Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 220

Buku 220

Meskipun demikian Kiai Gringsing juga tidak mau menempuh jalan pegunungan yang rumit, karena dengan demikian maka perjalanan mereka akan menjadi terlalu lama. Namun iring-iringan itu tidak dapat berjalan terus semalam suntuk. Bagaimanapun juga para prajurit itu memerlukan waktu untuk beristirahat. Karena itu menjelang tengah malam, Kiai Gringsing yang tanggap akan keadaan para prajurit itu pun telah minta agar Raden Rangga tidak berkeberatan untuk beristirahat beberapa lama.

“Silahkan,“ sahut Raden Rangga, “tentu saja mereka memerlukan waktu untuk beristirahat.“

Iring-iringan itu pun kemudian mencari tempat yang paling baik untuk beristirahat. Para prajurit yang terdiri dari beberapa orang perwira dan delapan orang prajurit biasa itu pun telah mengatur diri. Dua di antara mereka bergantian untuk tetap berjaga-jaga. Bagaimanapun juga mereka berada di perjalanan, sementara mereka telah membawa seorang putra Panembahan Senapati yang sedang terluka.

Sabungsari dan Glagah Putih pun telah mengatur diri pula untuk bergantian membantu prajurit yang berjaga-jaga itu, sementara malam tinggal separuh lagi. Namun malam itu tidak terjadi sesuatu atas iring-iringan itu. Para prajurit dapat beristirahat secukupnya. Baru menjelang fajar mereka bersiap-siap kembali untuk meneruskan perjalanan.

Meskipun Kiai Gringsing sadar, bahwa perjalanan mereka tentu akan menarik perhatian di perjalanan, tetapi tidak ada pilihan lain baginya. Raden Rangga harus secepat mungkin sampai ke Mataram.

Namun pada malam itu juga, laporan tentang hancurnya Nagaraga telah sampai ke telinga seorang Tumenggung yang berada di bawah perintah Panembahan Madiun. Demikian Tumenggung Jayalukita mendapat laporan itu, maka kemarahannya telah memanjat sampai ke ubun-ubun.

“Mataram memang gila,“ geramnya.

“Menjelang malam, sekelompok kecil pasukan itu kembali ke Mataram membawa seorang yang terluka dengan tandu. Agaknya orang itu adalah orang yang penting,“ berkata penghubung berkuda itu.

“Tentu. Jika bukan orang yang sangat penting, maka tidak akan ia dikirim mendahului pasukannya kembali ke Mataram, meskipun seandainya orang itu akan mati sekalipun. Ternyata hanya seorang di antara mereka yang dibawa dengan tandu. Padahal aku yakin, yang terluka tentu bukan hanya seorang,“ berkata Tumenggung Jayalukita.

“Agaknya memang demikian Ki Tumenggung,“ jawab penghubung itu.

Tumenggung Jayalukita termangu-mangu. Namun kemudian iapun bertanya, “Berapa kekuatan orang-orang yang kembali ke Mataram itu?“

“Hanya sekelompok kecil. Hanya sekitar dua puluh orang,“ jawab penghubung itu.

“Bagus,“ berkata Tumenggung Jayalukita, “aku akan menangkap orang itu. Aku akan dapat menjadikannya tanggungan atau bahkan taruhan.“

“Maksud Ki Tumenggung?“ bertanya penghubung itu.

“Aku akan mengirimkan orang-orangku menyusul mereka,“ berkata Ki Tumenggung, “sekelompok orang-orang berkuda akan aku perintahkan berangkat. Mudah-mudahan mereka akan dapat menemukannya.“

“Bagaimana jika mereka singgah di Pajang?“ bertanya penghubung itu.

“Kita akan mencegatnya setelah Pajang. Tetapi mudah-mudahan tidak,“ jawab Ki Tumenggung.

“Tetapi apakah orang Ki Tumenggung akan dapat menemukan jalan yang mereka lalui?“ bertanya penghubung itu.

“Kau dapat menunjukkan arah. Kemudian berkuda kita menelusuri jejak mereka,“ jawab Ki Tumenggung.

Penghubung itu sama sekali tidak membantah. Ia akan melakukan segala perintah Ki Tumenggung.

Sementara itu Ki Tumenggung telah memanggil pembantunya yang paling dipercaya. Ki Lurah Singaluwih, yang dianggap memiliki ilmu yang sangat tinggi.

Tetapi ketika Ki Tumenggung menyampaikan niatnya, Ki Lurah Singaluwih justru menjadi ragu-ragu. Dengan nada berat ia bertanya, “Ki Tumenggung. Apakah kita tidak menyampaikan persoalan ini lebih dahulu kepada Panembahan Madiun? Persoalan yang menyangkut hubungan antara Madiun dan Mataram merupakan persoalan yang sangat gawat. Jika jarak antara Madiun dan Mataram menjadi semakin lebar, maka perang terbuka tidak akan dapat dihindarinya lagi.”

“Kau memang bodoh,“ geram Ki Tumenggung, “buat apa Madiun berusaha untuk sedikit demi sedikit mengurangi kekuatan Mataram, jika tidak dengan tujuan menghancurkan Mataram sama sekali? Mataram sekarang semisal harimau yang masih sedang tumbuh. Selagi taring-taringnya belum tajam, kita akan membunuhnya.“

“Tetapi bagaimana jika Panembahan Madiun tidak sependapat dengan langkah-langkah yang Ki Tumenggung ambil?“ bertanya Singaluwih.

Ki Tumenggung menggeram. Katanya, “Sejak kapan kau menjadi seorang pengecut seperti itu? Sampai sekarang, langkah-langkah kita tidak pernah mendapat teguran dari Panembahan Madiun.“

“Tetapi bukankah kita tidak pernah berbuat langsung membenturkan kekuatan Madiun dengan kekuatan Mataram seperti ini?“ bertanya Singaluwih.

“He, dimana otakmu kau simpan? Apakah kau kira pasukan berkuda yang akan aku kirim membawa rontek dan umbul-umbul bahkan tunggul pertanda kebesaran Madiun?“ bertanya Ki Tumenggung.

“Benar Ki Tumenggung. Tetapi jika seorang di antara kita tertangkap, maka kita tidak akan dapat ingkar, bahwa Ki Tumenggung memang telah menggerakkan prajurit Madiun. Berbeda dengan langkah-langkah yang kita ambil sekarang. Kita bekerja sama dengan orang-orang dari beberapa perguruan dan padepokan yang akan dapat mengatas-namakan perguruan mereka sendiri. Atau seandainya ada juga yang menyebut-nyebut Madiun, maka hal itu masih juga dapat tidak diakui kebenarannya. Tetapi jika prajurit Madiun, meskipun yang berada di luar kota Madiun itu sendiri, agaknya kita tidak akan dapat mengelak lagi,“ berkata Ki Lurah Singaluwih.

Ki Tumenggung merenung sejenak. Namun kemudian iapun menggeram, “Tidak seorangpun yang akan tertangkap. Justru kita harus menangkap orang yang dianggap orang penting itu. Kita akan menjadikan tanggungan untuk memberikan beberapa tuntutan dan tekanan kepada Mataram, atau bagian-bagian dari Mataram.“

Singaluwih termangu-mangu. Namun Ki Tumenggung berkata, “Tanggung jawabnya ada padaku. Panembahan Madiun akan senang jika kita dapat menangkap seorang yang dianggap penting oleh Mataram. Mungkin orang itu dapat dimanfaatkan untuk kepentingan apapun juga. Kecuali itu, maka kita akan dapat membalaskan dendam kekalahan Nagaraga yang besar itu.“

“Ki Tumenggung, sedangkan Nagaraga saja dapat dikalahkan mereka,“ berkata Ki Singaluwih.

“Tetapi yang menempuh perjalanan itu hanya beberapa orang. Tidak lebih dari dua puluh. Hanya itu. Bukan seluruh pasukan!“ bentak Ki Tumenggung.

Singaluwih menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa agaknya Ki Tumenggung Jayalukita sudah tidak dapat dicegah lagi. Menurut pendapatnya, orang yang dianggap penting itu akan dapat memberikan keuntungan bagi Ki Tumenggung, bahkan bagi Madiun.

“Nah, apa katamu? Bagaimana jika kau membawa sepasukan prajurit yang jumlahnya berlipat dari prajurit Mataram itu?“ bertanya Ki Tumenggung.

Ki Singaluwih menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak pernah merasa gentar melawan musuh yang bagaimanapun juga kuatnya. Bahkan ketika Ki Tumenggung menawarkan untuk membawa prajurit berapa saja yang dikehendaki, ia menjawab, “Terserah kepada perintah Ki Tumenggung.”

“Baiklah,” berkata Ki Tumenggung, “kita harus yakin bahwa kita akan menang. Karena itu aku, akan menyertakan dalam pasukanmu dua orang yang memiliki ilmu yang luar biasa.“

“Orang kembar itu?“ bertanya Singaluwih.

“Ya. Ki Jaladigda dan Ki Kismadigda. Keduanya adalah orang-orang yang akan dapat meyakinkanmu, bahwa kau akan dapat menghancurkan orang-orang Mataram itu. Aku tidak peduli, apakah kau akan membunuh semua prajurit Mataram itu. Tetapi yang penting bagiku, orang yang dibawa dengan tandu itu harus kau bawa kemari, siapapun namanya dan derajatnya. Jika ternyata orang itu tidak berarti pula, maka ia akan mengalami nasib lebih buruk dari orang-orang yang telah kalian bunuh di peperangan itu,“ berkata Ki Tumenggung.

“Aku tidak menolak dua orang kembar itu Ki Tumenggung. Tetapi Ki Tumenggung harus berpesan kepada Ki Jaladigda dan Ki Kismadigda, bahwa aku-lah yang akan memimpin pasukan Madiun ini. Mereka harus tunduk kepada perintahku dan melakukan sebagaimana aku kehendaki. Jika tidak, maka mungkin justru akan terjadi salah langkah. Karena meskipun aku tahu bahwa keduanya memiliki ilmu yang hampir tuntas, namun aku sama sekali tidak silau memandang mereka,“ berkata Ki Lurah Singaluwih.

“Kau terlalu sombong,“ geram Ki Tumenggung, “tetapi baiklah. Aku akan memberitahukan kepada keduanya, bahwa kau-lah pemimpin pasukan Madiun yang akan memburu orang orang Mataram itu. Tetapi tidak dalam ujud prajurit Madiun. Kalian akan mengenakan pakaian yang memberikan kesan bahwa kalian adalah orang-orang dari gerombolan yang tidak dikenal.“

“Ki Tumenggung,“ berkata Ki Singaluwih, “pada saatnya aku ingin mendengar sendiri perintah Ki Tumenggung kepada kedua orang kembar itu.“

“Setan kau,“ geram Ki Tumenggung, “panggil keduanya sekarang. Tidak ada waktu lagi. Kalian memang harus berangkat, karena orang-orang Mataram itu sudah berangkat menjelang senja.“

Ki Lurah pun kemudian telah memerintahkan orangnya untuk memanggil kedua orang kembar yang menjadi kebanggaan Ki Tumenggung Jayalukita, di samping Ki Lurah Singaluwih. Namun keduanya bukan merupakan bagian dari kesatuan prajurit Madiun yang berada di bawah pimpinan Ki Tumenggung Jayalukita. Tetapi sebenarnyalah kedua orang kembar itu memiliki sumber yang sama dengan Ki Tumenggung sendiri, karena keduanya adalah adik seperguruan dari guru Ki Tumenggung.

Ki Lurah Singaluwih mengerti akan hal itu. Karena itu sering terjadi benturan antara dua jalur kekuasaan yang diberikan oleh Ki Tumenggung. Kedua orang yang berdiri di luar pagar keprajuritan itu adalah paman seperguruannya. Sedangkan Ki Lurah Singaluwih adalah kepercayaan di bidang tugas-tugas keprajuritannya. Keduanya sering merasa mempunyai hak untuk bertindak atas nama Ki Tumenggung.

Sejenak kemudian, maka kedua orang kembar itu telah menemui Ki Tumenggung yang duduk bersama Ki Lurah Singaluwih. Dengan singkat Ki Tumenggung memberikan keterangan kepada kedua orang paman gurunya itu. Dengan singkat pula Ki Tumenggung menyampaikan permintaan agar kedua orang paman gurunya itu bersedia berangkat bersama pasukan Madiun.

“Untuk apa bahwa kami harus menyertai Ki Singaluwih,“ berkata Ki Jaladigda, “bukankah pasukanmu yang ada di sini cukup banyak dan cukup kuat? Kau telah menghimpun kekuatan dari pasukan berkuda dan kau bawa kemari. Bukankah pasukan berkuda itu akan dapat membantu Ki Lurah Singaluwih?“

“Pasukan itu bukan pasukan berkuda yang sebenarnya. Meskipun mereka juga prajurit pilihan, tetapi mereka bukan berasal dari pasukan berkuda. Aku berhasil mengumpulkan kuda sebanyak itu dan memberi kesempatan para prajurit itu berlatih menunggang kuda,“ jawab Ki Tumenggung. “Tetapi setelah berlatih beberapa lama, mereka memang tidak banyak berbeda dengan pasukan berkuda yang sebenarnya.“ Namun kemudian katanya, “Tetapi kehadiran Paman berdua akan dapat meyakinkan kita, bahwa pasukan Mataram yang hanya berjumlah tidak lebih dari dua puluh orang itu akan hancur.“

“Hanya duapuluh orang?” bertanya Ki Kismadigda.

“Ya. Hanya dua puluh orang,“ jawab Ki Tumenggung, “tetapi dua puluh orang Mataram. Bukan dua puluh orang padukuhan sebelah.“ Kedua orang kembar itu mengangguk-angguk. Sekilas mereka memandang Ki Singaluwih. Namun kemudian Ki Tumenggung pun berkata selanjutnya, “Paman berdua di bawah pimpinan Ki Lurah Singaluwih yang akan memegang kendali seluruh pasukan. Agar tidak terjadi kesimpang-siuran, maka Paman berdua harus berada di bawah pimpinan tunggal, Ki Lurah Singaluwih.“

Kedua orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian keduanya tertawa. Ki Kismadigda pun kemudian berkata, “Kami di sini mengabdi kepada Ki Tumenggung. Apalagi kami juga mempunyai tanggung jawab untuk ikut membantu kesulitan-kesulitan Ki Tumenggung, sebagaimana kewajiban orang tua terhadap kemenakannya.“

Ki Tumenggung termangu-mangu. Ia merasa tidak mendapat jawaban yang pasti dari kedua pamannya. Karena itu, maka iapun telah mengulanginya, “Paman. Yang aku harapkan Paman bersedia memenuhi perintahku. Ikut serta dalam perburuan itu dan berada di bawah pimpinan Ki Lurah Singaluwih.“

“Sudah aku jawab,“ jawab Ki Kismadigda, “aku akan melakukan semua perintah Ki Tumenggung, karena kami di sini memang menjadi pemomong Ki Tumenggung.“

“Baiklah,“ berkata Ki Tumenggung Jayalukita. Lalu katanya kepada Ki Singaluwih, “Nah, kau dapat berkemas dan berangkat sekarang, selagi iring-iringan itu belum terlalu jauh. Kau dapat membawa penghubung yang sempat melihat apa yang telah terjadi di padepokan itu, serta sempat berhubungan dengan beberapa orang yang dapat melarikan diri dari padepokan yang dihancurkan oleh orang Mataram itu.“

Ki Singaluwih mengangguk hormat. Namun sekali lagi ia berdesis, “Ki Tumenggung. Aku akan melakukan perintah ini. Tetapi mohon Ki Tumenggung menghubungi Madiun. Demikian aku berangkat, aku mohon Ki Tumenggung memerintahkan penghubung berkuda menghadap Panembahan Madiun untuk melaporkan, bahwa telah terjadi benturan langsung antara prajurit Madiun dan Mataram, meskipun kami, para prajurit Madiun tidak mempergunakan ciri-ciri keprajuritan kami.”

“Aku yang bertanggung jawab!“ bentak Ki Tumenggung.

“Madiun masih juga harus memperhitungkan langkah-langkah yang dapat diambil Pangeran Benawa di Pajang, yang agaknya hubungannya sangat dekat dengan Panembahan Senapati.“ berkata Ki Singaluwih pula.

“Pangeran Benawa kini sedang sakit,“ geram Ki Tumenggung. “Sudahlah. Jangan mengigau. Tugasmu mengambil orang yang dianggap penting oleh orang-orang Mataram itu. Bawa orang itu kepadaku.“

Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya sambil memandang kedua orang kembar itu, “Baiklah Ki Tumenggung. Kita semuanya harus segera bersiap.“

Kedua orang Paman guru Ki Tumenggung itu pun berpaling kepadanya. Namun keduanya tidak berkata apapun, meskipun mereka tahu bahwa mereka-lah yang dimaksud oleh Ki Lurah itu.

Sejenak kemudian, maka Ki Lurah pun telah meninggalkan ruangan itu. Dengan cepat ia memanggil beberapa orang pemimpin kelompok dari pasukannya, prajurit Madiun yang ditempatkan di sebuah kademangan justru agak jauh dari Madiun. Ki Tumenggung pula-lah yang menjadi penghubung antara Madiun dengan padepokan Nagaraga, atas petunjuk kedua paman gurunya itu. Meskipun Ki Tumenggung mengetahui juga bahwa orang-orang Nagaraga mengalami kegagalan mutlak ketika mengirimkan orang-orangnya ke Mataram, namun ia tidak memperhitungkan bahwa Mataram akan mengirimkan pasukannya ke Nagaraga begitu cepat. Karena jarak antara Nagaraga dan Mataram cukup jauh, sementara belum terjadi satu kerusuhan yang berarti di Mataram, tetapi ternyata bahwa Panembahan Senapati telah mengirimkan pasukan dan menghancurkan Nagaraga.

Tindakan yang cepat dan tidak tanggung-tanggung dari Mataram itulah yang dicemaskan oleh Ki Lurah Singaluwih. Menurut perhitungan Ki Lurah Singaluwih, jika tiba-tiba saja Mataram menggempur Madiun, apakah Panembahan Madiun sudah siap menghadapi?

Tetapi Ki Lurah tidak mau berpikir lebih panjang. Semua tanggung jawab ada pada Ki Tumenggung Jayalukita. Jika Panembahan Madiun menganggap langkah yang dilakukan itu salah, maka Ki Tumenggung-lah yang akan mendapat teguran.

Demikianlah, maka sejenak kemudian sekelompok pasukan berkuda telah siap. Atas persetujuan Ki Tumenggung, maka Ki Lurah membawa pasukan dua kali lipat dari jumlah prajurit Mataram yang diperkirakan oleh penghubung yang menyampaikan laporan. Namun di dalamnya terdapat Ki Lurah Singaluwih sendiri dan dua orang paman guru Ki Tumenggung Jayalukita, dua orang kembar yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.

Ketika semuanya sudah siap, maka iring-iringan itu pun telah meninggalkan padukuhan. Mereka sadar, bahwa iring-iringan itu tentu akan mengejutkan orang-orang yang mendengar derap kaki kuda-kuda mereka dan apabila matahari terbit, akan menarik perhatian orang-orang yang menyaksikan. Tetapi mereka tidak menghiraukannya. Mereka sedang melakukan tugas yang penting bagi kepentingan Madiun.

Meskipun demikian, Ki Lurah telah membagi pasukannya menjadi empat kelompok yang tidak terpisah terlalu jauh, sekedar menghindari iring-iringan yang panjang apabila mereka melewati jalan-jalan padukuhan yang agak ramai.

Atas petunjuk penghubung yang datang melaporkan peristiwa Nagaraga itu, mereka telah mengambil jalan pintas, yang menurut perhitungan mereka akan dapat memotong jalan iring-iringan yang mereka anggap membawa seorang yang berkedudukan panting di Mataram. Bahkan mungkin justru seorang Pangeran atau Panglima pasukan yang memimpin sergapan ke Nagaraga itu sendiri.

Pada saat-saat iring-iringan yang membawa Raden Rangga ke Mataram beristirahat di malam hari, Ki Lurah Singaluwih menyiapkan pasukannya yang kuat. Sementara iring-iringan itu bersiap-siap menjelang fajar, Ki Lurah Singaluwih telah berpacu keluar dari sarangnya.

Dengan ketajaman penglihatan seorang yang pernah juga menjadi pengembara yang bertualang dari satu tempat ke tempat lain, maka baik Ki Lurah Singaluwih maupun kedua orang kembar itu dapat memperhitungkan arah yang harus mereka ambil, sesuai dengan petunjuk dari penghubung yang melaporkan peristiwa Nagaraga itu kepada Ki Tumenggung.

Namun Ki Lurah Singaluwih juga memperhitungkan kemungkinan prajurit Pajang yang meronda. Mereka tidak boleh bertemu dengan kekuatan Pajang yang akan dapat mengganggu mereka.

“Jika iring-iringan orang Mataram itu menurut pengamatan jejaknya memasuki daerah Pajang, apalagi daerah perondaan para prajuritnya, maka kita akan langsung menunggu mereka setelah mereka keluar dari Pajang,“ berkata Ki Lurah Singaluwih.

Namun menurut orang-orang yang kemudian menjadi petugas untuk mencari jejak orang-orang Mataram bersama penghubung yang melihat keberangkatan orang-orang Mataram, mereka menduga bahwa iring-iringan itu tidak akan melalui Pajang.

Ki Lurah Singaluwih telah menemukan tempat peristirahatan orang-orang Mataram yang membawa tandu. Kemudian mereka pun telah berusaha menyusulnya. Dengan sedikit bertanya kepada orang-orang yang berada di sepanjang jalan, warung-warung dan orang-orang yang berada di sawah, maka mereka telah menemukan arah untuk menyusul iring-iringan orang Mataram itu. Mereka tidak peduli, jika mereka melakukan tindakan di siang hari akan dapat menimbulkan kekisruhan atau bahkan kekacauan. Tujuan mereka hanyalah menangkap dan membawa orang yang dianggap penting itu menghadap Ki Tumenggung Jayalukita.

Demikianlah, maka Ki Lurah Singaluwih telah memacu pasukannya untuk menyusul iring-iringan orang Mataram, sementara matahari pun menjadi semakin tinggi, menggapai puncak langit.

Dalam pada itu, perjalanan Kiai Gringsing dengan iring-iringannya perlahan-lahan menyusuri jalan-jalan yang dianggap paling baik menuju ke arah Mataram. Seperti yang direncanakan, maka mereka memang menghindari Pajang, agar mereka tidak usah singgah meskipun hanya semalam.

Di sepanjang perjalanan, Raden Rangga memang sedang berjuang melawan kekerasan bisa ular yang dibunuhnya di goa dekat padepokan Nagaraga. Bisa ular yang belum pernah ditemukan sebelumnya. Kekuatan penawar bisa yang ada pada Raden Rangga ternyata tidak mampu mendorong bisa keluar dari tubuhnya. Bahkan kemampuan pengobatan yang diberikan oleh Kiai Gringsingpun hanya mampu meningkatkan sedikit daya tahannya.

“Bagaiamanapun juga, Raden Rangga benar-benar mengalami kesulitan,“ berkata Kiai Gringsing kepada Ki Jayaraga hampir berbisik.

Ki Jayaraga mengangguk kecil. Dengan nada dalam ia berkata, “Kekuatan yang aneh di dalam dirinya tidak bekerja sebagaimana seharusnya. Kiai, apakah bisa ular itu benar-benar tidak terlawan?“

“Aku menghadapi teka-teki yang belum terjawab,“ sahut Kiai Gringsing, “ada sesuatu yang mempengaruhi benturan antara kekuatan penawar racun yang dimiliki Raden Rangga dengan ketajaman bisa ular itu.“

“Kekuatan apa menurut Kiai?“ bertanya Ki Jayaraga.

“Raden Rangga sendiri merasa bahwa ia tidak akan dapat mengatasinya. Anak muda itu tiba-tiba telah berubah. Hatinya tidak lagi bergejolak seperti saat-saat sebelumnya,“ berkata Kiai Gringsing.

“Glagah Putih tidak diijinkannya ketika ia berniat untuk mengambil tongkat Raden Rangga yang tertancap di kepala ular itu,“ berkata Ki Jayaraga.

“Aku tidak mengerti, kenapa anak muda itu dapat menjadi demikian berubah sikapnya,“ desis Kiai Gringsing, “menurut pendapat Glagah Putih, mimpinya sangat mempengaruhinya.“

“Raden Rangga terlalu percaya kepada mimpi,“ suara Ki Jayaraga merendah.

“Memang bagian dari hidupnya adalah mimpinya itu. Ia memiliki ilmu yang tidak dapat dijajagi juga dalam mimpi-mimpinya. Itulah sebabnya, maka ia merasa dirinya terikat kepada isyarat mimpi,“ berkata Kiai Gringsing kemudian.

Ki Jayaraga masih akan mengatakan sesuatu. Tetapi tiba-tiba saja suaranya tertelan kembali di kerongkongan ketika ia mendengar suara tembang. Tidak terlalu keras, tetapi demikian menggetarkan jantung.

Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga serentak berpaling. Mereka kemudian menyadari bahwa yang mendendangkan tembang itu adalah Raden Rangga yang duduk di atas tandu.

“Tembang seorang prajurit,“ desis Ki Jayaraga yang mendengar Raden Rangga berkidung tembang Durma. Satu tembang yang mengungkapkan jiwa seorang kesatria di medan perang.

Glagah Putih dan Sabungsari yang berjalan di sebelah-menyebelah tandu itu menarik nafas dalam-dalam. Mereka mendengarkan tembang Durma itu dengan dada yang berdebar-debar. Pada suara tembangnya sama sekali tidak terdengar keluhan, betapapun anak muda itu terluka parah. Tetapi masih bergetar bergairah perjuangan seorang kesatria muda lewat suara tembangnya.

Ketika matahari lewat sedikit dari puncak langit, maka suara tembang itu pun menjadi semakin samar. Namun tiba-tiba saja Raden Rangga itu berdesis kepada Glagah Putih, “Apakah kalian tidak merasa lelah? Panasnya bukan main. Sebaiknya kalian beristirahat.“ 

Glagah Putih mengangguk kecil. Katanya, “Aku akan mengatakannya kepada Kiai Gringsing.“

Sebenarnyalah bahwa para prajurit Mataram juga merasa letih oleh matahari yang rasa-rasanya bagaikan membakar. Glagah Putih sendiri, yang meskipun hampir pulih kembali di bawah perawatan Kiai Gringsing, namun luka-lukanya kadang-kadang masih terasa pedih. Sehingga dengan demikian, maka agaknya ada juga baiknya iring-iringan itu beristirahat beberapa saat.

Ketika Glagah Putih menyampaikan hai itu kepada Kiai Gringsing, maka Kiai Gringsing memang tidak berkeberatan. Iapun kemudian bersama Ki Jayaraga mencari tempat yang paling baik untuk beristirahat sambil mengisyaratkan agar iring-iringan itu memperlambat perjalanan mereka yang memang sudah lambat itu. Akhirnya Kiai Gringsing menemukan pategalan yang baru saja dipetik hasil tanamannya di sela-sela beberapa jenis pohon buah-buahan.

“Nampaknya pategalan ini ditanami padi gaga,“ berkata Kiai Gringsing.

“Kita dapat beristirahat di bawah pepohonan yang rimbun itu,“ berkata Ki Jayaraga, “untunglah pohon buah-buahan itu tidak sedang berbuah, sehingga kita tidak akan dituduh mencuri buah-buahan apapun juga.“

“Tetapi pohon kelapa itu?“ desis Kiai Gringsing.

“Jika kita mencuri kelapa muda, tentu ada bekasnya,“ jawab Ki Jayaraga.

“Baiklah,“ sahut Kiai Gringsing kemudian, “kita akan beristirahat di sini. Hanya sebentar. Dan kita tidak merusak pategalan ini.“

Demikianlah, keduanya kemudian telah menghentikan iring-iringan yang kemudian menyusul mereka. Iring-iringan itu pun kemudian telah berhenti. Tandu sederhana yang membawa Raden Rangga itu pun telah diletakkan di tempat yang sejuk, dibayangi oleh sebatang pohon nangka yang berdaun rimbun. Sementara itu yang lain pun telah menebar pula. Namun perwira yang memimpin para prajurit Mataram itu telah memerintahkan agar mereka tidak merusakkan tanaman di pategalan itu.

Ternyata para prajurit memang merasa haus. Mereka masih dapat minum air yang mereka bawa sebagai bekal di dalam impes mereka. Namun ketika tidak dengan sengaja mereka memandang kelapa muda yang bergayutan pada tangkainya, maka air di dalam impes mereka rasa-rasanya tidak dapat lagi mengobati perasaan haus yang membakar kerongkongan. Tetapi tidak seorangpun di antara mereka yang berani memetik buah kelapa muda itu.

Namun dalam pada itu, selagi para prajurit itu terkantuk-kantuk di bawah sejuknya dedaunan yang melindungi mereka dari sengatan teriknya matahari, maka dua orang yang agaknya ayah beranak telah datang dengan ragu-ragu mendekati mereka. Agaknya kedua orang itu adalah pemilik pategalan itu.

Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga-lah yang kemudian menyongsong kedua orang itu untuk memberikan penjelasan, jika keduanya memang mempersoalkan kehadiran mereka.

Sebenarnyalah kedua orang itu memang menanyakan tentang sekelompok orang yang berhenti di pategalan mereka. Dengan sangat berhati-hati Kiai Gringsing menjelaskan, bahwa mereka adalah prajurit Mataram yang sedang dalam perjalanan kembali ke Mataram, membawa seorang di antara mereka yang sedang sakit.

“Dari manakah iring-iringan prajurit ini?“ bertanya orang yang tertua di antara mereka, “Apakah iring-iringan ini baru kembali dari medan perang? Jika demikian Mataram telah berperang melawan mana dan siapa?”

“Tidak Ki Sanak,“ berkata Kiai Gringsing, “kami tidak kembali dari peperangan. Kami kembali dari perjalanan keliling biasa untuk mengamati daerah Mataram yang terletak di tempat yang agak jauh. Di perjalanan seorang di antara kami telah sakit, sehingga kami terpaksa membawanya dengan tandu.“

Ternyata kedua orang ayah dan anak laki-lakinya itu sama sekali tidak berkeberatan memberikan pategalannya sebagaimana tempat untuk beristirahat. Bahkan yang muda di antara mereka tiba-tiba saja bertanya, “Apakah kalian memerlukan kelapa muda yang barangkali dapat menjadi penawar haus?“

Kiai Gringsing tersenyum. Jawabnya, “Terima kasih Ki Sanak. Tentu para prajurit akan bergembira sekali mendengar tawaran Ki Sanak itu.“

“Ah,“ desis anak muda itu, “hanya kelapa muda.“

Ketika anak muda itu kemudian mengambil beberapa buah kelapa muda di pategalan itu, maka para prajurit itu pun menjadi gembira sekali. Rasa-rasanya haus mereka pun telah diobati. Bahkan Raden Rangga pun telah minum pula kelapa muda, dan dipilihnya kelapa muda yang bersabut berwarna hijau.

“Nah, silahkan,“ berkata kedua orang itu, “beristirahatlah sepuasnya. Kami akan kembali pulang.“

“Terima kasih Ki Sanak. Nanti pada saatnya kami akan mohon diri,“ berkata Kiai Gringsing.

“Selamat jalan. Jika ada yang kalian perlukan dan dapat kalian ambil di pategalan ini, ambillah,“ berkata yang tua.

“Terima kasih Ki Sanak,“ jawab Kiai Gringsing beberapa kali. Ternyata pemilik pategalan itu adalah orang yang sangat baik.

Namun dalam pada itu, sebelum kedua orang itu menjadi semakin jauh dari pategalan, dua orang berkuda telah melewati pategalan itu. Beberapa langkah dari tempat para prajurit Mataram beristirahat, kedua orang berkuda itu telah memperlambat derap kaki kudanya. Mereka lewat di jalan di depan pategalan itu tanpa berhenti. Tetapi kedua orang penunggangnya dengan seksama tengah memperhatikan orang-orang yang berada di pategalan.

Semula orang-orang yang sedang beristirahat itu tidak menghiraukan mereka. Adalah wajar jika orang-orang lewat telah tertarik perhatiannya kepada para prajurit Mataram yang berada di pategalan.

Namun ternyata bahwa kedua penunggang kuda itu telah menyusul kedua orang yang keluar dari pategalan itu. Demikian mereka berada di sebelahnya, maka kedua penunggang kuda itu pun telah meloncat turun. Kedua orang pemilik pategalan itu termangu-mangu.

Sementara itu salah seorang penunggang kuda itu pun bertanya, “Siapakah mereka yang ada di pategalan itu?“

Tanpa berprasangka sedikitpun, yang tua di antaranya menjawab, “Mereka adalah orang-orang Mataram.“

“Apa yang telah mereka lakukan di pategalan itu?“ bertanya yang seorang.

“Mereka sekedar beristirahat,“ jawab yang tua di antara dua orang itu.

“Ada yang naik tandu?“ bertanya orang berkuda itu.

“Ya. Aku memang melihat,“ jawab pemilik pategalan itu.

“Siapa?“ desak salah seorang di antara kedua orang berkuda itu.

Pemilik pategalan itu menggeleng. Jawabnya, “Aku tidak tahu. Ketika aku datang, mereka telah berada di pategalanku. Aku tidak bertanya terlalu banyak.“

“Kau biarkan mereka beristirahat dan merusakkan pategalanmu?“ berkata orang berkuda itu.

Kedua orang pemilik pategalan itu termangu-mangu. Anak laki-laki pemilik pategalan itu berkata hampir di luar sadar, “Mereka tidak merusak pategalan kami. Mereka hanya sekedar beristirahat saja.“

Para penunggang kuda itu pun mengangguk-angguk. Namun kemudian seorang di antara mereka berkata, “Baiklah. Kami akan meneruskan perjalanan.“

Kedua orang ayah dan anak pemilik pategalan itu menjadi heran. Kedua orang berkuda yang akan meneruskan perjalanan itu justru telah memutar kudanya dan menempuh jalan kembali. Tetapi keduanya kemudian tidak menghiraukannya. Mereka merasa tidak berkepentingan sama sekali dengan kedua orang penunggang kuda itu.

Namun berbeda dengan orang-orang Mataram yang sedang beristirahat. Ketika beberapa orang di antara mereka melihat kedua orang penunggang kuda itu menyusuri jalan kembali, maka ketajaman panggraita mereka sebagai prajurit pun telah memperingatkan mereka, bahwa sesuatu mungkin akan terjadi.

Pemimpin yang bertanggung jawab atas para prajurit Mataram juga melihat kedua orang berkuda itu kembali. Bahkan dengan kecepatan yang lebih tinggi dari sebelumnya.

“Bersiaplah,“ perintah senapati itu, “mudah-mudahan tidak terjadi sesuatu. Tetapi kalian adalah prajurit-prajurit Mataram yang sedang mengemban tugas atas nama Mataram.“ Para prajurit pun segera bersiaga. Namun mereka tidak menunjukkan kegelisahan sama sekali. Sebagai prajurit yang telah berpengalaman, maka mereka dengan tenang menghadapi setiap persoalan.

Glagah Putih pun ternyata mengetahui pula akan kesiagaan itu. Ketika senapati prajurit Mataram itu mendekati Raden Rangga yang masih tetap duduk di atas tandu untuk memberikan laporan tentang hal itu, maka Glagah Putih pun berkata, “Pategalan ini agaknya akan menjadi rusak.“

“Ya,“ desis Senapati itu, “tetapi bukan salah kita.“

Raden Rangga yang lemah itu sempat pula bertanya, “Apakah kau yakin bahwa sesuatu akan terjadi?“

“Panggraitaku mengatakan demikian Raden,“ jawab Senapati itu, “agaknya Raden juga melihat dua orang berkuda yang mondar-mandir itu.“

“Ya. Aku pun menduga bahwa mereka berniat buruk. Tetapi sebaiknya kalian berada di bibir pategalan, sehingga pategalan ini tidak terlalu banyak mengalami kerusakan,“ berkata Raden Rangga kemudian.

Senapati itu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Aku akan menemui Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga.“

“Sabungsari ada bersama mereka,“ berkata Glagah Putih.

Senapati itu pun kemudian pergi menemui Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga yang sedang berbincang dengan Sabungsari agak jauh di dalam pategalan, di bawah sebatang pohon kluwih yang besar. Agaknya Sabungsari telah mencari angkup kluwih yang dapat dipergunakan untuk membuat kerangka keris menjadi semakin mengkilap.

Ternyata bahwa ketiga orang itu sedang berbicara pula tentang dua ekor kuda yang lewat dan yang kemudian menyusuri jalan kembali.

“Kita memang harus bersiap,“ berkata Kiai Gringsing.

“Bagaimana dengan luka-luka di tubuh Kiai berdua?“ bertanya senapati itu.

“Sudah tidak banyak pengaruhnya lagi,“ berkata Kiai Gringsing. Namun iapun kemudian berdesis, “Mudah-mudahan Glagah Putih pun telah menjadi semakin baik pula, jika memang harus terjadi sesuatu.“

Senapati itu pun menjadi semakin yakin, bahwa sesuatu memang akan terjadi. Karena itu, maka iapun telah mengatur para prajuritnya. Dua orang telah diperintahkannya untuk mengamati jalan di sebelah pategalan itu, sementara yang lain bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Dalam pada itu Raden Rangga masih juga sempat bertanya kepada Glagah Putih, “Bagaimana dengan luka-lukamu?“

“Tidak apa-apa Raden. Memang terasa masih pedih jika tersentuh keringat. Tetapi rasa sakit itu akan dapat diatasi,“ jawab Glagah Putih.

Raden Rangga mengangguk-angguk. Ia melihat kesibukan para prajurit meskipun tidak nampak kegelisahan. Dua orang di antara mereka telah berada di pinggir jalan untuk mengamati keadaan.

Senapati yang memimpin pasukan itu pun kemudian menghampiri Raden Rangga lagi sambil berdesis, “Sebaiknya Raden tetap berada di sini. Dua orang perwira akan menjaga Raden. Raden sendiri jangan bergerak-gerak agar keadaan Raden tidak menjadi semakin gawat.“

Raden Rangga tersenyum. Jawabnya, “Baiklah. Aku tidak akan berbuat apa-apa. Aku memang tidak mampu lagi berbuat sesuatu sekarang ini. Biarlah Glagah Putih saja yang mengawani aku di sini bersama Sabungsari.“

Senapati itu mengangguk-angguk. Sementara Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga mendekatinya pula sambil berdesis, “Raden, agaknya perjalanan kita tidak selancar yang kita duga.“

“Ya Kiai. Tetapi mudah-mudahan tidak terlalu pahit,“ berkata Raden Rangga, “aku telah minta agar Glagah Putih dan Sabungsari mengawani aku di sini.“

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya kepada Sabungsari, “Kau di sini Ngger. Raden Rangga memerlukan kawan berbincang.“

Raden Rangga tersenyum. Katanya, “Sebaiknya Kiai berterus terang. Aku memerlukan perlindungan dalam keadaan seperti ini.“

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun pembicaraan mereka pun telah terputus. Prajurit yang berada di pinggir jalan telah memberikan isyarat.

Senapati yang memimpin pasukan kecil Mataram itu pun segera berlari menemui mereka. Ketika keduanya menunjuk ke kejauhan, maka jantung senapati itu pun berdebar-debar pula. Dilihatnya sekelompok pasukan berkuda yang berkekuatan jauh lebih banyak dari prajurit-prajuritnya.

“Baiklah,“ geram senapati itu, “kita harus menghancurkan mereka.“

Tiba-tiba saja senapati itu telah meneriakkan aba-aba. Para prajurit pun telah berloncatan menepi. Mereka berusaha untuk bertempur di luar pategalan, agar pategalan itu tidak menjadi rusak.

“Tetapi lawan kita adalah pasukan berkuda,“ desis senapati yang memimpin pasukan Mataram itu, “jika perlu pategalan ini kita biarkan menjadi rusak. Kita akan menggantinya. Di antara pepohonan, kuda-kuda itu tidak akan dapat banyak bergerak. Tetapi di tempat yang kosong, maka kita akan menjadi sasaran mereka yang lunak. Mereka akan menyambar dengan kuda-kuda mereka sambil mengayunkan pedang. Sementara kita tidak banyak dapat berbuat. Sedangkan jumlah mereka agak berlipat dari jumlah kita.“

Para perwira dan prajurit Mataram itu mengangguk-angguk. Mereka sependapat dengan senapatinya. Jika pategalan itu harus rusak, maka apa boleh buat.

Senapati itu pun kemudian dengan cepat telah melaporkan kepada Raden Rangga apa yang mungkin akan terjadi. Empat orang prajurit telah mengangkatnya dan menempatkannya di bawah sebatang pohon yang rimbun, lebih jauh ke dalam pategalan itu.

“Pategalan ini memang akan rusak Raden,“ berkata senapati itu, “tetapi kami akan menggantinya. Untunglah bahwa padi gaga sudah dipetik, sehingga hanya batang-batang perdu sajalah yang akan rusak.“

“Apa boleh buat,“ berkata Raden Rangga, “berhati-hatilah. Aku tidak dapat membantumu.“

“Justru Raden jangan berbuat sesuatu,“ berkata senapati itu pula.

Raden Rangga mengangguk kecil.

Dalam pada itu, maka para prajurit Mataram pun telah bersiap sepenuhnya. Demikian pula Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga. Keduanya ikut bertanggung jawab atas keselamatan Raden Rangga. Bahkan beban itu seakan-akan berada di pundak Kiai Gringsing, sebagaimana ia merasa bertanggung jawab untuk menemukan anak muda itu bersama Glagah Putih.

“Aku harus membawanya dalam keadaan itu menghadap ayahandanya,“ berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya. Sehingga orang tua itu telah bertekad untuk bertahan sepenuh kemampuannya. Kemampuan seorang yang berilmu sangat tinggi.

Kepada Ki Jayaraga ia berkata, “Raden Rangga harus sempat sampai ke Mataram.“

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berdesis, “Glagah Putih dan Sabungsari akan melindunginya. Meskipun Glagah Putih terluka, tetapi ia masih memiliki kemampuan sepenuhnya. Kiai telah menyembuhkannya.“

Kiai Gringsing tidak menyahut. Tetapi dipandanginya debu yang mengepul, semakin lama semakin dekat. Namun iring-iringan itu berhenti beberapa puluh langkah dari sudut pategalan. Hanya tiga ekor kuda dengan penunggangnya yang kemudian mendekati para prajurit Mataram yang sudah bersiap itu. Kuda itu pun berhenti beberapa langkah di hadapan para prajurit Mataram.

Tanpa turun dari kudanya, pemimpin pasukan berkuda yang bernama Ki Lurah Singaluwih itu pun berkata lantang, “Apakah kalian para prajurit dari Mataram?“

“Ya,“ sahut senapati prajurit Mataram tegas, “kau siapa?“

“Kami adalah keluarga Nagaraga yang padepokannya kau rusakkan. Berikan kepada kami orang yang kalian bawa dengan tandu itu. Dengan demikian kami tidak akan mengganggu kelompok kecil kalian. Orang itu akan menjadi tawanan kami,“ jawab Ki Lurah Singaluwih.

Senapati dari Mataram itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Apakah kau tahu, siapakah yang kami bawa dengan tandu itu?“

Ki Lurah Singaluwih terkejut mendengar pertanyaan itu. Namun iapun kemudian menjawab, “Aku tidak peduli, siapakah orang yang kau bawa dengan tandu itu. Tetapi ia tentu salah seorang di antara mereka yang bertanggung jawab atas serangan Mataram terhadap padepokan Nagaraga.”

Tetapi senapati Mataram itu menjawab, “Kau salah Ki Sanak. Orang yang dibawa dengan tandu itu justru orang yang paling tidak disukai oleh Panglima prajurit Mataram. Aku harus membawanya kembali ke Mataram dan menghadapkannya kepada Panembahan Senapati untuk diadili, karena kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya selama pasukan Mataram menghancurkan padepokan Nagaraga.“

Ki Lurah Singaluwih mengerutkan keningnya. Sejenak ia berpikir. Namun kemudian katanya, “Omong kosong. Orang itu tentu seorang yang penting. Jika ia orang yang dianggap bersalah, maka ia tentu tidak akan mendapat kesempatan pertama kembali ke Mataram dengan duduk di atas tandu.“

“O. Jadi kau telah membuat cerita tersendiri tentang orang itu,“ berkata senapati dari Mataram itu, “terserahlah bagaimana kau menyebutnya. Tetapi bagi kami orang itu adalah seorang tawanan, meskipun dari antara kami sendiri. Bukan salah seorang dari para pengikut Nagaraga yang dapat kami tangkap.“

“Ternyata orang-orang Mataram cukup licik. Orang-orang Nagaraga telah hampir tumpas, meskipun ada juga yang berhasil melarikan diri. Dan kini kau tidak mengakui bahwa orang yang kau bawa itu adalah salah seorang di antara mereka yang bertanggung jawab atas pembantaian orang-orang Nagaraga itu,“ berkata Ki Lurah Singaluwih.

“Sudah aku katakan. Terserah bagaimana kau menyebutnya,“ jawab senapati Mataram itu.

“Aku tidak peduli siapapun orang itu. Tetapi aku akan mengambilnya dan membawanya sebagai tawanan kami. Ia harus bertanggung jawab atas kematian yang tidak terhitung di padepokan Nagaraga,“ berkata Ki Lurah Singaluwih.

“Kematian yang bagaimana yang kau maksud? Apakah kau tidak tahu, bahwa di dalam pertempuran orang memang dapat mati?“ bertanya senapati Mataram.

“Persetan,“ geram Ki Lurah Singaluwih, “kau tahu, bahwa aku membawa pasukan jauh lebih banyak dari orang-orangmu. Sementara itu dua orang di antara kami adalah orang yang berilmu sangat tinggi. Nah, yang manakah yang kau pilih? Kalian akan kami binasakan sebagaimana kalian membinasakan orang-orang padepokan Nagaraga, atau kau serahkan saja orang yang kau bawa dengan tandu itu, he?“

“Kau bukan orang Nagaraga,“ tiba-tiba senapati Mataram itu menggeram, “jangan mencoba mengelabuhi kami.“

Ki Lurah Singaluwih memandang senapati Mataram itu dengan tajamnya. Dengan geram ia bertanya, “Kenapa kau beranggapan seperti itu?“

“Orang-orang Nagaraga yang merasa telah kami hancurkan akan mendendam. Mereka tidak akan dengan baik hati sekedar minta orang yang kami bawa dengan tandu itu. Tetapi jika benar kau orang Nagaraga, maka kau tentu akan menghancurkan kami sebagaimana kami menghancurkan padepokan Nagaraga. Sikapmu ternyata meragukan. Apalagi jika kau merasa terlalu kuat buat kami,“ jawab senapati Mataram itu.

“Persetan!“ bentak Ki Singaluwih, “Itulah perbedaan antara kami dan orang-orang Mataram yang tidak kenal perikemanusiaan. Kami hanya memerlukan orang-orang yang benar-benar penting bagi kami dan membiarkan yang lain selamat, meskipun kami yakin akan dapat menghancurkan kalian.“

“Kau tentu dari lingkungan baru yang utuh dan belum merasa kami lukai, meskipun mungkin benar kalian berdiri satu sisi dengan orang-orang Nagaraga,“ jawab senapati Mataram itu pula.

“Kau jangan mengigau,“ geram Ki Lurah Singaluwih. Lalu, “Sekarang serahkan orang itu. Kami memang tidak akan mengganggu kalian. Kembalilah ke Mataram dan katakan, bahwa seorang di antara senapati terpenting yang menggempur Nagaraga telah ditangkap oleh orang-orang Nagaraga.“

Senapati itu termangu-mangu sejenak. Ketika ia berpaling, dilihatnya Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga berdiri di belakangnya. Meskipun ia adalah senapati yang memiliki pengalaman yang sangat luas dan tidak pernah merasa gentar di pertempuran yang bagaimanapun dahsyatnya, namun kehadiran kedua orang tua itu di belakangnya, rasa-rasanya menambah hatinya menjadi semakin mapan.

Kemudian senapati itupun berkata, “Ki Sanak. Seperti yang sudah aku katakan bahwa aku harus menyerahkan orang itu kepada Panempahan Senapati. Karena itu, aku harus melakukannya dengan sebaik-baiknya, agar jika Panglima pasukan Mataram, kelak kembali, aku tidak digantungnya di alun-alun. Karena itu, seandainya aku harus memilih jalan kematian, maka aku memilih mati di pertempuran ini, daripada aku harus digantung dan menjadi pangewan ewan di Mataram sebagai seorang senapati yang berkhianat.“

“Setan,“ geram Ki Singaluwih, “sekali lagi aku beri kau kesempatan. Tetapi jika kesempatan ini tidak kau pergunakan maka aku akan memberikan perintah kepada orang-orangku. Pasukan berkuda yang perkasa. “

“Apakah padepokan Nagaraga memiliki pasukan berkuda?“ bertanya senapati itu.

“Cukup!“ bentak Ki Lurah Singaluwih, “Jawab pertanyaanku. Kau serahkan atau tidak?“

Senapati yang memimpin pasukan itu termangu-mangu sejenak. Ia sempat berpaling kepada Kiai Gringsing dan Ki Jayaraya. Hampir berbareng keduanya telah mengangguk sebagai isyarat, bahwa agaknya memang tidak ada cara lain untuk menyelesaikan persoalan itu selaln bertahan.

Ketika senapati itu kemudian mengedarkan pandangan matanya kepada para perwira dan prajurit, maka rasa-rasanya mereka sudah bersiap. Para perwira dan prajurit itu memang akan bertempur di pategalan. Pepohonan yang terdapat di pategalan akan dapat menghambat kuda-kuda yang berlari menyambar-nyambar.

Senapati itu masih juga sempat menarik nafas dalam-dalam ketika Singaluwih membentaknya, “Cepat, jawab!“

Senapati itu pun mengangkat wajah sambil menjawab, “Sayang Ki Sanak. Aku tidak dapat menyerahkan orang itu kepadamu, apapun yang akan terjadi.“

“Iblis kau. Apakah kau tidak sayang kepada nyawamu?“ bertanya Singaluwih.

“Aku sayang kepada nyawaku,“ jawab senapati itu, “karena itu akan aku pertahankan dengan segenap kemampuanku.“

Gigi Ki Lurah Singaluwih gemeretak menahan marah. Iapun kemudian telah memutar kudanya diikuti oleh kedua orang yang lain yang bersamanya mendekati para prajurit Mataram. Tiba-tiba kuda-kuda itu bagaikan meloncat berlari menuju ke induk pasukannya. Tetapi para perwira dan prajurit Mataram pun mengetahui, bahwa sebentar lagi serangan dari pasukan berkuda itu akan datang bagaikan arus banjir bandang.

“Berhati-hatilah!“ teriak senapati itu, “mereka akan datang dan menerjang pasukan ini sebagaimana angin prahara. Bertahanlah sejauh dapat kalian lakukan. Pepohonan, dan bahkan rumpun bambu, serta apa saja yang ada di pategalan ini dapat kalian jadikan perisai. Jangan ragu-ragu untuk mengakhiri perlawanan lawan. Bukan kita berniat untuk membunuh sebanyak-banyaknya, tetapi kita tidak boleh mengingkari kenyataan, bahwa jumlah lawan berlipat ganda.“

Para perwira dan prajurit pun telah bersiaga sepenuhnya. Sebagian besar dari mereka telah berusaha untuk dapat berlindung di sebelah pepohonan jika pasukan berkuda itu datang bagaikan taufan yang menyapu padang ilalang. Sementara itu senjata mereka pun telah bersiap. Jika pada benturan pertama mereka berhasil mengurangi jumlah lawan, maka untuk seterusnya mereka tidak akan mengalami tekanan yang terlampau berat.

Seperti yang diperhitungkan oleh para prajurit Mataram, maka pasukan berkuda itu pun sejenak kemudian telah datang menyerbu. Yang terdengar bukan saja riuhnya derap kuda, tetapi juga teriakan-teriakan yang mendebarkan jantung dari para penunggang kuda itu.

Ternyata para prajurit dari Madiun itu telah berusaha untuk menyesuaikan dirinya dengan pakaian yang mereka kenakan. Mereka datang tidak sebagai seorang prajurit. Tetapi sebagai orang-orang dari gerombolan yang kasar dan keras.

Keributan itu ternyata telah mengundang perhatian dari orang-orang padukuhan. Ada di antara mereka yang dengan berdebar-debar menyaksikan dari kejauhan, apakah yang akan terjadi kemudian. Tetapi ada juga di antara orang-orang padukuhan yang menjadi ketakutan. Terutama perempuan dan kanak-kanak. Bahkan mereka yang tinggal tidak terlalu jauh dari pategalan itu pun telah pergi mengungsi meninggalkan rumah mereka, menjauhi keributan yang timbul di pategalan.

Pemilik pategalan dan anaknya itu pun kemudian mendengar juga tentang keributan itu. Mereka dengan tergesa-gesa telah kembali ke pategalannya. Tetapi ternyata bahwa orang itu bersama anaknya tidak berani mendekati pategalan.

Di pategalan itu, pertempuran telah terjadi dengan sengitnya. Prajurit Madiun ternyata prajurit yang berilmu pula. Namun ternyata bahwa sergapan para prajurit Mataram justru pada saat pasukan berkuda itu menyerang, telah mengejutkan mereka.

Prajurit Mataram bagaikan telah berloncatan dari balik setiap batang kayu sambil menjulurkan senjata mereka. Beberapa orang memang telah terluka. Meskipun luka-luka itu belum membunuh, namun sebagian kekuatan dari orang-orang berkuda itu sudah dikurangi.

Sejenak kemudian pertempuran yang sengit telah terjadi di pategalan itu. Kiai Gringsing yang mengakui bahwa jumlah kekuatan lawan jauh lebih besar dari jumlah kekuatan para prajurit Mataram, yang memang tidak sampai berjumlah dua puluh orang itu pun telah berusaha untuk mengurangi jumlah lawan. Demikian pula yang dilakukan oleh Ki Jayaraga.

Untuk itu, maka untuk tidak membuat pangewan-ewan yang akan dapat menarik terlalu banyak perhatian, maka keduanya telah mempergunakan senjata pula. Kiai Gringsing telah mempergunakan cambuknya, sementara itu, Ki Jayaraga telah mempergunakan sebilah tombak pendek yang dengan serta merta terlempar dan jatuh di dekatnya ketika Kiai Gringsing merenggutnya dengan ujung cambuknya dari tangan seorang prajurit Madiun.

Ki Jayaraga tidak mengurai ikat kepalanya. Tetapi tombak pendek itu dipergunakannya sebagai senjata yang menggetarkan lawan-lawannya.

Dalam pada itu, ternyata cambuk Kiai Gringsing yang dipergunakannya dalam ujud wajarnya namun digerakkan dengan kemampuan ilmu yang tinggi, telah banyak mengurangi kekuatan lawan. Meskipun cambuk itu tidak membunuh, namun setiap sentuhan berarti luka yang menganga di kulit daging.

Namun orang-orang berkuda itu telah menebar. Ki Singaluwih mengamuk dengan garangnya di atas punggung kudanya. Untuk beberapa saat ia tidak segera melihat orang yang berada di atas tandu. Namun ia telah berputaran di antara para prajuritnya yang berkuda sambil mengayun-ayunkan senjata yang besar sambil meneriakkan aba-aba.

Namun akhirnya Ki Singaluwih melihat dua orang tua di antara prajurit Mataram itu yang memiliki kemampuan yang sulit untuk diimbangi oleh para prajurit. Karena itu, maka iapun telah mendekati dua orang kembar yang ada di antara pasukannya sambil berkata, “Kalian berdua mendapat lawan di sini.“

Keduanya termangu-mangu. Namun seorang di antaranya berkata, “Aku akan mencari orang yang ada di dalam tandu itu.”

“Aku sendiri akan melakukannya,“ jawab Ki Lurah Singaluwih, “lihat kedua orang itu.“

Kedua orang kembar itu memang melihat Kiai Gringsing yang bersenjata cambuk dan Ki Jayaraga yang bersenjata tombak. Sebenarnya keduanya merasa segan untuk berada di bawah perintah Ki Lurah Singaluwih. Bahkan mereka cenderung untuk menolak perintah itu. Tetapi ketika keduanya melihat kedua orang tua itu, mereka justru tertarik untuk menghadapinya.

Sesaat keduanya saling berpandangan. Namun kemudian Ki Jaladigda dan Ki Kismadigda itu pun seakan-akan telah menemukan kesepakatan. Dengan nada rendah Ki Jaladigda pun berkata, “Baiklah. Kedua orang itu memang sangat menarik untuk diajak bermain-main.“

Dengan demikian, maka Ki Jaladigda dan Ki Kismadigda itupun telah berusaha mendekati kedua orang tua itu. Mereka telah menyibakkan para prajurit Madiun yang berkeliaran dengan kuda-kuda mereka, bertempur menghadapi prajurit Mataram yang jumlahnya jauh lebih kecil.

Namun para prajurit Mataram memang mampu bergerak dengan cepat dan tangkas. Mereka berloncatan dari satu sisi pohon k esisi yang lain. Berputaran dan kemudian menjulurkan senjatanya menyerang lawan mereka yang berada di punggung kuda. Tetapi karena jumlah orang-orang berkuda itu jauh lebih banyak, maka para prajurit Mataram memang menghadapi satu keadaan yang sangat berat. Untunglah bahwa Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga sempat dengan cepat mengurangi jumlah para prajurit Madiun itu, sampai saatnya dua orang kembar itu datang kepada mereka.

“Ki Sanak,“ berkata Ki Jaladigda, “kalian menunjukkan satu kelebihan dari antara orang-orang Mataram.“

Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga memandang keduanya dengan dahi yang berkerut. Namun kemudian Ki Jayaraga pun berkata, “Marilah Ki Sanak. Apakah kalian mempunyai kepentingan dengan kami?“

Ki Jaladigda dan Ki Kismadigda itu pun menarik nafas dalam-dalam. Mereka segera melihat bahwa kedua orang yang bersenjata cambuk dan tombak pendek itu adalah orang-orang yang benar-benar sudah matang. Karena itu, maka keduanya pun kemudian telah melompat turun dari kuda-kuda mereka dan mengikatnya pada sebatang pohon.

“Kami harus menghormati kalian,“ berkata Ki Jaladigda, “agaknya kalian adalah orang-orang penting yang telah disertakan pada pasukan Mataram yang menghancurkan Nagaraga itu.“

“Tidak,“ jawab Kiai Gringsing, “adalah kebetulan bahwa kami telah ikut dalam pasukan ini.“

“Sejak semula aku memang sudah curiga, bahwa prajurit Mataram siapapun pemimpinnya tidak akan dapat menghancurkan padepokan itu, jika di antara mereka tidak terdapat orang-orang yang secara khusus dikirim oleh Panembahan Senapati,“ berkata Ki Kismadigda.

“Prajurit Mataram itu dipimpin langsung oleh Pangeran Singasari, adik Panembahan Senapati yang memililiki kemampuan ilmu sebagaimana Panembahan Senapati sendiri,“ berkata Kiai Gringsing.

Kedua orang kembar itu mengangguk-angguk. Lalu tiba-tiba Ki Jaladigda pun bertanya, “Siapakah yang dibawa dengan tandu itu?“

Ki Jayaraga-lah yang menyahut, “Bukan siapa-siapa.“ “Ki Sanak,“ geram Ki Kismadigda, “jangan terlalu sombong. Sebaiknya kau menjawab sebelum kau mati.“

“Pemimpin pasukanmu sudah menanyakannya,“ sahut Ki Jayaraga, “bertanyalah kepadanya.“

“Baiklah,“ berkata Ki Kismadigda, “sekarang bersiaplah untuk mati. Jika kau berhasil lolos dari tangan-tangan orang Nagaraga, dan bahkan kau dan pasukanmu berhasil menghancurkan padepokan itu, maka jangan menyesal jika kau akan mati di sini.“

Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga pun telah bersiap. Mereka telah mengambil jarak beberapa langkah agar mereka mendapat masing-masing kesempatan untuk bergerak.

Kedua orang kembar itu pun telah menempatkan dirinya pula. Ki Jaladigda telah menghadapi Kiai Gringsing, dan Ki Kismadigda berhadapan dengan Ki Jayaraga.

Sementara itu di pategalan itu pun pertempuran telah berlangsung dengan sengitnya. Beberapa orang prajurit Madiun telah terluka dan terjatuh dari kudanya, sehingga terpaksa disingkirkan menepi agar mereka tidak terinjak-injak oleh kuda-kuda yang berlarian berputaran. Sebagian dari mereka telah terluka oleh ujung cambuk dan ujung tombak Ki Jayaraga, di samping senjata para prajurit Mataram yang justru menyergap mereka pada saai mereka memasuki pategalan.

Sementara itu, Glagah Putih dan Sabungsari pun menjadi tegang menyaksikan apa yang telah terjadi.

Ki Lurah Singaluwih perhatiannya memang tertuju kepada orang yang dibawa dengan tandu itu. Karena itu, maka iapun telah berusaha untuk menemukannya. Di atas punggung kuda ia berputaran, sehingga akhirnya Ki Lurah itu pun telah menemukan Raden Rangga yang ditunggui Glagah Putih dan Sabungsari.

“Setan alas,“ geram Ki Lurah, “agaknya kau disembunyikan di balik pepohonan pategalan ini he? Kau kira kami tidak akan dapat menemukannya?“

Raden Rangga mengerutkan keningnya.

Namun Glagah Putih telah berdesis, “Biarlah aku yang menjawabnya.“

Raden Rangga mengangguk-angguk. Iapun kemudian melangkah maju dan berdiri di depan Raden Rangga yang duduk di tandunya. Sementara Sabungsari pun telah berdiri di sebelahnya.

“Apa yang kau maui Ki Sanak?“ bertanya Glagah Putih.

“Minggirlah Anak Muda,“ geram Ki Lurah Singaluwih, ”aku hanya mencari orang yang ditandu itu.“

“Kau lihat bahwa yang duduk di dalam tandu adalah anak-anak?“ Glagah Putih-lah yang kemudian bertanya.

Ki Lurah Singaluwih itu pun kemudian memandang orang yang ada di dalam tandu. Kelihatannya memang masih terlalu muda. Lebih muda dari anak muda yang menjawab pertanyaan-pertanyaan itu.

“Siapa anak itu?“ bertanya Ki Lurah Singaluwih.

“Kau kira siapa?“ sahut Glagah Putih, “Bukankah kau lihat sendiri, bahwa ia tidak lebih dari seorang remaja yang sedang sakit? Jika kau ingin menemuinya, sayang sekali aku tidak dapat membiarkannya, karena ia memerlukan istirahat yang sungguh-sungguh.“

“Aku memerlukannya,“ berkata Ki Lurah Singaluwih.

“Buat apa? Apakah kau mempunyai obat yang dapat menyembuhkannya?“ bertanya Glagah Putih.

“Persetan,“ geram Ki Lurah, “sekarang kau pergi. Kedua-duanya pergi. Biarlah aku mengambil anak muda yang duduk di atas tandu itu.“

“Sudah aku katakan, jangan kau dekati anak yang sedang sakit itu,“ berkata Glagah Putih, “kami sedang berusaha menyembuhkannya.”

“Cepat. Atau aku akan menghabisi nyawamu?“ Ki Lurah hampir berteriak.

Sabungsari-lah yang kemudian bergeser setapak sambil berkata lirih hampir berbisik, “Biarlah aku hadapi orang ini. Beristirahatlah sambil mengawani Raden Rangga. Mungkin ada orang lain yang datang dengan curang.“

Glagah Putih akan menjawab. Tetapi Sabungsari berkata, “Biarlah lukamu tidak kambuh lagi.“

“Lukaku sudah sembuh,“ sahut Glagah Putih.

“Tetapi serahkan orang ini kepadaku,“ berkata Sabungsari.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak ingin mengecewakan Sabungsari.

Sementara itu, Ki Lurah Singaluwih yang mendengar pembicaraan keduanya meskipun tidak jelas, namun dari sikap mereka, maka Ki Lurah mendapat kesimpulan, bahwa keduanya masing-masing telah bersiap menghadapinya. Dengan geram ia berkata, “Matilah bersama-sama. Jangan satu demi satu.“

Yang melangkah mendekat adalah Sabungsari. Seperti yang dikatakannya, maka ia telah bersiap untuk bertempur melawan orang berkuda itu, yang menilik sikap dan kata-katanya adalah orang yang terlalu yakin akan kemampuannya.

“Ki Sanak,“ berkata Sabungsari kemudian, “aku minta Ki Sanak jangan mengganggu kami. Kau lihat, bahwa jumlah pasukanmu yang besar itu tidak akan mampu mengalahkan para prajurit Mataram.”

“Persetan,“ geram Ki Lurah Singaluwih, “aku akan membunuhmu. Supaya aku tidak dituduh sewenang-wenang, maka aku akan membunuhmu tidak dari atas punggung kuda.”

Sabungsari mengerutkan keningnya melihat orang itu meloncat turun. Setelah mengikatkan kudanya pada sebatang pohon perdu, maka iapun berkata, “Matilah dengan tenang Anak Muda.“

Sabungsari benar-benar telah bersiap menghadapi orang itu. Iapun kemudian bergeser menjauhi tandu Raden Rangga, sementara Glagah Putih berdiri saja termangu-mangu.

Namun dalam pada itu, ternyata bahwa bukan hanya Ki Lurah Singaluwih sajalah yang datang mendekati Raden Rangga yang duduk di atas tandu. Tetapi dua orang berkuda telah datang pula dari lingkaran pertempuran yang riuh di pategalan.

“Nah,“ berkata Sabungsari, “kau telah mendapat tugas.“

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba saja didengarnya Raden Rangga tertawa, “Nah, kau lihat mereka datang kemari?“

Glagah Putih mengangguk.

Sementara itu Ki Lurah Singaluwih berkata lantang, “Nah, kalian mau apa?“

Sabungsari tidak menjawab. Tetapi ia melangkah semakin dekat dengan Ki Lurah yang justru melangkah setapak surut.

“Gila,“ geramnya.

“Marilah,” berkata Sabungsari, “semakin cepat semakin baik. Siapakah di antara kita yang akan mati. Kau akan mendapat ukuran kemampuan prajurit Mataram. Mungkin kau kagum, tetapi mungkin juga kau akan menjadi heran bahwa prajurit Mataram ternyata tidak mampu mengimbangimu, siapapun kau.”

“Persetan,“ Ki Lurah menggeretakkan giginya. Dengan cepat Ki Lurah itu pun telah meloncat menyerang Sabungsari, Namun Sabungsari pun dengan cepat pula menghindarinya.

Namun Ki Lurah yang marah itu tidak membiarkan lawannya terlepas dari ujung senjatanya. Dengan cepat ia memburu sambil mengayunkan senjatanya yang besar dan berat itu. Namun Sabungsari telah mapan dan menunggunya. Sabungsari tidak dengan serta merta mempergunakan ilmu pamungkasnya. Tetapi Sabungsari ingin menundukkan lawannya dengan senjata pula. Karena itu maka Sabungsari telah menarik pedang pula. Dengan pedangnya Sabungsari telah melawan senjata Ki Lurah Singaluwih yang garang.

Sejenak kemudian keduanya telah terlibat dalam pertempuran yang sengit. Senjata mereka telah berputaran, terayun-ayun dan mematuk dengan keras dan cepat. Benturan-benturan telah beberapa kali terjadi.

Ternyata bahwa Ki Lurah Singaluwih memang seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Kekuatan ilmunya mampu mengimbangi ilmu pedang Sabungsari, sehingga dengan demikian, maka pertempuran pun semakin lama menjadi semakin sengit.

Glagah Putih tidak sempat menyaksikan pertempuran itu lebih lama. Dua orang berkuda berhenti beberapa langkah dari tandu Raden Rangga. Glagah Putih harus bergeser mendekati keduanya agar keduanya tidak berbahaya bagi Raden Rangga itu.

“Jangan bunuh diri,“ berkata salah seorang di antara mereka.

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun menjawab, “Pergilah. Jika kau memaksa mendekat, maka kaulah yang akan membunuh diri.“

Kedua orang berkuda itu tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba saja keduanya telah berpencar.

Glagah Putih menjadi marah. Ia sadar, bahwa keduanya akan berbuat sesuatu atas Raden Rangga dari arah yang berbeda. Karena kehadirannya, maka salah seorang di antara mereka akan mengikatnya dalam perkelahian, sementara yang lain akan langsung mengambil Raden Rangga darj atas tandunya.

Memang agak sulit bagi Glagah Putih untuk melawan kedua orang berkuda itu. Dengan kuda keduanya akan dapat bergerak lebih cepat meskipun harus menyusup di antara pepohonan di pategalan.

Orang berkuda yang ada di hadapannya pun tersenyum sambil berkata, “Kau sedang mencari jalan untuk melawan kami berdua he? Kau tidak akan menemukannya. Aku akan membunuhmu, dan kawanku itu akan mengambil orang yang berada di atas tandu itu.“

Glagah Putih menaik nafas dalam-dalam. Sementara itu, orang yang berada di hadapannya itu pun telah bersiap untuk menyerangnya. Pedangnya telah bergetar di tangan kanannya, sementara tangan kirinya sudah menggerakkan kendali kudanya.

Kuda itu memang segera bergerak. Kuda yang terlatih itu pun kemudian telah menyerang Glagah Putih, menyambar seperti seekor burung sikatan. Sementara itu penunggangnya telah mengayunkan pedangnya menyambar langsung ke leher Glagah Putih.

Glagah Putih memang sempat mengelak. Namun iapun melihat kuda yang lain pun telah bergerak, langsung mendekati Raden Rangga. Glagah Putih memang menjadi agak bingung. Namun ia tidak mau melakukan kesalahan sehingga akibatnya akan dapat menjadi sangat buruk bagi Raden Rangga. Karena itu, maka Glagah Putih tidak lagi mengekang dirinya.

Ketika keringat kegelisahannya mulai menyentuh lukanya, maka terasa luka itu memang masih pedih. Karena itu, kemarahannya justru bagaikan telah membakar jantung dan membuat darahnya menjadi mendidih.

Kemarahannya itulah yang telah mendorong Glagah Putih sampai pada puncak kemampuannya hampir tanpa disadarinya. Ketika lawannya menyambarnya, Glagah Putih telah meloncat menghindarinya. Tetapi loncatannya ternyata cukup panjang.

Tiga langkah, namun dengan landasan ilmunya, sehingga yang tiga langkah itu memang cukup jauh dari tempatnya semula, sehingga Glagah Putih itu telah berdiri di antara kedua ekor kuda yang mempunyai arah yang berbeda. Yang kehilangan Glagah Putih itu berusaha untuk menyusulnya. Sementara yang lain menjadi semakin dekat dengan Raden Rangga.

Dalam keadaan yang semakin rumit itu, maka Glagah Putih telah benar-benar melepaskan ilmunya. Penunggang kuda yang seorang telah menjadi semakin dekat dengan tandu Raden Rangga. Seandainya di pategalan itu tidak terdapat pepohonan yang agak rapat serta batang-batang perdu, maka orang itu tentu sudah akan dapat meloncat turun, mengangkat Raden Rangga dan ditempatkan di punggung kudanya pula, untuk kemudian dibawa meninggalkan pategalan itu.

Namun hambatan yang terdapat di pategalan itu telah memberi kesempatan bagi Glagah Putih untuk mencegah keadaan yang lebih buruk bagi Raden Rangga.

Demikian orang berkuda yang mendekati Raden Rangga sudah siap untuk meloncat turun dari kudanya, tiba-tiba saja ia telah menjerit. Dengan keras ia telah terlempar dari kudanya ketika kudanya meloncat sambil meringkik keras-keras. Sejenak kemudian maka keduanya telah terjatuh di tanah tanpa dapat menahan keseimbangan.

Ternyata ketika Glagah Putih melontarkan kemampuan ilmunya terhadap orang yang hampir saja mencapai Raden Rangga itu dengan tergesa-gesa, maka ia tidak berusaha membidikkan ilmunya dengan baik, sehingga kudanya pun telah tersentuh oleh ilmunya pula.

Peristiwa itu telah mengejutkan prajurit berkuda yang sedang mendekati Glagah Putih. Di luar sadarnya ia telah menarik kendali kudanya, sehingga kudanya itu pun telah terhenti dengan tiba-tiba.

Sejenak penunggang kuda itu termangu-mangu. Namun nampak kecemasan pada wajahnya. Ternyata sesuatu yang tidak diduga telah terjadi. Menurut penglihatan orang itu, gerak dan sikap anak muda yang berdiri tegak itulah yang telah melontarkan serangan dari jarak jauh atas kawannya yang hampir mencapai orang di atas tandu itu.

Namun bagaimanapun juga ia adalah seorang prajurit. Justru orang itu ingin memanfaatkan saat-saat yang dianggapnya paling baik. Ketika Glagah Putih masih memperhatikan kawannya serta kudanya yang roboh itu, maka iapun telah menyentuh perut kudanya dengan tumitnya. Kemudian di saat kudanya meloncat berlari menyambar Glagah Putih, maka pedangnya sudah siap untuk menggores leher anak muda itu.

Tetapi Glagah Putih cukup tangkas. Iapun segera bergeser sambil merendahkan dirinya, sehingga pedang lawannya itu sama sekali tidak menyentuhnya.

Ketika kuda itu terdorong lewat beberapa langkah, Glagah Putih telah siap melontarkan ilmunya pula. Tetapi ternyata Glagah Putih tidak menyerang orang itu pada punggungnya. Demikian kuda itu berputar, maka Glagah Putih pun telah mengangkat tangannya.

Kekuatan yang luar biasa telah terpancar dari dirinya dengan landasan ilmunya. Raden Rangga telah mendorongnya dan menuntunnya sehingga ia mampu melakukannya, meskipun ia sudah mempunyai bekal cukup di dalam dirinya. Sementara itu, Ki Jayaraga telah memberikan warna pada kekuatan ilmunya yang diwarisinya dari orang tua itu. Sedangkan sebelumnya ia telah mengusainya seluruh dasar ilmu yang diturunkan lewat Agung Sedayu atas ilmu yang tersalur lewat Ki Sadewa dan ayahnya Ki Widura.

Dalam keadaan yang terpaksa, maka Glagah Putih telah melontarkan kekuatan ilmunya itu, meskipun tidak dengan kekuatan dan kemampuan sepenuhnya. Tetapi yang diterkam oleh ilmunya itu adalah seorang prajurit yang tidak memiliki tingkat kemampuan ilmu yang cukup tinggi serta daya tahan yang mampu melindunginya dari sentuhan ilmu yang nggegirisi itu. Karena itu, maka seperti kawannya, maka rasa-rasanya dadanya telah terbentur sebongkah batu gunung yang dilontarkan oleh kekuatan raksasa.

Karena itu, maka prajurit itu tidak dapat bertahan di atas punggung kudanya. Iapun kemudian telah terlempar jatuh, sementara kudanya berlari meninggalkannya, menyusup di antara pepohonan dan hilang tanpa tujuan. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu ketika ia berjalan dengan langkah-langkah berat mendekati Raden Rangga, terdengar anak muda itu berkata, “Luar biasa Glagah Putih. Aku tahu, bahwa kau menyesal, justru karena kau telah terpaksa melepaskan kemampuan ilmu pamungkasmu.“

Glagah Putih tidak segera menjawab.

Namun dua orang agaknya telah terbunuh olehnya, tanpa mengetahui siapakah mereka dan dari manakah mereka datang.

“Tetapi itu bukan salahmu. Keadaanku telah memaksamu berbuat seperti itu,” berkata Raden Rangga.

Glagah Putih pun kemudian mendekati Raden Rangga sambil menyahut, “Jangan salahkan diri sendiri Raden. Aku memang menyesal bahwa aku telah terpaksa membunuh orang yang sama sekali tidak aku kenal. Tetapi aku tidak mempunyai pilihan lain.”

Raden Rangga tidak menjawab. Namun kemudian katanya, “Glagah Putih. Agaknya pertempuran menjadi semakin seru. Orang-orang berkuda itu jumlahnya agaknya jauh lebih banyak dari jumlah kita. Untuk mengatasinya, mungkin kau sangat diperlukan.”

“Tetapi aku akan berada di sini,” berkata Glagah Putih, “bagaimanapun juga Raden harus dikawani, justru Raden-lah yang agaknya menjadi sasaran orang-orang berkuda itu. Jika keadaan Raden tidak seperti ini, maka tentu Raden-lah yang akan mengawani aku.”

Tiba-tiba saja Raden Rangga tertawa. Mula-mula Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tertawa pula.

Tetapi suara tertawa Raden Rangga dengan tiba-tiba pula berhenti. Wajahnya nampak tegang. Sementara tatapan matanya menjadi redup.

Glagah Putih mengerti, bahwa Raden Rangga sedang mengatasi rasa sakitnya.

Sementara itu pertempuran di pategalan itu masih berlangsung terus. Beberapa orang berkuda itu pun telah berloncatan turun. Mereka justru merasa terhambat oleh kuda-kuda mereka karena pepohonan yang tumbuh di pategalan itu.

Namun dengan demikian, maka keadaan para prajurit Mataram yang jumlahnya jauh lebih sedikit itu memang menjadi semakin sulit. Meskipun beberapa orang lawan telah dilumpuhkan, bahkan ada pula yang telah terbunuh, namun jumlah mereka tetap masih lebih banyak.

Dalam keadaan yang sulit itu, tiba-tiba saja terdengar Raden Rangga itu mulai berkidung lagi. Seperti yang dilagukannya sebelumnya, maka Raden Rangga telah melagukan tembang Durma. Tembang yang menghidupkan gejolak perjuangan di peperangan.

“Raden,” desis Glagah Putih.

Tetapi Raden Rangga tidak menghiraukannya.

Sementara itu, beberapa saat kemudian telah datang pula dua orang yang bersenjata pedang pula. Mereka tidak berada di atas punggung kuda. Tetapi mereka telah turun dari kudanya dan berusaha untuk mencari orang yang telah dibawa dengan tandu.

“Nah, ia ada di sini,” berkata yang seorang.

“Bagus,” desis yang lain.

Namun keduanya tertegun ketika mereka melihat Ki Lurah Singaluwih bertempur dengan sengitnya. Keduanya mempergunakan senjata di tangan. Senjata Ki Lurah yang besar dan berat itu terayun-ayun sangat mengerikan. Tetapi senjata yang besar itu sama sekali tidak mampu menggoyahkan pertahanan Sabungsari. Bahkan beberapa kali senjata Sabungsari yang lebih kecil itu mampu mendesak Ki Lurah, sehingga Ki Lurah berloncatan mundur.

“Anak setan,” geram Ki Lurah, “dari mana kau belajar ilmu iblis itu he?”

Sabungsari tidak menjawab. Tetapi dengan kemampuan ilmu pedangnya, maka ia sudah mendesak beberapa kali Ki Lurah Singaluwih. Namun kadang-kadang Sabungsari telah terdesak pula beberapa langkah surut.

“Ki Lurah akan segera mengatasi lawannya,” berkata salah seorang di antara mereka.

Yang lain pun mengangguk sambil berkata, “Kita ambil orang yang dibawa dengan tandu itu.”

“Seseorang agaknya telah menjaganya,” berkata yang satu.

“Kita selesaikan saja orang itu,” jawab yang lain.

Demikianlah, keduanya telah mendekati Glagah Putih yang berdiri termangu-mangu. Sementara itu Raden Rangga masih saja melagukan tembang Durma yang menggetarkan jantung.

“Apakah orang itu sudah gila,” berkata seorang di antara kedua orang yang mendekatinya itu.

Namun yang lain tiba-tiba telah menggamit kawannya sambil menunjuk sesosok tubuh yang terbaring diam. Bahkan ketika ia memandang berkeliling, dilihatnya sesosok yang lain terkapar di dekat tubuh seekor kuda.

“Setan,” geram orang itu, “siapakah yang telah membunuh mereka?”

Kawannya tidak menjawab. Namun dengan geram ia mulai menggerakkan pedangnya sambil mendekati Glagah Putih.

“Siapa yang telah membunuh kawan-kawanku itu he?” bertanya seorang di antara keduanya.

Glagah Putih tidak melingkar-lngkar lagi. Dengan tegas iapun telah menjawab, “Aku.”

“Persetan. Melihat tampangmu, maka kau bukan prajurit Mataram. Kau tidak mengenakan tanda-tanda keprajuritan seperti prajurit-prajurit yang lain. Atau kau termasuk salah seorang prajurit atau petugas sandi?” bertanya orang itu.

“Aku bukan prajurit Mataram. Dan aku juga bukan petugas atau prajurit sandi,” jawab Glagah Putih.

“Kenapa kau berada di antara para prajurit Mataram he?” desak orang itu.

“Aku dan kawanku yang berada di atas tandu itu meninggalkan Mataram lebih dahulu dari seluruh pasukan. Kami bertemu di perjalanan dan kami berjalan bersama mereka,” jawab Glagah Putih pula.

“Kau berusaha untuk memisahkan orang di atas tandu itu dari kesatuan prajurit Mataram, ya,” berkata orang itu, “jangan mimpi bahwa kata-katamu dapat dipercaya. Kami sudah yakin, bahwa orang itu tentu orang penting, sehingga ia harus diantar lebih dahulu di atas tandu, sementara orang lain yang terluka dibiarkan saja berada di padepokan itu.”

“Terserah kepada kalian jika kalian ingin menyusun cerita tersendiri tentang kawanku itu. Itu hakmu. Tetapi kalian tidak berhak untuk berbuat sesuatu atasnya,” berkata Glagah Putih.

Raden Rangga yang sudah berhenti berkidung memperhatikan sikap Glagah Putih. Sikap yang memang meyakinkan. Meskipun Glagah Putih masih sangat muda, hanya terpaut sedikit lebih tua dari umurnya sendiri, namun Glagah Putih sudah menunjukkan kelebihannya. Bukan saja dalam ilmu kanuragan, tetapi juga dalam menentukan sikap dan langkah langkah yang harus dengan cepat diambil.

Dalam pada itu, kedua orang itu pun telah bersiap untuk menyingkirkan Glagah Putih yang menghalangi mereka. Dengan pedang di tangan, kedua orang prajurit itu bergeser saling menjauhi. Tetapi agaknya keduanya lebih dahulu akan menyelesaikan Glagah Putih bersama-sama.

Glagah Putih yang merasa cemas akan keadaan Raden Rangga, tidak mau banyak kehilangan waktu. Apalagi ketika dilihatnya dua orang lagi telah melihat tempat itu dan melangkah mendekat.

Karena itu, maka Glagah Putih pun telah memutuskan untuk mempergunakan ikat, pinggangnya yang khusus itu.

“Anak setan,” geram salah seorang lawannya, “kau kira kami cucurut-cucurut busuk yang lari melihat ikat pinggang kulitmu itu?”

Glagah Putih tidak menyahut. Tetapi ia sudah siap tempur.

Ketika salah seorang lawannya itu menjulurkan pedangnya, maka dengan serta merta Glagah Putih telah memukul pedang itu dengan kekuatan ilmunya. Hanya sekali pukul, maka pedang itu telah terlempar jatuh.

“Gila!” teriak prajurit yang kehilangan pedang itu. Namun kawannya-lah yang kemudian menyerangnya dengan ayunan pedang mendatar. Demikian cepatnya, mengarah ke lambung.

Ketika Glagah Putih meloncat surut, maka lawannya yang kehilangan pedang itu pun telah meloncat memungut pedangnya dengan tergesa-gesa.

Glagah Putih tidak mencegahnya. Namun dengan demikian maka sejenak kemudian ia harus bertempur melawan dua orang lawan. Sementara itu, dua orang lagi telah mendatanginya. Semakin lama semakin dekat.

Raden Rangga melihat kehadiran dua orang baru itu. Namun ia sendiri memang tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tengah bergulat dengan kekuatan bisa ular di dalam dirinya, sehingga membuatnya seakan-akan tidak berdaya.

Ketika kedua orang baru itu menjadi semakin dekat, maka Glagah Putih pun berniat untuk mempercepat pekerjaannya, karena pekerjaan baru akan segera menyusul.

Karena itu, maka ikat pinggangnya pun telah berputar semakin cepat dan kuat.

Kedua lawannya sama sekali tidak menduga, bahwa ikat pinggang itu akan dapat mematuk seperti pedang mereka. Karena itu ketika Glagah Putih menjulurkan ikat pinggang itu, maka keduanya telah terkejut.

“Apakah ikat pinggang itu didapatkannya dari sesosok iblis?” bertanya kedua orang lawannya di dalam hatinya.

Sebenarnyalah dengan ilmunya Glagah Putih mampu menjadikan ikat pinggangnya seperti sehelai pedang.

Ketika Glagah Putih mempercepat serangannya, maka kedua lawannya benar-benar menjadi semakin terdesak. Pedang mereka seakan-akan menjadi tidak berarti di hadapan lawannya yang masih sangat muda dan bersenjata ikat pinggang itu.

Kedua orang kawannya yang datang kemudian pun melihat, bahwa dua orang di antara para prajurit itu sedang terdesak. Karena itu, maka mereka pun telah mempercepat langkah mereka.

Namun ternyata mereka terlambat. Demikian mereka menjadi semakin dekat, maka terdengar kawannya yang sedang bertempur itu berteriak mengumpat dengan kemarahan yang menghentak. Namun kemudian suaranya tenggelam dalam riuhnya pertempuran. Tubuhnya telah terkapar jatuh di tanah.

“Gila,” teriak kawannya yang seorang. Sementara itu dua orang yang lain telah meloncat memasuki arena.

Tetapi kehadiran mereka seakan-akan telah memperpendek perlawanan seorang yang tersisa dari kedua orang yang terdahulu. Demikian kedua orang yang berlari-lari kemudian itu mendekat, maka yang seorang dari yang datang terdahulu itu telah terdorong surut. Ujung ikat pinggang Glagah Putih ternyata telah menyengat dadanya, sehingga lukapun telah menganga, sebagaimana sentuhan ujung senjata.

Yang kemudian berada di arena adalah dua orang baru yang datang kemudian. Namun mereka ternyata bukan orang-orang yang lebih baik dari kedua orang yang terdahulu.

Sementara itu, Sabungsari yang bertempur melawan Ki Lurah Singaluwih itu pun benar-benar menjadi semakin seru. Ki Lurah memang bukan orang kebanyakan, sehingga ayunan pedangnya benar-benar menggetarkan jantung lawannya. Tetapi Sabungsari pun seorang yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Sehingga dengan demikian pertempuran itu pun menjadi sangat sengit. Keduanya saling mendesak dan saling menyerang. Sekali waktu Sabungsari terdesak beberapa langkah. Namun kemudian Ki Lurah-lah yang meloncat mundur dengan loncatan-loncatan panjang.

Ki Lurah yang garang itu akhirnya menjadi tidak telaten lagi. Ia merasa berkewajiban untuk mengambil orang yang berada di tandu itu.

Sekali-sekali Ki Lurah juga mendapat kesempatan untuk melihat beberapa orangnya yang berusaha mengambil orang yang berada di dalam tandu yang sederhana itu. Namun iapun sempat melihat juga bagaimana orang-orangnya itu dihancurkan oleh seorang anak muda yang menjaganya.

Sementara itu, di arena pertempuran di pategalan itu pun rasa-rasanya para prajuritnya tidak segera dapat mengatasi keadaan. Kelebihan jumlah orang-orangnya yang berlipat, telah jauh susut. Pada benturan yang pertama, beberapa orang prajuritnya telah jatuh dari punggung kudanya. Cambuk dan tombak pendek dua orang tua itu pun telah mengurangi jumlah prajuritnya. Kemudian anak muda yang mengawani orang yang berada di dalam tandu itu telah merampas enam dari orang-orangnya.

Sebenarnyalah bahwa keadaan para prajurit Mataram memang tidak lagi terasa terlalu berat, justru ketika mereka sudah bertempur beberapa lama. Apalagi para prajurit Mataram itu sebagian besar justru terdiri dari para perwira pilihan, sehingga dengan demikian, mereka memang memiliki kelebihan dari kebanyakan prajurit. Juga kelebihan dari lawan-lawan mereka. Karena itulah, maka para prajurit Mataram itu mampu bertahan untuk beberapa lama.

Ki Singaluwih-lah yang kemudian dengan sepenuh kekuatan, dan kemampuannya berusaha untuk mendesak Sabungsari. Karena itulah maka Ki Lurah itu pun telah mengerahkan ilmunya pula.

Sabungsari terkejut ketika ia melihat perubahan sikap dan tata gerak Ki Singaluwih. Jika semula Ki Lurah itu meloncat-loncat menyambar-nyambar dengan tangkas dan cepat, tiba-tiba saja kakinya yang ringan itu bagaikan telah terperosok ke dalam bumi. Ki Lurah tidak lagi meloncat-loncat dengan cepat, tetapi senjatanya yang besar dan teracu itu seakan-akan lebih banyak menunggu daripada mengambil kesempatan untuk menyerang.

Sabungsari pun tidak tergesa-gesa bergerak, la harus menilai sikap lawannya. Ia tidak mau terjerumus ke dalam kesalahan yang akan berakibat buruk terhadapnya.

Namun Sabungsari itu terkejut, ketika tiba-tiba saja ia melihat Ki Lurah itu meloncat sambil mengayunkan pedangnya ke arahnya. Demikian derasnya, sehingga Sabungsari tidak sempat untuk mengelak. Namun dengan mengerahkan kekuatan dan kemampuannya pula, Sabungsari telah menangkis serangan itu.

Dua kekuatan telah berbenturan. Seperti yang sudah terjadi, maka Sabungsari mampu mengimbangi kekuatan Ki Lurah. Tetapi sesuatu telah terjadi pada Sabungsari. Tangkai pedangnya itu tiba-tiba saja terasa menjadi panas.

Tetapi Sabungsari masih bertahan untuk tetap menggenggam pedangnya. Namun pada benturan berikutnya, panas pada tangkai pedangnya itu serasa bertambah. Semakin lama semakin panas di setiap benturan.

Sabungsari yang memiliki ketajaman pengamatan karena iapun memiliki ilmu yang tinggi, segera mengetahui bahwa panas itu merupakan bagian dari kemampuan Ki Lurah Singaluwih. Panas itu bukan panas sewajarnya, karena dapat memanasi tangkai pedangnya. Panas itu merambat demikian cepat sehingga rasa-rasanya tangannya telah terbakar.

Ki Lurah Singaluwih melihat kelemahan Sabungsari. Karena itu, maka iapun telah mendesaknya dan dengan penuh keyakinan, telah berusaha untuk selalu membenturkan senjatanya.

Namun gerak Ki Singaluwih tidak lagi berloncatan dengan kecepatan yang tinggi. Tetapi setiap kali Ki Lurah berdiri tegak dengan kedua kaki yang renggang. Sebelah di depan, yang lain di belakang, berjarak setengah langkah. Kedua tangannya menggenggam tangkai senjatanya yang besar dan berat.

Namun pada setiap kesempatan, tiba-tiba saja ia meloncat menerkam lawannya dengan senjatanya itu. Berputar, atau terayun mendatar, atau mematuk dengan garang. Sekali-sekali Sabungsari sempat mengelak. Namun Ki Lurah dengan sigap dan keras telah memburunya, sehingga pada suatu saat Sabungsari harus menangkisnya.

Benturan yang demikian selalu membuat tangan Sabungsari menjadi semakin pedih digigit oleh tangkai pedangnya yang semakin panas. Bahkan pada suatu saat, akhirnya sampailah panas itu pada batas kemampuan Sabungsari untuk mengatasinya.

Karena itu, ketika sekali lagi terjadi benturan yang sangat keras, disertai meningkatnya panas pada pedangnya, maka Sabungsari tidak berhasil mempertahankannya lagi.

Sabungsari meloncat jauh surut ketika pedangnya kemudian terlepas dari tangannya.

Yang kemudian terdengar adalah suara tertawa Ki Lurah Singaluwih yang keras berkepanjangan. Di sela-sela suara tertawanya itu ia berkata, “Nah, Ki Sanak yang berilmu tinggi. Ternyata bahwa hari ini adalah hari yang paling buruk bagimu. Aku akan terpaksa membunuhmu dan mengambil orang yang berada di tandu itu. Jika kawanmu yang menjaga tandu itu juga memiliki ilmu yang tinggi, maka ia tidak akan banyak berarti bagiku, sebagaimana kau sendiri. Ia memang berhasil melumpuhkan empat orang prajuritku. Dua orang lagi sekarang sedang terdesak. Tetapi mereka bukan aku.”

“Prajuritmu? Prajurit dari mana?” bertanya Sabungsari.

Tetapi Ki Lurah itu hanya tertawa saja. Katanya, “Lupakan saja. Tetapi yang penting, kau akan segera mati. Sebut nama ibu bapamu. Pandang langit untuk yang terakhir kalinya.”

Sabungsari tidak menjawab. Tetapi iapun telah bergeser beberapa langkah surut.

Bahkan ketika Ki Lurah maju selangkah, Sabungsari telah meloncat lagi beberapa langkah surut.

“Kau tidak akan mungkin lari dari tanganku,” geram Ki Lurah.

Sabungsari tidak menjawab. Ia sudah siap menghadapi segala kemungkinan dengan kemampuannya yang tertinggi. Tanpa pedang di tangan, maka Sabungsari justru menjadi semakin berbahaya.

Pada saat yang demikian, Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga telah berhasil pula mendesak lawan-lawannya. Betapapun tinggi ilmu dua orang kembar yang berada di antara para prajurit yang dipimpin oleh Ki Lurah Singaluwih, namun mereka tidak mampu mengimbangi kemampuan Kiai Gringsing.

Dalam benturan ilmu, maka jarak antara kedua orang kembar itu dengan Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga memang masih agak jauh. Sehingga karena itu, maka ketika kulit mereka telah tersentuh cambuk Kiai Gringsing dan ujung tombak pendek Ki Jayaraga, maka mereka merasa bahwa mereka tidak akan mampu menandingi kemampuan orang-orang tua itu.

Apalagi ketika ujung cambuk Kiai Gringsing sudah tidak terdengar meledak-ledak lagi. Maka tingkat kemampuan ilmu Kiai Gringsing pun menjadi semakin tinggi pula.

Pada saat-saat kedua orang itu semakin terdesak, maka Sabungsari telah bersiap pula menyelesaikan tugasnya. Ki Lurah Singaluwih yang melangkah perlahan-lahan ke arahnya sambil mengacukan senjatanya yang besar dan berat itu, masih sempat tertawa sambil berkata, “Jangan lari, Anak Cengeng. Jika kau lari, maka kau akan digantung juga di Mataram, karena orang yang kau kawal dengan tandu itu telah jatuh ke tanganku. Karena itu, kau sebaiknya mati sebagai pahlawan di sini, karena kau mempertahankan orang yang berada di bawah pengawalanmu. Nah, sebelum mati, apakah kau bersedia menjawab pertanyaanku?”

Sabungsari masih berdiam diri. Sementara Ki Lurah itu berkata selanjutnya, “Siapakah orang yang berada di atas tandu itu?”

Sabungsari memandang wajah Ki Lurah yang sedang melangkah mendekatinya itu. Ketika Ki Lurah itu menjadi semakin dekat, maka Sabungsari pun berkata, “Ki Sanak. Sebenarnya yang Ki Sanak lakukan ini adalah satu kesia-siaan. Bahkan harus kau sesalkan. Ki Sanak akan mati dan semua orang-orangmu akan mati pula, kecuali jika ada belas kasihan kami.”

“Persetan,” geram Ki Lurah, “sebentar lagi tubuhmu akan hancur oleh senjataku ini. Bukan saja kulitmu yang tersayat dan tulang-tulangmu berpatahan. Tetapi sisa-sisa tubuhmu akan hangus dimakan api ilmuku.”

“Terserah kepadamu,” geram Sabungsari, “kali ini adalah kesempatanmu yang terakhir.”

Ki Lurah tertawa sambil mengacukan senjatanya. Namun tiba-tiba suara tertawanya terputus ketika tanah di ujung jari kakinya tiba-tiba saja bagaikan meledak.

Ki Lurah meloncat surut. Kerikil-kerikil yang menghambur ke tubuhnya memang membuatnya sakit. Tetapi dengan cepat ia berhasil mengatasinya.

Dengan wajah yang tegang ia memandang Sabungsari yang berdiri tegak pada kakinya yang renggang.

“Jika kau menyadari kemungkinan yang dapat terjadi atas dirimu Ki Sanak, maka pertimbangkan sekali lagi langkah-langkah yang akan kau ambil. Aku memberimu kesempatan sekali lagi untuk menyerah,” berkata Sabungsari.

Ki Lurah Singaluwih termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Sabungsari dengan kemarahan yang membakar jantungnya. Untuk beberapa saat ia berdiri tegak dengan senjatanya yang mendebarkan di tangannya yang gemetar.

“Cepat!” bentak Sabungsari, “ambil keputusan!”

Jarak antara Ki Lurah Singaluwih dan Sabungsari tidak terlalu jauh. Karena itu, maka gejolak jiwanya telah mendorong Ki Lurah itu meloncat dengan kecepatan tatit di udara sambil mengayunkan senjatanya, mengarah ke leher Sabungsari. Serangan yang sangat cepat itu memang sulit untuk dihindari, sementara itu Sabungsari tidak lagi memegang pedang di tangannya. Sehingga dengan demikian maka tidak ada kemungkinan lain dari Sabungsari untuk melindungi dirinya, selain ilmunya.

Pada saat Ki Lurah itu meloncat dan bagaikan terapung di udara, maka Sabungsari pun telah melontarkan serangannya. Kemampuan ilmunya yang memancar lewat sorot matanya telah menghantam dada Ki Lurah Singaluwih, seakan-akan sebongkah bara yang dilontarkan dari mulut gunung berapi telah membenturnya. Betapapun Ki Lurah mengerahkan daya tahannya, namun serangan itu benar-benar telah berakibat sangat buruk baginya. Ternyata serangannya yang meluncur itu bagaikan tertahan. Bahkan iapun kemudian telah terbanting jatuh di tanah. Tangannya tidak lagi mampu mempertahankan senjatanya di dalam genggaman.

Dengan serta merta Ki Lurah itu berusaha untuk bangkit. Namun iapun kemudian terhuyung-huyung dan jatuh terjerembab.

Sabungsari masih berdiri tegak di tempatnya. Senjata Ki Lurah yang terayun itu memang hampir menyentuh tubuhnya. Namun ternyata bahwa sorot matanya mengenai sasaran lebih cepat dari senjata Ki Lurah itu.

Sabungsari yang melihat Ki Lurah itu jatuh terjerembab, perlahan-lahan mendekatinya. Ketika ia kemudian berjongkok di sisinya maka Sabungsari itu pun menjadi berdebar-debar.

Perlahan-lahan pula ia telah membalikkan tubuh itu. Namun ternyata Ki Lurah telah kehilangan kesadarannya. Pingsan.

Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Sejenak kemudian ia berpaling. Dilihatnya Glagah Pulih berdiri dengan tegang. Di tangannya masih tergenggam ikat pinggangnya. Sementara itu, lawan-lawannya telah terbaring pula di tanah.

Perlahan-lahan Sabungsari melangkah mendekati Glagah Putih. Sambil menepuk bahunya ia bertanya, “Bagaimana keadaanmu?”

“Aku tidak apa-apa,” jawab Glagah Putih.

“Luka-lukamu?” bertanya Sabungsari pula.

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Memang luka itu masih terasa pedih. Tetapi ternyata bahwa keadaannya tidak bertambah parah.

“Glagah Putih,” berkata Sabungsari kemudian, “jika keadaanmu cukup baik, biarlah aku turun ke arena itu sejenak. Agaknya pertempuran ini akan dapat dipercepat.”

“Pergilah,” berkata Glagah Putih, “tetapi agaknya kita memerlukan keterangan dari mereka.”

“Aku mengerti,” jawab Sabungsari. Lalu, “Tetapi jika kau perlukan, berilah isyarat. Kau dapat memanggil aku.”

Glagah Putih mengangguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan tetap di sini.”

“Jangan terpancing untuk meninggalkan Raden Rangga sendirian,” pesan Sabungsari.

Glagah Putih mengangguk. Sementara itu Sabungsari pun telah melangkah meninggalkan Glagah Putih sendiri.

Pada saat yang demikian, maka kedudukan para prajurit yang dipimpin oleh Ki Lurah Singaluwih itu pun telah menjadi semakin terdesak. Beberapa orang korban telah berjatuhan.

Dua orang yang melawan Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga pun tidak lagi mempunyai harapan untuk memenangkan pertempuran. Karena itu maka bagi mereka tidak ada jalan lain daripada menghindari keadaan yang lebih buruk lagi.

Dengan demikian, maka agaknya telah timbul pula sikap yang serupa dari para prajurit yang lain. Bahwa Ki Lurah Singaluwih tidak lagi berada di antara mereka, telah menimbulkan berbagai persoalan di dalam hati para prajuritnya.

Karena itu, maka ketika dua orang yang dianggap memiliki ilmu yang tinggi di antara mereka bergeser surut, maka seakan-akan seluruh pasukan pun telah menjadi gelisah.

Beberapa orang yang masih berada di punggung kuda, tiba-tiba telah membuat gerakan-gerakan yang untuk sesaat berhasil membingungkan para prajurit Mataram. Namun pada saat prajurit Mataram itu menyadari apa yang terjadi, beberapa orang di antara mereka telah berhasil memberi kesempatan kepada kawan-kawannya yang sudah tidak berada di atas punggung kudanya untuk meloncat naik.

Dalam kekalutan yang sesaat itu pulalah kedua orang kembar yang berilmu tinggi itu telah berhasil pula melepaskan diri dari ikatan pertempuran dengan Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga.

Sebenarnyalah bahwa jika dikehendaki, Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga akan dapat mencegah keduanya. Tetapi Kiai Gringsing-lah yang telah menahan Ki Jayaraga. Katanya, “Jangan menanamkan dendam lebih dalam.”

Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan nada rendah, “Maaf Kiai. Tetapi bukankah kita memerlukan keterangan? Jika aku berniat untuk menangkap salah seorang di antara mereka, mungkin dari mulut mereka kita akan dapat mengenal mereka lebih dalam.”

Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak Namun kemudian katanya, “Akulah yang harus minta maaf. Agaknya aku mempunyai dugaan yang salah. Aku mengira bahwa Ki Jayaraga benar-benar menjadi, marah kepada orang-orang itu.”

Ki Jayaragapun tersenyum. Katanya, “Sudahlah. Masih ada orang lain yang akan dapat memberikan penjelasan.”

Sebenarnyalah memang masih ada beberapa orang yang tinggal. Para prajurit Ki Singaluwih yang terluka dan tidak dapat lagi meninggalkan arena itu. Di antara mereka ternyata terdapat Ki Lurah Singaluwih sendiri.

Beberapa orang prajurit Mataram memang telah terluka pula. Namun untunglah bahwa tidak seorang pun diantara para prajurit Mataram yang terbunuh.

Meskipun demikian, peristiwa itu benar-benar sudah menghambat perjalanan para prajurit Mataram yang membawa Raden Rangga itu. Sementara itu keadaan Raden Rangga sendiri tidak menjadi bertambah baik. Tubuhnya nampak menjadi semakin lemah.

Ketika pertempuran sudah selesai, barulah orang-orang padukuhan itu berani bergeser mendekat. Pemilik pategalan itulah yang pertama-tama berani memasuki pategalannya yang rusak. Bahkan pategalan tetangga pun telah menjadi rusak pula.

“Apa yang telah terjadi?” bertanya pemilik pategalan itu.

Senapati yang memimpin prajurit Mataram itu pun mendekatinya sambil berkata, “Kami minta maaf Ki Sanak. Kami telah merusak pategalan Ki Sanak. Tetapi bukan maksud kami berbuat seperti itu. Tanpa kami ketahui sebab-sebabnya, kami telah diserang oleh sekelompok orang yang tidak kami kenal.”

Orang itu mengangguk-angguk. Sementara itu, orang orang lain pun mulai berdatangan. Ketika mereka melihat bahwa pemilik pategalan itu tidak mengalami perlakuan yang kasar, maka yang lain pun mulai berani mendekat pula.

Sementara itu, para prajurit Mataram pun mulai membenahi diri. Ada beberapa ekor kuda yang tertinggal, dan tanpa menghiraukan peristiwa yang terjadi, dengan lahapnya makan rerumputan yang hijau di pinggir pategalan.

“Kami akan mengganti kerusakan yang terjadi,” berkata Senapati yang memimpin pasukan itu.

“Jika itu bukan kesalahan Ki Sanak dan para prajurit Mataram, maka Ki Sanak tidak mempunyai kewajiban untuk mengganti kerusakan yang ternyata tidak seberapa. Untunglah bahwa padi gaga itu sudah dipetik, sehingga tidak rusak karenanya,” berkata pemilik pategalan itu.

“Tetapi ada tugas lain yang ingin kami serahkan kepada Ki Sanak. Kami minta tolong untuk mengubur orang-orang yang terbunuh dalam peristiwa ini,” berkata Senapati itu.

Orang yang memiliki pategalan itu termangu-mangu. Namun nampak kecemasan membayang di matanya. Karena itu, maka Senapati Mataram itu pun berkata, “Jangan takut. Orang-orang yang menyerang kami tahu pasti bahwa kami adalah prajurit-prajurit Mataram. Karena itu, jika kalian mengubur kawan-kawan mereka dengan cara yang baik, seharusnya mereka akan berterima kasih kepada kalian.”

Pemilik pategalan itu mengangguk-angguk kecil, meskipun nampaknya ia belum begitu yakin.

“Kami akan mengumpulkan korban yang jatuh,” berkata Senapati itu.

Pemilik pategalan itu tidak menjawab. Tetapi ia masih saja berdiri bagaikan membeku di tempatnya. Orang-orang padukuhan itu pun menjadi semakin banyak berkumpul untuk melihat apa yang telah terjadi di pategalan itu.

Dalam pada itu, maka setelah mengumpulkan para korban dan beberapa ekor kuda yang tertinggal, maka para prajurit Mataram itu pun segera berkumpul untuk menentukan langkah-langkah yang akan segera diambil. Raden Rangga pun telah diusung pula di antara mereka, diikuti Glagah Putih. Sementara Sabungsari telah berdiri di sebelah Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga.

Tujuh orang prajurit Mataram telah terluka. Dua di antaranya cukup parah. Namun dari empat puluh orang lawan, sembilan orang terbunuh, dan tujuh lainnya terluka dan tidak dapat meninggalkan medan. Mungkin masih ada yang lain yang terluka, tetapi masih sanggup untuk menghindarkan diri dari arena pertempuran, Di antara mereka adalah orang-orang terpaksa menghentikan perlawanan mereka menghadapi Glagah Putih yang gelisah karena keadaan Raden Rangga. Yang lain luka yang menganga oleh ujung cambuk Kiai Gringsing dan ujung tombak di tangan Ki Jayaraga. Tetapi ada juga yang dadanya tertusuk langsung ujung pedang prajurit Mataram.

Keadaan itu menimbulkan persoalan yang cukup rumit. Mereka tidak akan dapat meninggalkan orang-orang yang terluka. Apaiagi Ki Lurah Singaluwih itu sendiri. Ternyata lukanya cukup parah. Dadanya serasa telah menjadi remuk oleh kekuatan ilmu Sabungsari.

“Kita dapat memanfaatkan kuda yang ada,” desis seorang perwira.

Senapati itu menganggukkan kepalanya. Namun segala sesuatunya harus dibicarakan sebaik-baiknya dengan orang-orang padukuhan.

Ternyata bahwa orang-orang padukuhan itu tidak menolak untuk mengubur orang-orang yang terbunuh. Tetapi mereka tidak sanggup untuk merawat mereka yang terluka dari kedua belah pihak.

Daiam pada itu, Senapati yang memimpin pasukan Mataram itu telah berjanji pada suatu saat datang kembali. Mereka akan mengganti kerusakan yang diderita oleh pategaian itu. Meskipun memang tidak seberapa, karena pategalan itu berisi pohon-pohon buah-buahan dan pohon kelapa yang tidak goyah disentuh senjata atau terinjak kaki kuda, tetapi senapati itu merasa berkewajiban untuk melakukannya.

“Pepohonan itu masih utuh,” berkata pemilik pategalan, “mungkin pagar-pagar itu rusak. Tetapi di sini terdapat rumpun-rumpun bambu untuk membuat pagar baru.”

“Terima kasih Ki Sanak,” berkata Senapati itu, “seandainya aku datang lagi dengan membawa pengganti kerusakan, itu pun tentu tidak seberapa pula. Hanya sebagai satu pertanda, bahwa kami mengakui telah merusakkan pategalan ini. Setidak-tidaknya karena kehadiran kami di sini.”

Pemilik pategaian itu hanya mengangguk-angguk saja.

Sementara itu Senapati itu pun minta dipanggilkan Ki Bekel untuk berbicara tentang peristiwa yang baru saja terjadi.

Tetapi sebelum orang yang memanggil Ki Bekel itu berangkat, ternyata Ki Bekel yang kemudian mendengar peristiwa yang terjadi di padukuhannya itu pun dengan tergesa-gesa telah datang pula.

Kepada Ki Bekel Senapati itu menyerahkan segala-galanya. Namun seperti sikap orang-orang padukuhan itu, mereka tidak akan dapat merawat orang yang terluka dari kedua belah pihak.

Setelah berbicara di antara para perwira, dan mendapat persetujuan Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga, maka pasukan Mataram itu pun telah bersiap untuk melanjutkan perjalanan. Orang-orang yang terluka telah dibawa dengan kuda-kuda yang banyak berkeliaran di sekitar pategalan itu, karena penunggangnya yang telah terluka atau terbunuh. Baik mereka para prajurit Mataram, maupun orang-orang yang dengan tiba-tiba telah menyerang mereka, termasuk Ki Lurah Singaluwih.

Namun bagaimanapun juga Sabungsari merasa hormat pula kepada lawannya. Meskipun ia langsung menyerang ke arah dadanya, tetapi orang itu masih tetap hidup meskipun terluka parah di dalam.

Kiai Gringsing yang terpanggil oleh kemampuannya mengobati orang-orang yang menderita sakit, tidak dapat membiarkan orang-orang yang terluka dari kedua belah pihak itu mengerang. Iapun berusaha untuk mengurangi penderitaan mereka. Terutama Ki Lurah Singaluwih yang menjadi pimpinan dari orang-orang yang telah menyerang mereka. Jika Ki Singaluwih itu dapat bertahan untuk tetap hidup, maka ia akan dapat menjadi sumber keterangan tentang para penyerang itu, yang diyakini bukan orang Nagaraga.

Sejenak kemudian, dengan berkali-kali mengucapkan terima kasih kepada orang-orang padukuhan itu, terutama pemilik pategalan yang rusak serta Ki Bekel, maka pasukan Mataram itu melanjutkan perjalanan mereka, kembali ke Mataram.

Iring-iringan itu ternyata telah bertambah panjang. Beberapa ekor kuda berada pula dalam iring-iringan itu dengan membawa beberapa orang yang terluka. Baik prajurit Mataram maupun mereka yang telah menyerang prajurit Mataram itu, termasuk Ki Lurah Singaluwih.

Sementara itu Raden Rangga masih tetap berada di atas tandu sederhana yang dipergunakannya sejak dari padepokan Nagaraga. Di sebelahnya berjalan Glagah Putih, dan di belakangnya Sabungsari serta kedua orang tua yang menyertainya, Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga.

Mereka memang merasa semakin cemas melihat keadaan Raden Rangga, meskipun Raden Rangga sendiri masih saja selalu tersenyum. Namun pada saat-saat tertentu, Glagah Putih telah melihat Raden Rangga itu menekan perasaan sakitnya sehingga nampak pada wajahnya yang berkerut.

Dalam perjalanan itu, Raden Rangga yang lemah telah minta Glagah Putih berjalan lebih dekat. Katanya sambil mengulurkan tangannya yang lemah, “Glagah Putih. Mungkin kau dapat menyimpan ini.”

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Ketika ia menerimanya, ternyata yang diberikan oleh Raden Rangga adalah sesobek kain putih yang dikenakannya sebelumnya.

“Raden?” desis Glagah Putih.

“Mungkin merupakan kenang-kenangan. Atau barangkali kau akan dapat menilai tingkah lakuku jika kau lihat kain itu,” berkata Raden Rangga.

“Apa yang Raden maksudkan?” bertanya Glagah Putih.

“Mimpiku itu akan segera terjadi,” berkata Raden Rangga, “tetapi aku memang ingin menghadap Ayahanda lebih dahulu.”

“Raden akan sembuh,” desis Glagah Putih.

Raden Rangga tertawa. Katanya, “Jangan menyesatkan perasaanku seperti itu. Seperti sudah aku katakan, bahwa aku tidak dapat mendahului kehendak Yang Maha Agung. Tetapi menilik keadaan dan ujudku, maka kemungkinan itu adalah kemungkinan yang terbesar akan terjadi sesuai dengan mimpiku.”

“Tetapi apa yang sebenarnya telah terjadi di dalam goa itu?” bertanya Glagah Putih.

Raden Rangga tersenyum. Ia tidak langsung menjawab. Katanya, “Jangan takut melingkarkan kain putih itu di lehermu atau di pergelangan tanganmu. Kain itu sama sekali bukan pertanda kematian.”

“Tetapi Raden mengenakannya pada saat Raden menghadapi saat-saat seperti ini. Pada saat Raden mendapat isyarat di dalam mimpi. Seakan-akan Raden mengisyaratkan, bahwa keberangkatan Raden memasuki medan perang adalah sama seperti Raden berangkat ke tujuan yang tidak kunjung kembali,” berkata Glagah Putih.

Raden Rangga tertawa pendek. Namun terdengar betapa dalam suara tertawanya itu. Seakan-akan suara itu bergetar di dalam dadanya.

Glagah Putih tertegun sejenak. Ia menyesal bahwa ia telah berbicara tentang perjalanan yang jauh dan tidak kunjung kembali. Seakan-akan Glagah Putih telah langsung menunjuk bahwa Raden Rangga benar-benar akan meninggal karenanya.

Tetapi Raden Rangga itu berkata, “Glagah Putih. Kau masih muda. Umurmu tidak terpaut banyak dengan umurku. Karena itu, maka kau masih akan dapat mengembangkan dirimu dalam kesempatan yang jauh lebih luas dari kesempatanku. Apalagi aku memang tidak mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu atas ilmu yang aku miliki, selain sekedar mempergunakannya. Ia hadir dalam mimpi-mimpi yang datang di malam hari. Dan agaknya aku pun akan pergi sebagaimana mimpi itu terjadi.”

“Raden terlalu terikat kepada mimpi,” berkata Glagah Putih. Kemudian, “Kenapa Raden tidak memberikan arti yang lain pada mimpi itu? Misalnya dengan isyarat kereta itu, Raden akan menerima kedudukan yang tinggi? Atau uraian yang lain yang lebih baik daripada pergi?”

“Sudah aku katakan Glagah Putih,” sahut Raden Rangga, “kita tidak usah mengelabui perasaan kita. Tetapi baiklah, kita berbicara tentang yang lain.” Raden Rangga berhenti sejenak, lalu katanya, “Perjalanan kita sudah tidak terlalu jauh lagi.”

“Tetapi kita harus menempuh perjalanan malam hari,” berkata Glagah Putih.

“Aku telah membuat kesulitan bagi kalian,” berkata Raden Rangga pula.

“Tidak Raden,” jawab Glagah Putih, “Jika aku boleh berterus terang, usaha Raden mengakhiri perlawanan ular naga itu telah menyelamatkan banyak sekali prajurit Mataram.”

Raden Rangga tertawa. Katanya, “Jangan memuji. Mungkin aku menjadi bangga karenanya, dan kebanggaan itu akan memberiku kepuasan pada saat-saat terakhir.”

“Ah,” Glagah Putih berdesah. Tetapi kepalanya yang kemudian menunduk dalam-dalam.

“Pada saat seperti ini Glagah Putih, rasa-rasanya aku menjadi semakin mengerti akan arti dari hidup ini. Sebaiknya kau tidak menunggu saat-saat seperti ini datang menggapaimu. Sejak sekarang kau harus menyediakan waktu untuk menilai arti hidupmu. Dengan demikian maka kau akan mendapat kesempatan untuk berbuat lebih banyak. Tentu saja berbuat sesuatu yang baik bagi sesama dan baik menurut paugeran Sumber Hidup kita, sesuai dengan pengenalan kita,” desis Raden Rangga.

Glagah Putih mengangkat wajahnya. Hampir di luar sadarnya ia berpaling ke arah Raden Rangga. Yang dikatakannya itu bukannya pesan seorang remaja yang nakal. Tetapi sebagaimana Glagah Putih mengenal Raden Rangga, maka kadang-kadang Raden Rangga itu memang menunjukkan sikap dan pribadi yang lain, sebagaimana saat Raden Rangga mengambil keputusan untuk membunuh ular naga yang berada di dalam goa. Ketika ia memasuki goa, Raden Rangga tidak sedang bermain-main sebagaimana ia melepaskan seekor harimau di halaman seorang Tumenggung. Tidak pula sebagaimana ia mengangkat sebuah tugu pertanda batas yang berat dan meletakkannya di tengah-tengah jalan. Tetapi Raden Rangga masuk ke dalam goa dengan perhitungan yang matang, untuk menyelamatkan para prajurit Mataram.

Tetapi Glagah Putih tidak mengatakan sesuatu. Sejenak kemudian kepalanya sudah menunduk lagi. Dipandanginya ujung kakinya yang bergerak di jalan yang berdebu.

Untuk beberapa saat lamanya keduanya saling berdiam diri. Sementara itu, para prajurit yang lain pun rasa-rasanya juga menjadi malas untuk saling berbicara. Mereka lebih banyak memperhatikan jalan yang terbentang di hadapan mereka. Bahkan Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga pun berjalan sambil berdiam diri pula.

Namun ketika mereka mendengar keluhan dekat di belakang mereka, maka Kiai Gringsing itu pun berpaling. Nampaknya Ki Lurah Singaluwih yang terluka parah dan duduk di punggung kuda sambil meletakkan kepalanya di leher kudanya itu, merasa sakitnya semakin menusuk dadanya.

Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga pun kemudian berjalan di sampingnya, di sebelah prajurit Mataram yang berjalan sambil memegangi kendali kuda itu.

Kiai Gringsing sudah memberikan sedikit obat untuk memperkuat daya tahan tubuh yang lemah itu. Dan Kiai Gringsing pun berharap bahwa Ki Lurah itu akan dapat bertahan untuk hidup. Daripadanya akan dapat didengar keterangan tentang sekelompok orang yang tiba-tiba saja telah menyerang para prajurit Mataram itu.

Demikianlah, maka iring-iringan itu telah melanjutkan perjalanan mereka. Namun akhirnya mereka pun harus berjalan di malam hari. Tetapi oleh kelelahan yang dialami oleh hampir semua prajurit Mataram, karena di samping berjalan merekapun telah bertempur pula, maka mereka memang harus beristirahat. Betapapun keinginan mereka mendesak untuk segera sampai di Mataram, terutama karena keadaan Raden Rangga, namun atas pendapat Raden Rangga sendiri, sebaiknya mereka beristirahat meskipun hanya sebentar.

Sebenarnyalah bahwa iring-iringan itu hanya beristirahat sebentar. Sebelum fajar, iring-iringan itu sudah melanjutkan perjalanan.

Namun waktu yang sebentar itu ternyata sangat berarti bagi Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga. Dalam keadaan kalut oleh perasaan sakit dan bahkan tidak ada harapan, Ki Lurah Singaluwih telah berbisik dengan suara yang sendat dan patah-patah ketika Kiai Gringsing bertanya tentang gerombolannya, “Kami adalah prajurit Madiun yang ditempatkan di luar Madiun itu sendiri. Tetapi apa yang kami lakukan adalah di luar tanggung jawab Panembahan Madiun.”

Jawaban itu memang mengejutkan Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga. Mereka sama sekali tidak menduga, bahwa prajurit Madiun telah mulai bergerak, langsung membenturkan diri dengan prajurit Mataram.

Dengan hati-hati Kiai Gringsing pun kemudian bertanya, “Jika itu bukan tanggung jawab Panembahan Madiun, lalu siapakah yang bertanggung jawab?”

Dalam keadaan antara sadar dan tidak, Ki Lurah Singaluwih pun menjawab, “Yang bertanggung jawab adalah Ki Tumenggung Jayalukita. Aku sudah mencoba untuk mencegahnya agar Ki Tumenggung minta persetujuan dari Panembahan. Tetapi sama sekali tidak dihiraukannya. Atau mungkin Ki Tumenggung tidak mau terlambat dengan rencananya ini.”

“Siapakah Tumenggung Jayalukita?” bertanya Kiai Gringsing.

Ki Lurah Singaluwih nampak masih terlalu payah. Ia memang masih akan menjawab. Tetapi justru Kiai Gringsing-lah yang mencegahnya, “Baiklah. Terima kasih. Beristirahatlah dalam perjalanan yang melelahkan ini.”

Ki Lurah memang tidak menjawab. Ia berusaha untuk melupakan segala-galanya. Sekali-sekali terasa dadanya bagaikan tergores jika ia menyadari bahwa ia menjadi seorang tawanan prajurit Mataram. Namun kemudian rasa-rasanya kesadarannya masih sering terguncang.

Antara sadar dan tidak, Ki Lurah Singaluwih memeluk leher kudanya, sementara kepalanya pun telah diletakkannya di leher kuda itu pula.

Sejenak iring-iringan itu bagaikan membisu. Tidak ada orang yang mengucapkan sepatah kata pun.

Dalam keadaan hening itu terdengar Raden Rangga mulai berdendang pula. Yang kemudian ditembangkan adalah Sinom yang ngelangut.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara Sabungsari berjalan mendekatinya. Dengan nada dalam ia berdesis, “Aku mencemaskan Raden Rangga.”

Glagah Putih mengangguk. Desisnya, “Aku juga. Nampaknya ia sendiri tidak mempersoalkannya. Ia terlalu pasrah.”

“Mungkin itu lebih baik baginya,” berkata Sabungsari.

“Ya. Itu lebih baik dari pada ia memberontak terhadap kenyataan yang harus dialaminya,” desis Glagah Putih pula,

Keduanya pun kemudian terdiam. Mereka masih berjalan tidak terlalu jauh dari Raden Rangga yang diusung dengan tandu sambil melagukan tembang Sinom.

Setelah melewati Kali Opak, maka rasa-rasanya perjalanan mereka sudah menjadi sangat dekat. Iring-iringan itu bergerak semakin cepat. Beberapa orang yang terluka parah memang segera memerlukan penanganan yang lebih bersungguh-sungguh.

Demikianlah, ketika iring-iringan itu memasuki pintu gerbang Mataram, para prajurit Mataram benar-benar terkejut karenanya. Bahkan seorang perwira yang mengikuti saat keberangkatan pasukan Mataram ke Timur, meskipun tidak merupakan pasukan yang tersusun, terkejut sekali menyaksikan iring-iringan yang datang. Mereka mengenali beberapa orang prajurit Mataram dan orang-orang yang dianggapnya sebagai tawanan.

“Apakah pasukan Mataram itu tinggal sekelompok kecil sebagaimana aku lihat sekarang?” bertanya perwira itu dengan serta merta.

Senapati yang memimpin pasukan itu menggeleng. Katanya, “Tidak.”

“Lalu bagaimana?” bertanya perwira yang ingin segera mengetahuinya itu.

Senapati yang mempimpin pasukan itu pun menyahut, “Kami akan melaporkannya kepada Panembahan Senapati.”

Perwira itu menarik nafas dalam-dalam. Namun jantungnya serasa berdegup semakin keras. Rasa-rasanya tidak masuk akal bahwa sepasukan prajurit Mataram yang berangkat, di saat kembali hanya beberapa orang saja, meskipun mereka membawa tawanan.

“Kenapa dengan Raden Rangga?” bertanya perwira yang lain.

Senapati itu tidak mau menjawab lagi. Setiap kali ia berkata, “Aku akan melaporkannya kepada Panembahan Senapati.”

Demikianlah, maka iring-iringan itu pun telah langsung menuju ke istana.

Kehadiran iring-iringan itu memang mengejutkan kalangan istana. Ketika kehadiran mereka dilaporkan kepada Panembahan Senapati, maka Panembahan Senapati pun langsung memerintahkan untuk menerima mereka.

“Aku akan menerima mereka langsung,” berkata Panembahan Senapati.

Ternyata Panembahan Senapati tidak memerintahkan beberapa orang untuk menghadap. Tetapi Panembahan Senapati turun langsung menerima mereka seluruhnya di bangsal penantian.

Ketika Panembahan Senapati melihat keadaan putranya, Raden Rangga, maka jantungnya bergetar di dalam dadanya. Dengan wajah tegang Panembahan Senapati memberi isyarat agar Raden Rangga dibawa mendekat.

“Bagaimana dengan keadaanmu Rangga?” bertanya Panembahan Senapati, sebelum ia mendengarkan laporan selengkapnya dari Senapati yang mempimpin sekelompok kecil pasukan itu.

Keadaan Raden Rangga memang sudah terlalu payah. Namun ia masih juga tersenyum sambil berkata, “Ampun Ayahanda. Hamba memang berusaha untuk sempat menghadap Ayahanda,”

“Apa yang kau alami?” bertanya Panembahan Senapati yang melihat noda-noda racun pada tubuh Raden Rangga itu.

“Hamba mohon ampun atas segala kesalahan yang pernah hamba lakukan,” desis Raden Rangga kemudian.

Panembahan Senapati menjadi tegang. Ia menyadari bahwa ada kelebihan pada anaknya yang sulung itu. Kelebihan yang tidak terdapat pada adik-adiknya. Namun sekali-sekali sikap Raden Rangga itu memang menjengkelkan ayahandanya.

Tetapi ketika Panembahan Senapati melihat keadaan Raden Rangga itu, bagaimanapun juga perasaannya sebagai seorang ayah telah tersentuh.

Bahkan Panembahan Senapati juga merasa menyesal, bahwa ia telah memerintahkan Raden Rangga dan Glagah Putih untuk melacak orang-orang Nagaraga, meskipun hanya sekedar untuk mendapat keterangan tentang orang-orang yang sudah berani dengan kasar memasuki Istana Mataram. Karena Raden Rangga dianggap melenyapkan sumber keterangan pada waktu itu, maka padanya dibebankan untuk memperoleh keterangan itu.

Namun karena Raden Rangga kemudian kembali bersama dengan Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan para prajurit Mataram, di samping Glagah Putih, maka agaknya putranya itu sudah bertemu dengan para prajurit Mataram.

“Rangga,” desis Panembahan Senapati, “aku ingin mendengar laporan seluruh perjalananmu sehingga kau bertemu dan berada di antara para prajurit Mataram. Tetapi aku melihat keadaanmu yang parah, sehingga agaknya kau memerlukan perawatan yang sungguh-sungguh.”

“Keadaan hamba memang parah Ayahanda,” berkata Raden Rangga, “namun hamba ingin mendengar Ayahanda mengampuni hamba. Mungkin selama ini hamba telah membuat hati Ayahanda tidak tenang. Mungkin tingkah laku hamba yang kasar, atau mungkin permainan hamba yang kurang pada tempatnya.”

Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berkata, “Rangga. Aku sudah memaafkan segala kesalahanmu. Tenanglah. Kau memerlukan pengobatan dan perawatan segera. Untunglah di sini ada Kiai Gringsing yang akan dapat membantu mengobatimu.”

Raden Rangga tidak berani membantah perintah ayahandanya. Karena itu katanya, “Hamba menyerahkan segala-galanya kepada Ayahanda. Namun bahwa Ayahanda telah mengampuni hamba, maka rasa-rasanya dada hamba menjadi lapang. Jalan manapun yang akan hamba lalui serasa menjadi lancar.”

Panembahan Senapati mengerutkan keningnya. Dengan nada dalam iapun bertanya, “Rangga. Menurut pengetahuanku, bukankah kau memiliki kemampuan untuk menawarkan racun? Sementara nampaknya luka-lukamu menjadi gawat karena racun atau bisa.”

“Hamba, Ayahanda,” jawab Raden Rangga, “hamba memang telah terlibat pertempuran dengan seekor ular naga. Orang-orang Nagaraga menganggap bahwa ular naga itu memiliki kekuatan yang dapat menjadi tumpuan ilmu, sehingga getar suara ular naga itu dapat meningkatkan kemampuan mereka.”

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Kemudian iapun memandangi orang orang yang hadir di ruang itu. Katanya kepada Kiai Gringsing, “Kiai, tolonglah Rangga. Ia memerlukan perawatan khusus menilik keadaannya. Biarlah aku mendengarkan laporan dari Senapati yang memimpin pasukan ini.”

“Hamba, Panembahan,” jawab Kiai Gringsing, “hamba akan melakukannya sejauh kemampuan hamba.”

Wajah Panembahan Senapati menegang sejenak. Namun kemudian Panembahan Senapati itu menunduk sambil berdesis, “Ya Kiai. Kita memang hanya wajib berusaha.”

Kiai Gringsing pun tanggap. Agaknya Panembahan Senapati melihat keadaan Raden Rangga yang parah itu. Meskipun demikian Panembahan Senapati tidak ingin begitu saja menyerah kepada keadaan. Bagaimanapun juga mereka harus berusaha. Meskipun di dalam perintah Panembahan Senapati itu pun mengandung pengertian bahwa segala usaha itu masih tergantung kepada Sumber Hidup mereka. Dalam usaha itu tersirat pula sikap pasrah yang tulus kepada Yang Maha Agung.

Kiai Gringsing yang mendapat perintah langsung dari Panembahan Senapati itu pun telah membawa Raden Rangga ke tempat yang khusus untuk melakukan pengobatan. Namun ketika mereka bergeser dari tempat itu, Raden Rangga berdesis, “Apakah ada gunanya Kiai?”

“Seperti perintah Ayahanda Raden, kita memang wajib berusaha,” berkata Kiai Gringsing.

Sepeninggal Raden Rangga dan Kiai Gringsing, maka Senapati yang memimpin pasukan Mataram itu telah memberikan laporan tentang perjalanan mereka. Juga tentang tawanan yang mereka bawa termasuk, Ki Lurah Singaluwih.

Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Glagah Putih yang juga melengkapi laporan Senapati itu menyebutkan secara terperinci, bahwa Raden Rangga telah mengambil langkah yang sangat berarti bagi penyelesaian pertempuran di padepokan Nagaraga itu, meskipun Glagah Putih sama sekali tidak memperkecil arti Pangeran Singasari yang memimpin seluruh pasukan.

Sambil mengangguk-angguk Panembahan Senapati itu pun kemudian berkata, “Baiklah. Aku telah mengetahui secara menyeluruh. Karena itu aku akan menanganinya satu demi satu. Aku sudah menyerahkan perawatan Rangga kepada Kiai Gringsing. Meskipun aku masih ingin mendengar langsung cerita tentang anak itu. Tetapi yang menarik pula adalah para tawanan. Aku ingin berbicara dengan pemimpin dari tawanan itu.”

“Orang itu dalam keadaan parah pula Panembahan,” lapor Senapati Mataram itu.

“Tempatkan mereka. Biarlah seorang tabib merawatnya. Jika keadaannya berangsur baik, aku atau orang yang akan aku perintahkan akan berbicara,” perintah Panembahan Senapati.

Setelah memberikan beberapa petunjuk, maka Panembahan Senapati itu telah meninggalkan mereka untuk melihat keadaan Raden Rangga.

Kiai Gringsing yang menunggui Raden Rangga memang merasa cemas, la adalah orang yang memahami tentang pengobatan. Namun agaknya keadaan Raden Rangga agak lain dengan keadaan yang pernah dihadapi Kiai Gringsing sebelumnya. Raden Rangga sendiri sudah mempunyai kemampuan untuk menawarkan racun. Namun ternyata bahwa racun ular naga itu demikian tajam dan kuatnya, sehingga dapat menembus perisai pada tubuh Raden Rangga itu.

“Kiai,” berkata Raden Rangga ketika ia merasa tubuhnya menjadi panas, “apakah Glagah Putih tidak kemari?”

“Ia masih berada bersama para prajurit menghadap ayahanda Raden,” jawab Kiai Gringsing.

Raden Rangga mengangguk-angguk. Katanya, “Tolong Kiai. Jika Glagah Putih telah selesai, biarlah ia datang kemari.”

“Aku akan memanggilnya Raden,” jawab Kiai Gringsing.

Namun dalam pada itu, Kiai Gringsing pun mengerti bahwa tubuh Raden Rangga menjadi panas sekali. Wajahya pun nampak menjadi merah, dan nafasnya pun seakan-akan menjadi semakin cepat.

Dalam pada itu, Panembahan Senapati-lah yang kemudian hadir di bilik Raden Rangga itu. Bagaimanapun juga Panembahan Senapati merasa cemas tentang nasib putanya, betapapun nakalnya.

“Bagaimana keadaanmu Rangga?” bertanya Panembahan Senapati.

Dalam keadaan yang semakin gawat itu Raden Rangga menjawab, “Agaknya sudah berangsur baik Ayahanda.”

Tetapi Panembahan Senapati melihat keadaan tubuh Raden Rangga yang menjadi semakin lemah. Bintik-bintik biru di kulitnya semakin mengembang tanpa dapat ditahankan lagi.

“Kiai,” desis Panembahan Senapati, “aku titipkan Rangga kepada Kiai.”

“Betapa terbatasnya kemampuan seseorang, Panembahan,” sahut Kiai Gringsing.

Panembahan Senapati pun telah tanggap. Agaknya Kiai Gringsing merasa kesulitan untuk menemukan obat yang paling sesuai dengan keadaan Raden Rangga pada waktu itu.

Ketika kemudian Ki Mandaraka juga hadir di bilik itu, maka orang tua itu merenungi Raden Rangga dengan sorot mata yang membayangkan dukanya yang dalam. Sebagai orang yang memiliki pengalaman yang sangat luas, Ki Mandaraka itu pun melihat, keadaan Raden Rangga sudah menjadi sangat parah.

Namun bibir orang tua itu masih juga bergerak, “Tidak ada yang mustahil bagi Yang Maha Agung. Jika Rangga diperkenankan sembuh, maka ia tentu akan sembuh tanpa pengobatan sekalipun. Tetapi jika anak itu memang sudah dikehendaki-Nya, apapun yang dilakukan, agaknya tidak akan berhasil.”

Beberapa saat keduanya berada di dalam bilik Raden Rangga bersama Kiai Gringsing. Namun kemudian Panembahan Senapati itu pun berkata kepada Kiai Gringsing, “Aku serahkan anak itu sepenuhnya kepada Kiai. Kiai tentu lebih tahu dari semua orang, bahkan para tabib di Mataram sekalipun.” “Hamba akan berbuat sebaik-baiknya,” jawab Kiai Gringsing.

“Paman Mandaraka,” berkata Panembahan Senapati, “marilah. Biarlah Rangga beristirahat.”

Ki Mandaraka meraba kening Raden Rangga sambil berkata, “Tidurlah Ngger. Istirahat akan dapat memberikan ketenangan.”

“Aku akan berusaha untuk dapat tidur Eyang,” desis Raden Rangga.

Ki Mandaraka mengangguk-angguk. Namun kemudian bersama Panembahan Senapati iapun meninggalkan bilik itu. Di pintu bilik Panembahan Senapati berkata, “Beritahukan kepadaku semua perkembangan Rangga.”

“Hamba Panembahan,” jawab Kiai Gringsing.

Sepeninggal Panembahan Senapati, Raden Rangga tersenyum sambil berdesis, “Ayah telah benar-benar memaafkan semua kesalahanku.”

“Tentu Raden,” sahut Kiai Gringsing, “karena itu, tenangkan hati Raden.”

Raden Rangga tidak menjawab. Ia memang mencoba memejamkan matanya. Tetapi tiba-tiba saja ia berdesis, “Dimana Glagah Putih?”

“Sebentar lagi ia tentu akan datang,” berkata Kiai Gringsing.

“Tolong Kiai,” desis Raden Rangga pula, “panggil anak itu kemari.”

Kiai Gringsing tidak membantah. Iapun segera bangkit dan melangkah keluar. Namun ia telah tertegun di depan pintu, karena Glagah Putih telah menuju ke bilik itu.

Untuk mengurangi panasnya udara dan kegelisahan di dalam bilik itu, maka hanya Glagah Putih sajalah yang kemudian oleh Kiai Gringsing dipersilahkan masuk. Ki Jayaraga dan Sabungsari berada di luar pintu, betapapun mereka juga merasa gelisah.

“Bagaimana keadaannya?” bertanya Sabungsari yang kemudian duduk di atas sehelai tikar pandan bersama Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga di luar pintu bilik.

Kiai Gringsing mengatakan apa yang ada pada Raden Rangga. Kesulitan pernafasan, tubuh yang panas, dan racun yang bergerak semakin luas.

“Kiai tidak memberikan obat?” bertanya Sabungsari.

“Sejauh pengetahuan yang ada padaku, obat itu telah aku berikan. Baik untuk membantu menolak bisa ular naga itu, maupun untuk menguatkan tubuhnya,” jawab Kiai Gringsing.

Sabungsari mengangguk-angguk. Iapun menyadari bahwa Kiai Gringsing adalah sebagaimana orang kebanyakan, kemampuannya sangat terbatas. Meskipun menurut penilaian orang lain ia memiliki ilmu dan pengetahuan yang tinggi.

Dalam pada itu, Glagah Putih dengan jantung yang berdebaran duduk di sebelah Raden Rangga yang berbaring.

Untuk beberapa saat Raden Rangga berdiam diri sambil memejamkan matanya. Ketika Glagah Putih datang dan duduk di sisinya, ia hanya berdesis tanpa membuka matanya yang terpejam, “Kau, Glagah Putih?”

“Ya Raden,” jawab Glagah Putih, “bagaimana keadaan Raden?”

Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Dengan tanpa membuka matanya ia menjawab, “Sebagaimana kau lihat Glagah Putih. Keadaanku semakin gawat. Tetapi bukankah memang harus begitu?”

“Kenapa harus?” bertanya Glagah Putih.

Barulah Raden Rangga membuka matanya. Katanya, “Jangan menentang apa yang seharusnya berlaku. Juga atas diri kita. Jika demikian maka hati kita akan menjadi sakit. Beban kewadagan kita sudah cukup berat. Jangan ditambah lagi dengan beban perasaan kita.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia memang sependapat dengan Raden Rangga. Namun bukankah menjadi kewajiban seseorang untuk berusaha dan tidak terlalu terlepas dari harapan?

“Raden benar,” berkata Glagah Putih, “tetapi usaha dan doa akan berarti juga bagi kita.”

“Aku tidak pernah terlepas dari doa,” berkata Raden Rangga, “tetapi Yang Maha Agung akan memberikan apa yang terbaik dan yang seharusnya bagi kita. Dan kita harus menerimanya dengan ikhlas, tanpa keluhan.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia tidak ingin berbantah dengan Raden Rangga yang sedang dalam keadaan sakit itu.

Namun dalam pada itu, Raden Rangga itu pun berkata, “Glagah Putih. Memang ada yang ingin aku katakan kepadamu.”

“Ya Raden,” desis Glagah Putih.

“Malam nanti, bukankah bulan bulat di langit?” berkata Raden Rangga.

“Belum Raden,” jawab Glagah Putih, “besok bulan baru bulat penuh.”

“Besok?” bertanya Raden Rangga.

“Ya Raden,” jawab Glagah Putih.

“Baiklah. Jika demikian, besok malam, tepat saat tengah malam, datanglah ke dalam bilik ini,” berkata Raden Rangga.

“Aku akan banyak berada di dalam bilik ini Raden. Mungkin bersama-sama dengan Kiai Gringsing. Ki Jayaraga dan Sabungsari. Mungkin berganti-ganti,” jawab Glagah Putih.

“Terima kasih,” jawab Raden Rangga, “tetapi aku harap, pada saat bulan ada di puncak langit besok malam, kau ada di sini. Bukan yang lain.”

“Baik Raden,” jawab Glagah Putih.

“Jangan salah mengerti,” berkata Raden Rangga, “tidak ada bedanya antara malam ini dan besok malam. Tidak ada pengaruh bulan bulat atau tidak. Jika aku menyebut bulan bulat, semata-mata karena aku senang pada bulan bulat. Seperti masa kanak-kanak yang sudah lama aku lewati. Aku selalu merasa senang bermain di bawah terang bulan. Kesenangan itu mencapai puncaknya ketika bulan menjadi bulat. Bukan apa-apa. Sinarnya tidak jauh berbeda dengan malam sebelumnya atau sesudahnya. Tetapi bulan bulat akan menerangi bumi kita sepanjang malam.”

“Ya Raden,” jawab Glagah Putih. Ia merasa perlu untuk memuaskan perabaan Raden Rangga yang sedang dalam keadaan gawat itu. “Aku pun senang bermain   dibawah sinar bulan di masa kecilku. Bahkan hampir setiap orang di masa kecilnya pernah bermain di saat bulan terang. Apapun yang dilakukan.”

Glagah Putih cepat-cepat mencegah ketika Raden Rangga berusaha untuk bangkit. Katanya, “Raden. Sebaiknya Raden tetap berbaring saja.”

Tetapi Raden Rangga tidak menghiraukan. Iapun kemudian duduk di pembaringannya, meskipun kelihatan tubuhnya sangat lemah.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar