Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 233

Buku 233

“Satu hal yang rumit,“ berkata Ki Gede.

“Ki Gede,“ Ki Panji Wiralaga memang agak ragu-ragu. Tetapi kemudian ia mengatakan juga, “Satu contoh adalah Ki Tumenggung Surayuda. Ia adalah saudara seayah dengan Arya Penangsang, meskipun ia lahir dari ibu yang berbeda. Lahir dari seorang selir. Tetapi ia merasa bahwa darah keturunan Demak mengalir di dalam tubuhnya. Sementara itu bahwa pertentangan antara Pajang dan Jipang di masa pemerintahan Adipati Hadiwijaya dan Adipati Arya Penangsang, Ki Tumenggung Surayuda pada waktu itu tidak nampak bersikap keras terhadap Jipang. Sedangkan Panembahan Senapati telah membunuh saudara seayahnya itu.“

“Namun ternyata bahwa Panembahan Senapati telah melupakan permusuhan itu dan memberikan tempat yang baik kepada Ki Tumenggung Surayuda,“ berkata Ki Gede.

“Ya. Panembahan Senapati telah memberikan pengampuan. Ki Tumenggung termasuk seorang perwira wreda yang dihormati, Ia memiliki pengetahuan yang luas dan pengalaman yang bertumpuk di dalam dirinya. Namun para petugas sandi Mataram telah menemukan bukti-bukti bahwa ada hubungan antara Ki Tumenggung Surayuda dengan Madiun. Sementara itu sebagaimana diketahui, Tumenggung Surayuda adalah salah sorang penentu dalam susunan keprajuritan di Mataram. Karena itu, maka penempatan para perwira di barak-barak Pasukan Khusus selalu mendapat perhatian. Demikian juga perwira yang tiba-tiba saja ditempatkan di barak Pasukan Khusus di Tanah Perdikan ini.“

Ki Gede mengangguk-angguk. Namun kemudian ia bertanya, “Tetapi bukankah ada Panglima Pasukan Khusus di Mataram yang bertanggung jawab atas semua pasukan khusus yang ada di Mataram, dimanapun letak baraknya?“

“Yang kami kerjakan kemudian untuk menelusuri tingkah laku Ki Tumenggung Surayuda adalah sepengetahuan Panglima Pasukan Khusus. Ketika Ki Tumenggung Surayuda mengajukan nama perwira yang kemudian menjabat Senapati Pasukan Khusus itu di Tanah Perdikan, justru telah diterima oleh Panglima Pasukan Khusus. Nah, dalam putaran persoalan inilah kita nanti akan mengambil sikap,“ jawab Ki Panji Wiralaga.

Ki Gede mengangguk-angguk. Ia sudah mulai mengerti duduk persoalannya. Karena itu, maka Ki Gedepun kemudian berkata, “Satu tugas yang berat.“

“Kita akan membagi tugas,“ berkata Ki Panji, “untuk itulah aku datang kemari. Ki Lurah Branjangan yang pernah menjabat sebagai Senapati pada Pasukan Khusus di sini akan dapat memberikan banyak keterangan, petunjuk dan barangkali pendapat untuk mengatasi persoalan-persoalan yang timbul dengan tiba-tiba. Dalam masa-masa istirahatnya, ia justru akan terlibat dalam kerja yang gawat ini.“

“Ki Panji,“ bertanya Ki Gede kemudian, “di samping Ki Tumenggung Surayuda, apakah ada orang lain yang pantas mendapat pengawasan khusus di Mataram?“

“Ada Ki Gede,“ jawab Ki Panji, “tetapi masih belum terlalu jelas.“

“Bagaimana dengan persoalan guru Jaka Rampan?” bertanya Ki Gede.

Ki Panji Wiralaga mengerutkan-keningnya. Namun kemudian jawabnya, “Persoalan Jaka Rampan dan gurunya bukan persoalan yang rumit bagi Mataram. Persoalannya lebih jelas dan terang. Guru Jaka Rampan ingin memanfaatkan muridnya. Hanya itu. Tetapi mereka sama sekali tidak mempunyai hubungan dengan Madiun. Agak berbeda dengan Ki Tumenggung Surayuda.“

“Tetapi bukankah Ki Tumenggung Surayuda termasuk perwira wreda yang usianya sudah agak jauh?“ bertanya Agung Sedayu.

“Ya. Sebenarnya ia merupakan seorang yang disegani karena kemampuannya dan pengetahuannya tentang gelar perang dan perhitungan yang mantap terhadap keadaan,“ berkata Ki Panji Wiralaga, “namun tidak seorangpun tahu, pengaruh apa yang telah membuat Ki Tumenggung itu bergeser.“

“Maaf Ki Panji,“ berkata Agung Sedayu kemudian, “apakah Mataram sudah yakin akan kesalahan sebagaimana dituduhkan kepada Ki Tumenggung Surayuda?“

Ki Panji Wiralaga menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kami sudah mempunyai bukti-bukti. Meskipun demikian kami masih akan meyakinkan diri. Itulah sebabnya Mataram belum mengambil langlah-langkah pasti, atau katakanlah menangkap Ki Tumenggung. Aku tahu bahwa Agung Sedayu memikirkan kemungkinan lain yang berhubungan dengan sikap Ki Tumenggung. Mungkin ada persoalan yang memaksanya berlaku demikian.“

Agung Sedayu mengangguk dalam-dalam katanya, “Dimanakah keluarga Ki Tumenggung? Di sini atau di Jipang, atau ditempat lain?“

“Kenapa dengan keluarga di Tumenggung?“ bertanya Ki Panji.

“Baru saja di Mataram terjadi seseorang yang dipaksa melakukan langkah-langkah tertentu karena anak dan istrinya telah ditangkap dan dijadikan taruhan. Orang itu terpaksa melakukan perintah-perintah tanpa dikehendaki karena keluarganya telah dikuasai oleh orang-orang tertentu,“ berkata Agung Sedayu.

Ki Panji mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku ingat itu. Pendapatmu dapat menjadi bahan pertimbangan Agung Sedayu, agar kita tidak mengambil langkah yang salah terhadap seseorang yang tidak mutlak bersalah. Karena itu, maka kita masih harus mengikuti perkembangannya lebih jauh.“

“Jadi apakah yang dapat aku lakukan kemudian Ki Panji?“ bertanya Ki Gede.

“Ki Gede. Menyampaikan keputusan pembicaraan beberapa orang pemimpin di Mataram, yang sudah disetujui Ki Mandaraka dan Panembahan Senapati sendiri, maka di Tanah Perdikan Menoreh dan sekitarnya akan dibentuk satu lingkungan pertahanan yang akan dipimpin oleh seseorang yang akan ditunjuk oleh Panembahan Senapati sendiri, atau limpahan wewenangnya kepada Ki Mandaraka,“ berkata Ki Panji Wiralaga.

Ki Gede mengerutkan keningnya. Namun ia kemudian bertanya, “Apakah ada hak dan wewenang dari tubuh yang akan mengikat lingkungan pertahanan di Tanah Perdikan ini dan sekitarnya?“

“Ya. Panembahan Senapati akan memberikan wewenangnya itu,“ jawab Ki Panji Wiralaga.

Ki Gede mengangguk-angguk.

Namun Agung Sedayulah yang bertanya, “Bagaimana hubungannya tubuh yang akan dibentuk ini dengan kekuasaan yang ada pada Pasukan Khusus itu?“

“Pasukan Khusus itu dalam satu susunan tubuh yang mempunyai kekuasaan ke dalam. Kekuasaan pada dirinya sendiri. Jika mereka mengambil langkah-langkah keluar, maka hal itu dilakukan oleh tubuh itu seutuhnya, meskipun hanya terdiri dari sebagian kecil dari pasukan yang ada. Pemimpin dari Pasukan Khusus itu nanti akan menjadi salah seorang anggota pada tubuh yang akan dibentuk nanti, yang dipimpin oleh seseorang yang ditunjuk,“ berkata Ki Panji Wiralaga. Lalu, “Karena itulah, maka kedatanganku kemari lebih dahulu, agar dengan demikian Ki Gede dapat mempersiapkan diri. Dari Tanah Perdikan ini, kami sekelompok prajurit yang mendapat tugas ini, juga akan menghubungi beberapa orang Demang di sekitar Tanah Perdikan ini. Namun tentu saja apa yang kami sampaikan tidak sejauh apa yang kami katakan di sini. Kepada mereka kami hanya menyampaikan sebab dan alasannya. Juga kepada Senapati Pasukan Khusus yang baru itu. Jika kami menyampaikan alasan tentu alasan yang paling umum, yaitu keadaan yang semakin gawat dari hubungan antara Mataram dan Madiun, sehingga perlu disusun ikatan-ikatan yang mantap yang mampu menggerakkan kekuatan besar yang ada di Mataram, di luar kekuasaan keprajuritan itu sendiri.“

“Aku mengerti Ki Panji,“ Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi katanya, “Meskipun demikian. kami di Tanah Perdikan Menoreh ini masih akan bertanya, bagaimana dengan hubungan yang menyangkut Ki Tumenggung Surayuda?“

Ki Panji Wiralaga mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Pengawasan dilakukan di Mataram. Tubuh yang akan dibentuk itu akan menjadi bayangan kekuatan Pasukan Khusus di Tanah Perdikan. Justru karena kita masih belum tahu pasti, apa yang sebenarnya terjadi. Atas persetujuan Panglima Pasukan Khusus, maka menjadi takaran. Sebaiknya kami pun berterus terang, bahwa persetujuan Panglima Pasukan Khusus terhadap penunjukan Senapati pada Pasukan Khusus itu juga didasari kekuatan yang ada di Tanah Perdikan Menoreh. Seandainya benar-benar ada garis yang patah di Tanah Perdikan itu, maka ada kekuatan yang cukup untuk meluruskannya kembali.“

Ki Gede mengangguk-angguk. Tetapi ketegangan nampak di wajahnya. Dengan nada rendah ia berkata, “Ki Panji, bukankah dengan demikian Tanah Perdikan ini langsung akan menjadi arena pendadaran kesetiaan Ki Tumenggung Surayuda? Dengan menilai Senapati yang ditempatkannya pada Pasukan Khusus itu, maka kita akan menilai pula kesetiaan Ki Tumenggung. Sementara itu taruhannya ternyata mahal sekali. Kekuatan yang ada di Tanah Perdikan Menoreh dan kekuatan Pasukan Khusus di barak itu. Jika terjadi sentuhan dalam usaha penilaian ini, maka dapat dibayangkan apa yang akan terjadi.“

Ki Panji menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Pertimbangan Ki Gede dapat dipahami. Tetapi dimanapun penilaian itu diadakan, maka benturan yang demikian itu mungkin saja terjadi. Jika bukan pasukan Pengawal Tanah Perdikan Menoreh, tentu antara prajurit Mataram sendiri.“

“Bukankah tidak pantas jika terjadi perlawanan dari pasukan pengawal di Tanah Perdikan ini melawan prajurit Mataram, bagaimana kedudukan mereka masing-masing?“ berkata Ki Gede. Sementara itu Ki Gede telah menyinggung pula apa yang terjadi di Sangkal Putung. Katanya kemudian, “Anak laki-laki Ki Demang adalah seorang yang termasuk kurang panjang berpikir. Namun ternyata iapun tidak menghendaki benturan terjadi melawan para prajurit Mataram.“

Ki Panji mengangguk-angguk. Katanya, “Kami sangat menghargai sikap itu. Namun justru karena itu, seperti aku katakan, Ki Gede dan para Demang tidak berdiri sendiri. Beberapa orang perwira akan membantu. Dan justru karena itu, kita akan bersama-sama mohon kesediaan Ki Lurah Branjangan untuk terlibat di dalamnya. Bagaimanapun juga, Ki Lurah pernah menjadi Bapak pada barak Pasukan Khusus itu. Pengaruhnya tentu masih tersisa di dalamnya, sehingga dalam keadaan yang paling gawat, Ki Lurah akan dapat membantu. Justru Bapak yang pertama, bahkan dapat disebut pendiri meskipun atas perintah.“

Ki Gede mengangguk-angguk. Ia mengerti sepenuhnya keterangan yang dimaksudkan oleh Ki Panji itu. Sementara itu Ki Panji pun berkata, “Ki Gede tentu mengetahui, bahwa pembicaraan kita adalah rahasia pada tataran yang paling tinggi.“

“Aku mengerti,“ jawab Ki Gede. Lalu katanya, “Jika demikian, maka terserahlah kepada Ki Panji, apa yang harus kami lakukan.“

“Ki Gede sebaiknya mempersiapkan diri untuk kepentingan ini. Tentu saja mempersiapkan diri dengan segala dukungan yang mungkin dapat disiapkan,“ berkata Ki Panji.

Lalu Ki Panji itu pun menunjukkan sebuah cincin yang dipakainya sambil berkata, “Ki Gede tentu mengenal cincin ini sebagai bukti bahwa aku mengemban tugas langsung dari Panembahan Senapati.“

Ki Gede mengangguk-angguk. Sebenarnya ia memang ingin bertanya, apakah Ki Panji membawa pertanda bahwa ia memang diutus langsung oleh Panembahan Senapati dalam tugas yang rumit itu. Karena itu, maka katanya, “Pertanda itu memang aku perlukan Ki Panji. Dengan demikian maka aku akan bekerja dengan mantap.“

Ki Panji tersenyum. Katanya, “Ki Gede. Pada saatnya akan datang perintah-perintah berikutnya. Satu hal yang dapat aku beritahukan sekarang, bahwa Ki Lurah Branjangan akan menjadi penasehat dari tubuh yang akan disusun itu. Ki Lurah untuk beberapa lama akan tinggal di Tanah Perdikan itu. Yang lain akan ditentukan kemudian.“

Ki Gede pun mengangguk-angguk. Perintah Panembahan Senapati lewat Ki Panji itu sudah tegas. Tanah Perdikan Menoreh akan menjadi ajang pengamatan Mataram terhadap seorang yang mempunyai kedudukan penting serta mempunyai kemampuan yang sangat tinggi. Jika Tanah Perdikan itu salah langkah, maka akibatnya akan dapat menjadi sangat parah.

Demikianlah, setelah minum dan mencicipi makanan, Ki Panji dan para perwira yang lain minta diri meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi mereka tidak segera kembali ke Mataram. Mereka masih akan singgah di barak Pasukan Khusus serta di beberapa kademangan disekitar Tanah Perdikan Menoreh.

Sepeninggal Ki Panji dan para perwira yang lain serta Ki Lurah Branjangan, maka Ki Kede masih berbicara beberapa saat dengan Agung Sedayu. Bagaimanapun juga, maka mereka harus mempersiapkan para pengawal. Bahkan Agung Sedayu telah mengusulkan untuk mengumpulkan kembali para pengawal terpilih untuk ditempatkan dalam lingkungan khusus, meskipun mereka tidak harus berada di sebuah barak agar tidak menarik perhatian dan menimbulkan kecurigaan.

“Terserah kepadamu Agung Sedayu,“ berkata Ki Gede, “kau tentu dapat menyesuaikan diri dengan keadaan yang gawat ini.“

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk kecil ia berkata, “Baiklah Ki Gede. Aku akan menyiapkan kekuatan inti dari Tanah Perdikan ini. Mudah-mudahan persiapan itu tidak akan pernah dipergunakan.“

“Hati-hatilah di setiap langkah Agung Sedayu,“ pesan Ki Gede, “jika salah langkah, maka justru kita-lah yang akan memancing kekeruhan.“

“Aku akan berhati-hati Ki Gede. Persoalannya memang cukup rumit untuk diatasi dengan diam-diam,“ berkata Agung Sedayu yang sejenak kemudian telah minta diri.

Namun Agung Sedayu berusaha untuk tidak memberitahukan persoalan itu kepada Glagah Putih. Kepada Sekar Mirah ia berpesan dengan sungguh-sungguh agar persoalan yang dikatakan itu akan tetap menjadi rahasia, meskipun yang dikatakan kepada Sekar Mirah itu pun tidak seluruh persoalan yang dibicarakan di rumah Ki Gede Menoreh.

Sementara itu, Ki Panji Wiralaga telah mengunjungi pula barak Pasukan Khusus dan bertemu dengan Senapatinya yang baru. Kepada Senapati yang baru itu, Ki Panji Wiralaga juga menyampaikan perintah Panembahan Senapati untuk menyusun satu sosok tubuh yang terdiri dari beberapa unsur yang ada di Tanah Perdikan Menoreh dan kademangan di sekitarnya.

“Pasukan Mataram yang mampu digerakkan dengan cepat tidak akan mencukupi jika benar-benar terjadi perang dengan Madiun yang didukung oleh beberapa Kadipaten di sekitarnya. Karena itu Panembahan Senapati ingin bahwa rakyat yang memiliki kemampuan di sekitar Tanah Perdikan ini dapat dengan tertib digerakkan jika itu diperlukan,“ berkata Ki Panji.

“Tetapi itu berlebihan,“ berkata Senapati yang baru itu, “jika memang ada tugas seperti itu, kenapa tidak diserahkan saja kepadaku?“

“Tugasmu hanya di dalam lingkungan barak ini. Kau bertugas memimpin para prajurit Pasukan Khusus ini. Kau tidak bertugas untuk mencampuri tugas-tugas yang berhubungan dengan pemerintahan di Tanah Perdikan ini dan sekitarnya,“ berkata Ki Panji, “karena itu, maka diperlukan satu tubuh yang dapat mengikat semua kekuatan yang ada di Tanah Perdikan ini. Pasukan Khusus Mataram yang ada di sini, sudah barang tentu menjadi bagian dari seluruh kekuatan yang ada di Tanah Perdikan Menoreh.“

“Aku tidak setuju jika aku diletakkan di bawah kuasa Tanah Perdikan ini,“ berkata Senapati itu.

“Tidak di bawah kuasa Tanah Perdikan. Tetapi dalam kesatuan pertahanan bagi Mataram, maka diperlukan satu pimpinan di wilayah ini,“ berkata Ki Panji. “Aku sanggup mengatur diriku sendiri dengan seluruh kekuatan Pasukan Khusus ini,” berkata Senapati itu.

“Kau tidak dapat mengelak dari tugas dan tanggung jawabmu sebagai seorang prajurit,“ berkata Ki Panji.

“Tetapi, aku Senapati dari Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan ini, mempunyai tugas dan tanggungjawab atas lingkungan ini,“ berkata Senapati itu.

“Dengar Senapati. Aku adalah perwira wreda yang membawa tugas dari Panembahan Senapati sendiri sebagaimana ternyata pada pertanda yang aku pakai ini. Perintah yang kau dengar dari mulutku adalah perintah Panembahan Senapati itu sendiri,“ berkata Ki Panji kemudian.

Senapati itu menjadi tegang. Wajahnya menjadi merah dan telinganya bagaikan tersentuh api. Namun ia sadar, bahwa cincin kekuasaan yang ada di jari Ki Panji itu tidak akan dapat dilawannya jika ia tidak ingin mendapat kesulitan. Bahkan penempatannya di pasukan itu akan gagal membawa pesan dari seorang perwira yang lain, yang dengan susah payah berusaha menempatkannya di barak itu.

Karena itu, betapapun jantungnya bergejolak, namun ia tidak dapat menolak perintah yang dibawa oleh Ki Panji itu. Sehingga kemudian dengan suara sendat ia berkata, “Aku terima segala perintah Panembahan Senapati.“

Ki Panji menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Terima kasih. Hal ini sudah diketahui oleh Panglima Pasukan Khusus Mataram. Tetapi karena persoalannya lebih berat pada kesiagaan wilayah, maka perintah ini tidak datang lewat jalur Panglima Pasukan Khusus, meskipun pada saatnya perintah itu tentu akan datang pula dalam satu ikatan langkah kebijaksanaan dari Panembahan Senapati. Nah, untuk selanjutnya persiapkan dirimu. Perintah-perintah lain akan menyusul kemudian, sampai saatnya tubuh itu diresmikan oleh Panembahan Senapati sendiri.“

“Baiklah Ki Panji,“ jawab Senapati itu. Namun ia masih berkata, “Ki Panji. Bukan maksudku menentang perintah Panembahan Senapat. Tetapi aku hanya ingin bertanya, apakah kedudukan para Senapati prajurit Mataram di luar kota Mataram sama seperti kedudukanku? Misalnya Senapati di Ganjur dan terutama Senapati prajurit Mataram di Jati Anom, atau yang lebih jauh lagi yang berada di Babadan, Gunung Sewu dan yang lain?“

Ki Panji termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Kedudukan mereka lain. Mereka bukan seorang Senapati yang mendapat tugas untuk memimpin satu kesatuan. Seperti Utara di Jati Anom. Ia berada di Jati Anom untuk memimpin satu kesatuan pertahanan sejak masa kalut yang terjadi antara Pajang dan Jipang. Pasukan yang mendukung kekuatan Untara ada sendiri. Nah, kedudukan para Senapati yang ada di bawah pimpinan Untara dan pemimpin pasukan termasuk Pasukan Berkuda itu, mempunyai hak dan wewenang seperti wewenangmu. Sebagai seorang perwira sebenarnya kau harus sudah mengetahui tataran kepemimpinan prajurit di Mataram.“

“Aku sebenarnya memang sudah tahu Ki Panji. Jika aku bertanya tentang Untara, apakah kekuasaanku di sini tidak dapat diangkat, disejajarkan dengan kekuasaan Untara di Jati Anom?“ bertanya Senapati itu.

Ki Panji menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Itu bukan wewenangku untuk menjawab. Karena itu pertanyaanmu akan aku bawa kepada Panembahan Senapati, yang tentu akan berbicara dengan Ki Mandaraka, Panglimamu dan beberapa orang perwira wreda dan para pemimpin keprajuritan di Mataram.“

Senapati itu mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja di dalam hati ia berkata, “Ki Tumenggung Surayuda tentu akan ikut berbicara. Nasehatnya banyak didengar oleh Panembahan Senapati, asal tidak hadir Pangeran Singasari atau Pangeran Mangkubumi, yang nampaknya tidak begitu sesuai cara mereka berpikir.“

Demikianlah, maka sejenak kemudian Ki Panji itu pun telah minta diri untuk melanjutkan perjalanannya. Seperti yang direncanakan, maka iapun telah mengunjungi beberapa kademangan di sekitar Tanah Perdikan Menoreh. Namun sebenarnyalah bahwa arti dari beberapa kademangan itu bersama-sama tidak sebesar Tanah Perdikan Menoreh yang dipimpin oleh Ki Gede Menoreh.

Dalam pada itu, Senapati dari barak Pasukan Khusus itu pun telah bertindak cepat pula melewati jalur yang seharusnya. Iapun dengan cepat telah mempersiapkan diri untuk pergi ke Mataram, langsung menghadap Panglima Pasukan Khusus di Mataram. Dengan singkat Senapati itu telah melaporkan perintah Ki Panji Wiralaga baginya dan juga bagi Tanah Perdikan Menoreh dan beberapa kademangan di sekitarnya.

“Terima kasih atas laporanmu,“ berkata Panglima itu, “tetapi aku sudah tahu, karena yang dilakukan itu atas persetujuanku. Bukankah Ki Panji membawa pertanda perintah Panembahan Senapati sendiri?“ ujar Panglima Pasukan Khusus itu.

Senapati itu mengangguk-angguk menjawab, “Ya. Ki Panji mengenakan cincin kerajaan.“

“Nah, patuhi perintahnya, karena perintah itu sama nilainya dengan perintah Panembahan Senapati sendiri,“ berkata Panglimanya.

Senapati itu pun kemudian telah mohon diri. Tetapi ternyata ia tidak segera kembali ke Tanah Perdikan. Ia telah bermalam satu malam di Mataram. Di rumah Ki Tumenggung Surayuda.

Dalam pada itu, Ki Tumenggung itu pun telah memerintahkan agar Senapati itu mematuhi perintah Ki Panji Wiralaga agar tidak menimbulkan kecurigaan.

“Aku telah melapor kepada Panglima,“ berkata Senapati itu.

“Kau sudah benar. Kau memang harus melapor kepada Panglimamu.“

Pagi-pagi benar sebelum fajar, Senapati itu telah meninggalkan Mataram dan kembali ke baraknya di Tanah Perdikan Menoreh.

Sementara itu, Ki Panji Wiralaga pun justru telah kembali ke Mataram. Untunglah bahwa perjalanan Ki Panji yang berlawanan arah dengan Senapati Pasukan Khusus di Tanah Perdikan itu tidak bersamaan waktunya sehingga tidak bertemu di perjalanan. Ki Panji yang telah bermalam di sebuah kademangan tetangga dari Tanah Perdikan Menoreh itu justru berangkat agak siang, setelah Senapati itu sampai di baraknya kembali.

Dalam pada itu, setelah Ki Panji Wiralaga melaporkan perjalanannya kepada Panembahan Senapati, maka Panembahan Senapati itu pun telah memerintahkan Ki Panji untuk menangani pembentukannya di Tanah Perdikan bersama Ki Lurah Branjangan. Perintah Panembahan Senapati pun tegas, bahwa pimpinan dari tubuh yang akan disusun di Tanah Perdikan itu adalah Ki Gede sendiri.

Tugas itu memang tugas yang sulit bagi Ki Panji Wiralaga. Tetapi bersama Ki Lurah Branjangan, maka ia bertekad untuk menyelesaikan tugas itu dengan baik. Sementara itu Ki Panji pun mengetahui bahwa persoalannya tidak terhenti pada pembentukan tubuh itu sendiri, tetapi ia akan selalu saling mengamati dengan Ki Tumenggung Surayuda, seorang perwira wreda yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang luas.

Di Tanah Perdikan Menoreh, Agung Sedayu telah mulai pula dengan langkah-langkahnya. Yang pertama-tama dilakukannya adalah memanggil beberapa orang pemimpin kelompok dari pengawal terpilih di Tanah Perdikan Menoreh. Yang disampaikan kepada mereka adalah persiapan-persiapan yang dilakukan oleh Mataram menghadapi hubungan yang semakin gawat dengan Madiun.

“Panembahan Senapati menyadari, bahwa kekuatan Mataram harus dihimpun. Jika diperlukan, maka yang akan bergerak bukan saja para prajurit. Tetapi semua laki-laki di Mataram harus ikut pula berjuang di samping para prajurit. Tentu saja mereka yang keadaan wadagnya masih memungkinkan,“ berkata Agung Sedayu kepada mereka. Lalu katanya kemudian, “Dalam rangka itulah kita mempersiapkan diri. Tetapi jangan memancing kegelisahan rakyat Tanah Perdikan ini. Mereka tidak perlu diusik dengan segala macam persiapan.”

Salah seorang dari pemimpin kelompok itu pun bertanya, “Apakah hanya kami saja yang bersiap-siap, atau semua pengawal?“

“Pada saatnya semua pengawal akan bergerak. Aku akan berbicara dengan Prastawa. Beberapa saat terakhir ia nampak agak lesu,“ berkata Agung Sedayu.

“Jangan kau usik,“ sahut salah seorang pemimpin kelompok, “Prastawa sedang menghindari keinginan orang tuanya untuk kawin dengan seorang gadis yang tidak disukainya, meskipun gadis itu anak seorang Demang. Agaknya Prastawa sudah mempunyai pilihan sendiri.“

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun dengan cepat ia menguasai perasaannya. Tetapi ia masih juga bertanya, “Gadis manakah yang menjadi pilihannya itu?“

“Anak seorang Bekel di padukuhan yang termasuk bagian dari Tanah Perdikan ini pula,“ jawab pengawal itu.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi katanya kemudian, “Ia akan dapat membedakan persoalannya. Kepentingan pribadinya dan tugas-tugasnya sebagai salah seorang pimpinan pengawal. Selama ini ia adalah seorang pemimpin pengawal yang baik, meskipun kadang-kadang ia lebih senang menyendiri.“

“Kita tahu, dirinya dibelit oleh persoalan-persoalan pribadinya yang rumit. Bukan saja tentang calon istri. Itulah sebabnya ia kadang-kadang merasa rendah diri.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Namun kemudian katanya, “Sudahlah. Biar aku temui nanti untuk membicarakannya lebih jelas. Yang pertama-tama harus disiapkan memang pasukan pengawal terpilih. Jumlahnya cukup untuk mengatasi persoalan-persoalan yang tiba-tiba. Tetapi bukan berarti bahwa para pengawal yang lain begitu saja diabaikan. Dalam keadaan yang paling gawat, maka semua kekuatan yang ada di Tanah Perdikan ini diperlukan.”

Para pemimpin kelompok dari pengawal terpilih itu mengangguk-angguk. Namun mereka mengerti apa yang harus mereka lakukan tanpa menimbulkan kegelisahan di antara rakyat Tanah Perdikan Menoreh.

Sementara itu, langkah-langkah yang diambil oleh Senapati yang baru di barak Pasukan Khusus itu pun mulai nampak. Orang-orang yang tinggal di padukuhan terdekat mulai mengenal namanya yang memang menggetarkan. Namanya sendiri adalah nama yang wajar saja, Sanggabaya. Tetapi ia lebih senang disebut Nagageni. Ki Sanggabaya itu merasa dirinya mempunyai kemampuan sebagai seekor naga yang berapi.

Di hari-hari mendatang, maka Ki Sanggabaya yang juga disebut Nagageni itu telah membawa pasukannya menyusuri jalan-jalan mendaki di pebukitan. Setelah beberapa lamanya pasukan itu jarang sekali mengadakan latihan-latihan sampai menjelajahi daerah yang jauh dari barak-barak mereka, maka Senapati yang baru itu telah membawa para prajuritnya mengelilingi bukan saja Tanah Perdikan Menoreh, tetapi juga menembus kademangan-kademangan di sekitarnya. Meskipun latihan itu hanya sekedar berlari-lari. Sedangkan latihan-latihan yang sebenarnya juga dilakukan di padang rumput yang memang disediakan bagi barak itu sebagaimana sebelumnya.

Namun karena cara latihan yang ditempuh oleh para prajurit di barak itu, maka para pengawal pilihan di Tanah Perdikan tidak melakukan hal yang sama. Meskipun sebelumnya mereka justru sering melakukannya. Meskipun mereka berlatih bagi kepentingan mereka masing-masing, namun para pengawal di Tanah Perdikan Menoreh sudah mendapat pesan dari Agung Sedayu, agar mereka sejauh mungkin menghindari salah paham, justru karena Senapati yang baru. Jika pada suatu saat hubungan mereka telah menjadi akrab sebagaimana sebelumnya, maka latihan-latihan itu tidak akan menimbulkan salah paham.

Para pengawal pilihan di Tanah Perdikan justru mengadakan latihan-latihan di padang rumput yang berada di lereng bukit, agak jauh dari barak Pasukan Khusus Mataram itu. Mereka telah memasang patok-patok kayu untuk memberi tanda-tanda jarak yang harus ditempuh oleh para pengawal di saat berlari-lari mengelilingi padang rumput itu. Mereka pun telah mempergunakan patok-patok dan palang-palang kayu bagi latihan-latihan mereka.

Selain alat-alat yang memang sudah ada, maka para pengawal telah menambah beberapa macam alat-alat yang baru, yang akan dapat menambah ragam ketrampilan dan ketahanan tubuh mereka. Tetapi para pengawal itu tidak mau menarik perhatian rakyat Tanah Perdikan dengan latihan-latihan yang lebih banyak, sehingga karena itu, maka segalanya dilakukan sebagaimana biasanya dilakukan.

Namun di samping itu, para pengawal pilihan itu diwajibkan menambah latihan-latihan secara pribadi di rumah masing-masing atau dimana saja asal tidak mengganggu dan tidak membuat orang lain gelisah. Mereka yang memiliki sanggar atau ruang-ruang khusus dirumahnya dapat mempergunakan sebaik-baiknya. Sedangkan bagi mereka yang tidak, dapat bergabung dengan kawan-kawannya yang memiliki sanggar atau berlatih di malam hari, di halaman atau kebun rumahnya sendiri.

Para pengawal itu terutama telah berusaha untuk meningkatkan kemampuan mereka mempergunakan berjenis-jenis senjata, selain meningkatkan kemampuan mereka melawan berjenis-jenis senjata pula. Merekapun telah berlatih sebaik-baiknya mengatur dan menguasai pernafasan mereka. Mengendapkan tenaga di dalam dirinya, mengungkapkan kembali serta bahkan mengangkat segenap tenaga cadangan ke permukaan.

Dalam kesempatan-kesempatan tertentu Agung Sedayu telah memberikan petunjuk-petunjuk yang sangat berarti bagi mereka. Sehingga mereka dapat mempergunakan waktu yang singkat untuk meningkatkan ketahanan tubuh dan kemampuan mereka dalam ilmu kanuragan.

Sebenarnyalah bahwa kegiatan para pengawal seakan-akan memang terselubung. Bahkan kemudian bukan saja para pengawal pilihan. Tetapi setiap pengawal pun telah mempergunakan waktu mereka yang luang di rumah untuk meningkatkan diri. Baik daya tahan maupun kemampuan.

Sementara itu, Senapati yang baru itu nampaknya memang ingin menunjukkan kegiatannya yang meningkat. Karena itu, ia seakan-akan telah dengan sengaja menunjukkan kepada rakyat Tanah Perdikan, bahwa Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan itu bukan kebanyakan prajurit sebagaimana dikenal orang. Tetapi Pasukan Khusus Tanah Perdikan itu benar-benar terdiri dari orang-orang yang memiliki kelebihan.

Dalam pada itu, selagi perhatian Tanah Perdikan Menoreh tertuju kepada para prajurit dari Pasukan Khusus itu, Ki Lurah Branjangan ternyata telah datang ke Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi tidak bersama Ki Panji Wiralaga. Namun bersamanya telah ikut pula dua orang cucunya. Seorang anak muda dan seorang gadis yang meningkat dewasa. Sebaya dengan Glagah Putih. Kedatangan Ki Lurah itu memang agak mengejutkan bagi Tanah Perdikan Menoreh.

Dengan ramah Ki Gede telah mempersilahkan Ki Lurah Branjangan untuk naik ke pendapa. Ki Gede berusaha untuk menyembunyikan perasaan ingin tahunya, kenapa tiba-tiba saja Ki Lurah itu datang tanpa Ki Panji Wiralaga.

Setelah mempertanyakan keselamatan masing-masing, maka Ki Lurah justru telah mendahului sebelum Ki Gede bertanya, “Ki Gede, aku datang membawa bebanku sendiri. Dua orang cucuku ingin berada di Tanah Perdikan ini barang satu dua pekan. Sebenarnya tugas yang harus aku lakukan baru akan berjalan dua pekan mendatang. Ki Panjipun baru akan datang dua pekan ini. Aku datang mendahului waktu yang ditentukan, karena yang dua pekan ini ingin aku pergunakan bagi kepentingan pribadiku.“

Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Ki Lurah. Sebenarnya aku sudah menjadi berdebar-debar. Ki Lurah datang sendiri justru bersama cucu-cucu Ki Lurah.“

Ki Lurah tertawa. Katanya, “Aku minta maaf Ki Gede. Mungkin kedatanganku membuat Ki Gede bertambah sibuk, karena aku telah membawa dua orang cucu.“

Ki Gede tertawa. Katanya, “Menyenangkan sekali. Ternyata Ki Lurah jauh berada di depan. Aku masih harus menunggu cucuku yang akan lahir beberapa bulan lagi. Ki Lurah yang nampaknya tidak terpaut banyak dari umurku, sudah mempunyai cucu sebesar itu.“

“Cerita yang agaknya memang menarik Ki Gede. Aku kawin muda. Anakku perempuan, juga kawin muda. Karena itu, cucuku cepat menjadi besar. Kadang-kadang kepada orang yang berpapasan di jalan aku memperkenalkan keduanya sebagai anak-anakku yang paling kecil,“ jawab Ki Lurah sambil tertawa.

Ki Gede pun tertawa pula. Tetapi yang dikatakan Ki Lurah itu agaknya memang benar.

Sementara itu Ki Lurah berkata pula selanjutnya, “Begitulah Ki Gede, jika Ki Gede tidak berkeberatan, aku ingin berada di sini bersama cucu-cucuku ini menjelang tugas-tugasku yang sebenarnya. Pada saatnya menjelang tugas yang rumit itu, maka cucu-cucuku akan aku bawa ke Mataram.“

“Tentu saja kami tidak berkeberatan Ki Lurah,“ berkata Ki Gede, “tetapi tentu saja, keadaannya jauh berbeda dengan keadaan di Mataram. Di sini segala sesuatunya sangat sederhana. Apa adanya dan tentu jauh lebih sepi dari keadaan di Mataram.“

“Itulah yang ingin dilihat oleh kedua cucuku ini,“ berkata Ki Lurah, “biarlah mereka melihat kehidupan yang lain daripada yang selalu dilihatnya setiap hari. Namun yang dinilainya tidak kalah dari kehidupan orang-orang yang tinggal di Kotaraja.“

“Kami justru akan bersenang hati,“ berkata Ki Gede, “disini ada Glagah Putih, adik sepupu Agung Sedayu yang umurnya tentu tidak terpaut banyak. Ia akan dapat menemani kedua cucu Ki Lurah selama berada di sini.“

Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih Ki Gede. Cucuku yang nakal ini akan melihat satu kehidupan yang lain dari kehidupan di Kotaraja. Mereka akan dapat melihat para petani yang bekerja keras untuk menghasilkan bahan pangan. Mereka akan dapat melihat hubungan antara sesama yang masih sangat akrab di sini, dibandingkan dengan tata kehidupan kota. Kehidupan yang masih lebih mementingkan nilai-nilai persahabatan dan bekerja bersama daripada nilai-nilai kebendaan dan uang. Serta kehidupan yang masih erat sekali hubungannya dengan Penciptanya, daripada kepentingan-kepentingan lahiriah semata-mata.“

“Mudah-mudahan Ki Lurah akan menemukannya di sini. Kami di sini memang berharap bahwa nilai-nilai seperti itu masih akan dapat tetap dipertahankan meskipun tata kehidupan akan bergerak semakin maju. Langkah-langkah panjang menuju ke peradaban yang lebih tinggi itu diharapkan tidak beranjak dari alas yang kuat dari kehidupan yang pernah ada di bumi ini,“ berkata Ki Gede.

Ternyata Ki Lurah Branjangan merasa bahwa kedatangan kedua cucunya itu benar-benar akan berarti bagi mereka. Apalagi ketika kemudian Agung Sedayu dan Glagah Putih datang ke rumah Ki Gede itu pula memenuhi panggilan Ki Gede lewat seorang pengawal.

Ki Gede pun kemudian telah memperkenalkan kedua cucu Ki Lurah itu kepada Agung Sedayu dan Glagah Putih. Bahkan Ki Gede pun kemudian berkata, “Glagah Putih akan dapat menemani kalian melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan ini.“

Kedua anak muda itu memang melihat Glagah Putih sekilas. Tetapi nampaknya keduanya sama sekali tidak tertarik untuk memperhatikannya lebih lama lagi. Glagah Putih di mata mereka memang tidak lebih dari anak padukuhan yang lain yang dilihatnya di sepanjang perjalanan.

Agung Sedayu melihat gelagat itu. Tetapi ia tidak menunjukkan sikap yang lain dari sikapnya yang sudah dikenal oleh Ki Lurah Branjangan. Sambil tersenyum Agung Sedayu berkata, “Banyak hal yang dapat dilihat di sini tetapi tidak ada di Kotaraja. Agaknya Tanah Perdikan ini akan menarik bagi mereka.“

Ki Lurah mengangguk. Kepada kedua cucunya ia berkata, “Nah, kalian kini berada di rumah Ki Gede Menoreh yang menjadi pimpinan tertinggi di Tanah Perdikan ini. Sedangkan Agung Sedayu adalah seorang yang lebih banyak bergerak di bidang pembaharuan dari Tanah Perdikan ini. Bukan saja susunan tubuh para pengawal dari pimpinan tertingginya sampai pemimpin-pemimpin kelompok di padukuhan-padukuhan, tetapi juga di bidang kesejahteraan. Kalian akan dapat belajar banyak di sini nanti.“

Demikianlah, maka sejak saat itu, Ki Lurah Branjangan dan kedua cucunya telah berada di rumah Ki Gede. Ki Lurah telah memberikan gambaran tentang Tanah Perdikan itu. Diceritakannya tentang sawah yang terbentang. Padukuhan-padukuhan sampai di kaki bukit serta lereng-lereng terjal yang berbatu padas. Tetapi juga hutan yang lebat yang terbentang di ngarai dan memanjat sampai puncak bukit. Mata air yang mengalir menuruni tebing dan mengaliri tanah-tanah persawahan. Sedangkan beberapa sungai yang tidak terlalu besar mengalirkan air yang bening.

“Kau akan dapat melihatnya,“ berkata Ki Lurah kepada kedua cucunya, “Glagah Putih tentu akan dengan senang hati mengantarmu berjalan-jalan di Tanah Perdikan ini.“

Kedua cucu Ki Lurah itu agaknya memang tertarik untuk melihat-lihat. Tetapi cucunya yang laki-laki, yang tertua di antara kedua cucunya itu berkata, “Menarik sekali. Tetapi tentu lebih senang jika Kakek sendiri membawa kami berjalan-jalan.“

“Glagah Putih adalah anak Tanah Perdikan ini, meskipun ia berasal dari Banyu Asri,“ berkata kakeknya.

“Anak padesan itu nampaknya terlalu dungu untuk diajak berbicara tentang hal-hal yang agak rumit. Yang diketahuinya tentu tidak lebih dari cara membajak, menanam padi, membuat bendungan, dan barangkali sedikit tentang berburu di hutan-hutan,“ gumam cucu Ki Lurah Branjangan itu.

Tetapi Ki Lurah Branjangan tertawa. Katanya, “Kau akan salah menilai anak itu. Anak itu adalah anak yang memiliki kemampuan dan penalaran yang tinggi.“

“Setinggi-tinggi tingkat penalarannya, ia adalah anak padesaan,“ berkata cucu perempuan Ki Lurah itu.

Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak memberikan keterangan lebih panjang. Ia memang sengaja membawa cucunya untuk mendapatkan kenyataan yang lain dari yang dianggapnya telah diketahuinya.

Sehari itu kedua cucu Ki Lurah tetap berada di rumah Ki Gede. Mereka hanya melihat-lihat halaman dan kebun. Berdiri di regol halaman serta melihat-lihat jalan induk yang membujur di depan regol itu. Keduanya memang melihat beberapa pengawal di gardu. Tetapi keduanya tidak menyapa mereka.

Baru di hari berikutnya, Agung Sedayu telah mengajak Glagah Putih pergi ke rumah Ki Gede. Namun di sepanjang jalan Agung Sedayu telah berpesan, agar ia dapat menahan diri. Kedua orang cucu Ki Lurah itu terbiasa hidup di dalam kota dan dalam pergaulan yang berbeda. Mungkin ada beberapa perbedaan sikap dan cara menanggapi satu keadaan.

“Kau harus berusaha menahan diri. Di sini kau menjadi tuan rumah, sehingga kau harus lebih bersabar,“ berkata Agung Sedayu.

“Aku akan mencobanya Kakang,“ jawab Glagah Putih, yang ternyata sudah mulai tersinggung melihat sikap kedua cucu Ki Lurah itu sejak mereka bertemu. Namun ia mengerti pesan kakak sepupunya, karena ia memang harus berusaha untuk menjadi tuan rumah yang baik.

Ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih berada di rumah Ki Gede, maka kedua cucu Ki Lurah itu telah dipertemukan langsung dengan Glagah Putih. Ki Lurah telah memperkenalkan mereka lebih dekat.

“Ingat namanya,“ berkata Ki Lurah, “cucuku yang laki-laki bernama Teja Prabawa.“

“Raden Teja Prabawa,“ anak muda itu melengkapi namanya dengan sebutannya sekali.

“Raden Teja Prabawa,“ Glagah Putih mengulang.

Ki Lurah Branjangan hanya tersenyum saja. Sementara itu, iapun berkata pula, “Sedangkan cucu perempuanku ini bernama Rara Wulan.“

Glagah Putih mengangguk hormat. Tetapi ternyata cucu perempuan Ki Lurah itu sama sekali tidak berpaling kepadanya. Tetapi Glagah Putih sudah mendapat bekal pesan dari Agung Sedayu, sehingga karena itu maka ia sudah mengendalikan dirinya sejak semula.

Dalam pada itu Ki Lurah Branjangan pun berkata, “Nah, Glagah Putih. Bawalah kedua cucuku itu melihat-lihat Tanah Perdikan ini. Mudah-mudahan apa yang dilihatnya akan berarti bagi mereka berdua. Tidak perlu tergesa-gesa, karena mereka akan berada di sini agak lama. Sekitar dua pekan. Sehingga banyak kesempatan bagi mereka untuk melihat seluruh Tanah Perdikan ini.“

“Baik Ki Lurah,“ jawab Glagah Putih, “mudah-mudahan keduanya kerasan tinggal di Tanah Perdikan yang sepi ini.“

“Tentu mereka akan kerasan tinggal di sini,“ jawab Ki Lurah, “banyak hal yang terdapat di Tanah Perdikan ini, tetapi tidak terdapat di Kotaraja.“

“Aku sudah siap Ki Lurah. Jika dikehendaki, maka kami akan dapat pergi sekarang, mumpung masih belum terlalu panas,“ berkata Glagah Putih.

“Bagus,“ jawab Ki Lurah Branjangan, “pergilah.“ Lalu katanya kepada kedua cucunya, “Ikutlah dengan Glagah Putih. Ia akan menunjukkan apa yang belum pernah atau jarang sekali kalian lihat.“

“Kakek tidak pergi bersama kami?“ bertanya Teja Prabawa.

Ki Lurah menggeleng. Katanya, “Kakek sudah terlalu sering melihat Tanah Perdikan ini.“

“Jika demikian kenapa bukan Kakek sendiri yang mengantar kami?“ bertanya Rara Wulan.

“Aku masih akan banyak berbicara dengan Ki Gede menjelang tugasku di sini,“ berkata Ki Lurah Branjangan pula.

Kedua cucunya akhirnya bersedia juga pergi diantar oleh Glagah Putih. Demikianlah maka sejenak kemudian Glagah Putih telah minta diri, sementara Ki Lurah Branjangan dan Agung Sedayu mengantar kedua cucu Ki Lurah itu sampai ke regol.

Di regol halaman rumah Ki Gede, Agung Sedayu sempat menepuk bahu Glagah Putih sambil berbisik, “Kau harus menjadi tuan rumah yang baik.“

Namun agaknya Ki Lurah dapat membaca bibir Agung Sedayu. Meskipun ia tidak mendengar, tetapi ia dapat mengetahui apa yang dikatakannya. Karena itu, maka iapun justru mendekati mereka sambil berdesis, “Kau jangan terlalu menahan diri. Aku sengaja ingin mengajar mereka berdua. Jika mereka nakal dan tidak mau mendengar petunjukmu, kau dapat memaksanya. Aku tidak berkeberatan.“

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling kepada Agung Sedayu, dilihatnya Agung Sedayu hanya tersenyum saja.

Sementara itu Teja Prabawa dan Rara Wulan telah berjalan beberapa langkah lebih dahulu, sehingga Glagah Putih pun kemudian harus berlari-lari kecil menyusulnya. Untuk beberapa saat mereka ternyata hanya saling berdiam diri saja. Kedua cucu Ki Lurah itu memang tertarik melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan Menoreh. Halaman-halaman rumah yang luas dan ditanami dengan berbagai macam pepohonan. Terutama pohon buah-buahan. Pintu-pintu gerbang dan dinding halaman yang tidak terlalu tinggi.

Glagah Putih berjalan di belakang kedua anak muda itu. Baru ketika mereka keluar dari regol padukuhan induk, kedua anak muda itu mulai berbicara. Teja Prabawa nampaknya sangat tertarik pada bentangan sawah yang luas yang tidak pernah dilihatnya di Kotaraja. Meskipun di pinggir Kotaraja juga masih terdapat bulak-bulak persawahan, tetapi bulak-bulak itu jauh lebih sempit dari bulak yang dilihatnya di sebelah padukuhan induk itu, sehingga dengan demikian maka jalan yang membujur di depan kakinya nampak begitu panjang sampai ke padukuhan berikutnya. Sementara di belakang, bukit yang hijau membentang dari selatan sampai jauh ke utara. Membujur dengan beberapa puncak yang tinggi rendah.

Glagah Putih masih saja mengikutinya. Nampaknya kedua cucu Ki Lurah itu belum memerlukannya, sehingga mereka sama sekali tidak bertanya kepadanya. Tetapi Glagah Putih yang sudah mempersiapkan diri menghadapi keadaan seperti itu, sama sekali tidak merasa tersinggung lagi sebagaimana mereka bertemu mula-mula di rumah Ki Gede. Glagah Putih sudah berhasil mengendapkan perasaannya setelah ia justru mendengar pesan Ki Lurah dan Agung Sedayu.

Beberapa saat kemudian, mereka telah sampai ke tengah-tengah bulak yang panjang itu. Ketika mereka sampai ke simpang empat, maka kedua anak muda itu menjadi ragu-ragu. Setelah termangu-mangu sejenak, maka keduanya pun telah berpaling kepada Glagah Putih. Glagah Putih merasa mulai diperlukan oleh kedua anak muda itu. Karena itu, maka iapun telah melangkah mendekat.

“He, kita akan pergi kemana?“ bertanya Teja Prabawa.

“Silahkan Raden memilih,“ jawab Glagah Putih, “bukankah semuanya masih belum pernah Raden lihat?“

“Kaulah yang menentukan, mana yang lebih baik aku lihat lebih dahulu. Kau harus mempunyai rencana sebelum kita berangkat. Jika kau menyerahkan kepadaku, maka tidak perlu kau ikut bersama kami,“ berkata Raden Teja Prabawa.

Glagah Putih mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Baiklah. Aku akan menawarkan kepada Raden. Jika kita berjalan lurus, kita menuju ke bukit. Kita akan berjalan melalui beberapa padukuhan. Kemudian kita akan melewati padang perdu sebelum memasuki sebuah hutan yang lebat. Namun di hutan itu terdapat jalan yang menuju ke kaki bukit, kemudian memanjat tebing dan mencapai padukuhan yang berada di dataran tinggi Bukit Menoreh. Jika kita berbelok ke kanan, maka kita akan sampai ke sebuah blumbang yang meskipun tidak terlalu besar, tetapi menjadi tempat pemandian yang menarik. Di sebelahnya terdapat sebuah sungai yang tidak terlalu besar, tetapi cukup memberikan nafas kehidupan bagi persawahan di Tanah Perdikan ini. Sungai itu adalah kepanjangan sungai yang akan kita seberangi, jika kita berjalan terus menuju ke hutan. Sedangkan jika kita ke sebelah kiri, maka kita akan menuju ke barak Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan ini, setelah melalui beberapa padukuhan dan sedikit menyusuri jalan di dekat hutan.”

Kedua cucu Ki Lurah itu termangu-mangu. Namun kemudian Rara Wulanpun bertanya, “Kita pergi ke mana?“

“Nah, terserah kepada pilihan kalian. Aku akan mengantarkannya,“ berkata Glagah Putih.

“Kau yang mengatakan kepadaku dengan alasan-alasan yang mapan atas pilihanmu itu. Buat apa kau ditunjuk oleh kakek untuk membawa kami berdua berjalan-jalan melihat-lihat Tanah Perdikan ini?“ berkata Teja Prabawa dengan nada keras.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun ia masih juga menjawab, “Tetapi mungkin kalian berdua ingin menentukan satu pilihan.“

“Cepat, katakan. Kemana kita sebaiknya pergi?“ suara Teja Prabawa semakin keras.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Kita akan berjalan terus.“

“Kau akan membawa kami ke hutan?“ bertanya Rara Wulan.

“Ya,“ jawab Glagah Putih.

“Kau akan menjerumuskan kami?“ desak Rara Wulan. “Tentu tidak. Bukankah di Kotaraja tidak ada hutan yang dapat dinikmati seperti di lereng bukit Menoreh? Sawah mungkin terdapat meskipun tidak seluas di sini. Blumbang tentu pernah pula kau datangi, meskipun mungkin buatan atau tempat mandi yang dibuat dari tatanan batu. Tetapi hutan tentu tidak pernah kau masuki.“

Nampaknya kedua anak muda itu memang menaruh curiga kepada Glagah Putih. Beberapa saat keduanya saling berpandangan. Namun kemudian Teja Prabawa itu mengambil keputusan. “Aku ingin melihat barak Pasukan Khusus itu.“

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian bertanya, “Apakah kalian ingin melihat barak itu?“

“Ya. Aku ingin bertemu dengan para pemimpin dari barak itu,“ jawab Teja Prabawa.

“Untuk apa?“ bertanya Glagah Putih.

“Bukankah Kakek pernah memimpin Pasukan Khusus itu?“ desis Teja Prabawa.

“Tetapi pimpinan di barak itu sudah beberapa kali berganti. Sekarang, seorang perwira yang bernama Ki Sanggabaya yang bergelar Nagageni,“ desis Glagah Putih.

“Siapapun yang memimpin barak itu, tentu akan menerima kami. Kami tidak akan berbuat apa-apa selain datang untuk melihat-lihat,“ bertanya Teja Prabawa.

Glagah Putih akhirnya mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku hanya akan mengantarkan kalian. Kalianlah yang harus berbicara kepada Ki Sanggabaya, apa yang akan kalian lakukan di barak itu.“

“Aku yang akan berbicara dengan Senapati barak itu,“ sahut Teja Prabawa.

Demikianlah, maka mereka bertiga pun telah mengambil jalan yang berbelok ke kiri. Glagah Putih memang telah menunjukkan letak barak dari Pasukan Khusus Mataram yang ada di Tanah Perdikan itu.

Seperti yang dikatakan oleh Glagah Putih, maka mereka telah melewati beberapa pedukuhan dan bahkan kemudian mereka telah berjalan di jalan yang sempit di pinggir hutan. Meskipun masih terdapat beberapa puluh langkah padang perdu yang memisahkan jalanan itu dengan hutan lebat yang membujur searah dengan Bukit Menoreh, namun rasa-rasanya jalan itu bagaikan lekat dengan pohon-pohon di hutan itu.

Ternyata bahwa kedua cucu Ki Lurah Branjangan itu merasa ngeri juga berjalan di jalan sempit di pinggir hutan itu. Setiap kali keduanya berpaling kepada Glagah Putih yang berjalan di belakang mereka. Namun nampaknya Glagah Putih sama sekali tidak menghiraukan hutan yang agaknya masih menyimpan binatang-binatang yang buas.

Ketika jalan itu justru semakin merapat dengan hutan itu, maka Teja Prabawa pun berkata kepada Glagah Putih, “Jalanlah di depan. Kau tentu sudah mengenal arah. Daripada setiap kali aku bertanya kepadamu, maka sebaiknya kau memang berada di depan.“

Glagah Putih itupun masih juga menjawab, “Hanya ada satu arah jika kita mengikuti jalan ini, maka kita tidak akan tersesat.“

Tetapi Teja Prabawa itu berkata tegas, “Kau berjalan di depan.“

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak membantah lagi.

Demikianlah mereka melanjutkan perjalanan. Glagah Putih-lah yang kemudian berada di depan. Ia berjalan tanpa menghiraukan hutan yang ada di sebelahnya. Bahkan ketika jalan itu seakan-akan telah menyentuh bibir hutan. Glagah Putih sama sekali tidak menunjukkan keragu-raguan.

Teja Prabawa dan Rara Wulan menjadi semakin ngeri. Keduanya berjalan terlalu cepat bagi Rara Wulan, sehingga karena itu gadis itu pun berkata, “He, kenapa kau berlari-lari?“

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Baru ia menyadari, bahwa seharusnya ia berjalan lebih lambat, karena ia berjalan bersama seorang gadis yang datang dari Kotaraja.

Ketika seekor kera meloncat di atas dahan yang menyilang hampir mencapai batas tepi lorong itu, maka Rara Wulan menjerit kecil.

Glagah Putih memang menghentikan langkahnya. Ketika ia berpaling, maka dilihatnya Rara Wulan dengan wajah pucat memandang dahan-dahan pepohonan yang bergerak.

“Di sini memang terdapat banyak kera,“ berkata Glagah Putih. Lalu katanya, “Namun selama masih banyak kera berkeliaran, maka lingkungan ini masih cukup aman.“

“Kenapa?“ bertanya Teja Prabawa.

“Jika ada binatang buas yang berbahaya bagi mereka, maka mereka akan segera melarikan diri masuk ke dalam lindungan dedaunan yang rapat di tengah-tengah hutan itu,“ jawab Glagah Putih.

“Binatang buas apa saja?“ bertanya Rara Wulan.

“Harimau misalnya,“ jawab Glagah Putih.

“Jangan sebut,“ potong Teja Prabawa.

“Kenapa?“ bertanya Glagah Putih.

“Apapun alasannya, jangan kau sebut nama binatang itu,“ geram Teja Prabawa.

Tetapi Glagah Putih tertawa. Katanya, “Ternyata kau masih juga percaya, bahwa kita tidak boleh menyebut jenis harimau di pinggir hutan seperti ini, tetapi dengan sebutan Kakek atau Kiai?“

“Cukup,“ geram Teja Prabawa.

Glagah Putih masih saja tertawa. Katanya, “Seharusnya kau jangan percaya. Aku adalah anak Tanah Perdikan ini. Aku sudah memahami sifat dan tabiat Tanah Perdikan ini termasuk hutan dan segala isinya. Termasuk berjenis-jenis binatang buas. Tetapi aku sama sekali tidak menganggap tabu untuk menyebut namanya, karena nama itu memang diberikan untuk membedakan berjenis-jenis binatang yang ada.“

Wajah Raden Teja Prabawa menjadi merah. Sementara itu, Glagah Putih yang mulai digelitik oleh sifat-sifatnya itu berkata lebih lanjut, “Nah, karena itu, Raden tidak usah takut mendengar aku menyebut harimau loreng, harimau tutul atau harimau kumbang yang sering memanjat di pepohonan dengan kulitnya yang hitam legam.“

“Cukup!“ Raden Teja Prabawa itu justru berteriak, “aku perintahkan kepadamu untuk menutup mulutmu!“

Glagah Putih mengangguk dalam-dalam sambil menjawab, “Baiklah Raden. Aku tidak akan menyebutnya lagi.“

“Jika kau sekali lagi menyebutnya, aku akan memukulmu. Aku tahu bahwa sebutan itu tidak akan menimbulkan persoalan apa-apa. Tetapi yang membuat aku marah adalah justru kau telah dengan sengaja melakukan apa yang telah aku larang,“ berkata Raden Teja Prabawa.

“Jangan marah Raden,“ berkata Glagah Putih, “kita lebih baik tertawa daripada marah. Kata orang-orang tua, cepat marah akan dapat menimbulkan persoalan tersendiri di dalam diri kita.“

“Tetapi kau telah membuat aku marah. Ternyata kau benar-benar memuakkan. Aku akan mengatakannya kepada Kakek Lurah Branjangan, bahwa kau dengan sengaja telah melanggar apa yang tidak aku kehendaki,” berkata Teja Prabawa.

“Jika demikian, maka sebaiknya aku tidak menyertai Raden jika aku memang memuakkan,“ berkata Glagah Putih.

“Kau akan kembali?“ bertanya Teja Prabawa.

“Tidak. Aku akan memasuki hutan ini dan akan bercanda dengan binatang-binatang buas yang tidak pernah marah kepadaku,“ jawab Glagah Putih.

Wajah Teja Prabawa menjadi tegang. Namun kemudian ia masih mengancam, “Kau tahu akibat dari perbuatanmu itu? Jika Kakek tahu kau dengan sengaja mempermainkan aku, maka kau akan dapat dihukum gantung.“

“O, sangat mengerikan,“ jawab Glagah Putih, “baiklah. Aku tidak akan mempermainkan Raden, karena sejak semula aku memang tidak berniat berbuat demikian.“

“Kau harus minta maaf kepadaku,“ berkata Teja Prabawa, “juga kepada adikku.“

“Baiklah. Aku minta maaf Raden,“ lalu katanya kepada Rara Wulan, “aku mohon maaf Rara.“

“Cepat, berjalanlah,“ bentak Raden Teja Prabawa.

Glagah Putih pun kemudian telah melangkah melanjutkan perjalanan menyusuri jalan di pinggir hutan itu. Namun ia masih juga sempat berkata, “Raden, aku pernah berkawan dengan seorang anak muda yang barangkali sebaya dengan Raden. Tetapi ia sama sekali tidak pernah merasa takut menghadapi apapun juga. Justru mempunyai keberanian jauh melampaui keberanian anak-anak padukuhan di Tanah Perdikan ini, termasuk aku. Anak muda itu juga tinggal di Kotaraja.“

“Persetan,“ geram Teja Prabawa. Tetapi tiba-tiba saja ia justru bertanya, “Jadi kau kira aku tidak mempunyai keberanian seperti anak-anak padukuhan di Tanah Perdikan ini, he? Atau kau kira aku kalah dari anak-anak muda lain dari Kotaraja? Kawanmu tentu anak Kotaraja tetapi yang datang dari padesan. Jika ayahnya seorang pekerja atau seorang juru taman atau seorang pekatik yang mencari rumput bagi kuda seorang bangsawan, maka iapun tentu nampak lebih berani karena kekasarannya. Tetapi kau kira yang nampak kasar itu tentu lebih baik? Mungkin bagi mata orang-orang padukuhan seperti kau hal itu berlaku. Kau terlalu biasa melihat anak-anak muda yang kasar dan tidak mengenal unggah-ungguh.“

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi iapun telah berjalan menuju ke barak Pasukan Khusus. Karena itu, ketika ia tersenyum, maka kedua anak muda yang diantarkannya itu tidak melihatnya.

Di belakang Glagah Putih, Raden Teja Prabawa dan Rara Wulan berlari-lari kecil mengikutinya. Bahkan pada jarak tidak lebih dari selangkah. Suara angin yang bergaung di hutan itu memang membuat bulu tengkuk mereka meremang. Adalah di luar kehendak mereka sendiri ketika mereka membayangkan binatang-binatang buas yang berkeliaran di tengah-tengah hutan itu.

Namun beberapa saat kemudian, jalan pun menjadi semakin jauh dari hutan itu. Padang perdu yang membentang di antara jalan yang mereka lalui dengan hutan itu pun menjadi semakin luas. Bahkan sejenak kemudian, jalan itu pun telah memasuki bulak-bulak persawahan.

Ketika Raden Teja Prabawa dan Rara Wulan melihat seorang petani bekerja di sawahnya, maka merekapun telah menarik nafas dalam-dalam. Apalagi ketika mereka melihat seorang yang lain dan yang lain lagi. Rasa-rasanya mereka telah berada kembali di lingkungan kehidupan manusia setelah untuk beberapa saat lamanya mereka berada di dunia binatang-binatang buas. Tetapi mereka mulai berpikir, bahwa jika mereka kembali ke padukuhan induk, maka mereka akan berjalan melalui jalan itu lagi.

“Tentu ada jalan lain,“ berkata Raden Teja Prabawa di dalam hatinya, “meskipun mungkin agak jauh.“

Namun Raden Teja Prabawa itu tidak dapat memikirkannya lebih panjang. Ketika mereka mulai memasuki padukuhan, maka Rara Wulan pun mulai memperkatakan kebiasaan orang-orang padukuhan itu.

“Padukuhan ini nampak bersih Kakang,“ desis Rara Wulan.

Teja Prabawa mengerutkan keningnya. Namun iapun mengakui bahwa padukuhan-padukuhan di Tanah Perdikan itu pada umumnya nampak bersih, meskipun padukuhan-padukuhan itu dihuni bukan oleh orang-orang kaya. Rumah-rumah yang tidak terlalu besar yang nampak terawat. Halaman yang bersih dan regol yang rapi.

Tetapi ketika mereka sekali lagi memasuki bulak yang agak panjang, maka Rara Wulan mulai mengeluh. Katanya, “Aku lelah Kakang.“

Teja Prabawa mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian bertanya kepada Glagah Putih, “He, apakah perjalanan kita masih jauh?“

“Tidak,“ jawab Glagah Putih, “kita akan memasuki padukuhan di seberang bulak pendek ini. Kemudian diantarai oleh sebuah bulak pendek lagi, maka kita akan sampai ke satu lingkungan yang dipisahkan oleh padang rumput yang tidak terlalu luas. Kemudian pagar kayu yang berjajar rapat mengelilingi satu tempat yang dari jauh nampak seperti pategalan yang agak luas. Nah di lingkungan pagar kayu yang rapat setinggi dua orang berdiri bersusun itulah barak Pasukan Khusus Mataram.“

Teja Prabawa tidak menjawab. Tetapi Rara Wulan-lah yang sekali lagi mengeluh, “Aku sudah lelah.”

“Apakah kita akan beristirahat sebentar?“ bertanya Teja Prabawa kepada adiknya.

Rara Wulan mengangguk. Sehingga karena itu, maka Teja Prabawa pun berkata kepada Glagah Putih, “Kita berhenti sebentar di sini. Adikku sudah merasa lelah.“

Glagah Putih memang berhenti. Tetapi katanya, “Jarak yang akan kita tempuh tinggal beberapa puluh tonggak lagi. Kenapa kita harus berhenti?“

“Jangan bertanya lagi! Kau tentu sudah mendengar kata-kataku tadi,“ bentak Teja Prabawa.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab lagi.

Sesaat kemudian, maka kedua orang kakak beradik itu pun telah mencari tempat untuk duduk. Mereka tidak mau duduk begitu saja di atas rerumputan di pinggir jalan. Namun agaknya mereka telah menemukan sebongkah batu yang besar yang terletak di pinggir jalan itu, sehingga mereka pun kemudian duduk di atas batu itu.

Glagah Putih sendiri tidak ingin duduk. Tetapi ia tetap berdiri saja bersandar sebatang pohon turi yang tidak terlalu besar. Ketika kemudian dua orang anak muda lewat sambil memanggul cangkul tanpa mengenakan baju, sementara kakinya penuh dengan lumpur, Glagah Putih sempat menyapa mereka.

“Masih sepagi ini kalian telah selesai bekerja di sawah?“ bertanya Glagah Putih.

“Tinggal sisa kerja kemarin,“ jawab salah seorang di antara mereka. Namun anak muda itu pun bertanya, “Apa kerjamu di sini?“

“Mengantar kedua cucu Ki Lurah Branjangan yang ingin pergi ke barak,“ jawab Glagah Putih.

Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Tetapi ketika keduanya memandang kedua cucu Ki Lurah, maka kedua cucu Ki Lurah itu sama sekali tidak memandang mereka. Ketika mereka kemudian berpaling lagi kepada Glagah Putih, maka Glagah Putih hanya dapat mengangkat bahunya.

Kedua anak muda yang kotor oleh lumpur itu tersenyum. Hampir berbareng mereka berkata, “Sudahlah Glagah Putih.“

“Silahkan,“ jawab Glagah Putih, “apakah kalian akan singgah di sungai?“

“Ya. Kami akan mandi dahulu,“ jawab seorang di antara mereka.

“Bagaimana dengan pliridanmu?“ bertanya Glagah Putih kemudian.

Anak muda itu tertawa. Katanya, “Aku sudah tidak telaten lagi. Blumbangku di pinggir kali di halaman kakek itu sudah mulai panen.“

“Beruntung kau mempunyai tanah di pinggir kali, sehingga kau dapat membuat blumbang yang setiap kali tinggal memungut ikannya,“ sahut Glagah Putih.

Kedua anak muda itu tertawa. Namun mereka pun segera meninggalkan tempat itu. Ketika mereka sekali berpaling kepada kedua cucu Ki Lurah Branjangan itu, maka Teja Prabawa sedang memandang mereka pula. Namun cepat-cepat ia telah melemparkan pandangan matanya ke kejauhan.

Glagah Putih hanya tersenyum saja melihat tingkah laku kedua orang anak muda dari Kotaraja yang masih menganggap dirinya orang berderajat tinggi, sementara Glagah Putih yang pernah mengenal dengan akrab Raden Rangga, dapat membedakan sifat anak-anak muda dari Kotaraja itu.

“Bahkan Ki Lurah Branjangan sendiri sama sekali tidak lagi memiliki sifat-sifat tinggi hati seperti kedua cucunya itu,“ berkata Glagah Putih di dalam hatinya. Lalu katanya pula kepada diri sendiri, “Mungkin karena anak Ki Lurah Branjangan adalah ibu anak-anak muda itu. Sementara anak-anak muda itu telah memiliki sifat ayahnya.“

Tiba-tiba saja Glagah Putih ingin mengetahui, siapakah ayah dari kedua orang anak muda itu. Agaknya baik Agung Sedayu maupun Ki Gede masih belum bertanya tentang ayah kedua anak muda yang tinggi hati dan tidak dapat dengan cepat menyesuaikan diri dengan lingkungannya itu. Tetapi Glagah Putih segan menanyakannya langsung kepada kedua anak muda itu. Glagah Putih menyadari, bahwa jika ia bertanya kepadanya, hanya akan menimbulkan kejengkelan saja.

Glagah Putih mengerutkan dahinya ketika didengarnya Teja Prabawa itu berbicara kepada adiknya, “Nah, kau lihat Wulan. Anak-anak padesan itu hidupnya selalu dilumuri oleh lumpur di sawah.“

Rara Wulan mengangguk-angguk. Jawabnya, “Tetapi nampaknya mereka tidak merasa dirinya kotor.“

“Tentu tidak,“ tiba-tiba saja Glagah Putih menyahut, “seandainya mereka memang kotor, yang kotor hanyalah kulitnya saja. Wadagnya saja.“

Teja Prabawa memandang Glagah Putih dengan tajamnya. Kemudian dengan nada tinggi ia bertanya, “Apa yang kau maksud?“

“Raden,“ jawab Glagah Putih, “kami, anak-anak muda Tanah Perdikan ini memang harus bekerja sebagaimana mereka lakukan. Aku pun pada saat-saat tertentu harus turun ke sawah, membajak, meratakan dengan garu dan kerja-kerja berat lainnya untuk menyiapkan lahan sehingga perempuan-perempuan pada saatnya turun untuk memanen padi. Jika padi sudah mulai tumbuh, maka kami pun pada saat-saat tertentu harus turun pula untuk menyiangi. Kerja itu memang membuat tubuh kami kotor. Tetapi hanya tubuh kami-lah yang dikotori oleh lumpur sawah. Sedangkan jiwa kami anak-anak padesan, aku kira sama saja dengan anak-anak muda di mana-mana. Jiwa kami dapat kotor, tetapi juga mungkin bersih.“

“Kau ingin mengatakan bahwa jiwa anak-anak padesan lebih bersih dari jiwa anak-anak Kotaraja?“ tiba-tiba saja Raden Teja Prabawa membentak.

Glagah Putih menggeleng. Jawabnya, “Bukankah sudah aku katakan, bahwa jiwa kami anak padesan sama saja dengan jiwa anak di manapun mereka tinggal. Dapat bersih dan dapat juga kotor. Masalahnya adalah masalah yang sangat pribadi. Tetapi jangan dikira bahwa lingkungan dan pergaulan tidak akan mempengaruhi warna jiwa kita.“

Tiba-tiba saja Teja Prabawa itu bangkit berdiri. Selangkah ia maju sambil berkata, “Kau mencoba menggurui aku he?”

Glagah Putih justru tertawa. Katanya, “Tidak Raden. Tentu aku tidak akan dapat menggurui Raden. Jika aku mengucapkannya, rasa-rasanya aku memang sedang menghafal nasehat-nasehat yang pernah diberikan oleh Ki Gede kepada kami. Karena itu apa yang aku katakan lebih banyak aku tujukan kepada diriku sendiri.“

Raden Teja Prabawa menggeretakkan giginya. Tetapi ia tidak menjawab lagi. Tetapi kepada adiknya ia berkata, “Apakah kau masih lelah? Jika tidak, kita akan berjalan lagi. Bukankah jaraknya sudah tidak begitu jauh.“

Rara Wulan mengangguk. Iapun kemudian bangkit berdiri, mengibaskan kainnya dengan tangannya. Jawabnya, “Marilah. Aku sudah tidak letih lagi.“

Ketiga anak muda itu pun kemudian telah melanjutkan perjalanan mereka menyusuri bulak yang tidak begitu panjang. Ketika mereka memasuki sebuah padukuhan lagi, maka mereka melihat seperti padukuhan-padukuhan yang pernah mereka lewati, padukuhan itu pun nampak bersih. Beberapa orang yang berpapasan dengan mereka, dengan ramahnya menyapa Glagah Putih. Namun kedua orang cucu Ki Lurah itu tidak pernah menghiraukan mereka. Tetapi orang-orang padukuhan itu mengerti, bahwa kedua orang itu tentu anak-anak muda dari Kotaraja, menilik pakaian yang mereka kenakan. Karena itu, maka mereka sama sekali tidak merasa berkecil hati melihat sikap mereka berdua.

Sejenak kemudian, maka mereka bertiga telah keluar dari pintu gerbang padukuhan itu dan sekali lagi memasuki bulak yang tidak begitu panjang. Dari kejauhan mereka sudah melihat satu lingkungan yang terpisah, yang dari kejauhan nampak seperti pategalan dengan pepohonan yang lebih jarang dari sebuah padukuhan. Bahkan ketika mereka sudah berjalan memasuki bulak pendek itu, mereka telah melihat dinding kayu yang diatur rapat. Balok-balok yang tidak begitu besar berjajar dan diikat dengan tali ijuk yang kuat. Di beberapa bagian, terutama di dekat pintu gerbang utama dan pintu-pintu gerbang butulan, dindingnya dibuat dari batu bata yang besar-besar. Namun setiap saat, bangunan barak Pasukan Khusus itu masih saja mengalami perbaikan-perbaikan meskipun perlahan-lahan.

Beberapa saat kemudian, mereka telah sampai ke sebuah lapangan rumput yang cukup luas. Di belakang lapangan rumput itulah terletak pintu gerbang utama barak Pasukan Khusus itu, sehingga lapangan rumput itu seakan-akan merupakan halaman depan yang luas dari barak itu. Namun di belakang barak itu, meskipun juga diantarai oleh lapangan rumput, terdapat hutan yang tidak terlalu lebat yang memanjat pebukitan dan gumuk-gumuk kecil. Namun semakin tinggi hutan itu memanjat pebukitan, maka hutan itu pun menjadi semakin lebat pula.

Glagah Putih yang mengantarkan cucu Ki Lurah itu telah membawa kedua anak muda itu menuju ke pintu gerbang utama. Dua orang prajurit yang bertugas berdiri di sebelah-menyebelah pintu gerbang itu dengan tombak di tangan.

Ketika ketiga anak muda itu mendekati pintu gerbang, maka seorang di antara kedua prajurit yang bertugas itu telah menyapa, “Glagah Putih. Kau mau kemana?“

Glagah Putih tersenyum. Ia sudah mengenal prajurit dari Pasukan Khusus itu. Selain dalam tugas-tugas tertentu di Tanah Perdikan itu mereka sering bertemu, anak muda yang bertugas itu adalah anak muda yang berasal dari Tanah Perdikan Menoreh yang tergabung di dalam Pasukan Khusus itu.

“Aku mengantarkan kedua cucu Ki Lurah Branjangan,“ jawab Glagah Putih.

“Cucu Ki Lurah Branjangan?“ bertanya prajurit itu.

“Ya,“ jawab Glagah Putih, “mereka ingin bertemu dengan Senapati yang baru itu.“

“Untuk apa? Apakah mereka mendapat pesan dari Ki Lurah?“ bertanya prajurit itu.

“Bertanyalah sendiri kepada mereka,“ jawab Glagah Putih.

Prajurit itu memandang Teja Prabawa dan Rara Wulan berganti-ganti. Namun kemudian iapun bertanya, “Apakah keperluan kalian bertemu dengan Senapati?“ Raden Teja Prabawa memang agak menjadi bingung untuk menjawab. Ia memang tidak mempunyai keperluan khusus dengan pimpinan Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan itu. Tetapi ia sudah berdiri di muka barak itu, sementara prajurit yang bertugas di pintu gerbang itu pun telah bertanya pula kepadanya. Karena itu, maka iapun telah menjawab asal saja, “Aku hanya ingin bertemu.“

Prajurit yang bertugas itu termangu-mangu. Dengan nada heran ia bertanya pula, “Hanya karena ingin bertemu begitu saja? Biasanya Senapati tentu menanyakan, apakah kepentingan seseorang yang akan menemuinya. Pada hari-hari terakhir, Senapati nampak sangat sibuk. Bukan hanya mengenai latihan-latihan dan penempaan pasukan, tetapi hubungan dengan Mataram pun berjalan lebih sering dari biasanya.”

Teja Prabawa termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku adalah cucu Ki Lurah Branjangan. Bukankah Kakek pernah berada di barak ini? Aku hanya sekedar ingin melihat-lihat saja.”

Prajurit itu termangu-mangu. Namun kemudian seorang perwira muda yang kebetulan mendengar pembicaraan itu pun berkata, “Jadi keduanya adalah cucu Ki Lurah Branjangan?”

“Ya,” jawab prajurit yang bertugas.

“Baiklah. Biar aku yang menyampaikan kepada Senapati. Tetapi aku tidak tahu, apakah mereka berdua akan dapat diterima atau tidak,” berkata perwira muda itu.

Ketika ia melangkah meninggalkan pintu gerbang menuju ke barak khusus yang dipergunakan oleh Senapati yang lebih senang disebut Nagageni itu bekerja, seorang perwira muda yang lain, yang kebetulan adalah adik Nagageni, menyusulnya.

“Siapa mereka he?” bertanya adik Nagageni itu.

“Cucu Ki Lurah Branjangan,” jawab perwira muda itu.

“Ki Lurah Branjangan yang menurut pendengaranku pernah memimpin Pasukan Khusus ini?” bertanya adik Senapati Nagageni itu pula.

“Ya. Bukan sekedar memimpin. Tetapi Ki Lurah Branjangan adalah seorang prajurit yang telah menyusun dan membentuk pasukan khusus ini pada saat-saat Mataram bangkit,” jawab perwira muda itu.

“Siapa gadis itu?” bertanya adik Senapati.

“Sudah aku katakan, cucu Ki Lurah,” jawab perwira muda itu.

“Kau kenal gadis itu?” bertanya adik Nagageni.

Perwira muda itu menggeleng. Katanya, “Aku baru melihat mereka di regol.”

“Nampaknya kau mulai tertarik. Ternyata kau dengan serta merta bersedia menyampaikan kedatangannya kepada Kakang Senapati,” berkata adik Nagageni itu.

Perwira muda itu justru terhenti. Dipandanginya adik Nagageni itu dengan tajamnya. Dengan suara berat ia menyahut, “Kau kira aku laki-laki seperti kau, yang langsung tertarik kepada seorang gadis begitu melihatnya?”

Perwira muda adik Nagageni itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berdesis, “Tetapi gadis itu sangat cantik.”

“Jika demikian, kau sajalah yang menghadap Senapati Nagageni. Katakan kepada kakakmu itu, bahwa cucu Ki Lurah Branjangan ingin bertemu. Mereka tidak mempunyai keperluan khusus selain sekedar ingin melihat-lihat. Nah, terserah kepadamu. Mudah-mudahan kau mendapat tugas dari kakakmu untuk mengantar keduanya berjalan-jalan di barak ini,” berkata perwira muda itu.

Adik Nagageni berpikir sejenak. Namun tiba-tiba saja ia bertanya, “Dimana keduanya sekarang?”

“Bukankah kau tahu bahwa keduanya masih berada di regol?” jawab perwira muda itu.

Adik Nagageni mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Biarlah aku yang menyampaikannya kepada Kakang Senapati.”

Dengan demikian, maka adik Nagageni itulah yang menemui kakaknya di ruangan khususnya. Dengan singkat ia menyatakan bahwa kedua cucu Ki Lurah Branjangan ingin menghadap.

“Apakah ia membawa pesan dari Ki Lurah?” bertanya Nagageni.

“Menurut keterangannya tidak. Mereka hanya ingin melihat-lihat. Mungkin karena mereka mengetahui bahwa kakeknya pun pernah berada di barak ini.”

“Yang pernah berada di barak ini adalah Ki Lurah Branjangan. Bukan cucunya. Untuk apa mereka ingin melihat-lihat?” bertanya kakaknya.

“Aku tidak tahu. Mungkin mereka pernah mendengar cerita tentang kakeknya yang telah berhasil menyusun Pasukan Khusus Mataram di sini,” jawab adiknya.

“Omong kosong,” geram Senapati itu, “apa yang pernah dihasilkan oleh Ki Lurah Branjangan? Setiap orang dapat saja mengumpulkan anak-anak muda, memberi makan dan pakaian, menyediakan tempat untuk tidur dan memberikan uang gaji mereka setiap bulan. Tetapi kemampuan pasukan itu ternyata tidak berarti sama sekali. Bahkan pemimpin-pemimpin sesudahnya pun tidak berhasil membentuk pasukan ini sesuai dengan namanya. Pasukan Khusus. Baru sekarang, kita mulai membentuk pasukan ini dengan bersungguh-sungguh.”

“Apapun yang mereka katakan, tetapi apa salahnya jika mereka sekedar melihat-lihat barak ini?” bertanya adiknya.

“Kita harus mencurigai setiap orang sekarang ini,” jawab Senapati itu, “karena itu, kita harus yakin, bahwa keduanya tidak berbahaya bagi kita.”

“Aku dapat menanggung bahwa keduanya tidak berbahaya. Keduanya masih sangat muda. Seorang di antaranya adalah seorang gadis, yang cantik,” berkata adiknya.

Senapati Pasukan Khusus itu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Aku mengerti sekarang. Kau tentu menganggap bahwa gadis itu cantik sekali, sehingga kau tertarik kepadanya.”

Perwira muda itu tertawa.

“Sebenarnya aku ingin menasehatimu. Jangan terlalu mudah tertarik kepada wajah yang cantik. Kau dapat terjerat ke dalam kesulitan,” berkata Nagageni.

“Kali ini aku tidak akan berbuat seperti yang pernah aku lakukan sebelumnya Kakang. Apalagi jika gadis itu cucu Ki Lurah Branjangan. Aku memang tertarik kepada gadis itu. Tetapi aku akan memperlakukannya dengan baik. Siapa tahu, bahwa gadis itu akan dapat menjadi pasangan hidupku kelak,” berkata perwira itu.

Nagageni termangu-mangu sejenak. Meskipun demikian, ia ingin melihat kedua anak muda itu dan berbicara dengan mereka. Apakah benar-benar mereka tidak berbahaya bagi barak Pasukan Khusus itu. Atau bahkan kedua cucu Ki Lurah itu membawa tugas khusus yang bersifat rahasia dari Ki Lurah itu sendiri.

Karena itu, maka Nagageni itu pun berkata, “Bawalah kedua anak itu kemari. Aku ingin melihat mereka.”

“Baik Kakang,” jawab perwira muda itu.

Dengan tergesa-gesa perwira muda itu pun telah pergi ke regol. Didapatinya kedua orang yang disebut cucu Ki Lurah itu masih ada di regol. Tetapi ternyata bahwa mereka datang bertiga.

Ketiga perwira itu berdiri di gerbang barak itu, maka iapun telah bertanya, “Siapakah di antara kalian cucu Ki Lurah Branjangan?”

Teja Prabawa dan Rara Wulan menjawab hampir bersama, “Aku.”

Perwira muda itu mengangguk-angguk. Lalu iapun bertanya pula, “Siapakah yang seorang itu?”

“Glagah Putih,” jawab Teja Prabawa, “anak Tanah Perdikan ini yang diperintahkan oleh Ki Gede mengikuti aku kemari.”

Glagah Putih mengerutkan dahinya. Tetapi ia tidak berkata apapun juga.

Sementara itu perwira muda itu pun berkata, “Perintah Senapati, hanya cucu Ki Lurah saja yang diperkenankan memasuki barak ini.”

Glagah Putih memang tersinggung mendengar keterangan perwira muda itu. Apalagi ketika Teja Prabawa berkata, “Jika demikian, biarlah anak itu menunggu aku di luar dinding barak.”

“Marilah. Silahkan menghadap,” perwira itu mempersilahkan.

Teja Prabawa pun kemudian telah membimbing adiknya melangkah masuk. Sementara itu ia berpaling kepada Glagah Putih sambil berkata, “Kau tunggu di sini. Sebelum aku keluar, kau tidak boleh pergi.”

Terasa telinga Glagah Putih menjadi panas. Memang sulit untuk memenuhi pesan Agung Sedayu. Bahkan Glagah Putih itu telah bergeremang di dalam hatinya, “Mungkin Kakang Agung Sedayu dapat melakukannya. Tetapi aku merasa sangat berkeberatan mendapat perlakuan seperti ini.”

Karena Glagah Putih tidak segera menjawab, maka Teja Prabawa telah membentak, “Kau dengar perintahku he?”

Dengan susah payah Glagah Putih menahan gejolak di dalam dadanya. Dengan suara bergetar ia menjawab, “Baiklah Raden.”

Teja Prabawa memandanginya sejenak. Namun kemudian bersama adik perempuannya ia memasuki pintu gerbang barak Pasukan Khusus, mengikuti perwira muda yang akan membawa mereka menghadap pimpinan barak itu.

Perwira muda yang lain, yang mula-mula akan melaporkan kehadiran kedua cucu Ki Lurah itu, memandang dari kejauhan. Ia sempat tersenyum sendiri melihat tingkah laku adik Senapati yang memimpin Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan itu.

Demikianlah, maka kedua cucu Ki Lurah telah dibawa menghadap Senapati yang memimpin barak Pasukan Khusus itu. Setelah berbicara beberapa patah kata, serta beberapa pertanyaan Senapati itu sudah dijawab, maka Senapati yang mempunyai pengenalan yang tajam itu pun segera mengetahui bahwa kedua orang itu memang tidak berbahaya sama sekali. Bahkan ada kesan bahwa keduanya adalah anak-anak muda yang manja, yang tidak banyak mengetahui lingkungan di luar dinding rumahnya.

Namun akhirnya Senapati itu bertanya, “Maaf anak-anak muda, yang kalian katakan selalu kakek kalian, Ki Lurah Branjangan. Bolehkah aku mengetahui, siapakah ayah kalian?”

“Ayahku adalah seorang pejabat di Istana Panembahan Senapati. Sedang kakekku, ayah dari ayahku adalah seorang Tumenggung,” jawab Teja Prabawa.

“O, jadi kakekmu yang satu lagi, dari aliran darah ayahmu, adalah seorang Tumenggung?” bertanya Senapati itu. “Satu jabatan yang tinggi,” berkata Senapati itu selanjutnya.

“Ya,” jawab Teja Prabawa, “Tumenggung memang kedudukan yang tinggi. Tetapi kakekku dari jalur ibuku, meskipun hanya berpangkat Lurah, tetapi kakek agak lebih dekat dengan Panembahan Senapati itu sendiri, daripada orang lain yang meskipun telah tinggi pangkatnya.”

“Ya, aku tahu. Di saat-saat Mataram bangkit berdiri, kakekmu itu telah ikut bekerja keras membuka Alas Mentaok. Itulah sebabnya kakekmu merupakan orang yang sangat dekat dengan Panembahan Senapati itu sendiri. Demikian pula saat-saat Pasukan Khusus ini dibentuk,” berkata Senapati itu pula.

Raden Teja Prabawa mengangguk-angguk. Ia ikut berbangga, bahwa Senapati itu mengakui peranan kakeknya pada Pasukan Khusus di barak itu.

Dalam pada itu, maka Senapati itu pun kemudian telah memerintahkan kepada perwira muda yang kebetulan adalah adiknya itu, “Bawalah keduanya melihat-lihat. Hati-hati, jangan memasuki tempat-tempat yang memang dianggap rahasia.”

“Baik Senapati,” jawab perwira muda itu, yang kemudian berkata kepada Raden Teja Prabawa dan Rara Wulan, “Marilah. Kita berjalan-jalan.”

Raden Teja Prabawa dan Rara Wulan merasa senang bahwa mereka mendapat sambutan yang ramah dari pimpinan barak Pasukan Khusus itu. Sehingga di dalam hati Raden Teja Prabawa dan adiknya itu berkata, “Kalau saja anak Tanah Perdikan itu melihat sambutan dari para pemimpin barak itu, maka ia tidak akan dapat menyombongkan diri lagi.”

Demikianlah, maka mereka pun kemudian telah menelusuri lorong-lorong yang terdapat di barak Pasukan Khusus itu. Mereka melihat-lihat barak-barak yang dibangun di antara halaman yang ditumbuhi pepohonan yang hijau. Kemudian beberapa sanggar khusus yang dipergunakan untuk latihan-latihan berat. Sementara itu, di bagian tengah dan belakang dari barak itu terdapat lapangan rumput yang meskipun tidak terlalu luas, namun mencukupi untuk mengadakan latihan-latihan dalam kelompok-kelompok dengan berbagai macam peralatan.

Sementara itu, di luar barak, Glagah Putih dengan jantung yang berdegupan semakin keras justru karena menahan diri. Jika ia tidak mengingat pesan kakak sepupunya, maka rasa-rasanya ia tidak akan menyiksa diri menunggu di depan barak itu. Padahal Ki Lurah Branjangan sendiri telah berpesan, agar suatu saat jika perlu ia dapat berbuat sesuatu untuk sedikit memberikan pengalaman bagi kedua cucunya itu.

Dalam pada itu, prajurit yang bertugas, yang kebetulan telah mengenalnya itu, telah bertanya kepadanya, “Kenapa kau hanya menunggu di luar? Sikapnya tidak menyenangkan, meskipun keduanya adalah cucu Ki Lurah Branjangan.”

“Agaknya Ki Lurah juga tidak menyukai sikapnya itu. Itulah sebabnya ia telah membawa kedua cucunya itu kemari, agar mereka mendapatkan satu pengalaman baru dalam hidupnya,” berkata Glagah Putih.

“Bawa saja mereka masuk ke dalam hutan,” berkata prajurit itu, “bawalah mereka ke tempat yang banyak terdapat binatang buasnya, biar mereka tahu, siapa sebenarnya mereka itu.”

“Rasa-rasanya aku pun ingin berbuat demikian,” jawab Glagah Putih, “tetapi Kakang Agung Sedayu terlalu sabar. Ia berpesan kepadaku, agar aku tetap berlaku baik sebagai tuan rumah.”

Prajurit itu tertawa. Katanya, “Agung Sedayu memang orang aneh. Tetapi siapa yang dapat berlaku sebagaimana kakak sepupumu itu?”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun dengan menahan gejolak di dalam dirinya, Glagah Putih itu pun kemudian menjatuhkan dirinya dan duduk bersandar dinding dekat kawannya yang bertugas.

“He, jangan duduk di situ,” berkata kawannya yang bertugas, “kau akan diusir. Duduklah agak ke sana. Jangan terlalu dekat dengan dinding.”

“Kau akan mengusir aku?” bertanya Glagah Putih.

“Bukan aku, tetapi kawanku ini,” jawab prajurit itu sambil berpaling kepada kawannya yang berdiri di sisi lain dari pintu gerbang itu.

Tetapi kawannya itu pun hanya tersenyum saja tanpa menjawabnya.

Glagah Putih yang sudah terlanjur duduk itu tidak segera bangkit. Tetapi ia menjawab, “Aku mempunyai tugas untuk menunggu kedua cucu Ki Lurah Branjangan.”

Kawannya pun kemudian hanya tertawa saja. Sedangkan Glagah Putih tidak lagi menghiraukan apa saja. Bahkan iapun telah memejamkan matanya, seolah-olah ia akan tidur sambil bersandar dinding.

Dalam pada itu, Raden Teja Prabawa telah berjalan-jalan mengelilingi barak Pasukan Khusus itu bersama adiknya, diantar oleh seorang perwira muda yang dengan sangat ramah, bahkan agak berlebih-lebihan, telah menerangkan berbagai macam bangunan yang ada di barak itu. Mereka pun telah memasuki lapangan berlatih bagi Pasukan Khusus itu, dan bahkan sanggar-sanggar yang dipergunakan untuk melakukan latihan-latihan yang berat.

Ternyata bahwa perwira muda itu, bukan saja ingin menunjukkan berbagai macam kelengkapan yang ada di barak itu sebagai alasan untuk dapat berjalan-jalan lebih lama dengan Rara Wulan, namun iapun telah berusaha untuk menunjukkan kelebihannya dalam olah kanuragan.

Karena itu, maka ketika mereka berada di sanggar yang cukup besar yang terdapat di salah satu sudut halaman barak itu, perwira itu berkata, “Marilah. Kita dapat mempergunakan segala peralatan ini untuk bermain-main. Aku kira kita juga mendapat kesempatan untuk melakukannya.” Lalu iapun bertanya kepada Raden Teja Prabawa, “Marilah. Sekali-sekali kita berlatih bersama?”

Keringat dingin telah membasahi punggung Teja Prabawa. Ia bukan seorang yang memiliki ilmu yang cukup baik. Meskipun ia juga berlatih olah kanuragan, namun melihat peralatan yang ada di barak itu, ia menjadi gelisah, bahwa ilmu yang dimilikinya itu tidak berarti sama sekali di hadapan seorang perwira muda Pasukan Khusus yang terkenal itu. Seandainya yang ada di barak itu adalah Glagah Putih, maka ia akan dengan bangga menunjukkan kemampuannya.

Karena Teja Prabawa tidak segera menyahut, maka perwira muda itu mendesaknya, “Marilah. Kita hanya sekedar bermain-main.”

Tetapi Raden Teja Prabawa itu menggeleng. Katanya, “Aku masih terlalu letih. Silahkan, barangkali aku perlu melihat tingkat kemampuan para perwira di barak ini.”

Perwira muda itu termangu-mangu sejenak. Namun keinginannya untuk menunjukkan kemampuannya tidak dapat ditahankannya. Karena itu, maka iapun kemudian berkata, “Baiklah. Aku akan bermain-main sendiri. Tetapi kalian jangan mentertawakannya. Ilmuku masih terlalu dangkal.”

“Jangan terlalu merendah,” berkata Raden Teja Prabawa.

Perwira itu pun kemudian telah bersiap. Iapun mengangguk kepada kedua cucu Ki Lurah itu berganti-ganti. Kemudian ia mulai membuka langkah sambil menggerakkan tangannya perlahan-lahan mengembang dan terangkat semakin tinggi, sehingga kemudian kedua telapak tangannya pun telah terkatup sambil bergerak turun perlahan-lahan. Di muka dadanya kedua tangan itu telah terurai lagi. Satu tangan kemudian telah mengepal, sementara tangan yang lain tetap terbuka dengan jari-jari yang merapat. Kemudian dengan satu hentakan, tangan yang mengepal itu memukul ke depan, sementara sebelah kakinya telah melangkah setengah langkah sambil menekuk lututnya, sedangkan tangannya yang lain ditariknya di samping lambungnya.

Baru kemudian, perwira itu mulai dengan melepaskan beberapa unsur gerak dari ilmunya. Semakin lama semakin cepat, sehingga akhirnya, perwira itu tidak lagi nampak ujudnya di mata kedua cucu Ki Lurah. Perwira muda itu telah berubah bagaikan bayangan yang berterbangan, bahkan seolah-olah tidak lagi menjejak tanah. Sekali bahkan perwira muda itu telah melenting dan hinggap pada patok-patok yang dibuat dari batang pohon kelapa yang utuh dengan tinggi yang tidak sama. Kaki perwira itu seolah-olah mampu melekat pada tempat yang disentuhnya. Raden Teja Prabawa memang menjadi sangat heran melihat kemampuan perwira muda itu. Untunglah bahwa ia tidak bersedia untuk mengadakan latihan bersama, karena ilmu mereka memang tidak seimbang.

Rara Wulan yang serba sedikit juga mempelajari ilmu kanuragan benar-benar telah dicengkam oleh keheranan melihat ketangkasan perwira muda itu. Rasa-rasanya ia memang belum pernah melihat kemampuan seseorang yang demikian tinggi. Ia pernah mendengar betapa kakeknya, Ki Lurah Branjangan, memiliki ilmu yang tinggi. Tetapi kedua cucunya itu belum pernah mendapat kesempatan untuk melihatnya.

Karena itu, maka anak muda itu menyaksikan unsur-unsur gerak perwira muda itu dengan mata yang bagaikan tidak berkedip.

Beberapa saat kemudian, gerak itu pun semakin susut pula. Perwira muda itu telah meloncat dari patok-patok batang kelapa dan bergerak dengan tangkasnya di lantai sanggar. Namun kemudian, ia telah sampai pada akhir permainannya.

Perwira muda itu telah berdiri tegak. Tangannya mulai bergerak perlahan-lahan. Terangkat dan kemudian mengatup di depan dadanya, kemudian perlahan-lahan turun dan dengan lemah tergantung di sisi tubuhnya, seakan-akan kedua tangannya itu telah terlepas dari penguasaannya.

Ketika perwira muda itu kemudian mengangguk hormat, maka kedua cucu Ki Lurah itu telah bertepuk tangan. Mereka benar-benar merasa kagum melihat ilmu kanuragan yang sangat tinggi dari perwira muda itu.

“Luar biasa,” desis Rara Wulan di luar sadarnya.

Perwira muda itu mengangguk hormat sambil berkata, “Memang tidak begitu berarti.”

Tetapi Teja Prabawa menyahut, “Aku belum pernah menyaksikan tingkat ilmu setinggi itu.”

“Tentu ilmu kanuraganmu jauh lebih tinggi dari ilmuku itu,” sahut perwira muda itu.

Raden Teja Prabawa memang ragu-ragu untuk mengaku. Tetapi Rara Wulan-lah yang menjawab, “Memang ilmunya tidak setinggi ilmu Ki Sanak.”

“Ah, kau terlalu merendahkan diri,” jawab perwira muda itu.

“Tidak,” jawab Teja Prabawa. Ia tidak dapat berbuat lain kecuali mengucapkan pengakuan, “Untung aku tidak bersedia berlatih bersamamu. Jika demikian, maka kau akan mengetahui betapa rendahnya ilmu kanuraganku.”

“Jangan memuji. Ilmuku belum seberapa dibanding dengan ilmu Senapati yang sekarang memimpin Pasukan Khusus ini,” berkata perwira itu.

“Aku percaya. Inilah gambaran dari pasukan yang ada di tanah Perdikan Menoreh ini, yang dahulu pernah dibentuk oleh Kakek Lurah Branjangan,” berkata Teja Prabawa.

Perwira muda itu mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, “Tetapi tingkat kemampuan Pasukan Khusus ini tidak dengan serta merta berada pada tataran sekarang. Setingkat demi setingkat, pasukan ini telah ditempa, sehingga akhirnya Senapati yang sekarang itulah yang telah berhasil meningkatkan kemampuan Pasukan Khusus ini sehingga benar-benar mencapai tataran yang diinginkan.”

Kedua cucu Ki Lurah itu hanya mengangguk-angguk saja. Mereka tidak merasa tersinggung karena kakeknya yang dianggap tidak berhasil melakukan tugasnya dengan sempurna, karena kedua cucu Ki Lurah itu memang tidak dapat menggapai penalaran sampai sekian jauh.

Raden Teja Prabawa tiba-tiba terkejut ketika perwira muda itu kemudian berkata, “Apakah kau akan bermain-main juga?”

“Tidak,” jawab Teja Prabawa, “tidak ada yang dapat aku tunjukkan kepadamu. Mungkin setelah aku melatih diri selama lima tahun lagi, baru aku akan berbuat sebagaimana kau lakukan itu.”

Tetapi perwira itu tertawa. Dengan nada rendah ia berkata, “Kau nampaknya lebih senang merendahkan diri.”

“Aku berkata sebenarnya,” jawab Teja Prabawa.

Rara Wulan-lah yang segera menyahut, “Kakang Teja Prabawa mengatakan yang sebenarnya. Kami kagum melihat kemampuanmu yang berada di luar jangkauan nalarku.”

Perwira itu tertawa semakin keras. Lalu katanya, “Baiklah. Jika kalian tidak ingin bermain-main di sanggar ini, marilah, kita akan melanjutkan langkah kita melihat-lihat barak ini. Namun agaknya kita sudah mengelilingi seluruh bagian dari barak ini.”

Mereka bertigapun kemudian telah melangkah keluar dari sanggar. Beberapa orang prajurit muda yang sedang tidak bertugas telah memandangi kecantikan Rara Wulan dengan tatapan mata yang hampir tidak berkedip.

Namun dalam pada itu, perwira muda adik Senapati dari Pasukan Khusus itu tiba-tiba telah membentak mereka, “He, apa yang kau lihat? Pergi! Apakah kau tidak mempunyai pekerjaan lain kecuali termangu-mangu seperti itu?”

Para prajurit itu pun kemudian telah dengan tergesa-gesa melangkah tercerai berai. Namun seorang perwira yang lebih tua dari adik Senapati itu justru telah datang mendekat sambil bertanya, “Kenapa kau berteriak-teriak?”

“Mereka tidak tahu adat. Aku mengantarkan dua orang cucu Ki Lurah Branjangan yang ingin melihat-lihat barak ini, tetapi mereka menganggap keduanya seperti tontonan. Seolah-olah mereka tidak pernah melihat orang dari Kotaraja,” jawab perwira muda itu.

Perwira yang lebih tua itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun mengangguk hormat kepada kedua cucu Ki Lurah Branjangan itu sambil berkata, “Maaf Anak-Anak Muda. Aku tidak tahu sebelumnya.”

Kedua cucu Ki Lurah itupun mengangguk hormat pula. Teja Prabawa itu pun bertanya kepada perwira yang lebih tua itu, “Ki Sanak juga anggota Pasukan Khusus?”

“Ya,” jawab perwira itu, “aku telah berada di sini sejak pasukan ini disusun. Perwira muda yang membawamu berkeliling ini termasuk orang baru di sini. Ia dipindahkan kemari beberapa bulan yang lalu. Tetapi aku adalah orang yang telah berada di sini sejak Ki Lurah memimpin Pasukan Khusus ini.”

Kedua cucu Ki Lurah itu mengangguk-angguk. Nampaknya perwira itu pun menarik perhatian mereka.

Sementara perwira itu pun berkata labih lanjut, “Ki Lurah adalah salah seorang perwira yang luar biasa. Jarang ada Senapati yang memiliki kemampuan sebagaimana Ki Lurah. Tetapi agaknya Ki Lurah sudah tua sekarang ini.”

“Kakek ada di sini. Di Tanah Perdikan ini,” berkata Teja Prabawa.

“O, dimana? Apakah Ki Lurah ada di barak ini sekarang?” bertanya perwira itu.

“Tidak. Kakek ada di rumah Ki Gede,” jawab Teja Prabawa.

“Jadi kalian datang ke barak ini berdua saja?” bertanya perwira itu.

“Tidak. Kami telah diantar oleh anak padukuhan induk,” jawab Teja Prabawa.

“Siapa?” bertanya perwira itu.

“Glagah Putih,” jawab Teja Prabawa, “anak muda yang nampaknya sangat dungu tetapi sombong.”

“Glagah Putih? Maksudmu Glagah Putih sepupu Agung Sedayu?” bertanya perwira itu.

Teja Prabawa termangu-mangu. Namun jawabnya, “Mungkin. Di rumah Ki Gede memang ada orang yang bernama Agung Sedayu, yang nampaknya sudah kenal baik dengan kakek.”

“Tentu,” jawab perwira itu, “Agung Sedayu adalah salah seorang dari antara para pelatih di barak ini. Agung Sedayu adalah seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Sedangkan Glagah Putih itu adalah sepupunya. Iapun seorang yang berilmu tinggi pula.”

Teja Prabawa termangu-mangu. Namun perwira muda itu pun kemudian berkata, “Sudahlah. Kita akan menemui Kakang Senapati.”

Perwira yang lebih tua itu mengerutkan keningnya. Perwira muda itu merasa bahwa dirinya adalah saudara pimpinan tertinggi di barak itu, sehingga sikapnya pun kadang-kadang menjadi agak berlebih-lebihan.

Perwira tua itu tidak berkata apapun lagi. Sementara itu kedua cucu Ki Lurah itu telah minta diri dan melangkah bersama dengan perwira muda itu, menuju ke barak khusus pimpinan tertinggi barak Pasukan Khusus itu.

“Orang tua itu memang sering membual,” berkata perwira muda itu, “apakah kau percaya bahwa Glagah Putih yang mengantarkanmu itu berilmu tinggi?”

Teja Prabawa tertawa. Katanya, “Ia anak dungu. Yang diketahui tidak lebih dari membajak di sawah dan mengotori dirinya dengan lumpur.”

Perwira muda itu pun tertawa pula. Lalu katanya, “Kalian tidak perlu kembali bersama mereka. Aku akan mengantarkan kalian sampai ke padukuhan induk.”

“Lalu, bagaimana dengan anak itu?” bertanya Teja Prabawa.

“Biarlah seorang prajurit memerintahkannya pergi,” berkata perwira itu.

Teja Prabawa mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku juga menjadi muak melihatnya.”

Demikian mereka mendekati barak khusus bagi pimpinan barak itu, maka perwira muda itu memang telah memerintahkan seorang prajurit yang bertugas untuk menemui Glagah Putih di luar barak.

Namun adalah di luar dugaan, bahwa tiba-tiba saja Rara Wulan bertanya, “Tetapi bukankah kita berangkat bersama anak itu? Kakek dan Ki Gede mempercayakan kita kepadanya.”

Wajah perwira muda itu menegang sejenak. Namun kemudian katanya, “Tentu tidak apa-apa. Kecuali jika kalian nanti pulang hanya berdua. Kasihan anak itu, karena ia akan dimarahi oleh Ki Lurah Branjangan dan Ki Gede. Tetapi jika kalian kembali bersamaku, maka mereka tentu tidak akan marah, karena mereka tentu lebih percaya kepada seorang perwira dari Pasukan Khusus ini daripada seorang anak padukuhan.”

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun perwira itu bertanya lagi, “Kau jangan terpengaruh oleh bualan orang tua itu. Coba renungkan, apakah masuk akal bahwa Agung Sedayu, anak Tanah Perdikan ini, menjadi salah seorang pelatih dari Pasukan Khusus ini? Bukankah bualannya itu telah merendahkan martabat Ki Lurah Branjangan?”

“Ya,” sahut Teja Prabawa, “biarlah anak itu pergi.”

Rara Wulan tidak bertanya lagi. Ia memang tidak dapat berbuat banyak selain mengikuti saja perintah kakaknya.

Demikianlah, mereka menghadap Senapati Pasukan Khusus itu untuk menyatakan terima kasih kedua cucu Ki Lurah itu yang telah mendapat kesempatan untuk melihat-lihat barak Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan.

“Kami kira, kami sudah merasa cukup untuk hari ini. Mungkin pada kesempatan lain, kami akan datang berkunjung lagi,” berkata Teja Prabawa.

“Kapan saja, silahkan datang,” berkata Senapati itu, “salamku buat Ki Lurah Branjangan. Jika sempat, aku juga mempersilahkan Ki Lurah untuk melihat-lihat barak ini yang sudah menjadi semakin berkembang.”

“Terima kasih,” berkata Teja Prabawa, “kami akan segera mohon diri.”

Sebelum Senapati itu menjawab, maka adiknya telah mendahuluinya, “Aku akan mengantarkannya kembali ke padukuhan induk.”

“Bukankah ia datang dengan seorang pengantar?” bertanya Senapati itu.

“Ya,” Rara Wulan-lah yang menyahut. Namun tiba-tiba iapun telah terdiam sambil menundukkan kepalanya.

Sementara itu perwira muda itu pun berkata, “Pengantar itu sudah aku suruh pulang. Biarlah ia tidak terlalu lama menunggu di sini.”

Senapati itu mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Tetapi kau harus segera kembali. Tugas-tugasmu tidak boleh kau abaikan. Sementara itu serahkan kelompokmu kepada wakilmu.”

Demikianlah, maka perwira itu telah memberikan beberapa pesan kepada wakil pemimpin kelompoknya. Dengan tergesa-gesa iapun kemudian telah bersiap untuk mengantarkan kedua cucu Ki Lurah itu kembali ke padukuhan induk.

“Maaf, karena kalian mengunjungi barak prajurit, maka kami tidak memberikan hidangan kepada kalian. Makanan dan minuman yang ada tidak pantas disuguhkan kepada tamu-tamu yang terhormat, sehingga agaknya justru lebih baik tidak sama sekali,” berkata perwira muda itu.

“Ah tidak apa,” sahut Teja Prabawa, “sambutan yang ramah ini telah melampaui segala jenis hidangan apapun juga.”

Bertiga merekapun kemudian telah melangkah menuju ke pintu gerbang. Tetapi ketika mereka keluar dari pintu gerbang itu, mereka terkejut. Mereka masih melihat Glagah Putih duduk bersandar dinding dengan mata terpejam.

“He, kenapa anak itu belum pergi?” bertanya perwira muda itu.

“Ia tertidur sejak tadi. Ketika seorang prajurit membawa perintah kepadanya untuk kembali mendahului kedua cucu Ki Lurah Branjangan, anak itu sudah tidur pulas,” jawab prajurit yang bertugas.

“Kenapa kau biarkan ia bersandar dinding? Bukankah tidak ada orang yang boleh berkeliaran di dekat dinding barak ini?” bertanya perwira itu.

“Bukankah ia datang untuk mengantarkan kedua cucu Ki Lurah Branjangan?” prajurit itu ganti bertanya.

“Baiklah. Biarlah ia tidur. Jangan kau bangunkan. Kedua cucu Ki Lurah itu akan aku antarkan pulang,” berkata perwira itu.

Namun Rara Wulan tiba-tiba saja berkata, “Tetapi kasihan anak itu. Jika ia tidak segera terbangun, maka ia akan kehilangan banyak waktu dengan sia-sia.”

Teja Prabawa berpaling kepada adiknya sambil mengerutkan dahinya. Namun iapun kemudian berkata, “Sudahlah. Apa peduli kita dengan anak itu. Marilah.”

Rara Wulan tidak membantah. Mereka pun segera melangkah meninggalkan pintu gerbang barak itu menuju ke padukuhan induk.

Namun demikian mereka bertiga pergi, maka Glagah Putih pun menggeliat sambil tersenyum, “Terima kasih. Kau mampu bermain baik sekali.”

“Anak Setan,” geram prajurit itu, “pergilah.”

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Kau sudah kejangkitan penyakit anak Kotaraja itu?”

Prajurit itu pun tertawa, sementara kawannya bertugas pun tertawa pula.

Glagah Putih yang telah bangkit berdiri pun telah melangkah pula sambil berkata, “Aku minta diri. Dengan cara yang lebih baik pun kalian tidak akan memberi bekal apapun.”

“Awas. Aku bertugas di sini. Aku berhak melemparkan tombak ke punggungmu,” geram prajurit itu.

Glagah Putih tertawa. Sambil melambaikan tangannya ia menjawab, “Lihat. Tombakmu tumpul.”

Prajurit itu tidak menjawab. Tetapi iapun tertawa pula. Demikian pula kawannya bertugas. Ketika Glagah Putih menjadi semakin jauh kawannya itu berkata, “Anak yang sabar.”

“Ia telah memaksa diri. Kakak sepupunya-lah yang mengajarinya berlaku demikian. Kakak-kakak kita pernah mengalami latihan-latihan yang diberikan oleh Agung Sedayu di barak ini.”

“Aku juga pernah mengalami,” jawab kawannya.

Prajurit itu mengerutkan keningnya. Katanya, “Ya. Kau datang lebih dahulu dari aku.”

Dalam pada itu, Teja Prabawa dan Rara Wulan yang diantar oleh perwira muda dari Pasukan Khusus itu telah melintasi bulak dan menuju ke pinggir hutan. Ada keinginan Teja Prabawa untuk mengajak mereka berjalan lewat jalan lain. Tetapi rasa-rasanya memang agak segan. Perwira itu akan dapat menganggapnya sebagai seorang penakut.

Beberapa saat kemudian, mereka memang telah sampai ke jalan sempit di pinggir hutan. Jalan yang mereka lalui ketika mereka berangkat menuju ke barak Pasukan Khusus itu.

Memang terasa tengkuk kedua cucu Ki Lurah itu meremang. Namun perwira muda itu memang nampak sangat meyakinkan. Ia berjalan di paling depan, dengan pedang panjang tergantung di lambung.

Ketika jalan itu menjadi lekat dengan hutan, maka tiba-tiba saja mereka bertiga terkejut. Dari gerumbul perdu di pinggir hutan itu, tiba-tiba dua ekor binatang sebesar kucing yang gemuk bulat berloncatan kejar-mengejar.

“He!” Rara Wulan terpekik. Namun kemudian katanya, “Lucu sekali. Seperti kucing, tetapi tentu bukan kucing. Atau barangkali kucing raksasa.”

“Anak harimau,” berkata perwira itu.

“Anak harimau?” ulang Teja Prabawa.

“Ya,” wajah perwira itu memang menjadi tegang.

Namun Rara Wulan berkata, “Tolong tangkap, Kakang. Kita bawa kembali dan kita pelihara. Jika kita pelihara sejak kecil, maka harimau itu tentu tidak akan menjadi buas.”

Wajah Teja Prabawa menjadi tegang pula. Dipandanginya perwira muda itu sambil bertanya, “Apakah kita dapat menangkapnya?”

Perwira itu memang menjadi ragu-ragu. Tetapi didorong oleh keinginannya untuk menyenangkan Rara Wulan, maka katanya, “Tangkap sajalah.”

Teja Prabawa masih ragu-ragu pula. Iapun kemudian bertanya, “Bagaimana dengan induknya?”

Perwira itu termangu-mangu sejenak. Tetapi tiba-tiba saja ditengadahkan dadanya sambil meraba hulu pedangnya, “Aku akan menyelesaikannya.”

Rara Wulan memang tertarik melihat kedua ekor anak harimau yang lucu itu bekejar-kejaran tanpa menghiraukan orang-orang yang memperhatikannya itu. Sementara itu, Teja Prabawa pun telah melangkah mendekati kedua ekor harimau kecil yang kemudian berjemur di panasnya matahari.

Namun tiba-tiba saja mereka bertiga terkejut. Terdengar dari dalam hutan itu suara seekor harimau yang mengaum. Agaknya induk harimau itu sedang memanggil anak-anaknya yang tidak nampak di dekatnya.

“Harimau,” tiba-tiba saja Teja Prabawa dan Rara Wulan menjadi gemetar. Sementara perwira itu menjadi tegang. Dengan serta merta ia telah menarik pedangnya sambil berkata, “Kita memang harus melanjutkan perjalanan. Tetapi jika kau ingin menangkap kedua ekor harimau itu, tangkaplah. Aku akan membunuh induknya jika induk harimau itu marah.”

“Kau berani membunuh harimau itu?” bertanya Rara Wulan.

“Tentu. Aku adalah seorang perwira dari Pasukan Khusus,” jawab perwira itu yang dengan tegang memperhatikan gerumbul-gerumbul di pinggir hutan.

Ketika tiba-tiba dari sebuah gerumbul muncul sesuatu, maka perwira muda itu segera meloncat dengan tangkasnya sambil mengacukan pedangnya.

Namun ternyata yang muncul adalah Glagah Putih.

“Kau, Anak Dungu!” teriak perwira itu, “Hampir saja tubuhmu aku lubangi dengan ujung pedang ini.”

“Sebenarnya aku tidak akan mendekati kalian,” berkata Glagah Putih, “tetapi kalian telah melakukan sesuatu yang berbahaya. Anak-anak harimau itu akan selalu dibayangi oleh induknya.”

“Persetan,” geram perwira itu, “aku akan membunuh induk harimau itu.”

“Aku percaya bahwa kau mampu melakukannya. Tetapi jika kau bunuh induk harimau itu, maka harimau-harimau kecil itu akan mati juga. Harimau itu masih terlalu kecil untuk dipisahkan dari induknya,” jawab Glagah Putih.

“Bukan urusanmu!” bentak perwira itu, “Kami dapat memelihara harimau itu dengan baik.”

Glagah Putih menggeleng. Katanya, “Tidak. Tidak semudah itu memelihara anak harimau. Karena itu, lebih baik kalian tidak menangkapnya saja.”

“Pergi!” bentak Teja Prabawa, “Kau selalu mengganggu.”

“Bukan maksudku. Tetapi justru kalian jangan mengganggu kehidupan binatang hutan ini. Memang ada masanya seseorang pergi berburu. Tetapi tidak membunuh seekor harimau yang sedang menyusui. Pemburu yang paling garang pun tidak akan melakukannya. Apalagi kalian,” sahut Glagah Putih.

Wajah perwira muda itu menjadi tegang. Ia tidak dapat membantah kebenaran kata-kata Glagah Putih. Tetapi ia tidak ingin mengecewakan cucu perempuan Ki Lurah Branjangan itu.

Selagi perwira muda itu ragu-ragu, maka Rara Wulan pun tiba-tiba telah berkata, “Baiklah. Aku tidak ingin membawa anak macan itu. Nampaknya induknya akan dapat menjadi marah dan berbahaya, sedangkan tidak sepantasnya harimau yang sedang menyusui itu dibunuh.”

Perwira muda itu menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia memang lebih suka tidak berkelahi melawan seekor harimau betina yang sedang menyusui. Harimau yang demikian dapat menjadi sangat garang dan berbahaya. Meskipun ia akan mungkin dapat membunuhnya, tetapi ia sendiri tentu akan terluka cukup parah.

Dalam pada itu, ternyata aum harimau yang terdengar lagi telah membuat kedua cucu Ki Lurah itu semakin ingin dengan cepat meninggalkan tempat itu. Karena itu, maka Teja Prabawa pun berkata, “Baiklah. Jika Wulan tidak lagi menghendaki, marilah. Kita lanjutkan perjalanan kita. Aku tidak mau lagi diganggu anak itu.”

Glagah Putih tersenyum. Ia mengerti, bahwa sebenarnya cucu Ki Lurah itu menjadi ketakutan mendengar aum harimau yang terdengar menjadi semakin dekat.

Demikianlah, maka ketiga orang itu pun dengan tergesa-gesa telah melanjutkan perjalanan mereka. Mereka melintas jalan di pinggir hutan itu dengan cepat. Seperti semula maka perwira muda itulah yang berjalan di paling depan. Pedangnya masih saja digenggam di tangannya. Di belakangnya Teja Prabawa dan Rara Wulan berlari-lari mengikutinya.

Ketika terdengar lagi aum harimau di hutan memanggil anak-anaknya, maka ketiga orang itu berjalan semakin cepat. Mereka menjadi agak tenang ketika mereka telah melintasi jalan yang semakin menjauhi hutan yang mendebarkan itu. Semakin lama semakin jauh, sehingga akhirnya memasuki sebuah padang perdu.

Rasa-rasanya harimau itu tidak akan mengejar mereka sampai ke tempat itu, karena anak-anaknya berada jauh di belakang mereka.

Ketika Rara Wulan sempat berpaling, ia tidak melihat Glagah Putih di belakang mereka. Gadis itu memang menjadi heran. Rasa-rasanya anak Tanah Perdikan itu sama sekali tidak merasa cemas mendengar suara harimau mengaum dengan dahsyatnya itu. Bahkan anak Tanah Perdikan itu tidak pula meninggalkan tempat itu dengan cepat meskipun ia juga mendengar aum harimau itu.

Tetapi Rara Wulan tidak sempat memperhatikan anak pedesaan itu lebih lama. Ia harus berlari-lari mengikuti perwira muda yang berjalan terlalu cepat. Namun semakin mereka jauh dari hutan, maka langkahnya pun menjadi semakin lambat.

Ketika mereka memasuki bulak persawahan, maka perwira itu telah menyarungkan pedangnya sambil berkata, “Harimau itu tidak akan sempat sampai ke tempat ini.”

Raden Teja Prabawa menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya dadanya telah menjadi lapang. Tengkuknya yang meremang tidak lagi memberatinya. Seakan-akan di tengkuk itu seekor harimau akan menerkam dan menghunjamkan gigi-giginya yang tajam.

Namun dalam pada itu, perwira muda itu berkata, “Harimau itu ternyata masih bernasib baik. Nyawanya masih lebih dari hari ini.”

“Kenapa?” bertanya Raden Teja Prabawa.

“Jika saja anak padesan Tanah ini tidak mencegahnya, harimau itu tentu sudah dikuliti,” jawab perwira muda itu.

“Tetapi anak itu benar,” potong Rara Wulan, “jika harimau itu mati, maka anak-anaknya pun akan mati. Anak-anak harimau itu tentu sangat memerlukan kehadiran induknya. Bukan saja untuk menyusuinya, tetapi juga untuk melindunginya.”

Perwira muda itu mengerutkan keningnya. Tetapi iapun mengangguk-angguk sambil berkata, “Ya, Aku mengerti.”

Demikianlah, maka mereka bertiga telah melintasi beberapa bulak dan padukuhan. Beberapa orang anak muda yang berpapasan dengan mereka merasa heran, bahwa kedua orang anak muda dari Kotaraja itu tidak lagi bersama-sama dengan Glagah Putih. Tetapi bersama seorang perwira muda dari Pasukan Khusus, menilik pakaiannya.

Tetapi tidak seorang pun di antara mereka yang bertanya. Anak muda dari Kotaraja itu nampaknya tidak begitu ramah, sementara perwira yang mengantarkan mereka berjalan seperti seorang prajurit yang sedang memimpin pasukan.

Ternyata bahwa mereka memang memerlukan waktu yang agak lama untuk berjalan sampai ke padukuhan induk. Rara Wulan yang menjadi letih, harus beristirahat beberapa saat di sebuah gubug yang kosong. Sehingga dengan demikian, maka mereka telah melampaui waktunya makan siang.

Tetapi ketika perwira itu menawarkan untuk makan di sebuah kedai, kedua cucu Ki Lurah itu menolak.

Baru menjelang sore hari, mereka sampai di padukuhan induk. Kedua cucu Ki Lurah nampak sangat letih. Namun perwira muda itu wajahnya masih saja nampak cerah.

Tetapi mereka memang agak terkejut ketika demikian mereka memasuki halaman rumah Ki Gede, mereka melihat Glagah Putih telah duduk di serambi gandok bersama Agung Sedayu dan Ki Lurah Branjangan sendiri. Mereka bertiga pun kemudian telah berdiri dan menyongsong perwira muda yang mengantarkan kedua cucu Ki Lurah itu.

“Marilah anakmas,” Ki Lurah mempersilahkan perwira muda itu.

Perwira muda itu mengangguk hormat. Dengan nada rendah ia berkata, “Maaf Ki Lurah. Aku datang untuk mengantarkan cucu Ki Lurah.”

Kedua cucu Ki Lurah itu pun kemudian telah melangkah mendekati kakeknya. Namun Rara Wulan sempat bertanya kepada perwira muda itu, “Kau sudah mengenal Kakek?”

“Ki Lurah pernah datang ke barak. Tidak hanya sekali,” berkata perwira itu, “tetapi mungkin Ki Lurah belum mengenal aku.”

“Marilah. Duduklah,” Ki Lurah mempersilahkan, “aku menjadi pengganti tuan rumah yang sedang beristirahat di dalam.”

Perwira muda itu pun kemudian telah duduk di serambi itu pula bersama Agung Sedayu dan Glagah Putih. Kedua cucu Ki Lurah itu pun telah ikut pula duduk bersama mereka, meskipun dengan perasaan agak segan karena di situ hadir pula Glagah Putih. Terutama Raden Teja Prabawa. Tetapi sudah tentu ia tidak dapat minta kepada kakeknya untuk mengusir anak itu.

“Anakmas,” berkata Ki Lurah, “maaf, aku orang tua agaknya memang sudah pikun. Anakmas sudah mengenali aku, tetapi aku tidak dapat mengenali Anakmas. Siapakah sebenarnya Anakmas?”

“Aku salah seorang perwira pemimpin kelompok prajurit pada Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan ini,” jawab perwira muda itu.

“O,” Ki Lurah mengangguk-angguk. Lalu, “Nama Anakmas?”

“Namaku Wirastama. Orang memanggilku Nagasura,” jawab perwira muda itu.

“Bagus sekali,” jawab Ki Lurah, “nama Anakmas bagus sekali. Gelar Anakmas sangat meyakinkan. Sementara gelar Senapati di barak Pasukan Khusus yang sekarang adalah Nagageni.”

“Aku adalah adiknya,” jawab Wirastama.

“Jadi Anakmas adik dari Senapati yang memimpin barak itu?” bertanya Ki Lurah.

“Ya Ki Lurah. Adik kandungnya,” jawab Wirastama.

“Itulah agaknya Anakmas seakan-akan telah memancarkan cahaya dari ubun-ubunnya,” berkata Ki Lurah.

“Ah. Ki Lurah ada-ada saja,” desis Wirastama.

Sementara itu Ki Lurah pun bertanya, “Bagaimana aku memanggil Anakmas? Wirastama atau Nagasura?”

“Panggil saja namaku Ki Lurah. Pada saatnya jika aku telah menghasilkan satu karya keprajuritan yang bernilai tinggi, aku akan mempergunakan sebutanku.”

“Gelar itu maksud Anakmas?” sahut Ki Lurah.

“Jangan disebut sebagai gelar,” desis perwira muda itu.

Ki Lurah Branjangan tertawa. Katanya, “Itu memang gelar.”

“Bukan. Gelar adalah nama yang diberikan oleh atasan kita atau sebutan yang dikurniakan oleh Panembahan Senapati. Sedangkan sebutan itu hanya diberikan oleh kakakku, sebagaimana sebutan bagi dirinya sendiri,” jawab perwira itu.

“Tetapi bukankah kakakmu lebih senang memakai gelarnya daripada namanya sendiri?” bertanya Ki Lurah. Perwira itu hanya tersenyum saja.

Namun dalam pada itu, adalah di luar dugaan jika tiba-tiba saja Raden Teja Prabawa yang ingin mengalihkan pembicaraan telah bertanya kepada kakeknya, “Kakek, seorang perwira yang telah tua berkata bahwa ada banyak pelatih di barak itu pada saat Kakek memegang jabatan di barak itu. Apakah itu benar?”

Ki Lurah mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia menjawab, “Ya. Memang. Kenapa?”

“Jadi kakek tidak melakukannya sendiri?” bertanya cucunya.

“Tentu tidak. Meskipun Kakek juga memberikan latihan-latihan, tetapi tentu ada orang lain yang membantu. Mungkin dari unsur-unsur yang berbeda dari yang Kakek berikan, karena ilmu yang harus dikuasai oleh seorang prajurit itu bermacam-macam. Antara lain ilmu kanuragan secara pribadi. Ilmu perang gelar, dan ilmu-ilmu yang lain. Dalam olah senjata pun diperlukan berbagai macam pengetahuan khusus. Ilmu pedang, ilmu tombak dan berbagai macam ilmu yang lain. Senjata bertangkai, senjata dengan hulu pendek, senjata lentur dan lain-lain.”

“Tetapi Kakek,” bertanya Teja Prabawa, “apakah benar bahwa Kakek harus minta bantuan anak-anak muda Tanah Perdikan ini untuk melatih para prajurit dari Pasukan Khusus?”

Ki Lurah mengerutkan keningnya pula. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Maksudnya? Yang benar adalah, bahwa beberapa orang anak-anak muda Tanah Perdikan ini memang ikut menjadi prajurit dalam Pasukan Khusus.”

“Jadi bukan anak-anak Tanah Perdikan ini melatih Pasukan Khusus?” desak Teja Prabawa.

Sambil tersenyum Ki Lurah menggeleng.

“Nah, jika demikian perwira tua yang pikun itu tentu berbohong jika mengatakan bahwa Agung Sedayu telah ikut melatih pasukan di barak itu,” berkata Teja Prabawa selanjutnya.

Pernyataan itu benar-benar mengejutkan. Ki Lurah sama sekali tidak mengira bahwa hal itulah yang dimaksudkan oleh cucunya. Apalagi langsung ditanyakan di hadapan Agung Sedayu sendiri.

Namun justru Agung Sedayu-lah yang menjawab, “Ki Lurah benar, tidak ada anak-anak muda Tanah Perdikan yang menjadi pelatih di barak itu. Apalagi aku.”

Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Ia mengenal Agung Sedayu dengan baik. Ia sudah tahu pasti bahwa Agung Sedayu akan menjawab seperti itu. Tetapi Ki Lurah memang ingin memperkenalkan satu dunia yang lain dari dunia sempit cucu-cucunya, yang seakan-akan hanya dibatasi oleh satu lingkungan kecil halaman rumahnya. Sementara ayahnya telah mengajarinya menjadi seorang anak muda yang disegani, ditakuti dan dipatuhi apa saja yang dikatakannya oleh pengawal, pembantu dan pelayan-pelayannya di rumahnya. Tetapi kedua cucu-cucunya itu jarang sekali bersentuhan dengan kerasnya kehidupan di luar dinding rumahnya.

Karena itu, maka tiba-tiba saja Ki Lurah itu menjawab juga di luar dugaan, “Memang benar anak-anak. Agung Sedayu bukan menjadi pelatih bagi para prajurit di Pasukan Khusus itu, tetapi Agung Sedayu justru menjadi pelatih para pelatihnya.”

“Ah,” Agung Sedayu justru tertawa. Lalu katanya kepada kedua cucu Ki Lurah, “Kakek kalian memang pandai bergurau. Itulah sebabnya Ki Lurah akan panjang umur.”

Raden Teja Prabawa mengerutkan keningnya. Ia tidak terbiasa mendengar kelakar seperti itu, sehingga menurut pendapatnya, mereka seakan-akan tidak bersungguh-sungguh menanggapi persoalan yang ditanyakannya. Kakeknya biasanya tidak pula bergurau seperti itu. Meskipun kadang-kadang mereka juga bicara tentang beberapa hal yang membuat mereka tertawa, namun tidak berkesan sekedar asal saja melontarkan kata-kata.

Karena itu Raden Teja Prabawa yang merasa dipermainkan itu justru terdiam. Bahkan kemudian iapun berkata kepada kakeknya, “Kakek, aku merasa letih, Aku akan beristirahat.”

“Tunggu,” cegah kakeknya, “bukankah kau mempunyai tamu dari barak Pasukan Khusus?”

“O,” Raden Teja Prabawa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Maaf. Aku hampir lupa.”

Tetapi perwira muda itu justru berkata, “Sebaiknya kalian memang beristirahat. Aku justru akan mohon diri. Aku harus segera kembali ke barak, sebagaimana pesan Senapati.”

“Kami mengucapkan terima kasih,” berkata Teja Prabawa.

“Ah. Bukan apa-apa. Besok atau kapan saja aku akan datang kemari. Mungkin kita dapat berjalan-jalan di Tanah Perdikan ini. Menyusuri ujung sampai ke ujung,” berkata perwira itu.

“Terima kasih,” sahut Teja Prabawa, “kami akan sangat bergembira atas kesediaan itu.”

Tetapi justru Ki Lurah yang menyahut, “Terima kasih Anakmas Wirastama. Tetapi sudah tentu kami tidak ingin merepotkan Anakmas. Tugas-tugas Anakmas sebagai seorang perwira di Pasukan Khusus itu tentu sudah memerlukan waktu yang banyak. Karena itu Anakmas tidak perlu begitu memperhatikan cucu-cucuku.”

“Ah,” Wirastama tertawa meskipun agak pahit, “aku akan dapat membagi waktuku sebaik-baiknya. Apalagi Senapati tertinggi di barak itu adalah kakakku sendiri.”

“Ah. Jangan begitu Anakmas. Justru Anakmas adalah adik kandung pimpinan barak Pasukan Khusus, maka Anakmas harus dapat menunjukkan contoh yang terbaik bagi para prajurit yang lain” berkata Ki Lurah.

Perwira muda itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun berkata, “Baiklah. Aku minta diri.”

“Aku mengharap kedatanganmu besok,” berkata Teja Prabawa.

Perwira itu menjawab meskipun ragu, “Baiklah. Besok aku akan datang.” Lalu kepada Rara Wulan ia mengangguk sambil berkata, “Aku minta diri.”

Rara Wulan mengangguk pula sambil berdesis, “Silahkan.”

“Apakah kau tidak mengucapkan terima kasih?” bertanya kakaknya.

Rara Wulan termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian berkata, “Terima kasih.”

Perwira muda itu tersenyum sambil mengangguk-angguk kecil. Katanya kemudian, “Tunggu aku besok. Aku pasti datang. Jangan pergi sebelum aku datang.”

“Ya. Kami akan menunggu,” jawab Teja Prabawa.

Perwira itu pun kemudian telah meninggalkan rumah itu. Ia tidak bersedia menunggu dan bertemu dengan Ki Gede ketika Ki Lurah menanyakan kepadanya.

“Tidak perlu Ki Lurah. Tidak ada kepentingan apapun dengan Ki Gede. Aku hanya mengantar cucu-cucu Ki Lurah saja,” jawab perwira itu.

Sepeninggal perwira itu Teja Prabawa telah berkata kepada kakeknya, “Kek, bagaimanakah jika Wirastama itu kemudian bercerita kepada kakaknya yang menjabat sebagai Senapati di barak itu?”

“Bercerita tentang apa?” bertanya Ki Lurah.

“Nampaknya Kakek berkelakar tentang Agung Sedayu yang pernah melatih para pelatih. Tetapi jika perwira itu mengatakannya kepada Ki Nagageni, Senapati tertinggi di barak itu, ia akan dapat tersinggung,” berkata Teja Prabawa.

“Kenapa orang itu tersinggung? Ia tidak perlu merasa tersinggung. Hal itu terjadi di saat Kakek memegang pimpinan di barak itu. Dan Kakek tidak pernah merasa tersinggung karenanya. Justru Kakek merasa berterimakasih kepada Agung Sedayu.” Ki Lurah berhenti sejenak, lalu, “Atau kau nampaknya tidak percaya, bahwa Agung Sedayu pernah melatih para pelatih di barak itu.”

“Tetapi perlu dijelaskan Ki Lurah,” potong Agung Sedayu, “melatih dalam hal apa? Tentu bukan dalam olah kanuragan.”

Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Nampaknya Agung Sedayu masih saja seperti dikenalnya dahulu. Ia lebih suka berendah hati dan tidak menanggapi sikap-sikap yang agak kasar seperti sikap Teja Prabawa itu.

Namun agak berbeda dengan Agung Sedayu, Glagah Putih rasa-rasanya ingin meloncat dan menampar mulut anak muda itu. Tetapi ia tidak berani melakukannya karena kakak sepupunya telah berpesan kepadanya, agar ia bersikap baik sebagai tuan rumah.

Tetapi Teja Prabawa sendiri nampaknya sudah tidak berminat lagi berbicara di serambi itu bersama kakek dan orang-orang padesan, sehingga iapun kemudian telah masuk ke dalam biliknya di gandok rumah Ki Gede yang besar itu.

Rara Wulan ternyata menjadi bimbang. Apakah ia akan masuk juga ke dalam biliknya atau ikut duduk bersama kakeknya. Namun dari dalam biliknya kakaknya memanggilnya.

“Kek, kakak memanggil,” desis Rara Wulan.

Ki Lurah menangguk. Katanya, “Beristirahatlah.”

Rara Wulan pun telah meninggalkan kakeknya dan pergi ke dalam biliknya pula.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar