Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 252

Buku 252

“Apa yang sebenarnya terjadi?“ Ki Widura semakin mendesak.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sebenarnya tidak pantas aku ceritakan. Tetapi hal ini menyangkut keselamatan Agung Sedayu.“ Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Lalu suaranya datar. “Saat-saat yang menyakitkan. Sebagaimana umumnya anak-anak muda, meskipun sebenarnya waktu itu aku bukannya muda sekali, terjadi sentuhan perasaan antara laki-laki dan perempuan. Sayang sekali bahwa dalam hal ini ada orang ketiga yang ikut terlibat ke dalamnya. Justru saudara sepupu perempuan itu. Aku tidak tahu bagaimana dapat terjadi, kami berdua, aku dan saudara sepupu perempuan itu, telah terlibat ke dalam satu perang tanding. Tetapi aku tidak dapat membunuhnya, meskipun aku memenangkan perkelahian itu, karena aku merasa tidak berwenang untuk melakukannya. Namun keputusan itu telah membuat kami bermusuhan di segala sisa waktu kami.“

“Apakah orang itu tetap dapat mengenali Kiai sampai di hari tuanya?“ bertanya Ki Widura.

“Ia mengenali ilmuku,“ jawab Kiai Gringsing, “dan sudah tentu ia akan mengenali ilmu Agung Agung Sedayu.”

Ki Widura mengangguk-angguk. Sementara itu Kiai Gringsing berkata selanjutnya. “Permusuhan itu rasa-rasanya semakin mendalam ketika perempuan yang menjadi persoalan itu akhirnya justru meninggal. Meskipun menurut ujud lahiriahnya ia meninggal karena sakit, tetapi aku curiga bahwa ada usaha dari saudara sepupunya itu untuk membunuhnya dengan racun yang lemah tetapi terus-menerus. Hal itu akan dapat terjadi karena keduanya adalah bersaudara, dan karena itu maka keluarga mereka pun selalu berhubungan.“

Ki Widura menarik nafas dalam-dalam. Sementara Kiai Gringsing berkata selanjutnya. “Peristiwa yang terjadi itu hanya satu saat yang pendek dalam keseluruhan garis umurku, tetapi memberikan warna yang khusus.“

“Bagaimana Kiai tahu bahwa orang itu akan dapat berbahaya bagi Agung Sedayu? Apakah orang itu tinggal di sekitar Madiun, atau di sekitar jalan yang akan dilalui pasukan Mataram?“

“Orang itu ada di Madiun. Ia telah mengirimkan murid-muridnya untuk menemukan aku. Tetapi orang itu berpesan bahwa tidak boleh seorangpun di antara mereka berbuat sesuatu. Agaknya orang itu mendengar tentang perguruan Orang Bercambuk, sehingga luka itu telah diungkitnya lagi,“ berkata Kiai Gringsing. Lalu, “Tidak ada di antara murid-muridnya yang tumbuh sebagai orang itu sendiri. Karena itu, menurut perhitungannya, jika muridnya berani melakukan sesuatu atas Orang Bercambuk, maka mereka tentu akan dapat dikalahkan.“

“Kapan Kiai bertemu untuk yang terakhir kalinya?” bertanya Ki Widura.

“Aku belum menemuinya, karena ketika aku berada di Madiun seorang muridnya menemui aku. Aku tidak tahiu bagaimana ia tahu bahwa aku berada di Madiun. Tetapi ia banyak berhubungan dengan para Senapati dan pemimpin pemerintahan di Madiun.“ Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu, “Tetapi aku tidak dapat memenuhi undangannya untuk datang ke padepokannya. Karena itu maka ia telah mengirimkan pesan lewat muridnya, bahwa sampai kapan pun orang itu akan tetap menunggu. Aku atau kepercayaanku atau siapapun yang menurut orang itu akan dapat menyelamatkan aku.“

“Apakah sebabnya orang itu tidak datang saja kemari?“ bertanya Widura.

“Orang itu tidak terbiasa berbuat apapun di luar lingkungannya. Nampaknya ciri itu sudah nampak sejak ia muda. Ia lebih banyak berbuat di lingkungannya sendiri,“ berkata Kiai Gringsing. Lalu katanya pula, “Karena itu, selama ini aku tidak pernah mencemaskan Agung Sedayu. Baru ketika ia harus berangkat ke Madiun, aku telah memikirkannya. Aku menduga, bahwa dari para petugas sandi Madiun ia akan dapat menyadap keterangan orang-orang terpenting yang akan ikut serta berada di dalam pasukan Panembahan Senapati. Di antaranya ia tentu akan menunggu kedatangan Orang Bercambuk itu sendiri. Tetapi jika yang datang Agung Sedayu, maka Agung Sedayu akan dapat menjadi sasaran dendamnya.“

“Berapa umur orang itu? Jika ia seumur Kiai, maka iapun tentu sudah sangat tua seperti Kiai,“ berkata Ki Widura.

“Ia lebih muda dari aku meskipun tidak terlalu banyak,“ jawab Kiai Gringsing.

Ki Widura mengerutkan keningnya. Hampir di luar sadarnya ia bertanya, “Tiga atau empat tahun, begitu Kiai?“

“Aku tidak jelas. Tetapi mungkin lebih dari itu,“ jawab Kiai Gringsing.

Ki Widura termangu-mangu. Tetapi menurut ingatannya, lima tahun yang lalu, Kiai Gringsing justru merupakan seorang yang tidak terkalahkan.

Kiai Gringsing agaknya dapat mengetahui perasaan Ki Widura. Karena itu, maka Kiai Gringsing pun berkata, “Ki Widura. Kita sama-sama tidak tahu betapa perkembangan ilmu orang itu. Itulah sebabnya, aku harus meyakinkan diriku, bahwa Agung Sedayu telah sampai ke puncak kemampuannya. Kekurangannya yang selapis tipis dari ilmu tingkat terakhir dari ilmu cambuk, telah ditutupnya dengan ilmu yang juga dikuasainya dengan baik. Agung Sedayu mampu membangunkan tenaga cadangannya sampai tuntas. Ia memiliki ilmu kebal yang matang, kemampuannya melepaskan serangan dengan sorot matanya, dilengkapi dengan puncak ilmu cambuknya yang marnpu menyerang dari jarak jauh pula. Kemampuannya meringankan tubuhnya, serta ilmu Sapta Indranya. Agung Sedayu juga memiliki kekebalan terhadap segala macam racun dan bisa. Bahkan jika diperlukan, Agung Sedayu dapat mengetrapkan ilmu Kakang Kawah Adi Ari-Ari atau yang sejenis dengan itu. Kumpulan dari beberapa macam ilmu itu telah melengkapi ilmu cambuknya itu. Kecuali itu, jenis-jenis ilmu yang terdapat di dalam kitab itu semua telah dibacanya. dan terpahat di dalam dinding ingatannya. Setiap saat ingatan itu dapat diungkitnya, dan iapun akan dapat menjalani laku untuk menguasainya dan melakukannya.“

Ki Widura menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Agung Sedayu memang memiliki bekal yang cukup. Kita dapat meyakini itu.“

“Ketika aku mencoba kemampuannya, aku sudah yakin. Ia sudah sampai pada satu tataran yang sulit untuk ditumbangkan. Aku hampir mengalami kesulitan, meskipun aku tahu bahwa tidak ada niat dari Agung Sedayu untuk membunuh lawannya dengan ilmu cambuk dalam tataran tertinggi. Jika saat itu ia mempergunakannya, maka ia memang tidak mempunyai pilihan lain,“ berkata Kiai Gringsing.

“Kiai telah mengerahkan tenaga Kiai yang sudah melemah dengan agak berlebihan,“ berkata Ki Widura, “karena itu, keadaan Kiai menjadi sangat lemah.“

“Tetapi aku merasa puas,“ berkata Kiai Gringsing, “tidak ada seorangpun yang dapat berbuat sebaik Agung Sedayu. Pada umurnya yang masih terhitung muda itu, ia sudah memiliki ilmu yang jarang ada duanya.“

“Tetapi Kiai,“ berkata Ki Widura, “bagaimana dengan murid Kiai yang muda? Bagaimana jika orang itu kebetulan telah memilih Swandaru sebagai sasaran?“

Kiai Gringsing menegang sejenak. Namun kemudian katanya, “Tidak Ki Widura. Orang itu tidak akan tahu bahwa ada orang lain yang turun ke medan dari keturunan ilmu Orang Bercambuk. Nama Swandaru tidak akan banyak dikenal sebagaimana nama Agung Sedayu. Anak itu tentu tidak akan disebut-sebut sebagai orang penting di antara orang-orang berilmu tinggi dari Mataram. Bahkan mungkin malahan nama Glagah Putih-lah yang akan disebut. Apalagi mereka yang telah mengenal cara dan gaya hidup Raden Rangga semasa hidupnya.“

“Tetapi jika secara kebetulan satu dua orang muridnya mendengar suara cambuknya?“ bertanya Ki Widura.

“Mungkin akan menarik perhatian. Tetapi bagi orang yang aku sebutkan itu, getar cambuk Swandaru tentu belum menariknya untuk melakukan langkah tertentu, karena getar cambuk Swandaru belum menunjukkan tingkat yang pantas bagi orang itu untuk dimusuhinya. Jika kemudian ia memerintahkan murid-muridnya, maka aku kira Swandaru akan dapat menjaga dirinya,“ jawab Kiai Gringsing.

Ki Widura mengangguk-angguk. Iapun mengerti dasar perhitungan Kiai Gringsing. Swandaru tentu tidak akan disebut-sebut oleh para petugas sandi Madiun. Bahkan petugas sandi yang mampu menyusup di lingkungan keprajuritan Mataram sekalipun, karena Swandaru memang jarang berada di lingkungan para pemimpin Mataram. Kehadirannya di dalam pasukan itu pun tidak terlalu nampak sebagaimana Agung Sedayu. Apalagi pasukan Swandaru berada di bawah pimpinan Untara, perwira yang disegani dari Jati Anom. Meskipun kemampuannya secara pribadi tidak mampu menyamai adiknya, tetapi ia adalah seorang Senapati yang mempunyai perhitungan cermat dan pandangan jauh ke depan.

Tiba-tiba saja Ki Widura itu bertanya, “Siapakah nama orang itu Kiai?“

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Di masa mudanya ia bernama Pideksa. Namun kemudian sebagai seorang pemimpin padepokan ia menyebut dirinya Ki Ajar Kumuda. Sampai sekarang ia masih saja menyebutku Orang Bercambuk, sebagaimana disampaikan oleh muridnya.“

“Ketika Kiai tidak singgah di padepokannya, apa yang dikatakan tentang Kiai?“ bertanya Ki Widura.

“Lewat muridnya ia memang menuduhku sebagai seorang pengecut. Seorang yang tidak tahu diri, dan banyak lagi umpatan-umpatan yang menyakitkan hati. Seperti yang sudah aku katakan, ia menunggu seseorang yang dapat mewakili aku jika aku memang tidak berani datang menghadapinya. Bahkan orang yang akan mampu menyelamatkan aku, jika orang itu mampu membunuh Ki Ajar Kumuda,“ jawab Kiai Gringsing.

Ki Widura mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata, “Jadi apa yang Kiai lakukan adalah bukan saja mendorong Agung Sedayu untuk meningkatkan kemampuannya, tetapi juga menjajagi apakah keberangkatannya ke Madiun itu akan membahayakan jiwanya atau tidak. Bahkan di luar hubungan persoalan antara Mataram dan Madiun.“

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Agaknya memang demikian. Setelah aku tahu bahwa bekal Agung Sedayu sudah cukup, hatiku memang menjadi tenang. Seandainya sesuatu terjadi atasnya, semuanya aku serahkan kepada Yang Maha Agung. Namun sebagai manusia aku sudah membuat perhitungan-perhitungan.“

“Ya Kiai,“ jawab Ki Widura, “dengan demikian kita tidak menjerumuskan orang lain dalam kesulitan.“

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berkata, “Kita akan selalu berdoa.“

“Ya Kiai. Bukan saja bagi Agung Sedayu. Tetapi juga bagi kita semuanya. Bagi Mataram, dan bagi Madiun, agar mereka menemukan cara yang lebih baik untuk memecahkan persoalan daripada dengan kekerasan,“ berkata Ki Widura.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tetapi tidak ada yang dapat menyalahkan Panembahan Senapati jika dia mengambil langkah itu. Ia sudah cukup berusaha. Namun kenyataan yang dihadapinya ternyata tidak seperti yang diharapkannya.“

Ki Widura menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Yang harus terjadi itu memang akan terjadi.“

Kiai Gringsing tidak segera menjawab. Bahkan katanya kemudian hampir berbisik. “Marilah segalanya kita serahkan kepada Yang Maha Kuasa.“

Ki Widura mengangguk kecil. Namun nampaknya Kiai Gringsing yang lemah itu ingin tidur barang sejenak. Karena itu, maka Ki Widura pun telah minta diri untuk kembali ke biliknya di rumah sebelah.

“Jika perlu, Kiai dapat memanggil aku,“ berkata Ki Widura.

“Silahkan beristirahat, Ki Widura. Aku pun akan tidur untuk menyegarkan tubuhku,“ desis Kiai Gringsing.

“Aku akan menempatkan seorang cantrik di muka pintu bilik Kiai,“ berkata Ki Widura.

“Terima kasih,“ sahut Kiai Gringsing, yang kemudian bangkit tertatih-tatih dibantu oleh Ki Widura. “Kiai Gringsing terlalu memaksa diri untuk menilai tingkat kemampuan Agung Sedayu,“ berkata Ki Widura kepada diri sendiri. “Seandainya ia bukan orang yang tahu benar tentang obat-obatan, maka aku kira keadaannya akan menjadi lebih parah.“

Demikianlah, sesaat kemudian Kiai Gringsing pun telah berbaring di dalam biliknya, sedangkan Widura telah meninggalkan bangunan induk, dan berpesan agar seorang di antara para cantrik berada di depan pintu bilik Kiai Gringsing. Kiai Gringsing yang sedang dalam keadaan lemah itu mungkin memerlukan bantuannya.

Malam itu di perkemahannya. Agung Sedayu dan Glagah Putih pun telah berbaring pula. Demikian pula Prastawa dan Ki Gede. Beberapa orang pengawal telah ditugaskan untuk berjaga-jaga, khusus di antara para pengawal Tanah Perdikan, sebagaimana para pengawal dari Pegunungan Sewu dan para prajurit Mataram. Sementara itu di luar perkemahan terdapat petugas-petugas gabungan yang mengawasi seluruh perkemahan.

Menjelang tengah malam, mereka telah dikejutkan oleh derap kaki kuda yang memasuki perkemahan. Agung Sedayu yang berbaring tidak terlalu jauh dari induk perkemahan bersama Glagah Putih, telah terbangun pula. Sementara dua orang berkuda telah dihentikan di depan perkemahan yang lengang itu.

“Siapa kalian?“ bertanya para petugas.

Orang berkuda itu tidak segera menjawab. Seorang di antara mereka ternyata telah terluka, agak parah. Sedangkan yang lain pakaiannya juga terkena percikan darah.

Tiba-tiba saja salah seorang di antara mereka mengucapkan kata-kata sandi.

“Kalian dari induk pasukan?“ bertanya pemimpin petugas malam itu.

“Ya,“ jawab orang itu.

“Marilah,“ berkata pemimpin penjaga, yang melihat keadaan orang itu di bawah obor yang menyala di perkemahan itu.

Agung Sedayu dan Glagah Putih yang terbangun sempat melihat kedua orang yang ternyata sudah terluka itu mendekati perkemahan dan bertemu dengan Senapati yang bertugas malam itu. Agung Sedayu dan Glagah Putih yang sudah dikenalnya dengan baik tidak dicegahnya untuk memasuki lingkungan tugas Senapati itu. Bahkan keduanya telah dipanggilnya mendekat.

“Kemarilah. Agaknya ada sesuatu yang penting terjadi,“ berkata Senapati itu.

“Mereka memerlukan perawatan secepatnya,“ desis Agung Sedayu yang juga mulai tertarik pada bidang pengobatan.

Senapati itu mengangguk. Iapun segera memerintahkan untuk memanggil tabib yang diikut-sertakan dalam pasukan itu.

Sambil menunggu, maka salah seorang di antara mereka berdua yang terluka itu sempat berkata, “Kami menyampaikan perintah dari induk pasukan.“

“Perintah apa?“ bertanya Senapati itu.

“Beberapa bagian perbekalan di induk pasukan terbakar. Untung segera dapat dicegah sehingga tidak menjalar. Meskipun kerugian tidak terlalu banyak berpengaruh, tetapi kemungkinan buruk itu jangan terjadi di sini. Masih ada sehari perjalanan besok,“ jawab orang yang terluka itu.

Senapati yang menerima penghubung itu menjadi tegang. Sementara itu penghubung itu melanjutkan, “Agaknya usaha untuk menghancurkan perbekalan tidak hanya akan dilakukan di induk pasukan. Karena itu, maka kami dan dua orang penghubung yang lain telah diperintahkan untuk menghubungi sayap-sayap pasukan.“

Senapati itu mengangguk-angguk. Tetapi ia sadar, bahwa hal itu tidak boleh terjadi di sayap kiri. Karena itu, maka iapun segera memerintahkan seorang prajurit untuk menghubungi para petugas yang sedang berjaga-jaga.

“Cepat!“ perintah Senapati itu.

Begitu prajurit itu bergerak, maka tabib yang dipanggil oleh Senapati itu telah datang.

“Rawat kedua orang itu,“ perintah Senapati yang bertugas itu.

Tabib itu pun dengan cepat bersama pembantunya segera merawat kedua penghubung yang terluka itu. Sambil menyeringai menahan pedih oleh obat-obatan yang ditaburkan di lukanya, penghubung itu bercerita. “Dalam perjalanan kemari, kami terpaksa menghindari orang-orang yang mencegat kami. Nampaknya mereka sudah memperhitungkan bahwa dari induk pasukan akan dikirim penghubung untuk memberitahukan usaha untuk menyerang perbekalan. Untunglah kami masih mendapat perlindungan Yang Maha Agung. Meskipun kami terluka, namun kami dapat menyelamatkan diri sampai di sini.“

Agung Sedayu dan Glagah Putih yang ikut mendengarkan keterangan penghubung itu pun merasa wajib untuk ikut mengamankan perbekalan yang dibawa oleh pasukan di sayap kiri itu. Karena itu, maka keduanya pun telah minta diri untuk pergi ke perondan.

Demikian Agung Sedayu dan Glagah Putih menemui petugas yang menjaga perkemahan itu, ia segera mendapat keterangan bahwa prajurit yang nganglang memang telah melihat sosok-sosok bayangan yang mencurigakan.

“Sekelompok prajurit sedang mengejar mereka,“ berkata pemimpin peronda itu.

Agung Sedayu dan Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun terasa jantungnya memang berdebaran. Karena itu, maka keduanya pun telah pergi ke tempat perbekalan disimpan di antara kuda-kuda yang dipergunakan untuk mengangkutnya. Namun ternyata bahwa perbekalan di sayap kiri itu telah tersimpan dengan baik. Para petugas di dapur tidur di antara perbekalan itu, sementara pengawal yang bertugas mondar-mandir disekitarnya. Apalagi setelah ada perintah untuk lebih mengamati perbekalan itu, agar tidak terjadi sebagaimana di induk pasukan.

“Nampaknya keadaan tidak mencemaskan,“ berkata Agung Sedayu. Glagah Putih mengangguk.

“Marilah,“ berkata Agung Sedayu, “kita singgah di perkemahan Ki Gede sebentar. Apakah Ki Gede sedang tidur atau tidak.“

Keduanya pun kemudian mulai beranjak dari tempatnya. Namun sebelum mereka sempat melangkah, mereka telah dikejutkan oleh suara seorang prajurit yang bertugas, “Panah api!“

Keduanya segera berpaling. Mereka memang melihat panah api terbang di udara. Tetapi panah api itu bukan panah api sekedar sebagai isyarat. Panah api yang meluncur itu adalah panah api yang ditujukan untuk menyerang.

Agung Sedayu dan Glagah Putih telah menghentikan langkahnya. Keduanya tidak jadi pergi ke perkemahan Ki Gede. Tetapi keduanya justru telah bergabung dengan para prajurit yang bertugas.

“Lindungi perbekalan itu!“ peritah pemimpin yang bertugas menjaga perbekalan itu. Meskipun perbekalan itu tidak terlalu banyak, tetapi jika perbekalan itu terbakar, maka perbekalan yang disediakan buat hari berikutnya akan mengalami kesulitan.

Tetapi bagi para prajurit dan pengawal tentu amat sulit untuk melawan panah api yang satu-satu meluncur di udara berurutan. Panah api yang menyala-nyala itu memang akan dapat membakar sasaran. Juga jika panah api itu jatuh di atas tumpukan perbekalan, maka perbekalan itu akan menjadi abu. Apalagi jika beberapa panah api tepat mengenai perbekalan itu.

Beberapa orang pun telah menjadi ribut. Mereka telah menyiapkan alat-alat yang dapat mereka gapai untuk memadamkan api jika perlu.

Satu panah api jatuh tidak tepat di atas tumpukan perbekalan. Beberapa saat kemudian, panah api yang kedua jatuh justru di tengah-tengah perkemahan. Namun tidak mengenai seorangpun di antara para prajurit yang sempat bangkit dan menempatkan diri. Tetapi panah api yang ketiga ternyata telah mengenai seorang petugas di dapur yang justru sedang berlari-lari kebingungan.

“Hati-hati! Kalian dapat melihat arah panah api itu!“ teriak pemimpin prajurit yang bertugas.

Sementara beberapa orang berusaha menolong orang yang terkena panah api itu.

Dalam pada itu Agung Sedayu pun berkata, “Glagah Putih. Bawa sekelompok pengawal. Cari orang-orang yag melemparkan panah api itu.“ Lalu katanya kepada seorang pengawal yang ada di dekatnya, “Beri aku busur dan anak panah. Cepat!“

Semuanya berjalan cepat. Glagah Putih telah berlari ke perkemahan para pengawal Tanah Perdikan. Bersama Prastawa dan beberapa orang pengawal yang bertugas malam itu, ia telah berlari memasuki padang perdu, menuju ke arah asal panah api itu. Sementara itu, Agung Sedayu telah mendapatkan sebuah busur dan seendong anak panah.

Beberapa orang sempat menjadi heran melihat Agung Sedayu memegang busur. Mereka tidak segera mengetahui, apa yang akan dilakukan oleh Agung Sedayu. Apalagi para pengawal dari Pegunungan Sewu dan para prajurit Mataram.

Beberapa masih menunggu-nunggu ketika mereka melihat Agung Sedayu dengan cepat memasang anak panah pada busurnya dan membidik panah api yang meluncur dengan cepat.

“Mau apa sebenarnya orang Tanah Perdikan Menoreh ini?“ berkata beberapa orang di dalam hatinya.

Namun segera mereka menjadi tegang ketika mereka melihat apa yang terjadi. Dengan kemampuan bidik yang sangat tinggi, maka Agung Sedayu telah memanah panah-panah api yang meluncur ke perkemahan.

Orang-orang di perkemahan yang melihat apa yang dilakukan oleh Agung Sedayu justru menjadi seperti orang bingung. Mereka melihat anak panah yang meluncur dari busur Agung Sedayu itu telah membentur panah api yang mengarah ke perkemahan sehingga arah panah api itu pun telah bergeser, dan jatuh sama sekali di luar perkemahan itu. Bahkan kecepatan Agung Sedayu memungut anak panah dari endongnya, memasang di busur, kemudian melepaskannya, mampu mengimbangi jumlah anak panah yang datang meluncur, yang agaknya telah dilepaskan oleh lebih dari satu orang.

Dalam keributan itu ternyata para pemimpin di perkemahan itu pun telah terbangun. Bahkan bukan saja Ki Gede Menoreh, Ki Demang Selagilang dan para pemimpin yang lain, tetapi Pangeran Mangkubumi sendiri telah keluar dan melihat apa yang dilakukan oleh Agung Sedayu.

Pangeran Mangkubumi, seorang yang memiliki ilmu yang tinggi, harus mengagumi kemampuan bidik Agung Sedayu. Bahkan juga kecepatannya bergerak melontarkan anak panah demi anak panah.

Dengan demikian maka hampir semua anak panah yang dilepaskan dari kejauhan dan diarahkan ke perkemahan, terutama tempat penyimpanan perbekalan selama dalam perjalanan, telah dapat diruntuhkan di udara oleh Agung Sedayu, atau setidak-tidaknya telah dibelokkan arahnya. Jika ada satu dua anak panah yang jatuh di perkemahan, maka dengan cepat beberapa orang telah menyiramnya dengan pasir dan tanah, sehingga segera padam.

Beberapa saat kemudian, maka serangan panah api itu pun telah berhenti. Ternyata Glagah Putih yang berlari-lari menuju ke arah panah itu dilepaskan telah menemukan mereka. Tetapi ternyata mereka tidak hanya dua tiga orang yang meluncurkan anak panah itu saja yang ada di tempat itu. Namun mereka terdiri dari beberapa orang yang melindungi para pemanah itu.

Agaknya kawan-kawan para petugas sandi dari Madiun itu telah memancing perhatian para prajurit dan pengawal yang bertugas malam itu, sehingga mereka telah mengerjarnya ke arah yang lain. Sementara itu, sekelompok petugas yang sebeanrnya harus mengacaukan perkemahan itu telah berada di tempat yang berbeda.

Orang-orang itu semula merasa bahwa usaha mereka berhasil. Setidak-tidaknya mereka akan dapat mengacaukan perkemahan. Apalagi jika mungkin, api mereka dapat membakar perbekalan atau apapun persediaan di perkemahan itu. Bahkan mereka telah berusaha dengan pengamatan dan perhitungan yang cermat, membidik bekal yang masih akan dipergunakan di hari berikutnya.

Tetapi para pemanah itu menjadi heran ketika mereka melihat panah api mereka seakan-akan telah membentur sesuatu di udara. Beberapa anak panah api telah runtuh, sedang yang lain telah berbelok arah. Hanya satu dua saja anak panah mereka yang masih dapat menembus pertahanan yang tidak segera mereka ketahui itu, dan jatuh di perkemahan. Tetapi akibatnya tidak lagi seberapa berarti.

Serangan itu pun kemudian telah terhenti ketika sekelompok pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh di bawah pimpinan Glagah Putih dan Prastawa datang menyergap mereka.

Memang telah terjadi pertempuran. Tetapi hanya sebentar, karena orang-orang yang menyerang dengan panah api itu memang tidak ditugaskan untuk bertempur berhadapan.

Karena itu, maka sekelompok orang Madiun itu pun telah memanfaatkan malam yang gelap, pohon-pohon perdu, dan bahkan ada di antara mereka yang menghambur-hamburkan debu, untuk menyelinap dan hilang dari kejaran para pengawal Tanah Perdikan Menoreh.

Dengan demikian maka Glagah Putih dan Prastawa itu harus kembali dengan kecewa ke perkemahan, karena tidak seorangpun yang dapat mereka tangkap di antara orang-orang yang datang menyerang itu.

Namun dalam pada itu, kemampuan bidik Agung Sedayu telah menjadi bahan pembicaraan orang-orang di perkemahan itu. Dari para petugas di dapur sampai para Senapati.

“Hampir tidak masuk akal,“ berkata seorang Senapati Mataram. Lalu katanya, “Aku sudah lama mengenalnya. Aku sudah mendengar tingkat kemampuannya yang tinggi, apalagi setelah mendengar dari orang-orang yang pernah melihatnya bertempur di medan. Tetapi aku masih tetap tidak mengerti, bagaimana ia dapat melakukan hal seperti yang dilakukannya itu.“

“Ia bukan saja seorang yang disegani karena cambuknya,“ berkata Senapati yang lain, “tetapi juga kemampuan bidiknya yang memang tidak masuk akal.“

Tetapi beberapa orang Senapati yang tidak melihat langsung dan belum mengenal sebelumnya, tidak dapat membayangkan tingkat kemampuan Agung Sedayu. Mereka ternyata terlambat keluar dari perkemahan. Ketika mereka datang ke tempat para Senapati termasuk Pangeran Mangkubumi berkumpul, Agung Sedayu sudah tidak berbuat apa-apa lagi, karena orang-orang yang meluncurkan panah api itu sudah melarikan diri karena kedatangan Glagah Putih.

Namun yang terjadi itu, yang didahului oleh kehadiran dua orang penghubung dari induk pasukan, telah membuat sayap kiri itu semakin bersiaga. Glagah Putih yang kemudian kembali ke perkemahan telah melaporkan bahwa mereka telah mengusir beberapa orang yang telah mengganggu perkemahan itu.

“Sayang bahwa kami tidak dapat menangkap seorangpun di antara mereka. Pepohonan perdu, gerumbul-gerumbul liar dan gelapnya malam sangat membantu mereka,“ lapor Glagah Putih. Lalu katanya pula, “Apalagi nampaknya mereka sudah mengenai medan ini dengan baik.“

Yang terjadi itu juga menunjukkan kegigihan orang-orang Madiun mempertahankan diri. Nampaknya mereka pun telah bersiap dengan baik menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi.

Tetapi di sisa malam itu, sudah tidak terjadi sesuatu. Sekelompok prajuriti yang mengejar orang-orang yang tidak dikenal telah kembali pula. Mereka juga tidak berhasil menangkap seorangpun di antara mereka. Bahkan mereka menyadari, bahwa mereka telah terpancing menjauhi perkemahan, sehingga sekelompok yang lain telah sempat menyerang perkemahan itu dengan meluncurkan panah api.

Para petugas di dapur bahkan masih sempat tidur lagi meskipun hanya sebentar. Demikian pula para prajurit, kecuali yang bertugas.

Pagi-pagi benar, seperti biasanya maka para prajurit dan pengawal itu mulai terbangun. Bergantian mereka telah pergi ke sungai untuk mandi dan berbenah diri. Sementara itu di dapur para petugas sibuk menyiapkan makan bagi para prajurit dan pengawal, serta bekal di perjalanan.

Seperti yang direncanakan, maka ketika matahari terbit, pasukan telah bersiap semuanya. Para petugas di dapur pun telah mengemasi barang-barang mereka serta sisa bekal yang ada, untuk dibawa ke Madiun.

Perjalanan mereka sudah tidak terasa sangat jauh lagi. Hari itu mereka akan sampai di tempat yang ditentukan untuk membangun perkemahan terakhir sebelum mereka memasuki Madiun.

Perjalanan pasukan Mataram itu tidak mendapat hambatan apapun di perjalanan. Baik induk pasukan maupun sayap kiri dan sayap kanan. Penghubung yang terluka yang datang semalam, tidak tergesa-gesa kembali ke induk pasukan karena keadaannya. Mereka berada di sayap kiri dan ikut serta bersama-sama menuju ke Madiun. Atas izin Pangeran Mangkubumi, mereka akan melaporkan tentang tugas mereka di Madiun.

Dalam perjalanan, beberapa orang Senapati dan prajurit masih saja berbicara tentang Agung Sedayu. Mereka yang tidak sempat menyaksikan tidak dapat menolak, karena tidak hanya satu dua orang saja yang bercerita. Tetapi banyak sekali.

“Satu kebetulan,“ berkata seorang Senapati yang umurnya sebaya dengan Agung Sedayu, “ternyata orang itu tidak mampu berbuat apa-apa atas seseorang yang menyamainya dengan ledakan-ledakan cambuknya di malam pertama kita berkemah.“

“Tetapi Agung Sedayu pun selamat. Sekelompok orang yang menyusulnya melihat bahwa orang itu melarikan diri. Agung Sedayu bahkan langsung menuju ke padepokannya. Untunglah bahwa orang itu tidak mendendam kepada gurunya yang sedang sakit,“ jawab Senapati yang lain.

“Semuanya hanya omong kosong. Mereka selalu membesar-besarkan keberhasilan seseorang. Aku adalah seorang yang sebenarnya mempunyai kemampuan bidik tanpa tanding,“ berkata Senapati itu.

“Mungkin kau juga memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Tetapi itu bukan berarti memperkecil kemampuan Agung Sedayu. Kau berilmu tinggi, dan Agung Sedayu pun berilmu tinggi,“ jawab Senapati yang lain yang tidak ingin berselisih.

Kawannya itu terdiam. Namun tiba-tiba saja terbersit satu keinginan di hatinya untuk menunjukkan kepada kawan-kawannya, bahwa ia adalah orang yang terbaik dalam kemampuan bidik. Baik dengan busur dan anak panah, maupun dengan lembing atau bandil.

Tetapi ia masih menyimpan keinginannya itu. Ia ingin mendapatkan kesempatan yang baik. Tetapi ia ingin disaksikan oleh beberapa orang kawan-kawannya untuk menjadi saksi, bahwa ia adalah orang terbaik.

Seorang kawannya sempat membicarakannya dengan kawannya yang lain, sementara keduanya mengakui bahwa Senapati itu adalah seorang pelatih yang baik dalam ilmu memanah. Tetapi ia tidak akan dapat berbuat sebagaimana dilakukan oleh Agung Sedayu.

Ki Demang Selagilang yang sempat menemui Ki Gede Menoreh telah menyatakan kekagumannya pula. Katanya, “Bagaimana mungkin seseorang dapat berbuat seperti itu?“

Ki Gede Menoreh hanya tersenyum saja. Ia sendiri tidak tahu bagaimana hal itu terjadi.

“Apakah murid Orang Bercambuk yang ada di sayap kanan juga mempunyai kemampuan bidik seperti itu?“ bertanya Ki Demang Selagilang.

Ki Gede Menoreh tidak segera menjawab. Ia tahu kelemahan-kelemahan yang ada pada Swandaru. Namun Swandaru itu adalah menantunya.

Tetapi akhirnya Ki Gede menjawab dengan wajar. “Tidak Ki Demang. Murid Orang Bercambuk yang berada di sayap kanan tidak memiliki kelebihan-kelebihan sama seperti yang kita lihat pada Agung Sedayu. Murid Orang Bercambuk yang muda. Karena itu wajar jika muridnya yang tua memiliki kelebihan dari muridnya yang muda.“

Ki Demang mengangguk-angguk. Tetapi menurut gambaran angan-angannya, perbedaan antara kedua orang murid Orang Bercambuk itu tentu tidak akan terlalu banyak.

Sementara itu, iring-iringan prajurit dan pengawal yang tergabung dalam pasukan Mataram itu semakin lama menjadi semakin dekat dengan tujuan mereka. Perkemahan terakhir dari pasukan Mataram.

Pada saat itu, induk pasukan Mataram yang terdiri dari prajurit-prajurit Pajang beserta perbekalannya telah sampai ke tujuan. Pasukan yang datang lebih dahulu itu telah membangun perkemahan di sebelah Kali Dadung.

Pengawas dari Madiun yang melihat sekelompok prajurit telah membangun perkemahan di seberang Kali Dadung, telah melaporkannya kepada para pemimpin prajurit di Madiun. Namun mereka tidak dapat berbuat sesuatu. Menurut perhitungan mereka, induk pasukan dari Mataram itupun tentu akan segera datang. Jika Madiun menyergap prajurit-prajurit yang bersiap-siap membangun perkemahan itu dengan pasukan yang telah disiapkan, maka justru prajurit Madiun-lah yang akan terjebak.

“Kecuali jika kita sempat bergerak dengan kekuatan penuh,“ berkata seorang Senapati.

“Untuk itu diperlukan jalan yang panjang. Beberapa orang Adipati harus berbincang dahulu dengan Panembahan Mas. Sementara mereka mengambil keputusan, maka pasukan induk Mataram telah berada di perkemahan,“ sahut senapati yang lain.

Karena itu, maka pasukan Madiun telah melepaskan kemungkinan untuk menyerang pasukan yang datang lebih dahulu untuk mempersiapkan perkemahan. Bukan hanya bagi induk pasukan, tetapi juga bagi sayap-sayap pasukan yang tidak lagi harus berada pada jarak tertentu dengan induk pasukan. Tetapi sayap-sayap pasukan akan berada di perkemahan yang tidak terlalu jauh dari induk pasukan.

Mataram yang tahu pasti bahwa jumlah lawan jauh lebih besar dari jumlah prajurit Mataram, telah membuat satu perkemahan yang memanjang, yang memberikan kesan bahwa prajurit Mataram pun jumlahnya cukup banyak untuk mengimbangi jumlah pasukan Madiun.

Namun Mataran tidak dapat menyembunyikan keadaan yang sebenarnya. karena pasukan sandi Madiun ada dimana-mana. Bahkan ada pula di antara mereka yang ikut serta dalam iring-iringan pasukan Mataram. Meskipun demikian, para petugas sandi itu juga tidak mampu menangkap semua kenyataan yang ada di dalam pasukan yang besar itu, sehingga masih juga ada hal-hal yang tidak diketahui oleh para petugas sandi dari Madiun.

Demikianlah, pada hari itu juga, seluruh pasukan Mataram memang telah sampai ke perkemahan terakhir sebelum mereka benar-benar menyerang Madiun.

Namun pada hari itu juga Madiun telah bersiap pula. Para Adipati yang ada di Madiun bahkan yakin, bahwa Panembahan Senapati tidak akan dengan tergesa-gesa menyerang Madiun. Panembahan Senapati dari Mataram harus membuat perhitungan-perhitungan ulang tentang kenyataan yang dihadapinya di Madiun.

Sementara itu, para prajurit Madiun pun telah membuat perkemahan-perkemahan kecil yang tersebar di luar kota Madiun, sementara prajurit-prajurit dari beberapa Kadipaten telah siap menyambut serangan pasukan dari Mataram.

Tetapi Panembahan Senapati yang memimpin sendiri pasukannya, memang tidak tergesa-gesa. Sebagai seorang pemimpin yang memiliki pandangan jauh, maka Panembahan Senapati harus membuat perhitungan-perhitungan terakhir dengan orang yang banyak memberikan pendapat-pendapatnya. Ki Patih Mandaraka.

Pada hari-hari pertama, Panembahan Senapati justru membangun pertahanan-pertahanan yang kuat di perkemahannya. Jika pasukan Madiun menyerang dengan menyeberangi Kali Dadung, maka pasukan Mataram akan dapat memanfaatkan kesempatan saat pasukan itu berada di tengah-tengah arus Kali Dadung itu. Sebagaimana yang pernah terjadi dengan pasukan Jipang dalam perang Pajang melawan Jipang, Adipati Jipang yang marah tidak membuat perhitungan yang cermat saat ia menyeberangi Bengawan Sore. Sementara itu ketika Mataram berperang melawan Pajang, maka Mataram telah mengambil keuntungan dari kegarangan Kali Opak pula.

Kini Mataram masih juga ingin mempergunakan Kali Dadung sebagai perisai ketika mereka berkemah sebelum memasuki Madiun.

Tetapi Madiun nampaknya lebih percaya kepada kekuatan yang ada di Madiun. Mereka tidak menarik pasukannya maju ke seberang Kali Dadung menghadapi pasukan Mataram dengan memanfaatkan Kali Dadung itu.

Dalam pada itu, maka pasukan Mataram yang berada di sayap pun telah mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Meskipun mereka tidak melihat pasukan Madiun segelar sepapan di seberang Kali Dadung, namun pasukan Madiun itu dapat setiap saat keluar dari kota dan menyergap mereka.

Di malam hari, pasukan Mataram harus sangat berhati-hati. Mereka harus berjaga-jaga sebaik-baiknya, terutama menjaga perbekalan. Karena tanpa perbekalan, maka mereka tidak akan dapat bertahan untuk waktu yang mungkin akan terhitung lama.

Mataram ternyata telah membagi .perbekalan kepada sayap-sayap pasukannya. Menurut pendapat para pemimpin Mataram, maka hal itu akan menjadi lebih aman. Jika terjadi sesuatu dengan perbekalan, maka tidak semua perbekalan menjadi rusak.

Namun para prajurit dan pengawal dari Mataram, baik di induk pasukan maupun di sayap-sayapnya, telah membangun tempat-tempat pengawasan khusus untuk melindungi terhadap serangan-serangan panah berapi, sebagaimana pernah mereka alami sebelumnya.

Malam pertama mereka di perkemahan, memang tidak terjadi sesuatu. Di sayap kiri, Ki Gede, Agung Sedayu dan Glagah Putih hampir tidak tertidur semalam suntuk. Mereka yang masih belum tahu pasti keadaan di sekitarnya, merasa bahwa mereka benar-benar harus bersiap-siap menghadapi kemungkinan yang paling buruk sekalipun.

Ternyata bukan hanya Ki Gede yang berada di antara para pengawal yang bertugas. Tetapi Ki Demang Selagilang pun hampir semalam suntuk hilir mudik di antara para pengawalnya yang tertidur nyenyak, kecuali yang bertugas.

Bahkan Pangeran Mangkubumi pun setiap saat selalu menerima para Senapati yang menjadi pembantu-pembantu, khususnya untuk menerima laporan-laporan tentang keadaan seluruh pasukan.

Agaknya di induk pasukan serta di sayap kana npun para pemimpinnya selalu mengamati keadaan, yang bagi mereka mengandung banyak kemungkinan yang belum mereka ketahui.

Tetapi di segala bagian dari pasukan Mataram memang tidak terjadi sesuatu. Demikian pula di hari berikutnya. Pasukan Madiun masih belum menampakkan gerakan-gerakan yang dapat membahayakan kedudukan pasukan Mataram, meskipun dari seberang Kali Dadung, para pengamat dari Mataram melihat kesiagaan prajurit-prajurit Madiun di perkemahan-perkemahan kecil yang dipasang untuk mengamati pasukan Mataram.

Dalam pada itu, yang menjadi gelisah ternyata termasuk Kiai Gringsing di padepokannya. Meskipun ia sudah menjajagi kemampuan muridnya, tetapi ia masih saja memikirkan kemungkinan buruk yang dapat terjadi atasnya, bukan karena pasukan Madiun. Tetapi karena seorang yang pernah mendendamnya.

Ki Widura yang melihat Kiai Gringsing selalu gelisah, berusaha untuk meyakinkannya, bahwa Agung Sedayu sudah membawa bekal yang cukup.

“Ia akan berhati-hati,“ berkata Ki Widura, “bukankah Kiai sendiri telah meyakininya?“

“Kecemasan seorang yang mulai pikun,“ berkata Kiai Gringsing sambil menarik nafas dalam-dalam.

Namun sebenarnyalah, berita tentang kehadiran orang-orang Mataram itu telah diperhatikan oleh seorang yang mempunyai kepentingan sendiri. Namun dengan cerdik ia telah berhasil mengetahui bahwa Orang Bercambuk ternyata tidak ada di antara orang-orang Mataram. Seorang petugas sandi di Madiun yang berhasil menyusup di antara para petugas yang membantu mengangkut peralatan dan perbekalan, telah memberitahukan kepada kawan-kawannya sejak mereka berangkat dari Mataram, bahwa di sayap kiri terdapat seorang yang berilmu tinggi, murid dari Orang Bercambuk itu.

Pada saat-saat terakhir orang itu sempat meninggalkan surat di tempat yang diberinya pertanda sebagaimana pernah di sepakati bagi para petugas sandi dari Madiun. Satu berita khusus yang dipesankan oleh seseorang tentang Orang Bercambuk, yang mungkin akan berada di antara para pengawal dan prajurit Mataram.

Jalur itu ternyata sampai juga kepada orang itu. Orang yang mempunyai kepentingan khusus dengan Orang Bercambuk.

Namun orang itu sempat menjadi kecewa. Ia sudah cukup lama menunggu, bahkan kemudian ia telah mencari Orang Bercambuk itu ketika ia merasa ilmunya sudah sampai di puncak. Tetapi dua kali ia menunggu, dua kali Orang Bercambuk itu menghindar.

Bahkan ia telah mendapat ijin khusus dari para pemimpin di Madiun untuk mendapat kesempatan membuat perhitungan dengan Orang Bercambuk, seandainya Orang Bercambuk itu datang di antara orang-orang Mataram

Tetapi ternyata Orang Bercambuk itu tidak datang sebagaimana beberapa waktu laluu ia telah mengundangnya secara khusus.

Pideksa yang kemudian menyebut dirinya Ki Ajar Kumuda itu mengumpat kasar, ketika petugas sandi dari Madiun memberikan kabar itu kepadanya.

“Setan tua yang licik,“ geram orang itu, “aku sudah bersiap untuk membuat perhitungan atas ijin Panembahan Mas, di luar persoalan Mataram dan Madiun. Sebelum aku ikut melibatkan diri dalam pertentangan antara Mataram dan Madiun, aku ingin menyelesaikan persoalanku sendiri. Tetapi ia tidak mau datang. Buat apa aku mengurusi muridnya, betapapun ia disebut berilmu tinggi itu?“

Namun petugas sandi dari Madiun itu telah memberikan laporan khusus tentang Agung Sedayu. Murid Orang Bercambuk itu.

“Setiap orang telah menyebut namanya,“ berkata petugas sandi itu.

“Persetan dengan anak ingusan itu,“ berkata Ki Ajar Kumuda. “Aku sudah mempertimbangkan untuk datang ke padepokannya, meskipun aku tidak terbiasa merantau. Tetapi jika perlu aku akan pergi.“ Tetapi seorang muridnya berkata dengan ragu-ragu. “Guru sudah berkata bahwa tidak pantas Guru mencarinya. Guru akan memanggilnya dengan cara apapun agar orang itu datang menghadap Guru, sebelum Guru memberikan hukuman kepadanya.“

“Tetapi setan tua itu sangat licik,“ jawab Ki Ajar Kumuda, “agaknya ia lebih baik mati karena umurnya yang tua daripada harus membuat perhitungan dengan aku.“

“Tetapi Guru masih dapat mencobanya. Mungkin dengan paksa,“ berkata muridnya.

“Bagaimana aku dapat memaksanya jika aku tidak datang kepadanya?“ bertanya gurunya.

“Jika Guru membunuh muridnya, maka Orang Bercambuk itu tentu akan datang,“ berkata muridnya.

Ki Ajar Kumuda itu mengerutkan dahinya. Ia mulai berpikir untuk melakukannya. Tetapi ia masih memikirkan harga dirinya, bahwa ia harus membunuh anak-anak.

Muridnya agaknya mengerti keberatan gurunya. Karena itu, maka katanya, “Guru, jika Guru berkeberatan membunuh muridnya, biarlah aku membunuhnya. Gurunya tentu akan tertarik untuk datang membuat perhitungan.“

Ki Ajar Kumuda tidak segera menjawab. Dengan nada ragu Ki Ajar itu pun kemudian bertanya, “Apakah kau sudah siap untuk melakukannya?“

“Apakah Guru meragukan kemampuanku?“ bertanya muridnya, “Aku adalah murid tertua dari perguruan ini. Menurut Guru, aku sudah mewarisi sebagian besar dari ilmu yang Guru kuasai, dan yang menurut Guru akan dapat mengalahkan Orang Bercambuk itu. Menurut perhitunganku, murid Orang Bercambuk itu tidak akan mampu menyadap sebagian besar dari ilmu gurunya, karena ia masih harus bekerja buat kepentingan-kepentingan lain selain bagi perguruannya. Apalagi sekarang ia harus berada di antara pasukan Mataram atas nama pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Orang-orang semacam itu, tentu tidak akan dapat memusatkan perhatiannya bagi satu kepentingan tertentu, termasuk kepentingan perguruannya, karena ia ingin mendapat pujian di segala tempat. Sehingga dengan demikian maka tidak akan ada satu hal yang mapan baginya.“

Ki Ajar Kumuda termangu-mangu sejenak, Sementara itu petugas sandi dari Madiun yang menghubunginya telah memberikan keterangan tentang murid Orang Bercambuk itu. Menurut keterangan itu, murid Orang Bercambuk yang bernama Agung Sedayu itu adalah seorang yang masih terhitung muda. Tetapi ilmunya sudah sampai pada tataran yang sangat tinggi.

Tetapi murid tertua Ki Ajar Kumuda itu tertawa. Katanya kepada petugas sandi itu, “Apakah kau tahu ukuran ilmu kanuragan?“

Petugas sandi itu mengerutkan keningnya. Dengan nada tinggi ia berkata, “Kau mulai menghina aku? Kau kira aku sama sekali buta terhadap ilmu kanuragan?“

Ki Ajar Kumuda-lah yang memotongnya, “Sudahlah. Keteranganmu sangat kami hargai. Kami akan mengambil sikap untuk menanggapi hal ini.“

“Jawaban itu lebih baik bagiku, karena aku adalah petugas sandi dari Madiun. Seperti kalian dengan perguruan kalian, maka aku adalah satu di antara satu kesatuan besar yang mempunyai ikatan tertentu,“ berkata petugas sandi itu, yang kemudian berkata, “sebaiknya aku minta diri.“

Petugas sandi itu tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun segera meninggalkan padepokan itu.

“Kau jangan membuat persoalan dengan para petugas dari Madiun,“ berkata Ki Ajar Kumuda kepada muridnya sepeninggal petugas itu. “Ia sudah menolong kita untuk mendapat keterangan tentang Orang Bercambuk itu.“

Muridnya tidak menjawab. Tetapi ia tidak senang terhadap sikap petugas sandi yang menurut anggapannya terlalu memuji Orang Bercambuk dan muridnya itu.

Namun justru karena itu, maka niatnya untuk mengalahkan murid Orang Bercambuk itu menjadi semakin besar. Ia ingin membuktikan bahwa perguruannya adalah perguruan yang lebih besar dari perguruan Orang Bercambuk itu.

Sebenarnyalah bahwa dendam Ki Ajar Kumuda bukan saja karena persoalan yang pernah terjadi antara dirinya dengan Orang Bercambuk itu, yang hanya merupakan kilasan singkat dari seluruh jalan hidupnya. Namun sampai saat ia mencapai kemampuan yang dianggapnya tertinggi, maka masih ada kesan bahwa ia tidak dapat mengalahkan Orang Bercambuk itu. Bahkan saat-saat terakhir ia masih mendengar bagaimana Orang Bercambuk itu menyingkirkan orang-orang berilmu tinggi yang berpihak kepada Madiun, meskipun ada di antara mereka yang justru ingin memanfaatkan pertentangan yang terjadi antara Mataram dan Madiun.

Karena itu. jika ia berhasil menyingkirkan Orang Bercambuk itu, maka ia akan mendapatkan tempat yang terhormat di antara orang-orang berilmu tinggi, terutama dari angkatan tua. Kedudukannya akan semakin kuat, dan Panembahan Madiun akan berpaling kepadanya dari orang-orang berilmu tinggi yang selama ini mengerumuninya dan berusaha mendapatkan keuntungan dari persoalan yang timbul dengan Mataram.

“Aku-lah yang akan mendapat keuntungan terbesar jika aku berhasil membunuh Orang Bercambuk. Satu langkah yang selama ini belum pernah berhasil dilakukan oleh orang lain,“ berkata Ki Ajar itu di dalam hatinya.

Namun Ki Ajar Kumuda telah menentukan satu keputusan yang kemudian dikatakannya kepada muridnya. “Kita memang akan memaksa Orang Bercambuk itu datang. Tetapi kau jangan membunuh muridnya. Kau harus menangkapnya hidup-hidup. Dengan demikian maka kita akan memaksa Orang Bercambuk itu datang kemari untuk mengambil muridnya. Namun sudah tentu dengan syarat-syarat yang harus dipenuhinya.“

“Satu gagasan yang bagus,“ sahut muridnya. “Guru, aku akan megambil anak itu dari pasukannya.“

“Bagaimana hal itu akan kau lakukan?“ bertanya Ki Ajar Kumuda.

“Aku akan dapat menemui Kepala Tanah Perdikan Menoreh untuk mengucapkan tantangan. Sebagai seorang laki-laki, Agung Sedayu itu harus menerima tantanganku, atau namanya akan tercemar seumur hidupnya,“ jawab muridnya.

“Bagaimana jika pimpinannya tidak mengijinkannya karena tenaganya diperlukan di pasukannya?“ bertanya Ki Ajar itu pula.

“Aku akan menyinggung harga dirinya. Tetapi jika ia tetap tidak mau melayani aku sebagaimana gurunya tidak berani menerima undangan Guru, maka orang itu memang tidak pantas diperhatikan lagi. Baru kita akan pergi keluar sarang kita untuk menemui Orang Bercambuk itu di sarangnya. Satu hal yang tidak biasa Guru lakukan, karena Guru terbiasa memanggil orang-orang yang Guru perlukan. Bahkan orang akan datang memenuhi panggilan Guru, meskipun ia tahu bahwa ia akan dibunuh,“ jawab muridnya pula.

“Baiklah. Lakukanlah, Tetapi berhati-hatilah. Mungkin muridnya juga licik seperti gurunya. Kau akan dapat dijebak oleh orang-orangnya, para pengawal Tanah Perdikan Menoreh,“ berkata Ki Ajar.

“Aku justru akan menemui langsung pimpinan di sayap kiri itu, atau setidak-tidaknya Ki Gede Menoreh,“ berkata muridnya itu.

“Tetapi kau harus melakukannya dengan cepat, sebelum pecah perang yang sebenarnya,“ berkata Ki Ajar.

“Baik Guru,“ jawab muridnya, “jika Guru sudah mengijinkan, maka selambat-lambatnya lusa aku akan membawa orang yang disebut-sebut bernama Agung Sedayu itu kepada Guru.“

“Tetapi kau harus selalu berhati-hati. Berapa puluh kali akan aku ucapkan pesan itu, karena Agung Sedayu nampaknya memang orang yang berbahaya, sementara kau mempunyai sikap yang sedikit merugikan dirimu sendiri. Kau kadang-kadang merasa bahwa orang lain terlalu bodoh dan lemah.“ Gurunya berhenti sejenak, lalu, “Tetapi kali ini aku berpesan dengan sungguh-sungguh, jangan mengabaikan Agung Sedayu. Sekali lagi dan sekali lagi. Berhati-hatilah.“

Muridnya tertawa. Katanya, “Guru tidak pernah berpesan demikian bersungguh-sungguh seperti sekarang ini. Tetapi jangan cemas Guru. Aku memperhatikan semua pesan Guru dengan sungguh-sungguh pula.“

“Baik. Berangkatlah. Tetapi kau jangan seorang diri,“ berkata Gurunya.

Muridnya yang tertua itu pun kemudian minta diri untuk mengatur saudara-saudara seperguruannya yang akan dibawanya mengambil Agung Sedayu.

Demikianlah, seperti yang direncanakan, maka murid tertua Ki Ajar itu bersama dengan seorang saudara seperguruannya yang terbaik, yang dalam urutan para murid Ki Ajar adalah justru urutan yang ketiga, telah membicarakan tugas yang dibebankan kepadanya. Murid tertua itu tidak membawa saudaranya dari urutan kedua, karena selain menurut penilaiannya tidak lebih baik dari murid di urutan ketiga, juga karena kadang-kadang saudara seperguruannya di urutan kedua itu mempunyai sikap sendiri.

“Baiklah,“ berkata adik seperguruannya itu, “tetapi apakah kita akan mempersiapkan saudara-saudara kita yang lain?“

“Jangan menodai nama perguruan kita di hadapan perguruan Orang Bercambuk. Kita berdua harus dapat menyelesaikan persoalan ini. Kecuali jika mereka curang,“ berkata murid tertua.

“Itulah yang aku maksudkan,“ jawab adik seperguruannya, “bagaimana jika mereka curang, dan mengerahkan para pengawal mereka untuk menangkap kita?“

“Sebenarnya para pengawal itu tidak akan mampu menangkap kita,“ berkata yang tertua, “kita akan dapat melawan sambil menghindar.”

“Jika para pemimpin mereka, yang juga berilmu meskipun tidak terlalu tinggi?“ bertanya adik seperguruannya.

“Kita akan mengatasi mereka,“ jawab saudara tertua itu.

Demikianlali, mereka sepakat untuk berangkat berdua saja. Sementara itu kepada saudara seperguruannya pada urutan kedua, ia berpesan agar selalu menghadap Gurunya, karena murid yang tertua itu akan mengemban Lugas di luar padepokan.

“Kemana?“ bertanya saudara seperguruannya itu.

“Jika aku pulang, maka aku akan membawa sesuatu untukmu,“ jawab yang tertua.

Saudara seperguruannya hanya mengangguk-angguk saja. Ia tidak memaksa saudaranya yang tertua mengatakan, tugas apa yang sedang diembannya itu.

Murid tertua Ki Ajar itu memang tidak ingin menunda-nunda lagi. Ia ingin dengan cepat menyelesaikan tugasnya itu dengan baik.

Dengan penuh kesungguhan murid tertua Ki Ajar Kumuda itu berusaha untuk menyelesaikan tugasnya. Ia sadar sepenuhnya bahwa jika gurunya berhasil, maka gurunya tentu akan mendapat tempat yang paling baik di sisi Panembahan Madiun, dan di antara para Adipati yang telah datang ke Madiun untuk bersama-sama dengan Panembahan Madiun melawan Mataram. Sehingga sebenarnyalah apa yang dilakukan Ki Ajar Kumuda itu juga tidak lepas dari satu kepentingan pribadi untuk mengambil keuntungan dari persoalan yang timbul antara Mataram dan Madiun. Nampaknya perbedaan pendapat antara para pemimpin di Madiun dengan Mataram telah menyentuh sikap para pemimpin di Madiun kepada Orang Bercambuk, yang telah secara khusus datang ke Madiun dan mencoba mempergunakan pengaruh pribadinya terhadap pimpinan tertinggi di Madiun itu.

Hal itulah yang semakin mendorong Ki Ajar Kumuda untuk membuat perhitungan dengan Orang Bercambuk itu setelah ia merasa yakin akan ilmunya.

Demikianlah, maka murid Ki Ajar Kumuda itu berniat untuk datang keperkemahan pasukan Mataram di sayap kiri untuk menyatakan kepentingan pribadinya dengan murid Orang Bercambuk, tanpa menyentuh persoalan yang sedang membakar hubungan Mataram dan Madiun.

Dalam pada itu, maka di induk pasukan Mataram, Panembahan Senapati telah mempersiapkan serangan atas Kota Madiun. Dengan seluruh kekuatan yang ada, maka Mataram berniat langsung membentur pertahanan Madiun. Meskipun Panembahan Senapati menyadari, bahwa jumlah pasukannya jauh lebih kecil dari jumlah pasukan Madiun.

“Jangan tergesa-gesa melakukannya Ngger,“ Ki Patih Mandaraka masih berusaha mencegah.

“Kita tidak akan dapat menunggu pasukan Madiun melangkahi Kali Dadung. Kita tidak akan dapat memancingnya keluar sebagaimana Paman memancing Pamanda Arya Penangsang dari Jipang dahulu, kemudian menunggunya di atas tebing Bengawan Sore dengan tombak Kiai Pleret yang telanjang. Pamanda Panembahan Madiun nampaknya lebih berhati-hati, dan jantungnya tidak mudah terbakar seperti Pamanda Arya Penangsang,“ berkata Panembahan Senapati.

“Meskipun demikian, kita tidak akan mudah mengatasi jumlah prajurit yang sekian banyaknya yang telah berkumpul di Madiun,“ berkata Ki Patih Mandaraka.

“Besok atau sepekan lagi, kekuatan mereka tidak akan berkurang Paman,“ berkata Adipati Pati yang ada di induk pasukan itu pula, “karena itu, maka kita akan memanfaatkan orang-orang berilmu tinggi untuk menerobos jalan masuk ke Kota Madiun. Kita akan melakukannya dengan cepat dan tiba-tiba. Jika kita sudah berada di Kota, maka jumlah mereka yang sangat besar itu tidak akan dapat mereka pergunakan serentak. Kita akan bertempur di antara rumah-rumah dan jalan-jalan menuju ke Kadipaten. Kita tahu bahwa jalan ke alun-alun tentu bagaikan dipagari ujung tombak. Tetapi bertempur di dalam kota akan lebih baik daripada bertempur di tempat terbuka.“

“Angger benar.“ jawab Ki Patih Mandaraka, “tetapi untuk mencapai dinding Kota kita memerlukan waktu. Jarak dari tempat ini sampai pintu gerbang Kota memerlukan waktu, yang agaknya cukup panjang bagi pasukan Madiun untuk bergerak keluar dari Kota dan menyongsong kita, sehingga memaksa kita bertempur di tempat terbuka.“

“Jadi bagaimana menurut Paman?” bertanya Panembahan Senapati.

“Kita menunggu satu kesempatan yang baik,” jawab Ki Patih Mandaraka.

“Jadi kita masih harus menunggu dan menunggu? Bagaimana jika kesempatan yang baik itu tidak pernah datang?“ bertanya Adipati Pati.

Ki Patih Mandaraka tersenyum. Kedua orang pemimpin itu mengingatkannya kepada dua orang saudara seperguruannya yang telah mendahuluinya. Panembahan Senapati adalah anak Ki Gede Pemanahan, sedangkan Adipati Pati itu adalah anak Ki Penjawi, yang kedua-duanya mendapat tugas dari Kanjeng Sultan Pajang untuk menyelesaikan pertikaian antara Pajang dan Jipang. Namun yang akhirnya Adipati Jipang itu terbunuh oleh tangan Raden Sutawijaya, yang kemudian bergelar Panembahan Senapati itu. Namun kedua orang perwira Wira Tamtama Pajang itu tetap mendapatkan janji hadiah yang akan diberikan jika Arya Penangsang dapat diselesaikan. Ki Panjawi mendapatkan Pati, sementara Ki Gede Pemanahan mendapatkan Alas Mentaok, yang kemudian dibuka menjadi Mataram.

“Angger berdua,“ berkata Ki Patih Mandaraka, “aku mohon bahwa serangan atas Madiun tidak dilakukan dengan segera. Aku berjanji dalam waktu dekat untuk menemukan cara yang paling baik sebelum kita benar-benar menyerang Madiun. Sementara ini kita masih harus membenahi diri. Menyusun pasukan, khususnya pasukan induk ini. Kita manfaatkan pasukan khusus untuk melakukan gerakan-gerakan cepat yang menyesatkan perhatian pasukan Madiun, sementara pasukan yang lain akan dapat melakukan gerakan-gerakan yang dapat memaksa Madiun untuk menilai diri mereka kembali. “

Panembahan Senapati adalah prajurit linuwih. Demikian pula Adipati Pati, Adipati Grobogan, Demak, dan Pajang. Namun mereka memang memiliki keseganan terhadap Ki Patih Mandaraka, yang memiliki perhitungan yang sangat cermat menghadapi persoalan-persoalan besar. Caranya memecahkan persoalan yang kadang-kadang sulit dimengerti, memang sangat menarik.

Karena itu, maka Panembahan Senapati pun kemudian memutuskan untuk menunda serangan mereka atas Kota Madiun, meskipun sebenarnya ia sesuai dengan pendapat Adipati Pragola dari Pati, bahwa pasukan Mataram harus menerobos masuk ke dalam kota. Pertempuran di tempat-tempat yang sempit akan lebih banyak memberikan keuntungan bagi pasukan Mataram yang jumlahnya lebih kecil, namun yang secara pribadi telah ditempa dengan baik. Dengan pasukan khususnya, Mataram akan dapat mengacaukan pertahanan Madiun di dalam sarangnya.

Tetapi karena Ki Patih Mandaraka mencegahnya, maka Panembahan Senapati harus menyabarkan dirinya untuk satu dua hari.

Namun yang satu dua hari itu, telah terjadi peristiwa tersendiri di sayap kiri pasukan Mataram. Peristiwa yang menyangkut Agung Sedayu, yang kebetulan adalah murid dari Orang Bercambuk.

Orang-orang Mataram sendiri, dan karena itu juga para petugas sandi madiun di Mataram, tidak banyak menghiraukan Swandaru yang juga murid Orang Bercambuk. Swandaru masih belum pernah menunjukkan sesuatu yang mengejutkan karena kemampuan ilmunya. Untara yang berada di sayap yang sama dengan Swandaru, memang mengerti bahwa Swandaru secara pribadi memang mempunyai kelebihan, meskipun tidak setinggi Agung Sedayu.

Namun Swandaru masih harus mendapat bimbingan dalam pertempuran yang besar sebagaimana akan mereka hadapi itu. Ternyata bahwa Swandaru yang merasa dirinya besar, tiba-tiba saja merasa asing ketika ia telah berada di antara pasukan yang besar itu. Dengan demikian, maka Swandaru yang masih berusaha untuk menyesuaikan diri itu tidak banyak berbuat sesuatu di lingkungannya, kecuali menunggu dan menjalankan perintah sebaik-baiknya.

Seperti yang direncanakan, maka sesuatu yang mengejutkan telah terjadi di sayap kiri pasukan Mataram. Dua orang telah datang ke pasukan itu, demikian matahari terbit di hari berikutnya.

“Kami mohon kesempatan untuk bertemu dengan Ki Gede Menoreh,“ berkata yang tertua di antara kedua orang itu.

“Siapakah kalian?“ bertanya petugas yang berjaga-jaga di mulut perkemahan.

“Aku adalah Secaprana, dan ini adalah adikku Secabawa, dari perguruan Kumuda,“ jawab murid tertua dari Ki Ajar Kumuda itu.

“Untuk apa?“ bertanya yang bertugas.

“Kami mempunyai kepentingan pribadi. Mungkin kau akan tahu juga setelah aku sempat berbicara dengan Ki Gede Menorah,“ jawab orang itu.

Para penjaga di mulut perkemahan itu termangu-mangu.

Sementara orang itu berkata, “Ki Sanak. Kami hanya akan menyampaikan pesan. Kami tidak akan berbuat apa-apa. Apalagi kami hanya beddua saja.“

Tetapi para penjaga itu tidak dapat dengan serta merta membawa kedua orang itu memasuki perkemahan. Karena itu maka para penjaga itu pun kemudian mempersilahkannya menunggu. Seorang di antara para penjaga itu akan menyampaikannya kepada Ki Gede. “Kami tidak dapat berbuat begitu saja tanpa persetujuan para pemimpin dalam keadaan seperti ini.“

“Kami mengerti Ki Sanak,“ berkata Secaprana, “kami akan menunggu.”

Seorang di antara para petugas itu pun telah memasuki perkemahan dan langsung menuju ke perkemahan pasukan Tanah Perdikan Menoreh.

Agung Sedayu-lah yang menemui orang itu, dan bertanya apakah kepentingannya.

“Dua orang di luar perkemahan ingin bertemu dengan Ki Gede Menoreh,“ jawab petugas itu.

“Ki Gede?“ ulang Agung Sedayu.

“Ya. Terserah Ki Gede, apakah Ki Gede akan menemuinya atau tidak,“ jawab petugas itu.

Agung Sedayu memang tidak ingin mendahului sikap Ki Gede. Karena itu, maka iapun telah melaporkannya pula kepada Ki Gede.

Namun justru karena hal yang agak menarik perhatian itu, ternyata Ki Gede telah menyatakan bersedia untuk menerima orang itu. Tetapi bukan mereka yang dipersilahkan memasuki perkemahan. Namun Ki Gede-lah yang akan menemui mereka di luar perkemahan.

Kedua orang yang belum dikenal itu memang membuat Ki Gede menjadi berdebar-debar. Demikian pula Agung Sedayu dan Glagah Putih yang menyertainya.

Namun nampaknya kedua orang itu memang tidak ingin berbuat sesuatu. Sambil tersenyum-senyum kedua orang itu mengangguk hormat. Seorang di antara mereka bertanya, “Apakah aku berhadapan dengan Ki Gede Menoreh?“

“Ya Ki Sanak. Aku adalah Ki Gede Menoreh,“ jawab Ki Gede.

“Syukurlah bahwa Ki Gede Menoreh sendiri bersedia menerima kedatanganku,“ desis orang itu, yang kemudian katanya, “Ki Gede, perkenankanlah aku langsung menyatakan maksud kedatanganku. Aku adalah murid Ki Ajar Kumuda. Aku mendapat tugas untuk memanggil murid Orang Bercambuk yang bernama Agung Sedayu.“

Ki Gede terkejut. Sambil mengerutkan keningnya ia bertanya, “Ada apa dengan Agung Sedayu?“

“Guruku memerlukannya,“ jawab Secaprana.

“Apakah kau sudah mengenai orang yang bernama Agung Sedayu itu?“ bertanya Ki Gede. “Aku sendiri belum mengenalnya. Tetapi ia adalah murid Orang Bercambuk. Guru mempunyai kepentingan dengan orang itu.“

Ki Gede Menoreh termangu-mangu sejenak. Dipandanginya kedua orang yang nampaknya cukup hormat dan mengenai unggah-ungguh. Tetapi kemudian terasa bahwa ada sesuatu yang kurang wajar pada kedua orang itu.

“Ki Sanak,“ berkata Ki Gede Menoreh, “apa hubungannya antara gurumu dan Orang Bercambuk itu?“

“Tentu ada sesuatu. Karena itu, maka sebaiknya Agung Sedayu datang saja menghadap Guru. Guru akan menjelaskan hubungannya dengan Orang Bercambuk,“ jawab Secaprana.

“Saat ini Agung Sedayu memang berada di pasukan ini. Tetapi dalam rangka tugasnya yang penting. Karena itu, maka sebaiknya kau katakan saja kepada gurumu, bahwa dipersilahkan gurumu itu datang kemari. Aku akan menerimanya di sini,“ berkata Ki Gede Menoreh.

“Maaf Ki Gede,“ berkata Secaprana, “Guru tidak terbiasa pergi kemana-mana. Jika Guru berkepentingan dengan seseorang, maka Guru tentu memanggilnya.“

“Jika orang itu tidak sedang dalam tugas, aku tidak berkeberatan. Tetapi Agung Sedayu berada dalam tugas yang penting. Karena itu, ia tidak dapat meninggalkan perkemahan ini,“ berkata Ki Gede.

“Ki Gede,“ berkata Secaprana itu, “apakah aku dapat bertemu dan berbicara dengan Agung Sedayu?“

Ki Gede termangu-mangu sejenak. Tetapi Agung Sedayu-lah yang menyahut, “Silahkan Ki Sanak.“

Orang itu berpaling. Kemudian tersenyum sambil berkata, “Jadi kaukah Agung Sedayu itu?“

“Ya. Aku Agung Sedayu,“ jawab Agung Sedayu.

“Bagus,“ jawab orang itu, “aku sudah mengira bahwa Agung Sedayu memang seorang yang bertubuh sedang, berperawakan kokoh kuat, tanpa menonjolkan kekekaran daging dan otot-ototnya. Masih muda dan bermata tajam.“

“Katakan kepentinganmu,“ potong Agung Sedayu.

“Jangan terlalu garang. Kau tentu sudah mendengar bahwa kau telah dipanggil Guru,“ berkata Secaprana.

“Dan kaupun telah mendengar, bahwa Ki Gede, pimpinan pasukan dari Tanah Perdikan Menoreh, merasa keberatan,“ jawab Agung Sedayu.

“Persoalannya agak berbeda dengan persoalan yang kini tengah membakar Mataram dan Madiun. Persoalannya adalah persoalan dua perguruan,“ jawab Secaprana.

“Apapun persoalannya, tetapi aku tidak akan pergi menemui gurumu. Dipersilahkan gurumu datang ke perkemahan ini. Kami akan menerima dengan baik,“ jawab Agung Sedayu.

“Baiklah aku berterus terang,“ berkata Secaprana, “Guru mempunyai persoalan dengan Orang Bercambuk.“

“Apakah gurumu akan mengirimkan pesan bagi guruku?“ bertanya Agung Sedayu.

“Tidak,“ jawab Secaprana, “dua kali guruku menunggu kedatangan Orang Bercambuk. Tetapi ia tidak datang. Karena yang sekarang ada adalah muridnya, maka kau dipanggil oleh guruku untuk mengambil alih tanggung jawab gurumu. Sebaiknya kau tidak usah menolak, karena guruku tidak terbiasa melepaskan begitu saja orang yang menolak perintahnya.“

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa ternyata ia telah berhadapan dengan persoalan lain. Persoalan antara gurunya dan guru orang itu.

Namun dalam pada itu, Ki Gede-lah yang menjawab, “Sudahlah. Kembalilah kepada gurumu, dan katakan jawaban kami.“

Tetapi Secaprana itu menggeleng. Katanya, “Tidak Ki Gede. Kami mendapat perintah, bahwa kami harus kembali bersama Agung Sedayu.“

“Agung Sedayu tidak aku ijinkan meninggalkan perkemahan ini,“ jawab Ki Gede.

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja suaranya menjadi berat, “Ki Gede. Jika Agung Sedayu tidak mau pergi bersamaku, maka aku terpaksa mempergunakan cara lain.“

“Kau akan memaksanya justru di perkemahannya? Kau tahu akibat dari perbuatanmu itu?“ berkata Ki Gede.

Orang itu tertawa. Katanya, “Aku sudah memperhitungkan kemungkinan ini. Jika Ki Gede tidak mengijinkan, maka aku akan mempergunakan cara seorang laki-laki.“

“Cara seorang laki-laki?“ bertanya Ki Gede.

“Ya. Aku tantang Agung Sedayu berperang tanding. Jika aku kalah, aku batalkan niatku membawanya ke padepokan. Tetapi jika ia kalah, ia harus tunduk kepadaku,“ berkata Secaprana.

“Jika salah seorang di antara kalian mati?“ bertanya Ki Gede.

“Memang itu adalah akibat yang dapat saja terjadi,“ berkata Secaprana pula, “tetapi aku harap bahwa aku akan dapat membawa Agung Sedayu hidup-hidup kepada guruku. Kecuali jika murid Orang Bercambuk itu, sebagaimana gurunya, adalah betina pengecut.“

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Carilah kata-kata yang paling menyakitkan hati. Aku tahu, kau ingin menyinggung harga diriku agar aku bersedia melakukannya.“

Wajah orang itu menjadi metah. Dengan nada kasar ia berkata, “Jadi kau memang tidak berani melakukannya? Jadi kau benar-benar pengecut yang tidak berharga?“

“Kau tidak perlu mencari-cari kata seperti itu,“ berkata Agung Sedayu, “kau tidak dapat memaksaku jika aku memang tidak bersedia, sebagaimana kau katakan tentang guruku.“

“Jawab tantanganku sekarang,“ geram orang itu.

Agung Sedayu ternyata tidak seperti dibayangkan oleh Secaprana. Ia tidak membentak kasar dan berteriak. Tetapi Agung Sedayu justru tersenyum sambil berkata, “Kau tidak berhak dan tidak dapat memerintah aku. Aku bukan murid gurumu. Aku bukan bawahanmu dan aku bukan muridmu.“

“Setan kau Agung Sedayu,“ geram orang itu, “kau tidak menjawab tantanganku.“

“Memang lebih baik kau menantangku daripada menakut-nakuti dan mencoba untuk menyinggung harga diriku. Segala cara tidak akan dapat kau trapkan untuk memaksaku,“ jawab Agung Sedayu pula.

“Cukup!“ bentak orang itu.

Agung Sedayu justru tertawa. Bahkan Ki Gede pun menjadi agak bingung menanggapi sikap Agung Sedayu itu. Hanya Glagah Putih-lah yang dapat mengerti, bahwa Agung Sedayu tidak mau dipancing kemarahannya. Justru ialah yang telah berhasil membuat lawannya marah dan kehilangan kendali.

Baru sejenak kemudian Agung Sedayu itu pun berkata, “Apa sebenarnya yang telah terjadi antara guruku dan gurumu?“

“Itu urusan mereka. Tetapi guruku sudah bertekad untuk membuat perhitungan dengan gurumu. Namun gurumu yang licik itu tidak pernah berani memenuhi undangan guruku,“ berkata Secaprana.

“Soalnya bukan karena guruku licik dan tidak mau memenuhi undangan gurumu. Tetapi tidak pantas gurumu memanggil guruku. Sikap sombong gurumu itulah yang tidak dapat diterima oleh guruku. Bahkan aku pun tidak akan memenuhinya. Tetapi karena kau sudah datang kepadaku sekarang, maka aku akan menanggapi tantanganmu,“ jawab Agung Sedayu.

“Agung Sedayu,“ potong Ki Gede.

“Maaf Ki Gede. Aku tidak dapat menolak tantangannya, justru karena ia sudah datang kepadaku. Tetapi aku tidak akan bersedia datang memenuhi panggilan gurunya,“ jawab Agung Sedayu.

“Jika kau kalah, kau harus datang ke padepokanku,“ geram orang itu.

“Jika itu syaratmu, aku menolak,“ berkata Agung Sedayu, “aku akan berperang tanding, tanpa syarat untuk datang ke padepokanmu.“

“Kau gila,“ geram orang itu.

“Jika kau tidak bersedia menerima syaratku, aku tidak akan menerima tantanganmu,“ jawab Agung Sedayu.

“Ternyata kau lebih gila dari yang aku duga,“ kemarahan orang itu justru semakin memuncak.

“Aku hanya menerima tantanganmu. Kalah atau menang, aku tidak akan pergi ke padepokanmu. Aku tahu, bahwa kau dan gurumu ingin mempergunakan aku untuk memaksa guruku datang ke padepokanmu. Dengan menguasai aku, maka kau dan gurumu berharap bahwa Guru akan datang.“

“Persetan kau,“ geram orang itu, “sekarang, tunjukkan kepadaku, dimana kita akan berperang tanding. Di sini, di tengah-tengah perkemahanmu, atau dimana saja yang paling aman bagimu. Jika kau kalah, maka kau akan dapat memanggil orang-orangmu untuk mengeroyokku.“

“Ki Sanak,“ berkata Agung Sedayu, “aku sudah mengagumi cara yang kau tempuh. Kau datang hanya berdua menemui aku untuk menantangku. Aku pun tidak akan merendahkan diriku dengan cara yang licik. Karena itu, maka aku akan menerima tantanganmu di tempat yang tidak diketahui oleh para pengawal dan prajurit Mataram. Aku hanya akan membawa seorang saksi, sebagaimana kau juga membawa seorang saksi. Aku percaya bahwa kau tidak akan menjebakku dengan cara apapun juga, menilik kesombonganmu dan gurumu, bahkan perguruanmu.“

“Cukup!“ bentak orang itu, “Atau kau sengaja memperpanjang umurmu dengan pembicaraan yang panjang lebar tanpa arti itu?“

“Baik,“ berkata Agung Sedayu, “marilah. Kita akan pergi dari perkemahan ini. Kita akan mencari tempat yang baik untuk melakukan perang tanding. Kita akan turun ke sungai di sebelah, dan kita tentu akan menemukan tempat itu.“

Orang itu termangu-mangu sejenak. Tetapi kemudian matanya telah menyala.

Sementara itu Ki Gede Menoreh yang cemas bertanya kepada Agung Sedayu, “Kenapa kau terima tantangan itu? Apakah itu bukan satu jebakan?“

“Orang itu sudah datang ke perkemahan ini Ki Gede,“ jawab Agung Sedayu, “sementara itu, aku akan pergi bersama Glagah Putih. Ia akan menjadi saksi. Jika orang itu curang karena membawa sekelompok orang-orang berilmu tinggi, maka Glagah Putih akan sempat memberikan isyarat. Kami akan membawa panah sendaren.“

“Bagus,“ potong orang itu, “bawalah isyarat. Jika kau kalah, aku tidak keberatan kau panggil orang-orangmu.”

Agung Sedayu tidak menghiraukannya. Iapun kemudian minta kepada Glagah Putih untuk mengambil panah sendaren dan membawanya.

Ki Gede tidak kuasa lagi mencegahnya. Ia tahu sifat Agung Sedayu. Meskipun kadang-kadang ia sulit untuk mengambil keputusan yang cepat, namun iapun termasuk orang yang sulit untuk mengorbankan harga dirinya, apalagi harga diri perguruannya, jika ia sudah mulai merasa tersinggung.

Namun ternyata Agung Sedayu itu masih berpesan, “Ki Gede. Aku mohon hal ini tidak diketahui oleh orang lain, apapun yang terjadi atas diriku. Panah sendaren itu pun hanya diketahui oleh Ki Gede, dan barangkali Prastawa. Namun aku berharap bahwa orang itu tidak akan berbuat curang, menilik sikap sombongnya.“

“Berhati-hatilah Agung Sedayu,“ pesan Ki Gede.

“Aku akan berhati-hati Ki Gede,“ jawab Agung Sedayu.

Glagah Putih yang kemudian membawa panah sendaren pun kemudian telah mendapat beberapa pesan dari Ki Gede.

Demikianlah, empat orang itu pun kemudian telah meninggalkan perkemahan. Semakin lama semakin jauh. Mereka menuju ke tanggul sebuah sungai yang mengalir di sebelah padang perdu itu.

“Ternyata kau bukan seorang yang berhati baja sebagaimana sikapmu yang sombong,“ geram Secaprana.

“Kenapa?“ bertanya Agung Sedayu.

“Kau ternyata telah dibebani keragu-raguan, bahkan ketakutan, karena kau merasa perlu membawa panah sendaren,“ berkata orang itu.

“Kau kira panah sendaren itu perlu bagiku? Jika aku membawanya, justru untuk menahan agar Ki Gede tidak mengirimkan orang yang akan dapat menggangguku. Dengan membawa panah sendaren, maka ia tidak akan merasa perlu mengirimkan orang untuk mencariku dan mengganggu perang tanding di antara kita, jika aku tidak melontarkannya,“ jawab Agung Sedayu.

Secaprana mengerutkan keningnya. Namun ia tidak berkata apa-apa lagi.

Sejenak kemudian keduanya serta kedua orang yang menyertai mereka telah hilang di balik tanggul sungai. Sementara itu, keempat orang itu masih menyusuri sungai beberapa patok lagi. Setelah mereka melewati sebuah kelokan, maka mereka mendapatkan tepian sungai yang agak lebar, dan nampaknya tempat itu jarang sekali dijamah kaki orang.

“Kita sudah menemukan tempat yang baik,“ berkata Secaprana.

Agung Sedayu pun berhenti sambil berkata, “Aku sudah siap. Tetapi ingat, aku tidak akan mau pergi ke padepokanmu, apapun alasannya. Kau tahu arti kata-kataku.“

“Ya,“ jawab Secaprana, “kau ingin mati.”

“Aku tidak ingin mati. Tetapi jika kau-lah yang mati, itu adalah tanggung jawabmu sendiri,“ berkata Agung Sedayu pula.

Orang itu menggeretakkan giginya.. Namun iapun masih bertanya, “Siapa saksimu yang masih kanak-kanak itu?”

“Sepupuku,“ jawab Agung Sedayu.

“Apakah ia juga murid Orang Berambuk?“ bertanya Secaprana pula.

“Tidak,“ jawab Agung Sedayu pendek.

“Bagus. Siapapun saksimu, ia akan dapat berbicara tentang perang tanding ini. Saksiku adalah adik seperguruanku,“ geram orang itu.

Agung Sedayu segera mempersiapkan dirinya. Ia sadar bahwa ia berhadapan dengan seorang yang tentu sudah cukup banyak menimba ilmu. Karena itu, maka iapun harus sangat berhati-hati. Apalagi gurunya selalu berpesan bahwa ia tidak boleh merendahkan lawannya, siapapun orangnya. Bahkan orang yang tidak berilmu sekalipun. Karena setiap orang akan mempunyai kekuatan dan kelemahannya masing-masing.

Sementara itu, Secaprana pun berkata, “Agung Sedayu. Masih ada kesempatan terakhir. Jika kau pergunakan kesempatan ini, maka kau akan tetap hidup. Jika tidak, maka kau akan mati. Aku adalah murid utama dari Ki Ajar Kumuda. Aku sudah mewarisi hampir semua kemampuan Guru.“

“Kita akan menguji,“ berkata Agung Sedayu, “perguruan manakah yang terbaik, antara Perguruan Orang Bercambuk dan Perguruan Kumuda.“

“Bersiaplah,“ geram Secaprana, “ternyata kau memang sangat sombong.”

“Aku sudah bersiap sejak tadi,“ jawab Agung Sedayu.

Jantung Secaprana memang sudah menjadi panas sejak mereka masih ada di perkemahan. Jawaban-jawaban Agung Sedayu yang sengaja memancing kemarahan lawannya, justru karena ia tidak mau terpancing dan menjadi marah, benar-benar telah mampu membakar isi dada lawannya.

Sejenak kemudian, maka Secaprana pun mulai bergerak. Namun ia masih berpesan kepada adik seperguruannya, “Kau menjadi saksi, bagaimana aku menangkap murid Orang Bercambuk yang sombong ini.“

Adik seperguruannya berdiri termangu-mangu. Sekali-sekali dipandanginya Glagah Putih yang menurut penglihatannya memang masih sangat muda. Namun sikapnya menunjukkan bahwa anak muda itu pun tentu berilmu tinggi.

Sejenak kemudian, Secaprana itu pun mulai melangkah mendekati Agung Sedayu, sementara Agung Sedayu pun telah bersiap menghadapinya.

Di perkemahan, Ki Gede memang menjadi cemas. Tetapi ketika ia melihat Glagah Putih membawa panah sendaren. hatinya memang agak menjadi tenang. Jika perlu. Glagah Putih tentu akan melepaskan panah sendarennya.

Namun karena itu, Ki Gede telah memerintahkan Prastawa untuk bersiap dengan sekelompok pengawal berkuda, yang siap untuk berpacu di padang perdu itu.

Namun seperti yang dipesankan oleh Agung Sedayu. Ki Gede memang tidak melaporkan hal itu kepada para pemimpin di sayap kiri itu, agar tidak menimbulkan persoalan, bahkan mungkin kegelisahan.

Prastawa yang sudah mendapat beberapa pesan itu memang sudah mempersiapkan diri untuk bertindak. Tetapi ia masih harus menunggu perintah.

Sementara itu, Agung Sedayu dan Secaprana sudah mulai saling menjajagi. Keduanya berlandaskan ilmu yang jarang ada duanya. Namun keduanya tidak dengan serta merta sampai ke tingkat tertinggi dari lapisan kemampuan mereka.

Untuk beberapa saat keduanya masih berputaran. Sekali-sekali Secaprana mulai menyerang. Namun kemudian Agung Sedayu-lah yang berganti menyerang. Semakin lama semakin cepat dan semakin keras.

Ketika pertempuran itu menjadi semakin cepat, maka mereka masing-masing mulai meningkatkan ilmu mereka. Mereka mulai mempergunakan kekuatan cadangan mereka selapis demi selapis, sehingga kemudian keduanya telah mendekati kemampuan tertinggi mereka.

Glagah Putih dan Secabawa memperhatikan kedua orang yang sedang bertempur itu dengan seksama. Mereka melihat lapisan-lapisan ilmu yang saling dilepaskan. Namun nampaknya keduanya tidak tergesa-gesa, sehingga untuk beberapa saat lamanya keduanya nampaknya bagaikan seimbang.

Secaprana yang telah sampai ke lapisan yang tertinggi dari tataran ilmunya mulai merasakan, betapa murid Orang Bercambuk itu memiliki kemampuan yang tinggi. Dengan serangan-serangan yang cepat dan keras, Secaprana belum berhasil menyentuh tubuh murid orang Bercambuk itu. Karena itu, maka Secaprana terpaksa meningkatkan selapis lagi ilmunya, sehingga hampir sampai ke puncak.

Agung Sedayu memang merasakan tekanan yang semakin berat. Serangan Secaprana terasa semakin cepat. Bahkan semakin lama Agung Sedayu semakin terdesak. Tetapi yang dilakukan Agung Sedayu masih belum seluruhnya.

Karena itu, maka ketika ia meningkatkan lagi kemampuannya selapis tipis, maka keadaan mereka mulai menjadi seimbang lagi.

“Setan ini benar-benar memiliki kemampuan yang tinggi,“ berkata Secaprana di dalam hatinya. Dengan serangan yang cepat dan keras, Agung Sedayu masih saja berhasil menghindar. Bahkan dengan tangkasnya meloncat menyerang kembali. Tangannya bergerak berputaran. Sekali terayun, sekali mematuk lurus ke arah bagian tubuhnya yang berbahaya.

“Aku harus mulai menunjukkan kekuatan yang sebenarnya dari perguruan Kumuda,“ desis orang itu lebih lanjut, yang ditujukan kepada dirinya sendiri.

Karena itu, maka sejenak kemudian, Secaprana itu telah meloncat mengambil jarak. Sambil mempersiapkan dirinya, maka Secaprana berkata, “Agung Sedayu. Ternyata bahwa kau memang pantas menyebut dirimu murid Orang Bercambuk.“

Agung Sedayu tertegun sejenak. Menilik sikapnya, maka murid Ki Ajar Kumuda yang tertua itu sudah siap melepaskan ilmu andalannya. Karena itu, maka Agung Sedayu pun memang harus berhati-hati. Mungkin ia akan menghadapi sesuatu yang tiba-tiba saja, sehingga ia tidak sempat berbuat apa-apa menghadapinya.

Dengan demikian, maka Agung Sedayu pun telah mulai mengetrapkan ilmunya pula. Ilmu yang paling lunak bagi lawannya, karena sifatnya yang sekedar melindungi diri. Ilmu kebal.

Sementara itu murid dari perguruan Kumuda itu pun telah mempersiapkan ilmunya. Ilmu yang memiliki banyak kelebihan dari kebanyakan ilmu.

Tetapi murid tertua dari perguruan Kumuda yang merasa bahwa perguruannya adalah perguruan terbaik itu telah mulai dari lapisan dasar ilmunya. Tapak Prahara.

Karena itu, Secaprana itu tidak langsung melibat Agung Sedayu ke dalam lingkaran ilmunya. Namun Agung Sedayu mulai merasakan bahwa serangan-serangan Secaprana yang kemudian dilontarkan mempunyai pengaruh yang berbeda.

Secaprana itu seakan-akan mampu bergerak lebih cepat, lebih tangkas, dan ayunan tangannya menjadi semakin terasa berat. Angin yang menyambar tubuhnya oleh getar gerak Secaprana memang terasa menampar tubuh Agung Sedayu. Namun tubuh itu sudah dilindungi oleh ilmu kebal, sehingga meskipun Agung Sedayu dapat merasakan sentuhan-sentuhan yang mengenai tubuhnya, namun tidak menyakitinya.

Secaprana memang mencoba mengamati lawannya. Sambaran-sambaran serangannya yang semakin cepat masih mampu dihindari oleh Agung Sedayu. Bahkan ketika Secaprana mulai menunjukkan dasar gerak ilmunya yang sebenarnya, Agung Sedayu tidak terperosok ke dalam putaran yang sangat berbahaya itu.

“Orang ini memang luar biasa,“ desis Secaprana. Bahkan kemudian ia bertanya, “Agung Sedayu. Apakah kau pernah mengenal ilmu Tapak Prahara?“

“Apakah kau melihat kemungkinan itu?“ justru Agung Sedayu bertanya pula.

“Setan kau,“ geram Secaprana sambil meningkatkan ilmunya.

Agung Sedayu meloncat surut ketika Secaprana dengan mengetrapkan ilmunya Tapak Prahara menyerangnya. Dengan garang ia melibat Agung Sedayu dengan kemampuan yang tinggi. Tangannya yang terayun-ayun mengerikan menimbulkan sambaran angin yang keras, menerpa tubuh Agung Sedayu yang berloncatan menghindar.

Secabawa memang ikut menjadi tegang. Ia memang menyadari bahwa saudara seperguruannya itu berilmu tinggi. Namun ternyata Agung Sedayu masih mampu mengimbanginya pula. Serangan-serangan yang, garang dari ilmu Tapak Prahara seakan-akan tidak mampu menembus pertahanan Agung sedayu yang rapat sekali.

Glagah Putih yang sudah sering melihat Agung Sedayu bertempur dalan tataran ilmunya yang sangat tinggi, masih menganggap bahwa yang dilakukan oleh Agung Sedayu itu adalah sekedar mengimbangi kemampuan ilmu Secaprana. Agung Sedayu sendiri nampaknya belum berniat untuk dengan cepat mengalahkan lawannya.

Namun serangan Secaprana semakin lama menjadi semakin cepat. Bukan saja tangannya, tetapi kakinya pun telah ikut serta membangun serangan-serangan yang garang. Selain berloncatan melontarkan tubuhnya berputaran, maka sekali-sekali serangan kaki Secaprana mengarah ke bagian tubuh Agung Sedayu yang berbahaya. Namun Agung Sedayu masih saja selalu mampu menghindarinya.

Tetapi ternyata bahwa pada suatu ketika Agung Sedayu tidak saja selalu menghindari serangan-serangan lawannya. Mekipun Agung Sedayu masih belum berniat untuk dengan serta merta mengalahkan lawannya, namun ia ingin juga menunjukkan bahwa Secaprana masih harus membuat perhitungan-perhitungan yang lebih matang jika ia ingin mengalahkan Agung Sedayu.

Karena itu, Agung Sedayu yang masih saja lebih banyak menghindar dan sekali-sekali menyerang, telah mencoba untuk membenturkan kekuatannya. Dengan tanpa harus meningkatkan kekuatannya sampai ke puncak, maka Agung Sedayu telah mencoba untuk dengan langsung menjajagi kekuatan lawannya.

Ketika lawannya menyerangnya bagaikan prahara, Agung Sedayu masih mencoba menghindar surut. Namun dengan garang lawannya itu memburunya. Sebuah serangan yang dahsyat dan sepenuh tenaga telah dilontarkannya di antara serangan-serangan praharanya. Tangan Secaprana terayun mendatar mengarah ke kening Agung Sedayu.

Agung Sedayu tidak menghindar. Ia sadar, bahwa Secaprana telah bersiap untuk melontarkan serangan kakinya. Karena itu, maka iapun telah dengan sengaja membentur ayunan tangan lawannya yang mengarah ke kening.

Sebuah benturan keras memang telah terjadi. Secaprana merasakan belapa tangannya bagaikan membentur dinding besi, sehingga tulang-tulangnya bagaikan menjadi retak. Bahkan Secaprana telah terdorong selangkah surut karena kekuatannya sendiri yang bagaikan memental balik.

Namun ternyata bahwa Secaprana itu telah bertindak cepat. Sekali lagi ia meloncat dengan serangan kaki yang sangat kuat.

Agung Sedayu yang masih di tempatnya tidak menghindari serangan itu. Sekali lagi ia membentur serangan Secaprana yang mengerahkan segenap kekuatannya.

Akibatnya memang lebih parah bagi Secaprana. Ia sempat melupakan sakit pada tangannya yang membentur kekuatan Agung Sedayu, karena ia justru menghentakkan kekuatannya untuk menyerang dengan kakinya. Tetapi ketika serangan kakinya itulah yang membentur kekuatan Agung Sedayu, maka Secaprana itu bagaikan terlempar beberapa langkah surut. Murid tertua Ki Ajar Kumuda itu telah kehilangan keseimbangannya dan jatuh berguling di pasir tepian.

Secaprana memang segera bangkit. Namun ia masih harus menyeringai menahan sakit pada tangan dan sekaligus kakinya. Ternyata dengan ilmunya Tapak Prahara yang dibanggakannya itu, ia tidak mampu mengalahkan Agung Sedayu.

Namun Secaprana belum sampai ke puncak. Ia masih mampu meningkatkan serangannya. Ia tidak lagi akan mempergunakan ilmunya dengan tangan wantahnya. Namun tiba-tiba saja Secaprana itu telah menarik pedangnya. Pedang yang khusus diterimanya dari gurunya.

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Pedang itu adalah pedang yang lurus dan tajam di kedua sisinya. Ujungnya runcing tajam berwarna agak kebiru-biruan.

“Pedang yang sangat bagus,“ desis Agung Sedayu.

“Aku terpaksa membunuhmu,“ geram Secaprana, “apa boleh buat. Semula aku tidak ingin bersungguh-sungguh. Tetapi kau tidak tahu diri. Dengan sombong kau merasa bahwa kau akan dapat mengalahkan aku.“

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia telah bersiap menghadapi segala kemugkinan. Ia tidak dapat begitu saja mempercayakan diri pada ilmu kebalnya, menilik senjata lawannya yang agaknya memiliki kelebihan dari pedang kebanyakan.

“Mana senjatamu, murid Orang Bercambuk?“ teriak Secaprana, “Jangan mati tanpa senjata di tangan.“

Agung Sedayu menarik nafas panjang. Sebenarnya ia masih belum merasa perlu untuk mempergunakan senjatanya menghadapi Secaprana. Namun ia memang tidak boleh merendahkannya. Pedang yang bagus bergabung dengan ilmu yang pada dasarnya adalah ilmu yang tinggi, yang disebutnya Tapak Prahara itu, lawannya tentu akan merupakan lawan yang sangat berbahaya.

Karena itu, maka sambil berdiri tegak di atas kakinya yang renggang, Agung Sedayu mengurai senjatanya. Sebuah cambuk.

“Bagus,“ desis Secaprana sambil mengangguk-angguk, “dengan demikian maka kau adalah murid Orang Bercambuk sepenuhnya. Sebaiknya kau mati sambil menggenggam cambukmu.“

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi iapun telah bersiap ketika Secaprana melangkah mendekatinya.

“Kau akan menyesal murid Orang Bercambuk. Tapak Prahara akan lebih nampak dalam ilmu pedangku yang tidak ada duanya di muka bumi ini. Bersiaplah,“ geram Secaprana.

Agung Sedayu masih tetap berdiam diri. Namun ia sudah bersiap sepenuhnya menghadapi lawannya.

Demikianlah, sejenak kemudian serangan Secaprana datang bergulung-gulung seperti badai yang dahsyat menghantam tebing. Namun Agung Sedayu dengan tangkasnya selalu mampu menghindari serangan-serangan itu. Meskipun ia sudah memegang cambuknya, namun Agung Sedayu memang akan menguji seberapa jauh Secaprana menguasai ilmu praharanya.

Namun ternyata bahwa ilmu prahara Secaprana itu masih belum mampu mengimbangi kemampuan Agung Sedayu setelah mengetrapkan ilmunya memperingan tubuh. Tubuhnya bagaikan mangapung tidak menyentuh tanah, berputaran dan melingkar-lingkar. Sekali justru melenting dan berputar di udara, menggeliat dan meloncat tinggi-tinggi.

Secaprana benar-benar telah dibakar oleh kemarahan yang menyala-nyala di dadanya. Dihentakkannya seluruh kemampuannya untuk dapat menggapai lawannya. Tetapi ternyata Secaprana tidak mampu melakukannya.

“Iblis kau,“ geram Secaprana sambil mengayunkan pedangnya mendatar mengarah ke leher Agung Sedayu.

Tetapi Agung Sedayu masih sempat mengelak, sehingga terlepas dari sentuhan ujung pedang yang mengerikan itu.

Namun dengan tiba-tiba saja Agung Sedayu kemudian telah menghentakkan cambuknya. Demikian kerasnya sehingga suara ledakannya bagaikan telah meruntuhkan langit. Ternyata Secaprana terkejut, sehingga ia telah meloncat beberapa langkah surut. Ketika ia berdiri tegak dengan ujung pedang bergetar, maka ia melihat Agung Sedayu masih berdiri di tempatnya sambil tersenyum.

“Kau terkejut?“ bertanya Agung Sedayu.

Agung Sedayu justru tertawa ketika ia mendengar orang itu mengumpat kasar dan berkata, “Kau ledakkan ujung cambukmu dekat telingaku.“

“Pada kesempatan lain ujung cambukku akan menyentuh telingamu,“ sahut Agung Sedayu.

Secaprana termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menggeram. “Sekarang bersiaplah untuk mati. Jika kau ingin memanggil kawan-kawanmu, saatnya adalah sekarang. Lontarkan panah sendarenmu.“

“Aku tidak akan melontarkannya,“ jawab Agung Sedayu. Lalu katanya, “Sekarang, marilah kita selesaikan persoalan kita. Apapun yang dapat terjadi.“

Secaprana menggeram. Ia benar-benar merasa terhina oleh murid Orang Bercambuk itu. Ternyata murid Orang Bercambuk itu mampu mengatasi ilmu Tapak Prahara yang dibanggakannya. Ia masih mempunyai harapan. Perpaduan ilmu pedangnya yang tinggi dengan ilmu Tapak Prahara akan dapat menundukkan murid Orang Bercambuk yang sombong itu.

Dengan demikian maka Secaprana itu pun telah melangkah maju sambil menggeram, “Aku sudah sampai pada tahap akhir dari pertempuran ini.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia sudah menunggu.

Sejenak kemudian, maka sekali lagi Secaprana telah melandanya dengan ilmu praharanya yang membuat ilmu pedangnya semakin mengerikan. Pedang yang memang memiliki kelebihan dari kebanyakan pedang itu berputaran dengan dahsyatnya. Terayun, mematuk dan menebas sehingga seakan-akan telah berubah menjadi berpasang-pasang pedang.

Namun Agung Sedayu yang memiliki kemampuan yang seakan-akan dapat memperingan tubuhnya itu sempat menghindarinya dengan cepat pula, mengatasi kecepatan gerak Secaprana.

Tetapi Secaprana itu pun sekali lagi terkejut. Bukan karena ledakan cambuk Agung Sedayu yang justru belum terdengar lagi, karena Agung Sedayu masih saja sekedar menghindari ilmu Tapak Prahara itu. Namun Secaprana yang merasa ujung senjatanya berhasil menyentuh tubuh Agung Sedayu, tetapi Agung Sedayu sama sekali tidak menghiraukannya. Bahkan ketika Secaprana bergeser surut untuk mengambil jarak. ia sama sekali tidak melihat luka di tubuh murid Orang Bercambuk itu.

“Setan kau,“ geram Secaprana. Namun ia masih belum yakin bahwa lawannya memiliki ilmu kebal. Karena itu, maka sekali lagi ia meloncat menyerang dengan garangnya. Ia memang ingin membuktikan, apakah Agung Sedayu benar memiliki ilmu kebal.

Tetapi Agung Sedayu yang sudah menguasai sampai pada tingkat terakhir dari ilmu utama perguruan Orang Bercambuk itu tidak banyak mengalami kesulitan. Karena itu, maka iapun masih saja berloncatan menghindar. Bahkan ketika ia mulai membunyikan cambuknya lagi, maka orang itu menjadi semakin sulit.

Bahkan kemudian ujung cambuk Agung Sedayu itu benar-benar telah menyentuh kulit Secaprana. meskipun hanya seujung rambut pada lengannya. Namun lengan baju Secaprana telah koyak dan kulitnya pun telah terluka.

“Iblis kau,“ Secaprana mengumpat. Namun serangannya justru semakin dahsyat. Ia sudah sampai pada puncak kemampuannya. Bukan saja pedangnya yang berputaran, tetapi Secaprana sendiri telah berputaran mengitari Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu mampu bergerak lebih cepat, sehingga setiap kali Agung Sedayu telah berada di luar lingkaran Tapak Prahara yang dahsyat itu.

Bahkan kemudian, ketika Agung Sedayu sudah merasa cukup lama bertempur serta sudah mengetahui puncak kemampuan lawannya, maka iapun berniat untuk mengakhiri pertempuran. Karena itu, maka iapun telah berusaha menembus ilmu Tapak Prahara itu dengan ujung cambuknya.

Sekali lagi Agung Sedayu telah mengenai Secaprana dengan ujung cambuknya di betisnya. Dari lukanya darah mulai menitik. Semakin lama semakin deras. Ketika Secaprana tidak berniat mundur dari medan, maka Agung Sedayu telah menggapainya sekali lagi. Justru di pundaknya.

Secaprana mengumpat-umpat kasar. Tetapi ia tidak dapat menolak kenyataan, bahwa darahnya memang sudah tertumpah.

Secabawa yang menyaksikan pertempuran yang kemudian menjadi berat sebelah itu menjadi sangat tegang. Namun ketika ia bergerak mendekat, Glagah Putih pun telah bergerak pula.

“Apakah kau akan ikut campur?“ bertanya Glagah Putih.

Secabawa termangu-mangu. Namun ia tidak akan dapat membiarkan kakak seperguruannya mengalami kesulitan. Bahkan akan dapat membawa nyawanya.

“Kau tidak usah ikut campur anak ingusan,“ geram Secabawa, “kau lebih baik diam untuk menjadi saksi.“

“Jika kau turut campur, maka perang tanding ini tidak berarti lagi. Bahkan seandainya aku melepaskan panah sendaren ini pun aku tidak berbuat curang,“ berkata Glagah Putih.

Secabawa termangu-mangu sejenak. Glagah Putih memang membawa panah sendaren.

Namun ternyata sekali lagi Secaprana dikenai oleh ujung cambuk Agung Sedayu. Bahkan agak lebih parah, sehingga Secaprana telah terdorong beberapa langkah surut. Kulit di lambungnya telah tergores oleh luka, meskipun lambungnya tidak menganga.

Secaprana menjadi gemetar oleh kemarahan yang membakar jantung. Namun ia tidak dapat menghindari kenyataan bahwa Agung Sedayu memang seorang yang berilmu tinggi. Karena itulah agaknya gurunya berpesan berulang kali, agar ia berhati-hati menghadapi murid Orang Bercambuk itu.

Tetapi yang dicemaskan oleh gurunya itu sudah terjadi. Beberapa goresan luka telah silang melintang di tubuhnya. Meskipun tidak terlalu dalam, tetapi darah yang mengalir semakin banyak telah menguras tenaganya.

Dalam kebimbangan, maka orang-orang yang berada di tepian itu telah dikejutkan oleh suara tertawa yang bagaikan menelusuri tebing. Ketika mereka berpaling ke arah sumber suara itu, mereka melihat seseorang berdiri di atas tanggul sungai itu sambil bertolak pinggang. “Kau memang luar biasa Agung Sedayu,“ berkata orang itu.

Agung Sedayu termangu-mangu memandang orang itu. Sementara Secaprana dan Secabawa hampir berbareng berdesis. “Guru.“

“Nah Secaprana,“ berkata Ki Ajar Kumuda, “bukankah sudah aku peringatkan berkali-kali. Kau harus berhati-hati menghadapi murid tertua Orang Bercambuk itu. Menurut laporan setiap orang yang pernah mengenalnya, Agung Sedayu adalah orang yang berilmu tinggi. Sekarang kau sudah membuktikannya sendiri bahwa Agung Sedayu memang berilmu tinggi.“

Secaprana tidak dapat menjawab lain kecuali berdesis. “Ya Guru.“

“Kau tidak akan dapat menang,“ berkata gurunya.

“Ya Guru,“ jawab Secaprana pula.

“Meskipun kau pergunakan pedang Kiai Sungsang sekalipun,“ sambung gurunya.

Secaprana hanya dapat menundukkan wajahnya. Sementara itu darah masih saja mengalir dari luka-lukanya.

“Secabawa,“ berkata Ki Ajar Kumuda, “bantulah kakakmu mengobati luka-lukanya.“

Secabawa termangu-mangu. Sekali-kali ia memandang Glagah Putih sekilas, sebagaimana Secaprana berpaling pula ke arah Agung Sedayu.

“Mereka akan memberimu kesempatan,“ berkata Ki Ajar Kumuda.

Agung Sedayu dan Glagah Putih memang tidak beranjak dari tempatnya ketika Secabawa kemudian membantu Secaprana berjalan menepi dan mengobati luka-lukanya.

Sementara itu Ki Ajar Kumuda yang masih berdiri di atas tanggul itu pun bertanya, “Anak Muda, apakah kau membawa panah sendaren?“

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun kemudian jawabnya. “Ya. Aku membawa panah sendaren.“

“Bagus,“ berkata Ki Ajar Kumuda. Lalu katanya pula, “Aku adalah Ki Ajar Kumuda. Aku datang untuk mengambil murid Orang Bercambuk itu. Aku memerlukannya sampai gurunya datang untuk mengambilnya. Namun sudah barang tentu dengan syarat. Jika ia dapat mengalahkan aku.“ Orang itu berhenti sejenak, lalu katanya “ Jika kau ingin melepaskan panah sendaren itu, lakukanlah. Mungkin kalian memang memerlukannya. Meskipun kedatangan kawan-kawanmu tidak akan dapat membebaskan murid Orang Bercambuk itu. “

“Ki Ajar,“ berkata Agung Sedayu, “kau tidak usah mengharapkan kedatangan Guru. Aku sendiri sanggup membebaskan diriku. Agaknya memang sudah waktunya aku tidak lagi tergantung kepada guruku. Semakin tua umur guruku, maka aku pun menjadi semakin dituntut untuk mandiri.“

“Bagus,“ geram Ki Ajar Kumuda, “aku memang sudah menduga bahwa murid Orang Bercambuk akan bersikap demikian, meskipun kau masih terhitung muda dibandingkan dengan murid-muridku. Tetapi pada saatnya kau harus melihat kenyataan sebagaimana dialami oleh murid-muridku sekarang. Bahwa kau harus menyerah dan tunduk atas semua perintahku.“

Agung Sedayu justru tertawa. Katanya, “Ki Ajar. Kau yang sudah menjadi semakin tua tentu tidak akan dapat ingkar, bahwa dukungan wadagmu atas ilmumu sudah menjadi susut, sebagaimana juga Guru. Guru telah mengajarku, bagaimana aku harus berhadapan dengan orang-orang tua sebagaimana kau. Kau masih saja mengira bahwa kau masih sebagaimana kau lima tahun yang lalu, pada saat kemampuan wadagmu masih belum susut, sementara ilmumu berada di puncak. Tetapi sekarang. Ilmumu mungkin masih tetap pada batas tertinggi dari kemungkinan yang dapat kau gapai. Tetapi wadagmu bukan wadagmu lima tahun yang lalu.“

“Kau memang anak pintar,“ sahut Ki Ajar Kumuda, “yang kau katakan itu memang benar. Mungkin gurumu memang mengajarimu. Namun aku masih tetap berada pada puncak kemampuanku, sehingga betapapun tinggi ilmu yang pernah kau warisi dari gurumu, tetapi kau masih tetap seorang anak ingusan bagiku.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Jika demikian maka pertemuan itu akan sangat menguntungkan aku. Aku akan dapat menyadap ilmu Ki Ajar yang tinggi untuk menjadi bahan peningkatan ilmuku yang masih sangat rendah ini.“

“Itukah cara perguruan Orang Bercambuk berbasa-basi?“ bertanya Ki Ajar, yang katanya kemudian, “Sudahlah. Sekarang kau tinggal memilih. Ikut bersamaku, atau aku harus menangkapmu dengan kekerasan. Perlakuan atasmu sudah tentu akan berbeda.“

“Aku sudah mengatakan, bahwa aku akan membebaskan diriku sendiri dengan caraku,“ jawab Agung Sedayu.

Ki Ajar itu menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya, “Kau memang seorang pemberani. Tetapi menurut pendapatku, kau bukannya seorang pemberani yang sebenarnya. Kau berani menghadapi aku karena aku belum mengenal aku dan tidak tahu batas kemampuanku.“

“Mungkin Ki Ajar,“ berkata Agung Sedayu, “tetapi apapun yang sebenarnya ada pada diriku, namun aku tidak akan menerima tawaranmu. Kedua-duanya.“

“Kau mulai menjengkelkan aku Orang Muda,“ berkata Ki Ajar, “tetapi agaknya kau memang memerlukan sedikit peringatan, agar kau menyadari dengan siapa kau berhadapan.“

Agung Sedayu tidak menjawab. Ia menyadari sepenuhnya bahwa Ki Ajar Kumuda adalah seorang yang berilmu sangat tinggi. Namun iapun tidak mau merendahkan ilmu dari perguruannya. Apapun yang akan terjadi, maka ia harus berpijak pada harga dirinya sebagai murid Orang Bercambuk.

Dengan demikian maka kedua orang itu telah mempersiapkan dirinya. Ki Ajar Kumuda yang masih berada di atas tanggul itu pun segera meloncat turun sambil berdesis, “Untunglah aku tidak melepaskan murid-muridku menemuimu Agung Sedayu, sehingga mereka tidak harus menjadi korban kegarangan Perguruan Orang Bercambuk.“

“Bukan aku yang mencarinya. Tetapi muridmu-lah yang mencari aku. Dan itu adalah tanggung jawabmu,“ jawab Agung Sedayu.

“Ya. Apa yang akan aku lakukan adalah satu pertanggungan jawab,“ jawab Ki Ajar Kumuda.

Agung Sedayu tidak menjawab, sementara Ki Ajar Kumuda pun melangkah semakin dekat sambil berkata, “Kau sudah menggenggam senjata andalan dari perguruanmu. Jangan kau simpan. Kau tentu memerlukannya. Untuk dapat memberikan sedikit pelajaran kepadamu, maka aku agaknya juga memerlukan senjata. Pertahanan cambukmu terlalu rapat. Aku tentu tidak akan dapat menembusnya tanpa senjata apapun.“

Agung Sedayu masih tetap berdiam diri. Namun ia memang melihat lawannya telah menarik pedangnya. Pedang yang mirip sekali dengan pedang Secaprana.

Karena Agung Sedayu agaknya memperhatikan pedang itu, maka Ki Ajar Kumuda berkata, “Pedang ini memang mirip sekali dengan pedang muridku itu. Namanya sama, Kiai Sungsang. Pedang muridku juga bernama Kiai Sungsang. Namun karena pedang muridku itu lebih muda dari pedangku, maka pedang muridku itu mendapat nama Kiai Sungsang Anom.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Sementara Ki Ajar Kumuda bertanya, “Apakah cambukmu itu juga mempunyai nama?“

“Tidak,“ jawab Agung Sedayu, “cambukku cambuk biasa saja. Terbuat dari janget rangkap tiga dengan karah-karah baja. Tidak ada yang aneh.“

“Yang aneh kau sendiri,“ sahut Ki Ajar Kumuda, “kenapa kau harus berlaku demikian sombong menghadapi aku? Gurumu saja mungkin tidak akan berani bersikap sebagaimana kau lakukan.“

“Itulah bedanya antara aku dan guruku,“ jawat Agung Sedayu.

“Kau memang iblis kecil,“ geram Ki Ajar Kumuda Namun kemudian katanya, “Bagus. Orang-orang muda memang haus akan pengalaman dalam hidupmu. Sayang, bahwa jika kau menempuh cara yang kau lakukan sekarang. pengalamanmu akan tidak mempunyai arti lagi.“

Agung Sedayu menjawab singkat, “Apapun yang akan terjadi.“

Ki Ajar Kumuda merasa bahwa tidak ada gunanya lagi untuk berbicara panjang kepada orang muda itu. Karena itu, maka iapun segera mempersiapkan senjatanya yang mendebarkan itu. Apalagi di tangan seorang yang berilmu sangat tinggi.

“Kita akan segera mulai, Orang Muda,“ desis Ki Ajar sambil memutar pedangnya.

Agung Sedayu bergeser surut. Ia seakan-akan melihat sesuatu yang tidak wajar pada putaran pedang lawannya. Pedang itu seolah-olah telah berubah menjadi urutan pedang yang tersusun dalam satu putaran. Puluhan pedang, berjajar.

“Satu permainan awal,“ berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.

Ki Ajar Kumuda yang melihat Agung Sedayu bergeser surut tertawa. Katanya, “Kau melihat sesuatu yang tidak kau mengerti?“

“Ya,“ jawab Agung Sedayu jujur.

“Bahkan gurumu pun mungkin tidak dapat mengerti pula,“ Ki Ajar tertawa semakin keras.

Namun Agung Sedayu sudah bersiap sepenuhnya. Ia harus dapat mengatasi kesulitan-kesulitan yang bakal dihadapinya. Dan iapun sadar sepenuhnya bahwa kesulitan-kesulitan itu akan beruntun datang banyak sekali.

Hampir di luar sadarnya ketika kemudian Agung Sedayu menghentakkan cambuknya sehingga ledakannya seakan-akan meruntuhkan tebing.

Tetapi Ki Ajar Kumuda sama sekali tidak terpengaruh karenanya. Katanya, “Gembala di padang rumput pun dapat meledakkan cambuk mereka keras-keras. Namun sama sekali tidak berisi.“

Agung Sedayu tidak menjawab. Ia justru meledakkan cambuknya sekali lagi. Lebih keras. Tetapi justru membuat Ki Ajar tertawa semakin panjang.

Sejenak kemudian, maka Ki Ajar pun telah melangkah mendekat. la telah memutar pedangnya lebih cepat, sehingga di mata Agung Sedayu nampak pedang yang berjajar dalam lingkaran yang membentuk perisai yang kuat.

Agung Sedayu memang bergeser lagi surut. Namun ia sadar, bahwa ia harus mengetrapkan semua ilmu yang dimilikinya. Gurunya sama sekali tidak pernah merasa berkeberatan, karena ilmu yang ada di dalam dirinya justru akan saling mendukung.

Karena itu, Agung Sedayu pun telah mengetrapkan ilmu kebalnya, ilmu meringankan tubuh, dan iapun kemudian telah mengetrapkan ilmunya Sapta Panggraita. Dengan demikian, maka iapun dapat melihat dengan ketajaman penggraitanya, putaran pedang yang sebenarnya di tangan Ki Ajar Kumuda itu. Bukan sekedar melihat dengan ketajaman matanya, meskipun berlandaskan ilmu Sapta Pandulu.

Dengan demikian. maka Agung Sedayu pun mampu memperhitungkan kemungkinan untuk menembus putaran pedang itu dengan serangan-serangan cambuk berdasarkan ilmu cambuknya.

Tetapi ternyata Ki Ajar Kumuda tidak segera meloncat menyerang. Tetapi ia masih saja berusaha untuk mengacaukan penglihatan Agung Sedayu atas putaran senjatanya yang dilakukan dengan tidak sewajarnya itu. Namun Ki Ajar kurang tanggap, bahwa Agung Sedayu telah mampu mengatasi kesulitan yang pertama itu.

Beberapa saat Ki Ajar Kumuda memutar pedangnya sambil melangkah maju. Pedang yang diberinya nama Kiai Sungsang, yang memang merupakan pedang yang sangat baik, sebagaimana pedang muridnya. Bahkan justru lebih tua buatannya.

Namun Ki Ajar Kumuda itu terkejut ketika tiba-tiba saja justru Agung Sedayu-lah yang telah menyerangnya dengan hentakan cambuknya.

Cambuk Agung Sedayu itu meledak dengan kerasnya. Namun yang mengejutkan Ki Ajar, ujung cambuk itu justru sempat menyusup di antara putaran pedangnya. Hampir saja menggapai hidungnya, sehingga Ki Ajar yang terkejut itu dengan serta merta telah meloncat surut.

Namun, demikian kakinya menyentuh tanah, maka iapun telah menjulurkan pedangnya lurus ke depan dengan tubuhnya yang miring. Satu kakinya merendah pada lututnya, sementara kakinya yang lain ditarik sedikit ke belakang.

Agung Sedayu melangkah selangkah maju. Ia melihat sikap lawannya dengan sangat berhati-hati. Ia pernah melihat berbagai macam sikap serta unsur gerak dari berbagai macam ilmu menurut jalur perguruan masing-masing. Namun sikap ini pernah juga dilihatnya ditunjukkan oleh Ki Jayaraga.

Glagah Putih pun mengerutkan keningnya. Namun Ki Jayaraga tidak pernah menyatakan sikap itu sebagai sikap yang terbaik kepada Glagah Putih, yang telah menjadi muridnya pula. Tetapi sebagai seorang yang pernah mengembara, maka Ki Jayaraga dapat mengambil keuntungan dari berbagai macam unsur gerak untuk memperkaya ilmunya, yang kemudian diturunkannya kepada Glagah Putih.

Beberapa saat Agung Sedyu menunggu. Baru kemudian ia melihat Ki Ajar Kumuda itu bergeser.

“Ilmu cambukmu sudah memadai, orang muda,“ berkata Ki Ajar Kumuda, “meskipun belum berbobot, namun kau memiliki kecepatan gerak yang cukup tinggi.“

“Terima kasih atas pujian ini Ki Ajar,“ berkata’ Agung Sedayu, “mudah-mudahan tidak hanya pada langkah-langkah pertama saja aku mampu melayani Ki Ajar.“

“Nampaknya kau sudah berhasil memecahkan permainanku yang pertama. Namun itu bukan berarti bahwa kau akan dapat mengatasinya,“ berkata Ki Ajar pula.

Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Tetapi ia sudah bersiap menghadapi kemungkinan-kemungkinan berikutnya.

Namun agaknya Ki Ajar itu masih mencoba dan mencoba lagi untuk mengacaukan penglihatan Agung Sedayu atas permainan pedangnya. Karena itu maka Ki Ajar itu pun telah menggerakkan pedangnya mengembang, kemudian memutarnya. Yang nampak memang jajaran pedang yang bergerak patah-patah, seakan-akan jajaran berpuluh pedang. Bekas gerakan pedang itu. tidak segera hilang dari penglihatan, dan bahkan gerakan ulang yang dilakukan Ki Ajar sempat membingungkan lawannya.

Tetapi dengan ketajaman panggraitanya, maka Agung Sedayu dapat menangkap gerak yang sebenarnya dari pedang lawannya. Ia selalu dapat mengetahui, dimana pedang lawannya yang sebenarnya itu.

Karena itu, ketika berpuluh pedang itu berputaran, rnaka ia dapat melihat satu di antaranya, justru yang sebenarnya, menyambar lengannya.

Ki Ajar memang hanya ingin mengganggunya dengan sentuhan ujung pedang pada lengan Agung Sedayu.

Tetapi Ki Ajar itu terkejut. Ternyata Agung Sedayu dapat dengan tepat menghindarinya. Bahkan sekali lagi cambuk itu meledak dengan kerasnya memekakkan telinga.

Ki Ajar bergeser selangkah surut. Sementara Agung Sedayu pun telah berusaha mengambil jarak pula. Sebenarnya Agung Sedayu ingin mencoba kemampuan ilmu kebalnya menghadapi ujung pedang lawannya yang nampaknya memang mempunyai kelebihan dari pedang kebanyakan itu. Tetapi niat itu diurungkan. Ia merasa belum perlu menunjukkan kepada lawannya, bahwa ia memiliki ilmu kebal.

“Kau memang luar biasa,“ desis Ki Ajar. “Kau bukan saja murid yang baik dari perguruan Orang Bercambuk, tetapi kau mempunyai ketajaman penglihatan batin, tidak hanya dengan mata wadagmu, sehingga kau mampu menghindari sentuhan ujung pedangku.“

Agung Sedayu tidak menjawab. la berdiri saja sambil menggenggam tangkai cambuknya erat-erat, sementara tangan kirinya memegangi ujung juntainya.

Sikap Agung Sedayu memang meyakinkan sebagai murid terbaik dari perguruan Orang Bercambuk itu.

Namun dengan demikian maka Ki Ajar Kumuda menjadi lebih berhati-hati. Ternyata ia tidak dapat menganggap murid Orang Bercambuk itu sebagai orang-orang baru dalam dunia olah kanuragan yang garang, sebagaimana murid-muridnya.

Dari pengenalannya sepintas, maka ia percaya bahwa seperti dikatakan orang, Agung Sedayu adalah seorang yang berilmu tinggi, yang bahkan telah menguasai sebagian besar dari ilmu perguruan Orang Bercambuk.

“Kedudukan orang itu memang agak berbeda dengan Secaprana dalam perguruanku,“ berkata Ki Ajar itu di dalam hatinya, “ternyata Secaprana belum menguasai kemampuan yang pantas bagi perguruan Kumuda, sedangkan Agung Sedayu ini telah mencapai tataran yang jauh lebih tinggi. Karena itulah maka ia telah yakin akan dapat membebaskan dirinya sendiri.“

Namun demikian, menurut Ki Ajar Kumuda, sejauh kemampuan yang dapat disadap oleh Agung Sedayu, tentu masih jauh dari tingkat ilmu gurunya, Orang Bercambuk. Karena itu, maka Ki Ajar masih merasa yakin akan dapat menangkap Agung Sedayu dan membawanya ke padepokannya, untuk memanggil gurunya agar bersedia datang.

Tetapi Ki Ajar sempat juga melihat keadaan muridnya. Meskipun Secaprana telah mengobati luka-lukanya, namun nampaknya ia masih belum dapat berbuat sesuatu. Tubuhnya masih nampak lemah, sehingga kemudian Secaprana itu terduduk di atas pasir tepian, sedangkan Secabawa berdiri di sampingnya sambil mengawasi pertempuran antara gurunya melawan Agung Sedayu.

Di sisi lain, Glagah Putih pun telah memperhatikan pertempuran itu dengan saksama. Tetapi ia tidak boleh lengah. Sekali-sekali ia harus memperhatikan Secabawa dan Secaprana yang meskipun sudah terluka, namun akan dapat berbuat sesuatu yang mengejutkannya. 

Sementara itu, pertempuran masih berlangsung di tepian. Ki Ajar Kumuda telah meloncat menyerang Agung Sedayu dengan pedangnya yang bergetar mengerikan. Ternyata Ki Ajar Kumuda yang tua itu telah menguasai ilmu pedang yang sangat tinggi. Apalagi setelah ia melihat Agung Sedayu yang dengan mudah dapat mengalahkan muridnya, maka Ki Ajar itu tidak merasa perlu menjajagi kemampuan lawannya yang masih terhitung muda itu dari awal. Ledakan-ledakan cambuk Agung Sedayu yang bagaikan memecahkan selaput telinga itu sama sekali tidak dihiraukannya, meskipun Ki Ajar selalu berusaha untuk menghindari sentuhan juntai cambuk itu. Dengan kemampuan ilmu pedangnya maka Ki Ajar Kumuda berusaha untuk menembus pertahanan ilmu cambuk Agung Sedayu, sebagaimana Agung Sedayu juga bersaha menembus pertahanan Ki Ajar Kumuda.

Untuk beberapa saat mereka saling berloncatan, menyerang dan bertahan. Sekali-sekali mereka berputaran, namun kemudian berloncatan surut untuk mengambil jarak.

Ki Ajar Kumuda mulai digelitik oleh kemampuan lawannya serta kecepatan geraknya. Betapapun tangkasnya seseorang, tetapi tanpa kemampuan ilmu yang seakan-akan mampu memperingan tubuhnya, tidak akan dapat bergerak secepat Agung Sedayu.

Namun Ki Ajar itu juga berlandaskan ilmu Tapak Prahara yang nggegirisi.

Dengan ilmunya Tapak Prahara, maka Ki Ajar Kumuda itu memang mampu bergerak cepat pula. Seperti angin prahara yang bergelora melanda sasarannya. Menghantam dan kemudian memutar dengan dahsyatnya.

Demikian pula serangan Ki ajar Kumuda dengan pedangnya yang luar biasa itu. Kilatan-kilatan yang menggertakkan jantung memancar susul menyusul, memantul dari daun pedang yang berwarna kebiru-biruan.

Namun sementara itu, ujung cambuk Agung Sedayu semakin sering pula meledak dengan suara yang bagaikan memecahkan langit. Tetapi ledakan-ledakan cambuk itu sama sekali tidak mencemaskan lawannya, karena bagi Ki Ajar Kumuda, ledakan-ledakan itu sama sekali tidak berarti.

Meskipun demikian, Ki Ajar tidak dapat mengabaikan ujung cambuk Agung Sedayu yang akan dapat menyentuh kulitnya.

Dalam pertempuran yang semakin cepat, maka Agung Sedayu pun telah semakin meningkatkan kemampuannya pula. Namun justru karena itu maka ledakan-ledakan cambuknya pun menjadi bagaikan diredam. Suaranya tidak lagi meledak bagaikan memecahkan selaput telinga. Tetapi justru karena itu, maka getaran yang timbul oleh ledakan-ledakan ujung cambuk itu, bagaikan telah menghentak-hentak dada.

Ki Ajar Kumuda telah meloncat untuk mengambil jarak. Sementara Agung Sedayu tidak memburunya. Tetapi ia berdiri tegak menunggu segala kemungkinan yang dapat terjadi.

Ki Ajar Kumuda berdiri termangu-mangu. Dipandanginya Agung Sedayu yang masih terhitung muda itu. Hampir di luar sadarnya Ki Ajar itu pun berkata, “Luar biasa Agung Sedayu. Ternyata kau belum sampai ke puncak ilmumu. Aku kira, kau telah menyerap sampai kemamanmu yang tertinggi. Ternyata dalam keadaan yang memaksa, kau masih mampu meningkatkan ilmumu. Ledakan ujung cambukmu telah memberikan isyarat kepadaku, bahwa kau memang memiliki kematangan ilmu yang kau sadap dari perguruan Orang Bercambuk. Karena itu, maka sudah sepantasnya bahwa kau merasa dirimu akan dapat membebaskanmu.“

“Aku memang merasa bahwa aku tidak boleh selalu bergantung kepada guruku, Ki Ajar,“ jawab Agung Sedayu.

“Bagus,“ sahut Ki Ajar, “tetapi betapapun tinggi ilmumu, namun kau tidak akan dapat menyamai gurumu. Sedangkan gurumu sekalipun tidak akan mampu mengimbangi ilmuku sekarang ini.“

“Tetapi bagaimanapun juga kau sudah terlalu tua untuk turun kemedan,“ jawab Agung Sedayu, “seperti Guru. Wadagmu pun sudah tidak akan dapat mendukung kemampuan ilmumu. Tulang-tulangmu sudah rapuh, dan penalaranmu pun sudah pikun, sehingga kau akan menjadi tumpang suh untuk mengetrapkan ilmumu, betapapun banyaknya tersimpan di dalam dirimu.“

Ki Ajar Kumuda menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku memang kagum melihat keyakinanmu akan dirimu sendiri. Dalam umurmu yang masih terhitung muda, kau telah mematangkan ilmumu.“

“Terima kasih pujaanmu Ki Ajar,“ sahut Agung Sedayu, “karena itu, itu, maka sebaiknya Ki Ajar mengurungkan niatmu untuk memancing Guru datang.“

Tetapi Ki Ajar itu menggeleng. Katanya, “Sayang. Aku sudah bertekad bulat. Aku menginginkan gurumu datang.“

“Bagus,“ jawab Agung Sedayu, “akupun sudah siap. Sejak semula sudah aku katakan, bahwa aku akan menyelesaikan persolanku sendiri.“

“Agaknya kau memang tidak dapat diajak berbicara lebih banyak. Karena itu, maka tidak ada cara lain yang dapat aku lakukan kecuali dengan kekerasan,“ berkata Ki Ajar Kumuda. “Sebenarnya aku merasa sayang, bahwa seorang yang masih muda dan memiliki hari depan yang cerah harus dikorbankan. Tetapi aku tidak mempunyai cara lain.“

Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Apalagi ketika Ki Ajar Kumuda telah menggeretakkan pedang dengan ilmunya yang mendebarkan. Kilatan-kilatan cahaya yang memantul dari daun pedang itu rasa-rasanya bukan saja menyilaukan. Tetapi memancarkan getaran yang aneh yang menyentuh jantungnya.

Demikian Agung Sedayu melihat pedang itu berputar, maka jantungnya serasa berdegup semakin keras.

Agung Sedayu termangu-mangu. Ilmu kebalnya tidak mampu menahan getaran yang langsung menusuk melalui penglihatannya menikam jantungnya. Sementara itu, ia tidak akan dapat memalingkan penglihatanya dari pedang lawannya, karena pedang itu akan dapat menembus kulitnya jika pedang itu mampu mengoyak ilmu kebalnya.

Dengan demikian, maka Agung Sedayu telah mengalami kesulitan. Sementara dengan ilmu Tapak Prahara lawannya telah melibatnya dalam pertempuran yang sengit.

Karena itulah, maka setiap kali Agung Sedayu telah meloncat surut. Setiap kali ia kehilangan penglihatannya atas pedang lawannya, maka ia selalu mengambil jarak. la tidak dapat mempercayakan diri pada putaran ujung cambuknya tanpa dapat melihat sasaran dengan jelas karena silau. Ki Ajar Kumuda akan dapat memanfaatkan keadaannya untuk menembus putaran ujung cambuknya itu.

Untuk beberapa saat Agung Sedayu mengalami kesulitan. Bahkan ketika kilatan cahaya matahari yang memantul dari daun pedang Ki Ajar Kumuda itu bagaikan menutup matanya, Agung Sedayu merasakan ujung pedang lawannya itu menggapai pundaknya.

Agung Sedayu terdorong surut. Terasa pundaknya terasa pedih. Ternyata ujung pedang lawannya, memang mampu menembus ilmu kebalnya meskipun tidak sepenuhnya. Tanpa ilmu kebal, ujung pedang itu tentu sudah menghunjam dalam-dalam dan bahkan mungkin telah melumpuhkan sebelah tangannya.

Namun yang terjadi hanyalah segores tipis luka di kulitnya. Namun ujung pedang itu telah mengoyakkan bajunya dan menitikkannya darahnya pula.

Kedua-duanya telah menggeram. Agung Sedayu memang menjadi marah, karena lawannya telah melukainya. Namun Agung Sedayu masih selalu mampu mengendalikan diri, sehingga ia tidak menjadi kehilangan akal.

Sementara itu Ki Ajar Kumuda itu pun menggeram marah. Dengan nada tinggi ia berkata, “Jadi kau memang memiliki ilmu kebal yang luar biasa kuatnya, sehingga mampu menahan tikaman ujung pedangku. Kau memang luar biasa. Tetapi luka yang segores demi segores akan dapat membuat tubuhmu arang kranjang.“

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi iapun menyadari bahwa apa yang dikatakan oleh lawannya itu akan dapat terjadi atas dirinya. Jika ia masih saja disilaukan oleh pantulan cahaya matahari pada daun pedang lawannya, yang nampaknya memang sudah diperhitungkan dan dikembangkan dengan landasan ilmu tertentu, maka ia akan tetap mengalami kesulitan.

Namun yang dilakukan oleh Agung Sedayu mula-mula adalah meningkatkan ilmu kebalnya sampai tataran tertinggi. Dengan demikian maka ia akan dapat mengurangi kemungkinan buruk pada tubuhnya, karena ujung pedang lawannya tentu akan semakin sulit untuk dapat menembusnya. Tanpa mengerahkan segenap kekuatan yang ada, maka ujung pedang itu tentu tidak akan dapat menembus ilmu kebalnya, sehingga tidak dapat menyentuh kulitnya.

Sejenak kemudian pertempuran pun telah meningkat semakin sengit. Ilmu kebal Agung Sedayu yang sampai ke puncak itu telah menggetarkan udara dan menimbulkan panas yang seakan-akan memancar dari dalam dirinya.

Tetapi pedang lawannya yang berputar di panasnya matahari itu masih saja menyilaukannya. Sekali-sekali bahkan seleret kilat yang tajam membuat mata Agung Sedayu bagaikan menjadi gelap.

Namun Agung Sedayu yang memiliki kemampuan mengetrapkan ilmu Sapta Panggraita itu masih saja mampu serba sedikit meraba gerak dan sikap lawannya tanpa melihatnya. Dengan demikian maka pertempuran itu masih saja berlangsung, menggetarkan jantung mereka yang menyaksikannya.

Glagah Putih yang melihat segores luka di pundak Agung Sedayu memang menjadi sangat gelisah. Agaknya ujung pedang lawannya mampu menembus ilmu kebal Agung Sedayu yang tentu sudah ditrapkannya. Tanpa ilmu kebal, maka ujung pedang itu agaknya tentu sudah akan menembus sampai ke punggung.

Dalam pertempuran selanjutnya, maka Agung Sedayu beberapa kali harus berloncatan surut. Ia dapat mengetahui arah serangan lawannya, tetapi dengan ilmu Tapak Prahara, maka Agung Sedayu sulit memperhitungkan kemungkinan-kemungkinan yang dilakukan oleh lawannya itu. Namun lawannya pun setiap kali memang mengumpat. Orang yang masih terlalu muda itu masih saja mampu mengatasi setiap kesulitan yang timbul sejak pertempuran itu dimulai. Meskipun Ki Ajar Kumuda mampu melukainya, tetapi luka itu sama sekali tidak berpengaruh. Bahkan ketika ujung pedang Ki Ajar itu sekali lagi menyentuh tubuh Agung Sedayu, maka ujung senjata itu hanya mampu mengoyakkan bajunya dan meninggalkan goresan yang semakin tipis.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar