Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 227

Buku 227

“Aku peringatkan agar kau tidak berbuat kasar. Aku memang seorang perempuan, dan laki-laki itu adalah suamiku dan adikku. Nah, pergilah. Aku bersama suamiku,“ berkata Sekar Mirah.

Tetapi laki-laki itu justru tertawa. Katanya, “Suamimu terlalu lemah untuk melindungi seorang perempuan cantik seperti kau. Lihat, ia belum berbuat sesuatu dalam keadaan seperti ini. Jika ia memang seorang laki-laki, ia tentu akan marah dan berbuat sesuatu untuk melindungi istrinya.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia memang masih duduk berdiam diri di atas punggung kudanya sebagaimana Glagah Putih. Namun keduanya pun kemudian meloncat turun. Dengan langkah satu-satu Agung Sedayu mendekati orang itu sambil berkata, “Ki Sanak. Sebaiknya kita tidak bertengkar. Lihatlah, orang-orang yang lewat itu tentu akan memperhatikan kita. Mereka kemudian akan berkerumun seperti menonton sabung ayam di kalangan. Karena itu, sudahlah. Tinggalkan istriku. Jangan kau ganggu lagi.“

Tetapi laki-laki itu tertawa. Katanya, “Agaknya kau termasuk seorang yang lembut dan tidak brangasan. Kau tidak cepat menjadi marah dan menantangku berkelahi.“

“Aku bukan orang yang senang berkelahi,“ berkata Agung Sedayu.

“Atau katakan saja kau laki-laki cengeng,“ jawab orang itu sambil tertawa.

“Ki Sanak,“ berkata Agung Sedayu, “menilik ujud lahiriahmu, kau tidak pantas melakukan penghinaan seperti ini terhadap seorang perempuan. Tetapi kenapa hal itu kau lakukan?“

“Pertanyaan yang menarik,“ jawab orang itu. “Agaknya tidak hanya kau yang memuji aku sebagai seorang laki-laki tampan dan berwajah lembut. Tetapi aku bukan seorang laki-laki cengeng. Aku melakukan apa yang ingin aku lakukan.“

“Siapa kau sebenarnya?“ bertanya Agung Sedayu.

“Aku anak Demang dari Kademangan Wanda Karang, di seberang bukit-bukit Menoreh,“ jawab anak muda itu.

“Anak Ki Demang Wanda Karang?“ ulang Agung Sedayu.

“Ya. Kenapa? Kau pernah mendengar nama itu?“ bertanya orang itu.

“Aku pernah mendengar nama Demang Wanda Karang. Seorang Demang yang memiliki ilmu yang cukup tinggi dan pengabdian yang mantap terhadap Mataram,“ jawab Agung Sedayu.

“Nah, dengarlah baik-baik,“ berkata orang itu, “aku telah mendapat perintah dari ayahku untuk menghadap ke Mataram. Aku membawa pertanda hubungan yang akrab antara ayahku dengan Ki Tumenggung Resayuda. Ki Tumenggung tentu bersedia membawa aku menghadap Panembahan Senapati. Dengar sekali lagi. Aku akan menghadap Panembahan Senapati secara pribadi. Nah, kau tentu dapat membayangkan kebesaran anak Demang Wanda Karang ini, yang akan diterima secara pribadi oleh Panembahan Senapati.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi katanya, “Lalu apa hubungannya antara kesediaan Ki Tumenggung Resayuda membawamu menghadap, dengan tingkah lakumu sekarang ini? Ki Sanak. Jika ayahmu tahu apa yang kau lakukan di sini, ayahmu tentu akan sangat marah kepadamu.“

Orang itu tertawa. Katanya, “Ayah tidak akan marah kepadaku.“

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Sebaiknya jangan kau lakukan penghinaan terhadap martabat seorang perempuan seperti itu. Ketika kami melewati Tanah Perdikan Menoreh, anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang berkumpul di ujung-ujung lorong memberi kesempatan kami lewat tanpa diganggu.“

“Persetan dengan anak-anak Tanah Perdikan Menoreh,“ jawab anak muda itu.

“Apakah kau tidak mengenal Tanah Perdikan Menoreh?“ bertanya Agung Sedayu.

Orang itu termangu-mangu. Namun katanya kemudian, “Yang aku lakukan tidak ada hubungannya dengan Tanah Perdikan yang besar itu.“

“Ternyata kau belum mengenal kehidupan di Tanah Perdikan tetanggamu itu,“ berkata Agung Sedayu, “tingkah lakumu tentu tidak disukai.“

“Apakah kau orang Tanah Perdikan Menoreh?“ bertanya anak Demang Wanda Karang itu.

“Kami keluarga kecil yang tinggal di ujung utara Tanah Perdikan itu.“ jawab Agung Sedayu.

Orang itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Yang aku lakukan tidak ada hubungannya dengan Tanah Perdikan itu.“

“Anak-anak muda Tanah Perdikan tentu akan melindungi kami,“ berkata Agung Sedayu, “jika mereka tahu bahwa anak Demang Wanda Karang telah menyakiti hati orang-orangnya, maka ada kemungkinan mereka akan datang melintasi bukit dan turun di Kademangan Wanda Karang.“

Anak Ki Demang Wanda Karang itu termenung sejenak. Namun ketika sekali lagi ia memandang wajah Sekar Mirah, maka katanya, “Aku sudah terbiasa menuruti keinginanku atas perempuan-perempuan cantik. Tidak seorangpun telah menghalangi aku. Sementara itu orang-orang Tanah Perdikan tidak akan berani mengganggu aku, apalagi Kademangan Wanda Karang yang sudah diakui adanya dan memiliki hubungan rapat dengan Panembahan Senapati lewat Ki Tumenggung Resayuda.“

“Jangan bermain api Ki Sanak,“ berkata Agung Sedayu, “kau akan dihukum oleh Panembahan Senapati. Sudahlah. Pergilah, karena agaknya Ki Tumenggung itu sudah menunggumu. Bahkan mungkin Panembahan Senapati.“

“Perempuan itu cantik sekali,“ desis laki-laki yang berpakaian rapi itu, “aku akan menukarnya dengan timang emasku.“

Agung Sedayu tidak sempat menjawab. Tiba-tiba saja justru tangan Sekar Mirah sendiri telah menampar pipi orang itu. Meskipun Sekar Mirah hanya mempergunakan tenaga wajarnya, namun orang itu menyeringai menahan panas pipinya itu.

“Kenapa kau memukulku?“ bertanya laki-laki itu.

“Persetan. Aku akan pergi,“ geram Sekar Mirah yang mendekati kudanya.

Tetapi laki-laki itu justru tertawa. Katanya, “Kau akan pergi begitu saja setelah menampar pipiku, Perempuan Cantik. Kau harus mau mengobati pipiku yang sakit ini. Kau dengar?“

Wajah Sekar Mirah menjadi kemerah-merahan. Ketika laki-laki itu tertawa, maka sekali lagi Sekar Mirah telah menampar pipinya pula. Lebih keras dari sebelumnya. Orang itu terkejut. Ia tidak mengira bahwa perempuan itu begitu berani menampar pipinya sampai dua kali.

“Jangan membuat aku marah,“ berkata anak Demang Wanda Karang itu, “aku dapat berbuat lebih kasar lagi meskipun kita berada di pinggir jalan. Orang-orangku akan dapat mengusir orang-orang yang ingin menonton permainan kita, atau memaksa perempuan itu untuk pergi ke tengah-tengah padang ilalang di rawa-rawa di pinggir Kali Praga itu.“

Sekar Mirah sudah tidak berbicara lagi. Ia justru sekali lagi memukul wajah laki-laki itu. Laki-laki itu memang menjadi marah. Dengan nada keras ia berkata, “He, laki-laki cengeng. Kenapa kau diam saja? Kau harus marah dan menantang aku berkelahi.“

Tetapi Agung Sedayu menggeleng. Jawabnya, “Aku tidak suka berkelahi. Tetapi karena perempuan itu yang telah kau hinakan dan kau rendahkan martabatnya, maka ia tentu akan marah. Jika kau tidak malu, biarlah kau berkelahi dengan perempuan itu, atau kau tinggalkan ia.“

“Pengecut. Kau mau apa he? Kenapa bukan kau yang berkelahi?“ desak laki-laki itu.

“Yang sering berkelahi memang istriku. Itu merupakan kegemarannya. Jika kau menantangnya, ia akan senang sekali menanggapinya,“ jawab Agung Sedayu.

“Persetan,“ geram laki-laki itu. Namun tiba-tiba ia berkata kepada orang-orangnya, “Usir orang-orang yang akan menonton itu. Atau pukuli mereka sampai pingsan.“

Para pengawalnya itu pun kemudian telah mengusir orang-orang yang lewat, yang memang tertarik melihat pertengkaran itu. Namun mereka menjadi ketakutan ketika orang-orang bertubuh raksasa itu mengusir mereka.

Anak Demang Wanda Karang itu termangu-mangu sejenak.

Sementara Sekar Mirah pun berkata, “Kau dengar kata-kata suamiku. Suamiku bukan jenis orang yang suka berkelahi. Tetapi aku-lah yang mempunyai kegemaran berkelahi. Sudah tiga hari tiga malam aku tidak berkelahi. Kebetulan sekali bahwa di sini aku bertemu dengan seorang yang ingin berkelahi.“

Telinga laki-laki itu memang mulai panas. Dengan nada geram ia berkata, “Aku tantang suamimu.“

“Ia akan mewakilkan aku. Mau tidak mau. Jika kau menolak, aku akan memukulimu sampai gigimu terlepas. Tetapi jika kau menerima tantanganku, aku akan membuatmu pingsan dan kakimu timpang!“ bentak Sekar Mirah.

Laki-laki itu benar-benar marah. Sebagaimana kebiasaannya, bahwa kemauannya tidak pernah ditolak oleh orang-orang se-kademangan, maka ia benar-benar tidak mau menerima keadaannya itu.

Sementara itu, dengan nada tinggi ia kemudian berkata lantang, “Agaknya kau benar-benar belum mengenal aku.“

“Memang aneh, bahwa kau belum pernah kami lihat sebelumnya, meskipun kau hanya tinggal di seberang bukit-bukit Menoreh,“ berkata Agung Sedayu.

“Aku memang baru saja kembali ke kademangan. Beberapa bulan yang lalu, setelah beberapa tahun aku berguru di Padepokan Pandean. Nah, sekarang kau akan menjadi semakin menyesali tingkah lakumu. Aku kembali dari Padepokan Pandean dengan ilmu yang tinggi.“

Agung Sedayu memang mengerutkan keningnya ketika ia mendengar bahwa orang itu baru saja kembali dari berguru beberapa bulan yang lalu. Itulah agaknya yang telah mempengaruhi sikapnya. Ketidak-seimbangan antara peningkatan kemampuan dan ilmu serta peningkatan pengendapan diri. Dengan demikian maka seseorang akan dapat menjadi sesongaran serta ilmunya bukannya diamalkan, tetapi justru dipergunakannya untuk merugikan orang lain. Orang orang yang demikian adalah justru orang-orang yang sangat berbahaya.

Namun agaknya Sekar Mirah yang merasa terhina itupun menyahut, “Persetan dengan Padepokan Pandean. Jika kau tetap akan berbuat kasar dan menghinaku, maka kau akan menyesal.“

Laki-laki itu justru telah bergeser mendekat, sehingga Sekar Mirah terpaksa melangkah surut.

“Aku memperingatkanmu,“ berkata Sekar Mirah, “jangan mempermainkan aku.“

Tetapi laki-laki itu tidak menghiraukannya. Ia justru maju selangkah mendekati Sekar Mirah.

Sekar Mirah tidak menahan dirinya lagi. Iapun kemudian telah memukul dada laki-laki itu dengan telapak tangannya. Ia bukan saja mempergunakan tenaga wajarnya, tetapi ia sudah mempergunakan tenaga cadangannya, meskipun baru sebagian kecil. Tetapi karena peristiwa itu sama sekali tidak diduganya, maka rasa-rasanya dada orang itu telah membentur batu hitam.

Selain perasaan sakit yang menekan seluruh isi dadanya, maka orang itu pun telah terdorong surut beberapa langkah. Bahkan hampir saja ia telah kehilangan keseimbangannya. Namun dengan susah payah ia masih sempat mempertahankan keseimbangannya itu sehingga ia tidak jatuh terlentang.

Meskipun demikian, maka yang terjadi itu merupakan penghinaan yang sangat besar bagi laki-laki yang nampak rapi dan berwajah lunak itu. Tetapi ketika Sekar Mirah kemudian memandangi wajahnya, maka tatapan yang lembut itu sudah tidak nampak sama sekali. Yang terbayang di wajahnya kemudian adalah kebencian yang membara.

“Perempuan tidak tahu diri,“ geram laki-laki itu, “kau berani menyakiti aku he? Aku adalah utusan pribadi ayah Demang Wanda Karang untuk menemui Ki Tumenggung Resayuda, dan yang seterusnya akan menghadap Panembahan Senapati.”

Sekar Mirah justru menjadi muak mendengar kata-kata laki-laki yang mengaku anak Ki Demang Wanda Karang itu. Dengan nada tinggi ia berkata, “Yang patut dihormati itu adalah Ki Tumenggung Resayuda, dan yang patut disembah adalah Panembahan Senapati. Bukan kau. Karena itu, tidak pantas untuk menyombongkan diri sambil menyebut nama Ki Tumenggung Resayuda itu. Apalagi Panembahan Senapati.“

“Persetan,“ sahut laki-laki itu, “aku tidak peduli lagi. Ternyata kalian memang orang-orang yang datang dari bukit yang tidak mengerti arti kedudukan seorang Tumenggung. Kau memang tidak akan dapat membayangkan betapa tinggi kedudukannya dan betapa besar kuasanya. Karena itu, maka sekarang kau berhadapan saja dengan aku. Aku harus membuatmu jera, sehingga kau tidak akan menghina aku lagi. Tanpa menyebut nama Ki Tumenggung pun aku akan dapat membuatmu menyadari betapa kecilnya kau.“

“Bagus,“ berkata Sekar Mirah, “sekarang kau mau apa? Jika kau tidak malu dilihat orang banyak berkelahi dengan seorang perempuan, apalagi aku.“

“Kau mencoba mencari alasan untuk menghindari kekerasan,“ berkata laki-laki itu, “tetapi aku tidak dapat memaafkanmu lagi. Orang-orangku akan mengusir mereka yang mencoba menonton kau aku pukuli sampai kau menyembahku dan mencium kakiku.“

Tetapi Sekar Mirah tertawa. Katanya, “Kita akan melihat, siapakah yang akan berlutut dan menciumi telapak kaki. Aku atau kau.“

Laki-laki itu benar-benar menjadi marah. Tiba-tiba saja iapun mulai menyerang Sekar Mirah. Sebagai murid dari Padepokan Pandean yang dibanggakannya, maka orang itu berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya. Dengan tangkas ia telah melenting sambil mengayunkan tangannya, mengarah ke wajah Sekar Mirah. Orang itu ingin membalas, betapa pedihnya jika tangannya menyentuh pipi perempuan yang garang itu.

Tetapi ternyata Sekar Mirah mampu bergerak lebih cepat. Tangan itu terayun tanpa menyentuh wajah Sekar Mirah. Bahkan dengan cepat pula Sekar Mirah justru telah memukul pergelangan tangan orang itu dengan sisi telapak tangannya.

Orang itu terkejut. Ia tidak mengira bahwa Sekar Mirah akan mampu melakukannya. Dengan tergesa-gesa ia berusaha menarik tangannya yang terayun. Namun ia tidak dapat membebaskan tangannya sepenuhnya dari sentuhan sisi telapak tangan Sekar Mirah.

Ketika sisi telapak tangan Sekar Mirah mengenainya, sekali lagi orang itu terkejut. Perempuan itu tidak hanya mampu bergerak cepat. Tetapi tenaganya ternyata sangat besar, sehingga rasa-rasanya tangan lawan Sekar Mirah yang tersentuh dan telapak tangannya itu bagaikan menjadi retak.

Dengan tergesa-gesa orang itu meloncat surut beberapa langkah untuk mengambil jarak. Ia ingin memperhatikan keadaannya. Tangannya yang tersentuh sisi telapak tangan Sekar Mirah itu terasa betapa nyerinya. Tetapi ia tidak sempat melakukannya. Sekar Mirah tidak melepaskannya. Iapun telah meloncat memburunya. Tangannya-lah yang kemudian terayun mengarah ke dada lawannya.

Sekali lagi lawannya harus meloncat surut menghindari serangan Sekar Mirah. Tetapi sekali lagi yang tidak diduganya, Sekar Mirah yang diketahuinya sebagai seorang perempuan, tidak saja menyerang dengan tangannya. Tetapi demikian lawannya menghindar surut, maka tiba-tiba saja Sekar Mirah telah berputar. Kakinya-lah yang terayun satu putaran, bertumpu pada kakinya yang lain.

Ternyata kaki Sekar Mirah yang berputar itu, tidak sempat dihindarinya. Ia memang berusaha untuk menangkisnya dengan sikunya. Tetapi ayunan kaki Sekar Mirah terlalu keras, sehingga benturan yang terjadi tidak diduganya pula sebagaimana serangan itu. Ternyata kekuatan Sekar Mirah benar-benar luar biasa. Benturan yang terjadi telah melemparkannya keberapa langkah surut. Bahkan orang yang menyebut dirinya Ki Demang Wanda Karang itu telah terbanting jatuh.

Untuk melepaskan diri dari serangan berikutnya, orang itu telah berguling menjauh. Sambil mengerahkan tenaganya ia telah melenting berdiri. Tetapi geraknya terlalu lamban bagi Sekar Mirah. Demikian orang itu tegak, maka kaki Sekar Mirah telah mengenai dadanya sehingga sekali lagi orang itu terlempar jatuh.

Terdengar keluhan kesakitan. Punggung orang itu seakan-akan telah menjadi patah. Untunglah mereka berkelahi di tepian Kali Praga yang berpasir, sehingga keadaan orang itu tidak terlalu parah. Namun demikian, orang itu telah mengumpat kasar. Ketika ia melihat Sekar Mirah berdiri tegak, maka sekali lagi ia berguling. Kemudian dengan hati-hati ia bangkit dan duduk sambil menyilangkan tangannya di dada.

Tetapi Sekar Mirah tidak menyerangnya. Ia berdiri tegak sambil bertolak pinggang.

Ketika orang yang mengaku anak Ki Demang Wanda Karang itu bangkit sendiri. Sekar Mirah berkata lantang. “Aku dapat menghancurkan kepalamu, murid Padepokan Pandean. Apa yang sebenarnya kau banggakan dari perguruanmu itu? Apa pula yang dapat kau tunjukkan kepada Ki Tumenggung Resayuda bahwa kau adalah anak Ki Demang Wanda Karang yang berilmu tinggi? Mungkin kau memang membawa pertanda dari Ki Demang Wanda Karang. Tetapi apa yang kau bawa itu sama sekali tidak akan berarti apa-apa tanpa menunjukkan bukti bahwa kau memang anak Ki Demang yang berilmu tinggi itu. Ki Tumenggung tidak akan percaya bahwa anak Ki Demang Wanda Karang ternyata hanyalah seorang laki-laki yang mampu berbicara panjang namun bersikap terlalu lemah melampaui seorang perempuan. He, ingat, aku adalah seorang perempuan.“

Anak Ki Demang Wanda Karang itu menggeram. Tetapi perempuan itu benar-benar seorang perempuan yang berilmu tinggi. Karena itu ia memang harus sangat berhati-hati. Bahkan ia merasa tanpa senjata ia tidak akan dapat mengalahkan perempuan itu. Dengan garangnya, maka anak Ki Demang itu telah menarik pedangnya.

Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Pedang orang itu benar-benar sebilah pedang yang luar biasa. Pedang yang berwarna agak kehitam-hitaman dengan pamor yang membujur dari pangkal sampai ke ujung. Agaknya pedang itu telah dibuat sebagaimana seseorang membuat keris, sehingga dengan demikian maka pedang itu nampaknya mengandung racun warangan seperti kebiasaan sebilah keris.

“Kenapa kau menjadi pucat perempuan gila,“ geram laki-laki itu, “salahmu jika kau mengalami bencana sekarang ini. Jika kau mati, maka tidak akan ada seorangpun yang berani menuntut aku, karena aku adalah seseorang yang mempunyai hubungan dengan Ki Tumenggung Resayuda.“

“Hentikan bualanmu tentang Ki Tumenggung. Kau kira Ki Tumenggung itu bangga bahwa namanya kau sebut-sebut. Bahwa kuasanya kau pergunakan untuk menakut-nakuti orang?“

“Baik. Tanpa Ki Tumenggung, maka aku akan menyelesaikanmu. Pedangku adalah pedang yang lain dari kebanyakan pedang. Kau lihat pamornya yang menyala?“ bertanya laki-laki itu.

Sekar Mirah memang termangu-mangu. Ia tidak mau terkena akibat dari kelengahannya, karena lawannya bersenjata. Ia tidak seperti Agung Sedayu yang kebal akan bisa dan racun. Meskipun kemanapuan Agung Sedayu membawa beberapa obat, tetapi lebih baik baginya untuk tidak perlu berobat di tengah perjalanan itu.

Karena itu, maka iapun berkata kepada Glagah Putih, “Tolong, berikan tongkatku.“

Glagah Putih yang tahu pasti, bahwa tongkat Sekar Mirah berada di pelana kudanya, maka iapun dengan serta merta tidak mengambilnya dan memberikannya kepada Sekar Mirah.

“Kau pernah melihat tongkat seperti ini?“ bertanya Sekar Mirah ketika tongkatnya telah berada di tangannya.

Orang itulah yang kemudian menjadi berdebar-debar. Tongkat itu memang agak aneh. Apalagi kepala tongkat itu adalah sebuah tengkorak kecil yang terbuat dari logam yang terpilih. Sementara batang tongkatnya yang putih itu memberikan kesan tersendiri.

“Aku akan mengimbangi pedangmu dengan senjata ini. Tetapi jika aku terlanjur bermain dengan senjata, maka akibatnya mungkin akan sangat pahit bagimu,“ berkata Sekar Mirah.

Tetapi orang itu menjawab, “Kau harus mengenal lebih dahulu ilmu pedang dari Perguruan Pandean. Baru kau akan dapat memberikan penilaian.“

Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Meskipun ia tahu bahwa lawannya bukan seorang yang memiliki kekuatan dan kemampuan yang besar, tetapi ia tidak boleh mengabaikannya.

“Mungkin ia memang memiliki ilmu pedang yang tinggi,“ berkata Sekar Mirah di dalam hatinya.

Sejenak keduanya bersiap-siap. Para pengawal Ki Demang Wanda Karang itu menjadi tegang. Mereka agaknya mengenal kemampuan ilmu pedang anak Ki Demang itu.

“Jangan berdiri kebingungan seperti itu,“ berkata anak Ki Demang, “usir setiap orang yang akan menonton bagaimana aku menghancurkan seorang perempuan sombong. Perempuan yang tentu akan berlutut dan mencium telapak kakiku.“

Tetapi orang itu tiba-tiba terkejut. Tongkat Sekar Mirah terayun deras, sehingga angin pun telah ikut pula berdesing menyambar tubuh anak Ki Demang itu. Anak Ki Demang ini benar-benar tidak menyangka. Iapun dengan serta merta telah meloncat beberapa langkah surut.

Sekar Mirah justru tertawa. Katanya, “Tidak usah terkejut Ki Sanak. Aku tidak benar-benar berusaha mematahkan lehermu.“

“Persetan perempuan sombong,“ sahut orang itu, “kau kira dengan membuat gerakan-gerakan seperti itu kau dapat membuat aku takut?“

“O,“ Sekar Mirah mengerutkan dahinya, “siapa yang mengatakan bahwa kau takut? Kau sendiri?“

“Persetan,“ geram orang itu.

Namun sejenak kemudian pedangnya pun telah berputar. Beberapa kali orang itu bergerak sambil mempermainkan pedangnya. Bergeser dari satu sisi ke sisi yang lain. Ternyata bahwa orang itu memang menguasai ilmu pedang. Karena itu Sekar Mirah memang harus berhati-hati. Ketika pedang lawannya mulai mematuk, maka Sekar Mirah pun mulai bergeser pula. Iapun telah memutar tongkatnya pula, sebagaimana dilakukan oleh lawannya.

Sejenak kemudian, maka pertempuran menjadi semakin seru. Keduanya telah mempergunakan senjata mereka masing-masing. Mereka ternyata memang memiliki kemampuan dan kekuatan yang tinggi. Namun agaknya anak Ki Demang itu masih terbatas pula kemampuan dan ketrampilan kewadagan. Karena itu, ketika tongkat Sekar Mirah berputar semakin cepat dilambari dengan kekuatan cadangan di dalam dirinya, sehingga putaran tongkatnya itu bagaikan bersiul karenanya, hati anak Ki Demang itu memang berdebar-debar.

“Ilmu iblis manakah yang menyusup di dalam diri perempuan itu?“ bertanya anak Ki Demang itu di dalam hatinya.

Namun ketika sekali-sekali senjata mereka bersentuh, maka jantung anak Ki Demang itu menjadi semakin berdebar-debar. Ternyata perempuan itu benar-benar bukan perempuan kebanyakan. Kekuatannya pun bukan kekuatan seorang perempuan. Tetapi anak Ki Demang itu sudah terlanjur menarik pedang dari sarungnya. Sehingga karena itu, maka iapun telah berusaha dengan segenap kemampuan yang pada dirinya untuk menguasai lawannya yang tidak lebih dari seorang perempuan. Namun ternyata usahanya sia-sia. Semakin lama maka iapun justru menjadi semakin terdesak.

Glagah Putih yang sejak semula telah menahan diri menghadapi sikap anak Ki Demang itu, tiba-tiba telah bergeser mendekat. Hampir di luar sadarnya, Glagah Putih telah bertepuk tangan ketika anak Ki Demang itu terdorong surut.

Untuk menghindari ujung tongkat Sekar Mirah yang bagaikan memburunya, orang itu telah menggeliat. Namun justru ia telah terjatuh terlentang. Karena itu, maka iapun telah berguling untuk mengambil jarak dan meloncat bangkit. Sekar Mirah tidak memburunya. Ia memang memberi kesempatan laki-laki itu untuk berdiri.

Tetapi laki-laki itu menjadi marah pula kepada Glagah Putih. Ia menganggap Glagah Putih telah menghinanya dengan sengaja karena anak muda itu telah bertepuk tangan justru pada saat ia terlempar jatuh.

Karena itu maka orang itu pun kemudian mengumpat kasar, “Anak gila. Kaupun harus mendapatkan pelajaran, agar kau sadari kebodohanmu.”

“Bukankah aku tidak berbuat sesuatu?“ berkata Glagah Putih.

“Kenapa kau bertepuk tangan?“ wajah anak Ki Demang itu menjadi merah.

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Kau terlalu sombong sehingga kau telah salah menilai lawanmu. Bahkan setelah kau jatuh bangun, kau masih juga belum menyadari apa yang sebenarnya telah terjadi atas dirimu.“

Orang itu menggeretakkan giginya, sementara Sekar Mirah masih saja berdiri sambil menimang tongkatnya.

Kemarahan orang itu benar-benar tidak terkendali. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berteriak kepada para pengawalnya, “Tangkap anak ini! Ikat, dan kita akan menyeretnya di belakang punggung kuda dan membawanya menghadap Ki Tumenggung.“

Ketiga orang pengawalnya yang mendapat perintah itu pun segera bersiap. Namun dalam pada itu Glagah Putih masih sempat menjawab, “Aku sudah membawa kuda sendiri.“

Kemarahan orang itu menjadi semakin membakar jantung. Karena itu, maka iapun berteriak, “Cepat, tangkap dan ikat kelinci itu!“

Ketiga orang itu pun segera mulai bergerak. Mereka mengepung Glagah Putih dari tiga jurusan.

Anak Ki Demang itu pun telah berteriak pula, “Cepat! Apalagi yang kau tunggu?“

Ketiga orang itu pun dengan serta merta telah meloncat menyerang Glagah Putih yang masih berdiri termangu-mangu.

Sekar Mirah menyaksikan serangan itu dengan jantung yang berdebar-debar. Bahkan Agung Sedayu menjadi cemas. Bukan karena keselamatan Glagah Putih, tetapi justru sebaliknya. Pergaulan Glagah Putih dengan Raden Rangga agaknya memang berpengaruh atas sifat-sifat Glagah Putih. Dan yang dicemaskan Sekar Mirah dan Agung Sedayu itu memang terjadi, meskipun tidak memungut nyawa dari salah seorang di antara lawan-lawannya.

Perkelahian antara Glagah Putih dan ketiga orang pengawal anak Ki Demang itu hanya berlangsung singkat. Glagah Putih telah berloncatan bagaikan burung sikatan. Demikian cepat, seakan-akan hanya satu putaran gerak. Namun ketiga orang lawannya telah terlempar jatuh. Dua orang di antara mereka tidak segera dapat bangkit kembali, sementara yang seorang berusaha untuk berdiri. Tetapi keseimbangannya tidak segera dapat dipulihkan. Ia masih terhuyung-huyung sesaat. Meskipun ia berhasil berdiri di atas kedua kakinya, namun dadanya masih saja terasa bagaikan tersumbat. Glagah Putih berdiri tegak sambil tertawa kecil. Katanya, “Sekali lagi terjadi kesalahan. Bangkitlah. Jika kalian masih ingin bermain-main, kita akan melakukannya. Kami tidak tergesa-gesa.“

Dua orang yang masih terbaring itu menggeliat. Tetapi punggung mereka memang terasa bagaikan patah.

“Marilah,“ ulang Glagah Putih.

Dalam pada itu, anak Ki Demang itu memang menjadi marah bukan kepalang. Dengan keras ia berteriak, “He, ternyata kalian adalah tikus-tikus buruk! Aku akan melaporkannya kepada Ayah tentang kalian. Apa yang dapat kalian lakukan he? Buat apa Ayah memerintahkan kalian menyertai aku?“

“Jangan mengumpat-umpat,“ Glagah Putihlah yang menjawab sambil tertawa. Katanya kemudian, “Bukan orang-orangmu yang bagaikan tikus buruk. Tetapi ilmuku, adalah ilmu yang diturunkan dari langit, dari antara awan yang berarak, menyadap kekuatan mendung yang mengandung petir, serta mengetrapkan kekuatan lesus dan prahara.“

“Glagah Putih,“ Agung Sedayu melangkah mendekatinya, “kau jangan mempermainkan mereka terlalu jauh.“

Glagah Putih berpaling. Tetapi iapun kemudian menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja ia menyadari, bahwa yang berdiri di belakangnya adalah kakak sepupunya, Agung Sedayu. Bukan Raden Rangga.

Sementara itu Agung Sedayu pun kemudian berkata, “Ki Sanak. Tinggalkan tempat ini. Semakin cepat semakin baik, daripada kalian akan menjadi tontonan orang banyak.“

Orang itu memandang Agung Sedayu dengan wajah yang tegang. Namun ia menyadari, bahwa dari sorot matanya, orang itu akhirnya mengenal bahwa Agung Sedayu tentu memiliki kelebihan dari perempuan dan anak muda itu.

Karena itu, maka anak Ki Demang Wanda Karang itu harus berpikir ulang. Laki-laki yang disebut suami perempuan yang memiliki kemampuan yang luar biasa serta tongkat yang menggetarkan jantungnya itu, maka laki-laki itu tentu akan dapat berbuat jauh lebih banyak.

Karena itu, maka anak Ki Demang itu pun kemudian telah memilih untuk menghentikan usahanya menghukum orang-orang yang dianggapnya telah menyakiti hatinya itu. Karena itu, maka iapun telah bergeser selangkah surut.

Agaknya Sekar Mirah pun telah jemu dengan permainan itu. Karena itu, maka tanpa mengatakan sepatah kata pun, iapun segera melangkah ke kudanya, diikuti oleh Glagah Putih. Setelah menyelipkan tongkatnya, maka Sekar Mirah pun kemudian dengan tangkasnya meloncat ke punggung kudanya. Memang tidak ada yang dapat membedakan bahwa ia adalah seorang perempuan, tanpa melihat ciri-cirinya dari dekat. Terutama suara Sekar Mirah.

Agung Sedayu pun kemudian telah berada di punggung kudanya pula, disusul oleh Glagah Putih, yang kemudian duduk di punggung kudanya yang tegap tegar dan yang jarang ada duanya itu.

Tanpa berpaling maka Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih pun telah meninggalkan tempat itu. Beberapa orang yang menonton dari kejauhan pun telah meninggalkan tempatnya. Mereka menduga, bahwa orang-orang yang kalah itu tentu akan melepaskan kemarahannya kepada mereka yang menonton perkelahian itu.

Namun dalam pada itu, masih terdengar suara anak Ki Demang, “Hati-hatilah kalian. Aku membawa pertanda untuk menghadap Ki Tumenggung Resayuda dan Panembahan Senapati itu sendiri.“

Ketiga orang berkuda itu sama sekali tidak menghiraukan, meskipun mereka juga mendengarnya. Demikianlah, maka ketiga orang itu pun telah berpacu meninggalkan tepian Kali Praga. Agaknya mereka telah terhambat beberapa saat untuk melayani seorang laki-laki yang terlalu berbangga karena ia akan menghadap Ki Tumenggung Resayuda.

Sambil membenahi pakaiannya, Sekar Mirah bertanya kepada Agung Sedayu, “Apakah kau pantas menghadap Panembahan Senapati dengan pakaian seperti ini?“

“Kita tidak menghadap Panembahan Senapati dalam pasowanan. Kita akan mohon menghadap secara pribadi. Agaknya Panembahan Senapati dapat memahami keadaan kita, sehingga mudah-mudahan Panembahan Senapati tidak menganggap kita telah berlaku deksura,“ jawab Agung Sedayu.

“Jika demikian, sebaiknya Kakang saja dahulu menghadap. Aku akan menunggu. Jika agaknya Panembahan Senapati dapat menerima aku dalam keadaan seperti ini, aku akan ikut menghadap. Tetapi jika sebaiknya tidak, aku akan menunggu.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti perasaan Sekar Mirah. Bagaimanapun juga ia tidak mengenakan pakaian yang pantas bagi seorang perempuan. Bahkan justru karena pakaiannya itulah ia telah berselisih dengan anak Demang Wanda Karang. Jika Sekar Mirah berpakaian seperti kebanyakan perempuan, mungkin ia justru tidak akan banyak menarik perhatian anak Demang Wanda Karang itu.

Ternyata perjalanan mereka selanjutnya tidak mengalami hambatan lagi. Mereka kemudian memasuki gerbang Kota Mataram tanpa kesulitan. Orang-orang termasuk para petugas di pintu gerbang memang menyangka bahwa yang bersama-sama dengan Agung Sedayu itu adalah dua orang anak muda.

Seorang prajurit yang telah mengenal Agung Sedayu bertanya di dalam hati, “Anak siapa lagi yang dibawa oleh Agung Sedayu itu setelah Glagah Putih?“

Demikianlah, maka tanpa kesulitan Agung Sedayu pun telah memasuki halaman istana, justru karena seorang perwira yang bertugas telah mengenalnya. Dan bahkan telah membawanya kepada seorang pelayan dalam.

“Jika Panembahan Senapati berkenan, kami akan menghadap,“ berkata Agung Sedayu kepada pelayan dalam itu.

“Paseban baru saja selesai,“ berkata pelayan dalam itu, “banyak hal yang dibicarakan. Agaknya Panembahan Senapati merasa letih.“

“Cobalah, sampaikan permohonanku. Aku akan menghadap secara pribadi,“ berkata Agung Sedayu kemudian.

Kemudian ketika pelayan dalam itu masuk ke ruang dalam, Agung Sedayu berkata kepada perwira yang telah mengenalnya itu, “Biarlah istriku menunggu. Kami berdua akan menghadap lebih dahulu. Baru jika Panembahan Senapati berkenan, istriku akan aku panggil.“

“Kenapa?“ bertanya perwira itu.

“Ia tidak mengenakan pakaian yang pantas untuk menghadap. Pakaian yang dipakainya adalah pakaian perjalanan,“ jawab Agung Sedayu.

Perwira itu hanya mengangguk-angguk saja. Ia sama sekali tidak dapat menduga, apa yang akan dikatakan oleh Panembahan Senapati tentang perempuan yang tidak berpakaian wajar itu. Namun menilik hubungan yang akrab antara Panembahan Senapati dengan Agung Sedayu sejak mereka masih sering mengembara, maka ada beberapa kemungkinan dapat terjadi.

Betapapun letihnya Panembahan Senapati, ternyata Agung Sedayu telah diterimanya juga. Bukan hanya sekedar karena telah berhubungan akrab. Tetapi Panembahan Senapati telah menduga bahwa ada perkembangan baru telah terjadi di Tanah Perdikan.

Bahkan ketika Agung Sedayu menyebut tentang istrinya yang ikut bersamanya, namun dengan mengenakan pakaian perjalanan yang tidak pantas untuk menghadap, Panembahan Senapati berkata, “Panggil ia kemari. Biarlah ia ikut mendengar, apa yang kita bicarakan.”

Agung Sedayu mengangguk hormat. Tetapi ia masih juga ragu-ragu. Karena itu, maka katanya, “Hamba mohon ampun Panembahan. Istri hama mengenakan pakaian perjalanan, yang sama sekali kurang pantas bagi seorang perempuan yang menghadap Panembahan.“

“Dalam keadaan khusus, maka aku perkenankan istrimu menghadap dengan pakaian perjalanan. Aku tahu, bahwa Sekar Mirah tentu memakai pakaian seorang laki-laki. Sementara pakaian perjalanan perempuan lain masih juga tetap memakai kain panjang,“ berkata Panembahan Senapati.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia kemudian bergeser surut untuk memanggil istrinya untuk menghadap Panembahan Senapati yang menerimanya di serambi.

Betapa canggungnya Sekar Mirah dalam pakaiannya menghadap Panembahan Senapati. Tetapi Panembahan sendiri telah mengatakan, “Jangan segan. Aku telah mengijinkan kau menghadap dengan pakaianmu yang sudah aku bayangkan sebelumnya.“

“Hamba Panembahan,“ sahut Sekar Mirah dengan kepala tunduk, “hamba mohon ampun atas tingkah laku hamba ini.“

Panembahan Senapati tertawa. Katanya, “Kau nampak semakin meyakinkan sebagai murid Sumangkar.“

Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi kepalanya menjadi semakin tunduk.

Dalam pada itu, maka Panembahan Senapati pun kemudian mendengarkan dengan seksama laporan Agung Sedayu tentang kegiatan orang-orang yang berasal dari daerah Timur yang tentu digerakkan oleh orang yang paling berpengaruh.

“Tetapi aku yakin, Pamanda Panembahan Madiun masih belum akan bertindak sedemikian jauh,“ berkata Panembahan Senapati. Namun kemudian suaranya rendah, “Namun aku menjadi semakin berprihatin. Meninggalnya adimas Pangeran Benawa merupakan persoalan baru yang menambah keruhnya hubungan antara Pajang dan Madiun. Aku, Panembahan Senapati, merasa berwenang untuk menunjuk penggantinya, karena selama ini Pajang memang berada di bawah lingkungan kesatuan dengan Mataram, seharusnya demikian pula dengan Madiun. Karena Adimas Pangeran Benawa tidak meninggalkan pesan apapun, maka semua hak atas Pajang kembali kepadaku, sebagaimana aku pernah menyerahkannya kepada Adimas pangeran. Tetapi mungkin Pamanda Panembahan mempunyai pendapat lain.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.

Namun kemudian Panembahan Senapati pun berkata, “Tetapi bukan berarti bahwa semua kemungkinan telah tertutup. Aku masih berusaha untuk berbicara dengan Pamanda Panembahan Madiun. Sementara itu, pesanku, juga kepada adik seperguruanmu di Sangkal Putung, berhati-hatilah. Agaknya akan banyak tugas yang harus kita lakukan kemudian.”

Agung Sedayu mengangguk hormat. Dengan nada rendah ia menyahut, “Hamba Panembahan. Hamba dan seisi Tanah Perdikan Menoreh akan melakukannya. Demikian pula akan hamba sampaikan pula kepada Adi Swandaru di Sangkal Putung.”

“Terima kasih,“ berkata Panembahan Senapati, “mudah-mudahan kita masih dapat memelihara ketenangan untuk seluruh wilayah kesatuan Mataram yang luas.“

Dengan panjang lebar, Panembahan Senapati mengutarakan angan-angannya tentang masa depan Mataram. Meskipun secara garis besar, namun sudah nampak betapa perhatian Panembahan Senapati menyusup di segala lekuk dan liku kehidupan Mataram sampai tataran yang terendah.

Sementara itu, justru Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih diterima oleh Panembahan Senapati di serambi, maka tidak begitu banyak ikatan-ikatan paugeran yang membatasi mereka. Mereka dapat lebih bebas berbicara sebagaimana dua orang yang sudah lama mengenal yang satu dengan yang lain, meskipun pada akhirnya mereka berada pada tataran kedudukan yang terpisah jauh. Bahkan Panembahan Senapati sempat memerintahkan untuk menghidangkan minuman bagi tamu-tamunya.

Dalam pada itu, selagi Panembahan Senapati dan tamu-tamunya sibuk berbincang, maka telah menghadap seorang pelayan dalam yang memberitahukan bahwa Ki Tumenggung Resayuda akan menghadap.

“Ki Tumenggung Resayuda?” bertanya Panembahan Senapati.

“Hamba, Panembahan,“ jawab pelayan dalam itu.

“Bukankah Ki Tumenggung datang menghadap di paseban tadi?“ bertanya Panembahan Senapati pula.

“Hamba, Panembahan. Tetapi Ki Tumenggung, apabila Panembahan berkenan, ingin meghadap barang sebentar,“ berkata pelayan dalam itu.

Panembahan Senapati termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Biarlah ia masuk.“

Ketika pelayan dalam itu bergeser mundur, Panembahan Senapati berkata, “Ki Tumenggung tahu bahwa aku berada di sini bersama beberapa orang tamu.”

Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih memang menjadi berdebar-debar. Agaknya Ki Tumenggung itulah yang disebut-sebut oleh anak Ki Demang Wanda Karang.

Ketika kemudian Ki Tumenggung menghadap masuk, Agung Sedayu terkejut. Ternyata ia sudah mengenal Tumenggung itu. Tetapi namanya bukan Resayuda. Karena itu, agaknya Ki Tumenggung baru saja mendapat semacam anugrah nama baru yang biasanya mengiringi pangkat atau jabatan yang baru pula.

“Apakah Ki Tumenggung sudah mengenal mereka?“ bertanya Panembahan Senapati.

“Hamba, Panembahan. Hamba telah mengenal mereka dengan baik,“ jawab Ki Tumenggung.

“Namun yang hamba kenal, namanya bukan Ki Tumenggung Resayuda,“ desis Agung Sedayu.

Ki Resayuda tersenyum sambil menunduk. Sementara itu sambil tertawa pendek Panembahan Senapati berkata, “Ki Tumenggung telah mencapai tataran yang lebih tinggi.”

Agung Sedayu pun tertawa. Iapun kemudian berkata, “Aku mengucapkan selamat Ki Tumenggung.“

“Terima kasih,“ berkata Ki Resayuda, “mudah-mudahan aku dapat melakukan tugasku lebih baik.“

Namun dalam pada itu, Panembahan Senapati pun bertanya, “Apakah yang penting kau sampaikan kepadaku?“

“Ampun Panembahan,“ berkata Ki Resayuda, “hamba telah menerima anak Ki Demang Wanda Karang.“

Panembahan Senapati mengerutkan keningnya. Iapun kemudian bertanya, “Siapakah yang kau maksud?“

“Seorang Demang, Panembahan. Hamba telah mengenalnya dengan baik. Ia telah memerintahkan anaknya untuk menemui hamba, sekedar menyatakan kesetiaannya kepada Mataram Namun sebenarnyalah Ki Demang ingin memenuhi keinginan anaknya untuk sekali-sekali datang ke Istana Mataram. Ada keinginannya untuk dapat berkenalan dengan para Senapati, dan bahkan apabila berkenan di hati Panembahan, orang itu ingin menghadap barang sejenak. Namun segala sesuatunya terserah kepada Panembahan,“ berkata Ki Tumenggung.

Ternyata bahwa hati Panembahan Senapati cukup lapang untuk menerima keinginan rakyatnya. Apalagi sekedar menghadap. Dengan nada rendah ia berkata, “Anak Ki Demang itu tentu akan dengan bangga kembali ke kademangannya.“

“Hamba, Panembahan. Ia akan dapat bercerita, bahwa ia telah menghadap Panembahan Senapati di Mataram,“ berkata Ki Tumenggung Resayuda.

Panembahan Senapati tertawa. Bahkan Panembahan Senapati itu pun bertanya kepada Agung Sedayu, “Apakah kau juga berbangga karena kau telah menghadap aku?“

“Hamba, Panembahan,“ jawab Agung Sedayu dengan serta merta, mengerti perasaan itu.

“Karena itu, maka aku perkenankan ia menghadap.“ Bahkan Panembahan Senapati berkata, “Bukankah Kademangan Wanda Karang itu merupakan tetangga Tanah Perdikan Menoreh?“

“Hamba, Panembahan,“ jawab Agung Sedayu.

“Jika demikian, apakah kalian sudah mengenal anak Ki Demang itu?“ bertanya Panembahan Senapati.

“Hamba telah mengenal Ki Demang Wanda Karang,“ jawab Agung Sedayu, “tetapi justru anaknya hamba belum mengenalnya.“

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Lalu katanya kepada Ki Tumenggung, “Baiklah. Aku beri kesempatan ia menghadap. Pembicaraanku dengan tamu-tamuku sudah selesai.“

“Hamba, Panembahan. Biarlah hamba membawanya menghadap,“ desis Ki Temanggung.

Sementara itu, Sekar Mirah dan Glagah Putih saling berpandangan sejenak. Orang itu agaknya adalah orang yang mereka jumpai di pinggir Kali Praga. Tetapi keduanya tidak berkata apapun juga.

Sebenarnyalah, sejenak kemudian, maka Ki Tumenggung yang telah memanggil anak Ki Demang itu telah membawanya menghadap. Dengan gemetar anak Ki Demang itu naik ke serambi. Demikian ia berada di depan pintu, maka iapun telah berjongkok sebagaimana dilakukan oleh Ki Tumenggung. Sambil berjongkok mereka telah memasuki serambi dengan kepala tunduk.

Sebenarnyalah bahwa berbagai perasaan telah bergejolak di dalam hati anak Ki Demang itu. Sebagaimana dikatakan oleh Ki Tumenggung, bahwa orang itu telah merasa sangat berbangga dapat langsung menghadap Panembahan Senapati di Mataram. Jika ia kembali ke kademangannya, maka ia akan dapat bercerita kepada semua orang di kademangan itu, bahwa ia telah menghadap Panembahan Senapati.

“Kalau saja orang-orang liar di Kali Praga itu mengetahui, bahwa hari ini aku telah menghadap Ki Tumenggung Resayuda dan kemudian langsung dapat bertemu berhadapan dengan Panembahan Senapati,“ berkata orang itu di dalam hatinya.

Dalam pada itu, Panembahan Senapati pun bertanya, “Apakah kau memang anak Demang Wanda Karang?“

Jantung orang itu berdegup semakin keras. Karena itu, dengan suara bergetar sambil menundukkan wajahnya ia menjawab, “Ampun Panembahan. Hamba memang anak Ki Demang Wanda Karang.“

“Siapakah namamu?“ bertanya Panembahan Senapati.

Orang itu termangu-mangu. Ia memang lebih senang memperkenalkan diri dengan sebutan anak Demang Wanda Karang. Jika ia menyebut namanya, maka mungkin orang itu tidak mengetahui, bahwa ia adalah anak Demang Wanda Karang.

Tetapi di hadapan Panembahan Senapati ia tidak dapat berbuat demikian. Karena itu, maka iapun telah menyebut namanya. “Ampun Panembahan. Jika sudi menyebut, nama hamba adalah Suramerta.“

“Suramerta,“ ulang Panembahan Senapati. Lalu katanya, “Apakah kau mempunyai keperluan tertentu?”

“Ampun Panembahan. Hamba mendapat perintah dari ayah hamba untuk menghadap Ki Tumenggung Resayuda yang sudah mengenal ayah hamba sebelumnya. Ayah hamba ingin menyampaikan tanda kesetiaan dan melaksanakan semua pesan Ki Tumenggung Resayuda. Sementara itu, betapa besar keinginan hamba untuk dapat menghadap Panembahan Senapati, apalagi hamba sudah berada di Mataram,“ jawab orang itu sambil menunduk.

Namun dalam pada itu, Panembahan Senapati telah berkata, “Tetapi sebelum kau datang, aku telah menerima tamu dari Tanah Perdikan Menoreh. Bukankah kademanganmu bertetangga dengan Tanah Perdikan Menoreh? Apakah kau belum mengenal sahabat-sahabatku dari Tanah Perdikan Menoreh ini?“

Orang itu mengerutkan keningnya. Ia memang tidak berani mengangkat wajahnya. Namun karena pertanyaan itu, maka anak Ki Demang yang bernama Suramerta itu telah memberanikan diri untuk sedikit menengadah untuk memandang orang-orang yang ada di ruang itu.

Tetapi alangkah terkejutnya anak Ki Demang Wanda Karang itu. Tamu-tamu Panembahan Senapati sebagaimana dikatakan oleh Panembahan itu sendiri, adalah orang-orang yang ditemuinya di Kali Praga. Hampir di luar sadarnya, anak Ki Demang Wanda Karang itu berdesis, “Kau?“

Panembahan Senapati mengerutkan keningnya. Dengan nada rendah ia berkata, “Jadi kalian telah mengenal?”

Agung Sedayu-lah yang menyahut, “Sebelumnya kami belum saling mengenal, Panembahan. Tetapi kami telah bertemu di saat kami menyeberang Kali Praga. Hanya sekilas. Sesudah itu kami menempuh jalan yang agaknya berbeda.“

Suramerta, anak Ki Demang Wanda Karang itu menundukkan kepalanya semakin dalam. Ia tidak berani lagi memandang wajah Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih. Bahkan tiba-tiba saja perasaan malu telah bergejolak di dalam hatinya. Ternyata ia tidak akan dapat menyombongkan diri kepada orang-orang yang dianggapnya orang-orang tersisih di Tanah Perdikan itu, karena jusru orang-orang itu telah lebih dahulu menghadap Panembahan Senapati. Bahkan nampaknya orang-orang itu telah terbiasa menghadap, dan tidak lagi merasa canggung untuk berbicara di hadapan Panembahan Senapati itu.

“Memang agak aneh,“ berkata Panembahan Senapati, “bukankah kalian bertetangga meskipun dibatasi oleh pebukitan?“

“Seperti telah hamba katakan,“ jawab Agung Sedayu, “hamba telah mengenal Ki Demang Wanda Karang. Tetapi hamba belum mengenal Ki Suramerta, anak Ki Demang ini.“

“Bagaimana itu dapat terjadi?“ desis Panembahan Senapati, “Apakah kau jarang berada di kademanganmu, Suramerta?“

“Ampun Panembahan,“ jawab anak Ki Demang itu dengan kepala yang semakin menunduk, “untuk waktu yang lama hamba memang jarang berada di kademangan. Hamba telah berada di Padepokan Pandean, karena ayah hamba menginginkan hamba untuk belajar. Ayah hamba ingin jika waktunya datang, hamba dapat melakukan tugas hamba dengan baik.“

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Nah, jika kau mempunyai permintaan, katakanlah. Atau barangkali pendapat yang berarti bagi kademanganmu?“

“Ampun Panembahan. Hamba hanya ingin menghadap. Hamba tidak mempunyai pendapat apapun juga,“ jawab anak Ki Demang.

Panembahan Senapati mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Baiklah. Tetapi untuk kesempatan yang lain, sebaiknya kau datang dengan satu sikap. Mungkin tentang kademanganmu, atau tentang hubungannya dengan Mataram ini, atau apapun yang berarti bagi kademanganmu. Dengan demikian maka kedatanganmu tidak terlalu sia-sia. Tetapi agaknya kali ini kau sekedar ingin memperkenalkan dirimu.“

Wajah anak Ki Demang itu menjadi semakin tunduk. Apalagi ketika Panembahan Senapati itu berkata, “Untuk selanjutnya, kau dapat selalu berhubungan dengan Agung Sedayu ini. Atau istrinya Sekar Mirah, atau adik sepupunya Glagah Putih, yang meskipun masih sangat muda, tetapi ia telah melakukan banyak hal yang berarti bagi Tanah Perdikan Menoreh, dan bahkan bagi Mataram. Kau tidak usah berniat untuk tiba-tiba menjadi seorang pahlawan di Mataram. Tetapi sebaiknya kau mulai dari kademanganmu. Seharusnya kau banyak mengenal lingkunganmu. Tetangga-tetanggamu, dan persoalan-persoalan yang ada di dalam lingkunganmu itu.“ Anak Ki Demang itu sama sekali tidak menjawab. Tetapi jantungnya menjadi semakin berdebaran.

Dalam pada itu, Panembahan Senapatipun kemudian berkata, “Nah, jika kau tidak mempunyai keperluan lain, maka kau aku perkenankan mundur. Salamku kepada ayahmu, Ki Demang Wanda Karang. Aku hargai kesetiaannya kepada Mataram. Karena kademangan merupakan landasan yang paling mendasar bagi tegaknya pemerintahan Mataram.“

“Hamba, Panembahan,“ sahut anak Ki Demang itu dengan jantung yang berdegupan.

Perasaannya diliputi oleh campur baur antara kebanggaan, tetapi juga perasaan yang aneh karena kehadiran orang-orang yang ditemuinya di Kali Praga. Selebihnya, pesan-pesan dari Panembahan Senapati itu sendiri. Lalu kemudian katanya, “Hamba mohon diri. Hamba mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kemurahan hati Panembahan yang berkenan menerima hamba menghadap.“

Panembahan Senapati tersenyum. Lalu katanya, “Persoalan-persoalanmu yang lain, jika tidak dapat kau sampaikan kepadaku, katakan saja kepada Ki Tumenggung Resayuda.“

“Hamba, Panembahan. Selanjutnya hamba mohon diri,“ berkata orang itu terbata-bata.

Demikianlah, maka Ki Suramerta, anak Ki Demang Wanda Karang itu pun kemudian telah mundur dari hadapan Panembahan Senapati bersama Ki Tumenggung Resayuda. Di luar serambi, maka dengan tidak sabar lagi, anak Ki Demang itu bertanya, “Apakah Panembahan telah mengenal ketiga orang itu?“

“Tentu,“ jawab Ki Tumenggung Resayuda, “Agung Sedayu adalah sahabat Panembahan semasa mudanya. Keduanya kadang-kadang telah menempuh pengembaraan bersama. Karena itu, maka keduanya menjadi akrab. Bahkan agaknya ilmu yang dimiliki oleh keduanya pun tidak terpaut terlalu banyak.“

“Bukan main,“ desis anak Ki Demang itu.

“Kenapa?“ bertanya Ki Tumenggung.

“Tidak apa-apa Ki Tumenggung. Tetapi agaknya aku memang harus mengenal mereka yang tinggal bertetangga, dengan Tanah Perdikan Menoreh,“ berkata. anak Ki Demang itu.

Dalam pada itu, Agung Sedayu pun tidak mengatakan apa yang telah terjadi di pinggir kali Praga. Namun pesan Panembahan Senapati, Agung Sedayu hendaknya bersedia untuk membimbing Kademangan itu pula.

Sementara itu, Agung Sedayu masih berbincang barang sejenak dengan Panembahan Senapati. Namun kemudian iapun telah mohon diri untuk melanjutkan perjalanan ke Sangkal Putung dan Jati Anom.

“Apakah kau akan pergi ke Sangkal Putung lebih dahulu atau ke Jati Anom lebih dahulu?“ bertanya Panembahan Senapati.

Agung Sedayu menjadi ragu-ragu. Namun kemudian katanya, “Hamba akan menghadap guru lebih dahulu. Baru hamba akan menemui Paman Widura dan Adi Swandaru.“

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya, “Salamku kepada semuanya. Kepada Kiai Gringsing, kepada Ki Demang Sangkal Putung dan adikmu Swandaru, kepada Ki Widura dan siapapun mereka itu. Jangan lupa singgah barang sebentar di tempat Untara, agar ia mengerti apa yang telah terjadi di Tanah Perdikan Menoreh. Serta ingat akan perintahku lewat Sabungsari.”

“Hamba, Panembahan,“ jawab Agung Sedayu, “hamba akan menemui Kakang Untara di Jati Anom.“

Demikianlah maka Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih pun telah sekali lagi mohon diri. Mereka akan melanjutkan perjalanan mereka ke Jati Anom. Namun ketika mereka turun ke halaman dan melangkah keluar seketheng untuk mendapatkan kuda-kuda mereka, maka mereka telah melihat anak Ki Demang Wanda Karang yang juga sudah siap mengambil kudanya bersama para pengawalnya.

Agung Sedayu memandangnya sambil tersenyum. Namun iapun kemudian bertanya, “Begitu cepat?“

“Keperluanku sudah selesai,“ berkata anak Ki Demang itu dengan wajah yang terasa menjadi panas. Namun akhirnya diberanikan dirinya berkata, “Aku minta maaf. Aku belum mengenal kalian sebelumnya.“

“Ayahmu mengenal aku. Salamku buat Ki Demang Wanda Karang,“ berkata Agung Sedayu.

Anak Ki Demang itu mengerutkan keningnya. Menurut penglihatannya, umur Agung Sedayu tidak lebih banyak dari umurnya sendiri. Namun menurut Ki Tumenggung Resayuda, maka Agung Sedayu telah memiliki ilmu yang sulit dicari bandingnya.

Dengan nada rendah anak Ki Demang itu menjawab, “Terima kasih. Aku akan menyampaikannya kepada Ayah. Bagiku, yang terjadi adalah satu pengalaman yang sangat berharga.“

Agung Sedayu tersenyum. Kemudian ditepuknya bahu orang itu sambil berkata, “Aku pun telah minta diri. Tetapi aku tidak segera kembali ke Tanah Perdikan.“

“Kalian akan pergi ke mana?“ bertanya anak Ki Demang.

“Kami akan pergi ke Jati Anom,“ jawab Agung Sedayu.

Dengan demikian, maka mereka pun bersama-sama telah meninggalkan halaman istana. Ki Resayuda berdiri di depan gardu para prajurit yang bertugas sambil melambaikan tangannya.

Namun anak Ki Demang yang merasa bersalah itu dengan segera mengambil jalan lain. Katanya, “Kita berpisah di sini. Mudah-mudahan kita dapat bertemu lagi.“

Agung Sedayu tersenyum. Sementara itu dengan segan anak Ki Demang itu telah minta diri pula kepada Sekar Mirah dan Glagah Putih. Demikianlah mereka berpisah, meskipun sebenarnya mereka masih dapat menempuh jalan yang sama untuk beberapa saat.

Namun seperti yang dikatakan oleh anak Ki Demang, bahwa yang terjadi itu merupakan pengalaman yang sangat berharga. Apalagi Agung Sedayu, istrinya dan adik sepupunya itu tinggal di lingkungan tetangganya.

Sementara itu Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih telah berpacu menuju ke Jati Anom. Mereka telah mengambil jalan memintas meskipun agak sulit. Tetapi lebih dekat. Mereka tidak menyusuri jalan di sebelah Candi Prambanan. Tetapi mereka memanjat kaki Gunung Merapi yang landai. Memutar arah timur, dan selanjutnya mereka akan menuruni kaki di sebelah timur.

Ternyata mereka tidak menemui hambatan di perjalanan. Namun demikian, mereka memang harus berhenti untuk memberi kesempatan kuda-kuda mereka beristirahat, minum dan makan rerumputan segar di tanggul parit yang jernih.

Ketika dirasa bahwa kuda mereka telah cukup beristirahat, maka ketiganya telah melanjutkan perjalanan, langsung menuju ke Jati Anom.

Ketika Agung Sedayu sampai di padepokan kecil Kiai Gringsing, ia terkejut melihat suasana padepokan yang lengang. Dua orang cantrik yang tergesa-gesa menyongsongnya telah menerima kendali kuda mereka bertiga.

“Aku merasakan kelainan,“ berkata Agung Sedayu, “padepokan ini terasa sepi.“

“Kiai Gringsing sedang sakit,“ berkata cantrik itu.

“Guru sedang sakit?“ bertanya Agung Sedayu dengan jantung yang berdebaran.

Cantrik itu mengangguk.

“Sejak kapan?“ bertanya Agung Sedayu pula.

“Baru tiga hari ini,“ jawab cantrik itu.

“Bukankah Guru mempunyai segala macam obat untuk segala macam penyakit?“ bertanya Agung Sedayu pula.

Cantrik itu tidak menjawab. Namun kemudian katanya, “Marilah. Silahkan menghadap. Sakitnya agaknya tidak terlalu berat.“

Agung Sedayu termangu-mangu. Namun bertiga mereka pun telah menuju ke bangunan induk padepokan kecil yang hijau itu. Ketika mereka naik tangga bangunan induk padepokan itu, seorang cantrik yang lain telah menyongsongnya pula. Kemudian membawa mereka ke ruang dalam.

“Biarlah aku sampaikan kehadiran kalian kepada Kiai,“ berkata cantrik itu.

Tetapi ternyata Agung Sedayu mencegahnya. Iapun kemudian berkata, “Jangan. Biarlah aku melihatnya di dalam bilik Guru.“

Cantrik itu termangu-mangu. Namun ia mengenal dengan baik siapa Agung Sedayu itu, sehingga karena itu, maka katanya kemudian, “Baiklah. Silahkan masuk.“

Tetapi Agung Sedayu tidak akan memasuki bilik Kiai Gringsing bertiga dengan istri dan adik sepupunya. Tetapi istri dan adik sepupunya itu disuruhnya menunggu di pendapa, sementara Agung Sedayu sendiri kemudian memasuki bilik Kiai Gringsing yang sedang sakit.

Kedatangan Agung Sedayu memang mengejutkan Kiai Gringsing. Iapun telah bangkit dan duduk di bibir pembaringannya. Sementara Agung Sedayu mendekatinya sambil berkata, “Silahkan Guru berbaring saja jika Guru memang sedang sakit.“

Kiai Gringsing menggelengkan kepalanya. Sambil tersenyum ia berkata, “Tidak Agung Sedayu. Sakitku tidak seberapa.“

“Tetapi jika Guru merasa pening atau mual?“ bertanya Agung Sedayu.

Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Aku tidak merasa apa-apa. Tetapi apakah kau datang sendiri?“

“Tidak, Guru. Aku datang bersama Sekar Mirah dan Glagah Putih,“ jawab Agung Sedayu.

“Dimanakah mereka sekarang?“ bertanya Kiai Gringsing.

“Mereka berada di pendapa, Guru,“ jawab Agung Sedayu.

Kiai Gringsing yang nampak lemah dan pucat itu pun kemudian berdiri sambil berkata, “Aku akan menemui mereka.“

“Biarlah mereka datang kemari jika Guru menghendakinya,“ berkata Agung Sedayu.

Tetapi Kiai Gringsing menggeleng. Katanya, “Aku akan ke pendapa. Rasa-rasanya udara menjadi pengab jika aku terlalu lama berada di dalam bilikku.“

Agung Sedayu tidak dapat mencegahnya. Kiai Gringsing pun kemudian telah melangkah perlahan-lahan keluar dari dalam biliknya. Meskipun Kiai Gringsing itu berjalan sendiri tanpa dibimbing, namun nampak bahwa orang tua itu menjadi semakin lemah sekali.

“Guru nampak terlalu tua,“ berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.

Namun menurut perhitungan Agung Sedayu, Kiai Gringsing memang sudah sangat tua. Karena itu, maka kesehatannya telah menjadi semakin mundur.

Ketika Kiai Gringsing keluar dari ruang dalam, masuk ke pendapa, maka Sekar Mirah dan Glagah Putih telah bangkit menyongsongnya.

“Kiai,“ hampir berbareng keduanya berdesis.

Kiai Gringsing tersenyum. Sambil melangkah satu-satu ia berkata, “Duduklah. Aku tidak apa-apa.“

Sejenak kemudian, maka mereka pun telah duduk di pendapa, di atas tikar pandan putih berkotak-kotak biru.

Di tempat yang lebih terang, maka Kiai Gringsing justru nampak lebih pucat dan letih. Dengan demikian maka Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih mengetahui bahwa Kiai Gringsing memang benar-benar sakit.

Namun Kiai Gringsing masih juga menanyakan keselamatan perjalanan mereka dan orang-orang yang mereka tinggalkan di Tanah Perdikan Menoreh.

Agung Sedayu pun sempat menceritakan perjalanan mereka, bahwa mereka singgah sebentar di Mataram.

“Ada laporan yang penting kami sampaikan,“ berkata Agung Sedayu.

“Tentang apa?” bertanya Kiai Gringsing.

Agung Sedayu merasa ragu-ragu untuk mengatakannya, justru saat kesehatan Kiai Gringsing sedang menurun.

Namun agaknya Kiai Gringsing dapat membaca keragu-raguan Agung Sedayu, sehingga karena itu maka katanya, “Katakan Agung Sedayu. Apapun yang aku dengar tidak akan mempengaruhi keadaanku.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian telah menceritakan apa yang telah terjadi di Tanah Perdikan Menoreh dan Mataram.

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Bahkan Agung Sedayu pun telah menyampaikan isi pesan Panembahan Senapati kepada Ki Demang Sangkal Putung dan Swandaru. Pesannya untuk mengingatkan Untara yang telah mendapat perintah dari Panembahan Senapati lewat Sabungsari, yang saat itu kembali ke Jati Anom bersama Kiai Gringsing.

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. “Ternyata bahwa Madiun masih tetap bergerak. Kegagalan-kegagalan mereka, bahkan apa yang terjadi di Nagaraga, tidak membuat mereka menjadi jera.”

Bahkan tiba-tiba saja Kiai Gringsing bertanya, ” Apakah Pangeran Singasari telah kembali?“

Agung Sedayu menggeleng. Jawabnya, “Sepengetahuanku, Pangeran Singasari belum kembali ke Mataram. Tetapi penghubungnya sering mondar-mandir untuk memberikan laporan kepada Panembahan Senapati.“

“Apakah Panembahan Senapati memang belum memerintahkannya kembali bersama pasukannya?“ bertanya Kiai Gringsing.

“Aku tidak tahu Kiai. Aku tidak berani bertanya sampai sejauh itu,“ sahut Agung Sedayu.

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Agung Sedayu memang tidak akan berani bertanya tentang hal itu kepada Panembahan Senapati.

Karena itu, maka Kiai Gringsing pun kemudian berkata, “Baiklah. Kau agaknya tidak akan menanyakannya, kecuali jika Panembahan Senapati memberitahukan kepadamu.“

Namun Kiai Gringsing kemudian telah menyinggung pula kekosongan di Pajang, di samping pendudukan atas padepokan besar Nagaraga, yang tentu merupakan persoalan yang harus diselesaikan dengan baik dalam pertemuan yang akan diselenggarakan antara Panembahan Senapati dan Panembahan Madiun.

Agung Sedayu kemudian telah menyampaikan pula kepada Kiai Gringsing, bahwa Madiun agaknya akan mengambil langkah yang sama dengan Mataram. Memotong ranting dan dahan-dahannya sebelum menebang batangnya. Bahkan Madiun telah mempergunakan cara untuk memotong hubungan baik antara Mataram dengan lingkungan yang justru paling dekat.

“Itulah yang aku cemaskan,“ berkata Kiai Gringsing, “karena itu agaknya aku memang ingin berbicara dengan Swandaru.“

“Kiai juga akan pergi ke Sangkal Putung?“ bertanya Agung Sedayu.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dengan wajah yang pucat ia berkata, “Sebenarnya aku memang ingin pergi ke Sangkal Putung.“

“Kami mengerti Guru,“ sahut Agung Sedayu, “Guru sedang sakit.”

Kiai Gringsing mengangguk kecil. Katanya, “Jika kalian pergi ke Sangkal. Putung, ajak Swandaru datang kemari.“

Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya, “Ya Guru. Kami akan membawa Adi Swandaru menghadap Guru.“

“Tetapi aku tidak menyuruhmu sekarang pergi ke Sangkal Putung,“ berkata Kiai Gringsing kemudian.

Ternyata malam itu Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih bermalam di padepokan kecil Kiai Gringsing. Baru di keesokan harinya mereka akan pergi ke Sangkal Putung. Namun ketika matahari menyusup ke keremangan senja, mereka sempat pergi ke rumah Untara, dan kemudian langsung ke Banyu Asri menemui Widura.

Kepada Untara, Agung Sedayu menyampaikan pesan Panembahan Senapati serta gambaran keadaan terakhir. Jika Pajang tidak lagi merupakan selembar tirai bagi Mataram yang berhadapan dengan Madiun, maka Sangkal Putung harus mempersiapkan diri. Sementara pasukan Mataram yang berada di paling dekat dengan Sangkal Putung adalah pasukan Untara di Jati Anom.

Tetapi Untara pun tahu sifat sifat Swandaru. Karena itu, maka Untara pun berkata, “Jika persoalan menjadi semakin gawat, maka Panembahan Senapati hendaknya menjatuhkan perintah, siapakah yang harus memegang perintah tertinggi di daerah ini. Aku memang Senapati prajurit Mataram di sini. Tetapi Swandaru tidak berada di bawah perintahku, sehingga ia justru akan dapat menyusun kekuatan tersendiri. Aku yakin, bahwa ia cenderung untuk menempatkan pasukannya di bawah kendalinya, jika tidak ada perintah yang tegas dari Panembahan Senapati, atau aku akan mengambil langkah-langkah keprajuritan atas Sangkal Putung dan memaksanya tunduk di bawah perintahku.“

Agung Sedayu memang menjadi cemas jika perkembangan di Jati Anom dan Sangkal Putung tidak mendapat penggarisan yang tegas dari Mataram. Karena itu, maka katanya, “Bukankah Kakang Untara berhak mengusulkan atas persoalan itu kepada Panembahan Senapati? Bukan berarti bahwa Kakang menghendaki memegang pimpinan tertinggi di sini. Tetapi yang penting adalah ketegasan itu.”

Untara mengangguk. Katanya, “Aku akan melakukannya untuk menghindari persoalan yang timbul di sini.“

Sementara itu meskipun hanya sebentar, Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih sempat juga bertemu dengan para pemimpin dan senapati prajurit Mataram, di antara mereka adalah Sabungsari.

Dari rumah Untara yang masih saja dipergunakan oleh sekelompok prajurit Mataram, mereka telah pergi ke Banyu Asri. Tetapi mereka tidak dapat terlalu lama berada di rumah Widura, karena malam menjadi semakin malam, sehingga mereka pun segera mohon diri.

“Kami masih akan berada di Jati Anom untuk beberapa hari. Pada kesempatan lain, kami akan datang lagi,“ berkata Agung Sedayu.

“Bagaimana dengan Glagah Putih?“ bertanya Widura.

Glagah Putih memang ragu-ragu. Tetapi mengingat Kiai Gringsing yang sedang sakit, maka iapun berkata, “Aku akan bermalam di padepokan, Ayah. Besok aku akan datang lagi kemari. Kiai Gringsing sedang sakit.“

Widura mengangguk-angguk. Ternyata bahwa Widura masih belum mengetahui bahwa Kiai Gringsing sedang sakit. Karena itu maka katanya, “Jika demikian, besok aku akan menengoknya. Ternyata kami yang berada dekat dengan padepokan itu, tidak mengetahui bahwa Kiai Gringsing sedang sakit.“

“Silahkan Paman,“ berkata Agung Sedayu, “tetapi besok pagi kami akan pergi ke Sangkal Putung.“

Di perjalanan kembali ke padepokan, Sekar Mirah sempat bertanya kepada Agung Sedayu, “Kakang, kenapa Kakang Untara nampaknya tidak begitu senang terhadap Kakang Swandaru?“ “Bukan tidak senang Mirah,“ jawab Agung Sedayu, “tetapi sebagaimana kau ketahui, bahwa Kakang Untara adalah seorang prajurit. Benar-benar seorang prajurit, sehingga baginya semuanya harus jelas dan pasti. Apalagi dalam susunan kekuatan yang bersifat keprajuritan. Sedangkan kakakmu Swandaru adalah seorang anak Demang Sangkal Putung yang merasa memiliki tataran pemerintahan sendiri, yang tidak ada hubungannya dengan kekuasaan Kakang Untara sebagai seorang Senapati. Padahal dalam menyusun kekuatan yang bersifat keprajuritan, diperlukan satu tangan yang berwibawa. Itulah sebabnya, maka Kakang Untara telah menyatakan sikapnya. Sama sekali bukan sikap pribadinya.“

Sekar Mirah yang sedikit banyak juga mengenal sifat kakaknya, mengangguk-angguk. Ternyata iapun mengerti, bahwa jika keadaan menjadi semakin gawat, diperlukan tataran kepemimpinan yang jelas dan pasti.

Demikianlah, malam itu mereka bertiga telah bermalam di padepokan kecil di Jati Anom. Kiai Gringsing tidak terlalu banyak berbincang dengan mereka karena kesehatannya.

“Silahkan beristirahat Guru,“ berkata Agung Sedayu ketika dilihatnya Kiai Gringsing nampak letih di saat mereka duduk di ruang dalam sambil minum-minuman hangat.

“Aku memang memerlukan banyak waktu untuk beristirahat,“ berkata Kiai Gringsing.

“Bukankah Guru telah minum obat yang paling baik bagi keadaan Guru?“ bertanya Agung Sedayu.

Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Aku adalah seorang yang menggeluti obat-obatan sejak puluhan tahun. Aku mengenal segala macam obat untuk bermacam-macam penyakit. Tetapi aku tidak dapat mengingkari keterbatasan manusia. Apalagi orang yang sudah setua aku. Pangeran Benawa masih jauh lebih muda dari aku. Bahkan mungkin tidak terpaut banyak dari umurmu. Tetapi ia tidak dapat diselamatkan lagi umurnya oleh beberapa orang tabib istana. Tabib yang tentu juga memiliki kemampuan yang tinggi tentang pengobatan dan pengertian selain jenis obat-obatan.“

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Kiai Gringsing berkata, “Aku pun telah minum segala macam obat yang aku anggap akan dapat menolong keadaanku. Tetapi aku tidak menjadi berangsur baik di hari-hari ini. Aku tidak dapat mengatakan apa yang akan terjadi esok atau lusa.“

Sekilas ketegangan membayang di wajah Agung Sedayu. Namun dalam pada itu Kiai Gringsing berkata, “Tetapi bukankah itu wajar? Kita bukannya penentu di saat-saat terakhir. Betapa tinggi kemampuan seseorang, namun akhirnya harus diakui bahwa segalanya berada di tangan Yang Maha Agung juga.“

“Ya Guru,“ desis Agung Sedayu.

“Kita jangan mencoba untuk menentang kehendak-Nya. Jika kita menganggap bahwa keputusan-Nya akan dapat kita rubah, maka kita akan mengalami gangguan pada jiwa kita. Bahkan kecemasan-kecemasan dan kegelisahan yang sangat. Tetapi jika kita mengakui kuasa-Nya yang mutlak, dalam berusaha kita sudah pasrah, sehingga keputusan-Nya dapat kita terima dengan hati yang lapang. Tanpa kecemasan, ketakutan dan kegelisahan.“

Justru Agung Sedayu-lah yang menjadi gelisah. Demikian pula Sekar Mirah dan Glagah Putih yang ikut mendengarkan pembicaraan itu.

Namun kemudian Kiai Gringsing berkata, “Aku memang akan beristirahat. Istirahat bagi orang setua aku adalah salah satu usaha agar kesehatanku menjadi berangsur baik.”

Dengan tongkat di tangan, Kiai Gringsing berjalan meninggalkan ruang dalam memasuki biliknya, sementara Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih masih berbincang beberapa saat. Namun yang kemudian mereka perbincangkan adalah Kiai Gringsig itu sendiri.

Bagaimanapun juga keadaan Kiai Gringsing memang menimbulkan kecemasan. Yang dikatakannya telah mengingatkakan Glagah Putih kepada kata-kata yang diucapkan oleh Raden Rangga menjelang saat-saat terakhirnya. Namun Glagah Putih tidak mengatakannya kepada Agung Sedayu dan Sekar Mirah.

Menjelang tengah malam, maka ketiganya pun kemudian telah masuk ke dalam bilik yang disediakan bagi mereka masing-masing. Agung Sedayu dan Sekar Mirah di bilik sebelah kanan, sementara Glagah Putih berada di gandok bersama para cantrik. Di antara para cantrik memang ada yang sebaya dengan Glagah Putih.

Sesaat Glagah Putih teringat pembantu di rumah Agung Sedayu yang mempunyai kegemaran turun ke sungai, memasang dan membuka pliridan. Ternyata cantrik di padepokan Kiai Gringsing ada juga yang turun ke sungai di malam hari, sambil membawa kepis sebagaimana dilakukan oleh pembantu di rumah Agung Sedayu bersama dengan Glagah Putih sendiri.

Pagi-pagi sekali Glagah Putih telah sibuk bersama para cantrik. Sementara itu Agung Sedayu dan Sekar Mirah telah mandi pula dan duduk di pendapa.

Kiai Gringsing yang sedang sakit itu meskipun sudah terbangun, namun masih saja berada di dalam biliknya. Tetapi seorang cantrik telah menghidangkan wedang jahe yang hangat.

Ketika kemudian matahari terbit, serta setelah minum dan makan beberapa potong makanan, maka Agung Sedayu telah minta diri kepada Kiai Gringsing yang masih berada di dalam biliknya, untuk pergi ke Sangkul Putung.

“Sekar Mirah telah menjadi sangat rindu kepada orang tuanya dan kakaknya,” berkata Agung Sedayu.

Kiai Gringsing yang duduk di bibir pembaringannya tersenyum. Katanya, “Baiklah. Pergilah ke Sangkal Putung. Tetapi aku harap bahwa kalian akan kembali bersama Swandaru.”

“Baik Guru,” jawab Agung Sedayu, “aku akan memberitahukan kepada Adi Swandaru, bahwa Guru memanggilnya menghadap.”

Demikianlah, maka Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih telah meninggalkan padepokan kecil itu menuju ke Sangkal Putung. Memang sudah terdapat beberapa perubahan terjadi di sepanjang jalan antara Jati Anom dan Sangkal Putung. Namun di daerah Mataram mereka masih harus melalui jalan yang menikung tajam, kemudian menurun, melewati sebuah sungai yang meskipun tidak begitu lebar, tetapi berbatu-batu besar. Kemudian jalan memanjat naik dan mencapai ketinggian semula. Sedangkan di pinggir tikungan di dekat hutan, sebatang pohon randu alas masih tegak berdiri. Batangnya yang besar dan kokoh memang nampak perkasa, dan bahkan sedikit berkesan menakutkan. Seakan-akan batang kayu yang besar itu benar-benar rumah hantu yang disebut Gendruwo Bermata Satu.

Ketika mereka memasuki Sangkal Putung, maka terasa bahwa kademangan itu benar-benar sebuah kademangan yang subur dan terpelihara dengan baik. Jalur-jalur jalan dan parit-parit yang membelah kotak-kotak sawah memberikan warna yang khusus bagi kademangan itu.

Meskipun beberapa kademangan di sebelah-menyebelah telah berusaha meniru usaha yang tidak kenal lelah serta kerja keras Kademangan Sangkal Putung, namun masih nampak bahwa Kademangan Sangkal Putung masih juga memiliki kelebihan, justru karena di Sangkal Putung terdapat seorang Swandaru yang menyebut dirinya Swandaru Geni.

Sekar Mirah rasa-rasanya tidak sabar lagi menempuh perjalanannya yang lamban. Karena itu, maka iapun telah mempercepat lari kudanya. Sehingga ia telah berada di paling depan. Semakin dekat mereka dengan padukuhan induk, maka rasa-rasanya Sekar Mirah telah memasuki kembali medan permainannya di masa kanak-kanak.

Beberapa orang yang melihat kehadiran mereka tidak dengan cepat dapat mengenalinya. Jika seseorang kemudian mengenalinya sebagai Sekar Mirah, maka mereka tidak sempat menegurnya karena kuda Sekar Mirah berlari cepat. Mereka hanya dapat melambaikan tangan, atau Sekar Mirah-lah yang tanpa berhenti menyapa, “Marilah Bibi.” Atau, “Marilah Paman,” atau sebutan-sebutan yang lain.

Beberapa lama kemudian, ketiganya benar-benar telah memasuki padukuhan induk Kademangan Sangkal Putung. Dengan jantung yang berdebar-debar mereka langsung menuju ke rumah Ki Demang Sangkal Putung.

Kedatangan ketiga orang itu memang mengejutkan. Seisi rumah telah keluar menyongsong mereka. Swandaru ternyata masih juga berada di rumah. Meskipun ia sudah bersiap-siap untuk pergi ke padukuhan di sebelah yang sedang sibuk memperbaiki banjar padukuhannya, yang mulai rusak karena bahannya yang kurang baik. Bambu yang dipergunakan untuk kerangka atapnya tidak direndam lebih dahulu barang setengah tahun.

“Marilah, naiklah,” Swandaru mempersilahkan. Mereka bertiga pun segera naik ke pendapa. Tetapi Sekar Mirah-lah yang langsung masuk ke dalam rumahnya yang sudah lama ditinggalkannya. Pandan Wangi yang juga menyongsong mereka telah mengikutinya masuk ke dalam.

Sekar Mirah memang melepaskan kerinduannya kepada tempat tinggalnya di masa kanak-kanak. Bersama Pandan Wangi, maka iapun telah memasuki semua ruang, sampai ke dapur sekalipun.

“Bukan main,” berkata Sekar Mirah.

“Apa?” bertanya Pandan Wangi yang belum sempat mempertanyakan keselamatan Sekar Mirah serta mereka yang bersamanya menempuh perjalanan itu, serta mereka yang ditinggalkan di Tanah Perdikan.

“Semuanya telah berubah,” berkata Sekar Mirah, “tanganmu memang tangan yang trampil mengatur isi rumah ini. Tentu kau yang telah membuat rumah ini menjadi segar dan cerah seperti ini, sehingga karena itu, maka Kakang Swandaru akan kerasan tinggal di rumah terus-menerus.”

Sekar Mirah tersenyum. Sambil mencubit Pandan Wangi ia berkata, “Kau adalah seorang istri yang baik.”

Pandan Wangi berdesis perlahan. Katanya, “Tanganmu berbeda dengan tangan perempuan-perempuan lain. Jika kau mencubit, mungkin segumpal daging akan terkelupas.”

“Kau selalu menggodaku,” sahut Sekar Mirah. Tetapi ketika tangannya bergerak, Pandan Wangi telah bergeser menjauh.

“Dan ternyata kau dapat bergerak secepat loncatan tatit di langit,” desis Sekar Mirah.

Keduanya kemudian tertawa. Mereka melangkah kembali ke pendapa. Sementara sekali-sekali Sekar Mirah menegur pembantu-pembantu rumah itu yang pernah dikenalnya.

Ternyata di pendapa, suara tertawa Swandaru pun terdengar berkepanjangan. Setelah saling menanyakan keselamatan masing-masing, Swandaru sempat bertanya apakah Agung Sedayu sudah tidak takut lagi kepada Gendruwo Bermata Satu sekarang.

Beberapa saat kemudian, maka minuman dan makanan pun telah dihidangkan, sementara Agung Sedayu mulai menyinggung keadaan gurunya yang sakit.

“Jadi Guru sakit?” bertanya Swandaru, “Aku yang dekat tidak dikabarinya.”

“Aku pun tidak,” sahut Agung Sedayu, “secara kebetulan aku merasa didesak oleh keinginan untuk menengok Guru. Ternyata Guru sedang sakit. Tetapi agaknya sakitnya tidak begitu berat.”

“Sejak kapan Guru sakit?” bertanya Swandaru.

“Sejak tiga atau empat hari yang lalu,” jawab Agung Sedayu.

“Guru adalah seorang dukun yang baik yang mengenal ilmu pengobatan hampir sempurna. Apakah ia tidak mengobati dirinya sendiri?” bertanya Swandaru.

“Guru sudah mencoba beberapa jenis obat yang dianggapnya terbaik. Tetapi Guru menyadari, bahwa umurnya memang sudah menjadi semakin tua. Karena itu, maka ada sesuatu yang tidak dapat diatasinya dengan segala macam obat. Tetapi apabila kesempatan masih ada pada Guru, maka ia tentu akan sembuh,” berkata Agung Sedayu kemudian.

Swandaru mengangguk-angguk. Namun dengan nada rendah ia berkata, “Dengan sikap yang demikian, maka Guru agaknya kurang berusaha. Ia hanya menunggu kesempatan. Tetapi seharusnya kita-lah yang menangkap kesempatan itu. Dengan menunggu, maka biasanya kita akan terlambat. Juga Guru akan terlambat jika ia menunggu kesempatan itu datang.”

“Bukan begitu Swandaru,” berkata Agung Sedayu, “bukan berarti Guru tidak berusaha. Bukankah kita mengenal Guru? Kiai Gringsing yang tua namun yang jiwanya masih tetap bergelora?”

“Namun ketika umurnya menjadi semakin tua, Guru terdampar pada kelemahan sikap itu,” sahut Swandaru, “sebaiknya kita yang muda-muda ini mendorongnya untuk berjuang.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia masih juga berusaha menjelaskan, “Guru juga sudah berjuang dengan segenap kemampuan yang ada, Jika Guru berbicara tentang kesempatan, maka yang dimaksudkan adalah, bahwa Guru tidak akan mengingkari kenyataan apapun yang dapat terjadi.”

“Tetapi sebagian besar dari kenyataan tentang diri kita adalah di tangan kita sendiri. Kita-lah yang menentukan itu,” berkata Swandaru.

Agung Sedayu memang tidak ingin bertengkar dengan adik seperguruannya. Karena itu, maka iapun sekedar mengangguk-angguk saja.

Sementara itu, sebelum Agung Sedayu menyampaikan pesan Kiai Gringsing untuk memanggilnya menghadap, Swandaru justru telah berkata, “Besok aku akan menengok Guru.” Namun tiba-tiba saja ia menyambung, “Tetapi bukan maksudku untuk mendesak kalian agar segera meninggalkan Sangkal Putung. Jika kalian masih ingin tinggal di sini sampai lusa atau kapan pun, aku akan menunggu kesempatan berikutnya.”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Sebenarnya aku mendapat pesan dari Guru, Adi Swandaru diminta untuk menengoknya jika ada kesempatan. Tetapi sebelum aku mengatakannya, kau sudah menyatakan untuk pergi ke Jati Anom, menengok Guru.”

“Ada juga sentuhan getaran antara Guru dan muridnya,” berkata Swandaru. “Baiklah. Aku menurut, kapan saja kita akan pergi ke Jati Anom.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun kemudian sambil berpaling kepada Sekar Mirah ia berkata, “Bagaimana jika kita besok pergi ke Jati Anom? Bukan berarti kita tidak akan kembali kemari lagi dan mungkin bermalam di sini satu dua malam.”

Sekar Mirah mengerti maksud Agung Sedayu. Karena itu, maka iapun mengangguk. Katanya, “Baiklah Kakang. Besok kita pergi ke Jati Anom. Jika Kakang Swandaru tidak memerlukan waktu yang panjang untuk menjumpai Kiai Gringsing, maka kita akan dapat kembali di sore hari. Tetapi jika perlu, kita akan dapat bermalam lagi di Jati Anom.”

“Baiklah,” berkata Swandaru, “besok kita pergi. Hari ini aku akan dapat melakukan pekerjaan yang sudah disiapkan untuk dikerjakan, serta memberikan pesan tentang kerja besok dan lusa jika kita akan bermalam di Jati Anom.”

Demikianlah, hari itu Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih akan bermalam di Kademangan Sangkal Putung. Mereka sempat berbicara panjang lebar tentang kademangan itu dengan Ki Demang, sementara Swandaru bersiap-siap untuk pergi ke beberapa padukuhan di kademangannya yang besar.

“Bagaimana jika aku ikut?” bertanya Agung Sedayu kemudian.

“Marilah. Kau akan dapat melihat perkembangan kademangan ini,” jawab Swandaru.

Bersama Glagah Putih, maka Agung Sedayu pun telah mengikuti Swandaru menyusuri jalan kademangan, mengunjungi beberapa padukuhan.

Dengan demikian maka Agung Sedayu dan Glagah Putih dapat melihat kemajuan-kemajuan yang telah dicapai oleh Sangkal Putung. Hal-hal yang mungkin akan dapat juga ditrapkan di Tanah Perdikan Menoreh. Usaha untuk memperbanyak hasil sawah dengan jaringan air yang semakin baik dan tertib. Jaringan jalan yang lebih merata di seluruh kademangan, serta hubungan dengan kademangan-kademangan tetangga. Pasar yang ramai dan kedai-kedai yang tersebar, yang bukan saja menjual makanan dan minuman, tetapi juga kebutuhan sehari-hari. Bahkan kedai-kedai yang menjual perkakas rumah tangga dan alat-alat pertanian.

“Kademangan ini menjadi semakin maju,” berkata Agung Sedayu.

“Aku berusaha agar kademangan ini bukan saja menjadi kademangan yang subur. Tetapi juga dapat menjadi pusat perdagangan dari beberapa kademangan tetangga. Pasar yang ada di kademangan-kademangan lain, serta menjadi pusat tukar menukar barang dan jual beli hasil bumi,” berkata Swandaru.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Memang ada beberapa perbedaan letak dan lingkungan. Tanah Perdikan Menoreh memang agak terkurung oleh pebukitan di sebelah barat dan Kali Praga di sebelah timur, sehingga hubungan dengan tetangga-tetangganya tidak begitu erat seperti Kademangan Sangkal Putung, meskipun Ki Gede berusaha untuk selalu mengadakan dan memelihara, bahkan meningkatkan hubungan yang telah ada. Agung Sedayu di Tanah Perdikan juga mempunyai kebiasaan saling mengunjungi dengan tetangga-tetangganya, meskipun masih juga terbatas. Tetapi agaknya sedikit sulit bagi Tanah Perdikan Menoreh untuk dapat menjadi pusat perdagangan di sebelah barat Kali Praga dan di sebelah timur perbukitan, meskipun dapat juga dicoba.

Terlintas di dalam angan-angan Agung Sedayu, bahwa jalan-jalan di Tanah Perdikan Menoreh akan menjadi sangat penting artinya. Juga alat-alat penyeberangan di Kali Praga.

“Bukit-bukit itu harus dapat ditembus dengan jalan-jalan yang tidak terlalu sulit dilalui. Dan rakit-rakit pun harus menjadi semakin banyak dan dengan pelayanan yang baik,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. Namun orang-orang Tanah Perdikan tidak akan dapat berbicara banyak, jika banjir sedang mengalir di Kali Praga itu. Hubungan dari seberang ke seberang seakan-akan telah terputus sama sekali.

Demikianlah, Agung Sedayu dan Glagah Putih telah melihat banyak hal yang berarti bagi Tanah Perdikan. Swandaru benar-benar seorang yang telah bekerja keras bagi kademangannya.

Sementara itu, anak-anak mudanya pun telah mengikuti langkah-langkahnya. Para pengawal dan para bebahu selalu menjalankan tugas mereka sebaik-baiknya.

Dalam pada itu, Swandaru memang telah memberikan pesan kepada para pemimpin anak-anak muda dan para pengawal di padukuhan-padukuhan, agar mereka melakukan segala rencana sebaik-baiknya meskipun Swandaru tidak ada di kademangan.

“Aku akan pergi barang satu dua hari,” berkata Swandaru kepada mereka.

Agaknya anak-anak muda itu telah memiliki kemampuan untuk bekerja sendiri dengan sebaik-baiknya tanpa menunggu perintah. Jika rencana telah tersusun dan disetujui oleh beberapa pihak yang menentukan, maka rencana itu akan dapat berjalan dengan baik.

Karena itu, maka Swandaru tidak perlu merasa cemas untuk meninggalkan kademangannya. Segala sesuatunya akan dapat berjalan dengan lancar.

Ketika Swandaru sudah merasa cukup, maka mereka pun telah kembali ke Kademangan. Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih ternyata mempunyai banyak waktu untuk berbicara tentang banyak hal dengan Ki Demang, Swandaru dan Pandan Wangi, setelah mereka membenahi diri dan makan di ujung malam.

Malam itu, mereka telah bermalam di Sangkal Putung. Terasa betapa tenangnya kademangan itu di malam hari. Pada saat-saat tertentu terdengar suara kentongan di gardu-gardu induk. Menjelang tengah malam terdengar suara kothekan para peronda di sepanjang jalan. Anak-anak muda yang bertugas telah berkeliling menyusuri jalan-jalan di padukuhan-padukuhan. Tugas keliling dengan kothekan itu mereka ulangi lagi menjelang dini hari, sebelum anak-anak muda itu meninggalkan gardu-gardu.

Rasa-rasanya memang tidak akan ada kesempatan bagi mereka yang berniat jahat di Kademangan Sangkal Putung. Selain gardu-gardu tersebar hampir di semua mulut lorong, maka anak-anak muda yang bertugas pun melakukan tugas mereka dengan sebaik-baiknya. Bahkan yang berada di gardu-gardu di setiap malam, bukan saja anak-anak muda yang bertugas, tetapi banyak anak-anak muda yang datang ke gardu-gardu sekedar untuk berkelakar dan bahkan membicarakan beberapa soal yang perlu bagi padukuhan mereka. Dengan demikian maka gardu-gardu di padukuhan itu rasa-rasanya tidak akan pernah kosong.

Demikian pula gardu yang ada di depan pintu gerbang Kademangan. Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih masih saja mendengar suara tertawa dan kelakar yang segar di gardu itu lewat tengah malam. Bahkan ketika mereka terbangun menjelang dini hari.

Pagi-pagi benar Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih telah bangun dan pergi ke pakiwan. Namun ternyata ketika mereka selesai bersiap-siap, Swandaru dan Pandan Wangi telah sempat menyiapkan makan pagi buat mereka sebelum mereka berangkat ke Jati Anom.

Ketika matahari kemudian mulai naik, Swandaru dan Pandan Wangi pun telah mohon diri kepada Ki Demang. Demikian pula Agung Sedayu, Glagah Putih dan Sekar Mirah.

“Jika Guru tidak menahan, aku akan kembali sore nanti,” berkata Swandaru.

“Kau tidak perlu tergesa-gesa,” berkata Ki Demang, “tungguilah gurumu barang satu malam. Kehadiran murid-muridnya akan memberikan hiburan bagi orang tua itu.”

Demikianlah, maka sejenak kemudian mereka pun telah berangkat menuju ke Jati Anom,

Namun satu hal yang mendapat perhatian khusus dari Sekar Mirah adalah, bahwa Pandan Wangi nampaknya terlalu berhati-hati. Ia tidak nampak lincah sebagaimana biasanya. Ia tidak dengan tangkas meloncat ke punggung kuda. Tetapi rasa-rasanya Pandan Wangi baru mulai belajar naik kuda. Kudanya pun bukan kuda yang terbiasa dipergunakan, tetapi ia mempergunakan kuda yang lebih kecil dan lamban.

Tetapi Sekar Mirah masih belum bertanya sesuatu, meskipun perhatiannya tidak terlepas dari masalah itu. Bahkan ketika mereka mulai dengan perjalanan mereka, nampaknya Swandaru-lah yang berusaha menghambat agar perjalanan mereka tidak terlalu cepat.

“Apakah Pandan Wangi sedang sakit?” bertanya Sekar Mirah di dalam hatinya.

Namun akhirnya Sekar Mirah mulai meraba-raba. Apakah sebabnya Pandan Wangi tidak dapat berbuat selincah dan setangkas biasanya. Bahkan nampak terlalu berhati-hati dan ragu-ragu.

Perjalanan mereka memang bukan perjalanan yang cepat. Kuda-kuda mereka merangkak terlalu lamban. Kuda Glagah Putih yang tegar rasa-rasanya tidak sabar menunggui kawan-kawannya yang malas dan merangkak seperti seekor siput.

Ketika kemudian Swandaru bergeser di sebelah Agung Sedayu untuk mengatakan sesuatu tentang parit-paritnya yang agak terganggu, maka Sekar Mirah mempergunakan kesempatan itu untuk berkuda di sisi Pandan Wangi. Dengan nada lembut ia bertanya, “Kau tidak membawa sepasang pedangmu?”

Pandan Wangi tersenyum. Ia memang tidak menggantungkan pedangnya di pelana kudanya sebagaimana sering dilakukannya jika pedang itu tidak melekat di lambungnya.

“Kenapa?” desak Sekar Mirah.

“Bukankah kita tidak akan pergi berperang?” bertanya Pandan Wangi.

“Tetapi siapa tahu hal itu akan terjadi di perjalanan,” jawab Sekar Mirah.

Pandan Wangi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku tidak akan bertempur, apapun yang terjadi. Aku percayakan keselamatanku sepenuhnya kepada Kakang Swandaru.”

Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba saja wajahnya menjadi cerah. Dipegangnya tangan Pandan Wangi erat-erat sambil bertanya, “Jadi, benar dugaanku?”

“Apa yang kau duga?” bertanya Pandan Wangi pula.

“Tuhan Maha Agung,” desis Sekar Mirah, “agaknya kau telah menerima kurnia-Nya.” Pandan Wangi mengangguk sambil tersenyum. Katanya dengan suara lirih, “Kurnia yang sangat berharga bagiku.”

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba saja kepalanya tertunduk. Bahkan terasa pelupuknya menjadi hangat.

“Mirah,” desis Pandan Wangi, “kenapa?”

Sekar Mirah mengusap matanya yang basah. Namun iapun segera mengangkat wajah sambil mencoba tersenyum, “Aku iri hati kepadamu Pandan Wangi. Kau telah menerima kurnia-Nya. Aku masih harus memohon kepada-Nya.”

“Tetapi bukankah aku memang bersuami lebih dahulu daripadamu? Dan bukankah kau yakin, bahwa pada saatnya kau pun akan menerima juga kurnia itu?” bertanya Pandan Wangi.

Sekar Mirah mengangguk. Dengan nada rendah ia berkata, “Aku memang yakin. Karena itu, aku tidak berhenti memohon.”

Pandan Wangi-lah yang kemudian mengguncang tangan Sekar Mirah sambil berkata, “Yakinkan dirimu.”

Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi ia menarik nafas dalam-dalam. Agung Sedayu dan Swandaru tidak mengerti apa yang telah dibicarakan oleh Pandan Wangi dan Sekar Mirah karena mereka berada di depan. Sementara itu Glagah Putih pun tidak segera mengerti maksudnya. Tetapi Glagah Putih merasakan getaran perasaan yang telah menyentuh jantung Sekar Mirah.

Ketika mereka mendekati Jati Anom, maka Sekar Mirah telah berusaha untuk menghapus sentuhan di jantungnya itu. Ia berusaha untuk menyembunyikan perasaannya. Namun sebenarnyalah bahwa ia menginginkannya untuk juga mendapatkan kurnia sebagaimana Pandan Wangi, yang telah mengandung itu. Namun sebagaimana dikatakannya, ia memang yakin bahwa pada saatnya iapun akan mendapatkannya.

Dalam pada itu, iring-iringan yang maju perlahan-lahan itu kemudian telah memasuki Jati Anom. Berlima mereka langsung menuju ke padepokan kecil tempat tinggal Kiai Gringsing dengan beberapa orang cantriknya.

Beberapa saat kemudian, maka iring-iringan kecil itu telah memasuki regol padepokan. Para cantrik yang melihat kedatangan mereka segera menyambutnya. Mereka telah menerima kuda-kuda para tamu itu dan mengikatnya di bawah pohon-pohon yang rindang.

Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Swandaru diantar oleh seorang cantrik telah langsung masuk ke dalam bilik Kiai Gringsing, sementara yang lain dipersilahkan duduk dan menunggu di pendapa.

Kiai Gringsing memang sedang berbaring di pembaringannya. Kedatangan kedua orang muridnya itu memang benar-benar membuatnya gembira. Rasa-rasanya orang tua itu telah menunggu untuk waktu yang lama, agar kedua muridnya itu dapat datang bersama-sama.

Meskipun Agung Sedayu dan Swandaru menahannya agar Kiai Gringsing tetap berada di pembaringannya, namun ternyata bahwa Kiai Gringsing ingin bangkit dari pembaringannya itu dan keluar dari biliknya, untuk menerima murid-muridnya beserta istri-istri mereka di pendapa.

“Aku tidak apa-apa,” berkata orang tua itu, “jika aku selalu saja berbaring, maka aku justru akan menjadi pening.”

Agung Sedayu dan Swandaru tidak dapat mencegahnya. Bahkan mereka telah membantu Kiai Gringsing berjalan ke pendapa.

Tetapi Kiai Gringsing itu berkata, “Aku dapat berjalan dengan bantuan tongkatku ini.”

Agung Sedayu dan Swandaru hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Namun sebenarnyalah bahwa Kiai Gringsing dapat berjalan sendiri dengan bantuan tongkatnya.

Demikianlah, maka sejenak kemudian mereka telah duduk di pendapa. Para cantrik telah menghidangkan minuman hangat dan beberapa potong makanan yang telah mereka buat sendiri. Makanan dari ketan yang dipetiknya dari sawah sendiri pula.

Untuk beberapa saat Kiai Gringsing sempat menanyakan keselamatan mereka di perjalanan dan mereka yang ditinggalkan. Baru kemudian mereka berbicara tentang padepokan kecil itu, serta tentang keadaan Kiai Gringsing sendiri.

“Guru tidak boleh begitu saja menyerah kepada penyakit yang Guru derita sekarang ini,” berkata Swandaru.

Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Aku memang tidak menyerah. Aku sudah berusaha.”

“Apakah dengan demikian keadaan Guru menjadi lebih baik?” bertanya Swandaru.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya pula, “Aku sudah berusaha sejauh dapat aku lakukan. Tetapi bukanlah semuanya tergantung kepada Yang Maha Agung?”

“Guru terlalu pasrah, sehingga Guru kurang berusaha,” berkata Swandaru.

Kiai Gringsing tersenyum pula sambil menggelengkan kepalanya. Katanya, “Semua usaha sudah dilakukan. Tetapi bukankah kita tidak akan dapat melawan kenyataan? Kita memang merupakan bagian dari penentu kenyataan itu sendiri. Tetapi penentu yang terakhir adalah Yang Maha Agung itu juga akhirnya.”

“Tetapi sebelum kita sampai kesana, maka kita harus berjuang dan tidak kenal menyerah,” berkata Swandaru, “karena itu, sebaiknya Guru juga melakukannya. Guru hendaknya mencoba beberapa jenis obat terbaik yang Guru pahami. Selama ini Guru telah banyak mengobati orang lain. Karena itu maka Guru tentu akan dapat mengobati diri sendiri.”

Kiai Gringsing masih saja tersenyum. Ia mengenal betul watak muridnya itu. Karena itu, maka ia tidak membantah, karena dengan demikian maka sikap Swandaru justru akan bertambah keras.

Dengan demikian maka Kiai Gringsing yang sakit itu mengangguk-angguk sambil berdesis, “Kau benar Swandaru. Aku akan berusaha tanpa mengenal menyerah. Tentu saja sejauh kemampuan yang ada padaku.”

Swandaru mengerutkan keningnya. Namun ia tidak mengatakan apa-apa lagi, meskipun nampak bahwa ia kurang puas dengan jawaban gurunya yang masih juga bernada pasrah itu.

Tetapi Kiai Gringsing-lah yang kemudian mengalihkan pembicaraan. Dengan suara berat ia bertanya kepada Agung Sedayu, “Apakah kau sudah menceritakan peristiwa-peristiwa yang berturut-turut terjadi di Tanah Perdikan Menoreh dalam hubungannya dengan Mataram dan Madiun?”

Agung Sedayu mengangguk kecil. Katanya, “Sudah Guru. Aku sudah menceritakan semuanya yang kami alami di Tanah Perdikan, dan yang berhubungan dengan kegiatan beberapa orang di Madiun. Aku sudah menceritakan usaha beberapa orang yang dengan sengaja ingin menumbuhkan kebencian dan perpecahan. Bahkan usaha-usaha untuk dengan langsung mempengaruhi ketenangan hidup sehari-hari di Tanah Perdikan Menoreh.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Nah Swandaru. Hal seperti itu akan dapat mereka lakukan pula di sini. Di Jati Anom dan di Kademangan Sangkal Putung. Karena itu, maka kita semuanya memang harus berhati-hati menghadapi keadaan yang menjadi semakin gawat. Apalagi sepeninggal Pangeran Benawa.”

Swandarupun mengangguk-angguk pula. Katanya, “Agaknya mereka tidak akan datang ke Sangkal Putung, Guru. Mereka tentu dapat menilai keadaan. Sangkal Putung sekarang benar-benar sudah mapan, dan mereka menyadari bahwa mereka tidak akan dapat menyusup ke dalamnya. Selebihnya, Sangkal Putung adalah sebuah rumah yang pintu-pintunya terbuka, nampak terang sampai kesudut-sudutnya. Sementara Tanah Perdikan Menoreh masih dibayangi oleh lingkungan yang seakan-akan sulit untuk dijamah. Hutan, lereng pegunungan dan rawa-rawa. Tempat-tempat seperti itu memang dapat dijadikan landasan untuk melakukan tindakan-tindakan yang tidak menguntungkan bagi lingkungan itu. Meskipun di Sangkal Putung masih juga terdapat hutan-hutan yang sudah ditangani menjadi daerah perburuan maupun hutan-hutan yang masih lebat, tetapi lingkungannya terasa lebih terang dan selalu disentuh oleh tangan-tangan para petani, anak-anak muda dan pengawal. Baik yang sedang bekerja di sawah dan pategalan, maupun mereka yang sedang meronda.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Pandan Wangi hanya menundukkan kepalanya saja sebagaimana Sekar Mirah. Agung Sedayu mendengarkan keterangan adik seperguruannya itu dengan sungguh-sungguh. Sedangkan Glagah Putih mendengar keterangan Swandaru itu dengan dahi yang berkerut. Menurut penglihatannya, yang dikatakan oleh Swandaru itu memang benar. Di Tanah Perdikan Menoreh memang masih terdapat tempat-tempat yang seakan-akan tersembunyi. Sedangkan di Sangkal Putung sudah tidak ada lagi. Jika terdapat hutan di Sangkal Putung, maka di pinggir hutan itu terdapat padang perdu yang sempit. Kemudian sawah atau pategalan terbentang sampai ke batas padang perdu itu. Bahkan rasa-rasanya orang-orang Sangkal Putung telah menjadi terlalu akrab dengan hutan-hutannya, meskipun hutan-hutan yang lebat dan dihuni oleh binatang-binatang buas sekalipun.

Meskipun demikian, terasa ada sesuatu yang aneh di telinganya. Yang diucapkan Swandaru itu seakan-akan telah menggelitik hatinya.

“Apa yang telah menyentuh perasaanku itu?” bertanya Glagah Putih kepada diri sendiri.

Dalam pada itu Swandaru pun berkata selanjutnya, “Karena itu Guru, Guru tidak usah merasa cemas. Kami akan dapat menjaga diri. Selama ini Sangkal Putung tidak pernah mengalami goncangan-goncangan yang berarti.”

“Ya,” jawab Kiai Gringsing, “agaknya memang demikian. Tetapi kali ini aku ingin memberikan pesan kepadamu, bahwa persoalan antara Madiun dan Mataram dapat berkembang menjadi letupan-letupan yang tidak dikehendaki oleh kedua belah pihak, justru karena tingkah laku beberapa orang saja. Baik orang-orang Madiun maupun orang-orang Mataram sendiri. Karena itu, maka kau perlu menjadi lebih berhati-hati menghadapi keadaan ini. Pangeran Singasari mungkin dapat dikatakan berhasil menguasai padepokan Nagaraga. Tetapi apakah yang dilakukannya bukan seperti mengguncang semut di sarangnya? Jika sarang itu dikuasai oleh pihak lain, maka semut itu akan berserakan dan merayap menyebar ke segenap arah.”

Swandaru tersenyum. Katanya, “Tidak ada yang perlu dicemaskan di Sangkal Putung.”

“Aku mengerti Swandaru. Tetapi keadaan yang meningkat semakin gawat, memerlukan peningkatan kewaspadaan,” berkata Kiai Gringsing.

“Kakang,” tiba-tiba terdengar Pandan Wangi menyela, “maksud Kiai Gringsing adalah, bahwa kita harus selalu mengingat kemungkinan bersiaga, tetapi kadang-kadang ada satu dua hal yang dapat terjadi diluar perhitungan kita.”

Swandaru tertawa pendek. Tetapi iapun kemudian menjawab, “Baiklah. Aku akan memperingatkan khususnya para pengawal untuk lebih berhati-hati. Aku mengerti, bahwa kesiagaan Sangkal Putung masih dapat ditingkatkan.”

“Selain kesiagaan, Swandaru,” berkata Kiai Gringsing, “kau harus memperingatkan semua penghuni di Sangkal Putung untuk tidak segera mempercayai keterangan apapun juga, apalagi yang sumbernya belum jelas. Ini merupakan senjata yang sangat berbahaya bagi mereka yang ingin memperlemah kedudukan Mataram.”

Swandaru mengangguk-angguk. Iapun telah mendengar dari Agung Sedayu tentang hal tersebut di Tanah Perdikan Menoreh. Kepada gurunya ia berkata, “Aku akan melakukannya Guru. Untunglah bahwa orang-orang Sangkal Putung lebih mempercayai aku daripada orang lain.”

“Syukurlah,” berkata Kiai Gringsing, “mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu di Sangkal Putung, Jati Anom dan Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan di Mataram dan seluruh wilayahnya. Sementara itu kekosongan di Pajang pun segera dapat diisi tanpa menimbulkan persoalan baru.”

“Sebagian tergantung dari kebijaksanaan Panembahan Senapati,” berkata Swandaru, “jika Panembahan Senapati memerintah dengan bijaksana, maka tentu tidak akan terjadi perlawanan dimanapun juga. Termasuk pemecahan kekosongan di Pajang.”

“Ya,” desis Kiai Gringsing, “tetapi kadang-kadang kebijaksanaan seseorang berbeda dengan orang lain. Yang dianggap bijaksana oleh Panembahan Senapati, mungkin justru sebaliknya dengan anggapan Panembahan Madiun.”

“Tetapi yang berwenang membuat kebijaksanaan tentang kekosongan di Pajang bukankah Panembahan Senapati?” bertanya Swandaru.

Kiai Gringsing mengangguk. Jawabnya, “Demikianlah seharusnya. Jika ada sikap lain itulah yang dapat menimbulkan persoalan.”

“Mataram cukup kuat,” desis Swandaru.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah menduga bahwa sikap Swandaru akan berbeda dengan sikap Agung Sedayu, yang lebih banyak menelusuri kemungkinan penyelesaian dengan baik. Bukan dengan perhitungan keseimbangan kekuatan saja.

Tetapi Kiai Gringsing tidak menjawab.

Dalam pada itu, maka Kiai Gringsing pun justru berkata, “Nah, sebaiknya kalian beristirahat. Bukankah kalian akan bermalam di sini?”

Yang menjawab adalah Pandan Wangi, “Ya Kiai. Kami akan bermalam di sini, meskipun hanya satu malam.”

Swandaru tertawa mendengar jawaban istrinya. Katanya, “Pandan Wangi memang memerlukan suasana yang lain dari suasananya sehari-hari di Sangkal Putung.”

Kiai Gringsing pun tersenyum. Iapun kemudian mempersilahkan tamu-tamunya untuk menikmati hidangan yang telah disuguhkan oleh para cantrik.

Namun dalam pada itu Agung Sedayu berkata, “Guru, jika Guru merasa terlalu letih duduk bersama kami, silahkan Guru beristirahat pula.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku justru merasa letih berbaring dan merenung di dalam bilik itu. Di sini aku mempunyai banyak kawan berbincang. Tetapi barangkali Sekar Mirah dan Pandan Wangi ingin membenahi pakaiannya atau barangkali keperluan yang lain. Atau kalian bersama-sama ingin berjalan-jalan melihat-lihat padepokan kecil ini? Kita mempunyai banyak waktu untuk berbincang-bincang. Dalam saat-saat seperti ini rasa-rasanya aku ingin banyak berbicara dengan kalian. Tetapi sudah barang tentu tidak perlu sekarang. Jika kalian bermalam di sini, maka malam nanti kita dapat berbicara panjang.”

“Ya Guru,” jawab Agung Sedayu, “rasa-rasanya kami memang ingin melihat-lihat padepokan ini.”

“Marilah, aku antar kalian ke kebun yang oleh para cantrik ditanami berbagai macam sayuran, serta blumbang tempat para cantrik memelihara ikan,” berkata Kiai Gringsing.

“Tetapi sebaiknya Guru tidak terlalu banyak bergerak,” berkata Agung Sedayu.

Kiai Gringsing tersenyum sambil menjawab, “Tidak apa-apa. Aku memang perlu berjalan-jalan. Aku pun melakukannya setiap pagi pagi sebelum matahari terbit. Jika aku berada di dalam bilik saja, maka rasa-rasanya sakitku justru bertambah parah.”

Agung Sedayu memang tidak dapat mencegahnya. Karena itu, maka mereka pun telah meninggalkan pendapa. Diiringi oleh dua orang cantrik yang sehari-hari merawat Kiai Gringsing, mereka berjalan-jalan menuju ke kebun belakang.

Meskipun Kiai Gringsing nampak letih, tetapi wajahnya menunjukkan kegembiraannya. Bahkan ia bercerita tentang usahanya untuk mencoba mengembangkan jenis pohon buah-buahan yang banyak digemari orang. Bukan saja jika buahnya sudah matang, tetapi sebelum matang pun buahnya dapat dipergunakan untuk masak.

Ketika mereka melihat bagian kebun yang ditumbuhi oleh puluhan pohon nangka, serta buahnya yang lebat melekat di batangnya, maka para murid Kiai Gringsing itu mengangguk-angguk sambil mengagumi ketekunan para cantrik memelihara pohon-pohon itu. Bahkan seluruh tanaman yang ada di kebun dan di halaman. Sementara itu di bagian lain para cantrik juga menanam pohon sukun yang telah menjadi semakin besar, dan pada saat itu sedang berbuah lebat.

Tetapi agaknya Kiai Gringsing tidak dapat mengantar tamu-tamunya berkeliling seluruh lingkungan padepokan. Karena itu, maka iapun telah membawa tamu-tamunya itu ke pinggir blumbang. Sebuah gubug kecil telah didirikan di pinggir blumbang itu.

“Nah,” berkata Kiai Gringsing, “aku akan menunggu kalian di sini. Jika kalian masih akan berjalan-jalan di padepokan ini, biarlah cantrik ini mengantarkan kalian melihat-lihat.”

“Baik Guru,” jawab Agung Sedayu, “silahkan Guru beristirahat di gubug ini.”

“Hampir setiap hari aku berada di sini di sore hari, sambil melihat-lihat cantrik yang memelihara tanaman dan ikan di belumbang itu,” jawab Kiai Gringsing.

Dalam pada itu, maka Agung Sedayu dan Swandaru suami istri serta Glagah Putih telah melanjutkan melihat-lihat padepokan kecil itu, diantar oleh seorang cantrik.

Mereka tidak untuk pertama kali melihat-lihat halaman dan kebun di padepokan itu. Mereka telah melakukannya berulang kali. Namun setiap kali mereka melihat-lihat kebun itu, rasa-rasanya mereka melihat jenis-jenis tanaman yang baru.

Di sela-sela batang ketela pohon yang subur, mereka melihat lanjaran kacang yang berjajar panjang. Pohon-pohon kacang panjang merambat di lanjaran bambu seakan-akan menggapai. Di beberapa batang telah bergayutan kacang panjang yang masih muda.

Sedangkan di bagian lain mereka melihat kebun bayam yang hijau segar.

“Kita akan melihat sanggar,” tiba-tiba saja Swandaru berdesis.

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Katanya, “Apakah kita tidak minta ijin kepada Guru lebih dahulu?”

“Bukankah kita hanya melihat-lihat saja?” jawab Swandaru.

Agung Sedayu termangu-mangu. Iapun kemudian berpaling kepada cantrik yang mengantar mereka. Namun cantrik itu tersenyum sambil berkata, “Jika hanya ingin melihat-lihat, silahkan. Aku akan mengantar kalian. Bukankah kalian murid Kiai Gringsing yang terpercaya?”

“Terima kasih,” sahut Agung Sedayu, “kami memang hanya akan melihat-lihat saja. Kami pernah berlatih di tempat itu bersama Guru. Dan tiba-tiba saja memang timbul keinginan untuk melihatnya.”

Demikianlah, maka mereka pun telah mengitari kebun belakang dan mendekati longkangan di antara beberapa barak kecil di padepokan itu. Diantar oleh seorang cantrik, mereka memasuki satu di antara bangunan yang ada di padepokan itu. Sanggar.

Demikian mereka membuka pintu dan melangkah masuk, maka jantung mereka terasa berdebar-debar. Sanggar itu nampak teratur rapi. Namun mereka pun melihat, bahwa agaknya sanggar mereka itu sudah agak lama tidak dipergunakan.

“Apakah Guru sudah lama tidak mempergunakan sanggar ini?” bertanya Agung Sedayu.

Cantrik itu mengangguk. Katanya, “Sudah lebih dari sepuluh hari. Sejak Guru merasa badannya tidak enak. Tetapi kami diperkenankan mengadakan latihan-latihan khusus di sini.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun timbul juga pertanyaan di hatinya, “Jika Guru memberikan latihan-latihan kecil kepada para cantrik, sampai sejauh manakah ilmu yang diberikan kepada mereka?”

Tetapi pertanyaan itu hanya dapat diberikan kepada Kiai Gringsing sendiri.

Sejenak mereka berada di dalam sanggar itu. Mereka telah melihat-lihat benda-benda yang ada di dalamnya, serta berbagai jenis senjata yang tersangkut di dinding sanggar. Meskipun tempat itu sudah lebih dari sepuluh hari tidak dipergunakan oleh Kiai Gringsing, namun semua yang ada di sanggar itu nampak bersih dan terawat. Sedangkan para cantrik agaknya hanya mempergunakan bagian-bagian yang paling sederhana dari sanggar itu tanpa merubah tatanannya.

Swandaru pun merenungi beberapa jenis senjata yang ada di dalam sanggar itu. Namun bagi Swandaru, tidak ada senjata yang lain yang sesuai kecuali cambuknya. Selain karena sejak semula ia telah mempergunakan senjata jenis itu, juga karena Gurunya pun disebut Orang Bercambuk, maka cambuknya telah disulaminya pula dengan karah-karah baja, sehingga cambuk Swandaru memang merupakan cambuk yang sangat berbahaya sebagai senjata. Ujudnya menjadi agak berbeda dengan cambuk Agung Sedayu, karena cambuk Agung Sedayu tidak mengalami perubahan apa-apa sebagaimana diterimanya dari gurunya.

Sekar Mirah dan Pandan Wangi pun memperhatikan sanggar itu dengan saksama. Namun mereka berdua pun telah mempunyai ciri khusus pada jenis senjata yang mereka pergunakan. Sebagai murid Sumangkar, maka Sekar Mirah tidak tertarik kepada jenis senjata apapun selain tongkat bajanya. Sedangkan Pandan Wangi terbiasa mempergunakan sepasang pedang. Namun yang untuk sementara pedang-pedangnya sedang diletakkan.

Yang terpukau adalah Glagah Putih. Sanggar dari padepokan kecil itu nampaknya memang lengkap sekali. Di dalam sanggar itu seseorang dapat berlatih berbagai macam gerakan yang diperlukan. Di dalam sanggar itu terdapat palang untuk meningkatkan keseimbangan. Kemudian patok-patok yang ditanam tegak dan tidak sama tinggi. Bahkan tali ijuk yang terentang agak tinggi. Beberapa bambu yang bersilang untuk mengadakan latihan-latihan meringankan tubuh. Pasir di dalam kotak, dan di kotak lain terdapat kerikil lembut, dan di kotak yang lain lagi terdapat kerikil tajam dari pecahan batu. Di satu sudut terdapat perapian yang padam dan tempayan tembaga tempat air bersih. Di dinding sanggar selain senjata juga terdapat beberapa kerudung kepala yang tidak berlubang bagi penglihatan.

Hampir di luar sadarnya Agung Sedayu bertanya kepada cantrik itu, “Apakah kalian pernah mempergunakan kerudung ini dalam latihan?”

Cantrik itu mengangguk kecil. Jawabnya, “Ya. Kami memang pernah mengadakan latihan dengan kepala tertutup.”

Agung Sedayu dengan cermat mengamati kerudung itu, yang ternyata justru terdapat lubang di arah telinga. Dengan nada rendah ia berkata, “Satu latihan untuk pertempuran malam yang sangat baik. Dengan demikian kalian telah melatih pendengaran kalian untuk mengatasi kegelapan.”

Agung Sedayu sendiri tidak pernah mendapat latihan dengan cara itu. Tetapi Kiai Gringsing langsung membawanya terjun ke medan di malam hari yang pekat. Atau di sanggar yang tertutup semua lubang-lubang cahayanya. Tetapi untuk berlatih beberapa orang bersama-sama di setiap saat, dan barangkali di luar sanggar dan di siang hari, kerudung itu memang berarti sekali.

Glagah Putih yang setiap kali mendapat kesempatan untuk melihat-lihat sanggar itu ternyata tidak pernah merasa jemu. Ia selalu memperhatikan semua benda yang ada di dalam sanggar itu dengan seksama.

Setelah puas mereka melihat-lihat, maka mereka pun kemudian mengajak cantrik itu untuk keluar dari sanggar dan kembali ke blumbang.

Kiai Gringsing masih berada di gubug kecil itu. Ia duduk bersandar dinding, ditunggu oleh seorang cantrik. Ketika ia melihat tamu-tamunya mendatanginya, maka iapun tersenyum sambil beringsut menepi.

“Kau sudah melihat seluruhnya” bertanya Kiai Gringsing.

Yang menjawab adalah cantrik yang mengantarkan, “Baru sebagian Kiai. Tetapi mereka ternyata ingin melihat-lihat sanggar.”

Kiai Gringsing tertawa. Katanya, “Sanggar itu masih seperti beberapa saat yang lalu, ketika kalian melihatnya yang terakhir kalinya”

“Guru mendapatkan satu cara baru untuk melatih para cantrik bertempur di malam hari,” berkata Swandaru.

“Hanya untuk mempermudah pekerjaanku, agar aku tidak perlu keluar dari bilikku di malam hari,” berkata Kiai Gringsing. Lalu, “Tetapi bagaimanapun juga adalah lebih baik jika kita berlatih dalam keadaan sebenarnya. Pengaruh bunyi di sekitar kita, suara-suara malam dan siang adalah jauh berbeda, sehingga yang dilakukan oleh para cantrik itu hanya sekedar menutup kekurangan.”

“Satu cara yang menarik,” berkata Agung Sedayu, “tanpa harus keluar di malam hari sebagaimana Guru katakan. Setidak-tidaknya sebagai pendahuluan dari latihan yang sebenarnya.”

Ya. Aku memang sudah terlalu tua dan lemah, sehingga aku harus lebih banyak menghemat tenaga,” berkata Kiai Gringsing, “apalagi sekarang setelah terasa kesehatanku menjadi sangat menurun.”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak mengatakan sesuatu.

Dalam pada itu, maka Kiai Gringsing pun kemudian berkata, “Baiklah. Jika kalian masih ingin melihat-lihat, lakukanlah. Aku akan beristirahat dahulu. Rasa-rasanya angin bertiup semakin kencang.”

“Silahkan Guru,” jawab Agung Sedayu, “kami akan berada di sini sampai besok, sehingga waktu kami masih cukup.”

Agaknya maka sebaiknya kalian pun beristirahat pula di bilik yang sudah disediakan oleh para cantrik. Berbuatlah sebagaimana di rumah sendiri. Padepokan ini juga padepokan kalian semuanya.”

“Ya Guru. Kami memang merasa di rumah sendiri,” berkata Agung Sedayu.

Kiai Gringsing tersenyum. Iapun kemudian telah meninggalkan gubug di tepi kolam itu dan kembali ke bangunan induk padepokan kecilnya, diantar oleh seorang cantrik, sementara cantrik yang lain masih menemani para tamu murid Kiai Gringsing beserta istri mereka dan Glagah Putih.

Tetapi tamu-tamu Kiai Gringsing itu juga tidak terlalu lama melihat-lihat blumbang yang menyimpan ikan-ikan yang besar. Mereka pun kemudian telah diantar oleh para cantrik ke dalam bilik mereka masing-masing, sementara Glagah Putih akan berada di bilik para cantrik.

Ternyata bahwa cantrik-cantrik muda ada juga yang sebaya dengan Glagah Putik Dengan demikian, maka Glagah Putih pun rasa-rasanya telah mendapat kawan yang sesuai. Mereka sempat membicarakan tentang pekerjaan para cantrik di kebun, di sawah dan pategalan, namun juga para cantrik yang memelihara ikan di blumbang. Ternyata bahwa Glagah Putih memang tertarik kepada cara para cantrik memelihara ikan.

Demikianlah, maka hari itu, kedua murid Kiai Gringsing suami istri serta Glagah Putih sempat menikmati tata cara kehidupan di padepokan kecil itu. Satu suasana yang berbeda dari suasana hidup mereka sehari-hari. Meskipun bukan berarti bahwa di padepokan yang terasa tenang dan damai itu tidak ada kerja. Karena para cantrik ternyata juga bekerja keras. Di kebun, di sawah dan pategalan serta di semua lingkungan mereka yang lain, termasuk di dalam sanggar dan tempat-tempat latihan yang lain.

Namun demikian, suasananya memang tidak seperti suasana di Kademangan Sangkal Putung atau di Tanah Perdikan Menoreh. Di padepokan rasa-rasanya hidup mereka dibatasi oleh lingkungan kecil itu saja. Meskipun bukan berarti bahwa padepokan Kiai Gringsing tertutup dari lingkungan. Mereka mempunyai banyak jalur hubungan dengan padukuhan-padukuhan di sebelahnya. Para cantrik itu telah menukarkan hasil sawah dan pategalan mereka dengan kebutuhan-kebutuhan lain. Namun para cantrik itu tidak memerlukan alat-alat pertanian dari luar lingkungan padepokan, karena ternyata ada diantara para cantrik itu yang memiliki ketrampilan pande besi, sehingga mereka dapat membuat alat-alat dari besi itu sendiri.

Meskipun ada juga para cantrik yang pandai menenun, tetapi hasilnya sama sekali tidak memenuhi kebutuhan sebagaimana alat-alat pertanian. Karena itu, maka padepokan itu masih memerlukan bahan pakaian dari luar padepokan.

Agung Sedayu dan Swandaru yang mengamati padepokan itu merasa betapa banyak kemajuan yang telah dicapai oleh penghuninya. Kemajuan dari sebuah padepokan takarannya memang berbeda dari kemajuan yang dikenal sebuah kademangan dan tanah perdikan. Apalagi ketika Agung Sedayu dan Swandaru melihat, bahwa para cantrik juga menekuni ilmu yang lain kecuali olah kanuragan.

Di dalam ruangan yang khusus, ternyata para cantrik juga belajar membaca dan menulis. Mereka juga mempelajari beberapa jenis pengetahuan yang berhubungan dengan keahlian Kiai Gringsing. Obat-obatan dan pengetahuan tentang urat syaraf. Meskipun tidak terlalu mendalam, tetapi mereka memiliki pengetahuan dasar yang dapat mereka pergunakan untuk memberikan sekedar pertolongan kepada orang-orang sakit, terluka, dan juga yang terkena gangguan urat dan syaraf karena terjatuh, terkilir dan sejenisnya.

Perhatian Glagah Putih ternyata lebih banyak kepada sanggar padepokan itu. Di sore hari, ditemani seorang cantrik Glagah Putih telah berada di sanggar itu lagi. Ia telah mencoba berbagai macam senjata. Ia masih juga memperbandingkan dengan senjatanya sendiri yang terlalu khusus. Ikat pinggang yang memang mempunyai watak yang khusus. Iapun telah mencoba menilai kemampuannya sendiri tentang keseimbangan. Ilmu meringankan tubuh dan ketrampilan kaki.

Di luar sadarnya Glagah Putih telah berlatih dengan penuh minat, karena di sanggar itu tersedia berbagai macam alat yang sangat menarik perhatiannya.

Adalah di luar sadarnya pula, bahwa cantrik yang mengantarkannya itu memperhatikannya dengan penuh kekaguman. Cantrik itu memang tidak mengira bahwa Glagah Putih yang masih muda itu mampu menguasai ilmu yang sudah sedemikian tinggi. Keseimbangan tubuhnya, ilmu meringankan tubuh, ketrampilan tangan dan kaki, serta kemampuan yang lain yang jarang dilihatnya di antara orang-orang berilmu yang pernah ditemuinya. Bahkan meskipun cantrik itu yakin akan kelebihan Kiai Gringsing, namun orang tua itu hampir tidak pernah menunjukkannya kepada para cantrik itu.

Glagah Putih berhenti ketika sanggar itu menjadi semakin suram. Agaknya matahari telah turun ke punggung bukit di sebelah barat. Karena itu, maka iapun telah menghentikan latihan-latihannya.

“Luar biasa,” desis cantrik yang mengantarkannya, “bagaimana mungkin kau dapat melakukannya?”

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian menarik nafas sambil berkata, “Bukan apa-apa. Aku hanya mengulang latihan-latihan yang pernah diberikan kepadaku. Masih sangat dasar.”

Tetapi pertanyaan cantrik itu tidak diduganya. “Tetapi aku melihat unsur-unsur gerak yang berbeda dari unsur-unsur gerak yang diajarkan oleh Kiai Gringsing.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar