Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 211

Buku 211

Seorang di antara kedua orang yang datang ke Kademangan Sempulur itu ternyata telah terbunuh. Ketika Raden Rangga kemudian mendekati Glagah Putih, maka iapun berkata, “Bukan aku sendiri-lah yang telah membunuh.”

Glagah Putih mengangguk. Katanya, “Aku tidak mempunyai kesempatan untuk membuat pertimbangan-pertimbangan.“

Keduanya pun kemudian harus menerima peristiwa yang terjadi itu sebagai sasuatu keharusan. Namun dalam pada itu, seorang di antara kedua orang itu masih hidup. Agaknya orang itu akan dapat menjadi sumber keterangan tentang rencana mereka, dan yang barangkali ada hubungannya dengan tugas menelusuri perguruan Nagaraga.

Dalam pada itu, kegemparan telah terjadi di halaman itu. Pertempuran itu benar-benar merupakan satu peristiwa yang tidak dapat terjangkau oleh nalar mereka. Apalagi orang-orang kebanyakan di padukuhan itu. Ki Jagabaya dan adik Ki Demang, serta beberapa bebahu pun benar-benar menjadi bingung.

Sementara itu, Raden Rangga dan Glagah Putih telah mendekati orang yang telah tidak berdaya, yang telah dihempaskan oleh kekuatan Glagah Putih.

Sambil menolong orang itu tegak, Raden Rangga berkata, “Marilah. Kita masuk ke dalam, sebelum orang-orang padukuhan ini menjadi marah dan tidak terkendali. Kau yang dalam keadaan tidak berdaya akan dapat menjadi sasaran tanpa dapat berbuat apapun juga. Kau juga tidak akan mampu memasang kekuatan ilmu yang dapat kau sadap dari kekuatan api, karena tidak ada sisa kekuatanmu sama sekali.“

Orang itu tidak dapat mengelak lagi. lapun kemudian melangkah dengan pertolongan Raden Rangga dan bahkan Glagah Putih. Mereka membawa orang itu mendekati Ki Jagabaya dan adik Ki Demang yang masih berdiri termangu-mangu. Baru ketika mereka melihat Raden Rangga dan Glagah Putih mendekat, mereka seakan-akan tersadar dari mimpi.

“Ki Jagabaya,“ berkata Raden Rangga, “aku mohon Ki Jagabaya memerintahkan beberapa orang untuk mengurus mayat itu.“

Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Hampir di luar sadarnya ia berkata, “Dahsyat sekali. Aku tidak mengerti, apa yang telah terjadi.“

“Adalah di luar kehendak kami jika orang itu terbunuh di sini,“ berkata Raden Rangga, “sebenarnya kami memerlukan keduanya.“

Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Namun kemudian sambil memandang adik Ki Demang ia berkata, “Tetapi bagaimana dengan adik Ki Demang ini?“

Raden Rangga termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian mencari anak Ki Demang yang ada di antara para bebahu. Iapun seakan-akan telah dicengkam oleh suasana yang tidak dapat dimengertinya.

“Kawani pamanmu,“ berkata Raden Rangga.

Anak Ki Demang itu mendekat. Namun agaknya ia masih dibayangi oleh peristiwa yang telah terjadi. Ia menjadi ragu-ragu. Karena itu, maka Raden Rangga pun kemudian berkata, “Marilah, bersama kami berdua.“

Anak Ki Demang itupun kemudian melangkah mendekat. Bersama pamannya dan Raden Rangga serta Glagah Putih, mereka pun telah masuk ke dalam bilik yang semula dipergunakan untuk menahan adik Ki Demang, sambil mengajak orang yang telah dilumpuhkan itu.

“Luar biasa,” desis adik Ki Demang, “semula kedua orang itu bagiku sudah merupakan kekuatan iblis yang tidak aku mengerti. Tangannya membuat kulitku luka. Bahkan pipiku bagaikan terbakar. Namun kemudian aku melihat yang terjadi di halaman itu benar-benar satu peristiwa yang tidak dapat dijangkau oleh nalar.“

“Sudahlah,“ berkata Raden Rangga, “aku berharap Ki Jagabaya dapat segera menyelenggarakan mayat itu.“

Adik Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Ketika kemudian ia memandang orang yang semula baginya bagaikan memiliki kekuatan iblis itu, dilihatnya orang itu menunduk. Tubuhnya nampak lemah sekali. Tenaganya bagaikan terkuras habis.

Dalam pada itu, Raden Rangga pun telah memberikan obat kepada adik Ki Demang bagi lukanya di tangan dan di pipi. Meskipun tidak sembuh seketika, namun perasaan sakit dan pedih bagaikan telah tidak terasa lagi.

“Mudah-mudahan persoalan yang terjadi di kademangan ini segera dapat diselesaikan dengan baik,“ berkata Raden Rangga, “dengan demikian tidak akan ada kemungkihan campur tangan orang lain seperti yang terjadi ini.“

Adik Ki Demang menundukkan kepalanya. Dengan nada rendah ia berkata, “Semua adalah karena kesalahanku.“

“Sudahlah. Kau sudah menebus kesalahanmu dengan penyesalan yang dalam. Kau menolak campur tangan kedua orang ini yang memberikan kemungkinan yang mendekati keinginanmu. Mudah-mudahan untuk seterusnya semuanya akan berlangsung wajar di kademangan ini,“ berkata Raden Rangga.

Adik Ki Demang itu tidak berkata sepatah kata pun lagi. Sementara itu, pintu bilik itu pun tetap terbuka, sehingga mereka yang ada di dalam sempat melihat keluar.

Di halaman, Ki Jagabaya dengan beberapa orang telah sibuk mengurus mayat orang yang tidak diketahui dengan pasti asal-usulnya itu, namun yang hampir saja membuat Kademangan Sempulur menjadi ajang kegiatannya, justru memberontak melawan Mataram. Meskipuh demikian, esok pagi mayat itu baru akan dibawa ke kuburan.

Dalam pada itu, segala yang terjadi telah didengar oleh Ki Demang pula. Ki Demang yang sakit itu menjadi semakin berterima kasih kepada dua orang anak muda yang kebetulan berada di kademangannya, justru pada saat kademangannya diguncang oleh prahara yang dahsyat.

Ketika seorang bebahu datang kepadanya dan memberitahukan apa yang telah terjadi, Ki Demang, seorang yang telah ditempa oleh tugas-tugasnya yang berat, yang tidak pernah terguncang hatinya oleh kesulitan-kesulitan, tiba-tiba saja pelupuk matanya terasa mulai menjadi hangat.

Kedua orang anak muda itu memberikan kesan yang khusus kepadanya. Meskipun ia tidak melihat apa yang dilakukan, tetapi ia dapat membayangkan, betapa kedua orang anak muda itu telah melakukan sesuatu yang tidak dapat dilakukan oleh anak-anak muda yang lain sebayanya. Bahkan orang-orang dewasa pun tidak akan dapat melakukannya, selain beberapa orang yang khusus yang memiliki limu yang tinggi.

Tiba-tiba Ki Demang itu telah teringat akan anak laki-lakinya. Anak itu tidak ada ubahnya sebagaimana anak-anak yang lain. Ia tidak memiliki kelebihan apapun juga yang dapat dibanggakan. Meskipun anaknya bukan termasuk anak yang bodoh dan penakut, tetapi tidak lebih dari kewajaran anak-anak muda.

“Sayang, aku tidak dapat bangkit dari pembaringan,“ berkata Ki Demang itu kepada bebahu yang datang memberitahukan kepadanya, “sebenarnya aku ingin melihat, apa yang telah terjadi.“

“Semuanya telah lewat Ki Demang,“ berkata bebahu itu, “kita tinggal membenahi bekas dari pertempuran yang telah mengguncangkan halaman itu.“

“Lakukan sebaik-baiknya,“ berkata Ki Demang, “tetapi aku minta kedua orang anak itu datang kepadaku, bersama anak laki-lakiku itu.“

Bebahu itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan memberitahukan kepada mereka, agar mereka singgah.“

“Aku akan berusaha untuk minta agar mereka berbuat sesuatu untuk anak laki-lakiku itu,“ berkata Ki Demang.

Bebahu itu pun kemudian kembali ke tempat peristiwa yang menggemparkan itu terjadi. Ditemuinya kedua anak muda yang telah menyelamatkan kademangan itu masih berada di dalam bilik adik Ki Demang, bersama dengan anak Ki Demang itu. Sementara di halaman, orang-orang padukuhan itu masih berkumpul dan membicarakan apa yang telah terjadi.

Namun langit telah menjadi semburat merah. Ketika bebahu itu menyampaikan pesan Ki Demang, maka Raden Rangga pun menjawab, “Kami memang akan menemui Ki Demang. Kami akan mohon diri meninggalkan tempat ini. Mudah-mudahan tidak akan terjadi lagi sesuatu yang dapat mengguncangkan kademangan ini.“

Namun Glagah Putih mengerutkan keningnya. Di luar sadarnya, dipandanginya orang yang telah dikalahkannya, bahkan dilumpuhkannya itu.

Namun nampaknya perlahan-lahan keadaannya berangsur menjadi baik. Meskipun demikian, masih dipertanyakan apakah ia akan dapat meninggalkan padukuhan itu dan mengikuti perjalanan Raden Rangga dan Glagah Putih.

Raden Rangga mengikuti pandangan mata Glagah Putih. Iapun ternyata tanggap atas perasaan Glagah Putih itu. Karena itu, maka iapun telah menarik nafas dalam-dalam.

Sementara itu, anak Ki Demang-lah yang kemudian berkata, ”Marilah. Ikut aku menemui Ayah. Ayah yang sedang sakit itu tentu ingin mendengar langsung dari kalian, apakah yang telah kalian lakukan.“

Raden Rangga dan Glagah Putih saling berpandangan sejenak. Baru kemudian Raden Rangga berkata, “Marlah. Kita menghadap Ki Demang. Apapun yang akan kita lakukan.“

Ketika Raden Rangga dan Glagah Putih kemudian bersiap-siap untuk meninggalkan ruangan itu, maka adik Ki Demang itu pun berdesis, “Kalian telah menyelamatkan nyawaku dalam kehidupan kekal, karena kalian telah mencegah aku membunuh kemenakanku dan Kakang Demang. Mudah-mudahan Kakang Demang dapat diselamatkan dari racunku yang terkutuk itu.“

“Sudahlah,“ berkata Raden Rangga, “penyesalanmu akan menolongmu. Kita semua berharap bahwa segalanya akan menjadi baik. Yang terjadi ini merupakan satu pengalaman yang sangat pahit, yang harus selalu kau ingat. Dari pengalaman yang sangat pahit ini, Kademangan Sempulur akan dapat mengambil manfaatnya.“

Adik Ki Demang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku kira seisi kademangan ini berharap agar kalian tidak segera meninggalkan kademangan ini.“

“Senang sekali jika dapat kami lakukan,“ jawab Raden Rangga, “tetapi sayang bahwa kami harus segera melanjutkan perjalanan.“

Adik Ki Demang itu mengangguk-angguk. Namun dengan nada dalam ia berkata, “Silahkan. Kakang Demang memerlukan kalian.“

Kedua anak muda itu pun kemudian meninggalkan bilik itu bersama anak Ki Demang. Namun mereka telah membawa serta orang yang telah ditundukkan oleh Glagah Putih.

Di halaman, Raden Rangga berkata kepada Ki Jagabaya, “Kami akan menghadap Ki Demang sekaligus mohon diri.”

“Ki Demang akan menahan kalian,“ berkata Ki Jagabaya. Kemudian katanya, “Orang itu pun masih sangat lemah. Apakah orang itu akan kalian bawa bersama kalian, atau kalian serahkan kepada siapa? Jika orang itu ditinggalkan di kademangan ini, tidak ada tempat untuk menahannya di sini, tidak ada orang yang dapat mencegahnya jika ia ingin berbuat sesuatu.“

“Kami akan membawanya,“ jawab Raden Rangga.

“Jika masih ada kesempatan, sebaiknya kalian tinggal. Tetapi jika tidak lagi mungkin, apaboleh buat,“ berkata Ki Jagabaya.

Raden Rangga dan Glagah Putih pun kemudian telah pergi ke Kademangan bersama anak Ki Demang serta seorang tawanannya. Tawanan yang telah dilumpuhkannya. Namun yang perlahan-lahan kekuatannya bagaikan telah tumbuh kembali, meskipun orang itu berusaha untuk tidak diketahui oleh orang lain.

Namun ketika mereka berjalan dari rumah yang telah menjadi ajang pertempuran itu ke rumah Ki Demang, maka baik Raden Rangga maupun Glagah Putih telah tertarik perhatiannya, justru karena orang yang telah dilumpuhkan itu nampaknya telah mampu berjalan wajar. Karena itu keduanya mulai memperhatikan orang itu. Jika orang itu menemukan kekuatan dan kemampuannya kembali, maka setiap saat ia akan dapat berbuat sesuatu yang dapat mencelakai orang lain.

Karena itulah, maka Glagah Putih untuk selanjutnya telah berjalan di samping orang itu. Dengan nada dalam Glagah Putih berdesis, “Kau tahu apa yang terjadi atas kawanmu. Karena itu, kau jangan berbuat sesuatu yang dapat mencelakai dirimu.“

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata anak muda itu memiliki ketajaman penglihatan. Meskipun orang itu tidak menunjukkannya, tetapi agaknya kedua anak muda itu dapat mengetahui, bahwa perlahan-lahan kekuatannya mulai tumbuh kembali.

Karena itu, maka iapun menjadi semakin yakin, bahwa kedua anak muda itu memang anak-anak muda yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Karena itu, maka ia tidak lagi memikirkan kemungkinan untuk melepaskan diri dengan kekerasan, karena ia tidak akan mampu mengatasi ilmu anak-anak muda itu.

Demikianlah, maka keduanya pun kemudian telah memasuki halaman rumah Ki Demang. Sementara itu, anak Ki Demang-lah yang lebih dahulu masuk untuk memberitahukan kepada ayahnya, bahwa kedua orang anak muda itu telah datang.

Sementara itu, langit pun mulai menjadi terang. Kehidupan di Kademangan Sempulur pun seakan-akan telah mulai bangun kembali. Mereka yang tinggal di padukuhan-padukuhan yang jauh dari peristiwa yang menegangkan itu mulai mencari berita, apakah yang telah terjadi semalam di salah satu padukuhan di Kademangan Sempulur.

Pada saat yang demikian, Raden Rangga dan Glagah Putih telah diajak oleh anak Ki Demang memasuki bilik dimana Ki Demang terbaring.

Namun Raden Rangga memang agak kebingungan dengan tawanannya. Jika ia membawanya masuk ke dalam bilik Ki Demang, maka orang itu akan dapat melakukan sesuatu yang mengejutkan. Mungkin ia memilih untuk mati bersama-sama dengan Ki Demang yang sedang sakit itu. Karena itu, maka Raden Rangga pun kemudian memutuskan untuk meninggalkan orang itu berada di serambi.

“Kau tinggal di sini,“ berkata Raden Rangga.

Orang itu termangu-mangu. Ia tidak yakin akan pendengarannya, bahwa ia akan ditinggalkan di serambi tanpa pengawal, karena nampaknya kedua orang anak muda itu akan bersama-sama menghadap Ki Demang. Namun seandainya ada sepuluh pengawal sekalipun, pada saat kekuatan dan kemampuannya pulih kembali, maka para pengawal itu tidak akan berarti apa-apa lagi baginya.

Namun Raden Rangga ternyata tidak melakukan kesalahan seperti itu. Ketika orang itu sudah duduk di serambi, maka iapun telah duduk pula di sampingnya. Dengan suara rendah ia berkata, “Kau duduk saja di sini Ki Sanak. Kami akan menghadap Ki Demang. Namun sementara itu kekuatan dan kemampuanmu akan tumbuh kembali. Meskipun belum akan pulih sepenuhnya, namun jika kau meninggalkan tempat ini, tidak akan ada orang yang dapat mengekangmu.“

Orang itu tidak menjawab. Meskipun sebenarnya ia tidak mengelak bahwa kemungkinan yang demikian akan dapat terjadi. Namun orang itu terkejut sekali ketika Raden Rangga tiba-tiba saja telah meraba punggungnya sambil berkata, “Tunggulah kami di sini Ki Sanak.“

Orang itu merasakan satu sentuhan pada jalur uratnya di sebelah tulang punggungnya. Terasa sentuhan itu seakan-akan menjalar ke seluruh tubuhnya, sehingga dengan demikian, maka perkembangan di dalam dirinya telah terhenti. Kekuatan dan kemampuannya yang perlahan-lahan tumbuh di dalam dirinya telah terhenti pula, sehingga dengan demikian maka ia tidak akan mungkin mencapai tataran kemampuannya kembali.

“Anak iblis,“ orang itu menggeram di dalam hatinya. Tetapi ia tidak dapat mengingkari satu kenyataan, bahwa anak muda yang duduk di sampingnya itu benar-benar anak muda yang luar biasa.

Demikianlah, maka Raden Rangga dan Glagah Putih pun kemudian telah masuk ke dalam bilik Ki Demang yang sakit. Sementara itu, anak Ki Demang pun telah memberitahukan kepada para pengawal di regol untuk mengamati orang yang sedang duduk di serambi.

“Awasi saja,“ berkata anak Ki Demang, “jika orang itu tidak berbuat apa-apa, biarkan saja.“

Para pengawal di regol mengangguk-angguk. Mereka memang melihat nampaknya orang itu masih sangat letih. Namun para pengawal itu tidak tahu, kenapa orang itu duduk saja di tempatnya dengan sikap seorang yang nampak sangat letih.

Ki Demang yang menerima kedua orang anak muda itu dengan susah payah berusaha untuk bangkit. Tetapi Raden Rangga telah menahannya sambil berkata, “Berbaring sajalah Ki Demang.“

“Maaf Raden,“ berkata Ki Demang yang telah mengetahui siapakah anak muda itu, “tetapi keadaanku sudah berangsur baik.“

“Meskipun demikian, Ki Demang sebaiknya tetap beristirahat. Hanya jika penting sekali Ki Demang boleh duduk,“ berkata Raden Rangga.

“Aku mohon maaf, bahwa aku telah memohon anak muda berdua singgah lagi. Aku sudah mendengar laporan semuanya yang telah terjadi, sehingga dengan demikian, aku ingin mengucapkan terima kasih yang tidak terhingga kepada Raden dan Angger Glagah Putih,“ berkata Ki Demang.

“Bukan apa-apa,“ berkata Raden Rangga, “sudah aku katakan, adalah menjadi kewajiban kita untuk saling menolong.“

“Satu hal yang telah menyentuh perasaanku, Raden. Aku juga mempunyai anak yang kira-kira sebaya dengan Raden. Tetapi dalam keadaan yang jauh sekali berbeda dengan keadaan Raden,“ berkata Ki Demang.

Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Di luar sadarnya ia berpaling ke arah anak Ki Demang yang duduk sambil menundukkan kepalanya. Namun Raden Rangga pun kemudian berkata, “Anak Ki Demang termasuk anak muda yang tumbuh secara wajar. Bahkan menurut penilaianku, anak Ki Demang termasuk anak yang cerdas, yang pada saatnya akan dapat menggantikan kedudukan Ki Demang dengan baik.“

“Tetapi apa yang aku lihat, meskipun tidak secara langsung, Raden Rangga berdua memiliki kemampuan yang tidak ada bandingnya,“ berkata Ki Demang.

“Ki Demang,“ berkata Raden Rangga, “jika seseorang sudah berada pada tataran kewajarannya, maka orang itu merupakan seorang yang cukup pantas. Apalagi jika ia berada meskipun hanya selapis tipis di atas kewajaran. Maka orang itu adalah seorang yang baik. Jangan menginginkan yang berlebihan. Aku tidak bermaksud menyombongkan diri, tetapi jika terjadi sesuatu seperti aku dan Glagah Putih, itu adalah kurnia yang tidak dapat digapai oleh setiap orang. Yang Maha Agung telah menentukan apa yang akan diberikan-Nya kepada hamba-Nya seorang-seorang. Meskipun setiap orang wenang berusaha, namun akhirnya kehendak Yang Maha Agung jualah yang berlaku.“

Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berkata, “Raden benar. Aku telah terdorong ke dalam satu keinginan yang berlebihan. Sifat tamak seseorang itu semakin tampak di dalam diriku.“

“Tetapi itu adalah hal yang sangat wajar Ki Demang. Seseorang tentu menginginkan hal yang paling baik bagi anaknya,“ jawab Raden Rangga.

Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Namun sementara itu Glagah Putih pun mengangguk-angguk. Ia melihat Raden Rangga saat itu pada satu sisi yang matang dalam usianya yang muda.

Namun dalam pada itu, Ki Demang pun kemudian berkata, “Meskipun demikian Raden, jika pada saatnya Raden akan meninggalkan kademangan ini, hendaknya Raden dapat memberikan sedikit tuntunan kepada anakku itu. Apapun juga, karena aku sadar, bahwa jika anakku harus berguru, mungkin dalam waktu dua puluh tahun tidak akan mampu mencapai tataran sebagaimana Raden capai sekarang.“

Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Glagah Putih sejenak. Namun kemudian iapun berkata untuk sedikit memberikan ketegasan kepada Ki Demang, “Baiklah Ki Demang. Mungkin aku dapat memberikan sedikit petunjuk. Tetapi sudah tentu artinya tidak akan cukup banyak, karena waktuku hanya sedikit sekali. Hari ini kami akan mohon diri.“

“Sudah tentu tidak hari ini Raden,“ berkata Ki Demang, “secepatnya besok. Semalam Raden tentu tidak tidur barang sekejappun. Bukankah dengan demikian Raden perlu beristirahat?“

Raden Rangga tersenyum. Katanya, “Kami adalah pengembara Ki Demang. Kami sudah terbiasa tidur dan makan tidak teratur. Jangan cemaskan kami.“

Ki Demang termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Tetapi bagi siapapun juga, bukankah wajar untuk sekedar beristirahat? Bukankah bagaimanapun juga ada batas-batas kemampuan jasmaniah bagi seseorang?“

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun mengangguk hormat. Katanya, “Benar Ki Demang. Memang demikian. Betapapun tinggi ilmu seseorang, tetapi tentu ada batas kemampuan wadagnya. Bahkan juga kemampuan ilmunya.“

“Nah,“ berkata Ki Demang, “jika demikian, tentu lebih baik bagi Raden untuk beristirahat.“ Raden Rangga berpaling ke arah Glagah Putih. Sementara itu Glagah Putih-lah yang menjawab, “Baiklah Ki Demang. Kami akan beristirahat hari ini. Mungkin juga sedikit berbincang dengan anak Ki Demang itu.“

“Terima kasih. Kebaikan hati kalian tidak terkirakan. Bukan saja buat aku, keluargaku, tetapi bagi seluruh kademangan ini,“ berkata Ki Demang. Suaranya bagaikan tersangkut di kerongkongan.

Raden Rangga dan Glagah Putih tidak menyahut. Namun Ki Demang-lah yang kemudian berkata lagi kepada anaknya, “Bawalah keduanya beristirahat. Bukankah kau sudah menyediakan tempat?“

“Sudah Ayah, sejak kemarin,“ jawab anak Ki Demang.

Dengan demikian, maka anak Ki Demang itu pun telah mengajak Raden Rangga dan Glagah Putih untuk beristirahat lagi. Seharusnya mereka sudah siap untuk minta diri dan melanjutkan perjalanan, karena perjalanan mereka telah tertunda beberapa kali. Tetapi keduanya tidak sampai hati mengecewakan lagi Ki Demang yang sedang sakit, karena ia ingin, meskipun hanya sedikit, Raden Rangga dan Glagah Putih dapat memberikan tuntunan kepada anak laki-lakinya.

Di luar bilik Ki Demang, Raden Rangga melihat tawanannya masih tetap duduk di tempatnya. Karena itu, maka iapun kemudian mendekatinya sambil berkata, “Marilah. Kita akan beristirahat barang sejenak, karena mungkin kita merasa sangat letih.“

Raden Rangga telah menarik lengan orang itu agar berdiri. Namun ia tidak membebaskan uratnya yang tidak disentuh dengan ujung jari dengan kemampuan ilmunya. Karena itu, maka orang itu tidak dapat melangkah dan berjalan dengan wajar, sehingga nampaknya ia memang seorang yang sangat letih.

Orang itu mengumpat di dalam hati. Tetapi ia memang tidak dapat berbuat sesuatu. Ilmu anak muda itu benar-benar telah menguasainya, sehingga tidak mungkin baginya untuk mengatasinya.

Demikianlah, maka mereka berempat pun kemudian telah pergi ke gandok yang memang sudah disediakan.

Namun mereka kini membawa seorang tawanan bersama mereka, Karena itu, maka mereka pun harus menyesuaikan diri.

Anak Ki Demang itupun kemudian mempersilahkan tamu-tamunya untuk beristirahat. Namun katanya, “Atau barangkali kalian akan mandi dahulu?“

“Ya,“ jawab Raden Rangga, “aku akan ke pakiwan.”

Anak Ki Demang menjadi berdebar-debar pula ketika kemudian ia dirninta untuk menunggui tawanannya. Jika tawanan itu berusaha melarikan diri, maka ia akan mengalami kesulitan. Tetapi Raden Rangga yang melihat kecemasan itu pun berkata, “Jangan cemas tentang orang itu. la termasuk orang yang baik. Ia tidak akan berbuat apa-apa. Bahkan karena ia merasa sangat lelah, maka ia akan berbaring saja di amben itu.“

Anak Ki Demang tidak menjawab. Tetapi ia justru menjadi terrnangu-mangu.

Namun dalam pada itu, Raden Rangga pun mendekati tawanannya sambil berdesis, “Berbaringlah. Kesempatan untuk beristirahat bagimu.“

Orang itu tidak menjawab. Namun kemudian iapun telah membaringkan dirinya dibantu oleh Raden Rangga.

Meskipun orang itu masih juga mengumpat di dalam hati, tetapi berbaring memang lebih baik baginya. Ia dapat melepaskan segala macam ketegangan uratnya yang seakan-akan tidak dalam keadaan wajar. Bahkan seakan-akan tidak lagi mampu untuk menggerakkan anggota badannya.

Demikianlah, maka Raden Rangga dan Glagah Putih pun kemudian telah meninggalkan orang itu untuk pergi ke pakiwan. Namun kemudian, ketika keduanya telah mandi, ternyata keduanya sama sekali tidak ingin berbaring di pembaringan. Rasa-rasanya tubuh mereka telah menjadi segar, sehingga dengan demikian maka Raden Rangga itu pun kemudian berkata, “Aku sudah cukup beristirahat. Marilah, kita bermain-main. Waktuku hanya hari ini. Karena itu, kita pergunakan waktu ini sebaik-baiknya.“

Anak Ki Demang yang juga tidak tidur itu pun termangu-mangu. Ia-lah yang sebenarnya merasa sangat letih dan ingin beristirahat barang sejenak. Namun ia menahan diri karena melihat kedua anak muda yang tidak hanya sekedar menyaksikan dengan tegang peristiwa-peristiwa yang sebelumnya belum pernah dibayangkan itu, tetapi justru terlibat di dalamnya, nampaknya sama sekali tidak menjadi letih.

Karena itu, maka anak Ki Demang itu tidak menolak. Meskipun demikian, ia ingin juga menjadi segar seperti Raden Rangga dan Glagah Putih. Katanya, ”Jika demikian, biarlah aku pun mandi dahulu.“

“Sebaiknya kau tidak mandi penuh,“ berkata Raden Rangga, “kau sangat letih, dan semalaman kau tidak tidur. Karena itu, sebaiknya kau basahi saja tubuhmu agar menjadi segar.“

Anak itu mengangguk-angguk. Ayahnya juga pernah berpesan kepadanya seperti dikatakan oleh Raden Rangga itu. Sebenarnyalah, setelah membasahi tubuhnya, anak Ki Demang itu merasa dirinya menjadi segar kembali. Karena itu, maka iapun tidak menolak ketika Raden Rangga dan Glagah Putih mengajaknya ke tempat yang tidak banyak dikunjungi orang, Sementara itu, Raden Rangga telah menitipkan tawanannya kepada para pengawal di Kademangan.

“Orang itu akan tidur nyenyak,“ berkata Raden Rangga, “ia tidak akan bangun sampai aku datang kembali.“

Demikianlah, maka Raden Rangga dan Glagah Putih telah pergi bersama anak Ki Demang itu ke tepi sebuah padang perdu yang jarang disentuh kaki manusia. Mereka bahkan telah turun ke tepian sebuah sungai yang agak luas, berpasir dan berbatu-batu.

Sejenak kemudian, maka mereka bertiga pun telah duduk di atas batu-batu besar yang berserakan.

“Kami tentu tidak akan dapat memberikan tuntunan apapun kepadamu, kecuali pesan-pesan yang hanya dapat kau lakukan sendiri,“ berkata Raden Rangga.

Anak Ki Demang itu mengangguk. Katanya, “Apapun yang pantas dan sebaiknya aku lakukan, aku akan melakukannya. Bukan sekedar untuk menyenangkan ayahku, tetapi aku memang merasa memerlukannya.“

Raden Rangga itu tiba-tiba saja berkata kepada Glagah Putih, “Glagah Putih, apa saja yang kau lakukan pada saat-saat kau mulai dengan berlatih olah kanuragan? Mungkin tataran-tataran yang pernah kau lalui berbeda dengan tataran-tataran yang aku tempuh. Agaknya jalanmu-lah yang lebih wajar dari jalan yang aku lalui.“

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia memang telah meniti jalah setapak demi setapak. Bukan loncatan-loncatan sebagaimana pernah ditempuh oleh Raden Rangga. Tetapi ia memerlukan waktu yang panjang untuk melakukannya.

Namun ia menyadari, bahwa yang diperlukan oleh anak Ki Demang itu pun sekedar petunjuk apa yang sebaiknya dilakukannya. Ia sadar bahwa ia tidak akan dengan serta merta memiliki sesuatu yang tidak akan mungkin dijangkaunya.

Karena itu, maka yang dilakukan Glagah Putih pun hanyalah sekedar memberikan jalan, apa yang harus dilakukan oleh anak Ki Demang agar mampu membentuk dirinya sendiri sehingga ia memiliki kelebihan, walaupun terbatas.

Demikianlah, maka Glagah Putih telah mempergunakan kesempatan yang ada untuk menuntun sejauh dapat dijangkau. Seperti yang pernah di lakukannya dahulu, maka ia menasehatkan agar anak Ki Demang itu mulai dengaii berlari-larian di tepian. Kemudian ia harus berlari-lari berloncatan dari atas batu ke batu yang lain. Mula-mula di daerah yang kering, namun kemudian di atas batu-batu yang basah.

Glagah Putih tidak minta anak Ki Demang itu melakukannya. Tetapi ia telah memberikan apa yang harus dilakukannya. Untuk meyakinkannya, maka Glagah Putih telah menunjukkan kemampuan bermain-main di atas batu betapapun licinnya. Anak Ki Demang itu hanya dapat memandanginya dengan heran. Namun Glagah Putih memberitahukan bagaimana caranya untuk mulai dengan latihan-latihan seperti itu.

“Hanya sekedar cara untuk meningkatkan ketrampilan kaki,“ berkata Glagah Putih yang kemudian memberikan beberapa petunjuk yang lain. Sebagaimana ia meningkatkan ketrampilan kaki, maka anak Ki Demang itu juga dituntun oleh Glagah Putih untuk memperkuat jari-jari tangannya dengan mempergunakan pasir.

“Lebih sering lebih baik kau lakukan,“ berkata Glagah Putih, “bahkan lebih baik di teriknya matahari jika pasir tepian menjadi panas.”

Anak Ki Demang mengangguk-angguk. Sementara Glagah Putih berkata, “Namun semuanya itu adalah sekedar dasar, yang bahkan dapat disebut sekedar pelengkap dari latihan-latihan yang sebenarnya, yang hanya dapat dilakukan dengan tuntutan seorang guru.“

“Seorang guru?“ bertanya anak Ki Demang.

“Ya. Kau harus mendapat tuntutan seorang yang memiiiki ilmu yang pantas, sehingga kau tidak justru tidak salah langkah,“ berkata Glagah Putih.

“Apakah kau mengenal seorang guru yang dapat mengajari aku dalam ilmu kanuragan itu?“ bertanya anak Ki Demang.

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Besok, jika aku pulang dari bertugas, aku akan menunjukkan kepadamu. Sementara itu kau sudah mempunyai ketrampilan dasar untuk memasuki latihan-latihan yang sebenarnya.”

Anak Ki Demang itu mengangguk-angguk. Tetapi ia menyadari, bahwa jalan yang harus diialui memang cukup panjang.

“Nah. kau dapat melakukannya. Semakin bersungguh-sungguh maka hasilnya akan semakin baik. Tetapi kau tidak dapat memaksa dirimu untuk melakukannya berlebih-lebihan,“ berkata Glagah Putih.

Anak Ki Demang itu mengangguk-angguk. Namun ia tidak dapat mengharap terlalu banyak dari latihan-latihan mula yang dilakukannya.

Namun dalam pada itu, selagi Glagah Putih sibuk memberikan beberapa petunjuk kepada anak Ki Demang, Raden Rangga telah terkejut oleh getaran di dalam dirinya. Seakan-akan ia merasakan goncangan yang keras di dadanya.

Memang jarang terjadi pada seorang lain, bahwa Raden Rangga cepat tanggap pada isyarat itu, sebagaimana mampu ditangkap dan diurai oleh Ki Waskita. Karena itu, maka tiba-tiba saja Raden Rangga berkata, “Kita kembali ke Kademangan.“

Raden Rangga tidak menunggu Glagah Putih menyahut. Tiba-tiba saja ia telah meloncat dan berlari mendahului Glagah Putih dan anak Ki Demang.

“Ada apa?“ bertanya anak Ki Demang.

Glagah Putih yang telah mengenal Raden Rangga itu pun segera menyahut, “Kita kembali. Cepat. Tentu sesuatu telah terjadi.“

Keduanya pun segera meloncat berlari pula. Namun rasa-rasanya anak Ki Demang itu berlari terlalu lamban. Tetapi Glagah Putih tidak dapat meninggalkannya seorang diri, karena jika terjadi sesuatu atas dirinya, maka ialah yang harus bertanggung jawab.

Dalam pada itu, Raden Rangga yang berlari sekencang angin, telah memperlambatnya ketika ia mendekati padukuhan. Namun karena itu, maka Glagah Putih dan anak Ki Demang itu mampu menyusulnya.

“Ada apa?“ anak Ki Demang itu bertanya pula.

Raden Rangga tidak menjawab, sehingga karena itu, maka Glagah Putih pun telah menggamitnya.

Demikianlah, ketiga orang anak muda itu telah berjalan dengan cepat menuju ke padukuhan induk. Bahkan jika mereka berada di bulak, ketiganya telah berlari-lari kecil.

Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam ketika ia sampai di regol padukuhan induk. Ternyata ia tidak melihat sesuatu yang dapat mendebarkan jantungnya. Orang-orang yang sedang berjalan, nampaknya berjalan saja dengan wajar. Yang berada di kebun, masih juga bekerja sebagaimana dilakukan sehari-hari.

Betapapun perasaan ingin tahu mendesak, namun Glagah Putih masih menahan diri. Diikutinya saja Raden Rangga yang berjalan semakin lambat, dan bahkan kemudian ia berjalan wajar sebagaimana seseorang berjalan.

Baru ketika Raden Rangga nampak tenang, Glagah Putih bertanya, “Ada apa sebenarnya Raden?“

“Satu isyarat yang ternyata kurang aku kenal artinya,” jawab Raden Rangga, “agaknya aku salah mengurai isyarat itu.“

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu mereka telah sampai di regol rumah Ki Demang. Raden Rangga menjadi semakin tenang. Ternyata para penjaga di regol tidak menunjukkan sikap yang lain dari sikap mereka sehari-hari. Biasa saja. Karena agaknya memang tidak ada sesuatu yang terjadi.

Di regol Raden Rangga masih sempat juga bertanya, “Bukankah tidak terjadi sesuatu di sini?“

“Apa maksud Ki Sanak?“ bertanya pengawal itu.

Raden Rangga justru tersenyum. Jawabnya, “Tidak. Tidak apa-apa.“

Pengawal itu mengerutkan keningnya. Sementara itu Raden Rangga berjalan langsung ke gandok tempat yang disediakan baginya dan Glagah Putih beristirahat.

Perlahan-lahan Raden Rangga membuka pintu yang tertutup meskipun tidak terlalu rapat. Namun ketika ia melangkah masuk, jantungnya serasa berhenti berdetak. Tawanannya ternyata tidak ada di tempatnya. Ruangan itu sudah kosong sama sekali, bahkan pintunya pun telah ditutup meskipun tidak terlalu rapat.

Raden Rangga yang kehilangan tawanannya itu., menggeram. Ketika ia berpaling dilihatnya Glagah Putih dan anak Ki Demang telah berada di depan pintu pula, sehingga kemudian ia berdesis, “Kita telah kehilangan.”

Glagah Putih pun menjadi tegang. Iapun telah melangkah masuk disusul oleh anak Ki Demang itu. Mereka pun telah terkejut pula. Tawanan itu sudah tidak ada.

“Bagaimana hal ini dapat terjadi Raden?“ bertanya Glagah Putih.

“Mustahil,“ berdesis Raden Rangga, “orang itu tidak akan mungkin dapat membebaskan dirinya sendiri.“

“Jadi menurut Raden, tentu ada orang lain yang melakukannya?“ bertanya Glagah Putih.

Raden Rangga ragu-ragu. Namun iapun kemudian telah mengangguk, katanya, “Ya. Agaknya ada orang lain yang telah mencampuri persoalan kita.“

Glagah Putih menjadi tegang. Ketika ia memperhatikan bilik itu, tidak ada sesuatu yang menarik perhatian atau pantas dicurigai.

“Aku akan menanyakannya kepada para pengawal,“ berkata anak Ki Demang.

“Jangan,“ cegah Raden Rangga. “Tidak ada yang mengetahui. Jika mereka mengetahui, tentu mereka telah menjadi sibuk. Sementara itu, Ki Demang pun jangan diberi tahu lebih dahulu. Kita akan menemui Ki Jagabaya,“ berkata Raden Rangga, “pagi ini Ki Jagabaya tentu sedang sibuk dengan orang yang terbunuh itu. Mudah-mudahan Ki Jagabaya telah selesai.“

Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia merasa bahwa Ki Jagabaya tidak akan dapat membantu mengatasi persoalan yang menurut Glagah Putih cukup gawat. Orang yang mampu membebaskan orang itu dari keadaannya, tentu orang yang juga berilmu tinggi. Bahkan mungkin lebih tinggi dari orang yang terbelenggu karena sentuhan jari Raden Rangga di punggungnya itu.

Raden Rangga seakan-akan mengetahui keragu-raguan itu. Sehingga karena itu ia berkata, “Kita memerlukan Ki Jagabaya. Ia harus mengetahui apa yang terjadi. Dengan demikian ia akan dapat mengatur pengamatan di seluruh Kademangan. Sekedar pengamatan. Meskipun mungkin orang yang telah kita tawan serta yang melepaskannya tidak ada di kademangan ini lagi, tetapi seluruh kademangan ini harus bersiap-siap, namun tanpa menggelisahkan penduduknya.“

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian berkata kepada anak Ki Demang, “Kita harus menanggapi peristiwa ini dengan sangat berhati-hati. Kita ternyata menghadapi satu kekuatan yang tidak dapat kita anggap ringan.“

Anak Ki Demang itu termangu-mangu. la tidak tahu apa yang harus diiakukannya. Namun Glagah Putihpun kemudian berusaha untuk mengurangi kegelisahan anak muda itu, katanya, “Tetapi agaknya orang itu telah meninggalkan kademangan ini.“

“Mungkin sekali,“ sahut Raden Rangga, “orang itu datang untuk mengambil orangnya yang masih hidup. Lalu pergi untuk menghindari kemungkinan buruk yang dapat terjadi atas mereka.”

“Memang satu kemungkinan,“ sahut anak Ki Demang yang ternyata cepat berpikir pula, “tetapi kemungkinan lain adalah justru dendam yang membara. Seorang di antara dua orang itu telah terbunuh di sini. Nah, bukankah wajar jika mereka menginginkan membalas kematian itu? Mungkin orang itu bukan seorang laki-laki yang baik meskipun ia berilmu tinggi. Jika orang itu seorang yang tidak berperadaban, maka orang itu akan dapat melepaskan dendamnya kepada siapa saja di kademangan ini.“

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Memang mungkin. Karena itu, kita akan mempersiapkan segala sesuatu untuk mengatasi apabila hal itu terjadi.“

“Itulah sebabnya kita pergi kepada Ki Jagabaya,“ berkata Raden Rangga.

Demikianlah, maka mereka pun telah meninggalkan halaman rumah Ki Demang itu tanpa memberikan kesan kegelisahan. Mereka juga tidak mengatakan bahwa tawanannya telah pergi tanpa diketahui. Bahkan Raden Rangga pun telah menutup pintu biliknya rapat-rapat.

Namun, demikian mereka berada di jalan, maka mereka telah berjalan dengan tergesa-gesa. Mereka memperhitungkan bahwa Ki Jagabaya masih berada di rumah yang semalam menjadi ajang pertempuran itu, karena ia baru saja menyelesaikan mayat orang yang terbunuh itu.

Ternyata perhitungan mereka benar. Ki Jagabaya memang masih berada di tempat itu. Namun ia sudah bersiap-siap untuk meninggalkannya, setelah berpesan tentang pengawasan terhadap adik Ki Demang kepada para pengawal.

Ketika Ki Jagabaya itu melihat Raden Rangga dan Glagah Putih diikuti oleh anak Ki Demang datang dengan tergesa-gesa, maka iapun menjadi berdebar-debar pula.

Tetapi kemudian Raden Rangga itu berkata, “Kita perlu berbicara barang sejenak.“

“Apa ada sesuatu yang penting?“ bertanya Ki Jagabaya.

“Kita berbicara di pendapa saja Ki Jagabaya, tanpa orang lain,“ sahut Raden Rangga.

Ki Jagabaya itu mengerutkan keningnya. Ia merasa kegelisahan membayang di wajah anak-anak muda itu betapapun mereka menyembunyikannya.

Namun mereka tidak berbicara di tempat yang tersembunyi. Justru mereka berada di pendapa yang terbuka, maka pembicaraan di antara mereka tidak banyak menarik perhatian.

Dalam pada itu, maka Raden Rangga pun telah mengatakan apa yang terjadi di Kademangan kepada Ki Jagabaya itu.

Ki Jagabaya menjadi tegang. Sebagai seorang yang bertanggung jawab tentang ketenangan dan ketenteraman di Kademangan Sempulur, maka Ki Jagabaya melihat satu kemungkinan yang suram pada kademangannya. Sebagaimana dikatakan oleh anak-anak muda yang memiliki kelebihan itu, maka orang yang telah membebaskan tawanan mereka tentu orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.

“Tetapi Ki Jagabaya tidak perlu gelisah,“ berkata Raden Rangga, “kami berdua akan membantu mencari orang itu dari luar kademangan ini. Jika mereka tidak kami ketemukan, itu berarti bahwa mereka telah meninggalkan Kademangan Sempulur. Karena menurut perhitunganku, orang yang kita tawan itu memerlukan perawatan khusus bagi pemulihan kekuatannya. Karena itu, agaknya orang yang mengambilnya itu akan membawanya untuk menyembuhkannya.“

“Meskipun demikian, maka pada suatu saat mereka kembali lagi ke kademangan ini,“ berkata Ki Jagabaya.

“Dendamnya tidak ditujukan kepada kalian. Tetapi kepada kami. Karena itu, maka sebaiknya orang-orang di padukuhanan ini kelak mengetahui, siapakah aku. Karena dengan demikian, maka orang-orang yang mendendam itu tahu pasti, dengan siapa mereka berhadapan,“ berkata Raden Rangga kemudian.

Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Sementara itu Raden Rangga pun kemudian berpesan, agar Ki Jagabaya dengan sengaja menyebarkan keterangan bahwa kedua anak muda yang berada di kademangan itu adalah Raden Rangga, putra Panembahan Senapati, dan Glagah Putih, adik sepupu Agung Sedayu dari Tanah Perdikan Menoreh.

“Sebenarnya aku tidak ingin diketahui siapa aku sebenarnya,“ berkata Raden Rangga, “tetapi demi kepentingan kademangan ini, apa boleh buat. Tanpa mengenali aku, memang mungkin dendam orang itu akan tertuju, kepada kademangan ini.“

Meskipun demikian, Raden Rangga dan Glagah Putih minta kepada Ki Jagabaya bahwa hal itu supaya disebarkan setelah kedua anak muda itu meninggalkan kademangan.

“Sebaiknya Raden berdua tinggal lebih lama lagi di kademangan ini,“ berkata Ki Jagabaya, “mungkin keduanya masih bersembunyi di sekitar kademangan ini.“

“Kami akan mencarinya,“ berkata Raden Rangga dan Glagah Putih, “mungkin kami memang tidak akan terlalu jauh dari kademangan ini.“

Ki Jagabaya mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud kedua anak muda itu. Karena itu, maka ia tidak menahannya lebih jauh. Semakin cepat mereka pergi, dan semakin cepat keterangan tentang keduanya tersebar, maka agaknya lebih aman bagi Kademangan Sempulur, karena orang-orang itu akan tahu pasti, dengan siapa mereka berhadapan.

Demikianlah, maka Raden Rangga dan Glagah Putih telah kembali ke Kademangan. Meskipun perasaan mereka merasa berat, namun mereka merasa wajib untuk memberitahukan kepada Ki Demang apa yang terjadi. Hal itu akan lebih baik daripada jika Ki Demang baru akan mengerti kemudian jika persoalan yang lebih gawat terjadi.

Ki Demang memang menjadi tegang. Tetapi ia tidak dapat menyalahkan siapapun juga. Kedua anak muda yang sedang berusaha memberikan beberapa petunjuk kepada anak laki-lakinya itu sama sekali tidak menduga, bahwa hal itu akan terjadi.

“Ki Demang,“ berkata Raden Rangga, “aku harus mempercepat kepergianku dari tempat ini. Aku sudah berpesan kepada Ki Jagabaya agar diumumkan kepada semua orang siapakah aku sebenarnya, sehingga dengan demikian hal itu tentu didengar oleh orang yang telah mengambil tawananku itu.“

Ki Demang mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah Raden. Sekali lagi kami mengucapkan terima kasih. Raden telah dengan sengaja memancing perhatian orang-orang itu agar mereka tidak memusuhi kami, tetapi mereka akan menghadapkan diri kepada Raden, atau bahkan langsung dengan Mataram. Mereka pun tentu akan menjadi ragu-ragu untuk menjadikan kademangan ini alas perjuangan mereka, karena tempat ini pernah dihuni oleh putra Panembahan Senapati di Mataram. Sehingga bagi mereka, kehadiran Raden tentu dihubungkan dengan kepentingan mereka atas kademangan ini.“

Raden Rangga mengangguk-angguk. Katanya, “Mudah-mudahan Ki Demang. Namun kami tidak akan melepaskan begitu saja hubungan kami dengan kademangan ini. Setiap kali ada kesempatan, kami akan melihat kademangan ini. Mudah-mudahan tidak ada persoalan yang akan dapat membuat kademangan ini mengalami kesulitan.”

Ki Demang mengangguk kecil. Tetapi ia memang tidak dapat lagi menahan kedua anak muda itu. Karena itu, maka mereka hanya dapat mengucapkan selamal jalan.

“Kami akan selalu berdoa bagi keselamatan Raden dan Angger Glagah Putih,“ berkata Ki Demang.

“Terima kasih,“ jawab Raden Rangga dan Glagah Putih hampir berbareng.

Kemudian Raden Rangga pun berkata pula, ”Mudah-mudahan ibu Ki Demang pun akan selalu sehat. Aku pun berharap agar adik Ki Demang itu cepat sembuh luka-luka bakar di pipinya.“

Demikianlah, maka Raden Rangga dan Glagah Putih segera meninggalkan Kademangan Sempulur. Namun keduanya tidak ingin meninggalkan kademangan ini terlalu jauh. Mereka sebenarnya masih akan berada di sekitar kademangan itu untuk beberapa lama.

Namun sepeninggal Raden Rangga dan Glagah Putih, maka telah tersebar berita bahwa kedua anak muda itu yang seorang adalah putra Panembahan Senapati di Mataram, sedang yang seorang lagi adalah adik sepupu Agung Sedayu dari Tanah Perdikan Menoreh.

Berita itu telah diterima dengan perasaan kagum oleh orang-orang Kademangan Sempulur. Mereka merasa kecewa bahwa mereka mengetahui hal itu setelah kedua orang anak muda itu meninggalkan kademangan.

“Kita tidak sempat memperhatikan kedua anak muda itu secara khusus, terutama putra Panembahan Senapati,“ berkata anak-anak muda Kademangan Sempulur.

Yang merasa paling kehilangan adalah anak Ki Demang. Ia baru saja merasa mendapat kawan yang akrab dan sekaligus kawan yang akan banyak memberikan petunjuk kepadanya. Namun dalam waktu yang pendek kawan-kawan yang akrab itu harus pergi dengan tergesa-gesa.

Namun ia sudah mendapat beberapa petunjuk permulaan sebagai persiapan untuk mempelajari olah kanuragan. Meskipun petunjuk itu sekedar persiapan, tetapi anak Ki Demang itu berniat untuk melakukannya. Sebelum ia memasuki latihan-latihan yang sebenarnya, maka ia merasa wajib mempersiapkan tubuhnya untuk melakukan langkah pertama menuju ke arah penuntutan ilmu itu sendiri.

Karena itulah, maka anak Ki Demang itu di hari-hari berikutnya telah pergi ke sungai, di tempat yang tidak banyak dikunjungi orang, Ia berusaha untuk meningkatkan ketrampilan kaki dan tangannya, bahkan berusaha untuk meningkatkan kekuatan dan ketahanannya. Hampir setiap hari ia telah memerlukan waktu untuk berloncatan dari atas batu ke batu yang lain di sungai yang sepi, serta memperkuat kemampuan jari-jari tangannya dengan bermain-main pada pasir tepian.

Di hari-hari pertama, beberapa kali anak Ki Demang itu tergelincir dan jatuh ke dalam air. Tetapi ia tidak menjadi jera. Ia mengulangi dan mengulanginya lagi. Bahkan sehari kadang-kadang lebih dari sekali.

Sementara itu, Raden Rangga dan Glagah Putih telah berada di luar Kademangan Sempulur. Namun sebenarnyalah keduanya masih belum meninggalkan kademangan itu. Mereka masih mengamati kademangan itu dari kemungkinan-kemungkinan buruk. Meskipun mereka sudah meninggalkan kesan, bahwa semua tanggung jawab terletak pada Raden Rangga dan Glagah Putih, namun mereka masih juga menganggap bahwa kemungkinan lain masih akan dapat terjadi. Jika orang-orang yang mendendam itu tidak bersifat jantan, maka mereka akan dapat berbuat terlalu buruk.

Namun untuk beberapa saat di Kademangan Sempulur tidak terjadi sesuatu. Bahkan beberapa orang telah hampir melupakan yang pernah terjadi. Tetapi Ki Jagabaya masih tetap menempatkan adik Ki Demang di sebuah ruang tahanan, karena Ki Demang yang masih sakit belum dapat memberikan keputusan apapun juga. Tetapi adik Ki Demang itu sama sekali tidak mengeluh. Ia sudah menerima keadaannya dengan ikhlas.

Namun dalam pada itu, luka bakar di pipinya sudah menjadi kering meskipun masih nampak bekasnya dengan jelas. Demikian juga luka pada tangannya dan pada tangan pengawal yang disentuh oleh jari Raden Rangga dan orang yang masih tetap belum dikenal dengan pasti itu.

Ki Demang sendiri memang sudah berangsur baik, sehingga ia sudah dapat bangkit dari pembaringannya. Berjalan-jalan di halaman dan melakukan pembicaraan-pembicaraan pendek dengan Ki Jagabaya serta para bebahu yang lain. Tetapi Ki Demang masih belum dapat melakukan tugasnya sepenuhnya.

Karena itu, iapun masih belum dapat mengambil langkah-langkah untuk menyelesaikan persoalan adik kandungnya. Namun Ki Demang sudah mendengar apa yang dilakukan oleh adiknya. Ki Demang pun mengerti bahwa adiknya sudah benar-benar menyesali semua tingkah lakunya.

Tetapi sebenarnyalah bahwa Kademangan Sempulur masih belum terlepas sepenuhnya dari perhatian orang yang tidak dikenal itu. Orang-orang yang tidak dikenal itu akhirnya memang mendengar bahwa tanggung jawab atas kematian seorang di antara mereka terletak pada putra Panembahan Senapati di Mataram, serta seorang kawannya yang disebut bernama Glagah Putih dari Tanah Perdikan Menoreh.

“Apakah kita akan membiarkan saja hal itu terjadi?“ bertanya salah seorang di antara mereka.

Orang yang pernah menjadi tawanan Raden Rangga itu berkata, “Anak-anak muda itu memang memiliki ilmu yang luar biasa.“

“Bagimu, mereka memang tidak akan terkalahkan,“ berkata seorang yang sudah melampui setengah abad, yang rambutnya sudah mulai berwarna rangkap.

“Jadi apa yang harus kita lakukan?“ bertanya orang yang pernah menjadi tawanan Raden Rangga itu. “Aku kira tidak ada gunanya kita melepaskan dendam pada orang orang padukuhan ini. Mereka adalah kambing-kambing yang tidak berdaya. Sementara itu serigala yang sebenarnya telah meninggalkan kademangan ini.“

Orang yang berambut mulai bercampur putih itu mengangguk-angguk. Katanya, “Sasaran kita memang Mataram. Jika kita menyentuh kademangan ini, sebenarnyalah tidak lebih dari sekedar usaha membuat landasan-landasan untuk meloncat ke Mataram.“

“Tetapi apakah kita masih akan dapat menemukan kedua anak muda itu?“ bertanya orang yang pernah menjadi tawanan itu.

“Ada dua kemungkinan,“ berkata yang lain, “anak-anak itu pergi ke Mataram atau pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Sebab menurut cerita dari banyak orang di kademangan ini, bahkan di warung-warung dan di pasar-pasar, yang seorang memang bernama Raden Rangga, putra Panembahan Senapati, dan yang seorang bernama Glagah Putih, saudara sepupu Agung Sedayu. Panembahan Senapati kita semuanya sudah mengetahuinya. Sulit bagi kita untuk dapat melakukan langkah-langkah langsung atasnya. Kegagalan yang pahit itu menjadi pengalaman bagi kita. Tetapi mungkin kita dapat berbuat sesuatu atas Agung Sedayu dari Tanah Perdikan Menoreh. Kita dapat minta kepadanya untuk berbuat sesuatu atas saudara sepupunya itu, karena ia telah membunuh seorang di antara kita dan membuat seorang lagi tidak berdaya. Untunglah bahwa kita sempat membebaskannya.“ Orang-orang yang sedang berbincang itu mengangguk-angguk. Yang dilakukan oleh anak-anak muda itu memang satu penghinaan. Persoalannya tidak lagi dalam hubungan mereka dengan Mataram. Tetapi sebagai satu kelompok yang besar dan kuat, yang mempunyai hubungan dengan beberapa orang adipati di Bang Wetan dalam persoalan mereka dengan Mataram, telah dihinakan oleh anak-anak muda. Seorang di antara mereka adalah kebetulan memang putra Panembahan Senapati yang menjadi sasaran gerakan mereka. Sedangkan yang lain hanyalah seorang dari Tanah Perdikan Menoreh.

Mereka memang harus memperhitungkan dengan cermat untuk dapat membalas sakit hati atas putra Panembahan Senapati yang memiliki kekuatan yang besar pula. Namun mereka tentu tidak akan banyak menemui kesulitan jika mereka mengarahkan dendam mereka kepada anak muda yang satu lagi.

“Kita dapat datang ke Tanah Perdikan Menoreh, yang aku tahu letaknya di seberang Kali Praga,“ berkata seorang di antara mereka.

“Kali Praga atau Opak?“ bertanya yang lain.

“Kali Praga. Di seberang Kali Opak adalah Bogem, kemudian Candisari, sebelum kita memasuki Cupu Watu, Sarageni dan kemudian memaduki Tambak Baya yang terkenal itu,“ jawab orang yang mengaku telah mengetahui Tanah Perdikan Menoreh.

“Kita akan mendekati Mataram,“ desis yang lain.

“Ya. Karena itu, Tanah Perdikan Menoreh terletak di sebelah barat Kali Praga, bukan Kali Opak,“ jawab kawannya itu. “Justru setelah kita melampaui jalan ke Mataram. Kita tidak berbelok ke kiri, tetapi kita berjalan terus, meskipun kita akan dapat juga pergi ke Tanah Perdikan Menoreh lewat Mataram.“

“Kau mengenal daerah itu dengan baik,“ berkata seorang kawannya.

“Aku adalah seorang pengembara, meskipun sudah lama sekali,“ jawab orang yang telah mengenal Tanah Perdikan Menoreh itu.

Demikianlah, maka orang-orang itu pun kemudian memutuskan untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Nama yang disebut-sebut adalah Agung Sedayu, kakak sepupu Glagah Putih. Agung Sedayu harus dapat menyerahkan Glagah Putih kepada mereka, atau Agung Sedayu-lah yang akan dijadikan ganti, jika Glagah Putih tidak mau menyerahkan diri.

Dalam pada itu, empat orang telah siap untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh, ditambah dengan seorang lagi. Seorang yang menjadi kebanggaan mereka berempat. Orang itu adalah guru mereka, yang mereka sebut dengan Ki Ajar Laksana. Menurut keempat orang itu, tidak akan ada orang yang mampu mengalahkan Ki Ajar Laksana itu di Tanah Perdikan Menoreh.

“Persoalan ini menyimpang dari rencana,“ berkata Ki Ajar Laksana.

“Ya Guru,“ jawab orang yang pernah menjadi tawanan Raden Rangga, “tetapi bukankah para adipati itu juga belum akan bergerak? Sementara usaha orang-orang Nagaraga untuk menempuh jalan pintas telah gagal. Mereka tidak berhasil membunuh Panembahan Senapati dengan caranya. Agaknya orang-orang Nagaraga ingin mendapat pujian dari para adipati, atau untuk mendapatkan kedudukan yang paling tinggi di antara mereka. Bukankah dengan demikian kita masih mempunyai waktu untuk menegakkan harga diri kita dengan melepaskan dendam kematian saudara kita? Aku kira waktu yang kita perlukan tidak terlalu lama. Kita akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Kita temui Agung Sedayu. Mudah-mudahan Glagah Putih itu sudah ada di rumah. Jika belum, maka Agung Sedayu akan kita jadikan tanggungan dan memberi kesempatan Glagah Putih untuk menyerahkan diri barang satu dua pekan.“

Ki Ajar Laksana nampaknya memang tidak berkeberatan. Ia memang merasa tersinggung karena kematian seorang muridnya. Namun iapun kemudian berkata, “Tetapi kalian jangan menganggap persoalan ini terlalu mudah. Kalian tahu, bahwa anak muda yang bernama Glagah Putih itu memiliki ilmu yang tinggi. Itu tentu tidak akan datang begitu saja padanya. Karena itu, mungkin ia telah berguru kepada seseorang yang juga berada di Tanah Perdikan Menoreh, sehingga tidak mustahil bahwa kita akan berbadapan dengan satu perguruan.“

“Mudah-mudahan,“ berkata seorang muridnya, “kita akan menunjukkan kepada perguruan itu, bahwa perguruan kita memiliki kelebihan daripada perguruan Glagah Putih yang sombong.“

Ki Ajar menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Baiklah. Kita akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.“

Demikianlah, seperti yang mereka setujui, maka orang-orang itupun telah meninggalkan Kademangan Sempulur. Seperti pada saat mereka berada di sekitar dan di dalam kademangan itu tanpa diketahui oleh orang-orang kademangan itu, maka kepergian mereka pun sama sekali tidak menarik perhatian.

Dalam pada itu, Raden Rangga dan Glagah Putih pun kemudian menganggap bahwa ternyata tidak timbul akibat yang parah bagi Kademangan Sempulur karena kematian orang yang tidak dikenal itu. Dengan demikian, maka setelah menunggu beberapa hari sehingga keduanya yakin benar bahwa Sempulur tidak akan mengalami bencana, maka mereka pun telah sepakat untuk melanjutkan perjalanan mereka.

Tetapi seperti yang harus mereka lakukan, bahwa mereka sama sekali tidak kembali ke Mataram atau ke Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi keduanya telah melanjutkan perjalanan mereka ke Timur, untuk menelusuri gerak orang-orang dari perguruan Nagaraga.

Namun satu hal yang tidak diketahui bahwa orang-orang yang berada di Kademangan Sempulur dan seorang diantaranya terbunuh itu, bukan orang Nagaraga, atau orang-orang yang berhubungan langsung dengan perguruan Nagaraga.

Dengan demikian, maka dua kelompok orang yang merasa saling berkepentingan telah menempuh perjalanan yang justru bertolak belakang. Mereka tidak akan dapat bertemu, bahkan justru jarak di antara mereka akan menjadi semakin jauh.

Demikianlah, maka Raden Rangga dan Glagah Putih telah melanjutkan perjalanan dalam tugas mereka menuju ke Timur. Mereka merasa bahwa tugas pokok mereka itu harus dapat mereka selesaikan, meskipun Raden Rangga tetap pada pendiriannya untuk melakukan Tapa Ngrame. Memberikan pertolongan kepada siapapun yang memerlukan pertolongannya.

Namun kedua anak muda itu sadar sepenuhnya bahwa jalan yang mereka tempuh memang panjang dan penuh dengan bahaya yang mengancam. Tetapi mereka sudah bertekad bulat. Tugas yang dibebankan oleh Panembahan Senapati itu harus mereka lakukan, betapapun rumit dan beratnya, karena petunjuk-petunjuk tentang sasaran yang mereka tuju ternyata sangat sedikit.

Namun di sepanjang perjalanan, Raden Rangga sempat memberikan tuntunan kepada Glagah Putih tentang olah kanuragan. Dengan caranya yang khusus Raden Rangga mampu meningkatkan kemampuan Glagah Putih, bahkan kadang-kadang Raden Rangga telah menunjukkan sesuatu yang baru, yang sebelumnya tidak dikenali oleh Glagah Putih.

Dengan demikian pengenalan Glagah Putih terhadap olah kanuragan dan ilmu jaya kawijayan menjadi semakin luas. Berlandaskan dengan kemampuan yang memang sudah ada di dalam dirinya, maka Glagah Putih mampu mengembangkan pengenalannya itu sehingga menjadikan dirinya semakin matang.

“Aku tidak kehilangan apapun juga dengan memberikan pengetahuan dan pengenalan itu kepadamu,“ berkata Raden Rangga, “tetapi sebaliknya, jika tidak ada orang lain yang mengenalinya, maka jika saatnya aku kembali, maka semuanya itu akan lenyap bersama tubuhku yang hancur di dalam pelukan bumi.“

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun sebelum ia menyahut Raden Rangga sudah mendahului, “Jangan cegah aku berbicara tentang hari-hari yang pasti bakal datang itu. Perjalanan ke Timur ini rasa-rasanya sebagai jalan pulang kepada asalku.“

“Aku bukannya mencegah Raden Rangga berangan-angan tentang sesuatu yang kurang kita kenali,“ jawab Glagah Putih, “tetapi kadang-kadang terasa jantung ini berdegup semakin keras. Aku sadari, jika memang hal itu harus terjadi, tidak ada seorang pun yang mampu mencegahnya, bahkan menundanya meskipun hanya sesisir bawang. Tetapi juga tidak ada seorang pun yang dekat dengan dirinya sampai pada batas yang tidak dapat dihindari itu.“

Raden Rangga tersenyum. Katanya, “Glagah Putih. Semakin dewasa seseorang, maka ia akan menjadi semakin mapan mempergunakan nalarnya dalam keseimbangannya dengan perasaannya. Karena itu, maka hidupnya akan menjadi mapan karena keseimbangan jiwanya itu menghadapi persoalan apapun juga.“

Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara Raden Rangga pun meneruskan, “Namun segala sesuatu memang harus dikembalikan kepada Sumber dari kehidupan ini.“

Glagah Putih tidak menjawab. Namun ia merasa seakan-akan sedang berbicara dengan gurunya atau orang yang sebaya dengan gurunya. Ketika ia berpaling dan dilihatnya sekilas anak yang masih terlalu muda berjalan di sampingnya, maka ia memang merasakan kejanggalan itu. Namun Glagah Putih sudah mengenal Raden Rangga dengan baik. Seorang yang mempunyai sisi kehidupan rangkap.

Demikianlah, sambil berjalan menuju ke Timur, Glagah Putih sempat menempa diri. Bahkan kadang-kadang mereka harus berhenti sehari penuh di dalam hutan, jika Raden Rangga didera oleh keinginannya untuk memberitahukan dan menunjukkan sesuatu kepada Glagah Putih.

Sementara Raden Rangga dan Glagah Putih menyusuri jalan ke arah timur, maka Ki Ajar Laksana justru menuju ke barat. Perjalanan Ajar Laksana dan murid-muridnya justru lebih cepat dari perjalanan Raden Rangga dan Glagah Putih yang kadang-kadang bahkan berhenti.

Namun Ki Ajar Laksana juga tidak dengan serta merta menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Mereka telah melihat-lihat pula padukuhan dan bulak-bulak. Bahkan daerah yang miring di kaki Gunung Merapi. Dalam perjalanan itu sekaligus mereka mengamati kemungkinan untuk mendapatkan landasan menuju ke Mataram.

Orang-orang itu sudah tahu bahwa di Jati Anom terdapat sepasukan prajurit yang kuat. Itulah sebabnya maka kelima orang itu justru ingin berjalan melalui Jati Anom. Mungkin mereka akan mendapat sedikit keterangan tentang pasukan Mataram itu.

Ki Ajar Laksana telah memerintahkan tiga orang di antara mereka berjalan agak di depan beberapa puluh langkah, agar mereka tidak nampak berjalan dalam kelompok yang besar, yang dapat menarik perhatian orang lain.

Ketika Ki Ajar Laksana lewat di depan sebuah padepokan kecil di tempat yang terpisah dari Kademangan Jati Anom, ia telah tertarik kepada seorang tua yang berjalan sendiri menuju padepokan. Karena itu, maka ketika mereka berpapasan, Ki Ajar sempat bertanya, “Ki Sanak. Kau akan pergi ke mana di terik panasnya matahari seperti ini?”

“Aku justru dari sawah Ki Sanak,“ jawab orang tua itu, “siapakah Ki Sanak, dan Ki Sanak akan pergi ke mana?”

Orang yang disebut Ki Ajar Laksana itu termangu-mangu. Tetapi ia masih bertanya, “Dimana rumahmu?“

“Di padukuhan sebelah,“ jawab orang itu sambil menunjuk sebuah padukuhan, yang justru terletak di belakang padepokan kecil itu, berantara sebuah bulak meskipun tidak terlalu panjang.

“O,“ Ki Ajar menangguk-angguk. Namun ia bertanya pula, “Siapakah yang tinggal di padepokan itu? Aku kira kau juga tinggal di padepokan itu.“

“Aku memang akan pergi ke padepokan,“ jawab orang tua itu, “tetapi untuk mengembalikan cangkul ini. Aku telah dipinjami oleh seorang cantrik dari padepokan itu di sawah tadi, ketika cangkulku sendiri patah.“

Ki Ajar Laksana mengangguk-angguk. Namun ia tidak bertanya lebih jauh lagi. Namun justru orang tua itulah yang bertanya, “Siapakah Ki Sanak berdua? Agaknya Ki Sanak bukan orang Jati Anom.“

Ki Ajar mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Aku bukan siapa-siapa. Tetapi pada saat-saat pengembaraanku, aku belum melihat padepokan ini ada di sini.“

Orang tua yang membawa cangkul itu masih juga bertanya, “Ki Sanak akan pergi kemana?“

Ki Ajar Laksana memandang orang itu sekilas. Namun kemudian jawabnya, “Sekedar melihat-lihat lingkungan yang pernah aku lihat dahulu. Ternyata sudah banyak terjadi perubahan. Tetapi di bagian lain apa yang nampak masih seperti dahulu pernah aku lihat.“

Orang tua itu mengangguk-angguk. Namun mereka tidak meneruskan pembicaraan karena Ki Ajar Laksana itu meneruskan perjalanannya. Sejanak orang tua itu memperhatikan kedua orang yang berjalan menjauh. Ia tidak melihat tiga orang yang telah berjalan lebih dahulu.

Orang tua itu terkejut ketika seorang cantrik menyapanya, “Kau lihat apa Kek?“

“O,“ orang tua itu menarik nafas. Katanya kemudian, “Aku akan mengembalikan cangkul ini.“

“Kau perhatikan orang lewat itu?“ bertanya cantrik itu.

“Ya,“ jawab orang tua yang akan mengembalikan cangkul itu, “tetapi orang tua itu juga memperhatikan padepokan ini. Katanya, ia belum pernah melihat sebelumnya.“

“Apakah kau perkenalkan Kiai Gringsing kepada orang itu?“ bertanya cantrik itu.

“O, aku tidak menyebut nama siapapun. Apakah itu baik jika aku menyebut nama Kiai Gringsing?“ bertanya orang tua itu.

“Bukan begitu. Mungkin orang itu sudah pernah saling mengenal. Tetapi jika tidak, memang tidak ada salahnya,“ jawab cantrik itu.

Orang itu mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Aku akan mengembalikan cangkul ini.“

“Pakai saja dahulu Kek. Bukankah cangkulmu patah? Besok jika kau sudah memiliki yang baru, kau kembalikan cangkul itu kemari.“

Orang tua itu mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih. Jika demikian, biarlah cangkul ini aku bawa pulang.“

“Silahkan,“ berkata cantrik itu.

Demikianlah, maka orang tua itu pun meninggalkan regol padepokan itu sambil menjinjing cangkul yang tidak jadi dikembalikan ke padepokan. Sementara itu cantrik yang menyapanya itu pun telah memasuki regol.

Namun langkahnya tertegun ketika ia melihat Kiai Gringsing berdiri di belakang regol. Ketika Kiai Gringsing melihat cantrik itu agak gugup, maka Kiai Gringsing itu pun berkata, “Aku mendengar percakapan itu. Tidak ada yang menarik bagiku.“

“O,“ cantrik itu pun kemudian melintasi halaman dan pergi ke belakang bangunan induk padepokan kecil itu.

Ketika cantrik itu meninggalkannya, Kiai Gringsing justru pergi ke regol. Ketika ia melangkah keluar, maka orang yang berhenti dan berbicara dengan orang tua yang akan mengembalikan cangkul itu sudah menjadi terlalu jauh untuk dapat dikenal ujudnya.

Namun Kiai Gringsing tidak banyak memperhatikannya lagi, meskipun memang ada keinginan untuk mengetahui serba sedikit tentang orang itu, yang tentu pernah berada atau mengembara sampai ke Jati Anom. Namun hal itu sudah lama dilakukannya.

Tetapi ketika kemudian Kiai Gringsing masuk kembali ke halaman padepokannya, tiba-tiba saja ia teringat kepada Raden Rangga dan Glagah Putih yang sedang pergi ke Timur, sementara menurut dugaan Kiai Gringsing orang itu justru datang dari arah Timur.

Tiba-tiba terbersit satu pertanyaan, “Apakah ada hubungan antara kepergian Raden Rangga dan Glagah Putih dengan orang itu?“

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya kepada diri sendiri, “Jalan di depan padepokan itu adalah jalan yang dilalui oleh banyak orang. Termasuk orang yang berbicara dengan orang tua itu.“

Kiai Gringsing pun kemudian berusaha untuk melupakannya. Ia tidak mau melihat hubungan antara orang itu dengan Raden Rangga dan Glagah Putih hanya karena keresahan di hatinya sendiri.

Namun ia justru berkata kepada diri sendiri, “Seandainya aku mempunyai kemampuan mengurai arti dari satu isyarat di dalam diri ini, mungkin aku dapat melihat apa yang mungkin terjadi pada getar isyarat ini.“

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia ingin melupakannya saja. Karena itu, maka iapun telah pergi ke kebun dan melihat-lihat ikan yang berenang di kolam yang berair jernih. Tetapi terasa getaran perasaannya itu masih saja membelitnya. Bahkan muncul pula tiba-tiba satu keinginan untuk melihat keluarga Glagah Putih yang ditinggalkan. Bukan di Banyu Asri, tetapi di Tanah Perdikan Menoreh.

“Sudah lama aku tidak pergi ke Menoreh,“ berkata Kiai Gringsing, “Agung Sedayu pun sudah agak lama tidak datang ke padepokan ini. Seharusnya ia sudah waktunya untuk bergantian membawa kitab yang masih saja ada pada Swandaru.“

Namun Kiai Gringsing pun mengerti, bahwa jika Agung Sedayu mengambil kitab tentang ilmu yang sebagian telah dikuasainya, sebenarnya tidak banyak artinya, karena Agung Sedayu memiliki kurnia kemampuan mengingat sangat tajam atas apa yang pernah menjadi perhatiannya, meskipun untuk hal lain ia masih juga dihinggapi sifat kebanyakan orang, lupa.

“Tetapi Agung Sedayu ingat semua pengertian yang tergores di dalam kitab itu,“ berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.

Yang kemudian tergetar di hatinya adalah kerinduan seorang guru kepada muridnya yang sudah agak lama tidak dilihatnya. Bagaimanapun juga Kiai Gringsing ingin menyisihkan untuk sementara perasaan rindunya kepada keluarga di Tanah Perdikan Menoreh, namun rasa-rasanya keinginan itu justru semakin mendesak.

Namun tiba-tiba saja ia berdesis, “Apa salahnya jika aku berjalan-jalan ke Tanah Perdikan Menoreh barang satu atau dua pekan? Padepokan ini tidak akan mengalami kesulitan apapun jika aku tinggalkan untuk sementara. Anak-anak sudah dapat mengurus sawah dan pategalan. Sementara itu tidak ada persoalan dengan siapapun juga yang sedang berlangsung.“

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Keinginan itu begitu mendesaknya, sehingga ia berkata kepada diri sendiri, “Inilah sifat orang-orang yang menjadi semakin tua. Keinginannya kadang-kadang muncul tanpa alasan dan sulit untuk dicegah.“

Karena itu maka Kiai Gringsing pun kemudian justru kembali ke bangunan induk padepokan kecilnya. Dipanggilnya cantrik yang tertua di antara kawan-kawannya.

“Besok aku akan pergi,“ berkata Kiai Gringsing.

“Kemana Kiai?“ bertanya cantrik itu.

“Aku akan pergi ke Sangkal Putung, dan terus ke Tanah Perdikan Menoreh,” jawab Kiai Gringsing.

Cantrik itu mengangguk-angguk. Tetapi terlontar pula pertanyaan, “Apakah Kiai akan pergi seorang diri?”

Kiai Gringsing tersenyum. Jawabnya, “Ya. Bukankah aku terbiasa mengembara seorang diri?”

“Tetapi pada saat Kiai masih muda,” jawab cantrik itu.

Kiai Gringsing tertawa. Tetapi ia tidak mengelak. Juga terhadap perasaan sendiri. Ia memang sudah menjadi semakin tua.

Namun justru karena itu, maka ia ingin segera menemui murid-muridnya. Ia ingin sedikit memacu agar murid-muridnya menguasai ilmunya sebanyak-banyak sebelum saatnya ia harus dipanggil kembali. Karena Kiai Gringsing sadar, bahwa tidak ada seorangpun yang luput dari perjalanan kembali ke Sumbernya.

Demikianlah, maka Kiai Gringsing itu telah mempersiapkan dirinya. Memang tidak banyak yang akan dibawanya sebagaimana masa-masa sebelumnya jika ia pergi. Sebungkus kecil ganti pakaian yang hanya sepengadeg.

Seperti yang dikatakannya, maka di pagi hari berikutnya, Kiai Gringsing sudah siap untuk berangkat ke Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi seperti yang dikatakannya, maka ia akan singgah lebih dahulu ke Sangkal Putung.

Seekor kuda telah disiapkan oleh cantrik yang tertua di padepokan itu. Bahkan ketika Kiai Gringsing siap untuk berangkat cantrik itu masih juga bertanya, “Apakah tidak ada seorangpun yang Kiai perintahkan untuk ikut?”

Kiai Gringsing menggeleng sambil tersenyum, “Sudahlah. Aku titip saja padepokan ini. Jaga baik-baik dan pelihara semua tanaman dengan sungguh-sungguh. Juga tanaman yang ada di sawah dan di pategalan.”

Cantrik itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah Kiai. Kami akan melakukannya dengan baik. Tetapi bahwa Kiai pergi seorang diri agaknya akan merasa sepi di jalan. Juga jika Kiai memerlukan sesuatu, tidak ada yang dapat membantu Kiai.”

Kiai Gringsing memandang cantrik itu dengan tatapan mata seorang tua. Katanya, “Terima kasih. Tetapi perjalanan kali ini adalah perjalanan yang pendek, sehingga agaknya aku tidak akan mengalami kesulitan apapun di perjalanan. Perjalanan dari Sangkal Putung ke Tanah Perdikan adalah perjalanan yang dekat, melalui jalan yang sudah menjadi ramai.”

Demikianlah maka Kiai Gringsing pun kemudian telah meninggalkan padepokannya. Seorang diri di atas punggung kuda.

Beberapa orang cantrik yang melihatnya ternyata telah disentuh oleh perasaan yang aneh. Mereka melihat seorang tua yang pergi seorang diri di atas punggung kuda.

Namun mereka telah menenangkan hati mereka sendiri, “Tetapi orang tua itu adalah Kiai Gringsing.”

Sebenarnya bahwa Kiai Gringsing telah meninggalkan padepokan itu. Kudanya tidak berlari terlalu cepat. Perjalanannya memang tidak terlalu berat, karena jalan ke Sangkal Putung dan ke Tanah Perdikan Menoreh telah merupakan jalan yang ramai dan semakin baik.

Seandainya Kiai Gringsing tidak ingin singgah di Sangkal Putung, maka ia dapat menempuh jalan yang lebih pendek. Melalui jalan yang melingkari lambung Merapi itu akan dapat menempuh jalan pintas. Dan ternyata jalan itu pulalah yang dilalui oleh Ki Ajar Laksana yang menuju pula ke Tanah Perdikan Menoreh.

Dalam pada itu, selagi sekelompok orang menuju ke Tanah Perdikan Menoreh, serta Kiai Gringsing yang akan singgah lebih dahulu ke Sangkal Putung untuk selanjutnya juga menuju ke Tanah Perdikan Menoreh, Raden Rangga dan Glagah Putih telah meneruskan perjalanannya ke Timur. Mereka berusaha untuk sampai ke daerah yang akan dapat menjadi pancadan mendekati sasaran. Perguruan Nagaraga yang tidak begitu dikenalnya.

Namun pada saat keduanya menjadi semakin jauh dari Mataram, justru sekelompok orang telah mencari Glagah Putih ke Tanah Perdikan Menoreh.

Sementara itu, Kiai Gringsing pun telah melintasi jalan-jalan bulak menuju ke Sangkal Putung. Tidak ada kesulitan di perjalanan. Karena itu, maka jalan menuju ke Sangkal Putung itu ditempuhnya dalam waktu yang tidak terlalu lama. Apalagi hari masih pagi. Udara terasa segar, sementara ujung batang jagung di sawah masih basah digayuti titik-titik embun.

Ternyata jalan menuju Sangkal Putung sudah menjadi demikian ramai. Tetapi Kiai Gringsing telah memilih jalan yang justru agak sepi, menelusuri tepi hutan. Namun ternyata banyak juga orang yang memilih jalan itu.

Meskipun jalan itu berada di pinggir hutan yang masih dihuni binatang buas, namun agaknya binatang-binatang buas lebih senang memburu mangsanya jauh ke bagian yang lebih dalam lagi. Karena itu maka jarang sekali terjadi, seekor harimau nampak oleh orang-orang yang lewat, meskipun jalan sepi. Tetapi biasanya orang yang lewat pun jarang sekali yang seorang diri.

Ketika Kiai Gringsing sampai di Sangkal Putung, kebetulan Swandaru tidak ada di rurnah. Ki Demang dan Pandang Wangi-lah yang menyambutnya dan mempersilahkannya naik ke pendapa, sementara Pandan Wangi telah memerintahkan seorang pengawal untuk menyusulnya. 

“Kakang Swandaru sedang berada di padukuhan sebelah,” berkata Pandan Wangi, “padukuhan itu sedang merencanakan memperluas jaringan parit yang membelah bulak panjang, yang kadang-kadang memang mengalami kekurangan air.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Jika memang sedang sibuk, aku kira Swandaru tidak perlu dijemput.”

“Kakang hanya menunggui saja,” berkata Pandan Wangi.

Kiai Gringsing mengangguk. Katanya, “Sebenarnyalah aku hanya singgah sebentar.”

“Kiai akan pergi kemana?” bertanya Ki Demang.

“Aku akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh,” jawab Kiai Gringsing.

“Apakah ada keperluan yang penting Kiai?” bertanya Ki Demang pula.

Kiai Gringsing menggeleng. Jawabnya sambil tersenyum, “Tidak Ki Demang. Tidak ada apa-apa. Hanya tiba-tiba saja aku ingin menengok Agung Sedayu. Atau barangkali lebih tepat, aku sudah terlalu lama terkungkung di padepokanku. Sementara itu kebiasaanku mengembara masih juga mempengaruhi perasaanku. Itulah agaknya salah satu sebab bahwa aku untuk satu dua pekan ingin keluar dari padepokan.”

Ki Demang mengangguk-angguk. Sementara itu Pandan Wangi bertanya, “Apakah maksud Kiai, Kiai akan membawa Kakang Swandaru untuk menyertai Kiai?”

“Aku hanya akan menawarkannya,” berkata Kiai Gringsing, “tetapi jika Swandaru sedang sibuk, maka tidak ada salahnya jika aku pergi sendiri.”

Pandan Wangi mengerutkan keningnya, sementara itu Kiai Gringsing berkata sambil tersenyum, “Agaknya perasaanmu tidak ubahnya dengan beberapa orang cantrik di padepokan. Agaknya mereka tidak sampai hati melepaskan seorang tua untuk menempuh perjalanan seorang diri.”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Maaf Kiai. Agaknya Kiai benar. Aku memang merasa demikian, jika aku hanya sekedar melihat ujud kewadagan Kiai, meskipun aku harus mempercayai penalaranku, bahwa orang tua itu adalah Kiai Gringsing.”

Kiai Gringsing tertawa. Katanya, “Bukan apa-apa. Tetapi aku memang sudah berpengalaman menempuh pengembaraan yang panjang, apalagi hanya ke Tanah Perdikan Menoreh yang sudah aku jalani berpuluh bahkan beratus kali.”

Pandan Wangi mengangguk-angguk. Iapun menyadari, bahwa Kiai Gringsing adalah orang yang lain dari orang kebanyakan.

Dalam pada itu, maka sejenak kemudian Swandaru pun telah datang pula. Iapun bergegas naik ke pendapa. Demikian ia duduk, iapun langsung bertanya, “Apakah ada perintah Guru untukku?”

Kiai Gringsing tersenyum sambil menggeleng, “Tidak Swandaru. Tidak ada apa-apa.”

“O,” Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Syukurlah. Aku kira ada sesuatu yang penting yang harus aku lakukan.”

Kiai Gringsing masih menggeleng. Namun iapun kemudian menyatakan niatnya untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.

“Aku hanya ingin singgah dan menanyakan kepadamu, apakah kau juga ingin pergi ke Tanah Perdikan,” berkata Kiai Gringsing,.

Swandaru mengerutkan keningnya. Ia memang berpikir sejenak. Namun kemudian katanya, “Sebenarnya aku ingin mengantar Guru. Tetapi aku sedang mempersiapkan satu kerja besar di padukuhan sebelah yang kadang-kadang mengalami kekeringan.”

“Tetapi bukankah tugas itu untuk sepekan dua pekan dapat dilakukan oleh anak-anak?” Pandan Wangi menyela.

Swandaru termangu-mangu sejenak. Namun katanya, “Jika perencanaannya sudah selesai, justru aku dapat meninggalkannya. Kini kami justru sedang menyusun perencanaannya.”

Pandan Wangi agaknya masih ingin mengatakan sesuatu. Namun Kiai Gringsing mendahuluinya, “Baiklah. Jika kau sibuk Swandaru, aku akan pergi sendiri. Perjalanan ke Tanah Perdikan bukan perjalanan yang berat. Jika aku singgah, bukan semata-mata ingin mencari kawan di perjalanan. Tetapi barangkali ada pesan Pandan Wangi untuk ayahnya.”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba ia berkata kepada Swandaru, “Kakang, aku sudah agak lama tidak datang ke Tanah Perdikan. Sebenarnyalah bahwa aku memang rindu kepada Ayah. Apakah Kakang mengijinkan jika aku menyertai Kiai Gringsing untuk pergi barang sepekan?”

Swandaru mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian mengangguk-angguk. Katanya, “Jika kau ingin, baiklah. Ada juga baiknya bagi Guru yang sudah semakin tua untuk menemaninya di perjalanan. Meskipun hanya sekedar kawan berbincang.”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun nampaknya Swandaru memang tidak berkeberatan. Sementara itu Ki Demang pun berkata, “Tetapi bukankah Kiai tidak akan terlalu lama di Tanah Perdikan?”

“Tidak Ki Demang,” jawab Kiai Gringsing, “mungkin hanya sepekan. Paling lama dua pekan. Hanya sekedar melepas kerinduan.”

Swandaru mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bertanya, “Guru, apakah Kakang Agung Sedayu sudah jemu mempelajari ilmu yang Guru wariskan kepada kami berdua?” Kiai Gringsing justru termangu-mangu. Ia tidak segera mengetahui maksud Swandaru. Namun kemudian Swandaru berkata, “Tetapi sebenarnya bagiku kebetulan sekali, karena kitab Guru untuk waktu yang jauh lebih panjang ada padaku. Dengan demikian aku mendapat kesempatan untuk mempelajarinya lebih banyak dari Kakang Agung Sedayu.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Jawabnya, “Mungkin bukan karena jemu. Agung Sedayu mempunyai kebiasaan yang aku kenal. Jika ia sedang menekuni sesuatu, maka ia baru akan selesai jika ia menganggap bahwa yang dilakukan itu sudah cukup. Demikian pula dengan ilmu yang diwarisinya dari kitab itu. Ia tentu sedang menekuni salah satu di antaranya. Ia baru akan datang meminjamnya lagi jika ia merasa bahwa yang satu itu sudah cukup di pahami.”

Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, “Ada juga baiknya sifat Kakang Agung Sedayu. Tetapi nampaknya ia tidak begitu bergairah. Meskipun ia menekuni salah satu bab di antara berjenis ilmu itu, bukankah kadang-kadang ia masih juga memerlukan tuntunan?”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Agaknya ia memang masih memerlukannya. Memang sebaiknya jika ia menekuni ilmu itu dengan menghadapi tuntunannya.”

“Jika demikian, apakah Guru akan membawa kitab itu? Tetapi pada saatnya aku akan mengambilnya, atau syukurlah jika Kakang Agung Sedayu sempat menengok Kiai sambil membawa kitab itu. Sebenarnya akupun sedang mempelajari satu hal yang ingin aku sempurnakan. Tetapi aku tidak mau disangka ingin menyimpan kitab itu tanpa memberi kesempatan kepada Kakang Agung Sedayu sehingga jika mengalami kelambatan, akulah yang dianggap bersalah dan menghambatnya,” berkata Swandaru.

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa sebenarnya Swandaru menginginkan kitab itu untuk seterusnya ada padanya. Tetapi ia ingin menunjukkan bahwa ia adalah seorang saudara seperguruan yang baik, yang tidak mementingkan diri sendiri.

Namun Kiai Gringsing tidak menolak. Katanya, “Baiklah. Biarlah aku membawanya dan meninggalkan kitab itu di Tanah Perdikan untuk beberapa bulan.”

“Jika demikian Kiai,” berkata Pandan Wangi, “sebaiknya Kiai berangkat besok. Dengan demikian aku mendapat kesempatan untuk dengan tidak tergesa-gesa membenahi diri dan barangkali selembar dua lembar pakaian.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Aku tahu, biasanya seorang perempuan lebih lama memerlukan waktu untuk bersiap-siap jika akan bepergian, meskipun perempuan itu Pandan Wangi.”

Pandan Wangi tertawa. Katanya, “Jika perlu, aku dapat pergi sekarang juga. Tetapi bukankah Kiai tidak tergesa-gesa?”

“Ya. Aku tidak tergesa-gesa,” jawab Kiai Gringsing.

Dengan demikian Kiai Gringsing telah bermalam semalam di Sangkal Putung. Sementara itu Pandan Wangi telah membenahi bukan saja dirinya sendiri, tetapi juga memberikan beberapa pesan kepada pembantunya di Kademangan, bagaimana ia harus melayani Swandaru. Kesenangannya jika ia makan dan kebiasaannya untuk minum justru jangan terlalu panas. Meskipun pembantunya itu juga sudah melakukannya untuk waktu yang cukup lama, tetapi Pandan Wangi tidak mau Swandaru dicemaskannya.

Dalam pada itu, Swandaru dapat memanfaatkan kehadiran gurunya yang hanya semalam. Swandaru mempersilahkan Kiai Gringsing untuk berada di sanggarnya. Swandaru ingin mendapat tuntunan dari perkembangan ilmunya yang menggetarkan.

Kemampuan Swandaru untuk membangkitkan tenaga dalam ternyata sulit dicari bandingnya. Kekuatannya bagaikan mekar berlipat ganda. Meskipun tanpa disadarinya sepenuhnya, ternyata Swandaru juga telah memanfaatkan kekuatan getar di sekitar dirinya yang dihisapnya dan dibentuknya dengan kemampuan ilmunya menjadi tenaga pendorong pada tenaga cadangannya, sehingga kekuatannya melampaui kekuatan yang dapat dicapai oleh kebanyakan orang.

Ujung cambuk Swandaru benar-benar mampu membelah dan menghancurkan batu hitam. Apalagi kulit daging seseorang.

Kiai Gringsing yang menyaksikannya mengangguk-angguk. Katanya, “Dahyat sekali Swandaru. Kau tekuni ilmumu yang mampu mengungkap kekuatan yang jarang ada bandingnya. Tetapi kau dapat mencobanya tidak mempergunakan cambukmu, tetapi dengan tanganmu. Namun tentu saja tidak dengan serta merta. Aku yakin, bahwa kekuatan wadagmu melampaui kekuatan wadag orang kebanyakan. Tetapi kau dapat membentuk wadagmu untuk kepentingan itu. Kau bentuk sisi telapak tanganmu yang akan mampu kau pergunakan sebagaimana ujung cambukmu. Sebab bagaimanapun juga lekatnya cambuk itu padamu, ada kalanya cambuk itu terpisah juga daripadamu.”

Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti Guru. Aku akan mencobanya. Mudah-mudahan aku berhasil.”

“Usaha itu dapat kau lakukan bersamaan dengan usaha untuk meningkatkan daya tahan tubuhmu. Meskipun kau tidak sampai pada tingkat kekebalan, namun kau tidak akan cepat menjadi goyah karena benturan-benturan yang keras dengan orang-orang berilmu tinggi. Agaknya ilmu kini semakin mekar, dan orang berilmu pun menjadi semakin banyak. Namun sayang bahwa perkembangan ilmu itu tidak dibarengi dengan perkembangan peradaban, sehingga justru yang terjadi adalah sebaliknya dari pemanfaatan ilmu itu bagi kemanusiaan.” 

Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti Guru. Aku akan meningkatkan kemampuanku dan mencoba untuk membentuk unsur-unsur kewadaganku sebagaimana Guru katakan.”

“Mudah-mudahan kau berhasil. Sementara itu kaupun harus melihat gejala perkembangan ilmu Pandan Wangi. Ia mulai dengan kekuatan yang barangkali mempunyai ungkapan yang berbeda dengan kau,” berkata Kiai Gringsing.

Swandaru mengangguk kecil. Ia memang melihat perkembangan ilmu Pandan Wangi yang berbeda dengan cara dan sifat dari perkembangan ilmunya. Namun dalam pada itu ia menjawab, “Dasar dari ilmu kami memang berbeda. Sifat Pandan Wangi sebagai seorang perempuan dan aku sebagai laki-laki menurut kodratnya memang berbeda. Karena itu, perkembangan ilmu kami juga berbeda. Aku memang melihat usaha Pandan Wangi untuk mengimbangi kekurangannya pada kekuatan, khususnya mengenai bentuk dan kemampuan wadagnya, dengan dukungan kekuatan lewat getaran yang dilontarkan dari wadagnya meniti kekuatan yang ada di sekitarnya, menggapai sasaran.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ternyata Swandaru telah mengamati ilmu Pandan Wangi meskipun hanya dari segi ujudnya saja. Namun itu sudah merupakan satu hal yang baik. Apalagi apabila keduanya dapat berlatih bersama untuk dapat saling memperngaruhi dan saling menyadap.

Namun untuk melakukannya diperlukan pertimbangan, pengamatan dan usaha yang hati-hati. Jika hal itu dilakukan dengan serta merta tanpa memperhitungkan imbangan dari ilmu keduanya, maka akibatnya akan dapat terjadi tidak sebagaimana diharapkan.

Demikianlah, malam itu Swandaru mendapat beberapa petunjuk dari gurunya. Perkembangan ilmunya yang memang pesat akan menjadi semakin mapan.

Lewat tengah malam, Swandaru mempersilahkan gurunya untuk beristirahat.’ Besok gurunya masih akan menempuh perjalanan meskipun tidak terlalu jauh. Sementara itu, di dalam sanggar dan latihan-latihan yang pendek itu Swandaru seakan-akan memang merasakan, bahwa bagaimanapun juga unsur wadag ikut menentukan. Betapa tinggi ilmu seseorang, namun jika datang saatnya kemampuan wadagnya menjadi susut, maka ilmunya pun akan menjadi susut pula.

Di pagi hari berikutnya sebelum matahari terbit, Pandan Wangi telah bersiap. Demikian pula dengan Kiai Gringsing. Keduanya akan menempuh perjalanan sebelum panas matahari mulai menyengat.

Ki Demang dan Swandaru mengantar keduanya sampai ke gerbang Kademangan. Kemudian setelah sekali lagi mereka minta diri, maka keduanya pun meninggalkan Kademangan Sangkal Putung menuju ke Tanah Perdikan Menoreh.

Karena hari masih remang-remang, maka belum banyak orang yang keluar dari halaman rumah mereka, sehingga tidak banyak pula orang yang melihat kepergian Pandan Wangi bersama Kiai Gringsing menuju ke Tanah Perdikan Menoreh itu.

Dalam pada itu, keduanya setuju untuk menempuh perjalanan tanpa melalui Mataram, sehingga mereka tidak akan perlu berhenti apabila mereka bertemu dengan orang-orang yang kebetulan pernah mereka kenal.

Sebenarnyalah perjalanan menuju ke Tanah Perdikan Menoreh bukan perjalanan yang jauh. Apalagi mereka sudah terbiasa hilir mudik. Karena itu, maka Kiai Gringsing dan Pandan Wangi pun tidak merasakan bahwa mereka sedang dalam perjalanan yang melelahkan.

Keduanya ternyata tidak mengalami gangguan di perjalanan. Meskipun demikian jika mereka berpapasan dengan orang-orang berkuda lainnya, orang-orang itu sempat juga berpaling ke arah Pandan Wangi. Agaknya seorang perempuan yang berkuda dengan pakaian sebagaimana dikenakan oleh Pandan Wangi memang belum banyak dilakukan orang.

Meskipun demikian, tidak ada juga yang menyapanya. Orang-orang yang berpapasan itu hanya memandanginya sekilas. Memang ada yang tertarik bukan saja melihat pakaian Pandan Wangi, tetapi juga sebagai seorang perempuan yang cantik. Dua orang anak muda yang berkuda justru . telah berhenti. Mereka memandang Pandan Wangi dengan hampir tidak berkedip. Bahkan seorang di antaranya tiba-tiba saja telah bersiul panjang.

Pandan Wangi memang berpaling sekilas. Tetapi iapun kemudian tidak menghiraukan lagi ketika dilihatnya dua orang anak muda yang berhenti di pinggir jalan.

Namun anak muda itu pun telah meneruskan perjalanan mereka ke arah yang berlawanan, meskipun keduanya masih juga membicarakan seorang perempuan cantik yang berkuda dengan mengenakan pakaian yang tidak banyak dipakai.

“Perempuan itu mengenakan pakaian laki-laki,” berkata salah seorang.

“Tetapi perempuan yang aneh-aneh begitu biasanya berbahaya,” berkata kawannya.

“Ia hanya dikawani oleh seorang laki-laki tua,” desis anak muda yang pertama.

“Yang kita lihat memang demikian, tetapi siapa tahu, bahwa ada orang lain yang siap untuk menjebak kita jika mendekatinya,” sahut kawannya.

Yang lain mengangguk-angguk. Namun terasa tengkuk mereka meremang. Mereka memang pernah mendengar, bahwa kadang-kadang seorang perempuan dengan sengaja telah menarik perhatian orang. Namun jika orang yang tertarik kepadanya berusaha untuk mengganggunya, maka tiba-tiba saja beberapa orang laki-laki kasar dan bersenjata telah mengepung, dan kemudian menuntut sesuatu yang tidak masuk akal.

Sementara itu, Pandan Wangi dan Kiai Gringsing telah menjadi semakin mendekati Kali Praga. Mereka telah melintasi jalan yang berbelok ke Mataram ketika matahari sudah memanjat semakin tinggi di langit. Namun mereka justru mengambil jalan ke arah yang lain, yang langsung menuju ke penyeberangan Kali Praga.

Ketika matahari berada di puncak, maka mereka telah menyusuri jalan yang langsung sampai ke tempat penyeberangan. Sejenak Kiai Gringsing memandang ke depan. Dilihatnya Kali Praga mengalir dengan arusnya yang tenang, namun nampak betapa besar tenaga air yang terkandung di dalamnya.

“Kita sudah sampai ke Kali Praga,” berkata Kiai Gringsing.

Pandan Wangi mengangguk-angguk. Perjalanan mereka termasuk perjalanan yang lambat. Namun justru karena itu, rasa-rasanya Pandan Wangi telah mendapatkan kesegaran baru. Untuk waktu yang agak lama ia tidak melihat keluar batas dari kademangannya. Karena itu maka perjalanannya itupun memberikan suasana yang berbeda dari suasana yang dihadapinya sehari-hari.

Meskipun Pandan Wangi merasa kecewa juga, bahwa ia tidak dapat pergi bersama suaminya yang sedang sibuk, namun ia akan dapat bertemu dengan keluarganya di Tanah Perdikan.

“Bukankah aku tidak akan lama pergi?” berkata Pandan Wangi di dalam hatinya.

Sejenak kemudian mereka sudah berada di tepian. Sebuah rakit baru saja berangkat dari tepian timur menyeberang ke barat. Karena itu, maka mereka harus menunggu rakit berikutnya. Rakit yang beberapa saat menunggu sampai mendapat penumpang yang cukup untuk dibawa menyeberang.

Kiai Gringsing dan Pandan Wangi pun kemudian telah naik ke sebuah rakit, meskipun rakit itu tidak akan segera berangkat. Satu dua orang yang lain berturut-turut telah naik pula. Namun mereka masih harus dengan sabar menunggu.

Dalam pada itu, seorang yang berpakaian lebih baik dari orang-orang lain nampaknya tidak senang melihat dua ekor kuda di atas rakit. Karena itu, kepada tukang satang yang masih menunggu iapun bertanya, “He, siapakah yang membawa kuda itu?”

Tukang satang itu pun termangu-mangu. Namun di luar sadarnya ia memandang ke arah Kiai Gringsing dan Pandan Wangi yang telah duduk di sebelah kuda mereka itu.

“O, agaknya kalian berdua?” desis orang itu. Lalu katanya, “Aku adalah saudagar emas berlian yang setiap kali melintasi Kali Praga untuk pergi ke Mataram. Aku tidak senang naik rakit bersama-sama dengan dua ekor kuda.”

Kiai Gringsing dan Pandan Wangi sama sekali tidak menjawab. Mereka justru memandang tukang satang yang bertanggung-jawab atas para penumpang.

Tetapi sebelum tukang satang itu menjawab, saudagar itupun telah berkata, “Sebaiknya kalian tidak naik rakit bersamaku. Meskipun seorang di antara kalian berdua adalah seorang perempuan yang cantik, yang mula-mula aku kira seorang laki-laki, menilik pakaian yang kau pakai itu.”

“Ki Saudagar,” berkata tukang satang, “mereka telah naik lebih dahulu dari Ki Saudagar. Dan bukankah hal seperti ini merupakan hal yang wajar saja. Bukankah rakit-rakit yang lain juga sering membawa kuda, bahkan bukan kuda tunggangan sekalipun.”

“Ya,” jawab Ki Sudagar, “tetapi aku ingin tidak naik rakit bersama dua ekor kuda. Kalau pemiliknya, boleh saja naik rakit bersamaku. Tetapi kudanya tidak.”

Tukang satang itu menjadi bingung. Sementara Ki Sudagar itu dengan wajah tengadah berkata, “Jika kau merasa dirugikan, maka biarlah aku mengganti berupa upahmu membawa dua ekor kuda.”

Tukang satang itu memandang Kiai Gringsing, Pandan Wangi dan Saudagar itu berganti-ganti. Ia benar-benar tidak tahu apa yang harus dilakukan. Ia tidak dapat mengusir kedua orang yang membawa dua ekor kuda itu. Namun iapun merasa cemas melihat sikap saudagar yang agaknya keras kepala itu.

Namun adalah di luar dugaan, bahwa Kiai Gringsing tiba-tiba telah bangkit dan berkata kepada tukang satang, “Baiklah Ki Sanak. Jika kuda kami mengganggu, kami akan turun saja. Kami akan ikut rakit yang berikutnya.”

“O,” tukang satang itu justru termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Terima kasih atas sikap Ki Sanak. Bukan maksudku mengusir Ki Sanak. Tetapi sikap Ki Sanak telah meringankan bebanku.”

Kiai Gringsing pun kemudian bangkit bersama Pandan Wangi yang menjadi cemberut. Pandan Wangi agaknya mempunyai pendirian yang berbeda. Tetapi ia tidak berani menentang maksud Kiai Gringsing. Sehingga karena itu, ketika Kiai Gringsing menuntun kudanya turun dan meloncat ke tepian, Pandan Wangi pun berbuat serupa.

Tetapi ketika keduanya sudah di tepian, saudagar itu meloncat turun pula sambil berkata, “He, Anak Manis. Biarlah kakekmu saja yang membawa kedua ekor kuda itu dengan rakit berikutnya. Kau dapat bersamaku ikut dalam rakit itu. Aku akan membayar semua upah kalian termasuk kuda kalian, di rakit ini dan di rakit berikutnya.”

Wajah Pandan Wangi menjadi tegang. Namun ia berusaha menguasai dirinya, sementara Kiai Gringsing-lah yang menjawab, “Maaf Ki Sanak. Cucuku ini memang seorang pemalu dan barangkali penakut. Biarlah ia berada di rakit bersamaku. Silahkan Ki Saudagar menyeberang lebih dahulu.”

“Jangan bodoh,” berkata saudagar itu, “aku akan membayar upah bagi kalian. Atau barangkali kau ingin lebih dari itu?”

Saudagar itu maju selangkah mendekati Pandan Wangi. Namun Pandan Wangi bergeser surut, dan bahkan kemudian sambil menuntun kudanya Pandan Wangi berada di belakang Kiai Gringsing.

“He, Kakek. Katakan kepada cucumu. Jika ia ingin sesuatu, aku adalah saudagar emas dan permata,” berkata saudagar itu.

“Ah,” desis Kiai Gringsing, “Ki Saudagar telah membuka rahasia sendiri. Apakah Ki Saudagar tidak takut terdengar oleh barangkali orang-orang jahat? Bukankah dengan demikian mereka akan dapat merampok Ki Saudagar?”

Tetapi saudagar itu tertawa. Katanya, “Aku tidak gentar seandainya aku bertemu dengan lima orang perampok yang paling garang sekalipun. Seorang yang telah berani menyebut dirinya saudagar emas, intan dan permata, adalah orang yang telah berani menghadapi akibat dari sebutan itu. Jika tidak, lebih baik berdagang sambil bersembunyi-sembunyi.”

Kiai Gringsing termangu-mangu. Namun ketika ia berpaling ke arah Pandan Wangi, dilihatnya wajah Pandan Wangi menjadi merah. Sementara itu Ki Sudagar itu berkata pula, “Kau tidak saja menarik karena wajahmu. Tetapi juga pakaianmu. Menilik pakaianmu, kau tentu bukan perempuan sebagaimana perempuan kebanyakan. Namun justru karena itu. aku ingin mengenalmu lebih banyak. Mungkin kau murid sebuah perguruan, atau mungkin kau hanya sekedar ingin dianggap aneh.”

“Sudahlah Ki Sanak,” berkata Kiai Gringsing, “rakit itu sudah hampir penuh. Silahkan Ki Sanak naik. Nanti aku akan naik rakit berikutnya, karena Ki Sanak tidak mau berakit bersama kuda-kuda kami.”

“Tetapi aku ingin mengetahui, siapakah perempuan itu,” berkata saudagar itu.

“Cucuku,” jawab Kiai Gringsing, “perempuan ini adalah cucuku.”

“Ya, cucumu. Tetapi apakah perempuan ini punya keluarga yang lain, yang barangkali dapat memberikan satu ciri kepadaku?” bertanya saudagar itu. “Ki Saudagar,” berkata Kiai Gringsing, “Ki Saudagar tentu sudah menjelajahi daerah yang luas. Apakah Ki Saudagar pernah sampai ke Sangkal Putung?”

“Sangkal Putung?” ulang saudagar itu, “Hampir setiap hari aku lewati Sangkal Putung. Aku sudah menjelajahi Kudus, Demak, Pati dan daerah pesisir utara. Juga daerah Madiun, Panaraga dan daerah Timur yang lain. ”

“Barangkali Ki Sanak mengenal satu dua orang terpenting di Sangkal Putung?” bertanya Kiai Gringsing pula.

“Siapa?” bertanya Ki Sudagar dengan kerut di dahi.

“Perempuan ini, cucuku, adalah istri anak Demang Sangkal Putung,” jawab Kiai Gringsing.

“Swandaru?” bertanya Ki Sudagar dengan wajah yang tegang.

“Ya. Perempuan ini adalah istrinya,” jawab Kiai Gringsing.

“O,” tiba-tiba sikap orang itu berubah, “aku sudah pernah sedikit mengenal Swandaru. Namanya yang sudah sering aku dengar. Aku memang sudah pernah bertemu satu kali. Tetapi aku tidak terlalu akrab.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Lalu iapun bertanya, “Sementara itu, siapakah nama Ki Saudagar.”

“O, aku kira tidak perlu,” jawab saudagar itu. Namun kemudian, “Baiklah, jika kau tidak mau berakit bersamaku, aku akan mendahului. Salamku buat Swandaru Geni dari Sangkal Putung itu.”

Ki Saudagar tidak menunggu jawaban Kiai Gringsing. Iapun dengan cepat meloncat ke atas rakit dan berkata kepada tukang satang, “Berangkat sekarang.”

“Masih dapat memuat beberapa orang lagi Ki Saudagar,” jawab tukang satang.

“Aku akan memberi upah lipat,” jawab Ki Sudagar itu.

Tukang satang itu menjadi bingung. Tetapi karena saudagar itu bersedia membayar lipat, maka meskipun rakitnya masih dapat memuat dua tiga orang lagi, tetapi rakit itu pun segera saja meninggalkan tepian, setelah tali penambatnya dilepas.

Beberapa orang tukang satang mendorong rakit itu dengan satangnya, sehingga rakit itu segera bergeser ke tengah, mengikuti arah yang condong menyilang arus air Kali Praga.

Ki Saudagar yang berdebar-debar itu menarik nafas dalam-dalam. Kepada dirinya sendiri ia berkata, “Jika perempuan itu istri Swandaru, tentu perempuan itulah yang disebut Pandan Wangi.”

Tiba-tiba saja ia mengingat-ingat, apakah perempuan itu membawa pedang rangkap sebagaimana sering dikatakan orang tentang istri Swandaru, menantu Ki Demang Sangkal Putung itu.

Terasa bulu tengkuk Ki Sudagar itu meremang. Perempuan itu tidak nampak membawa sepasang pedang. Tetapi mungkin disembunyikan di balik kain panjangnya yang dikenakannya sebagaimana seorang laki-laki mengenakan kain panjang dengan celana komprang di dalamnya.

Untunglah perempuan itu belum berbuat sesuatu. Menurut pendengarannya sebagai seorang saudagar yang sering menjelajahi berbagai tempat, maka Pandan Wangi adalah seorang perempuan yang memiliki kemampuan yang jarang ada bandingnya. Bahkan laki-laki yang berilmu tinggi pun mampu ditundukkannya.

Sementara itu rakit yang ditumpangi oleh Ki Saudagar itupun menjadi semakin jauh ke tengah. Sementara itu Kiai Gringsing dan Pandan Wangi masih menungggu rakit berikutnya yang akan membawanya menyeberang.

“Kenapa dengan orang itu?” tiba-tiba saja Pandan Wangi bertanya kepada Kiai Gringsing.

Kiai Gringsing menggeleng. Jawabnya, “Entahlah. Tetapi orang itu tentu pernah mendengar nama suamimu, sehingga ia terpengaruh juga oleh nama Swandaru.”

Pandan Wangi mengangguk-angguk. Tetapi mereka tidak menyadari, bahwa Ki Saudagar itu selain menjadi silau oleh nama Swandaru, iapun menjadi berdebar-debar karena menurut pengertiannya, perempuan yang dihadapinya itu adalah Pandan Wangi.

Demikianlah, maka Kiai Gringsing dan Pandan Wangi pun telah berada di rakit berikutnya. Bersama beberapa orang yang lain, maka mereka pun telah menyeberangi Kali Praga menuju ke Tanah Perdikan Menoreh.

Ketika mereka sampai di seberang, maka mereka sudah tidak melihat lagi Ki Saudagar yang menolak naik rakit bersama dengan dua ekor kuda milik Kiai Gringsing dan Pandan Wangi. Agaknya Ki Saudagar itu telah meninggalkan tepian dengan tergesa-gesa. Meskipun ia mengatakan, bahwa ia tidak gentar menghadapi lima orang perampok yang garang, tetapi mendengar nama Swandaru, orang itu menjadi pucat.

Tetapi ternyata yang telah mendengar Kiai Gringsing menyebut anak Demang Sangkal Putung bukan hanya Ki Saudagar itu saja. Seorang yang berdiri meskipun agak jauh daripadanya, mendengar nama itu dan melihat sikap Ki Saudagar setelah mendengar nama itu disebut.

“Siapakah Swandaru itu?” bertanya orang itu kepada seorang yang berdiri di sebelahnya.

“Aku belum mengenalnya Ki Ajar,” jawab orang yang berdiri di sebelahnya itu, “tetapi menurut orang tua itu, Swandaru adalah anak Ki Demang Sangkal Putung.”

“Orang yang menyebut dirinya sebagai saudagar itu tiba-tiba menjadi ketakutan,” berkata orang itu.

“Kita akan dapat bertanya kepada Ki Saudagar serba sedikit tentang kedua orang yang agaknya juga akan pergi ke Tanah Perdikan itu. Menilik pakaiannya, perempuan yang disebut istri Swandaru itu tentu juga seorang yang memiliki sesuatu,” berkata orang itu.

Sebenarnyalah mereka telah naik pula ke rakit yang ditumpangi oleh Ki Saudagar, sementara tiga orang lainnya telah ikut bersama rakit yang ditumpangi oleh Kiai Gringsing dan Pandan Wangi. Mereka telah berjanji untuk bertemu lagi di atas tanggul rendah di tepian Kali Praga itu.

Dalam pada itu, ketika Ki Saudagar turun dari rakit dan berjalan dengan tergesa-gesa menjauhi Kali Praga, maka dua orang telah mengikutinya. Mereka tidak segera menyapanya. Tetapi mereka menunggu sampai jarak yang cukup dari Kali Praga.

Sambil berjalan di sisinya, Ki Ajar itu pun telah menyapanya, “Selamat bertemu, Ki Saudagar.”

Saudagar itu terkejut. Ketika ia berpaling, dilihatnya orang yang belum pernah dikenalnya. Karena itu, Ki Saudagar itu pun menarik nafas dalam-dalam. Orang itu bukan orang tua yang berkuda bersama cucunya, Pandan Wangi,

“Apakah aku boleh memperkenalkan diri?” berkata Ki Ajar.

“Siapa kau?” bertanya Ki Saudagar. Sikapnya justru menunjukkan sikapnya sehari-hari. Pandangannya agak tengadah dan hampir tanpa mengacuhkan orang yang berjalan di sebelahnya.

“Ki Sanak,” berkata Ki Ajar, “sebenarnya aku hanya ingin mendapat keterangan sedikit saja. Siapakah Swandaru itu, dan kenapa Ki Saudagar tiba-tiba menjadi ketakutan.”

“Persetan,” geram Ki Saudagar, “tidak ada orang yang aku takuti di muka bumi ini.”

“Tetapi setelah Ki Saudagar mendengar nama Swandaru, Ki Saudagar dengan serta merta telah meninggalkan orang tua dan cucu perempuan itu. Apakah itu bukan berarti bahwa nama Swandaru itu benar-benar telah mencengkam hati Ki Sanak?”

Wajah Ki Saudagar itu menjadi merah. Bahkan ia telah berhenti sambil bertolak pinggang, “Apa maumu sebenarnya?”

“Jangan marah Ki Sanak,” berkata Ki Ajar, “aku hanya ingin mengetahui serba sedikit tentang Swandaru. Itu saja. Aku tidak akan mengganggu Ki Sanak.”

Saudagar itu memandang Ki Ajar dengan tajamnya. Namun Ki Ajar itu berkata, “Jika kita terlalu banyak berbincang di sini, sebentar lagi orang tua dan cucu perempuannya itu tentu akan segera lewat. Karena itu, marilah kita berbicara sambil berjalan. Bahkan kita dapat berbelok lewat jalan kecil. Setelah aku mendengar serba sedikit tentang Swandaru, aku tidak akan mengganggu Ki Sanak lagi.”

Ki Saudagar itu termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba ia berkata, “Marilah kita berjalan terus.”

Mereka pun kemudian meneruskan langkah mereka. Sementara itu Ki Saudagar pun berkata, “Yang aku ketahui tentang Swandaru adalah, bahwa ia adalah anak Demang Sangkal Putung. Ia memiliki ilmu yang sangat tinggi. Bukan Swandaru saja, tetapi juga istrinya itu. Namanya Pandan Wangi. Menurut pendengaranku, ia adalah anak perempuan Ki Gede Menoreh, Kepala Tanah Perdikan Menoreh.”

Ki Ajar itu mengangguk-angguk. Namun iapun telah bertanya lagi, “Apakah Ki Sanak mengenal Agung Sedayu dari Tanah Perdikan Menoreh?”

“Aku pernah mendengar namanya. Seperti Swandaru, aku tidak banyak mengenalnya secara pribadi,” jawab Ki Saudagar.

“Siapakah Agung Sedayu yang tinggal di Tanah Perdikan Menoreh itu?” bertanya Ki Ajar.

“Menurut pendengaranku, ia adalah seorang yang memiliki ilmu yang tinggi pula. Ia memiliki kelebihan dari kebanyakan orang. Dan kata orang, Agung Sedayu dan Swandaru itu adalah saudara seperguruan,” berkata Ki Saudagar.

Ki Ajar menangguk-angguk. Katanya kemudian, “Apakah ada hal-hal yang lain yang Ki Sanak ketahui, justru yang menarik perhatian?”

Ki Saudagar menggeleng. Katanya, “Aku tidak tahu banyak. Tetapi nama itu banyak dikenal di sini. Apakah kau mempunyai persoalan dengan mereka? Maksudku Swandaru atau Agung Sedayu?”

Ki Ajar menarik nafas. Katanya, “Tidak. Aku hanya ingin mendengar tentang mereka.”

“Tinggallah di Tanah Perdikan ini untuk beberapa hari. Berbicara tentang Agung Sedayu di pasar-pasar atau di warung-warung. Meskipun keterangannya juga hanya terbatas seperti yang aku katakan, tetapi semua orang di sini mengenalnya, karena Agung Sedayu merupakan orang yang dianut oleh anak-anak muda di Tanah Perdikan ini. Ia tidak saja dikagumi karena ilmunya. Tetapi Agung Sedayu telah berbuat banyak di sini. Bendungan, parit, jalan-jalan dan tekad anak-anak muda untuk berbuat sesuatu bagi tanah kelahirannya.”

“Luar biasa,” desis Ki Ajar, “pantas Ki Sanak cemas mendengar nama Swandaru, saudara seperguruan Agung Sedayu.”

Wajah Ki Saudagar itu menjadi merah. Tetapi Ki Ajar itu justru tersenyum. Katanya, “Jika kau menghindari nama Swandaru dan istrinya, maka biarlah aku memberitahukan kepadamu, bahwa aku memang mempunyai persoalan dengan saudara seperguruannya yang bernama Agung Sedayu itu.”

Ki Saudagar menjadi tegang. Namun Ki Ajar berkata, “Jangan- cemaskan aku. Aku akan dapat menghancurkannya seperti menghancurkan buah ranti.”

“Kau jangan bermimpi,” berkata Ki Saudagar, “menurut pendengaranku, Agung Sedayu mempunyai kemampuan yang tidak terbatas.”

“Tidak ada orang yang memiliki kemampuan tidak terbatas,” berkata Ki Ajar, “karena itu aku akan mencoba, apakah nama yang besar itu sesuai dengan kenyataannya.”

“Kau jangan membunuh diri,” berkata Ki Saudagar.

Tetapi Ki Ajar itu tersenyum pula. Katanya, “Apakah kau meragukan kemampuanku?”

Ki Saudagar termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Kita baru saja berkenalan. Bagaimana mungkin aku dapat mengetahui, apakah kau akan mampu mengimbangi kemampuan Agung Sedayu, sementara itu kemampuan Agung Sedayu yang sebenarnya pun belum pernah aku lihat.”

Ki Ajar justru tertawa. Katanya, “Kau jujur Ki Saudagar. Karena itu, aku ingin menunjukkan kepadamu, bahwa aku akan dapat mengatasi betapapun tinggi ilmu Agung Sedayu.”

Ki Saudagar termangu-mangu. Tetapi ia tidak dapat menolak ketika Ki Ajar itu membawanya berbelok ke jalan sempit, menuju ke hutan perdu.

“Untuk apa kau bawa aku kemari?” bertanya Ki Saudagar.

“Aku hanya ingin menunjukkan kepadamu, bahwa aku memiliki sesuatu yang dapat aku pergunakan sebagai bekal untuk menghancurkan Agung Sedayu.”

Ki Saudagar itu bagaikan dicengkam oleh kuasa yang tidak dapat ditolaknya. Ia menurut saja ketika Ki Saudagar itu membawanya semakin ke tengah di antara gerumbul-gerurnbul perdu.

Sejenak kemudian, Ki Ajar pun berhenti. Ki Saudagar dan seorang murid Ki Ajar itu pun berhenti pula.

Ki Ajar pun kemudian berkata kepada muridnya, “Tunjukkan kekuatanmu, agar orang ini yakin, bahwa kita akan berhasil.”

“Siapakah orang itu?” bertanya Ki Sudagar.

“Muridku. Itupun bukan Putut yang tertua di antara saudara-saudara seperguruannya,” jawab Ki Ajar.

Ki Saudagar termangu-mangu. Namun jantungnya menjadi berdebaran ketika ia melihat orang itu mendekati sebongkah batu padas.

Kemudian dengan kekuatannya yang luar biasa orang itu berhasil mengangkat batu padas itu. Sejenak batu itu terayun di atas kepalanya, namun sesaat kemudian batu itu terlempar dari tangannya, menghantam batu padas yang lain.

Ki Saudagar itu rasa-rasanya bagaikan membeku. Ia melihat batu padas yang dilontarkan dan yang dikenainya itu sama-sama hancur, pecah berserakan.

Ki Ajar tersenyum melihat wajah Ki Saudagar yang pucat. Dengan nada rendah orang itu berkata, “Ki Sudagar, bagaimana sekiranya batu itu menimpa kepalamu? Atau katakan, kepala Agung Sedayu. Kau tahu, yang melakukan itu adalah muridku. Belum aku sendiri.”

Ki Saudagar itu menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat sesuatu yang luar biasa. Meskipun sebagai seorang pedagang yang berkeliling ia sudah melihat banyak sekali peristiwa dan mengalami banyak sekali kejadian, namun orang yang akan mencari Agung Sedayu itu agaknya memang orang yang berilmu tinggi. Ternyata muridnya mampu melakukan sesuatu yang mendebarkan.

Meskipun demikian, orang itu berkata di dalam hatinya, ” Aku menjadi gemetar melihat permainan ini. Tetapi aku kira Agung Sedayu bersikap lain.”

Tetapi orang itu tidak mengatakannya. Ia tidak ingin terlibat, langsung atau tidak langsung.

“Nah, sudahlah Ki Sanak,” berkata Ki Ajar, “silahkan melanjutkan perjalanan. Aku tidak akan mengganggumu.”

Demikianlah, maka Ki Ajar membiarkan Ki Saudagar melangkah kembali meninggalkan hutan perdu, untuk kembali memasuki jalan yang semula dilaluinya.

Namun langkahnya tiba-tiba terhenti. Dan bahkan iapun telah berlindung di balik semak-semak ketika ia melihat Pandan Wangi dan laki-laki tua yang mengaku kakeknya itu lewat.

“Lebih baik berada di belakangnya,” berkata Ki Saudagar, “dengan berkuda, mereka akan berjalan lebih cepat.”

Sebenarnyalah, sejenak kemudian Kiai Gringsing dan Pandan Wangi itu telah meninggalkan Ki Saudagar semakin jauh.

Namun Ki Saudagar itu menarik nafas dalam-dalam, ketika tiba-tiba saja di belakangnya ia mendengar suara, “Kau sempat juga bersembunyi Ki Saudagar.”

Ki Sudagar menarik nafas dalam-dalam. Tetapi iapun kemudian tersenyum. Katanya, “Aku tidak ingin terlibat dalam persoalan dengan orang-orang itu.”

“Bukankah mereka hanya lewat?” bertanya Ki Ajar.

“Ah,” Ki Saudagar tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian meninggalkan tempat itu dengan tergesa-gesa.

Ki Ajar memandanginya sambil tersenyum. Namun ia tidak berkata apapun juga tentang Ki Saudagar itu.

Namun demikian, Ki Ajar itu telah mengajak muridnya untuk beristirahat saja di hutan perdu itu. Mereka masih harus menemui kawan-kawannya yang lain, justru di tanggul Kali Praga.

“Mereka akan terlalu lama menunggu,” desis murid Ki Ajar.

“Mereka pun perlu beristirahat,” berkata Ki Ajar, “atau barangkali kau saja pergi ke tanggul. Bawa mereka kemari.”

Muridnya mengangguk-angguk. Iapun kemudian meninggalkan gurunya untuk menjemput saudara-saudara seperguruannya, sehingga kemudian, mereka telah berkumpul beristirahat di sebuah hutan perdu yang jarang dilalui orang.

Sementara itu, Ki Saudagar telah berjalan semakin jauh dari tempat itu, apalagi Kiai Gringsing dan Pandan Wangi yang berkuda. Mereka telah melewati jalan-jalan bulak di Tanah Perdikan Menoreh. Menuju ke padukuhan induk.

Jika mereka memasuki padukuhan, kehadiran mereka justru telah mengejutkan. Seperti bermimpi orang-orang Tanah Perdikan tiba-tiba saja telah melihat Pandan Wangi dan Kiai Gringsing lewat di jalan padukuhan. Dengan serta merta mereka telah menyapa sambil mengangguk hormat.

Kiai Gringsing dan Pandan Wangi pun telah menangguk pula sambil tersenyum. Sekali-sekali mereka menjawab sapa orang-orang yang berpapasan di jalan. Bahkan kadang-kadang Pandan Wangi dan Kiai Gringsing harus berhenti barang sejenak, jika mereka melihat sekelompok orang yang keheran-heranan melihat keduanya tiba-tiba sudah ada di hadapan mereka.

Dengan demikian, maka perjalanan mereka menjadi lambat. Namun demikian, akhirnya mereka telah memasuki padukuhan induk pula.

“Aku antar kau langsung ke rumah Ki Gede,” berkata Kiai Gringsing, “baru kemudian aku pergi ke rumah Agung Sedayu.”

Pandan Wangi mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih Kiai. Atau barangkali Kiai akan bermalam saja di rumah Ayah.”

Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Terima kasih. Tetapi agaknya lebih baik bagiku bermalam di rumah Agung Sedayu saja.”

Pandan Wangi pun tersenyum pula. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu, karena mereka telah menghampiri regol halaman rumah Ki Gede.

Kedatangan Pandan Wangi dan Kiai Gringsing tanpa Swandaru memang mengejutkan. Ki Gede dengan serta merta telah menyambutnya. Yang pertama-tama ditanyakannya adalah Swandaru.

“Kenapa kau pergi sendiri? Dimana suamimu?” bertanya Ki Gede dengan nada mendesak.

Tetapi Pandan Wangi tersenyum. Katanya, “Kakang Swandaru sedang sibuk, Ayah. Aku memang datang bersama Kiai Gringsing. Tetapi atas ijin Kakang Swandaru.”

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Marilah, silahkan masuk.”

Pandang Wangi dan Kiai Gringsing telah dipersilahkan masuk. Setelah menyerahkan kuda-kuda mereka, maka mereka langsung naik ke ruang dalam.

Sejenak kemudian mereka telah duduk sambil berbincang. Sekali-sekali terdengar mereka tertawa. Ki Gede telah menyatakan kecemasan yang mencengkam. Namun ternyata bahwa ia harus tertawa menerima kedatangan anak perempuannya tanpa suaminya, karena di antara mereka tidak terjadi sesuatu.

“Semula aku menjadi cemas. Barangkali telah terjadi sesuatu dengan Swandaru, sehingga kau harus datang sendiri untuk memberitahukan hal itu kepadaku, sehingga kau telah diantar oleh Kiai Gringsing,” berkata Ki Gede sambil tertawa.

Pandan Wangi pun tertawa pula. Katanya kemudian, “Kiai Gringsing yang mula-mula berniat pergi ke Tanah Perdikan. Akulah yang kemudian menyatakan diri untuk mengikutinya. Karena Kakang Swandaru sedang sibuk, maka Kakang Swandaru tidak berkeberatan jika aku pergi bersama Kiai Gringsing, karena aku memang sudah agak lama tidak melihat kampung halaman ini.”

Dengan demikian maka pertemuan itu pun menjadi cerah dan tidak dibayangi oleh perasaan cemas tentang persoalan yang menyangkut anak perempuannya yang datang sendiri tanpa suaminya.

Kiai Gringsing untuk beberapa saat berada di rumah Ki Gede. Namun kemudian, setelah dihidangkan minuman dan makanan, maka Kiai Gringsing pun minta diri untuk pergi ke rumah Agung Sedayu.

“Kenapa tergesa-gesa?” bertanya Ki Gede.

“Sudah agak lama aku tidak bertemu dengan anak itu,” jawab Kiai Gringsing, “rasa-rasanya ingin juga segera menemuinya.”

Ki Gede dan Pandan Wangi pun kemudian tidak menahannya lagi. Mereka telah mengantar Kiai Gringsing sampai ke regol halaman, dan kemudian melepaskan Kiai Gringsing berkuda ke rumah Agung Sedayu.

Seperti Ki Gede,. Agung Sedayu yang kebetulan sedang berada di rumahnya pun telah terkejut pula. Namun setelah Kiai Gringsing duduk di ruang dalam bersama Sekar Mirah dan Ki Jayaraga pula, maka ternyata bahwa tidak ada persoalan penting yang mereka hadapi.

“Aku hanya tiba-tiba saja ingin melihat apa yang telah agak lama tidak aku lihat di sini,” berkata Kiai Gringsing.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih Guru, bahwa Guru telah memerlukan datang untuk melihat keadaan kami di sini. Agaknya kami di sini baik-baik saja, selain sedikit kegelisahan karena kepergian Glagah Putih.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun iapun kemudian menceritakan serba sedikit tentang dorongan yang telah membawanya ke Tanah Perdikan.

“Sebenarnya tidak ada hubungan langsung dengan Tanah Perdikan ini. Tetapi tiba-tiba saja aku ingin datang kemari,” berkata Kiai Gringsing.

Tetapi Agung Sedayu menyahut, “Kadang-kadang sesuatu telah terjadi di dalam diri kita. Tetapi kita tidak tahu bagaimana kita harus mengurainya.”

“Kau benar,” berkata Kiai Gringsing, “aku memang sedang memikirkan Glagah Putih pula. Entahlah, apakah ada hubungannya atau tidak.”

“Bagaimanapun juga, kita berdoa bagi Glagah Putih,” berkata Agung Sedayu.

Kiai Gringsing mengangguk-angguk mengiakannya.

Sejenak mereka terdiam. Mereka justru membayangkan perjalanan Glagah Putih ke arah Timur untuk melakukan tugas yang dibebankan oleh Panembahan Senapati kepada putranya Raden Rangga. Namun agaknya karena saat terjadinya peristiwa yang dianggap bersalah itu Raden Rangga bersama dengan Glagah Putih, maka Glagah Putih pun telah ikut pula menanggung beban tugas sebagai hukumannya.

Tetapi ternyata bahwa Panembahan Senapati telah memperlunak hukumannya. Keduanya mendapat waktu tanpa batas, sehingga keduanya tidak terikat pada satu keharusan untuk menyelesaikan tugas itu pada jangka waktu tertentu.

Glagah Putih sendiri pada saat itu telah berjalan semakin jauh. Tetapi seperti yang dilakukan Raden Rangga sebelumnya, mereka terlalu sering berhenti di padukuhan-padukuhan. Kadang-kadang keduanya telah melakukan kerja orang-orang padukuhan itu, di tempat mereka singgah. Namun kadang-kadang keduanya telah membuat orang-orang padukuhan menjadi terheran-heran atas kemampuan mereka.

Sekelompok penyamun yang kebetulan menjumpai anak-anak muda itu benar-benar telah dibuat jera. Pemimpinnya telah kehilangan kemungkinan untuk dapat melakukan kejahatan lagi, karena dalam pertempuran dengan Raden Rangga tubuhnya telah menjadi cacat. Dengan demikian maka perjalanan kedua anak muda itu memang bagaikan siput yang merangkak, lamban sekali. Namun seperti yang telah dikatakan, Raden Rangga telah memasuki keadaan Tapa Ngrame. Sehingga mau tidak mau Glagah Putih harus ikut melakukannya juga, menyatakan atau tidak menyatakan dirinya memasuki keadaan itu.

Sementara itu di Tanah Perdikan Menoreh, Ki Jayaraga berkata, “Kita anggap saja perjalanan itu sebagai ujian mereka. Setelah kita memberi bekal secukupnya kepada Glagah Putih serta bekal yang telah dimiliki sendiri oleh Raden Rangga, maka kita lepas keduanya mengenali dunia ini dengan segala macam isi dan warnanya.”

“Ya,” Kiai Gringsing mengangguk-angguk, “semoga mereka berhasil.”

“Seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu,” berkata Ki Jayaraga, “kita harus selalu berdoa bagi keduanya.”

Demikianlah, maka pembicaraan mereka pun kemudian telah bergeser dari Glagah Putih dan Raden Rangga kepada keadaan mereka sehari-hari. Keadaan Tanah Perdikan Menoreh dan usaha Agung Sedayu untuk meningkatkan kesejahteraan hidup Tanah Perdikan itu sendiri. 

Namun akhirnya mereka berbicara pula tentang Sangkal Putung yang telah menjadi semakin baik di bawah tuntunan Swandaru, meskipun dengan cara yang agak lebih keras dari yang ditempuh oleh Agung Sedayu, tetapi manfaat kerja mereka yang didorong oleh sikap-sikap Swandaru yang lebih keras dari Agung Sedayu itu nampak berhasil, sehingga orang-orang Kademangan Sangkal Putung tidak menyesalinya. Bahkan mereka telah didorong oleh kerja yang lebih keras untuk mendapatkan hasil yang lebih baik lagi.

Tetapi pembicaraan itu pun kemudian sampai juga pada usaha Swandaru dan Pandan Wangi meningkatkan ilmu mereka. Bagaimanapun juga, bagi seorang pemimpin seperti Swandaru, ilmu akan menjadi modal yang sangat berharga.

Dengan pembicaraan yang bergeser kesana kemari, maka mereka telah sampai pada waktu untuk makan. Kemudian setelah makan, Kiai Gringsing telah mendapatkan waktu khusus berbicara dengan Agung Sedayu tentang kitab yang dibawanya.

“O,” Agung Sedayu mengangguk-angguk, “terima kasih Guru. Kemudian kitab itu akan aku kembalikan kepada Swandaru.”

“Baiklah. Tetapi kau tidak perlu tergesa-gesa. Pergunakan waktu yang menjadi hakmu. Agaknya Swandaru menilaimu keliru. Ia menganggap bahwa kau tidak tertarik lagi pada isi kitab itu dan puas dengan apa yang telah kau miliki sekarang.”

“Baik Guru,” jawab Agung Sedayu, “namun agaknya dugaan Swandaru itu ada juga benarnya. Aku memang menjadi malas untuk meningkatkan ilmu. Kehadiran Guru besar artinya bagiku, karena Guru telah memperbaharui tekadku untuk meningkatkan ilmuku yang terhenti.” 

“Tetapi kau telah berada di tataran yang lebih tinggi dari yang diduga oleh Swandaru,” berkata Kiai Gringsing, “meskipun demikian, aku ingin melihat tingkat-tingkat ilmu yang sudah kau miliki sekarang.”

“Kita akan dapat pergi ke sanggar, Guru,” berkata Agung Sedayu, “di sanggar Guru akan dapat melihat dan barangkali memberikan arah yang lebih baik bagiku.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Besok malam kita akan melihat. Tidak ada salahnya jika Ki Jayaraga dan Sekar Mirah ikut pula bersama-sama dengan kita.”

Sebenarnyalah hari itu Kiai Gringsing benar-benar beristirahat di Tanah Perdikan Menoreh. Sebelum senja, Kiai Gringsing sempat melihat-lihat jalan padukuhan yang semakin sepi. Kemudian di malam hari, setelah makan malam dan berbicara serba sedikit tentang bermacam-macam persoalan, maka mereka cepat pergi ke pembaringan.

Namun pembantu rumah itulah yang kemudian pergi ke sungai untuk melihat pliridannya. Setiap hari ia mengeluh, karena ia harus melakukannya sendiri. Kadang-kadang ia berniat untuk membiarkan saja pliridannya terbuka. Tetapi rasa-rasanya sayang juga bahwa ikannya tidak terjaring ke dalam wuwu.

Untunglah bahwa kadang-kadang ia turun ke sungai bersamaan dengan kawannya yang juga membuka pliridan tidak terlalu jauh dari pliridannya, sehingga kadang-kadang mereka dapat bersama-sama menunggui pliridannya dini hari menjelang dibuka.

Tetapi sementara itu, ternyata bahwa rumah Agung Sedayu telah diamati oleh dua orang yang lewat pada malam hari di jalan padukuhan, tidak melalui regol yang ditunggui oleh para peronda dari padukuhan itu.

Bagi kedua orang itu, sama sekali tidak ada kesulitan untuk memasuki padukuhan induk dengan meloncati dinding padukuhan.

Ternyata seperti yang dikatakan oleh Ki Saudagar, maka tidak ada kesulitan apapun untuk mengetahui keadaan Agung Sedayu menurut gelar kewadagannya. Semua orang Tanah Perdikan mengetahui siapakah Agung Sedayu. Apa pula yang sudah dilakukan bagi Tanah Perdikan itu.

Ki Ajar Laksana pun telah mendengar pula siapakah istri Agung Sedayu, seorang perempuan yang memiliki ilmu yang tinggi, sebagaimana anak perempuan Kepala Tanah Perdikan itu, yang kemudian kawin dengan anak Ki Demang Sangkal Putung.

Kepada muridnya Ki Ajar itu berkata, “Tentu perempuan yang lewat menyeberangi Kali Praga bersama kakeknya itu.”

Muridnya mengangguk. Katanya, “Ternyata di Tanah Perdikan ini terdapat beberapa orang yang berilmu tinggi.”

“Ya,” jawab Ki Ajar, “tetapi kita belum tahu, seberapa tataran ketinggian ilmu itu.”

“Kita dapat menduganya Ki Ajar,” jawab muridnya, “saudara sepupu Agung Sedayu itu mampu membunuh seorang di antara kita.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar