Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 255

Buku 255

Panembahan Senapati memang telah menduga sebelumnya. Tetapi ia masih juga tergetar dadanya mendengar laporan itu, justru karena ia telah kehilangan waktu beberapa saat. Justru saat-saat yang paling gawat.

Namun kemudian terdengar perintahnya, “Cari Pamanda Panembahan Madiun sampai dapat diketemukan.“

Penghubung itu pun kemudian telah menghubungi Pangeran Mangkubumi yang berada di tengah-tengah pasukannya. Pangeran yang masih basah oleh keringat itu memang menjadi agak kesal menunggu perintah Panembahan Senapati. Demikian perintah itu diterima, maka iapun telah mulai bergerak dengan memecah pasukannya.

Perintah Pangeran Mangkubumi kepada prajurit-prajuritnya, “Carilah hubungan dengan para prajurit dari pasukan kedua. Perintah Panembahan Senapati adalah membawa Panembahan Madiun kembali ke istana.“

Tetapi keterlambatan perintah yang diterima Pangeran Mangkubumi ternyata telah memberi kesempatan kepada Panembahan Madiun untuk lolos. Dengan pengawalan yang kuat, maka pasukan Madiun telah menembus pasukan Mataram yang terpencar, sampai ke pintu gerbang di sebelah Timur. Pasukan khusus Madiun masih mampu memecahkan kekuatan pasukan Mataram yang berusaha untuk menutup regol itu, sehingga akhirnya pasukan Madiun yang mengawal Panembahan Madiun itu dapat keluar dari kota.

Bahkan beberapa kelompok pasukan yang lain sempat menyusul iring-iringan itu. Beberapa kelompok keluar dari kota tanpa melalui gerbang yang manapun. Tetapi mereka telah berusaha memanjat dinding kota dengan alat apapun yang dapat mereka ketemukan.

Namun sebagian lagi prajurit Madiun memang harus melihat kenyataan bahwa mereka tidak mempunyai kesempatan apa-apa lagi, sehingga mereka telah menyerah.

Pasukan yang dipimpin Pangeran Mangkubumi pun kemudian telah sampai ke regol sebelah timur. Namun pasukan Madiun telah menjadi jauh. Beberapa kelompok kecil pasukan Mataram berusaha untuk mengikuti pasukan itu. Tetapi mereka tidak dapat bertindak apa-apa, karena pasukan pengawal itu ternyata sangat kuat.

Ketika pasukan Pangeran Mangkubumi berusaha untuk menyusul mereka, maka beberapa orang penghubung memberikan keterangan tentang jarak waktu yang sulit untuk diperpendek kembali.

“Kita telah terlambat,“ desis Pangeran Mangkubumi, “kelambatan ini terletak pada Panembahan Senapati sendiri, yang menjumpai persoalan yang rumit dengan tiba-tiba, di luar perhitungannya.“

Tidak seorang Senapatipun yang bertanya. Namun Pangeran Mangkubumi masih menjatuhkan perintah. “Kita akan mencoba melacaknya. Kelompok-kelompok prajurit yang lebih dahulu mengikuti pasukan itu, mungkin berusaha untuk menghambat mereka.“

Tetapi beberapa ribu pathok kemudian, nampak oleh Pangeran Mangkubumi bahwa kelompok-kelompok yang terdahulu justru sudah kembali.

Karena itu, ketika pasukan itu berpapasan, Pangeran Mangkubumi telah minta keterangan dari para pemimpin kelompok yang sedang dalam perjalanan kembali ke Madiun.

“Mereka sudah jauh. Selain itu pasukan yang mengawal Panembahan Madiun adalah pasukan yang sangat kuat,“ seorang pemimpin kelompok itu memberikan laporan.

Pangeran Mangkubumi mendengarkan laporan itu dengan seksama. Sementara pemimpin kelompok itu berkata selanjutnya, “Panembahan Madiun tentu menuju ke Wirasaba.”

Pangeran Mangkubumi menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian perintahnya, “Kita kembali ke dalam kota.“

Demikianlah, pasukan itu telah kembali memasuki Kota Madiun. Sementara itu pasukan yang dipimpin oleh Ki Patih Mandaraka bersama pasukan Adipati Pragola dari Pati masih sibuk membersihkan seluruh kota dari kelompok-kelompok kecil prajurit Madiun yang tidak mau menyerahkan diri. Karena para prajurit itu berlindung di antara para penduduk kota Madiun, maka sulit bagi prajurit Mataram untuk dengan cepat menyelesaikan mereka.

Tetapi Ki Patih Mandaraka dan Adipati Pati bertekad untuk menyelesaikan tugas mereka sampai tuntas.

Di malam hari, pasukan kedua itu masih belum memasuki istana. Sementara Pangeran Mangkubumi dengan pasukannya telah berada di alun-alun. Betapapun kecewa hati Pangeran Mangkubumi, namun kepada para Senapati ia sama sekali tidak menunjukkan kelambatan Panembahan Senapati adalah karena kelengahannya. Tetapi Pangeran Mangkubumi selalu mengatakan, bahwa Panembahan Senapati telah menjumpai satu persoalan yang tiba-tiba saja harus diatasi.

Namun malam itu juga pasukan Mataram, khususnya pasukan pertama, telah dapat menghimpun diri. Pasukan itu telah terkumpul dan terkendali sepenuhnya. Bahkan perintah untuk berusaha merawat mereka yang terluka dan mereka yang gugur di peperangan telah diberikan oleh Pangeran Mangkubumi. Namun masih terbatas di sekitar tempat mereka menghimpun diri.

Sebaliknya pasukan kedua yang dipimpin oleh Ki Patih Mandaraka dan Adipati Pragola dari Pati, masih harus dibenahi. Para penghubung hilir mudik di antara pasukan-pasukan yang terpecah, sementara para prajurit Madiun dalam kelompok-kelompok kecil kadang-kadang masih mereka jumpai.

Dari pasukan kedua, Pangeran Singasari telah berusaha untuk dapat bertemu langsung dengan Panembahan Senapati untuk menerima perintah-perintah selanjutnya.

Namun dalam pada itu, Adipati Pragola dari Pati telah memusatkan pasukannya di sebelah selatan istana, setelah tugas yang dibebankan kepadanya bersama Ki Patih Mandaraka dapat diselesaikan. Meskipun demikian, beberapa kelompok prajurit Mataram masih juga selalu meronda di seluruh kota, karena mereka yakin bahwa prajurit Madiun masih tersisa di antara rumah-rumah, dan bahkan di tempat-tempat yang tersembunyi.

Malam itu juga Pangeran Singasari telah berhasil bertemu dengan Panembahan Senapati bersama Pangeran Mangkubumi. Panembahan Senapati telah memerintahkan semua pemimpin dalam pasukan Mataram untuk berkumpul di hari berikutnya, untuk membicarakan langkah-langkah selanjutnya.

Namun, demikian Pangeran Mangkubumi dan Pangeran Singasari keluar dari ruang dalam istana, maka Pangeran Singasari telah berdesis, “Siapa perempuan itu?“

“Putri Pamanda Panembahan Madiun, Retna Jumilah,“ jawab Pangeran Mangkubumi.

“Apakah putri itu harus dihormati sebagaimana kita menghormati permaisuri Panembahan Senapati?“ bertanya Pangeran Singasari.

Tetapi Pangeran Mangkubumi justru tertawa. Katanya, “Aku tidak memikirkannya. Yang penting, langkah-langkah berikutnya yang harus kita ambil. Apakah kita akan berhenti di sini, atau kita akan bergerak lagi.“

Pangeran Singasari mengerutkan keningnya. Namun ia tidak berbicara lagi tentang Retna Jumilah.

Perintah untuk berkumpul di keesokan harinya pun segera sampai ke telinga para pemimpin pasukan yang ikut serta bersama Panembahan Senapati menduduki Madiun. Mereka akan berbincang tentang langkah-langkah yang akan diambil di hari-hari mendatang.

Demikianlah, seperti yang diperintahkan oleh Panembahan Senapati, maka semua pemimpin telah berkumpul di istana Madiun. Para Pangeran dan para Adipati, serta Ki Patih Mandaraka.

Namun semua orang merasa canggung melihat seorang putri ikut serta dalam pertemuan itu. Putri yang telah ditinggalkan oleh ayahandanya, Panembahan Mas dari Madiun.

Kepada para pemimpin yang hadir, Panembahan Senapati telah memperkenalkan putri itu bukan saja menyebut namanya Retna Jumilah, tetapi juga menyebutnya sebagai cucu Sultan Demak, yang bergelar Sultan Trenggana.

Tidak ada seorangpun yang menunjukkan sikap yang menentang kehadiran putri itu. Bahkan ikut dalam pembicaraan yang oleh Panembahan Senapati sendiri disebut sebagai satu pembicaraan yang masih sangat rahasia.

Betapapun perasaan bergetar di dalam setiap dada, tetapi mereka menunjukkan sikap yang baik, justru karena Panembahan Senapati sendiri sangat menghormati putri yang disebutnya sebagai cucu Sultan Trenggana di Demak.

Dalam pembicaraan itu maka telah terbersit satu pernyataan bahwa untuk beberapa hari pasukan Mataram akan beristirahat di Madiun. Namun kemudian pasukan itu akan langsung menuju ke Pasuruan. Panembahan Senapati ingin menundukkan Pasuruan sekaligus, sebelum kembali ke Mataram.

“Para prajurit dan pengawal yang ada di dalam pasukan Mataram masih belum perlu mengetahui rencana ini,“ berkata Panembahan Senapati.

Para pemimpin itu pun mengangguk-angguk mengiakan. Rencana itu memang masih harus dirahasiakan. Jika jauh-jauh sebelumnya Pasuruan mengetahui rencana itu, maka mungkin sekali kedatangan pasukan Mataram di Pasuruan tidak memberikan arti sebagaimana dikehendaki.

Namun yang menggetarkan setiap hati kemudian adalah pernyataan Panembahan Senapati, akan melangsungkan perkawinannya dengan putri Panembahan Madiun itu.

Pernyataan itu tidak mendapat tanggapan langsung dalam pertemuan itu. Semua orang mendengarkan dan berdiam diri. Apalagi ketika Panembahan Senapati mengatakan bahwa para prajurit yang telah dengan tegang menyelesaikan tugas mereka dengan baik di Madiun memerlukan sedikit perubahan suasana. Mudah-mudahan perkawinan itu akan memberikan kesegaran bagi para prajurit dan pengawal yang berada di Madiun. Memberikan satu suasana yang dapat melepaskan ketegangan-ketegangan yang mencengkam, selama mereka harus menghimpun tenaga kembali untuk bergerak dalam jangkauan yang jauh, Pasuruan.

Pertemuan itu sendiri tidak berlangsung terlalu lama. Setelah semua penjelasan dan perintah diberikan oleh Panembahan Senapati, maka pertemuan itu pun dinyatakan telah selesai.

Sejenak kemudian para pemimpin pun telah berada di antara pasukan mereka kembali. Namun dalam pada itu, demikian Adipati Pragola dari Pati berada di antara para Senapatinya, tiba-tiba saja telah menjatuhkan perintah, “Siapkan pasukan dari Pati. Kita akan kembali ke Pati.“

Beberapa orang Senapati memang menjadi bingung. Namun perintah itu tegas, “Kita berangkat hari ini juga.“

Dengan tanpa mengetahui maksud Adipati Pragola dari Pati, para Senapati memang menyiapkan pasukannya. Demikian pasukan itu siap, maka Adipati Pragola telah berusaha menghadap Panembahan Senapati.

Panembahan Senapati memang menjadi heran melihat sikap Adipati Pragola, salah seorang Adipati yang sangat akrab dan mempunyai pandangan yang hampir sama dalam banyak hal. Ayah Adipati Pragola adalah saudara seperguruan ayahanda Panembahan Senapati. Keduanya pula yang telah melaksanakan perintah Sultan Hadiwijaya dari Pajang untuk membunuh Arya Penangsang dari Jipang, meskipun keduanya atas petunjuk Ki Juru Martani yang kemudian bergelar Ki Patih Mandaraka, telah meminjam tangan Sutawijaya yang kemudian bergelar Panembahan Senapati itu.

Namun tiba-tiba sikap Adipati Pragola tidak dapat dimengerti oleh Panembahan Senapati.

“Kenapa kau akan meninggalkan Madiun?“ bertanya Panembahan Senapati.

“Seorang penghubung telah datang dari Pati, memberitahukan bahwa Pati ada dalam bahaya,“ jawab Adipati Pragola.

“Bahaya apa?“ bertanya Panembahan Senapati.

“Tidak jelas. Karena itu, kami seluruh pasukan dari Pati akan kembali ke Pati, melihat keadaan dan jika perlu mengerahkan kekuatan Pati untuk menghancurkan bahaya yang datang itu,“ jawab Adipati Pragola.

Ternyata usaha Panembahan Senapati untuk menahan Adipati Pragola tidak berhasil. Hari itu juga Adipati Pragola telah meninggalkan Madiun. Kepada Pangeran Mangkubumi, Pangeran Singasari, Adipati Pajang dan Grobogan, serta para pemimpin yang lain. Adipati Pragola dari Pati sama sekali tidak minta diri. Bahkan juga tidak kepada Ki Patih Mandaraka.

Keberangkatan pasukan Pati memang sangat menarik perhatian. Bahkan para pemimpin Pati sendiri masih saja selalu bertanya-tanya.

Namun di luar sadar, terloncat dari bibir Adipati Pragola meskipun tidak ditujukan kepada siapapun juga, “Kami harus bertempur menyabung nyawa, Kakangmas Panembahan Senapati tanpa menghiraukan para korban, telah berniat untuk kawin dengan putri Panembahan Madiun.“

Meskipun hal itu tidak dinyatakan kepada siapapun juga, tetapi seorang yang kebetulan mendengarnya, telah menangkap arti dari gerakan pasukan Pati. Sementara itu, apa yang didengar itu pada waktu yang singkat telah tersebar di antara para Senapati dari Pati.

Panembahan Senapati agaknya memang sudah merasa bahwa sikap Adipati Pragola itu ada hubungannya dengan niatnya untuk mengambil Retna Jumilah sebagai istrinya. Bahkan Panembahan Senapati pun dapat mengerti, bahwa dalam peperangan yang masih belum selesai, apalagi niat Panembahan Senapati untuk menjangkau kekuasaan Pasuruan, adalah tidak sewajarnya jika ia mengambil kesempatan untuk kawin.

“Tetapi dengan demikian aku berniat untuk mengendorkan ketegangan yang mencengkam para prajurit dan pengawal selama ini,“ berkata Panembahan Senapati kepada Ki Patih Mandaraka.

Namun Ki Patih menjadi sangat cemas. Ia mengenal sifat Adipati Pragola yang keras sebagaimana ayahandanya. Karena itu, maka menghadapi Pati, Panembahan Senapati tidak boleh menjadi lengah.

“Selembar mendung akan lewat di atas kekuasaan Mataram,“ berkata Ki Patih Mandaraka.

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya, “Sebaiknya Adimas Adipati Pragola berkata berterus terang, sehingga aku dapat memberikan penjelasan.“

“Ia sama sekali tidak menduga bahwa hal itu akan Angger lakukan,“ jawab Ki Patih, “karena itu, dalam keadaan yang tiba-tiba itu, ia tidak sempat berpikir tenang.“

“Tetapi semuanya sudah terlanjur Paman,“ desis Panembahan Senapati.

“Kita memang tidak mempunyai pilihan. Tetapi karena Angger Panembahan Senapati akan pergi ke Pasuruan, maka Angger sebaiknya menilai kekuatan Angger kembali, sepeninggal pasukan dari Pati.“

“Dengan kepergian pasukan Pati, kekuatan kita tidak banyak berkurang. Apalagi untuk menghadapi Pasuruan. Kita sudah mendapat laporan terperinci dari para petugas sandi yang telah kembali dari Pasuruan, berturut-turut sejak kita belum memasuki Madiun. Terakhir petugas sandi yang datang kemarin. Justru setelah di perjalanan ia mendengar berita bahwa Madiun sudah jatuh.” Panembahan Senapati berhenti sejenak, lalu, “Dari petugas sandi itu kita mendapat laporan, bahwa Pasuruan ternyata tidak mempunyai kekuatan cukup untuk mempertahankan diri sendiri,“ berkata Panembahan Senapati, “sementara itu sesuai dengan laporan Pangeran Mangkubumi berdasarkan laporan dari Kepala Tanah Perdikan Menoreh, justru di sebelah selatan Madiun terdapat satu kekuatan dari sebuah perguruan yang akan dapat mengancam kekuasaan Madiun. Sudah tentu tidak di saat pasukan Mataram berada di sini. Tetapi nanti jika pasukan Mataram telah kembali, maka kekuatan itu akan menjadi duri bagi Madiun.“

“Jadi bagaimana perintah Angger Panembahan?“ bertanya Ki Patih Mandaraka.

“Kita akan menyelesaikan kedua kekuatan itu sekaligus. Kita akan pergi ke Pasuruan, sedangkan sebagian dari kita akan menghancurkan kekuatan perguruan itu. Meskipun nampaknya perguruan itu kecil sekarang, tetapi lambat laun akan dapat membahayakan. Sesuai dengan laporan, maka pemimpin perguruan itu yang bernama Ki Gede Kebo Lungit, telah menyatakan bahwa di atas reruntuhan kekuatan Mataram dan Madiun, ia akan membangun satu kekuatan baru. Ternyata bahwa perhitungan Ki Gede Kebo Lungit itu keliru. Mataram dan Madiun tidak hancur bersama-sama. Namun niat itu tentu masih tetap melekat pada mimpi-mimpinya kemudian,“ berkata Panembahan Senapati.

Ki Patih Mandaraka mengangguk-angguk. Sementara itu, Panembahan Senapati berkata, “Aku akan memerintahkan petugas sandi yang datang dari Pasuruan itu nanti menghadap Pamanda. Sementara itu, kita dapat memerintahkan petugas sandi untuk menyelidiki kekuatan Ki Gede Kebo Lungit, bersama-sama dengan penunjuk jalan yang mendapat tugas mendampingi pasukan Tanah Perdikan Menoreh saat kita merebut Madiun.“

Ki Patih mengangguk-angguk. Panembahan Senapati memang tidak tergesa-gesa. Ia masih akan melangsungkan perkawinannya, meskipun dengan persiapan yang tergesa-gesa. Tetapi tidak akan dapat dilakukan hari itu juga di saat keduanya menghendaki.

Dengan demikian, maka untuk sementara para prajurit Mataram memang beristirahat di Madiun. Sementara itu, Panembahan Senapati yang akan melangsungkan perkawinannya dengan Retna Jumilah, putri Panembahan Madiun, telah mengumumkan pengampunan kepada para prajurit Madiun yang masih bersembunyi, jika mereka menyerah.

Ternyata bahwa rencana Panembahan Senapati dapat berlangsung dengan baik. Perkawinannya berlangsung tanpa keramaian, selain kehadiran orang-orang tua dan para pemimpin dari Mataram. Sementara itu, telah datang pula petugas sandi dari Pasuruan, serta telah mendapat pula laporan dari petugas sandi yang harus mengamati padepokan dari perguruan Ki Gede Kebo Lungit.

Menurut laporan itu, maka Ki Mandaraka menyatakan persetujuannya untuk mengurangi pasukan Mataram yang akan berangkat ke Pasuruan, dengan memberikan perintah tersendiri kepada pasukan yang dipisahkan itu.

Beberapa pembicaraan telah dilakukan dengan para pemimpin pasukan Mataram. Namun akhirnya Pangeran Mangkubumi mengusulkan agar pasukan Tanah Perdikan Menoreh serta pasukan dari Pegunungan Sewu yang dipimpin oleh Ki Demang Selagilang.

“Siapakah orang-orang yang terpercaya dalam pasukan itu, selain Ki Gede Menoreh dan Ki Demang Selagilang sendiri?” bertanya Panembahan Senapati.

Pangeran Mangkubumi ternyata mengenal pasukan itu dengan baik. Karena itu maka jawabnya, “Di dalam pasukan Tanah Perdikan Menoreh terdapat seorang yang memiliki ilmu yang tinggi, Agung Sedayu. Kemudian adik sepupunya juga mempunyai ilmu yang cukup memadai, Glagah Putih. Sedangkan di dalam pasukan yang dipimpin oleh Ki Demang Selagilang terdapat seorang Bekel yang memiliki kelebihan dari para pengawal yang lain, meskipun belum setataran Glagah Putih, Ki Bekel Wadasmiring. Sementara itu pasukan Menoreh pernah berbenturan dengan pasukan Madiun yang bertahan bersama-sama dengan murid-murid dari perguruan Ki Gede Kebo Lungit yang ada di kota. Bahkan Agung Sedayu sendiri pernah bertempur melawan Ki Gede Kebo Lungit. Tetapi Ki Gede itu melarikan diri.“

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya, “Aku percaya kepada Agung Sedayu. Aku mengerti apa yang dilakukannya sejak masa mudanya. Ia memiliki sekumpulan ilmu yang dapat diandalkan.“

“Jadi, bagaimana menurut Panembahan?“ bertanya Pangeran Mangkubumi.

“Perintahkan kepada Ki Gede Menoreh untuk mengemban tugas khusus ini. Perbantukan kepadanya beberapa orang penghubung, petugas sandi dan penunjuk jalan, yang telah bekerja bersama-sama itu,“ perintah Panembahan Senapati. Kemudian perintahnya lebih lanjut, “Kita akan berangkat bersama-sama. Sebagian besar akan pergi ke Pasuruan, sedangkan sebagian kecil akan menyusul Ki Gede Kebo Lungit, yang akan menjadi bayangan yang menakutkan bagi Madiun di masa datang, jika perguruan ini tidak dibersihkan. Sudah tentu bahwa pasukan Tanah Perdikan Menoreh akan jauh lebih cepat selesai. Mereka harus segera kembali ke Madiun dan bergabung dengan pasukan kecil yang kita tinggalkan di kota ini untuk membantu mengamankan kota dari kemungkinan buruk, bersama-sama prajurit Madiun yang telah menyerah dan menyatakan kesetiaannya kepada Panembahan Senapati dan Retna Jumilah.“

Pangeran Mangkubumi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, “Apakah sisa-sisa pasukan Madiun itu dapat dipercaya?“

“Aku percaya kepada mereka. Juga kepada beberapa orang senapatinya,“ jawab Panembahan Senapati.

Pangeran Mangkubumi mengangguk kecil. Menurut perhitungannya, sisa-sisa prajurit Madiun itu tentu tidak akan berani berbuat sesuatu atas prajurit Mataram yang kecil yang ditinggalkan di Madiun. Karena dengan demikian, apabila pasukan Mataram itu kembali dari Pasuruan, maka pasukan Madiun itu akan dilumatkan.

Demikianlah, setelah beristirahat beberapa hari, maka Panembahan Senapati pun telah menentukan saat keberangkatan pasukan Mataram yang ada di Madiun. Keberangkatan pasukannya ke Pasuruan akan bersamaan dengan keberagkatan pasukan kecilnya yang menyusul Ki Gede Kebo Lungit, yang telah mengancam ketenangan Madiun di kemudian hari.

Swandaru yang mendengar perintah Panembahan Senapati itu merasa kecewa. Ia tidak pernah dapat bergabung bersama-sama dengan pasukan Tanah Perdikan Menoreh. Jika kesempatan itu datang, maka ia akan dapat menunjukkan kepada Agung Sedayu kelebihannya, meskipun dalam susunan perguruan ia adalah murid yang lebih muda.

Tetapi ia merasa bahwa ia tidak mempunyai wewenang untuk mengusulkan sesuatu. Ia tinggal menjalani perintah, sebagaimana para prajurit Mataram yang dipimpin oleh Untara. Karena itu, maka Swandaru akan bersama-sama dengan pasukan Mataram yang lain menuju ke Pasuruan.

Ketika Swandaru menyempatkan diri menemui Agung Sedayu sebelum mereka berangkat ke tujuan masing-masing, maka Swandaru itu pun berkata, “Sebenarnya aku ingin bersama-sama dengan pasukan Ki Gede Menoreh.“

“Kenapa?“ bertanya Agung Sedayu.

“Bukan karena aku menganggap tugas itu lebih ringan. Tetapi kita akan dapat bersama-sama berada di satu medan,“ jawab Swandaru.

Meskipun tidak dijelaskan, namun Agung Sedayu dapat mengerti maksud Swandaru. Ia akan mendapat kesempatan menunjukkan kemampuan dan tingkatan ilmunya.

Namun Agung sedayu sama sekali tidak menanggapinya.

Dalam pada itu, ketika saatnya tiba, maka Panembahan Senapati sendiri-lah yang langsung memimpin pasukannya menuju ke Pasuruan. Sementara itu, sebagian kecil dari pasukan itu justru telah menuju ke selatan Madiun. Ke sebuah padepokan yang terpencil, namun yang ternyata menyimpan kekuatan yang cukup besar.

Tugas Ki Gede Menoreh adalah menghancurkan kekuatan itu, agar kelak tidak berbahaya bagi Madiun sepeninggal pasukan Mataram yang kuat.

Bersama Ki Demang Selagilang, maka Ki Gede Menoreh telah mempunyai sepasukan pengawal yang disertai oleh beberapa orang prajurit sebagai penghubung, petugas sandi dan penunjuk jalan. Namun juga dua orang perwira yang akan dapat memberikan beberapa pertimbangan dan petunjuk kepada Ki Gede, sesuai dengan garis perang yang ditempuh oleh Mataram.

Namun pasukan itu tidak akan langsung menyerang padepokan itu. Mereka akan bermalam semalam di tempat yang telah ditentukan oleh para petugas sandi. Mereka akan bermalam di tempat itu dan menyerang di pagi hari berikutnya.

Di bawah petunjuk penunjuk jalan dan petugas sandi yang telah menemukan padepokan Ki Gede Kebo Lungit, maka pasukan kecil di bawah pimpinan Ki Gede Menoreh itu menuju ke selatan, menyusuri jalan ke Ponorogo. Namun kemudian pasukan itu bergerak membelok ke kiri.

Beberapa saat kemudian, pasukan yang di bawah pimpinan Ki Gede itu telah mulai memanjat kaki Gunung Wilis.

Seperti yang direncanakan, maka pasukan itu telah berhenti di sebuah padang perdu yang tidak terlalu luas, namun tersembunyi di sebuah lekuk hutan yang masih lebat, di atas tanah yang mulai miring.

“Padepokan itu ada di balik hutan ini,“ berkata petugas sandi yang pernah mendekati padepokan Ki Gede Kebo Lungit.

“Apakah jalan yang mencapai padepokan itu terlalu sulit?“ bertanya Ki Gede Menoreh.

“Memang hanya jalan setapak. Di sebelah-menyebelah terdapat tebing-tebing padas yang rendah,“ jawab petugas sandi itu.

“Bagaimana sebuah pasukan dapat mencapai padepokan itu? Apakah pasukan itu harus berjalan beriringan seorang-seorang, atau ada jalan lain yang dapat ditempuh?“ bertanya Ki Gede Menoreh lebih teliti.

“Ya. Jalan itu adalah jalan setapak. Jika kita hendak mencapai padepokan itu memang harus ditempuh berurutan seorang demi seorang,“ jawab petugas sandi itu.

Ki Gede mengangguk-angguk. Satu perjalanan yang sulit dan berbahaya. Jika pasukan itu harus merayap berurutan seperti pasukan semut yang berpindah tempat, maka dengan kekuatan yang jauh lebih kecil padepokan Ki Gede Kebo Lungit itu dapat membendung arus pasukan itu, dan menghancurkannya dalam keadaan pasukan itu sangat lemah.

Dalam keadaan yang demikian, maka tiba-tiba saja Agung Sedayu memotong, “Ki Gede, bagaimana jika kita melihat sekali lagi medan itu?“

“Maksudmu?“ bertanya Ki Gede.

“Aku dan petugas sandi itu sekali lagi akan melihat medan malam nanti. Mudah-mudahan dapat ditemukan jalan yang lebih baik untuk mencapai padepokan itu,“ berkata Agung Sedayu.

Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Tetapi berhati-hatilah.“

Namun dalam pada itu Glagah Putih pun berdesis, “Apakah aku diperkenankan ikut serta?“

Agung Sedayu berpikir sejenak. Lalu katanya, “Baiklah. Jika Ki Gede mengijinkan, aku juga tidak berkeberatan.“

Ki Gede justru tersenyum. Katanya, “Tentu saja aku tidak berkeberatan. Bahkan jika Glagah Putih bertanya kepadaku, maka jawabku tentu, asal Agung Sedayu tidak berkeberatan.“

Agung Sedayu pun tersenyum juga. Namun kemudian sambil mengangguk-angguk, ia berkata kepada petugas sandi, “Kita akan pergi bertiga.“

Demikianlah, ketika pasukan Tanah Perdikan Menoreh dan pasukan dari Pegunungan Sewu yang dipimpin oleh Ki Demang Selagilang telah mapan, serta telah menempatkan petugas yang harus mengawasi keadaan di beberapa penjuru, maka Agung Sedayu, Glagah Putih dan seorang petugas sandi telah meninggalkan perkemahan itu menjelang gelap.

Mereka melingkari hutan pegunungan, memanjat jalan sempit berbatu-batu padas. Seperti dikatakan oleh petugas sandi yang pernah memberikan laporan tentang sasaran yang akan dituju, maka lorong yang ditempuh adalah lorong sempit yang dibatasi oleh dinding padas yang tidak terlalu tinggi, di lereng Gunung Wilis. “Jalan inikah yang langsung menuju ke padepokan itu?“ bertanya Agung Sedayu.

“Ada cabang diujung hutan itu. Kita mengambil jalan ke kanan,“ jawab petugas sandi itu.

“Kalau kita menempuh jalan ke kiri, apakah kita akan sampai ke suatu tempat yang juga dihuni orang?“ bertanya Glagah Putih.

“Jika kita berbelok ke kiri, kita akan memasuki bagian yang paling lebar dari hutan ini. Juga bagian yang paling gawat. Tetapi satu dua orang telah dengan berani menempuh bahaya mengambil jalan itu,“ jawab penunjuk jalan itu.

“Kemana?“ bertanya Glagah Putih.

“Ke sebuah goa yang disebut Goa Saka Kembar,“ jawab petugas sandi itu.

“Apakah goa itu disangga oleh sepasang tiang?“ bertanya Agung Sedayu.

“Sebenarnya bukan tiang. Batu padas yang aus yang kemudian menjadi sebuah lekuk yang besar menjadi sebuah goa, telah meninggalkan sepasang batu yang lebih keras hampir di tengah-tengahnya, sehingga seakan-akan merupakan sepasang tiang penyangga langit-langit goa itu. Tetapi agaknya tiang itu semakin lama juga semakin kecil. Aus karena angin, hujan dan air yang mengalir dari bagian atas goa itu,“ berkata penunjuk jalan itu.

“Untuk apa orang-orang yang dengan berani menempuh bahaya itu datang ke goa itu?“ bertanya Glagah Putih.

“Untuk menjalani laku dari ilmu mereka,“ jawab petugas sandi itu, “banyak orang percaya bahwa di atas goa itu tinggal sepasang kera putih yang dapat memberikan petunjuk untuk mendapatkan ilmu kanuragan yang tinggi.“

Agung Sedayu dan Glagah Putih mengangguk-angguk.

Namun mereka tidak berkepentingan dengan Goa Saka Kembar. Mereka berkepentingan dengan sebuah padepokan yang terpencil, yang dihuni oleh satu kekuatan yang akan dapat membahayakan Madiun di masa-masa datang. Karena itu, maka Panembahan Senapati telah memberikan perintah untuk menghancurkan kekuatan itu.

Karena itu, maka ketika mereka sampai ke simpang tiga, maka mereka telah mengambil arah ke kanan. Namun lorong itu rasa-rasanya justru menjadi semakin sempit dan sulit untuk dilalui.

Dengan sangat berhati-hati ketiga orang itu menelusuri lorong yang semakin terasa menanjak naik. Namun kemudian penunjuk jalan itu berkata, “Berhati-hatilah. Kita sudah sampai ke daerah pengawasan para murid Ki Gede Kebo Lungit.”

“Apakah kau hanya berhenti sampai di sini?“ bertanya Agung Sedayu.

“Tidak. Aku merangkak lebih mendekat,“ jawab orang itu.

“Lewat jalan setapak yang semakin menanjak ini?“ bertanya Agung Sedayu pula.

“Tidak. Aku naik ke tebing itu,“ jawab petunjuk jalan, “aku memang sudah memperhitungkan, bahwa lorong ini tentu selalu diawasi.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara itu penunjuk jalan itu pun telah meloncat naik ke atas tebing, dikuti oleh Agung Sedayu dan Glagah Putih.

“Darimana kau tahu, bahwa padepokan Ki Gede Kebo Lungit ada di sini?“ bertanya Agung Sedayu.

“Aku pernah menjadi murid Ki Gede Kebo Lungit. Tetapi ternyata aku tidak merasa tenang di perguruan itu. Ada yang tidak sesuai dengan nuraniku. Karena itu, aku telah keluar dari perguruan itu. Untuk beberapa lama aku berusaha mengabdi di Madiun. Namun akhirnya aku telah mengembara, dan seorang dari saudaraku membawaku ke Mataram. Ternyata ada beberapa orang yang berasal dari daerah di sekitar Madiun yang ada di Mataram. Namun ada pula orang-orang Mataram yang sengaja dikirim untuk mengamati keadaan Madiun sejak beberapa lama sebelum Panembahan Senapati bergerak,“ berkata orang itu sambil berjalan menyusuri tebing yang terasa semakin miring.

Agung Sedayu masih akan bertanya lagi. Tetapi orang itu memberi isyarat agar mereka berdiam diri. Bahkan orang itu pun telah berhenti.

Beberapa saat mereka berhenti. Sementara Agung Sedayu sempat memperhatikan lingkungan itu. Satu lingkungan yang memang agak sulit untuk ditembus. Tetapi Agung Sedayu melihat kemungkinan itu. Para pengawal yang datang akan dapat menyusuri tebing yang agak miring itu. Memanjat tebing dan sedikit menebar.

Sesaat kemudian, maka mereka telah maju lagi semakin mendekat. Dengan demikian maka Agung Sedayu sempat membuat perhitungan tentang medan yang akan ditempuhnya besok.

“Masih ada kemungkinan,“ desis Agung Sedayu.

“Kemungkinan apa?“ bertanya penunjuk jalan itu.

Agung Sedayu tidak segera menjawab. Ia memberi isyarat kepada Glagah Putih untuk mendekat.

“Daerah ini masih mungkin dilewati,“ desis Agung Sedayu.

Glagah Putih mengangguk. Katanya, “Kita dapat memanjat tebing itu lebih tinggi. Kemudian dengan hati-hati bergeser ke sebelah.”

“Nah,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “kita lihat kemungkinan berikutnya.”

Penunjuk jalan itu pun kemudian telah membawa mereka semakin dekat. Dari jarak yang semakin dekat, mereka melihat sebuah padepokan yang dikelilingi oleh dinding kayu yang agak tinggi. Balok-balok kayu yang utuh dengan ujung yang runcing telah ditanam mengelilingi satu daerah yang agak luas. Namun lingkungan itu memang berada di tempat yang sulit untuk dicapai. Padepokan itu dikelilingi oleh tebing-tebing dan tanah yang miring. Sehingga seakan-akan jalan satu-satunya menuju ke padepokan itu adalah jalan lewat pintu gerbang.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia berpaling, maka dilihatnya Gunung Wilis berdiri tegak di kegelapan malam.

“Sulit sekali untuk menembus dinding kayu itu dari lambung atau dari belakang,“ berkata penunjuk jalan itu.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi bukan mustahil untuk melakukannya. Jika pasukan Tanah Perdikan Menoreh dan pasukan yang dipimpin oleh Ki Demang Selagilang sempat mendekati dinding itu lebih dahulu sebelum saatnya menyerang, maka mereka akan mendapat kesempatan itu. Mereka akan dapat merusakkan dinding kayu itu dengan kapak dan senjata-senjata mereka yang lain. Namun beberapa orang harus melindungi mereka dengan busur dan anak panah.

Tetapi hampir di luar sadarnya Agung Sedayu berkata, “Satu medan yang sulit.“

Namun tiba-tiba saja Glagah Putih berkata, “Apakah daerah Pegunungan Sewu tidak sesulit daerah ini?“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Kita berharap bahwa pasukan Ki Demang Selagilang dapat mengatasi kesulitan ini.“

“Sebagian dari orang-orang Tanah Perdikan Menoreh pun hidup di daerah pegunungan yang berbatu padas,“ berkata Glagah Putih pula, “mereka juga terbiasa berada di daerah miring seperti ini. Sehingga dengan demikian kita berharap bahwa kita akan dapat mengatasi kesulitan medan ini.“

Agung Sedayu menarik nafas panjang. Tanah Perdikan Menoreh di sisi barat memang terdiri dari bukit-bukit berbatu padas. Tetapi di daerah asing seperti ini, masih diperlukan pengenalan atas medan. Demikian pula orang-orang dari Pegunungan Sewu. Namun kebiasaan mereka sehari-hari akan dapat membantu mengatasi kesulitan medan itu.

Beberapa saat lamanya Agung Sedayu, Glagah Putih dan penunjuk jalan itu mengamati lingkungan. Bahkan mereka masih bergeser beberapa langkah mendekat. Dengan sangat berhati-hati mereka merangkak mengitari padepokan yang dibatasi dengan dinding kayu yang cukup tinggi itu.

Namun ternyata mereka memang menemukan bagian-bagian yang akan dapat menjadi landasan serangan atas padepokan itu.

Beberapa saat kemudian, setelah mereka memahami keadaan medan yang rumit itu, maka mereka pun segera meninggalkan tempat itu. Ketika mereka berada di atas tebing rendah, mereka harus menelungkup melekat tanah yang lembab oleh embun, karena beberapa orang penghuni padepokan itu lewat menyusuri jalan sempit, memanjat naik ke gerbang padepokan.

Ketika mereka menjadi agak jauh, maka penunjuk jalan itu pun berdesis, “Mereka sedang meronda lingkungan mereka.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk sambil menjawab, “Mereka hanya mengamati satu-satunya jalan.“

Glagah Putih-lah yang pertama-tama meloncat turun, baru kemudian Agung Sedayu dan penunjuk jalan itu. Mereka harus segera memberikan laporan dan memberikan beberapa kemungkinan atas langkah-langkah yang dapat diambil oleh pasukan Tanah Perdikan Menoreh dan dari Pegunungan Sewu itu.

Ketika mereka kembali ke perkemahan, maka sebagian besar para pengawal sempat beristirahat. Mereka tidur nyenyak, meskipun mereka sadar bahwa mereka tengah dalam perjalanan yang gawat. Namun seakan-akan mereka mempergunakan kesempatan terakhir untuk dapat tidur dengan sebaik-baiknya.

Tetapi mereka yang bertugas sama sekali tidak menjadi lengah. Karena itu, demikian ketiga orang itu mendekati perkemahan, maka beberapa ujung tombak telah teracu ke arah mereka.

“Jadi kalian baru kembali?“ bertanya penjaga di paling ujung, ketika diketahuinya bahwa yang datang itu adalah Agung Sedayu, Glagah Putih dan seorang penunjuk jalan.

“Ya,“ jawab Agung Sedayu, “perjalanan yang agak rumit.“

Namun ternyata bahwa Ki Gede Menoreh dan Ki Demang Selagilang masih menunggu mereka bertiga.

Dengan singkat, Agung Sedayu telah melaporkan lingkungan yang mengelilingi padepokan itu. Kemungkinan-kemungkinan yang dapat ditempuh, serta hambatan yang mungkin dihadapi. Agung Sedayu juga memberikan gambaran tentang medan yang bakal dihadapi oleh pasukan dari Tanah Perdikan Menoreh serta Pegunungan Sewu itu.

Ki Gede Menoreh dan Ki Demang Selagilang mendengarkan keterangan Agung Sedayu dengan seksama. Kemudian penunjuk jalan itu pun memberikan beberapa keterangan pula tentang isi dari padepokan itu, menurut pengenalannya beberapa tahun yang lewat. Bangunan yang ada di padepokan itu, serta tempat-tempat yang mendapat pengawasan langsung.

“Tetapi perubahan-perubahan mungkin telah dilakukan oleh Ki Gede Kebo Lungit,“ berkata penunjuk jalan itu.

Ki Gede Menoreh dan Ki Demang Selagilang mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Ki Gede Menoreh berkata, “Jika demikian, maka kita harus bergerak lebih cepat. Kita tidak usah menunggu fajar. Kita bergerak justru sebelum dini. Di saat fajar menyingsing kita harus sudah berada di tempat kita masing-masing. Demikian matahari terbit, maka kita akan menyerang padepokan itu.“

“Kita tidak akan menemui kesulitan untuk memecahkan dinding padepokan itu,“ berkata Ki Demang Selagilang.

“Kita tidak boleh merendahkan kemampuan mereka,“ desis penunjuk jalan itu.

“Maksudku, kita dapat dengan mudah menghancurkan dinding kayu itu. Kita akan membakarnya,“ berkata Ki Demang Selagilang.

Ki Gede termangu-mangu sejenak. Memang satu cara yang mungkin dapat dilakukan. Tetapi menyalakan api di luar dinding itu memerlukan waktu. Sementara itu, orang-orang yang ada di dalam dinding itu pun tentu akan berbuat sesuatu. Mungkin menyiram air dari dalam, atau menyerang dengan anak panah dari atas dinding, atau dengan bandil. Atau bahkan dengan menjatuhkan bebatuan begitu saja dari atas dinding kayu itu, sementara beberapa orang sedang mencoba menyalakan api.

“Tidak mustahil orang-orang yang hidup di lingkungan bebatuan itu mempergunakan batu sebagai senjata mereka, karena hidup mereka sehari-hari memang akrab sekali dengan batu-batu padas,“ berkata Ki Gede Menoreh.

Namun segala cara dapat diperhitungkan. Sehingga dengan demikian mereka akan dapat menempuh cara yang paling baik, sehingga tugas mereka dapat mereka selesaikan dengan korban yang sekecil-kecilnya.

Akhirnya Ki Gede Menoreh dan Ki Demang Selagilang telah menentukan untuk mempergunakan beberapa cara. Mereka akan merusak dinding dengan memutuskan tali-tali pengikat dengan kapak dan pedang, memanjat dengan tali di bawah perlindungan anak panah, atau membakar dinding kayu itu.

Namun dengan demikian waktu untuk beristirahat pun menjadi semakin sempit. Lewat tengah malam, segala sesuatunya harus sudah disiapkan, karena menjelang dini mereka akan berangkat.

Orang-orang yang bertugas mempersiapkan perlengkapan pun harus bekerja dengan sangat berhati-hati, agar perkemahan mereka tidak diketahui oleh para murid Ki Gede Kebo Lungit, meskipun jaraknya cukup jauh. Namun ada kemungkinan murid-murid perguruan Kebo Lungit telah meronda sampai ke bilik hutan itu.

Agung Sedayu, Glagah Putih dan penunjuk jalan itu pun masih mempunyai kesempatan untuk beristirahat barang sejanak. Demikian pula Ki Gede Menoreh dan Ki Demang Selagilang.

Namun mereka telah berpesan kepada mereka yang bertugas, bahwa lewat tengah malam mereka harus dibangunkan, jika ternyata mereka masih belum terbangun sendiri.

Malam itu tidak terjadi sesuatu di perkemahan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh dan orang-orang dari Pegunungan Sewu itu. Mereka sempat beristirahat dengan baik. Namun mereka harus bangun lebih awal dari yang direncanakan.

Seperti yang diperhitungkan oleh Ki Gede Menoreh dan Ki Demang Selagilang, maka menjelang dini pasukan itu harus sudah siap. Kemudian dengan sangat berhati-hati mereka harus mulai bergerak. Beberapa orang telah membawa beberapa macam alat yang mungkin akan mereka pergunakan untuk memecahkan dinding kayu yang kuat yang mengitari padepokan Ki Gede Kebo Lungit itu. Ada yang membawa kapak, tampar yang panjang, parang dan bahkan linggis. Sementara itu, beberapa kelompok telah mendapat perintah untuk menyiapkan busur dan anak panah. Sedangkan kelompok-kelompok yang lain membawa bandil.

Demikianlah, dalam keremangan sisa malam pasukan itu mulai bergerak. Ki Demang Selagilang telah mendapat beberapa keterangan tentang jalur yang harus ditempuh oleh orang-orangnya. Bersama penunjuk jalan, maka pasukan Ki Demang akan berusaha memecahkan dinding padepokan di lambung kiri. Sebagian dari orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang memiliki ketrampilan mengatasi jalan berbatu padas dan miring, akan bersama dengan Agung Sedayu berusaha memasuki padepokan itu dari lambung kanan. Sementara Ki Gede akan didampingi oleh Glagah Putih menyerang padepokan itu dari depan.

Beberapa saat lamanya mereka menempuh perjalanan. Setelah lewat jalan yang bercabang, maka penunjuk jalan yang ditugaskan untuk mendampingi Ki Demang Selagilang telah membawa pasukan Pegunungan Sewu memanjat tebing sebelah kanan. Dengan sangat berhati-hati mereka berjalan di antara batu-batu padas yang miring mendekati padepokan.

Memang satu gerakan yang berat. Apalagi dilakukan di malam hari. Bahkan ada di antara mereka yang masih belum puas beristirahat karena tugas-tugas mereka.

Tetapi mereka harus bergerak terus. Sebagai seorang pengawal maka setiap orang harus menetapi kewajiban mereka.

Meskipun perlahan-lahan, namun pasukan yang bergerak itu semakin mendekati padepokan. Dari sisi sebelah kiri pasukan Pegunungan Sewu bergerak naik kaki Gunung Wilis, sementara di sebelah kanan pasukan Tanah Perdikan Menoreh juga memanjat naik, namun kemudian medannya menjadi agak miring ke bawah.

Sementara itu, pasukan Ki Gede Menoreh telah berhenti beberapa puluh langkah dari pintu gerbang, menunggu beberapa saat sampai menurut perhitungan pasukan Pegunungan Sewu dan bagian dari pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah mendekati dinding padepokan.

Ki Demang Selagilang yang memimpin pasukannya termangu-mangu melihat dinding kayu yang besar-besar, dipancangkan tegak berjajar rapat mengelilingi padepokan itu.

“Memang tidak mudah membakar dinding itu,“ desisnya, “diperlukan waktu untuk menyalakannya. Sementara orang-orang di dalam padepokan itu akan dapat menyiramnya dengan air.“

“Kita pancangkan seribu oncor jarak di dinding itu. Kernudian kita beri ranting dan dahan-dahan kering yang mudah terbakar,“ berkata salah seorang pengawal khusus Ki Demang Selagilang itu.

“Yang akan terbakar adalah oncor serta dahan-dahan kering itu,“ jawab Ki Demang Selagilang.

“Dinding kayu balok itu juga akan dapat terbakar. Tetapi memang memerlukan waktu. Namun kita dapat mencoba,“ berkata Ki Bekel Wadasmiring.

“Tetapi di sini tidak banyak dahan dan ranting-ranting kering. Di hutan itu memang kita akan dengan mudah mendapatkannya. Tetapi di sini tidak,“ berkata Ki Demang Selagilang. Lalu, “Semula aku juga menggambarkan bahwa kita akan dengan mudah membakar dinding itu. Tetapi hutan itu terputus di bagian ini, meskipun di bawah masih terdapat lingkaran hutan yang lebat. Demikian pula gelang hutan di lambung Gunung itu. Dengan demikian, kita memerlukan waktu yang panjang untuk mengumpulkan dahan dan ranting-ranting kering. Sedangkan oncor jarak itu memerlukan waktu lebih lama lagi untuk dapat menyalakan balok-balok yang besar itu.“

“Jadi?“ bertanya Ki Bekel Wadasmiring.

“Kita mempergunakan cara kedua. Kita akan memutuskan tali-tali pengikat dengan kapak dan parang. Kemudian kita robohkan balok-balok kayu itu satu persatu sehingga dinding terbuka,“ berkata Ki Demang Selagilang. “Namun sementara itu, sebagian dari kita akan berusaha membakar dinding.”

Sejenak pasukan yang mengepung padepokan itu ter-mangu-mangu. Mereka sudah berjanji untuk saling memberikan pertanda dengan cara mereka. Mereka akan melontarkan batu bandil sejauh dapat mereka lakukan mengarah ketiga sasaran. Ke depan pintu gerbang, ke lambung kiri dan kanan.

Yang mula-mula harus melontarkan batu adalah mereka yang berada di pintu gerbang ke lambung. Kemudian yang berada di lambung harus menjawabnya sebagai pernyataan kesiapan mereka.

Ki Gede dan Glagah Putih yang berada di bagian depan pintu gerbang memang menunggu sejenak. Ketika mereka yakin bahwa pasukan yang berada di lambung padepokan itu juga sudah siap, maka Ki Gede telah memerintahkan untuk melontarkan batu dengan bandil.

Jangkauan lemparan bandil oleh seorang yang memang memiliki kemampuan mempergunakan alat itu memang cukup jauh. Sedangkan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu itu berharap bahwa suara batu yang tidak begitu besar yang jatuh di batu-batu padas, tidak akan terlalu keras dan tidak akan mengejutkan orang-orang yang ada di dalam dinding kayu itu, meskipun suara batu-batu bandil itu akan menarik perhatian. Tetapi isyarat apapun juga yang diberikan, jika pasukan yang datang itu mulai menyerang, maka orang-orang padepokan itu tentu akan segera mengetahuinya. Karena itu, semua memang harus dilakukan dengan cepat.

Dalam pada itu, ternyata batu-batu bandil yang dilontarkan dari induk pasukan itu telah jatuh di atas batu-batu padas, tidak terlalu jauh dari pasukan yang berada di lambung padepokan. Karena itu, maka dari kedua lambung padepokan itu masing-masing seorang pengawal telah memberikan isyarat kembali. Juga melepaskan batu dengan bandil.

Para pengawal yang mendengar jatuhnya batu-batu bandil di bebatuan itupun segera memberikan laporan, sehingga dengan demikian maka semua pihak ternyata telah bersiap. Mereka tidak perlu lagi memberikan isyarat apapun juga, sehingga dengan demikian maka pasukan itu pun langsung mulai bergerak.

Namun ternyata batu bandil yang jatuh di bebatuan, baik yang di lambung padepokan maupun yang jatuh di depan pintu gerbang, telah menarik perhatian orang-orang padepokan yang sedang bertugas meronda. Meskipun mereka tidak segera mengetahui suara apa saja yang telah mereka dengar, namun orang-orang padepokan itu telah menjadi curiga.

Apalagi mereka sebelumnya telah mendapat perintah langsung dari Ki Gede Kebo Lungit, yang ternyata telah benar-benar berada di padepokan itu sejak ia meninggalkan kota Madiun. Ki Gede memang telah menduga, bahwa pada suatu saat, tentu akan datang pasukan yang akan menyerang padepokannya. Mungkin para prajurit Madiun yang tersisa dan mendendamnya, namun mungkin juga prajurit dari Mataram. Karena itu, maka padepokan itu pun telah bersiap-siap. Semua murid dan pengikut Ki Gede Kebo Lungit telah ditarik dan ditempatkan di padepokan itu.

Karena itu, setiap hal yang menimbulkan kecurigaan telah mendapat perhatian yang sungguh-sungguh.

Sebenarnyalah, ketika beberapa orang peronda pergi ke pintu gerbang, maka dari sebuah lubang mereka melihat sepasukan yang lengkap telah berada di muka pintu gerbang. Bahkan mereka telah mulai bergerak mendekat.

Seorang di antara mereka segera berlari. Sejenak kemudian telah terdengar suara kentongan yang memecahkan kesenyapan dini hari.

Serentak penghuni padepokan itu telah terbangun. Dengan cepat mereka berusaha untuk mengatasi perasaan kantuk mereka. Sambil membenahi pakaian mereka, maka mereka telah menyambar senjata mereka masing-masing.

Dalam waktu yang singkat, maka para penghuni padepokan itu telah bersiap.

Sebagian besar dari mereka berlari ke pintu gerbang. Namun dalam pada itu, Ki Demang Selagilang pun telah menjatuhkan perintah kepada para pengawal dari Pegunungan Sewu untuk berusaha memecahkan dinding. Dengan kapak, parang dan alat-alat yang telah mereka persiapkan sebelumnya, maka mereka telah berusaha memotong tali pengikat balok-balok kayu yang dipasang berjajar menjadi dinding padepokan itu.

Suaranya cukup keras, sehingga beberapa orang yang ada di dalam padepokan telah mendengarnya.

Dengan cepat dua orang berusaha untuk mengintip dari celah-celah balok yang dipasang tegak menjadi dinding padepokan itu. Mereka pun segera melihat bayangan sekelompok pasukan yang ada di luar dinding.

Karena itu, maka seorang di antara mereka pun segera berlari memberikan laporan, sehingga sebagian dari penghuni padepokan itu telah berlari ke tempat pasukan dari Pegunungan Sewu berusaha memecahkan dinding.

Sejenak kemudian, maka beberapa orang pengawal telah mengambil tangga dan memanjat naik ke atas dinding. Seperti yang telah diduga, maka para penghuni padepokan itu memanjat dengan membawa batu-batu padas pada keranjang yang ternyata telah tersedia.

Dengan tanpa menyembulkan kepala, orang-orang yang memanjat tangga pada dinding padepokan itu telah menumpahkan keranjang-keranjang mereka, sehingga batu-batu itu pun telah berhamburan jatuh di luar dinding.

Sebenarnyalah bahwa senjata itu memang telah menghambat usaha para pengawal dari Pegunungan Sewu.

Sementara itu, para pengawal dari Pegunungan Sewu itu telah berusaha melindungi kawan-kawannya yang sedang memotong tali-tali pengikat balok-balok kayu dengan kapak. Tali-tali yang terbuat dari ijuk yang kuat dan cukup besar. Tetapi para penghuni padepokan itu seakan-akan tidak pernah dapat mereka lihat. Hanya keranjang-keranjang yang berisi batu-batu, yang cukup besar untuk membuat seseorang pingsan jika tepat jatuh di atas kepala.

Sementara itu, beberapa orang yang lain telah mengintip dari celah-celah balok kayu sambil memberikan aba-aba bagi mereka yang melempari batu-batu dari atas dinding.

Dengan demikian maka usaha untuk merusakkan dinding itu pun tidak mudah dapat dilakukan. Sementara itu, senjata para pengawal dari Pegunungan Sewu itu masih belum dapat mereka pergunakan.

Namun usaha untuk memotong tali-tali pengikat itu tidak terhenti. Pada pengawal dari Pegunungan Sewu berusaha untuk melindungi kepala mereka dengan perisai-perisai baja.

Batu-batu yang agak kecil memang membentur perisai-perisai itu dan tidak mengenai sasaran. Tetapi batu-batu yang lebih besar dapat membuat perisai-perisai itu terguncang. Tangan-tangan di balik perisai itu terasa menjadi sakit.

Ketika para pengawal dari Pegunungan Sewu itu menebar, maka para penghuni padepokan itu telah menebar juga. Ternyata padepokan itu telah menyediakan tangga cukup banyak untuk mengatasi setiap serbuan ke padepokan itu.

Ki Demang Selagilang memang tidak segera dapat mengatasi kesulitan itu, sementara mereka sulit sekali mencari dahan dan ranting-ranting kering untuk membakar balok-balok kayu yang terpancang rapat mengelilingi padepokan itu.

Sementara itu, langit pun telah menjadi merah. Fajar mulai naik dari balik lambung Gunung Wilis.

Dengan demikian maka Ki Demang Selagilang menjadi gelisah. Ia ingin memecahkan dinding padepokan itu sebelum matahari terbit. Jika satu dua balok kayu dapat di tarik roboh, maka mereka akan dapat lebih mudah membuka balok-balok yang lain. Tetapi membuka dan merobohkan balok yang pertama itulah yang sangat sulit. Sementara itu, orang-orang padepokan yang nampaknya sudah siap mempertahankan padepokannya, dengan tangkas menahan usaha orang-orang dari Pegunungan Sewu itu.

Di depan pintu gerbang pun pasukan Tanah Perdikan Menoreh mengalami kesulitan untuk mendekat. Bahkan di sebelah-menyebelah pintu gerbang terdapat panggungan yang cukup luas. Beberapa kelompok penghuni padepokan itu telah berada di atas panggungan itu. Mereka telah menyerang dengan anak panah dan lembing bambu yang runcing. Agaknya mereka telah menyiapkan lembing-lembing bambu cukup banyak untuk mempertahankan padepokan mereka.

Dengan demikian, maka Ki Gede Menoreh justru telah menahan gerak maju pasukannya yang hanya dapat mendekati pintu gerbang lewat sebuah lorong yang sempit. Tetapi Ki Gede telah memerintahkan para pengawal yang bersenjata panah untuk menyerang orang-orang yang berada di atas panggungan di sebelah-menyebelah pintu gerbang, sebagaimana mereka menyerang.

Yang dapat dilakukan oleh Ki Gede Menoreh dengan pasukannya adalah saling menyerang dengan panah. Sementara beberapa orang pengawal telah berusaha memanjat tebing di sebelah-menyebelah lorong. Meskipun sulit, tetapi beberapa orang telah berhasil. Sambil berjongkok di atas batu-batu padas yang agak miring, mereka telah menyerang dengan panah ke atas panggungan di sebelah-menyebelah pintu gerbang.

Dalam pada itu, ketika pertempuran jarak jauh itu berlangsung, Agung Sedayu masih belum mulai bergerak. Seperti Ki Demang Selagilang, ia mengalami kesulitan untuk memecahkan dinding balok-balok kayu itu.

Tetapi Agung Sedayu tidak tergesa-gesa memerintahkan orang-orangnya untuk memutuskan tali-tali pengikat dengan kapak dan parang.

Untuk beberapa saat Agung Sedayu sendiri telah melihat keadaan. Ia mengintip di antara balok-balok kayu dinding padepokan itu. Agaknya perhatian orang-orang padepokan itu tertuju sebagian besar kepada pasukan yang datang di depan pintu gerbang dan pasukan yang berada di lambung kiri.

Dengan memanfaatkan keadaan itu, Agung Sedayu telah mulai dengan memotong tali-tali ijuk, tetapi tidak dengan kapak dan parang, sehingga menimbulkan suara yang ribut dan keras. Tetapi Agung Sedayu dan beberapa orang pengawal telah memotong tali dengan pisau-pisau belati dan pedang-pedang yang tajam. Dengan hati-hati mereka mengerat tali itu sehelai demi sehelai, sehingga hampir tidak menimbulkan suara sama sekali.

Dari balik balok-balok kayu, Agung Sedayu dapat melihat beberapa orang yang berjaga-jaga. Namun mereka pun tidak memperhatikan apa yang telah terjadi tidak jauh dari tempat mereka berdiri dengan senjata telanjang. Perhatian mereka justru tertuju kepada kesibukan di pintu gerbang.

Apalagi ketika Ki Demang Selagilang yang menjadi marah dan tidak sabar justru telah mengonggokkan tali-tali yang dibawa oleh orang-orangnya. Tidak untuk memanjat, tetapi dengan oncor-oncor jarak yang ada, maka Ki Demang Selagilang telah membakar dinding padepokan.

Ketika beberapa orang pengawal melemparkan oncor-oncor jarak ke onggokan tali dadung sabut kelapa, maka api memang segera menyala. Dadung sabut kelapa itu memang cepat terbakar.

Orang-orang di dalam padepokan memang menjadi agak bingung. Beberapa orang di antara mereka telah berlari-lari membawa lodong bambu petung untuk mengambil air, dan berusaha untuk menuangkannya ke lidah api yang mulai menjilat di luar dinding.

Tetapi orang-orang Pegunungan Sewu berusaha melindungi api yang telah mereka nyalakan. Mereka telah menyerang dengan anak panah orang-orang yang memanjat dinding dan berusaha menuangkan air dari lodong-lodong bambu. Mereka terpaksa memanjat tangga berdua atau bahkan bertiga, kemudian meletakkan bibir lodong pada tepi dinding dan mengangkat pangkalnya tinggi-tinggi.

Namun para pembidik yang baik di antara para pengawal Pegunungan Sewu mampu membidik dan mengenai tangan-tangan yang nampak di atas dinding padepokan, sehingga beberapa kali lodong yang sudah siap dituang telah terjatuh, karena lengan-lengan yang memeganginya telah dikenai anak panah dari para pengawal Pegunungan Sewu.

Dengan demikian maka usaha untuk memadamkan api itu pun menjadi lebih sulit.

Tetapi tiba-tiba saja beberapa orang penghuni padepokan itu telah muncul di tempat yang agak jauh. Namun demikian mereka naik dan dengan beraninya bertengger di atas dinding, maka anak panah telah meluncur dari busur-busur mereka.

Tidak hanya dua tiga orang, bahkan tidak sepuluh, dua puluh orang. Tetapi lebih banyak lagi. Agaknya sebelumnya mereka tengah menyiapkan tangga-tangga bambu lebih banyak untuk dapat muncul bersama-sama.

Anak panah dan kemudian juga lembing yang dilontarkan oleh orang-orang padepokan itu telah mendesak orang-orang dari Pegunungan Sewu agak surut ke belakang.

Namun mereka pun telah mempersiapkan diri untuk melawan anak panah yang bagaikan hujan itu dengan anak panah. Sementara itu, api yang membakar tali temali yang dibawa oleh para pengawal Pegunungan Sewu itu telah mulai menjilat dinding kayu.

Dalam pada itu, dengan hati-hati para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang ada di lambung kanan di bawah pimpinan Agung Sedayu telah berhasil memotong beberapa ikat balok-balok kayu. Tetapi karena balok-balok itu tertanam dalam-dalam di tanah berbatu padas, maka mereka pun mengalami kesulitan untuk merobohkannya.

Namun dengan sangat berhati-hati, Agung Sedayu sendiri telah membuat lingkaran dengan ujung-ujung tali yang kemudian disangkutkan dan menjerat ujung-ujung balok yang telah terlepas ikatannya.

Di ujung yang lain, beberapa orang telah siap untuk menarik tali-tali itu.

Demikianlah, ketika langit menjadi semakin terang, Agung Sedayu berdiri sambil mengangkat tangannya. Sementara itu lima utas tali dadung sabut kelapa telah menjerat lima batang balok dinding padepokan itu. Sedangkan di ujung tali, masing-masing sekelompok orang telah siap untuk menarik dan merobohkan balok-balok itu. Sedangkan beberapa kelompok yang lain telah siap menyusup memasuki padepokan.

Agung Sedayu sadar, jika pasukan yang dipimpinnya sempat memasuki padepokan, maka pasukannya akan berhadapan dengan para penghuni padepokan yang jumlahnya terlalu banyak. Karena itu, maka Agung Sedayu harus segera mengambil langkah. Pasukannya tidak akan dibawa ke pintu gerbang, karena ia tahu bahwa kekuatan induk padepokan itu berada di pintu gerbang. Karena itu, ia harus membawa pasukannya ke lambung sebelah kiri. Jika pasukan Ki Demang Selagilang belum memasuki padepokan, pasukannya harus membantunya. Agar dengan demikian maka kekuatan yang ada di padepokan itu menjadi cukup besar.

Ketika segalanya sudah siap, maka Agung Sedayu pun telah menggerakkan tangannya. Ia tidak memberikan aba-aba dengan mulutnya agar tidak menarik perhatian orang-orang yang ada di dalam padepokan itu.

Karena itu, maka iapun telah memberikan isyarat dengan tangannya. Demikian tangannya terayun turun, maka serentak orang-orang yang memegangi tali itu telah menghentakkan balok-balok dinding padepokan.

Ternyata rencana Agung Sedayu itu berhasil. Hentakan yang kuat telah menarik balok-balok kayu itu sehingga roboh. Dengan demikian maka dinding padepokan itu telah menganga. Para pengawal yang telah siap dengan senjata di tangan dengan cepat telah menyusup masuk, sebelum beberapa orang yang ada di dalam padepokan itu menyadari apa yang terjadi.

Orang-orang yang pertama memasuki padepokan itu memang harus bertempur melawan orang-orang yang ada di dalam dinding, yang segera menyadari apa yang terjadi. Tetapi pertempuran itu tidak berlangsung lama. Orang-orang itu pun segera terlempar dan jatuh bergulung di tanah.

Dalam waktu yang pendek, maka seluruh pasukan yang dipimpin oleh Agung Sedayu itu telah memasuki padepokan. Dengan cepat mereka berlari melintasi padepokan itu. Barak-barak sudah menjadi sepi, karena hampir setiap orang telah berada di pintu gerbang atau di lambung sebelah kiri.

Orang-orang padepokan yang berada di lambung sebelah kiri terkejut ketika tiba-tiba saja mereka telah mendapat serangan dari belakang. Beberapa orang segera kehilangan kesempatan untuk melawan. Namun sejenak kemudian pertempuran pun telah terjadi.

Dalam pertempuran yang semakin sengit, maka beberapa orang pengawal Tanah Perdikan Menoreh sempat merebut tangga. Dilindungi oleh kawan-kawannya, maka orang-orang yang berhasil merebut tangga itu telah memanjat tangga yang lain sambil membawa tangga itu untuk dilemparkan keluar.

Ki Demang Selagilang memang agak terkejut. Namun iapun segera menyadari bahwa tentu sudah ada pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang telah berada di dalam.

Dengan tangkasnya para pengawal dari Pegunungan Sewu itu telah memanjat beberapa tangga yang telah dilemparkan dari dalam. Kemudian dengan sigapnya mereka berloncatan terjun ke dalam lingkungan padepokan.

Tetapi justru karena mereka tergesa-gesa, maka ada satu dua orang yang justur terkilir kakinya. Namun mereka telah berusaha mengatasi rasa sakit. Meskipun agak timpang sedikit, namun mereka masih mampu dengan sigap mempergunakan senjatanya.

Dalam waktu singkat, beberapa kelompok orang telah berhasil meloncat masuk. Sementara itu, api semakin lama menjadi semakin besar. Dinding padepokan yang dimakan api itu mulai roboh.

Dengan demikian maka pasukan dari Pegunungan Sewu itu telah mempergunakan semua kesempatan untuk memasuki padepokan itu. Mereka masih mempergunakan tangga-tangga yang ada. Tetapi mereka pun telah meloncati dinding yang telah miring itu, karena di bagian yang terbakar, palang-palang kayu pengikat telah ikut terbakar pula, sementara tali-tali ijuk pun telah diputuskan dengan kapak dan parang. Sementara orang-orang Pegunungan Sewu itu telah mendorong dinding itu dengan sepuluh tenaga, sehingga dinding pun menjadi miring ke dalam.

Para pemimpin kelompok pun meneriakkan aba-aba. Sedangkan beberapa orang telah berusaha menebar lebih dalam di antara bangunan-bangunan yang ada di padepokan.

Namun baik Agung Sedayu maupun Ki Demang Selagilang menjadi heran, bahwa di padepokan itu terdapat kekuatan yang cukup besar. Sudah tentu mereka bukan hanya terdiri murid-murid Ki Gede Kebo Lungit. Tetapi ternyata bahwa Ki Gede Kebo Lungit memang telah mempersiapkan satu perjuangan yang panjang dan berat. Agaknya Ki Gede Kebo Lungit benar-benar ingin membayangi kekuatan di Madiun untuk pada suatu saat merebut kekuasaan. Ki Gede Kebo Lungit ingin mempergunakan kesempatan di saat-saat keributan terjadi antara Mataram dan daerah-daerah yang semula terikat dalam satu keluarga besar dengan Pajang. Bahkan Ki Gede Kebo Lungit memperhitungkan bahwa pasukan Mataram dan pasukan yang berkumpul di Madiun akan hancur bersama-sama. Dengan demikian maka Ki Gede Kebo Lungit akan dengan mudah menduduki Madiun dan mengusir sisa-sisa prajurit Mataram yang masih tinggal di Madiun.

Tetapi ternyata perhitungan Ki Gede Kebo Lungit keliru. Pasukan Mataram dan bahkan pasukan yang berada di Madiun tidak hancur bersama-sama. Pasukan Mataram masih tetap segar menghadapi kelanjutan tugas mereka.

Untuk beberapa saat maka telah terjadi pertempuran yang sengit di dalam padepokan itu. Pasukan Pegunungan Sewu dan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh berusaha untuk menembus pertahanan para pengikut Ki Gede Kebo Lungit untuk mendekati pintu gerbang.

Tetapi di pintu gerbang, justru telah bersiap pasukan induk Ki Gede Kebo Lungit yang kuat, sehingga pasukan Tanah Perdikan Menoreh dan para pengawal dari Pegunungan Sewu akan menemui hambatan yang sulit ditembus untuk dapat mencapai pintu gerbang.

Sebenarnyalah pertempuran di dalam padepokan itu telah berlangsung dengan sengitnya. Orang-orang padepokan Ki Gede Kebo Lungit itu telah bertempur dengan keras. Namun orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu pun telah bertempur tidak kalah kerasnya. Alam yang keras dan tantangan kehidupan yang berat telah membentuk mereka menjadi pengawal-pengawal yang tangguh, sebagaimana kebiasaan mereka menghadapi tantangan alam dalam kehidupan mereka sehari-hari.

Ki Gede Menoreh yang berada di muka pintu gerbang justru menjadi cemas. Namun nampaknya perhatian orang-orang di pintu gerbang itu telah terbagi. Demikian pula orang-orang yang berada di atas panggungan. Menilik anak panah yang kadang-kadang terlontar keluar dinding, maka Ki Gede Menoreh mengetahui bahwa sebagian dari orang-orang Tanah Perdikan dan dari Pegunungan Sewu telah ikut menyerang orang-orang yang berada di atas panggungan dengan anak panah pula.

Dengan demikian, maka serangan atas pasukan yang berada di pintu gerbang memang sedikit berkurang. Hujan anak panah tidak lagi terlampau deras.

Dengan demikian maka Ki Gede telah memerintahkan sekelompok orang untuk memecahkan pintu gerbang yang terbuat dari kayu-kayu balok sebagaimana dinding padepokan itu. Pintu yang tergantung pada balok penyangga yang kuat, dan bila membukanya justru harus mengangkat dengan tali-tali bagian bawah, dan pintu itu berputar pada poros mendatar di bagian atas.

Beberapa orang di bawah perlindungan para pengawal yang lain telah mendekati pintu gerbang itu. Mereka berlindung di balik perisai-perisai yang kuat. Sementara di tangan mereka tidak tergenggam pedang, tetapi kapak yang tajam untuk memotong tali temali di pintu gerbang itu.

Namun Ki Gede Menoreh tidak pasti, bahwa mereka akan segera dapat memecahkan pintu gerbang itu. Karena itu, maka Ki Gede telah memerintahkan Prastawa untuk membawa sebagian dari mereka menyusul pasukan yang telah berada di dalam lewat lambung. Tentu ada bagian yang telah terbuka, karena pasukan Tanah Perdikan telah ada di dalam.

Prastawa dengan sigapnya telah melaksanakan perintah pamannya. Ia memilih jalur yang semula dilalui oleh pasukan dari Pegunungan Sewu. Asap yang mengepul di udara, memberikan pertanda bahwa agaknya Ki Demang Selagilang telah berhasil memecahkan dinding dengan membakar balok-balok kayu.

Dengan cepat Prastawa telah bergeser mundur. Kemudian mereka telah memanjat tebing melalui jalur jalan yang ditempuh oleh para pengawal dari Pegunungan Sewu. Meskipun tidak ada penunjuk jalan di antara mereka, tetapi asap itu akan merupakan sasaran yang tidak terlalu sulit untuk dikemukakan. Sementara itu matahari pun menjadi semakin tinggi.

Ternyata Prastawa membutuhkan waktu untuk mencapai dinding yang telah dipecahkan oleh Ki Demang Selagilang. Namun akhirnya Prastawa pun berhasil melihat bagian dari dinding yang sudah terbuka. Sebagian masih juga nampak menyala, sedangkan di sebelah-menyebelahnya dinding sudah miring, bahkan hampir roboh.

“Hati-hati!“ terdengar perintah Prastawa ketika orang-orangnya menjadi tidak sabar. Bahkan seorang di antara mereka justru terjatuh. Kakinya tergelincir, sementara tanah memang agak miring. Untunglah bahwa meskipun tubuhnya terluka dan berdarah, tapi ia masih dapat bangkit dan mengatasi rasa pedih, sehingga ia masih mampu ikut bersama-sama kawan-kawannya menuju ke dinding yang terbuka itu.

Sementara itu usaha Ki Gede masih juga belum berhasil. Dari atas panggungan orang-orang padepokan itu masih saja menyerang, meskipun sebagian dari mereka harus membalas serangan dari dalam padepokan itu sendiri. Namun orang-orang padepokan itu masih juga bertahan agar orang-orang yang sudah ada di dalam padepokan itu tidak dapat mencapai pintu gerbang.

Ternyata pasukan Ki Gede Kebo Lungit cukup kuat. Bahkan orang-orang yang sudah berhasil memasuki padepokan itu mulai merasakan tekanan yang semakin berat. Ketika para penghuni padepokan yang ada di dalam menjadi semakin mapan, terasa bahwa kekuatan yang ada di padepokan itu memang cukup besar.

Dalam keadaan yang semakin sulit itu, Prastawa telah berhasil mencapai dinding yang terbuka itu. Meskipun ia tidak membawa pasukan yang terlalu besar, tetapi kedatangannya membuat kawan-kawannya yang lebih dahulu memasuki padepokan itu semakin berbesar hati.

Kedatangan Prastawa dan beberapa kelompok pengawal Tanah Perdikan telah membuat pertempuran di dalam padepokan itu menjadi semakin sengit. Pasukan Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu telah berusaha untuk mencapai pintu gerbang, tetapi mereka telah mengalami tekanan yang sangat berat.

Meskipun kemudian Prastawa datang membantu, namun agaknya pasukan Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu tidak mampu segera menguasai keadaan. Di padepokan yang memang agak luas itu benar-benar tersimpan kekuatan yang besar.

Agung Sedayu akhirnya menjadi tidak sabar lagi. Dengan mengetrapkan ilmunya meringankan tubuh, maka ia mampu bergerak cepat sekali. Apalagi kemudian cambuknya telah mulai meledak-ledak dengan suara yang bagaikan memecahkan selaput telinga.

Selain untuk menggetarkan jantung lawan, maka Agung Sedayu memang berniat untuk memancing pimpinan padepokan itu, Ki Gede Kebo Lungit, yang tentu berada di antara mereka yang mempertahankan pintu gerbang itu.

Sebenarnyalah cambuk Agung Sedayu telah berhasil menyibak para pengikut Ki Gede Kebo Lungit. Sementara itu, para pengawal telah mengikutinya dan kemudian memasuki celah-celah pasukan lawan.

Namun demikian, ternyata memang sulit sekali untuk dapat menembus pertahanan itu.

Tetapi satu hal yang perlu mendapat perhatian para pemimpin padepokan itu. Ujung cambuk Agung Sedayu yang berputar-putar dan meledak-ledak itu setiap kali telah melemparkan para pengikut Ki Gede Kebo Lungit. Bahkan ketika salah seorang muridnya yang termasuk pada tataran yang tinggi mencoba untuk mencegahnya, maka murid Ki Gede itu sama sekali tidak berdaya. Ketika ia menyerang dengan tongkat besinya yang panjang dan berujung runcing, maka ia sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk menembus putaran cambuk Agung Sedayu. Bahkan ketika ia mencoba juga untuk menjulurkan ujung tongkat besinya mengarah ke lambung Agung Sedayu, maka satu hentakan yang kuat telah mengayunkan juntai cambuk Agung Sedayu membelit tongkat besi itu. Satu tarikan yang keras dan sangat kuat ternyata tidak terlawan oleh murid Ki Gede Kebo Lungit itu, sehingga tongkat besinya justru telah terlepas dari tangannya, terlempar beberapa langkah daripadanya. Ketika murid Ki Gede itu meloncat mundur, maka ujung cambuk Agung Sedayu masih sempat menggamitnya, sehingga segores luka memanjang dari lengan tangannya sebelah kanan, menyilang dadanya sampai ke lengannya di sebelah kiri. Luka itu memang tidak terlalu dalam. Namun dari luka itu kemudian telah mengalir darah.

Perasaan pedih yang sangat telah menggigit dari luka itu, sehingga dengan demikian murid Ki Gede Kebo Lungit itu tidak sekedar meloncat mengambil jarak. Tetapi di bawah lindungan beberapa orang pengikut Ki Gede Kebo Lungit, maka muridnya itu telah menghilang.

Namun ternyata murid Ki Gede Kebo Lungit itu telah menemui gurunya dan mengatakan apa yang telah terjadi atas dirinya.

Ki Gede Kebo Lungit mengangguk-angguk. Dengan nasa berat ia berkata, “Orang itu memang bukan lawanmu. Ia adalah orang muda yang berilmu sangat tinggi. Karena itu, tidak ada orang lain yang akan mampu mengimbanginya selain aku sendiri. Aku akan segera membunuhnya sebelum ia merusak pasukanku. Baru setelah aku membunuhnya, aku akan dapat menghancurkan pasukan yang telah mencoba untuk menyerang padepokan kita ini.“

Murid Ki Gede Kebo Lungit masih sempat berkata, “Bunuh orang itu Guru.“

Namun sebelum Ki Gede Kebo Lungit menjawab, maka orang itu telah menjadi pingsan.

“Bawa minggir anak itu,“ berkata Ki Gede, “obati lukanya. Luka itu tidak berbahaya. Tetapi rasa sakit yang sangat serta darah yang terlalu banyak keluar telah membuatnya pingsan. Cepat, usahakan darahnya menjadi pampat. Jika terlambat, anak itu akan mati.“

Dengan cepat, maka seorang saudara seperguruannya telah menaburkan obat pada luka itu justru sebelum dibawa menepi, agar darahnya menjadi pampat. Baru kemudian, dibantu oleh beberapa orang, maka murid yang terluka itu telah dibawa menepi.

Sementara itu, Ki Gede Kebo Lungit telah bersiap-siap untuk menghadapi Agung Sedayu yang ternyata telah mengacaukan pertahanan para pengikut Ki Gede Kebo Lungit. Sementara itu Ki Gede Kebo Lungit yang memang pernah bertempur melawan Agung Sedayu memang mengakui, bahwa orang muda itu memiliki ilmu yang sangat tinggi.

Namun Ki Gede Kebo Lungit masih sempat memberikan beberapa peringatan kepada para muridnya untuk dengan hati-hati menghadapi pasukan yang masih berada di luar pintu gerbang.

Nampaknya mereka akan berhasil memecahkan pintu gerbang itu, sehingga Ki Gede Kebo Lungit memberikan perintah kepada para pemimpin di padepokan itu. “Jika gerbang itu dapat dirusakkan, maka kalian harus berusaha untuk menahan agar mereka tidak sempat mendesak masuk. Kita akan menghancurkan lebih dahulu orang-orang yang sudah terlanjur berada di dalam. Dengan demikian maka pekerjaan kita tidak akan terlalu berat.“

Para pemimpin padepokan itu mengangguk, tetapi ternyata mereka tidak seyakin Ki Gede Kebo Lungit. Bahkan beberapa orang di antara mereka mulai menyadari, bahwa kekuatan yang datang itu cukup besar.

Tetapi para pemimpin padepokan itu tidak akan menunjukkan kelemahan mereka. Karena itu, maka mereka pun dengan tengadah telah menyatakan kesediaan mereka melakukan perintah Ki Gede Kebo Lungit.

Beberapa orang kemudian telah mendesak ke pintu gerbang, menyusup di antara orang-orang yang memang sudah berjejal menunggu. Mereka tidak saja terdiri dari murid-murid Ki Gede Kebo Lungit, tetapi mereka juga terdiri dari orang-orang yang telah menyatakan diri sejalan dengan sikap dan pendirian Ki Gede Kebo Lungit. Beberapa padepokan kecil telah bergabung. Bahkan ada beberapa kelompok orang yang telah melarikan diri dari tugas keprajuritan Madiun dan bersembunyi di padepokan itu. Mereka ingin kembali ke Madiun dengan panji-panji yang lain, yang lebih berwibawa dari panji-panji prajurit Madiun sebelumnya. Apalagi ternyata Madiun telah dikalahkan oleh Mataram.

Namun dalam pada itu, para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh telah berhasil memutuskan sebagian tali-tali pengikat pintu gerbang padepokan yang terbuat juga dari balok-balok kayu, meskipun tidak sebesar balok-balok kayu yang dibuat untuk dinding padepokan.

Meskipun orang-orang yang berada di atas panggungan sebelah-menyebelah pintu gerbang itu masih menyerang terus, namun dengan perlindungan para pengawal yang bersenjata anak panah serta perisai-perisai yang kuat, maka para pengawal itu berharap bahwa mereka akan berhasil merusak pintu dengan kapak dan parang-parang yang tajam.

Namun mereka pun sadar bahwa di balik pintu gerbang itu, pasukan dari Padepokan Ki Gede Kebo Lungit itu telah menunggu. Mereka telah bersiap untuk mempertahankan padepokan mereka dengan senjata teracu.

Sementara itu di dalam padepokan, pertempuran semakin lama menjadi semakin sengit. Kedatangan Prastawa dan beberapa kelompok pengawal memang telah memberikan keseimbangan baru. Meskipun demikian, rasa-rasanya beban pasukan Tanah Perdikan Menoreh dan para pengawal dari Pegunungan Sewu terasa terlalu berat.

Sementara itu Ki Gede Kebo Lungit telah melangkah memasuki arena pertempuran. Ketika ia melihat seorang yang dengan tongkatnya menyibak para penghuni padepokan itu, maka Ki Gede telah mendekatinya. Tetapi ternyata orang itu bukan Agung Sedayu.

Namun dengan sekali loncat, Ki Gede bertanya, “Siapa kau he? Nampaknya kau memiliki kelebihan dari para pengawal yang lain.“

Ki Demang Selagilang terhenti sejenak. Ia belum pernah melihat Ki Gede Kebo Lungit sebelumnya. Namun ia pernah mendengar ciri-ciri yang pernah dikatakan oleh Ki Gede Menoreh dan Agung Sedayu. Karena itu, maka Ki Demang Selagilang yang juga melihat senjata di tangan Ki Gede Kebo Lungit itu menyahut, “Kaukah yang bernama Ki Gede Kebo Lungit?“

“Ya,“ jawab Ki Gede Kebo Lungit, “aku tidak merasa perlu untuk menyembunyikan diri. Kau siapa?“

“Aku-lah yang disebut Ki Demang Selagilang dari Pegunungan Sewu. Aku yang mempertanggung jawabkan seluruh pasukan pengawal dari Pegunungan Sewu,“ berkata Ki Demang.

Ki Gede Kebo Lungit mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, “Aku masih sempat memperingatkanmu. Tarik orang-orangmu dari padepokanku. Kau telah melanggar hak seseorang dengan memasuki padepokanku ini.“

“Kau tentu tahu alasan pasukan ini memasuki padepokanmu,“ sahut Ki Demang.

“Kau dan orang-orangmu, atau katakanlah orang yang memberi perintah kepadamu, dapat saja menyusun seribu alasan. Tetapi bagiku, kalian tidak berhak memasuki padepokanku,“ geram Ki Gede Kebo Lungit.

Namun Ki Demang justru berkata, “Menyerahlah. Atau padepokanmu harus dimusnahkan bersama semua isinya.“

Ki Gede Kebo Lungit menjadi marah. Namun sebelum ia meloncat menyerang Ki Demang, tiba-tiba saja ia telah mendengar ledakan cambuk Agung Sedayu. Ledakan cambuk yang memekakkan telinga, namun yang bagi Ki Gede Kebo Lungit tidak mengandung tenaga sama sekali.

Tetapi Ki Gede pun tahu pasti, bahwa orang muda itu memang sedang bermain-main. Ia sedang menakut-nakuti orang-orangnya dengan ledakan-ledakan yang bagaikan menggugurkan langit. Namun sebenarnyalah orang muda yang bermain-main dengan cambuk itu benar-benar mampu menggetarkan juntai cambuknya dengan tenaga yang mampu merontokkan isi dada.

Karena itu, maka Ki Gede Kebo Lungit mulai menjadi ragu-ragu. Apakah ia harus melawan Ki Demang Selagilang atau langsung mencari orang bercambuk itu. Jika ia harus bertempur dengan Ki Demang, maka orang bercambuk itu tentu sudah meruntuhkan beberapa orang.

Tetapi Ki Gede Kebo Lungit menganggap bahwa ia hanya memerlukan waktu yang tidak terlalu lama untuk menyelesaikan orang yang menyebut dirinya Ki Demang Selagilang itu.

Karena itu, maka Ki Gede Kebo Lungit itu pun berkata, “Baiklah. Jika kau tidak mau mendengarkan kata-kataku, maka kau akan segera mati.“

Ki Demang Selagilang pun segera bersiap. Ia sadar bahwa ia berhadapan dengan orang yang berilmu sangat tinggi. Tetapi sebagai seorang pemimpin yang bertanggung jawab, ia tidak akan menghindar.

Namun dalam pada itu, Ki Bekel Wadasmiring, yang juga telah mendapat keterangan tentang ciri-ciri Ki Gede Kebo Lungit, telah mendekat pula sambil berkata kepada Ki Demang, “Orang ini memang harus disingkirkan.“

Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Kehadiran Ki Bekel telah membuatnya semakin tenang. Bagaimanapun juga, Ki Bekel juga memiliki kelebihan. Sehingga dengan demikian, maka mereka berdua akan dapat mengatasi orang yang berilmu sangat tinggi itu.

Ki Gede Kebo Lungit menggeram. Ia melihat seorang lagi datang kepadanya. Namun Ki Gede Kebo Lungit sama sekali tidak memperhitungkannya. Ki Gede masih tetap menganggap bahwa dalam waktu yang sangat singkat, ia akan dapat menyelesaikan kedua orang lawannya itu.

Sementara itu pertempuran pun menjadi semakin sengit. Lingkaran-lingkaran pertempuran terjadi dimana-mana, tersebar di seluruh padepokan itu. Beberapa kelompok dari kedua belah pihak bahkan saling mendesak di sela-sela bangunan di padepokan itu. Saling mengejar dan saling mencegat di antara dinding-dinding barak.

Namun para penghuni barak itu lebih mengenal medannya daripada para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh serta dari Pegunungan Sewu. Karena itu, maka para pengawal itu lebih senang bertempur di tempat yang terbuka. Di halaman, di kebun belakang atau samping, atau di pategalan di belakang padepokan itu. Tetapi kadang-kadang mereka memang tidak dapat menghindari bahwa mereka harus bertempur di sela-sela barak-barak padepokan.

Dalam pada itu, Ki Gede Kebo Lungit telah mengayunkan tongkatnya yang mendebarkan. Namun ia masih belum bersungguh-sungguh. Ia masih merasa perlu untuk menjajagi kedua lawannya sebelum dibinasakannya.

Namun yang selalu mengganggunya adalah suara cambuk Agung Sedayu. Ki Gede Kebo Lungit menyadari bahwa orang muda itu masih saja bermain-main meskipun ia telah berada di arena yang garang itu. Ledakan-ledakan cambuknya masih saja memekakkan telinga, namun sama sekali tidak menggetarkan dadanya. Tetapi bagi para penghuni padepokan yang lain, maka ledakan cambuk itu justru membuat jantung mereka tergetar.

Dalam pada itu, Ki Demang Selagilang dan Ki Bekel Wadasmiring pun telah menggenggam senjata mereka pula. Dengan sigapnya, Ki Bekel Wadasmiring yang menggenggam sebilah pedang yang besar telah meloncat mengambil jarak. Sementara Ki Demang Selagilang telah menggenggam sepasang trisula berujung runcing.

Namun ternyata bahwa Ki Demang Selagilang dan Ki Bekel Wadasmiring bukan orang yang terlalu lemah sebagaimana diperkirakan oleh Ki Gede Kebo Lungit. Ketika tongkat Ki Gede mulai terayun, maka Ki Bekel pun mulai menyerangnya pula.

Ki Gede Kebo Lungit dengan tangkasnya bergeser. Namun ujung trisula Ki Demang telah memburunya. Hampir saja punggung Ki Gede tersentuh ujung trisula Ki Demang Selagilang. Namun Ki Gede yang menggeliat itu telah membebaskan dirinya dari sentuhan senjata lawannya.

Dengan demikian maka Ki Gede pun telah meningkatkan ilmunya pula. Tongkatnya terayun semakin deras. Berputaran menyambar-nyambar.

Ki Bekel Wadasmiring yang memiliki kekuatan yang sangat besar telah mencoba membenturkan senjatanya. Pedang yang besar. Namun ternyata Ki Bekel itu terkejut bukan buatan. Hampir saja pedangnya itu terloncat dari tangannya. Tetapi ketika dengan sepenuh tenaga ia mempertahankannya, maka rasa-rasanya telapak tangannya telah menggenggam bara.

Dengan serta merta Ki Bekel itu meloncat surut. Ketika Ki Gede Kebo Lungit siap memburunya, maka Ki Demang telah menyerangnya dengan sepasang trisulanya. Putaran trisulanya telah menimbulkan desing angin yang keras menerpa kulit Ki Gede Kebo Lungit. “Ternyata orang ini juga berilmu,“ desis Ki Gede di dalam hatinya.

Namun Ki Gede pun menganggap bahwa tingkat ilmunya masih belum cukup tinggi untuk melawannya, meskipun Ki Gede sadar bahwa Ki Demang masih mampu meningkatkan ilmunya itu.

Ki Bekel yang telah membenahi dirinya, termasuk jantungnya yang hampir terlepas karena terkejut mengalami benturan itu, telah siap untuk bertempur pula. Tetapi ia menyadari bahwa ia harus menjadi semakin berhati-hati. Meskipun ia memiliki kekuatan yang sangat besar, namun ternyata bahwa kekuatan lawannya itu jauh lebih besar lagi.

Ketika kedua orang itu sudah bersiap melawan Ki Gede Kebo Lungit, maka Ki Gede itu terkejut. Ia mendengar ledakan cambuk Agung Sedayu. Semakin dekat. Tetapi tidak lagi meledak bagaikan meruntuhkan langit. Suaranya menjadi lebih lambat, tetapi getarannya terasa menyentuh jantungnya.

“Apa yang terjadi?“ bertanya Ki Gede kepada diri sendiri.

Tetapi ketika ia mendengar ledakan itu sekali lagi, maka Ki Gede Kebo Lungit tidak menunggu. Ia telah meloncat meninggalkan kedua lawannya. Tetapi ia sempat berpesan kepada orang-orangnya untuk menghadapi mereka dalam kelompok-kelompok.

Ki Demang Selagilang menarik nafas dalam-dalam. Sebagai seorang yang berilmu, maka iapun mengerti, kenapa Ki Gede Kebo Lungit meninggalkannya. Ki Demang Selagilang mendengar juga suara cambuk yang tidak cukup keras untuk mengejutkan orang-orang yang ada di sekitar Agung Sedayu. Tetapi hentakan cambuk itu benar-benar mengandung tenaga yang sangat besar.

Tetapi Ki Demang tidak terlalu banyak mendapat kesempatan untuk merenungi ledakan cambuk itu. Demikian pula Ki Bekel, karena beberapa orang tiba-tiba saja telah mengepung mereka.

Beberapa orang pengawal dari Pegunungan Sewu pun telah berada di dekat keduanya pula ketika kemudian terjadi pertempuran lagi dengan sengitnya. Tetapi baik Ki Demang maupun Ki Bekel, selalu mendapat lawan dalam pasangan-pasangan yang bahkan lebih dari dua orang.

Dalam pada itu, tiba-tiba pertempuran itu bagaikan terguncang. Ada arus yang mendesak dari arah pintu gerbang. Ternyata bahwa Ki Gede Menoreh telah berhasil memecahkan pintu gerbang. Tali-tali ijuk yang terpotong telah melepaskan ikatan-ikatan dari balok-balok kecil memanjang yang dianyam menjadi pintu gerbang.

Dengan demikian maka para pengawal Tanah Perdikan yang masih ada di pintu gerbang telah membanjir memasuki padepokan.

Namun para penghuni padepokan itu tidak membiarkan para pengawal itu memasuki pintu gerbang. Tetapi orang-orang yang ada di atas panggungan di sebelah-menyebelah pintu gerbang tidak dapat dengan leluasa menyerang para pengawal yang berdesakan masuk dengan senjata telanjang, karena ada pengawal yang secara khusus harus melindungi mereka dengan menyerang orang-orang yang ada di atas panggungan itu. Sehingga dengan demikian maka orang-orang yang berada di atas panggungan itu pun tidak dapat berbuat dengan semena-mena. Bagaimanapun juga mereka harus memperhatikan keselamatan mereka sendiri, karena anak panah dari para pengawal Tanah Perdikan itu akan dapat menyambarnya.

Karena itulah maka meskipun dengan susah payah, para pengawal Tanah Perdikan itu berhasil mendesak memasuki pintu gerbang. Sementara para pengawal yang telah berada di dalam padepokan, berusaha untuk memecahkan perhatian para penghuni padepokan itu. Beberapa kelompok pengawal telah berusaha menyerang orang-orang yang berada di depan pintu gerbang itu dari samping. Bahkan dengan keras berusaha mendesak mereka untuk memancing mereka bertempur melawan para pengawal yang telah berada di dalam padepokan.

Dengan demikian, maka arus pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu akhirnya tidak terbendung lagi.

Ki Gede Menoreh di dampingi oleh Glagah Putih telah memasuki padepokan itu pula. Dengan tangkasnya mereka bertempur di antara para pengawal. Glagah Putih telah memutar pedangnya seperti baling-baling. Namun kemudian terayun-ayun, sekali-sekali mematuk dengan cepat. Sedangkan Ki Gede Menoreh dengan tombak pendeknya menyibak orang-orang padepokan yang mencoba menghalangi. Tombaknya bergetar di tangannya. Sekali terjulur lurus mematuk tubuh lawan.

Dengan demikian maka pertempuran di padepokan itu menjadi semakin sengit. Ki Gede Menoreh yang mengemban tugas dari Panembahan Senapati itu telah melakukan tugasnya dengan segenap kemampuannya, bersama-sama dengan pasukan dari Pegunungan Sewu.

Gelombang arus pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang baru memasuki padepokan itu memang terasa oleh para penghuni padepokan itu, terutama mereka yang berada tidak jauh dari pintu gerbang. Namun sorak-sorak yang bagaikan mengguncang langit telah terdengar sampai ke dinding di seberang. Karena itu, maka para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh maupun dari Pegunungan Sewu segera mengetahui, pintu gerbang tentu sudah dapat ditembus.

Sebenarnyalah pertempuran pun segera mengalir semakin merata. Di pategalan di belakang padepokan, namun yang masih berada di dalam dinding, telah menjadi ajang pertempuran pula, sehingga tanaman palawija yang tumbuh hijau telah terinjak-injak. Bagaimana orang-orang padepokan itu mengolah tanah berbatu-batu padas itu sehingga dapat menjadi pategalan yang subur, tidak dihiraukan lagi. Orang-orang yang sedang bertempur di atasnya tidak memikirkan apapun kecuali persoalan hidup dan mati. Karena di dalam pertempuran, maka yang membayangi suasana adalah mendidihnya darah di dalam setiap tubuh.

Betapapun lembutnya seseorang, tetapi jika ia sudah hadir di pertempuran, maka matanya akan bersinar tajam memancarkan api kebencian. Tangannya gemetar menggenggam senjata untuk dihunjamkan ke dada lawannya, dengan sengaja menimbulkan kematian. Orang-orang yang ada di peperangan seakan-akan tidak lagi menjadi sesamanya. Tetapi seakan-akan mereka harus berebut nyawa di antara mereka untuk mempertahankan hidup.

Ki Gede Kebo Lungit pun mengetahui bahwa pintu gerbang telah dirusakkan. Iapun tahu bahwa orang-orangnya tidak mampu menahan arus para pengawal yang menyerang padepokannya. Tetapi Ki Gede Kebo Lungit tidak terkejut. Ia memang sudah mengira bahwa sulit membendung arus masuk pasukan yang sudah marah. Mereka mendesak seperti arus banjir, meskipun di hadapan mereka ujung-ujung senjata memagarinya.

Sementara itu Ki Gede sudah menemukan sumber hentakan cambuk Agung Sedayu.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat Ki Gede Kebo Lungit datang kepadanya. Dengan demikian maka orang itu tidak lebih dahulu bertemu dengan Ki Gede Menoreh. Karena menurut penilaian Agung Sedayu, Ki Gede Kebo Lungit memang memiliki kelebihan dari Ki Gede Menoreh.

“Aku memang ingin mengucapkan selamat kepadamu Orang Muda,“ berkata Ki Gede Kebo Lungit.

“Untuk apa?“ bertanya Agung Sedayu.

“Kedatanganmu memasuki padepokan ini,“ jawab Ki Gede Kebo Lungit.

“Semua orang Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu sekarang sudah memasuki padepokanmu,“ berkata Agung Sedayu kemudian.

“Aku sudah menduga sebelumnya. Tetapi itu tidak apa-apa,“ jawab Ki Gede Kebo Lungit, “bagiku hal itu lebih baik. Mereka akan kami tumpas di dalam padepokan ini. Termasuk kau.“

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau terlalu yakin akan kemampuan orang-orangmu. Sebaiknya kau mulai melihat kenyataan. Pasukanmu yang mulai porak-poranda di padepokanmu sendiri.“

Ki Gede Kebo Lungit itu tertawa. Justru semakin lama semakin keras. Katanya, “Kau salah Orang Muda. Kau kira aku tidak mengenal kekuatanku sendiri di padepokan ini?“

“Aku tahu akan kekuatanmu,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “dan kaupun tentu sangat mengenali kekuatanmu itu. Yang tidak kau kenal adalah kekuatan Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu yang kini bersama-sama berada di padepokanmu.“

“Kami akan menyediakan kuburan raksasa bagi kalian,“ berkata Ki Gede Kebo Lungit, “termasuk kuburan bagimu dan para pemimpin Tanah Perdikan, serta orang-orang dari Pegunungan Sewu itu.“

“Menarik sekali,“ desis Agung Sedayu, “tetapi kau dan orang-orangmu-lah yang akan menempati kuburan raksasa itu.“

Ki Gede Kebo Lungit mengerutkan keningnya. Tiba-tiba saja tongkatnya mulai bergerak. Kemudian dengan tongkatnya ia meloncat menyerang. Namun Agung Sedayu yang telah bersiap sepenuhnya itu telah menyambutnya dengan hentakan cambuknya tanpa meledakkan bunyi yang memekakkan telinga.

Tetapi Ki Gede Kebo Lungit sempat menggeliat. Sekali berputar di udara, kemudian tongkatnya terayun dengan derasnya menyambar kepala Agung Sedayu.

Agung Sedayu merendah. Tongkat itu berdesing di atas ubun-ubunnya. Namun sama sekali tidak menyentuhnya.

Dalam pada itu. murid-murid Ki Gede pun telah menyebar. Mereka berada dimana-mana di padepokan itu. Pada umumnya mereka memang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan. Namun dengan demikian, maka para pengawal Tanah Perdikan telah bertempur berpasangan melawan mereka.

Seorang murid Ki Gede yang berilmu cukup tinggi tiba-tiba saja sempat melihat Ki Demang Selagilang yang bertempur melawan beberapa orang penghuni padepokan itu. Sedangkan beberapa orang cantrik yang lain sedang bertempur melawan Ki Bekel Wadasmiring.

Murid Ki Gede Kebo Lungit itulah yang kemudian mengambil alih pertempuran melawan Ki Demang Selagilang itu. Dengan bekal ilmu yang telah diwarisinya dari Ki Gede Kebo Lungit, maka orang itu telah bertempur dengan garangnya melawan Ki Demang Selagilang. Namun ternyata Ki Demang itu pun mampu mengimbanginya. Iapun mampu bertempur dengan cepat dan keras.

Untuk beberapa lama Ki Demang Selagilang bertahan sambil menjajagi kemampuan lawannya. Namun kemudian sambil menghentakkan senjatanya, ia mulai menyerang.

Murid Ki Gede Kebo Lungit itu terkejut. Serangan Ki Demang itu begitu tiba-tiba dan dilambari dengan kekuatan yang tinggi.

Namun lawan Ki Demang itu masih mampu meloncat menghindar. Tidak kalah cepatnya. Bahkan ia masih juga sempat membalas menyerang.

Ki Demanglah yang kemudian melenting menghindari serangan itu. Namun ia sempat bertanya. “He, siapa namamu?“

“Aku murid Ki Gede Kebo Lungit,“ jawab orang itu.

“Namamu?“ desak Ki Demang.

“Namaku Putut Jalak Serut,“ jawab orang itu.

“Apakah Putut itu sebutan atau memang namamu Putut?“ bertanya Ki Demang.

Orang itu tertawa. Katanya, “Namaku Jalak Serut. Aku adalah Putut di padepokan ini, di samping Kakang Putut Jalak Werit. Kau siapa?“

“Aku Demang dari Pegunungan Sewu. Ki Demang Selagilang,“ jawab Ki Demang.

Putut itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Sekarang kita akan menentukan, siapakah yang lebih baik. Aku tahu bahwa kalian adalah pengikut-pengikut Panembahan Senapati, yang dengan licik telah memecahkan Madiun.“

“Jangan berkata begitu,“ jawab Ki Demang, “kau kira aku tidak tahu apa yang dilakukan gurumu? Gurumu adalah pengkhianat yang paling licik. Ia menunggu kesempatan hancurnya Madiun dan Mataram.“

Jalak Serut tertawa. Katanya, “Apakah salahnya orang mempunyai perhitungan cermat menghadapi satu persoalan, apalagi persoalan yang besar sebagaimana kau katakan? Madiun adalah pusat kekuasaan di daerah timur, di samping Surabaya. Jika Guru mampu menguasai Madiun, serta kerja sama dengan beberapa padepokan, beberapa kadipaten dan orang-orang yang menyadari perlunya satu pembaruan, maka Ki Gede Kebo Lungit akan menjadi seorang yang besar, di samping Panembahan Senapati dan Adipati Madiun. Bahkan kekuasaannya akan merambat ke barat dan ke timur, sehingga akhirnya, seluruh Tanah ini akan dikuasainya. Sedikitnya akan selebar kekuasaan Demak.“

Ki Demang Selagilang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia menyahut. “Satu mimpi yang buruk Ki Sanak. Ternyata hari ini Ki Gede Kebo Lungit yang meninggalkan aku di sini, harus terbangun dan melihat kenyataan tentang dirinya dan kekuatan yang ada di belakangnya. Bahkan Ki Gede Kebo Lungit akan melihat satu kenyataan yang paling pahit bagi dirinya sendiri.”

“Guru akan dapat mengatasi semua masalah. Tidak ada orang yang akan mampu menandinginya. Ia akan membunuh bukan saja seorang demi seorang. Tetapi sepuluh orang demi sepuluh orang, sehingga dalam waktu singkat, pertempuran ini akan segera selesai. Aku pun akan membunuh lawan tanpa hitungan. Demikian pula Kakang Putut Jalak Werit,“ berkata Putut itu.

“Ternyata Ki Gede dan murid-muridnya memang pemimpi yang baik. Marilah, aku akan membangunkanmu, sehingga kau akan melihat kenyataan yang ada di hadapan hidungmu,“ berkata Ki Demang Selagilang.

Tetapi Putut Jalak Serut justru tertawa. Katanya, “Sayang Ki Demang, aku harus membunuhmu.“

Ki Demang menarik nafas. Tetapi ketika kemudian Putut itu menyerang lagi, ia sudah siap menghadapinya.

Sementara itu pasukan Tanah Perdikan Menoreh yang baru saja menembus pintu gerbang, semakin lama telah bergerak semakin dalam memasuki padepokan dan mulai menjalar ke segala arah.

Ternyata para pemimpin padepokan itu tidak mampu menahan orang-orang Tanah Perdikan agar tidak merayap masuk. Putut Jalak Werit yang memimpin perlawanan di pintu gerbang itu harus mengakui, betapa tangkas dan beraninya orang-orang yang telah menyerang padepokannya itu.

Namun Putut itu terkejut ketika tiba-tiba saja ia sudah berhadapan dengan anak muda yang pernah dikenalnya sebelumnya.

“Kita bertemu lagi Ki Sanak,“ desis Glagah Putih.

Putut itu mengerutkan keningnya. Ketika ia memandang berkeliling, maka dilihatnya Ki Gede Menoreh dibayangi oleh beberapa pengawal berdiri tegak mengamati keadaan.

Putut itu menggeram. Dengan sorot mata bagaikan menyala dipandanginya anak muda yang bernama Glagah Putih itu. Anak muda yang sudah diketahuinya berilmu tinggi. Namun Putut itupun merasa bahwa ia telah mewarisi ilmu gurunya dengan lengkap, meskipun masih harus dikembangkan.

Karena itu, maka katanya, “Kita akan meneruskan permainan kita yang terputus.“

“Kenapa kau meninggalkan prajurit Madiun bertempur sendiri, semetara kau dan orang-orangmu seharusnya menyatu dengan mereka?“ bertanya Glagah Putih.

“Persetan dengan pertanyaanmu. Kau tentu sudah dapat menjawab sendiri,“ geram Putut Jalak Werit, “sekarang, bersiaplah. Kita akan bertempur. Kita tidak sedang menguji sikap kita masing-masing.“

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, Ki Gede Menoreh telah memberikan isyarat kepada para pengawal Tanah Perdikan Menoreh untuk bergerak lebih dalam lagi bersama Ki Gede Menoreh sendiri. Namun dalam pada itu, beberapa kelompok pengawal masih saja bertempur di sekitar Glagah Putih yang sudah berhadapan dengan Putut Jalak Werit dalam kesiagaan penuh.

Ki Gede Menoreh yang tidak lagi didampingi oleh Glagah Putih bergeser semakin dalam. Tetapi beberapa orang pengawal terpilih berada di sekitarnya. Karena itu, Ketika sekelompok penghuni padepokan itu mulai menyerang, maka para pengawal itu telah mencegahnya dengan ujung senjata.

Namun dalam pada itu, seorang yang berjanggut putih telah datang mendekatinya. Seorang yang umurnya telah mencapai pertengahan abad. Namun ia masih tetap tegar sebagaimana Ki Gede Menoreh sendiri.

Dengan sebuah kapak yang besar di tangannya, ia melangkah mendekati Ki Gede yang termangu-mangu.

“Selamat datang di padepokan Ki Gede Kebo Lungit ini Ki Sanak. Sayang, aku tidak dapat menyambutmu di pintu gerbang. Menilik sikap dan pengawalan para pengikutmu, maka kau termasuk orang besar di antara orang-orang yang datang menyerbu memasuki padepokan ini,“ berkata orang itu.

“Siapakah kau Ki Sanak?“ bertanya Ki Gede Menoreh.

“Aku adalah Ajar dari Ringin Panjer. Orang-orang juga menyebutku Ki Ajar Ringin Panjer. Juga disebut Ki Ajar Waja Putih,“ jawab orang itu.

Ki Gede mengangguk-angguk. Ketika ia sekali lagi memperhatikan kapak orang itu, maka Ki Gede Menoreh melihat bahwa kapak itu terbuat dari baja putih. Agaknya karena hal itu jarang sekali terdapat, maka orang itu juga disebut Ki Ajar Waja Putih.

Sambil mengangguk-angguk Ki Gede Menoreh pun berkata, “Apakah kelebihan baja putihmu itu dari kebanyakan baja yang lain, yang biasa berwarna hitam.“

Orang itu tertawa. Katanya, “Sama saja. Tidak ada bedanya. Yang penting adalah tangan yang memegangnya. Seperti kapakku ini, tidak banyak berbeda dengan kapak-kapak lain. Tetapi kapakku ini aku asah tajam-tajam, melampaui tajamnya pisau pencukur. Sentuhan di lehermu akan dapat memutuskan tulang-tulangmu.“

Ki Gede Menoreh tersenyum. Katanya, “Kau menakut-nakuti aku. Tetapi nampaknya kapakmu yang tajam itu memang sangat berbahaya.“

“Tetapi aku tidak terpancang pada kapakku ini. Aku dapat mempergunakan segala macam senjata. Namun senjata ini telah melekat di tanganku sejak aku dilahirkan,“ berkata Ki Ajar Ringin Panjer.

“Bukan main. Bagaimana hal itu dapat terjadi?“ bertanya Ki Gede.

“Sudahlah. Sekarang aku yang bertanya, siapakah kau?“ desis Ki Ajar itu.

Ki Gede mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Namaku Argapati. Gelarku Ki Gede Menoreh, karena kebetulan aku adalah Kepala Tanah Perdikan Menoreh.“

Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi aku telah berhadapan dengan seorang Kepala Tanah Perdikan.”

“Ya Ki Ajar. Tetapi aku adalah Kepala Tanah Perdikan yang barangkali tidak begitu penting, sehingga tidak banyak orang yang pernah mendengar Tanah Perdikan Menoreh. Apalagi sampai ke Madiun,“ berkata Ki Gede.

“Aku pernah pergi ke Mataram. Tetapi di Mataram pun aku tidak pernah mendengar orang menyebut Tanah Perdikan Menoreh,“ berkata Ki Ajar.

“Aku percaya Ki Ajar,“ jawab Ki Gede. Namun iapun kemudian bertanya, “Tetapi apakah Ki Ajar memang tinggal disini?“

“Sudah aku katakan, aku berasal dari Ringin Panjer. Sebuah perguruan kecil, tidak terlalu jauh dari tempat ini. Aku dan Ki Gede Kebo Lungit mempunyai hubungan yang sangat akrab,“ jawab Ki Ajar.

“Apakah kalian seperguruan?“ bertanya Ki Gede.

“Tidak. Ki Gede Kebo Lungit memiliki ilmu yang lebih baik dari aku. Tetapi bukan berarti bahwa aku tidak berilmu mapan sehingga aku tidak akan dapat mengakhiri perlawanan Kepala Tanah Perdikan Menoreh,“ berkata Ki Ajar Ringin Panjer.

Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Jika Ki Ajar adalah sorang yang memimpin sebuah perguruan, maka Ki Ajar tentu seorang yang berilmu tinggi.“

Ki Ajar Ringin Panjer mengerutkan keningnya. Tetapi ia pun tertawa sambil berkata, “Kau orang yang rendah hati. Atau barangkali seorang yang memang merasa dirinya kecil, sehingga tidak ada kata lain yang dapat kau ucapkan, selain sebuah pengakuan yang jujur.“

Ki Gede Menoreh tersenyum. Katanya, “Barangkali memang demikian. Tetapi pengakuan itu tidak berarti bahwa aku akan ingkar kepada kewajibanku di medan perang ini.“

“Kau adalah pemimpin dari seluruh pasukan ini bukan?“ bertanya Ki Ajar Ringin Panjer.

“Ya,“ jawab Ki Gede Menoreh.

“Jika demikian, maka seharusnya kau mencari perlindungan kepada pengawal-pengawalmu, karena kau sangat diperlukan oleh seluruh pasukanmu,“ berkata Ki Ajar Ringin Panjer.

“Tetapi aku bukan satu-satunya orang yang memimpin pasukan ini,“ berkata Ki Gede, “tanpa aku pun pasukan ini dapat melakukan tugasnya dengan baik.“

“Masih adakah orang lain yang memiliki ilmu yang lebih tinggi dari Ki Gede?“ bertanya Ki Ajar Ringin Panjer.

“Masih banyak,“ jawab Ki Gede.

Ki Ajar Ringin Panjer mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia berkata, “Adakah seseorang yang memang sudah disiapkan untuk menghadapi Ki Gede Kebo Lungit?”

“Siapapun akan dapat melakukannya,“ jawab Ki Gede Menoreh, “kami telah pernah bertemu dengan Ki Gede Kebo Lungit di Madiun. Saat Ki Gede Kebo Lungit mengkhianati pasukan Madiun yang memang sudah terdesak.“

“Ah. Kau mempergunakan istilah yang sangat buruk. Ki Gede Kebo Lungit tidak berkhianat terhadap Madiun. Ia mempunyai rencana tersendiri yang sudah kami bicarakan bersama,“ jawab Ki Ajar.

“Rencana itu adalah ujud dari pengkhianatannya,“ sambung Ki Gede Menoreh.

“Sudahlah,“ berkata Ki Ajar Ringin Panjer, “kita sudah berhadapan di medan pertempuran seperti ini. Marilah. Kita akan melihat, siapakah yang memiliki kemampuan lebih tinggi. Kau, pemimpin pasukan yang merupakan bagian dari pasukan Mataram yang besar, akan mengakui bahwa kau bukan apa-apa disini.“

Ki Gede Menoreh tidak menjawab lagi. Ia melihat Ki Ajar Ringin Panjer itu sudah mulai menggerakkan kapaknya yang terbuat dari baja putih. Kapak yang terlalu besar menurut ukuran kapak sewajarnya.

Ki Gede Menoreh surut selangkah. Tetapi ujung tombaknya pun mulai bergetar pula.

Kedua orang yang sudah menjadi semakin mengendap karena umurnya itu sudah bersiap untuk mulai dengan pertempuran yang akan menentukan. Kedua orang yang memiliki pengalaman yang sangat luas.

Beberapa saat kemudian, Ki Ajar Ringin Panjer itu melangkah maju, sementara Ki Gede bergeser menyamping. Tetapi ujung tombaknya .mulai bergerak-gerak. Ki Gede Menoreh sadar, bahwa kapak yang besar itu akan menjadi sangat berbahaya baginya. Jika ia berani membentur dengan landean tombaknya, maka ada kemungkinan landean tombaknya akan patah. Bukan saja karena tajam kapak yang terbuat dari baja putih itu, tetapi juga karena ayunannya yang sangat kuat.

Dengan demikian maka Ki Gede Menoreh itu harus menyesuaikan dirinya menghadapi senjata Ki Ajar yang garang itu.

Ketika Ki Ajar kemudian mengangkat kapaknya, maka Ki Gede mulai menggerakkan tombaknya. Dengan tangan kanannya yang mempermainkan tombaknya, sementara tangan kirinya menentukan arah, maka ujung tombak itu mulai mematuk ke arah dada Ki Ajar.

Tetapi Ki Ajar pun menyadari bahwa serangan ujung tombak itu masih belum bersungguh-sungguh. Karena itu, maka Ki Ajar telah menghindarinya dengan gerak yang sederhana. Selangkah ia bergeser surut. Ternyata ujung tombak Ki Gede memang belum menggapainya.

Namun selanjutnya, kapak Ki Ajar telah terayun dengan derasnya. Ketika Ki Gede menghindar ke samping, maka tiba-tiba saja kapak itu menebas mendatar ke arah dada.

Ki Gede Menoreh memang harus menghindari pula. Selangkah Ki Gede surut. Ketika Ki Ajar siap meloncat memburunya, ujung tombak Ki Gede telah terjulur mematuk dengan cepatnya.

Ki Ajar telah menghentikan langkahnya. Bahkan iapun telah meloncat surut. Namun dengan cepat pula ia telah menyerang lagi dengan kapaknya yang besar itu.

Sejenak kemudian, maka pertempuran yang sengit pun telah terjadi. Ki Ajar Ringin Panjer yang terlalu yakin akan kekuatannya telah mengayun-ayunkan kapaknya dengan garangnya. Namun ujung tombak Ki Gede Menoreh itu rasa-rasanya seperti seekor lalat yang siap hinggap di sasarannya. Ujung tombak itu seakan-akan telah berterbangan berputaran. Meskipun terlalu kecil dibandingkan dengan kapak yang besar itu, namun ujung tombak Ki Gede itu menjadi sangat berbahaya bagi lawannya. Sementara itu, maka para pengawal dari kedua belah pihak telah bertempur pula. Mereka ternyata memiliki bekal yang tidak kalah dengan bekal seorang prajurit di medan perang. Seingga dengan demikian, maka perang di padepokan itu menjadi semakin lama semakin sengit.

Sebenarnyalah tugas para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu terasa cukup berat. Menurut perhitungan sebelum pasukan itu berangkat, maka kekuatan di padepokan itu tidak sebesar yang ternyata mereka temui. Agaknya Ki Gede Kebo Lungit yang sudah memperhitungkan bahwa padepokannya akan mendapat serangan telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya.

Tetapi perhitungan Ki Gede Kebo Lungit pun ternyata keliru. Pasukan Mataram dan Madiun tidak bertempur sampai orang yang terakhir. Ketika pasukan Mataram memasuki Istana Madiun, maka Panembahan Madiun ternyata sudah menghindar, sehingga pertempuran yang terjadi di istana bukanlah pertempuran habis-habisan.

Dengan demikian maka pertempuran yang terjadi di padepokan itu semakin lama menjadi semakin keras. Ketika matahari menjadi semakin tinggi, maka rasa-rasanya darah pun menjadi semakin panas mengalir di tubuh setiap orang yang sedang bertempur itu. Ketika darah mulai menitik membasahi tanah padepokan itu, maka setiap orang pun menjadi semakin garang.

Mereka yang bertempur di padepokan itu tidak lagi sempat menempatkan diri dan membagi lingkungan itu dengan garis perang. Tetapi yang terjadi adalah perang brubuh. Kedua belah pihak telah berbaur dalam pertempuran yang menjadi rumit.

Tetapi baik pasukan Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu maupun pasukan padepokan Ki Gede Kebo Lungit, masing-masing akan mengenali kawan-kawan mereka serta lawan-lawan masing-masing dengan baik.

Dengan demikian maka pertempuran telah terjadi di segala tempat, terserak di seluruh padepokan itu.

Ki Demang Selagilang masih juga bertempur dengan keras melawan Putut Jalak Serut. Bukan saja Putut Jalak Serut yang telah menempa diri di daerah yang keras serta latihan-latihan yang berat, tetapi Ki Demang Selagilang pun telah menjalani hidupnya sehari-hari dengan bekerja keras menghadapi tantangan alam di Pegunungan Sewu. Dengan demikian maka tantangan yang harus diatasinya di setiap hari itu telah membentuk dirinya menjadi seorang yang keras dan tidak cepat mengenal menyerah. Hal itu berpengaruh pula pada penguasaan ilmunya. Kerja keras di setiap hari itu rasa-rasanya telah membuat dirinya memiliki daya tahan yang semakin tinggi. Sementara itu dasar-dasar kemampuan ilmu yang tinggi menjadi semakin mapan ditempa oleh kehidupan.

Karena itu maka Ki Demang Selagilang itu memang telah mengejutkan Putut Jalak Serut. Sepasang trisulanya menyambar-nyambar dengan cepatnya, susul menyusul dalam putaran yang sangat berbahaya bagi lawannya, Putut Jalak Serut. Namun Putut itu pun mampu bergerak dengan cepat pula menghindarinya dan sekaligus meloncat menyerang, menyusup di antara putaran trisula itu.

Dengan demikian maka kedua orang itu telah bertempur dengan saling menyerang dan menghindar. Keduanya mampu bergerak cepat dan keduanya memiliki kekuatan melampaui kekuatan orang kebanyakan. Bahkan keduanya telah mempergunakan kekuatan dan kemampuan cadangan di dalam diri mereka, sehingga dengan demikian maka loncatan kaki mereka, ayunan senjata mereka, telah membuat orang-orang yang menyaksikannya menjadi kagum.

Namun kekaguman itu telah mendorong orang-orang dari Pegunungan Sewu untuk berjuang lebih keras lagi. Mereka ingin dapat berbuat sebagaimana dilakukan oleh pimpinannya. Demikian pula para pengikut Ki Gede Kebo Lungit. Mereka berbangga dengan Putut Jalak Serut yang tangkas dan kuat. Karena itu, maka mereka pun telah berusaha untuk dapat menyesuaikan dirinya.

Sementara itu, Ki Bekel Wadasmiring pun telah bertempur dengan garangnya. Dua orang murid Ki Gede Kebo Lungit yang masih muda mencoba menghadapinya. Namun Ki Bekel pun tidak sendiri. Seorang bebahu Kademangan Pegunungan Sewu yang lain telah berada di sampingnya pula, sehingga seorang di antara murid-murid yang masih muda dari perguruan Ki Gede Kebo Lungit itu masing-masing harus berhadapan dengan seorang lawan.

Ternyata Ki Bekel termasuk seorang yang memiliki pengalaman yang luas. Ia adalah salah seorang Bekel di bawah pimpinan Demang Selagilang. Masih ada beberapa bekel yang lain, yang ada pula di dalam pasukan itu. Tetapi Ki Bekel Wadasmiring adalah bekel yang terbaik yang ada di antara para pengawal Pegunungan Sewu itu.

Dalam pertempuran yang semakin menebar itu, maka para pengawal dari Pegunungan Sewu telah menunjukkan kemampuan mereka. Ternyata mereka tidak dapat digertak dengan sikap yang keras dari penghuni padepokan itu. Ketika pertempuran itu berlangsung juga di sisi yang berbatu padas, maka loncatan-loncatan kaki para pengawal dari Pegunungan Sewu itu tidak kalah mapannya dengan para penghuni padepokan itu.

Namun Ki Bekel Wadasmiring itu agak terkejut ketika ia sempat bertanya kepada lawannya, murid Ki Gede Kebo Lungit yang masih muda.

Jawaban lawannya itu memang tidak diduganya, “Namaku Saripan. Aku berasal dari Prambanan.“

“Prambanan?“ bertanya Ki Bekel Wadasmiring, “Kenapa kau berada disini dan berpihak kepada Ki Gede Kebo Lungit.“

“Aku muridnya. Dengar ini,“ jawab orang muda itu.

“Tetapi kau berasal dari Prambanan,“ sahut Ki Bekel Wadasmiring.

“Kenapa jika aku dari Prambanan? Kau dengar, saudara seperguruanku datang dari mana-mana. Ada yang justru datang dari Ganjur di sebelah selatan Mataram itu sendiri.“

Ki Bekel Wadasmiring termangu-mangu sejenak. Sementara lawannya itu berkata selanjutnya, “Apakah kau heran? Saudaraku yang lain datang dari Surabaya dan dari Demak.“

Ki Bekel kemudian mengangguk-angguk sambil menjawab, “Bagus. Jika demikian, maka aku menjadi tidak ragu-ragu lagi meskipun aku harus bertempur melawan orang Prambanan.”

Demikianlah, maka Ki Bekel itu pun telah bertempur dengan cepat dan keras. Ternyata Ki Bekel tidak bertempur dengan orang-orang yang berasal dari kaki Gunung Wilis itu. Tetapi justru orang dari ngarai.

Anak muda yang menjadi murid Ki Gede Kebo Lungit itu ternyata telah memiliki bekal yang cukup untuk melawan seseorang yang mempunyai pengalaman yang cukup. Dengan demikian maka pertempuran pun telah terjadi dengan sengitnya.

Tetapi Ki Bekel Wadasmiring masih memiliki kelebihan selain pengalamannya. Ia memiliki kekuatan yang sangat besar yang ditempa oleh kehidupannya sehari-hari, dimatangkan oleh latihan-latihan olah kanuralgan yang pernah dilakukannya.

Karena itulah maka murid Ki Gede Kebo Lungit yang masih muda itu segera mengalami kesulitan. Benturan-benturan kekuatan mereka telah menunjukkan, bahwa Ki Bekel akan mampu mendesak lawannya dengan cepat.

Sebenarnyalah bahwa murid Ki Gede Kebo Lungit itu harus berloncatan mundur setiap kali terjadi benturan. Kekuatan Ki Bekel memang sulit untuk diatasinya. Namun dengan satu isyarat, maka beberapa orang telah datang membantunya.

Ki Bekel termangu-mangu menghadapi lawan yang tiba-tiba saja berkerumun. Namun orang-orangnya tidak membiarkannya mengalami kesulitan menghadapi lawan yang terlalu banyak itu, Karena itu, maka beberapa orang di antara mereka pun segera melibatkan diri ke dalam pertempuran itu.

Sementara itu pertempuran di seluruh padepokan itu semakin lama menjadi semakin sengit. Bahkan kedua belah pihak tidak sempat lagi menahan diri. Baik para penghuni padepokan itu, maupun para pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh dan dari Pegunungan Sewu telah bertempur semakin garang. Mereka telah mengerahkan segenap kemampuan mereka untuk mengatasi lawan-lawan mereka. Karena jika di antara mereka tidak mampu melindungi dirinya sendiri, maka ia akan dilanda arus pertempuran tanpa ampun.

Karena itu, maka kedua belah pihak telah bertempur dengan keras dan garang. Senjata mereka terayun-ayun mengerikan. Benturan-benturan yang terjadi telah menimbulkan dentang yang keras dan melemparkan bunga-bunga api. Sementara itu, sorak dan teriakan-teriakan telah mengguruh memekakkan telinga.

Di dekat pintu gerbang, Glagah Putih berhadapan langsung dengan murid terpilih Ki Gede Kebo Lungit. Putut Jalak Werit, yang telah mewarisi semua ilmu gurunya, benar-benar memiliki kelebihan dari murid-muridnya yang lain, meskipun belum sempat mengembangkannya. Namun berhadapan dengan murid Agung Sedayu dan Ki Jayaraga, serta pernah menjadi sahabat Raden Rangga, maka Putut Jalak Werit harus bertempur dengan sangat berhati-hati.

Apapun yang dilakukan, ternyata Glagah Putih masih mampu mengimbanginya. Bahkan Glagah Putih menyadari, bahwa dari tongkat murid Ki Gede Kebo Lungit itu dapat meluncur asap yang akan dapat membuat matanya menjadi pedih. Sehingga dengan demikian maka Glagah Putih harus menjadi berhati-hati jika tongkat itu kemudian terangkat ke arah wajahnya.

Namun agaknya Putut Jalak Werit masih belum memerlukannya. Ia masih mencoba berusaha menundukkan Glagah Putih dengan kemampuan ilmunya.

Prastawa yang membawa sekelompok pengawal Tanah Perdikan telah berusaha menguasai bangunan induk padepokan itu. Dengan garangnya, beberapa kelompok pengawal Tanah Perdikan berusaha untuk menyerang bangunan induk yang dipertahankan oleh beberapa kelompok pula. Bagaimanapun juga bangunan induk itu dianggap sangat berarti bagi orang-orang padepokan itu.

Namun Prastawa benar-benar bertekad untuk menguasainya. Jika ia berhasil, maka hal itu akan sangat berpengaruh atas pertempuran yang terjadi di seluruh padepokan itu. Meskipun mungkin di bangunan induk itu tidak terdapat benda-benda bernilai apapun, termasuk benda-benda upacara, tetapi bangunan induk itu akan dapat dianggap sebagai pusat pemerintahan di padepokan itu.

Namun usaha Prastawa itu tidak mudah dapat berhasil. Para penghuni padepokan itu dengan sepenuh kemampuan mereka telah mempertahankannya. Bahkan mereka tidak menghiraukan lagi barak-barak yang lain, besar maupun kecil.

Tetapi Prastawa tidak juga ingin bergerak mundur. Betapapun beratnya, bersama beberapa kelompok pasukannya ia telah menyerang dari segala jurusan. Para pengawal terbaik dari Tanah Perdikan Menoreh telah bertempur dengan keras untuk memecahkan pertahanan para penghuni padepokan itu. Sebaliknya, para penghuni padepokan itu pun telah bertahan dengan gigihnya pula.

Ki Gede Kebo Lungit ternyata melihat pula usaha untuk menguasai bangunan induk padepokannya. Karena itu maka iapun telah menggeram sambil berkata kepada Agung Sedayu yang melawannya, “Anak Muda. Tingkah laku kawan-kawanmu membuat aku menjadi muak.“

Agung Sedayu yang bertempur melawan Ki Gede Kebo Lungit tidak menjawab. Namun ia sadar sepenuhnya bahwa Ki Gede tentu akan meningkatkan ilmunya sampai ke puncak.

Tetapi Agung Sedayu yang pernah bertempur melawan Ki Gede Kebo Lungit telah mengetrapkan berbagai macam ilmunya. Ia telah melindungi dirinya dengan ilmu kebalnya, ilmu memperingan tubuh, dan kemampuan mempertajam kerja panca indranya.

Dengan demikian maka Ki Gede Kebo Lungi tpun tidak mudah dapat menguasai Agung Sedayu yang masih bersenjata sehelai cambuk. Meskipun cambuknya tidak lagi menghentak-hentak memekakkan telinga, tetapi Ki Gede mengerti, justru Agung Sedayu telah memiliki ilmu cambuk yang sangat tinggi dari perguruan Orang Bercambuk sebagaimana dikatakan, meskipun sebenarnya Ki Gede tidak pernah berurusan dengan Orang Bercambuk.

Karena itu, maka pertempuran antara Agung Sedayu dan Ki Gede Kebo Lungit itu pun menjadi semakin sengit. Pertempuran antara dua orang yang berilmu tinggi.

Namun sementara itu, para penghuni padepokan itu yang telah mengenal medan jauh lebih baik dari orang-orang Tanah Perdikan Menoreh dan dari Pegunungan Sewu, memanfaatkan pengenalannya itu sebaik-baiknya. Mereka menyusup di antara bangunan barak di padepokan itu, lalu meloncat muncul dari celah-celah sambil menyerang. Kemudian menyusup kembali dan menghilang, sementara kelompok lain telah menyerang dari arah yang menyilang.

Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu memang berusaha untuk memancing lawan mereka untuk bertempur di tempat terbuka. Namun sebaliknya, para penghuni padepokan itu berusaha untuk menggiring lawan mereka memasuki daerah yang rumit di padepokan itu.

Dengan serangan-serangan yang tiba-tiba, maka para pengawal dari Tanah Perdikan dan Pegunungan Sewu memang mengalami kesulitan. Karena itu, maka sebagian dari mereka justru telah memusatkan serangan mereka ke bangunan induk dari arah yang terbuka.

Di tempat yang terbuka, para pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan dari Pegunungan Sewu mempunyai harapan lebih besar dari para penghuni padepokan itu. Namun sebaliknya, di sela-sela bangunan di barak itu, maka orang-orang Tanah Perdikan Menoreh dan Pegunungan Sewu-lah yang mengalami kesulitan.

Tetapi Ki Demang Selagilang yang bertempur melawan Putut Jalak Serut pun menjadi semakin keras. Sedangkan Ki Bekel Wadasmiring masih mendesak lawannya dengan garang. Jika beberapa orang penghuni padepokan itu membantu lawannya, maka para pengikut Ki Bekel pun segera melibatkan diri, sehingga dengan demikian maka Ki Bekel mendapat kesempatan untuk bertempur tanpa terganggu orang lain.

Murid Ki Gede yang harus bertempur melawan Ki Bekel itu memang mengalami banyak kesulitan, sehingga iapun selalu bergeser mundur. Namun akhirnya ia berusaha untuk tenggelam dalam pertempuran yang berbaur di antara dua kekuatan itu, sehingga Ki Bekel telah kehilangan lawannya itu. Namun dengan demikian maka Ki Bekel telah menumpahkan kemarahannya kepada setiap orang yang mendekatinya.

Ketika Ki Bekel melihat sekelmpok pasukan Pegunungan Sewu yang seakan-akan terjebak di celah-celah bangunan di barak itu, karena tiba-tiba saja mereka telah terkurung oleh lawan-lawan mereka dari segala jurusan yang muncul dari balik barak-barak di padepokan itu, maka bersama beberapa orang Ki Bekel telah berusaha untuk memecahkan kepungan itu. Dengan garang Ki Bekel berhasil memecahkan kepungan itu, dan menghalau orang-orang yang berhasil menjebak kawan-kawannya.

Namun dalam pada itu, di seluruh medan pertempuran, korban telah berserakan. Beberapa orang telah terluka parah sehingga harus diusung menepi. Namun banyak pula di antara mereka dari kedua belah pihak yang tidak lagi tertolong jiwanya.

Namun kematian demi kematian telah membakar pertempuran itu sehingga menjadi semakin seru. Orang-orang yang kehilangan kawan-kawannya, sahabatnya, bahkan saudaranya, menjadi semakin garang dan bahkan kehilangan penalarannya. Darah yang membasahi tangan mereka, saat mereka menolong korban yang jatuh di pertempuran itu, telah melenyapkan segala pertimbangan di kepala mereka selain untuk membalas dendam.

Putut Jalak Serut yang bertempur melawan Ki Demang Selagilang ternyata semakin lama juga semakin mengalami kesulitan. Ketika keadaan menjadi semakin gawat karena putaran sepasang trisula Ki Demang, maka tiba-tiba saja seseorang telah menembus masuk ke dalam arena. Ayunan pedangnya yang tiba-tiba menebas dengan cepat, sehingga Ki Demang menjadi sangat terkejut. Meskipun ia dengan cepat pula menghindar, tetapi ujung pedang itu masih sempat mengenai lengannya.

Ki Demang menggeram sambil meloncat mengambil jarak. Ia mencoba mengamati lawannya yang baru itu. Ternyata seorang anak muda yang bertubuh tinggi kekurus-kurusan.

“Kita berada dalam pertempuran. Jangan menyesal,“ berkata anak muda itu.

Ki Demang menggeram. Lengannya memang terasa pedih. Namun ketika ia menggerakkan trisulanya, ternyata putaran trisulanya sama sekali tidak terpengaruh.

Namun bertempur melawan kedua orang itu, Ki Demang memang harus lebih berhati-hati.

Ternyata anak muda itu lebih garang dari Jalak Serut. Tanpa berbicara lagi, maka iapun telah meloncat menyerang Ki Demang Selagilang. Pedangnya terayun dengan deras menyambar kening.

Tetapi Ki Demang telah benar-benar bersiap. Meskipun demikian, hampir saja kening Ki Demang tersentuh ujung pedang itu.

Ki Demang yang terluka itu menjadi semakin marah. Perhatiannya justru ditujukan kepada orang muda itu. Namun ia tidak sempat berbuat banyak. Serangan anak muda itu telah datang membadai.

Ki Demang harus berloncatan mundur. Sementara itu Putut Jalak Serut pun menjadi termangu-mangu menyaksikan kegarangan anak muda itu.

Namun akhirnya Putut Jalak Serut itu menarik nafas dalam-dalam. Orang itu adalah seorang yang merasa hidupnya telah disengsarakan oleh benturan antara Mataram dan Madiun. Ia memang murid Ki Gede Kebo Lungit, namun belum terlalu lama. Sebelumnya ia memang sudah membawa bekal. Bukan saja bekal ilmu, tetapi bekal kebencian kepada prajurit Madiun dan Mataram sekaligus. Ayahnya yang terjerat dalam tugas di Istana Madiun ternyata telah terbunuh. Tentu oleh prajurit Mataram. Namun anak muda itu merasa bahwa ayahnya memang telah diumpankan oleh para pemimpin Madiun yang meninggalkan istana itu.

Meskipun gugur di peperangan itu adalah merupakan kemungkinan yang selalu membayangi setiap prajurit, tetapi anak muda itu telah menjadi dendam. Baik kepada prajurit Madiun yang dianggap mengumpankan ayahnya, maupun kepada prajurit Mataram yang dianggapnya telah membunuh langsung ayahnya itu.

Karena itu, maka Putut Jalak Serut merasa beruntung telah mendapat kawan yang seakan-akan telah kehilangan kendali diri, sehingga menjadi sangat garang.

Tetapi Ki Demang pun menjadi sangat marah. Dengan mengerahkan kemampuannya, maka sepasang trisulanya telah menyambar-nyambar. Tetapi ketika Jalak Serut ikut serta bertempur pula, maka Ki Demang memang mulai terdesak.

Namun dalam pada itu, sebagaimana memang terjadi di peperangan, Ki Demang tidak bertempur sendiri. Beberapa orang telah mendekatinya pula dan bersama-sama bertempur melawan kedua lawan Ki Demang itu.

“Setan kalian orang-orang Mataram,“ geram anak muda itu, “kalian ternyata menjadi curang dan licik.“

“Apa sebenarnya yang telah terjadi atasmu anak muda?“ bertanya Ki Demang Selagilang.

Tetapi tanpa jawaban anak muda itu telah meloncat menyerang dengan garangnya. Sementara Putut Jalak Serut memanfaatkan serangan-serangan itu untuk ikut menekan Ki Demang Selagilang. Iapun telah meloncat pula dengan senjata terjulur mengarah ke dada Ki Demang.

Ki Demang memang mendapat kesulitan, sehingga karena itu maka iapun telah meloncat menjauh. Namun kedua orang itu telah memburunya tanpa membuang waktu. Ki Demang tidak mempunyai kesempatan lain kecuali meloncat mengambil jarak. Ketika pedang anak muda itu menyambarnya, maka Ki Demang justru telah menjatuhkan dirinya sambil berguling dengan cepat. Demikian ia berdiri, maka ujung pedang anak muda itu sudah mematuknya ke arah jantung.

Tetapi Ki Demang yang memiliki pengalaman yang luas itu tidak membiarkan dadanya berlubang. Karena itu maka iapun telah menangkis serangan itu dengan trisulanya. Demikian ia berhasil menangkap ujung pedang itu di antara jari-jari trisulanya, maka trisulanya itu pun dengan cepat telah berputar.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar