Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 204

Buku 204

Ketika mereka keluar dari ujung lorong, maka Agung Sedayu mendahului para peronda, “Kami akan mengajari kuda Glagah Putih menjelajahi daerah ini di malam hari.“

Para peronda itu tertawa. Namun kemudian mereka menjadi bertanya-tanya juga. Sikap Agung Sedayu dan Glagah Putih agak lain.

“Tampaknya mereka tergesa-gesa,“ berkata salah seorang peronda.

“Mungkin,“ jawab seorang yang lain, “tetapi berempat mereka merupakan kekuatan yang tidak akan teratasi oleh siapapun juga.“

Kawan-kawannya mengangguk-angguk.

Meskipun demikian nampaknya kepergian Agung Sedayu berempat itu telah menarik perhatian. Demikian juga jika mereka melewati gardu-gardu yang lain. Rasa-rasanya mereka berempat memang agak tergesa-gesa.

Seorang diantara para pengawal Tanah Perdikan itu pun telah menyampaikannya kepada perwira yang memimpin sepasukan prajurit Mataram di Tanah Perdikan. Namun karena keterangan itu tidak cukup lengkap, maka yang dilakukan oleh pasukan itu pun hanyalah sekedar mernpersiapkan diri. Jika diperlukan setiap saat, pasukan itu mampu bergerak cepat.

Dalam pada itu, Glagah Putih telah membawa ketiga orang yang bersamanya itu memasuki hutan yang pekat. Tetapi pengenalannya yang tajam telah membawanya melalui jalan yang benar. Namun kuda-kuda mereka tidak dapat berlari kencang sebagaimana mereka berpacu di jalan-jalan bulak yang cukup lebar.

Untunglah bahwa mereka berempat memiliki kelebihan dari orang kebanyakan, sehingga betapapun gelapnya, namun mereka masih mampu menembusnya dengan ketajaman penglihatan mereka. Namun akhirnya Glagah Putih mampu menemukan tempat yang telah ditinggalkannya dalam keadaannya.

Sementara itu, terdengar suara lirih bernada rendah, “Selamat datang di tempat yang sepi ini.“

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dan ia pun telah menyahut, “Selamat malam Raden.“

Tetapi Raden Rangga itu berkata pula, “Malam telah lewat. Kita sudah memasuki dini hari. Sebentar lagi fajar akan menyingsing.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Jawabnya perlahan, “Ya Raden. Agaknya langit sudah mulai menjadi merah.“

“Marilah, duduklah,“ berkata Raden Rangga yang ternyata duduk bersandar sebatang pohon.

Keempat orang itu pun kemudian mendekatinya. Mereka pun duduk pula di antara pepohonan dalam gelapnya sisa malam menjelang pagi.

“Apakah Glagah Putih sudah menceritakan semuanya?“ bertanya Raden Rangga.

“Ya,“ jawab Agung Sedayu, “ia sudah bercerita banyak tentang hutan yang mulai terbakar dan pembunuhan yang telah dilakukannya.“

“Aku mohon kalian menilai dengan wajar,“ berkata Raden Rangga, “aku pun dibayangi kecemasan jika Ayahanda mengetahuinya. Aku sudah dianggap terlalu banyak membunuh. Pada waktu-waktu lampau mungkin aku memang sering melakukannya, bahkan sekedar untuk bermain-main tanpa menghiraukan nilai jiwa seseorang. Tetapi aku sudah banyak mendengar petunjuk Eyang Mandaraka, sehingga agaknya aku sudah mampu sedikit demi sedikit menilai tingkah lakuku sendiri. Hanya mungkin kadang-kadang aku masih kambuh kehilangan nalar. Tetapi itu sudah jarang terjadi. Kali ini pun aku sudah membuat pertimbangan-pertimbangan sebelumnya. Namun aku dan Glagah Putih memang tidak mempunyai pilihan lain.“

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Raden Rangga berkata selanjutnya, “Kalian akan dapat melihat bekas-bekas dari peristiwa itu. Mayat kesepuluh orang itu pun belum aku sentuh sama sekali. Bahkan aku telah menungguinya di sini, jika ada binatang buas yang mendekat. Agaknya memang terjadi demikian. Darah dan bau mayat telah mengundang dua ekor harimau mendekati tempat ini. Yang seekor dapat aku usir. Tetapi yang seekor agaknya sudah terlalu kelaparan sehingga harimau itu justru menyerang aku. Karena itu kalian akan melihat bahwa di antara sepuluh mayat itu terdapat bangkai seekor harimau. Aku sekarang masih lebih menghargai mayat seseorang daripada nyawa seekor harimau.“ “Baiklah Raden,“ berkata Agung Sedayu, “kita akan melihat bekas-bekas dari peristiwa yang telah terjadi itu. Aku nanti harus melaporkannya kepada Ki Gede. Namun jika kematian dua orang itu sudah membawa dendam dari lingkungannya, bagaimana dengan sepuluh orang.“

“Apakah benar begitu? Apakah yang dilakukan oleh orang-orang ini hanya karena dendam atas kematian dua orang kawannya di Tanah Perdikan ini, meskipun seorang di antaranya tidak benar-benar mati?“ bertanya Raden Rangga.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa Raden Rangga yang nakal itu mengetahui terlalu banyak tentang persoalan yang masih dirahasiakan itu.

Karena itu maka Agung Sedayu pun kemudian jawab, “Raden. Agaknya Raden sudah mengetahui apa yang terjadi di Tanah Perdikan ini dalam hubungannya dengan peristiwa di Mataram, yang menurut Raden telah Raden ketahui itu. Namun karena itu, maka aku mohon agar Raden lebih banyak menyesuaikan diri dengan rencana-rencana ayahanda Raden. Dengan demikian, maka semua rencana itu akan dapat berjalan rancak sebagaimana dikehendaki oleh ayahanda Raden sendiri Bukankah sudah beberapa kali Raden menerima teguran dan bahkan hukuman dari ayahanda Raden?“

Raden Rangga mengangguk. Katanya, “Aku mengerti. Aku tidak akan banyak berbuat dalam hal ini. Namun yang terjadi disini benar-benar di luar kehendakku. Seperti dilakukan oleh Glagah Putih, maka semuanya memang harus terjadi demikian, jika Tanah Perdikan Menoreh tidak ingin kehilangan hutannya di lereng-lereng bukit, sehingga akibatnya akan sangat parah bagi Tanah ini untuk waktu yang lama.“

Agung Sedayu mengangguk kecil. Di luar sadarnya ia telah berpaling ke arah yang ditunjukkan oleh Glagah Putih sebagai tempat peristiwa yang diceritakan itu terjadi.

Raden Rangga pun kemudian bangkit sambil berkata, “Marilah. Kita akan mendekat.“

Mereka pun kemudian beringsut mendekat. Sambil menuntun kudanya Glagah Putih berjalan di depan Agung Sedayu bersama Raden Rangga, sementara Sekar Mirah dan Kiai Jayaraga berada di belakang.

Sementara itu, langit memang sudah nenjadi merah. Cahaya fajar menjadi semakin terang, sehingga orang-orang yang berada di dalam hutan itu tidak lagi harus merayap di dalam kelamnya malam.

Ketika kemudian matahari terbit, maka Agung Sedayu, Kiai Jayaraga dan Sekar Mirah melihat apa yang telah terjadi di tempat itu. Dedaunan dan ranting-ranting serta kekayuan kering yang teronggok. Namun mereka sudah melihat bekas api yang mulai menjalar membakar sebatang pohon raksasa serta menjalar meluas di bawah pohon itu

Kiai Jayaraga yang berdiri di sebelah Sekar Mirah itupun berdesis, “Memang tidak ada kesempatan untuk mempergunakan nalar sebaik-baiknya.”

Sekar Mirah berpaling ke arah Kiai Jayaraga. Namun orang itu sedang mengamati bekas-bekas api yang menghitam dengan sungguh-sungguh. Namun Sekar Mirah itu pun tersenyum dan berkata kepada diri sendiri, “Kiai Jayaraga agaknya membela sikap muridnya.“

Namun Sekar Mirah sendiri dapat menilai apa yang terjadi, sementara ketika ia memandang berkeliling, ia mulai melihat sosok-sosok tubuh yang membeku.

Agung Sedayu-lah yang kemudian berkata, “Agaknya telah terjadi perkelahian yang seru.“

“Kami berusaha mencegah mereka membakar hutan,“ jawab Raden Rangga, “tetapi orang-orang itu bagaikan menjadi gila, sementara api mulai menjalar.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sejenak kemudian iapun telah melangkah mendekati orang-orang yang terbaring diam itu setelah mengikat kudanya pada sebatang pohon perdu. Demikian pula yang dilakukan oleh Kiai Jayaraga dan Sekar Mirah. Bahkan Glagah Putih sendiri, karena Glagah Putih belum sempat memperhatikan mereka.

“Sepuluh orang,“ desis Agung Sedayu. Lalu, “Dan seekor harimau.“

Raden Rangga mengangguk.

“Baiklah Raden,“ berkata Agung Sedayu, “aku harus melaporkannya kepada Ki Gede. Namun agaknya peristiwa ini justru harus disebar-luaskan.“

“Agung Sedayu,“ berkata Raden Rangga dengan sungguh-sungguh, “apakah kau mau sedikit melindungi namaku? Aku tidak tahu, apakah Ayahanda akan marah kepadaku atau tidak. Tetapi lebih baik hal ini tidak didengar oleh Ayahanda.“

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Baiklah Raden. Aku akan mengambil alih tanggung jawab Raden. Biarlah disebut aku dan Glagah Putih yang telah membunuh orang-orang ini. Tetapi kematian orang-orang ini akan sedikit mengurangi kemungkinan urungnya usaha-usaha yang dilakukan di Mataram.“

“Jika demikian, apakah memang sudah seharusnya orang-orang ini ditumpas?“ bertanya Raden Rangga.

“Sebenarnya tidak perlu Raden,“ jawab Agung Sedayu, “seandainya kita menangkap mereka pun akan dapat mempunyai akibat yang sama, jika kita sebut mereka sudah terbunuh dan kita kuburkan di hutan ini. Sementara orang-orang yang tertangkap itu dengan diam-diam disembunyikan di rumah Ki Gede sampai persoalan yang sebenarnya selesai.“

“Kenapa harus berbelit-belit begitu? Bukankah dengan kematian mereka, kita justru telah terbebas dari segala macam tanggung jawab?“ bertanya Raden Rangga.

Agung Sedayu tidak menjawab. Namun iapun mengerutkan keningnya.

Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba katanya dalam nada rendah, “Maaf, aku sudah mulai kambuh lagi.“

“Beruntunglah Raden menyadari langkah-langkah yang sudah Raden ambil,“ berkata Agung Sedayu.

“Ada juga gunanya aku tinggal bersama Eyang Mandaraka,“ berkata Raden Rangga. Namun kemudian katanya, “Sudahlah. Sebenarnya aku hanya ingin melihat-lihat apa yang sebenarnya terjadi di Tanah Perdikan ini, sehingga sepasukan prajaurit Mataram harus berada di sini, meskipun aku tahu latar belakang dari pengiriman pasukan itu. Namun ternyata aku harus mengotori tanganku lagi dengan kematian beberapa orang.“

“Tetapi Raden sudah mampu menilai apa yang terjadi,“ berkata Agung Sedayu.

Raden Rangga tersenyum. Katanya, “Aku minta diri, justru sebelum peristiwa ini didengar oleh Ki Gede Menoreh.“

Tetapi Agung Sedayu kemudian berkata, “Tidak apa-apa Raden. Ki Gede harus tahu apa yang sebenarnya terjadi. Tetapi Ki Gede pun akan bersikap seperti kami dan mengiakan, bahwa aku dan Glagah Putih-lah yang bertanggung jawab atas kematian orang-orang itu, sehingga Raden tidak akan mendapat hukuman dari Ayahanda.“

Raden Rangga termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Terima kasih. Tetapi biarlah aku tidak terlalu lama dicari Eyang Mandaraka karena aku tidak ada di rumah. Salamku buat Ki Gede.“

Agung Sedayu tidak dapat lagi mencegah Raden Rangga yang tergesa-gesa meninggalkan hutan itu. Langit yang sudah menjadi cerah telah mendorongnya untuk segera kembali ke Mataram.

Karena itu, maka sejenak kemudian anak muda itupun telah hilang di balik dedaunan dan pepohonan di hutan yang pekat itu.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun sejenak kemudian ia pun telah mulai mengamati keadaan. Sebenarnyalah bahwa keadaan memang sudah sangat gawat, sehingga Raden Rangga dan Glagah Putih tidak sempat membuat perhitungan-perhitungan lain kecuali membunuh lawan-lawannya yang ternyata tidak berusaha untuk melarikan diri.

Orang-orang yang berada di hutan itu memang menjadi sangat kagum mendengar cerita Glagah Putih tentang kemampuan Raden Rangga yang mampu memadamkan api.

“Dari tangannya yang terbuka, seakan-akan memancar udara yang basah mengandung air, yang membuat api yang sudah mulai menjalar ke atas dan melebar itu menjadi semakin susut dan akhirnya padam. Namun keadaan Raden Rangga sendiri ternyata telah menjadi gawat. Untunglah keadaan tubuhnya sempat diatasi,“ berkata Glagah Putih.

“Bermacam-macam ilmu tersimpan di dalam dirinya,” desis Agung Sedayu, “sehingga orang lain tidak dapat mengertinya. Apalagi cara Raden Rangga menguasai ilmunya itu.“

Yang lain mengangguk-angguk. Memang anak muda itu adalah anak muda yang aneh.

Sementara itu, Agung Sedayu agaknya telah selesai mengamati keadaan. Ia pun kemudian berkata kepada Kiai Jayaraga dan Sekar Mirah, “Aku akan menemui Ki Gede. Aku harus melaporkan apa yang telah terjadi dan menyebar-luaskan, sehingga jika kawan-kawan dari sepuluh orang ini mendengar peristiwanya, mereka menganggap bahwa kematian mereka berarti bahwa rahasia mereka tidak didengar oleh orang-orang Tanah Perdikan.“

“Apakah kami harus menunggu di sini?“ bertanya Sekar Mirah.

“Ya. Aku akan membawa beberapa orang untuk menguburkan mayat-mayat itu,“ jawab Agung Sedayu.

“Apakah aku harus ikut, Kakang?“ bertanya Glagah Putih.

“Tidak. Kau tinggal di sini bersama Kiai Jayaraga dan Mbokayumu. Mungkin kau diperlukan di sini,“ jawab Agung Sedayu.

Glagah Putih hanya mengangguk saja, sementara itu Agung Sedayu pun telah menuntun kudanya meninggakan tempat itu.

Sejenak kemudian Agung Sedayu telah menghadap Ki Gede Menoreh. Perjalanan Agung Sedayu yang nampak tergesa-gesa memang menarik perhatian. Seorang anak muda yang melihat Agung Sedayu menjelang dini hari berkuda bersama tiga orang lainnya ketika ia berada di gardu dan kemudian melihat lagi Agung Sedayu berkuda seorang diri, merasa heran. Tetapi anak muda itu tidak sempat bertanya sesuatu.

Kedatangan Agung Sedayu dengan tergesa-gesa di rumah Ki Gede pun memang agak mengejutkan. Karena itu, maka Ki Gede dengan berdebar-debar menerimanya di pendapa. Hampir tidak sabar Ki Gede bertanya, “Ada apa?”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian ia pun mulai melaporkan apa yang terjadi sesuai dengan peristiwanya sendiri. Baru kemudian ia berkata, “Tetapi Raden Rangga minta, agar namanya tidak disebut-sebut dalam peristiwa itu, karena jika ayahandanya atau barangkali Ki Mandaraka mendengarnya, mungkin sekali ia akan menerima hukuman.“

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun bergumam, “Tetapi Raden Rangga sudah menyelamatkan Tanah Perdikan ini dari peristiwa yang dapat menimbulkan bencana.“

“Ya, Ki Gede. Tetapi Raden Rangga minta dengan sangat,“ jawab Agung Sedayu.

“Baiklah. Seterusnya kita akan pergi ke tempat itu,“ berkata Ki Gede, “aku akan berkemas.“

“Bersama beberapa orang Ki Gede, mayat itu harus dikuburkan.“

Ki Gede mengangguk-angguk. Lalu katanya. “Baiklah. Aku akan memerintahkan beberapa orang untuk menyusul kita dengan membawa alat-alat yang diperlukan.“

Demikianlah, Ki Gede telah membenahi dirinya sesaat. Kemudian bersama beberapa anak muda dan bebahu Tanah Perdikan, merekapun telah berkuda menuju ke tempat kejadian, sementara beberapa orang diperintahkannya untuk menyusul dengan ancar-ancar sebagaimana disebutkan oleh Agung Sedayu.

Peristiwa yang mendebarkan itu pun segera tersebar di Tanah Perdikan Menorah. Namun yang disebut-sebut kemudian adalah Agung Sedayu dan Glagah Putih.

“Aku melihat malam itu, menjelang dini, Agung Sedayu berkuda berempat dengan tergesa-gesa. Apakah saat itu orang-orang yang akan membakar hutan itu sudah terbunuh?“ bertanya seorang anak muda kepada kawannya.

“Kita sama-sama di gardu.“ jawab kawannya.

“O, ya,“ desis yang pertama.

“Tetapi aku tidak tahu, kapan peristiwa itu terjadi. Sebelum atau sesudahnya,“ berkata kawannya itu.

Merekapun kemudian terdiam. Tidak seorangpun yang mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Namun mereka mendengar bahwa sepuluh orang sudah terbunuh ketika orang-orang itu mencoba membakar hutan.

Dalam pada itu, Ki Gede dan sekelompok orang-orang Tanah Perdikan itu pun telah memasuki hutan menuju ke tempat kejadian.

Ketika mereka menjadi semakin dekat, maka mereka pun segera turun dari kuda-kuda mereka dan menambatkannya pada pohon-pohon perdu yang bertebaran, sementara Ki Gede dengan jantung yang berdebaran mengikuti Agung Sedayu mendekati tempat yang disebut oleh Agung Sedayu itu.

Sekar Mirah dan Kiai Jayaraga pun telah menyambut kedatangan Ki Gede, sementara Glagah Putih berdiri termangu-mangu beberapa puluh langkah di sebelah pohon yang mulai terbakar itu.

Ki Gede menjadi tegang melihat bekas jilatan api yang telah mulai memanjat sebatang pohon raksasa itu, serta bekasnya yang merayap melebar di sekitar pohon itu. Bahkan dengan nada berat Ki Gede itu pun berkata, “Seandainya hutan itu terbakar, aku tidak tahu, apa yang bakal terjadi dengan Tanah Perdikan Menoreh.“

“Bencana,“ jawab seseorang bebahu yang menyertainya.

“Ya,“ jawab Ki Gede, “untunglah bahwa hal ini dapat diatasi.“

“Kita memang wajib bersyukur,“ desis Agung Sedayu, “ternyata bahwa Yang Maha Agung masih selalu melindungi Tanah Perdikan Menoreh ini.“

“Ya. Kita wajib mengucap syukur,“ Ki Gede mengangguk-angguk.

Namun dalam pada itu, maka Ki Gede pun telah melihat sosok-sosok tubuh yang terbaring diam. Ia pun segera mengerti, bahwa orang-orang itulah yang telah berusaha untuk membakar hutan dan yang telah dicegah oleh Raden Rangga dan Glagah Putih.

Sambil melihat-lihat keadaan di tempat itu, Ki Gede pun menunggu beberapa orang yang sudah diperintahnya untuk menyusul sambil membawa peralatan untuk mengubur mereka yang telah terbunuh di tempat itu.

Namun dalam pada itu, tiga orang prajurit dari pasukan Mataram yang ada di Tanah Perdikan Menoreh itu pun telah datang pula ke tempat itu, bersama beberapa orang yang sedang ditunggu-tunggu oleh Ki Gede.

Ketiga orang perwira itu pun melihat bekas-bekas peristiwa itu dengan hati yang berdebar-debar. Merekapun dapat membayangkan apa yang bakal terjadi jika pembakaran hutan itu tidak dapat dicegah.

“Nampaknya mereka tidak sekedar bermain-main Ki Gede,“ berkata salah seorang prajurit itu.

“Ya,“ jawab Ki Gede, “mereka agaknya memang bersungguh-sungguh.”

“Karena itu, sesudah mereka terbunuh semuanya di sini, mungkin masih akan datang orang-orang berikutnya yang membawa dendam berlipat ganda,“ jawab perwira itu.

Ki Gede mengangguk-angguk. Namun bahwa semua orang yang terlibat itu terbunuh, mereka tidak akan mendapat keterangan, apakah orang-orang itu benar-benar mendendam, atau seperti yang diperhitungkan, sekedar menarik perhatian.

Setelah meiihat peristiwa itu dengan seksama serta mempunyai gambaran yang lengkap menilik tempat-tempat mayat yang berserakan itu, maka Ki Gede pun telah memerintahkan orang-orang yang datang kemudian dengan membawa alat-alat secukupnya itu untuk menguburkannya.

Dalam pada itu, Ki Gede yang sudah merasa cukup melihat dan mengamati keadaan itu pun telah meninggalkan tempat itu bersama para bebahu. Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Kiai Jayaraga pun telah menyertainya pula. Demikian pula para perwira prajurit Mataram yang telah datang pula ke tempat itu.

Hanya Glagah Putih-lah yang tinggal menunggui orang-orang yang masih menyelesaikan pekerjaan mereka. Karena Agung Sedayu sudah mengisyaratkan, agar orang-orang itu tidak ditinggalkan begitu saja. Jika kemungkinan masih ada kawan-kawan dari orang-orang yang terbunuh itu berkeliaran, mereka akan sangat berbahaya bagi mereka yang ditinggalkan.

Namun ternyata bahwa tidak ada gangguan sama sekali terhadap orang-orang yang sedang menguburkan mayat-mayat itu. Bahkan ketika mereka kembali ke padukuhan, mereka telah membawa tubuh harimau yang telah terbunuh oleh Raden Rangga, karena kulitnya akan merupakan barang yang berharga.

Sementara itu, Agung Sedayu ternyata langsung menuju ke rumah Ki Gede, sementara Sekar Mirah dan Kiai Jayaraga kembali ke rumah mereka. Masih ada beberapa hal yang perlu dibicarakan dengan Ki Gede. Terutama mengenai kematian orang-orang itu.

“Apakah hal itu perlu segera dilaporkan kepada Panembahan Senapati atau tidak? Sebenarnya Panembahan Senapati perlu segera mengetahui pesoalan ini,“ berkata Ki Gede. “Mungkin Panembahan Senapati yang memiliki pengamatan yang tajam serta perhitungan yang mapan karena kecerdasan daya penalarannya, mempunyai pendapat tertentu.“

“Tetapi apakah harus dilakukan perjalanan dengan diam-diam?“ desis Agung Sedayu, “Bukankah wajar jika kita melaporkan persoalan ini kepada Panembahan Senapati, apalagi Panembahan Senapati memang telah menempatkan pasukannya di sini. Bahkan seandainya masih ada kawan-kawan dari orang-orang yang terbunuh itu di Tanah Perdikan ini, maka ia pun tentu sudah akan memberitahukan kepada kawan-kawannya yang lain, yang mungkin memang ada sangkut pautnya dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi di Mataram.“

Ki Gede mangangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Baiklah Agung Sedayu. Kita memang harus segera menghubungi Mataram. Bahkan kau akan dapat pergi dengan seorang di antara prajurit Mataram. Kami tidak tahu, sikap apakah yang akan diambil jika perjalanan kalian nanti diketahui oleh orang-orang yang masih diselubungi rahasia itu. Namun menurut perhitungan kita, kedatanganmu di Mataram bersama perwira itu tidak akan berpengaruh atas rencana besar mereka. Bahkan mereka tentu mengharap bahwa perhatian Panembahan Senapati akan lebih tertuju ke Tanah Perdikan ini.“

“Ya Ki Gede. Tetapi entah pula sikap mereka, jika orang-orang yang terbunuh itu benar-benar sekelompok orang yang mendendam karena kematian kawan-kawannya, dan tidak ada sangkut pautnya dengan rencana yang disusun dan dihadapkan kepada Mataram.”

Ki Gede Menoreh mengangguk kecil. Bahwa semua orang yang terlibat dalam pembakaran hutan itu telah terbunuh semuanya, maka mereka tidak dapat lagi menelusuri, apakah yang sebenarnya sedang mereka lakukan.

Namun dengan demikian, maka baik Ki Gede sendiri maupun Agung Sedayu berpendapat, bahwa mereka harus segera menghubungi Mataram.

“Biarlah Kiai Jayaraga berada di Tanah Perdikan,“ berkata Ki Gede, “jika benar terjadi sesuatu, maka Kiai Jayaraga dan Sekar Mirah akan dapat mengatasinya bersama dengan Glagah Putih, bersama para pengawal Tanah Perdikan ini.“

Agung Sedayu mengangguk kecil. Karena itu, maka katanya, “Baiklah Ki Gede. Aku akan segera berangkat. Sebaiknya Ki Gede memanggil senapati Mataram yang berada di Tanah Perdikan ini, dan minta agar ditunjuk salah seorang di antara mereka untuk pergi bersamaku menghadap Panembahan Senapati.“

Sementara Ki Gede menghubungi para perwira prajurit Mataram yang ditempatkan di Tanah Perdikan, maka Agung Sedayu telah memerlukan kembali pulang sejenak untuk berkemas dan minta diri kepada Sekar Mirah.

Sejenak kemudian, maka dua orang telah meninggalkan padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh menuju ke Mataram. Kuda-kuda mereka berpacu di atas jalan-jalan berbatu. Meskipun tidak dengan kecepatan penuh, namun kuda-kuda itu berlari mendahului beberapa orang berkuda yang melintasi jalan itu pula.

Di perjalanan Agung Sedayu dan seorang perwira dari Mataram itu melihat bahwa kehidupan di Tanah Perdikan itu memang agak terpengaruh oleh peristiwa yang baru terjadi semalam. Pasar-pasar terasa susut, meskipun banyak juga orang yang tetap mempercayakan keselamatannya kepada para pengawal yang dirasanya cukup kuat.

“Tidak ada kekuatan yang dapat menembus pertahanan Tanah Perdikan ini,“ berkata seorang pedagang yang tetap menjajakan dagangannya dipasar kepada kawannya yang ragu-ragu.

“Tetapi menurut pendengaranku, mereka sudah membakar hutan,“ jawab kawannya itu.

“Siapa bilang?“ jawab yang pertama, “Sepuluh orang telah dibunuh oleh Agung Sedayu dan Glagah Putih. Mereka tidak sempat membakar hutan, meskipun mereka sudah menimbun seonggok dedaunan dan kayu-kayu kering di bawah sebatang pohon raksasa. Jika pohon raksasa itu terbakar, maka pohon-pohon sebelah-menyebelahnya pun akan terbakar juga. Apalagi pohon-pohon perdu dan batang-batang yang lebih kecil, sebangsa batang ilalang.“

Kawannya mengangguk-angguk. Sementara orang yang pertama berkata selanjutnya, “Karena itu, aku percaya kepada para pengawal, kepada Agung Sedayu, istrinya, dan Glagah Putih, serta orang tua yang tinggal bersama mereka itu. Selain mereka masih ada juga Ki Gede sendiri.“

“Ya. Kau benar,“ jawab kawannya. Namun masih juga nampak keragu-raguannya. Katanya, “Tetapi biarlah besok saja aku menjajakan seluruh daganganku, hari ini aku memang tidak bersedia.“

Yang pertama tertawa. Katanya, “Kau memang penakut.“

Kawannya mengerutkan keningnya Namun ia pun tersenyum sambil berkata, “Bukan karena penakut. Tetapi anakku sepuluh orang. Jika terjadi sesuatu dengan aku bagaimana nasib anak-anakku itu.“

Orang yang pertama masih saja tertawa. Tetapi ia tidak menyahut lagi, karena ia pun telah sibuk melayani para pernbeli. Justru karena jumlah penjual di pasar itu susut, pedagang itu tidak terlalu banyak mempunyai saingan, sehingga pembeli pun menjadi lebih banyak.

Dalam pada itu, perjalanan Agung Sedayu dan seorang perwira dari Mataram itu pun semakin lama menjadi semakin jauh Mereka telah melewati padukuhan demi padukuhan menuju tempat penyeberangan di Kali Praga.

Tidak ada hambatan sama sekali yang menghalangi perjalanan mereka. Anak-anak muda yang bertemu di perjalanan pun bertanya, apakah yang akan mereka lakukan.

Agung Sedayu tidak menjawab dengan jelas, meskipun ia berkata juga, “Memberikan laporan tentang peristiwa semalam ke Mataram.“

Tetapi anak-anak itu pada umumnya tidak sempat bertanya lebih lanjut karena Agung Sedayu tidak menghentikan kudanya.

Beberapa saat kemudian. kedua orang itu pun telah sampai di penyeberangan. Mereka tidak perlu menunggu terlalu lama, karena beberapa rakit hilir mudik membawa orang-orang yang menyeberang ke sebelah timur atau ke sebelah barat Kali Praga.

Ketika mereka memasuki Mataram, maka mereka tidak meiihat pertanda apapun bahwa awan yang kelabu sedang mengambang di atas langit Kota Raja yang menjadi semakin ramai itu. Kegiatan kehidupan sehari-hari berjalan seperti biasa. Pasar-pasar pun ramai dikunjungi orang. Di jaian-jalan raya nampak hilir mudik para pejalan kaki, beberapa orang berkuda dan bahkan pedati-pedati.

Tanpa mendapat kesulitan apapun, maka Agung Sedayu dan perwira prajurit dari pasukan Mataram yang berada di Tanah Perdikan itu telah masuk ke istana. Namun ternyata bahwa yang diterima oleh Panembahan Senapati justru hanyalah Agung Sedayu saja.

Dengan singkat Agung Sedayu menceritakan apa yang telah terjadi di Tanah Perdikan. Namun sebagaimana yang dijanjikannya kepada Raden Rangga, ia sama sekali tidak menyebut nama Raden Rangga dalam peristiwa itu.

Sebenarnyalah bagi Panembahan Senapati, siapapun yang melakukannya, agaknya memang tidak penting. Tetapi peristiwa itu memang perlu mendapat perhatian.

Namun Panembahan Senapati pun juga memperhitungkan kemungkinan, bahwa yang melakukan pengacauan di Tanah Perdikan itu benar-benar orang yang mendendam. Tetapi firasatnya mengatakan kepadanya bahwa kemungkinan yang terbesar adalah, bahwa yang terjadi itu ada hubungannya langsung dengan kehadiran beberapa orang di dalam lingkungan Istana Mataram. Karena itu, maka laporan yang diberikan oleh Agung Sedayu itu dianggapnya sangat berarti baginya.

“Agung Sedayu,“ berkata Panembahan Senapati kemudian, “kalian harus berusaha untuk mengatasi persoalan kalian sebaik-baiknya. Para prajurit Mataram di Tanah Perdikan itu dapat kalian manfaatkan benar-benar. Bukan sekedar permainan sebagaimana kita lakukan. Namun jika keadaan menuntutnya, maka mereka dapat diberi beban yang sesuai dengan tugas keprajuritan mereka.“

“Hamba Panembahan,“ berkata Agung Sedayu, “kami akan berusaha sejauh dapat kami lakukan. Namun sebenarnyalah yang terjadi di Tanah Perdikan itu masih tetap gelap bagi kami.“

“Kita sama-sama dihadapkan kepada satu masalah yang masih harus dipecahkan. Itulah sebabnya kita berusaha menjebak mereka, agar kita mendapat sedikit keterangan tentang mereka. Meskipun mungkin orang-orang itu tidak akan memberikan banyak keterangan atau bahkan keterangan yang menyesatkan. Tetapi dengan berbagai cara, mungkin pada suatu saat kita menemukan titik-titik terang dari kabut yang samar ini,“ berkata Panembahan Senapati.

Agung Sedayu mengangguk hormat. Setelah menerima beberapa pesan, maka Agung Sedayu pun kemudian mohon diri untuk kembali ke Tanah Perdikan.

“Kau tidak bermalam di sini?“ bertanya Panembahan Senapati.

“Terima kasih Panembahan. Hamba mohon diri. Mungkin ada tugas yang harus hamba lakukan malam nanti di Tanah Perdikan,“ jawab Agung Sedayu.

Panembahan Senapati tidak dapat menahannya. Ia pun kemudian melepaskan Agung Sedayu kembali ke Tanah Perdikan.

Sepeninggal Agung Sedayu, Panembahan Senapati telah memanggil Ki Mandaraka. Setelah diuraikan segala sesuatunya, dengan nada dalam Panembahan berkata, “Kita tidak dapat menemukan garis yang tegas dari peristiwa di Tanah Perdikan itu, dalam hubungannya dengan orang-orang yang memasuki istana ini Paman. Tetapi rasa-rasanya ada sesuatu yang telah menggelitik hati. Seakan-akan yang terjadi di Tanah Perdikan itu merupakan pertanda, bahwa kita pun harus bersiaga sepenuhnya. Aku masih tetap merahasiakan kehadiran orang-orang itu selain terhadap para prajurit Pengawal Khusus dan Pelayan Dalam. Mudah-mudahan segalanya cepat berlangsung, sehingga kita tidak selalu dibayangi oleh ketegangan-ketegangan.“

Ki Mandaraka mengangguk-angguk. Katanya, “Kadang-kadang firasat di dalam diri kita merupakan petunjuk yang pantas kita perhatikan. Jika demikian, kita memang harus bersiap. Pembakaran hutan adalah puncak perbuatan kasar.“

“Baiklah Paman. Aku mohon kita benar-benar bersiap,“ berkdta Panembahan Senapati, “sebab aku yakin bahwa peristiwa ini merupakan bagian dari lakon yang panjang, yang telah disusun oleh sekelompok orang yang tidak menyukai pemerintahanku. Jika kita berhasil mendapat sedikit keterangan, maka kita akan dapat merubah susunan lakon itu.“

Ki Patih Mandaraka mengangguk-angguk. Katanya, “Peristiwa di Tanah Perdikan itu merupakan isyarat. Kita memang harus berhati-hati. Para prajurit yang mendapat kepercayaan Panembahan harus mendapat perintah-perinah baru untuk menyegarkan sikap mereka. Mungkin beberapa orang di antara mereka justru menjadi lengah karena selama ini tidak terjadi sesuatu.“

“Baiklah Paman,“ jawab Panembahan, “aku akan berbicara dengan Panglima Pasukan Pengawal itu.“

Ketika Panembahan Senapati memangggil Panglima Pasukan Pengawal Khusus dan Pelayan Dalam, maka Agung Sedayu dan seorang perwira prajurit Mataram di Tanah Perdikan Menoreh sudah keluar dari gerbang Kota Raja.

Namun langkah kuda mereka tertegun ketika mereka melihat seorang anak muda berdiri di atas tanggul parit di pinggir jalan. “Raden Rangga.”

Agung Sedayu dan perwira itu pun telah meloncat turun dari kuda mereka, sementara Raden Rangga tersenyum, sambil berkata, “Ternyata kau memerlukan seorang pengawal.“

“Maksudku aku memang memerlukan seorang kawan, Raden. Bukan pengawal,” jawab Agung Sedayu.

“Ya. Ya,“ Raden Rangga mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia pun bertanya, “Kau sudah melaporkannya kepada Ayahanda?”

“Sudah,“ jawab Agung Sedayu.

Anak muda itu agaknya masih akan bertanya lagi. Tetapi karena ada seorang pengawal yang hadir. maka Raden Rangga menjadi segan mengucapkannya.

Namun agaknya Agung Sedayu dapat menangkapnya. Lalu katanya, “Aku sudah melaporkan kepada Ayahanda Raden, bahwa aku dan Glagah Putih dengan terpaksa membunuh sepuluh orang itu, tanpa dapat menangkap seorangpun yang masih hidup untuk didengar keterangannya.”

Raden Rangga mengeruikan keningnya. Namun iapun kemudian mengangguk-angguk.

“Baiklah,“ berkata Raden Rangga, “salamku kepada Glagah Putih. Mudah-mudahan aku masih akan dapat bertemu lagi.“

Wajah Agung Sedayu menegang. Namun kemudian katanya, “Jangan berkata begitu Raden. Apakah sebabnya Raden mengatakannya?“

Wajah Raden Rangga tiba-tiba menjadi muram. Katanya, “Yang ada padaku bukanlah milikku.“

“Apa maksud Raden?“ bertanya Agung Sedayu.

“Dalam keadaan yang cukup lelah, aku telah tertidur sebentar. Semuanya nampak asing di dalam mimpi. Jalan itu nampak kembali terbentang di hadapanku. Panjang sekali. Dan perempuan dalam kereta yang mewah dalam pakaian yang gemerlapan dengan wajah ibuku itu, melambaikan tangannya dari atas ombak yang bertebaran di ujung jalan yang sangat panjang itu.“ Raden Rangga tertunduk. Lalu katanya, “Sampaikan kepada Glagah Putih tentang mimpiku. Aku sudah banyak bercerita kepadanya.“

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun Raden Rangga pun kemudian berkata, “Selamat jalan. Langit cerah dan udara terasa segar.“

Agung Sedayu dan perwira itu tidak menjawab. Mereka kemudian melihat Raden Rangga berkisar dan melangkah meninggalkan mereka.

“Anak yang aneh,“ berkata perwira itu.

Agung Sedayu memandang langkah anak muda itu. Semakin lama semakin jauh. Bahkan seakan-akan langkah itu tidak akan berhenti lagi.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam ketika perwira itu kemudian berkata, “Marilah. Kita tidak terlalu dirisaukan lagi oleh anak itu. Pada saat-saat terakhir ia sudah mulai tenang setelah ia tinggal bersama Ki Patih Mandaraka.“

Agung Sedayu mengangguk. Katanya, “Ya. Memang sudah nampak ada perubahan padanya.“

Keduanyapun kemudian melanjutkan perjalanan mereka. Namun tanpa disadari, perjalanan mereka menjadi semakin cepat. Rasa-rasanya Agung Sedayu ingin segera berbicara dengan Glagah Putih tentang pesan Raden Rangga.

Perwira yang pergi bersama Agung Sedayu itu hanya menyesuaikan dirinya saja. Kudanya pun berlari semakin cepat pula. Karena itu, maka keduanya seakan-akan telah berpacu menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Apalagi ketika mereka sudah menyeberangi Kali Praga. Sehingga perwira itu kemudian bertanya, “Apakah ada hadiahnya bagi kita yang lebih dahulu mencapai pedukuhan induk?“

“O,“ Agung Sedayu tersadar. Ia pun mengurangi kecepatan kudanya. Namun perlahan-lahan di luar sadarnya, perjalanan mereka menjadi semakin cepat kembali.

Ketika mereka sampai di padukuhan induk, dan setelah Agung Sedayu melaporkan pertemuannya dengan Panembahan itu kepada Ki Gede, maka Agung Sedayu pun segera minta diri.

“Baiklah Agung Sedayu,“ berkata Ki Gede, “tidak urung kau jugalah yang akan melaksanakan. Lakukanlah sebaik-baiknya, agar ketenangan Tanah Perdikan ini tidak terlalu terganggu.“

“Baik Ki Gede. Aku akan melakukannya bersama para pengawal Tanah Perdikan dan para prajurit Mataram yang berada di Tanah Perdikan ini,“ berkata Agung Sedayu yang menghadap Ki Gede seorang diri, sebagaimana pesan itu disampaikan oleh Panembahan Senapati. Sedangkan perwira yang menyertainya berada di pendapa, menikmati hidangan yang telah disuguhkan.

Ketika Agung Sedayu kemudian keluar dari ruang dalam, maka perwira itu pun minta diri pula untuk kembali ke induk pasukannya.

“Untunglah, aku seorang prajurit,“ berkata perwira itu.

“Kenapa?“ bertanya Agung Sedayu.

“Seandainya aku bukan seorang prajurit, aku tentu merasa tersinggung karena dalam perjalanan ini aku sama sekali tidak mengetahui persoalan yang kalian bicarakan. Baik di Tanah Perdikan ini maupun di Mataram, meskipun aku seorang perwira prajurit Mataram.“

“Maaf,“ sahut Agung Sedayu, “bukan maksudku.“

“Aku mengerti,“ jawab prajurit itu sambil tertawa, “seperti aku katakan, aku adalah seorang prajurit.“

Keduanya pun berpisah. Sementara Agung Sedayu dengan tergesa-gesa kembali pulang. Untunglah baginya, bahwa Glagah Putih sedang ada di rumah. Karena itu, maa iapun dapat langsung bercerita tentang Raden Rangga itu.

Wajah Glagah Putih menjadi tegang. Ia sudah sering berbincang tentang hidup dan kehidupan Raden Rangga. Karena itu, ia memang merasa cemas mendengar pesan itu. Ada sesuatu yang menggelitiknya untuk pergi. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia berkata, “Aku akan pergi Kakang.“

“Kemana?“ Sekar Mirah-lah yang bertanya pertama-tama, meskipun ia sudah menangkap maksudnya.

“Aku akan menemuinya,“ jawab Glagah Putih.

“Kau akan ke Mataram?“ bertanya Agung Sedayu menegaskan.

“Ya,“ jawab Glagah Putih.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Baiklah Glagah Putih. Tetapi berhati-hatilah. Kemelut yang terjadi nampaknya cukup panas meskipun masih terselubung. Kau merupakan orang yang tentu menjadi sasaran, jika benar-benar ada tuntutan pembalasan dendam karena kau sudah dua kali melakukan pembunuhan.“

Glagah Putih mengangguk. Sementara itu Kiai Jayaraga bertanya, “Bukan maksudku memperkecil pribadimu. Tetapi aku ingin bertanya, apakah kau akan pergi sendiri atau bersama orang lain.“

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun ia menjawab, “Sulit bagi Raden Rangga untuk dapat menerima kehadiran orang lain.“

“Baiklah.“ berkata Kiai Jayaraga, “kau memang sudah pantas untuk pergi sendiri, dan kaupun telah pernah melakukannya dan ternyata kau berhasil mengatasi kesulitan yang terjadi di perjalanan. Namun kali ini kau harus mempersiapkan dirimu lebih baik, justru karena persoalan yang timbul di Tanah Perdikan ini dan di Mataram. Karena itu, siapkan semua bekal, termasuk ikat pinggang yang pernah kau terima dari Mataram itu.“

“Baiklah Kiai,“ jawab Glagah Putih, “aku mohon restu.”

Demikianlah. maka Glagah Putih pun telah mohon diri dan mohon restu kepada kakak sepupunya serta mbokayunya pula. Kemudian dengan kudanya yang tegap tegar pemberian Raden Rangga, Glagah Putih pun berpacu menuju Mataram.

Ternyata kudanya benar-benar seekor kuda yang luar biasa. Kuda itu berpacu seperti angin. Sehingga karena itu, maka kepergian Glagah Putih telah banyak menarik perhatian. Apalagi Glagah Putih tidak memperlambat kudanya jika ia berpapasan dengan kawan-kawannya, meskipun anak muda itu tetap mengangguk, tersenyum dan bahkan menyapa mereka.

Sebagaimana Agung Sedayu, maka Glagah Putih pun tidak menemui hambatan apapun di perjalanan, sehingga ia telah mencapai tepian Kali Praga. Iapun tidak perlu menunggu terlalu lama. Sejenak kemudian, iapun telah berada di atas sebuah rakit yang akan membawanya menyeberang.

Namun ternyata bahwa kudanya memang telah menarik perhatian orang-orang yang bersamanya dalam satu rakit. Seorang yang mengaku sebagai seorang saudagar ternak dan kuda, memperhatikan kuda Glagah Putih itu dengan saksama. Sambil tersenyum-senyum ia berkata, “Kuda yang sangat bagus anak muda. Berapa kau membelinya?”

“Aku tidak membelinya, Ki Sanak,“ jawab Glagah Putih, “pamanku memberikannya sebagai hadiah.“

“Hadiah apa?“ bertanya saudagar itu. “Apakah kau sudah melakukan sesuatu yang sangat berat bagi pamanmu itu, sehingga kau mendapatkan hadiah yang sangat berharga ini?“

“Aku tidak melakukan apa-apa. Aku hanya membantu paman bekerja di sawah. Mungkin karena aku bekerja dengan tekun maka aku telah mendapat hadiah itu, ketika aku meninggaikan rumah paman dan kembali kepada orang tuaku,“ jawab Glagah Putih.

“Kenapa kau tinggalkan pamanmu yang baik itu?“ bertanya saudagar itu.

“Orang tuaku menjadi semakin tua dan tidak dapat lagi mengurusi sawah ladangnya. Aku telah dipanggil pulang, karena aku adalah satu-satunya anak laki-laki,“ jawab Glagah Putih asal saja.

Tetapi saudagar itu masih juga bertanya, “Apakah kau tidak mempunyai saudara perempuan?“

“Ya,“ jawab Glagah Putih, “saudaraku ada tujuh. Semua perempuan.“

“O,“ orang itu mengangguk-angguk. Narnun iapun bergumam, “Tujuh orang. Jadi anaknya semua ada delapan.“

Glagah Putih tidak menghiraukan lagi. Rakit yang ditumpanginya sudah semakin dekat dengan tepian di seberang. Dengan hati-hati agar tidak menarik perhatian, ia memperhatikan tukang-tukang satang itu. Untunglah bahwa mereka bukannya orang yang pernah membawanya menyeberang pada saat ia mengaku sebagai anak seorang saudagar kaya.

Sejenak kemudian, rakit itu pun menepi. Setelah memberikan upah sewajarnya, karena ia bukan anak saudagar kaya raya, maka Glagah Putih pun telah menuntun kudanya di tepian. Namun iapun harus berpaling dan berusaha membelakanginya, ketika ia melihat seorang di antara tukang satang dari rakit yang lain adalah orang yang mirip dengan tukang satang yang pernah menyeberangkannya.

“Jika benar orang itu tukang satang yang pernah membawaku, mudah-mudahan ia tidak melihatku dan menyapa aku, atau justru sudah melupakannya,“ berkata Glagah Putih kepada diri sendiri.

Namun Glagah Putih terkejut ketika saudagar yang bersamanya dalam rakit itu berjalan di sebelahnya sambil berkata, “Kau tidak ingin menjadikan kudamu modal untuk kerja daripada sekedar menjadi kebanggaan? Hanya orang-orang kaya sajalah yang pantas mempunyai seekor kuda sebagus kudamu itu.“

Glagah Putih memaksa bibirnya untuk tersenyum. Katanya, “Maaf Ki Sanak. Kuda ini adalah pemberian pamanku. Aku tidak akan berani menjualnya.“

“Kau tukar dengan seekor kuda yang lebih kecil. Kau akan mempunyai sisa uang cukup untuk modal berdagang kecil-kecilan di padukuhanmu atau di pasar terdekat,“ berkata saudagar itu.

Tetapi sekali lagi Glagah Putih menjawab, “Aku tidak berani melepaskannya dari tanganku.“

Saudagar itu mengangguk-angguk. Namun iapun masih juga menepuk kuda itu sambil berdesis, “Kuda yang sangat bagus. Selamat anak muda. Kau telah memiliki tunggangan yang dapat kau jadikan kebanggaan.“

Glagah Putih pun kemudian minta diri untuk mendahului saudagar itu. Namun demikian pengalamannya telah mendorongnya untuk tetap berhati-hati. Justru karena kuda itu, maka banyak peristiwa telah terjadi. Juga yang menyangkut persoalan yang terjadi di Mataram. Justru karena kuda itu, maka ia sempat mendengar keterangan tentang sesuatu yang akan terjadi atas Panembahan Senapati.

Namun agaknya yang mengagumi kudanya itu benar-benar seorang penggemar kuda. Ternyata tidak ada peristiwa yang mengikutinya ketika ia meninggalkan tepian menuju ke Mataram.

Namun Glagah Putih tidak memacu kudanya cepat-cepat sebagaimana dilakukan di Tanah Perdikan Menoreh. Ia tidak mau menarik perhatian, apalagi para prajurit Mataram yang bertugas. Bahkan menurut perhitungan Glagah Putih, Panembahan Senapati tentu telah menyebarkan para prajurit dalam tugas sandi, meskipun terbatas pada kesatuan yang sangat dipercaya.

Kuda Glagah Putih memang menarik perhatian. Rasa-rasanya tidak seimbang ditilik dari penunggangnya. Namun ternyata Glagah Putih tidak mengalami gangguan apapun, sehingga ia mendekati istana Ki Patih Mandaraka dengan selamat.

Glagah Putih memang ragu-ragu. Namun akhirnya diberanikannya dirinya menghampiri pengawal di gerbang istana Ki Patih. Untung sekali bagi Glagah Putih, bahwa pengawal itu pernah mengenalnya ketika ia datang ke Kepatihan sebelumnya. Karena itu, maka Glagah Putih itu tidak terlalu banyak mengalami kesulitan.

“Aku akan menyampaikannya kepada Raden Rangga,“ berkata pengawal itu, “tunggulah, mudah-mudahan ia ada di biliknya.“

“Menurut penglihatanku, baru saja ia kembali. Tetapi kadang-kadang penglihatan kami, para pengawal, keliru. Kami melihatnya kembali, tetapi ternyata Raden Rangga tidak ada. Tetapi justru ketika kami melihatnya pergi, ia berada di dalam istana Kepatihan ini,“ jawab pengawal itu.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian menunggunya di serambi regol bersama seorang pengawal yang lain, sementara seorang pengawal mencari Raden Rangga di biliknya. Beberapa saat Glagah Putih menunggu. Baru sejenak kemudian pengawal itu datang kembali ke regol.

“Ternyata Raden Rangga ada di dalam biliknya,“ berkata pengawal itu, “Raden telah memerintahkan kepadaku, agar mempersilahkan kau masuk.“

“Terima kasih,“ jawab Glagah Putih yang kemudian menuntun kudanya memasuki halaman dan menambatkan kudanya itu pada patok-patok yang memang tersedia.

Glagah Putih memang telah mengetahui letak bilik Raden Rangga. Namun ia ragu-ragu untuk masuk. Sehingga karena itu, maka seorang pelayan yang melihatnya bertanya kepadanya, “Siapakah yang kau cari?“

“Raden Rangga,“ jawab Glagah Putih.

“Raden Rangga? Siapakah kau?“ bertanya pelayan itu.

Agaknya percakapan itu didengar oleh pengawal yang telah menyampaikan kedatangan Glagah Putih kepada Raden Rangga. Karena itu maka iapun telah mendekatinya sambil berkata, “Bawa tamu ini kepada Raden Rangga. Aku telah menyampaikannya, dan Raden Rangga telah memerintahkannya untuk datang ke biliknya.“

“O,“ desis pelayan itu, “aku tidak tahu. Kenapa kau tidak mengantarnya?“

“Kaulah yang harus mengantarnya,“ jawab pengawal itu.

Pelayan itu termangu-mangu. Namun iapun kemudian berkata, “Marilah, ikut aku.“

Ternyata pelayan itu tidak membawanya melalui ruang dalam. Tetapi pelayan itu telah membawa Glagah Putih memasuki seketheng sebelah kanan. Melalui longkangan dan serambi, maka akhirnya Glagah Putih telah memasuki ruang samping menghadap ke pintu bilik Raden Rangga.

“Itulah. Masuklah,“ berkata pelayan itu.

Glagah Putih itu pun kemudian melangkah mendekati pintu itu. Perlahan-lahan ia mengetuk pintu yang tertutup itu.

“Siapa?“ terdengar suara dari dalam.

“Aku Raden, Glagah Putih,“ jawab Glagah Putih.

“O. Marilah,“ jawab yang di dalam.

Sejenak kemudian, pintu itupun telah terbuka. Raden Rangga berdiri sambil tersenyum. Dengan nada dalam ia mempersilahkan, “Masuklah. Aku sudah menduga, bahwa kau akan datang.“

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun Raden Rangga mengulanginya, “Jika pesanku lewat Agung Sedayu sampai, kau tentu akan datang. Dan waktunya pun tidak jauh dari perhitunganku. Marilah.“

Glagah Putih pun kemudian telah melangkah masuk. Dengan ragu-ragu iapun duduk di sebuah amben. Setelah menutup pintu biliknya, maka Raden Rangga pun telah duduk pula di sebelahnya.

“Pesan Raden membuat aku berdebar-debar,“ berkata Glagah Putih.

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun wajahnya pun kemudian menunduk. Dengan nada dalam ia berkata “Aku memang dalam keadaan gelisah Glagah Putih. Aku tidak tahu apakah sebabnya. Sebenarnya aku tidak cemas apapun yang akan terjadi atasku. Tetapi rasa-rasanya ada sesuatu yang belum selesai. Aku tidak tahu, apa yang akan terjadi atasku nanti, besok atau dalam batasan waktu yang manapun. Namun sementara itu, bahaya benar-benar sedang mengancam Ayahanda.“

“Tetapi menurut pesan yang sampai kepadaku, agaknya Raden menjadi gelisah karena mimpi yang Raden lihat di dalam tidur. Seakan-akan Raden sedang menuju ke tempat yang tidak terbatas, kereta di atas lautan, dan perempuan dalam pakaian gemerlapan,“ sahut Glagah Putih.

“Ya. Jika aku boleh berterus terang, aku telah menterjemahkan isyarat dengan akhir perjalanan hidupku, karena ibuku yang melahirkan aku telah mengajakku pergi ke tempat yang tidak dikenal,“ jawab Raden Rangga. “Tetapi itu tidak menggelisahkan. Aku siap menerima panggilan itu. Tetapi kenapa justru pada saat Ayahanda sedang dibayangi oleh kesulitan yang belum dapat dijajagi seberapa besarnya.“

Glagah Putih termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Tetapi bukankah Ayahanda Raden seorang yang pilih tanding? Sementara itu Ki Patih Mandaraka pun seorang yang jarang ada duanya. Seandainya ada seseorang yang berani memasuki istana ini dan langsung berhadapan dengan Panembahan Senapati, apakah orang itu tidak akan mengalami kesulitan karena tingkah lakunya sendiri, bagaikan sulung masuk ke dalam api?“

Raden Rangga mengangguk-angguk. Katanya, “Aku tahu, Ayahanda memiliki tingkat ilmu yang sangat tinggi. Bahkan mungkin sejajar dengan ilmu orang-orang terpilih di seluruh Demak sekarang ini. Namun setiap orang memiliki kelemahannya masing-masing. Tidak ada seorangpun yang mampu mengatasi segala-galanya di atas dunia ini. Pada suatu saat seseorang akan sampai pada satu batas kelemahannya dan hal itu akan dapat saja terjadi atas Ayahanda, karena Ayahanda tidak lebih dari manusia biasa.“

Glagah Putih mengangguk kecil. Tetapi katanya kemudian, “Namun seandainya orang yang mengembara, maka ayahanda Raden sudah menyiapkan bekal secukupnya. Memang mungkin yang tidak diharapkan dapat saja terjadi. Tetapi kita mempunyai kesempatan untuk membuat perhitungan.“

“Kau benar Glagah Putih,“ jawab Raden Rangga, “tetapi yang menentukan bukannya kita. Ketentuan yang berada di luar jangkauan kita itulah yang aku cemaskan. Meskipun ilmuku dibandingkan dengan ilmu Ayahanda tidak berarti apa-apa, namun rasa-rasanya betapa pahitnya jika aku harus pergi justru saat Ayahanda berada di dalam bahaya. Ini mungkin hadir di dalam hatiku sebagai ujud dari kesombonganku. Tetapi aku tidak dapat mengelak dari perasaan itu, sementara mimpi yang mengerikan itu membayangiku.“

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun tiba-tiba saja ia bertanya dengan suara ragu, “Raden, apakah ibunda Raden sudah tidak ada lagi?“

Pertanyaan itu mengejutkannya. Namun sambil mengerutkan keningnya Raden Rangga menjawab, “Ibuku masih ada. Tetapi tidak berada di istana ini. Ibu lebih senang tetap berada di Pajang.“

“Dan Raden sering juga mengunjunginya?“ bertanya Glagah Putih.

“Jarang sekali Glagah Putih. Aku jarang sekali mengunjungi ibunda,“ jawab Raden Rangga.

“Nah, bukankah dengan demikian Raden tidak usah mencemaskan mimpi Raden? Hanya orang-orang yang sudah tidak ada sajalah yang perlu dicemaskan, jika ia hadir di dalam mimpi dan mengajak kita pergi.“

“Kau benar Glagah Putih,“ jawab Raden Rangga, “tetapi itu bagi orang lain. Aku memang memiliki kelainan itu. Ibunda memang bukan seorang yang memiliki sesuatu. Baik ilmu maupun kebanggaan lain. Namun yang hadir di dalam mimpiku sejak semula adalah seorang perempuan dalam ujud ibundaku yang memiliki segala-galanya. Ilmu, kemewahan, keajaiban dan yang tidak terjangkau oleh nalar sekalipun. Dan perempuan itulah, dalam ujud ibunda, yang memanggilku. Mungkin orang lain tidak dapat merasakannya. Tetapi isyarat itu terasa olehku.“

“Apakah Raden tidak pernah memikirkannya, bahwa dugaan Raden itu salah?“ bertanya Glagah Putih.

“Memang mungkin aku keliru, karena aku bukan seorang yang mampu melihat peristiwa yang belum terjadi. Tetapi sentuhan itu mengatakan kepadaku, dan tangkapanku yang pertama adalah bahwa aku memang harus pergi,“ jawab Raden Rangga.

“Tetapi Raden tidak akan dapat menyebut waktu,“ jawab Glagah Putih, “bukankah isyarat seperti itu sudah Raden rasakan beberapa waktu sebelumnya?“

“Ya. Dan agaknya yang datang terakhir begitu meyakinkan,“ jawab Raden Rangga.

“Raden telah menganyam angan-angan itu di dalam diri Raden, sehingga seakan-akan segalanya itu meyakinkan,“ berkata Glagah Putih.

Raden Rangga termangu-mangu sejenak. Tetapi ia menggelengkan kepalanya. Katanya, “Duniaku memang agak lain dengan duniamu Glagah Putih.“ Glagah Putih tidak menjawab lagi. Agaknya ia akan sulit sekali untuk merubah tanggapan Raden Rangga atas mimpi-mimpinya. Glagah Putih pun menyadari, bahwa mimpi bagi Raden Rangga dapat berakibat dan berarti lain dari mimpinya. Yang terjadi dalam mimpi agaknya dapat berbekas dalam kehidupan wajar Raden Rangga, sebagaimana ia menerima ilmunya. Karena itu, mimpi baginya memang mempunyai arti tersendiri.

Karena Glagah Putih tidak menjawab lagi, maka Raden Rangga itupun kemudian berkata, “Glagah Putih, aku minta kau tidak segera kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Sebaiknya kau tinggal di sini untuk beberapa hari.“

“Tetapi aku tidak minta ijin untuk tinggal di sini Raden,“ jawab Glagah Putih, “apalagi Tanah Perdikan Menoreh kini sedang dibayangi oleh peristiwa-peristiwa yang sebagaimana Raden saksikan.“

“Setiap kali kita akan pergi ke Tanah Perdikan,“ berkata Raden Rangga, “tetapi kita akan kembali lagi kemari. Sore hari kita dapat mengamati Tanah Perdikan itu. Jika tidak nampak sesuatu yang mencurigakan, maka kita segera kembali ke istana Ayahanda.“

“Bukankah dengan demikian kita hanya akan membuang waktu saja Raden? Sekali lagi aku berpendapat, bahwa ayahanda Raden memiliki semuanya yang diperlukan untuk melakukan rencananya. Bukankah ayahanda Raden justru berusaha memancing orang itu memasuki istana? Sementara itu, di sekitar ayahanda Raden terdapat para pengawal terpilih, di samping Ki Patih Mandaraka yang mumpuni,“ sahut Glagah Putih.

“Bukankah di Tanah Perdikan juga ada Ki Gede, ada Agung Sedayu dan istrinya Sekar Mirah, ada gurumu, dan ada sepasukan prajurit Mataram di sana?“ berkata Raden Rangga pula.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak mempunyai alasan lagi untuk menolak permintaan Raden Rangga agar ia tinggal untuk sementara di Mataram.

“Kenapa kau terdiam?“ desak Raden Rangga.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak akan dapat mempergunakan alasan, bahwa yang ditinggalkannya tentu akan menjadi gelisah, sebagaimana pernah diajukannya beberapa waktu yang lalu, ketika ia juga harus tinggal, bahkan pergi bersama Raden Rangga untuk berendam di sebuah belumbang.

Karena itu, maka jawabnya kemudian, “Baiklah Raden, aku akan tinggal. Tetapi tidak terlalu lama. Mungkin hanya semalam saja,“ jawab Glagah Putih.

Raden Rangga tersenyum. Katanya, “Baiklah. Tetapi kau harus tinggal. Jika tidak, maka kudamu akan aku minta kembali.“

Glagah Putih tidak menjawab. Namun Raden Rangga itu pun berkata, “Baiklah, biarlah seorang pelayan membawa kudamu ke belakang.“

“Biarlah aku sendiri membawanya Raden,“ jawab Glagah Putih.

“Akulah tuan rumah di sini,“ desis Raden Rangga sambil berdiri untuk memanggil pelayan agar membawa kuda Glagah Putih ke belakang istana itu.

Ketika Raden Rangga itu kembali, maka iapun berkata, “Nanti aku akan memberimu satu permainan yang tentu kau senangi, sebagaimana kau senang bermain macanan atau bengkat di halaman.“

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak mengerti maksud Raden Rangga yang sebenarnya.

“Nah, kau mempunyai waktu sedikit untuk beristirahat. Sebentar lagi, langit akan menjadi suram dan malam akan turun. Mungkin kau akan mandi agar tubuhmu menjadi segar. Jika kau memerlukan ganti pakaian, kau dapat mempergunakan pakaianku,“ berkata Raden Rangga kemudian.

Glagah Putih tidak segera menyahut. Namun ketika Raden Rangga membuka pintu samping biliknya, maka nampak bahwa halaman samping itupun sudah menjadi buram. Seorang yang membawa lampu minyak kemudian memasuki bilik itu dan menempatkannya di atas sebuah ajug-ajug. Karena di dalam bilik dan ruang-ruang di istana itu sudah menjadi gelap.

“Mandilah,“ berkata Raden Rangga, “pakailah pakaianku.“

“Terima kasih Raden,“ jawab Glagah Putih, “pakaianku masih cukup bersih untuk aku pergunakan malam ini.“

“Besok kau belum tentu dapat kembali. Aku mungkin masih akan menahanmu,“ berkata Raden Rangga sambil tersenyum.

Glagah Putih tidak menjawab. Namun iapun kemudian melangkah keluar menuju ke pakiwan yang sudah diketahuinya letaknya. Setelah mandi dan berbenah diri, maka Glagah Putih pun telah duduk kembali bersama Raden Rangga menghadapi hidangan bagi mereka berdua.

“Minumlah,“ berkata Raden Rangga, “jangan risaukan Tanah Perdikan. Di Tanah Perdikan itu terdapat orang-orang yang akan dapat menyelesaikan semua masalahnya.“

Glagah Putih mengangguk. Tetapi bagaimanapun juga, ia tidak dapat melepaskannya seluruhnya dari pikirannya.

“Glagah Putih,“ berkata Raden Rangga, “malam nanti kau ikut aku melihat-lihat halaman istana. Beberapa malam aku kurang memperhatikannya, bahkan semalam aku justru berada di Tanah Perdikan. Aku tidak tahu, kapan akan terjadi sesuatu di istana Ayahanda. Namun peristiwa di Tanah Perdikan itu seakan-akan telah memperingatkan aku, dan barangkali juga orang-orang lain yang mendapat kepercayaan dari Ayahanda, untuk bangkit kembali dan memperhatikan keadaan dengan lebih seksama, karena dalam beberapa hari terakhir, rasa-rasanya pengawasan lingkungan istana Ayahanda itu memang menjadi hambar.“

Glagah Putih termangu-mangu. Dengan ragu ia menyahut, “Raden. Apakah hal itu tidak akan sangat berbahaya?”

Raden Rangga tersenyum. Katanya, “Sejak kapan kau takut akan bahaya?“

“Raden,“ jawab Glagah Putih, “bahaya ini agak berbeda dengan bahaya yang datang dari pihak lain. Bahaya ini datangnya dari para petugas di istana ayahanda Raden sendiri. Jika para petugas itu melihat dan mengetahui kehadiran kita, apakah hal ini tidak akan dilaporkan kepada ayahanda Raden?“

“Mungkin sekali memang dapat terjadi demikian. Tetapi aku tidak akan merasa tenang jika aku tidak melakukannya,“ berkata Raden Rangga kemudian. “Bukannya aku merasa diriku lebih baik dari para pengawal, dari Eyang Mandaraka dan dari Ayahanda sendiri, tetapi aku tidak dapat mengingkari gejolak perasaanku sendiri. Sekali lagi, mungkin itu merupakan pancaran dari kesombonganku, seolah-olah aku akan dapat melindungi Ayahanda. Tetapi biarlah kali ini aku menuruti perasaanku.“

“Itulah yang sering Raden lakukan. Mengikuti perasaan Raden. Bukankah Raden sudah belajar mengekangnya?“ bertanya Glagah Putih.

Wajah Raden Rangga menjadi tegang. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Kau benar Glagah Putih. Tetapi kali ini aku tidak mampu menguasainya. Aku merasa wajib melakukannya.“

Glagah Putih tidak dapat mengatasinya lagi. Ia tidak mampu pula menolak ajakan Raden Rangga untuk melihat-lihat keadaan istana di malam hari.

Sementara itu Raden Rangga berkata, “Bersiap-siaplah. Kau akan melakukan satu pekerjaan seperti yang kau katakan, sangat berbahaya. Kau harus mampu menyerap bunyi yang mungkin kau pancarkan lewat pernafasanmu, mungkin sentuhan-sentuhan tubuhmu, atau karena gerak yang lain.“

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun sebelum ia berkata sesuatu Raden Rangga mendahuluinya, “Kau harus dapat melakukannya. Modal ilmumu sudah cukup. Jika kau mampu mengolah di dalam dirimu, maka kau akan menemukan laku yang dapat kau pergunakan untuk melindungi dirimu dengan menyerap bunyi itu. Tentu saja bunyi lembut. Jika kau melanggar setumpuk mangkuk dan jatuh berserakan, siapapun tidak akan mampu menyerap bunyinya.“

Glagah Putih tersenyum juga mendengar kata-kata Raden Rangga. Meskipun ia belum mencobanya, tetapi iapun telah mengangguk mengiakan.

“Nah, bersiaplah. Kita akan pergi setelah mendekati tengah malam. Atau mungkin kau akan tidur lebih dahulu?“ bertanya Raden Rangga.

“Tentu tidak Raden,“ jawab Glagah Putih.

“Jika tidak, maka kita isi waktu kita dengan berjalan-jalan di Kota Raja ini. Aku tidak telaten menunggu sambil duduk dan berbicara tanpa ujung dan pangkal. Lebih baik kita berbicara di sepanjang jalan saja,“ berkata Raden Rangga.

Sekali lagi Glagah Putih tidak dapat menolak. Tetapi sebenarnya iapun merasa lebih baik berjalan-jalan daripada duduk sambil menunggu waktu yang merambat lamban sekali sampai mendekati tengah malam.

Karena itulah, maka keduanyapun kemudian telah bersiap. Ternyata Raden Rangga kemudian bertanya, “Kau membawa ikat pinggangmu?“

“Aku selalu memakainya Raden,“ jawab Glagah Putih.

“Bagus,“ jawab Raden Rangga, “mungkin kita memerlukan.“

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa dengan demikian Raden Rangga memperhitungkan satu kemungkinan untuk melakukan tindak kekerasan.

Sejenak kemudian, maka keduanyapun telah meninggalkan Istana Kepatihan. Seperti biasanya, jika Raden Rangga tidak ingin diketahui kepergiannya, ia telah meloncati dinding di luar pengawasan para pengawal. Demikian pula yang dilakukannya saat itu bersama Glagah Putih. Raden Rangga tidak keluar halaman lewat regol, tetapi meloncati dinding samping dan turun ke jalan kecil di sebelah Istana Kepatihan itu. Menyusuri jalan kecil, maka keduanyapun seakan-akan telah menghilang di dalam gelapnya malam yang semakin dalam.

Sejenak kemudian kedunya telah berada di jalan raya Kota Raja Mataram. Keduanya berjalan di dalam kegelapan yang sepi. Rumah-rumah sudah tertutup dan halaman-halaman rumah pun tidak lagi diramaikan oleh anak-anak yang bermain-main, karena langit nampak gelap meskipun bintang berkeredipan dari ujung langit sampai ke ujung yang lain. Tetapi bulan sama sekali tidak akan nampak di sepanjang malam.

Satu dua masih ada orang yang duduk-duduk di depan regol sebuah rumah, dan sekelompok anak-anak muda berada di gardu di depan banjar sebuah padukuhan. Tetapi mereka sama sekali tidak tertarik kepada dua orang anak muda yang berjalan seenaknya menyusuri jalan raya.

“Kita masih mempunyai waktu banyak,“ berkata Raden Rangga, “kita akan pergi ke istana menjelang tengah malam seperti sudah aku katakan.“

“Jadi kita akan kemana?“ bertanya Glagah Putih.

“Kemana saja,“ jawab Raden Rangga, “apakah kau masih letih karena perjalananmu dari Tanah Perdikan?“

“Tidak,“ jawab Glagah Putih, “perjalanan yang pendek. Aku sama sekali tidak merasa letih. Apalagi dengan kuda yang Raden berikan itu.“

“Bagus,“ jawab Raden Rangga, “jika demikian kita pergi saja ke sungai. Kita isi waktu kita dengan sebuah permainan.“

“Permainan apa?“ bertanya Glagah Putih.

“Marilah,“ ajak Raden Rangga.

Keduanyapun kemudian pergi ke sungai yang tidak terlalu besar, meskipun tebingnya cukup dalam. Di tempat yang sepi Raden Rangga berkata, “Kita duduk di sini. Kau menghadap kepadaku pada jarak dua lengan.“

“Apa yang akan kita lakukan?“ bertanya Glagah Putih.

“Bermain,“ jawab Raden Rangga, “cepatlah, waktu kita hanya tinggal sedikit.“

Glagah Putih pun kemudian duduk di hadapan Raden Rangga. Keduanya menyilangkan kakinya pada jarak dua lengan.

“Julurkan kedua lenganmu. Buka telapak tanganmu,“ perintah Raden Rangga.

Glagah Putih melakukan sebagaimana dikehendaki oleh Raden Rangga. Namun sementara itu Raden Rangga pun telah berbuat serupa pula, sehingga keempat telapak tangan yang terbuka itu, berpasangan hampir bersentuhan.

“Jangan sentuh telapak tanganku dengan telapak tanganmu,“ berkata Raden Rangga.

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia tidak segera mengetahui maksud Raden Rangga.

Beberapa saat mereka keduanya masih berada dalam keadaannya. Sejenak kemudian, maka Raden Ranggapun berkata, “Glagah Putih, seperti kau ketahui, bahwa beberapa orang mampu bertempur dalam jarak tertentu dengan melontarkan serangan-serangan tanpa harus mendekat dan tanpa sentuhan wadag. Seorang mampu menyerang dengan sorot matanya, sementara orang lain melontarkan serangannya dengan lontaran dari telapak tangannya yang terbuka seperti sikapmu sekarang ini. Nah, cobalah. Usahakan agar kau mampu melontarkan kekuatan ilmumu lewat telapak tanganmu yang terbuka itu.“

Glagah Putih menjadi heran. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Bagaimana mungkin tiba-tiba saja aku dapat melakukan, Raden? Aku tahu, untuk mencapai satu tataran kemampuan ilmu diperlukan laku. Juga kemampuan seperti yang Raden katakan. Bukan dengan tiba-tiba saja. Mungkin hal seperti itu dapat terjadi atas Raden. Tetapi tentu tidak padaku.“

“Glagah Putih,“ berkata Raden Rangga, “pada saat aku dalam kesulitan, setelah aku berusaha memadamkan api yang membakar hutan di Tanah Perdikan Menoreh, kau mampu menyalurkan kekuatan ilmumu sehingga darahku yang serasa membeku itu dapat mengalir lagi. Apakah sebelumnya kau pernah mempelajarinya?“

“Serba sedikit aku pernah mendapatkan petunjuk untuk melakukannya.“ berkata Glagah Putih ragu-ragu.

“Baiklah,“ desis Raden Rangga kemudian, “kau dapat melakukannya seperti yang kau lakukan itu. Tetapi dengan hentakan yang lebih kuat. Sementara itu, tanganku akan aku pergunakan untuk menampung kekuatan ilmumu yang tentu masih terlalu lemah. Tetapi jika kau berhasil, maka hal ini akan merupakan laku untuk membuka satu tataran baru bagimu dalam olah kanuragan.“

Glagah Putih termangu-mangu. Memang jauh berbeda tuntunan yang diberikan oleh Raden Rangga dengan apa yang dilakukan oleh Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga. Keduanya memberikan petunjuk untuk mulai dengan satu laku yang tahap demi tahap mencapai satu kekuatan yang dapat dibanggakan. Namun Raden Rangga melakukannya dengan cara lain. Tiba-tiba segalanya harus didorong dan diungkapkan dari kemampuan yang ada di dalam dirinya sendiri.

“Cobalah,“ berkata Raden Rangga, “seandainya tidak berhasil, bukankah tidak ada ruginya? Kita harus berani mencoba, apalagi tanpa menimbulkan akibat buruk sama sekali.“

Glagah Putih mengangguk kecil. Seperti yang dikatakan oleh Raden Rangga, ia harus berani mencoba.

“Marilah,“ berkata Raden Rangga, “lakukan sebagaimana kau menyalurkan kekuatan ilmumu untuk membantu mencairkan darahku yang membeku.“

Glagah Putih pun mengangguk kecil. Sejenak kemudian iapun telah memusatkan nalar budinya, sebagaimana dilakukan pada saat ia membantu Raden Rangga pada saat dalam kesulitan.

“Nah,“ berkata Raden Rangga kemudian, “hentakkan alas ilmumu sebagaimana kau lakukan setelah kau pusatkan kekuatan ilmumu itu, dan kau salurkan pada lenganmu, dan kemudian pada telapak tanganmu yang terbuka itu. Aku akan menampungnya dengan telapak tanganku yang akan membantumu melepaskan seranganmu. Aku akan mempergunakan kemampuan ilmuku untuk menarik lontaran ilmumu.“

Rasa-rasanya memang seperti satu permainan yang menarik, sebagaimana permainan macanan atau bengkat di halaman saja.

Glagah Putih tidak menjawab. Ia telah sampai ke puncak pemusatan nalar budinya. Dengan kemampuan yang ada pada dirinya, maka iapun telah menyalurkan kekuatan ilmunya ke lengannya dan kemudian ke telapak tangannya. Namun bukan kekuatan ilmunya yang tertinggi, karena bagaimanapun juga ia masih memikirkan kemungkinan yang dapat terjadi atas Raden Rangga.

Sejenak kemudian terasa kekuatan ilmunya itu memang mengalir. Glagah Putih menahan nafasnya. Ia mulai ancang-ancang untuk menghentakkan ilmunya itu. Beberapa saat ia merasakan kemampuan ilmunya telah berada di telapak tangannya. Seperti yang dilakukan pada saat ia membantu mengatasi kebekuan darah Raden Rangga, maka Glagah Putih pun telah berusaha untuk melepaskan kekuatan ilmunya itu dengan satu hentakan yang kuat.

Raden Rangga yang memperhatikan wajah Glagah Putihpun menangkap gerak di dalam diri anak muda itu. Meskipun di malam hari, tetapi ketajaman penglihatan Raden Rangga itu mampu melihat saat hentakan wajah Glagah Putih.

Pada saat yang demikian maka Raden Rangga telah membantu Glagah Putih, melepaskan segala hambatan yang terdapat di dalam dirinya, dengan melepaskan segala kekuatan yang mungkin terdapat di telapak tangannya. Dengan demikian maka yang terjadi adalah sebagaimana dikehendaki oleh Raden Rangga.

Seakan-akan getaran yang bergejolak telah meloncat dari telapak tangan Glagah Putih ke arah telapak tangan Raden Rangga yang jaraknya kurang dari sejengkal.

Loncatan itu hanya terjadi dalam sekejap. Namun terasa sesuatu telah terhempas dari tekanan di dalam diri Glagah Putih. Lepasnya getaran dari telapak tangannya meloncat ke telapak tangan Raden Rangga telah melepaskan keragu-raguannya pula, bahwa ia mampu melakukannya.

Ternyata bahwa Raden Rangga tersentak oleh loncatan getaran itu. Kekuatan Glagah Putih yang masih belum mapan dalam loncatan getaran ilmu yang diragukannya itu, lebih besar dari yang diperkirakan.

Namun kekuatan Raden Rangga memang luar biasa. Getaran yang membentur telapak tangannya dan merambat ke lengannya itu terhenti tanpa menyakiti dadanya.

Meskipun demikian Raden Rangga itu kemudian berdesis, “Luar biasa. Ternyata kau memiliki kekuatan lebih besar dari yang aku duga.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia memang merasakan tubuhnya menjadi lelah. Tetapi hanya untuk waktu yang pendek, karena setelah meletakkan kedua tangannya di pangkuannya, maka rasa-rasanya kekuatannyapun telah pulih kembali.

“Bagus Glagah Putih,” berkata Raden Rangga, “lakukan sekali lagi. Perhatikan apa yang telah terjadi di dalam dirimu dan pada saat-saat getaran itu meloncat dari telapak tanganmu. Aku tahu, kau tidak mempergunakan segenap kekuatan ilmu yang tersimpan di dalam dirimu. Itu tidak apa-apa. Jika kau mampu melakukannya atas satu jenis ilmumu, maka kau akan dapat melakukannya pada jenis ilmumu yang lain. Apalagi kau memiliki kemampuan yang kau sadap dari Kiai Jayaraga, untuk menyadap kekuatan bumi, udara, api dan bahkan air. Bukankah dengan kemampuanmu melontarkan getaran ilmumu tanpa sentuhan wadag akan sangat berarti? Apalagi jika pada saatnya nanti kau mendapat tuntunan dari Agung Sedayu untuk mempergunakan pandangan matamu. Maka kau akan mampu menjadikan dirimu seorang yang pilih tanding. Meskipun menurut Eyang Mandaraka sebagaimana pernah dikatakan, bahwa tidak ada seorangpun yang sempurna. Yang sempurna hanyalah Yang Sempurna itu saja. Yang menjadikan langit dan bumi serta segala isinya.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia memang memiliki kemampuan untuk menyadap dan mempergunakan kekuatan bumi, udara, air dan api sebagaimana diajarkan oleh Kiai Jayaraga. Namun penggunaannya agak berbeda dari apa yang dilakukannya itu. Meskipun ia masih belum melihat langsung hubungan antara ilmu yang diperolehnya dari Kiai Jayaraga dengan apa yang disebut sebagai permainan oleh Raden Rangga itu, namun tiba-tiba saja tumbuh satu keyakinan di dalam dirinya bahwa ia akan dapat memanfaatkannya, apabila Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga itu tidak berkeberatan.

“Marilah,” tiba-tiba saja Raden Rangga berdesis, “lakukan sekali lagi. Masih ada waktu sedikit menjelang tengah malam.”

Glagah Putih tidak membantah. Iapun telah bersiap pula untuk melakukannya sekali lagi. Namun jarak antara dirinya dan Raden Rangga menjadi lebih jauh.

Ternyata Glagah Putih pun telah berhasil pula. Bahkan ternyata kekuatannya terasa menjadi semakin besar, sehingga tubuh Raden Rangga itu terguncang karenanya. Namun seperti yang pertama, getaran yang terloncat itu tidak menyakiti isi dadanya.

“Bagus,” berkata Raden Rangga, “kita pergunakan waktu yang sedikit ini untuk meyakinkan kemampuanmu. Arahkan getaran kekuatanmu pada sebongkah padas yang lunak itu.”

Glagah Putih pun melakukannya seperti yang dikehendaki oleh Raden Rangga. Diarahkannya getaran kekuatannya kepada sebongkah batu padas yang lunak yang diletakkannya di atas sebuah batu hitam di tepian itu.

Glagah Putih pun kemudian telah memusatkan kekuatan di dalam dirinya. Dipandanginya batu padas itu sambil menahan nafasnya. Kemudian disalurkan getaran kekuatan di dalam dirinya pada lengannya, dan kemudian telapak tangannya. Dengan segenap kekuatan yang ada di dalam dirinya, dihentakkannya ilmunya menghantam batu padas, yang oleh Raden Rangga memang dipilih batu padas yang lunak saja.

Ketika getaran yang terlontar dari telapak tangan Glagah Putih itu membentur sasaran, maka Raden Rangga itupun telah bertepuk tangan. Katanya, “Luar biasa. Baru saja kau mulai permainan ini. Ternyata kau dapat melakukannya dengan baik.” Ternyata bahwa batu padas itu telah pecah meskipun tidak hancur berkeping-keping.

Glagah Putih justru termangu-mangu. Ia memang melihat batu padas itu pecah.

“Baiklah Glagah Putih,” berkata Raden Rangga, “jangan kau renungkan sekarang. Anggap bahwa kau telah memecahkan satu batas dari dinding ilmumu, sehingga dengan demikian kau telah membuka satu lagi pintu bagi pelepasan ilmumu itu. Meskipun demikian, jika kau kembali ke Tanah Perdikan, kau harus minta ijin kepada kedua orang gurumu, apakah mereka setuju kau mempergunakan permainan itu untuk seterusnya, bahkan mengembangkannya di dalam dirimu sesuai dengan bekal yang telah kau miliki.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tubuhnya sudah tidak banyak lagi terpengaruh oleh pelepasan ilmunya itu. Karena itu, maka Glagah Putih pun merasa, bahwa ia akan mampu melakukannya dengan sungguh-sungguh jika ia kelak menekuninya. Bukan sekedar bermain-main.

Namun satu pertanyaan telah tumbuh di dalam hatinya, apakah orang lain dapat menuntunnya seperti yang dilakukan oleh Raden Rangga itu?

Dalam pada itu, maka Raden Rangga pun berkata, “Berbenahlah. Kita akan segera meninggalkan tempat ini. Ingat-ingatlah apa yang telah kau lakukan dalam permain an ini. Mungkin kau akan dapat mempergunakannya sebagai bekal di masa datang dengan seijin kedua gurumu.”

Glagah Putih mengangguk kecil. Namun iapun kemudian bertanya, “Ada yang kurang aku mengerti Raden. Bagaimana mungkin tataran ini dapat aku daki dengan serta merta tanpa laku apapun juga.”

Raden Rangga tertawa. Katanya, “Jangan cemas bahwa yang kau miliki itu sekedar pinjaman, seperti yang aku miliki. Yang kau lakukan bukannya tanpa laku. Laku itu telah kau jalani dan tidak harus setiap kali kau maju selangkah, kau jalani laku yang lain. Ancang-ancang itu telah ada di dalam dirimu. Yang belum kau ketahui, bagaimana kau lepaskan kakimu untuk meloncat. Bukankah itu tidak terjadi dengan serta merta? Kau sudah melakukan ancang-ancang sebagai laku. Dan aku hanya memberitahukan kepadamu bagaimana kau harus meloncat. Selebihnya segala sesuatunya telah kau lakukan sendiri.”

Glagah Putih mengangguk-angguk saja. Namun sebenarnyalah ia merasa bahwa yang dicapainya itu adalah dari dirinya sendiri, yang didorong oleh eamauan yang sangat kuat karena perasaannya yang digelitik oleh Raden Rangga.

Meskipun nampaknya Raden Rangga memang hanya bermain-main saja, tetapi pengarahannya benar-benar telah menghasilkan satu langkah maju yang akan sangat berarti bagi Glagah Putih.

Sejenak kemudian, maka keduanya pun telah berbenah diri. Malam menjadi semakin larut mendekati tengah malam. Malam yang gelap dan sama sekali tidak disentuh oleh sinar bulan, di ujung maupun di pangkalnya.

Beberapa saat kemudian keduanya telah menyusuri jalan menuju ke istana. Namun kemudian Raden Rangga itu berkata, “Kita mamasuki jalan kecil. Aku tidak tahu, apakah kehadiran kita di istana malam ini ada gunanya. Mungkin tidak ada apa-apa. Tetapi rasa-rasanya ada dorongan untuk melihat-lihat.”

Glagah Putih tidak menjawab. Ia hanya mengangguk-angguk saja. Sementara itu nada suara Raden Rangga menurun, “Glagah Putih. Aku akan merasa senang sekali jika kedua gurumu tidak berkeberatan kau mempergunakan hasil permainanmu itu, justru membantu memperkembangkannya. Mungkin aku tidak akan dapat memberimu permainan apa-apa lagi. Waktuku tidak mengijinkan.”

“Raden Rangga telah menyebutnya lagi,” potong Glagah Putih, “sebaiknya Raden melupakannya.”

“Ya. Aku akan melupakannya. Tetapi rasa-rasanya aku memang sudah tidak diperlukan lagi.” Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Sayang, aku tidak dapat membantumu untuk menyerap ilmu kebal. Tetapi kakak sepupumu itu memilikinya. Aku kira ia akan membantumu. Namun kau sudah mempunyai perisai yang cukup untuk melindungi dirimu sendiri. Kau sudah mampu berdiri sekokoh batu karang yang berakar sampai ke jantung bumi, kau mampu menggulung lawan-lawanmu dengan kekuatan bagaikan banjir bandang, dan kau dapat menyerang dengan kekuatan taufan dan prahara. Yang paling dahsyat adalah bahwa kau mampu menyadap kekuatan api yang panasnya melampaui panasnya bara. Sementara itu, kau sudah mempunyai dasar-dasar kekuatan menyerap daya tarik bumi, yang berlawanan dengan kekuatanmu menghunjamkan ilmumu sampai ke dasar bumi, namun yang nilainya sebanding, yang dasar-dasarnya baru diletakkan oleh Agung Sedayu. Kau mempunyai ketajaman penglihatan dan pendengaran, penciuman dan juga firasat yang juga telah diletakkan dasarnya oleh kakak sepupumu, namun masih belum di bentuk ujudnya dalam ilmu yang mandiri. Namun semuanya itu telah ada di dalam dirimu, sehingga kau mempunyai kekuatan, kemampuan dan alas ilmu yang luar biasa. Pada saatnya kau memang akan menjadi seorang yang mengagumkan, sebagaimana kakak sepupumu itu.”

“Darimana Raden tahu?” bertanya Glagah Putih, “Aku sendiri belum mengetahuinya.”

“Kakak sepupumu sebagaimana gurumu, mempergunakan pola mewariskan ilmunya setapak demi setapak. Memang dengan demikian kau akan memilikinya dengan lebih baik dan mantap. Aku sudah melihat ilmu itu di dalam dirimu. Tetapi kakak sepupumu dan Kiai Jayaraga berpendapat, bahwa kau masih terlalu muda untuk menguasainya dalam sosok ilmu yang mandiri.”

Glagah Putih menggelengkan kepalanya di luar sadarnya. Raden Rangga memang menjadi semakin aneh baginya. Apalagi ketika kemudian Raden Rangga itu berkata, “Tetapi kau tidak lagi terlalu muda. Kau lebih tua dari aku dalam hitungan umur yang wajar. Karena itu sudah waktunya kau memiliki ilmu kebal seutuhnya dan mandiri. Aji Sapta Pangrungu, Sapta Pandulu, Sapta Pangganda dan Sapta Panggraita, bahkan kemampuan meringankan tubuh dan ilmu-ilmu kakak sepupumu yang lain, termasuk tawar akan bisa, yang sudah kau dapatkan.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu bahwa di dalam diri Agung Sedayu memang tersimpan ilmu-ilmu yang dahsyat. Namun iapun sadar, bahwa Agung Sedayu tidak akan dengan serta merta menurunkan ilmunya itu kepadanya. Agung Sedayu memang terlalu hati-hati untuk melakukan satu pekerjaan. Apalagi pekerjaan yang penting. Namun Glagah Putih pun menyadari, bahwa Agung Sedayu tengah mempersiapkannya untuk mencapai satu tataran yang tinggi. Glagah Putih pun mengetahui bahwa ia telah menguasai alas sebagaimana dimaksudkan oleh Agung Sedayu. Bahkan ilmu yang mengalir lewat jalur ayahnya dari pamannya, Ki Sadewa, telah dikuasainya tuntas, yang juga dituntun oleh Agung Sedayu meskipun Agung Sedayu sendiri menjadi besar melalui jalur yang lain, karena ia menjadi murid orang bercambuk yang menyebut dirinya Kiai Gringsing, juga seorang yang ahli di dalam ilmu obat-obatan.

Glagah Putih terkejut ketika ia merasa Raden Rangga menggamitnya, “Kita sudah mendekati lingkungan istana Ayahanda.”

Glagah Putih mengangguk. Keduanya menjadi semakin berhati-hati. Bahkan kemudian Raden Rangga berkata, “Kita tidak akan melalui jalan atau lorong-lorong sempit lagi. Kita akan bergerak lewat halaman-halaman rumah.”

Glagah Putih tidak membantah. Ketika Raden Rangga menyelinap, maka Glagah Putih pun telah mengikutinya pula.

Demikianlah, dengan sangat berhati-hati keduanya merayap mendekati istana Panembahan Senapati. Ketika mereka mencapai jarak tertentu, Raden Rangga berkata perlahan-lahan, “Glagah Putih, sebelumnya aku pernah melihat bagaimana orang-orang itu masuk. Karena itu aku mengetahui kira-kira dimana mereka akan memasuki lingkungan istana, seandainya mereka akan datang. Mungkin hari ini, mungkin besok atau saat-saat lain.”

“Apakah kita akan mengawasi tempat itu?” bertanya Glagah Putih.

“Tetapi kita harus masuk ke lingkungan istana melalui jalan lain,” jawab Raden Rangga, “aku tahu, bahwa dinding istana ini mendapat pengawasan yang sangat ketat oleh para prajurit Pengawal Khusus. Karena itu, kita harus mampu menerobos celah-celah pengamatan mereka.”

“Bukankah itu sangat berbahaya Raden?” bertanya Glagah Putih.

Raden Rangga mengangguk. Namun katanya, “Memang sangat berbahaya. Tetapi kita tidak boleh mengelakkan diri dari kewajiban ini. Meskipun kewajiban yang kita bebankan di pundak kita atas kehendak kita sendiri.”

Glagah Putih termangu-mangu. Namun Raden Rangga tidak menghiraukannya lagi. Perhatiannya sepenuhnya tertuju ke arah istana Panembahan Senapati.

Raden Rangga yang memang putra Panembahan Senapati itu mengenali segala sudut istana itu dengan baik. Karena itu, maka iapun sama sekali tidak merasa canggung untuk mencari jalan memasuki lingkungan istana itu. Namun Raden Rangga memang harus berhati-hati. Dan itu disadarinya sepenuhnya.

Ketika mereka semakin mendekati dinding lingkungan istana, maka ia memberi isyarat agar Glagah Putih tinggal di tempatnya untuk sesaat. Ia akan melihat apakah jalan yang akan dilaluinya cukup aman.

Ternyata sejenak kemudian keduanya telah berhasil meloncati dinding dan bersembunyi di belakang gerumbul perdu yang rimbun.

“Kita bersembunyi di sini. Jika menjelang dini hari kita tidak melihat seseorang masuk lingkungan ini, maka kita akan kembali. Sudah dua tiga kali hal seperti itu aku lakukan, sehingga aku menjadi jemu dan memerlukan seorang kawan,” bisik Raden Rangga.

Glagah Putih mengangguk kecil. Tetapi ia tidak menjawab.

Dalam pada itu, tengah malam pun telah lewat. Lingkungan istana itu menjadi sepi. Beberapa orang prajurit memang masih nampak berjaga-jaga di regol dan di beberapa bagian yang penting. Dua orang di antaranya meronda berkeliling.

Namun Raden Rangga berbisik pula, “Bukan mereka pengamat yang sebenarnya. Mereka adalah petugas-petugas yang sehari-hari melakukan tugas seperti itu. Tetapi di sekitar tempat ini ada beberapa petugas khusus. Tetapi mereka tidak melihat kita.”

Glagah Putih mengangguk kecil.

Namun dalam pada itu, Raden Rangga itu pun telah menggamit Glagah Putih sambil menunjuk ke sudut istana di balik sebatang pohon bunga. Seorang sedang menyelinap masuk ke dalam bayangannya, sementara yang lain bergeser dan kemudian menghilang di dalam gelap.

“Kau mempunyai ketajaman penglihatan melampaui orang kebanyakan,” desis Raden Rangga, “kau sudah mempunyai dasar ilmu Sapta Pandulu meskipun belum mandiri. Karena itu kau tentu melihatnya.”

“Agaknya mereka sedang berganti tugas,” berkata Raden Rangga di telinga Glagah Putih, “untuk menjaga kejemuan. Para penjaga yang melakukan tugas sehari-hari itu tidak mengetahui mereka.”

Sekali lagi Glagah Putih mengangguk. Ia tidak mau berbicara, karena ia tidak dapat melakukannya sebagaimana dilakukan Raden Rangga. Suaranya dapat didengar oleh lawan bicaranya, tetapi tidak oleh orang lain. Perlahan sekali, tetapi jelas.

Beberapa saat mereka menunggu. Rasa-rasanya sudah semalam suntuk. Meskipun Glagah Putih tidak mengantuk, tetapi rasa-rasanya ia tidak telaten melakukannya.

“Nampaknya kehadiran kita sia-sia,” desis Raden Rangga, “tetapi jika demikian, kau tidak akan pulang besok.”

Glagah Putih hanya mengerutkan keningnya saja. Ia masih juga belum menjawab

Tetapi keduanya masih menunggu. Malam masih cukup panjang. Banyak hal yang masih mungkin terjadi. Apalagi dalam malam yang gelap tanpa bulan sejak matahari terbenam sampai matahari terbit.

Sebenarnyalah saat seperti itulah yang ditunggu oleh orang-orang yang memang ingin bertemu langsung dengan Panembahan Senapati. Malam gelap tanpa bulan sama sekali. Orang-orang yang merasa mengemban satu tugas untuk menyingkirkan Panembahan Senapati yang berkuasa di Mataram.

Pada lewat tengah malam, maka tiga orang telah berangkat dari persembunyiannya menuju ke istana Panembahan Senapati. Ternyata mereka masih belum mendengar apa yang telah terjadi di Tanah Perdikan Menoreh. Karena sepuluh orang yang ditugaskan di Tanah Perdikan semuanya telah terbunuh, sehingga tidak seorangpun yang dapat menyampaikan laporan tentang hal itu.

Sementara itu petugas yang lain yang tidak langsung berada di Tanah Perdikan, memang sudah mendengar usaha untuk membakar hutan. Merekapun menduga bahwa hal itu dilakukan oleh kawan-kawan mereka. Tetapi semuanya belum jelas bagi mereka, sehingga dua orang telah berusaha menghubungi sepuluh orang kawannya yang berada di Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi usaha mereka tidak berhasil. Bahkan merekapun mendengar berita bahwa sepuluh orang telah terbunuh oleh Agung Sedayu dan Glagah Putih.

Tetapi justru karena sepuluh orang itu telah terbunuh, maka dua orang itu tidak lagi tergesa-gesa memberikan laporan. Ia menganggap bahwa dengan demikian semua jalur keterangan yang menyangkut persoalan mereka dengan Mataram tidak akan terucapkan. Karena itu, maka mereka justru ingin mendapat keterangan yang lebih lengkap tentang sepuluh orang yang terbunuh itu.

Merekapun akhirnya yakin, bahwa yang sepuluh orang itu memang kawan-kawan mereka yang berusaha untuk membakar hutan, tetapi diketahui oleh Agung Sedayu dan Glagah Putih. Tidak seorangpun di Tanah Perdikan Menoreh yang menyebut-nyebut nama Raden Rangga, sebagaimana dipesankan oleh Raden Rangga sendiri.

Karena itulah, maka peristiwa yang terjadi di Tanah Perdikan itu tidak mempengaruhi rencana para pemimpin kelompok itu untuk memasuki halaman istana dan bertemu langsung dengan Panembahan Senapati, dan menyelesaikan sampai kematian Panembahan Senapati itu.

Betapapun tinggi ilmu dan kemampuan Panembahan Senapati, tetapi orang yang siap menghadapinya memiliki pusaka yang luar biasa, yang akan dapat langsung mempengaruhi lawannya sehingga ilmunya seakan-akan menjadi jauh susut, sehingga Panembahan Senapati itu tidak akan lagi memiliki ketangguhan dan tingkat ilmu sebagaimana seharusnya.

Malam yang gelap itu memang telah ditunggu oleh mereka. Karena itu maka seperti yang mereka rencanakan, tiga orang telah menyusuri lorong-lorong sempit menuju ke lingkungan istana Panembahan Senapati, yang mereka ketahui tentu dijaga dengan ketat. Namun yang tidak mereka ketahui adalah para prajurit dari Pasukan Pengawal khusus yang memang sudah menunggu kedatangan mereka.

Panembahan Senapati sendiri telah bersiap-siap pula. Jika orang yang diharapkan datang itu pada saatnya datang, ia sendiri akan menerimanya. Ia ingin tahu benar, siapakah orang itu dan mereka bekerja untuk kepentingan siapa. Mungkin dendam yang sudah lama terpendam, tetapi mungkin ada hubungannya dengan pemerintahannya. Mungkin ada pihak yang tidak menghendakinya berkuasa terus di Mataram, atau mungkin salah satu daerah yang berada dalam lingkungan Mataram yang ingin memindahkan pusat pemerintahan.

Panembahan Senapati memang tidak menutup kemungkinan itu terjadi, la sadar sepenuhnva, sebagai manusia ia mempunyai banyak kekurangan. Karena itu, maka ketidakpuasan itu mungkin saja terjadi. Dan langkah-langkah yang diambil oleh orang-orang yang tidak puas itu dapat bermacam-macam.

“Mungkin seseorang beranggapan bahwa tanpa Panembahan Senapati, Mataram sama sekali tidak berarti,” berkata Panembahan Senapati itu kepada diri sendiri.

Meskipun Panembahan Senapati itu merasa bahwa ia telah menunggu terlalu lama, namun ia tidak menjadi lengah. Apalagi setelah ia mendapat laporan tentang peristiwa yang terjadi di Tanah Perdikan Menoreh. Maka seolah-olah ia telah tergugah kembali untuk lebih berhati-hati.

Namun Panembahan Senapati tidak keluar dari biliknya. Ia menunggu orang itu datang. Dan iapun telah memerintahkan kepada para prajurit dalam Pasukan Pengawal Khusus dan Pelayan Dalam untuk mengamati saja mereka dan memberikan isyarat jika orang itu benar-benar datang. Panembahan Senapati sendiri akan menemuinya.

Dalam pada itu, ketiga orang yang mendatangi istana itu pun telah menjadi semakin dekat. Yang tertua di antara ketiga orang saudara seperguruan itu pun berdesis, “Berhati-hatilah. Mataram adalah satu lingkungan yang sangat berbahaya bagi kita. Jika Panembahan Senapati telah aku selesaikan, maka kita akan dapat mengacaukan seluruh Mataram dengan pasukan yang ada, meskipun tidak dalam benturan gelar. Namun Mataram tentu akan menjadi ringkih, dan pada saatnya Mataram akan digulung menjadi rata dengan tanah tanpa bekas. Maka bangkitlah satu kerajaan baru yang akan jauh lebih baik dan lebih berkuasa dari Mataram. Kerajaan yang akan melampaui kejayaan Pajang, Demak, bahkan Majapahit sekalipun. ”

Kedua saudara seperguruannya hanya mengangguk-angguk saja. Tetapi keduanya tidak mengerti bahwa dengan hapusnya Panembahan Senapati dari pimpinan pemerintahan, maka akan timbul satu kekuasaan yang akan lebih besar dari Mataram. Demikianlah mereka bertiga semakin lama menjadi semakin mendekati istana. Menurut pengamatan mereka, keadaan istana itu sama sekali tidak berubah. Tidak ada kesibukan yang meningkat untuk menjaga kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi di luar tugas mereka sehari-hari. Sehingga dengan demikian mereka menganggap bahwa Mataram benar-benar belum mencium rencana mereka untuk langsung memasuki istana dan bertemu dengan Panembahan Senapati.

Namun dalam pada itu, Raden Rangga yang sudah menunggu terlalu lama, ternyata benar-benar telah dicengkam oleh kejemuan. Karena itu, maka katanya kepada Glagah Putih perlahan-lahan, “Kita akan melihat ke luar dinding istana. Aku sudah tidak telaten menunggu.”

Glagah Putih mengangguk saja. Ia memang tidak mempunyai sikap apapun selain mengikuti saja langkah-langkah Raden Rangga yang gelisah. Mungkin kegelisahan itu tumbuh dari dalam dirinya dan oleh bayangan-bayangan yang mekar dari mimpinya.

Dengan sangat berhati-hati sebagaimana mereka masuk, maka mereka pun telah keluar lagi. Tetapi demikian mereka bebas dari kemungkinan penglihatan para prajurit dari Pasukan Pengawal Khusus, maka Raden Rangga itu pun berkata, “Kita akan menunggu di jalan yang mungkin dilaluinya jika mereka akan datang. Jika sampai dini hari kita belum melihatnya, maka kita akan pergi ke sungai itu lagi. Mandi, dan barangkali tidur di tepian.”

Glagah Putih mengangguk kecil. Namun ia bertanya juga, “Dari mana Raden Rangga mengetahui jalan yang akan dilewatinya?”

“Aku tahu dimana mereka meloncat masuk,” jawab Raden Rangga, “karena itu, kita pun akan dapat memperhitungkan, dari mana mereka akan datang.”

Glagah Putih masih saja mengangguk kecil. Tetapi ia tidak bertanya lagi.

Ketika mereka berada di halaman rumah di hadapan dinding yang lengang, Raden Rangga berbisik, “Kau lihat pohon yang rimbun itu?”

“Ya Raden,” jawab Glagah Putih.

“Pergunakan kemampuanmu melihat dengan tajam, alas dari ilmu Sapta Pandulu yang pada saatnya akan kau warisi juga,” berkata Raden Rangga.

“Aku sudah melihatnya,” jawab Glagah Putih.

“Disana mereka akan meloncat masuk seperti pernah aku katakan padamu,” berkata Raden Rangga selanjutnya. “Menurut pendapatmu, untuk mencapai tempat itu, jalan manakah yang akan dilewatinya?”

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, “Ada banyak kemungkinan Raden. Mungkin mereka akan mendekat melalui halaman di sebelah. Mungkin menyusuri lorong sempit di tengah padukuhan ini. Mungkin lewat lorong di sepanjang dinding istana itu.”

“Apakah mungkin mereka melewati lorong di sepanjang dinding itu?” bertanya Raden Rangga.

Glagah Putih merenung sejenak. Namun kemudian iapun menggeleng, “Agaknya tidak Raden. Jalan itu terlalu terbuka.”

“Nah jika demikian, kau tentu dapat memperhitungkan, jalan manakah yang mungkin akan dilalui,” berkata Raden Rangga.

Kemudian Glagah Putih mengerti, bahwa Raden Rangga pun berpendapat, orang yang akan memasuki istana itu agaknya akan melewati lorong di tengah-tengah padukuhan di sebelah istana itu. Lorong yang tidak terlalu besar, tetapi tidak terlalu terbuka sebagaimana lorong yang melekat dinding istana dan melingkarinya itu. Apalagi mulut lorong yang tidak terbuka karena dilindungi oleh pepohonan yang rimbun di halaman sebelah menyebelah itu, hampir tepat di bawah pohon yang daunnya menggapai dinding istana, dan merupakan tempat yang telah dipilih oleh orang yang tidak dikenal itu untuk memasuki istana.

“Marilah,” berkata Raden Rangga tanpa menyebut arah. Namun agaknya Glagah Putih pun telah mengetahui maksudnya

Keduanya pun kemudian mulai bergerak mendekati lorong yang dimaksudkan oleh Raden Rangga. Sambil merayap Raden Rangga berkata, “Kesalahan para prajurit dari Pengawal Khusus itu adalah bahwa mereka menunggu di dalam istana. Mereka tidak melihat keluar dan menyongsong tamu-tamu itu. Agaknya Ayahanda memang memerintahkan demikian, agar orang itu dapat langsung sampai ke bilik. Tetapi bukankah hal itu sangat berbahaya bagi Ayahanda, karena kita belum tahu tingkat kemampuan orang itu? Mungkin di sisi Ayahanda terdapat Kanjeng Kiai Pleret yang membuat Ayahanda tenang. Tombak yang telah pernah menyayat lambung Arya Penangsang. Namun segala kemungkinan masih akan mungkin terjadi.”

Glagah Putih tidak menyahut. Namun ia menyadari, bahwa Raden Rangga benar-benar mencemaskan nasib ayahandanya, meskipun anak muda itu menyadari, bahwa ayahandanya adalah orang yang pilih tanding.

Sebenarnyalah, bahwa para prajurit dari Pasukan Pengawal Khusus itu telah mendapat perintah untuk mengawasi bagian dalam istana saja, terutama di sekitar bilik peraduan Panembahan Senapati dan beberapa bilik yang penting lainnya. Memang mungkin orang itu salah pilih. Namun Panembahan Senapati sengaja memberikan ciri bagi biliknya dengan memberikan bau ratus yang wangi lebih tajam dari bilik-bilik yang lain. Kemudian membiarkan seseorang mampu mengintip lewat celah-celah dinding dan atap.

Tetapi Panembahan Senapati pun telah memerintahkan, jika para Pangawal Khusus atau Pelayan Dalam benar-benar melihat seseorang mendekati biliknya, maka mereka harus memberikan isyarat dengan menarik tali yang memang sudah dipasang sebelumnya, menggerakkan tirai. Namun tirai itu akan menyentuh tubuh Panembahan Senapati seandainya Panembahan Senapati itu sedang tertidur nyenyak. Karena menurut perhitungan, untuk mencapai langsung bilik Panemahan Senapati itu hanya dapat dicapai melalui atap.

Beberapa saat lamanya Raden Rangga dan Glagah Putih menunggu. Sementara itu, malam pun telah mendekati dini hari. Di dalam istana, para prajurit yang menunggu pun mulai ragu-ragu. Agaknya seperti malam-malam sebelumnya, mereka tidak melihat apapun juga yang memasuki istana, sehingga karena itu, maka mereka pun mulai disentuh oleh perasaan kantuk. Meskipun mereka masih tetap berusaha melakukan tugas mereka sebaik-baiknya, tetapi seperti malam sebelumnya, beberapa orang mulai menyandarkan tubuhnya di tempat mereka menunggu, pada dinding atau pepohonan.

Di luar dinding istana, Raden Rangga dan Glagah Putih pun telah menjadi letih menunggu. Apalagi Raden Rangga yang telah melakukannya beberapa kali dan menjumpai keadaan serupa. Menunggu dan tidak ada apa-apa.

Namun pada saat kejemuan itu memuncak, Raden Rangga telah mendengar suara lembut berdesir di sepanjang jalan padukuhan itu. Karena itu, maka iapun telah menggamit Glagah Putih dan memberikan isyarat agar ia berhati-hati.

Glagah Putih telah berusaha untuk tidak menimbulkan suara apapun. Bahkan pernafasannya pun seakan-akan telah terhenti karenanya. Seperti yang pernah dikatakan oleh Raden Rangga, maka ia harus berusaha untuk mampu menyerap bunyi yang terjadi dari sentuhan tubuhnya meskipun tidak mutlak.

Sebenarnyalah, sejenak kemudian telah lewat di lorong itu tiga orang. Tiga orang yang menurut penilaian Raden Rangga dan Glagah Putih tentu orang-orang pilih tanding.

Ketika ketiga orang itu mendekati mulut lorong, maka yakinlah Raden Rangga, bahwa ketiga orang itu tentu akan memasuki halaman istana.

Sejenak Raden Rangga dan Glagah Putih menunggu. Dari tempat mereka yang telah mereka persiapkan sebelumnya, mereka mampu mengamati orang-orang yang bergerak di bawah sebatang pohon yang rimbun, yang daunnya menggapai dinding halaman istana.

Glagah Putih memang telah berusaha mempertajam penglihatannya, dengan segenap kemampuan dan pengetahuan yang ada di dalam dirinya. Hampir di luar dugaannya sendiri, bahwa tiba-tiba saja seolah-olah pandangannya menjadi semakin bening, meskipun masih tetap dalam kegelapan malam menjelang dini hari.

Dalam kegelapan itu Glagah Putih mampu melihat jelas gerak ketiga orang yang bersiap untuk melakukan sesuatu di bawah pohon yang rimbun itu. Bukan malam yang terasa menjadi terang. Malam tetap gelap. Apalagi di bawah pohon yang rimbun itu. Tetapi ia mampu melihat dengan jelas.

Glagah Putih menjadi agak bimbang atas kemampuannya sendiri. Namun tiba-tiba saja ia teringat, bahwa ia pernah berendam di belumbang, yang menurut Raden Rangga akibatnya akan dapat mempercepat perkembangan yang terjadi di dalam dirinya, terutama mengenai perkembangan ilmu. la memang belum pernah memusatkan diri dalam kemampuan pengamatan seperti yang dilakukan saat itu, sehingga ia belum pernah mencapai satu batas tertinggi dari kemampuan penglihatannya. Pada saat ia berada di dalam hutan, ia memang sudah berusaha mempertajam penglihatannya, dan memang hal itu terjadi. Tetapi ia tidak sempat memusatkan segenap kemampuannya khusus untuk mempertajam penglihatannya, seperti yang di lakukannya saat itu.

Tetapi Glagah Putih tidak sempat memikirkannya lebih jauh. Ia melihat ketiga orang itu mulai bergerak. Dua orang dengan tangkasnya telah meloncat ke atas dinding tepat di bawah rimbunnya dedaunan, sehingga keduanya seolah-olah telah hilang ditelan bayangan yang gelap, justru tanpa menimbulkan bunyi apapun juga. Dedaunan vang rimbun itupun sama sekali tidak berguncang oleh sentuhan itu.

Namun demikian, ketajaman penglihatan Glagah Putih masih tetap dapat menangkap bayangan itu. Ia melihat dengan jelas dalam gelap yang pekat di bawah bayangan dedaunan, dua orang itu telah menyelinap dan hilang masuk ke dalam lingkungan dinding istana.

Ketika Raden Rangga kemudian menggamitnya, Glagah Putih berpaling ke arahnya sambil mengangguk kecil.

“Tinggal seorang diri,” berkata Raden Rangga perlahan-lahan.

“Ya,” desis Glagah Putih.

“Nasibnya ternyata jelek sekali,” bisik Raden Rangga pula.

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Di luar sadarnya ia bertanya, “Kenapa Raden?”

“Ia akan mati di tempat itu,” sahut Raden Rangga berbisik pula.

“Kenapa?” desak Glagah Putih.

“Kita harus mengurangi bahaya yang mungkin dapat mencelakai Ayahanda. Dua orang itu agaknya akan memasuki bilik Ayahanda dan langsung membuat perhitungan dengan caranya. Aku tidak tahu. Tetapi kita pun akan melihat, apa yang terjadi. Namun orang itu harus diselesaikan dahulu,” jawab Raden Rangga.

“Tetapi, apakah Raden Rangga sudah mendapat wewenang untuk melakukannya?” bertanya Glagah Putih pula.

“Wewenang apa, dan dari siapa? Jika kita melihat seorang pencuri, apakah kita harus menunggu ijin dari pemilik rumah untuk menangkapnya?” Raden Rangga ganti bertanya.

“Tetapi keadaannya berbeda Raden,” jawab Glagah Putih, “mungkin ada persoalan lain yang menyangkut orang itu, sehingga ada cara lain untuk menindaknya.”

“Mungkin bagi mereka yang masuk,” jawab Raden Rangga, “tetapi orang itu berada di luar dinding. Orang itu tentu tidak masuk hitungan. Justru karena itu akan dapat menumbuhkan bahaya yang tidak terduga.”

Glagah Putih masih mencoba berkata, “Jika demikian, marilah kita mencoba menangkapnya.”

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun katanya kemudian, “Baiklah. Tetapi jika orang itu menjengkelkan, mungkin ia akan terbunuh juga.”

“Bukankah Raden tidak akan membunuh lagi?” bertanya Glagah Putih.

Raden Rangga termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Tidak. Aku memang tidak akan membunuh lagi jika tidak diperlukan.”

“Apakah Raden mengetahui batas antara diperlukan atau tidak diperlukan?” beranya Glagah Putih pula.

Raden Rangga menggeleng. Jawabnya dengan nada rendah sekali, sehingga hampir tidak terdengar, “Aku memang tidak mengetahuinya.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Dengan hati-hati ia berkata selanjutnya, “Nah, jika demikian, apakah tidak lebih baik jika Raden tidak melakukannya lagi terhadap sasaran yang meragukan?”

Raden Rangga termenung sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku tidak berniat untuk membunuhnya. Aku akan menangkapnya. Tetapi jika ia mati, itu adalah salahnya sendiri.”

Glagah Putih tidak dapat mencegahnya lagi. Tiba-tiba saja Raden Rangga sudah meloncat keluar dari persembunyiannya.

Orang yang tinggal seorang diri, yang sedang bergeser untuk menyelinap ke halaman di sebelah lorong yang melingkari istana itu pun terkejut. Ternyata kehadirannya telah diketahui oleh seseorang.

Karena itu, maka iapun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Raden Rangga pun mendekatinya. Tetapi Raden Rangga itu terkejut ketika ia melihat orang itu telah melepaskan seekor burung, dan yang kemudian terbang menghilang ke dalam gelap.

Namun Raden Rangga sadar, bahwa sejenak kemudian telah terdengar suara burung bence yang seolah-olah berputar-putar di atas istana itu.

“Hem,” desis Raden Rangga, “orang itu telah melepaskan isyarat kepada kedua orang kawannya yang telah berhasil memasuki halaman.”

Sebenarnyalah suara burung bence itu telah mengejutkan kedua orang kawannya yang telah berada di dalam halaman. Mereka menyadari, bahwa dengan demikian, maka kawannya yang berada di luar istana memberikan isyarat, agaknya ada orang di luar istana yang melihat kehadirannya.

“Cepat,” berbisik orang yang berniat bertemu dengan Panembahan Senapati, “biarlah ia menyelesaikan orang itu. Kaupun harus berhati-hati. Jika saudara kita gagal, maka ada kemungkinan yang pahit yang terjadi pada tugas yang kita lakukan. Kita harus mampu mencari jalan keluar. Tetapi sebaiknya aku segera memasuki bilik Panembahan Senapati. Jika aku sudah berada di dalam bilik itu, aku tidak peduli apa yang terjadi di luar. Aku akan membunuhnya, meskipun kemudian seisi istana ini akan mengeroyokku. Tanpa Panembahan Senapati, aku tentu akan berhasil melepaskan diri. Kau harus mencari jalanmu sendiri, jika kau juga menemui kesulitan.”

Saudara seperguruannya itu mengangguk. Iapun memiliki kepercayaan kepada kemampuannya sendiri, sehingga jika saudara seperguruan itu sudah mencapai bilik Panembahan Senapati, maka ia akan dapat mengambil langkah-langkah sendiri.

Isyarat itu telah mempercepat gerak kedua orang yang berada di dalam lingkungan istana. Mereka masih berharap bahwa saudaranya yang berada di luar dapat menyelesaikan orang atau mungkin prajurit yang melihatnya. Bahkan keduanya yakin, bahwa saudara seperguruannya itu tidak akan membuka rahasia kehadiran mereka berdua, jika orang yang mengetahui kehadirannya itu tidak melihat sendiri keduanya yang memasuki istana itu.

Ketika keduanya sampai di sekat dinding halaman, maka yang tertua di antara mereka berkata, “Kau berada di sini. Jika seseorang melihat kehadiranmu, kau harus memberi isyarat juga sebagaimana kita sepakati, agar aku tahu apa yang harus aku lakukan.”

Saudara seperguruannya yang lebih muda itu mengangguk. Iapun segera menempatkan dirinya, sementara yang tertua di antara mereka telah meloncat di dalam kegelapan menuju ke arah yang sudah dikenalinya.

Sejenak kemudian orang itu pun telah berada di sudut istana. Seperti yang direncanakan, maka orang itupun segera meloncat ke atas atap istana itu.

Menurut dugaan kedua orang itu, tidak seorangpun melihat kehadiran mereka di dalam istana itu. Karena itu, maka setelah saudara seperguruannya yang tertua itu sudah berada di atas atap istana, maka rasa-rasanya tugasnya pun telah selesai. Ia yakin, bahwa saudaranya akan dapat mencapai tujuannya, bilik Panembahan Senapati.

Sebenarnyalah orang itu memiliki ketajaman pengamatan. Ketika ia berada di atas atap, maka penglihatannya yang melampaui ketajaman penglihatan wadag telah melihat cahaya yang nampak pada atap istana itu, sehingga dengan demikian maka orang itu pun segera mengetahui bahwa di bawah cahaya yang dilihatnya dengan penglihatan batinnya itu, tentu bangsal Perbendaharaan Pusaka Mataram.

Karena itu, maka ia harus menemukan bilik yang dipergunakan oleh Panembahan Senapati. Pengamatan sebelumnya telah memberikan ancar-ancar kepadanya, dimana ia harus mencarinya.

Namun ternyata bahwa orang itu memiliki ketajaman penglihatan dan perhitungan. Ketika ia melihat cahaya teja dari sebuah pusaka yang tidak berada di bangsal Perbendaharaan Pusaka, maka iapun berdesis, “Tentu di tempat itu Panembahan Senapati beradu. Cahaya itu tentu berasal dari teja Kanjeng Kiai Pleret.”

Dengan tangkas dan kemampuan ilmu yang sangat tinggi, maka orang itu pun merayap di atas atap, langsung menuju ke atas bilik Panembahan Senapati.

Ternyata orang itu tidak perlu mencari. Ketika ia berusaha mencari lubang yang mungkin untuk dapat melihat ke dalam, maka orang itu pun akhirnya menemukannya. Di antara dinding kayu dan atap memang terdapat celah-celah yang dapat dipergunakannya untuk melihat.

“Panembahan Senapati sedang tidur,” berkata orang itu di dalam hatinya, “aku tidak akan memberinya kesempatan meraih pusakanya Kanjeng Kiai Pleret.”

Dengan sangat hati-hati beralaskan ilmunya, termasuk di antaranya kemampuannya menyerap bunyi yang timbul dari sentuhan dirinya, sebagaimana disebut oleh Raden Rangga kepada Glagah Putih, orang itu berusaha untuk membuka atap bilik peraduan Panembahan Senapati.

Pada saat yang demikian, Raden Rangga tengah berusaha untuk menangkap orang yang ditinggalkan di luar dinding istana itu.

Namun orang itu yang merasa juga berilmu tinggi, tentu saja tidak membiarkan diri menjadi orang tangkapan. Karena itu, orang itu justru berkata, “Salahmu bahwa kau berusaha mencampuri persoalan kami dengan Panembahan Senapati. Tetapi karena kau sudah terlanjur melihat aku, maka kau memang harus mati. Dengan demikian maka aku tidak akan merasa terganggu lagi.”

“Jika aku mencampuri persoalan kalian dengan Panembahan Senapati, itu bukan berarti bahwa persoalan itu persoalan orang lain bagiku,” jawab Raden Rangga. Dan ia pun kemudian berkata apa adanya, “Aku berhak untuk mencampurinya.”

“Anak ingusan,” berkata orang itu, “kau memang dititahkan dengan umur yang pendek. Tidak ada kesempatan lagi bagimu untuk tetap hidup. Sekali lagi, salahmu atas sifatmu yang selalu ingin tahu.”

“He, apakah kau tuli?” bentak Raden Rangga. “Aku berhak mencampuri persoalan ini. Aku adalah putra Panembahan Senapati.”

“He?” orang itu terkejut. Namun kemudian ia berkata, “Aku tidak tahu, langkah apakah yang telah membawamu kemari. Nampaknya kau memang dengan sengaja melibatkan diri karena kau merasa bahwa kau adalah anak Panembahan Senapati. Jika demikian, Mataram memang akan terhapus dari muka bumi. Panembahan Senapati akan mati, dan anak laki-lakinya akan mati juga.”

“Aku bukan anak laki-laki yang berhak untuk menggantikan kedudukannya. Aku merasa bahwa ibuku bukan permaisuri, sebagaimana sudah diketahui oleh orang-orang Mataram,” jawab Raden Rangga. “Karena itu kematianku tidak berarti apa-apa bagi Mataram dan kelangsungan keturunan Panembahan Senapati yang akan memerintah. Namun adalah menjadi kewajiban seorang anak untuk menunjukkan baktinya kepada orang tuanya. Dan aku akan melakukannya sekarang. Menangkapmu. Jika kau menolak dan melawan, mungkin kau akan mati. Dan itu bukan salahku.”

Orang itu menggeram. Namun ia tidak mau banyak kehilangan waktu. Jika anak itu benar-benar anak Panembahan Senapati, maka agaknya ia tidak sendiri. Atau jika ia sendiri, mungkin akan segera datang pengawalnya untuk mencarinya.

“Tetapi anak ini memang gila. Ia memasuki arena tanpa mengetahui siapa lawannya dengan tidak membawa seorang pengawal pun,” berkata orang itu di dalam hatinya. Namun kemudian katanya, “Aku tidak peduli. Aku harus membunuhnya.”

Sejenak kemudian orang itu sudah menyerang Raden Rangga. Ia benar-benar ingin membunuh anak muda itu, karena anak itu akan dapat menjadi sangat berbahaya baginya.

Namun yang diserangnya adalah Raden Rangga, yang sudah bersiap sepenuhnya menghadapi segala kemungkinan. Karena itu, maka serangan it upun sama sekali tidak mengenainya.

Dengan demikian, maka pertempuran pun telah mulai menyala. Orang yang tidak dikenal itu telah menyerang Raden Rangga dengan garangnya. Ia berpendapat, bahwa perkelahian tidak akan berlangsung lama. Anak muda itu tentu akan segera diselesaikannya meskipun ia anak Panembahan Senapati. Seberapa jauh anak seumurnya mampu menyerap ilmu dari seorang guru yang betapapun tuntas pengetahuan dan ilmu olah kanuragannya. Bahkan dua atau tiga orang guru sekalipun yang mengajarinya bersama-sama.

Tetapi orang itu mulai menjadi gelisah ketika ternyata serangan-serangannya sama sekali tidak menyentuh sasaran. Anak muda itu mampu bergerak cepat sekali. Berloncatan seperti burung sikatan menyambar belalang. Menukik dalam sekejap dan kemudian melenting tinggi. Berputar dan menyambar dengan cepatnya mematuk mangsanya.

Dalam waktu yang pendek, ternyata bahwa anggapan orang yang tidak dikenal itu terhadap Raden Rangga keliru.

Kerena itu maka orang itu pun mulai menyadari, bahwa anak Panembahan Senapati itu tentu bukan anak muda kebanyakan. Seusia anak muda itu, maka ia tidak akan mampu bertahan dua tiga kejap menghadapi ilmunya pada tataran itu.

Namun ternyata ia berhadapan dengan anak muda yang lain.

Dengan demikian maka iapun harus menjadi lebih berhati-hati. Ia tidak bertahan pada tataran itu atas ilmunya. Setapak demi setapak ditingkatkannya kemampuan ilmunya menuju ke puncaknya.

Tetapi orang itu memang menjadi sangat heran. Meskipun ilmunya sudah meningkat semakin tinggi, namun ia tidak segera mampu mengalahkan, apalagi membunuh anak muda itu. Bahkan anak muda itu pun telah meningkatkan ilmunya pula seimbang dengan tataran ilmu lawannya.

“Apakah anak Panembahan Senapati ini mempunyai ilmu iblis?” geram orang itu di dalam hatinya.

Karena itulah, maka orang itu tidak segera dapat menyelesaikan pertempuran itu. Bahkan orang itu akhirnya menganggap perlu untuk mengerahkan segenap kemampuan ilmunya.

Pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin cepat. Keduanya mampu bergerak cepat dan tenaga mereka pun menjadi sangat besar. Dilindungi oleh bayangan rimbunnya dadaunan, maka keduanya bertempur dengan sengitnya.

Namun Glagah Putih mampu mengikuti pertempuran itu dengan jelas. Sekali-sekali ia menahan nafasnya melihat kecepatan gerak keduanya. Sekali-sekali ia menggeretakkan giginya. Namun setiap kali Glagah Putih itupun menarik nafas dalam-dalam. Raden Rangga memang seorang anak muda yang sulit dicari bandingannya.

Sementara itu, seorang yang lain yang berada di dalam dinding istana menganggap bahwa saudaranya yang tertua tentu sudah menemukan bilik Panembahan Senapati, karena tidak ada isyarat kegagalan apapun yang didengarnya. Karena itu, maka iapun telah beringsut surut. Dengan sangat berhati-hati ia berusaha untuk tanpa menimbulkan kemungkinan memancing perhatian siapapun juga, meninggalkan tempat itu. Justru karena isyarat burung bence yang didengarnya, maka iapun telah meningkatkan kewaspadaannya.

Orang itu bukannya tidak dapat berpikir sama sekali. Jika saudara seperguruannya di luar dapat diketahui oleh seseorang, maka iapun tentu dapat juga dilihat oleh seseorang. Karena itu, maka orang itupun telah berusaha untuk meninggalkan tempatnya. Tetapi ia berusaha untuk mengambil jalan lain. Itulah sebabnya, maka pada satu saat ia telah terlepas dari pengawasan dua orang prajurit dari pasukan Pengawal Khusus.

Tetapi sebagaimana perintah Panembahan Senapati, maka yang terpenting adalah justru orang yang akan menemuinya. Karena itu, ketika para prajurit dari Pasukan Pengawal Khusus melihat seseorang mengambil arah yang benar menuju ke bilik Panembahan Senapati, maka perhatian mereka hampir seluruhnya tertuju kepada orang itu. Orang itu tidak boleh lolos dari lingkungan istana. Ia harus tertangkap, dan dari padanya akan dapat disadap keterangan tentang kelompoknya atau gerombolannya, atau mungkin salah seorang adipati yang tidak sesuai dengan pemerintahan Panembahan Senapati.

Namun agaknya bahwa orang yang berada di halaman itu bagaikan lenyap dari penglihatan kedua orang prajurit dari Pasukan Pengawal Khusus itu, telah membuat keduanya kebingungan.

“Kita harus mencarinya , desis yang seorang. Keduanya berusaha untuk beringsut agar mereka dapat melihat ke arah yang berbeda dari halaman itu.

Tetapi justru karena itulah, maka orang yang mereka awasi itu telah melihat keduanya.

Orang yang memasuki lingkungan istana itu pun orang yang berilmu tinggi. Itulah sebabnya, maka ia mampu menembus pengawasan kedua orang prajurit dari Pasukan Pengawal Khusus itu. Dengan sangat berhati-hati melalui jalan lain, orang itu telah meninggalkan tempatnya.

Ketika sudah melewati waktu yang ditentukan tanpa adanya satu isyarat apapun, maka orang itu telah memastikan bahwa saudaranya yang tertua yang membawa pusaka yang paling dihormati di padepokannya telah berhasil menemukan, dan bahkan mungkin memasuki, bilik Panembahan Senapati.

Karena itu, maka timbullah niatnya untuk meninggalkan lingkungan dan kembali melihat saudaranya yang ditinggalkannya di luar dinding, dan yang telah memberikan isyarat kepadanya bahwa seseorang telah melihatnya.

Dengan kemampuannya yang tinggi, maka orang itu berhasil lolos dari pengamatan kedua orang dari Pasukan Pengawal Khusus itu. Apalagi sebagian besar dari pengamatan Pasukan Pengawal Khusus ditujukan kepada orang yang menuju ke bilik Panembahan Senapati itu, dan bahkan kemudian telah mengepungnya.

Karena orang yang menunggu itu dianggap kurang penting, maka akhirnya orang itu berhasil meloloskan diri. Karena ia telah melihat-lihat suasana istana itu, maka iapun telah berhasil menghindari para prajurit dalam tugas mereka sehari-hari. Apalagi para prajurit itu memang tidak mengetahui, bahwa ada beberapa orang yang telah menyusup ke dalam lingkungan istana.

Karena itu ketika dua orang Pengawal Khusus datang kepada prajurit yang berada di regol, maka para prajurit di regol itupun telah melaporkan, bahwa malam itu keadaannya tenang dan tidak ada sesuatu kelainan dari malam-malam sebelumnya.

Kedua Pengawal Khusus itupun tidak dapat bertanya lebih banyak. Mereka memang tidak mengetahui, bahwa malam itu telah terjadi sesuatu yang menegangkan di bagian dalam istana.

Kedua Pengawal Khusus itupun kemudian telah melaporkan kepada senapati yang memimpin pengamatan itu dalam keseluruhan. Wajah senapati itu memang menjadi tegang. Bahkan senapati itu telah menjadi marah.

“Cari orang itu sampai ketemu. Kalian harus bertanya kepada Pengawal Khusus yang mengamati jalan yang dilalui pada saat mereka memasuki lingkungan istana ini,” perintah senapatinya.

Tetapi dua orang Pengawal Khusus yang mengamati lorong di longkangan dalam di lingkungan istana itu belum melihat seorangpun yang keluar setelah dua orang memasuki tempat itu.

“Jika demikian mereka kedua-duanya tentu masih ada di dalam,” berkata salah seorang Pengawal Khusus yang kehilangan buruannya.

Karena itulah, maka kemudian telah diperintahkan beberapa orang untuk melakukan pengintaian di dalam lingkungan istana.

Tetapi orang itu ternyata telah meloncat keluar. Tidak melalui jalan saat ia masuk. Tetapi ia telah mengambil jalan lain.

Ketika orang itu sudah berada di luar dinding istana, dengan tergesa-gesa ia telah mencari kawannya. Namun ia tidak menemukan kawannya itu di tempatnya.

Sejenak orang itu termangu-mangu. Namun dengan teliti ia telah mengamati keadaan. Dedaunan dan dinding halaman di sekitar tempat itu. Gerumbul-gerumbul dan jejak di tanah. Ternyata bahwa ia dapat menelusuri jalan yang benar, menuju ke tempat yang dicarinya.

Akhirnya orang itu tertegun. Ia melihat pertempuran yang sengit di sebuah kebun kosong yang luas yang sudah menjadi agak jauh dari dinding istana. Agaknya baik Raden Rangga maupun lawannya menghendaki perkelahian itu bergeser menjauh, sehingga akhirnya keduanya telah terperosok ke dalam halaman kosong yang luas yang ditumbuhi oleh gerumbul-gerumbul liar, rumpun-rumpun bambu dan pepohonan yang tidak teratur.

Orang yang telah menemukan kawannya itu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun mendekati arena dan berkata, “Bagus. Agaknya kau telah mendapat lawan yang berilmu mapan.”

“Anak Panembahan Senapati,” berkata saudara seperguruannya.

“Pantas. Agaknya ia berilmu tinggi,” sahut yang baru datang.

Namun dalam pada itu Raden Rangga menjawab, “Aku memang sedang menjajagi ilmu kawanmu ini. Jika aku sudah yakin, baru aku akan membunuhnya. Aku tidak tergesa-gesa, apalagi setelah kami menjauhi dinding istana.”

Lawan Raden Rangga itu menggeram. Ia merasa terhina oleh jawaban itu. Karena itu, maka iapun telah menghentakkan ilmunya menyerang Raden Rangga.

Raden Rangga meloncat menghindar Namun ternyata bahwa sekejap kemudian ialah yang telah menyerang lawannya.

Ternyata lawannya pun mampu bergerak cepat, dengan tangkas iapun telah menghindar.

Dalam pada itu, orang yang baru keluar dari istana itu pun kemudian berkata, “Waktu kita tidak banyak. Jika kau ingin membunuh anak itu, bunuhlah. Sebentar lagi fajar akan menyingsing.”

“Baiklah,” berkata orang itu, “aku akan membunuhnya sebelum fajar. Mudah-mudahan Panembahan Senapati pun terbunuh pula sebelum fajar.”

“Aku yakin,” jawab yang lain.

Sementara itu Raden Rangga menyahut, “He, siapakah yang menentukan akhir dari pertempuran ini? Aku atau kau? Menurut aku, kaulah yang akan terbunuh. Bukan aku.”

“Persetan,” geram lawan Raden Rangga itu.

Namun ketika ia meningkatkan kemampuannya, ternyata bahwa ia tidak segera mampu mengatasi kemampuan anak muda itu. Sehingga dengan demikian, maka pertempuran itu masih belum nampak tanda-tanda akan berakhir.

Dengan demikian maka orang yang baru datang itu menjadi gelisah. Jika para prajurit di dalam istana menjadi ribut karena kematian Panembahan Senapati, serta saudaranya itu berusaha melepaskan diri dan meninggalkan istana, maka para prajurit itu tentu akan mencarinya ke seluruh sudut kota. Jika perkelahian di halaman kosong itu masih belum berakhir, maka justru merekalah yang akan terjebak oleh kegiatan para prajurit Mataram itu. Bahkan mungkin mereka berdua tidak akan dapat melepaskan diri sebagaimana dilakukan oleh saudaranya yang tertua yang memegang pusaka tertinggi dari padepokannya.

Karena itu, maka katanya, “Kenapa kau tidak segera melakukannya?”

Saudara seperguruannya itu mengumpat di dalam hati. Bukan karena ia tidak segera melakukan. Tetapi ia tidak mampu berbuat sebagaimana dikehendaki. Ternyata bahwa lawannya yang masih muda itu memiliki ilmu yang tinggi.

Bahkan ketika ia sudah sampai pada puncak kemampuannya, ternyata bahwa ia masih belum mampu mendesak lawannya. Anak yang masih sangat muda itu mampu mengimbangi tingkat ilmunya. Bahkan terasa beberapa kelebihan yang membuatnya menjadi gelisah pula.

Beberapa saat kemudian saudara seperguruannya yang menyaksikan pertempuran itu menjadi tidak sabar lagi. Karena itu, maka katanya, “Baiklah. Jika kau tidak sampai hati membunuh anak Panembahan Senapati itu, biarlah aku yang melakukannya.”

“Biarkan aku membunuhnya,” berkata orang yang sedang bertempur itu.

“Jika demikian cepat lakukan,” sahut saudara seperguruannya.

Jantung orang yang bertempur melawan Raden Rangga itu akan meledak oleh perasaan yang bercampur baur di dalam dadanya. Ia memang merasa bahwa ilmu anak itu terlalu tinggi. Pengakuan itu membuatnya semakin gelisah. Sementara itu iapun menyadari bahwa sebentar lagi fajar akan menyingsing. Namun untuk menyerahkan anak itu dibunuh bersama-sama, harga dirinya agaknya telah tersinggung.

Namun dalam keadaan yang demikian, justru terdengar Raden Rangga tertawa. Katanya, “Jangan menjadi bingung. Karena itu menyerah sajalah. Kau akan tetap hidup dan barangkali sekali-sekali dipukuli agar kau mengatakan siapakah kau sebenarnya.”

“Persetan!” teriak orang itu sambil meloncat menyerang. Namun lawannya yang masih sangat muda itu mampu mengelak sambil berkata, “Uh, kau sangka seranganmu ini cukup berarti?”

Orang itu menjadi semakin marah. Namun ia tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa ilmu lawannya itu memang sangat tinggi.

Saudara seperguruannya yang tidak terlibat ke dalam pertempuran itupun memang melihat bahwa ilmu anak muda itu memang sangat tinggi. Karena itu maka katanya, “Biarlah kita segera menyelesaikannya. Jika kau memang tidak sampai hati, biarlah aku yang melakukannya.”

Orang yang sedang bertempur itu tidak menolak lagi. Karena itu katanya, “Lakukanlah. Ia masih terlalu muda untuk dibunuh.”

“Nah, sebaiknya kau serahkan kepadaku agar perkelahian ini tidak berkepanjangan, sementara langit akan segera menjadi merah,” sahut saudara seperguruannya sambil bergerak selangkah maju.

Namun tiba-tiba saja langkahnya tertegun ketika ia mendengar desir kaki melangkah mendekat. Ketika ia berpaling, maka dilihatnya seseorang berdiri di dalam bayangan dedaunan.

“Siapa kau?” bertanya orang itu.

“Aku bukan putra Panembahan Senapati. Tetapi aku seorang anak padesan yang kebetulan mendapat kesempatan mengikuti putra Panembahan Senapati itu,” jawabnya.

“Siapa namamu?” bertanya orang itu.

Hampir saja Glagah Putih menyebut namanya, tetapi Raden Rangga telah mendahului, “Anak padesan tidak pernah punya nama. Siapa saja dapat dipergunakan untuk memanggilnya.”

“Anak setan,” geram orang yang bertanya itu, “lalu kau mau apa?”

Glagah Putih termangu-mangu. Dipandanginya Raden Rangga yang masih bertempur itu, seakan-akan minta pertimbangannya. Ternyata Raden Rangga pun sempat memperhatikannya dan berkata, “Lakukanlah. Bukankah kau minta ijin untuk menghadapinya? Bukan karena aku tidak mampu membunuh mereka berdua. Tetapi sebaiknya kau ikut dalam permainan ini agar kau tidak menjadi kedinginan.”

Glagah Putih memang agak ragu-ragu. Tetapi justru karena kata-kata Raden Rangga itu, hatinya memang telah digelitik untuk melakukannya.

Orang yang baru keluar dari lingkungan istana itu menjadi tegang. Ia sama sekali tidak menduga bahwa telah hadir seseorang yang lain yang akan ikut campur pula dalam persoalan itu. Seorang yang juga masih muda sekali.

Dalam pada itu Glagah Putih pun telah maju selangkah sambil berkata, “Ki Sanak. Aku telah mendapat ijin. Karena itu, biarlah kau tidak usah mencampuri pertempuran antara putra Panembahan Senapati itu dengan kawanmu. Jika kau merasa kedinginan dan ingin berkelahi untuk menghangatkan tubuhmu, marilah, lawanlah aku.”

“Anak setan,” geram orang itu, “kau kira kau ini siapa, he? Kau kira kau akan mampu melawan aku?”

“Entahlah.” jawab Glagah Putih, “aku tidak tahu, apakah aku mampu atau tidak. Tetapi aku ingin mencobanya. Aku akan berkelahi.”

Orang itu benar-benar menjadi marah. Apalagi menurut perhitungannya, langit pun akan menjadi merah oleh cahaya fajar.

Karena itu, maka ia tidak mau membuang-buang waktu lagi. Ia pun segera menyingsingkan lengan baju dan berkata, “Baiklah. Jangan menyesal di saat kematianmu tiba.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar