Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 199

Buku 199

Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih pun telah bersiap. Bahkan di luar dugaan, justru Glagah Putih-lah yang menyerang lebih dahulu.

Serangan Glagah Putih memang bukan serangan yang langsung ke arah bagian-bagian tubuh lawannya yang lemah. Tetapi ia sekedar memancing agar kedua orang lawannya pun segera mulai bertempur. Ia tidak mempunyai banyak waktu, karena ia berjanji dengan Raden Rangga untuk datang pada saat pasar temawon.

Namun Glagah Putih pun menyadari, bahwa kedua orang itu tentu bukan orang kebanyakan. Keduanya tentu mempunyai bekal ilmu pula untuk melakukan pekerjaan mereka yang berbahaya itu. Sehingga karena itu, maka Glagah Putih pun tidak kehilangan kewaspadaan sama sekali, meskipun ia dengan sengaja menunjukkan sikap yang memancing kemarahan lawannya.

Dengan demikian maka sejenak kemudian telah terjadi perkelahian antara Glagah Putih melawan kedua orang lawannya. Semakin lama menjadi semakin seru.

Kedua orang yang mencegat Glagah Putih itu benar-benar telah menjadi tersinggung karena tingkah laku Glagah Putih. Apalagi karena Glagah Putih telah lebih dahulu menyerang mereka.

Namun, demikian kemampuan mereka mulai bersentuhan, maka kedua orang itu telah terbangun dari sebuah mimpi yang mengasyikkan tentang anak seorang saudagar kaya raya.

Ternyata bahwa anak muda itu benar-benar memiliki bekal yang mampu dipergunakannya untuk melindungi dirinya.

Sebenarnyalah bahwa Glagah Putih telah mengerahkan kemampuannya. Ia ingin dengan cepat menyelesaikan persoalannya dengan kedua orang penyamun itu.

Namun kedua orang penyamun itu pun telah mengerahkan kemampuan mereka pula. Keduanya dengan keras dan bahkan kasar telah menyerang dari arah yang berbeda. Dengan demikian mereka berusaha untuk memecah perhatian Glagah Putih.

Tetapi ternyata bahwa Glagah Putih memiliki kemampuan yang luar biasa. Ia tidak menjadi bingung mengalami serangan dari dua arah yang berbeda. Dengan tangkas ia mampu mengimbanginya, bahkan kemudian mengatasinya.

Dengan demikian, maka pertempuran antara Glagah Putih dan kedua orang yang mencegatnya itu semakin lama menjadi semakin sengit. Mereka berloncatan di padang ilalang, serang-menyerang dengan kecepatan yang semakin lama menjadi semakin tinggi.

Namun sebenarnyalah bahwa kedua orang penyamun itu sama sekali tidak menduga bahwa sasarannya itu ternyata adalah orang yang berilmu tinggi.

“Persetan,” geram salah seorang di antara mereka, “anak ini memang keras kepala.”

“Tidak ada orang yang membiarkan dirinya dibunuh tanpa berusaha untuk menyelamatkan diri,” sahut Glagah Putih sambil bertempur.

“Tetapi yang kau lakukan hanya sekedar mempersulit jalan kematianmu sendiri,” lawannya yang lain pun menjawab pula.

Glagah Putih justru tertawa. Katanya, “Sekarang mulai nampak oleh kita. Siapakah yang akan segera menjadi korban dari perkelahian ini. Siapakah yang akan berjongkok dan menyerahkan lehernya untuk dipenggal.”

“Anak iblis!” salah seorang di antara kedua lawannya hampir berteriak, “Kau terlalu sombong anak muda. Kau ternyata salah menilai kemampuan kami. Apa yang kau alami barulah permulaan dari seluruh permainan kami.”

“Aku tidak perduli,” sahut Glagah Putih, “tetapi bahwa aku akan dapat membunuh kalian, telah mulai aku rasakan sekarang. Kalian tidak akan mampu bertahan lebih lama lagi.”

“Omong kosong,” geram salah seorang dari kedua lawannya yang memang sebenarnya mulai terdesak. Namun tiba-tiba orang itu telah menggenggam senjatanya sambil berkata, “Sebentar lagi mayatmu akan terkapar di padang ilalang ini.”

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Ia memang tidak membawa senjata yang memadai. Ia sama sekali tidak mengira, bahwa ia akan menghadapi dua orang penyamun yang karena salah paham telah mencegatnya dan bahkan akan merampoknya. Permainan Raden Rangga ternyata telah membawa akibat yang jauh.

Glagah Putih tidak sempat termangu-mangu terlalu lama. Ujung senjata lawannya itu telah terayun mengarah ke lambungnya. Sehingga dengan demikian maka Glagah Putih pun harus melenting untuk menghindarinya.

Tetapi lawannya itu tidak membiarkannya. Karena itu, maka ia pun telah memburunya dengan loncatan panjang. Senjatanya terjulur lurus mengarah ke dada.

Glagah Putih meloncat ke samping. Ujung senjata itu itu memang tidak mengenainya. Namun pada saat yang demikian, lawannya yang seorang lagi ternyata telah mencabut senjatanya pula. Dengan tangkasnya senjata itu telah terayun ke arah leher.

Glagah Putih menggeliat. Dengan kecepatan geraknya maka ia masih berhasil menyelamatkan diri.

Namun Glagah Putih pun menyadari, sampai berapa lama ia mampu menghindari kedua ujung senjata yang menyambar-nyambarnya dengan cepat.

Glagah Putih memang merasa menyesal, bahwa ia tidak membawa senjata. Ia merasa bahwa keadaan benar-benar sudah menjadi baik, dan ia pun merasa kurang mapan apabila ia menghadap putra Panembahan Senapati sambil membawa senjata.

Namun Glagah Putih tidak dapat membiarkan dirinya menjadi korban permainan Raden Rangga itu. Karena ia tidak bersenjata, maka ia pun merasa bahwa tidak ada salahnya jika ia mempergunakan ilmunya untuk melindungi dirinya, karena agaknya kedua orang itu benar-benar ingin membunuhnya.

Untuk beberapa saat Glagah Putih masih berusaha untuk berloncatan menghindari serangan-serangan lawannya dengan dorongan kekuatan cadangan yang ada di dalam dirinya.

Namun ternyata bahwa kedua orang itu juga memiliki kemampuan untuk bergerak cepat. Senjata mereka menyambar-nyambar di seputar tubuhnya. Bahkan sekali telah menyentuh pakaianya, sehingga jantung Glagah Putih itu berdenyut semakin cepat.

“Gila,” geram Glagah Putih, “mereka benar-benar ingin membunuhku.”

Karena itulah, maka Glagah Putih tidak menunggu lebih lama lagi. Ia harus berusaha menyelamatkan dirinya sendiri dari kedua ujung senjata itu.

Karena itulah, maka Glagah Putih justru meloncat menjauh untuk mengambil jarak. Dengan demikian waktu yang sekejap itu dapat dipergunakannya untuk membangunkan ilmunya.

Dengan demikian maka telah terjadi perubahan pada pertempuran itu. Kedua orang yang ingin menyamun Glagah Putih yang dikiranya anak seorang saudagar kaya itu tiba-tiba telah merasakan perubahan udara tanpa diketahui sebabnya.

Namun selagi mereka termangu-mangu oleh udara yang tiba-tiba terasa panas, maka dengan serta merta Glagah Putih telah menyerang mereka. Demikian cepatnya, sehingga salah seorang di antara mereka yang mendapat serangan itu tidak sempat mengelak.

Tangan Glagah Putih ternyata telah menyambar pundak orang itu. Tidak terlalu keras. Namun terasa panas yang menggigit pundak itu. Sentuhan tangan Glagah Putih bagaikan sentuhan bara yang merah menyala.

Orang itu mengaduh tertahan. Dengan tangkas ia mengayunkan senjatanya. Namun Glagah Putih telah melenting menjauh. Bahkan hampir di luar kemampuan pengamatan mereka, Glagah Putih telah menyerang orang yang lain pula.

Seperti kawannya, maka orang itu pun merasakan api yang menyentuhnya, sehingga karena itu, maka ia telah berteriak mengumpat-umpat.

Tetapi mereka tidak dapat sekedar mengumpat dan mengayun-ayunkan senjata mereka. Udara pun telah berubah menjadi semakin lama semakin panas.

“Gila,” geram salah seorang dari kedua orang penyamun itu, “kita berhadapan dengan ilmu iblis.”

“Kita harus segera membunuhnya,” sahut kawannya. Kedua orang itu pun dengan cepat mulai bergerak dari arah yang berbeda. Tetapi keringat yang memang sudah mengalir itu bagaikan terperas dari tubuhnya. Bukan saja karena mereka telah memeras tenaga, tetapi juga karena udara yang seakan-akan menjadi semakin panas.

Ternyata bahwa udara yang panas itu telah sangat mempengaruhi mereka. Gerak mereka menjadi bertambah lamban, dan sekali-sekali mereka justru merasa tercekik oleh panasnya udara itu.

Dalam keadaan yang demikian Glagah Putih telah menyerang mereka semakin cepat. Dalam kesempatan-kesempatan tertentu, meskipun tidak terlalu banyak, Glagah Putih telah berhasil menyentuh tubuh lawannya.

Glagah Putih memang tidak mempergunakan tenaganya untuk menghantam lawannya. Ia hanya sekedar menyentuhnya. Namun sentuhan itu adalah sentuhan bara api yang benar-benar dapat membakar kulit lawannya.

Setiap kali tangan Glagah Putih menyentuh kulit lawannya, terdengar lawannya itu mengaduh.

Ternyata bahwa kemarahan Glagah Putih telah membuatnya sulit mengendalikan diri. Kedua lawannya itu benar-benar akan membunuhnya, bahkan dengan cara yang tidak sewajarnya.

Namun dalam pada itu, kedua lawan Glagah Putih itu mulai kehilangan harapan untuk dapat memenangkan pertempuran itu. Anak yang disangkanya anak saudagar kaya itu benar-benar seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Ia bukan saja mampu mempergunakan tenaga cadangan yang luar biasa besarnya, tetapi ternyata ia mempunyai kekuatan aji yang dapat membuatnya bagaikan api yang selain memancarkan panas, maka sentuhannya benar-benar dapat membakar kulit.

Dengan demikian, maka orang yang telah mendengar pembicaraan tukang satang itu telah berpikir dengan sangat licik. Ia tidak menghiraukan kawannya yang diajaknya untuk menyamun saat itu. Ia hanya memikirkan keselamatannya sendiri. Bahkan dengan sengaja ia telah mengumpankan temannya itu, agar ia sempat melarikan dirinya.

Itulah sebabnya, maka untuk beberapa saat lamanya ia mencari kesempatan itu. Kawannya yang masih bertempur dengan gigihnya sama sekali tidak mengira bahwa orang yang mengajaknya menyamun saat itu justru telah menjerumuskannya.

Demikianlah, ketika kesempatan itu datang, selagi Glagah Putih melibat kawannya dalam serangan-serangan yang mendesak, tiba-tiba saja orang itu telah meloncat dan melarikan diri.

Glagah Putih terkejut melihat orang itu bersikap licik. Ada niatnya untuk mengejarnya. Tetapi dengan demikian ia harus melepaskan lawannya yang seorang lagi. Bahkan mungkin ia tidak dapat menangkap yang pertama dan kehilangan yang kedua pula.

Karena itu, maka Glagah Putih pun telah membiarkannya lari. Tetapi dengan perhitungan, bahwa jika ia dapat menangkap yang seorang, maka dengan menyerahkannya kepada prajurit Mataram, yang seorang lagi tentu akan dapat dicari.

Namun dalam pada itu, dalam keadaan yang sulit dan tidak ada kesempatan untuk melarikan diri, kawannya itu berteriak, “He, jangan tinggalkan aku! Licik kau. Tunggu!”

Tetapi kawannya yang melarikan diri itu sama sekali tidak mendengarkannya. Ia pun justru berlari semakin cepat menembus gerumbul-gerumbul batang ilalang.

Tetapi Glagah Putih kemudian justru terkejut karenanya, sebagaimana juga lawannya. Orang yang melarikan diri itu, dan yang telah hilang di balik gerumbul, tiba-tiba telah terlempar kembali dan jatuh di luar gerumbul ilalang. Demikian orang itu jatuh di tanah, maka orang itu sama sekali tidak bergerak lagi.

Glagah Putih menjadi heran. Demikian juga lawannya. Namun Glagah Putih tidak boleh lengah, sehingga ia masih tetap menghadapi lawannya dengan kewaspadaan.

Namun lawannya yang merasa terjerumus ke dalam kesulitan oleh kelicikan kawannya itu, tiba-tiba saja telah melemparkan senjatanya sambil berteriak, “Aku menyerah! Aku menyerah!”

Glagah Putih tertegun sejenak. Hampir saja ia mengakhiri hidup lawannya. Tetapi untunglah ia sempat mengekang dirinya.

Untuk beberapa saat Glagah Putih termangu-mangu. Namun tiba-tiba ia berkata, “Apakah benar kau menyerah?”

“Ya Ki Sanak,” jawab orang itu sambil gemetar.

“Jika demikian, marilah, kita melihat apa yang terjadi dengan kawanmu. Tetapi jangan kau coba untuk berbuat sesuatu yang akan dapat mencelakakan dirimu sendiri,” geram Glagah Putih.

Lawannya itu tidak menjawab. Tetapi ketika Glagah Putih memberi isyarat, maka orang itu pun melangkah dengan ragu-ragu mendekati kawannya yang terbaring diam.

Sementara itu, Glagah Putih menjadi sangat berhati-hati. Ia tidak tahu, permainan apa yang sedang dilakukan oleh kedua lawannya itu. Mungkin yang mereka lakukan adalah satu cara untuk menjebaknya dan menjerumuskannya dalam satu keadaan yang sangat pahit.

“Lihat, apa yang terjadi dengan kawanmu,” perintah Glagah Putih. Ia sama sekali tidak melepaskan kewaspadaannya. Ia berdiri selangkah di belakang orang yang telah menyerah itu, sementara orang itu pun merasa ragu untuk mendekati kawannya yang terbaring diam.

“Berjongkoklah,” perintah Glagah Putih, “lihat, apa yang terjadi dengan kawanmu itu.”

Orang itu tidak berani menolak. Ia pun kemudian berjongkok di sisi kawannya terbaring. Namun tiba-tiba wajahnya menjadi pucat. Dengan nada dalam ia berdesis, “Ia sudah meninggal.”

“Meninggal?” desis Glagah Putih, “Apakah ia terluka?”

Orang itu terdiam sejenak. Dirabanya tubuh kawannya yang mulai mendingin. Sambil menggeleng ia menjawab, “Ia tidak terluka sama sekali.”

Glagah Putih termangu-mangu. Tetapi menilik keadaannya, maka orang itu agaknya memang sudah meninggal. Karena itu, maka Glagah Putih pun mendekatinya. Dengan hati-hati ia berjongkok di samping tubuh itu, berseberangan dengan orang yang telah menyerah itu. Namun sebenarnyalah menurut penglihatannya orang yang terbaring itu memang sudah meninggal.

“Kenapa?” desis Glagah Putih.

“Aku tidak tahu,” sahut lawannya yang menyerah itu,

“Aku melihat ia menghilang di dalam gerumbul ilalang. Namun ia telah terlempar kembali dan jatuh di sini. Langsung terbunuh,” berkata Glagah Putih. “Tentu ada sebabnya. Tidak mungkin ia terlempar surut dan mati tanpa sebab.”

Lawannya yang sudah menyerah itu tidak menjawab. Ia memang tidak mengerti apa yang telah terjadi. Namun sebagaimana dilihatnya, bahwa kawannya itu telah mati.

Dalam pada itu, tiba-tiba saja Glagah Putih telah melenting berdiri. Ia pun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan. Sementara lawannya yang sudah menyerah itu pun terkejut pula karena sikap Glagah Putih. Namun dengan gerak naluriah ia pun telah bersiap pula menghadap ke arah Glagah Putih menghadap pula.

“Ada apa?” bertanya orang yang telah menyerah itu.

“Aku mendengar sesuatu di dalam gerumbul itu,” jawab Glagah Putih, “mundurlah. Mungkin loncatannya akan dapat menjangkaumu. Agaknya ada hubungan dengan kematian kawanmu.”

Orang itu bergeser menjauh. Ia kemudian berdiri selangkah di sisi Glagah Putih, yang berdiri tegak, namun siap menghadapi segala kemungkinan.

Sejenak keduanya menunggu. Orang yang berdiri di sisi Glagah Putih itu pun kemudian melihat, bahwa ujung ilalang di gerumbul itu bergerak-gerak. Agaknya memang ada seseorang di dalam gerumbul itu.

Sebenarnyalah bahwa sejenak kemudian, ilalang itu telah menyibak. Ketika seseorang muncul dari balik batang-batang ilalang, Glagah Putih pun telah surut selangkah. Kakinya merenggang dan kedua tangannya terangkat dan bersilang di dada .

Namun Glagah Putih pun kemudian menarik nafas dalam-dalam. Hampir saja mulutnya menyebut nama orang itu. Tetapi orang itu telah mendahuluinya, “Siapakah kau?”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tanggap maksud orang itu, sehingga karena itu, maka jawabnya, “Aku adalah anak seorang saudagar yang kaya raya. Apakah yang kau kehendaki? Apakah kau ingin mengalami nasib seperti orang itu?” “Jangan membual,” berkata orang itu, “aku tahu apa yang telah terjadi. Orang itu adalah seorang yang licik. Agaknya ia akan menyamun dan merampokmu. Mungkin orang itu mengetahui bahwa kau adalah seorang anak dari seorang saudagar kaya raya. Tetapi ternyata bahwa orang itu tidak dapat mengalahkanmu. Bahkan ia telah bertempur berdua dengan kawannya.” Orang itu berhenti sejenak, lalu, “Tetapi yang paling aku benci adalah sifatnya yang licik dan berkhianat. Aku tidak akan ikut campur seandainya ia hanya sekedar merampokmu. Tetapi justru karena ia telah berkhianat, melarikan diri dari medan dengan mengumpankan kawannya sendiri, maka aku telah ikut campur. Seorang pengkhianat memang sepantasnya dibunuh.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun kemudian berkata, “Lalu, apa yang sebaiknya kita lakukan?

“Serahkan mayat itu kepada kawannya,” berkata orang itu, “aku akan pergi. Jika kau akan menungguinya, silahkan. Tetapi jika kau menganggap bahwa kau tidak berkepentingan lagi, maka kau dapat meninggalkannya.”

Glagah Putih berpikir sejenak. Kemudian jawabnya, “Baik. Aku akan menyerahkan mayat itu kepada kawannya. Aku kira aku sudah tidak mempunyai kepentingan apapun lagi. Orang yang menyerah ini, biarlah tetap hidup, bahkan ia akan dapat mengurusi mayat kawannya itu.”

“Terserahlah,” berkata orang yang membunuh itu, “aku akan pergi.”

“Kita dapat pergi bersama-sama,” sahut Glagah Putih.

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Jika kau ingin pergi bersamaku, aku tidak berkeberatan. Tetapi jangan menyesal bahwa tiba-tiba di perjalanan aku ingin membunuhmu karena aku melihat cacatmu, sebagaimana aku lihat pada orang yang aku bunuh itu.”

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ketika orang itu pergi, maka Glagah Putih pun mengikutinya.

Dalam pada itu, orang yang ditinggalkannya itu pun berdiri termangu-mangu. Sekali-sekali dipandanginya kawannya yang terbunuh, namun kemudian dipandanginya kedua orang yang berjalan semakin jauh.

Namun ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia memang harus mengubur kawannya yang terbunuh itu. Karena yang ada di tempat itu hanyalah senjata mereka berdua, maka ia pun telah berusaha mempergunakan senjata itu untuk menggali lubang. Tetapi karena tanah di tempat itu lunak karena bercampur pasir, maka ia pun dapat melakukannya meskipun sulit.

Akhirnya kawannya yang terbunuh itu pun telah dikuburkannya di lubang yang tidak begitu dalam. Tetapi orang itu tidak berani menyampaikannya kepada keluarganya, karena dengan demikian akan dapat memancing persoalan. Bahkan mungkin keluarganya akan mencurigainya dan merencanakan pembalasan dengan atasnya.

Karena itu, agar persoalannya tidak berkepanjangan, maka lebih baik baginya untuk mengubur saja orang itu.

Dalam pada itu, Glagah Putih yang mengikuti orang yang telah membunuh itu sudah menjadi semakin jauh. Akhirnya ia tidak dapat menahan diri lagi dan bertanya, “Apa maksud Raden Rangga sebenarnya? Apakah Raden memang memancing agar orang itu berbuat demikian sehingga Raden mempunyai alasan untuk membunuhnya?”

Orang itu tersenyum. Katanya, “Tidak. Aku tidak ingin memancing persoalan. Aku memang hanya ingin bermain-main dengan tukang satang itu. Adalah di luar dugaanku, bahwa telah terjadi sesuatu yang gawat atasmu. Untunglah bahwa kau adalah murid Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga. Aku sudah melihat kemampuanmu, meskipun masih terlalu buruk dibanding dengan kemampuan gurumu. Tetapi ternyata ilmumu yang masih buruk itu telah mampu kau pergunakan untuk melindungi dirimu.”

“Aku baru mulai Raden,” berkata Glagah Putih, “mudah-mudahan aku akan dapat dengan cepat memperbaikinya, sehingga tidak nampak terlalu buruk pada Raden.”

“Jangan kecewa. Aku berkata sebenarnya. Tetapi aku yakin bahwa kau akan mampu mencapai tingkatan tertinggi dari ilmu itu, juga ilmu yang akan diturunkan oleh Agung Sedayu kepadamu,” berkata Raden Rangga itu.

Tetapi Glagah Putih yang muda itu masih juga membela diri, “Apalagi aku memang tidak berusaha mengerahkan segenap kemampuan, karena sejak semula aku tidak akan membunuh mereka.”

Raden Rangga justru tertawa. Katanya, “Kau kira aku tidak dapat membedakan ilmu yang terpancar dari tataran yang tinggi dan tataran yang buruk seperti yang kau lakukan?”

Glagah Putih memang tersinggung. Tetapi ia masih berusaha untuk menahan diri. Namun ia menjawab, “Betapapun buruknya, aku berhasil mengalahkan mereka.”

“Tetapi kau tidak mampu menguasai keduanya, ternyata yang seorang di antara mereka sempat melarikan diri,” berkata Raden Rangga.

“Aku memang melepaskannya,” jawab Glagah Putih.

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian tertawa berkepanjangan. Katanya, “Kau tersinggung. Jika demikian maka kau tidak akan maju dalam ilmumu. Sebagai seorang sahabat aku harus berkata sebagaimana keadaanmu. Aku tidak dapat berkata asal saja menyenangkanmu. Dengan demikian aku telah menjerumuskanmu. Coba, jika aku mengatakan bahwa ilmumu luar biasa. Kau sudah mampu menyamai gurumu atau kata-kata pujian yang lain, maka kau akan menjadi besar kepala dan tidak lagi dengan sungguh-sungguh berusaha meningkatkan ilmu. Tetapi jika aku berkata apa adanya, maka kau akan melihat kenyataan di dalam dirimu, bahwa kau masih harus banyak belajar.”

Glagah Putih mengatupkan giginya rapat-rapat. Tetapi perlahan-lahan ia menyadari, bahwa kata-kata Raden Rangga itu memang benar. Karena itu, maka katanya kemudian, “Terima kasih Raden. Aku mengerti maksud Raden.”

“Sudahlah. Apapun yang tergores di hatimu, namun aku bermaksud baik. Nah, marilah kita segera menyelesaikan perjalanan yang tinggal tidak terlalu panjang lagi ini,” berkata Raden Rangga.

“Masih cukup panjang,” jawab Glagah Putih, “tetapi sudah barang tentu lebih dekat dari Tanah Perdikan Menoreh.”

“Ya. Lebih dekat dari Kali Praga,” sahut Raden Rangga.

“Tetapi permainan Raden Rangga dengan tukang satang itu sangat berbahaya. Akibatnya dapat Raden lihat sendiri,” berkata Glagah Putih.

“Aku tidak mengira,” jawab Raden Rangga, “tetapi aku senang melihat sikap tukang-tukang satang itu. Sebenarnya mereka memang kasihan. Untuk sekedar mendapatkan uang, mereka berbuat apa saja. Menunggu kedatangan seorang anak saudagar yang kaya raya, dan barangkali pekerjaan-pekerjaan lain di antara kedua tepi sungai ini.”

“Tetapi kedua orang penyamun itu telah melibatkan diri,” desis Glagah Putih.

“Sudah aku katakan, di luar perhitunganku,” jawab Raden Rangga, “untunglah bahwa aku berniat untuk melihat keadaanmu, karena aku tahu kau akan diperlakukan dengan sikap yang menurut pendapatmu tentu aneh. Tetapi yang kita jumpai, selain yang aku harapkan, juga dua orang penyamun, yang seorang di antaranya ternyata sangat licik. Karena itu, maka aku pun ingin berbuat sesuatu atasnya.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun ia pun masih bertanya, “Tetapi kenapa Raden tidak mau disebut sebagaimana seharusnya? Bahkan Raden justru bertanya tentang diriku.”

“Jangan terlalu bodoh Glagah Putih,” jawab Raden Rangga, “aku tidak mau Ayahanda mendengar bahwa aku telah membunuh lagi. Jika seorang kawannya yang masih hidup itu mengetahui siapa aku, maka pada satu saat tentu akan didengar oleh Ayahanda, bahwa aku telah membunuh lagi.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia berkata, “Seharusnya Raden memang tidak membunuh.”

“Jangan menggurui aku,” sahut Raden Rangga, “aku pun sebenarnya juga ingin tidak membunuh. Tetapi sikap orang-orang tertentu itulah yang telah memancing keinginanku untuk membunuh.”

Glagah Putih termangu-mangu. Namun ia tidak menjawab lagi.

“Sudahlah,” berkata Raden Rangga, “kita lupakan peristiwa yang baru saja terjadi itu. Kita anggap bahwa hal itu tidak pernah terjadi sebelumnya. Sekarang, kita kembali ke Mataram.”

Glagah Putih mengangguk-angguk, sementara itu. Raden Rangga telah mulai bercerita tentang hal-hal lain. Terutama tentang kuda.

Glagah Putih hanya mendengarkan saja centa Raden Rangga. Sekali-sekali ia bertanya karena ia memang tidak banyak mengetahui tentang kuda.

Tetapi Raden Rangga sama sekali tidak menceritakan kepada Glagah Putih kuda yang telah disediakan untuknya. Glagah Putih pun segan pula untuk mempertanyakan. Namun di dalam hati timbul keragu-raguan, apakah benar bahwa Raden Rangga telah menyediakan seekor kuda yang tegar buat dirinya, atau Raden Rangga memang sekedar ingin bermain-main dengannya, sebagaimana dilakukan pula atas tukang-tukang satang itu.

Bahkan menjelang mereka memasuki gerbang kota, Raden Rangga yang banyak bercerita tentang kuda itu sama sekali tidak menyebut dan bahkan menyinggung tentang kuda yang dijanjikannya.

“Kita tidak memasuki kota lewat gerbang utama,” berkata Raden Rangga, “kita akan memasuki kota lewat gerbang samping.”

“Kenapa?” bertanya Glagah Putih, “Apakah karena Raden berjalan bersama aku?”

“Tidak,” jawab Raden Rangga, “aku telah ke luar lewat gerbang itu. Biarlah para penjaga melihat bahwa aku sudah kembali, bahkan bersama seseorang, sehingga para prajurit tidak mempunyai prasangka yang bukan-bukan terhadapku dan melaporkannya kepada Eyang Mandaraka.”

Glagah Putih hanya mengangguk-angguk saja. Sebenarnya baginya tidak ada bedanya, apakah mereka akan memasuki kota lewat gerbang utama atau bukan.

Demikianlah, sebagaimana dikatakan oleh Raden Rangga, maka mereka telah memasuki kota lewat pintu gerbang samping. Para prajurit yang bertugas justru nampak terkejut ketika mereka melihat Raden Rangga lewat di hadapan mereka.

“Raden,” bertanya perwira yang bertugas, “Raden pergi dari mana?”

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun ia pun menjawab, “Sekedar melihat-lihat. Sudah lama aku tidak menyusuri pematang di antara tanaman-tanaman padi.”

“Tetapi kami tidak melihat Raden keluar? Apakah Raden keluar dari gerbang yang lain?” bertanya perwira itu pula.

“Sejak kapan kau bertugas di sini?” Raden Rangga ganti bertanya.

“Lewat fajar, kami sekelompok mendapat giliran bertugas di sini,” jawab perwira itu.

“Dan kawan-kawanmu yang kau gantikan tidak mengatakan bahwa aku keluar menjelang dini hari?” bertanya Raden Rangga pula.

“Tidak Raden,” jawab perwira itu.

“Jika demikian, maka biarlah aku yang memberitahukan kepadamu. Aku keluar menjelang dini hari lewat pintu gerbang ini pula. Dan sekarang aku telah memasuki kota kembali,” berkata Raden Rangga.

Perwira itu mengangguk-angguk. Jawabnya, “Baik Raden. Silahkan.”

Raden Rangga tidak menjawab lagi. Tetapi beberapa langkah kemudian ia bergumam, “Ternyata para petugas di gerbang itu sudah berganti orang.”

Glagah Putih hanya mengangguk-angguk saja. Sementara kaki mereka berdua sudah mulai menyelusuri jalan-jalan kota.

Ternyata Raden Rangga memang seorang yang sudah terlalu dikenal oleh orang-orang Mataram. Di sepanjang jalan banyak orang yang menyapanya, mengangguk hormat dan bahkan berbicara sepatah dua patah kata. Anak-anak muda nampaknya menyukainya dan mengaguminya.

Namun nampaknya orang-orang Mataram juga sudah terbiasa melihat Raden Rangga berjalan sendiri atau bersama satu dua orang seperti yang mereka lihat saat itu. Tanpa pengawalan dan tanpa pertanda-pertanda apapun. Bahkan orang-orang Mataram sudah terbiasa melihat Raden Rangga masuk ke dalam pasar dan duduk di dekat pandai besi yang sedang sibuk bekerja. Bahkan agaknya menjadi kesenangan Raden Rangga menunggui pandai besi yang sedang menempa bermacam-macam alat, terutama alat pertanian.

Tetapi, sekali Raden Rangga membuat seorang pandai besi kehilangan akal ketika pandai besi itu mencari alat untuk mengambil besinya yang sudah membara untuk ditempa.

“He, dimana tanggemku?” ia bertanya kepada pembantunya.

Pembantunya menjadi sibuk. Namun tiba-tiba saja sambil tersenyum Raden Rangga mengambil besi yang membara itu dengan tangannya.

“Tempalah,” berkata Raden Rangga.

Orang itu menjadi bingung. Tetapi Raden Rangga berkata, “Jangan takut memukul. Biar saja jika tanganku terkena.”

Tetapi pandai besi itu tidak berani mengayunkan alat pemukulnya untuk menempa besi yang telah membara yang dipegangi oleh Raden Rangga, meskipun terletak di atas paron.

Raden Rangga tersenyum. Sekali lagi berkata, “Tempalah.”

Tetapi pandai besi itu menggeleng sambil berdesis, “Tidak Raden.”

Raden Rangga tertawa. Dilepaskannya besi yang telah membara itu sambil berkata, “Itu tanggemmu berada di bawah tempat dudukmu.”

“O,” pandai besi itu bangkit. Tanggem yang dicarinya memang berada di bawah tempat duduknya, dan di belakang.

“Bagaimana tanggem ini dapat sampai di sini?” geram pandai besi itu, “Aku tidak bangkit sejak pagi.”

“Tanggemmu memang dapat merayap sendiri,” jawab Raden Rangga masih tertawa.

Pandai besi itu mengerutkan keningnya. Ia tidak dapat mengerti bagaimana tanggemnya dapat berada di bawah tempat duduknya. Tetapi tiba-tiba ia teringat, ia telah meninggalkan tempat duduknya untuk minum beberapa teguk. Mungkin pembantunya telah berbuat sesuatu dan tanpa sengaja kakinya telah menggeser tanggem itu.

Namun dengan demikian, pandai besi itu menjadi semakin kagum terhadap Raden Rangga. Jika Raden Rangga datang menungguinya bekerja, rasa-rasanya pekerjaannya menjadi lebih cepat selesai. Apalagi jika sekali-kali Raden Rangga itu telah menggerakkan tangkai ububan. Rasa-rasanya apinya panasnya menjadi berlipat.

Demikianlah, Raden Rangga ternyata sering berada di antara orang-orang kebanyakan, sehingga orang-orang itu pun menjadi akrab dengannya. Namun orang-orang itu pun menyadari, bahwa kadang-kadang Raden Rangga telah melakukan permainan yang terasa memusingkan kepala banyak orang.

Dalam pada itu, Raden Rangga dan Glagah Putih pun telah sampai di istana Ki Mandaraka. Seperti ketika mereka memasuki kota, maka mereka pun tidak mengambil jalan lewat gerbang utama. Tetapi mereka memasuki halaman lewat pintu gerbang butulan.

“Aku tinggal di bagian belakang,” berkata Raden Rangga.

“Apakah Raden selalu berada di sini? Tidak di Kesatrian, di istana ayahanda?” bertanya Glagah Putih.

“Aku lebih banyak berada di sini sekarang. Ayahanda memerintahkan Eyang Mandaraka untuk membimbing aku, karena menurut Ayahanda aku adalah seorang anak yang sulit dikendalikan,” jawab Raden Rangga.

“Dan Raden menyadarinya?” bertanya Glagah Putih.

“Ya. Aku menyadarinya. Tetapi aku pun menyadari, bahwa aku pun sulit mengendalikan diriku sendiri. Sekarang aku mencoba mati-matian untuk mengekang diri. Tetapi baru saja aku telah membunuh lagi,” jawab Raden Rangga.

“Tetapi nampaknya Raden tidak terkesan apapun setelah melakukannya,” berkata Glagah Putih kemudian.

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Dipandanginya Glagah Putih dengan tajamnya. Namun katanya kemudian, “Bukannya tidak terkesan dan bukannya aku tidak menyesal. Tetapi kau harus menilai siapakah yang telah aku bunuh itu.” Raden Rangga berhenti sejenak. Lalu katanya, “Terhadap orang-orang yang demikian aku memang ingin melakukannya.”

Glagah Putih tidak bertanya lagi. Ia tidak ingin pada satu kali, tanpa disadarinya telah menyinggung perasaan Raden Rangga itu.

“Nah sudahlah,” berkata Raden Rangga, “marilah. Kau akan aku ajak langsung ke bilikku.”

Glagah Putih tidak menjawab. Sementara itu, para penjaga di halaman itu pun sama sekali tidak menyapa ketika Raden Rangga lewat di hadapan mereka. Mereka hanya mengangguk hormat sementara Raden Rangga hanya tersenyum saja kepada mereka.

Ketika kedua orang anak muda itu memasuki bilik Raden Rangga. Glagah Putih terkejut. Ia melihat pada dinding bilik itu tergantung segala jenis senjata. Senjata pendek, senjata bertangkai pendek dan panjang, senjata lontar dan senjata-senjata kecil yang dilemparkan dengan tulup. Di dalam bilik itu terdapat juga berbagai macam senjata bertangkai. Tombak, canggah, trisula, tombak berujung rangkap, dan bermacam-macam jenis yang di antaranya berasal dari seberang. Sejenis kapak dan kapak yang bermata ganda. Perisai berbagai macam bentuk dan macamnya.

Raden Rangga yang melihat Glagah Putih terheran-heran itu berkata, “Aku memang mempunyai kegemaran mengumpulkan segala jenis senjata. Tetapi aku sendiri jarang sekali membawa senjata.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia bertanya, “Darimana saja Raden mendapatkan berjenis-jenis senjata ini?”

“Dari mana-mana,” jawab Raden Rangga, “sebagian besar aku sudah lupa.”

Glagah Putih hanya dapat menarik nafas dalam-dalam, sementara Raden Rangga berkata, “Duduklah. Bilik ini kotor. Tetapi Eyang Mandaraka tidak berkeberatan melihat senjata-senjata ini aku tempel di dinding. Semula senjata ini aku tempel di dinding bilikku di Kesatrian, di dalam istana Ayahanda. Tetapi setelah aku berada di sini, maka semuanya telah aku pindahkan kemari.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia-pun kemudian duduk di sebuah amben di sudut bilik yang agak luas itu. Sementara Raden Rangga pun telah pergi ke sebuah gledeg di sudut yang lain.

“Aku haus,” katanya sambil mengangkat sebuah kendi. Ternyata Raden Rangga telah minum dari kendi itu. Air dingin.

“Jika kau haus, minumlah,” berkata Raden Rangga, “aku tidak terbiasa minum minuman panas dengan gula kelapa seperti seorang kakek-kakek, yang kerjanya hanya minum dan makan jadah dan jenang saja sambil duduk terkantuk-kantuk.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa Raden Rangga tentu bukan seorang yang manja. Karena itu, maka ia tidak akan telaten menunggu pelayan menghidangkan minuman panas jika ia merasa haus.

“Kau dapat beristirahat dengan tenang di sini,” berkata Raden Rangga, “bilik ini adalah bilikku. Tidak ada orang yang berkeliaran di dalam bilik ini, selain seorang yang setiap hari membersihkan bilik ini. Di belakang bilik ini terdapat juga sebuah bilik yang aku pergunakan sebagai sanggar.”

“Di belakang bilik ini?” bertanya Glagah Putih.

“Ya,” jawab Raden Rangga, “marilah. Jika kau ingin melihat, lihatlah.”

Glagah Putih memang ingin melihat apa yang terdapat di dalam sanggar. Bilik Raden Rangga sudah penuh dengan senjata. Apalagi sanggarnya, tentu penuh dengan bermacam-macam senjata yang lebih baik dari yang terdapat di bilik ini.

Raden Rangga pun kemudian telah membawa Glagah Putih memasuki sebuah pintu yang terdapat di dinding bilik itu pula.

Namun ketika Glagah Putih memasuki bilik itu ia menjadi heran. Bilik itu bukanlah bilik yang cukup luas dipergunakan untuk berlatih olah kanuragan. Bahkan tidak terdapat sebuah alat pun yang dapat dipergunakan untuk itu. Yang terdapat di bilik itu justru sebuah pembaringan. Hanya itu.

“Bagaimana mungkin bilik ini dapat dipergunakan sebagai sanggar? Apakah Raden dapat berlatih di tempat yang sesempit ini?” bertanya Glagah Putih.

Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Glagah Putih sejenak, lalu katanya, “Aku tidak mengatakan kepada setiap orang. Tetapi aku akan mengatakan kepadamu. Aku tidak mengalami istilah-istilah sebagaimana sering kita lakukan jika aku berada di tepian sungai bersamamu. Aku tidak berlatih di sanggar sebagaimana kau lakukan.”

“Jadi apa yang Raden lakukan di dalam sanggar ini?” bertanya Glagah Putih.

Raden Rangga tiba-tiba telah terduduk di pembaringan. Wajahnya tiba-tiba menjadi sayu. Glagah Putih yang selalu melihat wajah itu cerah dan penuh kegembiraan, tiba-tiba dihadapkan pada satu kesan yang belum pernah terjadi sebelumnya.

“Kenapa?” bertanya Glagah Putih termangu-mangu.

“Duduklah,” berkata Raden Rangga.

Glagah Putih pun kemudian telah duduk di sebelah Raden Rangga. Tetapi ia tidak bertanya sepatah kata pun. Ia menunggu apa yang akan dikatakan oleh Raden Rangga itu.

“Glagah Putih,” berkata Raden Rangga, “aku menyadari, bahwa ada sesuatu yang tidak wajar pada diriku. Tetapi aku sama sekali tidak dapat berbuat apa-apa. Yang terjadi itu adalah di luar kuasaku. Karena itu, maka aku hanya dapat menerimanya sebagai satu kenyataan. Memang kadang-kadang terbersit di dalam hati untuk melepaskan diri dari ikatan yang tidak dapat aku mengerti tetapi aku sadari adanya.”

Glagah Putih hanya dapat mengangguk-angguk saja.

Sementara itu Raden Rangga berkata, “Tetapi semuanya itu akan segera berlalu.”

“Apa maksud Raden?” bertanya Glagah Putih.

Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Glagah Putih. Ada rahasia yang menyelubungi diriku. Rahasia tidak dapat aku pecahkan sendiri. Tetapi itu terjadi, dan mengikat diriku pada satu keadaan yang serba samar. Jika kau lihat sanggar ini, maka kau tentu menjadi heran. Justru itu adalah sangat wajar. Yang tidak wajar adalah yang terjadi di dalam sanggar ini.”

“Apa yang telah terjadi?” hampir di luar sadarnya Glagah Putih bertanya.

“Nampaknya perjalananku sudah terlalu jauh, sehingga aku harus kembali pulang,” berkata Raden Rangga, “maka mungkin ada baiknya aku mengatakan kepadamu. Setidak-tidaknya ada seseorang yang akan mengenangku dengan segala macam rahasianya, yang tidak akan pernah dapat aku pecahkan.”

Glagah Putih menjadi berdebar-debar.

“Glagah Putih,” berkata Raden Rangga, “di pembaringan inilah aku selalu menempa diri, sehingga aku memiliki kelebihan dari kebanyakan orang, apalagi yang seumur dengan aku.” Glagah Putih mengerutkan keningnya. Tanpa dikehendakinya bibirnya telah bergerak, “Bagaimana mungkin.”

“Tidak seperti yang dilakukan oleh kebanyakan orang,” berkata Raden Rangga, “aku selalu berlatih dalam dunia yang lain dari dunia kita sekarang ini.”

“Aku tidak tahu yang Raden maksudkan,” desis Glagah Putih.

“Aku berlatih di dalam mimpi,” jawab Raden Rangga, “dalam tidur aku menempa diri. Rahasia itulah yang tidak aku mengerti. Demikian aku terbangun, maka kemampuan dan ilmuku selalu bertambah-tambah. Waktuku di dalam mimpi rasa-rasanya berlipat dari waktu yang kita jalani bersama. Dalam sekejap aku tertidur di sini, maka rasa-rasanya aku sudah berlatih untuk waktu lebih dari setengah hari. Itulah agaknya maka umurku pun merupakan umur ganda. Sebagai aku dalam kehidupan ini, maka aku memang masih sangat muda. Tetapi agaknya waktu-waktu yang terdapat di dalam mimpi menjadi dua kali lipat dari umurku sebagaimana kau lihat. Sementara itu kemampuanku pun menjadi bertambah dengan sangat cepat, menurut ukuranmu, meningkat dan bertambah-tambah. Tetapi aku tidak akan dapat mengajarkannya kepada siapapun dengan cara sebagaimana aku tempuh. Karena itu, yang dapat aku lakukan adalah sekedar bermain-main melawanmu dalam latihan-latihan yang tentu kau anggap berat.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi rasa-rasanya kulitnya telah meremang. Agaknya Raden Rangga memang bukan orang kebanyakan, betapapun tekunnya ia berlatih. Sebagaimana diduganya, bahwa ia tentu mempunyai cara berlatih yang lain.

Glagah Putih pernah mendengar cara berlatih yang aneh yang dilakukan Agung Sedayu pada saat ia mulai. Terdorong oleh sifatnya yang masih belum berkembang pada waktu itu, Agung Sedayu juga mempunyai cara berlatih yang aneh. Ia tidak berada di sanggar atau di tempat-tempat yang sepi. Tetapi Agung Sedayu berlatih di dalam biliknya, di bawah sinar lampu yang terang. Kadang-kadang di siang hari ia duduk menyendiri di kebun belakang, duduk bersandar sebatang pohon yang rimbun.

Agung Sedayu berlatih dengan mempergunakan ketajaman angan-angannya. Ia membuat gambar-gambar dari unsur-unsur gerak yang dapat menghidupkan olah kanuragan yang pernah disaksikannya pada masa kanak-kanak, jika ia ikut berlatih, atau menunggui kakaknya, Untara, berlatih di bawah asuhan ayahnya sendiri.

Tetapi Agung Sedayu tidak melakukannya dengan tubuhnya. Ia hanya melakukan hasil ketajaman angan-angannya. Dan ternyata ketika nalarnya berkembang dan terjadi perubahan di dalam dirinya, maka ketajaman angan-angannya serta lukisan-lukisannya itu berarti juga bagi ilmunya.

Kini ia berhadapan dengan seorang lagi, yang mempergunakan cara yang lebih aneh lagi untuk berlatih. Ia tidak sekedar mempergunakan ketajaman angan-angannya. Tetapi Raden Rangga justru melakukan latihan-latihan tidak dengan wadagnya, namun yang dilakukan seakan-akan wajar sekali. Tetapi di dalam mimpi.

Di dunia mimpi, Raden Rangga ternyata hadir secara utuh sebagaimana di dalam hidupnya sehari-hari. Unsur wadag di dalam dunia mimpinya bukanlah wadagnya yang terbaring di pembaringan, namun Raden Rangga tetap utuh. Yang berlaku di dalam mimpinya atas wadag semuanya, dapat ditrapkan di dalam kehidupannya dengan wadag kasarnya. Sementara itu, ternyata waktu mempunyai kedalaman tersendiri, sehingga terasa waktunya di dalam dunia mimpinya jauh lebih panjang dari waktu di dunia wadag kasarnya. Tetapi Raden Rangga mampu memanfaatkan waktu itu untuk berlatih dan menguasainya dalam dunia wadag kasarnya.

Keanehan yang terdapat pada Raden Rangga berbeda dengan keanehan yang dilakukan oleh Agung Sedayu. Apapun yang dilakukan oleh Agung Sedayu, adalah peristiwa yang memang dapat digapai dengan penalaran. Tetapi yang terjadi dengan Raden Rangga, sama sekali tidak berlandaskan pada nalar.

Karena Glagah Putih agaknya dicengkam oleh berbagai perasaan yang asing, maka Raden Rangga itu pun kemudian berkata dengan nada dalam, “Glagah Putih, agaknya waktu yang diberikan kepadaku untuk hidup dalam dunia wantah ini tidak akan terlalu lama. Rasa-rasanya di setiap mimpi, dalam latihan, tangan yang melambai memanggilku untuk kembali. Kadang-kadang aku melihat kereta yang meluncur di atas roda-roda yang besar, ditarik oleh beberapa ekor kuda semberani yang bersayap seperti sayap seekor burung rajawali raksasa, melintas di atas gelombang-gelombang raksasa yang menghempas ke pantai.

Dan aku pun kadang-kadang melihat ibuku duduk di atas kereta yang demikian dalam ujud yang asing dan hampir tidak dapat aku kenali, selain kelembutan wajahnya serta senyumnya yang selalu membelai perasaanku. Pakaiannya yang cemerlang seperti matahari, serta tatapan matanya yang bercahaya bagaikan bulan bulat, selalu membuat hatiku berdebaran. Dalam kehidupan sehari-hari, ibuku adalah seorang yang sangat sederhana, meskipun ia adalah seorang putri keraton.”

Raden Rangga berhenti sejenak menelan ludahnya. Pandangannya menjadi redup dan kata-katanya pun menjadi sendat, “Glagah Putih. Waktuku tidak akan lama lagi.”

Tiba-tiba Glagah Putih seperti sadar dari sebuah mimpi yang dahsyat. Dengan suara gagap ia menyahut, “Jangan berkata begitu Raden. Mungkin Raden menangkap sesuatu dengan pengertian yang kurang tepat.”

“Memang mungkin. Tetapi aku mempunyai ketajaman penggraita. Biasanya apa yang terasa di dalam hati, akan terjadi sebagaimana aku lihat sebelumnya,” berkata Raden Rangga, “demikian juga tentang diriku sendiri.”

“Jangan mendahului kehendak Yang Maha Agung,” berkata Glagah Putih.

“Memang pantang mendahului kehendak Yang Maha Agung, apalagi mencobanya,” jawab Raden Rangga, “tetapi jika isyarat itu datangnya dari Yang Maha Agung, apakah yang demikian itu dapat juga disebut mendahului kehendaknya?”

“Tetapi apakah seseorang dapat menentukan, apakah uraiannya tentang isyarat itu pasti benar? Sebagaimana dilakukan oleh Ki Waskita yang mempunyai kelebihan karena kurnia Yang Maha Agung untuk mengenali gejala dan isyarat yang mampu dilihatnya, sekali-sekali merasa bahwa keterbatasannya sebagai manusia tidak dapat menentukan kebenaran pengenalannya atas isyarat itu. Setiap kali ia merasa diuji oleh kenyataan, apakah penglihatannya benar atau tidak,” berkata Glagah Putih.

Raden Rangga tersenyum. Katanya, “Aku sependapat. Kau agaknya ingin melihat sepercik harapan di dalam hatiku, bahwa penglihatanku serta uraianku atas isyarat itu keliru Tetapi aku harus mempersiapkan diri untuk melakukan perjalanan yang jauh, dan mungkin tidak akan kembali lagi.”

Glagah Putih tertegun sejenak. Meskipun Raden Rangga tersenyum, tetapi nampaknya wajahnya diselimuti oleh kegelisahannya.

Sejenak kemudian, maka ia pun berkata, “Tetapi masih ada waktu Glagah Putih. Aku tidak akan pergi besok. Sementara itu, kita masih dapat berlatih lagi di tepian. Mudah-mudahan dalam kesempatan terakhir aku dapat membantu kemajuan ilmumu. Pada suatu saat, aku ingin berlatih bersamamu di bawah pengawasan langsung, bukan sekedar melihat-lihat, kedua gurumu. Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga. Aku ingin minta kepada kedua gurumu, apa yang dapat dipetik dari ilmuku, karena aku tidak akan mempergunakannya lebih lama lagi.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia memang berharap untuk dapat meningkatkan ilmunya dalam latihan-latihan yang dilakukannya dengan Raden Rangga. Sebagaimana dikatakan oleh Agung Sedayu maupun oleh Kiai Jayaraga, maka latihan-latihan itu memang sangat bermanfaat bagi Glagah Putih.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Raden Rangga itu berkata, “Glagah Putih. Apakah kau bersedia mencoba sesuatu yang tidak kita mengerti akibatnya?”

“Maksud Raden?” bertanya Glagah Putih.

“Bukankah malam nanti kau akan tidur di sini?” bertanya Raden Rangga.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, “Apakah dengan demikian tidak akan menggangu Raden?

“Kenapa mengganggu? Jika kau tidak tidur di sini, kau akan tidur dimana?” bertanya Raden Rangga.

“Aku masih sempat kembali ke Tanah Perdikan,” jawab Glagah Putih.

“Tidak,” berkata Raden Rangga, “malam nanti kau tidur di sini. Kau tidur bersama aku di dalam sanggar ini Siapa tahu, bahwa yang aku alami tidak sekedar berlaku atas aku saja. Tetapi juga atas orang lain yang berada di dalam sanggar ini.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun Raden Rangga mendesaknya, “Tentu tidak apa-apa. Seandainya kau tidak dapat mengalami seperti yang aku alami, bukankah tidak ada ruginya?”

Glagah Putih masih saja ragu-ragu. Namun akhirnya ia pun berkata, “Tetapi Raden yang bertanggung jawab. Aku melakukannya atas keinginan Raden.”

“Ya. Aku akan bertanggung jawab,” jawab Raden Rangga.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun terasa jantungnya berdegupan oleh kegelisahan.

Demikianlah, hari itu Glagah Putih tidak kembali ke Tanah Perdikan. Ia berada di dalam bilik Raden Rangga yang sederhana. Bahkan ketika mereka makan pun hidangan yang disuguhkan juga hidangan yang sederhana, sebagaimana hidangan bagi Raden Rangga sehari-hari.

Namun menjelang senja, Raden Rangga telah mengajak Glagah Putih untuk pergi ke belakang. Ditunjukkannya beberapa ekor kuda milik Raden Rangga yang dipeliharanya dengan rajin. Seorang gamel dan seorang pekatik memelihara kuda-kuda itu dengan tekun dan tertib.

Sementara itu Raden Rangga sendiri juga selalu ikut menangani kuda-kudanya dengan penuh perhatian.

Tetapi sampai saatnya mereka kembali ke bilik Raden Rangga setelah hari menjadi gelap, Raden Rangga sama sekali tidak menyebut kuda yang manakah yang akan diberikannya kepada Glagah Putih. Namun Glagah Putih merasa segan untuk menanyakannya. Bahkan seandainya sampai Glagah Putih mohon diri kembali ke Tanah Perdikan Raden Rangga tidak menyebut tentang kuda yang dijanjikannya, maka Glagah Putih tidak akan menanyakannya pula.

Seperti dikatakan oleh Raden Rangga, maka ketika malam menjadi semakin malam, Glagah Putih pun dipersilahkan tidur di pembaringan di dalam sanggar itu bersama Raden Rangga. Namun Glagah Putih merasa segan untuk tidur di sebelah Raden Rangga, yang bagaimanapun juga adalah putra Panembahan Senapati yang berkuasa di Mataram. Karena itu, maka Glagah Putih pun telah memilih untuk tidur di lantai, di atas sehelai tikar pandan.

“Baiklah,” berkata Raden Rangga, “tetapi bukan akulah yang menempatkanmu di lantai. Itu atas kehendakmu sendiri dan kau lakukan dengan senang hati.”

“Ya Raden,” jawab Glagah Putih, “aku memang lebih senang tidur di lantai. Bahkan menjadi kebiasaanku tidur tanpa alas.”

Raden Rangga tidak menjawab. Rasa-rasanya matanya sudah menjadi redup dan kantuknya kemudian tidak dapat ditahankannya lagi.

Sementara itu Glagah Putih yang berbaring di lantai, mengamati sanggar itu dengan saksama. Terasa juga kulitnya meremang. Sementara itu Raden Rangga telah tertidur nyenyak.

Namun akhirnya Glagah Putih pun memejamkan matanya juga. Sejenak kemudian, maka ia pun telah tertidur.

Tetapi dalam pada itu, Raden Rangga tiba-tiba telah terkejut. Ia pun segera meloncat dari pembaringannya dan mengguncang tubuh Glagah Putih.

Glagah Putih pun tergagap bangun. Keringatnya membasahi tubuhnya bagaikan diguyur hujan di halaman.

“Kenapa?” bertanya Raden Rangga, “Kau berteriak di dalam tidurmu.”

“Aku bermimpi buruk,” jawab Glagah Putih.

“Mimpi apa?” bertanya Raden Rangga.

“Aku telah hanyut oleh ombak yang besar. Namun beberapa saat kemudian tubuhku telah dihempaskan di batu karang. Beberapa kali, dan setiap kali terasa tulang-tulangku berpatahan,” jawab Glagah Putih.

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Aku tidak mengerti, kenapa kau harus bermimpi demikian buruknya. Tetapi mimpi memang dapat saja terjadi di mana-mana. Tidurlah. Mudah-mudahan kau tidak bermimpi buruk lagi.”

Keduanya pun kemudian kembali berbaring. Beberapa saat keduanya telah tertidur pula.

Namun sekali lagi Glagah Putih berteriak-teriak dalam tidurnya, sehingga Raden Rangga sekali lagi meloncat dan membangunkannya.

“Kau bermimpi buruk lagi?” bertanya Raden Rangga.

“Ya. Seekor ular raksasa yang muncul dari laut,” jawab Glagah Putih. Tubuhnya menjadi semakin basah.

“Baiklah,” berkata Raden Rangga, “berjaga-jagalah sejenak. Jangan tertidur sebelum aku tidur nyenyak.”

“Kenapa?” bertanya Glagah Putih.

“Kita hanya mencoba. Mudah-mudahan kau tidak lagi mengalami mimpi buruk,” jawab Raden Rangga.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya ia menjadi segan untuk terus tidur di dalam sanggar yang aneh itu. Tetapi Raden Rangga memaksanya, “Jangan lari ketakutan seperti seorang pengecut. Kau harus tetap berada di bilik ini sampai kau dapat tidur nyenyak.”

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia tidak beranjak dari tempatnya, meskipun ia tidak berbaring lagi. Tetapi duduk bersandar dinding.

“Aku akan menunggu sampai Raden tidur nyenyak,” desisnya kemudian.

Raden Rangga mengangguk. Katanya, “Bagus. Kau akan tinggal di sini sampai pagi.”

Demikianlah, maka Raden Rangga telah berbaring lagi di pembaringannya. Untuk beberapa saat matanya tidak terpejam. Namun akhirnya Raden Rangga itu pun tertidur lagi, sementara Glagah Putih menunggu sampai Raden Rangga itu tertidur nyenyak.

Tetapi meskipun kemudian Raden Rangga sudah tertidur nyenyak, namun Glagah Putih rasa-rasanya sulit sekali untuk mencoba tidur, meskipun ia sudah berbaring di sehelai tikar yang terbentang di lantai. Seperti pesan Raden Rangga, bahwa ia sebaiknya mencoba untuk tidur lagi setelah Raden Rangga tertidur nyenyak. Meskipun ia tidak tahu artinya, tetapi ia akan mencoba untuk mengikuti petunjuknya.

Beberapa saat lamanya Glagah Putih memejamkan matanya meskipun ia belum tertidur. Dicobanya untuk menenangkan hatinya dan mengosongkan angan-angannya agar ia dapat segera tertidur. Tetapi rasa-rasanya ia masih saja terganggu oleh kecemasannya tentang mimpi-mimpinya.

Belum lagi Glagah Putih dapat tertidur, maka ternyata Raden Rangga justru telah terbangun. Sambil duduk di bibir pembaringannya Raden Rangga itu berdesis, “Kau tidak akan diganggu lagi.”

“Diganggu apa?” bertanya Glagah Putih.

“Mimpi-mimpi buruk,” jawa Raden Rangga, “di dalam mimpi aku sudah menjelaskan, bahwa akulah yang bertanggung jawab atas kehadiranmu di sini.”

“Di dalam mimpi Raden?” bertanya Glagah Putih.

“Ya, di dalam mimpiku,” jawab Raden Rangga.

“Apakah hubungannya mimpi Raden dengan mimpiku?” bertanya Glagah Putih.

“Menurut nalar memang tidak ada hubungan apa-apa. Tetapi yang terjadi atas diriku selama ini memang tidak mengikuti penalaran wajar seseorang. Bagaimana mungkin aku dapat berlatih di dalam mimpi, namun kemudian ternyata aku memiliki kemampuan yang meningkat sebagaimana terjadi di dalam mimpi itu?” sahut Raden Rangga.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun ia tidak sempat berbicara lebih banyak lagi, karena Raden Rangga justru sudah berbaring sambil berdesis, “Aku masih mengantuk. Aku akan tidur lagi, meskipun aku akan terbangun di dalam dunia mimpiku.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian mencoba lagi untuk tidur.

Sebenarnyalah, Glagah Putih tidak menyadari lagi, kapan ia tertidur, karena ia telah tidur nyenyak sampai menjelang dini hari.

Glagah Putih terbangun tidak karena mimpi buruk. Ia terbangun sebagaimana kebiasaannya bangun menjelang dini hari jika ia akan pergi menutup pliridan. Namun Glagah Putih tidak keluar dari dalam sanggar. Tetapi ia duduk saja bersandar dinding.

Tetapi ia tidak lama berbuat demikian, karena Raden Rangga pun kemudian telah terbangun pula. Sambil menggeliat Raden Rangga berkata, “Tubuhku terasa segar sekali pagi ini. He, apakah kau bermimpi buruk lagi?”

“Tidak Raden,” jawab Glagah Putih.

“Nah, bukankah yang aku katakan itu benar? Aku sudah minta agar kau tidak terganggu lagi. Dan permintaanku itu ternyata dipenuhi, sehingga kau tidak berteriak-teriak lagi karena mimpi buruk,” gumam Raden Rangga yang masih saja berbaring.

Ketika Glagah Putih tidak menjawab, maka sekali lagi Raden Rangga itu menggeliat dan bangkit duduk di bibir pembaringannya.

“Apakah kau terbiasa mandi pagi-pagi?” bertanya Raden Rangga.

“Aku terbiasa pergi ke sungai untuk menutup pliridan,” jawab Glagah Putih, “karena itu, aku terbiasa bangun pagi-pagi.”

“Marilah, kita akan pergi ke sungai,” desis Raden Rangga.

“Sungai yang mana?” bertanya Glagah Putih.

“Di sebelah barat ada sungai yang tidak begitu besar. Tetapi di tikungan terdapat kedung kecil yang dapat untuk berendam,” jawab Raden Rangga. “He, apakah kau tidak membawa ganti sama sekali?”

“Aku membawa,” jawab Glagah Putih, “meskipun hanya selembar.”

“Jika demikian, marilah kita mandi. Berendam sebentar agar tubuh kita menjadi semakin segar,” berkata Raden Rangga.

Mereka berdua pun kemudian meninggalkan sanggar dan keluar pula dari dalam bilik. Di regol butulan, mereka memberitahu kepada penjaga yang bertugas, bahwa mereka akan pergi ke sungai.

Para prajurit tidak pernah mencegah apapun yang dilakukan oleh Raden Rangga secara langsung, sebagaimana pesan Ki Mandaraka. Hanya dalam keadaan yang sangat gawat saja mereka diminta untuk sekedar mencegah. Tetapi sebaiknya mereka langsung melaporkannya kepada Ki Mandaraka.

Karena itu, maka para prajurit yang di regol halaman istana Ki Mandaraka maupun di pintu gerbang butulan kota, hanya menyapanya saja.

Demikianlah, dalam keremangan dini hari keduanya berendam di sebuah kedung kecil di sungai yang tidak begitu besar, untuk menyegarkan tubuh-tubuh mereka.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Glagah Putih terkejut. Ketika ia sedang berenang di kedung kecil itu, tiba-tiba saja ia telah melihat seekor buaya yang besar muncul dari dalam air. Karena itu, maka dengan tangkasnya Glagah Putih meloncat dan menghindar. Dengan satu loncatan Glagah Putih telah berdiri di darat sambil bersiaga menghadapi segala kemungkinan.

Ketika Glagah Putih melihat Raden Rangga masih tetap berendam di air maka iapun berteriak, “Raden, minggirlah! Seekor buaya raksasa!”

Raden Rangga termangu-mangu. Namun ia pun menjawab, “Di sini tidak pernah ada seekor buaya.”

“Aku melihatnya,” Glagah Putih menjelaskan.

“Dimana?” bertanya Raden Rangga.

Glagah Putih termangu-mangu. Namun ia tidak melihat lagi buaya raksasa itu. Kedung itu memang terlalu kecil untuk bersembunyi buaya yang besar itu, meskipun seandainya di bawah batu-batu karang itu terdapat liang yang besar.

Sejenak Glagah Putih termangu-mangu. Namun tiba-tiba ia melihat sesuatu yang bergerak di bawah air. Dalam keremangan dini hari, dan dalam suasana yang tegang maka dengan serta merta ia pun berteriak, “Itu Raden! Di sebelah kiri!” Raden Rangga memang berpaling. Tetapi ia pun kemudian tertawa. Ketika benda di bawah air itu kemudian mengapung, maka yang ada di sebelah Raden Rangga adalah sepotong balok kayu.

“Inikah buaya itu?” bertanya Raden Rangga.

Wajah Glagah Putih menjadi tegang. Ia tidak sedang melamun ketika ia melihat seekor buaya. Tetapi yang ada kemudian adalah sebatang kayu.

Tiba-tiba saja Glagah Putih mengerahkan kemampuan penglihatannya. Sebagaimana ia mempelajari berbagai macam ilmu dari Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga, maka penglihatan bantinnya pun segera menangkap isyarat, bahwa sebenarnya tidak ada apa-apa.

Karena itu, maka ia pun menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Raden mulai bermain-main. Demikian tiba-tiba sehingga aku tidak bersiap menanggapinya. Kini aku melihat, bahwa yang ada hanyalah Raden dan barangkali beberapa ekor ikan di bawah air. Tidak ada buaya dan tidak ada sebatang kayu. Jika sebatang kayu itu memang ada, tentu sudah mengapung dan hanyut ke hilir.”

Raden Rangga tertawa. Katanya, “Luar biasa. Kau mampu mengamati dengan penglihatan batinmu. Benda-benda itu memang semu.”

Glagah Putih pun kemudian terjun lagi ke dalam air sambil berkata, “Raden mampu membuat benda-benda semu.”

“Hanya satu permainan yang barangkali kurang menarik bagi orang lain,” berkata Raden Rangga.

“Kakang Agung Sedayu juga pernah bercerita tentang ilmu yang demikian,” jawab Glagah Putih.

“Apakah Agung Sedayu juga mampu melakukannya?” bertanya Raden Rangga.

“Aku tidak tahu,” jawab Glagah Putih, “Kakang Agung Sedayu pernah menyebutnya. Ki Waskita adalah salah seorang yang memiliki kemampuan menumbuhkan bentuk-bentuk semu.”

Raden Rangga mengangguk-angguk. Katanya, “Memang mungkin sekali ada satu dua orang yang mampu melakukannya. Jika kau bersedia, kau dapat mempelajarinya kepada Ki Waskita. Sayang kau tidak dapat belajar padaku, karena aku sendiri tidak tahu, bagaimana mungkin aku memilikinya.”

“Raden,” berkata Glagah Putih, “bukankah Raden pernah mengatakan, bahwa apa yang terjadi di dalam mimpi itu tidak ubahnya terjadi dalam kehidupan wadag? Yang terjadi di dalam mimpi itu akhirnya berujud di dalam kehidupan wadag kasar Raden.”

“Ya. Memang begitu,” jawab Raden Rangga.

“Bukankah dengan demikian Raden dapat mengingat, apa yang telah terjadi di dalam mimpi?” bertanya Glagah Putih.

“Aku mengerti maksudmu,” Raden Rangga mengangguk-angguk, “kau memang cerdik. Tetapi tidak semua yang terjadi di dalam mimpi itu dapat diingat seluruhnya dengan jelas.”

“Tetapi bukankah tidak semuanya terlupakan? Mungkin Raden mampu mengingat beberapa peristiwa dan laku yang Raden jalani di dalam mimpi. Tentu sulit dan berat, sementara wadag Raden sendiri terbaring nyenyak di pembaringan tanpa melakukan perbuatan apapun juga,” berkata Glagah Putih.

Raden Rangga termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Aku akan mencobanya. Mungkin ada sesuatu yang dapat aku katakan kepadamu. Di dalam mimpi yang panjang, seolah-olah aku memang telah menjalani laku tiga hari tiga malam. Namun sebenarnyalah aku tidur tidak lebih dari satu malam. Sejak malam menginjak saat sepi uwong, sampai menjelang seput-lemah di dini hari.”

“Silahkan mencoba Raden,” berkata Glagah Putih, “mungkin dengan demikian ada yang dapat Raden lakukan bagi orang lain.”

“Aku mengerti. Kau berharap untuk memiliki kemampuan yang khusus, jika mungkin dapat aku tularkan kepadamu,” berkata Raden Rangga. Lalu, “Jika pada suatu saat aku menemukan kemungkinan itu, serta apabila kedua gurumu tidak berkeberatan, aku dapat menularkan kemampuanku, tentu saja hanya yang mungkin. Apalagi menurut penglihatanku, maka sesuatu atau seseorang atau apapun telah memanggil aku untuk meninggalkan kehidupan yang penuh dengan ketidak-pastian ini.”

“Seharusnya Raden menghilangkan kesan itu,” berkata Glagah Putih, “dengan demikian kita memandang hidup ini dengan cerah, sebagaimana sebentar lagi matahari akan terbit.”

Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Marilah. Kita sudah selesai. Sebentar lagi, banyak orang yang akan turun ke sungai ini untuk bermacam-macam keperluan.”

Keduanya pun kemudian telah naik ke tepian dan membenahi diri. Kemudian mencuci pakaian mereka yang basah, dan sebelum banyak orang datang, mereka pun telah meninggalkan kedung kecil itu.

“Kita menyusuri sungai ini,” berkata Raden Rangga. “Di tempat yang sepi, yang tidak pernah dikunjungi orang, kita menjemur pakaian yang basah ini, jika matahari nanti terbit.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Mereka pun kemudian telah pergi menyusuri tepian ke tempat yang tidak banyak dikunjungi orang. Sementara itu, matahari pun telah terbit dan cahayanya yang lunak mulai meraba tepian yang berpasir.

Glagah Putih dan Raden Rangga telah menjemur pakaian mereka yang basah di atas batu-batu besar. Meskipun panas matahari masih belum terasa menggatalkan kulit, namun ternyata bahwa panas itu sudah mampu mengeringkan pakaian yang basah meskipun memerlukan waktu beberapa lama.

Ketika keduanya telah berada kembali di dalam bilik Raden Rangga, sementara itu Raden Rangga sama sekali masih belum berbicara tentang kuda yang akan diberikannya, maka Glagah Putih pun berkata, “Aku tidak akan dapat terlalu lama berada di sini.”

“Apa maksudmu?” bertanya Raden Rangga.

“Hari ini aku akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh,” berkata Glagah Putih.

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Katanya, “Begitu tergesa-gesa?”

“Aku mempunyai tugas-tugas khusus di Tanah Perdikan,” jawab Glagah Putih.

“Besok sajalah kembali,” berkata Raden Rangga, “hari ini kau masih tetap di sini. Aku ingin melihat, apakah malam nanti kau dapat tidur nyenyak atau tidak.”

Glagah Putih termangu-mangu. Namun Raden Rangga mendesaknya, “Apakah kau benar-benar ketakutan tidur di sanggar itu? Atau barangkali kau tidak senang tidur di lantai dan aku tidur di pembaringan?”

“Tidak Raden. Bukan itu,” jawab Glagah Putih.

“Jika demikian, kenapa?” bertanya Raden Rangga pula.

Glagah Putih tidak dapat menjawab. Karena itu, maka Raden Rangga berkata, “Nah, bukankah kau tidak mempunyai alasan untuk memaksa pulang hari ini?”

Akhirnya Glagah Putih menarik nafas sambil berdesis, “Baiklah Raden. Tetapi besok pagi-pagi aku akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.”

Raden Rangga tertawa. Katanya, “Nah, aku masih akan dapat membuktikan, apakah kau masih akan selalu bermimpi buruk atau tidak dalam tidurmu malam nanti.”

Sebenarnyalah ketika malam turun, keduanya telah berada di sanggar sejak awal. Meskipun keduanya belum mengantuk, tetapi Raden Rangga telah mengajaknya berada di dalam sanggarnya yang sempit itu.

Untuk beberapa lama mereka masih berbincang-bincang tentang berbagai macam persoalan. Dari unsur dan jenis olah kanuragan, sampai jenis buah-buahan yang ditanam di dalam kebun-kebun di Tanah Perdikan Menoreh.

Namun akhirnya keduanya pun mengantuk pula. Menjelang sepi uwong keduanya telah berbaring. Namun baru menjelang tengah malam, keduanya tertidur nyenyak.

Ternyata Glagah Putih tidak lagi diganggu oleh mimpi-mimpi buruk. Bahkan malam itu ia benar-benar dapat tidur nyenyak sekali. Udara di dalam sanggar itu terasa hangat di dinginnya malam.

Ketika menjelang dini hari ia terbangun, maka ia melihat Raden Rangga sudah duduk di bibir pembaringannya. Wajahnya nampak bersungguh-sungguh sambil memandang Glagah Putih dengan tajamnya.

“Berkemaslah,” berkata Raden Rangga.

“Untuk apa? Apakah kita akan pergi mandi seperti malam kemarin?” bertanya Glagah Putih.

“Kita memang akan mandi. Tetapi tidak di kedung kecil itu,” jawab Raden Rangga.

“Aku tidak usah berkemas,” jawab Glagah Putih, “bukankah kita akan berendam? Aku akan sekedar membenahi pakaianku ini.”

Raden Rangga mengangguk-angguk. Namun ia pun segera berdiri. Katanya, “Marilah. Kita akan pergi ke Gumuk Payung.”

“Gumuk Payung?” bertanya Glagah Putih.

“Ya. Marilah. Jangan terlambat,” ajak Raden Rangga-

Glagah Putih pun kemudian membenahi pakaiannya. Sejenak kemudian keduanya pun telah keluar dari halaman istana Mandaraka, dan lewat gerbang butulan mereka pun ke luar pula dari kota.

“Kita berjalan cepat. Jaraknya agak jauh,” berkata Raden Rangga.

Glagah Putih tidak tahu maksud Raden Rangga. Tetapi ia mengikuti saja arah perjalanan Raden Rangga yang ternyata berjalan ke arah timur.

Glagah Putih menyadari, bahwa perjalanan mereka bukan sekedar perjalanan untuk mandi di sebuah belumbang di gumuk yang disebutnya Gumuk Payung, karena mereka telah menyusuri sebuah hutan yang meskipun tidak terlalu lebat, tetapi hutan itu masih nampak liar. Namun keduanya hanya menyentuh hutan itu di bagian tepinya dan tidak terlalu panjang. Beberapa saat kemudian, mereka pun telah mengambil jalan sempit yang menjauhi hutan itu.

Glagah Putih terpaksa mengerahkan kemampuannya untuk dapat berjalan secepat Raden Rangga. Meskipun demikian, ia masih mendengar Raden Rangga berdesah, “Langit sudah menjadi terang.”

Namun akhirnya mereka pun telah berhenti di sebuah lingkungan yang ditumbuhi pepohonan yang lebat, meskipun bukan bagian dari hutan yang pernah mereka lewati. Lingkungannya tidak lebih dari sebuah gumuk kecil yang tidak terlalu tinggi. Namun gumuk itu telah berada di kaki pegunungan yang memanjang sampai ke Bukit Seribu.

“Kita naik ke gumuk itu,” berkata Raden Rangga. Cahaya pagi sudah menjadi semakin terang. Keduanya pun kemudian menyusup rerungkutan, menyibakkan gerumbul-gerumbul perdu.

“Nah, kita kini berada di tepi sebuah belumbang,” berkata Raden Rangga.

“Belumbang?” bertanya Glagah Putih.

“Di bawah rerungkutan itu adalah belumbang. Pohon preh itu tumbuh tepat di pinggirnya,” jawab Raden Rangga.

Raden Rangga pun kemudian maju beberapa langkah, ketika ia kemudian mulai menyentuh air di rerungkutan dan pepohonan perdu, maka ia pun berkata, “Aku sudah berada di pinggir belumbang.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Belumbang itu adalah belumbang kecil, yang hampir tidak nampak karena rerumputan ilalang yang liar dan pohon-pohon perdu yang tumbuh di sekitar dan di dalamnya. Beberapa batang pohon air dan sebatang pohon preh raksasa tumbuh di pinggirnya.

“Kita akan mandi di belumbang itu?” bertanya Glagah Putih.

“Kemarilah. Kau belum melihat airnya,” berkata Raden Rangga.

Glagah Putih pun kemudian bergeser maju. Ia pun kemudian merasakan pada kakinya, bahwa ia mulai turun ke dalam air.

“Ya. Aku merasa,” berkata Glagah Putih.

“Lihat airnya, jangan hanya merasakannya,” berkata Raden Rangga.

Glagah Putih pun kemudian menunduk. Ketika ia menyibakkan daun ilalang di bawah kakinya, maka ia pun berdesis, “Airnya nampak sangat jernih.”

“Ya. Air di belumbang ini memang jernih, meskipun dikotori oleh dedaunan yang runtuh dari pohon preh raksasa itu, serta pohon-pohon perdu yang lain,” berkata Raden Rangga.

Glagah Putih mengangguk-angguk Tetapi ia masih belum mengerti, kenapa Raden Rangga memilih tempat itu untuk mandi.

Raden Rangga yang melihat Glagah Putih termangu-mangu itu pun kemudian berkata, “Glagah Putih. Kita sudah sampai ke tempat yang ditunjukkan kepadaku. Aku sendiri sebelumnya baru sekali datang ke tempat ini. Tetapi ternyata bahwa aku telah mendapat petunjuk, bahwa belumbang ini akan memberikan arti kepadamu.”

“Kepadaku?” bertanya Glagah Putih.

“Ya. Bukankah kau berniat untuk meningkatkan ilmumu?” bertanya Raden Rangga.

“Ya. Aku kira setiap orang yang menekuni olah kanuragan ingin meningkatkan ilmunya,” jawab Glagah Putih.

“Baiklah,” berkata Raden Rangga, “kau harus bekerja keras untuk mendapatkan ilmu. Kau harus menjalani laku. Dengan laku, maka ilmu yang tinggi itu pun akan menjadi milikmu.”

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Sementara itu Raden Rangga berkata selanjutnya, “Kau tidak dapat mengalami sebagaimana aku alami. Tetapi ternyata bahwa ilmu yang aku terima di dalam mimpi itu pun seakan-akan merupakan mimpi bagiku. Seakan-akan aku tidak berhak untuk menentukan sendiri, bagaimana ujud dan bentuk ilmu yang aku inginkan. Tetapi aku memiliki ilmu yang tiba-tiba saja telah ada di dalam diriku. Jika pada suatu saat ilmu itu harus tanggal dari tanganku, maka ilmu itu akan tanggal, bahkan batas itu rasa-rasanya sudah dekat. Bukan saja ilmuku yang tanggal, tetapi juga umurku.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Bukankah hal itu berlaku bagi aku dan barangkali juga orang-orang yang lain yang menuntut ilmu? Kami tidak dapat memilih ujud dan bentuk ilmu. Tetapi ilmu itu kami terima sebagaimana yang diberikan oleh guru.”

“Tetapi ada satu masa dari babak-babak yang kita lewati. Jika pada suatu saat terasa kita tidak sesuai dengan ilmu itu, maka kita masih mempunyai pilihan. Minta agar kita mendapatkan ilmu yang lain, atau kita tinggalkan guru itu, dan berguru kepada orang lain,” berkata Raden Rangga.

Tetapi Glagah Putih masih saja termangu-mangu. Karena itu, maka Raden Rangga pun berkata, “Apakah kau berpikir tentang kesetiaan kepada seorang guru? Jika kita benar-benar telah sesuai, maka kita memang harus dan wajib tunduk dan setia kepada seorang guru. Tetapi jika tidak, misalnya guru itu tiba-tiba saja mengajarkan kepada kita untuk meninggalkan jalan kebenaran, maka kita tidak harus atau wajib setia kepadanya.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia pun bertanya, “Apakah Raden tidak dapat berbuat seperti itu?”

“Tidak,” jawab Raden Rangga sambil menggeleng, “tetapi beruntunglah aku, bahwa yang aku alami tidak memaksaku untuk berada di lingkungan orang-orang jahat, meskipun tanpa sengaja aku sering melakukan kesalahan yang dapat dihukum sebagai orang jahat.”

Glagah Putih pun mengangguk-angguk pula. Sementara itu Raden Rangga pun berkata, “Karena itu, berbuatlah sesuatu untuk mendapatkan ilmu. Kerja keras mengatasi kesulitan-kesulitan. Dan aku mendapat petunjuk bahwa ada jalan yang dapat kau tempuh untuk meningkatkan ilmumu. Pada alas yang sudah kau miliki, maka dengan laku, kau akan meningkat pada tataran yang lebih tinggi.”

“Apa yang harus aku lakukan?” bertanya Glagah Putih.

“Menurut petunjuk yang aku terima pada saat aku menghubunginya di dalam mimpi, kau harus menjalani laku yang cukup berat”, berkata Raden Rangga.

“Petunjuk siapa?” bertanya Glagah Putih.

“Petunjuk seseorang yang mirip ibuku,” jawab Raden Rangga, “dan yang memang mengaku sebagai ibuku.”

Glagah Putih menarik nafas. Dengan nada datar ia bertanya, “Apakah Raden sudah pernah bertanya kepada bunda, apakah Ibunda memang pernah hadir di dalam mimpi ?”

“Ibunda tidak menyadari bahwa Ibunda pernah hadir di dalam mimpi. Ibuku memang seorang yang sederhana sebagaimana pernah aku beri tahukan,” jawab Raden Rangga. Meskipun kemudian ia tambahkan, “Meskipun ayahanda ibuku, jadi kakekku, adalah seorang pertapa pula.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara Raden Rangga berkata, “Nah, apakah kau bersedia menjalani laku itu? Berendam di dalam belumbang ini tiga hari tiga malam? Mungkin kau belum sempat mempersiapkan diri, terutama secara batin. Tetapi itu tidak apa-apa. Jika kau sekarang bertekad untuk melakukannya, maka aku akan membantumu.”

Glagah Putih tidak segera menjawab. Ia memang mejadi ragu-ragu.

Untuk beberapa saat Raden Rangga menunggu. Namun karena Glagah Putih tidak segera menjawab, maka Raden Rangga pun berkata, “Cepatlah ambil keputusan. Matahari telah terbit. Kau harus menyadari bahwa ilmu hanya dapat dijangkau dengan kerja keras. Tanpa berbuat sesuatu, ilmu itu tidak akan melekat padamu. Jangan memperkatakan aku lagi. Aku sudah menjelaskan apa yang terjadi atasku. Tetapi bagi seseorang yang dalam keadaan sewajarnya, maka ia harus bekerja keras, berprihatin dan tekun. Bahkan seandainya dengan laku ini kau mencapai sesuatu, maka kau masih harus tetap bekerja keras untuk mengembangkannya di dalam dirimu, kemudian mengamalkannya.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya dengan ragu, “Aku belum minta ijin kepada Kakang Agung Sedayu bahwa aku akan kembali setelah tiga hari lagi.”

“Jangan merengek seperti bayi. Kau sudah menjadi dewasa. Kau lebih tua dari aku menurut ukuran umur kewadagan. Kau tidak perlu lagi setiap kali minta petunjuk kepada kakakmu. Kau harus sudah dapat mengambil keputusan sendiri,” jawab Raden Rangga.

“Kakang Agung Sedayu bukan sebagai guruku. Justru Kiai Jayaraga,” berkata Glagah Putih menegaskan.

“Kau tidak akan mempelajari unsur-unsur baru pada ilmumu. Kau tidak akan menyerap ilmu lain dan kemudian menyatukan dengan ilmu yang kau terima dari Agung Sedayu maupun Kiai Jayaraga. Tetapi laku yang akan kau tempuh tiga hari itu akan meningkatkan apa yang sudah ada di dalam dirimu. Itu saja,” sahut Raden Rangga.

Glagah Putih masih termangu-mangu. Namun tiba-tiba di dalam dirinya telah bergejolak darah mudanya. Rasa-rasanya ia memang ingin melakukan sesuatu.

Karena itu, maka ia pun kemudian berkata, “Aku akan melakukannya. Tetapi Raden berjanji membantu aku?”

“Apa? Menyediakan makan di hari pertama?” bertanya Raden Rangga, “Aku akan membawa tiga buah pisang raja buat hari pertama, karena hal itu memang diijinkan.”

“Terima kasih,” jawab Glagah Putih, “tetapi yang penting, aku mohon pertolongan Raden untuk memberitahukan ke pada Kakang Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga bahwa aku ada di sini.”

“Ah, kau masih seperti kanak-kanak. Aku juga tahu Ayahanda Panembahan Senapati, bahkan Eyang Sultan di Pajang, dan aku masih dapat menyebut seribu nama lagi, menjalani laku bukan hanya tiga hari tiga malam,” jawab Raden Rangga. “Agung Sedayu sendiri sudah terlalu sering menjalani laku yang berat. Aku kira juga Kiai Jayaraga. Biar mereka akhirnya mengetahui dengan sendirinya, apa yang sudah kau lakukan di sini.”

Glagah Putih termangu-mangu. Ia merasa cemas, bahwa Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga terpaksa mencarinya. Tetapi ia pun didorong oleh satu keinginan untuk melakukan sesuatu yang akan dapat memberikan arti kepadanya.

Namun akhirnya Glagah Putih itu tidak mau melepaskan kesempatan itu. Katanya, “Baiklah Raden. Aku akan menerima kesempatan ini. Terserah kepada Raden, apa yang akan Raden lakukan. Raden sudah mengetahui keadaanku dan persoalanku.”

“Bagus,” sahut Raden Rangga, “lakukanlah. Berendam di dalam belumbang kecil ini selama tiga hari tiga malam. Mungkin di malam hari udaranya akan menjadi sangat dingin. Airnya pun terasa bagaikan membeku. Tetapi kau harus mampu mengatasinya. Jika kau gagal, maka kau ternyata bukan seorang laki-laki harapan bagi masa depan. Karena sebenarnyalah bahwa kau termasuk seseorang yang harus mengisi masa yang akan datang dengan amal dari ilmumu.”

“Aku akan melakukannya dengan segenap kemampuan yang ada padaku. Berhasil atau tidak berhasil,” jawab Glagah Putih.

“Lakukanlah dengan doa,” berkata Raden Rangga, “kau akan mendapat kekuatan dari Yang Maha Agung jika kau bersandar kepada-Nya.”

“Aku akan melakukannya,” jawab Glagah Putih.

Glagah Putih pun kemudian menanggalkan pakaiannya, kecuali celananya yang panjangnya hampir sampai ke lutut berwarna hitam. Sejenak ia memandang berkeliling. Pepohonan yang sangat rimbun. Pohon preh raksasa dan pepohonan perdu. Beberapa batang pohon air yang batangnya ditumpu oleh akarnya yang mencuat di atas permukaan belumbang, namun dirimbuni dengan dedaunan batang perdu.

“Belumbang ini tidak terlalu dalam,” berkata Raden Rangga, “tetapi menurut penglihatan naluriku, dekat di bawah pohon preh itu airnya cukup dalam untuk membenamkan seluruh tubuhmu, kecuali kepalamu.”

Glagah Putih tidak menjawab. Namun ia telah memusatkan segenap nalar budinya, berdoa kepada Yang Maha Murah agar ia mendapat bimbingan menjalani laku untuk meningkatkan ilmu yang telah lebih dahulu dikurniakan kepadanya.

Perlahan-lahan Glagah Putih turun ke dalam air, menyibak batang ilalang, batang nipah dan pepohonan perdu yang lain, mendekati pohon preh raksasa.

Belumbang kecil itu memang tidak dalam. Mirip dengan daerah rawa-rawa. Namun airnya ternyata jernih meskipun kotor oleh dedaunan. Bahkan sekali-sekali Glagah Putih melihat gejolak air karena seekor ikan yang besar meloncat ke udara.

Sebenarnyalah di belumbang itu terdapat banyak sekali ikan. Tetapi agaknya tidak banyak orang yang mengetahui, bahwa di gumuk kecil itu terdapat sebuah belumbang, karena belumbang itu tertutup rerungkutan.

Memang ada semacam kengerian dan keragu-raguan di hati Glagah Putih. Ia harus memasuki tempat yang sangat rimbun dan liar. Sekali-sekali ia tertegun jika dilihatnya gerumbul di depannya bergerak. Yang paling dicemaskannya justru seekor ular. Gigitan seekor ular akan dapat mematikannya dalam beberapa saat, jika ular itu adalah ular berbisa tajam, seperti seekor ular weling, welang atau bahkan sejenis ular bandotan yang sangat tajam bisanya.

Namun akhirnya Glagah Putih pun pasrah kepada sumber hidupnya.

Raden Rangga memandangi saja Glagah Putih yang melangkah perlahan-lahan ke batang preh raksasa itu. Agaknya Raden Rangga melihat juga bahwa Glagah Putih semula merasa agak ragu. Karena itu maka ia pun berkata lantang, “Glagah Putih. Jika kau memang sudah berniat, jangan ragu-ragu. Keragu-raguan hanya akan mendatangkan malapetaka saja bagimu. Lakukanlah dengan mantap dan pasrah. Kau akan menemukan apa yang kau cari dalam permohonan.”

Glagah Putih berpaling. Tetapi ia tidak menjawab. Ia melangkah terus ke arah batang preh raksasa itu.

Sebenarnyalah bahwa air di bawah pohon preh raksasa itu memang agak dalam. Glagah Putih pun kemudian seakan-akan telah hilang ditelan gerumbul-gerumbul liar di dalam belumbang itu. Jika seseorang tidak memperhatikan dengan sungguh-sungguh, maka ia tidak akan melihat bahwa seorang telah terendam diri dalam belumbang itu setinggi lehernya.

Glagah Putih yang berdiri di dalam air itu pun kemudian telah menyilangkan tangannya di dadanya. Menurut perasaannya air di dalam belumbang tidak terlalu dingin. Ia tidak tahu, apakah sebabnya. Sementara itu matahari pun mulai memanjat naik di langit.

“Nah,” berkata Raden Rangga, “lakukanlah dengan mantap. Doamu tentu akan didengar. Dalam laku ini, kau mendapat keringanan di hari pertama dan kedua, karena kau diperkenankan makan tiga buah pisang jenis apapun. Aku akan mencarikannya untukmu. Tetapi di hari ketiga kau benar-benar harus pati geni.” Glagah Putih tidak menjawab. Dengan sepenuh hati ia mulai mengatur perasaan dan nalarnya. Meskipun agak sulit, namun akhirnya Glagah Putih sampai juga ke puncak pemusatan nalar budinya, karena sebelumnya ia sama sekali tidak bersiap-siap untuk melakukannya.

Karena itulah, maka Glagah Putih tidak lagi menghiraukan apa-pun yang ada di sekitarnya. Glagah Putih seakan-akan tidak terasa ketika beberapa ekor ikan yang cukup besar mengerumuninya, bahkan mulai menyentuh tubuhnya.

Raden Rangga yang melihat Glagah Putih sudah menjadi mapan, maka ia pun telah bergeser menjauh. Tetapi seperti yang dikatakannya, ia telah berusaha untuk membantu Glagah Putih. Ia meninggalkan gumuk itu pergi mencari pisang yang akan dapat diberikannya kepada Glagah Putih pada hari yang pertama dan yang kedua.

Ketika Raden Rangga telah berada di jalan yang agak banyak dilalui orang, maka ia pun telah bertanya, apakah di dekat tempat itu terdapat pasar.

Ternyata Raden Rangga tidak perlu berjalan terlalu jauh. Memang tidak terlalu jauh terdapat sebuah pasar padukuhan yang meskipun tidak begitu besar, tetapi dipasar itu ternyata telah dijual beberapa tandan pisang.

Raden Rangga pun telah membeli dua sisir pisang raja dan dibawanya ke gumuk kecil yang jarang sekali dikunjungi orang itu. Ia menepati janjinya, menyediakan pisang untuk Glagah Putih. Bahkan ternyata Raden Rangga tidak meninggalkan belumbang kecil itu. Ia pun telah mencari tempat untuk menunggui Glagah Putih yang sedang berendam diri.

Raden Rangga itu pun telah duduk di sebuah batu yang cukup besar Ternyata meskipun ia tidak sedang menjalani laku, tetapi ia berniat untuk berada di gumuk itu sampai Glagah Putih menyelesaikan laku selama tiga hari tiga malam Namun karena Raden Rangga hanya sekedar berada di tempat itu tanpa ikatan, maka kadang-kadang Raden Rangga itu pun telah berjalan-jalan di sekitar gumuk itu, melihat-lihat semacam gerumbul-gerumbul perdu liar yang jarang disentuh kaki manusia itu.

Di dalam gerumbul-gerumbul perdu itu, ternyata masih terdapat beberapa jenis binatang liar, tetapi bukan binatang buas. Di dalam gerumbul-gerumbul yang terdapat di satu lingkungan yang agak luas di sekitar gumuk itu, masih terdapat beberapa kelompok rusa jenis kecil yang berkeliaran. Ternyata rusa itu di tengah teriknya matahari, pergi ke belumbang di atas gunung itu untuk sekedar minum.

Raden Rangga menjadi heran. Apakah tidak ada seorang pun yang pernah melihat rusa itu berkeliaran di dalam gerumbul-gerumbul perdu itu, sehingga tidak ada seorang pemburu pun yang pernah berburu di padang itu.

Namun ternyata bahwa rusa-rusa itu hidup dalam kelompok-kelompok yang nampaknya tidak banyak terganggu. Sementara itu rusa-rusa itu tidak akan kehabisan makanan selama padang rumput yang diseling dengan gerumbul-gerumbul perdu liar itu masih belum dibabat oleh tangan manusia.

Pada hari yang pertama, Raden Rangga telah memberikan tiga buah pisang raja kepada Glagah Putih. Karena menurut Raden Rangga makan tiga buah pisang masih dibenarkan, maka Glagah Putih pun di hari pertama telah makan tiga buah pisang raja. Demikian juga di hari kedua. Namun di hari ketiga, seperti dikatakan oleh Raden Rangga, Glagah Putih harus pati geni. Sama sekali tidak makan dan tidak meneguk air belumbang itu sekali pun.

Sementara itu Raden Rangga sendiri, selama tiga hari juga hanya makan pisang, meskipun jumlahnya lebih banyak dari yang dimakan Glagah Putih.

Ketika Glagah Putih memasuki hari ketiga, maka ia memang merasakan perubahan telah terjadi pada dirinya. Air yang segar itu seakan-akan telah menyusup sampai ke tulang sungsumnya. Meskipun Glagah Putih sama sekali tidak meneguk air di hari ketiga, tetapi lehernya serasa selalu basah dan bahkan perutnya pun sama sekali tidak terasa lapar.

Glagah Putih sendiri memang merasa aneh. Laku itu sama sekali tidak terasa terlalu berat. Meskipun ia sudah memasuki hari ketiga, namun badannya masih terasa cukup segar dan kuat.

Namun ketika matahari sampai ke puncak langit di hari ketiga itu, memang terasa satu perubahan telah terjadi. Air belumbang yang segar itu seakan-akan telah berubah menjadi semakin lama semakin hangat.

Menurut perasaan Glagah Putih, maka sinar matahari pun bagaikan panasnya api yang memanggangnya dari langit, sementara air tempatnya berendam itu pun semakin panas pula.

Glagah Putih terpaksa mengerahkan daya tahannya untuk tetap tidak beranjak dari tempatnya.

Untuk beberapa saat lamanya Glagah Putih memang menjadi gelisah. Namun kemudian ia telah menemukan kembali keseimbangan nalar dan budinya. Ketika ia memperhatikan pepohonan dan kedaunan yang berada di belumbang itu, ternyata tidak sehelai daun pun yang menjadi layu, bahkan batang-batang ilalang pun tetap tegak di tempatnya. Karena itu, maka menurut penalarannya, maka pepohonan itu tidak tersentuh oleh panas sebagaimana dirasakannya.

Dengan demikian maka Glagah Putih pun menjadi semakin pasrah diri. Ia menjalani laku tidak untuk satu keinginan yang buruk. Tetapi ia mendasarkan niatnya kepada landasan petujuk gurunya Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga di dalam angan-angan, ucapan dan tingkah laku.

Matahari yang beredar di langit masih saja serasa memanggangnya. Sementara air pun masih terasa panas. Namun Glagah Putih tidak beranjak dari tempatnya. Ia masih berdiri tegak di dalam air selain kepalanya, dengan tangan bersilang di dadanya.

Sementara itu, mendekati tahap akhir dari laku Glagah Putih, maka Raden Rangga pun telah menungguinya di tepi belumbang. Tetapi ia sama sekali tidak mengetahui apa yang telah terjadi dengan Glagah Putih. Yang dilihatnya, Glagah Putih masih tetap berada di tempatnya, sementara air belumbang itu pun sama sekali tidak nampak terjadi perubahan.

Bahkan Raden Rangga itu sempat berbaring di atas sebuah batu besar, melingkar seperti udang dan untuk beberapa saat tertidur nyenyak.

Glagah Putih masih harus berjuang melawan perasaan panas yang menggigit tubuhnya. Tetapi penalarannya mampu mengatasi rasa panas, yang menurut perhitungannya adalah bahwa mengatasi perasaan panas itu merupakan laku yang harus dijalani pada tahap-tahap akhir.

Ternyata penalaran Glagah Putih serta mengerahkan daya tahan tubuhnya itu sangat menolongnya. Dengan demikian ia dapat bertahan dan tidak meninggalkan tempatnya, betapapun ia merasa terpanggang oleh panasnya bara api di langit dan panasnya air yang bagaikan mendidih.

Beberapa saat kemudian, maka matahari pun telah turun semakin rendah Panasnya api yang menerpa wajah Glagah Putih pun terasa menjadi semakin susut. Apalagi ketika matahari itu kemudian tenggelam di balik cakrawala.

Raden Rangga yang sudah terbangun sempat melihat Glagah Putih yang masih berada di tempatnya Tetapi di hari terakhir, Raden Rangga tidak dapat membantunya sama sekali.

Betapapun juga, ternyata telah tumbuh kegelisahan juga di hati Raden Rangga itu. Meskipun ia mendapat jaminan tentang keselamatan Glagah Putih dari ibunya yang sering dijumpainya di dalam mimpi, namun keadaan lingkungan serta kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat terjadi karena kelemahan wadag Glagah Putih, telah membuatnya semakin cemas. Karena itu, meskipun Raden Rangga tidak menjalani laku seperti Glagah Putih, tetapi rasa-rasanya ia pun tidak dapat menelan pisang yang masih tersisa yang ada padanya.

Tubuh Glagah Putih terasa segar ketika matahari itu kemudian terbenam Air belumbang itu pun tidak lagi merebusnya, karena sejalan dengan titik-titik embun yang turun dari dedaunan, air pun menjadi dingin.

Tetapi ketika lewat tengah malam, maka yang terjadi adalah sebaliknya. Air yang dingin itu semakin dingin. Bahkan kemudian seakan-akan air itu pun telah membeku menjepit tubuhnya yang terendam di dalamnya. Nafasnya pun kemudian merasa menjadi sesak terhimpit oleh air yang seakan-akan menjadi beku.

Glagah Putih pun harus berjuang pula mengatasi rasa dingin dan berjuang untuk mengatur pernafasannya dengan sebaik-baiknya. Dengan susah payah Glagah Putih perlahan-lahan mampu menguasai pernafasannya dan mengalir dengan teratur, meskipun dadanya masih terasa tertekan oleh air yang bagaikan membeku itu.

Dengan ketabahan hati serta perasaan yang mapan, Glagah Putih sama sekali tidak mengelakkan laku terakhir itu. Dalam kelamnya malam, maka ia tetap berdiri sambil menyilangkan tangannya di dada. Doanya menjadi semakin khusuk memancar dari dasar hatinya yang paling dalam. Memohon kepada Yang Maha Agung untuk mendapat kekuatan menjalani laku terakhirnya dalam ungkapan permohonannya untuk menemukan kekuatan di dalam dirinya bagi pengabdian yang mungkin dapat dilakukannya.

Namun air yang serasa membeku itu kemudian telah menghimpitnya semakin kuat. Dinginnya air pun menjadi semakin menggigit sampai ke tulang sungsum. Bahkan darahnya pun rasa-rasanya telah hampir membeku pula, sehingga seakan-akan jantungnya menjadi semakin lambat berdetak.

Glagah Putih yang mengerahkan segenap daya tahannya untuk melawan dingin yang membeku itu, justru telah pasrah. Kegelisahannya perlahan-lahan telah mengendap, dan bahkan akhirnya Glagah Putih itu memejamkan matanya dalam sikapnya. Tidak ada lagi yang mencemaskannya. Tidak ada lagi yang ditakutinya. Dan akhirnya tidak ada lagi yang menyulitkannya.

Dalam pasrah, maka semuanya seakan-akan telah terjadi atas dirinya. Glagah Putih tidak meronta melawannya. Tidak lagi menggeretakkan giginya di dalam kebekuannya.

Namun ternyata bahwa segala-galanya telah lewat. Langit pun menjadi merah oleh cahaya fajar. Satu kerja yang keras telah dilakukan sebagai ungkapan permohonannya. Dan Glagah Putih telah menyelesaikannya.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Ia merasa bahwa air yang dingin membeku itu perlahan-lahan telah mencair kembali. Dengan penuh keyakinan Glagah Putih melangkahi kerja kerasnya dengan tuntas. Pasrah kepada Yang Maha Pencipta. Dan justru pasrah itulah tumpuan kekuatannya. Sama sekali bukan pasrah dalam pengertian putus-asa.

Ketika matahari terbit di timur, Glagah Putih memandang alam sekelilingnya. Cahaya matahari pagi yang cerah seakan-akan telah menari-nari di dedaunan yang bergerak-gerak disentuh angin lembut.

Betapa segarnya udara pagi pada saat-saat terakhir dari laku yang sedang dijalaninya.

Tetapi Glagah Putih masih menunggu. Sebagaimana ia turun ke dalam air tiga hari tiga malam yang lalu, maka ia menunggu matahari naik beberapa tapak. Sementara itu, Glagah Putih telah kembali memusatkan nalar budinya, mengucapkan syukur kepada Penciptanya, bahwa ia telah selesai dengan selamat.

Baru sejenak kemudian, ketika terdengar suara Raden Rangga memanggilnya. Glagah Putih mulai menggerakkan tangannya mengurai silang tangan di dadanya itu

Namun Glagah Putih harus melakukannya dengan sangat berhati-hati. Setelah tiga hari tiga malam ia bersikap, yang hanya di antara beberapa kali menerima dan memakan pisang di hari pertama dan kedua, rasa-rasanya tangan dan kakinya memang menjadi beku pula. 

Tetapi perlahan-lahan semua anggota tubuhnya pun kemudian bergerak. Selangkah demi selangkah Glagah Putih pergi ke tepi, menyibak rimbunnya daun perdu dan rapatnya batang ilalang.

Baru ketika Glagah Putih naik ke darat, rasa-rasanya tubuhnya menjadi sangat lemah. Hampir saja ia kehilangan keseimbangannya. Namun dengan memusatkan kemampuannya maka Glagah Putih berhasil berdiri tegak.

“Ada apa dengan kau?” bertanya Raden Rangga Meskipun ada semacam kecemasan di hati anak itu, tetapi ia kemudian justru berkata, “He, apakah kau akan menjadi pingsan? Kau harus malu kepada dirimu sendiri. Bukankah kau laki-laki? Tiga hari tiga malam bukan apa-apa. Aku pernah berendam empat puluh hari empat puluh malam.”

Glagah Putih berusaha untuk tidak kehilangan keseimbangannya dan bertahan untuk tetap tegak dan sadar sepenuhnya, betapapun perasaan yang aneh menjalari tubuhnya. Bahkan Glagah Putih itu masih sempat bertanya, “Kapan Raden melakukannya?”

“Di dalam mimpi,” jawab Raden Rangga sambil tersenyum Namun kemudian ia menyambung, “Ayahanda pernah menjalani laku tiga hari tiga malam, berendam, bergantung sekaligus pada sebatang dahan dan pati geni penuh. Demikian Ayahanada keluar dari lakunya, ia masih mampu berjalan jauh dan cepat kembali ke rumah.”

Hampir Glagah Putih menjawab, “Itu bedanya antara aku dan Panembahan Senapati di masa mudanya.“ Tetapi kata-kata itu pun seakan-akan telah ditelannya kembali dan tidak pernah diucapkan.

Tetapi Glagah Putih tidak kehilangan keseimbangan. Tidak jatuh tertunduk dan apalagi pingsan. Dengan segenap tenaga yang tersisa, Glagah Putih melangkah mendekati Raden Rangga. Namun ketika kelelahan benar-benar mencengkamkannya, maka iapun telah duduk di atas sebuah batu yan besar.

Raden Rangga pun kemudian mendekatinya. Ia masih mempunyai beberapa buah pisang. Sebuah di antaranya diberikannya kepada Glagah Putih sambil berkata, “Makanlah. Mudah-mudahan akan dapat membuatmu menjadi segar.”

Glagah Putih memandang Raden Rangga sekilas. Kemudian pisang itu diterimanya dan dimakannya.

Raden Rangga pun kemudian telah makan sebuah pisang pula, karena dalam ketegangan ia pun sebelumnya tidak makan sama sekali.

Glagah Putih setelah memakan pisang dan kemudian minum seteguk air, merasa tubuhnya menjadi semakin segar. Meskipun demikian. Raden Rangga masih menganjurkannya untuk beristirahat beberapa saat sambil menjemur pakaiannya yang basah.

Raden Rangga sama sekali tidak mengganggu Glagah Putih yang kemudian benar-benar beristirahat. Ia berbaring di atas rerumputan yang mulai kering oleh panasnya matahari pagi.

Tetapi Glagah Putih tidak ingin tertidur. Jika keadaannya sudah menjadi semakin baik, maka Raden Rangga tentu akan mengajaknya kembali ke Mataram.

Raden Rangga yang masih mempunyai dua buah pisang lagi, telah memberikannya sebuah kepada Glagah Putih sambil berkata, “Makanlah satu lagi. Sebentar lagi pakaianmu akan kering. Dan dengan demikian kita akan dapat berjalan. Mungkin kau akan merasa sangat letih, tetapi jika sampai di Mataram, maka kita akan dapat beristirahat sepanjang kapanpun yang kita kehendaki.”

Glagah Putih menerima pisang itu dan memakannya pula. Sementara itu pakaiannya yang basah-pun telah menjadi semakin kering di panasnya matahari yang menjadi semaki tinggi.

Ternyata bahwa dua buah pisang itu membuat tubuh Glagah Putih menjadi semakin segar. Karena itu, ketika pakaiannya yang basah telah benar-benar menjadi kering, maka keduanya pun telah berkemas untuk meninggalkan tempat itu.

Tetapi sementara itu Raden Rangga masih sempat menanyakan pendapat Glagah Putih tentang tempat itu.

“Di sini banyak terdapat rusa-rusa kecil,” berkata Raden Rangga, “tetapi tentu ada sebabnya bahwa tempat ini tidak pernah didatangi pemburu.”

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun Raden Rangga berkata, “Kita akan menuruni gumuk kecil ini dari sisi yang lain. Kita akan melihat di padang perdu ini terdapat banyak rusa-rusa kecil. Tempat ini memberikan ruang yang sangat menguntungkan bagi jenis binatang itu. Tetapi anehnya, di sini tidak ada pemburu dan tidak ada jenis binatang buas yang sampai di sini.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara itu mereka berdua pun telah melangkah ke sisi gumuk itu.

Ketika mereka menuruni sisi gumuk itu, maka sudah terlihat beberapa ekor rusa dari jenis yang kecil berkeliaran. Mereka dengan tenangnya makan rerumputan dan dedaunan perdu.

Keduanya memang mengejutkan rusa-rusa itu, sehingga berlarian memencar. Namun rusa-rusa itu pun kemudian telah berkumpul lagi di tempat yang tidak begitu jauh untuk makan dengan lahapnya.

“Nampaknya mereka memang hidup dengan tenang,” berkata Glagah Putih.

Beberapa lama keduanya memperhatikan binatang-binatang kecil itu. Sedangkan kaki mereka melangkah terus di antara gerumbul-gerumbul perdu. Di sisi lain gerumbul-gerumbul perdu itu menjadi semakin lebat. Beberapa pohon yang besar nampak satu dua tumbuh terpencar.

Dalam pada itu, tiba-tiba saja Raden Rangga telah terkejut ketika ia melihat yang disangkanya pokok sebatang pohon yang berwarna kehijau-hijauan. Dengan serta merta ia berdesis, “Glagah Putih, lihat.”

Glagah Putih pun tertegun. Ia memang sudah melihat pokok sebatang pohon yang aneh itu. Tetapi semula ia tidak begitu memperhatikan.

“Kau lihat?” bertanya Raden Rangga.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Langkahnya pun tiba-tiba telah tertegun.

Sekilas Glagah Putih berpaling ke arah Raden Rangga dengan tatapan mata yang aneh. Raden Rangga segera menangkap perasaan Glagah Putih. Karena itu, maka ia pun segera memberi penjelasan, “Jangan kau kira itu bentuk semu. Aku tidak sedang bermain-main sekarang. Dan bukankah kau mampu membedakan dengan penglihatan ilmumu, antara yang semu dan yang tidak?”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Bukan ujud semu. Semula aku tidak begitu tertarik pada ujud itu. Aku kira sejenis batang pohon yang roboh yang dibayangi oleh dedaunan perdu. Tetapi ternyata ujudnya menjadi sangat menarik setelah kita menjadi semakin dekat.”

“Tunggulah di sini,” berkata Raden Rangga.

“Raden akan kemana?” bertanya Glagah Putih.

“Aku akan melihat dari dekat. Mudah-mudahan kita tidak salah lihat,” jawab Raden Rangga.

Glagah Putih tidak dapat mencegahnya. Raden Rangga pun kemudian melangkah dengan hati-hati mendekatinya. Disibakkannya batang-batang dan ranting-ranting perdu.

Beberapa langkah dari benda yang didekatinya, Raden Rangga berhenti. Ia pun memberikan isyarat kepada Glagah Putih untuk mendekat.

Glagah Putih pun kemudian mendekatinya pula. Dengan wajah tegang ia pun kemudian bergumam, “Benarkah yang kita lihat?”

“Lihatlah kemari,” panggil Raden Rangga.

Ketika Glagah Putih mendekat, maka ia pun menarik nafas dalam-dalam. Di belakang segerumbul perdu yang lebat dan rimbun, didapatinya selingkar ular yang sangat besar. Ternyata sebagian dari tubuhnya yang menjelujur dengan bagian ekornya berada di bawah sebongkah padas, nampaknya dari jarak yang agak jauh bagaikan sepotong batang kayu yang sudah lumutan, di antara rimbunnya semak-semak.

“Bukan main,” desis Glagah Putih.

“Kau lihat kepalanya?” bertanya Raden Rangga.

Kepala ular itu berada di lingkaran sebagian dari tubuhnya. Namun nampaknya ular itu sedang tidur.

“Ya Itulah agaknya jawab dari pertanyaan Raden Rangga,” berkata Glagah Putih. –

Raden Rangga mengangguk-angguk. Agaknya ular yang besar itulah yang telah menakut-nakuti orang yang ingin berburu. Seandainya ada orang yang mengetahui di padang perdu sekitar gumuk Payung itu banyak rusa jenis kecil, mereka pun tidak akan berani berburu di tempat itu. Agaknya demikian pula binatang buas yang lain.

Namun tiba-tiba Raden Rangga bertanya, “Tetapi kenapa rusa-rusa kecil itu tidak ketakutan dan lari ke padang rumput yang lain di pinggir hutan itu?”

“Raden,” berkata Glagah Putih, “agaknya rusa-rusa kecil itu sudah mengenal sifat seekor ular raksasa. Ular itu hanya akan makan setelah ia menjadi lapar. Padahal ular itu jarang sekali merasa lapar. Mungkin empat lima bulan sekali baru ia makan. Nah, barangkali Raden dapat mengira-ira, bahwa dalam jangka waktu yang sekian, rusa ini sudah bertambah berapa saja.”

“Bukan kenapa tidak habis,” jawab Raden Rangga, “yang aku tanyakan, kenapa tidak takut.”

“Itulah jawabnya,” sahut Glagah Putih, “rusa itu tidak perlu takut, karena ular itu jarang sekali bangun. Mungkin dalam beberapa bulan rusa itu mengalami ketakutan satu kali di saat ular itu lapar. Itu pun tidak lama, karena setelah ular itu menangkap seekor dari rusa itu, maka ia akan tidur lagi.” Raden Rangga mengangguk-angguk. Tetapi katanya tiba-tiba, “Aku akan membunuhnya dan mengambil kulitnya.”

“Jangan Raden,” jawab Glagah Putih, “ular itu terlalu besar. Bahkan agaknya ular itu bukan sejenis ular sawah yang tidak berbisa. Aku tidak tahu jenis ular apa yang kita jumpai sekarang.”

“Nampaknya ular itu jenis ular air. Tetapi air belumbang itu terlalu kecil untuk berendam, sehingga ia lebih senang berada di bawah pepohonan,” berkata Raden Rangga. “Lihat, tubuhnya yang licin dan berwarna hijau.”

“Warna kemerahan di punggungnya agak mencemaskan Raden,” desis Glagah Putih.

“Kau menganggap bahwa ular itu berbisa tajam?” sahut Raden Rangga.

“Ya Raden,” desis Glagah Putih, “meskipun tidak setajam ular bandotan.”

Raden Rangga tersenyum. Katanya, “Aku tidak takut seandainya ular itu memiliki bisa setajam ular bandotan. Bukankah ular itu baru tidur? Aku dapat membunuhnya sebelum ular itu terbangun.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Apakah keuntungan Raden dengan membunuh ular itu?”

Radeh Rangga terdiam. Tetapi kemudian ia berdesis, “Setiap kali ular itu akan makan seekor di antara rusa-rusa kecil itu. Jika ular itu mati, maka rusa-rusa itu tidak akan lagi berkurang seekor-pun.”

“Tetapi akan datang bahaya yang lain,” jawab Glagah Putih, “mungkin seekor harimau lapar dari hutan sebelah. Mungkin sekelompok serigala, dan yang lebih rakus lagi dari binatang buas itu adalah para pemburu. Jika tidak ada yang ditakuti lagi, maka para pemburu, dari yang tua sampai yang anak-anak, akan datang ke padang ini sambil membawa busur dan anak panah. Bahkan ada yang sekedar membawa jerat atau membuat perangkap dengan membuat lubang yang dalam. Dalam waktu yang dekat, maka rusa-rusa itu akan segera punah.”

Raden Rangga mengerutkan keningnya Namun kemudian ia pun tersenyum Katanya, “Kau benar Glagah Putih. Agaknya ular itu justru mengamankan rusa-rusa itu dari kepunahan. Setiap pemburu yang pernah melihat ular itu akan tidak berani lagi datang kemari. Bahkan kawan-kawannya yang pernah mendapat ceritanya, yang tentu akan tersebar.”

“Karena itu, marilah,” berkata Glagah Putih, “kita tinggalkan tempat ini.”

Raden Rangga mengangguk. Tetapi nampaknya masih ada sesuatu yang ingin dilakukan.

“Apa lagi Raden?” bertanya Glagah Putih.

“Aku ingin melihat ular itu bangun,” berkata Raden Rangga.

“Pada saatnya ia akan bangun. Ular itu tentu baru saja makan dan kemudian tidur untuk beberapa lama. Biarlah ular tidak terganggu. Jika ular itu marah, mungkin Raden tidak akan menjadi ketakutan, atau jika terpaksa Raden dapat membunuhnya. Tetapi jika ular itu kemudian memasuki padukuhan yang dihuni orang?” berkata Glagah Putih.

Raden Rangga termangu-mangu. Tetapi akhirnya ia pun mengangguk-angguk. Katanya, “Marilah. Sebenarnya ular itu akan dapat menjadi permainan yang menyenangkan.”

“Raden memang aneh,” berkata Glagah Putih, “satu saat Raden bersikap sangat mapan dan memberikan petunjuk-petunjuk seperti seorang panembahan. Tetapi satu saat Raden benar-benar dihinggapi kenakalan anak-anak, namun anak-anak yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.”

“Ah,” desah Raden Rangga. Namun tiba-tiba saja wajahnya menjadi muram. Katanya, “Baiklah. Aku harus menempatkan diri. Waktuku tidak banyak lagi.”

Glagah Putih terkejut mendengar kata-kata Raden Rangga, yang lebih banyak sebagai satu keluhan. Dengan nada dalam Glagah Putih berkata, “Jangan berpikir terlalu jauh Raden.”

Raden Rangga mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Marilah, kita kembali ke Mataram.”

Keduanya pun kemudian meninggalkan ular yang sedang tidur dengan nyenyak itu. Namun sekali-sekali Raden Rangga nampaknya masih termangu-mangu. Ia harus menekan keinginannya bermain-main dengan ular besar itu.

Sebelumnya Raden Rangga jarang sekali menekan keinginannya seperti itu. Apa yang tergerak di hatinya, dilakukannya. Namun pada saat-saat terakhir, ia mulai berusaha untuk mengekang keinginan-keinginan yang bergelonjak itu, meskipun kadang-kadang terloncat pula langkahnya yang lepas dari kekangan itu.

Ketika mereka kemudian lepas dari padang perdu dan melintasi padang rumput yang agak luas diselingi oleh semak-semak dan ilalang, mereka mendekati sebuah jalan kecil setapak. Menyusuri jalan itu, mereka sampai ke jalan yang lebih besar menuju sebuah padukuhan.

“Jalan ini menuju ke pasar,” berkata Raden Rangga, “aku melalui jalan ini pergi ke pasar untuk membeli pisang.”

Glagah Putih mengangguk-angguk.

Sementara itu Raden Rangga pun berkata, “Nah, bukankah kau merasa lapar? Tanpa makan lebih dahulu, maka perjalanan kita akan menjadi sangat lambat.”

“Aku merasa segar,” desis Glagah Putih, “bukankah aku sudah makan pisang dan cukup beristirahat?”

“Jika demikian, akulah yang merasa lapar. Aku yang tidak sedang menjalani laku, harus hanya sekedar makan pisang selama tiga hari,” berkata Raden Rangga.

“Jika demikian terserah kepada Raden,” berkata Glagah Putih.

“Marilah, kita akan singgah di pasar itu sejenak. Pasar kecil, tetapi ada juga orang berjualan nasi,” berkata Raden Rangga. Lalu, “Tetapi ingat, jangan panggil namaku.”

“Jadi bagaimana aku harus memanggil?” bertanya Glagah Putih.

“Panggil aku Kakang,” jawab Raden Rangga.

“Siapakah yang lebih tua di antara kita?” tiba-tiba saja Glagah Putih bertanya.

“O,” Raden Rangga pun tertawa, “Aku tidak tahu, kenapa aku merasa lebih tua daripadamu.”

“Raden kadang-kadang memang bersikap jauh lebih dewasa dari ujud Raden,” berkata Glagah Putih, “tetapi kadang-kadang memang bersikap seperti kanak-kanak.”

Raden Rangga masih tertawa. Lalu katanya, “Baiklah. Panggil aku Tole saja. Bukankah kau nampak lebih tua dari aku?”

Glagah Putih pun tertawa pula. Katanya, “Rasa-rasanya lidahku-lah yang tidak dapat mengucapkan. Tole adalah panggilan buat anak-anak yang sering mengembala sapi, atau anak-anak yang menyabit rumput di padang.”

“Tetapi juga bagi saudara muda laki-laki,” sahut Raden Rangga.

Glagah Putih menarik nafas. Lalu katanya, “Raden, apakah ada orang yang percaya jika aku menyebut Raden sebagai adikku. Kulitku terlalu hitam dibandingkan dengan Raden.”

Raden Rangga tertawa. Katanya, “Apakah warna kulit dapat menjadi pertanda apakah dua orang bersaudara atau tidak?”

Glagah Putih tersenyum Tetapi ia pun kemudian berkata, “Baiklah. Aku akan memenuhi perintah Raden. Tetapi bukankah dengan demikian aku tidak akan kena kutuk?”

“Jika kau kena kutuk, kau akan berjalan terbalik. Kepalamu ada di bawah dan kakimu ada di atas,“ jawab Raden Rangga. Namun katanya kemudian, “Tetapi dengan demikian, kau akan mendapat uang banyak. Kau akan dapat menyelenggarakan pertunjukan yang menarik dengan caramu berjalan.”

Glagah Putih masih saja tersenyum. Namun ia masih berdiam diri.

Sementara itu, mereka berjalan semakin mendekati sebuah pasar, sebagaimana dikatakan oleh Raden Rangga. Pasar yang tidak terlalu besar. Tetapi di dalamnya terdapat sebuah kedai kecil yang menjual makanan dan minuman.

Dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa Glagah Putih memang merasa lapar. Karena itu, maka ia pun merasa kebetulan bahwa Raden Rangga benar-benar mengajaknya singgah di kedai itu.

Kedai itu memang hanya sebuah kedai yang kecil. Itulah sebabnya maka tempat duduknya pun hanya terdiri dari dua buah lincak bambu wulung yang tidak terlalu panjang.

Glagah Putih dan Raden Rangga duduk di salah satu dari kedua lincak itu. Keduanya pun kemudian memesan minuman dan dua pincuk nasi.

Ketika keduanya sedang menunggu, maka datanglah empat orang laki-laki yang bertubuh tegap, berwajah kasar, dan keempatnya menyandang golok di lambung. Golok yang tidak terlalu panjang, tetapi cukup besar.

Glagah Putih mengerutkan keningnya melihat sikap keempat orang itu. Sementara itu, Raden Rangga pun hanya memandangi mereka sekilas. Lalu perhatiannya tertuju lagi kepada penjual nasi yang sedang menyendok nasi baginya dan bagi Glagah Putih.

Kedua anak muda itu tiba-tiba terkejut ketika dua orang di antara keempat orang bertubuh tegap itu membentak, “Pergi, monyet kecil!”

Raden Rangga berpaling ke arah kedua orang itu, sementara dua orang lainnya telah duduk di lincak yang sebuah. Kedua orang yang telah duduk itu tanpa menghiraukan kawannya telah memungut beberapa jenis makanan dan mengunyahnya dengan lahapnya.

Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Ia tahu benar sifat Raden Rangga. Namun adalah di luar dugaannya, bahwa tiba-tiba saja Raden Rangga telah bangkit berdiri dan bergeser sambil bergumam, “Kita pindah saja Kakang.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ia memandang ke arah penjual nasi. Namun agaknya penjual itu pun menjadi ketakutan. Karena itu maka ia tidak dapat mencegahnya. Yang dapat dilakukannya hanyalah sekedar mendorong dua buah dingklik kecil dari kayu kepada kedua anak muda itu. “Duduklah di sini. Pagi-pagi jika pembeliku berkerumun banyak, mereka juga duduk di dingklik-dingklik kecil ini.”

Raden Rangga nampaknya tidak berkeberatan sama sekali. Ia pun kemudian duduk di sebuah dingklik, sementara Glagah Putih pun melakukannya pula. Ternyata bahwa penjual nasi itu memang mempunyai persediaan beberapa buah dingklik kayu.

Ketika Raden Rangga dan Glagah Putih telah berpindah tempat, maka kedua orang itu pun duduk pula di atas lincak bambu. Seperti kawan-kawannya mereka pun kemudian mengambil beberapa jenis makanan dan sekaligus memesan minuman.

Tetapi karena penjual itu sudah terlanjur menyenduk nasi untuk Glagah Putih dan Raden Rangga, maka nasi itu pun kemudian diserahkannya kepada kedua anak muda yang duduk di atas dingklik kayu itu.

Namun agaknya hal itu membuat orang-orang yang kasar itu tidak senang. Karena itu, seorang di antaranya berkata, “He, bukankah aku juga lapar?”

Penjual nasi itu sama sekali tidak menjawab. Ia sudah banyak mengenali sifat dan kebiasaan orang-orang yang silih berganti membeli nasi di kedainya. Jenis keempat orang itu telah dikenalnya. Mereka tentu orang kasar yang menakutkan.

Karena itu, maka ia lebih baik diam, namun kemudian dilayani saja dengan sebaik-baiknya sebagaimana mereka kehendaki.

Tetapi kedua pincuk nasi itu tetap diserahkannya kepada Glagah Putih dan Raden Rangga.

“He, kau tuli?” teriak salah seorang di antara keempat orang itu, “Aku juga lapar. Aku perlu nasi segera.”

“Ya, ya Ki Sanak,” penjual itu mulai gagap, “nasi itu terlalu sedikit untuk Ki Sanak. Pincuk itu terlalu kecil. Tetapi kedua anak-anak itu memang tidak mempunyai uang cukup untuk membeli nasi yang lebih banyak dan dengan lauk yang lebih baik.”

Keempat orang kasar itu tidak menyahut. Namun ketika mereka melihat Glagah Putih dan Raden Rangga menerima pincuknya, maka tiba-tiba salah seorang dari keempat orang itu telah melemparkan sepotong wajik klethik ke nasi Raden Rangga.

Raden Rangga melihat tangan yang bergerak itu. Ketajaman penglihatannya pun melihat bahwa orang itu tidak melemparkan sepotong makanan itu dengan wajar. Karena itu, maka Raden Rangga tidak mau kehilangan nasinya. Ia pun telah menerima sepotong makanan itu dengan tenaga cadangannya.

Tangan Raden Rangga merasa tekanan yang sangat besar. Untunglah bahwa ia telah mempergunakan tenaga cadangannya, sehingga ia masih mampu mengatasi desakan wajik yang dilemparkan oleh orang itu dengan lambaran ilmunya. Agaknya orang itu ingin membuat kawan-kawannya tertawa jika mereka melihat nasi anak-anak muda itu telah ditumpahkannya.

Tetapi yang terjadi adalah lain. Ketika wajik itu mengenai pincuk yang berisi nasi di tangan Raden Rangga, maka Raden Rangga telah membangkitkan tenaga cadangannya. Karena itu, wajik itu pun telah jatuh di dalam pincuk tanpa menimbulkan persoalan.

Orang yang melemparkan wajik itu terkejut. Nasi di tangan Raden Rangga sama sekali tidak tumpah. Bahkan daun tempat nasi itu pun sama sekali tidak dapat dikoyakkannya.

Karena itu, maka orang itu pun segera mengetahui, bahwa anak muda itu bukan anak muda kebanyakan. Kekuatannya yang dilambari dengan tenaga cadangannya itu sama sekali tidak mampu menggoyahkan tempat nasi di tangan anak muda itu. Meskipun kekuatan yang dipergunakan belum seluruh kemampuan yang ada padanya, tetapi bahwa kekuatan itu nampaknya sama sekali tidak berpengaruh, adalah sangat mengejutkannya.

Namun orang itu sama sekali tidak menunjukkan gejolak perasaannya. Ia seakan-akan tidak mengalami sesuatu yang telah menyentuh perasaannya.

Namun Raden Rangga menyadari, bahwa orang itu tentu tidak akan berdiam diri. Orang itu tentu akan melakukan sesuatu lagi untuk mencobanya, atau mungkin Glagah Putih.

Karena itu, maka Raden Rangga itu pun telah memberikan isyarat kepada Glagah Putih. Ia mengedipkan matanya sambil menunjuk wajik yang dilemparkan oleh orang bertubuh tegap itu, di luar pengetahuan orang yang melemparkannya.

Semula Glagah Putih tidak mengerti maksud Raden Rangga. Namun Raden Rangga itu pun berdesis, “Hati-hati.”

Ternyata meskipun tidak jelas, orang yang melemparkan makanan ke tempat nasi Raden Rangga itu mendengarnya juga. Karena itu, maka ia pun mengerti, bahwa salah seorang di antara kedua anak muda itu telah memberikan isyarat kepada yang lain.

“Gila,” geram orang itu di dalam hatinya. Karena itulah maka orang itu telah ingin mencobanya sekali lagi.

Dengan kekuatan yang lebih besar, maka ia pun telah melemparkan sepotong makanan ke tempat nasi, bukan milik Raden Rangga, tetapi Glagah Putih.

Namun Glagah Putih yang telah mendapat peringatan dari Raden Rangga, telah menjadi lebih berhati-hati. Ketika ia melihat sesuatu meluncur ke tempat nasinya, maka ia pun telah bersiap untuk menerimanya.

Glagah Putih memang terkejut mengalami tekanan yang sangat berat. Tetapi untungiah bahwa ia masih mampu mengatasinya sehingga seperti yang terjadi atas Raden Rangga, maka nasinya sama sekali tidak menjadi tumpah karenanya.

Bahkan dengan nada yang memelas Glagah Putih berkata, “Terima kasih Ki Sanak.”

Wajah orang itu menjadi merah. Ia benar-benar yakin, bahwa kedua orang anak muda itu bukan anak-anak muda kebanyakan yang gemetar ketika dibentaknya untuk berpindah tempat.

Karena itu, maka ia pun tiba-tiba telah bangkit berdiri sambil membentak, “He, monyet-monyet kecil. Siapakah kalian?”

Kawan-kawan orang itu terkejut melihat sikapnya. Bahkan seorang di antara ketiga kawannya itu berkata, “Apa yang kau lakukan? Kenapa kau perhatikan monyet-monyet kecil itu?”

“Setan alas,” geram orang yang bangkit itu, “kalian telah berusaha memamerkan kekuatan kalian, he?”

Kawan-kawannya menjadi semakin heran. Apalagi ketika kawannya yang marah itu membentak, “Berdirilah! Kalian berdua tidak usah duduk di dingklik kecil dan berpura-pura ketakutan. Kalian agaknya dengan sengaja telah menantang aku, he?”

“He,” seorang kawannya mendekatinya, “apakah kau mengigau?”

“Tidak, kedua tikus ini telah menghina aku,” jawabnya dengan nada marah.

“Apa yang telah dilakukannya?” bertanya kawannya.

“Keduanya berani menolak pemberianku,” jawab orang itu.

“Bukankah anak itu mengucapkan terima kasih atas pemberianmu itu?” bertanya kawannya pula.

“Kau pun telah menjadi dungu!” bentak orang itu, “Ia mampu mempertahankan tempat nasinya.”

Barulah kawannya mengerti maksudnya. Karena itu, maka ia pun mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti sekarang. Jadi kedua anak ini telah berani memamerkan kemampuannya kepadamu?”

“Ya,” jawab orang yang marah itu.

Kawannya mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Sebaiknya kau tidak usah berteriak-teriak begitu. Kau pukul saja kepalanya. Jika kepalanya itu tidak retak, maka kau sebaiknya mengaku kalah saja.”

Orang yang marah itu mengerutkan keningnya. Namun tiba-tiba saja ia memang melangkah mendekat. Dengan kakinya orang itu telah menyerang Glagah Putih yang masih saja makan, seolah-olah ia tidak mendengar bentakan-bentakan orang yang sedang marah. Namun sebenarnyalah dengan makan serba sedikit, Glagah Putih memang ingin memulihkan kekuatannya sepenuhnya setelah beberapa hari ia tidak makan, selain beberapa buah pisang yang diberikan oleh Raden Rangga.

Orang itu menjadi semakin terkejut. Ternyata kakinya sama sekali tidak menyentuh anak muda itu. Namun sikap Glagah Putih memang sangat menyakitkan hati. Setelah beberapa lama ia bergaul dengan Raden Rangga, maka agaknya Glagah Putih itu pun telah melakukan permainan yang justru membuat orang yang marah itu semakin marah.

Ternyata bahwa Glagah Putih telah meloncat menghindar. Tetapi ia masih tetap berjongkok sambil menyuapi mulutnya dengan nasinya.

Kemarahan orang itu tidak dapat ditahankannya lagi. Dengan serta merta ia pun telah meloncat memburu Glagah Putih dan sekaligus menyerangnya dengan garang.

Glagah Putih tidak dapat bermain-main terus. Menghadapi orang yang marah itu Glagah Putih memang harus berdiri. Dengan satu loncatan panjang maka ia pun telah mengambil jarak. Namun sesuap nasi masih sempat ditelannya.

“Setan alas,” geram orang itu. Sekali lagi orang itu meloncat menyerang dengan garangnya.

Tetapi Glagah Putih pun ternyata telah bersiap. Justru pada saat orang itu meloncat menyerang, maka pengaruh sifat-sifat Raden Rangga telah muncul lagi pada Glagah Putih. Dengan tangkas ia menghindar, dan bahkan dengan cepatnya, di luar dugaan orang yang menyerang itu, Glagah Putih telah melontarkan tempat nasinya, justru tepat mengenai wajah orang yang menyerangnya.

“O!” Raden Rangga berteriak. Anak itu menjadi kegirangan, sehingga dengan serta merta ia pun telah meloncat berdiri, dan justru berlari mendekat sambil membawa nasinya yang masih belum dihabiskannya.

Orang yang dikenai wajahnya oleh Glagah Putih itu rasa-rasanya jantungnya akan pecah oleh kemarahan yang tidak tertahankan lagi. Apalagi ketika ia melihat anak muda yang seorang lagi menjadi sangat kegirangan melihat wajahnya. Sambil menggeretakkan giginya, maka orang itu pun telah meloncat, justru menyerang Raden Rangga.

Tetapi ternyata ketajaman panggraita Raden Rangga telah memperingatkannya. Demikian orang itu menyerang, maka Raden Rangga pun telah menunggu dengan hampir tidak sabar. Sekali lagi tempat nasi anak muda itu telah tertimpuk ke wajahnya.

“Anak demit!” orang itu berteriak. Kemarahannya benar-benar akan memecahkan dadanya. Karena itu, maka tanpa berpikir panjang ia telah menarik goloknya yang besar meskipun tidak terlalu panjang.

Ketiga orang kawannya menyaksikan kejadian itu dengan jantung yang terguncang. Ada keinginan mereka untuk mentertawakan kawannya. Tetapi ternyata mereka pun telah merasa tersinggung pula oleh tingkah laku kedua orang anak muda itu.

Karena itu, maka ketiganya pun tidak menunggu lebih lama lagi. Ketika kawannya telah mencabut goloknya, maka ketiga orang itu pun telah mencabut goloknya pula.

“Jaga mereka agar tidak melarikan diri!” teriak orang yang marah sekali itu, “Aku sendiri akan membunuh mereka berdua.”

Tetapi yang terdengar adalah suara tertawa Raden Rangga dan Glagah Putih.

Kemarahan telah membakar jantung keempat orang bertubuh tegap dan bertingkah laku kasar itu. Apalagi mereka telah memegang golok di tangan mereka.

Yang menjadi ketakutan adalah penjual nasi itu. Ia menjadi gemetar dan tubuhnya seakan-akan tidak mau lagi digerakkannya. Bahkan yang menjadi gempar adalah seluruh pasar yang memang tidak begitu besar itu. Beberapa orang telah berlari-larian cerai berai tanpa tujuan.

Tiga orang kawan dari orang yang wajahnya dikotori oleh Glagah Putih dan Raden Rangga itu tidak mau membiarkan seorang kawannya bertempur melawan keduanya. Mereka pun ingin ikut mencincang anak-anak yang menurut penilaian mereka benar-benar pantas untuk dicincang di tengah-tengah pasar itu.

Tetapi ternyata kemudian, bahwa tidak mudah untuk melakukannya. Kedua anak muda itu ternyata telah melenting meninggalkan kedai itu dan mengambil tempat yang agak luas.

“Kita bermain di sini Ki Sanak,” ajak Raden Rangga. Keempat orang itu pun telah berlari memburu dengan golok teracu. Sementara Raden Rangga telah tertawa lagi.

Namun dalam pada itu, Glagah Putih tiba-tiba telah menjadi cemas. Karena itu, maka ia pun telah berbisik, “Raden, bukankah Raden tidak akan membunuh lagi?”

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Kau yang membuat persoalan.”

“Kenapa aku?” bertanya Glagah Putih.

“Kaulah yang lebih dahulu menimpuk wajah orang itu dengan nasimu,” jawab Raden Rangga.

“Ya,” desis Glagah Putih, “tetapi aku tidak ingin membunuh.”

“Bagaimana jika justru kaulah yang dibunuh?” bertanya Raden Rangga.

“Jika itu yang harus terjadi, apa boleh buat,” jawab Glagah Putih.

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun jawabnya, “Bagiku, lebih baik membunuh jika harus dibunuh.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar