Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 245

Buku 245

Sesaat Wreksa Gora masih berusaha untuk berdiri tegak. Namun iapun kemudian telah terhuyung-huyung dan jatuh bertelekan pada lututnya. Tetapi ia tidak mampu untuk bertahan. Karena itu, maka iapun kemudian jatuh terguling di tanah.

Sesaat Agung Sedayu termangu-mangu. Sementara itu terdengar sorak para pengawal Tanah Perdikan. Satu lagi kemenangan telah direnggut oleh pasukan Tanah Perdikan Menoreh atas pasukan lawan.

Selangkah demi selangkah Agung Sedayu pun telah mendekat. Ketika ia berdiri beberapa langkah dari tubuh Wreksa Gora yang terbaring, ia melihat Wreksa Gora itu masih berusaha mengangkat kerisnya ke wajahnya untuk menghembusnya.

Ternyata tangannya masih mampu melakukannya. Ketika ujung keris itu sudah dekat ke mulutnya, maka dengan sisa tenaganya Wreksa Gora berusaha menghembus ke arah Agung Sesayu yang berdiri termangu-mangu.

Agung Sedayu memang tertegun diam. Namun ia yakin, bahwa ia tidak akan mengalami sesuatu. Ujung keris itu sudah tidak berkilat lagi. Pamornya telah padam sama sekali, sehingga tidak ada cahaya apapun yang nampak pada keris itu.

Karena itu, meskipun Wreksa Gora berhasil meniupnya, tetapi tidak ada lidah api yang terjulur. Tidak ada kekuatan ilmu yang mampu mendukung serangannya itu. Terdengar Wreksa Gora itu mengumpat, “Setan kau.“

Agung Sedayu masih saja tegak sambil berdiam diri. Ia menyaksikan saat-saat yang sulit Wreksa Gora yang kecewa itu. Kerisnya pun kemudian terlepas pula dari tangannya.

“Apaboleh buat,“ berkata Agung Sedayu.

Dengan susah payah Wreksa Gora berusaha untuk menyilangkan tangannya di dadanya. Namun nampaknya ia sudah tidak mempunyai tenaga sama sekali. Tangannya memang bergerak-gerak. Tetapi tidak pernah sampai ke dadanya.

Agung Sedayu mengerti, bahwa Wreksa Gora ingin memusatkan nalar budinya untuk mengatasi kesulitannya yang memuncak. Karena itu, maka Agung Sedayu telah mendekatinya dan membantunya meletakkan kedua tangan Wreksa Gora di dadanya.

“Aku tidak perlu pertolonganmu,“ suara Wreksa Gora tersendat. Tetapi ia membiarkan kedua tangannya diletakkan di dadanya oleh Agung Sedayu. Selain ia memang ingin berbuat demikian, iapun tidak mampu untuk melawannya.

Sejenak kemudian, Wreksa Gora pun telah memejamkan matanya. Sambil berbaring ia berusaha untuk memusatkan nalar budinya, mengatur jalan pernafasannya yang tersendat.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata dengan perlindungan ilmu kebal, Wreksa Gora mampu bertahan untuk tetap hidup. Sementara Wreksa Gora yang dalam waktu yang pendek mampu mengenali sifat Agung Sedayu, yakni bahwa Agung Sedayu tidak akan menghabisinya di saat ia tidak mampu melawan.

Sebenarnyalah Agung Sedayu sama sekali tidak berniat untuk membunuh Wreksa Gora. Selain orang itu memang dalam keadaan tidak berdaya, maka ia akan dapat menjadi sumber keterangan. Meskipun mungkin tidak seluruhnya, tetapi beberapa hal akan dapat diterangkannya tentang rencana Panembahan Cahya Warastra dalam keseluruhan.

Karena itu, Agung Sedayu justru menunggui orang yang tengah berusaha untuk mengatasi kesulitan pernafasannya itu. Dibiarkannya Wreksa Gora mencapai satu keadaan yang lebih baik. Bahkan Agung Sedayu pun tidak berbuat sesuatu ketika kemudian Wreksa Gora yang menjadi semakin baik itu berusaha untuk bangkit.

Sejenak kemudian, Wreksa Gora itu telah duduk sambil menyilangkan tangan di dadanya. la masih saja memusatkan nalar budinya untuk mencapai tingkat ketahanan tubuh tertinggi. Ia harus memecahkan satu kesulitan yang terjadi di dadanya. Agaknya beberapa simpul syarafnya agak terganggu oleh serangan Agung Sedayu yang mampu menembus ketahanan ilmu kebalnya yang rangkap itu.

Beberapa saat Wreksa Gora memusatkan nalar budinya. Beberapa lama orang itu berusaha untuk mengatasi keadaannya. Perlahan-lahan pernafasannya dapat diatasinya. Namun terasa ada sesuatu yang masih sulit dipecahkannya di dadanya.

Perlahan-lahan Wreksa Gora menggapai kerisnya yang terlepas dari tangannya. Ia berharap agar Agung Sedayu tidak melihatnya.

Tetapi Agung Sedayu memperhatikannya dengan seksama. Demikian keris itu digenggamnya, maka Wreksa Gora telah mengerahkan sisa tenaga yang ada untuk menghentakkan ilmunya. Tetapi keris itu sama sekali tidak berubah. Tidak ada kilatan cahaya yang menandai bahwa ilmu Wreksa Gora dapat dibangkitkan lagi.

Karena itu, maka Agung Sedayu sama sekali tidak bergeser ketika Wreksa Gora yang seakan-akan tidak mau melihat kenyataan itu telah mengangkat kerisnya dan kemudian menghembuskannya keras-keras.

Agung Sedayu hanya menarik nafas dalam-dalam. la melihat betapa kecewanya Wreksa Gora. Tetapi kenyataan pahit itu rasa-rasanya ingin dihidarinya. Karena itu, maka beberapa kali ia menghembus ujung keris itu, semakin lama semakin keras. Sehingga kemudian nafasnya yang telah hampir pulih kembali itu pun telah terganggu pula. Wreksa Gora menjadi terengah-engah lagi.

“Sudahlah,“ Berkata Agung Sedayu, “kau tidak mempunyai kesempatan lagi. Karena itu, menyerahlah.“

Wreksa Gora yang kehabisan tenaga itu memang tidak mampu berbuat apa-apa lagi kecuali menundukkan kepalanya. Ternyata bahwa luka di dalam tubuhnya, meskipun tidak membunuhnya, namun telah menutup beberapa simpul syarafnya. sehingga ia tidak mampu lagi membangkitkan kekuatan ilmunya. Jika simpul-simpul itu tidak sekedar tertutup, tetapi dirusakkannya, maka untuk selamanya ia tidak akan dapat menumbuhkan kembali kekuatan ilmunya itu.

Sambil menundukkan kepalanya Wreksa Gora itu berkata, “Aku sekarang baru meyakininya, bahwa namamu bukan sekedar seperti asap yang memenuhi udara, namun yang segera hanyut dihapus angin. Kau benar-benar seorang yang memiliki tingkat ilmu yang sangat tinggi.“

“Tidak setinggi yang kau sangka. Kesalahanmu adalah, bahwa kau telah mengabaikan kemungkinan seperti ini dapat terjadi. Kau terlalu merendahkan aku,“ jawab Agung Sedayu.

“Tidak. Aku tidak merendahkanmu. Panembahan Cahya Warastra telah berpesan. Panembahan juga menyebutkan apa yang telah kau lakukan atas Bango Lamatan. Karena itu, aku telah bertempur dengan hati-hati dan dengan seluruh kekuatan ilmuku. Bahkan ilmu simpananku. Tetapi aku kau kalahkan, sebagaimana kau mengalahkan Bango Lamatan. Seperti Bango Lamatan, maka aku pun tidak kau bunuh sekarang ini, meskipun ada kesempatan bagimu,“ berkata Wreksa Gora pula.

“Aku ingin kau menyerah. Kau diperlukan untuk menjernihkan persoalan antara Mataram dan Madiun. Meskipun barangkali yang kau ketahui tidak terlalu banyak, tetapi mungkin keteranganmu akan berarti,“ sahut Agung Sedayu.

“Kau salah. Aku tidak akan berarti apa-apa lagi. Sebaiknya kau bunuh saja aku di sini,“ desis Wreksa Gora. “Kau tentu tahu, bahwa aku tidak akan berbicara apa-apa. Kaupun tahu bahwa jika aku masih hidup dan mendapatkan kekuatan serta ilmuku kembali, maka kapan pun waktunya, aku akan membunuhmu.“

“Itu bukan soal,“ berkata Agung Sedayu, “semua orang akan berpikir seperti itu. Tetapi aku masih mempercayaimu, bahwa kau adalah seseorang yang mempunyai dua unsur sifat sebagaimana aku, sebagaimana Panembahan Cahya Warastra dan sebagaimana Panembahan Senapati. Yaitu baik dan buruk. Kalau kau sempat membuat pertimbangan-pertimbangan, maka keputusanmu akan berubah.“

“Tidak. Aku adalah pendendam yang paling mutlak di antara semua orang. Dendamku kepadamu tidak akan dapat dihapuskan oleh apapun juga,“ geram orang itu.

“Terserahlah kepadamu. Tetapi kau adalah tawananku,“ berkata Agung Sedayu.

Dengan isyarat, maka Agung Sedayu pun telah memanggil dua orang pengawal Tanah Perdikan yang melepaskan lawan-lawannya di medan.

“Ikat orang itu dan bawa ke belakang garis pertempuran. Ia termasuk orang penting yang tidak boleh terlepas. Tetapi ia sudah tidak berbahaya lagi,“ pesan Agung Sedayu.

Wreksa Gora sama sekali tidak meronta. Namun terdengar ia menggeram. Pada matanya memang terbayang dendam yang sangat dalam kepada Agung Sedayu yang dapat mengalahkannya. Tetapi iapun tidak dapat mengingkari kenyataan tentang dirinya sendiri dan tentang orang yang telah mengalahkannya itu. Karena itu Wreksa Gora membiarkan kedua tangannya diikat di belakang punggungnya, kemudian kedua orang pengawal telah membawanya ke belakang garis pertempuran.

Sementara itu, Kiai Gringsing memang menjadi agak cemas tentang muridnya itu. Semula ia masih saja tidak banyak memperhatikannya ketika ia mendengar cambuk Agung Sedayu yang meledak-ledak dengan kerasnya, sehingga rasa-rasanya telah memecahkan selaput telinga. Dengan demikian Kiai Gringsing mengetahui bahwa Agung Sedayu masih belum merasa perlu meningkatkan ilmunya pada tataran tertinggi. Namun ketika kemudian suara cambuk itu menjadi lunak, maka Kiai Gringsing menyadari, bahwa Agung Sedayu benar-benar telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Lawannya tentu orang yang berilmu tinggi, sehingga Agung Sedayu telah meningkatkan ilmunya pada tataran tertinggi pula.

Kecemasan Kiai Gringsing menjadi semakin dalam ketika suara cambuk itu telah menjadi diam sama sekali. Kemudian terdengar sorak yang membahana tanpa mengetahui dengan pasti, siapakah yang telah bersorak itu.

Tetapi kecemasan Kiai Gringsing itu kemudian telah lenyap ketika tiba-tiba saja ia mendengar lagi ledakan cambuk Agung Sedayu.

Sebenarnyalah ketika Wreksa Gora telah dibawa ke belakang garis pertempuran, Agung Sedayu telah memasuki lagi arena pertempuran. Tetapi ia telah mempengaruhi ketahanan jiwani lawan-lawannya dengan ledakan cambuknya itu.

Ketahanan pasukan Panembahan Cahya Warastra telah menjadi semakin susut. Dua orang di antara mereka yang berilmu tinggi telah dapat dikalahkan. Meskipun kedua orang yang telah memenangkan pertempuran itu tidak dengan serta merta dan dengan kejamnya memasuki medan, namun keseimbangan pun telah berubah. Dua gigi pasukan Panembahan Cahya Warastra telah patah.

Namun Ki Jayaraga dan Agung Sedayu bukan pembunuh-pembunuh yang tidak berperikemanusiaan. Sehingga karena itu, maka justru keduanya tidak langsung terjun ke medan. Apalagi Ki Jayaraga masih mengingat keadaan tubuhnya sendiri.

Dalam pada itu, Panembahan Cahya Warastra yang telah terlibat dalam pertempuran yang sengit melawan Ki Patih Mandaraka, tidak segera dapat mengetahui apa yang telah terjadi dengan pasukannya.

Para penghubung tidak berani mendekatinya untuk memberikan laporan tentang perkembangan medan yang mencemaskan. Dua orang penghubung yang datang harus menunggu kesempatan. Ketika keduanya sempat saling berbicara, maka keduanya membawa berita buruk. Kematian Karpa Tole dan kekalahan Wreksa Gora yang dapat ditangkap hidup-hidup oleh Agung Sedayu. Dengan demikian maka pasukan Tanah Perdikan di kedua lingkungan arena itu telah mendesak pasukan Panembahan Cahya Warastra.

Dalam pada itu, ternyata bahwa Ki Patih Mandaraka benar-benar seorang yang berilmu sangat tinggi. Panembahan Cahya Warastra yang merasa dirinya telah menempa diri untuk waktu yang lama dengan mematangkan berbagai macam ilmunya, harus mengakui bahwa Ki Patih Mandaraka yang di masa sebelumnya bernama Ki Juru Martani itu adalah seorang yang menguasai berbagai macam ilmu yang sangat tinggi.

Ketika Panembahan Cahya Warastra menyerang Ki Patih dengan kekuatan ilmunya yang mendahului gerak wadagnya, maka Ki Patih sama sekali tidak terkejut. Ada beberapa orang yang mampu berbuat seperti itu. Seakan-akan wadagnya mempunyai kepanjangan yang tidak nampak oleh mata. Tetapi penggraita Ki Mandaraka yang tajam seakan-akan dapat melihat kepanjangan dari wadag yang tidak nampak itu.

Karena itu, maka getaran ilmu yang mendahului wadagnya itu pun tidak pernah dapat menyentuh tubuh Ki Mandaraka yang dapat bergerak dengan cepat sekali.

Tetapi Panembahan Cahya Warastra adalah juga seorang yang berilmu tinggi. Bukan saja serangannya yang mendahului wadagnya, namun Panembahan Cahya Warastra juga mampu menaburkan udara panas yang menyengat lawannya.

Namun serangan itu tidak mampu juga melemahkan pertahanan Ki Patih Mandaraka. Ketika udara panas bergetar mengalir bergelombang menyerangnya, maka Ki Mandaraka telah mengetrapkan ilmu yang sebaliknya. Ki Patih itu mampu menggetarkan udara dengan kekuatan yang menyerap sama sekali panas dari udara, sampai kekuatannya yang paling lemah sekalipun, sehingga rasa-rasanya udara di sekitarnya telah membeku. Dengan demikian maka serangan Panembahan Cahya Warastra sama sekali tidak menghadapi benturan kekuatan, namun seakan-akan kekuatan itu dengan lunak telah terhisap ke dalam ilmu yang dilepaskan oleh Ki Mandaraka.

Panembahan Cahya Warastra menggeram. Ia ingin membentur ilmu Ki Patih sehingga segera akan dapat diketahui, ilmu siapakah yang lebih kuat di antara mereka berdua. Namun Ki Mandaraka telah mengatasi ilmunya dengan caranya sendiri.

Demikianlah, kedua orang yang berilmu sangat tinggi itu telah bertempur dengan saling beradu ilmu. Keduanya ternyata memang orang-orang yang berilmu sangat tinggi.

Namun sementara itu, hampir di segala medan, pasukan Tanah Perdikan Menoreh telah mendesak lawan-lawannya. Perhitungan Panembahan Cahya Warastra yang keliru, serta ketajaman hidung petugas sandi Mataram yang telah mencium gerakan Panembahan itu, telah menyelamatkan Tanah Perdikan Menoreh. Serangan terbesar yang datang dari arah selatan ternyata tidak mampu mendesak maju. Para pemimpin prajurit Madiun yang diperbantukan kepada Panembahan Cahya Warastra itu menyadari, bahwa kecepatan gerak para petugas sandi serta prajurit Mataram memang melampaui kecepatan gerak petugas sandi dari Madiun.

Dengan demikian, maka pasukan Madiun itu telah terdesak mundur. Mereka memang tidak mempunyai pilihan lain kecuali berusaha untuk bertahan selama mungkin. Mereka tidak lagi dapat membuat perhitungan yang mapan, tetapi sekedar menunggu perkembangan keadaan. Jika Panembahan Cahya Warastra berhasil menguasai padukuhan induk, maka keadaan tentu akan segera berubah.

Namun para penghubung telah memberikan keterangan yang tidak meyakinkan. Mereka telah memberikan laporan kepada para pemimpin prajurit dari Madiun, bahwa di segala medan, pasukan Panembahan Cahya Warastra telah terdesak.

Seorang senapati dari Madiun telah menggeram, “Ini adalah tanggung jawab Cahya Warastra. Jika ia mau mendengarkan petunjuk Panembahan Mas dari Madiun, maka keadaannya tentu akan berbeda.“

“Panembahan Cahya Warastra memang keras kepala,“ senapati yang lain sempat menyahut, “ia ingin mendapatkan pujian, serta anggapan bahwa kemampuannya melampaui kemampuan para Adipati di daerah Timur. Rencananya membunuh Ki Patih Mandaraka itu adalah karena ia ingin disebut pahlawan tertinggi dari Madiun.“

“Tentu bukan sekedar sebutan pahlawan,“ berkata senapati yang pertama.

“Sekarang, pasukan kita mengalami kesulitan di sini,“ sahut senapati yang seorang lagi.

Tetapi mereka tidak dapat berbuat sesuatu selain bertahan. Semuanya sudah terjadi. Dan mereka harus mencari jalan keluar dari kesulitan bagi pasukannya.

Sementara itu, pasukan yang datang dari arah lain pun mengalami kesulitan yang sama. Yang datang dari arah utara adalah pasukan yang paling parah. Yang bertempur di sisi ini pada umumnya memang bukan prajurit. Mereka datang untuk tujuan yang khusus, yang justru telah dimanfaatkan oleh Panembahan Cahya Warastra. Namun ternyata mereka tidak berhasil memasuki Tanah Perdikan Menoreh. Mereka telah mendapat perlawanan yang kuat, melampaui kekuatan mereka.

Namun dengan demikian, karena mereka memang tidak datang dengan niat yang mantap di dalam hati untuk memperjuangkan satu cita-cita yang mantap pula dalam satu perjuangan, maka keberanian mereka pun ternyata paling cepat surut. Ketika mereka tidak berharap lagi untuk dapat memasuki Tanah Perdikan Menoreh yang mereka anggap cukup kaya itu, maka mereka pun telah kehilangan gairah perjuangan mereka.

Demikian mereka terdesak semakin jauh, serta tidak lagi berpengharapan untuk menang, maka mereka tidak merasa perlu lagi untuk bertempur lebih lama. Yang telah menjadi korban dan terbaring di tanah, memang tidak akan pernah mereka tangisi, karena hal itu adalah akibat yang mereka anggap wajar bagi kerja mereka. Bukan saja di Tanah Perdikan, tetapi dimanapun juga. Namun yang masih hidup, menganggap bahwa yang paling baik adalah melarikan diri, apabila sudah tidak ada harapan lagi.

Mereka sudah merasa terlalu lama menunggu. Korban telah cukup banyak. Namun nampaknya para pemimpin mereka masih belum dapat menguasai pedukuhan induk Tanah Perdikan. Ki Patih Mandaraka belum mati, dan Ki Gede Menoreh belum menyerah atau bahkan mati pula. Karena itu, maka mereka merasa tidak ada gunanya bertempur lebih lama lagi. Mereka tidak akan mendapatkan apapun juga selain kematian sebagaimana kawan-kawannya.

Karena itu. maka pasukan di sisi utara itulah yang paling cepat menarik diri. Para prajurit Madiun yang ada di pasukan itu berusaha untuk bertahan dan memaksa mereka bertempur terus. Namun para pemimpin itu tidak mampu memaksakan perintah-perintah mereka. Orang-orang yang berniat untuk memasuki Tanah Perdikan yang kaya itu, pada suatu saat yang justru paling gawat, merasa tidak berada di bawah perintah para prajurit Madiun. Karena itu, maka mereka tidak menghiraukan perintah-perintah mereka lagi.

Senapati Madiun yang memimpin pasukan itu memang menjadi marah. Tetapi ketika ia mengancam akan menghukum berat setiap orang yang meninggalkan medan di luar perintah, maka orang-orang itu justru siap melawannya. Bahkan seorang yang berjenggot dan bercambang lebat berteriak, “Bunuh saja Senapati itu jika mereka melarang kita menarik diri dari medan!“ Senapati itu bukannya menjadi gentar. Tetapi ia masih menghadapi pasukan Tanah Perdikan yang mendesak terus. Karena itu, maka perhatiannya masih juga lebih banyak tertuju kepada pasukan Tanah Perdikan Menoreh. Jika ia melayani dan harus bertempur dengan orang-orangnya sendiri, maka pasukannya tentu akan menjadi semakin lemah. Tetapi Senapati itu tahu pasti, beberapa orang pemimpin dari antara mereka yang telah berkhianat itu.

Karena itu, maka Senapati dari Madiun yang marah itu berkata kepada orang-orang yang mencoba melawan perintahnya, “Kau tahu, hukuman apa yang bakal kau terima jika kau melawan perintahku. Apalagi mengancam untuk membunuhku.“

Seorang di antara mereka berkata, “Jika kau mati, tidak ada orang yang akan menghukumku.“

“Para Senapati Besar di Madiun mengetahui apa yang telah terjadi. Jangan kau kira, bahwa kau akan luput dari hukuman. Bahkan seandainya kau jatuh ke tangan pasukan Tanah Perdikan pun kau akan dihukum karena melawan perintah. Kalian akan diserahkan kepada Panglima prajurit di Madiun, atau bahkan dibawa ke Mataram dengan nasib yang lebih buruk lagi. Mataram sangat membenci prajurit atau yang dinyatakan sebagai prajurit yang melawan perintah,“ berkata Senapati itu.

Orang-orang itu memang sempat memikirkan ancaman itu. Namun mereka benar-benar tidak mau lagi bertempur, sehingga beberapa orang di antara mereka segera mengambil jalan mereka sendiri. Beberapa orang di antara mereka yang datang ke Tanah Perdikan Menoreh dengan harapan tersendiri itu telah berusaha untuk melarikan diri. Mereka merasa telah gagal sama sekali, sehingga mereka tidak merasa perlu untuk menunggu lebih lama lagi, atau bahkan mati terbunuh.

Sementara itu Senapati prajurit Madiun yang memimpin pasukan yang amat khusus itu tidak dapat mencegah mereka, untuk menghindari benturan di antara mereka, sehingga akan mempercepat kehancuran mereka sendiri. Tetapi Senapati itu tidak akan pernah melupakan apa yang telah terjadi.

Dengan demikian maka pasukan Panembahan Cahya Warastra di sisi utara itulah yang pertama-tama mengalami kekalahan mutlak. Demikian sekelompok di antara mereka meninggalkan medan, maka kekuatannya menjadi jauh susut. Pasukan Tanah Perdikan nampaknya juga memanfaatkan kesempatan itu, sehingga pasukan Panembahan Cahya Warastra yang tersisa itu tidak dapat bertahan lagi. Senapatinya pun menganggap bahwa jika mereka berkeras untuk bertahan, maka keadaan mereka tentu akan menjadi semakin parah.

Karena itu, maka Senapatinya pun telah memerintahkan pasukannya untuk mengambil kesempatan menarik diri. Mereka harus meninggalkan medan dan kemudian menyatukan diri di tempat yang telah ditentukan, sebagaimana mereka rencanakan sebelumnya untuk membenahi diri. Namun, karena keadaan pasukannya yang telah terkoyak-koyak, maka hampir tidak ada gunanya lagi mereka membenahi diri untuk tampil kembali di medan pertempuran.

Demikianlah, ketika aba-aba diberikan, maka pasukan Panembahan Cahya Warastra itu bagaikan genangan air yang dituang. Dengan cepatnya susut dan kemudian kering.

Dengan ketangkasan prajurit, maka pasukan yang tersisa itu pun telah menghindar dari medan. Mereka telah memasuki sebuah pategalan dan seakan-akan menghilang di dalamnya. Namun ternyata bahwa mereka mampu menghambat orang-orang yang mengejar mereka, dengan serangan yang tiba-tiba, kemudian menghilang.

Ternyata bahwa prajurit Madiun yang tersisa dari keseluruhan pasukan di sisi utara itu pun telah menarik diri. Tetapi mereka tidak langsung berlari bercerai berai. Mereka telah berkumpul di tempat yang memang telah direncanakan. Karena sebagai seorang pimpinan yang berpengalaman, Senapati Madiun itu telah memperhitungkan segala kemungkinan yang terjadi. Termasuk jika pasukannya terdesak.

Pasukan Tanah Perdikan memang tidak mengejar mereka untuk seterusnya. Mereka sadari, bahwa dengan demikian korban akan terlalu banyak jatuh di antara mereka dalam pengejaran itu. Meskipun mereka lebih menguasai medannya, tetapi memukul kemudian berlari itu adalah satu gelar perang yang sangat berbahaya. Terutama bagi pasukan yang telah berputus asa.

Karena itu, maka pengejaran atas pasukan yag mundur itu pun dilakukan dengan gelar pula. Mereka dengan hati-hati menerobos pategalan itu dalam satu deretan, yang tidak terlepas yang seorang dengan orang-orang di sebelah-menyebelahnya.

Tetapi gerak yang demikian memang memerlukan waktu, sehingga para prajurit dari pasukan Panembahan Cahya Warastra itu telah lebih dahulu mencapai tempat yang mereka rencanakan.

Dengan cepat Senapati pasukan itu memberikan perintah, agar pasukannya segera bergabung dengan pasukan yang menyerang Tanah Perdikan itu dari sisi barat.

Dengan tangkas pula sisa dari pasukan yang bertugas di sisi utara itu telah menghilang. Mereka segera merayap menuju ke sebelah barat Tanah Perdikan untuk bergabung dengan pasukan yang ada di sana. Dari seorang penghubung mereka tahu, bahwa pasukan yang ada di sebelah barat itu pun mengalami tekanan yang berat dari pasukan Tanah Perdikan Menoreh, yang seakan-akan jumlahnya selalu bertambah.

“Mudah-mudahan pasukan Tanah Perdikan tidak segera memperhitungkan kehadiran kami di medan sebelah barat,“ berkata Senapati itu, “dengan demikian maka kita akan mempergunakan waktu yang sedikit untuk memukul pasukan mereka yang ada di medan itu. Meskipun akhirnya pasukan Tanah Perdikan itu pasti tahu juga, tetapi waktu yang sedikit itu semoga berarti bagi kita.“

Demikianlah, dengan tergesa-gesa sisa pasukan itu telah menuju ke medan di sisi barat, melintasi lereng pegunungan dengan menghindari padukuhan-padukuhan.

Mereka berusaha untuk mempergunakan kesempatan sedikit saat mereka mendahului pasukan Tanah Perdikan Menoreh. Mereka berharap bahwa Tanah Perdikan terlambat menyadari kehadiran mereka di sisi barat, karena pasukan itu dikira melarikan diri.

Tetapi para petugas sandi Tanah Perdikan sempat melihat iring-iringan itu, sehingga mereka sempat memberikan laporan tentang mereka.

Namun petugas sandi itu memang menjadi bingung. Ia tidak dapat menyampaikan hal itu kepada Ki Gede yang sedang bertempur di medan. Ia juga tidak dapat berbicara dengan para pemimpin yang lain.

Tetapi petugas sandi itu kemudian mengetahui bahwa Agung Sedayu telah menyelesaikan lawannya. Namun Agung Sedayu masih juga bertempur di antara pasukannya di sayap sebelah kanan.

Dalam keadaan yang demikian, maka ia telah bertemu dengan penghubung yang akan memberikan laporan tentang kemenangan di medan di sisi utara. Pasukan Panembahan Cahya Warastra telah menarik diri dari medan, sementara beberapa petugas sedang melacak pasukan yang menarik diri itu. Dengan demikian maka pasukan Tanah Perdikan akan tetap dapat mengetahui agar yang dilakukan oleh sisa-sisa pasukan itu.

(dalam cetakan buku asli terdapat bagian yang hilang di sini)

“Mereka menuju ke medan di sisi barat,“ berkata petugas sandi itu.

Penghubung itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Marilah. Berikan laporan itu kepada pimpinan pasukan di sisi utara itu.“

Petugas sandi itu pun kemudian telah menuju ke pasukan Tanah Perdikan yang telah kehilangan lawannya itu untuk memberitahukan apa yang telah dilihatnya.

“Jadi mereka berusaha bergabung dengan pasukan di sisi barat?“ bertanya pimpinan pasukan Tanah Perdikan yang telah memenangkan pertempuran itu.

“Ya,“ jawab petugas sandi itu.

Namun disamping laporan itu, telah datang pula laporan tentang keributan yang terjadi di sebuah padukuhan kecil di dekat bekas medan di sisi utara itu.

“Orang-orang yang melarikan diri dari medan telah memasuki padukuhan sebelah untuk merampok rumah-rumah yang ditinggal mengungsi penduduk,“ berkata penghubung yang memberikan laporan itu.

Akhirnya pemimpin pasukan di sisi utara itu telah mengambil keputusan membagi pasukannya. Dari penghubung yang memberikan laporan tentang perampokan yang terjadi di padukuhan itu, ia mengetahui bahwa telah terjadi perlawanan dari para pengawal yang memang ditinggalkan di padukuhan itu. Tetapi jumlah para pengawal itu terlalu sedikit.

Para pengawal dari Tanah Perdikan itu pun telah bergerak dengan cepat. Sebagian pasukannya telah menuju ke padukuhan sebelah, sementara yang lain telah menyusul pasukan lawan yang pergi ke medan di sisi barat.

Dalam pada itu, orang-orang yang datang ke Tanah Perdikan itu dengan niat yang lain dari membunuh Ki Patih Mandaraka, yang menjadi kecewa karena kegagalan yang mereka alami di medan pertempuran itu sehingga tidak sempat memasuki padukuhan-padukuhan yang lebih besar, telah memasuki padukuhan kecil. Mereka menganggap bahwa apa yang akan mereka dapatkan di padukuhan kecil itu akan dapat mereka jadikan sekadar penawar perasaan mereka yang sangat kecewa.

Tetapi ternyata mereka tidak dapat melakukan begitu saja, karena di padukuhan itu terdapat beberapa orang pengawal, dibantu oleh orang-orang yang meskipun sudah memasuki pertengahan abad, namun masih memiliki kemampuan untuk bertempur, karena pada umumnya mereka adalah bekas pengawal atau mereka yang di masa mudanya pernah terlibat dalam pertempuran-pertempuran yang pernah terjadi di Tanah Perdikan itu sebelumnya.

Karena itu, maka para pengawal yang ada di padukuhan-padukuhan kecil itu untuk sementara dapat menghambat langkah-langkah liar yang akan diambil oleh orang-orang yang melarikan diri dari medan di sisi utara itu.

Namun beberapa saat kemudian, sebagian dari pasukan pengawal Tanah Perdikan telah datang ke padukuhan itu. Mereka tidak langsung memasuki padukuhan itu, tetapi mereka telah membagi diri dalam kelompok-kelompok yang memasuki padukuhan itu dari mulut-mulut lorong yang berbeda. Dengan demikian maka orang-orang yang berusaha merampok rumah-rumah kosong yang ditinggal mengungsi itu seakan-akan telah terkepung.

Sebenarnyalah mereka tidak mendapat banyak kesempatan untuk melarikan diri. Kemarahan pasukan pengawal Tanah Perdikan kepada mereka, jauh lebih besar daripada kepada para prajurit yang memang bertempur untuk satu tujuan tertentu yang ingin mereka selesaikan dengan perang. Berbeda dengan orang-orang yang justru mempergunakan kesempatan itu untuk merampok dan merampas.

Dengan demikian, maka korban yang jatuh di antara mereka yang telah melakukan perampokan itu justru menjadi lebih banyak dari para prajurit, sebelum sisanya akhirnya juga menyerahkan diri.

Tetapi perlakuan para pengawal Tanah Perdikan kepada mereka ternyata lebih buruk dari perlakuan mereka terhadap para prajurit yang menyerah atau tertangkap.

Pasukan Tanah Perdikan yang menuju ke medan di sisi barat itu pun telah berjalan semakin cepat. Mereka menyadari bahwa pasukan Panembahan Cahya Warastra tentu akan mempergunakan kesempatan untuk menghancurkan pasukan Tanah Perdikan di sisi barat, untuk menebus kekalahannya di medan di sisi utara.

Karena itu, maka pasukan itu pun telah memilih jalan pintas. Sebagai orang-orang Tanah Perdikan, maka mereka lebih mengenal lingkungan daripada orang-orang yang datang menyerang. Tetapi selisih waktu keberangkatan pasukan itu memang agak banyak. Sementara matahari telah menjadi semakin rendah.

Sebenarnyalah bahwa pasukan Panembahan Cahya Warastra yang meninggalkan medan di sisi utara dan menggabungkan diri di medan sebelah barat itu sangat mengejutkan. Apalagi mereka dengan sengaja berteriak-teriak bahwa pasukan Tanah Perdikan di sisi utara telah dihancurkan.

“Sebagian pasukan kami langsung menuju ke padukuhan induk,“ teriak salah seorang pemimpin kelompok.

Para pengawal Tanah Perdikan yang bertempur di sisi sebelah barat itu memang terkejut. Teriakan-teriakan itu agaknya memang sangat berpengaruh secara jiwani. Para pengawal Tanah Perdikan itu telah mencemaskan kawan-kawannya dan juga mencemaskan padukuhan induk. Bahkan kemudian mencemaskan diri mereka sendiri.

Namun para pemimpin pengawal Tanah Perdikan itu pun telah berusaha mengatasi kegelisahan itu. Dengan lantang seorang di antara mereka berteriak, “Kita tebus kekalahan di sisi utara! Kita hancurkan mereka di sini!“

Pemimpin kelompok yang lain telah menyahut, “Ya! Kita tuntut mereka yang telah membunuh kawan-kawan kita untuk membayar kembali hutang mereka!“

“Hutang nyawa dibayar dengan nyawa!“ teriak yang lain.

Teriakan-teriakan itu ternyata mampu membangkitkan nyala di hati para pengawal Tanah Perdikan yang menjadi surut itu. Api seakan-akan justru berkobar semakin membesar di dalam setiap dada.

Namun adalah satu kenyataan bahwa jumlah lawan mereka telah bertambah. Sementara itu, pemimpin pasukan Panembahan Cahya Warastra yang datang dari sisi utara itu telah menemui Senapati yang memimpin pasukan di sisi barat itu dan menyampaikan laporan tentang peristiwa yang sebenarnya telah terjadi.

“Kita manfaatkan kesempatan ini sebaik-baiknya,“ berkata Senapati yang datang dari utara itu.

“Bagus,“ geram Senapati di sisi barat.

Perintah pun telah mengumandang di lereng pegunungan. Pasukan di sisi barat itu pun harus segera dihancurkannya pula.

“Jangan beri kesempatan! Seperti pasukan di sisi utara, para pengawal Tanah Perdikan di sisi barat ini pun harus segera kita hancurkan. Kita akan segera menuju ke padukuhan induk!“ terdengar suara Senapati yang memimpin pasukan Panembahan Cahya Warastra di sisi Barat.

Perintah itu memang cukup berpengaruh. Pasukan yang memang berada di sisi barat yang mulai menjadi letih itu seakan-akan telah mendapatkan tenaga baru. Sementara itu, pasukan yang datang dari sisi utara, berusaha untuk membalas dendam atas kekalahan yang telah mereka alami di sisi utara.

Dengan demikian, maka pertempuran di sisi barat itu bagaikan bergejolak. Para pengawal Tanah Perdikan Menoreh telah mengalami tekanan yang sangat besar, sehingga sesaat garis pertempuran memang telah bergeser. Sementara itu, tekanan pun semakin lama menjadi semakin berat.

Namun para pemimpin pasukan pengawal Tanah Perdikan telah berhasil membakar gelora perjuangan di hati para pengawal. Karena itu, maka mereka pun telah meningkatkan kekuatan dan kemampuan yang masih ada di dalam diri mereka masing-masing. Sementara tubuh mereka bagaikan telah menjadi basah oleh keringat.

Tetapi kehadiran atas pasukan di sisi utara itu memang berpengaruh. Mereka benar-benar ingin memanfaatkan keadaan itu untuk menghancurkan pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh, sehingga dengan demikian mereka akan dapat menuju ke padukuhan induk untuk dengan cepat menduduki padukuhan itu.

Sementara itu, pasukan pengawal Tanah Perdikan yang telah menarik diri dari sisi utara itu pun berjalan dengan tergesa-gesa. Mereka mengambil jalan pintas, sehingga sebuah iring-iringan panjang, seorang demi seorang, menjalar di pematang-pematang sawah. Mereka tidak lagi memikirkan bentuk barisan mereka. Yang penting, mereka akan dapat mencapai medan di sisi barat itu secepat-cepatnya.

Ternyata kedatangan mereka hampir terlambat. Pasukan Panembahan Cahya Warastra telah berhasil mendorong surut pasukan pengawal Tanah Perdikan. Bahkan sebagian dari sayap-sayap pasukan lawan itu telah berusaha untuk mengurung ujung-ujung sayap pasukan pengawal Tanah Perdikan.

Namun dalam keadaan yang gawat itu, terdengar sorak menggelegar. Gemanya telah terpantul di lereng-lereng pegunungan, sehingga sorak itu telah mengumandang dan berdengung berulang kali di telinga mereka yang ada di medan pertempuran itu.

Kedatangan pasukan pengawal Tanah Perdikan itu memang menggelisahkan lawan. Namun mereka masih ingin mempergunakan waktu yang sesaat, sebelum pasukan Tanah Perdikan yang baru datang itu memasuki medan.

Dengan menghentakkan kekuatan seluruh pasukan, maka mereka berusaha untuk mengurangi jumlah lawan sebanyak-banyaknya. Dengan garangnya mereka mengayunkan senjata-senjata mereka. Namun para pengawal Tanah Perdikan yang merasa segera mendapat kekuatan baru, telah mengerahkan segenap kemampuan mereka pula untuk melawan tekanan yang berat itu.

Pada saat yang pendek itu memang jatuh beberapa orang korban dari kedua belah pihak. Tetapi pasukan Panembahan Cahya Warastra tidak berhasil untuk mendorong pasukan pengawal Tanah Perdikan. Dalam pertempuran yang menjadi semakin garang itu, pasukan pengawal Tanah Perdikan yang datang sempat memasuki gelar pasukan Tanah Perdikan.

Dengan demikian maka pasukan Panembahan Cahya Warastra itu tidak mendapat kesempatan lagi. Pasukan pengawal Tanah Perdikan telah semakin kuat, sehingga dengan demikian maka tidak ada harapan lagi bagi pasukan Panembahan Cahya Warastra itu. Namun demikian, ternyata mereka tidak mudah menjadi putus asa. Mereka menghadapi pasukan pengawal Tanah Perdikan dengan hati yang bergelora.

Sementara itu, dalam pertempuran di dekat padukuhan induk, pasukan Panembahan Cahya Warastra memang mulai terdesak. Meskipun Ki Jayaraga tidak melibatkan diri langsung dalam pertempuran sebagaimana seorang yang berilmu tinggi, juga karena keadaan tubuhnya yang masih sangat lemah, namun para pengawal di sekitarnya seakan-akan menjadi semakin kuat menghadapi lawan-lawannya.

Sedangkan di sayap kanan, Agung Sedayu berada di antara para pengawal mendesak lawan-lawan mereka pula. Meskipun Agung Sedayu tidak mempergunakan kemampuan tertinggi yang dimilikinya, namun kehadirannya di medan itu bagaikan kehadiran sesosok hantu yang sangat menakutkan. Cambuknya meledak-ledak bagaikan memecahkan selaput telinga. Tetapi dengan demikian, hentakan juntai cambuknya itu tidak langsung membunuh lawan-lawannya karena sentuhannya.

Dalam tekanan yang berat itu, maka Putut Sendawa masih juga bertempur melawan Kiai Gringsing. Semula Putut Sendawa memang mengharap kehadiran Ki Ajar Cangkring untuk bersama-sama melawan orang tua itu sebagaimana direncanakan. Tetapi Ki Ajar Cangkring ternyata tidak sempat meninggalkan Ki Waskita, yang di luar perhitungannya memiliki ilmu yang sangat tinggi.

Putut Sendawa yang sejak semula memang merasakan kelemahannya menghadapi orang tua itu, menjadi semakin yakin bahwa ia tidak akan dapat berbuat banyak. Karena itu, maka ia menjadi semakin pasrah, meskipun ia sama sekali tidak mengendorkan pertempuran itu. Mata tombaknya yang agak lain dengan tombak kebanyakan itu berputaran dengan garangnya. Sementara Putut Sendawa bagaikan beterbangan mengitari lawannya. Tetapi orang tua yang nampaknya wadagnya sudah tidak banyak mendukung kemampuannya itu, ternyata masih memiliki kemampuan yang tidak terjangkau.

Ujung tombaknya sama sekali tidak mampu menggapai tubuh yang tua itu. Bahkan sekali-sekali ia sudah merasakan sentuhan angin juntai cambuk Orang Bercambuk itu.

Kiai Gringsing yang melihat kegigihan lawannya, hatinya memang tersentuh. Rasa-rasanya ia melihat seseorang yang telah berusaha dengan sekuat tenaganya untuk mencapai satu tujuan, tanpa mengenal putus asa, namun tidak akan dapat tercapai.

Tetapi Putut Sendawa pun merasa, bahwa orang tua itu seakan-akan tidak bersungguh-sungguh. Putut Sendawa yakin, seandainya orang tua itu bersungguh-sungguh, maka iapun telah mati sejak lama.

Karena itu, maka ketika Putut Sendawa telah kehilangan sebagaian dari tenaganya yang menyusut oleh kelelahan, maka iapun bertanya, “Kiai, kenapa Kiai masih juga belum membunuh aku?“

“Aku belum berhasil,“ jawab Kiai Gringsing, “kau memiliki kemampuan bergerak demikian cepatnya, seperti burung sikatan menyambar belalang. Sedangkan wadagku yang tua tidak mampu lagi bermain-main secepat kau.“

Putut Sendawa tertawa. Katanya, “Kiai tidak usah berbelas kasihan. Kita berada di medan pertempuran. Apapun yang terjadi, adalah sah. Demikian juga jika Kiai membunuh aku.“

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak segera menjawab.

Karena itu, maka Putut Sendawa-lah yang kemudian berkata, “Kiai. Langkah yang Kiai ambil telah membuat aku ragu-ragu untuk melepaskan senjata terakhirku. Senjata yang tidak akan dapat dikembalikan oleh lawan-lawanku. Senjata yang akan mencabut nyawa setiap orang yang menjadi sasaran senjataku.“

“Kenapa kau ragu-ragu? Bukankah menurut pendirianmu, apa saja yang terjadi adalah sah? Juga senjatamu itu?“ jawab Kiai Gringsing.

“Tetapi Kiai tidak bersungguh-sungguh berusaha membunuhku. Aku akan merasa berdosa jika aku-lah yang bersungguh-sungguh berusaha membunuh Kiai, orang yang tidak bersikap bermusuhan terhadapku,“ berkata Putut itu.

“Kau salah. Aku akan membunuhmu. Karena itu, kau harus berusaha membunuhku lebih dahulu, jika kau ingin tetap hidup,“ jawab Kiai Gringsing.

Putut Sendawa justru semakin ragu-ragu menghadapi orang tua itu. Putut Sendawa melihat betapa wajah orang tua itu demikian lembut. Sama sekali tidak terpancar sikap bermusuhan dan apalagi untuk benar-benar melakukan pembunuhan. Karena itu, maka Putut itu pun masih saja merasa ragu-ragu untuk melepaskan senjatanya yang terakhir, yang tidak pernah memberi kesempatan lawannya tetap hidup, jika ia mempergunakannya.

Tetapi rasa-rasanya tidak adil baginya jika untuk melawan orang tua itu, ia juga mempergunakan senjatanya itu. Seandainya ia berhasil membunuh orang tua itu, maka ia justru akan merasa sangat bersalah, karena orang tua itu menurut pendapatnya, juga tidak bersungguh-sungguh untuk membunuhnya.

Namun orang tua itu ternyata telah mendesaknya. Ledakan cambuk Kiai Gringsing tiba-tiba saja telah menghentak seisi dadanya. Meskipun ujung juntai cambuk itu tidak menyentuh tubuhnya sama sekali, namun getarannya benar-benar telah terasa mengguncang jantung.

“Bersiaplah untuk mati,“ berkata Kiai Gringsing.

“Kiai,“ berkata Putut Sendawa, “sepantasnya memang aku-lah yang mati, bukan Kiai. Karena ilmuku sama sekali tidak sebanding dengan ilmu yang Kiai miliki. Sebenarnya menurut rencana, aku harus bertempur berdua melawan Kiai. Tetapi pasanganku itu ternyata telah tersangkut melawan orang lain dan bertempur di sebelah.“

Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Agaknya orang itu bertemu dengan Ki Waskita atau Ki Jayaraga. Siapakah nama orang yang kau maksud?“

“Ki Ajar Cangkring. Mungkin berdua kami dapat mengimbangi kemampuan Kiai yang sangat tinggi. Bahkan mungkin juga tidak, karena ternyata kemampuan Kiai tidak terjangkau oleh penalaranku. Yang Kiai pergunakan sekarang untuk melawanku, tidak ada separo dari kemampuan Kiai itu,“ berkata Putut Sendawa.

“Sudahlah,“ berkata Kiai Gringsing, “bersiaplah. Kita memang harus segera mengakhiri pertempuran ini. Sebentar lagi semuanya akan selesai.“

Putut Sendawa masih tetap ragu-ragu. Namun ketika Kiai Gringsing sekali lagi meledakkan cambuknya, maka Putut Sendawa yang merasa isi dadanya terguncang telah berkata, “Baiklah Kiai. Aku akan membunuh Kiai. Aku bersungguh-sungguh. Jika aku berhasil, aku mohon maaf Kiai. Kita berada di peperangan.“

Kiai Gringsing bergeser surut. Iapun telah mempersiapkan diri, karena agaknya Putut Sendawa itu bersungguh-sungguh.

Sebenarnyalah sejenak kemudian, Putut Sendawa itu pun telah menyerang lagi dengan garangnya. Ilmu meringankan tubuhnya benar-benar mengagumkan. Putut Sendawa itu bagaikan berterbangan mengelilingi Kiai Gringsing sambil mengayun-ayunkan senjatanya yang mengerikan itu. Jika tajam senjata itu sempat menggarit kulit, maka lukanya tentu akan sangat lebar dan mengerikan pula. Kulit daging akan terkoyak-koyak seperti dicengkeram kuku-kuku harimau silang melintang.

Tetapi ternyata sangat sulit bagi Putut Sendawa untuk menyentuh tubuh Kiai Gringsing dengan senjatanya itu, sebagaimana telah dicobanya berkali-kali. Apalagi Putut Sendawa masih harus menghindari juntai cambuk Kiai Gringsing yang jika menyentuhnya, akan meninggalkan bekas luka yang tidak kalah parahnya dari luka tergores ujung tombaknya.

Karena itu, maka Putut Sendawa itu memang telah bertekad untuk melepaskan senjata pamungkasnya. Ia akan mencoba untuk membunuh Kiai Gringsing. Meski ia akan merasa bersalah, tetapi ia tentu akan mendapat penghormatan besar dari Panembahan Cahya Warastra. Bahkan barangkali ia akan segera mendapat kedudukan yang baik di antara orang-orang berilmu yang telah menyatakan diri mendukung Panembahan itu.

Karena itu, maka ketika usahanya untuk melukai Kiai Gringsing tidak berhasil, tiba-tiba saja Putut Sendawa itu mengambil jarak. Dengan tangkasnya ia telah melepas mata tombaknya dengan melepaskan beberapa pangkaitnya, sehingga kemudian dengan cepat pula ia telah meniup tangkai tombaknya itu ke arah Kiai Gringsing.

Semula Kiai Gringsing menduga, bahwa lawannya telah mempergunakan senjata sejenis paser-paser kecil beracun yang dilontarkan dengan alat semacam sumpit. Karena itu, maka Kiai Gringsing pun telah menyiapkan cambuknya untuk mengibaskan paser-paser kecil itu, sehingga tidak mengenai sasaran.

Tetapi Kiai Gringsing ternyata keliru. Yang keluar dari tangkai tombak itu sama sekali bukan paser-paser kecil. Tetapi sebangsa serbuk yang berwarna kehitam-hitaman.

Sebagai seorang yang ahli di bidang obat-obatan, maka Kiai Gringsing langsung mengenali serbuk itu. Racun yang sangat tajam. Karena itu, maka Kiai Gringsing tidak lagi harus mengibaskan senjata lawan, tetapi ia harus berusaha untuk menepis agar serbuk yang beracun sangat tajam itu tidak mengenainya, atau terhisap pernafasannya. Karena itu, maka Kiai Gringsing pun dengan segera berusaha menghentikan pernafasannya. Kemudian memutar juntai cambuknya, semakin lama semakin cepat.

Ternyata kemampuan ilmu Kiai Gringsing yang benar-benar mengagumkan itu telah mampu menimbulkan angin yang bertiup kencang, sehingga serbuk kehitam-hitaman itu seakan-akan telah terhembus kembali, ke arah yang berlawanan.

Tetapi Kiai Gringsing terkejut ketika asap itu justru telah mengenai Putut Sendawa sendiri. Bahkan asap itu akan berhembus ke arah mereka yang sedang bertempur. Karena itu, maka Kiai Gringsing telah merubah putaran cambuknya, sehingga yang berhembus bukan sekedar angin yang menghalau asap beracun itu. Tetapi yang kemudian dilontarkan oleh putaran cambuknya adalah semacam angin pusaran, yang berputar dan mengangkat udara lurus ke atas.

Dengan demikian maka angin pusaran itu telah menghembus dan mengangkat serbuk yang kehitam-hitaman itu melambung tinggi dan pecah di udara. Dengan demikian maka serbuk itu akan menebar, sehingga kadarnya menjadi terlalu kecil untuk dapat membunuh seseorang. Apalagi ternyata angin telah bertiup dan menebarkan asap beracun itu semakin jauh, tanpa mencemaskan akibatnya terhadap seseorang maupun binatang. Asap itu akan menjadi sangat tipis dan kehilangan kekuatan racunnya.

Namun dalam pada itu, Putut Sendawa sendiri mengalami kesulitan. Pernafasannya telah terganggu, karena di luar sadarnya ia telah menghisap racunnya sendiri.

Kiai Gringsing dengan tergesa-gesa mendekatinya di saat Putut Sendawa itu jatuh pada lututnya. Dengan cemas Kiai Gringsing berbisik di telinganya, “Kau membawa obat penawarnya?“

Putut Sendawa menjadi semakin lemah. Namun ia masih sempat menjawab, “Ya Kiai. Di kantong ikat pinggangku.“

Kiai Gringsing kemudian membaringkan Putut Sendawa itu di tanah. Seperti yang dikatakan oleh Putut yang menjadi semakin lemah karena telah menghisap racunnya sendiri itu, maka Kiai Gringsing telah menemukan beberapa butir obat di dalam sebuah bungkusan kecil di kantong ikat pinggang Putut Sendawa sendiri. Karena itu, maka Kiai Gringsing pun telah memasukkan sebutir di antara obat itu ke mulut Putut Sendawa sambil berdesis, “Telanlah.“

Putut Sendawa berusaha menelan obat itu. Ia memang berhasil, sehingga sesaat kemudian, maka telah terjadi benturan antara racun yang dihisapnya dengan obat penawarnya, sehingga Putut Sendawa telah mengalami kesulitan di dalam dirinya. Pernafasannya menjadi seolah-olah makin terganggu dan rasa-rasanya di dalam tubuhnya telah menyala api yang sangat panas.

Tetapi Kiai Gringsing adalah orang yang memiliki pengetahuan dan kemampuan pengobatan. Karena itu, maka iapun telah berusaha memijit pada beberapa bagian tubuh Putut Sendawa, sehingga kerja bagian-bagian pada tubuhnya dapat berjalan sewajarnya, mengatasi benturan-benturan antara racun yang memasuki rongga pernafasannya dengan obat penawarnya, dan dapat berlangsung dengan lebih baik.

Sementara itu pertempuran masih berlangsung terus di sekitar Kiai Gringsing yang sedang berusaha menyelamatkan jiwa Putut Sendawa. Namun para pengikut Panembahan Cahya Warastra tidak mampu menyerang Kiai Gringsing, karena para pengawal Tanah Perdikan seakan-akan telah memagarinya. Sementara Putut Sendawa seakan-akan telah kehilangan segenap kekuatannya. Bahkan hampir saja kehilangan nyawanya oleh senjatanya sendiri.

“Kenapa Kiai berusaha menyelamatkan nyawaku? Bukankah kita berada di pertempuran?“ bertanya Putut Sendawa lemah.

Kiai Gringsing yang berjongkok di sebelahnya tersenyum. Katanya, “Kau tidak perlu mati.“

“Tetapi sudah hak seseorang membunuh lawannya di peperangan,“ berkata Putut itu.

“Kadang-kadang seseorang tidak ingin mempergunakan haknya, karena haknya itu telah membentur nilai yang lebih tinggi. Seorang kesatria tidak akan membunuh lawannya yang tidak berdaya,“ berkata Kiai Gringsing.

Putut itu menarik nafas dalam-dalam. Tubuhnya terasa menjadi semakin baik meskipun masih terasa sangat letih. Terdengar ia berdesis, “Kiai benar. Aku ternyata memang tidak berdaya.“

“Bukan maksudku mengatakan kau tidak berdaya. Tetapi kau sedang dalam keadaan tidak berdaya. Karena itu, tidak sepantasnya aku membunuhmu,“ berkata Kiai Gringsing.

“Kiai,“ berkata Putut itu, “bukankah sejak semula sudah aku katakan bahwa kau memang tidak ingin membunuh?“

Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Sudahlah. Jangan memikirkan sikapku. Kau harus menjaga agar kau tidak menjadi semakin buruk. Kau telah menghisap racunmu sendiri.“

“Aku menyadari. Ternyata senjataku yang tidak pernah gagal itu pun tidak mampu mengalahkan Kiai. Bahkan jika Kiai menghendaki, aku sudah mati karena racunku sendiri.“

“Tetapi kau tidak perlu mati,“ berkata Kiai Gringsing.

“Aku mengerti. Tanah Perdikan ini berkepentingan untuk menangkap lawan sebanyak-banyaknya. Itulah agaknya yang membuat Kiai membiarkan aku hidup,“ berkata orang itu. Lalu, “Dengan demikian maka aku akan diperas keteranganku oleh orang-orang Tanah Perdikan ini dengan cara yang tidak sewajarnya.“

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau mulai berprasangka buruk. Atau kau memancing agar aku membunuhmu, sehingga menurut pendapatmu semua persoalan akan selesai, karena kau tidak perlu berhadapan dengan sekelompok orang yang akan memeras keteranganmu.“

Putut Sendawa terdiam. Namun ketika pandangannya yang kabur menjadi semakin jelas, ia melihat sorot mata Kiai Gringsing yang tua itu memandanginya dengan lembut.

Sejenak Kiai Gringsing pun terdiam, sementara keadaan Putut itu menjadi berangsur baik. Bukan saja penglihatannya, tetapi juga penalarannya. Sehingga karena itu, maka iapun berdesis, “Maaf Kiai. Aku memang merasa cemas, jika aku menjadi tawanan Tanah Perdikan Menoreh, maka aku akan berhadapan dengan orang-orang yang mempunyai watak dan bahkan kepentingan yang berbeda. Untuk kepentingan mereka, maka mereka akan melakukan apa saja yang mungkin, agar mereka mendapat keterangan yang mereka perlukan. Aku memang percaya bahwa Kiai tidak akan melakukan apa-apa. Tetapi sudah tentu yang akan menarik keuntungan atas kekalahanku ini adalah orang-orang Tanah Perdikan Menoreh.“

“Kau memang sedang berperang melawan Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, jika kau tertangkap, maka kau akan menjadi tawanan Tanah Perdikan Menoreh, siapapun yang telah menangkapmu,“ berkata Kiai Gringsing. Lalu katanya pula, “Bukankah itu sudah menjadi paugeran perang? Dan bukankah pada saat kau berangkat, kau sudah memperhitungkan kemungkinan sperti itu akan terjadi?“

Putut Sendawa mengangguk kecil. Tetapi iapun berkata, “Ada satu hal yang tidak aku perhitungkan.“

“Apa?“ bertanya Kiai Gringsing.

“Bahwa di medan ini aku akan bertemu dengan Kiai,“ jawab Putut Sendawa.

“Bukankah kau dan seorang kawanmu telah dipersiapkan untuk melawan aku? Tentu sudah kau perhitungkan sebelumnya, bahwa kau akan bertemu dengan aku,” berkata Kiai Gringsing.

“Tetapi aku sama sekali tidak membayangkan, bahwa Orang Bercambuk itu seperti Kiai sekarang ini,“ berkata Putut itu.

“Jadi kenapa?“ bertanya Kiai Gringsing.

“Ketika aku memasuki arena pertempuran ini, aku sudah bertekad bahwa aku tidak akan tertangkap hidup-hidup. Aku akan membunuh atau dibunuh. Tetapi ketika di sini aku bertemu dengan Orang Bercambuk yang lain sama sekali dengan bayanganku sebelumnya, maka aku terpaksa menyerah,“ berkata Putut itu.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Sudahlah. Marilah, kita pergi ke belakang garis pertempuran. Kau harus yakin, bahwa orang-orang Tanah Perdikan adalah orang-orang yang menghormati nilai-nilai kemanusiaan. Karena itu, maka nasibmu tidak akan menjadi sangat buruk, meskipun sudah barang tentu kau akan kehilangan kebebasan.“

Putut Sendawa memang tidak dapat menolak. Iapun kemudian mengikut saja di belakang Kiai Gringsing menuju ke belakang garis pertempuran.

Tangan Putut itu sama sekali tidak terikat. Kiai Gringsing tidak pula mengancam dengan juntai cambuknya. Tetapi sama sekali tidak ada niat pada Putut Sendawa untuk melarikan diri. Bahkan kemudian mereka berjalan bersama-sama setelah berada di belakang garis pertempuran. Kiai Gringsing sekali-sekali membantu Putut yang kekuatannya masih belum utuh lagi itu.

Tetapi Putut itu berkata, “Aku dapat berjalan sendiri Kiai. Kiai sendiri agaknya sudah terlalu tua untuk berjalan menelusuri medan. Tetapi ilmu Kiai adalah ilmu yang sangat nggegirisi.”

“Aku memang sudah terlalu tua,“ berkata Kiai Gringsing, “sebenarnya niatku hanya sekedar melihat-lihat apa yang terjadi di medan. Namun tiba-tiba saja aku telah bertemu dengan kau.“

Putut itu tidak menjawab. Namun ia memang belum dapat berjalan cepat. Tubuhnya masih terasa sangat lemah.

Kiai Gringsing yang tua itu benar-benar telah meninggalkan medan pertempuran. Ia memang tidak ingin bertempur terus. Agaknya para pengawal Tanah Perdikan akan dapat menyelesaikan pertempuran untuk selanjutnya. Apalagi ketika sayap kanan pasukan Tanah Perdikan nampak semakin mendesak lawannya. Sementara itu. Ki Ajar Cangkring sama sekali masih belum mampu mengalahkan lawannya, Ki Waskita.

Ki Ajar Cangkring memang seorang yang berilmu sangat tinggi. Berbagai ilmu ada di dalam dirinya. Agaknya Ki Ajar Cangkring juga mempunyai kemampuan mirip dengan ilmu yang dimiliki oleh Agung Sedayu. Tubuh Ki Ajar Cangkring itu menjadi seakan-akan sangat ringan, sehingga ia mampu bergerak dengan sangat cepat. Loncatan-loncatannya menjadi sangat panjang, dan rasa-rasanya dalam sekejap Ki Ajar Cangkring itu sudah berpindah tempat.

Ki Waskita memang agak mengalami kesulitan ketika Ki Ajar Cangkring telah memanfaatkan ilmunya itu. Dengan kemampuan olah kanuragan saja, Ki Ajar Cangkring sama sekali tidak berhasil menyentuh tubuh Ki Waskita. Karena itu, maka ia telah mengetrapkan ilmunya untuk memperingan tubuhnya.

Bahkan kemudian pukulan-pukulan Ki Ajar Cangkring rasa-rasanya menjadi semakin kuat dan cepat. Setiap kali, Ki Waskita harus melenting panjang untuk mengambil jarak. Namun dengan demikian Ki Waskita rasa-rasanya memang menjadi terdesak.

Namun Ki Waskita yang sudah lama tidak berada di medan pertempuran itu pun telah mengetrapkan ilmunya pula. Ketika lawannya bergerak semakin cepat, bahkan rasa-rasanya seperti terbang mengitarinya sehingga Ki Waskita kadang-kadang benar-benar kebingungan, maka dengan kemampuan ilmunya, Ki Waskita telah membuat lawannya menjadi bingung pula.

Demikian lawannya berhasil melepaskan diri dari garis serangan dan bahkan garis pertahanan Ki Waskita, maka tiba-tiba saja Ki Waskita telah pecah menjadi dua atau bahkan tiga. Dengan demikian maka Ki Ajar Cangkring itu menjadi bingung. Ia harus menemukan orang yang sesungguhnya satu dari antara tiga.

Namun Ki Waskita tidak mempergunakan ilmu Kakang Kawah Adi Ari-Ari seperti Agung Sedayu. Tetapi Ki Waskita telah melepaskan bentuk-bentuk semu yang dapat mengaburkan daya khayal seseorang. Seakan-akan daya khayal yang dipengaruhi oleh kemampuan ilmu yang bergetar ke sasaran itu telah melihat ujud-ujud yang sebenarnya tidak ada.

Orang yang berilmu tinggi dan memiliki penglihatan batin yang tajam memang akan mampu membedakan antara bentuk-bentuk khayal dan bukan khayal. Tetapi itu memerlukan waktu barang sekejap. Dan waktu yang sekejap itu telah menghambat kecepatan gerak Ki Ajar Cangkring. Waktu yang sekejap itu ternyata sangat berarti bagi Ki Waskita untuk mengimbangi kecepatan gerak lawannya.

Ki Ajar Cangkring ternyata harus mengumpat-umpat menghadapi ujud-ujud semu yang dilepaskan oleh Ki Waskita. Ia merasa sangat terganggu, sehingga ia tidak dapat memanfaatkan kemampuannya memperingan tubuhnya dengan sebaik-baiknya.

“Kenapa kau menjadi licik Ki Sanak?“ teriak Ki Ajar.

“Kenapa?“ jawab Ki Waskita dalam ujudnya yang hanya satu.

“Kau telah mengaburkan diri dengan ujud-ujud semu yang dapat mengganggu lawanmu. Kau dengan sengaja telah mengurangi kecepatan gerakku, sehingga serangan-seranganku menjadi gagal.“

“Kenapa licik?“ bertanya Ki Waskita, “Kau telah memanfaatkan ilmumu. Aku pun mencoba untuk memanfaatkan ilmuku pula. Kenapa licik? Jika aku harus meningkatkan kemampuanku menghadapimu dengan ilmu-ilmuku yang lain, apakah aku juga licik? Jika kau berjanji untuk tidak mempergunakan ilmu apapun, maka aku pun bersedia melakukannya. Kita akan bertempur dengan bekal ketrampilan wadag dan tenaga cadangan.“

“Iblis kau,“ geram orang itu.

Ketika serangan-serangan orang itu menjadi semakin cepat, maka Ki Waskita telah semakin sering mempergunakan ilmunya pula, bermain-main dengan ujudnya sendiri.

Ki Ajar Cangkring mengumpat-umpat di dalam hati. Ia benar-benar sulit mengatasi ujud-ujud semu yang harus dibedakan dari orang yang sebenarnya. Betapapun Ki Ajar mempertajam penglihatan batinnya, namun ia tetap mempergunakan waktu sekejap untuk menemukan ujud yang sebenarnya. Baru ia dapat meluncur menyerang. Sementara itu Ki Waskita telah siap untuk menangkis atau menghindarinya. Dengan demikian, maka kecepatan gerak di pertempuran itu terasa memang susut. Ki Ajar tidak lagi mampu menyerang lawannya bagaikan seekor burung srigunting.

Namun dalam pada itu, maka keduanya telah memusatkan kemampuan mereka pada sentuhan-sentuhan wadag mereka. Mereka telah mengerahkan segenap kekuatan dan kemampuan ilmu mereka. Sehingga dengan demikian, yang terjadi kemudian adalah benturan-benturan ilmu yang semakin lama semakin sengit.

Ternyata bahwa Ki Ajar Cangkring memang menyimpan kekuatan yang sangat besar di dalam dirinya. Getaran ilmunya yang mempunyai kekuatan khusus seakan-akan, telah menyusup ke tubuh lawan pada setiap benturan, dan dengan demikian maka seakan-akan kekuatannya menjadi berlipat ganda. Tetapi daya taban Ki Waskita pun ternyata terlalu besar, sehingga selalu saja dapat mengatasi perasaan sakit. Bahkan pukulan sisi telapak tangannya menjadi seakan-akan benturan besi baja pilihan. Sehingga setiap mengenai sasarannya, maka rasa-rasanya bagaikan meremukkan tulang.

Namun ternyata bahwa kemampuan Ki Ajar Cangkring tidak berada di atas kemampuan Ki Waskita. Pada benturan ilmu, maka Ki Ajar Cangkring tidak mampu bertahan terlalu lama. Karena itu akhirnya Ki Ajar Cangkring telah mengetrapkan ilmu pamungkasnya. Ilmu simpanan yang hanya dipergunakan dalam keadaan terpaksa, karena ilmunya itu seakan-akan merupakan lontaran kekuatan yang tidak ada taranya. Jika dibenturkan gunung akan runtuh, jika dihentakkan ke lautan akan menjadi kering.

Ketika hal itu dikatakan kepada Ki Waskita, maka Ki Waskita telah meloncat selangkah surut. Keningnya telah berkerut dan wajahnya memang menjadi tegang.

“Jangan menyesal,“ geram Ki Ajar Cangkring, “tubuhmu akan hancur lumat menjadi debu.“

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Tetapi katanya kemudian, “Tidak Ki Sanak. Aku pun mempunyai ilmu simpanan. Agak berlawanan dengan ilmumu, maka ilmuku mempunyai kekuatan yang kebalikannya. Jika menyentuh gunung yang runtuh akan menjadi tegak kembali, jika mengenai lautan yang kering akan segera menjadi pasang sampai ke daratan.“

“Omong kosong,“ geram orang itu, “tidak ada ilmu yang mampu melepaskan kekuatan seperti itu.“

“Kita memang sama-sama omong kosong,“ jawab Ki Waskita.

Orang itu tidak sabar lagi. Iapun segera memusatkan nalar budinya. Kedua tangannya bersilang di depan dadanya. Kemudian terjulur lurus ke depan. Perlahan-lahan kedua sikunya ditariknya ke belakang di samping dadanya, dengan tangan mengepal yang menengadah.

Sementara itu, Ki Waskita telah bersiap pula. Kedua telapak tangannya menelakup di depan dadanya. Kemudian kedua tangan itu mengembang dengan telapak tangan terbuka, tetapi jari-jarinya merapat. Dengan satu loncatan kecil maka kedua kakinya merenggang. Kaki kanannya agak di depan kaki kirinya, sementara lututnya sedikit merendah. Kedua tangannya bersusun di depan dadanya. Tangan kanannya berada di depan, sedangkan tangan kirinya agak di belakang.

Dalam pada itu, Ki Ajar Cangkring yang merasa memiliki ilmu yang sangat tinggi itu pun telah meloncat sambil mengayunkan tangannya. Bahkan sambil berteriak, “Tidak ada ilmu kebal yang mampu menahan ilmuku!“

Ki Waskita tidak menjawab. Disadarinya bahwa lawannya benar-benar telah melepaskan ilmu simpanannya. Namun Ki Waskita memang tidak akan menghindar. Ia akan membentur ilmu lawanya itu dengan ilmunya pula. Karena itu, maka iapun telah mengerahkan kekuatan ilmu yang jarang sekali dipergunakan pula. Sebagaimana lawannya, hanya pada saat-saat yang paling gawat dan tidak mungkin diatasi dengan ilmu tertingginya, maka ia mempergunakan ilmu simpanannya itu.

Hal itulah yang tidak diduga oleh lawannya. Ki Ajar Cangkring menduga bahwa Ki Waskita akan menghindari serangannya. Namun Ki Ajar Cangkring telah memperhitungkan, apa yang akan dilakukannya kemudian. Iapun telah siap memburu dan sekaligus menghancurkannya dengan ilmu simpanannya itu. Tetapi lawannya tidak menghindar. Bahkan lawannya telah siap membentur ilmunya.

Bagi Ki Ajar Cangkring, sikap Ki Waskita itu adalah sikap yang sangat sombong, tetapi juga mendebarkan sekali. Ki Ajar tidak sempat membuat pertimbangan lain. Sejenak kemudian, ternyata Ki Waskita tidak sekedar menunggu. Tetapi iapun telah meloncat sambil mengayunkan tangannya pula.

Ternyata Ki Waskita telah bertekad bulat untuk menyelesaikan pertempuran itu, apapun yang terjadi. Dengan membenturkan ilmu, maka keduanya akan segera sampai pada batas akhir dari pertempuran itu, siapapun yang akan keluar hidup-hidup dari arena.

Demikianlah, maka sejenak kemudian telah terjadi benturan ilmu yang sangat dahsyat. Ki Waskita ternyata telah terlempar beberapa langkah surut. Meskipun ia jatuh pada kedua kakinya, tetapi ternyata ia tidak mampu mempertahankan keseimbangannya. Karena itu, maka Ki Waskita yang tua itu pun telah terhuyung-huyung selangkah lagi surut, kemudian jatuh pada lututnya. Meskipun kedua tangannya mencoba menahan tubuhnya, namun Ki Waskita tidak mampu bertahan. Karena itu, maka iapun segera jatuh terguling di tanah. Wajahnya sangat pucat, dan pernafasannya menjadi terengah-engah. Bahkan pandangan matanya pun telah menjadi kabur, sementara di dalam dadanya serasa telah menyala bara api yang panas.

Orang-orang Tanah Perdikan memang terkejut melihat keadaan itu. Bahkan beberapa orang dengan serta merta telah berlari mendekatinya, sementara beberapa orang yang lain telah melindunginya dari serangan lawan.

Tetapi para pengikut Panembahan Cahya Warastrapuri terkejut melihat keadaan Ki Ajar Cangkring. Orang yang dianggap memiliki kelebihan dari kawan-kawannya yang lain, yang dipersiapkan untuk menghadapi Orang Bercambuk bersama dengan Putut Sendawa. Ternyata Ki Ajar Cangkring itu pun telah terlempar beberapa langkah ketika benturan itu terjadi. Bahkan kemudian telah terbanting jatuh berguling di atas tanah tanpa dapat berbuat sesuatu. Demikian tubuhnya diam, maka sama sekali sudah tidak terdapat lagi tanda-tanda hidup pada Ki Ajar Cangkring itu. Seperti orang-orang Tanah Perdikan maka para pengikut Panembahan Cahya Warastra pun telah mendekatinya. Ternyata Ki Ajar itu telah meninggal. Ilmu Ki Waskita telah meremukkan isi dadanya, sehingga ia tidak mampu bertahan lagi.

Sementara itu beberapa orang telah berusaha mengangkat Ki Waskita, dengan tergesa-gesa dibawa ke belakang garis pertempuran. Mereka menjadi sangat cemas. Meskipun Ki Waskita dalam keadaannya masih berusaha tersenyum sambil berkata, “Aku tidak apa-apa. Letakkan. Aku akan bangkit dan berjalan sendiri.“

Orang-orang itu menjadi ragu-ragu. Tetapi sekali lagi Ki Waskita berkata, “Letakkan.“

Ki Waskita memang diletakkan. Tetapi Ki Waskita kemudian duduk bersila sambil menyilangkan tangannya di dadanya. Katanya, “Aku memerlukan waktu sejenak.“

Ki Waskita itu pun telah memusatkan nalar budinya. Diaturnya pernafasannya dengan sebaik-baiknya. Kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam, Ki Waskita menempatkan dirinya pada tataran tertinggi dari semadinya. Matanya pun kemudian terpejam tanpa menghiraukan apapun yang ada di sekitarnya. Rasa-rasanya dunia telah tertutup bagi indranya yang memusatkan perhatiannya pada dunia kecilnya. Dirinya sendiri dalam tatanan yang utuh.

Ki Waskita memang memerlukan waktu beberapa saat. Rasa-rasanya segala perasaan sakit pada tubuhnya perlahan-lahan mulai mengendap. Panas di dadanya pun rasa-rasanya telah semakin turun, sementara pernafasannya menjadi semakin teratur, sebagaimana alur darah di dalam nadinya.

Sementara itu pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya. Tapi kematian Ki Ajar Cangkring sangat berpengaruh atas seluruh pasukan Panembahan Cahya Warastra yang ada di sekitarnya. Apalagi ketika kemudian terdengar sorak yang bagaikan meledak dari beberapa orang yang melihat Ki Waskita seakan-akan telah menemukan kekuatannya kembali.

Sebenarnyalah bahwa Ki Waskita pun kemudian telah sampai pada puncak semadinya. Ia memang merasa keadaannya menjadi semakin baik, sehingga akhirnya, ia telah mengakhirinya. Sambil menarik nafas dalam-dalam, ia mengurai tangannya dan mengembangkannya lebar-lebar. Lewat hidungnya ia menghirup udara sebanyak-banyaknya, kemudian dilepaskannya kembali.

Tubuh Ki Waskita sudah nampak jauh lebih segar. Ia tidak lagi nampak pucat. meskipun tubuh itu terasa masih sangat lemah. Tetapi Ki Waskita kemudian telah dapat bangkit berdiri dan berkata kepada para pengawal, “Tinggalkan aku.“

Para pengawal itu masih merasa ragu. Tetapi nampaknya Ki Waskita sudah tidak lagi mengalami kesulitan di dalam dirinya. Ia berdiri tegak sambil memandangi medan. Katanya, “Kembalilah ke medan. Kawan-kawanmu memerlukan kau.“

“Keadaan kita sudah menjadi semakin baik,“ jawab salah seorang pengawal. “Kita semakin mendesak mereka. Mudah-mudahan sebentar lagi kita berhasil menguasai mereka.“

Ki Waskita mengangguk-angguk. Namun katanya, “Banyak kemungkinan masih dapat terjadi.“

Para pengawal itu pun mengangguk. Merekapun kemudian telah kembali ke medan membantu kawan-kawan mereka yang semakin mendesak lawan.

Ki Waskita masih berdiri termangu-mangu. Namun agaknya pertempuran memang sudah hampir mencapai batas akhirnya.

Ketika ia berpaling, maka dilihatnya beberapa orang berada di regol padukuhan induk. Tetapi pertempuran di pusat induk pasukan masih nampak semakin seru. Ki Waskita itu pun menyadari bahwa Ki Patih Mandaraka masih terlibat dalam pertempuran melawan Panembahan Cahya Warastra. Sementara itu, di sekitarnya tentu telah terlibat pula pertempuran antara para pengawal terpilih Panembahan Cahya Warastra.

Namun dalam pada itu, Ki Waskita itu telah melihat Kiai Gringsing yang berjalan dengan langkah satu-satu dari regol padukuhan induk ke arahnya. Karena itu, maka Ki Waskita pun telah menunggunya.

“Apa yang terjadi Ki Waskita?“ bertanya Kiai Gringsing ketika ia menjadi semakin dekat.

“Ternyata seorang di antara pengikut Panembahan Cahya Warastra memiliki ilmu yang sangat tinggi. Dalam benturan ilmu, dadaku telah terguncang, sehingga aku memerlukan waktu untuk mengatasinya,“ berkata Ki Waskita.

“Bagaimana dengan orang itu sekarang?“ bertanya Kiai Gringsing.

“Sengaja atau tidak sengaja, aku telah membunuhnya,“ jawab Ki Waskita.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi mereka berada di peperangan.

Kiai Gringsing yang melihat Ki Waskita seakan-akan menyesali apa yang terjadi itu pun berkata, “Memang banyak sekali kemungkinan yang terjadi di peperangan.“

“Inilah peperangan itu,“ desis Ki Waskita, “sebagaimana kita saksikan. Seakan-akan telah mensahkan segala perbuatan dan tingkah laku.“

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Peperangan memang selalu berarti kematian, luka parah, cacat dan sebagainya, di samping kerusakan. Tetapi sepanjang hidupnya telah disaksikan berapa kali peperangan itu terjadi. Besar dan kecil.

Hampir di luar sadarnya Kiai Gringsing memandang pertempuran yang berlangsung dengan sengitnya. Namun semakin jelas nampak bahwa para pengawal Tanah Perdikan telah mendesak pasukan Panembahan Cahya Warastra. Terutama di sayap kanan, pasukan Panembahan Cahya Warastra hampir tidak berdaya sama sekali. Meskipun Agung Sedayu tidak berbuat sewenang-wenang, tetapi kehadirannya di medan memang berpengaruh.

Sementara itu di sayap kiri telah terdengar sorak yang meledak. Perhatian para pengawal di sayap kiri tertuju kepada Glagah Putih yang menggeram karena kemarahan yang tertahan. Ternyata ketika terjadi pertempuran yang sengit, di saat Glagah Putih semakin meningkatkan kemampuan ilmunya meskipun ia belum merambah ke ilmu-ilmu puncaknya, maka lawannya telah melarikan diri, menyusup di antara para pengikut Panembahan Cahya Warastra.

Glagah Putih tidak sempat mencegahnya, karena ia sama sekali tidak mengira bahwa hal itu akan dilakukan. Sementara itu Glagah Putih belum menunjukkan kemampuannya yang tidak akan terlawan oleh Putut Kaskaya itu. Namun di luar dugaan, Putut Kaskaya itu tiba-tiba telah meloncat mengambil jarak, namun kemudian ia telah menghilang di dalam hiruk pikuknya pertempuran di antara kawan-kawannya.

Sebenarnyalah di saat Ki Ajar Cangkring membenturkan ilmunya, rasa-rasanya ada sesuatu yang bergetar di hati Putut Kaskaya itu. Seakan-akan terjadi sentuhan jiwani di saat Ki Ajar Cangkring kehilangan kesempatan untuk melanjutkan pertempuran karena telah membentur kekuatan ilmu Ki Waskita. Karena itu, tiba-tiba saja Putut Kaskaya telah kehilangan tekad perjuangannya pula. Rasa-rasanya ada sesuatu yang menghentakkannya dari medan pertempuran.

Dengan tergesa-gesa ia berusaha mencari keterangan tentang gurunya. Namun kemudian ternyata Putut Kaskaya itu menemukan gurunya telah terbunuh di medan pertempuran.

Putut itu menggeretakkan giginya oleh kemarahan yang membakar jantung. Dengan geram ia berkata, “Siapa yang telah membunuh guru, akan mati pula, meskipun harus bersama-sama dengan aku.“

Tiba-tiba saja Putut Kaskaya itu meloncat berdiri. Tangannya yang memegang trisula menjadi gemetar. Rasa-rasanya darahnya di seluruh urat nadinya telah mendidih.

Namun tiba-tiba seorang tua telah memegangi lengannya. Dengan nada dalam ia berkata, “Tunggulah. Jangan tergesa-gesa.“

“Apalagi?“ teriak Putut itu.

“Jangan kehilangan nalar,“ berkata orang tua itu.

“Kehilangan nalar apa? Guru telah terbunuh! Apakah aku harus berdiam diri?“ Putut itu berteriak semakin keras.

Tetapi orang tua itu nampaknya masih tetap sareh. Katanya, “Kau harus menilai dirimu sendiri. Jika gurumu tidak dapat memenangkan pertempuran itu, apakah kau mungkin dapat melakukannya? Atau karena kau menjadi putus asa lalu membunuh diri?“

“Jadi apa maksud kakek?“ bertanya Putut Kaskaya.

“Kau tahu bahwa Padepokan Alang-Alang Kerep tidak lagi mempunyai pemimpin sepeninggal Ki Ajar Cangkring. Kau harus mengingat hal itu. Jika kau juga mati di pertempuran ini, apakah akan kau biarkan padepokan itu pecah tanpa bekas?“ bertanya orang tua itu.

“Persetan dengan Padepokan Alang-Alang Kerep. Tetapi aku harus membalas dendam atas kematian Guru.“

“Aku setuju. Tetapi apa harus sekarang? Yang penting kau harus membalas dendam kematian gurumu. Bukan membunuh diri, meskipun kau akan mendapat pujian bahwa kau adalah seorang murid yang setia, sehingga kau pun ikut mati ketika gurumu mati. Namun dengan demikian, maka pembunuh gurumu itu akan menepuk dada sambil berkata, “Aku telah menumpas seisi padepokan Alang-Alang Kerep.“

Putut Kaskaya termangu-mangu sejenak.

“Sekarang, kau harus menahan diri. Kau harus berjanji di dalam hatimu, bahwa pada suatu saat kau akan kembali ke Tanah Perdikan. Tidak perlu membawa sekelompok cantrik. Kau datang sendiri, kau tantang orang Tanah Perdikan ini yang telah membunuh gurumu itu untuk berperang tanding. Jika kau bawa orang padepokan, sekedar untuk menjadi saksi melihat kematian orang yang telah membunuh gurumu itu, sehingga ia akan dapat mengatakan kesaksiannya itu kepada banyak orang di Tanah ini,“ berkata orang tua itu.

Putut Kaskaya mengangguk-angguk kecil. Peringatan orang tua yang memang dianggap kakeknya itu agaknya dapat menyentuh hatinya.

“Menurut kakek, aku harus menunda perang tanding itu?“ bertanya Putut Kaskaya.

“Ya,“ jawab orang tua itu.

Putut Kaskaya termangu-mangu sejenak. Dipandanginya orang tua itu dengan dahi yang berkerut. Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tetapi aku tidak akan pernah melupakannya. Guru telah terbunuh di Tanah Perdikan Menoreh.“

“Kau harus tetap mempergunakan nalarmu. Bukan sekedar perasaanmu,“ berkata orang tua itu.

“Tetapi bagaimana dengan lawanku di sayap itu Kek?“ bertanya Putut Kaskaya.

“Bunuh saja sebanyak-banyaknya para pengawal Tanah Perdikan itu, untuk sekedar mengganti kematian gurumu. Seorang Ki Ajar Cangkring sedikitnya harus mendapat ganti dua puluh lima orang. Kau harus membunuh dua puluh lima orang pengawal Tanah Perdikan ini,“ berkata orang tua itu.

Putut Kaskaya memang menjadi ragu-ragu. Dengan. nada rendah ia berkata, “Aku mendapat lawan yang tangguh Kek. Anak muda yang ternyata memiliki ilmu yang tinggi.“

“Kenapa kau tinggalkan anak itu, atau barangkali sudah kau binasakan?“ bertanya orang tua itu.

Tetapi Putut Kaskaya menggeleng. Jawabnya, “Aku tidak segera dapat membunuhnya. Tetapi tiba-tiba saja hatiku terguncang. Rasa-rasanya Guru telah memanggil aku. Ternyata Guru telah meninggal di sini.“

Orang tua itu termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, “Jika demikian, tinggalkan saja medan. Kita kembali ke padepokan.“

“Bagaimana tanggung jawab kita terhadap Panembahan Cahya Warastra?“ bertanya Putut Kaskaya.

“Jika kau memasuki kembali medan, hindari lawan-lawan yang berbahaya, agar kau tidak kehilangan kesempatan untuk membalas dendam,“ berkata kakek tua itu setelah merenung sejenak.

Sesaat Putut itu termangu-mangu. Namun kemudian ia berkata, “Aku condong untuk membalas dendam kematian Guru di masa yang akan datang. Karena itu, jika aku sekarang berada di medan, adalah sekedar untuk dapat mempertanggung-jawabkan kehadiranku di sini.“

“Baiklah,“ berkata orang tua itu, “seperti yang aku katakan tadi, bunuh pengawal sebanyak-banyaknya. Tetapi kau tidak usah kembali ke sayap.“

Putut Kaskaya itu pun segera memasuki medan. Trisulanya yang haus darah itu bergetar di tangannya. Dengan garangnya ia telah bertempur di antara para pengikut Panembahan Cahya Warastra.

Para pengawal Tanah Perdikan memang terkejut melihat kehadiran seorang yang sangat garang. Seorang yang dengan trisulanya tanpa ragu-ragu membunuh para pengawal.

Para pengawal yang mula-mula telah mendesak pasukan Panembahan Cahya Warastra itu ternyata menjadi kisruh sejenak. Namun karena latihan-latihan yang berat, maka mereka pun segera dapat menyusun sebuah kelompok khusus untuk menghadapinya. Dengan kelompok khusus itu mereka telah menghadapi Putut Kaskaya yang mengamuk.

Namun ternyata bahwa memang terlalu sulit untuk menundukkan dan menguasai Putut itu. Beberapa pengawal Tanah Perdikan telah terlempar dari medan. Bahkan ada di antara mereka yang telah terluka parah.

Kiai Gringsing dan Ki Waskita yang berada di belakang garis pertempuran telah melihat satu gejolak yang berbeda di medan pertempuran. Ketajaman penglihatan mereka telah melihat bahwa telah terjadi kesulitan pada pasukan Tanah Perdikan Menoreh.

“Kau lihat Ki Waskita?“ bertanya Kiai Gringsing.

Ki Waskita mengangguk sambil berdesis, “Ya. Nampaknya ada di antara mereka yang sulit untuk dikuasai.“

“Marilah kita lihat,“ berkata Kiai Gringsing.

Keduanya pun segera telah memasuki medan pertempuran. Ki Waskita yang meskipun belum pulih kembali, namun karena kelebihannya dari orang-orang lain maka ia masih juga mampu mengibaskan serangan yang tiba-tiba saja datang dari para pengikut Panembahan Cahya Warastra.

Beberapa saat kemudian keduanya melihat seorang yang telah bertempur dengan garangnya. Dengan tangkasnya ia telah menangkis serangan-serangan beberapa orang pengawal Tanah Perdikan yang mengepungnya. Namun kelompok kecil itu tidak berdaya untuk menguasai orang itu.

“Marilah, kita mendekatinya,“ berkata Kiai Gringsing.

Kedua orang tua itu melangkah mendekat. Namun tiba-tiba saja orang tua yang dipanggil kakek oleh Putut Kaskaya itu telah menyibak pertempuran itu. Ternyata ia mampu juga mendesak dua orang yang mencoba menahannya. Demikian ia mendekati Putut Kaskaya, maka iapun segera menariknya sambil berkata, “Tinggalkan medan. Satu di antara dua orang tua yang mendekat itulah yang telah membunuh gurumu.“

“Jika demikian, aku akan membunuhnya,“ geram Putut Kaskaya.

“Atau kau akan menjadi lumat,“ berkata orang tua itu. “Cepat! Sebelum terlambat. Kau akan mendapat kesempatan lain kali, sementara kau sempat meningkatkan ilmumu.“

Putut Kaskaya tidak dapat membantah lagi. Kakek tua itu telah membawanya mundur dan hilang di balik pertempuran yang sengit. Kiai Gringsing dan Ki Waskita tidak memburunya. Mereka membiarkan orang itu menghilang.

“Di sayap kanan ada Agung Sedayu dan di sayap kiri ada Glagah Putih,“ berkata Kiai Gringsing.

“Asal saja orang itu tidak mengganggu pertempuran antara Ki Patih Mandaraka dengan Panembahan Cahya Warastra,“ berkata Ki Waskita.

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Katanya, “Marilah. Kita akan melihat apa yang telah terjadi di antara Panembahan Cahya Warastra dengan Ki Patih Mandaraka. Nampaknya masih belum terjadi sesuatu yang sungguh-sungguh.“

“Marilah. Kita akan mendekat,“ desis Ki Waskita.

Kedua orang tua itu pun kemudian telah menarik diri ke belakang garis pertempuran. Mereka pun kemudian telah melangkah mendekati pusat medan. Mereka ingin menyaksikan apa yang telah terjadi antara Panembahan Cahya Warastra dengan Ki Patih Mandaraka.

Sementara itu, Putut Kaskaya pun telah berada di belakang garis pertempuran pula. Tetapi ternyata ia sama sekali tidak berniat untuk mendekati arena pertempuran antara Panembahan Cahya Warastra dengan Ki Patih Mandaraka. Tetapi orang tua yang disebut kakek oleh Putut Kaskaya itu tiba-tiba saja mempunyai angan-angan yang gila.

“Putut Kaskaya,“ berkata orang tua itu, “sebenarnyalah bahwa kita sudah tidak mempunyai harapan lagi. Karena itu, kita harus berbuat sesuatu untuk melepaskan dendam kita.“

“Apa yang harus kita lakukan Kek?” bertanya Putut yang kebingungan itu.

“Tinggalkan medan,“ berkata orang tua itu.

“Sudah aku tanyakan tadi kepada Kakek, bagaimana tanggung jawab kita kepada Panembahan Cahya Warastra? Bukankah kita sudah menyatakan bersedia untuk bersama-sama datang ke Tanah Perdikan ini untuk membunuh Ki Patih Mandaraka dan sekaligus menghancurkan Tanah Perdikan Menoreh?“ bertanya Putut itu.

“Kita tidak akan melarikan diri meninggalkan medan dan tanggung jawab kita. Tetapi kita justru akan berbuat sesuatu yang berarti. Yang akan dapat mempengaruhi medan, terutama orang-orang Tanah Perdikan ini,“ jawab orang tua itu.

“Apa yang harus kita lakukan?“ bertanya Putut itu.

“Pergilah ke padukuhan induk,“ jawab orang tua itu.

“Untuk apa?“ bertanya Putut itu pula.

“Pergilah ke rumah Ki Gede. Bakar rumah itu. Jika terjadi kebakaran, maka tentu akan mempengaruhi orang-orang TanaK Perdikan ini, terutama Ki Gede sendiri. Kau dengan kemampuan ilmumu tentu akan dapat menembus penjagaan para pengawal yang ada di sekitar rumah Ki Gede, Agaknya penjagaan atas rumah itu tidak akan terlalu kuat, karena kekuatan padukuhan induk ini nampaknya sudah ditumpahkan di sini,“ berkata orang tua itu.

Putut Kaskaya itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu kakek tua itu berkata selanjutnya, “Jangan hanya rumah Ki Gede. Rumah-rumah yang lain pun harus dibakar juga. Berapa saja kau sempat melakukannya. Bunuh orang-orang yang sempat kau bunuh. “

Dengan dendam yang semakin membara di hatinya, maka Putut Kaskaya itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan berlari ke padukuhan induk. Aku akan membakar rumah Ki Gede sebelum orang sempat mencegahnya.“

“Kau harus memasuki padukuhan induk itu dengan meloncati dinding. Kemudian telusuri jalan induk. Kau tentu akan sampai ke rumah Ki Gede,“ berkata kakek tua itu.

Putut Kaskaya kemudian telah berdiri tegak dengan dada tengadah. Matanya menjadi merah memancarkan dendam yang membara di hatinya, sedangkan trisula di tangannya telah bergetar menanti kesempatan untuk menghirup darah.

Sejenak Putut Kaskaya memandangi medan. Namun tiba-tiba saja ia sudah berlari. Dengan garang Putut itu telah menerobos medan. Demikian tiba-tiba, semua orang terkejut karenanya. Tidak seorangpun yang sempat mencegahnya.

Sejenak kemudian Putut itu telah berlari dengan kencangnya menuju ke padukuhan induk yang memang tidak begitu jauh. Tetapi Putut itu tidak mau memasuki padukuhan induk itu lewat regol, karena di regol padukuhan induk itu terdapat beberapa orang pengawal.

Beberapa orang pengawal memang melihat Putut itu berlari-lari. Tetapi mereka tidak tahu siapakah orang itu. Karena itu, maka beberapa orang telah menyongsongnya.

Namun mereka telah terlambat. Putut telah mencapai dinding padukuhan induk sebelum beberapa pengawal mencegahnya, karena Putut itu berlari sangat kencang.

Dengan tangkasnya Putut itu telah meloncati dinding. Seperti seekor burung ia terbang dan hinggap di atas dinding, kemudian meluncur turun di bagian dalam padukuhan induk.

Namun dua orang pengawal telah menyongsongnya.

Tetapi kedua orang pengawal itu terkejut. Demikian mereka menghentikan Putut itu, maka tiba-tiba saja Putut itu telah menyerang. Trisulanya berputar dengan cepatnya menyambar kedua orang pengawal yang mencoba menangkisnya dengan pedang-pedang mereka.

Tetapi ternyata orang itu terlalu kuat. Seorang di antara pengawal itu telah tersentuh ujung trisula itu di dadanya, sehingga ia telah terlempar jatuh. Namun ternyata ia tidak mampu lagi untuk bangkit. Kesakitan yang sangat telah mencengkamnya, sehingga rasa-rasanya hari tiba-tiba saja menjadi gelap.

Sementara itu yang lain pun tidak mampu berbuat banyak ketika trisula itu mengoyak lambungnya. Iapun jatuh tersungkur dan tidak berdaya untuk bangkit.

Dengan cepat Putut itu menghilang ketika beberapa orang pengawal yang lain berlari-lari mendekatinya. Yang mereka dapatkan hanyalah dua orang kawan mereka yang terluka cukup parah.

Sementara itu Putut Kaskaya telah berlari masuk ke dalam halaman. Memang ada niatnya untuk membakar rumah yang pertama ditemuinya. Tetapi iapun kemudian telah memperhitungkan pengaruhnya. Jika yang terbakar rumah Ki Gede, akibatnya tentu akan lebih menarik daripada rumah yang lain.

Karena itu, maka iapun telah berusaha menemukan rumah Ki Gede. Ia telah berlari dari satu halaman ke halaman yang lain. Ketika ia sempat melihat jalan induk di padukuhan itu, maka iapun telah mencoba untuk mengikutinya meskipun ia tidak berlari di jalan induk itu.

Sebenarnyalah bahwa akhirnya ia sampai juga di halaman di sebelah rumah Ki Gede. Ketika ia meloncat ke atas dinding, maka ia segera mengenalinya, bahwa rumah itu agak lain dari rumah di sebelah-menyebelahnya.

Selain dindingnya yang agak tinggi, maka dari atas dinding ia melihat beberapa orang yang berjaga-jaga di regol halaman. Bahkan ada beberapa orang yang berada di pendapa.

Sebelum sempat dilihat oleh para pengawal, Putut Kaskaya merambat lewat belakang gandok dan kemudian ia telah meloncat turun di halaman belakang. Tujuannya adalah memasuki bagian belakang rumah Ki Gede, terutama dapur. Menurut perhitungannya, di dapur tentu ada api. Ia akan dapat menyalakan dapur itu lebih dahulu. Kemudian masuk ke bagian dalam rumah Ki Gede dan membakar dinding kayu.

Ternyata bahwa Putut Kaskaya dengan mengendap-endap dapat mendekati dapur. Ia melihat beberapa orang perempuan yang sibuk menyiapkan makan bagi para pengawal. Jika saatnya datang pertempuran itu terhenti, selesai atau belum selesai, maka makanan itu akan dikirimkan ke medan.

Sambil menggeram Putut Kaskaya itu telah meloncat menyerbu ke dalam kesibukan orang-orang perempuan yang sedang sibuk di luar dapur. Dengan kasarnya ia telah menendang periuk dan dandang tembaga yang ada di atas perapian. Kemudian tanpa mengendalikan diri ia telah melukai beberapa orang perempuan dengan tangan kirinya. Meskipun tidak mempergunakan trisulanya, tetapi beberapa orang perempuan telah terlempar dan jatuh pingsan.

Terdengar jerit yang meledak. Perempuan-perempuan itu berlari-larian ke segenap arah sambil berteriak-teriak ketakutan.

Putut Kaskaya telah meloncat ke pintu. Perempuan-perempuan yang ada di dapur itu pun telah menjerit-jerit pula sambil berlarian justru masuk ke longkangan.

Putut Kaskaya menjadi liar. Matanya yang merah memandang seisi dapur itu. Ia memang melihat api yang menyala di perapian seperti perapian yang terdapat di luar dapur, karena ruang dapur tidak mencukupi. Kemudian setumpuk kayu bakar yang telah kering dan seonggok blarak kering pula.

Dengan sigapnya Putut Kaskaya telah memungut kayu-kayu bakar yang tersedia di dapur. Kemudian seonggok blarak kering, dan melemparkannya ke sudut dapur. Dengan sepercik api, maka blarak kering itu akan menyala. Membakar kayu bakar yang kering dan kemudian merambat ke dinding dapur. Dalam waktu singkat dapur itu tentu akan menjadi abu.

“Aku harus mencegah jika ada orang yang akan menyiramnya dengan air,“ geram Putut itu.

Demikianlah, maka Putut itu pun telah meloncat ke perapian untuk menyalakan segenggam blarak kering untuk membakar seonggok blarak di sudut dapur itu.

Tetapi Putut itu terkejut. Tiba-tiba saja tubuhnya telah membentur kekuatan yang cukup besar dan telah melemparkannya jatuh, tepat menimpa setumpuk kayu bakar dan blarag kering di sudut dapur itu, yang disiapkannya sendiri untuk menyalakan api.

Tetapi dengan sigapnya, Putut Kaskaya itu meloncat bangkit. Wajahnya menjadi tegang. Jantungnya bagaikan membara oleh kemarahan yang memuncak. Namun ia menjadi heran. Ia tidak segera mempercayai penglihatannya. Yang berdiri di hadapannya adalah seorang perempuan.

“Kau?“ suara Putut itu tiba-tiba saja menjadi gagap.

“Siapa kau, dan apa kerjamu di sini?“ ternyata Sekar Mirah telah berada di rumah Ki Gede itu pula.

“Tetapi siapa kau?“ Putut Kaskaya berganti bertanya.

“Aku salah seorang penghuni padukuhan ini. Aku satu di antara perempuan-perempuan yang mendapat tugas untuk masak di dapur. Nah, berkatalah terus terang, siapa kau?“ suara Sekar Mirah mantap. Tidak nampak ketakutan di wajahnya sebagaimana perempuan-perempuan yang lain.

“Kenapa kau tidak berteriak-teriak dan lari keluar dari dapur ini? Kenapa kau tidak takut sebagaimana kawan-kawanmu? Aku akan membakar dapur ini dan bahkan seluruh rumah Ki Gede,“ berkata Putut Kaskaya.

“Cobalah kau bakar rumah ini,“ Sekar Mirahlah yang menggeram.

“Tetapi kau harus keluar. Kau terlalu cantik untuk ikut terbakar di dalamnya. Aku tidak peduli perempuan-perempuan yang lain mati terbakar. Tetapi kau tidak,“ berkata Putut itu.

Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Aku mengerti. Kau tentu salah seorang pengikut Panembahan Cahya Warastra. Nah, ternyata kau mendapat tugas yang paling sulit di antara kawan-kawanmu yang harus bertempur di medan.“

“Tidak,“ jawab Putut itu, “tugasku sangat mudah. Membakar rumah ini. Tetapi aku ingin menyelamatkanmu. Karena itu, keluarlah dari dapur ini. Aku akan membakarnya.”

Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba saja tangannya telah menampar wajah Putut Kaskaya itu.

Putut Kaskaya terkejut. Ia tidak mengira bahwa ia akan mengalami perlakuan yang demikian. Karena itu justru untuk beberapa saat ia termangu-mangu. Hampir di luar sadarnya ia mendengar perempuan cantik itu berkata kepadanya, “Aku akan melihat, apakah para pengikut Cahya Warastra itu cukup bernilai bagi satu kerja yang besar sebagaimana dikhayalkannya.“

Kerut didahi Putut Kaskaya itu menjadi semakin dalam. Dengan gigi yang gemeretak ia berkata, “Ternyata kau adalah perempuan yang paling sombong yang pernah aku jumpai.“

“Apapun yang kau katakan,“ jawab Sekar Mirah, “marilah. Kita akan bertempur di luar.“

Putut Kaskaya yang sangat marah dan hampir kehilangan penalarannya itu tidak sempat berpikir panjang. Dengan lantang ia menjawab, “Aku bunuh kau.“

Sekar Mirah tidak perlu menunggu. Putut Kaskaya itu telah meloncat keluar dan menunggu Sekar Mirah di halaman belakang rumah Ki Gede.

Dalam pada itu, jerit perempuan-perempuan yang ketakutan telah memanggil beberapa orang pengawal. Demikian Putut itu keluar dari dapur, beberapa orang pengawal telah menyerangnya. Tetapi Putut Kaskaya yang marah itu ternyata tidak memberi kesempatan kepada para pengawal. Dengan tangkasnya ia berloncatan. Trisulanya berputaran. Beberapa buah pedang telah terlempar dari tangan para pengawal. Sementara dua orang pengawal yang terluka terdorong beberapa langkah surut. Darah telah mengalir dari luka-luka mereka.

Sekar Mirah masih menyingsingkan kain panjangnya sejenak, Baru kemudian ia menyusul keluar dari dapur. Namun ternyata ia sudah melihat dua orang pengawal yang terluka.

Karena itu, maka iapun segera meloncat mendekat sambil berkata, “Biarlah aku mencoba menahannya.“

Para pengawal memang menyibak. Mereka merasa bahwa sulit bagi mereka untuk menguasai orang yang bersenjata trisula itu. Bukan saja tenaganya yang sangat kuat. Namun rasa-rasanya ada sesuatu yang melampaui kemampuan kebanyakan orang.

Ketika Sekar Mirah memasuki arena pertempuran itu, maka di tangannya telah tergenggam tongkat baja putihnya.

Putut Kaskaya mengerutkan keningnya melihat Sekar Mirah yang telah menyingsingkan kain panjang, sehingga yang nampak kemudian adalah pakaian khususnya. Sedang di tangannya telah tergenggam senjata yang agak berbeda dengan kebanyakan senjata para pengawal. Di tangan perempuan itu tidak tergenggam sebilah pedang atau tombak pendek. Tetapi sebatang tongkat baja putih.

Beberapa saat lamanya Putut Kaskaya merasa heran melihat sikap seorang perempuan yang dianggapnya aneh itu. Namun kemudian dengan geram ia berkata, “Aku masih memperingatkan kau sekali lagi. Hindari kesulitan yang dapat membunuhmu.“

“Sayang bahwa aku sudah bertekad untuk membunuhmu,“ jawab Sekar Mirah.

Wajah Putut Kaskaya menjadi merah. Ia merasa seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Karena itu, maka iapun kemudian membentak, “Ternyata kau adalah perempuan yang sombong, yang tidak tahu diri. Para pemimpin Tanah Perdikan ini yang berada di medan berusaha menghindar dari kemarahanku. Sekarang, kau, seorang perempuan, dengan congkaknya berdiri di hadapanku.“

“Apapun yang kau katakan tidak akan dapat menolong kau keluar dari arena ini,“ berkata Sekar Mirah.

Putut Kaskaya memang tidak sabar lagi. Ia harus segera membakar rumah Ki Gede untuk mempengaruhi medan. Kemudian rumah-rumah yang lain. Karena itu, maka ia tidak menunggu lebih lama lagi. Trisulanya segera berputar. Katanya, “Sayang bahwa aku harus membunuh seorang perempuan yang cantik.“

Tetapi Sekar Mirah sama sekali tidak menjadi gentar. Ketika orang itu mulai bergeser, maka tongkat baja putih Sekar Mirahpun mulai berputar pula.

Sejenak kemudian, maka Putut Kaskaya pun mulai meloncat. Trisulanya terayun deras mengarah ke dada Sekar Mirah. Namun Sekar Mirah sudah bersiap menghadapinya. Tetapi Sekar Mirah tidak mau langsung membenturkan senjatanya, karena ia masih belum mendapat gambaran sama sekali tentang kekuatan dan kemampuan lawannya. Karena itu, maka iapun telah bergeser menghindar, namun dalam pada itu, tongkat baja putihnya-lah yang dengan cepat mematuk ke arah lambung.

Putut Kaskaya meloncat menjauh. Namun demikian kakinya menyentuh tanah, maka iapun telah meloncat maju menerkam Sekar Mirah dengan trisulanya.

Sekali lagi serangannya gagal. Sekar Mirah memang berusaha untuk menyentuh trisula itu dengan tongkatnya. Sentuhan itu tidak terlalu langsung dan tidak terlalu keras. Tetapi dengan demikian Sekar Mirah segera menyadari, bahwa lawannya memiliki kekuatan yang sangat besar. Karena itu, maka Sekar Mirah harus berhati-hati. Agaknya lawannya memang bukan orang kebanyakan yang ingin menunjukkan jasanya dengan membakar rumah Ki Gede. Tetapi agaknya orang itu memang mendapat tugas khusus untuk melakukan hal itu.

Namun Putut Kaskaya pun telah terkejut ketika tongkat Sekar Mirah menyentuh trisulanya. Perempuan itu adalah perempuan yang lain dari perempuan kebanyakan. Bagaimanapun juga, Putut Kaskaya harus mengakui bahwa perempuan itu memiliki kekuatan yang sangat besar. Bahkan di luar penalarannya.

Tetapi Putut Kasaya tidak mempunyai banyak waktu untuk merenunginya. Ia harus segera menyingkirkan orang yang telah menghalangi niatnya untuk membakar rumah itu. Karena itu, maka Putut Kaskaya tidak lagi memandang lawannya itu sebagai seorang perempuan. Tetapi orang itu adalah lawan yang harus dibinasakannya.

Dengan demikian maka Putut itu telah meningkatkan kemampuannya. Ia memang ingin segera menyelesaikan pertempuran itu. Tetapi lawannya itu pun telah melakukannya pula. Ternyata perempuan itupun masih mampu mengimbangi ilmunya, meskipun Putut Kaskaya telah meningkatkan dari satu lapis kelapisan yang berikutnya.

Demikianlah maka pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin sengit. Putut Kaskaya mulai menunjukkan kemampuan ilmunya. Ayunan trisulanya tidak saja berbahaya jika ujungnya mengoyak kulit. Tetapi angin yang berdesir pun rasa-rasanya telah menusuk lubang-lubang kulit.

Sekar Mirah mulai merasakan tusukan-tusukan ilmu itu. Karena itu, maka iapun telah meningkatkan daya tahan tubuhnya untuk mengatasi rasa sakit yang mulai menyengat.

Dengan demikian maka Sekar Mirahpun telah meningkatkan ilmunya semakin tinggi pula. Sebagai murid Ki Sumangkar ia telah mendapat warisan ilmu yang matang. Namun sebagai istri Agung Sedayu, maka di bawah bimbingan suaminya ia telah mengembangkan ilmunya itu, sehingga mencapai satu tataran yang sangat tinggi. Karena itulah, maka ketika Sekar Mirah memutar tongkat baja putihnya semakin cepat, maka yang nampak kemudian adalah bagaikan gumpalan asap putih yang menyelimuti dirinya.

Namun perisai itu kadang-kadang telah melibat lawannya dengan ayunan yang keras. Bahkan sekali-sekali mematuk derigan tajamnya, sehingga Putut Kaskaya itu harus berloncatan surut. Namun Sekar Mirah tidak mau melepaskannya. Dengan tangkasnya ia memburu. Memutar senjatanya dan menyerang dengan garangnya.

Tetapi Putut Kaskaya yang marah itu telah menghentakkan ilmunya. Getaran angin yang timbul oleh putaran trisulanya rasa-rasanya menjadi semakin tajam menusuk kulitnya. Dengan demikian maka pertempuran antara keduanya pun menjadi semakin sengit. Sementara itu, beberapa orang pengawal telah berkerumun melingkarinya. Beberapa orang justru menjadi sangat tegang menyaksikan pertempuran yang menjadi semakin sengit itu.

Para pengawal yang menyaksikan pertempuran itu masih juga menjadi heran melihat kemampuan Sekar Mirah. Mereka mengerti bahwa Sekar Mirah berilmu tinggi. Tetapi ketika mereka menyaksikan Sekar Mirah mengerahkan ilmunya, maka mereka benar-benar menjadi semakin kagum.

Sebenarnyalah ilmu Sekar Mirah yang diwarisinya dari Ki Sumangkar telah berkembang semakin mekar di dalam dirinya. Agung Sedayu telah memberikan banyak tuntunan kepadanya. Pengalaman yang semakin luas pun telah memberikan dukungan akan kematangan ilmunya itu.

Dengan demikian maka menghadapi Putut Kaskaya, Sekar Mirah tidak segera terdesak. Bahkan daya tahan tubuhnya masih mampu mengatasi rasa sakitnya, sementara ayunan tongkat baja putihnya semakin lama menjadi semakin berbahaya.

Benturan-benturan yang terjadi dengan trisula Putut Kaskaya telah membuat keduanya menjadi berdebar-debar. Sekar Mirah menyadari bahwa lawannya memang berilmu tinggi. Tetapi sebaliknya Putut Kaskaya pun tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa yang dihadapi adalah seorang perempuan yang memiliki kemampuan di atas orang kebanyakan.

Karena itu, maka pertempuranpun menjadi semakin sengit. Keduanya berloncatan dengan tangkasnya. Senjata mereka berputaran dan sekali-sekali telah beradu. Sekar Mirah yang semakin merasakan tusukan getaran angin yang terlontar dari ayunan senjata lawannya dalam lambaran ilmunya, telah mengimbanginya dengan kecepatan putaran tongkat baja putihnya. Dengan sangat tangkas Sekar Mirah berusaha untuk menyusup lubang-lubang pertahanan trisula lawannya.

Putut Kaskaya yang telah melepaskan ilmunya ternyata tidak segera berhasil dengan cepat melumpuhkan Sekar Mirah. Bahkan setelah bertempur beberapa lama, Sekar Mirah masih saja mampu mengimbangi ilmunya yang sudah mencapai tataran tertinggi.

Dalam pada itu, Putut Kaskaya yang seakan-akan telah kehilangan penalarannya yang bening itu, tidak lagi mampu berpikir dengan bening. Justru karena ia tidak segera dapat mengalahkan Sekar Mirah, maka hatinya menjadi semakin gelisah. Apalagi semakin lama semakin banyak pengawal yang mengerumuninya. Pada suatu saat Sekar Mirah akan dapat memberikan perintah kepada mereka untuk bersama-sama melawannya.

Meskipun para pengawal itu tidak berilmu tinggi, tetapi bersama dengan Sekar Mirah, mereka akan dapat menjadi sangat berbahaya.

Sebenarnyalah, seorang pemimpin kelompok dari para pengawal itu pun telah meneriakkan perintah untuk mengepung orang itu. Dengan lantang ia berkata, “Nyi Sekar Mirah, ijinkan kami ikut campur dalam pertempuran ini!”

“Serahkan orang ini kepadaku!“ jawab Sekar Mirah.

“Kita tidak dituntut untuk berperang tanding dalam keadaan seperti ini. Segalanya harus diselesaikan dengan secepatnya. Mungkin akan segera datang orang lain, sehingga kita akan mendapat pekerjaan yang semakin berat.“

“Lakukanlah pekerjaan yang lain itu!“ jawab Sekar Mirah sambil bertempur.

Tetapi pemimpin kelompok itu menyahut, “Kita jangan dilibat oleh perasaan dan harga diri semata-mata. Tetapi kita harus mengambil langkah-langkah yang paling menguntungkan sekarang ini. Mungkin medan perang di luar padukuhan induk ini dengan segera memerlukan tenaga kita.“

“Marilah!“ teriak Putut Kaskaya, “Siapa yang ingin segera mati, majulah bersama-sama dengan perempuan yang sombong ini.“

Pemimpin kelompok itu termangu-mangu. Ia memang menyadari bahwa Putut Kaskaya itu berilmu sangat tinggi. Jauh lebih tinggi dari jangkauan kemampuan mereka. Tetapi bersama dengan Sekar Mirah, maka mereka tentu akan dapat segera melumpuhkannya.

Akhirnya Sekar Mirah tidak dapat mencegah lagi. Karena itu maka katanya, “Jika kalian mempunyai perhitungan lain, terserahlah. Kita selesaikan orang ini.“

Putut Kaskaya menggeram. Namun ia mendengar Sekar Mirah berkata, “Tetapi sebelumnya beri aku kesempatan.“

Pemimpin kelompok itu masih menahan diri. Sementara itu Sekar Mirah telah mengerahkan segenap kemampuannya. Dengan tuntunan Agung Sedayu yang memiliki ilmu kebal, maka daya tahan Sekar Mirah memang menjadi sangat tinggi meskipun belum berujud perisai kekebalan.

Karena itu, maka serangan ilmu Putut Kaskaya dengan getaran udara yang memancar oleh desir angin karena ayunan trisulanya tidak dapat melumpuhkan Sekar Mirah. Sementara itu Sekar Mirah rasa-rasanya justru menjadi semakin tangkas.

Ketika Sekar Mirah menghentakkan kemampuannya, maka kecepatan Sekar Mirah bagaikan berlipat. Karena itu, maka Putut Kaskaya menjadi terdesak betapapun ia menahan gerakan Sekar Mirah dengan ilmunya. Bahkan kemudian ilmunya tidak mampu melindunginya dari sentuhan ujung tongkat baja putih Sekar Mirah.

Terdengar desah tertahan. Putut Kaskaya meloncat mengambil jarak sambil menyeringai kesakitan. Ternyata pundaknya telah terluka. Darah telah mengalir dari lukanya itu.

“Iblis betina,“ geram Putut Kaskaya, “kau akan menyesal karena tingkah lakumu itu.“

Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi ia justru telah memburu lawannya sambil memutar tongkat baja putihnya.

Putut Kaskaya memang agak menjadi kebingungan. Ia tidak dapat meloncat lebih jauh lagi. Para pengawal Tanah Perdikan seakan-akan telah mengepungnya. Sementara itu serangan Sekar Mirah datang bagaikan arus di lautan.

Dengan segenap sisa kemampuannya Putut Kaskaya telah mengelakkan serangan Sekar Mirah, bahkan telah sempat berganti menyerang. Trisulanya mematuk dengan garang ke arah jantung Sekar Mirah, justru sesaat setelah tongkatnya terayun tanpa menyentuh sasaran.

Karena itu, maka Sekar Mirah-lah yang telah meloncat surut. Ternyata dalam saat yang pendek itu, Putut Kaskaya sempat merenungi keadaannya. Ia tidak ingin mati di Tanah Perdikan Menoreh saat itu. Ia berniat untuk tetap hidup dan menempa diri untuk datang pada kesempatan lain, membalas dendam kematian gurunya. Dengan demikian maka setelah ia terluka, sementara itu beberapa orang pengawal telah mengepungnya, iapun mempunyai perhitungan lain. Ia tidak lagi berniat membakar rumah Ki Gede. Yang tumbuh di hatinya adalah mencari kesempatan untuk menyelamatkan diri.

Pada saat Sekar Mirah berdiri tegak setelah bergeser surut, maka ia melihat sikap yang aneh pada lawannya. Namun Sekar Mirah tidak segera menangkap maksud Putut Kaskaya. Karena itu ia justru terkejut ketika ia melihat Putut itu meloncat menjauh.

Sekar Mirah sama sekali tidak mengira bahwa lawannya yang berilmu tinggi itu telah berusaha meninggalkan arena. Namun ternyata bahwa Putut Kaskaya telah membentur para pengawal yang mengepungnya.

Beberapa orang telah menyerang Putut itu bersama-sama. Tetapi Putut Kaskaya memang berilmu tinggi. Hampir bersamaan dua orang pengawal telah meloncat keluar dari benturan. Ujung trisula Putut Kaskaya agaknya telah menggores dada mereka, sehingga pakaian mereka telah diwarnai oleh darah yang mengalir dari lukanya itu.

Meskipun demikian para pengawal yang lain tidak menjadi gentar dan berlarian. Beberapa orang telah siap untuk menyerang bersama-sama pula. Tetapi sebuah tombak telah dipatahkan oleh Putut Kaskaya, sedang sebilah pedang telah terlempar.

Namun pada saat yang gawat bagi para pengawal itu, Sekar Mirah telah meloncat menyerang Putut itu pula. Dengan lantang Sekar Mirah berkata, “Hati-hatilah. Aku tidak akan membiarkanmu pergi.“

Putut Kaskaya-lah yang tergetar jantungnya. Karena itu, maka ia harus memecah perhatiannya. Para pengawal yang bersiap untuk menyerangnya, dan tongkat baja putih Sekar Mirah yang terayun ke arahnya.

Namun ternyata Putut Kaskaya benar-benar seorang yang berilmu tinggi. Ternyata ia telah menghentakkan kemampuan dan ilmunya. Dengan kecepatan yang tidak terjangkau oleh para pengawal maka Putut Kaskaya sempat menembus kepungan mereka. Dua orang pengawal terlempar jatuh keluar dari lingkaran. Meskipun keduanya tidak terluka, tetapi rasa-rasanya tulang belakang mereka menjadi bagaikan retak.

Tetapi Sekar Mirah pun mampu bergerak secepat Putut Kaskaya. Dengan demikian maka ketika Putut Kaskaya berdiri di luar kepungan, dengan cepat Sekar Mirah telah melibatnya sekali lagi dalam pertempuran.

Namun kegelisahan di hati Putut Kaskaya benar-benar tidak menguntungkan baginya. Ketika para pengawal memburunya dan mengepungnya lagi, Putut Kaskaya yang gelisah itu menjadi lengah. Sekali lagi tongkat baja Sekar Mirah terayun menyusup di antara pertahanan lawannya. Yang menyentuh tengkuk Putut Kaskaya bukan ujung tongkat baja putih itu, tetapi justru pangkal tongkat baja yang berujud tengkorak yang berwarna kekuning-kuningan.

Putut Kaskaya mengaduh kesakitan. Sentuhan itu memang tidak menumbuhkan luka di tubuhnya, tetapi tulangnya-lah yang terasa menjadi bagaikan patah. Dalam keadaan yang demikian, para pengawal yang marah tidak dapat mengendalikan diri lagi. Empat orang di antara mereka telah terluka parah, bahkan membahayakan jiwa mereka. Sementara dua orang lainnya tidak mampu lagi bangkit berdiri, karena tulang belakangnya yang kesakitan.

Karena itu, dalam keadaan yang lemah, seorang di antara para pengawal telah berhasil menyentuh lambungnya dengan ujung tombaknya. Namun, demikian ujung tombak itu menggores di lambungnya, maka serangan yang dahsyat telah meluncur ke arah pengawal itu.

Pengawal itu terkejut. Rasa-rasanya tidak ada kesempatan lagi baginya untuk menghindar atau menangkis serangan itu. Tetapi sebuah kekuatan yang lain telah membentur serangan itu. Demikian kuatnya, sehingga telah terjadi benturan yang menggetarkan.

Ternyata Sekar Mirah sempat membentur serangan yang jika dibiarkan saja akan dapat membunuh pengawal itu. Namun dalam benturan itu, keduanya telah terpental beberapa langkah surut. Tetapi hampir bersamaan pula keduanya telah melenting berdiri dan bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Ternyata keadaan Sekar Mirah masih lebih baik dari keadaan Putut yang terluka itu. Karena itu, maka dalam kepungan para pengawal Sekar Mirah berkata, “Ki Sanak. Kau telah terluka. Kau harus melihat kenyataan tentang dirimu. Kau tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi di sini. Kau tidak akan berhasil membakar rumah Ki Gede, dan kau tidak akan dapat melarikan diri. Karena itu, menyerahlah. Keadaanmu akan menjadi lebih baik daripada kau kehilangan akal dan bertempur terus, karena hal itu tidak ubahnya dengan membunuh diri.“

“Persetan,“ geram Putut Kaskaya, “kau jangan merendahkan aku. Aku adalah Putut Kaskaya, murid Ki Ajar Cangkring. Aku harus membunuh semua pengawal yang ada di sini. Kematian guruku harus ditebus dengan sangat mahal oleh orang-orang Menoreh. Nilai nyawa guruku sama dengan nilai nyawa dua puluh lima pemimpin Tanah Perdikan ini. Atau sama dengan seratus nyawa pengawal kecil seperti kalian.“

“Siapa yang akan memungut nyawa kami sebanyak itu?“ bertanya Sekar Mirah.

“Aku,“ jawab Putut Kaskaya.

“Agaknya kau belum cukup berpengalaman terlibat dalam pertempuran yang besar, sehingga kau menjadi gila karenanya,“ berkata Sekar Mirah.

“Tutup mulutmu perempuan dungu!“ bentak Putut itu, “Aku sudah menjelajahi lebih dari seribu medan.”

Sekar Mirah justru tertawa. Katanya, “Sudah berapa ratus tahun umurmu sekarang?“

Wajah orang itu menjadi merah. Dipandanginya Sekar Mirah dan para pengawal itu dengan tatapan mata yang liar. Namun sebenarnyalah seperti yang dikatakan oleh Sekar Mirah, meskipun bukan karena pertempuran itu sendiri, tetapi kematian gurunva benar-benar telah mempengaruhinya sehingga ia tidak lagi dapat berpikir bening. Dendam yang menyala di hatinya, keadaan yang berbeda dari yang diperhitungkannya, dan kemudian luka-luka di tubuhnya, memang membuatnya seperti orang gila. Karena itulah, maka tawaran Sekar Mirah itu baginya adalah satu penghinaan.

Sejenak ia masih memandang dengan liar keadaan di sekelilingnya. Namun kemudian, dengan tiba-tiba saja sekali lagi ia mencoba menerobos kepungan para pengawal. Demikian tiba-tiba, sehingga seorang pengawal telah terpental dan jatuh terlempar dari lingkaran. Agaknya pundaknya telah terluka pula, sehingga darah mengalir dari lukanya itu. Ketika para pengawal yang lain memburunya, maka Putut Kaskaya itu benar-benar telah mengamuk. Beberapa orang pengawal segera tergores pula ujung trisulanya, serta dua buah pedang telah terlempar.

Sekar Mirah pun kemudian menilai orang itu sangat berbahaya. Karena itu, maka iapun telah meloncat langsung menyerangnya dengan tongkatnya.

Tetapi Putut Kaskaya masih sempat mengelak. Ia telah meloncat surut. Namun Sekar Mirah memburunya dengan putaran tongkat baja putihnya. Ketika ayunan tongkat bajanya tidak mengenai sasaran, maka Sekar Mirah telah menarik tongkat bajanya itu. Namun dengan tiba-tiba saja tongkat itu mematuk mengarah ke dada.

Satu benturan telah terjadi. Putut Kaskaya menangkis serangan itu dengan trisulanya. Tetapi ternyata bahwa Sekar Mirah telah lebih dahulu menguasai senjatanya, sehingga sambil menggeliat, maka tongkatnya itu terayun berputar bersama tubuhnya. Dengan ayunan yang sangat keras, ternyata tongkat baja putih Sekar Mirah telah mengarah ke lambung lawannya.

Putut Kaskaya memang sempat menangkis. Tetapi ayunan itu terlalu kuat, sehingga tongkat itu benar-benar telah menghantam lambung Putut Kaskaya.

Putut Kaskaya memang terdorong beberapa langkah. Lambungnya terasa sakit, meskipun dengan cepat ia mengatasinya, karena ayunan tongkat lawannya telah tertahan oleh trisulanya. Namun yang tidak disangka oleh Putut itu adalah kemarahan para pengawal yang telah kehilangan beberapa orang kawan-kawannya yang terluka parah. Ketika Putut Kaskaya itu sedang memusatkan perhatiannya pada serangan Sekar Mirah, maka mereka yang kehilangan senjata telah sempat memungutnya kembali. Dengan demikian maka mereka dengan serta merta telah menyerang Putut itu dari berbagai jurusan.

Putut Kaskaya memang menjadi bingung. la hanya dapat memutar trisulanya dengan cepatnya untuk melindungi dirinya, sementara itu sambaran anginnya bagaikan melontarkan ribuan duri ke sekitarnya.

Para pengawal itu memang menyeringai menahan sakit. Tetapi dorongan kemarahan di dalam hati mereka tidak tertahankan.

Tiga bilah pedang terlempar dan sebuah ujung tombak patah, ketika mereka berusaha menembus ayunan trisula yang melindungi dirinya itu. Tetapi sebuah di antara ujung tombak yang lain ternyata sempat menyusup di antara ayunan trisula itu, tepat mengenai sisi sebelah kanan dada Putut Kaskaya. Putut itu menggeram. Matanya menjadi semakin liar. Dengan garangnya ia bersiap untuk meloncat menyerang pengawal yang telah mengenai dadanya itu.

Na mun diluar perhitungannya yang semakin kabur, tongkat baja putih Sekar Mirah telah memukul trisulanya. Demikian kerasnya dan tidak terduga-duga, sehingga trisula itu telah terlepas dari tangannya.

Putut Kaskaya tiba-tiba saja berteriak seperti orang yang kepanjingan setan, oleh kemarahannya yang memuncak di dalam dadanya.

Tetapi semakin yakin akan keberhasilannya bersama para pengawal menguasai Putut Kaskaya, maka Sekar Mirah pun menjadi semakin tenang. Karena itu, sambil bersiap dengan tongkat baja putihnya Sekar Mirah melangkah semakin dekat sambil berkata, “Sudahlah. Menyerahlah. Kau tidak mempunyai harapan sama sekali. Kau akan diadili oleh Mataram dengan cara yang wajar. Karena itu jangan menjadi liar seperti itu.“

“Persetan kau perempuan iblis,“ geram Putut itu, “jangan mencoba merayu aku. Aku tidak membutuhkan perempuan seperti kau.“

Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Tetapi ia masih mampu menahan diri. Katanya, “Apapun yang kau katakan, tetapi kau sudah terlalu parah. Di sekitarmu adalah para pengawal yang dapat memperlakukan kau lebih buruk dari para prajurit Mataram. Karena itu, sekali lagi aku memberimu kesempatan.“

“Tutup mulutmu. Aku tidak tertarik melihat tampangmu. Di Madiun banyak perempuan yang jauh lebih cantik dari kau!“ bentak Putut Kaskaya.

Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Jika kau menolak kesempatan ini, maka kami akan menyerangmu.“

“Aku bunuh kau iblis betina!“ Putut itu berteriak.

Sebenarnyalah Putut Kaskaya telah menyerang Sekar Mirah. Kedua tangannya mengembang dengan garangnya, siap untuk menerkam lawannya.

Sekar Mirah memang sudah bersiap. Ia bergeser selangkah ke samping, sementara itu, tongkat baja putihnya terayun mendatar menyusul arah gerak Putut Kaskaya. Tidak dengan sepenuh tenaga. Namun karena tongkat itu mengenai tengkuk, maka Putut Kaskaya itu telah jatuh tertelungkup. Hampir saja menimpa seorang pengawal yang dengan cepat bergeser mundur, sehingga Putut itu jatuh di depan kakinya. Satu kesempatan bagi pengawal itu. Dengan serta merta ia mengangkat tombaknya. Hampir saja menghunjam di punggung Putut Kaskaya. Namun tiba-tiba saja tombak itu telah terpental lepas dari tangannya, sehingga sama sekali tidak menyentuh tubuh Putut itu.

Sekar Mirah-lah yang telah memukul tombak itu. Katanya, “Jangan kau bunuh orang yang menjadi gila ini. Ambil tali yang paling kuat. Jika ada cari janget. Ikat dan ia akan menjadi tawanan yang mungkin berarti bagi Mataram.“

Putut itu sendiri memang berusaha untuk bangkit. Namun tenaganya sudah tidak memungkinkan sama sekali. Darah yang mengalir dari luka-luka di tubuhnya, serta tengkuknya yang serasa retak, hampir membuatnya menjadi pingsan.

“Kau tidak akan dapat memilih lagi,“ berkata Sekar Mirah.

Putut itu memang sudah tidak berdaya. Karena itu, ketika beberapa orang menangkapnya dan menariknya bangkit, ia tidak mampu melawan lagi. Meskipun ia mencoba namun tenaganya sudah tidak berarti sama sekali.

Beberapa saat kemudian, seorang pengawal telah keluar dari dapur dengan membawa tali ijuk, karena tidak didapatinya janget. Tetapi tali ijuk pun termasuk tali yang cukup kuat.

Putut Kaskaya memang mencoba untuk meronta. Tetapi tenaga beberapa orang pengawal tidak dapat dilawannya lagi. Darah yang mengalir dari luka-lukanya justru menjadi semakin banyak karena geraknya sendiri.

“Jangan memeras darahmu sendiri,“ berkata Sekar Mirah.

Tetapi Putut Kaskaya masih mengumpatinya.

Sekar Mirah sama sekali tidak menghiraukannya. Para pengawal itu pun kemudian telah membawa Putut itu ke halaman depan.

Beberapa saat Putut itu menjadi tontonan. Para pengawal yang bertugas di halaman depan ketika mengetahui beberapa orang kawannya dilukai, bahkan ada yang menjadi parah, telah menjadi marah. Hampir saja mereka tidak dapat dikendalikan. Tetapi Sekar Mirah-lah yang telah dengan keras memperingatkan mereka untuk tidak melakukan kekerasan lagi.

“Tetapi ia sudah melukai kawan-kawan kami. Bahkan beberapa orang menjadi parah. Mungkin mereka tidak akan tertolong lagi jiwanya,“ berkata salah seorang pengawal.

“Tetapi ia diperlukan. Keterangannya akan dapat memberikan beberapa petunjuk bagi Mataram,“ jawab Sekar Mirah.

“Ia tidak tahu apa-apa,“ jawab pengawal yang lain, “hanya para pemimpin mereka sajalah yang tahu serba sedikit tentang gerakan ini.“

“Orang ini termasuk orang penting,“ berkata Sekar Mirah.

“Omong kosong!“ teriak salah seorang pengawal.

Sekar Mirah ternyata agak tersinggung, Karena itu, maka iapun berkata “ Baiklah. Jika tidak percaya. biarlah tali itu dilepaskan. Beri kesempatan orang itu beristirahat sejenak.“

“Tetapi itu akan sangat berbahaya,“ berkata salah seorang pengawal yang ikut mengikatnya.

“Terserah kepada kalian. Aku akan pergi ke dapur. Perempuan-perempuan yang ketakutan itu perlu mendapat sedikit penjelasan agar mereka dapat menjadi tenang,“ berkata Sekar Mirah.

“Tetapi tawanan ini?“ seorang pengawal yang melihat kemampuannya termangu-mangu.

“Aku akan melepaskan tali. Terserah kepada kalian, apa yang akan kalian lakukan atasnya,“ berkata Sekar Mirah.

“Jangan,“ minta pengawal yang mengikatnya.

Sekar Mirah terdiam sejenak. Diamatinya para pengawal yang menjadi tegang. Beberapa di antara mereka nampak ragu-ragu. Meskipun tubuh orang itu telah diwarnai dengan darah, namun keliaran sorot matanya masih tetap mendebarkan jantung.

Baru beberapa saat kemudian Sekar Mirah bertanya, “Jadi bagaimana? Apakah orang itu harus dilepaskan atau tidak?”

Tidak ada yang menjawab. Karena itu, maka Sekar Mirah-lah yang berkata, “Nah, jika demikian, maka kalian harus mendengar kata-kataku. Orang ini adalah orang yang berilmu tinggi. Jika kalian tidak percaya, maka bertanyalah kepada kawan-kawan kalian yang telah bertempur melawannya. Jika ia tidak berilmu tinggi, maka ia tidak akan dapat melukai sekian banyak pengawal. Bahkan ada di antara mereka yang luka parah. Bersama-sama para pengawal aku berhasil menangkapnya. Tangkapan itu harus kita serahkan kepada para pemimpin prajurit Mataram. Mereka-lah yang berhak untuk menjatuhkan keputusan. Apalagi orang ini masih mungkin akan dapat memberikan keterangan yang berarti.“

Para pengawal yang marah itu saling berdiam diri. Namun mereka mulai tersentuh oleh keterangan Sekar Mirah.

“Sekarang, aku serahkan tangkapan itu kepada pemimpin para pengawal yang bertugas di sini. Tangkapan ini harus dipertanggung-jawabkan kepada para pemimpin dari Mataram setelah pertempuran selesai seluruhnya. Bukankah menurut beberapa penghubung yang sengaja memberikan keterangan kemari, kita mempunyai harapan untuk menang? Aku percaya bahwa para penghubung itu tidak sekedar membesarkan hati kita,“ berkata Sekar Mirah.

Para pengawal itu masih saja berdiam diri. Namun sekali lagi Sekar Mirah berkata, “Aku serahkan tawanan ini. Aku harus kembali ke dapur untuk menyelesaikan masakan, serta mengatur kembali alat-alat dapur yang telah diporak-porandakan oleh orang itu.“

Pemimpin pengawal di rumah Ki Gede itu pun kemudian melangkah maju. Semakin dekat, pemimpin itu melihat bahwa luka-luka yang terdapat pada tubuh orang itu agaknya cukup berat. Tetapi orang itu masih nampak garang sekali.

“Baiklah,“ berkata pemimpin pengawal itu. “kami akan menyimpannya di bilik khusus.“

“Tetapi hati-hatilah. Jaga orang itu baik-baik. Setelah beristirahat sejenak, mungkin ia menemukan kekuatan baru,“ berkata Sekar Mirah. Lalu katanya, “Jika perlu, panggil aku di dapur.“
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar