Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 210

Buku 210

Ki Demang mengerutkan keningnya, sementara Ki Jagabaya dan anak Ki Demang itu termangu-mangu. Dengan nada datar Ki Demang itu pun bertanya, “Anak Muda, menurut pengertianku, Rangga adalah satu kedudukan atau pangkat. Apakah pengertianku itu benar?“

“Tidak Ki Demang,“ Glagah Putih-lah yang menyahut. “Yang disebut adalah sebuah nama. Namanya memang Rangga. Utuhnya, Raden Rangga, putra Panembahan Senapati di Mataram.“

“Putra Panembahan Senapati?“ Ki Demang terkejut. Ia berusaha untuk bangkit.

Tetapi Raden Rangga menahannya sambil berkata, “Sudahlah Ki Demang. Berbaring sajalah. Siapapun aku, sebaiknya Ki Demang jangan memaksa diri untuk bangkit dan duduk. Ki Demang masih terlalu lemah.“

“Ampun Raden,“ berkata Ki Demang justru dengan nafas terengah-engah, “kami sama sekali tidak tahu, bahwa tamu kami sekarang ini adalah putra Panembahan Senapati di Mataram.“

“Sudahlah,“ berkata Raden Rangga, “sudah aku katakan, siapapun aku, Ki Demang jangan menghiraukan. Yang penting, seperti sudah aku katakan, Ki Demang jangan mengatakan kepada orang lain. Kami sedang mengemban satu tugas. Jika banyak orang yang mengenal kami, maka hal itu akan dapat mengganggu tugas kami.“

“Tentu Raden,“ berkata Ki Demang, “kami tidak akan mengatakan kepada siapapun. Ki Jagabaya pun tidak akan mengatakan kepada orang lain. Demikian pula anakku itu.“

“Nah Ki Demang,“ berkata Raden Rangga, “yang penting Ki Demang memulihkan kekuatan Ki Demang setelah obat itu menghentikan dan menawarkan racun yang ada di dalam tubuh Ki Demang. Dengan demikian maka Ki Demang akan dapat kembali memegang pimpinan pemerintahan. Terserah kepada Ki Demang, keputusan apakah yang akan Ki Demang jatuhkan kepada adik Ki Demang yang telah berkhianat itu.“

“Kami mengucapkan terima kasih yang sebesar-sebesarnya Raden,“ berkata Ki Demang, “tetapi bagaimana jika aku menyerahkan persoalan adikku itu kepada Raden? Aku kira lebih baik orang lain mengambil keputusan daripada aku sendiri.“

Raden Rangga menggeleng. Katanya, “Aku tidak mempunyai wewenang untuk itu. Jika aku melakukannya dan Ayahanda Panembahan Senapati mengetahuinya, maka aku akan mendapat hukuman pula.“

“O,“ Ki Demang menarik nafas dalam-dalam, “jadi, apakah aku harus mengadili adikku sendiri?“

“Ya. Itu adalah kewajiban Ki Demang,“ berkata Raden Rangga, “adalah kebetulan saja bahwa yang melakukan kesalahan itu adalah adik Ki Demang sendiri.“

“Baiklah Raden,“ berkata Ki Demang, “seandainya Yang Maha Agung memperkenankan aku sembuh kembali, aku akan mengadilinya. Tetapi sudah tentu aku mohon Raden menjadi saksi.“

Raden Rangga tersenyum. Katanya, “Aku minta maaf Ki Demang, bahwa aku tidak akan dapat tinggal terlalu lama di kademangan ini.“

“Kami akan memohon Raden tinggal di sini bersama anak muda yang seorang itu,“ berkata Ki Demang.

“Anak muda ini adalah Glagah Putih, Ki Demang. la adalah adik sepupu Agung Sedayu dari Jati Anom, namun yang sekarang berada di Tanah Perdikan Menoreh,“ jawab Raden Rangga. “la akan pergi bersamaku, melakukan tugas yang berat.“

“Jati Anom?“ desis Ki Demang, “Tempat itu tidak terlalu jauh. Aku pernah pergi ke Jati Anom.“

“Ya. Kami berdua akan mengemban satu tugas, sehingga dengan demikian, maka kami berdua tidak akan dapat terlalu lama tinggal di kademangan ini. Mungkin kami dapat tinggal sehari. Akupun ingin melihat akibat dari obat yang telah Ki Demang minum. Tetapi tidak lebih dari itu,“ berkata Raden Rangga.

Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Kami mohon Raden dapat berada di tempat ini tidak hanya untuk sehari.“

Raden Rangga tersenyum. Katanya, “Sudahlah. Sebaiknya Ki Demang beristirahat. Untuk selanjutnya Ki Demang dapat minum obat untuk menyembuhkan sakit Ki Demang dan memulihkan kesehatan Ki Demang. Yang penting racun itu sudah tidak bekerja lagi di dalam tubuh Ki Demang.“

Ki Demang mengangguk. Namun terdengar ia berdesis, “Raden telah melakukan satu langkah yang sangat penting artinya bagi keluarga kami dan kademangan kami, Karena itu maka kami mohon, jika tugas Raden sudah selesai, hendaknya Raden dan Angger Glagah Putih sudi singgah lagi di kademangan ini.“

Raden Rangga mengangguk. Namun tiba-tiba wajahnya menjadi muram. Hanya sekilas. Iapun kemudian berusaha untuk dengan segera menekan perasaannya. Raden Rangga telah memaksakan sebuah senyum bergerak di bibirnya.

“Tentu Ki Demang,“ berkata Raden Rangga, “aku akan singgah kelak jika tugasku sudah selesai.“

“Terima kasih Raden. Semoga tugas Raden cepat Raden selesaikan berdua.“

Raden Rangga kemudian menepuk lengan Ki Demang sambil berkata, “Sudahlah Ki Demang. Beristirahatlah. Aku akan berada di pendapa. Malam besok aku masih akan bermalam di kademangan ini. Karena itu, maka besok sehari aku akan berada di sini.“

Ki Demang mengangguk kecil. Katanya, “Silahkan Raden juga berisirahat.“ Lalu Ki Demang pun berkata kepada Ki Jagabaya, “Sebelum aku dapat berbuat banyak, terserah kepadamu Ki Jagabaya. Tetapi jaga agar adikku itu tidak dapat melepaskan diri dengan alasan apapun.“

“Baik Ki Demang. Aku akan menjaganya bersama para bebahu dan anak-anak muda kademangan ini,“ jawab Ki Jagabaya.

“Ki Jagabaya,“ berkata Ki Demang pula, “persilahkan tamu-tamu kita ini beristirahat.“

“Aku akan membersihkan gandok Ayah,“ berkata anak Ki Demang.

Sebelum Ki Demang menjawab, maka anak Ki Demang itu sudah berlari ke gandok. Tetapi ternyata ia tidak melakukan sendiri. Ia hanya berteriak-teriak saja memanggil pembantu kademangan itu yang terkejut karenanya. Sambil mengusap matanya ia keluar dari biliknya dan pergi ke gandok sambil bergeremang.

“Anak itu terlalu manja.“

Demikian ia sampai ke gandok, maka anak Ki Demang itupun telah meneriakkan perintah-perintah.

“He, jangan tidur saja,“ berkata anak Ki Demang itu lantang, “kau tahu kalau ada tamu he? Semua orang se-kademangan datang kemari, kau tidur saja mendekur.“

“Siapa yang datang kemari?“ bertanya pembantunya itu.

“Lihat itu di halaman,“ berkata anak Ki Demang.

Pembantunya sama sekali tidak berniat untuk melihat ke halaman. Sementara itu, anak Ki Demang pun telah memerintahkan membersihkan bilik gandok itu.

Dalam pada itu, maka Ki Jagabaya pun telah mempersilahkan kedua anak muda itu untuk sementara duduk di pendapa, karena bilik bagi mereka di gandok baru dibersihkan.

“Rumah Ki Demang cukup besar,“ berkata Ki Jagabaya, “sedangkan keluarganya tidak terlalu banyak, sehingga ada bilik-bilik yang kosong. Namun agaknya bilik-bilik yang kosong itu pun jarang dibersihkan sebagaimana bilik yang selalu dipergunakan.“

Raden Rangga dan Glagah Putih mengangguk-angguk. Mereka pun kemudian telah duduk kembali di pendapa sambil menunggu tempat yang disediakan bagi mereka. Sementara itu, Nyi Demang-lah yang telah berada kembali di bilik Ki Demang untuk menungguinya.

Dalam pada itu, Ki Jagabaya pun kemudian telah sibuk dengan para tawanannya. Para pengawal yang terdiri dari anak-anak muda telah mendapat tugas untuk membawa para tawanan itu ke banjar dan diawasi langsung oleh dua orang bebahu, pembantu Ki Jagabaya.

“Jangan sampai lepas,“ berkata Ki Jagabaya, “taruhannya adalah leher kalian.“

Demikianlah, maka di sisa malam itu, Raden Rangga dan Glagah Putih telah tidur di gandok. Anak Ki Demang yang sebaya dengan Raden Rangga itu ternyata ingin pula tidur bersama mereka. Kekagumannya kepada kedua anak muda yang mengembara itu membuatnya selalu ingin dekat dengan mereka.

Memang ada banyak hal yang ditanyakan. Sesuai dengan umurnya maka pertanyaan berkisar pada kemampuan kedua pengembara itu. Bagaimana mereka dapat mengalahkan seekor harimau dan mengusirnya ke dalam hutan, dan bagaimana mereka mampu melawan delapan orang sekaligus.

Glagah Putih yang lebih banyak mendengarkan percakapan itu tiba-tiba hampir di luar sadarnya telah memperbandingkan dua orang anak muda yang sebaya. Glagah Putih memperhatikan landasan berpikir mereka, ungkapan perasaan mereka dan perhatian mereka terhadap sasaran pengamatan mereka.

Memang jauh berbeda. Namun kadang-kadang tataran perhatian mereka bertemu, tetapi hanya pada titik silang yang kemudian berpisah lagi, sebagaimana dua buah garis yang saling berpotongan. Namun pada pembicaraan berikutnya, jarak antara keduanya menjadi semakin jauh, dan bahkan keduanya sama sekali tidak mempunyai arah singgungan sama sekali. Namun dalam pada itu, akhirnya mereka bertiga pun sempat beristirahat dan tidur barang sejenak.

Ketika fajar menyingsing, maka mereka telah terbangun. Adalah kebiasaan Glagah Putih untuk segera pergi ke sumur untuk menimba air.

“Aku mandi dahulu,“ berkata Raden Rangga, “nanti, kau ganti mandi dan aku yang mengisi jambangan.“

Glagah Putih mengangguk. Ialah yang lebih dahulu mengisi jambangan sementara Raden Rangga mandi.

Ketika kemudian seisi rumah itu telah terbangun, maka kedua anak muda itu pergi menengok Ki Demang di dalam biliknya. Ternyata bahwa sudah mulai terasa perubahan di dalam dirinya. Racun yang sudah tidak bekerja lagi itu tidak lagi merambat, merusakkan jaringan-jaringan tubuh Ki Demang. Apalagi ketika Ki Demang kemudian telah mendapat sejenis obat yang dapat memulihkan kekuatannya, dari seorang yang memiliki pengetahuan obat-obatan.

Namun semula orang itu tidak berani memberikan obatnya, karena sebelumnya ia pernah mengobati Ki Demang tanpa membawa hasil. Bahkan semakin lama menjadi semakin parah.

“Racun itu sudah tidak bekerja lagi,“ berkata Ki Demang, “karena itu aku berharap obatmu akan berarti bagi kesehatanku.“

Sebenarnyalah, obat yang diminumnya itu memberikan kesegaran pada tubuh Ki Demang yang masih sangat lemah. Tetapi Raden Rangga yakin, bahwa meskipun agak lambat, namun Ki Demang tentu akan dapat pulih kembali.

“Sebenarnya kami hanya ingin melihat akibat obat yang telah diberikan kepada Ki Demang,“ berkata Raden Rangga, “agaknya kita sudah yakin bahwa keadaan Ki Demang akan berangsur baik. Karena itu, tugasku di kademangan ini agaknya sudah selesai.“

“Tetapi kau berjanji untuk tinggal di kademangan ini sampai besok,“ berkata anak Ki Demang.

Raden Rangga tersenyum. Ketika ia berpaling ke arah Glagah Putih, maka Glagah Putih itu pun berkata, “Terserah kepada Raden. Tetapi pekerjaan kita sudah selesai di sini.“

“Belum,“ potong anak Ki Demang, “masih ada satu tugas yang harus kalian lakukan. Menepati janji.“

Raden Rangga tertawa. Namun kemudian iapun menjawab, “Baiklah. Tetapi dengan satu permintaan.“

“Apa?“ bertanya anak Ki Demang.

“Siang nanti kita membuat rujak cengkir dan babal,“ jawab Raden Rangga.

“Jangan takut,” jawab anak itu, “di sini ada berpuluh batang pohon kelapa dan berpuluh batang pohon nangka.”

Dengan demikian maka Raden Rangga dan Glagah Putih telah menunda keberangkatan mereka. Sehari itu mereka sempat mengamati perkembangan kesehatan Ki Demang yang nampaknya menjadi semakin baik, betapapun lambatnya. Setelah racun di dalam tubuhnya yang bekerja perlahan-lahan telah menjadi tawar, maka obat lain yang diberikan telah mampu bekerja untuk meningkatkan kesehatannya.

Ternyata dalam waktu singkat, perubahan kecil telah mulai nampak. Tubuh Ki Demang tidak lagi merasa nyeri di semua sendi-sendinya. Tanda-tanda perbaikan mulai nampak, sehingga Nyi Demang yang dalam saat-saat terakhir selalu dicengkam oleh kecemasan mulai berpengharapan, bahwa suaminya akan dapat sembuh lagi meskipun tidak dengan serta merta.

Karena itu, maka kedua anak muda yang telah menolong anaknya dan kemudian memberi obat kepada Ki Demang itu, baginya adalah tamu-tamu yang sangat terhormat.

Dalam pada itu, Ki Jagabaya sibuk mengawasi adik Ki Demang yang sedang ditahan. Tidak seorangpun yang menduga, bahwa adik Ki Demang itu telah sampai hati mengorbankan kakak kandungnya untuk mendapatkan kedudukan tertinggi di Kademangan Sempulur.

Yang masih belum diberi tahu tentang rencana adik Ki Demang itu adalah ibu kandung Ki Demang sendiri. Ki Demang memang berpesan, agar ibunya yang sudah tua jangan mendengarnya. Tetapi ternyata bahwa karena setiap orang di Kademangan Sempulur telah membicarakannya, maka akhirnya ibu Ki Demang itupun mendengar juga meskipun tidak jelas, bahwa anaknya yang muda telah ditangkap.

Hatinya yang lemah oleh umurnya yang tua, benar-benar telah terguncang. Dipanggilnya pembantunya, seorang perempuan yang juga sudah mendekati umurnya, meskipun masih agak lebih muda.

“Apa yang telah terjadi?“ bertanya ibu Ki Demang itu, “Menurut pendengaranku, Piyah telah mengatakan kepada Semi bahwa anakku yang muda telah ditangkap atas perintah anakku yang tua.“

“Demikian kata orang Nyai,“ jawab pembantunya yang juga sudah tua itu, “tetapi aku tidak tahu, apa sebabnya.“

“Betapa sakitnya hati orang tua ini Tumi. Anakku hanya dua orang. Tetapi mereka tidak dapat hidup rukun sampai di hari tuanya,“ berkata perempuan tua itu.

“Tetapi tentu ada sebabnya,“ berkata pembantunya, seorang perempuan lugu yang bernama Tumi.

Perempuan tua, ibu Ki Demang itu kemudian berkata, “Tolong, bawa aku kepada anakku yang tua.“

“Ki Demang masih sakit Nyai,“ berkata pembantunya itu, “tentu masih belum dapat diajak berbicara tentang hal yang rumit-rumit seperti itu. Sebaiknya Nyai menunggu sampai keadaan menjadi jelas. Kecuali jika Nyai sekedar menengok atau bahkan membesarkan hatinya.“

“Tetapi aku tidak dapat menunggu sampai pertengkaran itu menjadi-jadi. Demang itu agaknya merasa dirinya berkuasa, sehingga ia berbuat sewenang-wenang terhadap adiknya yang seharusnya dilindunginya.”

“Ada orang yang mengatakan, bahwa adik Ki Demang itulah yang bersalah,“ berkata Tumi.

“Karena itu, aku harus mendapat kejelasan,“ berkata perempuan tua itu.

Tumi menjadi ragu-ragu untuk melakukan perintah perempuan itu. Ia tahu bahwa Ki Demang sedang sakit. Tetepi perempuan tua itu telah memaksanya.

Karena itu, maka katanya, “Nyai, coba biarlah aku menghubungi Nyi Demang, apakah Ki Demang yang sakit agak parah itu dapat menerima Nyai untuk membicarakan masalah itu.”

“Aku ibunya,“ jawab perempuan itu, “sakit atau tidak sakit, aku berhak untuk datang kepadanya. Kemarin aku juga menengoknya. Ia dapat menjadi Demang karena ayahnya seorang Demang. Sepeninggal ayahnya, maka ia mendapatkan kedudukan itu, karena ia adalah anakku yang tua. Tetapi jika adiknya tidak menjadi Demang, maka ia tidak boleh berbuat sewenang-wenang seperti itu.“

Tumi tidak dapat berbuat lain. Karena itu, maka iapun telah mengantarkan perempuan tua itu menemui Demang Sempulur yang sedang sakit.

Rumah ibu Ki Demang itu hanya berbatasan dinding saja dengan Kademangan. Semula ia juga berada di Kademangan. Tetapi ia ingin melupakan kematian suaminya, Ki Demang yang lama. Karena itu, maka ia telah memotong halaman rumah Kademangan itu dan membangun rumah sendiri untuk mendapatkan suasana yang baru.

Kedatangan ibu Ki Demang dengan niat khusus itu memang mengejutkan. Anak Ki Demang berusaha untuk menjelaskan kepada neneknya bahwa ayahnya masih sangat lemah. Katanya, “Kecuali jika Nenek sekedar menengoknya.“

“Ayahmu memang maunya selalu menang,“ berkata neneknya. “Aku akan minta penjelasan kepada ayahmu, apa yang sebenarnya telah terjadi.“

“Nek,“ berkata anak Ki Demang itu, “besok atau lusa barangkali Ayah sudah dapat menjelaskan kepada Nenek.“

“Kau anak nakal,“ desis neneknya, “ayahmu itu adalah anakku.“

Anak Ki Demang itu tidak dapat menahan neneknya, sementara itu ia tidak berani mengatakan apa yang telah terjadi dengan ayah dan pamannya, karena ayahnya memang melarang untuk mengatakan hal itu. Tetapi di luar dugaan, ternyata neneknya telah mendengar peristiwa itu, tetapi hanya sebagian.

Ketika Nyi Demang menyatakan kesediaannya untuk menjelaskan persoalannya, perempuan tua itu mendorongnya ke samping, “Aku akan berbicara dengan anakku.“ Memang tidak ada yang dapat mencegahnya, sehingga akhirnya perempuan tua itu telah berdiri di sisi pembaringan Ki Demang. Untunglah bahwa keadaan Ki Demang sudah membaik meskipun baru setapak kecil, sementara racun pun telah menjadi tawar.

Ki Demang yang tidak menyadari persoalan yang dibawa oleh ibunya tersenyum menerima kedatangannya. Dengan suara lemah Ki Demang mempersilahkan, “Silahkan duduk Ibu.“

Ibu Ki Demang termangu-mangu sejenak. Ketika ia sudah berdiri di hadapan anaknya yang sedang sakit, maka tumbuh perubahan di dalam hatinya. Ia tidak lagi ingin menyumpah dan mengutuk anaknya yang tua. Meskipun sejak kecil anaknya yang muda yang seakan-akan lebih dekat di hatinya, namun wajah Ki Demang yang pucat, suaranya yang lemah, dapat sedikit mengendapkan perasaannya. Karena itu, maka ibunya itu pun segera duduk di sebelahnya.

Sementara itu Nyi Demang berdiri dengan bayangan wajah yang sangat cemas. Di luar pintu, anak Ki Demang telah mengajak Raden Rangga dan Glagah Putih mengikuti neneknya yang marah. Namun mereka menarik nafas dalam-dalam melihat perubahan sikap ibu Ki Demang itu.

Ki Demang sendiri tidak segera bertanya sesuatu. Ia mengira ibunya seperti hari-hari yang lewat, sekedar menengoknya. Menanyakan kesehatannya, kemudian kembali ke rumahnya di sebelah. Namun ia memang melihat wajah ibunya agak berbeda dengan kemarin.

“Demange,“ berkata ibunya itu, “aku mempunyai sedikit persoalan yang ingin aku tanyakan kepadamu.“

“O,“ Ki Demang mulai berdebar-debar. Ia mengira bahwa ibunya tentu sudah mendengar tentang adiknya yang ditangkap itu, meskipun ia sudah berpesan agar tidak seorangpun yang memberitahukan kepadanya. Tetapi agaknya mulut memang sulit untuk dipagari. Namun Ki Demang masih berpura-pura tidak mengetahuinya. Karena itu maka iapun bertanya, “Apa yang Ibu maksudkan?“

“Jangan berpura-pura,“ berkata ibunya, “menurut cerita banyak orang, kau sudah menangkap adikmu sendiri.“

Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Tetapi karena sebelumnya ia memang sudah menduga, maka ia tidak menjadi sangat terkejut mendengar pertanyaan itu. Bahkan iapun kemudian menjawab, “Aku terpaksa melakukannya Ibu.“  Namun kemudian dibetulkannya, “Tentu bukan aku yang melakukannya, karena aku sedang sakit.“

“Tetapi tentu atas perintahrnu,“ berkata ibunya pula.

“Bukan ibu. Atas persoalan yang dilakukannya, maka Ki Jagabaya menganggap perlu untuk menahannya. Memang atas persetujuanku,“ jawab Ki Demang.

“Jadi, apakah kau merasa masih kurang, bahwa kaulah yang telah mewarisi pangkat, derajad dan sebagian dari peninggalan ayahmu, meskipun aku, istri ayahmu dan sekaligus ibumu, masih hidup?“

“Ibu,“ berkata Ki Demang dengan nada yang berat, “aku mengerti maksud Ibu. Ibu tentu menganggap bahwa aku telah berbuat sewenang-wenang terhadap adikku sendiri, dan karena Ibu menyinggung peninggalan Ayah, seakan-akan aku ingin mendapat lebih banyak lagi dari yang aku dapatkan sekarang.“

“Aku tidak asal saja menuduhmu. Kau telah sampai hati menangkap adikmu sendiri,“ berkata ibunya selanjutnya, “tentu saja kau dapat meminjam tangan Ki Jagabaya atau para pengawal kademangan. Kau dapat memberikan tuduhan apa saja kepada adikmu sesuka hatimu.“

Ki Demang yang sedang sakit itu menarik nafas dalam dalam. Sementara itu Nyi Demang mencoba untuk sedikit menurunkan kemarahan mertuanya, “Ibu, Kakang Demang masih sangat lemah.“

“Aku tidak apa-apa. Aku hanya bertanya saja kepadanya, apa maksudnya menangkap adiknya sendiri,“ jawab ibunya.

“Ibu,“ berkata Ki Demang kemudian, “sebaiknya Ibu menghubungi Ki Jagabaya.“

“Jagabaya itu tentu sudah kau pesan,“ jawab ibunya. “Ia adalah Jagabaya yang baik sebelumnya. Sejak ia diangkat menggantikan ayahnya oleh ayahmu dahulu, ia sudah menunjukkan kelebihannya dari ayahnya. Tetapi sekarang ternyata ia telah dapat kau pergunakan untuk kepentinganmu pribadi, bukan kepentingan kademangan ini.“

Ki Demang menarik nafas dalam-dalam beberapa kali untuk menahan perasaannya yang bergolak. Ia menghormati ibunya sebagai mana seseorang menghormati ibunya. Namun dalam keadaan sakit, ia tidak banyak kesempatan untuk berbicara panjang. Dadanya yang sudah terasa lapang itu menjadi sesak pula.

Dalam pada itu, anak Ki Demang yang tidak tahan melihat keadaan ayahnya berkata, “Nenek, jika Ayah berkenan, aku dapat menjelaskan persoalannya.“

“Apa tahumu!“ bentak neneknya.

Ayahnya-lah yang menyahut, “Ibu, sebenarnya aku memerintahkan semua orang untuk tidak menyampaikan persoalan ini kepada Ibu, agar Ibu tidak terkejut karenanya. Tetapi ternyata aku telah memilih langkah yang salah. Seharusnya sejak semula aku harus langsung memberitahukan kepada Ibu agar Ibu tidak mendengar justru dari orang lain yang dapat menyesatkan.“

“Siapapun yang mengatakan kepadaku, tetapi satu kenyataan bahwa adikmu sudah kau tangkap,“ berkata ibunya.

Ketika Nyi Demang menyatakan kesediaannya untuk menjelaskan persoalannya, perempuan tua itu mendorongnya ke samping. “Aku akan berbicara dengan anakku.”

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Raden Rangga yang tidak sabar-lah yang justru menjawab, “Aku yang menangkapnya Nek.“

Ibu Ki Demang itu berpaling. Dipandanginya seorang anak muda yang berdiri di muka pintu di sebelah cucunya. Anak muda yang belum dikenalnya.

“Kau siapa?“ bertanya ibu Ki Demang itu.

Raden Rangga tiba-tiba saja menjadi ragu-ragu. Tetapi ia sudah terlanjur mengatakannya. Karena itu, maka jawabnya kemudian, “Aku adalah sahabat cucu nenek ini.”

“Apa hubunganmu dengan kedua anakku dalam persengketaan ini?“ bertanya ibu Ki Demang pula.

“Nek,“ berkata Raden Rangga kemudian, “bukankah cucu Nenek hanya seorang?“

“Tidak,“ jawab nenek itu, “anak Demange inilah yang hanya satu.”

Raden Rangga mengangguk-angguk. Dengan demikian maka ia mengetahui bahwa anak adik Ki Demang yang telah ditangkap itu agaknya lebih dari seorang.

Sebenarnyalah ibu Ki Demang itupun kemudian meneruskan, “Anak adik Ki Demang ini ada tiga.”

Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia sudah terlanjur melibatkan dirinya karena ia merasa kasihan kepada Ki Demang. Karena itu maka katanya, “Baiklah Nek. Jika Nenek ingin penjelasan, biarlah aku menjelaskan, kenapa anak Nenek yang muda itu telah ditangkap.”

“Siapa kau, dan apa urusanmu dengan anak-anakku?“ bertanya ibu Ki Demang itu.

Ki Demang yang sakit itu dengan suara lemah menyahut, “Ibu. Sebenarnya kami tidak ingin memberitahukan persoalannya kepada Ibu. Aku tahu, anak Ibu yang bungsu itu terlalu manja. Jika Ibu mengetahui persoalannya yang sebenarnya, maka Ibu tentu akan terkejut. Ada dua kemungkinan dapat terjadi. Ibu tidak percaya, atau Ibu akan menjadi sangat kecewa terhadap si bungsu itu.“

Ibunya mengerutkan keningnya. Dipandanginya anaknya yang masih nampak sangat lemah itu. Kemudian diedarkannya pandangan matanya ke arah Nyi Demang, anak Ki Demang, dan dua orang anak muda yang mengaku kawan-kawan cucunya itu.

“Apa yang telah terjadi sebenarnya?“ bertanya ibu Ki Demang itu.

Raden Rangga masih juga ragu-ragu. Namun Ki Demang itu pun kemudian berkata kepada anaknya, “Ceritakan kepada nenekmu. Ternyata usahaku untuk tidak memberitahukan kepada nenekmu, akibatnya justru sebaliknya. Nenekmu mendengar dari orang lain, tetapi tidak lengkap, sehingga timbul prasangka yang bukan-bukan.”

Anak Ki Demang itu menjadi ragu-ragu. Tetapi ia sudah remaja, bahkan mendekati dewasa, sehingga karena itu ia sudah dapat membuat pertimbangan-pertimbangan. Sehingga karena itu, maka iapun setuju dengan ayahnya. Neneknya harus mendengar langsung dari orang yang berkepentingan agar tidak mendapat kesan yang salah.

“Jika Nenek tidak percaya, itu persoalan lain,“ berkata anak Ki Demang itu di dalam hatinya.

“Nek,“ berkata anak Ki Demang itu kemudian sambil mendekat. Namun hatinya menjadi berdebar-debar juga melihat kerut di dahi neneknya. Sementara itu Nyi Demang menjadi tegang. Tetapi ia tidak berani mencampurinya.

Demikianlah maka anak Ki Demang itu pun kemudian telah menceritakan apa yang telah dialaminya. Sejak awal sampai akhir. Juga tentang sakit ayahnya yang semakin lama semakin parah. Perlahan-lahan namun pasti penyakit itu akan membunuh Ki Demang, jika ia tidak segera mendapat pertolongan dari anak-anak muda itu.

Ibu Ki Demang itu mendengarkan dengan saksama. Setiap kata yang diucapkan oleh cucunya itu membuat denyut jantungnya serasa menjadi semakin cepat. Ketika cucunya selesai bercerita tentang peristiwa yang dialaminya itu, maka neneknya menyahut, namun kata-katanya tidak lagi mantap, sehingga terdengar ragu-ragu, “Kau berbohong.“

“Tidak Nek,“ jawab cucunya, “kedua orang kawanku ini menjadi saksi. Mereka-lah yang menolongku dari terkaman harimau itu, dan mereka-lah yang telah mencegah Paman membunuhku.“

“Kau katakan bahwa orang yang akan membunuhmu bersama pamanmu itu berjumlah delapan orang. Sudah tentu delapan orang dewasa seperti pamanmu,“ bertanya neneknya.

“Ya Nek, memang delapan orang,“ jawab cucunya.

“Jadi bagaimana? Delapan orang itu dapat dikalahkan oleh dua orang kawan-kawanmu yang masih ingusan itu?“ bertanya neneknya.

Anak Ki Demang itu berpaling ke arah Raden Rangga dan Glagah Putih. Memang sulit dipercaya bahwa kedua orang anak muda itu mampu mengalahkan pamannya dengan tujuh orang kawannya. Tetapi itu memang sudah terjadi.

Karena itu, maka anak itu pun berkata, “Itulah kelebihan kedua orang kawanku ini. Sebenarnyalah mereka mampu mengalahkan Paman bersama tujuh orang kawannya. Jika Nenek tidak percaya, marilah kita ajak kedua orang anak muda itu menemui Paman. Jika Paman ingkar, biarlah Paman dan tujuh orang itu diadu di halaman, disaksikan oleh Nenek. Tetapi jika kemudian terjadi kematian, maka Nenek-lah yang bertanggung jawab.“

“Kenapa aku?“ bertanya neneknya. “Jika keduanya memang pernah memenangkan perkelahian melawan delapan orang itu, kenapa mereka akan mati?“

“Bukan kawan-kawanku itu yang akan mati. Tetapi lawan mereka. Termasuk Paman,“ berkata anak Ki Demang itu.

Ibu Ki Demang itu mulai ragu-ragu. Namun kemudian Ki Demang itu berkata, “Ibu, jika Ibu tidak percaya, silahkan Ibu menemui anak Ibu yang bungsu. Ajak kedua anak muda itu, agar ia tidak dapat berbohong.“

Perempuan tua itu agaknya ragu-ragu. Agaknya ia benar-benar ingin membuktikan. Karena itu, maka katanya, “Bawa aku kepada si Bungsu. Aku ingin membuktikan apakah kalian tidak membohongi aku dengan fitnah yang kotor.“

Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun berdesis, “Untunglah bahwa kedua anak muda itu masih tinggal di sini untuk sehari ini, sehingga dengan demikian maka mereka akan dapat membantu menjernihkan dugaan ibuku terdahapku.“

Demikianlah, maka anak Ki Demang itu pun kemudian telah mengantar neneknya ke tempat pamannya ditahan, bersama Raden Rangga dan Glagah Putih. Tanpa kedua anak muda itu, maka adik Ki Demang itu akan dapat ingkar. Dan ibunya tentu lebih percaya kepada anaknya yang muda daripada Ki Demang, meskipun Ki Demang dalam keadaan yang sangat lemah karena sakit.

Sepeninggal anaknya, maka Nyi Demang pun telah berjongkok di sisi suaminya berbaring sambil menangis. Dadanya benar-benar dicengkam oleh ketegangan yang sangat. Ia mengenal sifat dan watak mertuanya yang keras. Agaknya di saat mertua laki-lakinya masih hidup, maka kedudukannya sebagai Nyi Demang telah menempanya. Namun demikian, ia sendiri agaknya tidak akan menjadi sekeras mertua perempuannya itu.

“Sudahlah Nyai,“ berkata Ki Demang, “segalanya akan selesai dengan baik. Memang kita beruntung sekali karena kehadiran kedua orang anak muda itu. Kecuali mereka telah menyelamatkan anak kita, memberikan obat kepadaku, dan sekarang mereka akan membantu menjernihkan kekalutan di dalam keluarga kita.“

Nyi Demang itu mengangguk kecil sambil mengusap matanya.

Demikianlah, maka ibu Ki Demang itu telah diantar oleh cucunya menemui anaknya yang bungsu. Raden Rangga dari Glagah Putih dengan sengaja tidak ikut mereka masuk ke dalam biliknya. Katanya, “Kami menunggu di luar. Jika perlu saja, panggil aku.“

“Tetapi penjelasanmu sangat diperlukan,“ berkata anak Ki Demang.

“Biarlah nenekmu yakin akan sifat-sifat anaknya yang bungsu itu jika ia melihat sendiri kecurangannya,“ berkata Raden Rangga.

Anak Ki Demang itu tidak tahu maksud Raden Rangga. Namun iapun kemudian mengikuti neneknya memasuki sebuah bilik untuk menemui anaknya yang bungsu, sementara Raden Rangga dan Glagah Putih berada di luar pintu.

Sebenarnya perempuan itu memang lebih dekat dengan anaknya yang bungsu daripada dengan Ki Demang. Namun demikian, ternyata bahwa pertanyaan pun diberikan dengan nada keras kepada anaknya yang bungsu itu, “He, kenapa kau berada di sini?“

“Aku tidak tahu,“ jawab adik Ki Demang itu, “aku tidak mengira bahwa Kakang Demang akan menangkap aku.“

“Menurut kakangmu, kaulah yang bersalah. Anak inilah yang telah menceritakannya kepadaku,“ berkata ibu Ki Demang itu.

“O, cerita apa saja yang sudah dikatakannya?“ bertanya adik Ki Demang itu.

Ibunya mengerutkan keningnya. Katanya, “Kau telah berusaha membunuhnya, dan sekaligus membunuh anaknya ini.“

“O,“ adik Ki Demang mengangguk-angguk, “jadi itukah tuduhannya sehingga aku telah ditahan di sini?“

“Jadi, kau melakukannya atau tidak?“ desak ibunya.

“Aku belum gila, Ibu,“ jawab adik Ki Demang itu, “selama ini aku telah berusaha dengan susah payah merawat dan mengusahakan pengobatan baginya. Agaknya Kakang Demang telah berkhayal, seolah-olah aku telah berusaha membunuhnya dan membunuh anaknya. Hal itu tentu terjadi karena kecemasan Ki Demang sendiri. Ia sendiri menderita sakit, sementara itu anaknya hanya seorang, dan agaknya belum dewasa penuh. Kakang Demang takut sekali kehilangan kedudukannya, sehingga bayangan itu telah tergurat di angan-angannya. Atau Kakang Demang memang dengan sengaja ingin menghancurkan keluargaku.“

“Jadi kau tidak melakukannya?“ bertanya ibunya.

“Tidak,“ jawab adik Ki Demang, “sudah aku katakan, aku belum gila. Kakang Demang-lah yang sudah gila. Karena itu, maka bayangan kegilaannya di dalam sakitnya itulah yang telah mengejarnya. Aku adalah korban dari kejaran bayangan kegilaannya itu.“

“Tetapi anak inilah yang mengatakan kepadaku, bahwa kau telah berusaha untuk membunuhnya dan membunuh ayahnya,“ berkata ibu Ki Demang itu.

Adik Ki Demang itu mengerutkan keningnya. Kemudian dengan tajamnya dipandanginya kemenakannya sambil berkata, “Jadi kau yang selama ini sangat aku manjakan itu juga telah membantu ayahmu memfitnah aku?“

“Paman. Aku mengatakan yang sebenarnya terjadi atas diriku dan ayahku, sebagaimana Paman katakan sendiri di pinggir hutan itu,“ jawab anak Ki Demang.

“Aku tidak mengira, bahwa kau telah ikut dengan ayahmu dalam usahanya menyingkirkan aku. Sebenarnya apa salahku, sehingga Kakang Demang sangat membenciku?“ berkata adik Ki Demang.

“Nah,“ berkata ibu Ki Demang, “aku memang sudah mengira bahwa kakangmu telah menjadi gila di dalam sakitnya. Untunglah aku telah mendengar berita tentang hal ini, sehingga aku dapat mengusutnya. Dengan demikian, maka aku harus segera bertindak agar kegilaan ini segera dihentikan.“

“Tidak Nek,“ anak Ki Demang itu hampir berteriak, “Paman telah melakukannya.“

“Tenanglah Anak Manis,“ berkata pamannya. “Ibu, sebaiknya bawa aku bertemu dengan Kakang Demang. Siapakah di antara kami yang dapat memberikan penjelasan yang meyakinkan kepada Ibu. Dengan demikian akan diketahui siapakah di antara kami yang bersalah.“

“Aku sependapat,“ berkata ibunya, “aku akan memerintahkan para pengawal untuk membawamu kepada Demange.“

“Nek,“ minta cucunya, “dengarkan aku. Paman sangat berbahaya.“

“Kau tidak tahu apa-apa. Kau masih terlalu muda untuk ikut berbicara dalam hal ini.“ Namun tiba-tiba ibu Ki Demang itu bertanya, “Dimana kedua kawan-kawanmu yang ikut dalam komplotan fitnah ini?“

“Ia ada di luar,“ jawab anak Ki Demang. Namun bersamaan dengan itu, maka pintu pun telah terbuka. Dua orang anak muda telah melangkah memasuki bilik itu.

“Selamat bertemu kembali Ki Sanak,“ desis Raden Rangga.

Tiba-tiba saja wajah adik Ki Demang itu menjadi pucat. Dipandanginya Raden Rangga dan Glagah Putih itu dengan tanpa berkedip. “Mereka juga pemfitnah. Mereka berdua,“ suara adik Ki Demang itu menjadi gagap.

“Ternyata kau tidak lupa kepada kami, Ki Sanak,“ suara Raden Rangga bernada berat.

Adik Ki Demang itu memandang kedua anak mudu itu dengan sorot mata yang bagaikan menyala. Namun kemudian hampir berteriak ia berkata, “Pergi kau, anak-anak gila!“

Ibu Ki Demang itu termangu-mangu sejenak. Namun Raden Rangga yang tersenyum itu melangkah mendekat. Katanya, “Tenanglah. Kami tidak akan berbuat apa-apa. Kami hanya ingin menjelaskan persoalan yang telah terjadi, agar ibumu mendapat gambaran yang benar dari peristiwa yang sebenarnya.”

Wajah adik Ki Demang itu menjadi semakin pucat. Sementara itu ibunya bertanya dengan ragu, “Kau kenal kedua anak muda itu?”

“Mereka adalah anak-anak jahat yang ikut berusaha untuk membunuhku,“ berkata adik Ki Demang itu.

“Tenanglah,“ berkata Raden Rangga kemudian. “Kenapa kau akan dibunuh? Tidak ada orang yang akan membunuhmu. Ki Demang hanya menangkapmu. Jika Ki Demang ingin membunuhmu, maka kau tentu sudah mati di pinggir hutan itu. Nah, apakah aku harus membuktikan, bahwa aku mampu melakukannya seandainya aku memang ingin membunuhmu?“

Tubuh adik Ki Demang itu menjadi gemetar. Sementara ibu Ki Demang yang melihat sikap anak muda itu tiba-tiba berteriak, “Keluar kau! Jika kau tidak mau keluar, aku perintahkan para pengawal menangkapmu.“

“Menurut tuduhan adik Ki Demang ini, kami berdua tidak hanya cukup diperintahkan untuk keluar dengan ancaman akan ditangkap. Tetapi jika benar tuduhan adik Ki Demang ini, kami memang harus ditangkap. Tetapi tidak ada orang yang dapat menangkap kami di kademangan ini. Sementara itu Ki Jagabaya berpihak kepada Ki Demang. Bahkan semua bebahu kademangan ini, karena mereka mengetahui kenyataan yang terjadi,“ berkata Raden Rangga.

“Anak gila,“ geram ibu Ki Demang itu, “kau berani menentang aku? Aku adalah istri Ki Demang yang dahulu. Sedangkan anakku sekarang menjadi demang di sini.“

“Tetapi Nyai justru berusaha untuk menyudutkan Ki Demang yang sedang sakit itu,“ berkata Raden Rangga. “Maaf Nyai. Aku tidak akan menyakiti hati seorang perempuan tua. Tetapi aku ingin Nyai juga dapat melihat kenyataan. Namun yang lebih jahat dari segala-galanya yang telah dilakukan oleh anak Nyai yang bungsu itu, adalah bahwa ia sampai hati menyesatkan pandangan ibunya untuk membunuh kakak dan kemenakannya.“

Ibu Ki Demang itu menjadi sangat tegang. Namun ternyata bahwa kata-kata Raden Rangga itu memang menyentuh hati adik Ki Demang. Ketika ia melihat ibunya menjadi sangat bingung dan bahkan bagaikan kehilangan keseimbangan nalar, tiba-tiba saja si bungsu yang manja itu terbuka hatinya.

Dengan lemahnya adik Ki Demang itu pun kemudian berjongkok di hadapan ibunya sambil berkata, “Ampun Ibu. Aku memang bersalah.“

Ibunya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian sambil mengusap kepala anaknya yang bungsu itu ia bertanya dengan suara sendat, “Jadi benar apa yang dikatakan oleh kemenakanmu itu, bahwa kau memang berusaha untuk menyingkirkan kakakmu dan sekaligus membunuh anak itu?“

Adik Ki Demang itu tidak dapat menahan gejolak perasaannya. Perasaannya bersalah tiba-tiba telah mendera hatinya, sehingga orang yang bertubuh tegap kekar itu tiba-tiba telah menangis sambil memeluk kaki ibunya. “Ia benar, Ibu. Aku memang telah merencanakannya. Untunglah bahwa aku tidak berhasil melakukan rencana itu, sehingga tanganku masih belum dikotori dengan darah saudaraku sendiri.”

Perempuan tua itu termangu-mangu sejenak. Dengan nada datar ia bergumam, “Ya Tuhan. Aku serahkan segalanya di tangan-Mu.“

Perempuan itu sekali lagi mengusap kepala anaknya yang bungsu sambil berkata, “Aku harus minta maaf kepada kakangmu. Aku sudah menyangkanya melakukan kesalahan. Aku mengira hatinya dibakar oleh kedengkian.”

“Aku mohon ampun Ibu. Jangan jatuhkan kutuk atasku. Biarlah aku menjalani hukuman apapun yang akan dijatuhkan oleh Kakang Demang,“ tangis adik Ki Demang itu.

Ibunya menarik nafas dalam-dalam. Ketabahan seorang ibu membayang di matanya yang tidak basah, betapapun jantungnya berdegup. Ketabahan seorang istri Demang yang ditempa oleh keadaan sejak masa mudanya. Sejanak ia berdiri mematung. Namun kemudian katanya kepada cucunya, “Bawa aku kepada ayahmu.“

Anak Ki Demang itupun kemudian menggandengnya, namun terasa di tangan anak muda itu, neneknya gemetar.

“Sudahlah,“ berkata perempuan tua itu kepada anaknya yang bungsu. Lalu, “Hadapi persoalanmu sebagaimana seorang laki-laki. Kau adalah anak Demang Sempulur almarhum. Jangan menjadi cengeng.“

Adik Ki Demang itu berusaha untuk mengatur perasaannya. Sambil mengangguk ia berkata terbata-bata, “Aku akan berusaha Ibu.“

“Berdirilah dengan tegak. Tatap mataku yang tidak basah,“ berkata perempuan itu.

Adik Ki Demang itu mengangguk.

Demikianlah, maka perempuan tua itu pun kemudian berjalan meninggalkan tempat itu dibimbing oleh cucunya, kembali ke Kademangan. Sementara Raden Rangga dan Glagah Putih mengikutinya beberapa langkah di belakang mereka.

Meskipun perempuan tua itu mengerti apa yang telah terjadi, tetapi ia masih tetap tidak mengacuhkan kedua anak muda yang mengaku kawan dari cucunya itu. Raden Rangga dan Glagah Putih merasakan juga sikap ibu Ki Demang itu terhadap mereka. Namun keduanya agaknya tidak merasa tersinggung karenanya.

Dengan demikian, maka Raden Rangga dan Glagah Putih itu sama sekali tidak ingin berbuat sesuatu karena sikap ibu Ki Demang itu. Mereka mengerti, kekecewaan yang sangat telah membuat ibu Ki Demang itu kehilangan pengamatan atas sikapnya sendiri. Mereka tidak sempat mengenali kedua anak muda itu dengan cermat, bahkan keduanya-lah yang telah ikut membantu menentukan kegagalan rencana anaknya yang bungsu untuk melakukan pembunuhan.

“Pada saatnya ia akan menyadari kekeliruannya,“ berkata Raden Rangga.

“Tetapi perempuan itu sangat tabah,“ berkata Glagah Putih.

“Ia memang tidak menangis,“ sahut Raden Rangga, “tetapi aku yakin bahwa hatinya hancur, sebagaimana hati seorang ibu yang melihat anaknya yang hanya dua itu bertengkar. Bahkan dengan sungguh-sungguh.“

“Tidak bertengkar,“ jawab Glagah Putih, “tetapi kejahatan yang dilakukan oleh sepihak.“

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Tetapi ia menjawab, “Itu adalah sebabnya. Tetapi kemudian mereka bertengkar juga, karena Ki Demang kemudian setuju menahan adiknya.“

Glagah Putih tersenyum. Sambil mengangguk ia berkata, “Raden benar.“

Raden Rangga pun kemudian tersenyum juga. Tetapi ia tidak berkata sesuatu.

Demikianlah, ketika ibu Ki Demang itu sampai ke bilik Ki Demang yang sedang sakit, dua orang perempuan sedang menungguinya. Istrinya, dan istri seorang bebahu kademangan. Ketika mereka melihat ibu Ki Demang itu datang, maka istri bebahu yang ikut menunggui Ki Demang itu pun segera keluar.

Nyi Demang telah menjadi gemetar. Banyak kemungkinan dapat terjadi. Sementara itu Ki Demang masih sangat lemah dan tidak dapat berbuat banyak. Namun Nyi Demang masih juga bersyukur bahwa keadaan Ki Demang sudah berangsur baik.

Ibu Ki Demang itu ketika memasuki bilik itu, matanya masih tetap kering. Ia menatap Nyi Demang dan Ki Demang berganti-ganti. Kemudian perlahan-lahan perempuan tua itu mendekati pembaringan Ki Demang.

Sejenak perempuan tua itu termangu-mangu, sementara cucunya berdiri tegak di belakangnya, sedangkan Raden Rangga dan Glagah Putih masih juga berada di pintu.

Perempuan tua itu tiba-tiba saja telah meraba tangan Ki Demang. Perlahan-lahan ia berdesis, “Maafkan aku Demange. Kau tidak bersalah. Ternyata aku salah menilai sikapmu selama ini.“ Ki Demang masih akan menjawab. Tetapi tidak sempat, karena perempuan tua itu tiba-tiba terhuyung-huyung. Untunglah cucunya cepat menangkapnya. Demikian pula Nyi Demang.

“Ibu,“ desis Ki Demang yang hampir saja meloncat bangkit.

Tetapi Raden Rangga cepat pula mencegahnya. “Jangan bangkit,“ berkata Raden Rangga, “Ki Demang masih dalam keadaan sakit.“

Ki Demang menjadi terengah-engah. Sementara itu Glagah Putih telah membantu menahan ibu Ki Demang yang ternyata menjadi pingsan. Tubuh yang berkeriput karena umurnya itu pun kemudian telah diangkat dan dibawa ke bilik sebelah. Beberapa orang kemudian menjadi sibuk. Berbagai usaha telah dilakukan oleh Nyi Demang, sehingga akhirnya perlahan-lahan perempuan tua itu telah membuka matanya.

“Aku berada dimana?“ suaranya sangat lemah.

“Di Kademangan, Ibu,“ jawab Nyi Demang.

Perempuan tua itu menarik nafas dalam-dalam. Ia mencoba mengumpulkan ingatannya, sehingga akhirnya ia menyadari seluruhnya apa yang telah terjadi. Ternyata usahanya untuk menahan gejolak hatinya sehingga matanya tidak menitikkan air mata, telah berakibat sangat berat bagi perasaannya. Pada saat tekanan itu sampai ke puncak, maka ia telah menjadi pingsan.

“Nyai,“ berkata Glagah Putih yang datang pula ke bilik itu, “Nyai sebaiknya membesarkan hati Nyai. Beruntunglah bahwa segala sesuatunya belum terjadi. Anak Nyai kedua-duanya masih selamat. Cucu Nyai itu pun kini masih ada di samping Nyai. Karena itu, anggap saja semuanya sebagai satu rnimpi yang buruk di dalam tidur Nyai. Setelah Nyai bangun, maka tidak ada apapun yang telah terjadi.“

Perempun tua itu memandangi wajah Glagah Putih sejenak. Namun akhirnya iapun berkata dengan suara lunak, “Terima kasih Anak Muda. Bukankah kau dan kawanmu yang seorang itulah yang telah menyelamatkan keluarga ini dari kehancuran?“

“Ya,“ jawab cucu perempuan itu, “kedua orang kawanku inilah yang telah menolong, bukan hanya aku saja, tetapi seluruh keluarga kita.“

Perempuan tua itu mengangguk-angguk. Sementara itu Nyi Demang telah menyiapkan minuman hangat bagi mertuanya. Ketika ia singgah di bilik suaminya, Ki Demang masih ditunggui oleh Raden Rangga.

“Bagaimana dengan Ibu?“ bertanya Ki Demang.

“Ibu sudah sadar sepenuhnya,“ jawab Nyi Demang, “nampaknya tidak ada akibat yang sungguh-sungguh. Agaknya ibu hanya menahan gejolak perasaannya saja, sehingga ia menjadi pingsan.“

Ki Demang mengangguk kecil. Namun kemudian ia berdesis, “Syukurlah.“

Dalam pada itu, maka perempuan tua itu pun kemudian berusaha untuk bangkit. Diminumnya air hangat yang disiapkan oleh menantunya. Ketika tubuhnya terasa menjadi segar, maka mulailah air matanya mengambang di pepuluk matanya. Namun air mata itu tidak mengalir sebagaimana seseorang yang sedang menangis.

Dalam pada itu, ketika semuanya sudah menjadi jernih, maka Raden Rangga dan Glagah Putih pun telah meninggalkan ruangan itu. Ternyata anak Ki Demang mengikutinya ketika keduanya kembali ke bilik yang disediakan bagi mereka.

“Syukurlah bahwa Raden masih berada di sini bersama Glagah Putih,“ berkata anak Ki Demang itu, “segala salah paham dapat diatasi.“

Raden Rangga mengangguk-langguk. Katanya, “Mudah-mudahan Ki Demang dapat mengambil, keputusan yang bijaksana. Yang bersalah itu adalah adiknya sendiri.”

Anak Ki Demang itu mengangguk-angguk.

“Namun agaknya kami sudah tidak banyak diperlukan lagi di sini. Menurut pengamatan kami, Ki Demang akan sembuh meskipun perlahan-lahan. Sementara itu persoalan baru yang timbul karena sikap nenekmu, agaknya sudah dapat di atasi pula. Karena itu, maka sudah waktunya kami meninggalkan tempat ini,“ berkata Raden Rangga.

“Jangan tergesa-gesa,“ minta anak Ki Demang, “ternyata banyak kemungkinan dapat terjadi.“

“Tetapi pamanmu sudah menyadari kesalahannya,“ berkata Raden Rangga, “itu adalah permulaan dari penyelesaian yang nampaknya akan lancar dan tidak berakibat buruk bagi kademangan ini.“

Anak muda itu mengangguk kecil. Namun ia masih berkata, “Baiklah. Tetapi aku berharap bahwa kalian tidak berangkat sekarang. Tetapi biarlah besok jika Nenek sudah tidak lagi diguncang oleh perasaannya. Dengan demikian maka pertolongan kalian akan tuntas.“ 

Raden Rangga dan Glagah Putih saling berpandangan sejenak. Namun kemudian Raden Rangga berkata, “Tidak ada yang dicemaskan. Besok kami terpaksa minta diri.“

Anak Ki Demang itu tidak dapat menahannya lagi. Besok pagi-pagi sekali kedua anak muda itu akan meninggalkan Kademangan Sempulur.

Namun menjelang senja, Raden Rangga dan Glagah Putih memang masih berada di bilik Ki Demang. Kemudian mereka menyempatkan diri untuk menengok ibu Ki Demang yang ternyata juga masih saja berbaring di sebuah bilik di rumah Ki Demang. Goncangan perasaannya telah membuatnya merasa dirinya lemah sehingga ia harus berbaring saja di pembaringan.

Dari bilik pembaringan ibu Ki Demang, Raden Rangga dan Glagah Putih telah dibawa oleh anak Ki Demang itu untuk melihat-lihat padukuhan induk Kademangan Sempulur menjelang senja. Mereka berjalan menyusuri jalan padukuhan sampai ke regol yang menghadap ke arah matahari terbenam. Ketiganya tertegun ketika mereka melihat matahari yang merah perlahan-lahan mulai tenggelam sehingga langit pun menjadi buram karenanya.

Namun perhatian Raden Rangga dan Glagah Putih segera beralih kepada dua orang yang berjalan mendekati regol itu. Beberapa langkah di hadapan mereka bertiga, kedua orang itu berhenti. Sejenak keduanya nampak ragu-ragu. Namun kemudian seorang di antara mereka bertanya, “Anak-Anak Muda, apakah yang kalian lakukan di sini? Apakah kalian sedang bertugas berjaga-jaga atau tugas yang lain?“

Anak Ki Demang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun bertanya, “Aku tidak tahu maksud Ki Sanak berdua.“

“Kenapa kalian bertiga ada di sini?“ berkata orang itu menegaskan.

“Kami adalah penghuni padukuhan ini,“ jawab anak Ki Demang, “apa yang aneh jika kami berada di sini?“

Kedua orang itu mengangguk-angguk. Namun seorang di antara mereka kemudian berkata, “Apakah anak-anak muda di padukuhan ini memang sedang berjaga-jaga?“

“Setiap hari mereka berjaga-jaga,“ jawab anak Ki Demang, “di malam hari mereka berada di gardu-gardu.“

“Tetapi sudah tentu tidak di saat-saat senja seperti ini. Biasanya mereka turun ronda setelah waktunya sepi uwong,“ berkata seorang di antara kedua orang itu.

“Ya. Memang mereka belum turun ke gardu saat ini,“ jawab anak Ki Demang.

“Lalu kenapa kalian berada di sini? Bukankah bukan saatnya untuk berdiri dan merenungi sawah kalian di saat seperti ini?“ berkata orang itu. “Biasanya di saat seperti ini anak-anak muda justru berada di rumah. Memasukkan ternak ke kandang, atau barangkali menyiapkan lampu minyak, atau kerja yang lain. Tetapi kalian bertiga nampaknya tidak mempunyai kerja lain kecuali merenungi langit,“ berkata orang itu pula.

Anak Ki Demang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kerjaku sudah selesai. Kami bertiga memang ingin melihat matahari terbenam senja ini. Tetapi bukan itu yang sebenarnya penting. Kami akan pergi ke sawah. Sawah kami mendapat giliran air senja ini.“

“Memang masuk akal,“ jawab orang itu, “tetapi baiklah, sebelum kalian pergi ke sawah, aku ingin bertanya serba sedikit tentang keadaan kademanganmu ini. Menurut keterangan yang lain yang aku dengar, terjadi perselisihan antara Ki Demang dengan adiknya, sehingga adiknya sekarang ditahan.“

“O,“ anak Ki Demang itu mengangguk-angguk, “aku tidak tahu pasti. Tetapi aku juga mengetahui bahwa hal itu memang terjadi.“

“Nampaknya sebab penahanan itu tidak masuk akal,“ berkata orang itu. “Dimana adik Ki Demang itu di tahan? Kami ingin bertemu dan berbicara dengan adik Ki Demang untuk meyakinkan, apakah ia bersalah atau tidak.“

Anak Ki Demang itu mengerutkan keningnya, Katanya, “Apakah kalian akan mencampuri persoalan itu? Persoalan itu adalah persoalan Ki Demang dengan adiknya. Orang-orang kademangan ini pun tidak dibenarkannya untuk ikut mencampurinya.“

“Aku hanya ingin meyakinkan diri, apakah hal itu benar. Aku sama sekali tidak akan mencampuri persoalannya,“ jawab orang itu.

Anak Ki Demang itu menjadi ragu-ragu. Justru karena itu ia tidak segera menjawab. Raden Rangga dan Glagah Putih pun menjadi termangu-mangu. Tetapi mereka tidak segera mencampuri pembicaraan itu. Agaknya anak Ki Demang yang masih muda itu pun telah mampu mempertimbangkan banyak persoalan.

Dalam pada itu, karena anak Ki Demang itu tidak segera menjawab, maka salah seorang di antara kedua orang itu mendesak, “Tunjukkan saja dimana adik Ki Demang itu ditahan. Cukup. Kau tidak usah berbuat apa-apa.“

Namun anak Ki Demang itu menjawab, “Aku tidak tahu. Yang aku tahu, adik Ki Demang itu dibawa oleh Ki Jagabaya. Itupun aku tidak melihat sendiri. Aku hanya mendengar dari kawan-kawanku yang kebetulan melihatnya.“

“Kau jangan berbelit-belit begitu, Anak Muda. Kau tinggal di padukuhan induk kademangan ini. Kau tentu tahu, dimana adik Ki Demang itu disimpan,“ desak orang itu.

“Memang ada beberapa tempat yang mungkin dipergunakan,“ berkata anak Ki Demang, “tetapi aku tidak tahu pasti.“

“Sebutkan,“ desis orang itu.

“Mungkin di Banjar. Mungkin di rumah Ki Jagabaya, atau mungkin di rumah adik Ki Demang itu sendiri,“ jawab anak Ki Demang.

Kedua orang itu termangu-mangu. Namun kemudian mereka berbincang sejenak. Tetapi seorang di antara mereka kemudian berkata, “Aku tidak percaya jika anak muda di padukuhan induk ini tidak tahu dimana adik Ki Demang itu disimpan.“

“Mereka memang merahasiakannya,“ tiba-tiba saja Raden Rangga menyahut. “Ki Demang meskipun sedang sakit, ternyata mampu memperhitungkan, bahwa kemungkinan yang tidak diduga akan dapat terjadi.“

“Kemungkinan apa?“ bertanya salah seorang di antara kedua orang itu.

“Kemungkinan bahwa adik Ki Demang itu tidak berdiri sendiri,“ jawab Raden Rangga, “kemungkinan campur tangan orang luar yang ingin mendapat keuntungan dari perselisihan antara Ki Demang dan adiknya itu.“

Wajah orang itu menegang. Sesama mereka justru saling berpandangan. Namun mereka masih belum menunjukkan sikap yang kasar.

“Anak Muda,“ berkata orang itu kemudian, “dugan Ki Demang itu memang mungkin terjadi. Jika. kalian memberi kesempatan kepadaku untuk menemuinya, maka kalian akan dapat mengetahuinya, apakah kecurigaan Ki Demang itu benar atau tidak.“

“Ki Sanak,“ berkata Raden Rangga kemudian, “seandainya kami dapat menunjukkan tempat itu, maka apakah para penjaga akan memberimu kesempatan?“

“Kami akan menjelaskan maksud kedatangan kami,“ berkata salah seorang di antara mereka.

Yang kemudian tidak diketahui maksudnya oleh anak Ki Demang, justru Raden Rangga itu berkata, “Baiklah. Jika kau berjanji tidak akan membuat keributan, kami bersedia mengantarkan kalian.“

Anak Ki Demang memandang Raden Rangga dengan sorot mata keheranan. Namun Glagah Putih telah menggamitnya, sehingga anak Ki Demang itu tidak bertanya sesuatu.

“Bagus,“ berkata kedua orang itu hampir bersamaan. Kemudian seorang di antara mereka berkata, “Marilah. Mumpung belum terlalu malam. Kemudian kau masih sempat pergi ke sawah dan membuka pematang untuk menampung air.“

Raden Rangga-lah yang berjalan di paling depan. Kemudian baru kedua orang itu. Di belakang mereka Glagah Putih berjalan bersama anak Ki Demang.

“Apa maksud Raden Rangga itu?“ bertanya anak Ki Demang.

“Percayakan. Ia memiliki ketajaman penalaran yang luar biasa,“ bisik Glagah Putih.

Anak Ki Demang itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia yakin bahwa Raden Rangga itu tentu mempunyai maksud baik bagi kademangan itu. Apalagi ketika Glagah Putih kemudian berbisik pula, “Raden Rangga sudah mengatakan, bahwa ada kemungkinan adik Ki Demang itu mempunyai hubungan dengan orang luar yang mendukung tingkahnya, namun sudah tentu bermaksud mencari keuntungan karena peristiwa itu.“

Anak Ki Demang yang ternyata cukup cerdas itu mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Raden Rangga membawa orang itu kepada pamannya. Sejenak kemudian, maka mereka telah memasuki halaman tempat adik Ki Demang itu ditahan. Beberapa orang penjaga segera berdiri menyongsong mereka. Namun kemudian anak Ki Demang-lah yang mendahului mereka sambil berdesis, “Akulah yang membawa mereka.“

“Siapakah mereka?“ bertanya pemimpin pengawal yang bertugas.

“Aku tidak tahu. Kau dapat bertanya sendiri. Tetapi jika mereka bermaksud mengunjungi Paman, berilah kesempatan,“ berkata anak Ki Demang itu perlahan-lahan, “tetapi jangan terlalu mudah.“

“Aku tidak tahu maksudmu,“ desis pemimpin pengawal itu.

Anak Ki Demang itu termangu-mangu. Namun Raden Rangga dan Glagah Putih ternyata berhenti pada jarak yang tidak terlalu dekat bersama kedua orang itu. Karena itu anak Ki Demang itu sempat menjelaskan, “Kalian harus berpura-pura mencegah mereka menemui Paman. Namun setelah mereka lama memberikan penjelasan, barulah kalian memberikan kesempatan itu atas tanggung jawabku.“

Pemimpin pengawal itu mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Baiklah.“

Demikianlah, maka kedua orang itu telah dibawa kepada pemimpin pengawal itu, sementara anak Ki Demang berkata, “Aku sudah mengatakan kepada pemimpin pengawal itu tentang maksudmu. Tetapi terserah kepada mereka, apakah mereka mengijinkan atau tidak.“

“Kami akan berbicara langsung dengan para pengawal itu,“ berkata salah seorang dari mereka.

Raden Rangga memberi isyarat kepada anak Ki Demang, agar membiarkan kedua orang itu untuk berbicara. Namun mereka harus tetap mengawasinya dari jarak yang tidak terlalu dekat.

Namun demikian, pemimpin pengawal itupun menjadi berdebar-debar. Bagaimanapun juga sikap kedua orang itu dan tanggapan anak Ki Demang telah menimbulkan persoalan di dalam hatinya. Tetapi ketika ia melihat beberapa pengawal ada di halaman dan apalagi anak Ki Demang dan kedua orang kawannya yang dianggap memiliki kelebihan itu, hatinya menjadi tenang.

“Silahkan Ki Sanak,“ berkata pemimpin pengawal itu.

Kedua orang itupun kemudian duduk di hadapan pemimpin pengawal itu. Sejenak mereka masih sempat memperhatikan halaman rumah itu dan melihat beberapa orang pengawal yang mengawasi tempat itu dengan ketat. Dengan demikian maka kedua itu mendapat kesan, bahwa adik Ki Demang itu merupakan tawanan yang penting sekali.

“Apakah maksud Ki Sanak berdua datang kemari?“ bertanya pemimpin pengawal itu kemudian.

Dengan singkat salah seorang dari kedua orang itu berkata, “Aku ingin bertemu dengan adik Ki Demang Sempulur.“

Pemimpin pengawal itu mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Adik Ki Demang adalah seorang tawanan. Tidak ada orang yang diperkenankan menemuinya. Kecuali jika ia mendapat ijin Ki Demang sendiri.“

“Ki Sanak,“ berkata orang itu, “aku mempunyai kepentingan yang barangkali juga akan memberikan manfaat kepada kademangan ini. Aku akan dapat mengorek keterangan adik Ki Demang itu, apakah yang telah terjadi sesungguhnya, dan siapa saja yang berdiri di belakangnya.”

“Terima kasih Ki Sanak,“ berkata pemimpin pengawal itu, “nampaknya segala sesuatunya telah dianggap jelas. Ki Demang sudah mendapat gambaran pasti apakah yang telah terjadi.“

“Apa yang sebenarnya terjadi?“ bertanya orang itu.

“Tentu tidak semua orang mengetahuinya termasuk aku. Aku tidak tahu apa yang telah terjadi sebenarnya, karena aku tidak lebih dari seorang pengawal biasa,“ jawab pemimpin pengawal itu.

“Nah, dengarlah. Ki Demang itu pun belum mengetahui apa yang sebenarnya telah terjadi. Karena itu, beri kesempatan aku menemuinya. Nanti aku akan melaporkan hasil pembicaraanku dengan adik Ki Demang itu,“ berkata orang itu.

“Ki Sanak aneh,“ berkata pengawal itu pula, “Ki Sanak orang asing di sini. Bagaimana mungkin Ki Sanak dapat menyadap persoalan di dalam diri adik Ki Demang itu, sementara Ki Sanak menganggap bahwa Ki Demang sendiri tidak dapat melakukannya.“

“Sebaiknya beri kami kesempatan, agar kami tidak mempergunakan kekerasan,“ berkata orang itu. “Dengar. Aku adalah orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Aku dapat berbuat apa saja atas kademangan ini. Meskipun kami hanya dua orang, tetapi kami memiliki kelebihan yang sangat jauh dari para pengawal, sehingga jika kalian mencoba menghalangi niatku, maka kalian akan kami hancurkan.“

Pemimpin pengawal itu termangu-mangu. Tetapi anak Ki Demang itu berpesan, agar kedua orang itu jangan dipermudah untuk dapat bertemu dengan adik Ki Demang meskipun akhirnya harus diijinkan.

Karena itu maka iapun berkata, “Ki Sanak. Seperti kalian lihat, di halaman ini selain aku ada beberapa orang pengawal. Kalian hanya berdua. Apakah kalian akan mampu memaksakan kehendak kalian kepada kami?“

Kedua orang itu tiba-tiba saja tertawa. Seorang di antara mereka berkata, “Kau sangat menggelikan Ki Sanak. Jangankan hanya mereka yang ada di tempat ini. Pengawal seluruh kademangan pun tidak akan dapat mengalahkan kami.“

“Tentu mustahil,“ berkata pemimpin pengawal, “betapapun tinggi ilmu kalian, jika lawan berjumlah tidak terbilang, maka kalian tentu tidak akan mampu keluar hidup-hidup dari kademangan ini.“

“Mungkin kau benar Ki Sanak. Tetapi kau tidak membayangkan bahwa korban yang akan jatuh jumlahnya tidak terbilang pula? Mungkin lebih dari separuh orang kademangan ini akan mati bersama kami. Atau justru kami sempat melarikan diri meninggalkan kademangan ini dengan mayat yang terbujur lintang di jalan-jalan, di halaman dan di kebun-kebun,“ jawab orang itu, “atau Ki Sanak memang menghendaki demikian?“

Pemimpin pengawal itu termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja ia merasakan sesuatu yang aneh. Udara menjadi hangat. Sementara itu kedua orang itu memandanginya dengan sorot mata yang aneh.

“Nah, kau sadar, bahwa kau dan orang-orangmu tidak dapat mencegah aku?“ bertanya salah seorang dari keduanya, “Kami dapat meningkatkan panas udara itu sampai batas membakar kulitmu.“

Pemimpin pengawal itu menjadi tegang. Namun tiba-tiba saja seorang di antara kedua orang itu telah menyentuh tangannya dengan ujung jarinya. Pemimpin pengawal itu terkejut sehingga ia bergeser surut.

“Apa yang kau rasakan?“ bertanya orang itu.

Pemimpin pengawal itu menjadi gemetar. Ia benar-benar merasa ketakutan. Seandainya anak Ki Demang tidak berpesan apapun, maka ia memang merasa tidak akan dapat mencegah orang itu. Ternyata kulitnya yang tersentuh ujung jari orang itu menjadi bagaikan tersentuh api. Panas sekali, dan bahkan juga meninggalkan luka bakar sebesar ujung jari.

“Apa katamu?“ bertanya orang itu.

Pemimpin pengawal itu meraba tangannya yang luka. Kemudian dengan suara terbata-bata ia berkata, “Sebenarnya aku tidak dapat memberikan kesempatan itu. Tetapi terserah kepadamu jika kau memaksa dengan caramu ini.“

Kedua orang itu tersenyum. Seorang di antara mereka kemudian berkata, “Nah, sebaiknya kau tunjukkan. Dimanakah bilik yang dipergunakan untuk menahan adik Ki Demang itu?“

Pemimpin pengawal itupun kemudian telah membawa kedua orang itu ke sebuah bilik yang tertutup rapat dan kuat. Sebuah lubang yang mengalirkan udara ke dalam bilik itu dipagari dengan balok-balok kayu sebesar lengan, sehingga tidak mungkin bagi adik Ki Demang itu untuk menerobos keluar.

“Orang itu ada di dalam,“ berkata pengawal itu.

“Terima kasih,“ sahut salah seorang dari keduanya.

“Masuklah. Tetapi maaf, aku harus menyelarak pintu selama kalian berada di dalam Jika kalian telah selesai, panggil aku. Aku ada di sini untuk membuka selarak pintu itu lagi,“ berkata pemimpin pengawal itu.

“O, silahkan,“ jawab salah seorang dari keduanya, “selarak itu tidak akan dapat menahanku di dalam. Seandainya aku ingin keluar meskipun selarak itu masih ada, aku tidak akan mengalami kesulitan apapun juga.“

Pemimpin pengawal itu mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menjawab.

Demikianlah ketika selarak pintu itu dibuka, maka kedua orang itupun telah memasuki bilik tahanan adik Ki Demang itu.

Dalam pada itu, Raden Rangga, Glagah Putih dan anak Ki Demang pun telah mendekati pemimpin pengawal yang termangu-mangu itu. Sekali-sekali diamatinya luka bakar di tangannya oleh sentuhan jari-jari salah seorang dari kedua orang yang menemui adik Ki Demang itu.

“Kenapa tanganmu?“ bertanya anak Ki Demang.

Pemimpin pengawal itu masih gemetar. Dengan suara rendah hampir berbisik ia berkata, “Kedua orang itu memiliki ilmu yang luar biasa. Seandainya kau tidak memberikan pesan agar aku membiarkan mereka menemui adik Ki Demang, maka aku tidak akan mampu menolak niatnya.”

“Jadi, kenapa tanganmu itu?“ bertanya anak Ki Demang itu.

“Sentuhan ujung jarinya telah membakar kulitku,“ jawab pemimpin pengawal itu, “bukankah itu berarti bahwa orang itu tidak akan terkalahkan jika terjadi benturan kekerasan dengan isi kademangan ini? Celakanya jika kedua orang itu berusaha untuk membantu adik Ki Demang. Apa yang dapat kita lakukan atas mereka?“

Raden Rangga mengangguk-angguk. Namun kemudian ia berkata, “Aku lihat bekas luka bakar itu.“

Pemimpin pengawal itu menunjukkan tangannya yang terluka sambil berkata, “Luka ini terjadi hanya karena sentuhan jarinya. Ternyata jari-jari orang itu panasnya melampui bara api. Sungguh satu peristiwa yang hampir tidak dapat dipercaya.“

Raden Rangga tersenyum Katanya, “Bukan satu keajaiban. Satu peristiwa yang biasa saja.“

Pemimpin pengawal itu mengerutkan keningnya. Dengan nada heran ia berkata, “Jangan mengabaikan kemampuan mereka. Kau lihat sendiri, apa yang terjadi pada kulitku ini.“

“Aku mengerti,“ jawab Raden Rangga, “tetapi itu bukan satu hal yang berlebihan. Banyak orang yang dapat berbuat seperti itu.“

“Ah, aku tidak yakin,“ jawab pemimpin pengawal itu.

Namun Raden Rangga tertawa. Katanya, “Aku lihat sekali lagi lukamu itu.“

Pemimpin pengawal itu sekali lagi mengulurkan tangannya yang terluka. Namun dengan serta merta ia menarik tangannya. Bahkan iapun telah bergeser selangkah mundur. Hampir saja ia mengumpat. Untunglah bahwa ia mampu menahan bibirnya.

Ternyata Raden Rangga telah menyentuh pula tangan orang itu di sebelah luka bakarnya. Ujung jari Raden Rangga pun telah melukai orang itu pula. Justru lebih dalam dan lebih parah.

“Apa yang kau lakukan?“ pemimpin pengawal itu mengeluh.

Raden Rangga tertawa. Katanya, “Aku hanya ingin menunjukkan kepadamu, bahwa kemampuan itu adalah kemampuan yang wajar. Banyak orang yang mampu melakukannya. Saudaraku ini pun mampu pula melakukan hal seperti itu. Apakah kau ingin ia mencoba pula ditanganmu?“

“Tidak. Tidak,“ jawab pemimpin pengawal itu.

Raden Rangga masih tertawa. Namun katanya kemudian, “Jangan takut. Aku mempunyai obatnya.“

“Obat apa?“ bertanya pemimpin pengawal itu.

“Untuk mengobati luka bakar atau luka-luka baru lainnya,“ jawab Raden Rangga sambil mengambil sebuah bumbung kecil dari kampil kecil yang tergantung pada ikat pinggangnya. Ia mempunyai beberapa bumbung kecil di kampil itu yang berisi beberapa jenis obat.

Raden Rangga telah menyentuh obat itu dengan jari-jarinya. Kemudian diusapkannya pada kedua luka bakar di tangan pemimpin pengawal itu. Meskipun luka tidak sembuh dengan serta merta, tetapi luka itu sudah tidak terasa pedih.

“Besok luka itu sudah akan kering,“ berkata Raden Rangga, “jangan sampai tersentuh air sampai besok pagi.”

Pemimpin pengawal itu menjadi keheran-heranan. Ternyata anak-anak muda yang disebut kawan anak Ki Demang itu pun mampu melakukannya. Bahkan ia mempunyai obat yang dapat dipergunakannya untuk menyembuhkan bekas luka bakar itu.

Sementara itu, Raden Rangga yang diikuti oleh Glagah Putih itu pun bergeser dari tempatnya sambil berdesis, “Sudahlah. Tinggallah kalian di sini. Kami akan mengetahui apa yang dilakukan oleh kedua orang itu.“

Anak Ki Demang pun kemudian tinggal bersama pemimpin pengawal itu, sementara Raden Rangga dan Glagah Putih telah mendekat. Dengan sangat berhati-hati keduanya mendekati bilik tempat adik Ki Demang itu ditahan. Raden Rangga telah memberikan isyarat kepada Glagah Putih untuk berusaha menyerap bunyi yang terjadi karena sentuhan tubuhnya, sehingga orang yang berada di dalam tidak mengetahui bahwa dua orang telah mendekati dan berusaha mendengarkan percakapan mereka.

Dari tempatnya Raden Rangga dan Glagah Putih sempat mendengar pembicaraan kedua orang itu dengan adik Ki Demang, meskipun mereka berusaha untuk berbicara perlahan-lahan.

Ternyata bahwa kedua orang itu telah menawarkan sesuatu kepada adik Ki Demang. Yang kemudian didengar oleh Raden Rangga dan Glagah Putih adalah suara adik Ki Demang, “Ki Sanak. Aku telah menyadari kesalahan yang telah aku lakukan. Aku telah bersumpah di hadapan ibuku untuk tidak lagi mengeraskan hatiku dalam kesalahanku.“

“Jangan bodoh Ki Sanak,“ berkata salah seorang dari kedua orang itu, “kau memiliki hak yang sama dengan kakakmu. Kenapa tidak kau teruskan usahamu, hanya karena kau gagal membunuh kemanakanmu itu?“

“Mula-mula memang begitu. Tetapi kemudian segala-galanya telah aku lepaskan,“ jawab adik Ki Demang, “aku telah melihat, betapa rendahnya martabat seorang yang berkhianat kepada saudara tuanya sendiri. Kepada kampung halaman dan sanak kadang.“

“Kau menjadi cengeng,“ berkata salah seorang dari keduanya, “jika kau tahu rencana besar yang sedang aku susun, maka kau tentu akan bersedia bekerja sama dengan kami.“

“Rencana apa?“ bertanya adik Ki Demang.

“Kami sedang merintis jalan dari Timur menuju ke Mataram,“ jawab orang itu.

“Jalan apa?” bertanya adik Ki Demang itu pula.

“Kelak kau akan mengetahuinya,” jawab orang itu. “Untuk itu kami memerlukan tempat-tempat tertentu yang dapat mendukung gerakan kami. Kami tidak akan mengganggu daerah ini, apalagi mengisap hasilnya. Tetapi kami memerlukan tempat untuk meletakkan lumbung-lumbung persediaan makanan dan peralatan dalam garis perjalanan dari Timur menuju ke Mataram.”

“Aku tidak mengerti,” jawab adik Ki Demang.

“Kelak semuanya akan jelas jika kau bersedia untuk meneruskan rencanamu. Kami akan membantumu, merebut kedudukan kakakmu. Tidak ada orang yang akan dapat mencegah aku di sini. Dengan dukungan kami, maka jalan yang akan kau tempuh akan menjadi licin,” berkata orang itu.

“Bagaimana mungkin?” jawab adik Ki Demang, “Aku sekarang ada di dalam kurungan.”

Kedua orang itu tertawa hampir bersamaan. Salah seorang di antara mereka berkata, “Apa artinya ini buat kami. Selarak itu tidak ada artinya, sementara ruji-ruji pada lubang udara itu pun tidak akan berarti apa-apa.”

Adik Ki Demang itu menjadi berdebar-debar. Hampir di luar sadarnya ia bertanya, “Apakah maksudmu? Apakah kau dapat mematahkan ruji-ruji itu, atau selarak pintu?”

“Dengan satu jari aku dapat mematahkan setiap ruji-ruji pada lubang udara itu. Kau tidak usah heran. Bagi kami dan kawan-kawan kami, hal itu bukannya satu keajaiban,” jawab seorang dari kedua orang itu. Adik Ki Demang itu menjadi gelisah. Namun kemudian jawabnya, “Terima kasih atas kesediaan Ki Sanak. Tetapi sayang sekali, bahwa telah terjadi gejolak di dalam jiwaku. Aku merasa bahwa langkahku telah tersesat. Aku telah melangkah surut, dan di hadapan ibuku, seperti yang sudah aku katakan, aku berjanji untuk tidak melanjutkan niatku yang terkutuk ini.”

“Kau bodoh!” bentak salah seorang dari kedua orang itu, “Kau akan mendapatkan kesempatan terbaik yang tidak akan terulang kembali.”

Tetapi adik Ki Demang itu menjawab, “Maaf Ki Sanak. Aku tidak akan mungkin menjilat kembali ludah yang telah terpercik bibirku, apalagi di hadapan ibuku.”

“Apakah kau tidak membayangkan hukuman apakah yang mungkin akan ditrapkan atasmu? Kau dianggap sebagai pengkhianat dan pantas untuk dihukum mati,” berkata orang itu. “Nah, daripada kau dihukum mati, maka lebih baik bagimu untuk menyusun masa depan yang jauh lebih baik bagimu dan bagi kademangan ini.”

Tetapi adik Ki Demang itu menggeleng. Katanya, “Maaf Ki Sanak. Aku memilih menerima hukuman itu sebagai penebus kesalahan-kesalahan yang pernah aku lakukan.”

“Jangan keras kepala,” berkata salah seorang dari kedua orang itu. “Sebenarnya kau memang tidak mempunyai pilihan. Jika kami mula-mula datang dengan sikap yang manis, bukan berarti bahwa kami tidak dapat berbuat lebih keras lagi. Seharusnya kau berminat mendengar kesempatan yang kami berikan. Tetapi kau telah melakukan satu kebodohan sehingga kau telah menolaknya. Tetapi itu bukan berarti bahwa kami akan membiarkan kesempatan ini lewat. Mau tidak mau, kau harus menerima tawaranku. Memberontak dan merebut kedudukan kakakmu dengan bantuan kami. Tidak ada kekuatan yang dapat mencegah kami berdua, apalagi jika beberapa orang kawanku telah datang.”

“Jangan memaksa Ki Sanak,” berkata adik Ki Demang, “justru pada saat kesadaranku tumbuh.”

“Bukan kesadaran. Tetapi kelemahan dan kerapuhan tekad,” geram salah seorang di antara mereka.

Tetapi adik Ki Demang itu menggeleng. Katanya, “Aku sudah berketetapan hati untuk tidak melakukannya lagi.”

“Kau tidak dapat menolak,” geram salah seorang dari kedua orang itu, “karena akibatnya akan membuatmu tidak sempat menyesal.”

Adik Ki Demang itu menjadi tegang. Namun iapun dapat menerka, bahwa kedua orang itu tentu orang berilmu tinggi. Tetapi ia sendiri sudah bertekad untuk tidak lagi menjerumuskan dirinya ke dalam laku khianat terhadap saudara tuanya.

Karena itu, maka iapun kemudian justru bertanya, “Apakah sebenarnya yang kalian kehendaki dengan kademangan ini? Jika kalian memang memiliki kemampuan yang tinggi, maka kalian akan dapat memaksa Kakang Demang langsung, tanpa memperalat aku.”

“Itu tidak menguntungkan,” berkata salah seorang dari kedua orang itu, “kami adalah orang asing di sini. Sementara kau adalah orang kademangan ini sejak lahir. Karena itu, menurut pendapatku, bagaimanapun juga kau lebih mudah diterima oleh orang-orang kademangan ini daripada aku. Mereka yang menentang kehadiranmu sebagai demang, akan segera menarik diri jika mereka melihat kami dan beberapa orang kawan kami, yang akan segera datang mendukung kedudukanmu.”

Tetapi adik Ki Demang itu menggeleng, “Jangan kau paksa aku. Aku sedang mencari jalan kembali kepada ibuku yang berduka karena tingkah lakuku.”

“Ingat Ki Sanak,” berkata salah seorang di antara keduanya, “aku dapat membunuhmu di sini sekarang tanpa ada orang lain yang dapat menolongmu. Para pengawalmu tidak akan berani berbuat sesuatu atas kami berdua yang mampu membakarmu di dalam bilik ini tanpa beringsut dari tempat dudukku ini. Sementara itu, kau tidak akan dapat lari membuka pintu,” berkata salah seorang dari kedua orang itu. “Jika mereka membuka pintu, yang mereka dapati adalah mayatmu, dan pengawal yang akan memasuki bilik ini pun akan menjadi mayat pula di muka pintu.”

Adik Ki Demang itu menjadi tegang. Tetapi ia benar-benar sudah tidak mau lagi menyakiti hati ibunya yang tua, mengkhianati kakaknya, apalagi membunuh kemenakannya.

Tekadnya yang mantap itu telah membuatnya tidak lagi merasa takut apapun yang akan terjadi. Bahkan kemudian katanya, “Ki Sanak. Jika kalian ingin membunuhku, lakukanlah. Aku akan mati sebagai seorang penghuni kademangan ini yang tidak lagi mau berkhianat. Itu akan memperingan penderitaan batinku.”

“Gila,” kedua orang itu hampir bersamaan telah mengumpat. Seorang di antara mereka meneruskan, “Kau menantang kematian, he? Kau kira aku tidak dapat benar-benar melakukannya?

Adik Ki Demang itu menundukkan kepalanya. Ketika kedua orang itu kemudian bergeser di sebelah-menyebelahnya, maka ia sama sekali tidak bergerak.

“Katakan sekali lagi, apakah kau bersedia atau tidak?” desak salah seorang dari keduanya.

Namun jawab adik Ki Demang itu pun mantap, “Tidak. Aku tidak akan mengulangi pengkhianatanku.”

“Jika demikian, aku tidak mempunyai pilihan lain,” berkata salah seorang dari kedua orang itu, “daripada kau kelak mengganggu rencanaku, maka lebih baik jika kau tidak melihat apa yang akan kami lakukan.”

“Apa maksudmu?” bertanya adik Ki Demang.

“Kau menolak kerja sama. Tetapi karena kau sudah terlanjur mengetahuinya, maka mulutmu harus dibungkam untuk selamanya. Yang akan didapati tinggallah di dalam bilik ini,” berkata orang yang marah itu, “para pengawal di luar tidak akan mampu berbuat apapun juga atas kami berdua, sehingga kami akan dengan leluasa meninggalkan tempat ini.”

Wajah adik Ki Demang itu memang nampak memucat. Tetapi ia sudah bertekad bulat untuk tidak lagi berkhianat. Jika ia terlibat dalam kesulitan, itu adalah akibat tingkahnya sendiri.

“Hukuman itu datang juga akhirnya, meskipun tidak dari Kakang Demang,” berkata adik Ki Demang itu di dalam hatinya. “Tetapi biarlah aku menanggungnya. Barangkali itu memang lebih baik dari pada Kakang Demang harus mengotori tangannya.”

Ternyata bahwa adik Ki Demang itu sudah pasrah. Ia sama sekali tidak berbuat sesuatu ketika kedua orang itu bergeser maju.

Namun agaknya kedua orang itu masih ingin memaksakan kehendaknya. Seorang di antaranya telah menyentuh tubuh adik Ki Demang dengan ujung jarinya, sebagaimana dilakukannya atas pengawal di luar bilik itu.

Adik Ki Demang mengaduh tertahan. Sementara itu kedua orang itu tertawa. Seorang di antaranya berkata, “Aku dapat melubangi seluruh tubuhmu dengan luka bakar seperti itu. Jika aku menyentuh tubuhmu dengan telapak tanganku, maka luka yang membekas di tubuhmu adalah bekas telapak tanganku itu. Kau akan mati dalam keadaan yang mengerikan.”

Tetapi adik Ki Demang ternyata memang bukan seorang pengecut menghadapi sikapnya terakhir. Karena itu, maka iapun kemudian justru menggeram, “Lakukan apa yang kau ingin lakukan. Jangan membuat aku semakin muak terhadap tingkah laku kalian.”

Suara adik Ki Demang itu terputus. Seorang di antara kedua orang itu telah memukul pipinya justru ketika tangannya sedang membara. Sehingga karena itu, maka pipi adik Ki Demang itu pun bagaikan terkelupas kulitnya, sehingga betapa perasaan nyeri telah menyengatnya.

“Aku akan membunuhmu perlahan-lahan, Iblis,” geram orang itu.

Adik Ki Demang yang kesakitan itu menggeretakkan giginya untuk tetap bertahan. Namun ia memang tidak merubah pendiriannya. Apapun yang akan terjadi sudah tidak lagi menjadi persoalan lagi baginya.

Justru karena itu, maka sikapnya pun menunjukkan sikap seorang laki-laki yang tidak gentar menghadapi ancaman yang bagaimanapun juga, bahkan maut sekalipun. Justru dengan dada tengadah adik Ki Demang itu menatap kedua orang itu berganti-ganti tanpa perasaan gentar. Bahkan adik Ki Demang itu sempat menggeram, “Kalian jangan mencoba menjadikan kampung halaman ini menjadi salah satu alas pemberontakan terhadap Mataram. Jika aku berkhianat, adalah persoalan kecil yang terjadi di kademangan ini. tetapi aku dan isi kademangan ini akan tetap setia kepada Panembahan Senapati.”

Orang itu tertawa. Katanya, “Mataram yang goncang itu sebentar lagi akan runtuh. Apa yang kita dapatkan dari Mataram sekarang ini? Sudahlah, bersiaplah untuk mati.”

Adik Ki Demang itu tidak menjawab lagi. Ia sudah benar-benar bersiap untuk mati. Ia sudah pasrah apapun yang akan dilakukan oleh kedua orang itu atas dirinya.

Adik Ki Demang itu sama sekali tidak berniat untuk melawan. Ia sadar, bahwa hal itu tidak akan ada gunanya. Bahkan hanya akan menambah kesulitan pada saat-saat terakhirnya.

Namun dalam pada itu, yang tidak diduga itupun telah terjadi. Tiba-tiba pintu bilik itu berderak ketika selaraknya terjatuh. Sejenak kemudian maka pintu itu pun telah terbuka. Dua orang anak muda telah berdiri di muka pintu.

Orang-orang yang ada di dalam bilik itu memandangi Raden Rangga dan Glagah Putih dengan tatapan mata yang aneh. Adik Ki Demang itu pun menjadi curiga melihat kehadiran kedua orang anak muda yang, telah menangkapnya itu. Tetapi kedua orang yang ada di dalam biliknya itu pun menjadi curiga pula melihat sikap keduanya.

Raden Rangga yang berdiri di depan memandang kedua orang itu berganti-ganti. Kemudian tiba-tiba saja ia bertanya, “Kenapa pipimu itu Ki Sanak?”

Adik Ki Demang itu termangu-mangu. Namun hampir tidak sadar ia berkata, “Tangan orang inilah yang telah mengelupas kulitku.”

Raden Rangga mengangguk-angguk. Katanya, “Luar biasa. Ternyata kalian memiliki kemampuan yang sangat tinggi. Namun sayang, menilik pembicaraan kalian, maka kalian bukan orang yang baik. Jika adik Ki Demang itu sekedar ingin menguasai sebuah kademangan, maka kalian telah bersiap-siap untuk memberontak terhadap Mataram.”

“Siapa kau, anak-anak yang tidak tahu diri?” bertanya salah seorang di antara kedua orang itu.

“Kami adalah kawan-kawan bermain anak Ki Demang,” jawab Raden Rangga, “karena itu, maka kami merasa keheranan mendengar semua pembicaraanmu. Seolah-olah apapun yang kau lakukan tidak akan dapat dicegah. Seandainya adik Ki Demang itu berkuasa, apakah kau kira ia mau berkhianat terhadap Mataram?”

“Anak iblis,” geram salah seorang di antara keduanya sambil melangkah mendekat, “apa kau sadari tingkah lakumu itu, he?”

“Tentu,” jawab Raden Rangga, “aku ingin memperingatkanmu, agar kau tidak berbuat sewenang-wenang di sini. Kau kira kau mempunyai hak untuk membunuh meskipun adik Ki Demang itu bersalah?”

“Aku tidak ingin mendengar pendapatmu!” bentak orang itu. Namun Raden Rangga pun telah membentak pula, “Aku tidak peduli! Ingin atau tidak ingin dengar pendapatku, pergi dari tempat ini! Jangan ganggu ketenangan Kademangan Sempulur yang baru saja digoncang oleh pertentangan antara Ki Demang dan adiknya, yang nampaknya sudah dapat diselesaikan. Adik Ki Demang sudah menyadari kesalahannya. Karena itu jangan mengganggu lagi.”

“Kau memang harus dibungkam,” geram orang itu “jika tidak, mulutmu akan menyebarluaskan peristiwa ini, melampaui adik Ki Demang itu sendiri.”

“Tentu, aku akan menyampaikan berita ini ke Mataram secara langsung,” jawab Raden Rangga.

Seperti dilakukan atas adik Ki Demang, maka orang itu mengayunkan tangannya untuk menampar mulut Raden Rangga. Tetapi Raden Rangga telah bersiap menghadapinya. Ia tidak mau dilukai seperti adik Ki Demang itu. Karena itu, maka iapun telah meningkatkan daya tahannya dan telah mempersiapkan kemampuannya, sebagaimana dapat dilakukan oleh orang itu.

Karena itu, ketika tangan orang itu terayun, maka Raden Rangga telah menangkisnya.

Dua kekuatan ilmu yang mirip, telah berbenturan. Keduanya memiliki pancaran panas yang dapat membakar.

Namun satu hal yang berbeda. Raden Rangga tahu pasti akan kekuatan lawannya, sementara itu, orang yang menamparnya tidak mengetahui bahwa Raden Rangga juga memiliki kekuatan sebagaimana dimilikinya.

Karena itu, ketika terjadi benturan, maka orang itu berteriak mengumpat dengan kasar. Ternyata sentuhan dengan tubuh Raden Rangga itu rasa-rasanya telah membakar kulitnya. Meskipun daya tahannya yang jauh melampaui daya tahan adik Ki Demang telah melindungi kulitnya sehingga tidak terkelupas, namun kulitnya itu pun telah membekas kemerah-merahan, sementara panas yang terpancar dari tubuh Raden Rangga telah menggigitnya.

Raden Rangga-pun telah disengat oleh panasnya kekuatan orang itu. Tetapi ia telah mempersiapkan diri jauh lebih baik dari orang itu, sehingga ia sama sekali tidak terkejut karenanya. Kulitnya memang juga menjadi kemerah-merahan. Namun ia masih sempat tersenyum sambil berkata, “Nah, kau lihat, bahwa kau bukan satu-satunya orang yang memiliki kemampuan seperti itu, sehingga kau tidak akan dapat dengan semena-mena membunuh di sini.”

“Setan alas,” geram orang itu, “kalian anak-anak ingusan merasa diri kalian mampu menghadapi kami berdua.”

“Kami akan mempersilahkan kalian pergi dan tidak kembali lagi ke Kademangan Sempulur,” berkata Raden Rangga.

“Persetan,” sahut orang itu, “ternyata kaulah yang harus dibunuh lebih dahulu. Baru adik Ki Demang ini.”

Tetapi Raden Rangga justru tersenyum. Katanya, “Halaman ini cukup luas untuk menentukan, siapakah di antara kita yang lebih baik.”

Orang itu menggeretakkan giginya. Kemudian iapun berpaling kepada kawannya sambil berkata, “Kita menghadapi persoalan yang tidak pernah kita duga sebelumnya. Marilah, kita selesaikan anak-anak ini lebih dahulu.”

Kawannya menjadi tegang. Dengan suara garang ia berkata, “Darimana anak-anak itu mampu memiliki ilmu yang pantas kita perhitungkan?”

“Itulah yang perlu kita ketahui nanti,” berkata orang yang pertama.

“Nah,” berkata Raden Rangga, “apakah kita akan turun ke halaman?”

“Persetan,” geram orang itu.

Raden Rangga dan Glagah Putih pun melangkah surut. Sementara itu kedua orang itu pun telah bergerak pula, mengikuti Raden Rangga dan Glagah Putih turun ke halaman.

Dengan isyarat Raden Rangga minta agar pintu itu diselarak kembali, agar adik Ki Demang tidak ikut keluar dari ruangan itu. Bagaimanapun juga, ia adalah seorang tawanan yang tidak boleh berbuat sesuka hatinya.

Anak Ki Demang-lah yang kemudian telah menutup dan menyelarak pintu bilik pamannya.

Sementara itu, Raden Rangga dan Glagah Putih telah berada di halaman sebagaimana kedua orang yang telah mendatangi adik Ki Demang itu. Dengan nada geram seorang di antara kedua orang itu bertanya, “Apakah kalian memang ingin membunuh diri?”

Raden Rangga tertawa. Katanya, “Kau sudah tahu, bahwa kami memiliki kemampuan sebagaimana kau miliki. Bahkan kau bangga-banggakan.”

“Hanya pada permukaannya saja. Tetapi kau tidak akan mampu mengimbangi kemampuan penggunaan ilmu itu dalam benturan kekerasan. Kau kira, jika kau sudah memiliki bekal ilmu yang sama, maka kau tentu akan mampu mengimbangi kami dalam pertempuran yang sebenarnya?” bertanya salah seorang dari keduanya.

“Itulah yang akan kita coba sekarang. Siapakah di antara kita yang memiliki kematangan dalam perkembangan ilmu yang dasarnya kita miliki bersama,” berkata Raden Rangga.

“Anak ingusan yang sombong,” geram orang itu.

“Agaknya umur bukan satu-satunya penentu,” jawab Raden Rangga, “siapa tahu kau telah menyia-nyiakan tahun-tahun dalam perjalanan hidupmu.”

“Persetan,” potong orang itu, “bersiaplah.”

Raden Rangga berpaling ke arah Glagah Putih sambil berkata, “Marilah kita bersiap. Kedua orang itu akan mencoba menunjukkan kemampuannya.”

Glagah Putih mengangguk kecil. Namun iapun kemudian bertanya, “Tetapi siapakah sebenarnya mereka?

“Mereka tidak akan mengatakannya,” jawab Raden Rangga.

“Belum tentu,” desis Glagah Putih, “mereka sudah menyebut serba sedikit tentang kepentingan mereka. Mereka sedang menyiapkan garis perjalanan dari Timur Ke Mataram.”

“Hanya itu,” jawab Raden Rangga pula. Namun kemudian katanya “Tetapi baiklah. Aku akan mencoba bertanya.”

“Gila!” salah seorang dari kedua orang itu membentak, “Kau kira kami sedang bermain-main dengan tugas kami?”

“Bukan begitu Ki Sanak,” berkata Raden Rangga, “sebab sepengetahuan kami, justru ada orang-orang yang sedang dalam perjalanan dari Mataram ke Timur. Kini Ki Sanak justru berjalan dari dan ke arah yang sebaliknya.”

“Aku tidak peduli,” jawab orang itu, “yang penting bagi kami; kalian berdua harus mati. Adik Ki Demang itu pun harus mati pula. Kemudian para pengawal yang ingin membantu kalian dan adik Ki Demang itu pun harus mati pula.”

“Kalian memang aneh,” berkata Glagah Putih, “kalian yang ingin mencari dukungan untuk satu gerakan tertentu, seharusnya bersikap baik dan bersahabat. Tetapi yang kau inginkan tidak ada lain kecuali membunuh. Apakah hal itu menguntungkan?”

“Menguntungkan atau tidak menguntungkan, aku tidak peduli. Tetapi aku ingin menunjukkan, siapa yang menentang niat kami, akan kami sapu bersih dari garis perjalanan kami.”

“Jika demikian, maka kalian tidak akan pernah sampai ke Mataram. Kekuatan kalian akan hancur di perjalanan karena perlawanan wilayah yang akan kalian lalui,” berkata Glagah Putih.

“Tutup mulutmu!” bentak orang itu, “aku tidak memerlukan pendapatmu. Sekarang bersiaplah untuk mati.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang berkeliling, ternyata di halaman itu telah banyak berkumpul para pengawal yang bersenjata, bahkan anak-anak muda.

Namun tiba-tiba kedua orang itu telah bergeser mengambil jarak. Seorang di antara mereka berkata, “Marilah, siapakah yang akan ikut serta. Semakin banyak orang yang melibatkan diri, maka semakin banyak pula orang yang akan mati. Sementara itu kalian tidak akan mampu menghalangi kami kemana pun kami akan pergi.”

“Mungkin kau dapat melakukannya di tempat lain,” berkata Raden Rangga, “tetapi tidak di Kademangan Sempulur ini.”

“Omong kosong,” geram orang itu, “marilah, kita akan melihat.”

Raden Rangga dan Glagah Putih pun kemudian telah bersiap. Sementara itu, anak Ki Demang dan pemimpin pengawal yang bertugas itu berdiri termangu-mangu. Di tangannya terdapat dua buah luka bakar. Namun sudah tidak terasa sakit lagi karena obat yang diberikan oleh Raden Rangga, meskipun luka itu masih ada.

Namun dalam pada itu, bagaimanapun juga Raden Rangga dan Glagah Putih harus benar-benar mempersiapkan diri. Kedua orang itu agaknya memang petugas-petugas pilihan yang memiliki ilmu yang tinggi. Tidak sebagaimana orang-orang yang pernah mereka jumpai sebelumnya justru ke arah yang berlawanan.

Persoalan yang terjadi itu pun segera diketahui pula oleh Ki Jagabaya. Bahkan Ki Demang yang sakit pun telah mendengarnya pula. Namun beberapa orang telah menasehatkan agar Ki Demang tidak bangkit dahulu dari pembaringannya. Ki Jagabaya yang datang dengan tergesa-gesa kepada Ki Demang itu pun berkata, “Aku akan melihat apa yang terjadi Ki Demang. Sebaiknya Ki Demang tetap saja berbaring, agar keadaan Ki Demang yang sudah berangsur baik itu tidak menjadi buruk kembali.”

“Tetapi nampaknya persoalannya cukup gawat,” berkata Ki Demang.

“Hanya jika persoalannya tidak teratasi, aku akan memberikan laporan,” berkata Ki Jagabaya.

Demikianlah, Ki Jagabaya dan beberapa orang bebahu telah pergi ke tempat peristiwa yang menegangkan itu terjadi. Ketika mereka memasuki halaman, maka kedua belah pihak sudah bersiap untuk bertempur.

Ki Jagabaya menjadi termangu-mangu. Namun seorang pengawal tiba-tiba telah datang kepadanya sambil berkata, “Anak Ki Demang itu ingin menemui Ki Jagabaya.”

Ki Jagabaya itu tergesa-gesa datang kepada anak Ki Demang yang termangu-mangu di depan bilik tahanan adik Ki Demang.

“Ada apa?” bertanya Ki Jagabaya.

“Paman ingin menyaksikan pertempuran itu,” desis anak Ki Demang, “apakah Ki Jagabaya tidak berkeberatan?”

Ki Jagabaya menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya wajah beberapa bebahu yang datang bersamanya untuk mendapat pertimbangan. Namun agaknya mereka tidak berpendapat apapun juga.

Karena itu, maka Ki Jagabaya pun telah mengambil keputusan sendiri. Karena di tempat itu banyak terdapat pengawal dan bebahu kademangan, maka agaknya adik Ki Demang itu tidak akan dapat berbuat banyak.

Dengan demikian maka Ki Jagabaya itu pun berkata, “Baiklah. Mungkin ia ingin menyaksikan sesuatu yang belum pernah dilihatnya sebelumnya.”

Anak Ki Demang yang telah bertemu dengan pamannya, telah melihat luka-luka di wajah pamannya itu. Kemudian anak Ki Demang itu pun telah bercerita serba sedikit tentang kedua orang yang telah berhadapan dengan dua orang anak muda yang telah menyelamatkan jiwanya itu.

“Jadi kedua orang itu termasuk orang-orang berilmu tinggi?” bertanya Ki Jagabaya.

“Tetapi kedua anak muda itu pun memiliki ilmu yang sama pula,” jawab anak Ki Demang yang mengetahui bahwa jari-jari Raden Rangga dapat membuat luka di kulit pemimpin pengawal itu.

Atas persetujuan Ki Jagabaya, maka adik Ki Demang itu pun telah diijinkan keluar dari biliknya. Di sisi Ki Jagabaya dan diapit oleh beberapa orang bebahu dan pengawal, adik Ki Demang itu menyaksikan apa yang terjadi di halaman.

Di halaman, Raden Rangga dan Glagah Putih pun telah bergeser saling mengambil jarak sebagaimana dilakukan oleh kedua orang pendatang itu. Masing-masing menghadapi seorang lawan. Untuk beberapa saat lamanya, kedua belah pihak nampaknya masih berusaha untuk menduga kemampuan apakah yang tersimpan di masing-masing pihak.

Kedua orang pendatang yang ingin memaksa adik Ki Demang itu mengikuti perintahnya, merasa bahwa kedua anak muda itu memang memiliki kemampuan ditilik dari sikapnya. Meskipun mereka masih terlalu muda, namun tanpa bekal yang cukup mereka tidak akan berani berbuat seperti itu. Apalagi seorang di antara mereka yang telah bersentuhan ilmu dengan Raden Rangga. Maka iapun yakin, bahwa anak-anak muda itu memang memiliki kemampuan.

Tetapi dalam usia mereka, seberapa jauh ilmu yang akan dapat dijangkaunya. Meskipun mungkin mereka memiliki dasar dari ilmu yang sama, tetapi jarak pengamalan yang jauh berbeda akan mempunyai akibat yang berbeda pula.

Demikianlah, maka kedua orang yang marah itu pun kemudian telah mulai memancing pertempuran. Keduanya mulai menyerang meskipun mereka masih berusaha untuk menjajagi seberapa jauh kematangan ilmu lawan mereka. Raden Rangga dan Glagah Putih pun masih belum bersungguh-sungguh pula. Mereka menyadari, bahwa lawan-lawan mereka baru dalam tataran penjajagan, sehingga keduanya pun masih belum mengerahkan kemampuan mereka yang sebenarnya.

Namun dengan demikian pertempuran antara kedua orang pendatang itu melawan Raden Rangga dan Glagah Putih itu pun sudah dimulai.

Tetapi dalam pada itu Glagah Putih sempat berbisik, “Kita memerlukan mereka.”

Raden Rangga tersenyum. Katanya, “Jangan takut, aku tidak akan membunuh mereka. Kecuali jika terpaksa.”

Keduanya tidak sempat berbicara lebih panjang. Keduanya harus segera mengambil jarak kembali, karena kawan-lawan mereka bergerak semakin cepat.

Tetapi kedua orang pendatang itu mulai dibayangi oleh keheranan melihat tata gerak kedua anak muda itu. Nampaknya mereka pun masih belum bersungguh-sungguh. Bahkan keduanya nampaknya masih saja bermain-main.

Namun satu hal yang selalu mendapat perhatian Raden Rangga dan Glagah Putih, meskipun kedua orang itu masih sedang menjajagi kemampuan mereka, namun mereka telah menempatkan kekuatan yang mereka sadap dari panasnya api di tangan mereka, sebagaimana tangan mereka telah menyentuh tubuh adik Ki Demang.

Karena itu, maka kedua anak itu berusaha untuk tidak tersentuh oleh serangan kedua orang lawannya. Namun lawannya yang mengetahui bahwa anak-anak itu juga memiliki ilmu yang sama, telah menghindari juga serangan mereka.

Disaksikan oleh orang-orang padukuhan itu dan bahkan para bebahu kademangan, maka pertempuran itu semakin lama menjadi semakin cepat dan keras. Kedua orang pendatang itu ternyata telah meningkatkan ilmu mereka, demikian mereka sadar sepenuhnya bahwa kedua orang anak muda itu memang memiliki kemampuan dan ilmu yang tinggi.

Namun ternyata yang mereka hadapi telah mengejutkan mereka. Ketika mereka merasa sudah sampai pada satu tataran yang dapat menentukan, ternyata kedua anak muda itu masih saja melawan mereka dengan garangnya.

“Anak iblis,” geram salah seorang dari kedua orang itu, “ternyata kami tidak dapat lagi menahan diri untuk tidak melumatkan tubuhmu. Jika kami ingin membunuh, sama sekali tidak terbersit di hati kami untuk meninggalkan tubuh kalian yang hangus dan tidak dapat dikenali lagi. Kami sebenarnya ingin melihat kalian mati dengan kewajaran seorang yang mati di pertempuran. Namun ternyata bahwa kalian harus diperlakukan lain.”

Raden Rangga dan Glagah Putih mengerti, apa yang akan dilakukan oleh kedua orang itu. Dengan demikian yang dicemasnya justru orang-orang yang berada di sekitar arena pertempuran itu. Kedua orang itu akan dapat sengaja atau tidak, memancarkan segala jenis ilmunya mengenai mereka. Jika Raden Rangga sendiri dan Glagah Putih masih mempunyai kemungkinan untuk menghindari serangan itu, maka serangan-serangan kedua orang itu akan dapat menaburkan maut justru kepada orang di sekitarnya.

Karena itu, maka Raden Rangga pun kemudian telah berkata, “Baiklah Ki Sanak. Kita akan bertempur dalam puncak ilmu kita masing-masing. Tetapi kita harus sepakat, bahwa kita akan bertempur sebagai laki-laki. Kita tidak akan berbuat licik dengan menjebak orang-orang yang tidak terlibat ke dalam bencana.”

“Aku tidak peduli,” geram salah seorang dari kedua orang itu, “jika ilmuku akan membunuh semua orang di halaman ini, itu adalah karena kebodohan mereka.”

“Terserahlah apa yang kalian lakukan jika kalian memang sudah berhasil mengalahkan kami berdua. Tetapi sebelum itu, kita akan bertempur dengan baik, sebagaimana seorang laki-laki bertempur,” berkata Raden Rangga.

“Persetan,” geram lawannya.

Sementara itu Glagah Putih pun berkata kepada orang-orang yang berada di sekitar arena itu, “Minggirlah! Pertempuran ini akan dapat menjadi keras dan liar.”

Orang-orang yang berdiri di seputar arena memang menjadi heran, bahwa arena yang menurut mereka sudah cukup luas itu, masih harus diperluas lagi. Sementara itu, mereka masih belum melihat seorang pun di antara mereka mempergunakan senjata.

Meskipun demikian, orang-orang yang menyaksikan pertempuran, terutama para pengawal dan anak-anak muda itu pun telah bergeser surut. Mereka memang melihat pertempuran itu menjadi semakin garang.

Sebagaimana diduga oleh Raden Rangga dan Glagah Putih, maka kedua orang itu pun telah mengerahkan kemampuannya. Mereka tidak menarik senjata mereka, tetapi agaknya mereka akan langsung mempergunakan ilmu mereka.

Raden Rangga dan Glagah Putih pun tidak mempergunakan senjata mereka pula. Ikat pinggang Glagah Putih masih tetap melilit di lambungnya. Sementara tongkat Raden Rangga masih terselip di arah punggungnya.

Namun memang jarang sekali yang menduga, bahwa tongkat pring gading yang tidak besar itu adalah senjata Raden Rangga yang jarang ada bandingnya.

Sejenak kemudian maka pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak telah meningkatkan kemampuan ilmu mereka yang nggegirisi.

Ternyata bahwa kedua orang pendatang itu memang memiliki sebagaimana dikatakan kepada pimpinan pengawal dan adik Ki Demang. Ketika mereka sudah terlalu lama tidak dapat menundukkan kedua orang anak muda itu, maka mereka pun telah merambah ke puncak ilmu mereka.

Ternyata bahwa kedua orang itu memang memiliki kemampuan untuk memancarkan panas, bukan saja dengan sentuhan tangannya, tetapi udara di sekitarnya pun rasa-rasanya menjadi bagaikan membakar.

Karena kedua orang itu merasa tidak terlalu mudah untuk dapat menyentuh sasarannya dengan tangannya karena kecepatan gerak kedua orang anak muda itu, maka keduanya telah melontarkan udara panas untuk memperlambat kedudukan lawannya, sehingga jika mereka sudah kehilangan sebagian besar dari kemampuan pengamatan diri, maka serangan-serangan berikutnya akan dengan mudah dapat dilakukan. Anak-anak muda itu menurut perhitungan mereka tidak akan mampu bertahan lebih lama dalam udara yang panas.

Demikianlah, maka udara di halaman itu pun semakin lama terasa menjadi semakin panas. Bukan saja sekedar menghangatkan tubuh, tetapi rasa-rasanya memang bagaikan terpanggang di atas api.

Keringat mengalir dari tubuh Raden Rangga dan Glagah Putih bagaikan terperas. Meskipun keduanya telah mengetrapkan daya tahan mereka pada tataran tertinggi, namun udara panas itu masih tetap berpengaruh atas mereka, meskipun tidak separah sebagaimana disangka kedua orang lawannya.

Dalam keadaan yang demikian, maka kedua orang itu pun telah mempercepat serangan-serangan mereka. Tetapi ternyata bahwa kedua anak muda itu masih selalu mampu menghindar. Jika sekali-sekali terjadi benturan, maka kemampuan ilmu kedua anak muda itu pun telah membuat kulit mereka menjadi merah bagaikan tersentuh air yang sedang mendidih.

Namun bagaimanapun juga. udara panas itu memang tidak menyenangkan bagi Raden Rangga dan Glagah Putih, Karena itulah, maka mereka pun telah meningkatkan kemampuan mereka pula.

Mula-mula Raden Rangga dan Glagah Putih masih belum melepaskan ilmunya yang lebih berarti daripada kemampuan mereka bertempur dengan cepat. Sementara itu Raden Rangga telah memanasi telapak tangannya sebagaimana dilakukan oleh lawannya.

Raden Rangga dan Glagah Putih berusaha untuk dengan kecepatan geraknya menekan lawannya agar mereka tidak sempat membangunkan ilmunya memanasi udara di sekitar mereka.

Tetapi ternyata usaha keduanya tidak berhasil. Meskipun mereka mampu bergerak cepat dengan serangan-serangan yang beruntun, namun udara yang menjadi panas itu memang terasa sangat mengganggu.

Raden Rangga yang kemudian mulai menjadi marah, telah bersiap-siap untuk melepaskan ilmunya yang akan dapat mematahkan usaha lawannya. Tetapi cara yang ditempuhnya menurut Glagah Putih akan sangat berbahaya. Bahkan mungkin akan dapat mengancam jiwa lawannya.

Karena itu, maka justru Glagah Putih-lah yang mulai dengan mengurai senjatanya. Tanpa menunggu apa yang akan dilakukan oleh Raden Rangga, maka Glagah Putih telah membuka ikat pinggangnya.

Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Hampir di luar sadarnya ia berkata, “Kau kira dengan senjata itu kita tidak akan dapat membunuh?”

Glagah Putih tertegun sejenak. Namun ia pun kemudian menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa senjata Raden Rangga merupakan senjata yang tidak dapat diraba dengan penalarannya, sehingga memiliki kemampuan yang seakan-akan sulit dicari batasannya.

Namun ternyata bahwa Raden Rangga masih belum mempergunakan senjatanya, la masih bertempur dengan tangannya. Namun tata geraknya-lah yang telah berubah. Raden Rangga itu seakan-akan telah bergerak berputaran dengan kecepatan yang sulit diikuti dengan kemampuan yang ada pada lawannya.

Karena itulah, maka lawannya justru telah berusaha melindungi diri dengan selubung kekuatan panas yang memancar dari dalam dirinya. Ia berharap bahwa lawannya tidak akan mampu mendekatinya, apalagi menyentuhnya.

Sebenarnyalah lawan Raden Rangga memang memiliki ilmu yang tinggi. Agaknya kedua orang itu adalah orang-orang terpercaya yang harus merintis jalan dari Timur menuju ke Mataram. Karena itu. maka ia termasuk orang pada tataran tinggi dalam kepemimpinan kelompoknya.

Namun sekali-kali Raden Rangga masih mampu juga mengenai tubuh lawannya dengan tangannya yang bagaikan membara. Meskipun daya tahan lawannya cukup besar, dan ia pun memiliki ilmu yang serupa, namun lawan Raden Rangga itu harus mengeluh juga menghadapi kecepatan gerak lawannya yang masih sangat muda.

Tetapi dengan meningkatkan kemampuan ilmunya sampai ke puncak, maka ia telah membatasi gerak Raden Rangga.

Pancaran panas benar-benar telah membakar udara di sekitarnya. Sehingga dengan demikian. Raden Rangga telah mengalami kesulitan untuk dapat mendekati lawannya. Keringat yang terperas dari tubuhnya telah membuatnya bagaikan sedang mandi dan berendam di dalam telaga yang berair mendidih.

Sementara itu, Glagah Putih telah bertempur dengan senjatanya. Dengan meningkatkan kecepatan geraknya, ia telah menyerang lawannya dengan garangnya. Ikat pinggangnya berputaran bagaikan segumpal awan yang putih kecoklat-coklatan warna asap.

Namun Glagah Putih pun akhirnya mengalami kesulitan untuk mendekati lawannya karena lindungan udara panas di sekitarnya. Betapa Glagah Putih meningkatkan daya tahan tubuhnya sampai ke puncak, namun ternyata bahwa panas itu telah membuat Glagah Putih sulit untuk tetap bertahan.

Karena itu, maka perlahan-lahan ia justru telah terdesak. Lawannya yang merasa bahwa Glagah Putih itu tidak tahan menghadapi kekuatan panasnya, berusaha untuk mempergunakan kecepatan geraknya, menyerang dengan garangnya pula. Dengan demikian ia berharap bahwa anak muda yang kepanasan itu kehilangan pemusatan kemampuannya dan tidak lagi mampu mengatasinya.

Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih telah mengalami kesulitan jika ia hanya sekedar mempergunakan ikat pinggangnya saja, karena serangan-serangannya tidak dapat menjangkau tubuh lawannya jika ia tidak mau dicengkam oleh panasnya udara.

Untuk beberapa saat, Glagah Putih masih bergeser menjauh. Sementara itu orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu pun telah bergeser semakin jauh pula. Bagi mereka kemampuan kedua orang pendatang itu benar benar menakjubkan. Bahkan meskipun mereka telah semakin menjauh, namun merekapun ikut merasa, betapa panas udara telah membakar halaman itu.

Ketika Raden Rangga melihat Glagah Putih bergeser surut, maka iapun telah berkata lantang, “Nah, apa katamu? Apakah kau masih akan mempergunakan senjatamu itu untuk melawan ilmu yang luar biasa itu?”

“Memang sulit,” sahut Glagah Putih.

“Nah, bukankah bukan salah kita jika kita melawan ilmu mereka dengan ilmu yang sepadan pula?” bertanya Raden Rangga.

Glagah Putih mulai berdebar-debar. Tetapi rasa-rasanya memang tidak ada cara lain untuk melawannya. Terutama bagi dirinya.

Karena itu, maka iapun telah menjawab, “Apa boleh buat. Tetapi aku akan berbuat sebaik-baiknya.”

“Jangan terlalu sombong. Lawanmu adalah seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi,” berkata Raden Rangga.

Glagah Putih tidak menjawab. Namun dalam pada itu, pembicaraan itu dianggap sebagai satu keluhan oleh lawannya. Bahkan kecemasan bahwa kemampuannya dianggap oleh lawannya yang masih muda itu sulit untuk diimbangi.

Karena itu, maka orang itu pun telah mendesak Glagah Putih semakin berat. Puncak kekuatan ilmunya memang seakan-akan telah mengelupas kulit Glagah Putih yang harus berloncatan mengambil jarak.

Namun akhirnya seperti yang dikatakan oleh Raden Rangga, Glagah Putih tidak dapat melawan orang itu dengan ikat pinggangnya karena selubung panas yang menyelimutinya.

Karena itu, maka Glagah Putih harus mengambil cara lain. Namun Glagah Putih masih berusaha untuk mengekang dirinya. Ia masih mencari jalan untuk menundukkan lawannya tanpa membunuhnya, karena menurut Glagah Putih, orang itu akan sangat berarti bagi mereka. Pengakuan orang itu di hadapan adik Ki Demang memberikan harapan kepada Glagah Putih untuk membawanya bersama Raden Rangga ke perguruan Nagaraga.

Itulah sebabnya, maka Glagah Putih telah memilih cara yang paling lunak untuk melawan kekuatan ilmu lawannya. Kemampuannya menyadap kekuatan di seputar dirinya, telah mendorongnya untuk mempergunakan kekuatan angin, yang ditrapkan dalam kemampuan lontaran ilmu sebagaimana diajarkan oleh Raden Rangga. Karena itu, maka ketika Glagah Putih itu menjadi semakin terdesak, maka iapun telah siap untuk mempergunakan kemampuannya.

Justru itu ia telah berusaha mengambil jarak, agar kulitnya tidak terbakar. Kemudian Glagah Putih telah mengenakan kembali ikat pinggangnya. Ia harus menyerang lawannya pada jarak tertentu untuk menghindarkan diri dari panas udara di sekitar lawannya.

Ketika lawannya siap memburunya, maka Glagah Putih telah mengangkat tangannya dengan telapak tangan menghadap ke arah lawannya.

Namun ternyata bahwa Glagah Putih tidak mempergunakan kekuatan apinya yang akan dapat menyembur dan membuat lawannya menjadi hangus, sebagaimana lawannya bermain-main dengan kekuatan panasnya api, tetapi Glagah Putih telah mempergunakan kekuatan yang disadap dari kekuatan udara.

Ketika tangan Glagah Putih yang terbuka itu dihentakkannya, maka dari telapak tangan itu bagaikan berhembus angin prahara yang maha dahsyat. Hanya sekilas, menyambar lawannya yang justru sedang meloncat memburunya.

Kekuatan prahara dari tangan Glagah Putih itu telah menerpa lawannya dan melemparkannya beberapa langkah surut. Dadanya yang bagaikan dihantam oleh segumpal batu padas, membuat dadanya menjadi sesak.

Lawan Glagah Putih itu terbanting di tanah. Beberapa kali ia terguling. Namun dengan serta merta, orang itu pun telah berusaha untuk bangkit dan berdiri tegak.

Namun ternyata bahwa keseimbangannya tidak lagi utuh. Beberapa saat ia terhuyung-huyung. Namun kemudian iapun telah tegak kembali dengan susah payah.

Glagah Putih meloncat maju. Tetapi ia terhenti ketika ia melihat lawannya meloncat bangkit. Namun demikian, Glagah Putih telah bersiap untuk menyerang lagi apabila diperlukan. Bahkan dalam keadaan yang paling gawat, Glagah Putih yang memiliki kemampuan menyadap kekuatan yang ada di dalam lingkungannya sebagaimana diajarkan oleh Kiai Jayaraga, akan mampu menyerang lawannya bukan saja dengan kekuatan gerak udara, tetapi ia mampu mempergunakan kekuatan panasnya api tujuh kali panasnya bara.

Sejenak Glagah Putih termangu-mangu. Namun ketajaman penglihatannya melihat tangan lawannya yang kemudian mampu berdiri tegak itu bergerak cepat. Sejenak kemudian telah menyambar sebuah pisau kecil ke arah tubuh Glagah Putih, demikian cepatnya.

Namun Glagah Putih mampu bergerak secepat sambaran pisau kecil itu sehingga ia mampu menghindarinya.

Tetapi agaknya lawannya yang tidak lagi mampu mendesak Glagah Putih dengan kemampuan ilmu panasnya itu, telah mempergunakan pisau-pisau kecil untuk menyerang lawannya dari jarak yang lebih jauh.

Lawan Glagah Putih itu tidak ingin memberi kesempatan. Demikian Glagah Putih meloncat, maka pisau berikutnya sudah menyusulnya, sehingga Glagah Putih harus meloncat lagi menghindar. Bahkan sebelum kakinya menjejak tanah, pisau berikutnya telah menyambarnya pula, sehingga Glagah Putih harus menggeliat di udara menghindarinya.

Lawannya yang melihat kesulitan pada anak muda itu telah bergeser mendekat. Dua pisau kecil telah menyambar bersamaan, sehingga Glagah Putih akan mengalami kesulitan untuk menghindarinya.

Namun ternyata Glagah Putih justru telah menjatuhkan dirinya dan berguling sekali di tanah. Bersamaan dengan itu, sambil berbaring Glagah Putih telah menggerakkan tangannya. Kekuatan yang dahsyat telah meloncat dari telapak tangannya yang terbuka. Angin prahara yang tidak terbendung telah meluncur ke arah lawannya yang justru sedang mengayunkan pisau kecilnya ke arah tubuh Glagah Putih yang terbaring.

Namun kekuatan angin yang berhembus dari telapak tangan Glagah Putih telah membentur pisau itu, sehingga pisau kecil itu terlempar ke arah yang berlawanan. Bukan saja pisau kecil itu, tetapi kekuatan raksasa telah mendera tubuh lawan Glagah Putih. Namun justru karena Glagah Putih berbaring di tanah, maka kekuatan praharanya telah mengangkat lawannya, melemparkannya dan membantingnya jatuh, lebih parah dari serangan yang pertama. Orang itu memang berusaha juga untuk segera bangkit Tetapi tubuhnya bagaikan tidak berdaya lagi. Tulang-tulangnya seakan-akan berpatahan. Sehingga karena itu, maka iapun kemudian telah terjatuh lagi pada lututnya. Tangannya mencoba menopang tubuhnya yang terasa sangat lemah.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia kemudian bangkit, maka ia telah mengibaskan pakaiannya yang menjadi kotor.

Sementara itu, Raden Rangga pun telah melawan kekuatan ilmu yang mampu melancarkan panas itu dengan kekuatan yang dikekangnya pula. Ia tidak dengan serta merta menghancurkan lawannya seperti yang sering dilakukannya. Tetapi ia telah berusaha untuk menjinakkannya.

Karena itu, maka yang dilakukan oleh Raden Rangga adalah mengganggu pemusatan ilmu lawannya. Ia memang menyerang lawannya dari jarak jangkau kekuatan panasnya.

Ia tidak menghantam lawannya dengan kekuatan badai seperti yang dilakukan oleh Glagah Putih. Tetapi ia seakan-akan sekedar menggelitik lawannya dengan serangan-serangannya dari luar jangkauan panas lawannya.

Sentuhan-sentuhan serangan Raden Rangga memang menyakitinya. Tetapi tidak melemparkan dan membantingnya jatuh. Rasa sakit itu menyengat di lengannya, kemudian pundaknya, lambungnya dan bagian-bagian tubuhnya yang lain.

Dengan kemampuan kecepatan geraknya, ia berusaha untuk menghindari serangan anak muda itu. Namun ternyata bahwa Raden Rangga memiliki kemampuan bergerak lebih cepat, dan perhitungan yang tepat kemana lawannya akan menghindar. Meskipun satu dua serangannya gagal, namun beberapa kali ia dapat mengenai lawannya dengan hanya sebagian kecil dari kekuatan ilmunya itu.

“Gila,” geram lawannya.

Dengan kemarahan yang memuncak, maka seperti lawan Glagah Putih, orang itu telah mempergunakan senjatanya pula. Dengan kecepatan yang tinggi, ia telah menarik pisau-pisau kecil dan melontarkannya ke arah Raden Rangga

Tetapi Raden Rangga yang sudah terlanjur bersikap seperti seorang yang sedang bermain-main itu telah menarik tongkat pring gadingnya yang terselip di punggung. Dengan tongkat itu ia menangkis serangan-serangan lawannya dengan pisau-pisau kecilnya.

Lawannya mengumpat kasar. Kemarahan yang memuncak telah membuatnya mata gelap. Dengan tidak mempergunakan nalar yang jernih, ia menyerang sejadi-jadinya. Tidak hanya satu dua, tetapi ia telah melontarkan pisau itu bagaikan semburan air.

Tetapi tongkat Raden Rangga berputar dengan cepat, sehingga yang nampak bagaikan segumpal awan yang berwarna kuning menyelubunginya. Beberapa buah pisau telah membentur tongkatnya dan terlempar jauh dari tubuh Raden Rangga. Bahkan Raden Rangga itu sempat berteriak kepada orang-orang yang melihat perkelahian itu dari jarak yang agak jauh, “Hati-hatilah! Pisau itu meloncat kemana-mana. “

Orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu terkejut. Mereka bergeser lagi menjauh.

Namun sebagian di antara mereka menyaksikan pertempuran itu dengan jantung yang berdebaran. Mereka seakan-akan menyaksikan satu peristiwa yang tidak dapat dimengertinya. Apa yang terjadi itu bagaikan gejolak angan-angan anak-anak muda, yang mendambakan kemampuan yang tidak masuk akal.

Tetapi anak-anak muda yang telah menyelamatkan anak Ki Demang itu benar-benar mampu berbuat demikian. Mereka telah melakukan sesuatu di luar nalar orang-orang Kademangan Sempulur.

Ki Jagabaya yang dianggap memiliki pengalaman yang luas di samping Ki Demang sendiri, menyaksikan semua peristiwa itu dengan jantung yang berdebaran. Apa yang disaksikan itu belum pernah terjangkau oleh pengalamannya.

Dalam pada itu, adik Ki Demang yang hampir saja menjadi korban kegarangan dua orang pendatang itu pun berdiri membeku menyaksikan pertempuran yang terjadi di halaman. Ternyata bahwa apa yang dimilikinya, sama sekali tidak berarti dibandingkan dengan keempat orang yang bertempur di halaman itu. Apalagi ketika ia menyaksikan bagaimana Glagah Putih telah melepaskan kekuatan yang bagaikan prahara dari telapak tangannya. Selain sasaran yang terlempar dan terbanting jauh, maka dedaunan seakan-akan ikut terguncang, hanya karena sentuhan udara yang tergetar oleh serangan yang langsung mengenai sasarannya itu.

Sementara itu, dengan jantung yang berdebar-debar pula ia melihat Raden Rangga yang memang nampak sedang bermain-main. Bahkan sekali-sekali terdengar ia tertawa.

Kemarahan lawannya tidak terkirakan lagi. Ia memang merasa sedang dipermainkan oleh anak ingusan itu. Namun segala usahanya memang tidak berhasil. Pisau-pisaunya tidak mampu menyentuh tubuh anak muda itu, karena perlindungan senjatanya yang berputaran di sekitar tubuh nya, bagaikan segumpal awan yang menjadi perisai yang tidak tertembus.

Agaknya ia lebih senang mengalami perlakuan seperti kawannya yang sama sekali tidak mampu lagi melawan. Bahkan untuk bangkit berdiri pun ia sudah tidak dapat melakukannya lagi.

Kemarahan yang tidak tertahankan lagi itu ternyata telah membuatnya menjadi berputus asa. Ia dengan membabi buta telah menyerang lawannya. Ketika pisau-pisaunya sudah habis dilontarkannya, maka iapun telah berusaha memburu lawannya dan bertempur pada jarak dekat.

Raden Rangga masih menyerangnya dengan lontaran kekuatannya yang kecil saja mengenai tubuh orang itu. Tetapi orang itu sama sekali tidak menghiraukan lagi perasaan sakit yang menyengat-nyengat. Dengan putus asa ia memburu Raden Rangga, justru seperti laku seseorang yang sama sekali tidak memiliki kemampuan olah kanuragan.

Raden Rangga memang terkejut. Ia berusaha menahan lawannya dengan serangan-serangan pada tubuhnya sebagaimana dilakukan sebelumnya. Tetapi seperti seekor badak yang mengamuk, orang itu maju terus memburu Raden Rangga yang terpaksa bergeser surut.

“Orang ini menjadi gila,” desis Raden Rangga.

Sebenarnyalah bahwa lawan Raden Rangga itu memang sudah tidak dapat mempergunakan nalarnya lagi. Itulah sebabnya, maka yang dilakukan tidak lagi dalam batas kendali.

Raden Rangga yang tidak gentar menghadapi lawan yang betapapun garangnya, menghadapi orang yang putus asa ini menjadi berdebar-debar juga. Rasa-rasanya seperti menghadapi ketidak-wajaran, sehingga Raden Rangga tidak dapat mempergunakan ilmunya sebagaimana seharusnya. Betapapun anehnya sifat anak muda itu, tetapi Raden Rangga tidak sampai hati untuk menghancurkan orang yang justru sudah menjadi putus asa itu.

Tetapi seperti seorang perempuan menghadapi seekor cacing, terasa jantung Raden Rangga bagaikan meremang.

Tetapi Raden Rangga tidak dapat membiarkan orang itu memburunya dengan membabi buta. Serangan-serangannya yang menyakiti tubuh orang itu tidak berhasil menghentikannya.

Karena itu, oleh kegelisahannya maka Raden Rangga telah berusaha untuk mempergunakan cara yang lain. Ia telah meluncurkan serangannya, tidak langsung mengenai orang itu, tetapi ia telah mengangkat tangannya dengan telapak tangan terbuka. Dari telapak tangannya bagaikan meloncat sinar yang menyambar. Tidak langsung mengenai tubuh orang itu. Bukan saja sebagaimana dipesankan Glagah Putih bahwa orang itu masih diperlukan, namun juga justru karena orang itu telah menjadi berputus-asa.

Sinar yang meloncat dari telapak tangan Raden Rangga itu telah menyambar tanah, selangkah di hadapan orang yang sedang bagaikan menjadi mabuk dan kehilangan akal itu.

Orang itu memang terkejut. Langkahnya terhenti. Bahkan ia telah bergeser surut. Namun sejenak kemudian, ketika tanah yang bagaikan meledak di hadapan kakinya itu sudah tidak berasap lagi, iapun telah meloncat memburu anak muda itu pula.

Raden Rangga memang kebingungan menghadapi orang itu. Setiap kali ia menghentikan langkahnya dengan ledakan-ledakan di tanah karena sinar yang bagaikan menyambar dari telapak tangan Raden Rangga. Bahkan dalam keadaan yang tergesa-gesa, kadang-kadang ledakan itu telah memancarkan pasir dan debu yang mengenai orang itu, sehingga perasaan sakit di tubuhnya semakin bertambah-tambah.

Namun ternyata kegilaan orang itu semakin menjadi-jadi. Bahkan kemudian mencapai puncaknya, justru di luar dugaan. Orang yang sudah berputus asa itu ternyata masih sempat juga menyadari, bahwa ia tidak akan dapat berbuat apapun juga terhadap anak muda itu.

Karena itu, dalam keputus-asaannya, orang itu telah merubah sasaran serangannya. Ia tidak lagi memburu ke arah Raden Rangga. Namun ketika di luar sadarnya ia melihat adik Ki Demang di bawah cahaya obor di dekat seketheng, maka orang itu telah meloncat justru ke arah adik Ki Demang itu.

Sementara itu, orang yang bagaikan gila itu sudah menjadi semakin dekat, Bahkan orang itu telah melepaskan puncak kemampuan yang masih tersisa, sehingga udara di sekitarnya telah menjadi bagaikan uap yang mendidih. Seorang yang tidak memiliki daya tahan yang memadai, maka orang itu akan segera menjadi hangus dan tidak akan mungkin tertolong lagi. Karena itu, jika orang yang menjadi gila karena keputus-asaan itu berhasil menyusup di antara orang-orang Sempulur, maka sekelompok orang di sekitarnya akan terbunuh pada saat itu juga.

Raden Rangga dan Glagah Putih memang menjadi bingung. Bahkan Raden Rangga merasa bersalah, bahwa ia telah dengan sengaja mempermainkan orang itu, sehingga akibatnya menjadi sangat parah. Sementara itu lawan Glagah Putih sudah tidak berdaya lagi dan tidak mampu berbuat sesuatu.

Dalam keadaan yang tidak lagi memberi kesempatan untuk berpikir panjang, maka Raden Rangga dan Glagah Putih telah mengambil sikap yang sama meskipun keduanya tidak sempat membicarakannya.

Semua orang terkejut karenanya. Raden Rangga dan Glagah Putihpun terkejut pula.

Dalam pada itu, adik Ki Demang, Ki Jagabaya dan orang yang ada di sebelah-menyebelahnya, hatinya tergetar luar biasa. Mereka menyadari, bahwa orang itu adalah orang yang memiliki kemampuan ilmu yang sangat tinggi. Karena itu, maka tidak akan ada orang yang akan mampu mencegahnya jika orang itu berhasil mencapai adik Ki Demang dan orang-orang yang ada di sekitarnya.

Tetapi yang terjadi itu demikian cepatnya. Tidak seorangpun yang sempat menentukan sikap untuk mengatasinya. Tidak seorang pula yang sempat beranjak dari tempatnya.

Kedua orang anak muda itu telah berdiri tegak sambil menghentakkan tangannya terjulur dengan tangan terbuka.

Dua leret sinar meloncat dari dua arah. Keduanya dengan tepat telah menyambar orang yang sedang berlari menuju arah adik Ki Demang dan sekelompok orang-orang yang berdiri di sekitarnya di dekat seketheng.

Yang terjadi ternyata berakibat dahsyat sekali. Raden Rangga dan Glagah Putih sama sekali tidak bermaksud melakukannya. Serangan yang menyambar dari seorang di antaranya sudah berakibat parah. Apalagi dua kekuatan yang dengan tergesa-gesa dihentakkan di luar batas kendali.

Orang yang sedang berlari itu tiba-tiba saja bagaikan telah terlempar ke udara. Terdengar jeritan mengerikan. Namun kemudian diam membeku ketika tubuh itu terjatuh di tanah.

Akibat kekuatan ilmu Raden Rangga dan Glagah Putih memang dahsyat sekali. Ketika tubuh itu terbaring diam di tanah, maka barulah orang-orang itu dapat melihat di bawah keremangan cahaya obor di seketheng.

Raden Rangga menundukkan kepalanya dalam-dalam, sementara Glagah Putih justru telah memutar tubuhnya membelakanginya. Penyesalan yang dalam telah menghunjam ke dalam jantung mereka berdua. Namun yang terjadi itu benar-benar di luar kemampuan pengendalian diri, karena yang terjadi itu demikian tiba-tiba.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar