Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 226

Buku 226

Untuk mengurangi gangguan yang mungkin datang, karena perkelahian itu secara kebetulan dilihat orang, maka kedua lawan Agung Sedayu telah berusaha mendesak Agung Sedayu masuk ke dalam hutan. Mereka berusaha menyerang Agung Sedayu dari satu sisi. Dengan serangan yang datang beruntun, mereka berharap bahwa sedikit demi sedikit Agung Sedayu akan terdesak ke dalam hutan kecil itu.

“Mau tidak mau,“ berkata salah seorang di antara kedua orang itu, “kau harus masuk ke dalam hutan seperti yang kami kehendaki, jika kau tidak ingin mempercepat kematian.“

Agung Sedayu pun menyadari, bahwa keduanya telah berusaha mendesaknya. Dengan serangan yang datang beruntun susul-menyusul maka mereka telah berhasil memaksa Agung Sedayu bergeser setapak demi setapak.

Kedua lawan Glagah Putih yang melihat usaha kedua kawannya mendesak Agung Sedayu, telah melakukan hal yang sama. Mereka telah berloncatan dalam garis lurus yang bergerak maju perlahan-lahan.

Glagah Putih memang terdesak mundur ke arah hutan kecil. Setapak demi setapak. Sementara itu, kedua lawannya bergerak semakin cepat. Serangan-serangan mereka datang bagaikan arus gelombang yang datang membentur pantai.

Tetapi sama sekali Glagah Putih tidak menjadi gelisah. Ia justru lebih banyak memperhatikan dirinya dengan ilmunya daripada lawannya. Ia masih saja ingin meyakinkan pengenalannya atas ilmunya sendiri. Meskipun demikian ia sadar sepenuhnya, bahwa lawannya yang berilmu tinggi itu, pada suatu saat harus dilayani dengan puncak kemampuannya.

Namun Glagah Putih lebih banyak menunggu daripada mendahului lawan-lawannya. Dengan demikian ia mendapat lebih banyak kesempatan untuk mengenali ilmunya yang ternyata telah meningkat jauh semakin tinggi.

Di lingkungan pertempuran yang lain, Agung Sedayu bergerak semakin cepat, Kedua lawannya telah menyerangnya semakin cepat pula. Mereka benar-benar berharap akan dapat mendesak Agung Sedayu memasuki hutan. Dengan demikian maka mereka akan mendapat lebih banyak kesempatan tanpa kecemasan, karena kemugkinan bahwa pertempuran itu akan dilihat oleh orang lain menjadi semakin kecil.

Kedua lawan Glagah Putih yang berhasil mendesak Glagah Putih semakin dekat dengan hutan kecil itu pun merasa bahwa usahanya akan segera berhasil lebih cepat dari kedua kawannya yang bertempur melawan Agung Sedayu. Seorang di antara merekapun berkata, “Nah, sekarang berkatalah dengan lantang bahwa kau tidak akan mau bertempur di dalam hutan.“

“Maksudmu?“ bertanya Glagah Putih.

“Ternyata kau telah terdesak mendekati hutan itu, senang atau tidak senang. Kau agaknya masih ingin bertahan agar kau dapat hidup beberapa saat lagi, meskipun kau terpaksa menelan ludah sendiri. Coba katakan sekali lagi, bahwa kau tidak mau bertempur di dalam hutan,“ berkata orang itu.

”Aku memang tidak ingin bertempur di dalam hutan. Aku ingin bertempur di sini. Bukankah aku tidak masuk ke dalam hutan?“ sahut Glagah Putih.

Kedua orang itu tidak menjawab. Tetapi beruntun mereka menyerang Glagah Putih. Jika Glagah Putih berusaha mengelak ke samping, maka keduanya telah berusaha mencegahnya, sehingga keduanya benar-benar telah menggiring Glagah Putih mendekati semak-semak yang rimbun dan kemudian batang-batang pepohonan di hutan yang tidak terlalu besar itu.

Glagah Putih memang bergeser surut. Namun tiba-tiba saja anak muda itu telah melenting tinggi. Melampaui jangkauan tangan kedua lawannya. Berputar sekali di udara dan kemudian jatuh di belakang lawan-lawannya pada punggungnya. Sekali Glagah Putih berguling, namun iapun telah melenting dan tegak berdiri.

Kedua lawannya mengumpat. Mereka sama sekali tidak menduga, bahwa Glagah Putih akan mengelakkan dirinya untuk masuk ke dalam hutan dengan cara itu. Karena itu maka keduanya tidak siap untuk menghalanginya.

Namun demikian mereka menyadari keadaan, maka keduanya dengan cepat telah memburunya. Seorang di antara mereka dengan serta merta telah menyerangnya. Satu loncatan dengan kaki yang terjulur lurus mengarah dada.

Tetapi Glagah Putih tanggap akan keadaan. Dengan sigap pula ia telah bergeser ke samping. Namun pada saat yang bersamaan, lawannya yang lain pun telah meloncat maju. Tangannya terjulur lurus ke arah kening.

Glagah Putih menyadari datangnya serangan yang berbahaya itu. Karena itu, maka iapun telah melenting. Bukan sekedar menghindar, namun sambil bergeser ke samping, tiba-tiba saja tubuhnya telah berputar. Satu ayunan tangan yang keras menyambar lawannya yang lain.

Satu serangan yang mengejutkan, Ayunan tangan mendatar itu hampir menyambar wajah lawannya yang lain. Namun lawannya yang terkejut itu masih sempat menangkis serangannya itu. Dengan kedua lengannya yang merapat, ia telah melindungi wajahnya.

Yang terjadi adalah satu benturan yang keras. Glagah Putih yang muda itu memang mengayunkan tangannya kuat-kuat. Karena itu maka akibat dari benturan itupun mengejutkan bagi lawannya.

Ternyata bahwa lawannya yang telah melindungi wajahnya dengan kedua lengannya yang merapat itu telah terdorong surut. Meskipun tangan Glagah Putih tidak mengenai wajahnya, tetapi lengannya sendirilah yang telah menyentuh wajahnya itu. Bahkan mendorongnya sehingga ia tergeser surut, sehingga hampir saja orang itu kehilangan keseimbangannya. Glagah Putih tidak membiarkan kesempatan itu. Tetapi ternyata bahwa ia tidak dapat memburu lawannya yang sedang terguncang itu. Seorang lawannya yang lain telah dengan sigapnya menjulurkan kakinya kearah lambung. Namun Glagah Putih sempat berkisar, sehingga lambungnya tidak tersentuh serangan lawannya. Bahkan kemudian dengan serta merta Glagah Putih meloncat menyambar tengkuk lawannya yang telah diguncangkannya. Namun sekali lagi Glagah Putih gagal mengenainya, karena lawannya sempat merendah.

Demikianlah, maka pertempuran itu pun menjadi semakin lama semakin cepat. Kedua lawannya dengan garang menyerang berganti-ganti. Namun mereka tidak lagi berniat untuk menggiring Glagah Putih masuk ke dalam hutan. Bahkan mereka telah menjadi semakin jauh dari bibir hutan itu.

Sementara itu Agung Sedayu pun tidak juga berhasil didorong masuk ke dalam hutan. Jika semula kedua lawannya mampu mendesaknya, namun tiba-tiba saja Agung Sedayu telah menjadi kokoh bagaikan batu karang. Serangan-serangan kedua orang lawannya tidak menggoyahkannya. Bahkan ketika Agung Sedayu bergerak selangkah demi selangkah maju, lawannya-lah yang surut ke belakang.

Namun kedua lawan Agung Sedayu itu masih bertempur pada tataran kewajaran. Mereka masih berusaha menjajagi tataran kemampuan Agung Sedayu. Dengan demikian, maka mereka tidak dengan serta merta mengerahkan ilmu mereka. Tetapi setapak demi setapak mereka meningkat.

Dengan demikian maka pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin cepat. Kekuatan dan tingkat ilmu mereka pun semakin meningkat pula. Selapis demi selapis. Benturan-benturan pun menjadi semakin sering terjadi. Bahkan serangan-serangan yang menjadi semakin cepat, mulai menyusup di sela-sela pertahanan masing-masing, sehingga serangan-serangan itu mulai mengenai sasarannya.

Tetapi daya tahan mereka yang sedang bertempur itu ternyata cukup tinggi. Beberapa kali serangan-serangan lawan sudah mengenai tubuh masing-masing. Namun mereka masih mampu mengatasi rasa sakit, sehingga serangan lawan yang mengenainya itu tidak berbekas sama sekali. Apalagi Agung Sedayu yang telah mengenakan ilmu kebalnya. Namun demikian Agung Sedayu masih belum memberikan kesan bahwa ia telah menjadi kebal. Bahkan ia telah memberikan kesan setiap sentuhan serangan lawannya telah menggetarkannya.

Sementara itu bagi Glagah Putih, pertempuran itu mempunyai arti tersendiri. Ia mendapat kesempatan cukup banyak untuk menilai ilmunya yang berkembang di luar pengamatannya. Meskipun kemudian bersama Agung Sedayu dan Ki Jayaraga ia telah berusaha untuk mengerti tentang ilmu di dalam dirinya itu serta tataran-tatarannya, namun kesempatan itu akan dapat dipergunakannya untuk meyakinkannya. Karena itu, Glagah Putih telah memperhatikan setiap peningkatan ilmu di dalam dirinya, menyesuaikan dengan tingkat ilmu lawannya.

Dengan demikian maka pertempuran itu pun telah berlangsung beberapa lama. Namun keempat orang yang ingin menyingkirkan Agung Sedayu dan Glagah Putih sebagai usaha untuk sedikit demi sedikit memperlemah kedudukan Mataram, masih belum berhasil. Bahkan rasa-rasanya kedudukan Agung Sedayu dan Glagah Putih justru menjadi semakin kuat. Keduanya justru bergerak lebih cepat dan serangan-serangan mereka menjadi semakin mantap.

Keempat orang yang mendapat kepercayaan untuk membunuh Agung Sedayu dan Glagah Putih itupun kemudian menjadi semakin yakin, bahwa kedua orang yang harus mereka singkirkan itu benar-benar memiliki ilmu yang sangat tinggi. Namun mereka pun termasuk orang terpilih yang mempunyai bekal yang mumpuni untuk menghadapi keduanya. Karena itu, mereka berdua tidak boleh menyia-nyiakan kepercayaan itu. Mereka yang semula dianggap masing-masing akan dapat menyelesaikan Agung Sedayu dan Glagah Putih. Namun untuk meyakinkan keberhasilan tugas mereka, maka mereka telah dikirim berempat untuk menghadapi kedua orang itu.

Ketika pertempuran itu berlangsung semakin lama, maka keempat orang itu telah meningkatkan ilmu mereka semakin tinggi. Mereka tidak lagi sekedar bertempur dengan kekuatan wajar mereka. Tetapi mereka sudah berlandaskan tenaga-tenaga cadangan dan bahkan mulai merambah ilmu mereka yang mereka andalkan.

Agung Sedayu dan Glagah Putih merasakan peningkatan kemampuan lawan-lawan mereka. Sehingga dengan demikian maka mereka pun telah meningkatkan ilmu mereka sejalan dengan lawan-lawan mereka.

Namun dalam pada itu, Agung Sedayu dan Glagah Putih masih juga berhati-hati menghadapi keadaan. Mereka masih memperhitungkan kemungkinan lain, bahwa keempat orang itu telah datang bersama beberapa orang lainnya yang siap menjebak mereka. Tetapi sudah sekian lama mereka bertempur, namun agaknya yang mereka hadapi memang hanya empat orang itu.

Sementara itu, keempat orang yang merasa bahwa mereka sudah cukup lama menjajagi kemampuan lawannya dan sudah mendapat kepastian bahwa lawan mereka memang berilmu tinggi, maka mereka pun telah sampai pada satu langkah untuk dengan segera menyelesaikan pertempuran itu.

Orang yang bercambang, berkumis dan berjenggot lebat itu pun tiba-tiba telah berteriak, “Kesempatan yang kami berikan telah cukup! Meskipun begitu, aku masih menawarkan kepada Agung Sedayu dan Glagah Putih untuk memilih jalan kematian yang kalian kehendaki. Tetapi jika kesempatan ini tidak kalian pergunakan sebaik-baiknya, maka kalian akan mengalami kematian dengan cara yang paling tidak menyenangkan.“

Tetapi yang terdengar adalah jawaban Glagah Putih. Katanya, “Aku akan menghitung sampai sepuluh. Jika kalian tidak menyerah, maka kami terpaksa membunuh kalian.“

“Gila!“ teriak orang berjenggot lebat itu.

Tetapi Glagah Putih Jiidak menghiraukannya. Sambil bertempur ia kemudian benar-benar menghitung, “Satu, dua, tiga..“

Kedua lawannya benar-benar menjadi sangat marah. Karena itu, maka dengan berlandaskan kepada kemampuan ilmu mereka, keduanya telah menyerang Glagah Putih. Serangannya datang bagaikan prahara yang menghantam dan menghancurkan apa saja yang dilaluinya. Tetapi Glagah Putih telah bersiap. Karena itu, ketika serangan itu datang, maka iapun telah mengetrapkan ilmunya untuk menahan serangan lawan, namun Glagah Putih ternyata tidak terguncang karenanya.

Ketika kedua lawannya menyerang hampir berbereng, maka Glagah Putih sempat mengelak. Bahkan kemudian iapun telah melenting dengan tangan terayun mendatar. Tetapi ternyata lawannya sempat menghindar pula. Bahkan seorang lawannya yang lain telah membuka serangannya. Sambaran angin yang kencang telah terasa sebelum sentuhan wadagnya. Betapa kuatnya ilmu orang itu, sehingga sambaran angin yang menampar tubuh Glagah Putih telah menggetarkannya.

“Bukan main,“ desis Glagah Putih pada diri sendiri.

Dengan demikian ia sadar, bahwa sentuhan wadag lawannya tentu akan dapat melemparkannya jika ia tidak mengimbanginya dengan kekuatan yang sepadan. Karena itu, Glagah Putih telah meningkatkan pula landasan ilmunya. Dengan garangnya ia telah membalas setiap serangan dengan serangan. Jika sambaran angin serangan lawannya mula-mula mampu menggetarkannya, maka Glagah Putih pun kemudian sama sekali tidak terpengaruh. Namun Glagah Putih tidak dengan serta merta menunjukkan kemampuannya. Tetapi perlahan-lahan ia membuktikan, bahwa ia mampu mengimbangi kemampuan ilmu lawannya itu.

Dengan demikian maka Glagah Putih sama sekali tidak terdesak meskipun ia harus berhadapan dengan dua orang yang berilmu tinggi. Tetapi kedua lawannya telah meningkatkan pula ilmu mereka. Bahkan keduanya pun kemudian telah meningkatkan pula ilmu mereka. Bahkan keduanya pun kemudian telah berlari-lari mengitari Glagah Putih. Namun sekali-sekali mereka telah melenting dengan cepat sekali, menyerang Glagah Putih yang berada di pusat putaran mereka.

Glagah Putih tidak mudah terpengaruh oleh putaran itu. Ia idak mau menjadi bingung dan pening. Karena itu maka ia tidak menghadapi keduanya dengan gejolak perasaannya saja. Tetapi iapun telah memikirkan cara untuk mengatasinya.

Ternyata bahwa kedua lawannya yang meningkatkan kemampuannya itu telah membuat Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Jika semula sambaran angin dari setiap serangan lawannya mampu menampar kulitnya dengan keras, seakan-akan sambaran angin dari setiap serangan lawannya yang dihindarinya itu bagaikan menyemburkan udara yang semakin lama semakin panas. Karena itu, maka bagi Glagah Putih, keadaan akan menjadi gawat jika ia tidak segera melakukan langkah yang menentukan.

Untuk beberapa saat Glagah Putih memperhatikan serangan-serangan lawannya dengan saksama. Sementara itu terdengar seorang lawannya berkata, “Salahmu sendiri jika kau akan mati dengan cara yang buruk sekali.“

Glagah Putih tidak menyahut. Namun ia telah memusatkan perhatiannya kepada satu usaha untuk mematahkan putaran yang menjengkelkan itu. Karena itu, dengan perhitungan yang mapan, maka tiba-tiba saja Glagah Putih-lah yang meloncat menyerang. Dengan meningkatkan daya tahan tubuhnya ia menembus udara panas yang seakan-akan memancar dari ayunan tubuh lawannya. Bahkan gerak yang bukan serangan langsung pun seakan-akan telah melemparkan sambaran angin yang panas.

Dengan meloncat panjang, maka Glagah Putih telah menyerang salah seorang lawannya, justru melawan arah putarannya. Demikian cepatnya, sehingga lawannya ia terkejut. Pada saat putaran itu terhenti, maka Glagah Putih menyambar wajah orang itu dengan pukulan mendatar dengan sisi telapak tangannya. Namun orang itu sempat menarik wajahnya, sehingga tangan Glagah Putih tidak menyentuhnya.

Lawannya harus meloncat surut. Serangan itu ternyata telah disusul, serangan berikutnya yang tidak diduga-duga. Glagah Putih justru bergulung dan berputar pada pundaknya. Ketika ia menyerang, maka kedua kakinya telah menghantam ke arah lambung sementara tubuhnya masih terbaring di tanah.

Cara yang jarang dipergunakan. Namun benar-benar mengejutkan lawannya, sehingga ia tidak sempat mengelak. Yang dilakukannya adalah menyilangkan tangannya untuk menangkis serangan kaki yang tiba-tiba itu.

Sambil mengatasi sengatan panas pada tubuhnya, Glagah Putih telah menghentakkan kakinya dengan cepat dan kuat. Glagah Putih menyadari bahwa lawannya adalah orang berilmu tinggi. Sehingga karena itu, maka ia harus berusaha untuk dengan secepatnya menguasainya, agar bukan dirinya yang justru akan dikuasai oleh kedua orang lawannya.

Serangan Glagah Putih itu kemudian telah membentur tangan lawannya yang bersilang. Benturan yang sangat mengejutkan lawannya. Meskipun lawannya itu mengetahui bahwa Glagah Putih memang berilmu tinggi, tetapi ia tidak menyangka bahwa Glagah Putih memiliki kekuatan yang sangat besar, jauh lebih besar dari yang diperkirakan.

Karena itu maka ketika kaki Glagah Putih menghantam tangan lawannya yang bersilang, maka lawannya itu telah terlempar beberapa langkah surut. Seakan akan ia telah dilontarkan oleh benturan dengan sebongkah batu yang gugur di lereng gunung. Tubuh lawannya itu pun kemudian terbanting jatuh.

Betapa rasa sakit menggigit punggungnya yang bagaikan patah. Meskipun demikian, orang itu pun telah berusaha untuk bangkit berdiri. Meskipun ia harus berjuang menguasai keseimbangannya, namun akhirnya iapun telah tegak di atas kedua kakinya.

Glagah Putih yang menyadari bahwa lawannya telah terlempar dan terbanting jatuh, dengan serta merta telah melenting berdiri. Tetapi ternyata bahwa ia tidak dapat memburunya. Dengan kecepatan yang tinggi, lawannya yang seorang telah meloncat menyerangnya justru pada saat ia sedang tegak.

Serangan yang keras, yang dibarengi dengan sambaran udara panas itu ternyata telah mengenai pundaknya. Glagah Putih tidak sempat mengelak. Ketika kaki lawannya mengenai pundaknya. Iapun telah kehilangan keseimbangannya. Namun justru karena itu, maka Glagah Putih pun telah menjatuhkan dirinya dan berguling beberapa kali sambil mengambil ancang-ancang untuk meloncat berdiri.

Lawannya memang memburunya. Tetapi yang lain masih berusaha untuk memperbaiki keseimbangannya, sehingga ia masih belum ikut memburu ke arah Glagah Putih yang kemudian meloncat berdiri.

Lawannya yang telah berhasil mengenai pundiaknya itu pun telah mengulangi serangannya. Dengan tangkasnya ia meloncat sambil menjulurkan kakinya, sebagaimana telah dilakukannya. Tetapi Glagah Putih tanggap akan serangan itu. Dengan serta merta ia pun telah berjongkok sambil bergeser ke samping, sehingga serangan lawannya itu bagaikan terbang di atasnya. Namun, meskipun serangan itu tidak mengenainya, tetapi udara panasnya telah menyambarnya, sehingga Glagah Putih harus mengatupkan giginya untuk mengatasi rasa panas yang bagaikan membakar tubuhnya.

Namun anak muda yang berilmu tinggi itu tidak membiarkan lawannya menyakitinya. Demikian lawannya meluncur, maka Glagah Putih telah melenting pula dengan kecepatan yang melampaui kecepatan lawannya.

Serangan Glagah Putih itu memang mengejutkan. Lawannya yang menyadari akan serangan itu, berusaha menggeliat untuk menghindar. Dengan sentuhan ujung kaki di permukaan bumi, orang itu telah melenting sekali lagi ke samping.

Tetapi Glagah Putih tidak melepaskannya. Selagi lawannya yang seorang masih belum siap benar, maka ia telah berusaha untuk menyerang lawannya yang satu lagi. Karena itu, maka ketika ia melihat lawannya melenting ke samping, maka kakinya pun segera terayun berputar. Dengan kuat dan cepatnya, sehingga lawannya tidak sempat lagi menghindarinya. Meskipun lawannya sempat melindungi lambungnya dengan sikutnya, tetapi sapuan melingkar kaki Glagah Putih yang membenturnya, ternyata telah melemparkannya, sehingga orang itu telah terlempar ke samping.

Terdengar orang itu mengeluh tertahan. Namun Glagah Putih pun telah menyeringai menahan panasnya udara. Sehingga karena itu, maka Glagah Putih justru telah meloncat mengambil jarak ketika ia melihat lawannya yang lain telah siap menyerangnya.

Peningkatan ilmu lawannya memang membuat keadaan menjadi gawat. Panasnya udara hampir tidak lagi teratasi. Sementara itu semakin banyak lawannya bergerak, maka rasa-rasanya ilmu mereka menjadi semakin tajam dan panas pun semakin menusuk tubuhnya. Keringatnya telah terperas membasahi seluruh permukaan kulitnya.

Untuk beberapa saat Glagah Putih berdiri termangu-mangu. Seorang lawannya telah siap untuk bertempur, sementara yang lain telah menggeliat pula dan bangkit berdiri sambil memegang lambungnya. Namun iapun telah bersiap pula menghadapi pertempuran berikutnya.

“Kau memang anak iblis,“ geram salah seorang lawannya, “tetapi ternyata bahwa kau mulai ketakutan menghadapi kami.“

Glagah Putih menggeretakkan giginya. Ia mulai digelitik oleh kemarahan yang memanasi darahnya, meskipun ia tetap sadar, bahwa ia tidak boleh kehilangan akal. Tetapi iapun sadar, bahwa ia tidak boleh lengah menghadapi kedua orang lawannya yang ternyata memang berilmu tinggi.

“Kami tidak mempunyai waktu lagi,“ geram seorang lawannya, “dan kau pun telah cukup kami beri kesempatan untuk hidup lebih lama. Sekarang, bersiaplah untuk mati. Kau membuat kami semakin muak.“

Glagah Putih yang memang sudah menjadi semakin marah itupun menjawab, “Baik. Kita akan segera melihat, siapakah yang lebih dahulu akan mati. Kalian atau aku. Aku memang berusaha untuk menangkapmu hidup-hidup. Tetapi jika aku tidak dapat melakukannya, maka aku akan membunuhmu saja.“

Jantung kedua orang lawan Glagah Putih itu rasa-rasanya akan meledak mendengar jawaban yang menyakitkan telinga mereka itu. Karena itu, maka mereka pun segera telah berloncatan menyerang.

Glagah Putih pun telah bergeser menghindar. Namun dalam pada itu, kedua lawannya itu pun telah berloncatan menyerang susul menyusul.

Menilik gerak lawannya, maka Glagah Putih telah mengambil satu kesimpulan, semakin banyak mereka bergerak, maka udara panas pun semakin banyak mereka lontarkan. Setiap serangan dan bahkan gerakan di sekitar Glagah Putih telah menimbulkan getaran dan sambaran angin yang ternyata menjadi semakin panas.

Meskipun tangan Glagah Putih tidak mengenai wajahnya, tetapi lengannya sendiri-lah yang telah menyentuh wajahnya itu. Bahkan mendorongnya, sehingga ia tergeser surut dan hampir saja orang itu kehilangan keseimbangan.

“Aku dapat hangus di dalamnya,“ berkata Glagah Putih.

Tetapi Glagah Putih masih berusaha untuk mengatasi gigitan udara panas itu, jika sekali-sekali masih mampu mengenai lawannya dan melemparkan mereka sehingga jatuh terbanting di tanah.

Glagah Putih masih belum mempergunakan kemampuannya untuk melontarkan ilmunya dari jarak jauh. Ia masih belum sampai pada satu keyakinan bahwa serangan yang demikian akan dapat dengan cepat mengalahkan kedua lawannya. Apalagi kedua lawannya sama sekali tidak memberinya kesempatan untuk membidik dan melepaskan ilmunya itu.

“Nampaknya mereka pernah mendapat keterangan tentang kemungkinan itu,“ berkata Glagah Putih di dalam hatinya, “sehingga mereka berusaha untuk tidak memberikan peluang sama sekali bagiku untuk melepaskan ilmu itu.”

Sementara itu, menilik kecepatan gerak lawannya, maka mereka pun akan mampu berloncatan menghindari serangannya, sementara mereka akan dapat membagi diri pada sasaran yang berlawanan arah. Lebih dari itu, Glagah Putih masih berusaha untuk menghindari kematian.

Karena itu, maka Glagah Putih masih tetap bertempur tanpa ilmunya yang mampu dilontarkannya dari jarak jauh. Namun ia telah mengerahkan kemampuan dan kecepatan geraknya, bahkan kekuatan yang menjadi semakin besar. Dengan cara itu, sambil mengerahkan daya tahan tubuhnya untuk menguasai gigitan panasnya udara, maka ia telah mampu mengimbangi kemampuan lawannya. Dua orang yang berilmu tinggi dan mampu menggetarkan udara dengan lontaran hawa panas.

Glagah Putih yang telah mendapatkan landasan yang tinggi bagi ilmunya ternyata mampu mengimbangi lawannya, Betapa kedua lawannya berusaha mencapai tataran tertinggi dari kemampuan mereka, namun ilmu Glagah Putih memang telah mencapai satu tingkat yang tidak dibayangkan olehnya sendiri. Apalagi oleh kedua lawannya itu.

Benturan-benturan kekuatan Glagah Putih, meskipun sudah dilapisi dengan panasnya udara yang terpancar dari ilmu mereka, namun telah membuat keduanya semakin terdesak. Sentuhan-sentuhan serangan Glagah Putih benar-benar telah menggoyahkan pertahanan mereka.

Namun karena mereka juga berilmu tinggi, maka tulang-tulang mereka tidak segera berpatahan terkena serangan Glagah Putih yang luar biasa. Bahkan orang-orang yang berilmu tinggi itu, hampir tidak percaya pada kenyataan yang mereka hadapi tentang anak yang bagi mereka masih terlalu muda itu.

“Iblis manakah yang telah menyusup ke dalam dirinya>“ pertanyaan itu telah tumbuh di dalam hati kedua orang lawan Glagah Putih.

Namun sebagaimana mereka dengar sebelumnya tentang lawan mereka dari para petugas sandi yang telah berusaha mencari keterangan tentangnya, Glagah Putih adalah sahabat Raden Rangga sebelum meninggalnya.

“Apakah ilmu Raden Rangga telah menyusup ke dalam dirinya, bahkan ditambah dengan ilmunya sendiri yang sudah dimiliki sebelumnya?“ bertanya kedua orang itu di dalam hati.

Tetapi bagaimanapun juga kedua orang itu berjuang dengan mengerahkan ilmunya, keduanya tidak berhasil menguasai Glagah Putih.

Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih pun mengalami kesulitan menghadapi kedua lawannya yang memiliki ilmu yang menggetarkan itu. Keduanya mampu menyelimuti dirinya dengan udara yang semakin panas, sehingga setiap kali Glagah Putih menyerang salah seorang diantara mereka, maka iapun harus mengerahkan daya tahannya pula untuk mengatasi rasa sakit oleh panas yang menyengat. Namun bagi Glagah Putih, mungkin saja ia mampu mengatasi rasa sakit, tetapi apakah wadagnya akan dapat bertahan mengalami sentuhan panas yang semakin tinggi.

Tetapi Glagah Putih masih juga ragu-ragu, apakah ia akan menyerang orang-orang itu dengan kemampuan ilmunya yang dapat dilontarkan dari jarak tertentu.

“Jika mereka ternyata tidak memiliki kemampuan untuk mengatasinya, apakah menghindari atau memiliki daya tahan yang melampaui kekuatan ilmu itu, jangan-jangan mereka terbunuh,“ berkata Glagah Putih di dalam hatinya.

Karena itu, Glagah Putih menjadi ragu-ragu. Di satu pihak ia memang tidak mengingkari kemungkinan bahwa ia akan gagal mengalahkan lawannya yang mampu bergerak cepat, mampu menempatkan diri pada arah yang berlawanan, serta tanpa memberi kesempatan kepadanya untuk membangunkan ilmunya, sehingga ia akan dapat mengakhiri pertempuran itu dengan ilmunya yang mampu dilontarkannya dari jarak jauh. Tetapi di pihak lain, Glagah Putih menjadi cemas jika ia melanggar pesan Agung Sedayu untuk menangkap mereka hidup-hidup.

Namun semakin lama keduanya menjadi semakin garang. Panas udara pun menjadi semakin tinggi. Sehingga makin sulit bagi Glagah Putih untuk mendekat. Keringatnya sudah bagaikan terperas dari seluruh tubuhnya.

Namun Glagah Putih adalah seorang anak muda yang memiliki kemampuan ilmu yang bukan saja sangat tinggi. Tetapi ia telah mempelajari beberapa jenis ilmu. Selain memahami ilmu yang disadapnya dari Agung Sedayu pada jalur cabang ilmu Ki Sadewa, Glagah Putih pun telah menyadap ilmu dari gurunya yang lain, Kiai Jayaraga. Bahkan berbekal ilmu itu, maka seakan-akan dengan tiba-tiba saja telah hadir Raden Rangga yang mendorong ilmunya menjadi semakin maju. Bahkan melontarkan ilmunya dari jarak tertentu.

Karena itu, maka Glagah Putih kemudian telah mengetrapkan di antara ilmunya yang ada di dalam dirinya itu, untuk mengatasi keadaan tanpa kemungkinan yang paling buruk yang dapat terjadi atas kedua lawannya, karena Agung Sedayu telah berpesan agar keduanya dapat ditangkap hidup-hidup.

Sebagai murid Kiai Jayaraga yang mampu menyadap berbagai kekuatan yang ada di dalam alam di sekelilingnya, maka Glagah Putih telah mempergunakan kekuatan air dalam ujudnya yang paling berlawanan dengan panasnya api. Dengan demikian Glagah Putih berusaha untuk membuat imbangan atas kekuatan lawannya yang mampu memanasi udara, sehingga tubuhnya sendiri tidak menjadi hangus karenanya.

Demikianlah, sambil bertempur Glagah Putih telah mempersiapkan dirinya untuk melepaskan ilmunya itu. Sehingga pada satu kesempatan Glagah Putih telah melenting mengambil jarak dari kedua lawannya.

Ketika kedua lawannya memburu dengan gerak yang panjang dan kuat, sehingga udara yang terhempas mengandung panasnya api pun menjadi semakin besar, Glagah Putih telah menaburkan kekuatan air dalam takaran yang paling berlawanan dengan panasnya api.

Dengan demikian maka ketika lawan-lawannya itu menyergapnya, maka Glagah Putih tidak lagi mengerahkan daya tahannya untuk mengatasi udara panas dan sakit yang menggigitnya, namun Glagah Putih telah mengerahkan ilmunya yang mampu mengimbangi panasnya ilmu lawannya.

Kedua kekuatan yang berlawanan itu tidak saling membentur. Tetapi panasnya udara bagaikan menyusup di antara udara dingin, dan sebaliknya, sehingga timbul keseimbangan. Sehingga seakan-akan tidak terjadi perubahan apapun pada suhu udara di sekitar arena pertempuran yang semakin dahsyat itu.

Mula-mula kedua lawannya tidak merasakan perubahan itu. Apalagi menyadari bahwa ilmunya seakan-akan sudah tidak berarti lagi bagi lawannya. Namun keduanya pun kemudian menjadi heran, bahwa Glagah Putih justru telah bertempur semakin tangkas dan cepat. Baru ketika kekuatan ilmu Glagah Putih mulai menyusup justru menembus kekuatan ilmu lawannya dan menyentuh mereka, maka kedua lawannya mulai merasakan sesuatu yang lain.

Untuk beberapa saat lamanya mereka bertempur sambil bertanya-tanya di dalam hati. Tetapi sebagai orang yang berilmu tinggi, akhirnya keduanya mampu menangkap kekuatan ilmu lawannya yang telah dapat membuat imbangan atas ilmu api mereka. Kemarahan yang luar biasa telah bergelora di dalam jantung mereka. Ternyata bahwa kekuatan apinya tidak mampu mengalahkan anak yang masih terlalu muda itu.

“Anak ini benar-benar anak iblis. Pada umurnya yang masih sangat muda ia telah mampu melawan ilmu yang jarang ada duanya ini. Bahkan dengan ilmu yang mempunyai kekuatan yang saling menyerap, dan dengan demikian maka seakan-akan telah kehilangan kekuatannya,“ berkata orang-orang itu di dalam hatinya.

Karena itu, maka keduanya harus mempergunakan kekuatannya yang lain yang akan dapat mendesak lawannya yang masih sangat muda itu. Apalagi karena dalam pertempuran berikutnya, Glagah Putih yang bergerak dengan cepat, tangkas dan mempunyai kekuatan yang sangat besar itu telah membuat kedua lawannya terdesak.

Ternyata bahwa kedua orang itu telah dibekali pula dengan kekuatan lain yang meskipun dalam ujud kewadagan, namun mempunyai kekuatan yang sangat besar.

Ternyata bahwa kedua orang itu telah membawa lingkaran-lingkaran bergerigi yang ujudnya memang tidak terlalu besar. Tetapi dengan kemampuan yang tinggi, maka senjata itu benar-benar merupakan senjata yang mengerikan. Senjata yang dengan kemampuan khusus dilemparkan dengan tangan itu, akan menyerang lawannya dengan putaran yang mematikan, mengoyak kulit daging dan bahkan memotong tulang.

Glagah Putih memang berdebar-debar melihat jenis senjata mereka. Ketika tiba-tiba saja ia melihat benda meluncur dari tangan lawannya, maka iapun menyadari, bahwa senjata-senjata kecil itu akan dpat membunuhnya pula, sebagaimana panasnya api yang telah dapat dilunakkannya dengan ilmunya.

Ketika satu dua senjata lawannya mulai meluncur, maka Glagah Putih mulai merasa terlalu sibuk untuk menghindarinya. Karena itulah, maka untuk mengatasinya, iapun telah mengurai ikat pinggang khususnya. Sementara itu, tidak terlalu jauh dari arena pertempuran antara Glagah Putih dan kedua lawannya, maka Agung Sedayu pun telah bertempur dengan serunya pula. Ternyata bahwa kedua lawan Agung Sedayu pun adalah orang-orang yang berilmu tinggi pula.

Bahkan ternyata bahwa yang dipersiapkan untuk melawan Agung Sedayu yang telah lebih banyak dikenal tingkat ilmunya itu adalah saudara-saudara seperguruan dari kedua lawan Glagah Putih, yang bahkan mempunyai kekuatan ilmu dalam tataran yang tinggi melampaui saudara-saudaranya yang lebih muda. Karena itu, maka pertempuran yang terjadi antara Agung Sedayu dan kedua lawannya pun telah terjadi dengan sengitnya.

Kedua lawan Agung Sedayu yang telah dibekali dengan pengertian tentang kemampuan lawan mereka, memang tidak terkejut melihat Agung Sedayu tataran demi tataran mampu mengimbangi ilmu mereka. Setiap mereka meningkatkan ilmu mereka, maka Agung Sedayu sama sekali tidak mendesak karenanya.

Sebagaimana kedua orang lawan Glagah Putih, maka pada tataran tertentu kedua orang lawan Agung Sedayu telah mempergunakan ilmu yang serupa pula dengan ilmu mereka. Setiap sambaran angin karena gerak tubuhnya, telah memancar udara panas pula. Sehingga karena itu, maka semakin lama udara pun menjadi semakin panas karenanya.

Sebagai orang yang memiliki ilmu yang lebih tinggi dari lawan-lawan Glagah Putih, maka udara pun terasa lebih cepat menjadi panas. Bukan saja serangan langsung yang dilakukan oleh kedua lawan Agung Sedayu itu yang mampu memancarkan panas pada getar udara yang bergerak, tetapi setiap gerakan yang mereka lakukan. Karena itu, maka keduanya pun menjadi semakin lama semakin banyak bergerak mengitari Agung Sedayu.

Namun Agung Sedayu telah menyelimuti dirinya dengan ilmu kebal. Karena itulah, maka ia mampu mengatasi tusukan panas pada kulit dagingnya. Sehingga dengan demikian, seakan-akan ilmu itu sama sekali tidak banyak berarti bagi Agung Sedayu.

Memang Agung Sedayu masih belum menutup dirinya sama sekali dengan ilmu kebalnya. Ia masih merasakan serangan lawannya yang telah melontarkan udara panas di sekitarnya. Namun perasaan itu sama sekali tidak berpengaruh kepadanya yang memiliki daya tahan yang jarang ada bandingnya.

Karena itu, dalam pertempuran selanjutnya, kedua orang lawannya merasa heran, bahwa ilmunya itu sama sekali tidak dapat menggoyahkan apalagi melumpuhkannya, bahkan rasa-rasanya sama sekali tidak berarti apa-apa.

Dengan demikian maka kedua orang itu telah mencoba untuk meningkatkan serangan dengan wadag mereka. Bukan saja benturan-benturan kewadagan itu akan dapat mempengaruhi daya tahan lawannya, tetapi semakin banyak mereka bergerak, maka udara panas pun akan semakin banyak terhambur pula.

Karena itu maka pertempuran pun semakin lama menjadi semakin seru. Kedua orang lawan Agung Sedayu telah semakin meningkatkan kemampuan mereka, sehingga ketika mereka sampai pada puncak kemampuan yang tertinggi dari tataran yang tertinggi pula, maka dari ubun-ubun mereka nampak asap putih yang mulai mengepul.

Agung Sedayu memang melihat asap putih yang mengepul dari ubun-ubun kedua orang lawannya itu. Sebagai orang yang berilmu tinggi, maka iapun dapat menilai pertanda yang dilihatnya itu. Agaknya kedua orang lawannya benar-benar telah sampai pada puncak kemampuan mereka. Namun Agung Sedayu telah mengetrapkan ilmu kebalnya pada tataran yang tinggi pula. Karena itu, maka iapun merasa bahwa tubuhnya telah dilindungi dari serangan lawannya.

Tetapi ketika benturan-benturan berikutnya terjadi, maka Agung Sedayu terkejut. Ternyata ilmu lawannya benar-benar tinggi. Meskipun ia telah mengetrapkan ilmu kebalnya pada tataran yang tinggi, namun ternyata panasnya ilmu lawannya masih juga mampu menggoyahkan pertahanannya, menyusup pada selimut ilmu kebalnya.

“Bukan main,“ geram Agung Sedayu.

Dengan demikian maka Agung Sedayu memang harus lebih berhati-hati menghadapi kenyataan itu. Apalagi ketika pertempuran itu menjadi semakin cepat dan loncatan-loncatan menjadi panjang dan kuat, maka serangan-serangan yang tidak mengenai sasaran telah menyentuh dahan dan batang-batang perdu.

Agung Sedayu harus melihat kenyataan, bahwa ranting dan dahan-dahan yang tersentuh tangan kedua orang itu telah mengepulkan asap pula. Luka-luka bakar telah nampak pada dahan dan ranting-ranting itu, dan bahkan daun-daun pun telah menjadi hangus pula karenanya.

“Luar biasa,“ desis Agung Sedayu di luar sadarnya.

“Ternyata kau benar-benar anak iblis,“ geram orang yang berilmu tinggi itu, “akhirnya aku tahu bahwa kau berilmu kebal. Tetapi panas api di tanganku akan mampu menembus ilmu kebalmu. Bukan sekedar semburan udara panas karena ayunan tubuhku, tetapi tubuhku sendiri sudah menjadi bara.“

“Aku tidak menyangkal,“ sahut Agung Sedayu, “tetapi bukan berarti bahwa aku harus menyerah kau bantai di sini.“

“Ilmu kebalmu tidak akan menyelamatkanmu,“ berkata salah seorang dari kedua lawannya itu kemudian.

Namun Agung Sedayu telah berusaha meningkatkan ilmu kebalnya pula. Adalah ciri ilmu kebal yang dimiliki oleh Agung Sedayu, bahwa pada puncaknya ilmu kebal itu juga mempunyai akibat yang mirip dengan ilmu lawannya. Ilmu kebal Agung Sedayu pada tataran puncaknya juga mempengaruhi suhu udara di sekitarnya.

Karena itu, maka lawannya pun mulai merasa, bahwa udara memang menjadi panas. Getaran yang berbeda dari getaran di dalam dirinya membuat panasnya udara itu mempengaruhi kedua lawannya yang tidak terpengaruh oleh panasnya sendiri.

“Setan alas,“ orang itu mengumpat. Merekapun menjadi semakin yakin, bahwa Agung Sedayu adalah orang yang luar biasa, yang jarang terdapat duanya.

Namun meskipun Agung Sedayu mampu menahan pengaruh panas lawannya, tetapi pakaiannya ternyata tidak mampu bertahan. Di sana-sini, pakaiannya yang tersentuh serangan lawannya koyak dan berbekas luka bakar. Tetapi Agung Sedayu tidak membiarkan pakaiannya terkoyak habis oleh panasnya api lawan. Karena itu, maka iapun telah bergerak semakin lama semakin cepat pula.

Dengan demikian, maka pertempuran di antara Agung Sedayu dan kedua lawannya menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak bergerak semakin cepat dan keras. Sementara itu, panas pun telah dihambur-hamburkan di udara. Kedua belah pihak telah menaburkan panas dalam getaran yang berbeda.

Kedua lawan Agung Sedayu itu pun ternyata merasa semakin sulit untuk bergerak dan menyerang. Mereka tidak dapat dengan leluasa menyerang dan mengenai tubuh Agung Sedayu dengan sepenuh kekuatan mereka, dalam usaha mereka menembus ilmu kebalnya.

Ternyata bahwa Agung Sedayu dengan ilmu kebalnya, masih jauh lebih baik keadaannya dari kedua lawannya. Karena itu, maka kedua lawannya tidak dapat bertempur dalam keadaan itu untuk selanjutnya. Mereka harus mempergunakan kemampuan mereka yang lain, sehingga mereka akan dapat menembus pertahanan Agung Sedayu yang berlapis.

Lapisan udara panas yang menyengat kulit mereka jika mereka memasuki lingkungan pengaruhnya, kemudian lapisan ilmu kebal yang memang sulit untuk ditembus. Jika mereka sempat menggoyahkan ilmu kebal Agung Sedayu sebelumnya, ternyata bahwa Agung Sedayu masih belum meningkatkan ilmunya sampai ke puncak, yang ditandai dengan pengaruh panas di sekelilingnya.

Karena itu, maka kedua orang lawan Agung Sedayu itu telah merambah kepada ilmunya yang lebih tinggi dari tataran ilmu yang disadapnya di perguruannya. Mereka tidak lagi mengamburkan panas dengan sambaran udara karena geraknya, tetapi mereka mulai mempergunakan kemampuan tertinggi dari perguruan mereka. Kedua orang itu pun kemudian telah mengambil jarak yang satu dari yang lain.

Agung Sedayu menjadi semakin berhati-hati. Ia sadar, bahwa kedua lawannya telah merambah ke tingkat kemampuan mereka yang lebih tinggi.

Sementara itu, Glagah Putih pun masih juga terlalu sibuk melayani kedua lawannya. Beberapa kali ia harus meloncat menghindar dan menangkis lingkaran-lingkaran kecil namun bergerigi tajam yang dilemparkan oleh kedua lawannya yang telah mengambil tempat dari arah yang berbeda.

Namun Glagah Putih telah menggenggam ikat pinggangnya. Bukan ikat pinggang kebanyakan, tetapi ikat pinggang itu diterimanya dari Ki Mandaraka. Dengan ikat pinggang itu, Glagah Putih dengan tangkas telah menangkis serangan-serangan lawannya yang datang dari arah yang berbeda. Sehingga karena itu, maka Glagah Putih memang menjadi terlalu sibuk karenanya. Jika ia meloncat menyerang lawannya yang seorang, maka serangan berikutnya datang beruntun dari lawannya yang lain.

“Ada berapa banyak mereka membawa senjata-senjata itu?“ bertanya Glagah Putih di dalam hatinya.

Namun serangan-serangan lawannya itu seakan-akan memang tidak ada henti-hentinya. Keduanya agaknya telah mapan dengan ilmunya itu, sehingga mereka dapat saling mengisi dari arah yang berbeda sehingga sulit bagi Glagah Putih untuk menyerang salah seorang di antara mereka.

Tetapi Glagah Putih tidak dapat membiarkan dirinya menjadi sasaran serangan lawannya yang berbahaya itu. Karena itu, maka iapun telah berusaha untuk memecahkan kesulitan yang dihadapinya itu.

Dengan kemampuannya yang tinggi, maka tiba-tiba saja Glagah Putih telah meloncat dengan langkah yang panjang. Ketika serangan lawannya itu datang, Glagah Putih masih sempat sekali melingkar di udara. Demikian ia berjejak di tanah, maka dengan serta merta ia telah memutar ikat pinggangnya menyambar ke tubuh lawannya.

Ternyata lawannya pun bergerak cepat pula. Dengan tangkas ia menghindari serangan itu. Ketika ikat pinggang itu melayang menyambar ke arah kening, maka iapun sempat merendahkan dirinya. Dengan serta merta dari jarak yang dekat sekali, ia telah mengayunkan tangannya menyerang lambung Glagah Putih dengan lingkaran bergeriginya.

Tetapi Glagah Putih tidak mau dikoyak lambungnya. Dengan cepat pula ia melenting sambil menggeliat, sehingga lingkaran bergerigi itu terbang tidak lebih dari setebal jari dari lambungnya.

Namun Glagah Putih itu terkejut ketika telinganya yang tajam mendengar desing serangan yang begitu cepat dari arah lawannya yang lain. Glagah Putih memang berusaha mengelak. Tetapi ternyata bahwa ia terlambat. Perhatiannya sepenuhnya telah ditujukan kepada serangan lawannya yang terdekat yang akan mengoyak lanbungnya, sehingga serangan dari lawannya yang lain dari jarak yang lebih jauh telah luput dari perhatiannya.

Ternyata bahwa lingkaran bergerigi tajam yang dilontarkan berputar itu telah benar-benar mengoyak kulit di pundaknya. Demikian tajamnya gerigi yang berputar itu, sehingga luka di pundak Glagah Putih itu pun telah menganga cukup panjang.

Lawan Glagah Putih yang merasa telah berhasil melukainya itu tidak memberikan kesempatan kepadanya. Jika sekali mereka telah berhasil melukainya, maka kesempatan itu tentu akan diperolehnya lagi.

Beberapa kali serangan pun telah datang meluncur mengejarnya. Seakan-akan kemana ia pergi, maka serangan itu telah menyambarnya. Karena itu, maka iapun menjadi semakin sibuk. Sambil berloncatan iapun telah menangkis serangan itu dengan ikat pinggangnya. Namun lawannya ternyata memang licik. Mereka bertempur dari jarak tertentu, sehingga sulit bagi Glagah Putih untuk menjangkau lawannya dengan ikat pinggangnya.

Dengan sengaja lawannya memang berusaha agar mereka tidak dapat diserang dalam satu lingkaran. Jika Glagah Putih menyerang seorang di antaranya, maka yang lain akan dapat menyerang anak muda itu dengan lingkaran-lingkaran bergeriginya.

Luka di pundak Glagah Putih telah membuat anak muda itu menjadi sangat marah. Namun dalam pergulatan yang cepat berikutnya, lawan Glagah Putih itu sempat pula melukainya. Satu guratan yang tajam telah merobek lengan anak muda itu pula.

Dengan demikian maka kesabaran Glagah Putih pun semakin menipis. Pesan kakak sepupunya menjadi lupa-lupa ingat. Apalagi saat-saat keringatnya membasahi lukanya yang berdarah, yang terasa menjadi sangat pedih.

Karena itu, maka Glagah Putih tidak lagi membuat terlalu banyak pertimbangan. Ia tidak lagi sekedar membuat imbangan pada ilmu lawannya, sehingga udara yang panas itu telah diserap oleh kekuatan ilmunya yang membaurkan udara dingin.

Dalam keadaan yang semakin sulit, maka tiba-tiba saja Glagah Putih telah berloncatan menjauh. Bahkan sekali-sekali ia menjatuhkan dirinya sambil berguling untuk menghindari kejaran senjata lawannya. Ketika ia kemudian melenting berdiri, maka ia telah bersiap dengan ikat pinggangnya untuk menangkis setiap serangan yang bakal datang.

Namun kedua lawannya justru telah berhenti menyerang. Mereka berdiri termangu-mangu sambil menyaksikan, apa yang terjadi dengan Glagah Putih. Namun sejenak kemudian keduanya telah melangkah mendekat. Namun keduanya tetap berdiri pada jarak tertentu dan di arah yang hampir berlawanan.

Tetapi kesempatan itu tidak disia-siakan oleh Glagah Putih. Agaknya kedua orang lawannya tidak menyadari, apa yang sedang dipersiapkan oleh Glagah Putih. Dengan luka di pundak dan di lengannya, maka Gagah Putih tidak lagi mampu menahan kemarahan yang menghentak-hentak di dadanya.

Semakin dekat kedua orang lawannya di sisi yang berbeda, maka Glagah Putih pun telah bersiap sepenuhnya. Tetapi ia tidak lagi menggenggam ikat pinggangnya di tangan kanannya, tetapi ikat pinggang itu telah bergeser di tangan kirinya.

Kedua lawannya memang memperhitungkan hal itu. Mereka memang bertanya-tanya, kenapa ikat pinggang itu telah bergeser di tangan kiri. Tetapi mereka tidak menemukan jawabannya. Karena itu, maka mereka pun kemudian telah memusatkan perhatiannya pula kepada anak muda itu yang akan menjadi sasaran bidik mereka.

Di tangan kedua lawan Glagah Putih itu telah tergenggam lingkaran-lingkaran baja yang bergerigi tajam. Namun Glagah Putih telah memanfaatkan waktunya yang sedikit itu untuk mempersiapkan ilmunya. Karena itu, maka ketika kedua lawannya itu menjadi semakin dekat, maka iapun telah siap menghadapi mereka.

Glagah Putih memang tidak perlu menunggu terlalu lama. Kedua orang lawannya itu saling berpandangan sejenak. Namun tiba-tiba lingkaran bergerigi itu pun telah mulai terbang pula ke arahnya.

Glagah Putih menangkis serangan itu dengan ikat pinggang. Ketika serangan dari lawannya yang lain meluncur pula, maka Glagah Putih pun telah meloncat menghindar sambil merendah dan bertumpu pada satu lututnya. Namun demikian ia berlutut, maka iapun telah menggerakkan tangan kanannya dengan telapak tangan terbuka.

Kemarahan Glagah Putih ternyata telah dihempaskannya dengan lontaran ilmunya yang luar biasa ke arah salah seorang dari kedua lawannya. Serangan Glagah Putih demikian tiba-tiba. Ketika segulung api meluncur ke arah salah seorang lawannya, maka orang itu terkejut bukan kepalang. Serangan yang tidak diduganya telah meluncur dengan kecepatan yang sangat tinggi.

Orang itu masih berusaha untuk mengelak. Iapun telah meloncat dan menjatuhkan diri ke samping. Hampir separuh dari tubuhnya telah disengat oleh ilmu Glagah Putih. Orang itu telah mengaduh kesakitan. Ketika ia kemudian berusaha untuk bangkit, maka ternyata ia sudah tidak mampu lagi. Iapun terjatuh sekali lagi. Panasnya ilmu Glagah Putih benar-benar melumpuhkan bukan saja separuh dari tubuhnya. Namun kedua kakinya seakan-akan tidak dapat lagi digerakkannya.

Lawannya yang seorang memang menjadi ngeri melihat serangan anak muda itu. Pada umurnya yang masih muda, ia telah memiliki ilmu yang demikian dahsyatnya.

Namun Glagah Putih sendiri memang terkejut melihat kekuatan serangannya. Ia memang sudah meneliti tataran kemampuannya setelah ia menerima warisan alas kekuatan di dalam dirinya. Namun lontaran ilmu yang disadapnya dari gurunya Ki Jayaraga, dan dengan petunjuk dan tuntunan Raden Rangga sehingga ia mampu melontarkan ilmu itu tanpa petunjuk langsung dari gurunya, ternyata melampaui kemampuan daya tahan lawannya.

Glagah Putih yang melihat keadaan lawannya, menjadi berdebar-debar. Namun ia tidak mempunyai banyak kesempatan. Tiba-tiba saja lawan yang seorang lagi yang kemudian menyadari keadaannya, telah menyerang Glagah Putih dengan lingkaran bergeriginya pula.

Glagah Putih meloncat mengelak. Tetapi ia tidak menyerang lawannya dengan ilmunya itu lagi. Tetapi iapun kemudian telah memindahkan lagi ikat pinggangnya di tangan kanannya.

Ternyata bahwa Glagah Putih yang muda itu dengan susah payah berusaha untuk menguasai kemarahannya. Ia tidak berusaha menghancurkan kedua lawannya. Tetapi ia telah meredakan perasaannya dan siap bertempur dengan senjata di tangannya.

Sesaat kemudian, maka Glagah Putih telah mempergunakan lagi ikat pinggangnya. Tetapi ia tidak lagi harus melawan dua orang yang berada di arah yang berlawanan. Karena itu, maka segala sesuatunya segera menjadi jelas. Seorang lawannya dengan jenis senjata apapun tidak akan dapat memenangkan pertempuran itu.

Betapapun cepatnya tangannya bergerak melemparkan lingkaran-lingkaran bergerigi, namun Glagah Putih mampu menangkisnya dengan kecepatan yang sama. Bahkan seandainya orang itu bergerak lebih cepat lagi, Glagah Putih pun akan dapat pula mengimbanginya.

Dengan demikian maka orang itu pun dengan cepat telah terdesak. Ternyata bahwa Glagah Putih telah mendesak orang itu justru ke dalam hutan.

“Aku-lah yang memaksamu masuk ke dalam hutan,“ berkata Glagah Putih, “bukan kau. Aku akan bertempur dimana saja aku kehendaki. Jika aku ingin bertempur di luar hutan, maka tidak ada yang dapat memaksaku masuk ke dalam. Tetapi sekarang, aku ingin bertempur di dalam hutan. Maka tidak seorangpun yang akan dapat menahan aku.“

“Anak iblis, setan alas. Kau kira kau dapat memaksakan kehendakmu sesuka hatimu?“ geram orang itu.

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Aku memang dapat memaksamu. Kecuali kau memilih mati.“

“Kau sudah terluka. Darahmu akan segera terperas habis. Jika kau kehabisan darah, maka kau tidak akan dapat melawanku lagi,“ jawab orang itu.

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Ketika ia sempat merasakan, maka luka-lukanya memang menjadi pedih oleh keringatnya yang mengalir. Bahkan tiba-tiba saja terasa titik darah dari lukanya yang jatuh pada jari-jari kakinya.

Dengan demikian maka Glagah Putih pun berkata, “Pertempuran ini memang harus segera selesai. Jika tidak, maka darahku memang akan habis terperas dari luka.“

Namun lawannya menyadari arti kata-kata Glagah Putih itu. Ia memang agak menyesal, bahwa ia sudah mengancamnya. Namun bagaimanapun juga, ia memang harus bertempur sampai kemungkinan terakhir. Apalagi jika ia mengingat perintah yang sedang diembannya. Menurut perhitungan, maka seorang diri ia harus menghadapi Glagah Putih. Namun untuk meyakinkan kemenangannya, maka ia telah menghadapi anak itu berdua.

Namun ternyata bahwa usaha itu pun gagal untuk dilakukannya. Kawannya telah berbaring di antara batang ilalang. Ia tidak tahu apakah kawannya itu masih hidup atau sudah mati. Serangan yang dilemparkan oleh Glagah Putih memang mengejutkan. Bukan sekedar panasnya api. Tetapi seakan-akan dapat dilihat dengan mata wadagnya, gumpalan api itu.

Sebenarnyalah bahwa orang itu sama sekali tidak berdaya untuk bertahan ketika Glagah Putih mendesaknya masuk ke dalam hutan. Sehingga dengan demikian, maka sejenak kemudian, mereka memang telah bertempur di bibir hutan.

Dalam pada itu, Agung Sedayu masih juga terlibat dalam pertempuran yang sengit. Namun ketika mereka melihat apa yang telah dilakukan oleh Glagah Putih terhadap salah seorang saudara seperguruannya, maka kedua orang itu terkejut. Glagah Putih mampu melontarkan serangan dari jarak jauh. Segulung udara yang membara telah meluncur dan mengenai saudara seperguruannya itu, sehingga nasibnya tidak diketahui. Saudara seperguruannya itu memang terbaring di tanah. Tetapi apakah ia terbunuh, pingsan atau karena lukanya yang parah maka ia tidak mampu lagi untuk bangkit.

“Anak itu memiliki ilmu yang dahsyat itu pula,“ berkata orang-orang itu di dalam hatinya.

Meskipun keduanya yakin, bahwa alas dari ilmu itu lain dari ilmu mereka berdua, namun ujudnya memiliki kesamaan. Kedua orang yang bertempur melawan Agung Sedayu itu juga mampu melepaskan serangan dari jarak jauh dengan segulung udara panas sebagai puncak dari ilmunya menguasai panasnya api. Namun yang masih belum dapat dicapai oleh saudara seperguruannya yang lain yang ternyata tidak mampu mengalahkan Glagah Putih. Tetapi keduanya tidak sempat berpikir lebih panjang. Ketika keadaan menjadi semakin gawat, maka keduanya tidak lagi menyimpan ilmunya yang dahsyat itu.

“Ilmu itu akan mampu menembus perisai ilmu kebalnya,“ berkata orang-orang itu di dalam hatinya.

Sebenarnyalah, maka keduanya tidak menunggu lebih lama lagi. Dengan serta merta, hampir berbareng, maka keduanya telah menyiapkan diri. Dengan sigapnya maka keduanya telah menggerakkan kaki kanannya maju selangkah, merendah pada lututnya. Sebelah tangannya menggenggam dan mendatar di sisi tubuhnya, sementara tangan kanannya terjulur ke depan dengan tangan yang menelungkup dan menggenggam pula. Dari genggaman tangan itu, seakan-akan telah terjulur memanjang, namun yang kemudian bagaikan lingkaran udara yang membara meluncur mengarah ke sasaran, Agung Sedayu.

Tetapi Agung Sedayu sempat melihat dua serangan yang meluncur dari arah yang berbeda dengan jarak waktu yang hanya sekejap. Karena itu, maka iapun telah meloncat melenting menghindari kedua serangan itu. Namun Agung Sedayu harus segera bersiap pula, karena serangan yang serupa telah meluncur lagi dari salah seorang lawannya.

Agung Sedayu memang menjadi berdebar-debar. Ia melihat serangan lingkaran bergerigi yang mengarah kepada Glagah Putih. Namun pada satu saat lingkaran bergerigi itu tentu akan habis dari persediaan mereka. Tetapi lingkaran udara yang membara ini agaknya tidak akan ada habis-habisnya.

Sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu juga dibebani perasaan yang sama sebagaimana Glagah Putih. Ia ingin berusaha menangkap lawannya hidup-hidup. Bahkan ialah yang telah berpesan kepada Glagah Putih untuk bertempur dengan hati-hati.

Namun ternyata bahwa lawannya dan juga lawan-lawan Glagah Putih adalah orang-orang yang berilmu tinggi, sehingga ia tidak akan dapat menyalahkan Glagah Putih jika seorang di antara lawannya telah terbaring diam.

Tetapi berbeda dengan Glagah Putih yang memaksa lawannya masuk ke dalam hutan. Agung Sedayu justru berusaha menjauh. Ia tidak tahu pasti akibat yang dapat terjadi dengan udara panas yang bergulung-gulung itu. Jika udara panas itu beruntun mengenai pepohonan dan dedaunan hutan, maka ada kemungkinan panas itu pada satu saat akan benar-benar dapat menyalakan api dan membakar hutan itu. Tetapi dari jarak yang semakin jauh, maka udara panas yang luput dari sasarannya itu sudah kehilangan panasnya di saat menyentuh kekayuan hutan.

Demikianlah, maka Agung Sedayu untuk selanjutnya harus berloncatan bukan saja untuk menghindari serangan-serangan lawan, tetapi juga untuk menjauhi hutan. Sementara itu serangan-serangan lawannya rasa-rasanya menjadi semakin cepat.

Namun dengan ilmu kebalnya Agung Sedayu masih selalu dapat mengatasi serangan-serangan itu. Serangan yang dihindarinya, tidak mempunyai pengaruh sama sekali atas dirinya yang diselimuti oleh ilmu kebal itu. Meskipun Agung Sedayu sadar, bahwa sambaran udara panas itu tentu berpengaruh juga atas udara yang terbawa arus peluncuran ilmunya itu. Meskipun ia hanya sempat bergeser setebal daun dari gumpalan udara panas, namun ia tidak terluka karenanya.

Kedua lawannya pun menjadi berdebar-debar karenanya. Dengan demikian keduanya sadar, bahwa ilmu kebal Agung Sedayu adalah ilmu kebal yang sangat kuat. Mereka harus benar-benar dapat mengenai Agung Sedayu tepat pada tubuhnya untuk memungkinkan gumpalan udara panas itu mengoyak ilmu kebalnya. Tetapi Agung Sedayu itu ternyata mampu bergerak cepat untuk menghindarinya.

Namun serangan itu datang beruntun cepat sekali. Bahkan kedua orang itu tidak saja menyerang dari tempat mereka berdiri. Tetapi keduanya telah berloncatan pula dan menyerang dari arah yang berbeda-beda. Karena itulah maka serangan itu datang meluncur silang menyilang. Apalagi ujud dari gumpalan udara yang panas itu tidak begitu jelas nampak. Hanya karena ketajaman mata Agung Sedayu yang berilmu tinggi sajalah, maka ia dapat melihat jelas datangnya serangan itu.

Ketika dalam keadaan yang sulit, serangan lawannya itu benar-benar mengenai tangannya yang sedang bergerak dan terkembang, maka Agung Sedayu telah merasakan betapa dahsyatnya ilmu itu. Ternyata ilmu itu memang mampu menembus ilmu kebalnya, sehingga tangannya itu telah merasakan serangan udara panas. Dengan demikian Agung Sedayu dapat membayangkan, tanpa perlindungan ilmu kebal, maka tangannya itu tentu sudah menjadi hangus.

“Kedua orang itu memang sangat berbahaya,“ berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.

Karena itu, maka Agung Sedayu tidak mempunyai cara yang lain untuk melawan mereka selain dengan melawan serangan dari jarak jauh itu dengan serangan dari jarak yang sama. Itulah sebabnya, maka Agung Sedayu pun bertekad untuk menghentikan serangan-serangan lawannya. Gumpalan udara panas itu tidak akan ada habis-habisnya jika sumbernya masih mampu melancarkan serangan berlandaskan ilmunya yang sangat tinggi itu.

Untuk beberapa saat Agung Sedayu masih saja berloncatan menghindari serangan lawannya yang datang dari arah yang silang menyilang. Namun kemudian Agung Sedayu pun telah berdiri tegak dengan tangan bersilang.

Ia memang merasakan gigitan udara panas pada pundaknya ketika serangan lawannya mengenainya dan menembus ilmu kebalnya. Meskipun Agung Sedayu merasa sakit, tetapi ia dengan yakin menyadari bahwa serangan lawannya yang menyusup ilmu kebalnya itu tidak melukai kulitnya. Namun pada saat yang demikian Agung Sedayupun telah mulai menyerang lawannya dengan sorot matanya yang mampu meluncurkan ilmunya.

Kedua lawannya terkejut. Meskipun kepada keduanya telah diberikan beberapa keterangan tentang Agung Sedayu yang memiliki ilmu sangat tinggi, namun kemampuan Agung Sedayu yang disaksikannya itu memang melampaui gambaran mereka sebelumnya.

Ketika serangan Agung Sedayu itu datang, seleret cahaya dari kedua matanya menyambar salah seorang di antara lawannya, maka dengan serta merta lawannya itu meloncat menjatuhkan dirinya sambil berguling. Namun pada saat yang sama serangan dari lawannya yang lain telah meluncur dengan derasnya.

Tetapi hal itu memang sudah diperhitungkan oleh Agung Sedayu. Karena itu, demikian serangannya meluncur, Agung Sedayu telah siap menghadap ke arah lawannya yang lain itu. Udara panas yang meluncur dari lawannya itu, ternyata telah mengarah ke dada Agung Sedayu di saat ia berputar. Namun tepat pada waktunya Agung Sedayu telah terjongkok sambil meluncurkan serangan dengan sorot matanya.

Kecepatan gerak Agung Sedayu itu benar-benar tidak terduga. Pada saat orang itu masih menunggu akibat serangannya, maka serangan Agung Sedayu telah terbang ke arahnya melampaui kecepatan anak panah yang lepas dari busurnya. Tidak ada kesempatan untuk berbuat banyak. Yang dapat dilakukannya adalah menjatuhkan dirinya sebagaimana dilakukan oleh kawannya.

Pada saat yang demikian Agung Sedayu merasakan serangan lawannya yang seorang lagi mengenainya di punggungnya, sehingga rasa-rasanya punggungnya memang bagaikan tersentuh api. Betapa dahsyatnya ilmu lawannya dapat diperhitungkan oleh Agung Sedayu. Seandainya ia tidak dilapisi dengan ilmu kebalnya, maka agaknya ia memang sudah dihancurkan oleh lawannya.

Sambil mengerahkan daya tahannya untuk mengatasi rasa sakitnya Agung Sedayu tidak beranjak dari tempatnya. Seperti yang diperhitungkan, maka lawannya yang dihadapinya itu telah meloncat berdiri.

“Jangan!“ lawan yang lain, yang baru saja menyerangnya telah berteriak.

Namun terlambat. Demikian orang itu berdiri di atas tanah, maka serangan Agung Sedayu telah menyambarnya. Yang terdengar adalah teriakan tertahan. Serangan Agung Sedayu pun tidak kalah dahsyatnya dengan serangan kedua lawannya itu. Karena itu, maka lawannya itu pun telah terlempar. Jika kemudian ia jatuh dan terguling, bukannya karena ia menghindari serangan Agung Sedayu, tetapi benar-benar karena serangan itu telah menghantam dadanya.

Dengan sekuat tenaga orang itu berusaha untuk bertahan. Ketika kemudian ia terbaring diam, maka iapun berusaha untuk mengatur pernafasannya sebaik-baiknya. Bahkan kemudian ia berusaha untuk bangkit agar ia dapat memusatkan nalar budinya sambil duduk, sehingga perlahan-lahan akan dapat mengatasi kesulitan di dalam dadanya. Namun ia tidak berhasil.

Sementara itu, lawannya yang lain dengan segenap kekuatan dan kemampuan ilmunya telah berusaha menghancurkan Agung Sedayu. Ketika ia melihat kawannya telah dikenai serangan Agung Sedayu dan jatuh berguling, maka iapun telah berusaha untuk menyerang Agung Sedayu lagi. Ia yakin bahwa serangannya mampu menembus ilmu kebal Agung Sedayu, sehingga bagaimanapun juga, maka serangannya itu akan berpengaruh.

Namun ketika serangan itu meluncur, Agung Sedayu-lah yang berguling di tanah, kemudian melenting dan berloncatan menyamping. Bahkan sekali-sekali berputaran di udara.

Tetapi lawannya tidak mau kehilangan kesempatan. Jika sekali Agung Sedayu sempat melepaskan serangannya, maka ia sendiri-lah yang akan mengalami kesulitan, sementara ia tidak memiliki ilmu kebal sebagaimana Agung Sedayu.

Ketika Agung Sedayu kemudian berdiri tegak, maka dengan serta merta, lawannya pun telah melontarkan serangannya mengarah ke dada. Tetapi Agung Sedayu hanya bergeser selangkah ke samping. Justru pada saat ia telah siap melontarkan ilmunya. Karena itu, maka sekejap berikutnya,. Agung Sedayu benar-benar telah melontarkan serangannya ke arah lawannya yang telah bersiap-siap pula untuk menyerangnya. Ternyata tidak ada kesempatan lagi bagi lawannya untuk menghindar. Ia sudah terlanjur bergerak. Bukan saja wadagnya, tetapi juga pengerahan ilmunya. Dengan demikian, ketika serangan Agung Sedayu meluncur dengan deras, maka lawannya itu pun telah melontarkan serangannya pula.

Sejenak kemudian, telah terjadi benturan ilmu yang dahsyat sekali. Kekuatan ilmu yang matang dari Agung Sedayu yang terlontar lewat sorot matanya yang membentur kekuatan ilmu lawannya yang sudah mapan pula. Segulung udara panas telah membentur seleret cahaya yang menyambar bagaikan petir di langit.

Udara pun seakan-akan telah meledak. Kedua jenis ilmu yang tinggi itu ternyata telah beradu kekuatan. Namun bagaimanapun juga, dalam benturan itu telah terjadi kekuatan yang terpental, berbalik ke arah semula, di samping yang memencar ke segala arah. Meskipun tidak sepenuhnya, namun kekuatan yang terpental kembali ke sumbernya itu cukup berbahaya.

Ternyata dalam benturan itu dapat pula dinilai kekuatan ilmu dari kedua belah pihak. Lawan Agung Sedayu yang terlalu berbangga akan ilmunya itu harus mengakui, bahwa kekuatan ilmu Agung Sedayu masih lebih tinggi dari ilmunya. Itulah sebabnya maka getaran ilmunya sendiri yang memental ke arah sumbernya lebih besar dari getaran ilmu Agung Sedayu yang memental balik.

Terlindung oleh kekuatan ilmu kebalnya serta getaran ilmunya yang sudah melemah, maka Agung Sedayu tidak begitu terpengaruh oleh pukulan ilmunya sendiri yang memental karena benturan itu. Sebaliknya, lawan Agung Sedayu yang tidak terlindung di belakang ilmu kebal, serta kekuatan ilmu yang berada di bawah tataran ilmu Agung Sedayu, sementara jarak benturan itu lebih dekat darinya karena ia agak lambat melepaskan ilmunya, maka pengaruhnya nampak jauh lebih besar padanya.

Kekuatan udara yang panas itu ternyata telah menyergap dan membakar kulit dagingnya. Demikian tinggi kekuatan ilmu itu, sehingga lawan Agung Sedayu itu sendiri tidak mampu bertahan karenanya. Ternyata kekuatan ilmu Agung Sedayu yang lebih besar itu sebagaian bukan saja menyusup di antara ilmu lawannya, tetapi juga menimbulkan getaran dengan gelombang yang semakin cepat, sehingga seolah-olah gabungan kekuatan yang timbul kemudian itu menjadi semakin kuat.

Yang terjadi itu ternyata mempunyai akibat yang parah bagi lawannya. Orang itu ternyata telah terlempar dan akhirnya jatuh terbanting di tanah.

Agung Sedayu sendiri masih berdiri tegak. Namun kemudian disadarinya bahwa sebagian dari pakaiannya pun telah menjadi hangus pula. Bahkan terasa pula betapa pedihnya kulitnya yang tersentuh ilmu lawannya yang mampu menembus ilmu kebalnya.

Sejenak kemudian keadaan menjadi hening. Tiga orang terbaring diam di antara batang-batang ilalang.

Agung Sedayu berdiri termangu-mangu memandang ke sekelilingnya. Ia masih belum melihat Glagah Putin yang telah mendesak lawannya masuk ke dalam hutan. Karena itu, Agung Sedayu menjadi sedikit cemas karenanya. Apalagi Agung Sedayu pun mengetahui bahwa Glagah Putih memang telah terluka.

Karena itu, maka Agung Sedayu pun kemudian dengan hati-hati telah mendekat dan masuk ke lingkungan pepohonan hutan yang semakin lama semakin lebat itu. Dengan mengikuti jejak pertempuran antara Glagah Putih dengan seorang lawannya, maka Agung Sedayu pun kemudian telah sampai pula ke medan yang agaknya juga sudah menjadi tenang.

Dengan telinganya yang tajam, Agung Sedayu kemudian mendengar desir langkah seseorang. Dengan hati-hati ia kemudian berdesis memanggil, “Glagah Putih?“

Sebenarnya-lah yang berjalan di antara pepohonan adalah Glagah Putih. Karena itu, maka iapun kemudian menyahut, “Apakah itu Kakang Agung Sedayu?“

Agung Sedayu pun kemudian berusaha mendekati Glagah Putih sebagaimana sebaliknya. Namun Agung Sedayu menjadi cemas ketika ia melihat Glagah Putih yang nampaknya mengalami kesulitan.

“Glagah Putih,“ desis Agung Sedayu, “bagaimana dengan kau?“

Glagah Putih berhenti sejenak. Dengan nada rendah ia menjawab, “Agaknya darah sudah terlalu banyak mengalir dari luka-lukaku Kakang.“

Agung Sedayupun dengan cepat telah mendekatinya. Dengan hati-hati ia mengamati luka di pundak dan di lengan Glagah Putih. Karena itu, maka iapun kemudian berkata, “Aku obati lukamu. Duduklah.“

Glagah Putih pun kemudian telah duduk bersila. Sementara itu Agung Sedayu mengambil bumbung-bumbung kecil dari kantong ikat pinggangnya. Dengan serbuk reramuan obat, maka Agung Sedayu telah mengobati luka Glagah Putih itu.

Glagah Putih mengatupkan giginya rapat-rapat ketika serbuk ditaburkannya pada lukanya. Perasaan pedih pun telah menyengat. Namun ketika perasaan pedih itu kemudian diatasinya, maka darah pun mulai membeku di mulut luka, sehingga sejenak kemudian maka luka-luka itu pun telah menjadi pampat.

“Jangan banyak bergerak,“ berkata Agung Sedayu. Glagah Putih mengangguk.

“Dimana lawanmu yang seorang itu?“ bertanya Agung Sedayu pula.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Adalah di luar kemampuanku untuk menangkapnya hidup-hidup. Sebenarnya kesempatan itu ada. Tetapi agaknya orang itu telah menelan racun untuk membunuh dirinya sendiri.“

Agung Sedayu terkejut. Dengan kening yang berkerut ia bertanya untuk mendapat kepastian, “Jadi orang itu menelan racun untuk membunuh dirinya sendiri?“

Glagah Putih mengangguk. Dengan nada rendah ia menjawab, “Aku sudah mencoba untuk mencegahnya. Tetapi aku terlambat.”

“Apaboleh buat,” desis Agung Sedayu kemudian, “kita sudah berusaha. Di luar hutan ini ada tiga orang terbaring. Marilah, kita akan melihatnya, apakah masih ada seorang di antara mereka yang masih hidup. Tetapi kau harus berhati-hati agar dari lukamu tidak lagi mengalirkan darah.”

Glagah Putih pun kemudian dibantu oleh Agung Sedayu telah bangkit. Namun tubuhnya memang terasa lemah sekali. Karena itu maka Agung Sedayu harus membantunya. Sekali-sekali Glagah Putih harus berpegangan lengan Agung Sedayu jika tiba-tiba saja terasa keseimbangannya goyah.

Namun akhirnya keduanya telah keluar dari hutan. Agung Sedayu pun kemudian membantu Glagah Putih duduk di sebuah batu padas sambil berkata, “Kau duduk saja di situ. Aku akan melihat mereka.”

Glagah Putih mengangguk. Ia memang merasa bahwa tubuhnya menjadi lemah. Karena itu, ia harus berusaha untuk mengatur pernafasannya dan berusaha mengatasi segala gejolak yang masih terasa di jantungnya. Ia pun sadar, bahwa ia tidak boleh terlalu banyak bergerak agar darahnya menjadi benar-benar pampat lebih dahulu.

Dengan demikian maka Agung Sedayu-lah yang kemudian dengan hati-hati mendekati tubuh-tubuh yang terbaring diam itu. Namun ketika ia menjadi semakin dekat, maka iapun terkejut. Tubuh yang pertama yang didekatinya ternyata bagaikan telah membeku. Namun di bawah kakinya nampak pula noda-noda kebiruan.

“Racun,” desis Agung Sedayu.

Ternyata bahwa di luar pengamatannya, orang itu pun telah menelan racun pula sebagaimana lawan Glagah Putih. Agaknya mereka lebih baik mati daripada tertangkap.

Dengan berdebar-debar Agung Sedayu melihat kedua orang yang lain. Satu di antara mereka memang nampak bernoda kebiruan di tubuhnya. Namun agaknya yang seorang lagi tidak sempat menelan racun karena ilmu Agung Sedayu telah langsung membunuhnya.

Yang terjadi itu memang bukan yang dikehendaki oleh Agung Sedayu dan Glagah Putih. Tetapi keduanya memang tidak mampu mencegahnya. Kematian itu seakan-akan memang harus terjadi atas mereka sesuai dengan keinginan mereka sendiri, untuk menghindari kesulitan-kesulitan yang dapat terjadi atas mereka jika mereka tertangkap dan menjadi tawanan Mataram.

Agung Sedayu pun kemudian memberitahukan hal itu kepada Glagah Putih, sehingga dengan demikian keduanya mendapat kesimpulan, bahwa bunuh diri dengan menelan racun itu bukan sikap pribadi lawan Glagah Putih. Tetapi adalah sikap keempat orang itu bersama-sama. Atau bahkan sikap perguruan mereka, jika mereka menghadapi keadaan seperti yang dialami oleh keempat orang itu.

“Kita harus menguburkan mereka,” berkata Agung Sedayu.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia mengerti bahwa hal itu memang harus dilakukan. Mereka tidak akan dapat meninggalkan empat sosok mayat begitu saja di padang ilalang dan di dalam hutan. Tetapi Glagah Putih merasa bahwa tubuhnya memang terlalu lemah.

Agaknya Agung Sedayu mengerti perasaan yang bergejolak di dalam hati adik sepupunya. Karena itu, maka katanya, “Bagaimanapun juga kita tidak akan dapat melakukannya sendiri. Tetapi kita akan dapat minta tolong orang-orang dari padukuhan terdekat. Meskipun dengan demikian kita tidak dapat menyembunyikan kejadian ini.”

Glagah Putih mengangguk-angguk pula. Namun iapun kemudian bertanya, “Apakah dalam keadaan seperti ini kita akan pergi ke padukuhan?”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya memang berat untuk memasuki padukuhan dalam ujud seperti itu. Tetapi mereka memang memerlukan bantuan selain tenaga, juga alat untuk menggali tanah. Bahkan jika mungkin, keempat tubuh yang terbunuh itu sebaiknya dibawa ke kuburan.

Namun akhirnya Agung Sedayu itu berkata kepada Glagah Putih, “Apakah sebaiknya kau sajalah yang pergi berkuda, tetapi dengan hati-hati, menuju ke padukuhan terdekat. Kau juga harus berupaya agar para pengawal berlaku tenang dan tidak menimbulkan kegelisahan. Katakan bahwa semua persoalan telah diselesaikan. Aku akan berada di sini. Masih ada kemungkinan lain dapat terjadi di sini. Kemungkinan yang sama memang dapat juga terjadi di jalan. Tetapi kudamu adalah kuda yang baik dan tegar, kau tentu akan dapat mencapai pedukuhan terdekat tanpa dapat disusul oleh kuda yang manapun juga. Sementara pakaianmu masih lebih pantas dari yang aku pakai, meskipun bernoda darah dan koyak di beberapa tempat. Dan kau tentu akan dapat menguasai suasana sehingga saatnya kita melaporkan kepada Ki Gede.”

Glagah Putih termangu-mangu. Namun baginya memang lebih baik duduk di punggung kuda dan mencapai padukuhan terdekat daripada harus menggali lubang bagi empat orang atau bahkan membawa mereka ke kuburan.

Karena itu, maka katanya, “Baiklah Kakang, aku akan pergi ke padukuhan di sebelah hutan kecil itu. Jaraknya tidak terlalu jauh. Agaknya di padukuhan itu terdapat cukup anak-anak muda untuk membantu kita di sini.”

“Hati-hatilah. Aku akan menunggu di sini. Mudah-mudahan kita tidak menemui kesulitan,” berkata Agung Sedayu.

Demikianlah, Agung Sedayu telah membantu Glagah Putih naik ke punggung kudanya. Kemudian kuda itu pun telah berlari meninggalkan tempat itu meskipun tidak terlalu cepat. Namun pedukuhan itu memang tidak terlalu jauh. Lepas dari pinggir hutan itu, maka Glagah Putih pun telah memasuki padang perdu yang tidak terlalu luas, dan akhirnya memasuki lingkungan tanah garapan orang-orang padukuhan.

Glagah Putih memang berusaha untuk tidak melintasi jalan yang banyak dilalui orang. Ia memilih jalan pintas yang sempit dan sepi. Namun akhirnya, mendekati padukuhan, Glagah Putih memang harus melalui jalan induk padukuhan itu.

Untunglah bahwa jalan memang sedang sepi. Karena itu, maka dengan diam-diam ia memasuki gerbang padukuhan dan langsung menuju ke banjar.

Beberapa orang pengawal yang berada di banjar memang terkejut. Ketika dengan lemah Glagah Putih turun dari kudanya. Apalagi ketika mereka melihat darah yang mengering di pakaiannya yang koyak.

“Apa yang terjadi Glagah Putih?” bertanya para pengawal yang bertugas hari itu di banjar dengan serta merta.

Glagah Putih mencoba tersenyum. Katanya, “Tidak ada apa-apa. Semuanya sudah teratasi.”

“Tetapi pakaianmu, dan barangkali kau terluka?” bertanya salah seorang dari anak-anak yang bertugas itu.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi keadaan tubuhnya memang sudah menjadi lebih baik meskipun ia tidak boleh bergerak terlalu kasar, agar darahnya tidak lagi keluar dari lukanya.

Perlahan-lahan Glagah Putih berjalan mendekati anak-anak muda itu sambil berkata, “Bukankah aku boleh duduk dahulu?”

“Marilah. Marilah,” anak-anak muda itu seakan-akan baru sadar akan keadaan Glagah Putih yang lemah. Seorang di antara mereka telah membantu Glagah Putih dan membawanya duduk di pendapa.

“Dengarlah,” berkata Glagah Putih kemudian, “tetapi kalian harus bersikap baik. Jangan menimbulkan kegelisahan dan seakan-akan akan terjadi perang di sini.”

Anak-anak muda itu mengangguk. Dengan hati-hati dan seperlunya, Glagah Putih telah memberi tahukan apa yang telah terjadi.

Kemudian katanya, “Kami memerlukan bantuan beberapa orang anak muda untuk menguburkan mayat-mayat itu. Tetapi kita harus menjaga suasana yang baik, agar kami sempat memberikan laporan terperinci kepada Ki Gede. Tetapi jika telah terjadi kegaduhan sebelum kami memberikan laporan, akan dapat menimbulkan salah paham.”

Anak-anak muda di banjar itu mengerti maksud Glagah Putih. Karena itu sambil mengangguk-angguk, pemimpin kelompok anak muda yang bertugas itu berkata, “Baiklah. Kami akan menghubungi kawan-kawan kami tanpa isyarat kentongan yang mungkin akan dapat menimbulkan kegelisahan. Kami akan mendatangi mereka seorang demi seorang.”

“Baiklah. Tetapi sekali lagi, hati-hatilah. Sementara aku menunggu mereka berkumpul, aku dapat beristirahat di sini. Kakang Agung Sedayu saat ini masih berada di pinggir hutan itu,” berkata Glagah Putih yang masih sempat meminjam sepengadeg pakaian kepada salah seorang anak muda itu, sebagaimana pernah terjadi sebelumnya.

Ternyata bahwa usaha Glagah Putih berhasil. Beberapa orang anak muda telah terkumpul tanpa kesan keributan. Mereka datang ke banjar dengan sikap yang tenang dan tidak menunjukkan kegelisahan.

“Terima kasih,” berkata Glagah Putih, “kita akan pergi ke sebelah hutan itu. Tetapi kita tidak akan pergi bersama-sama, supaya tidak ada kesan yang menggelisahkan.”

Glagah Putih pun kemudian telah memberikan ancar-ancar kemana anak-anak muda itu harus pergi. Sementara itu beberapa orang di antara mereka telah membawa alat-alat untuk menggali tanah.

Dengan tanpa menarik perhatian, anak-anak muda itu pun kemudian telah pergi ke tempat yang ditunjukkan oleh Glagah Putih. Seperti saat ia datang, maka Glagah Putih telah kembali ke hutan itu berkuda, meskipun tidak terlalu cepat.

Agung Sedayu yang menunggu rasa-rasanya memang sudah terlalu lama. Namun sambil menunggu ia sudah berhasil mengatasi semua kesulitan di dalam dirinya. Rasa sakitnya pun telah berangsur hilang. Namun ia harus mengakui tingkat kemampuan lawan-lawannya yang tinggi, sehingga ilmu mereka mampu menembus ilmu kebalnya.

Pada saat Agung Sedayu mulai menjadi gelisah, maka Glagah Putih pun telah kembali.

“Apa kau berhasil?” bertanya Agung Sedayu.

“Ya. Beberapa orang kawan akan datang. Mereka sedang dalam perjalanan,” jawab Glagah Putih.

Sebenarnyalah, sejenak kemudian beruntun beberapa orang anak muda telah sampai ke tempat itu. Mereka membawa alat-alat yang diperlukan sebagaimana diminta oleh Glagah Putih.

“Kami memerlukan pertolongan kalian,” berkata Agung Sedayu.

Anak-anak muda yang menyaksikan bekas arena pertempuran itu menjadi berdebar-debar. Mereka juga melihat keadaan Agung Sedayu sebagaimana Glagah Putih yang terluka. Dengan demikian mereka telah membayangkan bahwa pertempuran telah terjadi dengan sengitnya. 

Sementara anak-anak muda itu mengumpulkan tubuh-tubuh yang terkapar, maka Agung Sedayu sempat bergumam kepada Glagah Putih, “Ternyata mereka berkata sebenarnya. Tidak ada orang lain selain mereka berempat.”

“Ya. Tetapi agaknya mereka terlalu yakin akan kemampuan mereka,” berkata Glagah Putih.

“Tetapi ilmu mereka memang luar biasa,” berkata Agung Sedayu.

“Agaknya orang-orang Madiun telah memilih orang yang paling baik untuk menghadapi Kakang, karena mereka telah mendapat keterangan yang lengkap tentang Kakang. Dua orang yang lain adalah mereka yang masih pada tataran yang lebih rendah,” berkata Glagah Putih. Lalu, “Agaknya jika dua orang yang melawan Kakang itu memilih aku sebagai lawannya, mungkin aku tidak akan sempat keluar dari hutan.”

Agung Sedayu menggeleng. Katanya, “Tidak Glagah Putih. Jika kau terdesak oleh lawan-lawanmu, karena kau terlalu terikat oleh pesanku agar kau menangkap lawanmu hidup-hidup. Jika kau tidak aku bebani dengan pesan itu, mungkin kau tidak terluka karenanya.”

“Tidak Kakang,” berkata Glagah Putih, “ternyata ilmuku masih jauh dari mapan.”

Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Ada baiknya kau berpikir seperti itu.”

Namun dalam pada itu, seorang anak muda telah bertanya, “Bukankah hanya tiga orang yang terbunuh di sini?”

Agung Sedayu-lah yang menjawab, “Ya. Seorang terbunuh di dalam hutan. Marilah, kita mengambilnya.”

“Biar aku saja Kakang,” berkata Glagah Putih.

“Beristirahatlah,” sahut Agung Sedayu, “kau masih belum dibenarkan terlalu banyak bergerak.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Agung Sedayu diikuti oleh beberapa orang anak muda telah masuk ke dalam hutan. Memang tidak terlalu dalam. Namun Agung Sedayu pun segera menemukan sesosok tubuh yang terbaring diam. Tanda-tanda racun yang bekerja di tubuhnya nampak pada kulitnya dengan noda-noda kebiruan.

Sejenak kemudian, maka empat sosok tubuh telah dikumpulkan. Namun kuburan berada di tempat yang terlalu jauh dari hutan itu. Karena itu, maka mereka bersepakat untuk membuat kuburan baru di tepi hutan itu.

“Kita akan memberinya pertanda,” berkata Agung Sedayu yang siap menguburkan keempat sosok tubuh itu. Namun sebelumnya ia berkata, “Kita akan menelitinya sekali lagi. Apakah ada ciri-ciri yang dapat dikenali pada sosok-sosok mayat itu.”

Anak-anak muda itu pun berusaha untuk melihat dengan teliti. Namun pertanda yang mereka perlukan itu sama sekali tidak ada. Bahkan Agung Sedayu sendiri dan Glagah Putih pun tidak menemukan apa-apa pada sosok-sosok mayat itu. Pada ikat pinggangnya, timang dan bahkan ikat kepalanya. Yang diketemukan adalah sisa-sisa senjata yang telah mereka pergunakan. Lingkaran-lingkaran kecil bergerigi tajam.

Agung Sedayu telah mengambil dan membawa dua buah senjata itu. Mungkin hal itu akan dapat memberikan petunjuk kelak. Ia akan dapat berbicara dengan Ki Jayaraga dan Ki Gede.

Demikianlah, setelah semuanya siap, maka keempat sosok tubuh itu pun telah diturunkan ke dalam lubang-lubang kubur. Demikian kubur itu ditutup, maka mereka pun telah memberikan pertanda, sehingga apabila diperlukan, mereka akan segera dapat menemukannya. Agung Sedayu pun telah minta anak-anak muda itu mengingat-ingat ujud dari orang-orang yang telah dikuburkan itu, sehingga mereka akan dapat menyebut ujud-ujud serta ciri-ciri dari yang terkubur itu masing-masing, meskipun tanpa dapat menyebut nama mereka.

Baru kemudian setelah selesai seluruhnya, serta dengan pakaian pinjaman, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih bersama-sama dengan anak-anak muda yang membantu mereka, meninggalkan tempat itu. Namun Agung Sedayu dan Glagah Putih masih berpesan, agar untuk sementara mereka tidak membuat kesan yang dapat menimbulkan kegelisahan.

“Kami akan berbicara dengan Ki Gede,” berkata Agung Sedayu.

“Silahkan,” jawab salah seorang anak itu, “namun pada saatnya kami memerlukan keterangan yang mapan, sehingga kami sendiri tidak menjadi gelisah karenanya.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Jawabnya, “Aku atau Glagah Putih akan segera menemui kalian. Tolong, rawat kuda-kuda dari keempat orang yang terbunuh itu.”

Demikianlah, maka mereka pun kemudian telah terpisah. Agung Sedayu dan Glagah Putih tidak singgah lagi di padukuhan itu, tetapi mereka akan langsung melaporkan persoalannya kepada Ki Gede. Bagaimanapun juga, Tanah Perdikan Menoreh menjadi salah satu sasaran dari sekelompok orang yang berada di Madiun, yang menginginkan Mataram menjadi lemah.

Seperti yang dikatakan kepada anak-anak muda itu, Agung Sedayu dan Glagah Putih yang lemah memang langsung menghadap Ki Gede, yang kebetulan memang tidak sedang bepergian melihat-lihat Tanah Perdikannya.

Ki Gede mendengarkan laporan Agung Sedayu dan Glagah Putih dengan sungguh-sungguh, karena apa yang terjadi itu merupakan bagian dari usaha-usaha lain yang mengancam Tanah Perdikan Menoreh. Karena Tanah Perdikan itu telah meletakkan dirinya di sisi Mataram, maka mau tidak mau Tanah Perdikan Menoreh akan langsung terlibat jika benar-benar terjadi pertentangan dan benturan kekerasan dengan Madiun.

Namun dalam persoalan antara Mataram dan Madiun, Agung Sedayu berkata, “Panembahan Senapati dan Panembahan Madiun telah bersepakat untuk bertemu dan berbicara dengan terbuka.”

Tetapi ketajaman penglihatan Ki Gede dalam persoalan itu telah membuatnya berhati-hati sekali. Dengan nada rendah ia berkata, “Memang mungkin sekali bahwa keduanya baik Panembahan Madiun maupun Panembahan Senapati berniat untuk menyelesaikan persoalan yang mereka hadapi dengan pembicaraan yang terbuka. Namun di belakang Panembahan Madiun mungkin ada orang-orang yang tidak mau melihat pembicaraan itu berhasil. Bahkan secara jujur kita harus mengatakan, bahwa mungkin di Mataram juga ada orang-orang yang terlalu ingin menyelesaikan persoalan dengan kekerasan. Perang yang dikutuk oleh sebagian besar umat manusia itu agaknya memang dapat menimbulkan keberuntungan kepada beberapa pihak tertentu. Mungkin perang itu sendiri, mungkin akibat dari peperangan itu.”

Agung Sedayu dan Glagah Putih mengangguk-angguk. Agaknya memang demikian yang telah terjadi. Sehingga dengan demikian maka pertemuan antara Panembahan Senapati dan Panembahan Madiun itu akan sangat penting artinya.

Sementara itu, setelah memberikan laporan selengkapnya, maka Agung Sedayu pun mohon ijin untuk kembali bersama Glagah Putih. Sementara itu Ki Gede pun telah merencanakan untuk bertemu dengan para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh dan para pamong di padukuhan-padukuhan.

“Sebaiknya mereka mengetahui persoalannya,” berkata Ki Gede. “Setiap kali telah terjadi peristiwa-peristiwa yang mendebarkan dan bahkan mengejutkan di Tanah Perdikan ini. Untuk menghindari kegelisahan yang tidak pada tempatnya, maka persoalan ini memang harus segera dijelaskan.”

“Kami sependapat Ki Gede,” Jawab Agung Sedayu, “agaknya hal itu memang perlu.”

“Besok pagi kita akan bertemu. Kau sempat beristirahat. Aku minta kau menjelaskan persoalannya,” berkata Ki Gede.

“Baik Ki Gede,” jawab Agung Sedayu, “besok pagi, di saat matahari naik, aku sudah berada di sini.”

Demikianlah maka Agung Sedayu dan Glagah Putih pun telah mohon diri. Sementara itu, Ki Gede pun telah memerintahkan para pengawal untuk memanggil para pemimpin, para bebahu dan para pamong di padukuhan-padukuhan untuk bertemu besok pagi di rumah Ki Gede, untuk mendengarkan penjelasan tentang peristiwa yang telah terjadi di Tanah Perdikan, namun juga persoalan yang berkembang di Mataram

Ki Bekel pun ternyata telah mengundang pula satu atau dua orang pemimpin dari pasukan khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan.

Ketika Agung Sedayu dan Glagah Putih sampai di rumahnya, maka Sekar Mirah pun terkejut melihat keadaan mereka. Terutama Glagah Putih yang masih belum pulih kembali. Wajahnya masih kelihatan pucat, meskipun tenaganya sebagian telah kembali.

“Apa yang telah terjadi?” bertanya Sekar Mirah. Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ki Jayaraga yang kemudian datang pula menyongsong mereka, telah melihat dengan cemas keadaan Glagah Putih.

“Ia sudah berangsur baik,” berkata Agung Sedayu, “tetapi anak itu memang perlu beristirahat.”

Demikianlah, maka ketika mereka sudah duduk di ruang dalam, sementara Sekar Mirah telah menghidangkan minuman hangat dan beberapa potong makanan, Agung Sedayu pun mulai menceritakan apa yang telah terjadi.

“Kami sudah melaporkan kepada Ki Gede,” berkata Agung Sedayu, “besok akan ada pertemuan dengan para pemimpin, para bebahu dan para pamong di padukuhan-padukuhan. Mereka harus mengerti persoalannya dengan jelas.”

“Persoalan antara Mataram dan Madiun?” bertanya Ki Jayaraga.

“Ya. Tetapi sudah barang tentu tidak seluruhnya,” jawab Agung Sedayu, “hanya yang penting-penting sajalah yang akan diberitahu kepada mereka.”

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata, “Memang tidak seluruhnya dapat diberitahukan kepada para bebahu, para pamong di padukuhan serta para pemimpin kelompok pengawal. Tetapi mereka memang perlu mengerti apa yang sedang mereka hadapi.” Ki Jayaraga berhenti sejenak, lalu, “Tetapi yang menarik adalah satu usaha untuk membunuh diri dari satu kelompok murid sebuah perguruan. Sebagaimana kau ceritakan, bahwa sikap keempat orang itu tentu bukan sikap pribadi. Sikap itu tentu sikap perguruan mereka.”

“Ya. Sikap itu tentu sikap perguruan mereka. Pemimpin perguruan mereka-lah yang agaknya telah memerintahkan mereka untuk melakukan hal itu,” berkata Agung Sedayu, “bahkan murid-murid mereka yang terbaik. Agaknya keempat orang itu termasuk orang-orang terbaik di perguruan mereka. Itupun harus melakukan bunuh diri untuk menghilangkan jejak.”

“Tetapi sikap itu sendiri merupakan jejak sebuah perguruan,” berkata Ki Jayaraga, “orang-orang yang mati itu memang tidak dapat lagi menjawab pertanyaan apapun. Tetapi cara mati yang mereka pilih itulah yang akan berbicara.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Kau benar Ki Jayaraga. Kita memang menemukan satu jalur jejak yang dapat kita telusuri. Bunuh diri itu sebagai satu sikap sebuah perguruan merupakan jejak untuk mengenali mereka lebih jauh. Mungkin seseorang pernah mengenal sebuah perguruan yang mempunyai ciri seperti itu.”

“Kita akan berusaha,” berkata Ki Jayaraga. “Jika kita mendapat kesempatan dan waktu, maka kita akan dapat menemukan padepokan itu. Kita akan dapat memperlakukannya sebagaimana padepokan Nagaraga.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, “Kita akan melaporkannya pula ke Mataram. Tetapi kita tidak dapat menentukan waktunya.”

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Namun setiap kali ia tentu akan kecewa, karena ia akan terlalu sulit untuk mendapat kesempatan ikut dalam tugas yang dilakukan oleh Agung Sedayu.

Demikianlah, maka Sekar Mirah pun kemudian telah mempersilahkan Agung Sedayu dan Glagah Putih untuk membersihkan diri dan beristirahat secukupnya. Besok pagi mereka akan berbicara dengan para pemimpin di Tanah Perdikan Menoreh.

Ketika Glagah Putih berada di butulan, setelah ia pergi ke pakiwan, maka pembantu di rumah Agung Sedayu itu bertanya, “Kenapa kau sebenarnya?”

“Jatuh dari kuda,” jawab Glagah Putih.

“Nah, kau rasakan. Karena itu jangan terlalu sombong dengan kudamu yang tegar itu. Sekali-sekali kau memang pantas dilemparkan untuk memperingatkanmu,” berkata anak itu.

Glagah Putih tertawa kecil. Katanya, “Aku pukul kuda itu dengan sepotong kayu.”

“Kau pukul?” bertanya anak itu.

“Ya,” jawab Glagah Putih.

“Kau telah membuat kudamu semakin marah kepadamu. Kudamu itu tentu membencimu. Lain kali kau tentu akan dilemparkannya sekali lagi,” berkata anak itu.

“Aku sudah minta maaf,” berkata Glagah Putih.

“Minta maaf kepada siapa?” bertanya anak itu.

“Kepada kudaku,” jawab Glagah Putih sambil tertawa pula.

“Kau kira kudamu mengerti?” anak itu bersungut.

“Mudah-mudahan,” berkata Glagah Putih sambil melangkah masuk.

“Tunggu,” berkata anak itu pula, “apakah kau nanti malam akan turun?”

“Ke sungai maksudmu?” bertanya Glagah Putih.

“Ya,” jawab anak itu.

“Tentu tidak. Kau tahu, badanku baru sakit. Kau lihat luka-lukaku ini? Aku telah jatuh di atas batu-batu padas yang runcing,” jawab Glagah Putih.

“Kau terlalu cengeng,” berkata anak itu pula, “laki-laki tidak boleh cengeng. Luka itu tidak seberapa. Seharusnya kau tidak mengeluh karena luka itu.”

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Apakah kau ingin mencoba jatuh dari punggung kuda di atas batu-batu padas?”

“Jangan mencari kawan. Jatuhlah sendiri,” berkata anak itu sambil melangkah pergi.

Glagah Putih memandang anak itu sambil mengangguk-angguk kecil. Katanya kepada diri sendiri “Ternyata ia adalah anak yang tekun. Seumurnya sudah tidak banyak lagi yang turun, meskipun masih ada satu dua. Anak-anak yang lebih muda-lah yang menggantikannya.” Glagah Putih mengangguk-angguk, lalu katanya selanjutnya di dalam hatinya, “Sebaiknya keinginannya dipenuhi. Ia ingin serba sedikit memiliki kemampuan, setidak-tidaknya untuk melindungi dirinya sendiri.”

Malam itu, Glagah Putih benar-benar beristirahat. Ia tidur hampir semalam suntuk. Ia benar-benar ingin memulihkan kekuatan wadagnya yang menjadi lemah karena darahnya yang banyak mengalir dari luka-lukanya.

Di samping obat dan reramuan yang diminumnya, maka beristirahat sebaik-baiknya akan cepat menolongnya.

Namun Agung Sedayu-lah yang tidak segera pergi tidur. Ia masih berbincang dengan Ki Jayaraga dan Sekar Mirah tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi.

“Tetapi niat baik dari kedua belah pihak untuk bertemu itu sudah merupakan pertanda baik,” berkata Ki Jayaraga.

“Namun ternyata terlalu banyak pihak yang tidak ingin melihat perdamaian antara Mataram dan Madiun. Tentu bukan hanya orang-orang Madiun yang ingin mengambil keuntungan dari kekisruhan yang terjadi. Tetapi juga orang Mataram,” berkata Agung Sedayu.

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Memang banyak pihak yang akan dapat mengambil keuntungan dari setiap kekisruhan yang terjadi. Bahwa kesempatan bagi orang-orang yang ingin mengacaukan Mataram telah mendapat dukungan dari orang-orang Mataram sendiri, adalah satu pertanda. Bahkan tidak mustahil bahwa orang-orang itu bukan sekedar orang-orang kebanyakan. Tetapi mungkin juga orang-orang yang memiliki wewenang di dalam istana Mataram.

Namun akhirnya Agung Sedayu, Ki Jayaraga dan Sekar Mirah sependapat, bahwa Tanah Perdikan Menoreh sebagai salah satu landasan kekuatan Mataram harus lebih berhati-hati menghadapi usaha-usaha yang akan dapat menodai nama Tanah Perdikan mereka.

“Besok hal itu akan aku singgung,” berkata Agung Sedayu, “justru besok diharap akan hadir pula pemimpin atau siapapun yang ditugaskan, dari pasukan khusus Mataram yang ada di Tanah Perdikan ini.”

Namun tiba-tiba saja Ki Jayaraga berkata hampir kepada diri sendiri, “Bagaimana dengan daerah-daerah lain yang juga menjadi landasan kekuatan Mataram? Bagaimana pula dengan Jati Anom dan Sangkal Putung? Pajang justru sedang dalam kekosongan. Selama ini Pajang merupakan penyekat yang baik tetapi sekaligus penghubung yang baik antara Mataram dan Madiun. Namun kini Pangeran Benawa sudah tidak ada.”

“Panembahan Senapati telah memperhitungkannya. Bahwa agaknya telah dipersiapkan pula pengganti Pangeran Benawa, karena Pajang memang tidak boleh terlalu lama kosong,” berkata Agung Sedayu.

“Hubungan baik antara Mataram dan Madiun sebagian juga tergantung siapakah yang akan duduk sebagai pemimpin di Pajang. Jika yang ditunjuk oleh Panembahan Senapati tidak disetujui Panembahan Madiun, maka akibatnya akan semakin mengaburkan hubungan antara Mataram dan Madiun,” berkata Ki Jayaraga.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Rasa-rasanya ada keinginan untuk bertemu dengan Swandaru, khusus dalam persoalan ini. Kiai Gringsing dan Sabungsari tentu sudah menemuinya. Mungkin Guru telah memanggil Adi Swandaru untuk datang ke padepokan kecilnya. Tetapi mungkin pula Guru singgah di Sangkal Putung langsung dari Mataram pada waktu itu.”

“Ada juga baiknya kita pergi ke Sangkal Putung,” tiba-tiba saja Sekar Mirah menyahut.

Ki Jayaraga tersenyum. Katanya, “Tentu ada kerinduan atas kampung halaman. Tetapi dengan demikian aku akan menjadi penunggu rumah lagi.” Sekar Mirah pun tertawa. Tetapi katanya, “Sudah lama sekali aku tidak berkunjung ke Sangkal Putung.”

Ki Jayaraga yang juga tersenyum, mengangguk-angguk pula. Katanya, “Tetapi kita ingin mendengar, siapakah yang akan dipilih oleh Agung Sedayu untuk menemaninya ke Sangkal Putung kelak.”

Namun Agung Sedayu menjawab sambil tertawa, “Bukankah belum pasti kapan aku akan berangkat? Jika Ki Gede memandang Tanah Perdikan ini untuk sementara tidak boleh aku tinggalkan, maka aku pun tidak akan pergi.”

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya dengan nada datar, “Baiklah. Aku akan menunggu.”

Ternyata mereka sempat berbicara sampai jauh malam. Namun akhirnya Ki Jayaraga berkata, “Bukankah kau juga perlu beristirahat? Beristirahatlah. Meskipun kau tidak terluka seperti Glagah Putih, tetapi kau tentu juga merasa letih karena kau harus berhadapan dengan dua orang berilmu tinggi. Namun seandainya kau mempergunakan ilmumu memecah diri dengan ujud lebih dari satu, kau tidak akan dapat disentuh oleh serangannya yang mengandung panasnya api.”

“Bagaimana jika keduanya memiliki kemampuan untuk melihat ujud yang sejati?” bertanya Agung Sedayu.

“Jarang sekali. Bahkan hampir tidak ada yang dapat melakukannya. Namun di antara yang mungkin tidak ada itu, agaknya akan ada juga,” berkata Ki Jayaraga.

“Ternyata Yang Maha Agung telah melindungi aku,” berkata Agung Sedayu.

Demikianlah, maka akhirnya pembicaraan itu berakhir juga. Agung Sedayu memang merasa letih dan ingin beristirahat. Tugas-tugas yang lain masih menunggunya.

Pagi-pagi benar, Agung Sedayu dan Glagah Putih telah bersiap, sementara Sekar Mirah sibuk menyiapkan makan pagi mereka. Tetapi Sekar Mirah tidak perlu bersusah payah mencari lauk bagi mereka, karena pembantunya semalam telah mendapat ikan cukup banyak dari pliridannya di pinggir sungai.

“Kau memang luar biasa,” berkata Glagah Putih memuji anak itu.

“Kau kira tanpa kau, aku tidak dapat menangkap ikan?” jawab anak itu.

“Ah sombongnya kau,” desis Glagah Putih.

“Kau dapat melihat buktinya,” jawab anak itu pula. Glagah Putih hanya tersenyum saja. Namun iapun kemudian telah dipanggil masuk. Bersama-sama Agung Sedayu dan Ki Jayaraga ia dipersilahkan untuk makan pagi.

Sejenak kemudian maka mereka pun telah berada di rumah Ki Gede. Mereka telah datang mendahului para pemimpin Tanah Perdikan yang diundang oleh Ki Gede.

Dengan demikian maka mereka sempat berbicara lebih dahulu tentang yang manakah yang sebaiknya mereka beritahukan kepada para pemimpin, dan yang manakah yang masih harus mereka simpan lebih dahulu, agar Tanah Perdikan itu tidak menjadi gelisah dan dibayangi oleh kecemasan, seolah-olah perang sudah berada di ambang pintu.

Demikianlah, maka pada saatnya para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh telah mulai berdatangan. Memang nampak kegelisahan membayang di wajah mereka. Peristiwa demi peristiwa yang terjadi, baik di Tanah Perdikan itu sendiri maupun yang terjadi di Mataram dan sekitarnya, memang dapat menimbulkan kecemasan di hati orang-orang Tanah Perdikan itu.

Karena itu, penjelasan memang penting bagi mereka, sehingga para pemimpin itu akan dapat melihat keadaan yang sewajarnya sedang mereka hadapi.

Setelah mereka yang diundang itu berkumpul, mulailah Ki Gede membuka pertemuan itu. Dengan sedikit pengantar, Ki Gede kemudian mempersilahkan Agung Sedayu untuk menjelaskan keadaan Tanah Perdikan Menoreh, yang pada saat itu menghadapi kemelut yang terjadi antara Mataram dan Madiun.

“Yang harus kita ketahui, justru adanya orang yang dari kedua belah pihak yang ingin memanfaatkan pertentangan yang timbul itu bagi diri mereka sendiri. Kesalah-pahaman antara Mataram dan Madiun memang perlu dipecahkan. Kedua pemimpin dari kedua belah pihak telah berniat untuk melakukannya,” berkata Agung Sedayu kemudian setelah memberikan beberapa keterangan tentang hubungan kedua Panembahan itu. “Tetapi satu hal yang penting bagi kita, bahwa kita telah mengakui Panembahan Senapati sebagai pemimpin tunggal dari Tanah ini. Meskipun kita menghormati Panembahan Madiun sebagaimana wajarnya kita menghormati seorang pemimpin, namun kedudukan antara Panembahan Madiun dan Panembahan Senapati berada pada tataran yang berbeda.”

Para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh itu mengangguk-angguk. Sementara Agung Sedayau berkata selanjutnya, “Perbedaan tataran itu kita akui sebagaimana kita menyadari akan tataran kedudukan Tanah Perdikan ini dih adapan Mataram.”

Dengan demikian maka para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh itu pun melihat semakin jelas, apa yang sedang berkecamuk di antara Mataram dan Madiun. Namun mereka pun semakin kukuh berdiri di atas keyakinan mereka tentang hubungan antara Tanah Perdikan Menoreh, Mataram dan Madiun. Mereka pun semaakin mengerti, dimana mereka harus berdiri.

“Karena itu, maka kita harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya menghadapi segala kemungkinan yang bakal datang. Agal atau alus. Kasar atau lembut. Namun kita semua berharap, mudah-mudahan Panembahan Senapati dan Panembahan Madiun dapat memecahkan persoalan yang ada di antara mereka,” berkata Agung Sedayu.

Para pemimpin itu, termasuk pemimpin pasukan khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh, telah mengerti dengan jelas. Namun sebagaimana diharapkan oleh Agung Sedayu, maka mereka harus bekerja dengan tenang dan tidak menumbuhkan kegelisahan.

“Peningkatan latihan-latihan keprajuritan adalah wajar,” berkata Agung Sedayu, “namun kita belum memasuki suasana perang.”

Para pemimpin Tanah Perdikan itu mengangguk-angguk.

Ketika keterangan Agung Sedayu itu selesai, ditambah oleh beberapa pesan Ki Gede sendiri, maka beberapa orang telah mengajukan pertanyaan, langkah-langkah yang manakah yang sebaiknya mereka ambil secepatnya.

“Kita mempersiapkan diri sebaik-baiknya,” jawab Agung Sedayu, “tetapi tidak dengan tergesa-gesa dan mungkin menimbulkan keresahan. Kewaspadaan atas orang-orang yang tidak kita kenal, dan tidak cepat percaya kepada berita apapun, lebih-lebih yang dapat menimbulkan perpecahan di antara kita. Kita dengan diam-diam harus mengamati setiap gejolak yang timbul di antara kita dan sikap yang asing, yang mungkin merupakan pantulan pengaruh dari luar.”

Para pemimpin itu menjadi semakin jelas akan tugas yang mereka hadapi. Satu kerja keras, namun yang tidak menimbulkan keresahan dan tidak menarik perhatian.

Demikianlah, maka di hari berikutnya ternyata semuanya sudah mulai sibuk di Tanah Perdikan dan di barak para prajurit dari Pasukan Khusus dari Mataram.

Mereka mulai menyusun kelompok-kelompok yang akan mulai dengan latihan-latihan yang berat. Namun mereka pun telah menyusun kelompok peronda yang lebih luas, meliputi seluruh Tanah Perdikan, dan berada di bawah satu pimpinan bersama antara pimpinan pengawal Tanah Perdikan dengan pimpinan Pasukan Khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan.

Mereka telah menyusun pula isyarat-isyarat sandi jika benar-benar terjadi sesuatu di Tanah Perdikan. Kedua belah pihak telah menemukan batas-batas tugas mereka masing-masing, sehingga tidak akan timbul kesalah-pahaman di antara mereka.

Ketika latihan-latihan di hari-hari berikutnya benar-benar diselenggarakan, memang timbul pula pertanyaan. Namun para pemimpin selalu mengatakan, bahwa latihan-latihan itu tidak lebih dari usaha peningkatan kemampuan dan sekedar berjaga-jaga.

Dalam pada itu, agaknya pikiran yang timbul pada Agung Sedayu untuk melihat keadaan gurunya serta perkembangan yang timbul di Sangkal Putung menjadi semakin besar. Bahkan pada satu saat, Agung Sedayu telah membicarakannya dengan Sekar Mirah dan Glagah Putih, sekaligus untuk melihat keluarga masing-masing yang telah lama tidak mereka lihat.

Sementara itu, maka Ki Jayaraga telah mereka minta untuk tinggal di Tanah Perdikan sementara mereka pergi.

“Aku sudah menduga,” berkata Ki Jayaraga.

Agung Sedayu tersenyum sambil berkata, “Lain kali kita akan pergi. Tugas mendatang masih panjang.”

Ki Jayaraga tertawa pula.

“Kami akan mohon ijin kepada Ki Gede. Agaknya kami akan singgah pula di Mataram, memberikan laporan tentang empat orang yang terbunuh itu, serta mungkin ada pesan yang harus kami bawa bagi Kakang Untara,” berkata Agung Sedayu.

Ki Jayaraga hanya mengangguk-angguk saja. Meskipun sekali-sekali ia ingin ikut berbuat sesuatu, namun iapun menyadari bahwa Tanah Perdikan yang menjadi salah satu sasaran dari usaha sekelompok orang dari daerah Madiun yang ingin memotong dahan-dahannya lebih dahulu sebelum menebang pohonnya, Mataram, memang perlu mendapat perhatian.

Karena itu, maka jika ia berada di Tanah Perdikan Menoreh, bukan berarti bahwa ia tidak berbuat apa-apa bagi Mataram, bersama dengan Ki Gede dan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh.

Namun iapun menyadari, bahwa pengembaraan yang pernah dilakukannya kadang-kadang memang menimbulkan kerinduan.

Dalam pada itu, di Tanah Perdikan Menoreh memang telah berlangsung latihan-latihan bagi para pengawal melampaui latihan-latihan yang biasa mereka lakukan. Mereka kembali memasuki masa kesiagaan yang berat. Bukan saja latihan-latihan di lereng bukit dan di hutan-hutan. Tetapi juga pengawasan yang semakin cermat atas seluruh daerah Tanah Perdikan Menoreh.

Bahkan anak-anak muda yang bukan pengawal pun telah melakukan latihan-latihan. Mereka memperdalam cara menggunakan senjata dan bahkan juga latihan-latihan ketahanan tubuh. Hampir setiap pagi, menjelang matahari terbit, di lereng-lereng bukit, anak-anak muda berkumpul setelah berlari-larian menyusuri jalan-jalan bulak persawahan. Beberapa saat mereka mendapat latihan menggunakan senjata sesuai dengan minat masing-masing. Sekelompok anak-anak muda berlatih menggunakan tombak. Sekelompok yang lain pedang, dan yang lain lagi mempergunakan senjata rangkap. Bahkan ada di antara mereka yang merangkapi kemampuan bermain senjata dengan ketrampilan melontarkan senjata-senjata kecil. Pisau belati kecil, paser dan senjata semacamnya.

Bahkan ada beberapa orang yang ingin juga mampu mempergunakan senjata sebagaimana digunakan oleh Agung Sedayu. Cambuk.

Para pengawal yang memiliki kemampuan yang lebih baik pun telah melengkapi bekal mereka sebagaimana seorang prajurit. Sehingga dengan demikian, maka para pengawal Tanah Perdikan Menoreh memiliki kemampuan tidak kurang dari prajurit Mataram dan sudah tentu juga prajurit Madiun.

Bergantian, kelompok-kelompok pengawal dan anak-anak muda Tanah Perdikan telah mengadakan latihan khusus di daerah pebukitan dan hutan-hutan yang masih pepat untuk waktu tertentu. Setiap kelompok direncanakan akan mempergunakan waktu setengah bulan tanpa meninggalkan lingkungan latihan mereka. Mereka akan membuat gubug-gubug kecil yang akan mereka pergunakan untuk melindungi diri dari panas maupun hujan yang bagaimanapun lebatnya.

Sebelum Agung Sedayu dan Glagah Putih meninggalkan Tanah Perdikan, maka bersama dengan Sekar Mirah dan Ki Jayaraga, mereka langsung turun memberikan latihan-latihan kepada para pengawal dan anak-anak muda Tanah Perdikan. Ki Gede sendiri yang menjadi semakin tua telah mempercayakan kepemimpinan para pengawal dan anak-anak muda Tanah Perdikan kepada angkatan yang lebih muda. Apalagi Agung Sedayu dan Glagah Putih memang diketahuinya memiliki kemampuan yang tinggi.

Namun pada suatu saat, Agung Sedayu memang menghadap Ki Gede untuk minta ijin meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh barang satu dua pekan. Bersama dengan Sekar Mirah dan Glagah Putih, ia ingin mengunjungi Jati Anom dan Sangkal Putung.

Ki Gede memang dapat mengerti, bahwa Glagah Putih ingin menengok orang tuanya sebagaimana Sekar Mirah. Sementara itu Agung Sedayu tentu ingin juga bertemu dengan kakaknya dan gurunya.

“Tetapi bukankah Ki Jayaraga masih tetap tinggal?” bertanya Ki Gede.

“Ya Ki Gede. Ki Jayaraga akan berada di Tanah Perdikan ini. Ki Jayaraga akan dapat membantu Ki Gede jika diperlukan,” jawab Agung Sedayu.

“Apakah Glagah Putih telah sembuh sama sekali?” bertanya Ki Gede pula.

“Sudah Ki Gede, Glagah Putih telah dapat ikut dalam latihan-latihan yang diadakan di Tanah Perdikan,” berkata Agung Sedayu. Lalu, “Sementara itu, para pelatih di barak prajurit dari Pasukan Khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan telah bersedia memberikan latihan-latihan khusus pula kepada para pengawal dan anak-anak muda di Tanah Perdikan ini, disamping kesediaan mereka untuk ikut menjaga ketenangannya.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Kesediaan para prajurit dari Pasukan Khusus itu akan membantu tugas anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh.

Karena itu, maka Ki Gede pun kemudian menyatakan bahwa ia tidak berkeberatan untuk mengijinkan Agung Sedayu pergi. Tetapi dengan pesan, “Kalian harus segera kembali. Keadaan dapat berubah dengan cepat sekali.”

“Jika ada tanda-tanda perkembangan keadaan itu Ki Gede, kami akan segera kembali. Perjalanan dari Sangkal Putung ke Tanah Perdikan ini tidak akan makan waktu terlalu panjang,” berkata Agung Sedayu.

Demikianlah, maka di hari yang sudah ditentukan, pagi-pagi benar Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih telah bersiap. Jika mereka berangkat, maka mereka masih akan singgah di rumah Ki Gede untuk minta diri.

“Kau akan pergi lagi?” bertanya pembantu di rumah Agung Sedayu.

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Aku akan menengok ayahku.”

Anak itu mengangguk-angguk. lapun kemudian bertanya, “Berapa hari kau akan pergi?”

“Tidak lama. Satu atau dua pekan,” jawab Glagah Putih.

“Satu atau dua pekan menurut hitunganmu adalah seratus hari,” desis anak itu.

Glagah Putih tertawa. Ditepuknya bahu anak itu sambil berdesis, “Kau tahu, bahwa sekarang aku pergi bersama Kakang Agung Sedayu dan Mbokayu Sekar Mirah. Jadi bukan akulah yang menentukan kapan aku akan kembali.”

Anak itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Semakin lama kau pergi, semakin baik. Tidak ada yang mengurangi hasil ikanku setiap hari.”

“Kau masih suka merajuk. Kau sudah remaja sekarang. Bahkan sebentar lagi kau akan meningkat menjadi anak muda yang perkasa. Sejak sekarang kau harus menabah sikapmu,” berkata Glagah Putih sambil tertawa pula.

Anak itu tidak menjawab lagi. Tetapi bersama Ki Jayaraga ia berdiri di regol ketika Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih meloncat ke punggung kuda di luar halaman.

Anak itu sempat melambaikan tangannya. Glagah Putih membalasnya sambil berkata, “Hati-hati jika kau turun di kali. Jangan sampai keliru, menangkap ular.”

Anak itu mengangguk. Namun ketika orang itu menjadi semakin jauh, Ki Jayaraga menggamit anak itu sambil berkata, “Kita tinggal berdua. Nanti malam aku ikut kau turun ke sungai.”

“Ki Jayaraga?” bertanya anak itu hampir tidak percaya.

“Ya. Kenapa? Di masa remajaku, aku adalah pencari ikan yang ulung. Pernah sekelompok anak-anak muda yang sebaya kakakku berlomba mencari ikan. Aku yang paling muda di antara mereka, ternyata memenangkan lomba itu,” jawab Ki Jayaraga.

Anak itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah, Malam nanti aku akan memberitahukan kepada Ki Jayaraga jika aku akan turun.”

Ki Jayaraga tersenyum sambil menepuk pundak anak itu. Lalu katanya, “Sekarang kau rebus air. Aku akan mengisi jambangan pakiwan.”

Anak itu mengangguk. Iapun kemudian melangkah melintasi halaman, langsung ke pintu dapur.

Ki Jayaraga masih berdiri di regol sejenak. Hari masih terlalu pagi. Tetapi jika Agung Sedayu tidak ada, maka biasanya ia pergi ke rumah Ki Gede. Mungkin ada sesuatu yang penting untuk dibicarakan. Meskipun umurnya dengan Ki Gede sebaya, tetapi cacat di kaki Ki Gede yang agaknya sulit untuk sembuh sama sekali, membuat Ki Gede tidak terlalu sering keluar rumah. Meskipun bukan berarti bahwa Ki Gede tidak pernah mendatangi padukuhan-padukuhan yang berada di dalam lingkungan Tanah Perdikan.

Ketika Ki Jayaraga berjalan ke pendapa, maka Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih telah mendekati regol halaman rumah Ki Gede. Sejenak kemudian, mereka pun telah memasuki regol dan dengan demikian maka mereka pun turun dari kuda mereka.

Agaknya Ki Gede pun telah bangun pula dan duduk menghadapi minuman panas di ruang dalam. Ketika seorang pengawal memberitahukan kedatangan Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih, maka Ki Gede pun telah menerima mereka di ruang itu pula.

“Kalian jadi akan berangkat hari ini?” bertanya Ki Gede.

“Ya Ki Gede,” jawab Agung Sedayu, “selagi suasana terasa tenang.”

“Di sini. Kita tidak tahu apa yang terjadi di daerah-daerah lain di sekitar Mataram. Termasuk pendukung-pendukung kuatnya. Bahkan mungkin Pati sudah dijamah pula oleh orang-orang Madiun yang tidak menginginkan ketenangan itu,” sahut Ki Gede.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Lalu katanya pula, “Kami akan singgah barang sebentar di Mataram untuk menyampaikan laporan apa yang telah terjadi di sini, di Tanah Perdikan Menoreh.”

Ki Gede termangu-mangu sejenak, lalu katanya, “Sebaiknya juga kau laporkan kesiagaan bersama antara Tanah Perdikan ini dengan Pasukan Khusus Mataram di sini.”

“Ya Ki Gede,” jawab Agung Sedayu, “mudah-mudahan Panembahan Senapati mendapat gambaran yang utuh tentang perkembangan keadaan di Tanah Perdikan ini.”

“Baktiku kepada Panembahan Senapati,” berkata Ki Gede kemudian, “serta salamku kepada keluarga di Jati Anom dan Sangkal Putung. Aku berharap bahwa kalian tidak terlalu lama. Sepekan agaknya sudah cukup untuk melepaskan rindu kalian atas keluarga Jati Anom dan Sangkal Putung.”

Agung Sedayu mengangguk hormat. Katanya, “Kami memang berharap untuk segera kembali. Tidak lebih dari sepekan.”

Demikianlah, maka ketika orang itu pun sekali lagi mohon diri. Sementara Agung Sedayu memberitahukan bahwa Ki Jayaraga akan selalu datang ke rumah Ki Gede untuk membantu apapun jika diperlukan.

Beberapa saat kemudian, ketiga orang itu pun telah berkuda meninggalkan padukuhan induk Tanah Perdikan. Di perjalanan, mereka memang bertemu dengan anak-anak muda dan pengawal. Jika mereka bertanya maka Agung Sedayu selalu menjawab, “Kami akan pergi ke Sangkal Putung untuk satu dua hari.”

“Bagaimana dengan latihan-latihan kami?” bertanya seorang anak muda yang bertemu di tanggul parit.

“Para perwira dari barak Pasukan Khusus telah sanggup menggantikan kami.”

“Mereka terlalu keras, dan bahkan kasar,” berkata anak muda.

“Untuk menjadi prajurit yang baik memang harus mengalami latihan yang keras,” jawab Agung Sedayu.

“Tetapi kami bukan prajurit,” jawab anak muda itu.

“Dalam keadaan yang gawat, tanpa kemampuan seorang prajurit maka kita akan digilas. Lebih baik kita memikul beban yang berat di saat-saat latihan, daripada kita menghadapi kesulitan di medan perang, yang mungkin akan dapat merenggut nyawa kita,” berkata Agung Sedayu sambil tersenyum.

Anak muda itu mengangguk-angguk. Katanya, “Kau benar. Jika kita pingsan di waktu latihan, kita akan segera mendapat pertolongan.”

Agung Sedayu tertawa. Sementara Glagah Putih berkata, “Tetapi jika kita mati di medan perang, tidak ada seorangpun yang akan mampu menolong kita.”

Anak muda itu pun tertawa pula.

Demikianlah, maka Agung Sedayu meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh dengan meninggalkan beban atas anak-anak muda dan pengawalnya. Sementara Agung Sedayu memang menyadari, bahwa para perwira prajurit dari Pasukan Khusus biasanya memberikan latihan-latihan dengan ikatan yang keras dan ketat. Sehingga terhadap anak-anak muda dan para pengawal Tanah Perdikan itu pun mereka memperlakukannya sama dengan para prajurit sendiri.

Namun demikian maka anak-anak muda dan para pengawal Tanah Perdikan akan benar-benar menjadi pengawal yang bernilai sama dengan prajurit.

Ketika Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih mendekati Kali Praga, maka tampak airnya seakan-akan menjadi semakin keruh. Agaknya mendung di arah utara telah menjatuhkan air hujan di ujung Kali Praga itu.

Perjalanan mereka bertiga tidak banyak mengalami hambatan. Hampir tidak ada orang yang mengenali Sekar Mirah sebagai seorang perempuan. Agar ia dapat leluasa naik di atas punggung kuda, maka Sekar Mirah telah mengenakan pakaian seorang laki-laki, sebagaimana sering dilakukannya. Namun dengan demikian maka Sekar Mirah menjadi jarang-jarang sekali berbicara jika ia berada di antara banyak orang, sebagaimana saat menyeberangi Kali Praga di atas sebuah rakit yang memuat beberapa orang lain.

Tetapi demikian Sekar Mirah turun dari rakit dan berbicara dengan Glagah Putih, maka beberapa orang laki-laki berwajah kasar telah mendengarnya. Karena itu, maka mereka tidak putus-putusnya telah memperhatikannya.

“He, anak itu bukan seorang laki-laki. Aku mendengar suaranya. Ia seorang perempuan,” berkata salah seorang di antara mereka.

“Menarik sekali,” jawab yang lain, “tentu ada maksudnya bahwa ia berpakaian seorang laki-laki.”

Tetapi seorang yang nampaknya mempunyai pengaruh yang besar di antara mereka berkata, “Jangan hiraukan. Bukan urusan kita, apakah ia akan memakai pakaian laki-laki atau telanjang sekalipun. Kita harus sampai ke tujuan sebelum malam. Kita masih akan menentukan beberapa hal sebelum kita melakukan pekerjaan kita.”

Kawan-kawannya tidak berani membantah. Mereka tidak lagi memperhatikan Sekar Mirah dengan berlebih-lebihan. Mereka sadar jika mereka melakukan kesalahan terhadap perempuan yang berpakaian laki-laki itu, dan apalagi menimbulkan persoalan, maka mereka tentu akan mendapat hukuman dari pemimpin mereka yang garang itu.

Dengan demikian maka beberapa orang laki-laki berwajah kasar itu sama sekali tidak mengganggunya.

Tetapi yang ternyata tidak terduga telah terjadi. Bukan orang-orang kasar itu. Justru seorang laki-laki yang berwajah lunak berpakaian rapi dan mengenakan perhiasan yang mahal. Sekilas nampak timangnya yang terbuat dari emas. Demikian pula pendok kerisnya. Tiga orang laki-laki yang bertubuh raksasa mengiringinya.

Ternyata laki-laki itu juga menaruh perhatian terhadap Sekar Mirah yang berpakaian laki-laki, dikawani seorang laki-laki yang masih terhitung muda dan seorang anak muda yang masih dalam batas remaja. Justru dalam pakaian seorang laki-laki, di mata orang itu Sekar Mirah nampak terlalu cantik. Apalagi pakaian laki-lakinya membuat orang itu menaruh perhatian yang besar.

Sekar Mirah tidak memperhatikan bahwa seorang laki-laki selalu mengawasinya. Karena itu, iapun tidak menaruh curiga apapun ketika bersama-sama dengan Agung Sedayu dan Glagah Putih ia meloncat ke punggung kudanya.

Tetapi tiba-tiba saja kuda Sekar Mirah itu terkejut sehingga terlonjak. Hampir saja Sekar Mirah terlempar. Untunglah bahwa ia adalah seorang perempuan yang tangkas, sehingga ia masih tetap melekat di punggung kudanya.

Sementara itu Agung Sedayu dan Glagah Putih dengan cepat telah memegang kendali kuda Sekar Mirah di sebelah-menyebelah.

“Apa yang terjadi?” bertanya Agung Sedayu.

Sekar Mirah justru meloncat turun ketika kudanya sudah menjadi tenang. Dipandanginya beberapa orang yang lewat dari lingkungan penyeberangan. Namun tiba-tiba saja laki-laki yang berpakaian rapi dan berwajah lunak itu tertawa.

“Kenapa kau tertawa?” berkata Sekar Mirah.

“Nah, ternyata kau benar-benar seorang perempuan,” laki-laki itu justru mendekat, “aku sekarang melihat lubang di telingamu. Suaramu tidak dapat kau sembunyikan, dan tatapan matamu adalah tatapan mata seorang perempuan yang cantik.”

“Apa pedulimu!” bentak Sekar Mirah. Lalu, “Jadi kaulah yang telah dengan sengaja mengejutkan kudaku he?”

“Maaf. Bukan maksudku untuk menyulitkanmu,” berkata laki-laki itu, “tetapi kau sangat menarik perhatianku. Buat apa kau berpakaian seperti seorang laki-laki? Apakah kau berniat untuk menyembunyikan kecantikanmu? Dalam pakaian itu kau justru menjadi sangat menarik.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar