkan orang tua itu telah menanak nasi dan menyediakan lauk pauk. Ketika Ki Makerti datang, maka Ki Makerti telah memberitahukan bahwa akan ada tamu sebanyak lebih dari sepuluh orang, sehingga orang tua itu menjadi sibuk.

“Marilah aku bantu Kek,” berkata Rara Wulan sambil menyingsingkan lengan bajunya.

Orang tua itu tersenyum. Katanya, “Duduk sajalah Ngger. Biarlah aku selesaikan pekerjaan yang memang menjadi tugasku ini.”

“Biarlah aku membantu Kek. Kakek tentu sudah menjadi letih menyiapkan semuanya ini,” berkata Rara Wulan.

“Bukan aku sendiri,” jawab orang tua itu, “aku dan Ki Makerti telah bekerja di dapur untuk menyiapkan semua hidangan. Ki Makerti ternyata juga pandai memasak.”

Rara Wulan tersenyum. Katanya, “Sekarang, biarlah aku yang menghidangkan.”

Orang tua itu termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian tersenyum sambil berkata, “Baiklah. Silahkan.”

Yang kemudian ikut menjadi sibuk adalah Rara Wulan. Ia telah membantu menyiapkan mangkuk-mangkuk untuk makan, lauk pauk dan nasi yang hangat. Sehingga sejenak kemudian, maka Rara Wulan itu telah menghidangkannya.

Ki Makerti menarik nafas dalam-dalam melihat Rara Wulan yang ternyata juga cekatan menyiapkan hidangan.

“Cucu Ki Lurah memang luar biasa,” desis Ki Makerti. Tetapi Ki Lurah tidak menjawab selain tersenyum saja.

Sejenak kemudian, maka hidangan pun telah lengkap. Agung Sedayu yang lebih banyak mendengarkan pembicaraan Ki makerti dengan Ki Lurah Branjangan berkata, “Kami telah membuat Ki Makerti menjadi sibuk.”

“Ah tidak,” jawab Ki Makerti, “aku senang bahwa rumah yang sudah lama seakan-akan kosong ini akan berpenghuni lagi. Dengan demikian maka rumah ini bukan saja terpelihara, tetapi rumah ini akan menjadi hidup kembali. Di saat-saat tertentu aku mengunjungi rumah ini, maka aku tidak menjumpai rumah ini kosong, sepi dan kadang-kadang terasa sedikit menggelitik bulu roma.”

“Kami yang mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga Ki Makerti,” desis Sabungsari mewakili kawan-kawannya, “kami akan memelihara rumah ini seperti rumah kami sendiri. Tanpa rumah ini, kami benar-benar kebingungan dan tidak tahu harus tinggal dimana.” 

“Bukan berarti kalian masing-masing tidak mempunyai rumah,” sahut Ki Makerti.

Sabungsari tersenyum sambil mengangguk, “Ya, Ki Makerti.”

“Nah, sekarang hidangan makan telah tersedia. Apa adanya. Silahkan makan,” berkata Ki Makerti.

“Kami telah merepotkan Ki Makerti,” berkata Sabungsari.

“Tidak apa-apa. Aku tahu, bahwa dalam dua hari kalian makan binatang buruan. Mungkin kijang, rusa atau apa saja. Sekarang kalian makan nasi, hangat,” berkata Ki Makerti.

“Daging ayam,” desis Mandira.

“Ayam sendiri. Kami di sini mempunyai beberapa ekor ayam yang berkembang biak menjadi banyak,” berkata Ki Makerti kemudian.

“Bukan berarti bahwa kalian di sini kelak dapat menangkap ayam sekehendak hati,” desis Agung Sedayu.

Anak-anak dari kelompok Gajah Liwung itu tertawa. Ki Makerti yang juga tertawa berkata, “Kecuali jika kalian juga memelihara ayam. Halaman di belakang rumah ini cukup luas.”

Anak-anak anggota kelompok Gajah Liwung itu mengangguk-angguk. Namun yang terbayang oleh mereka bukan hanya kemungkinan memelihara ayam. Tetapi halaman belakang itu akan dapat dipergunakan untuk berlatih dengan baik.

Demikianlah, sejak malam itu, kelompok Gajah Liwung berada di rumah Ki Makerti di Kademangan Sumpyuh. Ki Makerti menganjurkan satu dua orang di antara mereka memperkenalkan diri kepada Ki Bekel di padukuhan itu, serta Ki Demang di Sumpyuh. Mereka harus berusaha berhubungan baik dengan para tetangga. Tetapi mereka memang harus sejauh mungkin menyamarkan diri, sehingga orang-orang disekitar mereka tidak tahu bahwa mereka adalah anak-anak muda dari kelompok Gajah Liwung.

“Rara Wulan lebih baik tidak dikenal oleh orang luar di sini,” berkata Ki Makerti, “selain menarik perhatian, juga akan sangat mudah diketahui, seorang gadis di antara tujuh orang anak-anak muda. Tentu kelompok Gajah Liwung.”

Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sependapat. Rara Wulan harus selalu berada di belakang dinding halaman rumah ini.”

“Seperti gadis pingitan?” bertanya Rara Wulan tiba-tiba. “Untuk sementara. Kita akan melihat perkembangan keadaan,” jawab Ki Lurah, “jika kau ingin keluar juga, maka sebaiknya kau bersikap seperti seorang laki-laki sebagaimana biasa kau lakukan.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Agaknya ia mengerti pesan kakeknya itu. Bahkan untuk kepentingan kelompoknya.

Dalam pada itu, ketika mereka sudah selesai makan dan minum, maka Ki Makerti telah mempersilahkan anak-anak muda itu beristirahat. Demikian pula Ki Lurah, Ki Jayaraga dan Agung Sedayu.

“Terima kasih Ki Makerti. Besok aku harus kembali ke Tanah Perdikan Menoreh,” berkata Ki Lurah. Lalu katanya pula, “Bersama Angger Agung Sedayu.”

“Kita akan mengambil kuda-kuda yang kita titipkan itu lebih dahulu,” berkata Suratama.

“Besok saja. Langsung ke Tanah Perdikan,” jawab Ki Lurah.

Seperti yang direncanakan, maka di hari berikutnya Ki Makerti kembali ke kota, sementara Ki Lurah Branjangan dan Agung Sedayu kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.

Sementara itu, anak-anak muda dari kelompok Gajah Liwung itu telah membenahi rumah mereka yang baru, yang mereka pinjam dari Ki Makerti. Mereka memperlakukan rumah itu seperti rumah mereka sendiri. Sedang orang tua yang sebelumnya menunggu rumah itu, tinggal bersama mereka.

Ternyata orang tua itu merasa seakan-akan dunianya menjadi ramai kembali. Anak-anak muda itu bersikap baik terhadapnya. Bahkan mereka menganggap orang tua itu seperti keluarga sendiri. Bukan sekedar seorang yang bekerja untuk kepentingan mereka.

Sementara anak-anak Gajah Liwung membenahi diri, maka Ki Lurah Branjangan dan Agung Sedayu telah menempuh perjalanan kembali ke Tanah Perdikan. Mereka tidak menemui hambatan apapun. Ki Lurah Branjangan yang datang ke Mataram untuk membicarakan persoalan cucunya yang meningkat dewasa itu, justru telah menghindar, karena sikap Rara Wulan yang keras.

“Tetapi sebaiknya Ki Lurah menemui kedua orang tua Rara Wulan,” berkata Agung Sedayu.

“Untuk apa? Aku tidak dapat mengatakan apa-apa karena sikap Rara Wulan,” jawab Ki Lurah.

“Apapun yang Ki Lurah katakan, namun dengan sikap Ki Lurah sekarang ini, kedua orang tua Rara Wulan menjadi semakin gelisah,” berkata Agung Sedayu kemudian.

“Aku mengerti,” jawab Ki Lurah Branjangan, “namun sebenarnya ada sesuatu yang sedang aku pikirkan.”

“Tentang apa Ki Lurah?” bertanya Agung Sedayu.

“Aku tahu bahwa Rara Wulan dipanggil pulang karena kedua orang tuanya berniat menjodohkan Rara Wulan dengan seorang anak muda, yang sama sekali tidak menarik bagi Rara Wulan,” berkata kakeknya, “ternyata Rara Wulan pun mengetahuinya pula.”

“Tetapi bukankah hal seperti itu harus dibicarakan, sehingga dapat diketemukan satu penyelesaian? Jika Ki Lurah selalu menghindar, maka persoalannya tentu akan mengambang terus. Ki Lurah justru akan dikejar-kejar oleh persoalan itu siang dan malam,” berkata Agung Sedayu.

“Aku mengerti,” Ki Lurah mengangguk-angguk. “Tetapi sebenarnyalah bahwa aku memerlukan bahan lebih banyak untuk berbicara dengan kedua orang tua Rara Wulan.”

“Bahan apa lagi Ki Lurah?” bertanya Agung Sedayu.

“Anakmas Agung Sedayu,” desis Ki Lurah Branjangan, “baiklah aku berterus terang. Aku melihat hubungan yang akrab antara Rara Wulan dan Glagah Putih. Sebagai orang tua, maka aku dapat menduga bahwa sebenarnyalah di antara keduanya telah tumbuh perasaan lain daripada sekedar bersama-sama menjadi anggota kelompok Gajah Liwung, yang memiliki keinginan yang sama, penilaian terhadap keadaan yang sama, dan cara memecahkan yang sama. Tetapi keduanya nampaknya mempunyai hubungan khusus sebagai seorang anak muda dengan seorang gadis yang sama-sama meningkat dewasa.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah iapun berkata, “Nampaknya memang demikian Ki Lurah. Aku pun dapat merasakan betapa keduanya memiliki ikatan yang berbeda dengan anggota-anggota yang lain. Tetapi keduanya agaknya tidak mempunyai keberanian atau mungkin tidak mempunyai kesempatan, atau bahkan karena perasaan rendah diri, sehingga keduanya tidak menunjukkannya dengan jelas. Glagah Putih sebagai seorang laki-laki memang merasa rendah diri menghadapi Rara Wulan, karena Rara Wulan adalah seorang gadis dari keturunan orang berpangkat. Bukankah ayah Rara Wulan seorang pejabat di istana Mataram, sedangkan kakeknya dari jalur ayahnya seorang Tumenggung?”

“Apa kelebihannya seorang cucu Tumenggung? Bahkan setelah ayah Rara Wulan diwisuda menjadi Tumenggung pula?” bertanya Ki Lurah Branjangan. Lalu katanya pula, “Bukankah saudara sepupu Glagah Putih juga seorang Tumenggung?”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Glagah Putih memang tidak dapat berdiri beralaskan derajad saudara sepupunya. Sebagai seorang laki-laki maka ia harus berdiri pada kakinya sendiri.”

Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Katanya, “Glagah Putih memang seorang laki-laki yang sadar sepenuhnya akan tanggung jawabnya sebagai seorang laki-laki. Namun justru karena itu, maka ia merasa rendah diri menghadapi seorang gadis dari tingkatan yang dianggapnya lebih tinggi. Ia merasa tidak akan dapat memikul tanggung jawab sepenuhnya sebagai seorang laki-laki untuk memenuhi kebutuhan hidup dengan gaya seorang dari tataran yang dianggapnya terlalu tinggi.” Ki Lurah berhenti sejenak. Namun katanya kemudian, “Seharusnya Glagah Putih tidak perlu merasa demikian. Ia harus mengerti sikap gadis itu sendiri. Meskipun ia anak seorang yang berkedudukan tinggi, tetapi gadis itu sendiri mempunyai gaya hidup yang lain dari kedua orang tuanya.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku juga melihat hal itu pada Rara Wulan. Ia bukan seorang yang menempatkan diri pada tataran yang tinggi itu. Meskipun pada mulanya memang ada gejala seperti itu. Tetapi Rara Wulan telah mengalami getaran perasaan yang membuatnya berubah. Justru ketika ia meningkat dewasa. Sebagai seorang gadis maka Rara Wulan memang tidak dapat menunjukkan sikap hatinya itu lebih dahulu.”

Ki Lurah Branjangan termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, “Jika keduanya dibatasi oleh sikap masing-masing, maka tidak pernah ada isyarat dari antara mereka. Masing-masing justru menahan perasaan yang bergejolak di dalam diri mereka. Perasaan yang bergejolak tetapi tertahan itu akan menjadi beban yang semakin lama menjadi semakin berat, sehingga pada suatu saat mereka akan merasa tidak lagi mampu memikulnya. Akibatnya akan dapat bermacam-macam. Bahkan akibat yang tidak diharapkan pun dapat terjadi.”

“Jadi apa yang sebaiknya dilakukan Ki Lurah?” bertanya Agung Sedayu.

“Kau adalah kakak sepupunya, disamping Untara yang telah diwisuda menjadi seorang Tumenggung. Kau dapat mendorongnya untuk berbuat lebih banyak sebagai seorang laki-laki. Ia tidak boleh merasa rendah diri sehingga tidak mempunyai keberanian untuk berbuat sesuatu,” berkata Ki Lurah.

“Tetapi bagaimanakah akibatnya jika Glagah Putih sudah berani mulai menyatakan perasaannya, sementara itu Rara Wulan justru harus memenuhi perintah orang tuanya?” bertanya Agung Sedayu.

Wajah Ki Lurah menjadi tegang. Namun kemudian orang tua itu menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Ya. Aku melupakan unsur yang justru menentukan.”

“Bukankah itu berarti bahwa Ki Lurah harus berbicara dengan kedua orang tuanya?” bertanya Agung Sedayu.

Ki Lurah mengangguk-angguk. Namun kemudian ia berkata, “Memang sulit untuk memilih darimana kita harus mulai. Sebaiknya aku memang mengajak Rara Wulan menghadap orang tuanya untuk mengatakan sendiri sikapnya. Akibatnya mungkin memang buruk bagi Rara Wulan jika ia menolak keputusan kedua orang tuanya. Tetapi nampaknya hal itu memang tidak dapat dihindari jika kedua orang tua Rara Wulan juga mengeraskan hatinya sebagaimana Rara Wulan. Aku menyadari bahwa aku tentu akan menjadi sasaran kemarahan kedua orang tuanya dan kakek Rara Wulan yang Tumenggung itu, sebagaimana ayah Rara Wulan juga sudah Tumenggung pula.”

“Ayah Rara Wulan sudah Tumenggung?” bertanya Agung Sedayu.

“Masih belum diwisuda. Tetapi pada akhir bulan ini ia akan diwisuda menjadi seorang Tumenggung yang melayani rumah tangga Istana Panembahan Senapati, langsung di bawah perintah Ki Patih Mandaraka,” jawab Ki Lurah. “selanjutnya, kedua orang tua Rara Wulan itu ingin menyambung keberuntungannya itu dengan menerima lamaran dari seorang yang juga berpangkat tinggi. Juga seorang Tumenggung. Kedua belah pihak telah mulai merintis pembicaraan tanpa berbicara lebih dalam kepada Rara Wulan.”

“Bagaimana dengan anak muda yang akan dijodohkan dengan Rara Wulan?” bertanya Agung Sedayu.

“Anak muda itulah yang sangat tertarik kepada Rara Wulan,” jawab Ki Lurah Branjangan.

“Anggota Macan Putih?” bertanya Agung Sedayu pula.

“Bukan. Tetapi seorang pejabat di istana juga, yang sudah merintis kedudukannya. Ia seorang anak muda yang nampaknya cekatan dan sigap dalam tugasnya. Oleh ayahnya, anak muda itu dititipkan kepada ayah Rara Wulan untuk menjadi pembantunya. Namun ternyata bukan saja menjadi pembantunya dalam tugasnya, ternyata ayah Rara Wulan berniat untuk menerimanya sebagai menantunya. Apalagi ayahnya juga seorang Tumenggung, dan lebih dari itu seorang yang kaya raya. Tidak seorangpun tahu dari mana ia dapat menjadi kaya raya seperti itu,” jawab Ki Lurah Branjangan.

“Apakah anak muda itu juga seorang prajurit?” desak Agung Sedayu.

“Dalam kedudukan sebagai seorang lurah dari para pelayan dalam,” jawab Ki Lurah Branjangan.

“Seorang lurah yang masih muda. Atau seorang Narpacundaka?” bertanya Agung Sedayu lebih lanjut.

Ki Lurah merenung. Tetapi iapun menggeleng, “Bukan. Bukan seorang Narpacundaka. Ia tidak bertugas melayani khusus salah seorang pemimpin tinggi di Mataram. Tetapi ia bertugas secara umum di istana.”

“Mungkin aku pernah melihatnya jika aku menghadap Panembahan Senapati,” berkata Agung Sedayu.

Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, “Mungkin sekali. Anak muda itu memang sering berada di istana karena tugas-tugasnya.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lagi. Bahkan selanjurnya yang mereka bicarakan selama dalam perjalanan adalah bukan lagi persoalan Rara Wulan.

Ternyata keduanya tidak menemui hambatan di perjalanan. Sejak mereka menyeberangi Kali Praga, maka kuda-kuda mereka telah berpacu di jalan-jalan bulak Tanah Perdikan.

“Aku akan langsung pergi ke barak,” berkata Agung Sedayu, “aku sudah terlambat dua hari dari waktu yang tersedia. Mungkin orang-orang di barak itu sudah menjadi gelisah.”

Ternyata Ki Lurah Branjangan sependapat. Iapun telah meninggalkan barak itu lebih lama dari rencananya.

Dengan demikian maka keduanya telah berpacu langsung menuju ke barak pasukan khusus di Tanah Perdikan.

Ketika keduanya memasuki pintu gerbang, maka para prajurit telah menyambut keduanya dengan gembira, seperti anak-anak yang melihat ayahnya datang dari pasar.

Setelah Ki Lurah Branjangan dan Agung Sedayu menyerahkan kuda-kuda mereka kepada seorang prajurit, maka seorang di antara para pemimpin kelompok di pasukan khusus itu menemui Agung Sedayu dan Ki Lurah Branjangan.

“Ada dua orang tamu yang sudah menunggu,” berkata kepala kelompok itu.

“Siapa?” bertanya Ki Lurah.

“Silahkan,” desis prajurit itu.

Dengan jantung yang berdebaran, Ki Lurah Branjangan dan Agung Sedayu telah memasuki ruang yang khusus untuk menerima tamu.

Demikian mereka memasuki pintu, maka Ki Lurah Branjangan pun terkejut. Dua orang telah menunggu mereka.

Agung Sedayu tertegun. Sementara Ki Lurah berdesis, “Menantuku. Ayah Rara Wulan.”

Agung Sedayu ikut menjadi berdebar-debar. Tetapi ia berusaha untuk menyingkirkan kesan debar jantungnya itu dari wajahnya.

Sejenak kemudian, sambil tersenyum Ki Lurah Branjangan pun duduk di sebelah menantunya sambil bertanya, “Kapan kau datang?”

“Tadi pagi Ayah. Aku memang memperhitungkan bahwa Ayah telah kembali ke Tanah Perdikan. Aku kira malah semalam. Tetapi ternyata aku datang lebih dahulu,” jawab menantu Ki Lurah itu.

Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam, sementara menantunya berkata lagi, “Aku sengaja menunggu ketika aku mendapat keterangan bahwa Ayah tidak ada di barak. Aku sudah bertekad untuk menunggu sehari penuh.”

Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, “Kemarin aku memang pulang sebentar.”

“Aku sudah menyuruh seseorang untuk melihat apakah Ayah sudah pulang atau belum. Tidak hanya sekali. Tetapi empat kali. Yang terakhir, aku mendapat keterangan bahwa Ayah pulang hanya sebentar, sendiri, kemudian kembali lagi ke Tanah Perdikan,” sahut menantunya. Lalu katanya pula, “Menurut keterangan yang aku dapat, Ayah tidak membawa Rara Wulan serta. Aku menjadi sangat gelisah, sehingga aku harus menemui Ayah hari ini.”

Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu menantunya bertanya, “Dimana Wulan sekarang Ayah?”

Ki Lurah termangu-mangu sejenak. Katanya, “Rara Wulan ada di tempat pamannya. Ia ingin melihat-lihat Kademangan Sumpyuh.”

“Pamannya? Siapakah yang Ayah maksud?” bertanya menantunya.

“Hubungan kami memang sudah agak jauh. Tetapi pamannya yang tua itu adalah orang yang aku hormati,” jawab Ki Lurah dengan agak ragu.

Menantunya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku harus segera berbicara dengan Rara Wulan.”

Ki Lurah termangu-mangu sejenak. Ketika ia berpaling kepada Agung Sedayu, iapun berkata, “Aku lupa memperkenalkan kau dengan Angger Agung Sedayu.”

Menantunya mengangguk hormat. Tetapi ia menjawab, “Aku memang belum mengenalnya secara pribadi. Tetapi aku tahu bahwa Ki Lurah Agung Sedayu adalah pemimpin Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan ini.”

“O,” Ki Lurah mengangguk-angguk, sementara menantunya berkata, “Maaf Ki Lurah, aku berbicara tentang keluargaku. Agaknya aku akan sulit untuk menemukan waktu seperti ini.” Lalu iapun memperkenalkan kawannya, “Ini adalah pembantuku yang paling baik.”

Ki Lurah Branjangan dan Agung Sedayu pun mengangguk hormat sebagaimana orang itu.

Namun kemudian menantu Ki Lurah itu pun berkata, “Ayah. Apakah Ayah dapat membawa kami ke Kademangan Sumpyuh yang Ayah katakan itu?”

“Nanti dulu Anakmas,” jawab Ki Lurah, “aku minta maaf, bahwa aku telah membuatmu gelisah. Tetapi aku ingin mengatakan terus terang, kenapa Rara Wulan sulit untuk aku bawa pulang.”

“Aku sudah mengetahui Ayah,” jawab menantunya, “tentu Wulan pernah mendengar pembicaraan tentang lamaran seorang anak muda atas dirinya.”

“Jadi kau sudah tahu?” bertanya Ki Lurah Branjangan.

“Aku sudah tahu. Rara Wulan menganggap bahwa aku telah mengambil keputusan sebelum berbicara dengan gadis itu,” desis ayahnya.

Ki Lurah Branjangan termangu-mangu sejenak. Dahinya yang sudah digurati garis-garis umurnya, telah terkejut. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Darimana Anakmas tahu?”

“Aku dapat menangkap sikap Rara Wulan sebelum ia meninggalkan rumah, pergi ke rumah Ayah,” jawab menantu Ki Lurah.

“Bukankah waktu itu pembicaraan itu belum jelas?” bertanya Ki Lurah.

“Tapi Rara Wulan sudah menduganya. Bahkan tidak hanya seorang anak muda yang datang kepadanya. Juga bukan hanya sepasang dua pasang orang tua yang datang kepadanya,” jawab menantunya.

“Lalu kau biarkan Rara Wulan berteka-teki?” bertanya Ki Lurah.

“Itulah yang sebenarnya ingin aku bicarakan dengan Rara Wulan. Aku ingin mendengar pendapatnya. Tetapi sebelum itu aku lakukan, ia telah mengambil kesimpulan. Apalagi seolah-olah perhatianku hanya tertuju kepada Teja Prabawa saja. Padahal menurut perasaan kami berdua, perhatian kami terhadap anak-anak kami tidak berbeda,” jawab menantunya. Lalu katanya, “Karena itu Ayah, berilah aku kesempatan untuk berbicara dengan Rara Wulan. Mungkin aku dapat menjelaskan sikapku.”

“Tetapi apakah kau belum pernah menerima lamaran seseorang? Maksudku, lamaran yang telah kau iyakan tanpa berbicara dengan Rara Wulan?” bertanya Ki Lurah.

“Sudah aku katakan Ayah, aku masih ingin berbicara dengan Rara Wulan,” jawab menantunya.

Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mungkin ada salah paham. Rara Wulan menganggap bahwa sudah disediakan seorang suami baginya.”

“Tentu tidak,” jawab ayah Rara Wulan itu, “karena itu, aku harus berbicara dengan anak itu.”

“Bagaimana dengan Lurah Pelayan Dalam itu?” bertanya Ki Lurah Branjangan.

“Lurah Pelayan Dalam? Maksud ayah, Rosa Wimbaga putra Ki Tumenggung Supanagara?” bertanya menantunya.

“Ya. Bukankah lamaran Ki Tumenggung Supanagara telah kau terima?” bertanya Ki Lurah.

“Tidak Ayah. Belum. Kedua orang tua Rosa Wimbaga memang pernah datang ke rumah kami untuk melamar Rara Wulan atas permintaan anaknya. Tetapi sudah aku katakan berkali-kali, aku harus berbicara dengan Rara Wulan,” jawab menantunya.

Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berkata, “Aku mendengar bahwa lamaran itu sudah pasti kau terima. Bahkan kalian telah berbicara tentang hari-hari yang baik serta perhitungan-perhitungan yang lain.”

“Tidak Ayah. Itu tidak benar,” jawab menantunya.

Ki Lurah Branjangan mengerutkan keningnya. Sambil mengangguk-angguk kecil ia berkata, “Jika demikian, biarlah aku bertemu lagi dengan Rara Wulan.”

“Jadi aku tidak dapat bertemu di Tanah Perdikan ini Ayah?” bertanya menantunya.

Ki Lurah menggeleng. Katanya, “Sudah aku katakan, Rara Wulan berada di Sumpyuh.”

“Baiklah, kita akan pergi ke Sumpyuh,” berkata menantunya.

“Biarlah aku sendiri besok pergi ke Sumpyuh. Jika kau datang, aku tidak yakin jika Rara Wulan mau berbicara,” jawab Ki Lurah Branjangan.

Ternyata menantunya masih mempunyai kepercayaan yang besar terhadap Ki Lurah. Meskipun dengan nada membebankan tanggung jawab kepada mertuanya. Katanya, “Baiklah Ayah. Tetapi pulang atau tidak pulangnya Rara Wulan, aku serahkan kepada Ayah.”

Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan mempertanggung-jawabkannya.”

“Ibunya sering menangisinya. Sebenarnya hal itu tidak perlu aku beritahukan kepada Ayah,” berkata menantunya.

Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti. Dan yang tidak ingin kau katakan itu ternyata telah kau katakan.”

“Aku hanya ingin mengurangi beban di dadaku ini Ayah,” jawab menantunya.

Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam Katanya, “Dalam waktu dua atau tiga hari ini, aku akan membawa Rara Wulan kepada kalian. Tetapi dengan janji, bahwa kalian tidak akan menyudutkan anak itu ke peralatan pernikahan tanpa disepakatinya.”

“Aku berjanji,” jawab menantunya.

Demikianlah, setelah meneguk kembali minumannya, maka menantu Ki Lurah itu dengan seorang kawannya telah minta diri. Kepada Agung Sedayu pun ia telah berkata, “Maaf Ki Lurah. Aku telah mengganggu Ki Lurah dengan pembicaraan yang sebenarnya merupakan persoalan keluarga.”

“Tidak apa-apa Ki Tumenggung. Ki Lurah bagiku juga terhitung keluarga sendiri di barak Pasukan Khusus ini,” jawab Agung Sedayu.

Ketika Ki Lurah minta menantunya pulang setelah matahari tidak menyengat tengkuk, menantunya itu berkata, “Ibu Rara Wulan tentu sudah menunggu-nunggu kedatanganku.”

Ki Lurah tidak berkata apapun lagi. Diantarkannya menantunya sampai ke regol pasukan khusus itu bersama Agung Sedayu. Kemudian melepasnya bersama kawannya menempuh perjalanan yang sebaliknya dari yang ditempuh oleh Ki Lurah Branjangan dengan Agung Sedayu. 

Ketika menantunya sudah tidak nampak lagi terhalang oleh tikungan, maka Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Aku telah mendapat keterangan yang kurang tepat. Atau orang tua Rara Wulan telah berubah sikap? Agaknya sikap keras Rara Wulan mempengaruhi sikap kedua orang tuanya. Sepengetahuanku, kedua orang tua Rara Wulan termasuk orang yang keras dan kurang memperhatikan pendapat anaknya. Terutama Rara Wulan. Mereka menganggap bahwa seorang gadis tidak pantas untuk menyatakan pendapatnya. Teja Prabawa masih beruntung dapat berbicara pada kesempatan-kesempatan tertentu, sehingga Rara Wulan menganggap bahwa ayah dan ibunya lebih banyak memperhatikan kakaknya yang seorang laki-laki itu daripada dirinya. Kedua orang tuanya tentu menganggap bahwa seorang anak laki-laki akan dapat menjunjung tinggi nama orang tuanya, dan mengubur dalam-dalam aib orang tuanya. Sehingga dengan demikian maka anak-anak yang dilahirkan sebagai laki-laki tentu lebih berharga dari anak-anak yang dilahirkan sebagai perempuan.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Baru setelah Rara Wulan seakan-akan menghilang dari rumahnya, kedua orang tuanya menyadari bahwa mereka sebenarnya sangat mencintai anaknya. Mereka tidak mau kehilangan anak gadisnya dan memperlunak sikap mereka.” 

Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku harus pergi ke Sumpyuh besok.”

“Tetapi memang lebih baik mempertemukan Rara Wulan dengan kedua orang tuanya. Bahkan jika perlu Ki Lurah dapat sedikit memaksa. Semuanya untuk kepentingan Rara Wulan sendiri. Apapun keputusan yang diambil, namun segala sesuatunya akan menjadi lebih jelas. Bahkan lebih baik jika menjadi pasti,” sahut Agung Sedayu.

Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Sementara Agung Sedayu pun berkata, “Sudahlah. Marilah kita masuk.”

Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk sambil menjawab, “Aku sempat beristirahat hari ini. Tetapi besok aku minta ijin untuk meninggalkan barak ini lagi. Untunglah pemimpin Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan ini cukup baik hati.”

Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Namun iapun tersenyum. Katanya, “Terima kasih Ki Lurah. Jika Ki Lurah memuji aku lebih sering, maka aku akan memberikan ijin lebih sering pula.”

Dalam ketegangan perasaan itu, Ki Lurah masih juga dapat tertawa.

Sementara itu, Rara Wulan yang berada di rumah Ki Makerti di Sumpyuh telah membersihkan dapur dan ruang-ruang yang sebelumnya tidak banyak dipergunakan. Yang lain pun telah membersihkan bilik-bilik tengah dan bilik-bilik yang terdapat di gandok.

Rumah Ki Makerti memang tidak terlalu besar. Tetapi dilengkapi dengan bagian-bagian yang lengkap. Di sebelah-menyebelah rumah itu terdapat gandok kiri dan kanan. Pendapa, pringgitan dan ruang dalam dengan tiga sentong di tengah. Kemudian lewat longkangan samping terdapat butulan ke belakang. Sementara lewat sisi sentong tengah terdapat pintu di kiri dan kanan ke longkangan tertutup di belakang, langsung menuju ke dapur.

Namun nampaknya rumah itu telah mengalami perbaikan dan perubahan. Pada pringgitan, terdapat bilik di ujung kiri dan ujung kanan, dengan pintu menghadap ke ruang dalam.

Hari itu juga maka anak-anak dari kelompok Gajah Liwung itu telah membagi ruang. Rara Wulan akan berada di salah satu dari ketiga sentong di ruang dalam. Tetapi bukan yang tengah. Sedang kedua sentong yang lain akan dibiarkan kosong. Bilik yang memotong ujung pringgitan yang satu akan dipergunakan oleh Ki Jayaraga, sedangkan yang lain akan dipergunakan oleh Glagah Putih. Sedangkan enam orang yang lain, tiga orang akan berada di gandok sebelah kiri, dan tiga orang yang lain di gandok sebelah kanan.

Hari itu, kegiatan utama orang-orang dari kelompok Gajah Liwung itu terbatas pada membenahi rumah tua itu. Sementara orang tua yang menunggu rumah itu sebelumnya, telah memilih tempat di bilik kecil di sudut dapur rumah itu.

“Aku selalu memerlukan penghangat, terutama di musim bediding,” berkata orang itu. “Di dapur aku akan dapat berada dekat dengan perapian sepanjang malam.”

Anak-anak muda dari kelompok Gajah Liwung itu tidak dapat memaksanya untuk memilih bilik yang lain, karena sejak sebelumnya ia memang berada di bilik itu.

“Pekerjaanku akan menjadi lebih ringan sekarang,” berkata orang tua itu, “ada kawan menimba air. Ada kawan menyapu halaman, dan ada kawan memanjat kelapa.”

Sabungsari tertawa. katanya, “Kami dapat mengerjakan semuanya, Kek.”

“Tetapi ingat,” berkata orang tua itu, “satu atau dua orang di antara kalian harus menghadap Ki Bekel, agar kalian tidak dianggap orang-orang liar di sini.”

“Tentu Kek,” jawab Sabungsari, “tetapi bukankah Kakek sudah tahu dari Ki Makerti, siapakah kami?”

Orang tua itu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya, ya Ngger. Aku mengerti. Namun bukankah Ki Makerti juga berpesan agar ada di antara kalian yang menghadap Ki Bekel?”

Sabungsari mengangguk-angguk pula. Katanya, “Aku sendiri akan menghadap Ki Bekel.”

Orang tua itu termangu-mangu sejenak. Katanya kemudian, “Tetapi kalian harus menyamarkan diri sebaik-baiknya.”

“Aku sudah memperhitungkan Kek. Jika Ki Bekel pada suatu saat bertemu dengan Kakek, atau orang lain siapapun juga yang bertanya, maka sebaiknya Kakek mengatakan bahwa kami adalah kemenakan Ki Makerti. Kami berada di rumah ini sebanyak lima orang. Tiga orang kemanakan Ki Makerti dan dua orang lainnya cucu kemanakannya. Nah, bukankah begitu?” bertanya Sabungsari.

Orang tua itu tersenyum sambil mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti. Tetapi aku tidak akan dapat menunjukkan, yang manakah kemenakan Ki Makerti, dan yang manakah cucu kemanakan itu.”

“Katakan, Kakek telah pikun,” jawab Sabungsari.

“Tetapi kalian harus mengatur sebaik-baiknya. Mungkin tanpa kita ketahui, Ki Bekel itu datang kemari. Sedangkan di sini ada lebih dari lima orang,” berkata kakek tua itu.

“Kami akan mengatur diri, kek. Tiga di antara kami akan selalu berada di belakang. Sedangkan seandainya Ki Bekel bertemu dengan Ki Jayaraga, maka kami akan mengatakan bahwa pada hari itu kami mendapatkan seorang tamu. Salah seorang paman kami,” jawab Sabungsari.

Orang tua itu tertawa. Katanya, “Kau memang cerdik Anak Muda.”

“Tetapi bantu penyamaran kami Kek,” berkata Sabungsari kemudian.

Orang tua itu masih tertawa. Katanya, “Tentu. Bukankah aku tidak ingin rumah ini menjadi ajang keributan?”

Sabungsari pun tertawa pula. Katanya, “Sore nanti aku akan menemui Ki Bekel.”

Demikianlah, seperti yang direncanakan, maka Sabungsari, Glagah Putih dan Mandira pun telah pergi menghadap Ki Bekel di sore harinya. Mereka dapat menempatkan diri tanpa menimbulkan kecurigaan apa-apa, sehingga Ki Bekel tidak menelusuri lebih lanjut tentang orang-orang yang mengaku kemenakan Ki Makerti dan cucu kemanakannya itu.

Karena itu, Sabungsari tidak merasa canggung lagi tinggal di rumah Ki Makerti. Di hari-hari berikutnya mereka telah memperkenalkan diri pula kepada para tetangga. Mereka mengaku sebagai kemenakan dan cucu kemenakan Ki Makerti, sebagaimana mereka katakan kepada Ki Bekel, tetapi mereka tidak pernah datang berlima, karena selebihnya dari ketiga orang itu, mereka ternyata berganti-ganti orang. Kecuali Rara Wulan, yang memang berusaha untuk tidak menarik perhatian orang lain.

Dalam pada itu, setelah mereka merasa mapan berada di rumah itu, maka mereka pun mulai meningkatkan perhatian mereka kepada keadaan yang berkembang di Mataram.

Tanpa menunjukkan ciri-ciri kelompok Gajah Liwung, maka Sabungsari dan Glagah Putih telah berusaha untuk menemui Ki Wirayuda. Namun nampaknya Ki Wirayuda masih belum mendapatkan kesempatan untuk menyerahkan peti-peti itu. Beberapa kali para prajurit masih merasa terganggu oleh orang-orang yang mengaku dari kelompok Gajah Liwung.

“Tetapi untuk sementara kelompok-kelompok yang lain telah menyembunyikan diri,” berkata Ki Wirayuda, “untuk beberapa saat kami tidak bertemu dengan kegiatan kelompok Macan Putih, kelompok Sidat Macan, kelompok Kelabang Ireng, dan apalagi kelompok-kelompok yang lebih kecil.”

Sabungsari mengangguk-angguk sambil berkata, “Satu kesempatan buat para prajurit.”

“Ya,” jawab Ki Wirayuda, “sekelompok prajurit berhasil menyergap lima orang dari kelompok yang mengaku bernama Gajah Liwung itu. Mereka sedang menunggu korbannya di bulak panjang. Ketika dua orang prajurit sandi lewat dalam pengamatan kelompoknya, maka kedua orang itu telah dirampok di bulak panjang. Namun pada saatnya kelompok prajurit sandi itu telah mengepung dan menangkap kelima orang itu.”

“Apakah sarang mereka yang baru dapat diketemukan?” bertanya Sabungsari.

Ki Wirayuda menggeleng, “Mereka belum mau mengatakannya.”

“Apakah para prajurit tidak berusaha untuk memancing keterangan dari mereka?” bertanya Sabungsari.

“Sulit sekali,” jawab Ki Wirayuda, “dua orang di antara mereka nampaknya dengan sengaja telah membunuh diri.”

Sabungsari dan Glagah Putih terkejut. Jika demikian, maka kelompok itu bukannya sekedar sebuah perguruan seperti kebanyakan perguruan. Tentu ada ikatan yang sangat kuat di dalam kelompok yang memang lahir dari dua buah perguruan, dan dipimpin oleh Podang Abang itu.

Karena itu maka Sabungsari dan Glagah Putih merasa bahwa mereka harus menjadi lebih berhati-hati menghadapi orang-orang itu. Mereka ternyata tidak lagi menghargai nyawa mereka sendiri. Mereka lebih menghargai ikatan dan paugeran dalam perguruan mereka daripada hidup mereka.

Beberapa saat lamanya Sabungsari dan Glagah Putih berbincang-bincang dengan Ki Wirayuda tentang berbagai hal. Namun akhirnya keduanya pun telah minta diri.

Tetapi yang tidak mereka perhitungkan sebelumnya, telah terjadi. Ketika keduanya keluar dari dinding kota dan berjalan di bulak panjang, maka mereka melihat seseorang berdiri bersandar pada sebatang pohon randu yang tumbuh di pinggir jalan.

Sabungsari telah menggamit Glagah Putih sambil berdesis, “Kau tahu siapa orang itu?”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sebelum ia menjawab, maka ia telah mendengar suara  dalam nada yang kacau berputaran di udara. Namun suara itu jelas bertanya, “Dari mana anak-anak muda?”

Orang yang bersandar pada sebatang pohon randu itu sama sekali tidak memberikan kesan berbicara. Namun Sabungsari dan Glagah Putih yang mempunyai lambaran ilmu yang tinggi itu segera mengetahui bahwa orang itulah yang telah bertanya.

Namun baik Sabungsari maupun Glagah Putih sengaja tidak menjawab sama sekali, tetapi mereka berjalan terus mendekati orang yang bersandar pada sebatang randu alas itu.

Sejenak kemudian keduanya mendengar suara itu lagi. Namun Sabungsari dan Glagah Putih sudah menjadi semakin dekat. Dengan lantang Glagah Putih berkata, “Podang Abang. Tidak biasa seekor burung podang berkicau di dahan pohon randu.”

Orang itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun tertawa, “Sungguh luar biasa. Kau masih juga berani menyapa dengan cara yang tidak sopan itu.”

“Maaf. Tetapi bukankah menurut tembang anak-anak yang sedang menggembala, bahwa burung podang hinggap di pelepah pisang?” sahut Glagah Putih.

“O, kau senang juga mendengarkan dongeng Limaran dan Sarak itu?” desis Podang Abang.

“Tetapi sudah tentu bahwa burung podang yang mendengarkan tangis Limaran di pelepah pisang, bukan burung podang yang berbulu merah. Tetapi berbulu kuning,” jawab Glagah Putih.

“Sudahlah,” orang itu pun kemudian melangkah maju, “kalian seharusnya menyesal bahwa kalian telah lewat jalan ini sebagaimana aku perhitungkan. Nampaknya kalian baru saja menemui Ki Wirayuda. Sudah agak lama aku berusaha untuk mengetahui, dengan siapa kalian berhubungan. Ternyata kalian telah berhubungan dengan para petugas sandi Mataram. Karena itulah agaknya maka kalian dapat melakukan tugas-tugas kalian dengan baik. Berapa kalian diupah oleh para petugas sandi untuk mengganggu kelompok anak-anakku?”

“Pertanyaanmu aneh Ki Sanak,” desis Sabungsari, “kau tentu sudah tahu, bahwa kami hadir lebih dahulu dari kalian, dengan nama yang kemudian kalian kacaukan.”

Podang Abang tertawa. Katanya, “Jangan membohongi diri sendiri seperti itu. Kami datang untuk membersihkan nama kami dari tingkah laku sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab.”

“Sudahlah,” berkata Sabungsari, “kita lebih baik tidak berbicara. Kita tentu menyadari bahwa tidak ada artinya untuk berbicara, karena kita masing-masing sama sekali tidak berniat untuk berbicara dengan baik.”

“Bagus,” desis Podang Abang dengan nada yang berbeda, “aku memang tidak terlalu senang berbicara. Aku memang lebih senang membunuh. Aku tahu, bahwa jumlah kalian tidak banyak. Jika dua orang di antara kalian terbunuh sekarang, maka jumlah orang-orang yang mengacaukan kelompok anak-anakku itu tidak akan banyak berarti lagi.”

“Omong kosong,” geram Sabungsari, “kau kira kami tidak mampu melindungi diri sendiri?”

“Baiklah,” berkata Podang Abang, “aku sudah mengira bahwa kalian akan berbuat demikian sombongnya sehingga berani melawan aku. Tetapi itu tidak apa-apa. Barangkali itu lebih baik daripada aku membunuh orang yang sedang berlutut sambil menunduk.”

“Jika demikian, marilah,” berkata Sabungsari, “apa yang akan kau lakukan?”

Podang Abang tertawa. Katanya, “Jayaraga yang pikun itu tentu akan menyesali kelengahannya, sehingga ia tidak melihat bagaimana kedua orang asuhannya terbunuh. Mungkin kalian memang bukan murid langsung Ki Jayaraga, tetapi selama ini Jayaraga berada di antara kalian.”

Tiba-tiba saja timbul keinginan Glagah Putih untuk bertanya, “Jika Ki Jayaraga ada di sini, apakah kau akan mengurungkan niatmu?”

Orang itu tertawa. Katanya, “Aku akan membunuhnya sama sekali.”

Namun dalam pada itu, ternyata Ki Jayaraga memiliki kemenangan selapis dari Podang Abang. Ternyata Ki Jayaraga tidak lengah sebagaimana dikatakan oleh Podang Abang. Sebagaimana yang pernah dilakukan, maka iapun telah berusaha mengamati kedua orang anggauta kelompok Sabungsari itu menghadap Ki Wirayuda, serta keperluan-keperluan lain di kota. Namun Ki Jayaraga memang terlambat melihat Podang Abang yang telah berhasil mengetahui bahwa Sabungsari dan Glagah Putih telah menghadap Ki Wirayuda.

“Apakah Podang Abang sudah mengetahui bahwa anak-anak Gajah Liwung berada di Sumpyuh?” pertanyaan itu memang telah mengganggu jantung Ki Jayaraga.

Tetapi ia telah menjawabnya sendiri, “Agaknya secara kebetulan Podang Abang melihat Sabungsari dan Glagah Putih melewati jalan yang pernah dilewatinya sebelumnya, ketika mereka pergi ke kota untuk melaporkan tentang peti-peti itu kepada Ki Wirayuda, namun gagal mengikutinya sampai sasaran.”

Namun sementara itu, Ki Jayaraga tidak segera tampil. Ia masih berusaha untuk mengamati Podang Abang dari kejauhan. Ia masih membiarkan Sabungsari dan Glagah Putih mencoba mengatasi persoalannya dengan Podang Abang.

Sementara itu, Podang Abang itu pun berkata, “Anak-Anak Muda. Nampaknya kalian adalah anak-anak muda yang berani. Karena itu maka aku ingin membuktikannya. Jika kalian memang benar-benar berani menantang aku, maka marilah. Kita mencari tempat yang paling baik untuk menunjukkan, siapakah yang tidak sekedar mampu membuka mulutnya saja.”

“Maksudmu?” bertanya Sabungsari.

“Kita pergi ke tengah-tengah pategalan yang sepi. Jangan ada orang lain yang mencampuri persoalan kita. Dengan demikian kita akan dapat melihat keberanian yang sejati. Siapakah yang mempunyai kelebihan di antara kita. Bukan sekedar siapakah yang lebih pandai menyombongkan diri,” berkata Podang Abang.

Sabungsari dan Glagah Putih saling berpandangan sejenak. Namun kemudian dengan mantap Sabungsari berkata, “Baik. Kita pergi ke pategalan itu. Kita akan bermain-main tanpa ada orang lain yang mengganggu.”

Podang Abang tertawa. Katanya, “Kesombongan kalian memang luar biasa. Tetapi baiklah. Aku akan menghentikannya. Kalian berdua akan segera terdiam untuk selama-lamanya. Besok atau lusa, aku akan membunuh dua orang lagi. Dua orang lagi, dan akhirnya anggota kelompok kalian akan terbabat habis.”

Sabungsari dan Glagah Putih tidak menjawab. Dipandanginya Podang Abang itu dengan tajamnya. Sementara Podang Abang berkata, “Marilah. Kita pergi ke pategalan itu sebelum ada orang lain yang ikut campur.”

Podang Abang tidak menunggu jawaban Sabungsari dan Glagah Putih. Iapun segera melangkah, meniti pematang, menuju ke pategalan di belakang sawah yang terbentang luas.

Sabungsari dan Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun mereka pun kemudian telah mengikutinya pula.

Ki Jayaraga yang melihat dari kejauhan ketiga orang itu meniti pematang, segera mengetahui apa yang akan mereka lakukan. Karena itu, maka iapun telah tergeser pula dan mengamati ketiga orang itu dari balik pohon jarak yang tumbuh di pinggir jalan, tidak terlalu jauh dari pematang itu, sehingga Ki Jayaraga melihat ketiga orang itu memasuki sebuah pategalan yang agaknya tidak ditunggui oleh para pemiliknya.

Ki Jayaraga pun segera berusaha untuk mendekat. Baginya, lebih mudah mengamati ketiga orang itu di pategalan, karena pepohonan yang tumbuh melindungi tanaman palawija yang belum lama ditanam. Nampaknya pategalan itu memang telah dipersiapkan bagi daerah yang akan dihuni, sehingga telah banyak pohon buah-buahan yang ditanam.

Sejenak kemudian, maka ketiga orang yang diamati oleh Ki Jayaraga itu telah berada di bagian dalam pategalan itu, sehingga mereka yakin tidak akan ada orang yang akan mengganggu.

“Aku kagum akan ketabahan hati kalian,” berkata Podang Abang. Lalu katanya, “Aku tahu bahwa sebenarnya kalian merasa sangat ketakutan. Tetapi kalian dibebani oleh perasaan harga diri yang berlebihan.”

“Apa yang akan kau lakukan jika kami benar-benar ketakutan?” bertanya Sabungsari.

Podang Abang mengerutkan keningnya. Sebagai seorang yang berpengalaman luas, ia justru mengetahui bahwa anak-anak muda itu sama sekali tidak menjadi ketakutan. Pertanyaannya itu bahkan merupakan tantangan yang harus dijawabnya.

Karena itu maka katanya dengan nada berat, “Bagus. Pertanyaanmu telah membakar jantungku. Marilah, bersiaplah untuk mati anak-anak muda. Jika semula aku masih mempunyai pertimbangan lain, ternyata bahwa sekarang aku memutuskan untuk membunuh kalian berdua.”

“Kau telah mendorong kami membuat keputusan yang sama Podang Abang,” berkata Sabungsari.

“Bagus. Marilah anak-anak muda. Aku tidak ingin membunuh kalian satu persatu. Aku ingin kalian berdua sama-sama mati. Aku akan menghitung sampai lima belas. Aku berani bertaruh bahwa kalian berdua tentu sudah terbaring di tempat ini. Tetapi kalian berdua belum mati. Kalian harus tahu bahwa kalian kalah bertaruh. Baru kemudian, setelah kalian menyadari kekalahan kalian, menyadari kesombongan kalian dan menyadari kekerdilan diri, maka kalian akan aku bunuh dengan caraku.”

Jantung kedua orang anak muda itu memang tergetar. Tetapi mereka segera menjadi tenang. Bahkan Glagah Putih yang sempat tersenyum berkata, “Kau nampaknya mempunyai kepandaian untuk menakut-nakuti anak-anak. Tetapi masa kanak-kanak kami telah lewat.”

“Bersiaplah. Kalian tidak dapat mencoba mengulur waktu. Agaknya kalian menunggu kehadiran Jayaraga. Tetapi ia tentu tidak akan mengira bahwa kalian berada di sini. Akupun tidak tahu apakah Jayaraga akan menemukan mayat kalian atau tidak,” sahut orang itu. 

Sabungsari dan Glagah Putih memang tidak mendapat kesempatan lagi. Podang Abang itu tiba-tiba saja telah bersiap.

Kedua orang anak muda itu menjadi berdebar-debar. Podang Abang itu hanya menggerakkan tangannya. Tangan kanannya mengepal di sisi tubuhnya, sedang tangan kirinya bersilang di muka dadanya dengan telapak tangan terbuka dan kelima jari-jarinya merapat Namun rasa-rasanya unsur gerak itu telah menggetarkan udara menghentak dada mereka.

Sabungsari dan Glagah Putih menyadari sepenuhnya, bahwa lawannya adalah seorang yang berilmu tinggi.

Ki Jayaraga yang melihat dari kejauhan menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat unsur gerak Podang Abang yang sangat mapan. Sejak ia bertemu dan berselisih dengan orang itu, ia sudah menduga bahwa jika ia bertemu lagi, maka ilmu Podang Abang tentu sudah meningkat.

Sebenarnyalah bahwa ia memang melihat ilmu orang itu meningkat.

Namun justru karena itu, Jayaraga menjadi bimbang. Apakah ia akan membiarkan Sabungsari dan Glagah Putih melawan Podang Abang untuk mengukur ilmunya, atau ia sendiri akan menghadapinya.

Tetapi untuk beberapa saat Ki Jayaraga masih bersembunyi. Kemampuannya yang tinggi membuatnya mampu melepaskan diri dari pengamatan Podang Abang atas keadaan di sekelilingnya.

Namun akhirnya Ki Jayaraga ingin membiarkan Glagah Putih bertempur melawan orang yang berilmu tinggi. Bersama Sabungsari, maka Ki Jayaraga memperhitungkan bahwa keduanya tidak akan terlalu cepat dapat dikalahkan oleh Podang Abang. Jika keadaan memaksa, maka Ki Jayaraga akan dapat bertindak cepat. Jika perhatian Podang Abang telah tertuju sepenuhnya kepada Sabungsari dan Glagah Putih, maka ia akan dapat lebih mendekat lagi, sehingga ia akan dapat lebih cepat bertindak.

Dalam pada itu, Sabungsari dan Glagah Putih pun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Keduanya telah mengambil jarak dua langkah.

Podang Abang yang melihat kesiagaan kedua orang itu tiba-tiba berdesis, “Kalian bukan saudara seperguruan.”

“Bukan,” jawab Sabungsari.

“Siapa gurumu?” bertanya Podang Abang.

“Tidak ada artinya aku menyebut namanya,” jawab Sabungsari, yang memang dengan penuh kesadaran telah melepaskan diri dari ikatan perguruannya, meskipun ia masih mengembangkan ilmunya atas landasan ilmu dari perguruannya. Tetapi Sabungsari telah menyadap pula ilmu dari sumber yang lain. Sebagai seorang prajurit maka Sabungsari mendapat latihan perang gelar dan perang dalam ikatan kebersamaan. Dengan kecerdasan otaknya, maka Sabungsari berhasil memadukan dasar dari ilmunya dan latihan-latihan keprajuritan itu, sehingga ia mampu meramunya menjadi batu loncatan untuk meningkatkan ilmunya. Sementara itu, latihan-latihan yang dilakukan bersama beberapa orang perwira dalam kesatuannya, bahkan bersama dengan Untara yang melandasi ilmunya dari jalur perguruan Ki Sadewa, maka Sabungsari tidak sekedar berpijak pada ilmu dari perguruannya saja.

“Kau tentu bukan murid Jayaraga,” geram Podang Abang.

“Memang bukan,” jawab Sabungsari.

Podang Abang masih belum beranjak dari tempatnya. Sementara itu, ia sempat memperhatikan Glagah Putih yang bersiap pula menghadapinya. Namun Glagah Putih pun telah berusaha untuk tidak mempergunakan unsur dari ilmu Ki Jayaraga. Bahkan Glagah Putih telah bersiaga dengan landasan ilmu dari jalur Ki Sadewa sepenuhnya.

Podang Abang termangu-mangu sejenak. Diamatinya sikap Glagah Putih itu dengan seksama. Namun tiba-tiba saja ia berdesis, “Setan kau. Darimana kau menyadap ilmu dari jalur perguruan Ki Sadewa?”

“Darimana kau tahu?” justru Glagah Putih yang kemudian bertanya.

“Ki Sadewa memang lebih dahulu dari aku. Tetapi aku masih dapat mengenali sikap itu. Atau secara kebetulan kau menyadap ilmu dari seorang yang karena tidak mampu mengembangkan pribadinya dalam olah kanuragan, atau sadar bahwa ilmu yang tumurun dari gurunya tidak bernilai, lalu meniru sikap dari orang-orang yang ilmunya diakui sebagai satu jalur perguruan yang utuh. Misalnya jalur perguruan Ki Sadewa.” Orang itu berhenti sejenak. Tetapi kemudian iapun bertanya, “Nah, apakah kau memang memiliki jalur dari perguruan Ki Sadewa itu, atau juga kau murid seorang guru yang meniru-niru sikap dan barangkali juga unsur gerak dari perguruan Ki Sadewa?”

“Entahlah,” jawab Glagah Putih, “tetapi guruku adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Seandainya ia bertemu dengan Ki Sadewa, maka akan dapat dinilai siapakah yang sebenarnya meniru. Mereka saling pengaruh mempengaruhi, saling menyadap atau saling meniru.”

“Omong kosong. Ki Sadewa sudah tidak ada sekarang,” geram Podang Abang.

“Aku sudah tahu,” jawab Glagah Putih, “Ki Sadewa sudah lama meninggal.”

“Iblis kau,” geram orang itu.

“Bukan kami yang mengulur waktu. Tetapi kau. Apakah ada yang kau harapkan dapat menyelamatkan hidupmu?” bertanya Glagah Putih, yang pernah bergaul rapat dengan Raden Rangga itu.

Namun akhirnya hampir saja merupakan bencana. Sebelum mulut Glagah Putih terkatup rapat, maka Podang Abang itu telah menyambarnya. Tangannya, yang terayun mendatar menebas ke arah leher Glagah Putih dengan kuku-kukunya yang mengembang.

Ki Jayaraga juga terkejut. Jika jari-jari yang mengembang itu berhasil menyentuh lehernya, maka Glagah Putih tentu akan langsung mati sebelum sempat mengaduh. Lehernya tentu akan koyak dan langsung membelah kerongkongan.

Untunglah bahwa Glagah Putih sempat melihat ayunan tangan itu. Karena itu, maka iapun telah meloncat surut

Ternyata Sabungsari memiliki ketajaman penglihatan sebagai seorang yang berilmu tinggi pula. Podang Abang yang justru terkejut serangannya tidak menyentuh lawannya yang masih muda itu, telah bersiap untuk memburu mangsanya. Namun Sabungsari telah bergeser selangkah, sehingga perhatian Podang Abang telah berpindah kepadanya.

Sementara itu, Glagah Putih telah sempat memperbaiki keadaannya, meskipun jantungnya masih terasa berdebar-debar.

“Ternyata kau memiliki ilmu iblis sehingga kau mampu melepaskan diri dari jangkauan seranganku,” geram Podang Abang.

“Maaf,” sahut Sabungsari, “kami masih belum ingin mati. Hitunglah sampai lima belas. Apakah kau dapat memenuhi janjimu?”

Sabungsari harus mengalami perlakuan yang serupa. Begitu mulutnya terkatup, maka kaki Podang Abang-lah yang berputar menyambar lambung.

Namun Sabungsari telah memperhitungkan hal itu setelah ia melihat apa yang terjadi atas Glagah Putih. Karena itu, demikian kaki Podang Abang itu menyambar, maka Sabungsari pun telah meloncat pula menghindar. Namun dalam pada itu, Glagah Putih tidak sekedar bergerak untuk menarik perhatian, tetapi ia sudah meloncat menyerang Podang Abang meskipun dengan sangat berhati-hati.

Tetapi serangan Glagah Putih itu pun tidak menyentuh sasarannya Meskipun demikian, Glagah Putih telah mengurungkan niat Podang Abang untuk memburu Sabungsari. Tetapi Podang Abang tidak lagi termangu-mangu. Namun ia telah menyerang Glagah Putih setelah bergeser menghindar.

Glagah Putih-lah yang harus menghindar. Tetapi Sabungsari pun tidak tinggal diam, sehingga sejenak kemudian, maka Podang Abang itu telah bertempur melawan Sabungsari dan Glagah Putih dengan sengitnya.

Podang Abang benar-benar menjadi marah. Ia tidak mengira bahwa anak-anak muda itu akan mampu melakukan perlawanan demikian gigihnya.

Apalagi ketika tiba-tiba saja Sabungsari bertanya sambil bertempur, “Apakah hitunganmu belum sampai lima belas? Atau barangkali jarak hitunganmu sejalan dengan setiap terbitnya matahari?”

“Aku koyakkan mulutmu!” teriak Podang Abang.

Sabungsari tidak sempat menjawab. Podang Abang telah menyerangnya seperti banjir bandang, sehingga Sabungsari terdesak beberapa langkah surut. Namun Glagah Putih tanggap akan keadaan, sehingga iapun telah menyerang Podang Abang dengan cepat pula.

Dengan demikian maka pertempuran antara Sabungsari dan Glagah Putih itu pun menjadi semakin seru. Kedua belah pihak telah berloncatan semakin cepat. Tenaga mereka pun menjadi semakin kuat, sementara itu mereka pun telah mulai merambah ke dalam kemampuan ilmu mereka.

Sabungsari pun telah berusaha untuk selalu mengambil jarak dari Glagah Putih, agar mereka berdua dapat bertempur dari arah yang berbeda, dan dapat saling mengisi apabila Podang Abang memusatkan perhatiannya kepada salah satu pihak. Sedang Glagah Putih pun selalu mengimbangi gerak Sabungsari, sehingga setiap kali Podang Abang harus memperhatikan keduanya yang seakan-akan berdiri berseberangan.

Dengan demikian maka perhatiannya benar-benar telah dirampas oleh Sabungsari dan Glagah Putih, sehingga Podang Abang tidak melihat Ki Jayaraga yang juga berilmu tinggi itu mendekati arena. Karena itulah Ki Jayaraga mampu memperhatikan pertempuran itu dengan saksama.

Jika sebelumnya Glagah Putih masih sempat memperhitungkan unsur-unsur geraknya untuk menghindari unsur-unsur gerak yang diwarisinya dari Ki Jayaraga seutuhnya, maka setelah pertempuran itu menjadi semakin sengit, ia tidak lagi mampu memilihnya lagi. Karena itu, beberapa unsur gerak yang disadapnya dari Ki Jayaraga telah nampak pula pada tata geraknya.

Karena itu, ketika pertempuran menjadi semakin kusut, Podang Abang sempat berteriak, “He, jadi kaukah murid Ki Jayaraga itu, sehingga Ki Jayaraga merasa perlu untuk menungguimu?”

“Biasanya tidak,” jawab Glagah Putih, “tetapi karena kau menjadi sandaran anak-anak muridmu dan sekelompok dari perguruan lain yang diserahkan tanggung jawabnya kepadamu, maka Guru berada di sini.”

“Setan kau,” geram Podang Abang, “ternyata kau yang masih sangat muda itu telah mampu menyadap ilmu Jayaraga hampir tuntas. Karena itu, kau memang harus dibunuh. Kau akan dapat menjadi orang yang sangat berbahaya. Apalagi menilik unsur-unsur gerak yang kau pergunakan, kau telah menyadap ilmu tidak hanya dari seorang guru. Itulah agaknya kau mampu menunjukkan kelebihan dari anak-anak muda sebayamu.”

Glagah Putih tidak menjawab. Namun beberapa unsur yang diwarisinya dari Ki Sadewa telah nampak pula, sehingga Podang Abang berteriak lagi, “Unsur-unsur gerak dari keturunan ilmu jalur perguruan Ki Sadewa tentu kau warisi bukan dari Jayaraga.”

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia menyerang semakin cepat. Sehingga unsur-unsur gerak yang turun lewat Agung Sedayu, sengaja atau tidak sengaja, dari perguruan Orang Bercambuk pun ikut mewarnai tata gerak Glagah Putih. Sehingga dengan demikian maka kemampuan Glagah Putih menjadi semakin nampak lengkap, didukung oleh tenaga cadangannya yang sangat besar.

Namun Podang Abang adalah orang berilmu tinggi dan memiliki pengalaman yang sangat kuat. Karena itu, menghadapi dua orang anak muda yang juga berilmu tinggi itu Podang Abang tidak segera terdesak, meskipun ia tidak dapat memenuhi janjinya bahwa pada hitungan yang ke lima belas, kedua lawannya yang masih sangat muda itu akan dapat dikuasainya.

Tetapi setelah hitungan yang sangat panjang, kedua anak muda itu sama sekali belum dapat dikuasainya. Bahkan sekali-sekali anak-anak muda itu masih juga mampu membuatnya kebingungan karena serangan mereka yang datang dari arah yang berlawanan.

Ki Jayaraga yang menyaksikan pertempuran itu dari jarak yang sudah tidak terlalu jauh mampu menilai perkembangan ilmu Glagah Putih. Sebenarnyalah ilmu Glagah Putih memang sudah lengkap. Bahkan dengan landasan kekuatan yang mendorongnya dan kekuatan yang terangkat dari tenaga cadangannya yang paling dalam, maka kekuatan Glagah Putih menjadi bagaikan berlipat ganda.

“Mudah-mudahan ilmu anak itu berkembang terus,” berkata Ki Jayaraga di dalam hatinya.

Sebenarnyalah seperti yang diperhitungkan oleh Ki Jayaraga, maka Podang Abang telah mengalami kesulitan. Menghadapi kedua orang anak muda itu benar-benar di luar dugaannya.

Karena itu, kemarahan yang membakar jantungnya terasa menjadi semakin panas. Dengan demikian, Podang Abang pun telah meningkatkan ilmunya menggapai ke tataran yang paling tinggi.

Tetapi kedua anak muda itu pun telah meningkatkan ilmu mereka pula. Dengan tangkas keduanya mengimbangi kecepatan gerak dan kekuatan tenaga Podang Abang.

Bagaimanapun juga Podang Abang harus mengakui bahwa kedua anak muda itu tidak dapat direndahkannya. Sehingga dengan demikian maka Podang Abang itu mengenali kelompok Gajah Liwung itu sebagai sebuah kelompok yang sangat kuat meskipun orangnya hanya sedikit. Orang yang pernah memanggangnya di atas sebatang dahan pohon itu pun memiliki ilmu yang sangat tinggi pula. Meskipun ia belum sempat membuat perbandingan ilmu karena kehadiran Ki Jayaraga, namun Podang Abang telah dapat menjajagi tingkat ilmunya yang sangat tinggi.

Kini Podang Abang berhadapan dengan dua orang anak muda yang lain, yang ternyata juga memiliki ilmu yang sangat tinggi.

Beberapa saat kemudian, Podang Abang pun menjadi yakin akan kelebihan kedua orang anak muda itu. Semakin lama Podang Abang tidak dapat sekedar mempertahankan harga dirinya tanpa berusaha untuk menyelamatkan diri. Karena itu, sejenak kemudian maka Podang Abang itu pun telah mengurai senjatanya yang dililitkan di bawah bajunya.

Mula-mula Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Ia mengira bahwa orang itu akan mengurai senjatanya sebagaimana Agung Sedayu. Sebuah cambuk yang berjuntai panjang.

Tetapi ternyata dugaan itu salah. Podang Abang bersenjata seutas rantai yang di kedua ujungnya terdapat besi baja yang bulat hampir sebesar kepalan tangan.

Sabungsari dan Glagah Putih pun bergeser mundur. Ketika bulatan besi baja yang tidak begitu besar itu mulai berputar, maka terasa udara bagaikan ikut berputar pula.

Sabungsari menyadari, dengan senjatanya itu Podang Abang akan menjadi orang yang sangat berbahaya. Karena itu maka Sabungsari pun telah bersiap-siap untuk mempergunakan senjatanya pula. Sedangkan Glagah Putih pun tidak mau menanggung akibatnya jika ia menjadi lengah, justru setelah lawannya yang berilmu tinggi itu bersenjata.

Karena itu, sebelum peristiwa yang buruk terjadi, baik Sabungsari maupun Glagah Putih telah bersenjata pula. Sabungsari telah menarik pedangnya, sementara Glagah Putih mengurai ikat pinggang kulitnya.

Podang Abang yang berilmu tinggi itu sempat termangu-mangu sejenak melihat senjata Glagah Putih. Namun iapun kemudian mengerti betapa tinggi ilmu anak muda itu. Anak muda itu tentu mampu memanfaatkan ikat pinggang kulitnya itu dengan baik, yang apabila dilandasi dan dialiri dengan ilmunya yang mapan, akan dapat menjadi bagaikan sekeping besi baja.

Sejenak kemudian, kedua bulatan besi baja yang berputar-putar itu telah mengeluarkan desing yang mendebarkan. Ketika bulatan besi itu terjulur mengarah ke dada Glagah Putih, maka anak muda itu pun telah meloncat surut.

Terasa sambaran angin menyentuh tubuh Glagah Putih. Sentuhan yang mendebarkan.

Namun Podang Abang tidak sempat memburunya. Sabungsari telah meloncat maju dengan pedang yang terjulur lurus. Tetapi orang itu sempat bergeser. Satu hentakan telah menarik bulat-bulat besi baja itu, namun besi baja itu seakan-akan telah menggeliat dan menyambar ke arah Sabungsari.

Sabungsari masih belum berani menangkis serangan itu. Karena, iapun telah bergeser menghindarinya. Sejenak kemudian pertempuran bersenjata itu pun semakin lama menjadi semakin cepat. Sekali-sekali pedang Sabungsari memang tersentuh senjata Podang Pbang. Namun dengan demikian maka Sabungsari pun sempat menjajagi kekuatan yang terlepas dari putaran senjatanya itu, meskipun Sabungsari menyadari bahwa yang dijajagi itu tentu belum ilmu puncak Podang Abang.

Demikian pula dengan Glagah Putih. Iapun sempat menangkis serangan Podang Abang. Glagah Putih memang harus mengakui bahwa Podang Abang memiliki kekuatan yang cukup besar. Namun lebih dari itu, Podang Abang adalah seorang yang memiliki pengalaman yang sangat luas.

Untunglah bahwa meskipun Sabungsari dan Glagah Putih masih terhitung muda, namun mereka memiliki kemampuan dan juga pengalaman yang memadai untuk melawan Podang Abang.

Beberapa saat kemudian, maka keringat pun telah membasahi seluruh tubuh ketiga orang yang bertempur itu. Podang Abang benar-benar tidak menyangka bahwa ia harus mengerahkan kemampuannya dalam olah senjata. Putaran senjatanya yang kemudian bergaung mendebarkan itu sama sekali masih belum berhasil mengenai tubuh anak-anak muda itu. Namun sementara itu, anak-anak muda itu pun masih belum sempat menyentuh kulit Podang Abang pula.

Sementara itu, Ki Jayaraga yang bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul perdu serta sekali-sekali bergeser ke balik tanaman-tanaman yang rimbun di pategalan itu, menyaksikan pertempuran itu dengan hati yang berdebar-debar. Tetapi ada semacam keyakinan di dalam dirinya, bahwa Sabungsari dan Glagah Putih akan dapat mengimbangi sepenuhnya kemampuan Podang Abang, asal keduanya atau salah seorang di antara mereka tidak melakukan kesalahan.

Dengan tegang Ki Jayaraga menyaksikan perkembangan pertempuran itu. Nampaknya Podang Abang menjadi tidak sabar lagi terhadap kedua orang lawannya yang masih muda itu. Karena itu maka iapun menggeram, “Menyerahlah supaya kalian tidak mengalami nasib yang paling buruk.”

“Jangan menakut-nakuti kami lagi,” berkata Sabungsari, “bukankah kau sudah gagal menghitung angka sampai lima belas? Nampaknya kau baru dapat menghitung sampai sepuluh.”

“Tutup mulutmu!” teriak Podang Abang.

Tetapi lontaran kemarahannya pada bulatan-bulatan besi bajanya tidak berhasil sama sekali mengenai Sabungsari.

Ki Jayaraga justru tersenyum. Ia mengira bahwa baik Sabungsari maupun Glagah Putih telah berusaha membuat Podang Abang itu menjadi semakin marah.

Namun Sabungsari dan Glagah Putih pun menyadari, bahwa jika Podang Abang menjadi benar-benar marah dan menggapai puncak ilmunya, maka pekerjaan mereka akan menjadi semakin berat, karena Podang Abang tentu akan melepaskan ilmu simpanannya yang jarang sekali dipergunakannya.

Sabungsari dan Glagah Putih memang yakin, bahwa Podang Abang tentu memiliki ilmu simpanan itu.

Namun untuk beberapa saat kemudian, Podang Abang hanya meningkatkan kemampuannya mempermainkan senjata itu saja. Meskipun demikian Sabungsari dan Glagah Putih merasakan betapa mereka pun harus memeras kemampuan mereka.

Dengan demikian maka sepasang bulatan besi baja yang tidak terlalu besar itu berputaran semakin cepat. Menyambar-nyambar dan berdesing menggapai-gapai. Putaran bulatan besi itu bagaikan telah menggulung udara dan menimbulkan pusaran yang semakin lama menjadi semakin cepat.

Namun putaran pedang Sabungsari cukup mengimbangi kecepatan gerak senjata Podang Abang. Sementara kekuatan Glagah Putih yang masih muda itu kadang-kadang telah mengejutkan Podang Abang. Kadang-kadang sentuhan senjata Podang Abang atas ikat pinggang Glagah Putih bukannya merupakan benturan yang keras, karena ikat pinggang itu merupakan senjata lentur. Tetapi Podang Abang tiba-tiba terkejut ketika senjatanya membentur senjata Glagah Putih yang seakan-akan telah berubah menjadi keping baja yang berat.

Karena itulah, meskipun Podang Abang telah meningkatkan kemampuannya mempermainkan senjatanya sampai ke t-taran tertinggi, namun ternyata Podang Abang masih belum dapat menguasai kedua lawannya yang masih sangat muda itu. Baik Sabungsari maupun Glagah Putih telah mengerahkan kemampuan mereka dalam ilmu pedang dan penguasaan senjatanya yang aneh itu. Dengan mengerahkan tenaga cadangan di dalam dirinya yang tersalur pada ikat pinggangnya, Glagah Putih merupakan seorang anak muda yang sangat mendebarkan jantung.

Beberapa saat kemudian, maka pertempuran itu bagaikan telah mencapai puncaknya. Senjata Podang Abang terayun-ayun sangat mengerikan. Menyambar, menggapai, tetapi kadang-kadang juga bagaikan hendak menjerat leher lawannya.

Tetapi kedua lawannya benar-benar tangkas. Bahkan sekali-sekali ujung pedang Sabungsari hampir saja sempat menyentuh tubuh Podang Abang, sebagaimana sisi ikat pinggang Glagah Putih. Namun seperti Podang Abang yang belum berhasil menyentuh kulit lawan-lawannya, maka kedua lawannya yang muda itu pun belum dapat melukainya.

Ternyata Podang Abang benar-benar telah kehilangan kesabarannya. Meskipun ia sudah sampai pada puncak kemampuan ilmunya bermain dengan senjatanya, namun ia masih belum mampu menundukkan kedua lawannya yang diperkirakan akan dapat dilumpuhkannya sebelum hitungan ke-lima belas. Tetapi sampai hitungan yang panjang sekali, Podang Abang ternyata masih belum mampu mengalahkan kedua orang anak muda itu.

Karena itu, maka tidak ada jalan lain bagi Podang Abang yang berilmu tinggi dan berpengalaman sangat luas itu selain melepaskan ilmu simpanannya. Ilmu yang jarang sekali dipergunakannya. Sementara itu, melawan dua orang anak muda yang dianggapnya tidak lebih dari anak-anak itu, ia terpaksa melepaskannya.

“Apa boleh buat,” berkata Podang Abang itu di dalam hatinya, “tidak akan ada orang yang tahu, apa yang sudah terjadi.”

Namun kemudian iapun berdesah di dalam hatinya, “Jayaraga akan dapat mengetahui akibat ilmunya itu. Tetapi aku tidak peduli. Bahkan iapun akan mengalami nasib yang sama dengan anak-anak asuhannya itu. Bahkan seorang di antaranya adalah muridnya.”

Demikianlah, maka Podang Abang benar-benar telah melakukannya. Ia telah menembus ke ilmu andalannya yang tidak dipergunakannya jika tidak menghadapi lawan yang khusus. Ternyata kedua orang anak muda itu bagi Podang Abang termasuk orang yang khusus itu, yang tidak dapat dikalahkannya tanpa ilmu simpanannya.

Dengan demikian, maka sejenak kemudian Podang Abang telah memutar kedua bulatan besi baja yang ada di kedua ujung rantainya. Semakin lama menjadi semakin cepat. Kedua bulatan besi baja itu rasa-rasanya telah berubah menjadi berpuluh-puluh bulatan yang berputar mengelilingi tubuh Podang Abang. Bahkan akhirnya yang nampak oleh Sabungsari dan Glagah Putih adalah separuh bulatan yang berwarna kehitam-hitaman seperti tempurung yang menelungkup.

Sabungsari dan Glagah Putih menjadi sangat berhati-hati menghadapi lawannya itu. Ketika tiba-tiba saja tempurung itu bergerak dengan cepat ke arah Sabungsari, maka Sabungsari telah berusaha untuk berlindung di balik sebatang pohon jambu air.

Tetapi baik Sabungsari maupun Glagah Putih terkejut. Yang terdengar kemudian adalah suara gemeretak. Putaran bola besi yang berbentuk tempurung itu sama sekali tidak berusaha untuk memutar di sebelah sebatang pohon jambu air itu, tetapi justru menembus batang pohon jambu air yang memang tidak begitu besar itu.

Batang pohon jambu air yang kemudian tumbang itu bagaikan terlempar dan seakan-akan diputar badai yang deras. Namun kemudian jatuh roboh di tanah setelah menghantam beberapa pohon yang lain. Sebatang pohon srikaya telah ikut patah pula, sementara beberapa pepohonan yang lain kehilangan dahan dan ranting-rantingnya.

Dengan demikian maka Sabungsari dan Glagah Putih menjadi semakin berhati-hati. Ketika Sabungsari mencoba menyentuh bayangan putaran senjata Podang Abang yang menyerupai tempurung yang menelungkup itu, maka hampir saja ia kehilangan senjatanya.

Sabungsari yang terkejut sekali itu dengan serta merta telah meloncat mengambil jarak. Tangannya terasa pedih. Pedangnya hampir saja terloncat karena benturan yang luar biasa kerasnya, “Ilmu apakah yang telah membuatnya demikian kuat, sehingga segenap tenaga cadangan di dalam diriku sama sekali tidak berarti?” berkata Sabungsari di dalam hatinya.

Glagah Putih yang menjajagi kekuatan Podang Abang pun mengalami keadaan yang sama. Ikat pinggang yang diterimanya dari Ki Patih Mandaraka itu pun hampir saja terlepas dari genggamannya.

Dengan demikian, maka kedua orang anak muda itu harus mengambil jarak dari lawannya. Sementara itu terdengar suara Podang Abang dari dalam bayangan tempurung bulatan besi bajanya, “angan mencoba melarikan diri. Betapapun cepat kalian berlari, tetapi aku akan dapat menggapaimu. Bahkan seandainya kalian berdua berlari ke arah yang berbeda sekalipun, maka aku akan dapat menangkap kalian.”

Sabungsari termangu-mangu sejenak. Sementara Glagah Putih masih saja bergeser menempatkan diri.

Sementara itu Podang Abang semakin garang. Dengan cepatnya bulatan-bulatan besi yang melingkari dirinya itu telah bergeser bagaikan terbang menyambar Glagah Putih. Putaran senjatanya itu bagaikan menjadi sayap yang membentang. Namun kemudian terkatup menangkap sasarannya.

Glagah Putih terdesak tanpa dapat menghambat gerakan lawan. Karena itu, maka dengan mengerahkan tenaga cadangannya, Glagah Putih tidak berniat membentur kekuatan lawan yang sangat besar. Tetapi Glagah Putih mempergunakan tenaga cadangannya untuk meloncat tinggi-tinggi, berputar di udara dan melenting jatuh beberapa langkah menjauh.

Tetapi ayunan bulatan besi baja itu memburunya. Tidak kalah cepatnya dari loncatan Glagah Putih. Hampir saja Glagah Putih tersentuh oleh putaran senjata lawannya. Tetapi dengan sangat berhati-hati Glagah Putih telah menangkis serangan itu. Dengan mempergunakan segenap kekuatan dan tenaga cadangan, Glagah Putih hanya berani menggeser arah putaran senjata yang dahsyat itu.

Namun demikian Glagah Putih telah berhasil menyelamatkan dirinya.

Tetapi Podang Abang tidak ingin melepaskannya. Ia ingin menebus kegagalannya.

Tetapi ketika Podang Abang itu siap menggulung Glagah Putih itu, maka Sabungsari telah meloncat, berusaha untuk menembus lubang-lubang gulungan senjata Podang Abang.

Tetapi Sabungsari memang gagal. Meskipun demikian ia sempat menghentikan Podang Abang yang kemudian berpaling kepadanya.

Bahwa Sabungsari masih tetap menggenggam pedangnya itu, telah membuat Podang Abang menjadi heran. Tetapi ia tidak boleh membiarkan anak-anak muda itu untuk bertahan terus dan merasa bahwa mereka telah menang.

Dalam keadaan yang gawat itu, tiba-tiba saja Glagah Putih telah berteriak, “Apakah hitunganmu masih juga belum sampai lima belas?”

“Anak setan kau,” geram Podang Abang yang perhatiannya beralih kembali kepada Glagah Putih.

Sementara itu, Ki Jayaraga memang menjadi semakin berdebar-debar. Apa yang dilihatnya adalah peningkatan ilmu Podang Abang. Ia yakin jika ilmu itu mencapai tataran tertinggi, maka yang ikut berputar adalah udara di sekitarnya, menggulung apa saja yang masih dapat dijangkau oleh jarak ilmunya itu.

Ketika kemudian Podang Abang meluncur seperti seekor burung raksasa yang terbang dengan sayap-sayap baja, maka Ki Jayaraga menahan nafasnya. Apalagi ketika Ki Jayaraga melihat sikap Glagah Putih. Anak itu nampaknya dengan sengaja ingin membentur kekuatan Podang Abang meskipun tidak langsung.

Tetapi bagi Ki Jayaraga itu adalah hal yang sangat berbahaya.

Namun demikian, Glagah Putih benar-benar telah siap. Ia telah berada di puncak ilmu yang diwarisinya dari jalur perguruan Ki Sadewa lewat Agung Sedayu. Sementara itu ia sudah berdiri pula berlandaskan peningkatan segala macam ilmu dan kekuatannya karena getaran-getaran kekuatan yang aneh yang disusupkan ke dalam dirinya di saat-saat terakhir persahabatannya dengan Raden Rangga. Bahkan landasan kemampuannya mengungkap tenaga cadangannya menurut tuntunan Ki Jayaraga dan penyaluran kekuatan sebagaimana dipelajarinya menurut perguruan Orang Bercambuk.

Ilmu itu sudah ada di dalam dirinya. Dituntun oleh Ki Jayaraga dan Agung Sedayu, maka kekuatan dan kemampuan itu dapat luluh menjadi satu, sehingga merupakan kekuatan yang tidak dapat diabaikan.

Karena itu, ketika ayunan bulatan besi baja yang berputar itu seakan-akan menggulungnya, maka Glagah Putih dengan sengaja telah membenturkan kekuatannya.

Satu benturan yang dahsyat telah terjadi. Dua kekuatan raksasa telah beradu. Putaran bulatan besi baja Podang Abang telah membentur ikat pinggang kulit Glagah Putih. Namun ikat pinggang kulit itu adalah pemberian Ki Patih Mandaraka.

Ternyata dalam benturan itu, putaran senjata Podang Abang telah terkoyak. Bulatan besi baja itu bagaikan terpental dan kehilangan keseimbangan, sehingga untuk menguasainya kembali dibutuhkan beberapa saat.

Tetapi dalam pada itu, kekuatan ayunan besi baja yang dilambari dengan kekuatan ilmu itu benar-benar telah mengguncangkan pertahanan Glagah Putih. Karena itulah maka Glagah Putih justru telah terpental dan seakan-akan terlempar beberapa langkah surut. Ketika tubuhnya membentur sebatang pohon turi, maka rasa-rasanya punggungnya bagaikan retak.

Dalam pada itu, Sabungsari tanggap akan keadaan. Ia sempat mempergunakan kesempatan yang hanya sesaat. Sebelum Podang Abang sempat memperbaiki putaran senjatanya, maka Sabungsari harus bertindak. Ia sadar, bahwa Glagah Putih memerlukan waktu sesaat untuk memperbaiki keadaannya.

Karena itu, selagi Podang Abang berusaha mengatur kembali putaran bulatan besi bajanya, Sabungsari telah meloncat dengan senjata terjulur.

Satu pemanfaatan kesempatan yang bagus sekali. Kesempatan yang hanya sekejap itu mampu dipergunakan oleh Sabungsari sebaik-baiknya. Karena itulah maka ujung pedang Sabungsari yang terjulur lurus, sempat mengusik kulit Podang Abang di pundaknya.

Podang Abang mengumpat sejadi-jadinya. Ia telah meloncat surut beberapa langkah.

“Kau ternyata benar-benar telah gila!” Podang Abang itu hampir berteriak, “Kau telah berani melukai kulitku.”

Sabungsari tidak menjawab. Namun ia sempat melihat Glagah Putih telah bangkit dan memperbaiki keadaannya. Meskipun punggungnya masih terasa sakit, tetapi ia sudah siap menghadapi segala kemungkinan.

Sebenarnyalah Podang Abang menjadi sangat heran mengalami benturan itu. Bermimpipun tidak, bahwa ada anak muda mampu membentur senjatanya yang sedang berputar di dalam puncak ilmunya, masih tetap dapat hidup. Sebelumnya ia menduga bahwa anak yang mengaku memiliki ilmu dari perguruan Ki Sadewa dan sekaligus dari Ki Jayaraga itu akan terlempar jauh, membentur pepohonan yang ada di pategalan itu, kemudian terkapar tanpa dapat bergerak lagi karena tulang-tulang di tubuhnya telah hancur.

Namun ternyata anak muda itu telah bangkit dan siap untuk bertempur terus.

Podang Abang yang marah itu telah memusatkan perhatiannya kepada Sabungsari yang telah melukainya. Sementara itu Sabungsari pun telah mengucapkan syukur bahwa Glagah Putih tidak menjadi lumat. Namun sekaligus Sabungsari pun telah mengagumi kemampuan anak yang jauh lebih muda dari dirinya sendiri itu.

“Pantaslah bahwa ia adalah sepupu Agung Sedayu, yang ketika masih muda juga telah pernah membuat pangeram-eram,” berkata Sabungsari di dalam hatinya.

Namun kini Sabungsari menyadari, bahwa ia akan menjadi sasaran kemarahan Podang Abang justru karena ia telah melukainya. Sehingga karena itu, Sabungsari telah bersiap sepenuhnya. Ia tidak mau dihancurkan oleh Podang Abang dengan bandul besi bajanya yang bulat itu.

Karena itulah maka Sabungsari telah menyiapkan ilmu puncaknya. Ia harus melawan Podang Abang dengan tingkat kemampuannya yang tertinggi.

Sejenak kemudian Sabungsari pun telah memusatkan segenap nalar budinya. Ia sudah siap menghadapi Podang Abang dengan ilmunya yang mengerikan itu. Namun Sabungsari ingin membentur putaran bandul besi baja yang bulat yang diayunkan berputar di sekeliling tubuh Podang Abang.

Namun Podang Abang yang sangat marah karena kulitnya telah dilukai itu, telah meloncat sambil memutar bulatan besi bajanya menyerang Sabungsari.

Tetapi Sabungsari telah benar-benar siap. Demikian bayangan senjata Podang Abang yang mengitari tubuhnya itu bagaikan terbang menyambarnya, maka Sabungsari telah menyilangkan tangannya di dada. Dalam sekejap, maka Sabungsari telah melontarkan ilmunya yang dahsyat itu lewat sorot matanya.

Podang Abang terkejut. Benturan yang keras telah terjadi. Serangan Sabungsari itu telah menghantam putaran senjata Podang Abang yang juga dilambari dengan kekuatan ilmu puncaknya.

Seperti saat membentur ikat pinggang Glagah Putih, maka putaran senjata Podang Abang itu menjadi pecah. Tetapi serangan ilmu Sabungsari mempunyai akibat yang lebih luas dari benturan dengan ikat pinggang Glagah Putih. Bandul besi baja yang bagaikan terpental menghantam serangan sorot mata Sabungsari, telah melemparkan Podang Abang sehingga jatuh berguling.

Namun dengan cepat Podang Abang itu bangkit. Dengan cepat pula ia berhasil menguasai dirinya kembali.

Tetapi Podang Abang tidak sempat mengangkat kembali permainannya dengan bandul besinya. Demikian ia tegak, maka serangan Sabungsari berikutnya telah menyusul.

Podang Abang harus berloncatan menghindari serangan Sabungsari. Namun ternyata bahwa Podang Abang memang berilmu tinggi.

Kemarahannya membuatnya seakan-akan menjadi semakin cepat bergerak. Sambil berloncatan menghindari serangan-serangan berikutnya, Podang Abang masih mampu mendekati Sabungsari.

Beberapa langkah dari Sabungsari, Podang Abang masih mampu menghindari serangan sorot matanya. Seperti terbang Podang Abang justru mengitari Sabungsari yang berusaha mengambil jarak.

Tetapi Podang Abang memang berilmu sangat tinggi. Podang Abang agaknya memang tidak memiliki kemampuan menyerang dari jarak jauh. Tetapi jarak itu dapat dikuasainya dengan gerakan-gerakan yang cepat.

Glagah Putih pun menjadi termangu-mangu. Namun ia tidak dapat membiarkan Sabungsari mengalami kesulitan dengan jangkauan jarak yang dapat dilakukan oleh Podang Abang. Apalagi kemudian Podang Abang itu mulai lagi dengan permainan bandul besinya, sehingga keadaan Sabungsari menjadi semakin berbahaya.

Karena itu, Glagah Putih memang tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus membantu Sabungsari dengan ilmunya yang beberapa saat sebelumnya masih disimpannya. Tetapi agaknya Glagah Putih pun menyadari, bahwa meskipun ia bertempur bersama Sabungsari, tetapi tanpa puncak-puncak kemampuan mereka, keduanya tidak akan mampu mengalahkannya.

Sabungsari yang justru terdesak sempat mengambil jarak. Dengan mengerahkan segenap kemampuannya dalam pemusatan nalar budi, Sabungsari sempat menyerang Podang Abang dengan ilmunya yang terpancar dari matanya.

Namun sekali lagi Sabungsari gagal. Podang Abang sempat meloncat tinggi-tinggi, berputar di udara, dan di luar perhitungan Sabungsari, Podang Abang itu telah berdiri beberapa langkah saja di hadapannya.

Sabungsari menyadari bahaya yang mengancamnya. Jika ia lengah, maka bandul besi baja itu akan dapat meremukkan kepalanya. Karena itu, maka iapun telah bersiap untuk menghindari serangan Podang Abang, sementara Podang Abang pun siap melontarkan serangan dengan bulatan besi bajanya, dilandasi dengan segenap kemampuan ilmunya.

Namun Glagah Putih tidak membiarkan benturan ilmu itu terjadi pada jarak yang demikian dekatnya. Glagah Putih menyadari bahwa kematangan ilmu Podang Abang melampaui kematangan ilmu Sabungsari. Karena itu, jika keduanya langsung beradu ilmu dalam bentuknya masing-masing, maka Glagah Putih juga mencemaskan keselamatan Sabungsari. Sementara Glagah Putih sudah tidak sempat lagi meloncat mendekat.

Karena itu, maka Glagah Putih pun telah memusatkan nalar budinya pula. Ia tidak mau terlambat sehingga akibatnya akan menyulitkan Sabungsari. Sebelum Sabungsari sempat membenturkan ilmunya dari jarak yang sangat dekat, Glagah Putih telah siap untuk menyerang.

Berbeda dari Sabungsari yang mempergunakan matanya untuk melontarkan serangannya sebagaimana Agung Sedayu, Glagah Putih telah mempergunakan cara yang lain. Glagah Putih itu telah menghentakkan kedua tangannya, setelah menyangkutkan ikat pinggangnya ke lehernya.

Sambil berdiri tegak dengan kaki renggang, Glagah Putih mengangkat kedua tangannya dengan telapak tangan terbuka menghadap ke arah Podang Abang. Dilandasi dengan segenap ilmu dan kekuatan yang dimilikinya, maka Glagah Putih telah menghentakkan serangan langsung ke arah Podang Abang.

Podang Abang yang siap menyerang Sabungsari itu, ternyata sempat melihat unsur gerak Glagah Putih di saat ia bersiap untuk melontarkan serangannya. Sebagai seorang yang berilmu sangat tinggi, maka Podang Abang pun melihat ancang-ancang lontaran serangan itu demikian menggetarkan jantungnya. Menurut penilaiannya, serangan lawannya yang lebih muda itu justru lebih berbahaya dari serangan sorot mata Sabungsari. Ketika Glagah Putih mempersiapkan serangan itu, nampak betapa ancang-ancang itu lebih matang dan mantap.

Karena itu, perhatian Podang Abang pun segera beralih. Namun Glagah Putih sudah siap sepenuhnya, dan seakan-akan dari kedua telapak tangannya yang terbuka menghadap ke arah Podang Abang itu memancar sinar.

Podang Abang benar-benar terkejut melihat serangan itu. Karena itulah ia telah mengerahkan segenap kemampuannya untuk bergerak secepatnya, melenting dan menjatuhkan diri beberapa langkah dari Sabungsari.

Podang Abang memang sempat menghindar. Tetapi ia tidak luput sepenuhnya dari sambaran ilmu Glagah Putih. Sambaran angin yang digetarkan oleh serangan ilmu yang dahsyat itu telah menyambar Podang Abang sehingga terasa kulitnya menjadi pedih.

Namun dalam waktu singkat itu Podang Abang dengan cepat harus mengambil sikap. Ia sadar, bahwa ia tidak akan dapat melawan kedua orang anak muda yang memiliki ilmu yang ternyata jauh lebih tinggi dari perhitungannya. Serangan sorot mata Sabungsari dan lontaran kekuatan ilmu dari telapak tangan Glagah Putih, tidak akan dapat diimbanginya. Betapapun ia mampu bergerak cepat dengan ilmu meringankan tubuh, namun ia tidak akan mungkin menghindari serangan-serangan anak-anak muda itu.

Karena itu, Podang Abang telah mengambil keputusan dengan cepat untuk menghindar dari arena. Namun Ki Jayaraga yang mengikuti pertempuran itu, agaknya dengan cepat tanggap, sehingga dengan cepat pula Ki Jayaraga siap untuk berbuat sesuatu.

Pada saat yang paling gawat bagi Podang Abang, maka Podang Abang pun telah meloncat meninggalkan kedua orang anak muda itu. Ia berloncatan, melenting, berputar di udara dan segala macam tata gerak yang lain untuk menghindari serangan kedua orang anak muda itu.

Sabungsari dan Glagah Putih tidak mau melepaskannya. Orang itu adalah orang yang sangat berbahaya bagi mereka. Karena itu, keduanya pun telah menghentakkan ilmu cadangan di dalam dirinya untuk memburu Podang Abang yang sedang meninggalkan arena itu.

Tetapi Podang Abang memang mampu bergerak lebih cepat. Pepohonan di pategalan itu telah menolongnya sehingga ia berhasil menjauhi kedua orang anak muda yang siap untuk menyerangnya.

Namun ketika ia melenting tinggi dan jatuh di atas kedua kakinya yang tegak, maka Podang Abang itupun terkejut. Adalah di luar dugaan sama sekali ketika tiba-tiba saja Ki Jayaraga telah berdiri di hadapannya dalam jarak beberapa langkah.

Podang Abang itu bagaikan membeku beberapa saat. Sementara Ki Jayaraga melangkah perlahan-lahan kepadanya.

“Iblis licik kau,” geram Podang Abang.

“Kenapa licik? Bukankah aku baru datang?” bertanya Ki Jayaraga.

“Kau tentu sudah lama berada di sini,” berkata Podang Abang itu kemudian.

Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “ku memang sudah berada di sini beberapa lama. Aku melihat kau bertempur melawan kedua orang anak itu. Tetapi apakah itu berarti licik?”

“Kau datang dengan sembunyi-sembunyi,” geram Podang Abang.

Ki Jayaraga tersenyum. Katanya, “Aku memang tidak ingin mengganggu kalian bertempur. Apakah itu licik? Perhatianmu terlalu terikat oleh kedua lawanmu sehingga kau tidak melihat aku hadir. Tetapi itu bukan satu kelicikan.”

Wajah Podang Abang menjadi tegang. Sementara itu Sabungsari dan Glagah Putih telah melihatnya pula berdiri di hadapan Ki Jayaraga. Namun justru karena itu maka keduanya tidak lagi menyerang Podang Abang itu.

“Nah,” berkata Ki Jayaraga, “aku tidak akan mengganggumu lagi. Apakah kau kehilangan kedua orang lawanmu?”

“Gila,” geram Podang Abang, “aku ingin bertempur melawanmu.”

Tetapi Ki Jayaraga menggeleng. Katanya, “Aku bersedia bertempur melawanmu kapan saja. Tetapi kau tidak dalam keadaan seperti itu. Kau sedang terluka meskipun hanya segores tipis. Sedang apapun yang dapat kau jadikan alasan tentu akan kau pergunakan sebaik-baiknya untuk mengingkari kekalahanmu, karena kau tentu tidak akan dapat menang melawanku.”

“Setan kau,” geram Podang Abang.

Ki Jayaraga tertawa. Katanya, “Kau sudah bertempur melawan muridku. Bukankah kau tahu bahwa yang seorang dari kedua lawanmu itu adalah muridku? Nah, kau tentu akan dapat menjajagi kemampuanku.”

Podang Abang termangu-mangu. Hampir di luar sadarnya ia berpaling ke arah Sabungsari dan Glagah Putih.

“Podang Abang,” berkata Ki Jayaraga kemudian, “sebaiknya kau tinggalkan tempat ini. Aku tidak mau membunuhmu dalam keadaan seperti itu. Jika kau setuju, lain kali kita akan bertemu.”

Podang Abang tidak segera menjawab. Tetapi wajahnya bagaikan tersentuh bara. Hampir saja ia kehilangan kendali dan menyerang Ki Jayaraga tanpa memberikan peringatan. Tetapi untunglah bahwa ia masih sempat menahan diri. Harga dirinya masih mencegahnya agar ia tidak berlaku curang.

Sabungsari dan Glagah Putih masih saja termangu-mangu. Sebenarnya mereka ingin menyelesaikan pertempuran itu sampai tuntas. Mereka menyadari bahwa Podang Abang itu tentu akan dapat mengganggu mereka selanjutnya. Tetapi mereka tidak dapat berbuat apa-apa jika Ki Jayaraga mempunyai sikap yang lain.

Sebenarnyalah Ki Jayaraga telah berkata, “Sekali lagi aku minta, tinggalkan tempat ini. Jangan hiraukan kedua orang anak muda itu. Mereka tidak akan mengganggumu. Jika aku sengaja membiarkan kau bertempur melawan keduanya, maka biarlah kau menyadari bahwa tanpa aku, anak-anak Gajah Liwung itu masih mampu mempertahankan dirinya. Jika mereka mampu mengalahkanmu, maka apa artinya orang-orang yang mengaku anggota kelompok Gajah Liwung itu? Orang-orang yang kau sebut berasal dari dua perguruan namun yang berada di bawah tanggung jawabmu.”

Podang Abang menggeram. Katanya, “Kenapa kau tidak bergabung dengan kedua orang anak muda itu dan membunuhku sekarang ini? Jika kau tidak membunuhku sekarang beramai-ramai, maka pada kesempatan lain, aku-lah yang akan membunuhmu.”

Ki Jayaraga tertawa kecil. Katanya, “Apapun yang terjadi, itu adalah persoalan nanti. Jika kau pada satu saat mampu membunuhku, maka itu adalah pertanda bahwa kau memang memiliki kelebihan dari aku. Aku tidak perlu menyesali nasibku yang buruk itu, karena setelah itu kau akan menjadi buruan muridku yang akan membunuhmu pula.”

“Iblis kau,” geram Podang Abang.

“Podang Abang. Kau harus mengakui bahwa muridku memiliki kemampuan dan ilmu yang cukup tinggi untuk menandingimu. Ia hanya kalah pengalaman darimu. Jika nanti aku sempat memberinya petunjuk, maka baik muridku maupun kawannya itu masing-masing akan dapat menghadapimu sendiri. Tidak usah berpasangan. Mereka memiliki kelebihan darimu. Kau tidak mampu menyerang mereka dari jarak lebih jauh dari jangkauan rantai dan bandul besimu. Sementara kedua orang lawanmu itu masing-masing dapat melakukannya. Yang dilakukan baru permukaan saja dari ilmunya, karena muridku dapat mengurai inti kekuatan air, api, angin dan tanah, dan membangunkan kekuatan daripadanya. Sementara itu kawannya akan dapat menyerangmu tanpa henti-hentinya dengan kekuatan lewat sorot matanya, sebagaimana ia mempergunakan matanya untuk melihat. Sehingga yang sebenarnya kau alami baru merupakan bagian-bagian dari kemampuan mereka berdua.”

“Cukup!” bentak Podang Abang, “jika kau benar-benar ingin menghinaku sekarang ini, maka pada suatu saat kau akan menyesal. Seandainya kau tidak mati terbunuh, maka kau pun akan dihinakan untuk selama-lamanya.”

“Sudahlah Podang Abang. Tidak pantas orang seperti kau ini merajuk. Sekarang sekali lagi aku minta kau segera pergi,” berkata Ki Jayaraga.

Podang Abang memandang Ki Jayaraga dengan tajamnya. Namun iapun kemudian melangkah meninggalkan tempat itu. Sepeninggal Podang Abang, maka Sabungsari dan Glagah Putih pun telah mendekati Ki Jayaraga. Dengan nada tinggi Sabungsari bertanya, “Kenapa kita biarkan orang itu pergi, Ki Jayaraga?”

“Kita tidak dapat membunuhnya dalam keadaan seperti itu. Podang Abang tentu masih mempunyai keinginan bertempur melawanku. Jika Podang Abang bersedia bertempur melawan kalian, agaknya ia mengira bahwa dengan mudah ia dapat mengalahkan kalian. Namun ternyata ia harus melihat kenyataan,” berkata Ki Jayaraga.

Sabungsari dan Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Dengan ragu-ragu Glagah Putih bertanya, “Tetapi bagaimana dengan kawan-kawan kami yang lain? Apakah mereka tidak akan selalu dibayangi oleh kemampuan dan niat jahat Podang Abang?”

“Adalah tugas kita untuk menyelamatkan kawan-kawan kita dari gangguannya. Kalian sudah tahu tingkat kemampuannya. Seperti aku katakan, maka kita akan dapat berbicara serba sedikit khusus mengenai kelemahan Podang Abang, sehingga kalian akan dapat mengatasinya sendiri-sendiri jika terpaksa kalian harus berhadapan,” berkata Ki Jayaraga.

Sabungsari dan Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara Ki Jayaraga berkata, “Kalian tidak boleh gugup menghadapinya.”

“Ya Guru,” jawab Glagah Putih.

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian berkata, “Kita akan kembali.”

“Tetapi Podang Abang itu telah mengetahui dengan siapa kita berhubungan,” berkata Sabungsari kemudian, “apakah itu tidak akan mengancam kedudukan Ki Wirayuda?”

“Apakah para prajurit Mataram akan begitu mudah percaya kepada anggota kelompok yang mengaku bernama kelompok Gajah Liwung itu?” justru Ki Jayaraga bertanya pula.

Sabungsari mengangguk-angguk. “Memang tidak setiap orang akan dapat dipercaya jika mereka memberikan laporan tentang para prajurit dan tingkah lakunya. Apalagi kedudukan Ki Wirayuda cukup kuat. Atasannya tidak akan mudah mempercayai satu kelompok yang justru menjadi buruan para prajurit itu sendiri.”

Demikianlah, ketiga orang itu pun telah meninggalkan pategalan itu dalam keadaan yang porak poranda. Tetapi mereka justru tidak dapat berbuat apa-apa atas pategalan itu, karena mereka tidak ingin diketahui banyak orang tentang diri mereka.

Karena itu maka mereka pun terpaksa meninggalkan pategalan itu seperti baru saja dilanda angin pusaran.

Sepanjang jalan, Ki Jayaraga sempat memberikan beberapa petunjuk untuk menghadapi Podang Abang. Dengan nada tinggi Ki Jayaraga berkata, “Kalian ternyata terlalu tegang menghadapi orang itu. Mungkin kalian menganggap Podang Abang sebagai hantu yang tidak terkalahkan. Tetapi sebenarnyalah kalian harus melawannya dengan hati yang mapan. Kalian mempunyai keuntungan dengan ilmu kalian. Soalnya, bagaimana kalian dapat mengetrapkan ilmu kalian itu dengan tepat.”

Sabungsari dan Glagah Putih mengangguk-angguk. Mereka mendengarkan keterangan Ki Jayaraga itu dengan sungguh-sungguh.

Setelah menempuh perjalanan yang agak panjang, maka ketiga orang itu pun telah sampai ke Sumpyuh, ke tempat tinggal mereka yang baru.

Namun mereka terkejut ketika mereka melihat Ki Lurah Branjangan justru telah berada di rumah itu, duduk di ruang dalam.

“Ki Lurah?” Ki Jayaraga memandanginya dengan heran.

Ki Lurah tersenyum. Katanya, “Ada sedikit masalah. Tetapi tidak dengan kalian. Masalah yang sangat pribadi dengan Rara Wulan.”

Ketiganya mengangguk-angguk kecil. Namun mereka tidak melihat Rara Wulan di ruang itu.

Glagah Putih yang menjadi berdebar-debar telah bergeser keluar dari ruang dalam. Ketika ia bertemu dengan Suratama iapun bertanya, “Dimana Rara Wulan?”

“Ia berada di dapur,” jawab Suratama, “setelah ia sedikit berbantah dengan kakeknya.”

“Apa yang dibicarakan?” bertanya Glagah Putih.

Suratama menggeleng. Katanya, “Aku tidak tahu. Ki Lurah Branjangan berbicara berdua saja dengan cucunya. Tetapi nampaknya ada beberapa hal yang tidak sesuai di antara keduanya, sehingga Rara Wulan kemudian meninggalkan kakeknya sambil menangis. Rasa-rasanya tidak pantas melihat gadis itu menangis. Selama ini kita melihatnya sebagai seorang yang keras dan tidak kurang tegasnya. Tiba-tiba saja kita sadar, bahwa ia adalah seorang gadis yang lengkap dengan segala macam perasaannya.”

Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Sementara Suratama itu pun berkata, “Cobalah, mungkin kau dapat membuka hatinya untuk sedikit membagi beban.”

Glagah Putih memang ragu-ragu. Tetapi iapun kemudian memberanikan diri untuk masuk ke dapur. Glagah Putih sendiri tidak tahu, dorongan apakah yang telah membuatnya demikian serta merta mencampuri persoalan yang sebenarnya sangat pribadi bagi Rara Wulan.

Ketika Glagah Putih berdiri di pintu dapur, maka jantungnya memang terasa berdegup semakin keras. Namun dipaksanya juga kakinya melangkah memasuki dapur yang kebetulan sepi itu. Orang tua penunggu rumah itu yang biasanya ada di dapur, ternyata sedang berada di kebun.

Rara Wulan memang sedang mengusap matanya ketika Glagah Putih muncul. Gadis itu memang berusaha untuk menghilangkan kesan bahwa ia sedang menangis. Namun ketika Glagah Putih melangkah mendekatinya, maka dadanya serasa menjadi semakin sesak.

“Apa yang terjadi Rara Wulan?” bertanya Glagah Putih.

Pertanayaan itu wajar sekali. Tetapi pertanyaan itu ternyata telah menghentakkan perasaan Rara Wulan. Jika semula ia telah berhasil menahan gejolak perasaannya, pertanyaan Glagah Putih justru bagaikan kekuatan yang mengguncang jantungnya, sehingga seperti bendungan yang pecah, Rara Wulan tidak lagi dapat menahan air matanya yang tumpah lewat kedua matanya.

Glagah Putih justru menjadi bingung. Hilir mudik ia melangkah di depan Rara Wulan yang duduk di bibir amben besar di dapur.

“Jangan menangis Rara,” hanya itulah yang dapat dikatakannya beberapa kali, “jangan menangis.”

Rara Wulan memang berjuang untuk mengatasi gejolak di dadanya. Ia memang merasa malu bahwa hatinya seakan-akan menjadi rapuh, sehingga ia harus menangis seperti kanak-kanak.

Namun ia memerlukan waktu untuk meredakan tangisnya. Tetapi Rara Wulan tidak segera mampu mengatasi isaknya yang seakan-akan telah menyesakkan dadanya.

Sesaat kemudian, maka Rara Wulan menjadi sibuk mengusap matanya yang masih tetap basah.

Glagah Putih juga menjadi gelisah. Ia sudah terlanjur masuk ke dapur di saat Rara Wulan menangis. Karena itu, ia tidak dapat begitu saja meninggalkannya.

Dengan ragu-ragu dan keringat yang membasah di punggungnya, Glagah Putih mencoba untuk bertanya, “Kenapa kau menangis Rara Wulan?”

Rara Wulan mengangkat wajahnya. Dipandanginya anak muda itu, anak muda yang pertama-tama dikenalnya sebagai seorang yang kakinya penuh dengan lumpur sawah. Anak muda yang hanya pantas untuk mengantarkannya kemana ia ingin pergi. Namun yang kemudian ternyata seorang anak muda yang memiliki ilmu yang tinggi dan pengetahuan yang cukup luas. Tanggap akan keadaan dan tidak mementingkan diri sendiri.

Karena Rara Wulan tidak segera menjawab, maka Glagah Putih telah bertanya sekali lagi, “Kenapa kau menangis Rara?”

Rara Wulan menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sekali-sekali isaknya masih terdengar.

“Bertanyalah kepada Kakek,” jawab Rara Wulan.

Glagah Putih mengangguk kecil. Ia sudah menduga bahwa persoalannya dengan kakeknya nampaknya agak bersungguh-sungguh, sehingga Rara Wulan yang sehari-harinya dikenalnya sebagai seorang gadis yang berhati tegar itu telah menangis terisak-isak.

“Persoalan yang berhubungan dengan kedua orang tuamu?” bertanya Glagah Putih kemudian.

Rara Wulan mengangguk.

Glagah Putih masih berjalan hilir mudik. Jawaban Rara Wulan meskipun hanya dengan anggukan kepala itu telah membuat Glagah Putih kehilangan kesempatan untuk bertanya lebih jauh. Karena itu, iapun kemudian berkata, “Aku akan berbicara dengan Ki Lurah.”

Rara Wulan tidak menjawab. Dipandanginya saja Glagah Putih yang kemudian melangkah keluar pintu dapur dan dengan gelisah pergi ke ruang tengah.

Di ruang tengah, Ki Jayaraga duduk menemui Ki Lurah. Sabungsari dan Prastawa duduk pula bersama mereka, meskipun agak menyudut.

Ketika Glagah Putih memasuki ruang dalam, maka Ki Jayaraga pun telah bergeser untuk memberi tempat kepadanya.

“Duduklah,” berkata orang tua itu.

Glagah Putih pun kemudian duduk dengan kepala tunduk.

“Kau tentu masih letih,” berkata Ki Lurah Branjangan. “Ki Jayaraga sudah menceritakan, bagaimana kau harus bersama-sama dengan Sabungsari melawan Podang Abang.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia sampai ke regol halaman rumah yang dipergunakannya itu, maka ia memang ingin segera membersihkan kaki dan tangannya, kemudian minum minuman hangat di serambi sambil menghirup angin yang sejuk untuk menyegarkan tubuhnya kembali.

Namun ketika ia memasuki ruang dalam, yang dijumpainya adalah satu masalah yang tidak kalah peliknya.

Tetapi tiba-tiba saja timbul pertanyaan di dalam hatinya, “Apakah persoalan itu juga persoalannya?”

“Ya,” ia mencoba menjawab sendiri, “Rara Wulan adalah anggota kelompok Gajah Liwung. Persoalannya adalah persoalan seluruh anggota kelompok ini.”

Namun pertanyaan yang lain telah timbul pula, “Kenapa bukan Sabungsari, bukan Prastawa atau Naratama yang dengan serta merta melibatkan diri?”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Ki Lurah yang tersenyum berkata, “Aku minta maaf kepada kalian semuanya, bahwa aku telah tiba kembali ke rumah ini dengan membawa persoalan yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan kelompok Gajah Liwung ini.”

Glagah Putih menundukkan kepalanya. Sementara Ki Jayaraga berkata, “Dalam satu keluarga, maka setiap persoalan sebaiknya dipecahkan bersama-sama.”

“Terima kasih Ki Jayaraga,” berkata Ki Lurah Branjangan, “agaknya karena itulah maka aku memberanikan diri untuk datang kembali. Aku yakin bahwa keluarga ini tidak akan membiarkan aku mengalami kesulitan sendiri.”

“Apakah persoalan Ki Lurah dapat kami ketahui?” bertanya Ki Jayaraga, “Mungkin kami dapat membantu memecahkannya.”

Ki Lurah mengangguk-angguk kecil. Tetapi iapun kemudian telah bertanya kepada Glagah Putih, “Apakah kau sudah bertemu dengan Rara Wulan?”

Glagah Putih memang menjadi gagap. Tetapi iapun kemudian telah menjawab, “Sudah Ki Lurah.”

“Nah, agaknya kau sudah mengerti, kenapa Rara Wulan menangis.”

“Rara Wulan tidak mengatakan apa-apa Ki Lurah. Bahkan Rara minta aku menanyakan persoalannya kepada Ki Lurah,” jawab Glagah Putih.

Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi Rara Wulan minta aku mengatakannya kepadamu?”

“Ya Ki Lurah,” jawab Glagah Putih.

Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Sabungsari berkata, “Kami minta diri untuk pergi keluar sebentar Ki Lurah.”

“Tidak. Tidak perlu. Seperti dikatakan oleh Ki Jayaraga, bahwa di dalam satu keluarga, maka kita akan memecahkan setiap persoalan bersama-sama,” cegah Ki Lurah. Namun katanya kemudian, “Meskipun persoalannya sangat pribadi.”

Namun sambil tersenyum Sabungsari berkata, “Nanti aku segera kembali.”

Ki Lurah tidak mencegah lagi. Sementara itu Sabungsari dan Pranawa pun meninggalkan pertemuan yang telah bersifat pribadi itu.

Ketika Sabungsari dan Pranawa meninggalkan pertemuan itu, Glagah Putih menjadi gelisah pula. Jika yang lain tidak ikut membicarakannya, kenapa ia justru terlibat semakin jauh dengan persoalan Rara Wulan dengan keluarganya?

Glagah Putih menunduk ketika Ki Lurah berkata, “Glagah Putih. Jika Rara Wulan memang minta aku mengatakan kepadamu kenapa ia menangis, maka aku memang tidak berkeberatan. Aku tidak tahu apakah kau berkepentingan atau tidak. Tetapi tidak ada salahnya kau mengerti apa yang telah membuatnya menangis.” Ki Lurah berhenti sejenak. Sementara Glagah Putih masih tetap menundukkan kepalanya.

Dengan nada dalam Ki Lurah pun kemudian melanjutkan, “Glagah Putih. Ketika aku kembali ke Tanah Perdikan Menoreh kemarin, ternyata ayah Rara Wulan telah berada di Tanah Perdikan. Ada beberapa hal yang dikatakannya kepadaku tentang anak gadisnya. Ternyata sebelumnya memang telah terjadi salah paham, sehingga ayah Rara Wulan memerlukan waktu untuk memberikan penjelasan.”

“Tentang hubungannya dengan keluarga yang ingin mengambil Rara Wulan sebagai menantunya?” bertanya Glagah Putih.

“Hal itu masih perlu mendapat penjelasan. Karena itu, maka aku minta Rara Wulan bertemu langsung dengan kedua orang tuanya,” jawab Ki Lurah, yang kemudian dengan singkat menceritakan pertemuannya dengan ayah Rara Wulan.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun ia tidak lebih hanya dapat mendengarkan saja. Akhirnya Glagah Putih itu memang harus menyadari, bahwa ia tidak mempunyai hak untuk menyatakan pendapatnya tentang hubungan Rara Wulan dengan kedua orang tuanya.

Ki Lurah pun mengerti kebingungan yang mencekam jantung Glagah Putih. Ada dorongan untuk mencampuri urusan Rara Wulan, namun kemudian ia terbentur kepada kesadarannya, bahwa ia adalah orang lain bagi Rara Wulan, sehingga ia tidak dapat berbuat apa-apa.

“Persoalannya memang sangat pribadi, sebagaimana dikatakan oleh Ki Lurah Branjangan,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya.

Tetapi ia sudah terlanjur memasuki persoalan pribadi Rara Wulan semakin dalam. Satu langkah yang kurang diperhitungkan sebelumnya, karena tiba-tiba saja ia dihadapkan pada satu keadaan yang telah mengguncang perasaannya, demikian ia datang dari lingkaran pertentangan justru kekerasan.

Tetapi nampaknya Ki Lurah Branjangan, kakek Rara Wulan, tidak berkeberatan. Orang tua itu malahan memberinya kesempatan untuk melibatkan dirinya.

Namun sejenak kemudian Ki Lurah Branjangan itu pun berkata kepada Glagah Putih, “Glagah Putih. Aku sebenarnya ingin minta bantuanmu. Apakah kau bersedia membantuku? Katakan kepada Rara Wulan, bahwa sebaiknya ia memang harus menemui kedua orang tuanya. Apapun keputusan yang akan diambil dalam pembicaraan di antara mereka. Aku bersedia mengantarkannya dan melibatkan diri langsung dalam pembicaraan seperti itu, karena akan menyangkut masa depan Rara Wulan.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Permintaan Ki Lurah itu justru bertentangan dengan keinginan yang terbersit di hatinya. Glagah Putih ingin agar Rara Wulan tidak menemui orang tuanya, yang setiap pembicaraannya akan mengarah kepada kemungkinan untuk mempertemukan Rara Wulan dengan seseorang yang akan dijadikan jodohnya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar