Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 214

Buku 214

Kiai Gringsing termangu-mangu. Tetapi ia menangkap niat yang terbersit di hati Agung Sedayu. Karena itu, maka iapun justru bertanya, “Jadi, apakah yang sebaiknya harus kita lakukan menurut pendapatmu?“

Agung Sedayu memandang orang-orang yang berada di ruang itu. Namun kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia berdesis, “Aku memang merasa ragu-ragu. Tetapi ada satu keinginan yang mendesak untuk pergi ke Timur.”

“Aku sudah mengira,“ berkata Kiai Gringsing, “tetapi terserah kepada kalian, apakah sebaiknya kita pergi?“

”Menilik gerak perguruan Nagaraga di Mataram, maka perguruan itu memiliki pengikut yang banyak sekali,“ berkata Agung Sedayu.

Tetapi Kiai Gringsing menggeleng. Katanya, “Aku tidak yakin. Perguruan itu bukan perguruan yang mempunyai pengikut tidak terhitung mengingat keterangan murid Ki Ajar. Barak di padepokan itu hanya sedikit di sebelah-menyebelah goa itu. Tetapi yang banyak adalah gerombolan-gerombolan yang dimanfaatkannya. Mereka tidak berada di padepokan itu. Tetapi mereka berada di sarang-sarang mereka masing-masing. Mungkin beberapa kelompok perampok atau penyamun atau orang-orang yang merasa mempunyai sedikit kekuatan dan terikat oleh satu lingkungan atau keluarga, atau ikatan apapun. Atau perguruan Nagaraga memang sudah berhubungan dengan kekuatan Bang Wetan yang tidak mau tunduk kepada perintah Panembahan Senapati di Mataram.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk, Katanya, “Masih banyak yang mungkin dapat didengar dari para murid Ki Ajar.“

“Ya. Tetapi biarlah kita mendengarnya bersama Panembahan Senapati di Mataram. Mudah-mudahan orang-orang itu berbicara berterus terang,“ desis Kiai Gringsing.

Ki Jayaraga hanya mengangguk-angguk saja. Namun tiba-tiba ia berkata, “Aku akan ikut bersama kalian jika pergi ke Timur.“

Sejenak mereka saling berpandangan. Namun kemudian Ki Gede berkata, “Jika kalian semuanya pergi, maka Tanah Perdikan ini akan menjadi kosong.“

“Mudah-mudahan tidak terlalu lama,“ desis Agung Sedayu, “kami sudah mendapat ancar-ancar kemana kami harus pergi.“

Ki Gede pun kemudian memandang Sekar Mirah yang menjadi tegang, “Bagaimana pendapatmu Sekar Mirah?“

Sekar Mirah termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Ada dua tanggapan yang saling bertentangan di hatiku Ki Gede. Mengingat Glagah Putih dan Raden Rangga yang menempuh perjalanan berbahaya itu, aku memang menganggap bahwa perlu ditelusuri perjalanannya. Tetapi di lain pihak, aku mencemaskan Kakang Agung Sedayu, mengingat kekuatan perguruan Nagaraga itu. Dengan demikian maka aku menjadi bimbang, manakah yang lebih baik dilakukan oleh Kakang Agung Sedayu.“

Ki Jayaraga-lah yang dengan serta merta menyahut. “Ki Gede. Aku kira Agung Sedayu tidak perlu pergi. Biarlah aku dan Kiai Gringsing sajalah yang pergi. Aku juga mempunyai tanggung jawab atas Glagah Putih, karena iapun muridku. Sementara itu, Agung Sedayu akan dapat diwakili oleh Kiai Gringsing. Kita berdua akan meneruskan perjalanan setelah menghadap Panembahan Senapati. Sedangkan Agung Sedayu dan Sekar Mirah akan kembali ke Tanah Perdikan.“

“Aku berkewajiban untuk menemukan kembali Glagah Putih. Ia datang ke Tanah Perdikan ini untuk mengikut aku,“ berkata Agung Sedayu.

Namun Kiai Gringsing berkata, “Sudahlah Agung Sedayu. Mungkin akan datang orang lain ke Tanah Perdikan. Sebaiknya kau memang tidak meninggalkan Tanah Perdikan ini. Aku sependapat dengan Kiai Jayaraga, bahwa kami berdualah yang akan menelusuri jalan ke Timur, menyusul Glagah Putih dan Raden Rangga.”

“Tetapi Kiai,“ potong Sekar Mirah, “bukan maksudku menahan Kakang Agung Sedayu.”

“Bukan kau yang menahannya,“ jawab Kiai Gringsing, “kita memperhitungkan segala sesuatunya dari kemungkinan-kemungkinan yang paling baik.“

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak ingin suamiku tertahan melakukan kewajibannya hanya karena kecemasanku, istrinya.“

“Jangan menyalahkan diri sendiri,“ berkata Kiai Gringsing, “kita wajib mencari cara yang paling baik sehingga tidak mengorbankan kepentingan-kepentingan yang lain.“

“Tetapi sejak semula, akulah yang merasa wajib untuk menyusulnya,“ berkata Agung Sedayu.

Kiai Gringsing tertawa. Katanya, “Marilah itu kita lupakan. Sekarang yang manakah yang lebih baik kita lakukan bagi semuanya.“

“Aku menyesal, bahwa aku telah mengatakan perasaanku,“ desis Sekar Mirah.

“Kau sudah bersikap jujur. Jangan disesali. Justru sikap yang jujur itulah yang kita perlukan. Kau lebih baik mengatakan apa yang tersirat di hatimu, bagaimanapun tanggapan orang lain, namun yang akibatnya akan dapat sebaliknya,“ berkata Kiai Gringsing.

“Sudahlah,“ berkata Ki Jayaraga, “kami orang-orang tua memang sudah merindukan untuk mengenang masa petualangan. Mungkin sekedar untuk mengenang saja dan tidak memberikan arti apa-apa.“

Ki Gede-lah yang kemudian berkata, “Aku sependapat dengan Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga. Mungkin karena dengan demikian maka aku tidak akan ditinggalkan sendiri di sini.“

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Memang terbersit perasaan kecewa. Tetapi ia tidak dapat menolak pendapat gurunya. Meskipun ialah yang mula-mula berpendapat bahwa sebaiknya jalan Glagah Putih dan Raden Rangga ditelusuri, namun keputusannya ternyata menjadi lain. Justru Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga-lah yang akan pergi ke Timur, setelah mengantarkan tawanan mereka ke Mataram dan mengantar Pandan Wangi kembali kepada suaminya.

“Jangan pikirkan,“ berkata Kiai Gringsing, “anggaplah sebagai sesuatu yang wajar saja.“

Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Sementara itu, maka Ki Jayaraga-lah yang berbicara, “Mudah-mudahan aku masih mengenali jalan-jalan yang melingkar-lingkar di lembah dan lereng pegunungan yang pernah aku jelajahi, karena aku pernah menyusuri tanah ini dari ujung sampai ke ujung dimasa mudaku.“

Dalam pada itu, maka sejenak kemudian pertemuan itu pun telah dianggap cukup. Mereka akan beristirahat, karena esok pagi mereka akan pergi ke Mataram membawa keempat tawanan itu dan menyerahkannya kepada Panembahan Senapati.

Pagi-pagi benar, mereka pun telah bersiap. Mereka segera pergi ke rumah Ki Gede untuk menyiapkan keempat orang yang akan dibawa ke Mataram itu. Agaknya mereka berempat memang tidak mempunyai pilihan apapun juga. Mereka telah pasrah dan menerima apapun yang bakal terjadi atas mereka.

Ki Gede agaknya telah menyediakan empat ekor kuda bagi keempat orang itu. Empat ekor kuda yang kemudian tidak perlu dibawa kembali oleh Agung Sedayu dan Sekar Mirah, karena empat ekor kuda itu akan dititipkan saja di Mataram, sampai saatnya sempat diambil kembali. Agaknya para pekatik di Mataram tidak akan berkeberatan untuk menambah beban tugas mereka dengan empat ekor kuda itu.

Ketika matahari terbit, maka keempat orang itu pun telah disiapkan pula. Ki Gede masih memberikan beberapa pesan pendek. Namun kepada Pandan Wangi, Ki Gede nampaknya telah memberikan beberapa pesan khusus.

“Sering-seringlah datang kemari,“ berkata Ki Gede kepada Pandan Wangi, “aku menjadi semakin tua. Tenagaku tentu sudah susut.“

“Ya Ayah,“ jawab Pandan Wangi, “aku akan mengatakannya kepada Kakang Swandaru. Aku harap Kakang Swandarupun dapat menyempatkan diri untuk sering datang.“

Ki Gede mengangguk-angguk. Tetapi tatapan matanya menjadi redup. Bagaimanapun juga, terasa dadanya bergetar melihat Pandan Wangi siap meninggalkannya.

Sejenak kemudian, maka iring-iringan itu pun berangkat. Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga telah minta diri untuk bukan saja ke Mataram atau Jati Anom, tetapi mereka akan meneruskan perjalanan ke Timur.

Perjalanan ke Mataram bukan perjalanan yang panjang. Namun memang agak menarik perhatian, bahwa sebuah iring-iringan kecil menyusuri jalan di tengah-tengah bulak Tanah Perdikan Menoreh dan menyusup di tengah-tengan padukuhan-padukuhan.

Namun orang-orang berkuda itu telah dikenal dengan baik oleh orang-orang Tanah Perdikan Menoreh, karena mereka terdiri dari Pandan Wangi, Agung Sedayu, Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga. Sedangkan empat orang yang bersama mereka pun, telah mereka dengar pula persoalannya.

Tetapi ketika mereka menyeberangi Kali Praga, maka mereka benar-benar menjadi pusat perhatian. Beberapa orang memandangi saja mereka, bahkan dengan curiga.

Kiai Gringsing yang menyadari bahwa mereka telah menjadi pusat perhatian orang-orang yang akan menyeberang, dalam satu kesempatan berkata kepada orang yang berdiri tidak jauh daripadanya ketika mereka akan naik ke atas rakit tanpa ditanya, “Ki Sanak. Kami dalam perjalanan untuk menjemput pengantin. Cucuku akan kawin beberapa hari yang akan datang. Pengantin perempuannya adalah orang Tanah Perdikan Menoreh. Sepekan sebelum perkawinan cucuku akan tinggal di rumah pengantin perempuan.“

Orang itu mengangguk-angguk. Desisnya, “Sebentar lagi Ki Sanak akan mendapat cicit.“

Kiai Gringsing tertawa. Jawabnya, “Semoga.“

Ternyata perhitungan Kiai Gringsing benar. Orang itu pun telah mengatakannya pula kepada seseorang di sebelahnya. Kemudian menjalar kepada orang lain, sehingga akhirnya banyak orang yang mendengar pengakuan Kiai Gringsing itu. Dengan demikian, maka mereka tidak lagi mencurigai iring-iringan kecil itu.

Namun ketika mereka naik ke atas rakit, maka sembilan orang bersama kudanya itu hampir memenuhi dua buah rakit yang sedang, sehingga orang lain harus menunggu rakit yang lain pula.

Demikianlah, perjalanan mereka menuju ke Mataram tidak mengalami hambatan. Mereka langsung memasuki pintu gerbang kota.

Namun ternyata mereka telah menarik perhatian petugas yang ada dipintu gerbang, sehingga mereka harus menjawab beberapa pertanyaan.

“Kami akan menghadap Panembahan,“ berkata Kiai Gringsing.

“Untuk apa?“ bertanya penjaga pintu itu.

“Kami ingin menyampaikan persoalan kami kepada Panembahan,“ jawab Kiai Gringsing pula, “sekedar kelanjutan persoalan yang pernah kami bicarakan sebelumnya dengan Panembahan.“

Penjaga itu termangu-mangu. Namun mereka pun kemudian diisyaratkan untuk berjalan terus memasuki Kota Raja.

Namun demikian Kiai Gringsing pun menyadari, bahwa di gerbang istana pun mereka harus menjawab beberapa pertanyaan pula, sehingga mungkin mereka memerlukan waktu yang panjang untuk mendapat kesempatan menghadap.

Untunglah bahwa Agung Sedayu dan Kiai Gringsing sudah sering menghadap Panembahan Senapati, dan mengenal beberapa orang perwira dalam tugas-tugas keprajuritan. Karena itu, maka ternyata bahwa mereka tidak terlalu banyak mendapat hambatan.

Ketika iring-iringan kecil itu dipersilahkan menunggu sebelum mereka mendapat kesempatan menghadap, maka Agung Sedayu secara kebetulan telah bertemu dengan seorang perwira yang pernah dikenalnya sebelumnya.

Perwira itu tahu pasti, peranan Agung Sedayu dalam banyak hal. Bahkan perwira itu pun tahu, bahwa Agung Sedayu merupakan orang yang dekat dengan Panembahan Senapati pada masa-masa perantauan dan pengembaraannya, sebelum Panembahan Senapati itu membuka Alas Mentaok.

Lewat perwira itu, maka permohonan Agung Sedayu untuk menghadap ternyata lebih cepat disampaikan kepada para perwira yang bertugas di dalam istana, dan menyampaikannya kepada Panembahan Senapati.

“Siapa?“ bertanya Panembahan Senapati.

“Agung Sedayu dari Tanah Perdikan Menoreh,“ jawab perwira yang menyampaikan permohonan menghadap.

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Ia sadar bahwa jika tidak ada yang penting, maka Agung Sedayu tidak akan datang kepadanya. Apalagi ketika tiba-tiba saja Panembahan Senapati teringat bahwa sepupu Agung Sedayu yang bernama Glagah Putih telah pergi ke Timur bersama dengan putra Panembahan Senapati yang kadang-kadang telah membuatnya gelisah itu. Karena itu, maka perhatian Panembahan Senapati pun segera tertuju kepada Agung Sedayu.

“Baiklah. Biarlah mereka menghadap,“ berkata Panembahan Senapati, yang ternyata telah memberikan waktu khusus bagi iring-iringan dari Tanah Perdikan Menoreh itu.

Demikianlah, sejenak kemudian maka iring-iringan dari Tanah Perdikan itu pun telah menghadap. Agung Sedayu pun segera mohon maaf, bahwa mereka datang bersama sekelompok orang yang mungkin terasa terlalu banyak.

“Bangsal ini cukup besar untuk menerima kalian,“ jawab Panembahan Senapati sambil tersenyum.

Setelah setiap orang menyampaikan hormatnya dengan sembah ke hadapan Panembahan Senapati, maka merek apun telah terlibat ke dalam pembicaraan yang bersungguh-sungguh. Dengan jelas tetapi singkat, Agung Sedayu menerangkan maksud kedatangan mereka bersama keempat orang itu.

Panembahan Senapati ternyata menaruh perhatian yang sangat besar terhadap mereka. Juga tentang pertempuran yang terjadi antara murid-murid Ki Ajar itu dengan Raden Rangga dan Glagah Putih.

Agung Sedayupun menceritakan pula bahwa orang-orang itu telah menunjukkan letak padepokan dari perguruan Nagaraga. Perguruan yang pernah mengirimkan orang-orangnya ke Mataram.

“Menarik sekali,“ berkata Panembahan Senapati, “jika demikian, maka kita serba sedikit telah mendapat gambaran tentang perguruan itu.“

Agung Sedayu pun kemudian mempersilahkan murid tertua Ki Ajar untuk menceritakan kembali pengenalannya tentang padepokan itu. Padepokan yang mengelilingi sebuah goa yang dihuni oleh seekor ular naga yang besar, yang bahkan dianggap keramat oleh orang-orang Nagaraga, sehingga kemanapun ular itu berpindah, maka padepokan Nagaraga itu telah berpindah pula.

“Yang terakhir, kami sempat mengenali padepokannya,“ berkata murid tertua dari perguruan Watu Gulung itu.

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Tertangkap oleh ketajaman panggraitanya bahwa memang ada semacam persaingan yang terjadi antara perguruan Watu Gulung dengan perguruan Nagaraga.

Di hadapan Panembahan Senapati, murid tertua Ki Ajar itu justru telah berbicara lebih banyak. Ketika ia berada di Tanah Perdikan Menoreh, ia tidak begitu yakin bahwa hubungan antara Menoreh dan Mataram begitu dekat. Namun mereka akhirnya melihat sendiri, bahwa ada jalur lain kecuali jalur yang resmi, yang dapat ditempuh oleh orang-orang Tanah Perdikan Menoreh untuk menghadap Panembahan Senapati di Mataram.

Ketika orang-orang Watu Gulung itu selesai dengan keterangan mereka, maka Kiai Gringsing pun berkata, “Panembahan, perkenankanlah hamba bersama dengan Ki Jayaraga untuk menyusul putra Panembahan, Raden Rangga, yang pergi ke Timur bersama Glagah Putih.“

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Apakah Kiai hanya pergi berdua saja?“

“Hamba Panembahan. Kami berniat untuk dapat menyusul Raden Rangga dan Glagah Putih sebelum mereka mencapai padepokan Nagaraga. Menurut pendengaran hamba, Panembahan hanya memerintahkan kedua anak muda itu untuk mengenali dan mengamati padepokan Nagaraga. Tetapi kami tidak yakin bahwa anak-anak muda itu dapat mengekang diri untuk tidak memasuki padepokan,“ jawab Kiai Gringsing.

“Aku sependapat Kiai. Tetapi apakah Kiai akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh lebih dahulu, atau akan langsung pergi ke Timur?“ bertanya Panembahan Senapati.

“Hamba akan mengantar Pandan Wangi lebih dahulu kembali kepada suaminya setelah menengok ayahnya di Tanah Perdikan. Kemudian hamba akan terus berjalan ke Timur bersama Ki Jayaraga,“ jawab Kiai Gringsing.

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, kita perlu berbicara.“

Kiai Gringsing menyadari, bahwa Panembahan ingin berbincang tanpa didengar oleh keempat orang tawanan itu.

Karena itu, maka Kiai Gringsing pun kemudian berkata, “Panembahan, selain segala keterangan yang pernah hamba sampaikan, serta disampaikan oleh Agung Sedayu atau oleh salah seorang di antara kami, maka kedatangan kami menghadap adalah untuk menyerahkan keempat orang ini. Mungkin pada kesempatan lain, keempat orang ini masih diperlukan keterangannya. Orang-orang ini tidak dapat disimpan di Tanah Perdikan Menoreh, karena di Tanah Perdikan tidak terdapat tempat yang memadai serta orang yang cukup berilmu untuk menjaga mereka, karena sebenarnyalah keempat orang ini berilmu tinggi.“

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa Kiai Gringsing tanggap akan maksudnya. Karena itu, maka katanya kemudian sambil memandang keempat orang itu berganti-ganti. “Ki Sanak. Kami akan mempersilahkan Ki Sanak untuk beristirahat. Tetapi kami mempunyai permintaan. Kalian jangan melakukan sesuatu yang dapat menyulitkan kalian sendiri.“

“Hamba Panembahan,“ jawab orang itu, “hamba sudah pasrah. Sepeninggal guru hamba, maka rasa-rasanya tidak ada yang pantas hamba kerjakan dengan perguruan hamba. Memang masih ada beberapa pengikut di padepokan Watu Gulung. Tetapi semuanya itu tidak berarti, karena mereka tidak lebih dari pekerja-pekerja di ladang dan pategalan, meskipun dalam keadaan tertentu mereka mampu juga bertempur. Namun tidak lebih dari anak-anak yang sedang bermain-main dengan pedang. Apabila mereka mendengar kegagalan kami di Mataram, maka mereka tidak akan berarti apa-apa lagi.“

“Baiklah,“ berkata Panembahan Senapati, yang kemudian memanggil seorang perwira prajurit yang bertugas di luar bangsal itu. Kepada perwira itu Panembahan Senapati telah memerintahkan untuk membawa keempat orang itu dengan pengawasan yang baik, karena keempat orang itu memiliki ilmu yang tinggi.

Demikianlah, para perwira yang bertugas pun segera berkumpul. Mereka telah membawa keempat orang itu ke sebuah bangunan yang kokoh. Bangunan yang memang disiapkan untuk menyimpan orang-orang yang berilmu tinggi.

Sementara itu, di dalam bangsal pertemuan, Panembahan Senapati mulai berbincang dengan Kiai Gringsing. Sambil mengangguk-angguk Panembahan Senapati berkata, “Jadi Agung Sedayu dan Sekar Mirah akan kembali ke Tanah Perdikan, sementara Pandan Wangi kembali ke Sangkal Putung. Hanya Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga saja yang akan meneruskan perjalanan ke Timur.“

“Hamba Panembahan,“ jawab Kiai Gringsing, “selain menelusuri jejak Glagah Putih dan Raden Rangga, ada semacam kerinduan untuk mengalami kembali masa-masa pengembaraan ketika kami masih muda.“

Panembahan Senapati mengerutkan keningnya. Namun kemudian nampak bibirnya tersenyum meskipun tidak terlalu cerah. Katanya, “Memang kadang-kadang kita dicengkam oleh satu keinginan untuk mengulangi pengembaraan itu. Tetapi aku kini terkungkung dalam tugas-tugasku di sini, yang kadang-kadang terasa menjemukan.“

“Tentu Panembahan,“ jawab Kiai Gringsing, “kedudukan Panembahan tidak akan mengijinkan Panembahan untuk mengembara sebagaimana masa-masa Panembahan remaja, bahkan meningkat dewasa pada waktu itu.“

“Baiklah Kiai,“ berkata Panembahan Senapati, “tetapi aku tidak mau bekerja dua kali. Kini Kiai sudah mendapat tuntunan arah dari orang-orang Watu Gulung. Karena itu, maka aku akan melakukannya sekaligus. Jika Kiai bertemu dengan Rangga dan Glagah Putih, perintahkan mereka kembali. Tetapi jika mereka ingin pergi bersama Kiai, maka tugasnya akan ditambah lagi, sebagaimana yang akan aku mintakan kepada Kiai untuk bersedia melakukannya.“

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Tetapi ia menunggu Panembahan Senapati melanjutkan kata-katanya, “Kiai, aku minta Kiai untuk pergi bersama sekelompok kecil prajurit pilihan. Seperti yang aku katakan, sebagaimana mereka ingin menghancurkan Mataram, maka padepokan itu pun harus dihancurkan. Kiai mendapat tugas untuk menangkap dan membawa pemimpin padepokan itu kepadaku. Itulah sebabnya, aku memerintahkan Rangga dan Glagah Putih bersama dengan Kiai dalam tugas ini. Dari orang-orang Watu Gulung yang dapat kalian tangkap, kita akan dapat menduga seberapa besar kekuatan mereka. Kemudian, kita tentukan berapa orang perwira pilihan yang akan berangkat mengikuti Kiai, dengan cara yang akan kami serahkan sepenuhnya kepada kalian yang akan pergi.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sambil memandang kepada Ki Jayaraga ia berdesis, “Apa katamu?“

Ki Jayaraga itupun mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Hamba tidak akan ingkar untuk menjalankan segala titah Panembahan. Jika Panembahan menghendaki, maka itu adalah tugas kami.“

“Terima kasih,“ sahut Panembahan Senapati, “hari ini kalian akan tinggal di Mataram, besok atau lusa kalian akan berangkat.“

Namun dalam pada itu, Agung Sedayu pun menyembah, “Ampun Panembahan. Mungkin Guru dan Ki Jayaraga akan dapat tinggal sampai besok atau lusa bersama Pandan Wangi, sebelum Pandan Wangi kembali kepada suaminya. Tetapi jika diperkenankan, maka biarlah hamba berdua mohon diri hari ini.“

“Kenapa kau tidak menunggu sampai besok?“ bertanya Panembahan Senapati.

“Mungkin sesuatu masih dapat terjadi di Tanah Perdikan. Sementara Tanah Perdikan kini menjadi kosong,“ jawab Agung Sedayu.

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Namun katanya, “Tetapi tidak sekarang. Kalian akan tinggal di sini sampai sore nanti.”

Agung Sedayu tidak menolak. Karena itu, maka bersama Sekar Mirah mereka akan berada di Mataram sehari itu. Di sore hari Agung Sedayu dan Sekar Mirah kembali ke Tanah Perdikan, setelah mereka sempat berbincang tentang rencana untuk menelusur ke Timur.

Ternyata Panembahan Senapati teringat pula kepada seorang senapati yang berada di bawah perintah Untara di Jati Anom. Panembahan Senapati tidak menunjuk Untara sendiri, karena Untara memiliki kemampuan tempur dalam perang yang sulit dicari bandingnya. Sedangkan yang diperlukan untuk memasuki padepokan itu adalah mereka yang memiliki bekal untuk bertempur secara pribadi seorang demi seorang.

Karena itu, maka Panembahan Senapati telah memerintahkan untuk membawa Sabungsari dalam tugas yang gawat itu.

Betapa kecewanya Agung Sedayu, dan bahkan Sekar Mirah merasa bahwa ia telah menghambat tugas yang ingin dilakukan Agung Sedayu. Namun Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga sebagaimana Panembahan Senapati, telah ikut menentukan, kenapa Agung Sedayu dan Sekar Mirah sebaiknya tetap berada di Tanah Perdikan.

Ketika Agung Sedayu dan Sekar Mirah berada di atas rakit yang membawa mereka menyeberangi Kali Praga, maka Sekar Mirah pun berdesis, “Maafkan aku Kakang. Mungkin pernyataanku telah menahan Kakang untuk tidak dapat ikut bersama Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga.“

“Sudahlah Mirah,“ berkata Agung Sedayu, “tugas kita kemudian adalah berdoa semoga Yang Maha Besar selalu melindungi mereka yang akan berangkat menunaikan tugas berat itu. Juga selalu melindungi Glagah Putih dan Raden Rangga. Aku kira Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga benar, mungkin ada juga tugas penting yang akan kita lakukan di Tanah Perdikan.“

Sekar Mirah mengangguk-angguk kecil. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu.

Dalam pada itu, maka malam itu Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga bersama Pandan Wangi bermalam semalam di Mataram, sementara Panembahan Senapati menyiapkan orang-orang yang dianggapnya terbaik untuk melakukan tugas itu. Panembahan Senapati akan mempergunakan orang yang tidak terlalu banyak, namun dapat menyelesaikan tugas dengan baik.

Sementara itu, ketika mereka sekali lagi berbicara dengan tawanannya, maka Panembahan Senapati mendapat gambaran, seperti para murid Ki Ajar Laksana dari Watu Gulung, maka beberapa orang putut dari perguruan Nagaraga telah memiliki ilmu yang tinggi pula. Ditambah dengan kepercayaan mereka, bahwa ular Naga yang ada di dalam goa di tengah-tengah padepokan mereka itu mampu memberikan kekuatan kepada seisi padepokan itu.

“Seandainya hal itu sekedar kepercayaan mereka saja, namun dengan kepercayaan itu, maka kemampuan mereka seakan-akan memang benar-benar bertambah, karena dorongan kepercayaan mereka yang kuat dan bulat,“ berkata Panembahan Senapati. “Karena itu, setiap orang yang ikut di dalam tugas ini harus menyadarinya dan bersedia untuk menanggung akibat yang paling parah. Dengan demikian, maka kau akan memberi kesempatan kepada mereka yang berkeberatan untuk pergi. Sementara itu yang akan pergi harus mengimbangi dorongan kepercayaan itu dengan kepercayaan pula. Kepercayaan akan kemampuan diri sendiri. Dan lebih dari itu, kepercayaan bahwa mereka sedang menjalankan tugas kebenaran, sehingga mereka harus yakin dan percaya sepenuhnya bahwa mereka akan mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung.“

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Sementara Ki Jayaraga merenungi kata-kata itu. Keduanya memang membayangkan satu medan yang sangat berat untuk dimasuki.

Malam itu, Panembahan Senapati telah dapat menentukan siapa yang akan berangkat bersama Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga. Tetapi mereka tidak perlu pergi bersama-sama dalam satu kelompok. Berdasarkan keterangan dari orang-orang Watu Gulung, maka mereka telah menentukan, dimana mereka akan bertemu.

Seperti orang-orang Nagaraga yang akan mengacaukan Mataram dari dalam dan langsung akan membunuh Panembahan Senapati itu pun telah datang ke Mataram dalam kelompok-kelompok kecil yang terdiri dari dua atau tiga orang. Namun mereka telah menentukan tempat untuk berkumpul.

Tetapi seperti keterangan orang-orang Watu Gulung, bahwa jumlah orang yang banyak itu justru bukan orang-orang Nagaraga sendiri. Mereka bekerja bersama dengan gerombolan-gerombolan yang dapat dipengaruhinya, atau diupahnya. Tetapi bukan berarti bahwa di padepokan Nagaraga tidak terdapat para pengikut yang sekaligus pekerja-pekerja di sawah dan ladang. Para cantrik itu akan dapat juga menjadi kekuatan yang berbahaya karena jumlah mereka-lah yang terbanyak.

Malam itu juga segala sesuatunya telah diatur dan disepakati. Para prajurit yang terdiri semuanya dari para perwira pilihan dari beberapa tingkatan telah dipertemukan, kecuali Sabungsari.

“Biarlah Sabungsari nanti mendapat penjelasan dari Kiai Gringsing dan berjalan bersama Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga,“ berkata Panembahan Senapati.

Demikianlah, maka yang semalam itu dianggap telah cukup oleh Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga. Karena itu, maka mereka tidak perlu menunggu lebih lama lagi.

Di pagi harinya, maka Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga pun telah mohon diri. Mereka masih harus singgah di Sangkal Putung dan bahkan ke Jati Anom.

Pandan Wangi pun telah mohon diri pula. Ia sudah terlalu lama meninggalkan suaminya.

Pagi itu semua orang yang akan melakukan tugas telah berangkat. Sebagian besar dari mereka memilih berjalan kaki. Tetapi Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga telah berangkat berkuda bersama Pandan Wangi. Tetapi kuda mereka akan mereka tinggalkan di Jati Anom.

Kedatangan Pandan Wangi di Sangkal Putung bersama Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga disambut dengan gembira. Swandaru memang sudah menunggu-nunggu kedatangan istrinya. Bahkan ia mulai menjadi cemas bahwa telah terjadi sesuatu di perjalanan.

“Kau berada di Tanah Perdikan jauh melampaui waktu yang kau sebut sebelumnya,“ berkata Swandaru.

Pandan Wangi mengangguk-angguk sambil menjawab, “Aku mohon maaf Kakang. Seandainya tidak terjadi sesuatu di Tanah Perdikan, aku dan Kiai Gringsing agaknya tidak akan terlambat pulang.“

Swandaru mengerutkan keningnya. Sementara itu Pandan Wangi menceritakan apa yang telah terjadi di Tanah Perdikan Menoreh.

“Sebenarnya aku dapat menghindari keterlibatanku di Tanah Perdikan itu,“ berkata Pandan Wangi, “namun mungkin naluriku sebagai anak Ki Gede Menoreh telah mendorongku untuk mengikuti perkembangan dari persoalan yang terjadi itu.“

Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti. Untunglah bahwa Kiai Gringsing ada di Tanah Perdikan. Jika tidak, aku kira Tanah Perdikan akan mengalami kesulitan.“

“Bukan aku yang menyelesaikan, Swandaru,“ sahut Kiai Gringsing, “tetapi Agung Sedayu sendiri. Ia memang orang yang dicari oleh orang-orang Watu Gulung itu.“

Swandaru mengangguk-angguk. Namun ia masih bergumam, “Untunglah bahwa Kakang Agung Sedayu masih mampu mengatasi ilmu Ki Ajar itu. Agaknya orang Watu Gulung itu juga seorang yang tidak banyak mengetahui kemampuan ilmu kanuragan yang sebenarnya, sehingga dengan ilmunya yang terbatas itu ia sudah merasa orang terkuat di dunia.“

“Tetapi Kakang Agung Sedayu nampaknya memang memiliki kelebihan,“ desis Pandan Wangi.

“Tentu,“ jawab Swandaru, “kelebihan dari orang yang telah dibunuhnya itu. Tetapi jika pada suatu saat datang bahaya yang sebenarnya, sementara Guru tidak berada didekatnya, maka Kakang Agung Sedayu akan mengalami kesulitan. Karena itu, selagi hal seperti itu belum terjadi, maka sebaiknya Kakang Agung Sedayu menyempatkan diri untuk menyempumakan ilmunya.“

Hampir saja Pandan Wangi menjelaskan apa yang dilihatnya pada Agung Sedayu. Namun sebenarnyalah ia adalah seorang istri yang selalu berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya bagi suaminya. Iapun berusaha untuk menjaga perasaan suaminya, sehingga ia tidak dengan serta merta menceritakan kelebihan Agung Sedayu. Untuk itu agaknya masih memerlukan waktu.

Karena itu, maka Pandan Wangi pun tidak banyak menceritakan apa yang sebenarnya telah dilihat pada Agung Sedayu itu.

Kiai Gringsing pun tidak mau memuji Agung Sedayu di hadapan Swandaru, meskipun serba sedikit ia telah mengatakan tentang Agung Sedayu. Katanya, “Tetapi agaknya Agung Sedayu telah berusaha. Setidak-tidaknya ada niatnya untuk berusaha.“

“Asal jangan terlambat,“ sahut Swandaru, “biasanya jika saatnya sudah lewat, baru kita menyesal.“

Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Aku sudah berpesan seperti yang kau maksudkan itu. Mudah-mudahan ia bangkit dan berbuat sesuatu.“

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ulangnya, “Mudah-mudahan.“

Namun Kiai Gringsing pun kemudian telah membelokkan pembicaraan mereka. Kiai Gringsing telah mengatakan serba sedikit tentang perjalanan yang akan ditempuhnya bersama Ki Jayaraga.

Swandaru mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba ia bertanya, “Kenapa Kakang Agung Sedayu sendiri tidak mau berangkat mencari sepupunya?“

“Angger Swandaru,“ Ki Jayaraga-lah yang menyahut, “aku merasa bahwa aku telah mengangkat Glagah Putih sebagai muridku. Karena itu, maka aku merasa wajib untuk melakukannya.“

“Ya, ya,“ sahut Swandaru, “Ki Jayaraga adalah guru Glagah Putih. Tetapi Kiai Gringsing bukan apa-apanya. Seharusnyalah Kakang Agung Sedayu-lah yang dengan dada tengadah berkata, ‘Aku akan mencari adik sepupuku’. Tetapi yang terjadi, justru Kakang Agung Sedayu merasa lebih aman untuk tetap berada di Tanah Perdikan. Apakah luka-lukanya terlalu parah, sehingga ia tidak dapat pergi?“

“Tidak,“ jawab Kiai Gringsing, “luka-lukanya dapat diatasinva. Tetapi aku memang sependapat, bahwa Agung Sedayu harus tetap berada di Tanah Perdikan. Mungkin ada sesuatu terjadi lagi sehingga diperlukan seseorang untuk mengatasinya di Tanah Perdikan Menoreh.”

Swandaru justru tersenyum. Katanya, “Memang banyak alasan yang dapat disusun. Tetapi menurut pendapatku. seharusnya Kakang Agung Sedayu adaiah orang yang paling berkepentingan untuk menyusul Giagah Putih. Seandainya Kakang Agung Sedayu sekarang ini ikut pergi, maka aku akan dengan suka rela mengikutinya untuk dapat membantunya jika diperlukannya.“

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Memang ada niat Agung Sedayu untuk pergi, tapi kami, terrnasuk aku dan Ki Jayaraga serta Panembahan Senapati, menasehatkan agar ia tetap berada di Tanah Perdikan.“

Swandaru masih saja tersenyum sambil mengangguk-angguk. Dengan nada datar ia berkata, “Tetapi karena Kakang Agung Sedayu tidak pergi, maka sebaiknya aku pun tidak pergi.“

Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga tidak menjawab lagi. Pandan Wangi yang merasakan sikap janggal suaminya itupun menahan diri untuk tidak mencelanya, karena ta memahami sifat Swandaru.

Dalam pada itu, ternyata Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga tidak teriaiu lama singgah di Sangkal Putung. Mereka harus pergi ke Jati Anom untuk menemui Untara, menyampaikan perintah agar Sabungsari ikut dalam perjalanan ke Timur itu.

Ki Demang memang berusaha menahannya agar mereka bermalam saja semalam di Sangkal Putung. Namun sambil tersenyum Kiai Gringsing berkata, “Terima kasih Ki Demang. Ternyata bahwa ketika aku lewal dan singgah di Mataram, aku yang tua ini masih mendapat tugas.“

Sebelum Ki Demang menjawab, Swandaru telah memotongnya, “Guru terpaksa pergi Ayah, karena Kakang Agung Sedayu dengan berbagai alasan tidak dapat menelusuri jejak sepupunya.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Semetara itu Ki Demang berkata, “Ah, tentu ada alasan yang penting. Bukan asal saja menyusun alasan.“

Nampak bibir Swandaru bergerak. Tetapi senyumnya mempunyai arti tersendiri.

Demikianlah, setelah menyerahkan Pandan Wangi kepada suaminya, maka Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga telah meninggalkan Sangkal Putung menuju ke Jati Anom. Mereka tidak merasa perlu bermalam di Sangkal Putung, karena mereka merasa seakan-akan telah didesak oleh kewajiban yang telah mereka bebankan ke pundak mereka sendiri, bahkan kemudian ditumpangi oleh tugas dari Panembahan Senapati.

Perjalanan ke Jati Anom tidak memerlukan waktu yang terlalu lama, karena menelusuri jalan di pinggir hutan, melewati daerah yang tidak terlalu ramai namun terasa lebih singkat. Kuda mereka berderap di jalan yang tidak terlalu lebar, menghamburkan debu yang kelabu.

Kedatangan mereka di Jati Anom dan langsung ke rumah Untara memang agak mengejutkan. Apalagi yang datang bukan saja Kiai Gringsing, tetapi bersama Ki Jayaraga yang diketahui tinggal di Tanah Perdikan Menoreh.

Untara yang kebetulan berada di rumah, segera menerima mereka di pendapa. Untara yang ingin cepat tahu, segera bertanya, “Kedatangan Kiai berdua telah mengejutkan aku. Apakah ada sesuatu yang penting, atau Kiai berdua hanya sekedar ingin menengok kami di sini?“

Kiai Gringsing menarik menarik nafas dalam-dalam, Kemudian katanya, “Memang ada sedikit kepentingan Ngger. Tetapi tidak terlalu penting.“

Untara mengerutkan keningnya. Namun kemudian Kiai Gringsing pun segera mengatakan keperluannya datang ke Jati Anom.

Untara mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi Kiai berdua akan menyusul perjalanan Glagah Putih dan Raden Rangga itu?“

“Ya Ngger. Sekaligus mendapat beban dari Panembahan Senapati,“ jawab Kiai Gringsing.

Untara masih mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah, aku akan memanggil Sabungsari. Ia menjadi semakin mantap, karena aku memberinya kesempatan untuk menyempurnakan ilmunya. Ia akan menjadi seorang senapati yang baik.“

Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Nampaknya Panembahan Senapati yang jauh itu melihat juga kelebihannya. Karena itu maka secara khusus Panembahan Senapati berpesan, agar aku pergi bersama dengan Sabungsari menuju ke Timur. Sementara itu, para perwira dari Mataram pun telah berangkat pula menuju jalan mereka masing-masing.”

Untara pun kemudian telah memanggil seorang prajurit. Diperintahkannya prajurit itu untuk memanggil Sabungsari segera. Sementara itu, istri Untara telah menghidangkan minuman dan makanan bagi kedua tamunya itu.

Seperti Swandaru, Untara pun bertanya kenapa Agung Sedayu tidak pergi mencari sepupunya yang oleh pamamnya telah diserahkan kepadanya, meskipun dengan latar belakang yang berbeda. Untara memang ingin mendapat penjelasan, bukan sekedar menuduh Agung Sedayu malas atau apalagi cemas menghadapi bahaya. Untara yang mengenal adiknya dengan baik itu mengerti dan menyadari kemampuan Agung Sedayu yang telah jauh berada di atas kemampuannya sendiri.

“Ia diperlukan di Tanah Perdikan Menoreh,“ jawab Kiai Gringsing, “selain daripada itu, rasa-rasanya kami yang tua-tua ini masih ingin juga mengulangi ketegaran masa muda kami di antara jalan-jalan yang panjang, lereng-lereng yang terjal dan pematang-pematang yang silang-menyilang di antara tanaman yang hijau subur di sawah-sawah.“

Untara mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Jayaraga pun berkata, “Aku pun merasa berkewajiban untuk menelusuri jalan Glagah Putih, sementara itu, seperti Kiai Gringsing, rasa-rasanya ingin melihat lagi sebagaimana pernah aku lihat sebelumnya, meskipun di lingkungan yang berbeda.“

“Memang menarik sekali,“ sahut Untara, “tetapi aku tidak akan mendapat kesempatan seperti itu karena tugas-tugasku. Mungkin jika aku sudah setua Kiai berdua.”

Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga tertawa.

Sementara mereka berbincang tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi, maka Sabungsari pun telah datang. Memang nampak perubahan pada tatapan mata senapati itu. Ia nampak lebih tenang dan lebih mantap.

“Dengan tekun ia berhasil menguasai dirinya sendiri untuk menempa kemampuan ilmunya,“ berkata Untara.

Sabungsari tersenyum. Katanya, “Sekedar untuk tidak lupa, Kiai.“

“Ia telah membuat sanggarnya sendiri. Tidak di halaman barak pasukannya. Tetapi sanggarnya terbuka. Ia selalu berada di pinggir sungai, di hadapan tebing yang curam,“ berkata Untara pula.

“Syukurlah.“ sahut Kiai Gringsing, “mudah-mudahan kau sampai pada puncak ilmumu yang nggegirisi itu.“

“Tetapi belum sekuku ireng dibanding dengan Agung Sedayu,“ berkata Sabungsari kemudian. Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga tersenyum. Dengan nada tinggi Kiai Gringsing bertanya, “Kau puji Agung Sedayu karena ada aku, gurunya, dan juga ada kakaknya di sini?“

“Ah, tentu tidak Kiai,“ jawab Sabungsari dengan serta merta. “Aku berkata dengan jujur.“

Untara pun tersenyum Tetapi ia berkata, “Dalam beberapa hal Sabungsari telah kejangkitan pula penyakit Agung Sedayu.“

“Penyakit apa?“ bertanya Kiai Gringsing.

“Ragu-ragu. Banyak pertimbangan dan tidak segera mengambil sikap,“ berkata Untara.

Kiai Gringsing tertawa. Sementara itu Ki Jayaraga menyahut, “Pengalaman agaknya telah membuat Agung Sedayu sedikit berubah. Meskipun demikian, kadang-kadang masih nampak juga keragu-raguannya mengambil sikap.“

“Nah,“ berkata Untara kemudian, “sebaiknya Kiai menyampaikan langsung perintah itu kepada Sabungsari.“

“Silahkan Angger saja yang menjatuhkan perintah itu. Bukankah Angger Untara senapati di sini?“ bertanya Kiai Gringsing.

Untara tertawa pendek. Katanya, “Baiklah. Aku-lah senapati di sini.“

Demikianlah maka Untara pun telah menyampaikan perintah Panembahan Senapati kepada Sabungsari sebagaimana dikatakan oleh Kiai Gringsing.

Sabungsari mengangguk-angguk. Karena yang membawa parintah itu adalah Kiai Gringsing, Sabungsari sama sekali tidak ragu-ragu bahwa perintah itu benar-benar telah diberikan oleh Panembahan Senapati.

“Dengan demikian maka kau harus segera bersiap-siap Sabungsari,“ berkata Untara kemudian.

“Aku menerima segala perintah,“ berkata Sabungsari, “tetapi kapan Kiai akan berangkat menuju ke Timur itu?“

“Besok sehari aku masih akan memberikan pesan-pesan dan membenahi padepokan yang sudah agak lama aku tinggalkan. Baru besok lusa aku berangkat. Pagi-pagi benar,“ jawab Kiai Gringsing.

“Berkuda atau berjalan kaki?“ bertanya Untara.

“Lebih baik berjalan kaki,“ jawab Kiai Gringsing, “dengan demikian kita akan dapat melakukan perjalanan menembus segala medan.“

Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan mempersiapkan diri. Tetapi bukankah aku tidak perlu membawa bekal?“

Yang mendengar pertanyaan itu tertawa. Kiai Gringsing-lah yang menjawab, “Perintah itu datang dari Panembahan Senapati. Jalurnya di sini adalah Angger Untara.“

Untara mengangguk-angguk. Di antara tertawanya ia bertanya, “Tentu. Aku sudah menyediakan bekal untuk menempuh perjalanan sampai kapanpun. Aku sudah menyimpan beras di lumbung. Jika diperlukan, beras itu dapat dibawanya, berapapun dibutuhkan.“

Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga tertawa semakin panjang.

Namun beberapa saat kemudian, Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga pun telah mohon diri untuk pergi ke padepokan kecilnya yang sudah ditinggalkan beberapa lama. Sebelum Kiai Gringsing menempuh perjalanan yang panjang tanpa dibatasi waktu, maka ia akan mempersiapkan lebih dahulu padepokan kecilnya agar segala-galanya dapat berjalan rancak seperti biasanya.

Sepeninggal Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga, maka Untara masih memberikan beberapa pesan kepada Sabungsari. Perintah yang langsung diberikan oleh Panembahan Senapati itu harus dilakukannya sebaik-baiknya.

“Aku akan berusaha untuk tidak mengecewakan Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga,“ berkata Sabungsari, “tentu saja sebatas kemampuanku. Namun dalam tugas ini, batas kemampuanku itu adalah nyawaku.“

“Kau memang seorang prajurit yang baik,“ berkata Untara. “Menurut Kiai Gringsing, beberapa orang perwira telah berangkat pula dari Mataram. Mereka akan bertemu di tempat yang sudah disepakati.“

“Siapakah yang memimpin tugas ini? Apakah Kiai Gringsing mengatakannya kepada Ki Untara?“ bertanya Sabungsari.

“Para perwira dari Mataram dipimpin langsung oleh Pangeran Singasari. Tetapi seperti sudah aku katakan, bahwa mereka berangkat terpisah,“ jawab Untara.

Sabungsari mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian minta diri untuk bersiap-siap, meskipun masih ada senggang waktu satu hari.

Di hari berikutnya, Kiai Gringsing sibuk memberikan pesan-pesan kepada para cantrik di padepokannya. Kiai Gringsing pun memerlukan untuk melihat sawah, ladang dan pategalan padepokannya. Beberapa petunjuk telah diberikan kepada para cantriknya, apa yang sebaiknya mereka lakukan selama Kiai Gringsing berada di perjalanan.

“Doakan, bahwa aku akan kembali dengan selamat,“ berkata Kiai Gringsing, “semoga Yang Maha Kasih akan selalu melindungi kami yang menjalankan tugas ini.“

Para cantrik menjadi berdebar-debar. Rasa-rasanya Kiai Gringsing akan pergi untuk waktu yang lama sekali.

Di hari itu, Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga mempergunakan waktunya yang tersisa untuk beristirahat. Mereka sempat minum minuman panas dengan gula kelapa dan beberapa potong makanan di serambi, sambil berbincang kesana-kemari tentang padepokan kecil itu.

Menjelang senja, maka Sabungsari pun telah datang pula ke padepokan. Besok mereka akan berangkat bersama-sama dari padepokan itu.

“Apakah Kiai telah memberitahukan kepada Ki Widura?“ bertanya Sabungsari.

Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga termangu-mangu. Namun akhirnya Kiai Gringsing-lah yang menjawab, “Aku harap biarlah Untara yang memberitahukannya. Kepergian Glagah Putih ke Timur telah diketahui oleh ayahnya. Tetapi persoalan yang berkembang kemudian, memang belum. Juga keputusan Panembahan Senapati untuk menangkap dan membawa pimpinan padepokan itu menghadap.“

Sabungsari mengangguk-angguk. Namun yang ditanyakan kemudian adalah, “Apakah Panembahan Senapati memberikan batasan waktu?“

“Tidak. Tetapi seperti yang sudah aku katakan, dalam waktu sepuluh sampai tiga belas hari, kita harus sudah saling berhubungan,“ jawab Kiai Gringsing. “Kita memang tidak boleh terlambat, karena kita mengenal sifat dan watak Pangeran Singasari. Seorang Pangeran yang keras hati dan agak tergesa-gesa mengambil sikap atas satu persoalan yang dihadapi. Jika hari ketiga belas itu lewat dan kita belum sempat berhubungan, maka kita tentu akan ditinggalkannya. Bertemu atau tidak bertemu dengan Raden Rangga. Meskipun Raden Rangga itu kemanakannya sendiri, namun Pangeran Singasari tentu akan memilih untuk memasuki padepokan itu.“

Sabungsari memang pernah mendengar serba sedikit tentang sifat Pangeran Singasari, adik Panembahan Senapati yang keras itu. Namun Pangeran Singasari juga memiliki beberapa kelebihan seperti juga Panembahan Senapati, meskipun pada tataran yang tidak setingkat.

Meskipun demikian, sebagaimana disebut-sebut oleh orang-orang Watu Gulung, maka tingkat kemampuan ilmu Pangeran Singasari dihadapkan kepada pemimpin padepokan Nagaraga masih harus diperhitungkan.

“Kiai,“ bertanya Sabungsari, “jika yang harus yang memimpin sekelompok prajurit yang bertugas khusus ini adalah Pangeran Singasari, apakah Panembahan Senapati telah dengan tegas memberikan kedudukan kepada Kiai berdua?“

“Kedudukan apakah yang kau maksud?“ bertanya Kiai Gringsing.

“Apakah Kiai berdua juga di bawah perintah Pangeran Singasari seperti para prajurit?“ bertanya Sabungsari menjelaskan.

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Sabungsari. Karena itu maka jawabnya, “Memang tidak ada ketegasan apakah aku berada di bawah perintahnya atau tidak. Tetapi Panembahan Senapati telah memerintahkan kepada Pangeran Singasari untuk mengindahkan pendapat kami berdua.“

Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya, “Aku adalah seorang prajurit. Aku memang harus tunduk kepada perintah Pangeran Singasari. Tetapi Pangeran Singasari harus bersikap lain terhadap Kiai berdua.“

Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Panembahan telah memberikan pesan agar Pangeran Singasari tidak memperlakukan kami berdua seperti memperlakukan para prajurit, karena kami memang bukan prajurit. Bahkan seperti aku katakan, bahwa justru Pangeran Singasari diwajibkan memperhatikan pendapat kami.“

Sabungsari kemudian berdesis, “Syukurlah. Mudah-mudahan kekerasan hati Pangeran Singasari tidak membuatnya melangkah terlalu jauh dalam persoalan ini. Menurut dugaanku, Pangeran Singasari nampaknya tidak akan banyak memperhatikan kemungkinan untuk bertemu dengan Raden Rangga dan Glagah Putih.“

“Aku kira memang demikian,“ sahut Ki Jayaraga. “Pangeran Singasari merasa tidak banyak berkepentingan dengan keduanya. Agaknya Pangeran Singasari ingin meIaksanakan perintah Panembahan Senapati sebaik-baiknya.“

“Tetapi bukankah Pangeran Singasari mendapat gambaran yang jelas tentang padepokan itu?“ bertanya Sabungsari.

“Agaknya sudah,“ jawab Kiai Gringsing. “Jika perintah Panembahan tidak disertai dengan penglihatan atas sasaran, maka hal itu akan sangat berbahaya, sebagaimana harus dilakukan oleh Raden Rangga dan Glagah Putih.“

Sabungsari mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lebih jauh.

Demikianlah, setelah mereka kemudian makan malam, maka Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsari masih berbincang lagi beberapa saat. Baru setelah malam memasuki saat sepi uwong, maka mereka pun pergi ke pembaringan.

Pagi-pagi benar mereka telah terbangun. Sementara itu di halaman telah terdengar seorang cantrik menyapu halaman. Sedangkan di belakang terdengar senggot timba di sumur berderit dengan irama yang ajeg.

Sebelum matahari menyingsing ketiganya telah siap. Mereka akan menempuh perjalanan dengan berjalan kaki.

Kiai Gringsing masih memberikan beberapa pesan kepada para cantriknya yang kemudian berkumpul di halaman padepokan kecilnya.

“Jangan terlalu lama Kiai,“ minta para cantrik.

“Jika persoalanku sudah selesai, maka aku akan segera kembali. Hati-hati dengan bibit polong buah-buahan itu. Jangan terlambat menyiram,“ pesan Kiai Gringsing. “Jangan lupa pula mengairi tanaman di sawah.“

“Baik Kiai,“ jawab beberapa orang cantrik hampir berbareng.

Demikianlah, sesaat sebelum matahari terbit, maka mereka bertiga telah berangkat meninggalkan padepokan. Mereka tidak dengan jelas membawa persiapan perang. Tidak nampak senjata di lambung mereka. Namun bagi Kiai Gringsing, cambuknya tidak akan pernah ketinggalan. Seperti murid-muridnya, Kiai Gringsing telah melingkarkan cambuknya di lambung, di bawah bajunya.

Sementara itu, di ikat pinggang Sabungsari, juga di bawah bajunya, terselip sebilah pisau belati panjang. Mungkin pisau itu diperlukannya bukan saja sebagai senjata.

Ki Jayaraga tidak membawa senjata secara khusus. Ia akan memanfaatkan apa saja yang dapat dipergunakan jika diperlukan. Namun dalam keadaan yang paling gawat, agaknya Ki Jayaraga memang tidak memerlukan senjata. Sebenarnya Kiai Gringsing pun tidak mutlak memerlukan senjata dalam keadaan yang paling gawat. Namun senjata yang hampir tidak terpisah daripadanya itu memang seolah-olah lekat pada tubuhnya.

Demikianlah, maka tiga orang telah meninggalkan padepokan Jati Anom untuk berangkat menuju ke Timur. Mereka telah mendapat ancar-ancar dari orang-orang Watu Gulung, kemana mereka harus pergi. Sehingga dengan demikian maka sebenarnya perjalanan mereka itu merupakan perjalanan yang jauh lebih ringan dari perjalanan yang harus dilakukan oleh Raden Rangga dan Glagah Putih.

Namun mereka bertiga berharap bahwa mereka akan dapat menemukan Raden Rangga dan Glagah Putih sebelum mereka mendekati padepokan Nagaraga dan berhubungan dengan para prajurit dari Mataram, yang mendapatkan tugas yang sama dan yang akan mendekati padepokan itu dalam kelompok-kelompok kecil. Antara dua atau tiga orang.

Menurut pendapat mereka, Pangeran Singasari tidak akan dengan sengaja mencari Raden Rangga dan Glagah Putih. Perhatiannya telah lebih banyak tertuju kepada menghancurkan padepokan itu dan menangkap pemimpin padepokan Nagaraga. Bahkan Pangeran Singasari pun tentu tidak akan banyak memperhatikan kehadiran Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga. Datang atau tidak datang.

Ketika kemudian matahari mulai naik, terasa pagi menjadi semakin segar. Di ujung daun padi di sawah, masih nampak kilatan pantulan cahaya matahari pada titik-titik embun yang bergayutan. Hampir setiap hari mereka bertiga melihat sinar matahari yang jatuh dan bermain di dedaunan. Namun setiap hari pula mereka merasakan sentuhan yang lembut di hati mereka.

Di bulak yang masih dekat dengan padepokan Kiai Gringsing di Jati Anom, beberapa orang yang berpapasan di sawah selalu menegurnya. Mereka melihat Kiai Gringsing tidak sekedar pergi ke sawah pagi itu. Agaknya Kiai Gringsing akan bepergian bersama dengan dua orang lainnya. Sabungsari yang tinggal juga di Jati Anom ternyata ada juga yang sudah mengenalnya. Tetapi karena geraknya yang terbatas sebagai seorang prajurit, maka orang yang mengenalinya tidak sebanyak Kiai Gringsing.

Seorang yang sudah sebaya Kiai Gringsing yang mengenalnya dengan baik telah menghentikannya dan bertanya, “Kiai akan pergi kemana sepagi ini?“

Kiai Gringsing tersenyum. Jawabnya, “Ada sedikit keperluan di Pajang.“

“Pajang? Jadi Kiai akan menempuh perjalanan sejauh itu?“ bertanya orang itu pula.

“Bukankah Pajang tidak terlalu jauh?“ desis Kiai Gringsing.

Orang itu mengerutkan keningnya. Katanya, “Aku belum pernah melihat Pajang. Tetapi apakah keperluan Kiai ke Pajang?“

Kiai Gringsing masih saja tersenyum. Ia sudah terbiasa mendengar pertanyaan seperti itu. Seolah-olah orang itu berkepentingan dengan kepergiannya. Tetapi memang sudah menjadi kebiasaan bahwa pertanyaan yang demikian itu dilontarkan kepada orang-orang yang lewat dan apalagi bepergian.

Namun Kiai Gringsing menjawab juga, “Ada salah seorang kadangku yang memerlukan aku datang. Itulah sebabnya kami pergi bertiga, karena keduanya ini juga termasuk kadangku yang dipanggil untuk keperluan yang sama di Pajang.“

Orang itu mengangguk-angguk. Agaknya ia sudah puas bahwa orang yang lewat itu sudah memberitahukan keperluan kepadanya.

Demikianlah maka Kiai Gringsing pun telah meneruskan perjalanannya bersama Ki Jayaraga dan Sabungsari. Di jalan-jalan yang mereka lewati, nampaknya orang-orang tidak banyak memperhatikan mereka. Dua orang tua yang dikawani oleh seorang yang masih muda menempuh perjalanan melalui jalan-jalan bulak dan jalan-jalan padukuhan. Apalagi di pagi hari, jalan-jalan masih nampak ramai terutama oleh orang-orang yang kembali dari dan pergi ke pasar.

Nampaknya suasana terasa tenang dimana-mana. Meskipun demikian, ketiga orang itu tidak lepas dari sikap berhati-hati. Ternyata bahwa di perjalanan Raden Rangga dan Glagah Putih telah bertempur dengan orang-orang Watu Gulung apapun sebabnya, sehingga kemungkinan yang sama dapat juga terjadi atas mereka.

Sebenarnya waktu yang disediakan cukup longgar bagi mereka, jika mereka hanya sekedar ingin mencapai tempat yang sudah ditentukan untuk sating berhubungan. Tetapi waktu yang akan banyak dipergunakan adalah usaha mereka untuk menemukan Raden Rangga dan Glagah Putih yang sudah berjalan mendahului mereka.

Di hari pertama, pada perjalanan yang masih belum jauh, sesekali mereka singgah di kedai untuk sekedar makan dan minum. Selama mereka berada di kedai bersama beberapa orang yang lain, rasa-rasanya mereka pun tidak pernah mendengar persoalan-persoalan yang cukup gawat yang perlu mendapat perhatian khusus. Jika mereka menyebut juga tentang persoalan yang timbul di antara penghuni padukuhan-padukuhan, maka persoalannya berkisar pada kesalah-pahaman saja, Mungkin tentang air di sawah yang salah menghitung saat-saat menerima giliran. Atau mungkin tentang anak-anak yang nakal dan saling berkelahi, atau tentang binatang yang digembalakan di sawah tanpa disadari telah merusak tanaman. Persoalan-persoalan yang demikian akan dengan cepat dapat diatasi oleh para bebahu padukuhan dan kademangan, sehingga persoalan itu pun cepat pula dianggap selesai.

Namun demikian, sekali pernah juga didengarnya tentang pencurian. Tetapi pencurian merupakan sesuatu yang jarang sekali terjadi. Bahkan penjual di kedai itu terkejut ketika seorang pembelinya mengatakan tentang pencurian ternak di padukuhannya.

“Ada juga orang yang mencuri?“ bertanya penjual itu.

“Baru pertama kali terjadi sejak beberapa bulan terakhir,“ jawab orang yang bercerita tentang pencurian itu, “tetapi nampaknya bukan seorang yang memerlukan ternak. Ternyata kemudian diketemukan di tempat yang sepi di hutan perdu oleh seorang pencari kayu, bekas orang yang menyembelih kambing. Agaknya ternak yang hilang itu langsung disembelih dan dimakan oleh sekelompok orang. Di tempat itu masih tercecer sisa-sisa bagian dari kambing yang disembelih itu dan bekas perapian.“

“Menarik sekali,“ desis penjual di kedai itu, “tetapi dengan demikian justru merupakan persoalan yang lebih gawat dari pencurian biasa. Apakah mungkin sekelompok anak-anak muda yang nakal yang berbuat sesuka hati, tanpa menghiraukan batas-batas kepentingan orang lain?“

“Entahlah,” jawab orang yang menceritakan tentang pencurian itu. Namun ia masih menceritakan tentang beberapa hal dari peristiwa itu. Tetapi kemudian mereka tidak membicarakan lebih panjang lagi. Mereka mulai berbicara tentang persoalan-persoalan mereka sehari-hari.

Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsari setelah membayar harga makanan mereka, maka mereka pun meninggalkan kedai itu. Mereka pun ternyata telah tertarik dengan cerita tentang seekor kambing yang hilang dan diketemukan setelah disembelih di tempat yang sepi. Bahkan masih terdapat beberapa bagian yang tersisa. Dengan demikian maka dapat diambil kesimpulan bahwa pencurian itu mempunyai alasan yang lain dari pencurian biasa. Tetapi mereka tidak dapat dengan serta merta menanyakan bahkan mengusutnya, karena hal itu akan dapat menimbulkan kecurigaan.

Namun berdasarkan pada pembicaraan itu, mereka dapat mengira-irakan, di sebelah manakah letak hutan perdu yang dimaksudkan.

“Agaknya pencurian itu terjadi di padukuhan di sebelah timur padukuhan ini,“ desis Sabungsari.

“Ya,“ sahut Ki Jayaraga, “lalu hutan perdu itu terletak di sebelah bulak. Mereka menyebut sebatang sungai. Agaknya untuk sampai ke tempat itu, dapat ditelusuri sungai dari padukuhan yang dimaksudkan.“

“Kita dapat lewat hutan perdu itu,“ berkata Kiai Gringsing, “rasa-rasanya ingin melihat, apa yang telah terjadi ditempat itu.“

“Aku setuju,“ desis Sabungsari, “hanya sekedar ingin melihat.“

Demikianlah, maka mereka bertiga telah mengikuti arus sungai yang melalui padukuhan di sebelah timur dari padukuhan di tempat Kiai Gringsing dan kedua orang yang bersamanya singgah di kedai. Sungai itu memang tidak begitu besar. Tetapi agaknya sungai itu tidak pernah kering di sepanjang musim. Airnya yang jernih gemericik di sela-sela batu-batu yang besar yang berserakan. Di tepian terhampar pasir yang berwarna kelabu.

Beberapa saat kemudian, maka mereka pun telah meninggalkan tanah persawahan yang terbentang di sebelah tanggul sungai itu. Karena itu, maka ketiga orang itu pun telah memanjat tebing yang tidak begitu tinggi dan berdiri di atas tanggul.

Di ujung daerah persawahan terdapat padang rumput yang tidak begitu luas namun berbatu-batu, yang agaknya semula dilemparkan dari sungai itu di saat banjir bandang. Sehingga dengan demikian padang rumput itu tidak dapat digarap untuk tanah perwahan. Sebelah padang rumput terdapat padang perdu, sebelum mencapai sebuah hutan yang nampaknya masih cukup lebat.

“Marilah,“ berkata Sabungsari, “kita melihat padang perdu itu. Mungkin ada yang menarik perhatian.“ Ketiga orang itu pun kemudian telah melewati padang rumput yang berbatu-batu dan memasuki padang perdu yang ditebari oleh pepohonan perdu dan gerumbul-gerumbul. Beberapa di antara gerumbul-gerumbul itu adalah gerumbul-gerumbul berduri. Sekali-sekali mereka dikejutkan oleh seekor tikus hutan yang meloncat dan berlari melintas dari gerumbul yang satu ke gerumbul yang lain.

Untuk beberapa saat mereka berjalan berputar-putar di padang perdu itu. Tetapi padang itu cukup luas. Lebih luas dari padang rumput di sebelah padang perdu itu.

“Orang yang mencari kayu akan masuk sampai ke dekat hutan itu,“ berkata Sabungsari.

“Tetapi mereka tentu mencemaskan kemungkinan hadirnya binatang buas,“ jawab Ki Jayaraga, “kecuali jika mereka tidak seorang diri. Jika mereka bertiga atau lebih, maka mereka memang berani menghadapi seekor harimau. Apalagi jika mereka memang pemburu-pemburu yang baik.“

“Tetapi jika mereka sekedar pencari kayu?“ desis Kiai Gringsing.

“Pencari kayu yang berani pun tidak kurang. Mereka dipaksa untuk menjadi seorang pemberani karena kebutuhan yang mendesak. Tetapi aku kira mereka juga tidak pergi hanya seorang diri,“ gumam Ki Jayaraga.

Yang lain mengangguk-angguk. Karena itulah maka mereka pun berjalan semakin dekat dengan pinggiran hutan. Mereka menyusuri daerah yang agak lebat untuk mendapat bekas-bekas dari cerita orang yang berada di warung itu.

“Menurut tangkapanku, peristiwa itu terjadi belum lama,“ desis Sabungsari.

Kedua orang tua yang bersamanya itu mengangguk-angguk. Mereka memang sependapat, bahwa menurut orang yang berada di kedai itu, peristiwa yang terjadi itu pun agaknya belum terlalu lama. Karena itu, maka masih ada kemungkinan bagi mereka untuk dapat menemukan sisa-sisa dari peristiwa itu.

Beberapa saat mereka menyusuri padang perdu dekat di pinggir hutan yang sesungguhnya. Agaknya para pencari kayu itu berada di tempat yang banyak terdapat kekayuan dari dahan-dahan yang patah, dan barangkali pohon yang tumbang di hutan itu.

Agak lama mereka berjalan. Namun akhirnya mereka memang melihat sesuatu yang menarik. Mereka tidak melihat lagi bekas-bekas yang jelas. Tetapi beberapa buah batu yang nampaknya disusun untuk membuat perapian masih nampak di tempatnya.

“Agaknya di sinilah pembantaian atas ternak yang dicuri itu,“ berkata Sabungsari.

Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Mereka melihat-lihat keadaan di sekitar tempat itu. Tidak ada yang menarik perhatian selain batu-batu perapian itu.

Tetapi ketika mereka bergeser lagi beberapa langkah, maka mereka menemukan beberapa buah bumbung bambu kecil yang nampaknya menjadi alat untuk minum. Bahkan beberapa langkah lagi mereka menemukan sebuah bumbung yang besar, yang agaknya menjadi wadah tuak. 

“Di sini telah terjadi andrawina. Makan, minum, dan entah apa lagi,“ berkata Sabungsari pula.

“Orangnya tidak terlalu banyak,“ sahut Kiai Gringsing, “ternyata juga dari cerita pencari kayu yang masih menemukan sisa-sisa dari kambing yang hilang itu.“

Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Tentu bukan sekedar anak-anak muda yang nakal yang tidak mau mengikuti paugeran di padukuhannya. Tetapi mereka tentu orang lain yang mungkin kebetulan lewat.“

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Kita belum terlalu jauh dari Pajang. Mungkin sekelompok orang yang sedang mengamati Pajang sebagaimana sekelompok orang mengamati Mataram, dan bersembunyi di sekitar tempat ini. Atau bahkan sekelompok orang yang akan pergi ke Mataram untuk melanjutkan rencana mereka sebagaimana dilakukan oleh orang-orang Nagaraga.”

Ki Jayaraga dan Sabungsari termangu-mangu sejenak. Namun dalam pada itu, Ki Jayaraga berkata, “Memang ada bedanya antara orang-orang Nagaraga dan orang-orang Watu Gulung. Orang-orang Nagaraga ternyata langsung berusaha menusuk ke jantung. Sementara orang-orang Watu Gulung membuat perhitungan-perhitungan yang lebih mungkin dilakukan. Selangkah demi selangkah. Tetapi nampaknya Watu Gulung benar-benar telah patah, sehingga kemungkinan terbesar yang bergerak adalah orang Nagaraga atau perguruan lain yang melibatkan diri untuk bersama-sama menentang Mataram, namun justru mereka berada dalam persaingan.“

Sabungsari mengangguk-angguk. Katanya, “Apakah Ki Untara pernah berbicara dengan Kiai berdua tentang kemelut di daerah Timur? Bukan saja menyangkut beberapa perguruan, tetapi beberapa kadipaten?“

“Ya,“ sahut Kiai Gringsing, “Panembahah Senapati pun meskipun tidak jelas pernah menyinggung, bahwa gerakan dari beberapa perguruan itu tentu tidak lepas dari tingkah beberapa orang adipati yang merasa dirinya tidak sepantasnya berada di bawah kuasa Mataram.“

Ketiga orang itu nampaknya sependapat bahwa Mataram memang sedang dibayangi oleh kabut yang kemelut dari arah Timur itu. Namun Mataram mempunyai kepercayaan yang besar terhadap Pajang yang tumbuh dan berkembang untuk menjadi benteng yang kuat. Namun dengan demikian, timbul usaha-usaha untuk langsung menyusup ke Mataram dan langsung memadamkan apinya. Bukan sekedar membayangi sinarnya.

Namun, mereka bertiga itu pun tiba-tiba saja terdiam. Ketajaman penglihatan dan pendengaran mereka telah menangkap bayangan dan suara gemersik di belakang gerumbul-gerumbul perdu yang bergerak-gerak, sementara angin tidak bertiup. Tidak hanya satu dua orang. Tetapi semakin lama menjadi cukup banyak.

“Apalagi yang akan terjadi?“ desis Ki Jayaraga.

“Entahlah,“ berkata Kiai Gringsing, “agaknya peristiwa-peristiwa seperti inilah yang menyeret Raden Rangga dan Glagah Putih ke dalam perselisihan. Agaknya yang terjadi bukan saja menghadapi orang-orang Watu Gulung, tetapi tentu dengan pihak-pihak yang lain, sebagaimana terjadi kali ini.“

Sebenarnyalah, beberapa saat kemudian beberapa orang telah bermunculan dari balik gerumbul-gerumbul yang rimbun di padang perdu itu. Beberapa orang di antara mereka telah mengacukan senjata mereka. Yang lain melambai-lambaikannya. Sementara itu seorang yang agaknya menjadi pemimpin mereka telah melangkah maju mendekati Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsari.

Namun ketiga orang itu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata orang-orang itu adalah orang-orang padukuhan. Bukan sekelompok orang dari sebuah perguruan. Dengan ketajaman pengamatan mereka, maka mereka bertiga segera dapat membedakan sikap orang-orang yang datang itu dan jumlah mereka yang cukup besar.

Orang yang kemudian berdiri sambil bertolak pinggang di hadapan Kiai Gringsing itu pun segera bertanya, “Ki Sanak, apalagi yang akan kalian lakukan? Bagi pedukuhan kami yang miskin, seekor kambing sudah cukup.“

Kiai Gringsing berpaling ke arah Ki Jayaraga dan Sabungsari. Mereka bertiga segera menyadari, bahwa agaknya telah terjadi salah paham di antara mereka.

Karena Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsari tidak segera menjawab, maka orang itu pun berkata lagi. “Ki Sanak. Apa yang kalian lakukan itu telah membuat seisi padukuhan kami, bahkan padukuhan-padukuhan lain di kademangan kami menjadi prihatin. Apakah yang akan kalian lakukan kemudian?”

“Ki Sanak,“ Kiai Gringsing-lah yang kemudian menyahut, “cobalah jelaskan, apa yang telah terjadi. Aku tidak mengerti kenapa tiba-tiba saja kalian bersikap demikian terhadap kami.”

“Jangan mencoba menyembunyikan kenyataan yang telah terjadi di padukuhan kami,“ berkata orang itu, “kalian sudah mengetahui apa yang kami maksudkan.“

“Ki Sanak. Kami baru datang hari ini. Kami sedang dalam perjalanan menuju ke Timur,“ jawab Kiai Gringsing.

Tetapi orang itu menggeleng. Katanya, “Apapun yang kau katakan, tetapi kami telah mendapatkan satu keyakinan tentang kalian. Ketika seorang di antara kami yang sedang bekerja di sawah melihat kalian bertiga memasuki hutan perdu, maka kami pun segera menentukan niat kami untuk menangkap kalian.“

“Dengarlah keterangan kami,” Sabungsari yang muda itulah yang kemudian melangkah maju, “kami baru datang hari ini. Kami tengah dalam perjalanan. Jika yang kalian maksud adalah orang-orang yang mencuri kambing di padukuhan kalian, maka kami pun mendengar cerita tentang peristiwa itu di kedai, ketika kami singgah di padukuhan sebelah.“

“Sudahlah,“ berkata orang itu, “jangan banyak bicara. Ikutlah. Kami akan membawa kalian ke padukuhan.”

“Jangan berlaku kasar seperti itu Ki Sanak,“ jawab Sabungsari, “kalian tentu dapat melihat, apakah ujud dan tampang kami ini termasuk orang-orang yang suka mencuri? Tetapi karena di kedai kami mendengar tentang peristiwa pencurian itu, kami justru ingin melihat, apa yang sebenarnya terjadi di hutan ini.“

“Kau sudah cukup banyak bicara. Terlalu banyak. Kami sudah berusaha untuk menahan diri. Tetapi jika kau berkeras, maka apa boleh buat.“

“Apa yang akan kalian lakukan?“ bertanya Sabungsari.

“Kau lihat bahwa aku tidak sendiri? Dan kau lihat bahwa kawan-kawanku itu bersenjata?“ bertanya orang itu.

“Aku lihat. Tetapi senjata tidak seharusnya dipergunakan untuk melakukan tindakan sewenang-wenang,“ berkata Sabungsari.

“Sudahlah. Ikut kami. Kita akan menghadap Ki Demang,“ berkata orang itu.

Kiai Gringsing-lah yang kemudian menyahut mendahului Sabungsari, “Baiklah. Kami tidak berkeberatan.“

Sabungsari memandang Kiai Gringsing sekilas. Namun ia tidak membantah, meskipun sebenarnya ia tidak ingin mengikuti orang-orang padukuhan itu.

“Kita akan dapat memberikan penjelasan,“ berkata Kiai Gringsing kepada Sabungsari.

Sabungsari tidak menyahut. Tetapi ia berdesis di telinga Ki Jayaraga, “Apa yang dapat kita katakan?”

“Serahkan saja kepada Kiai Gringsing,” jawab Ki Jayaraga.

Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Namun Kiai Gringsing yang juga mendengar jawaban itu tersenyum.

Demikianlah, maka Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsari telah digiring oleh orang-orang padukuhan itu menuju ke Kademangan. Ketika mereka melintas padang perdu itu, ternyata orang-orang yang ikut pergi untuk menangkap tiga orang yang disangka ada hubungannya dengan hilangnya kambing mereka, cukup banyak. Mereka bermunculan dari balik gerumbul-gerumbul liar dengan senjata.

Ketika mereka memasuki padang rumput, maka Sabungsari melihat iring-iringan yang panjang di belakangnya. Nampak wajah-wajah yang marah yang memandangnya dengan geram. Agaknya mereka telah mengambil kepastian bahwa ketiga orang itulah yang telah mencuri kambing mereka dan menyembelihnya di hutan perdu itu.

Sabungsari sama sekali tidak senang diperlakukan seperti itu. Namun Ki Jayaraga berkata, “Sudahlah. Jangan kau pikirkan lagi, Kita serahkan semua persoalan kepada Kiai Gringsing seperti yang sudah aku katakan. Semuanya akan segera selesai dengan baik. Tanpa kekerasan dan tanpa saling menyakiti hati.”

Sabungsari tidak menjawab. Meskipun kepalanya terangguk-angguk, tetapi nampak pada kerut di keningnya, bahwa ia memang tidak menyenangi cara itu.

Apalagi ketika mereka memasuki padukuhan. Orang-orang sepadukuhan telah berkumpul di pinggir jalan induk padukuhan mereka yang akan dilewati oleh ketiga orang yang mereka anggap telah mencuri kambing mereka, menuju kepadukuhan induk.

Iring-iringan itu pun semakin lama menjadi semakin panjang. Beberapa orang justru berteriak-teriak, “Kenapa harus dibawa ke padukuhan induk? Kenapa tidak kita selesaikan saja di sini?”

“Serahkan kepada kami! Pamanku-lah yang kehilangan kambing itu,” teriak seorang anak muda.

“Soalnya bukan sekedar seekor kambing,” sahut yang lain, “tetapi itu sudah merupakan penghinaan bagi kami, seisi padukuhan ini. Seolah-olah orang asing akan dapat berbuat apa saja di kampung halaman kami.”

“Ya, serahkan kepada kami!” teriak yang lain lagi. Tetapi para bebahu padukuhan itu tidak memberikan ketiga orang itu. Mereka membawa ketiga orang itu mengikuti jalan induk menuju ke padukuhan di sebelah.

Beberapa saat kemudian, ternyata mereka telah keluar dari padukuhan itu. Mereka melintasi sebuah bulak yang tidak terlalu panjang.

Di hadapan mereka, di seberang bulak itu-lah padukuhan induk yang mereka tuju.

Sabungsari memandang jalan itu dengan jantung yang berdebar-debar. Ketika dilihatnya sebuah simpang empat, maka iapun berdesis, “Kiai, kita dapat mengambil jalan ke kiri atau ke kanan.”

“Maksudmu?” bertanya Kiai Gringsing.

“Seandainya Kiai tidak ingin melawan, maka kita dapat melarikan diri di simpang empat itu,” jawab Sabungsari, “jika kita berlari meninggalkan mereka, maka tidak seorangpun yang akan dapat mengejar kita.”

“Ah,” sahut Kiai Gringsing, “dengan demikian kita tidak akan berkenalan dengan Ki Demang. Kita akan kehilangan kesempatan untuk berbincang serba sedikit tentang kambing yang hilang itu.”

“Bagaimana jika mereka mengambil langkah-langkah yang bertentangan dengan kepentingan kita?” bertanya Sabungsari.

“Jika jelas sebagaimana kau katakan, barulah kita akan lari. Tetapi kita berharap bahwa kita mendapat kesempatan untuk berbicara,” jawab Kiai Gringsing.

Sementara itu Ki Jayaraga memotong, “Setidak-tidaknya kita akan dijamu makanan dan minuman yang lebih baik daripada yang kita dapatkan di kedai itu.”

“Belum tentu,” desis Sabungsari. “Mungkin kita justru dikejar-kejar seperti mengejar tupai.”

“Menarik sekali,” jawab Ki Jayaraga, “kita akan membuat mereka pingsan kelelahan.”

Sabungsari tidak menjawab lagi. Apalagi ketika orang yang membawanya itu bergeser mendekati mereka bertiga.

Ketika mereka kemudian melewati simpang empat itu, Sabungsari hanya menarik nafas.

Demikianlah ketiga orang itu pun kemudian telah dibawa memasuki padukuhan induk, menuju ke Kademangan. Agaknya Ki Demang sudah diberi tahu tentang ketiga orang yang memasuki padang perdu dan oleh orang-orang padukuhan telah dikepung untuk ditangkap. Sehingga karena itu, ketika ketiga orang itu dibawa ke Kademangan, Ki Demang sudah siap untuk menerimanya.

Ketiga orang yang digiring oleh iring-iringan yang semakin panjang itu pun kemudian langsung dibawa naik ke pendapa. Orang-orang yang mengiringinya ikut pula masuk ke halaman Kademangan. Mereka segera terpencar di sekeliling pendapa itu. Hanya para bebahu sajalah yang kemudian ikut naik ke pendapa pula untuk ikut berbicara bersama Ki Demang.

Ki Demang menerima mereka dengan dahi yang berkerut. Melihat sikap Ki Demang dan para bebahu, maka Sabungsari menjadi semakin tidak senang. Seakan-akan mereka sudah yakin, bahwa ketiga orang yang dihadapkan kepada Ki Demang itu pasti bersalah.

Apalagi ketika tiba-tiba saja Ki Demang berkata, “Bagaimana? Apakah kalian memang hanya bertiga? Aku kira tentu ada orang lain bersama kalian. Jika kalian hanya bertiga, maka kalian akan pingsan karena kalian terlalu banyak makan daging kambing itu.”

Kiai Gringsing menggamit Sabungsari ketika ia hampir saja membuka mulutnya untuk menjawab. Karena itulah, maka yang kemudian menjawab adalah Kiai Gringsing sendiri, “Ki Sanak. Marilah kita berbicara tanpa prasangka. Seharusnya Ki Sanak melihat kami bertiga. Apakah sudah sepantasnya Ki Sanak menuduh kami mencuri kambing dan menyembelihnya di pinggir hutan?”

“Jangan berpura-pura bersikap sebagaimana orang-orang beradab,” sahut Ki Demang, “kau kira kami dapat kau kelabui dengan sikapmu itu? Seekor harimau memang dapat saja bersikap seperti seekor kambing yang hilang itu.”

“Ki Demang,” berkata Kiai Gringsing, “aku kira seorang Demang akan cukup bijaksana menghadapi satu persoalan. Jika seorang Demang perasaannya mudah dibawa hanyut oleh prasangka, maka apakah akibatnya bagi kademangan ini sendiri? Sikap curiga, dugaan buruk, bahkan menetapkan orang lain bersalah sebelum dapat dibuktikannya, atau bahkan memang benar-benar bertentangan dengan kebenaran.”

“Jangan banyak berbicara!” bentak Ki Demang, “Kau adalah tangkapan kami. Jika kami mau, maka kau dapat aku serahkan kepada orang-orang yang marah itu, sehingga kau akan dapat dicincang di halaman Kademangan ini.”

“Ki Demang,” berkata Kiai Gringsing, “kami bukan orang-orang yang Ki Demang maksudkan. Kami baru hari ini memasuki kademangan ini. Kami mendengar peristiwa tentang kambing yang hilang itu baru di kedai ketika kami singgah untuk makan. Karena persoalannya menarik, maka kami telah memerlukan untuk melihat-lihat dimanakah kambing itu disembelih.”

“Persetan dengan kalian,” geram Ki Demang, “bagaimanapun juga kalian harus dihukum. Tetapi kami tidak akan melakukannya di malam hari. Kami akan menghukum kalian mulai besok pagi. Kalian akan menjadi orang-orang yang dijatuhi hukuman setelah beberapa bulan kami merasakan hidup tenang dan damai. Mudah-mudahan kemudian kami akan mengalami kedamaian itu lagi jika kalian sudah mendapatkan hukuman kami.”

“Kami mohon Ki Demang memeriksa kami dengan saksama. Mungkin kita dapat berbicara agak panjang sehingga Ki Demang yakin bahwa kami memang tidak bersalah,” berkata Kiai Gringsing.

“Semuanya hanya akan membuang waktu,” geram Ki Demang. Lalu katanya kepada para bebahu, “Bawa mereka ke tempat tahanan itu.”

Ketiga orang itu tidak dapat membantah. Merekapun kemudian telah diseret dan didorong menuju ke sebuah bangunan kecil, tetapi cukup kuat dan rapat.

Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsari saling berpandangan ketika pintu bilik itu ditutup dan diselarak dari luar. Sementara itu langit memang sudah menjadi buram. Senja turun dengan cepat. Dan bilik itu pun menjadi semakin gelap.

“Apakah di dalam bilik ini tidak akan diberi lampu?” bertanya Sabungsari.

“Kenapa?” bertanya Ki Jayaraga.

“Rasa-rasanya bilik ini menjadi semakin pepat,” jawab Sabungsari.

“Kau aneh sekali hari ini,” jawab Ki Jayaraga, “seorang pengembara yang berpengalaman menjadi bingung, karena gelapnya bilik yang diperuntukkan untuk menyekapnya.”

Sabungsari tidak menjawab. Dalam keadaan wajar, ia sama sekali tidak merasakan kepengapan udara betapapun gelapnya, karena ketajaman matanya masih tetap dapat menembus kepekatan yang bagaimanapun juga. Tetapi karena ia memang sudah merasa jengkel sejak semula, maka rasa-rasanya segala sesuatu membuatnya semakin jengkel karenanya.

Namun Kiai Gringsing agaknya sama sekali tidak menghiraukan apa yang terjadi atas diri mereka. Bahkan Kiai Gringsing kemudian telah berbaring di pembaringan yang ada di dalam bilik itu.

Akhirnya Sabungsari pun tidak bergeremang lagi. Iapun kemudian duduk pula di bibir amben, sementara Ki Jayaraga duduk di sisinya.

Untuk beberapa saat mereka bertiga hanya saling berdiam diri. Masing-masing sedang menelusuri angan-angannya sendiri.

Dalam pada itu di pendapa Kademangan, Ki Demang masih berbicara dengan beberapa orang bebahu. Sementara itu masih banyak orang yang berkerumun di halaman Kademangan itu. Agaknya mereka merasa kecewa bahwa mereka tidak mendapat kesempatan untuk menghukum orang-orang yang telah ditangkap itu.

Ki Demang dan para bebahu agaknya memang sudah menetapkan bahwa ketiga orang itu adalah orang-orang yang telah mencuri kambing di padukuhan sebelah. Karena itu, maka mereka tidak mempunyai pertimbangan lain kecuali melanjutkan hukuman kepada mereka.

Sejenak kemudian, maka lampu-lampu di Kademangan itu memang sudah dinyalakan. Seorang pengawal telah membuka selarak bilik yang dipergunakan untuk menahan ketiga orang yang dituduh mencuri kambing itu, sedangkan orang lain telah memasuki bilik itu sambil membawa lampu minyak.

Namun ketika orang itu melangkah keluar, tepat di pintu bilik ia telah meloncat-loncat sambil mengaduh. Beberapa pengawal yang ada di luar bilik itu segera berlari-lari. Mereka mengira bahwa ketiga orang tawanan itu telah berusaha untuk melarikan diri.

Tetapi mereka masih melihat ketiga orang itu di tempatnya. Bahkan seorang di antara mereka masih berbaring di pembaringan, sementara dua orang yang lain duduk di bibir pembaringan itu.

Karena itu, maka orang-orang yang kemudian berkerumun segera bertanya hampir berbareng, “Kenapa? Kenapa kau he?”

“Aku seperti menginjak api. Aku tidak tahu, apa yang terasa panas di kakiku. Sekarang pun rasa-rasanya kakiku masih terbakar,” jawab orang itu.

Seorang telah membawa obor. Mereka menerangi tumit kaki pengawal yang berteriak itu. Mereka terkejut ketika mereka melihat kaki itu seolah-olah memang terbakar.

“Kenapa kakimu he?” bertanya orang yang membawa obor.

Orang itu menggeleng. Katanya, “Aku tidak tahu. Pada saat aku melangkah keluar, di muka pintu kakiku bagaikan menginjak bara api. Ternyata kakiku memang terluka bakar.”

Beberapa orang saling berpandangan. Beberapa orang memang mengamati keadaan di dalam bilik itu. Namun ketiga orang itu agaknya memang tidak beranjak dari tempatnya.

Dengan menyeret kakinya yang terluka, dibantu oleh kawannya, orang itu meninggalkan pintu bilik tawanan itu. Kawannyalah yang menutup pintu dan menyelarakkannya dari luar.

Tetapi tidak seorangpun yang dapat memecahkan teka-teki tentang kaki orang itu. Bahkan Ki Demang pun menjadi bingung pula karena peristiwa itu.

Namun dalam pada itu, Ki Jayaraga telah bergumam, “Nampaknya kau kurang pekerjaan.”

Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Satu permainan yang dapat sedikit mengurangi beban kejengkelan.”

“Untung kau membidikkan sorot matamu dengan tepat. Jika kau mengenai betisnya maka keadaannya akan menjadi semakin parah,” desis Ki Jayaraga.

Sabungsari sama sekali tidak menyahut. Tetapi ia ingin mengurangi pepat di hatinya, sehingga ia telah melukai tumit lawannya dengan sorot matanya. Hanya dengan sebagian kecil saja dari kekuatan ilmunya.

Kiai Gringsing-lah yang kemudian terdengar tertawa. Katanya, “Tidur sajalah. Mungkin besok kita harus membuat permainan yang lebih menarik daripada sekedar memanasi tumit.”

Ki Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun berkata pula kepada Sabungsari, “Tidur sajalah.”

“Baru saja lewat senja,” berkata Sabungsari, “aku ingin berjalan-jalan sekeliling padukuhan induk ini.”

“Kita sedang ditahan di sini,” sahut Kiai Gringsing. Tetapi Sabungsari menjawab, “Apa salahnya. Nanti malam kita kembali lagi ke dalam bilik ini.”

Ki Jayaraga termangu-mangu. Namun iapun kemudian bertanya kepada Kiai Gringsing, “Bagaimana pendapat Kiai?”

Kiai Gringsing tersenyum. Tetapi ia mengerti perasaan Sabungsari. Karena itu maka katanya, “Baiklah. Kita akan berjalan-jalan. Mudah-mudahan dapat menghilangkan kejemuanmu.”

“Ternyata perhitungan Ki Jayaraga pun keliru,” berkata Sabungsari kemudian.

“Perhitungan yang mana?” bertanya Ki Jayaraga.

“Menurut Ki Jayaraga, setidak-tidaknya kita akan makan lebih baik daripada di kedai itu. Ternyata kita begitu saja dilemparkan ke dalam bilik ini,” berkata Sabungsari.

Ki Jayaraga dan Kiai Gringsing tertawa. Kiai Gringsing-lah yang menjawab, “Jika bukan makan, maka kita telah mendapat tempat untuk bermalam jauh lebih baik daripada tidur di padang terbuka.”

“Tetapi di sini banyak sekali nyamuk,” sahut Sabungsari.

“Tingkatkan daya tahan tubuhmu, serta usahakan mengatasi rasa sakit,” berkata Kiai Gringsing.

Akhirnya Sabungsari pun tersenyum pula. Tetapi ia benar-benar merasa jemu berada di bilik itu meskipun seperti kata Kiai Gringsing, bahwa tempat itu memang lebih baik daripada bermalam di padang terbuka. Namun karena mereka dimasukkan ke dalam bilik itu sebagai tahanan, maka rasa-rasanya bilik itu pun menjadi sangat pengap.

Untuk beberapa saat lamanya mereka masih tetap berada di dalam bilik itu. Mereka menunggu kesempatan untuk dapat keluar dan berjalan-jalan di padukuhan induk. Ketajaman pendengaran mereka dapat ditingkatkan untuk mengetahui apakah di sekitar bilik itu masih terdapat pengawasan yang ketat.

Ketika keadaan sudah menjadi sepi, maka Sabungsari berusaha mengintip dari celah-celah dinding kayu bilik itu. Ternyata ia memang tidak melihat seorangpun yang berada dekat dengan bilik itu. Namun agak jauh, ia memang melihat dua orang duduk di bawah lampu minyak. Agaknya dua orang itulah yang bertugas mengawasi bilik itu, tanpa menyadari siapakah yang berada di dalam bilik tahanan yang mereka anggap sudah cukup kuat itu.

“Marilah,” berkata Sabungsari kemudian, “kita akan keluar lewat atap. Nanti kita akan kembali lewat atap pula. Jika kita merusak dinding, maka akan segera timbul kecurigaan.”

Kiai Gringsing menggeliat. Katanya, “Sebenarnya aku lebih senang berbaring saja disini. Tetapi baiklah. Kita melihat-lihat isi kademangan ini.”

Demikianlah, maka Sabungsari adalah orang yang pertama meloncat bergayutan pada rusuk-rusuk atap yang terbuat dari batang-batang bambu yang nampaknya cukup kokoh. Dengan hati-hati Sabungsari telah menyibakkan atap yang terbuat dari anyaman jerami yang rapat. Kemudian, iapun telah menyusup di antara rusuk-rusuk bambu itu. Dari atap itu ia meyakinkan, bahwa tidak seorangpun yang akan melihat mereka, meskipun dari tempatnya ia dapat melihat lewat bumbungan, bahwa di halaman Kademangan itu ternyata masih terdapat banyak orang.

Dengan isyarat ia mempersilahkan Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga untuk keluar pula.

Demikianlah, maka ketiga orang itu pun telah keluar dari bilik tahanan mereka melalui atap. Mereka pun kemudian beringsut dan dengan tangkas meloncat turun, seolah-olah mereka mampu melayang tanpa menimbulkan bunyi apapun. Sejenak mereka mengamati tempat itu agar mereka cukup mengenalinya. Kemudian mereka pun meninggalkan tempat itu. Tetapi mereka harus mengambil jalan lain, tanpa melewati halaman depan Kademangan yang masih terdapat banyak orang yang sedang marah.

Ketiga orang itu telah meloncati dinding pekarangan di belakang kandang. Kemudian mereka ternyata telah turun ke jalan kecil yang melingkari rumah Ki Demang itu.

Dengan hati-hati maka mereka pun telah menyusuri jalan kecil yang sepi itu. Tetapi mereka tidak menuju ke jalan induk Kademangan.

Sejenak kemudian, maka ketiga orang itu telah berada di tengah-tengah padukuhan induk itu dan berjalan dari satu lorong ke lorong yang lain. Bahkan kadang-kadang mereka telah memasuki halaman rumah yang pintunya sudah tertutup. Namun di bagian lain terdapat rumah yang cukup lengkap dengan pendapa yang terbuka dan halaman yang cukup luas.

“Agaknya di kademangan ini, setidak-tidaknya di padukuhan induk ini, banyak juga orang kaya,” berkata Sabungsari.

Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Dengan nada datar Kiai Gringsing berkata, “Kademangan ini adalah kademangan yang subur. Namun seekor di antara kambing mereka hilang, maka seisi kademangan sudah menjadi gempar. Agaknya ketenangan yang selama ini mewarnai kademangan ini telah membuat penghuninya tersinggung oleh kehilangan itu.”

“Mereka tidak mau peristiwa itu terulang lagi,” sahut Ki Jayaraga, “Karena itu, maka mereka benar-benar ingin membuat orang yang disangkanya telah mencuri itu menjadi jera.”

Sabungsari hanya mengangguk-angguk saja. Namun rumah-rumah dan bangunan yang ada memang menarik. Ketika mereka sampai ke banjar, ternyata banjar itu benar-benar kosong. Agaknya orang yang seharusnya meronda di gardu di regol telah berada di Kademangan pula.

Dengan leluasa mereka bertiga sempat melihat-lihat banjar itu. Satu bangunan yang menarik dan cukup besar. Bahkan di banjar itu terdapat pula seperangkat gamelan yang cukup baik.

Ketika Sabungsari memasuki ruang penyimpanan gamelan, Ki Jayaraga berdesis, “Apa yang akan kau lakukan?”

Sabungsari tertegun. Meskipun ia berpaling sejenak, namun ia kemudian melangkah memasuki ruang yang pintunya terbuka itu.

Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga tidak menegurnya lagi. Ketika keduanya berdiri di pintu mereka melihat Sabungsari sedang memindah-mindah wilahan gamelan.

Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga tersenyum. Dengan nada datar Ki Jayaraga berdesis, “Sabungsari masih ingin melepaskan kejengkelannya. Dengan memindahkan wilahan-wilahan gamelan, ia akan dapat membuat bingung para penabuhnya jika gamelan itu kelak dipergunakan.”

Beberapa saat kemudian Sabungsari telah selesai dengan kerjanya. Iapun tersenyum pula sambil melangkah mendekati kedua orang tua itu. Katanya, “Marilah. Satu kerja sekedar untuk menghilangkan kejemuan.”

Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga tidak menyahut. Tetapi mereka pun kemudian beringsut meninggalkan ruang penyimpanan gamelan itu.

Namun tiba-tiba hampir berbarengan ketiganya mengerutkan keningnya. Bahkan Kiai Gringsing telah berdesis perlahan, “Aku dengar langkah seseorang.”

“Kita menyingkir lewat pintu belakang,” sahut Ki Jayaraga.

Ketiganya pun kemudian telah beringsut lewat pintu butulan. Demikian mereka keluar, maka beberapa orang memasuki ruang dalam banjar kademangan itu.

Dari luar, ketiga orang yang keluar lewat pintu butulan itu masih mendengar salah seorang yang memasuki banjar itu berkata, “Aku akan tidur saja di banjar.”

“Aku menyesal, kenapa Ki Demang tidak menyerahkan saja orang-orang itu kepada kita,” sahut yang lain, “kita akan dapat membuat mereka jera.”

“Jika mereka tidak dibuat jera, maka pencurian seperti itu akan terulang kembali,” berkata yang lain lagi.

Namun agaknya seseorang yang suaranya menunjukkan sikap yang lebih mengendap berkata, “Kita tidak boleh tenggelam dalam arus perasaan. Ki Demang besok akan menghukum mereka. Itu pun masih harus diyakini, bahwa ketiga orang itu memang bersalah. Sebenarnya Ki Demang pun masih memerlukan bukti-bukti yang lebih kuat untuk dapat menentukan bahwa ketiganya memang pencuri yang kita cari itu.”

“Kau selalu berpikir berbelit-belit,” sahut kawannya, “semuanya sudah cukup jelas. Tetapi Ki Demang masih juga menunggu dengan perhitungan, tentu bukan hanya tiga orang itu saja yang telah menyembelih kambing itu. Jika kawan-kawannya mendengar bahwa tiga orang di antara mereka tertangkap, maka mungkin sekali mereka akan berusaha untuk membebaskannya.”

“Apa mereka ingin membunuh diri?” teriak seorang anak muda, “Tetapi sebaiknya mereka melakukannya. Kita akan mendapat kepuasan.”

“Sudahlah,” berkata seorang yang sudah lebih tenang dari kawan-kawannya itu, “kita serahkan saja semuanya kepada Ki Demang.”

“Aku akan tidur,” terdengar suara orang yang pertama. Yang lain tidak menjawab lagi. Tetapi mereka agaknya telah bertebaran di dalam banjar itu.

Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsari pun kemudian beringsut meninggalkan banjar itu. Mereka tidak melewati regol halaman lagi, karena mereka melihat ada dua orang yang duduk di regol itu sambil berselubung kain panjang.

Karena itu, maka ketiga orang itu pun kemudian telah meloncati dinding dan hilang di kegelapan.

“Kiai,” berkata Sabungsari kemudian, “apakah kita besok benar-benar membiarkan diri kita dihakimi oleh Ki Demang di hadapan orang-orang yang marah itu?”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Besok kita akan berusaha untuk meyakinkan mereka bahwa kita tidak bersalah.”

Tetapi Sabungsari menggeleng. Katanya, “Tidak ada gunanya Kiai. Apapun yang kita katakan, mereka tidak akan percaya. Mereka telah mengambil satu kesimpulan sebelum mereka mendengarkan penjelasan kita.”

“Tetapi jika kita dapat meyakinkan mereka?” desis Kiai Gringsing.

“Sulit Kiai,” jawab Sabungsari, “mereka nampaknya orang-orang yang keras hati. Apalagi mereka sudah mengambil satu keputusan tanpa keyakinan. Kiai, agaknya sulit untuk merubah pendapat mereka. Sekelompok orang yang sudah bulat menentukan satu keputusan. Mungkin Kiai dapat meyakinkan Ki Demang. Tapi orang-orang kademangan ini tidak akan dengan mudah mencabut keputusan mereka tentang kita.”

Ki Jayaraga-lah yang kemudian berbicara, “Kiai. Aku dapat mengerti pendapat Angger Sabungsari. Karena itu, maka apakah kita mempunyai cara lain yang akan dapat merubah pendapat mereka tentang kita?”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Tetapi ia justru bertanya, “Bagaimana sebaiknya menurut Ki Jayaraga?”

“Kiai, bagaimana jika kita bermain-main sedikit dengan isi kademangan ini?” berkata Ki Jayaraga.

“Bermain-main bagaimana?” bertanya Kiai Gringsing.

“Bagaimana jika Angger Sabungsari menutup kembali atap itu, sementara kita tetap berada di luar?” berkata Ki Jayaraga. Lalu, “Kita akan tidur di serambi.”

Sabungsari tersenyum. Katanya, “Baik. Aku mengerti maksud Ki Jayaraga. Aku setuju.”

Kiai Gringsing tersenyum. Iapun mengerti maksud kedua orang itu. Namun katanya, “Apakah kita orang-orang tua ini masih juga akan bermain-main sembunyi-sembunyian?”

“Sekali-sekali apa salahnya Kiai?” jawab Sabungsari.

Kiai Gringsing mengangguk kecil. Jawabnya, “Baiklah. Aku akan ikut saja. Mudah mudahan tidak terjadi kekerasan.”

“Jika terpaksa terjadi kekerasan, apa boleh buat. Bukankah kita benar-benar tidak bersalah?” sahut Sabungsari.

Kiai Gringsing tidak dapat menyalahkan Sabungsari yang terhitung masih muda itu. Tetapi iapun berkata, “Asal kita dapat mengekang diri. Kita berhadapan dengan orang-orang padukuhan yang tidak menyadari, apa yang dilakukannya.”

Sabungsari mengangguk-angguk, Namun ia tidak menjawab lagi.

Beberapa saat kemudian mereka masih berputar-putar di padukuhan. Nampaknya orang-orang yang berkumpul di halaman Kademangan telah bubar. Beberapa kali mereka bertemu dengan kelompok-kelompok kecil yang berjalan menyusuri jalan padukuhan, sehingga ketiga orang itu terpaksa setiap kali bersembunyi di balik dinding. Karena itulah maka beberapa orang telah pula berada di banjar kembali.

Setelah berputar-putar beberapa lama akhirnya Sabungsaripun menjadi jemu pula. Apalagi ketika mereka telah melihat seluruh padukuhan induk itu.

Beberapa saat kemudian, maka ketiga orang itu pun telah kembali ke Kademangan. Seperti ketika mereka keluar, maka mereka pun telah memasuki halaman Kademangan itu lewat belakang. Mereka telah meloncati dinding halaman dan dengan diam-diam menuju ke tempat mereka ditahan.

Beberapa orang yang bertugas menjaga mereka masih berada di tempatnya. Namun agaknya orangnya sudah berganti. Sementara itu di pendapa tinggal beberapa orang saja yang masih duduk-duduk untuk berjaga-jaga dan membantu jika diperlukan, apabila para tawanan itu berniat buruk.

Tetapi ketiga orang itu tidak segera memanjat atap bilik dan masuk kembali ke dalamnya. Namun hanya Sabungsari saja-lah yang meloncat naik. Tetapi ia sama sekali tidak memasuki bilik itu. Yang dilakukannya hanyalah mengatupkan kembali atap yang telah disibakkan pada saat mereka keluar dari bilik itu. Bahkan setelah menjadi rapi kembali, maka Sabungsari pun telah meloncat turun pula.

“Kita dapat beristirahat sekarang,” berkata Sabungsari.

“Kita adalah orang-orang aneh,” berkata Kiai Gringsing, “di dalam bilik kita dapat tidur nyenyak, bahkan hangat. Di sini udara terasa dingin dan basah oleh angin malam.”

“Tetapi bagi pengembara, angin basah sama sekali tidak ada artinya,” desis Sabungsari.

Kiai Gringsing tersenyum saja. Tetapi ia tidak menjawab.

Demikianlah, maka ketiga orang itu pun kemudian duduk di serambi di belakang bilik itu. Serambi yang gelap yang tidak banyak dipergunakan lagi.

Ternyata mereka bertiga sempat tidur nyenyak di serambi, meskipun hanya sekedar duduk sambil bersandar di sudut-sudut serambi itu.

Ketika malam menjadi semakin dalam, setelah menjelang dini hari, ternyata orang-orang yang bertugas itu telah berniat untuk melihat-lihat di sekeliling halaman. Mereka berjalan lewat halaman depan. Memasuki seketheng, dan melihat-lihat keadaan longkangan sebelah kiri dan kanan. Baru kemudian mereka telah mengelilingi rumah Ki Demang dengan bagian-bagiannya, termasuk lumbung dan kandang.

Dengan obor di tangan mereka menyusupi setiap sudut halaman dan memperhatikan setiap keadaan.

Tiba-tiba orang-orang itu tertegun. Mereka melihat tiga orang tidur di serambi. Meskipun sebenarnya ketiga orang itu sudah terbangun dan mengetahui kehadiran mereka, namun mereka bertiga masih berpura-pura tidur sambil bersandar dinding.

“He, bukankah mereka pencuri kambing itu?” tiba-tiba seorang di antara mereka berteriak.

“Ya. Bagaimana mungkin mereka berada di serambi?” sahut yang lain.

“Aneh,” geram yang lain. Lalu, “Lihat, apakah di dalam bilik itu memang sudah tidak ada orang lagi.”

Dua orang di antara mereka segera berlari-lari. Mereka melingkari longkangan dan masuk lewat pintu samping. Demikian mereka membuka selarak bilik itu, maka ternyata bahwa bilik itu memang telah kosong.

“Gila. Bagaimana mungkin mereka berada di serambi?” desis seorang di antara mereka.

Ketika mereka berdua melihat-lihat dinding bilik itu, mereka sama sekali tidak menemukan kerusakan apapun juga.

Sementara itu, seorang yang lain di antara mereka yang masih berada di luar telah membentak, “He, kenapa kalian berada di sini?”

Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsari pun membuka matanya. Mereka memandangi keadaan sekelilingnya dengan sikap yang bingung. Dengan suara sendat Sabungsari bertanya, “Aku berada dimana?”

“Gila. Kenapa kau berada di sini?” bentak orang yang sedang meronda itu.

“Justru aku yang ingin bertanya,” jawab Sabungsari, “apakah ketika kami sedang tidur, kami telah dilemparkan keluar?”

Beberapa orang saling berpandangan. Sementara itu dua orang yang melihat ke dalam bilik itu telah kembali sambil berdesis, “Bilik itu masih utuh.”

Orang-orang itu memang menjadi heran. Mereka tidak segera mengetahui apa yang terjadi.

Namun seorang di antara mereka tiba-tiba berkata, “Kau berusaha untuk melarikan diri, ya?”

Tetapi dengan cepat Sabungsari menjawab, “Jika kami berusaha melarikan diri, kami tidak akan tertidur di sini. Kamilah yang justru merasa telah dilemparkan dari dalam bilik itu. Tentu ada orang yang dengan sengaja membuat persoalan di sini. Ketika kami sedang tidur, maka orang itu telah membuka selarak. Mengangkat kami ke tempat ini dan kembali menyelarak pintu.”

“Omong kosong!” bentak seorang di antara mereka. Lalu, “Ayo, cepat kembali ke dalam bilik itu, atau kalian akan mengalami perlakuan yang pahit. Jika kau jatuh ke tangan orang-orang padukuhan, maka tubuh kalian tentu akan menjadi lumat.”

Namun tiba-tiba seorang yang lain berkata hampir tidak terdengar, Apakah di dalam bilik itu ada hantu?”

“Hantu?” tiba-tiba Sabungsari mengulang, “Jika bilik itu ada hantunya, jangan kalian bawa kami kembali ke dalamnya.”

“Persetan,” geram yang lain. Namun iapun kemudian berkata, “Memang merupakan teka-teki, seperti ketika seorang di antara anak-anak kami yang tumitnya terbakar bagaikan menginjak api.”

Orang-orang itu termangu-mangu. Namun seorang yang lain berkata, “Kita akan memasukkannya kembali. Hari belum dini. Apapun yang terjadi dengan teka-teki itu, tetapi biarlah orang-orang ini kita simpan dahulu. Pengawasan diperketat. Dan setiap kejadian yang mencurigakan harus diamati dengan sungguh-sungguh.”

Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan Sabungsari pun kemudian telah digiring menuju ke pintu bilik itu. Sementara itu Ki Demang ternyata telah terbangun pula dan berdiri termangu-mangu beberapa langkah dari bilik itu.

Ketika ketiga orang itu kemudian memasuki pintu dan setelah pintu itu diselarak kembali dari luar, maka Ki Demang pun mendekat sambil bertanya, “Apa yang terjadi?”

Seorang yang paling tua di antara para peronda itu pun kemudian memberikan laporan tentang ketiga orang yang tiba-tiba saja telah berada di serambi.

“Beberapa peristiwa aneh telah terjadi,” desis Ki Demang, “awasi orang-orang itu dengan baik. Jika terjadi sesuatu yang aneh, beritahukan kepadaku secepatnya.”

“Baik Ki Demang,” jawab peronda itu.

Ketika Ki Demang kembali ke ruang dalam Kademangan, maka di dapur beberapa orang telah mulai menyalakan api untuk merebus air.

Namun demikian, sisa malam masih gelap. Langit belum nampak semburat merah, meskipun kemudian terdengar ayam jantan berkokok bersahutan.

Dalam pada itu, ternyata Kiai Gringsing pun telah terlibat pula dalam sebuah permainan yang mengasyikkan itu. Tiba-tiba saja para petugas yang mengawasi bilik itu dengan lebih bersungguh-sungguh telah melihat kabut yang tipis mulai nampak di sekitar bilik itu. Bahkan kemudian nampak menjadi semakin lama semakin tebal, sehingga dengan terheran-heran para penjaga itu akhirnya tidak melihat lagi pintu bilik itu.

“He,” desis para penjaga, “peristiwa apa lagi yang telah terjadi bilik itu?” “Asap,” desis seorang di antara mereka.

“Bukan,” jawab yang lain, “kabut.”

“Embun,” berkata yang lain lagi.

“Mana mungkin ada embun?” bertanya kawannya.

Dari dalam bilik ketiga orang itu mendengar seorang berkata, “Kita panggil Ki Demang.”

Kiai Gringsing tersenyum. Dilepaskannya permainannya, sehingga kabut itu pun menjadi semakin tipis. Namun agar kabut itu lebih cepat hilang sebelum Ki Demang datang, maka angin yang agak keras telah bertiup, sehingga dalam waktu sekejap Ki Jayaraga telah menyapu kabut itu.

Tetapi angin yang bertiup itu pun ternyata telah menimbulkan persoalan tersendiri bagi para penjaga. Mereka melihat dinding seakan telah diguncang, meskipun tidak terlalu keras.

“Bukan gempa. Tetapi angin,” berkata salah seorang peronda.

Ketika Ki Demang datang, maka kabut pun telah hilang, Tetapi ia juga mendengar laporan tentang angin.

“Gila,” geram Ki Demang, “apakah yang sebenarnya terjadi?”

“Tidak tahu Ki Demang,” jawab peronda itu, “terasa kulit kami pun meremang.”

Belum lagi mereka menjadi tenang, tiba-tiba saja terdengar orang-orang yang berada di dalam bilik itu menjadi ribut. Sabungsari telah memanggil-manggil penjaga sambil memukul-mukul pintu.

Beberapa orang penjaga dengan tergesa-gesa telah mendekati dan kemudian mengangkat selarak pintu. Ternyata Sabungsari nampak ketakutan sambil berkata, “Hantu-hantu.”

“Hantu apa?” bertanya penjaga itu.

“Mula-mula kabut. Lalu angin. Namun kemudian aku melihat bayangan seseorang yang tinggi besar dan hitam,” berkata Sabungsari.

Para penjaga itu termangu-mangu, namun mereka tidak melihat kegelisahan itu di wajah kedua orang tua yang juga berada di dalam bilik itu. Karena itu, maka seorang penjaga bertanya, “Kau juga melihat?”

“Tidak Ki Sanak,” Kiai Gringsing-lah yang menjawab. Lalu, “Anak itu agaknya telah bermimpi buruk tentang kabut, angin dan hantu.”

Beberapa orang penjaga itu saling berpandangan. Sementara itu Ki Jayaraga berkata, “Kami sudah berusaha menenangkannya. Tetapi anak itu masih tetap ribut saja.”

Sebelum seseorang menjawab, Sabungsari telah berkata dengan gagap, “Aku melihatnya.”

Para penjaga itu justru menjadi bingung. Tidak seorangpun yang segera dapat mengambil sikap.

Ki Demang yang kemudian mendekati mereka pun kemudian berkata, “Selama ini tidak pernah ada sesuatu yang aneh di dalam rumah ini, termasuk bilik itu. Tetapi tiba-tiba saja terjadi peristiwa-peristiwa yang tidak dapat kita mengerti.”

“Ya Ki Demang,” desis salah seorang di antara para penjaga itu, “kami benar-benar melihat keanehan itu. Kabut dan kemudian angin. Jadi yang dikatakan orang itu bukan mimpi. Kabut dan angin yang bertiup. Tetapi entahlah tentang hantu itu”

Ki Demang termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Agaknya kehadiran ketiga orang itu telah mengundang keanehan-keanehan. Jika demikian, maka aku perlu berbicara secara khusus dengan mereka.”

Para penjaga itu termangu-mangu. Sementara itu Ki Demang berkata, “Bawa mereka ke ruang dalam.”

“Baik Ki Demang,” jawab para penjaga.

Ki Demang tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun kemudian melangkah pergi ke ruang dalam. Sementara para penjaga telah membawa ketiga orang tawanan itu menyusul Ki Demang ke ruang dalam.

Ketika mereka sudah duduk, maka Ki Demang pun kemudian berkata, “Tinggalkan mereka.”

“Tetapi…” para penjaga itu ragu-ragu.

“Tinggalkan saja,” ulang Ki Demang.

Para penjaga itu nampaknya merasa khawatir juga meninggalkan ketiga orang itu tanpa pengawalan. Namun karena Ki Demang memerintahkan mereka pergi, maka mereka pun kemudian telah meninggalkannya.

Demikian para pengawal itu pergi, maka Ki Demang pun bertanya, “Katakan. Apakah keanehan-keanehan itu terjadi di luar kehendak kalian, atau memang kalian yang melakukannya?”

Ternyata Sabungsari tidak sabar lagi. Sebelum kedua orang tua itu menjawab, ialah yang mendahului. Katanya, “Ya. Kami telah membuat permainan itu. Karena itu ingat Ki Demang, bahwa kami dapat mengembangkan permainan itu menjadi lebih besar lagi. Bahkan jika kami kehendaki, kami dapat mengguncang seluruh kademangan.”

Wajah Ki Demang menjadi tegang. Keterus-terangan Sabungsari membuat jantungnya bergetar. Nampaknya yang dikatakan oleh orang yang paling muda di antara ketiga orang itu bukan sekedar bermain-main, sebagaimana mereka lakukan dengan kabut, angin dan hantu.

Untuk beberapa saat Ki Demang termangu-mangu. Namun kemudian ia bertanya, “Apakah maksud kalian dengan permainan-permainan itu?”

“Untuk menarik perhatian Ki Demang,” jawab Sabungsari, “agar dengan demikian Ki Demang mau mendengarkan keterangan kami, bahwa kami sama sekali tidak bersangkut paut dengan hilangnya seekor kambing dari kademangan ini. Dengan permainan ini kami ingin meyakinkan kepada Ki Demang, bahwa jika Ki Demang tetap menuntut kepada kami tentang hilangnya seekor kambing dengan kekerasan, maka yang akan hilang kemudian bukan hanya nyawa seekor binatang. Tetapi mungkin nyawa seseorang. Atau bahkan tidak hanya seorang. Semakin keras kalian bertindak atas kami, maka semakin banyak korban yang akan jatuh. Nah, kau percaya atau tidak?”

Wajah Ki Demang menjadi tegang. Sementara itu Kiai Gringsing telah menyela, “Ki Demang. Sebenarnya-lah kami memang tidak bersalah dalam hubungannya dengan hilangnya seekor kambing. Jika kemarin kami tidak melawan ketika kami ditangkap, maka kami mempunyai satu keyakinan bahwa Ki Demang akan cukup bijaksana menilai kami. Tetapi seandainya tuduhan itu tetap dilontarkan kepada kami, maka sudah barang tentu kami berkeberatan. Hanya, mungkin karena yang mengucapkan itu seorang yang masih muda, maka agaknya terdengar terlalu keras.”

“Ki Sanak,” sahut Ki Demang kemudian, yang mulai gugup menanggapi sikap Sabungsari, “tetapi apa yang dapat aku lakukan jika rakyatku sudah menentukan sikap?”

“Baik,” geram Sabungsari, “jika demikian serahkan kami kepada rakyatmu yang tidak kau ajari berpikir itu. Biarlah kami menolong diri kami sendiri. Tetapi seperti yang aku katakan, maka untuk menuntut kematian seekor kambing, maka nyawa beberapa orang harus kalian serahkan.”

“Jangan,” minta Ki Demang dengan serta merta.

“Memang bukan begitu maksud kami,” Kiai Gringsing-lah yang kemudian menjelaskan, “tetapi kami berharap bahwa Ki Demang dapat menjelaskan, sehingga tidak terjadi sesuatu di antara kita.”

Ki Demang menjadi tegang. Dengan nada datar ia kemudian berkata, “Bagaimana aku dapat mengambil jalan yang sebaik-baiknya? Nampaknya orang-orang kademangan ini sudah menentukan sikap. Seandainya mereka tidak mau mendengarkan kata-kataku, apakah benar-benar akan terjadi kematian seperti yang kau katakan?”

“Kami tidak berkeinginan untuk membunuh,” berkata Ki Jayaraga, “kami hanya ingin persoalan ini diselesaikan dengan baik. Itulah sebabnya kami tidak melawan ketika kami ditangkap, justru untuk menghindari korban yang tidak berarti itu, karena pada waktu itu kami berharap Ki Demang atau bebahu yang lain dapat mengatasi persoalan.”

Ki Demang memang menjadi bingung. Tetapi ia mulai percaya bahwa orang-orang itu tidak sekedar membual atau menakut-nakuti. Iapun mulai percaya bahwa bukan ketiga orang itu-lah yang telah mencuri kambingnya.

Tetapi apa yang harus diperbuatnya jika orang-orangnya tidak mempercayainya?

Karena kebingungan itulah maka iapun kemudian berkata, “Ki Sanak. Sebenarnyalah bahwa aku percaya kepada Ki Sanak. Tetapi aku tidak yakin bahwa aku akan dapat menguasai orang-orangku. Jika mereka memaksa untuk melakukan sesuatu, apa yang dapat aku perbuat? Dalam keadaan marah, mereka tidak akan mendengar penjelasan yang bagaimanapun juga. Jika aku menunda hukuman atas kalian, aku berharap bahwa orang-orangku tidak lagi dikuasai oleh kemarahan yang tidak terkendali, sehingga mereka sempat berpikir lebih tenang.”

“Terserah kepadamu,” berkata Sabungsari, “tetapi ingat. Aku tidak mau menjadi tontonan di sini.”

Ki Demang menjadi pening. Dengan nada kebingungan ia berkata, “Kenapa kalian tidak melarikan diri saja? Jika kalian telah mampu keluar dari bilik itu tanpa dilihat oleh para pengawal, kau justru tidur di serambi.”

“Aku telah mengelingi padukuhan induk ini,” jawab Sabungsari, “aku sudah sampai di banjar kademangan. Aku sudah melihat apa saja di sini. Rumah-rumah yang besar dan rumah-rumah yang kecil. Halaman yang luas dan halaman yang sempit.”

Tetapi Ki Demang justru bertanya, “Kenapa kau kembali kemari, sehingga kau mempersulit kedudukanku?”

Sabungsari-lah yang menjawab pula, “Kami ingin melihat dan mendengar kau mengendalikan orang-orangmu. Adalah kebetulan bahwa kami-lah yang kalian tuduh dan seakan-akan pasti telah mencuri kambing. Jika bukan kami, apakah jadinya orang itu? Karena itu maka Ki Demang harus berbuat sebaik-baiknya agar hal seperti ini tidak terjadi. Bukan saja atas diri kami. Tetapi juga atas orang lain. Jika hukuman itu sudah jatuh, namun sebenarnya orang itu benar-benar tidak bersalah, maka apa yang dapat Ki Demang katakan?” 

Ki Demang memang menjadi bingung. Lalu katanya, “Aku akan mencoba.”

“Nah, jika demikian biarlah kami kembali ke bilik itu. Besok kami akan melihat, apa yang dapat Ki Demang lakukan,” berkata Sabungsari.

Kata-kata itu memang bernada mengancam. Karena itu, Ki Demang pun menjadi berdebar-debar. Apalagi ia memang yakin bahwa orang-orang itu dapat melakukan sebagaimana dikatakannya.

“Baiklah,” berkata Ki Demang, “marilah. Aku antar kalian kembali ke bilik itu. Tetapi aku mohon, jangan lakukan lagi permainan yang dapat menakut-nakuti orang-orangku itu. Dengan demikian maka bilik itu untuk selanjutnya tidak akan ada yang berani mempergunakan.”

“Bukankah bilik itu memang khusus dipergunakan untuk menahan seseorang atau sekelompok orang?” bertanya Sabungsari.

Ki Demang hanya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab.

Sejenak kemudian, maka ketiga orang itu telah diantar oleh Ki Demang kembali ke dalam biliknya. Sementara itu para penjaga masih saja berdebar-debar karena hal-hal yang aneh yang terjadi di bilik itu.

Namun ternyata bahwa harapan Ki Demang agar orang-orang padukuhan itu sangat mengendapkan kemarahannya setelah selang waktu semalam, tidak terpenuhi. Menjelang fajar, orang-orang di padukuhan induk itu sudah berkumpul-kumpul di regol-regol halaman, di simpang empat atau di gardu-gardu perondan. Mereka ternyata benar-benar menunggu hari yang datang dengan kemarahan yang masih menyesak di dada mereka.

Karena itu, maka ketika matahari terbit, di halaman Ki Demang sudah terdapat banyak orang yang datang dan bergerombol-gerombol. Mereka telah membicarakan tentang ketiga orang yang mereka anggap sebagai pencuri kambing itu.

Ketika Ki Demang mengetahui tentang kehadiran mereka serta niat mereka datang, maka kepalanya menjadi semakin pening. Jika ia tidak berhasil meyakinkan orang-orang padukuhan induk itu, dan bahkan mungkin orang-orang yang datang dari padukuhan yang telah kehilangan seekor kambing itu, maka persoalannya memang akan menjadi gawat.

Di antara ketiga orang yang telah ditahan itu, yang paling muda agaknya yang akan bersikap paling keras. Apabila ia benar-benar melakukan ancamannya, maka kademangan itu benar-benar akan mengalami bencana. Bahwa hilangnya seekor kambing akan dapat menyeret nyawa seseorang.

Karena Ki Demang tidak segera nampak di pendapa, maka orang-orang yang telah berkumpul itu menjadi gelisah. Seorang di antara mereka telah menemui seorang bebahu dan minta agar Ki Demang segera keluar di pendapa. Rasa-rasanya mereka tidak sabar lagi menunggu untuk mengadili tiga orang yang telah mereka anggap dengan penuh keyakinan telah bersalah.

Bahkan mereka telah mengambil kesimpulan, bahwa ketiga orang itu tentu mempunyai beberapa orang kawan yang lain, karena mustahil bahwa tiga orang itu akan dapat menghabiskan seekor kambing.

“Cobalah aku lihat,” berkata bebahu itu.

“Sebentar lagi kami akan kehilangan kesabaran,” desis orang itu.

Bebahu itu hanya mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian lewat pintu samping masuk ke ruang dalam.

Ketika ia berada di  ruang dalam, ternyata Ki Demang sudah duduk bersama dua orang bebahu yang lain. Kerut keningnya nampak bahwa Ki Demang memang sedang pening.

Bebahu yang baru masuk itupun kemudian duduk pula bersama mereka sambil berkata, “Ki Demang. Sudah banyak orang yang menunggu. Sebaiknya Ki Demang segera mengambil keputusan untuk menghukum orang-orang yang telah mencuri kambing itu. Soalnya bukan harga kambing itu sendiri Ki Demang. Tetapi orang-orang itu harus menjadi jera. Bahkan orang lain yang akan melakukan perbuatan serupa menjadi urung karena mereka takut mengalami hukuman yang berat.”

Ki Demang menjadi semakin bingung. Namun kemudian katanya, “Ketahuilah, bahwa aku sudah mengadakan pemeriksaan ulang. Ternyata orang-orang itu menurut pendapatku tidak bersalah. Aku sudah memancing pengakuan mereka dengan kasar atau halus. Tetapi mereka dapat menjelaskan, bahwa mereka memang tidak bersalah.”

Bebahu itu termangu-mangu. Dipandanginya kedua orang bebahu yang sudah terlebih dahulu hadir. Sementara itu, dari pintu samping dua orang telah masuk ke ruang dalam.

“Maaf Ki Demang,” berkata salah seorang di antara mereka, “kami sudah lama menunggu.”

Ki Demang termangu-mangu. Namun ia tidak akan dapat ingkar, bahwa ia memang harus keluar dan menghadapi orang-orang di pendapa.

Namun tiba-tiba saja ia teringat sesuatu. Katanya, “Panggil Ki Jagabaya. Apakah ia sudah ada di luar?”

“Ki Jagabaya sudah duduk di pendapa,” jawab orang itu.

“Suruh ia kemari,” berkata Ki Demang.

“Tetapi bukankah justru Ki Demang yang akan keluar?” bertanya orang itu.

“Biarlah Ki Jagabaya datang kemari dahulu,” Ki Demang agak membentak.

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun keduanya pun kemudian telah keluar untuk memanggil Ki Jagabaya.

Ketika Ki Jagabaya telah berada di ruang dalam, maka Ki Demang pun mengatakan, bahwa menurut pendapatnya ketiga orang itu tidak bersalah.

“Ki Demang,” berkata Ki Jagabaya, “semuanya sudah jelas. Tidak ada yang meragukan lagi. Buat apa ketiga orang itu berada di pinggir hutan jika mereka memang bukan orang jahat. Ketiganya tentu sedang menyiapkan pertemuan lagi untuk beberapa orang lain di tempat itu seperti yang pernah terjadi. Dan mereka tentu akan mengambil lagi seekor kambing muda untuk disembelih di tempat itu.”

“Ki Jagabaya,” berkata Ki Demang, “agaknya kita berbeda pendapat. Tetapi aku tidak akan menentang pendapat kalian. Karena itu, aku menyerahkan ketiga orang itu kepada Ki Jagabaya.”

Ki Jagabaya termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba saja wajahnya menjadi cerah. Katanya, “Baiklah Ki Demang. Akulah yang akan mengadili mereka.”

“Tetapi sudah aku katakan, bahwa menurut pendapatku, mereka tidak bersalah,” berkata Ki Demang.

Ki Jagabaya tertawa, sementara itu Ki Demang berkata, “Tunggu. Aku akan membawa mereka bertiga kemari. Para pengawal menjadi ketakutan setelah mereka mengalami beberapa keanehan semalam,” jawab Ki Demang.

“Keanehan apa?” bertanya Ki Jagabaya

“Biarlah mereka bercerita sendiri kepada Ki Jagabaya. Aku akan memanggil mereka pula,” jawab Ki Demang.

Ki Jagabaya menjadi heran. Tetapi Ki Demang telah berdiri dan melangkah meninggalkan ruang dalam. Ketika ia berada di pintu yang menghadap ke ruang samping, maka Ki Demang telah memanggil seorang peronda yang semalam ikut mengawasi ketiga orang tahanan itu.

“Pergilah kepada Ki Jagabaya,” berkata Ki Demang, “bukankah semalam kau bertugas?”

“Ya Ki Demang,” jawab orang itu.

“Tetapi kenapa kau masih bertugas sampai sekarang?” bertanya Ki Demang.

“Aku mulai bertugas lewat tengah malam Ki Demang. Aku baru akan diganti setelah saat pasar temawon,” jawab orang itu.

“Baiklah. Temui Ki Jagabaya di ruang dalam. Ceritakan apa yang kau lihat dan kau alami semalam” berkata Ki Demang.

Orang itu memang merasa ragu-ragu. Tetapi Ki Demang kemudian tidak menghiraukan lagi. Iapun kemudian pergi ke bilik tahanan ketiga orang yang dianggapnya mencuri kambing itu.

Namun akhirnya orang itu telah menemui Ki Jagabaya. Iapun kemudian menceritakan apa yang dilihatnya semalam. Tentang ketiga orang yang tiba-tiba sudah berada di luar biliknya, tentang kabut, tentang angin dan hantu.

Tetapi Ki Jagabaya agaknya tidak demikian saja mempercayainya. Dengan lantang ia bertanya, “Apakah itu bukan satu usaha untuk melarikan diri?”

“Tidak Ki Jagabaya. Mereka tertidur di serambi. Jika mereka berusaha melarikan diri, aku kira mereka akan dapat melakukannya, karena mereka sudah berada di luar. Mereka akan dapat dengan mudah turun ke halaman samping dan kemudian menyelinap ke kebun belakang. Mereka akan dengan mudah meloncati dinding halaman yang tidak terlalu tinggi itu,” berkata pengawal itu.

“Aku tidak mau dibingungkan oleh teka-teki seperti itu. Mungkin ada saudaranya atau sahabatnya yang membantunya membuat lelucon seperti itu,” berkata Ki Jagabaya kemudian.

Peronda itu menjadi bingung mendengar jawaban Ki Jagabaya. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Bagaimana mungkin saudaranya atau sahabatnya dapat melakukan?”

“Siapa tahu diantara para peronda terdapat sahabatnya yang pura-pura tidak mengenalnya,” jawab Ki Jagabaya.

“Tetapi angin dan kabut itu?” desis peronda itu.

“Cukup!” bentak Ki Jagabaya, “Jangan membual.”

Peronda itu tidak berani menjawab lagi. Bahkan Ki Jagabaya pun membentaknya, “Sudah, pergilah!”

Dengan hati yang berdebar-debar peronda itu meninggalkan ruang dalam, sementara Ki Demang telah datang bersama ketiga orang tahanan yang dituduh telah mencuri kambing itu.

“Inilah mereka,” berkata Ki Demang, “tetapi seperti yang sudah aku katakan, aku telah menemukan keyakinan baru, bahwa mereka tidak bersalah.”

Ki Jagabaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Ki Demang nampaknya tidak dapat menahan belas kasihan ketika ketiga orang itu dengan memelas mohon ampun. Tetapi jika kita menghukum mereka Ki Demang, bukan semata-mata karena kita ingin menghukum. Tetapi mereka harus menjadi jera, dan kawan-kawannya pun tidak akan berani melakukannya pula. Apalagi orang lain yang pada dasarnya memang pencuri-pencuri ternak.”

“Nah, jika demikian segalanya terserah kepada Ki Jagabaya,” berkata Ki Demang, “tetapi aku masih mempersilahkan Ki Jagabaya untuk berbicara dengan mereka.”

“Aku akan berbicara di hadapan orang banyak, sehingga ada saksi yang dapat menilai pembicaraan itu,” jawab Ki Jagabaya.

Ki Demang tidak dapat berbuat apa-apa lagi. Karena itu maka katanya, “Nah, kau dengar, bahwa Ki Jagabaya akan mengambil alih persoalannya.”

Sabungsari yang sudah bergerak telah digamit oleh Kiai Gringsing, sehingga ia telah urung mengatakan sesuatu.

Namun kening Sabungsari berkerut ketika ia mendengar Ki Jagabaya itu dengan kasar berkata, “Cepat, pergi ke pendapa!”

Bahkan Ki Jagabaya itu telah mendorong Kiai Gringsing untuk segera melangkah.

Namun Ki Demang itu pun berkata, “Aku akan membuka pintu pringgitan.”

Demikian pintu pringgitan terbuka, dan kemudian Ki Jagabaya melangkah keluar sambil mendorong orang-orang yang dianggap telah mencuri kambing itu, maka seisi halaman telah bergerak.

“Kita biarkan diri kita menjadi tontonan?” desis Sabungsari.

“Kita berkepentingan dengan orang-orang yang sebenarnya mencuri kambing itu,” berkata Kiai Gringsing, “mudah-mudahan mereka juga ada di sini. Mungkin mereka dapat memberikan sesuatu bagi kita. Mungkin pengertian baru atau mungkin juga tidak berani apa-apa.”

Sabungsari mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian mengangguk-angguk.

Sejenak kemudian maka Ki Jagabaya telah memerintahkan ketiga orang itu berdiri di tangga pendapa, menghadap ke halaman yang luas di depan pendapa itu.

Sementara itu di pendapa, Ki Demang berdiri termangu-mangu. Tetapi ia tidak banyak dapat berbuat. Meskipun seakan-akan ia telah melepaskan persoalan itu dan menyerahkannya kepada Ki Jagabaya, namun ia masih juga berdebar-debar menghadapi persoalan yang rumit itu.

“Aku sudah tidak dapat mencegahnya lagi,” berkata Ki Demang di dalam hatinya, “persoalannya akan menjadi rumit jika orang itu benar-benar akan melakukan sebagaimana diucapkannya kepadaku. Meskipun hal itu akan menjadi tanggung jawab Ki Jagabaya, karena aku mempunyai saksi, bahwa aku sudah berusaha untuk mencegahnya.”

Tetapi sudah tentu bahwa Ki Demang tidak akan dapat tinggal diam. Seandainya terjadi sesuatu, maka sebagai pemimpin tertinggi di kademangan itu, maka akhirnya ia harus mempertanggung-jawabkannya.

Dalam pada itu, sudah terdengar teriakan-teriakan di antara mereka yang berada di halaman. Mereka menjadi tidak sabar. Apalagi setelah mereka melihat ketiga orang itu. Dua orang yang sudah meniti usia tuanya, sedangkan seorang di antara mereka masih cukup muda.

“Serahkan kepada kami,” berkata orang-orang itu.

Ki Jagabaya yang berdiri di sebelah ketiga orang itu pun berkata lantang, “Wewenang atas ketiga orang ini sudah diserahkan kepadaku. Ki Demang ternyata menjadi ragu-ragu. Mungkin Ki Demang adalah orang yang terlalu baik, sehingga ia menjadi iba ketika mendengar ketiga orang itu merengek-rengek.”

“Biarkan ketiga orang itu memberikan penjelasan,” berkata Ki Demang.

“Tidak ada gunanya,” berkata Ki Jagabaya, “ketiganya tentu akan dapat membual, menipu, berpura-pura dan segala macam alasan yang akan dapat mengaburkan kesalahan yang telah diperbuatnya.”

“Tidak ada gunanya!” teriak orang yang bertubuh tinggi, “Kita tinggal menjatuhkan keputusan, hukuman apa yang paling baik bagi orang itu.”

“Jari-jarinyalah yang telah bersalah. Kita ambil saja jari-jarinya!” teriak yang lain.

“Tidak perlu,” jawab seorang anak muda, “yang bersalah bukan hanya jari-jarinya. Tetapi orang itu seutuhnya. Jari-jarinya tidak akan bergerak tanpa kehendak. Nah, hukuman itu harus pantas.”

Ki Jagabaya tertawa. Katanya, “Kita akan menentukan hukuman apa yang akan kita jatuhkan atas mereka.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar