Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 239

Buku 239

“Itu baik sekali Swandaru,“ sahut Kiai Gringsing, “aku memang sudah memikirkan kemungkinan untuk singgah di Sangkal Putung dari Mataram. Tetapi agaknya memang lebih baik kau datang kemari.“

“Atau barangkali Guru singgah di Sangkal Putung, kemudian baru kembali ke padepokan ini?“ bertanya Swandaru.

“Kau saja-lah yang datang kemari. Bukankah kau dapat segera kembali tanpa bermalam di sini? Aku memang memikirkan juga tentang Pandan Wangi,“ berkata Kiai Gringsing.

“O, belum waktunya Guru. Masih memerlukan beberapa bulan lagi,“ jawab Swandaru.

“Tetapi kau tentu tidak akan meninggalkannya terlalu lama,“ berkata Kiai Gringsing.

“Ya Guru,“ jawab Swandaru.

Dalam pada itu, maka Kiai Gringsingpun kemudian berkata, “Aku kira, tidak ada lagi yang ingin aku bicarakan. Aku memang hanya ingin menyampaikan beberapa pesan kepada Swandaru untuk berhati-hati menghadapi perkembangan keadaan. Dalam keadaan seperti sekarang ini, maka peperangan sebenarnya sudah dimulai. Tetapi bukan dalam ujud kewadagan. Mungkin dengan desas-desus, dengan hasutan-hasutan, atau dengan janji-janji. Bukan saja dilakukan oleh Madiun, tetapi juga oleh para pengikutnya. Karena itu kita harus tetap berhati-hati menghadapi setiap perkembangan keadaan, setiap berita dari setiap pernyataan-pernyataan yang tidak jelas sumbernya. Apalagi bagi Sangkal Putung yang telah banyak dikenal sejak perang antara Jipang dan Pajang.“

“Baik Guru,“ jawab Swandaru, “aku akan melakukannya dengan sebaik-baiknya.“

“Syukurlah. Aku percaya bahwa kau akan dapat melakukannya. Jika besok Agung Sedayu menemui kakaknya, maka ia akan dapat menyesuaikan keadaan ini dengan perintah-perintah yang diterima Untara langsung dari Mataram. Mungkin Mataram telah mengambil langkah-langkah tertentu, meskipun baru khusus bagi para prajurit,“ berkata Kiai Gringsing kemudian.

“Aku juga akan menyesuaikan diri Guru. Jika ada hal yang penting, aku mohon Kakang Agung Sedayu sempat singgah. Tetapi jika tidak, terserah saja kepada Kakang,“ berkata Swandaru kemudian.

Tetapi Agung Sedayu menjawab, “Maaf Adi Swandaru. Mungkin aku akan langsung kembali ke Tanah Perdikan bersamaan dengan keberangkatan Guru, tanpa singgah di Sangkal Putung.“

“Baiklah. Asal setiap ada perkembangan baru yang terjadi, aku dapat diberi tahu. Terutama dari padepokan ini,“ berkata Swandaru kemudian.

Kiai Gringsing mengangguk kecil. Katanya, “Aku akan selalu mengusahakan hubungan yang lebih rapat. Para cantrik akan lebih sering pergi ke Sangkal Putung.“

“Terima kasih Guru,“ jawab Swandaru.

Sementara itu maka Kiai Gringsing pun berkata, “Rasa-rasanya aku sudah terlalu lama duduk berbincang. Aku ingin beristirahat.“

“Silahkan Guru,“ jawab Agung Sedayu dan Swandaru hampir berbareng.

Sepeninggal Kiai Gringsing, Swandaru masih berbincang beberapa lama dengan Agung Sedayu. Bahkan Swandaru sempat bertanya kepada Glagah Putih, “Bagaimana dengan ilmumu?“

Glagah Putih memang menjadi bingung untuk menjawab. Namun sambil tersenyum Agung Sedayulah yang menjawab, “Anak ini agak malas.“

Swandaru tersenyum. Dipandanginya Agung Sedayu dan Glagah Putih berganti-ganti.

Agung Sedayu mengerti perasaan Swandaru. Karena itu, sambil tersenyum pula ia berkata, “Bukankah kau akan mengatakan, bahwa Glagah Putih malas seperti kakak sepupunya.“

Swandaru tertawa. Katanya, “Bukan aku yang mengatakannya. Tetapi Kakang Agung Sedayu sendiri.“

Agung Sedayu mengangguk. Iapun tertawa. Tetapi ia berkata, “Meskipun malas, tetapi ada kelebihan Glagah Putih dari aku.“

“Apa?“ bertanya Swandaru.

“Setiap malam ia turun ke sungai. Bahkan kadang-kadang dua kali dalam semalam,“ jawab Agung Sedayu.

“Untuk menjalani laku dalam penempaan ilmu?“ bertanya Swandaru mulai bersungguh-sungguh.

Tetapi jawab Agung Sedayu membuat Swandaru tertawa lagi. “Ya. Memang menjalani laku. Membuka pliridan.“

“O,“ Swandaru justru tertawa lebih keras. Glagah Putih sendiri bahkan ikut tertawa pula.

“Peringatan Guru merupakan cambuk bagi kita,“ berkata Swandaru kemudian. Lalu katanya bersungguh-sungguh, “Biarlah kitab itu ada pada Kakang Agung Sedayu sampa saatnya Pandan Wangi melahirkan. Karena selama itu, aku tidak akan mempergunakannya. Aku akan lebih banyak memperhatikan Pandan Wangi, di samping tugas-tugasku sehari-hari membantu Ayah yang sudah menjadi semakin tua pula seperti Guru.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih. Aku akan memanfaatkan kitab itu sebaik-baiknya. Tetapi kaupun harus mulai memikirkan Tanah Perdikan. Ki Gede pun menjadi semakin tua pula sebagaimana Ki Demang dan Guru.“

Swandaru mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Aku sangat terikat dengan Kademangan Sangkal Putung. Karena itu aku minta Kakang Agung Sedayu dapat berbuat lebih banyak bagi Tanah Perdikan itu.“

“Tetapi sudah tentu pada suatu saat memerlukan pemecahan,“ berkata Agung Sedayu.

Swandaru mengangguk-angguk. Tetapi katanya, “Kita akan memikirkannya kelak. Sesudah Pandan Wangi melahirkan, atau sesudah persoalan antara Mataram dan Madiun selesai.“

“Kelahiran anakmu dapat diperhitungkan. Tetapi kapan persoalan Mataram dan Madiun selesai, masih harus ditunggu tanpa batas waktu. Mungkin sebulan, mungkin setengah tahun, bahkan mungkin lebih lama lagi,“ jawab Agung Sedayu.

Namun Swandaru masih saja mengelak, “Besok kita pikirkan lagi. Sekarang kita menghadapi persoalan yang lebih penting selain kelahiran anakku itu.“

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya Swandaru masih segan untuk memikirkan persoalan yang pada suatu saat akan timbul. Meskipun persoalan itu belum memerlukan pemecahan segera, namun Agung Sedayu berharap bahwa setidak-tidaknya Swandaru memberikan perhatian.

Tetapi Agung Sedayu memang tidak membicarakannya lagi. Bahkan pembicaraan mereka justru telah beralih pada keadaan kesehatan Kiai Gringsing.

Namun beberapa saat kemudian, ketiga orang yang duduk di pendapa itu terkejut. Mereka melihat cantrik yang masih menunggui murid-murid Kiai Gringsing berbincang di tangga pendapa dengan serta merta telah bangkit berdiri sambil berteriak tertahan, “Lihat.“ 

Agung Sedayu, Swandaru dan Glagah Putih masih sempat melihat dalam keremangan cahaya obor dua orang yang meloncat turun dari atas regol. Agaknya pintu regol telah ditutup, sehingga kedua orang itu telah meloncat tanpa mau mengetuk pintunya.

Cantrik yang ada di gardu regol itu pun terkejut. Dua orang cantrik setiap malam bertugas menjaga regol. Mungkin ada tamu di malam hari, sehingga mereka harus membuka selaraknya.

Namun karena kedua orang itu memasuki halaman dengan meloncat dari atas regol, maka kedua orang cantrik itu telah meloncat mendekat.

“Siapa kau?“ bertanya salah seorang di antara kedua cantrik itu.

Kedua orang itu tidak menghiraukannya. Ketika kedua orang cantrik itu akan menahannya, maka keduanya telah dikibaskannya sehingga jatuh terpelanting.

Mereka yang ada di pendapa itu pun segera turun menyongsong mereka. Agung Sedayu yang merasa tertua di antara murid-murid Kiai Gringsing itu pun segera menghentikan mereka sambil menyapa, “Siapakah kalian? Untuk apa kalian malam-malam begini memasuki padepokan kami?“

Salah seorang di antara kedua orang itu justru bertanya, “Siapakah kalian?“

Agung Sedayu termangu-mangu. Namun Swandaru nampaknya tidak senang dengan sikap orang itu. Karena itu, maka ia-lah yang menyahut, “Kami-lah yang harus bertanya kepada kalian. Siapa kalian dan dengan maksud apa?“

“Jangan keras kepala,“ geram orang itu.

Tetapi Swandaru menjawab, “Jika kau tidak menjawab pertanyaan kami, kami persilahkan kalian pergi. Bahkan dengan kekerasan sekalipun.“

Kedua orang itu termangu-mangu. Namun salah seorang di antara kedua orang itu berkata, “Dimana Orang Bercambuk itu? Aku akan berbicara dengannya. Tidak dengan orang lain.”

Swandaru menjadi semakin tersinggung. Karena itu maka katanya dengan lantang, “Jawab dahulu, siapakah kalian, atau tinggalkan tempat ini. Atau kami harus mengusir kalian?“

“Anak iblis. Tidak seorangpun pernah berkata kasar kepadaku,“ geram seorang di antara mereka.

Namun seorang yang lain-lah yang menyahut, “Agaknya orang itu belum tahu, siapakah kita.“

“Aku tidak peduli. Tetapi anak itu sudah menghinaku,“ berkata orang yang pertama.

Orang yang lain itu telah bergeser maju sambil berkata, “Anak-anak muda. Kami adalah orang-orang tua yang digelari Garuda-Garuda dari Bukit Kapur. Kami adalah dua orang di antara mereka yang berada di bukit kapur itu. Nah, setelah kalian tahu siapakah kami, maka kalian tentu akan bersikap lain.“

“Kami akan bersikap baik selama kami belum pernah mendengar gelar itu.“

“Mungkin belum. Hanya orang-orang yang memiliki tempat dalam dunia kanuragan sajalah yang dapat mengenali kami,“ jawab orang itu. Namun kemudian orang itu pun bertanya, “Siapakah kalian bertiga? Cantrik-cantrik padepokan ini, atau benar dugaan kami, bahwa dua orang di antara kalian adalah tamu dari Mataram?“

“Kami adalah murid-murid dari perguruan ini,“ jawab Swandaru.

“O,“ orang itu mengangguk-angguk, “jadi kalian adalah murid-murid orang bercambuk itu. Kalau begitu aku salah duga. Aku kira ada di antara kalian tamu dari Mataram. Atau setidak-tidaknya utusan dari Mataram. Orangku melihat kehadiran itu. Ia melihat kehadirannya kemarin. Hari ini orang-orang yang dikira orang Mataram itu telah meninggalkan padepokan ini dan kembali lagi bersama orang ketiga. Sementara aku melihat kalian bertiga di pendapa ini.“

“Jadi apa keperluanmu?“ bertanya Swandaru.

“Aku akan bertemu dengan gurumu,“ berkata orang itu.

“Katakan keperluanmu,“ sahut Swandaru, “aku baru akan mengatakannya jika aku tahu keperluanmu. Jika keperluanmu tidak penting, maka kami akan menyelesaikannya.“

“Kau terlalu sombong anak gila. Kebodohanmu-lah yang membuatmu tidak mengenal Garuda-Garuda dari Bukit Kapur. Kau akan menyesal jika kami kehabisan kesabaran,“ geram yang lain.

Tetapi Swandaru sama sekali tidak mau mengalah. Ia sudah terlanjur marah. Karena itu maka katanya, “Katakan keperluanmu.“

Kedua orang itu memang menjadi marah. Namun tiba-tiba saja terdengar suara Kiai Gringsing yang berdiri di pringgitan, “O, nampaknya ada tamu.“

Kedua orang itu tertegun sejenak. Baru sejenak kemudian seorang di antara mereka berkata, “Orang Bercambuk.“

“Ya. Aku-lah yang disebut Orang Bercambuk itu. Di padepokan ini aku dipanggil Kiai Gringsing,“ berkata Kiai Gringsing.

“O,“ kedua orang itu mengangguk-angguk. Seorang diantara mereka berkata, “Maaf jika aku tidak mengenal nama Kiai. Karena kami hanya mengenal Kiai sebagai Orang Bercambuk itu.“

“Marilah Ki Sanak, silahkan. Aku sudah mendengar sebutan Ki Sanak berdua. Dua orang di antara Garuda-Garuda dari Bukit Kapur. Tetapi Ki Sanak berdua tentu mempunyai tetenger di samping sebutan itu,“ berkata Kiai Gringsing.

“Namaku Wirasana, dan adik seperguruanku ini dipanggil Kertabaya,“ jawab orang itu.

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. lapun kemudian menyongsong kedua orang itu turun ke halaman, sementara Agung Sedayu, Swandaru dan Glagah Putih telah bergeser.

“Aku dengar, Ki Sanak salah duga,“ berkata Kiai Gringsing, “muridku yang datang kemarin kalian sangka utusan dari Mataram. Nampaknya kalian telah lama mengamat-amati padepokan kecil ini, sehingga kalian melihat kedatangan muridku yang tua dan kemudian muridku yang muda. Demikian besar perhatian Ki Sanak atas padepokanku ini, sehingga aku wajib mengucapkan terima kasih.“

“Ya. Kami memang menaruh perhatian terhadap padepokan kecil ini sejak Kiai Gringsing pergi ke Madiun,“ jawab orang itu.

“Marilah. Silahkan duduk,“ Kiai Gringsing mempersilahkan mereka.

Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian mereka pun telah naik dan duduk di pendapa.

Agung Sedayu, Swandaru dan Glagah Putih duduk pula di belakang Kiai Gringsing, berhadapan dengan kedua orang tamu yang datang malam-malam itu.

“Ki Sanak,“ berkata Kiai Gringsing, “aku memang pernah mendengar gelar Garuda dari Bukit Kapur. Tetapi hanya untuk seorang yang berilmu sangat tinggi pada waktu itu. Bukan Garuda-Garuda dari Bukit Kapur yang jumlahnya agak menjadi banyak.“

“Kami adalah murid-muridnya. Kami mewarisi ilmu yang tinggi itu, sehingga atas ijin Guru, kami digelari Garuda-Garuda dari Bukit Kapur. Beberapa orang murid dari perguruan Bukit Kapur telah memiliki ilmu yang tuntas, sehingga kami memang pantas memiliki gelar yang sama dengan Guru kami,“ berkata seorang di antara keduanya. “Dimana gurumu sekarang?“ bertanya Kiai Gringsing.

“Guru sudah tidak ada. Sudah terlalu tua untuk hidup pada masa ini,“ jawab orang itu.

“Apakah gurumu lebih tua dari aku?“ bertanya Kiai Gringsing.

Kedua orang itu termangu-mangu. Namun kemudian seorang di antara mereka berkata, “Aku tidak tahu berapa umurmu. Tetapi guruku, benar-benar seekor Garuda yang garang dari Bukit Kapur, telah meninggal. Ketuaannya tidak dapat dilawannya dengan ilmunya yang sangat tinggi. Tetapi meninggalnya Guru bukan berarti lenyapnya ilmu dari perguruan Bukit Kapur. Kami murid-muridnya akan menebarkan sayap ke seluruh tanah ini.“

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Murid-murid dari Garuda Bukit Kapur yang pernah dikenalnya itu sudah nampak lebih tua dari orang-orang separo baya. Apalagi yang bernama Wirasana. Sehingga menurut dugaan Kiai Gringsing, Garuda itu memang lebih tua daripadanya.

Sementara itu orang yang menyebut dirinya bernama Wirasana itu berkata, “Aku mengenal nama Orang Bercambuk dari guruku. Guruku menyebutnya sebagai orang yang paling berbahaya dari semua orang berilmu di tanah ini.“

“O,“ Kiai Gringsing tersenyum, “kenapa gurumu menganggap aku sangat berbahaya? Bukankah kita tidak pernah berhubungan? Apalagi saling merugikan?“

“Perguruan kami memang belum pernah bersentuhan dengan perguruanmu. Tetapi Guru menganggap bahwa kau adalah orang yang hanya menuruti kemauanmu sendiri. Kau adalah orang yang sulit untuk diajak berbicara,“ berkata Wirasana kemudian.

Kiai Gringsing tertawa. Katanya, “Gurumu tentu yang berpendirian aneh. Orang-orang yang tidak sependapat dengannya dianggapnya berbahaya dan menuruti kemauan sendiri.“

“Tidak. Guruku cukup bijaksana,“ berkata Wirasana.

“Baiklah,“ berkata Kiai Gringsing, “apapun anggapan gurumu, namun aku ingin tahu apakah maksud kedatanganmu sekarang?“

“Sudah aku katakan,“ jawab Wirasana, “jika yang datang itu utusan dari Mataram, maka aku akan membunuhnya. Tetapi karena mereka adalah murid-muridmu, maka tentu saja aku tidak akan melakukannya.“

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Dengan heran ia bertanya, “Seandainya keduanya utusan dari Mataram, apakah salah mereka?“

“Aku tidak menghitung salah mereka. Tetapi kematian utusan itu akan menjauhkan jarak antara padepokan ini dengan Mataram,“ jawab Wirasana.

“Tetapi apakah maksudmu sebenarnya?“ bertanya Kiai Gringsing.

“Kiai,“ berkata Wirasana, “kami berniat untuk memaksa Kiai bergabung dengan kami. Mau tidak mau.“

Swandaru sudah beringsut. Tetapi Kiai Gringsing justru tertawa berkepanjangan. Katanya, “Kalian-lah agaknya yang termasuk orang yang paling berbahaya. Bukan saja menuruti kemauan sendiri, tetapi memaksa orang lain mengikuti kemauanmu. Itu tentu ajaran gurumu.“

“Kiai Gringsing yang bergelar Orang Bercambuk,“ berkata Wirasana, “niatku bukannya tidak beralasan. Kami tahu bahwa kau mempunyai pengaruh atas dua daerah yang luas dan kuat. Adalah kebetulan bahwa murid-muridmu ada di sini sekarang. Aku sudah mengumpulkan keterangan, bahwa murid-muridmu mempunyai pengaruh yang besar, bahkan menentukan di Tanah Perdikan Menoreh dan Kademangan Sangkal Putung. Dua daerah yang ada di sebelah barat dan sebelah timur Mataram. Nah, jika kau berpijak kepada kami, maka kau dapat menggerakkan kedua muridmu untuk menghimpit Mataram dari dua sisi. Tentu tidak hanya dengan kekuatan sendiri. Madiun akan dapat mengirimkan kekuatan yang menurut perhitungan dengan pasti akan berhasil.“

“Ternyata kau tidak berbeda dengan orang-orang Nagaraga dan beberapa orang dari padepokan yang lain yang berada di bawah pengaruh Madiun. Usaha mereka selama ini tidak berarti apa-apa. Aku justru ingin memperingatkanmu, bahwa usahamu tentu juga akan sia-sia,“ berkata Kiai Gringsing.

“Karena itu aku melangkah dengan hati-hati,“ berkata orang itu, “aku mulai dari padepokan ini.“

Swandaru menjadi semakin gelisah. Tetapi Kiai Gringsing masih juga tertawa. Katanya, “Kau benar bahwa murid-muridku ada di sini sekarang, sebagaimana pengakuan mereka. Kaupun benar bahwa muridku yang seorang adalah anak Ki Demang Sangkal Putung, dan seorang lagi menantu Ki Demang Sangkal Putung, yang berada di Tanah Perdikan Menoreh, membantu Ki Gede memerintah Tanah Perdikan yang luas itu.”

“Bukankah itu satu kebetulan? Mereka ada di sini sekarang. Kita dapat membicarakannya dengan terbuka dan berterus terang, sehingga kita akan mendapat satu keputusan yang menguntungkan kita semuanya,“ berkata Wirasana.

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Agaknya kalian telah melakukan penyelidikan yang cermat tentang kami. Tetapi nampaknya kalian baru mendengar beberapa hal tentang perguruan kecil yang tidak berarti apa-apa ini, namun kalian belum pernah melihat orang-orang yang sedang kalian selidiki itu. Kalian sudah tahu bahwa murid-muridku mempunyai pengaruh yang bahkan menentukan di Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh. Benar-benar satu hasil penyelidikan yang cermat. Tetapi kalian belum tahu, yang manakah muridku yang ada di Tanah Perdikan Menoreh dan yang manakah yang ada di Sangkal Putung. Orang-orangmu tentu tidak akan dapat menggambarkan keduanya dengan tepat, atau barangkali keterangan terperinci tentang mereka belum ada.“

“Tidak terlalu sulit,“ berkata Wirasana, “tentu orang yang kami sangka orang Mataram itulah yang berada di Tanah Perdikan Menoreh.“

Kiai Gringsing tertawa. Namun ia masih bertanya, “Tetapi apakah orang-orangmu yang mengamati padepokan kecil ini untuk beberapa hari dapat mengatakan kepadamu sehingga kau mampu mengenali, yang mana muridku yang kau sangka, tamu dari Mataram itu?“

Kedua orang itu termangu-mangu. Namun seorang di antara mereka yang bernama Kertabaya itu berkata, “Kau jangan membicarakan soal-soal yang, remeh seperti itu. Bukankah sekarang kau dapat mengatakan yang mana muridmu yang ada di Menoreh, dan yang mana yang ada di Sangkal Putung? Kau tidak perlu berteka-teki seperti berbicara dengan anak-anak.“

“Cukup,“ Swandarulah yang tidak dapat menahan diri lagi, “ingat. Kau berbicara dengan Guru. Kau kira kami murid-muridnya tidak dapat berbuat kasar seperti yang kau lakukan itu.“

Wajah Kertabaya menjadi merah. Tetapi Kiai Gringsing pun kemudian berkata, “Sudahlah. Sekarang katakan niatmu untuk memaksaku berpihak kepadamu. Apakah keuntungannya dan kemungkinan-kemungkinannya?“

“Mustahil kalau kau tidak tahu, bahwa jalur kekuasaan Derhak mengalir dalam diri Panembahan Madiun. Tidak dalam tubuh Panembahan Senapati. Kau tahu, Senapati anak Pemanahan itu berdarah gembala dari Sela, sehingga tidak pantas untuk disembah seluruh rakyat Mataram dan bahkan seluruh Tanah ini,“ berkata Kertabaya.

“Itukah alasan kalian kalian satu-satunya? Jika itu yang kau maksud, maka sebenarnya kalian sudah menyadari sikap Panembahan Madiun sendiri. Panembahan Madiun sama sekali tidak berkeberatan kekuasaan berpindah dari Pajang ke Mataram, karena wahyu keraton memang sudah berpindah,“ berkata Kiai Gringsing.

“Jika demikian, tentu Panembahan Madiun tidak akan menghimpun kekuatan untuk melawan Mataram,“ berkata Kertabaya.

“Itulah justru yang harus diketahui. Siapakah sebenarnya yang telah berdiri di belakang tabir kemelut di atas Madiun itu,“ berkata Kiai Gringsing.

“Jangan mengada-ada,“ berkata Wirasana, “semua adipati di daerah Timur sudah sepakat, bahwa mereka akan memadamkan api yang mulai menyala di dalam sekam. Meskipun baru sepletik kecil, tetapi akhirnya akan dapat membakar seluruh lumbung di Tanah ini. Nah, bukankah kau sadari, bahwa Senapati di Mataram yang mengangkat dirinya sebagai Panembahan itu sama sekali bukan sesembahan kita?“

“Jangan menelusuri darah keturunan semata-mata. Nilai seseorang ditentukan oleh banyak hal yang ada pada dirinya. Keturunan, tetapi juga tingkah laku, sikap dan pandangan hidupnya, dan masih banyak lagi. Katakanlah kepribadiannya,“ berkata Kiai Gringsing. 

“Kiai,“ berkata Wirasana, “baiklah aku berterus terang. Mungkin akan dapat membantu Kiai mengambil keputusan. Di samping para adipati yang dihimpun langsung oleh Panembahan Madiun, maka seorang yang sangat berpengaruh telah ikut pula menghimpun kekuatan. Bukan kekuatan prajurit dari kadipaten-kadipaten, tetapi kekuatan dari padepokan-padepokan yang tersebar di daerah Timur.“

Tetapi Kiai Gringsing sama sekali tidak terkejut. Katanya, “Aku sudah mengira. Seseorang tentu berusaha untuk menghimpun kekuatan yang sebelumnya seakan-akan telah bergerak sendiri-sendiri. Ada beberapa padepokan yang sudah berpacu untuk mendapat pujian dari Panembahan Madiun dengan mengambil langkah sendiri-sendiri. Tetapi tidak satupun yang pernah berhasil. Mereka lupa bahwa Panembahan Senapati adalah seorang yang selain menjadi pemimpin pemerintahan di Mataram, juga seorang yang pernah menjalani laku melampaui seorang pertapa, sehingga Panembahan Senapati pun secara pribadi memiliki ilmu yang sangat tinggi. Selain ilmu yang diwarisinya dari Ayahandanya Sultan Pajang, juga ilmu yang disadapnya dari mana-mana.“

“Tetapi bukankah Kiai belum tahu, siapakah yang telah menyatakan dirinya menjadi pimpinan tertinggi dari kekuatan-kekuatan yang ada di padepokan-padepokan itu?“ berkata Wirasana.

“Apakah orang itu telah mendapat restu dari Panembahan Madiun?“ bertanya Kiai Gringsing.

“Tentu,“ jawab Wirasana, “orang itu adalah sandaran kekuatan rohani dari Panembahan Madiun.“

“Siapa?“ bertanya Kiai Gringsing pula.

“Orang itu pula-lah yang telah menunjuk kami agar menemui Orang Bercambuk, karena pemimpin kami itu belum mengetahui bahwa Kiai di sini disebut Kiai Gringsing,“ berkata Wirasana.

“Siapakah orang itu?“ desak Kiai Gringsing.

“Ki Bagus Jalu, yang bergelar Panembahan Cahya Warastra,“ jawab Wirasana.

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Sambil menggeleng ia berkata, “Aku belum pernah mendengar nama itu.“

“Mungkin. Orang itu pun mengatakan bahwa jika aku sempat bertemu dengan Orang Bercambuk, maka ia berpesan untuk menyebut nama Kecruk Putih yang bergelar Sang Saka,“ berkata Wirasana.

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tertawa berkepanjangan. Di sela-sela derai tertawanya itu terdengar ia berkata, “Jadi orang itu-lah yang berdiri di sisi Panembahan Madiun, selain para adipati? Pantas, kau dan beberapa padepokan telah melibatkan diri pula. Seandainya gurumu masih ada, mungkin Garuda Bukit Kapur itu akan bersikap lain. Tetapi gurumu sudah tidak ada. Dan kalian tidak tahu apa-apa tentang masa lampau yang panjang tentang Kecruk Putih itu.“

Kedua orang yang mengaku Garuda Bukit Kapur itu termangu-mangu sejenak. Namun di antara mereka yang bernama Kertabaya itu berkata, “Tidak. Guruku-pun akan berkata sebagaimana kami katakan sekarang. Perguruan Bukit Kapur akan menyatakan diri di bawah pimpinan Panembahan Madiun dan Ki Bagus Jalu yang bergelar Panembahan Cahya Warastra.“

Tetapi Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya, “Sayang, Ki Sanak. Aku telah mengenal Kecruk Putih yang bergelar Sang Saka itu dengan kesan tersendiri.“

“Agaknya guruku benar. Kau adalah orang yang tidak mudah untuk diajak bicara,“ berkata Kertabaya, “tetapi aku minta kau meyakini kata-kataku. Lebih baik kau berpihak kepada kami. Jika Panembahan Madiun berhasil, maka kepemimpinannya akan memungkinkan para muridmu bukan saja akan berpengaruh di Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh, tetapi Kademangan Sangkal Putung pun akan menjadi Tanah Perdikan pula. Beberapa kademangan di sekitarnya akan termasuk ke dalam kuasa Tanah Perdikan Sangkal Putung, sementara muridmu yang lain akan berkuasa di Tanah Perdikan Menoreh yang diperluas. Bukankah Panembahan Madiun akan berhak memberikan wewenang atas berdirinya sebuah Tanah Perdikan dengan kuasanya, jika Mataram sudah dihancurkan?”

Kiai Gringsing tertawa pula. Katanya, “Jangan seperti berbicara dengan kanak-kanak yang menuruti kemauan orang lain dengan sepotong gula aren di tangan. Ingat Ki Sanak, yang kami lakukan sampai saat ini adalah satu sikap dengan satu keyakinan. Karena itu, sadarilah bahwa kalian tidak akan berhasil. Nasib kalian tidak akan lebih baik dari Nagaraga.“

“Dengan mengirim Pangeran Singasari ke Bukit Kapur?“ desis Kertabaya, “Satu langkah yang mustahil dilakukan. Jika pasukan Mataram saat ini memasuki Madiun dan lingkungannya, maka perang itu akan pecah. Seandainya dengan sembunyi-sembunyi prajurit Mataram merayap naik ke Bukit Kapur, maka kalian tidak akan menjumpai apa-apa lagi di sana, selain sebuah padepokan yang kosong.“

“Sudahlah Ki Sanak,“ berkata Kiai Gringsing, “waktumu terbuang sia-sia. Bukannya sama sekali tidak mempertimbangkan kemungkinan sebagaimana yang kalian tawarkan. Tetapi yang kalian tawarkan itu bertentangan dengan keyakinan kami. Karena itu, maka maafkan kami. Sampaikan kepada Ki Bagus Jalu, bahwa kami tidak dapat bekerja bersama dengan mereka,“ berkata Kiai Gringsing.

“Jika demikian untuk apa kau pergi ke Madiun? Atau barangkali kau-lah yang ingin mendampingi Panembahan Madiun dan memimpin para pemimpin padepokan di daerah Timur?“

Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Itulah pokok persoalan yang sebenarnya. Kalian lebih baik tidak berbelit-belit. Kalian, dan barangkali Ki Bagus Jalu yang bergelar Panembahan Cahya Warastra itu, cemas mendengar kehadiranku di Madiun.”

“Agaknya guruku benar,“ desis Wirasana, “yang disebut Orang Bercambuk adalah orang yang keras kepala.“

“Cukup,“ Swandaru tidak dapat menahan diri lagi. Namun dengan isyarat Kiai Gringsing menahannya ketika ia ingin bergeser maju.

Dengan nada rendah Kiai Gringsing berkata, “Kapan gurumu berkata kepadanya, bahwa Orang Bercambuk itu keras kepala? Kemarin, atau ketika aku berada di Madiun? Atau jauh sebelum itu, karena gurumu sudah meninggal? Dalam hubungan apa gurumu berkata kepadamu bahwa Orang Bercambuk itu keras kepala? Atau tiba-tiba saja, tanpa sebab dan tanpa persoalan apapun juga Ki Sanak? Aku tidak pernah berhubungan apalagi saling merugikan dengan orang yang pernah digelari Garuda Bukit Kapur. Adalah mustahil jika tiba-tiba saja tanpa sebab beberapa waktu yang lalu, sebelum gurumu itu meninggal, telah mengatakan tentang aku. Karena itu, ada beberapa kemungkinan. Bukan gurumu yang mengatakan tentang aku, Orang Bercambuk. Sedangkan kemungkinan lain, kau bukan murid Garuda Bukit Kapur. Atau Garuda Bukit Kapur itu masih hidup sampai sekarang tetapi tersisih dan dibayangi oleh kekuatan lain, sehingga ia tidak dapat berbuat apa-apa lagi.“

“Kiai,“ wajah Kertabaya menjadi merah, “kau jangan asal saja berucap. Kau berbicara dengan murid-murid terpercaya dari Bukit Kapur. Bahkan guru telah membenarkan kami disebut Garuda-Garuda dari Bukit Kapur.“

Swandaru benar-benar telah sulit dicegah. Iapun beringsut beberapa jengkal sambil menggeram. “Kalian mau apa? Kalian berada di perguruan Orang Bercambuk. Jika kalian ingin membuat persoalan, maka kami akan melayani kalian. Kami tahu, bahwa kalian tidak hanya berdua. Tentu ada orang lain. Setidak-tidaknya orang-orang yang selama ini mengamati padepokan ini. Tetapi jika kalian ingin dihancurkan di sini, maka kami akan melakukannya.“

Kedua orang itu pun agaknya menjadi marah. Tetapi Kiai Gringsing berkata, “Bukankah kalian adalah sekedar utusan? Kembalilah. Katakan kepada Ki Bagus Jalu yang pernah disebut Kecruk Putih dan bergelar siapapun menurut kesukaannya itu, bahwa aku Orang Bercambuk, tidak dapat mempertimbangkan sarannya. Sebaiknya ia tidak mencampuri persoalan yang berkembang antara Mataram dan Madiun sekarang ini, karena apa yang dilakukannya itu hanya akan menambah korban saja.“

Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Sementara Kiai Gringsing berkata selanjutnya, “Lakukanlah apa yang aku katakan.“

Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Nampaknya keduanya tidak dapat menerima begitu saja saran Kiai Gringsing, sehingga karena itu, maka Wirasana pun berkata, “Kiai. Sebaiknya Kiai jangan besikap begitu keras. Seolah-olah Kiai menganggap bahwa Ki Bagus Jalu sama sekali tidak mampu berbuat sesuatu atas padepokan ini.“

“Aku tidak berpendapat seperti itu,“ berkata Kiai Gringsing, “tetapi menurut pendapatku, kalian adalah utusan yang telah melakukan tugas kalian dengan baik. Kalian diperintahkan untuk menemui aku dan kalian sudah bertemu dengan aku. Kalian telah menyampaikan pesan Ki Bagus Jalu yang bergelar Panembahan Cahya Warastra. Bukankah kewajiban kalian telah kalian lakukan? Tugas itu akan kalian lengkapi dengan membawa jawabanku kepada Ki Bagus Jalu itu. Nah, apalagi yang akan kalian lakukan?“

“Kiai,“ berkata Wirasana, “menurut pendengaran kami, Kiai yang dikenal dengan Orang Bercambuk itu kini telah menjadi tidak berarti lagi setelah Kiai menjadi semakin tua. Meskipun Kiai masih mampu pergi ke Madiun, tetapi menilik ujud lahiriah, Kiai sudah menjadi semakin lemah. Karena itu, maka nampaknya Kiai bukan lagi Orang Bercambuk beberapa saat yang lalu.“

“Apa maksudmu?“ bertanya Kiai Gringsing.

“Kiai berhadapan dengan duta ngrampungi. Jika Kiai tidak bersedia bergabung dengan kami, maka sebaiknya padepokan ini kami lenyapkan saja dari lingkungan Mataram,“ berkata Kertabaya.

Swandaru benar-benar tidak menahan diri lagi. Dengan geramnya ia berkata, “Baik. Baik. Lakukan jika kau mampu.”

Tetapi Kiai Gringsing masih tertawa. Katanya, “Kalian adalah anak-anak burung yang meskipun Garuda yang garang, tetapi baru saja menetas dari butir-butir telur. Kalian seakan-akan belum berbulu yang dapat membawa kalian terbang tinggi. Kalian belum mempunyai kuku-kuku yang tajam yang dapat mencengkeram lawan jika lawan itu kalian hadapi. Paruh kalian masih lunak sehingga tidak akan mampu mematuk daging kelinci sekalipun. Meskipun ujud lahiriah kalian-kalian adalah orang-orang yang barangkali lebih tua dari murid-muridku, tetapi dalam olah kanuragan kalian tidak akan dapat mengimbanginya. Kalian harus menyadari, bahwa Garuda Bukit Kapur itu mernang seorang yang berilmu tinggi. Tetapi bukan termasuk keberapa orang yang berada dalam puncak kemampuan di bumi Pajang, apalagi Demak pada masa itu. Karena itu, tinggalkan tempat ini selagi kalian sempat.“

Wajah kedua orang itu menjadi merah. Sementara itu Swandaru berkata, “Guru, biarlah mereka membuktikan, apakah benar mereka Garuda-Garuda Bukit Kapur atau tidak lebih dari burung kutilang yang memang pandai berbicara. Suaranya memang merdu dan menawan. Tetapi sama sekali tidak akan mampu melepaskan diri dari terkaman burung alap-alap. Silahkan Guru melihat dan menilai. Sementara aku akan melawan seorang di antara mereka dan Kakang Agung Sedayu bersama Glagah Putih akan melawan seorang yang lain. Bahkan seandainya mereka akan memanggil kawan-kawannya yang sejak beberapa hari berkeliaran di sekitar padepokan ini, kita tidak akan berkeberatan.“

Kiai Gringsing masih tertawa, Katanya, “Itu tidak perlu.“

Wajah Swandaru menjadi tegang. Demikian pula wajah Glagah Putih. Telinganya sudah panas mendengar kata-kata orang yang menyebut diri mereka dengan gelar Garuda-Garuda dari Bukit Kapur itu. Namun menjadi semakin panas mendengar cara Swandaru membagi tugas. Seolah-olah Agung Sedayu tidak akan mampu melawan salah seorang di antara kedua orang itu. Tetapi Glagah Putih tidak dapat berbuat apa-apa, karena Agung Sedayu yang seharusnya langsung tersinggung itu juga tidak berbuat apa-apa.

Sebenarnyalah Agung Sedayu memang tersinggung. Tetapi apakah ia akan membuat persoalan justru di hadapan orang-orang yang akan memusuhi padepokan itu? Karena itu, maka Agung Sedayu yang sudah terbiasa menahan diri itu tidak memberikan tanggapan apapun juga, sehingga seolah-olah ia mengakui pernyataan Swandaru itu.

Sementara itu Glagah Putih mengharap bahwa perselisihan itu benar-benar akan menimbulkan benturan-benturan. Ia bahkan akan minta kepada Agung Sedayu untuk melawan seorang di antara kedua orang dari Bukit Kapur itu sendiri. Jika Swandaru mampu mengalahkan salah seorang dari mereka, maka Glagah Putih pun akan melakukannya pula.

Tetapi baik Glagah Putih maupun Swandaru menjadi kecewa, karena agaknya Kiai Gringsing tidak menghendaki benturan kekerasan itu. Kiai Gringsing sendiri kemudian telah mengurai cambuknya sambil berkata, “Anak-anak Garuda dari Bukit Kapur. Cambuk inilah yang agaknya membuat orang memanggilku Orang Bercambuk. Nah, barangkali kau juga ingin melihat, apakah cambukku pantas mendapat perhatian begitu besar sehingga menjadi sebutan bagiku.“

Kedua orang dari Bukit Kapur itu tidak tahu maksud Kiai Gringsing. Namun akhirnya mereka pun menjadi berdebar-debar. Cambuk yang juntainya melingkar di hadapan Kiai Gringsing sedangkan tangkainya ada di dalam genggaman orang tua itu, perlahan-lahan terurai sendiri. Bahkan kemudian cambuk Kiai Gringsing itu telah memancarkan semacam asap tipis yang semakin lama semakin banyak, sehingga akhirnya asap itu menjadi semacam kabut yang tebal yang menyelubungi pendapa itu. Demikian tebalnya kabut itu, sehingga orang-orang yang berada di pendapa itu tidak dapat melihat yang satu dengan yang lain, kecuali Kiai Gringsing sendiri dan Agung Sedayu yang memang mempunyai Aji Sapta Pandulu, meskipun hanya remang-remang.

Orang-orang dari Bukit Kapur itu pun menjadi berdebar-debar. Mereka tidak melihat lagi Kiai Gringsing yang duduk di hadapannya. Bahkan rasa-rasanya pendapa itu bukan saja menjadi gelap karena kabut, tetapi menjadi sesak pula. Nafas mereka rasa-rasanya menjadi terganggu oleh kabut yang semakin padat di sekitarnya.

Agung Sedayu mengerti bahwa kabut itu bukannya asap yang keluar dari cambuk Kiai Gringsing. Tetapi salah satu di antara ilmu Kiai Gringsing yang telah dikenalnya. Namun agaknya Kiai Gringsing telah mempergunakan cambuknya sebagai tekanan bahwa cambuk itu memang benar-benar khusus sehingga ia disebut Orang Bercambuk.

Dalam kegelisahan itu terdengar suara Kiai Gringsing, “Nah Ki Wirasana dan Ki Kertabaya, apakah kalian masih juga ingin memaksakan kehendakmu?“

“Kenapa kau bersembunyi Kiai?“ bertanya Wirasana.

“Aku tidak bersembunyi. Aku di sini. Jika kau memang berilmu tinggi, maka kau tentu mampu menembus gelapnya kabutku ini,“ jawab Kiai Gringsing.

Swandaru dan Glagah Putih yang juga mendengar suara Kiai Gringsing itu pun menjadi berdebar-debar pula. Ternyata mereka pun tidak mampu menembus kabut itu sampai jarak yang hanya dua tiga depa di hadapannya. Sementara Agung Sedayu yang dengan kekuatan Aji Sapta Pandulunya mampu melihat orang-orang yang duduk di sekitarnya meskipun remang-remang itu, ternyata diam saja ditempatnya.

“Tetapi dalam keadaan seperti ini, apa yang dapat kau lakukan selain bersembunyi? Kita tidak saling melihat. Jika kau anggap bahwa kami tidak dapat berbuat apa-apa atasmu, maka kau pun tidak dapat berbuat apa-apa atasku,“ berkata Ki Kertabaya.

“Penalaranmu terlalu dangkal anak-anak. Itu satu bukti bahwa umurmu yang banyak tidak mendukung pengetahuanmu, sehingga kau menanggapi keadaan ini dengan nalar yang jauh dari pantas. Jika dalam keadaan seperti ini akupun tidak melihat kalian, maka aku-lah yang dapat disebut orang yang paling dungu di bumi Mataram,“ jawab Kiai Gringsing.

“Jika demikian, lakukan sesuatu.“ tantang Kertabaya.

Kiai Gringsing tertawa. Katanya, “Baiklah. Aku ingin menunjukkan kepada kalian, bahwa dalam keadaan seperti ini dengan mudah aku dapat membunuh kalian.“

Ki Wirasana dan Ki Kertabaya itu pun segera mempersiapkan diri di tempatnya. Ia mengira bahwa Kiai Gringsing akan menyerangnya dengan cara yang belum diketahui.

Namun Wirasana itu terkejut ketika tiba-tiba saja ujung cambuk Kiai Gringsing menyentuh lehernya. Hanya menyentuh saja. Sementara itu Kiai Gringsing berkata, “Kau rasakan itu Ki Wirasana. Ujung cambukku telah menggamit lehermu. Nah, kemudian lenganmu, lambungmu dan apalagi yang kau ingin. Sentuhan itu sekedar pembuktian bahwa tidak seperti yang kau sangka, bahwa akupun tidak dapat melihatmu.“

Jantung Ki Wirasana memang berdenyut semakin keras. Ia memang merasa ujung cambuk Kiai Gringsing itu menyentuh lehernya. Ketika ia menutup lehernya dengan telapak tangannya, maka lengannya yang dikenai ujung cambuk itu. Memang hanya perlahan-lahan. Kemudian tiba-tiba saja lambungnya yang disentuh oleh ujung juntai cambuk itu. Agak keras sehingga lambungnya terasa pedih, meskipun dilambari bajunya yang cukup tebal.

Selagi jantung Ki Wirasana masih berdebaran, maka ujung cambuk Kiai Gringsing telah berpindah meraba tubuh Ki Kertabaya, sehingga Ki Kertabaya menjadi sangat gelisah. Beberapa jengkal ia bergeser. Namun ujung cambuk itu masih saja menggapainya. Bahkan terakhir terdengar Kiai Gringsing itu tertawa sambil berkata, “Maaf Ki Kertabaya, aku ingin melepaskan ikat kepalamu.“

Sebenarnyalah bahwa ikat kepala Ki Kertabaya itu telah terlepas oleh ujung cambuk Kiai Gringsing yang menyentuh sendal pancing. Ki Kertabaya mengumpat di dalam hati. Tetapi ia tidak dapat berbuat sesuatu karena ia tidak melihat Kiai Gringsing. Tetapi ia terkejut ketika ia merasa tangan seseorang menggamitnya dan mengembalikan ikat kepalanya yang jatuh, tetapi tidak dilihatnya dimana ikat kepalanya itu terletak.

Kiai Gringsing tertawa. Katanya, “Terima sajalah.“

Ki Kertabaya termangu-mangu. Yang menyerahkan ikat kepalanya itu tentu bukan Kiai Gringsing. Tetapi muridnya.

Sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu melihat apa yang terjadi. Ternyata ia dapat bermain-main sebagaimana gurunya melakukannya. Ia melihat Ki Kertabaya yang kebingungan. Karena itu, maka iapun telah bangkit dari duduknya, mengambil ikat kepala itu dan menyerahkannya kembali kepada Ki Kertabaya. Namun tidak seorangpun yang melihatnya kecuali Kiai Gringsing. Swandaru dan Glagah Putih pun tidak melihatnya.

“Nah,“ berkata Kiai Gringsing kemudian, “kau sudah melihat, apakah yang dapat aku lakukan dengan cambukku. Karena itu, urungkan niatmu untuk memaksaku dengan kekerasan. Kembalilah kepada orang yang sekarang menyebut dirinya Ki Bagus Jalu itu. Katakan bahwa aku keberatan menyatukan diri dengan orang itu.“

Ki Wirasana dan Ki Kertabaya tidak menjawab. Mereka masih dilingkari kabut tebal. Pandangan matanya masih terbatas sampai ke ujung hidungnya saja.

Namun sejenak kemudian, maka kabut itu semakin lama menjadi semakin tipis, sehingga perlahan-lahan mereka dapat melihat lagi keadaan di sekelilingnya. Mereka yang ada di pendapa itu dapat lagi saling melihat. Ternyata tidak seorangpun bergeser dari tempat duduknya, kecuali Ki Kertabaya yang beringsut beberapa jengkal.

Demikian kabut itu lenyap, maka Kiai Gringsing telah menggulung juntai cambuknya lagi. Dengan nada rendah ia berkata, “Jangan mencoba mempergunakan kekerasan di sini. Aku memang tidak suka pada kekerasan, meskipun pada keadaan yang memaksa akupun masih dapat mempergunakannya, meskipun aku sudah terlalu tua untuk melakukannya.“

Kedua orang itu menjadi bingung sesaat. Mereka tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa Kiai Gringsing yang tua itu ternyata masih memiliki kemampuan yang sangat tinggi di luar dukungan kewadaganhya. Sebagaimana telah dibuktikan, tanpa mempergunakan wadagnya yang lemah, Kiai Gringsing dapat berbuat sesuatu atas mereka. Ujung cambuknya akan dapat mengoyak kulit mereka pada saat mereka sama sekali kehilangan kesempatan untuk mengadakan perlawanan. Seandainya mereka datang dengan jumlah yang lebih banyak sekalipun, mereka tidak akan mampu mengalahkan Kiai Gringsing, yang meskipun tidak mempergunakan Aji Panglimunan sehingga seakan-akan ia dapat melenyapkan diri, namun dengan ilmunya yang aneh itu, rasa-rasanya akibatnya hampir sama.

Dalam pada itu, Kiai Gringsing berkata selanjutnya, “Ki Sanak berdua. Aku masih memberi kesempatan kepada kalian untuk meninggalkan padepokan ini. Seandainya kalian tidak juga ingin bersikap baik, maka kami pun dapat berbuat keras dan kasar. Bahkan seandainya kau sempat memanggil kawan-kawanmu yang selama ini berkeliaran di sekitar padepokan ini untuk mengintip kehidupan yang sebenarnya terasa tenang, maka kami dapat memukul kentongan yang akan langsung memanggil prajurit Mataram di Jati Anom, karena Senapati prajurit Mataram itu telah menempatkan kelompok khusus tidak jauh dari padepokan ini. Orang-orangmu itu tentu tahu akan hal itu. Bukan sekedar menakut-nakutimu saja.“

Namun Swandaru tiba-tiba saja memenggal kata-kata gurunya, “Tanpa prajurit Mataram, kami akan menyelesaikan mereka.“

Tetapi Kiai Gringsing tertawa. Katanya, “Tidak akan terjadi benturan kekerasan. Kami akan mempersilahkan tamu-tamu kita untuk meninggalkan padepokan ini.“

Mereka memang tidak dapat berbuat lain. Apalagi Kertabaya yang menganggap bahwa dalam gelapnya kabut itu, murid-murid Kiai Gringsing itu dapat melihat mereka dengan jelas, karena seseorang yang bukan Kiai Gringsing sendiri telah menyerahkan kembali ikat kepalanya yang terjatuh karena kaitan gerak sendal pancing cambuk Kiai Gringsing itu.

Sebenarnyalah bahwa kedua orang yang menyebut diri mereka Garuda dari Bukit Kapur itu merasa betapa kecilnya mereka di hadapan perguruan Orang Bercambuk itu. Namun demikian, keduanya tidak mau merendahkan dirinya. Karena itu, maka Ki Wirasana itu pun berkata, “Baik, kali ini kami masih mau mendengarkan permintaan Kiai. Aku masih menganggap perlu untuk memenuhi permintaan Kiai menyampaikan keputusan Kiai kepada Ki Bagus Jalu. Tetapi jika lain kali Ki Bagus Jalu memerintahkan kami datang lagi, maka kami akan bersikap lain. Kami akan melakukan apa yang harus kami lakukan.“

“Kenapa tidak kau lakukan sekarang, jika kau memang duta ngrampungi?“ potong Swandaru.

Wajah kedua orang itu memang menjadi marah. Bukan kebiasaan mereka membiarkan diri mereka direndahkan seperti itu. Namun di hadapan Kiai Gringsing mereka harus berpikir berulang kali untuk bertindak.

Namun dalam pada itu, Ki Wirasana pun berkata, “Aku minta diri. Bersiap-siaplah, mungkin aku akan segera kembali.”

Ketika Swandaru beringsut, maka Kiai Gringsing memberikan isyarat agar ia menjadi tenang. Namun mereka pun kemudian berdiri dan turun ke halaman ketika kedua orang itu meninggalkan pendapa. Di halaman Ki Wirasana masih juga berkata, “Jangan merasa diri kalian terlalu besar.“

Swandaru menggeram. Tetapi Kiai Gringsing sama sekali tidak menyahut.

Ternyata kedua orang itu tidak menuju ke regol. Dua orang cantrik yang berdiri di regol sudah siap untuk membuka selarak pintu. Namun agaknya keduanya masih ingin menunjukkan, bahwa mereka adalah Garuda-Garuda dari Bukit Kapur. Karena itu, maka hampir bersamaan keduanya pun meloncat bagaikan seekor burung yang terbang, hinggap di dinding padepokan.

Tetapi tidak seperti saat mereka masuk. Demikian mereka menginjak dinding padepokan, maka tiba-tiba saja bibir dinding itu telah pecah dan runtuh tepat di bawah kaki mereka, berurutan sepanjang beberapa jengkal saja. Namun karena keduanya tidak menduga hal itu akan terjadi, maka hampir saja mereka terjatuh seperti sebongkah batu padas. Untunglah dengan tangkas keduanya berusaha untuk tetap berdiri di atas tanah, meskipun Wirasana harus berpegangan sebatang pohon perdu yang hampir saja patah. Sementara itu Kertabaya mengalami kesulitan yang lebih besar. Lututnya telah membentur dinding yang pecah itu sehingga terluka, meskipun dengan susah payah iapun kemudian mampu tetap berdiri setelah terhuyung-huyung beberapa saat.

Tetapi dengan jantung yang berdengupan keduanya telah meloncat dinding yang pecah itu dan hilang di seberang. Meskipun mereka mendengar juga Kiai Gringsing tertawa dan berkata, “Hati-hati. Ilmumu meringankan tubuh masih mentah. Bahkan justru sebaliknya, sehingga dindingku pecah. Seharusnya kalian memperbaikinya lebih dahulu.“

Tetapi kedua orang itu sama sekali tidak berpaling. Bahkan Wirasana sempat mengumpat meskipun perlahan-lahan.

“Kenapa dinding itu pecah?“ geram Kertabaya, “Apakah hal itu sengaja dibuat oleh Orang Bercambuk itu?“

Agung Sedayu hanya menarik nafas saja ketika Kiai Gringsing berpaling kepadanya sambil tersenyum. Nampaknya Kiai Gringsing tahu pasti, bahwa Agung Sedayu-lah yang telah melakukannya. Agaknya Agung Sedayu pun merasa tidak senang atas sikap kedua orang itu. Namun dengan ungkapan yang berbeda dengan Swandaru. Ketika kedua orang itu dengan sombong ingin menunjukkan bahwa mereka adalah Garuda-Garuda dari Bukit Kapur, maka dengan sorot matanya Agung Sedayu telah memecahkan batu dinding yang akan dihinggapi oleh kedua orang itu. Sehingga demikian mereka meletakkan kakinya, maka bibir dinding yang pecah itu pun segera runtuh. Hampir saja kedua orang itu terseret jatuh.

Glagah Putih ternyata sudah menduga pula bahwa hal itu dilakukan oleh kakak sepupunya. Tetapi ia tidak yakin sebagaimana Kiai Gringsing.

Tetapi Swandaru sama sekali tidak menduganya. la menganggap bahwa kedua orang itu demikian tergesa-gesa sehingga mereka tidak melakukannya dengan sempurna, sehingga kaki mereka justru telah memecahkan bibir dinding itu.

Demikian kedua orang itu hilang, maka kemudian beberapa orang cantrik telah berkerumun di halaman. Ternyata mereka pun menjadi tenang ketika mereka melihat Kiai Gringsing masih saja selalu tersenyum. Mereka melihat Agung Sedayu dan Glagah Putih yang tidak menjadi gelisah, meskipun nampak di wajah Swandaru bahwa ia menjadi marah kepada kedua orang itu.

“Jangan menjadi gelisah,“ berkata Kiai Gringsing, “meskipun kalian harus bersiaga sepenuhnya, namun anggap saja bahwa yang terjadi tadi adalah sekedar selingan dari kehidupan kita yang datar selama ini. Tetapi kalian juga dapat menganggapnya sebagai cambuk, agar kalian menjadi lebih giat berlatih olah kanuragan. Meskipun kalian mungkin tidak ingin menjadi seorang yang hidupnya selalu dibayangi oleh kekerasan sebagaimana mereka yang memang menenggelamkan dirinya dalam kehidupan yang keras, namun mungkin kalian akan dipaksa untuk hanyut dalam arus yang tidak kalian kehendaki itu. Kali ini kita masih dapat menghindarkan diri dari benturan kekerasan, tetapi mungkin pada saat yang lain tidak.“

Para cantrik itu mengangguk-angguk. Namun mereka memang bagaikan mendapat cambuk untuk meningkatkan kegiatan mereka berlatih olah kanuragan. Seperti yang dikatakan oleh Kiai Gringsing, maka para cantrik itu pun telah mendapat tuntunan dalam olah kanuragan sekedarnya. Namun karena yang sekedarnya itu diberikan oleh Kiai Gringsing, maka para cantrik itu mulai menunjukkan kemampuan mereka yang semakin meningkat. Bahkan secara pribadi, maka kemampuan para cantrik itu tidak lagi di bawah kemampuan para prajurit. Namun para cantrik itu tidak akan setangkas prajurit jika mereka berada dalam pasukan yang harus bertempur dalam gelar.

Sementara itu maka Kiai Gringsing pun telah mengajak murid-muridnya untuk kembali ke pendapa bersama Glagah Putih.

“Adalah kebetulan bahwa kalian telah melihat satu peristiwa yang dapat memberikan tekanan pada keteranganku. Keadaan memang semakin kemelut,“ berkata Kiai Gringsing.

“Kenapa Guru membiarkan keduanya begitu saja pergi?“ bertanya Swandaru.

“Apakah pantas aku berkelahi dengan anak-anak? Meskipun umur mereka telah hampir setengah abad, namun dalam tataran ilmu mereka masih belum mencapai batas yang pantas,“ jawab Kiai Gringsing.

“Bukan Guru yang harus turun ke arena. Biarlah kami yang mencoba apakah murid-murid dari Bukit Kapur itu akan mampu mengimbangi kemampuan murid-murid Orang Bercambuk,“ berkata Swandaru.

“Seandainya kalian dapat menyelesaikan mereka, maka tentu orang-orang Madiun menganggap bahwa aku telah membantai anak-anak mereka. Mereka tentu tidak akan percaya bahwa kalian-lah yang telah mengalahkan mereka, karena tidak seorang saksi pun di antara mereka yang melihat,“ berkata Kiai Gringsing.

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ia memang tidak dapat memaksakan kehendaknya kepada gurunya. Namun Swandaru memang merasa kecewa bahwa Agung Sedayu rasa-rasanya tidak mengacuhkan sama sekali kepada apa yang telah terjadi itu. Ia tidak menjadi marah dan mencoba untuk mencegahnya atau berbuat apapun terhadap orang-orang itu. Bahkan Agung Sedayu itu seakan-akan menganggap bahwa tidak terjadi sesuatu.

“Kakang Agung Sedayu tentu merasa senang atas keputusan Guru yang mungusir kedua orang itu dengan caranya,“ berkata Swandaru yang seolah-olah baru sempat menyadari dan mengagumi apa yang baru saja dilakukan oleh gurunya.

Swandaru pun mengerti, bahwa ilmu yang baru saja ditunjukkan oleh gurunya itu agaknya termuat di dalam kitab yang sedang dipinjamnya bersama-sama dengan Agung Sedayu. Pada saat-saat ia membuka-buka halamannya, maka ia sempat melihat sekilas bagian yang memuat laku tentang ilmu yang baru saja ditunjukkan oleh gurunya. Namun Swandaru agaknya memang kurang tertarik.

Tetapi ketika gurunya menyatakan, bahwa orang-orang yang berilmu tinggi akan dapat menembus kabutnya, maka Swandaru mulai memikirkan kemungkinan itu. Bukan untuk menumbuhkan kabut, tetapi bagaimana ia dapat menembus kabut dengan penglihatannya, yang rasa-rasanya tentu didapatinya dalam kitab Kiai Gringsing.

“Mungkin aku belum menemukannya,“ berkata Swandaru di dalam hatinya, “jika Guru memiliki ilmu, maka rangkaiannya tentu dimilikinya pula. Demikian pula pemuatannya di dalam kitab itu.”

Namun dalam pada itu, maka Kiai Gringsing pun kemudian telah berkata, “Aku letih sekali. Dalam keadaan lemah aku telah memaksakan kemampuanku bermain-main dengan kabut itu. Karena itu, maka agaknya aku perlu beristirahat. Kalian pun sebaiknya beristirahat. Biarlah para cantrik berjaga-jaga. Karena peristiwa ini, maka mereka tentu akan meningkatkan penjagaan di padepokan ini. Bukan sekedar dua orang yang menunggui regol untuk membuka dan menutup selarak pintu jika ada tamu datang di malam hari.“

“Silahkan Guru,“ berkata Agung Sedayu, “kami pun akan segera beristirahat pula.“

Demikianlah, maka Kiai Gringsing pun telah meninggalkan pendapa dan masuk ke dalam biliknya. Iapun kemudian telah merebahkan dirinya di atas pembaringan. Sebenarnyalah Kiai Gringsing merasa sangat letih. Untuk melepaskan ilmunya ia memerlukan dukungan wadagnya, meskipun nampaknya ia tidak berbuat apa-apa.

Pakaiannya ternyata basah oleh keringat, sedangkan nafasnya terasa semakin cepat mengalir. Namun Kiai Gringsing masih belum merasa perlu untuk duduk sambil menyilangkan tangannya dalam semadi untuk mengatur pernafasannya.

Sementara itu yang berada di pendapa ternyata telah pergi ke dalam bilik masing-masing. Swandaru ke bilik yang biasa dipergunakannya, sementara Agung Sedayu dan Glagah Putih di bilik yang lain.

Di sisa malam itu, ternyata tidak terjadi lagi sesuatu yang dapat mengganggu ketenangan padepokan kecil itu. Sementara itu, baik Swandaru maupun Agung Sedayu dan Glagah Putih masih sempat tidur nyenyak sampai menjelang pagi.

Ketika kemudian matahari terbit, maka Swandaru telah menghadap gurunya, apakah ia sudah dapat kembali ke Sangkal Putung.

“Aku kira memang tidak ada lagi yang perlu dibicarakan untuk saat ini Swandaru. Setelah aku kembali dari Mataram, mungkin aku dapat memberikan pesan lebih banyak lagi,“ jawab Kiai Gringsing.

“Baiklah Guru,“ berkata Swandaru kemudian, “beberapa hari lagi aku akan datang ke padepokan ini.“

Lalu katanya kepada Agung Sedayu, “Bagaimana dengan Kakang?”

“Aku masih harus menemui Kakang Untara, sementara Glagah Putih akan mengunjungi ayahnya pagi ini,“ jawab Agung Sedayu. “Mungkin besok aku akan kembali bersama perjalanan Guru ke Mataram.“

“Baiklah. Jika demikian aku minta diri mendahului kembali ke Sangkal Putung, karena agaknya tidak ada lagi pesan Guru bagi kita,“ berkata Swandaru. Namun ia masih bertanya, “Agaknya lebih baik jika Kakang singgah di Sangkal Putung hari ini meskipun hanya sebentar.“

Tetapi Agung Sedayu menjawab, “Maaf bahwa aku mungkin tidak sempat untuk singgah. Tetapi pada kesempatan lain aku akan datang bersama Sekar Mirah.“

“Kami menunggu,“ berkata Swandaru.

Demikianlah, sejenak kemudian Swandaru pun telah meninggalkan padepokan kecil itu kembali ke Sangkal Putung. Namun terasa bahwa ia akan mendapatkan beban baru dalam hubungannya dengan kemelut yang terjadi antara Mataram dan Madiun.

“Sambil menunggu Guru kembali dari Mataram, maka sebaiknya aku mempersiapkan segala-galanya. Jika diperlukan, maka setiap saat kami sudah siap,“ berkata Swandaru kepada diri sendiri.

Sementara Swandaru berpacu ke Sangkal Putung, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih pun telah meninggalkan padepokan itu pula. Agung Sedayu memerlukan pergi menemui Untara untuk membicarakan perkembangan keadaan. Selanjutnya ia akan pergi ke Banyu Asri bersama Glagah Putih menemui pamannya, Widura.

Kedatangan Agung Sedayu diterima oleh Untara dengan gembira. Sudah agak lama ia tidak bertemu dengan adik satu-satunya itu. Demikian pula sepupunya Glagah Putih.

“Apakah kau bermalam di padepokan Kiai Gringsing?“ bertanya Untara.

“Ya Kakang,“ jawab Agung Sedayu, “aku datang memenuhi panggilan Guru.“

Untara menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Bukankah Kiai Gringsing baru saja pergi ke Madiun?“

“Kakang Untara mengetahuinya?“ bertanya Agung Sedayu.

“Aku sudah bertemu dengan Kiai Gringsing setelah ia kembali dari Madiun. Kiai Gringsing kebetulan berada di sawah, sementara aku bersama beberapa orang prajurit sedang nganglang. Kiai Gringsing sendiri mengatakannya, bahwa ia baru datang dari Madiun,“ berkata Untara.

“Guru tidak mengatakannya kepadaku,“ desis Agung Sedayu, “jika demikian, Guru telah mengatakan segala sesuatunya tentang perjalanannya ke Madiun?“

“Belum,“ jawab Untara, “kami hanya berbicara sebentar. Tetapi Kiai Gringsing sanggup menyampaikan beberapa keterangan tentang perjalanannya. Atau barangkali kau membawa pesan gurumu tentang perjalanannya ke Madiun?“

“Serba sedikit Kakang,“ jawab Agung Sedayu.

Untara mengangguk-angguk. Sementara Agung Sedayu pun telah menyampaikan beberapa hal yang perlu diketahui oleh Untara tentang perjalanan gurunya ke Madiun, dan rencana kepergian gurunya ke Mataram. Agung Sedayu juga menceritakan kehadiran dua orang yang mengaku murid dari perguruan Bukit Kapur.

Untara mendengarkan keterangan Agung Sedayu itu dengan sungguh-sungguh. Dengan demikian maka Untara pun menjadi semakin jelas bahwa di samping Panembahan Madiun, maka terdapat beberapa orang yang bergerak sendiri-sendiri untuk memanasi keadaan. Orang yang menyebut dirinya Ki Bagus Jalu dan bergelar Panembahan Cahya Warastra tentu mempunyai kepentingan tersendiri, la agaknya ingin menjadi seorang yang berkuasa di antara padepokan-padepokan yang tersebar di atas bumi Demak lama, sehingga ia akan menjadi pemimpin di antara para pemimpin padepokan. Justru pada saat terjadi kemelut antara Madiun dan Mataram, maka ia ingin memanfaatkan keadaan untuk mewujudkan mimpinya itu.

Namun dalam pada itu, Untara pun telah berkata, “Nampaknya yang dikatakan oleh Kiai Gringsing itu benar. Panembahan Senapati juga sudah menjatuhkan perintah agar semua pasukan berada dalam kesiagaan penuh. Sejak ditempatkannya Pangeran Gagak Baning di Pajang, maka jarak antara Mataram dan Madiun menjadi semakin renggang. Namun bukankah itu hak Panembahan Senapati, yang diakui kuasanya oleh Sultan Hadiwijaya sebelum meninggal? Sementara itu telah diakui pula oleh putranya yang sebenarnya berhak atas tahta Pajang. Pangeran Benawa?“

“Ya Kakang,“ jawab Agung Sedayu, “kekuasaan Panembahan Senapati adalah sah. Juga haknya, termasuk menempatkan Pangeran Gagak Baning.”

“Apakah Kiai Gringsing mempunyai pesan tersendiri yang akan dapat meredakan kemelut antara Madiun dan Mataram?“ bertanya Untara.

“Nampaknya tidak Kakang. Sehingga pertentangan antara Madiun yang didukung oleh beberapa orang adipati dan dikipasi oleh orang-orang seperti Ki Bagus Jalu, dengan Mataram, akan menjadi semakin tajam,“ Jawab Agung Sedayu.

Lalu katanya pula, “Adalah sudah tepat jika Guru memerintahkan murid-muridnya bersiaga menghadapi perkembangan keadaan. Sudah barang tentu bahwa Tanah Perdikan Menoreh dan Sangkal Putung tidak akan ketinggalan jika saat itu datang. Saat yang tidak kita harapkan bersama. Bukankah hal itu sejalan dengan perintah Panembahan Senapati?”

Untara mengangguk-angguk. Dengan nada berat ia berkata. “Ternyata pertentangan demi pertentangan masih juga harus terjadi. Tetapi apa boleh buat, jika hal itu merupakan pupuk dari persatuan yang bulat yang akan tumbuh kemudian.“

“Tetapi Kakang,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “hadirnya Ki Bagus Jalu yang dikenal oleh Guru dengan sebutan Kecruk Putih itu adalah pertanda bahwa orang-orang tua yang sudah beberapa lama menyepi, telah tampil lagi dengan keinginan-keinginan yang tiba-tiba telah menyala lagi di dalam dadanya.“

Untara masih saja mengangguk-angguk.

Namun dalam pada itu, pembicaraan itu pun terputus ketika istri Untara menghidangkan minuman dan makanan. Sehingga untuk beberapa saat lamanya mereka berbicara tentang keluarga mereka masing-masing.

Adalah di luar sadarnya ketika istri Untara itu berkata, “Anugrah itu sama sekali tidak kami harapkan. Sesuai dengan sikap Kakang Untara, yang dilakukan selama ini adalah semata-mata satu pengabdian.“

“Anugrah apa?“ bertanya Agung Sedayu. “O,“ istri Untara itu justru menjadi termangu-mangu, “kakangmu belum mengatakan apa-apa?“

“Belum Mbokayu,“ jawab Agung Sedayu.

“Ah,“ desis Untara, “aku memang tidak mengatakannya.“

“O,“ istri Untara itu mengangguk-angguk, “aku tidak tahu bahwa Kakang belum mengatakannya kepada Adi Agung Sedayu. Tetapi jika Adi Agung Sedayu singgah di rumah Paman Widura, maka Paman tentu akan mengatakannya.“

Agung Sedayu memang menjadi ingin tahu. Di luar sadarnya ia berpaling kepada Glagah Putih. Namun kemudian Agung Sedayu itu berkata, “Tetapi agaknya lebih baik bukan Paman Widura yang mengatakannya, tetapi Kakang Untara sendiri.“

Untara tersenyum karenanya. Tetapi kemudian katanya, “Sebenarnya aku belum berhak mengatakannya sekarang, karena anugrah itu belum aku terima.“

“Tetapi Kakang sudah mendapat pemberitahuan bahwa Kakang akan mendapat anugrah itu?“ bertanya Agung Sedayu.

Untara masih nampak ragu-ragu. Namun istrinya berkata, “Ah, apa salahnya Kakang katakan kepada adik dan sepupu sendiri? Meskipun anugrah itu belum Kakang terima. Apalagi Kakang sama sekali tidak mengharapkannya.”

Untara masih saja termangu-mangu. Namun akhirnya ia berkata, “Baiklah. Seandainya anugrah ini tidak jadi aku terima, maka hanya kalian sajalah yang mengetahui, di samping Paman Widura.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia sama sekali tidak menyahut agar kakaknya segera mengatakan, anugrah apakah yang akan diterimanya.

Baru sejenak kemudian Untara itu berkata, “Agung Sedayu. Beberapa hari yang lalu telah datang utusan dari Mataram yang memberitahukan kepadaku, agar aku bersiap-siap untuk menerima anugrah itu. Pada ujung bulan depan, di paseban akan dilakukan wisuda. Aku akan mendapat anugrah kedudukan Tumenggung dalam jajaran keprajuritan di Mataram.“

“O,“ Wajah Agung Sedayu telah menjadi cerah, sementara Glagah Putih justru telah beringsut setapak, “aku mengucapkan selamat Kakang.“

“Dan aku akan menjadi adik seorang Tumenggung,“ berkata Glagah Putih pula.

Tetapi Untara menyahut, “Bagiku, anugrah itu adalah justru bertambahnya tanggung jawabku. Aku tahu bahwa Panembahan Senapati telah memperhitungkan dengan sungguh-sungguh, antara lain juga berdasarkan pertimbangan-pertimbangan dari beberapa pihak, sehingga aku telah mendapat anugrah yang sangat tinggi. Bahkan Panembahan Senapati tidak menghapuskan apa yang pernah aku lakukan di jaman pemerintahan Pajang.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Panembahan Senapati cukup bijaksana.“

Untara mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia beranya, “Apakah kau tidak ingin menyumbangkan tenaga dan kemampuanmu lewat saluran yang agaknya tepat kau pilih?“

“Maksud kakang?“ bertanya Agung Sedayu.

“Agung Sedayu,“ suara Untara merendah, “kau adalah seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Kau memahami berbagai macam ilmu yang tidak dikuasai oleh orang lain. Kaupun memiliki pengetahuan tentang perang gelar dan ikatan perang keprajuritan yang mapan. Karena itu, jika kau memasuki dunia keprajuritan, maka kau tentu akan mendapat kedudukan yang baik. Aku mengakui bahwa kau memiliki kemampuan di bidang olah kanuragan lebih tinggi dari aku. Sementara kau memiliki kecerdasan yang tajam. Kau bukan lagi seorang anak muda cengeng dan penakut.“

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jika terlalu banyak orang tertarik di bidang keprajuritan sebagai pilihan untuk mengabdi, maka lapangan lain akan menjadi kosong Kakang. Nampaknya aku memang bukan seorang prajurit. Tetapi aku adalah seorang yang pantas bekerja di sawah dan ladang, yang hasilnya antara lain juga untuk mendukung pengabdian di bidang keprajuritan.”

“Aku mengerti Agung Sedayu. Aku juga sependapat bahwa lapangan pengabdian seseorang bukan sekedar di bidang keprajuritan. Bagaimanapun kuatnya jajaran keprajuritan di satu negara, tetapi tanpa dukungan para petani, para saudagar, para nelayan serta bidang-bidang pengabdian yang lain, maka negara tidak akan dapat berdiri kokoh. Namun menurut penglihatanku, kau mempunyai bekal yang cukup untuk mengabdi di bidang keprajuritan. Bukan berarti mementingkan diri sendiri, tetapi kaupun harus melihat ke masa depanmu. Beberapa kali aku telah memperingatkanmu, bahwa kau harus menyiapkan masa depanmu sedini mungkin. Kau tidak dapat bertualang terus-menerus. Kau harus memikirkan, apakah artinya kau berada di Tanah Perdikan Menoreh? Tanah Perdikan itu akan menjadi hak Pandan Wangi, yang akan diembani oleh suaminya, Swandaru. Jika hal itu terjadi kelak, kau akan berbuat apa? Membantu mereka sebagai bebahu di Tanah Perdikan? Atau kau akan membeli sawah sekotak dan menjadi petani di Tanah Perdikan, atau apa?“

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Agaknya memang belum jelas apa yang akan dijalaninya di masa depannya. Sementara Untara mengatakan, “Agung Sedayu. Sudah tentu kau tidak akan memikirkan dirimu sendiri dalam menentukan pilihanmu bagi masa depan. Mungkin pada satu ketika kau akan mempunyai anak. Satu, dua atau lebih. Sudah tentu kau harus mempertimbangkan, bagaimana kau membesarkan anakmu.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak segera menjawab.

Sementara itu istri Untara pun berkata, “Memang berat untuk menjadi seorang prajurit. Sekar Mirah pun harus menyadari kedudukannya, jika kau benar-benar ingin menjadi seorang prajurit. Tetapi sebagaimana dikatakan oleh kakangmu Untara, maka agaknya kau memiliki bekal untuk menjadi seorang prajurit. Kau memiliki ilmu yang cukup. Umurmu masih cukup muda. Kesadaran pengabdianmu tinggi. Nah, apalagi?“

“Aku mengerti,“ desis Agung Sedayu, “aku memang tidak akan dapat mengelakkan diri dari tanggung jawabku bagi masa depanku dan keluargaku.“

“Pikirkan Agung Sedayu. Bukan maksudku untuk mendesakmu sekarang, mumpung terjadi kemelut antara Mataram dan Madiun, sehingga kesempatan itu terbuka bagimu. Dalam kemelut itu kau akan dapat menunjukkan jasamu, sehingga kau akan mendapat anugrah pangkat atau jabatan tinggi. Tidak. Sama sekali tidak. Jika kau masih ingat, bukankah aku sudah pernah menganjurkannya sejak dahulu,“ berkata Untara.

“Ya Kakang,“ jawab Agung Sedayu, “agaknya aku memang harus mulai memikirkannya dengan sungguh-sungguh.”

“Jika aku mendapat anugrah kedudukan Tumenggung, itu sama sekali tidak aku pikirkan di saat aku mulai memasuki jajaran keprajuritan sebagai satu pengabdian,“ berkata Untara, “namun pada suatu saat, ternyata kedudukan itu dapat memberikan kebanggaan. Bukan saja bagiku, tetapi sudah tentu bagi istri dan anakku.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia mengerti sepenuhnya jalan pikiran kakaknya.

Namun Untara pun berkata, “Sudah tentu kau tidak dapat mengambil satu kesimpulan, apalagi satu keputusan sekarang. Kau masih mempunyai banyak waktu.“

“Ya Kakang. aku akan memikirkannya dengan sungguh-sungguh.“

“Baiklah. Sekarang, kita akan kembali kepada hidanganku,“ berkata istri Untara.

Agung Sedayu dan Glagah Putih pun telah kembali menikmati hidangan yang disuguhkan oleh istri Untara. Namun beberapa saat kemudian maka Agung Sedayu telah minta diri untuk bersama-sama dengan Glagah Putih singgah di Banyu Asri.

“Paman Widura justru lebih sering berada di padepokan. Namun agaknya sejak gurumu kembali dari Madiun, Paman lebih banyak berada di Banyu Asri,“ berkata Untara.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Gurunya juga mengatakan tentang hal itu. Selagi Kiai Gringsing nampak sehat setelah ia kembali dari Madiun, maka Ki Widura ingin mempergunakan kesempatan beberapa hari untuk berada di Banyu Asri mengurusi sawah-sawahnya.

Demikianlah, maka keduanya pun telah melanjutkan perjalanan ke Banyu Asri.

Mereka tidak terlalu lama berada di Banyu Asri. Namun yang singkat itu ternyata telah dipergunakan untuk berbicara tentang beberapa hal.

Ternyata bahwa Widura juga menyinggung tentang anugrah dari Panembahan Senapati bagi Untara. Bahkan ternyata Widura juga bertanya kepada Agung Sedayu sebagaimana ditanyakan oleh Untara, tentang hari depannya.

Tetapi jawaban Agung Sedayu sama sebagaimana jawabannya kepada Untara. Berputar-putar dan tidak mapan sama sekali.

“Baiklah,” berkata Widura, “kau masih mempunyai waktu untuk memikirkannya.”

Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih pun segera minta diri.

“Pekerjaan di sawah nampaknya sudah berjalan lancar, sehingga dapat aku tinggalkan. Besok aku akan berada di padepokan,” berkata Ki Widura.

“Mungkin besok kami berangkat Paman. Kiai Gringsing pergi ke Mataram sementara, kami akan terus ke Tanah Perdikan,” berkata Agung Sedayu.

“Kiai Gringsing akan pergi ke Mataram dengan siapa?” bertanya Widura.

“Agaknya Kiai Gringsing akan pergi dengan satu dua orang cantrik,” jawab Agung Sedayu. Lalu katanya, “Bukankah Guru pergi ke Madiun justru seorang diri?”

“Ya,” jawab Widura, “aku sudah berusaha untuk mencegahnya. Tetapi Kiai Gringsing memaksa juga untuk pergi. Namun pada saat itu kesehatan Kiai Gringsing nampaknya seperti sudah pulih kembali. Bahkan rasa-rasanya Kiai Gringsing telah memiliki kembali segala-galanya.”

“Ya Paman. Sekarang pun Guru nampak sehat dan kuat. Namun Guru tetap seorang yang sudah sangat tua. Bagaimanapun juga keterbatasan wadagnya tidak akan dapat dicegah. Namun karena Guru mempunyai pengetahuan tentang obat-obatan, maka pengetahuannya itu dapat sedikit membantu memelihara ketahanan tubuhnya. Namun tetap berlaku apa yang seharusnya berlaku pada setiap orang,” berkata Agung Sedayu.

Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya, “Kau benar Agung Sedayu. Hal itu sudah disadari oleh gurumu. Dan nampaknya gurumu pun sudan siap menghadapi masa-masa itu. Karena ia tidak akan dapat ingkar.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun pada saat-saat terakhir itu gurunya sama sekali tidak ingin melepaskan diri begitu saja dari persoalan yang sedang kemelut antara Mataram dan Madiun. Ia masih ingin berbuat sesuatu, yang sudah tentu sesuai dengan kemungkinan yang dapat dilakukannya pada usianya yang tua itu.

Demikianlah, maka Agung Sedayu pun telah mohon diri. Ki Widura telah berjanji untuk datang ke padepokan pagi-pagi sekali, sebelum Kiai Gringsing berangkat ke Mataram bersama Agung Sedyu dan Glagah Putih, selain dua orang cantrik yang akan mengawaninya di perjalanan.

Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih pun telah berada di perjalanan menuju ke padepokan kecil di Jati Anom.

Di padepokan, Agung Sedayu dan Glagah Putih masih mempunyai kesempatan untuk melihat-lihat tanah persawahan yang terbentang hijau tidak begitu jauh dari padepokan. Tempat itu dibuka atas ijin Ki Demang di Jati Anom sebagai ladang untuk menyangga kebutuhan padepokan kecil, yang dikerjakan sendiri oleh para cantrik di padepokan itu. Namun sawah dan ladang yang digarap para cantrik itu ternyata dapat dipergunakan sebagai sawah dan ladang yang dapat dicontoh oleh para petani di sekitarnya. Baik cara menggarapnya, maupun jenis tanaman yang ditanam.

Menjelang senja, ketika Agung Sedyu, Glagah Putih dan Kiai Gringsing duduk di pendapa, maka Kiai Gringsing telah memberikan sebuah kitab kecil yang berisi catatan-catatan tentang pengobatan.

“Bukan aku yang menulisnya,” berkata Kiai Gringsing, “aku mendapatkannya dari seseorang yang sangat mumpuni di bidang pengobatan.”

“Jadi bukan tulisan Guru?” bertanya Agung Sedayu.

“Memang bukan,” berkata Kiai Gringsing.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara itu Kiai Gringsing pun berkata, “Tetapi aku sudah mengujinya. Hampir seluruhnya. Dalam beberapa hal aku sempat mengembangkannya. Tetapi aku memang tidak memberikan catatan-catatan khusus tentang hal itu, karena semuanya dapat dikembalikan pada tulisan yang di dalam kitab kecil itu.”

Agung Sedayu masih mengangguk-angguk, sementara Kiai Gringsing meneruskan, “Agung Sedayu. Akan lebih baik jika kau mempunyai kesempatan untuk menulis kembali catatan-catatan yang tercantum di dalamnya. Seandainya tulisan-tulisan itu rusak, maka kita tidak akan kehilangan isinya, karena kitab kecil itu nampaknya sudah tua dan tidak akan dapat tahan untuk sepuluh tahun lagi tanpa pemeliharaan yang khusus. Kecuali jika tulisan-tulisan itu hanya disimpan saja. Namun artinya akan sangat berkurang jika isi kitab kecil itu tidak dipergunakan sebagaimana seharusnya.”

Ternyata Agung Sedayu memang menjadi tertarik terhadap ilmu pengobatan. Seperti dikatakan oleh gurunya, bahwa ilmu pengobatan akan dapat dipergunakan untuk menolong banyak orang. Memang mungkin ia harus meluangkan waktunya secara khusus untuk mempelajari jenis dedaunan, akar-akar dan klika kayu, serta berbagai jenis buah-buahan. Bahkan berbagai macam binatang berbisa. Namun hasilnya tentu akan memadai bagi kepentingan orang banyak. Seperti yang dikatakan oleh gurunya, bahwa Ki Jayaraga kadang-kadang memang sering tertarik pula kepada berjenis-jenis bahan obat-obatan, sehingga orang tua itu tentu akan bersedia bersama-sama mempelajarinya.

Sambil masih saja mengangguk-angguk Agung Sedayu berkata, “Terima kasih Guru. Saat ini kedua kitab Guru ada padaku. Kitab tentang olah kanuragan dan ilmu jaya kawijayan, serta kitab tentang pengetahuan mengenai obat-obatan ini.”

“Keduanya harus disimpan baik-baik,” desis Kiai Gringsing, “namun keduanya harus memberikan arti bagi sesama. Karena itu, maka keduanya tidak boleh jatuh ketangan orang-orang yang pengabdiannya kepada sesama masih diragukan.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun ia tidak menjawab.

Beberapa saat keduanya masih berbincang-bincang bersama Glagah Putih. Kiai Gringsing juga bertanya beberapa hal tentang ilmu Glagah Putih, karena Kiai Gringsing tahu bahwa ilmu Glagah Putih bersumber dari ilmu yang diturunkan oleh Ki Sadewa lewat Agung Sedayu, yang menguasai ilmu itu dari lukisan-lukisan di dinding goa. Yang kemudian dilengkapi dengan ilmu yang diterimanya dari Ki Jayaraga. Namun langsung atau tidak langsung, maka Glagah Putih juga telah menyadap lewat Agung Sedayu, ilmu yang diturunkan oleh Orang Bercambuk itu.

Bahkan Kiai Gringsing pun telah berkata, “Agung Sedayu. Aku kira, kau adalah salah seorang dari kedua muridku yang sebaiknya mengembangkan ilmu yang kau terima dari perguruan Orang Bercambuk. Sudah tentu aku juga berharap bahwa Swandaru akan melakukannya juga. Namun bagaimanapun juga aku tidak boleh ingkar pada satu kenyataan, bahwa kau memiliki kemampuan dan sudah barang tentu kemungkinan lebih baik dari Swandaru.”

“Mungkin aku mempunyai jenis yang lebih banyak Guru. Tetapi aku tidak tahu, apakah itu lebih baik dari Adi Swandaru,” jawab Agung Sedayu.

“Kepadaku kau tidak usah merendah seperti itu,” jawab gurunya, “aku sudah melihatnya. Bahkan aku masih berada dalam kesulitan untuk dapat memberitahukan kepada Swandaru tentang perbandingan ilmu yang sebenarnya antara kau dan Swandaru, Sudah tentu aku tidak akan dapat melakukannya dengan langsung, karena hal itu akan dapat berpengaruh kurang baik terhadapnya.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Hal itu merupakan satu masalah tersendiri. Iapun kadang-kadang harus memikirkan untuk menemukan jalan yang terbaik agar Swandaru tidak semakin keliru menilai kemampuannya. Karena pada suatu saat mungkin Swandaru akan salah paham. Dikiranya ia dengan sengaja menyembunyikan sesuatu yang diterima tidak adil dari gurunya. Padahal gurunya tidak pernah berlaku tidak adil. Yang diwarisinya dari berbagai macam jalur itu kemudian telah menyatu di dalam dirinya, termasuk ilmu yang diterimanya dari Orang Bercambuk itu. Sedangkan yang lain adalah karena hubungannya dengan Panembahan Senapati di masa pengembaraannya. Juga dengan Pangeran Benawa. Sebagaimana ia tidak berkeberatan membiarkan Glagah Putih mengembara bersama Raden Rangga, sehingga anak muda itu mendapatkan berbagai macam pengetahuan yang berarti baginya, dan berguru pula pada Ki Jayaraga.

Namun dalam pada itu, adalah di luar dugaan, bahwa Kiai Gringsing pun kemudian berkata, “Apakah pamanmu juga mengatakan, bahwa menjelang hari-hari tuanya pamanmu mempelajari ilmu dari perguruan ini? Karena Ki Widura sudah memiliki bekal pengetahuan dasar, maka dengan cepat ia merambat dari satu tataran ke tataran yang lain.”

“Ayah sekarang belajar lagi?” bertanya Glagah Putih. Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Ya. Tetapi dengan cara orang-orang tua. Aku sudah tidak dapat memberikan pelajaran setangkas beberapa tahun, bahkan dua tahun yang lalu, karena dalam dua tahun ini keadaan wadagku turun dengan cepat.”

“Mungkin Ayah ingin menjadi prajurit lagi,” berkata Glagah Putih sambil tertawa.

“Mungkin,” jawab Kiai Gringsing sambil tertawa pula. Namun kemudian katanya, “Tetapi yang jelas, ia tidak ingin memberikan tuntunan kepada para cantrik di padepokan ini dengan ilmu yang lain, kecuali ilmu yang diturunkan oleh Orang Bercambuk. Namun untuk itu, Ki Widura sendiri harus memahaminya, meskipun pada tingkat yang dasar. Tetapi tingkat dasar yang dimiliki Ki Widura sudah tentu mempunyai nilai yang lain.”

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Jika saja aku mengerti kemarin, aku. akan menantang Ayah berperang tanding.”

Agung Sedayu pun tertawa. Tetapi ia berkata, “Ayahmu bukannya tanpa tujuan Glagah Putih. Sudah tentu bahwa apa yang dipelajarinya itu tidak akan banyak berarti bagi Ki Widura sendiri, meskipun akan dapat memberikan isi yang membuat ilmunya dari jalur Ki Sadewa menjadi lebih berbobot. Namun yang penting, bahwa ia tidak ingin memberikan warna lain dalam padepokan ini, karena paman merupakan salah seorang yang ikut membina ilmu para cantrik di padepokan ini.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia masih saja tersenyum sendiri.

Kiai Gringsing pun masih juga tersenyum. Namun katanya kemudian, “Itu satu pertanda betapa luasnya jangkauan pandangan ayahmu, Glagah Putih. Seseorang tidak akan terlambat menuntut ilmu apapun. Ilmu memang harus dicari sepanjang umur seseorang. Jika seseorang tidak lagi mau menambah pengetahuannya di bidang apapun juga, maka itu berarti bahwa hidupnya telah berhenti. Maksudnya, ia tidak akan meningkat sama sekali. Tetapi ternyata ayahmu bukan seseorang yang berhenti itu.”

Glagah Putih termangu-mangu. Meskipun Kiai Gringsing-nampaknya tidak bersungguh-sungguh, tetapi ternyata bahwa yang dikatakan itu mengandung arti yang dalam. Sementara itu Kiai Gringsing berkata selanjutnya, “Ayahmu menyadari sepenuhnya, jika ia berhenti sama sekali, maka ia akan ketinggalan semakin jauh, sementara seisi tanah ini menjadi semakin maju. Segala macam ilmu pun akan meningkat pula.”

“Ya Guru,” Agung Sedayu pun menyahut, “nampaknya Paman menyadari hal itu.”

“Tentu. Jadi bukan sekedar tidak memberikan warna lain bagi padepokan ini,” jawab Kiai Gringsing pula. Lalu katanya, “Bukankah kau tahu Agung Sedayu, bahwa sampai saat inipun aku masih berusaha untuk menambah ilmuku?”

“Ya Guru. Aku mengerti,” jawab Agung Sedayu.

Glagah Putih pun ikut mengangguk-angguk. Ia tidak lagi tersenyum. Tetapi justru dahinya mulai berkerut. Nampaknya ia mulai memikirkan dengan sungguh-sungguh kata-kata Kiai Gringsing yang seakan-akan dilontarkan tanpa maksud tertentu itu.

Dalam pada itu, Kiai Gringsing itu pun kemudian berkata, “Sudahlah. Aku ingin beristirahat. Bukankah kita besok akan pergi ke Mataram?”

“Ya Guru,” sahut Agung Sedayu, “sebaiknya Guru memang beristirahat. Besok kita akan pergi bersama-sama. Paman akan datang pagi-pagi.”

“Kita akan menunggu,” jawab Kiai Gringsing. “Bukankah kita tidak tergesa-gesa? sementara jarak Jati Anom dan Mataram tidak terlalu jauh.”

“Ya Guru,” jawab Agung Sedayu, “tetapi istirahat bagi Guru nampaknya penting artinya.”

Kiai Gringsing tertawa. Sambil beringsut iapun berkata, “Tetapi bukan berarti bahwa kalian tidak perlu beristirahat.”

“Ya Guru,” jawab Agung Sedayu, “kami pun akan segera beristirahat.”

Sejenak kemudian, maka Ki Gringsing pun telah meninggalkan pendapa, sementara Agung Sedayu dan Glagah Putih masih berbicara untuk beberapa saat. Namun ketika malam menjadi semakin dalam, maka keduanya pun telah masuk pula ke dalam bilik mereka untuk beristirahat, sementara dua orang cantrik telah membenahi mangkuk-mangkuk sisa minum dan makan.

Sementara itu, beberapa orang cantrik yang lain telah berjaga-jaga di sekitar halaman padepokan. Penjagaan di padepokan itu memang ditingkatkan setelah peristiwa yang baru saja terjadi itu.

Namun malam itu tidak terjadi sesuatu. Tidak ada yang mengganggu padepokan itu. Meskipun sebenarnyalah di luar padepokan masih saja ada orang yang mencoba mengawasi padepokan itu. Tetapi bagi Kiai Gringsing, hal itu tidak dihiraukannya. Tidak ada yang harus dirahasiakan. Bahkan kepergiannya ke Mataram pun sama sekali bukan satu rahasia. Kiai Gringsing sama sekali tidak berkeberatan.

Ketika matahari mulai membayang, maka Kiai Gringsing, Agung Sedayu dan Glagah Putih telah mulai membenahi diri. Sementara itu Ki Widura pun telah datang pula ke padepokan itu.

“Kiai jadi berangkat hari ini?” bertanya Ki Widura.

“Ya,” jawab Kiai Gringsing, “tetapi aku hanya akan bermalam satu hari. Aku akan membawa dua orang cantrik untuk mengawani aku di perjalanan. Mungkin aku memerlukan mereka untuk keperluan apapun.” Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah Kiai. Tetapi menurut pendapatku, sebaiknya Agung Sedayu dan Glagah Putih mengantar Kiai Gringsing kembali ke padepokan ini lebih dahulu. Baru kemudian kalian kembali ke Tanah Per-dikan. Bukankah dengan demikian perjalanan kalian hanya berselisih sehari? Jika besok pagi-pagi kalian mengantar Kiai Gringsing kembali ke padepokan ini, maka kalian akan segera dapat kembali ke Menoreh di siang harinya.”

Agung Sedayu dan Glagah Putih saling berpandangan sejenak. Namun Kiai Gringsing-lah yang menyahut, “Aku kira tidak perlu. Dari Madiun aku hanya sendiri. Aku kira tidak akan ada kesulitan apapun di perjalanan.”

“Tetapi menurut cerita anak-anak, padepokan ini selalu diawasi orang-orang yang dikirim oleh orang yang menyebut dirinya Ki Bagus Jalu, namun yang dikenal oleh Kiai sebagai Kecruk Putih,” berkata Widura.

Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Untuk waktu dekat, agaknya mereka tidak akan mengganggu.”

Ki Widura menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak dapat memaksakan kehendaknya. Karena itu, maka sebentar kemudian Kiai Gringsing pun telah memanggil dua orang cantrik pilihan yang akan menyertainya. Kedua orang cantrik itu adalah cantrik yang telah mendapat tuntunan ilmu lebih jauh dari kawan-kawannya. Bahkan dalam waktu tertentu, keduanya sudah dapat membantu memberikan tuntunan kepada kawan-kawannya yang masih berada di tataran paling bawah.

Demikianlah, maka sejenak kemudian, mereka yang akan meninggalkan padepokan itu pun telah bersiap. Kuda-kuda mereka pun telah bersiap pula. Sementara Ki Widura sempat memberikan beberapa pesan kepada anaknya.

“Kau adalah harapan hari depan,” berkata Ki Widura, “jangan mengecewakan. Tetapi kau tetap kelanjutan dari masa kini. Kau tidak boleh menjadi orang lain di masa mendatang, sehingga tidak akan kesinambungan dengan masa yang menempamu sekarang.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti Ayah.”

“Bagus,” jawab Widura, “jangan berubah karena pengaruh apapun juga.”

Demikianlah, maka sebuah iring-iringan kecil orang-orang berkuda dari padepokan itu pun mulai bergerak. Lima orang. Dua orang akan terus ke Tanah Perdikan dengan berhenti beberapa saat di Mataram, sedangkan Kiai Gringsing dan dua orang cantrik yang menyertainya akan kembali ke padepokan kecil di Jati Anom itu.

Beberapa orang cantrik telah mengantar mereka sampai ke pintu gerbang. Mereka memandang kepulan asap yang terlempar dari kaki-kaki kuda yang bergerak semakin lama semakin jauh itu, sehingga akhirnya hilang di tikungan.

Sementara itu, Kiai Gringsing dan Agung Sedayu berkuda di paling depan. Kemudian Glagah Putih bersama kedua orang cantrik yang menyertai Kiai Gringsing itu.

Ternyata Kiai Gringsing tidak lagi berkuda terlalu cepat. Nampaknya karena umurnya, maka Kiai Gringsing lebih senang berkuda perlahan-lahan saja. Meskipun kudanya masih juga berlari, namun Glagah Putih menganggap bahwa perjalanan itu terlalu lamban. Meskipun demikian ia dapat mengerti keadaan Kiai Gringsing yang wadagnya telah menjadi semakin lemah itu, betapapun tinggi ilmunya.

Kiai Gringsing seperti yang direncanakan memang tidak menuruni lereng di kaki Gunung Merapi dan menempuh perjalanan datar ke Mataram. Tetapi Kiai Gringsing telah memilih jalan lambung Gunung Merapi. Mereka melewati tepi hutan di lereng yang tidak terlalu terjal. Namun karena jalan itu cukup banyak dilalui orang, maka jalan di lambung Gunung Merapi telah menjadi rata, dikeraskan dengan batu-batuan dan cukup lebar sehingga perjalanan kelima orang itu tidak merasa terhambat karena keadaan jalan, meskipun sekali-sekali mereka harus menempuh jalan menurun dan kemudian memanjat naik.

Di pinggang sebelah selatan Gunung Merapi, mereka mulai menuruni kaki Gunung itu. Perlahan-lahan saja karena mereka memang tidak tergesa-gesa. Mereka sempat berhenti sejenak ketika melewati sebatang pohon yang disebut pohon Panca Warna, namun ada juga yang menyebutnya pohon Sekar Jagat. Sebatang pohon yang besar, yang mempunyai beberapa jenis bunga. Pohon yang sempat menjadi pangeram-eram.

“Jika kau melihat bunga melati di salah satu cabang atau ranting-rantingnya, maka kau akan menemukan satu keberuntungan,”berkata Agung Sedayu kepada Glagah Putih, sementara Kiai Gringsing hanya tersenyum saja.

“Aku akan mencarinya,” berkata Glagah Putih.

Kiai Gringsing dan Agung Sedayu menunggunya beberapa saat. Bahkan kedua cantrik yang menyertai Kiai Gringsing itu pun telah ikut pula mencarinya.

Tiba-tiba saja Glagah Putih berkata, “Aku melihatnya, Kakang!”

“Tentu kau bohong,” sahut Agung Sedayu.

“Benar, aku melihatnya,” berkata Glagah Putih, “di cabang yang menghadap ke selatan. Pada ranting hampir di ujung.”

Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Jangan bohong. Cobalah kau bawa bunga melati memanjat dan letakkan di cabang itu. Maka kau tidak akan dapat melihatnya dari bawah. Apalagi kembang melati pada pohon itu sendiri. Karena itu, maka tidak akan pernah seorang pun yang melihat kembang melati jika ia tidak memanjat naik. Dan jika kembang melati itu memang benar ada.”

Glagah Putih pun tersenyum. Katanya, “Marilah. Kita sudah membuang waktu beberapa lama.”

Tetapi Kiai Gringsing-lah yang menyahut, “Kita sudah beristirahat beberapa saat.”

Sejenak kemudian, maka iring-iringan itu pun telah melanjutkan perjalanan menuruni lambung bukit di sisi selatan. Ketika mereka mencapai dataran, maka mereka telah berada di Prambanan.

Demikian mereka berbelok, mereka telah menuruni jalan turun ke tepian Kali Opak. Di saat tidak banyak hujan, maka sungai itu dapat diseberangi tanpa mempergunakan rakit. Bahkan di tepian sungai yang luas itu, telah ditanami pula padi sebagaimana sawah yang terbentang luas. Sementara di tempat yang berair, tumbuh semak-semak kangkung yang lebat. Bahan sayuran yang sangat digemari. Sedangkan di antara akar-akar semak-semak kangkung itu, bersembunyi beberapa jenis ikan. Tetapi ada jenis ikan yang tidak mau bersembunyi di bawah akar-akar pohon kangkung. Tetapi lebih senang bersembunyi di sela-sela bebatuan dan slangkrah yang tersangkut. Karena itu, maka di musim kering, banyak anak-anak yang membuat rumpon di pinggir kali Opak.

Ketika mereka sampai di tepian, maka Kiai Gringring, Agung Sedayu dan Glagah Putih pun telah beristirahat pula. Demikian pula kedua orang cantrik yang menyertainya.

Mereka mengikat kuda-kuda mereka di atas rerumputan yang tumbuh subur di tepian. Sehingga dengan demikian maka kuda-kuda mereka itu pun sempat makan cukup kenyang. Sementara Kiai Gringsing yang tua itu duduk di atas sebuah batu. Agung Sedayu dan Glagah Putih pun duduk pula di atas batu di sebelah Kiai Gringsing. Sementara dua orang cantrik yang menyertainya, duduk pula bersandar sebatang pohon saling membelakangi. Begitu silirnya angin di panasnya matahari, maka di bawah bayangan dedaunan yang rimbun, mata kedua cantrik itu rasa-rasanya akan terpejam.

Glagah Putih yang melihat keduanya terkantuk-kantuk sempat mengganggu. Perlahan-lahan ia bangkit dan melangkah mendekati mereka. Dengan ujung daun ilalang, ia mulai mengganggu kedua cantrik itu dengan menyentuh hidung mereka dengan ujung daun ilalang.

Keduanya terkejut. Namun keduanya pun tertawa ketika mereka menyadari siapa yang melakukannya.

Tetapi yang terdengar lebih keras adalah suara tertawa orang lain. Tiga orang berjalan mendekati Glagah Putih dan para cantrik itu.

Glagah Putih termangu-mangu. Ia sudah melihat ketiga orang itu duduk di tanggul yang rendah di sebelah jalur jalan yang menurun ke tepian. Tetapi Glagah Putih tidak menghiraukannya, karena menurut dugaannya, orang-orang itu adalah para petani atau orang lewat yang sedang beristirahat.

“Anak muda yang penuh gairah hidup adalah anak-anak muda yang seneng berkelakar,” berkata salah seorang di antara mereka, “kau adalah satu di antara mereka yang beruntung, mempunyai pancaran kegembiraan hidup yang cerah.”

Glagah Putih mengangguk hormat. Meskipun agak ragu ia menyahut, “Terima kasih.”

“Apakah kau murid Orang Bercambuk itu?” bertanya orang itu pula.

Glagah Putih semakin heran melihat sikap orang itu. Jawabnya, “Bukan Ki Sanak.”

“Kenapa kau ingkar? Aku tidak bermaksud buruk,” berkata orang itu pula.

“Aku tidak ingkar. Tetapi bertanyalah kepada Kiai Gringsing. Ia akan menjelaskan,” jawab Glagah Putih.

Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah jika kau memang bukan muridnya, nampaknya kebetulan saja kau berjalan dari tempatnya. Aku sudah mengira bahwa kau akan melalui jalan ini. Tetapi karena kau tidak dapat lagi berpacu cepat, maka kami akan dapat mendahuluimu,” berkata orang itu.

Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Dengan nada datar ia bertanya, “Siapakah kau?”

“Kau tentu lupa kepadaku. Kita tidak begitu kenal dahulu. Sesudah itu kita lama sekali tidak bertemu,” jawab orang itu.

“Siapa sebutanmu?” bertanya Kiai Gringsing.

“Aku adalah Putut Surengkara,” jawab orang itu.

Kiai Gringsing mengingat-ingat nama itu. Tetapi iapun kemudian menggeleng sambil berkata, “Aku tidak ingat lagi nama itu. Mungkin aku memang sudah pikun. Ingatanku tidak lagi terang seperti dua tahun yang lalu. Karena itu, aku ingin mendengar sebutanmu. Mungkin aku lebih ingat sehutanmu daripada namamu.”

“Aku adalah Bango Lamatan,” jawab orang itu.

“O,” Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Aku ingat sekarang. Kau adalah pasangan Kecruk Putih yang bergelar Sang Saka, yang sekarang disebut Ki Bagus Jalu bergelar Panembahan Cahya Warastra itu? Aku memang tidak begitu mengenalmu. Umur kita terpaut banyak.”

“Ya. Aku adalah pasangan Kecruk Putih. Seharusnya kaupun tahu bahwa aku sekarang bernama Putut Surengkara,” jawab orang itu.

“Kau tidak menunjukkan penampilan seorang pemimpin di samping Ki Bagus Jalu. Apakah kau sedang menyamar?” bertanya Kiai Gringsing.

“Aku tidak menyamar. Aku hanya ingin tidak menarik perhatian banyak orang,” jawab Putut Surengkara.

“Ada beberapa perubahan terjadi pada dirimu. Aku pernah melihatmu dengan wajah yang agak berbeda. Maaf, aku tidak ingin bertanya kenapa wajahmu berubah. Mungkin bekas luka itu yang membuatmu agak lain. Atau barangkali usiamu yang bertambah tua, atau mata tuaku yang sudah kabur,” berkata Kiai Gringsing.

“Aku tidak tersinggung kau menyebut bekas luka ini,” berkata orang itu, “adalah sudah menjadi kewajaran bahwa orang-orang seperti aku, kau, Kakang Bagus Jalu dan murid-muridmu, bahwa pada suatu ketika luka-luka itu akan hinggap di tubuh ini”

“Aku mengerti,” berkata Kiai Gringsing, “namun agaknya bukannya tidak ada maksud bahwa kau telah dikirim oleh Kecruk Putih itu menemuiku. Menurut pendengaranku, kau memiliki Aji Panglimunan, sehingga kau dapat seakan-akan hilang dari pandangan mata. Tentu karena Kecruk Putih mendengar laporan, bahwa dua murid perguruan Bukit Kapur marah karena permainan kabut yang tidak berarti itu. Nah, supaya berimbang, maka dikirimnya orang yang memiliki Aji Panglimunan.”

“Jangan berbicara yang bukan-bukan Kiai,” sahut orang itu, “bukankah kau sekarang disebut Kiai Gringsing? Aku hanya mengenalmu dengan sebutan Orang Bercambuk, karena kau dapat merubah nama atau sebutanmu dan bahkan dirimu sendiri sepuluh kali dalam sehari. Tetapi tidak dengan cambukmu.”

Kiai Gringsing tertawa. Katanya, “Memang cambukku-lah yang tidak berubah. Tetapi jangan mengalihkan pembicaraan. Kau belum menjawab pertanyaanku, bahwa kau dikirim oleh Kecruk Putih karena kau dianggap dapat melenyapkan diri.”

“Tidak. Tidak ada hubungannya dengan itu. Seandainya aku mempunyai Aji Panglimunan, maka Aji itu pun tidak akan berarti apa-apa bagi Kiai, karena ketajaman penglihatan Kiai Gringsing tentu akan dapat menembus tabir Aji Panglimunanku,” jawab Bango Lamatan itu.

“Jika tidak, lalu untuk apa kau mencegatku?” bertanya Kiai Gringsing.

“Jangan memakai istilah mencegat itu, Kiai. Seolah-olah aku berniat buruk terhadap Kiai,” berkata Bango Lamatan dengan nada rendah.

“Jadi?” bertanya Kiai Gringsing pula.

“Aku sebenarnya ingin bertemu dengan Kiai untuk mohon maaf atas kelakuan dua orang murid dari Bukit Kapur yang menyebut dirinya Garuda dari Bukit Kapur itu,” berkata Bango Lamatan.

“Ya. Sebenarnya aku ingin tahu, dimana Garuda yang sebenarnya yang memimpin perguruan Bukit Kapur itu. Bukan seekor belalang yang menyebut dirinya Garuda, karena Garuda yang sebenarnya tidak ada,” berkata Kiai Gringsing.

“Kiai benar. Tetapi keduanya memang murid dari perguruan Bukit Kapur. Garuda dari Bukit Kapur yang sebenarnya sudah tidak ada lagi. Bukankah umurnya kira-kira sebaya dengan Kiai?” bertanya Bango Lamatan.

“Jadi pantasnya akupun sudah tidak ada sekarang ini,” desis Kiai Gringsing.

“Ah, bukan begitu maksudku Kiai. Aku hanya ingin mengatakan bahwa pemimpin perguruan Bukit Kapur itu memang sudah tua,” jawab Bango Lamatan.

“Nah, setelah minta maaf, lalu apa? Bukankah yang kemudian itu yang lebih penting dari sekedar minta maaf?” bertanya Kiai Gringsing pula.

Bango Lamatan tersenyum. Sekilas ia berpaling kepada kawan-kawannya. Sementara itu Agung Sedayu pun telah berdiri tegak di sebelah Kiai Gringsing yang masih duduk di atas sebuah batu. Sementara Glagah Putih berdiri beberapa langkah dari mereka. Namun dengan keyakinan, bahwa lontaran ilmunya akan dapat mencapai mereka jika hal itu diperlukan. Sementara kedua orang cantrik yang berada di bawah pohon yang rimbun itu telah bergeser pula beberapa langkah mendekat.

Namun Bango Lamatan itu kemudian berkata, “Kiai. Di sini banyak orang lewat.”

“Mereka lewat di jalur penyeberangan itu. Biar saja. Kenapa?” bertanya Kiai Gringsing pula. Lalu katanya, “Bukankah kita sudah minggir beberapa patok dari jalur penyeberangan?”

“Tetapi orang-orang yang lewat itu dapat salah paham. Coba Kiai perhatikan, mereka selalu berpaling kemari. Bahkan ada yang berhenti dan termangu-mangu beberapa saat. Mereka tentu mengira bahwa akan terjadi sesuatu di antara kita,” berkata Bango Lamatan.

“Tidak apa-apa,” jawab Kiai Gringsing, “asal mereka tidak melihat kita berkelahi, maka mereka pun tidak akan berbicara apa-apa tentang kita. Apakah sikap kita seperti sikap orang-orang bertengkar?”

Bango Lamatan menarik nafas dalam-dalam. “Baiklah Kiai,” berkata Bango Lamatan kemudian. Ia termangu-mangu sejenak, lalu katanya pula, “Sebenarnyalah bahwa aku diutus oleh Ki Bagus Jalu yang bergelar Panembahan Cahya Warastra.”

“Aku sudah mengira,” jawab Kiai Gringsing, “pesan apakah yang kau bawa dari Cahya Warastra itu?”

“Panembahan masih tetap berharap Kiai dapat mengerti akan niat baiknya. Panembahan mohon Kiai sudi barang sejenak menilai keadaan. Kiai dimohon untuk meneliti silsilah dari orang yang menyebut dirinya Panembahan Senapati dan silsilah orang yang bertahta di Madiun dengan gelar Panembahan Madiun,” berkata Bango Lamatan yang bergelar Putut Surengkara itu.

Tetapi Kiai Gringsing justru bertanya, “Kenapa aku tidak kau anjurkan untuk meneliti pula silsilah Panembahan Cahya Warastra yang ada di Madiun itu?”

Wajah orang itu menjadi tegang sejenak. Namun kemudian ia tersenyum. Katanya, “Panembahan Cahya Warastra adalah gelar karena kedudukannya sebagai sumber kawruh lahir dan batin. Sementara Panembahan Madiun dan Panembahan Senapati menempatkan dirinya sebagai pimpinan pemerintahan. Bukankah gelar Panembahan adalah gelar bagi para pemimpin dan orang-orang terhormat dalam bidangnya masing-masing?”

Kiai Gringsing justru tertawa pula. Katanya, “Dan Kecruk Putih itu telah menempatkan dirinya dalam jajaran orang-orang terhormat, para luhur serta pemimpin yang menyebarkan kawruh lahir dan batin, atau barangkali kawruh baik dan buruk? Atau karena di dalam silsilahnya tersebut bahwa Kecruk Putih itu keturunan raja-raja Majapahit, atau malahan salah seorang dari keturunan Brahma lewat Raja Singasari pertama? Atau mengaku keturunan Giling Wesi yang diperintah oleh Prabu Watu Gunung? Atau memilih jalur yang mana?”

Wajah Bango Lamatan memang menjadi merah. Tetapi ia masih mencoba untuk tersenyum. Katanya, “Nampaknya Kiai benar-benar tidak tertarik. Sayang, aku mendapat pesan mawantu-wantu, bahwa aku tidak boleh bertindak lebih jauh, agar aku tidak menyakiti hati Kiai sebagaimana dilakukan oleh anak-anak tua dari Bukit Kapur itu.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih atas penghormatan yang kau berikan kepada orang tua seperti aku ini. Karena itu, maka sampaikan salamku kepada Kecruk Putih itu. Namun aku tetap minta maaf, bahwa aku tidak akan dapat bergabung dengan mereka.”

“Kiai,” berkata Bango Lamatan, “sayang sekali. Tetapi kami tidak tergesa-gesa Kiai. Kami menunggu Kiai sempat merenungkan pesan itu sekali lagi.”

“Aku akan mencoba. Tetapi aku sudah tahu hasilnya, bahwa aku akan tetap pada pendirianku,” berkata Kiai Gringsing.

“Baiklah,” berkata Bango Lamatan, “jika demikian maka akui kira aku tidak akan dapat berbicara lebih banyak lagi.”

“Terimakasih atas pengertianmu Bango Lamatan. Selamat jalan,” berkata Kiai Gringsing kemudian. Namun katanya pula, “Bawalah pertanyaanku kepada Kecruk Putih itu. Kenapa pada saat seperti ini, dimana kemelut antara Mataram dan Madiun menjadi semakin gelap, orang-orang dari angkatan tua telah bermunculan kembali, meskipun yang aku katakan tua itu tidak setua aku.”

Bango Lamatan tersenyum. Katanya, “Mereka menyadari, bahwa saatnya sudah tiba untuk menegakkan kembali lajur kerajaan di bumi ini. Sedangkan Panembahan Senapati bukanlah termasuk dalam lajur keturunan dari Demak,” berkata Bango Lamatan.

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian garis pandangan kita memang berbeda.”

“Aku belum yakin,” berkata Bango Lamatan. Lalu, “Aku masih mengharap bahwa pada suatu ketika sikap Kiai akan berubah.”

Kiai Gringsing tertawa pula. Namun ia tidak menjawab lagi.

Karena itu, maka Bango Lamatan pun kemudian berkata, “Sudahlah Kiai, aku akan kembali kepada Panembahan Cahya Warastra. Pada suatu saat aku akan kembali kepada Kiai. Mungkin tugasku akan berbeda. Mungkin pada kesempatan lain, aku akan menjadi duta ngrampungi, sehingga aku akan dapat mengambil sikap sendiri.”

Kiai Gringsing masih tertawa. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Aku akan menunggu. Tetapi jangan terlalu lama. Kau tahu, bahwa aku sudah terlalu tua?”

Bango Lamatan mengangguk-angguk.

Namun dalam pada itu, salah seorang yang menyertainya berkata, “Putut Surengkara. Aku kira, orang itu tidak akan berubah sikap. Pendiriannya sudah pasti. Agaknya ia bukan seorang yang pantas untuk diberi kesempatan pada suatu saat lain. Ia sudah memberikan keputusan.”

Bango Lamatan mengangguk. Tetapi katanya, “Aku sudah mendapat pesan. Apapun yang dikatakan oleh diri Kiai Gringsing, yang dikenal dengan Orang Bercambuk itu, harus aku sampaikan kepada Panembahan Cahya Warastra. Aku tidak boleh mengambil sikap sendiri.”

“Baiklah,” berkata orang itu, “aku tidak mendapat pesan seperti itu.”

“Bukankah kau mendengar saat Panembahan memberikan pesan itu kepadaku?” bertanya Bango Lamatan.

“Aku mendengar. Tetapi Panembahan mengatakan, mungkin pada saat lain Orang Bercambuk itu akan berubah pendirian,” jawab orang itu.

“Jadi?” bertanya Bango Lamatan.

“Kalau harapan untuk berubah itu tidak ada, maka aku kira kesempatan itu tidak perlu diberikan lagi kepadanya lagi,” jawab orang itu.

“Aku berbeda pendapat dengan kau,” berkata Bango Lamatan, “jika demikian, Panembahan tentu tidak akan marah kepada orang murid dungu dari Bukit Kapur itu.”

“Kita memang berbeda pendapat,” berkata orang itu, “karena itu biarlah aku saja yang berbicara dengan orang bercambuk itu.”

“Apa yang akan kau katakan?” bertanya Bango Lamatan.

“Aku akan bertanya untuk yang terakhir kalinya. Jika ia tetap pada pendiriannya, maka Orang Bercambuk itu sudah sepantasnya dilenyapkan saja. Meskipun di sini ada muridnya, yang hanya seorang itu, maka muridnya itu tentu tidak akan dapat menghalangi kita,” berkata orang itu. “Di sini ada empat orang lain,” berkata Bango Lamatan, “yang seorang mengaku bukan muridnya. Kita tidak tahu, apakah dua orang yang lain muridnya atau bukan.”

“Mereka tidak berharga untuk diperhitungkan,” berkata orang itu.

Jantung Glagah Putih hampir berhenti berdenyut mendengar jawaban itu. Namun orang itu tiba-tiba saja bertanya kepada Kiai Gringsing, “Siapakah kedua orang itu?”

“Keduanya adalah cantrik cantrik padepokanku,” jawab Kiai Gringsing.

“Nah, bukankah keduanya tidak dalam perselisihan ini jika kita harus mempergunakan kekerasan? Apalagi yang bukan murid Kiai Gringsing itu. Agaknya anak itu adalah anak gembala yang kebetulan saat itu ikut dalam perjalanan ini,” berkata orang itu.

Wajah Glagah Putih menjadi merah. Telinganya rasa-rasanya bagaikan terbakar. Namun ketika ia melihat Agung Sedayu masih saja berdiam diri, maka Glagah Putih pun tidak bergerak di tempatnya.

Sementara itu, Putut Surengkara yang dikenal oleh Kiai Gringsing yang bernama Bango Lamatan itu bertanya, “Jadi kau benar-benar akan mengambil langkah sendiri?”

Orang itu mengangguk sambil menjawab tegas, “Ya.”

Bango Lamatan menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian berkata, “Lakukan yang akan kau lakukan atas tanggung jawabmu sendiri. Aku tidak berani melanggar pesan Panembahan Cahya Warastra.”

“Bagus,” jawab orang itu. Tetapi katanya kemudian, “Jangan pergi. Kau menjadi saksi, apa yang telah aku lakukan.”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun iapun menjawab, “Aku hanya menjadi saksi.” Lalu katanya kepada kawannya yang seorang lagi, “Kaupun akan menjadi saksi.”

Tetapi Bango Lamatan menjadi tegang ketika orang itu menjawab, “Aku akan membantu Kakang Bandar Anom.”

Bango Lamatan menggeram. Katanya, “Persetan. Lakukan apa yang kau anggap baik. Tetapi jika terjadi sesuatu, jangan menyalahkan aku. Kalian adalah orang-orang tua yang sudah tahu bagaimana harus menempatkan diri.”

“Ya,” jawab orang itu, “Putut Surengkara tidak akan kami libatkan dalam persoalan ini.”

“Tetapi jangan menyesal. Kedua anak burung emprit dari Bukit Kapur itu tidak dapat berbuat apa-apa. Seharusnya kau tidak boleh merasa lebih baik dari keduanya,” berkata Bango Lamatan.

Tetapi orang yang disebut Bandar Anom itu berkata, “Kau juga menghina kami?”

Putut Surengkara menyahut, “Tidak. Tetapi aku hanya ingin mencegah kalian mendapat kesulitan, sehingga aku harus kembali seorang diri.”

“Kau akan melihat, bahwa untuk selanjutnya Orang Bercambuk itu tidak akan menjadi duri dalam daging bagi Panembahan Cahya Warastra,” berkata Bandar Anom itu.

Putut Surengkara yang dikenal bernama Bango Lamatan itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia sempat berkata kepada Kiai Gringsing, “Ternyata kami berbeda pendirian Kiai. Jika kali ini kawan-kawanku gagal menyingkirkan Kiai, maka lain kali, tentu aku yang akan mendapat tugas.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Kenapa kawan-kawanmu itu terlalu bernafsu untuk menyingkirkan aku? Kenapa seseorang tidak boleh berbeda pendapat?”

“Kiai sudah mendengar sendiri, bahwa segala sesuatunya adalah tanggung jawab mereka sendiri,” jawab Bango Lamatan.

“Tetapi bukankah pada lain kali kau sendiri akan datang untuk melakukan hal yang sama?” bertanya Kiai Gringsipg.

“Tetapi mungkin pula Panembahan Cahya Warastra berpendirian lain,” berkata Bango Lamatan.

Kiai Gringsing tersenyum. Kamudian iapun berpaling kepada Bandar Anom dan bertanya, “Kau dari perguruan mana; Ki Sanak?”

Bandar Anom mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Aku harus mengakui, bahwa perguruanku bukan perguruan yang dikenal oleh banyak orang. Tetapi bukan karena ilmu dari perguruanku tidak berarti di dunia olah kanuragan. Karena itu kau tidak usah bertanya tentang perguruanku.”

“Kau benar-benar tidak tahu diri,” gumam Bango Lamatan, “Kau belum mengenal siapakah Orang Bercambuk itu. Seharusnya kau mendengarkan dengan cermat apa yang dikatakan oleh Garuda-Garuda kerdil dari Bukit Kapur itu.”

“Aku tahu apa yang dikatakan oleh tikus-tikus bukit itu. Mereka terlalu kerdil untuk berani menghadapi Orang Bercambuk, sehingga mereka telah menyerah sebelum terjadi sesuatu,” jawab Bandar Anom.

Kiai Gringsing tertawa. Katanya, “Bandar Anom benar. Kedua murid dari perguruan Bukit Kapur itu memang telah merasa kalah sebelum berjuang. Tetapi sebenarnya aku juga ingin mengatakan kepada Bandar Anom, bahwa apa sebenarnya keuntunganmu menyingkirkan aku?”

“Kau akan menjadi penghambat bagi persatuan perguruan-perguruan dan padepokan-padepokan di seluruh Tanah ini, dan menempatkan diri di bawah pimpinan Panembahan Madiun dan Panembahan Cahya Warastra,” jawab Bandar Anom.

“Kau bohong,” berkata Bango Lamatan, “kau melakukannya untuk mendapat pujian. Tetapi yang kau dapatkan tentu sekedar bencana.”

“Jika kau tidak berani tersangkut dalam persoalan ini, kau tidak usah turut campur. Tetapi kau tidak perlu iri hati jika aku dapat memusnahkan orang tua yang sombong ini!” bentak Bandar Anom.

Tetapi Bango Lamatan tersenyum. Katanya, “Baiklah. Aku akan menjadi penonton yang baik.”

Bandar Anom pun telah melangkah maju. Sambil bertolak pinggang ia berkata, “Kau masih mempunyai kesempatan.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku salah hitung. Aku kira untuk sementara aku tidak akan diganggu oleh orang-orang Kecruk Putih. Ternyata perhitunganku itu keliru. Tetapi agaknya hal ini terjadi bukan karena kesalahan Kecruk Putih itu.”

“Cukup,” potong Bandar Anom, “jawab pertanyaanku. Kau akan mempergunakan kesempatan ini atau tidak?”

Kiai Gringsing tiba-tiba justru menguap seperti orang yang sudah tiga hari tiga malam tidak tidur. Lalu katanya kepada Agung Sedayu, “Agung Sedayu. Aku letih dan barangkali kantuk. Layanilah tamuku itu. Barangkali kau dapat menenangkannya. Tetapi kau tidak boleh cepat menjadi marah karena sikapnya yang memang agak kasar.”

Agung Sedayu mengangguk hormat. Iapun kemudian menjawab, “Baik Guru.”

“Persetan,” geram Bandar Anom, “aku tidak mau berurusan dengan tikus-tikus kecil. Aku berurusan dengan Orang Bercambuk.”

Tetapi Kiai Gringsing justru memberikan isyarat kepada Agung Sedayu untuk menjawabnya.

Agung Sedayu pun bergeser selangkah maju dan berkata, “Maaf Ki Sanak. Guruku sedang letih. Perjalanan ini memang membuatnya letih, karena Guru telah menjadi terlalu tua. Karena itu, aku mohon Ki Sanak jangan mengganggunya, agar Guru dapat benar-benar beristirahat.”

“Kau sombong seperti gurumu. Aku peringatkan agar kau tidak usah turut campur, jika kau masih ingin melihat mata-hari besok terbit,” geram Bandar Anom.

“Kami, seisi padepokan yang dipimpin oleh Guru, yang kau kenal sebagai Orang Bercambuk itu, bukannya perguruan yang senang mencari lawan. Tetapi kau tahu, bahwa kami bukan orang yang mudah tunduk kepada kemauan orang lain yang tidak sesuai dengan keyakinan kami,” berkata Agung Sedayu.

“Kau ternyata juga pandai berbicara,” geram Bandar Anom. Lalu iapun berpaling kepada Kiai Gringsing sambil berkata, “Apakah sudah kau pikirkan masak-masak untuk mengumpankan muridmu, sementara itu agaknya kau akan melarikan diri?”

“Guru tidak akan melarikan diri,” Agung Sedayulah yang menyahut, “ia akan beristirahat cukup lama di sini.”

Kawan Bandar Anom itu pun tiba-tiba telah melangkah maju pula sambil berkata kepadanya, “Serahkan orang ini kepadaku. Kau selesaikan Orang Bercambuk itu.”

Kedua orang cantrik yang berdiri termangu-mangu itu pun mulai bergerak pula mendekat. Tetapi Glagah Putih ternyata lebih dahulu berkata, “Jangan hiraukan orang itu Kakang. Biarlah ia bermain-main dengan aku.”

Kawan Bandar Anom itu berpaling. Iapun kemudian menggeram, “Kau akan menyesal sepanjang umurmu jika kau memaksa untuk membantu murid orang bercambuk itu.”

Tetapi Glagah Putih tidak menghiraukannya. Iapun kemudian mendekati orang itu sambil berkata, “Aku memang bukan murid Kiai Gringsing. Tetapi aku tantang kau berkelahi.”

Wajah orang itu menjadi merah. Sementara Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Iapun sadar, agaknya Glagah Putih sudah terlalu lama menahan diri, sehingga tiba-tiba saja jantungnya bagaikan telah meledak.

Bandar Anom-lah yang kemudian berkata, “Jawab tantangannya. Selesaikan anak itu. Kemudian setelah aku selesaikan muridnya yang sombong ini, biarlah kita selesaikan Orang Bercambuk yang tidak tahu diri itu.”

Kawan Bandar Anom itu mengangguk kecil. Katanya, “Baiklah. Anak itu justru lebih sombong dari murid Orang Bercambuk itu.”

Namun dalam pada itu, Kiai Gringsing tiba-tiba saja berkata kepada Agung Sedayu, “Agung Sedayu. Jika kau ternyata tidak dapat mengendalikan dirimu, dan akan terjadi perselisihan, maka sebaiknya kau perhatikan lingkungan sebagaimana tadi disebut oleh Bango Lamatan. Pergilah menjauhi jalur penyeberangan sampai lewat tikungan. Tidak akan banyak orang yang terganggu oleh perselisihanmu itu.”

“Baik Guru,” jawab Agung Sedayu. Lalu katanya kepada Bango Lamatan, “Ki Sanak. Sebaiknya kita menyingkir, agar apa yang akan terjadi tidak menarik perhatian orang-orang lewat. Jika orang-orang lewat itu melihat kita berkelahi, maka mereka mungkin akan mendekat dan berusaha melerai atau mengganggu permainan kita itu. Karena itu, marilah. Kita bergeser sampai lewat tikungan itu.”

Sikap Agung Sedayu yang tenang itu membuat Bango Lamatan termangu-mangu. Ia mulai membandingkan sikap Agung Sedayu itu dengan sikap Bandar Anom. Semula ia memang menganggap bahwa Kiai Gringsing agak kurang berhati-hati menghadapkan muridnya kepada Bandar Anom, yang ingin langsung berbenturan dengan Kiai Gringsing itu sendiri. Namun setelah ia melihat sikap Agung Sedayu, maka iapun menjadi berdebar-debar. Murid Kiai Gringsing itu agaknya telah memiliki kemampuan ilmu pada tataran yang tinggi.

Ternyata Agung Sedayu sama sekali tidak menunggu. Iapun kemudian melangkah meninggalkan gurunya menuju ke udik, ke arah kaki Gunung Merapi yang tadi dituruninya.

Glagah Putih yang berdiri beberapa langkah dari Agung Sedayu ternyata tidak segera menyusul. Ia masih menunggu kedua orang yang nampaknya agak bimbang. Sekali-sekali dipandanginya Kiai Gringsing yang masih duduk di atas batu. Kemudian keduanya telah memandang Bango Lamatan.

Bango Lamatan-lah yang kemudian berkata, “Marilah. Bukankah aku sudah sanggup menjadi saksi?”

Kedua orang itu pun kemudian telah melangkah pula. Namun Bandar Anom sempat berpesan, “Kiai. Jangan melarikan diri. Jika kau melarikan diri, maka aku hancurkan padepokanmu dan semua cantrik yang ada di dalamnya.”

Tetapi Kiai Gringsing tertawa. Katanya, “Aku tidak akan pergi sebelum puas beristirahat di sini. Di atas sebongkah batu hitam, di bawah pohon gayam yang mulai berbuah. Aku akan menunggu muridku dan adik sepupunya yang akan melayani kalian bermain-main.”

Bandar Anom tidak menjawab. Bersama kawannya, diiringi Glagah Putih dan kemudian Bango Lamatan, mereka berjalan menuju ke tikungan Kali Opak.

Di belakang tikungan yang bertanggul agak tinggi. Agung Sedayu berdiri di tepian berpasir. Beberapa buah batu besar berserakan. Di musim hujan, maka tepian itu tertutup oleh arus air yang deras.

Bandar Anom dengan geram telah melangkah mendekati Agung Sedayu sambil berkata, “Kau tidak akan kembali kepada gurumu. Kau akan mati di sini. Tubuhmu akan terkapar di atas pasir dan akan menjadi makanan burung gagak.”

“Mengerikan,” berkata Agung Sedayu, “karena itu, aku tidak ingin mati.”

“Keinginanmu dan keinginanku lain. Aku akan membunuhmu,” berkata Bandar Anom itu pula.

Namun Agung Sedayu masih menyahut, “Kau tidak lebih berkuasa dari Yang Maha Agung. Kepada-Nya aku bersandar.”

“Aku tidak peduli,” geram Bandar Anom. Lalu katanya kepada kawannya, “Cepat selesaikan tikus kecil itu, agar Orang Bercambuk yang sudah tua dan sakit-sakitan itu tidak sempat melarikan diri.”

“Orang itu tidak akan melarikan diri,” sahut Bango Lamatan, “ia akan tetap berada di tempatnya sebagaimana dikatakannya, apapun yang terjadi. Ia adalah seorang yang berilmu tinggi, sehingga ia mempunyai harga diri yang pantas dihormati.”

“Nampaknya kau menjadi ketakutan,” geram Bandar Anom, “karena itu, serahkan semuanya kepadaku.”

“Aku tidak menjadi ketakutan. Aku adalah termasuk orang yang mau melihat kenyataan. Karena itu, aku menjadi kasihan kepadamu jika kau benar-benar harus melawannya. Sekarang kau berhadapan dengan muridnya. Buktikan kata-katamu,” sahut Bango Lamatan.

Bandar Anom menggeram. Tiba-tiba saja iapun telah meloncat menyerang Agung Sedayu. Serangan itu begitu tiba-tiba. Namun Agung Sedayu pun telah bersiap sepenuhnya, sementara itu Bandar Anom pun masih belum memasuki tataran kemampuannya yang tinggi.

Namun sejenak kemudian, keduanya telah mulai terlibat dalam pertempuran, meskipun keduanya masih berusaha untuk menjajagi lawan.

Bango Lamatan memperhatikan pertempuran itu dengan saksama. Ia memperhatikan setiap unsur gerak yang dilontarkan oleh Agung Sedayu. Namun karena nampaknya Agung Sedayu juga belum bersungguh-sungguh, maka unsur-unsur gerak yang nampak masih unsur-unsur gerak yang sederhana.

Sementara itu, Glagah Putih dan kawan Bandar Anom itu pun telah berada di tepian pula. Tetapi keduanya justru telah berdiri termangu-mangu memperhatikan Bandar Anom dan Agung Sedayu yang mulai bertempur itu.

Namun mereka tidak terlalu lama berdiri sebagai penonton. Sejenak kemudian keduanya pun menyadari, bahwa mereka pun harus segera berbuat sesuatu. Kawan Bandar Anom itu ternyata seorang yang merasa dirinya terlalu kuat sebagaimana Bandar Anom, sehingga karena itu, maka iapun telah berdiri tegak sambil bertolak pinggang dan berkata, “Nah, murid Orang Bercambuk itu sebentar lagi akan terkapar di tepian. Karena itu, selagi belum terlanjur, kau dapat menghindarkan diri dari bencana. Jika kau mau berlutut dan minta maaf kepadaku, maka kau akan aku ampuni.”

Tetapi Glagah Putih justru menggeram. Dengan nada tinggi ia berkata, “Marilah, kita akan segera mulai.”

Orang itu memandang Glagah Putih dengan tajamnya. Kemudian katanya, “Anak tidak tahu diri. Agaknya kau memang terlalu sombong seperti murid Kiai Gringsing itu.”

Glagah Putih tidak menyahut. Iapun kemudian melangkah maju sambil mempersiapkan diri untuk menghadapi segala kemungkinan.

Namun Bango Lamatan-lah yang berbicara, “Kau hanya banyak bicara saja. Lawanmu sudah siap. Tetapi kau masih saja berbicara kesana-kemari tanpa ujung pangkal.”

“Persetan,” geram orang itu, “jika kau mau nonton, nontonlah. Jangan banyak bicara.”

Bango Lamatan tertawa. Katanya, “Panembahan Cahya Warastra akan menjadi muak melihat tampangmu. Ia tentu menyesal, bahwa ternyata di antara para pengikutnya terdapat orang-orang seperti kau.”

Orang itu menggeram. Katanya, “Jika kau memang ingin membuat persoalan, kita akan menyelesaikan setelah aku membunuh anak ini. Meskipun menurut pendengaranku kau mampu melenyapkan diri, tetapi aku belum pernah melihat dan menjajagi seluruh kemampuanmu.”

Bango Lamatan tertawa berkepanjangan. Katanya, “Baiklah. Selesaikan anak itu.”

“Kau tidak usah memerintahku. Aku tahu apa yang aku lakukan. Jika kau ingin bersaksi, lakukanlah,” berkata orang itu.

Bango Lamatan masih saja tertawa. Tetapi kemudian, dahinya mulai berkerut. Orang itu telah mempertunjukkan unsur-unsur gerak yang mengejutkan, justru sebelum mereka mulai berbenturan ilmu. Seakan-akan orang itu sedang berlatih seorang diri.

“Ia memang kuat,” berkata Bango Lamatan di dalam hatinya.

Sementara itu, orang itu masih saja memperlihatkan kelebihannya. Ia berloncatan di atas pasir, kemudian mengayunkan tangannya mendatar, menyamping dan terjulur lurus ke depan, sementara telapak tangannya yang lain terbuka sambil berputaran pula. Sekali-sekali kedua tangannya menyilang, kemudian mengembang terbuka, seolah-olah memancing lawannya untuk menyerang dadanya.

Glagah Putih memang telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Namun ketika ia melihat lawannya seakan-akan sedang berlatih sendiri, iapun justru bergeser surut. Namun ia sama sekali tidak menjadi lengah. Dapat saja terjadi lawannya itu tiba-tiba saja meloncat menerkamnya.

Dengan melihat unsur-unsur geraknya, Glagah Putih masih belum dapat menjajagi kemampuan lawannya. Namun ia sadar, bahwa lawannya tentu mempunyai kekuatan yang sangat besar. Ayunan tangannya seakan-akan telah menimbulkan desing angin yang kencang dan suara berdengung semakin keras.

Sementara itu, Agung Sedayu dan Bandar Anom masih juga saling menjajagi, meskipun mereka bergerak semakin lama semakin cepat. Mereka pun telah mulai meningkatkan ilmu mereka, selapis demi selapis. Agaknya Bandar Anom tidak ingin dengan serta merta meningkatkan ilmunya sampai ke puncak untuk mengalahkan murid Orang Bercambuk itu. Meskipun ia ingin dengan cepat mengakhiri pertempuran, namun ia juga ingin menilai, sampai batas manakah tingkat tertinggi kemampuan murid Orang Bercambuk itu.

Namun setiap Bandar Anom meningkatkan ilmunya setingkat, maka Agung Sedayu pun telah mengimbanginya. Beberapa tataran telah dilampaui, namun Agung Sedayu masih juga mampu mengimbaginya. Bahkan rasa-rasanya Bandar Anom itu terlalu meremehkannya. Ia mulai, dari tataran yang paling dasar, seakan-akan Agung Sedayu adalah murid Kiai Gringsing yang baru masuk padepokan di pekan yang lalu.

Tetapi Agung Sedayu memang mempunyai ciri tersendiri. Ia tidak menjadi marah dan dengan garangnya menggulung lawannya yang telah merendahkannya. Namun Agung Sedayu justru sekedar melayaninya. Seakan-akan ia adalah seorang pelatih yang sedang menjajagi seseorang yang ingin berlatih olah kanuragan kepadanya.

Ternyata Bandar Anom tidak menyadarinya. Ia masih tetap merambat dari tataran ke tataran berikutnya. Selapis demi selapis.

Memang terasa menjemukan. Namun adalah kebiasaan Agung Sedayu untuk menahan diri.

Tetapi justru Bango Lamatan-lah yang mengumpat sambil berkata, “Ternyata kau terlalu bodoh dan sombong Bandar Anom. Kau kira lawanmu seorang cantrik yang baru mulai belajar meloncat-loncat, sehingga kau memerlukan waktu yang panjang dan tidak berarti apa-apa, bahkan menjemukan. Kenapa kau bergerak terlalu lamban dan merambat setapak demi setapak, sementara lawanmu berada di puncak bukit yang mungkin justru tidak dapat kau jangkau? Ayo, cepatlah sedikit. Meskipun Orang Bercambuk itu tidak akan lari, tetapi ia akan menjadi jemu menunggu.”

Bandar Anom menggeram. Tetapi ia memang merasa harus menilai kembali sikapnya terhadap murid Kiai Gringsing yang seakan-akan hanya sekedar melayaninya itu saja. Bahkan ia sempat menganggap dirinya terlalu bodoh untuk mulai dari dasar ilmu kanuragannya, serta meningkat selapis demi selapis.

Karena itu, maka Bandar Anom itu pun kemudian berkata, “Baiklah. Aku akan menyelesaikannya dengan cepat.”

Agung Sedayu mendengar jawaban Bandar Anom itu. Karena itu, maka iapun telah bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Ia menyadari, bahwa orang yang telah berani menempatkan diri melawan Orang Bercambuk itu tentu orang yang memang memiliki bekal yang cukup.

Sementara itu kawan Bandar Anom itu masih saja berloncat-loncatan sendiri. Semakin lama semakin cepat. Ia memang ingin menundukkan Glagah Putih apabila mungkin tanpa benturan ilmu sama sekali. Ia berharap bahwa dengan melihat tingkat ilmunya, lawannya akan menjadi ketakutan.

Tetapi Glagah Putih masih saja berdiri tegak, justru menyaksikan tingkah lawannya itu. Namun demikian ia tetap berhati-hati, bahwa lawannya itu tiba-tiba saja akan dapat menyerangnya.

Bango Lamatan yang baru saja mentertawakan Bandar Anom, harus menahan tertawanya pula melihat sikap lawan Bandar Anom itu. Bahkan katanya, “He, kau pernah melihat burung kerdil yang meloncat-loncat di dahan? Dan kau pernah melihat elang yang terbang dengan tenang di angkasa?”

“Persetan,” geram orang itu, “aku akan menundukkannya tanpa benturan ilmu sekalipun.”

Tetapi Bango Lamatan tertawa berkepanjangan.

Dalam pada itu, Kiai Gringsing yang ditemani oleh dua orang cantrik ternyata tidak dapat duduk tenang. Karena itu, maka Kiai Gringsing pun berkata kepada kedua orang cantrik, “Kalian tunggu saja di sini. Aku akan melihat, apa yang terjadi di belakang tikungan sungai itu.”

“Tetapi Kiai,” berkata salah seorang di antara kedua orang cantrik itu, “apakah Kiai akan pergi sendiri?”

Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Di belakang tikungan itu ada Agung Sedayu dan Glagah Putih. Kalian di sini menunggui kuda-kuda kita. Apalagi kuda Glagah Putih yang besar dan tegar itu. Nampaknya banyak orang yang menyukainya. Sehingga karena itu, maka sebaiknya kuda itu diawasi.”

Kedua cantrik itu termangu-mangu. Namun mereka yakin akan tingkat kemampuan Kiai Gringsing meskipun umurnya sudah terlalu tua.

Sejenak kemudian, Kiai Gringsing pun telah menyusuri tepian, menuju ke tikungan. Langkahnya pelan dan nampaknya sangat berhati-hati.

Ketika Kiai Gringsing muncul di balik tikungan, maka Bango Lamatan-lah yang menyapanya, “Marilah Kiai. Kita melihat aduan yang tentu akan sangat seru.”

Kiai Gringsing tertawa. Katanya, “Muridku dan adik sepupunya itu bukan sebangsa jangkrik atau katakan ayam jantan. Mereka tidak akan berbuat apa-apa jika mereka tidak diusik.”

Bango Lamatan tertawa pula. Katanya, “Itu di hadapan Kiai. Agaknya akan lain jika mereka tidak berada di hadapan Kiai. Mereka cukup garang dan berilmu tinggi.”

Kiai Gringsing termangu-mangu. Ia melihat Bandar Anom yang sedang bertempur melawan Agung Sedayu. Namun kawan Bandar Anom itu masih saja berloncatan seorang diri.

“Jangan heran Kiai,” berkata Bango Lamatan, “ia mempunyai cara tersendiri untuk menakut-nakuti Glagah Putih.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku mengerti. Dengan demikian ia dapat membuat hati lawannya berkerut.”

Bango Lamatan menyahut, “Satu pekerjaan sia-sia.”

Namun tiba-tiba saja Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Katanya, “Tidak, Bango Lamatan. Ia tidak sekedar menakut-nakuti. Kau lihat telapak tangannya?”

“Ya Kiai,” jawab Bango Lamatan, “bukankah itu termasuk cara untuk menakut-nakuti.”

“la termasuk seorang yang memerlukan waktu yang lama untuk ancang-ancang. Karena itu, maka ia sengaja menakut-nakuti sepupu muridku, sekaligus untuk memanaskan darahnya,” berkata Kiai Gringsing.

“Mungkin Kiai. Tetapi asap di telapak tangannya itu hanya dapat menakut-nakuti tikus sawah. Sepupu murid Kiai itu nampaknya sudah memiliki pengalaman yang sangat luas dan dalam, meskipun nampaknya masih sangat muda,” berkata Bango Lamatan.

“Kau dapat melaporkannya kepada Kecruk Putih,” berkata Kiai Gringsing, “ia bukan satu-satunya orang yang pantas menghimpun kekuatan yang berada di padepokan-padepokan atau perguruan-perguruan. Apalagi dengan langsung menyangkutkannya dengan kekuatan Panembahan di Madiun. Meskipun aku tahu, bahwa Panembahan Madiun memiliki darah keturunan langsung dari Demak, tetapi bukan itu yang penting. Wahyu keraton telah berada di Mataram, sesuai dengan ketajaman penglihatan seorang yang berilmu kajiwan sangat tinggi, serta landasan kepercayaan yang teguh kepada Yang Maha Agung, bahwa Mataram akan menjadi pusat pemerintahan di Tanah ini.”

Bango Lamatan tersenyum. Katanya, “Biarlah kita berbeda pendapat Kiai.”

“Bagus. Aku memang hanya sekedar menegaskan sikapku,” sahut Kiai Gringsing.

Bango Lamatan mengangguk-angguk pula. Tetapi ia tersenyum semakin lebar melihat kawan Bandar Anom yang masih saja berloncatan sendiri.

Namun dalam pada itu, Glagah Putih pun telah melihat asap di telapak tangan lawannya itu setiap kedua telapak tangannya mengatup rapat. Seakan-akan di antara kedua telapak tangannya itu terdapat bara api yang membakar kulitnya.

Tetapi Glagah Putih sama sekali tidak menjadi gentar. Bahkan usaha lawannya untuk menakut-nakutinya itu justru dengan tidak disadarinya telah memperpendek kesempatannya untuk bertempur melawan Glagah Putih, karena Glagah Putih yang melihat asap itu merasa perlu untuk mengetrapkan ilmu pamungkasnya pula. Ia sudah menduga bahwa asap di telapak tangan lawannya itu adalah pertanda tingkat ilmu yang sangat tinggi.

Beberapa saat kemudian, kawan Bandar Anom itu masih berloncatan di atas pasir tepian. Geraknya memang menjadi semakin mantap. Selain asap di telapak tangannya yang kadang-kadang nampak mengepul tipis, Glagah Putih pun melihat kaki orang itu seakan-akan semakin lama semakin membenam dalam pasir tepian.

“Memang luar biasa,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya.

Orang itu sama sekali tidak berpaling kepada Glagah Putih. Ia merasa yakin, bahwa Glagah Putih tidak akan berani berbuat sesuatu setelah melihat kelebihan-kelebihannya. Anak itu tentu akan segera menyerah dan menerima perlakuan apa saja atas dirinya. Dengan demikian, ia akan dapat dengan sombong menunjukkan kepada Bango Lamatan, dan kebetulan pula Orang Bercambuk yang datang, bahwa anak itu sama sekali tidak berani melawannya.

Di sisi lain, Bandar Anom telah bertempur dengan sengitnya. Ternyata ia tidak mengulang kesalahannya. Ia tidak meningkatkan ilmunya selapis demi selapis, setelah ia menyadari bahwa lawannya bukanlah seorang yang baru kemarin masuk padepokan Orang Bercambuk itu.

Dengan demikian maka Bandar Anom telah membetulkan kesalahannya. Ia telah membuang banyak waktu tanpa arti sama sekali. Bahkan banyak membuang tenaga sia-sia.

Karena itu, maka iapun telah meningkatkan ilmunya dengan loncatan yang jauh. Tiba-tiba saja Bandar Anom telah sampai ke tataran yang sangat tinggi, meskipun belum mencapai puncaknya. Ia masih menyisakan ilmunya, karena ia ingin menghancurkan lawannya tanpa puncak ilmunya.

Agung Sedayu memang terdesak sesaat. Orang itu menjadi semakin cepat dan semakin mantap bergerak. Tampak tangannya berputaran dengan ayunan yang mendebarkan, seakan-akan ayunan bandul besi yang berat pada tali ijuk yang kuat.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar