Api Di Bukit Menoreh Seri 3 Buku 201

Buku 201

Sebenarnyalah Glagah Putih memang melakukannya untuk membiasakan diri dengan kuda barunya. Setiap hari meskipun hanya sebentar ia menelusuri bulak-bulak panjang.

Di luar sadarnya Glagah Putih yang sedang berusaha mengenali watak kudanya itu ternyata selalu diawasi oleh beberapa orang yang ingin merampas kuda itu.

Namun dalam pada itu, suatu pikiran baru telah berkembang lagi di antara orang-orang yang menginginkan kuda Glagah Putih itu. Mereka ternyata tidak saja ingin mengambil kudanya, tetapi mereka ingin membawa Glagah Putih bersama mereka.

“Ia anak seorang yang kaya-raya,“ berkata orang tertua di antara mereka berempat.

“Siapa yang mengatakannya?“ bertanya kawannya.

“Tukang satang di Kali Praga tahu benar. Tetapi ia memang sederhana, sehingga sama sekali tidak berkesan bahwa ia anak seorang saudagar kaya,“ jawab orang tertua di antara mereka.

“Tetapi kita tidak melihat kesan itu sama sekali. Di padukuhan induk itu pun tidak ada seorang yang kaya raya. Ki Gede Menoreh pun bukan seorang yang kaya raya sebagaimana kita gambarkan,“ desis salah seorang di antara mereka.

“Tetapi ia anak seorang yang kaya. Mungkin ia tidak ingin menunjukkan kekayaannya melampaui Ki Gede Menoreh,“ jawab orang tertua. “Namun bagaimanapun juga keadaannya, kita dapat membawanya serta. Kita minta tebusan dari keluarganya itu. Di samping seekor kuda yang sangat baik, kita akan mendapatkan uang tebusan entah darimana didapatkannya. Tetapi aku percaya bahwa ia termasuk keluarga orang berada.“

Kawan-kawannya tidak membantah lagi. Bagi mereka, melakukan tugas yang dibebankan oleh orang tertua di antara mereka memang merupakan satu kewajiban. Namun jika benar anak itu dapat ditukar dengan uang tebusan, ada juga keuntungannya mereka terbelenggu waktu di Tanah Perdikan itu.

Demikianlah, maka keempat orang itu sampai pada satu kesimpulan, bahwa saatnya sudah tiba. Mereka harus membawa Glagah Putih bersama kudanya keluar dari Tanah Perdikan. Mudah sekali. Mereka berkuda berlawanan arah dengan Glagah Putih. Mencegatnya, kemudian mengajaknya pergi. Dua di antara mereka di depan dan dua di belakang, sehingga Glagah Putih tidak dapat lolos dari tangan mereka. Jika anak muda itu memaksa berusaha melarikan diri karena kudanya lebih kuat, maka mereka terpaksa mengambil tindakan kekerasan.

Ketika perhitungan mereka telah masak, maka mereka pun telah menetapkan waktu untuk melakukannya. Sebagaimana kebiasaannya, maka keempat orang itu berharap bahwa Glagah Putih akan melewati jalan bulak itu dengan kudanya yang tegar.

Dengan perhitungan itulah, maka pada suatu pagi, keempat orang itu berkuda menyusuri jalan bulak Tanah Perdikan Menoreh. Dua orang di depan, dan dua orang lagi berada di belakang, berjarak beberapa puluh langkah. Sehingga dengan demikian, mereka seolah-olah tidak sedang dalam perjalanan bersama.

Ternyata bahwa yang mereka perhitungkan itu tepat. Seperti kebiasaan Glagah Putih, maka mereka akan berpapasan dengan Glagah Putih itu di tengah-tengah bulak panjang. Dua orang yang berada di depan sama sekali tidak menyapanya. Mereka justru menepi dan memberikan jalan kepada Glagah Putih.

Glagah Putih pun semula tidak menghiraukan kedua orang yang berkuda itu. Namun ketika ia melihat dua lagi orang berkuda dan nampaknya keduanya justru dengan sengaja menghalangi jalan, maka Glagah Putih itupun berpaling.

Ia mulai curiga terhadap kedua orang berkuda yang lebih dahulu telah berpapasan itu. Karena keduanya pun ternyata telah berhenti, dan bahkan kuda mereka pun telah berbalik arah.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia menebarkan penglihatannya ke sekitarnya, jalan dan sawah nampaknya sepi saja. Namun justru karena itu, maka Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Jika terjadi sesuatu, maka agaknya tidak akan ada seorang pun yang dapat menjadi saksi.

Tetapi Glagah Putih tidak sempat berpikir terlalu lama. Kedua orang berkuda yang semula di belakang itu pun telah mendekatinya.

Dengan wajah yang garang penunggang kuda itu yang seorang menggeram, “Ikut aku. Jangan membantah atau melakukan sesuatu yang akan dapat mencelakakanmu sendiri.“

Glagah Putih menjadi tegang. Dengan nada datar ia bertanya, “Apa yang sebenarnya telah terjadi? Dan siapakah kalian berempat sebenarnya?“

“Jangan bertanya sekarang,“ jawab salah seorang dari mereka, “ikuti kami jika kau ingin selamat.“

Glagah Putih terdiam. Namun keempat orang itu pun kemudian telah memerintahkannya untuk mengikuti dua orang berkuda yang semula berada di belakang, namun yang kemudian berada di depan. Sementara dua orang lainnya berada di belakang, beberapa puluh langkah.

Glagah Putih terpaksa mengikuti perintah itu. Dua ekor kuda yang berjalan di depannya benar-benar telah menutup jalan, sehingga seandainya Glagah Putih ingin memacu kudanya melampaui keduanya, agaknya ia akan mengalami kesulitan. Jika ia berpacu kembali, maka di belakang ada dua orang yang lain yang mengawasinya pula.

“Apa yang sebenarnya mereka kehendaki?“ berkata Glagah Putih di dalam hatinya. Namun ketika ia sadar, bahwa ia telah mempergunakan seekor kuda yang besar dan tegar, maka iapun sudah menduga bahwa orang-orang itu tertarik kepada kudanya dan ingin memilikinya.

Namun ternyata bahwa ingatan Glagah Putih cukup tajam meskipun tidak setajam ingatan Agung Sedayu. Tiba-tiba saja ia bertanya kepada salah seorang di antara kedua penunggang kuda di hadapannya, “Bukankah kau orang yang aku temui di Kali Praga itu?“

Orang itu berpaling. Namun iapun tidak ingkar. Katanya sambil tersenyum. “Ya Anak Muda. Aku adalah orang yang kau temui di pinggir Kali Praga itu.“

“Sekarang, apakah yang kalian kehendaki dari aku?“ bertanya Glagah Putih.

“Aku tidak sempat berkata sekarang. Kita akan mempercepat perjalanan kita keluar dari Tanah Perdikan ini,“ jawab orang itu.

“Aku akan menarik perhatian anak anak muda dan orang-orang di padukuhan-padukuhan yang kita lewati,“ berkata Glagah Putih.

“Itu sudah kami perhitungkan, Anak Muda. Kami telah mengatur perjalanan ini, sehingga kita tidak akan menerobos satu padukuhan pun. Kita akan selalu lewat bulak-bulak panjang dan pendek. Memang dengan terpaksa kami akan melewati jalan di pinggir padukuhan. Ada dua padukuhan yang akan kita singgung sedikit. Tetapi kami sudah menentukan satu sikap. Jika kau berusaha untuk menarik perhatian orang-orang padukuhan itu, maka umurmu tidak akan panjang, sementara kami akan sempat berpacu meninggalkan mayatmu di hadapan orang-orang padukuhan yang mungkin akan menyesali kematianmu,“ jawab orang yang dijumpainya di pinggir Kali Praga.

“Tetapi apa sebenarnya kepentingan kalian dengan aku?“ desak Glagah Putih.

“Tutup mulutmu! Kami bukan orang-orang yang berhati lembut, yang mengenal belas kasihan dan dapat berbuat baik kepada seseorang yang memelas seperti kau!“ bentak orang itu.

Glagah Putih ternyata mulai tersinggung. Tetapi ia berusaha untuk mengekang diri. Ia ingin tahu, apa saja yang akan dilakukan orang-orang itu terhadapnya.

“Tetapi aku tidak mengetahui tingkat kemampuan mereka,“ berkata Glagah Putih. Namun dalam keadaan yang memaksa maka Glagah Putih akan menghadapi siapapun. ia memang menghindari permusuhan, tetapi ia bukan seorang yang akan membiarkan lehernya dipatahkan orang tanpa perlawanan.

Dengan demikian maka Glagah Putih menjadi terdiam. Ia mengikuti saja segala perintah dari keempat orang itu, terutama orang yang dijumpainya di Kali Praga ketika ia membawa kudanya itu kembali ke Tanah Perdikan Menoreh dari Mataram.

Ketika mereka melewati jalan di pinggir padukuhan, Glagah Putih memang tidak berusaha untuk menarik perhatian orang-orang padukuhan itu. Ia tidak ingin melepaskan diri dari tangan keempat orang itu, karena ia justru ingin mengikuti mereka.

Satu dua orang yang melihat Glagah Putih lewat pun tidak berbuat sesuatu. Mereka memang bertanya di dalam hati, siapa saja yang lewat bersama Glagah Putih. Tetapi mereka membiarkan saja Glagah Putih lewat tanpa bertanya apapun juga.

Justru karena Glagah Putih sengaja membantu perjalanan itu, maka tidak seorang pun yang telah mengganggunya. Beberapa saat kemudian, mereka telah mendekati perbatasan Tanah Perdikan Menoreh, justru di tengah-tengah bulak persawahan.

“Kita akan keluar dari Tanah Perdikan dan menuju ke bukit kecil itu,“ berkata orang yang bertemu di pinggir Kali Praga itu.

“Untuk apa?“ bertanya Glagah Putih pula.

Orang itu tidak menjawab. Tetapi kuda-kuda itu pun berpacu semakin cepat. Dengan demikian maka perbatasan pun menjadi semakin dekat.

“Terima kasih atas bantuanmu,“ berkata orang itu kepada Glagah Putih ketika mencapai perbatasan.

Glagah Putih termangu-mangu. Tetapi ia masih saja mengikuti dua orang penunggang kuda yang di depan, sementara dua orang lagi yang di belakang justru menjadi semakin rapat. Jarak mereka dari Glagah Putih pun tidak lagi lebih dari sepuluh langkah.

“Kita akan pergi ke bukit kecil itu,“ berkata orang yang pernah dijumpainya di pinggir Kali Praga.

“Untuk apa pergi ke bukit itu? Bukankah bukit itu bukit yang liar dan ditumbuhi semak-semak dan gerumbul-gerumbul lebat?“ bertanya Glagah Putih.

“Aku akan menjawabnya setelah kita berada di belakang bukit itu,“ jawab orang yang pernah dikenalnya itu.

Glagah Putih tidak bertanya lagi. Kuda-kuda itu pun kemudian menyimpang melalui jalan sempit, menuju ke bukit kecil yang liar dan jarang sekali dijamah tangan seseorang.

Ketika mereka sampai ke bukit itu, maka mereka pun telah melingkarinya, dan mereka baru berhenti setelah mereka merasa aman karena terlindung oleh bukit itu dan gerumbul-gerumbul yang tumbuh di atas dan di sekitarnya.

“Turunlah,“ berkata orang yang dijumpainya di Kali Praga.

“Apa maksud kalian sebenarnya?“ Glagah Putih bertanya pula.

“Turunlah,“ ulang orang itu.

Sementara itu keempat orang itu pun telah turun pula dari kuda mereka.

Sejenak Glagah Putih termangu-mangu. Namun sekali lagi orang itu membentaknya cukup keras, “Cepat, turun!”

Glagah Putihpun segera meloncat turun pula. Wajahnya menjadi tegang. Namun ia masih berusaha untuk mengekang diri menghadapi keempat orang yang tidak dikenalnya itu, selain salah seorang daripadanya pernah dijumpainya di pinggir Kali Praga, karena mereka bersama-sama menyeberang.

“Nah Anak Muda,“ berkata orang itu, “aku masih memerlukan bantuanmu sebagaimana kau berikan kepada kami pada saat kita meninggalkan Tanah Perdikanmu.“

“Apa yang dapat aku lakukan?“ bertanya Glagah Putih.

“Berikan bajumu,“ berkata orang itu. “Untuk apa?“ bertanya Glagah Putih pula.

Orang itu tertawa. Katanya, “Anak Muda. Bukankah kau anak seorang saudagar yang kaya raya? Kau selalu membayar lebih, dan bahkan berlipat, jika kau menyeberangi Kali Praga, kepada tukang satang.“

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Sementara orang itu berkata selanjutnya, “Sekarang berikan bajumu. Salah seorang di antara kami akan pergi ke rumah ayahmu untuk minta uang tebusan bagi keselamatanmu. Dengan demikian, maka kami akan mendapatkan kuda dan sekaligus uang, justru karena kau adalah anak saudagar yang kaya raya.“

Wajah Glagah Putih menegang. Masih saja ada ekornya. Permainan Raden Rangga itu telah menyeretnya ke dalam beberapa kesulitan dan memaksanya berurusan dengan orang-orang yang garang.

Karena Glagah Putih tidak segera menjawab, maka orang itupun membentaknya, “Cepat, lepas bajumu!“

“Ki Sanak,“ berkata Glagah Putih dengan nada datar, “aku di Tanah Perdikan ini sama sekali tidak bersama dengan orang tuaku. Aku di sini justru ikut kakak sepupuku. Apalagi kaya raya, untuk hidup sehari-hari pun agaknya tidak ada tersisa.“

“Jangan mengigau!“ orang yang ditemuinya di pinggir Kali Praga itu membentaknya, “Kau kira aku tidak tahu bahwa kau memang benar-benar anak seorang yang kaya raya.“

“Ki Sanak,“ berkata Glagah Putih kemudian, “jika kau tidak percaya, marilah. Aku temukan kau dengan keluargaku.“

“Kami bukan orang-orang gila yang dapat mempercayai ceritamu itu. Aku tahu bahwa kau adalah seorang yang mempunyai keluarga yang juga kaya raya di Mataram, sehingga dari keluargamu di Mataram itulah kau mengambil kuda yang besar dan tegar itu,“ berkata orang yang dijumpainya di pinggir Kali Praga itu.

Glagah Putih hanya dapat menggeleng-gelengkan kepalanya saja. Meskipun demikian ia masih mencoba untuk memperingatkan orang itu. “Jika kau ingin menemui keluargaku, cobalah. Temuilah kakang sepupuku yang tinggal di padukuhan induk itu. Namanya Agung Sedayu.“

Orang itu mengerutkan keningnya. Dengan nada datar ia bergumam, “Nama itu rasa-rasanya pernah aku dengar.”

“Banyak orang yang telah mendengar nama Kakang Agung Sedayu,“ berkata Glagah Putih, “ia adalah salah seorang pemimpin anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh.”

Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Namanya memang sudah didengar oleh banyak orang. Tetapi hal itu tidak akan berpengaruh sama sekali. Agung Sedayu selain namanya banyak dikenal, ia tentu seorang yang memiliki banyak harta benda. Setidak-tidaknya ia tentu mempunyai simpanan yang berharga. Mungkin pendok dari emas, mungkin kamus dari emas yang di tretes intan berlian, atau jenis perhiasan-perhiasan yang lain dapat dipergunakannya untuk menebusmu.“

“Kakang tidak akan melakukannya. Ia akan membiarkan aku berusaha untuk menyelamatkan diriku sendiri,“ berkata Glagah Putih kemudian.

Tetapi orang itu tertawa. Katanya, “Jangan berusaha memperbodoh kami. Lepaskan bajumu, seseorang akan datang ke tempat kakak sepupumu. Kakak sepupumu itu tentu tidak akan berani mengganggu orang yang datang kepadanya, karena nyawamu menjadi tanggungan. Jika orang itu tidak kembali pada saatnya, maka kau akan dicekik sampai mati di sini.“

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun bertanya, “Tetapi apakah jika kakakku mau menebus aku, maka aku akan dibebaskan?“

“Agaknya demikian,“ berkata orang itu, “mudah-mudahan tebusan itu cukup memadai bagi tebusan keselamatanmu.“

“Jika kurang?“ bertanya Glagah Putih kemudian.

Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menggeram sambil bergeser selangkah maju, “Jika orang tuamu, atau siapapun di padukuhan induk itu memberi tebusan kurang dari yang kami kehendaki, maka lehermu akan kami patahkan di sini. Mayatmu akan menjadi makanan burung gagak, karena tidak akan ada seorang pun yang pernah menemukannya.“

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada itu orang yang pernah dijumpainya di Kali Praga itu membentak lagi, “Cepat! Berikan bajumu!“

Glagah Putih tidak membantah. Ia pun kemudian melepaskan bajunya dan memberikannya kepada orang itu.

Orang itu tertawa. Katanya, “Nah, baju ini akan dibawa ke rumahmu dan tergantung kepada tebusan yang akan diberikan.“

Glagah Putih tidak menyahut. Sementara itu orang yang dijumpainya di Kali Praga itu berkata kepada seorang kawannya, “Pergilah ke padukuhan induk itu. Seandainya benar kau akan bertemu dengan orang yang bernama Agung Sedayu, kau tidak usah takut. Ia tidak akan dapat berbuat apa-apa karena anak ini akan menjadi tanggungan. Jika kau tidak kembali dalam waktu yang kami anggap cukup, maka anak ini akan kami bunuh di sini.“

Kawannya itu mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian bertanya, “Bagaimana jika aku harus menunggu orang itu mengumpulkan uang yang diperlukan?“

“Tidak. Kau harus kembali kemari. Jika orang tuanya belum mempunyai uang, maka ia harus berjanji selambat-lambatnya sampai esok. Esok kau akan mengambil uang dari tangannya dan membawanya kepada kami. Jika terjadi sesuatu atasmu, dengan cara apapun juga, maka anak ini akan mati. Ia akan berada di tempat yang tidak diketahui selain oleh kami jika kau tidak berhasil membawa uang hari ini,“ jawab orang itu.

Orang itu mengangguk-angguk. Ia tahu apa yang harus dilakukannya. Karena itu, maka ia pun segera meloncat ke atas punggung kudanya, dan dengan lantang bertanya kepada Glagah Putih ancar-ancar jalan yang harus ditempuhnya.

“Setelah aku memasuki padukuhan induk, aku harus kemana?“ bertanya orang itu.

Glagah Putih pun memberikan petunjuk tentang jalan yang menuju ke rumahnya. Lalu katanya, “Jika kau agak bingung, bertanyalah rumah Agung Sedayu.“

Nama itu memang membuat tengkuk orang itu meremang. Tetapi ia tidak usah takut. Jika ia tidak kembali pada waktu yang diperkirakan, maka tebusannya akan terlalu mahal. Anak muda itu akan mati.

Demikianlah, maka orang itupun kemudian telah berpacu meninggalkan tempat yang tersembunyi itu menuju ke padukuhan induk.

Sepeninggal orang itu, Glagah Putih termangu-mangu. Ia agak ragu untuk berbuat sesuatu. Mungkin dengan menunggu ia akan mendapatkan sedikit keterangan tentang keempat orang itu. Tetapi jika ia menunggu, maka lawannya akan bertambah dengan seorang.

“Mungkin dengan berkurang seorang itu akan ada artinya,“ berkata Glagah Putih di dalam hatinya.

Tetapi Glagah Putih tidak tergesa-gesa. Orang yang pergi ke padukuhan induk itu memerlukan waktu yang cukup, sehingga ia masih mempunyai waktu untuk berbincang barang sejenak.

Karena itu, maka Glagah Putih pun kemudian melakukan saja perintah orang yang dijumpainya di Kali Praga itu.

“Duduklah.“ berkata orang itu, “tetapi kumpulkan kudamu menjadi satu di sini.“

Glagah Putih tidak membantah. Ia pun mengikatkan kudanya berkelompok dengan kuda ketiga orang yang menjaganya.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam ketika ia sadar, bahwa ketiga orang itu telah menempatkan dirinya dalam putaran yang melingkarinya. Agaknya ketiganya benar-benar tidak mau kehilangan.

Glagah Putih yang kemudian menemukan sebongkah batu yang besar telah berbaring di atasnya tanpa menghiraukan ketiga orang yang mengawasinya, sehingga tingkah lakunya itu justru menarik perhatian ketiga orang itu.

“He, kenapa kau berbaring di situ?“ bertanya salah seorang di antara ketiga orang itu.

“Aku mengantuk,“ jawab Glagah Putih, “mungkin aku akan mempunyai waktu untuk tidur barang sejenak.”

“Persetan,“ geram orang yang dijumpainya di Kali Praga, “apakah kau tidak membayangkan bahwa kau akan dapat mati kami bunuh sekarang ini?“

“Bukankah jika orang yang kau perintah untuk mengambil uang kembali dengan membawa tebusan maka aku akan kau ijinkan pulang?“ jawab Glagah Putih tanpa bangkit.

“Persetan!“ teriak orang yang dijumpainya di Kali Praga itu lagi, “Jika kau mengabaikan kami, maka mungkin kami akan mengambil satu keputusan lain. Kami akan menerima uang tebusannya, tetapi kami akan tetap membunuhmu.“

“Ah, jangan main-main,“ Glagah Putih justru tertawa, “jika aku kau biarkan hidup, mungkin aku akan dapat mencarikan sumber uang yang lebih banyak dari yang kau perkirakan.“

Orang itu mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Jangan mencoba mengelabuhi kami dengan cara yang bodoh itu. Yang penting bagi kami adalah uang tebusan itu. Baru kemudian kami akan mempertimbangkan yang lain-lain. Bahkan mungkin aku memang akan membunuhmu.“

“Jangan berceloteh tentang membunuh,“ sahut Glagah Putih, “setiap orang tidak akan membiarkan dirinya dibunuh.“

Tiba-tiba orang itu meloncat bangkit sambil berteriak, “Apakah kau dapat berbuat demikian?“

“Ya. Bukankah aku berjanji untuk mendapatkan uang yang lebih banyak?“ jawab Glagah Putih tanpa menghiraukan sikap orang itu.

Orang-orang itu pun saling berpandangan sejenak. Orang yang pernah bertemu dengan Glagah Putih di pinggir Kali Praga itu pun kemudian berkata, “Aku ingin memaksamu untuk membawa kami mendapatkan uang lebih banyak, setelah kami melihat uang tebusan yang akan dibawa oleh kawanku itu. Tetapi segala sesuatunya tergantung kepada keadaan dan sikap orang tua atau kakak sepupumu dan sikapmu sendiri. Jika kau merendahkan kami dengan caramu itu, maka kami benar-benar akan membunuhmu. Bahkan mungkin kami tidak akan menunggu kawan kami yang membawa uang tebusan itu dating.“

“Jangan begitu,“ sahut Glagah Putih, “kalian tidak boleh ingkar.“

“Ingkar tentang apa?“ bertanya orang yang ditemuinya di Kali Praga itu.

“Bukankah kalian berjanji untuk membiarkan aku hidup jika tebusannya mencukupi?“ jawab Glagah Putih.

“Aku tidak pernah merasa terikat oleh janji apapun juga,“ jawab orang itu, “kalau aku ingin membunuh, maka aku akan membunuh.“

“Bukankah itu sikap sepihak? Mungkin kau ingin membunuh dan benar-benar akan membunuh. Tetapi kau harus memperhatikan sikap pihak lain. Orang yang ingin dan akan kau bunuh itu pun mempunyai sikap sendiri. Mungkin orang itu tidak ingin dan tidak mau kau bunuh, bahkan ingin dan benar-benar akan membunuhmu,“ jawab Glagah Putih.

“Tutup mulutmu!“ orang itu membentak, “menurut pendengaranku suaramu benar-benar menyakitkan hati. Tentu bukannya tidak kau sengaja. Kau anggap bahwa kau akan mampu berbuat seperti yang kau katakan? Karena itulah agaknya kau sama sekali tidak nampak gentar dan ketakutan. Bahkan kau masih sempat untuk berbaring di atas batu itu.“

Glagah Putih pun kemudian berdiri sambil berkata, “Sebenarnya aku ingin menunggu kawan kalian itu kembali. Tetapi ternyata aku tidak tahan mendengar dan melihat suara serta sikapmu. Karena itu maka apa boleh buat. Aku akan membunuh kalian.“

Wajah orang-orang itu pun menjadi tegang. Mereka memang sudah menyangka bahwa Glagah Putih mempunyai sandaran untuk bersikap seenaknya. Tetapi mereka sama sekali tidak menyangka, bahwa tiba-tiba saja anak itu mengatakan bahwa ia akan membunuh mereka.

Tetapi menilik sikap Glagah Putih, maka anak muda itu benar-benar telah bersiap untuk melakukan seperti yang dikatakannya.

Tetapi orang yang ditemuinya di Kali Praga itu pun berkata, “Kau jangan menjadi gila, Anak Muda. Seandainya kau benar-benar akan melawan, apakah kau menganggap kami bertiga tikus-tikus tanah yang tidak berharga? Kau tidak membawa senjata apapun, sementara kami membawa senjata yang akan dapat memenggal lehermu. Apaiagi kami bertiga adalah orang-orang yang memang terbiasa dengan pekerjaan kami seperti ini. Membunuh bagi kami sama sekali tidak mengerutkan kulit tengkuk kami.“

“Siapapun kalian dan apapun yang pernah kalian lakukan, namun aku tidak akan menarik kata-kataku. Akulah yang akan membunuh kalian jika memang kalian akan membunuhku.“

“Kau benar-benar menjadi gila Anak Muda? Mungkin ketakutan yang kau tahankan telah mempengaruhi kejernihan otakmu,“ berkata orang yang pernah dijumpainya di Kali Praga itu, “tetapi keadaanmu tidak akan dapat menumbuhkan belas kasihan kami atasmu. Kami tetap pada sikap kami. Jika perlu kami akan membunuhmu meskipun kami akan menerima uang tebusan itu. Bahkan jika kau benar-benar menjadi gila, kami akan segera membunuhmu, tanpa menunggu kawanku yang mengambil uang tebusan itu.“

Glagah Putih maju setapak. Dengan nada tinggi ia berkata, “Baiklah. Marilah kita tidak lagi berpura-pura. Kalian telah menyatakan diri dan niat kalian. Sekarang biarlah aku menyatakan diriku. Aku adalah Glagah Putih, adik sepupu Agung Sedayu yang menjadi salah seorang pembina para pengawal Tanah Perdikan Menoreh Karena itu, maka aku tidak akan merasa kecil berhadapan dengan kalian, meskipun kalian menyebut diri kalian sebagai orang-orang yang paling garang serta bertiga, karena tidak ada orang yang manapun juga yang dapat menggetarkan jantungku. Karena itu, maka aku dapat menawarkan dua kemungkinan yang paling mungkin bagi kalian. Menyerah dan akan aku serahkan kepada Ki Gede Menoreh, atau melawan tetapi kalian akan mati.“

Wajah-wajah ketiga orang itu menjadi tegang. Namun orang yang pernah dijumpainya di Kali Praga itu kemudian berkata, “Agaknya kau sudah benar-benar gila. Kau membanggakan dirimu karena kau adalah salah seorang pembina para pengawal Tanah Perdikan. Kau kira kedudukan itu dapat mempengaruhi sikap kami terhadapmu? Apa kau kira bahwa seorang pembina pengawal Tanah Perdikan itu cukup memiliki kemampuan untuk melawan kami, seorang melawan seorang? Apalagi kami bertiga seperti sekarang ini?“

“Sudahlah,“ berkata Glagah Putih, “aku sudah siap untuk menangkap kalian. Melawan atau tidak melawan. Kalian akan aku ikat dan aku giring ke padukuhan induk Tanah Perdikan. Bahkan jika kalian melawan, mungkin salah seorang atau kalian bertiga akan mati.“

“Tutup mulutmu!“ geram orang yang ditemuinya di Kali Praga itu.

Glagah Putih tidak menyahut. Tetapi ia pun telah bersiap untuk menghadapi segala kemungkinan. Bahkan ia pun telah melangkah maju mendekati orang yang dijumpainya di pinggir Kali Praga itu.

Namun sementara itu, kedua orang kawannya yang lainpun telah bergeser pula mendekat. Namun mereka masih tetap berada di arah yang berbeda-beda, sehingga ketiga orang itu telah memberikan kesan bahwa mereka telah mengepung Glagah Putih.

Glagah Putih menyadari kedudukannya. Namun ia sama sekali tidak menjadi gelisah. Ia sudah mapan dan benar-benar telah mempersiapkan diri untuk melawan ketiga orang itu.

Yang dianggap orang terpenting dari ketiga orang itu, adalah orang yang ditemuinya di Kali Praga itu, sehingga perhatian Glagah Putih terbesar tertuju kepadanya.

Sebenarnyalah bahwa orang itu pun telah benar-benar menjadi marah. Bukan saja kata-kata Glagah Putih yang menyakiti hati mereka, tetapi sikap Glagah Putih pun seolah-olah telah merendahkan martabat orang-orang yang mengepungnya itu.

Karena itu, maka orang yang pernah bertemu di pinggir Kali Praga itupun menggeram, “Kau memang harus dicincang. Aku tidak akan membunuhmu dengan segera. Tetapi melihat kematianmu yang sulit, akan dapat menumbuhkan kegembiraan tersendiri.“

“Jika demikian maka akupun akan bersikap serupa,“ berkata Glagah Putih, “kalian bertiga akan mengalami saat-saat terakhir yang tidak menyenangkan.“

Orang yang pernah ditemui di pinggir Kali Praga itu benar-benar tidak dapat mengekang dirinya lagi. Dengan serta merta iapun telah meloncat menyerang dengan garangnya. Namun Glagah Putih sudah memperhitungkannya. Karena itu, maka iapun dengan cepat pula mengelakkan serangan itu, sehingga serangan itupun sama sekali tidak menyentuhnya. Tetapi Glagah Putih terkejut mengalami serangan yang kedua. Ternyata kawan orang yang gagal mengenainya itu cepat pula bertindak. Selagi Glagah Putih menghindari serangan pertama itu, maka seorang di antara kedua kawannya telah menyerangnya pula. Namun Glagah Putih memang memiliki kecepatan bergerak yang luar biasa. Meskipun serangan itu datang begitu cepatnya, tetapi Glagah Putih sempat mengelak.

Namun dengan demikian, Glagah Putih harus memperhitungkan lawannya yang seorang lagi. Jika langkahnya sejalan dengan kawannya, maka iapun akan dengan cepat menyusul serangan pula.

Sebenarnyalah perhitungan Glagah Putih itu tepat. Pada saat ia dengan susah payah menggeliat menghindari serangan orang kedua itu, maka orang yang ketigapun telah meloncat menyerangnya pula. Kakinya terjulur lurus menyamping, sedangkan tubuhnya miring searah dengan julur kakinya.

Glagah Putih tidak terlalu terkejut mendapat serangan itu. Tetapi ia harus dengan cepat memperhitungkan langkah yang akan diambilnya, justru serangan itu merupakan yang berbahaya baginya.

Namun ketika kaki itu hampir menyentuh tubuh Glagah Putih, maka Glagah Putih itu telah berguling di tanah Demikian cepat, dengan perhitungan bahwa serangan akan segera menyusul pula. Itulah agaknya yang mendorongnya untuk dengan cepat melenting berdiri sambil bersiap menghadapi serangan yang bakal datang.

Pada saat Glagah Putih mempersiapkan diri, maka orang yang pertama-lah yang sudah siap untuk menyerang. Tetapi Glagah Putih tidak membiarkan dirinya menjadi sasaran. Ia justru ingin menunjukkan bahwa ia memiliki kecepatan bergerak melampaui kecepatan gerak ketiga orang itu.

Karena itu, sebelum orang itu meloncat menyerangnya, justru Glagah Putih-lah yang telah mendahuluinya. Sambil meloncat tangannya terjulur lurus mengarah kepada orang yang pertama, yang pernah ditemuinya di pinggir Kali Praga.

Tetapi Glagah Putih yang belum mengetahui kemampuan lawan-lawannya, tidak mempergunakan seluruh kekuatannya. Bahkan ia tidak mempergunakan ujung jarinya yang merapat yang akan dapat mematahkan iga-iga lawannya, apalagi dengan kepalan tangannya. Tetapi Glagah Putih justru mempergunakan telapak tangannya yang terbuka.

Melihat kecepatan gerak Glagah Putih yang justru mendahuluinya menyerang, orang itu terkejut bukan buatan. Ia tidak sempat mengelakkan diri karena serangan yang tiba-tiba itu Namun ia telah berusaha untuk melindungi dadanya dengan menyilangkan kedua tangannya.

Karena itulah, maka sejenak kemudian telah terjadi benturan kekuatan telapak tangan Glagah Putih yang terbuka telah membentur tangan lawannya yang bersilang di depan dadanya. Ternyata kedua-duanya telah terkejut pula. Kekuatan Glagah Putih telah mampu melontarkan lawannya beberapa langkah surut. Bahkan tekanan tangannya sendiri yang menyilang di dada karena dorongan serangan Glagah Putih rasa-rasanya telah menghimpit dadanya itu, dan nafasnyapun rasa-rasanya menjadi sesak. Sementara itu, Glagah Putih yang tidak mempergunakan kemampuan puncaknya, telah tertahan dan bahkan terdorong selangkah surut untuk menghindarkan diri dari tekanan balik di dalam tubuhnya sendiri.

Tetapi Glagah Putih tidak sempat menilai keadaan lawannya. Ia pun tidak dapat memburu lawannya yang terlempar surut itu. Tetapi sudah di dalam rangka perhitungannya, bahwa serangan dari kedua lawannya yang lain pun tentu akan segera dating.

Sebenarnyalah, serangan dari kedua lawannya yang lain pun telah meloncat menyerang. Dengan tangkas Glagah Putih menghindar. Justru ke tempat yang mapan untuk mendapat serangan dari orang yang ketiga.

Glagah Putih memang menunggu serangan itu. Karena itu, ketika orang ketiga itu benar-benar menyerangnya, maka Glagah Putih sama sekali tidak menghindar. Ia-lah yang kemudian menangkis serangan itu, setelah dalam pertempuran itu ia berhasil menjajagi kekuatan lawan-lawannya.

Sekali lagi telah terjadi benturan. Glagah Putih telah meloncat surut untuk mengimbangi tekanan yang diakibatkan oleh benturan yang terjadi. Namun dalam pada itu, lawannya yang justru menyerangnya telah terlempar beberapa langkah surut. Bahkan hampir saja ia telah kehilangan keseimbangannya.

Glagah Putih pun kemudian telah bersiap. Tetapi ketiga lawannya agaknya tidak tergesa-gesa menyerangnya. Mereka telah melihat satu kenyataan bahwa anak muda itu ternyata memang memiliki kemampuan yang tinggi.

“Jangan berbangga dengan kejutan-kejutan kecil yang mampu kau lakukan,“ geram orang yang ditemuinya di pinggir Kali Praga.

Glagah Putih memandanginya dengan tajamnya. Tetapi ia tidak segera menjawab.

Sementara itu, orang yang pernah ditemuinya di pinggir Kali Praga itu pun bergeser mendekati sambil berkata, “Aku akui, bahwa aku tidak menyangka kau memiliki ilmu yang tinggi. Aku kira bahwa aku akan dengan mudah meringkusmu dan mengikatmu sebelum kau aku bunuh dengan caraku. Ternyata bahwa kau mempunyai kemampuan untuk melawan. Agaknya kemampuanmu yang tidak berarti itulah yang membuatmu menjadi sombong dan sengaja membiarkan dirimu kami bawa ke tempat ini, karena kau mengira bahwa kau akan dapat melawan kami bertiga.“

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Dipandanginya ketiga orang itu berganti-ganti. Kemudian dengan nada datar ia berkata, “Ki Sanak. Kalian masih mempunyai kesempatan. Jika kalian menyerah dan mengikuti aku ke Tanah Perdikan dan menghadap Ki Gede, maka aku tidak akan mengambil langkah kekerasan.“

“Kau memang terlalu sombong,“ berkata orang itu. “Baiklah. Kau akan segera mengetahui bahwa kesombonganmu itu harus diakhiri.“

“Sejak semula kau hanya berbicara saja. Mengancam, menakut-nakuti, dan apalagi. Tetapi kau tidak mampu berbuat apa-apa untuk membuktikan kata-katamu itu,“ jawab Glagah Putih.

Orang itu meggeretakkan giginya. Ia benar-benar merasa direndahkan oleh Glagah Putih. Karena itu, maka ia pun tidak mempunyai pertimbangan lain kecuali benar-benar melakukan sebagaimana dikatakannya.

Karena itu, maka orang itu pun segera bersiap. Kedua orang kawannya pun telah melakukan hal yang sama.

Ketika Glagah Putih memandangi sorot mata orang itu serta sikap mereka, maka Glagah Putih pun menyadari bahwa orang-orang itu tentu sudah sampai kepada tingkat ilmu mereka yang tertinggi.

Dengan demikian maka Glagah Putih pun harus berhati-hati. Ia tidak boleh lengah. Jika ia membenturkan ilmunya, maka ia harus mengerahkan kekuatan yang lebih besar dalam lambaran ilmunya, agar bukan dirinya-lah yang terlempar dan bahkan terbanting jatuh.

Sejenak kemudian, maka ketiga orang itu pun telah benar-benar bersiap. Pada saat Glagah Putih bergeser, maka salah seorang di antara ketiga lawannya itu pun maju selangkah. Glagah Putih pun segera mempersiapkan diri. Namun yang tiba-tiba meloncat menyerang adalah justru orang yang lain.

Glagah Putih memang agak terkejut. Tetapi ia memiliki kemampuan untuk bergerak cepat. Karena itu, maka ia sempat mengelakkan serangan itu.

Kecepatan gerak anak muda itu memang menggelisahkan lawan-lawannya. Mereka seakan-akan tidak mempunyai kesempatan untuk dapat menyentuhnya. Namun dengan mengerahkan segenap kemampuan dalam puncak ilmu mereka, maka mereka bertiga berharap untuk dapat mengimbangi kecepatan gerak Glagah Putih.

Dengan demikian, maka pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin cepat. Ketiga orang lawan Glagah Putih benar-benar tidak dapat mengekang diri lagi. Mereka bergerak semakin lama semakin rapat dalam lingkaran yang mengelilingi Glagah Putih. Dengan tata gerak yang khusus mereka mulai berputar di sekeliling lawannya yang berada di tengah-tengah.

Glagah Putih menjadi semakin berhati-hati. Ia mulai merasakan satu tekanan ilmu yang terasa semakin lama semakin keras. Dengan demikian maka Glagah Putih pun telah meningkatkan ilmunya pula. Ia mulai dengan kekuatan yang semakin meningkat, menyerang orang-orang yang berputaran itu.

Tetapi orang-orang yang berputaran itu, seakan-akan telah terikat dalam satu otak yang menggerakkan mereka. Setiap kali Glagah Putih menyerang salah seorang yang berada di dalam lingkaran itu, maka ia telah mendapat serangan pula dari orang yang lain, sementara orang yang mendapat serangannya hanya sekedar menghindar. Dengan demikian maka Glagah Putih mulai dipengaruhi oleh permainan yang membuatnya pening. Putaran itu sendiri terasa sangat mengganggunya. Apalagi semakin lama putaran itu menjadi semakin cepat. Bahkan pada saat-saat tertentu, seorang di antara mereka meloncat dari lingkaran, menusukkan serangannya ke arah Glagah Putih.

“Gila,“ geram Glagah Putih di dalam hatinya, “putaran itu membuat kepalaku menjadi pening.“

Dengan demikian, maka Glagah Putih tidak lagi terpancang pada tingkat ilmunya. Iapun kemudian telah meningkatkan kemampuannya untuk memecahkan kepungan itu. Karena itu, maka untuk sesaat ia memperhatikan putaran itu sendiri sambil sekali-sekali menghindari serangan yang datang berurutan, kadang-kadang justru dua orang menyerangnya berbareng.

Ketika ia mulai mengenali bentuk permainan lawannya, maka Glagah Putih pun telah mempersiapkan satu serangan yang diperhitungkannya baik-baik.

Pada saat yang tepat, maka Glagah Putih pun telah meloncat ke arah salah seorang yang melingkarinya itu. Seperti yang diperhitungkan maka orang itu meloncat mengelak, sementara orang yang berada di belakangnya justru telah menyerangnya pula dengan cepat.

Glagah Putih sudah bersiap-siap menghadapi kemungkinan itu. Dengan tangkasnya Glagah Putih mengelak. Ia sama sekali tidak melayani orang yang menyerangnya itu. Tetapi ia justru meloncat menyerang orang yang lain.

Langkah Glagah Putih itu pun tidak terduga pula oleh lawan-lawannya. Karena itu, maka putaran merekapun agak terganggu karenanya.

Glagah Putih tidak membiarkan kesempatan itu. Justru pada saat yang demikian, maka iapun telah mempergunakan kemampuannya bergerak cepat, untuk menekan lawannya yang sedang agak bingung menghadapi tata geraknya.

Serangannya yang kemudian ternyata telah berhasil mendorong salah seorang di antara ketiga lawannya itu surut, sehingga dengan demikian maka kepungan itupun telah pecah.

Dengan tangkasnya Glagah Putih pun kemudian meloncat keluar dari kepungan. Sejenak ia berdiri tegak. Namun kemudian iapun bertolak pinggang sambii menengadahkan dadanya. Katanya dengan suara lantang, “Ayo, usahakan dapat mengepung aku kembali.“

Ketiga orang itu mengumpat hampir berbareng. Mereka benar-benar tidak menyangka bahwa anak muda yang memiliki kuda yang besar dan tegar itu memiliki ilmu yang tinggi.

Namun justru karena itu, maka ketiga orang itu benar-benar kehilangan pengendalian diri. Orang yang pernah ditemui Glagah Putih di pinggir Kali Praga itupun kemudian menggeram, “Kau benar Anak Muda. Jika kami tidak membunuhmu tanpa ragu-ragu, kau memang dapat membunuh kami. Ternyata kau benar-benar memiliki ilmu yang pantas untuk melawan kami bertiga. Kami tidak dapat mengelakkan kenyataan, bahwa kau berhasil memecahkan kepungan kami, sehingga dengan demikian maka kau benar-benar seorang yang memang harus diperhitungkan dengan sungguh-sungguh. Tetapi jangan menyesal bahwa dengan demikian, kami berniat untuk dengan sungguh-sungguh pula ingin membunuhmu.“

“Katakan, apakah semula kau tidak ingin membunuhku dengan bersungguh-sungguh? Apakah semula kau hanya ingin menakut-nakuti saja?“ bertanya Glagah Putih.

“Kami masih ingin membuat pertimbangan-pertimbangan. Tetapi sekarang tidak,“ geram orang itu.

Glagah Putih itu pun menggeram pula. Katanya, “Kalian ternyata telah menghina aku. Kau kira aku sebangsa kecoak yang dapat kau takut-takuti he? Tetapi baiklah. Aku akan mengambil langkah sebagaimana kau ambil. Sejak semula aku menempatkan diriku sebagaimana kalian bersikap terhadapku. Akupun benar-benar akan membunuhmu sekarang, jika semula aku hanya ingin menakut-nakutimu.“

“Uh, kau memang gila!“ teriak salah seorang dari ketiga orang itu, “Aku menjadi muak.“

“Tepat,“ sahut Glagah Putih, “kalian memang memuakkan.“

Orang-orang itu tidak lagi mampu menahan diri. Tiba-tiba saja seorang di antara mereka telah menarik senjatanya. Sekejap kemudian yang lain-lain pun telah melakukannya pula.

Glagah Putih bergeser setapak mundur. Dipandanginya ketiga orang yang mulai menggerakkan ketiga ujung senjata mereka.

“Kau mulai menyesali kesombonganmu,“ geram salah seorang di antara ketiga orang itu, “tetapi sekarang sudah terlambat.“

“Aku tidak menyesalinya,“ jawab Glagah Putih, “yang aku sesali adalah, bahwa aku harus membunuh kalian bertiga. Semula aku ingin menangkap kalian hidup-hidup.”

Glagah Putih tidak dapat menyelesaikan kalimatnya. Tiba-tiba saja orang-orang itu telah berloncatan menyerang dengan senjata teracu.

Glagah Putih harus meloncat surut untuk menghindar. Namun ketiga orang itu tidak memberinya kesempatan. Mereka bertiga telah memburunya dengan senjata yang terayun-ayun mengerikan.

“Orang-orang ini menjadi gila,“ berkata Glagah Putih di dalam hatinya.

Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih tidak banyak mendapat kesempatan. Dengan senjatanya ketiga lawannya menjadi sangat berbahaya. Mereka berpencar dan berusaha untuk mengepung.

Glagah Putih berloncatan dengan cepat. Ia menyadari, bahwa jika ketiga orang lawannya berhasil mengepungnya, maka ia akan berada dalam kedudukan yang sulit, karena tiga ujung senjata akan menggapainya dari tiga jurusan. Apalagi ketiga orang yang memegang senjata itu adalah orang-orang berilmu yang sedang marah.

Tetapi ruang gerak Glagah Putih memang terbatas. Tempat di belakang bukit kecil itu tidak cukup luas, karena gerumbul-gerumbul perdu yang bertebaran dan bebatuan yang berserakan.

Meskipun kadang-kadang gerumbul-gerumbul itu memberinya kesempatan untuk menghindari usaha ketiga orang itu untuk mengepungnya, namun kadang-kadang ia mendapat kesulitan juga karena gerumbul-gerumbul yang seolah-olah sangat menyempitkan medan.

Karena itulah, maka Glagah Putih tidak mau mengalami kesulitan yang mungkin akan dapat menentukan. Karena ketiga orang lawannya telah mempergunakan senjata, maka Glagah Putih pun kemudian telah meloncat surut, mengambil jarak dari lawan-lawannya untuk mempersiapkan senjatanya.

“Jangan lari!“ teriak orang yang dijumpainya di Kali Praga itu, “Tidak ada gunanya. Kami akan memburumu dan membunuhmu.“

Glagah Putih menggeram. Tangannya pun kemudian telah meraba ikat pinggangnya sambil berkata, “Sekali lagi aku katakan. Akulah yang akan membunuh kalian.“

Ketiga orang lawannya tidak menjawab. Merekapun telah berloncatan memburu dengan senjata teracu.

Namun mereka terkejut dan tertegun ketika mereka melihat anak muda itu mengurai ikat pinggang kulitnya.

“Apa kau menjadi gila?“ bertanya orang yang pernah dijumpainya di pinggir Kali Praga itu, “Kau akan melawan ketiga ujung senjata kami hanya dengan ikat pinggang kulit itu?“

“Aku tidak membawa senjata lainnya,” berkata Glagah Putih. “Kakang Agung Sedayu melawan musuh-musuhnya hanya dengan sehelai cambuk. Sekarang aku memiliki ikat pinggang kulit yang lebih kuat dari seutas tali di ujung cambuk kakang Agung Sedayu. Nah, kalian mau apa?“

“Persetan,“ geram salah seorang lawannya, “kau masih saja menghina kami dalam keadaan seperti ini. Kau telah mempersulit jalan kematianmu sendiri.“

“Ya,“ jawab Glagah Putih, “bukan hanya mempersulit. Tetapi aku telah berusaha mengurungkan kematianku sendiri meskipun segala sesuatunya tergantung kepada keputusan-Nya.“

Ketiga orang itu tidak membuang waktu lebih lama lagi. Mereka pun kemudian telah melangkah mendekat. Senjata mereka mulai terayun-ayun kembali, sementara itu Glagah Putih telah memutar ikat pinggang kulitnya.

Sejenak kemudian maka ketiga orang lawan Glagah Putih itu pun telah mulai menyerang lagi. Senjata mereka terayun-ayun mengerikan. Glagah Putih menyadari betapa besarnya kekuatan ayunan senjata lawannya dari desing yang menggaung susul menyusul.

“Mereka memiliki ilmu yang mapan dalam olah senjata,“ berkata Glagah Putih di dalam hatinya.

Karena itulah maka Glagah Putih pun harus mempergunakan segenap kemampuannya pula. Ia harus berloncatan menghindar. Namun iapun harus meloncat pula menyerang.

Dalam putaran pertama, Glagah Putih masih merasa ragu untuk membenturkan senjata secara langsung. Meskipun ia mampu memecahkan batu dengan senjatanya yang berhiaskan besi baja itu, namun apakah senjatanya tidak akan terluka jika membentur tajamnya senjata lawan.

Namun dalam keragu-raguan itu, Glagah Putih menjadi semakin terdesak. Bahkan ketika keadaan menjadi semakin sulit, sementara itu ia masih saja ragu-ragu, maka tiba-tiba saja terasa sesuatu menyengat lengannya.

Glagah Putih meloncat surut beberapa langkah untuk mengambil jarak. Ketika ia sempat mengamatinya, maka ternyata bahwa lengannya telah tergores ujung senjata lawannya.

“Licik!“ teriak salah seorang di antara ketiga lawannya, “Kau baru tergores seujung rambut, kau sudah mencari jalan untuk melarikan diri.”

Glagah Putih menggeretakkan giginya. Luka di lengannya telah membuat hatinya benar-benar menjadi panas.

Namun ia tidak dapat mengingkari kenyataan, kemampuan lawannya mempermainkan senjata mereka benar-benar mendebarkan. Apalagi selama ia masih dicengkam oleh keragu-raguan.

Sejenak kemudian maka ketiga orang yang telah berhasil melukai Glagah Putih itupun menjadi semakin garang. Mereka menganggap, bahwa dengan demikian, jalan kemenangan telah mulai terbuka. Dengan demikian maka dengan teriakan-teriakan nyaring mereka menyerang susul menyusul seperti benturan ombak di lautan berturutan menghantam pantai berbatu karang.

Dengan demikian Glagah Putih harus berloncatan semakin cepat. Ujung senjata lawannya rasa-rasanya mengerumuninya dari segala arah.

Sementara itu, seorang di antara mereka yang telah mengambil Glagah Putih telah memasuki padukuhan induk. Dengan ancar-ancar yang diberikan oleh Glagah Putih, maka iapun telah mencari rumah Agung Sedayu. Untuk meyakinkan petunjuk Glagah Putih, maka orang itu pun telah bertanya kepada seseorang yang baru saja keluar dari regol halaman rumahnya.

“Apakah kau akan bertemu dengan Agung Sedayu?“ bertanya orang itu.

“Ya. Aku adalah salah seorang kawannya,“ jawab orang yang mencari Agung Sedayu itu.

Orang yang ditanya itu memang merasa heran. Ia belum pernah melihat orang itu. Dan menurut ujud dan tingkah lakunya, maka agaknya ia tidak sejalan dengan sikap Agung Sedayu.

Meskipun demikian, orang itu telah menunjukkan pula arah rumah Agung Sedayu. Ia yakin bahwa tidak seorang pun yang seorang diri dapat berbuat jahat atas Agung Sedayu, apalagi di rumah itu selain ada Agung Sedayu, juga terdapat Sekar Mirah dan Kiai Jayaraga.

Demikianlah, maka akhirnya orang itupun telah memasuki halaman rumah Agung Sedayu. Ketika ia meloncat dari punggung kudanya, maka dilihatnya seseorang yang masih terhitung muda berdiri di atas tangga pendapa rumahnya yang tidak begitu besar.

“Kaukah yang bernama Agung Sedayu?“ bertanya orang itu dengan kasar.

“Ya,“ jawab orang yang berdiri di tangga itu.

“Kebetulan sekali,“ berkata orang yang datang ke rumah Agung Sedayu itu, “aku ingin berbicara denganmu.”

Agung Sedayu termangu-mangu. Namun kemudian iapun melangkah mendekat. Dengan nada datar ia bertanya, “Apakah ada sesuatu yang penting?“

“Aku ingin berbicara di dalam rumahmu,“ berkata orang itu.

Agung Sedayu menjadi semakin heran melihat sikap orang itu. Tetapi iapun mempersilahkannya naik ke pendapa.

“Tidak di pendapa. Tetapi di dalam rumah!“ orang itu mulai membentak.

Agung Sedayu memandang orang itu sejenak. Menilik pandangan matanya orang itu bukan orang gila. Namun debar jantungnya terasa menjadi semakin cepat.

“Baiklah,“ berkata Agung Sedayu, “marilah, silahkan masuk ke ruang dalam.“

Agung Sedayu pun kemudian membawa orang itu masuk ke ruang dalam. Sementara itu kehadirannya telah menarik perhatian Sekar Mirah dan Kiai Jayaraga.

“Silahkan duduk,“ berkata Agung Sedayu.

“Aku tidak perlu duduk,“ berkata orang itu, “aku tergesa-gesa. Kebetulan kau ada di rumah.”

“Baru saja aku datang dari bendungan,“ berkata Agung Sedayu, “sekedar melihat-lihat, apakah tidak ada yang perlu diperbaiki.“

“Aku tidak peduli,“ jawab orang itu. Kemudian sambil membuka baju Glagah Putih itu bertanya, “Kau mengenal baju ini?“

Agung Sedayu menjadi tegang. Namun sebelum ia menjawab, Sekar Mirah yang menjawab, “Baju Glagah Putih.”

“Tepat,“ jawab orang itu, “anak itu sekarang ada di bawah kekuasaan kami. Kami memerlukan tebusan. Bukankah kalian termasuk orang yang kaya raya sebagaimana dikatakan oleh Glagah Putih itu sendiri?“

Debar di jantung Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Kiai Jayaraga terasa menjadi semakin cepat. Baju itu memang baju Glagah Putih. Namun Agung Sedayu berusaha untuk tetap tenang. Karena itu, maka iapun bertanya, “Dimana Glagah Putih sekarang?“

Orang yang datang dengan membawa baju Glagah Putih itu memandang Agung Sedayu dengan tajamnya. Kemudian dengan nada kasar ia berkata, “Jangan banyak bicara. Serahkan uang tebusan, atau barang kali sebilah keris dengan wrangka berpendok emas, timang emas tretes berlian atau barang-barang berharga lainnya. Jika kau tidak segera memenuhinya, maka kau akan menyesal.”

Wajah Agung Sedayu menjadi semakin tegang. Dengan susah payah ia berusaha menahan diri.

“Aku tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi,“ berkata Agung Sedayu.

“Jangan dungu!“ bentak orang itu, “Jika pada saat yang ditentukan aku tidak kembali, maka Glagah Putih akan dibunuh.“

“Aku ingin persoalannya menjadi lebih jelas. Tentu saja aku tidak akan keberatan untuk menebus Glagah Putih,“ jawab Agung Sedayu.

“Apa yang kau punya?“ bertanya orang itu.

“Aku mempunyai pendok emas. Meskipun aku tidak mempunyai timang emas tretes berlian, tetapi aku mempunyai beberapa buah cincin, dan istriku mempunyai perhiasan emas lainnya,“ jawab Agung Sedayu. “Tetapi katakan, dimana anak itu sekarang.“

“Kau tidak perlu tahu. Berikan barang-barang itu kepadaku. Nanti pada saatnya anak itu akan kembali dengan sendirinya,“ jawab orang itu.

“Tetapi aku memerlukan satu kepastian bahwa anak itu akan kembali,“ jawab Agung Sedayu, “aku tidak mau diperas sampai dua tiga kali. Jika aku sekarang menyerahkan yang kau minta, itu berarti bahwa anak itu harus sudah kembali kepadaku. Jika tidak, maka masih akan ada persoalan-persoalan yang dapat timbul kemudian.“

“Persetan,“ geram orang itu, “berikan barang-barang itu.“

“Ki Sanak,“ berkata Agung Sedayu, “marilah. Aku ikut bersamamu sambil membawa barang-barang itu. Kemudian jika kalian menyerahkan anak itu, maka akupun akan menyerahkan barang-barangku.“

“Aku tidak peduli,“ jawab orang itu, “berikan barang-barangmu, atau kau biarkan anakmu mati dalam keadaan yang paling pahit.“

“Glagah Putih adalah adik sepupuku,“ jawab Agung Sedayu, “tetapi ingat. Jika kau menolak, maka aku pun dapat memanggil seisi padukuhan ini untuk menangkapmu.“

“Gila. Kau tidak akan berani berbuat seperti itu!“ bentak orang itu, “Jika aku terlambat kembali, maka anak itu akan kau dapati tidak bernyawa lagi.“

“Aku tidak peduli,“ jawab Agung Sedayu mengejutkan, “aku bersyukur bahwa ada orang yang mau menyingkirkan anak itu dari rumah ini. Aku sudah merasa terlalu letih mengurusinya. Anak itu sama sekali bukan anak penurut. Ia berbuat sesukanya saja. Bahkan ia telah mengambil kuda pamannya, sehingga pamannya telah mengancam aku dan keluargaku yang lain.“

Wajah orang itu menegang sejenak. Namun iapun masih bertanya, “Kenapa kau bersedia menebusnya?“

“Aku masih ingin menghindari perselisihan dengan orang tuanya. Tetapi jika aku harus mengorbankan terlalu banyak barang-barangku, biar saja anak itu kau ambil,“ jawab Agung Sedayu. Namun katanya kemudian, “Tetapi yang kemudian aku pikirkan adalah sikap kalian. Orang-orang seperti kalian memang harus ditangkap. Jangan mengancam lagi, bahwa anak yang kalian kuasai itu akan mati. Biar saja ia mati. Tetapi kau pun akan mati.“

Wajah orang itu menjadi semakin tegang. Apalagi Agung Sedayu kemudian berkata, “Kau tidak akan mendapat keuntungan apa-apa jika anak itu dibunuh. Tetapi justru kau akan mengalami satu keadaan yang mungkin tidak akan pernah kau bayangkan. Jika kau jatuh ke tangan orang banyak, maka kau dapat membayangkan sendiri apa yang akan terjadi.“

“Gila,“ geram orang itu. Namun tiba-tiba pula ia menjadi garang, “Jangan berpura-pura. Jika anak itu benar-benar mati, sepekan kau tangisi mayatnya.“

“Aku tidak akan menangis,“ jawab Agung Sedayu, “bahkan aku akan lebih memperhatikan mayatmu yang dicincang di halaman banjar.”

“Jangan menjadi semakin dungu,“ berkata orang itu, “jika ada yang berani mencoba menangkapku, maka orang itu akan mati lebih dahulu.“

“Jangan berangan-angan terlalu jauh. Tanah Perdikan ini bukan sarang pengecut dan orang-orang cengeng. Nah, sekarang bersiaplah untuk mati,“ berkata Agung Sedayu.

Wajah orang itu menjadi bertambah tegang. Jantungnya bergejolak tidak menentu. Kegelisahan yang sangat telah mencengkam jantungnya.

Dalam kebingungan itu, tiba-tiba saja ia telah menarik senjatanya. Namun sekali lagi ia terkejut. Demikian ia menarik senjatanya itu, maka tiba-tiba pula terasa pergelangan tangannya bagaikan menjadi patah. Senjata telah terlempar jatuh selangkah dari kakinya. Orang itu menjadi bingung. Apalagi ketika ia menyadari, bahwa yang memukul pergelangan tangannya itu bukan seorang laki-laki, tetapi satu-satunya perempuan yang ada di ruang itu.

Namun sejenak kemudian ia menyadari keadaan sepenuhnya. Karena itu maka iapun dengan tangkasnya telah berusaha meraih senjatanya kembali.

Tetapi sekali lagi ia terkejut. Ternyata ia tidak berhasil memungut senjatanya, karena senjatanya itu telah terinjak oleh kaki Agung Sedayu.

“Jangan berbuat yang aneh-aneh di sini Ki Sanak,“ berkata Sekar Mirah yang ternyata hampir kehilangan kesabaran, “kami dapat berbuat jauh lebih keras dari apa yang sekedar kami peragakan ini. Bahkan aku dapat benar-benar mematahkan pergelangan tanganmu atau malahan lehermu.“

Orang itu termangu-mangu. Namun wajahnya pun kemudian menyala. Dipandanginya Sekar Mirah dengan sorot mata yang bagaikan membara.

Dengan nada geram ia berkata, “Perempuan tidak tahu diri. Kau jangan mencoba menggertak aku dengan kasar, he? Anak-anak ingusan pun dapat berbuat seperti yang kau lakukan itu. Tetapi kau tidak akan mampu berbuat apa-apa jika aku mengetahui bahwa kau akan berlaku kasar seperti itu.“

“Tutup mulutmu!“ Sekar Mirah benar-benar telah kehilangan kesabaran, “Kau harus membawa kami ke tempat anak itu kau sembunyikan. Jika tidak, maka kau akan mengalami nasib yang sangat buruk di sini.“

“Jangan berlagak seperti itu. Akulah yang akan membunuh kalian bertiga jika kalian tidak mau mendengarkan perintahku,“ geram orang itu, “karena itu, cepat sediakan barang-barang itu. Aku akan segera pergi sebelum anak itu dibunuh karena keterlambatanku.“

“Kami akan pergi bersamamu,“ berkata Agung Sedayu. “Kau tidak mempunyai pilihan. Kau telah kehilangan senjatamu.“

Sejenak orang itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Kekuatanku yang sebenarnya tidak terletak pada senjataku, tetapi pada ilmuku.“

“Baik,“ berkata Sekar Mirah, “sekarang kau mau apa?“

Orang itu menjadi semakin tegang. Bahkan debar jantungnya pun seakan-akan berdegup semakin cepat. Sementara itu Sekar Mirah yang benar-benar telah kehilangan kesabarannya berdiri bertolak pinggang di hadapan orang itu.

Dalam pada itu Agung Sedayu pun kemudian berkata, “Sekar Mirah. Bersiaplah. Kita akan mengikuti orang ini ke tempat Glagah Putih.“

“Anak setan!“ orang yang datang untuk mengambil tebusan itu hampir berteriak.

Namun sekali lagi ia terkejut. Sekar Mirah ternyata telah memukul orang itu di pipinya dengan telapak tangannya, sehingga rasa-rasanya pipihya telah tersentuh bara.

“Jangan membuat kami semakin kehilangan kesabaran,“ desis Sekar Mirah.

Orang itu bergeser surut. Namun yang terjadi kemudian benar-benar telah menentukan sikapnya kemudian, ketika tangan Agung Sedayu tiba-tiba saja telah menggenggam lengannya.

“Sudahlah,“ berkata Agung Sedayu, “jangan banyak bicara. Bawa kami ke tempat Glagah Putih.“

Orang itu masih akan menjawab. Tetapi tubuhnya tiba-tiba saja terasa seperti dipanggang di atas api. Rasa-rasanya dari tangan Agung Sedayu itu mengalir udara panas menembus kulitnya dan mengalir lewat urat darahnya.

Tubuh orang itu menjadi gemetar. Dalam kebingungan ia mendengar Agung Sedayu bertanya, “Apakah kau bersedia membawa kami?“

Karena orang itu ragu-ragu, maka udara panas itu seakan-akan semakin tinggi menelusuri tubuhnya sehingga jantungnya bagaikan menjadi hangus.

“Jawablah,“ desak Agung Sedayu.

Orang itu tidak dapat bertahan oleh panasnya udara yang seakan-akan mengalir dari tangan Agung Sedayu yang menggenggam lengannya. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia mencoba menghentakkan diri. Dengan tangannya yang lain ia telah memukul pergelangan tangan Agung Sedayu, sementara itu, iapun telah berusaha melepaskan genggaman tangan itu.

Tetapi yang terjadi adalah di luar dugaan orang itu. Tangan Agung Sedayu justru bagaikan melekat di tangannya. Sedangkan pergelangan tangan Agung Sedayu itu rasa-rasanya justru sekeras besi baja. Sehingga dengan demikian maka tangan Agung Sedayu itu sama sekali tidak bergeser. Bahkan tangannya yang memukul pergelangan tangan Agung Sedayu itu terasa menjadi sakit sekali.

Namun orang itu masih belum menyerah. Dengan sekuat tenaganya orang itu telah menyerang Agung Sedayu dengan lututnya. Ia justru berusaha untuk bergeser melekatkan tubuhnya pada tubuh Agung Sedayu, sementara itu lututnya dengan sekuat tenaga telah menyerang perut Agung Sedayu itu.

Tetapi sekali lagi orang itu menjadi sangat heran. Agung Sedayu seakan-akan tidak merasakan serangan itu. Bahkan tangannya justru semakin kuat mencengkam lengannya sambil menjulurkan arus panas ke dalam tubuhnya.

Dengan nada berat ia bertanya, “Kau melawan?“

Tekanan perasaan sakit yang tidak terlawan, akhirnya membuat orang itu tidak dapat mengingkari kenyataan. Ketika Agung Sedayu menekan tangan orang itu semakin keras maka orang itu pun menggeram. “Jangan.“

“Kau mau mengantarkan kami atau tidak?“ bertanya Agung Sedayu, “Jangan mencoba menakut-nakuti kami dengan anak yang kau tangkap itu. Aku tidak peduli. Jika aku tergesa-gesa, justru karena aku cemas bahwa anak itu telah membunuh kawan-kawanmu.“

Orang itu memandang Agung Sedayu dengan tegang. Sementara Agung Sedayu berkata, “Anak itu memiliki kemampuan sepuluh kali lipat dari kemampuanmu. Jika kawanmu kurang dari sepuluh, maka umur mereka akan berada dalam bahaya. Jika kawanmu lebih dari sepuluh, anak itu mungkin akan melepaskan diri dari tangan mereka. Namun mungkin pula ia mampu menyelesaikan lawan-lawannya jika lawan-lawannya lengah. Karena itu, jangan mencoba memeras kami dengan alasan anak itu. Jika kami akan pergi bersamamu, justru kami akan mencegah anak itu melakukan pembunuhan. Dengar, aku berkata sebenarnya kali ini.“

Wajah orang itu menjadi merah. Sementara Agung Sedayu berkata kepada Sekar Mirah, “Berbenahlah.“ Lalu Agung Sedayu pun bertanya kepada Kiai Jayaraga, “Apakah Kiai bersedia untuk pergi bersama kami?“

“Baiklah,“ berkata Kiai Jayaraga, “kita akan melihat bersama-sama, apa yang terjadi dengan Glagah Putih.“

Sementara itu, maka Sekar Mirah pun kemudian telah membenahi diri. Ia mempergunakan pakaiannya yang khusus, karena ia akan mengikuti orang itu dengan berkuda.

Pada saat Sekar Mirah berpakaian maka Agung Sedayu pun berkata kepada orang yang datang kepadanya itu, “Duduklah. Kau akan dikawani oleh Kiai Jayaraga. Aku akan menyiapkan tiga ekor kuda.“

Orang itu tidak menjawab. Namun ketika tangan Agung Sedayu tidak lagi menekan lengannya, maka terasa darahnya menjadi dingin lagi. Dengan demikian maka tubuhnya terasa seolah-olah menjadi pulih kembali.

Ketika Agung Sedayu kemudian meninggalkan ruang itu, yang nampak oleh orang yang datang untuk mendapatkan tebusan itu tidak lebih dari seorang tua yang nampaknya selalu terkantuk-kantuk. Dengan jantung yang berdebaran ia memandang senjatanya yang masih tergolek di lantai.

Pada saat yang tepat, maka orang itupun tiba-tiba saja telah meloncat menggapai senjatanya. Dengan garangnya ia kemudian mengacukan senjatanya kepada Kiai Jayaraga sambil berdesis perlahan-lahan, “Jangan melakukan sesuatu yang dapat membunuh dirimu sendiri.“

Kiai Jayaraga tertegun sejenak. Namun ia sama sekali tidak bergerak.

“Ikuti aku,“ geram orang itu, “aku akan keluar dari tempat terkutuk ini.“

Ketika orang itu melangkah mundur, maka Kiai Jayaraga pun mengikutinya. Selangkah demi selangkah. Akhirnya orang itu pun sampai ke pintu.

Orang itu menarik nafas dalam-dalam ketika melihat kudanya masih berada di tempatnya. Jika ia bergerak cepat, maka ia akan dapat mencapai kudanya dan berpacu meninggalkan tempat itu, justru sebelum Agung Sedayu siap dengan kudanya.

Karena itu, maka tiba-tiba saja orang itu pun telah meloncat keluar dari ruang dalam dan berlari menyeberangi pringgitan yang tidak begitu luas.

“Jangan lari,“ panggil Kiai Jayaraga.

Tetapi orang itu tidak mempedulikannya. Ia memperhitungkan kemungkinan untuk melarikan diri dan membunuh anak yang telah ditangkapnya bersama dengan ketiga orang kawannya.

Tetapi orang itu ternyata telah salah hitung. Ketika ia berada di halaman, maka tiba-tiba seakan-akan angin yang kencang telah meniupnya tanpa diketahuinya sangkan parannya. Bahkan kemudian angin itu telah berputar sekencang angin prahara yang kemudian membangun cleret-tahun yang dahsyat.

Orang itu ternyata tidak mampu bertahan. Tubuhnya telah ikut terputar semakin lama semakin kencang. Sehingga akhirnya, tubuh itu telah terlempar dan orang itupun terkapar di tanah.

Kepalanya menjadi pening dan perutnya menjadi mual. Ia membuka matanya yang terpejam ketika terasa seseorang membangunkannya. Bahkan dengan nada yang lunak terdengar orang itu berkata, “Berhati-hati Ki Sanak. Jangan terlalu tergesa-gesa. Agaknya kedua kakimu sudah saling terantuk, sehingga kau telah jatuh.“

Orang itu perlahan-lahan memandang keadaan di sekitarnya. Ia tidak melihat debu berhamburan. Ia tidak melihat dedaunan yang bergetar dan bahkan ia tidak melihat sesuatu yang dapat menjadi pertanda bahwa baru saja ada angin pusaran yang besar yang telah memutar tubuhnya tanpa dapat dilawannya.

“Ambillah, senjatamu telah terjatuh,“ berkata orang itu.

Orang yang terjatuh itu mengumpat di dalam hatinya. Orang yang menolongnya itu adalah orang tua yang dianggapnya sekedar terkantuk-kantuk.

“Ternyata aku telah terperosok ke dalam rumah hantu,“ berkata orang itu kepada diri sendiri.

Namun orang itu telah memungut senjatanya pula, dengan kesadaran sepenuhnya bahwa tentu orang tua itulah yang telah menyerangnya dengan sejenis ilmu yang tidak diketahuinya. Namun yang terjadi tentu satu peristiwa semu.

Ketika orang itu menyarungkan senjatanya, maka Kiai Jayaraga pun berkata, “Hati-hatilah Ki Sanak. Halaman ini memang licin. Apalagi di waktu hujan.“

Sekali lagi orang itu mengumpat di dalam hati. Ia tidak melihat selapis lumut pun di halaman itu, betapapun tipisnya. Seandainya ia harus berloncatan di halaman itu, bahkan anak-anak sekalipun, tidak akan dapat tergelincir karenanya.

Pada saat orang itu kebingungan, Sekar Mirah telah muncul pula di halaman sambil bertanya, “Apa yang terjadi?”

Kiai Jayaraga-lah yang menjawab, “Tidak apa-apa. Orang ini akan pergi ke kudanya. Tetapi agaknya ia terlalu tergesa-gesa, sehingga iapun telah terjatuh.“

“O,“ Sekar Mirah mendekatinya, “kita memang tergesa-gesa. Tetapi tidak perlu berlari-lari sehingga jatuh bangun seperti itu. Pakaianmu menjadi kotor dan barangkali kakimu akan dapat terkilir.“

Telinga orang itu terasa menjadi panas. Tetapi ia tidak menjawab. Namun demikian, terasa tengkuknya meremang ketika ia melihat Agung Sedayu membawa tiga ekor kuda memasuki halaman lewat halaman samping.

“Rumah ini ternyata telah dihuni oleh iblis-iblis yang mengerikan,“ berkata orang itu di dalam hatinya. Lengannya yang dicengkam Agung Sedayu masih terasa sakit, sementara darahnya bagaikan telah mendidih oleh arus panas yang mengalir ke tubuhnya. Pergelangan tangannya pun masih pula nyeri dipukul oleh seorang perempuan. Sementara itu ia telah terputar dan terbanting di halaman, karena ilmu orang tua itu.

Dalam pada itu, terdengar Agung Sedayu berkata, “Marilah. Kita mencari anak itu sebelum ia membunuh sepuluh orang sekaligus.“

Orang yang datang untuk minta tebusan itupun menjadi berdebar-debar. Menilik tiga orang yang tinggal di rumah itu, maka memang mungkin Glagah Putih dapat berbuat sebagaimana dikatakan oleh Agung Sedayu itu.

Dengan demikian, maka orang itu pun tidak akan dapat berbuat lain kecuali menurut segala perintah Agung Sedayu dan orang-orang lain di rumah itu.

Sejenak kemudian maka ketiga orang itu pun telah bersiap dengan kuda masing-masing. Kepada pembantu di rumahnya Agung Sedayu berkata, “Jangan kau tinggal rumah ini. Aku akan menjemput Glagah Putih.“

Anak itu tidak menjawab. Ia hanya menganggukkan kepalanya saja.

Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Kiai Jayaraga telah berkuda mengikuti orang yang datang dengan membawa baju Glagah Putih itu. Mereka berpacu dengan cepat, karena sebenarnyalah Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Kiai Jayaraga merasa gelisah pula. Meskipun mereka yakin bahwa Glagah Putih tentu akan berusaha untuk melindungi dirinya sendiri dengan ilmunya yang telah meningkat semakin tinggi, namun Agung Sedayu tidak dapat membayangkan siapakah yang dihadapinya. Meskipun seorang di antara mereka yang telah mengambil Glagah Putih itu telah diketahui kemampuannya.

Orang yang berusaha untuk mengambil tebusan itu sama sekali tidak mampu lagi berpikir, apakah yang akan terjadi nanti. Kegelisahan dan kecemasan benar-benar telah mencengkam jantungnya.

Dalam pada itu, di balik sebuah bukit kecil yang jauh dari kesibukan orang-orang yang bekerja di sawah, Glagah Putih sedang bertempur melawan tiga orang lawannya.

Dalam keragu-raguan, ternyata beberapa gores luka telah menitikkan darah dari tubuhnya. Tidak hanya di lengannya. Tetapi juga dari pundaknya. Meskipun luka itu tidak dalam, namun sakitnya justru terasa di dasar hatinya, bukan pada kulitnya yang menganga.

Karena itu, maka Glagah Putih pun kemudian telah menghentakkan kemampuannya bermain senjata. Ia tidak lagi ragu-ragu. Ia yakinkan dirinya sendiri, bahwa ikat pinggang pemberian Ki Patih Mandaraka itu tentu bukan ikat pinggang kebanyakan. Ia sudah membuktikannya dengan memecahkan batu tanpa merusakkan ikat pinggang itu. Meskipun senjata lawannya cukup tajam, tetapi benang-benang baja pada pinggiran ikat pinggang itu tentu akan melindungi kerusakan yang mungkin terjadi.

Dengan demikian, maka Glagah Putih pun telah melepaskan keragu-raguannya. Bahkan ia justru ingin mencoba, seberapa jauh kemampuan ikat pinggang pemberian Ki Patih Mandaraka itu.

Namun pada saat-saat ia menemukan keyakinannya, justru ketika Glagah Putih siap untuk meloncat dan memutar ikat pinggangnya, sebuah serangan yang tiba-tiba telah mengejutkannya. Tetapi pada saat ia meloncat surut, terasa sentuhan angin di punggungnya. Glagah Putih sempat bergeser. Namun ujung senjata lawannya masih juga tergores di punggungnya itu.

Kemarahan di dada Glagah Putih bagaikan menggelegaknya lahar gunung berapi yang sedang meledak. Betapapun tinggi tanggul yang membendungnya, namun agaknya tidak ada kekuatan yang dapat menahannya.

Karena itulah, maka ikat pinggang di tangan Glagah Putih itu pun berputar dengan cepatnya. Angin yang terputar pula karenanya, telah menimbulkan suara mengaung semakin keras. Bahkan rasa-rasanya udara pun ikut berputar bagaikan angin pusaran.

Ketiga orang lawan Glagah Putih terkejut mengalami perubahan itu. Ketika Glagah Putih kemudian mulai meloncat, maka tata geraknya pun telah berubah pula. Tidak ada lagi keragu-raguan yang mengekangnya, sehingga dengan demikian maka ayunan ikat pinggang di tangannya pun menjadi semakin lama semakin cepat.

Namun betapapun kemarahan menggelegak di dada Glagah Putih, ia masih sempat juga berpikir untuk menguji kemampuan ikat pinggang itu serta kemampuannya mempergunakannya. Ia masih belum memasuki kemampuan ilmunya, baik yang diterima dari Agung Sedayu, maupun dari Kiai Jayaraga.

Tetapi ketrampilannya mempermainkan ikat pinggang, serta kekuatan wadag serta tenaga cadangan di dalam dirinya, ternyata telah mampu menggetarkan jantung ketiga orang lawannya. Gerakanya pun menjadi semakin cepat dan garang.

Ranting-ranting dan dahan-dahan yang tersentuh putaran ikat pinggangnya bagaikan dibabat dengan parang yang tajamnya melampaui senjata lawan-lawannya. Sementara kekayuan pun berpatahan sebagaimana dilanda oleh badai raksasa.

Dengan demikian maka pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin keras. Glagah Putih yang telah menitikkan darah itu benar-benar bagaikan banteng yang terluka. Mengamuk dengan kemampuan dan tenaga yang tidak terlawan.

Namun ketiga orang lawan Glagah Putih itu pun adalah tiga orang yang terbiasa menjelajahi kehidupan yang keras dan garang. Karena itu, betapapun jantung mereka berdebaran, namun mereka justru telah mengerahkan kemampuan mereka. Apalagi ketika mereka melihat bahwa luka di tubuh Glagah Putih yang muda itu, telah memerah oleh darah, sementara Glagah Putih memang sudah tidak mengenakan baju, karena bajunya telah diminta oleh orang-orang yang mengambilnya itu. Maka luka-lukanya pun menjadi semakin jelas nampak membujur lintang di tubuhnya.

Apalagi ketika keringat mengalir semakin banyak di permukaan kulit Glagah Putih, maka luka itu pun menjadi semakin pedih, sehingga dengan demikian maka kemarahan Glagah Putih pun seakan-akan tidak tertahan lagi.

Itulah sebabnya, maka Glagah Putih tidak memberi kesempatan kepada ketiga lawannya untuk bertahan lagi.

Semakin keras Glagah Putih mendesak lawannya, maka ruang gerak mereka pun menjadi semakin sempit. Gerumbul-gerumbul liar yang membatasi arena, kadang-kadang justru dapat memberikan perlindungan kepada lawannya yang harus berlari-larian menghindari serangan Glagah Putih, yang membadai.

Pada saat-saat yang demikian, justru dalam pertempuran yang semakin keras, Glagah Putih dapat meyakinkan dirinya, bahwa ikat pinggangnya memang merupakan sebuah senjata yang luar biasa. Benturan-benturan yang kemudian terjadi, sama sekali tidak merusakkan ikat pinggangnya. Tajam senjata lawannya sama sekali tidak melukai senjatanya yang tidak banyak dipergunakan orang.

Namun Glagah Putih pun kemudian tidak mempergunakan senjatanya secara wantah. Dengan mengetrapkan ilmunya yang menggetarkan telapak tangannya, seakan-akan tersalur ke dalam senjatanya yang khusus itu, maka Glagah Putih mampu mengatasi ketiga ujung senjata dari ketiga lawannya.

Ikat pinggangnya pun mampu menebas gerumbul-gerumbul liar, ranting dan dahan pepohonan. Dan yang kemudian menggetarkan jantung lawan-lawannya adalah pada saat-saat senjata yang aneh itu menyentuh batu-batu padas, maka batu-batu padas itupun berguguran dan pecah berserakan.

Ternyata ketiga orang lawan Glagah Putih itu terlalu sulit untuk dapat melawannya. Tetapi mereka sudah terlanjur melukai anak muda itu dan bahkan dengan sungguh-sungguh berusaha untuk membunuhnya. Karena itulah agaknya, maka seakan-akan Glagah Putih tidak lagi memberikan jalan keluar bagi mereka dari pertempuran itu.

Sebenarnyalah luka-luka di tubuh anak muda yang menjadi semakin pedih itu telah membuatnya semakin marah. Ketika Glagah Putih sampai ke puncak permainannya dengan ikat pinggangnya, maka benturan-benturan pun menjadi semakin sering terjadi. Ketika orang yang ditemuinya di pinggir Kali Praga itu dengan mengerahkan kemampuan dan kecepatan geraknya mengayunkan senjatanya mengarah ke leher Glagah Putih, maka anak muda itupun telah mempergunakan senjatanya dilambari dengan kekuatan dan kemampuan yang ada di dalam dirinya, untuk membenturnya.

Benturan yang keras pun telah terjadi. Namun Glagah Putih telah benar-benar siap. Karena itu, maka iapun telah mengetrapkan kemampuan ilmunya yang seakan-akan mengalir menyusuri ikat pinggangnya sebagaimana saat-saat ia membenturkan ikat pinggangnya dan kemudian memecahkan batu hitam. Lawannya benar-benar terkejut. Meskipun beberapa kali senjatanya telah menyentuh senjata lawannya yang aneh itu, tetapi pada saat Glagah Putih mengerahkan kemampuan ilmunya, rasa-rasanya senjata orang yang pernah ditemuinya di Kali Praga itu bagaikan membentur wesi gligen. Bahkan terasa satu hentakan yang sangat kuat yang telah merenggut senjatanya itu sehingga terlempar jatuh beberapa langkah daripadanya.

Orang itu memang terkejut bukan kepalang. Dengan serta merta iapun telah meloncat menjauhi Glagah Putih. Namun Glagah Putih tidak dapat memburunya. Dua orang lawannya yang lain bersama-sama telah menyerangnya dari jurusan yang berbeda.

Dengan cepat Glagah Putih menghindar. Namun pada saat yang sama, terdengar orang yang dijumpainya di Kali Praga dan yang telah kehilangan senjatanya itu memberikan isyarat.

Sebuah suitan nyaring telah menggetarkan udara.

Glagah Putih tertegun sejenak. Namun iapun kemudian menyadari apa yang terjadi. Karena itu, maka iapun segera bersiap.

Tetapi Glagah Putih telah kehilangan waktu sekejap. Ia melihat ketiga orang itu berloncatan ke arah yang berbeda.

Karena itu, ia harus dengan cepat mengambil keputusan. Tanpa disadarinya, ia justru telah meloncat ke arah orang yang paling dikenalinya. Orang yang pernah ditemuinya di pinggir Kali Praga. Karena itu, maka justru orang itulah yang seakan-akan telah menariknya untuk mengejarnya.

Dengan menghentakkan kekuatannya Glagah Putih meloncat menyusul. Tetapi orang itu berlari cukup cepat. Bahkan sekali-sekali orang itu mampu mempergunakan gerumbul-gerumbul liar untuk menghindari kejaran Glagah Putih.

Glagah Putih yang marah itu menjadi semakin marah. Tiba-tiba saja ia tidak sempat berpikir ketika ia berada selangkah dibelakang orang itu. Sebelum orang itu mampu mengambil jarak putaran-putaran pada pepohonan dan gerumbul-gerumbul liar, Glagah Putih telah mengayunkan ikat pinggangnya.

Ternyata Glagah Putih tidak mampu menguasai ayunan ikat pinggang sambil berlari kencang. Itulah sebabnya, maka ikat pinggangnya itu telah menghantam punggung lawannya terlalu keras. Melampaui batas daya tahan orang itu. Yang terdengar adalah teriakan kesakitan. Namun suara itupun segera terputus. Orang itu dengan kerasnya telah terbanting jatuh berguling di tanah berbatu-batu padas.

Glagah Putih dengan serta merta pula telah menghentikan langkahnya. Sejenak iapun termangu-mangu. Namun disadarinya bahwa dua orang yang lain agaknya telah berlari jauh ke arah yang berbeda.

Karena itu, maka Glagah Putih pun perlahan-lahan telah mendekati orang yang terbaring diam itu. Ketika ia meraba tubuhnya, Glagah Putih itu pun menjadi berdebar-debar.

Perlahan-lahan dilekatkannya telinganya di dada orang itu. Ternyata jantungnya tidak lagi terdengar berdetak.

Glagah Putih-lah yang kemudian menjadi gelisah. Ketika ia menggerakkan orang itu, sama sekali tidak terdapat lagi tanda-tanda bahwa orang itu masih hidup.

“Apakah orang ini mati?“ bertanya Glagah Putih di daiam hatinya yang gelisah.

Untuk beberapa saat Glagah Putih merenungi orang itu. Namun agaknya orang itu memang sudah tidak bernyawa lagi.

Dengan jantung yang berdebaran, Glagah Putih pun kemudian bangkit berdiri. Ia tidak dapat meninggalkan mayat itu begitu saja, atau bahkan mungkin akan menjadi makanan binatang-binatang liar atau burung-burung pemakan bangkai.

Sejenak Glagah Putih termangu-mangu. Namun kemudian dengan jantung yang berdebaran, dibawanya tubuh orang itu ke tempat semula ia mulai bertempur melawan ketiga orang lawannya itu. Ia berharap bahwa seorang kawan dari ketiga orang itu akan datang lagi. Mungkin sendiri, tetapi mungkin dengan kakak sepupunya Agung Sedayu.

Demikianlah, Glagah Putih pun kemudian telah meletakkan orang itu di atas sebuah batu yang besar. Sementara itu, iapun merenunginya dengan berbagai pertanyaan di dalam dirinya.

Di luar sadarnya, Glagah Putih telah mengamat-amati ikat pinggang yang diterimanya dari Ki Mandaraka. Memang ikat pinggang itu ternyata memiliki kemampuan sebagai senjata yang jarang dimiliki oleh orang lain.

“Ki Waskita juga mempergunakan ikat pinggangnya,“ berkata Glagah Putih di dalam hatinya.

Sejenak kemudian, maka iapun telah mengenakan ikat pinggangnya. Kemudian dengan obat yang ada padanya, iapun berusaha untuk mengobati luka-lukanya. Tetapi tidak semua luka di tubuhnya dapat digapai dengan tangannya, sehingga karena itu, maka yang diobatinya hanyalah luka-luka yang dapat dicapainya.

Namun dalam pada itu, Glagah Putih pun telah mendengar suara kaki-kaki kuda yang berderap. Sejenak kemudian iapun melihat beberapa orang berkuda memasuki lingkungan yang jarang disentuh kaki itu.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat kakak sepupunya, Sekar Mirah dan Kiai Jayaraga telah datang bersama dengan salah seorang di antara empat orang yang akan merampok kudanya dan sekaligus memerasnya.

Agung Sedayu-lah yang kemudian dengan tergesa-gesa meloncat turun dari kudanya Ketika ia melihat sesosok mayat terbaring membeku, maka iapun menjadi berdebar-debar.

Glagah Putih pun menjadi tegang pula. Sebelum Agung Sedayu menanyakan sesuatu, Glagah Putih telah mendahuluinya memberikan keterangan dengan kata-kata yang patah “ Aku tidak sengaja membunuhnya Kakang. Maksudku, salah seorang di antara mereka harus tertangkap, tetapi ternyata bahwa aku menyentuhnya terlalu keras.“

“Kau pergunakan ikat pinggangmu?“ bertanya Agung Sedayu dengan nada datar.

“Ya, ya. Aku memang tidak membawa senjata yang lain,“ jawab Glagah Putih.

“Apakah kau tidak dapat melawannya tanpa senjata? Kau dapat melindungi dirimu dengan ilmu yang ada padamu,“ berkata Agung Sedayu kemudian.

Glagah Putih tergagap. Tetapi ketika Agung Sedayu melihat goresan-goresan senjata di tubuh Glagah Putih meskipun tidak dalam, maka iapun menarik nafas dalam-dalam.

Agaknya memang telah terjadi pertempuran yang sengit. Namun Agung Sedayu pun telah menduga, bahwa Glagah Putih memang tidak mempergunakan lambaran ilmunya yang dapat membakar lawan-lawannya. Tetapi agaknya Glagah Putih ingin mencoba mempergunakan ikat pinggangnya dalam pertempuran yang sebenarnya.

“Seandainya ia mempergunakan ilmunya, tentu hanya dipergunakannya untuk memberikan dukungan kepada senjatanya yang baru itu,“ berkata Agung Sedayu di dalam dirinya. Karena itu, maka iapun tidak bertanya lagi tentang pertempuran yang sudah berlangsung. Namun kemudian iapun bertanya, “Berapa orang yang telah kau bunuh?”

“Seorang. Hanya seorang. Yang lain melarikan diri,“ berkata Glagah Putih dengan gelisah.

“Berapa orang yang telah melarikan diri itu?“ bertanya Agung Sedayu.

“Dua orang,“ jawab Glagah Putih.

Agung Sedayu berpaling ke arah orang yang dibawanya serta. Orang yang datang kepadanya membawa baju Glagah Putih dan berusaha memerasnya.

“Seorang kawanmu yang terbunuh,“ desis Agung Sedayu.

Orang itu sama sekali tidak menjawab. Namun jantungnya-lah yang berdegupan semakin cepat. Ia sudah membayangkan, bahwa dirinya akan menjadi tawanan di Tanah Perdikan Menoreh. Mungkin ia akan dapat mengalami nasib yang lebih buruk dari kawannya yang mati itu.

Kawannya mati dalam pertempuran. Tetapi mungkin ia akan mati ditiang gantunga,n atau mengalami penderitaan yang sangat berat jika harus menjalani hukuman picis.

Sejenak ia termangu-mangu. Memang ada niatnya untuk melarikan diri. Tetapi ketika ia berpaling, dilihatnya orang tua yang telah memutarnya di halaman itu masih berdiri tegak beberapa langkah daripadanya.

“Tidak akan ada gunanya,“ berkata orang itu dalam hati. Dengan demikian maka iapun menjadi pasrah. Apapun yang terjadi atasnya harus dijalaninya.

Dalam pada itu, Agung Sedayu pun kemudian bertanya, “Bagaimana dengan luka-lukamu?“

“Sebagian dapat aku obati sendiri Kakang. Tetapi sebagian yang lain tidak,“ jawabnya.

Sekar Mirah-lah yang kemudian melangkah mendekat. Katanya, “Berikan bumbung obat itu kepadaku.“

Sekar Mirah-lah yang kemudian mengobati luka-luka Glagah Putih yang melintang di punggungnya. Namun demikian, pakaiannya telah menjadi merah oleh titik-titik darahnya.

“Kita harus menguburkan orang itu,“ desis Glagah Putih kemudian.

“Ya. Kita harus menguburkannya,“ sahut Agung Sedayu sambil memandangi orang yang datang kepadanya dengan membawa baju Glagah Putih. Katanya kemudian kepada orang itu, “Apakah kau sampai hati meninggalkan kawanmu terbaring di situ?“

Orang itu tidak menjawab. Tetapi ia sadar, bahwa ia harus menggali lubang untuk kawannya itu dengan alat yang ada pada waktu itu.

Tetapi ternyata bahwa ia tidak harus melakukannya sendiri. Agung Sedayu dan Glagah Putih yang meskipun sudah terluka, namun ia berusaha juga untuk membantu, meskipun Sekar Mirah memperingatkan agar ia tidak bekerja terlalu keras, agar darahnya yang sudah mampat itu tidak menitik lagi dari lukanya.

Dengan demikian maka yang mereka lakukan itupun segera selesai. Sehingga dengan demikian maka mereka pun segera bersiap-siap untuk kembali ke padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.

“Kau ikut dengan kami,“ perintah Agung Sedayu kepada orang yang datang kepadanya untuk mendapatkan tebusan.

Orang itu termangu-mangu. Namun nampaknya kecemasan yang sangat mencengkam jantungnya.

“Marilah,“ berkata Agung Sedayu.

Orang itu memandang Agung Sedayu dengan tajamnya. Kemudian dengan suara gemetar ia berkata, “Apakah aku akan kalian bawa menghadap Ki Gede Menoreh?“

“Ya. Kau harus dihadapkan kepada Ki Gede, karena kau telah mencoba untuk melakukan kejahatan atas Glagah Putih,“ jawab Agung Sedayu.

“Tetapi kami melakukannya di luar Tanah Perdikan,“ jawab orang itu.

“Apa bedanya? Kau telah menculik adik sepupuku. Ia adalah anak muda dari Tanah Perdikan. Karena itu maka kau harus aku bawa menghadap Ki Gede di Tanah Perdikan Menoreh,“ jawab Agung Sedayu.

“Ki Sanak,“ berkata orang itu dengan nada dalam, “jika oleh Ki Gede aku ternyata hanya akan dihukum mati, digantung atau dengan cara apapun, kenapa kau tidak membunuhku sekarang saja dan menguburkan aku di sini?“

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Siapa yang mengatakan bahwa kau akan dihukum mati?“

“Tetapi itu adalah kemungkinan yang terbesar,“ berkata orang itu.

“Aku tidak tahu,“ jawab Agung Sedayu pula, “sekarang kita pergi ke padukuhan induk, menghadap Ki Gede. Kau tidak mempunyai pilihan lain.“

Orang itu memang tidak mempunyai pilihan lain.

Sementara itu Kiai Jayaragapun berkata, “Marilah. Sebelum persoalan yang lain timbul karena mungkin orang-orang yang melarikan diri itu datang kembali dengan kawan-kawannya.“

“Bagaimana jika mereka datang dengan kawan-kawan kami?“ bertanya orang yang akan dibawa menghadap itu.

“Aku menjadi cemas,“ jawab Kiai Jayaraga, “bukan karena kami menjadi ketakutan. Tetapi kami sebenarnya segan untuk terlibat dalam satu persoalan yang memungkinkan kami membunuh lagi.“

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia percaya bahwa kemungkinan itu tentu akan terjadi. Berapapun kedua kawannya membawa kawan, namun mereka tidak akan mampu melawan keluarga Glagah Putih yang memiliki berjenis-jenis ilmu yang tidak masuk di akalnya.

Dengan demikian maka orang itu tidak mempunyai pilihan lain daripada harus mengikuti perintah Agung Sedayu, untuk dibawa ke padukuhan induk menghadap Ki Gede Menoreh.

Sejenak kemudian, maka mereka pun telah bersiap untuk meninggalkan tempat itu. Dengan terbunuhnya seorang lawannya, sementara dua orang yang lain melarikan diri, maka Glagah Putih tidak jadi kehilangan kudanya, tetapi mereka justru membawa tiga ekor kuda tanpa penunggangnya.

Iring-iringan kecil dengan tiga ekor kuda tanpa penunggang, serta Glagah Putih yang tidak berbaju itu memang menarik perhatian. Tetapi setiap kali, Agung Sedayu yang berkuda di paling depan hanya tersenyum saja menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dilontarkan oleh orang-orang yang berpapasan di jalan.

Kadang-kadang jika terpaksa, Agung Sedayupun menjawab, “Kami memang sedang menawar ketiga ekor kuda itu.“

Orang-orang yang mendengar jawaban itu merasakan kejanggalan jawaban Agung Sedayu, tetapi mereka sama sekali tidak sempat bertanya lagi, karena Agung Sedayu dan iring-iringannya segera meninggalkannya. Juga tentang keadaan Glagah Putih.

Sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu telah membawa orang itu langsung ke rumah Ki Gede Menoreh. Namun sebelum mereka memasuki padukuhan-padukuhan lebih jauh di Tanah Perdikan Menoreh, Glagah Putih telah bertanya kepada orang yang dibawa serta bersama iring-iringan, “Dimana bajuku?“

Orang itu tergagap. Jawabnya kemudian, “Tertinggal dirumahmu. Ketika aku pergi dari rumahmu, bajumu tidak teringat lagi olehku.“

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian kepada Agung Sedayu, “Aku akan singgah sebentar ke rumah untuk mengambil bajuku.“

Agung Sedayu tersenyum sambil mengangguk. Sementara Glagah Putih berkata, “Tidak pantas menghadap Ki Gede tanpa mengenakan baju. Apalagi tubuhku nampaknya begitu kotor oleh darah yang mengering, meskipun sudah diusahakan untuk mengusapnya dengan kain panjangku.“

Karena itulah, maka ketika iring-iringan itu kemudian melewati rumah Agung Sedayu, maka hanya Glagah Putih saja-lah yang singgah untuk mengambil bajunya.

Namun dengan tergesa-gesa Glagah Putih telah pergi juga ke pakiwan untuk sekedar membersihkan dirinya meskipun ia tidak mandi. Sementara itu, iapun telah berganti kain panjang yang kotor dan berbekas darah, serta mengenakan baju yang bersih. Ia tidak sempat mencari bajunya yang ditinggalkan oleh salah seorang penculiknya.

Baru kemudian, ia telah siap untuk menyusul Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Kiai Jayaraga, yang membawa salah seorang yang menculiknya ke rumah Ki Gede.

Ketika Glagah Putih sampai di rumah Ki Gede, maka Ki Gede telah berada di pendapa, dihadap oleh Agung Sedayu, Sekar Mirah, Kiai Jayaraga, Ki Jagabaya dan beberapa orang bebahu. Di antara mereka terdapat orang yang telah dibawa oleh Agung Sedayu, karena mencoba untuk memeras dan merampok kuda Glagah Putih.

Agaknya kedatangan Glagah Putih memang ditunggu. Karena itu, ketika ia menuntun kudanya melintasi halaman, maka Ki Jagabaya pun telah turun dari pendapa untuk menyongsongnya.

“Semua sudah lengkap,“ berkata Ki Jagabaya, “hanya menunggu kau.“

Glagah Putih pun dengan tergesa-gesa menambatkan kudanya, kemudian iapun telah naik pula ke pendapa.

“Kau adalah saksi utama,“ berkata Agung Sedayu. Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia sempat berpaling ke arah orang yang telah dibawa oleh Agung Sedayu, maka dilihatnya orang itu menjadi sangat pucat dan gemetar.

“Baiklah,“ berkata Ki Gede kemudian, “sebelum kau datang, Glagah Putih, kami sudah mengajukan beberapa pertanyaan kepada orang itu. Karena itu, kami ingin menyesuaikan dengan keteranganmu. Apakah orang itu berkata sebenarnya.“

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian menjawab, “Yang aku ketahui adalah pada saat-saat orang itu masih bersama dengan kawan-kawannya membawa aku ke tempat yang tersembunyi. Seterusnya ia telah meninggalkan kawan-kawannya sambil membawa kudaku.“

“Katakan yang kau ketahui,“ berkata Ki Gede. Glagah Putih mengangguk kecil. Iapun kemudian mulai menceritakan apa yang dialaminya. Bahkan diceritakannya bahwa ia pernah bertemu dengan orang yang di luar kehendaknya justru telah terbunuh.

Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Ternyata orang itu mengatakan sebagaimana adanya. Tidak ada yang berbeda dari apa yang dikatakannya. Sementara itu, apa yang dilakukannya di rumah Agung Sedayupun dikatakan sebagaimana adanya.”

Glagah Putih pun mengangguk pula. Sementara itu Sekar Mirah pun berkata, “Ia tidak akan mungkin ingkar.“

“Ya. Ia tidak akan dapat ingkar,“ sahut Ki Gede, “yang sekarang kita perlukan adalah latar belakang dari gerombolannya. Apakah gerombolannya memang hanya empat orang itu saja.“

Keringat dingin telah membasahi seluruh tubuh orang itu. Meskipun ia sudah menduga bahwa ia akan diperas untuk memberikan keterangan apapun yang diperlukan, namun ketika ia berhadapan dengan Ki Gede dan orang-orangnya yang diketahuinya berilmu di luar jangkauan nalarnya, maka rasa-rasanya tubuhnya akan diremas sampai kering.

“Ki Sanak,“ berkata Ki Gede kemudian, “ternyata pembicaraan kita masih cukup panjang. Karena itu, biarlah kita beristirahat dahulu. Kau dapat duduk di tempatmu sambil menunggu minuman yang akan disajikan, sementara itu aku akan berbicara dengan Agung Sedayu dan Glagah Putih.“

Jantung orang itupun berdetak semakin cepat. Ia menyadari bahwa Agung Sedayu dan Glagah Putih tentu akan dimintai pertimbangan, hukuman apa yang akan dijatuhkan kepadanya.

Namun nalurinya mengatakan, bahwa justru Agung Sedayu akan dapat meringankan hukuman atasnya. Sikapnya pada saat ia menemui Glagah Putih di tempat yang terpencil itu menunjukkan, bahwa Agung Sedayu bukan seorang yang garang dan apalagi buas.

Meskipun demikian ia tidak dapat terlalu berharap. Segala sesuatu akan dapat terjadi. Juga hukuman yang paling berat.

Sementara Agung Sedayu dan Glagah Putih mengikuti Ki Gede masuk ke ruang dalam, maka Sekar Mirah, Kiai Jayaraga, Ki Jagabaya dan beberapa orang bebahu masih berada di pendapa bersama orang yang sedang diperiksa itu.

Ketika kemudian minuman dan makanan benar-benar dihidangkan, maka Sekar Mirah pun berkata, “Marilah Ki Sanak. Minumlah. Apapun yang akan terjadi, sebaiknya kau minum barang beberapa teguk dan makan makanan beberapa potong.“

Terasa seluruh kulitnya meremang. Orang itu seakan-akan tengah dibawa ke halaman dan diikat pada sebatang tiang untuk menjalani hukuman picis.

Namun ketika Sekar Mirah sekali lagi mempersilahkannya, maka orang itupun telah mengangkat mangkuknya.

Seteguk minuman hangat telah melewati kerongkongannya. Bahkan kemudian iapun telah memungut sepotong makanan dan mencoba mengunyahnya.

Bagaimanapun juga, minuman hangat dan makanan yang sepotong itu memberikan sedikit kesegaran pada tubuh orang yang menjadi sangat pucat itu.

Sementara itu di ruang dalam, Ki Gede duduk bersama Agung Sedayu dan Glagah Putih. Sebagaimana diduga oleh orang yang tertangkap itu, Ki Gede memang sedang berbincang dengan Agung Sedayu apa yang sebaiknya dilakukan atas orang itu.

“Kita memang sebaiknya mengetahui, apakah ada kekuatan yang pantas diperhitungkan di belakang keempat orang itu,“ berkata Agung Sedayu. “Seorang di antara mereka telah terbunuh. Jika keempat orang itu merupakan sekelompok orang dari satu perguruan, mungkin perguruannya akan ikut campur.“

Ki Gede mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Jadi apakah yang sebaiknya kita lakukan, agar di kemudian hari tidak timbul persoalan yang mungkin akan dapat mengganggu ketenangan Tanah Perdikan ini?“

“Namun bagaimanapun juga orang itu harus dihukum,“ berkata Agung Sedayu, “sementara itu, kita akan menanyakan kepadanya beberapa hal tentang dirinya, tentang kawan-kawannya, dan mungkin perguruannya. Dengan demikian kita akan dapat mengetahui kemungkinan yang akan dapat terjadi.“

“Aku sependapat,“ berkata Ki Gede.,“tetapi hukuman apa yang pantas aku berikan?“

Agung Sedayu memandang Glagah Putih sekilas. Ternyata Glagah Putih hanya menundukkan kepalanya saja.

“Glagah Putih,“ desis Agung Sedayu kemudian, “hukuman apakah yang pantas diberikan kepada orang itu? Orang itu telah menculikmu, mengancam untuk membunuhmu, dan bahkan usaha untuk membunuh itu sudah dilakukan oleh kawan-kawannya.”

Glagah Putih mengangkat wajahnya. Dipandanginya Agung Sedayu dan Ki Gede berganti-ganti. Katanya kemudian dengan nada yang sendat, “Aku tidak tahu Kakang, hukuman apakah yang pantas dilakukan atasnya. Orang itu, atau katakan kawan-kawannya, memang telah mencoba membunuhku. Tetapi ternyata justru akulah yang telah membunuh salah seorang di antara mereka.“

“Mungkin kau berniat untuk menghukumnya dan ingin kau lakukan sendiri?“ bertanya Agung Sedayu pula.

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Ia justru agak heran mendengar pertanyaan Agung Sedayu. Namun ia menggeleng sambil berkata, “ Aku tidak akan menghukumnya. Terserahlah kepada Kakang.“ Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah ia mengharap Glagah Putih bersikap demikian. Namun Agung Sedayu tidak dengan serta merta menunjukkan bahwa ia sedang menjajagi sikap anak muda itu. Karena itu maka katanya, “Hukuman bukan berarti pembalasan dendam semata-mata. Bahkan hukuman lebih condong sebagai satu cara untuk membuat seseorang menyadari kesalahannya. Karena itu, hukuman mempunyai nilai tersendiri bagi kepentingan orang yang harus menjalaninya, jika hukuman itu dapat ditrapkan dengan tepat. Sehingga pada saatnya, ia akan menemukan jalan yang lebih baik yang pantas ditempuhnya.“

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menjawab sama sekali.

Karena Glagah Putih tidak menjawab, maka Agung Sedayu pun kemudian berkata kepada Ki Gede, “Ki Gede. Nampaknya Glagah Putih tidak mempunyai rencana apapun atas orang itu, biarlah orang itu mendapatkan hukuman sebagaimana yang harus dijalaninya sesuai dengan paugeran Tanah Perdikan.“

KI Gede mengangguk-angguk. Namun demikian ia masih juga bertanya, “Bagaimana menurut pendapatmu?“

“Biarlah ia berada di antara orang-orang yang sedang menjalani hukumannya. Biarlah ia ikut dipekerjakan bersama kawan-kawannya, meskipun karena keadaannya, orang itu harus mendapat pengawasan khusus. Tetapi ia masih belum termasuk orang yang sangat berbahaya karena ilmunya,“ berkata Agung Sedayu.

Ki Gede mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Tetapi beberapa pihak tertentu akan bertanya, apakah hukuman itu tidak terlalu ringan bagi seseorang yang sudah dengan sengaja berusaha untuk membunuh?“

“Kita akan dapat melihat perkembangannya selama ia menjalani hukumannya,“ berkata Agung Sedayu.

Ki Gede mengangguk-angguk. Lalu iapun berkata, “Aku akan menyebut hukuman itu. Nah, apakah pembicaraan ini sudah cukup?“

Agung Sedayu mengangguk. Namun iapun berkata, “Kita akan secara khusus berbicara dengan orang itu, setelah Ki Gede mengatakan keputusan hukuman yang harus dijalaninya. Kita memerlukan keterangan tentang gerombolannya.“

Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Mungkin hal itu dapat kita lakukan tanpa hadirnya para bebahu.“

Agung Sedayu mengiakannya. Sementara itu, maka Ki Gede pun mengajaknya untuk kembali ke pendapa.

Sebenarnyalah, bahwa dengan demikian Agung Sedayu telah mendapatkan satu pertanda lagi, bahwa Glagah Putih masih tidak berubah. Meskipun mungkin Glagah Putih bersikap lebih tegas dari sikapnya sendiri yang selalu dibayangi oleh berbagai pertimbangan yang kadang-kadang membayangkan keragu-raguan, namun langkah-langkah yang ditempuh anak muda itu masih berada di jalan yang sesuai dengan yang diinginkannya. Ia tidak dengan tanpa perhitungan berbuat kenakalan sebagaimana dilakukan oleh Raden Rangga, tetapi iapun tidak menjadi pendendam yang keras dan bahkan kasar. Jika Glagah Putih harus membunuh, maka agaknya ia sudah tidak dapat berbuat yang lain, atau sebagaimana dikatakannya, ia tidak dapat mengendalikan kekuatannya pada saat-saat yang gawat.

Demikianlah, Ki Gede pun telah berada di pendapa. Demikian pula Agung Sedayu dan Glagah Putih. Sementara orang yang merasa bersalah itu telah menjadi semakin pucat. Bahkan tubuhnya menjadi gemetar. Apalagi jika ia melihat dengan sekilas, sikap orang-orang yang ada di pendapa itu, yang memandanginya dengan sorot mata penuh kebencian.

Namun ternyata yang didengarnya dari mulut Ki Gede sama sekali tidak diduganya. Ki Gede tidak menyebut tiang gantungan atau hukuman lain yang lebih mengerikan. Tetapi Ki Gede itu hanya mengatakan, “Kau harus menjalani hukuman. Kau akan dikurung dan dipekerjakan di Tanah Perdikan ini tanpa batas waktu. Segalanya akan ditentukan kemudian, menilik tingkah lakumu. Jika kau menunjukkan sikap yang baik, maka kau akan lebih cepat keluar dari hukuman. Tetapi jika kau menunjukkan sikap yang buruk dan meragukan, maka hukumanmu akan menjadi semakin berat. Juga tergantung kepada kesediaanmu memberikan keterangan jika kami perlukan. Setiap kata yang kau ucapkan dengan jujur akan memperpendek masa hukumanmu. Tetapi setiap kata dusta, akan menambah hukumanmu menjadi sepuluh kali lipat.“

Orang itu termangu-mangu sejenak. Di luar sadarnya ia berpaling ke arah Agung Sedayu. Kemudian iapun mengedarkan pandangan matanya kepada beberapa orang bebahu, yang nampaknya tidak memberikan kesan apapun juga atas hukuman yang dijatuhkan oleh Ki Gede itu. Pada umumnya para bebahu sudah mengenal sikap dan cara Ki Gede menghukum seseorang yang dianggapnya bersalah.

Mereka pun mengerti bahwa pendapat dan pikiran Agung Sedayu banyak mempengaruhi keputusan Ki Gede itu.

Dengan demikian maka pertemuan itu pun dianggap sudah cukup oleh Ki Gede. Namun ketika para bebahu minta diri, Ki Gede memerintahkan agar orang yang dihukum itu untuk tetap tinggal.

Orang itu menjadi semakin berdebar-debar ketika Ki Gede kemudian berkata, “Kita akan berbicara di serambi samping. Mungkin kita akan mendapat kesempatan yang lebih baik dalam suasana yang lebih memungkinkan.“

Orang itu tidak berkata apapun juga. Namun ia justru telah mengumpati dirinya sendiri, “Betapa dungunya aku yang merasa mendapat hukuman yang terlalu ringan. Ternyata segala sesuatunya baru akan dimulai. Yang terjadi di pendapa itu barulah sekedar upacara untuk menunjukkan kebesaran jiwa Agung Sedayu dan Glagah Putih serta Ki Gede sendiri, yang nampaknya mengampuni sebagian besar dari kesalahan yang pernah aku perbuat. Namun sebenarnyalah bahwa yang akan terjadi itulah yang sesungguhnya akan aku alami. Tekanan yang mungkin tidak akan dapat aku tahankan.”

Dengan jantung yang berdebaran sehingga terasa isi dadanya menjadi sakit, orang itu telah dibawa ke serambi samping. Serambi di belakang seketheng yang tidak dapat dilihat dari halaman rumah Ki Gede, sehingga kesan orang itu, bahwa ia telah dibawa ke tempat yang tertutup.

“Duduklah Ki Sanak,“ berkata Ki Gede.

Orang itu menjadi gemetar. Sikap Ki Gede, Agung Sedayu, Glagah Putih, Sekar Mirah dan Kiai Jayaraga merupakan teka-teki yang sangat menggelisahkan.

“Nah,“ berkata Ki Gede kemudian, “sekarang kau mendapat kesempatan untuk berbicara tentang dirimu sendiri. Tentang gerombolanmu dan tentang pekerjaanmu, tanpa diganggu oleh pertanyaan-pertanyaan yang tidak berarti dari para bebahu.“

Wajah orang itu yang semula agak menjadi merah, telah menjadi pucat kembali.

“Aku kira lebih baik kau berbicara dengan jujur,“ berkata Ki Gede, “tidak ada gunanya kau menipu kami. Segala yang kau katakan akan kami selidiki kebenarannya. Dan kau dapat membayangkan apa yang dapat terjadi atasmu jika ternyata kau berbohong. Tetapi jika kau berkata sebenarnya, maka kau akan mendapat keringanan yang mungkin melampaui yang pernah kau duga sebelumnya.“

Orang itu hanya menundukkan kepalanya saja. Sementara itu Ki Gede telah bertanya, “Dimana rumahmu, Ki Sanak? Apakah kau berasal dari satu padepokan tersendiri? Kami ingin mendengar jawabmu sebelum kami membuktikan kebenarannya, serta memperhitungkan kemungkinan yang dapat terjadi.“

Orang itu menjadi bingung. Ternyata bahwa ia memang harus bersedia mengalami perlakuan yang betapapun beratnya, karena ia tidak akan mungkin mengatakan sesuatu tentang dirinya, tentang gerombolannya dan tentang lingkungannya.

“Katakan Ki Sanak,“ desis Agung Sedayu yang duduk di sebelahnya.

Kulit orang itu meremang. Ia sadar, bahwa Agung Sedayu akan dapat memegang tangannya dan mengalirkan udara panas ke dalam tubuhnya sehingga darahnya terasa mendidih dan jantungnya menjadi bara.

Tetapi ia juga tidak akan mempunyai keberanian untuk mengatakan tentang gerombolannya, kawan-kawannya dan apalagi seluruh lingkungannya.

“Baiklah Ki Sanak,“ berkata Ki Gede, “agaknya untuk mendengar keteranganmu memang diperlukan waktu. Mungkin kita harus beristirahat lagi. Mungkin hanya sebentar, tetapi mungkin agak lama. Atau mungkin kau memang memerlukan satu usaha untuk mempercepat, agar kau bersedia memberikan keterangan segera.“

Wajah orang itu menjadi semakin pucat. Sementara Agung Sedayu pun berkata, “Apakah kau sengaja menyembunyikan satu rahasia?“

Pertanyaan itu semakin menggelisahkan orang itu. Bahkan karena ia tidak segera menjawab, dan tiba-tiba saja Agung Sedayu menyentuh punggungnya, orang itu terkejut bukan kepalang, sehingga ia telah terhenyak setapak ke samping.

“He, kenapa kau?“ bertanya Agung Sedayu. Nafas orang itu terengah-engah oleh debar jantungnya yang semakin keras.

“Bukankah aku tidak berbuat apa-apa?“ bertanya Agung Sedayu, “Bukankah aku hanya menyentuhmu?“

“Ya. Aku terkejut sekali,“ jawab orang itu gagap.

Glagah Putih tidak dapat menahan senyumnya. Ketika sekilas ia berpaling ke arah Sekar Mirah, maka Sekar Mirah pun telah menyembunyikan senyumnya pula sambil menunduk.

“Ki Sanak,“ berkata Agung Sedayu, “aku mengerti bahwa kau berada di dalam ketegangan yang luar biasa. Kau sedang bergelut dengan dirimu sendiri, apakah kau dapat mengatakan sesuatu tentang lingkunganmu atau tidak. Tetapi sebenarnya kau tidak akan mempunyai pilihan. Kau harus mengatakannya, lambat atau cepat. Mungkin kau ingin menunggu, apakah kami akan memaksamu atau tidak. Bukankah dengan demikian kau hanya akan melakukan sesuatu dalam kesia-siaan belaka?“

Orang itu tidak menjawab. Namun tiba-tiba iapun telah mengatupkan giginya rapat-rapat. Dengan menghentakkan segenap kekuatan di dalam dirinya, ia berkata di dalam hati, “Aku adalah bagian dari satu kekuatan yang tidak tergoyahkan. Karena itu, aku harus membuktikannya. Tidak ada orang yang dapat memaksaku berbicara dengan cara apa pun juga.“

Karena orang itu tidak mau segera menjawab, maka Agung Sedayu pun mendesaknya, “ Bagaimana Ki Sanak?“

Orang itu seakan-akan telah menghentakkan pula satu jawaban, “Aku tidak akan mengatakan apa-apa.“

“O,“ Agung Sedayu mengerutkan keningnya, “apakah benar demikian?“

“Ya. Sampai mati pun tidak akan ada yang aku ucapkan tentang lingkunganku,“ jawab orang itu.

“Bagus,“ tiba-tiba Ki Jayaraga menyahut. “Kami berhadapan dengan seorang laki-laki sejati.“

Orang itu tiba-tiba berpaling dengan tatapan mata yang tegang ke arah Ki Jayaraga. Ternyata kata-kata Kiai Jayaraga itu merupakan ancaman yang membuat jantungnya semakin berdebar-debar. Kata-kata Kiai Jayaraga itu dapat diurai menjadi beberapa pengertian. Namun yang semuanya bagi orang itu merupakan bayangan yang mendirikan bulu-bulunya.

Dalam pada itu Agung Sedayu pun mengangguk-angguk. Katanya, “Kiai Jayaraga benar. Kita memang berhadapan dengan laki-laki sejati. Ia tahu yang mana yang boleh dikatakannya, dan yang mana yang tidak. Ia mengatakan dengan jujur apa yang telah dilakukannya bersama kawan-kawannya terhadap Glagah Putih. Tetapi ia sama sekali tidak mau menyebut tentang lingkungannya, tentang gerombolannya dan tentang pimpinannya yang lebih tinggi daripada orang yang terbunuh itu.“

Bagaimanapun juga orang itu menggeretakkan giginya, namun wajahnya pun telah memucat lagi. Pakaiannya benar-benar telah menjadi basah kuyup oleh keringatnya yang bagaikan diperas dari tubuhnya.

Namun tiba-tiba saja hampir berteriak ia berkata, “Kami adalah segerombolan perampok. Tidak lebih dan tidak kurang. Empat orang. Kami merampok apa saja yang dapat memberikan uang dan barang-barang berharga buat kami.“

“O,“ Agung Sedayu mengangguk-angguk, “akhirnya kau mau juga menyebutnya. Kenapa kau mengatakan bahwa sampai mati pun kau tidak akan mengucapkan sesuatu tentang lingkunganmu?“

Orang itu menjadi bingung. Wajahnya menjadi semakin pucat. Apalagi ketika Sekar Mirah kemudian tertawa sambil berkata, “Kau terperosok ke dalam satu sikap yang justru harus kau hindari. Dengan pengalamanmu itu, dan sikapmu sebelumnya, memberikan kesimpulan kepada kami, bahwa yang kau katakan itu sama sekali tidak berarti. Kecuali jika itu kau ucapkan sejak mula-mula, mungkin kami justru akan mempercayainya, apalagi sejak semula kau telah berkata dengan jujur.“

“Gila,“ orang itu tiba-tiba mengumpat. Gejolak di dalam dadanya rasa-rasanya akan meledakkan jantungnya.

“Baiklah,“ berkata Agung Sedayu, “jika kau masih belum bersedia mengatakannya sekarang, maka biarlah kau beristirahat. Mungkin nanti, mungkin besok, atau mungkin jika kau sudah kehilangan segenap nalar dan perasaanmu.“

Orang itu menggeram. Sementara itu Agung Sedayu pun berkata, “Bukankah kita tidak tergesa-gesa Ki Gede?“

“Tidak,“ jawab Ki Gede, “kita tidak tergesa-gesa. Kapan saja orang itu memilih waktu. Kita sebagian tergantung kepada kesediaannya.“

Jantung orang itu benar-benar bagaikan dihentak-hentakkan tanpa kekangan. Membentur batu-batu padas yang tajam runcing. Betapa sakitnya. Meskipun tubuhnya belum disentuh, tetapi dadanya bagaikan telah retak.

Namun agaknya Agung Sedayu benar-benar mengusulkan agar pemeriksaan terhadap orang itu ditunda. Dengan nada dalam ia berkata, “Ki Gede. Bagaimanakah pendapat Ki Gede, jika kita menunda pemeriksaan ini sampai pada kesempatan lain? Aku berharap bahwa orang itu sempat merenungi kata-kata kita semuanya. Mungkin ia akan bersikap lain. Sementara itu, kita sudah mendapat satu keyakinan apakah orang itu akan bersedia menjawab pertanyaan-pertanyaan kita atau tidak, sehingga dengan demikian kita akan dapat menentukan, apakah yang akan kita lakukan atas mereka.“

Ki Gede mengangguk-angguk. Bagi Ki Gede, pendapat Agung Sedayu pada umumnya memberikan jalan yang paling baik untuk memecahkan setiap persoalan. Karena itu, maka Ki Gede itu pun kemudian berkata, “Yang mana saja yang baik menurut pertimbanganmu, Agung Sedayu.“

Agung Sedayu memandang orang itu sekilas. Lalu katanya, “Baiklah Ki Sanak. Kami akan menyimpanmu untuk hari ini. Besok pagi-pagi mungkin kami ingin berbicara lagi denganmu.“

“Persetan,“ geram orang itu, “kalian hanya akan membuang waktu saja. Kenapa kalian tidak membunuhku sekarang saja?“

“Membunuh?“ sahut Agung Sedayu, “Kami memerlukanmu. Kami tidak akan membunuhmu.“

“Kau tidak akan dapat memeras keteranganku. Aku adalah orang yang sudah dipersiapkan untuk mengalami perlakuan apapun juga,“ berkata orang itu.

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Kau bersedia mengantar aku kepada kawan-kawanmu.“

Orang itu mengumpat meskipun hanya didengarnya sendiri. Terasa tangan Agung Sedayu itu seakan-akan telah merabanya lagi dan udara panas mengalir ke dalam tubuhnya melalui urat darahnya, sehingga jantungnya serasa menjadi terbakar hangus.

“Anak iblis,“ terlontar pula dari bibirnya.

Agung Sedayu memang mendengarnya, tetapi ia tidak menghiraukannya. Bahkan kemudian katanya kepada Ki Gede, “Ki Gede, biarlah orang ini aku bawa ke tempat yang akan dipergunakan untuk mengurungnya. Biarlah ia beristirahat malam nanti dan tidur dengan nyenyak.“

Ki Gede tidak berkeberatan, sehingga dengan demikian, maka Agung Sedayu pun telah memerintahkan Glagah Putih untuk membawa orang itu turun dari serambi. Sementara ketika Agung Sedayu meninggalkan tempat itu, ia sempat berkata kepada Ki Gede, “nampaknya ada sesuatu yang akan menarik pada keterangannya kelak.”

“Ya. Karena itu, kita akan memeriksanya dengan saksama,“ jawab Ki Gede.

Sementara itu Glagah Putih telah membawa orang itu ke tempat yang khusus sebagaimana petunjuk Agung Sedayu kemudian. Ia dimasukkan ke dalam ruang tersendiri untuk menghindarkannya dari persoalan yang dapat timbul dengan orang-orang yang telah lebih dahulu mendapat hukuman karena kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan.

Namun seperti yang pernah dikatakan oleh Agung Sedayu, orang itu memang harus mendapat pengamatan khusus. Justru karena orang itu agaknya mempunyai sangkut paut dengan satu lingkungan yang dirahasiakannya.

Di samping para pengawal khusus, maka Agung Sedayu pun telah mengatur diri bersama Glagah Putih untuk bergantian setiap kali menengok tempat itu, untuk menjaga kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi.

Pada saat yang demikian, selagi Glagah Putih menempatkan orang itu di tempat yang khusus bersama empat orang pengawal yang akan bertugas mengamatinya, jauh dari Tanah Perdikan, dua orang berada dalam kebingungan.

“Apakah kita akan melaporkan apa yang telah terjadi?“ bertanya yang seorang.

“Apakah hal itu ada gunanya bagi kita, atau justru sebaliknya akan merupakan malapetaka?“ sahut kawannya.

Yang lain terdiam. Sejenak mereka merenung.

“Upah itu sudah kau terima sebagian,“ desis salah seorang di antara keduanya.

“Salah Kakang Lurah,“ jawab yang lain, “jika ia tidak menginginkan kuda yang besar dan tegar itu serta kemudian uang tebusan, mungkin kita tidak terjerat ke dalam persoalan yang rumit ini. Apalagi setelah Kakang Lurah agaknya tidak berhasil melarikan diri dan dibunuh oleh anak iblis itu.“

“Kita memang sulit untuk meninggalkan kebiasaan kita,“ jawab orang pertama, “demikian pula agaknya Kakang Lurah.“

“Tetapi bukankah kita sedang melakukan satu kesanggupan yang berat yang juga menghasilkan uang yang cukup banyak?“ sahut kawannya, “Bukankah dengan demikian berarti kita akan mengalami malapetaka jika kita harus mempertanggungjawabkan tugas kita, sementara uang itu sebagian telah kita terima.“

“Sebaiknya kita tidak melaporkan diri,“ berkata orang yang pertama, “kita akan pergi saja menjauhi mereka.”

“Apakah hal itu mungkin kita lakukan? Orang itu atau para pengikutnya akan memburu kita sampai ke ujung bumi,“ sahut kawannya.

“Jangan terlalu ketakutan menghadapi orang-orang itu,“ berkata orang pertama, “jika kita harus mati, biarlah kita menunda kematian. Tetapi jika kita melaporkan diri, maka kita akan lebih cepat mati, karena mereka tentu akan membunuh kita.“

Kawannya termangu-mangu. Namun tiba-tiba ia berdesis, “Bagaimana dengan kawan kita yang pergi ke rumah anak iblis itu untuk mendapatkan tebusan?“

“Jika anak itu sudah mampu mengalahkan kita bertiga, maka nasib kawan kita itu pun tidak akan lebih baik dari kita,“ jawab orang yang pertama. Tetapi iapun kemudian bergumam, “Apakah itu berarti bahwa ia akan membuka rahasia seandainya ia tidak terbunuh?“ 

Kawannya bergumam, “Aku tidak tahu. Tetapi kita adalah orang-orang yang pernah menyatakan janji, bahwa kita akan mempertanggungjawabkan diri kita serta kelompok ini. Kita akan saling memegang rahasia dan kita akan mengorbankan apa saja bagi kita bersama-sama. Di samping itu, kita akan ketakutan untuk membuka rahasia yang menyangkut orang yang mengupah kita. Karena itu, menurut perhitunganku, ia tidak akan mengatakan tentang kita berdasarkan atas janji di antara kita serta keteguhan hati kita, dan tidak pula akan berani membuka rahasia orang yang mengupah kita, karena jika demikian, maka ia tidak akan memiliki kehidupan lagi seandainya ia tidak dibunuh. Ia akan selalu diburu oleh ketakutan dan kegelisahan. Bahkan mungkin ia akan membunuh diri.“

“Apakah pada suatu saat kita juga mungkin membunuh diri, jika kita sadari bahwa kita selalu diburu?“ bertanya orang yang pertama.

“Seperti aku katakan, kita sudah meletakkan dasar bahwa kita sekedar memperpanjang umur. Kenapa kita takut diburu dan seandainya dibunuh sekalipun?“ bertanya kawannya.

“Apakah kawan kita tidak juga berpikir demikian, sehingga ia akan berani membuka rahasia kita dan rahasia orang yang mengupah kita? Mungkin ia mengalami tekanan yang tidak teratasi sehingga ia terpaksa melakukannya,“ jawab yang pertama.

“Memang mungkin. Tetapi kesediaan kita untuk saling melindungi adalah janji jantan. Bukan karena saling ketakutan. Berbeda dengan persoalan orang yang mengupah kita,“ berkata kawannya. Namun kemudian katanya pula, “Tetapi bukankah rahasia kita sudah tidak perlu lagi dilindungi? Kita berdua akan pergi ke tempat yang kita sendiri tidak tahu. Apa artinya bahwa kawan kita harus merahasiakan kita lagi?“

Yang pertama mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Baiklah. Kita akan pergi ke tempat yang tidak ditentukan. Jika kita mendapatkan tempat yang baik, maka sanak keluarga kita akan dapat kita jemput kemudian dengan diam-diam. Karena itu, kita tidak lagi berkepentingan dengan kawan kita yang satu itu. Apakah ia tertangkap atau terbunuh, atau diperas keterangannya atau apapun juga.“

“Ya. Kita tidak mempunyai kesempatan yang lain. Kesalahannya terletak kepada Kakang Lurah. Tetapi ia sudah menerima hukumannya. Untunglah bahwa kita-lah yang membawa uang itu, sehingga kita dapat mempergunakannya,“ sahut kawannya.

“Sebagian dari upah itu dapat kita pergunakan untuk bekal. Sementara di sepanjang jalan, kita akan dapat mencari lagi sesuai dengan keadaan,“ desis orang yang pertama.

Kedua orang itu pun kemudian telah mulai dengan satu pengembaraan tanpa tujuan. Mereka sama sekali tidak melakukan pekerjaan yang sudah mereka sanggupi, dan bahkan sebagian dari upahnya telah mereka terima, karena mereka justru terjerat pada satu keinginan untuk memiliki seekor kuda yang besar dan tegar, dan bahkan untuk mendapatkan uang tebusan.

Namun yang terjadi itu sama sekali tidak diketahui oleh kawannya yang terkurung di Tanah Perdikan Menoreh. Tidak sedikitpun yang diketahuinya apa yang telah terjadi dengan kelompoknya, selain bahwa seorang yang tertua yang disebutnya Ki Lurah itu, telah meninggal dan dikuburkannya.

Tetapi yang ingin diketahui oleh orang-orang Tanah Perdikan Menoreh adalah latar belakang dari perbuatannya serta lingkungan di sekitarnya.

Demikianlah, di hari berikutnya, maka orang itu pun telah dibawa kembali menghadap Ki Gede Menoreh, Agung Sedayu, Sekar Mirah, Kiai Jayaraga dan Glagah Putih. Tetapi tidak di serambi, namun justru lebih mendebarkan lagi. Orang itu ternyata telah dibawa ke dalam sanggar Ki Gede. Sanggar yang tertutup rapat. Namun yang pada dindingnya tergantung berbagai macam senjata. Di sudut sanggar itu terletak tali temali yang bergayutan dari atap ke dinding-dinding, seperti anyaman sarang laba-laba.

“Ki Sanak,“ berkata Ki Gede, “aku hari ini tidak akan terlalu banyak mencampuri persoalan kalian dengan anak muda yang telah kalian culik, bersama kawan-kawanmu serta keluarganya. Aku hanya sekedar akan menjadi saksi. Sedangkan jika kau terlanjur mati di dalam sanggar ini, biarlah aku memerintahkan orang-orangku untuk menyeret mayatmu dan barangkali membuang ke kali, jika rasa-rasanya aku segan melihat mayatmu itu dikuburkan. Karena hanya mayat orang baik-baik sajalah yang pantas diserahkan kembali kepada bumi. Bagi seorang penjahat, maka biarlah tubuhnya dikoyak-koyak oleh burung pemakan bangkai.“

Tengkuk orang itu meremang. Sementara itu, ia melihat sorot mata Agung Sedayu yang menusuk tajam menghunjam sampai ke pusat jantung.

“Nah Agung Sedayu,“ berkata Ki Gede, “segala sesuatunya terserah kepadamu. Apa yang ada di dalam sanggar ini dapat kau pergunakan untuk kepentinganmu, mendapat keterangan dari orang yang keras kepala ini.“

“Terima kasih Ki Gede,“ jawab Agung Sedayu. Tiba-tiba saja iapun telah bangkit berdiri sambil mengurai cambuknya.

Orang yang telah dibawa ke sanggar untuk diperiksa itu tiba-tiba pula telah terkejut bukan kepalang sehingga ia terloncat ke samping, ketika cambuk Agung Sedayu meledak di sampingnya. Ledakan yang sangat dahsyat sehingga rasa-rasanya telinganya telah terkoyak karenanya.

Orang itu hampir saja mengumpat. Untunglah cepat ia menyadari keadaannya, sehingga suaranya bagaikan tertahan di kerongkongan.

Sementara itu Agung Sedayu pun tersenyum sambil bertanya, “Apakah kau terkejut?”

Orang itu tergagap. Hampir di luar sadarnya ia menjawab, “Ya. Aku terkejut sekali.“

“Maaf. Aku tidak ingin merontokkan jantungmu,“ jawab Agung Sedayu, “aku hanya ingin mencoba, apakah aku masih mampu bermain cambuk sebagaimana anak-anak yang bermain kuda-kudaan.“

Jantung orang itu pun berdegup semakin keras. Suara cambuk itu telah mengguncang isi dadanya. Sementara itu sikap Agung Sedayu sangat menggelisahkan pula.

Dalam pada itu, Sekar Mirahpun telah berkata pula, “Aku sama sekali sudah tidak terkejut lagi Ki Sanak. Setiap kali aku mendengar Kakang Agung Sedayu bermain-main dengan cambuknya. Tetapi mungkin timbul pertanyaan di dalam hatimu, jika ujung cambuk itu menyentuh kulitmu, apa yang terjadi?“

Orang itu sama sekali tidak menyahut. Tetapi wajahnya telah menjadi sangat pucat, dan keringatnya membasahi seluruh tubuhnya.

“Jangan takut,“ tiba-tiba Kiai Jayaraga-lah yang menyahut, “Agung Sedayu tidak akan benar-benar mencambukmu. Ia hanya sekedar menakut-nakuti saja. Kecuali jika kau tidak mau menjawab pertanyaan-pertanyaan Agung Sedayu.“

Jantung orang itu rasa-rasanya bagaikan akan meledak oleh kecemasan yang semakin mencengkam.

Apalagi ketika ia mendengar Kiai Jayaraga tertawa sambil berkata ,“ Kenapa kau menjadi semakin ketakutan?“

Orang itu mulai menjadi gemetar. Sementara itu, Ki Gede telah bangkit berdiri pula dan beranjak beberapa langkah menepi. Dengan nada dalam ia berkata, “Sayang, bahwa sesuatu harus terjadi. Seandainya orang itu tidak mempersulit dirinya sendiri, maka tidak akan pernah terjadi malapetaka bagi dirinya.“

Kata-kata Ki Gede itu membuat jantung orang itu semakin terguncang. Bayangan-bayangan yang menakutkan dan mengerikan rasa-rasanya mulai berterbangan di-sekitarnya.

Sebentar lagi bayangan-bayangan itu akan menjadi kenyataan.

Sementara itu, Agung Sedayu masih berdiri dengan cambuk di tangan. Ketika Agung Sedayu kemudian memutar cambuknya, maka orang itu telah memejamkan matanya.

Putaran cambuk Agung Sedayu yang semakin lama semakin cepat terdengar berdesing semakin keras, sehingga kemudian bagaikan auman yang menggetarkan udara di dalam sanggar itu.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar