Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 249

Buku 249

Agaknya Kiai Gringsing dapat membaca gejolak perasaan Agung Sedayu itu. Karena itu maka katanya, “Sudahlah. Kita tidak perlu memikirkan persoalan yang lebih mendalam tentang retaknya hubungan Mataram dan Madiun. Jika kita sudah memilih tempat, maka biarlah kita berpegangan pada satu keyakinan yang mendasari pilihan kita itu.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud gurunya. Karena itu, maka ia memang menjadi lebih mantap menghadapi pergolakan yang terjadi, meskipun pada dasar jiwa gurunya yang paling dalam, pertentangan itu menyakiti perasaannya.

Malam itu, Kiai Gringsing dan Ki Widura tidak berbincang sampai terlalu malam. Dipersilahkannya Agung Sedayu dan Glagah Putih untuk beristirahat.

“Besok, aku mempunyai kepentingan pribadi dengan kau Agung Sedayu,“ berkata gurunya, “aku ingin melihat seberapa jauh kau telah mencapai tingkat ilmumu sekarang, sebelum kau berangkat ke medan.“

“Ya Guru,“ jawab Agung Sedayu, “mudah-mudahan Guru tidak menjadi kecewa, karena yang aku capai baru sebagian kecil dari yang Guru harapkan.“

Kiai Gringsing tersenyum. Ia sudah terbiasa mendengar jawaban yang demikian dari Agung Sedayu, sehingga iapun tidak menjadi berkecil hati.

“Seberapapun yang telah kau capai, kau tentu sudah mendapatkan kemajuan,“ berkata gurunya.

Namun dalam kesempatan pendek itu, Agung Sedayu berkata, “Mumpung sekarang ada Paman Widura dan Guru. Sebenarnya ada yang ingin aku katakan tentang Glagah Putih.“

Ki Widura mengerutkan keningnya. Namun kemudian Kiai Gringsing-lah yang bertanya, “Ada apa dengan Glagah Putih?“

“Guru,“ Agung Sedayu menjadi bersungguh-sungguh, “aku telah memikirkan kemungkinan masa depan perguruan ini, sebagaimana yang pernah Guru katakan. Sesudah aku dan Adi Swandaru, lalu bagaimana? Karena itu, sebagaimana pernah disinggung oleh Guru, Glagah Putih telah menyatakan kesediaannya untuk menjadi pewaris dari ilmu perguruan Orang Bercambuk. Jika Guru berkenan, maka ia telah menyatakan untuk secara khusus, di samping ilmu-ilmunya yang lain, untuk menekuni ilmu cambuk yang merupakan ciri utama dari perguruan ini. Jika kelak ada kemungkinan, maka Glagah Putih pun akan mempelajari ciri-ciri yang lain dari perguruan Orang Bercambuk ini.“

“O,“ Kiai Gringsing mengangguk-angguk, “jika kau memang berminat, maka aku akan merasa senang sekali Glagah Putih. Kau akan mennjadi pewaris yang tangguh dari perguruan Orang Bercambuk. Untuk kau ketahui, Ki Widura juga sudah mempelajari secara khusus dasar-dasar dari perguruan ini. Tidak untuk menjadi pewaris yang akan dapat ikut mempertahankan kehadiran ilmu dari aliran ini, tetapi sekedar sebagai pengetahuan, karena Ki Widura berhadapan dengan para cantrik dari perguruan Orang Bercambuk ini.“

Sementara Agung Sedayu dan Glagah Putih mengangguk-angguk, Ki Widura berkata, “Syukurlah jika kau berniat untuk itu, Glagah Putih. Aku akan sangat berterima kasih jika Kiai Gringsing pun merestuinya. Maksudku, bahwa Glagah Putih diperkenankan untuk mempergunakan ciri dari senjata perguruan ini.“

Kiai Gringsing tertawa. Katanya, “Agaknya Ki Widura tahu, bahwa di hari-hari luangku aku telah menganyam satu lagi cambuk dari janget khusus dengan karah-karah baja pilihan. Tentu Ki Widura ingin mempertanyakan, cambuk itu akan diberikan kepada siapa?“

Ki Widura pun tertawa pendek. Katanya, “Satu tebakan yang tepat Kiai.“

“Aku telah membuat dua lagi cambuk janget yang kuat seperti cambuk yang aku berikan kepada Agung Sedayu dan Swandaru. Bukan hanya satu. Tetapi cambuk yang aku berikan kepada Agung Sedayu dan Swandaru itu bukan buatanku sendiri. Karena itu, mungkin mutu cambuk itu pun sedikit berbeda,“ berkata Kiai Gringsing kemudian.

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dengan demikian ia sadar, bahwa di samping seorang yang akan diwarisi ilmu dari aliran perguruan Orang Bercambuk, maka Swandaru pun akan mendapat tugas yang sama.

Namun Kiai Gringsing pun berkata, “Tetapi orang-orang yang akan mendapat cambuk itu sudah tentu bukan orang terakhir. Jika aku tidak ada di antara kalian lagi, maka seakan-akan tidak akan ada cambuk-cambuk yang baru lagi, adalah penafsiran yang keliru. Sehingga seakan-akan orang baru yang memasuki lingkungan kita adalah sekedar pengganti orang lama yang telah pergi. Jika demikian jumlah isi perguruan ini tidak akan lebih dari tiga orang, dan sekarang lima orang. Tetapi jika perguruan ini kelak dapat berkembang, tetapi sudah barang tentu dengan tanggung jawab yang tinggi atas perkembangan itu, maka kau dapat membuat cambuk-cambuk baru. Bukankah di dalam kitab itu juga tercantum syarat dan cara membuat cambuk sebagai senjata ciri perguruan kita, di samping ilmu cambuk itu sendiri?“

“Ya Guru,“ jawab Agung Sedayu, “namun agaknya untuk membuat jenis senjata ini bukannya pekerjaan yang mudah.“

“Ya. Rumit dan memerlukan waktu yang lama. Seperti menunggu buah menjadi masak di pohonnya. Tidak dapat dipercepat dengan cara apapun juga,“ jawab Kiai Gringsing. Namun yang kemudian berkata, “Tetapi baiklah. Kalian dapat beristirahat sekarang. Kita masih mempunyai waktu besok. Aku pun tidak lagi dapat terlalu lama duduk.“

Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih dan Kiai Gringsing pun telah pergi beristirahat pula. Tetapi di biliknya, Glagah Putih dan Agung Sedayu tidak segera dapat tidur nyenyak. Glagah Putih telah menanyakan beberapa hal kepada Agung Sedayu tentang kehadirannya menjadi salah seorang anggota dari perguruan Orang Bercambuk.

“Guru berpandangan cukup luas,“ berkata Agung Sedayu. “Seperti aku sendiri, maka Guru sama sekali tidak berkeberatan memperkaya unsur-unsur gerak warisan ilmunya dengan unsur-unsur gerak dari aliran perguruan lain, asal serasi dan tidak menimbulkan masalah bagi kita. Namun sudah barang tentu bahwa kita harus mengenal dengan baik inti dari ilmu perguruan Orang Bercambuk itu sendiri, sehingga jika diperlukan kita akan dapat mengurainya dan menunjukkan inti ilmu itu beserta ciri-ciri utamanya.“

Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia merasa bahwa ia telah memiliki berbagai macam ilmu yang dipelajari dari aliran perguruan yang lain, namun yang telah menyatu di dalam dirinya.

Namun demikian Agung Sedayu berkata, “Sudahlah. Tidurlah. Besok kita akan berbicara lagi dengan Guru.“

“Tetapi bukankah besok kita harus kembali ke Tanah Perdikan? Waktu kita tinggal sempit sekali,“ berkata Glagah Putih.

“Tetapi bukankah kita harus menunggu pagi? Kita tidak dapat memperpendek malam ini, seperti Guru berkata tadi, bahwa kita tidak dapat mempercepat buah menjadi masak di pohonnya,“ berkata Agung Sedayu.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Apapun yang dilakukannya malam itu, namun pagi baru akan datang setelah ayam berkokok yang ketiga kalinya, meskipun datangnya pagi bukan karena ayam jantan yang berkokok itu.

Malam selanjutnya terasa menjadi sangat sepi. Glagah Putih tidak lagi mempertanyakan apapun. Tetapi ia memerlukan waktu untuk dapat tidur nyenyak di padepokan itu. Bahkan menjelang dini ia dapat mendengar derap kaki beberapa ekor kuda. Namun ia tahu, bahwa yang lewat itu adalah para prajurit Pajang yang sedang meronda.

Sebenarnyalah beberapa orang berkuda telah lewat di jalan di depan padepokan. Cantrik yang bertugas di regol telah keluar dari regol pula menyapa prajurit-prajurit yang sedang meronda itu.

“He, bukankah Agung Sedayu dan Glagah Putih ada di sini?“ bertanya salah seorang di antara para prajurit.

“Darimana kau tahu?“ bertanya cantrik itu.

“Kawanku melihatnya ketika mereka berkuda memasuki Jati Anom. Kuda Glagah Putih adalah seekor kuda yang mudah dikenal, karena jarang ada duanya,“ jawab prajurit itu.

“Ya. Mereka ada di sini,“ jawab cantrik itu.

“Salamku buat keduanya,“ tiba-tiba terdengar suara berat dari antara prajurit yang meronda itu.

“O,“ cantrik itu mengangguk. Ternyata Sabungsari ada di antara para peronda itu, “aku akan menyampaikannya.“

“Terima kasih,“ sahut Sabungsari.

Namun kelompok kecil itu tidak berhenti. Mereka hanya memperlambat kuda mereka. Kemudian mereka pun telah melanjutkan perjalanan mereka pula, meronda lingkungan Jati Anom dan sekitarnya.

Ketika fajar membayang di langit, maka padepokan kecil itu pun telah terbangun. Para cantrik telah sibuk dengan tugas mereka masing-masing. Dua orang di antara mereka telah pergi ke sawah untuk membuka pematang, mengairi sawah yang cukup luas bagi seisi padepokan kecil itu. Sementara yang lain sibuk membersihkan halaman, mengisi pakiwan dan merawat binatang peliharaan di padepokan itu, termasuk beberapa ekor kuda.

Glagah Putih pun ternyata telah berada di halaman pula. Tetapi ia tidak mendapat bagian tugas apapun juga. Karena itu, maka iapun telah pergi ke pakiwan untuk mandi. Ketika matahari terbit, maka Agung Sedayu pun telah siap pula di pendapa bersama Glagah Putih. Kiai Gringsing dan Ki Widura telah duduk pula bersama mereka untuk menghirup minuman hangat. Wedang jahe dengan gula kelapa.

“Nanti kita akan berada di sanggar,“ berkata Kiai Gringsing kepada Agung Sedayu, “sebelum kau berangkat bersama pasukan Mataram, maka aku ingin melihat apa yang telah kau capai itu.“

Agung Sedayu mengangguk sambil menyahut, “Seperti yang sudah aku katakan kemarin Guru, aku baru maju setapak kecil.“

Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Kita akan melihatnya nanti. Mungkin tapak kelinci, tetapi mungkin tapak raksasa.“

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia menunduk sambil mengerutkan keningnya. Ia tidak tahu, apakah kemajuannya itu akan dianggap cukup atau belum oleh gurunya itu.

“Tetapi kita tidak tergesa-gesa,“ berkata Kiai Gringsing.

“Bukankah kalian tidak tergesa-gesa kembali hari ini?“ bertanya Ki Widura.

“Kami akan kembali hari ini Paman,“ jawab Agung Sedayu, “waktu kami sudah menjadi sangat sempit. Sementara itu, tatanan pasukan Tanah Perdikan masih perlu disempurnakan.“

Ki Widura mengangguk-angguk. Sementara itu Kiai Gringsing bertanya, “Bukankah masih ada waktu beberapa hari? Selama itu orang-orang yang ada di Tanah Perdikan tentu akan dapat membenahi tatanan yang mungkin belum cukup mapan.“

“Tetapi kami berjanji untuk kembali hari ini Guru,“ jawab Agung Sedayu.

“Baiklah. Nanti kita tidak akan terlalu lama berada di sanggar,“ berkata Kiai Gringsing, “tetapi sementara ini, justru aku ingin memperlihatkan kepadamu kemampuan para cantrik di padepokan ini. Aku ingin tahu bagaimana pendapatmu sebagai salah seorang isi dari perguruan Orang Bercambuk ini.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Senang sekali Guru. Selama ini, aku belum pernah melihat dengan jelas tataran kemampuan mereka.“

“Tetapi kau sadari, kedudukan mereka berbeda dengan kedudukanmu dan Swandaru,“ berkata Kiai Gringsing.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia mengerti sepenuhnya pesan gurunya itu. Demikianlah, maka mereka pun kemudian telah turun ke halaman dan menuju ke sanggar terbuka di halaman belakang. Ternyata para cantrik yang dianggap tertua di lingkungan padepokan itu telah berkumpul.

Ki Widura telah memerintahkan tujuh orang cantrik yang dianggap terbaik itu bersiap. Mereka akan menunjukkan tataran kemampuan mereka yang tertinggi kepada Agung Sedayu. Salah seorang murid dari perguruan Orang Bercambuk. Bahkan murid yang terbaik.

Sejenak kemudian ketujuh orang itu sudah bersiap. Widura pun segera memberikan aba-aba, agar ketujuh orang itu mulai melakukan unsur-unsur gerak dasar yang telah mereka pelajari. Dengan sungguh-sungguh, ketujuh orang cantrik itu telah melakukannya dari unsur yang pertama, kedua, ketiga sampai pada urutan ke dua belas. Kemudian mereka telah melakukan urutan berikutnya sebanyak tujuh unsur dalam tatanan rangkap, dan unsur-unsur gerak selanjutnya.

Berikutnya para cantrik telah mempertunjukkan pula kemampuan mereka bermain dengan senjata. Agung Sedayu dan Glagah Putih pun sempat melihat para cantrik itu memperagakan kemampuan bertempur secara pribadi berpasangan. Bahkan kemudian dengan mempergunakan senjata.

Terakhir para cantrik itu sempat menunjukkan kekuatan kewadagan mereka. Dengan sisi telapak tangan mereka yang telah mereka latih setiap hari, mereka mampu memecahkan batu-batu kapur dan batu-batu padas yang masih muda. Mereka pun mampu memecahkan kelapa yang sudah tua bukan saja dengan tangan, tetapi mereka mampu melakukannya dengan dahi mereka.

Agung Sedayu dan Glagah Putih mengangguk-angguk. Ternyata bahwa para cantrik telah mendapat kesempatan yang lebih luas untuk menimba ilmu kanuragan di padepokan itu, selain beberapa jenis ilmu yang lain.

“Bagus sekali,“ desis Agung Sedayu setelah mereka selesai, “ternyata kalian telah mendapat kemajuan yang pesat sekali.“

“Baru tujuh orang,“ berkata Ki Widura.

“Tahun depan tentu akan bertambah banyak,“ berkata Agung Sedayu, “sehingga dengan demikian padepokan ini bukan sekedar tempat para cantrik berkumpul, belajar menjadi pande besi untuk membuat alat-alat bertani. Belajar bercocok tanam dengan cara yang terbaik, memahami serba sedikit perjalanan bintang di langit. Namun para cantrik akan dapat memberikan pengabdian yang lebih besar dengan membantu orang-orang yang lemah.“

“Mudah-mudahan tahun depan menjadi bertambah baik,“ berkata Kiai Gringsing dengan suara yang dalam. Namun kemudian katanya, “Semuanya itu berkat kehadiran Ki Widura. Aku sendiri tidak lagi dapat berbuat banyak.“

“Tetapi semuanya atas petunjuk Kiai. Bahkan aku sendiri masih belajar pada Kiai,“ sahut Ki Widura.

Kiai Gringsing tersenyum. Senyum orang yang sudah terlalu tua untuk melakukan kerja yang besar. Tetapi Kiai Gringsing tidak merasa cemas, bahwa tugas yang dipikul oleh perguruan Orang Bercambuk akan terputus, karena Kiai Gringsing percaya bahwa murid-muridnya akan melanjutkan tugasnya untuk selanjutnya.

Demikian para cantrik selesai dengan mempertunjukkan tingkat kemampuan mereka, maka Kiai Gringsingpun mengajak mereka untuk beristirahat. Mereka pergi ke sebuah gubug yang memang dibangun di dekat kolam ikan di kebun belakang. Seorang cantrik telah menyediakan minuman dan makanan di gubug itu.

“Kita akan segera pergi ke sanggar,“ berkata Kiai Gringsing, “aku ingin melihat tataran kemampuanmu Agung Sedayu.“

Agung Sedayu menarik nafas. Tetapi ia tidak menjawab.

“Tetapi kita akan minum dan makan suguhan yang telah disediakan oleh para cantrik ini lebih dahulu,” berkata Kiai Gringsing.

Demikianlah, maka sejenak kemudian Kiai Girngsing, Ki Widura, Agung Sedayu dan Glagah Putih telah berada di dalam sanggar. Kiai Gringsing telah minta Agung Sedayu untuk menunjukkan tingkat terakhir dari kemampuannya, setelah ia memasuki tataran tertinggi dari ilmu cambuk dari perguruan Orang Bercambuk itu berdasarkan atas kitab yang turun-temurun.

Sejenak kemudian Kiai Gringsing, Ki Widura dan Glagah Putih pun telah menepi, sementara Agung Sedayu berada di tengah-tengah sanggar padepokan yang memang cukup besar. Lebih besar dari sanggar Agung Sedayu di rumahnya. Sejenak kemudian, Agung Sedayu telah memutar cambuknya. Kemudian iapun telah menghentak-hentakkan cambuk itu tanpa meledakkan bunyi sama sekali. Beberapa saat Agung Sedayu berloncatan sambil mempermainkan cambuknya. Kemudian di bagian terakhir dari permainan cambuknya, maka ujung cambuk itu telah menghantam sebongkah batu hitam yang memang sudah disediakan oleh Kiai Gringsing.

Akibatnya memang dahsyat sekali. Batu hitam itu ternyata telah hancur menjadi debu oleh juntai cambuk Agung Sedayu yang terbuat dari janget rangkap tiga. Janget kinatelon dengan karah-karah baja pilihan.

Sejenak kemudian maka Agung Sedayu telah berdiri tegak menghadap kepada gurunya, menelakupkan kedua telapak tangan di depan dadanya sambil memhungkuk hormat.

Kiai Gringsing menarik nafas dulam-dalain. Dengan nada rendah ia berkata, “Kita akan melihat kemampuanmu di alam terbuka.“

“Apakah Guru tidak akan terlalu letih?” bertanya Agung Sedayu.

“Tentu tidak,“ jawab Kiai Gringsing sambil tersenyum. Lalu katanya, “Di sini banyak tempat yang dapat kita pergunakan. Tidak terlalu jauh. Kita dapat pergi menuruni tanggul sungai atau pergi ke balik hutan di lereng gunung itu.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Terserah kepada Guru.“

“Marilah. Kita pergunakan waktu sebaik-baiknya. Apalagi jika kau harus kembali hari ini juga,“ berkata Kiai Gringsing.

Berkuda mereka meninggalkan padepokan itu. Mereka menembus sebuah hutan yang tidak begitu lebat dan mengambil tempat yang cukup luas di antara batu-batu padas yang jarang didatangi orang.

Kiai Gringsing telah memberi kesempatan kepada Agung Sedayu untuk menunjukkan kemampuannya pada tataran terakhir ilmu cambuk dari aliran perguruan Orang Bercambuk.

Sejenak Agung Sedayu memusatkan nalar budinya. Kemudian memutar cambuknya dan melakukan sedikit gerakan untuk menghangatkan darahnya. Kemudian dengan loncatan-loncatan kecil ia memutar cambuknya di atas kepalanya. Beberapa saat kemudian, maka Agung Sedayu telah menghentakkan cambuknya dengan sasaran sebongkah batu padas, beberapa langkah di hadapan mereka yang menyaksikan peragaan itu sambil berdiri termangu-mangu.

Secercah cahaya memang meloncat dari hentakan cambuk Agung Sedayu, yang dengan kecepatan lidah api di langit, menyambar sasaran yang telah ditentukan. Satu ledakan telah terjadi. Batu itu pun hancur menjadi debu pula tanpa disentuh oleh ujung cambuk Agung Sedayu. Sebagaimana sambaran ilmu yang memancar lewat sorot mata Agung Sedayu, meskipun sorot mata Agung Sedayu juga mampu meremas batu padas menjadi debu. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Kau tentu akan dapat melumatkan batu hitam dengan lontaran ilmu seperti itu.“

“Aku mohon petunjuk Guru, apakah aku sudah mampu memenuhi batasan pencapaian kemampuan sesuai dengan waktu yang aku pergunakan,“ desis Agung Sedayu.

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sudah mengira bahwa kau akan dapat melakukannya dalam waktu yang lebih singkat dari yang diperhitungkan. Ternyata sebelum waktu yang diperkirakan berakhir, kau sudah mampu memiliki inti kekuatan ilmu cambuk dari aliran perguruan Orang Bercambuk. Waktu-waktu berikutnya tinggallah saat-saat mematangkannya, sehingga ilmu itu nampak menjadi mendekati sempurna. Karena memang tidak ada sesuatu yang sempurna di dunia ini.“

“Guru, aku mohon Guru memberikan arah lebih lanjut,“ berkata Agung Sedayu kemudian.

“Kau telah berhasil menelusuri isi kitab itu sampai ke puncak pada ciri utama perguruan ini,“ berkata Kiai Gringsing.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun menyadari bahwa Gurunya agaknya berusaha untuk membesarkan hatinya. Namun Kiai Gringsing pun kemudian berkata, “Sebelum kau memasuki tataran ini, beberapa jenis laku sebenamya telah kau jalani, sadar atau tidak sadar, karena kau sudah mengerti dan menguasai isi kitab itu. Karena itu, maka ketika kau benar-benar memasuki tataran terakhir, kau tidak banyak mengalami kesulitan. Kau telah mempergunakan waktu sangat cepat. Namun seperti yang aku katakan, bukan berarti bahwa laku yang harus kau jalani sudah selesai. Kau masih harus mematangkannya, sehingga kau benar-benar akan berada di puncak kemampuan. Namun itu bukannya yang telah sempurna. Aku ulangi lagi, kita tidak akan sampai pada satu tataran yang sempurna itu.“

Agung Sedayu hanya menundukkan kepalanya saja. Tetapi ia tahu pasti maksud gurunya.

Dalam pada itu Kiai Gringsing berkata selanjutnya, “Agung Sedayu. Dalam keadaan wajar, maksudku orang dalam batas kemampuan wajar, serta tidak terganggu oleh persoalan-persoalan yang mendesak, maka ia memerlukan waktu satu tahun untuk benar-benar menguasai puncak ilmu itu. Tetapi kau tidak dalam keadaan yang wajar, karena kau harus pergi ke medan. Namun di samping itu kau memiliki kelebihan kecerdasan nalar. Karena itu, sejak saat ini, kau akan memerlukan waktu selama-lamanya setahun itu. Jika kau tidak harus ikut dalam pasukan Mataram, kau tentu akan dapat mencapainya dalam waktu yang lebih singkat, karena kau memiliki kelebihan dari kemampuan wajar seseorang.”

“Aku mohon doa restu Guru. Mudah-mudahan aku akan dapat mencapainya dalam waktu yang diharapkan oleh Guru,“ berkata Agung Sedayu.

“Aku mempunyai keyakinan bahwa kau akan dapat melakukannya,“ berkata Kiai Gringsing. Namun kemudian dengan nada rendah ia berkata, “Tetapi aku tidak dapat meyakinkan diriku sendiri bahwa Swandaru pun akan dapat melakukannya pula dalam waktu yang sama. Ia tentu memerlukan waktu lebih. Untunglah bahwa sekarang ia merasa perlu untuk mempelajarinya, sehingga ia telah melakukannya dengan bersungguh-sungguh. Meskipun demikian, apalagi dalam masa perang, ia tidak akan dapat menyelesaikannya sebagaimana kau lakukan.“

Agung Sedayu masih tetap berdiam diri, sementara Glagah Putih dan Ki Widura yang menyaksikan peragaan yang dilakukan oleh Agung Sedayu itu menjadi berdebar-debar. Ternyata Agung Sedayu telah berhasil meniti sampai ke tataran tertinggi dari ilmu cambuk, ciri dari perguruan Orang Bercambuk. Dengan demikian, maka Agung Sedayu yang masih terhitung muda itu telah berada pada tataran orang-orang berilmu tertinggi. Namun Glagah Putih pun tahu bahwa Kiai Gringsing mengharap agar ilmu tertinggi ciri perguruan orang bercambuk itu tidak akan pernah dipergunakan.

“Nah,“ berkata Kiai Gringsing kemudian, “pekerjaan kita sudah selesai. Kita akan kembali ke padepokan. Agung Sedayu dan Glagah Putih akan dapat beristirahat barang sejenak sebelum mereka kembali ke Tanah Perdikan.”

Demikianlah, sejenak kemudian mereka berempat pun telah kembali ke padepokan kecil di Jati Anom. Kiai Gringsing yang tua itu sudah merasa puas setelah ia melihat tataran kemampuan kedua muridnya. Meskipun agak lambat, namun Kiai Gringsing yakin bahwa Swandaru pun akan sampai ke batas tatarannya, karena kemauannya yang besar. Agaknya Swandaru termasuk salah seorang di antara mereka yang mempunyi keinginan yang sangat tinggi dan luas mengenai banyak hal yang menyangkut hidupnya.

Ternyata Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak beristirahat terlalu lama di padepokan. Mereka pun kemudian telah minta diri kepada Kiai Gringsing dan Ki Widura. Bukan saja untuk kembali ke Tanah Perdikan, tetapi justru yang penting keduanya minta diri untuk ikut dalam pasukan Mataram yang akan berangkat ke Madiun.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak tidak dapat berbuat lain, seperti kepada Swandaru maka iapun telah berkata, “Aku akan berdoa bagi keselamatan kalian.“

Ki Widura pun telah memberikan beberapa pesan kepada anaknya, karena Mataram dan Madiun adalah dua kekuatan yang sangat besar yang akan bertemu di arena.

“Berhati-hatilah. Aku tahu bahwa perang di segala tempat sangat berbahaya. Besar atau kecil akan dapat mencabut nyawa. Bahkan dua orang berkelahi pun akan dapat saling membunuh dengan garang. Namun dalam perang yang besar, banyak peristiwa yang tidak pernah diduga sebelumnya akan terjadi. Perang antara Jipang dan Pajang tentu tidak akan sebesar perang antara Mataram dan Madiun. Namun dalam perang antara Jipang dan Pajang, rasa-rasanya bagaikan membakar kehidupan ini sepanas api neraka. Perang Mataram melawan Pajang pun merupakan perang yang garang pula meskipun terpecah-pecah. Kemudian kini Mataram akan berhadapan dengan Madiun. Sementara Madiun telah mengumpulkan kekuatan dari para Adipati di daerah Timur. Sedangkan Mataram telah memanggil kekuatan dari sebelah utara Pegunungan Kendeng pula, di samping Pajang.“

Glagah Putih menundukkan kepalanya. Ia memang selalu mendengar, bahwa perang sama artinya dengan pembunuhan, kekejaman dan kelakuan yang tidak sewajarnya. Tingkah laku seseorang yang ada di peperangan akan dapat berubah sama sekali dari tingkah lakunya sehari-hari.

Namun perang itu terjadi dimana-mana dari waktu ke waktu, Bahkan dapat terjadi pula perang untuk menentang peperangan. Dan Glagah Putih berada di dalam libatan peristiwa perang dan perang itu.

“Kami mohon doa restu Guru serta Paman,“ berkata Agung Sedayu yang kemudian bersama Glagah Putih telah bersiap untuk meninggalkan padepokan itu.

“Aku akan mohon untuk pada saatnya masih dapat bertemu dengan murid-muridku lagi,“ berkata Kiai Gringsing.

Dahi Agung Sedayu berkerut. Desisnya, “Semoga Yang Maha Agung melindungi kami dan saudara-saudara kami di medan.“

“Bukan persoalan kalian di medan,“ berkata Kiai Gringsing, “tetapi justru aku di pembaringan.“

Jantung Agung Sedayu terasa berdentang mendengar desah gurunya itu. Tetapi ia tidak tahu apa yang harus dikatakannya.

Namun Kiai Gringsing pun kemudian berkata, “Sudahlah. Selamat jalan. Semoga tidak mengalami hambatan di perjalanan.“

“Terima kasih Guru,“ sahut Agung Sedayu, “kami masih akan singgah sebentar di rumah Kakang Untara.“

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Bagus. Sebaiknya kau memang menemuinya, meskipun pada saatnya kalian akan bersama-sama berangkat. Tetapi sudah tentu kalian tidak akan menjadi satu pasukan, meskipun mungkin kalian berada di satu kesatuan. Mungkin kalian berada di sayap yang sama, atau justru di induk pasukan.“

“Ya Guru,“ jawab Agung Sedayu.

“Nah, hati-hatilah di perjalanan,“ berkata Kiai Gringsing kemudian.

Sejenak kemudian kedua orang itu pun telah meninggalkan padepokan kecil di Jati Anom. Mereka sempat singgah sebentar di rumah Untara. Untunglah bahwa Untara sedang berada di rumahnya, sehingga mereka sempat bertemu. Bahkan Sabungsari pun sedang berada di rumah Untara pula.

“Marilah kita saling berdoa,“ berkata Untara kepada adik dan adik sepupunya, “mudah-mudahan kita masing-masing mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung.“

Agung Sedayu memang tidak lama singgah di rumah kakaknya. Iapun kemudian minta diri kepada kakaknya dan kakak iparnya. Namun mereka memang berharap bahwa mereka akan dapat berada di tempat yang tidak terlalu jauh jika mereka nanti berada di medan.

“Swandaru akan bersamaku,“ berkata Untara, “tetapi nampaknya agak sulit untuk mengendalikannya.“

Demikianlah, maka sejenak kemudian Agung Sedayu dan Glagah Putih telah meninggalkan Jati Anom, langsung menuju ke Tanah Perdikan. Mereka menyadari, bahwa mereka akan sampai di Tanah Perdikan setelah malam hari. Itupun jika tidak ada hambatan apapun diperjalanan.

Kedua orang itu pun setelah lepas dari Jati Anom telah berpacu dengan cepat, meskipun tidak mencapai kecepatan tertinggi. Apalagi kuda yang dipergunakan oleh Glagah Putih. Seekor kuda yang tegar melampaui kuda yang lain.

Agar mereka tidak tertahan oleh banyak pertanyaan dan persoalan, maka mereka memang menghindar untuk tidak melewati Kota jika mereka melewati Mataram. Karena itu, maka mereka telah mengambil jalan utara. Demikian pula mereka pun telah memilih untuk menyeberangi Kali Praga di penyeberangan sebelah utara pula.

Ketika mereka menyeberangi Kali Opak, maka matahari telah menjadi rendah. Tetapi sinarnya masih menyilaukan mata, justru karena Agung Sedayu dan Glagah Putih menempuh perjalanan ke arah barat.

Beberapa saat lamanya mereka menyusuri tepian. Kemudian mereka telah mengambil jalan yang tidak begitu lebar, tetapi jalan yang termasuk banyak dilalui orang.

Ketika matahari menjadi semakin rendah, maka cahaya langit pun menjadi merah. Ujung daun nyiur yang bergerak-gerak disentuh angin pun kemerah-merahan pula.

“Candikala,“ desis Glagah Putih.

“Ya,“ jawab Agung Sedayu, “cahaya senja yang ditakuti anak-anak.“

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Ketika aku kanak-kanak, aku pun takut memandang candikala. Bahkan selama sinar merah kekuning-kuningan yang tajam itu belum pudar, aku selalu bersembunyi di dalam rumah.“

Agung Sedayu pun tersenyum. Katanya, “Di masa kanak-kanak aku tidak hanya takut kepada candikala. Tetapi aku selalu merasa ketakutan sepeninggal Ayah. Keberanianku rasa-rasanya sangat tergantung kepada sikap Kakang Untara.“

“Kakang terlalu manja di masa kanak-kanak,“ desis Glagah Putih.

“Darimana kau tahu?“ bertanya Agung Sedayu.

“Ayah,“ jawab Glagah Putih.

Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Namun iapun kemudian tersenyum sambil berkata, “Ya. Aku memang terlalu manja, sehingga akibatnya terasa sampai sekarang. Aku sulit untuk mengambil sikap sendiri. Aku selalu memerlukan orang lain untuk memberikan pertimbangan, seakan-akan aku tidak pernah yakin akan sikapku sendiri.“

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi hampir di luar sadarnya ia melihat sekelompok burung yang terbang seperti dihalau dari tempatnya hinggap. Burung-burung blekok itu pun kemudian terbang bergerombol menuju ke sarangnya, bagaikan gumpalan awan putih yang bergerak di wajah langit yang kemerah-merahan.

Namun dalam pada itu, Glagah Putih pun tiba-tiba melihat tiga ekor kuda yang berlari cepat dari arah samping. Agaknya di hadapan Agung Sedayu dan Glagah Putih terdapat sebuah simpangan, sehingga tiga ekor kuda itu seakan-akan berpacu untuk mendahului keduanya sampai di simpang jalan itu.

“Mungkin mereka tergesa-gesa,“ berkata Agung Sedayu, “tidak ada hubungannya dengan perjalanan kita.“

Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun terasa sesuatu yang lain di hatinya.

Sebenarnya Agung Sedayu pun menaruh curiga melihat sikap ketiga orang penunggang kuda itu. Mereka selalu saja memandang ke arah Agung Sedayu dan Glagah Putih. Bahkan mereka bertiga rasa-rasanya telah berusaha untuk mempercepat lari kuda mereka.

Ternyata ketiga orang itu telah lebih dahulu sampai di persimpangan jalan. Tetapi mereka tidak sedang menempuh perjalanan dengan tergesa-gesa seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu. Mereka justru berhenti di persimpangan itu dan menunggu Agung Sedayu dan Glagah Putih yang memang sudah menjadi semakin dekat.

Kecurigaan Agung Sedayu dan Glagah Putih ternyata beralasan. Ketiga orang itu telah menghentikan perjalanan kedua orang yang menuju ke Tanah Perdikan itu.

“Hati-hatilah Glagah Putih,“ desis Agung Sedayu, “nampaknya mereka mempunyai niat tertentu.“

“Ki Sanak,“ salah seorang dari ketiga orang itu berkata, setelah Agung Sedayu dan Glagah Putih berhenti beberapa langkah di hadapan mereka, “kami ingin memperkenalkan diri kepada Ki Sanak.“

Agung Sedayu mengangguk hormat. Katanya, “Terima kasih atas kesediaan Ki Sanak.“

Orang itu mengangguk-angguk. Sementara Agung Sedayu sempat memperhatikan orang itu. Orang yang umurnya sudah separuh baya, berjenggot pendek keputih-putihan. Tidak berkumis. Namun cambangnya tergantung rendah. Juga sudah keputih-putihan.

“Aku ingin mengetahui, siapakah kalian berdua yang berkuda menyusuri jalan kecil ini,“ berkata orang itu.

Agung Sedayu menjawab berterus terang, “Aku adalah Agung Sedayu, dan ini adalah adik sepupuku Glagah Putih.“

“Kalian tinggal di mana dan akan pergi ke mana?“ bertanya orang itu pula.

“Kami adalah orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Kami dalam perjalanan pulang setelah kami mengunjungi saudara kami di Jati Anom,“ jawab Agung Sedayu.

Orang itu mengangguk-angguk. Namun orang itu berdesis, “Kuda adik sepupumu itu bagus sekali.“

Jantung Glagah Putih tergetar. Ia sadar, bahwa orang itu tentu tertarik kepada kudanya. Karena itu, maka ia memang harus berhati-hati menghadapinya.

Tetapi Agung Sedayu ternyata menjawab, “Terima kasih atas pujian Ki Sanak. Kuda itu memang kuda yang termasuk baik.“

“Ya. Sulit dicari kuda seperti itu selain di Istana Mataram sekarang ini,“ berkata orang itu.

“Adalah kebetulan saja adik sepupuku memiliki kuda seperti itu,“ jawab Agung Sedayu.

“Ki Sanak,“ berkata orang itu dengan nada lembut, “kalian tahu, bahwa masa ini adalah masa yang gawat. Mataram sedang mengerahkan segenap kekuatannya untuk menghadapi Madiun. Nah, sudah barang tentu segala perlengkapan yang berhubungan dengan kemungkinan perang itu pun harus dipersiapkan dengan baik.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ia sudah tahu arah pembicaraan orang itu. Meskipun demikian Agung Sedayu berusaha untuk mendengarkan dengan sabar.

“Ki Sanak,“ bertanya orang itu, “darimana kalian dapat kuda itu? Adalah mustahil bagi orang kebanyakan untuk dapat memilikinya.“

“Kami memang mendapatkannya dari kalangan istana,“ jawab Agung Sedayu, “adik sepupuku adalah kebetulan sahabat putra Panembahan Senapati, Raden Rangga yang telah meninggal. Tetapi Raden Rangga sempat memberi seekor kuda kepada adik sepupuku.“

Orang itu mengerutkan keningnya. Namun iapun tersenyum. Katanya, “Ceritera khayal yang menarik. Siapakah kalian berani mengaku sahabat putra Panembahan Senapati?“

“Aku berkata sebenarnya Ki Sanak,“ berkata Agung Sedayu.

“Siapa yang dapat mempercayai ceritamu itu? Jika kau mengarang cerita yang lebih baik, mungkin aku dapat mempercayainya. Katakan, bahwa adik sepupumu itu adalah bekas gamel yang merawat kuda Raden Rangga yang telah meninggal itu, atau barangkali pesuruhnya, atau apa. Tetapi sudah tentu bukan sahabatnya,“ berkata orang itu.

“Mungkin begitu,“ jawab Agung Sedayu, “apalah namanya, tetapi kuda itu adalah pemberian Raden Rangga.“

“Mungkin pemberian, tetapi mungkin ia memiliki dengan cara yang tidak wajar,“ berkata orang itu.

“Ki Sanak,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “siapakah sebenarnya Ki Sanak ini? Dan apakah sebenarnya maksud Ki Sanak?“

“Aku adalah pemimpin dari padepokan Gajah Salaka, di kaki Gunung Kendeng,“ jawab orang itu.

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi iapun kemudian bertanya, “Apakah itu satu padepokan baru?“

“Ya. Satu padepokan baru. Padepokan yang aku dirikan sejak beberapa tahun yang lalu.“

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi dengan tergesa-gesa orang itu berkata, “Tetapi jangan mengira bahwa kami adalah orang-orang yang baru sejak beberapa tahun yang lalu mempelajari ilmu kanuragan. Kami adalah orang-orang yang sudah matang dalam olah kanuragan. Kami memiliki pengetahuan yang luas dan pengalaman yang cukup banyak. Dengan bekal ilmu yang kami miliki, maka kami telah mendirikan sebuah perguruan di sebuah padepokan yang kami sebut Gajah Salaka.“

“Siapakah namamu Ki Sanak?“ bertanya Agung Sedayu kemudian.

Orang itu tertawa. Katanya, “Jadi kau juga menanyakan siapakah namaku? Baiklah. Namaku adalah Kiai Gajah Lengit. Kedua orang ini adalah Putut yang terpercaya di padepokanku. Putut Lengkara dan Putut Sadak Ijo.“

Agung Sedayu mengangguk hormat sambil berkata, “Terima kasih atas kesempatan untuk mengenal nama Kiai dan kedudukan Kiai.“

“Nah, sekarang dengarlah baik-baik. Salah seorang muridku adalah seorang prajurit Pajang. Ia mendapat kesempatan untuk memimpin sebuah kelompok prajurit yang akan bersama-sama menuju ke Madiun,“ berkata Kiai Gajah Lengit. “Sekarang muridku itu sudah siap untuk melakukan tugasnya. Ia berada di antara pasukan pengawal khusus Panembahan Senapati.“

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ada beberapa hal yang tidak masuk akal. Karena itu maka iapun bertanya, “Bukankah pasukan Pajang tidak perlu datang ke Mataram, karena pasukan Mataram akan singgah di Pajang dalam perjalanannya ke Madiun?“

“Benar. Tetapi Pajang telah mengirimkan sekelompok prajurit terpilihnya untuk menjadi paruh perjalanan Panembahan Senapati,“ berkata Kiai Gajah Lengit. “Nah, sekelompok pasukan itu telah dipimpin oleh Ki Lurah Samparangin. Nah, Ki Lurah Samparangin itu adalah muridku. Atas ijin Panembahan Senapati, maka aku pun diperkenankan memperkuat kelompok prajurit Pajang yang akan berjalan di paling depan.“

“Maaf Ki Sanak,“ berkata Agung Sedayu yang mulai melihat bahwa banyak hal yang tidak benar yang dikatakan oleh orang itu, “muridmu itu menjadi bagian dari pasukan pengawal, atau penunjuk jalan yang akan menuntun pasukan Mataram sampai ke Pajang?“

Kiai Gajah Lengit menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sudahlah. Itu tidak penting. Yang penting kalian harus membantu perjuangan Mataram untuk menegakkan kewibawaannya.“

“Apa yang dapat kami lakukan?“ bertanya Agung Sedayu.

“Ujung pasukan Mataram akan menjadi lebih berkesan jika ia mempergunakan seekor kuda yang paling baik,“ berkata Kiai Gajah Lengit.

Agung Sedayu berpaling ke arah Glagah Putih. Namun keduanya memang sudah menduga, bahwa yang dikatakan orang itulah persoalan yang sebenarnya akan timbul.

Namun sejenak kemudian Agung Sedayu menjawab, “Ya. Sudah tentu Ki Sanak. Ujung pasukan itu tentu akan nampak lebih besar dan lebih pantas, bahkan lebih berwibawa.”

“Syukurlah jika kau mengerti. Agaknya kau adalah seorang di antara kawula Mataram yang baik,“ berkata orang itu.

“Terima kasih atas pujian ini,“ jawab Agung Sedayu.

“Nah, sekarang, kita bertukar kuda. Sepupumu pakai kudaku dan aku akan memakai kudanya. Aku akan berada di ujung pasukan dengan dada tengadah. Justru di muka pepucuk prajurit Pajang yang telah dikirim ke Mataram yang dipimpin oleh muridku itu,“ berkata Gajah Lengit.

Tetapi Agung Sedayu menggeleng. Katanya, “Jangan Ki Sanak. Sepupuku memerlukan kudanya. Ia tentu berkeberatan untuk menukarkan kudanya.“

Orang itu terkejut. Ia mengira bahwa rencananya itu akan dapat berjalan dengan sangat lancar tanpa persoalan.

“Tetapi bukankah kau sependapat, bahwa kuda yang terbaik akan berada di paling depan?“ bertanya orang itu.

“Ya. Aku sependapat,“ jawab Agung Sedayu.

“Tetapi kenapa kau keberatan untuk menukarkan kuda kita? Bukankah dengan demikian berarti kau sudah ikut membantu perjuangan Mataram untuk menegakkan kesatuan wilayahnya?“ bertanya orang itu.

“Aku sependapat, bahwa kuda yang terbaik akan berada di paling depan. Tetapi kuda itu sudah tentu bukan kuda sepupuku,“ jawab Agung Sedayu.

“Jadi kuda siapa?“ bertanya Gajah Lengit.

“Bukankah di Istana Mataram banyak terdapat kuda sebaik kuda sepupuku? Karena itu, aku harap Ki Sanak minta kepada Panembahan Senapati kuda yang tegar dan besar, bahkan melampaui kuda sepupuku ini,“ jawab Agung Sedayu.

Wajah orang itu menjadi merah. Ia sadar, bahwa kedua orang itu sama sekali tidak merasa takut menghadapinya. Keduanya bukannya dengan serta merta memberikan kuda yang diminta, tetapi justru telah mempermainkannya. Karena itu, maka Kiai Gajah Lengit itu telah berkata dengan geram, “Jadi kalian sengaja mencari persoalan?“

“Maksud Ki Sanak?“ bertanya Agung Sedayu.

“Aku tidak peduli. Tetapi aku minta kuda itu. Tidak sekedar tukar menukar. Tetapi kuda itu aku rampas, boleh atau tidak boleh,“ geram Gajah Lengit.

“Apakah dengan demikian Ki Sanak telah menganggap bahwa kami telah mencari persoalan?“ bertanya Agung Sedayu.

“Persetan,“ geram orang itu, “ingat. Aku adalah Gajah Lengit. Muridku adalah seorang pemimpin kelompok prajurit Pajang yang kini berada di Mataram untuk menjemput Panembahan Senapati. Jika kau berani menentang kehendakku, maka berarti kau berani menentang Panembahan Senapati.“

Agung Sedayu justru tertawa. Katanya, “Jalan pikiranmu aneh Ki Sanak. Jika kau ingin merampas kuda itu, apakah berarti Panembahan Senapati juga ingin merampas kuda itu?“

“Cukup!“ bentak orang itu, “Sekarang berikan kuda itu.“

Tetapi Agung Sedayu menjawab, “Sudahlah Ki Sanak, jangan berusaha melanggar hak orang lain. Kita berpisah di sini. Kami akan meneruskan perjalanan kami.“

“Jangan terlalu sombong. Kau tidak akan dapat melepaskan diri dari tanganku. Jika kau menentang keinginanku, maka kau akan menyesal sepanjang umurmu. Atau bahkan kau akan mati di sini,“ Kiai Gajah Lengit mengancam.

Tetapi Agung Sedayu masih saja tersenyum sambil berkata, “Jangan menakuti aku seperti menakuti anak-anak.“

“Persetan,“ geram orang itu. Lalu memberi isyarat kepada kedua orang yang disebutnya kedua Pututnya itu. “Berikan sedikit ajaran kepada kedua orang itu agar jera. Pada suatu saat mereka mungkin akan bertemu lagi dengan kita, sehingga mereka tidak akan berani lagi menyombongkan dirinya seperti itu.“

“Baik Guru,“ jawab keduanya hampir berbareng.

Sejenak kemudian kedua orang itu telah meloncat turun dari kuda mereka. Mengikat kuda mereka pada sebatang pohon di pinggir jalan. Kemudian melangkah mendekati Agung Sedayu dan Glagah Putih.

“Turun dari kuda! Atau kalian akan mati dan mayatmu akan diseret oleh kudamu!“ bentak salah seorang Putut.

Agung Sedayu dan Glagah Putih termangu-mangu. Namun keduanya pun kemudian bersepakat untuk turun, kemudian mengikat kuda mereka di tempat yang agak jauh, agar Kiai Gajah Lengit tidak dapat berbuat curang dengan mengambil kuda itu ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih berkelahi.

“Kau memerlukan waktu yang lama untuk melepaskan tali ikatannya, jika kau ingin mengambilnya dengan curang,“ berkata Agung Sedayu.

“Kau akan digigitnya,“ tambah Glagah Putih, “kudaku sudah aku ajari menggigit orang lain yang akan mengambilnya.“

Kiai Gajah Lengit tidak menjawab. Tetapi ia justru berteriak kepada kedua orang Pututnya, “Buat mereka jera! Jika perlu bunuh saja keduanya.“

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia sempat berbisik kepada Glagah Putih, “Berhati-hatilah. Kita belum tahu tataran kemampuan mereka. Sementara itu, jangan lengah. Orang tua itu dapat berbuat curang dengan mengambil kudamu.“

Glagah Putih mengangguk sambil berdesis, “Ya Kakang.“

Sejenak kemudian, kedua orang Putut itu telah berhadapan dengan Agung Sedayu dan Glagah Putih. Putut Sadak Ijo-lah yang telah menghadapi Agung Sedayu, sedang Putut Lengkara telah mendekati Glagah Putih.

Dengan garang Putut Lengkara berkata, “Guru tidak pernah dikecewakan oleh siapapun. Karenanya, jangan mencoba mengecewakan Guru. Siapa yang menolak perintahnya, ia akan kecewa seumur hidupnya.“

“Paugeran itu tentu saja berlaku bagi padepokan kalian. Tetapi tentu tidak berlaku bagi orang lain,“ jawab Glagah Putih.

“Paugeran ini berlaku bagi semua orang,“ geram Putut Lengkara.

“Juga bagi Panembahan Senapati? Seandainya Panembahan Senapati membuat gurumu kecewa, apakah gurumu juga akan menghukumnya?“ bertanya Glagah Putih.

“Panembahan Senapati tidak pernah membuat Guru kecewa. Bahkan Panembahan Senapati telah membuat Guru merasa sangat berkenan di hati. Panembahan Senapati tahu benar, bahwa Guru sangat diperlukan, sehingga sebelum minta, Guru telah mendapat apa yang diingininya,“ sahut Putut Lengkara.

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Kenapa gurumu tidak minta seekor kuda? Aku tahu di istana Panembahan Senapati ada lebih sepuluh ekor kuda sebagus bahkan lebih bagus dari kudaku.“

“Persetan,“ geram Putut Lengkara, “kau kira sepuluh ekor kuda cukup untuk dibawa ke Madiun? Sepuluh ekor kuda itu tentu seluruhnya akan diberikan kepada Guru jika Guru mengatakannya kepada Panembahan Senapati. Tetapi sudah tentu Guru tahu, bahwa Pasukan Pengawal Khusus juga memerlukan kuda, sehingga Guru sama sekali tidak ingin mengambil kuda itu meskipun pasti akan diberikannya.“

“Tetapi kenapa gurumu akan mengambil kudaku?“ bertanya Glagah Putih, “Bukankah gurumu tahu bahwa aku pun memerlukan kudaku itu?“

“Kau harus membantu perjuangan Mataram melawan Madiun!“ bentak Putut Lengkara.

“Itu bukan urusanku. Itu urusan orang-orang Mataram,“ jawab Glagah Putih.

“Jika demikian, kau sudah berkhianat. Seharusnya setiap orang Mataram membantu perjuangan suci untuk menegakkan wibawa Mataram. Jika kau acuh tak acuh atas perjuangan yang suci dan luhur itu, maka kau adalah pengkhianat. Kau tahu, hukuman bagi pengkhianat seperti kau?” bertanya orang itu.

“Tidak,“ jawab Glagah Putih.

“Orang itu harus dihukum mati,“ jawab Putut Lengkara.

“Siapakah yang berhak menghukum mati seseorang?“ bertanya Glagah Putih.

Orang itu membelalakkan matanya. Namun kemudian ia menjawab, “Guru berhak menghukum mati orang yang tidak patuh dan melakukan perintahnya, karena muridnya, saudara seperguruanku, adalah seorang Lurah prajurit di Pajang.“

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Jika demikian aku juga berhak menghukum mati.“

“Kenapa?“ bertanya orang itu.

“Karena kakak ipar saudara sepupu ayahku adalah seorang prajurit Mataram,“ jawab Glagah Putih.

Putut Lengkara itu menjadi sangat marah. Sementara Kiai Gajah Lengit itu pun berteriak, “Bunuh anak itu! Jangan terlalu banyak berbicara.“

Putut Lengkara pun segera melangkah mendekat. Wajahnya nampak semakin garang. Sementara itu matahari telah terbenam. Langit yang merah pun menjadi kehitaman. Bintang-bintang mulai nampak bergayutan di langit yang jernih.

Ternyata Putut Sadak Ijo tidak terlalu banyak berbicara sebagaimana Putut Lengkara. Tetapi ia masih juga sempat memberi peringatan, “Selagi masih ada kesempatan.“

Agung Sedayu menjawab dengan nada rendah, “Jangan mimpi. Hari sudah terlalu sore.“

Putut Sadak Ijo mengumpat kasar. Namun iapun telah bersiap untuk bertempur. Sejenak kemudian, maka Putut Sadak Ijo pun telah meloncat menyerang Agung Sedayu.

Agung Sedayu memang sudah bersiap sepenuhnya. Ia sama sekali tidak pernah merendahkan lawannya. Apalagi lawan yang belum diketahui tingkat kemampuannya. Dengan bergeser selangkah, Agung Sedayu menghindari serangan itu. Bahkan iapun telah memutar tubuhnya sambil mengayunkan tangannya. Namun tangannya sama sekali tidak menyentuh Putut Sadak Ijo yang meloncat menghindar.

Keduanya pun kemudian telah terlibat dalam pertempuran yang semakin cepat. Namun agaknya keduanya masih ingin saling menjajagi. Putut Sadak Ijo yang melihat sikap Agung Sedayu yang begitu yakin itu pun mengerti, bahwa Agung Sedayu tentu memiliki ilmu yang cukup tinggi. Karena itu, maka Putut Sadak Ijo pun cukup berhati-hati menghadapi lawannya yang belum pernah dikenalnya itu.

Sementara itu, Putut Lengkara pun telah bertempur melawan Glagah Putih. Sebagaimana Putut Sadak Ijo, maka Putut Lengkara pun mempunyai perhitungan yang sama. Meskipun orang yang memiliki kuda itu masih terlalu muda, tetapi agaknya ia memiliki bekal kemampuan yang tinggi.

Beberapa saat mereka masih menjajagi kemampuan lawan masing-masing. Agung Sedayu yang mengikuti saja tingkat kemampuan lawannya segera mengetahui, bahwa lawannya tidak lagi dapat meningkatkan ilmunya karena ia sudah sampai di puncak. Bahkan ketika Agung Sedayu meningkatkan selapis lagi ilmunya, orang itu sudah mengalami kesulitan.

Agung Sedayu memang menjadi heran. Apakah yang diandalkan oleh kedua Putut itu, sehingga mereka telah berani melakukan satu langkah yang sangat berbahaya di Mataram. Seharusnya orang-orang itu mengetahui bahwa ia tidak dapat berbuat sekehendak hatinya di Mataram dan sekitarnya, karena di Mataram dan sekitarnya tentu terdapat orang-orang yang akan mampu mengimbangi kemampuan mereka.

Demikian pula Putut Lengkara yang bertempur melawan Glagah Putih. Beberapa saat kemudian, maka ia telah kehilangan kesempatan untuk dapat mengatasi ilmu anak muda itu. Karena itu, maka kedua orang itu tidak banyak berarti bagi Agung Sedayu dan Glagah Putih. Seandainya Agung Sedayu dan Glagah Putih berniat, maka dalam waktu yang singkat keduanya akan dapat dengan cepat mengalahkan mereka tanpa harus menitikkan keringat. Namun justru karena itu. Agung Sedayu dan Glagah Putih menjadi curiga. Mungkin yang dihadapi bukannya kemampuan yang sebenarnya, atau sekedar jebakan untuk menyesatkan mereka.

Orang yang menyebut dirinya Gajah Lengit itu masih duduk di atas kudanya. Ia melihat kedua orang Putut kepercayaannya itu dengan cepat mulai terdesak. Tetapi orang itu masih saja duduk dengan tenangnya. Beberapa saat kemudian, kedua orang Putut itu benar-benar sudah tidak berdaya. Agung Sedayu dan Glagah Putih yang termangu-mangu menghadapi mereka, telah beberapa kali menyentuh semakin jauh.

Namun tiba-tiba saja terdengar orang di punggung kuda itu tertawa. Katanya, “Ternyata kedua orang itu bukan lawanmu. Keduanya memiliki tataran ilmu di atas kalian berdua. Tetapi kalian tidak boleh putus asa. Kalian bukan orang-orang yang tidak berdaya. Nah, jika demikian, pergunakanlah senjata kalian.“

Kedua orang Putut itu telah meloncat surut untuk mengambil jarak. Sejenak kemudian, maka keduanya telah menarik senjata masing-masing. Tidak lebih besar dari sebilah keris. Namun ujudnya agak berbeda. Hulu senjata itu berbeda dengan hulu sebilah keris kebanyakan.

“Nah,“ berkata orang yang duduk di atas punggung kudanya. “Ternyata kedua orang itu benar-benar tidak mau memenuhi keinginanku. Karena itu, maka keduanya pantas mendapat hukuman yang paling berat. Hukuman mati.“

Agung Sedayu dan Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun mereka pun menyadari, bahwa dengan demikian mereka akan bertempur dalam babak yang baru. Agaknya kedua orang Putut itu mempercayakan kekuatan dan kemampuan mereka pada kedua senjata itu.

“Cepat!“ terdengar orang yang duduk di atas punggung kuda itu berteriak.

Malam sudah menjadi semakin larut. Agung Sedayu dan Glagah Putih masih harus menempuh perjalanan yang agak panjang. Mereka masih harus menyeberangi Kali Praga dan menempuh jalan dari tepian sampai ke padukuhan induk Tanah Perdikan. Karena itu, maka keduanya pun telah berniat untuk dengan cepat mengakhiri pertempuran.

Tetapi ketika kedua orang Putut dengan senjata di tangan masing-masing itu mulai bergerak, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih segera menyadari, bahwa kedua orang itu bukannya kedua orang yang tidak berdaya sebelumnya. Dengan keris di tangannya maka kedua orang itu telah berloncatan dengan garangnya. Serangan-serangan mereka datang membadai. Ujung keris itu di gelapnya malam justru seakan-akan telah menyala kemerah-merahan.

“Tentu bukan keris kebanyakan,“ desis Glagah Putih.

Dengan tingkat kemampuan lawannya yang mejonjak setelah ia menggenggam keris di tangannya, maka Glagah Putih pun harus meningkatkan kemampuannya pula. Dengan tangkas ia berloncatan menghindari serangan yang garang dan bahkan menjadi ganas. Namun sekali-kali Glagah Putih pun telah berloncatan menyerang pula.

Orang yang berada di punggung kuda itu memang menjadi heran. Kedua orang itu ternyata mampu bertahan cukup lama menghadapi kedua Pututnya, meskipun keduanya telah menarik senjata mereka yang dapat mempengaruhi kemampuan mereka.

Sebenarnyalah Agung Sedayu dan Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Keris di tangan kedua orang itu bukan saja bercahaya kemerah-merahan. Tetapi kedua ujung senjata itu seolah-olah mempunyai mata yang mampu menembus kegelapan.

Tetapi karena Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak segera dapat diselesaikan, maka orang yang duduk di punggung kudanya itupun telah berkata lantang, “Apa boleh buat. Kematian kalian adalah kematian yang paling pahit, karena tubuh kalian akan hangus menjadi debu. Tidak seorangpun akan dapat mengenali kalian lagi. Apalagi karena kuda-kuda kalian akan kami bawa ke Mataram.“

“Siapakah kalian sebenarnya,“ geram Agung Sedayu.

“Sudah aku katakan, bahwa aku adalah guru dari pemimpin Mataram dalam perjalanan ke Timur,“ jawab orang yang masih duduk di punggung kudanya itu.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah iapun berkata, “Jika demikian, kenapa tidak kau simpan saja kemampuanmu, sehingga kelak akan dapat kalian pergunakan bila kau dan kedua Pututmu itu berada di medan?“

“Tentu,“ jawab orang itu. Namun ia melanjutkan, “Tetapi serahkan kudamu.“

“Tidak Ki Sanak,“ jawab Glagah Putih, “aku sudah menjawab beberapa kali. Dan jawabku tidak akan berubah.“

“Bagus,“ berkata orang itu, “kau akan segera menjadi abu.“

Orang yang di atas punggung kuda itu pun tiba-tiba telah menarik senjatanya pula. Mirip seperti senjata kedua Pututnya itu. Sementara itu dari mulutnya terdengar perintah, “Kita tidak mempunyai pilihan lain. Pergunakan senjata kalian sebaik-baiknya. Aku akan memberinya tenaga.“

“Baik Guru,“ jawab kedua orang Putut itu hampir berbareng.

“Jangan menahan diri lagi. Kedua orang itu benar-benar tidak pantas untuk dimaafkan. Bakar mereka menjadi abu, agar besok pagi jejaknya akan terhapus oleh hembusan angin,“ berkata orang yang berada di atas punggung kuda.

Kedua Putut itu pun segera mempersiapkan diri untuk meningkatkan lagi ilmunya, setelah senjatanya nanti diberi tenaga oleh senjata orang yang ada di punggung kuda itu.

Untuk menghadapi keduanya, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih pun telah bersiap pula. Mereka berdiri pada jarak tiga langkah, serta meletakkan kemampuan mereka pada tataran ilmu yang lebih tinggi.

Sekejap kemudian Agung Sedayu dan Glagah Putih terkejut ketika mereka melihat ketiga orang itu mengangkat senjatanya. Cahaya kilat telah meloncat dari ujung senjata orang yang duduk di atas punggung kuda itu ke ujung keris kedua orang Pututnya. Dengan demikian, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih menyadari, bahwa kedua-lawannya itu tidak lagi berada pada kemampuan wajar mereka.

Sejenak kemudian terdengar orang di atas punggung kuda itu tertawa. Katanya, “Aku jarang sekali mempergunakan ilmuku yang tidak ada duanya ini. Tetapi karena kalian berdua ternyata benar-benar orang yang memuakkan, maka aku berniat untuk menghapus saja kehadiran kalian dari muka bumi.“

“Apakah kau tidak berpikir, bahwa tenagaku dapat aku sumbangkan kepada Mataram sebagaimana kalian bertiga?“ bertanya Agung Sedayu.

Tetapi orang itu tertawa semakin keras. Katanya, “Jangankan tenaga, pikiran dan apalagi nyawamu. Sedang kudamu pun kau tidak mau memberikannya kepadaku. Aku akui, bahwa kalian berdua ternyata memang memiliki bekal ilmu. Ternyata kalian berdua dapat melawan kedua Pututku bahkan setelah ia menggenggam senjatanya. Tetapi dengan kekuatan yang aku berikan kepada mereka, maka kalian tidak akan berarti apa-apa.“

“Ilmu yang aneh,“ desis Glagah Putih, “dengan demikian maka kedua orang Pututmu itu sangat tergantung kepadamu. Bagaimana jika kedua Pututmu itu kelak setelah masanya berdiri sendiri? Apakah dengan demikian bukan berarti bahwa untuk selamanya mereka akan tetap menjadi bayi yang harus kau susui?“

“Persetan,“ geram orang berkuda itu. Ia ternyata sudah tidak tertawa lagi. “Akan datang saatnya mereka menjadi dewasa, sehingga tidak memerlukan lagi kekuatan dari aku. Mereka sedang merintis jalan menuju ke puncak kemampuannya, sehingga keduanya masih harus dituntun. Tetapi sudah tentu bahwa itu lebih baik daripada harus mengalami nasib buruk jika keduanya bertemu orang-orang macam kalian.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun ia masih bertanya, “Bagaimana jika kedua Pututmu mati? Apakah senjata-senjata mereka itu tidak ada artinya lagi, atau kau akan memungutnya dan memberikan kepada orang lain yang akan kau angkat menjadi Pututmu, menggantikan kedua orang itu?“

“Cukup!“ bentak orang itu, “Kau terlalu banyak bicara.“

Lalu katanya kepada kedua Pututnya, “Jangan biarkan orang itu mengigau. Bunuh mereka dengan nafas apimu, agar keduanya menjadi abu.“

Kedua orang Putut itu tidak bertanya lebih lanjut. Keduanya pun segera bersiap sambil mengangkat kerisnya tinggi-tinggi. Sementara itu, orang yang berada di punggung kuda itu masih saja memegang senjatanya serta dengan tegang mengawasi kedua orang Pututnya.

Sejenak kemudian maka kedua orang Putut itu telah meloncat menyerang Agung Sedayu dan Glagah Putih. Keduanya berloncatan semakin cepat, serta tenaganya pun menjadi semakin kuat.

Agung Sedayu dan Glagah Putih sudah menduganya. Karena itu, maka keduanya pun telah bersiap menghadapi kemungkinan itu.

Ternyata bahwa kedua orang itu menjadi sangat berbahaya bagi Agung Sedayu dan Glagah Putih. Ujung-ujung senjata mereka beberapa kali hampir saja menyentuh tubuh Agung Sedayu maupun Glagah Putih. Karena itu, maka mereka pun harus menjadi semakin berhati-hati.

Tetapi Agung Sedayu tidak berniat untuk dengan serta merta mempergunakan kemampuannya yang tertinggi. Agung Sedayu masih ingin menjajagi, ilmu apa lagi yang akan dipertunjukkan oleh kedua orang Putut itu. Karena itu, maka Agung Sedayu pun telah mengurai cambuk di lambungnya. Sementara Glagah Putih pun telah menirukannya pula. Anak muda itu pun telah pula menarik pedangnya.

Orang yang duduk di punggung kuda itu terkejut. Hampir di luar sadarnya berdesis, “Orang Bercambuk.“

Agung Sedayu memang mendengarnya. Tetapi ia sama sekali tidak menghiraukannya. Ia masih saja bertempur melawan Putut Sadak Ijo yang menjadi semakin garang.

“He, Agung Sedayu,“ panggil Gajah Lengit, “darimana kau dapatkan cambuk itu?“

Agung Sedayu yang sedang diserang oleh Putut Sadak Ijo itu tidak segera menjawab. Namun iapun meloncat mengambil jarak, sementara Putut Sadak Ijo tidak segera memburunya. Agaknya ia memang memberi kesempatan kepada Agung Sedayu untuk menjawab pertanyaan gurunya.

Agung Sedayu yang terbebas untuk sementara dari liabatan lawannya itu sempat menjawab, “Cambuk ini aku dapatkan dari seseorang.“

“Bagus,“ jawab Gajah Lengit, “aku ingin tahu apakah kau keturunan dari perguruan Orang Bercambuk atau kau sekedar seorang gembala yang terbiasa bermain-main dengan cambuk.“

“Atau kedua-duanya,“ sahut Agung Sedayu.

“Persetan,“ geram orang itu. Lalu katanya kepada muridnya, “Paksa orang itu melepaskan ilmu puncaknya sebelum mati, agar aku dapat melihat, apakah orang itu memiliki warisan ilmu dari perguruan Orang Bercambuk. Jangan tergesa-gesa membunuhnya sebelum aku mengenali ilmunya.“

Agung Sedayu tiba-tiba saja tertawa. Katanya, “Apakah kau mampu mengenali ilmu Orang Bercambuk?“

“Ada beberapa unsur yang aku kenali,“ jawab Gajah Lengit.

“Kau kenal dengan Orang Bercambuk?“ bertanya Agung Sedayu.

Orang itu termangu-mangu. Namun kemudian ia terpaksa menggeleng, “Tidak. Aku tidak mengenalnya.“

“Jika demikian, darimana kau kenal ilmu Orang Bercambuk itu?“ bertanya Agung Sedayu.

“Pertanyaan yang bodoh,“ berkata Gajah Lengit, “orang yang berilmu akan dengan cepat mampu menilai apakah ilmu orang lain cukup bernilai atau tidak. Jika kau bermain dengan cambukmu, maka aku pun akan segera mengetahui, apakah sebenarnya kau memiliki ilmu yang mapan. Aku akan dapat menilai, bahwa ilmu yang kau tunjukkan itu bersumber dari sebuah perguruan yang besar atau sekedar permainan yang memuakkan dari orang-orang berilmu kerdil. Sementara itu, sudah kawentar sampai ke segala sudut Tanah ini, bahwa permainan cambuk yang terbaik adalah dari perguruan Orang Bercambuk.“

“Jadi yang kau pakai dasar dari penilaianmu adalah kata orang,“ desis Agung Sedayu.

“Cukup,“ geram orang itu. Lalu katanya kepada muridnya, “Bunuh orang itu dengan senjatamu yang telah mendapat kekuatan dari aku.“

Putut Sadak Ijo tidak menunggu lagi. Iapun dengan serta merta telah meloncat menyerang Agung Sedayu.

Sementara itu, Putut Lengkara masih bertempur dengan sengitnya melawan Glagah Putih. Ternyata bahwa kekuatan yang meloncat dari ujung senjata Gajah Lengit ke ujung senjata Putut itu, terasa sekali pengaruhnya. Putut Lengkara seakan-akan menjadi semakin kuat, semakin tangkas dan kemampuannya menjadi semakin tinggi. Tetapi Glagah Putih ternyata masih mampu mengimbanginya. Dengan pedang di tangan, maka Glagah Putih pun menjadi semakin berbahaya.

Namun dalam benturan-benturan senjata, terasa bahwa getaran yang tajam seakan-akan telah mengalir dan menusuk langsung ke dalam urat-urat darahnya. Glagah Putih dengan cepat menilai getaran yang setiap kali terasa mempengaruhinya. Semakin sering terjadi benturan, maka terasa tusukan getaran itu semakin tajam menyusup ke dalam dirinya.

Yang pertama-tama dilakukan oleh Glagah Putih adalah menghindari setiap benturan. Ia justru berusaha mengelak, namun kemudian dengan ujung pedangnya ia menggapai tubuh lawannya. Dengan meningkatkan kecepatan geraknya, maka Glagah Putih berusaha untuk sesedikit mungkin menyentuh senjata lawannya yang berwarna kemerah-merahan itu.

Sebenarnyalah di setiap benturan senjata, kekuatan ilmu dari senjata Putut itu bergetar dan menyusup ke dalam tubuh Glagah Putih. Kekuatan yang sedikit demi sedikit telah menghambat kerja urat-urat di dalam tubuh Glagah Putih, sehingga dengan demikian, maka rasa-rasanya kekuatan Glagah Putih itu terlalu cepat menyusut.

Untunglah, bahwa Glagah Putih dengan cepat dapat mengenali kesulitan itu. Karena itu, maka iapun telah menggeram sambil berkata, “Ternyata kau memiliki ilmu yang luar biasa. Ilmu yang dengan diam-diam dapat melumpuhkan kekuatan lawan.“

“Setan mana yang memberimu peringatan tentang kemampuanku itu?“ geram Putut Lengkara.

“Aku tidak pernah mengalami kesulitan seperti ini di dalam diriku. Namun tiba-tiba saja aku kini merasakannya. Sebagai seorang yang mengenal banyak orang-orang berilmu, maka aku pernah mendengar tentang ilmu seperti itu. Bahkan ilmu yang mampu menghisap kekuatan lawannya. Yang lebih dahsyat lagi adalah bahwa ada di antara orang berilmu yang mampu menghisap kemampuan lawan, dan sekaligus meningkatkan ilmunya sendiri sesuai dengan tingkat kekuatan ilmu yang dihisapnya,“ berkata Glagah Putih.

“Jika demikian, maka menyerahlah. Kau akan mati dengan cara yang lebih baik daripada jika kau melawan,“ berkata Putut Lengkara.

Tetapi Glagah Putih tertawa pendek. Sambil memutar pedangnya ia berkata, “Jika aku mengatakannya kepadamu, justru aku mencoba untuk membujukmu agar kau menghentikan tingkah lakumu yang menodai kebersihan prajurit Pajang. Aku tahu bahwa yang kau lakukan itu tidak akan dilakukan prajurit Pajang itu sendiri. Tetapi gurumu yang merasa dirinya lebih baik dari prajurit Pajang, karena pemimpin kelompok prajurit Pajang itu adalah muridnya, telah melakukan sesuatu yang sangat memalukan. Menyamun.“

“Tutup mulutmu!“

Putut Lengkara itu pun dengan cepat melibat Glagah Putih dalam pertempuran yang semakin cepat. Namun Glagah Putih sudah bersiap menghadapinya. Ia tidak berusaha menangkis serangan-serangan lawannya. Tetapi pedangnya berputaran mengerikan. Ujungnya seperti seekor lalat yang terbang mengelilingi lawannya. Bahkan sekali ujung pedang Glagah Putih itu hinggap di lengan Putut Lengkara.

“Setan kau,“ geram Putut Lengkara.

Namun Glagah Putih pun harus berdesah. Demikian ujung pedangnya mengoyak kulit lengan lawannya, maka getaran itu terasa merambat lewat ujung pedangnya menusuk ke bagian dalam tubuhnya. Karena ujung pedangnya langsung menyentuh tubuh lawannya, maka rasa-rasanya getaran itu terasa lebih tajam dan lebih dalam menghunjam ke dalam dirinya. Karena itu justru Glagah Putih telah meloncat surut. Sejenak ia sempat mengamati lawannya yang mengusap lukanya dengan tangannya.

“Aneh,“ berdesis Glagah Putih di dalam hatinya, “ternyata orang itu memang mempunyai ilmu yang tinggi. Bukan sekedar karena kekuatan keris di tangannya. Sentuhan pada tubuhnya ternyata juga menjadi rambatan ilmunya yang menggetarkan itu. Bahkan terasa lebih tajam menusuk urat-urat di dalam tubuhku.“

Namun Glagah Putih masih belum dapat mengambil satu kepastian yang meyakinkan. Apakah kekuatan ilmu itu ada di senjatanya atau memang dimiliki oleh Putut itu, sehingga ia bukan sekedar bayangan dari gurunya. Atau paduan dari kedua-duanya, sehingga hasilnya adalah kekuatan yang aneh itu.

Tetapi betapapun lemahnya kemudian, getaran itu masih saja terasa merambat lewat ujung pedangnya ke telapak tangannya. Rasa-rasanya seperti tidak henti-hentinya, meskipun ia sudah berdiri pada jarak beberapa langkah dari tubuh lawannya.

Glagah Putih termangu-mangu. Sudah tentu ia tidak dapat melepaskan pedangnya jika ia harus bertempur dengan lawannya yang membawa senjata yang mendebarkan itu. Yang ujungnya seakan-akan berwarna kemerah-merahan. Tetapi getaran itu terasa mengganggu telapak tangannya, dan bahkan meskipun lemah, menyusup ke dalam tubuhnya.

Untuk meyakinkan perasaannya, Glagah Putih telah memindahkan pedangnya ke tangan kirinya. Ternyata getaran itu pun telah ikut berpindah dan menyusup lewat telapak tangan kirinya. Namun Glagah Putih adalah anak muda yang ternyata memiliki ketajaman penalaran, sehingga ia tidak sekedar termangu-mangu dan gelisah.

Sementara itu, lawannya yang melihat Glagah Putih gelisah, tertawa berkepanjangan. Katanya, “Sudah aku katakan. Menyerah sajalah, agar kau mendapatkan jalan kematian yang lebih baik. Jangan gelisahkan kudamu bahwa tidak akan ada yang memeliharanya.“

Glagah Putih memang menjadi berdebar-debar. Sementara itu orang yang duduk di atas kudanya itupun tertawa pula sambil berkata, “Cepat, selesaikan lawanmu. Kemudian kita akan segera kembali ke Mataram. Pada saatnya kita akan berada di ujung pasukan dengan seekor kuda yang besar dan tegar.“

Putut Lengkara mengangguk sambil berkata, “Baik Guru.“

Glagah Putih memang menjadi berdebar-debar. Ternyata ia telah menemukan lawan yang memiliki ilmu yang aneh. Bukan saja ketika terjadi sentuhan, tetapi pedang yang sudah di tangannya itu masih saja menjadi rambatan ilmu lawannya. Meskipun lemah, tetapi terasa sangat mengganggunya. Seperti sekelompok semut yang merambat di telapak tangannya, menyusup masuk ke bawah kulitnya tanpa dapat dihalaunya.

Sementara itu, Agung Sedayu telah bertempur dengan cepat pula. Cambuknya berputaran dan bahkan telah meledak dengan kerasnya.

Tetapi orang yang duduk di punggung kuda itu berkata, “Ledakan itu memang memekakkan telinga. Tetapi ledakan itu tidak lebih dari ledakan cambuk gembala kerbau yang marah karena kerbaunya makan tanaman.“

Agung Sedayu tak menghiraukannya. Ia memang sedang menjajagi lawannya. Namun seperti juga Glagah Putih, setiap sentuhan dengan senjata lawannya yang kemerah-merahan itu terasa getaran yang tajam menusuk ke dalam tubuhnya. Tetapi Agung Sedayu pun cepat mengetahui bahwa lawannya memang memiliki ilmu yang mampu melumpuhkan lawannya dengan menyerang langsung bagian dalam tubuhnya dengan cara yang lunak. Dengan getaran ilmu yang menyusup ke dalam tubuhnya dan menghambat geraknya. Karena itu, maka Agung Sedayu pun menjadi sangat berhati-hati menghadapi lawannya itu. Iapun telah berusaha untuk tidak membentur senjata lawannya.

Namun dalam pada itu, Agung Sedayu melihat bahwa lawannya masih belum memiliki kematangan ilmu sebagaimana orang yang duduk di atas punggung kuda itu, meskipun Agung Sedayu merasa bahwa ia harus sangat berhati-hati menghadapi ilmu lawannya itu.

Dengan demikian maka Agung Sedayu telah mencoba mempengaruhi lawannya dengan tanpa menyentuhnya. Tetapi ia telah meledakkan cambuknya dekat di telinga lawannya itu, berganti-ganti menyebelah.

Ternyata lawannya itu memang menjadi semakin marah. Suara itu rasa-rasanya memang memekakkan telinganya, sehingga kadang-kadang desing suaranya masih saja mengganggunya meskipun ledakan cambuk itu sudah terjadi.

“Jangan bingung,“ teriak orang yang di atas punggug kuda, “suara itu tidak akan menyakitimu.“

“Tetapi suara itu sangat mengganggu,“ geram orang itu.

“Karena itu bunuh orang itu!“ teriak yang duduk di punggung kuda.

Orang itu pun kemudian telah menyerang Agung Sedayu semakin sengit. Senjatanya berputaran dengan cepat, sehingga ujung yang kemerah-merahan itu seakan-akan telah membentuk gumpalan bara yang semakin besar.

Tetapi Agung Sedayu yang memiliki ilmu yang tinggi dan pengalaman yang luas itu sama sekali tidak menjadi bingung. Ia masih saja mengganggu lawannya dengan ledakan-ledakan cambuk yang keras bagaikan memecahkan selaput telinga.

Namun akhirnya Agung Sedayu pun merasa perlu untuk mengambil langkah-langkah untuk mengakhiri pertempuran itu. Agung Sedayu sudah memperhitungkan, bahwa jika Putut itu dapat dikalahkannya, maka ia harus bertempur melawan orang yang duduk di punggung kuda sambil memegangi senjatanya itu. Untuk beberapa saat Agung Sedayu masih meledakkan cambuknya di telinga lawannya. Namun kemudian ujung cambuk itu rasa-rasanya, semakin lama menjadi semakin dekat dengan kulit Putut Sadak Ijo. Bahkan beberapa saat kemudian, Agung Sedayu mulai menyentuh tubuh lawannya. Tetapi ia memang sengaja tidak melukainya.

Terasa getaran itu memang mengalir lewat juntai dan tangkai cambuknya. Tetapi Agung Sedayu berusaha mengatasinya dengan daya tahannya. Sementara itu Putut Sadak Ijo merasa heran, bahwa lawannya seakan-akan tahu, bahwa ia harus menghindari benturan dengan senjatanya. Karena itu, maka Putut Sadak Ijo itu menjadi semakin yakin, bahwa lawannya adalah orang yang berilmu tinggi serta memiliki pengalaman dan pengetahuan yang sangat luas tentang olah kanuragan.

Ternyata orang yang duduk di atas punggung kuda itu melihat kegelisahan Pututnya yang ternyata telah membuatnya gelisah pula.

Namun ternyata bahwa Putut Sadak Ijo telah mengerahkan segenap kemampuannya. Dengan loncatan-loncatan yang cepat dan ayunan senjatanya yang menggetarkan itu, maka ia telah mendesak Agung Sedayu yang masih berusaha menahan diri.

Namun akhirnya Agung Sedayu terpaksa melakukannya. Meskipun ia masih menganggap bahwa kesalahan utama terletak pada orang yang duduk di atas punggung kuda itu, namun ia tidak mau di desak terus menerus oleh Putut itu.

Iapun tidak akan dapat sekedar mengganggu lawannya dengan ledakan-ledakan cambuknya, karena hal itu memang tidak akan menyelesaikan persoalan. Karena itu, maka pada kesempatan berikutnya, Agung Sedayu tidak sekedar meledakkan cambuknya di telinga Putut Sadak Ijo sebelah menyebelah, tetapi Agung Sedayu benar-benar telah menghentikan serangan Putut itu dengan menghentakkan juntai cambuknya ke arah pundak lawannya. Luka di pundak orang itu telah menganga. Putut Sadak Ijo telah meloncat surut. Betapa pundaknya terasa pedih. Sementara darah telah mengalir dari luka itu. Namun dalam pada itu, meskipun Putut itu sudah meloncat menjauh, tetapi Agung Sedayu pun merasakan sesuatu yang aneh. Getaran yang menusuk ke dalam kulitnya dan mengalir di sepanjang urat darahnya itu masih saja terasa. Ia memang mampu mengatasinya dengan daya tahannya. Tetapi getaran itu seakan-akan tidak berhenti juga meskipun sentuhan itu sudah terjadi beberapa saat sebelumnya.

Sebenarnyalah, getaran itu terasa sangat mengganggu meskipun lemah dan tidak menyakiti bagian dalam tubuhnya. Namun rasa-rasanya di tangannya telah berkeliaran seribu serangga yang menyusup ke dalam dagingnya. Namun Agung Sedayu benar-benar seorang yang mempunyai pengalaman dan pengenalan yang luas di dunia olah kanuragan. Sehingga karena itu, maka iapun segera mengetahui apakah sebabnya.

Sementara itu, orang yang duduk di punggung kuda itu berkata, “Jangan mencoba merasa menang. Getaran itu akan menusuk sampai ke jantung. Perlahan-lahan memang. Tetapi jantung kalian akan menjadi beku dan kalian akan mati.“

Namun Agung Sedayu sama sekali tidak menjadi gelisah. Tanpa menjawab kata-kata itu, maka Agung Sedayu pun segera mencakup tanah segenggam. Kemudian dengan tanah itu ia telah membersihkan juntai cambuknya dari darah yang melekat pada ujung cambuk itu.

“Sebelum darah ini kering,“ desis Agung Sedayu.

“Iblis kau,“ geram orang yang duduk di punggung kuda.

Sementara itu Glagah Putih memang telah menjadi gelisah karena getaran yang mengganggu telapak tangannya yang menggenggam pedang. Namun demikian ia telah memaksa diri untuk bertempur dengan kerasnya, sehingga sekali lagi, ujung pedangnya telah menyentuh lambung lawannya. Luka memang telah menganga dari lukanya. Namun getaran itu terasa semakin mengganggunya. Rasa-rasanya Glagah Putih memang ingin melemparkan pedangnya dan mengakhiri pertempuran dengan ilmunya yang mampu menyerang lawannya dari jarak tertentu, dengan inti kekuatan yang terdapat di bentangan alam semesta.

Tetapi ketika ia melihat Agung Sedayu mengusap ujung juntai cambuknya dengan tanah, maka iapun cepat tanggap. Agaknya darah orang itu pun memiliki kekuatan yang dapat berupa getaran sebagaimana ungkapan ilmunya. Karena itu, agaknya darah yang ada di ujung pedang itulah yang telah menyebabkan getaran itu selalu merambat dari ujung pedangnya, lewat telapak tangannya menyusup ke bawah kulitnya.

Dengan demikian, maka dengan serta merta Glagah Putih telah menghunjamkan ujung pedangnya ke tanah beberapa kali sehingga ujung pedang itu benar-benar telah bersih dari lekatan darah Putut Lengkara.

Putut Lengkara yang melihat Glagah Putih membersihkan darahnya itu menggeram pula. Namun dengan sisa tenaganya, orang itu telah berusaha untuk menyerang dan bertempur dengan jarak pendek, karena dengan demikian akan semakin sering terjadi benturan senjata dan sentuhan wadag mereka.

Tetapi Glagah Putih telah memahami keadaan. Karena itu, maka ia tidak terpancing untuk bertempur tanpa jarak. Ia masih saja berloncatan dengan ujung pedang yang siap menggapai lawannya.

Beberapa saat kemudian, sekali lagi ujung pedang Glagah Putih tergores di lengan lawannya. Tetapi dengan cepat Glagah Putih telah menusukkan ujung pedangnya ke tanah, sehingga darah yang melekat di ujung pedang itupun telah bersih sama sekali.

Orang di punggung kuda itupun berteriak marah. Katanya dengan suara yang menggetarkan langit, “Bunuh mereka dengan lontaran ilmu pamungkasmu! Angkat senjata kalian tinggi-tinggi. Aku akan memberikan kekuatan untuk itu.“

Kedua orang itu telah mengambil jarak dari lawannya. Keduanya pun telah mengangkat senjata mereka tinggi-tinggi.

Sekali lagi Agung Sedayu dan Glagah Putih melihat seleret sinar menyambar dari ujung senjata orang yang duduk di punggung kuda, menyentuh ujung-ujung senjata kedua muridnya. Dengan demikian, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih pun telah memusatkan segenap nalar budinya. Agaknya mereka pun harus mempergunakan puncak kemampuan mereka untuk mengatasi lawan-lawan mereka yang memiliki kemampuan yang luar biasa itu.

Namun agaknya Agung Sedayu dengan cepat telah mengambil satu keputusan yang memang berbahaya. Tetapi Agung Sedayu memperhitungkan, bahwa cara yang akan ditempuhnya itu akan dapat mengurangi kemungkinan terburuk dari pertempuran itu. Namun jika ia gagal, maka yang akan terjadi agaknya akan menjadi lebih buruk lagi.

Demikianlah, ketika orang berkuda itu masih mengangkat senjatanya tinggi-tinggi sebagaimana kedua muridnya, sementara seleret sinar dari ujung senjata itu seakan-akan masih menyambar beberapa kali kedua ujung senjata Putut-pututnya, maka Agung Sedayu telah menyerangnya.

Selagi kilatan sinar itu masih menghentak-hentak mengalir dari ujung keris orang berkuda itu, maka Agung Sedayu berdiri tegak dengan kaki renggang. Kedua tangannya memegangi pangkal dan ujung juntai cambuknya.

Namun dalam pada itu, maka Agung Sedayu telah memandang ujung senjata Gajah Lengit itu dengan tajamnya. Agung Sedayu tidak menunggu lagi. Ia tidak mau terlambat. Jika keris itu sudah tidak terangkat lagi tinggi-tinggi, maka sulit baginya untuk melakukan, tanpa menyerang Gajah Lengit sendiri.

Karena itu, selagi senjata itu masih terangkat di atas kepala Gajah Lengit, maka Agung Sedayu telah menyerangnya dengan sinar matanya. Ia tidak menyerang orang yang duduk di atas punggung kuda itu, tetapi ia akan menyerang langsung ujung senjata yang berwarna kemerah-merahan itu.

Agung Sedayu telah memperhitungkan beberapa kemungkinan. Jika kekuatan keris itu melampaui kekuatan getar serangannya, maka serangannya itu akan menikam kembali ke dalam dirinya sehingga ia akan mengalami luka dalam yang gawat. Tetapi jika kekuatan dan tingkat ilmunya lebih tinggi dari kekuatan keris di tangan Gajah Lengit itu, maka ia akan berhasil.

Demikianlah, maka serangan itu telah meluncur dari kedua belah mata Agung Sedayu yang menatap ujung senjata di tangan Gajah Lengit yang terangkat tinggi-tinggi itu. Serangan yang dilontarkan oleh Agung Sedayu dengan segenap kemampuannya, kemampuan orang yang berilmu sangat tinggi.

Sebenarnyalah, bahwa telah terjadi benturan kekuatan antara serangan Agung Sedayu dengan perpaduan kekuatan Gajah Lengit dengan senjata di tangannya. Satu benturan yang menggetarkan kedua belah pihak.

Bagi Gajah Lengit, serangan itu sama sekali tidak diperhitungkan. Ia sama sekali tidak mengira bahwa orang Tanah Perdikan itu memiliki ilmu yang demikian tinggi, sehingga mampu menyerang dengan cahaya matanya. Dengan demikian, maka Gajah Lengit memang tidak mempersiapkan ilmunya untuk melawan serangan itu, selain sekedar bertahan.

Apalagi ternyata bahwa ilmu Agung Sedayu memang lebih besar dari perpaduan kekuatan antara kekuatan Gajah Lengit dan kekuatan yang mampu diserapnya dari senjatanya. Karena itu, maka telah terjadi satu peristiwa yang sangat mengejutkan Gajah Lengit.

Tiba-tiba saja senjata yang dipegangnya itu dan diangkatnya tinggi-tinggi itu telah disambar oleh kekuatan yang tidak ada taranya, sehingga senjata itu telah terlempar dari tangannya. Bahkan kekuatan serangan Agung Sedayu itu demikian besarnya, sehingga Gajah Lengit yang hanya tersentuh ujung senjatanya oleh serangan Agung Sedayu itu justru telah terseret, sehingga orang itu telah terjatuh dari kudanya.

Gajah Lengit sendiri memang tidak tersentuh oleh serangan Agung Sedayu yang dengan sengaja menyambar ujung dari senjatanya saja. Namun ternyata serangan itu telah membantingnya dari punggung kuda. Namun dalam sekejap Gajah Lengit telah bangkit berdiri dengan satu loncatan yang hampir tidak dapat diikuti oleh penglihatan mata. Tiba-tiba saja Gajah Lengit telah bergerak beberapa langkah mendekati Agung Sedayu.

“Ternyata kau curang,“ geram Gajah Lengit.

“Kenapa?“ jawab Agung Sedayu.

“Kau menyerang aku tanpa memberitahu lebih dahulu,“ jawab Gajah Lengit.

“Apakah kau juga memberitahukan apa yang kau lakukan dengan kedua orang muridmu ini?“ bertanya Agang Sedayu.

“Tetapi aku tidak melakukan dengan diam-diam,“ jawab Gajah Lengit.

“Jadi apakah kau bermaksud agar aku membiarkan saja apa yang kau lakukan, meskipun aku tahu bahwa hal itu akan berbahaya bagiku dan sepupuku?“ bertanya Agung Sedayu kemudian.

“Persetan kau,“ geram Gajah Lengit, “tetapi seharusnya kau tidak berlaku curang seperti itu.“

“Baik,“ berkata Agung Sedayu, “jika kau menganggapku curang, sekarang ambil senjatamu. Kita akan bertempur lagi. Biarlah aku melawanmu, sementara sepupuku akan menghancurkan kedua orang Pututmu yang telah terluka itu. Tetapi ingat, jika kita bertempur lagi maka aku tidak akan sekedar melemparkan senjatamu, tetapi aku akan melemparkan kapalamu.“

Orang itu termangu-mangu sejenak. Ternyata ia sempat menilai keadaannya. Bahkan menilai kemampuan ilmunya. Ia tidak dapat mengesampingkan kenyataan tentang lawannya itu. Agaknya lawannya itu tidak bergurau jika ia mengatakan, bahwa pada kesempatan lain bukan saja senjatanya yang akan terlepas, tetapi kepalanya.

Sejenak orang itu berpikir. Sekali ia memandangi kuda Glagah Putih yang terikat pada sebatang pohon di pinggir jalan. Kuda itu memang tegar dan cantik. Tetapi apakah ia harus mempertahankan nyawanya untuk seekor kuda, betapapun bagusnya?

Dalam keragu-raguan itu, maka ia mendengar Putut-pututnya berdesis menahan pedih pada luka-lukanya. Darah masih menitik, sementara tenaga kedua orang Putut itu pun telah menjadi susut. Bermacam-macam pertimbangan telah menghentak-hentak di kepala Gajah Lengit.

Namun kemudian iapun berkata, “Ternyata kalian memang orang-orang yang tidak tahu diri. Orang yang tidak tahu betapa pentingnya perjuangan Mataram melawan Madiun. Bukan sekedar keseimbangan kekuasaan, tetapi kelanjutan persatuan dari Tanah ini.“

“Ternyata mulutmu tidak sejalan dengan gejolak ketamakanmu,“ berkata Agung Sedayu. “Kau berbicara tentang persatuan yang utuh, yang bulat, yang apa lagi, tetapi tingkah lakumu sama sekali tidak membayangkan ujud dari bicaramu ini. Sebaiknya untuk seterusnya kau berdiam diri. Aku minta kau minggir dari kelompok prajurit Pajang yang datang ke Mataram menjemput Panembahan Senapati, jika kau tidak berbohong tentang tugas itu, karena kau hanya akan mengotori nama dari sekelompok prajurit Pajang itu sendiri.“

Gajah Lengit menggeretakkan giginya. Hampir saja ia tidak dapat menahan diri. Tetapi iapun segera teringat kepada kenyataan yang dihadapinya, sehingga iapun telah berusaha untuk menyelamatkan kepalanya.

Karena itu, maka katanya, “Kau memang pandai berbicara. Tetapi hanya untuk kali ini. Aku akan membuktikan ke Tanah Perdikan yang kau katakan. Apakah ada orang-orang yang memiliki ilmu iblis sebagaimana kau tunjukkan kepadaku. Jika tidak, maka kau pasti orang-orang Madiun yang terpilih, yang harus mengamati gerak-gerak kekuatan Mataram.“

“Apapun yang kau katakan, aku tidak peduli,“ jawab Agung Sedayu.

Gajah Lengit termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Persetan kau. Kali ini kalian berdua aku ampuni. Tetapi jika pada kesempatan lain kalian mencoba sekali lagi mengingkari perintahku, maka kalian akan menyesal. Juga pada saat aku datang nanti ke Tanah Perdikan Menoreh.“

“Cukup,“ potong Agung Sedayu. Lalu katanya, ”Sekarang pergilah. Aku menunggumu di Tanah Perdikan Menoreh.“

Wajah Gajah Lengit itu menjadi merah. Tetapi iapun membentak, “Kalian pergi dari sini!“

“Cepat pergi,“ geram Agung Sedayu, “atau aku akan merubah keputusanku dan mengambil langkah-langkah lain.“

Wajah Gajah Lengit yang merah itu bagaikan tersentuh bara. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain. Jika ia sekedar memperhitungkan harga diri, maka mereka bertiga tentu akan dibinasakan oleh kedua orang yang mengaku dari Tanah Perdikan Menoreh itu. Kedua orang yang mampu mengimbangi ilmunya, memiliki ketajaman penggraita, sehingga mereka segera tahu jenis ilmu yang ditrapkannya, serta kemampuan mereka melontarkan ilmu dari jarak jauh, sehingga akan menjadi sangat berbahaya baginya, apalagi kedua muridnya itu telah terluka.

Betapapun hatinya bagaikan terbakar, tetapi Gajah Lengit itu pun berkata kepada murid-muridnya, “Kita tidak perlu melayani orang-orang gila itu.“

Kedua muridnya menyambut keputusan gurunya dengan tarikan nafas panjang. Keduanya merasa bahwa kekuatan mereka memang sudah menurun, sementara luka mereka terasa sangat nyeri dan pedih. Karena itu, maka ketika Gajah Lengit itu melangkah menjauhi Agung Sedayu menuju ke kudanya setelah memungut senjatanya, maka kedua muridnya pun telah mengikutinya pula.

Sejenak kemudian, ketiganya telah berada di punggung kudanya. Sambil menggerakkan kendali kudanya, Gajah Lengit masih berkata, “Tunggu aku di Tanah Perdikan Menoreh. Aku akan berbicara langsung dengan Kepala Tanah Perdikanmu untuk mengambil kuda itu.“

Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak menjawab. Dipandanginya saja ketiga orang itu kemudian berkuda dengan cepat meninggalkan tempat itu, sementara malam pun telah menjadi semakin malam.

“Kita harus segera melanjutkan perjalanan,“ berkata Agung Sedayu.

Glagah Putih mengangguk. Katanya, “Marilah Kakang. Orang-orang Tanah Perdikan tentu sudah menunggu-nunggu. Sementara setan-setan itu menghambat perjalanan kita di sini.“

Keduanya pun segera membenahi diri. Beberapa saat keduanya pun telah melanjutkan perjalanan pula.

“Satu gambaran tentang kekisruhan yang mungkin terjadi di Mataram,“ berkata Agung Sedayu.

Glagah Putih mengangguk-angguk pula. Katanya, “Campur baur antara beberapa pasukan yang datang dari lingkungan yang berbeda tentu akan membuat persoalan tersendiri. Prajurit-prajurit dari kadipaten-kadipaten itu tentu akan saling bergeseran, dan tidak mustahil timbul benturan jika Panembahan Senapati membiarkan mereka terlalu lama tinggal di Mataram.“

“Untunglah, bahwa waktunya untuk berangkat tidak akan lama lagi,“ sahut Agung Sedayu.

“Ya,“ desis Glagah Putih, “sebelum orang-orang seperti Gajah Lengit itu membuat suasana menjadi semakin keruh.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Suasana yang keruh itu akan dapat berkembang, jika dalam benturan-benturan kecil seperti yang baru saja terjadi itu, masing-masing pihak telah menyeret kawan-kawan mereka.

Agung Sedayu memang merasa bersyukur bahwa ia masih sempat mengekang diri, sehingga ia dapat membatasi diri untuk tidak mempertajam perselisihan antara sesama kekuatan yang mendukung Mataram.

Dalam pada itu, ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih berpacu menuju ke tempat penyeberangan di Kali Praga, Gajah Lengit telah berpacu pula kembali ke Mataram. Namun ketika ia ingin menyarungkan senjatanya yang dipungutnya setelah terlempar oleh kekuatan ilmu Agung Sedayu, maka Gajah Lengit itu pun terkejut bukan buatan. Sedemikian terkejutnya, sehingga di luar sadarnya ia telah menarik kekang kudanya, sehingga kudanya itu pun terhenti dengan tiba-tiba. Kedua orang muridnya dengan serta merta telah menarik kekang kudanya, sehingga kedua ekor kudanya itu telah meringkik dan berputar-putar. Namun sejenak kemudian kuda-kuda itu pun telah menjadi tenang.

“Ada apa Guru?“ bertanya Putut Lengkara.

“Luar biasa,“ desis Gajah Lengit, “ternyata kita memang bukan lawan orang yang mengaku bernama Agung Sedayu dari Tanah Perdikan Menoreh itu.“

Putut Lengkara tidak menjawab. Iapun merasakan, betapa kedua orang Tanah Perdikan Menoreh itu memiliki ilmu yang sangat tinggi.

Namun Putut Sadak Ijo-lah yang bertanya, “Kenapa Guru?”

“Lihat,“ berkata Gajah Lengit sambil menunjukkan senjatanya.

Dalam keremangan cahaya malam yang semakin kelam, kedua orang muridnya tidak tahu apa yang terjadi dengan senjata gurunya itu. Namun dalam keadaan sewajarnya, senjata itu memang tidak membara di ujungnya. Hanya jika mereka mulai memadukan kekuatan ilmu mereka dengan daya kekuatan senjata mereka, maka senjata itu bagaikan bercahaya kemerah-merahan. Karena itu, maka kedua murid Gajah Lengit itu tidak segera mengetahui maksud gurunya dengan menunjukkan senjatanya itu.

“Senjataku, yang tidak ada duanya di dunia ini, ternyata telah patah ujungnya,“ desis Gajah Lengit.

“Patah?“ kedua orang muridnya menyahut hampir berbareng. Gajah Lengit menarik mafas dalam-dalam. Katanya dengan nada berat, “Aku tidak mengira bahwa kita akan bertemu dengan orang-orang berilmu tinggi. Seperti yang aku katakan, kita bukan lawan mereka. Ketika orang itu menyerang dengan ilmunya yang dahsyat itu, ternyata ia masih sempat mengekang diri. Ia tidak menyerang kepalaku, tetapi ia hanya menyerang ujung kerisku, yang ternyata telah menyeretku seperti dorongan kekuatan badai sehingga aku jatuh terbanting dari kudaku. Serangan langsung mengarah ke tubuhku pun jarang yang mampu melemparkan aku. Apalagi serangan itu tidak mengenaiku sama sekali. Sementara itu kerisku yang terbuat dari baja pilihan sebagaimana yang aku berikan kepada kalian, serta dalam keadaan siaga dalam perpaduan kekuatan ilmuku dan kekuatan keris itu sendiri, telah dapat dipatahkannya. Dengan demikian aku tidak dapat mengira-irakan, betapa besarnya kemampuan ilmu itu. Jika ia mengatakan bahwa kuda yang tegar itu berasal dari keluarga istana, agaknya memang dapat dimengerti.“

Kedua muridnya tidak menjawab. Namun tengkuk mereka-lah yang terasa meremang. Seandainya mereka harus bertempur terus, maka mereka tentu akan terbunuh di tempat itu. Gurunya, yang dianggapnya orang yang jarang ada duanya, dengan tulus mengakui bahwa orang yang mampu mematahkan senjatanya itu memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi dari ilmu gurunya itu.

Bahkan gurunya itu pun kemudian bergumam, “Aku belum pernah bertemu dengan orang yang memiliki ilmu seperti orang itu. Lawan maupun kawan.“

Kedua muridnya itu masih saja tetap berdiam diri. Namun dalam pada itu gurunya itu pun berkata selanjutnya. “Marilah. Kita kembali ke Mataram. Aku akan segera mengenali kembali senjataku ini. Apakah senjataku yang telah hancur ujungnya ini masih memiliki kekuatan yang tidak susut, atau aku harus berbuat sesuatu untuk memulihkannya. Selagi masih ada orang tua yang dapat memberikan petunjuk-petunjuk kepadaku, seandainya aku harus memperbaruinya lagi.“

Sejenak kemudian ketiga orang itu telah berpacu semakin cepat. Kedua orang Putut yang terluka itu memerlukan perawatan segera meskipun luka-luka itu bukan termasuk luka yang parah. Tetapi jika tidak mendapat perawatan yang baik, maka pada saatnya pasukan Mataram berangkat ke Timur, mereka justru tidak akan dapat mengikutinya.

Sementara itu, Agung Sedayu pun telah mendekati Kali Praga. Glagah Putih yang berkuda di belakangnya sempat memandangi langit yang hitam kelabu justru di sebelah utara.

“Mudah-mudahan di sebelah utara tidak turun hujan sehingga Kali Praga menjadi banjir,“ berkata anak muda itu di dalam hatinya. Karena jika terjadi banjir yang deras, maka mereka tidak akan dapat menyeberang. Rakit-rakit yang ada di pinggir kali akan ditambatkan pada patok-patok yang kuat, karena tukang satang yang manapun tidak akan merasa mampu melawan derasnya banjir Kali Praga, jika banjir itu termasuk banjir yang besar. Apalagi banjir bandang.

Namun ketika kemudian mereka sampai ke tepian, ternyata Kali Praga sama sekali tidak banjir. Dengan demikian maka Agung Sedayu dan Glagah Putih telah membangunkan tukang-tukang satang yang tertidur di dekat rakitnya, sambil menunggu orang-orang yang mungkin lewat di malam hari.

Meskipun masih juga sambil mengantuk, namun tukang-tukang satang itu telah membawa Agung Sedayu dan Glagah Putih beserta kuda-kuda mereka untuk menyeberang.

“Tetapi upahnya dua kali lipat,“ berkata tukang satang tertua, “kami melakukan penyeberangan khusus, apalagi di malam hari dengan hanya dua orang penumpang.“

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Aku tahu. Aku sudah sering menyeberang di malam hari.“

“O,“ tukang satang itu mengangguk-angguk, “maaf. Barangkali aku juga pernah melihat kalian menyeberang.“

“Tentu,“ jawab Agung Sedayu, “Aku aemang sering menyeberang. Di sini, juga di penyeberangan tengah dan selatan.“

Tukang satang itu mengangguk-angguk. Tetapi ia kemudian mengeluh, “Baru saja lewat senja aku menyeberangkan beberapa orang, tetapi sama sekali tidak mau membayar upahnya.“

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Katanya, “Ke arah mana? Ke Timur atau ke Barat?“

“Aku membawa mereka ke Barat. Aku tidak tahu, apakah mereka sudah menyeberang kembali atau belum. Nampaknya mereka hanya sekedar ingin tahu, apa yang terdapat di sebelah Kali Praga,“ jawab tukang satang itu.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia langsung menghubungkan peristiwa itu dengan berkumpulnya orang-orang dari berbagai daerah di Mataram. Tentu di antara mereka ada yang memiliki watak dan kebiasaan yang tidak baik, sebagaimana dilakukan oleh Gajah Lengit.

“Apa mereka juga membawa kuda atau berjalan kaki?“ bertanya Glagah Putih kemudian.

“Mereka berkuda. Sekitar enam atau tujuh orang. Aku tidak sempat menghitung. Sejak mereka naik ke rakit, aku sudah merasa curiga. Sikap mereka kurang menyenangkan. Mereka bergurau berlebihan. Mereka tertawa keras-keras meskipun hari sudah gelap. Mereka mengguncang-guncang rakit sehingga hampir saja rakit ini terbalik. Kata-kata mereka kadang-kadang diselingi dengan umpatan-umpatan, meskipun mereka teriakkan sambil tertawa.“ Tukang satang itu berhenti sejenak, lalu, “Demikian sampai ke tepian di seberang, mereka langsung berloncatan turun, menarik kuda-kuda mereka sambil melambaikan tangan-tangan mereka dan berteriak, ‘Terima kasih Ki sanak, terima kasih.’ Tanpa memberikan sekeping uang pun.“

Glagah Putih tiba-tiba saja berbisik di telinga Agung Sedayu, “Mudah-mudahan kita tidak bertemu dengan mereka.“

Agung Sedayu mengangguk. Katanya, “Ya. Kudamu dapat menarik perhatian mereka, seperti Gajah Lengit.“

Glagah Putih mengangguk-angguk. Meskipun ia tidak takut menghadapi siapapun, tetapi ia ingin menghindari peristiwa yang baru saja terjadi itu terulang lagi. Karena itu, ketika mereka sampai di tepian, setelah membayar upah yang lipat dua itu, maka mereka telah memilih jalan yang kemungkinannya dilewati orang-orang berkuda itu kecil.

Agung Sedayu dan Glagah Putih mengenal Tanah Perdikan Menoreh seperti mengenal halaman rumah sendiri. Karena itu, jalan-jalan yang manapun pernah mereka lalui.

Sebenarnyalah kedua orang itu memang tidak bertemu dengan sekelompok orang-orang berkuda. Namun ketika mereka sampai ke sebuah padukuhan yang cukup besar di Tanah Perdikan Menoreh, maka kedua orang itu sempat singgah di banjar.

Dengan singkat mejeka memberitahukan bahwa menurut seorang tukang satang, maka ada beberapa orang berkuda menyeberangi Kali Praga, dengan sikap yang kurang pantas.

“Kirimkan peronda,“ berkata Agung Sedayu, “nanti dari padukuhan induk, aku juga akan minta sekelompok pengawal meronda. Tetapi jaga diri baik-baik, karena mungkin orang-orang itu termasuk juga kekuatan Mataram. Jangan sampai terjadi salah paham yang dapat menimbulkan persoalan yang berkepanjangan. Kalian harus dapat menjelaskan dengan baik kepada mereka, bahwa tanah ini adalah Tanah Perdikan Menoreh.“

Para pengawal yang ada di banjar termangu-mangu. Namun pemimpin pengawal itu pun berkata, “Baiklah. Aku sendiri yang akan meronda.“

“Bawa sekitar sepuluh orang pengawal,“ berkata Agung Sedayu.

Ketika Agung Sedayu kemudian melanjutkan perjalanan, maka pemimpin sekelompok peronda itu pun telah berangkat dengan membawa sepuluh orang pengawal, sebagaimana dipesankan oleh Agung Sedayu. Sementara itu, Agung Sedayu dan Glagah Putih pun langsung menuju ke padukuhan induk. Mereka tidak langsung pulang ke rumah Agung Sedayu. tetapi mereka lebih dahulu singgah di banjar untuk melaporkan kehadiran orang-orang berkuda di sebelah barat Kali Praga.

“Mungkin mereka memasuki Tanah Perdikan,“ berkata Agung Sedayu, yang telah melaporkan pula, bahwa sekelompok pengawal dari padukuhan di sisi timur Tanah Perdikan telah mendahului meronda, serta melaporkan pesan-pesan yang telah disampaikan.

“Sebaiknya dari padukuhan induk juga dikirim pengawal berkuda,“ berkata Agung Sedayu yang juga memberikan pesan-pesan yang sama.

Demikian sepuluh orang berkuda meninggalkan banjar, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih pun telah pergi ke rumah Ki Gede untuk melaporkan diri bahwa mereka telah kembali.

Meskipun malam telah larut, namun ternyata di rumah Ki Gede masih nampak beberapa orang yang duduk di pendapa, selain para pengawal yang bertugas. Nampaknya suasana di Tanah Perdikan itu benar-benar telah dipengaruhi oleh keadaan persiapan perang, karena sepasukan pengawal akan berangkat ke Mataram, dan selanjutnya akan pergi ke Madiun.

Ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih memasuki halaman rumah Ki Gede, maka seorang pengawal telah menerima kuda mereka sambil berkata, “Silahkan naik ke pendapa. Ki Gede juga belum tidur. Baru saja masuk ke ruang dalam. Tetapi sebentar lagi. Ki Gede tentu masih akan keluar.“

“Siapa di pendapa?“ bertanya Agung Sedayu.

“Ki Waskita. Agaknya Ki Jayaraga baru saja kembali. Ki Jayaraga masih selalu menyebut-nyebut kemungkinan yang licik dilakukan oleh orang-orang yang mendendammu, dengan menyerang atau menculik Sekar Mirah. Karena itu, setiap kali Ki Jayaraga tentu pulang meskipun hanya sebentar untuk menengok rumahmu, meskipun para peronda masih juga selalu mengawasinya,“ berkata pengawal itu.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih.“

Kemudian mereka berdua pun telah pergi pula ke pendapa. Sambil melangkah menyeberangi halaman Agung Sedayu berdesis, “Ternyata Ki Jayaraga adalah seorang sahabat yang baik. Ia merasa bertanggung jawab atas keselamatan keluarga kita.“

“Ya Kakang,“ desis Glagah Putih, “mungkin karena Ki Jayaraga sendiri tidak mempunyai keluarga, maka dianggapnya keluarga kita sudah seperti keluarga sendiri.“

“Kau adalah satu-satunya harapannya. Beberapa muridnya yang terdahulu ternyata telah menempuh jalan sesat,“ berkata Agung Sedayu. Lalu katanya, “Satu petunjuk bagimu, bahwa seorang murid dituntut untuk mempunyai landasan jiwani yang kuat, sehingga dibawah pimpinan dan tuntunan guru yang sama, seorang murid tidak selalu menjadi orang yang berwatak sama.“

Glagah Putih mengangguk-angguk kecil meskipun ia tidak menjawab.

Sementara itu, maka sejenak kemudian keduanya telah berada di pendapa bersama Ki Waskita dan beberapa orang bebahu. Baru sejenak kemudian Ki Gede pun telah keluar dari ruang dalam ketika ia mendengar suara Agung Sedayu dan Glagah Putih.

Demikian Ki Gede keluar dari ruang dalam, maka iapun telah menyapanya, “Kapan kalian datang?“

“Baru saja Ki Gede,“ jawab Agung Sedayu, “kami langsung datang kemari setelah singgah sebentar di banjar.“

“O,“ Ki Gede yang kemudian duduk pula di antara mereka bertanya, “jadi kalian belum pulang ke rumah?“

“Belum Ki Gede,“ jawab Agung Sedayu.

“Baiklah. Agaknya Ki Jayaraga selalu mengawasi rumahmu, meskipun ia sering pula berada di sini bersama Ki Waskita,“ berkata Ki Gede.

“Belum lama Ki Jayaraga meninggalkan pendapa ini,“ sambung Ki Waskita.

Dalam pada itu kedua orang tua itu sempat bertanya tentang keselamatan perjalanan Agung Sedayu dan Glagah Putih, serta keselamatan Kiai Gringsing serta keadaan padepokannya. Baru kemudian Agung Sedayu telah melaporkan perjalanannya mengunjungi gurunya untuk mohon diri, sebelum ia akan ikut serta dalam tugas bersama Mataram.

“Syukurlah jika gurumu telah menganggap kau berhasil dalam meningkatkan ilmumu,“ berkata Ki Waskita.

“Tetapi guru masih memerintahkan untuk menyelesaikannya, karena aku masih belum benar-benar menguasai tataran terakhir dari ilmu cambuk,“ berkata Agung Sedayu.

“Tentu pada saatnya kau akan dapat menyelesaikannya,“ berkata Ki Gede pula, “bukankah kau sudah menguasainya? Kau tinggal mematangkannya, dan jika mungkin mengembangkannya. Apa yang terdahulu sudah merupakan puncak ilmu dari salah satu jenis ilmu kanuragan, namun pada saat-saat berikutnya, mungkin masih akan dapat memanjat naik beberapa lapis.“

Ki Gede agaknya tidak sengaja memberikan petunjuk tentang olah kanuragan bagi Agung Sedayu. Namun ternyata Agung Sedayu telah menangkap ungkapan itu dengan sungguh-sungguh. Agaknya memang tidak mustahil hal itu terjadi pada ilmunya, meskipun mungkin akan memerlukan waktu dan kerja yang sangat keras serta laku yang berat.

Namun yang kemudian dikatakan oleh Agung Sedayu adalah, “Kami mohon doa restu.“

“Kami yakin bahwa kau akan memiliki kelebihan itu,“ berkata Ki Waskita.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih saja selalu ingat, gurunya berpesan, bahwa ilmu pada tataran tertinggi dari ilmu cambuk itu mudah-mudahan tidak akan perlu dipergunakan.

Namun dalam pada itu, Agung Sedayu sempat pula melaporkan pertemuannya dengan Ki Gajah Lengit. Salah seorang di antara sekelompok pasukan Pajang yang akan menjadi paruh perjalanan Panembahan Senapati ke Timur.

“Tetapi Ki Gajah Lengit bukan prajurit Pajang,“ berkata Agung Sedayu, “namun ia merasa bahwa ia adalah guru dari pemimpin kelompok prajurit Pajang itu.“

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Geseran-geseran yang sebenarnya tidak perlu terjadi.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata, “Mudah-mudahan di Tanah Perdikan ini tidak terjadi geseran-geseran seperti itu.“

Dengan singkat Agung Sedayu melaporkan pula tentang orang-orang berkuda yang menyeberangi Kali Praga. Agung Sedayu juga melaporkan tentang dua kelompok peronda yang telah dilepas dari padukuhan di sisi Timur serta dari banjar padukuhan induk, serta pesan-pesan yang telah diberikan.

Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Mudah-mudahan tidak terjadi apa-apa. Jika orang-orang berkuda itu merasa dirinya orang-orang linuwih yang tidak terkalahkan, maka memang mungkin terjadi geseran yang berbahaya. Mudah-mudahan para peronda itu jika menemukan mereka, memberikan isyarat pada waktunya, sehingga kita akan dapat mengatasinya dengan baik tanpa terjadi benturan kekerasan.“

Agung Sedayu mengangguk sambil menyahut, “Tapi wibawa Tanah Perdikan ini harus tetap ditegakkan.“

“Aku sependapat,“ berkata Ki Gede.

Sementara itu, seorang pelayan telah menghidangkan minuman hangat serta makanan bagi Agung Sedayu dan Glagah Putih.

Baru sesaat kemudian Ki Gede berkata, “Nampaknya kalian berdua menjadi letih setelah menempuh perjalanan yang bahkan terhambat karena pertemuan kalian dengan Ki Gajah Lengit. Setelah minum beberapa teguk, maka sebaiknya kalian pulang untuk beristirahat. Masih banyak yang harus kau kerjakan besok. Hari-hari kita akan segera berlalu, sehingga kita harus sudah berada di Mataram bersama para pengawal.“

“Terima kasih Ki Gede,“ berkata Agung Sedayu, “kami akan segera mohon diri.“

Namun dalam pada itu, sebelum keduanya meninggalkan pendapa, maka telah terdengar suara panah sendaren. Isyarat dari sekelompok peronda yang memerlukan kehadiran para pemimpin atau salah seorang di antara mereka, untuk menentukan satu sikap menghadapi satu masalah yang tidak dapat dipecahkan oleh para peronda itu sendiri.

“Tentu orang-orang berkuda itu,“ berkata Agung Sedayu.

“Ya,“ desis Glagah Putih.

“Kami mohon diri Ki Gede,“ desis Agung Sedayu, “silahkan Ki Waskita. Kami akan melihat apa yang ter jadi.“

“Bawa pengawal,“ berkata Ki Gede.

“Beberapa pengawal tentu sudah ada di sana.“ berkata Agung Sedayu.

“Hati-hatilah,“ pesan Ki Waskita.

Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih telah berpacu lagi menempuh jalan bulak. Tetapi mereka tidak hanya berdua. Dua orang pengawal menyertainya untuk memberikan petunjuk arah datangnya panah sendaren, karena kebetulan mereka menangkap langsung isyarat suara itu.

Tetapi Agung Sedayu bertekad untuk berupaya agar tidak terjadi benturan kekerasan antara orang-orang berkuda itu dengan para pengawal Tanah Perdikan. Agaknya orang-orang berkuda itu masih lebih mudah diajak berbicara daripada Ki Gajah Lengit, yang sejak pertama telah berniat untuk menguasai kuda Glagah Putih.

Ketika Agung Sedayu, Glagah Putih dan kedua orang pengawal yang menyertainya memasuki padukuhan yang telah mengirimkan sepuluh orang peronda atas perintah Agung Sedayu, maka mereka pun telah mendapat keterangan, dimana para pengawal itu menjumpai orang berkuda, karena mereka telah mengirimkan isyarat panah sendaren pula.

Dengan cepat Agung Sedayu telah menuju ke arah yang ditunjukkan oleh para pengawal itu.

Sebenarnyalah, ketika mereka memasuki sebuah bulak yang agak panjang, maka mereka telah mendapatkan dua kelompok yang nampaknya sedang bertengkar. Namun Agung Sedayu merasa beruntung, bahwa belum terjadi benturan kekerasan di antara mereka.

Ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih mendekat, maka mereka melihat beberapa orang berkuda yang dikelilingi oleh para pengawal dari padukuhan di sisi timur. Agaknya para peronda berkuda dari padukuhan induk justru belum sampai ke tempat itu.

“Syukurlah kau segera datang,“ berkata pemimpin peronda itu, “kami memang mengirimkan isyarat panah sendaren, yang agaknya dengan isyarat tunda dari padukuhan-padukuhan di sebelah padukuhan induk, maka isyarat itu dapat kau terima.“

“Ya. Isyaratmu telah kami terima,“ jawab Agung Sedayu.

“Kami memang menghindari isyarat kentongan agar tidak menimbulkan kegelisahan di seluruh Tanah Perdikan,“ berkata pemimpin peronda itu pula.

Namun salah seorang dari orang-orang berkuda itu berteriak, “He, siapa yang datang itu?“

“Kami adalah peronda-peronda dari padukuhan induk Tanah Perdikan,“ jawab Agung Sedayu.

“Bagus,“ jawab orang itu, “sekarang kalian mau apa?“

“Kami ingin tahu, apakah kepentingan kalian di Tanah Perdikan ini,“ jawab Agung Sedayu.

“Sudah aku katakan kepada kawan-kawanmu, bahwa kami hanya ingin melihat-lihat saja. Apakah ada salahnya?“ bertanya orang itu.

“Tidak. Tentu tidak. Tetapi kalian mengambil waktu yang kurang tepat. Sebaiknya kalian melihat-lihat Tanah Perdikan ini di waktu siang,“ berkata Agung Sedayu.

“Tetapi kesempalan kami hanyalah di malam hari. Di siang hari kami tidak dapat meninggalkan pasukan kami,“ jawab seorang yang lain di antara orang-orang berkuda itu.

“Bukankah ada waktunya hari-hari luang?“ bertanya Agung Sedayu.

“Nampaknya kalian adalah orang-orang yang terlalu sederhana berpikir,“ berkata yang tertua di antara orang-orang berkuda itu. “Seharusnya kalian tahu, bahwa kami berada di Mataram dalam rangka persiapan untuk bergerak ke Timur. Kami adalah prajurit-prajurit yang sudah siap untuk turun ke medan pertempuran. Karena itu, sebaiknya kalian jangan mengganggu kami.“

“Kami memang tidak ingin mengganggu Ki Sanak,“ berkata Agung Sedayu, “namun kami mohon Ki Sanak bersabar sehingga Ki Sanak mendapat kesempatan melakukannya di siang hari. Di malam hari Ki Sanak dapat mengejutkan orang-orang Tanah Perdikan. Baik yang sedang beristirahat, maupun mereka yang berada di gardu-gardu.“

“Cukup!“ bentak orang tertua di antara mereka, “Kami bebas untuk melakukan apa saja. Apalagi kedatangan kami ke Mataram itu atas undangan Panembahan Senapati. Kalian harus menghormati kami, karena kalian memang harus menghormati Panembahan Senapati itu sendiri.“

“Kami mengerti Ki Sanak. Karena itu, maka kami memang ingin menghormati kalian sebagaimana seorang tamu dari Panembahan Senapati. Tetapi sudah tentu bahwa Ki Sanak pun harus menghormati kami, karena kami juga merupakan bagian dari Panembahan Senapati itu sendiri. Jika Ki Sanak tidak menghormati kami, maka Ki Sanak adalah tamu yang tidak menghormati pemilik rumahnya. Apalagi pemilik rumah itu adalah Panembahan Senapati, yang telah mengundang Ki Sanak untuk datang kemari,“ berkata Agung Sedayu.

Orang-orang berkuda itu termangu-mangu sejenak. Namun yang tertua di antara mereka pun berkata, “Ternyata kau pandai juga memutar-balikkan kenyataan. Sekarang, pergilah. Jangan ganggu kami.“

Namun pemimpin peronda dari Tanah Perdikan itu bergeser mendekati Agung Sedayu sambil berkata, “Perbuatan mereka mirip dengan orang mabuk. Mereka bergurau dan tertawa keras-keras di sepanjang jalan tanpa menghiraukan orang-orang yang sudah tertidur nyenyak. Derap kaki kuda mereka, dan teriakan-teriakan yang tidak menentu, terasa sangat mengganggu ketenangan malam ini.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, “Nah, Ki Sanak. Kami mohon, jangan ganggu ketenangan Tanah ini.“

Orang-orang berkuda itu memang menjadi marah. Wajah-wajah mereka menunjukkan ketegangan perasaan mereka. Yang tertua di antara mereka pun berkata, “Kalian pun jangan mengganggu kami. Kami dapat berbuat apa saja sesuka hati kami. Tanah Perdikan ini termasuk daerah yang berada di bawah kekuasaan Mataram, meskipun ke dalam kalian dapat mengurusi kebutuhan kalian sendiri.“

“Ki Sanak. Bagaimanapun juga, kami berhak untuk mempertahankan ketenangan kehidupan kami. Karena itu, kami mohon Ki Sanak untuk beristirahat di banjar padukuhan sebelah. Malam ini Ki Sanak dapat tidur di banjar. Besok Ki Sanak dapat melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan,“ berkata Agung Sedayu.

“Tidak. Kau dengar. Aku ingin mempergunakan waktuku yang semalam ini untuk pergi kemana saja aku suka. Aku memang akan singgah di banjar-banjar padukuhan untuk minum dan barangkali makan. Tetapi tidak untuk bermalam. Sebelum dini kami sudah harus kembali ke Mataram,“ jawab yang tertua di antara mereka.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih berusaha untuk mengekang diri. Katanya, “Ki Sanak. Kami mohon Ki Sanak mengerti keadaan Tanah Perdikan ini.“

“Siapapun dan apapun Tanah Perdikan ini, tetapi kalian pun harus tahu bahwa kami adalah prajurit-prajurit yang siap untuk bertempur. Jangan memaksa kami untuk melakukan pemanasan di sini,” berkata yang tertua di antara mereka.

Namun jawab Agung Sedayu cukup keras juga, “Kami pun telah mencemaskannya.”

“Karena itu, minggirlah!” bentak orang itu.

“Ki Sanak. Yang kami takutkan adalah bahwa kami pun merasa perlu untuk memanaskan darah kami sebelum kami pergi ke Madiun,” desis Agung Sedayu.

“Siapa yang akan pergi ke Madiun?” bertanya orang itu.

“Kami. Pasukan pengawal Tanah Perdikan ini,” jawab Agung Sedayu.

Tetapi orang itu tertawa. Katanya, “Buat apa kalian pergi ke Madiun? Kalian tentu hanya akan menjadi beban saja bagi para prajurit Mataram dan prajurit-prajurit dari seberang Gunung Kendeng.”

“Apakah kalian prajurit dari seberang Gunung Kendeng?” bertanya Agung Sedayu.

“Tidak ada gunanya kalian tahu,” jawab orang itu.

“Baiklah. Namun kami tetap berpendirian, bahwa kalian tidak dapat berbuat sesuka hati kalian di sini. Jika kalian mabuk tuak, sebaiknya kalian tidur saja di banjar. Nanti, jika kalian bangun, maka kalian akan merasa lebih segar,” berkata Agung Sedayu.

Agaknya orang-orang itu masih akan menjawab. Tetapi mereka telah dikejutkan oleh derap beberapa ekor kuda yang dengan cepat mendekat.

Ternyata mereka adalah pengawal berkuda yang meronda dari padukuhan induk sebagaimana dipesankan oleh Agung Sedayu. Demikian mereka mendekat, maka pemimpin pengawal itu berkata, “Ternyata kau datang lebih dahulu, Agung Sedayu. Kami telah meronda berkeliling, sehingga kami tidak menerima isyarat apapun dari tempat ini. Baru kemudian kami mendapat keterangan tentang isyarat itu.”

“Aku juga baru datang,” jawab Agung Sedayu, “ternyata isyarat itu ditujukan langsung ke padukuhan induk dengan lontaran tunda anak panah sendaren. Nah, inilah orang-orang yang aku sebutkan. Nampaknya mereka memang sedang mabuk tuak. Karena itu, sangat berbahaya bagi mereka untuk duduk di atas punggung kuda yang berpacu cepat,” berkata Agung Sedayu. Para pengawal berkuda itu pun kemudian telah mendekat. Mereka melihat para prajurit berkuda yang menjadi termangu-mangu.

“Ki Sanak,” berkata Agung Sedayu, “sebaiknya Ki Sanak membuat pertimbangan-pertimbangan baru. Sudah aku katakan, bahwa kami akan mempertahankan kewibawaan kami. Karena itu, kami persilahkan kalian pergi ke banjar.”

“Tidak,” geram yang tertua di antara mereka.

“Jika tidak, biarlah kami mengantar kalian ke tepian. Kalian harus menyeberang ke timur. Atau kita akan bersama-sama melakukan pemanasan sebelum kita bersama-sama pergi ke Madiun?” berkata Agung Sedayu.

Wajah orang-orang berkuda itu menjadi tegang. Namun mereka memang harus membuat pertimbangan-pertimbangan baru. Mereka ternyata harus berhadapan dengan dua kelompok pengawal Tanah Perdikan yang agaknya tidak sedang bermain-main. Agaknya mereka pun telah bersungguh-sungguh.

Karena itu, maka orang-orang berkuda itu akhirnya memang harus mengambil keputusan yang terbaik bagi mereka.

“Baiklah. Kami akan meninggalkan tempat ini. Tetapi kalian jangan menyesal, jika kami menganggap persoalan kita belum selesai,” geram yang tertua di antara mereka.

“Terserah,” jawab Agung Sedayu, “apapun yang akan kalian lakukan, kami akan menghadapinya, karena kami juga mempunyai harga diri. Kelak, di Mataram pun, kami akan melaporkannya kepada Panembahan Senapati, agar Panembahan Senapati mempunyai gambaran tentang kalian, tentang prajurit-prajurit yang datang atas undangannya.”

“Panembahan Senapati memerlukan kami,” desis orang itu.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat ia berkata, “Tetapi apakah dengan demikian berarti bahwa kalian boleh menghina Panembahan Senapati itu sendiri?”

“Jangan memutar-balikkan kenyataan. Kalian-lah yang menghina Panembahan Senapati karena kalian telah menghina tamunya,” jawab orang tertua.

“Tamu yang tidak tahu diri, adalah tamu yang menghina orang yang mengundangnya,” berkata Agung Sedayu.

Namun ternyata Glagah Putih tidak sabar lagi menghadapi orang-orang itu. Karena itu, maka katanya, “Sudahlah. Jika kalian sudah berniat untuk meninggalkan tempat ini, silahkan. Kami akan mengantar kalian sampai ke tepian.”

“Aku tidak memerlukan kalian,” geram orang itu.

“Aku-lah yang berniat untuk melakukannya, sehingga aku yakin bahwa kalian benar-benar telah menyeberang,” jawab Glagah Putih.

Orang-orang berkuda itu memang menjadi sangat marah. Tetapi mereka berhadapan dengan pengawal yang jumlahnya tiga empat kali lipat. Karena itu, maka mereka memang tidak mempunyai kesempatan untuk mengelak lagi.

Sejenak kemudian, maka orang tertua di antara mereka berkata, “Kita akan kembali ke Mataram. Tetapi kalian kelak tentu akan menyesal.”

Glagah Putih bergeser maju. Tetapi Agung Sedayu sempat memegang kendali kudanya sambil berdesis, “Biarlah mereka pergi.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun Agung Sedayu pun berkata, “Kita akan mengikuti mereka sampai ke tepian, seperti yang telah kau katakan.”

Demikianlah, maka Agung Sedayu, Glagah Putih, dua orang pengawal yang menyertainya, serta sekelompok pengawal berkuda telah mengikuti orang-orang berkuda itu menyusuri jalan di Tanah Perdikan Menoreh menuju ke tempat penyeberangan. Orang-orang itu semula akan menyeberang di penyeberangan yang lain dari saat mereka menyeberang ke Barat. Agaknya mereka telah mendapat keterangan tentang beberapa tempat penyeberangan Kali Praga, sehingga mereka dapat memilih satu di antaranya.

Tetapi ternyata Agung Sedayu telah mempersilahkan mereka untuk menyeberang di penyeberangan sebelah utara.

“Sekehendakku,” berkata salah seorang dari mereka.

“Tidak. Kau harus menjadi tamu Panembahan Senapati yang baik, agar nama Panembahan Senapati tidak ikut tercemar karenanya,” berkata Agung Sedayu.

“Apa salahnya aku menyeberang di penyeberangan yang lain?” bertanya orang itu.

“Memang tidak ada salahnya. Tetapi kalian belum membayar tukang satang ketika kau menyeberang Kali Praga,” berkata Agung Sedayu.

“Persetan,” geram orang yang tertua, “siapa yang berkata begitu?”

“Kau kira aku tidak melihat kau menyeberang?” Glagah Putih-lah yang menyahut.

“Kenapa kau diam saja waktu itu?” bertanya orang tertua itu.

“Aku kira kalian bukan orang mabuk yang mengganggu ketenangan Tanah Perdikan ini,” jawab Glagah Putih.

“Omong kosong. Tentu tukang satang itulah yang mengatakan,” geram orang tertua di antara mereka.

“Dan kau mencoba untuk menghindar dari mereka?” sahut Glagah Putih. Lalu dengan keras Glagah Putih berkata, “Tidak. Kalian harus lewat penyeberangan itu. Kalian harus membayar upah mereka untuk menyeberangkan ke timur, sekaligus memberi upah kepada tukang satang yang telah kau pergunakan untuk menyeberang ke barat. Jika tidak, maka biarlah aku kelak mengatakan kepada setiap orang bahwa kalian telah menipu tukang satang. Orang-orang kecil yang harus kau tolong dan kau lindungi.”

“Setan kau,” geram orang itu.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar