Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 228

Buku 228

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Ternyata cantrik itu sudah mampu membedakan dasar-dasar ilmu dari perguruan yang berbeda. Glagah Putih memang tidak mempelajari ilmu dari jalur perguruan Kiai Gringsing. Tetapi dari jalur perguruan Ki Sadewa meskipun juga lewat Agung Sedayu. Dilengkapi dengan ilmu yang disadapnya dari Ki Jayaraga.

Dengan nada rendah ia berkata, “Aku memang mempunyai jalur perguruan yang berbeda.“

“Tetapi bukankah kau murid Kakang Agung Sedayu?“ bertanya cantrik itu.

“Itulah kelebihan Kakang Agung Sedayu. Meskipun sudah barang tentu bahwa terdapat juga pengaruh dari ilmu yang dimilikinya dari Kiai Gringsing, tetapi yang utama yang diberikan kepadaku adalah jalur ilmu yang lain yang juga dikuasainya. Tetapi sebenamya tidak akan banyak bedanya. Sumber ilmu itu hanya merupakan pokok dasar, yang kemudian akan berkembang sesuai dengan pribadi kita masing-masing, serta pengaruh yang kita sadap justru untuk memperkaya unsur-unsur yang ada di dalam ilmu dasar kita, asal watak dan sifatnya tidak saling bertentangan dengan dasar kepribadian dan watak ilmu yang telah kita miliki dasarnya itu,“ berkata Glagah Putih.

Cantrik itu mengangguk-angguk. Ia memang melihat betapa kayanya unsur gerak yang nampak pada tata gerak Glagah Putih. Kekayaan unsur yang dikuasainya serta kemampuan mengurai dan mengambil sikap pada satu keadaan yang khusus, merupakan modal yang sangat berharga. Sementara itu, cantrik itu pun pernah mendengar bahwa Glagah Putih sudah memiliki kemampuan menyadap kekuatan getaran alam yang ada di sekitarnya, mengendapkan di dalam dirinya dan kemudian melontarkannya sebagai bagian dari ilmunya itu. Tetapi ketika ia menyaksikan ketrampilan gerak tangan dan kakinya, maka kekagumannya menjadi semakin meningkat. Namun hari pun menjadi semakin suram. Karena itu, maka Glagah Putih pun kemudian meninggalkan sanggar itu dan pergi ke pakiwan.

Ketika senja kemudian turun, maka Glagah Putih pun telah duduk di ruang dalam induk padepokan itu bersama Agung Sedayu dan Swandaru beserta istri mereka. Kiai Gringsing pun telah duduk pula di antara mereka. Sementara itu para cantrik pun telah menghidangkan makan malam yang hangat.

Beberapa saat kemudian, maka para cantrik pun telah menyingkirkan mangkuk-mangkuk serta sisa makanan dan membawanya ke dapur. Sedangkan mereka yang ada di ruang dalam masih juga sempat berbincang-bincang beberapa saat. Bahkan sekali-sekali terdengar suara tertawa menyelingi pembicaraan mereka.

Kiai Gringsing yang sedang sakit itu pun nampak menjadi cerah dan gembira. Kiai Gringsing pun telah memanggil beberapa orang cantrik yang tertua untuk ikut serta berbincang-bincang, dengan sekali-sekali terdengar gurau yang segar.

Namun, ketika malam menjadi semakin dalam, maka agaknya Kiai Gringsing pun menjadi letih. Tetapi ternyata bahwa orang tua itu tidak segera meninggalkan ruang dalam. Bahkan katanya kemudian kepada Sekar Mirah, Pandan Wangi dan Glagah Putih, “Beristirahatlah. Biarlah aku berbicara dengan Agung Sedayu dan Swandaru saja.“

Pandan Wangi dan Sekar Mirah saling berpandangan. Namun mereka pun segera mengerti, bahwa Kiai Gringsing ingin berbicara dengan Agung Sedayu dan Swandaru sebagai murid-muridnya. Bahkan para cantrik yang ada di ruang dalam itu pun oleh Kiai Gringsing telah diminta pula untuk meninggalkan ruangan.

Dengan demikian, maka Glagah Putih pun telah beringsut meninggalkan tempat itu pula bersama Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Namun mereka tidak segera masuk ke dalam bilik mereka masing-masing. Tetapi mereka telah bersama-sama berada di serambi. Ternyata bahwa mereka bertiga menjadi gelisah pula sebagaimana Agung Sedayu dan Swandaru, sehingga mereka pun telah berbincang tentang apa saja yang akan dibicarakan oleh Kiai Gringsing dengan kedua orang muridnya itu.

Dalam pada itu, yang tinggal bersama Kiai Gringsing kemudian adalah Agung Sedayu dan Swandaru. Keduanya yang menjadi berdebar-debar itu menunggu, apa yang akan dikatakan oleh Kiai Gringsing yang sedang sakit itu.

Setelah hening sejenak, maka Kiai Gringsing itu pun kemudian telah berkata, “Anak-Anakku. Sebagaimana kalian ketahui, bahwa aku semakin lama telah menjadi semakin tua. Sejak kita dipertemukan oleh Yang Maha Agung, maka aku memang sudah tua. Apalagi sekarang. Karena itu, maka kalian pun tahu, kemana arah perjalananku sekarang ini.“

Agung Sedayu dan Swandaru hanya dapat menarik nafas dalam-dalam, sementara suara Kiai Gringsing pun menjadi semakin berat. “Karena itu, maka aku merasa berbahagia sekali, bahwa saat ini aku dapat bertemu dengan kalian berdua.“

Kiai Gringsing berhenti sejenak. Iapun menarik nafas dalam-dalam seolah-olah udara malam di padepokan itu akan dihirupnya semuanya. Kemudian terdengar suaranya melemah, “Betapapun tinggi juga tingkat ilmu seseorang, tetapi pada saatnya kita tidak akan dapat ingkar lagi. Karena itu, sikap pasrah bukannya satu sikap yang lemah dan putus-asa. Tetapi kita memang tidak akan dapat menentang arus kehidupan. Bahkan akhirnya kita akan sampai ke muara.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil. Namun Swandaru telah mengangkat wajahnya. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu. Bahkan kepalanya pun kemudian tertunduk kembali.

“Anak-Anakku,“ berkata Kiai Gringsing, “saat-saat seperti itu tentu akan datang juga kepadaku. Bahkan kelak juga kepada kalian. Tetapi kalian masih muda. Menurut perhitungan lahiriah, maka aku-lah yang akan lebih dahulu sampai.“

“Tetapi Guru,“ tiba-tiba saja Swandaru berdesis, “apakah kita akan menyongsong saat-saat yang demikian itu dengan berlutut dan tangan bersilang serta kepala menunduk?”

“Jika kita memang telah sampai ke tujuan, betapapun kita berusaha menentangnya, itu tidak akan berarti sama sekali. Seperti yang pernah aku katakan, bahwa saat itu akan datang tanpa memperhatikan apakah kita setuju atau tidak setuju. Sama sekali bukan berarti bahwa kita tidak berusaha. Tetapi sekarang aku akan berkata dengan tegas, bahwa segala usaha akan sia-sia. Kita tidak mempunyai wewenang untuk menentukan, apakah usaha kita akan berhasil atau sia-sia. Bahkan jika kita menentang kesia-siaan itu, maka kita akan kehilangan keseimbangan jiwa. Kita justru akan semakin menderita karenanya.“

Swandaru mengerutkan dahinya. Namun ia sama sekali tidak berani menentang sikap gurunya yang nampaknya menjadi keras itu. Jauh berbeda dengan sikapnya di saat-saat ia datang.

Sejenak kemudian maka Kiai Gringsing itu pun berkata selanjutnya, “Karena itu, Anak-Anakku, aku pun tidak akan menentang saat itu datang. Bahkan aku ingin mempersiapkan diri sebaik-baiknya menjelang saat itu. Aku tidak ingin bahwa pada saat terakhir aku digelisahkan oleh persoalan-persoalan yang aku anggap belum siap ditinggalkan.“

“Guru,“ desis Swandaru.

Tetapi Kiai Gringsing menggeleng. Katanya, “Tidak ada pilihan lain Swandaru. Di waktu yang tinggal sedikit ini, seharusnya kita tidak menyia-nyiakan waktu kita itu untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak berarti sama sekali. Lebih baik kita berbenah diri dan melakukan yang paling berarti bagi kita. Bukan satu sikap putus asa, Swandaru.“

“Guru,“ suara Swandaru tersendat, “tetapi bukankah kita tidak tahu kapan hal itu akan terjadi?“

“Ya,“ jawab Kiai Gringsing, “kita memang tidak tahu. Tetapi justru karena itu, maka kita tidak boleh terlambat.“

“Tetapi bagaimana jika saat itu datang dalam sepuluh atau dua puluh tahun lagi, sementara kita tenggelam dalam persiapan bagi satu masa yang masih sangat jauh itu?“

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau masih muda Swandaru. Namun bagaimanapun juga, kesiagaan itu harus ada di dalam diri kita. Saat itu dapat datang kapan saja tanpa kita ketahui. Apalagi bagi orang yang sudah setua aku ini. Menurut perhitungan lahiriah, seperti yang sudah aku katakan, bahwa saat itu akan datang tidak terlalu lama lagi.“

Swandaru mengatupkan giginya rapat-rapat. Ada sesuatu yang bergejolak di dadanya. Tetapi ia memang tidak berani menentang pendapat Kiai Gringsing itu. Namun karena itu, maka dadanya pun rasa-rasanya justru menjadi sesak. Yang dikatakan oleh gurunya itu kurang sesuai dengan pendapatnya. Kepada dirinya sendiri ia berkata, “Seharusnya kita tidak tenggelam dalam laku yang tidak berarti itu. Jika hidup dan mati itu tidak dapat kita rencanakan, maka seharusnya kita tidak mempedulikannya. Kita melakukan apa yang baik menurut penilaian kita tanpa dibayangi oleh perasaan yang kalut seperti Guru itu.“

Tetapi Swandaru tidak mengucapkannya. Bahkan kepalanya justru telah tertunduk. Untuk beberapa saat mereka terdiam. Seakan-akan mereka sedang melihat ke dalam diri mereka masing-masing.

Baru sejenak kemudian Kiai Gringsing itu pun berkata, “Anak-anakku. Karena itulah aku merasa gembira sekali, bahwa kalian berada di sini pada saat yang penting ini. Aku memang ingin berkemas, agar aku terbebas dari beban yang dapat mengganggu perasaanku jika aku harus menempuh perjalanan jauh itu.“

Swandaru berusaha untuk menahan diri agar ia tidak membantah kata-kata gurunya yang barangkali akan dapat membuat gurunya itu tersinggung. Sementara itu Agung Sedayu ternyata berpendapat lain. Ia melihat gurunya sebagai seorang yang memang telah mempersiapkan diri menghadapi ujung perjalanan hidup dan akan turun ke sebuah perjalanan yang baru. Dilihatnya, gurunya seakan-akan sedang berbenah diri, sehingga pada saatnya tidak ada lagi yang dapat membuatnya cemas dan ragu-ragu. Gurunya akan dapat melangkah dengan langkah yang tetap dan pasti serta dada yang lapang. Ia benar-benar telah selesai.

Dalam pada itu, Kiai Gringsing pun berkata pula, “Sebagaimana kau ketahui, ada beberapa hal yang perlu aku bicarakan dengan kalian. Dalam ketuaanku ini, maka banyak tugas-tugas yang tidak dapat lagi aku lakukan dengan baik. Aku merasa terlalu letih untuk memimpin padepokan ini, menilai pekerjaan para cantrik. Memberikan latihan-latihan kepada mereka, melihat-lihat sawah dan pategalan. Karena itu, aku memerlukan seseorang yang dapat melakukannya dengan baik. Sementara itu, aku tahu bahwa Agung Sedayu dan Swandaru masing-masing telah mempunyai tugas yang cukup berat. Meskipun demikian, aku ingin menawarkan kepada kalian berdua, siapakah yang bersedia untuk membantu aku memimpin padepokan ini.“

Agung Sedayu dan Swandaru saling berpandangan sejenak. Tetapi agaknya keduanya memang tidak akan dapat melakukannya. Sebagaimana dikatakan oleh Kiai Gringsing, bahwa kedua orang muridnya itu telah memiliki tugasnya masing-masing yang akan sulit sekali ditinggalkannya.

Karena itu, maka Kiai Gringsing yang mengetahui perasaan kedua orang muridnya itu pun berkata, “Jangan segan-segan untuk mengatakan kemungkinan bagi kalian masing-masing. Aku lebih senang mendengarkan kalian berkata yang sebenarnya kepadaku, sehingga dengan demikian aku akan dapat membuat pertimbangan-pertimbangan yang tepat.“

“Ampun Guru,“ berkata Agung Sedayu, “bukannya aku ingin mengingkari tugas seandainya Guru memang membebankan tugas itu kepadaku. Namun aku mohon Guru mempertimbangkan tugas-tugasku sekarang yang masih belum mapan aku lakukan di Tanah Perdikan Menoreh, justru pada saat yang gawat ini.“

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ketika ia berpaling kepada Swandaru, maka Swandaru pun berkata, “Guru. Ayahku telah tua pula, meskipun belum setua Guru. Karena itu, maka Kademangan Sangkal Putung memang memerlukan seseorang yang dapat menanganinya. Itulah sebabnya, maka aku tidak dapat meninggalkan tugas-tugas sebagai anak Demang di Sangkal Putung itu.”

Kiai Gringsing pun mengangguk-angguk pula. Katanya, “Aku memang sudah menduga, bahwa kalian tidak akan dapat meninggalkan kesibukan kalian masing-masing. Bagiku memang tidak ada bedanya. Apakah kalian bekerja di Tanah Perdikan Menoreh, atau di Kademangan Sangkal Putung, atau di sini. Yang penting kalian telah berbuat sesuatu yang akibatnya akan memberikan arti yang baik bagi sesama. Dimanapun kita berada. Yang penting bagiku adalah pernyataan kalian itu. Sebab bagiku, kalian berdua adalah orang-orang yang terdekat, yang paling berhak mewarisi padepokan kecil ini, meskipun tidak berarti apa-apa. Padepokan kecil yang tidak mempunyai sesuatu yang dapat dibanggakan.“

Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu, “Dengan pernyataan kalian itu, maka aku akan dapat mengambil langkah yang menurut penilaianku paling baik. Meskipun demikian, aku masih ingin mempertimbangkannya dengan kalian berdua.“

Agung Sedayu dan Swandaru tidak menjawab. Mereka menunggu saja apa yang akan dikatakan oleh gurunya.

Sementara itu, Kiai Gringsing pun berkata, “Dengan pernyataan kalian itu, maka bukankah mengandung pengertian, bahwa kalian akan merelakan jika padepokan ini akan dipimpin oleh seseorang?“

“Seseorang?“ bertanya Swandaru, “Maksud Guru, orang lain akan hadir dalam perguruan Kiai Gringsing ini?“

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Dengan nada rendah iapun kemudian berkata, “Belum seorangpun diantara para cantrik yang dapat dibebani tanggung jawab atas padepokan ini. Betapapun kecilnya padepokan ini, namun agaknya diperlukan seseorang yang dapat memimpinnya dengan baik dan wajar.“

“Siapakah yang Guru maksud dengan seseorang itu?“ bertanya Swandaru.

Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Katanya kemudian dengan nada rendah, “Aku mempunyai beberapa nama yang pantas aku sebutkan. Justru aku memang ingin mendengar pertimbangan kalian sebagai orang-orang yang paling berhak atas padepokan ini.”

Swandaru dan Agung Sedayu diam menunggu. Sementara Kiai Gringsing kemudian berkata, “Aku dapat menyerahkan padepokan ini kepada Angger Untara. Ia dapat memanfaatkan padepokan ini bagi sebagian prajurit-prajurit, tanpa merubah ujud dan bentuk padepokan ini. Akupun dapat menyebut nama Ki Widura. Meskipun aku tidak tahu, apakah ia bersedia memimpin padepokan ini, tetapi jika pilihan kalian jatuh kepadanya, aku akan mencoba menghubunginya.“

Agung Sedayu mengerutkan dahinya, namun Swandaru terkejut mendengar pendapat gurunya itu. Bahkan ia telah beringsut setapak maju. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Guru, apakah hal itu sudah Guru pertimbangkan dengan masak.“

“Aku sedang mempertimbangkannya sekarang bersama kalian,“ jawab Kiai Gringsing.

“Aku sama sekali tidak sependapat jika padepokan ini akan dipergunakan oleh para prajurit Mataram yang berada di Jati Anom. Kedudukan padepokan ini akan berubah sama sekali. Para cantrik akan kehilangan pribadinya sebagai seorang cantrik di sebuah padepokan,“ berkata Swandaru.

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian bertanya, “Bagaimana dengan Ki Widura?“

“Ki Widura bukan murid Guru. Tidak ada jalur sama sekali dari Guru yang sampai kepada Ki Widura. Apakah karena Ki Widura itu paman Kakang Agung Sedayu, maka ia dapat dipertimbangkan untuk menggantikan kedudukan Kakang Agung Sedayu di sini? Sementara itu sifat dan watak ilmu yang dimiliki oleh Ki Widura sangat berbeda dengan ilmu yang Guru ajarkan di padepokan ini,“ jawab Swandaru pula.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun bertanya kepada Agung Sedayu, “Bagaimana pendapatmu, Agung sedayu?“

Agung Sedayu termangu-mangu. Namun iapun kemudian menjawab, “Aku sependapat dengan Adi Swandaru, bahwa sebaiknya padepokan ini tidak diserahkan kepada Kakang Untara. Bukannya aku menolak untuk bekerja bersama dengan para prajurit Mataram, tetapi bentuk padepokan ini benar-benar akan berubah. Meskipun para prajurit itu tidak berniat untuk merubahnya, namun tugas dan kedudukan mereka akan membuat suasana padepokan ini menjadi lain. Sedangkan dengan Paman Widura, aku ingin mendengar dari Guru, apakah dasarnya bahwa Guru telah menyebut nama Paman Widura itu.“

Kiai Gringsing mengangguk-angguk pula. Katanya, “Anak-Anakku. Memang tidak ada orang yang lebih pantas dari kalian untuk menerima limpahan kepemimpinan di padepokan ini. Tetapi jika aku sebagai Guru memerintahkan salah seorang di antara kalian melakukannya, maka aku adalah orang tua yang telah mengekang perkembangan anak-anaknya. Cakrawala masa depan kalian akan menjadi sempit, dan kalian akan terpisah, meskipun tidak mutlak, dari perkembangan lingkungan yang lebih besar. Sementara itu, kalian berdua memang telah menyatakan bahwa kalian untuk waktu yang dekat tidak akan dapat menghilangkan tugas kalian yang sedang berkembang sekarang ini, sementara duri-duri yang ditaburkan oleh beberapa orang di Madiun tengah menyusup ke Mataram dan lingkungan di sekelilingnya. Itulah sebabnya, maka aku memerlukan seseorang di sini. Seseorang yang aku kenal sifat dan kebiasaannya. Kemampuannya dan tanggung jawabnya.“

Namun Swandaru-lah yang dengan tergesa-gesa menjawab, “Tetapi bukankah itu tidak terbiasa dilakukan oleh siapapun juga Guru? Seorang pemimpin padepokan menyerahkan kepemimpinannya kepada orang lain. Maksudku, bukan keluarga dari perguruan yang hidup di padepokan itu.“

“Aku mengerti Swandaru,“ berkata Kiai Gringsing, yang kemudian telah terpotong oleh kata-kata Swandaru, “Lalu bagaimana pula dengan para cantrik yang selama ini mendapat pengetahuan dan ilmu yang Guru berikan? Sementara itu Ki Widura sendiri tidak pernah mempelajari ilmu dari jalur yang sama.“

“Aku telah memikirkannya Swandaru,“ berkata Kiai Gringsing, “tetapi tolonglah, beri aku pemecahan. Jika kalian berdua tidak sanggup, dan hal itu akan dapat mengerti, lalu bagaimana dengan padepokan ini? Bukankah lebih baik dipimpin oleh seseorang yang meskipun datang dari luar jalur perguruan, tetapi sudah kita kenal dengan baik, daripada padepokan ini harus ditutup dan menyerahkan kembali para cantrik kepada keluarganya? Sementara itu, para cantrik itu berharap untuk mendapatkan ilmu yang jauh lebih baik dari yang mereka miliki sekarang. Bukan saja kanuragan, tetapi juga pengetahuan yang lain. Mengenai huruf dan beberapa jenis ilmu tentang kehidupan. Seandainya demikian, apakah Ki Widura dapat melakukan sebagaimana dilakukan? Ki Widura tentu mempunyai cara yang lain. Sementara itu aku yang tua ini, untuk waktu yang meskipun terbatas, akan dapat membantu tugas itu. Tentu saja tugas-tugas yang ringan. Mengajarkan para cantrik mengenali jenis tumbuh-tumbuhan, jenis-jenis daun dan akar-akaran. Mungkin getah dan jenis racun pada tumbuh-tumbuhan. Racun yang dapat mencelakai seseorang dan racun yang dapat membantu seseorang. Atau pekerjaan-pekerjaan lain yang tidak memerlukan tenaga.“

“Jika demikian, selama masih berada di bawah pengawasan Guru, apakah Guru tidak dapat menunjuk salah seorang cantrik yang tertua ilmu dan kemampuannya?“ bertanya Swandaru pula.

Kiai Gringsing menggeleng. Katanya, “Sulit bagiku untuk menyerahkan pimpinan kepada salah seorang di antara mereka.“

“Guru tidak usah menyerahkan pimpinan itu. Guru masih tetap pemimpin di sini. Namun orang itulah yang melakukan tugas-tugas yang berat,“ jawab Swandaru.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sambil memandang ke nyala lampu minyak di ajuk-ajuk ia berkata, “Aku ingin beristirahat. Aku sudah merasa terlalu letih.“

Swandaru masih akan menyahut. Namun Agung Sedayu-lah yang berkata selanjutnya. “Guru. Aku dapat mengerti bahwa pada satu saat, seseorang ingin mendapatkan kesempatan yang bebas. Tanpa memberikan tugas apapun juga yang membebani dirinya, meskipun bukan berarti berhenti sama sekali.“

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Iapun kemudian memandang Agung Sedayu dengan kerut di dahinya.

Sementara itu Agung Sedayupun berkata, “Guru. Yang penting bagi kita, bagaimana padepokan ini justru dapat berkembang sesuai dengan warna yang telah diletakkan oleh Guru. Sebenarnya siapapun yang akan memimpin padepokan ini bukannya soal yang penting. Tetapi kesinambungan dari apa yang telah diserahkan oleh Guru itulah yang perlu diperhatikan. Guru, sebenarnyalah Paman Widura adalah orang luar bagi perguruan kita. Kecuali jika Paman Widura hanya sekedar membantu Guru, mengatur para cantrik, menangani perkembangan padepokan ini secara lahiriah, maksudku mengurusi pepohonan di kebun, parit-parit di sawah dan pategalan, ikatan mereka untuk menepati paugeran, dan pengaturan-pengaturan lain yang diperlukan. Namun Guru akan tetap memberikan tuntunan ilmu yang manapun kepada para cantrik. Bukankah Guru dapat menangkap maksudku dengan memilahkan tugas-tugas itu? Memang Guru tidak akan dapat beristirahat sepenuhnya. Namun sebagian dari tugas Guru telah dapat dilimpahkan kepada orang lain. Sementara itu Guru tidak terikat untuk melakukan tugas Guru setiap waktu. Para cantrik dapat berlatih dengan teratur di antara mereka sendiri. Hanya pada saat-saat penting saja Guru hadir di antara mereka.“

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Memang itu merupakan satu cara. Tetapi dengan demikian, aku masih harus melakukannya.“

“Tetapi itu adalah sikap yang paling lunak Guru,“ sahut Swandaru, “aku tidak akan berpikir demikian lunaknya sebagaimana Kakang Agung Sedayau. Tetapi barangkali itu adalah cara yang lebih baik daripada Guru menyerahkan padepokan ini kepada Paman Widura.“

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya. “Baiklah. Jika kalian menganggap jalan itu adalah yang terbaik. Aku akan mencoba menghubunginya.“

“Tetapi harus dijaga bahwa Ki Widura menyadari dan meyakini tugas yang diberikan kepadanya. Ia tidak boleh dengan cara apapun juga, pada suatu saat menguasai padepokan ini dengan menyingkirkan Guru.“

“Ah,“ desah Kiai Gringsing, “aku mengenal Ki Widura dengan baik. Ia tidak akan melakukannya. Agung Sedayu adalah kemenakannya, dan ia adalah muridku. Ia tentu akan menghormati hakku dan hak kemenakannya.“

“Mudah-mudahan,“ jawab Swandaru, “tetapi bagi seseorang, kedengkian kadang-kadang mengalahkan segala kebaikan. Keinginan untuk menguasai sesuatu akan dapat membuatnya lupa diri.“

“Aku kira Paman tidak akan berbuat demikian,“ berkata Agung Sedayu.

“Siapapun dapat mengira-irakan. Tetapi tidak seorangpun yang dapat memastikannya.“

Agung Sedayu mengerutkan dahinya. Namun ternyata ia tidak langsung menjawab. Bahkan ia berpaling kepada Kiai Gringsing, seakan-akan menyerahkan segala kebijaksanaan kepadanya.

Sebenarnyalah Kiai Gringsing memang ingin mencegah perselisihan yang mungkin timbul di antara kedua muridnya itu. Karena itu, maka iapun berkata, “Baiklah. Meskipun dengan sangat hati-hati, Swandaru pun sependapat, bahwa kita akan dapat bekerja bersama dengan Ki Widura. Besok aku minta kalian pergi ke rumahnya, minta agar Ki Widura bersedia datang ke padepokan ini. Kita akan berbicara dengannya. Mudah-mudahan ada titik temu yang dapat memberikan jalan keluar kepada kita.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk, sementara Swandaru hanya dapat menarik nafas panjang. Meskipun terasa masih ada sesuatu bergejolak di dalam hatinya, tetapi bagaimanapun juga ia berhadapan dengan gurunya yang sangat dihormatinya. Sehingga karena itu, maka Swandaru hanya berusaha untuk mengendapkan perasaannya.

Dalam pada itu, maka Kiai Gringsing pun berkata, “Baiklah. Jika demikian maka persoalan yang pertama ini dapat kita anggap sudah selesai. Pada suatu waktu pasti datang saatnya aku tidak mampu berbuat apa-apa lagi.“

Agung Sedayu masih saja mengangguk-angguk. Sementara Swandaru pun mulai tertarik kepada persoalan yang masih akan dibicarakan.

“Anak-Anakku,“ berkata Kiai Gringsing kemudian, “selain padepokan, masih ada yang perlu kita bicarakan. Sebagaimana kalian ketahui, bahwa aku memiliki sebuah kitab yang berisi beberapa macam pengetahuan tentang kanuragan dan kehidupan yang lain. Di kitab itu tidak hanya terdapat petunjuk dan laku untuk menguasai satu jenis ilmu. Tetapi beberapa, sehingga kitab itu menjadi tebal sekali. Meskipun demikian, aku memang tidak ingin kitab itu dipecah menjadi dua atau tiga, berdasarkan atas kelompok ilmu. Aku ingin kitab itu tetap utuh. Namun dengan demikian, sudah barang tentu aku tidak dapat memberikannya sekaligus kepada kalian berdua.“

Agung Sedayu dan Swandaru menjadi berdebar-debar. Untuk membaca isi kitab itu saja, diperlukan waktu yang cukup lama, sekitar tiga bulan. Pada kesempatan pertama Agung Sedayu membawa kitab itu untuk tiga bulan, maka ia telah membacanya dengan memahatkan hal-hal yang terpenting di dalam hatinya, sehingga ia telah memanfaatkan satu kurnia baginya, bahwa ia tidak kehilangan ingatan atas sesuatu yang memang benar-benar ditekankan pada dirinya untuk dapat diingatnya. Seakan-akan Agung Sedayu itu mampu memahatkan persoalan terpenting itu pada dinding hatinya untuk tidak pernah terhapuskan. Memang ada hal-hal yang dianggap kurang penting pada kitab itu, atau yang sebelumnya memang sudah dikuasainya. Dengan demikian untuk mempelajari dan memenuhi laku yang dituntut di dalam kitab itu, maka untuk dapat melakukannya diperlukan waktu seumur hidup mereka.

Bahkan bagi mereka yang tidak memiliki ketajaman nalar budi, maka waktu yang sepanjang umurnya itu tidak akan mencukupi, sehingga mereka tidak akan pernah mampu menguasai ilmu-ilmu di dalam kitab itu sebaik-baiknya, meskipun hanya satu jenis sekalipun.

Untuk beberapa saat kedua murid Kiai Gringsing itu terdiam. Mereka memang tidak tahu apakah yang terbaik dapat dilakukan. Kitab itu memang hanya satu.

Karena kedua muridnya terdiam, maka Kiai Gringsingpun kemudian berkata, “Selama ini aku telah memberi kalian kesempatan untuk membawa dan mempelajari ilmu di antaranya yang menarik bagi kalian, dan sesuai dengan jiwa kalian masing-masing. Jika cara yang kita lakukan itu kalian anggap sesuai, maka cara itu akan dapat diteruskan. Kalian masing-masing mendapat kesempatan tiga bulan berganti-ganti.“

Swandaru-lah yang kemudian menjawab, “Sebenarnya cara itu cukup baik Guru. Selama tiga bulan kami sempat mempelajari laku yang diperlukan. Kemudian tiga bulan berikutnya, jika timbul niat di dalam hati, kami dapat menjalani laku itu untuk menguasai dasar dari salah satu ilmu yang tertera di dalam kitab itu. Selanjutnya kita tinggal meningkatkannya di tiga bulan berikutnya, sesuai dengan petunjuk di dalam kitab itu pula. Adapun saat-saat berikutnya kita akan dapat mengembangkannya. Namun kitab itu memang masih diperlukan, karena setiap kali, dalam hal ini tiga bulan sekali, untuk menyempurnakannya. Sehingga dalam sepuluh kali tiga bulan, ilmu yang benar-benar dipelajari dan laku yang diperlukan benar-benar dijalani, maka ilmu itu akan menjadi matang di dalam diri kita.“

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sependapat. Cara itu kita lanjutkan. Kitab itu akan berpindah tangan untuk tiga bulan sekali. Meskipun dalam waktu tiga bulan itu, mungkin karena kesibukan atau karena hal-hal lain, kalian tidak sempat mempelajarinya. Namun pada satu saat, jika hal itu diperlukan, maka kalian dapat menyusun rencana sebaik-baiknya seperti yang dikatakan oleh Swandaru. Karena pada dasarnya akar dari ilmu yang bersumber dari perguruan ini telah kalian kuasai, sehingga untuk mempelajari tingkat perkembangannya dengan segala cabang-cabang ilmunya tidak akan terlalu sulit lagi.“ Kiai Gringsing itu pun berhenti sejenak. Sambil memandang kepada Agung Sedayu Kiai Gringsing bertanya, “Bagaimana pendapatmu?“

“Aku sependapat Guru,“ berkata Agung Sedayu, “aku kira cara itu memang dapat diteruskan.“

“Baiklah,“ berkata Kiai Gringsing, “jika demikian, maka cara itu untuk sementara dapat diteruskan.“

“Kenapa untuk sementara?“ bertanya Swandaru.

“Cara itu tidak akan dapat berlangsung tanpa batas. Pada suatu saat maka kalian berdua pun akan menjadi tua seperti aku dan menuju ke batas akhir. Karena itu, sebelum hal itu terjadi, maka harus sudah dapat ditentukan, siapakah yang akan menyimpan kitab itu selanjutnya, dan kepada siapa kitab itu harus diserahkannya.“

Kedua murid Kiai Gringsing itu termangu-mangu. Namun kemudian Agung Sedayupun berkata, “Guru. Bukankah kami berdua sudah cukup dewasa untuk membicarakannya kelak pada saatnya? Jika Guru mempercayai kami, biarlah kami menentukan apa yang sebaiknya kami lakukan atas kitab itu.“

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia memang percaya sepenuhnya kepada Agung Sedayu. Tetapi sebenarnya ia agak ragu-ragu terhadap sikap Swandaru. Namun hatinya agak tenang oleh kenyataan bahwa Agung Sedayu memiliki kematangan ilmu dan kematangan jiwa melampaui Swandaru, sehingga sebagai saudara tua dalam perguruan itu, maka agaknya Agung Sedayu akan dapat mengendalikan adik seperguruannya, jika pada satu saat terjadi penyimpangan. Karena itu, maka iapun kemudian bertanya kepada Swandaru, “Bagaimana pendapatmu Swandaru?“

“Aku menurut saja Guru,“ jawab Swandaru, karena baginya hal itu akan dapat memberikan lebih banyak peluang kepadanya. Selama ini Agung Sedayu agaknya terlalu malas untuk membaca apalagi mempelajari isi kitab itu. Jika waktu yang tiga bulan habis, belum tentu Agung Sedayu datang mengambilnya. Bahkan sampai enam bulan kitab itu kadang-kadang masih tersimpan di rumahnya. Meskipun jarak antara Tanah Perdikan Menoreh dan Sangkal Putung itu sebenarnya memang tidak terlalu jauh. Namun sekali-sekali juga terbersit pertanyaan kepada diri sendiri. “Jika kitab itu sedang ada padaku, apakah aku juga selalu memanfaatkannya?“

Swandaru menundukkan kepalanya. Bagaimanapun juga ia harus mengakui, bahwa iapun tidak selalu membaca isi kitab yang mengandung selain ilmu juga petunjuk-petunjuk tentang hidup dan kehidupan itu, pada saat kitab itu ada padanya.

Swandaru bagaikan tersadar dari angan-angannya, ketika ia mendengar Kiai Gringsing berkata, “Baiklah. Jika demikian aku serahkan kitab itu kepada kalian. Tetapi dengan pesan, bahwa tidak boleh terjadi penyimpangan. Bukan saja tentang berbagai paugeran perguruan, tetapi juga tentang perjalanan hidup kalian di antara sesama. Kalian harus tetap berpegang pada petunjuk-petunjuk yang pernah aku berikan, dan yang dapat kalian baca kembali di dalam kitab itu. Kalian harus tetap sadar akan hubungan kalian dengan Sumber Hidup kalian dan dengan sesama.“

Kedua murid Kiai Gringsing itu mengangguk-angguk. Dengan nada rendah Agung Sedayu berkata, “Petunjuk dan nasehat Guru selama ini akan selalu kami ingat.“

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam, sementara Swandaru pun berkata, “Kami berjanji Guru.“

Kiai Gringsing kemudian memandangi kedua muridnya itu berganti-ganti. Memang ada kebanggaan di hatinya, bahwa kedua muridnya telah memiliki pegangan ilmu yang tinggi. Meskipun keduanya berbeda sikap dan arah pengembangan ilmu, namun keduanya berpijak pada alas yang sama.

Kiai Gringsing memang tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa bukan saja sikap dan arah pengembangan ilmu mereka yang berbeda, tetapi watak dan sifat kedua muridnya itupun berbeda. Pandangan hidup dari kedua orang itu pun ternyata tidak searah, meskipun Kiai Gringsing selalu memberikan nasehat dan petunjuk yang sama bagi keduanya. Tetapi bekal dan lingkungan hidup keduanya berbeda. Demikian pula ungkapannya dalam kehidupan mereka.

Namun dalam pada itu, Kiai Gringsing pun kemudian berkata, “Terima kasih atas kesediaan kalian, Anak-Anakku. Dengan demikian, maka saat-saat mendatang nampak cerah bagi perguruan kita. Aku sebenarnya tidak ingin bahwa jalur ilmu yang kita sadap itu akan menjadi pudar dan apalagi lenyap di hari-hari kemudian. Namun dengan kesediaan kalian, maka mudah-mudahan ilmu ini akan tetap berkembang. Kesediaan membantu sesama yang berada di dalam kesulitan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari ilmu kita.“

Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu katanya dengan nada rendah, “Tetapi ada sedikit yang ingin aku katakan kepadamu Agung Sedayu.“

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dengan sungguh-sungguh ia memperhatikan kata-kata gurunya.

“Bukan maksudku untuk membatasi kebebasan memilih bagi setiap orang. Tetapi menurut pengamatanku, adik sepupumu yang kau tuntun di dalam olah kanuragan, yang kemudian juga di bawah asuhan Ki Jayaraga, condong untuk memiliki ilmu dari jalur perguruan Ki Sadewa. Aku ikut berbesar hati, bahwa ilmu dari perguruan Ki Sadewa itu akan tetap hidup dan bahkan berkembang. Namun satu pertanyaan yang tidak pernah dapat aku lupakan, apakah aku tidak dapat menitipkan perkembangan ilmu perguruan ini kepada Glagah Putih? Kita semuanya tentu sudah mengetahui bahwa pengaruh perguruan ini memang nampak pada Glagah Putih. Tetapi apakah kita tidak dapat minta kepadanya untuk mempelajari ilmu dari perguruan ini secara khusus, sehingga pada saatnya ilmu dari perguruan ini tidak akan begitu saja dilupakan orang.“

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sebelumnya ia tidak pernah memikirkannya, bahwa dengan demikian yang akan berkembang lewat Glagah Putih adalah jalur perguruan Ki Sadewa, bukan jalur perguruan Kiai Gringsing.

Sambil mengangguk-angguk kecil ia berkata jujur, “Ya Guru. Aku tidak pernah mempertimbangkan dengan sebaik-baiknya tentang hal itu. Pada saat aku mulai, aku tidak memikirkannya sampai begitu jauh.“

“Sekarang sudah waktunya kau meninjau kembali. Apakah kau akan mempergunakan adik sepupumu itu sebagai jembatan bagi masa datang dalam pengembangan ilmu perguruan kita?“ bertanya Kiai Gringsing.

Namun yang menyahut adalah Swandaru, “Guru. Kenapa kita tidak mencari saluran yang murni, yang tidak bercampur baur dengan jalur ilmu dari perguruan lain?“

“Tidak ada keberatannya bagiku Swandaru. Aku tahu bahwa Glagah Putih adalah orang yang memiliki kemampuan yang tinggi dengan tingkat kecerdasan yang memadai untuk memilah-milahkan ilmu yang diterimanya. Sementara itu, iapun memiliki kemampuan untuk meramu dan mengungkapkannya dalam kesatuan yang luluh, sehingga merupakan ilmu yang memiliki kekayaan unsur yang dapat membuat orang lain mengaguminya. Karena itu, maka jika Agung Sedayu sependapat, Glagah Putih akan dapat menjadi murid yang sangat baik dan akan dapat menangkap berbagai macam ilmu di dalam dirinya, tanpa kehilangan sumbernya masing-masing,“ jawab Kiai Gringsing.

“Tetapi bukankah lebih baik jika kita mempergunakan saluran yang masih belum dikotori oleh macam ilmu yang lain,“ berkata Swandaru.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Maksudmu tentu bukan dikotori dalam arti yang kurang baik, bukan? Tetapi seandainya seseorang memiliki ilmu rangkap pun sama sekali bukan satu kekurangan. Bahkan jika kita mampu mempergunakan dengan tepat, malahan akan merupakan satu kelebihan.“

“Meskipun kita hanya mempelajari satu saluran perguruan, namun sebagaimana tertera dalam kitab guru, saluran yang satu itu sudah menumbuhkan beberapa jenis ilmu. Jika kita mempelajarinya dan mengembangkannya sampai ke puncak, maka kemampuan kita tidak akan dapat diatasi oleh ilmu yang manapun juga, meskipun ilmu rangkap tujuh sekalipun. Itu jika kita mempunyai satu keyakinan tentang ilmu yang kita pelajari. Kecuali jika sejak semula kita sudah ragu, bahwa ilmu yang kita pelajari itu tidak cukup memadai,“ berkata Swandaru.

Kiai Gringsing justru tersenyum. Katanya, “Tidak ada ilmu yang sempurna Swandaru. Perguruan yang manapun di dunia ini tentu memiliki kekurangan. Sehingga memang memungkinkan bahwa kekurangan dari satu jenis ilmu dari sebuah perguruan dapat ditutup dengan unsur-unsur yang terdapat pada ilmu dari perguruan yang lain yang memiliki watak yang sejalan.”

“Tetapi tidak pada permulaannya,“ berkata Swandaru dengan nada tinggi.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Tetapi aku tidak kehilangan kesempatan. Seandainya jalur yang satu ini ternyata kurang berhasil, maka aku masih mengharap bahwa kau akan dapat memenuhinya, Swandaru.“

Swandaru justru terkejut mendengar keterangan gurunya. Sebelumnya ia tidak pernah memikirkan untuk menemukan seseorang yang akan dapat dijadikan muridnya. Namun agaknya hal itu menurut gurunya perlu dilakukannya, sebagai perbandingan dari apa yang sudah dilakukan oleh Agung Sedayu terhadap adik sepupunya.

Dalam pada itu gurunya itu pun kemudian berkata, “Mungkin selama ini kau belum memikirkannya Swandaru. Kau masih terlalu sibuk dengan kademanganmu dan dengan dirimu sendiri. Tetapi itu tidak apa-apa. Kau masih mempunyai kesempatan yang panjang.“

Wajah Swandaru tiba-tiba menjadi cerah. Hampir di luar sadarnya ia berkata, “Aku sudah mempunyai seorang calon murid yang baik, Guru.“

“Syukurlah,“ berkata Kiai Gringsing, “mudah-mudahan ia akan menjadi murid yang baik lahir dan batinnya.”

“Tentu Guru. Ia harus menjadi seorang yang baik, berani, dan memiliki ilmu yang tinggi,“ berkata Swandaru pula.

“Barangkali aku boleh tahu, siapakah calon muridmu itu? Apakah ia masih ada hubungan keluarga denganmu, atau hubungan yang lain?“ berkata Kiai Gringsing.

“Ia adalah bakal anakku, Guru. Pandan Wangi kini telah mulai mengandung,“ jawab Swandaru.

Kiai Gringsing dan Agung Sedayu terkejut sesaat. Namun kemudian keduanya menarik nafas dalam-dalam. Kiai Gringsing tersenyum sambil berkata, “Aku mengucapkan selamat kepadamu Swandaru.“

Swandaru tertawa. Katanya, “Terima kasih Guru. Bukankah aku benar-benar mempunyai seorang calon murid yang baik? Aku tidak peduli apakah anakku laki-laki atau perempuan. Tetapi anakku itu harus memiliki kemampuan ilmu, keberanian dan baik sebagaimana ayah dan ibunya.“

Agung Sedayu yang duduk di sebelah adik seperguruannya itu menepuk bahu Swandaru sambil berkata, “Ternyata kebahagiaanmu akan segera menjadi lengkap Adi Swandaru.“

“Kapan kau menyusul Kakang?“ bertanya Swandaru.

Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Pada suatu saat, kurnia itu akan aku terima pula. Aku selalu memohon kepada-Nya.“

“Mudah-mudahan tidak terlalu lama,“ berkata Swandaru, “anak kita akan sebaya.“

Agung Sedayu masih saja tertawa. Namun kemudian katanya, “Seperti yang kau katakan. Kau akan mempunyai seorang murid yang paling baik.“

“Aku akan mengajarkan kepadanya, jalur ilmu dari perguruan orang bercambuk,“ berkata Swandaru.

“Ya. Kau tentu akan lebih berhasil daripadaku,“ berkata Agung Sedayu.

“Tetapi jika anakmu lahir kelak, maka kaupun akan mendapat murid baru yang barangkali lebih baik dari Glagah Putih,“ berkata Swandaru, “kau akan dapat menurunkan ilmu dari perguruan kita dengan murni.“

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia tidak sependapat dengan Swandaru. Tetapi Agung Sedayu memang segan untuk berbantah. Karena itu, maka iapun tidak’menyahut sama sekali.

Bahkan Kiai Gringsing yang menyahut, “Aku akan ikut berdoa, semoga kau segera mendapatkannya Agung Sedayu.“

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Terima kasih Guru. Mudah-mudahan.“

“Baiklah,“ berkata Kiai Gringsing kemudian. Lalu, “Jika demikian, maka aku akan menjadi semakin tenang menghadapi segala macam kemungkinan yang dapat terjadi atas diriku. Dari seorang yang sudah terlalu tua.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk kecil sambil menyahut, “Semoga kami tidak mengecewakan Guru.“

“Terima kasih,“ berkata Kiai Gringsing, “bagiku segalanya sudah menjadi jelas sekarang. Ada dua hal yang penting dari pembicaraan kita. Pertama, aku akan menghubungi Ki Widura. Dan kedua tentang kitab itu, aku percayakan kepada kalian untuk menentukan apakah yang sebaiknya kalian lakukan atasnya.“

Agung Sedayu dan Swandaru mengangguk-angguk. Namun di dalam hatinya Swandaru masih berkata, “Ada dua orang yang akan mempunyai pengaruh yang besar pada perguruan ini, tetapi ilmunya bersumber dari perguruan lain. Ki Widura dan Glagah Putih, yang kedua-duanya memiliki alas ilmu dari perguruan Ki Sadewa.“

Meskipun demikian, Swandaru tidak melihat jalan lain untuk memberikan perbandingan dari jalan yang akan ditempuh oleh Kiai Gringsing itu. Sehingga dengan demikian maka untuk sementara Swandaru terpaksa menerima kesimpulan dari pembicaraan mereka itu.

Namun ternyata bahwa mereka tidak segera meninggalkan tempat itu. Untuk beberapa saat, Kiai Gringsing masih ingin berbicara dengan kedua murid-muridnya. Dengan nada datar iapun kemudian berkata, “Selanjutnya Anak-Anakku, yang ingin aku ketahui adalah perkembangan ilmu kalian. Meskipun aku tidak ingin membawa kalian ke sanggar, namun bagaimana pendapat kalian sendiri atas perkembangan ilmu kalian masing-masing? Apakah kalian menemui kesulitan di dalam pengembangan ilmu berdasarkan atas kitab yang kalian pergunakan sebagai tuntunan? Menurut pendapatku, setelah kalian memahami dasar pengetahuan perguruan kita, maka kitab itu akan memberikan tuntunan bagi kalian tanpa kesulitan, jika kalian benar-benar menyadari laku sebagaimana ditentukan di dalam kitab itu. Namun lakunya itulah yang kadang-kadang memang sulit dan berat.“

Swandaru-lah yang kemudian menjawab, “Tidak Guru. Aku tidak mengalami kesulitan. Semuanya akan berlangsung dengan baik. Meskipun kadang-kadang hambatan itu terjadi karena kemalasan kami untuk menjalani laku. Apalagi menjalani laku, berlatih pun kadang-kadang merasa tidak sempat.“

Kiai Gringsing tersenyum. Ia memuji kejujuran Swandaru itu, karena sebenarnyalah Kiai Gringsing memang sudah mengetahuinya. Tetapi iapun berkata kemudian, “Bukan maksudku bahwa seluruh waktu kalian selalu kalian pergunakan untuk menjalani laku sebagaimana tertulis di dalam kitab itu. Bagaimanapun juga kalian harus menempuh kehidupan sehari-hari kalian sebagaimana kedudukan kalian, agar kalian tidak menjadi orang asing di antara sanak kadang dan tetangga kalian.“

Tetapi Swandaru sambil tersenyum pula berkata, “Sebenarnya aku lebih memikirkan Kakang Agung Sedayu.“

“Kenapa?“ bertanya Kiai Gringsing.

“Aku kira justru karena kesibukan dan keinginan Kakang Agung Sedayu meningkatkan hidup di Tanah Perdikan Menoreh, sehingga Kakang Agung Sedayu tidak mempunyai kesempatan untuk memperhatikan dirinya sendiri. Bagaimanapun juga, aku kira, Kakang Agung Sedayu tidak mau disebut mementingkan diri sendiri, maka ilmu itu tentu akan sangat berguna bagi Tanah Perdikan Menoreh,“ jawab Swandaru.

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya, sementara Agung Sedayu memang tertarik juga kepada keterangan Swandaru.

“Kenapa kau mempunyai anggapan yang demikian?“ bertanya Kiai Gringsing.

“Aku yang juga merasa bahwa kadang-kadang tidak sempat membaca dan apalagi menjalani laku yang tertera di dalam kitab itu, namun setidak-tidaknya aku setiap kali memaksakan diri untuk menelaah isinya. Setidak-tidaknya aku dapat meningkatkan jenis ilmu yang telah aku kuasai sebelumnya, sebelum aku sempat mencoba menguasai jenis ilmu yang baru,“ jawab Swandaru. “Tetapi agaknya Kakang Agung Sedayu sama sekali tidak sempat melakukannya, karena Kakang hampir tidak pernah membawa kitab itu ke Tanah Perdikan pada saat-saat terakhir ini.“

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.

Sementara itu Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Kemudian iapun telah bertanya kepada Agung Sedayu, “Apakah benar demikian?“

Agung Sedayu pun telah mengangguk pula. Katanya dengan nada rendah, “Ya Guru. Aku merasa terlalu sibuk pada saat-saat terakhir. Daripada aku membawa kitab itu tanpa menyentuhnya, maka aku menganggap bahwa kitab itu akan lebih berarti jika berada di Sangkal Putung.“

Swandaru tertawa. Katanya, “Tetapi Kakang harus mencari kesempatan itu. Pada satu saat, semuanya telah mencapai puncak gunung yang tinggi, Kakang masih sibuk menyiangi hutan di lambung gunung itu.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun iapun telah tersenyum pula sambil berkata, “Aku seharusnya memang berusaha.“

“Ketika aku pertama kali melihat kelebihan Kakang Agung Sedayu dalam ilmu bidik yang melampaui kemampuan Sidanti, aku benar-benar kagum. Bahkan seluruh Kademangan Sangkal Putung waktu itu mengaguminya. Tetapi dalam perjalanan berikutnya, yang lain berpacu di atas punggung kuda, Kakang masih saja telaten berjalan kaki.“

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Kiai Gringsing berkata, “Adikmu bermaksud baik, Agung Sedayu.“

“Ya,“ jawab Swandaru, “meskipun aku dalam perguruan ini merupakan saudara muda, tetapi dalam hubungan keluarga aku dianggap lebih tua, karena Kakang Agung Sedayu adalah suami adikku.“

Agung Sedayu tertawa meskipun tidak lepas. Memang sesuatu tertahan di hatinya. Bahkan sebenarnyalah gurunya pun demikian pula. Tetapi keduanya sulit untuk mengatakan keadaan yang sebenarnya tentang perbandingan ilmu antara Swandaru dan Agung Sedayu.

“Baiklah,“ berkata Kiai Gringsing, “jika aku menjadi lebih baik, aku ingin menilik ilmu kalian di sanggar atau di tempat terbuka. Tetapi sebaiknya, Agung Sedayu tetap memikirkannya.“

Agung Sedayu mengangguk kecil. Katanya, “Aku mengerti Guru.“

Sementara itu Swandaru berkata lebih jauh, “Apalagi Kakang sering menerima tugas dari Panembahan Senapati secara khusus. Barangkali peningkatan ilmu akan sangat berarti bagi kepentingan Kakang Agung Sedayu sendiri.“

“Terima kasih,“ desis Agung Sedayu, “meskipun lamban, tetapi pengalaman yang selama ini aku jalani ternyata memberikan arti juga bagi ilmuku.“

“Tetapi tidak akan secepat jika kita menjalani laku,“ berkata Swandaru. Lalu, “Meskipun segalanya juga tergantung pada kita masing-masing. Seseorang yang menjalani laku yang sama dengan orang lain, belum tentu akan memiliki ilmu yang sama tinggi tingkatnya.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak membantah.

Dalam pada itu, maka untuk beberapa saat keduanya masih berbincang tentang padepokan itu, para cantrik dan kemungkinan bagi masa datang.

Namun kemudian Kiai Gringsing pun berkata, “Baiklah. Aku kira untuk sementara pembicaraan kita sudah selesai. Agaknya aku harus segera beristirahat agar keadaanku tidak akan menjadi lebih buruk.“

Agung Sedayu dan Swandaru saling berpandangan sejenak. Keduanya pun agaknya mengerti bahwa guru mereka memang harus segera beristirahat. Karena itu, maka keduanya pun segera minta diri untuk beristirahat pula.

“Tidurlah,“ berkata Kiai Gringsing kemudian, “mudah-mudahan kalian dapat tidur nyenyak di sini.“

Ketika mereka bergeser dari ruang dalam, mereka pun langsung pergi ke bilik yang sudah disediakan bagi mereka masing-masing. Ternyata Pandan Wangi dan Sekar Mirah pun telah berada di dalam bilik itu.

Pandan Wangi yang sudah berbaring di pembaringan tetapi belum tidur itu pun telah bangkit ketika pintu biliknya terbuka dan Swandaru melangkah masuk.

“Kau belum tidur?“ bertanya Swandaru.

Pandan Wangi menggeleng sambil menjawab. “Belum Kakang. Rasa-rasanya aku memang belum mengantuk.“

Swandaru pun kemudian duduk di bibir pembaringan itu pula.

“Apa saja yang dibicarakan dengan Kiai Gringsing?“ bertanya Pandan Wangi.

Dengan singkat Swandaru menceritakan rencana Kiai Gringsing dengan padepokan kecil itu dan dengan kitab peninggalannya. Kepada Pandan Wangi iapun mengatakan bahwa orang-orang yang kini tersangkut dalam rencana gurunya adalah bukan dari perguruannya. “Maksud Kakang?“ bertanya Pandan Wangi.

“Ki Widura memiliki landasan ilmu dari perguruan Ki Sadewa. Sementara itu Kakang Agung Sedayu telah menurunkan ilmu kepada sepupunya bukan pula ilmu dari perguruan kami, tetapi ilmu dari perguruan Ki Sadewa,“ berkata Swandaru. Lalu, “Bahkan pada anak itu telah terdapat pula ilmu yang disadapnya dari Ki Jayaraga di Tanah Perdikan Menoreh. Ki Jayaraga yang tidak kita kenal dengan pasti, latar belakang dari kehidupannya.“

Pandan Wangi mengangguk-angguk. Ia dapat mengeri pendapat suaminya. Seharusnya, pimpinan langsung atau tidak langsung atas padepokan kecil itu adalah mereka yang berasal dari perguruan itu pula. Jika orang lain hadir di sebuah padepokan dan berasal dari perguruan yang lain, agaknya memang terasa janggal.

Tetapi Pandan Wangi pun mengeri, bahwa keturunan ilmu dari perguruan Kiai Gringsing itu yang sudah dapat berdiri tegak dengan ilmunya adalah dua orang yang masing-masing telah mempunyai kesibukan mereka sendiri-sendiri, sehingga mereka untuk sementara tidak akan dapat memimpin padepokan itu. Bahkan menurut penilaian Pandan Wangi, Ki Widura sebagaimana dikatakan oleh suaminya tidak akan memimpin padepokan itu.

Namun yang kemudian dikatakan oleh Swandaru adalah tentang kitab yang diwariskan oleh gurunya itu, dan tentang Agung Sedayu yang kurang berminat untuk meningkatkan ilmunya.

“Kakang Agung Sedayu menganggap bahwa ilmunya telah cukup baik untuk menghadapi gejolak di masa datang di Mataram,” berkata Swandaru. Lalu, “Bahwa setiap kali Kakang berhasil, agaknya telah membuatnya semakin yakin bahwa ilmunya benar-benar telah mapan. Kakang kurang menyadari, hadirnya orang-orang lain yang telah membantunya sehingga ia berhasil itu.“

Pandan Wangi mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Tetapi apakah ilmu Kakang Agung Sedayu belum memadai? Menurut pengenalanku, sebagaimana juga dikatakan oleh Sekar Mirah, Kakang Agung Sedayu juga memperdalam ilmunya setiap ada kesempatan. Ia termasuk orang yang rajin berada di dalam sanggar. Tetapi sudah barang tentu bahwa sebagian dari waktunya diperuntukkannya bagi Tanah Perdikan Menoreh.“

“Ya,“ jawab Swandaru, “agaknya Sekar Mirah pun mempunyai penilaian yang kerdil terhadap ilmu kanuragan. Ia terlalu mengagumi suaminya, sehingga karena itu ia tidak sempat memperbandingkan ilmu suaminya itu dengan perkembangan ilmu secara luas.“

Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Tetapi iapun menjadi ragu. Menurut penilaiannya, ilmu Agung Sedayu justru telah maju dengan pesat. Namun iapun berkata kepada diri sendiri, “Mungkin Sekar Mirah memang terlalu mengagumi suaminya, sehingga ceritanya memang agak berlebihan.“

Sementara itu, Swandaru pun kemudian berkata, “Sudahlah. Kita akan beristirahat. Jika besok ada kesempatan, aku ingin membuat perbandingan ilmu dengan Kakang Agung Sedayu.”

Tetapi Pandan Wangi berkata sareh, “Kau tidak perlu melakukannya dengan langsung, Kakang. Kita tidak tahu perasaan Kakang Agung Sedayu sekarang. Jika ia sekarang menjadi mudah tersinggung maka akan dapat timbul salah paham. Meskipun kau bermaksud baik, tetapi mungkin tanggapan orang lain dapat berbeda.“

Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan mencoba untuk melakukannya sebaik-baiknya. Aku ingin Kakang Agung Sedayu mengerti, tetapi tidak tersinggung karenanya.“

Pandan Wangi mengangguk kecil sambil berdesis, “Kakang memang harus bijaksana.“

Swandaru tidak menjawab. Sambil mengangguk kecil iapun kemudian justru berdesis, “Aku sudah mengantuk.”

Ketika keduanya berbaring di pembaringannya, di bilik lain Agung Sedayu masih juga merasa gelisah. Di bibir pembaringan, Sekar Mirah duduk sambil menundukkan kepalanya. Tetapi terdengar ia berkata lirih, “Aku tidak menuntut Kakang. Aku hanya mengatakan bahwa Pandan Wangi telah mengandung. Aku tahu, bahwa kau dan aku tidak bersalah. Tetapi agaknya kita masih harus menunggu kurnia itu datang pada kesempatan lain.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Kita akan selalu memohon.“

“Ya Kakang. Dengan keyakinan,“ jawab Sekar Mirah.

Agung Sedayu masih mengangguk-angguk. Namun kegelisahannya itu telah membuatnya sama sekali tidak mengantuk. Bahkan Sekar Mirah pun tidak.

Untuk beberapa saat mereka saling berdiam diri dalam kegelisahan perasaan. Memang keduanya menyadari, bahwa tidak ada yang dapat dipersalahkan di antara keduanya. Mereka pun mengerti, bahwa mereka tidak dapat berbuat banyak selain memohon kepada Sumber Hidupnya. Namun mereka pun merasa wajib berupaya untuk menyatakan kesungguhan dari permohonan mereka.

Tiba-tiba saja Agung Sedayu berkata, “Mirah. Guru adalah seorang yang mengerti tentang obat-obatan dan upaya menyembuhkan dengan beberapa cara, termasuk dengan membenahi letak urat syaraf, sehingga mungkin kita akan dapat mohon bantuannya. Mungkin Guru mengenal jenis dedaunan atau akar-akaran yang baik bagi kita.“

Sekar Mirah mengangguk kecil. Dengan nada rendah ia berdesis, “Semoga Yang Maha Murah mendengarkan permohonan kita.“

Agung Sedayu tidak menjawab. Setiap kali kepalanya masih saja terangguk-angguk tanpa makna sama sekali. Bahkan tiba-tiba saja ia bangkit berdiri.

“Kenapa Kakang?“ bertanya Sekar Mirah.

“Aku akan ke sanggar,“ jawab Agung Sedayu.

“Untuk apa? Malam telah larut. Bahkan sebentar lagi fajar akan datang,“ berkata Sekar Mirah yang menjadi cemas.

Tetapi Agung Sedayu tidak menghiraukannya. Iapun telah melangkah dengan hati-hati keluar dari biliknya menuju ke sanggar. Sementara itu Sekar Mirah yang cemas melihat sikap Agung Sedayu itupun telah mengikutinya.

“Kakang,“ desis Sekar Mirah ketika mereka memasuki sanggar yang remang-remang. Yang hanya diterangi oleh sebuah lampu minyak yang kecil.

“Mirah,“ tiba-tiba saja Agung Sedayu menjadi tegang, “apakah benar menurut penglihatanmu, bahwa pada saat-saat terakhir ilmuku sudah terhenti dan sama sekali tidak bergerak lagi?“

“Kenapa kau bertanya demikian Kakang?“ Sekar Mirah ganti bertanya.

“Menurut Adi Swandaru, aku adalah seorang pemalas yang tidak memperhatikan perkembangan ilmu sama sekali. Aku tidak tahu pasti, seberapa jauh tingkat ilmu Adi Swandaru. Tetapi kenapa ia harus berprihatin tentang aku? Apakah aku memang perlu dikasihaninya karena aku tidak dapat mencapai tataran ilmu yang tinggi?“ sahut Agung Sedayu.

“Tidak Kakang. Tidak,“ jawab Sekar Mirah yang berlari memeluk suaminya, “kau tidak lebih buruk dari Kakang Swandaru.“

“Tetapi Swandaru mengatakan, bahwa aku harus berusaha meningkatkan ilmuku. Jika dalam tataran ilmu aku kalah dari Swandaru, maka segala-galanya aku memang harus mengakui kekalahanku,“ berkata Agung Sedayu.

“Tidak. Itu tidak benar. Aku tahu pasti Kakang, bahwa kau mempunyai kelebihan dari Kakang Swandaru,“ berkata Sekar Mirah yang memeluk suaminya semakin erat.

“Lihat,“ berkata Agung Sedayu sambil mendorong Sekar. Mirah, “dari mana dinilai kejantanan seseorang? Sikap kewadagannya, sikap jiwanya, atau bahwa ia memiliki ilmu yang tinggi, atau diukur dari jumlah keturunannya?“

“Kakang. Kenapa kau sebenarnya?“ Sekar Mirah menjadi semakin cemas.

“Lihat Mirah, lihat. Apakah benar bahwa aku tidak meningkatkan ilmu kanuraganku?“ geram Agung Sedayu.

Sekar Mirah melangkah maju, namun Agung Sedayu telah melenting dengan dorongan kekuatan tenaga dalamnya. Bagaikan terbang Agung Sedayu hinggap di atas sebuah patok kayu yang tegak di antara beberapa patok yang lain yang tidak sama tinggi. Iapun kemudian bergerak dengan cepatnya, seakan-akan tubuhnya tidak berbobot sama sekali. Ia berloncatan dari ujung patok ke ujung patok yang lain. Kemudian meloncat ke palang kayu yang membujur panjang. Bahkan kemudian tubuhnya bagaikan melayang ke atas sebatang bambu yang melintang dan bertumpu pada ujung dan pangkalnya saja. Namun batang bambu itu seakan-akan tidak bergetar sama sekali. Untuk beberapa lama Agung Sedayu berloncatan dari satu tumpuan ke tumpuan yang lain. Justru dalam keremangan cahaya lampu yang lemah.

Sekar Mirah menjadi sangat cemas melihat sikap Agung Sedayu itu. Agung Sedayu seolah-olah telah bergerak di luar sadarnya. Dorongan perasaannya telah membuatnya melakukan permainan yang berbahaya itu.

“Cukup Kakang. Cukup,“ minta Sekar Mirah, “berhentilah. Tidak seorangpun meragukan kemampuan Kakang. Bukankah selama ini Kakang tidak pernah merasa tersinggung karena penilaian orang lain terhadap ilmu Kakang? Bahkan kakang pun kadang-kadang dengan sengaja justru telah menyembunyikan kemampuan Kakang yang sebenarnya?“

Tetapi Agung Sedayu seakan-akan tidak mendengarkan. Tiba-tiba saja tangannya telah menyambar sebilah pedang yang besar. Dengan pedang yang berputaran di tangannya Agung Sedayu telah berloncatan kembali. Semakin lama justru menjadi semakin cepat. Ketika ia jemu dengan pedang itu, maka tangannya telah meraih sebatang tombak pendek. Bahkan kemudian jenis-jenis senjata yang tidak terbiasa dipergunakan. Sebuah pedang yang bertangkai sepanjang tangkai tombak pendek. Kemudian sebuah canggah yang bergerigi. Sebuah golok dan perisai.

“Lihat Mirah. Lihatlah, aku bukan betina!“ suara Agung Sedayu lantang.

Sekar Mirah menjadi cemas melihat tata gerak Agung Sedayu. Meskipun sebenarnyalah ia menjadi sangat kagum akan tingkat ilmu kanuragan suaminya, namun terasa hatinya menjadi berdebar-debar. Meskipun demikian, seakan-akan Sekar Mirah itu berkata kepada diri sendiri, “Jarang orang yang akan dapat menyamainya. Apalagi jika ia telah merambah pada ilmunya yang lebih dalam dan rumit. Lebih-lebih Kakang Swandaru.”

Tetapi bibirnya berkata. “Sudah cukup Kakang. Sudah cukup.“

Agung Sedayu tidak mendengarkannya. Untuk beberapa saat ia masih saja berloncatan dan memutar berbagai macam senjata berganti-ganti. Kakinya melenting-lenting dari satu tumpuan ke tumpuan yang lain. Betapa tinggi ilmu meringankan tubuhnya, sehingga beberapa saat kemudian Agung Sedayu hanya nampak sebagai bayangan di dalam keremangan di sanggar itu.

“Kakang,“ suara Sekar Mirah mulai diwarnai oleh kecemasannya yang tidak tertahankan.

Ternyata bahwa Agung Sedayu pun akhirnya mendengarnya. Perlahan-lahan ia mengurangi kecepatan geraknya, sehingga akhirnya ia berhenti sama sekali.

Dengan serta merta Sekar Mirah pun berlari dan memeluknya sambil berkata, “Sudahlah Kakang.“

Nafas Agung Sedayu terengah-engah. Bukan karena kelelahan. Ia masih sanggup bermain sehari semalaman lagi dengan berjenis-jenis senjata yang ada. Namun gejolak perasaannya membuat nafasnya bagaikan memburu. Tetapi ketika terasa air yang hangat menyentuh tubuhnya dari pelupuk mata Sekar Mirah, maka tiba-tiba saja hatinya menjadi luluh.

“Kakang,“ suara Sekar Mirah bagaikan tertelan di antara isaknya, “apakah aku menyakiti hati Kakang?“

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam sambil mengelus rambut istrinya, “Tidak Mirah. Kau tidak menyakiti hatiku.“

“Aku minta maaf jika yang aku katakan tidak berkenan di hati Kakang,“ desis Sekar Mirah kemudian.

“Tidak. Kau tidak bersalah Mirah,“ Agung Sedayu berhenti sejenak. Lalu, “Perasaanku-lah yang agaknya memang sedang goyah.“

Sekar Mirah masih terisak. Namun kemudian Agung Sedayu pun membimbingnya sambil berkata, “Marilah. Akulah yang seharusnya minta maaf kepadamu.“

Keduanya pun kemudian telah keluar dari sanggar. Ternyata malam masih gelap. Para cantrik masih tertidur nyenyak, kecuali dua orang yang bertugas di pendapa, dan yang sekali-sekali meronda mengelilingi halaman dan kebun padepokan. Namun agaknya selama Agung Sedayu dan Sekar Mirah berada di sanggar, mereka tidak mendekati sanggar itu.

Beberapa saat kemudian keduanya telah berada di dalam bilik mereka. Agung Sedayu yang menyadari keterlanjurannya, duduk sambil menundukkan kepalanya. Ia memang menyesal bahwa ia telah kehilangan kendali atas perasaannya sendiri.

Ketika Sekar Mirah mengusap keringatnya, Agung Sedayu berdesis, “Agaknya aku hampir kehilangan akal. Untunglah bahwa aku tidak melakukannya di hadapan siapapun juga kecuali kau Mirah.“

“Sudahlah,“ berkata Sekar Mirah, “Kakang perlu beristirahat. Malam hampir sampai ke ujungnya. Tidurlah meskipun hanya sebentar. Mudah-mudahan kau dapat memanfaatkan waktu yang tinggal sedikit ini Kakang.“

Agung Sedayu mengangguk kecil. Namun Sekar Mirah-lah yang kemudian mengambil baju Agung Sedayu yang tidak basah oleh keringat dan memberikannya untuk berganti dengan bajunya yang telah basah.

Sejenak kemudian, keduanya telah berbaring di pembaringan. Sikap Sekar Mirah memang dapat memberikan ketenangan kepadanya. Meskipun biasanya Sekar Mirah bersikap agak keras, tetapi di saat Agung Sedayu dicengkam oleh kegelisahan, Sekar Mirah dapat bersikap sebagai seorang istri yang lembut. Agung Sedayu yang menjadi tenang itu ternyata masih dapat mempergunakan kesempatan yang sedikit itu. Beberapa siaat kemudian iapun telah tertidur.

Namun Sekar Mirah-lah yang ternyata tidak segera dapat tidur. Bahkan iapun sempat berdesis, “Kau memang seorang yang luar biasa dalam penguasaan ilmu Kakang.“

Tidak ada jawaban. Nafas Agung Sedayu-lah yang mengalir dengan teratur dalam tidurnya.

Baru beberapa saat kemudian, Sekar Mirah pun telah tertidur pula sambil tersenyum di sisi suaminya dengan satu keyakinan, bahwa suaminya benar-benar seorang laki-laki.

Keduanya ternyata memang agak lambat bangun. Agung Sedayu yang biasanya turun dari pembaringan di saat fajar menyingsing, bahkan kadang-kadang sebelumnya, ternyata baru membuka matanya ketika langit sudah menjadi cerah. Karena itu, ia agak tergesa-gesa bangun. Demikian pula Sekar Mirah.

Setelah membenahi diri, maka Agung Sedayu pun telah membuka pintu biliknya. Ketika ia melangkah keluar, dilihatnya Glagah Putih justru sedang berjalan ke bilik itu.

“Kakang tidur nyeyak sekali,“ berkata Glagah Putih.

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Ya. Udara yang sejuk di padepokan ini membuat tidurku sangat nyenyak.“

“Apakah Mbokayu belum bangun?“ bertanya Glagah Putih.

“Kau dengar ia membersihkan pembaringan?“ Agung Sedayu ganti bertanya.

Glagah Putih tersenyum. Ia memang mendengar suara tebah lidi untuk membersihkan pembaringan.

“Kalau begitu aku pergi ke pakiwan dahulu Kakang,“ berkata Glagah Putih.

Agung Sedayu mengangguk. Tetapi ia sempat bertanya, “Apakah Kakangmu Swandaru sudah bangun?“

“Aku sudah melihat Kakang Swandaru dan Mbokayu Pandan Wangi turun ke halaman dan berjalan-jalan ke kebun,“ jawab Glagah Putih.

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Aku memang agak terlambat bangun.“

Glagah Putih mengangguk kecil. Iapun kemudian bergeser sambil berkata, “Aku akan mandi dahulu Kakang.“

“Pergilah. Tetapi biasanya kau mandi pagi-pagi benar. Apakah kau juga terlambat bangun?“ bertanya Agung Sedayu.

“Tidak. Aku tidak terlambat bangun. Aku sudah mengelilingi padepokan ini pagi-pagi benar sebelum Kakang Swandaru. Bahkan aku telah ikut seorang cantrik yang melihat air parit di sawah yang sejak semalam dibuka,“ jawab Glagah Putih.

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Jadi hanya aku sajalah yang terlambat bangun. Tetapi bagaimana dengan Guru?“

“Kiai Gringsing masih belum nampak keluar dari biliknya,“ jawab Glagah Putih.

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Iapun kemudian berdesis, “Aku akan menengoknya.“

Ketika Glagah Putih kemudian pergi ke pakiwan, maka Agung Sedayu pun telah memberitahukan kepada Sekar Mirah, bahwa ia akan melihat gurunya di biliknya.

“Pergilah Kakang,“ jawab Sekar Mirah.

Dengan hati-hati Agung Sedayu yang kemudian berada di depan bilik Kiai Gringsing telah melangkah mendekat. Perlahan-lahan pula ia mengetuk pintu yang masih tertutup sambil berdesis, “Guru?“

Agaknya Kiai Gringsing telah terbangun pula. Dengan nada rendah ia menyahut, “Masuklah.“

Agung Sedayu pun kemudian mendorong pintu lereg ke samping. Ternyata pintu itu tidak diselarak dari dalam. Perlahan-lahan pula Agung Sedayu melangkah masuk. Dilihatnya gurunya telah duduk di bibir pembaringannya. Bahkan Kiai Gringsing telah membenahi pakaian dan rambutnya. Namun ia masih belum mengenakan ikat kepalanya.

“Marilah Agung Sedayu,“ desis Kiai Gringsing, “apakah kau bersama Swandaru?”

“Tidak Guru,“ jawab Agung Sedayu, “Swandaru sedang berada di halaman bersama istrinya, melihat-lihat kebun padepokan. Mereka nampaknya tertarik pada tanaman sayuran di kebun ini.“

Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Marilah. Duduklah.”

Agung Sedayu pun kemudian duduk di sebelah Kiai Gringsing. Dengan nada dalam ia bertanya, “Bagaimana keadaan Guru?”

“Aku memang menjadi lebih baik Agung Sedayu, tetapi aku tidak akan dapat mengingkari keterbatasan kekuatan wadagku. Aku memang sudah tua. Bahkan terlalu tua,“ berkata Kiai Gringsing.

“Tetapi beberapa saat yang lalu, Guru masih dengan tegar berada di antara pasukan Mataram,“ berkata Agung Sedayu.

“Aku telah memaksa diriku sendiri. Namun kemudian aku pun harus mengakui, bahwa aku tidak akan mampu melampaui keterbatasan itu. Betapapun aku berusaha,“ berkata Kiai Gringsing. Lalu katanya pula, “Jika aku berusaha untuk memaksa diri lagi, maka hal itu justru akan mempercepat perjalananku ke batas ketidak-mampuan berbuat apapun lagi.“

Agung Sedayu mengangguk kecil. Katanya, “Apakah itu berarti bahwa Guru harus lebih banyak beristirahat?“

“Agaknya memang begitu. Akupun tidak sebaiknya melakukan tugas yang berat lagi. Apalagi yang mempergunakan tenaga wadagku,“ berkata Kiai Gringsing.

“Tetapi bukankah kemampuan ilmu Guru tidak dapat susut?” bertanya Agung Sedayu.

“Ilmunya tidak susut. Tetapi pendukung ilmu itulah yang tidak lagi dapat berbuat setegar sebelumnya. Wadag ini. Betapapun tinggi ilmu seseorang, tetapi untuk mengungkapkannya diperlukan unsur kewadagan dan unsur kejiwaan. Kedua-duanya telah menjadi semakin lemah padaku. Terutama wadagku,“ jawab Kiai Gringsing.

Agung Sedayu mengangguk pula. Katanya, “Tetapi bukankah Guru sekarang merasa lebih baik?“

“Ya. Rasa-rasanya tubuhku memang menjadi lebih segar. Menjelang fajar, aku berjalan-jalan di halaman dan di kebun padepokan ini. Setelah tubuhku agak hangat aku pun mandi. Biasanya aku tidak dapat melakukannya seperti pagi ini. Meskipun setiap pagi aku juga berjalan-jalan, tetapi aku cepat menjadi letih. Apalagi di saat-saat aku sakit sejak beberapa hari yang lalu,“ berkata Kiai Gringsing.

Sambil meraba rambutnya Kiai Gringsing itu pun berkata selanjutnya, “Lihatlah. Rambutku telah menjadi seperti kapas.“

Agung Sedayu memang memandang rambut Kiai Gringsing yang sudah menjadi putih. Tetapi ia masih juga berkata, “Uban bukan satu-satunya pertanda.”

Kiai Gringsing tertawa. Katanya, “Memang. Uban dapat tumbuh pada anak-anak yang masih muda. Tetapi yang kau lihat padaku, adalah uban di kepala seorang yang sudah terlalu tua.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa gurunya bangun lebih pagi dari Glagah Putih. Sementara itu gurunya berkata, “Sudahlah Agung Sedayu. Jangan terlalu kau pikirkan aku. Aku dan semua orang akan menjalani putaran hidup ini sebagaimana seharusnya. Tidak ada perkecualian.” Kiai Gringsing berhenti sejenak, lalu katanya, “Kau-lah yang masih muda. Kau harus berbuat lebih baik dari yang pernah kau lakukan.”

Agung Sedayu mengangguk pula.

Dalam pada itu Kiai Gringsing pun berkata, “Agung Sedayu. Aku tahu bahwa kau memiliki beberapa kelebihan dari adikmu Swandaru. Tetapi sangat sulit bagiku untuk mengatakan kepadanya, keadaan yang sebenarnya. Namun hendaknya kau dapat memaklumi sikapnya, agar tidak terjadi geseran di antara kau dan adikmu. Yang ingin aku katakan kepadamu, kau harus bijaksana menanggapi keadaan itu, sehingga pada saatnya kau dapat menunjukkan keadaan yang sebenarnya tanpa menyakiti hatinya. Aku tahu bahwa hal itu akan menjadi beban yang sulit kau lakukan.” Agung Sedayu mengangguk kecil. Ia mengerti sepenuhnya apa yang dikatakan oleh gurunya. Baru semalam Agung Sedayu diguncang oleh perasaan yang rasa-rasanya belum pernah disandangnya. Tetapi Agung Sedayu pun kemudian telah menyadari spenuhnya, bahwa jantungnya-lah yang telah goyah.

Namun beban itu seakan-akan telah ditumpahkannya di sanggar, sehingga dadanya tidak lagi merasa sesak. Bahkan semuanya telah menjadi pulih kembali. Agung Sedayu tidak akan tersinggung lagi seandainya ia dikatakan apapun juga dengan ilmunya.

Sementara itu Kiai Gringsing masih berkata, “Tetapi aku, yakin bahwa kau akan dapat melakukannya Agung Sedayu.”

“Mudah-mudahan Guru,” sahut Agung Sedayu sambil menunduk.

“Baiklah,” berkata Kiai Gringsing, “aku percaya kepadamu.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Guru. Sebenarnya aku hanya ingin menengok keadaan Guru. Aku kira Guru masih belum keluar dari bilik ini. Ternyata bahwa kami-lah yang kesiangan, sehingga Guru justru telah selesai berbenah diri setelah berjalan-jalan di kebun dan halaman.”

Kiai Gringsing tersenyum. Sedangkan Agung Sedayu berkata selanjutnya, “Aku mohon diri Guru. Aku belum mandi.”

Kiai Gringsing mengangguk sambil menjawab, “Barangkali kau masih ingin melihat-lihat sawah dan ladang. Mudah-mudahan kau setuju bahwa kami di sini telah mendapatkan banyak kemajuan di bidang pertanian.”

Agung Sedayu mengangguk sambil menjawab, “Aku akan mengajak Sekar Mirah, Guru.”

Demikianlah, maka Agung Sedayu pun telah membenahi dirinya. Demikian pula Sekar Mirah. Bersama Glagah Putih mereka pun turun ke kebun untuk melihat-lihat suasana padepokan di pagi hari. Namun mereka pun kemudian telah langsung pergi ke sawah dan pategalan yang digarap oleh para cantrik padepokan itu.

Ternyata mereka bertiga tidak bertemu dengan Swandaru dan Pandan Wangi. Mereka telah berselisih jalan. Ketika mereka menuju ke pategalan, maka Swandaru dan Pandan Wangi justru telah kembali melalui jalan yang lain.

Tetapi menjelang matahari naik, maka mereka pun telah berkumpul di bangunan induk padepokan kecil itu untuk makan pagi sambil membicarakan perkembangan sawah dan pategalan padepokan itu. Swandaru dan Agung Sedayu pun telah menyatakan kekaguman mereka terhadap kerja para cantrik yang jumlahnya tidak begitu banyak, tetapi telah mampu menangani sawah dan pategalan yang terhitung luas.

Namun dalam pada itu, Swandaru dan Pandan Wangi telah menyatakan bahwa hari itu mereka akan kembali ke Sangkal Putung.

“Begitu tergesa-gesa?” bertanya Kiai Gringsing, “Sebenarnya aku merasa hangat ditunggui oleh kedua muridku. Dalam umurku yang tua ini, rasa-rasanya berkumpul dengan kalian merupakan satu kebahagiaan tersendiri.”

“Jarak antara Jati Anom dan Sangkal Putung tidak terlalu jauh Guru. Setiap saat Guru dapat memanggilku,” berkata Swandaru.

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Apakah kau tidak ingin berbicara dengan Ki Widura? Barangkali aku dapat minta Ki Widura untuk datang hari ini. Jika kalian masih berada di sini, maka kita dapat berbicara bersama-sama.”

Tetapi Swandaru menggeleng. Katanya, “Semuanya kami serahkan kepada Guru.”

“Baiklah,” berkata Kiai Gringsing. Namun iapun berkata pula, “Tetapi aku harap Agung Sedayu masih tetap tinggal.”

Agung Sedayu berpaling kepada Sekar Mirah sejenak. Seolah-olah ia ingin mendengar keinginan istrinya itu.

Tetapi karena Sekar Mirah tidak mengatakan sesuatu, maka Agung Sedayu pun kemudian berkata, “Bagaimana jika kita menunggu sampai besok? Besok kita akan menyusul ke Sangkal Putung. Mungkin hari ini kita sempat berbicara dengan Ki Widura. Meskipun barangkali pembicaraan itu dapat dilakukan oleh Guru sendiri, namun menarik juga untuk ikut mendengarkannya.”

Sekar Mirah mengangguk. Jawabnya, “Aku tidak tergesa-gesa Kakang.”

Agung Sedayu-lah yang kemudian berkata kepada Kiai Gringsing, “Kami dapat tinggal sampai besok Guru.”

“Syukurlah. Aku tidak menjadi terlalu sepi,” berkata Kiai Gringsing. Tetapi ia masih juga bertanya kepada Swandaru, “Kenapa kau tidak kembali besok saja?”

Swandaru tertawa. Katanya, “Kapan saja aku akan dapat berada di sini lagi.”

Kiai Gringsing pun tersenyum sambil mengangguk-angguk. Tetapi iapun masih juga bertanya, “Pada siapakah kitab yang aku pinjamkan kepada kalian sekarang?”

“Ada padaku Guru,” jawab Swandaru, “sudah cukup lama. Itulah salah satu hal yang telah aku sampaikan kepada Guru tentang Kakang Agung Sedayu.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk, sementara Agung Sedayu berkata, “Aku akan meminjamnya lusa di saat aku kembali ke Tanah Perdikan.”

Swandaru tertawa pula. Katanya, “Kika kau tidak kebetulan kemari Kakang, kau tidak akan mengambil kitab itu secara khusus.”

Agung Sedayu juga tertawa. Betapapun masamnya. Bahkan iapun menjawab, “Mungkin aku memang terlalu malas.”

Swandaru-lah yang kemudian berkata, “Guru. Sebelum aku kembali, aku mohon Guru berada di sanggar sebentar. Aku ingin Guru memberikan penilaian atas kemajuan ilmu kanuraganku. Itu jika keadaan Guru tidak terlalu letih.”

Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah Swandaru.”

Swandaru tersenyum. Ia menjadi gembira karena kesediaan gurunya untuk melihat peningkatan ilmunya. Namun sebenarnyalah yang dimaksudkan bukan hanya gurunya sajalah yang akan dapat menyaksikannya. Tetapi juga Agung Sedayu.

“Aku harap Kakang Agung Sedayu melihat perkembangan ilmuku, sehingga hatinya menjadi terbuka, bahwa memang diperlukan kerja keras untuk mencapai tataran ilmu yang memadai,” berkata Swandaru di dalam hatinya.

Dengan demikian ia berharap akan dapat membuat perbandingan ilmu dengan Agung Sedayu tanpa menyakiti hatinya, sebagaimana dipesankan oleh Pandan Wangi.

Beberapa saat kemudian, setelah mereka beristirahat sebentar sehabis makan dan minum, maka mereka pun telah pergi keluar. Mereka turun ke halaman dan perlahan-lahan mereka berjalan menuju ke sanggar. Kiai Gringsing yang berjalan dengan tongkatnya, diapit oleh Swandaru dan Agung Sedayu. Sementara Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Glagah Putih mengikutinya di belakang.

Sejenak kemudian, mereka pun telah berada di dalam sanggar. Dua orang cantrik sedang membersihkan sanggar itu. Mereka menempatkan kembali beberapa senjata yang berpindah dari tempatnya semula.

Kedua cantrik itu memang menduga, bahwa semalam sanggar itu telah dipergunakan. Tetapi mereka pun merasa heran, bahwa mereka tidak mendengar sesuatu meskipun bilik mereka tidak terlalu jauh dari sanggar itu.

“Apakah Kiai sendiri yang telah berada di sanggar?” bertanya seorang di antara mereka.

Kawannya hanya menggeleng saja tanpa menjawabnya.

Tetapi sebenarnyalah keduanya tahu bahwa tentu bukan Kiai Gringsing. Selain ia memang sedang sakit, maka Kiai Gringsing jarang sekali mempergunakan senjata yang berjenis-jenis yang dikumpulkannya di dalam sanggar itu, kecuali justru pada saat ia memperkenalkan jenis-jenis senjata itu serta penggunaannya kepada para cantrik, agar para cantrik tidak terkejut apabila mereka bertemu dengan lawan yang membawa senjata seperti itu. Sementara itu para cantrik sendiri pada tataran pertama masih juga mempelajari cara penggunaan senjata yang umum dipergunakan. Pedang dan tombak, sebelum mereka pada suatu saat akan memasuki latihan menggunakan senjata yang khusus.

Sedangkan jika Kiai Gringsing mempergunakan berjenis-jenis senjata itu untuk mempergunakan di hadapan para cantrik, maka senjata-senjata itu akan dikembalikannya dengan tertib.

Tetapi para cantrik itu tidak bertanya kepada siapapun. Mereka membenahi saja dan mengatur serta membersihkan sanggar itu, sebagaimana yang mereka lakukan sehari-hari.

Ketika Swandaru dan Agung Sedayu memasuki sanggar itu bersama Kiai Gringsing dan orang-orang lain yang bersama mereka, maka para cantrik itu pun meninggalkan sanggar itu. Mereka mengerti bahwa murid-murid utama Kiai Gringsing itu akan mengadakan penilaian atas ilmu mereka di bawah pengamatan gurunya.

Agung Sedayu-lah yang kemudian menutup pintu sanggar itu, sementara Swandaru mulai mempersiapkan diri.

Kiai Gringsing yang lemah itu pun kemudian telah duduk di atas sebuah balok kayu untuk menyaksikan Swandaru menunjukkan kemampuan ilmunya.

“Aku sudah siap Guru,” berkata Swandaru.

Kiai Gringsing memandang kepada orang-orang yang ada di sebelah menyebelahnya. Kemudian iapun bergumam, “Kau dapat mulai Swandaru.”

Swandaru mengangguk hormat. Kemudian perlahan-lahan ia telah melangkah ke tengah-tengah sanggar.

Sejenak Swandaru memusatkan nalar budinya. Kemudian perlahan-lahan ia mulai bergerak. Tangannya mulai mengembang, kemudian kakinya mulai bergeser. Semakin lama semakin cepat sehingga kemudian Swandaru itu pun sudah berloncatan dengan tangkasnya. Tangannya bergerak dengan cepat, sekali mengembang, kemudian bagaikan bersilang di dada. Satu tangannya terjulur lurus ke depan, namun kemudian tangannya yang lain dengan telapak tangan yang tegak terkembang namun jari-jarinya merapat, terayun ke samping bersamaan dengan kakinya yang berputar setengah lingkaran.

Kiai Gringsing memperhatikan gerak Swandaru dengan sungguh-sungguh. Sebenarnyalah Swandaru memiliki kemantapan gerak yang mengagumkan. Jika ia berdiri tegak dengan kaki renggang dan ditekuk pada lututnya, maka sikapnya bagaikan batu karang yang tidak dapat digoyahkan oleh gelombang yang betapapun kuatnya, didorong oleh angin prahara yang betapapun besarnya.

Ayunan tangannya yang semakin lama semakin cepat, telah menggetarkan udara di sekitarnya. Bahkan rasa-rasanya telah menimbulkan ayunan angin yang kencang bertiup mendahului wadagnya. Sehingga dengan demikian maka kekuatan wadag Swandaru yang dialasi oleh tenaga cadangan di dalam dirinya, benar-benar merupakan kekuatan yang dahsyat.

Agung Sedayu yang menyaksikan gerak Swandaru mengangguk-angguk di luar sadarnya. Sebenarnyalah ia mengerti, bahwa Swandaru bukannya semata-mata ingin memperlihatkan kemajuan ilmunya untuk mendapat penilaian dari gurunya. Tetapi Swandaru juga ingin menunjukkan kepadanya.

Untunglah bahwa Agung Sedayu telah menumpahkan perasaannya semalam, dan hanya disaksikan oleh istrinya. Sehingga dengan demikian maka perasaannya sama sekali tidak lagi tersinggung melihat sikap Swandaru. Dengan penuh keyakinan pada diri sendiri, ia melihat bahwa yang ditunjukkan oleh Swandaru itu sama sekali tidak mengejutkannya. Apalagi yang nampak pada ilmu Swandaru itu adalah sebagian besar kekuatan kewadagan, betapapun besarnya.

Sementara itu, Sekar Mirah, Pandan Wangi dan Glagah Putih pun memperhatikan dengan seksama. Dengan penuh perhatian Pandan Wangi menilai setiap unsur gerak dari suaminya.

Ternyata bahwa Pandan Wangi yang juga memiliki kemampuan yang tinggi berdasarkan ilmu yang mengalir dari Perguruan Menoreh lewat ayahnya Ki Gede Menoreh yang bernama Ki Argapati itu, melihat beberapa kemungkinan yang sebenarnya masih dapat dikembangkan oleh Swandaru, asal saja ia mau melihat ilmunya lebih ke kedalaman. Bahkan Pandan Wangi sendiri telah mampu menemukan pancaran ilmunya justru yang belum diketemukan oleh ayahnya sendiri, kemampuan untuk menjangkau sasaran mendahului sentuhan wadagnya, yang masih akan dikembangkannya lagi dengan kemampuan untuk menyentuh sasaran dari jarak tertentu.

Pandan Wangi yang pernah mempersoalkannya dengan Kiai Gringsing telah mendapat beberapa petunjuk daripadanya, setelah Kiai Gringsing mempelajari dasar-dasar ilmunya. Meskipun ilmu itu belum mapan, tetapi telah mulai menemukan bentuknya.

Namun Pandan Wangi harus menghentikan semua kegiatannya karena ia sedang mengandung. Bagi Pandan Wangi, tidak ada yang lebih berharga baginya daripada anak yang bakal lahir itu.

Beberapa saat Pandan Wangi bagaikan membeku. Namun kemudian iapun menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa ia tidak banyak dapat membantu suaminya. Bukan karena ia tidak mau atau tidak sanggup. Tetapi Swandaru terlalu yakin akan dirinya.

Sementara itu Sekar Mirah pun memperhatikan tata gerak Swandaru yang keras. Jika kakinya menghentak bumi, maka rasa-rasanya bumi bagaikan bergetar.

Sekar Mirah pernah bertemu dengan berbagai macam orang berilmu tinggi. Sementara itu suaminya, Ki Jayaraga, bahkan Glagah Putih yang masih sangat muda, adalah orang-orang yang berilmu tinggi pula. Karena itu, maka yang dikagumi oleh Sekar Mirah pada kakaknya itu adalah besarnya kekuatan wadagnya. Memang bukannya tidak mungkin bahwa kekuatan yang sangat besar itu akan dapat menembus ilmu kebal Agung Sedayu. Tetapi Sekar Mirah yakin, jika terjadi perbandingan ilmu dengan mengadakan sentuhan langsung dan mereka benar-benar mempergunakan segenap ilmu masing-masing, maka kakaknya itu tidak akan dapat mengimbangi suaminya. Bahkan mampu mendekat pun tidak, karena Agung Sedayu memiliki kemampuan menyerang dari jarak tertentu.

Namun tiba-tiba saja Sekar Mirah menjadi cemas. Baru semalam Agung Sedayu seakan-akan kehilangan atas pengamatan diri sendiri. Bukan karena sindiran-sindiran Swandaru tentang ilmunya atau barangkali kenyataan suaminya jarang mengambil kitab gurunya, tetapi justru karena hal yang lain, yang seakan-akan membawanya kepada satu keadaan yang dapat mengecewakan Sekar Mirah sebagai seorang istri. Sementara itu Sekar Mirah tahu pasti, bahwa itu bukan kesalahan suaminya. Namun agaknya Yang Maha Agung-lah yang memang belum berkenan memberikan kurnia itu kepada mereka berdua.

Di luar sadarnya ia memandang kepada suaminya yang berdiri di sebelahnya. Tetapi ia tidak melihat kesan apapun di wajah suaminya, meskipun agaknya suaminya itu sedang memperhatikan tata gerak Swandaru sebaik-baiknya.

Ketika kemudian Sekar Mirah memandang Kiai Gsingsing yang duduk di atas sebatang balok kayu, maka debar jantungnya serasa menjadi semakin cepat. Kepada diri sendiri ia berkata, “Jika Kiai Gringsing memerintahkan Kakang Agung Sedayu untuk juga menunjukkan kemampuannya, mungkin ia akan berusaha untuk menunjukkan kelebihannya dari Kakang Swandaru, justru karena kekurangannya itu. Jika ternyata bahwa Kakang Agung Sedayu mempunyai banyak kelebihan dari Kakang Swandaru, maka akan dapat timbul persoalan karenanya.”

Sekar Mirah memang merasa menjadi sulit. Agung Sedayu adalah suaminya, sedangkan Swandaru adalah kakak kandungnya.

Dalam pada itu, Swandaru telah semakin meningkatkan kemampuannya. Tangan dan kakinya bergerak semakin cepat. Geraknya menjadi semakin mantap. Seakan-akan Swandaru justru menjadikan tubuhnya seberat batu hitam, namun tanpa kesulitan untuk melenting dan berloncatan. Hentakan kakinya di tanah benar-benar telah menggoyahkan lingkungan di sekitarnya.

Glagah Putih sekali-sekali mengerutkan keningnya. Namun kemudian menarik nafas dalam-dalam. Bahkan timbul pertanyaan di dalam hatinya, “Apakah sebenarnya kelebihan Kakang Swandaru? Ia mempunyai kekuatan yang sangat besar, bahkan ia mampu bergerak dengan cepat meskipun tubuhnya bagaikan menjadi gumpalan besi. Tetapi kelebihannya hanya nampak di permukaan.”

Meskipun kemudian Glagah Putih nampak memperhatikan dengan seksama, tetapi sebenarnyalah apa yang dilihatnya tidak menggetarkan jantungnya. Namun Glagah Putih berusaha untuk menyingkirkan perasaannya yang dianggapnya sebagai suatu kesombongan, meskipun setiap kali muncul di permukaan, “Aku dapat berbuat lebih dari yang dilakukan Kakang Swandaru.”

Sementara itu Swandaru masih bergerak terus. Bahkan tiba-tiba saja Swandaru telah mengurai cambuknya. Cambuk yang semula sama dengan cambuk Agung Sedayu, namun kemudian telah dirubahnya sama sekali dengan menambah karah-karah pada juntainya, sehingga sentuhan juntai cambuk Swandaru dengan landasan kekuatan yang sama akan menimbulkan akibat yang lebih parah dari cambuk Agung Sedayu.

Sejenak kemudian telah terdengar ledakan cambuk yang mengejutkan. Orang-orang yang ada di dalam sanggar itu memang terkejut. Ledakan cambuk Swandaru bagaikan menggetarkan udara di dalam sanggar itu dan menghentak setiap dada. Ketika Swandaru mengulang beberapa kali dan ledakan-ledakan saling susul menyusul dengan kerasnya, maka orang-orang yang ada di dalam sanggar itu justru tidak lagi tergetar jantungnya sama sekali. Bahkan Glagah Putih pun mampu dengan tanpa kesulitan mengatasi hentakan-hentakan di dadanya itu.

Beberapa saat kemudian, maka Swandaru mulai menyentuh sasaran dengan ujung cambuknya. Ternyata kekuatan Swandaru memang luar biasa. Sebuah di antara patok batang bambu petung yang utuh yang berdiri tegak di antara beberapa patok yang lain, ternyata telah patah setelah dikenai ujung cambuk Swandaru. Kemudian ujung cambuk itu telah melingkar-lingkar di udara, dan dengan cepat membelit batang bambu petung yang lain. Dengan hentakan yang keras sekali, maka patok itu telah patah pula. Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia yakin, bahwa kekuatan Swandaru itu tumbuh bersamaan dengan latihan-latihannya yang berat dan bersungguh-sungguh.

Dengan kepala yang terangguk-angguk Kiai Gringsing berkata kepada diri sendiri, “Kekuatan Swandaru memang luar biasa.”

Tetapi Glagah Putih sama sekali tidak tergetar menyaksikannya. Ia mampu melakukannya tanpa sentuhan atas patok-patok bambu itu. Dengan sungguh-sungguh ia telah melakukan laku yang berat, menukik ke kedalaman ilmunya, di bawah tuntunan Agung Sedayu dan Ki Jayaraga, sehingga ia mampu menyerap kekuatan yang ada di sekitarnya.

Ledakan-ledakan cambuk berikutnya menjadi semakin menghentak-hentak. Namun tidak menggoyahkan jantung mereka yang ada di dalam sanggar itu.

Pandan Wangi memang mengagumi kekuatan suaminya. Ia menyadari bahwa jarang seseorang memiliki kekuatan dan kemampuan bergerak secepat Swandaru meskipun geraknya menjadi mantap dan berat. Tetapi ledakan-ledakan cambuk itu pun tidak mempengaruhi detak jantungnya. Apalagi Pandan Wangi yang sedang berusaha untuk melindungi anak di dalam kandungannya itu telah mengerahkan daya tahannya pula, agar ledakan-ledakan itu tidak berpengaruh atas bayinya yang masih akan dilahirkannya itu kelak. Sementara itu usaha Pandan Wangi mendalami ilmunya dengan laku dan petunjuk-petunjuk Kiai Gringsing memang telah mampu membangkitkan perlawanan dari dalam dirinya bersamaan dengan ungkapan daya tahannya atas pengaruh getaran-getaran yang menghentak dadanya.

Seperti Sekar Mirah, maka Agung Sedayu pun menjadi berdebar-debar pula. Ia justru berpikir, apa yang akan dilakukannya jika gurunya memintanya untuk menunjukkan tingkat kemampuannya. Apakah ia harus mempertunjukkan kemampuannya sejajar dengan tingkat kemampuan Swandaru, atau kurang dari itu sebagaimana anggapan Swandaru, atau justru pada saat itu gurunya ingin mengungkapkan tataran ilmu yang sebenarnya dari keduanya.

Ternyata bahwa kegelisahannya itu telah membuatnya berkeringat di kening dan punggungnya.

Beberapa saat Swandaru masih bermain-main dengan cambuknya. Namun nampaknya ia telah sampai ke puncak permainannya, sehingga kemudian kecepatan geraknya telah disusutnya. Semakin lama semakin lamban, dan ledakan-ledakan cambuknya pun telah menyusut pula.

Tetapi Swandaru tidak cepat-cepat berhenti. Meskipun lambat, untuk beberapa saat ia masih bergerak. Namun akhirnya Swandaru itu pun berhenti pula.

Kiai Gringsing-lah yang mula-mula bertepuk tangan, disambut dengan serta merta oleh Pandan Wangi. Disusul oleh Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih.

Swandaru pun kemudian melangkah maju ke hadapan gurunya. Dengan hormat ia mengangguk dalam-dalam.

“Permainan yang buruk, Guru,” berkata Swandaru.

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia berkata, “Kau mendapat banyak kemajuan Swandaru.”

“Terima kasih Guru,” sahut Swandaru, “namun aku mohon Guru bersedia memberikan beberapa penilaian tentang ilmuku. Tentu saja bukan yang pantas dipuji saja. Tetapi juga yang Guru anggap belum memenuhi patokan yang Guru kehendaki.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dengan hati-hati ia mencoba untuk memberikan penilaian kepada muridnya yang muda itu.

“Swandaru,” berkata Kiai Gringsing, “kekuatanmu menjadi semakin besar. Aku tahu, bahwa jarang sekali orang yang memiliki kekuatan sebagaimana kau miliki itu. Sementara itu, kau mampu membuat dirimu semakin mantap berjejak di atas bumi, sehingga rasa-rasanya tubuhmu terbuat dari besi yang berat. Namun sama sekali tidak mempengaruhi gerak yang tangkas dan cepat.”

“Aku berlatih sesuai dengan petunjuk laku di dalam kitab yang aku bawa,” berkata Swandaru, “selebihnya, aku telah mempergunakan sebagian waktuku untuk membuat beberapa perbandingan dengan pengalamanku selama ini. Dengan demikian, maka aku telah mengembangkan ilmu itu sebagaimana Guru lihat.”

“Ya,” berkata Kiai Gringsing, “kau juga telah mengambil beberapa unsur dari tiga macam laku dari tiga macam susunan unsur gerak, namun yang senafas, sehingga tata gerakmu menjadi kaya dengan unsur-unsur yang tersusun kemudian. Dengan demikian, maka kau telah memenuhi keinginanku untuk tidak sekedar membaca, mempelajari dan melakukannya dengan tertib sebagaimana terdapat di dalam kitab itu tanpa kemungkinan-kemungkinan baru sesuai dengan perkembangan dunia olah kanuragan. Namun dengan cara sebagaimana kau lakukan, didukung oleh petunjuk-petunjuk lain tentang mengatur pernafasan dan pemanfaatan setiap jalur urat nadi dan otot-otot di dalam tubuhmu, maka kau benar-benar seorang yang memiliki kemampuan yang sulit untuk ditemukan tandingnya.”

“Aku sedang mempersiapkan satu kemungkinan baru Guru,” berkata Swandaru, “aku sedang mempelajari laku ke empat dari pemanfaatan tenaga dalam untuk melawan berat alami.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku tahu bahwa kau telah menguasai laku ke tiga dan sebelumnya.”

“Nah,” berkata Swandaru, “bukankah Guru juga ingin melihat tingkat kemajuan ilmu Kakang Agung Sedayu?”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu keringat dingin mengalir dari kening dan punggung Agung Sedayu. Ia masih belum menemukan jawabnya, apakah yang paling baik dilakukan di hadapan Swandaru.

Sebenarnyalah bahwa Sekar Mirah dan Glagah Putih pun termangu-mangu, seolah-olah mereka mengerti apa yang bergejolak di dalam hati Agung Sedayu. Namun Sekar Mirah pun menjadi cemas pula, bahwa tiba-tiba saja Agung Sedayu kehilangan kembali sebagaimana dilakukan semalam.

Dalam ketegangan itu, tiba-tiba saja Kiai Gringsing telah terbatuk. Dipeganginya dadanya sambil menundukkan kepalanya.

Hampir berbareng Agung Sedayu dan Swandaru meloncat dan berlutut di sebelah-menyebelahnya. Sekar Mirah, Pandan Wangi dan Glagah Putih pun telah bergegas mendekatinya pula.

“Guru,” desis Agung Sedayu dan Swandaru hampir berbareng.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Aku tidak apa-apa. Tetapi biarlah aku beristirahat.”

Agung Sedayu dan Swandaru tidak membantah. Mereka pun kemudian telah memapah Kiai Gringsing keluar dari sanggar dan membawanya ke dalam biliknya.

Ketika Kiai Gringsing kemudian duduk di bibir pembaringan, maka iapun berkata, “Aku minta minum.”

Swandaru-lah yang berkisar untuk mengambil kendi di sudut bilik itu.

Ketika Kiai Gringsing meneguk beberapa tetes air dingin dari kendi itu, maka rasa-rasanya tubuhnya menjadi segar. Sambil mendorong kendi itu dari mulutnya ia berkata, “Cukup. Leherku tidak lagi terasa kering.”

“Bagaimana keadaan Guru sekarang?” bertanya Agung Sedayu.

Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku sudah menjadi semakin baik. Tetapi biarlah aku berbaring barang sejenak.”

Agung Sedayu dan Swandaru pun kemudian membantu gurunya merebahkan diri di pembaringannya. Kemudian mereka pun telah diperkenankan oleh Kiai Gringsing untuk beringsut keluar.

“Tunggulah sebentar di luar,” berkata Kiai Gringsing, “aku tidak memerlukan waktu lama. Aku akan memusatkan nalar dan budiku, agar keadaanku segera semakin baik.”

“Silahkan Guru,” jawab mereka hampir berbareng.

Sekar Mirah dan Pandan Wangi pun dengan cemas pula telah menemui Agung Sedayu dan Swandaru begitu mereka keluar dari bilik Kiai Gringsing.

“Bagaimana keadaan Kiai Gringsing?” bertanya Pandan Wangi.

“Guru akan beristirahat sepenuhnya. Kami telah diminta untuk keluar. Tetapi setelah minum beberapa teguk, keadaan guru menjadi semakin baik,” jawab Swandaru.

“Syukurlah,” Pandan Wangi mengangguk-angguk, “agaknya Kiai Gringsing memang terlalu letih.”

Swandaru mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya kepada Pandan Wangi, “Marilah, kita berbenah diri. Sebentar lagi kita akan kembali ke Sangkal Putung mendahului Kakang Agung Sedayu.”

“Besok aku akan segera menyusul,” berkata Agung Sedayu, “Sekar Mirah nampaknya masih ingin berada di Sangkal Putung barang dua atau tiga hari.”

Demikianlah maka Swandaru dan Pandan Wangi telah pergi ke biliknya, sementara Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun telah pergi ke bilik mereka pula.

“Sayang,” desis Swandaru di dalam biliknya, “jika Guru tidak menjadi terlalu letih maka aku akan dapat menunjukkan kepada Kakang Agung Sedayu satu perbandingan ilmu yang tentu akan sangat menarik. Kakang Agung Sedayu mau tidak mau harus membuat pertimbangan-pertimbangan baru bagi ilmunya atau caranya menyadap ilmu. Ia tentu akan merasa dicambuk untuk mempercepat langkahnya dalam usahanya meningkatkan ilmunya.”

Pandan Wangi mengangguk-angguk sambil berkata, “Kiai Gringsing terlalu memaksa diri sejak kemarin.”

“Ya,” Swandaru mengangguk. Katanya, “Tetapi aku berharap bahwa pada kesempatan lain aku dan Kakang Agung Sedayu akan dapat melakukannya.”

Pandan Wangi tidak menjawab. Namun iapun membenahi pakaiannya dan beberapa lembar pakaian yang mereka bawa.

Sementara itu di bilik lain, Agung Sedayu duduk sambil menarik nafas dalam-dalam. Ia menganggap bahwa gurunya telah membebaskannya dari kesulitan yang tidak teratasi. Justru karena gurunya harus beristirahat, maka ia tidak perlu tampil untuk menunjukkan tingkat ilmunya. Sebab jika ia benar-benar harus berbuat seperti Swandaru, maka ia akan kebingungan.

Agaknya Sekar Mirah pun merasa lega, bahwa Agung Sedayu tidak terpaksa untuk berbuat seperti kakaknya Swandaru. Dan kemungkinan yang dicemaskannya, jika Agung Sedayu tiba-tiba terlepas dari kendali perasaannya, maka ia akan dapat berbuat sebagaimana dilakukan semalam. Tetapi jika ia ingin memberi kepuasan kepada Swandaru dan berbuat lebih sedikit daripada yang dapat dilakukannya, maka Swandaru tentu akan merendahkannya sebagai seorang saudara tua dalam perguruannya.

Namun, ternyata Kiai Gringsing yang terlalu letih itu seakan-akan memberikan jalan keluar yang tidak terduga-duga kepada Agung Sedayu.

Agung Sedayu dan Sekar Mirah tidak membicarakannya. Tetapi agaknya kedua-duanya menjadi saling mengerti akan hal itu.

Sementara itu, Glagah Putih telah berada di antara para cantrik pula. Sebenarnyalah ia ingin berbicara tentang tingkat kemampuan ilmu Swandaru. Tetapi karena tidak ada orang yang dapat diajak berbicara, maka iapun menyimpannya saja di dalam hatinya.

Beberapa saat kemudian, ternyata Kiai Gringsing telah bangkit pula dari pembaringannya. Bahkan iapun telah duduk dan minum minuman hangat yang telah dihidangkan oleh seorang cantrik yang bergantian melayaninya.

Kepada cantrik yang membawa minuman itu Kiai Gringsing berpesan agar Swandaru dan Agung Sedayu bersama istri-istri mereka dan Glagah Putih datang ke dalam biliknya.

Beberapa saat kemudian, mereka itu pun telah duduk pula di dalam bilik Kiai Gringsing. Meskipun agak berdesakan, mereka duduk berjajar di sebuah lincak panjang yang memang terdapat di dalam bilik itu, selain pembaringan Kiai Gringsing.

“Bagaimana keadaan Guru?” bertanya Agung Sedayu.

“Aku sudah berangsur baik,” jawab Kiai Gringsing yang duduk di bibir pembaringan. “Aku terlalu hanyut dalam tata gerak Swandaru.”

“Apakah Guru kecewa?” bertanya Swandaru.

“Tidak. Sudah aku katakan, bahwa aku merasa bangga atas kemajuanmu,” jawab Kiai Gringsing, “apalagi setelah aku mendengar bahwa kau sedang mempelajari laku keempat. Aku hanya ingin menganjurkan agar kau berminat untuk memasuki bagian kedua dari kitab itu. Meskipun kau belum sampai pada laku ketujuh dari bagian pertama, maka secara terpisah kau dapat mendalami laku sebagaimana menurut bagian kedua dari kitab itu. Kedua bagian itu dapat kau pelajari dalam waktu yang bersamaan, asal kau sudah memahami isi dari kitab itu pada bagian landasannya.”

Swandaru mengerutkan keningnya. Sudah beberapa kali gurunya menganjurkannya untuk mempelajari bagian kedua dari kitab itu yang menuntunnya melihat ke kedalaman dirinya, kekuatan alam di sekitarnya dan hubungan antara dunia kecil dan dunia besar. Bagian yang menurut Swandaru agak kurang menarik, karena hasilnya tidak dapat langsung terasa dalam ungkapan jika terjadi benturan kekerasan di saat-saat ia menjalani laku. Swandaru harus menunggu untuk beberapa tahun untuk memetik hasil laku pada bagian kedua kitab itu. Bagi Swandaru, agaknya manfaatnya akan segera terasa jika ia menjalani laku keempat, kelima, enam dan tujuh.

Tetapi setiap kali gurunya berkata kepadanya, bahwa kedua bagian itu dapat dipelajari bersama-sama.

“pakah waktuku tidak akan habis untuk berada di dalam sanggar jika aku menjalani laku kedua bagian isi kitab itu bersama-sama?” pertanyaan itu selalu saja mengganggu perasaannya.

Tetapi menghadapi gurunya yang sedang sakit itu, Swandaru berkata, “Aku akan mencobanya Guru.”

Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Baiklah. Aku yakin, bahwa kalian akan menjadi orang yang berilmu tinggi. Namun berilmu tinggi itu sendiri belum memberikan arti bagi sesamamu. Karena itu ilmu itu harus kalian amalkan. Tetapi ingat, kalian harus selalu ingat pada sangkan paraning dumadi. Selalu ingat kepada Sumber Hidup kalian dan sesama kalian dalam setiap mengamalkan ilmu. Dengan demikian maka ilmu kalian akan memberikan arti bagi hidup kalian.”

Bukan saja Agung Sedayu dan Swandaru yang mengangguk-angguk. Tetapi Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Glagah Putih pun mengangguk-angguk pula.

“Nah,” tiba-tiba suara Kiai Gringsing merendah, “sebenarnya aku juga ingin memberikan bekal kepada Pandan Wangi. Aku dengar kau sudah mulai mengandung. Aku ikut merasakan kebahagiaan perasaanmu. Karena itu, maka aku akan memberikan sejenis obat untukmu, agar kau selalu dalam keadaan sehat beserta bakal anakmu yang masih ada di dalam kandungan itu.”

Pandan Wangi mengangguk hormat sambil menjawab, “Terima kasih Kiai. Untuk selanjutnya kami mohon restu.”

“Aku akan berdoa untuk kalian dan bakal anakmu yang masih berada dalam kandungan,” berkata Kiai Gringsing sambil tersenyum.

Kiai Gringsing pun kemudian bangkit berdiri, sementara Agung Sedayu dan Swandaru bersama-sama mendekatinya.

“Guru akan kemana?” bertanya Swandaru.

“Tidak kemana-mana. Aku hanya akan mengambil obat di dalam gledeg bambu itu. Obat yang aku janjikan kepada Pandan Wangi,” jawab Kiai Gringsing.

Namun Agung Sedayu dan Swandaru memapahnya melangkah ke gledeg di sudut bilik itu. Diambilnya sebuah bumbung dari dalam gledeg itu dan diberikannya kepada Swandaru sambil berkata, “Aku mempunyai beberapa butir obat yang sangat baik bagi istrimu. Setiap tiga hari sekali, biarlah Pandan Wangi menelan satu butir obat ini, sampai habis. Mudah-mudahan ia menjadi semakin sehat, sehingga di saat melahirkan tidak akan mengalami kesulitan. Baik ibunya maupun anaknya.”

“Terima kasih Guru,” jawab Swandaru sambil menerima obat di dalam bumbung itu.

Ketika kemudian Kiai Gringsing telah duduk kembali, maka Swandaru telah mohon diri untuk kembali ke Sangkal Putung bersama istrinya.

“Apakah kau benar-benar akan kembali hari ini?” bertanya Kiai Gringsing.

“Ya Guru, agar pekerjaanku tidak banyak yang terbengkalai,” jawab Swandaru.

“Baiklah. Jaga istrimu baik-baik. Kau tentu berharap bahwa anakmu akan lahir dengan sehat dan tumbuh dengan cepat pula. Bukankah ia bakal muridmu pula, yang akan menyambung kelangsungan hidup dari ilmu keturunan perguruan kita? Laki-laki ataupun perempuan?” bertanya Kiai Gringsing.

“Ya Guru,” jawab Swandaru sambil menunduk.

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Tetapi iapun berkata, “Sayang sekali kau tidak dapat berada di sini lebih lama lagi. Tetapi untuk selanjutnya kau aku harap akan sering datang ke tempat ini. Aku sudah menjadi semakin lemah dan tidak berdaya.”

Swandaru mengangguk hormat sambil menjawab, “Ya Guru. Aku akan selalu datang kemari.”

Demikianlah, maka Swandaru telah meninggalkan padepokan kecil itu bersama Pandan Wangi. Gurunya tidak mengantarkannya sampai ke regol. Tetapi Kiai Gringsing berdiri saja bersandar tongkat di pendapa.

Agung Sedayu, Sekar Mirah, Glagah Putih dan beberapa cantrik memang mengantar mereka sampai ke regol. Ketika Pandan Wangi dan Swandaru siap untuk berangkat Agung Sedayu berkata, “Besok kami akan menyusul ke Sangkal Putung.”

“Kami menunggu,” jawab Swandaru.

Sementara itu Sekar Mirah berbisik di telinga Pandan Wangi, “Berhati-hatilah. Seharusnya kau tidak lagi berkuda.”

Sejenak kemudian, maka keduanya pun telah meninggalkan padepokan itu. Seperti yang dikatakan oleh Pandan Wangi, kudanya memang tidak berlari sama sekali. Meskipun perjalanan mereka masih lebih cepat dari orang-orang yang berjalan, tetapi perjalanan itu memang merupakan perjalanan yang lambat.

Namun Swandaru sama sekali tidak tergesa-gesa. Dengan sabar ia berkuda di sebelah Pandan Wangi. Mereka tidak ingin mengalami kesulitan dengan anak yang ada di dalam kandungan itu.

Kedua orang suami istri itu sama sekali tidak mengalami gangguan di perjalanan. Jalan yang mereka lalui, merupakan jalan yang sudah menjadi semakin ramai. Baik jalur di sebelah timur, maupun jalur di sebelah barat. Meskipun pohon randu alas yang sering disebut rumah Hantu Bermata Satu itu masih ada, tetapi di sekitarnya sudah menjadi jauh lebih lapang dari beberapa tahun yang lampau. Gerumbul-gerumbul telah banyak yang dibersihkan. Sebatang parit mengalirkan air yang bersih lewat di bawah batang randu alas itu. Sawah pun menjadi semakin hijau dari saat-saat sebelumnya, ketika air parit masih belum dapat mengalir dengan teratur.

Sepeninggal Swandaru, Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih telah kembali ke pendapa. Kiai Gringsing yang kemudian duduk di pendapa itu sudah nampak lebih segar dari beberapa saat sebelumnya. Apalagi ketika Kiai Gringsing itu berada di sanggar.

“Bagaimana keadaan Guru?” Bertanya Agung Sedayu.

“Aku sudah menjadi semakin baik,” jawab Kiai Gringsing, “mudah-mudahan kedatangan kalian merupakan obat yang baik bagiku.” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Sebenarnya aku ingin berbicara dengan Ki Widura. Meskipun Swandaru tidak ada, tetapi salah satu di antara murid utamaku ada di sini, sehingga akan dapat ikut serta dalam pembicaraan itu.”

Agung Sedayu mengangguk hormat sambil bertanya, “Apakah aku harus memanggil Ki Widura?”

Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Mungkin kau dan Glagah Putih akan dapat memanggilnya. Sekar Mirah dapat menunggu di padepokan ini. Atau Sekar Mirah juga akan ikut ke Banyu Asri?”

Sekar Mirah termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Biarlah aku ikut ke Banyu Asri, Kiai. Aku ingin melihat-lihat perkembangan daerah ini.”

“Baiklah. Ajak Ki Widura datang ke padepokan kecil ini. Mudah-mudahan ia tidak berkeberatan mengawani aku di sini,” berkata Kiai Gringsing.

“Ya Guru,” jawab Agung Sedayu, “kami akan berangkat sekarang.”

“Pergilah. Aku menunggu kalian di sini,” sahut Kiai Gringsing.

“Apakah Guru tidak akan masuk ke bilik untuk beristirahat?” bertanya Agung Sedayu.

“Aku sudah cukup beristirahat,” jawab Kiai Gringsing pula.

Agung Sedayu memang menjadi termangu-mangu. Tetapi karena Kiai Gringsing tidak beranjak dari tempatnya, maka Agung Sedayu telah mengajak Sekar Mirah dan Glagah Putih untuk meninggalkan pendapa.

Ketiganya kemudian telah membenahi kuda-kuda mereka. Sebentar kemudian, sambil menuntun kuda masing-masing mereka berjalan di depan pendapa.

Kiai Gringsing yang melihat ketiganya, telah bangkit berdiri dan berjalan ke tangga pendapa dengan tongkatnya. Nampaknya memang lebih segar dari beberapa saat sebelumnya.

“Hati-hatilah di jalan,” pesan Kiai Gringsing.

“Ya Guru,” jawab Agung Sedayu, “kami akan berhati-hati.”

Sejenak kemudian, Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih telah turun ke jalan di depan padepokan itu. Berloncatan mereka naik. Sesaat kemudian, maka kuda mereka pun telah berlari meninggalkan regol. Debu yang kelabu berhamburan di belakang kaki kuda-kuda itu.

Ketiganya memang merencanakan untuk singgah barang sebentar di rumah Untara. Namun ternyata Untara tidak sedang berada di rumah. Bersama beberapa orang pengawalnya ia sedang bertugas mengamati keadaan di sekitar barak pasukannya yang berada di Jati Anom. Tetapi agaknya Untara juga akan menemui beberapa orang bebahu Kademangan Jati Anom untuk membicarakan persoalan-persoalan yang tumbuh kemudian, sebagaimana sering dilakukannya. Bahkan Untara telah sering pula mengunjungi dan membuat hubungan yang akrab dengan padukuhan-padukuhan dan kademangan-kademangan di sekitar Jati Anom.

Karena itu, maka mereka bertiga tidak lama berada di rumah Untara. Mereka pun kemudian telah mohon diri untuk meneruskan perjalanan ke Banyu Asri.

Di Banyu Asri, mereka telah disambut dengan gembira oleh keluarga Ki Widura. Dengan akrab mereka saling menyapa dan menanyakan keselamatan masing-masing.

Sambil minum-minuman hangat dan menikmati beberapa potong makanan, mereka pun berbicara tentang keadaan mereka masing-masing serta lingkungan tempat tinggal mereka.

Baru beberapa saat kemudian Agung Sedayu menyampaikan maksud kedatangannya kepada Ki Widura.

“Kiai Gringsing memanggilku?” desis Ki Widura.

“Ya Paman. Guru ingin berbicara tentang beberapa hal yang penting dengan Paman,” berkata Agung Sedayu.

“Tentang apa?” bertanya Ki Widura.

“Guru yang akan mengatakannya langsung kepada Paman,” jawab Agung Sedayu.

Ki Widura menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian menjawab, “Baiklah. Aku akan memenuhi undangan gurumu. Aku akan membenahi pakaianku dahulu.”

Beberapa saat kemudian, Ki Widura pun telah siap, sehingga iapun dapat bersama-sama dengan Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih.

Kiai Gringsing pun telah mempersilahkan Ki Widura untuk duduk di ruang dalam. Sementara itu, ia telah minta Agung Sedayu untuk ikut berbicara bersamanya dengan Ki Widura.

“Aku akan membicarakan beberapa hal yang perlu kau ketahui,” berkata Kiai Gringsing.

Agung Sedayu mengangguk hormat. Sementara itu Sekar Mirah dan Glagah Putih mengerti maksud orang tua itu, bahwa sebaiknya mereka tidak ikut dalam pembicaraan itu. Karena itu, maka Sekar Mirah pun kemudian minta diri untuk beristirahat di biliknya, dan Glagah Putih ingin melihat-lihat kebun di padepokan itu.

Ketika Sekar Mirah dan Glagah Putih telah meninggalkan ruangan itu, maka Kiai Gringsing pun mulai menyampaikan rencana untuk minta agar Ki Widura bersedia membantunya tinggal di padepokan itu.

Ki Widura memang terkejut. Yang dilakukan Kiai Gringsing memang bukan kebiasaan sebuah perguruan. Ki Widura adalah orang di luar perguruan Kiai Gringsing. Bagaimana mungkin ia akan dapat memimpin padepokan itu, meskipun atas nama Kiai Gringsing.

Tetapi Kiai Gringsing yang mengetahui perasaan Ki Widura berkata, “Ki Widura. Kadang-kadang seseorang dapat saja menyimpang dari kebiasaan yang berlaku, jika itu akan memberikan kebaikan baginya dan sudah tentu tidak merugikan orang lain. Terlebih-lebih lagi tidak menyalahi tanggung jawab seseorang kepada Sumber Hidupnya.”

Ki Widura mengangguk-angguk. Sementara itu Kiai Gringsing berkata selanjutnya, “Ki Widura. Di sini ada seorang di antara kedua murid utamaku. Ia menjadi saksi, bahwa yang aku sampaikan kepada Ki Widura telah aku bicarakan dengan Agung Sedayu dan Swandaru. Ternyata keduanya sama sekali tidak berkeberatan atas rencana itu. Karena itu, Ki Widura, aku berharap bahwa Ki Widura tidak menolak. Jarak Banyu Asri dan padepokan ini dekat sekali, sehingga Ki Widura akan dapat setiap kali menengok ke Banyu Asri.”

Ki Widura menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ada dua hal yang perlu dipertanyakan Kiai. Pertama, aku bukan berasal dari perguruan Kiai. Mungkin Kiai sudah menjelaskan hal ini sebelum aku mengajukan pertanyaan, bahwa kadang-kadang seseorang dapat menyimpang dari kebiasaan. Tetapi pemimpin sebuah padepokan tidak sebaiknya membagi waktunya dengan kepentingan lain. Dalam hal ini, keluargaku yang berada di Banyu Asri.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Kita akan melakukan sesuatu yang barangkali tidak dilakukan oleh orang lain. Tetapi aku yakin bahwa kita akan dapat melakukannya dengan baik. Jika aku mohon Ki Widura memimpin padepokan ini, maka tidak akan bertumpu pada ilmu dari perguruan ini. Tetapi bagaimana paugeran dan ikatan-ikatan yang lain dapat berlaku di sini.”

Ki Widura menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Kiai Gringsing berkata, “Ki Widura. Baiklah aku berterus terang. Aku menjadi cemas melihat perkembangan padepokan ini sejalan dengan umurku yang merambat terus. Sementara itu kedua murid utamaku tidak akan dengan mudah meninggalkan tugas mereka masing-masing. Seorang di Tanah Perdikan. Seorang di Sangkal Putung. Karena itu, aku mohon Ki Widura bersedia menolongku, agar padepokan ini tidak menjadi semakin mundur. Sedangkan dari segi peningkatan ilmu para cantrik, aku kira aku masih dapat memberikan beberapa petunjuk meskipun tubuhku menjadi semakin lemah. Tentu saja hanya dengan gerak-gerak kecil dan penjelasan lisan.”

Ki Widura termangu-mangu. Ketika berpaling kepada Agung Sedayu, maka Agung Sedayu pun berkata, “Guru tidak mempunyai wawasan lain. Karena itu Guru benar-benar berharap, Paman akan bersedia membantunya.”

Hampir di luar sadarnya Ki Widura mengangguk-angguk. Tetapi ia sudah mempunyai gambaran tentang tugas-tugasnya. Ia bukan harus memimpin padepokan itu sepenuhnya. Tetapi terutama justru agar padepokan itu dapat hidup terus, dengan ikatan-ikatan yang tetap ketat.

Namun demikian, Ki Widura masih juga bertanya, “Kiai. Dalam kehidupan sebuah perguruan, maka ia tidak akan terlepas dari pengamatan orang lain. Apa kata orang tentang kesediaanku membantu Kiai memimpin padepokan ini, karena setiap orang mengetahui, bahwa aku tidak berasal dari perguruan ini.”

Kiai Gringsing tersenyum. Katanya dengan nada lembut, “Ki Widura. Orang lain memang berhak menilai perguruan kita. Menilai keadaan dan hubungan kita. Tetapi mereka tidak mengetahui isi yang sebenarnya dari dada kita. Karena itu Ki Widura, mungkin orang lain akan membicarakan kita dalam satu dua pekan, mungkin satu dua bulan. Namun akhirnya mereka akan menjadi jemu, selama kita tidak menunjukkan kelainan dari kebiasaan sehari-hari yang berlaku di padepokan ini.”

Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah Kiai. Aku akan mencobanya. Aku akan mencoba untuk membantu Kiai memimpin padepokan ini dan sekaligus mengendalikan keluargaku di Banyu Asri, yang letaknya memang tidak begitu jauh dari padepokan kecil ini. Tetapi dengan pengertian, bahwa aku hanya membantu Kiai memimpin menyelenggarakan padepokan itu. Bukan isi dari padepokan ini.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Kesediaan Ki Widura berada di padepokan ini telah jauh meringankan tugas-tugasku di sini.”

Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya kemudian dengan nada rendah, “Ada baiknya aku mempunyai kesibukan tertentu. Selama ini rasa-rasanya waktuku banyak yang terluang.”

Agung Sedayu yang mendengar kesediaan pamannya itu pun kemudian berkata, “Terima kasih Paman. Aku dan Adi Swandaru agaknya tidak dapat meninggalkan beban tugas yang telah kami terima sebelumnya. Karena itu, kesediaan Paman tinggal di padepokan ini telah meringankan kegelisahanku.”

“Tetapi kau dan Swandaru jangan melepaskan seluruh tanggung jawab kalian,” berkata Ki Wudura. “Meskipun hanya pada saat-saat tertentu saja, aku minta kalian sering datang ke padepokan ini.”

“Tentu Paman,” jawab Agung Sedayu, “aku akan sering datang mengunjungi Paman di sini.”

Dalam pada itu Kiai Gringsing pun kemudian bertanya kepada Widura, “Sejak kapan Ki Widura bersedia tinggal di sini?”

“Aku minta waktu barang sepekan, Kiai. Aku akan membenahi pekerjaanku di rumah. Meskipun tidak banyak, tetapi pekerjaan itu memang harus ada yang mengerjakan,” jawab Ki Widura.

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah Ki Widura, kami di padepokan ini selalu menunggu kehadiran Ki Widura.”

Ki Widura mengangguk-angguk. Tetapi setiap kali ia sempat merenungi kewajiban yang baru saja disanggupinya dari Kiai Gringsing itu. Satu hal yang menyimpang dari kebanyakan. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Kiai Gringsing, bahwa penyimpangan itu sama sekali tidak merugikan orang lain dalam hal apapun juga. Juga tidak merugikan kedudukan para cantrik yang memang memerlukan seorang pembimbing yang masih mampu bergerak cepat, sementara Kiai Gringsing menjadi semakin tua. Apalagi dalam keadaan sakit seperti yang baru disandangnya saat itu.

Untuk beberapa saat lamanya Ki Widura masih berada di padepokan itu untuk berbincang tentang berbagai persoalan menjelang kehadiran Ki Widura di padepokan itu.

Demikianlah, maka beberapa saat kemudian Ki Widura pun minta diri dengan kesanggupan untuk kembali ke padepokan itu sepekan lagi.

Ketika mereka turun ke halaman, maka Glagah Putih pun telah mendekati mereka sambil bertanya kepada ayahnya, “Ayah akan kembali ke Banyu Asri?”

“Ya,” jawab Ki Widura, “sepekan lagi aku akan berada di sini.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Sambil tersenyum ia berkata, “Syukurlah. Mudah-mudahan Ayah kerasan tinggal di padepokan ini.”

Ki Widura pun tersenyum pula. Katanya, “Aku kerasan berada dimana-mana.”

Ketika mereka menuju ke regol halaman, maka Sekar Mirah pun telah turun pula dari serambi dan melangkah menyusul mereka sampai ke regol, untuk ikut melepaskan Ki Widura yang masih akan kembali ke Banyu Asri.

Di regol Ki Widura masih bertanya, “Kapan kalian akan meninggalkan padepokan ini?”

“Besok kami akan pergi ke Sangkal Putung, Paman,” jawab Agung Sedayu.

“Sampai kapan?” bertanya Ki Widura pula.

Agung Sedayu berpaling kepada Sekar Mirah untuk minta pertimbangan. Sementara Sekar Mirah pun menyahut, “Kami belum menentukan kapan kami akan kembali ke Tanah Perdikan. Tetapi sudah tentu dalam waktu dekat, karena kami pun tidak dapat meninggalkan Tanah Perdikan terlalu lama.”

“Baiklah,” berkata Ki Widura, “tetapi jika kalian kembali ke Tanah Perdikan, kami harap kalian dapat singgah sebentar di padepokan ini.”

“Tentu Paman,” jawab Agung Sedayu, “kami akan singgah di padepokan ini, serta jika mungkin minta diri kepada Kakang Untara yang nampaknya jarang-jarang berada di rumah.”

Ki Widura mengangguk-angguk. Namun sejenak kemudian, maka iapun telah melangkah meninggalkan padepokan yang dalam waktu sepekan lagi akan dihuninya.

Sepeninggal Ki Widura, maka Kiai Gringsing pun telah kembali untuk beristirahat di dalam biliknya. Sementara itu Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih telah sempat pula berjalan-jalan di kebun padepokan. Mereka kemudian telah berada di pinggir blumbang yang berair jernih, sehingga ikan yang berenang di dalamnya dapat dilihat dengan jelas.

Namun dalam pada itu, maka tiba-tiba saja terbersit di angan-angan Agung Sedayu untuk mempertahankan alur perguruannya untuk masa-masa mendatang. Sebagaimana dikatakan oleh Swandaru, bahwa ia telah membina Glagah Putih sebagai muridnya, namun dengan landasan ilmu yang justru dari alur perguruan Ki Sadewa.

Bagi Agung Sedayu, Ki Sadewa dan Kiai Gringsing adalah orang-orang yang memiliki kedudukannya masing-masing. Ki Sadewa adalah ayahnya, sementara Kiai Gringsing adalah gurunya. Ia berkepentingan bahwa kedua jalur perguruan itu agar dapat tetap diperhatikan. Namun setelah ia berbicara langsung dengan keluarga perguruannya, maka ia memang melihat, bahwa pada suatu saat jalur perguruan Kiai Gringsing akan jauh surut. Seandainya Swandaru kemudian menjadikan anaknya kelak juga muridnya, maka seberapa jauh Swandaru mampu mempertahankan tataran ilmu perguruan Kiai Gringsing, karena Swandaru sendiri masih harus mempelajari laku keempat dari bagian pertama, tanpa berusaha untuk mempelajari bagian kedua dari isi kitab itu.

Karena itu, maka Agung Sedayu pun kemudian berkata kepada Glagah Putih, “Glagah Putih. Kau telah memiliki landasan ilmu lengkap dari perguruan Ki Sadewa. Sementara itu Guru mengeluh bahwa di perlukan jalur yang akan mempertahankan ilmu dari perguruan Kiai Gringsing. Bagaimanapun juga, aku ikut memikirkan kemungkinan-kemungkinan bahwa jalur perguruan Kiai Gringsing pada suatu saat benar-benar akan menjadi terputus.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Sekar Mirah pun bertanya, “Apakah Kakang Swandaru tidak akan mencari bibit yang akan dapat menjadi pewaris ilmunya kelak?”

“Adi Swandaru memang sudah menyebutkan. Ia akan mempunyai seorang anak. Anaknya-lah yang diharuskan akan dapat menjadi pewaris ilmu dari jalur perguruan Kiai Gringsing. Namun sebagaimana kita lihat, bahwa Adi Swandaru telah memilih bagian yang sesuai dengan seleranya, sehingga ia tidak akan dapat mewariskan bagian-bagian lain yang tidak kalah penting dari jalur perguruan Kiai Gringsing,” jawab Agung Sedayu. Lalu, “Sementara itu aku sama sekali tidak mewariskan ilmu itu kepada Glagah Putih. Jika satu dua unsur muncul pada tata gerak Glagah Putih, itu adalah sekedar pengaruh dari unsur-unsur yang selalu dilihatnya dan sekali-sekali diserap manfaatnya. Tetapi aku tidak pernah secara khusus mewariskan ilmu itu kepadanya.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk, sementara itu Glagah Putih berkata, “Kakang, apakah maksud Kakang ingin mewariskan ilmu dari jalur perguruan Kiai Gringsing kepadaku? Jika Kakang memang berniat demikian, maka sudah barang tentu aku tidak akan berkeberatan. Dengan demikian, aku akan dapat memperbanyak kekayaan ilmu di dalam diriku.”

“Mungkin akan berarti bagimu Glagah Putih. Tetapi kau akan mempunyai kewajiban ganda. Mewariskan ilmu Ki Sadewa, dan mewariskan ilmu dari perguruan Kiai Gringsing.”

“Bukankah Kakang juga mempunyai tugas yang demikian, karena di dalam diri Kakang kedua ilmu itu juga Kakang kuasai?” bertanya Glagah Putih.

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Di samping ilmu dari perguruan Ki Sadewa, kau juga memiliki ilmu yang kau warisi dari jalur perguruan Ki Jayaraga. Karena itu, maka kau harus mempunyai kemampuan untuk memilahkan unsur-unsur itu. Tetapi bukan berarti bahwa kau tidak dapat mempergunakannya dalam satu kesatuan. Jika aku mengatakan bahwa kau harus dapat memilahkannya, itu hanyalah sekedar untuk menunjukkan ciri-ciri dari masing-masing perguruan.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia berkata, “Kakang. Jika Kakang menghendaki, aku akan menjalankannya. Aku akan berusaha untuk mewarisi ilmu dari perguruan Kiai Gringsing. Aku pun akan berusaha untuk dapat memilahkannya untuk satu kepentingan yang khusus, sementara itu, aku akan menjadi semakin kaya dengan jenis-jenis unsur gerak yang akan dapat menyempurnakan ilmuku.”

Tetapi Agung Sedayu berkata, “Glagah Putih. Seandainya kau mempelajari ilmu dari jalur perguruan Kiai Gringsing, maka tidak banyak peningkatan yang akan kau alami, karena kegunaannya pada dasarnya tidak banyak berbeda dari yang telah kau kuasai. Namun ilmu yang kau warisi dari jalur perguruan Kiai Gringsing itu akan memberikan kemungkinan-kemungkinan baru pada ilmumu. Apalagi jika kau sempat mempelajari kitab dari perguruan Kiai Gringsing. Maka kau akan mendapat banyak kesempatan untuk mengembangkannya. Justru pada bagian yang kurang disenangi oleh Adi Swandaru.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar