Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 263

Buku 263

Rara Wulan mengangguk. Katanya, “Silahkan, Kakang.”

“Biarlah Mbokayumu Sekar Mirah mengawanimu di sanggar,” berkata Agung Sedayu kemudian.

“Tetapi sebaiknya kita beristirahat dahulu,” berkata Sekar Mirah kemudian.

Keempat orang itu pun kemudian telah keluar dari sanggar. Namun Rara Wulan masih tetap berada di halaman belakang bersama Glagah Putih. Rara Wulan yang pakaiannya masih basah kuyup tidak berganti pakaian. Ia masih saja melakukan gerakan-gerakan kecil di kebun belakang.

Sementara itu, Sekar Mirah telah menyediakan makan pagi buat Agung Sedayu sebelum ia berangkat ke barak.

Ketika Sekar Mirah telah selesai, dan Agung Sedayu siap untuk berangkat ke barak, maka Agung Sedayu pun telah berpesan kepada Glagah Putih, agar sebelum tengah hari ia sudah menyusulnya ke barak.

Demikian Agung Sedayu berangkat, maka Sekar Mirah telah berada di halaman belakang rumahnya. Tetapi ia tidak segera membawa Rara Wulan kembali masuk ke dalam barak. Tetapi di halaman, di tempat yang tidak sepanas di dalam barak, Sekar Mirah sempat memberikan beberapa tanggapannya atas unsur-unsur gerak yang telah dikuasai oleh Rara Wulan.

“Lihat Rara,” berkata Sekar Mirah memberikan beberapa contoh unsur gerak yang telah dilakukan oleh Rara Wulan, “yang salah bukan unsur geraknya. Tetapi Rara dapat melakukannya dengan lebih baik.”

Sekar Mirah pun kemudian telah menunjukkan kelemahan-kelemahan yang telah dilakukan oleh Rara Wulan pada unsur-unsur geraknya, dan menunjukkan kemungkinan yang lebih baik serta alasan-alasannya. Letak anggota badan, arah gerak dan pemusatan kekuatan harus mendapat perhatian.

“Jika Rara telah membiasakannya, maka semuanya akan berjalan dengan sendirinya sesuai dengan kemauan Rara, serta akan muncul pada gerak-gerak naluriah yang seakan-akan di luar kesengajaan,” berkata Sekar Mirah, “sedangkan yang dimaksud dengan membiasakan itu adalah latihan-latihan yang tekun.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Ternyata ia memang seorang gadis yang cerdas, yang memiliki dasar bekal kemampuan menyerap ilmu kanuragan. Karena itu, maka iapun segera mengerti apa yang dimaksud oleh Sekar Mirah. Karena itu, ketika ia perlahan-lahan mengulanginya, maka Sekar Mirah telah melihat beberapa perbaikan sikap.

“Lakukan lebih cepat,” berkata Sekar Mirah.

Rara Wulan pun kemudian telah melakukannya lebih cepat. Ternyata bahwa Rara Wulan memang memahami maksud Sekar Mirah.

“Bagus,” berkata Sekar Mirah, “hari ini kita akar memahami sifat dan watak dari unsur-unsur gerak yang sudah kita lihat kelemahan-kelemahannya itu. Jika kita mampu memecahkan hambatan-hambatan yang ada pada unsur gerak itu, baik karena kelemahan dari unsur itu sendiri atau karena keterbatasan kita, maka kita akan meningkat selapis. Tentu saja selapis tipis. Tetapi itu lebih baik daripada tidak sama sekali.”

Rara Wulan mengerutkan dahinya. Tetapi iapun kemudian mengangguk-angguk. Yang mengatakan hal itu adalah seorang yang memiliki ilmu cukup tinggi.

Untuk beberapa lama Rara Wulan masih mengulangi unsur-unsur gerak itu di luar sanggar. Namun kemudian Sekar Mirah pun berkata, “Kita akan masuk kembali ke dalam sanggar. Kita akan berlatih lebih bersungguh-sungguh sampai matahari sepenggalah. Sementara itu, biarlah Glagah Putih bersiap-siap untuk pergi ke barak. Pada kesempatan lain saja kita akan memberinya waktu untuk melihat-lihat latihan kita.”

Karena itu maka ketika Sekar Mirah membawa Rara Wulan masuk kembali ke dalam sanggar, Glagah Putih tidak ikut bersama mereka. Tetapi iapun kemudian telah pergi ke dapur.

Udara di dalam sanggar memang tidak sesejuk di kebun belakang di bawah pepohonan. Tetapi udara di dalam sanggar itu terasa lebih panas. Namun di dalam sanggar, latihan olah kanuragan itu menjadi lebih bersungguh-sungguh.

Di dapur, Glagah Putih mendapatkan pembantu di rumah itu sedang merebus air. Sedangkan di perapian sebelahnya tercium bau yang sedap.

“Kendo udang,” desis Glagah Putih, “aku menjadi semakin lapar.”

“Baru saja aku naikkan ke atas api,” berkata anak itu, “jika kau makan pagi, pakai saja sambal terasi dan lodeh kluwih. Ki Agung Sedayu juga hanya memakai sambal terasi dan lodeh kluwih.”

Glagah Putih tersenyum. Sambil menepuk pundak anak itu, Glagah Putih berkata, “Aku akan makan pagi dengan sambal terasi dan lodeh keluwih.”

Anak itu tidak menjawab lagi. Tetapi ia justru bangkit berdiri sambil bergeremang, “Aku harus membuat kayu bakar.”

Glagah Putih tidak menyahut. Tetapi iapun telah memungut mangkuk untuk makan.

Sejenak kemudian, maka Glagah Putih pun telah siap berangkat ke barak. Tetapi ketika ia menemui pembantu rumah itu, maka anak itu sambil bersungguh-sungguh berkata, “Nanti aku akan mengisi pakiwan, akan membersihkan halaman, akan membelah kayu, akan apa lagi, apa lagi.”

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Kau akan menjadi cepat tua jika kau selalu marah saja. Sekali-sekali kau harus tertawa keras-keras.”

“Tergantung sikapnya,” jawab anak itu, “lebih baik tidak pulang untuk dua tiga tahun.”

Glagah Putih tertawa semakin keras. Katanya, “Sudahlah. Aku akan pergi ke barak. Nanti jika Mbokayu Sekar Mirah menanyakan aku, maka kau jawab saja bahwa aku menyusul Kakang Agung Sedayu. Siang nanti aku akan pulang untuk makan dengan kendo udang.”

Anak itu tidak menjawab, sementara Glagah Putih pun kemudian telah meninggalkan rumah itu menuju ke barak Pasukan Khusus.

Ketika Glagah Putih sampai di barak, maka oleh prajurit yang bertugas ia dipersilahkan menunggu di gardu utama, sementara prajurit itu telah memberitahukan kepada pemimpin Pasukan Khusus itu bahwa seseorang telah mencarinya.

“Siapa namanya?” bertanya Agung Sedayu.

“Glagah Putih,” jawab prajaurit itu.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Bawa anak itu kemari.”

Glagah Putih yang kemudian dipersilahkan masuk ke barak induk Pasukan Khusus itu telah terkejut ketika ia melihat Ki Lurah Branjangan ada di tempat itu pula.

“Ki Lurah,” desis Glagah Putih yang keheranan.

Ki Lurah tersenyum. Katanya, “Kemarin menjelang senja aku sampai di sini.”

“Tetapi Ki Lurah tidak mengatakan bahwa Ki Lurah juga akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh,” sahut Glagah Putih.

“Memang tidak,” jawab Ki Lurah, “tujuan kita memang berbeda.”

“Kenapa berbeda?” bertanya Glagah Putih.

“Aku memang mendapat tugas untuk mendampingi Agung Sedayu di sini,” jawab Ki Lurah.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun ia berkata, “Apa salahnya jika kita pergi bersama-sama?”

“Sekali-sekali aku ingin menempuh perjalanan seorang diri,” jawab Ki Lurah.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam, sementara Agung Sedayu sambil tersenyum berdesis, “Ki Lurah ingin tahu, apakah kau benar-benar bertanggung jawab jika kau diserahi melindungi seorang gadis remaja.” Glagah Putih mengerutkan keningnya. Tetapi pengalamannya telah membuatnya bertambah dewasa, sehingga ia tidak lagi menyembunyikan wajahnya. Tetapi ia justru menjawab, “Seandainya aku tidak bertanggung jawab, kedatangan Ki Lurah Branjangan sudah terlambat.”

“Ki Lurah datang kemarin,” desis Agung Sedayu.

“Jika aku tidak bertanggung jawab, segalanya dapat terjadi dimana saja. Orang-orang yang berniat buruk itu seakan-akan telah menunggu, di setiap sudut Tanah ini,” jawab Glagah Putih. Lalu katanya, “Waktu yang kami perlukan menempuh perjalanan dari Mataram ke Tanah Perdikan ini ternyata cukup lama. Tetapi tidak sampai senja, sehingga Ki Lurah tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi menjelang senja, karena jika terjadi sesuatu di perjalanan, tentu sebelum senja itu turun.”

Ki Lurah tertawa. Katanya, “Tidak. Aku tidak ingin mengujimu. Aku mempercayaimu. Karena itu, maka aku biarkan kau berjalan sendiri bersama Rara Wulan, karena aku masih mempunyai beberapa pekerjaan yang harus aku selesaikan.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam, sementara Agung Sedayu berkata, “Kau nampak bersungguh-sungguh Glagah Putih?”

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia mencoba tersenyum sambil menundukkan kepalanya.

Karena Glagah Putih tidak menjawab, maka Ki Lurah pun kemudian berkata, “Sebelum aku berangkat, aku telah bertemu dengan Ki Wirayuda.”

Glagah Putih tiba-tiba telah benar-benar menjadi bersungguh-sungguh. Dengan nada datar iapun bertanya, “Apakah ada pesan dari Ki Wirayuda?”

“Secara khusus tidak,” jawab Ki Lurah, “bahkan para prajurit sandi masih belum mendapatkan keterangan baru, selain keterangan terakhir bahwa kelompok yang mengaku bernama Gajah Liwung itu berasal dari Pegunungan Kendeng.”

“Aku juga sudah mendengar,” desis Glagah Putih, “mudah-mudahan Ki Wirayuda segera mendapatkan keterangan yang lebih lengkap.”

“Orang-orang yang tertangkap dari bukit kecil di sebelah hutan itu sulit untuk disadap keterangannya,” berkata Ki Lurah kemudian, “tetapi para petugas sandi berusaha untuk menangkap celah-celah keterangan mereka yang dapat dipergunakan untuk menelusuri keterangan lebih jauh lagi. Satu hal yang perlu kau ketahui, bahwa tingkat kenakalan anak-anak muda itu menjadi semakin meningkat.”

“Bukan semata-mata kenakalan anak-anak muda, Ki Lurah. Persoalannya memang diawali dari kenakalan anak-anak muda. Tetapi yang sangat meresahkan Mataram justru kelompok yang memanfaatkan keadaan. Kelompok Macan Putih tidak dapat disamakan dengan kelompok pendatang yang menyebut kelompoknya dengan nama Gajah Liwung itu. Landasan bergerak mereka berbeda, meskipun wujudnya menjadi hampir sama,” berkata Glagah Putih.

“Kau benar Glagah Putih,” sahut Ki Lurah Branjangan, “persoalan yang timbul karena sikap dan tingkah laku anak-anak Macan Putih memang harus mendapat penanganan yang berbeda dengan kelompok Gajah Liwung yang datang dari Gunung Kendeng itu.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Apalagi bahwa kelompok itu dengan sengaja telah menyebut diri mereka kelompok Gajah Liwung pula.”

“Tetapi bukankah Ki Wirayuda berharap agar kalian dalam waktu sepekan tidak melakukan kegiatan apa-apa, untuk memberi kesempatan kepada para petugas sandi untuk mengetahui lebih banyak tentang kelompok Gajah Liwung itu?” desis Ki Lurah Branjangan.

Glagah Putih termangu-mangu. Tetapi iapun kemudian berdesis, “Seandainya kami mendapat kesempatan membantu para petugas sandi.”

“Itu tidak mungkin, karena para petugas sandi tidak mengenal kalian,” berkata Ki Lurah, “apalagi jika para petugas sandi mengenal kalian sebagai anggota kelompok Gajah Liwung, maka persoalannya akan berkisar.”

“Sudahlah,” Agung Sedayu-lah yang memotong pembicaraan itu, “aku akan memanggil beberapa orang pembantuku di sini. Aku ingin memperkenalkan Glagah Putih kepada mereka.”

“Baiklah,” sahut Ki Lurah Branjangan, “mungkin Glagah Putih akan sering berhubungan dengan mereka.”

“Mudah-mudahan mereka tidak berhubungan dengan para petugas sandi di Mataram,” desis Glagah Putih.

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Tidak. Mereka tidak akan berhubungan dengan para petugas sandi, khususnya terkait dengan persoalan yang sedang kau hadapi.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Meskipun agak ragu iapun menyahut, “Baiklah. Mudah-mudahan tidak akan mengganggu permainanku di Mataram.”

“Tidak. Tentu tidak,” jawab Agung Sedayu, yang kemudian telah memanggil beberapa orang pembantunya. Pada umumnya mereka masih muda, meskipun tidak semuda Glagah Putih.

“Mereka orang-orang baru,” desis Ki Lurah. “Maksudku baru pada jabatannya. Tetapi pada umumnya mereka sudah beberapa lama berada di barak ini.”

Ketika para pemimpin pasukan khusus Mataram di Tanah Perdikan itu berdatangan, maka Glagah Putih dan Ki Lurah Branjangan telah bergeser untuk memberi tempat kepada mereka. Semuanya lima orang. Dan ternyata dua di antara mereka adalah orang dari Tanah Perdikan Menoreh itu.

“Keduanya telah memasuki dunia keprajuritan sejak Pasukan Khusus ini dibentuk,” berkata Ki Lurah Branjangan, “ketika itu, aku mengambil anak-anak muda dari beberapa daerah. Antara lain dari Tanah Perdikan Menoreh ini dan dari Pegunungan Kidul, selain dari Mataram sendiri.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia belum sempat hadir di Tanah Perdikan itu ketika Pasukan Khusus itu dibentuk.

“Nah,” berkata Agung Sedayu, “kau harus mengenal para pembantuku. Pasukan khusus ini dengan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh harus dapat bekerja sama dengan baik. Prastawa telah mengenal para pemimpin dari pasukan khusus ini.”

Glagah Putih mengangguk dalam-dalam. Katanya, “Aku berterima kasih mendapat kesempatan untuk berkenalan dengan para pemimpin dari pasukan khusus ini, yang sebagian memang sudah aku kenal meskipun belum terlalu dekat.”

“Kau akan berperan dalam pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh,” berkata Agung Sedayu, “aku tidak mempunyai terlalu banyak waktu sekarang, meskipun aku tidak dapat melepaskan pasukan pengawal itu dengan serta merta. Apalagi bahwa di daerah ini kekuasaan tertinggi tetap berada di tangan Ki Gede sebagai satu-satunya orang yang memegang tunggul kepemimpinan.” Agung Sedayu berhenti sejenak, lalu katanya, “Karena itu, maka perkenalanmu dengan para pemimpin pasukan khusus ini akan mempunyai arti penting di masa mendatang.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Ya Kakang. Aku menyadari akan hal itu.”

“Karena itu aku minta kau datang, karena waktu wisuda yang dihadiri oleh Pangeran Mangkubumi dan Ki Patih Mandaraka, kau tidak sempat datang, meskipun aku dapat mengerti alasanmu,” berkata Agung Sedayu.

Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Ia memang agak menyesal bahwa ia tidak dapat mengikuti wisuda waktu itu. Tetapi waktu itu ia benar-benar tidak dapat meninggalkan kawan-kawannya yang jumlahnya memang hanya sedikit itu.

Untuk beberapa lama Glagah Putih berada di barak pasukan khusus itu. Bahkan kemudian Glagah Putih telah diajak oleh Agung Sedayu untuk melihat-lihat keadaan barak itu. Sebuah sanggar terbuka yang luas. Namun di dalam lingkungan barak itu telah dibangun pula beberapa buah barak tertutup.

Glagah Putih pun sempat berkenalan dengan beberapa orang pemimpin kelompok dari pasukan khusus itu.

Ketika matahari kemudian mencapai puncaknya, maka Agung Sedayu telah minta agar Glagah Putih tidak tergesa-gesa kembali. Katanya, “Kau harus mencicipi makanan di barak ini. Aku ingin mengajakmu makan siang di sini nanti.”

Glagah Putih tidak dapat menolak. Lewat tengah hari Glagah Putih sempat makan di barak itu. Sementara mereka makan, maka Agung Sedayu pun berkata, “Aku sudah minta ijin kepada para pemimpin di sini untuk meninggalkan barak beberapa hari. Aku ingin menghadap Guru. Sejak aku kembali dari Madiun, aku belum sempat menghadap. Aku juga ingin melaporkan bahwa aku sekarang terikat di barak Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan ini.”

“Apakah Kakang Swandaru belum memberitahukannya?” desis Glagah Putih.

“Mungkin sudah. Tetapi akan lebih mantap jika aku sendiri datang menemui Guru dan memberitahukan kemurahan hati Panembahan Senapati itu, langsung kepada Guru,” jawab Agung Sedayu.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara Agung Sedayu berkata, “Itu pula-lah sebabnya, kenapa Ki Lurah aku minta untuk berada di sini. Selain tugasnya untuk mendampingi aku, maka dalam dua tiga hari ini, Ki Lurah akan menjalankan tugasku di sini.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun iapun bertanya, “Kapan Kakang akan berangkat ke Jati Anom?”

“Kapan kau kembali ke Mataram?” justru Agung Sedayu-lah yang bertanya.

“Dalam sepekan ini,” jawab Glagah Putih.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Kita akan bersama-sama.”

Wajah Glagah Putih menjadi cerah. Meskipun ia sudah tumbuh dewasa dan memiliki ilmu yang tinggi, namun menempuh perjalanan bersama Agung Sedayu akan dapat memberikan kegembiraan kepadanya.

Karena perjalanan itu masih beberapa hari lagi, maka mereka tidak membicarakannya lagi. Sementara itu, Glagah Putih pun telah merasa cukup lama berada di barak, sehingga iapun kemudian telah minta diri untuk kembali pulang.

“Baiklah,” berkata Agung Sedayu, “kau harus sering datang ke barak ini. Bukan karena kau adikku, tetapi karena kau salah seorang pemimpin pasukan pengawal di Tanah Perdikan ini. Datanglah bersama-sama dengan Prastawa. Sekali-sekali aku juga minta Ki Gede untuk mengunjungi barak ini.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Baik Kakang. Aku akan sering datang kemari.”

Demikianlah, Glagah Putih pun telah minta diri pula kepada Ki Lurah dan para pemimpin Pasukan Khusus, untuk meninggalkan barak itu. Sementara itu Ki Lurah berpesan agar Glagah Putih memberitahukan kepada Rara Wulan, bahwa Ki Lurah berada di barak Pasukan Khusus.

Sejenak kemudian maka Glapah Putih telah berada di perjalanan kembali ke padukuhan induk. Tetapi ia sempat berhenti di beberapa tempat untuk berbicara dengan anak-anak muda di Tanah Perdikan itu.

Pada umumnya anak-anak muda di Tanah Perdikan itu merasa bersyukur bahwa Agung Sedayu sempat menjadi seorang prajurit. Dengan kedudukannya, maka Agung Sedayu tentu akan dapat berbuat lebih banyak bagi Tanah Perdikan. Ia akan dapat membantu memberikan kesempatan kepada anak-anak muda Tanah Perdikan untuk mengabdikan diri dalam lingkungan keprajuritan.

Glagah Putih tersenyum sambil berkata, “Mungkin saja. Tetapi Kakang Agung Sedayu tentu tidak dapat meninggalkan paugeran untuk menerima seorang prajurit di dalam lingkungannya.”

Anak muda itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Tentu saja. Tetapi setidak-tidaknya kita akan mendapatkan kesempatan pertama. Jika ada dua orang memenuhi syarat, sedangkan seorang dari Tanah Perdikan ini, maka kita dapat berharap bahwa Agung Sedayu akan memilih dari antara kita.”

“Ya, tentu,” jawab Glagah Putih.

“Apakah kau juga akan menjadi seorang prajurit?” bertanya seorang anak muda.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menjawab, “Aku belum tahu.”

Demikianlah, berbagai macam pertanyaan telah dilontarkan kepadanya sepanjang perjalanannya menuju ke padukuhan induk.

Ketika ia sampai di rumahnya, maka ia melihat Rara Wulan yang masih letih sedang berjalan-jalan di kebun belakang. Ia masih mengenakan pakaian yang dipergunakan untuk berlatih di sanggar.

“Apakah kau baru saja selesai?” bertanya Glagah Putih.

“Ya,” jawab Rara Wulan.

“Dimana Mbokayu Sekar Mirah?” bertanya Glagah Putih kemudian.

“Baru berbenah diri. Aku sedang mengeringkan keringatku,” jawab Rara Wulan.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian duduk pula di atas sebuah dingklik bambu di kebun belakang sambil bertanya, “Apakah kau mencapai kemajuan hari ini?”

“Aku baru mengulang unsur gerak yang aku pahami,” jawab Rara Wulan.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Nampaknya Rara Wulan akan dituntun untuk berangkat justru dari unsur gerak yang paling dikuasai dan yang paling berarti baginya.

Tetapi Glagah Putih tidak mengatakannya. Segala sesuatunya terserah kepada Sekar Mirah.

Namun sejenak kemudian, maka Sekar Mirah pun telah memanggil Rara Wulan. Katanya, “Mandilah. Kita akan beristirahat. Nanti menjelang senja kita akan mulai lagi.”

Rara Wulan pun kemudian telah menyiapkan pakaiannya dan langsung pergi ke pakiwan.

Dalam pada itu, selagi Rara Wulan mandi, maka Sekar Mirah telah memanggil Glagah Putih. Nampaknya ada sesuatu yang penting yang ingin disampaikan kepadanya oleh Sekar Mirah.

Ketika keduanya sudah duduk di ruang dalam, maka Sekar Mirah pun berkata, “Aku mendapat pesan dari Ki Jayaraga.”

“Dimana Guru sekarang?” bertanya Glagah Putih.

“Itulah yang ingin aku katakan,” jawab Sekar Mirah.

Glagah Putih termangu-mangu. Sementara Sekar Mirah berkata lebih lanjut, “Ki Jayaraga telah pergi ke Gunung Kendeng.”

“Ke Gunung Kendeng?” Glagah Putih terkejut, “Guru akan menempuh perjalanan sejauh itu?”

“Ki Jayaraga telah membawa seekor kuda. Perjalanannya tidak akan terlalu lama. Dalam tiga empat hari ini Ki Jayaraga tentu sudah kembali. Sebelum kau kembali ke Mataram. Ki Jayayaga ingin menemui orang yang pernah dikenalnya di Pegunungan Kendeng. Tentu saja dalam hubungannya dengan beberapa orang yang berada di Mataram dan diduga berasal dari Pegunungan Kendeng. Tentu orang-orang yang berada di Mataram itu sendiri-lah yang mengaku berasal dari Pegunungan Kendeng itu,” jawab Sekar Mirah.

Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Segalanya masih belum jelas. Dan gurunya telah pergi ke Pegunungan Kendeng.

Namun Sekar Mirah seakan-akan dapat membaca perasaannya. Karena itu maka katanya, “Ki Jagabaya menyadari, bahwa orang-orang Mataram masih belum yakin akan kebenaran pengakuan itu. Tetapi kepergian Ki Jayaraga itu benar-benar atas keinginannya sendiri, terpisah dari penyelidikan yang sedang dilakukan oleh para prajurit sandi. Ki Jayaraga ingin meyakinkan apakah benar ada orang-orang dari Pegunungan Kendeng yang dengan sengaja ingin membuat keributan di Mataram.”

“Apakah ada hubungan antara Guru dengan Pegunungan Kendeng?” bertanya Glagah Putih.

Pertanyaan itu ternyata telah membuat Sekar Mirah termangu-mangu. Namun akhirnya ia menjawab sambil menggeleng, “Aku tidak tahu Glagah Putih. Tetapi menurut pesannya, Ki Jayaraga akan menemui orang yang pernah dikenalnya, yang tinggal di daerah Pegunungan Kendeng.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak bertanya lebih lanjut.

Sementara itu maka Rara Wulan pun telah selesai berbenah diri, sehingga sejenak kemudian maka Rara Wulan pun telah ikut pula duduk di ruang dalam.

Tetapi Sekar Mirah tidak lagi berbicara tentang Ki Jayaraga yang pergi ke Pegunungan Kendeng. Tetapi Glagah Putih-lah yang kemudian berkata, “Rara, ternyata Ki Lurah berada di barak Pasukan Khusus.”

“Kakek?” bertanya Rara Wulan.

“Ya,” jawab Glagah Putih.

“Kapan Kakek berada di barak itu?” bertanya Rara Wulan.

“Sejak kemarin menjelang senja,” jawab Glagah Putih.

“Kemarin?,” ulang Rara Wulan.

“Ya, kemarin,” jawab Glagah Putih.

Rara Wulan termangu-mangu. Seperti Glagah Putih, ia merasa heran bahwa Ki Lurah Branjangan tidak mengatakan kepadanya bahwa iapun akan pergi ke Tanah Perdikan. Dengan nada tinggi Rara Wulan itu bertanya, “Kenapa Kakek tidak pergi bersama-sama dengan kita?”

“Aku tidak tahu,” jawab Glagah Putih, “ketika aku tanyakan hal itu kepada Ki Lurah, maka Ki Lurah hanya menjawab bahwa Ki Lurah sekali-sekali ingin pergi sendiri.”

“Tentu Kakek mempunyai maksud tertentu,” desis Rara Wulan.

Tetapi Sekar Mirah tersenyum sambil berkata, “Ki Lurah nampaknya memang ingin menempuh perjalanan tanpa terganggu.”

Rara Wulan mengerutkan dahinya. Senyum Sekar Mirah nampaknya dengan sengaja ingin menggelitik perasaannya.

Namun Sekar Mirah kemudian bertanya, “Apakah Rara akan menemui Ki Lurah Branjangan?”

“Tidak,” jawab Rara Wulan, “Kakek dengan sengaja ingin pergi ke Tanah Perdikan tanpa orang lain.”

Sekar Mirah masih saja tersenyum. Namun kemudian Sekar Mirah itu pun mempersilahkan, “Kita akan makan lebih dahulu bersama Glagah Putih.”

“Aku sudah makan di barak,” sahut Glagah Putih.

Karena itu maka ketika Sekar Mirah dan Rara Wulan makan siang, Glagah Putih justru telah pergi keluar rumah mencari pembantu rumah itu.

Demikianlah, maka di hari-hari berikutnya Rara Wulan telah sibuk bersama Sekar Mirah di sanggar. Bahkan sekali-sekali Agung Sedayu dan Glagah Putih telah ikut pula menunggui dan memperhatikan kemajuan yang dicapai Rara Wulan selama beberapa hari berada di Tanah Perdikan.

Agung Sedayu yang ikut serta membantu Sekar Mirah memberikan jalan pintas agar Rara Wulan mampu mengembangkan ilmunya, telah berpesan kepada Glagah Putih agar ia dapat memberikan bimbingan kepada Rara Wulan untuk selanjutnya.

“Selama kau berada di Mataram, maka kau akan dapat memberikan tuntunan. Meskipun mungkin hanya langkah-langkah kecil, tetapi itu tentu akan lebih baik daripada tidak sama sekali,” berkata Agung Sedayu.

Glagah Putih hanya mengangguk kecil. Namun Sekar Mirahlah yang berkata, “Tetapi juga tergantung kepada Rara Wulan. Jika Rara Wulan tidak berkeberatan, maka tentu akan dapat dilakukan dengan baik.”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Tentu Rara Wulan bersedia. Nampaknya Rara Wulan benar-benar ingin meningkatkan ilmunya. Cara satu-satunya adalah berlatih.”

Rara Wulan sendiri tidak menjawab. Tetapi kepalanya tertunduk dalam-dalam, sementara Glagah Putih pun hanya berdiam diri saja.

Agung Sedayu-lah yang kemudian berkata, “Baiklah. Kita serahkan saja hal itu kepada Glagah Putih dan Rara Wulan sendiri. Namun yang penting, Rara Wulan dalam waktu yang singkat ini telah mampu membuka kemungkinan-kemungkinan baru bagi perkembangan beberapa jenis unsur-unsurnya. Jika hal ini mendapat penanganan yang terus-menerus, maka kemungkinan-kemungkinan kemampuan olah kanuragan bagi Rara akan semakin meningkat.”

Rara Wulan masih saja menunduk, sementara Glagah Putih hanya mengangguk-angguk kecil saja.

Tetapi baik Sekar Mirah maupun Agung Sedayu mengakui, bahwa di dalam diri Rara Wulan memang tersimpan kemungkinan yang luas bagi perkembangan ilmu kanuragan.

Sementara Rara Wulan mencoba untuk mengenali ilmunya semakin mendalam, maka Glagah Putih dalam waktu yang pendek itu sempat berada di antara anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh. Seperti pesan Agung Sedayu, maka Glagah Putih telah datang ke barak bersama Prastawa, sehingga dengan demikian maka hubungan antara para prajurit dari Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh dengan para pengawal menjadi semakin akrab.

Namun Glagah Putih hanya berada di Tanah Perdikan untuk sepekan. Karena itu, maka tidak banyak yang dapat dilakukannya. Kepada anak-anak muda Tanah Perdikan ia berjanji, bahwa jika tugas-tugasnya di Mataram selesai, maka ia akan segera kembali lagi berada di antara para pengawal.

Di hari-hari terakhir Glagah Putih berada di Tanah Perdikan, anak muda itu digelisahkan oleh kepergian Ki Jayaraga, yang berjanji akan kembali sebelum Glagah Putih meninggalkan Tanah Perdikan itu.

Namun ternyata sampai hari kelima, Ki Jayaraga masih belum datang.

“Tidak apa-apa,” berkata Agung Sedayu, “jika Ki Jayaraga terlambat, maka ia akan menyusulmu ke Mataram.”

“Tetapi apakah Ki Jayaraga dapat mencari tempat tinggal kami? Jika Ki Lurah ada di rumah, maka Ki Jayaraga akan dapat berada di rumah Ki Lurah,” berkata Glagah Putih.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi iapun berkata, “Kau dapat menunjukkan salah satu tempat yang sering kau pergunakan. Ki Jayaraga tentu akan dapat mencarinya.”

Glagah Putih memang agak ragu-ragu. Tetapi Agung Sedayu berkata, “Ki Jayaraga bukan anak-anak lagi. Karena itu, ia akan berhati-hati.”

Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Baiklah Kakang. Aku akan menunggu kehadiran guru di Mataram.”

Glagah Putih pun kemudian telah memberikan ancar-ancar dimana kelompoknya tinggal.

“Aku menunggu,” berkata Glagah Putih.

“Kau harus memberikan pesan kepada Mbokayumu. Bukankah kita akan pergi bersama-sama?” berkata Agung Sedayu.

“O ya,” jawab Glagah Putih, “Mbokayu akan menyampaikannya kepada Guru.”

“Ya. Aku akan menyampaikannya kepada Ki Jayaraga. Ia tentu tidak akan berkeberatan untuk menyusulmu ke Mataram,” berkata Sekar Mirah.

Malam terakhir Glagah Putih di Tanah Perdikan, telah dipergunakannya untuk menghadap Ki Gede dan bertemu dengan para pemimpin kelompok pengawal Tanah Perdikan. Glagah Putih telah minta diri untuk kembali ke Mataram.

“Tugasku masih belum selesai,” berkata Glagah Putih kepada para pengawal.

Di malam terakhir itu, ternyata Ki Jayaraga masih juga belum datang, sehingga Glagah Putih benar-benar harus meninggalkannya. Di keesokan harinya Glagah Putih akan kembali ke Mataram, bersama-sama dengan Agung Sedayu yang akan pergi ke Jati Anom.

Malam itu, terakhir kalinya Rara Wulan berada di sanggar di rumah Agung Sedayu. Sementara Rara Wulan berlatih serta mendapat penilaian terakhir dari Sekar Mirah, Agung Sedayu dan Glagah Putih telah berada di sanggar itu pula. Dengan singkat Agung Sedayu justru menunjukkan kepada Glagah Putih bagian-bagian yang harus diperhatikannya

Ternyata di malam terakhir itu Rara Wulan justru sampai lewat tengah malam berada di sanggar. Glagah Putih yang menunggu bagian-bagian terakhir latihan Rara Wulan, telah melihat apa yang harus dibenahi. Juga atas petunjuk Agung Sedayu, Glagah Putih melihat kemungkinan-kemungkinan yang terbuka bagi Rara Wulan untuk dengan jalan pintas meningkatkan kemampuannya, tanpa merugikan susunan kewadagannya.

Baru menjelang dini hari, latihan itu dihentikan oleh Sekar Mirah. Dengan nada rendah Sekar Mirahpun berkata, “Besok Rara akan menempuh perjalanan. Sebaiknya meskipun hanya sebentar Rara beristirahat.”

“Bukankah besok kita tidak berangkat terlalu pagi?” bertanya Rara Wulan.

“Memang tidak Rara,” Agung Sedayu-lah yang menyahut, “besok pagi-pagi aku masih akan pergi ke barak sebentar, kemudian bertemu dengan Ki Gede.”

“Nah, jika demikian, kita dapat berlatih terus sampai pagi,” berkata Rara Wulan.

Sekar Mirah tersenyum. Katanya, “Sudahlah. Aku kira yang kita lakukan sudah cukup. Kita semua harus beristirahat.”

Rara Wulan tidak menjawab. Sementara Sekar Mirah berkata, “Nah, Rara aku persilahkan untuk membersihkan diri, kemudian tidur barang sejenak.”

“Kau juga,” berkata Agung Sedayu kepada Glagah Putih, “kau besok juga masih harus minta diri kepada seisi Tanah Perdikan ini, serta Ki Gede.”

“Malam ini aku sudah menghadap,” jawab Glagah Putih. “Kemudian aku juga sudah bertemu dengan para pemimpin pengawal, sebelum aku menyusul masuk ke sanggar. Aku sudah minta diri kepada mereka.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi katanya, “Meskipun demikian kau juga harus beristirahat barang sebentar. Besok kita akan menempuh perjalanan. Meskipun tidak terlalu jauh, tetapi setelah berada di Mataram kau tentu tidak akan sempat beristirahat. Kau tentu segera akan sibuk.”

Glagah Putih mengangguk. Hampir saja ia mengatakan bahwa Agung Sedayu juga akan pergi ke Jati Anom. Tetapi niat itu diurungkannya.

Demikianlah, maka sejenak kemudian mereka yang berada di sanggar itu telah membenahi diri dan berada di pembaringan. Rara Wulan yang letih segera tertidur pula. Demikian pula Agung Sedayu dan Sekar Mirah.

Namun mereka hanya sempat beristirahat sebentar. Seperti biasa, menjelang matahari terbit Agung Sedayu telah bangun untuk melakukan kerja hariannya di rumah. Namun ternyata bahwa Glagah Putih pun telah menimba air mengisi jambangan di pakiwan.

Ketika matahari terbit, maka Glagah Putih dan Rara Wulan telah selesai berbenah diri. Tetapi Agung Sedayu justru masih harus pergi ke barak dan menghadap Ki Gede.

Tetapi mereka memang tidak tergesa-gesa. Mereka masih mempunyai banyak waktu.

Ketika matahari sepenggalah, maka Agung Sedayu pun telah kembali. Iapun segera bersiap-siap untuk berangkat ke Jati Anom bersama-sama dengan Glagah Putih dan Rara Wulan.

Namun dalam pada itu, Agung Sedayu sempat berbisik di telinga Glagah Putih, “Ki Lurah Branjangan membawa sedikit pesan untukmu. Tetapi hanya untukmu.”

“Pesan apa?” bertanya Glagah Putih, “Ki Lurah tidak mengatakan apa-apa kepadaku.”

“Pesan itu disampaikan lewat aku,” desis Agung Sedayu.

“Pesan apa?” bertanya Glagah Putih mendesak.

“Orang tua Rara Wulan ternyata mempunyai sikap lain terhadap anak gadisnya,” berkata Agung Sedayu, “bahkan mereka telah menuntut agar Ki Lurah tidak terlalu memanjakan Rara Wulan.”

“Apakah Ki Lurah terlalu memanjakan gadis itu?” bertanya Glagah Putih.

“Ternyata kesan yang ada pada orang tuanya adalah demikian,” jawab Agung Sedayu. Lalu katanya pula, “Sementara itu Ki Lurah Branjangan, sebagaimana sifat dan kebijaksanaannya, sama sekali tidak menyangkal bahwa ia telah memanjakan cucu perempuannya. Bahkan Ki Lurah telah mengatakan kepada orang tua Rara Wulan bahwa gadis itu akan dibawanya ke Tanah Perdikan. Kepada orang tua Rara Wulan, Ki Lurah berkata, ‘Meskipun aku bukan prajurit lagi, tetapi aku masih mendapat kepercayaan untuk mendampingi pimpinan Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan.'”

“Apakah orang tuanya kemudian hanya berdiam diri saja atas sikap Ki Lurah?” bertanya Glagah Putih.

“Untuk sementara mereka tidak berbuat apa-apa. Tetapi orang tua Rara Wulan telah mengatakan bahwa Rara Wulan sudah menginjak dewasa. Orang tuanya mulai memikirkan hari depan gadis itu. Sebagai anak seorang yang dihormati, maka kedua orang tuanya berharap bahwa Rara Wulan pun akan mendapatkan seorang suami yang dihormati pula.”

Wajah Glagah Putih tiba-tiba menjadi tegang. Agung Sedayu sempat melihat sekilas. Tetapi Agung Sedayu tidak menunjukkan tanggapannya. Bahkan Agung Sedayu seakan-akan tidak menghiraukan sikap Glagah Putih itu. Namun sebenarnyalah sikap Glagah Putih itu memberikan kesan tersendiri kepada Agung Sedayu.

Tetapi Agung Sedayu tidak berbicara lagi. Iapun segera minta agar Glagah Putih bersiap untuk berangkat. Demikian pula Rara Wulan yang masih membenahi dirinya di dalam biliknya.

Demikianlah, maka ketiga orang itu pun kemudian telah bersiap di pendapa. Kuda-kuda mereka pun telah siap pula. sementara Sekar Mirah mengantar mereka sampai ke tangga pendapa.

“Mbokayu akan tinggal di rumah seorang diri?” desis Rara Wulan.

“Tidak,” jawab Sekar Mirah sambil tersenyum, “aku masih mempunyai seorang kawan.” Rara Wulan pun kemudian mengikuti pandangan mata Sekar Mirah. Ternyata pembantu di rumah itu berdiri termangu-mangu di dekat regol halaman.

Rara Wulan mengangguk-angguk. Namun Sekar Mirah pun berkata pula, “Kakang Agung Sedayu akan segera pulang. Tidak lebih dari tiga hari. Bahkan mungkin hari ini Ki Jayaraga sudah kembali, karena ia tahu bahwa hari ini kalian kembali ke Mataram.”

Rara Wulan mengangguk. Sekali lagi ia minta diri. Kemudian bertiga mereka pun telah meninggalkan halaman rumah Agung Sedayu.

Glagah Putih masih sempat minta diri kepada pembantu rumahnya sambil berkata, “Pliridanmu menjadi semakin baik.”

Anak itu mengangguk. Tetapi ia tidak menjawab.

Sejenak kemudian mereka bertiga telah berpacu di jalan-jalan bulak Tanah Perdikan. Tidak begitu cepat. Namun kuda-kuda mereka adalah kuda-kuda yang tegar, terutama kuda Glagah Putih.

Sementara itu Agung Sedayu masih sempat bertanya kepada Rara Wulan, “Apakah Rara tidak singgah sebentar untuk bertemu dengan kakek Rara?”

“Tidak. Kakek dengan sengaja membiarkan aku menempuh perjalanan sendiri,” jawab Rara Wulan. Tetapi iapun bertanya, “Tetapi kapan Kakek pulang?”

“Seharusnya Ki Lurah berada di barak itu untuk beberapa bulan. Tetapi Ki Lurah seperti biasanya tentu akan hilir mudik ke Mataram,” jawab Agung Sedayu.

“Biar Kakek mencari aku. Tetapi aku tidak akan pulang ke rumah,” berkata Rara Wulan.

“Tetapi sebenarnyalah orang tuamu mulai menjadi cemas, Rara,” berkata Agung Sedayu kemudian, “apalagi Rara menjadi semakin dewasa.”

“Jika aku dewasa kenapa?” bertanya Rara Wulan.

“Rara tahu, kemana perginya seorang gadis yang telah dewasa?” bertanya Agung Sedayu.

Tetapi di luar dugaan Agung Sedayu, Rara Wulan menjawab sebagaimana jawaban seorang gadis yang benar-benar telah dewasa, “Kawin. Bukankah maksud Kakang demikian?”

“Ya Rara. Nampaknya orang tua Rara juga berpikir demikian,” jawab Agung Sedayu.

“Bukankah itu terserah kepadaku sendiri?” bertanya Rara Wulan.

“Tetapi Rara seorang gadis. Bukan seorang laki-laki. Bahkan seorang laki-laki pun kadang-kadang tidak dapat menentukan pilihannya sendiri,” berkata Agung Sedayu pula.

“Kakang ingin mengatakan bahwa seorang gadis tidak mempunyai wewenang untuk memilih. Bukan begitu? Aku sadar Kakang. Dunia seorang gadis memang seperti dunia petamanan di halaman. Jika ada orang yang tertarik memandangnya, maka ia akan masuk dan melihat-lihat. Jika ia berkenan, maka ia akan memetik sekuntum bunga. Jika bunga itu mulai nampak layu, maka bunga itu akan dicampakkannya, karena ia ingin memilih bunga yang lain. Atau bahkan dua tiga kuntum sekaligus. Dan sebagaimana Kakang lihat, seorang gadis tidak wenang untuk menolak jika orang tuanya sudah menerima pinangan seorang laki-laki,” berkata Rara Wulan. Lalu katanya, “Hal seperti itu tentu juga berlaku atasku Kakang. Tetapi justru karena itu aku telah memberontak sejak awal.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak tahu apakah Rara Wulan tidak akan mengalami benturan dengan kehendak orang tuanya.

Agung Sedayu sendiri tidak pernah merasa mendapat tekanan saat ia memilih seorang istri. Demikian pula Sekar Mirah. Tetapi Agung Sedayu tidak dapat ingkar melihat kenyataan yang berlaku. Seorang gadis memang tidak mempunyai wewenang untuk memilih bakal suaminya. Penyimpangan dari kebiasaan itu memang dapat dianggap sebagai satu pemberontakan. Namun agaknya Rara Wulan telah melakukannya dengan sadar. Apalagi agaknya Rara Wulan mempunyai sandaran yang cukup kuat. Kakeknya, Ki Lurah Branjangan.

Agung Sedayu kemudian tidak bertanya lagi. Rara Wulan memang sedang melakukan pemberontakan terhadap keluarganya. Bahkan sedang merajuk pula, karena Ki Lurah tidak memberitahukan kepadanya bahwa Ki Lurah juga akan pergi ke Tanah Perdikan pada hari yang sama.

Demikianlah, maka Glagah Putih justru tidak dapat ikut campur dalam pembicaraan itu. Baru kemudian ketika pembicaraan mereka beralih tentang sawah dan pategalan, maka Glagah Putih baru dapat ikut berbicara.

“Hutan di lereng pegunungan itu memang kita pertahankan,” berkata Glagah Putih ketika mereka mulai berbicara tentang hutan.

Tetapi jawaban Rara Wulan tidak diduga-duga, “Aku sudah tahu. Hutan itu diperlukan untuk menahan air dan tanah, agar tidak terjadi banjir dan tanah longsor. Agar air dapat tertahan dan meresap ke dalam tanah, sehingga tidak terjadi kekeringan di musim kemarau dan banjir di musim hujan.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun bukan kanak-kanak lagi. Karena itu, maka katanya, “Habislah sudah bahan pembicaraanku.”

Rara Wulan justru bersungut-sungut. Tetapi kemudian iapun tersenyum sambil berkata, “Maaf. Aku sedang marah terhadap keluargaku. Juga kepada Kakek. Tidak kepadamu.”

“Tetapi karena yang ada sekarang aku, maka aku telah mewakili sasaran kemarahan Rara,” desis Glagah Putih.

“Tidak. Bukankah aku sudah minta maaf?” jawab Rara Wulan. Agung Sedayu-lah yang kemudian tidak mencampuri pembicaraan itu. Tetapi iapun telah tersenyum mendengarnya.

Demikianlah, perjalanan mereka bertiga ternyata tidak mengalami kesulitan apapun juga. Mereka melintasi Kali Praga di atas rakit yang tidak terlalu banyak penumpangnya. Beberapa orang membawa gula kelapa di dalam bakul yang besar. Sedangkan beberapa orang yang lain mempergunakan keranjang-keranjang yang dipikul.

Beberapa saat kemudian, maka mereka bertiga sudah berderap di jalan ramai yang menuju ke Mataram.

Seperti ketika mereka berangkat, maka orang-orang yang sekilas melihat Rara Wulan berkuda, menganggap bahwa ia adalah seorang laki-laki yang masih remaja.

Ketika mereka bertiga mendekati kota, maka Agung Sedayu telah bertanya, “Kita akan pergi kemana? Ki Lurah Branjangan tidak ada dirumahnya.”

“Kakang akan singgah dimana?” justru Glagah Putih telah bertanya pula.

Jika perlu aku akan langsung ke Jati Anom. Waktu masih cukup lapang,” berkata Agung Sedayu.

“Apakah Kakang tidak singgah barang sebentar? Jika Kakang tidak berkeberatan, kami minta Kakang singgah di sarang kami, kelompok Gajah Liwung yang namanya baru dikacaukan itu,” bertanya Glagah Putih pula.

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Baiklah. Aku akan singgah sebentar. Tetapi apakah Rara juga akan langsung pergi ke tempat itu, atau pulang lebih dahulu?”

“Pulang kemana? Kakek tidak ada di rumah,” jawab Rara Wulan.

Agung Sedayu tidak bertanya lebih lanjut. Ia tahu bahwa Rara Wulan yang telah menyatakan pemberontakannya terhadap keluarganya itu, tentu tidak akan bersedia pulang ke rumah orang tuanya. Orang tuanya yang dianggapnya tidak pernah memberikan perhatian yang diperlukannya, sementara pada saat ia menginjak masa dewasanya, orang tuanya telah siap dengan keharusan-keharusan yang akan dijalaninya. Meskipun ia dapat bermanja-manja di masa kanak-kanaknya, namun semakin lama Rara Wulan merasa bahwa ia tidak mendapatkan apa yang dibutuhkannya dari orang tuanya.

Sejenak mereka saling berdiam diri.

Namun dalam pada itu, maka mereka telah mendekati rumah Suratama dan Naratama. Mereka bertiga telah memutuskan untuk langsung menuju ke rumah itu.

Ketika mereka sampai ke halaman, maka Sabungsari pun telah menyongsong mereka dan mempersilahkannya langsung masuk ke ruang dalam.

“Ternyata kau masih saja lebih senang di perjalanan dari pada menetap di satu tempat,” berkata Sabungsari kepada Agung Sedayu.

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Aku hanya akan pergi ke Jati Anom barang dua atau tiga hari. Aku sudah minta ijin kepada Ki Gede, dan menyerahkan pimpinan barak kepada Ki Lurah dan beberapa orang pemimpin yang lain.”

“Sebaiknya kau berada di sini,” berkata Sabungsari kemudian.

Tetapi Agung Sedayu menjawab, “Masa itu telah lewat bagiku. Tetapi dalam hal tertentu, aku juga tidak berkeberatan. Rasa-rasanya menarik juga untuk terlibat. Sayang bahwa aku sekarang dikendalikan oleh kedudukanku di Tanah Perdikan.”

Sabungsari tertawa. Katanya, “Cobalah memesan sebuah topeng. Dengan topeng maka tidak seorang pun yang dapat mengenalimu.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab.

Sementara itu, Rara Wulan-lah yang telah bertanya, “Apakah sudah ada perkembangan baru selama ini?”

“Memang agak sendat. Tetapia mereka yang ada di tangan prajurit sandi mengatakan bahwa mereka memang datang dari Pegunungan Kendeng. Tetapi mereka mengatakan, bahwa mereka sama sekali bukan datang dari sebuah perguruan. Mereka berasal dari kelompok-kelompok anak muda yang ada di kaki pegunungan itu. Namun para prajurit sandi tidak langsung mempercayainya,” jawab Sabungsari.

“Lalu apa artinya kelompok kita yang harus menghentikan semua kegiatan selama sepekan?” bertanya Rara Wulan.

“Dalam pekan ini para prajurit sandi telah bertindak lebih keras. Penangkapan-penangkapan telah dilakukan. Bukan hanya kelompok yang masih belum jelas itu. tetapi juga dari kelompok-kelompok yang lain, meskipun sebagian harus dilepaskan lagi,” jawab Sabungsari.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara Rara Wu lan berdesis, “Semakin lama maka kesan tentang nama Gajah Liwung akan semakin buruk.”

Tetapi Agung Sedayu sempat menyahut, “Bagaimanapun juga pesan Ki Wirayuda itu memang dapat dimengerti. Seandainya dalam pekan ini kalian melakukan sesuatu dan secara kebetulan tertangkap, maka akan banyak terungkap kerahasiaan kalian. Yang kemudian terkena apinya adalah para prajurit sandi sendiri, karena sudah merestui kehadiran kalian di antara kelompok-kelompok yang seharusnya justru harus dilenyapkan, setidak-tidaknya secara perlahan-lahan. Ki Wirayuda akan dituntut untuk mempertanggung-jawabkan dukungannya atas lahirnya kelompok Gajah Liwung. Apalagi jika dinilai kelompok Gajah Liwung justru telah melakukan banyak kesalahan.”

Rara Wulan ternyata dapat mengerti juga keterangan Agung Sedayu, sehingga karena itu maka iapun telah mengangguk-anggukkan kepalanya.

Sementara itu, ternyata bahwa Naratama sempat juga menyiapkan minuman untuk menjamu Agung Sedayu. Bahkan juga Glagah Putih dan Rara Wulan.

“Biasanya aku yang menyiapkannya,” berkata Rara Wulan, “sekarang karena aku baru datang, maka aku telah menjadi tamu di sini.”

Demikianlah, setelah mereka minum beberapa teguk, Agung Sedayu pun berkata, “Sebaiknya aku meneruskan perjalanan.”

“Kakang tidak bermalam di sini?” berkata Glagah Putih.

“Biarlah lain kali. Seperti yang aku katakan, bahwa aku sekarang telah dikendalikan oleh jabatanku di Tanah Perdikan. Kecuali itu, maka aku harus berhati-hati untuk melibatkan diri dalam permainan ini, meskipun sebenarnya aku ingin,” jawab Agung Sedayu.

Sabungsari tertawa pendek. Katanya, “Bukankah aku sudah mengusulkan pula agar kau memesan atau membeli topeng?”

“Lain kali aku akan membawa topeng,” jawab Agung Sedayu. Tiba-tiba saja ia teringat, bagaimana Kiai Gringsing pernah mempermainkannya. Saat itu Kiai Gringsing juga memakai sebuah topeng yang jelek untuk menutupi wajahnya.

Namun Agung Sedayu pun kemudian benar-benar telah minta diri. Namun ia berkata, “Mudah-mudahan aku mendapat serba sedikit keterangan dari Guru. Aku akan mencoba untuk tinggal barang sebentar besok jika aku kembali ke Tanah Perdikan, jika keadaan mengijinkan.”

Glagah Putih, Sabungsari, Rara Wulan dan yang lain yang ada di rumah itu tidak dapat lagi menahan Agung Sedayu, yang mempunyai alasan yang tidak terelakkan untuk meneruskan perjalanannya.

“Kakang menempuh perjalanan seorang diri ke Jati Anom?” bertanya Glagah Putih.

“Keadaan sudah menjadi semakin baik. Justru di Mataram dan sekitarnya sering terjadi keributan,” jawab Agung Sedayu.

Demikianlah, sejenak kemudian Agung Sedayu telah meninggalkan tempat itu, langsung menuju ke Jati Anom. Namun ia masih mengingatkan Glagah Putih, bahwa mungkin sekali Ki Jayaraga akan menyusulnya ke Mataram.

Sepeninggal Agung Sedayu, maka kelompok Gajah Liwung itu telah memutuskan menunda lebih lama lagi semua kegiatan mereka, untuk membantu memberi kesempatan kepada Ki Wirayuda bersama para petugas sandi untuk mencari jejak orang-orang yang mengaku dari kelompok Gajah Liwung.

“Lalu apa kerjaku selama ini?” bertanya Rara Wulan, “aku tidak dapat pulang ke rumah Kakek, karena Kakek tidak ada di rumah. Apakah aku harus tinggal di sini tanpa berbuat sesuatu?”

“Tidak Rara,” sahut Glagah Putih, “jika Rara tidak berkeberatan, maka Rara dapat mengisi waktu dengan latihan-latihan. Di sini ada beberapa orang yang akan dapat memberikan pengalaman bagi Rara, karena kami semuanya mempunyai latar belakang perguruan yang berbeda, sehingga sifat dan watak dari unsur-unsur gerak yang kami kuasai juga berbeda.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, “Kau benar. Aku akan mempergunakan waktuku untuk melakukan latihan-latihan. Aku mohon saudara-saudaraku di sini bersedia membantu aku.”

“Tentu,” jawab Sabungsari, “kami akan bergantian membantu Rara meningkatkan kemampuan Rara dan meningkatkan kemampuan kami masing-masing.”

Sebenarnyalah, setelah beristirahat sebentar, maka Rara Wulan telah minta kepada anggota Gajah Liwung itu untuk berganti-ganti melakukan latihan bersama-sama.

“Tidak usah sekarang Rara,” cegah Glagah Putih, “Rara perlu beristirahat.”

“Aku sudah beristirahat. Masih ada waktu sedikit sebelum senja turun,” berkata Rara Wulan.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun nampaknya Rara Wulan memang bersungguh-sungguh.

“Kau sajalah,” berkata Glagah Putih kepada Sabungsari.

Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Tetapi apakah di Tanah Perdikan Rara Wulan melakukan latihan-latihan?”

“Ya,” jawab Glagah Putih, “tetapi ia memang memerlukan pengalaman lebih banyak.”

Sabungsari mengangguk-angguk. Tetapi kelompok Gajah Liwung itu memang menganggap Rara Wulan sebagai saudara mereka yang bungsu, sehingga rasa-rasanya ada semacam kewajiban untuk memanjakannya.

Dengan demikian maka Sabungsari pun telah mengajak Rara Wulan ke halaman belakang yang tertutup oleh dinding batu yang agak tinggi.

Tiga orang anggota Gajah Liwung yang lain ikut menyaksikan latihan itu, termasuk Glagah Putih.

“Marilah,” berkata Sabungsari, “kita akan berlatih. Tetapi sekedarnya saja, karena kau tentu masih letih.”

“Aku tidak letih,” sahut Rara Wulan, “bukankah sudah aku katakan?”

Sabungsari tersenyum. Gadis itu memang keras hati.

Demikianlah, sejenak kemudian Sabungsari dan Rara Wulan telah mulai dengan latihan yang ringan. Tetapi semakin lama Rara Wulan-lah yang justru semakin cepat bergerak. Dengan tangkas Rara Wulan berloncatan menyambar-nyambar.

Sabungsari yang harus menghindari serangan-serangan Rara Wulan segera melihat, bahwa di beberapa bagian dari unsur gerak gadis itu, telah terjadi perkembangan. Seperti pintu yang meskipun belum berubah, tetapi telah terbuka, sehingga kemungkinan-kemungkinan yang luas telah terbentang di hadapannya.

“Jadi inilah hasil kepergian Rara Wulan ke Tanah Perdikan Menoreh,” berkata Sabungsari di dalam hatinya.

Sebenarnyalah Rara Wulan pun merasa sesuatu yang agak lain pada dirinya. Ia sudah pernah saling menjajagi kemampuan masing-masing dengan seluruh anggota Gajah Liwung. Namun setelah ia kembali dari Tanah Perdikan, maka rasa-rasanya ia akan mampu menyadap berbagai macam kemungkinan. Meskipun dengan demikian Rara Wulan justru merasa bahwa ilmunya masih terlalu rendah, tetapi ia melihat kemungkinan-kemungkinan yang lebih baik untuk dapat berkembang lebih cepat.

Dengan demikian, maka latihan itu pun berjalan semakin cepat. Sabungsari yang lebih banyak melayani, ternyata juga memberikan beberapa pancingan agar Rara Wulan mengambil satu sikap menghadapi keadaan yang barangkali belum dipikirkan sebelumnya.

“Bukan main,” berkata Sabungsari di dalam hatinya, “gadis ini benar-benar mampu memanfaatkan keadaan selama ia berada di Tanah Perdikan.”

Sabungsari yang tertarik dengan perkembangan Rara Wulan itu justru semakin tertarik untuk bermain-main. Tetapi ketika langit semakin hitam, maka halaman belakang sarang kelompok Gajah Liwung itu pun menjadi semakin gelap. Sabungsari yang justru mengagumi kesungguhan Rara Wulan, telah meloncat mengambil jarak sambil berkata, “Sudahlah Rara. Hari mulai gelap.”

Rara Wulan pun kemudian telah menghentikan latihannya pula. Setelah mengatur pernafasannya, maka Rara Wulan pun berdesis, “Bagaimana menurut pendapatmu?”

Sabungsari tersenyum. Dengan nada datar ia berkata, “Rara mendapat kemajuan.”

“Kemajuan apa?” bertanya Rara Wulan.

“Kemampuan olah kanuragan Rara,” jawab Sabungsari.

“Bagaimana mungkin dalam waktu sepekan ilmuku dapat meningkat?” desis Rara Wulan.

“Maksudku, ilmu Rara sendiri memang masih belum meningkat. Unsur-unsur gerak yang nampak, masih juga unsur-unsur gerak yang sudah Rara miliki. Tetapi kemampuan Rara seakan-akan menjadi terbuka. Kemungkinan-kemungkinan baru mulai nampak. Agaknya selama di Tanah Perdikan Rara telah menempa diri, sehingga dalam waktu singkat Rara telah mempersiapkan langkah panjang di hari kemudian. Dengan latihan-latihan yang tekun dan terus menerus, ilmu Rara akan berkembang. Meskipun masih pada landasan ilmu yang sama. tetapi kekuatan dan kedalamannya, sudah jauh berbeda. Sehingga Rara menjadi yakin akan tujuan setiap unsur gerak, kerena Rara sudah menguasai sifat dan wataknya. Bukan lagi sekedar melontarkan unsur gerak untuk sekedar melawan unsur gerak lawan. Rara sudah mulai memikirkan akibat dari setiap penggunaan unsur gerak, kemungkinan-kemungkinannya, dan kemudian memecahkan perlawanan lawan atas unsur gerak itu.”

“Darimana kau tahu?” bertanya Rara Wulan.

Sabungsari tertawa. Dengan tidak ragu-ragu Sabungsari menjawab, “Bukankah aku dapat melihat dan merasakan pada saat kita berlatih?”

Rara Wulan mengangguk kecil. Namun Sabungsari pun kemudian berkata, “Sudahlah. Aku persilahkan Rara pergi ke pakiwan apabila peluhnya sudah mulai mengering. Kami akan berada di pringgitan.”

Rara menganguk sambil menjawab, “Baiklah. Nanti aku akan menyusul.”

Demikianlah, ketika Galagah Putih dan Sabungsari telah berada di pringgitan bersama beberapa orang anggota Gajah Liwung yang lain, Sabungsari pun berkata, “Satu kemajuan yang pesat. Agaknya Rara Wulan telah mendapatkan tuntunan dengan cara yang tepat. Meskipun tidak langsung meningkatkan kemampuan ilmunya, tetapi hasilnya justru akan lebih berarti.”

“Mbokayu Sekar Mirah-lah yang telah memberikan tuntunan itu,” berkata Glagah Putih.

“Cara yang paling baik bagi Rara Wulan,” sahut Sabungsari.

Namun Rara Wulan memang telah puas bahwa latihan itu hanya diselenggarakan sekali saja dengan seseorang. Tetapi ketika ia berada di pringgitan dan minta salah seorang anggota Gajah Liwung yang lain mengadakan latihan malam itu, Sabungsari telah mencegahnya.

“Sudah cukup untuk hari ini Rara. Bagaimanapun juga Rara harus memperhatikan keterbatasan tubuh Rara. Betapapun jantung kita bergejolak, namun kita harus memperhitungkan keterbatasan itu, agar latihan-latihan yang kita lakukan tidak justru merugikan kita sendiri,” berkata Sabungsari.

“Tetapi aku sama sekali belum merasa letih,” berkata Rara Wulan.

“Mungkin karena gejolak yang menyala di dalam diri Rara, sehingga Rara tidak sempat memperhatikan kelelahan pada tubuh Rara,” jawab Sabungsari.

Rara Wulan mengangguk kecil. Ia menyadari bahwa Sabungsari yang memiliki ilmu yang tinggi dan pengalaman yang luas tentu memiliki pengamatan yang tajam atas latihan-latihan yang dilakukannya, serta kemampuan dan kekuatan wadagnya. Karena itu, maka Rara Wulan itu tidak memaksanya.

Namun di hari berikutnya, untuk mengisi waktunya Rara Wulan telah berlatih dengan tekun. Ia berlatih dengan ketujuh orang anggota Gajah Liwung berganti-ganti.

Dengan demikian, apa yang dilakukan Sekar Mirah telah memungkinkan ilmu gadis itu berkembang. Berbagai macam latar belakang perguruan yang berbeda telah memungkinkan Rara Wulan untuk menyadap unsur-unsur gerak yang sesuai dengan landasan dasar ilmunya yang diwarisinya dari kakeknya.

Tetapi itu memang satu-satunya jalan pintas yang dapat ditempuhnya untuk sementara, agar ilmunya tidak terlalu sederhana dan sempit: Untuk menghadapi orang-orang yang berilmu kanuragan, maka berbagai ragam unsur gerak memang harus dapat dikuasainya, setidak-tidaknya dapat diatasi dengan pemecahan yang bersumber dari unsur gerak yang dikuasainya.

Sebenarnyalah bahwa Rara Wulan memang memiliki dasar di dalam dirinya, sehingga segala sesuatunya yang berhubungan dengan olah kanuragan dapat diserapnya dengan cepat.

Namun dalam pada itu, dua hari kemudian, sarang kelompok Gajah Liwung itu telah didatangi seorang tamu yang mengejutkan mereka. Seorang yang datang secara khusus untuk bertemu dengan Glagah Putih.

Karena Glagah Putih saat itu sedang tidak di rumah itu, maka tamu itu dipersilahkan untuk menunggu.

“Glagah Putih sedang pergi ke pasar,” berkata Rumeksa yang menerima kehadiran tamu itu. Namun kemudian Rumeksa itu pun bertanya, “Tetapi siapakah Ki Sanak ini?”

“Orang memanggilku Jayaraga,” jawab tamu itu, “aku adalah penghuni Tanah Perdikan Menoreh.”

Rumeksa mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Agaknya Glagah Putih tidak lama lagi akan datang. Ia sudah cukup lama berangkat mengantar Rara Wulan. Rara Wulan tentu tidak akan terlalu lama berada di pasar, karena ia tidak ingin diketahui oleh orang tuanya. Kakeknya mengatakan kepada orang tuanya, bahwa Rara Wulan sedang dibawanya ke Tanah Perdikan.”

Ki Jayaraga tersenyum. Katanya, “Ki Lurah Branjangan memang aneh.”

“Ki Jayaraga mengenal Ki Lurah Branjangan?” bertanya Rumeksa.

“Meskipun tidak terlalu akrab, tetapi aku mengenalnya,” jawab Ki Jayaraga.

Rumeksa pun kemudian telah mempersilahkan Ki Jayaraga menunggu. Namun karena ia belum mengenalnya sebelumnya, maka Rumeksa bukan saja sekedar menemuinya, tetapi juga mengamatinya.

Seperti yang dikatakan, maka Ki Jayaraga memang tidak perlu menunggu terlalu lama. Beberapa saat kemudian, Glagah Putih telah datang bersama Rara Wulan.

“Guru,” desis Glagah Putih.

Ki Jayaraga tersenyum. Sementara itu Glagah Putih sempat memanggil kawan-kawannya yang belum mengenal Ki Jayaraga dan memperkenalkannya sebagai gurunya.

“Selain Kakang Agung Sedayu, aku berguru juga kepada Ki Jayaraga,” berkata Glagah Putih.

Untuk beberapa saat Glagah Putih masih mempertanyakan keselamatan gurunya serta keluarga di Tanah Perdikan Menoreh. Namun kemudian Ki Jayaraga itu pun bertanya, “Apakah Agung Sedayu masih di Jati Anom?”

“Ya,” jawab Glagah Putih, “agaknya Kakang Agung Sedayu akan singgah kemari, nanti jika ia kembali dari Jati Anom.”

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sudah cemas, bahwa aku akan berselisih jalan. Aku sudah berusaha menempuh jalan yang biasanya dilalui oleh Agung Sedayu lewat penyeberangan sebelah selatan.”

“Nampaknya Kakang Agung Sedayu belum kembali,” berkata Glagah Putih, “mungkin hari ini atau besok.”

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Aku juga ingin memberi keterangan tentang perjalananku ke Pegunungan Kendeng kepada Agung Sedayu.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia kemudian bertanya, “Apakah kami boleh mendengarkan keterangan tentang orang-orang Pegunungan Kendeng itu?”

Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Sebenarnya keterangan ini memang untuk kalian. Tetapi aku ingin Agung Sedayu juga mendengarnya. Namun baiklah, aku akan mengatakannya kepada kalian.”

Glagah Putih pun kemudian telah memanggil semua anggota Gajah Liwung yang jumlahnya delapan orang itu untuk berkumpul dan mendengarkan keterangan dari Ki Jayaraga, yang baru saja datang dari daerah Pegunungan Kendeng.

“Tidak banyak keterangan yang dapat aku bawa,” berkata Ki Jayaraga, “tetapi mungkin keterangan ini akan berarti.”

Anggota kelompok Gajah Liwung yang delapan orang itu mendengarkan dengan penuh minat.

“Aku telah bertemu dengan pimpinan Padepokan Cundamanik. Aku memang pernah menanyakan kenapa padepokannya itu disebutnya dengan nama Cundamanik.” Ki Jayaraga berhenti sejenak, lalu, “Namun ternyata tidak seorangpun dari Padepokan Cundamanik yang keluar. Para cantrik dari padepokan itu tetap berada di tempat. Dua orang putut yang telah memiliki ilmu yang cukup memang telah meninggalkan padepokan itu atas ijin pimpinan padepokan. Tetapi pimpinan Padepokan Cundamanik itu yakin bahwa kedua orang pututnya tentu tidak terlibat.”

Para anggota dari kelompok Gajah Liwung itu mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Jayaraga berkata selanjutnya, “Akupun telah mengunjungi padepokan yang lain, yang juga berada di lereng Pegunungan Kendeng, atas petunjuk pimpinan Padepokan Cundamanik. Bahkan kehadiranku di padepokan yang disebut Padepokan Sedasa, yang didirikan oleh sepuluh orang bersaudara, telah diantar oleh dua orang cantrik dari Padepokan Cundamanik, yang bersahabat dengan Padepokan Sedasa itu. Tetapi para pemimpin di padepokan itu pun menyatakan bahwa tidak seorangpun dari antara para cantrik yang meninggalkan padepokannya. ‘Mereka tidak mungkin dapat melakukan hal itu’, berkata pimpinan padepokan Sedasa itu.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi mereka sama sekali tidak berasal dari Pegunungan Kendeng?”

“Aku memang mencoba untuk meyakinkannya,” berkata Ki Jayaraga, “ketika aku mendengar ceritamu, maka aku memang memerlukan datang ke Pegunungan Kendeng, karena aku memang sudah mengira bahwa orang-orang Pegunungan Kendeng tidak akan mungkin melakukannya, khususnya orang-orang dari Padepokan Cundamanik. Dan bahkan kemudian juga bukan dari Padepokan Sedasa.”

“Apakah itu berarti bahwa mereka sama sekali bukan kelompok orang dari Gunung Kendeng?” bertanya Sabungsari.

“Pimpinan Padepokan Cundamanik dan pimpinan Padepokan Sedasa berjanji untuk ikut menyelidiki mereka. Namun keduanya juga mengatakan, bahwa nampaknya di Pegunungan Kendeng juga telah berhimpun beberapa orang yang mempunyai niat dan tujuan yang kurang diketahui. Mereka tidak berhimpun dalam satu perguruan atau padepokan yang tersusun dengan tertib, tetapi mereka sekedar berkumpul di satu tempat yang lebih mirip dengan sarang sekelompok orang-orang yang tidak dikenal,” berkata Ki Jayaraga kemudian.

“Apakah mungkin orang-orang itu berasal dari orang-orang yang berhimpun di Pegunungan Kendeng itu?” desis Naratama.

“Satu kemungkinan. Karena itu, maka aku masih akan pergi lagi ke Pegunungan Kendeng,” berkata Ki Jayaraga.

“Jadi Guru akan pergi lagi?” bertanya Glagah Putih.

“Ya,” jawab Ki Jayaraga, “aku akan menunggu Agung Sedayu di sini satu dua hari. Jika ia tidak datang, maka aku akan berangkat ke Gunung Kendeng.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara itu Sabungsari berkata, “Terima kasih atas usaha Ki Jayaraga. Sebenarnya Ki Jayaraga tidak perlu terlalu di bebani oleh persoalan kami.”

“Tidak,” jawab Ki Jayaraga. “Rasa-rasanya memang menyenangkan untuk bertualang, meskipun umurku sudah menjadi semakin tua.”

“Tetapi sebaiknya Ki Jayaraga memang beristirahat dahulu di sini,” berkata Mandira, “Ki Agung Sedayu tentu akan singgah meskipun hanya sebentar.”

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih. Aku akan menunggu di sini. Tetapi tidak terlalu lama. Seperti aku katakan, jika dalam dua hari Agung Sedayu tidak datang, maka aku akan melanjutkan perjalanan ke Gunung Kendeng.”

Sementara itu, Agung Sedayu berada di padepokan Jati Anom karena gurunya yang keadaannya menjadi semakin lemah. Kiai Gringsing memang sudah menjadi sangat tua. Meskipun ia masih mampu mengingat peristiwa-peristiwa yang jauh lampau, serta penalarannya masih terang, namun wadagnya memang sudah menjadi semakin rapuh. Hal itu disadari sepenuhnya oleh Kiai Gringsing. Karena itu maka kepada Agung Sedayu iapun berdesis, “Waktuku sudah tidak akan panjang lagi. Tetapi kau tidak usah terlalu memikirkan aku. Aku bukan orang yang lebih baik dari orang lain, sehingga apa yang terjadi pada setiap orang, tentu akan terjadi pula atasku. Karena itu, seperti yang aku katakan kepada Swandaru yang datang beberapa hari yang lalu, aku bukan apa-apa. Jika pada suatu saat aku pergi, itu pun bukan apa-apa, karena seperti itu adalah hal yang sangat wajar.”

Agung Sedayu mengangguk kecil. Katanya, “Ya Guru, tetapi setiap hamba dari Yang Maha Agung dapat berdoa dan memohon kemurahannya.”

“Ya, Agung Sedayu. Aku juga selalu berdoa dan memohon. Tetapi segala sesuatunya terserah kepada Yang Maha Agung. Namun dengan penuh kepercayaan akan kasihnya yang besar, maka aku pun telah bersandar kepada-Nya,” jawab Kiai Gringsing. “Itulah sebabnya maka aku katakan, bahwa apa yang dapat terjadi padaku adalah wajar sekali, Termasuk kematian.”

“Tetapi bagaimanapun juga Guru adalah ahli dalam ilmu obat-obatan,” berkata Agung Sedayu. Kiai Gringsing tersenyum. Dengan nada rendah ia berkata, “Seberapa tinggi tingkat ilmuku dalam hal obat-obatan, dibandingkan dengan kuasa-Nya? Rasa-rasanya tidak lebih dari sebutir debu di luasnya pasir pantai lautan.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara Kiai Gringsing berdesis, “Bahkan sama sekali tidak dapat diperbandingkan.”

Agung Sedayu hanya dapat mengangguk-angguk saja.

“Karena itu Agung Sedayu, kau jangan melihat keadaanku ini berlebih-lebihan. Aku tidak akan menahanmu untuk tinggal di sini terlalu lama. Agaknya kau sekarang sudah menjadi seorang prajurit. Bahkan langsung memimpin sebuah kesatuan Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan. Karena itu, kau tidak dapat meninggalkan tugasmu terlalu lama,” berkata Kiai Gringsing kemudian. “Bukankah di sini ada para cantrik yang dapat menemaniku? Juga Ki Widura yang semakin tua, justru menjadi semakin pantas untuk memimpin padepokan kecil ini.”

“Ya Guru,” jawab Agung Sedayu yang masih saja mengangguk-angguk.

“Nah. Jika demikian, kau dapat kembali ke Tanah Perdikan jika saatnya sudah kau anggap tiba. Jangan terlalu banyak memikirkan aku. Aku tidak apa-apa. Tidak lebih sengsara dari kebanyakan orang sehingga kau harus meninggalkan dengan perasaan kasihan,” berkata gurunya kemudian.

Agung Sedayu masih juga mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Aku besok akan mohon diri, Guru.”

“Pulanglah. Kau mengemban satu tugas yang tidak dapat kau tinggalkan terlalu lama. Bukankah kau masih akan singgah di Mataram untuk melihat keadaan Glagah Putih?” bertanya Kiai Gringsing.

“Ya Guru,” jawab Agung Sedayu, “sebenarnyalah bahwa Glagah Putih dan kawan-kawannya sedang mempertanyakan beberapa orang yang telah membuat keonaran di Mataram, dan ada di antaranya yang mengaku dari Pegunungan Kendeng.”

Kiai Gringsing mengerutkan dahinya. Ia mencoba mengingat-ingat tentang Pegunungan Kendeng. Namun kemudian katanya dengan nada rendah, “Agung Sedayu. Apa yang ada di Pegunungan Kendeng sekarang, tentu sudah jauh berbeda dari apa yang aku lihat sebelumnya. Aku memang pernah mendengar sebuah perguruan yang disebut Cundamanik. Tetapi apa yang aku ketahui tentang perguruan itu tidak mengarah kepada tindakan-tindakan yang kurang baik. Meskipun perguruan itu tidak menunjukkan hal-hal yang khusus bagi kepentingan orang banyak, tetapi juga tidak menjadi kebiasaan mereka merugikan orang lain. Mereka lebih banyak berbuat bagi diri mereka sendiri. Menyiapkan bekal hidup di kemudian hari bagi para cantrik, di samping olah kanuragan, juga mengusahakan alas dan bertani.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih Guru. Sebaiknya Guru sekarang beristirahat. Aku akan menemui paman Widura.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Tetapi sekali lagi aku peringatkan, kau tidak perlu memikirkan aku berlebihan. Aku tidak apa-apa. Apa yang terjadi atasku adalah hal yang wajar saja. Sebaiknya kau besok memang segera kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi ada baiknya juga kau singgah di Sangkal Putung. Bukankah sejak kalian pulang dari Madiun, kalian belum bertemu lagi? Kau akan dapat melihat anak Swandaru itu.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya Guru. Besok aku akan singgah di rumah Adi Swandaru.”

“Tetapi Agung Sedayu, baiklah aku berterus terang kepadamu bahwa Swandaru masih tetap mempunyai penilaian yang keliru atas ilmumu. Jangan terlalu menyalahkan Swandaru. Dan jangan terlalu menyalahkan dirimu sendiri, karena pada dasarnya kau mempunyai sifat yang agak tertutup. Tetapi sebaiknya perlahan-lahan kau berusaha untuk membuka diri, menunjukkan kemampuanmu yang sebenarnya, sehingga pada suatu saat Swandaru tidak terkejut. Swandaru sendiri memang sudah meningkat ilmunya. Ia sudah menguasai satu tataran lebih tinggi, dan bahkan ia mulai tertarik kepada tenaga dasar yang dapat menjadi tenaga cadangan di dalam dirinya. Ia sudah berusaha untuk menggali tenaga dasar itu. Meskipun agak terlambat, tetapi itu lebih baik. Tetapi ia melihat kemampuanmu jauh di bawah kemampuanmu yang sebenarnya. Dalam hal ini aku juga bersalah. Selama ini aku juga selalu ikut-ikutan menjaga perasaannya, namun sekaligus mengetahuinya. Namun ternyata waktuku untuk menjelaskan kemudian tidak cukup, sehingga akhirnya aku hanya dapat menyerahkan kepada kebijaksanaanmu saja.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun ia sadar, bahwa hal itu adalah hal yang sangat rumit. Meskipun demikian, ia tidak dapat ingkar. Ia memang harus menjelaskan kepada Swandaru tentang perbandingan ilmunya, meskipun masih harus dicari cara yang paling baik dan tidak menyinggung perasaan. Memang untuk itu ia harus bijaksana.

Demikianlah, Agung Sedayu pun kemudian telah meninggalkan gurunya untuk menemui pamannya di pendapa bangunan induk padepokan kecil di Jati Anom itu.

Kepada pamannya Agung Sedayu telah mengatakan bahwa di keesokan harinya Agung Sedayu akan kembali ke Tanah Perdikan.

“Begitu tergesa-gesa? Apakah kau akan meninggalkan gurumu begitu cepat?  bertanya Ki Widura.

“Guru sendiri nampaknya dengan tabah menghadapi keadaannya. Dengan penuh kesadaran Guru menerima kenyataan tentang wadagnya yang semakin rapuh. Justru karena itu, Guru menjadi tenang, sehingga aku pun merasa tenang pula untuk meninggalkannya. Namun barangkali Paman-lah yang akan menjadi lebih sibuk di hari-hari mendatang,” berkata Agung Sedayu.

Ki Widura yang juga menjadi semakin tua itu tersenyum. Katanya, “Kesibukan akan dapat memberikan isi bagi hari-hari tuaku, sehingga aku tidak merasa bahwa sisa umurku itu hanya tersia-sia saja.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi jika perlu Paman dapat memanggil Adi Swandaru dan memerintahkan satu dua orang cantrik untuk menyusulku ke Tanah Perdikan.”

Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan menghubungimu jika sangat diperlukan. Jarak antara tempat ini ke Tanah Perdikan bukan jarak yang pendek. Apalagi kau sudah tidak bebas lagi seperti dulu untuk meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi katanya, “Bagaimanapun juga, jika Guru memanggil, aku akan tetap berusaha untuk datang.”

Ki Widura menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar bahwa hubungan antara guru dan muridnya itu tidak ubahnya dengan hubungan antara anak dan orang tuanya sendiri. Memang mungkin ada satu dua orang guru yang tidak mampu mengikat murid-muridnya secara jiwani. Mungkin karena guru itu kurang menaruh perhatian kepada murid-muridnya. Terutama sebuah perguruan yang mempunyai banyak sekali murid dan cantrik, sehingga hubungan pribadi antara guru dan muridnya menjadi renggang.

Namun dalam pada itu Ki Widura bertanya, “Apakah kau akan menemui kakakmu?”

“Besok aku akan singgah sebentar. Aku akan minta diri kepada Kakang Untara. Aku juga akan singgah barang sebentar di Sangkal Putung.”

Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya, “Kau harus mempunyai lebih banyak perhatian terhadap adik seperguruanmu itu.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dengan nada rendah ia bertanya, “Kenapa Paman?”

“Gurumu sering mengeluh tentang Swandaru,” desis Ki Widura.

“Ya Paman,” jawab Agung Sedayu, “guru juga baru saja mengatakannya. Adi Swandaru mempunyai penilaian yang salah tentang perbandingan ilmu kami. Sebenarnya aku sendiri tidak berkeberatan seandainya Adi Swandaru salah menilai ilmuku.”

“Mungkin tidak akan ada persoalan bagimu,” berkata Ki Widura, “tetapi berbeda dengan Swandaru. Jika pada suatu saat ia menyadari akan kekurangannya, maka ia akan menjadi tersinggung karenanya. Apalagi ia sudah merasa terlanjur menilaimu berada di bawah kemampuannya.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Guru menyerahkannya kepadaku. Sebenarnya hal itu adalah hal yang sangat rumit. Tetapi bagaimanapun juga aku harus mengusahakannya.”

“Tetapi tentu saja tidak terlalu tergesa-gesa. Kau dapat mencari waktu yang paling tepat untuk melakukannya. Sementara itu Swandaru memang sedang tekun meningkatkan ilmunya. Bukankah kitab gurumu ada padanya sekarang?”

“Ya. Kitab itu dibawanya. Aku juga tidak berkeberatan,” jawab Agung Sedayu.

“Aku tahu bahwa kau memiliki banyak kelebihan dari orang kebanyakan. Kau juga dapat memahatkan ingatan di dinding hatimu, yang dapat kau baca kembali kapan saja kau kehendaki, sehingga kau tidak memerlukan kitab itu lagi. Sekali kau baca, maka kitab itu sudah ada di dalam dadamu,” berkata Ki Widura.

“Aku hanya dapat mengucap terima kasih atas kurnia Yang Maha Agung itu Paman,” desis Agung Sedayu.

Ki Widura mengangguk-angguk. Namun sebenarnyalah Ki Widura merasa sangat kagum terhadap kemenakannya itu. Bukan saja karena ilmunya yang sangat tinggi, tetapi juga penggunaan ilmunya itu untuk mengabdi kepada sesama.

Demikianlah, malam itu Agung Sedayu masih bermalam di padepokan kecilnya. Pagi-pagi sekali Agung Sedayu sudah mempersiapkan diri. Ia masih harus singgah di rumah kakaknya, singgah di Sangkal Putung, dan kemudian singgah di Mataram. Meskipun hanya sekedarnya, tetapi ia akan dapat menyampaikan kesan Kiai Gringsing atas Pegunungan Kendeng dengan sebuah padepokan yang disebut Cundamanik.

Ketika Agung Sedayu menemui gurunya, maka Kiai Gringsing sudah berbenah diri dan duduk di ruang dalam. Meskipun tubuhnya nampak terlalu lemah, namun segala sesuatunya nampak segar. Wajahnya terang dan senyumnya selalu membayangi bibirnya. Kiai Gringsing memang tidak pernah merasa bahwa ia telah dibelenggu oleh wadagnya yang menjadi semakin rapuh. Ia menerima keadaannya dengan hati yang terbuka, menengadah pada kasih Yang Maha Agung.

Karena itu, Kiai Gringsing memang tidak merasa bahwa ia sedang menderita sakit yang biasa disebut sakit tua.

Dalam keadaan itu, iapun masih saja selalu berdoa, antara lain untuk kesehatannya. Iapun telah memohon agar jika saatnya dipanggil kembali, maka hendaknya saat-saat terakhirnya tidak membuat orang lain menjadi ikut menderita karenanya.

Sekali lagi Agung Sedayu mohon diri. Dan sekali lagi Kiai Gringsing berpesan agar Agung Sedayu tidak terlalu memikirkannya.

“Pada kesempatan yang memungkinkan aku akan datang lagi kemari Guru,” berkata Agung Sedayu,

“Kau tidak usah terlalu memikirkan aku,” berkata Kiai Gringsing, “pamanmu ada di sini,” sahut Kiai Gringsing sambil memandang Ki Widura yang ikut duduk bersamanya.

“Ya Guru,” jawab Agung Sedayu. Namun katanya kemudian, “Tetapi adalah kewajibanku untuk setiap kali menengok Guru.”

Kiai Gringsing tersenyum. Namun iapun bertanya, “Apakah kau jadi singgah di rumah kakakmu?”

“Ya Guru,” jawab Agung Sedayu.

“Di Sangkal Putung juga?” bertanya gurunya pula.

“Ya Guru. Aku juga ingin melihat anak Adi Swandaru,” jawab Agung Sedayu.

“Bagus,” desis Kiai Gringsing, “kau memang harus sering bertemu dengan adik seperguruanmu. Tetapi kau juga tidak boleh mengorbankan tugas-tugasmu di barak pasukan khusus itu.”

Agung Sedayu mengangguk sambil berkata, “Aku mengerti Guru.”

“Nah, berangkatlah. Mumpung hari masih pagi,” berkata Kiai Gringsing kemudian.

Agung Sedayu pun sekali lagi minta diri kepada gurunya dan pamannya. Baru kemudian ia meninggalkan padepokan itu. Di halaman para cantriknya sempat mengucapkan selamat jalan kepada Agung Sedayu, yang sudah agak lama tidak berkunjung ke padepokan itu.

Seperti yang dikatakan, Agung Sedayu telah singgah di rumah kakaknya, yang ikut berbangga bahwa Agung Sedayu telah mempunyai pegangan hidup yang menurut Untara cukup mapan.

“Kau harus bekerja dengan baik,” pesan kakaknya.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia tahu bahwa Untara adalah seorang prajurit yang berpengalaman. Karena itu, apabila diperlukan, kakaknya itu tentu akan dapat membantunya di bidang yang sangat dikuasainya itu.

Sementara itu Agung Sedayu pun sempat bercerita serba sedikit tentang Sabungsari yang berada di Mataram dengan kelompoknya yang dinamainya Gajah Liwung. Namun Agung Sedayu pun menceritakan pula kehadiran kelompok lain yang juga memakai nama yang sama, namun dengan kegiatan yang berlawanan. Sedangkan jumlah anggota kelompok itu jauh lebih banyak dari anggota kelompok yang dipimpin oleh Sabungsari itu.

“Katakan kepadanya, bahwa ia harus berhati-hati,” berkata Untara, “ia harus menurut segala petunjuk Ki Wi-ayuda, karena segala sesuatunya tentu akan menyangkut perwira pasukan sandi itu.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Untuk sementara Ki Wirayuda minta kegiatan kelompok kecil itu dibekukan. Sementara itu atas kehendaknya sendiri, Ki Jayaraga telah pergi ke Pegunungan Kendeng untuk mencari sedikit keterangan tentang perguruan-perguruan yang ada, karena orang-orang yang juga mengaku dari kelompok Gajah Liwung itu diduga berasal dari Pegunungan Kendeng.”

Untara mengangguk-angguk. Namun ia masih memberikan beberapa pesan kepada adiknya. Bukan saja mengenai tugas-tugasnya sendiri, tetapi juga tentang permainan Sabungsari dan Glagah Putih, serta beberapa orang yang lain yang ada di dalam kelompoknya itu.

Agung Sedayu mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Sambil mengangguk-angguk ia kemudian berkata, “Baiklah Kakang. Aku akan menyampaikannya kepada Sabungsari, Glagah Putih dan kawan-kawannya.”

Namun Agung Sedayu memang tidak terlalu lama berkunjung di rumah kakaknya. Kakak ipar dan kemenakannya hanya sempat menemuinya sesaat saja, karena Agung Sedayu pun kemudian telah minta diri untuk pergi ke Sangkal Putung.

Ternyata Untara juga menangkap sikap Swandaru terhadap Agung Sedayu. Seperti pamannya maka iapun telah berpesan, agar ia cukup bijaksana menghadapi adik seperguruannya itu.

Agung Sedayu pun kemudian mengangguk-angguk sambil berkata, “Aku akan berusaha sebaik-baiknya menghadapi Adi Swandaru, agar ia pada suatu saat dapat meningkatkan dirinya tanpa tersinggung perasaannya, meskipun aku tahu bahwa hal itu merupakan hal yang sangat sulit bagiku.”

Tetapi seperti pesan Kiai Gringsing, Ki Widura dan sebagaimana keyakinannya sendiri, maka Untara pun berpesan, agar hal itu dilakukan dengan hati-hati dan tidak tergesa-gesa.

Demikianlah, maka Agung Sedayu pun telah minta diri kepada kakaknya, kakak iparnya dan kemanakannya. Sejenak kemudian Agung Sedayu telah berada di perjalanan menuju ke Sangkal Putung. Kudanya berderap menyusuri bulak-bulak dan padukuhan. Namun perjalanannya tidak terlalu menarik perhatian orang, karena jalan Jati Anom ke Sangkal Putung itupun menjadi semakin ramai. Tidak hanya satu dua orang yang menempuh perjalanan dengan berkuda.

Ketika Agung Sedayu kemudian mendekati daerah Sangkal Putung, maka iapun melihat bahwa kademangan-kademangan di sekitar Sangkal Putung pun telah menjadi semakin maju. Nampaknya pengaruh kemajuan di Kademangan Sangkal Putung telah meluas, terutama di bidang penggunaan air bagi tanah persawahan.

Parit-parit pun seakan-akan menjadi semakin banyak menusuk ke kotak-kotak sawah yang terbentang luas. Namun Agung Sedayu masih saja melihat hijaunya hutan-hutan yang dilihatnya sejak ia kecil. Bahkan Agung Sedayu sengaja telah melihat jalan di pinggir hutan, meskipun ia harus lewat di bawah sebatang pohon randu alas yang besar.

Agung Sedayu masih teringat, bahwa semasa kanak-kanaknya ia menjadi sangat ketakutan jika ia mendengar seseorang menyebut Gendruwo Bermata Satu.

Agung Sedayu itu pun tersenyum sendiri. Ia sadar, betapa penakutnya ia di masa kanak-kanaknya. Namun segala sesuatunya telah berubah. Kiai Gringsing telah berhasil merubahnya menjadi seorang anak muda yang lebih berarti. Bukan saja bagi dirinya sendiri, tetapi juga bagi orang-orang lain.

Dalam pada itu, beberapa saat kemudian Agung Sedayu benar-benar telah memasuki Kademangan Sangkal Putung. Kademangan yang termasuk besar dan subur. Di bawah pimpinan Swandaru atas nama ayahnya Ki Demang Sangkal Putung, maka kademangan itu menjadi semakin maju. Pertanian nampak berkembang terus. Sementara itu, apa yang sudah dimiliki oleh Sangkal Putung telah mendapat perhatian dan terpelihara dengan baik. Parit-parit dan jalan-jalan, serta segi-segi lain yang sangat berarti bagi kesejahteraan Sangkal Putung. Sementara itu, anak-anak muda Sangkal Putung pun memiliki jiwa pengabdian yang tinggi. Para pengawalnya memiliki kemampuan yang tidak kalah dari kemampuan para prajurit. Apalagi Sangkal Putung yang telah beberapa kali melibatkan diri ke dalam kegiatan perang, baik di Sangkal Putung sendiri maupun di luarnya.

Kedatangan Agung Sedayu di Sangkal Putung telah disambut dengan gembira oleh Swandaru, istrinya dan Ki Demang Sangkal Putung, yang nampaknya juga sudah menjadi semakin tua, sebagaimana Ki Gede Menoreh.

Sesaat kemudian, maka Agung Sedayu pun telah duduk di pendapa Kademangan Sangkal Putung bersama Ki Demang Sangkal Putung, Swandaru dan Pandan Wangi.

Dengan nada gembira mereka telah berbicara tentang keselamatan masing-masing serta keluarganya. Pandan Wangi yang telah melahirkan anaknya itu sambil bergurau bertanya, “Kapan Sekar Mirah menyusul?”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian sambil tersenyum ia berkata, “Pada suatu saat nanti.”

Swadaru pun tertawa. Tetapi iapun berkata, “Jangan menunggu sampai tua Kakang. Kasihan anakmu nanti. Justru pada saat anakmu sangat memerlukan kau, maka kau sudah menjadi pikun.”

“Ah, tentu tidak,” sahut Ki Demang.

Agung Sedayu pun tertawa. Katanya, “Segala sesuatunya kami serahkan kepada Yang Maha Agung.”

“Ya,” sahut Ki Demang, “kau telah berpikir mapan. Sikapmu itu adalah sikap yang paling tepat.”

Swandaru pun mengangguk-angguk sambil berkata, “Tetapi kau juga harus memohon Kakang, meskipun kau pasrah.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk pula. Pembicaraan mereka pun terputus ketika para pelayan menghidangkan minuman dan makanan.

Namun pembicaraan mereka kemudian setelah meneguk minuman, telah beralih kepada tugas-tugas Agung Sedayu di barak Pasukan Khusus.

“Ada yang menarik. Tetapi ada yang terasa mengikat. Aku tidak mempunyai banyak kesempatan lagi untuk mengembara,” jawab Agung Sedayu. “Namun agaknya setelah umurku merambat semakin tua, maka keinginan untuk mengembara itupun semakin memudar.”

“Ya Ngger,” sahut Ki Demang, “sudah tentu kau akan semakin terikat kepada keluargamu dan tugas-tugasmu. Tetapi tugas Angger Agung Sedayu nampaknya sesuai benar dengan bekal yang ada di dalam diri Angger Agung Sedayu.”

“Kakang memang harus lebih menekuni ilmu Kakang dalam tugas Kakang yang sekarang ini,” berkata Swandaru. Lalu katanya pula, “Jika Kakang memerlukan, maka dalam waktu sebulan lagi, kitab Guru akan dapat Kakang bawa ke Tanah Perdikan.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah Adi Swandaru, nanti sebulan lagi aku akan datang mengambilnya.”

“Ilmu bagi Kakang sekarang akan sangat penting artinya. Sebagai seorang pemimpin pasukan, maka Kakang harus benar-benar memiliki kelebihan. Jika Kakang masih saja segan untuk meningkatkan ilmu, sementara orang lain memeras keringat dan bekerja keras untuk berlatih, maka pada suatu saat Kakang Agung Sedayu akan ketinggalan,” berkata Swandaru.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Sekarang aku mempunyai banyak kesempatan. Di barak ada sanggar yang memiliki berbagai macam peralatan. Juga ada sanggar terbuka yang luas, sehingga aku akan dapat berlatih dengan baik. Sementara itu aku pun mempunyai cukup waktu untuk melakukannya.”

“Soalnya bukan sekedar kesempatan dan peralatan, tetapi juga kemauan dan kesungguhan,” jawab Swandaru. Lalu katanya, “Selama ini Kakang kurang menunjukkan kesungguhan berlatih. Karena itu, jika Kakang tidak merubah keadaan itu, meskipun kitab Guru ada di tangan Kakang, sanggar yang memadai dan kesempatan yang luas, nampaknya Kakang tidak akan banyak mendapat kemajuan. Sementara itu tugas Kakang adalah di kalangan keprajuritan yang memerlukan peningkatan kemampuan dalam olah kanuragan dan pengetahuan perang.”

“Sementara itu bukankah Kakang Agung Sedayu telah melakukannya?” bertanya Pandan Wangi.

“Belum,” Swandaru-lah yang menjawab, “Kakang memang telah meningkatkan ilmunya, tetapi masih belum bersungguh-sungguh. Sebenarnya Kakang dapat berbuat lebih banyak bagi pengembangan ilmunya, sehingga Kakang tidak terasa ketinggalan dalam tataran murid dari perguruan Orang Bercambuk.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara Pandan Wangi pun berkata, “Siapa tahu bahwa Kakang Agung Sedayu sekarang telah memiliki tataran ilmu yang sangat tinggi.”

“Mudah-mudahan,” desis Swandaru, “tetapi selama ini kitab Guru masih ada padaku.”

“Kesempatan masih terbuka,” berkata Ki Demang, “bukankah Angger Agung Sedayu masih terhitung muda? Dalam usianya yang masih muda itu, Angger Agung Sedayu tentu masih akan mampu meningkatkan ilmunya sehingga pada suatu saat akan sampai pada satu tataran yang mengagumkan.”

Agung Sedayu memang menjadi segan untuk meneruskan pembicaraan itu. Karena itu maka katanya, “Mudah-mudahan Ki Demang. Namun selama ini aku telah mempergunakan segala kesempatan, waktu yang ada, peralatan, dan menurut perasaanku, aku pun telah melakukannya dengan sungguh-sungguh di samping tugas-tugasku.”

“Bagus,” berkata Ki Demang. Namun kemudian iapun bertanya, “Tetapi bagaimanakah dengan keadaan Kiai Gringsing pada saat-saat terakhir?”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Ki Demang itu pun melihat keseganan Agung Sedayu untuk berbicara tentang dirinya sendiri lebih panjang lagi. Karena itu, maka dengan serta merta Agung sedayu menjawab, “Guru nampak menjadi semakin lemah. Tetapi jiwanya justru menjadi semakin tegar menghadapi keadaan wadagnya itu. Guru sama sekali tidak mengeluh, karena ia sadar sepenuhnya, bahwa yang terjadi itu adalah satu kewajaran.”

“Apakah Kiai Gringsing dalam keadaan sakit?” bertanya Ki Demang.

“Tidak,” jawab Agung Sedayu, “Guru juga turun dari pembaringannya. Berjalan-jalan di halaman dan melihat-lihat kebun di padepokan, kolam ikan dan berbicara, bahkan bergurau, dengan para cantrik yang hanya sedikit jumlahnya itu.”

“Syukurlah,” desis Ki Demang. Sementara Swandaru berkata, “Tentu tidak jauh berbeda dengan keadaan Guru beberapa waktu yang lalu ketika aku menengoknya. Tetapi Guru adalah seorang yang memiliki pengetahuan yang tinggi tentang pengobatan. Karena itu, selama masih memungkinkan, maka kita tidak usah cemas. Tetapi jika Guru sudah tidak mampu mengobati sakitnya sendiri, maka itu adalah pertanda bahwa sakit itu tidak akan dapat disembuhkan oleh siapapun juga.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Adi Swandaru benar. Karena itu, maka Guru sama sekali tidak menjadi gelisah. Ia meyakinkan kebenaran Kuasa Tertinggi keputusan-Nya.” Ki Demang mengangguk-angguk. Desisnya, “Kiai Gringsing adalah seseorang yang memiliki keteguhan yang utuh. Bukan saja kewadagan dan ilmunya, tetapi juga jiwanya.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Namun iapun telah mengangguk-angguk pula.

Namun sejenak kemudian, Agung Sedayu telah menyempatkan diri untuk melihat anak Swandaru yang nampak sehat. Wajahnya bersih, dan seperti ayahnya, bayi itu nampak agak gemuk dan kokoh.

“Ia akan menjadikan Sangkal Putung sebuah kademangan yang paling baik di seluruh Mataram,” berkata Swandaru dengan bangga.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia melihat bayi itu tersenyum kepadanya ketika Agung Sedayu mencoba menimangnya.

Tetapi Agung Sedayu tidak terlalu lama berada di Sangkal Putung. Agung Sedayu harus segera kembali dan singgah di Mataram. Ternyata Kiai Gringsing tidak dapat memberikan banyak keterangan tentang keadaan Pegunungan Kendeng. Sebagaimana dikatakan oleh gurunya, bahwa keadaan Gunung Kendeng beberapa puluh tahun yang lalu sebagaimana dikenal oleh Kiai Gringsing, tentu sudah berbeda dengan sekarang.

Namun Agung Sedayu sama sekali tidak mengatakan tentang kelompok Gajah Liwung di Mataram. Jika Swandaru mengetahuinya, mungkin Swandaru akan segera berusaha melibatkan diri, namun dengan kemauan dan kesenangannya sendiri tanpa menghiraukan ketentuan-ketentuan yang digariskan oleh para pendukungnya dalam jajaran prajurit sandi Mataram, maupun oleh anggota-anggota lainnya kelompok itu.

Demikianlah, sejenak kemudian Agung Sedayu pun telah menyatakan untuk segera mohon diri. Ia hanya sekedar singgah dalam perjalanannya dari Jati Anom kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.

“Baiklah Kakang,” sahut Swandaru, “pada satu saat aku akan menengok Kakang di Tanah Perdikan serta melihat barak Pasukan Khusus itu. Jika sebulan lagi Kakang belum datang mengambil kitab dari Guru, maka jika mungkin, aku akan datang ke Tanah Perdikan. Namun aku masih harus menyesuaikan dengan tugas-tugasku yang ada di Sangkal Putung. Jika saat-saat kerja terlalu sibuk, maka aku tentu tidak akan dapat pergi.”

“Baiklah Adi,” jawab Agung Sedayu, “Adi tidak usah terlalu memikirkan kitab itu. Apakah aku yang datang, atau Adi yang pergi ke Tanah terdikan, tidak akan terlalu banyak bedanya. Namun aku memang berharap bahwa Adi akan dapat berkunjung ke Tanah Perdikan. Apalagi dapat membawa berita tentang kesehatan Guru.”

“Aku akan berusaha Kakang,” jawab Swandaru.

Sementara itu Agung Sedayu pun berkata kepada Pandan Wangi, “Kapan kau pergi ke Tanah Perdikan, membawa anakmu menghadap kakeknya?”

Pandan Wangi tersenyum meskipun terasa kerinduan yang membersit di hatinya, “Aku harus menunggu beberapa bulan lagi Kakang. Anakku masih terlalu lemah untuk menempuh perjalanan ke Tanah Perdikan.”

“Jika perlu dengan pedati. Tidak ada kesulitan menyeberang Kali Opak maupun Kali Praga. Keduanya memiliki rakit yang cukup besar untuk menyeberang dengan pedati sekalipun. Bahkan di musim kering seperti ini, pedati akan dapat menyeberang langsung di Kali Opak, meskipun harus menempuh jalur penyeberangan selatan yang telah dibuat sasak di atasnya,” berkata Agung Sedayu.

“Ya,” jawab Swandaru, “meskipun untuk menyeberang lewat sasak itu juga harus membayar. Tetapi agaknya memang lebih baik daripada menyeberang dengan rakit melintasi air yang semakin dangkal di musim kering.”

Demikianlah, maka Agung Sedayu pun telah meninggalkan Sangkal Putung. Satu lagi beban yang harus dipikulnya. Menjelaskan kepada Swandaru tentang perbandingan ilmu di antara murid-murid Kiai Gringsing. Namun sudah tentu dengan bijaksana, sehingga tidak menimbulkan salah paham.

Bagi Agung Sedayu hal itu adalah hal yang sangat rumit. Sebenarnya ia cenderung untuk membiarkannya saja, sehingga pada suatu saat Swandaru akan menyadari dengan sendirinya. Tetapi penalarannya dapat mengerti, kenapa gurunya minta kepadanya agar Agung Sedayu berusaha untuk menjelaskannya.

“Guru tidak menghendaki terjadi salah paham,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. Tetapi Agung Sedayu pun sadar, jika ia salah langkah, justru akan dapat menimbulkan salah paham.

Sambil merenung Agung Sedayu berderap terus di atas punggung kudanya. Ternyata jalan yang dilaluinya telah menjadi semakin ramai. Beberapa orang berkuda melintas dengan cepat. Yang satu dan yang lain hampir tidak saling memperhatikan sama sekali.

Ternyata Agung Sedayu tidak mengalami hambatan di perjalanan. Kali Opakp un dilintasinya. Ia memang memilih jalan yang melintasi penyeberangan langsung. Beberapa orang di sebelah-menyebelah Kali Opak itu telah membuat sasak penyeberangan di saat air tidak terlalu besar. Dengan memungut uang, mereka mempersilahkan orang-orang yang akan menyeberang melintas di atas sasak mereka.

Satu cara untuk mendapatkan penghasilan di samping pertanian mereka. Tetapi sambilan itu hanya dapat dilakukan di musim kemarau, di saat air menjadi semakin kecil. Tetapi jika air menjadi besar, maka orang-orang yang akan menyeberangi sungai harus melintasi dengan rakit.

Ketika matahari menjadi semakin rendah, maka Agung Sedayu pun telah sampai ke Mataram. Ia berniat untuk singgah menemui Glagah Putih dan Sabungsari.

Namun ketika Agung Sedayu memasuki halaman sarang kelompok Gajah Liwung itu, maka iapun tercenung sejenak. Ia melihat Ki Jayaraga sudah berada di tempat itu.

“Ki Jayaraga?” desis Agung Sedayu, “Kapan Ki Jayaraga datang?”

“Kemarin,” berkata Ki Jayaraga, “aku memang masih menunggumu hari ini. Jika kau tidak datang hari ini, maka aku akan berangkat besok ke Pegunungan Kendeng ”

Agung Sedayu tersenyum. Tetapi ia justru bertanya, “Darimana Ki Jayaraga tahu bahwa Glagah Putih ada di sini?”

“Ki Lurah Branjangan,” jawab Ki Jayaraga. Agung Sedayu tertawa. Namun kemudian Glagah Putih dan Sabungsari yang mendengar pembicaraan itu telah keluar dan turun ke halaman. Mereka telah mempersilahkan Agung Sedayu dan Ki Jayaraga untuk naik ke pendapa.

Beberapa orang yang kebetulan ada di rumah telah ikut menemui Agung Sedayu. Namun tiga orang anggota kelompok Gajah Liwung itu sedang tidak ada di sarangnya. Mereka sedang melihat-lihat suasana di luar sarang mereka.

Setelah minum minuman hangat yang dihidangkan oleh Rara Wulan, maka Agung Sedayu telah bercerita tentang keadaan Kiai Gringsing. Betapapun tinggi ilmunya, namun umurnya yang telah menjadi semakin tua, telah membuatnya menjadi semakin lemah. Tetapi bagi Kiai Gringsing, hal itu adalah hal yang sangat wajar, sehingga Kiai Gringsing tidak menjadi gelisah karenanya.

“Tetapi Guru tidak dapat mengatakan apa-apa tentang Pegunungan Kendeng,” berkata Agung Sedayu kemudian.

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Sementara Agung Sedayu berkata selanjutnya, “Sudah lama sekali Guru tidak pergi ke daerah Pegunungan Kendeng. Karena itu, apa yang ada di Pegunungan Kendeng beberapa puluh tahun yang lalu, tidak dapat dipakai sebagai ukuran untuk melihat Pegunungan Kendeng sekarang.”

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sependapat. Karena itu maka aku telah memerlukan pergi ke Pegunungan Kendeng. Bahkan lebih lama dari waktu yang aku rencanakan.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian bertanya, “Apakah ada sesuatu yang dapat memberikan petunjuk tentang anak-anak muda itu?”

Ki Jayaraga termangu-mangu sejenak. Namun iapun telah mengatakan kepada Agung Sedayu apa yang diketahuinya tentang Pegunungan Kendeng, sebagaimana pernah dikatakannya kepada Glagah Putih.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bertanya, “Apakah Ki Jayaraga masih belum puas, sehingga masih akan pergi ke Pegunungan Kendeng lagi?”

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Aku masih ingin tahu lebih banyak tentang kelompok yang baru yang ada di Pegunungan Kendeng. Siapakah mereka, dan kenapa di Pegunungan Kendeng.”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Jangan terlalu terlibat dalam persoalan ini Ki Jayaraga. Biarlah pada saatnya nanti, anak-anak muda sajalah yang akan melakukannya.”

Tetapi Ki Jayaraga mengerutkan dahinya. Katanya, “Ah, biarlah aku masih mendapat kesempatan berbuat sesuatu, agar di sisa umurku aku tidak menjadi terlalu sia-sia. Dengan kerja ini aku merasa bahwa sisa hidupku masih berarti betapapun kecilnya.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat mengecewakan Ki Jayaraga yang juga telah menjadi semakin tua.

Bahkan katanya lebih lanjut, “Jika aku tidak melakukan sesuatu, maka aku akan menjadi semakin cepat tua dan semakin tidak berguna lagi.”

Agung Sedayu tersenyum. Ia mengerti maksud Ki Jayaraga yang umurnya memang menjadi semakin tua. Meskipun demikian Ki Jayaraga tidak ingin menjadi terlalu cepat tidak berarti di hari tuanya.

Demikianlah, maka baik Agung Sedayu maupun Ki Jayaraga telah diminta oleh orang-orang yang tergabung dalam kelompok Gajah Liwung itu untuk bermalam lagi di sarang mereka.

Ki Jayaraga memang menunggu Agung Sedayu sampai hari itu. Jika Agung Sedayu tidak datang, maka Ki Jayaraga besok akan berangkat ke Pegunungan Kendeng. Apalagi jika Agung Sedayu telah datang. Maka Ki Jayaraga merasa bahwa keberangkatannya telah mendapatkan bekal yang lebih lengkap.

Agung Sedayu pun merasa tidak berkeberatan untuk bermalam satu malam lagi di Mataram. Ia akan berada di antara orang-orang dari kelompok Gajah Liwung yang sedang mengalami persoalan khusus dengan nama kelompoknya itu, karena ada kelompok orang lain yang mempergunakan namanya justru untuk tujuan yang sebaliknya.

Di tempat itu, Agung Sedayu dan Ki Jayaraga akan sempat berbicara panjang tentang kemungkinan-kemungkinan mendatang bagi kelompok itu.

“Kemarin telah terjadi perkelahian lagi,” berkata Sabungsari, “kelompok yang menyebut dirinya dengan nama kelompok Gajah Liwung telah berbenturan dengan kelompok Sidat Macan. Namun semakin lama kelompok-kelompok yang lain telah terdesak oleh kelompok yang menyebut namanya dengan Gajah Liwung itu. Jumlah anggotanya terlalu banyak, sehingga kelompok-kelompok lain seakan-akan telah kehilangan ruang geraknya. Namun akibatnya terasa di padukuhan-padukuhan yang agak jauh dari kota. Kelompok-kelompok yang terdesak itu telah menyebar ke tempat yang agak jauh, dan melakukan kenakalan dan menimbulkan keributan di tempat yang baru itu.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Kecemasan anggota Gajah Liwung memang beralasan. Meskipun hal itu sudah diketahui oleh para petugas sandi, khususnya mereka yang mengendalikan gerakan anak-anak muda dalam kelompok Gajah Liwung, namun bagi anggota Gajah Liwung itu sendiri, tindakan-tindakan kelompok yang baru datang itu benar-benar telah menyakitkan hati.

Dalam pada itu, selagi mereka sedang berbincang-bincang di sarang anggota Gajah Liwung itu, maka mereka telah dikejutkan oleh kehadiran Ki Lurah Branjangan. Meskipun Ki Lurah Branjangan sendiri sambil tersenyum-senyum memasuki halaman rumah itu, dan selanjutnya naik ke pendapa.

“Ki Lurah telah meninggalkan barak itu?” bertanya Agung Sedayu.

“Terpaksa Ngger,” jawab Ki Lurah Branjangan, “tetapi aku sudah membagi tugas. Menyerahkan pimpinan kepada orang-orang yang pantas, serta menitipkan kepada Ki Gede dan Sekar Mirah. Apalagi Ki Waskita kebetulan juga berada di Tanah Perdikan.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ia telah bertanya lagi, “Apa yang memaksa Ki Lurah untuk meninggalkan barak itu?”

“Persoalan yang sebenarnya adalah persoalan pribadi. Orang tua Rara Wulan telah mengirimkan utusan ke Tanah Perdikan untuk memanggil Rara Wulan pulang. Tetapi karena Rara Wulan sebenarnya tidak berada di Tanah Perdikan, maka aku memang menjadi agak kebingungan untuk memberikan jawaban,” sahut Ki Lurah.

“Untuk apa utusan itu mencari aku?” bertanya Rara Wulan.

“Bukankah wajar saja jika orang tua itu mencemaskan keadaan anaknya? Apalagi seorang gadis,” jawab Ki Lurah Branjangan. Lalu katanya, “Apalagi gadis itu pergi tanpa seorangpun di antara keluarganya untuk menemaninya.”

“Tetapi hari itu juga Kakek pergi ke Tanah Perdikan. Bukan salah kami, karena Kakek tidak memberitahukan kepergian Kakek.”

“Aku memang tidak memberitahukan kepadamu. Jika kalian pergi bersamaku, maka kalian tentu akan merasa kecewa. Mungkin perjalananku terlalu lamban, atau jalan yang aku tempuh tidak sesuai dengan jalan yang kau kehendaki,” berkata Ki Lurah.

“Jadi bukan salahku jika aku pergi tanpa seorangpun di antara keluargaku yang mengikuti aku,” desis Rara Wulan.

“Apakah aku menyalahkanmu?” justru Ki Lurah-lah yang bertanya.

Rara Wulan termangu-mangu. Namun iapun terdiam. Ki Lurah-lah yang kemudian berkata, “Ada sesuatu yang penting yang harus aku sampaikan kepadamu Wulan.”

“Apakah yang penting itu?” bertanya Rara Wulan sambil memberengut.

“Kita akan berbicara sendiri,” sahut Ki Lurah Branjangan, “persoalannya menyangkut persoalan pribadimu dalam hubunganmu dengan keluargamu. Kedua orang tuamu melihat bahwa kau telah menginjak usia dewasa.”

“Jika aku sudah dewasa, apa yang dikehendaki Ayah dan Ibu?” bertanya Rara Wulan.

Ki Lurah Branjangan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Ki Lurah menjawab lagi, “Kita akan bicara sendiri.”

Rara Wulan memang tidak mendesak. Tetapi jantungnya menjadi berdebar-debar. Ia mengerti apa yang dimaksudkan oleh kakeknya. Kedua orang tuanya tentu mulai membicarakan tentang kemungkinan yang dapat diperlakukan atas dirinya sebagai seorang gadis dewasa.

“Ayah dan Ibu tentu berbicara dengan Kakek tentang calon seorang suami,” geram Rara Wulan di dalam hatinya.

Sebenarnyalah bukan hanya Rara Wulan saja-lah yang menjadi gelisah, tetapi Glagah Putih juga menjadi gelisah. Meskipun tidak berterus terang, tetapi Glagah Putih dapat menangkap isyarat yang bergetar pada pembicaraan singkat antara Ki Lurah Branjangan dengan Rara Wulan.

Glagah Putih sendiri tidak tahu pasti, perasaan apakah yang berkembang di dalam dirinya. Ia tidak mempunyai sangkut paut dengan Rara Wulan, selain berhubungan dengan kelompok Gajah Liwung. Seandainya ada persoalan pribadi dengan keluarganya, maka ia sama sekali tidak berkepentingan.

Tetapi Glagah Putih justru ikut menjadi gelisah.

Ki Lurah Branjangan ternyata tidak berbicara lagi tentang Rara Wulan. Tetapi ia mencoba ikut berbicara tentang perkembangan yang terjadi dengan kehadiran sekelompok orang yang juga mengaku bernama kelompok Gajah Liwung.

Selagi mereka sibuk berbicara tentang perkembangan keadaan, maka dua orang anggota Gajah Liwung telah datang dengan tergesa-gesa. Wajah mereka menunjukkan kecemasan, sementara keringat mereka membasahi seluruh tubuh mereka.

“Apa yang terjadi?” bertanya Sabungsari.

“Kami terlibat dalam perkelahian,” jawab salah seorang di antara keduanya.

“Dengan siapa?” bertanya Glagah Putih pula.

“Tidak jelas. Tetapi aku kira mereka adalah orang-orang yang mengaku dari kelompok Gajah Liwung. Kami tidak dapat menahan diri karena sikap mereka. Namun ternyata jumlah mereka cukup banyak, sehingga kami telah menghindar.”

“Kalian langsung kembali kemari?” desak Sabungsari.

“Tidak. Kami sudah mengambil jalan melingkar,” jawab seorang diantara mereka.

Sabungsari nampak tegang. Dengan nada rendah ia berdesis, “Apakah kau luput dari pengawasan mereka sehingga mereka tidak mengikuti kalian, atau setidak-tidaknya mengawasi kalian sampai ke tempat ini?”

Kedua orang itu termangu-mangu. Namun salah seorang di antara mereka berkata, “Mudah-mudahan tidak. Kami telah mengambil arah yang kami harapkan dapat menyesatkan mereka. Tetapi jumlah mereka memang cukup banyak.”

Sabungsari memang nampak menjadi tegang. Tiba-tiba saja ia berkata, “Kita lihat keluar. Tidak lebih dari dua orang. Aku dan Glagah Putih.”

Glagah Putih pun tidak menunggu lagi. Ketika Sabungsari bangkit dan melangkah dengan cepat keluar, maka Glagah Putih pun telah keluar pula dan turun ke halaman.

Keduanya tidak keluar dari regol halaman. Tetapi seorang pergi ke butulan sebelah kiri, dan yang lain ke sebelah kanan.

Glagah Putih yang melihat ke sebelah kanan, tidak melihat sesuatu yang mencurigakan. Di sebelah kanan adalah halaman samping rumah tetangga yang lain. Namun di halaman itu tidak nampak seorangpun.

Sementara itu, Sabungsari yang melihat keluar lewat butulan sebelah kiri yang menghadap ke sebuah lorong kecil, telah melihat seorang yang tiba-tiba saja melarikan diri demikian Sabungsari muncul dari pintu butulan.

Jarak orang itu agak terlalu jauh bagi Sabungsari untuk mengejarnya. Meskipun ia mencobanya, namun orang itu segera menghilang meloncati dinding halaman.

Sabungsari tidak meloncat masuk. Jika ia melakukannya, mungkin akan timbul persoalan dengan pemilik halaman rumah itu. Apalagi jika orang itu tahu bahwa ia tinggal di rumah sebelah.

Namun dengan demikian maka Sabungsari menyadari, bahwa dua orang kawannya yang menghindar dari perkelahian itu telah diikuti oleh seseorang. Mungkin kawan dari orang-orang yang berkelahi itu, sehingga dengan demikian maka Sabungsari harus menjadi lebih berhati-hati.

Tetapi sebenarnyalah, bahwa ada beberapa orang yang mengamati rumah Suratama yang dipergunakan untuk sarang kelompok Gajah Liwung itu. Seorang yang dilihat oleh Sabungsari memang telah melarikan diri. Namun iapun segera menemui kawannya yang lain, yang mengamati rumah itu dari arah yang berbeda.

“Ada beberapa orang tinggal di rumah itu,” desis orang yang dilihat oleh Sabungsari.

“Ya,” jawab yang lain, “nampaknya rumah itu memang sarang sekelompok anak-anak muda. Tetapi jelas bukan dari Sidat Macan yang hampir menjadi jera. Bukan pula dari Macan Putih yang masih harus ditundukkan, dan tentu bukan kelompok Klabang Ireng yang sudah semakin ketakutan.”

“Mungkin kelompok Gajah Liwung. Kelompok yang paling sulit diikuti jejaknya serta ditundukkan,” sahut yang lain. Lalu katanya, “Namun akhirnya kita menemukan juga sarangnya. Kita harus menghancurkannya sampai lumat. Mereka pernah datang dan mengoyak seisi perkampungan kita di bukit itu.”

“Tetapi mereka tidak berani datang lagi. Mereka sekarang lebih banyak berdiam diri setelah mereka tahu kekuatan kita yang sebenarnya. Karena itu, kita harus membalas sakit hati kita, sehingga kita akan dapat berkata kepada mereka, bahwa kita-lah kelompok yang pantas menyebut diri kelompok Gajah Liwung,” berkata kawannya.

“Ya. Mereka telah menyakiti hati kita. Bahkan membunuh beberapa orang kawan kita. Yang lain tertangkap dan terpaksa mengakui beberapa kenyataan kita. Sehingga kita terusir dari perkampungan yang telah kita bangun,” desis yang lain.

“Dendam kita tidak akan kita lupakan,” berkata kawannya.

“Mudah-mudahan kita tidak salah.”

Sementara itu, seorang yang lain meyakinkan bahwa rumah itu adalah sarang kelompok yang menyebut dirinya Gajah Liwung.

“Seseorang melihat ciri itu nampak di dinding pringgitan,” berkata orang itu.

“Bagaimana dapat melihatnya? Dan siapakah orang itu?” bertanya kawannya.

Orang itu tersenyum sambil mengangkat dadanya. Katanya, “Aku telah mengupah seorang penjual dawet untuk masuk ke halaman itu. Aku berpesan agar ia melihat-lihat keadaan di rumah itu. Mungkin ada ciri-ciri yang dapat diketahuinya. Ternyata ia tanggap akan maksudku, la melihat di pringgitan sebuah gambar kepala seekor gajah. Tidak terlalu besar. Tetapi gambar itu dilihatnya dengan jelas.”

“Kapan hal itu kau lakukan?” desak kawannya.

“Baru saja,” jawab orang itu.

“Aku baru saja dikejar oleh seorang di antara mereka, yang tiba-tiba saja muncul dari butulan dinding halaman rumahnya,” berkata kawannya yang telah dilihat oleh Sabungsari.

Orang yang mendapatkan keterangan dari penjual dawet itu tertawa. Katanya, “Aku adalah seorang yang mampu menyaingi prajurit sandi dari Mataram. Nah, bukankah kita sudah mendapat keterangan lengkap? Malam ini kita akan menghancurkan kelompok yang pernah membakar dendam di jantung kita itu. Kelompok yang merasa berhak mempergunakan nama kelompok Gajah Liwung.”

“Kita tidak tergesa-gesa. Tetapi kita harus mendapat keterangan yang lebih jelas tentang kelompok itu,” berkata yang lain.

“Bukankah sudah jelas? Ciri itu memang tidak dapat dilihat dari luar. Hanya orang yang memasuki halaman dan nendekati pringgitan sajalah yang dapat melihatnya. Nah, penjual dawet pikul itu sempat menawarkan dawetnya sepada orang-orang yang ada di pendapa.”

Kawan-kawannya mengerutkan keningnya. Seorang di antara mereka justru bertanya, “Apakah masih ada orang jual dawet pikul di saat menjelang senja begini?”

“Penjual dawet itu memang sudah akan pulang. Tetapi masih ada sisa dagangannya yang dapat dipergunakan sebagai alasan memasuki halaman rumah itu,” jawab orang yang telah mengupah penjual dawet itu.

“Baiklah. Kita akan melaporkan kenyataan ini,” berkata seorang di antara mereka.

Tetapi orang yang mengupah penjual dawet itu berkata, “Kita akan melaporkannya. Tetapi kita dapat mengusulkan, agar kita dapat segera bertindak. Jika terlambat, maka kita akan kehilangan mereka lagi. Dendam kita akan terkubur dengan kelengahan dan kelambatan kita, sehingga kita akan menjadi sangat kecewa tanpa berkeputusan.”

“Aku sependapat,” sahut orang yang telah dilihat oleh Sabungsari, “Seorang di antara mereka telah melihat aku berada di luar dinding rumah mereka, di sebelah lorong kecil. Hal itu akan dapat menjadi alasan bagi mereka untuk berhati-hati.”

“Baik,” berkata yang lain, “seorang dari kita akan mengawasi rumah itu dari kejauhan, apakah para penghuninya meninggalkan rumah itu atau tidak. Yang lain akan kembali dan mengusulkan agar malam ini juga rumah itu dihancurkan dengan seluruh penghuninya. Jangan sampai kehilangan kesempatan lagi. Jika prajurit Mataram mencium rencana ini, mereka akan mendahului kita, karena nampaknya prajurit Mataram telah meningkatkan usaha mereka untuk menghancurkan kita.”

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata, “Aku akan mengawasi mereka. Hubungi aku jika kalian telah mendapatkan satu kesepakatan untuk bertindak. Aku akan berada di sekitar rumah itu. Mungkin justru di kebun tetangganya. Jika kalian telah bersiap, maka kalian akan memberikan isyarat. Yang paling baik adalah dengan panah sendaren.”

Tetapi mereka akan mendengar pula isyarat itu,” sahut kawannya.

“Tidak apa. Demikian isyarat itu naik, maka kalian harus segera mengepung rumah itu. Kecuali jika kalian tidak berniat untuk menyelesaikan orang-orang itu malam ini, dan besok kita akan menyesali kelambatan kita,” berkata orang yang akan tinggal itu.

“Bagaimana jika mereka telah meninggalkan rumah itu?” bertanya yang lain.

“Aku akan berada di regol padukuhan ini. Karena itu, sebelum kalian memberikan isyarat dengan panah sendaren, seorang di antara kalian akan melihat apakah aku ada di regol atau tidak. Jika aku ada di regol, maka semua rencana akan dibatalkan, karena orang-orang itu telah pergi. Tetapi jika aku tidak ada di regol, maka isyarat itu dapat diterbangkan. Orang-orang kita akan memasuki padukuhan dari segala arah dan langsung mengepung rumah itu. Demikian mereka sadar akan suara panah sendaren, maka rumah itu sudah terkepung. Kita akan menyelesaikan orang-orang yang ada di dalam rumah itu dengan cepat, kemudian meninggalkan rumah itu sebelum prajurit Mataram berdatangan.”

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata, “Kami akan pulang segera. Sebelum tengah malam, semuanya akan bersiap. Jika rencana ini gagal, maka kami justru akan melontarkan tiga anak panah sendaren berturut-turut, sehingga kau dapat meninggalkan persembunyianmu.”

“Kalian harus bersiap jauh sebelum tengah malam,” berkata orang yang bersedia mengawasi rumah itu.

Orang-orang itu masih berbincang beberapa saat untuk membicarakan beberapa panggilan sandi. Kemudian mereka pun telah meninggalkan padukuhan di hadapan mereka, kecuali seorang yang akan mengawasi rumah yang dipergunakan oleh kelompok Gajah Liwung itu.

Dalam pada itu, ketika senja kemudian turun, maka di pendapa rumah Suratama itu pun telah dinyalakan lampu minyak. Sebuah oncor kecil berada di regol, sedangkan beberapa lampu yang lain menyala di beberapa bagian rumah itu.

Namun seisi rumah itu tidak menyadari, bahwa seseorang tengah mengawasi rumah itu dari jarak yang agak jauh. Namun sekali-sekali orang itu mendekat lewat kebun di sebelah rumah Suratama, untuk melihat apakah rumah itu menjadi kosong sama sekali atau tidak.

Di sela-sela tanaman perdu orang itu merangkak-rangkak menuju, dan kemudian meninggalkan, dinding halaman samping rumah Suratama.

Namun sebenarnyalah bahwa seisi rumah itu telah menjadi semakin berhati-hati menghadapi perkembangan keadaan, setelah Sabungsari melihat seseorang yang nampaknya memang sedang mengintai rumah itu.

“Kita harus berjaga-jaga,” berkata Sabungsari, “kita akan bergantian mengamati keadaan. Setiap kali dua orang.”

Tidak ada yang mengelak. Bahkan Rara Wulan pun mendapat tugas sebagaimana yang lain-lain. Namun Rara Wulan ternyata mendapat tugas yang pertama. Demikian malam turun, maka Rara Wulan dan Mandira bertugas mengamati keadaan di rumah itu. Rara Wulan bertugas di halaman depan, sedangkan Mandira bertugas di belakang dan halaman samping.

Mereka akan bertugas sampai saat sirep orang. Kemudian tugas itu akan diambil alih dua orang yang lain.

Namun dalam pada itu, Sabungsari dan Glagah Putih ternyata tidak melepaskan mereka begitu saja. Terutama Rara Wulan. Meskipun kemampuan Rara Wulan telah berkembang semakin tinggi, namun bagi Sabungsari dan Glagah Putih, kemampuan Rara Wulan masih harus semakin ditingkatkan lagi.

Ketika Sabungsari dan Glagah Putih berada di samping rumah itu, maka mereka telah memperhatikan keadaan dengan seksama. Dengan ketajaman indra mereka, maka mereka mengetahui bahwa seseorang tengah mengamati rumah mereka.

Namun Sabungsari dan Glagah Putih tidak tergesa-gesa berbuat sesuatu. Menurut perhitungan mereka, orang itu tentu orang yang berilmu tinggi. Jika Sabungsari dan Glagah Putih mengejar mereka, maka akan dapat menimbulkan persoalan tersendiri dengan orang-orang di padukuhan itu. Orang-orang padukuhan itu akan terbangun dan bahkan akan dapat menimbulkan kegelisahan.

Sabungsari dan Glagah Putih sama sekali tidak menduga, bahwa sekelompok orang-orang yang kasar justru akan menyerang rumah itu. Bahkan siap untuk menghancurkannya tanpa memperhitungkan kemungkinan buruk bagi seisi padukuhan itu.

Namun kehadiran orang itu telah membuat Sabungsari dan Glagah Putih berhati-hati.

Karena itu, Sabungsari dan Glagah Putih telah menghubungi kawan-kawannya, agar mereka tidak terlalu cepat tidur meskipun mereka sedang tidak bertugas.

“Biarlah tamu-tamu kita tidak terganggu,” berkata Sabungsari.

Malam itu, Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan justru juga Ki Lurah Branjangan berada di rumah itu. Ki Lurah ternyata lebih senang berada di rumah itu daripada pulang ke rumahnya sendiri. Ia masih harus berbicara dengan Rara Wulan sendiri. Tetapi Ki Lurah ternyata memilih waktu yang dianggapnya paling baik, justru setelah Rara Wulan bertugas di seperempat malam yang pertama.

Sebagai orang yang dibebani tanggung jawab oleh kedua orang tua Rara Wulan, maka Ki Lurah memang merasa bahwa Rara Wulan benar-benar harus mendapat perhatiannya. Apalagi kesenangan Rara Wulan bertualang adalah bukan kesenangan wajar dari seorang gadis.

Namun sementara itu, kelompok yang juga menyebut dirinya Gajah Liwung ternyata telah mempersiapkan diri untuk menghancurkan seisi rumah itu. Dendam mereka menyala sampai ke ubun-ubun. Perkelahian yang terjadi di siang harinya, telah menuntun mereka menemukan sarang sekelompok orang yang pernah mengoyak barak-barak mereka di bukit kecil di sebelah hutan, sehingga mereka harus menyusun kembali barak-barak baru di tempat yang lain.

Ternyata para pemimpin kelompok yang juga menyebut dirinya Gajah Liwung itu sependapat dengan anggota-anggotanya yang berhasil menemukan rumah kelompok yang lain yang juga bernama Gajah Liwung. Mereka tidak mau kehilangan kesempatan untuk melepaskan dendam yang bagaikan membakar jantung.

Karena itu, demikian para pemimpin kelompok itu mendapat laporan terperinci, maka mereka pun telah memanggil semua anggotanya. Semua anggota Gajah Liwung telah mendapat perintah untuk benar-benar tanpa belas kasihan menghancurkan rumah seisinya. “Seorang dari antara kita mati, maka lima orang di antara mereka harus terbunuh. Empat orang di antara kita terbunuh, maka dua puluh orang di antara mereka harus mati,” berkata pemimpin tertinggi dari kelompok yang menyebut dirinya kelompok Gajah Liwung itu. Demikian mereka bersiap, maka pemimpin mereka pun segera memerintahkan mereka berangkat. Orang-orang yang datang sebelum senja itu telah memberikan beberapa petunjuk arah bagi kelompok Gajah Liwung yang besar itu.

Empat orang yang dianggap paling berpengaruh telah mendapat tugas untuk memimpin anggota-anggotanya, yang akan mengepung rumah yang akan menjadi sasaran itu dari empat arah. Mereka akan berhenti sejenak di luar padukuhan. Jika kawannya yang tinggal untuk mengawasi rumah itu tidak ada di regol, maka mereka akan dengan cepat menaikkan isyarat, sehingga anggota kelompok yang menyebut dirinya Gajah Liwung itu akan dengan serentak memasuki padukuhan itu dari empat arah.

“Persetan dengan orang-orang padukuhan,” berkata pemimpin tertinggi dari kelompok itu, “jika orang-orang padukuhan itu ikut campur, maka mereka pun akan mengalami nasib yang buruk.”

Ketika segala persiapan telah mapan, maka orang-orang dari kelompok yang mengaku kelompok Gajah Liwung itu pun segera berangkat. Mereka mendekati padukuhan itu dari empat arah. Mereka akan dengan cepat memasuki padukuhan itu jika isyarat telah naik.

Seperti yang direncanakan, maka orang-orang dari kelompok itu telah berada di empat arah dari padukuhan itu. Seorang di antara mereka yang di siang harinya telah mendekati rumah yang dipergunakan oleh kelompok Gajah Liwung itu, telah mendekati regol padukuhan yang menjadi semakin sepi.

Ternyata bahwa orang yang tinggal untuk mengawasi rumah itu tidak ada di regol. Karena itu, orang-orang yang mengaku dari kelompok Gajah Liwung itu pun segera mempersiapkan diri untuk memasuki padukuhan itu, demikian isyarat panah sendaren itu naik.

Ketika segala persiapan telah dilakukan, maka pemimpin tertinggi dari kelompok yang juga mengaku bernama Gajah Liwung itu telah memerintahkan untuk menaikkan isyarat, panah sendaren.

Demikianlah, maka sejenak kemudian seorang dari antara anggota dari kelompok yang menyebut dirinya Gajah Liwung itu telah melontarkan panah sendaren ke udara.

Suaranya melengking mengkoyak sepinya malam, berputaran menggetarkan udara di atas padukuhan itu, sehingga seluruh padukuhan yang cukup besar serta di sekitarnya dapat mendengarnya.

Para anggota kelompok yang menyebut dirinya Gajah Liwung itu pun telah mendengar lengking panah sendaren itu. Karena itu, maka orang-orang yang dipercaya untuk memimpin kawan-kawannya di empat jurusan telah meneriakkan aba-aba untuk menyerbu memasuki padukuhan itu, serta menempatkan diri sebagaimana telah diperintahkan.

Ternyata orang-orang dari kelompok yang mengaku bernama Gajah Liwung itu mampu bergerak dengan cepat. Dalam waktu yang singkat, mereka telah menempatkan diri sesuai dengan rencana.

Namun kehadiran mereka memang mengejutkan orang-orang padukuhan itu. Tetapi dengan garang orang-orang dari kelompok yang menamakan diri kelompok Gajah Liwung itu telah berteriak-teriak dan menakut-nakuti orang-orang padukuhan untuk tidak keluar dari rumah.

“Siapa yang keluar dari regol halaman dan kemudian terpenggal lehernya, adalah tanggung jawab mereka sendiri!” teriak orang-orang itu.

Karena itu, orang-orang padukuhan yang telah keluar dari pintu rumahnya, sama sekali tidak berani turun ke halaman, apalagi keluar dari regol. Mereka justru telah kembali masuk dan menyelarak pintu rumah mereka serapat-rapatnya.

Untuk beberapa saat orang-orang yang mengepung rumah Suratama itu menunggu. Mereka berharap bahwa seorang di antara mereka yang mengamati rumah itu segera menghubungi mereka untuk menyusun rencana selanjutnya. Pemimpin kelompok yang menyebut kelompoknya Gajah Liwung itu masih memerlukan beberapa keterangan dari orang itu.

Tetapi untuk beberapa lama orang-orang dari kelompok yang mengaku bernama Gajah Liwung itu menunggu, namun orang itu tidak segera datang memberikan laporan.

Dengan geram pemimpin kelompok itu telah menghubungi keempat orang yang memimpin bagian-bagian dari kelompok yang mendekat dari empat arah. Tetapi tidak seorangpun di antara mereka yang dihubungi oleh orang yang tinggal untuk mengawasi rumah yang akan menjadi sasaran serangan mereka itu.

Karena itu, maka pemimpin kelompok itu tidak sabar lagi. Iapun segera membawa dua orang kepercayaannya untuk melihat sendiri, apa yang ada di dalam rumah itu.

Ketika mereka mendekat dan memanjat dinding halaman samping, mereka memang menjadi termangu-mangu. Mereka tidak melihat seorangpun di halaman rumah itu. Lampu memang menyala di pendapa. Beberapa lagi di sudut-sudut rumah, dan sebuah oncor di regol. Namun rumah itu nampaknya sepi sekali.

“Lihat,” perintah pemimpin kelompok itu kepada seorang di antara kedua orang kepercayaannya itu, “apa yang ada di rumah itu. Apakah rumah itu memang kosong, atau mereka telah membangun satu jebakan.”

“Tetapi darimana mereka tahu bahwa kita akan datang?” bertanya kepercayaannya itu.

“Tetapi coba lihat sajalah,” perintah pemimpin kelompok itu.

Demikianlah, maka sejenak kemudian, orang itu pun telah meloncat turun ke halaman di bayangan kegelapan dedaunan. Sementara itu pemimpinnya berpesan, “Hati-hati.”

Orang itu segera menyusup di antara gerumbul-gerumbul perdu, mendekati dinding rumah yang nampak sepi itu.

Sebenarnyalah tidak terdengar suara apapun. Tidak pula terdengar tarikan nafas orang yang sedang tidur. Sementara pintu-pintu tertutup rapat.

Dengan hati-hati orang itu telah pergi ke seketheng. Ternyata longkangan pun nampak sepi sekali. Bahkan orang itu telah memberanikan diri memasuki longkangan, dan kemudian menyentuh pintu butulan.

Ternyata pintu itu terbuka. Dengan hati-hati orang itu memperhatikan keadaan di sekelilingnya. Namun iapun kemudian yakin, bahwa rumah itu ternyata kosong. Karena itu, maka ia memberanikan diri masuk lebih dalam lagi. Melihat sebuah bilik yang juga terbuka.

Tidak ada orang. Tidak pula terdengar suara apapun juga. Ketika orang itu menjadi semakin berani dan melihat seisi rumah itu, ia sama sekali tidak menemukan seorangpun.

Namun justru karena itu, maka ia merasa wajib untuk dengan segera melaporkan keadaan itu.

Pemimpin kelompok yang menyebut dirinya kelompok Gajah Liwung itu menggeram. Dengan suara bergetar ia berkata, “Agaknya iblis-iblis itu mengetahui bahwa kita akan datang. Karena itu, maka kita dapat menduga bahwa kawan kita yang tinggal itu justru telah tertangkap.”

Kedua orang kepercayaannya itu pun mengangguk-angguk. Namun pemimpin kelompok itu akhirnya berkata dengan lantang, “Kita akan memasuki halaman itu!”

Semua orangpun telah dipersiapkan. Empat orang diperintahkan untuk menghubungi mereka yang datang dari arah yang berbeda. Jika terdengar panah sendaren, maka seluruh anggota kelompok itu akan memasuki halaman lewat regol, pintu-pintu butulan di dinding halaman, bahkan meloncati dinding dari semua arah.

Sejenak kemudian semuanya telah bersiap. Pemimpin kelompok itu pun kemudian telah memerintahkan untuk melepaskan anak panah sendaren. Sekali lagi di atas padukuhan itu terdengar anak panah sendaren bergaung menggetarkan udara.

Serentak orang-orang yang mengepung halaman itu pun telah bergerak. Dengan cepat mereka telah berada di segala sudut halaman. Beberapa orang telah memecahkan pintu-pintu rumah itu dan masuk ke dalamnya.

Sebenarnyalah rumah itu telah kosong. Tidak seorangpun berada di rumah itu. Dari serambi yang paling belakang, sampai ke pendapa, mereka tidak menemukan bukan saja seseorang, tetapi rumah itu seakan-akan memang sebuah rumah yang kosong dan tidak berpenghuni.

Kemarahan orang-orang yang menyebut diri mereka dari kelompok Gajah Liwung itu menjadi semakin bergelora di dalam dada mereka. Apa yang ada di dalam rumah itupun telah dihancurkan oleh mereka. Bahkan kemudian seseorang telah dengan sengaja memukul lampu minyak di atas ajug-ajug.

Lampu minyak itu pun kemudian terjatuh. Minyaknya tumpah dan mengalir menggapai dinding.

Maka api lampu minyak itu pun telah mengalir pula. Dinding bambu yang basah oleh minyak itu pun terbakar. Semakin lama semakin besar. Bambu yang kering itu demikian cepat membawa api menjalar sampai ke atap.

Sejenak kemudian, maka rumah itu pun mulai terbakar. Dindingnya, atapnya, dan menjalar kemana-mana.

Orang-orang padukuhan itu pun mulai mengintip dari pintu-pintu samping yang sedikit terbuka. Mereka melihat api yang menjilat ke udara seakan-akan menggapai langit. Tetapi mereka sama sekali tidak berani keluar dari rumah mereka. Mereka sadar, bahwa bencana memang sedang terjadi. Rumah terbakar. Namun tidak seorangpun yang berani berbuat sesuatu, apalagi berusaha untuk memadamkan api yang berkobar.

Mereka yang tinggal di sebelah-menyebelah memang harus berhati-hati. Untunglah bahwa halaman-halaman di padukuhan itu termasuk luas, sehingga jarak antara rumah yang satu dan yang lain pun cukup jauh, sehingga api tidak mudah menjilat.

Namun dalam pada itu, beberapa orang sempat melihat dari luar padukuhan, api yang menjilat tinggi. Demikian mereka yakin bahwa rumah yang terbakar itu adalah rumah Suratama, maka Suratama seakan-akan telah kehilangan kendali. Hampir di luar sadarnya ia telah meloncat mencekik orang yang telah berhasil ditangkap oleh Sabungsari dan Glagah Putih, karena orang itu berkeliaran di dekat rumah yang dipergunakan sebagai sarang kelompok Gajah Liwung.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar