Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 232

Buku 232

Orang itu tersenyum. Katanya, “Ternyata kau memang memiliki kemampuan mempergunakan nalarmu. Itulah sebabnya rencana Jaka Rampan telah gagal. Agaknya kau memang lebih cerdik dari adik seperguruanmu, anak Demang Sangkal Putung itu. Tetapi agaknya benar juga kata orang, bahwa ilmu anak Ki Demang itu lebih tinggi dari ilmumu.“

“Biarlah orang lain menilai perbandingan ilmu kami,“ berkata Agung Sedayu, “tetapi satu hal yang harus kau ketahui Ki Sanak, bahwa aku tidak akan singgah di padepokanmu. Persoalan Jaka Rampan bukan persoalanku lagi.“

“Begitu mudahnya kau mencuci tangan?“ bertanya guru Jaka Rampan.

Agung Sedayu tersenyum. Sambil memasukkan potongan terakhir tasikannya ke dalam mulutnya, ia berkata, “Aku kira yang paling mudah aku lakukan memang mencuci tangan.“

Wajah orang itu menjadi tegang. Tetapi ia masih duduk dengan tenang. Untuk beberapa saat orang yang mengaku guru Jaka Rampan itu berdiam diri. Kawan-kawannya-lah yang nampak menjadi gelisah. Seakan-akan mereka tidak sabar lagi menunggu, Bagi mereka, maka langkah yang paling baik adalah memaksa Agung Sedayu untuk mengikuti mereka ke padepokan.

Namun sementara itu Glagah Putih dan Sekar Mirah pun menjadi gelisah pula. Mereka menyadari, bahwa ternyata mereka telah menjumpai persoalan yang tidak mereka perhitungkan sebelumnya. Mereka mengira bahwa persoalan Jaka Rampan itu sudah selesai dan untuk selanjutnya menjadi tanggung jawab para senapati di Mataram.

Tetapi tiba-tiba saja mereka telah bertemu dengan orang yang mengaku guru Jaka Rampan, yang tentu saja gurunya sebelum Jaka Rampan memasuki tugas keprajuritan. Orang itu sengaja atau tidak sengaja telah mengaku, bahwa justru orang itulah yang telah menggerakkan Jaka Rampan untuk menyusup ke belakang garis pertahanan Madiun yang sedang berselisih pendapat dengan Mataram.

Beberapa saat kemudian, ternyata guru Jaka Rampan itupun berkata, “Agung Sedayu. Aku tahu, kau pun memiliki kemampuan yang tinggi, meskipun aku tidak tahu pasti, apakah benar ilmumu belum setataran dengan saudara seperguruanmu. Apalagi kau baru saja terluka parah, meskipun aku juga tidak tahu, siapakah yang telah melukaimu itu. Tetapi menurut pendengaranku, orang itu adalah orang yang berilmu sangat tinggi pula. Namun yang telah berhasil kau bunuh di pedepokam kecil gurumu. Tetapi tentu setiap orang akan memperhitungkan peranan gurumu dalam hal ini. Gurumu yang namanya menjulang setinggi Gunung Merapi itu, tentu akan dapat membantumu meskipun ia dalam keadaan sakit. Sehingga dengan demikian, maka kau tidak terbunuh oleh lawanmu itu.“

Glagah Putih yang tidak sadar lagi, telah bergeser setapak. Hampir saja mulutnya menjawab. Tetapi Agung Sedayu mendahului, “Bukankah hal itu wajar? Seorang guru memang wajib membantu muridnya jika muridnya dalam keadaan gawat. Apalagi muridnya tidak melakukan langkah-langkah yang bertentangan dengan paugeran. Bahkan berusaha menegakkannya.“

“Tetapi sekarang, gurumu itu tidak ada di sini Agung Sedayu,“ berkata guru Jaka Rampan itu.

“Dalam keadaan yang demikian, maka aku harus bersandar pada kemampuanku sendiri. Namun ada sandaranku yang lebih kokoh dari segalanya. Yang Maha Adil akan menilai langkah-langkah kita. Apakah benar yang kau tawarkan itu memang sudah cukup adil,“ jawab Agung Sedayu.

“Kau menjengkelkan aku Agung Sedayu,“ berkata guru Jaka Rampan. Lalu, “Semula aku ingin membuat perjanjian dengan baik-baik. Selama Jaka Rampan belum dibebaskan, aku persilahkan kau tinggal di padepokanku. Tetapi pembicaraan kita telah mengarah ke tingkat yang lebih keras daripada sekedar membuat rencana yang saling kita setujui.“

“Lupakan saja perjanjian yang kau siapkan itu Ki Sanak,“ berkata Agung Sedayu, “kami akan meneruskan perjalanan kami kembali ke Tanah Perdikan Menoreh yang tentu sudah menunggu. Apalagi jika mereka yang ada di Tanah Perdikan itu mendengar bahwa aku telah terluka parah di Jati Anom, sementara guruku sedang sakit.“

“Agung Sedayu,“ berkata guru Jaka Rampan, “kemungkinan seperti itu bukannya tidak aku perhitungkan. Karena itu, maka aku pun telah siap memaksamu. Terserah kepadamu, apakah kita akan bertempur di sini, di jalan itu, atau kita masuk saja ke dalam hutan agar tidak mengganggu orang lain. Siapa yang kalah, harus tunduk kepada yang menang, kecuali jika terlanjur mati.“

“Kalau itu yang kau tawarkan, maka aku tidak dapat menolak. Sebab seandainya aku menolak, maka kau pun tentu akan memaksaku,“ jawab Agung Sedayu. Namun kemudian katanya, “Tetapi kau harus ingat, bahwa bukan aku-lah yang membuat perkara ini. Kau-lah yang agaknya telah membuat langkah yang salah atas murid-muridmu, karena kau ingin memanfaatkan muridmu bagi kepuasan hatimu. Sementara kau menginginkan kepuasan dari sebuah dendam yang membakar jantungmu. Bukankah dengan demikian kau sendiri-lah yang telah menjerumuskan muridmu ke dalam kesulitan?“

“Karena itu, aku harus membebaskannya,“ berkata guru Jaka Rampan. Lalu, “Nah, sekarang apa yang akan kita lakukan?“

“Terserah kepadamu,“ jawab Agung Sedayu.

“Masuklah ke dalam hutan. Aku akan mengikutimu agar tidak ada kesan bahwa aku telah menjebakmu. Kau-lah yang memilih tempat,“ berkata guru Jaka Rampan.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Iapun kemudian berpaling kepada Sekar Mirah dan Glagah Putih, “Marilah. Kita penuhi keinginan saudara kita itu.“

Glagah Putih dan Sekar Mirah tidak menjawab. Keduanya pun kemudian bangkit pula dan berjalan keluar kedai itu, sementara Agung Sedayu sempat menghitung minuman dan makanan yang telah mereka makan dan membayarnya.

Namun dalam pada itu, guru Jaka Rampan itu pun menjadi berdebar-debar ketika dilihatnya tongkat baja putih di tangan Sekar Mirah. Tongkat baja putih dengan kepala tengkorak yang berwarna kekuning-kekuningan. Senjata lambang kekerasan yang jarang ada yang dapat mematahkannya. Tetapi orang itu berkata di dalam hatinya, “Senjata itu sendiri tidak dapat berbuat apa-apa. Tergantung sekali kepada pemiliknya.“

Namun orang itu pun telah mendengar pula keterangan beberapa orang yang pernah berbicara tentang Sekar Mirah. Bahkan adik Swandaru itu adalah seorang perempuan yang memiliki ilmu yang tinggi pula. Sedangkan saudara sepupu Agung Sedayu itu juga seorang anak yang masih muda namun yang telah membekali dirinya dengan ilmu yang hampir mapan.

Karena itu, ketika Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih telah keluar dari kedai itu, orang yang menyebut dirinya guru Jaka Rampan itu pun berkata kepada kawan-kawannya, “Kita ikuti mereka. Tetapi hati-hatilah. Kalian sudah pernah mendengar tentang mereka bertiga. Agung Sedayu sendiri, istrinya yang membawa tongkat yang mendebarkan, karena tongkat seperti itu pula yang dimiliki oleh Macan Kepatihan di Jipang. Aku tidak tahu hubungan perempuan itu dengan Macan Kepatihan, tetapi nampaknya aliran ilmu mereka bersumber dari perguruan yang satu. Sedangkan anak yang masih sangat muda itu adalah sahabat Raden Rangga yang tidak dapat ditakar ilmunya itu.“

Ketiga kawan-kawannya mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka berkata, “Kita tidak pernah silau menghadapi lawan yang bagaimanapun juga. Sementara itu Agung Sedayu yang baru saja sembuh dari luka-lukanya yang parah, tentu masih belum mencapai tingkat kemampuannya sebagaimana sebelumnya.“

“Agung Sedayu nampaknya sudah pulih sepenuhnya. Kita harus berhati-hati,“ berkata guru Jaka Rampan itu.

Mereka berempat pun sejenak kemudian telah meninggalkan tempatnya, setelah orang yang rambutnya keputih-putihan dan menyebut dirinya guru Jaka Rampan itu membayar harga makanan dan minumannya serta kawan-kawannya.

Di luar, mereka melihat Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih tengah mengambil kuda mereka. Kepada orang yang mengurusi kuda-kuda itu Agung Sedayu telah memberikan beberapa keping uang.

Guru Jaka Rampan itu pun kemudian telah berkata kepada Agung Sedayu ketika orang itu mengambil kudanya pula, “Kau-lah yang memilih tempat. Mungkin tempat itu akan menjadi kuburmu pula jika kau berkeras menolak tawaranku.“

Agung Sedayu tidak menjawab. Bersama Sekar Mirah dan Glagah Putih maka mereka pun telah meninggalkan halaman kedai, menyusuri jalan yang cukup banyak dilalui orang itu.

“Apakah kita akan masuk ke dalam hutan?“ bertanya Glagah Putih.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sambil berpaling kepada Sekar Mirah ia berkata, “Bagaimana menurut pendapatmu?“

“Terserah kepada Kakang,“ jawab Sekar Mirah, “tetapi aku pun telah siap untuk mempertahankan diri.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Apa boleh buat. Kita sudah berusaha sejauh mungkin untuk menghindari kekerasan. Tetapi agaknya persoalan-persoalan itu datang beruntun mengejar kita.“

Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi ia menyadari, bahwa Agung Sedayu sendiri sebenarnya tidak menghendaki pertengkaran seperti itu terjadi. Namun ia memang tidak dapat mengelak.

Karena itu, ketika mereka melihat sebuah lorong sempit memasuki Alas Tambak Baya, maka Agung Sedayu pun berkata, “Kita akan mengambil lorong itu.“

Sekar Mirah hanya mengangguk saja. Ketika kemudian Agung Sedayu benar-benar berbelok memasuki lorong itu, iapun telah mengikutinya pula. Di paling belakang adalah Glagah Putih yang duduk di atas kudanya yang tegar yang diterimanya dari Raden Rangga. Beberapa saat kemudian, maka mereka telah berada di dalam Alas Tambak Baya. Ketika mereka menemukan tempat yang agak lapang, maka Agung Sedayu pun telah berhenti.

“Kita menunggu mereka di sini,“ desis Agung Sedayu.

Mereka bertiga pun telah berloncatan turun. Ditambatkannya kuda-kuda mereka pada batang-batang pohon yang tumbuh di hutan yang lebat itu. Untuk beberapa saat mereka menunggu sambil mengamati lingkungan di sekitar mereka. Pohon-pohon yang tumbuh pepat. Batang-batang perdu dan tanah yang lembab.

“Kenapa tempat ini menjadi agak lapang?“ bertanya Glagah Putih tiba-tiba.

“Kau lihat batu-batu padas di bawah kaki kita?“ bertanya Agung Sedayu pula.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Agaknya mereka berada di atas bebatuan, sehingga tidak sebatang pohon besar pun yang tumbuh. Hanya pohon-pohon perdu saja-lah yang lebat menutupi batu-batu padas yang keras.

Beberapa saat kemudian, maka mereka bertiga pun telah melihat empat orang di atas punggung kuda pula memasuki tempat itu. Dengan tenang mereka pun turun dari kuda mereka. Sebagaimana Agung Sedayu, maka mereka pun telah menambatkan kuda-kuda mereka pula.

“Sungguh satu sikap yang terpuji,“ berkata guru Jaka Rampan itu, “dengan demikian maka kebesaran nama Agung Sedayu bukannya sekedar bualan orang-orang yang mengaguminya.“

“Sudahlah,“ berkata Agung Sedayu, “kau tidak usah berpura-pura memujiku. Sekarang, cara penyelesaian yang manakah yang kau inginkan?“

“Aku masih tetap menawarkan kesempatan terbaik bagimu. Singgah di padepokanku,“ berkata guru Jaka Rampan.

“Jangan kau sebut lagi. Kau sudah tahu jawabanku,“ desis Agung Sedayu.

Orang yang mengaku sebagai guru Jaka Rampan itu memandang Agung Sedayu dengan tajamnya. Namun kemudian ia berkata, “Agung Sedayu. Jika kau tidak mau menerima tawaranku, kau tentu akan kehilangan segala kesempatan. Bahkan bukan hanya kau saja yang harus terkubur di sini. Tetapi istri dan adik sepupumu itu pun akan menanggung akibat kesalahanmu pula. Tetapi jika kau bersedia, aku akan membiarkan mereka pergi justru untuk memberitahukan kepada Untara, bahwa kita telah membuat satu perjanjian.“

Tetapi Agung Sedayu menjawab, “Ki Sanak. Apapun yang terjadi, tetapi kau tidak akan dapat memaksaku. Ku lihat bahwa istriku juga menjinjing senjata. Itu adalah satu pertanda bahwa ia tidak akan menyerah begitu saja. Sementara sepupuku, meskipun masih sangat muda, namun ia akan berusaha mempertahankan dirinya. Karena itu, maka kau jangan menakut-nakuti kami.“

“Baiklah,“ berkata guru Jaka Rampan itu, “kau telah memilih. Dengan demikian maka tidak seorangpun yang dapat menyalahkan aku. Kau pun jangan menyangka bahwa aku melawanmu justru karena kau baru saja sembuh dari sakitmu yang parah.“

“Aku sudah pulih kembali,“ berkata Agung Sedayu, “jika aku kalah, maka kau benar-benar memiliki ilmu melampaui takaran ilmuku. Bukan karena aku baru saja sembuh dari lukaku yang parah.“

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau memang sombong sekali. Tetapi kesombonganmu kali ini adalah kesombonganmu yang terakhir.“

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak menjawab.

Dalam pada itu, orang yang mengaku guru Jaka Rampan itu pun berkata kepada orang-orangnya, “Jaga agar istri dan sepupu Agung Sedayu itu tidak melarikan diri. Aku akan menyelesaikan Agung Sedayu lebih dahulu. Aku ingin istri dan sepupunya melihat, bagaimana Agung Sedayu mati di tanganku, sehingga dengan demikian akan lenyaplah segala kebanggaan mereka atas seorang yang bernama Agung Sedayu itu. “

Glagah Putih-lah yang menggeram. Tetapi ia masih menahan diri. Ia ingin melihat, apa saja yang dapat dilakukan oleh orang yang menyebut dirinya guru Jaka Rampan itu. Bahkan tiba-tiba saja timbul keinginan Glagah Putih untuk menilai kemampuan Agung Sedayu yang bertempur dengan guru dari orang yang pernah dikalahkan oleh Swandaru.

“Jika Kakang Swandaru bertempur melawan muridnya, maka Kakang Agung Sedayu akan bertempur melawan gurunya,“ berkata Glagah Putih di dalam hatinya.

Dalam pada itu, maka ketiga orang kawan dari orang yang menyebut dirinya guru Jaka Rampan itupun telah memencar. Mereka menjaga agar tidak seorangpun di antara ketiga orang yang menjadi sasaran mereka itu sempat melarikan diri.

Sejenak kemudian guru Jaka Rampan dan Agung Sedayu pun telah bersiap. Untuk beberapa saat mereka berdiri berhadapan. Namun tiba-tiba saja guru Jaka Rampan itu telah meloncat menyerang. Meskipun serangan itu belum merupakan serangan yang menentukan, namun ternyata bahwa guru Jaka Rampan itu memang memiliki kekuatan yang sangat besar.

Agung Sedayu bergeser selangkah. Ia berhasil mengelakkan serangan itu. Namun lawannya itu pun telah meloncat pula. Dengan kakinya ia menyerang ke arah dadanya.

Sekali lagi Agung Sedayu bergeser. Tetapi lawannya itu pun tiba-tiba telah menyerang dengan putaran kakinya mendatar. Dengan sengaja Agung Sedayu tidak menghindari serangan itu. Sambil menjajagi kekuatan lawannya, Agung Sedayu menangkis serangan itu dengan kedua tangannya. Ternyata benturan itu telah memberikan takaran bagi keduanya. Guru Jaka Rampan itu pun segera mengetahui, bahwa Agung Sedayu memang memiliki kekuatan yang cukup besar. Iapun menyadari, bahwa yang membentur serangannya itu tentu belum seluruh kekuatan yang tersimpan di dalam diri Agung Sedayu.

Demikianlah, maka guru Jaka Rampan itu semakin mempercepat tata geraknya. Namun Agung Sedayu mampu mengimbanginya, meskipun setingkat demi setingkat lawannya mempertajam ilmunya yang menjadi semakin berbahaya.

Sekar Mirah dan Glagah Putih berdiri tegak mengamati pertempuran itu. Namun mereka berdua belum melihat kelebihan masing-masing. Agaknya keduanya masih berusaha untuk saling menjajagi. Namun pertempuran itu memang menjadi semakin cepat. Guru Jaka Rampan bertempur semakin keras. Namun semakin lama memang menjadi semakin jelas, bahwa orang itu memang memiliki unsur-unsur gerak sebagaimana diperlihatkan oleh Jaka Rampan saat ia bertempur melawan Swandaru. Tetapi mereka yang menyaksikan itu pun segera menyadari, bahwa bobot ilmu orang itu memang lebih mapan dari Jaka Rampan. Orang itu mampu bergerak lebih cepat, ayunan serangan yang lebih berbahaya dari yang pernah diperlihatkan oleh Jaka Rampan. Sementara mereka menyadari bahwa apa yang diperlihatkan oleh guru Jaka Rampan itu masih berada pada tataran permulaan. Dengan demikian maka Sekar Mirah dan Glagah Putih menyadari pula, bahwa guru Jaka Rampan itu tentu memiliki ilmu yang sangat tinggi.

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja ia merasa iba terhadap Agung Sedayu. Demikian ia sembuh, maka tiba-tiba lawan yang baru pun telah menunggu. Tetapi dalam keprihatinan, ada juga kebanggaan pada diri Sekar Mirah. Bahwa suaminya yang mendapat kurnia kelebihan dan orang kebanyakan itu telah mengetrapkan ilmunya bagi pengabdian atas sesama. Bagi kewajibannya sebagai seorang kawula yang baik, dalam batas-batas tanggung jawabnya.

Dengan debar di hati yang semakin cepat, maka Sekar Mirah menyaksikan pertempuran antara suaminya dan orang yang mengaku guru Jaka Rampan itu menjadi semakin cepat juga. Keduanya mulai berloncatan dengan tangkasnya. Ketika sekali-sekali terdengar guru Jaka Rampan itu berteriak, maka rasa-rasanya kulit Sekar Mirah ikut meremang.

Semakin lama guru Jaka Rampan itu pun menjadi semakin cepat bergerak. Tubuhnya menjadi semakin ringan, sehingga kemudian seakan-akan bagaikan bayangan yang terbang mengitari Agung Sedayu. Namun tiba-tiba saja tangannya telah terayun menyerang, atau kakinya yang berputar mendatar atau lurus menyamping. Bahkan kadang kadang kakinya terjulur ke depan mengarah ke dagu.

Untuk beberapa saat Agung Sedayu seakan-akan tidak sempat bergeser dari tempatnya. Ia hanya berkisar saja selangkah-selangkah untuk menghindari serangan-serangan lawannya. Sehingga dengan demikian maka seakan-akan Agung Sedayu tidak mempunyai kesempatan untuk menyerang.

Tetapi Sekar Mirah dan Glagah Putih yang menyaksikan pertempuran itu tidak menjadi cemas karenanya. Agaknya Agung Sedayu masih berusaha untuk menjajagi kemampuan lawannya yang mulai melepaskan ilmunya dan meningkat selapis demi selapis.

Sebenarnyalah guru Jaka Rampan itu memang meningkatkan ilmunya semakin tinggi. Ketika serangan-serangannya belum juga berhasil menyakiti lawannya, maka iapun telah meningkatkan ilmunya semakin tinggi dan semakin tinggi. Guru Jaka Rampan itu semula menyangka bahwa Agung Sedayu mulai mengalami kebingungan dan tidak sempat beranjak dari tempatnya. Serangan-serangan yang datang seakan-akan dari segala arah telah membuatnya bertahan tanpa sempat bergeser dari tempatnya.

Kawan-kawan orang itu pun mempunyai dugaan serupa. Bahkan mereka menganggap bahwa ternyata pekerjaan mereka jauh lebih ringan dari yang mereka perhitungkan semula. Mereka semula mengira bahwa untuk memaksa Agung Sedayu tunduk kepada mereka, akan diperlukan waktu yang cukup lama. Tetapi ketika pertempuran itu mulai meningkat semakin cepat, seakan-akan Agung Sedayu sudah tidak mendapat kesempatan sama sekali.

Tetapi dugaan itu ternyata keliru. Meskipun Agung Sedayu seakan-akan hanya bertahan tanpa sempat bergeser dari tempatnya, namun adalah satu kenyataan bahwa guru Jaka Rampan itu belum sempat mengenai tubuhnya. Serangan-serangannya belum dapat mengenai sasarannya.

Kemarahan yang memang telah menyala di dadanya, seakan-akan telah membakar jantungnya. Sambil berteriak nyaring, maka serangan-serangannya pun semakin menjadi cepat dan keras.

Dalam pada itu, Agung Sedayu masih berusaha bertahan untuk beberapa saat. Ternyata ia berhasil memancing sebagian besar dari kekuatan dan ilmu lawannya. Meskipun Agung Sedayu menyadari bahwa guru Jaka Rampan itu tentu memiliki ilmu pamungkas yang sangat tinggi, namun Agung Sedayu serba sedikit telah mampu mengenali watak dan kemampuan lawannya. Bahkan serba sedikit, Agung Sedayu melihat kelemahan-kelemahan lawannya. Agaknya lawannya itu lebih banyak memperhitungkan serangan-serangannya daripada pertahanannya.

Guru Jaka Rampan itu semakin lama semakin menyadari kedudukannya. Bahkan ia sempat mengumpati dirinya di dalam hati. Sebagai seorang yang berilmu tinggi, maka ia telah merasa menjadi terlalu bodoh karena semula ia telah menganggap bahwa ia berhasil mengurung Agung Sedayu.

“Bukan main,“ geramnya, “ternyata kau benar-benar seorang yang luar biasa. Agung Sedayu. Kecuali berilmu tinggi, maka otakmu adalah otak yang cerah.“

“Kau tidak usah memujiku. Sebaiknya kau batalkan saja niatmu,“ sahut Agung Sedayu sambil bergeser menghindari serangan lawannya.

Sambil memburu, guru Jaka Rampan itu berkata, “Tetapi kau tidak perlu menghinaku dengan cara seperti itu. Kau akan semakin menyesal dan kecewa atas ilmu yang telah kau miliki.“

Agung Sedayu tidak menjawab. Namun ternyata bahwa tiba-tiba saja guru Jaka Rampan itu telah menghentakkan ilmunya yang menggetarkan.

Demikian cepatnya ia bergerak, maka dalam saat yang hampir bersamaan guru Jaka Rampan itu seakan-akan telah berada di beberapa tempat. Sebelum Agung Sedayu sempat menghadapinya ke satu arah, maka guru Jaka Rampan itu telah berada di tempat lain.

Sekar Mirah dan Glagah Putih mulai menjadi tegang. Agaknya lawan Agung Sedayu mulai mengerahkan ilmunya yang tinggi. Sehingga mereka pun memperhitungkan bahwa Agung Sedayu tidak akan dapat bertahan dengan caranya.

Sementara itu ketiga orang kawan guru Jaka Rampan itu pun mengerutkan keningnya. Mereka mengerti, bahwa guru Jaka Rampan itu memang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Semula mereka mengira bahwa guru Jaka Rampan itu tidak perlu meningkatkan ilmunya sampai ke tataran itu, karena seakan-akan Agung Sedayu sudah tidak sempat melawan lagi. Namun akhirnya mereka pun menyadari, bahwa Agung Sedayu masih belum bersungguh-sungguh.

Sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu mulai merasakan tekanan lawannya. Benturan yang kemudian terjadi telah memperingatkan Agung Sedayu untuk semakin berhati-hati. Karena itu maka Agung Sedayu pun harus mengerahkan tenaga cadangan yang ada di dalam dirinya. Ia berusaha untuk dapat mengimbangi kecepatan gerak lawannya, yang setiap saat berada di tempat yang berbeda.

Tetapi ternyata bahwa tenaga cadangan yang dimiliki oleh Agung Sedayu masih belum mencukupi. Setiap kali Agung Sedayu masih saja agak terlambat. Jika ia dengan tangkasnya menangkis serangan yang datang, maka tiba-tiba saja serangan dari arah lain telah menyergapnya, sehingga Agung Sedayu harus meloncat menghindar. Tetapi demikian kakinya berjejak di atas tanah, serangan berikutnya telah menyambarnya. Begitu cepatnya, sehingga Agung Sedayu tidak lagi sempat mengelak atau menangkis serangan itu.

Beberapa kali tubuh Agung Sedayu memang sudah dikenai oleh serangan-serangan lawannya yang datangnya menjadi semakin cepat. Lebih cepat dari seekor lalat yang terbang mengitarinya. Dalam keadaan yang demikian, maka lawannya mulai menjadi yakin, bahwa ia akan dapat mengalahkan orang yang bernama Agung Sedayu itu. Saudara tua dari anak Demang Sangkal Putung yang telah mengalahkan Jaka Rampan.

Namun Jaka Rampan ternyata masih belum sampai pada tingkat atau bahkan alas ilmu yang dipergunakan oleh gurunya itu. Ilmu yang telah mampu membuatnya bergerak sangat cepat, sehingga bagi Agung Sedayu, lawannya itu seakan-akan telah menyerangnya dari segala penjuru pada waktu yang bersamaan.

Ketika tubuh Agung Sedayu mulai merasa nyeri oleh serangan-serangan lawan, maka ia mulai berusaha untuk menghindarinya. Dengan demikian maka ia akan mendapat kesempatan untuk berbuat lebih banyak, meskipun masih harus memperhitungkan sentuhan-sentuhan serangan lawannya yang datang dari segenap arah itu.

Agung Sedayu pun kemudian telah mulai merambah memasuki kemampuan ilmunya. Bukan sekedar tenaga cadangannya. Karena itu, maka iapun mulai mengetrapkan kekuatan ilmunya itu, sehingga dengan demikian maka Agung Sedayu mempunyai landasan yang lebih tinggi bagi perlawanannya.

Mula-mula Agung Sedayu memang baru berusaha untuk mengatasi kecepatan gerak lawannya. Dengan landasan ilmunya yang disalurkan pada kekuatan dan kemampuan gerak kakinya, maka Agung Sedayu ternyata mampu bergerak lebih cepat dan kuat. Meskipun ia tidak mampu berbuat sebagaimana dilakukan oleh lawannya yang seakan-akan datang menyerang dari semua penjuru, namun Agung Sedayu mempunyai kekuatan yang sangat tinggi, sehingga ia mampu melontarkan tubuhnya dengan kuat. Sehingga seakan-akan tubuhnya-lah yang telah kehilangan bobot.

Ketika lawannya masih saja berada di segala arah dan menyerangnya tanpa berhenti, maka tubuh Agung Sedayu itu mulai melenting. Bukan hanya satu dua langkah. Tetapi beberapa langkah.

Lawannya memang terkejut. Betapapun ia mampu bergerak cepat, tetapi tidak sejauh loncatan Agung Sedayu. Namun dengan kecepatan yang sangat tinggi, orang itu segera telah menyusulnya. Sekali lagi terjadi serangan-serangan yang keras dari beberapa penjuru, sehingga membuat Agung Sedayu terlambat untuk mengelak atau menangkis serangan itu. Namun dalam kesulitan, tiba-tiba Agung Sedayu telah meloncat tinggi-tinggi, bagaikan terbang di udara, kemudian dengan kedua kakinya yang kuat, Agung Sedayu telah berdiri tegak beberapa langkah dari lawannya.

Lawannya-lah yang kemudian termangu-mangu. Dengan nada berat ia berkata, “Agung Sedayu. Ternyata kau memiliki ilmu meringankan tubuh yang hampir sempurna. Namamu benar-benar bukan nama yang sekedar dibesar-besarkan. Agaknya cerita tentang kemalasanmu berlatih sehingga adik seperguruanmu telah melampaui kemampuanmu, adalah cerita isapan jempol saja.“

“Jangan menilai kemampuan kami,“ berkata Agung Sedayu, “kaupun akan mengalami kesulitan jika kau harus bertempur melawan Swandaru.“

Guru Jaka Rampan tertawa. Katanya, “Jangan meng-ada-ada. Aku mengenal dengan pasti kemampuan muridku.“

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi iapun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Dalam pada itu guru Jaka Rampan itu pun berkata, “Dengan kemampuanmu meringankan tubuh, maka aku kira aku memerlukan waktu yang terlalu lama untuk menundukkanmu. Karena itu, maka apa boleh buat jika aku terpaksa mempergunakan senjata. Karena dengan senjata maka kemungkinan yang paling buruk akan terjadi atas dirimu. Sayang, Jaka Rampan tidak mendapat kesempatan untuk menunjukkan kemampuannya dalam ilmu pedang. Nah, sekali lagi aku peringatkan, bahwa aku adalah gurunya.“

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Tentu kemampuanmu jauh berada di atas kemampuan Jaka Rampan dalam ilmu pedang. Bukankah kau ingin mengatakan demikian?“

“Syukurlah jika hal itu kau sadari,“ berkata guru Jaka Rampan itu, “karena itu sebelum pedangku benar-benar membelah jantungmu, aku masih menawarkan niat baikku. Singgahlah di padepokanku.“

Tetapi jawab Agung Sedayu, “Ki Sanak. Tingkah lakumu telah menimbulkan niatku untuk menangkapmu. Kita sudah berada di dekat ibu kota Mataram. Karena itu , sebaiknya aku membawamu menghadap Panembahan Senapati agar kau dapat menunggui muridmu, dan yang penting bertanggung jawab atas perbuatanmu, menjerumuskan muridmu dalam tindak yang salah, melanggar paugeran seorang prajurit. Apalagi muridmu adalah seorang perwira.“

Guru Jaka Rampan itu menggeram. Sikap Agung Sedayu benar-benar telah membuat hatinya menjadi semakin sakit. Karena itu, maka iapun berkata, “Jika demikian Agung Sedayu, maka tidak ada yang paling baik aku lakukan selain membunuhmu.“

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia sudah bersiap sepenuhnya untuk melawan ilmu pedang guru Jaka Rampan.

Sesaat kemudian, maka pedang guru Jaka Rampan itu mulai bergetar. Namun dalam waktu sekejap pedang itu bagaikan terbang mengitari tubuh Agung Sedayu. Dengan susah payah Agung Sedayu harus berloncatan menghindarinya. Namun dalam keadaan yang sulit, Agung Sedayu telah melenting mengambil jarak.

Tetapi guru Jaka Rampan tidak mau melepaskannya. Iapun telah memburu dengan kemampuannya yang tinggi. Ilmunya telah membuatnya menjadi bagaikan bayangan mengimbangi kemampuan ilmu meringankan tubuh Agung Sedayu.

Keduanya pun bagaikan berputar-putar di udara. Hanya sekali-sekali saja kaki mereka menyentuh tanah. Sementara itu dalam kesempatan tertentu, guru Jaka Rampan itu seakan-akan telah menyerang dari beberapa penjuru dalam waktu yang bersamaan.

Agung Sedayu benar-benar mengalami kesulitan. Kemana ia meloncat, guru Jaka Rampan yang telah sampai pada puncak kemampuannya serta kemampuan ilmu pedangnya yang jarang ada bandingnya telah memburunya. Sehingga akhirnya, dalam putaran yang cepat melampaui kecepatan bayangan, ujung pedang guru Jaka Rampan itu telah menyentuh kulit pada lengan Agung Sedayu.

Agung Sedayu yang merasakan lengannya terluka telah mengerahkan ilmu meringankan tubuhnya dan meloncat mengambil jarak dari lawannya.

Ternyata guru Jaka Rampan tidak mengejarnya. Ia berdiri sambil menyilangkan pedang di dadanya. Sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Maaf Agung Sedayu. Aku tidak mempunyai pilihan lain.“

“Apa maksudmu?“ bertanya Agung Sedayu.

Pedang guru Jaka Rampan itu berputar satu putaran. Demikian pedang itu kembali bersilang di dadanya guru Jaka Rampan itu berkata, “Kau akan mati. Racun di pedangku adalah racun yang sangat kuat. Melampaui kuatnya bisa ular bandotan.“

Wajah Agung Sedayu menjadi tegang. Sementara itu guru Jaka Rampan itu berkata, “Tetapi bukannya tidak ada jalan untuk menyelamatkan jiwamu.“

“Bagaimana?“ bertanya Agung Sedayu.

“Jika kau bersedia singgah di padepokanku, maka aku akan memberimu penawar racun itu,“ berkata guru Jaka Rampan.

“Jika tidak?“ bertanya Agung Sedayu pula.

“Jika tidak, kau akan mati. Istrimu juga akan mati. Demikian pula adik sepupumu itu,“ berkata guru Jaka Rampan sambil tersenyum.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ketika dipandanginya istrinya dan Glagah Putih, maka keduanya nampak termangu-mangu. Sementara ketiga orang kawan dari guru Jaka Rampan telah yakin bahwa Agung Sedayu tidak akan dapat memilih.

Tetapi tiba-tiba saja Agung Sedayu berkata, “Sayang Ki Sanak. Aku tetap menolak untuk singgah di padepokanmu.“

“Jadi kau memilih mati?“ bertanya guru Jaka Rampan.

Tetapi Agung Sedayu menggeleng. Jawabnya, “Aku juga tidak ingin mati. Masih banyak yang harus aku kerjakan. Kecuali jika Yang Maha Agung memang menghendaki.“

“Kau jangan mengabaikan racun di tubuhmu,“ berkata guru Jaka Rampan, “aku tidak bermain-main.“

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian telah memijit luka di lengannya. Dari celah-celah bajunya yang koyak, darah nampak meleleh dari luka itu. Merah kebiru-biruan. Namun kemudian Agung Sedayu telah mengusap darah itu sehingga pampat.

Guru Jaka Rampan memang terkejut. Ternyata Agung Sedayu mampu menolak racun yang mulai menyentuh darahnya. Bahkan ia berhasil memampatkan kembali darah yang telah terkena racun itu.

“Ki Sanak,“ berkata Agung Sedayu, “jangan risaukan racun di tubuhku.“

“Anak iblis,“ geram guru Jaka Rampan, “ternyata kau mampu menolak racun yang menyentuh saluran darahmu. Iblis manakah yang telah memberikan kemampuan itu kepadamu?“

“Sudahlah,“ berkata Agung Sedayu, “nampaknya aku memang harus bersungguh-sungguh. Kau benar-benar telah menggoreskan racun. Dengan demikian, maka aku pun harus bersungguh-sungguh pula sebagaimana kau lakukan.“

“Persetan,“ geram guru Jaka Rampan. Tiba-tiba saja pedangnya telah terjulur pula. Bahkan ujungnya mulai bergetar, sementara iapun menggeram, “Mungkin racun di pedangku tidak dapat membunuhmu. Tetapi ternyata aku telah berhasil melukaimu. Karena itu maka aku pun yakin, bahwa aku akan mampu membelah jantungmu.“

Agung Sedayu segera mempersiapkan diri. Ia telah mempergunakan waktu yang sesaat itu untuk mengetrapkan ilmu kebalnya. Bagaimanapun juga, ternyata bahwa guru Jaka Rampan itu mampu bergerak sangat cepat. Tetapi selain ilmu kebalnya, maka Agung Sedayu pun kemudian telah mengurai pula senjata andalannya. Sehelai cambuk.

Guru Jaka Rampan itu termangu-mangu sejenak. Katanya kemudian, “Nasibmu memang buruk Agung Sedayu. Orang yang menyerang padepokan itu hanya mampu melukaimu. Tetapi aku akan membunuhmu.“

“Aku akan berusaha untuk membela diriku sendiri Ki Sanak,“ jawab Agung Sedayu.

Jantung guru Jaka Rampan itu menjadi bagaikan berdegup semakin cepat. Ketika Agung Sedayu menggerakkan juntai cambuknya, orang itu menggeram, “Murid dari orang bercambuk ini benar-benar seorang yang berilmu tinggi. Ternyata bahwa pendapat tentang perbandingan ilmu antara Agung Sedayu dan Swandaru akan dapat menyesatkan.”

Agung Sedayu sama sekali tidak menyahut. Tetapi ia benar-benar sudah siap menghadapi segala kemungkinan. Lawannya yang menyebut dirinya guru Jaka Rampan itu seakan-akan memang mempunyai ilmu siluman, sehingga ia dapat berada di beberapa tempat dalam waktu yang hampir bersamaan. Agung Sedayu memang mengerti, bahwa hal itu semata-mata karena kemampuan ilmu orang itu. Ia mampu bergerak sangat cepat. Tetapi tidak pada jarak yang terlalu panjang.

Demikianlah, maka sejenak kemudian orang itu telah meloncat dengan cepatnya. Seakan-akan telah menghilang. Namun pedangnya pun dengan cepat pula telah terayun mendatar menebas ke arah punggung Agung Sedayu.

Agung Sedayu masih sempat bergeser. Demikian pula ketika tiba-tiba saja orang itu telah menyerangnya dari depan. Pedang itu terjulur lurus mengarah ke dada. Meskipun Agung Sedayu telah mengetrapkan ilmu kebalnya, namun Agung Sedayu tidak membiarkan ujung pedang orang itu mengenai dadanya. Agung Sedayu masih belum tahu, apakah puncak ilmu orang itu akan mampu menembus ilmu kebalnya itu. Karena itu, maka Agung Sedayu masih juga bergeser mengelak. Tetapi demikian cepatnya, pedang itu telah bergerak mendatar setinggi leher Agung Sedayu.

Agung Sedayu itu pun kemudian meloncat surut. Justru beberapa langkah. Tubuhnya yang bagaikan tidak mempunyai bobot itu melambung bagaikan terbang ke arah belakang. Lawannya tidak mau kehilangan kesempatan. Iapun mampu bergerak cepat meskipun tidak sekaligus pada jarak yang panjang.

Tetapi demikian bayangannya menghampiri Agung Sedayu yang menyentuh tanah, maka cambuk Agung Sedayu pun telah meledak bagaikan memecahkan selaput telinga. Orang itu terkejut. Dengan gerak naluriah, namun dengan kecepatan yang dialasi dengan kemampuan ilmunya, orang itu telah meloncat surut, sehingga ujung cambuk Agung Sedayu tidak mengenainya. Namun ternyata jantung orang itu bagaikan meledak. Dengan nada rendah ia bergumam kepada diri sendiri, “Benar-benar ilmu iblis. Suara cambuknya dapat merontokkan isi dada.“

Sementara itu Sekar Mirah dan Glagah Putih ternyata mempunyai tanggapan yang berbeda dengan orang-orang yang berdiri termangu-mangu mengawasi pertempuran itu. Mereka menganggap ledakan cambuk yang bagaikan petir di langit itu merupakan puncak kekuatan ilmu Agung Sedayu. Namun Sekar Mirah dan Glagah Putih mengetahui, bahwa justru suara cambuk itu meledak keras-keras, maka Agung Sedayu masih belum memasuki inti kekuatan ilmunya yang dahsyat.

Sejenak kemudian, maka pertempuran menjadi semakin cepat dan semakin keras. Lawan Agung Sedayu itu pun telah sampai pada tataran tertinggi dari kemampuannya bergerak cepat. Namun Agung Sedayu pun telah mencapai satu tingkat yang mapan pada ilmunya meringankan tubuh.

Putaran pedang guru Jaka Rampan yang menjadi semakin cepat itu bagaikan gumpalan awan yang kehitam-hitaman yang terbang dengan kecepatan terbang burung sikatan menyambar belalang. Namun ujung juntai cambuk Agung Sedayu pun telah berputar pula melindunginya, sehingga setiap kali putaran pedang lawannya mendekatinya, maka ledakan yang memekakkan telinga telah menghentak seperti petir di langit.

Jika benturan terjadi, maka getar dari benturan itu telah merambat pada batang senjata masing-masing hingga kemudian bagaikan menggigit telapak tangan. Kekuatan ilmu keduanya benar-benar merupakan kekuatan yang sulit dicari bandingnya.

Namun kemudian ternyata bahwa guru Jaka Rampan itu mampu membuat perhitungan yang rumit dari putaran senjata Agung Sedayu. Meskipun senjata itu berputar cepat sekali, tetapi lawannya yang dengan teliti memperhitungkannya, dapat seakan-akan menghanyutkan diri pada putaran itu dan memasuki pertahanan Agung Sedayu.

Tetapi ternyata bahwa Agung Sedayu pun sempat mengetahuinya, sehingga dengan cepat Agung Sedayu telah menarik cambuknya dan kemudian menghentakkannya sendal pancing ke arah lawannya. Tetapi guru Jaka Rampan ternyata mampu bergerak lebih cepat. Sebelum Agung Sedayu sempat menghentakkan cambuknya sendal pancing, ternyata ujung pedang guru Jaka Rampan itu telah sempat mengenai sasarannya, menyentuh pundak Agung Sedayu.

Sekejap kemudian, pada saat cambuk Agung Sedayu meledak, lawannya itu telah berpaling tiga kali dan dengan satu loncatan yang cepat dan kuat ia telah berdiri tegak dengan pedang yang terjulur ke depan siap menghadapi segala kemungkinan.

Tetapi Agung Sedayu masih tetap berdiri di tempatnya. Sementara itu lawannya pun berkata, “Sekali lagi pedangku telah mengoyak tubuhmu. Jika pertempuran ini berlangsung terus, maka tubuhmu tentu akan luka arang kranjang.”

Agung Sedayu melangkah mendekat sambil tersenyum. Katanya, “Kau tidak berhasil mengenai tubuhku, Ki Sanak. Kau hanya dapat menyentuh sapuan juntai cambukku.”

“Jangan berbohong,“ guru Jaka Rampan itu tertawa.

Tetapi Agung Sedayu pun tertawa pula. Sambil mengusap pundaknya ia berkata. “Kau lihat? Tidak ada luka di pundakku.“

Guru Jaka Rampan itu termangu-mangu. Ia memang tidak melihat luka di pundak Agung Sedayu. Yang dilihat adalah lubang kecil pada baju Agung Sedayu seujung pedangnya. Tetapi pundak itu tidak terkoyak seujung duri pun. Guru Jaka Rampan itu menjadi semakin berdebar-debar menghadapi lawannya yang termasuk masih muda itu. Namun ia masih ingin membuktikan bahwa ia mampu mengenai tubuh lawannya.

Sejenak kemudian serangan-serangannya pun telah datang lagi beruntun, sementara Agung Sedayu berusaha untuk menghindar dan menghalau serangan-serangan yang datang demikian cepatnya. Dengan ilmu meringankan tubuh, maka Agung Sedayu mampu mengimbangi kecepatan gerak lawannya itu.

Bahkan ketika lawannya itu meloncat dengan pedang terjulur ke arah dadanya, Agung Sedayu sempat mengibaskan cambuknya. Memang tidak terlalu keras, karena tiba-tiba saja orang itu telah berada di hadapannya.

Sejenak kemudian keduanya telah meloncat mundur. Orang itu terbelalak ketika ia tidak melihat luka di dada Agung Sedayu. Bahkan terasa betapa pedihnya lengannya yang disentuh oleh ujung cambuk Agung Sedayu itu. Ketika ia meraba lengannya yang berdarah, ternyata bahwa sebuah luka telah menganga.

“Setan kau Agung Sedayu,“ geram orang itu, “karah baja pada cambukmu sempat mengoyak kulitku. Sementara itu ternyata kau memiliki ilmu kebal.“

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sudahlah Ki Sanak. Tidak ada gunanya kita bertempur terus. Sekarang, aku-lah yang mempersilahkan kau ikut bersamaku ke Mataram. Sebenarnya aku tidak ingin singgah. Tetapi karena aku akan bersamamu, maka kami sebaiknya memang harus singgah.“

“Persetan,“ geram guru Jaka Rampan, “kau kira ilmu kebalmu cukup kuat untuk menahan serangan-seranganku?“

“Apapun yang ada pada kita masing-masing, maka sebaiknya kita tidak bertempur lagi,“ minta Agung Sedayu.

“Kau memang terlalu sombong,“ geram orang itu.

“Bukan maksudku. Tetapi aku mempunyai tawaran penyelesaian yang lain dari yang kau tawarkan,“ berkata Agung Sedayu pula.

Orang itu tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba saja pedangnya telah perputar lagi. Sejenak kemudian tubuhnya bagaikan hilang dari tempatnya. Namun serangannya telah datang dari arah yang lain.

Pertempuran antara Agung Sedayu dan orang itupun telah berlangsung lagi. Tetapi seperti sebelumnya, guru Jaka Rampan itu tidak mempunyai kesempatan untuk mendesak lawannya. Bahkan sekali lagi cambuk Agung Sedayu telah mengenainya.

Dalam keadaan yang sulit itu, maka guru Jaka Rampan itu pun tiba-tiba saja berteriak nyaring kepada kawan-kawannya, “Kuasai istri dan saudara sepupunya. Jika Agung Sedayu tidak menyerah, mereka akan dikorbankan.”

Ketiga orang kawan guru Jaka Rampan itu pun tiba-tiba telah bergerak. Perintah guru Jaka Rampan itu tidak perlu diulangi. Dengan serta merta mereka telah menarik pedang dan siap untuk menguasai Sekar Mirah dan Glagah Putih.

Tetapi teriakan guru Jaka Rampan itu telah memberikan isyarat pula kepada Sekar Mirah dan Glagah Putih untuk bersiap menghadapi segala kemungkinan. Karena itu, demikian mereka mendengar teriakan lawan Agung Sedayu, maka Sekar Mirah pun telah mengangkat tongkat baja putihnya, sementara Glagah Putih pun telah mengurai ikat pinggangnya. Ia tidak mau membuat kesalahan, karena dengan demikian maka keadaan Agung Sedayu akan menjadi sulit. Karena itu, maka ia tidak mempergunakan senjata lain dari senjata yang sudah diyakininya.

Ketika ketiga orang itu mendekati Sekar Mirah dan Glagah Putih, maka keduanya telah bersiap sepenuhnya. Dengan mantap Sekar Mirah berkata, “Kita akan bertempur berpasangan.“

Glagah Putih mengetahui maksud Sekar Mirah. Karena itu, maka ia pun segera berdiri di belakang Sekar Mirah menghadap ke arah yang berlawanan.

Ketiga orang kawan guru Jaga Rampan itupun segera mengepungnya. Namun mereka pun menyadari bahwa menguasai kedua orang itu bukannya pekerjaan yang mudah.

Seorang di antara ketiga orang itu memang berusaha untuk mempengaruhi ketahanan jiwani kedua orang itu. Dengan nada berat orang itu berkata, “Kalian bukan Agung Sedayu. Jika Agung Sedayu memiliki ilmu kebal dan ilmu meringankan tubuh yang sangat tinggi, maka kalian tidak akan dapat melakukannya. Karena itu, untuk menghindari kemungkinan buruk terjadi atas kalian, maka kami harap kalian menyerah saja. Meletakkan senjata kalian dan menurut perintah yang kami berikan.”

Yang menjawab adalah Sekar Mirah, “Maaf Ki Sanak. Barangkali kami terpaksa membunuhmu.“

Wajah orang itu menjadi tegang. Dengan geram ia berkata, “Kau juga sombong seperti Agung Sedayu.“

“Jangan lupa, aku adalah istrinya,“ berkata Sekar Mirah, “sifat-sifatnya akan dapat mempengaruhi sifat-sifatku.“

“Persetan,“ orang itu mulai marah.

Sementara itu, terdengar lawan Agung Sedayu berteriak, “Cepat! Kuasai mereka dan paksa mereka untuk tunduk kepada perintah kalian.“

Ketiga orang itu dengan serta merta telah bersiap. Senjata mereka segera terangkat. Namun seorang di antara mereka masih berkata, “Lebih baik menyerahlah.“

Meskipun ketiga orang itu sudah memperhitungkan sebelumnya, bahwa Sekar Mirah tidak akan terlalu mudah menyerah, namun mereka masih juga terkejut, ketika Sekar Mirah yang tidak menjawab itu tiba-tiba saja sudah mengayunkan tongkat baja putihnya.

Orang yang kebetulan berada di hadapannya itu harus meloncat surut. Jantungnya terasa berdebar semakin cepat. Tongkat baja putih itu telah terayun menghanyutkan udara dengan gaung yang nyaring.

“Betapa kuat ayunannya,“ berkata orang itu kepada diri sendiri.

Namun orang-orang itu adalah orang-orang yang juga cukup berpengalaman. Karena itu, maka mereka pun segera menempatkan dirinya dan dalam waktu sesaat, mereka telah mulai menyerang. Kadang-kadang mereka menyurukkan senjata mereka hampir bersamaan, namun kadang-kadang serangan-serangan mereka datang beruntun susul-menyusul.

Namun agaknya Sekar Mirah dan Glagah Putih telah mengetahui pula rencana Agung Sedayu yang ingin membawa orang-orang itu ke Mataram. Karena itu, maka mereka pun telah berusaha untuk mengimbangi lawan-lawan mereka agar tidak menyulitkan Agung Sedayu. Jika seorang saja dari keduanya dikuasai oleh orang-orang itu, maka mereka akan dapat memaksa Agung Sedayu untuk menyerah. Sementara itu ujung cambuk Agung Sedayu telah menyentuh lagi kulit lawannya, sehingga lukanya pun telah bertambah pula.

Ternyata Sekar Mirah dan Glagah Putih memang tidak mengecewakan. Ketiga orang yang telah lama menjelajahi dunia olah kanuragan itu ternyata telah membentur kekuatan yang luar biasa. Meskipun ujudnya seorang perempuan, tetapi ketika tangannya memutar tongkat baja putihnya, maka ketiga orang itu semakin menyadari, bahwa kegarangan tongkat baja putih itu masih tetap mendebarkan jantung.

Ketika sekilas orang yang bertempur melawan Agung Sedayu itu sempat melihat ayunan tongkat Sekar Mirah, maka kegelisahannya pun telah memuncak. Ternyata Sekar Mirah telah mengingatkannya kepada kegarangan Macan Kepatihan.

Tetapi bukan Sekar Mirah saja-lah yang telah mengejutkannya. Ketika itu menyempatkan diri melihat kemampuan anak yang masih terlalu muda itu, hatinya pun tergetar pula. Ternyata anak muda itu mempunyai senjata yang tidak terbiasa dipergunakan oleh orang lain. Sehelai ikat pinggang.

Agung Sedayu dengan sengaja memperlambat tata geraknya, seakan-akan memberi kesempatan kepada lawannya untuk menilai seluruh arena pertempuran itu. Dengan demikian Agung Sedayu berharap bahwa ia mempunyai penilaian yang benar tentang kemungkinan yang dapat terjadi atas dirinya dan ketiga orang kawan-kawannya.

Justru karena itu, maka guru Jaka Rampan itu mendapat kesempatan untuk melihat apa yang telah terjadi dengan ketiga orang kawan-kawannya. Orang itu tidak menjadi berbesar hati, tetapi justru menjadi semakin berdebar-debar. Guru Jaka Rampan itu melihat tongkat baja putih Sekar Mirah yang berayun cepat seperti baling-baling.

Sementara itu, seorang di antara kawan-kawannya itu terkejut bukan buatan ketika pedangnya membentur ikat pinggang Glagah Putih. Menurut penglihatannya, ikat pinggang Glagah Putih itu terbuat dari kulit. Tetapi ternyata dalam benturan yang terjadi, rasa-rasanya pedangnya telah membentur kekuatan yang luar biasa beratnya. Apalagi dengan senjata selembar ikat pinggang.

Sebenarnyalah Glagah Putih telah, mempergunakan ikat pinggangnya dengan landasan ilmunya, sehingga jika dikehendaki, ikat pinggangnya itu menjadi sekuat kepingan baja pilihan.

“Kau lihat kemampuan kawan-kawanmu dibandingkan dengan istri dan sepupuku?“ bertanya Agung Sedayu kepada lawannya yang tidak dapat mengingkari kenyataan itu. Sementara itu tubuhnya sendiri telah terluka di beberapa tempat. Sentuhan ujung cambuk Agung Sedayu ternyata mampu mengoyak kulitnya, karena karah-karah baja yang terdapat pada juntai cambuk itu.

Guru Jaka Rampan itu tidak segera menjawab. Ia harus mengakui bahwa Agung Sedayu memang tidak akan dapat dikalahkannya. Bahkan menilik sikapnya, apa yang diperlihatkan Agung Sedayu kepadanya itu belum seluruh kemampuannya. Agaknya memang masih tersimpan dalam perbendaharaan ilmu Agung Sedayu, kemampuan yang akan dapat membuatnya kehilangan akal.

Agung Sedayu sendiri memang tidak ingin memperlihatkan puncak-puncak kemampuannya. Ia menganggap bahwa untuk melawan guru Jaka Rampan ia tidak memerlukannya.

Sementara itu, ketiga orang kawan guru Jaka Rampan itu pun telah mengalami kesulitan melawan Sekar Mirah dan Glagah Putih. Ternyata perempuan yang semula tidak dianggap sangat berbahaya itu memiliki kemampuan yang mengagumkan. Di tangannya, meskipun ia seorang perempuan, tongkat baja itu masih tetap memiliki ciri-ciri kegarangan yang mendebarkan. Sedangkan Glagah Putih yang masih sangat muda itu ternyata mampu mebuat lawanya menjadi kebingungan.

Bukan saja kemampuannya mempermainkan senjatanya yang susah dimengerti oleh ketiga orang lawannya, namun anak muda itu memiliki kekuatan yang sangat besar. Dengan demikian, maka ketiga orang kawan guru Jaka Rampan itu sama sekali tidak berhasil menguasai Sekar Mirah dan Glagah Putih, yang akan dapat dipergunakan untuk memaksakan kehendak guru Jaka Rampan itu kepada Agung Sedayu. Bahkan yang terjadi adalah justru sebaliknya. Kedua orang itulah yang telah mendesak lawan mereka.

Bahkan ketiga orang itu berusaha memaksa diri untuk menyerang, justru salah seorang di antara mereka telah terlempar beberapa langkah dan jatuh berguling. Ketika orang itu berdiri, ternyata bahwa pundaknya telah dicengkam oleh perasaan sakit yang sangat. Tulang-tulangnya bagaikan patah, sementara kulitnya menjadi biru kemerah-merahan. Tongkat baja putih Sekar Mirah agaknya dengan cepat telah menyusup di antara senjata lawannya itu dan mengenai pundak salah seorang di antara mereka.

Meskipun demikian ketiga orang itu masih berusaha untuk mengatasi keadaan. Mereka telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Betapapun sakit menggigit pundaknya, tetapi orang itu masih juga dengan garangnya bersama dengan kedua kawannya menyerang kedua orang itu hampir bersamaan.

Dalam pada itu, ternyata seorang lagi di antara ketiga orang itu terdesak. Dengan serta merta orang itu telah meloncat beberapa langkah surut untuk mengambil jarak. Ia merasa ujung ikat pinggang anak muda itu menyentuh lambungnya. Tetapi semula ia tidak mengira bahwa sentuhan itu akan dapat membuat lambungnya terluka. Namun ketika ia mengusap lambungnya yang terasa sangat pedih, tangannya telah menyentuh darahnya yang hangat. Demikian ia mengamatinya, maka ternyata bahwa segores luka telah menganga.

“Gila,“ geram orang itu.

Glagah Putih dan Sekar Mirah tegak di tempatnya ketika lawan-lawannya berloncatan surut. Dua orang telah terluka. Seorang pundaknya bagaikan dilumpuhkan, sedangkan yang lain, lambungnya telah dikoyakkan.

Sementara itu, Agung Sedayu pun telah mengambil jarak pula dari lawannya. Bukan karena terdesak atau keadaannya menjadi sulit, tetapi justru Agung Sedayu berusaha memberikan kesempatan kepada lawannya itu untuk menilai keadaan.

Guru Jaka Rampan itu pun tidak memburunya. Ia benar-benar telah menyadari keadaan. Luka-luka di tubuhnya ternyata telah mengalirkan darah cukup banyak.

“Nah, apa katamu Ki Sanak?“ desis Agung Sedayu, “Aku mohon Ki Sanak sempat mempertimbangkan keadaan. Jika kita memaksa diri untuk saling membunuh, aku kira bukan satu penyelesaian yang terbaik untuk persoalan ini. Sementara itu, kau masih harus memperhatikan keadaan muridmu. Kau-lah yang harus bertanggung jawab atas peristiwa yang telah terjadi pada muridmu itu.“

Guru Jaka Rampan itu memandang Agung Sedayu dengan tajamnya. Dengan nada dalam ia berkata, “Aku akan bertempur sebagai seorang laki-laki.“

“Apakah ciri seorang laki-laki jika ia bertempur?“ bertanya Agung Sedayu.

“Membunuh atau dibunuh,“ jawab guru Jaka Rampan.

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Betapa mudahnya untuk mati tanpa mempertanggungjawabkan perbuatan. Katakan kepadaku, manakah yang lebih jantan dari seorang laki-laki. Membiarkan dirinya mati untuk menghapuskan tanggungjawabnya, atau mempertanggungjawabkan perbuatannya, apalagi hal itu akan menyangkut keselamatan orang lain?“

Guru Jaka Rampan termangu-mangu sejenak. Sementara itu Agung Sedayu berkata selanjutnya, “Muridmu memerlukan kau. Meskipun kau tidak akan membebaskannya, tetapi kau akan dapat memperingan penderitaannya.”

Sejenak guru Jaka Rampan itu merenung. Ketika ia berpaling kepada Sekar Mirah dan Glagah Putih, maka mereka pun telah memberikan kesempatan kepada lawan-lawan mereka untuk merenungi keadaan.

Baru sesaat kemudian guru Jaka Rampan itu berkata, “Baiklah Agung Sedayu. Aku menyerah. Ternyata aku telah salah menilai kemampuanmu. Aku termakan oleh desas-desus bahwa kau agaknya terlalu malas untuk memasuki sanggar, sehingga adik seperguruanmu telah mampu melampaui ilmumu. Karena itu, maka aku menduga bahwa seandainya ilmumu berada di bawah atau sama dengan Swandaru, atau katakanlah karena pengalamanmu kau mempunyai sedikit kelebihan, maka aku akan dengan mudah mengalahkanmu. Tetapi ternyata bahwa kemampuanmu jauh melampaui kemampuanku. Apalagi muridku Jaka Rampan.” “Sudahlah,“ berkata Agung Sedayu, “jangan kau sebut-sebut lagi. Namun aku menghargai keputusanmu. Dengan demikian kau akan bertanggungjawab atas perbuatanmu. Kau akan membantu muridmu dan memberikan keringanan atas hukuman yang akan diterimanya.“

Guru Jaka Rampan itu mengangguk. Lalu katanya kepada kawan-kawannya, “Kita termasuk ikan yang masuk ke dalam wuwu. Ternyata kita telah menjerumuskan diri kita sendiri ke dalam kesulitan. Kita tidak berhasil melepaskan Jaka Rampan dengan cara ini, bahkan kita sendiri-lah yang justru telah terjerat karenanya.“

Ketiga orang kawannya tidak menyahut. Penyesalan yang dalam nampak di wajah mereka. Tetapi keputusan guru Jaka Rampan itu adalah satu-satunya jalan untuk membebaskan mereka dari kematian. Karena jika mereka memaksa untuk bertempur terus, maka tidak ada kemungkinan bagi mereka untuk memenangkan pertempuran itu. Bahkan kemungkinan yang paling dekat adalah justru kematian.

Demikianlah, maka sejenak kemudian, guru Jaka Rampan dan kawan-kawannya telah membenahi dan mengobati diri. Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih sama sekali tidak memerintahkan agar mereka meletakkan senjata mereka. Namun mereka pun yakin, bahwa keempat orang itu tidak akan dapat lepas dari tangan mereka.

Sebelum mereka meninggalkan hutan itu, maka Sekar Mirah pun telah mengobati pula luka Agung Sedayu. Meskipun luka itu tidak berbahaya, serta racun yang terdapat di senjata lawannya tidak sempat menusuk ke saluran darah Agung Sedayu, namun luka itu memang perlu diobati.

Demikian semuanya telah siap, maka mereka pun segera naik ke punggung kuda masing-masing. Tanpa memberikan kesan yang mercurigakan, mereka telah meninggalkan Alas Tambak Baya.

Guru Jaka Rampan memang tidak mempunyai pilihan lain. Di sepanjang jalan menuju ke Mataram, sekali-sekali terbersit pula pikiran untuk membebaskan diri. Tetapi guru Jaka Rampan itu tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa Agung Sedayu memiliki ilmu yang terlalu tinggi baginya. Karena itu, maka akhirnya guru Jaka Rampan itu pun menjadi pasrah, apapun yang akan terjadi atas dirinya.

Perjalanan ke Mataram memang tidak terlalu jauh lagi. Dengan guru Jaka Rampan dan kawan-kawannya maka Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih akhirnya harus singgah di Mataram.

Guru Jaka Rampan memang menjadi heran, bahwa Agung Sedayu tidak banyak mengalami kesulitan untuk memasuki istana. Memang satu kebetulan bahwa di antara para prajurit yang bertugas di pintu gerbang istana, telah ada yang mengenalnya. Justru perwira yang bertugas memimpin pasukan pengawal yang bertugas itu. Sehingga dengan demikian maka kedatangan Agung Sedayu itu pun telah disampaikan kepada Pelayan Dalam, yang meneruskannya kepada Panembahan Senapati.

Panembahan Senapati yang sedang beristirahat, tidak menolak permohonan Agung Sedayu. Bagaimanapun juga keduanya pernah menjadi sangat akrab di masa-masa pengembaraan mereka. Karena itu, maka Agung Sedayu pun segera dipersilahkan untuk memasuki seketheng dan diterima di serambi sebelah kiri. Agung Sedayu menghadap seorang diri. Baru kemudian ia melaporkan apa yang telah terjadi dan dengan siapa ia telah menghadap.

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi kau berhasil menangkap guru Jaka Rampan?“

“Secara kebetulan, Panembahan. Hamba tidak sengaja mencarinya. Tetapi guru Jaka Rampan itu telah datang sendiri menemui hamba,“ jawab Agung Sedayu.

Panembahan Senapati tersenyum ketika Agung Sedayu juga menceritakan bagaimana guru Jaka Rampan itu menyusulnya masuk ke dalam kedai.

“Bawalah orang itu kemari. Hanya guru Jaka Rampan saja,“ berkata Panembahan Senapati. Namun katanya pula, “Kau dapat mengajak istri dan sepupumu untuk bersamamu. Sementara serahkan tawananmu yang lain kepada para prajurit pengawal.“

Agung Sedayu itu pun kemudian bergeser meninggalkan serambi itu untuk memanggil guru Jaka Rampan serta Sekar Mirah dan Glagah Putih.

Guru Jaka Rampan benar-benar terkejut ketika ia begitu saja telah menghadap Panembahan Senapati sendiri. Ia sama sekali tidak menduga, bahwa Agung Sedayu, penghuni Tanah Perdikan Menoreh serta seorang yang tidak mempunyai kedudukan khusus di Mataram, dapat begitu mudah dan cepatnya menghadap langsung Panembahan Senapati, penguasa tertinggi Mataram yang sedang berkembang.

“Marilah Ki Sanak,“ Panembahan Senapti mempersilahkan guru Jaka Rampan duduk di atas selembar tikar pandan yang putih berkotak-kotak biru.

Namun guru Jaka Rampan itu telah menundukkan kepalanya dalam-dalam.

“Aku hanya ingin berbicara sedikit,“ berkata Panembahan Senapati. Lalu, “Karena yang akan bertugas untuk mengurus persoalanmu dan muridmu adalah seorang senapati yang telah aku tunjuk.“

Guru Jaka Rampan hanya mengangguk dalam-dalam tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

“Aku hanya ingin mendengar pengakuanmu, apakah benar bahwa yang dilakukan oleh Jaka Rampan itu karena perintahmu?“ bertanya Panembahan Senapati.

“Hamba Panembahan,“ jawab guru Jaka Rampan dengan suara bergetar. Ia sama sekali tidak menduga, bahwa Panembahan Senapati sendiri yang akan bertanya kepadanya tentang hal itu.

“Apakah dasar perintahmu itu?“ bertanya Panembahan Senapati itu.

“Ampun Panembahan,“ jawab guru Jaka Rampan, “sebenarnyalah hamba didorong oleh perasaan dendam terhadap seseorang. Hamba ingin memanfaatkan murid hamba untuk memukul sebuah padepokan yang kuat di belakang garis pertahanan Panembahan Madiun.“

“Jadi persoalannya adalah persoalan pribadi?“ bertanya Panembahan Senapati.

Guru Jaka Rampan tidak menjawab. Sementara Panembahan Senapati berkata, “Untuk kepentingan pribadi, kau sudah menyeret dua kelompok prajurit Mataram yang dipimpin oleh Jaka Rampan dan Gondang Bangah.“

“Ampun Panembahan,“ wajah guru Jaka Rampan itu menjadi semakin menunduk.

Namun dalam pada itu, Panembahan Senapati pun berkata, “Baiklah. Hanya itulah yang ingin aku ketahui.“

Demikianlah, sejenak kemudian maka Panembahan Senapati itu pun telah memberi isyarat kepada seorang Pelayan Dalam untuk memanggil prajurit yang sedang bertugas. Ketika prajurit yang dipanggil itu menghadap, maka Panembahan Senapati telah memerintahkan agar guru Jaka Rampan dan kawan-kawannya ditahan di tempat yang terpisah dari muridnya.

“Hati-hatilah. Jaga mereka baik-baik. Pada saatnya semuanya akan jelas,“ berkata Panembahan Senapati.

Seorang perwira dan beberapa orang prajurit kemudian telah menempatkan guru Jaka Rampan dan ketiga orang kawannya di dalam sebuah bilik yang kokoh. Mereka mendapat pengawasan yang kuat karena para prajurit Mataram itu tahu, bahwa guru Jaka Rampan itu memiliki kemampuan dan ilmu yang tinggi.

Sementara itu Panembahan Senapati yang masih berada di serambi bersama Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih sepeninggal guru Jaka Rampan, berkata, “Kehadiran gurunya akan memperingan kesalahan Jaka Rampan.“

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi sebelum ia bertanya, Panembahan Senapati itu telah berkata selanjutnya, “Ternyata niat Jaka Rampan menembus garis pertahanan Madiun dengan diam-diam itu bukan karena keinginannya sendiri. Bukan karena niatnya untuk mengacaukan hubungan antara Mataram dan Madiun yang memang menjadi semakin kalut. Tetapi justru karena gurunya mendendam kepada seseorang, sehingga persoalannya akan terbatas pada persoalan pribadinya, meskipun mungkin akan dapat menimbulkan akibat yang sama. Tetapi niat yang terbersit di hatinya bukannya ingin mendahuiui perintahku dalam hubungan antara Mataram dan Madiun.“

“Hamba Panembahan,“ sahut Agung Sedayu, “menurut guru Jaka Rampan itu, ia telah mendendam kepada saudara seperguruannya.“

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Namun iapun telah berkata, “Persoalannya telah dibatasi pada pertentangan antara murid-murid seperguruan. Tetapi setelah bertempur dengan guru Jaka Rampan, apakah kau dapat mengenali aliran ilmunya?“

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Katanya, “Ternyata bahwa pengetahuan hamba sangat sempit, Panembahan. Hamba tidak dapat mengetahui ciri aliran ilmu guru Jaka Rampan, selain kelebihannya pada kemampuan dan kecepatan bergerak, sehingga hampir dalam satu saat, seakan-akan ia berada di tempat yang berbeda, sehingga seakan-akan serangannya datang bersamaan dari dua penjuru.“

“Bukan kemampuan untuk menunjukkan dirinya menjadi lebih dari satu dalam satu saat, sebagaimana dapat kau lakukan?“ bertanya Panembahan Senapati.

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Hanya satu permainan yang tidak berarti Panembahan. Orang yang memiliki ketajaman penglihatan batin, akan segera mengetahui jenis permainan itu.“

“Celakanya, tidak banyak orang memiliki ketajaman penglihatan batin. Meskipun seseorang berilmu tinggi, namun kadang-kadang penglihatan batinnya sangat tumpul.“

Agung Sedayu tidak menjawab. Sementara Panembahan Senapati kemudian berkata, “Tetapi biarlah para perwira yang bertugas memeriksa guru Jaka Rampan itu bertanya tentang perguruannya, dan tentang pertentangan yang timbul di antara saudara seperguruannya itu.“

“Hamba Panembahan,“ sahut Agung Sedayu, “mungkin ada sesuatu yang berarti yang dapat disadap dari orang itu.“

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya, “Aku memang harus mengucapkan terima kasih kepadamu Agung Sedayu. Banyak hal yang sudah kau lakukan bagi Tanah ini.“

“Seperti hamba katakan, bahwa secara kebetulan orang itulah yang datang kepada hamba,“ jawab Agung Sedayu.

“Jika kebetulan itu berakibat lain, maka guru Jaka Rampan itu tentu tidak akan sampai padaku,“ berkata Panembahan Senapati, “misalnya, seandainya ilmunya lebih tinggi dari ilmumu. Selebihnya, menurut laporan yang aku terima, kau pula-lah yang telah mengirim adik sepupumu untuk memanggil Untara dan pasukannya ketika Jaka Rampan itu berada di Sangkal Putung. Bukankah itu satu kebijaksanaan yang patut dihargai? Memang tidak sebaiknya para pengawal Sangkal Putung bertempur melawan prajurit Mataram. Kesannya akan dapat menyuramkan citra prajurit itu. Meskipun dalam keadaan yang terpaksa hal itu dapat dilakukan jika langkah para prajurit itu memang salah. Tetapi adalah sangat bijaksana bahwa Untara sempat datang dengan pasukan Mataram pula.“

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi kembali kepalanya menunduk dalam-dalam.

“Nah,“ berkata Panembahan Senapati, “baiklah kalian beristirahat. Aku minta kalian singgah sehari ini di sini.”

“Ampun Panembahan,“ jawab Agung Sedayu, “hamba mohon agar hamba diperkenankan untuk melanjutkan perjalanan kembali ke Tanah Perdikan hari ini.“

Panembahan Senapati mengerutkan keningnya. Tetapi ia bertanya, “Kenapa tergesa-gesa? Bukankah kau sudah beberapa lama berada di Sangkal Putung? Jika hanya tambah sehari saja, maka tidak akan mengganggu pemerintahan di Tanah Perdikan. Apalagi aku sudah mendengar keterangan dari kakakmu Untara, apa yang telah terjadi atasmu di Jati Anom.“

“Justru karena itu Panembahan,“ sahut Agung Sedayu pula, “hamba telah terlalu lama pergi.“

Panembahan Senapati termangu-mangu sejenak. Ketika dipandanginya Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih yang menunduk, maka katanya, “Baiklah. Tetapi nanti, sesudah kalian makan siang di sini. Bukankah kalian singgah di kedai hanya untuk minum dan makan makanan saja?“

Ketiganya tidak dapat menolak. Karena itu, maka mereka pun menunggu sampai saatnya mereka dipersilahkan makan. Seorang Pelayan Dalam telah mendapat perintah dari Penembahan Senapati untuk menyiapkan dua buah bilik bagi Agung Sedayu dan Sekar Mirah serta Glagah Putih.

“Beristirahatlah sambil menunggu makan dipersiapkan. Aku ingin menjamu kalian kali ini,“ berkata Panembahan Senapati.

Ternyata bahwa Agung Sedayu memang merasa letih setelah ia bertempur melawan guru Jaka Rampan. Bagaimanapun juga, kemampuan guru Jaka Rampan itu perlu diperhitungkan. Karena itulah Agung Sedayu pun telah beristirahat dengan berbaring di dalam bilik yang telah disediakan.

“Bukankah lukamu tidak apa-apa Kakang?” bertanya Sekar Mirah.

“Tidak apa-apa. Agaknya besok akan sembuh,“ jawab Agung Sedayu. Sekar Mirah tidak mengganggunya lagi. Ia sendiri memang tidak terlalu letih, meskipun ia harus bertempur pula. Tetapi tidak sekeras Agung Sedayu. Namun demikian, Sekar Mirah pun telah duduk pula di sebuah amben panjang dengan sandaran tinggi, sehingga iapun dapat beristirahat sambil mengenang apa yang telah terjadi sepanjang perjalanan mereka dari Tanah Perdikan Menoreh sampai ke Sangkal Putung, kemudian Jati Anom, kembali ke Sangkal Putung dan selanjutnya menempuh perjalanan kembali ke Tanah Perdikan.

Sementara itu, Agung Sedayu sempat pula merenungi kata-kata guru Jaka Rampan tentang pendapat Swandaru. Dimana ia mendengar, bahwa Swandaru menganggapnya terlalu malas untuk berlatih di sanggar, sehingga ilmunya menjadi tersendat-sendat dan tidak meningkat lagi.

“Agaknya Swandaru telah mengatakan pendapatnya itu kepada anak-anak muda Sangkal Putung, sehingga pada suatu saat dapat didengar oleh guru Jaka Rampan atau pengikut-pengikutnya. Sadar atau tidak sadar,“ berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.

Namun hal itu telah menggugahnya untuk sekedar melihat kemampuan yang ada di dalam dirinya. Dalam sebungkus bawaannya, d iantara lembar-lembar pakaiannya yang sedikit, terdapat kitab yang dipinjamkan Swandaru kepadanya, dengan permintaan agar Agung Sedayu menyempatkan diri meningkatkan ilmunya, yang menurut Swandaru menjadi agak terbelakang.

Sebenarnyalah bahwa beberapa jenis ilmu yang dahsyat yang dimiliki oleh Agung Sedayu sebagian memang tidak bersumber pada ilmu yang diturunkan oleh Kiai Gringsing, meskipun sudah barang tentu sepengetahuan dan seijinnya. Atau setidak-tidaknya mendapat persetujuannya, atau melaporkannya untuk mendapat penilaian kembali, apakah ilmu itu akan menimbulkan tantangan-tantangan di dalam dirinya atau tidak.

Tiba-tiba saja Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia juga merasa gelisah atas penilaian yang salah dari Swandaru itu. Jika pada suatu saat Swandaru itu mengetahuinya, maka hal itu akan dapat menimbulkan persoalan. Setidak-tidaknya di dalam dirinya sendiri.

Menurut Agung Sedayu, memang perlu dicari jalan untuk meletakkan anggapan Swandaru tentang dirinya itu pada tempat yang sewajarnya, tanpa menimbulkan kesan seakan-akan ia memang ingin menyombongkan diri.

Di ruang yang lain, Glagah Putih pun telah berbaring pula meskipun matanya tidak terpejam. Ternyata seperti Agung Sedayu, ia memikirkan pendapat Swandaru tentang kemampuan ilmunya dibandingkan dengan ilmu Agung Sedayu. Bahkan rasa-rasanya Glagah Putih-lah yang sekali-kali ingin mencoba kemampuan ilmu Swandaru.

Tetapi mereka memang tidak mendapat kesempatan terlalu lama merenung. Beberapa saat kemudian, maka seorang Pelayan Dalam telah memberitahukan bahwa mereka dipanggil untuk menghadap Panembahan Senapati.

Sebenarnyalah Panembahan Senapati telah menjamu mereka makan. Sementara itu, mereka sempat juga berbincang serba sedikit tentang persoalan-persoalan yang timbul menjelang saat-saat terakhir. Terutama setelah Pangeran Benawa meninggal. Dengan demikian Pajang telah menebarkan asap yang hitam, yang membuat kemelut di atas Mataram dan Madiun menjadi semakin gelap.

“Jadi Panembahan belum sempat bertemu dengan pamanda Panembahan Madiun?” bertanya Agung Sedayu.

Panembahan Senapati menggeleng. Katanya, “Ada-ada saja hambatannya. Tetapi aku benar-benar berniat untuk berbicara. Jika persoalan ini tidak segera menjadi jelas, maka aku akan mengirimkan satu kelompok yang akan membawa pesan-pesan perdamaian bagi Pamanda Panembahan Madiun. Aku memang harus merendahkan diri, karena menurut hubungan keluarga, aku ada pada tataran yang lebih muda. Tetapi jika hubungan itu gagal, maka aku harus menebus harga diriku dengan langkah dua kali lipat.”

“Maksud Panembahan?” bertanya Agung Sedayu.

Panembahan Senapati mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Marilah. Kita ingin makan dengan tanpa merenungi persoalan-persoalan yang rumit.”

Agung Sedayu memang tidak berani bertanya lebih lanjut. Agaknya Panembahan Senapati memang sedang tidak ingin berbicara terlalu banyak tentang Madiun.

Karena itu, maka Agung Sedayu tidak bertanya lebih jauh tentang hubungan antara Mataran dan Madiun. Yang mereka bicarakan kemudian adalah makanan yang sedang mereka hadapi. Bahkan Sekar Mirah pun telah ikut berbicara pula, karena iapun seorang yang mempunyai banyak perhatian tentang berjenis-jenis makanan.

Setelah makan siang, maka Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih sempat beristirahat beberapa saat sambil berbicara tentang banyak hal dengan Panembahan Senapati. Namun Panembahan Senapati tidak juga menyebut-nyebut lagi tentang Madiun.

Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu pun telah mohon diri untuk meneruskan perjalanan kembali ke Tanah Perdikan.

“Apakah kau tidak bermalam saja di sini? Kau akan kemalaman sampai ke Tanah Perdikan,” berkata Panembahan Senapati.

“Ampun Panembahan,” jawab Agung Sedayu, “hamba ingin segera melihat Tanah itu setelah sekian lama hamba tinggalkan.”

“Baiklah,” berkata Panembahan Senapati kemudian, “hati-hatilah diperjalanan. Mungkin masih ada rintangan yang akan menghambatmu.”

“Hamba mohon diri Panembahan,” berkata Agung Sedayu kemudian. “Hamba mohon restu Panembahan, semoga hamba dan istri serta sepupu hamba selamat sampai ke rumah hamba kembali.”

Demikianlah, maka setelah Sekar Mirah dan Glagah Putih mohon diri pula, maka mereka pun telah meninggalkan Istana Mataram menuju ke Tanah Perdikan Menoreh.

Ketika mereka menuruni tepian kali Praga, maka langit sudah menjadi kemerah-merahan. Meskipun mereka berangkat di permulaan hari, namun karena hambatan di perjalanan serta singgah beberapa lama di istana Panembahan Senapati, maka perjalanan ke Tanah Perdikan itu mereka tempuh dalam sehari penuh.

Meskipun senja sudah turun, namun masih ada juga beberapa orang yang akan bersama-sama menyeberang dalam satu gethek yang tidak terlalu besar.

Sejenak kemudian, maka mereka pun telah turun di tepian seberang Kali Opak. Setelah membayar upah mereka bertiga kepada tukang satang, maka mereka siap meninggalkan tepian Kali Praga itu.

Namun ada saja yang menghambat perjalanan mereka, Ketika mereka mulai melangkah menuntun kuda mereka, Glagah Putih justru berdesis, “Tunggu sebentar Kakang.”

Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun berhenti. Semula mereka tidak begitu memperhatikan apa yang telah terjadi. Namun agaknya Glagah Putih telah melihat seorang yang naik gethek bersama mereka bertengkar dengan tukang satang.

“Aku bekerja untuk mendapatkan upah,” berkata tukang satang itu, “karena itu kau harus membayar.”

“Bukankah orang lain sudah membayar?” justru orang yang tidak mau membayar itulah yang membentak. “Seandainya aku tidak naik gethekmu, aku tetap juga akan menyeberang. Apakah bedanya aku naik atau tidak?”

“Tetapi kau sudah naik gethekku. Kau sudah menambah beban pekerjaanku. Karena itu kau harus membayar,” jawab tukang satang yang juga menjadi marah.

Sementara itu seorang tukang satang telah mendekatinya pula sambil berkata agak sareh, “Ki Sanak. Kami berdua sudah bekerja keras. Pada saat orang-orang lain beristirahat di rumah, minum minuman hangat dan barangkali satu dua potong makanan, kami masih bergulat dengan gethek dan satang di atas air yang agak deras ini. Karena itu, sebaiknya Ki Sanak jangan memperberat beban kami. Kami sudah melakukan pekerjaan kami. Dan kemudian kami berhak untuk minta upah kami.”

“Tutup mulutmu!” orang yang tidak mau membayar itu membentak semakin keras. Kemudian katanya, “Kau belum mengenal aku he?”

Kedua orang tukang satang itu saling berpandangan sejenak. Seorang di antara mereka bertanya, “Siapakah kau?”

“Aku yang dikenal sebagai Singa Luwuk. He, kau pernah dengar nama Singa Luwuk? Lihat, inilah luwukku yang terkenal itu. Sudah berapa saja leher yang aku tebas putus dengan luwuk ini. Atau barangkali kau ingin melihat?” geram orang itu sambil menarik senjatanya, sebuah luwuk yang kehitam-hitaman.

Kedua orang tukang satang itu termangu-mangu. Namun mereka sama sekali tidak berani lagi menjawab. Mereka sadar, bahwa orang yang mereka hadapi adalah orang yang kasar dan keras. Bahkan bukan tidak mungkin orang itu mempergunakan senjatanya hanya karena beberapa keping uang upah menyeberang.

Namun tiba-tiba saja seorang anak muda telah mendekatinya sambil menepuk bahu orang yang menyebut dirinya Singa Luwuk itu. Iapun berkata, “He, kaukah yang bernama Singa Luwuk?”

Singa Luwuk berpaling. Ia terkejut melihat anak muda itu. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Kau mau apa, Anak Muda?”

“Kau mau membayar atau tidak?” bertanya anak muda itu.

Agung Sedayu yang menyaksikan tingkah Glagah Putih itu hanya menarik nafas panjang. Namun ia tidak mencegahnya, karena yang dilakukan oleh Glagah Putih itu termasuk salah satu kewajibannya. Melindungi orang yang lemah yang diperlakukan tidak adil oleh orang lain yang lebih kuat daripadanya.

Orang yang menyebut dirinya Singa Luwuk itu memandang Glagah Putih dengan heran. “Kau berani menegur aku seperti itu? Siapakah kau Anak Muda? Apakah kau sudah jemu hidup?”

“Aku adalah anak Tanah Perdikan Menoreh,” jawab Glagah Putih, “namaku Glagah Putih. Kedua orang itu adalah saudara-saudaraku. Namanya Agung Sedayu dan istrinya, Mbokayu Sekar Mirah.”

Mata orang itu terbelalak. Dipandanginya Agung Sedayu dan Sekar Mirah berganti-ganti. Dalam keremangan ujung malam orang itu tidak melihat dengan jelas. Namun ketika ia mendengar nama Agung Sedayu, maka orang itu pun dengan gagap bertanya, “Maksudmu Agung Sedayu dari Tanah Perdikan Menoreh?”

“Ya,” jawab Glagah Putih, “apa ada Agung Sedayu yang lain lagi?”

“Tidak. Aku tidak pernah mendengar bahwa ada Agung Sedayu yang lain,” jawab orang itu.

“Jadi kau sudah pernah mendengar nama Agung Sedayu?” bertanya Glagah Putih.

“Aku pernah mendengar kebesaran namanya di Tanah Perdikan Menoreh,” jawab orang itu.

“Jika demikian, apakah kau ingin membuat persoalan dengan orang itu?” bertanya Glagah Putih pula.

“Tidak. Tentu tidak. Biarlah aku pergi saja,” berkata orang yang menyebut dirinya Singa Luwuk itu.

Tetapi ketika ia melangkah, Glagah Putih menepuknya sambil berkata, “Ada yang belum kau selesaikan.”

“Apa?” bertanya Singa Luwuk.

“Kau belum membayar upah kepada tukang satang itu,” jawab Glagah Putih.

Singa Luwuk menarik nafas dalam-dalam. Namun akhirnya iapun telah mengambil beberapa keping uang dari kantong ikat pinggangnya yang lebar, setelah menyarungkan luwuknya.

Tanpa mengatakan apapun juga, baik kepada tukang satang maupun kepada Glagah Putih, apalagi kepada Agung Sedayu dan Sekar Mirah, maka orang itu pun telah melangkah dengan langkah-langkah panjang meninggalkan tepian.

Tukang-tukang satang itu pun hampir berbarengan berkata, “Terima kasih anak muda.”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Kalian tidak perlu mengucapkan terima kasih Ki Sanak. Terimalah hakmu itu, karena kau memang harus menerimanya.”

Tukang-tukang satang itu mengangguk. Sementara itu Glagah Putih pun kemudian telah meninggalkan mereka dan bersama-sama dengan Agung Sedayu dan Sekar Mirah meneruskan perjalanan.

“Nah, Kakang,” berkata Glagah Putih, “nama Kakang mulai ditakuti orang sekarang.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam Katanya, “Hal itulah yang seharusnya dihindari.”

“Kenapa? Bukankah dengan demikian Kakang akan mempunyai wibawa yang besar?” bertanya Glagah Putih pula.

Tetapi Agung Sedayu menggeleng. Katanya, “Apakah hal itu diperlukan? Kita seharusnya justru menjadi akrab dengan setiap orang. Bukan ditakuti.”

“Dalam keadaan yang khusus seperti ini, agaknya memang diperlukan Kakang. Baru saja kita dihadapkan pada satu contoh yang jelas. Seandainya nama Kakang tidak ditakuti, maka aku kira, aku harus berkelahi untuk memaksanya membayar,” berkata Glagah Putih.

“Tetapi antara orang itu dan aku, tentu terbentang jarak. Demikian juga dengan orang-orang lain yang mempunyai tanggapan kepadaku yang sama dengan orang itu,” berkata Agung Sedayu. Lalu katanya, “Bagiku, yang baik adalah bahwa kita mempunyai kedudukan seperti orang-orang lain. Dengan demikian, kita tidak harus membawa beban, justru karena kita dianggap berbeda dengan orang lain itu.”

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Ternyata ia mempunyai pendapat yang berbeda dengan Agung Sedayu. Menurut pendapat Glagah Putih, Agung Sedayu terlalu rendah hati, sehingga baginya nama yang besar itu akan menjadi beban. Tetapi menurut Glagah Putih, kadang-kadang memang diperlukan kebesaran nama seseorang. Bukan saja karena jabatannya, tetapi juga karena pribadi dan kemampuannya.

Tetapi Glagah Putih tidak berani menyatakannya, sebagaimana ia juga tidak berani menyatakan sikapnya tentang Swandaru kepada Agung Sedayu, apalagi kepada Sekar Mirah, adik Swandaru itu. Seandainya ia menjadi Agung Sedayu, maka ia akan meyakinkan kepada adik seperguruannya itu, bahwa ilmunya lebih tinggi dan mapan.

“Kakang Agung Sedayu terlalu tertutup hatinya. Hal itu kadang-kadang justru dapat menyulitkannya. Banyak persoalan yang harus tertunda penyelesaiannya. Sebaliknya Kakang Swandaru terlalu berterus-terang,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya. Keduanya memang seperti dua buah pintu. Satu tertutup rapat-rapat, sementara yang lain terbuka lebar-lebar.

Glagah Putih yang merambat ke usia dewasa itu ternyata telah mampu menilai keduanya. Bahwa keadaan yang demikian itu, akan dapat mempunyai akibat yang kurang baik pada kedua-duanya.

Meskipun pada dasarnya, sifat dan watak Glagah Putih sangat dipengaruhi oleh sifat dan watak Agung Sedayu, tetapi sifat dan watak gurunya yang lain, Ki Jayaraga, berpengaruh pula padanya. Selain mereka, maka pengaruh Raden Rangga pada sifat dan watak Glagah Putih pun cukup besar. Namun demikian, Glagah Putih adalah satu pribadi yang utuh tersendiri. Ia bukan tiruan dari pribadi-pribadi yang ada di sekitarnya.

Demikianlah, ketiganya mulai memasuki Tanah Perdikan Menoreh di saat malam mulai turun. Namun jalan-jalan di Tanah Perdikan itu sudah mereka kenal dengan baik, sehingga meskipun malam menjadi kelam, mereka sama sekali tidak merasa terganggu.

Karena itu, meskipun tidak terlalu kencang, maka mereka telah membawa kuda-kuda mereka berlari menyusuri jalan-jalan bulak dan padukuhan.

Beberapa kali ketiga orang itu harus berhenti di mulut-mulut lorong karena satu dua orang yang telah berada di gardu telah menyapa mereka. Meskipun ketiga orang itu segera ingin sampai ke padukuhan induk, namun mereka tidak dapat begitu saja mengabaikan sapa anak-anak muda dan bahkan orang-orang lain yang berpapasan.

Meskipun agak lambat, namun akhirnya ketiganya telah memasuki padukuhan induk. Mereka bertiga sepakat untuk tidak langsung pulang ke rumah mereka, tetapi mereka akan singgah lebih dahulu di rumah Ki Gede untuk melaporkan kehadiran mereka, karena sudah terlalu lama meninggalkan Tanah Perdikan.

Kedatangan mereka di rumah Ki Gede memang mengejutkan. Namun seluruh keluarga Ki Gede dan para pengawal yang kebetulan bertugas meronda malam itu menyambut kedatangan mereka dengan gembira.

Oleh Ki Gede mereka telah diterima di ruang dalam. Agaknya Ki Gede juga ingin mengetahui, apa saja yang telah terjadi dengan mereka, sehingga rasa-rasanya mereka telah terlalu lama meninggalkan Tanah Perdikan itu.

Namun agaknya Ki Gede menyadari, bahwa ketiga orang itu masih terlalu letih untuk bercerita panjang lebar. Karena itu, Ki Gede hanya ingin tahu serba sedikit apa yang telah terjadi di perjalanan mereka mengunjungi Sangkal Putung dan Jati Anom.

Agung Sedayu pun kemudian menceriterakan dengan singkat, pengalaman perjalanannya bertiga. Namun yang penting untuk diketahui oleh Ki Gede tidak ada yang terlampaui.

Ki Gede memang tidak ingin membicarakannya saat itu. Karena itu maka katanya, “Baiklah. Laporanmu sudah aku dengar Agung Sedayu. Aku tahu, bahwa kalian perlu beristirahat. Karena itu, biarlah besok kita berbicara lebih panjang. Aku harap kalian datang di saat matahari sepenggalah. Aku akan mengundang para bebahu Tanah Perdikan. Meskipun barangkali tidak banyak yang akan dapat mengikuti persoalan yang berkembang antara Mataram dan Madiun, namun biarlah mereka mendengar serba sedikit pengalaman perjalananmu, karena mereka pun telah menunggu-nunggu kehadiranmu kembali di Tanah Perdikan ini.”

“Baiklah Ki Gede,” sahut Agung Sedayu, “perkenankanlah kini kami mohon diri.”

“Kalian tentu ingin segera membersihkan diri dan kemudian tidur dengan nyenyak. Ki Jayaraga pun tentu akan senang menerima kedatangan kalian,” berkata Ki Gede kemudian.

Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih pun segera mohon diri untuk kembali ke rumah mereka yang telah mereka tinggalkan untuk beberapa lama.

Ki Jayaraga menjadi sangat gembira menerima kedatangan Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih pulang. Dengan nada tinggi ia berkata, “Sudah terlalu lama aku merasa kesepian di rumah. Aku kira kalian telah melupakan Tanah Perdikan ini.”

Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Ada sesuatu yang telah menahan kami. Justru karena di sini ada Ki Jayaraga, kami tidak merasa tergesa-gesa.”

“Ah, ada-ada saja kau Agung Sedayu,” sahut Ki Jayaraga, “tetapi sayang, aku tidak menanak nasi sore ini. Aku makan sisa nasi tadi siang yang masih banyak.”

“Sudahlah,” berkata Sekar Mirah, “aku akan menanak nasi.”

“Aku juga tidak menyediakan lauk pauk,” desis Ki Jayaraga pula.

Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih tertawa. Sementara itu, pembantu di rumah itu pun telah menyambut pula kedatangan mereka dengan gembira.

Ki Jayaraga kemudian sempat menanyakan keselamatan perjalanan mereka.

Demikianlah, maka Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih pun telah berganti-ganti membersihkan diri. Sementara Sekar Mirah memang pergi ke dapur untuk menghidupkan perapian. Tetapi Sekar Mirah tidak merasa perlu untuk menanak nasi, karena mereka yang baru saja kembali itu tidak merasa lapar. Sekar Mirah hanya merebus air untuk membuat minuman hangat.

Setelah mandi dan membenahi diri, maka Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih ternyata tidak segera pergi ke bilik mereka. Agung Sedayu dan Sekar Mirah masih sempat berbincang-bincang dengan Ki Jayaraga. Banyak hal yang telah diceritakan oleh Agung Sedayu tentang perjalanan mereka.

Ki Jayaraga mendengarkan cerita Agung Sedayu dengan sungguh-sungguh.

Sementara itu, Glagah Putih ternyata sudah sibuk dengan pembantu rumah Agung Sedayu itu. Anak itu sibuk bercerita tentang pliridan dan ikan yang seakan-akan bertambah banyak di sungai kecil tempat mereka membuat pliridan itu.

“Apa kau ingin melihat?” bertanya anak itu.

“Kau tentu tahu, aku letih,” jawab Glagah Putih.

Anak itu sempat pula bercerita bahwa dua hari yang lalu ia telah berkelahi.

“Kenapa?” bertanya Glagah Putih.

“Mereka telah mencuri ikan di pliridan kita,” jawab anak itu.

“Mereka siapa?” bertanya Glagah Putih pula.

“Anak padukuhan sebelah,” jawab anak itu.

“Kau berhasil mengusir mereka?” bertanya Glagah Putih kemudian.

Ternyata anak itu menggeleng. Jawabnya, “Aku dipukuli oleh empat orang. Mereka rata-rata lebih besar dari aku.”

Glagah Putih tertawa. Namun anak itu menjadi marah. Katanya, “Kau malahan mentertawakan aku. Seharusnya kau menjadi marah dan membantuku.”

“Bagaimana aku membantumu? Peristiwa itu sudah terjadi dua hari yang lalu,” berkata Glagah Putih.

“Tetapi kita mengenal anak-anak itu. Kita dapat mendatangi mereka dan menantangnya berkelahi. Kau mempunyai banyak kenalan di sini, bahkan para pengawal. Aku tidak dapat minta tolong kepada mereka. Tetapi kau tentu dapat,” berkata anak itu.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi maksudmu, kita datang beramai-ramai ke rumah anak-anak yang telah memukulimu itu? Menantang mereka berkelahi atau sekedar memukuli mereka beramai-ramai?”

“Jika kita dapat mengajak dua puluh orang anak-anak muda di padukuhan ini, maka kita akan dapat memukuli mereka,” jawab anak itu.

Glagah Putih masih mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bertanya, “Tetapi bagaimana jika keempat anak itu pada hari lain datang kembali, bersama-sama dengan empat puluh kawan-kawan mereka dan memukuli kita beramai-ramai?”

“Kita mencari kawan lebih banyak lagi,” jawab anak itu.

“Dan mereka pun mencari kawan jauh lebih banyak lagi. Nah, bukankah dengan demikian akan dapat timbul perang? Apalagi mereka adalah anak-anak Tanah Perdikan ini pula. Apakah kita akan senang melihat anak-anak muda dari Tanah Perdikan ini saling berperang? Bahkan mungkin akan dapat jatuh korban. Satu atau dua. Nah, bayangkan, ibunya tentu akan menangisinya. Apalagi jika kebetulan ia anak tunggal.”

Anak itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Karena itu, ajari aku berkelahi, supaya aku tidak perlu bantuan orang lain.”

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Bukankah aku sudah mengajarimu berkelahi?”

“Tetapi aku masih kalah berkelahi dengan anak yang sedikit lebih besar dari aku, meskipun ia hanya seorang diri,” berkata anak itu.

“Jadi jika kau nanti pandai berkelahi, maka kau akan berkelahi dengan anak-anak yang lebih besar darimu?” bertanya Glagah Putih.

“Aku akan memukuli mereka yang berani menantang aku,” jawab anak itu.

Glagah Putih tertawa pula. Katanya, “Kau keliru. Jika kau belajar berkelahi, bukan maksudku untuk berkelahi melawan siapa saja.”

“Lalu untuk apa?” bertanya anak itu.

“Jika kita mampu berkelahi, terutama sekedar untuk melindungi diri kita sendiri tanpa memancing persoalan dengan orang lain. Juga untuk melindungi orang-orang yang lemah dari tindakan sewenang-wenang orang lain. Tetapi agaknya kau tidak begitu. Jika kau mampu berkelahi dengan baik, kau tentu akan menantang anak-anak yang sedang bermain di pinggir jalan atau mereka yang sedang bekerja di sawah.”

Anak itu termangu-mangu. Namun iapun kemudian mengangguk-angguk, “Aku mengerti.”

“Jadi kemampuan seseorang tidak untuk menyombongkan diri,” berkata Glagah Putih.

“Baiklah. Ajari aku berkelahi. Aku tidak akan sombong. Tetapi aku tidak akan dipukuli orang lagi tanpa bersalah. Justru orang-orang itu yang akan mencuri ikan di pliridan kita,” minta anak itu.

Glagah Putih tertawa lagi. Katanya, “Baiklah. Tetapi kau harus berjanji untuk tidak mempergunakan tanpa ada artinya.”

“Aku sudah berjanji lebih dari duapuluh kali,” desis anak itu, “tetapi kau tidak bersungguh-sungguh.”

“Jangan merajuk,” jawab Glagah Putih, “kau tahu bahwa aku sering pergi.”

“Untuk apa sebenarnya kau pergi? Seharusnya kau lebih banyak tinggal di rumah. Sawah dan ladang kadang-kadang terbengkelai. Selama kalian pergi, Ki Jayaraga bekerja sendiri di sawah bersamaku,” berkata anak itu.

“Tetapi pekerjaan di sawah tidak terlalu banyak sekarang. Padi sudah tumbuh. Bukankah dua orang yang bekerja di sawah Kakang Agung Sedayu itu tidak menjadi malas?” bertanya Glagah Putih.

“Memang tidak. Tetapi biasanya kau, bahkan Paman Agung Sedayu sendiri sering turun pula kesawah,” berkata anak itu.

“Sudahlah. Jika tidak perlu sekali, aku tidak akan sering pergi,” berkata Glagah Putih.

“Kau memang senang bepergian. Seolah-olah rumah ini hanya sekedar tempat persinggahan,” gumam anak itu.

“O, pandai juga kau berbicara. Baiklah. Aku akan mengajarimu berkelahi,” berkata Glagah Putih. “Tetapi marilah kita memakai istilah lain agar terasa lebih mapan dan kau mempunyai pengertian yang lebih baik. Bukan belajar berkelahi, tetapi belajar olah kanuragan.”

Anak itu mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Apa saja namanya. Pokoknya aku tidak dipukuli orang lagi.”

Glagah Putih tertawa semakin keras. Namun ia berusaha untuk tidak mengganggu mereka yang sedang berbincang di dalam.

“Besok lusa kita akan mulai,” berkata Glagah Putih.

“Kenapa besok lusa. Kenapa tidak sekarang?” desak anak itu.

“Kau tahu, aku masih letih sekarang,” jawab Glagah Putih, “aku akan segera tidur sampai besok.”

Anak itu termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian bersungut-sungut, “Kau memang malas sekali.”

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Sudahlah. Jika kau akan pergi ke sungai, pergilah. Jangan suka berkelahi. Kurang baik, meskipun kau mempunyai kemampuan olah kanuragan.”

Anak itu tidak menjawab, sementara Glagah Putih bangkit sambil menggeliat, “Aku akan tidur.”

Anak itu tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian mengumpulkan alat-alat yang akan dibawanya ke sungai. Sementara Glagah Putih pun telah menuju ke biliknya.

Tetapi di ruang dalam, Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Ki Jayaraga masih duduk sambil berbincang. Mereka tidak saja membicarakan persoalan Mataram dan Madiun, tetapi juga kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan kemudian Agung Sedayu pun telah membicarakan hubungannya dalam tataran ilmu dengan Swandaru. “Memang sulit Kakang,” desis Sekar Mirah, “tetapi sebaiknya kita tidak tergesa-gesa. Jika kemudian ternyata kita tidak menemukan cara, maka kita dapat minta tolong kepada Kiai Gringsing.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Bagaimanapun juga, penilaian yang keliru itu merupakan beban perasaan bagi Agung Sedayu.

“Karena itu, cobalah bertempur di saat Swandaru ada,” berkata Ki Jayaraga.

“Itulah yang sulit,” berkata Agung Sedayu, “bagaimana aku harus mengatur agar lawan datang pada saat Swandaru juga hadir.”

Ki Jayaraga justru tersenyum. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Memang benar, bagaimana kita mengundang Swandaru di saat lawan itu datang. Sedangkan kita tidak tahu kapan lawan itu menghampiri kita.”

“Bahkan jika mungkin, lawan itu jangan datang sama sekali,” berkata Agung Sedayu.

Ki Jayaraga tertawa. Katanya, “Agaknya kau memang tidak merasa perlu untuk berbuat demikian. Baiklah. Aku sependapat dengan Sekar Mirah. Biarlah gurumu yang mengatakannya dengan caranya. Tentu ia tidak kurang bijaksana.”

Agung Sedayu pun kemudian mengangguk-angguk pula. Bahkan hampir di luar sadarnya ia telah bergumam, “Aku juga telah diserahi untuk membawa kitab Guru.”

“O, jadi Swandaru menyerahkannya kepadamu?” bertanya Ki Jayaraga.

“Ya. Hal itu dilakukan sebagai salah satu akibat kesalah-pahaman itu. Ia mengharap agar ilmuku dapat meningkat serba sedikit. Namun bagaimanapun juga, maksud Swandaru tentu baik. Ia ingin saudara seperguruannya tidak selalu terluka dalam hampir setiap pertempuran.”

“Ah, apakah kau tentu terluka di setiap pertempuran?” bertanya Ki Jayaraga.

“Tetapi aku memang sering mengalami. Sudah beberapa kali aku terluka dalam pertempuran,” jawab Agung Sedayu.

“Tetapi kau berkesempatan memenangkan pertempuran-pertempuran itu. Jika kau tidak sempat keluar dari pertempuran itu, maka kau memang tidak akan pernah terluka lagi,” sahut Ki Jayaraga.

“Ah, jangan berkata begitu,” Sekar Mirahlah yang menyahut.

“Maaf, bukan maksudku. Tetapi agaknya memang agak terlanjur,” jawab Ki Jayaraga.

“Sekarang aku pun terluka,” berkata Agung Sedayu.

“Luka kecil. Tetapi bukankah kau tidak terganggu karena luka itu?” bertanya Ki Jayaraga.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia berkata, “Tetapi aku memang ingin memperbaharui ingatanku tentang kitab Guru. Aku akan mengambil kesempatan untuk membacanya dan mengingat-ingat bagian-bagian yang penting. Mungkin pada suatu saat aku sangat memerlukannya.”

“Tetapi kau mempunyai kesempatan untuk menekuni ilmu yang terdapat dalam kitab itu tetapi belum kau kuasai dengan baik,” berkata Ki Jayaraga.

“Ada dua kemungkinan yang dapat aku lakukan. Memperbanyak jenis ilmu yang dapat aku kuasai, atau memperdalam yang memang sudah ada,” jawab Agung Sedayu. Lalu katanya, “Tetapi agaknya aku cenderung untuk memperdalam apa yang telah ada padaku. Mungkin akan sangat berarti bagi perkembangan ilmuku sebagai bekal pengabdianku kelak.”

“Kau aneh Agung Sedayu,” berkata Ki Jayaraga, “bagiku kau adalah orang yang mumpuni. Orang yang sudah tuntas dalam olah kanuragan dan olah kajiwan. Apalagi yang akan kau pelajari untuk meningkatkan ilmumu?”

“Ki Jayaraga. Aku sama sekali tidak ingin menjadi orang yang memiliki kemampuan tertinggi di seluruh muka bumi, karena aku yakin bahwa setiap orang betapapun tinggi ilmunya, mempunyai kelemahan masing-masing. Tetapi apa salahnya jika seseorang berusaha untuk meningkatkan kemampuannya yang dapat diabdikan bagi sesama? Memang yang nampak tidak ada bedanya dengan orang yang tamak dan berkeinginan untuk berkuasa karena kekuatan yang ada pada dirinya. Namun jiwanya-lah yang berlainan.”

Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Alangkah bangganya hati ini jika aku dapat melakukannya pula.”

“Kenapa tidak?” bertanya Agung Sedayu.

“Tetapi aku sudah terlalu tua untuk ikut serta menempa diri sebagaimana dilakukan oleh orang-orang yang lebih muda,” berkata Ki Jayaraga.

Tetapi Agung Sedayu tertawa. Dengan nada tinggi ia berkata, “Jadi Ki Jayaraga sudah merasa dirinya terlalu tua untuk meningkatkan diri?”

Ki Jayaraga merenung sejenak. Namun iapun kemudian tersenyum sambil berkata, “Mudah-mudahan tidak. Mudah-mudahan aku masih mempunyai kemauan untuk melakukannya.”

“Syukurlah,” berkata Agung Sedayu, “masih banyak tugas yang menunggu di hadapan kita.”

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun berkata, “Tetapi bukankah kalian masih letih? Jika kalian ingin beristirahat, silahkan. Besok kita akan bercerita lagi tentang perjalanan kalian.”

Agung Sedayu dan Sekar Mirah tersenyum. Namun Agung Sedayu masih sempat berkata, “Agaknya Ki Jayaraga juga sudah mengantuk.”

Ki Jayaraga pun tertawa pula. Desisnya, “Barangkali memang demikian. Selamat malam.”

Ki Jayaraga-lah yang kemudian mendahului meninggalkan Agung Sedayu dan Sekar Mirah, kembali ke dalam biliknya. Baru sejenak kemudian Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun pergi beristirahat.

Di hari berikutnya, ketika matahari naik sepenggalah, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih telah berada di rumah Ki Gede. Sekar Mirah sengaja tidak ikut bersama mereka. Ia tahu bahwa pertemuan itu adalah pertemuan resmi.

Ternyata di antara para bebahu dan para pemimpin yang lain di Tanah Perdikan, telah hadir pula dua orang tamu. Dua orang yang datang dari barak pasukan Mataram yang ada di Tanah Perdikan.

Ketika mereka yang diharapkan datang telah hadir hampir seluruhnya, maka Ki Gede telah membuka pertemuan itu. Kepada mereka yang datang ke pendapa Ki Gede berkata. “Baiklah Ki Sanak. Sebelum kita berbicara tentang diri kita sendiri, maka dua orang tamu yang hadir di sini agaknya perlu aku perkenalkan. Keduanya adalah perwira-perwira muda dari pasukan khusus Mataram yang ada di Tanah Perdikan ini. Keduanya memang belum lama bertugas di barak pasukan khusus itu, sehingga agaknya banyak di antara kita yang belum mengenalnya.”

Kedua orang itu mengangguk hormat kepada para pemimpin di Tanah Perdikan itu.

Sementara itu Ki Gede melanjutkan, “Keduanya telah ditugaskan untuk bertemu dengan para pemimpin Tanah Perdikan ini. Adalah satu kebetulan bahwa hari ini kita sedang mengadakan pertemuan, sehingga keduanya dapat sekaligus berbicara langsung dengan Ki Sanak semuanya. Nah, agar tugas mereka segera dapat mereka laksanakan, maka baiklah kita memberikan waktu lebih dahulu kepada mereka berdua.”

Salah seorang dari kedua perwira itu pun kemudian telah bergeser setapak maju. Atas nama mereka berdua perwira itu pun kemudian berkata, “Kami mengucapkan terima kasih atas kesempatan bertemu dengan Ki Sanak semua. Satu kesempatan yang sebelumnya tidak kami duga.” Perwira itu berhenti sejenak, lalu, “Nah, perkenalkanlah kami menyampaikan pesan dari Senapati yang kini memimpin pasukan khusus di Tanah Perdikan ini. Senapati kami yang baru ingin mengundang para pemimpin Tanah Perdikan ini, khususnya Ki Gede, untuk menghadiri satu pertemuan perkenalan dengan Senapati kami yang baru.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia berkata, “Kami ucapkan terima kasih atas kesempatan ini. Tetapi bukankah sebelumnya hal seperti ini tidak terbiasa dilakukan? Biasanya, jika terjadi pergantian pimpinan, maka Senapati yang baru itu datang memperkenalkan diri. Tetapi agaknya Senapati yang baru ini ingin mengadakan sedikit upacara.”

“Ya Ki Gede,” jawab perwira itu, “agaknya hal ini pertama kali dilakukan. Tetapi menurut Senapati kami yang baru, cara yang ditempuh ini lebih baik dan tidak banyak membuang waktu. Selain Ki Gede, juga diundang beberapa orang Demang dari kademangan di sekitar Tanah Perdikan ini. Dengan demikian, maka perkenalan itu dapat dilakukan sekaligus, sehingga tidak seperti sebelumnya, seorang Senapati harus membuang-buang waktu untuk mengunjungi mereka seorang demi seorang.”

“Ah, tentu bukannya membuang waktu. Bukankah dengan demikian pemimpin Pasukan Khusus itu akan dapat melihat langsung keadaan lingkungannya?” sahut Ki Gede.

“Ki Gede benar. Tetapi nampaknya Senapati kami yang baru ini akan sedikit mengadakan upacara melepas Senapati kami yang lama pula,” jawab perwira itu.

“Baiklah,” jawab Ki Gede, “kami akan datang.”

“Terima kasih Ki Gede. Tetapi bukan maksud kami membatasi kemauan baik Ki Gede, namun kami hanya dapat menerima tiga orang di antara para pemimpin Tanah Perdikan ini. Bukan karena bermacam-macam perhitungan, tetapi semata-mata karena tempat yang kami sediakan sangat terbatas,” berkata perwira itu lebih lanjut.

“Baiklah. Kami akan datang bertiga,” jawab Ki Gede kemudian, “itu memang sudah cukup.”

Para perwira itu mengangguk-angguk. Kemudian perwira itu pun memberi tahukan tentang saat dari pertemuan itu. Ternyata saatnya sudah terlalu dekat.

“Sore nanti?” bertanya Ki Gede.

“Ya Ki Gede, sore nanti. Saat matahari turun,” jawab perwira itu. Lalu, “Agar mereka yang datang dari jarak yang agak panjang, tidak kegelapan di perjalanan kembali setelah upacara itu selesai. Lebih-lebih mereka yang datang dari seberang bukit.”

Ki Gede mengangguk-angguk mengiakan. Dengan nada datar Ki Gede pun kemudian berkata, “Ki Sanak. Sampaikan ucapan terima kasih kami, para bebahu Tanah Perdikan Menoreh atas kesempatan ini. Kami akan memerlukan datang meskipun pemberitahuan ini terlalu tiba-tiba. Tetapi kami mengerti, bahwa agaknya rencana ini pun dibuat dengan tiba-tiba.”

“Ki Gede benar. Senapati kami yang baru itu tiba malam tadi. Ia segera membuat perintah-perintah yang harus kami lakukan. Antara lain mengundang para pemimpin dari Tanah Perdikan ini dan beberapa kademangan di sekitar Tanah Perdikan ini,” jawab perwira muda itu. Namun kemudian katanya, “Tetapi baiklah kami segera mohon diri, karena tugas kami sudah kami selesaikan. Agaknya tidak pantas jika kami ikut dalam pertemuan para pemimpin Tanah Perdikan ini.”

“Tetapi jika kalian berdua menghendaki, kami tidak mempunyai keberatan,” sahut Ki Gede.

“Terima kasih Ki Gede. Sebaiknya kami mohon diri,” berkata perwira itu.

Ki Gede memang tidak menahannya. Karena itu, maka kedua orang perwira muda itu pun segera meninggalkan rumah Ki Gede dan kembali ke barak Pasukan Khusus.

Sepeninggal kedua perwira itu, maka Ki Gede pun telah membuka pertemuan itu. Seperti yang sudah ditentukan, maka pertemuan itu akan mendengarkan keterangan Agung Sedayu tentang perjalanannya, sehingga para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh itu dapat mengenali keadaan yang sedang berkembang di Mataram. Hubungan antara Mataram dan Madiun, serta sikap para prajurit Mataram yang seharusnya, karena ada orang yang berusaha memanfaatkan keadaan untuk kepentingan pribadinya, sebagaimana dilakukan oleh guru Jaka Rampan.

Keterangan Agung Sedayu itu merupakan pengenalan yang luas bagi para pemimpin Tanah Perdikan itu, sehingga keterangannya itu sangat berarti bagi kepentingan Tanah Perdikan.

Namun dalam pada itu, di samping keterangan Agung Sedayu, para pemimpin Tanah Perdikan itu juga sempat membicarakan sikap Senapati yang memimpin Pasukan Khusus Mataram yang baru itu.

“Bukan satu kebiasaan,” berkata Ki Gede, “tetapi hal itu memang tidak mengikat. Agaknya orang ini mempunyai watak dan kebiasaan yang berbeda dengan para Senapati yang terdahulu.”

Tetapi salah seorang di antara bebahu itu ternyata mempunyai kesan yang lain. Katanya, “Tetapi kesannya, Senapati itu bersikap sebagai seorang pemimpin yang berderajat jauh lebih tinggi dari Ki Gede dan para bebahu, serta para Demang di sekitar Tanah Perdikan ini.”

Ki Gede termangu-mangu. Namun Agung Sedayu-lah yang menyahut, “Mungkin maksudnya bukan begitu. Seperti yang dikatakannya, dengan demikian maka banyak waktu dapat dihemat. Meskipun Senapati itu tidak dapat melihat langsung keadaan lingkungan Tanah Perdikan dan kademangan-kademangan di sekitar Tanah Perdikan ini. Tetapi kepentingan yang lain adalah melepas pemimpin yang digantikannya.”

Ki Gede mengangguk-angguk seperti juga para bebahu yang lain. Namun kemudian katanya, “Baiklah, apapun kepentingannya, maka kami akan datang bertiga. Aku sendiri, Ki Jagabaya dan Agung Sedayu. Kami bertiga akan mewakili bukan saja para bebahu, tetapi juga seluruh rakyat Tanah Perdikan, untuk menyambut kehadiran Senapati yang baru bagi Pasukan Khusus itu.”

Demikianlah, maka pembicaraan yang kemudian berkembang itu telah dianggap selesai. Karena itu, maka Ki Gede pun telah menutup pertemuan itu, setelah mempersilahkan para peserta pertemuan itu untuk minum dan makan.

Ketika para bebahu minta diri, maka Agung Sedayu pun telah minta diri pula. Ia harus bersiap-siap untuk mengikuti Ki Gede ke barak Pasukan Khusus itu.

Pada saat yang telah ditentukan, maka Agung Sedayu telah berada kembali di rumah Ki Gede. Sejenak kemudian, Ki Jagabaya pun telah datang pula. Bersama Ki Gede mereka bertiga pun telah berangkat menuju ke barak Pasukan Khusus yang ada di tanah Perdikan.

Ketika mereka sampai ke barak itu, beberapa orang tamu dari kademangan di sekitar Tanah Perdikan itu telah hadir pula. Mereka telah dipersilahkan duduk di sebuah ruang yang cukup luas, di atas tikar pandan putih bergaris-garis. Beberapa orang perwira muda telah mempersilahkan setiap tamu dengan ramahnya untuk memasuki ruangan.

Tetapi kesan keramahan itu agaknya berkurang ketika mereka sudah memasuki ruangan. Senapati yang baru itu duduk di antara dua orang perwira wreda yang ada di barak itu. Kemudian Senapati yang lama, yang akan meninggalkan barak itu, duduk pula di sebelahnya. Sekali-sekali Senapati yang akan meninggalkan barak itu mengangguk sambil tersenyum terhadap tamu-tamunya. Namun wajah Senapati yang baru itu agak berbeda. Meskipun ia juga mengangguk-angguk dan tersenyum, namun senyumnya terasa agak sendat.

Ketika Ki Gede memasuki ruangan itu, maka Senapati yang lama itu justru telah mempersilahkan dengan hormat. Kepada Senapati yang baru ia telah memperkenalkan, bahwa yang datang itu adalah Ki Argapati yang bergelar Ki Gede Menoreh.

Senapati itu memang mengangguk. Tetapi nampak bahwa wajahnya tetap sepi. Seakan-akan tidak mengandung kesan apapun juga.

Ki Gede memang tertegun sejenak melihat sikap itu. Tetapi Ki Gede berusaha untuk tidak menunjukkan kesan apapun juga. Sebagai orang yang sudah mengendap maka sikapnya adalah sikap yang dewasa.

Beberapa saat kemudian, maka nampaknya para tamu yang diundang telah hadir. Sehingga dengan demikian pertemuan itu pun segera dimulai.

Seorang perwira yang dianggap cukup tua dan telah berada di Tanah Perdikan cukup lama, telah mengantarkan pertemuan itu. Perwira itulah yang telah memperkenalkan Senapati yang baru itu kepada mereka yang diundang hadir di barak itu, sementara perwira itu pula-lah yang menguraikan kata-kata pelepasan kepada Senapati yang lama, yang akan meninggalkan barak itu.

Tidak ada yang aneh dan yang harus mendapat perhatian khusus dalam pertemuan itu. Kedua orang Senapati itu telah mengatakan sesorah masing-masing. Seorang telah minta diri kepada para pemimpin yang hadir dari Tanah Perdikan Menoreh dan kademangan-kademangan di sekitar Tanah Perdikan Menoreh, sedangkan yang lain menyatakan bahwa ia datang untuk menjalankan perintah, memimpin Pasukan Khusus Mataram yang ada di Tanah Perdikan Menoreh.

“Aku sama sekali tidak akan mencampuri pemerintahan di Tanah Perdikan Menoreh serta kademangan-kademangan di sekitar Tanah Perdikan ini,” berkata Senapati yang baru itu.

Para pemimpin dari Tanah Perdikan Menoreh serta kademangan-kademangan itu pun mengangguk-angguk. Isi dari sesorah Senapati yang baru itu memang menarik. Tetapi sikapnya masih tetap seperti semula. Wajahnya nampak suram dan hampir tidak pernah nampak senyum di bibirnya.

Namun pertemuan itu sendiri berlangsung dengan baik dan rancak. Dari acara yang pertama sampai acara yang terakhir berlangsung sebagaimana direncanakan.

Seperti direncanakan pula, maka pertemuan itu diakhiri sebelum matahari menyentuh cakrawala. Sehingga mereka yang datang dari padukuhan-padukuhan di seberang bukit akan dapat mencapai tempat tinggal mereka sebelum malam terlalu dalam.

Seperti tamu-tamu yang lain, Ki Gede Menoreh pun telah bangkit untuk meninggalkan barak itu. Seperti yang lain-lain pula maka Ki Gede, Agung Sedayu dan Ki Jagabaya pun memberikan ucapan selamat seorang demi seorang kepada Senapati yang baru itu. Tetapi sebagaimana tanggapannya kepada yang lain, maka wajah Senapati itu serasa kosong ketika ia menjabat tangan Ki Gede Menoreh, Agung Sedayu dan Ki Jagabaya di Tanah Perdikan.

Tetapi Ki Gede tidak mempersoalkannya. Bertiga, maka Ki Gede pun meninggalkan barak itu seperti para tamu yang lain.

Namun di perjalanan pulang itu, Agung Sedayu tidak dapat menyimpan pertanyaan di dalam hatinya. Karena itu, maka iapun telah bertanya kepada Ki Gede, “Bagaimana tanggapan Ki Gede tentang Senapati yang baru ini?”

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku kurang tahu. Bukankah kita baru berkenalan dengan orang itu hari ini.?”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian berkata pula, “Sikapnya dingin sekali terhadap siapapun juga.”

“Ya,” desis Ki Jagabaya, “rasa-rasanya kita semuanya yang hadir di pertemuan itu bukan apa-apa baginya.”

Ki Gede justru tersenyum. Katanya, “Tabiat seseorang memang berbeda-beda. Sikapnya yang nampak dingin itu belum tentu menggambarkan sikap batinnya. Mungkin besok atau lusa, justru Senapati itu menjadi bergelora dan langkah-langkahnya akan membuat para prajurit dari Pasukan Khusus itu bagaikan api yang akan membakar gairah berjuang di Tanah Perdikan ini dan sekitarnya.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Desisnya, “Mudah-mudahan.”

Tetapi Agung Sedayu tidak bertanya lagi tentang sikap Senapati itu. Di perjalanan selanjutnya mereka justru telah membicarakan perkembangan Tanah Perdikan Menoreh itu sendiri.

Satu dua hari berikutnya, tidak nampak perubahan yang menarik perhatian dari sikap para prajurit di barak khusus itu. Kegiatan yang mereka lakukan tidak ubahnya dengan kegiatan-kegiatan sebelumnya. Senapati yang baru itu tidak membuat langkah-langkah keluar baraknya.

Namun di hari berikutnya, Ki Gede telah dikejutkan oleh kehadiran beberapa orang perwira prajurit dari Mataram. Di antara mereka terdapat orang yang dikenalnya dengan baik. Ki Lurah Branjangan.

Ki Gede pun dengan segera telah memerintahkan memanggil Agung Sedayu untuk ikut menemui Ki Lurah Branjangan yang pernah memimpin Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan, justru pada saat pasukan itu sedang di bangun.

“Apakah aku sudah nampak sangat tua?” bertanya Ki Lurah Branjangan.

“Ah, belum Ki Lurah,” jawab Ki Gede. Namun yang kemudian segera disusul, “Eh, maaf. Apakah pangkat Ki Lurah sudah berubah sekarang?”

Ki Lurah Brajangan tertawa. Katanya, “Pangkatku sudah pangkat tertinggi bagiku. Sampai saatnya aku mohon mengundurkan diri dari tugas keprajuritan.”

“Jadi Ki Lurah sudah mengundurkan diri?” Bertanya Ki Gede.

“Resminya sudah,” jawab Ki Lurah, “tetapi kadang-kadang aku masih diperlukan. Hanya kadang-kadang.”

“Itulah sebabnya kita jarang bertemu Ki Lurah,” desis Agung Sedayu. “Setiap kali aku ke Istana, Ki Lurah tidak pernah nampak hadir.”

Ki Lurah Branjangan tertawa. Katanya, “Aku memang sudah jarang pergi ke Istana, apalagi menghadap Panembahan Senapati. Badanku sudah lemah. Bahkan aku pernah dikabarkan telah meninggal dunia. Beberapa orang kawanku terdekat sempat datang menengokku saat itu. Aku memang sakit keras, sehingga berita itu tidak terlalu dibuat-buat. Namun ternyata Yang Maha Agung masih memperkenankan aku sempat melihat Tanah Perdikan ini kembali.”

Seorang perwira yang datang bersama Ki Lurah itu pun berkata pula, “Aku pun telah datang untuk ikut menyatakan bela sungkawa pada waktu itu. Tetapi ternyata Ki Lurah kemudian sembuh.”

“Panembahan Senapati sempat mengirimkan utusan untuk melihat apakah benar aku sudah mati,” berkata Ki Lurah sambil tertawa.

“Tetapi Ki Lurah kini nampak sehat,” sahut Ki Gede Menoreh.

“Tetapi tubuhku benar-benar sudah lemah. Berkuda ke padukuhan induk Tanah Perdikan ini pun aku sudah merasa sangat letih. Ketika aku bertemu dengan kawan akrabku, ia hampir menangis melihat aku masih sempat berkuda, karena kawan akrabku ini pernah datang ke kuburan yang dikabarkan tempat aku dikuburkan. Ia tidak sempat datang melihat kematianku itu karena ia bertugas. Ketika dari tempatnya bertugas ia mendengar kabar itu, ia langsung pergi ke kuburan pada saat-saat mayatku itu diberitakan dikuburkan.”

“Ah,” desah Ki Gede. Namun katanya kemudian, “Tetapi Ki Lurah. Biasanya seseorang yang sudah dikabarkan meninggal itu, umurnya justru akan menjadi panjang.”

Ki Lurah tertawa. Katanya, “Semuanya terserah kepada Yang Maha Agung.”

Ki Gede pun tertawa pula.

Beberapa saat lamanya mereka sempat berbicara tentang kesehatan masing-masing. Sementara itu minuman hangat dan makanan pun telah dihidangkan.

Setelah minum beberapa teguk dan makan sepotong makanan, maka Ki Lurah itupun berkata, “Ki Gede. Kedatanganku kali ini sekedar mengantarkan Ki Panji Wiralaga dan beberapa orang pembantunya. Karena aku dianggap akrab dengan Ki Gede dan para pemimpin Tanah Perdikan, maka aku mendapat perintah secara khusus dari Panembahan Senapati untuk menemaninya.”

“O,” Ki Gede mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Kedatangan Ki Panji Wiralaga dengan beberapa perwira yang lain bersama Ki Lurah Branjangan memang mengejutkan. Baru beberapa hari yang lalu kami, beberapa orang bebahu, mendapat undangan untuk menghadiri upacara yang diselenggarakan Senapati yang baru di barak Pasukan Khusus itu, untuk memperkenalkan dirinya kepada para pemimpin Tanah Perdikan ini serta kademangan di sekitarnya.”

“Itulah yang akan kami singgung,” berkata Ki Lurah Branjangan.

Ki Gede mengerutkan keningnya. Nampaknya memang ada persoalan yang bersungguh-sungguh yang akan disampaikan oleh Ki Panji itu kepadanya.

“Ki Gede,” berkata Ki Panji Wiralaga, “aku harus berkata terus terang kepada Ki Gede. Di Mataram memang sedang terjadi pergolakan. Beberapa orang perwira yang memegang kedudukan penting mulai dipengaruhi oleh kepentingan-kepentingan pribadinya. Mungkin aku juga. Banyak para Senapati yang ingin menunjukkan kemampuannya di medan perang. Bukan sebagai satu pengabdian, tetapi semata-mata karena mereka ingin mendapat penghargaan dari kelebihannya itu. Beberapa orang pemimpin di bidang keprajuritan justru telah masuk ke dalam satu persaingan yang berbahaya, sehingga menyulitkan kedudukan Panembahan Senapati yang sedang menghadapi kemelut di Madiun dan Pajang. Panembahan Senapati masih belum berhasil menempatkan seseorang yang kiranya mendapat persetujuan dari Panembahan Madiun untuk jabatan Adipati Pajang. Meskipun pada saatnya Panembahan Senapati dapat saja menunjuk siapapun yang dikehendaki.”

Ki Gede mendengarkan keterangan Ki Panji Wiralaga itu dengan saksama.

“Ki Gede,” Ki Panji itu melanjutkan, “aku telah mendapat tugas khusus dari Panembahan Senapati dan Ki Mandaraka, bahwa aku harus menghubungi Ki Gede untuk mengatakan, setidak-tidaknya mengurangi persaingan itu terjadi di sini.”

“Kenapa di sini?” bertanya Ki Gede, “bukankah di sini keadaannya terhitung baik dan tenang?”

“Benar Ki Gede,” jawab Ki Panji, “tetapi Pasukan Khusus itu merupakan salah satu landasan kekuatan yang dapat mendukung kedudukan seseorang.”

Ki Gede mengerutkan keningnya. Hampir di luar sadarnya Ki Gede itu bertanya, “Benarkah di Mataram telah terjadi persaingan yang demikian memprihatinkan?”

“Memang belum berakibat terlalu keras, Ki Gede,” jawab Ki Panji, “tetapi hal itu sudah mulai nampak. Orang-orang lain di luar jalur yang sudah ditentukan oleh Panembahan Senapati untuk menjernihkan suasana, memang tidak boleh mengetahuinya. Seolah-olah di Mataram tidak terjadi pergolakan seperti itu.”

“Menilik saat-saat kelahiran Mataram, hal seperti itu agak sulit dimengerti Ki Panji,” berkata Ki Gede.

Ki Panji termangu-mangu sejenak. Ketika ia berpaling kepada Agung Sedayu, maka Ki Gede pun mengetahui, bahwa Ki Panji ingin berbicara hanya dengan Ki Gede. Tetapi Ki Lurah Branjangan yang juga mengetahui keragu-raguan Ki Panji itu berkata, “Biarlah Agung Sedayu ikut mendengar. Bukankah Ki Panji juga mengenal pengabdiannya?”

Ki Panji menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Aku tidak berkeberatan Agung Sedayu ikut mendengar.”

Ki Gede justru menjadi berdebar-debar. Agaknya yang akan dikatakan oleh Ki Panji Wiralaga adalah sesuatu yang rahasia.

“Ki Gede,” berkata Ki Panji, “pada saat-saat terakhir, Panembahan Senapati memang berusaha untuk dapat langsung berbicara dengan Panembahan Madiun. Tetapi Panembahan Senapati menemui kesulitan. Ada saja hambatan yang menggagalkan usahanya untuk dapat berbicara tentang persoalan yang terasa membuat Mataram menjadi panas. Dalam kemelut itu, nampaknya ada beberapa orang yang telah terpengaruh oleh keadaan yang gawat. Sebagian karena dorongan nafsu pribadi serta ketamakan, sementara yang lain, yang lebih berbahaya, adalah orang-orang yang memang dipengaruhi oleh Madiun. Sebagaimana kita ketahui bahwa Panembahan Madiun juga merasa memiliki hak atas tahta Mataram. Sementara itu di Mataram masih ada juga orang-orang yang ternyata jiwanya telah terpengaruh oleh derajat keturunan, dan menganggap bahwa Panembahan Senapati bukannya seorang yang berada pada jalur keturunan Demak. Mereka yang semula telah diangkat oleh Panembahan Senapati menjadi pemimpin di tubuh Mataram, mulai berpikir lagi tentang derajat keturunan itu. Sementara itu, Madiun telah mengirimkan orang-orang dalam tugas sandi untuk menghubungi mereka. Petugas sandi Mataram ternyata telah berhasil mencium baunya.”

“Apakah ada di antara mereka yang sudah tertangkap?” bertanya Ki Gede.

“Panembahan Senapati memang belum melakukan penangkapan-penangkapan, karena bukti masih belum cukup. Tetapi pada saat terakhir Mataram telah menggerakkan sejauh mungkin pengawasan atas semua anggauta tubuhnya,” jawab Ki Panji.

“Dan Ki Panji adalah salah seorang perwira pada kesatuan dalam tugas sandi itu?” berkata Ki Gede.

“Tidak,” berkata Ki Panji, “aku justru bekerja dengan garis-garis tugas yang terbuka. Namun bahan-bahan tugasku adalah dari para petugas sandi.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Panji Wiralaga berkata, “Persoalan yang tumbuh di Mataram itu belum dinyatakan secara terbuka. Tetapi Mataram tidak ingin terlambat mengatasi persoalan yang sebenarnya memang ada itu. Jika semula mereka telah mendapat tempat yang baik dengan mengesampingkan kemungkinan-kemungkinan yang dapat merugikan Mataram, maka kini Mataram harus berhati-hati menghadapi mereka. Bahkan jika perlu, Mataram akan meninjau kembali kedudukan mereka itu.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar