Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 261

Buku 261

Orang-orang dari kelompok Macan Putih itu mengumpat di dalam hati. Tetapi mereka harus menambah uang yang sudah mereka bayar kepada orang-orang yang memenangkan taruhan.

Ketika orang-orang itu menolak untuk menerima, maka Mandira membentaknya, “Jika kau menolak, maka kau yang akan aku pukuli!”

Orang itu menjadi heran. Tetapi ia terpaksa menerima uang lebih dari taruhan yang seharusnya dibayar oleh anak-anak dari melompok Macan Putih itu.

“Pergilah,” berkata Mandira, “jangan bertaruh lagi. Sabung ayam tidak akan memberikan apa-apa kepada kalian selain biru bengab di wajahmu.”

Kedua orang itu tidak menjawab. Mereka lupa mengucapkan terima kasih. Mereka ingin segera keluar dari tempat yang sama sekali tidak menyenangkan itu.

Yang tinggal kemudian memang hanya orang-orang dari kelompok Macan Putih dan kelompok Gajah Liwung. Orang-orang yang semula masih tinggal untuk melihat perkelahian yang keras itu, telah meninggalkan tempat itu pula.

“Kita mendapat kesempatan yang luas untuk membuat perhitungan sekarang ini,” berkata Rumeksa.

Tetapi orang-orang Macan Putih tidak menjawab. Mereka menyadari bahwa mereka tidak akan dapat mengimbangi orang-orang dari kelompok Gajah Liwung itu, meskipun jumlah mereka lebih sedikit.

“Tetapi baiklah,” berkata Rumeksa kemudian, “jika kalian belum bersedia kali ini, maka pada kesempatan lain kita akan bertemu lagi.”

Karena orang-orang Macan Putih itu masih tidak menjawab maka Rumeksa pun telah berkata kepada kawan-kawannya, “Marilah kita pergi.”

Keempat orang dari kelompok Gajah Liwung itu pun kemudian telah meninggalkan arena sabung ayam itu.

Yang tinggal adalah orang-orang dari kelompok Macan Putih. Macan Putih termasuk kelompok yang disegani, sebagaimana kelompok Sidat Macan. Bahkan sepeninggal pimpinan kelompok Sidat macan yang lama, maka kelompok Macan Putih merasa telah menjadi kelompok terbesar yang tentu dihormati oleh kelompok-kelompok yang lain.

Namun kelompok Gajah Liwung itu ternyata telah menghina mereka di hadapan orang banyak. Mereka telah dikalahkan oleh orang-orang dari kelompok Gajah Liwung yang jumlahnya jauh lebih sedikit dari jumlah mereka.

Tetapi hal itu memang telah terjadi.

“Kita akan membalas kekalahan ini. Juga di hadapan orang banyak,” geram salah seorang dari kelompok Macan Putih itu.

“Kita memang belum banyak mengenal mereka,” berkata yang lain.

“Mereka cukup sombong. Mereka membawa ciri kelompok mereka kemana-mana. Seakan-akan kelompok ini memang telah menantang kelompok-kelompok yang lain,” sahut yang pertama.

Seorang yang telah pingsan itu pun berkata pula, “Aku akan mencari kesempatan untuk membalas dendam. Jika perlu kita akan membunuh seorang di antara mereka. Jika kita tidak berani berbuat demikian, maka kelompok Gajah Liwung akan menjadi semakin sombong.” 

Kawan-kawannya tidak segera menjawab. Tetapi mereka bertanya dalam hati, apakah benar mereka dapat melakukannya. Bahkan orang yang mengatakannya itu sendiri tidak yakin bahwa mereka akan dapat membunuh seorang di antara lawan mereka.

Seorang di antara orang-orang kelompok Macan Putih itu justru bertanya kepada diri sendiri, “Seandainya kami dapat membunuh seorang di antara mereka, apakah mereka tidak akan membunuh lima orang di antara kami?”

Tetapi orang itu tidak mengatakannya. Bahkan iapun menggeram sambil berkata, “Marilah. Lain kali kita membuat perhitungan.”

Kelima orang itu pun kemudian telah meninggalkan arena sabung ayam yang sepi itu. Nampaknya memang tidak ada seorangpun di antara mereka yang memberikan laporan tentang keributan yang terjadi di arena sabung ayam itu.

Dengan peristiwa di Bukit Kapur dan di arena sabung ayam itu, maka kelompok Gajah Liwung telah menjadi bahan pembicaraan.

Kelompok-kelompok yang ada sebelumnya telah menyebut-nyebut nama kelompok yang baru, yang terdiri dari orang-orang aneh. Mereka tidak nampak terlalu banyak berkeliaran dengan pakaian yang aneh-aneh, dan tidak pernah disebut-sebut mengganggu orang-orang yang berbelanja di pasar atau di kedai-kedai. Mereka memang sering berbuat aneh-aneh. Tetapi tidak banyak mengganggu orang lain, kecuali orang-orang khusus.

Tingkah laku kelompok Gajah Liwung mengingatkan beberapa orang kepada tingkah laku Raden Rangga yang sudah tidak ada lagi.

Pada suatu hari, seorang pedagang ternak yang kaya telah mengumpat-umpat karena halaman rumahnya menjadi kolam. Di malam hari, orang-orang Gajah Liwung telah mengalirkan air dari parit di muka rumah pedagang ternak itu ke halaman. Sambil menyangkutkan sehelai kain berlukiskan kepala seekor Gajah, di kain itu tertulis pula sebuah kalimat, “Kau peras peternak-peternak kecil yang miskin untuk membuat kau menjadi kaya raya.” Pedagang ternak itu telah memanggil orang-orangnya. Dengan lantang ia bertanya, “Apa yang pernah aku lakukan? Bukankah wajar jika aku mengambil keuntungan dalam perdagangan ternak ini?”

Tidak ada yang menjawab. Tetapi beberapa orang di antara mereka bertanya dalam hati, “Keuntungan itu terlalu banyak. Berlipat-lipat dari modal yang kau keluarkan. Petani-petani yang membutuhkan uang untuk makan mereka sehari-hari itu telah menjual ternak-ternak mereka dengan harga yang terlalu murah.”

Tetapi tidak seorangpun berani menjawab.

Sementara pedagang itu masih saja membentak-bentak dan mengumpat-umpat. Tetapi suaranya tertahan ketika ia mendengar suara tertawa di atas sebatang pohon di sudut halamannya, dekat gandok. Dua orang duduk di atas cabang pohon sambil menggoyang-goyangkan kakinya.

“Setan kau,” geram pedagang ternak itu.

“Tidak apa-apa. Sebuah peringatan kecil,” berkata seorang di antara mereka yang ada di atas pohon, “sebaiknya kau rubah caramu berdagang. Kau mempunyai kebiasaan meminjamkan uang kepada orang-orang miskin. Beberapa bulan kemudian, kau pungut hutangmu dengan nilai berkali lipat. Jika mereka tidak dapat membayar, maka kau ambil ternaknya. Lembunya, kerbaunya, bahkan kambingnya. Kau hargai ternak itu murah sekali, karena kau mengancam bahwa sebulan lagi uangnya akan berlipat, jika tidak mereka selesaikan segera. Caramu memang menarik sekali.”

“Aku seorang pedagang. Aku memang mencari untung. Bukankah itu wajar?” sahut pedagang ternak itu.

“Kau pernah mendengar istilah ngijon? Nah, itulah yang telah kau lakukan. Meminjamkan uang, yang kemudian anak beranak dengan bunga yang sangat tinggi. Atau kau membeli ternak dengan cara yang tidak wajar. Kau pinjamkan uang dengan penilaian yang rumit, yang hanya kau ketahui sendiri, dengan keuntungan yang tidak masuk akal.” berkata salah seorang yang ada di atas pohon.

“Bukan salahku. Mereka yang datang kepadaku. Mereka minta aku menolong mereka yang sedang dalam kesulitan uang. Mereka sudah sepakat sebelumnya dengan syarat yang aku berikan kepada mereka,” geram pedagang itu. Lalu katanya, “Jadi mereka menganggap aku adalah seorang penolong. Jika tidak percaya, kau dapat berada di rumah ini sehari saja. Kau akan menyaksikan sendiri orang yang datang dan mohon dengan belas kasihan aku untuk menolong mereka. Dan aku memang seorang yang selalu menolong sesama.”

Tetapi kedua orang yang ada di pohon itu tertawa bersama-sama. Seorang di antara mereka berkata, “Kau memang licin. Tetapi aku ingin bertanya, apakah kau berkata dengan jujur? Jujur kepada dirimu sendiri?”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba saja ia berkata, “Apa pedulimu? Siapa kalian?”

“Kami adalah anggota kelompok Gajah Liwung. Kau sudah menemukan secarik kain bergambar kepala gajah itu bukan? Nah, terserah padamu, apakah kau mau mendengarkan kami atau tidak,” jawab seorang di antara mereka yang ada di atas pohon itu.

Namun pedagang ternak itu berteriak kepada orang-orangnya, “Ambil busur dan anak panah. Aku akan berburu di halaman rumahku sendiri.”

Seorang di antara orang-orang pedagang itu memang berlari-lari masuk ke dalam rumah untuk mengambil busur dan anak panah. Namun kedua orang yang ada di atas pohon itu meloncat dari dahan ke dahan, kemudian meloncat ke dinding halaman rumah pedagang itu sambil berkata, “Katakan kepada orang-orang dari kelompok Kelabang Ireng yang menjadi pelindungmu, bahwa kelompok Gajah Liwung akan bertindak lebih jauh. Pada kesempatan lain, kami akan bertemu dengan kelompok Kelabang Ireng.”

Ketika orang yang mengambil busur dan anak panah itu keluar, maka orang-orang dari kelompok Gajah Liwung itu telah menghilang.

Pedagang ternak itu mengumpat-umpat. Dengan geram ia berkata, “Orang-orang dari kelompok Kelabang Ireng yang sekarang semakin berpengaruh itu tentu akan menghancurkan mereka. Aku akan mengatakan kesombongan orang-orang Gajah Liwung itu.”

Orang-orangnya pun mengangguk-angguk. Mereka juga menganggap bahwa kelompok Kelabang Ireng akan dapat menyelesaikan masalah.

Tetapi dalam pada itu, ketika pimpinan kelompok Kelabang Ireng mendengar laporan tentang tingkah laku orang Gajah Liwung itu, ia menjadi berdebar-debar. Nampaknya Gajah Liwung benar-benar ingin menantangnya untuk pada suatu saat membuat perhitungan.

Namun kepada pedagang yang harus dilindungi itu ia berkata, “Dalam waktu singkat, aku akan menghancurkan kelompok yang terdiri dari orang-orang gila itu.”

Pedagang itu mengangguk-angguk. Ia yakin, bahwa kelompok Kelabang Ireng akan dapat mengatasi persoalan. Pedagang itu menganggap bahwa kelompok Gajah Liwung yang baru saja lahir itu masih belum tahu betapa garangnya medan.

Sebenaranya pedagang itu sendiri tidak ingin mendapat perlindungan dari siapapun. Tetapi orang-orang kelompok Kelabang Ireng justru datang kepada pedagang itu dan menawarkan perlindungan. Ketika saat itu pedagang itu menolak, maka hampir saja ia menjadi korban kegarangan orang-orang dari kelompok Kelabang Ireng itu. Sehingga akhirnya ia terpaksa bersedia mendapat perlindungan dari kelompok itu. Sudah tentu dengan menyerahkan sejumlah uang setiap bulan.

Kemunculan kelompok Gajah Liwung memang menggelisahkan. Apalagi nampaknya kelompok baru itu sama sekali tidak gentar menghadapi kelompok Kelabang Ireng.

“Jika aku harus membayar dua kelompok sekaligus, maka aku tentu merasa keberatan. Keduanya harus menentukan, siapa yang terkuat di antara mereka,” berkata pedagang itu.

Tetapi ternyata bahwa orang-orang Gajah Liwung masih saja dengan sengaja memancing permusuhan dengan kelompok-kelompok lain. Orang-orang kelompok Sidat Macan telah dikejutkan oleh tingkah laku orang-orang Gajah Liwung. Ketika orang-orang yang berada di bawah perlindungan kelompok Sidat Macan sedang sibuk berjudi di sebuah rumah yang memang khusus diperuntukkan bagi para penjudi, tiba-tiba saja rumah itu menjadi gempar.

Tanpa mereka ketahui dari mana asalnya, tiba-tiba saja beberapa ekor ular menelusuri lantai rumah yang dipergunakan sebagai tempat perjudian itu, sehingga para penjudi telah menjadi gempar. Mereka berloncatan dan berlari-lari saling bertabrakan.

Ular-ular yang kemudian berkeliaran itu memang tidak begitu besar. Namun jumlahnya cukup banyak. Beberapa ekor di antaranya terikat oleh sesobek kain dengan gambar kepala seekor gajah.

Ketika seseorang sempat memungut sobekan kain yang tercecer, maka mereka pun tahu, bahwa yang telah melakukan perbuatan itu adalah orang-orang dari kelompok Gajah Liwung.

Memang tidak seorangpun di antara orang-orang yang berloncatan itu digigit oleh ular-ular yang berkeliaran dan yang kemudian menghilang di sudut-sudut yang gelap. Tetapi mereka justru telah saling berdesakan dan mendorong berebut dahulu keluar dari rumah judi, yang terletak tidak terlalu jauh dari kota itu.

Demikian mereka berada di halaman, maka mereka pun telah menarik nafas dalam-dalam. Serasa mereka telah terlepas dari bahaya yang dapat mengancam jiwa mereka.

Orang-orang Sidat Macan yang menyelenggarakan tempat perjudian itu memang menjadi bingung. Peristiwa itu terjadi begitu tiba-tiba. Uang yang dipergunakan dalam perjudian itu telah berserakan, sementara makanan dan minuman telah tumpah berserakan, bahkan terinjak-injak.

Beberapa saat kemudian, semua orang telah berkumpul di halaman, termasuk beberapa orang dari kelompok Sidat Macan yang menjadi pelindung dari rumah judi itu.

“Orang-orang Gajah Liwung memang gila,” geram seorang dari anggota kelompok Sidat Macan, “tetapi jangan takut. Kami akan melindungi kalian. Silahkan masuk dan meneruskan permainan kalian.”

“Mana mungkin kami dapat melanjutkan permainan,” berkata salah seorang yang ikut dalam perjudian, “uang kami telah berserakan di dalam. Sementara itu ular berkeliaran di lantai. Mungkin di bawah tikar atau di sudut-sudut gelap. Setiap saat ular-ular itu dapat mematuk tumit kami.”

“Jadi apa yang akan kalian lakukan?” bertanya anggota kelompok Sidat Macan itu.

“Kami tidak tahu,” jawab orang itu.

Namun tiba-tiba saja terdengar orang tertawa berkepanjangan. Tiba-tiba saja dari sudut di luar dinding halaman, seseorang telah meloncat naik dan duduk di atas dinding.

Orang-orang yang ada di halaman semuanya berpaling kapadanya. Kepada seorang yang berpakaian aneh sebagaimana orang-orang dari kelompok-kelompok liar itu. Ikat kepalanya memang melilit di kepalanya. Tidak mengenakan baju sama sekali. Sebuah kalung dari berbagai jenis kerang tergantung di lehernya. Selapis gelang kulit yang lebar di kedua pergelangan tangannya. Sedangkan kain panjangnya melilit d lambung.

“Gila,” geram salah seorang anggota kelompok Sidat Macan, “aku bunuh kau.”

Orang yang duduk diatas dinding itu masih tertawa. Katanya, “Kami akan membakar tempat maksiat ini. Tempat perjudian, yang tentu merupakan tempat gelap yang lain. Tempat para penjahat berkumpul, dan tempat yang tidak pantas untuk tetap dibiarkan keberadaannya. Nah, dengan membakar tempat ini, maka setidak-tidaknya satu di antara beberapa tempat yang kotor di sekitar kota Mataram telah dimusnahkan.”

“Setan kau,” geram anggauta Sidat Macan itu, “kau tidak akan dapat melakukannya.”

Orang Gajah Liwung itu tertawa semakin keras. Katanya, “Kau jangan bermimpi. Kau tidak akan dapat mencegahnya. Meskipun di sini berkumpul orang-orang dari kelompok Sidat Macan dan beberapa orang gegedug yang bekerja sama dengan orang-orang Sidat Macan, namun kalian tidak akan dapat mencegah kami.”

Dua orang anggota kelompok Sidat Macan itu telah mendekati orang yang duduk di atas dinding itu. Namun mereka terkejut bahwa orang dari kelompok Gajah Liwung itu sama sekali tidak meloncat keluar dinding dan melarikan diri, tetapi justru meloncat ke dalam halaman.

Kedua orang anggota Sidat Macan itu justru bergeser mundur. Sementara beberapa orang yang ada di halaman itu berdiri termangu-mangu.

Namun sebagian dari mereka memang orang-orang yang sering merambah dalam kehidupan yang gelap. Karena itu, maka seorang di antara mereka berteriak, “Bunuh saja orang itu. Mereka telah mengacaukan permainan kita dan mengganggu kesenangan kita di sini.”

“Ya. bunuh saja. Jika ular-ular itu menggigit salah seorang dari kita, maka orang itu akan mati. Jadi menurut penilaian kita, maka orang itu sudah benar-benar akan membunuh kita. Karena itu, maka tidak ada salahnya jika kita juga benar-benar membunuhnya,” teriak seorang di antara orang-orang yang ada di halaman itu.

Beberapa orang kemudian telah bergeser mendekati orang yang berdiri di sudut halaman itu.

Kedua orang anggota Sidat Macan yang telah mendahului mereka dan bergeser mundur, telah melangkah maju lagi, setelah disadarinya beberapa orang datang mendekat pula.

“Menyerahlah,” berkata kedua orang anggota Sidat Macan itu.

Tetapi orang dari kelompok Gajah Liwung itu hanya tertawa saja.

Dalam pada itu, beberapa orang kelompok Sidat Macan telah berlari-lari pula di halaman samping rumah itu, ketika mereka mendengar suara tertawa dari bagian lain. Bahkan tidak hanya seorang, tetapi dua orang.

Tetapi dari arah lain lagi, masih juga terdengar suara tertawa itu.

Orang-orang dari kelompok Sidat Macan memang menjadi agak bingung. Namun pemimpinnya segera berteriak, “Kita cari mereka di seluruh sudut halaman dan rumah.”

“Kita akan membunuh ular-ular itu, sekaligus orang-orang dari kelompok Gajah Liwung. Mereka telah memasuki perangkap yang mereka buat sendiri,” suara pemimpin kelompok Sidat Macan itu menjadi semakin lantang.

Orang-orang yang ada di halaman itu telah menjadi semakin garang. Beberapa orang telah mengepung seorang dari kelompok Gajah Liwung yang berada di sudut halaman. Beberapa orang di halaman samping.

Namun tiba-tiba saja muncul dari dalam rumah, anggota Gajah Liwung lainnya, dengan sikap dan pakaian yang tidak ubahnya dengan anggota-anggota kelompok yang lain.

“He, kenapa kalian telah meninggalkan uang kalian di dalam rumah ini?” bertanya salah seorang anggota kelompok Gajah Liwung.

“Kau rampok uang kami!” teriak seseorang.

“Tidak. Aku mengambil uang kalian yang telah kalian buang. Berserakan di lantai dan di mana-mana,” jawab orang Gajah Liwung itu.

“Setelah kau mengacaukan tempat kami dengan melemparkan ular-ular ke dalam!” teriak orang lain.

Tetapi orang dari kelompok Gajah Liwung itu tertawa. Katanya, “Kami memerlukan uangmu. Kami mempunyai kesanggupan kepada sekelompok pengemis yang kelaparan untuk menyediakan makanan bagi mereka selama beberapa hari. Kami telah sanggup memberikan tuntunan kepada mereka, ketrampilan membuat barang-barang dan alat-alat rumah tangga dari bambu. Terima kasih atas modal yang kalian sediakan di sini.”

“Setan!” teriak pemimpin kelompok Sidat Macan, “Tunggu apalagi? Tangkap dan bunuh mereka! Aku akan bertanggung jawab.”

Orang-orang Sidat Macan dan beberapa orang gegedug serta orang-orang sesat yang berada di rumah perjudian itu pun segera menyerang orang-orang dari kelompok Gajah Liwung, yang jumlahnya memang tidak terlalu banyak. Tetapi saat ini delapan orang dari kelompok Gajah Liwung seluruhnya berada di lingkungan halaman rumah judi itu. Sejenak kemudian memang telah terjadi perkelahian yang tidak seimbang. Jumlah orang-orang Sidat Macan dan orang-orang yang terlibat dalam perjudian itu lebih dari tiga puluh orang.

Tetapi orang-orang dari kelompok Gajah Liwung yang berpencar itu membuat lawan-lawan mereka menjadi bingung.

Namun sejenak kemudian di beberapa tempat telah terjadi pertempuran. Delapan orang anggota kelompok Gajah Liwung yang semuanya turun di medan, telah melibatkan diri semuanya. Enam orang di antara mereka bertempur berpasangan. Sedangkan dua orang lainnya telah bertempur terpisah. Keduanya adalah Sabungsari dan Glagah Putih.

Sabungsari-lah yang berada di halaman depan dan yang menunjukkan dirinya pertama kali. Kemudian Glagah Putih di halaman samping, disusul oleh orang-orang lain dari kelompok Gajah Liwung.

Orang-orang Sidat Macan yang marah itu dengan serta merta telah mempergunakan senjata mereka. Demikian pula beberapa penjudi yang ikut melibatkan diri.

Dengan demikian maka orang-orang dari kelompok Gajah Liwung pun telah mempergunakan senjata mereka pula.

Dalam pada itu, ternyata bahwa kemampuan Sabungsari dan Glagah Putih telah menggemparkan orang-orang Sidat Macan. Meskipun masing-masing hanya seorang diri, namun menghadapi sekelompok orang, mereka sama sekali tidak segera terdesak. Sabungsari yang bersenjata pedang telah mampu mengacaukan pertahanan lawan-lawannya. Apalagi jika Sabungsari menghentakkan senjatanya sambil berteriak mengerikan. Suaranya bagaikan menggetarkan udara membentur dada mereka, sehingga isi dada mereka ikut berguncang.

Yang tidak kalah garangnya adalah Glagah Putih. Iapun bertempur seorang diri menghadapi lima orang sekaligus. Tetapi Glagah Putih tidak dengan serta merta mempergunakan ikat pinggangnya. Untuk menghadapi lima orang, Glagah Putih mempergunakan senjata aneh. Sepasang cambuk. Cambuk yang dibelinya di pasar. Benar-benar cambuk kerbau yang besar, yang terbuat dari anyaman lidi dan juntainya terbuat dari ijuk.

Tetapi dengan cambuknya itu, Glagah Putih memang telah mengacaukan pertahanan kelima orang lawannya. Beberapa kali ia berhasil mengenai tubuh lawannya. Hentakan cambuk yang keras dan mapan telah mampu melukai kulit lawannya silang menyilang.

“Ternyata kulit kalian tidak sekuat kulit kerbau,” berkata Glagah Putih, “cambuk ini adalah cambuk kerbau. Jika seseorang bekerja di sawah dengan bajaknya atau garunya yang ditarik dengan sepasang kerbau, maka orang itu akan mempergunakan cambuk seperti ini.”

“Persetan kau,” geram seorang anggota Sidat Macan sambil mengayunkan kapaknya yang besar.

Tetapi kapak itu sama sekali tidak menyentuh sasaran. Bahkan dengan kerasnya Glagah Putih telah menghentakkan cambuknya menghantam pergelangan tangan orang itu.

Orang itu berteriak kesakitan. Kemudian mengumpat-umpat kasar. Hampir saja kapaknya terlepas dari tangannya.

Sementara itu, kawannya yang lain telah meloncat menyerang Glagah Putih dengan tongkat besinya. Tongkat itu terayun deras mengarah ke tengkuk. Tetapi Glagah Putih yang tangkas itu telah merendahkan dirinya mengelakkan ayunan tongkat itu. Demikian tongkat itu terayun di atas kepalanya, maka ujung cambuknya yang terbuat dari ijuk itu telah menggelepar melecut lengannya.

Orang itu pun menyeringai menahan pedih. Justru karena ia tidak berbaju, maka goresan yang merah telah menyilang di lengannya. Meskipun luka itu tidak menganga sebagaimana sentuhan cambuk Kiai Gringsing, namun orang itu telah menjadi kesakitan.

Sentuhan ujung-ujung sepasang cambuk Glagah Putih itu telah membuat lawan-lawan mereka menjadi marah sekali. Mereka telah menghentakkan kemampuan mereka untuk mendesak Glagah Putih.

Glagah Putih memang bergeser surut. Seakan-akan kelima orang itu mendesaknya. Tetapi setiap kali cambuknya yang besar dan berjuntai panjang itu telah berhasil mengenai lawan-lawannya. Meskipun juntai cambuk itu tidak mengoyak kulit daging, namun sentuhan-sentuhannya yang semakin keras itu pun telah membuat kelima orang lawannya kesakitan.

Ketika seorang dari kelima orang itu tiba-tiba saja menyerang Glagah Putih dari samping dengan parangnya yang besar, maka dengan serta merta Glagah Putih yang sedang menghindari serangan kapak telah menghentikannya. Ia tidak dapat berbuat lain daripada mengibaskan cambuk di tangan kirinya. Namun ternyata ujung cambuk itu telah menampar wajah orang yang bersenjata parang. Cukup keras. Bahkan ujungnya telah menyentuh sebelah mata orang itu.

Orang yang terkena ujung cambuk di wajahnya itu berteriak keras. Tiba-tiba saja ia telah berjongkok sambil menutup wajahnya yang kesakitan. Rasa-rasanya sebelah matanya telah terluka.

Glagah Putih telah bergeser menjauh. Lawannya kemudian tinggal empat orang. Lecutan-lecutan sepasang cambuknya terasa menjadi semakin garang. Hampir semua lawan-lawannya telah digoresnya silang-melintang dengan ujung cambuknya yang terbuat dari ijuk yang dianyam rapat dan padat.

Sementara itu, di belakang rumah, Pranawa yang berpasangan dengan Rara Wulan telah bertempur melawan empat orang. Pranawa yang juga mengenakan pakaian yang tidak wajar, telah bertempur dengan garangnya. Sementara itu, Rara Wulan justru telah mengenakan pakaian yang rapat, namun dengan berbagai macam hiasan yang tidak sewajarnya. Rara Wulan telah mengenakan sejenis akar yang digantungi taring badak dan tulang-tulang sebagai kalung. Ikat pinggang kulit yang lebar dikenakan di luar bajunya. Sehelai rantai kecil bergayutan di ikat pinggangnya itu.

Di tangannya tergenggam sehelai pedang tipis yang tajam. Dengan tangkasnya Rara Wulan berloncatan seperti seekor burung sikatan di rerumputan menyambar belalang. Empat orang lawannya kadang-kadang memang menjadi bingung. Namun mereka mengerti, bahwa kekuatan yang sebenarnya tidak pada orang yang berpakaian rapat itu. Tetapi pada kawannya yang bersenjata sepasang trisula.

Tetapi Pranawa, yang telah ditujuk Sabungsari atas ijin Untara menemaninya dalam permainan itu, adalah orang yang berbekal cukup. Dengan garangnya trisulanya menyambar-nyambar. Pranawa itu seakan-akan berada dimana saja di sekeliling Rara Wulan. Sementara itu Rara Wulan tinggal menyesuaikan dirinya. Namun Rara Wulan sendiri bukannya tidak berkemampuan. Sekali-sekali pedang tipisnya sempat menggapai ke arah lawan-lawannya.

Ternyata keempat orang lawan mereka banyak mengalami kesulitan. Bahkan beberapa saat kemudian, trisula Pranawa itu telah mulai berdesing di telinga lawannya.

Seorang di antara keempat lawannya yang dengan sepenuh kekuatan mengayunkan pedangnya, telah terjebak di antara mata trisula Pranawa. Sekali putar, maka pedang itu pun bagaikan direnggut oleh kekuatan raksasa dari tangan pemiliknya.

Sebilah pedang telah terbang lepas dari genggaman. Namun Pranawa tidak berhenti menyerang. Trisulanya pun kemudian telah memburu lawannya yang berloncatan dan bahkan berlari-lari menjauhinya.

Pranawa dalam pakaiannya yang tidak wajar itu tertawa. Suara tertawanya menghentak-hentak menyakitkan telinga. Ternyata Pranawa dapat juga menjadikan dirinya seorang yang menyeramkan.

Di bagian lain dari pertempuran itu, Naratama dan Suratama bertempur dengan keras. Keduanya ternyata dapat juga berbuat sedikit kasar. Keduanya bersenjata bindi meskipun tidak begitu besar. Senjata yang jarang sekali dipergunakan. Keduanya memerlukan beberapa hari untuk membiasakan diri mempergunakan senjata itu dengan landasan ilmu pedang mereka.

Ternyata bahwa delapan orang lawan yang bertempur melawan mereka tidak segera mampu menundukkannya. Kedua orang itu dapat bertempur dengan tangkasnya. Berloncatan seperti kijang di antara gerumbul-gerumbul perdu.

Pasangan yang lain adalah Rumeksa dan Mandira. Ternyata keduanya bertempur dengan cara yang aneh. Keduanya bertempur sambil berlari-lari. Beberapa orang mengejarnya. Namun tiba-tiba saja, ketika Rumeksa dan Mandira berhenti dan menyerang mereka, maka orang-orang yang mengejarnya itu justru berlari-larian.

Namun setiap kali Rumeksa dan Mandira menyerang, maka seorang di antara lawan-lawannya telah terluka. Goresan-goresan tipis di lengan, pundak dan dada.

Tetapi sudah tentu orang-orang itu tidak akan membiarkan kedua orang itu begitu saja meninggalkan tempat itu, karena keduanya yang telah membawa uang yang ada di dalam rumah judi itu.

Namun tidak mudah menangkap kedua orang itu. Keduanya mampu bergerak cepat sekali. Bahkan kadang-kadang mereka telah melakukan sesuatu yang tidak terduga sebelumnya.

Sementara itu, orang-orang yang mengerumuni Sabungsari pun menjadi bingung. Setiap kali mereka berusaha mendesak, maka mereka justru harus berloncatan surut. Pedang Sabungsari yang berputaran seperti baling-baling itu menjadi sangat berbahaya bagi mereka. Sambil tertawa berkepanjangan Sabungsari telah membuat lawan-lawannya gelisah. Apalagi jika Sabungsari meloncat maju menyerang sambil berteriak dengan garangnya. Maka rasa-rasanya isi dada orang-orang yang mengerumuninya itu telah terguncang. Dalam keadaan yang demikian itulah Sabungsari meloncat menjulurkan pedangnya, yang menggapai tubuh salah seorang lawannya.

Serangan Sabungsari memang bukan serangan yang mematikan. Tetapi luka-luka di tubuh lawan-lawannya itu telah membuat mereka menjadi semakin berhati-hati. Mereka tidak lagi seperti serigala berebut bangkai. Bahkan mereka menjadi semakin lama semakin ragu-ragu.

Dalam pada itu, Glagah Putih pun menjadi semakin bebas bergerak. Lawannya telah berkurang seorang demi seorang. Cambuk kerbaunya ternyata mampu membuat lawan-lawannya kehilangan kendali. Hampir semua lawan-lawannya telah dikenai wajahnya dengan juntai ijuk pada cambuknya itu.

Ketika lawannya yang terakhir menghindar, maka Glagah Putih pun kemudian telah bergabung dengan lingkaran pertempuran yang lain.

Naratama dan Suratama yang melawan sekelompok orang terlalu banyak, memang agak mengalami kesulitan, meskipun mereka masih tetap mampu bertahan. Namun kehadiran Glagah Putih telah membuat keseimbangan mereka berubah. Dengan sepasang cambuknya, Glagah Putih telah mengacaukan pertahanan orang-orang yang bertempur melawan kedua orang itu. Bahkan seorang di antara mereka tidak mampu lagi meneruskan pertempuran. Ketika juntai cambuk Glagah Putih menjerat leher orang itu dan kemudian dihentakkannya, maka orang itu seakan-akan telah tercekik. Meskipun kemudian dengan cepat. Glagah Putih mengurai cambuknya. Namun orang itu telah menjadi pingsan karena pernafasannya yang bagaikan tersumbat.

Sementara itu, beberapa orang yang lain pun telah kehilangan kemampuannya untuk melawan dengan sepenuh tenaga. Bindi Naratama dan Suratama telah menyakiti tubuh mereka.

Orang-orang Sidat Macan memang bagaikan menjadi gila. Mereka telah bertempur dengan keras, kasar dan bahkan menjadi buas. Tetapi mereka tidak mampu mengatasi orang-orang dari kelompok Gajah Liwung. Apalagi orang-orang yang datang untuk berjudi di tempat itu tidak bertempur sepenuh hati. Ketika mereka melihat orang-orang yang menjadi pelindung mereka semakin terdesak, maka orang-orang itu pun telah kehilangan gairah untuk bertempur menyabung nyawa. Mereka merasa lebih baik kehilangan uang mereka daripada nyawa mereka. Dua tiga orang yang telah terluka kemudian telah menjauhi medan. Bahkan seorang di antara mereka berkata, “Orang-orang Sidat Macan tidak mampu melindungi tempat ini lagi. Buat apa kita bertempur di sini?”

Satu dua orang kemudian telah meninggalkan tempat itu. Sementara itu, tiba-tiba saja mereka melihat asap mengepul di belakang rumah itu. Bahkan kemudian api mulai memanjat naik dan dan menjilat atap.

Dalam waktu singkat maka rumah itu pun telah menjadi gumpalan api raksasa yang lidahnya menjilat langit.

Orang-orang Sidat Macan benar-benar seperti menjadi gila. Tetapi setiap kali mereka justru telah terdesak. Senjata-senjata orang-orang Gajah Liwung justru telah menggapai tubuh mereka.

“Setan alas!” teriak salah seorang anggota Sidat Macan, “kalian benar-benar harus dibunuh. Kali ini, kami belum berada dalam puncak kekuatan kami, karena tidak semua anggota Sidat Macan berkumpul. Pada kesempatan lain kalian akan menyesal. Kami bukan saja akan menyerang dan menghancurkan kedudukan kalian, tetapi kami akan membunuh kalian.”

Yang menjawab dari sudut halaman adalah Sabungsari dengan suaranya yang menggelegar, sehingga orang-orang yang mengepungnya bergeser menjauh, “Kami menunggu kedatangan kalian. Kami adalah orang-orang yang bertanggung jawab. Karena itu, kami tidak akan ingkar. Sekarang, jika kalian tidak meninggalkan tempat ini, maka kalian akan kami hancurkan segera, karena sebentar lagi api dan asap itu akan mengundang banyak orang, termasuk para prajurit. Dan kami tidak mau berurusan dengan para prajurit.”

Sabungsari tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun segera memutar pedangnya. Sambil berteriak nyaring ia meloncat maju mendesak.

Namun orang-orang yang mengepungnya ternyata tidak lagi berminat untuk menyabung nyawa. Beberapa orang di antara mereka telah terluka, sementara itu, jantung mereka bagaikan akan rontok oleh getaran suara teriakannya.

Karena itu maka beberapa orang, terutama orang-orang yang datang ke tempat itu sekedar untuk berjudi, telah berloncatan menjauh dan seorang demi seorang meninggalkan regol halaman.

Demikian pula orang-orang yang bertempur di sebelah dan di halaman belakang. Mereka justru berlari-larian meninggalkan rumah yang telah menjadi onggokan api raksasa.

Sejenak kemudian, maka orang-orang yang datang untuk berjudi maupun orang-orang Sidat Macan telah meninggalkan tempat itu. Hampir semua orang mengalami luka, meskipun hanya segores kecil.

Sebenarnyalah saat itu asap dan api yang membubung tinggi telah menarik perhatian. Meskipun rumah tempat berjudi itu letaknya terpisah dari padukuhan, tetapi orang-orang dari padukuhan terdekat nampaknya telah tertarik untuk melihat apa yang terjadi.

Ketika beberapa orang dari padukuhan terdekat dengan ragu-ragu mendekati asap dan api yang menjilat langit itu, maka telah terdengar derap kaki beberapa ekor kuda. Sekelompok pasukan prajurit berkuda telah berpacu dengan cepat menuju ke tempat kebakaran itu.

Namun ketika mereka sampai di tempat itu, maka halaman rumah itu telah kosong. Tidak seorangpun yang mereka jumpai di tempat itu.

Para prajurit itu termangu-mangu. Dengan tegang mereka menyaksikan api yang menyusut dan kemudian menjadi semakin kecil. Tetapi rumah perjudian itu telah menjadi abu.

“Siapa yang melakukannya?” bertanya para prajurit itu di antara mereka.

Selagi mereka termangu-mangu, maka di antara mereka melihat seekor ular yang menjalar melintasi halaman samping. Nampaknya ular itu sempat menghindari api yang berkobar menelan rumah itu seisinya.

Ular itu menarik perhatian para prajurit bukan karena jenisnya. Tetapi pada ular itu terikat sehelai kain berwarna biru dengan lukisan berwarna soga.

Seorang di antara prajurit itu sempat mengayunkan pedangnya dan menebas ular itu sehingga terputus. Kemudian mereka sempat melihat kain yang berlukiskan kepala seekor gajah.

“Gajah Liwung,” desis seorang prajurit.

“Ya. Akhir-akhir ini telah muncul kelompok baru di antara kelompok-kelompok anak-anak nakal yang telah ada. Tetapi tingkah laku kelompok yang satu ini agak berbeda. Mereka nampaknya menentang sikap dan kebiasaan kelompok-kelompok yang lain. Mereka telah mengacaukan sabung ayam, dan menurut beberapa orang yang menyaksikan, orang-orang dari kelompok Macan Putih telah kehilangan kesempatan untuk merampas uang para penjudi yang sedang bertaruh. Sekarang kelompok Gajah Liwung telah membakar tempat perjudian ini,” berkata pemimpin kelompok prajurit berkuda itu.

“Mungkin kelompok itu timbul justru karena mereka muak dengan kelompok-kelompok yang telah ada dan berusaha menghancurkannya,” berkata seorang prajurit yang lain.

“Tetapi caranya telah menimbulkan persoalan tersendiri,” jawab pemimpin kelompok itu.

Prajurit yang lain mengangguk-angguk. Nampaknya kelompok yang baru itu telah mengambil jalan sendiri untuk berusaha mengehentikan kegiatan kelompok-kelompok yang selalu merugikan orang banyak. Tetapi bagaimanapun juga, cara yang ditempuh bertentangan dengan paugeran yang berlaku.

Beberapa saat lamanya, para prajurit berkuda itu masih berada di halaman bekas rumah perjudian itu. Namun setelah mereka tidak menemukan pertanda-pertanda lain, maka mereka pun telah berkumpul dan siap untuk meninggalkan tempat itu.

“Tempat ini berada di bawah perlindungan orang-orang Sidat Macan,” berkata pemimpin kelompok itu, “tetapi sudah dihancurkan sampai lumat oleh kelompok Gajah Liwung.”

“Lalu bagaimana dengan orang-orang Sidat Macan dan para penjudi yang ada di tempat ini?” desis yang lain.

“Itu yang belum kita ketahui. Agaknya kita tidak mudah untuk menemukan seorang saksi,” berkata pemimpin kelompok itu.

Dengan bekal pengamatan yang ada, maka para prajurit itu pun kemudian telah meninggalkan tempat itu tanpa harus memadamkan api, karena api yang menelan rumah itu telah menjadi hampir padam sama sekali.

Sementara itu, orang-orang dari kelompok Gajah Liwung telah berkumpul di rumah Naratama dan Suratama. Mereka ternyata mendapat uang yang cukup banyak dari rumah perjudian.

“Uang itu uang hitam,” berkata Rara Wulan.

“Tetapi dapat kita pergunakan untuk kepentingan yang baik,” sahut Sabungsari, “misalnya dapat kita berikan petani-petani miskin dan sebagainya, meskipun tidak benar-benar kita pergunakan untuk para pengemis dengan memberikan tuntunan ketrampilan kepada mereka.”

Rara Wulan termangu-mangu. Namun Mandira ternyata sependapat dengan Sabungsari. Katanya, “Uang itu lebih berarti jika kita berikan kepada orang-orang yang memerlukannya, daripada di tangan para penjudi atau ikut terbakar di rumah itu.”

Glagah Putih pun mengangguk sambil berkata, “Ya. Agaknya memang demikian.”

Akhirnya Rara Wulan pun berdesis, “Baiklah jika kalian sepakat untuk memanfaatkan uang itu.”

“Ya. Kita sendiri tidak akan mempergunakannya,” berkata Rumeksa.

“Jika demikian,” berkata Sabungsari, “kita harus membagikan uang itu. Memang tidak terlalu banyak. Tetapi orang-orang yang mendapat bagian dari padanya, jangan sampai menjadi korban kemarahan orang-orang Sidat Macan.”

“Ya. Kita harus mempertimbangkan hal itu,” sahut Glagah Putih, “karena itu, maka kita tidak akan tergesa-gesa membagikan uang itu. Untuk beberapa saat uang itu kita simpan. Baru kemudian jika kita benar-benar telah menemukan sasaran, kita akan mempergunakannya.”

Yang lain mengangguk-angguk. Namun telah timbul pertanyaan, “Dimana uang itu disimpan?”

Orang-orang dari kelompok Gajah Liwung itu memang mangalami kebimbangan untuk menyimpan uang itu. Namun tiba-tiba saja Glagah Putih berkata, “Bagaimana jika kita titipkan Ki Lurah Branjangan?”

“Ah jangan,” sahut Rara Wulan, “jangan menyangkutkan Kakek dalam kegiatan kita ini. Bahkan sampai sekarang aku masih belum menemuinya. Aku tidak tahu apa yang dikatakan Kakek kepada Ayah dan Ibu.”

Glagah Putih menangguk-angguk. Namun untuk sementara mereka memutuskan untuk menyembunyikan uang yang memang agak banyak itu di rumah Naratama.

“Kita akan menyimpannya di dalam lubang yang agak dalam dan menimbuninya di halaman. Seandainya tempat ini diketahui oleh salah sebuah kelompok yang lain dan mereka datangi, maka mereka tidak akan menemukan apa-apa di dalam rumah ini,” berkata Suratama.

“Kami mempunyai sebuah peti kayu yang baik, yang tentu tahan agak lama di dalam tanah,” sambung Naratama.

Yang lain ternyata sependapat. Setelah disimpan di dalam peti. maka peti itu telah ditanam di belakang rumah, di bawah sebatang pohon jambu air.

Dalam pada itu, maka kelompok-kelompok yang telah ada lebih dahulu dari kelompok Gajah Liwung ternyata telah terpancing untuk memusuhinya. Mereka menjadi marah dan mendendam. Beberapa kali kelompok Gajah Liwung telah menganggu mereka. Sementara di antara kelompok-kelompok yang telah ada, telah sering dilakukan pembicaraan-pembicaraan untuk membagi daerah sehingga mengurangi kemungkinan terjadi benturan kekuatan. Meskipun kadang-kadang masih juga terjadi, tetapi tidak terlalu sering dan tidak dengan pancingan yang kasar sekali sebagaimana dilakukan oleh orang-orang dari kelompok Gajah Liwung.

Tetapi sejalan dengan itu, maka nama kelompok Gajah Liwung cepat menjadi bahan pembicaraan orang-orang Mataram dan sekitarnya. Para prajurit, para bebahu padukuhan, bahkan para petani dan orang-orang yang berdagang di pasar. Orang-orang dari kelompok Gajah Liwung ternyata banyak menyelamatkan mereka dari keganasan kelompok-kelompok yang lain. Meskipun perampasan dan pemerasan masih juga terjadi, namun orang-orang dari kelompok-kelompok yang lain harus memperhatikan dan memperhitungkan hadirnya kelompok Gajah Liwung yang sering ikut campur dalam berbagai macam persoalan.

Kepercayaan orang-orang Mataram terhadap kelompok Gajah Liwung telah menjadi semakin tinggi, ketika di beberapa tempat, rumah-rumah perjudian dan rumah-rumah yang berbau kehidupan yang gelap telah dirusak oleh orang-orang Gajah Liwung.

Para prajurit merasa bahwa orang-orang dari kelompok Gajah Liwung itu telah membantu tugas-tugas mereka. Namun caranya membuat para prajurit menyesal. Orang-orang Gajah Liwung memang telah melanggar paugeran dengan membakar rumah, merampok isinya dan merampas milik orang lain, meskipun yang menjadi sasaran adalah orang-orang yang dianggap memusuhi orang banyak, di bawah perlindungan kelompok-kelompok yang telah ada sebelumnya. Namun para prajurit masih belum berhasil memburu mereka.

Yang terjadi di sebuah simpang empat di luar Kota Mataram telah menarik perhatian banyak orang. Ketika dini hari orang-orang yang pergi ke pasar sampai ke simpang empat itu, maka mereka mendapatkan sebuah lubang yang besar, sebasar simpang empat itu sendiri. Lubang yang telah digenangi air dari parit yang mengalir di pinggir jalan itu.

Tidak seorangpun yang mengetahui, kenapa tiba-tiba saja telah terdapat lubang yang besar itu. Untuk apa dan dibuat oleh siapa.

Tetapi kemudian banyak orang mengetahui, bahwa beberapa pedati telah tertahan. Pedati dari orang-orang di bawah pengawalan kelompok Kelabang Ireng yang membawa beras dan jagung, hasil yang diterima dari beberapa padukuhan yang menjadi daerah perlindungan mereka. Beberapa orang petani yang termasuk kaya telah memberikan upeti kepada kelompok itu.

Namun yang kemudian menderita adalah para petani yang lebih kecil, karena petani yang kaya harus menyerahkan upeti sebagai imbalan perlindungan yang diberikan oleh kelompok Kelabang Ireng itu telah memeras pula para petani miskin. Pada umumnya mereka berbuat seakan-akan berbaik hati dengan meminjamkan uang atau mencukupi kebutuhan orang-orang miskin yang memerlukannya. Tetapi kemudian orang-orang itu harus mengembalikan dengan nilai yang berlipat di saat mereka panen, sedangkan hasil panenan mereka hanya sedikit saja.

Beberapa buah pedati itu harus berhenti, karena tidak dapat melintasi lubang yang besar dan digenangi air itu. Orang-orang dari kelompok Kelabang Ireng yang mengawal pedati-pedati itu telah mengumpat-umpat. Tetapi tidak ada sasaran untuk menumpahkan kemarahan mereka.

Orang-orang yang akan lewat dengan berjalan kaki, meskipun agak sulit, namun mereka dapat melintasi juga. Tetapi orang-orang berkuda, apalagi pedati-pedati, ternyata tidak mampu menembus lubang yang besar di simpang ampat itu.

Meskipun tidak ada tanda-tanda apapun, tetapi orang-orang Kelabang Ireng telah dapat menebak bahwa hambatan itu tentu dibuat oleh orang-orang Gajah Liwung, karena sebelum ada kelompok itu, tidak pernah terjadi permainan gila seperti itu.

Kelompok-kelompok yang ada sebelumnya hanya tahu berkelahi, memeras dan mengancam. Memang sering terjadi perkelahian antara kelompok. Namun di antara mereka tidak ada yang pernah melakukan perbuatan seperti itu.

Dengan kesal orang-orang Kelabang Ireng terpaksa membawa pedati mereka kembali. Namun satu masalah yang harus mereka pecahkan, bagaimana mereka menimbun lubang itu, sehingga pada kesempatan lain mereka akan dapat lewat dengan pedati-pedati mereka.

Dengan demikian kebencian kepada kelompok Gajah Liwung menjadi semakim meluas di antara kelompok-kelompok yang telah lahir lebih dahulu. Meskipun demikian, bukan berarti bahwa di antara mereka akan dapat diselenggarakan pembicaraan perdamaian. Kelompok-kelompok itu masih saja saling bermusuhan. Persaingan terjadi di beberapa bagian dari kota. Nampaknya daerah kekuasaan mereka di luar kota mempunyai batas yang lebih jelas daripada batas-batas yang dapat mereka sepakati di dalam kota.

Namun perbedaan sikap dari kelompok Gajah Liwung dengan kelompok-kelompok yang lain dengan cepat dapat dikenali oleh banyak orang. Dengan demikian maka orang-orang Mataram yang ada di kota dan sekitarnya semakin tidak takut lagi kepada orang-orang dari kelompok Gajah Liwung. Mereka bahkan mulai mengenal seorang demi seorang.

“Jumlah kami memang tidak banyak,” berkata Sabungsari, “kalian akan dapat mengenali keluarga kami dengan baik.”

Kehadiran kelompok Gajah Liwung justru memberikan ketenangan kepada orang banyak. Perasaan mereka bertolak belakang dengan jika mereka didatangi oleh orang-orang dari kelompok lain.

Dengan demikian, orang-orang Gajah Liwung telah mempunyai sahabat yang jumlahnya semakin bertambah-tambah. Dengan demikian maka kelompok Gajah Liwung pun semakin lama menjadi semakin mudah untuk mendapatkan keterangan dari orang-orang yang menaruh perhatian terhadap kelompok itu. Keterangan yang tidak pernah didapat oleh kelompok-kelompok yang lain.

Namun orang-orang Mataram terkejut ketika terjadi perampokan besar-besaran di sebuah padukuhan yang besar. Lebih dari sepuluh buah rumah telah dirampok pada satu saat yang sama. Sekelompok orang-orang dalam jumlah yang besar, dengan membawa sobekan-sobekan kain berwarna biru bergambar kepala Gajah berwarna merah soga, telah tersebar di padukuhan itu, memasuki rumah-rumah yang termasuk kaya di padukuhan itu.

“Dimana orang-orang Sidat Macan yang melindungi kalian?” orang-orang yang merampok dengan menyatakan diri mereka dari kelompok Gajah Liwung itu berteriak-teriak sepanjang jalan. Nampaknya orang-orang yang mengaku dari kelompok Gajah Liwung itu telah mengerahkan seluruh kekuatan yang mereka miliki.

Ternyata tidak ada kelompok lain yang sempat mengganggu mereka yang dengan garangnya merampok itu. Orang-orang Sidat Macan nampaknya terlambat mengetahui, sehingga mereka tidak dapat melindungi orang-orang yang berada dalam lingkup perlindungan mereka.

Sepeninggal orang-orang yang telah merampok padukuhan itu habis-habisan, maka beberapa orang telah berkumpul di banjar. Mereka telah menyatakan pendapat mereka masing-masing tentang peristiwa buruk yang telah menimpa padukuhan mereka.

“Ternyata kebaikan yang ditunjukkan orang-orang Gajah Liwung itu tidak lebih dari satu tipuan, yang meracuni kepercayaan kita yang mulai tumbuh. Pada suatu saat, mereka telah mengahancurkan kehidupan kita dengan tidak tanggung-tanggung,” berkata seorang di antara mereka.

Tetapi seorang yang lain ternyata masih ragu-ragu. Katanya, “Aku masih belum yakin bahwa yang melakukan ini adalah orang-orang dari kelompok Gajah Liwung.”

“Kenapa kau masih belum yakin ? Bukankah ciri dari kelompok Gajah Liwung ada pada mereka? Beberapa helai dari ciri itu terjatuh. Dan ini, aku mendapat satu lembar,” jawab orang yang pertama.

Tetapi yang lain berkata, “Setiap orang dapat membuat sehelai kain berwarna biru wedel dengan gambar berwarna merahnya soga.”

Orang-orang yang ikut berkumpul itu terdiam. Kemungkinan itu memang dapat saja terjadi. Orang-orang yang justru mendendam kepada sekelompok anak muda yang menyebut diri mereka kelompok Gajah Liwung.

Dalam keadaan yang membingungkan itu, maka tiba-tiba saja orang-orang yang berada di banjar itu terkejut. Empat orang tiba-tiba saja telah memasuki halaman banjar, sementara beberapa orang yang lain telah bertengger di atas dinding. Sehingga kesannya yang datang itu sekelompok orang yang jumlahnya cukup banyak.

Tiba-tiba terdengar suara menggelegar bagaikan meruntuhkan isi dada, “Kalian akan melawan? Kami adalah orang-orang dari kelompok Gajah Liwung.” Orang-orang padukuhan itu termangu-mangu. Namun seorang di antara mereka memberanikan diri bertanya, “Apakah kalian yang tadi datang kemari?”

“Kami telah mendengar apa yang terjadi di padukuhan ini,” jawab Sabungsari, “karena itu kami datang. Tetapi kami datang terlambat. Kami mendapat keterangan ini dari seseorang yang menunggui air di sawah, bahwa sekelompok orang telah memasuki padukuhan ini. Di luar banjar ini kami mendapat keterangan bahwa sekelompok orang dengan ciri-ciri kelompok Gajah Liwung telah merampok di sini.”

“Ya. Itulah yang terjadi,” jawab orang padukuhan itu.

“Apakah kalian percaya bahwa yang melakukan itu benar-benar orang-orang dari kelompok Gajah Liwung?” bertanya Sabungsari.

Orang-orang padukuhan yang ada di banjar itu termangu-mangu. Namun orang yang sejak semula ragu-ragu telah berkata lantang, “Aku tidak percaya bahwa hal itu dilakukan oleh orang-orang Gajah Liwung. Aku telah mengenal sebagian dari kalian. Tetapi aku sama sekali tidak mengenal orang-orang yang datang kemari itu. Sifat dan watak mereka pun berbeda dengan sifat dan watak orang-orang dari kelompok Gajah Liwung.”

“Terima kasih,” berkata Sabungsari. Lalu katanya, “Aku tahu bahwa kalian berada dalam perlindungan orang-orang dari kelompok Sidat Macan. Tetapi kami berjanji, bahwa kami akan ikut mencari orang-orang yang telah menodai nama kami.”

Suasana memang menjadi tegang. Bagaimanapun juga, ada dua golongan yang berbeda sikap meskipun mereka tidak mengatakan, terutama mereka yang masih juga mencurigai orang-orang Gajah Liwung. Namun di samping mereka, masih ada sekelompok orang yang bimbang, sehingga tidak dapat menentukan sikap sama sekali.

Dalam pada itu, maka Sabungsaripun berkata, “Baiklah. Tetapi aku ingin mendapat bantuan kalian, jika kalian mendapatkan keterangan tentang orang-orang yang datang dengan mempergunakan ciri Gajah Liwung. Mungkin untuk menghindari benturan dengan orang-orang Sidat Macan, kami tidak akan sering datang kemari. Tetapi kita dapat bertemu dimana-mana. Mungkin di pasar, mungkin di sawah, atau mungkin di saat kita sedang mengail.”

Tidak ada orang yang berani menjawab. Jika ada di antara mereka yang menyatakan kesediaannya, dan kesediaannya itu sampai ke telinga kelompok yang telah datang merampok itu, maka akibatnya akan sangat buruk.

“Baiklah,” berkata Sabungsari, “aku tahu bahwa kalian dibayangi oleh ketakutan yang sangat. Tetapi dengan cara apapun juga, aku memerlukan keterangan yang dapat memberikan petunjuk kepada kami, kelompok Gajah Liwung. Kami bukan pengecut yang tidak bertanggung jawab. Jika kami melakukan sesuatu, maka kami akan mempertanggung-jawabkannya.”

Orang-orang padukuhan itu masih berdiri tegang. Namun kemudian Sabungsari berkata, “Aku akan pergi bersama seluruh kelompok Gajah Liwung yang ada di banjar ini, maupun yang ada di luar padukuhan untuk mengamati keadaan. Ingat, bahwa kami pun dapat bertindak setiap saat. Aku tahu bahwa ada perbedaan pendapat di antara kalian. Tetapi jika ada di antara kalian yang memanfaatkan keadaan ini untuk mencelakai tetangga-tetangga sendiri, maka aku tidak akan memaafkannya. Aku akan membakar banjar padukuhan ini hingga menjadi abu.”

Suasana menjadi semakin tegang. Namun Sabungsari pun kemudian telah memberikan isyarat kepada orang-orang dari kelompok Gajah Liwung untuk meninggalkan banjar itu.

Sejenak kemudian, maka orang-orang dari kelompok Gajah Liwung itu seakan-akan menghilang begitu saja. Tidak seorangpun tahu kemana mereka pergi. Bahkan untuk beberapa lama orang-orang yang berada di banjar itu masih saja bagaikan membeku. Mereka tidak segera tahu bahwa orang-orang dari kelompok Gajah Liwung itu telah pergi.

Baru kemudian ketika seseorang justru memasuki regol banjar, beberapa orang bertanya sekaligus, “Kau dari mana?”

“Dari rumah,” jawab orang itu, “aku sudah mengira bahwa di banjar tentu banyak orang.”

“Kau lihat sekelompok orang di luar dinding halaman banjar?” bertanya seseorang dari pendapa banjar.

“Siapa?” bertanya orang itu dengan heran.

“Orang-orang dari kelompok Gajah Liwung,” jawab orang di pendapa itu.

“Apakah mereka datang kembali?” bertanya orang yang baru datang dengan suara yang mulai bergetar.

“Tidak. Menurut pengakuan mereka, yang datang sebelumnya bukan orang-orang dari kelompok Gajah Liwung,” jawab orang di pendapa.

“Tetapi ciri-ciri yang dapat kita ketemukan berceceran dimana-mana menunjukkan bahwa mereka adalah orang-orang dari kelompok Gajah Liwung,” jawab orang yang baru datang itu.

Tidak ada yang menjawab. Tetapi setiap orang justru menjadi ragu-ragu.

Namun satu hal yang pasti bagi mereka adalah, bahwa orang-orang yang mengaku dari kelompok Gajah Liwung itu telah pergi. Karena itu maka orang-orang di banjar itu telah duduk kembali dengan tarikan nafas panjang. Rasa-rasanya mereka telah terbebas dari ketegangan yang sangat mencengkam.

Beberapa saat lamanya mereka masih berbincang-bincang. Anak-anak muda telah menjerang air dan merebus ketela pohon. Rasa-rasanya mereka merasa tenang duduk bersama-sama dengan banyak orang di banjar daripada di rumah masing-masing.

Sementara itu di rumah-rumah yang tertutup rapat, perempuan dan anak-anak berdesakan tidur di amben yang besar. Tetapi mereka pun merasa tenang justru banyak orang yang berjaga-jaga di luar, di jalan dan di banjar.

Tetapi ketenangan itu telah sekali lagi dipecahkan dengan kehadiran sekelompok orang di banjar. Dalam jumlah yang cukup besar orang-orang itu dengan kasar memasuki halaman banjar.

Namun orang-orang di dalam banjar itu kemudian justru menjadi tenang melihat ciri-ciri dari orang-orang yang datang itu. Orang-orang itu adalah orang-orang dari kelompok Sidat Macan.

Pemimpin yang baru dari Sidat Macan itu telah berdiri di paling depan dari kelompoknya yang menebar di halaman dan di regol. Dengan lantang ia bertanya, “Apa yang telah terjadi di sini?”

“Perampokan,” jawab seseorang.

“Siapa yang melakukannya?” bertanya pemimpin kelompok Sidat Macan itu. Lalu katanya, “Mereka telah menghina kelompok Sidat Macan.”

“Menilik ciri-ciri yang kami ketemukan, mereka adalah orang-orang dari kelompok Gajah Liwung,” jawab seseorang.

Pemimpin kelompok Sidat Macan itu menggeram. Katanya, “Aku sudah mengira, bahwa orang-orang dari kelompok Gajah Liwung yang telah melakukannya. Dengan kelompok lain kami telah meyakinkan diri bahwa hal seperti ini tidak akan terjadi. Kelompok Kelabang Ireng memang pernah melanggar hak kelompok Sidat Macan, namun kami langsung membuat perhitungan. Meskipun belum ada hasil kesepakatan yang pasti, kelompok Kelabang Ireng tentu akan berpikir ulang untuk melakukan pelanggaran lagi. Sementara kelompok Macan Putih yang sombong itu tentu tidak akan berbuat seperti ini.”

Orang-orang padukuhan itu terdiam. Mereka yang sudah terlanjur mangatakan keragu-raguan mereka bahwa yang melakukan perampokan itu adalah orang-orang Gajah Liwung, menjadi berdebar-debar. Jika tetangga-tetangga mereka menudingnya, maka mereka tentu akan mengalami kesulitan.

Tetapi untuk menunjukkan orang-orang yang menjadi ragu-ragu itu, orang-orag padukuhan itu pun tidak mempunyai keberanian. Orang-orang Gajah Liwung telah mengancam mereka, sehingga dalam keadaan tertentu, maka orang-orang Gajah Liwung akan dapat melakukan pembalasan dendam.

Dengan demikian, maka banjar itu menjadi sepi. Betapapun jantung menjadi tegang.

Sementara itu pemimpin dari orang-orang Sidat Macan itu pun kemudian berkata lantang, “Sekarang, pulanglah. Jangan merasa takut lagi. Tidak akan ada yang berani mengganggu kalian.”

Orang-orang padukuhan itu termangu-mangu sejenak. Namun melihat orang-orang Sidat Macan yang menyakinkan itu, maka mereka pun kemudian seorang demi seorang telah meninggalkan banjar untuk pulang ke rumah masing-masing.

Namun dalam pada itu, sebuah pedati telah berhenti di luar dinding padukuhan. Tidak di depan regol utama, tetapi di regol butulan. Delapan orang telah mengangkat sebuah kandang yang besar dan menurunkannya di depan regol yang telah dibuka. Seorang di antara kedelapan orang itu telah meloncat masuk dan membuka selaraknya.

Sejenak kemudian, maka pintu kandang itu pun telah dibuka pula. Seekor harimau yang telah kena perangkap telah meloncat keluar, dan masuk ke dalam regol butulan.

Sejenak kemudian maka regol butulan itu telah tertutup dan diselarak dari dalam. Orang yang menyelarak pintu itu pun segera meloncat keluar. Dalam kegelapan, pedati itu telah berjalan melalui jalan bulak menjauhi padukuhan itu.

“Raden Rangga pernah melakukannya sendiri, dan melepaskan harimau itu di halaman rumah seorang yang tidak disukainya,” berkata Glagah Putih yang ada di antara kedelapan orang itu.

Sabungsari tersenyum. Katanya, “Raden Rangga seorang yang aneh. Tidak ada seorangpun yang yang akan pernah dapat menyamainya. Gagasannya memang menarik, sebagaimana yang kita lakukan ini. Meskipun semula kita menangkap harimau dengan tujuan yang lain, tetapi gagasan untuk melepaskannya sekarang, ternyata juga menarik.”

Setelah berada agak jauh dari padukuhan, maka mereka telah menuyusupkan pedati itu di sebuah pategalan. Sementara kedelapan orang itu telah berloncatan kembali ke padukuhan untuk melihat apa yang terjadi.

“Kita tidak akan berbuat apa-apa. Kita hanya menonton sebuah tontonan yang mudah-mudahan menarik,” berkata Sabungsari.

Kedelapan orang itu pun kemudian telah memasuki padukuhan itu kembali. Mereka sadar bahwa orang-orang Sidat Macan yang telah hadir di padukuhan itu akan menyebar di seluruh padukuhan. Tetapi mereka merasa bahwa mereka tentu masih akan mempunyai kesempatan.

Sebenarnyalah, kedelapan orang itu pun telah memencar. Masing-masing bepasangan. Sementara Rara Wulan telah memasuki padukuhan itu bersama Glagah Putih.

Beberapa saat kedelapan orang itu menunggu. Namun mereka belum menyaksikan sesuatu. Namun kemudian tiba-tiba sepinya malam telah digemparkan oleh beberapa orang yang- berteriak-teriak. Orang-orang yang pulang dari banjar ternyata telah bertemu dengan seekor harimau yang menjadi sangat liar karena kebingungan. Sudah lebih dua hari harimau itu dikurung di tempat yang sempit, kekurangan makan, dan kemudian dilepaskan di sebuah tempat yang lain sekali dengan daerah yang dihuninya. Di sana-sini dilihatnya api obor menyala, lampu dan dinding-dinding halaman.

Teriakan-teriakan orang-orang yang terkejut melihat seekor harimau itu pun telah membuat harimau itu menjadi semakin liar. Sambil mengaum tinggi harimau itu berlari, menyusup gerumbul-gerumbul halaman yang gelap.

Seisi padukuhan itu menjadi gempar. Orang-orang Sidat Macan yang ada di padukuhan itu pun menjadi bingung.

“Apa yang terjadi?” bertanya pemimpin Sidat Macan itu kepada seseorang.

“Seekor harimau,” jawab orang itu.

“Harimau?” bertanya pemimpin Sidat Macan itu kurang yakin.

“Ya, seekor harimau loreng yang sangat besar,” orang itu menerangkan dengan suara yang gemetar.

Orang-orang Sidat Macan itu mengumpat. Diperintahkannya orang-orangnya untuk memencar memburu harimau itu.

Tetapi bagaimanapun juga orang-orang Sidat Macan itu tergetar juga hatinya. Meskipun mereka sudah terbiasa berkelahi, tetapi mereka tidak terbiasa bekelahi dengan seekor harimau.

Namun orang-orang Sidat Macan itu kemudian telah memencar juga. Namun mereka tidak sendiri-sendiri. Tetapi mereka berpasangaan dua-dua.

Beberapa orang dari kelompok Sidat Macan itu sempat berteriak, memerintahkan orang-orang padukuhan itu untuk masuk saja ke dalam rumah dan menutup pintu rumahnya rapat-rapat.

Tetapi ternyata beberapa orang yang tinggal di satu rumah telah berteriak-teriak minta tolong, ketika mereka mendengar dengus di sebelah dinding rumah mereka. Mereka mendengar seakan-akan kuku-kuku harimau yang ingin memecahkan dinding bambu rumah mereka. 

Empat orang dari kelompok Sidat Macan telah berlari-lari memasuki halaman rumah itu. Mereka telah mengetuk pintu keras-keras sambil bertanya, “Kenapa? Apa yang terjadi?”

Pintu rumah itu perlahan-lahan terbuka. Mereka yang ada di ruang dalam rumah itu berjejalan di depan pintu. Sementara empat orang dari kelompok Sidat Macan berdiri termangu-mangu di luar.

“Harimau itu ada di sini,” berkata seorang laki-laki separuh baya dengan suara gemetar.

“Dimana?” bertanya orang Sidat Macan itu.

“Di sudut rumah ini, di halaman belakang,” jawab orang yang telah separuh baya itu.

“Tutup pintu rumahmu. Aku akan mencarinya di halaman belakang,” jawab orang Sidat Macan itu.

Sebentar kemudian, maka pintu itu telah tertutup rapat-rapat dan diselarak kuat-kuat dari dalam. Sementara keempat orang dari kelompok Sidat Macan itu telah turun ke halaman. Dengan senjata teracu, keempat orang itu telah memasuki halaman samping sambil membawa oncor yang terpasang di regol depan rumah itu.

Bebeberapa saat keempat orang itu berkeliling halaman. Namun mereka tidak menemukan harimau itu. Bahkan jejaknya pun mereka tidak melihat. Pohon ketela yang ditanam di kebun belakang pun masih utuh tanpa bekas injakan kaki.

“Tidak ada jejak harimau sama sekali,” berkata salah seorang dari mereka.

“Tetapi orang itu mengatakan bahwa harimau itu ada di sini sekarang,” sahut yang lain.

Baru kemudian, ketika mereka yakin tidak menemukan jejak harimau itu, maka sekali lagi mereka mengetuk pintu rumah itu.

“Tidak ada apa-apa,” berkata salah seorang dari orang-orang Sidat Macan itu.

“Harimau itu ada di sini. Mendengus di sudut rumah, dan kukunya berusaha mengoyak dinding bambu rumah ini,” berkata pemilik rumah yang sudah separuh baya itu.

“Tidak ada apa-apa. Jangan takut,” berkata orang Sidat Macan itu.

“Tetapi aku mendengar. Bukan hanya aku. Tetapi seisi rumah ini. Istriku, anak-anakku,” jawab orang yang sudah separuh baya itu.

“Tetapi kami sudah mencari di seluruh halaman dan kebun rumah ini. Tidak ada harimau, dan jejaknya pun tidak aku jumpai,” berkata orang Sidat Macan itu.

Seisi rumah itu memang menjadi heran. Seorang di antaranya, seorang remaja, berdesis, “Apakah yang datang itu harimau jadi-jadian?”

“Ya,” sahut ayahnya, orang yang sudah separuh baya itu, “memang mungkin harimau jadi-jadian.”

Orang-orang Sidat Macan itu termangu-mangu sejenak, tetapi seorang di antara mereka berkata sambil menengadahkan dadanya, “Tidak. Tidak apa-apa. Jangan takut. Jika harimau itu benar-benar ada di sini, pukul kentongan dengan nada empat kali ganda.”

Pemilik rumah itu mengangguk-angguk.

Tetapi, demikian orang-orang Sidat Macan itu pergi, maka mereka serta merta telah menutup pintu dan menyelarak pintu mereka rapat-rapat.

Orang yang separuh baya itu telah membagi senjata yang ada di rumah itu. Ia sendiri memegang parang. Anaknya yang tertua, namun masih remaja, diberinya tombak pendek. Adiknya yang mulai berangkat remaja telah membawa sepotong besi yang sering dipergunakan untuk mengupas kelapa dengan tajam sebelah. Istrinya juga disuruhnya memegang keris, meskipun ketika didengarnya dengus harimau itu, ia menjadi hampir pingsan.

Namun dalam pada itu, di atas dahan sebatang pohon yang rimbun, Glagah Putih dan Rara Wulan tengah menahan tertawanya. Mereka bertengger di atas pohon tidak jauh dari pintu rumah orang itu.

“Sekali lagi,” bisik Rara Wulan ketika orang-orang Sidat Macan itu pergi.

“Jangan. Nanti pemilik rumah ini dapat menjadi sasaran kemarahan orang-orang Sidat Macan,” jawab Glagah Putih.

Rara Wulan mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti keberatan Glagah Putih. Jika orang-orang Sidat Macan itu marah, maka sasarannya akan dapat jatuh kepada siapapun juga. termasuk penghuni rumah itu.

Karena itu, maka Rara Wulan pun tidak memaksa Glagah Putih untuk mengulangi permainannya. Tetapi iapun kemudian berkata, “Marilah. Kita berpindah tempat.”

Glagah Putih tidak berkeberatan. Mereka pun kemudian segera turun dari pohon itu dengan sangat berhati-hati. Kemudian menyelinap ke dalam gelap.

Beberapa saat lamanya, padukuhan itu memang menjadi ramai. Orang-orang Sidat Macan masih berkeliaran. Namun akhirnya mereka menjadi jemu.

Bahkan beberapa orang di antara mereka telah berniat untuk kembali ke banjar. Beberapa orang yang berpencar berdua-dua telah mulai melangkah menyusuri jalan-jalan padukuhan menuju ke banjar.

Tetapi tiba-tiba dua orang di antara mereka yang sedang menuju ke banjar itu terkejut. Tiba-tiba saja di hadapan mereka nampak seolah-olah dua bulatan yang bercahaya, barkilat-kilat memantulkan cahaya obor.

Kedua orang itu berhenti. Baru kemudian keduanya melihat ujud dari benda yang ada di hadapan mereka beberapa langkah, yang baru saja muncul dari lorong sempit. Harimau yang mereka cari. Seekor harimau loreng yang besar berdiri tegak di jalan simpang.

Nampaknya harimau itu pun sudah menjadi letih berlari-lari. Apalagi lapar di perutnya terasa semakin menggigit. Sehingga karena itu, maka akhirnya harimau itu pun menjadi jemu berlari-larian di sepanjang padukuhan. Bahkan nampaknya harimau itu telah malangkah perlahan-lahan dan merunduk ke arah kedua orang itu.

Kedua orang itu pun kemudian telah bersiap, tetapi seorang di antara mereka berdesis, “Harimau itu sangat besar.”

“Kita harus berpencar. Kita harus melawan harimau itu dari dua arah. Harimau itu tidak mempunyai penalaran untuk memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi atas dirinya.”

“Tetapi apakah kita tidak memanggil kawan kita yang lain, agar kita dengan cepat dapat menyelesaikannya?” berkata orang itu.

Ternyata kawannya sependapat. Katanya, “Cepat panggil kawan-kawan kita.”

Orang itu pun termangu-mangu sejenak. Namun kemudian orang itu pun berteriak nyaring, “Di sini harimau itu.”

Suaranya menggelegar mengumandang di seluruh padukuhan. Namun akhirnya sempat juga menyentuh telinga kawan-kawannya.

Karena itu, dua orang yang mendengar suara itu telah berlari-larian menuju kepada kedua kawannya yang telah berhadapan dengan harimau yang besar itu.

Harimau itu memang menjadi agak kebingungan. Tetapi kemudian terdengar aumnya yang mengerikan menggetarkan udara di seluruh padukuhan itu.

Namun aum harimau itu ternyata telah memberitahukan kehadirannya kepada orang-orang Sidat Macan yang tersebar di seluruh padukuhan

Dalam waktu singkat, maka mereka pun segera berlari-larian menuju ke arah suara harimau itu. Sementara dua orang yang bertemu dengan harimau itu telah berdiri memencar.

Harimau itu semakin lama menjadi semakin dekat. Sejenak harimau itu mengamati kedua orang yang berdiri di sebelah-menyebelah jalan berganti-ganti. Namun kemudian harimau itu telah menentukan pilihan. Langkahnya semakin lambat. Perutnya hampir menyentuh tanah ketika ia merunduk sambil menyeringai menggetarkan jantung.

Kedua orang Sidat Macan itu pun telah bersiap dengan ujung pedangnya, yang tajamnya tidak kalah dari taring harimau itu.

Tetapi ketika harimau itu siap meloncat, maka kedua orang kawannya yang mendengar teriakan seorang di antara keduanya, telah muncul dari lorong yang dilalui oleh harimau yang garang itu.

Kehadirannya memang mengejutkan harimau itu. Namun dengan demikian maka harimau itu justru telah berbalik dan meloncat menyerang kedua orang yang baru saja datang itu.

Keduanya terkejut. Dengan serta merta keduanya berusaha untuk meloncat menghindar sambil menjulurkan senjata mereka. Namun ternyata bahwa mereka tidak sempat menghindar sepenuhnya. Kuku-kuku harimau yang tajam itu telah menggores salah seorang dari keduanya, sementara yang lain sempat menggoreskan senjatanya yang tajam.

Orang Sidat Macan itu jatuh terlentang. Namun harimau itu tidak segera menggigitnya, karena orang Sidat Macan yang seorang lagi telah menyakitinya dengan senjatanya.

Harimau itu pun telah meloncat meninggalkan korbannya, menyerang lawannya yang seorang lagi. Tetapi yang kemudian dihadapinya adalah tiga orang. Sementara orang yang terluka itu berusaha untuk bangkit, namun terasa tubuhnya menjadi sangat pedih di beberapa tempat.

Ketiga orang Sidat Macan itu telah mendekat bersama-sama. Mereka telah mengepung harimau itu dari tiga jurusan. Namun ternyata mereka membuat harimau itu semakin marah.

Dengan garangnya, sekali lagi harimau itu mengaum dan merunduk, siap untuk menerkam salah seorang dari ketiga orang yang mengepungnya itu. Tetapi dari beberapa arah orang-orang Sidat Macan telah berdatangan.

Harimau itu masih sempat meloncat menerkam seorang di antara ketiga orang yang berdiri tepat di hadapannya. Namun bersamaan dengan itu, maka ke|dua orang lainnya bersama-sama telah menikam harimau yang besar itu dengan senjata-senjatanya.

Harimau itu menggeliat. Sekali lagi ia melepaskan korbannya yang terjatuh pula.

Tetapi harimau itu tidak banyak mempunyai kesempatan. Dari beberapa arah telah berdatangan orang-orang Sidat Macan dengan senjata terhunus. Mereka langsung menyerang harimau itu beramai-ramai.

Harimau yang kebingungan itu menjadi marah sekali. Apalagi rasa-rasanya tubuhnya menjadi semakin lama semakin kesakitan. Sehingga dengan demikian harimau itu tidak lagi sempat merunduk lawannya. tetapi begitu saja berloncatan menggapai orang yang terdekat. Beberapa orang memang telah terluka. Tetapi luka di tubuh harimau itu pun tidak terhitung pula banyaknya.

Perkelahian antara orang-orang Sidat Macan dengan harimau itu menjadi semakin garang dan semakin keras. Namun luka di tubuh harimau itu menjadi semakin parah. Lukanya tergores silang melintang. Sedang tusukan senjata melubangi hampir setiap jengkal di tubuhnya.

Betapapun harimau itu berjuang, namun akhirnya harimau itu telah kehilangan kesempatan untuk dapat mempertahankan hidupnya, meskipun ia berhasil melukai beberapa orang. Bahkan ada di antaranya yang cukup parah.

Di saat-saat terakhir, harimau itu masih mengaum dahsyat. Namun kemudian suaranya pun menjadi semakin lemah, sehingga akhirnya harimau itu tidak mampu lagi berdiri tegak.

Harimau itu masih sempat menggeliat. Namun kemudian harimau itu telah kehilangan tarikan nafasnya. Mati.

Orang-orang Sidat Macan memang menjadi geram. Dua tiga orang masih menusuk harimau yang telah mati itu beberapa kali, sehingga tubuh harimau itu terkoyak-koyak mengerikan.

“Darimana harimau itu datang?” tiba-tiba saja seorang di antara orang-orang Sidat Macan itu bertanya.

“Tempat ini tidak terlalu dekat dengan hutan,” sahut yang lain.

“Mungkin harimau kelaparan yang tersesat mencari ternak,” berkata yang lain lagi.

Namun seorang lagi berkata, “Kita harus mengobati kawan-kawan kita yang terluka.”

Beberapa orang segera menyadari, bahwa ada di antara mereka yang terluka cukup parah. Karena itu maka orang-orang Sidat Macan itu pun segera membenahi diri.

Tetapi sebagian dari mereka telah memanggil beberapa orang penghuni padukuhan itu dan menyerahkan tubuh harimau yang telah terbunuh itu kepada mereka.

Tetapi orang-orang padukuhan yang ketakutan itu tidak berani menerimanya. Seorang di antara mereka berkata, “Mungkin harimau itu adalah harimau jadi-jadian.”

“Tidak,” jawab orang-orang Sidat Macan. Seorang di antara mereka berkata selanjutnya, “Jika harimau itu jadi-jadian, maka tubuhnya akan kembali ke bentuk asalnya. Harimau itu akan segera lenyap.”

Tetapi orang-orang padukuhan itu masih saja ketakutan, karena menurut penalaran mereka dan menurut pengalaman mereka selama ini, tidak pernah ada seekor harimau yang memasuki padukuhan itu. Sedangkan di padukuhan-padukuhan yang lebih dekat dengan hutan itu pun tidak pernah didatangi seekor harimau yang demikian besarnya.

“Lalu apa yang akan kalian lakukan terhadap harimau itu?” bertanya salah seorang dari orang-orang Sidat Macan itu.

Orang-orang padukuhan itu termangu-mangu.

Namun karena mereka tidak segera menjawab, maka orang-orang Sidat Macan itu tidak menghiraukannya lagi. Seorang di antara mereka berkata, “Terserah kepada kalian.”

Sementara itu, orang-orang Sidat Macan itu pun telah meninggalkan harimau itu untuk pergi ke banjar sambil membawa kawan-kawan mereka yang terluka. Setidak-tidaknya darah itu harus dipampatkan lebih dahulu, agar tubuh mereka tidak menjadi semakin lemah.

Ketika orang-orang Sidat Macan itu telah pergi, maka beberapa orang padukuhan itu pun segera berunding. Mereka telah memanggil tetangga-tetangga mereka semakin lama semakin banyak. Ternyata mereka memutuskan untuk mengubur saja harimau itu besok di kuburan, agar jika harimau itu benar-benar harimau jadi-jadian, mereka tidak akan terkena kutuknya.

Orang-orang dari kelompok Gajah Liwung yang menyaksikan peristiwa itu rasa-rasanya telah mendapat tontonan yang menarik. Ketika orang-orang Sidat Macan telah membawa kawaan-kawannya yang terluka ke banjar, maka orang-orang Gajah Liwung itu pun telah meninggalkan tempat mereka bersembunyi dan keluar dari padukuhan. Dengan bunyi burung kedasih, mereka saling memberikan isyarat untuk meninggalkan tontonan yang telah mendekati selesai itu.

Beberapa saat kemudian, orang-orang Gajah Liwung itu telah berjalan menuju ke pedati mereka yang mereka sembunyikan.

Ternyata bahwa mereka telah mendapatkan satu pertunjukan yang menarik. Kebingungan orang-orang Sidat Macan dan ketakutan yang membayangi padukuhan itu merupakan tontonan tersendiri bagi orang-orang dari kelompok Gajah Liwung itu.

“Tetapi aku menjadi kasihan kepada orang-orang padukuhan itu,” berkata Glagah Putih.

“Bukankah mereka tidak mengalami apa-apa selain ketakutan ? Siapa yang membuat seorang di antara orang-orang padukuhan itu berteriak-teriak?” bertanya Mandira.

Beberapa saat tidak ada yang menjawab. Namun Rara Wulan tidak dapat menahan tertawanya. Katanya, “Glagah Putih.”

Tetapi Glagah Putih menyahut, “Aku tidak mengira bahwa pemilik rumah itu begitu ketakutan sehingga hampir pingsan. Sedangkan orang-orang Sidat Macan itu menjadi seperti orang-orang mabuk.”

Beberapa orang tertawa. Sementara itu Sabungsari berkata, “Tetapi kita sudah kehilangan seekor harimau. Jika Glagah Putih masih mempunyai rencana lagi dengan seekor harimau, kita harus mencarinya lagi.”

Suratama-lah yang menjawab, “Kita mencari lagi. Rencana kita dengan orang-orang Macan Putih masih belum dapat kita lakukan. Kita akan membuat harimau itu menjadi seekor harimau putih. Seperti yang sudah kita rencanakan, kita mandikan harimau itu dengan cairan pati ketela pohon. Kemudian kita tempelkan kapuk pada tubuhnya.”

Terdengar suara tertawa mereka. Rumeksa-lah yang menyahut, “Rencanakan permainan yang lain Glagah Putih. Di masa remaja kita, kita tidak mendapat kesempatan untuk bermain-main. Sekarang, selagi kita mendapat kesempatan itu, kita akan bermain-main sepuas-puasnya.”

Beberapa saat kemudian, maka delapan orang dari kelompok Gajah Liwung itu sudah berada di dalam pedati mereka. Dengan lamban mereka melewati pategalan, bulak-bulak persawahan dan padukuhan-padukuhan, kembali ke tempat mereka yang untuk sementara masih belum diketahui oleh kelompok-kelompok yang lain.

Sementara itu, kelompok Sidat Macan masih sibuk berbicara dengan beberapa orang padukuhan yang berada di banjar, setelah mereka aman karena harimau yang menakut-nakuti padukuhan itu telah terbunuh.

“Malam ini merupakan malam yang paling menggelisahkan,” berkata orang padukuhan itu, “mula-mula orang yang memakai ciri Gajah Liwung itu datang dan merampok seluruh padukuhan. Kemudian sekelompok orang yang juga mengaku orang-orang Gajah Liwung. Kemudian seekor harimau yang memasuki padukuhan ini dan menimbulkan keributan dan ketakutan.”

“Tentu ada hubungannya yang satu dengan yang lain,” berkata pemimpin dari kelompok Sidat Macan, “tetapi kami sekarang berada di sini. Kalian dapat pulang dan tidur dengan nyenyak. Jangan ketakutan lagi. Selama kami ada di sini, tidak akan terjadi apa-apa.”

Orang-orang padukuhan itu pun telah kembali lagi ke rumah mereka masing-masing. Tetapi tidak lagi dengan perasaan takut sebagaimana sebelumnya. Bahkan juga saat seekor harimau ada di padukuhan itu.

Tetapi ketika mereka mulai berbaring di pembaringan, maka mereka mulai berangan-angan. Apa yang akan terjadi esok atau lusa, atau kapan saja, di saat-saat orang-orang Sidat Macan tidak ada di padukuhan? Atau mungkin orang-orang Sidat Macan justru akan memanfaatkan ketakutan yang mencengkam padukuhan itu untuk meningkatkan pemerasan yang mereka lakukan, dengan alasan upah perlindungan bagi padukuhan itu.

Kegelisahan seperti itu telah mencekam padukuhan itu.

Dalam pada itu, orang-orang Sidat Macan telah berkumpul di banjar selain mereka yang bertugas melakukan pengawasan. Bagaimanapun juga orang-orang Sidat Macan itu memang merasa tersinggung. Tetapi orang-orang Sidat Macan memang curiga, bahwa yang melakukan perampokan itu mungkin bukan orang-orang dari kelompok Gajah Liwung.

Meskipun demikian, beberapa orang di antara orang-orang dari kelompok Sidat Macan memperingatkan kepada pemimpinnya bahwa orang-orang Gajah Liwung sulit untuk dapat diperhitungkan tingkah lakunya.

“Memang mungkin,” berkata pemimpin kelompok itu, “tetapi kita jangan dengan cepat terjebak. Kelompok lain yang dengan sengaja ingin membenturkan kelompok kita dengan kelompok Gajah Liwung akan dengan senang hati melihatnya. Mareka akan dapat bangkit di atas reruntuhan kelompok kita dan kelompok Gajah Liwung. Meskipun menurut pendengaran kita belum pernah nampak kelompok Gajah Liwung dalam jumlah yang cukup besar, bahkan sepuluh orang saja, namun kelompok itu mempunyai kekuatan dan kecepatan gerak yang luar biasa.”

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Mereka sependapat dengan pemimpinnya, bahwa ada beberapa kemungkinan telah terjadi.

Tetapi malam itu, hampir seluruh kekuatan Sidat Macan berada di padukuhan yang telah dirampok habis-habisan itu. Namun meskipun demikian, agaknya perampokan itu telah dilakukan dengan tergesa-gesa, sehingga masih ada juga yang tersisa.

Kelompok Sidat Macan itu di keesokan harinya merasa perlu untuk memulihkan kepercayaan orang-orang padukuhan itu, dengan pamer kekuatan di seluruh padukuhan.

Sejak matahari terbit, maka orang-orang Sidat Macan telah berkeliaran di seluruh padukuhan. Mereka memasuki rumah-rumah, terutama yang semalam telah dirampok. Berbagai macam pertanyaan diberikan kepada pemilik rumah yang mengalami perampokan.

Setiap orang memang mengatakan, bahwa yang datang telah menyebut diri mereka anggota-anggota kelompok Gajah Liwung. Dengan kasarnya orang-orang itu mendorong keluarga yang ketakutan itu ke sudut di ruang dalam rumah-rumah mereka. Menjaga mereka dengan senjata telanjang. Sementara yang lain mengambil apa yang dapat mereka ambil.

Orang-orang dari kelompok Sidat Macan itu mengangguk-angguk. Namun mereka pun menjadi semakin yakin bahwa ada usaha untuk mengadu domba antara kelompok Gajah Liwung dengan kelompok Sidat Macan oleh kelompok lain. Mungkin kelompok Macan Putih, mungkin kelompok Kelabang Ireng yang mengaku kelompok Gajah Liwung, atau kelompok-kelompok yang lebih kecil lainnya.

Tetapi kelompok Sidat Macan menganggap bahwa kelompok-kelompok kecil tidak akan berani berbuat demikian. Karena itu kecurigaan mereka memang tertuju kepada kelompok Macan Putih, Kelabang Ireng atau Gajah Liwung, sendiri yang memang sering melakukan tindakan-tindakan aneh. Bahkan orang-orang Sidat Macan itu yakin bahwa yang melepaskan harimau di padukuhan itu adalah orang-orang Gajah Liwung.

Namun sepanjang pagi hari, orang-orang Sidat Macan berkeliaran di padukuhan itu dengan segala macam pameran kekuatan. Orang-orang yang bertubuh tinggi besar dengan pakaian yang tidak menentu. Kalung akar-akaran dan tulang-tulang. Gelang kulit yang, lebar. Sabuk kulit, dan berbagai macam senjata.

Orang-orang dari padukuhan lain yang melintas di padukuhan itu memang menjadi berdebar-debar. Mereka pun mengenal kelompok-kelompok anak-anak muda yang nakal. Bahkan pada saat-saat tertentu mereka sering mengganggu.

Tetapi orang-orang Sidat Macan itu tidak mengganggu orang-orang yang lewat padukuhan itu. Namun kepada orang-orang lewat itu kelompok Sidat Macan juga menunjukkan kekuatannya, karena begaimanapun juga orang-orang dari kelompok Sidat Macan merasa bahwa mereka adalah kelompok yang terkuat.

Sementara itu, orang-orang Sidat Macan yang meragukan kehadiran orang-orang Gajah Liwung semalam untuk merampok di padukuhan itu, justru telah berpesan kepada orang-orang padukuhan agar mereka tidak usah merahasiakan kedatangan kelompok Gajah Liwung.

“Biar orang-orang padukuhan yang lain menjadi lebih berhati-hati terhadap kelompok Gajah Liwung,” berkata orang-orang Sidat Macan. Katanya pula, “Di pasar, di tempat-tempat pertemuan, di jalan-jalan atau dimana saja, kalian dapat menceritakan tentang keganasan orang-orang Gajah Liwung. Tetapi Gajah Liwung tidak akan dapat berbuat sekali lagi di daerah kuasa orang-orang Sidat Macan.”

Sebenarnyalah, sepeninggal orang-orang Sidat Macan, maka orang-orang padukuhan itu telah menceritakan apa yang telah terjadi di padukuhan itu. Orang-orang dari padukuhan lain yang kebetulan lewat di padukuhan itu telah mendengarkan cerita tentang keganasan orang-orang Gajah Liwung. Sehingga dengan demikian maka dalam waktu singkat, tidak lebih dari sehari, cerita itu memang telah tersebar. Apalagi ketika cerita itu masuk ke telinga orang-orang yang berada di pasar. Maka cerita itu pun segera telah tersebar.

Orang-orang Gajah Liwung bukannya tidak mendengar cerita yang telah berkembang itu. Meskipun mereka pada saat kejadian segera datang dan memberikan keterangan bahwa Gajah Liwung tidak terlibat, namun ternyata bahwa orang-orang Mataram mulai mempunyai penilaian yang lain tentang orang-orang Gajah Liwung, yang sebelumnya dinilai berbeda dengan kelompok-kelompok yang lain.

Hal itu memang membuat orang-orang Gajah liwung berpikir ulang. Mereka telah berkumpul di sarang mereka untuk membicarakan cerita yang berkembang itu.

“Kita harus mengambil langkah-langkah yang perlu,” berkata Sabungsari.

“Tetapi kita belum tahu, kelompok manakah yang telah dengan sengaja mencemarkan nama baik kita itu,” desis Rumeksa.

Yang lain mengangguk-angguk. Ternyata bahwa mereka harus mencari pemecahan terbaik dari cerita yang semakin luas menjalar itu.

Dalam pada itu selagi mereka sedang berbincang, maka Ki Wirayuda, seeorang perwira dalam tugas sandi dari jajaran keprajuritan Mataram, telah datang.

“Nah, kebetulan sekali,” berkata Sabungsari, “Ki Wirayuda justru datang.”

“Untunglah bahwa saat ini kalian ada di sarang kalian ini.”

“Kami sedang menyempatkan diri untuk berbincang,” jawab Sabungsari.

“Aku datang untuk mendapatkan penjelasan,” berkata Ki Wirayuda, “aku bertanggung jawab atas kebersihan nama kelompok ini.”

“Tentu tentang perampokan itu,” desis Sabungsari.

“Ya,” jawab Ki Wirayuda.

Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Wirayuda berkata, “Aku memang yakin bahwa bukan kalian yang melakukannya. Tetapi harus ada tindakan yang dapat membersihkan nama kalian. Sampai saat ini, para petugas sandi masih mencurigai kalian, meskipun mereka juga mempunyai perhitungan lain. Mereka pun memperhitungkan kemungkinan kelompok lain dengan sengaja telah mencemarkan nama baik kalian.”

“Apakah para petugas sandi tidak menemukan tanda-tanda lain dari kelompok itu?” bertanya Pranawa.

Ki Wirayuda menggeleng. Katanya, “Belum. Tidak ada tanda-tanda yang tertinggal selain tanda-tanda dari kelompok Gajah Liwung.”

“Baiklah,” berkata Sabungsari, “kami akan berusaha sejauh dapat kami lakukan untuk membersihkan nama kami. Aku kira, orang-orang itu tidak akan berhenti berusaha mencemarkan nama kelompok Gajah Liwung. Mungkin secara berkelompok, mungkin seorang-seorang. Tetapi aku pun mohon, jika para prajurit bisa menemukan sedikit keterangan tentang hal ini, kami dapat diberi isyarat, agar kami dapat menentukan langkah-langkah yang tepat.”

Ki Wirayuda mengangguk. Tetapi ia menjawab, “Kami akan membantu kalian. Tetapi kalian harus lebih banyak berusaha sendiri agar nama kalian semakin cepat dibersihkan.”

Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya, “Kami tentu akan berusaha sebaik-baiknya. Tetapi jumlah kami sangat terbatas. Orang-orang dari kelompok lain berjumlah tiga empat kali lipat dari jumlah kami.”

“Kalian merasa berkeberatan?” bertanya Ki Wirayuda.

“Tidak. Tetapi jangkauan gerak kami tidak dapat sejauh mereka yang jumlahnya berlipat ganda. Kami tidak akan gentar menghadapi kelompok-kelompok yang lain seandainya kami akan bertempur dengan mengerahkan seluruh kekuatan. Tetapi yang agak sulit bagi kami adalah luasnya daerah yang harus kami amati, dibandingkan dengan jumlah tenaga yang ada pada kami,” berkata Sabungsari pula.

Ki Wirayuda mengangguk-angguk. Katanya, “Kami mengerti. Tetapi para prajurit dalam tugas sandi tidak dapat berbuat lebih banyak dari yang mereka lakukan sekarang. Bahkan mungkin prajurit sandi itu juga sedang mencari keterangan tentang kelompok Gajah Liwung, untuk pada suatu saat memburunya, sebagaimana dilakukan atas kelompok-kelompok yang lain jika diketemukan bukti-bukti pelanggaran mereka atas paugeran yang ada.”

Sabungsari mengangguk-angguk. Orang-orang dari kelompok Gajah Liwung itu memang harus menyadari, bahwa kelompoknya di mata para prajurit tidak ubahnya kelompok-kelompok yang lain.

Namun dengan demikian, di samping malaksanakan rencana-rencana yang sudah dibuat, maka kelompok Gajah Liwung masih mempunyai tugas yang belum pernah dipikirkan sebelumnya. Ternyata bahwa mereka berhadapan dengan orang-orang yang licik, yang menyerang mereka dari arah punggung.

Untuk beberapa lama Sabungsari dan orang-orang dari kelompok Gajah Liwung itu masih berbincang-bincang. Namun kemudian Ki Wirayuda pun telah minta diri. Ia tidak dapat terlalu lama berada di antara orang-orang Gajah Liwung, karena hubungan mereka harus tetap dirahasiakan.

Namun sebelum meninggalkan orang-orang dari kelompok Gajah Liwung, Ki Wirayuda berkata, “Aku memerlukan laporan secepatnya, jika kalian menemukan sesuatu tentang usaha untuk mencemarkan nama kelompok Gajah Liwung itu. Sebaliknya, jika aku mendapat keterangan tentang hal itu lebih dahulu dari para petugas sandi, aku akan memberitahukan kepada kalian. Tetapi berusahalah untuk memecahkan persoalan itu sendiri.”

Sabungsari tersenyum sambil mengangguk. Katanya, “Baiklah. Kami akan berusaha sejauh kami dapat lakukan. Mudah-mudahan kami tidak mengecewakan Ki Wirayuda.”

Sepeninggal Ki Wirayuda, maka orang-orang Gajah Liwung masih berbicara di antara mereka beberapa saat. Namun nampaknya mereka lebih banyak berbicara tentang rencana-rencana yang telah mereka susun sebelumnya. Mereka masih ingin menangkap seekor harimau untuk bercanda dengan kelompok Macan Putih.

Tetapi Sabungsari masih tetap berpesan, “Namun bagaimanapun juga, kita tidak boleh menjadi korban kelicikan kelompok-kelompok itu, serta kelengahan kita sendiri.”

Demikianlah, di hari-hari mendatang, orang-orang Gajah Liwung menjadi semakin berhati-hati. Tetapi mereka masih saja memasang perangkap. Mereka masih ingin membuat satu permainan dengan orang-orang Macan Putih.

Namun sementara itu, ternyata benturan-benturan kecil masih saja terjadi di antara kelompok-kelompok yang saling bermusuhan. Tetapi setiap kali orang-orang dari kelompok-kelompok yang lain terpaksa mangakui kelebihan kelompok Gajah Liwung.

Ketika tiga orang dari kelompok Kelabang Ireng yang membuat keributan di sebuah kedai makanan tiba-tiba harus berhadapan dengan dua orang anggota kelompok Gajah Liwung, maka ketiga orang itu harus berlari tunggang langgang ketika wajah mereka menjadi biru pengab.

Pada kesempatan lain, beberapa orang dari kelompok Kelabang Ireng telah berkejar-kejaran dengan orang-orang dari kelompok Macan Putih. Hanya kebetulan bahwa orang-orang dari kelompok Macan putih jumlahnya lebih banyak, sehingga orang-orang Kelabang Ireng harus melepaskan diri dari kejaran lawan-lawannya.

Benturan-benturan yang terjadi itu ternyata telah membuat para pemimpin dari kelompok-kelompok itu mulai memikirkan kemungkinan untuk menyelenggarakan suatu pertemuan seperti yang pernah mereka lakukan beberapa waktu yang lalu. Meskipun sudah agak lama, namun orang-orang dari kelompok-kelompok itu masih ingat, bahwa pertemuan seperti itu mampu meredakan suasana untuk beberapa saat lamanya.

Namun dalam pada itu, ternyata telah terjadi lagi kekacauan di sebuah padukuhan, yang dilakukan oleh orang-orang yang berciri kelompok Gajah Liwung. Meskipun tidak sempat merampok beberapa rumah sekaligus, tetapi mereka benar-benar telah menimbulkan keributan dan kemudian ketakutan. Meskipun keributan itu terjadi justru menjelang senja, namun orang-orang yang mempergunakan ciri gajah Liwung itu nampaknya tergesa-gesa.

Orang-orang dari kelompok Gajah Liwung sendiri ternyata terlambat mengetahui peristiwa itu. Glagah Putih baru mendengar di keesokan harinya, ketika ia berada di pasar. Beberapa orang mulai berbicara tentang kelompok Gajah Liwung yang menjadi semakin ganas.

Jantung Glagah Putih terasa bergetar semakin cepat. Nama Gajah Liwung agaknya semakin lama menjadi semakin suram. Betapapun mereka berusaha untuk menunjukkan kelainan sifat dan watak dengan kelompok-kelompok lain yang telah ada.

Puncak kemarahan Sabungsari adalah saat seorang gadis yang hilang dibawa oleh beberapa orang anak-anak muda yang nampak liar dan ganas. Ternyata mereka telah meninggalkan ciri kelompok Gajah Liwung.

Demikian Sabungsari mendengar berita itu, maka bersama Glagah Putih mereka telah datang menemui orang tua gadis yang hilang itu.

Ayah gadis yang marah itu tiba-tiba saja telah menarik keris dari wrangkanya. Dengan marah ia berkata, “Ayo, jika kalian memang laki-laki, lawan aku. Harga anakku sama dengan harga nyawaku. Aku tidak peduli dengan kelompok Gajah Liwung. Jika kalian menghendaki, aku tantang seluruh kelompok Gajah Liwung.” “Tunggu, Ki Sanak,” berkata Sabungsari, “aku datang untuk menjernihkan keadaan ini. Sebenarnyalah yang melakukannya bukan orang-orang dari kelompok Gajah Liwung.”

Tetapi orang tua gadis yang hilang itu seperti sudah kehilangan akal. Dengan keris terhunus, ia bergeser mendekati Sabungsari dan Glagah Putih.

“Serahkan anak gadisku, atau kita akan mati bersama-sama,” geram laki-laki itu.

“Pak, pak,” seorang perempuan berusaha untuk menahan laki-laki itu. Tetapi perempuan itu telah dikibaskannya, sehingga justru jatuh di amben.

“Tunggu Ki Sanak,” berkata Sabungsari, “kami memang orang-orang dari kelompok Gajah Liwung. Kami sengaja datang untuk menyatakan bahwa kelompok Gajah Liwung telah difitnah. Orang lain yang melakukannya, tetapi dengan sengaja mereka meninggalkan ciri Gajah Liwung. Jika kami yang melakukannya, maka kami tidak akan datang untuk berbicara tentang anak gadis Ki Sanak yang hilang itu. Buat apa kami berbicara lagi?”

Ternyata orang itu masih juga sempat mencerna kata-kata Sabungsari itu. Dengan nada geram ia bertanya, “Jadi siapa yang telah mengambil anakku?”

“Itulah yang harus kita cari,” berkata Sabungsari sambil menyerahkan ciri kelompok Gajah Liwung. Katanya lebih lanjut, “Memang setiap orang akan dapat membuat gambar seperti itu. Sedangkan kami tidak dapat mencegahnya. Tetapi apakah watak dan sifat orang-orang kami dapat ditiru oleh orang-orang dari kelompok lain, sebagaimana mereka meniru ciri kelompok kami?”

“Aku tidak dapat mengenali sifat dan watak kelompok demi kelompok. Tetapi anak-anak muda yang tergabung dalam kelompok-kelompok gila itu telah sangat merugikan kami. Tetapi kami masih dapat menahan diri. Baru kemudian ketika anak kami hilang, maka aku tidak dapat memaafkan kalian lagi,” berkata orang itu. Tetapi sikap dan kata-kata Sabungsari dan Glagah Putih memang agak mengendorkan kemarahannya.

“Ki Sanak,” berkata Glagah Putih kemudian, “apakah Ki Sanak dapat mengatakan serba sedikit tentang anak Ki Sanak yang hilang itu? Dimana, saatnya dan dugaan-dugaan Ki Sanak.”

Orang itu masih saja termangu-mangu. Namun kemudian nalarnya mulai bergerak. Ia mulai mengerti bahwa jika orang-orang Gajah Liwung yang mengambil anaknya, maka mereka tentu tidak akan datang kepadanya untuk berbicara tentang anaknya yang hilang itu.

Karena itu, maka orang itu pun kemudian berkata, “Anakku pergi bersama-sama dengan beberapa orang kawan gadisnya ke sungai. Pada saat mereka pulang, maka beberapa orang laki-laki kasar telah menyergap anakku. Mungkin karena anakku yang berjalan di paling belakang.”

“Lalu apakah Bapak mendapat keterangan, di bawa ke arah mana anak gadis itu?” bertanya Glagah Putih.

“Tentu saja kami tidak tahu,” jawab laki-laki itu.

“Bukankah ia bersama beberapa orang gadis?” desis Sabungsari.

“Sebaiknya kau bertanya kepada salah seorang dari mereka,” berkata laki-laki itu.

Sabungsari dan Glagah Putih tidak berkeberatan. Karena itu, maka keduanya telah dibawa oleh ayah gadis yang hilang itu menemui salah seorang kawan anak gadisnya yang hilang.

Keluarga gadis itu memang menjadi ketakutan. Tetapi gadis itu sendiri melihat perbedaan sikap dan ujud dengan orang-orang yang membawa salah seorang kawannya. Sabungsari dan Glagah Putih yang mengenakan pakaian sebagaimana kebanyakan orang, memberikan kesan yang sangat berbeda. Apalagi sikap mereka menunjukkan betapa keduanya mengenal unggah-ungguh yang mapan.

Dengan tersendat-sendat gadis itu pun kemudian menceritakan apa yang dialami oleh kawannya itu. Mereka memang segera menghambur berlari-larian. Tetapi mereka masih sempat melihat gadis yang malang itu telah dibawa naik tanggul dan turun ke jalan.

“Mereka membawanya ke arah utara,” berkata gadis itu.

“Kira-kira kemana?” desak Glagah Putih.

Gadis itu termangu-mangu. Namun akhirnya ia berkata, “Di dekat hutan itu terdapat sebuah bukit kecil. Kawan-kawan, bukan saja gadis-gadis tetapi juga kawan laki-laki yang sering pergi menggembala, mengatakan bahwa bukit itu adalah bukit yang wingit. Angker dan menakutkan. Tidak ada orang yang berani mendekatinya, kerena bukan saja binatang buas yang ganas sering berkeliaran di kaki bukit itu, tetapi di sana juga terdapat beberapa sosok hantu.”

“Apakah ada hubungannya dengan hilangnya gadis kawanmu itu?” bertanya Sabungsari.

“Kami tidak tau. Tetapi orang-orang yang membawa kawan kami itu membawa ciri kelompok Gajah Liwung,” berkata gadis itu.

“Terima kasih,” berkata Sabungsari dan Glagah Putih hampir bersamaan.

Keduanya pun kemudian segera minta ijin kepada keluarga gadis yang memberikan keterangan tentang kawannya yang hilang, serta ayah gadis yang hilang itu sendiri.

“Kami akan berusaha,” berkata Sabungsari. Sejenak kemudian, maka kedua orang itu pun telah pergi dengan tergesa-gesa.

Sabungsari dan Glagah Putih memang tidak segera dapat mengambil kesimpulan. Tetapi bahwa kawan gadis yang hilang itu telah bercerita tentang tempat yang jarang dikunjungi orang, tentu juga berpendapat meskipun masih sangat ragu-ragu, bahwa orang-orang yang membawa gadis itu akan memanfaatkan tempat yang disebut wingit itu.

“Mungkin memang ada kesengajaan segolongan orang yang membuat ceritera tentang bukit kecil itu, agar mereka dapat mempergunakannya tanpa gangguan dari orang lain,” berkata Sabungsari.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Kita akan melihat tempat itu. Mungkin kita dapat menilai kemungkinan-kemungkinan seperti itu.”

Kedua orang itu sependapat. Tetapi mereka harus menunggu sampai senja turun, Dengan demikian maka mereka akan dapat mendekati tempat itu pada jarak yang pendek, yang sulit dijangkau di siang hari. Apalagi jika dugaan mereka benar, bahwa tempat itu justru telah dipergunakan oleh sekelompok orang yang tidak bertanggung jawab.

Sementara menunggu senja, maka Sabungsari dan Glagah Putih telah menghubungi kawan-kawannya. Mereka memutuskan, selain Rara Wulan, semua orang di antara mereka akan ikut serta. Tetapi Rara Wulan menolak. Ia memaksa ikut serta melihat bukit kecil itu.

“Belum tentu ada apa-apa,” berkata Rara Wulan.

“Mungkin gabungan antara keadaan alam dan keganasan orang-orang yang mengaku orang-orang dari kelompok Gajah Liwung itu merupakan bahaya yang sulit diatasi,” berkata Glagah Putih.

“Aku adalah anggota kelompok ini. Aku sah untuk ikut segala kegiatannya,” geram Rara Wulan.

Sesaat anggota-anggota yang lain termangu-mangu. Namun akhirnya Sabungsari harus mengijinkannya. Katanya, “Tetapi sebelumnya kau sudah harus membayangkan, bahwa kemungkinan yang sangat buruk dapat terjadi. Jumlah kita terlalu sedikit. Karena itu, jika kita benar-benar bertemu dengan kekuatan kelompok yang lain secara utuh, maka benturan yang sangat keras akan dapat terjadi.”

“Aku mengerti,” Jawab Rara Wulan.

Sabungsari mengangguk-angguk. Karena itu katanya kemudian, “Baiklah. Jika demikian, kita semuanya akan pergi ke bukit itu. Mudah-mudahan kita dapat menemukan gadis yang malang itu.”

Demikianlah, ketika senja turun, maka seluruh kekuatan dari kelompok Gajah Liwung telah bersiap. Mereka mulai bergerak menuju ke bukit kecil di sebelah hutan, sebagaimana disebut oleh kawan gadis yang hilang itu.

Perjalanan ke bukit itu sendiri sudah merupakan satu kerja yang sulit. Lorong yang sempit berbatu-batu padas. Sekali-sekali memanjat naik, namun kemudian turun tajam.

Rara Wulan yang ada di antara orang-orang dari kelompok Gajah Liwung merasakan kesulitan itu. Tetapi ia tidak mengeluh. Ia sendiri memaksa untuk ikut bersama anggota-anggota yang lain, meskipun beberapa orang telah memperingatkan tentang kesulitan yang akan mereka alami di perjalanan, dan apalagi jika benar-benar ada sekelompok orang berada di bukit itu.

Betapapun sulitnya, namun kedelapan orang itu semakin lama memang menjadi semakin dekat dengan bukit kecil di sebelah hutan itu. Di lepas senja, bukit yang beku itu itu nampak seperti tempurung raksasa yang menelungkup.

“Kalian tunggu di sini,” berkata Sabungsari kemudian, setelah mereka menjadi semakin dekat, “aku dan Glagah Putih akan melihat keadaan.”

Kepada Pranawa Sabungsari berkata, “Jangan bergerak sebelum aku kembali. Kau pimpin kawan-kawan yang lain.”

Pranawa mengangguk. Katanya, “Baiklah. Kami akan menunggu di sini sampai kau datang.”

Keenam orang itu pun kemudian telah menebar di padang perdu sempit, beberapa puluh patok dari bukit kecil itu. Mereka mencari tempat untuk duduk dan bersandar, karena mereka tahu bahwa mereka akan berada di tempat itu untuk beberapa lama.

Sabungsari dan Glagah Putih dengan sangat berhati-hati telah mendekati bukit kecil itu. Tetapi mereka tidak mengikuti lagi lorong sempit itu. Tetapi mereka telah meloncat memasuki padang ilalang dan gerumbul-gerumbul perdu.

Sabungsari menggamit Glagah Putih ketika mereka melihat sepercik cahaya obor yang terselip di antara pepohonan di kaki bukit kecil itu.

“Kau lihat itu?” desis Sabungsari.

Glagah Putih mengangguk. Bisiknya, “Nampaknya mereka telah berusaha untuk menahan cahaya lampu mereka. Tetapi masih juga ada yang memercik keluar.”

“Tetapi tempat ini memang tidak pernah dijamah orang lain kecuali kelompok mereka,” sahut Sabungsari perlahan-lahan.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Mereka ternyata akan berhadapan langsung dengan sebuah kelompok. Tetapi mereka belum tahu kekuatan kelompok itu. Apakah jumlah mereka terlalu banyak untuk dilawan, atau masih dalam batas kemampuan orang-orang dari kelompok Gajah Liwung.

“Jika jumlah mereka terlalu banyak, maka kita harus memikirkan kemungkinan lain,” berkata Sabungsari.

“Apakah kita akan dapat melawan mereka?” bertanya Glagah Putih.

Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Sebagaimana dikatakan oleh Agung Sedayu, Glagah Putih masih terlalu muda untuk mengambil sikap menghadapi satu peristiwa yang gawat. Sikap yang akan diambilnya tentu sikap yang masih diwarnai oleh panasnya darah mudanya.

Karena itu, maka Agung Sedayu telah minta kepadanya untuk mampu sedikit menahan gejolak perasaan anak muda itu.

Karena itu, maka Sabungsari itu pun menjawab, “Kita akan melihat keadaan. Kita jangan memaksa diri untuk melakukan perlawanan jika hal itu akan berakibat kurang baik bagi kita.”

Glagah Putih menjadi termangu-mangu. Namun ia tidak menjawab lagi.

Karena itu, maka Sabungsari pun berkata, “Marilah. Kita akan melihat keadaan. Berhati-hatilah.”

Glagah Putih mengangguk kecil sambil berdesis, “Baiklah. Kita akan langsung menuju ke bukit.”

Kedua orang itu pun telah bergeser dengan sangat berhati-hati mendekati bukit kecil itu. Cahaya lampu yang menembus lubang-lubang dinding yang kecil dapat menjadi petunjuk bagi mereka, kemana mereka harus menuju.

Ternyata orang-orang yang berada di beberapa gubug di kaki bukit kecil itu telah kehilangan kewaspadaan, justru karena mereka menganggap bahwa bukit itu tidak pernah dijamah oleh seorangpun. Mereka tidak menempatkan dua atau tiga orang pengamat di luar gubug-gubug mereka. Sehingga dengan demikian maka Sabungsari dan Glagah Putih mendapat cukup kesempatan untuk mendekati gubug-gubug itu.

Agaknya satu di antara gubug-gubug itu menjadi tempat orang-orang yang ada di bukit itu untuk berkumpul. Sementara gubug-gubug yang lain yang lebih kecil hanyalah tempat untuk beristirahat dan tidur. Selain itu, satu di antara gubug-gubug itu nampaknya mereka pergunakan sebagai dapur.

Dengan cermat dan sangat berhati-hati Sabungsari dan Glagah Putih melihat gubug demi gubug yang ada di bukit itu. Mereka memang mencoba untuk menghitung jumlah orang yang ada di tempat itu.

“Cukup banyak,” desis Sabungsari.

“Tidak,” jawab Glagah Putih.

“Apakah kita perlu berbuat sesuatu di sini, atau kita tunggu sampai kita mendapat satu keyakinan, apakah kita akan bertindak atau tidak?” bertanya Sabungsari.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak, namun kemudian iapun berbisik, “Apa yang kita tunggu?”

“Kita datang untuk mencari seorang gadis, jika kita tidak yakin bahwa di sini ada seorang gadis, maka kita masih belum perlu untuk berbuat sesuatu,” berkata Sabungsari perlahan-lahan sekali.

“Kita sudah sampai di sini,” berkata Glagah Putih, “ada atau tidak ada gadis itu.”

“Tetapi akibatnya sangat buruk bagi gadis itu,” jawab Sabungsari dengan berbisik, “jika benar kelompok ini yang mengambil gadis itu, kemudian kita menyerang mereka, maka gadis itu tidak akan mungkin diselamatkan lagi.”

Glagah Putih tidak menjawab. Ia mengerti keterangan Sabungsari itu, sehingga Glagah Putih pun tidak menjawab lagi.

Beberapa saat kedua orang itu masih menyusup di antara gubug-gubug di bukit kecil itu. Rerumputan, ilalang dan pepohonan perdu akan mampu memberikan perlindungan yang baik bagi mereka. Demikian pula ketika dua orang itu berjalan dari satu gubug ke gubug yang lain.

Tetapi kedua orang itu sama sekali tidak menemukan tanda-tanda bahwa di tempat itu disembunyikan seorang gadis.

Namun demikian, mereka berdua tidak segera meninggalkan tempat itu. Mereka justru bergeser ke belakang gerumbul liar ketika mereka melihat seorang yang diiringi oleh ketiga orang lainnya keluar dari gubug.

Ternyata pembicaraan mereka cukup menarik perhatian Sabungsari dan Glagah Putih.

“Ada dua orang,” desis seorang di antara ketiga orang pengiring itu.

“Menarik?” bertanya orang yang diiringi.

“Silahkan memilih,” jawab salah seorang pengiringnya.

“Siapa yang menjaga di sana?” bertanya yang diiringi, “Aku tidak percaya jika yang menjaga Gempol Miring. Ia kadang-kadang tidak dapat menahan diri dan berbuat sesuka hatinya. Aku hampir membunuhnya beberapa bulan yang lalu.”

“Tidak. Bukan Gempol Miring,” jawab salah seorang pengiringnya.

“Siapa?” bertanya yang diiringi.

“Sada,” jawab pengiringnya itu.

Orang yang diiringi itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku percaya kepada Sada.”

Keempat orang itu pun kemudian telah melangkah justru keluar lingkungan gubug-gubug itu. Sementara Sabungsari dan Glagah Putih berusaha untuk dapat mengikuti dan mengamati mereka berempat.

Ternyata di luar penglihatan Sabungsari dan Glagah Putih, ada sebuah gubug yang terpisah. Karena itu maka semuanya menjadi hampir pasti. Namun Sabungsari dan Glagah Putih pun telah mendekat pula dengan sangat berhati-hati.

Beberapa saat kemudian, mereka telah mendekati sebuah gubug yang memang agak terpisah sedikit jauh. Cahaya lampu di dalam gubug itu nampaknya sengaja ditutup sehingga tidak menembus keluar. Beberapa buah lubang udara memang dibuat. Tetapi diatur dengan baik, sehingga cahaya di dalam tidak nampak dari luar.

Ketika orang yang diiringi oleh tiga orang lainnya mendekati gubug itu, maka Sabungsari berkata kepada Glagah Putih hampir berbisik, “Bawa kawan-kawan kita kemari. Nampaknya kita memang harus bertindak sekarang. Kita tidak mempunyai waktu untuk memanggil prajurit Mataram untuk membongkar kejahatan ini.”

“Tidak perlu,” potong Glagah Putih, “kita selesaikan saja sendiri.”

“Tetapi kita akan berhadapan dengan kekuatan yang besar. Kita akan mengerahkan segenap kemampuan kita,” berkata Sabungsari.

“Kelompok Gajah Liwung tidak pernah ingkar akan tugas-tugas yang dibebankan pada pundaknya sendiri,” desis Glagah Putih kemudian sambil bergeser. Lalu katanya, “Aku akan memanggil semua kawan-kawan kita.”

Sejenak kemudian Glagah Putih telah hilang dalam kegelapan. Ia masih sempat memperhatikan keadaan sekelilingnya untuk mengenalinya dengan baik, agar ia dapat membawa kawan-kawannya ke tempat itu dengan aman, tanpa diketahui oleh orang-orang yang berada di gubug-gubug itu, yang masih belum diketahui kelompoknya, bahkan jumlahnya.

Beberapa saat kemudian, maka Glagah Putih yang telah keluar dari lingkungan gubug-gubug di bukit itu telah berlari-lari kecil, meskipun ia harus berhati-hati.

Ketika ia sampai kepada kawan-kawannya, maka iapun segera menyatakan hasil pengamatannya.

“Kita harus mendekat. Mungkin sesuatu akan terjadi. Jika terjadi benturan yang sangat keras karena jumlah mereka cukup banyak, maka aku minta kalian dapat menjaga diri kalian masing-masing,” berkata Glagah Putih.

Yang menjawab justru Rara Wulan, “Kami sudah siap menghadapi apapun juga.”

“Kita akan melawan lawan dalam jumlah yang besar. Mereka lebih menguasai medan dan kegelapan di bukit kecil ini,” berkata Glagah putih.

“Marilah. Kita akan segera mendekati medan,” berkata Pranawa, “kita tidak boleh terlambat.”

Ketujuh orang itu pun mulai bergerak. Glagah Putih yang terbiasa mengembara itu pun mampu mengingat arah yang ditempuh sebelumnya.

Dengan demikian maka mereka telah dapat menembus kegelapan tanpa diketahui oleh orang-orang yang berada di gubug-gubug itu.

“Nampaknya mereka telah lama berada di sini,” desis Mandira,

“Ya,” sahut Suratama berbisik, “menilik bangunan dan pepohonan yang ada, mereka sudah ada di sini untuk waktu yang cukup lama.”

Yang lain mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak sempat memperhatikan keadaan itu lebih lama. Glagah Putih telah merayap maju mendekati sasaran. Demikian pula Pranawa yang tidak ingin datang terlambat. Jika Sabungsari bertindak lebih cepat karena keadaan memaksa, maka ia akan bergerak sendirian.

Beberapa saat kemudian, Glagah Putih telah membawa kawan-kawannya mendekati gubug yang terpencil itu. Menurut perhitungan Sabungsari dan Glagah Putih, gadis itu tentu berada di gubug itu.

Dengan isyarat, maka mereka telah bergerak mendekati gubug itu dari beberapa arah. Mereka mencoba untuk mengetahui, dimana gadis itu disimpan.

Sebenarnyalah, ketika mereka mendekati gubug itu, terdengar suara gadis yang memekik kecil. Namun kemudian terdengar suara seorang laki-laki yang garang, “Berteriaklah keras-keras. Jangan ditahan-tahan. Tidak akan ada seorangpun yang mendengarnya. Kau berada di lereng bukit kecil di dekat sebuah hutan yang lebat.”

Tidak terdengar jawaban. Tetapi kembali terdengar pekik kecil.

Terdengar lagi suara tertawa kasar.

Rara Wulan memang tidak sabar lagi. Tetapi ketika ia akan meloncat, dengan cepat tangan Glagah Putih menyambarnya dan menahannya.

“Tunggu,” desis Glagah Putih, “jangan tergesa-gesa.”

“Kau menunggu kita terlambat?” bertanya Rara Wulan.

“Jika kita salah langkah, gadis itu akan mati tercekik,” bisik Sabungsari, “karena itu, kita harus memancing sebagian mereka keluar. Baru yang lain berusaha masuk lewat sudut dinding yang nampaknya agak rapuh.”

“Aku akan memancing mereka keluar,” desis Pranawa.

“Glagah Putih dan Rara Wulan akan masuk lewat sudut dinding.”

“Aku akan berbuat apa saja. Mungkin aku harus mengerahkan segenap kemampuanku dalam persoalan seperti ini,” berkata Glagah Putih.

“Hati-hati,” sahut Sabungsari.

Glagah Putih mengangguk kecil. Dengan nada dalam ia berdesis, “Mereka harus dijauhkan dari gadis itu, agar gadis itu tidak dipergunakan sebagai perisai.”

Pranawa-lah yang kemudian mulai bergerak. Bersama dua orang ia bergerak ke bagian depan gubug itu. Sementara Glagah Putih mendekatinya dari arah belakang. Di belakangnya berjalan dengan hati-hati Rara Wulan. Sementara Sabungsari mendekati gubug itu dari arah yang lain, besama dua orang yang lain. Mereka saling mempercayakan diri kepada kawan-kawan mereka yang menyebar.

Di gubug itu memang tidak terlalu banyak orang. Tetapi jika terjadi sesuatu, maka dari gubug-gubug yang lain tentu akan berdatangan beberapa orang yang harus mereka hadapi pula.

Karena itu, maka Sabungsari harus mengamati kemungkinan itu pula.

Sejenak kemudian, maka Pranawa yang memancing perhatian orang-orang yang berada di depan gubug itu telah mulai menampakkan diri. Dengan tiba-tiba saja ia telah menyergap seorang yang berada di pintu gubug itu. Orang yang sama sekali tidak mengira bahwa tangan -tangan yang kuat telah melingkar di lehernya.

Satu cekikan yang kuat terasa menyumbat nafasnya. Tetapi ia tidak menyerah begitu saja. Tiba-tiba saja ia merendah, menggapai tengkuk Pranawa yang berdiri di balakangnya. Satu hentakan yang kuat hampir saja melemparkan Pranawa lewat di atas tubuh orang itu.

Hampir saja Pranawa, yang juga tidak mengira bahwa orang itu sempat memberikan perlawanan, telah terlempar. Tetapi dengan sigap tangannya telah dihentakkannya menekan dagu orang itu, sehingga kepala orang itu terangkat.

Terdengar orang itu mengaduh perlahan. Namun kemudian orang itu menjadi tidak berdaya. Ketika Pranawa melepaskannya, maka orang itu telah terjatuh dengan lemahnya.

Pranawa tertegun. Ia tidak dapat berbuat lain. Namun ia masih sempat berdesis, “Mudah-mudahan ia hanya pingsan.”

Tetapi dengan demikian, maka orang yang lain telah meloncat keluar dari gubug itu. Namun satu pukulan yang keras telah menyambutnya tepat di kening, sehingga orang itu terhuyung-huyung menyamping. Pukulan berikutnya telah mengenai tengkuknya. Cukup keras, sehingga malam yang gelap itu pun rasa-rasanya menjadi semakin gelap.

Keributan itu telah memanggil orang-orang yang ada di dalam gubug itu keluar, Pranawa telah memberikan isyarat kepada kawan-kawannya untuk membiarkan mereka turun ke halaman gubug itu.

Empat orang telah berloncatan keluar. Mereka langsung disambut oleh tiga orang dari kelompok Gajah Liwung, sehingga sejenak kemudian telah terjadi pertempuran yang sengit.

Tetapi seorang di antara mereka ternyata memiliki ilmu yang tinggi, sehingga karena itu maka Pranawa sendiri harus menghadapinya. Sedangkan kedua orang kawannya bertempur melawan tiga orang yang lain dengan berpasangan. Adalah kebetulan mereka memiliki kemampuan kerjasama yang sangat baik, sehingga berdua mereka dengan cepat mendesak ketiga orang lawannya itu. Tetapi Pranawa sendiri harus bertempur dengan mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuannya.

Sementara itu, lawan Pranawa itu sempat bertanya, “Siapakah kalian?”

“Untuk apa kalian bertanya tentang kami?” sahut Pranawa. “Sekarang menyerahlah, kau harus membuat perhitungan dengan orang tua dari gadis-gadis yang telah kau ambil.”

“Gadis yang mana?” bertanya orang itu sambil menghindari serangan Pranawa.

“Kau kira kami tidak mendengar jeritnya?” justru Pranawa yang bertanya.

“Setan kau,” geram orang itu, “jangan mencoba melawan kelompok Gajah Liwung.”

Tetapi Pranawa tertawa. Katanya, “Sebenarnya aku tidak merasa perlu untuk menyatakan diri. Tetapi karena kau menyebut kelompok Gajah Liwung, maka kau membuat aku tergelitik untuk menyebut tentang kelompokku.”

“Kelompok yang mana?” geram orang itu.

Tetapi Pranawa hanya tertawa saja. Serangannya-lah yang menjadi semakin garang. Dengan demikian maka pertempuran pun menjadi semakin sengit.

Dalam pada itu, Glagah Putih telah berusaha untuk membuka dinding dari luar. Dengan pisau belati yang dibawa Rara Wulan, Glagah putih telah memutuskan tali-tali ijuk pengikatnya.

Beberapa saat kemudian, Glagah Putih telah berhasil membuka dinding gubug itu dari luar. Seperti yang diperhitungkan, menilik suara tertahan seorang prempuan, maka Glagah Putih dan Rara Wulan telah masuk sebuah bilik. Dua orang perempuan berada di dalam bilik itu. Sedangkan pintu itu tertutup dan diselarak dari luar.

“Marilah, kita tinggalkan tempat ini,” desis Glagah Putih.

Tetapi kedua orang perempuan yang ketakutan itu sama sekali tidak tanggap.

Rara Wulan-lah yang kemudian berdesis, “Marilah. Kami berusaha untuk menolongmu.”

Ternyata suara dengan nada tinggi Rara Wulan telah berpengaruh. Perempuan-perempuan itu memandangnya dengan dahi berkerut. Ternyata orang yang berpakaian aneh itu seorang perempuan juga.

Rara Wulan tidak menunggu lebih lama lagi. Ia telah menarik kedua orang perempuan itu untuk keluar dari gubug itu. Meskipun agak ragu, namun kedua orang perempuan itu pun telah melangkah, menerobos dinding yang sudah terbuka dan keluar dari gubug kecil yang telah mengungkungnya. Bahkan hampir saja ia telah mengalami nasib yang sangat buruk.

Gelapnya malam telah menelan kedua orang perempuan yang kemudian dibimbing Rara Wulan, diikuti Glagah Putih dengan sangat berhati-hati. Sementara itu, pertempuran masih berlangsung di depan gubug itu.

Tetapi tenyata Rara Wulan tidak sempat membawa keduanya menjauh. Orang-orang yang bertempur di depan gubug itu telah memberikan isyarat kepada kawan-kawannya yang berada di gubug-gubug lain yang letaknya terpisah.

Beberapa orang telah berlari-larian menuju ke gubug yang terpisah itu. Namun Sabungsari yang sudah memperhitungkan kemungkinan itu, telah siap menunggu.

Orang yang pertama ternyata telah terlempar dan jatuh di tanah, sementara dua orang kawan Sabungsari telah menerkam dua orang yang lain. Pukulan mereka telah membuat dua di antara orang-orang yang berlari-lari itu pingsan.

Sejenak kemudian telah terjadi pertempuran yang sengit. Pertempuran yang jumlahnya sama sekali tidak seimbang. Tiga orang dari kelompok Gajah Liwung harus melawan orang yang mengalir dari gubug-gubug kecil itu.

Tetapi Sabungsari memang tidak lagi ragu-ragu. Kemarahannya sudah sampai ke ubun-ubun. Bukan saja karena kelompok itu sudah mengambil gadis-gadis, tetapi kelompok itu sudah mencemarkan nama kelompok Gajah Liwung pula.

Karena itu, maka iapun telah bertempur dengan keras pula.

Ternyata bahwa kemarahan Sabungsari telah membakar darahnya, dan hampir di luar sadarnya maka ilmunya mulai terangkat ke permukaan. Itulah sebabnya maka sentuhan tangannya bagaikan sentuhan segumpal besi.

Beberapa orang memang tidak dapat menahan pukulan tangan Sabungsari. Namun ada di antara mereka yang sempat menghindarinya. Sedangkan lawan memang terlalu banyak.

Selain bertempur melawan Sabungsari dan dua orang kawannya, maka yang lain pun menghambur ke gubug yang terpisah itu.

Dalam pada itu, Pranawa masih bertempur dengan sengitnya. Tetapi dua orang kawannya telah berhasil mengatasi ketiga orang lawan mereka.

Ketiga orang lawan itu telah terlempar keluar arena. Meskipun mereka masih dapat berdiri, tetapi ketiganya hampir kehilangan kemampuan untuk berbuat sesuatu selain menjaga keseimbangannya.

Tetapi Pranawa ternyata telah bertemu dengan seorang yang memiliki ilmu yang tinggi, sehingga ia harus mengerahkan kemampuannya untuk mengimbanginya. Namun pengalamannya yang luas telah membuat Pranawa tidak terdesak oleh lawannya yang garang.

Ketika beberapa orang menghambur datang, maka kedua orang anggauta Gajah Liwung yang lain yang telah melemparkan ketiga orang lawannya, telah menyongsong mereka.

Ternyata suasana memang telah menjadi keras. Kedua orang anggota Gajah Liwung itu sama sekali tidak menunggu isyarat lagi. Demikian mereka berhadapan dengan lawan, maka mereka pun telah langsung menyerang. Apalagi mereka menyadari bahwa jumlah lawan jauh lebih banyak dari jumlah mereka yang hanya delapan orang.

Karena itu, demikian orang-orang itu mendekat, maka seorang di antara anggota Gajah Liwung itu langsung menyongsongnya dengan serangan yang keras. Dengan cepat ia meloncat sambil mengayunkan kakinya. Satu tendangan miring yang keras telah mengenai dada seorang di antara lawan-lawannya. Demikian kerasnya hingga orang itu terlempar beberapa langkah surut, dan bahkan jatuh terlentang. Sementara itu seorang lagi telah meloncat sambil mengayunkan tangannya. Lawannya memang berusaha untuk menangkis.

Tetapi dengan cepat ia berputar. Serangannya telah datang membadai, sehingga lawannya sulit untuk menghindar. Dengan cepat orang itu terdesak. Sebelum kawannya datang membantunya, maka orang itu telah terlempar dan terbanting jatuh di tanah.

Tetapi yang datang kemudian adalah beberapa orang, yang lain telah memencar. Beberapa orang di antara mereka telah menemukan Glagah putih dan Rara Wulan yang berusaha menjauhkan kedua orang gadis yang telah mereka bebaskan dari gubug yang agak terpisah itu.

“Lindungi gadis-gadis itu,” desis Glagah Putih, sambil mempersiapkan diri menghadapi kemungkinan-kemungkinan buruk yang bakal datang.

Rara Wulan telah mempesiapkan pedangnya sambil berkata kepada kedua orang gadis itu, “Usahakan untuk melindungi dirimu sendiri. Pegang pisau ini, mungkin kau memerlukannya.”

Kedua orang gadis itu termangu-mangu. Mereka tidak terbiasa memegang pisau sebagai senjata. Yang sering mereka lakukan adalah mempergunakan pisau untuk bekerja di dapur.

“Cepat! Salah satu dari kalian. Pegang pisau ini!” Rara Wulan justru membentak.

Hampir di luar sadarnya, seorang di antara kedua orang gadis itu telah menerima pisau dari tangan Rara Wulan. Sementara Rara Wulan telah bergeser selangkah maju dengan pedang teracu.

Glagah putih sudah berada beberapa langkah di hadapan mereka. Dengan tegang ia melihat lima orang mendatanginya. Semuanya bersenjata.

Glagah Putih sendiri memiliki pengalaman yang luas. la sudah terbiasa bertempur di siang atau di malam hari, namun ia masih harus menjadi sangat berhati-hati.

Glagah Putih tidak ingin menyulitkan Rara Wulan. Karena itu maka iapun telah menyongsong lawannya pula. Untuk melawan lima orang bersenjata dalam suasana seperti itu, maka Glagah Putih harus dengan cepat mengalahkan lawan-lawannya. Ia sadar bahwa dalam waktu dekat, akan datang lagi beberapa orang untuk membantu kelima orang itu.

Karena itu, maka Glagah Putih telah mengurai ikat pinggangnya. Senjata yang luar biasa. Namun dalam keadaan terpaksa, telah disiapkan oleh Glagah Putih untuk melindungi bukan saja dirinya, tetapi juga Rara Wulan dan kedua gadis yang harus dibebaskannya.

Beberapa saat kemudian, maka Glagah Putih pun telah meloncat menyerang orang-orang yang datang itu. Pada ayunan yang pertama, maka Glagah Putih telah sempat melemparkan senjata seorang di antara mereka. Sementara yang lain tertegun, Glagah Putih telah meloncat menyerang lawannya yang lain lagi. Demikian cepatnya, sehingga orang itu tidak sempat mengelak dan tidak pula sempat menangkis. Yang terdengar kemudian adalah keluhan tertahan. Ikat pinggang Glagah Putih telah mengenai lengan lawannya.

Ketiga orang yang lain pun telah tertarik pula untuk bersama-sama melawan Glagah Putih. Karena itu, maka mereka pun telah menyerang bersama-sama.

Tetapi Glagah Putih telah berloncatan dengan tangkasnya. Apalagi ketika ia melihat tiga orang lagi telah datang, ketika yang kehilangan senjatanya itu meneriakkan isyarat. Sementara ia masih belum menemukan senjatanya yang terlempar dalam kegelapan.

Beberapa lingkaran pertempuran telah terjadi. Pertempuran yang keras. Ternyata jumlah orang-orang yang ada di bukit itu memang cukup banyak.

Tetapi orang-orang Gajah Liwung yang hanya sedikit itu benar-benar terdiri dari orang-orang pilihan. Mereka bukan sekedar anak-anak muda yang berbuat gila-gilaan dengan mengandalkan kekuatan wadag mereka serta kelompok yang besar. Tetapi orang-orang Gajah Liwung pada umumnya adalah orang-orang yang secara pribadi telah pernah berlatih dengan tekun serta menempa diri dengan berbagai macam laku.

Dengan demikian maka pertempuran pun semakin lama menjadi semakin sengit. Orang-orang Gajah Liwung yang harus menghadapi jumlah yang terlalu banyak itu ternyata telah mengerahkan kemampuan mereka pula. Sabungsari telah menghentikan perlawanan beberapa orang. Di antara mereka bahkan telah menjadi pingsan.

Sementara itu Mandira pun telah mengerahkan segala kemampuannya. Tetapi karena ia harus berloncatan dan berlari-larian di antara beberapa orang lawan, maka tubuhnya memang melah terluka. Meskipun demikian, Mandira adalah orang yang sangat garang.

Rumeksa pun telah bertempur seperti seekor banteng yang terluka. Lawan-lawannya yang melingkarinya setiap kali harus berloncatan mundur.

Suratama dan Naratama telah membuat lawan-lawan mereka menjadi ngeri melihat unsur-unsur gerak mereka yang cepat dan tangkas.

Sedangkan Rara Wulan pun harus bertempur menghadapi orang yang berusaha untuk menangkap kembali kedua orang perempuan, yang berusaha untuk bersembunyi di balik gerumbul-gerumbul liar.

Namun ternyata bahwa Glagah Putih harus bekerja keras. Dengan ikat pinggang di tangan ia harus melawan beberapa orang yang mengepungnya. Yang mencemaskan Glagah Putih justru bukan dirinya sendiri. Namun setiap kali ia harus berusaha membantu Rara Wulan jika ia harus menghadapi lawan lebih dari seorang.

Tetapi Glagah putih dengan ikat pinggangnya benar-benar merupakan seorang yang sangat garang. Hampir setiap ayunan ikat pinggangnya telah melemparkan sepucuk senjata atau melukai seorang lawan. Berapapun lawan yang datang, namun mereka tidak mampu menundukkannya.

Sementara itu dua gadis yang ketakutan masih mempunyai keberanian untuk bersembunyi di saat pertempuran itu menjadi semakin sengit. Agaknya gelap malam dan gerumbul-gerumbul liar telah melindunginya.

Sementara itu, maka orang-orang Gajah Liwung telah bertempur dengan sepenuh tenaga.

Meskipun demikian, betapapun berat perlawanan orang-orang yang tinggal di bukit itu karena jumlahnya yang jauh lebih banyak, Sabungsari masih menahan diri untuk tidak mempergunakan ilmu puncaknya. Sabungsari tidak menghancurkan lawan-lawannya dengan kekuatan sorot matanya. Ia masih bertempur dengan pedangnya. Namun dengan senjata itu Sabungsari telah berhasil mengacaukan kekuatan lawan-lawannya.

Ternyata bahwa orang-orang Gajah Liwung memang orang-orang yang tidak terlawan. Mereka memiliki kemampuan dan ilmu. Bukan sekedar bertumpu pada keberanian dan kekasaran saja.

Karena itulah, meskipun jumlah mereka jauh lebih banyak, tetapi orang yang tinggal di bukit itu tidak mampu mengalahkan orang-orang dari kelompok Gajah Liwung yang kemudian telah memencar. Bahkan seakan-akan orang-orang Gajah Liwung yang memanfaatkan gelapnya malam itu telah berada dimana-mana. Jumlah mereka seakan-akan berlipat lima enam kali dari jumah mereka yang sebenarnya. Apalagi Sabungsari dan Glagah Putih. Keduanya seperti hantu yang ada dimana-mana, meskipun Glagah Putih tidak pernah melepaskan pengawasannya terhadap Rara Wulan, yang segera mengalami kesulitan jika lawannya berjumlah lebih dari dua orang. Melawan dua orang anggota kelompok yang ada di bukit itu, Rara Wulan yang pernah menyadap ilmu dari kakeknya masih juga dapat bertahan.

Ketika orang-orang dari kelompok Gajah Liwung itu telah benar-benar bertempur dengan keras pula, maka lawan-lawan mereka yang masih mampu untuk bertempur telah menjadi gentar. Mereka merasa bahwa mereka tidak akan mampu melawan, betapapun mereka mengerahkan sisa-sisa kekuatan mereka.

Karena itu maka orang-orang yang berada di bukit itu semakin lama menjadi semakin terdesak dari arena pertempuran yang luas.

Hanya Pranawa-lah yang masih bertempur dengan sengitnya. Ternyata lawan Pranawa adalah orang yang menyatakan dirinya sebagai pemimpin dari kelompok itu.

Namun ternyata bahwa Pranawa masih memiliki beberapa kelebihan dari lawannya. Selain daya tahan tubuhnya yang sangat kuat, maka unsur-unsur geraknya yang paling rumit telah membuat lawannya kebingungan. Apalagi ketika kemudian ternyata bahwa orang-orang yang tinggal di bukit itu satu-satu telah lenyap dari arena.

Tidak seorangpun dari antara penghuni bukit itu yang menduga bahwa mereka tidak akan mampu mengalahkan orang-orang yang menurut perhitungan mereka jauh lebih sedikit dari jumlah mereka yang ada di bukit itu. Namun yang seakan-akan semakin lama menjadi semakin banyak dan tersebar dimana-mana.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar