Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 205

Buku 205

Ternyata Glagah Putih tidak sempat menjawab. Orang yang marah itu pun telah meloncat dan menyerangnya. Ia benar-benar ingin segera membunuh Glagah Putih, agar iapun dengan cepat membunuh putra Panembahan Senapati itu pula. Menurut perhitungannya maka anak itu tidak akan memiliki kemampuan setinggi anak Panembahan Senapati, yang tidak segera dapat dikalahkan oleh saudara seperguruannya.

Glagah Putih mernang agak terkejut. Tetapi ia masih sempat menghindari serangan itu, meskipun hampir saja ia terjatuh.

Orang yang menyerang itu memang menjadi semakin marah, bahwa ia tidak dapat langsung melumpuhkan anak yang dengan sombong mencoba mengganggunya itu.

Dengan cepat orang itu telah bersiap untuk menyerang. Tetapi ternyata bahwa Glagah Putih pun telah bersiap pula. Justru ia menjadi semakin berhati-hati menghadapi lawannya itu.

Karena itulah, maka sejenak kemudian telah terjadi pertempuran yang sengit. Ketika orang itu menyerang dengan segenap kemampuannya, agar segera dapat membunuh Glagah Putih, maka Glagah Putih pun telah mengimbanginya. Meskipun agak terkejut juga karena tiba-tiba saja lawannya telah berada di puncak kemampuan, maka Glagah Putih pun telah menghentakkan ilmunya pula.

Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih memang telah memiliki dasar kemampuan yang mumpuni. Dalam permainannya yang khusus dengan Raden Rangga, maka setiap kali Glagah Putih telah terpaksa menghentakkan kemampuannya dengan sepenuh daya kekuatan di dalam dirinya, untuk memancarkan kemampuannya itu melampaui kewajaran dan tataran yang sedang dititinya. Namun setiap kali ia berhasil membuat loncatan-loncatan yang tidak diperolehnya dengan latihan yang wajar.

Setiap kali ia berlatih bersama Raden Rangga, maka setiap kali ia haras memaksa diri untuk melakukan sesuatu di atas tataran kemampuannya. Namun ternyata bahwa dengan memaksa diri itu, ia selalu berhasil meningkan ilmunya walau hanya selapis.

Dalam pada itu, maka pertempuran antara Glagah Putih dengan lawannya itu pun langsung berada pada tataran tertinggi dari ilmu masing-masing. Lawan Glagah Putih itu ternyata mampu membuat Glagah Putih menjadi agak kebingungan karena kecepatannya bergerak. Namun akhirnya Glagah Putih pun mampu menyesuaikan dirinya. Ia menghadapi lawannya dengan sangat berhati-hati. Ia mencoba mengamati setiap perubahan sikap kaki dan gerak. Dengan demikian maka Glagah Putih mulai dapat membaca apa yang akan dilakukan oleh lawannya. Sehingga dengan demikian, maka Glagah Putih pun mampu menyesuaikan dirinya.

Lawannya memang benar-benar menjadi heran. Bahwa anak muda yang bukan putra Panembahan Senapati itu pun mampu mengimbangi ilmunya. Karena itu, maka akhirnya orang yang memang ingin dengan cepat membunuh Glagah Putih itu telah memutuskan untuk mengetrapkan ilmu pamungkasnya.

Ketika Glagah Putih dengan tangkas melenting menghindari serangannya, maka orang itu pun telah mengetrapkan ilmunya itu. Kakinya telah dihentakkannya ke tanah sehingga tanah pun bagaikan tersirat memancar ke arah Glagah Putih, seperti air saja yang ditepuk dengan kerasnya ke satu arah tertentu.

Glagah Putih terkejut sekali. Ia sadar, bahwa tanah itu tentu bukan sekedar tanah yang dibaurkan begitu saja, karena dilakukan atas landasan ilmu tertentu. Karena itu, maka sekali lagi Glagah Putih telah melenting dengan mengerahkan segenap kekuatan yang ada di dalam dirinya.

Ternyata Glagah Putih mampu melenting jauh lebih panjang dari yang diperkirakannya sendiri, keluar dari taburan tanah yang menghambur karena kaki lawannya.

Namun lawannya telah melakukannya sekali lagi. Sambil meloncat maju ia telah menghentakkan kakinya di atas tanah. Dan segumpal tanah pun telah menghambur lagi ke arahnya. Dengan demikian maka sekali lagi Glagah Putih harus melenting untuk menghindar.

Tanah yang terhambur yang menghantam rumpun bambu dan pepohonan itu pun telah menimbulkan suara bagaikan prahara. Ranting-ranting dan carang-carang, bahkan beberapa batang bambu pun telah berpatahan.

Yang kemudian terdengar adalah suara Raden Rangga lantang dari lingkaran pertempuran yang terpisah. “Dahsyat sekali. He, kau belajar dari siapa?”

“Persetan,“ geram lawan Glagah Putih itu. Namun sebenarnyalah hatinya telah terguncang melihat lawannya yang masih muda itu mampu menghindari serangannya yang dilakukan sampai dua kali. Ia tidak menyangka bahwa seseorang, apalagi yang masih sangat muda, mampu meloncat sedemikian jauhnya.

Dalam pada itu, lawan Raden Rangga yang juga seperguruan dengan lawan Glagah Putih itu pun mampu pula melakukan sebagaimana dilakukan oleh saudara seperguruannya itu. Namun ternyata bahwa ia masih belum mempergunakannya, bahkan ragu-ragu.

“Suara gemeresak itu akan dapat mengundang perhatian,“ berkata orang itu di dalam hatinya.

Namun ternyata saudara seperguruannya yang baru datang itu telah melakukannya.

“Kau dapat memanggil para prajurit,“ desis lawan Raden Rangga.

“Persetan,“ geram saudara seperguruannya, “jika mereka segera terbunuh, maka kita akan dengan cepat meninggalkan tempat ini. Tetapi jika kau tidak sampai hati melakukannya atas anak itu, akulah yang akan melakukannya.“

Saudara seperguruannya yang bertempur melawan Raden Rangga itu masih saja ragu-ragu. Ia mengakui bahwa lawannya benar-benar memiliki ilmu yang tinggi. Jika ia melakukannya, maka justru akan merugikannya. Suara gemeresak dan lawannya akan dapat menghindar sebagaimana ternyata pada anak muda yang seorang itu.

Menurut perhitungannya, lebih baik melarikan diri meninggalkan arena itu daripada dikepung oleh prajurit Mataram dan kemudian menjadi tangkapan.

Namun saudara seperguruannya masih juga berusaha menyerang Glagah Putih. Sekali lagi ia menjejakkan kakinya di tanah dan membaurkan tanah yang menghantamnya.

Tetapi sekali lagi Glagah Putih menghindar. Ia memang mampu meloncat beberapa langkah lepas dari sentuhan serangan lawannya, walau hanya sebutir kerikil kecil sekalipun.

Namun Glagah Putih tidak membiarkan dirinya menjadi sasaran serangan yang berbahaya itu. Ketika terdengar suara prahara karena tanah yang memancar itu menghantam pepohonan dan rumpun-rumpun bambu sehingga berpatahan, Glagah Putih telah mengurai ikat pinggangnya.

Sementara itu, lawan Raden Rangga pun agaknya terdorong pula untuk melakukannya. Ia tidak dapat melarikan diri sendiri dan meninggalkan saudara seperguruannya. Sementara itu ia mengerti benar sifat saudara seperguruannya itu, bahwa ia tentu tidak akan mau meninggalkan arena itu sebelum membunuh lawannya.

Meskipun lawan Raden Rangga itu menyadari bahwa serangannya akan sia-sia, namun iapun melakukannya juga. Dihentakannya kakinya di tanah dan berbaurlah tanah bagaikan dilontarkan menebar ke arah Raden Rangga.

“O,“ suara Raden Rangga melengking, bahkan kemudian terdengar ia tertawa, “kau juga ikut bermain-main seperti itu.“

“Gila,“ geram lawannya. Namun ia tidak melakukannya lagi. Ia justru mengerahkan kemampuannya pada kecepatan gerak yang memungkinkannya menghindari serangan-serangan anak muda itu. Bahkan setiap kali ia telah didorong satu keinginan untuk melarikan diri. Ia sudah tidak mempunyai harapan lagi untuk memenangkan pertempurannya dengan anak yang masih terlalu muda yang menyebut dirinya putra Panembahan Senapati itu.

Namun sementara itu, saudara seperguruannya masih saja melakukannya. Ia masih saja menyerang Glagah Putih dengan ilmunya yang bagaikan menimbulkan prahara. Bukan karena guncangan angin yang deras memutar dedaunan, tetapi karena semburan tanah yang berbaur menghantam pepohonan. Meskipun pepohonan itu memang terguncang, tetapi karena batang-batangnyalah yang berpatahan.

Dalam keadaan yang demikian, Glagah Putih pun telah bertekad untuk membalas serangan itu. Karena itulah, maka dalam kesempatan yang terbuka, Glagah Putih tidak berusaha menjauhi lawannya. Tetapi ia justru meloncat dengan cepatnya mendekatinya. Menurut pengamatannya, lawannya memerlukan waktu untuk mempersiapkan serangan berikutnya dari serangan sebelumnya. Dan waktu itu dapat dipergunakan oleh Glagah Putih.

Lawannya terkejut melihat kecepatan gerak Glagah Putih yang seperti bayangan yang terbang mendekat. Sebelum ia sempat melakukan serangan berikutnya, Glagah Putih telah berada di sebelahnya mengayunkan ikat pinggangnya.

Dengan gugup lawannya itu terpaksa meloncat menghindar. Namun orang itu pun telah dikejutkan karena ikat pinggang anak muda itu yang tidak mengenainya telah membentur sebatang pohon. Pohon yang tidak terlalu besar itu telah terguncang. Bahkan pohon itu pun kemudian telah roboh hampir menimpa dirinya.

Glagah Putih tidak membiarkannya lawannya mendapat kesempatan. Justru karena Glagah Putih berusaha melindungi dirinya dari serangan yang sangat berbahaya itu, maka iapun telah kehilangan kendali atas pelepasan ilmunya, lewat ayunan ikat pinggangnya.

Karena itulah, maka sejenak kemudian, Glagah Putih telah melenting menyusul orang yang sedang menghindarkan diri dari batang yang roboh itu. Satu ayunan yang keras mengarah ke lambung lawannya.

Lawannya memang berusaha mengelak. Tetapi malang baginya, ujung ikat pinggang itu masih menyentuhnya. Yang terdengar adalah keluhan tertahan. Bahkan kemudian umpatan kasar. Yang terkena ujung ikat pinggang Glagah Putih adalah lambung orang itu meskipun hanya segores, dan justru tangannya sebelah kiri. Tulang tangannya itu bagaikan telah menjadi remuk karenanya, sementara itu lambungnya pun telah terkoyak.

Orang itu meloncat surut untuk mengambil jarak, tetapi Glagah Putih justru telah memburunya. Sekali lagi Glagah Putih mengayunkan ikat pinggangnya. Dan sekali lagi Glagah Putih mengenainya meskipun lawannya berusaha menggeliat menghindar. Ujung ikat pinggang Glagah Putih telah menyentuh dada orang itu.

Di dada orang itupun telah menganga luka sejengkal. Tetapi yang paling parah adalah, hentakan itu bagaikan telah menghimpit dadanya dan menyumbat pernafasannya.

Saudara seperguruan orang itu pun melihat apa yang terjadi padanya. Karena itu maka iapun yakin, bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan kedua orang anak-anak muda itu. Jika saudara seperguruannya itu akan dapat dilumpuhkan dan tidak mampu lagi melawan, maka ia tidak akan membiarkan dirinya ikut tersekap sebagai tangkapan.

Karena itu, maka iapun telah berniat untuk meninggalkan arena itu. Ia tidak sempat memikirkan saudara seperguruannya, dan tidak ada kesempatan untuk mempertanyakannya.

Dalam pada itu, orang yang terluka itupun agaknya menyadari kenyataan yang dihadapinya. Karena itu, maka saat terakhir selagi ia masih mampu berbuat sesuatu, maka iapun berteriak, “Tinggalkan tempat ini! Cepat!“ Suaranya melengking keras, seakan-akan sekaligus orang itu ingin melepaskan satu teriakan kesakitan

Glagah Putih yang sudah meloncat mendekat sambil mengangkat ikat pinggangnya justru tertegun melihat keadaan lawannya itu yang masih berdiri di atas lututnya, berpegangan sebatang pohon gayam. Karena itu, melihat lawannya yang sudah tidak berdaya, Glagah Putih mengurungkan niatnya untuk sekali lagi menyerang lawannya dengan ikat pinggangnya.

Namun Glagah Putih terlambat menyadari kemenangannya. Lawannya benar-benar dalam keadaan yang gawat. Ketika pegangannya telah terlepas maka tubuhnya itu pun terguling jatuh di tanah. Nafasnya yang sendat satu-satu meloncat lewat lubang hidungnya yang bagaikan tertutup itu.

Ternyata Raden Rangga sempat memperhatikannya dan berkata, ”Lakukanlah! Bukankah kau minta izin untuk menghadapinya? Bukan karena aku tidak mampu membunuh mereka berdua. Tetapi sebaliknya.” Glagah Putih mendekatinya dengan ragu-ragu. Dengan ketajaman penglihatannya ia melihat betapa orang itu menahan sakit. Ada semacam penyesalan terbersit di hatinya. Tetapi semuanya sudah terlanjur terjadi.

Dalam pada itu, lawan Raden Rangga pun menyadari apa yang telah terjadi sepenuhnya. Iapun mendengar saudara seperguruannya itu berteriak memberitahukan kepadanya, agar ia melarikan diri saja.

“Memang tidak ada jalan lain,“ katanya di dalam hati.

Karena itulah, maka iapun telah memperhitungkan segala kemungkinan yang dapat dilakukannya untuk membebaskan diri. Ketika ia mendapat kesempatan, maka iapun telah berusaha untuk membuat jarak dari lawannya. Karena itulah, maka iapun telah menghentakkan kakinya menghamburkan tanah ke arah Raden Rangga. Namun seperti yang telah terjadi, serangan itu memang tidak ada gunanya. Raden Rangga mampu melenting dengan cepat dan panjang melepaskan diri dari hamburan serangan lawannya.

Namun lawannya memang menyadari, bahwa ia tidak akan dapat mengenainya. Yang penting baginya adalah kesempatan untuk melepaskan diri. Tetapi ia melihat lawannya yang muda itu dengan cepat menempatkan dirinya. Karena itulah, maka sekali lagi ia harus berusaha mencari kesempatan. Ia tidak dapat berbuat lain, kecuali dengan caranya sebagaimana telah dilakukannya. Karena itu, maka iapun telah bersiap. Ia berniat untuk menghentakkan segenap kemampuannya. Ia akan melepaskan ilmunya dengan kekuatan tertinggi yang dapat dilakukannya.

Pada saat Raden Rangga siap untuk menyerang, maka orang itupun siap pula melakukannya. Kesempatan yang ada padanya dipergunakan sejauh dapat dilakukan. Dikerahkannya kemampuan dan ilmu di dalam dirinya dan dilontarkannya lewat kakinya yang menjejak tanah, sebaimana menepuk air yang tergenang.

Pada saat Raden Rangga mulai bergerak, maka orang itupun telah melakukannya. Dengan loncatan kecil, maka kakinya pun telah menghentakkan tanah didorong oleh segenap kekuatan dan kemampuan yang ada di dalam dirinya.

Tetapi yang terjadi adalah malapetaka bagi orang itu. Raden Rangga justru meloncat maju sambil mengembangkan kedua telapak tangannya lurus ke depan menghadap kepada lawannya. Satu kekuatan ilmu yang tidak dapat dimengerti, telah membentangkan perisai yang melindunginya tanpa kasat mata. Bahkan perisai itu mempunyai kekuatan kewadagan, sehingga tanah yang terhambur dengan derasnya itu telah membenturnya dan terlontar kembali ke tubuh lawannya itu sendiri.

Orang itu mengaduh panjang. Tubuhnya terlempar oleh dorongan hamburan tanah yang keras yang memantul, dan kekuatan ilmu Raden Rangga. Peristiwa itu benar-benar mengejutkan. Bahkan Raden Rangga sendiri telah terkejut karenanya.

Karena itu ketika orang itu kemudian terbanting jatuh dengan luka arang keranjang, Raden Rangga berdiri termangu-mangu. Sambil memandangi tubuh yang diam itu, penyesalan telah menghentak di dadanya.

Glagah Putih yang juga terkejut it upun dengan serta merta telah berloncatan mendekatinya. Sejenak ia tercenung diam. Namun kemudian ia berdesis, “Raden telah membunuhnya.“

Raden Rangga mengangguk kecil. Wajahnya nampak suram dan dengan nada dalam ia berkata, “Aku tidak tahu, bahwa akibatnya akan seperti ini. Aku kira aku dapat sekedar bermain-main. Tanah itu akan dapat masuk kematanya dan orang itu akan menjadi kesakitan karena debu di matanya itu. Tetapi ternyata bahwa debu itu tidak sekedar membuat matanya pedih. Tetapi melukainya dan bahkan membunuhnya.“

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian berkata pula, “Lawanku juga dalam keadaan yang gawat. Mungkin jiwanya tidak tertolong lagi.“

Wajah Raden Rangga menegang. Katanya dengan gagap, “Jadi orang itu masih hidup?“

“Ya. Orang itu masih hidup,“ jawab Glagah Putih, “tetapi dalam keadaan gawat.“

Raden Rangga tiba-tiba saja telah meloncat berlari menuju ke tempat lawan Glagah Putih terbaring.

Tetapi ketika Raden Rangga menyentuh tubuh orang itu dan meraba dadanya di bawah lukanya, maka ia menarik nafas dalam-dalam. Ketika Glagah Putih datang kepadanya, maka Raden Rangga itu pun menggeleng sambil berkata, “Aku tidak dapat berbuat apa-apa lagi.“ 

“Apakah orang itu akan mati?“ bertanya Glagah Putih.

Raden Rangga terdiam. Namun kemudian katanya, “Perhatikanlah.“

Glagah Putih pun kemudian berjongkok. Dan ternyata orang itu sudah tidak bernafas lagi. Glagah Putih pun menjadi gelisah. Sementara itu langitpun menjadi merah.

Namun seperti yang dicemaskan oleh lawan Raden Rangga, yang terjadi itu telah mengundang banyak perhatian. Suara prahara dan pepohonan yang terguncang-guncang telah menakut-nakuti orang yang tinggal di sekitar tempat itu. Sementara itu para prajurit dari Satuan Pengawal Khusus yang melacak jejak salah seorang yang meninggalkan istana itu pun telah berada di luar dinding istana pula.

Ketika mereka mendengar suara prahara dan melihat pepohonan terguncang, maka mereka pun telah dengan hati-hati mengamatinya. Pengalaman mereka pun segera memberitahukan kepada mereka, bahwa telah terjadi pertempuran antara kekuatan-kekuatan yang sangat tinggi dari orang-orang berilmu. Karena itulah maka mereka pun harus sangat berhati-hati.

Dengan demikian maka pemimpin dari sekelompok prajurit yang sedang mencari jejak itu pun telah memerintahkan untuk memanggil beberapa orang kawan mereka untuk mengepung arena pertempuran itu.

Sejenak kemudian maka arena pertempuran itu pun telah terkepung, meskipun para prajurit itu belum bertindak. Mereka tidak mau menanggung akibat yang sangat buruk untuk bertindak dengan tergesa-gesa.

Namun sejenak kemudian ternyata kebun kosong itu telah menjadi lengang. Mereka tidak mendengar lagi suara prahara dan pepohonan tidak lagi terguncang-guncang. Karena itulah maka pemimpin mereka telah memerintahkan para prajurit itu mulai bergerak maju perlahan-lahan. Mereka mendapat perintah agar tidak seorangpun yang boleh lolos dari arena.

Ternyata Raden Rangga dan Glagah Putih pun mengetahui kehadiran para prajurit itu. Mereka tidak dapat berbuat apa-apa selain berdiam diri di tempatnya sambil menunggu. Bahkan Raden Rangga pun telah duduk sambil memeluk lututnya, sementara Glagah Putih berdiri termangu-mangu.

Sebenarnyalah, ketika langit menjadi semakin terang, maka kepungan itu pun menjadi kian rapat. Beberapa orang prajurit dari pasukan Pengawal Khusus telah nampak muncul di antara rumpun-rumpun bambu dan pepohonan perdu.

Para prajurit itu pun terkejut ketika mereka melihat dua orang anak muda yang termangu-mangu. Ketika mereka melihat anak muda yang duduk sambil memeluk lututnya itu, maka pemimpin kelompok itu pun berdesis, “Raden Rangga.“

Para prajurit itu pun tertegun. Apalagi sejenak kemudian ada di antara mereka yang menemukan tubuh-tubuh yang terbaring.

Pemimpin kelompok yang mendapat laporan tentang tubuh-tubuh yang membeku itu pun telah melihatnya pula. Seorang dengan luka-luka di beberapa bagian tubuhnya, sedangkan yang lain telah terluka arang kranjang.

Pemimpin kelompok itu menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia sudah berdiri di hadapan Raden Rangga yang duduk termenung itu, ia bertanya, ”Apa yang sudah terjadi Raden?“

“Aku tidak jelas.“ jawab Raden Rangga, “tiba-tiba saja semuanya sudah terjadi.“

Pemimpin kelompok itu mengenal Raden Rangga dengan baik. Karena itu, maka mereka pun mengetahui apa yang mungkin dilakukannya. Namun demikian pemimpin kelompok itu pun bertanya, “Apa yang sudah Raden lakukan terhadap lawan Raden yang seorang itu? Lukanya membingungkan kami. Nampaknya bukan bekas senjata sewajarnya.“

“Ia telah membunuh dirinya sendiri dengan ilmunya yang dahsyat,“ jawab Raden Rangga.

Pemimpin kelompok itupun menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Raden. Maaf, bahwa kami harus melaporkan peristiwa ini. Sementara itu kami memang sedang mencari orang yang lepas dari pengamatan kami. Mungkin orang yang kami cari itulah yang telah Raden bunuh di tempat ini.“

“Aku telah membunuh orang yang telah bersama-sama dengan orang-orang yang memasuki halaman istana itu,“ berkata Raden Rangga, “orang itu menunggu di luar dinding. Namun kemudian seorang yang lain telah datang lagi untuk membantunya. Namun ternyata bahwa kami berdua telah membunuh mereka. Sengaja atau tidak disengaja.”

Pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Agaknya orang itulah yang dicarinya, atau setidak tidaknya mempunyai hubungan dengan orang yang dicarinya.

Namun dalam pada itu, sebelum ia berkata apapun, Raden Rangga telah bangkit dan berkata, “Rawatlah orang-orang itu. Aku akan pulang ke Kepatihan. Aku letih sekali.“

Pemimpin kelompok itu termangu-mangu sejenak. Ia justru mendapat pekerjaan yang tidak menyenangkan. Namun demikian ia berkata, “Raden, kematian itu haras dipertanggung-jawabkan.“

“Aku akan bertanggung jawab,“ jawab Raden Rangga. “Bukankah kau tahu bahwa aku tidak akan lari? Jika kalian memerlukan aku, aku berada di Kepatihan. Bukankah aku sekarang tinggal di Kepatihan? Seharusnya kau mengetahui.“

“Ya, ya. Aku tahu Raden,“ jawab pemimpin kelompok itu.

“Nah, jika demikian terserahlah tubuh-tubuh itu. Aku akan pergi. Semalaman aku tidak tidur,“ berkata Raden Rangga, yang kemudian mengajak Glagah Putih, “marilah.”

Para prajurit itu tidak dapat berbuat apa-apa ketika Raden Rangga kemudian pergi bersama Glagah Putih meninggalkan tempat itu. Mereka termangu-mangu melihat kedua anak muda itu berjalan di antara gerumbul-gerumbul dan rumpun-rumpun bambu di kebun yang kosong itu.

Pemimpin dari sekelompok prajurit itu hanya dapat berdesah dan menjadi cemas melihat perkembangan keadaan, sementara segala sesuatunya seharusnya masih tetap dirahasiakan.

Dalam pada itu, orang-orang padukuhan di sebelah istana itu pun menjadi bertanya-tanya, apakah yang telah terjadi. Mereka mendengar bagaikan prahara yang bertiup. Namun tidak di halaman rumah mereka.

“Kita akan melaporkan semuanya ini kepada Panglima,” berkata pemimpin sekelompok prajurit dari Pasukan Pengawal Khusus itu. Namun kemudian katanya, “Tetapi kita akan membawa kedua sosok tubuh itu masuk ke dalam istana. Mungkin ada gunanya.“

Ketika para prajurit itu membawa dua sosok tubuh yang sudah membeku itu ke dalam istana, agaknya memang menarik perhatian. Namun mereka yang melihatnya masih belum mendapat penjelasan yang pasti tentang peristiwa yang telah terjadi di luar dinding istana itu. Namun istana Mataram pada malam itu memang sedang dicengkam oleh peristiwa-peristiwa yang diselimuti oleh takbir rahasia. Karena itu beberapa orang pemimpin prajurit di luar lingkungan Pasukan Pengawal Khusus masih menunggu perintah dan penjelasan untuk selanjutnya. Mereka masih belum dapat mengambil langkah-langkah tertentu karena persoalannya tidak begitu jelas bagi mereka.

Dalam pada itu, para prajurit dari Pasukan Pengawal Khusus telah membawa dua sosok mayat itu langsung ke bagian dalam istana. Mereka pun mencoba untuk berhubungan dengan Panglimanya, dan untuk selanjutnya menyampaikannya kepada Panembahan Senapati.

Sementara itu, Panembahan Senapati sendiri duduk merenungi sesosok mayat pula. Mayat dari seseorang yang dengan beraninya telah memasuki biliknya, kemudian langsung berusaha membunuhnya.

Namun ternyata orang itu salah menilai kemampuan Panembahan Senapati. Betapapun tuah dan saktinya keris yang dibawanya, namun ternyata bahwa Panembahan Senapati bukanlah lawannya.

Tetapi ternyata orang yang berhasil memasuki bilik Panembahan Senapati itu sempat menunjukkan bahwa iapun seorang yang berilmu sangat tinggi. Ternyata bahwa ia sempat bertempur untuk beberapa lama, bahkan mampu memaksa Panembahan Senapati kemudian meraih pusaka terbesar dari Mataram, Kanjeng Kiai Pleret.

Ketika Panembahan Senapati mulai menyadari pengaruh keris lawannya yang nggegirisi, maka ia tidak dapat membiarkan persoalannya akan menjadi semakin rumit. Sementara itu Ki Patih Mandaraka menyaksikan pertempuran itu dengan cemas pula, setelah ia melihat pusaka yang dibawa oleh lawan Panembahan Senapati itu.

Dalam keadaan yang mendebarkan, maka Panembahan Senapati merasa perlu untuk mengimbangi pusaka lawannya dengan pusaka Mataram. Karena itulah, maka Panembahan Senapati memutuskan untuk mempergunakan Kanjeng Kiai Pleret untuk menghabisi perlawanan orang yang berusaha untuk membunuhnya itu.

“Pusaka itu mempunyai pengaruh yang khusus,“ berkata Panembahan Senapati kepada Ki Patih Mandaraka.

“Ya Panembahan,“ jawab Ki Patih, “hamba juga merasakannya. Orang itu sendiri mungkin tidak memiliki tingkat ilmu sebanding dengan Panembahan. Tetapi keris yang dibawanya memang merupakan keris yang luar biasa. Jika lawannya bukan Panembahan, maka pengaruh keris itu sudah dapat melumpuhkannya. Untunglah bahwa Panembahan memiliki kateguhan jiwani yang mampu mengatasinya.“

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia kemudian berkata, “Paman Mandaraka, yang mendebarkan adalah justru ujud yang nampak pada setiap gerak keris itu. Seakan-akan keris itu telah berubah menjadi seekor naga yang meskipun tidak terlalu besar, tetapi bagaikan mampu menyemburkan api dari mulutnya. Agaknya semburan api beracun itulah yang mampu mempengaruhi lawan-lawannya sehingga sulit untuk mengadakan perlawanan.“

Ki Mandaraka mengerutkan keningnya. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Luar biasa. Jadi menurut penglihatan Panembahan, keris itu seakan-akan telah berubah menjadi seekor naga yang tidak besar tetapi memiliki kekuatan yang nggegirisi?“

“Ya. Dan aku merasa sulit untuk melawannya. Atau mungkin memerlukan waktu yang terlalu panjang, atau bahkan pengaruhnya akan dapat menekan kemampuanku. Karena itulah maka aku memutuskan untuk mengakhirinya dengan Kanjeng Kiai Pleret,“ berkata Panembahan Senapati.

Ternyata lawan Panembahan Senapati tidak mampu mencegah Panembahan itu mengambil pusakanya. Panembahan yang memancingnya bertempur keluar dari biliknya, telah mempergunakan satu kesempatan yang tidak diduga oleh lawannya untuk meloncat memasuki biliknya kembali. Ketika lawannya menyusulnya, maka di tangan Panembahan Senapati telah digenggamnya tombak yang memiliki kekuatan yang tidak ada taranya.

Dengan tombak itulah akhirnya Panembahan Senapati mengakhiri perlawanan orang itu. Namun Panembahan Senapati tidak berhasil menangkapnya hidup, karena goresan Kanjeng Kiai Pleret pada tubuh orang itu telah membunuhnya.

Tetapi Panembahan Senapati masih mengharapkan kawan dari orang itu dapat ditangkap hidup-hidup. Orang itu akan dapat menjadi sumber keterangan, darimana mereka datang, dan untuk siapa mereka melakukan perbuatan itu.

Namun Panembahan Senapati itu terkejut ketika ia mendapat laporan bahwa seorang pemimpin kelompok dari Pasukan Pengawal Khusus telah menemukan dua sosok mayat di kebun kosong di luar istana.

“Panggil orang itu,“ perintah Panembahan Senapati kepada Panglimanya.

Panglima itupun kemudian telah memanggil pemimpin kelompok prajurit yang menemukan dua sosok mayat yang terbunuh di kebun kosong itu.

Di hadapan Panembahan Senapati, orang itu tidak dapat mengatakan apapun selain apa yang dilihatnya.

“Jadi Rangga-lah yang telah membunuhnya?“ bertanya Panembahan Senapati.

Sebenarnya sama sekali tidak ada maksud untuk menyudutkan Raden Rangga, tetapi prajurit itu tidak dapat mengelak untuk mengatakan bahwa Raden Rangga dan seorang kawannya telah membunuh dua orang tidak dikenal.

Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Dengan segera ia menghubungkan kematian kedua orang itu dengan orang yang telah dibunuhnya. Apalagi setelah ia mendapat laporan, bahwa seorang di antara orang-orang yang memasuki istana itu telah hilang dari pengamatan. Karena itulah, maka Panembahan Senapati pun telah memerintahkan untuk memanggil Raden Rangga di Kepatihan.

Ketika seorang utusan telah berangkat ke Kepatihan, maka Ki Mandaraka telah berkata, “Ampun Panembahan. Hamba mohon Panembahan memperhatikan keadaan cucunda Rangga. Pada saat terakhir, keadaannya sudah berangsur baik. Jika ia terlibat kedalam persoalan yang sebenarnya bukan persoalannya, semata-mata karena ia ingin berbuat sesuatu dengan maksud baik. Memang mungkin kenakalannya kadang-kadang mewarnai langkah-langkahnya. Namun agaknya ia mempunyai alasannya sendiri, jika benar ia telah membunuh orang-orang yang tidak dikenal itu.“

Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Ki Patih Mandaraka berbicara selanjutnya, meskipun sekedar didengar oleh Panembahan Senapati sendiri, “Panembahan. Hamba mohon ampun. Agaknya kesibukan Panembahan telah membuat Panembahan tidak sempat memperhatikan putra Panembahan itu. Karena itu, maka kadang-kadang ia telah berbuat sesuatu untuk menarik perhatian. Sementara itu, Cucunda Rangga memang memiliki ilmu yang tinggi, sehingga ia mempergunakannya untuk sekedar menarik perhatian ayahandanya.“

Panembahan Senapati tidak membantah. Namun kemudian katanya, “Mungkin Paman benar. Tetapi bagaimanapun juga, ia tidak boleh berbuat sesuatu yang merugikan orang lain. Ia tidak boleh mementingkan dirinya sendiri dengan melakukan sesuatu yang mungkin mengganggu dan bahkan sangat merugikan, hanya untuk sekedar mendapat perhatian.“

Ki Mandaraka menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak dapat berbuat apa-apa.

Demikianlah, maka sejenak kemudian Raden Rangga dan Glagah Putih pun telah menghadap. Keduanya menundukkan kepala dalam-dalam. Sementara itu jantung Glagah Putih terasa bergetar dan degupnya menjadi semakin cepat dan keras.

Ketika kemudian terdengar suara Panembahan Senapati, maka rasa-rasanya jantungnya itu akan terlepas dari tangkainya.

“Rangga,“ berkata Panembahan Senapati, “apa yang telah kau lakukan?“

Raden Rangga termangu-mangu sejenak. Namun iapun telah menceritakan apa yang telah terjadi di kebun kosong itu.

Panembahan Senapati, Ki Patih Mandaraka dan Panglima prajurit dari Pasukan Pengawal Khusus serta beberapa orang perwira tertinggi telah mendengarkanya dengan saksama. Sehingga dengan demikian, maka keterangan Raden Rangga itu pun harus dihubungkan dengan semua laporan yang telah disampaikan kepada Panembahan Senapati.

Dengan demikian, maka Panembahan Senapati dan orang-orang yang mendengarkan keterangan Raden Rangga dan laporan-laporan yang lain telah mengambil kesimpulan, bahwa dua orang yang terbunuh itu adalah kawan dari orang yang telah memasuki bilik Panembahan Senapati. Sehingga kematian kedua orang itu berarti bahwa tidak seorangpun di antara orang-orang yang memasuki istana itu yang tertangkap hidup-hidup.

Karena itulah maka Panembahan Senapati pun kemudian berkata dengan nada dalam, “Tidak ada gunanya apa yang telah kita lakukan beberapa lama sebelumnya. Bagaimana kita memancing agar mereka tidak mengurungkan niatnya. Bagaimana orang-orang Tanah Perdikan Menoreh harus berbuat untuk menghilangkan prasangka bahwa rencana orang-orang itu dapat diketahui. Semuanya itu tidak berarti sama sekali, karena semua orang yang datang telah terbunuh.“

Raden Rangga dan Glagah Putih hanya menundukkan kepalanya saja. Namun bagi Raden Rangga, agaknya sudah pasti bahwa ia akan mendapat hukuman, meskipun di dalam hatinya ia berkata, “Ayahanda juga telah membunuh lawannya.“ Tetapi ia tidak berani mengatakannya.

Sebenarnyalah bahwa Panembahan Senapati kemudian telah berkata, “Kita telah kehilangan langkah untuk menelusuri jejak orang-orang itu.“

Untuk beberapa saat ruangan itu menjadi sepi tegang. Namun kemudian terdengar Panembahan Senapati itu berkata selanjutnya, “Kita harus mencari jalan, bagaimana kita menelusuri jejak yang hilang itu.“

Dalam pada itu, tiba-tiba saja seorang perwira berkata, “Ampun Panembahan. Ternyata pada ketiga orang itu telah diketemukan ciri-ciri yang mungkin dapat dipergunakan sebagai alas untuk menemukan jejak mereka.“

“Apakah ciri-ciri itu?“ bertanya Panembahan Senapati.

“Pada ikat pinggang mereka terdapat timang yang serupa. Timang yang dipahatkan bentuk seekor ular yang melingkar,“ sahut perwira itu.

Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak segera mengatakan sesuatu. Agaknya Panembahan Senapati itu sedang mengingat sesuatu.

Dalam keheningan itu, terdengar suara Ki Mandaraka, “Panembahan. Jika hamba tidak salah ingat, maka ujud itu adalah satu ciri sebuah padepokan yang dahulu pernah hamba kenal. Namun telah cukup lama nama padepokan itu tenggelam dan tidak pernah disebut-sebut lagi.“

Panembahan Senapati pun mengangguk-angguk. Katanya, “Ya Paman. Akupun sedang mengingat ingat.“

“Sebuah padepokan yang dikenal dengan nama Nagaraga. Sebuah padepokan dari perguruan yang juga disebut perguruan Nagaraga,“ desis Ki Mandaraka.

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku ingat. Nagaraga. Tetapi sudah lama perguruan itu tidak didengar lagi. Menurut ingatanku, perguruan itu juga memiliki ciri seekor ular naga. Tetapi aku tidak tahu, apakah ciri yang terdapat pada orang-orang yang terbunuh itu ciri dari perguruan Nagaraga.“

Ki Mandaraka menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Marilah kita melihatnya Panembahan.“

Panembahan Senapati mengangguk kecil. Iapun kemudian mendekati orang yang terbaring membeku karena goresan Kanjeng Kiai Pleret itu. Diamatinya pertanda yang terdapat pada timang di ikat pinggangnya yang terbuat dari tembaga yang keras. Pada timang itu memang terdapat ukiran seekor ular yang nampak garang.

“Apakah yang lain juga memakai pertanda seperti ini?“ bertanya Panembahan Senapati kepada prajurit yang melaporkannya.

“Ya. Seperti itu,“ jawab perwira itu.

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Mandaraka berkata, “Menurut penglihatanku, agaknya perguruan Nagaraga itupun mempunyai ciri seperti ini. Setidak-tidaknya mempunyai kemiripan, seandainya ingatanku tidak tepat lagi. Karena itu maka aku juga mempunyai dugaan, bahwa orang-orang ini datang dari perguruan Nagaraga.“

“Tetapi aku tidak pernah mempunyai persoalan dengan orang-orang Nagaraga. Bahkan aku merasa belum pernah berhubungan dengan orang-orang Nagaraga,“ berkata Panembahan Senapati.

“Memang masih ada rahasia yang harus disingkap dari peristiwa ini,“ berkata Ki Mandaraka.

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Setelah ia duduk kembali di tempatnya, tiba-tiba saja ia berpaling kepada Raden Rangga. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Kau tentu belum pernah mendengar nama perguruan itu, Rangga?“

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun ternyata tangkapan penalarannya tajam sekali. Karena itu maka iapun menjawab, “Belum Ayahanda. Tetapi jika Ayahanda memerintahkan kepada hamba untuk mencarinya, maka hamba akan mencarinya.“

Dahi Panembahan Senapati berkerut. Namun kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Kau telah memutuskan jalur yang hendak kita telusuri dengan membunuh kedua orang itu.“

“Hamba, Ayahanda,“ jawab Raden Rangga. Namun ia telah menangkap niat ayahandanya. Ia akan dihukum untuk mencari jalur yang terputus itu.

Ki Patih Mandaraka menjadi gelisah. Tetapi dalam keadaan yang demikian ia tidak dapat mencegah perintah Panembahan Senapati. Apalagi di hadapan para perwira, dan terlebih-lebih lagi di hadapan anak itu sendiri. Panembahan Senapati yang kecewa itu tentu tidak akan mendengarkannya pula, sementara Raden Rangga akan merasa bahwa perintah itu kurang wajar sehingga orang lain terpaksa memberikan peringatan kepada ayahandanya. Karena itu, maka Ki Patih Mandaraka mendengarkan perintah Panembahan Senapati dengan hati yang berdebaran.

“Rangga,“ berkata Panembahan Sonapati, “agaknya kau telah tanggap. Aku memang akan memerintahkanmu untuk menelusuri jalur yang terputus, karena dua orang yang mungkin memberikan keterangan itu telah kau bunuh.“

Raden Rangga tidak menjawab. Namun di luar kehendaknya sendiri ia telah memandang tubuh yang terbaring diam. Tubuh seseorang yang telah terbunuh oleh ujung tombak pusaka yang tidak ada duanya. Kanjeng Kiai Pleret.

Sesuatu berdesir di hati Panembahan Senapati. Meskipun tidak dikatakannya, agaknya Raden Rangga pun telah menunjukkan, bahwa ia telah melakukan hal yang sama. Membunuh lawannya. Tetapi Panembahan Senapati tidak dapat berbuat lain karena orang itu datang ke dalam biliknya, sementara Raden Rangga tentu tidak mengalami hal yang sama. Tetapi Panembahan Senapati sama sekali tidak ingin mengatakannya, agar persoalannya tidak justru menjadi berkepanjangan.

Sementara itu Raden Rangga pun tidak menyebutnya. Yang dikatakannya kemudian adalah, “Hamba, Ayahanda. Hamba akan menjalankan perintah Ayahanda.“

“Bagus,“ berkata Panembahan Senapati, “kau boleh pergi sendiri, atau kau ajak kawanmu dari Tanah Perdikan itu, yang juga telah terlibat dalam pembunuhan itu.“

“Hamba, Ayahanda. Jika Ayahanda memperkenankan hamba membawa seorang kawan, maka biarlah Glagah Putih ikut bersama hamba. Ada kawan berbincang di perjalanan, sehingga rasa-rasanya jalan di bulak-bulak panjang tidak terlalu lengang,“ berkata Raden Rangga.

“Aku tidak berkeberatan. Tetapi kau harus membawa anak itu kepada orang tua atau keluarganya. Temuilah Agung Sedayu dan katakan apa yang telah terjadi, dan bahwa Glagah Putih akan kau bawa bersamamu mencari dan menelusur jejak yang hilang itu,“ sahut Panembahan Senapati.

Raden Rangga mengangguk dalam-dalam. Namun Ki Mandaraka justru melihat sepercik kegembiraan pada wajah anak itu.

“Ayahanda,“ sembah Raden Rangga kemudian, “kapan hamba diperkenankan untuk berangkat melakukan tugas hamba?“

“Kau dapat memilih waktu. Tetapi tidak terlalu lama,“ jawab Panembahan Senapati. “Kau harus menemukannya dan kau tidak boleh bertindak sendiri. Kau harus memberikan laporan saja. Kami-lah yang nanti akan bertindak lebih jauh.“

Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Meskipun ayahandanya berbicara dengan jelas dan lengkap, namun terasa getaran kemarahan yang tertahan. Agaknya ayahandanya memang tidak ingin menunjukkan kemarahan di hadapan para prajurit, apalagi membentaknya dan memperlakukannya kurang wajar sebagai putra Panembahan Senapati.

Namun dalam pada itu Ki Patih Mandaraka-lah yang berkata, “Cucunda Rangga. Sebaiknya Cucunda pergi ke Tanah Perdikan Menoreh lebih dahulu. Cucunda harus menemui Agung Sedayu dan memberitahukan persoalannya. Mungkin Glagah Putih pun masih harus minta ijin dan bekal dari kakak sepupunya, atau bahkan dari Ki Gede Menoreh.“

“Aku akan memberikan bekal secukupnya,“ potong Panembahan Senapati.

“Hamba, Panembahan. Tetapi yang hamba maksud adalah bekal pesan dan mungkin petunjuk-petunjuk,“ jawab Ki Mandaraka.

Lalu katanya selanjutnya kepada Raden Rangga, “Selanjutnya jika Cucunda dan Glagah Putih akan berangkat mencari padepokan Nagaraga, maka sebaiknya kalian berdua singgah lagi dan mohon diri kepada Ayahanda Panembahan Senapati. Juga kepadaku, karena aku mempunyai beberapa petunjuk tentang padepokan Nagaraga itu.“

Raden Rangga tidak segera menjawab. Sekilas dipandanginya wajah ayahandanya. Namun kemudian kepalanya telah tertunduk lagi.

“Kau dengar pesan eyangmu?“ bertanya Panembahan Senapati.

“Hamba, Ayahanda,“ jawab Raden Rangga.

“Nah, akupun sependapat,“ berkata Panembahan Senapati kemudian, “pergilah ke Tanah Perdikan. Jika kalian akan berangkat, singgahlah kembali. Kalian harus minta diri kepadaku dan kepada Eyang Mandaraka.“

“Hamba, Ayahanda,“ desis Raden Rangga, yang kemudian telah minta diri bersama Glagah Putih untuk segera pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.

Ketika mereka sudah berada di luar istana, maka Glagah Putih pun berkata, “Ayahanda Raden tentu marah sekali.“

“Aku tidak menduga. Tetapi kapan Ayahanda tidak marah kepadaku, meskipun aku telah berusaha berbuat sebaik-baiknya?“ jawab Raden Rangga. “Tetapi biarlah. Aku harus mempertanggung jawabkan kesalahan yang telah aku lakukan bersamamu. Mencari jalur yang terputus itu.“ Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia berkata, “Aku menjadi takut sekali pada saat kita menghadap Panembahan Senapati. Tubuhku terasa bergetar dan jantungku tidak berdetak wajar lagi.“

Raden Rangga tiba-tiba saja tertawa. Katanya, “Tetapi hukuman itu menyenangkan sekali. Dengan demikian aku mendapat hak untuk berbuat sesuatu.“

“Tetapi dengan batasan-batasan tertentu,“ berkata Glagah Putih.

“Ya. Aku mengerti. Kita hanya mendapat hak untuk menemukan jalur itu. Selebihnya Ayahanda sendiri yang akan menyelesaikannya. Tetapi aku sedang berpikir, apakah yang akan kita lakukan jika kita kemudian diketahui oleh perguruan itu dan diseret ke padepokan mereka. Apakah kita akan tetap berdiam diri atau melawan, dengan kemungkinan yang paling buruk. Membunuh mereka.“

“Raden sudah berpikir untuk membunuh lagi,“ berkata Glagah Putih.

“Tidak. Tetapi kemungkinan itu ada. Jangan berpura-pura. Membunuh atau dibunuh,“ berkata Raden Rangga.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara Raden Rangga pun berkata, “Sudahlah. Kita akan memikirkannya kelak. Jika pada saatnya kita berangkat, Ayahanda dan Eyang Mandaraka tentu akan memberikan beberapa petunjuk.“

Glagah Putih hanya mengangguk-angguk saja. Sementara itu keduanya berjalan menuju ke istana Ki Patih Mandaraka. Mereka akan mengambil kuda dan langsung menuju ke Tanah Perdikan Menoreh.

Sejenak kemudian dua orang anak muda itu telah berkuda menyusuri jalan kota. Keduanya ternyata telah mempergunakan kuda yang tegar besar dan kokoh. Jarang terdapat kuda sebaik kuda yang mereka pergunakan, sehingga karena itu, kedua ekor kuda itu memang sangat menarik perhatian.

Ketika keduanya telah berada di luar gapura kota, maka mereka lebih mempercepat derap kuda mereka meskipun mereka tidak berpacu sepenuhnya. Matahari yang masih belum mencapai puncak langit terasa mulai menggigit kulit. Namun Raden Rangga sempat menguap sambil berkata, “He, tiba-tiba silirnya angin membuat aku mengantuk.“

Perjalanan yang pendek itu pun agaknya telah menarik perhatian, justru karena kuda-kuda mereka. Apalagi ketika mereka sampai ke padukuhan sebelah, tempat anak-anak muda berkerumun untuk bekerja.

Ketika Agung Sedayu melihat keduanya, iapun telah menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia mendekati Glagah Putih dan Raden Rangga, maka anak-anak muda yang lain pun telah tertarik pula untuk mendekat.

Raden Rangga dan Glagah Putih telah meloncat turun dari kuda mereka, sehingga karena itu maka anak-anak muda itu sempat mengagumi dua ekor kuda yang sama-sama tegar, tinggi dan besar.

“Kiai Jayaraga juga berada di sini,“ berkata Agung Sedayu.

“Dimana?“ bertanya Glagah Putih sambil memandang berkeliling.

“Kiai berada di gardu di ujung padukuhan itu bersama Ki Bekel,“ jawab Agung Sedayu, “nampaknya Kiai Jayaraga dan Ki Bekel masih belum puas menikmati wedang sere dan ketela yang direbus pakai legen kelapa.“

“O,“ Raden Rangga mengangguk-angguk, “nikmat sekali. Aku akan pergi ke gardu.“ Lalu katanya kepada Glagah Putih, “Nah, kau sendiri sajalah yang mengatakan kepada Agung Sedayu.“

Agung Sedayu termangu-mangu. Agaknya memang ada yang penting yang akan disampaikan kepadanya. Karena itu maka katanya, “Aku juga akan pergi ke gardu.“

Ketika Raden Rangga mendahului pergi ke gardu tanpa menghiraukan lagi Glagah Putih dan Agung Sedayu, maka Agung Sedayu pun telah mengajak Glagah Putih bersama ke gardu pula, sementara Glagah Putih telah mengikat kuda mereka pada sebatang pohon di pinggir jalan. Kepada anak-anak muda Agung Sedayu mempersilahkan meneruskan kerja mereka, mempersiapkan patok-patok untuk menentukan jalur parit yang akan mereka buat kemudian.

“Bukankah kita sudah menentukan arahnya?“ berkata Agung Sedayu, “Kalian tinggal menancapkan patok-patok itu saja.“

Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih pun telah menyusul Raden Rangga yang pergi ke gardu. Demikian Raden Rangga muncul, Kiai Jayaraga terkejut. Dengan serta merta ia meloncat turun dari gardu sambil mengangguk hormat.

Ki Bekel dari padukuhan itu ternyata belum mengenal Raden Rangga, sehingga ketika Kiai Jayaraga menyebutnya sebagai putra Panembahan Senapati, Ki Bekel pun telah turun pula sambil berjongkok.

“Ah,“ Raden Rangga menarik tangan Ki Bekel, “aku tidak terbiasa diperlakukan seperti itu. Nanti aku justru menjadi pingsan.“

“Tetapi…“ Ki Bekel masih saja agak ketakutan.

“Silahkan berdiri Ki Bekel,“ berkata Kiai Jayaraga, “putra Panembahan Senapati yang seorang ini memang aneh.“

Kiai Jayaraga tersenyum. Lalu katanya, “Silahkan duduk Raden.“

“Aku mendengar ada ketela rebus legen kelapa di sini, he?“ bertanya Raden Rangga sambil naik ke gardu itu dan duduk di sudut.

Kiai Jayaraga tertawa. Sementara itu Agung Sedayu dan Glagah Putih pun telah mendekat pula.

Tetapi ternyata Ki Bekel justru telah mohon diri. Katanya, “Aku harus menunggui anak-anak itu.“

“Silahkan,“ berkata Raden Rangga, “tetapi bukankah wedang serenya masih ada?“

Ki Bekel termangu-mangu sejenak. Namun Kiai Jayaraga-lah yang kemudian menyahut, “Tentu masih ada Raden. Wedang sere gula kelapa dan rebus ketela legen kelapa pula.“

Ki Bekel menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian berkata, “Silahkan Raden. Aku akan bekerja bersama anak-anak muda itu.“

“Silahkan. Anak-anak muda ini nampaknya terbiasa bekerja keras,“ sahut Raden Rangga pula.

Kepada Agung Sedayu Ki Bekel itu pun berkata, “Aku ada di tempat kerja itu.“

Agung Sedayu mengangguk sambil menjawab, “Mereka masih harus memasang patok.“

Sejenak kemudian maka Ki Bekel pun telah meninggalkan gardu itu, sementara Kiai Jayaraga, Agung Sedayu dan Glagah Putih telah ikut naik dan duduk di gardu itu pula.

Setelah minum beberapa teguk, maka Glagah Putih pun berkata, “Raden, sebaiknya Raden sajalah yang menyampaikannya kepada Kakang Agung Sedayu, karena bukankah memang Raden yang mendapat perintah untuk itu?“

“Tetapi untuk menceritakan apa yang telah terjadi, kau pun dapat melakukannya,“ sahut Raden Rangga.

“Sebaiknya Raden.”

Sementara Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga menjadi tegang. Mereka memang menangkap bahwa ada yang penting untuk disampaikan kepada mereka. Sehingga karena itu maka rasa-rasanya mereka menjadi tidak sabar menunggu terlalu lama.

Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah iapun kemudian berkata kepada Agung Sedayu, “Agung Sedayu. Aku memang mendapat perintah dari Ayahanda untuk menyampaikan satu pesan kepadamu dan kepada Kiai Jayaraga. Karena itu, apakah aku harus menyampaikannya di rumahmu atau cukup aku sampaikan di sini saja?“

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Raden Rangga memegang pula unggah-ungguh dan nampaknya persoalannya memang persoalan yang penting sekali.

Karena itu, maka Agung Sedayu tidak ingin mengecewakannya. Meskipun ia ingin segera mengetahui persoalan yang penting itu, tetapi katanya, “Baiklah Raden. Aku kira lebih baik aku mempersilahkan Raden singgah di rumah.“

“Terima kasih,“ sahut Raden Rangga, “aku tadi sudah singgah pula ke rumahmu. Tetapi karena kau tidak ada di rumah, maka kami telah menyusulmu. Jika sebaiknya aku singgah lagi ke rumahmu, aku tidak berkeberatan.“

“Marilah,“ ajak Agung Sedayu, “memang lebih baik Raden singgah lagi ke rumah.“

“Tetapi bagaimana tugasmu di sini?“ bertanya Raden Rangga.

“Ki Bekel akan memimpin anak-anaknya,“ jawab Agung Sedayu.

Raden Rangga pun mengangguk-angguk. Namun ia masih sempat memungut sepotong ketela yang direbus pakai legen kelapa dan menghirup wedang serenya. Kemudian iapun telah turun pula dari gardu diikuti oleh Agung Sedayu, Kiai Jayaraga dan Glagah Putih.

Setelah mereka minta diri kepada Ki Bekel, maka mereka pun segera meninggalkan padukuhan itu, pergi ke padukuhan induk serta langsung ke rumah Agung Sedayu.

Sekar Mirah setelah menghidangkan minuman dan beberapa potong makanan, telah ikut pula duduk di antara mereka, sehingga iapun ikut mendengar ketika Raden Rangga kemudian menceritakan apa yang telah terjadi di Mataram.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa Raden Rangga dan Glagah Putih telah terlibat dalam satu langkah yang tidak dikehendaki oleh Panembahan Senapati. Untunglah bahwa Panembahan Senapati masih menahan diri dan bertindak dengan pertimbangan nalar, sehingga Glagah Putih tidak mendapat hukuman yang langsung. Bahkan kepergiannya untuk mencari jalur yang hilang itupun tidak diperintahkan langsung pula oleh Panembahan Senapati, tetapi karena permintaan Raden Rangga.

“Panembahan Senapati masih bertindak bijaksana dan bermurah hati kepada Glagah Putih,“ berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. Namun iapun sadar, bahwa hukuman yang dijatuhkan kepada Raden Rangga untuk menelusur jalur yang hilang itu adalah hukuman yang sangat berat. Sementara itu, Raden Rangga telah membawa Glagah Putih untuk menyertainya. Dengan demikian maka kedua orang itu akan menjalani satu tugas yang sangat gawat dan berat.

Sementara itu Kiai Jayaraga yang mempunyai tangkapan yang sama dengan Agung Sedayu itu pun bertanya, “Apakah Raden telah mendapat petunjuk serta sedikit tentang perguruan yang disebut Nagaraga itu?“

“Belum,“ jawab Raden Rangga, “Eyang Mandaraka berpesan, jika aku sudah menyampaikan hal ini ke Tanah Perdikan, maka aku harus singgah lagi ke Mataram. Eyang Mandaraka akan memberikan pesan, meskipun tidak banyak yang diketahuinya tentang perguruan Nagaraga.”

Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Perguruan itu adalah perguruan yang sudah lama tidak didengar namanya. Mungkin ada beberapa sebab. Mungkin perguruan itu memang sudah kehilangan pamor sandaran keteguhannya. Tetapi mungkin orang-orang terpenting dari perguruan itu dengan sengaja menutup diri untuk satu kepentingan tertentu. Mungkin pada satu saat perguruan itu akan bangkit dengan tataran yang lebih tinggi dari masa-masa sebelumnya.”

“Apakah Kiai mengetahui serba sedikit tentang perguruan itu?“ bertanya Raden Rangga.

“Hampir tidak ada yang aku ketahui,“ jawab Kiai Jayaraga. “Namun aku pernah mendengar bahwa perguruan itu menganggap ular sebagai binatang yang sangat dihormatinya.“

“Tepat,“ sahut Raden Rangga, “orang-orang yang datang itu juga mempergunakan ciri ular naga pada timang ikat pinggang mereka.”

Kiai Jayaraga mengangguk. Namun wajahnya memang nampak bersungguh-sungguh ketika ia berbicara tentang perguruan itu. Karena sebenarnya menurut pendengarannya, perguruan itu adalah perguruan yang gawat. Apalagi justru pada saat-saat terakhir nama perguruan itu tidak didengar lagi, sehingga tataran dari perguruan itu tidak dapat dinilai dengan jelas.

Raden Rangga pun agaknya menangkap kecemasan di hati Kiai Jayaraga itu. Karena itu maka katanya, “Kiai. Justru aku mendengar bahwa perguruan itu adalah perguruan yang bertataran tinggi dan mungkin selama ini tingkat yang tersimpan di dalam perguruan itu akan lebih berkembang dalam kediamannya, maka aku akan dapat lebih berhati-hati.“

“Ya Raden,“ jawab Kia Jayaraga, “Raden memang harus berhati-hati sekali. Apalagi Raden hanya berdua dengan Glagah Putih.“

“Aku percaya bahwa Glagah Putih akan mampu melakukan tugasnya,“ berkata Raden Rangga.

Namun dalam pada itu Agung Sedayu pun berkata, “Raden. Kita harus melihat kenyataan. Kekuatan yang ada di sekitar Mataram ternyata cukup besar. Raden Rangga mengetahui sendiri, bahwa untuk mengacaukan Tanah Perdikan ini dengan harapan bahwa semua perhatian akan berpaling, telah dilakukan oleh sepuluh orang. Dengan demikian aku dapat membayangkan, bahwa di satu tempat yang tersembunyi, telah disediakan kekuatan yang cukup besar untuk tujuan tertentu. Nah, apalagi di padepokannya.“

“Justru belum tentu,” jawab Raden Rangga, “kekuatan yang besar itu mungkin diambilnya dari sekelompok kekuatan yang lain, sementara orang-orang dari perguruan Nagaraga hanya orang-orang yang menentukan dan mengatur saja, termasuk orang-orang yang merasa mampu langsung berhadapan dengan Ayahanda Panembahan Senapati.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Memang mungkin Raden. Tetapi jika hal ini aku kemukakan, maka aku berharap Raden dan Glagah Putih menjadi lebih berhati-hati. Sebab aku berkeyakinan bahwa orang-orang Nagaraga dan di seputar kelompok itu dalam kedudukan apapun. Kitapun belum tahu, apakah yang terbunuh itu orang tertinggi dalam perguruan itu.“

Raden Rangga mengangguk-angguk pula. “Ya,“ katanya, “aku mengerti.“

“Nah, jika demikian maka perjalanan Raden kali ini benar-benar perjalanan yang berbahaya. Bukan sekedar menangkap seekor harimau dan dilepaskan di kebun orang, atau mengangkat dan memindahkan tugu batas antara dua kademangan,“ berkata Agung Sedayu.

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun tersenyum sambil berkata, “Dari siapa kau mendengar bahwa aku pernah memindahkan tugu batas itu?“

“Bukan hanya itu,“ jawab Agung Sedayu, “Raden pernah juga memutar pedati yang menuju ke pasar di dini hari, ketika penunggangnya sedang tidur. Ketika penunggangnya terbangun, pedati itu justru sudah ada di halaman rumahnya lagi.”

Raden Rangga tertawa.

Sementara Agung Sedayu berkata, “Lebih dari itu, bukankah ayahanda Raden sudah beberapa kali marah kepada Raden tentang tingkah laku Raden?“

“Ya,“ jawab Raden Rangga, “dan kini aku harus menjalani hukuman bersama Glagah Putih.“

“Hukuman yang sangat berat,“ jawab Agung Sedayu.

Raden Rangga mengangguk-angguk. Namun katanya, “Tidak ada tugas yang sangat berat, jika kita jalani dengan ikhlas. Tentang berhasil atau tidak, itu persoalan kemudian, asal kita sudah berusaha sampai pada puncak kemampuan.“

“Baiklah Raden,“ berkata Agung Sedayu, “kapan Raden akan berangkat?“

“Sekarang,“ jawab Raden Rangga tanpa berpikir.

“Sekarang?“ ulang Agung Sedayu, “Apakah Raden berkata sebenarnya?“

“Ya. Kenapa?“ justru Raden Rangga-lah yang bertanya, “Kami akan berkuda lagi sampai Mataram dan meninggalkan kuda kami di Mataram Selanjutnya kami akan berjalan kemana saja, agar kami dapat melakukan tugas kami dengan lebih mudah tanpa diganggu oleh kuda-kuda kami.“

“Raden,“ berkata Agung Sedayu, “memang semakin cepat Raden berangkat, akan semakin baik. Tetapi kami akan memohon waktu barang dua tiga hari untuk mempersiapkan Glagah Putih lebih mantap. Menghadapi tugas yang sangat berat ini, ia harus benar-benar sudah bersiap lahir dan batinnya.”

“Dan aku harus menunggu dua tiga hari di sini?“ bertanya Raden Rangga.

“Apa salahnya?“ bertanya Agung Sedayu, “Raden menunda barang tiga hari keberangkatan Raden, namun hasilnya akan lebih baik daripada jika Raden tergesa-gesa.“

Raden Rangga termangu-mangu. Namun ayahandanya memang tidak memerintahkannya berangkat di hari tertentu, sehingga karena itu maka mungkin saja keberangkatannya ditunda dua tiga hari lagi.

Karena itu maka katanya, “Baiklah. Silahkan memberikan bekal yang lebih mantap kepada Glagah Putih, sementara aku dapat beristirahat di sini. Tidur, dan barangkali nonton Glagah Putih menempa diri.“

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Bagi Raden Rangga, usaha untuk menempa diri tidak lebih dari sebuah tontonan. Namun Glagah Putih tidak menyahut sama sekali.

Namun dengan demikian, maka dalam tiga hari itu Agang Sedayu dan Kiai Jayaraga harus benar-benar mampu mempersiapkan Glagah Putih untuk melakukan satu tugas yang sangat berat. Bersama Raden Rangga ia harus menerjuni medan yang tidak dapat dibayangkan sebelumnya. Namun yang pasti, di dalam medan itu terdapat kekuatan yang sangat besar yang akan menunggunya. Karena itulah, maka Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga masih merasa perlu untuk membawa Glagah Putih ke dalam sanggar.

Sebagaimana diharapkan oleh Agung Sedayu, maka Raden Rangga dan Glagah Putih telah menunda keberangkatan mereka. Sementara itu Agung Sedayu dan Kiai Jayaragapun telah mempersiapkan segala sesuatunya untuk mempertajam ilmu Glagah Putih. Waktu mereka terlalu pendek untuk mulai dengan bekal yang baru, sehingga karena itu, maka yang dapat mereka lakukan adalah memantapkan yang memang sudah ada.

Pada malam yang pertama, Raden Rangga tidak ikut menunggui Glagah Putih di sanggarnya. Ternyata ia telah pergi bersama pembantu rumah Agung Sedayu ke sungai untuk membuka pliridan. Satu permainan yang jarang ditemui oleh Raden Rangga.

“Besok menjelang dini hari, pliridan ini kita tutup,“ berkata pembantu rumah Agung Sedayu itu. “Kita akan mendapatkan ikan yang ada di dalam pliridan ini.“

“Menyenangkan sekali,“ berkata Raden Rangga, “besok dini hari, ajak aku menutup pliridan ini.“

Tetapi ternyata Raden Rangga tidak mau kembali ke rumah Agung Sedayu. Ia lebih senang berjalan menelusuri sungai itu hilir mudik. Di beberapa tempat ia melihat juga phridan yang serupa. Bahkan di dekat bendungan ia melihat seorang yang duduk dengan sabarnya sambil menjatuhkan kailnya ke permukaan.

Malam itu, Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga telah berusaha untuk menilai kemampuan Glagah Putih. Keduanya terkejut ketika Glagah Putih menceritakan kepada mereka, bahwa Raden Rangga telah menuntunnya untuk melontarkan ilmunya, meluncur lepas dari telapak tangannya yang mengembang.

“Hanya dalam waktu yang sangat singkat itu?“ bertanya Kiai Jayaraga.

“Ya Kiai,“ jawab Glagah Putih.

“Baiklah,“ berkata Agung Sedayu, “kami ingin melihat, apa yang dapat kau lakukan dengan cara yang telah kau pelajari dari Raden Rangga itu.“

Sejenak kemudian, maka Glagah Putih pun telah mempersiapkan diri untuk melakukan sebagaimana pernah dilakukan bersama Raden Rangga, di bawah pengamatan yang bersungguh-sungguh dari Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga.

Beberapa saat lamanya, Glagah Putih memusatkan segenap nalar budinya, kemudian dengan satu hentakan diarahkannya tangannya pada sasaran. Sebatang tonggak kayu glugu yang ditancapkan di tengah-tengah sanggar, yang tingginya hampir dua kali tinggi badannya. 

Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga menjadi tegang. Ia melihat tonggak kayu glugu yang utuh itu berguncang. Bahkan kemudian meskipun perlahan-lahan tonggak itu telah roboh. Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat pada permukaan tonggak yang langsung terkena hentakan kekuatan Glagah Putih itu seakan-akan menjadi hangus.

“Luar biasa,“ desis Kiai Jayaraga.

“Namun kau telah menangkap kemampuan itu dengan kasar,“ berkata Agung Sedayu, “aku memang sudah menduga, meskipun tidak seluruh dugaanku itu benar.“

“Ya,“ Kiai Jayaraga mengangguk, “agaknya kau memerlukan isi dari loncatan panjangmu, agar tidak terlalu menghentak-hentak.“

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam Sementara itu, maka Kiai Jayaraga pun berkata, “Marilah kita mengulanginya. Tetapi karena kau sudah meloncat jauh, kita akan mengisi kekosongan di sela-sela langkahmu, sehingga ilmu itu akan menjadi semakin mantap dan tajam. Kau akan mampu melakukan lebih baik dan lebih mendasar.“

Glagah Putih mengangguk. Sementara itu, Kiai Jayaraga pun telah membawa Glagah Putih untuk duduk bersila menghadapi sasaran yang lain. Seonggok batu padas yang diletakkannya di atas sebuah batu hitam.

Kiai Jayaraga mulai memberikan tuntunan untuk mengambil langkah-langkah yang berurutan. Dari bilangan pertama, meningkat ke bilangan kedua, ketiga dan selanjutnya, untuk mengisi langkah-langkah yang langsung pada loncatan langkah ke sepuluh.

Kiai Jayaraga mulai dengan tuntunan pernafasan. Penguasaan tenaga cadangan, pemusatan nalar budi, pemusatan sasaran, kemudian mengatur getaran di dalam dirinya, dan menyalurkannya pada telapak tangannya.

“Kau sudah melakukannya dengan kasar,“ berkata Kiai Jayaraga, “sekarang kau lakukan dengan cara yang lebih lembut.“

Glagah Putih pun melakukan sebagaimana dikatakan oleh Kiai Jayaraga. Rasanya memang bagaikan melangkah setapak demi setapak. Sehingga akhirnya, dengan mapan ia telah melontarkan kekuatannya.

Akibatnya bukan buatan. Glagah Putih sendiri terkejut. Jauh lebih baik dari yang dilakukan terdahulu. Demikianlah, maka Glagah Putih harus mengulanginya beberapa kali. Jika seonggok batu padas pecah, maka diletakkan batu padas yang lain di atas batu hitam itu.

“Pada satu saat sebelum kau berangkat, kau harus sudah dapat melakukannya dengan mapan, cepat dan tidak usah memikirkan apakah yang harus kau lakukan, sebagaimana kau berjalan. Kau tidak usah memperhitungkan lagi, bahwa kaki kirimu kau angkat, selanjutnya kaki kanan, dan seterusnya. Juga sebagaimana seorang berenang di dalam air, sehingga demikian sajalah telah terjadi,“ berkata Kiai Jayaraga.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Iapun telah bertekad untuk melakukannya sebaik-baiknya sebagaimana diminta oleh gurunya. Segalanya memang terasa berjalan lebih lunak dan tidak menghentak-hentak di dalam tubuhnya. Aliran darahnya pun rasa-rasanya tidak bergejolak dan menggelegak di dalam dada.

Malam itu, Glagah Putih telah memiliki sesuatu yang meyakinkan. Ia telah mendapat ijin dari kedua orang gurunya untuk melakukannya jika ia menghadapi lawan yang luar biasa, di samping ikat pinggangnya, jika ia tidak sempat melepaskan ilmunya dengan cara yang baru didalaminya itu.

Menjelang dini hari, maka latihan-latihan yang berat itupun telah dihentikan. Glagah Putih mendapat kesempatan untuk beristirahat. Namun ketika ia keluar dari sanggar dengan tubuh yang letih, ia melihat pembantu rumahnya berada di halaman, siap untuk pergi ke sungai.

“Kawanmu itu ada di sungai,“ berkata pembantu itu.

Glagah Putih segera mengetahui yang dimaksud adalah Raden Rangga. Karena itu, maka iapun telah memberitahukan kepada Agung Sedayu bahwa ia akan pergi ke sungai.

“Raden Rangga ada di sungai,“ berkata Glagah Putih kemudian.

Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga pun tidak mencegahnya. Sehingga dengan demikian maka Glagah Putih itupun telah ikut pula pergi ke sungai.

Sebenarnyalah ditemuinya Raden Rangga berada di pinggir sungai itu, duduk diatas batu hitam yang mencuat di permukaan.

Ketika Raden Rangga melihat Glagah Putih datang bersama pembantu di rumahnya, maka iapun segera meloncat menyongsongnya sambil bertanya dengan sikap anak-anak, “Kita akan menutupnya ?“

“Ya,“ jawab pembantu rumah Agung Sedayu yang masih sangat muda pula.

“Bagus,“ desis Raden Rangga, “aku akan menutupnya.”

“Tetapi ada caranya agar ikan yang sudah ada di dalamnya tidak lepas,“ berkata Glagah Putih.

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Sementara itu Glagah Putih telah membawa sebuah wuwu untuk dipasang di bagian bawah pliridannya.

Raden Rangga telah membantunya memasang wuwu. Kemudian meraka beramai-ramai menutup pliridan itu. Ketika airnya menjadi semakin dangkal, mengalir keluar lewat wuwu yang telah dipasang, maka ikan yang ada di dalam pliridan itupun telah memasuki wuwu pula, sehingga tidak akan mungkin dapat keluar lagi. Ketika wuwu itu kemudian dibuka, maka agaknya mereka telah mendapat ikan cukup banyak.

“Ternyata mudah sekali untuk mendapatkan ikan,“ berkata Raden Rangga. Ia ikut bergembira melihat hasil yang didapat oleh pembantu rumah Agung Sedayu.

“Setiap malam kalian mendapat ikan sekian banyak?“ bertanya Raden Rangga pula.

“Tidak tentu,“ jawab Glagah Putih, “kadang-kadang lebih banyak. Tetapi kadang-kadang sedikit saja.”

Namun pembicaraan itu terhenti. Beberapa orang telah lewat menyusuri sungai itu. Mereka terhenti melihat anak-anak muda memasukkan ikan ke dalam kepis.

“He, darimana kau dapat ikan itu?“ bertanya salah seorang anak muda yang membawa sebuah jala.

“Pliridan itu,“ jawab Glagah Putih.

“Sial sekali,“ geramnya, “aku tidak mendapat apa-apa meskipun aku sudah menelusuri sungai itu hampir sampai ke ujung dari ujung. Dengan jala lagi. Kalian dengan sebuah pliridan mendapat begitu banyak.“

“Nasib kita memang berbeda,“ jawab Glagah Putih.

Seorang di antara mereka tiba-tiba berkata, “Sebaiknya kita bagi saja. Kau tidak memerlukan ikan sebanyak itu. Berapa kau dapat ikan lele yang besar-besar itu?“

“Ah,“ jawab Glagah Putih, ”pendapatan kami pun tidak sebanyak malam kemarin. Apalagi kemarin kami mendapatkan seekor pelus sebesar lengan tanganku ini, di samping beberapa ekor ikan lele dan kutuk.“

“Nah,“ berkata orang yang mau dibagi ikan itu, “kalau begitu kau sudah cukup banyak makan ikan. Dua buah jala kami tidak sedang mendapatkan ikan. Karena itu, berikan sebagian ikan itu.“

“Setan,“ geram pembantu rumah Agung Sedayu, “kau kira kau dapat memaksa kami?“

“Kenapa tidak?“ jawab anak itu sambil melangkah maju. Namun pembantu rumah Agung Sedayu itu bergeser beberapa langkah surut, sehingga Glagah Putih dan Raden Rangga justru tertawa.

Namun di luar dugaan, Glagah Putih berkata, “Baiklah Ki Sanak. Ambillah. Tetapi agaknya kau bukan orang Tanah Perdikan ini.“

Orang itu termangu-mangu. Namun sekali lagi Glagah Putih berkata, “Ambillah seberapa kau perlu. Ikan itu memang tidak terlalu banyak untuk dibagi. Karena itu, jika kau menghendaki, ambil saja semuanya.”

Orang itu justru menjadi termangu-mangu. Sementara anak yang bergeser mundur dengan agak cemas itu masih mengancam, “Ambillah. Aku akan memukul kentongan. Semua orang Tanah Perdikan akan terbangun dan kalian akan ditangkap.“

“Ah, jangan begitu,“ potong Glagah Putih.

“Aku akan memukul kentongan sekarang,“ ancamnya lagi.

Orang-orang yang membawa jala itu termangu-mangu. Namun mereka pun segera meninggalkan ketiga orang itu.

Raden Rangga tertawa. Katanya, “He, kau anak berani. Kau pantas menjadi pembantu rumah Agung Sedayu dan Glagah Putih.“

“Kenapa?“ bertanya anak itu.

“Kau akan dapat menjadi seorang yang peng-pengan,“ jawab Raden Rangga.

“Glagah Putih tidak mau mengajari aku berkelahi,“ jawab anak itu, “ia takut pada suatu saat akan aku kalahkan.“

“Aku sudah mengajarimu,“ sahut Glagah Putih.

“Kau hanya mengajari aku bantingan. Aku ingin dapat berkelahi dengan cara yang lebih baik,“ berkata anak itu.

Glagah Putih dan Raden Rangga tertawa. Tetapi anak itu justru bersungut-sungut sambil bergumam, “Kau hanya sanggup-sanggup saja. Tetapi ada saja alasanmu untuk mengingkari. Apalagi kau selalu saja pergi entah kemana dengan seribu alasan.”

Glagah Putih dan Raden Rangga tertawa. Tetapi mereka tidak menyahut lagi.

Demikianlah, maka ketiga orang itu pun telah bersiap-siap untuk pulang kembali. Sementara itu anak yang menjadi pembantu rumah Agung Sedayu itu berkata kepada Glagah Putih, “Kau tidak pernah berusaha mempertahankan milik kita. Dahulu aku pula yang harus berkelahi. Sekarang, aku pula yang mempertahankan. Aku jadi ragu apakah benar kau mampu berkelahi. Jika aku benar-benar kau ajari, maka akupun akan menjadi seperti kau. Tidak berani mempertahankan hak sendiri.”

Glagah Putih dan Raden Rangga masih saja tertawa tertahan. Sementara itu Glagah Putih pun berkata, “Sudahlah. Marilah kita bawa ikan yang kita peroleh itu pulang. Aku akan membawa wuwunya. Sampai di rumah kita masih mempunyai waktu sedikit untuk tidur menjelang matahari terbit.”

Anak itu tidak menjawab. Iapun kemudian membawa kepis yang berisi ikan di tangan kanan dan membawa wuwu di tangan kiri. Ketika Glagah Putih minta wuwu itu untuk dibawanya, maka anak itu pun menjawab, “Aku masih kuat membawanya.”

“Cangkul itu?” bertanya Glagah Putih.

“Kaulah yang membawa,” jawab anak itu.

Dahi Glagah Putih berkerut. Tetapi iapun akhirnya tersenyum. Anak itu telah mendahuluinya tanpa berpaling.

Glagah Putih-lah yang kemudian membawa cangkul di pundaknya sambil berjalan pulang bersama Raden Rangga.

“Anak itu menyenangkan,” berkata Raden Rangga.

“Tetapi masih terlalu kanak-kanak. Jika ia memiliki sesuatu kelebihan, maka ia akan menjadi semakin senang berkelahi,” jawab Glagah Putih.

“Siapa yang kau sebut itu?” bertanya Raden Rangga.

“Anak itu,” jawab Glagah Putih.

“Bukan aku?” bertanya Raden Rangga.

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tersenyum pula. Katanya, “Raden sudah bukan anak-anak lagi.”

Glagah Putih tertawa. Sementara itu anak yang membawa kepis dan wuwu itu sudah semakin jauh di depan.

Sebenarnyalah bahwa ketika mereka sampai di rumah, mereka masih sempat berbaring barang sejenak. Namun, demikian mereka terlena, maka Sekar Mirah-lah yang kemudian terbangun dan pergi ke dapur untuk merebus air, sementara Agung Sedayu mulai membersihkan halaman.

Suara sapu lidi itu pun telah membangunkan Glagah Putih dan Raden Rangga. Keduanya pun kemudian bangkit dan keluar pula dari biliknya. Glagah Putih langsung pergi ke pakiwan untuk menimba air mengisi jambangan. Sementara Raden Rangga bertanya, “Lalu apa yang harus aku kerjakan?”

“Raden akan berbuat sesuatu?” bertanya Glagah Putih.

“Tentu,” jawab Raden Rangga.

“Kuda-kuda itu,” jawab Glagah Putih.

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Lalu iapun bertanya, “Apakah aku harus menyabit rumput?”

“Tidak Raden,” jawab Glagah Putih, “bukankah sudah ada orang yang menyabit rumput? Tetangga sebelah telah diupah oleh Kakang Agung Sedayu untuk setiap hari menyediakan rumput bagi kuda-kuda kami.”

Raden Rangga mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi masih terlalu pagi untuk memandikan kuda. Barangkali maksudmu membersihkan kandangnya?”

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian tersenyum, “Itu tugasku di setiap hari. Mumpung Raden ada di sini, barangkali sekali-sekali tugasku menjadi ringan.”

“Jika kau tidak ada di rumah?” bertanya Raden Rangga.

“Kakang Agung Sedayu yang melakukannya,” jawab Glagah Putih.

Raden Rangga mengangguk-angguk. Namun ketika ia siap untuk beranjak dari tempatnya. Glagah Putih berkata, “Raden saja-lah yang mengisi jambangan. Aku-lah yang membersihkan kandang.”

Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Terima kasih. Aku agaknya memang akan mendapatkan kesulitan untuk membersihkan kandang kudamu. Apalagi jika termasuk kandang lembumu.”

Glagah Putih tertawa. Setelah menyerahkan timbanya kepada Raden Rangga, maka Glagah Putih pun telah pergi ke kandang untuk membersihkannya.

Demikianlah, Raden Rangga telah berusaha untuk menyesuaikan diri dengan tugas-tugas Glagah Putih. Menjelang matahari naik, Glagah Putih telah mengajak Raden Rangga untuk pergi ke padukuhan sebelah, ke tempat Agung Sedayu bersama anak-anak muda menyiapkan perluasan parit bagi lahan yang baru, yang di hari sebelumnya ditunggui oleh Agung Sedayu sendiri. Sementara Agung Sedayu telah pergi menemui Ki Gede untuk memberikan laporan tentang tugas Raden Rangga dan Glagah Putih setelah peristiwa di Mataram itu terjadi.

Ki Gede yang menerima laporan itu mengangguk-angguk. Dengan nada berat ia berkata, “Satu tugas yang sangat berat bagi Raden Rangga dan Glagah Putih.”

“Ya Ki Gede,” jawab Agung Sedayu, “namun agaknya Panembahan Senapati benar-benar ingin menghukum putranya yang sering ikut mencampuri persoalan Panembahan Senapati. Meskipun maksud anak itu baik, namun akibatnya kadang-kadang telah menyulitkan.”

Ki Gede mengangguk-angguk pula sambil bertanya, “Kapan mereka akan berangkat?”

“Dalam dua tiga hari lagi,” jawab Agung Sedayu.

Ki Gede merenung sejenak. Kemudian katanya, “Dengan demikian, bukankah berarti bahwa prajurit Mataram yang berada di Tanah Perdikan ini sudah tidak berarti lagi.”

“Ya. Aku akan berpesan kepada Raden Rangga dan Glagah Putih, jika mereka singgah kembali ke Mataram untuk menerima pesan-pesan terakhir sebelum mereka berangkat ke sebuah padepokan yang belum mereka kenal.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Ternyata beberapa hal yang diatur dalam hubungan rahasia dengan Mataram itu justru berakhir dengan tugas yang berat bagi Raden Rangga dan Glagah Putih. Namun demikian Ki Gede pun berkata, “Tetapi agaknya kematian tiga orang itu bukannya berarti bahwa tidak ada orang lagi di sekitar Mataram. Tiga orang itu agaknya orang-orang terpenting memang. Namun di belakang ketiga orang itu masih terdapat banyak orang lagi.”

“Ya Ki Gede,” jawab Agung Sedayu, “agaknya mereka masih ada di sekitar Mataram. Tetapi tanpa prajurit Mataram itu pun kita akan dapat menjaga diri, seandainya orang-orang itu benar-benar memalingkan wajah mereka ke Tanah Perdikan ini.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sependapat. Karena itu, kita harus meningkatkan kewaspadaan jika nanti pasukan Mataram itu benar-benar akan ditarik.”

Agung Sedayu pun kemudian mohon diri setelah Ki Gede memberikan beberapa pesan tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di Tanah Perdikan Menoreh.

Dalam pada itu, hari-hari yang pendek itu pun telah dipergunakan oleh Glagah Putih sebaik-baiknya. Di malam berikutnya ia tidak lagi berada di sanggar. Tetapi ia telah mengadakan latihan-latihan di tempat terbuka meskipun tersembunyi, di tempat yang jarang dikunjungi orang.

Raden Rangga malam itu ikut pula menyaksikan, apa yang telah dilakukan oleh Glagah Putih dalam usaha meningkatkan ilmunya.

Seperti malam sebelumnya, Glagah Putih masih harus mengulang kemampuannya melepaskan ilmu dengan melontarkannya lewat telapak tangannya yang terbuka. Getaran-getaran yang memuat kekuatan di dalam dirinya berloncatan menyambar sasaran.

Namun ketika Raden Rangga melihat Glagah Putih melepaskan kemampuannya dan mengenai sasaran, tiba-tiba saja Raden Rangga telah bertepuk tangan.

“Luar biasa,” katanya, “kau mampu menyempurnakan ilmu itu sehingga benar-benar menjadi ilmu yang mapan. Tentu karena tuntunan kakakmu dan gurumu.”

Sambutan yang tiba-tiba itu membuat Glagah Putih, Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga berdebar-debar, sehingga. Agung Sedayu pun kemudian berdesis, “Raden dapat memanggil seorang petani yang sedang menunggui air di sawah.”

“Maaf,” berkata Raden Rangga, “aku senang sekali melihat perkembangan ilmunya. Tetapi jika aku tidak memacunya dengan ujud yang barangkali terlalu kasar, maka padanya tentu masih belum diberikan tuntunan tentang ilmu itu.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi agaknya memang demikian, sehingga yang dilakukan oleh Raden Rangga itu sekedar mempercepat perkembangan dan peningkatan ilmu Glagah Putih.

Dalam pada itu, setelah Glagah Putih mampu menguasai laku untuk melepaskan ilmunya sebagaimana ia menguasai anggauta tubuhnya dengan kehendak, maka Agung Sedayu pun mulai menuntun Glagah Putih untuk mengatur lontaran ilmunya. Karena itu, maka Agung Sedayu seakan-akan telah membawa kembali Glagah Putih menelusuri ilmu yang diwarisinya berdasarkan jalur perguruan Ki Sadewa. Glagah Putih yang sudah mapan dengan melepaskan puncak ilmu itu dengan mengerahkannya pada sisi telapak tangannya, maka kini Glagah Putih memiliki kemampuan yang dapat menjadi kepanjangan lontaran ilmunya itu. Ia tidak perlu menyentuh lawannya dengan tangannya jika lawannya itu berada di luar jarak jangkau tangannya. Namun jika lawannya itu dengan sengaja bertempur pada jarak yang terlalu pendek untuk menghindarkan diri dari serangan lawan, maka ia mampu mempergunakan sisi telapak tangannya sebagaimana yang pernah dilakukannya.

Meskipun Agung Sedayu tidak mempergunakan cara itu untuk melakukan serangan berjarak, namun karena ilmunya yang mapan, maka ia mampu memberikan petunjuk-petunjuk bagi adik sepupunya, sehingga dalam waktu yang pendek itu, Glagah Putih telah mampu menguasainya dengan sebaik-baiknya.

Raden Rangga menjadi ikut bergembira sekali melihat perkembangan Glagah Putih yang akan menjadi kawannya menempuh perjalanan yang rumit dan berat.

Namun laku Glagah Putih masih belum selesai. Pada malam terakhir ia berada di Tanah Perdikan sebelum berangkat, ia masih harus berusaha mengetrapkan kemampuan ilmunya yang dipelajarinya dari Kiai Jayaraga. Dengan demikian maka Glagah Putih akan dapat melontarkan kekuatan yang sebagaimana diwarisinya dari Kiai Jayaraga, yang dapat disadapnya dari kekuatan api, air, udara dan bumi.

Meskipun mula-mula Glagah Putih mengalami kesulitan, namun akhirnya ia mampu memilahkan warna dari kekuatan itu, dan bahkan kemudian kekuatan-kekuatan yang berbaur dalam satu lontaran. Sehingga dengan demikian ia telah memiliki bekal yang mirip dengan kekuatan yang dimiliki oleh Agung Sedayu, meskipun masih harus selalu dikembangkannya. Namun kekuatan Agung Sedayu terlontar lewat sorot matanya dan sudah dalam tataran yang sangat tinggi.

Dengan demikian, setelah tiga hari lewat, Glagah Putih telah mendapatkan bekal yang cukup mapan bagi tugasnya yang berat. Meskipun untuk menyempurnakan ilmunya Glagah Putih harus bekerja keras, namun yang dicapainya adalah kemungkinan yang tertinggi dalam usahanya pada waktu yang sangat pendek itu.

Karena itulah, maka Glagah Putih pun segera mempersiapkan diri untuk berangkat melakukan tugas yang berat itu bersama Raden Rangga.

Di hari terakhir, Glagah Putih telah mohon diri kepada Ki Gede disertai Raden Rangga, Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga. Dengan berat hati Ki Gede telah melepaskannya dengan beberapa pesan. Sementara itu pesan khususnya adalah agar Mataram menarik prajurit-prajuritnya yang berada di Tanah Perdikan Menoreh.

Dari rumah Ki Gede, Glagah Putih masih harus membenahi bekal yang akan dibawanya. Hanya beberapa helai pakaian dalam sebuah bungkusan kecil. Namun bekalnya yang menjadi peneguh hatinya adalah ilmunya dan ikat pinggang yang dipergunakannya.

Sebenarnyalah bahwa Sekar Mirah pun merasa berat melepaskan Glagah Putih yang masih terlalu muda itu pergi hanya berdua dengan seorang anak yang masih lebih muda daripadanya. Meskipun keduanya memiliki ilmu yang dapat dibanggakan, namun kemudaan mereka tentu akan sangat menentukan pada saat-saat mereka harus mengambil satu keputusan. Sebanyak-banyaknya pengalaman di umur mereka, agaknya mereka masih jauh dari perbendaharaan pengalaman yang cukup.

Tetapi Sekar Mirah tidak dapat menahan mereka, karena perintah telah diberikan oleh Panembahan Senapati sendiri.

Demikianlah, maka Raden Rangga dan Glagah Putih pun telah mohon diri untuk kembali ke Mataram. Kemudian mereka akan melanjutkan perjalanan mereka untuk menemukan jalur yang hilang karena tiga orang bersama-sama telah terbunuh pada saat mereka memasuki istana di Mataram.

Ketika mereka telah berada di halaman, maka Agung Sedayu masih sempat berpesan, “Glagah Putih, apabila Raden Rangga tidak berkeberatan, maka kau masih dapat singgah barang satu dua hari di Jati Anom. Meskipun mungkin perjalananmu tidak ke arah Timur, namun untuk tugas yang penting ini kau dapat singgah dan minta diri kepada ayahmu. Tetapi barangkali ada baiknya kau singgah dan menghadap Kiai Gringsing. Mungkin Kiai Gringsing dapat memberikan sedikit petunjuk tentang padepokan yang sedang kau telusuri itu.” 

“Kiai Gringsing,” tiba-tiba saja Raden Rangga-lah yang menyahut. “Bagus. Kita akan singgah di Jati Anom. Justru kita sekarang akan pergi ke Jati Anom. Mumpung kita membawa kuda, sehingga perjalanan ini akan cepat kita selesaikan. Baru kemudian kita kembali ke Mataram dan melakukan perjalanan tanpa kuda. Mungkin kita harus pergi ke timur, tetapi mungkin justru ke barat atau ke utara. Agaknya dari Kiai Gringsing kita dapat mengharap sesuatu.”

Glagah Putih pun mengangguk-angguk. Kesempatan untuk minta diri kepada ayahnya memang diharapkannya. Bukan saja karena sudah lama ia tidak bertemu, tetapi ada juga kebanggaan bahwa ia mendapat tugas dari Panembahan Senapati, meskipun merupakan cambuk atas kesalahan yang telah dibuat oleh Raden Rangga dan menyangkut dirinya pula.

Sementara itu, Agung Sedayu pun menjawab, “Baiklah Raden. Jika Raden masih mempunyai waktu , maka Raden dapat langsung pergi ke Jati Anom. Mudah-mudahan Kiai Gringsing ada di padepokan kecilnya, atau setidak-tidaknya berada di Sangkal Putung.”

Demikianlah, dengan tiba-tiba kedua orang anak muda itu telah mengalihkan arah perjalanannya. Mereka tidak langsung ke Mataram, tetapi mereka akan singgah ke Jati Anom, sehingga dengan demikian maka kedatangan mereka di Mataram akan tertunda sehari.

Sejenak kemudian, maka kedua orang anak muda itu pun telah meninggalkan Agung Sedayu, Kiai Jayaraga dan Sekar Mirah, yang telah memberikan beberapa pesan dan petunjuk. Kuda mereka yang tegar telah berderap menyusuri jalan padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Belum lagi mereka meninggalkan gerbang pedukuhan induk itu, Raden Rangga telah mulai menganggu, “Kau memang terlalu manja.”

“Kenapa?” bertanya Glagah Putih.

“Kau lihat, seakan-akan tidak ada orang yang mempedulikan aku sama sekali jika aku pergi kemanapun,” jawab Raden Rangga. “Tetapi pada saat kau meninggalkan rumah, maka seisi rumah berdiri di regol, memberikan pesan agar kau berhati-hati, dan kemudian melambaikan tangan mereka jika kau berangkat.”

“Sama sekali bukan kemanjaan,” jawab Glagah Putih, “hanya kebiasaan.”

“Kakak sepupumu, mbokayumu dan gurumu nampak cemas. Seakan-akan mereka tidak sampai hati mele-paskanmu pergi bersama aku. Bukankah biasanya kau selalu pergi bersama kakak sepupumu, atau gurumu, atau barangkali juga ayahmu?” berkata Raden Rangga.

“Ah, Raden salah menilai. Itu sama sekali bukan kemanjaan,” jawab Glagah Putih, “tetapi karena mereka tahu, bahwa aku kurang memiliki bekal yang cukup untuk tugas ini. Agaknya mereka memang merasa cemas.”

Raden Rangga tertawa. Katanya, “Kau mulai merajuk.”

Glagah Putih menjadi tegang. Namun kemudian iapun tersenyum. Tetapi ia tidak menjawab lagi.

Keduanya pun kemudian mempercepat derap kuda mereka, ketika mereka memasuki jalan bulak. Beberapa orang sempat bertanya ketika mereka bertemu di jalan-jalan pedukuhan yang dilalui oleh kedua anak muda itu.

Sambil tersenyum Glagah Putih selalu menjawab, “Kami sedang melihat-lihat.”

Namun keduanya ternyata telah menuju ke penyeberangan Kali Praga.

Tetapi seperti yang mereka rencanakan, maka mereka akan langsung berpacu ke Jati Anom. Karena itu, maka mereka telah memilih jalan yang tidak melewati lingkungan kota yang ramai. Tetapi mereka telah memilih jalan yang sepi, namun yang langsung menuju ke Jati Anom.

Ternyata perjalanan itu memberikan kegembiraan kepada kedua orang anak muda itu. Mereka seakan-akan telah menempuh satu tamasya yang segar. Terlebih-lebih bagi Raden Rangga.

Namun ternyata Raden Rangga menarik kekang kudanya ketika ia melihat beberapa anak muda sedang bermain binten, dikerumuni oleh anak-anak muda yang lain.

“Kita berhenti sebentar,” berkata Raden Rangga.

“Untuk apa?” bertanya Glagah Putih.

“Kita melihat binten. Agaknya memang sedang ada semacam pertandingan,” jawab Raden Rangga.

Glagah Putih mengangguk kecil. Dipandanginya anak-anak muda yang sedang berkerumun di sawah yang baru saja dipetik hasilnya. Agaknya semacam kegembiraan setelah panen mereka berhasil, menjelang Merti Desa yang meriah, anak-anak muda mengadakan permainan tersendiri.

“Aku akan melihat,” berkata Raden Rangga.

“Bukankah permainan yang demikian sudah sering kita lihat?” berkata Glagah Putih.

“Jarang sekali aku melihatnya,” jawab Raden Rangga.

Tiba-tiba saja Raden Rangga telah meloncat turun dari kudanya. Dengan demikian maka Glagah Putih pun terpaksa melakukannya juga. Namun dengan demikian, justru keduanya-lah yang telah menarik perhatian anak-anak muda yang sedang berkerumun dalam permainan binten itu, sehingga permainan itu telah terhenti untuk beberapa saat. Apalagi ketika anak-anak muda itu melihat dua ekor kuda yang tegar-tegar itu.

“Kenapa berhenti?” berkata Raden Rangga.

“Apa yang berhenti?” seorang anak muda yang nampaknya paling berpengaruh di antara mereka telah menyongsong Raden Rangga dan Glagah Putih.

“Bukankah kalian sedang bermain binten?” bertanya Raden Rangga.

“Ya,” jawab anak muda itu.

“Nah, kami berhenti karena kami ingin melihat binten,” berkata Raden Rangga kemudian.

Anak muda itu mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Siapa kalian?”

“Kami anak-anak dari seberang Kali Praga,” jawab Raden Rangga.

“Tanah Perdikan Menoreh?” bertanya anak muda itu.

“Ya. Nampaknya kalian mengenal daerah itu,” jawab Raden Rangga.

“Kami pernah mendengar nama Tanah Perdikan Menoreh. Menurut pendengaran kami, anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh memiliki banyak kelebihan. Bahkan menurut pendengaran kami, para pengawalnya telah bersama-sama dengan prajurit Mataram dalam satu medan,” berkata anak muda itu.

“Ya,” jawab Raden Rangga, “kami kadang-kadang berada dalam satu pasukan dengan para prajurit Mataram.”

Namun dalam pada itu Glagah Putih menyahut, “Namun agaknya cerita tentang Tanah Perdikan itu sudah dibesar-besarkan. Tidak banyak yang pernah kami lakukan. Mungkin kami pernah membantu serba sedikit.”

Anak muda itu mengangguk-angguk. Katanya, “Mungkin kau berkata dengan jujur.”

“Ya. Aku berkata sebenarnya,” jawab Glagah Putih. Raden Rangga mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak menyahut lagi. Bahkan yang dikatakannya adalah, “Marilah. Kami ingin melihat permainan kalian. Agaknya sangat menarik.”

Anak muda itu mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia bertanya, “Apakah kalian akan menunjukkan bahwa anak-anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh mampu melebihi kami?”

“Tidak,” jawab Glagah Putih dengan serta merta, “kami hanya tertarik untuk melihatnya.”

Anak muda itu mengangguk-angguk. Sekali ia berpaling kearah kuda-kuda yang tegar itu. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Tetapi jangan mengganggu. Kami memang sedang memilih orang terbaik di antara kami. Dalam perayaan Merti Desa nanti akan dipertandingkan binten antara orang-orang terbaik dari padukuhan-padukuhan.”

Raden Rangga dan Glagah Putih pun telah mengikat kudanya pada sebatang pohon di pinggir jalan. Keduanya pun ikut pula turun ke sawah yang telah diambil hasilnya, untuk melihat anak-anak muda yang bermain binten.

“Kita akan melanjutkan permainan kita,” berkata anak muda yang paling berpengaruh itu.

Dengan demikian, maka seorang anak muda telah maju ke tengah-tengah arena. Ia berdiri tegak dengan kaki yang renggang. Seorang anak muda yang lain akan menghantam betisnya dengan kakinya.

Seorang anak muda yang lain yang mengamati permainan itu agar tidak terjadi permainan yang menyimpang dari ketentuan.

Sejenak kemudian kembali terdengar anak-anak muda itu bersorak. Mereka memilih seorang di antara mereka yang paling tahan mengalami serangan pada betisnya. Lima kali berturut-turut.

Ternyata Raden Rangga telah tenggelam dalam permainan itu. Ia telah ikut bersorak-sorak sebagaimana anak-anak muda yang lain. Bahkan ikut melonjak-lonjak pula jika seorang anak muda yang kurang kuat telah terjatuh pada saat betisnya dihantam oleh seorang kawannya.

Beberapa saat permainan itu telah berlalu. Glagah Putih yang gelisah telah menggamit Raden Rangga sambil berkata,” Marilah. Kita akan melanjutkan perjalanan.”

“Tunggu sampai terpilih orang terbaik,” jawab Raden Rangga.

“Untuk apa?” bertanya Glagah Putih.

“Tidak apa-apa,” jawab Raden Rangga.

Beberapa saat permainan berlangsung. Akhirnya anak-anak muda itu telah menemukan orang yang mereka cari. Seorang yang tidak dapat dijatuhkan oleh serangan-serangan pada betisnya. Ia tetap berdiri tegak meskipun harus menahan rasa sakitnya.

Akhirnya sorakpun meledak. Anak-anak muda itu seakan-akan telah menyatakan kesepakatannya untuk memilih anak muda yang tidak dapat dijatuhkan oleh kawan-kawannya dengan serangan setiap kali lima kali berturut-turut itu. Anak muda yang memiliki kelebihan dari kawan-kawannya itu telah menjadi sangat bangga. Diangkatnya kedua tangannya untuk menyatakan tanggapannya atas sorak yang bagaikan mengguncang sawah tempat mereka bermain.

Namun ketegangan mulai mencengkam ketika anak yang menang itu tiba-tiba berkata, “Kita akan melihat, apakah benar anak-anak Tanah Perdikan Menoreh mempunyai kelebihan.”

Sorak yang gemuruh itupun mulai mereda. Semua orang kemudian berpaling kepada Raden Rangga dan Glagah Putih.

Namun dalam pada itu, Glagah Putih berkata,” Sudahlah. Kami akan meneruskan perjalanan. Kau pantas menjadi pemenang, karena ketahanan kakimu yang luar biasa. Anak-anak Tanah Perdikan Menoreh agaknya tidak ada yang sekuat kau.”

“Tetapi cerita tentang Tanah Perdikan Menoreh membuat kami di sini menjadi iri hati. Seakan-akan Tanah Perdikan Menoreh adalah daerah terbaik di Mataram.”

“Sudah aku katakan. Itu berlebih-lebihan,” jawab Glagah Putih pula.

“Jangan pergi,” berkata anak muda yang menang itu, “kita bermain binten.”

Adalah di luar dugaan ketika Raden Rangga bertepuk tangan sambil berkata, “Bagus. Jika kalian tetap menantang, marilah.”

“Aku memilih anak yang lebih besar,” berkata anak muda yang menang itu sambil menunjuk Glagah Putih.

“Siapapun di antara kami,” jawab Raden Rangga.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun Raden Rangga berkata, “Nah, kaulah yang dipilih untuk ikut bermain binten.”

“Aku tidak pernah bermain binten,” jawab Glagah Putih.

“Sekarang kau akan mengalaminya,” jawab Raden Rangga.

Glagah Putih termangu-mangu. Namun beberapa orang anak muda telah menarik tangannya dan membawanya ke tengah-tengah arena.

Glagah Putih memang tidak mempunyai pilihan lain. Ia harus melayani anak muda yang menang itu untuk bermain binten.

“Kau akan bertahan lebih dahulu,” berkata anak muda pemenang itu, “aku akan menghantam betismu dengan kaki sebanyak lima kali. Kawan-kawanku akan menjadi saksi, berapa kali kau terjatuh. Kemudian akulah yang akan bertahan. Siapakah yang terjatuh lebih banyak, ialah yang kalah.”

Glagah Putih memang tidak mempunyai kesempatan untuk mengelak. Namun setelah ia berada di arena rasa-rasanya tidak ada niatnya untuk membiarkan dirinya menjadi bahan tertawaan anak-anak muda itu. Kemudaannya telah memanasi dadanya, sehingga karena itu maka Glagah Putihpun berniat untuk tidak jatuh oleh anak muda yang dianggap sebagai pemenang dalam permainan itu.

Sejenak kemudian, maka Glagah Putih pun telah dipersilahkan untuk berdiri dengan kaki renggang. Anak-anak muda yang mengerumuni arena itu mulai bersorak-sorak. Sementara itu, anak muda yang menang atas kawan-kawannya itu mulai mengambil ancang-ancang.

“Satu,” seorang anak muda yang lain mulai menghitung,” dua, tiga.”

Pada hitungan ketiga, anak muda yang menang itu telah meloncat sambil mengayunkan kakinya menyerang betis Glagah Putih yang berdiri tegak. Satu ayunan kaki yang keras sekali didorong oleh kebanggaannya sebagai pemenang, serta keinginannya untuk menunjukkan kelebihannya kepada kawan-kawannya atas anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh yang terkenal itu.

Sesaat kemudian telah terjadi benturan yang sangat keras. Namun benturan kekuatan yang wajar, sehingga betapapun kuatnya, hantaman kaki anak muda yang memenangkan permainan di antara kawan-kawannya itu sama sekali tidak mampu menggoyahkan pertahanan Glagah Putih, meskipun Glagah Putih masih juga sekedar mempergunakan tenaga wajarnya.

Bahkan kaki anak muda yang telah membentur betis Glagah Putih itu bagaikan telah membentur sebatang tonggak kayu.

Terdengar anak muda itu mengaduh tertahan. Kakinya tiba-tiba saja telah ditariknya sehingga iapun telah terputar setengah lingkaran. Kemudian tanpa dapat menahan diri ia telah terduduk di tanah. Kedua belah tangannya telah memegangi tulang kakinya yang bagaikan menjadi retak.

Beberapa orang kawannya memandanginya dengan tegang. Ketika ia terjatuh duduk di tanah, maka seorang kawannya berjongkok di sebelahnya sambil bertanya, “Kenapa?”

Anak itu masih menyeringai sambil mengusap tulang kakinya yang terasa sakit sekali. Dengan suara bergetar ia berkata, “Apakah kaki anak-anak Tanah Perdikan Menoreh terbuat dari batu?”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah ia tidak ingin menyakiti anak muda itu. Tetapi ia memang tidak berbuat sesuatu dengan berlebihan. Ia masih bertahan dengan kekuatan wajarnya.

Namun karena wadagnya telah mengalami latihan-latihan yang mapan, maka wadagnya pun memiliki kelebihan dari wadag anak-anak muda kebanyakan. Karena tanpa wadag yang lebih baik dari orang kebanyakan, maka itu tidak akan mampu mendukung kemampuan ilmu yang sangat tinggi, yang tersimpan di dalam diri Glagah Putih.

Anak-anak muda yang berkerumun itupun menjadi berdebar-debar. Mereka tidak mengira bahwa pada benturan yang pertama, kawannya yang dianggapnya anak muda terbaik dalam permainan itu telah dapat dijatuhkan, justru pada saat anak muda itu sedang menyerang.

Sejenak anak muda itu masih mengurut kakinya. Namun kemudian iapun telah berusaha untuk berdiri tegak dan melupakan perasaan sakitnya. Sambil menggeram ia berkata, “Jangan berbangga karena kejadian ini. Aku memang salah mengambil langkah, sehingga kakiku hampir saja terkilir. Bersiaplah. Aku akan mengulangi seranganku. Seperti yang aku katakan, aku akan melakukannya lima kali. Masih ada empat kesempatan untuk menjatuhkanmu.”

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi iapun telah bersiap pula. Berdiri tegak dengan kaki renggang.

Sejenak kemudian anak muda yang kakinya baru saja kesakitan itupun telah bersiap pula. Meskipun hatinya telah menjadi ragu-ragu, namun ia tidak mau harga dirinya direndahkan oleh anak muda Tanah Perdikan Menoreh itu.

Karena itu, maka iapun telah bertekad untuk menjatuhkan anak muda itu.

Beberapa saat anak muda yang menang itu telah mengambil ancang-ancang. Kemudian, seorang anak muda yang lain telah mulai menghitung, “Satu, dua, tiga.”

Anak muda itu telah meloncat sambil mengayunkan kakinya sekuat tenaganya. Sebuah benturan yang keras telah terjadi. Namun ternyata telah terulang kembali kegagalan yang dialami anak muda itu. Sekali lagi kakinya bagaikan membentur tonggak kayu. Sekali lagi ia terputar dan bahkan terguling jatuh.

Anak-anak muda yang lainpun bagaikan membeku ditempatnya. Tetapi dua orang yang menyadari keadaan segera berlari dan berjongkok di samping anak muda yang terbaring kesakitan sambil mengurut kakinya yang bagaikan retak itu.

“Bagaimana?” bertanya seorang di antaranya.

Anak muda itu mengaduh tertahan. Namun ia memang tidak dapat lagi menyembunyikan tulang kakinya itu, maka dilihatnya kulitnya menjadi merah biru.

Glagah Putih dan Raden Rangga pun berdiri termangu-mangu pula. Diperhatikannya anak-anak muda yang masih membeku. Namun yang sejenak kemudian, mereka pun telah bergeser mengerumuni kawannya yang kesakitan.

“Raden telah membuat persoalan di sini,” desis Glagah Putih.

“Kenapa? Bukankah aku tidak melakukan apa-apa?” bertanya Raden Rangga.

“Anak-anak itu dapat menjadi marah,” berkata Glagah Putih pula, “mereka akan dapat melakukan sesuatu di luar keinginan kita.”

Raden Rangga mengangguk-angguk. Katanya, “Mungkin. Tetapi asal kita tidak mananggapinya, aku kira tidak akan terjadi sesuatu.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak menjawab.

Beberapa saat lamanya Raden Rangga dan Glagah Putih menunggu. Anak-anak muda itu masih mengerumuni kawannya yang sakit. Beberapa patah kata terdengar di antara mereka.

Namun tiba-tiba yang dicemaskan oleh Glagah Putih terjadi. Anak muda yang paling berpengaruh di antara mereka itu pun telah menyibak kawan-kawannya. Dengan wajah tegang ia berdiri menghadap ke arah Glagah Putih dan Raden Rangga. Dengan lantang ia berkata, “Jangan berbangga anak-anak muda dari daerah yang terbaik di Mataram. Mungkin kau dapat menyombongkan diri di tempat lain, tetapi tidak di sini. Kau akan menyesal dan kau akan menyadari bahwa Tanah Perdikan Menoreh bukan pusat kemenangan dan tidak tergoyahkan.”

Glagah Putih berdesis, “Nah, Raden lihat.”

“Salahmu,” sahut Raden Rangga, “kenapa kau tidak mau menjatuhkan dirimu ketika kau di binte oleh anak itu?”

“Memang ada keinginan untuk melakukannya,” jawab Glagah Putih, ” tetapi aku tidak dapat. Nah, apa yang harus kita lakukan?”

Sementara itu anak muda yang paling berpengaruh itu telah melangkah maju diikuti oleh kawan-kawannya, “Kalian harus mengakui kelebihan kami. Kalian tidak boleh pergi dengan kesan kemenangan dengan permainan kalian yang kasar itu.”

Glagah Putih termangu-mangu. Ia sama sekali tidak berniat untuk melawan. Jika terjadi perkelahian maka tentu akan menimbulkan kesan bahwa orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang merasa dirinya lebih baik dari yang lain, telah bertindak sewenang-wenang.

Namun tiba-tiba Raden Rangga berkata, “Kita lari saja. Kita tentu akan dapat mencapai kuda kita jauh lebih cepat dari anak-anak itu.”

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian mengangguk.

Sementara itu Glagah Putih telah melihat anak-anak muda itu saling berpencar.

“Apakah kita akan lari sekarang?” bertanya Glagah Putih.

“Sebentar lagi. Kita harus menunjukkan bahwa kita memang berbeda dengan mereka,” berkata Raden Rangga sambil tersenyum.

Glagah Putih mengangguk. Memang kemudaannya pun ingin berbuat demikian. Lari tanpa melawan, tetapi meninggalkan kesan kelebihan pada anak-anak muda itu.

Selangkah demi selangkah anak-anak muda yang berkumpul di sawah itu melangkah maju sambil memencar. Namun beberapa saat kemudian Raden Rangga dan Glagah Putih pun telah bergeser mundur.

“Kalian tidak akan dapat lari,” berkata anak muda yang paling berpengaruh itu, “kalian harus berkelahi. Kalah atau menang. Jika kalian menang, maka kami baru percaya bahwa Tanah Perdikan Menoreh memang merupakan lumbung dari orang-orang perkasa, termasuk anak-anak mudanya.”

Glagah Putih dan Raden Rangga tidak menjawab. Sementara itu anak-anak muda yang menebar itu menjadi semakin dekat.

Namun pada saat lingkaran anak-anak muda itu hampir mengepung Raden Rangga dan Glagah Putih, maka Raden Rangga pun berdesis, “Marilah.”

Raden Rangga dan Glagah Putih telah meloncat meninggalkan tempatnya. Mereka melarikan diri menuju ke kuda mereka. Namun anak-anak muda itu tidak membiarkannya. Mereka pun telah mengejar kedua anak Tanah Perdikan itu. Bahkan beberapa orang berteriak, “Jangan lari! Tidak ada gunanya!”

Sebenarnyalah anak-anak muda itu hampir menangkap Glagah Putih yang lari di belakang Raden Rangga. Namun tiba-tiba Raden Rangga berkata, “Sekarang.”

Glagah Putih tahu maksud Raden Rangga. Karena itu, maka iapun telah mengerahkan tenaga dalamnya untuk mendorong kakinya berlari secepat tatit yang meloncat di udara.

Anak-anak muda yang mengejar keduanya pun terkejut bukan buatan. Bahkan mereka justru tertegun diam. Seakan-akan mereka telah melihat sesuatu di luar jangkauan nalarnya.

Kedua orang anak muda yang mengaku dari Tanah Perdikan Menoreh itu bagaikan anak panah yang dilontarkan oleh busurnya. Tiba-tiba saja keduanya telah berada di punggung kuda mereka yang tinggi tegar. Anak-anak itu tidak sempat melihat, bagaimana mereka melepas tali ikatan kuda itu pada batang-batang pohon, dan apalagi bagaimana keduanya naik ke punggung kuda mereka.

Raden Rangga dan Glagah Putih yang sudah berada di punggung kudanya memandang anak-anak muda yang termangu-mangu itu. Mereka ternyata telah membuat anak-anak muda itu kebingungan. Yang terjadi adalah demikian cepatnya.

“Nah, Ki Sanak,” berkata Raden Rangga, “kami minta maaf bahwa kami tidak dapat melayani permainan yang lebih kasar lagi. Lebih baik kami meneruskan perjalanan kami agar kami tidak dianggap berbuat salah. Mudah-mudahan kami sempat melihat pertandingan binten yang akan dilakukan antar padukuhan di hari Merti Desa.”

“He, kapan Merti Desa itu berlangsung?” tiba-tiba Glagah Putih pun bertanya.

Anak-anak muda itu bagaikan membeku. Namun ketika Glagah Putih mengulangi, maka anak muda yang berdiri di paling depan pun menjawab, “Sepekan lagi.”

“Mudah-mudahan kami sempat lewat padukuhan ini,” berkata Glagah Putih.

“Tidak di sini,” jawab anak muda itu, “tetapi di padukuhan sebelah utara bulak panjang itu.”

“Baik. Mudah-mudahan kami mempunyai kesempatan,” berkata Raden Rangga. Lalu katanya sambil melambaikan tangannya, “Sudahlah. Kami akan melanjutkan perjalanan kami. Kalian tidak usah mengejar kami, sebab lari kuda kami seribu kali lebih cepat dari langkah kaki kalian.”

Raden Rangga pun mulai menggerakkan kekang kudanya. Sementara Glagah Putih pun melakukan hal yang sama. Perlahan-lahan kuda mereka mulai bergerak. Semakin lama semakin cepat, sementara anak-anak muda yang berada di sawah yang baru saja dipetik hasilnya itu menyaksikan dengan jantung yang berdebaran.

Anak-anak muda itu menjadi semakin berdebar-debar ketika mereka melihat kedua anak muda yang berkuda itu berhenti. Raden Rangga sempat meloncat turun.

“Apa yang akan Raden lakukan?” bertanya Glagah Putih.

Raden Rangga tidak menjawab. Tetapi iapun telah melangkah ke sebuah tugu batu setinggi tubuh Raden Rangga sendiri, yang agaknya merupakan batas lingkungan padukuhan. Diangkatnya tugu batu itu dan diletakkannya di tengah jalan.

“Untuk apa itu Raden lakukan?” bertanya Glagah Putih.

Raden Rangga hanya tertawa saja. Namun sejenak kemudian iapun telah meloncat naik ke punggung kudanya dan melanjutkan perjalanan.

“Raden masih saja nakal,” desis Glagah Putih.

“Aku ingin memberi pekerjaan anak-anak itu. Biarlah mereka mengangkat kembali batu itu ke tempatnya semula,” jawab Raden Rangga sambil tertawa.

Glagah Putih hanya menarik nafas dalam-dalam. Sementara kuda mereka pun berjalan semakin lama semakin jauh dari padukuhan itu.

Sebenarnyalah sebagaimana dikatakan oleh Raden Rangga, anak-anak muda padukuhan itu tidak sempat meneruskan permainan mereka. Mereka harus mengangkat kembali batu itu dan menempatkannya di tempatnya semula. Namun mereka tidak tahu apa yang sebenarnya telah terjadi. Bagaimana mungkin anak muda dari Tanah Perdikan itu dapat mengangkat batu itu dan memindahkannya ke tengah jalan.

Namun setelah kerja mereka selesai, mereka pun sempat merenunginya. Anak-anak yang paling berpengaruh di antara mereka itu pun berkata, “Kita memang terlalu sombong.”

“Kenapa?” bertanya kawannya.

“Ternyata berita tentang Tanah Perdikan Menoreh bukan sekedar cerita ngaya wara. Kita sudah menyaksikan sendiri, dua orang di antara mereka. Mereka sempat menunjukkan kepada kita kelebihan yang sulit dijangkau oleh nalar kita, tanpa melayani sikap sombong kita. Coba bayangkan. Seandainya keduanya bersedia menerima tantangan kita, dan kita harus berkelahi melawan mereka, apakah yang akan terjadi atas kita?” bertanya anak muda itu.

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Anak muda yang menang dalam permainan binten itu pun berkata, “Aku belum pernah mengalaminya. Betisnya benar-benar seperti tonggak kayu yang sangat keras. Kakiku menjadi seakan-akan remuk.”

“Dan kau lihat bagaimana mereka berlari ke kuda mereka?” bertanya anak muda yang paling berpengaruh, “kemudian bagaimana mungkin seorang di antara mereka, justru yang kecil, mengangkat batu tugu itu ke tengah jalan.”

Seorang di antara anak-anak muda itu pun berkata, “Satu pengalaman buat kita. Jika ada saat lain kita bertemu dengan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh, kita harus mengekang diri untuk tidak berlaku sombong.”

Anak-anak muda itu masih menganguk-angguk. Ternyata mereka telah mendapatkan satu cerita yang menarik untuk mereka sampaikan kepada kawan-kawan mereka yang tidak sempat menyaksikan tingkah laku anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh itu.

Memang timbul beberapa tanggapan. Ada yang tidak percaya, tetapi ada yang langsung mempercayainya. Anak-anak muda yang menyaksikan langsung itu dapat membuktikan bahwa tugu batu itu telah berpindah, dan anak-anak muda itulah yang beramai-ramai mengembalikan ke tempatnya semula.

“Anak-anak sering bercerita berlebihan,” berkata seorang laki-laki yang terhitung masih muda juga, “mereka senang berkhayal tentang orang-orang sakti dan ilmu yang di luar jangkauan nalar mereka.”

“Tetapi banyak yang telah menyaksikannya,” jawab kawannya.

Laki-laki muda itu tersenyum. Katanya, “Tetapi biarlah mereka besar bersama angan-angan mereka. Mudah-mudahan akan berakibat baik bagi mereka, karena hal itu akan memacu untuk menempa dirinya.”

Kawannya tidak menjawab. Tetapi sebenarnyalah kawannya itu percaya tentang cerita yang telah didengarnya dari anak-anak muda padukuhan itu.

Sementara itu, anak-anak muda itu pun di luar sadar benar-benar mengharap agar kedua anak muda Tanah Perdikan itu kelak hadir di dalam pertandingan yang akan diadakan antara beberapa pedukuhan. Mereka akan merasa bangga bahwa mereka mengenal dua orang anak muda yang memiliki kelebihan dari anak-anak muda yang lain. Apalagi keduanya datang dari tempat yang memang sudah dikenal, Tanah Perdikan Menoreh.

Dalam pada itu, Raden Rangga dan Glagah Putih telah berkuda semakin jauh dari pedukuhan itu. Mereka menyusuri jalan-jalan bulak yang panjang dan sekali-sekali memasuki padukuhan. Di sepanjang jalan kuda-kuda mereka memang sangat menarik perhatian, karena jarang sekali orang-orang di sepanjang perjalanan itu menjumpai jenis kuda yang demikian.

Ketika keduanya kemudian sampai di penyeberangan Kali Opak, maka mereka pun telah berhenti sejenak untuk memberi kesempatan kuda mereka minum, makan rerumputan segar dan beristirahat. Sementara itu, air sungai tidak begitu deras, karena sepertinya tidak ada hujan di lereng Gunung Merapi. Karena itu, maka orang-orang yang menyeberang Kali Opak masih belum memerlukan rakit.

Beberapa saat keduanya duduk di bawah sebatang pohon yang rindang sambil mengamati air sungai yang tidak begitu deras. Di sebuah tikungan air mereka melihat seorang yang sedang duduk sambil memegang kail. Panas matahari sama sekali tidak terasa di tubuhnya.

“Aneh juga orang mengail itu,” desis Raden Rangga.

“Kenapa ?” bertanya Glagah Putih.

“Di Tanah Perdikan Menoreh, ketika aku ikut pembantu di rumahku ke sungai, seorang tengah mengail di gelapnya malam tanpa menghiraukan dinginnya udara. Sementara itu, orang itu tidak merasakan betapa panas matahari menyentuhnya. Sebenarnya berapa banyak ikan yang didapatnya dengan mengail itu?” bertanya Raden Rangga.

“Memang ada orang yang mengail karena benar-benar ingin mendapatkan ikan. Tetapi ada juga orang yang mengail tanpa memikirkan apakah ia akan mendapatkan ikan atau tidak,” jawab Glagah Putih.

Raden Rangga mengangguk kecil. Ia mengerti maksud Glagah Putih. Iapun tahu bahwa kadang-kadang mengail hanya merupakan laku untuk melatih diri dengan berbagai macam tujuan.

Karena itu Raden Rangga tidak bertanya lagi. Namun tiba-tiba saja ia melihat walesan kail itu tiba-tiba melengkung. Dengan sigapnya orang yang mengail itu mengatur benang kailnya untuk menguasai ikan yang telah tersangkut di kailnya.

Beberapa saat terjadi kesibukan. Namun akhirnya perlahan-lahan orang itu menguasainya juga.

“Menilik tarikan pada walesan kailnya, ikan yang didapatnya tentu ikan yang besar,” berkata Glagah Putih.

“Ya,” sahut Raden Rangga, “beruntunglah orang itu jika ia termasuk orang yang mengail karena memang mencari ikan.”

Namun kedua anak muda itu terkejut ketika mereka tiba-tiba saja melihat seorang yang berdiri di dekat kuda mereka tertambat sambil bertolak pinggang. Sementara itu tiga orang lainnya berdiri beberapa langkah daripadanya.

Menilik sikap dan pakaiannya, Glagah Putih mempunyai penilaian tersendiri. Dengan lirih ia berkata, “Seperti orang-orang yang kita temui di hutan itu. Sikapnya, pakaiannya dan kesan yang timbul pada mereka.”

“Yang akan membakar hutan itu?” bertanya Raden Rangga.

“Ya. Apakah Raden tidak mempunyai kesan demikian?” Glagah Putihpun bertanya pula.

Raden Rangga mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun bertanya, “Ki Sanak. Apakah kalian tertarik kepada kuda kami itu?”

“Ya,” sahut orang itu, “kuda kalian bagus sekali. Jarang ada orang yang memiliki kuda seperti itu.”

“Ya. Kuda itu memang kuda yang baik sekali,” jawab Raden Rangga.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian berbisik, “Jangan timbul persoalan. Waktu kita tidak terlalu banyak.”

Raden Rangga tersenyum. Namun kemudian ia berdesis, “Baiklah. Aku akan mengatakan kepadanya sehingga tidak akan ada persoalan lagi.”

Dalam pada itu orang yang berdiri di dekat kedua ekor kuda tertambat itu berkata, “Kuda ini tentu mahal sekali harganya.”

“Kami tidak membelinya,” jawab Raden Rangga, “kami menerimanya sebagai hadiah dari Panembahan Senapati.”

“Raden,” desis Glagah Putih.

“Mereka akan diam jika mereka mendengar nama itu,” sahut Raden Rangga.

Tetapi dugaan Raden Rangga itu salah. Ternyata orang itu menjadi tegang. Dipandanginya Raden Rangga dan Glagah Putih dengan pandangan yang menusuk tajam.

“Kenapa kalian mendapat hadiah dari Panembahan Senapati?” tiba-tiba saja orang itu bertanya.

Raden Rangga termangu-mangu sejenak. Ia memang menjadi bingung untuk menjawab pertanyaan itu. Namun kemudian iapun menjawab asal saja menjawab, “Kami adalah gamel yang memelihara semua kuda Panembahan Senapati. Agaknya kerja kami dianggap baik, sehingga kamipun mendapat kuda yang terdapat di istana Panembahan Senapati itu.”

Orang itu mengerutkan keningnya. Namun katanya kemudian, “Baiklah. Apapun alasannya. Jika kau termasuk orang-orang Panembahan Senapati, maka adalah kebetulan sekali. Sebenarnya aku hanya sekedar mengagumi kuda-kuda itu. Tetapi justru karena kalian adalah gamel yang memelihara kuda Panembahan Senapati, maka aku memang akan membuat perkara. Kuda-kuda itu aku minta.”

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Sementara Glagah Putih pun menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia sadar, bahwa persoalan yang sedang dihadapi itu memang bukan sekedar persoalan kuda sebagaimana pernah dihadapinya.

Namun untuk sesaat keduanya justru bagaikan membeku. Mereka hanya memandangi saja orang yang berdiri di dekat kedua ekor kuda mereka yang tertambat.

“Nah, anak-anak manis,” berkata orang itu, “tinggalkan kuda kalian. Laporkan kepada Panembahan Senapati, bahwa beberapa orang yang kebetulan kalian jumpai di Kali Opak telah merampas kuda kalian.”

Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Namun setapak ia maju sambil berkata, “Ki Sanak. Jangan begitu kasar. Kau tentu mengerti, bahwa jika kami kehilangan kuda-kuda itu, maka Panembahan Senapati tentu akan sangat marah kepada kami berdua.”

“Apakah kau menganggap bahwa yang aku lakukan ini terlalu kasar?” bertanya orang itu, “Jika demikian, bertanyalah kepada Panembahan Senapati. Apakah selama ini ia tidak bertindak terlalu kasar terhadap orang-orang dari Bang Wetan dan Pesisir?”

“Apa maksudmu?” bertanya Raden Rangga.

“Anak dungu. Kau memang tidak akan mengerti. Tetapi pergilah. Tinggalkan kuda-kuda ini, atau kalian akan mengalami nasib yang buruk. Aku dapat berbuat kasar melampaui kekasaranku sekarang ini,” berkata orang itu.

“Jangan begitu,” minta Raden Rangga, “aku akan pergi. Tetapi kembalikan kuda kami.”

“Aku memerlukan kudamu sebagai satu alasan untuk membuat perkara dengan Panembahan Senapati,” jawab orang itu.

“Kau aneh,” berkata Raden Rangga, “jika kau memang ingin membuat persoalan dengan Panembahan Senapati, kenapa kau tidak pergi saja ke Mataram. Tantang Panembahan Senapati untuk berperang tanding. Aku kira ia tidak akan menolak.”

“Jangan ajari aku!” bentak orang itu. “Pergi, atau aku akan membunuhmu.”

“Aku tidak akan pergi dan aku tidak mau dibunuh,” jawab Raden Rangga.

“Anak setan,” geram orang itu, “baiklah. Agaknya perkara yang akan terjadi akan lebih panas jika aku mengambil kudamu dan membunuhmu berdua.”

Raden Rangga menjadi marah. Dengan nada keras ia berkata, “Kaulah yang pergi. Jangan membuat aku marah. Aku dan saudaraku tergesa-gesa. Kami tidak punya waktu untuk bergurau dengan cara seperti ini.”

Orang itu pun telah membentak pula, “Tutup mulutmu setan kecil! Kau berani bersikap menantang begitu he? Kau kira aku siapa?”

Raden Rangga ternyata semakin tidak senang melihat tingkah laku orang itu. Kemarahannya agaknya tidak tertahankan lagi. Tiba-tiba saja ia sudah meraih sebutir batu sebesar telur itik. Dengan serta merta ia telah melempar orang itu dengan batu itu.

Ternyata akibatnya sangat mengejutkan. Batu itu tepat mengenai dada orang yang ingin merampas kudanya. Yang terdengar adalah keluhan kesakitan. Kemudian ternyata tubuh itu telah roboh bagaikan batang pisang yang ditebang.

“Raden,” desis Glagah Putih.

Wajah Raden Rangga menegang. Dipandanginya tiga orang yang lain yang berdiri termangu-mangu menyaksikan kawannya yang roboh itu.

Sementara itu, Raden Rangga dan Glagah Putih pun menjadi semakin gelisah. Nampaknya orang yang dikenai batu oleh Raden Rangga itu menjadi parah.

“Apakah orang itu mati?” desis Raden Rangga.

Glagah Putih tidak menyahut. Namun sementara itu Raden Rangga pun berkata, “Marilah. Kita lanjutkan perjalanan.”

Keduanya pun kemudian bergegas pergi ke kuda mereka, sementara ketiga orang kawan dari orang yang dikenai batu oleh Raden Rangga itu pun tiba-tiba menyadari keadaan. Dengan serta merta mereka telah meloncat ke arah Raden Rangga dan Glagah Putih.

Tetapi langkah mereka terhenti, ketika tiba-tiba saja Raden Rangga telah menjulurkan tangannya. Seleret sinar menyambar pasir tepian di hadapan ketiga orang yang mendekatinya itu. Tepian itu pun seakan-akan telah meledak, sehingga ketiga orang itu pun justru telah berloncatan mundur. Kesempatan itu telah dipergunakan oleh Raden Rangga dan Glagah Putih untuk mengambil kudanya dan sekaligus meloncat naik. Ketika kuda mereka mulai berpacu, Raden Rangga sempat berkata, “Lihat kawanmu. Apakah ia hidup atau mati.”

Keduanya pun segera memacu kudanya. Namun Raden Rangga masih sempat melihat orang yang sedang mengail. Orang itu berdiri dengan tubuh gemetar. Kailnya telah terlepas dari tangannya.

Sejenak kemudian kedua orang anak muda itu telah menjadi semakin jauh. Sementara ketiga orang yang termangu-mangu di tepian hanya dapat memandangi mereka sambil mengumpat. Tidak mungkin lagi untuk mengejar keduanya yang berada di atas punggung kuda yang tinggi tegar.

Dengan demikian maka yang dilakukan oleh ketiga orang itu kemudian adalah berjongkok di samping kawan mereka yang terbaring diam. Namun ternyata bahwa mereka bertiga tidak mampu lagi berbuat sesuatu. Orang itu sudah terbunuh. Dari mulutnya mengalir darah merah yang kehitam-hitaman.

Kemarahan bagaikan meledak di dada ketiga orang itu. Namun mereka tidak dapat berbuat apa-apa kecuali membawa kawannya itu meninggalkan tepian Kali Opak.

Dalam pada itu, yang sedang berpacu meninggalkan Kali Opak pun menjadi semakin jauh. Namun tiba-tiba saja Raden Rangga memperlambat kudanya sambil berdesis, “Apakah orang itu mati?”

“Entahlah,” jawab Glagah Putih, “tetapi Raden tidak mengekang serba sedikit kekuatan tenaga Raden.”

“Aku hanya melemparkannya begitu saja. Jika aku mendorongnya dengan kekuatanku, apalagi sepenuhnya, dadanya tentu akan pecah dan batu itu akan tembus,” sahut Raden Rangga.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar