Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 236

Buku 236

Beberapa saat kemudian, maka serangan-serangan mereka pun telah mulai mengenai sasaran. Tangan anak Ki Lurah Citrabawa itu sempat menyambar lambung Glagah Putih. Tetapi dengan mengerahkan daya tahan tubuhnya, maka dengan cepat ia menguasai dirinya sepenuhnya. Bahkan ketika kaki lawannya terjulur ke arah dadanya, Glagah Putih sempat merendah. Satu putaran kakinya telah menyambar kaki lawannya demikian ia berjejak di atas tanah. Tetapi anak Ki Lurah Citrabawa itu tepat pada waktunya telah melenting kembali untuk menghindari serangan kaki Glagah Putih yang menyapu kakinya. Tetapi ketika ia sekali lagi berdiri tegak, maka ia sama sekali tidak sempat mengelak ketika tangan Glagah Putih menghantam dadanya.

Anak Ki Lurah Citrabawa itu terdorong beberapa langkah surut. Ketika Glagah Putih memburunya, maka lawannya itu justru melenting untuk mengambil jarak. Tetapi Glagah Putih tidak membiarkannya. Iapun telah meloncat dengan loncatan yang lebih panjang, sehingga ketika lawannya itu tegak, Glagah Putih telah berada di sampingnya. Tangannya terayun deras menyambar kening anak Ki Lurah Citrabawa. Tetapi anak Ki Lurah itu sempat membungkukkan badannya.

Namun perhitungan Glagah Putih ternyata lebih cermat. Demikian lawannya membungkuk, maka sambil meloncat maju, lututnya telah diangkatnya. Hampir saja lutut Glagab Putih mengenai dahi anak Ki Lurah itu. Tetapi dengan cepat, anak Ki Lurah itu sempat mendorong kaki Glagah Putih ke samping sementara anak Ki Lurah itu bergeser selangkah. Namun yang terjadi adalah putaran kaki Glagah Putih telah menghantam punggungnya.

Anak Ki Lurah Citrabawa itu hampir saja jatuh terjerembab. Tetapi dengan tangkas ia justru berguling dalam putaran yang mapan beberapa kali, sehingga akhirnya ia melenting berdiri.

Glagah Putih yang siap memburunya tertegun. Ia melihat lawannya itu menggenggam senjata di tangannya. Sepasang pisau belati panjang di kedua tangannya.

Glagah Putih berdiri tegak dengan tatapan mata yang tajam. Sekali dipandanginya sepasang pisau belati panjang itu. Kemudian ditatapnya wajah orang yang menjadi sangat marah itu.

“Kau memang harus dibunuh, Anak Iblis,“ geram anak Ki Lurah Citrabawa itu.

Glagah Putih termangu-mangu. Sebagai seorang yang berilmu, maka ia dapat melihat kemampuan lawannya dengan melihat caranya menggenggam sepasang pisau belatinya itu.

“Kau akan mati Anak Muda. Pisau-pisauku ini adalah pisau-pisau yang bertuah. Jika keduanya sudah disentuh silirnya angin, maka keduanya harus dibasahi dengan darah. Sayang, bahwa kali ini darahmu-lah yang akan membasahi pisau belati ini.“

Glagah Putih masih berdiri tegak. Pisau belati itu agaknya terbuat dari baja pilihan. Tidak berkilat seperti kebanyakan pisau belati. Tetapi pisau-pisau itu berwarna kelam. Namun dengan demikian Glagah Putih mengerti, bahwa pisau belati itu memang bukan pisau belati kebanyakan, meskipun ujud dan bentuknya memang sebagaimana pisau belati yang lain. Glagah Putih pun segera bersiap ketika ia melihat lawannya itu maju selangkah demi selangkah.

Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu menjadi tegang. Mereka tidak melihat Glagah Putih membawa senjata apapun. Di lambungnya tidak tergantung pedang. Di punggungnya tidak terselip keris. Bahkan pisau belati pun agaknya ia tidak membawa.

Sesaat kemudian, maka anak Ki Lurah Citrabawa itu telah meloncat menyerangnya. Kedua pisau belatinya menyambar-nyambar dengan dahsyatnya. Bayangan yang berputaran menyelubungi anak Ki Lurah yang menjadi semakin garang.

Namun kemarahannya yang bagaikan meledakkan kepalanya itu telah memeras kemampuan dan ilmunya yang sebenarnya. la menjadi semakin keras dan kasar.

Ternyata orang itu benar-benar menguasai sepasang senjatanya. Bahkan bukan saja ketrampilannya, tetapi orang itu memang memiliki ilmu yang rumit. Beberapa kali Glagah Putih harus berloncatan surut untuk mengambil jarak jika keadaannya menjadi sulit oleh serangan-serangan yang datang beruntun susul menyusul.

Ki Lurah Branjangan pun menjadi tegang pula. Anak Ki Lurah Citrabawa dengan sepasang pisau belatinya memang nampak sangat garang. Beberapa kali ia berhasil mendesak Glagah Putih, sehingga kedudukan Glagah Putih pun menjadi semakin berbahaya.

Untuk beberapa saat Glagah Putih masih bertumpu pada kemampuannya bergerak cepat dan ketangkasannya mengelakkan diri dari ujung-ujung senjata lawannya itu. Namun ternyata kemudian bahwa ia semakin mengalami kesulitan. Bahkan beberapa saat kemudian Glagah Putih itu telah terdesak ke tebing bukit.

Rara Wulan yang melihat pertempuran itu kadang-kadang harus menyembunyikan wajahnya, atau berpaling sambil memejamkan matanya. Namun ketegangan yang mencengkam jantungnya membuatnya berpegangan kepada kakeknya semakin erat.

Sementara itu terdengar Ki Lurah Citrabawa tertawa. Semakin lama semakin keras. Katanya di sela-sela derai tertawanya, “He, Branjangan. Lihatlah. Anak yang ditugaskan oleh Ki Gede Menoreh itu sebentar lagi akan mati. Ia tidak akan mungkin mampu bertahan menghadapi ilmu pedang anakku, yang disebutnya ilmu pedang Sapu Angin.“

Ki Lurah Branjangan tidak menjawab. Tetapi ia memang semakin berdebar-debar melihat ilmu pedang anak Ki Citrabawa itu. Kedua pisau belati panjang di tangannya telah berputaran dengan cepat sekali, sehingga nampak seakan-akan gumpalan awan yang hitam kelabu bergulung-gulung menyerang Glagah Putih, yang nampaknya menjadi semakin terdesak.

Suara tertawa Ki Lurah Citrabawa pun menjadi semakin keras, sementara Rara Wulan mulai terisak. Baginya Glagah Putih adalah harapan terakhir untuk menyelamatkannya. Jika Glagah Putih itu benar-benar terbunuh, maka ia tentu akan dibawa oleh laki-laki yang tidak dikenalnya itu. Sementara itu, iapun telah pula menyebabkan kematian anak muda dari Tanah Perdikan itu.

Teja Prabawa dan Wirastama menyaksikan pertempuran itu dengan nafas yang bagaikan terhenti. Keduanya membeku dalam ketegangan yang mencengkam. Wirastama yang tidak ingin dilampaui kemampuannya itu, ternyata menjadi cemas pula melihat keadaan Glagah Putih. 

Sementara itu, anak Ki Lurah Citrabawa itu semakin mendesak lawannya. Ketika Glagah Putih telah berada di bawah tebing bukit, orang itu menggeram, “Sayang Anak Muda. Kau telah mencampuri persoalan orang lain. Sekarang, sesalilah perbuatanmu itu beberapa saat sebelum koyak oleh senjataku ini.”

Glagah Putih menggeretakkan giginya. Iapun menjadi marah melihat sikap lawannya. Sementara itu sekilas ia sempat melihat orang-orang yang membeku menyaksikan pertempuran itu. Jarak mereka sudah menjadi agak jauh karena Glagah Putih yang telah terdesak sampai ke tebing. Namun orang-orang itu masih sempat menyaksikan pertempuran itu dengan jelas. Mereka pun dapat melihat dengan jelas pula, bahwa Glagah Putih telah terdesak sampai ke tebing. Adalah kebetulan bahwa Glagah Putih ketika berloncatan surut tidak memperhatikan jalan setapak di lereng bukit itu, sehingga ia masih akan mendapat kesempatan untuk naik dan menghindari serangan-serangan anak Ki Lurah Citrabawa itu.

“Kakek,“ Rara Wulan memang tidak dapat menahan tangisnya.

“Kalian tidak akan dapat melarikan diri,“ berkata Ki Lurah Citrabawa.

Tetapi Ki Lurah Branjangan berpendapat lain, katanya, “Pertempuran itu belum berakhir.“

Ki Lurah Citrabawa termangu-mangu sejenak. Dipandanginya anaknya yang berdiri tegak dengan sepasang pisau belati di tangannya. Di hadapannya Glagah Putih berdiri di wajah tebing hampir tegak yang terdiri dari batu-batu padas yang berlumut kehijau-hijauan. 

Sementara itu, anak Ki Lurah Citrabawsritu berkata pula, “Sepasang pisauku akan berterima kasih kepadamu, karena sempat menghirup darah anak yang masih terlalu muda untuk mati. Tetapi darahmu tentu jauh lebih segar daripada darah Ki Lurah Branjangan yang tua itu.“

Suara tertawa anak Ki Lurah Citrabawa masih terdengar. Bahkan kemudian semakin keras dan bergema pada dinding-dinding pada pebukitan.

“Jangan sesali nasibmu Anak Muda,” anak Ki Lurah Citrabawa itu menggeram.

Namun dalam pada itu, ketika jantung Ki Lurah Branjangan dan orang-orang lain yang menyaksikan pertempuran itu bagaikan berhenti berdetak, mereka melihat tangan Glagah Putih melepas ikat pinggang kulitnya. Kemudian menarik kain panjangnya dan mengikatkannya pada lambungnya. Dengan ikat pinggang kulit di tangan, maka Glagah Putih berdiri tegak menunggu kemungkinan yang bakal terjadi.

“Gila,“ geram anak Ki Lurah Citrabawa, “kau masih sempat menghina aku he? Buat apa ikat pinggang kulit seperti itu?“

Glagah Putih sama sekali tidak menjawab. Ia mulai menggerakkan ikat pinggangnya. Terayun-ayun di sisi tubuhnya. Namun kemudian iapun berkata, “Bersiaplah Ki Sanak. Saat kematian kita bukanlah kita yang menentukan. Karena itu, maka aku atau kau yang akan mati, tidak akan dapat kita pastikan menurut keinginan kita.“

“Persetan,“ geram anak Ki Lurah Citrabawa. Agaknya ia sudah tidak ingin menunda-nunda lagi. Karena itu maka kedua pisau belati yang berwarna suram di tangannya itu pun mulai berputar. Semakin lama semakin cepat.

Demikianlah, sesaat kemudian maka anak Ki Lurah Citrabawa itu pun telah meloncat dengan garangnya. Sebuah dari pisau belatinya mematuk lurus ke arah dada, sementara yang lain siap untuk terayun mendatar jika Glagah Putih mengelak ke samping.

Namun adalah di luar dugaan. Demikian pisau belati itu meluncur dengan derasnya, maka Glagah Putih yang telah menggerak-gerakkan ikat pinggangnya itu memiringkan tubuhnya. Iapun menyadari adanya pisau belati yang ada di tangan lawannya yang lain. Karena itu, ia tidak meloncat menghindar, tetapi dengan kecepatan yang sulit diikuti dengan mata wadag, ia justru telah menangkis serangan lawannya. Pisau belati yang mematuk lurus ke dada Glagah Putih itu tiba-tiba bagaikan terpukul oleh tongkat baja sebesar batang wregu dengan kekuatan yang tidak terduga. Karena itu, maka tanpa dapat dimengerti sama sekali, pisau belati yang terjulur ke arah dada itu, telah terlempar dan jatuh beberapa langkah dari anak Ki Citrabawa yang terkejut itu.

Glagah Putih yang berhasil melepaskan satu senjata lawannya itu sebenarnya mempunyai kesempatan yang lebih baik dari lawannya untuk menyerang. Ikat pinggangnya yang telah menjadi sekuat keping baja itu sudah siap untuk menusuk. Meskipun ujungnya sama sekali tidak runcing, namun kekuatan Glagah Putih akan mampu membelah dada lawannya dengan senjatanya yang khusus itu.

Tetapi ketika senjata itu mulai terjulur, maka Glagah Putih telah menahan diri. Pengaruh Raden Rangga mulai nampak di dalam sikapnya yang meyakinkan, tetapi agak menyakitkan hati.

Glagah Putih yang urung memecahkan tulang-tulang iga lawannya itu telah memutar ikat pinggangnya di sisi tubuhnya sambil berkata, “Nah Ki Sanak. Ambillah senjatamu. Dengan sepasang senjata kau tidak mampu berbuat apa-apa atasku. Apalagi hanya dengan sebuah dari sepasang senjatamu.“

Wajah anak Ki Lurah Citrabawa itu menjadi merah. Penghinaan itu benar-benar telah menyengat jantungnya.

Namun Glagah Putih telah membentak, “Cepat! Ambil pisaumu!“

Lawannya masih agak kebingungan. Namun karena orang itu tidak segera mengambil pisaunya, maka tiba-tiba saja Glagah Putih telah meloncat menyerang. Ikat pinggangnya terayun cepat sehingga desing angin telah menyakitkan telinga lawannya. Bahkan gerak ikat pinggang itu demikian cepatnya, sehingga lawannya pun dengan serta merta telah menangkisnya. Tetapi sekali lagi, lawannya terkejut sekali. Pisaunya yang sebuah itu pun ternyata telah terlepas dan terlempar pula dari tangannya. Orang itu meloncat beberapa langkah surut untuk mengambil jarak.

Glagah Putih tiba-tiba saja tertawa. Katanya di sela-sela derai tertawanya, “Kasihan kau Ki Sanak. Kau telah kehilangan semua senjatamu. Ambillah. Aku akan menunggu.“ Telinga lawannya bagaikan tersentuh api. Sikap Glagah Putih yang tiba-tiba berubah itu telah sangat menyakitkan hatinya. la sama sekali tidak menyangka, bahwa ia telah berhadapan dengan anak muda yang berilmu sangat tinggi.

Namun dalam pada itu, Glagah Putih berkata, “Ki Sanak. Aku tahu kau berilmu tinggi. Kau tentu tidak akan begitu mudah kehilangan senjata jika kau tidak terlalu sombong. Kau terlalu merendahkan lawanmu sehingga kau lengah. Karena itu sekali lagi aku minta, ambil senjatamu. Aku tidak mau memenangkan pertempuran ini secara kebetulan, bahwa lawanku adalah seorang yang sombong sehingga menjadi lengah. Aku ingin bertempur sebagaimana seorang laki-laki jantan. Kita beradu dada, sama-sama siap dan sempat mengerahkan semua ilmu yang kita miliki. Aku tahu, bahwa kau belum sampai ke puncak ilmumu, sehingga jika kau terbunuh sekarang, kau tentu sangat menyesal oleh kelengahan itu.“

“Persetan,“ orang itu menggeram dengan kemarahan yang menghentak-hentak di dadanya.

Tetapi Glagah Putih justru tersenyum. Dengan nada tinggi ia berkata, “Jangan marah. Tentunya gurumu pernah berpesan kepadamu agar kau tidak cepat menjadi marah dalam pertempuran. Kemarahan akan dapat membuat seseorang kehilangan pengamatan diri. Hal itu akan dapat mempercepat kekalahanmu.“

Anak Ki Lurah Citrabawa itu menggeretakkan giginya. Hampir di luar sadarnya ia berpaling ke arah pisau-pisaunya yang terlepas dari tangannya.

“Ambil. Ambillah Ki Sanak,“ berkata Glagah Putih sambil tersenyum.

Orang itu pun tidak memperdulikan harga dirinya lagi. Kemarahannya tidak dapat ditahankannya lagi, sehingga ia benar-benar ingin membunuh anak muda yang di matanya menjadi sangat sombong itu. Karena itu, maka tiba-tiba saja orang itu meloncat menggapai pisau-pisaunya yang terlepas dari tangannya.

Ki Lurah Branjangan menjadi berdebar-debar sesaat. Iapun melihat perubahan sikap Glagah Putih. Ia tidak lagi membayangkan sikapnya yang dengan sungguh-sungguh mengangguk hormat. Tetapi anak muda itu memang bersikap lain. Tertawanya yang ceria dan sikapnya yang telah menjadi bebas dan tidak terkekang oleh keseganan yang membelenggunya.

Wirastama pun terkejut bukan kepalang melihat perkelahian itu. Apalagi karena anak Ki Lurah Citrabawa itu telah kehilangan kedua pisaunya, serta kesempatan yang diberikan Glagah Putih kepadanya untuk mengambil pisaunya itu kembali.

“Siapakah Glagah Putih itu sebenarnya?“ pertanyaan itu tiba-tiba saja telah membelit di hatinya.

Rara Wulan yang putus asa, telah menemukan harapannya kembali, sehingga tangisnya pun telah terhenti, sedangkan Teja Prabawa menjadi kebingungan. la merasa bersalah atas sikapnya terhadap anak muda padesan yang kakinya kotor oleh lumpur dan pakaiannya basah oleh keringat karena kerja di sawah itu. Ternyata anak muda itu memiliki ilmu yang sangat tinggi.

Beberapa saat kemudian, kedua orang yang bertempur itu telah berdiri saling berhadapan. Anak Ki Citrabawa telah menggenggam sepasang pisaunya kembali, sementara ikat pinggang Glagah Putih pun masih saja terayun-ayun di sisi tubuhnya. Menurut penglihatan lawannya, ikat pinggang itu adalah ikat pinggang kulit seperti ikat pinggang kebanyakan. Namun sentuhan ikat pinggang itu bagaikan sentuhan lempeng baja yang tebal dan kuat, melampui kuatnya pedang yang terbaik sekalipun.

“Marilah Ki Sanak,“ terdengar Glagah Putih, “kita akan dapat segera mulai. Kita berhadapan dalam kesiagaan yang sama. Kau jangan menjadi lengah lagi karena kesombonganmu. Jika terjadi sekali lagi demikian, dan kemudian dadamu pecah karena ikat pinggangku, maka itu sama sekali bukan salahku lagi. Jangan kau sebut aku terlalu kejam menghadapi orang sekasar kau.“

Anak Ki Lurah Citrabawa itu tidak dapat menahan getar kemarahannya lagi. Karena itu, maka iapun kemudian telah menyerang Glagah Putih dengan sepasang pisau belati yang berputar.

Gumpalan asap kelabu nampak lagi di seputar anak Ki Lurah Citrabawa. Sepasang putaran asap yang bergerak-gerak semakin lama menjadi semakin dekat dengan tubuh Glagah Putih yang masih tetap berada di tempatnya.

Namun Glagah Putih pun telah bersiap pula. Ketika gumpalan asap kelabu itu menjadi semakin dekat, maka Glagah Putih pun mulai memutar ikat pinggangnya pula.

Demikianlah, maka sejenak kemudian pertempuran pun telah berlangsung lagi dengan dahsyatnya. Keduanya adalah orang-orang berilmu tinggi. Keduanya mampu menguasai senjata masing-masing dengan baik dan bahkan hampir sempurna.

Kedua pisau belati itu berganti-ganti menyambar tubuh Glagah Putih. Jika sebuah diantaranya mematuk, maka yang lain siap menyambar tubuh Glagah Putih yang terlempar menghindar. Namun tidak terlalu mudah untuk menyentuh tubuh Glagah Putih. Ikat pinggangnya-lah yang menyambar senjata lawannya itu.

Tetapi lawannya memang menjadi semakin berhati-hati. Disadarinya kekuatan Glagah Putih yang sangat besar, sehingga karena itu maka iapun telah menggenggam senjatanya erat-erat.

Namun kemampuan Glagah Putih bermain dengan ikat pinggangnya memang mengagumkan. ltulah sebabnya maka lawannya kadang-kadang harus berloncatan surut menghindari kejaran senjata anak padesan itu.

“Mari Ki Sanak,“ suara Glagah Putih terdengar bernada tinggi, “jangan terlalu sering menjauhi arena. Bukankah kita sudah bertekad bertempur sampai tataran ilmu kita yang tertinggi?“

Namun ternyata bahwa ilmu pedang anak Ki Lurah Citrabawa itu sulit untuk mengimbangi kemampuan Glagah Putih mempermainkan senjatanya. Karena itu, maka anak Ki Lurah Citrabawa itu mulai berloncatan menjauh.

Namun Glagah Putih tidak melepaskannya. Kemarahannya telah membakar jantungnya atas sikap orang itu, meskipun ia masih berhasil menguasai perasaannya itu pada sikap dan geraknya dalam olah kanuragan, sehingga ia masih tetap mampu mempergunakan nalarnya dengan jernih.

Pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin berat sebelah. Anak Ki Lurah Citrabawa menjadi semakin terdesak, sehingga arena itu pun telah bergeser lagi, semakin dekat dengan Ki Lurah Citrabawa yang menunggu kemenangan anak laki-lakinya. Tetapi anaknya selalu terdesak, sehingga akhirnya ia berteriak, “Selesaikan anak itu dengan ilmu pamungkasmu! Jangan segan-segan lagi, dan jangan menunggu sampai kau menjadi korban keganasannya itu.“

Anak Ki Lurah Citrabawa itu pun telah mengambil jarak.

Sementara itu Glagah Putih pun termangu-mangu melihat sikap orang itu. Ia telah kehilangan kesempatan untuk mengalahkan Glagah Putih dengan ilmu Sapu Anginnya. Namun agaknya orang itu masih akan melepaskan jenis ilmunya yang lain.

Anak Ki Lurah yang telah bersiap itu termangu-mangu sejenak. Namun Ki Lurah Citrabawa itu berteriak, “Untuk apa kau berguru jika kau biarkan dirimu dihina oleh anak padesan? Seandainya ia mati sekalipun, tidak akan ada yang menyesalinya. Dunia tidak akan merasa kehilangan apapun juga.“

Sebenarnyalah anak Ki Lurah Citrabawa itu segera bersiap. Tiba-tiba saja ia telah mengatupkan kedua telapak tangannya yang sudah tidak menggenggam senjatanya lagi itu. Kemudian kedua tangannya bersilang sejajar di depan dadanya. Dengan satu gerak yang khusus, anak Ki Lurah Citrabawa itu telah menghentakkan tangannya yang terbuka menghadap ke arah Glagah Putih.

“Nah, itulah ilmu Sapu Angin yang sebenarnya,“ teriak Ki Lurah Citrabawa yang berbangga dengan ilmu anaknya itu.

Sebenarnyalah dari telapak tangan anak Ki Lurah Citrabawa itu seakan-akan telah berhembus angin yang sangat keras. Hanya tertuju ke arah sasarannya saja, sehingga dengan demikian maka serangan itu merupakan sarangan yang sangat berbahaya. Jika serangan itu menyentuh lawannya, maka serangan itu akan dapat meremukkan bagian dalam tubuhnya.

Namun Glagah Putih dengan cepat telah meloncat menghindar. Karena itu, gumpalan arus udara yang sangat dahsyat itu tidak menyentuh tubuhnya. Namun ternyata orang-orang yang menyaksikan kedahsyatan ilmu itu menjadi berdebar-debar. Serangan yang luput dari sasaran itu, telah menghantam batu-batu padas di tebing, sehingga gumpalan-gumpalan batu padas telah berguguran.

Ketika kemudian Glagah Putih berdiri tegak, maka jantungnya menjadi berdebaran. Anak Ki Lurah Citrabawa itu benar-benar tidak lagi mengekang diri. Ilmunya memang menggetarkan jantung. Namun bahwa orang itu telah mempergunakannya, maka Glagah Putih pun benar-benar telah menjadi marah.

Tetapi Glagah Putih masih tetap menyadari kedudukannya. Sehingga karena itu, maka ia masih mampu mengendalikan diri dari dorongan keinginannya untuk membalas lawannya. Jika lawannya itu benar-benar ingin membunuhnya, kenapa ia tidak melakukannya juga? Namun Glagah Putih memang ingin menghentikan ketamakan anak Ki Lurah Citrabawa itu.

Karena itu, maka Glagah Putih pun telah berniat untuk membentur ilmu orang itu dengan ilmunya. Menurut pendapat Glagah Putih, maka orang itu tentu akan sedikit terlindung sehingga ilmu Glagah Putih tidak akan melumatkannya.

Sebenarnyalah, ana Ki Lurah Citrabawa yang gagal dengan serangan pertamanya itu, telah bersiap-siap untuk menyerang kembali. Apalagi ketika ayahnya berteriak, “Jangan menahan diri! Jangan membiarkan kau menjadi sasaran kesombongannya dan terkapar mati di sini!“

Anak Ki Lurah Citrabawa itu memang tidak ragu-ragu lagi. Dipusatkannya nalar budinya. Disusunnya tataran ilmu pamungkasannya, sehingga akhirnya digerakannya tangannya sesuai dengan arus ilmunya sehingga akhirnya dihentakkannya tangannya dengan telapak tangannya menghadap ke arah Glagah Putih.

Glagah Putih tidak mengelak. Iapun menggerakkan tangannya pula. Kedua telapak tangannya kemudian telah menghadap ke arah anak Ki Lurah Citrabawa yang sedang menghentakkan ilmu Sapu Angin menurut aliran perguruannya.

Ternyata Glagah Putih telah melontarkan ilmunya pula. Ilmu yang mengendap di dalam dirinya dan dihentakkannya sesuai dengan ajaran yang diberikan oleh Ki Jayaraga.

Karena Glagah Putih tidak berniat membunuh lawannya, maka ia berusaha melawan aliran perguruan anak Ki Citrabawa itu hanya dengan kekuatan udara di dalam dirinya. Sehingga demikian maka tiba-tiba dari tangan Glagah Putih itu telah memancar pula arus udara yang dahsyat.

Kedua kekuatan ilmu yang tinggi telah saling berbenturan. Namun ternyata Glagah Putih memang memiliki kelebihan dari lawannya. Meskipun Glagah Putih masih lebih muda, tetapi ia telah memiliki pengalaman yang sangat banyak. Apalagi pada masa-masa persahabatannya dengan Raden Rangga. Bahkan landasan ilmu keduanya pun memang kurang seimbang. Glagah Putih yang mendapatkan ilmunya dari berbagai sumber yang kemudian telah luluh di dalam dirinya itu, ternyata jauh lebih kuat dan lebih matang dari ilmu lawannya. Dengan demikian, maka benturan ilmu itu memang telah mengejutkan Ki Lurah Citrabawa.

Sementara itu, orang-orang yang menyaksikan benturan itu pun telah menahan nafas. Mereka melihat Glagah Putih bergetar dan terdorong selangkah surut. Namun ia tetap berdiri tegak dan bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Namun anak Lurah Citrabawa itu ternyata telah terlempar beberapa langkah. Ia tidak berhasil mempertahankan keseimbangannya, sehingga ia telah terbanting jatuh. Beberapa kali ia terguling agar tubuhnya tidak menjadi semakin sulit karena menahan hentakan yang sangat kuat.

Anak Ki Lurah itu memang berusaha untuk meloncat bangkit. Namun ternyata benturan ilmu yang terjadi itu telah menghantam dadanya dengan dahsyatnya. Karena itu, maka demikian ia tegak, maka ternyata dadanya bagaikan terhimpit sepasang batu raksasa. Tulang-tulangnya bagaikan berpatahan, sehingga iapun telah terhuyung-huyung lagi dan jatuh terlentang.

Ki Lurah Citrabawa pun telah berlari mendekati anaknya yang terjatuh. Dengan serta merta iapun telah berjongkok di sisi tubuh anaknya itu.

“Anakku, anakku,“ desis Ki Lurah Citrabawa.

Anaknya itu mengerang kesakitan. Punggungnya rasa-rasanya telah berpatahan, sementara dadanya menjadi sesak. Ilmu yang dilontarkan ke arah Glagah Putih ternyata telah membentur kekuatan ilmu Glagah Putih dan justru berbalik menghantam dirinya sendiri.

“Ayah,“ desis orang itu.

“Bagaimana keadaanmu?“ bertanya Ki Lurah itu dengan cemas.

Orang itu mencoba menarik nafas dalam-dalam. Tetapi dadanya justru terasa sakit sekali.

“Tolong aku duduk Ayah,“ minta orang itu.

Ki Lurah Citrabawa telah menolong anaknya untuk duduk. Dengan hati-hati orang itu menarik nafas panjang karena hal itu tidak dapat dilakukannya sambil terbaring. Namun dadanya memang masih terasa sakit. Meskipun demikian, sambil duduk, rasa-rasanya sesak nafasnya sedikit dapat diatasi.

Ketika Glagah Putik kemudian melangkah mendekat, maka Ki Lurah Citrabawa itu pun berkata dengan suara sendat, “Aku minta maaf. Jangan kau bunuh anakku.“

Glagah Putih tidak menjawab. Selangkah demi selangkah ia maju mendekati orang yang telah terluka di dalam itu.

“Ampun Anak Muda,“ suara Ki Lurah Citrabawa menjadi gemetar.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia berdiri saja memandangi keadaan lawannya yang gawat itu.

Ki Lurah Branjangan-lah yang kemudian mendekati Glagah Putih. Dengan nada rendah ia berkata, “Apa yang akan kau lakukan?“

Glagah Putih termangu-mangu. Di luar sadarnya dipandanginya orang-orang yang bagaikan membeku di seputar arena itu. Wirastama, Teja Prabawa dan Rara Wulan.

Sejenak Glagah Putih terdiam. Namun tiba-tiba saja ia berkata lantang, “Ki Lurah Citrabawa. Bawa anakmu pergi sebelum jantungku digelitik iblis. Jika demikian, maka mungkin aku akan dapat membunuhnya.“

“Baik. Baik Anak Muda. Aku akan membawanya pergi,“ suara Ki Lurah menjadi semakin gagap.

Tetapi ketika Ki Lurah mencoba membantu anaknya berdiri, orang itu justru menyeringai kesakitan. Bahkan setitik darah telah mengembun di bibirnya.

“Persetan,“ geram Glagah Putih.

“Aku akan membawanya pergi,“ berkata Ki Lurah dengan suara gemetar.

Tetapi keadaan anak bungsunya itu justru menjadi gawat. Karena itu, maka Ki Lurah itu pun berkata, “Aku minta ijin untuk mempergunakan waktu sekejap saja.“

“Apa yang akan kau lakukan?“ bertanya Glagah Putih.

“Aku ingin memberikan obat kepada anakku ini. Sekedar untuk meningkatkan daya tahannya, agar ia tidak mati karena luka-lukanya,“ sahut Ki Lurah Citrabawa.

Wajah Glagah Putih menjadi tegang. Namun kemudian katanya kepada Ki Lurah Branjangan, “Ki Lurah Branjangan. Marilah kita kembali. Biarlah Ki Lurah Citrabawa mengurus anak laki-lakinya yang dibangga-banggakannya itu.”

Ki Lurah Branjangan mengangguk. Katanya, “Marilah. Aku sependapat dengan sikapmu yang terpuji itu. Nampaknya kau memiliki sikap Kakangmu Agung Sedayu, namun juga pengaruh sikap Raden Rangga.“

“Lupakan itu Ki Lurah,“ berkata Glagah Putih sambil melangkah.

Ki Lurah Branjangan pun kemudian mengajak kedua cucunya untuk mengikuti Glagah Putih yang berjalan mendahului mereka menuju ke padukuhan induk. Sementara itu Wirastama pun telah menyertai mereka pula.

Di perjalanan itu, Glagah Putih hampir tidak pernah berpaling. la berjalan di paling depan. Meskipun tidak begitu cepat, tetapi ia tidak memberi kesempatan kepada orang-orang lain untuk berjalan bersamanya. Rasa-rasanya ia ingin berjalan seorang diri sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam. Merenungi peristiwa yang baru saja terjadi.

Sementara itu Rara Wulan sempat bertanya, “Tadi Kakek menyebut nama Raden Rangga di samping sebuah nama yang lain.“

“Ya,“ jawab Ki Lurah Branjangan, “anak muda itu adalah adik sepupu Agung Sedayu. Sahabat Panembahan Senapati sebelum Panembahan Senapati bertahta di Mataram. Umurnya memang bertaut sedikit. Panembahan Senapati lebih tua hanya beberapa tahun saja. Keduanya adalah orang-orang yang senang menjelajahi tempat-tempat yang paling baik untuk memusatkan nalar budi dan menjalani laku dalam olah kanuragan. Sedangkan Glagah Putih adalah sahabat yang paling dekat dengan Raden Rangga.“

“Raden Rangga putra Panembahan Senapati yang Kakek maksud?“ bertanya Teja Prabawa.

“Ya. Di Mataram tidak ada Raden Rangga yang lain. Kau tahu, senjata yang dipergunakan oleh Glagah Putih tadi?“ berlanya Ki lurah.

“Ikat pinggang?“ jawab Teja Prabawa.

“Ikal pinggang pemberian Ki Mandaraka,“ jawab Ki Lurah.

“Jadi anak itu sudah sering berada di Kotaraja?“ bertanya Teja Prabawa.

“Ya. Kau kira hanya kau sajakah yang pernah berada di Kotaraja? Sedangkan kau sama sekali belum mengenal Raden Rangga. Kau pun jarang sekali, bahkan belum pernah, masuk ke dalam istana Panembahan Senapati. Anak muda itu sudah sering bermalam di istana,“ jawab Ki Lurah Branjangan.

Teja Prabawa dan Rara Wulan termangu-mangu. Sementara itu Wirastama pun menjadi berdebar-debar mendengar cerita Ki Lurah Branjangan.

“Kau tidak percaya?“ desis Ki Lurah kepada kedua cucunya.

Rara Wulan memandang Glagah Putih yang berjalan di depan beberapa langkah. Namun anak itu tidak mendengar apa yang sedang dipercakapkan antara seorang kakek dan kedua orang cucunya itu.

Di mata Rara Wulan Glagah Putih itu rasa-rasanya telah berubah. Ia bukan saja seorang anak muda padesan yang selalu menundukkan kepalanya dan mengangguk hormat. Tetapi Glagah Putih adalah seorang anak muda yang perkasa. Dalam usianya yang masih muda itu, ia telah memiliki ilmu yang sangat tinggi.

Di luar sadarnya ia berpaling kepada kakaknya, Teja Prabawa. Ternyata bahwa kakaknya bukan apa-apa dibandingkan dengan Glagah Putih. Bahkan Wirastama yang dikagumi kakaknya itu pun tidak setingkat ilmunya dengan anak Tanah Perdikan Menoreh itu.

Namun tiba-tiba Teja Prabawa berkata dengan nada berat, “Kakek tidak pernah bercerita kepada kami tentang anak muda itu. Apalagi bahwa ia adalah sahabat, apalagi yang paling dekat, dengan Raden Rangga.“

“Untuk apa aku bercerita tentang dirinya? Jika kau bersikap baik dengan anak muda itu sejak semula, maka ia tentu akan bercerita sendiri kepada kalian,“ berkata Ki Lurah Branjangan.

Teja Prabawa menundukkan kepalanya. Sementara Ki Lurah Branjangan berkata, “Bagaimana anak itu menahan dirinya menghadapi sikap kalian yang sombong. Untunglah bahwa Glagah Putih adalah sepupu Agung Sedayu, sehingga Agung Sedayu dapat mengendalikannya. Jika Glagah Putih bukan sepupu Agung Sedayu, maka kau berdua tentu sudah dibuatnya jera.“

“Kakek tidak memberitahukan sebelumnya,“ desis Teja Prabawa.

“Aku berbuat demikian dengan pertimbangan tertentu,“ berkata Ki Lurah, “seharusnya, diberi tahu atau tidak diberi tahu, berilmu atau tidak berilmu, kau wajib menghormatinya. la adalah anak muda yang ditunjuk oleh Ki Gede Menoreh, penguasa Tanah Perdikan ini, untuk menemani kalian melihat-lihat Tanah Perdikan ini, sebagaimana yang kita kehendaki sejak kita berangkat dari Mataram. Tetapi kalian terlalu sombong. Kalian merasa diri kalian anak-anak muda dari Kotaraja yang mempunyai kelebihan dari anak-anak padesan. Kalian merasa tidak pantas untuk bergaul dengan anak-anak Tanah Perdikan ini, karena kalian takut akan terpercik lumpur dari tubuh mereka. Tetapi kalian sekarang melihat, bahwa anak-anak muda yang kakinya berlumpur itu memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi dari yang kalian miliki.“

Teja Prabawa tidak menjawab. Tetapi kepalanya telah menunduk dalam-dalam. Wirastama pun tidak berkata sesuatu. Ia tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa anak muda Tanah Perdikan itu memiliki ilmu yang jauh lebih tinggi dari ilmu yang dimilikinya. Tanpa kehadiran Glagah Putih, maka ia tidak akan dapat berbuat banyak untuk mencegah agar Rara Wulun tidak diculik oleh Ki Lurah Citrabawa bersama anak laki-lakinya itu.

Namun dengan demikian, maka usahanya untuk mendekati gadis itu pun akan gagal. Rara Wulan tentu akan menjadi semakin memperhatikan Glagah Putih daripada dirinya.

Jika semula ia ikut merasa bersyukur bahwa Rara Wulan dapat diselamatkan, namun kemudian timbul persoalan yang lain di dalam dirinya. Tetapi sudah barang tentu bahwa Wirastama harus mengakui kenyataan yang dihadapinya. Glagah Putih adalah seorang anak muda yang berilmu tinggi.

Dalam pada itu, maka iring-iringan kecil itu telah melewati beberapa bulak dan padukuhan. Anak-anak muda yang berpapasan dengan Glagah Putih merasa heran, bahwa nampaknya Glagah Putih sedang memikirkan sesuatu. Sikapnya tidak seperti biasanya. Ia menjawab pertanyaan kawan-kawannya dengan kalimat-kalimat yang singkat. Sedangkan senyumnya pun rasa-rasanya terlalu kering.

Tetapi anak-anak muda itu tidak bertanya sesuatu. Mereka pun kemudian mengangguk hormat kepada Ki Lurah Branjangan, serta cucu-cucunya yang sombong menurut penglihatan anak-anak muda Tanah Perdikan itu, serta Wirastama yang angkuh.

Beberapa saat kemudian, maka mereka pun telah memasuki padukuhan induk. Glagah Putih rasa-rasanya menjadi agak tergesa-gesa. Tanpa berpaling ia menuju ke rumah Ki Gede Menoreh. Tetapi ketika ia sampai di depan regol, maka iapun berhenti. Ketika ia berpaling, ternyata Ki Lurah, dua orang cucunya dan Wirastama berjalan agak jauh di belakang.

Glagah Putih tidak segera memasuki halaman. Tetapi menunggu Ki Lurah.

“Marilah,“ ajak Ki Lurah Branjangan ketika ia sampai di depan regol.

“Ki Lurah,“ berkata Glagah Putih kemudian, “maaf Ki Lurah. Aku harus pulang. Silahkan Ki Lurah seria cucu-cucu Ki Lurah, Rara Wulan dan Raden Teja Prabawa, untuk kembali ke gandok bersama Wirastama. Aku akan pulang dahulu.“

“Nanti dulu,“ cegah Ki Lurah, “kau pun harus bersama-sama kami bertemu dan melaporkan peristiwa yang baru saja terjadi kepada Ki Gede. Peristiwa itu terjadi di Tanah Perdikan, sehingga Ki Gede harus mengetahuinya.“

“Tolong Ki Lurah sajalah yang melaporkannya kepada Ki Gede. Aku akan bertemu dengan Kakang Agung Sedayu,“ jawab Glagah Putih. Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Glagah Putih memang seorang yang patuh terhadap kakak sepupunya, sehingga ia merasa wajib untuk melaporkan kepada kakak sepupunya itu lebih dahulu sebelum menghadap Ki Gede.

Ki Lurah pun kemudian tidak mencegahnya. Beberapa saat kemudian anak muda itu tentu akan datang bersama Agung Sedayu. Karena itu maka Ki Lurah pun telah mempersilahkan Glagah Putih justru tidak singgah di rumah Ki Gede.

Ki Lurah-lah yang kemudian telah menemui Ki Gede yang kebetulan telah berada di rumahnya. Dengan singkat ia telah melaporkan apa yang telah terjadi di bawah bukit. Ki Lurah telah mengajak Wirastama, Teja Prabawa dan Rara Wulan bersamanya untuk menjadi saksi dari laporannya.

Ki Gede mendengarkan laporan Ki Lurah itu dengan sungguh-sungguh. Sambil mengangguk-angguk ia kemudian berkata, “Untunglah cucu Ki Lurah dapat diselamatkan. Jika tidak, maka aku-lah yang bertanggung jawab, karena Ki Lurah kini sedang menjadi tamuku.“

“Ternyata Glagah Putih mampu melakukan tugas yang dibebankan kepadanya. Ia akan menjadi kekuatan yang sangat berarti bagi Tanah Perdikan ini, disamping Ki Gede dan Agung Sedayu.“

“Aku sudah tua Ki Lurah,“ Ki Gede itu berdesis. Namun Ki Gede itu terkejut ketika Ki Lurah kemudian menceritakan bahwa anak Ki Lurah Citrabawa yang bungsu itu telah mempergunakan ilmu Sapu Angin.

“Sapu Angin yang mana?“ bertanya Ki Gede.

“Ada berapa jenis ilmu yang disebut Sapu Angin itu?“ bertanya Ki Lurah.

“Ki Lurah,“ berkata Ki Gede dengan dahi yang berkerut, “memang sumber ilmu itu agaknya hanya satu. Tetapi perkembangannya menjadi agak berbeda.“

Ki Lurah Branjanganpun kemudian telah menceritakan apa yang dilihatnya tentang ilmu yang disebut oleh Ki Lurah Citrabawa itu dengan ilmu Sapu Angin. Ilmu yang nampak pada unsur-unsur gerak di saat anak bungsu Ki Lurah Citrabawa itu mempergunakan pisau-pisaunya, tetapi juga di saat anak Ki Lurah Citrabawa itu melontarkan kekuatan angin seakan-akan dari telapak tangannya yang terbuka.

Ki Gede mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Ki Gede berkata, “Ki Lurah pernah mendengar nama Padepokan Kaliwalik, yang berada di dekat suangan Kali Bagawanta?“

Ki Lurah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk sambil berdesis, “Aku memang pernah mendengar.“

“Apakah Ki Lurah juga pernah mendengar nama Ki Ajar Wadal? Seorang Ajar yang hampir tanpa cacat?“ bertanya Ki Gede.

“Ya. Aku pernah mendengar. Tetapi menurut ingatanku, jaman Ki Ajar Wadal bukanlah jaman kita,“ jawab Ki Lurah.

“Ya. Satu keturunan lebih tua,“ jawab Ki Gede, “tetapi ada tiga orang muridnya. Dua orang telah meninggal tanpa diketahui sebabnya, sebelum mereka sempat menurunkan ilmunya. Hanya setahun seterah Ki Ajar itu sendiri meninggal. Sedangkan seorang muridnya bukanlah orang yang baik.“

Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Iapun kemudian segera dapat menangkap maksud Ki Gede. Karena itu, maka katanya, “Jadi ilmu itu bersumber dari padepokan Kaliwalik, namun melalui salah seorang murid yang menurut penilaian Ki Gede kurang baik. ltukah sebabnya maka ilmu yang sampai kepada anak bungsu Ki Lurah Citrabawa itu juga kurang baik?“

“Agaknya memang demikian,“ berkata Ki Gede. “Sebenarnya bukan ilmunya yang wataknya tidak baik. Tetapi orang yang menguasai ilmu itu, justru itulah yang berbahaya. Ilmu yang baik tetapi ada di tangan orang yang tidak baik.”

Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, “Beruntunglah Rara Wulan karena kehadiran Glagah Putih.“

“Tetapi aku tidak tahu, bahwa mungkin sekali Ki Ajar Wadal mempunyai saudara seperguruan, sehingga ilmu yang sampai kepada anak Ki Lurah Citrabawa itu bukan dari satu-satunya murid Ki Ajar yang masih hidup, tetapi disadapnya dari saluran yang berbeda. Namun yang pasti, anak Ki Lurah Citrabawa telah menyalah-gunakan ilmu itu untuk kepentingan yang tidak baik. Sehingga dengan demikian, maka kita harus berhati-hati terhadap ilmu Sapu Angin menurut perguruan tempat anak Ki Lurah Citrabawa berguru. Tidak mustahil bahwa orang itu akan mempergunakannya lagi untuk kepentingan yang juga tidak baik,“ berkata Ki Gede.

Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, “Memang mungkin sekali. Namun masih ada yang aku pikirkan Ki Gede, yang agaknya tidak kalah gawatnya dari kemungkinan itu. Apakah mungkin guru anak Ki Lurah Citrabawa itu tidak tersinggung oleh kekalahan muridnya dari Glagah Putih?“

Ki Gede mengangguk-angguk. Namun katanya, “Glagah Putih masih ju ga dibawah asuhan guru-gurunya. Mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu untuk selanjutnya. Tetapi jika terpaksa guru orang yang dikalahkan oleh Glagah Putih itu merasa tersinggung, maka Glagah Putih akan dapat memohon guru-gurunya untuk membantunya.“

Ki Lurah Branjangan itu pun mengangguk-angguk pula. Katanya, “Ya. Tentu guru-guru Glagah Putih tidak akan membiarkannya. Jika anak-anak berkelahi dan orang tua salah satu di antara mereka ikut pula berkelahi, maka orang tua anak yang lain tidak akan membiarkan anaknya mengalami kesulitan karena perlakuan yang tidak adil. Mudah-mudahan Glagah Putih tidak mengalami kesulitan karena kehadiranku di sini.“

“Tentu tidak. Aku akan berbicara dengan Agung Sedayu dan Ki Jayaraga,“ berkata Ki Gede, “mungkin mereka, atau setidak tidaknya Agung Sedayu, akan datang kemari setelah Giagah Putih memberikan laporan kepadanya.“

Ki Lurah masih mengangguk-angguk. Katanya, “Mereka tentu akan datang.“

Tetapi Wirastama justru menjadi gelisah. Rasa-rasanya ia tidak ingin mendengar pembicaraan orang-orang itu dengan Glagah Putih. Mereka tentu akan mengulangi ucapan terima kasih berpuluh kali. Rara Wulan pun tentu akan memujinya, dan Teja Prabawa akan segera berubah sikap. Apalagi setelah diketahuinya, bahwa Glagah Putih adalah sahabat dekat Raden Rangga yang telah meninggal. Namun yang di masa hidupnya menjadi buah bibir banyak orang, terutama anak-anak muda di Mataram. Karena itu, maka sejenak kemudian justru Wirastama-lah yang pertama kali memindahkan pembicaraan. Katanya, “Agaknya aku sudah terlalu lama meninggalkan tugasku.“

“O,” Ki Lurah mengangguk-angguk, “jadi maksud Anakmas?“

“Aku mohon diri. Aku akan kembali ke barak,“ desis Wirastama.

Ki Lurah masih mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih atas kebaikan Angger Wirastama selama ini. Mudah-mudahan Angger Wirastama akan selalu bersedia menemani cucu-cucuku bersama Glagah Putih.“

Wajah Wirastama terasa menjadi panas. Namun ia memaksa untuk tersenyum dan menjawab, “Baik Ki Lurah. Akan aku usahakan di sela-sela kesibukan tugasku.“

Ki Lurah Branjangan memang tidak ingin menyakiti hati anak muda itu. Demikian pula Ki Gede. Karena itu maka Ki Gede pun berkata, “Akupun mengucapkan terima kasih Ngger.“

Wirastama menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun bangkit dan bergeser surut. Kepada Teja Prabawa ia mengangguk sambil berdesis, “Aku minta diri.“

Teja Prabawa pun mengangguk. Tetapi Wirastama tidak secara khusus minta diri kepada Rara Wulan, meskipun ia juga mengangguk hormat kepada gadis itu. Sementara Rara Wulan berdiri saja termangu-mangu.

Wirastama tertegun ketika di luar regol ia bertemu dengan Glagah Putih bersama Agung Sedayu. Seperti yang diduga oleh Ki Lurah, maka keduanya memang benar-benar menghadap Ki Gede untuk memberikan laporan, sebagaimana dilakukan oleh Ki Lurah Branjangan.

Untuk sesaat keduanya hanya saling berpandangan saja. Namun kemudian Glagah Putih-lah yang menegurnya lebih dahulu, “Kau akan pergi kemana?“

“Kembali ke barak,“ jawab Wirastama singkat, “aku sibuk.“

“O,“ Glagah Putih hanya mengangguk saja.

Agung Sedayu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam, ketika ia melihat kemudian Wirastama itu melangkah dengan tergesa-gesa meninggalkan Glagah Putih berdiri termangu-mangu.

“Marilah,“ ajak Agung Sedayu.

Glagah Putih terkejut. Namun iapun kemudian mengikuti kakak sepupunya memasuki halaman rumah Ki Gede.

Sejenak kemudian, Agung Sedayu dan Glagah Putih telah duduk bersama dengan Ki Gede dan Ki Lurah Branjangan. Sementara itu Teja Prabawa dan Rara Wulan bergeser agak di belakang Ki Lurah. Mereka mulai merasa kecil duduk di antara orang-orang yang ternyata memiliki kelebihannya masing-masing. Bahkan juga Glagah Putih, yang dianggapnya tidak lebih dari anak padesan yang kulitnya menjadi hitam karena lumpur.

“Bukankah Ki Lurah Branjangan telah memberikan laporan?“ bertanya Agung Sedayu.

Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Adikmu telah melakukan tugasnya dengan baik.“

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ia sudah berusaha berbuat sebaik-baiknya. Tetapi ia terpaksa melakukannya karena keadaan menjadi sangat gawat.“

“la memang telah memilih langkah yang tepat,“ desis Ki Gede.

Sementara itu Ki Lurah Branjangan berkata, “Jika Glagah Putih tidak melakukannya, maka cucuku tentu sudah terkena bencana. Yang dilakukan oleh Glagah Putih sama sekali bukan sekedar untuk menyombongkan diri atau sekedar ingin menunjukkan kelebihannya dari orang lain. Tetapi benar-benar karena ia harus berbuat demikian.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata, “Kami mohon maaf, bahwa di Tanah Perdikan ini Ki Lurah harus mengalami satu perlakuan yang tidak menyenangkan. Bagaimananun juga peristiwa itu sudah mengganggu ketenangan Ki Lurah yang ingin beristirahat di Tanah Perdikan ini. Satu pertanda pula bahwa kami yang muda-muda di Tanah Perdikan ini, kurang mampu menjaga ketenangan dan ketenteraman lingkungannya.“

Tetapi Ki Lurah tertawa. Katanya, “Jangan berkata begitu. Aku sudah pernah tinggal di Tanah Perdikan ini, sehingga aku tahu bahwa Tanah Perdikan ini sekarang sudah jauh berkembang. Bukankah begitu Ki Gede?“

Ki Gede tersenyum. Katanya, “Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan. Aku memang membenarkan kata-kata Ki Lurah, bahwa anak-anak muda tanah Perdikan ini sudah bekerja keras untuk meningkatkan kesejahteraan hidup di Tanah Perdikan ini. Tetapi seharusnya aku bersikap seperti Agung Sedayu. Bahkan karena aku-lah yang bertanggung jawab di Tanah Perdikan ini.“

“Kenapa kalian harus merasa bersalah?“ berkata Ki Lurah, yang kemudian melanjutkannya, “Daripada kita berbicara tentang yang telah terjadi, maka sebaiknya kita berbicara tentang kemungkinan yang dapat terjadi.“

“Maksud Ki Lurah?“ bertanya Agung Sedayu.

“Bukankah Ki Lurah Citrabawa tidak berdiri sendiri? Anaknya telah berguru kepada seseorang. Ia memiliki ilmu Sapu Angin, namun entah dari jenis yang mana,“ jawab Lurah. Lalu katanya pula, “Mudah-mudahan persoalan ini dianggap selesai sampai di sini. Tetapi jika gurunya mulai digelitik oleh harga dirinya, maka kemungkinan lain dapat terjadi.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Hampir di luar sadarnya ia berkata, “Persoalan yang bertumpang tindih.”

Ki Gede dan Ki Lurah Branjangan memandang Agung Sedayu dengan dahi yang berkerut. Tetapi mereka menunggu Agung Sedayu melanjutkan, “Mataram sekarang dibayangi oleh kekuasaan pamandanya di Madiun. Sementara itu asap dari api yang mengepul di antara Madiun dan Mataram itu telah sampai ke Tanah Perdikan ini, khususnya di lingkungan Pasukan Khusus. Sekarang kita menghadapi satu persoalan baru meskipun sangat khusus. Tetapi bagaimanapun juga telah menarik perhatian kita.“

Ki Gede mengangguk-angguk. Sementara Ki Lurah Branjangan berdesis, “Kami yang harus berprihatin karena itu.“

“Bukan maksudku Ki Lurah.“ Agung Sedayu cepat-cepat memotong, “maksudku, bahwa persoalan-persoalan itu datang beruntun. Justru pada saat kita mempunyai tamu.“

“Tetapi persoalan yang terakhir itu menyangkut kehadiranku di sini,“ berkata Ki Lurah.

“Kami-lah yang harus bertanggung jawab, karena Ki Lurah adalah tamu kami,“ sahut Agung Sedayu.

Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak mau memberikan banyak uraian tentang persoalan itu, karena sudah tentu bukan pada tempatnya ia menyalahkan dirinya di hadapan Ki Gede, karena hal itu tentu tidak dikehendaki oleh Ki Gede.

Sementara itu Ki Gede-lah yang berkata, “Kita akan menanggapi semua persoalan dengan sewajarnya. Kita memang harus berhati-hati. Sementara itu kita menunggu persiapan yang dilakukan oleh Mataram untuk menyusun satu kesatuan langkah di Tanah Perdikan ini, sehubungan dengan pendapat beberapa kalangan di Mataram tentang pimpinan Pasukan Khusus itu.“

Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Justru karena itu, maka aku untuk beberapa lama akan tetap berada di sini. Setidak-tidaknya persoalan Ki Lurah Citrabawa itulah yang aku tunggu. Apakah ia menghentikan langkah-langkahnya yang sesat itu atau memang akan meneruskannya. Meskipun di sini aku juga sekedar bersandar kepada kekuatan yang ada di Tanah Perdikan ini.“

Ki Gede tertawa pendek. Katanya, “Tentu kami akan menerima Ki Lurah dengan senang hati untuk tetap tinggal di sini.“

Ki Lurah Branjangan pun tersenyum sambil berkata, “Namun Angger Glagah Putih hendaknya lebih berhati-hati. Banyak kemungkinan dapat terjadi.“

Glagah Putih mengangguk hormat sambil berkata dengan nada berat, “Aku akan selalu berhati-hati Ki Lurah.“

Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mudah-mudahan tidak terjadi persoalan berikutnya.“

Demikianlah, maka pembicaraan mereka pun sampai pada akhirnya ketika Ki Gede berkata kepada Ki Lurah, “Tetapi, agaknya Ki Lurah dan kedua cucu Ki Lurah memerlukan istirahat. Silahkan Ki Lurah. Pada kesempatan lain kita akan berbicara lagi.“

“Terima kasih Ki Gede,“ sahut Ki Lurah yang kemudian minta diri untuk kembali ke gandok bersama kedua cucu-cucunya.

Agung Sedayu dan Glagah Putih pun kemudian juga minta diri. Namun Ki Gede telah berpesan, bahwa persoalan yang nampaknya dapat dilupakan begitu saja itu hendaknya mendapat perhatian pula dari Agung Sedayu dan Ki Jayaraga.

“Aku akan berbicara dengan Ki Jayaraga,“ berkata Agung Sedayu ketika ia meninggalkan ruang dalam rumah Ki Gede.

Di gandok, Agung Sedayu dan Glagah Putih telah minta diri pula kepada Ki Lurah Branjangan dan kedua orang cucu-cucunya.

Sikap Teja Prabawa dan Rara Wulan telah berubah sama sekali. Mereka mulai menyadari, bahwa mereka telah membuat kesalahan sejak langkah mereka yang pertama di Tanah Perdikan itu. Ternyata bahwa dugaan mereka tentang anak-anak muda Tanah Perdikan itu salah sama sekali. Meskipun Glagah Putih menurut ujud lahiriahnya tidak lebih dari anak seorang petani biasa, namun ternyata ia memiliki kelebihan yang jauh di atas tataran anak-anak muda Kotaraja sekalipun.

Apalagi kemudian mereka pun mengetahui, bahwa Glagah Putih bukan saja memiliki kemampuan dalam olah kanuragan, tetapi juga mempunyai pengetahuan tentang berbagai ilmu. Glagah Putih mempunyai pengetahuan tentang hal bercocok tanam, musim, pengetahuan tentang keprajuritan dan bahkan ilmu sastra. Adalah salah satu kegemaran Glagah Putih untuk membaca kitab-kitab yang memuat tentang pengenalan masa lampau, tentang berbagai macam cerita termasuk tentang cerita kepahlawanan yang termuat dalam cerita-cerita pewayangan. Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih juga mempunyai suara yang cukup baik, sehingga dalam pertemuan-pertemuan khusus, Glagah Putih kadang-kadang diminta untuk membaca kidung.

Di hari berikutnya, kedua cucu Ki Lurah Branjangan itu tidak meninggalkan gandok rumah Ki Gede. Wirastama pada hari itu tidak datang sebagaimana dilakukan di hari-hari sebelumnya. Sementara Glagah Putih pun nampaknya masih segan-segan pula untuk pergi menemui mereka.

Ketika Agung Sedayu bertanya kepadanya apakah ia tidak menemui Ki Lurah, maka Glagah Putih pun berkata, “Hari ini tidak Kakang. Besok saja.“

Agung Sedayu tidak memaksanya. Ia dapat mengerti perasaan Glagah Putih. Karena itu, maka Agung Sedayu-lah yang pergi menemui Ki Lurah.

Tetapi ternyata bahwa Ki Lurah ingin mengajak Teja Prabawa dan Rara Wulan ke rumah Agung Sedayu. Dengan nada rendah Ki Lurah berkata, “Aku ingin memperkenalkan Rara Wulan kepada istrimu Ngger. Biarlah Rara Wulan melihat, bahwa seorang perempuan dapat memiliki ilmu yang tinggi. Bukan sekedar bermain-main.“

“A,“ desah Agung Sedayu, “apa yang dapat dilakukan oleh Sekar Mirah?“

Tetapi Ki Lurah benar-benar berniat untuk mengajak Rara Wulan ke rumah Agung Sedayu itu. Karena itu maka katanya, “Kalian tidak usah menganggap kami sebagai tamu, sehingga kalian menjadi repot karenanya. Anggap saja kami sebagai tetangga yang singgah sepulang dari pasar.“

Agung Sedayu tersenyum. Tetapi sudah barang tentu ia tidak akan dapat menolaknya.

Setelah minta diri kepada Ki Gede, maka Ki Lurah telah mengikuti Agung Sedayu ke rumahnya bersama kedua cucunya. Betapapun segannya, Raden Teja Prabawa telah diajak oleh Ki Lurah untuk mengikutinya.

Sekar Mirah tiba-tiba memang menjadi sibuk ketika Agung Sedayu datang bersama tamu-tamunya. Glagah Putih ternyata lebih senang berada di dapur membantu mbokayunya daripada menemui tamu-tamunya.

“Kesanalah,“ minta Sekar Mirah, “temui tamu-tamu itu.“

“Nanti Mokayu sibuk sendiri,“ jawab Glagah Putih.

“Ada anak itu. Ia dapat membantuku,“ sahut Sekar Mirah.

“Di depan sudah ada Kakang Agung Sedayu dan Ki Jayaraga,“ jawab Glagah Putih.

“Ah, kau,“ potong Sekar Mirah, “kau tidak pantas berada di dapur. Hanya perempuan yang pantas berada di dapur.“

“Kalau begitu kesempatan bagi perempuan lebih banyak dari laki-laki,“ sahut Glagah Putih.

“Kenapa?“ bertanya Sekar Mirah.

“Perempuan pantas berada di dapur. Tetapi juga pantas berada dalam sanggar olah kanuragan,“ jawab Glagah Putih.

“Kau memang pandai membantah,“ desak Sekar Mirah, “ayo, pergilah menemui tamu-tamu itu. Cucu Ki Lurah itu sebaya denganmu.“

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak dapat mengelak lagi ketika Sekar Mirah mengancam, “Aku akan memanggil kakangmu agar memaksamu menemui tamu-tamu itu.“

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun sebelum ia beranjak, Agung Sedayu justru telah muncul di pintu dapur. Katanya, “Glagah Putih, temui tamu-tamu itu.“

Glagah Putih berpaling ke arah Sekar Mirah yang memandanginya sambil tersenyum. Katanya, “Nah, bukankah kau memang harus keluar untuk menemui tamu-tamu kecil itu?“

Glagah Putih tidak menjawab. Iapun kemudian mengikuti Agung Sedayu dan duduk ikut menemui tamu-tamu itu bersamanya dan Ki Jayaraga yang kebetulan tidak berada di sawah.

Mula-mula mereka berbicara hilir mudik mengenai perkembangan Tanah Perdikan. Beberapa kali Ki Lurah sengaja menyinggung Raden Rangga, agar kedua cucunya benar-benar yakin bahwa Glagah Putih memang sahabat dekat Raden Rangga itu. Demikian pula Ki Lurah dengan sengaja menunjukkan kepada cucu-cucunya bahwa Agung Sedayu itu adalah kawan mengembara Panembahan Senapati. Pernah menjadi pelatih di barak Pasukan Khusus.

Kedua cucu Ki Lurah itu semakin merasa diri mereka kecil. Apalagi ketika Ki Lurah juga menyinggung tentang Sekar Mirah yang juga pernah membantu Agung Sedayu ikut serta membina para prajurit dalam Pasukan Khusus.

“Tetapi dimana Angger Sekar Mirah itu?“ bertanya Ki Lurah.

“Di dapur Ki Lurah,“ jawab Agung Sedayu.

“Ah, jangan begitu. Biarlah ia ikut menemui kami. Sudah aku katakan, kami tidak perlu diperlakukan sebagai tamu,“ berkata Ki Lurah.

Tetapi Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Sekar Mirah memang ada di dapur. Tetapi ia tidak berbuat apa-apa.“

Ki Lurah tertawa. Tiba-tiba saja ia berpaling kepada Rara Wulan. Katanya, “Bantulah Mbokayu Sekar Mirah.“

Rara Wulan termangu-mangu. la benar-benar merasa canggung. Namun Ki Lurah berkata kepada Glagah Putih, “Tolong Glagah Putih, tunjukkan, dimanakah letak dapur itu.“

Glagah Putih memang merasa sangat segan sebagaimana Rara Wulan. Tetapi ia tidak dapat menjawab.

Karena itu, Glagah Putih pun kemudian telah membawa Rara Wulan ke dapur. Namun terasa bahwa bajunya menjadi basah oleh keringat.

Sekar Mirah memang terkejut. Tetapi Rara Wulan sambil menunduk berkata, “Kakek memerintahkan aku untuk membantu Mbokayu.“

“Ah. Sudahlah Rara, Silahkan duduk saja di depan,“ minta Sekar Mirah.

Tetapi Rara Wulan tidak pergi. Ia berdiri saja termangu-mangu.

Sekar Mirah pun akhirnya menyadari, bahwa dengan demikian gadis itu justru menjadi semakin bingung. Karena itu maka katanya kemudian, “Baiklah. Tolong Rara, bawa minuman ini ke depan.“

Rara Wulan pun kemudian telah membawa nampan yang berisi mangkuk dan dua buah teko dari tanah yang berisi air sere yang hangat, dengan beberapa potong gula kelapa. Ketika Rara Wulan kemudian kembali lagi ke dapur, maka iapun telah dipersilahkan membawa beberapa potong makanan untuk dihidangkan pula. Tetapi Rara Wulan telah membawa pesan Ki Lurah, agar Sekar Mirahpun ikut menemui mereka.

Rara Wulan ternyata tidak mau meninggalkan dapur jika Sekar Mirah tidak bersamanya. Sekar Mirah tidak dapat menolak. Iapun kemudian meninggalkan dapur itu dan menyerahkan agar perapian dijaga tetap menyala kepada pembantunya.

“Jangan kau tinggal pergi,“ pesan Sekar Mirah hampir berbisik, “jika api itu padam, aku harus membuat api lagi nanti. Sebentar lagi kita akan menanak nasi.“

Anak itu tidak menjawab. Tetapi setelah Sekar Mirah menjauh, ia mulai bergeremang, “Lebih senang mencari kayu di kebun daripada menunggui api.“

Sementara itu, di ruang dalam pembicaraan menjadi semakin riuh. Ternyata Sekar Mirah mampu memancing Rara Wulan untuk melibatkan diri dalam pembicaraan mereka. Justru Teja Prabawa dan Glagah Putih-lah yang menjadi lebih banyak diam dan mendengarkan.

Namun Sekar Mirah terkejut ketika tiba-tiba saja Ki Lurah Branjangan berkata, “Angger Sekar Mirah. Kedatangan Wulan kemari adalah karena Wulan ingin melihat buktinya bahwa seorang perempuan dapat meniti sampai tataran yang tinggi dalam ilmu kanuragan. Karena itu, Rara Wulan ingin mengikuti Angger Sekar Mirah melihat-lihat sanggar.“

“Ah,“ sahut Sekar Mirah, “jika hanya melihat-lihat sanggar kakang Agung Sedayu saja, kami tentu tidak akan berkeberatan. Tetapi siapakah perempuan yang Ki Lurah maksudkan itu?“

“Siapa lagi?“ Ki Lurah justru bertanya, “Ada berapa orang perempuan di rumah ini?“

“Ah,“ desis Sekar Mirah, “agaknya Ki Lurah telah salah menilai.“

“Tentu tidak,“ jawab Ki Lurah. Lalu, “Dan aku pun telah terlanjur menceriterakan, bahwa Angger Sekar Mirah pernah menjadi seorang pelatih pada Pasukan Khusus itu.“

“Ki Lurah Branjangan memang senang bergurau,“ berkata Sekar Mirah, “tetapi sudah tentu bahwa yang dimaksud bukanlah yang sebenarnya.“

Ki Lurah Branjangan tertawa. Katanya, “Keluarga Agung Sedayu adalah keluarga yang rendah hati. Aku sudah mengira bahwa aku harus memaksa jika Rara Wulan benar-benar ingin melihat Angger Sekar Mirah bermain barang sejenak di dalam sanggar.“

Sekar Mirah termangu-mangu. Dipandanginya wajah Agung Sedayu yang berkerut. Nampaknya Agung Sedayu pun tidak segera dapat mengambil sikap.

Namun ternyata Ki Lurah telah mendesaknya, “Marilah, Di muka para prajurit dalam Pasukan Khusus, Angger Sekar Mirah tidak segan menunjukkan kemampuannya. Sudah tentu akan demikian pula sekarang.“

Sekar Mirah masih saja ragu-ragu. Tetapi Agung Sedayu-lah yang kemudian mengambil keputusan, “Baiklah Ki Lurah. Kita akan pergi ke sanggar.“

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Agung Sedayu berkata kepadanya, “Berkemaslah. Kau harus berganti pakaian untuk memasuki sanggar.”

Sekar Mirah memang tidak dapat mengelak lagi. Iapun kemudian bergeser meninggalkan tamu-tamunya dan masuk ke dalam biliknya untuk berganti pakaian.

Sejenak kemudian mereka telah berada di dalam sanggar yang tidak begitu luas dibandingkan dengan sanggar Pasukan Khusus. Di sanggar Pasukan Khusus itu kedua cucu Ki Gede pernah melihat Wirastama mempertunjukkan kemampuannya, yang ternyata jauh berada di bawah kemampuan Glagah Putih, yang dianggapnya tidak lebih dari anak pedesan yang kaki dan pakaiannya kotor karena lumpur di sawah.

Untuk beberapa saat mereka mengamati isi sanggar itu. Berbagai macam senjata tergantung di dinding. Di salah satu sudutnya berdiri beberapa tonggak kelapa utuh yang tidak sama tingginya. Kemudian terdapat beberapa batang bambu yang silang menyilang. Di sudul yang lain terdapat pasir dalam kotak yang besar. Di sebelahnya kerikil halus yang juga terdapat di dalam kotak. Potongan-potongan kayu yang bergantungan di sebelah lain. Kemudian tali temali yang bergayutan. Di salah satu sudutnya terdapat sebuah amben bambu yang nampaknya sudah terlalu tua, sehingga tidak lagi dapat dipergunakan untuk duduk.

Meskipun Rara Wulan tidak memahami penggunaan alat-alat itu, namun yang sangat menarik perhatiannya justru amben tua itu. Kenapa amben itu tidak dibuang saja, sehingga tidak mengurangi ruangan yang ada di dalam sanggar itu. Ruang yang barangkali dapat dipergunakan untuk kepentingan yang lain.

Ki Lurah agaknya melihat bahwa Rara Wulan tertarik kepada amben tua itu. Karena itu maka iapun bertanya, “Nampaknya kau memperhalikan amben tua itu? Kau tentu menganggap bahwa amben tua itu tidak ada artinya di dalam sanggar, sehingga sebaiknya dibuang saja.“

Rara Wulan tidak menjawab. Tetapi ia memang ingin tahu untuk apa amben tua itu berada di situ. Namun Ki Lurah tidak memberikan jawaban atas pertanyaan itu, sehingga karena itu, maka Rara Wulan memang harus menunggu.

Demikianlah, maka Sekar Mirah memang tidak dapat mengelak lagi. Ia harus mempertunjukkan kemampuannya kepada Rara Wulan. Karena itu, maka sejenak kemudian Sekar Mirah telah berdiri di tengah-tengah sanggar itu. Beberapa saat ia mempersiapkan dirinya. Kemudian perlahan-lahan tangannya mulai bergerak. Mula-mula kedua tangannya terangkat menengadah. Kemudian perlahan-lahan pula telapak tangannya mengatup di depan dadanya. Kemudian tangan itu telah bergerak pula perlahan-lahan terbuka.

Sekar Mirah mulai menggerakkan kakinya. Loncatan-loncatan kecil dan gerak tangan yang semakin cepat. Namun Sekar Mirah nampaknya baru melakukan pemanasan. Tetapi geraknya semakin lama menjadi semakin cepat. Tangannya berputar semakin cepat pula, seirama dengan loncatan-loncatan kakinya yang tangkas.

Rara Wulan dan Teja Prabawa memperhatikan tata gerak Sekar Mirah dengan dada yang berdebaran. Ia pernah melihat permainan Wirastama di dalam sanggar. Yang dilakukan oleh Sekar Mirah itu memang belum serumit yang pernah ditunjukkan oleh Wirastama. Namun mereka menyadari, bahwa Sekar Mirah nampaknya memang baru mulai.

Sebenarnyalah semakin lama Sekar Mirah bergerak semakin cepat. Ia mulai berloncatan dengan langkah-langkah panjang. Bahkan sejenak kemudian Sekar Mirah telah meloncat ke atas sebatang patok batang kelapa.

Dengan tangkasnya Sekar Mirah berloncatan dari satu patok ke patok lainnya yang tidak sama tingginya. Bahkan kemudian Sekar Mirah telah meloncat ke patok-patok bambu petung.

Rara Wulan dan Teja Prabawa menjadi semakin berdebar-debar. Ternyata bahwa tata gerak Sekar Mirah semakin lama menjadi semakin rumit, sehingga akhirnya, ketika Sekar Mirah mulai mengerahkan tenaga dalamnya, geraknya pun menjadi semakin cepat. Dengan demikian, maka tubuh Sekar Mirah itu seakan-akan berubah bagaikan bayangan yang berterbangan dan hinggap dari satu patok ke patok lainnya. Bahkan sekali-sekali Sekar Mirah tidak hinggap pada kakinya, tetapi tangannya-lah yang berpijak pada patok-patok bambu. Kemudian melenting dan berputar. Dengan lembut kakinya-lah yang kemudian menyentuh patok-patok berikutnya.

Beberapa saat kemudian Sekar Mirah telah meloncat turun. Kembali ia bermain di tengah-tengah arena. Tetapi tidak lagi sebagaimana ia baru mulai. Sekar Mirah ternyata telah menunjukkan kekuatannya dan kemampuannya. Ayunan tangannya telah menimbulkan desir angin yang menerpa orang-orang yang sedang menyaksikannya.

Teja Prabawa dan Rara Wulan menjadi semakin termangu-mangu. Yang dilakukan Sekar Mirah kemudian telah melampaui kemampuan yang pernah ditunjukkan oleh Wirastama di sanggar Pasukan Khusus di Tanah Perdikan itu. Sekar Mirah ternyata mampu bergerak lebih cepat dan menunjukkan unsur-unsur gerak yang lebih meyakinkan.

Beberapa saat lamanya Sekar Mirah berloncatan. Disentuhnya pula pasir yang berada di dalam kotak yang besar itu. Pukulan-pukulan telapak tangan dan ujung-ujung jari yang merapat. Demikian kerasnya, sehingga mereka yang menyaksikannya dapat membayangkan jika tangan itu mengenai tubuhnya. Bahkan kemudian sisi telapak tangan Sekar Mirah dan ujung-ujung jarinya yang merapat telah menusuk kerikil halus di kotak yang lain.

Teja Prabawa menarik nafas dalam-dalam. Ia benar-benar merasa bersalah atas sikapnya. Dengan melihat kemampuan Glagah Putih dan Sekar Mirah, maka ia dapat membayangkan kemampuan Agung Sedayu.

Yang terakhir, ternyata Sekar Mirah telah menjawab pertanyaan yang bergejolak di hati Rara Wulan tentang amben tua yang hampir roboh itu, ketika tiba-tiba saja Sekar Mirah telah meloncat ke atasnya.

Amben itu memang berderit. Tetapi hanya sekali. Namun amben tua itu ternyata tidak pecah berserakan ketika Sekar Mirah berloncatan di atasnya. Bahkan amben tua itu sama sekali tidak berderak dan seakan-akan tidak bergerak sama sekali.

Ki Lurah Branjangan yang menyaksikan permainan Sekar Mirah itu menarik nafas dalam-dalam. Yang dilakukan itu adalah sekedar permainan sendiri. Jika menghadapi lawan, maka kekuatan dan kemampuannya akan terpancing semakin tinggi.

Bahkan Teja Prabawa dan Rara Wulan yang tidak memahami tentang olah kanuragan, telah mengagumi permainan Sekar Mirah itu. Mereka dapat mengerti, bahwa yang dilakukan oleh Sekar Mirah di atas amben itu adalah ungkapan dari kemampuannya yang sangat tinggi. Tubuhnya seakan-akan telah kehilangan sebagian dari bobotnya, sehingga amben tua itu mampu menyangganya. Beberapa saat lamanya Sekar Mirah bermain di atas amben tua itu. Baru kemudian iapun telah meloncat turun. Geraknya pun semakin lama semakin perlahan-lahan, kemudian berhenti sama sekali. Hanya kedua tangannya sajalah yang masih menengadah. Namun sejenak kemudian telah bergerak dan kedua telapak tangannya terkatup di muka dadanya.

Demikian Sekar Mirah itu mengangguk hormat kepada Ki Lurah Branjangan, maka Ki Lurah dan kedua cucunya hampir tanpa disadarinya telah bertepuk tangan.

“Luar biasa,“ berkata Ki Lurah, “aku yakin bahwa kemampuan Angger Sekar Mirah di medan perang yang sesungguhnya jauh lebih tinggi dari yang sudah kau pertunjukkan itu.“

“Satu permainan yang tidak berharga Ki Lurah,“ berkata Sekar Mirah.

“Sangat mengagumkan,“ desis Ki Lurah, yang kemudian berkata kepada kedua cucunya, “nah, kau lihat apa yang telah dilakukan oleh Mbokayumu Sekar Mirah? Sekarang kalian baru percaya sepenuhnya bahwa Mbokayumu Sekar Mirah pernah menjadi salah seorang yang memberikan latihan-latihannya kepada para prajurit di Pasukan Khusus, membantu suaminya Agung Sedayu.“

Rara Wulan mengangguk-angguk. Dengan nada lemah ia berkata, “Sungguh di luar dugaan. Wirastama pernah juga mempertunjukkan permainan di sanggar Pasukan Khusus. Waktu itu aku sangat mengagumi kemampuannya. Namun setelah aku melihat apa yang dilakukan oleh Mbokayu Sekar Mirah, maka yang dilakukan oleh Wirastama itu belum mengimbanginya.“

“Ah, tentu tidak,“ desis Sekar Mirah, “yang aku lakukan hanya sekedarnya saja. Sebagai istri Kakang Agung Sedayu, maka aku merasa berkewajiban untuk serba sedikit memiliki bekal olah kanuragan. Pada saat-saat kami menginjak masa berkeluarga, keadaan menuntut aku dapat melindungi diri serba sedikit, karena Kakang Agung Sedayu banyak dipanggil oleh tugas-tugasnya keluar rumah.“

Tetapi Ki Lurah Branjangan tertawa. Katanya, “Murid Ki Sumangkar ini sudah kejangkitan penyakit Agung Sedayu.“

Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Namun iapun tersenyum ketika Ki Lurah berkata, “Bagaimana dengan tongkat baja putihmu itu?“

Sekar Mirah mengerti bahwa Ki Lurah Branjangan ingin mengatakan, bahwa sejak ia belum kawin dengan Agung Sedayu, ia sudah murid Ki Sumangkar. Tetapi Sekar Mirah tidak menjawab. Ia hanya berdiri saja termangu-mangu.

Namun dalam pada itu, Ki Lurah itu pun telah bertanya kepada Rara Wulan, “Apakah kau ingin mampu berbuat seperti itu?”

“Ah. Hanya perempuan yang kasar sajalah yang pantas berusaha untuk mempelajari ilmu seperti itu,” berkata Sekar Mirah.

“Siapa tahu, Rara Wulan ingin menjadi seorang perempuan yang kasar,” sahut Ki Lurah Branjangan sambil tertawa.

Agung Sedayu tertawa. Sementara itu Ki Jayaraga yang berpaling ke arah Glagah Putih melihat anak muda itu menunduk saja.

“Kau masih sempat berpikir,” berkata Ki Lurah, “besok atau lusa kau dapat memberikan jawaban. Jika kau bersedia, maka tentu Angger Sekar Mirah tidak akan berkeberatan untuk menuntunmu. Jika kau tidak terlalu dungu, maka dalam beberapa tahun, serba sedikit kau tentu akan dapat menguasainya.”

Rara Wulan mengerutkan keningnya. Memang satu keinginan telah melonjak di hatinya. Tetapi hampir di luar sadarnya ia bertanya, “Jika aku ingin, apakah Mbokayu Sekar Mirah bersedia tinggal bersama kami?”

“Jangan bodoh,” sahut Ki Lurah Branjangan, “jika kau berguru, kau-lah yang tinggal bersama gurumu. Bukan gurumu harus tinggal bersamamu di rumahmu.”

“O,” wajah Rara Wulan menjadi merah.

Tetapi Ki Jayaraga menyahut, “Kecuali aku. Aku justru tinggal bersama muridku, karena aku memang tidak lagi mempunyai tempat tinggal.”

“Satu kelainan,” Ki Lurah tertawa. Ki Jayaraga pun tertawa pula.

Namun Agung Sedayu-lah yang kemudian mempersilahkan mereka untuk kembali ke ruang dalam. Demikian mereka duduk, maka Sekar Mirah telah minta diri untuk berganti pakaian. Tetapi ia tidak segera menemui tamu-tamunya lagi. Diam-diam Sekar Mirah telah pergi ke dapur untuk menanak nasi dan menyiapkannya untuk menjamu tamu-tamunya itu.

Tetapi ia terkejut ketika Rara Wulan tiba-tiba saja menjadi akrab dan membantunya di dapur. Gadis itu tidak mau pergi ke ruang dalam. Ia ingin ikut bekerja di dapur dengan Sekar Mirah.

“Mbokayu luar biasa,” berkata Rara Wulan, “seseorang yang melihat Mbokayu di dapur begini, orang tidak menyangka bahwa Mbokayu berilmu sangat tinggi.”

“Aku adalah seorang perempuan Rara. Bagaimanapun juga, aku tidak akan dapat meninggalkan kodratku menurut tatanan adatku. Seorang perempuan sepantasnya berada di dapur. Karena itu, maka meskipun Kakang Agung Sedayu memberiku kesempatan apapun juga, sehingga seakan-akan aku tidak ada bedanya lagi dengan Kakang Agung Sedayu sendiri untuk menentukan langkah-langkah pilihan, namun aku tetap seorang perempuan,” berkata Sekar Mirah.

Rara Wulan mengangguk kecil. Sementara itu, Sekar Mirah berkata pula, “Betapapun seorang perempuan memiliki derajat yang sama di samping laki-laki, namun ia adalah perempuan. Adapun jenis yang lain adalah laki-laki. Pada suatu saat perempuan harus melahirkan anaknya dan menyusuinya. Kita tidak akan dapat menuntut laki-laki untuk melakukannya.”

“Ya Mbokayu,” suara Rara Wulan menjadi berat.

“Ah, sudahlah,” berkata Sekar Mirah, “jika kau memang ingin membantuku, tolong parutkan kelapa muda.”

“Baik. Baik mBokayu,” jawab Rara Wulan.

Sekar Mirah pun kemudian mengerjakan pekerjaan yang lain di dapur itu sambil memperhatikan Rara Wulan memarut kelapa. Namun setiap kali Sekar Mirah tersenyum. Ternyata gadis itu tidak begitu pandai bekerja di dapur. Meskipun ia tidak memiliki ilmu kanuragan yang tinggi, tetapi iapun tidak memiliki kemampuan untuk menjadi seorang perempuan yang lengkap bekerja di dapur.

“Agaknya yang dilakukannya di rumahnya yang barangkali besar dan terlalu baik menurut ukuran padesan, hanyalah bersolek saja,” berkata Sekar Mirah di dalam hatinya. Bahkan menurut sikap dan kata-kata yang terucapkan, maka gadis itu tentu seorang gadis yang manja.

Tetapi ternyata bahwa Rara Wulan telah menempuh jalan yang lebih baik dari Teja Prabawa. Jika anak muda itu tidak segera menempatkan dirinya, maka ia akan menjadi seorang laki-laki yang canggung dan cengeng. Sehingga tidak ada yang dapat dilakukannya. Apalagi menjadi pendahulu dari anak-anak muda sebayanya.

Ketika kemudian Sekar Mirah duduk di sebelah Rara Wulan, maka ia melihat tangan gadis itu telah tergores oleh parut kelapa. Sekali-sekali gadis itu memang menyeringai. Tetapi ia tidak mengeluh betapa pedihnya jari-jarinya yang tergores di beberapa tempat itu.

Sambil tersenyum Sekar Mirah berkata, “Pada saatnya, kau akan dapat melakukannya tanpa membuat jari-jarimu menjadi pedih.”

“Ah, tidak apa-apa Mbokayu,” jawab Rara Wulan.

Sekar Mirah masih saja tersenyum. Tetapi ia tidak bertanya lagi.

Demikianlah, Rara Wulan tetap berada di dapur sampai saatnya masakan itu siap. Nasi dan sayur serta lauk pauknya.

Ketika nasi hangat itu dihidangkan, maka Ki Lurah Branjangan pun berkata, “Baunya membuat perutku menjadi sangat lapar.”

“Rara Wulan-lah yang masak hari ini,” jawab Sekar Mirah yang menghidangkan nasi itu.

Tetapi dengan cepat Rara Wulan menyahut, “Bukan. Bukan aku.”

“Ki Lurah,” berkata Sekar Mirah kemudian, “lihat ujung-ujung jari Rara Wulan yang kena parut kelapa.”

“Ah,” Rara Wulan hanya dapat berdesah.

“Marilah,” Ki Jayaraga kemudian mempersilahkan, “kita akan makan bersama-sama. Aku sudah lapar sekali.”

Rara Wulan pun kemudian telah duduk di sebelah kakaknya yang telah banyak diam sebagaimana Glagah Putih. Sedangkan Sekar Mirah duduk menepi, karena ia harus melayani tamu-tamunya berganti-ganti. Tetapi Sekar Mirah pun kemudian telah ikut pula makan bersama mereka.

Tetapi belum lagi mereka selesai makan, maka tiba-tiba saja pembantu di rumah Agung Sedayu itu masuk ke ruang dalam. Sejenak ia termangu-mangu. Namun Agung Sedayu-lah yang kemudian bertanya, “Ada apa?”

“Ada tamu di luar,” jawab anak itu.

“Tamu? Dimana sekarang?” bertanya Agung Sedayu pula.

“Sudah duduk di pendapa,” jawab anak itu.

“Baiklah. Sebentar lagi aku akan menemuinya,” jawab Agung Sedayu. Lalu, “Katakan, bahwa aku sedang perlu sebentar.”

Anak itu pun kemudian keluar dari ruang dalam dan pergi ke pendapa untuk mempersilahkan tamunya menunggu.

Ketika Agung Sedayu kemudian mendahului meninggalkan amben besar tempat ia bersama tamu-tamunya makan, maka Sekar Mirah-lah yang kemudian mempersilahkan tamu-tamunya untuk meneruskan makan.

Agung Sedayu mengerutkan dahinya ketika ia melihat seseorang duduk di pendapa. Wajahnya sudah nampak digoresi oleh garis-garis umurnya, sedangkan satu dua helai rambutnya yang tergerai di bawah ikat kepalanya, nampaknya memang sudah putih.

Ketika Agung Sedayu menemuinya, maka orang itu bertanya, “Apakah Angger yang bernama Agung Sedayu?”

“Ya Ki Sanak. Aku Agung Sedayu,” jawab Agung Sedayu, “kemudian jika tidak berkeberatan, apakah aku boleh mengetahui siapakah Ki Sanak ini?”

Orang itu tersenyum. Katanya, “Aku kawan dekat Ki Lurah Branjangan. Aku-lah yang disebut Ki Lurah Citrabawa.”

Dada Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Ternyata orang itulah yang bernama Ki Lurah Citrabawa. Sementara orang itu bertanya, “Apakah Ki Lurah Branjangan ada di sini?”

“Ya, Ki Lurah. Ki Lurah Branjangan memang ada di sini,” jawab Agung Sedayu.

“Untunglah bahwa aku dapat menemukannya,” berkata Ki Lurah Citrabawa. Lalu katanya, “Apakah aku boleh menemuinya?”

“Tentu Ki Lurah,” jawab Agung Sedayu, “Ki Lurah Branjangan sedang makan. Marilah, aku persilahkan Ki Lurah Citrabawa untuk makan bersamanya.”

“Terima kasih Ngger,” jawab Ki Lurah Citrabawa, “aku akan menunggu di sini. Aku sudah makan tadi di perjalanan.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sekilas terbayang apa yang sudah terjadi di lereng bukit. Persoalan yang timbul antara Glagah Putih dengan anak Ki Lurah Citrabawa itu.

Karena Ki Citrabawa tidak mau masuk ke ruang dalam, maka Agung Sedayu itu pun berkata, “Ki Lurah. Baiklah jika Ki Lurah tidak bersedia untuk makan bersama kami. Aku akan memberitahukan kehadiran Ki Lurah kepada Ki Lurah Branjangan.”

“Terima kasih Ngger. Aku akan menunggu di sini,” jawab Ki Lurah Citrabawa.

Agung Sedayu pun kemudian telah melangkah masuk. Ternyata mereka yang berada di ruang dalam telah selesai juga. Bahkan Sekar Mirah dan Rara Wulan telah mulai mengatur mangkuk-mangkuk kotor untuk disingkirkan.

Tetapi Agung Sedayu berkata kepada istrinya, “Duduklah. Kita mempunyai tamu.”

“Siapa?” bertanya Sekar Mirah.

“Kau belum pernah mengenalnya. Tetapi Ki Lurah Branjangan tentu sudah,” jawab Agung Sedayu.

Sekar Mirah pun telah duduk kembali. Demikian pula Rara Wulan. Namun nampak berbagai macam pertanyaan di wajah-wajah mereka.

“Siapakah tamunya itu?” bertanya Ki Lurah Branjangan.

“Ki Lurah Citrabawa,” jawab Agung Sedayu.

Orang-orang yang berada di ruang dalam itu memang terkejut. Namun yang terkilas di angan-angan mereka adalah peristiwa yang baru saja terjadi.

“Baiklah,” berkata Ki Lurah Branjangan, “aku akan menemuinya.”

“Marilah Ki Lurah, aku antar Ki Lurah ke pendapa,” sahut Agung Sedayu.

Demikianlah, maka Ki Lurah Branjangan dan Agung Sedayu telah keluar ke pendapa. Sementara itu Sekar Mirah dan Rara Wulan justru telah duduk kembali.

Namun gadis itu tidak menjadi terlalu gelisah, la melihat di rumah itu ada Glagah Putih, Sekar Mirah, Agung Sedayu sendiri, dan orang yang disebut guru Glagah Putih yang lain, Ki Jayaraga. Jika terjadi sesuatu, maka mereka akan menjadi pelindung yang baik, di samping kakeknya sendiri.

Di pendapa, Ki Lurah Branjangan dan Agung Sedayu telah duduk menghadap tamunya yang mendebarkan itu. Namun menurut pengamatan Agung Sedayu, sikap Ki Lurah itu bukan sikap yang bermusuhan.

“Ki Lurah Branjangan,” berkata Ki Lurah Citrabawa kemudian, “kedatanganku kemari sebenarnya bukan karena niatku sendiri. Aku sekedar melakukan permintaan orang lain kepadaku untuk bertemu dengan Ki Lurah.”

Ki Lurah Branjangan termangu-mangu sejenak. Tetapi rasa-rasanya ia telah dapat meraba, apa yang akan dikatakan oleh Ki Lurah Citrabawa itu.

Meskipun demikian Ki Lurah Branjangan bertanya juga, “Siapakah orang itu?”

Ki Lurah Citrabawa termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya, “Ki Lurah. Aku tidak dapat menolak permintaan orang itu. Ia adalah orang yang memiliki banyak kelebihan dari aku.”

Ki Lurah Branjangan tiba-tiba saja telah menebak, “Guru anakmu itu Ki Lurah?”

Ki Lurah Citrabawa menarik nafas panjang. Sambil mengangguk ia berkata, “Ya. Guru anakku itu. Ia mempunyai segala-galanya untuk memaksaku datang kepada Ki Lurah Branjangan. Meskipun aku mula-mula merasa berkeberatan.”

“Apa katanya?” bertanya Ki Lurah Branjangan.

Ki Lurah Citrabawa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tetapi setelah aku merenunginya, maka aku justru merasa wajib untuk datang menemuimu. Sepantasnya bahwa aku minta maaf kepadamu atas perlakuanku terhadap keluargamu. Aku juga minta maaf kepada Kepala Tanah Perdikan Menoreh, karena aku sudah membuat kerusuhan di wilayah kuasanya.”

Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Sementara Ki Lurah Citrabawa berkata selanjutnya, “Tetapi selain itu, ada yang ingin aku sampaikan kepada Ki Lurah.”

“Aku sudah dapat menduga,” sahut Ki Lurah Branjangan.

“Ya. Kau tentu sudah dapat menduga. Guru anakku itu memang merasa terhina. Aku diminta untuk mengatakan kepada Ki Lurah Branjangan, bahwa ia menginginkan Glagah Putih. Jika tidak, maka ia sendiri akan mengambil Rara Wulan,” berkata Ki Citrabawa.

Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Sambil berpaling kepada Agung Sedayu ia berkata, “Ternyata kehadiranku di sini telah membawa persoalan bagi Tanah Perdikan ini. Setidak-tidaknya keluargamu, Ngger.”

Agung Sedayu mengangguk kecil. Tetapi iapun kemudian berkata, “Tetapi seandainya Ki Lurah tidak datang kemari, maka persoalan inipun tidak akan dapat Ki Lurah hindari. Justru kehadiran Ki Lurah kemari, maka Ki Lurah mendapat beberapa orang kawan yang dapat bersama-sama dengan Ki Lurah menanggapi persoalan ini.”

Ki Lurah mengangguk-angguk pula. Katanya, “Terima kasih atas kesediaanmu Ngger. Aku juga harus berterima kasih kepada Ki Gede Menoreh.”

Dalam pada itu Ki Citrabawa berkata, “Ki Lurah. Kesediaanku untuk datang sendiri juga didorong oleh keinginanku untuk memberikan sedikit peringatan kepada Ki Lurah, bahwa guru anakku itu termasuk seorang yang kasar, la memang berilmu tinggi, Namun kadang-kadang sikapnya aneh. Tanggapannya atas satu persoalan tidak dapat ditebak sama sekali.”

Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Tetapi ia tiba-tiba bertanya, “Ki Lurah. Apakah niatmu memberi peringatan kepadaku, atau kau sedang menakut-nakuti aku?”

“Aku berkata sesungguhnya. Aku memang ingin memberimu peringatan. Mudah-mudahan kau menemukan jalan keluar. Aku tahu, bahwa Glagah Putih tidak bersalah, la memang berilmu tinggi. Tetapi sudah barang tentu ia akan mengalami kesulitan jika ia benar-benar harus berhadapan dengan guru anakku itu,” berkata Ki Lurah Citrabawa.

“Ki Lurah,” berkata Ki Lurah Branjangan pula, “apakah kau tahu nama guru anakmu itu?”

“Sudah tentu,” jawab Ki Lurah Branjangan, “ia adalah seorang tua yang berilmu sangat tinggi, berkelakuan aneh dan kasar, serta tidak ragu-ragu bertindak. Namanya Ki Ajar Sigar Welat.”

Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia mengulangi, “Ki Ajar Sigarwelat. Nama yang menarik. Tetapi apakah Ki Citrabawa pernah mendengar nama Ki Ajar Wadal?”

Ki Lurah Citrabawa menggelengkan kepalanya. Sementara itu Ki Lurah Branjangan bertanya pula, “Bagaimana dengan padepokan Kaliwalik?”

“Aku belum pernah mendengar,” jawab Ki Citrabawa.

“Aneh Ki Lurah. Padepokan itu adalah padepokan tua,” berkata Ki Lurah Branjangan.

“Pengetahuanku memang terlalu sedikit. Aku tidak banyak mendengar nama orang-orang berilmu serta padepokan-padepokannya,” jawab Ki Lurah Citrabawa.

“Baiklah. Tetapi kau tentu sudah dapat menduga pula jawabku atas permintaan Ki Ajar Sigarwelat itu agar aku menyerahkan Glagah Putih,” berkata Ki Lurah Branjangan.

“Aku sudah menduga. Kau tentu berkeberatan. Tetapi aku ingin memberitahukan kepadamu, bahwa orang yang bernama Sigarwelat itu tidak bermain-main dengan kata-katanya, la tentu akan datang untuk mengambil Rara Wulan. Jika hal itu dilakukannya, maka kalian tentu akan sulit untuk mempertahankannya,” berkata Ki Citrabawa.

Tetapi Ki Lurah berkata, “Jika demikian, maka aku akan sama sekali minta pertolongan guru Glagah Putih. Ki Lurah Citrabawa, jika guru anakmu yang bernama Ki Sigarwelat itu mencampuri persoalan muridnya, maka guru Glagah Putih pun tentu akan melakukan hal yang sama.”

“Siapakah guru Glagah Putih?” bertanya Ki Lurah Citrabawa.

Ki Lurah Branjangan termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba saja ia berkata, “Namanya Panembahan Agung.”

“Panembahan Agung?” wajah Ki Lurah Citrabawa menjadi tegang, “Maksudmu Panembahan Agung dan Panembahan Alit, yang memiliki kemampuan menciptakan bentuk-bentuk semu itu? Tetapi bukankah mereka telah lama mati?” “O, bukan. Bukan. Jika demikian namanya akan berganti. Panembahan Sedayu,” sahut Ki Lurah Branjangan.

Ki Lurah Citrabawa mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun berkata, “Ki Lurah Branjangan masih saja senang bergurau. Dalam keadaan apapun, bahkan dalam keadaan seperti ini. Nampaknya Ki Lurah ingin mengatakan bahwa guru Glagah Putih adalah Agung Sedayu.”

Ki Lurah Branjangan tertawa. Katanya, “Ya. Bukankah kau sudah mengenal Agung Sedayu.”

“Aku mengenalnya. Aku mencari Ki Lurah tadi di rumah Ki Gede. Tetapi para penjaga regol mengatakan bahwa Ki Lurah ada di rumah Agung Sedayu. Dan aku pun sudah memperkenalkan diri, dan mengenal bahwa orang inilah yang bernama Agung Sedayu,” berkata Ki Lurah Citrabawa.

“Ya. Orang inilah Agung Sedayu. Guru Glagah Putih. Jika ada orang lain yang mengganggu Glagah Putih, apalagi karena sakit hati seperti Ki Ajar Sigarwelat itu, maka sudah barang tentu Agung Sedayu tidak akan membiarkannya,” berkata Ki Lurah Branjangan.

Ki Citrabawa memandang Agung Sedayu dengan tajamnya. Namun kemudian katanya, “Apakah Agung Sedayu yang masih muda ini akan dapat menghadapi Ki Ajar Sigarwelat?”

“Murid Ki Ajar itu kalah dari murid Agung Sedayu,” jawab Ki Lurah Branjangan.

“Bukankah itu bukan ukuran yang mutlak?” bertanya Ki Lurah Citrabawa.

“Ki Lurah benar,” jawab Ki Lurah Branjangan, “tetapi sebagai satu ukuran penjajagan, maka hal itu dapat dipergunakan. Apalagi guru Glagah Putih menganggap bahwa Glagah Putih tidak bersalah.”

“Aku mengerti. Tetapi baiklah, apapun sikap yang akan kau ambil, aku sudah berusaha untuk mengurangi kesalahanku dengan memberikan sedikit keterangan tentang Ki Ajar Sigarwelat itu. Namun segala sesuatunya memang tergantung kepada kalian semuanya,” berkata Ki Lurah Citrabawa.

“Terima kasih atas keteranganmu Ki Lurah. Tetapi kami mohon kau sampaikan kepada Ki Ajar Sigarwelat, bahwa kami tidak akan menyerahkan Glagah Putih, dan sudah tentu juga tidak akan menyerahkan Rara Wulan dalam keadaan hidup,” berkata Ki Lurah Branjangan.

“Apa maksudmu?” bertanya Ki Citrabawa.

“Maksudku jelas. Nah, sampaikan saja kepada Ki Ajar Sigarwelat, agar ia menilai jawaban kami. Terserah, apakah ia akan melanjutkan maksudnya atau tidak. Namun jika ada sedikit keberanian dari Ki Ajar Sigarwelat, kami menunggu kedatangannya. Kecuali jika ia akan bertindak licik dan berusaha menculik cucuku dengan diam-diam, seperti laku seorang pencuri. Padahal menilik namanya, ia tentu seorang yang perkasa. Dan barangkali telah memiliki ilmu Sapu Angin yang sempurna,” berkata Ki Lurah Branjangan.

Ki Lurah Citrabawa menarik nafas dalam-dalam. Menilik ketegangan di wajahnya, maka Ki Lurah Branjangan dapat membaca isi hati Ki Citrabawa itu. Karena itu, maka katanya, “Tetapi jika kau tidak mempunyai keberanian untuk mengatakannya kepada Ki Ajar itu, sudahlah. Jangan memaksa diri. Bukankah ia orang berilmu tinggi sehingga sulit untuk diajak berbicara, sebagaimana kau katakan? Bahkan ia mempunyai sifat yang aneh?”

Ki Lurah Citrabawa tiba-tiba menundukkan wajahnya. Ia memang merasa terlalu kecil di hadapan guru anaknya itu. Namun ia tidak mengakuinya di hadapan Ki Lurah Branjangan, meskipun Ki Lurah Branjangan itu dapat menebaknya.

“Sudahlah Ki Lurah Branjangan,” tiba-tiba saja Ki Citrabawa itu berkata, “aku minta diri. Aku akan kembali. Aku akan mengatakan bahwa aku sudah bertemu dengan kalian dan aku sudah menyampaikan pesannya.”

“Baiklah. Kamipun minta Ki Lurah menyampaikan jawaban kami,” berkata Ki Lurah Branjangan.

“Orang itu tentu akan sangat marah,” desis Ki Citrabawa. “Berhati-hatilah. Ki Ajar itu merasa dirinya orang terpenting dan memiliki kemampuan tertinggi di seluruh dunia. Karena itu, maka ia memang mempunyai kelakuan yang aneh.”

“Mungkin ia memang orang yang berilmu tertinggi di dunia. Tetapi betapapun tingginya kemampuan dan ilmu seseorang, tetapi ia tetap seorang manusia yang mempunyai keterbatasan. Nah, katakan kepadanya, bahwa pada suatu saat ia akan sampai ke batas itu,” jawab Ki Lurah Branjangan.

Ki Citrabawa tersenyum. Tetapi alangkah kecutnya senyumnya itu.

Demikianlah, sejenak kemudian Ki Lurah Citrabawa itu telah meninggalkan rumah Agung Sedayu. Betapapun gejolak di perasaannya, namun ia memang tidak mempunyai kemampuan, bahkan keberanian, untuk berbuat sesuatu yang tidak dikehendaki oleh guru anaknya itu. 

Sepeninggal Ki Lurah Citrabawa, maka seisi rumah Agung Sedayu itu pun telah berbincang tentang kedatangan Ki Lurah Citrabawa itu. Ki Lurah Branjangan sengaja membicarakannya di hadapan Rara Wulan dan Glagah Putih, sehingga dengan demikian maka mereka akan menjadi berhati-hati.

Namun sebenarnyalah bahwa Rara Wulan menjadi sangat ketakutan. Baginya, tanpa perlindungan orang lain, ia tidak akan dapat menghindarkan diri dari kemungkinan buruk itu.

Dalam pada itu, maka Ki Jayaraga pun berkata, “Baiklah, Kita harus menerima tantangan ini. Aku tentu tidak akan membiarkan muridku disakiti. Apalagi dalam perlakuan yang tidak adil.”

Agung Sedayu pun mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya kepada Ki Lurah, “Ki Lurah. Sebaiknya kita mengambil langkah-langkah untuk mengamankan Rara Wulan.”

Ki Lurah Branjangan mengangguk kecil. Memang tidak ada cara lain untuk mengamankan Rara Wulan daripada mendapat perlindungan dari orang-orang yang memiliki kemampuan yang dapat mengimbangi kemampuan Ki Ajar Sigarwelat.

Bahkan seandainya Rara Wulan dibawa kembali ke Mataram pun keadaannya akan tetap berbahaya baginya. Mungkin ayahnya akan dapat membawa kelompok prajurit untuk menjaga rumahnya. Tetapi sudah barang tentu dengan demikian Rara Wulan akan merasa dirinya selalu dibayangi oleh ketakutan jika ia keluar rumah untuk keperluan apapun. Sedangkan sekelompok prajurit itu belum tentu akan dapat menjamin, bahwa Ki Ajar tidak akan dapat mengambil cucunya itu. Ki Ajar akan dapat mengajak muridnya menyerang rumah Ki Tumenggung dan kemudian melarikan Rara Wulan. Atau jika tidak mungkin lagi membawanya, gadis itu tentu akan dibunuhnya. Daripada anak Ki Lurah Citrabawa itu tidak mendapatkannya, maka semua orang pun tidak akan mendapatkannya pula.

Ketika Ki Lurah kemudian memandangi Ki Jayaraga, Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih, maka tiba-tiba saja ia berkata, “Angger Agung Sedayu. Jika Angger tidak berkeberatan, biarlah aku titipkan Rara Wulan itu di sini. Di sini aku melihat ada beberapa orang yang akan mampu melindunginya. Sementara di rumah Ki Gede, dan bahkan di Mataram sekalipun, keamanannya tidak akan terjamin sebagaimana di sini.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Sementara itu tiba-tiba saja dada Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Demikian juga jantung Rara Wulan bagaikan berdetak semakin cepat.

Untuk beberapa saat ruangan itu menjadi hening. Namun kemudian Agung Sedayu pun berkata, “Jika hal itu Ki Lurah pandang sebagai jalan keluar meskipun untuk sementara, kami tidak berkeberatan. Biarlah Rara Wulan di sini. Ia dapat membantu Sekar Mirah. Namun jika Rara Wulan memang ingin mempelajari serba sedikit ilmu kanuragan, maka biarlah Sekar Mirah menuntunnya, meskipun hanya sekedar patokan-patokan pertama.”

Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada itu Agung Sedayu berkata selanjutnya, “Tetapi Ki Lurah harus memohon kepada Ki Gede.”

“Ya. Aku akan bertemu dengan Ki Gede. Agaknya Ki Gede akan dapat mengerti apa yang telah terjadi,” berkata Ki Lurah Branjangan.

Tetapi kemudian Agung Sedayu pun bertanya, “Bagaimana dengan Raden Teja Prabawa? Jika orang-orang itu gagal mendapatkan Rara Wulan, mungkin sasaran berikutnya adalah Raden Teja Prabawa. Jika Ki Lurah mengijinkan, biarlah ia berada di sini pula untuk sementara.”

Ki Lurah mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak segera menjawab. Dipandanginya Teja Prabawa yang menunduk. Namun agaknya Ki Lurah sendiri sependapat dengan Agung Sedayu.

Namun tiba-tiba saja Ki Lurah itu berkata, “Jika demikian, biarlah aku juga berada di sini.”

“Ah, tentu saja kami akan mempersilahkan dengan senang hati,” berkata Agung Sedayu.

Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan berkata kepada Ki Gede. Di sini aku tiba-tiba saja merasa lebih aman, meskipun di rumah Ki Gede dapat saja dijaga oleh sekelompok pengawal. Namun Ki Ajar Sigarwelat hanya dapat diimbangi dengan kemampuan pribadi yang tinggi. Kemampuan sekelompok pengawal akan sangat berbeda menghadapi orang seperti Ki Ajar, daripada seorang saja namun yang berilmu seimbang.”

“Tentu kami tidak akan berkeberatan. Tetapi rumah kami tentu tidak dapat memberikan tempat yang baik bagi cucu-cucu Ki Lurah. Sempit, barangkali agak lembab dan kotor,” berkata Sekar Mirah.

Ki Lurah Branjangan tertawa. Katanya, “Satu pengalaman yang tentu akan sangat menarik.”

Sekir Mirah hanya dapat tersenyum. Namun sebenarnyalah ia merasa bahwa rumahnya agak kurang pantas bagi cucu-cucu Ki Lurah. Ki Lurah sendiri barangkali tidak akan merasa sesak dan sempit, karena Ki Lurah yang di masa mudanya adalah seorang prajurit yang berpengalaman. Namun cucu-cucunya tentu agak berbeda.

Demikianlah, maka Agung Sedayu telah mengantarkan Ki Lurah Branjangan pergi ke rumah Ki Gede untuk menyampaikan rencananya. Dimohon Ki Gede dapat mengerti. Jika persoalannya sudah mendapatkan penyelesaian, maka Ki Lurah akan kembali lagi ke rumah Ki Gede dan untuk selanjutnya kembali ke Mataram.

Ki Gede memang dapat mengerti keadaan Ki Lurah. Iapun menawarkan, jika Ki Lurah tetap berada di rumah Ki Gede, sekelompok pengawal yang akan berjaga-jaga di halaman. Namun Ki Lurah berkata, “Kami jangan sampai menyulitkan kedudukan Ki Gede.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Kami benar-benar harus mohon maaf kepada Ki Lurah, bahwa Tanah ini ternyata tidak memberikan ketenangan kepada Ki Lurah.”

“Bukan Tanah ini. Malahan aku-lah yang telah membawa persoalan kemari. Karena persoalannya adalah persoalan antara aku dan Ki Lurah Citrabawa,” sahut Ki Lurah Branjangan.

Dengan demikian maka sejak hari itu, Ki Lurah Branjangan beserta kedua cucunya berada di rumah Agung Sedayu. Meskipun mereka selalu dibayangi oleh kecemasan, namun di rumah itu mereka memang merasa aman.

Raden Teja Prabawa sudah mulai belajar bergaul dengan Glagah Putih. Betapapun beratnya, tetapi ia terpaksa minta maaf kepada anak padesan itu, yang ternyata memiliki kemampuan jauh lebih baik dari dirinya sendiri. Bahkan anak muda itu adalah sahabat Raden Rangga. Seorang di antara anak-anak muda yang dikaguminya.

Kehadiran Teja Prabawa rasa-rasanya tidak menjadi persoalan bagi Glagah Putih, la sudah melupakan persoalan yang pernah timbul antara mereka berdua. Glagah Putih pun telah memaafkan sikap dan tingkah laku Teja Prabawa sesaat setelah ia dipertemukan dengan anak dari Kotaraja itu.

Namun yang kadang-kadang menggelisahkan Glagah Putih adalah justru kehadiran Rara Wulan. Sebagai gadis Kotaraja, nampaknya Rara Wulan mempunyai kebiasaan yang lebih terbuka dari gadis-gadis padesan. Karena itu, jika Rara Wulan itu bertemu dan berbicara dengan Glagah Putih, maka kadang-kadang Glagah Putih lebih banyak menjadi pendengar. Tetapi sekali-sekali, sengaja atau tidak sengaja, Glagah Putih memandang wajah gadis yang bersih itu.

Namun setiap kali Glagah Putih berkata kepada dirinya sendiri, “Tetapi ia adalah gadis Kotaraja. Anak seorang Tumenggung yang berkedudukan tinggi di Mataram.”

Tetapi sekali-sekali Glagah Putih pun telah membanggakan diri, “Meskipun aku anak Tanah Perdikan yang jauh, tetapi aku pernah mendapat kesempatan untuk berada di Istana Mataram. Panembahan Senapati mengenal aku dengan baik, serta Ki Mandaraka pun telah memberi aku senjata yang jarang ada duanya.”

Namun semuanya itu pecah berhamburan jika ia mendengar gadis itu tertawa kecil.

“Aku belum lama mengenalnya,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya, “kenapa aku terlalu memperhatikannya?”

Tetapi rasa-rasanya Glagah Putih tidak akan dapat mengelakkan dirinya. Apalagi setiap kali Rara Wulan memang telah menemuinya, berbicara tentang apa saja.

Bahkan tiba-tiba saja ketika senja turun, Rara Wulan menemui Glagah Putih yang sedang menyiapkan rumput di kandang. Dengan suaranya yang lembut ia berkata, “Kau tidak pernah mengajakku ke sungai itu lagi. Rasa-rasanya menyenangkan mencari ikan di pliridan itu.”

Glagah Putih termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Tetapi keadaan masih belum menguntungkan. Mungkin sesuatu dapat terjadi jika kita pergi ke sungai di malam hari. Apalagi dengan Rara.”

“Kenapa dengan aku? Aku tidak akan menjadi cengeng lagi,” jawab Rara Wulan.

“Tentu. Rara tentu tidak akan menjadi cengeng lagi. Tetapi ancaman Ki Ajar Sigarwelat itu tentu bukan sekedar main-main. Ia benar-benar akan dapat menyergap kita,” jawab Glagah Putih. “Mungkin aku sendiri mempunyai banyak cara untuk melepaskan diri. Tetapi Rara akan mengalami kesulitan. Ia tentu tidak akan datang sendiri. Tentu berdua dengan muridnya. Seandainya aku sempat bertempur melawan gurunya, apapun yang terjadi, Rara tidak akan dapat melepaskan diri dari tangan anak Ki Lurah Citrabawa itu.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Memang mungkin sekali hal itu terjadi.”

“Karena itu untuk sementara kita tidak dapat pergi ke sungai,” jawab Glagah Putih.

Namun adalah di luar dugaan bahwa pembantu di rumah Agung Sedayu, yang tidak sengaja mendengar pembicaraan itu, berkata, “Jadi kau takut? Aku tidak pernah takut pergi ke sungai itu. Meskipun sendiri.”

Glagah Putih berpaling kepada anak itu. Namun iapun tertawa. Katanya, “Nah, jika demikian, maka untuk sementara kau dapat pergi sendiri.”

“Aku tahu itu. Itu adalah tujuan akhirnya,” berkata anak itu sambil melangkah pergi.

Glagah Putih hanya tertawa saja. Sementara Rara Wulan bertanya, “Siapakah anak itu?”

“Anak tetangga. Tetapi ia tinggal bersama kami di sini,” jawab Glagah Putih, “ia membantu pekerjaan kami sehari-hari di rumah.”

“Bukankah anak itu yang pernah pergi bersama kita ke sungai?” bertanya Rara Wulan.

“Ya. Anak itu rajin, dan pada dasarnya cukup cerdas,” jawab Glagah Putih.

Rara Wulan tertawa. Katanya, “Anak yang baik. Ia memiliki keberanian pula.”

Glagah Putih mengangguk-angguk.

Namun tiba-tiba Glagah Putih mengerutkan keningnya. Hampir di luar sadarnya ia menarik Rara Wulan dan mendorongnya masuk ke dalam kandang. Secepat itu pula Glagah Putih pun telah meloncat pula masuk ke dalam kandang itu. Bahkan Rara Wulan telah tergelincir dan jatuh di lantai kandang yang kotor, sementara beberapa ekor kuda telah menggelinjang dan meringkik keras. Untunglah bahwa kuda-kuda itu terikat ditempat masing-masing, sehingga tidak berlari-larian sehingga akan dapat menginjak Rara Wulan.

Rara Wulan terkejut bukan buatan. Bahkan hampir saja ia berteriak ketika ia terjatuh dan melihat Glagah Putih meloncat hampir menimpanya.

Namun tiba-tiba saja angin yang sangat kencang telah bertiup menyambar deras sekali. Tepat di tempat mereka berdua berdiri di depan kandang. Bahkan kandang kuda itu seakan-akan telah terguncang, meskipun angin itu hanya menyentuh sebelah sisinya. Rara Wulan yang kemudian duduk itu menjadi gemetar. Ia menyadari, seandainya keduanya akan hanyut dan membentur tiang sudut kandang itu atau membentur benda-benda lain.

“Terima kasih,” desis Rara Wulan.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau menjadi kotor. Mandilah.”

Rara Wulan mengangguk-angguk. Tetapi Glagah Putih pun berkata, “Marilah. Tetapi hati-hati. Mungkin serangan gelap seperti ini akan datang lagi. Jika demikian, aku harus melawannya, agar kita tidak sekedar menjadi sasaran. Meskipun aku harus mempelajari dari mana arah serangan itu.”

Rara Wulan termangu-mangu. Ia sadar, bahwa Ki Ajar Sigarwelat benar-benar ingin membuktikan kata-katanya. Karena itu, maka jantungnya pun menjadi berdebaran. Jika serangan itu dilakukan sekali lagi, langsung mengenai kandang kuda itu, maka kandang itu akan dapat roboh karenanya.

Namun dalam pada itu, maka Agung Sedayu, Ki Jayaraga, Sekar Mirah, Ki Lurah Branjangan telah keluar dari pintu samping. Mereka mendengar ringkik kuda yang keras di kandang.

Ketika mereka melihat Glagah Putih menolong Rara Wulan keluar dari kandang, maka tiba tiba saja wajah Teja Prabawa menjadi merah. Dengan serta merta ia telah berlari mendekati adiknya. Dengan keras ia bertanya, “Wulan. Apa yang telah kau lakukan?”

“Aku terjatuh Kakang. Kakang Glagah Putih telah menolongku,” jawab Rara Wulan. “Kami telah diserang dengan arus angin yang sangat deras.”

“Omong kosong,” bentak kakaknya.

Namun Agung Sedayu-lah yang mendekatinya. Dengan sabar ia berkata, “Raden Teja Prabawa, mungkin Raden hanya mendengar ringkik kuda itu saja. Tetapi kami juga mendengar angin yang keras telah menyambar di halaman rumah ini. Nampaknya Rara Wulan tidak berbohong. Meskipun masih ada hal yang lain yang kami ingin tahu. Nah, sebaiknya biarlah Rara mandi di pakiwan dahulu. Namun kami minta maaf, bahwa kami akan berjaga-jaga di sekitar pakiwan itu. Di tempat yang agak jauh. Kami masih merasa cemas, bahwa serangan serupa akan datang lagi.”

Ki Lurah Branjangan telah mendekati cucu laki-lakinya pula. Katanya, “Aku mengerti perasaanmu. Tetapi justru ada yang tidak kau mengerti.”

Teja Prabawa termangu-mangu. Namun akhirnya iapun telah didera lagi oleh perasaannya. Ia merasa semakin kecil di antara orang-orang Tanah Perdikan itu. Ia sama sekali tidak mengerti apa yang dimaksud dengan serangan angin yang deras, atau alasan apapun juga.”

“Marilah,” ajak Ki Lurah Branjangan.

Teja Prabawa tidak mengelak ketika kakeknya mengajaknya masuk lagi ke dalam lewat pintu butulan. Sementara Sekar Mirah telah membawa Rara Wulan ke pakiwan. Badannya dan pakaiannya menjadi sangat kotor, karena ia telah terjatuh di kandang kuda. Sementara itu, Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Glagah Putih telah memencar di halaman dan di kebun belakang.

Tetapi ternyata serangan itu tidak terulang lagi.

Ketika mereka kemudian duduk di ruang dalam, maka Glagah Putih telah menjelaskan apa yang terjadi, sehingga Ki Lurah Branjangan sambil tersenyum bertanya kepada cucunya, “Jelas Teja Prabawa?”

Teja Prabawa mengangguk kecil. Namun dalam pada itu Ki Jayaraga berkata, “Tetapi kami dapat mengerti perasaan Raden Teja Prabawa. Ia hanya melihat Glagah Putih dan Rara Wulan keluar dari kandang dengan pakaian yang kotor.”

“Tetapi bukankah di bagian lain kandang itu terbuka?” jawab Ki Lurah Branjangan.

Namun Ki Jayaraga menyahut, “Waktunya pun saat memasuki gelap. Di saat Bathara Kala sering mencari mangsa.”

Ki Lurah Branjangan justru tertawa. Namun Rara Wulan dan Glagah Putih telah menundukkan wajah mereka dalam-dalam. Bahkan wajah Rara Wulan terasa menjadi panas.

“Sudahlah,” berkata Sekar Mirah, “yang harus kita perhatikan adalah justru serangan itu. Ternyata seorang yang bernama Ki Ajar Sigarwelat itu bukan seorang jantan sebagaimana kita duga. Ia telah menyerang dari tempat yang tersembunyi justru pada saat yang tidak terduga.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Dengan demikian untuk satu dua hari ini, biarlah Ki Lurah Branjangan dengan kedua orang cucunya tetap berada di dalam rumah.”

Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Ternyata bahwa kami harus menjadi beban di sini. Jika salah seorang di antara kami pergi ke pakiwan, maka kalian harus mengawasinya.”

“Tidak apa-apa,” jawab Agung Sedayu, “bukankah kita berusaha agar persoalan ini dapat berlalu dengan selamat?”

“Kami hanya dapat mengucapkan terima kasih berulang kali Ngger,” desis Ki Lurah Branjangan.

Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Lupakan Ki Lurah. Kita berbuat bagi kebaikan kita semuanya.”

Demikianlah, maka malam itu, Agung Sedayu, Glagah Putih dan Ki Jayaraga telah membagi tugas. Mereka berganti-ganti harus berjaga-jaga. Sementara itu, Rara Wulan akan tidur bersama Sekar Mirah, sedang Ki Lurah Branjangan dengan Teja Prabawa.

Yang berjaga-jaga di permulaan malam adalah Glagah Putih, sesaat setelah Ki Lurah Branjangan masuk ke dalam biliknya. Sementara yang lain-lain telah berada di dalam bilik mereka, kecuali Agung Sedayu yang tidur di amben besar di ruang tengah, karena di dalam biliknya ada Rara Wulan. Sedangkan Ki Jayaraga lebih senang tidur di belakang. Di amben yang berada di sebelah dapur, karena biliknya dipergunakan oleh Ki Lurah Branjangan.

Sebenarnya di gandok masih juga terdapat beberapa ruang yang dapat dipergunakan. Namun agaknya keadaan menjadi semakin rumit, sehingga Agung Sedayu berketetapan hati untuk minta kepada Ki Lurah Branjangan dan kedua cucunya tidur saja di dalam rumah, meskipun akan terasa sempit.

Bilik Glagah Putih sendiri memang kosong. Bilik kecil itu tidak dipergunakan, karena Glagah Putih duduk di amben besar tempat Agung Sedayu tidur. Jika sudah waktunya, maka ia tinggal membangunkan Agung Sedayu dan tidur di amben itu pula.

Namun menjelang tengah malam, Glagah Putih mendengar langkah lembut di luar dinding di sebelah biliknya. Karena itu, maka iapun dengan hati-hati telah melangkah mendekat. Namun Glagah Putih pun harus menjaga suara langkahnya sendiri.

Beberapa saat Glagah Putih menunggu. Namun kemudian ia menarik nafas dalam-dalam. Ia ternyata telah mengenal desis di luar dinding. Pembantu rumah Agung Sedayu yang tentu mengajaknya pergi ke sungai.

“Sst,” desis Glagah Putih, “hari ini aku tidak pergi ke sungai.”

“Kenapa?” bertanya anak di luar dinding itu, “Kau memang terlalu malas. Apalagi setelah gadis itu ada di sini.”

“Ah kau,” sahut Glagah Putih, “kau tahu, bahwa aku harus membantu mereka.”

“Membantu apa malam-malam begini?” bertanya anak itu.

“Sudahlah. Lebih baik kau pun beristirahat malam ini. Kau tahu tadi menjelang senja ada orang yang licik menyerang aku di dekat kandang?” bertanya Glagah Putih.

“Kau sendiri yang berpura-pura. Supaya kau dapat menolong gadis itu,” jawab anak itu.

“Jangan mengada-ada. Aku tarik hidungmu nanti,” desis Glagah Putih. Namun katanya, “Beristirahatlah malam ini. Aku bersungguh-sungguh. Sebaiknya kau cepat masuk ke dalam.”

Anak itu termangu-mangu sejenak. Tetapi ia memang merasakan kesungguhan pesan Glagah Putih itu, sehingga anak itu pun telah mengurungkan niatnya.

Glagah Putih ternyata sempat pergi ke belakang lewat pintu samping dan pergi ke bilik anak itu. Namun hanya sebentar. Iapun kemudian kembali ke tempatnya, duduk di sebelah Agung Sedayu yang sedang tidur. Namun ternyata Agung Sedavu yang masih memejamkan matanya itu bertanya, “Kau dari mana?”

Glagah Putih sempat menceritakan ajakan pembantunya untuk pergi ke sungai.

“Aku nasehatkan agar anak itu tidak pergi ke sungai malam ini, meskipun pliridan sudah dibuka,” berkata Glagah Putih.

“Kau benar,” desis Agung Sedayu, “meskipun anak itu tidak tahu ujung pangkal persoalannya, tetapi ia akan dapat terkena getahnya jika ia berkeliaran malam hari sementara anak Ki Citrabawa itu tahu bahwa anak itu adalah penghuni rumah ini.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara itu Agung Sedayu bertanya, “Apakah kau sudah mengantuk?”

“Belum Kakang,” jawab Glagah Putih, “bukankah masih belum sampai saatnya aku diganti?”

Agung Sedayu tersenyum. Namun kemudian ia menggeliat sambil berkata, “Baiklah. Tetapi kapan saja jika kau mengantuk, bangunkan aku.”

“Baik Kakang,” jawab Glagah Putih.

Demikianlah. malam itu pun telah dilalui. Ketika Glagah Putih kemudian mengantuk, maka yang berjaga-jaga adalah Agung Sedayu. Namun agaknya malam sudah tidak terlalu panjang, sehingga Agung Sedayu tidak berniat membangunkan Ki Jayaraga. Tetapi ternyata Ki Jayaraga telah terbangun sendiri dan duduk pula bersama-sama dengan Agung Sedayu, sementara Glagah Putih justru telah tidur di dalam biliknya.

Pagi terasa segar sekali. Seperti biasa, Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Glagah Putih telah melakukan pekerjaan masing-masing. Membersihkan halaman, kebun dan mengisi jambangan pakiwan, sementara Sekar Mirah membersihkan perabot di dalam rumahnya. Di dapur, pembantu di rumah Agung Sedayu yang masih sangat muda itu duduk menunggui perapian sambil memanaskan telapak tangannya.

Ternyata Rara Wulan tidak mau tinggal diam. Iapun telah membantu Sekar Mirah. Namun ia masih selalu ingat, bahwa sebaiknya ia tidak keluar dahulu dari rumah itu.

Dalam pada itu, Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Glagah Putih yang melakukan pekerjaannya di luar rumah, tidak kehilangan kewaspadaannya. Mereka selalu siap menghadapi segala kemungkinan. Bahkan mereka telah siap melontarkan ilmu mereka jika diperlukan.

Tetapi pagi itu, mereka juga tidak mengalami gangguan apapun juga. Meskipun demikian Ki Lurah Branjangan dan kedua cucunya dipersilahkan untuk tetap tinggal di dalam rumah. Kecuali jika mereka pergi ke pakiwan. Bahkan jika mereka pergi ke pakiwan, Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Glagah Putih menebar di halaman depan dan kebun belakang.

Tetapi ketika lewat tengah hari, maka yang tidak mereka harapkan itu datang. Namun bagi Glagah Putih, hal itu semakin cepat akan menjadi semakin baik. Persoalannya segera selesai, dan Ki Lurah Branjangan serta cucu-cucunya tidak harus berada di dalam rumah saja.

Ketika seisi rumah Agung Sedayu itu sedang makan, maka Ki Lurah Citrabawa telah datang ke rumah itu pula. Tetapi seperti di hari sebelumnya, Ki Citrabawa itu tidak mau ikut makan bersama mereka.

“Aku hanya datang untuk menyampaikan pesan itu,” berkata Ki Lurah Citrabawa.

Agung Sedayu yang menemui Ki Citrabawa menyertai Ki Lurah Branjangan bertanya, “Pesan apa lagi yang Ki Lurah bawa sekarang ini?”

Ki Lurah Citrabawa termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Aku memang tidak mempunyai wewenang untuk berbuat apapun di luar kehendak mereka.”

Ki Lurah Branjangan tertawa. Katanya, “Pesan apa lagi yang kau bawa?”

Ki Lurah Citrabawa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jangan salah paham. Aku sama sekali tidak mengarahkannya untuk berbuat begitu. Tetapi gurunya yang telah membuatnya menjadi kasar seperti itu, meskipun nampaknya ia dapat menjadi lembut.”

“Tetapi Ki Lurah belum mengatakan pesan itu,” sela Agung Sedayu.

Ki Lurah Citrabawa termangu-mangu. Keringat telah membasahi keningnya, sedangkan rambutnya yang keputih-putihan terjurai ujungnya di bawah ikat kepalanya.

Ki Lurah Citrabawa itu memang nampak letih. Agaknya iapun mengalami ketegangan lahir dan batinnya.

“Anak itu tidak dapat aku kendalikan lagi,” berkata Ki Lurah Citrabawa.

“Katakan, apakah pesan itu,” minta Ki-Lurah Branjangan. Ia justru menjadi iba melihat keadaan ki Lurah Citrabawa yang gelisah.

“Ki Lurah Branjangan,” berkata Ki Citrabawa, “aku sudah minta kepada anakku, agar ia mengurungkan niatnya untuk mengambil cucu Ki Lurah. Tetapi anakku itu sama sekali tidak mau mendengarkannya. Demikian ia merasa keadaannya lebih baik karena gurunya berusaha untuk mengobatinya, maka ia telah berniat untuk mengambil cucu Ki Lurah itu di sini.”

“Tetapi apakah pesan itu?” Agung Sedayu mendesak.

“Baiklah,” Ki Lurah Citrabawa menarik nafas dalam-dalam. “Ki Sigarwelat minta agar nanti menjelang senja, Rara Wulan sudah harus dibawa ke tempat yang sudah ditentukan. Tempat yang kami pergunakan untuk mencoba mengambil Rara Wulan di lereng bukit yang sepi itu. Jika kalian tidak melakukannya, maka Ki Sigarwelat akan membunuh Glagah Putih kapan saja ia kehendaki. Karena membunuh Glagah Putih bagi Ki Sigarwelat akan sama mudahnya dengan membunuh seekor katak.” Ki Lurah berhenti sejenak. Namun tiba-tiba ia berkata selanjutnya, “Tetapi bukan aku yang mengatakannya. Aku hanya menirukannya saja.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Apakah tidak ada jalan lain?”

“Anakku dan Ki Sigarlewat sudah bertekad bulat untuk mengambil cucu Ki Lurah. Bagi anakku, Rara Wulan adalah gadis yang dianggapnya paling cantik yang pernah dilihatnya, sementara bagi Ki Sigarwelat, hal itu sudah menyangkut harga dirinya.”

“Apakah Ki Sigarlewat benar seorang yang berilmu tinggi dan tidak dapat dikalahkan?” bertanya Agung Sedayu dengan ragu-ragu.

“Ya. Karena itu aku merasa ikut berprihatin,” jawab Ki Lurah Citrabawa. Lalu katanya pula, “Aku tahu, bahwa sebaiknya anakku tidak berbuat seperti itu. Tetapi aku tidak lagi mampu mengendalikannya lagi. Ia sudah lepas seperti kuda lepas kendali. Bahkan anakku itu sudah berani mengancam jika aku tidak mau menurut perintahnya. Sudah barang tentu dengan dukungan gurunya.”

Sebelum Ki Lurah Branjangan menyahut, Agung Sedayu telah menyawab sambil mengangguk lemah, “Baiklah Ki Lurah. Jika memang itu yang dikehendaki oleh Ki Sigarwelat, tentu kami tidak akan dapat mengelak lagi. Aku tentu akan memberatkan Glagah Putih daripada orang lain.”

Wajah Ki Lurah Branjangan menjadi merah. Tetapi di luar pengetahuan Ki Citrabawa, Agung Sedayu telah menggamit Ki Lurah Branjangan, sehingga Ki Lurah itu pun mengerti, bahwa tentu ada perhitungan lain yang dibuat oleh Agung Sedayu.

Karena itu, maka iapun telah mengendapkan nalarnya dan mencoba untuk dapat mengerti. Meskipun demikian, Ki Lurah Branjangan itu berkata, “Aku tidak akan pernah menyerahkan cucuku.”

“Ki Lurah tidak akan dapat menolak keinginanku. Di sini Ki Lurah tidak mempunyai kekuatan untuk menentangnya,” berkata Agung Sedayu.

Ki Lurah Branjangan termangu-mangu. Namun ia masih menggeram, “Hanya kematian yang dapat memaksa aku menyerahkan Rara Wulan.”

Tetapi Agung Sedayu segera menyahut, “Aku akan datang membawa Rara Wulan. Serahkan caranya kepadaku. Nah, aku minta Ki Lurah Citrabawa cepat meninggalkan rumahku, agar aku sempat membuat persiapan-persiapan.”

Ki Lurah Citrabawa masih ragu-ragu. Namun kemudian Agung Sedayu telah membentaknya, “Cepat! Aku akan kehabisan waktu jika kau tidak segera pergi.”

Ki Citrabawa itu pun telah dengan tergesa-gesa minta diri. Sementara Agung Sedayu menegaskan, “Aku akan datang. Urusan lain adalah urusanku.”

Ki Lurah Citrabawa itu pun segera meninggalkan rumah Agung Sedayu, sementara Ki Lurah Branjangan menjadi termangu-mangu.

“Jangan cemas Ki Lurah,” berkata Agung Sedayu, “semuanya akan dapat kita atasi.”

“Aku sudah menduga,” berkata Ki Lurah Branjangan, “namun nampaknya Angger Agung Sedayu akan menempuh jalan yang cukup berbahaya.”

“Mudah-mudahan tidak akan membuat Rara Wulan cedera,” jawab Agung Sedayu.

Seperti yang dikatakan, maka Agung Sedayu memang telah mengadakan persiapan. Ia memang akan pergi ke tempat yang ditentukan oleh Ki Sigarwelat.

Di senja hari, maka semua orang di dalam rumah Agung Sedayu telah keluar. Mereka menuju ke rumah Ki Gede. Sebenarnyalah Ki Gede tidak sempat mempersilahkan mereka duduk, karena beberapa di antara mereka akan melanjutkan perjalanan. Agung Sedayu dan Glagah Putih akan membawa Rara Wulan ke lereng bukit. Sementara Ki Jayaraga diminta untuk berjaga-jaga di rumah Ki Gede.

Dalam keremangan senja, maka Glagah Putih berjalan di paling depan. Kemudian Rara Wulan berjalan terloncat-loncat karena kain panjangnya yang dikenakannya sesuai dengan kedudukannya sebagai seorang gadis Kotaraja. Bajunya yang rapat dan sanggulnya yang rapi. Rapat di belakangnya berjalan Agung Sedayu. Nampaknya mereka mendorong perempuan yang berjalan di depannya, yang agaknya perjalanan itu tidak sesuai dengan kehendaknya.

Beberapa saat kemudian, maka gelap pun telah turun. Keti gaorang yang berjalan itu menjadi semakin cepat. Dengan tergesa-gesa mereka melintasi bulak-bulak panjang dan kemudian memasuki jalan-jalan kecil. Mereka bertiga agaknya memang menghindari perjalanan melalui padukuhan.

Akhirnya mereka bertiga telah sampai ke tempat yang dikehendaki oleh Ki Ajar Sigarlewat. Lereng bukit di mana Glagah Putih telah mengalahkan anak Ki Lurah Citrabawa.

Beberapa saat mereka menunggu. Namun mereka belum melihat seorang pun di dalam gelapnya malam.

Namun beberapa saat kemudian terdengar suara tertawa. Suara tertawa yang melingkar-lingkar. Lontaran suaranya itu membentur dinding bukit, sehingga pantulan suara itu menimbulkan gema yang menggaung panjang.

Perlahan-lahan suara itu mulai menurun sehingga akhirnya berhenti sama sekali.

“Kenapa kau terlambat Agung Sedayu?” terdengar suara dari kegelapan.

“Aku berangkat di saat senja turun,” jawab Agung Sedayu.

“Aku minta kau datang saat senja itu,” berkata suara dari dalam kegelapan itu.

“Lalu bagaimana? Apakah kami harus kembali?” bertanya Agung Sedayu pula.

“Tentu tidak,” jawab suara itu, “kami memerlukan Rara Wulan.”

“Jadi bagaimana maksudmu?” bertanya Agung Sedayu.

“Serahkan Rara Wulan kepadaku. Bawa perempuan itu melekat dinding bukit. Kemudian kalian berdua bergeser menjauhinya,” berkata suara itu.

“Untuk apa? Kami sudah membawa gadis itu kemari. Bukankah persoalan kita sudah selesai? Aku dan Glagah Putih akan segera kembali. Aku tinggalkan Rara Wulan di sini,” berkata Agung Sedayu.

“Kalian akan kembali kemana?” bertanya suara itu.

“Kembali ke padukuhan induk. Aku masih mempunyai persoalan dengan Ki Lurah Branjangan yang kini ditawan oleh pengawal Tanah Perdikan. Para pengawal memang memilih Glagah Putih, kawan mereka bermain, daripada Rara Wulan yang belum dikenalnya. Karena itu, maka ijinkan kami kembali ke padukuhan induk setelah memenuhi pesanmu, membawa Rara Wulan kemari,” berkata Agung Sedayu.

Tetapi terdengar suara tertawa berkepanjangan. Bergulung-gulung oleh gemanya yang panjang pula.

“Jangan bodoh Agung Sedayu,” berkata suara itu.

“Apa maksudmu?” bertanya Agung Sedayu.

“Meskipun kau telah memenuhi pesanku agar membawa Rara Wulan kemari, namun kau telah melakukan kesalahan,” berkata suara itu.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Ki Sanak. Kemarilah. Kita dapat berbicara dengan baik. Bukankah kalian telah melihat bahwa aku-bersungguh-sungguh?”

“Lakukan perintahku,” berkata suara itu, “kau tinggalkan Rara Wulan di dinding tebing itu. Kemudian kalian bergeser menjauh.”

“Kami akan kembali ke padukuhan induk,” sahut Agung Sedayu.

“Dengar Agung Sedayu. Bukankah aku belum selesai mengatakan tentang dua kesalahan yang telah kau lakukan?” berkata suara itu.

“Apakah kesalahanku kepadamu?” bertanya Agung Sedayu.

“Kau datang terlambat,” jawab suara itu. “Yang kedua, muridmu sudah menyakiti muridku. Nah, hukuman untuk kedua kesalahan itu adalah hukuman yang paling berat,” berkata suara itu.

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun kemampuannya telah menangkap dari mana suara itu dilontarkan. Dengan kemampuannya mempertajam suara karena Aji Pamelingnya, serta kemampuannya menangkap arah getaran, maka Agung Sedayu pun tahu pasti, dimana Ki Ajar Sigarwelat itu bersembunyi. Karena Agung Sedayu yakin bahwa orang itu adalah Ki Ajar Sigarwelat.

Tetapi Agung Sedayu masih juga berkata, “Ki Sanak. Aku mohon Ki Sanak datang kemari.”

“Itu tidak perlu. Aku akan membunuh kalian dari tempat ini. Tempat yang tidak kau ketahui. Karena itu, kau harus memisahkan Rara Wulan dari kalian. Jika tidak maka gadis itu akan ikut mati bersama kalian.,” berkata suara itu.

Namun tiba-tiba saja Agung Sedayu justru telah menangkap Rara Wulan dan memeganginya erat-erat di dadanya. Katanya, “Nah, lontarkan ilmumu, apapun ujudnya. Sapu angin atau yang lain. Gadis ini akan mati bersamaku.”

Sejenak suasana menjadi hening. Namun kemudian terdengar suara, “Kau licik Agung Sedayu. Aku memerlukan gadis itu.”

“Aku tidak peduli,” jawab Agung Sedayu. Sementara itu Glagah Putih pun telah bergeser mendekat pula. “Ayo, bunuh kami bertiga.”

“Jangan Guru,” tiba-tiba terdengar suara lain, yang dengan cepat dapat dikenali arahnya.

“Anak dungu,” terdengar suara pertama, “suaramu telah menunjukkan kepada mereka, dimana kita berada.

“Ampun Guru. Tetapi gadis itu jangan dibunuh,” minta suara yang lain.

Orang yang pertama itu tertawa. Katanya, “Baiklah. Aku akan mengampuni mereka.”

“Jadi?” bertanya suara yang lain itu.

“Marilah. Kita mendekat saja,” jawab suara yang pertama.

Sebenarnyalah beberapa saat kemudian, dari dalam kegelapan telah muncul dua orang yang melangkah mendekati Agung Sedayu yang masih memegangi Rara Wulan.

Glagah Putih segera mengenali seorang di antara mereka. Seorang yang pernah dikalahkannya sebelumnya. Anak bungsu Ki Lurah Citrabawa. Yang seorang lagi, yang belum pernah dilihatnya itu, tentu Ki Ajar Sigarwelat.

Agung Sedayu yang meskipun belum pernah melihat mereka semuanya, namun ia mampu menduga tentang keduanya itu.

“Lepaskan gadis itu,” berkata orang yang diduga adalah Ki Sigarwelat.

“Siapa kau?” bertanya Agung Sedayu untuk meyakinkan dirinya sendiri. “Apakah kau Ki Ajar Sigarwelat?”

Orang yang mendekatinya itu mengangguk kecil sambil menjawab, “Ya. Aku adalah Ki Ajar Sigarwelat. Nah, sekarang serahkan gadis itu kepadaku.”

Tiba-tiba jawaban Agung Sedayu mengejutkan, “Tidak.”

“Kenapa?” bertanya Ki Ajar, “Kau sudah berjanji untuk menyerahkan gadis itu.”

“Aku datang memang untuk menyerahkan gadis ini. Tetapi aku tidak mau mati di sini. Jika gadis ini sudah aku serahkan, maka kau tentu akan membunuh kami. Karena itu, maka gadis ini akan aku bawa kembali ke padukuhan induk. Ikut kami, dan baru setelah kami berada di antara para pengawal Tanah Perdikan, bawa gadis ini,” jawab Agung Sedayu.

“Kau jangan menjadi gila,” geram Ki Sigarwelat, “kau tahu akibatnya jika aku menjadi marah?”

“Tetapi ancamanmu untuk membunuh kami tentu tidak akan dapat kami abaikan. Nah, sekarang biarlah kami kembali ke padukuhan induk,”berkata Agung Sedayu.

“Pengecut licik. Inikah orang yang disebut guru Glagah Putih? Jika muridmu telah menyakiti muridku, kenapa gurunya demikian liciknya dan bahkan pengecut. Jika kau seorang laki-laki, maka kau tidak akan berlaku seperti itu. Kenapa kau tidak melawan aku?” bertanya Ki Sigarwelat.

“Jika aku hanya berdua saja dengan muridku, maka aku akan melawanmu,” jawab Agung Sedayu.

“Kenapa sekarang?” bertanya Ki Ajar.

“Aku membawa seorang gadis,” jawab Agung Sedayu.

“Jika demikian, pergilah. Tinggalkan gadis itu di situ,” geram Ki Ajar Sigarwelat yang telah kehilangan kesabarannya.

“Aku tidak mau. Aku akan membawa gadis ini kembali. Baru setelah kami berdua yakin akan selamat, kami akan melepaskan gadis ini,” berkata Agung Sedayu.

Ternyata Ki Ajar tidak sabar lagi. Katanya kepada muridnya, “Kau coba melawan anak itu sekali lagi. Aku akan membunuh gurunya. Aku tidak mempunyai pilihan lain.”

“Tetapi jangan bunuh gadis itu,” muridnya meminta.

Ki Ajar tertawa. Katanya, “Aku tidak akan membunuh gadis itu. Tetapi aku akan membunuh Agung Sedayu, yang aku kira seorang laki-laki yang tangguh dan tanggon. Tetapi ternyata ia hanya berani bersembunyi di belakang punggung seorang gadis.”

“Apa yang akan Guru lakukan?” bertanya muridnya.

“Aku akan mendekatinya. Aku tidak akan membunuhnya dengan ilmuku yang dilandasi dengan Aji Sapu Angin. Tetapi aku akan menjangkaunya dengan tanganku, mencekiknya dan membunuhnya.” berkata Ki Ajar.

Muridnya mengangguk-angguk. Ia yakin bahiwa gurunya akan berhasil, karena gurunya adalah seorang yang tidak ada duanya.

Selangkah demi selangkah anak Ki Lurah Citrabawa itu mendekati Glagah Putih. Semakin lama semakin dekat, sementara Glagah Putih menjadi tegang. Namun tiba-tiba saja Glagah Putih-lah yang meloncat menyerangnya.

Serangan itu memang tidak terduga-duga. Namun murid Ki Ajar itu sempat mengelak. Bahkan ia telah menyerang kembali dengan sepenuh tenaga.

Glagah Putih bergeser justru menjauh. Bahkan ia sempat berdesis, “Luar biasa. Kau telah sembuh sama sekali.”

Ki Ajarlah yang tertawa. Katanya, “Satu di antara keajaiban yang dapat aku lakukan.” Namun kemudian Ki Ajar itu berpaling kepada Agung Sedayu, “Sekarang aku akan membunuhmu.”

Agung Sedayu bergeser surut ketika Ki Ajar itu menjadi semakin dekat. Namun tiba-tiba Rara Wulan itulah yang meronta, sehingga pegangan Agung Sedayu terlepas.

“Bagus,” Ki Ajar hampir berteriak, “ternyata gadis itu telah membantuku.”

“Persetan,” Agung Sedayu menggeram. Namun ketika ia melangkah mendekati Rara Wulan, Ki Ajar berkata, “Jangan sentuh gadis itu lagi. Aku dapat membunuhmu dari tempat aku berdiri sekarang.”

Agung Sedayu memang tertegun. Namun kemudian katanya, “Kau mau apa? Ambil gadis itu. Aku akan kembali ke padukuhan induk.”

Ki Ajar Sigarwelat tertawa. Katanya di antara suara tertawanya yang berkepanjangan, “Nasibmu memang buruk Agung Sedayu. Kau akan mati di sini. Aku dapat membunuhmu lebih cepat daripada muridmu menyelesaikan pertempurannya melawan muridku, meskipun aku harus mengakui, bahwa muridmu itu memiliki kelebihan dari muridku.”

Agung Sedayu bergeser selangkah. Tiba-tiba saja nada suaranya berubah. Dengan nada rendah ia bertanya, “Jadi kita harus bertempur sekarang?”

Ki Sigarwelat ternyata memiliki panggraita yang tajam. Perubahan nada suara Agung Sedayu dapat ditangkapnya, sehingga terasa getar jantungnya.

“Baiklah,” berkata Agung Sedayu kemudian sambil melangkah maju, “kita akan bertempur. Kapan kita akan mulai?”

Ki Sigarwelat menggeram. Katanya, “Bersiaplah untuk mati sekarang.”

Agung Sedayu melangkah semakin maju. Namun Sigarwelat ternyata tidak memberinya kesempatan untuk maju lebih dekat lagi. Karena itu, maka Sigarwelat-lah yang justru telah mendahuluinya menyerang.

Agung Sedayu dengan tangkasnya mengelak. Namun Ki Ajar Sigarwelat tidak memberinya kesempatan. Dengan cepat ia memburu dan menyerang beruntun.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar