Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 198

Buku 198

Namun dalam pada itu, Raden Rangga yang ingin melihat kebakaran yang lebih besar lagi, telah memusatkan nalar budinya pula. Dari dalam dirinya pun telah memancar udara panas yang menghembus ke arah banjar yang terbakar. Bahkan beberapa orang tiba-tiba saja telah merasa dipanggang di atas api. Namun kemudian telah berhembus pula angin yang sejuk dan meluncurkan udara dingin, sehingga orang-orang yang bagaikan terpanggang itu rasa-rasanya telah mendapatkan perlindungan.

Tetapi Raden Rangga tidak tinggal diam. Kenakalannya telah membakar jantungnya. Karena itu, maka ia pun telah berusaha untuk mempertajam ilmunya, menghebuskan udara panas.

Dengan demikian, maka telah terjadi benturan antara dua kekuatan. Kekuatan Raden Rangga yang memancarkan udara panas, dengan kekuatan Kiai Gringsing yang memancarkan udara dingin. Sementara itu, Kiai Jayaraga telah sibuk menggerakkan orang-orang padukuhan itu untuk membantu memadamkan api.

Beberapa saat Raden Rangga mengerahkan kemampuannya. Keringat mulai membasahi seluruh tubuhnya. Bahkan kemudian dari ubun-ubun Raden Rangga telah mulai nampak asap yang putih samar-samar.

Namun akhirnya, terdengar Raden Rangga itu berdesah. Dilepaskannya pancaran udara panas dari dalam dirinya lewat kekuatan ilmunya. Sambil berdesah ia berkata, “Kiai telah mengganggu permainanku malam ini.”

Kiai Gringsing pun kemudian menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku hanya ingin mencegah Raden melakukan kenakalan lagi, yang akan dapat membuat Ayahanda Raden semakin marah.”

Raden Rangga tidak menjawab. Tetapi ia melihat api pun semakin lama menjadi semakin kecil sebelum menjalar ke pringgitan dan bagian dalam banjar. Tetapi pendapa banjar itu telah hampir seluruhnya menjadi arang.

“Raden,” berkata Kiai Gringsing, “aku mohon Raden meninggalkan tempat ini sekarang, sebelum timbul persoalan baru. Jika Raden tidak lagi mampu mengendalikan diri, maka akan dapat timbul persoalan-persoalan yang tidak kita duga sebelumnya,”

“Kiai mengusir aku?” bertanya Raden Rangga.

“Tidak mengusir, Raden. Hanya sekedar berusaha untuk menghindarkan Raden dari tindakan yang tidak terkendali,” jawab Kiai Gringsing.

Wajah Raden Rangga menegang. Api yang membakar banjar itu telah hampir padam. Sementara Kiai Gringsing berkata pula, “Sebentar lagi api itu padam, sehingga perhatian orang-orang padukuhan ini akan tertuju kepada Raden. Sebenarnya Raden sudah mengambil jalan yang paling bijaksana dengan menyingkir dari padukuhan ini. Tetapi sekarang kenapa Raden kembali, dan justru telah menimbulkan persoalan baru di padukuhan ini?”

“Aku tidak takut menghadapi semua isi padukuhan ini,” geram Raden Rangga.

“Tetapi kenapa Raden menyingkir?” bertanya Kiai Gringsing.

“Aku hanya menghindari pembunuhan. Bukan karena aku takut terbunuh di sini. Justru akulah yang mungkin akan membunuh,” jawab Raden Rangga.

“Nah, alasan itu pulalah yang harus Raden pakai sekarang jika Raden menyingkir,” berkata Kiai Gringsing kemudian.

“Aku tidak akan pergi Kiai,” berkata Raden Rangga, “jika mereka akan membuat persolan baru, biarlah aku akan menghadapinya.”

“Itu bukan sikap yang bijaksana. Raden adalah putra seorang yang memiliki kekuasaan tidak terbatas di Mataram. Raden telah mengambil satu keputusan yang sangat berarti bukan saja bagi nama Raden sendiri, tetapi juga nama Ayahanda.” berkata Kiai Gringsing. “Jika Raden bukan putra Panembahan Senapati, mungkin tanggung jawab Raden tidak akan seberat seperti sekarang ini. Tetapi Raden adalah putra Panembahan Senapati. Apakah justru karena Raden adalah putra Panembahan Senapati dan memiliki ilmu yang tidak terlawan, Raden akan berbuat sewenang-wenang?”

“Tetapi Kiai harus tahu, siapa sajakah yang menghuni padukuhan ini,” jawab Raden Rangga.

“Aku tahu Raden,” sahut Kiai Gringsing, “Raden ingin mengatakan bahwa penghuni padukuhan ini adalah para penjahat. Karena itu, maka Raden dapat berbuat apa saja terhadap mereka. Begitu? Juga kesewenang-wenangan?” Kiai Gringsing berhenti sejenak lalu, “Raden. Raden harus ingat pesan Ayahanda.”

Raden Rangga termangu-mangu sejenak. Api pun telah benar-benar padam. Beberapa orang sedang sibuk menempatkan kawan-kawan mereka yang di siang harinya telah dilukai oleh Raden Rangga. Namun yang kemudian masih terdengar adalah derak-derak pendapa yang terbakar itu runtuh, sebagian demi sebagian.

Namun akhirnya Raden Rangga itu pun berkata hampir kepada diri sendiri, “Baiklah. Aku akan pergi. Seandainya saja Kiai tidak ada disini, sehingga tidak akan ada yang dapat melaporkan kehadiranku, maka aku akan berbuat jauh lebih banyak.”

“Tentu pada suatu saat Ayahanda akan mendengarnya,” berkata Kiai Gringsing, “karena itu langkah yang Raden ambil siang tadi adalah langkah yang sebenarnya sangat bijaksana.”

Raden Rangga termangu-mangu sejenak. Numun sejenak kemudian ia pun telah meloncat tanpa minta diri, menghilang dari halaman banjar, sebelum perhatian orang-orang yang ada di dalam banjar itu tertuju kepadanya.

Kiai Gringsing melihat Raden Rangga itu terbang dan hingap di atas dinding halaman. Sekali ia berpaling. Namun kemudian anak muda itupun segera hilang di kegelapan, di balik dinding halaman.

Baru sejenak kemudian, beberapa orang mulai menyebutnya. Sura Wedung yang kemudian berteriak, “Anak itu telah hilang lagi!”

“Ya. Ia telah pergi,” sahut yang lain.

“Tetapi kedua orang tua itu masih berada di sini,” berkata salah seorang di antara mereka, “ternyata dugaan kita benar. Masih ada hubungan antara kedua orang tua itu dengan anak muda yang melarikan diri itu.”

“Jika demikian, kedua orang tua itu jangan diberi kesempatan melarikan diri pula,” berkata yang lain lagi.

Namun dalam pada itu, Kiai Jayaraga yang telah menjadi muak melihat sikap orang-orang padukuhan itu berdiri di atas lantai pendapa yang sudah hangus terbakar itu. Di bawah cahaya obor di regol yang lamat-lamat, nampak orang itu berdiri tegak. Di sebelah-menyebelahnya arang kayu dan reruntuhan pendapa yang terbakar itu silang menyilang dan saling bertumpuk.

Dalam pada itu terdengar suara Kiai Jayaraya itu menggelegar, “Kalian jangan berbuat gila lagi. Menghadapi seorang anak-anak saja kalian telah kehilangan akal. Apalagi jika kalian benar-benar harus menghadapi kami berdua. Agaknya kalian adalah orang-orang yang berhati tumpul dan tidak dapat menyadap pengalaman dari peristiwa yang baru saja terjadi. Seandainya kami adalah orang-orang yang keras kepala seperti kalian, maka kami akan dapat membuat seluruh banjar ini terbakar. Bahkan bukan hanya banjar ini, tetapi rumah-rumah di sekitarnya pun akan dapat kami jadikan karang abang. Nah, katakanlah jika kalian tidak percaya. Maka kami tidak akan lagi berbuat baik atas kalian. Kami akan membakar sisa banjar ini dan rumah-rumah di sekitar tempat ini tanpa beranjak dari tempat kami berpijak sekarang. Sementara itu, anak muda yang kalian cari itu akan menjadi bertambah senang melihat permainan yang mengasyikkan. Bahkan jika ia kembali kehilangan kendali, maka bukan hanya beberapa rumah, tetapi seisi padukuhan ini akan dapat dibakarnya menjadi abu.”

Beberapa orang yang berada di halaman itu dan siap untuk menangkap Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga menjadi termangu-mangu. Sementara orang-orang seisi padukuhan itu seakan-akan telah berada di sekitar banjar itu pula.

“Nah,” Kiai Jayaraga meneruskan, “siapa yang akan mencoba menangkap aku? Aku tidak akan berlaku seperti siang tadi, menyerah tanpa perlawanan. Sekarang aku akan melawan dan membunuh semua laki-laki yang akan menyakiti aku lagi. Bukan tubuhku, karena apapun yang kalian lakukan tidak akan dapat menyakiti tubuhku, tetapi hatiku-lah yang menjadi sangat sakit karena perlakuan kalian.”

Beberapa orang yang merasa dirinya orang-orang yang paling kuat di padukuhan itu termangu-mangu. Mereka memang menyadari bahwa orang itu tentu memiliki kelebihan. Tetapi apakah mungkin ia berbuat sebagaimana dikatakannya.

Namun dalam pada itu, anak-anak muda yang malam itu bertugas berjaga-jaga di banjar berbicara di antara kawan-kawannya, bahwa kedua orang tua itu mampu memutuskan tali pengikat tangan mereka, sekaligus pengikat tangan mereka dengan tonggak yang ada di halaman.

“Bagaimana hal itu dapat mereka lakukan?” bertanya seseorang.

“Tidak seorang pun di antara kami yang mengetahui,” berkata anak muda itu, “memang suatu yang luar biasa dan tidak masuk dalam nalar kami.”

“Seperti anak muda yang dapat terbang dengan pelepah kelapa itu,” desis yang lain.

“Ya. Seperti itulah. Di luar kuasa nalar kita,” sahut anak muda yang pertama.

Namun orang-orang yang datang kemudian tidak sempat melihat atau mendengar cerita tentang kelebihan kedua orang itu. Karena itu ada di antara mereka yang menganggap bahwa yang dikatakan oleh Kiai Jayaraga itu tidak lebih dari satu bualan yang menyakitkan hati bagi mereka.

Meskipun demikian, mereka terpaksa juga menghubungkan kedua orang tua itu dengan anak muda yang menyebut dirinya Demung, yang mampu terbang dengan pelepah kelapa.

“Jika kedua orang itu gurunya atau pengawalnya yang memiliki ilmu yang melampaui dari ilmu anak muda itu, maka ia memang akan dapat berbuat sesuatu yang sangat mengejutkan.”

Beberapa saat kemudian suasana memang menjadi tegang. Namun sebenarnyalah bahwa Kiai Jayaraga mempunyai kemampuan untuk menyedap kekuatan yang ada sebagai isi alam ini. Kiai Jayaraga mampu menyadap kekuatan api, angin, air dan bumi.

Dengan sadar Kiai Jayaraga menguasai ilmunya dengan pernyataan terima kasih atas kurnia kemampuan yang tinggi itu. Meskipun ia pernah terbanting dan dihempaskan pada perasaan kecewa dan menyesal, bahwa murid-muridnya yang terdahulu justru menyalahgunakan kemampuan yang pernah diberikannya kepada mereka.

Namun dalam pada itu, salah seorang yang memiliki ilmu yang tinggi di antara para gegedug yang ada telah melangkah maju sambil berkata, “Apakah kau akan memamerkan ilmumu di hadapan kami, orang-orang yang merupakan lumbung pengalaman dalam ilmu kanuragan.”

“Aku sama sekali tidak ingin memamerkan ilmu apapun juga,” berkata Kiai Jayaraga, “tetapi adalah hakku untuk membela diri dan berbuat sesuatu yang mungkin dapat mencegah tingkah laku kalian. Bukan hanya untuk saat ini, tetapi untuk masa-masa mendatang. Karena menurut pendengaranku, padukuhan ini adalah padukuhan para perampok, perompak dan penyamun. Yang tidak berani merampok dan menyamun telah menjadi pencuri ayam di padukuhan-padukuhan sebelah, atau menyambar jemuran di halaman-halaman.”

“Persetan,” geram gegedug itu, “kau kira kata-katamu itu dapat menggetarkan bulu pada kulitku.”

“Jangan banyak bicara,” geram Kiai Jayaraga, “bertindaklah jika kau akan berbuat sesuatu. Aku di sini.”

Kiai Gringsing yang berada di halaman menjadi tegang. Tetapi orang-orang padukuhan itu memang sangat memuakkan. Meskipun demikian Kiai Gringsing masih menunggu perkembangan yang mungkin terjadi.

Namun ternyata gegedug itu menjadi ragu-ragu juga melihat sikap Kiai Jayaraga yang nampak terlalu yakin, karena ia sama sekali tidak bergeser dari tempatnya.

Untuk meyakinkan dirinya sendiri, serta karena semua mata telah memandang kepadanya, maka gegedug itupun telah maju selangkah maju mendekati Kiai Jayaraga. Dengan geram ia berkata, “Aku akan membuktikan, bahwa kami, orang-orang padukuhan ini dapat menangkapmu.”

“Cepat, lakukan apa yang ingin kau lakukan,” berkata Kiai Jayaraga.

Gegedug itu melangkah semakin dekat. Namun tiba-tiba saja ia tertegun. Bahkan ia bergeser mundur selangkah.

“Cepat, tangkap aku!” bentak Kiai Jayaraga, “Atau aku yang akan menangkapmu dan menyeretmu keliling padukuhanmu sendiri?”

Orang itu termangu-mangu. Tetapi ia tidak dapat maju lagi, meskipun nampaknya Kiai Jayaraga sama sekali tidak bergerak.

Ternyata bahwa di seputar Kiai Jayaraga seakan-akan udara menjadi panas. Yang ditunjukkan Kiai Jayaraga adalah sebagian kecil saja dari ilmunya. Ia hanya ingin mencegah orang-orang itu mendekatinya, sekaligus menunjukkan kepadanya, bahwa yang dikatakan oleh Kiai Jayaraga itu bukan sekedar bualan yang tidak terbukti.

“Ayo, tangkap dan ikat kembali tanganku,” berkata Kiai Jayaraga sambil menjulurkan kedua belah tangannya.

Tetapi gegedug itu sama sekali tidak dapat maju lagi.

Orang-orang yang menyaksikan hal itu menjadi heran. Masih ada jarak beberapa langkah antara gegedug itu dengan Kiai Jayaraga. Sementara itu, Kiai Jayaraga menjulurkan kedua belah tangannya. Namun gegedug itu justru berhenti di tempatnya Bahkan kadang-kadang nampak kebingungan dan sekali-sekali ia telah berpaling kepada kawan-kawannya.

Dua tiga orang gegedug yang lain telah mendekatinya pula. Mereka ingin tahu, apa yang telah terjadi, sehingga gegedug yang dianggap memiliki ilmu tertinggi itu justru tertegun diam kebingungan.

Namun para gegedug itupun akhirnya tertegun juga. Mereka berhenti beberapa langkah dari Kiai Jayaraga sebagaimana orang yang mereka anggap memiliki ilmu tertinggi itu. Dari jarak yang demikian mereka mulai merasa udara panas menyentuh tubuh mereka.

Sesaat mereka saling berpandangan. Namun kemudian merekapun meyakini, bahwa orang tua itu memang bukan orang kebanyakan. Ia tidak sekedar mempercayakan kemampuannya pada olah kanuragan dengan mengadakan kekuatan wadag dan ketrampilan gerak. Ternyata betapapun kuatnya dan tangkasnya para gegedug itu, tetapi mereka tidak akan mungkin dapat mendekati lawannya yang mampu memancarkan udara panas dari dirinya itu.

Karena orang-orang yang mendekat itu berhenti, maka Kiai Jayaraga telah mengulangi kata-katanya, “Ayo, ikat aku pada tiang di halaman itu.”

Gegedug yang memiliki kemampuan tertinggi di antara kawan-kawannya itu akhirnya tidak dapat mengelakkan diri dari kenyataan yang dihadapinya. Karena itu, maka iapun kemudian berkata, “Baiklah Ki Sanak. Kami memang tidak dapat menolak, bahwa Ki Sanak memiliki kemampuan yang tidak akan mungkin dapat kami atasi.”

Kiai Jayaraga mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Jadi kalian mengakui, bahwa kalian tidak akan dapat berbuat apa-apa atas kami berdua? Ketahuilah, bahwa saudaraku yang tua itu memiliki ilmu yang jauh lebih baik dari ilmuku. Dengan pandangan matanya, ia akan dapat membakar seisi padukuhan ini.”

“Orang gila,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya, “ia mulai membual.”

Sementara itu, Kiai Jayaraga berkata selanjutnya, “Apakah kalian tidak percaya? Aku memperingatkanmu, orang tua itu sulit untuk menjadi marah. Tetapi jika ia sudah marah, maka tidak akan ada seorang pun yang dapat mencegahnya. Jangankan seisi padukuhan kecil itu. Bahkan seisi Mataram pun akan sulit mengendalikannya.”

Orang-orang padukuhan itu termangu-mangu menyaksikannya. Mereka tidak tahu pasti, apakah sebabnya orang-orang yang dianggap memiliki ilmu yang tidak terbatas dan tidak ada bandingnya di padukuhan itu, begitu mudahnya menyerah. Tetapi merekapun yakin bahwa jika tidak ada sesuatu yang luar biasa, maka mereka tentu sudah bertindak.

“Sudahlah Ki Sanak,” berkata gegedug yang dianggap memiliki ilmu tertinggi itu, “kami akan menganggap persoalan itu sudah selesai. Kami persilahkan Ki Sanak meninggalkan tempat ini dan tidak kembali lagi. Demikian pula anak muda yang telah membakar pendapa banjar ini.”

“Maaf Ki Sanak,” jawab Kiai Jayaraga, “aku memang akan segera meninggalkan tempat ini. Tetapi jangan menganggap bahwa yang telah terjadi ini tidak mempunyai bekas apapun juga. Kami telah mencatat di dalam hati kami, bahwa di padukuhan ini telah tinggal para perampok, perompak dan penyamun.”

“Apa artinya itu Kiai?” bertanya gegedug yang mempunyai kemampuan tertinggi itu.

“Daerah ini akan menjadi daerah yang selalu diawasi. Mungkin oleh Pajang, tetapi mungkin oleh Mataram,” jawab Kiai Jayaraga. “Dengan demikian maka dituntut sikap yang berubah dari para penghuninya, karena jika kalian masih saja bersikap seperti sekarang, maka kalian akan diperlakukan sebagaimana memperlakukan para penjahat. Ingat, Mataram yang sedang membangun diri tidak mau diganggu oleh tingkah laku kalian.”

“Kau akan melaporkannya kepada Pajang atau Mataram, Ki Sanak?” bertanya gegedug itu.

“Tentu, kami akan menghadap Panembahan Senapati dan melaporkannya,” jawab Kiai Jayaraga. “Tidak ada orang yang merasa senang melihat tingkah laku kalian.”

Gegedug itu mengerutkan keningnya. Sementara itu Kiai Jayaraga berkata selanjutnya, “Jika bukan aku dan saudaraku itu, mungkin kalian dapat mengambil langkah penyelamatan. Mungkin kalian dapat membunuh kami berdua agar rahasia kalian tidak didengar oleh Panembahan Senapati. Namun kalian tidak akan dapat melakukannya, atau justru kalian semuanya yang terbunuh.” Kiai Jayaraga berhenti sejenak, lalu, “Tetapi seandainya kalian berhasil membunuh kami sekalipun, maka rahasia kalian tentu akan didengar pula oleh Panembahan Senapati itu.”

“Bagaimana hal itu dapat terjadi?” bertanya gegedug yang memiliki ilmu tertinggi itu.

“Anak muda itu,” jawab Kiai Jayaraga.

“Apakah Panembahan Senapati akan mempercayainya?” bertanya gegedug itu, “Ia masih terlalu kanak-kanak untuk menghadap dan memberikan laporan yang dapat dianggap wajar.”

“Tetapi dugaan kalian keliru. Anak itu adalah salah seorang di antara orang-orang terdekat dengan Panembahan Senapati,” jawab Kiai Jayaraga.

Orang-orang padukuhan itu termangu-mangu. Gegedug itupun kemudian bertanya, “Siapakah anak itu sebenarnya?”

“Ia adalah putra Panembahan Senapati itu sendiri,” jawab Kiai Jayaraga.

“Putra Panembahan Senapati?” beberapa mulut telah mengulang.

“Namanya Raden Rangga,” Kiai Jayaraga menjelaskan, “ia adalah seorang anak muda yang luar biasa. Ia memiliki kemampuan yang tidak dapat kalian ukur. Jika anak itu tidak membunuh di sini, adalah karena ia baru saja mendapat marah dari Ayahandanya. Beberapa kali ia mendapat peringatan dan hukuman karena anak itu telah terlanjur membunuh meskipun tidak sengaja.”

Wajah-wajah menjadi tegang. Beberapa orang saling berpandangan.

Sementara itu Kiai Jayaraga itupun berkata, “Nah, dengan demikian kalian mendapat sedikit gambaran, dengan siapa kalian berhadapan. Kami adalah orang-orang Mataram yang baru kembali dari Pajang.”

Ketegangan benar benar telah mencengkam. Orang-orang yang berada di halaman banjar itu bagaikan membeku. Jika benar kata orang tua itu, maka nasib mereka akan dapat menjadi sangat buruk.

Namun dalam pada itu, Kiai Jayaraga itu pun berkata, “Tetapi masih ada kesempatan bagi kalian. Jika sejak hari ini kalian merubah cara hidup kalian, maka padukuhan dengan segala isinya akan dapat diselamatkan.”

Gegedug yang mempunyai ilmu tinggi, yang berdiri beberapa langkah di hadapan Kiai Jayaraga termangu-mangu. Ia mulai membayangkan, apa yang dapat mereka lakukan jika mereka harus menghentikan pekerjaan yang sudah bertahun-tahun mereka lakukan itu. Mereka tidak mempunyai kepandaian lain yang akan dapat mereka jadikan sumber penghidupan mereka dengan anak istri. Dengan demikian, maka seisi padukuhan itu akan bersama-sama mengalami kesulitan. Selama ini sawah dan ladang mereka tidak terpelihara dengan baik, karena mereka malas mengerjakannya. Mereka lebih senang bertualang dengan kerja mereka yang berbahaya. Namun agaknya kerja yang paling mungkin dan paling mudah mereka lakukan, dengan hasil yang jauh lebih baik dari hasil panen di sawah, betapapun baiknya musim.

Namun ia pun tidak akan dapat menentang kehendak orang tua yang menyebut dirinya orang Mataram itu. Apalagi jika benar anak muda yang memiliki ilmu yang luar biasa itu memang putra Panembahan Senapati.

Karena itu, betapapun jantung mereka bergejolak, maka seisi padukuhan itu harus menyatakan kesediaan mereka untuk melakukan sebagaimana dikatakan oleh Kiai Jayaraga itu.

Sejenak kemudian, maka gegedug yang memiliki ilmu tertinggi itu pun berkata mewakili kawan-kawannya, “Ki Sanak. Baiklah. Kami seisi padukuhan ini berjanji untuk merubah tingkah laku kami. Sawah ladang kami masih ada, serta hutan di seberang sungai masih menyimpan berbagai macam binatang liar yang akan dapat menjadi sasaran buruan kami.”

Kiai Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Kiai Gringsing pun mengangguk-angguk. Sejenak Kiai Jayaraga merenung. Namun kemudian katanya, “Mudah-mudahan yang kau katakan itu benar-benar tersirat dari dalam hati. Jangan menganggap bahwa setelah esok kami kembali ke Mataram, maka janji kalian itu sudah tidak berlaku lagi.” Gegedug itu mengerutkan keningnya. Namun di dalam hati iapun menggeram, “Persetan esok. Jika datang saatnya, maka kami akan menganggap tidak pernah terjadi seperti ini di padukuhan ini.”

Meskipun demikian bibirnya berkata, “Kami akan tetap menjunjung tinggi segala perintah, apalagi yang datang dari Mataram.”

“Terima kasih,” berkata Kiai Jayaraga, “daerah ini akan menjadi daerah yang selalu akan mendapat perhatian dari para pemimpin keprajuritan di Mataram. Atau setidak-tidaknya para pemimpin prajurit Mataram yang berada di Jati Anom atau Pajang.”

Gegedug itu tidak menjawab. Namun ada juga kecemasan bahwa mereka untuk selanjutnya benar-benar tidak mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu.

Sementara itu maka Kiai Jayaraga pun berkata, “Baiklah. Aku kira kami tidak akan terlalu lama tinggal di sini. Kami saat ini juga akan melanjutkan perjalanan kembali ke Mataram. Sebentar lagi langit akan menjadi merah oleh cahaya pagi. Tidak ada kesempatan lagi untuk tidur barang sekejap pun.”

“Apakah Ki Sanak tidak akan beristirahat barang sehari di padukuhan ini?” bertanya gegedug itu, meskipun di dalam hatinya ia mengumpat, “Semakin cepat kalian pergi, akan semakin baik bagi isi padukuhan ini.”

“Sayang,” berkata Kiai Jayaraga itu, “kami tidak dapat tinggal lebih lama lagi.”

Demikianlah, maka Kiai Jayaraga pun telah minta diri. Bersama Kiai Gringsing keduanya telah meninggalkan banjar padukuhan itu, meskipun sisa malam masih gelap.

Dalam pada itu, sepeninggal Kiai Jayaraga dan Kiai Gringsing maka orang-orang padukuhan itupun sebagian tidak segera pulang ke rumah masing-masing. Terutama orang-orang yang dianggap penting di padukuhan itu. Dengan nada dalam Sura Wedung mengumpat, “Iblis itu benar-benar mengerikan.”

“Sayang,” berkata gegedug yang memiliki ilmu tertinggi, “jika keduanya mau tinggal barang sehari, kami dapat meracunnya.”

“Ya. Kenapa kita tidak menemukan cara itu sebelumnya, sehingga kita dapat melakukannya? Kita dapat berpura-pura baik hati dan tunduk kepada mereka, sementara itu kita berikan minuman yang telah dicampur dengan racun,” sahut Sura Wedung.

Namun seorang gegedug yang lain berdesis, “Apakah kau kira racun itu tentu akan membunuh mereka? Kita telah mengetahui bahwa ada orang-orang yang kebal segala macam racun. Siapa tahu, bahwa orang itu pun telah menjadi kebal racun.”

Sura Wedung mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Apalagi jika mereka mengetahui bahwa kita telah meracunnya. Maka mereka akan menjadi marah dan padukuhan kita akan dihancurkan tanpa ampun sama sekali.”

Orang-orang yang ada di antara mereka pun mengangguk-angguk. Namun seorang di antara mereka akhirnya bertanya, “Apakah dengan demikian berarti bahwa kita harus benar-benar melakukan sebagaimana dikatakan oleh orang tua itu?”

“Untuk sementara,” berkata gegedug itu, “kita telah terjebak oleh permainan kita sendiri. Jika kita tidak menyeret anak itu ke dalam lingkungan ini, maka kita tidak akan mengalami persoalan yang membuat kepala kita menjadi pening seperti ini.”

“Aku tidak mengira sama sekali,” sahut Sura Wedung, “ketika anak-anak bermain-main dengan anak muda itu, aku memang melihat sesuatu pada anak muda itu. Tetapi aku tidak menduga sama sekali, bahwa kelebihannya melampaui jangkauan kita. Apalagi anak itu ternyata anak Panembahan Senapati.”

Orang-orang padukuhan yang masih berkumpul itu pun mengangguk. Memang tidak seorang pun yang mengira bahwa anak yang menjadi sasaran permainan itu adalah anak muda yang memiliki kelebihan, dan bahkan adalah putra Panembahan Senapati.

Sementara itu gegedug yang memiliki ilmu tertinggi itu pun berkata, “Sudahlah. Jangan hiraukan lagi. Mereka sudah pergi. Mungkin untuk dua tiga bulan padukuhan ini akan mendapat pengawasan dari para petugas sandi. Tetapi sesudah itu, mereka akan melupakannya. Karena itu, kita semuanya harus ikut bertanggung jawab, bahwa dalam waktu dekat, tidak seorang pun di antara kita yang boleh melakukan pekerjaan kita sehari-hari sebagaimana yang selalu kita lakukan. Aku kira kita masih cukup mempunyai persediaan untuk tiga bulan, sementara tanah kita, sawah dan ladang juga masih menghasilkan, meskipun tidak terlalu banyak. Jika ada di antara kita yang melakukan pekerjaan terlarang untuk waktu dekat itu, maka ia akan kita adili dan kita jatuhkan hukuman atas mereka, karena tingkah lakunya akan dapat membunuh seisi padukuhan ini.”

Sura Wedung mengangguk-angguk. Katanya, “Tentu tidak ada di antara kita yang akan dengan sadar mencelakakan seluruh padukuhan. Karena itu, maka tentu tidak ada di antara kita yang melanggar ketentuan yang kita buat bersama untuk menanggapi sikap orang-orang Mataram, yang tentu akan dapat berbuat apa saja atas padukuhan kita ini.”

Orang-orang padukuhan itu pun mengangguk-angguk. Mereka menyadari akibat yang dapat menimpa padukuhan mereka, jika mereka melanggar ketentuan yang telah mereka sepakati dalam hubungan dengan sikap Kiai Jayaraga yang mengaku sebagai orang Mataram.

“Namun tidak akan lama,” setiap orang di padukuhan itu bergumam di dalam hati. Namun waktu yang tidak lama itu harus mereka taati dengan baik.

Dalam pada itu, maka Kiai Jayaraga dan Kiai Gringsing benar-benar telah meninggalkan padukuhan itu. Dengan yakin Kiai Jayaraga berkata, “Aku kira, orang-orang padukuhan itu akan menghentikan kegiatan mereka. Kita akan dapat menghubungi Angger Untara. Dalam waktu-waktu tertentu, Angger Untara dapat mengirimkan sepasukan kecil prajurit untuk meronda di daerah itu, dan setiap kali memperingatkan agar orang-orang padukuhan itu tidak melakukan tindakan-tindakan yang dapat menjerumuskan mereka ke tiang gantungan.”

Kiai Gringsing pun mengangguk-angguk. Ia pun sependapat, jika hal itu tidak akan sangat merepotkan tugas Untara, karena dalam masa-masa tenang, para prajurit itu akan dapat memperhatikan dengan saksama perlindungan mereka terhadap rakyat Mataram.

Namun dalam pada itu, keduanya telah menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa seorang anak muda telah berjalan bersama mereka sambil berkata, “Yang Kiai lakukan berdua benar-benar tidak menarik.”

“Apanya yang tidak menarik menurut Raden?” bertanya Kiai Gringsing.

“Penyelesaian yang sangat lunak,” jawab Raden Rangga.

“Raden memang aneh,” jawab Kiai Gringsing, “Raden sendiri berusaha untuk mencapai penyelesaian yang lunak. Kenapa Raden menganggap bahwa penyelesaian yang kami lakukan tidak menarik?”

“Yang dilakukan oleh orang-orang padukuhan itu sudah keterlaluan. Sementara itu Kiai berdua masih saja dengan rendah hati minta diri sambil terbongkok-bongkok,” berkata anak muda itu. “Dalam pada itu, sebenarnya Kiai dapat membakar rumah-rumah di padukuhan itu sebagai hukuman atas tingkah laku mereka.”

“Apakah hal itu perlu dilakukan?” bertanya Kiai Gringsing.

“Menyenangkan sekali. Kita akan melihat lautan api yang akan membuat langit menjadi merah,” berkata Raden Rangga.

“Sementara itu Panembahan Senapati tidak akan marah kepada Raden, karena yang melakukannya bukan Raden,” jawab Kiai Gringsing.

Wajah Raden Rangga menjadi merah padam. Namun kemudian ia pun tertawa. Katanya, “Kiai memang memiliki ketajaman penglihatan batin. Kiai dapat menebak kata hatiku. Tetapi tidak mengapa. Sebenarnyalah memang demikian. Aku ingin melihat sesuatu yang menarik, tetapi di luar tanggung jawabku.”

“Sudahlah Raden,” berkata Kiai Gringsing, “kita tinggalkan padukuhan itu. Biarlah para prajurit Mataram, khususnya yang berada di Jati Anom atau Pajang mengawasi mereka.”

Raden Rangga termangu-mangu. Namun ia tidak menjawab.

Sementara itu Kiai Jayaraga pun berkata, “Usaha Raden mengendalikan diri sebelumnya sangat terpuji. Bahkan seolah-olah Raden telah melarikan diri dengan pelepah kelapa itu.”

“Aku memang akan memberikan kesan yang baik bagi diriku. Karena itu aku berharap Kiai berdua yang melakukannya. Membakar padukuhan itu,” jawab Raden Rangga. “Sebenarnya aku sudah mulai membakar pendapa banjar itu.”

“Angger berdiri di simpang jalan, antara perilaku dan sifat-sifat Raden yang sebenarnya, dengan satu kesadaran untuk mentaati perintah Ayahanda Raden,” berkata Kiai Jayaraga selanjutnya.

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Kiai telah menebak dengan tepat.”

“Cobalah Raden melatih diri. Akhirnya Raden akan terbiasa untuk memilih mengikuti perintah Ayahanda. Dengan demikian Raden sudah ikut menegakkan kewibawaan Ayahanda dan Mataram,” berkata Kiai Jayaraga kemudian.

Raden Rangga mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti. Tetapi kadang-kadang gejolak perasaan ini tidak terbendung. Apakah Kiai berdua menyangka bahwa tidak ada sama sekali kesadaran di dalam diriku untuk berlaku baik?”

“Tidak. Bukan begitu. Aku tahu, bahwa ada niat di dalam hati Raden untuk bertingkah laku baik,” jawab Kiai Gringsing.

Raden Rangga justru menjadi termangu-mangu. Namun tiba-tiba saja ia tertawa, “Kiai memang lucu. Terima kasih atas tanggapan Kiai terhadap sikapku.”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Aku tidak main-main Raden.”

“Aku mengerti Kiai,” Raden Rangga masih tertawa, “tetapi baiklah. Kita berbicara tentang yang lain.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Sementara itu mereka berjalan semakin jauh meninggalkan padukuhan yang dihuni oleh orang-orang yang mempunyai cara hidup yang tidak sewajarnya.

Namun tiba-tiba saja Raden Rangga bertanya, “Apakah Kiai percaya kepada orang-orang itu?”

“Mudah-mudahan mereka dapat dipercaya. Sementara itu, pengawasan dapat saja dilakukan terus-menerus,” jawab Kiai Gringsing.

“Kita bertaruh, siapakah yang jemu lebih dahulu. Kita yang akan mengawasi mereka, atau mereka yang kita awasi?” bertanya Raden Rangga.

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian tersenyum sambil menjawab, “Para prajurit Mataram tidak boleh menjadi jemu mengamati ketenteraman hidup di negeri ini.”

Raden Rangga mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba katanya, “Tetapi aku tidak dapat berjalan lamban seperti ini. Terima kasih atas segala kebaikan Kiai berdua. Aku akan berjalan mendahului.”

“Apakah Raden masih akan singgah?” bertanya Kiai Gringsing.

“Tidak Kiai,” jawab Raden Rangga.

“Sebenarnya Raden tidak perlu mendahului. Raden sebaiknya mengajak kami untuk berjalan lebih cepat,” berkata Kiai Gringsing, “mungkin kami berdua juga mampu berjalan secepat Raden.”

Raden Rangga termangu-mangu sejenak. Namun kemudian sambil tersenyum ia berkata, “Ya. Kiai berdua dapat mengikuti aku. Tetapi barangkali lebih baik bagiku untuk berjalan sendiri. Jika Kiai ingin mengikuti aku, silahkan.”

Raden Rangga tidak menunggu kedua orang tua-tua itu menjawab. Namun tiba-tiba saja anak itu sudah berjalan terlalu cepat mendahului Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga.

Sebenarnya Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga dapat saja berjalan secepat itu. Tetapi keduanya menganggap bahwa hal itu tidak perlu dilakukannya. Menurut dugaan mereka, Raden Rangga tentu tidak akan berbuat aneh-aneh lagi di perjalanan.

Sebenarnyalah bahwa Raden Rangga ingin cepat sampai ke istana. Jika Ki Juru datang, ia berharap sudah lebih dahulu berada di Mataram. Dengan demikian maka tidak akan timbul kesan yang kurang baik atas dirinya.

Sementara itu, Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga berjalan dengan langkah-langkah wajar. Mereka tidak langsung kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi mereka singgah di Jati Anom. Di padepokan kecil Kiai Gringsing.

“Aku kira pada saatnya nanti, pasukan Untara akan kembali ke Jati Anom,” berkata Kiai Gringsing. “Jika demikian, maka orang-orang Tanah Perdikan Menoreh pun kembali pula ke daerah mereka.”

“Kita akan pergi ke Tanah Perdikan,” berkata Kiai Jayaraga.

Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Lalu katanya, “Mungkin aku tidak akan pergi ke Tanah Perdikan. Tetapi jika Kiai Jayaraga tidak berani pergi sendiri, maka biarlah aku mengantarkan sampai ke tempat, baru aku kembali lagi ke padepokan ini.”

Kiai Jayaraga tertawa. Katanya, “Mungkin Kiai juga tidak akan berani kembali sendiri ke padepokan ini, sehingga aku harus mengantarkan Kiai pula.”

Kiai Gringsing pun tersenyum pula. Namun kemudian katanya, “Kiai dapat menunggu di sini. Jika pasukan Tanah Perdikan sudah kembali, maka Kiai pun dapat kembali pula ke Tanah Perdikan.”

“Baiklah,” berkata Kiai Jayaraga, “jika aku mendahului kembali ke Tanah Perdikan, maka aku kira aku akan kesepian. Aku akan tinggal di padepokan Kiai sampai pasukan Mataram di Jati Anom atau pasukan Kademangan Sangkal Putung kembali.”

“Aku akan sangat berterima kasih,” berkata Kiai Gringsing, “aku akan mendapat kawan untuk beberapa hari. Selama itu, kita akan dapat menikmati hidup kita yang tersisa dalam ketenangan dan ketentraman. Namun dengan kesadaran, bahwa ketenangan dan ketentraman itu hanya kita dapati dalam lingkungan yang sangat terbatas, dalam waktu yang terbatas pula, karena kita sendiri masih dengan senang hati melibatkan diri ke dalam ketidak-tenangan dan ketidak-tentraman.”

Kiai Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Memang sulit untuk membatasi diri dalam lingkungan tertutup untuk mendapatkan kedamaian hati. Karena kedamaian yang demikian adalah kedamaian yang sangat terbatas dalam mementingkan diri sendiri.

“Sedangkan damai yang sebenarnya masih saja bagaikan tergantung di awang-awang,” berkata Kiai Jayaraga di dalam hatinya, “namun yang menjadi idaman semua manusia di bumi.”

Sebenarnyalah, kedua orang tua-tua itu sadar, bahwa mereka tidak akan berarti sama sekali, jika mereka benar-benar menutup diri dalam kemampuan dan kesadaran yang tinggi dengan kedamaian itu. Seandainya lampu, maka dengan menutup diri, mereka adalah lampu-lampu yang rapat tertutup di dalam kerudung. Sementara yang diperlukan adalah lampu yang menyala dan menerangi kegelapan di sekitarnya, karena lampu baru berarti jika terangnya memberikan arti.

Demikianlah, maka untuk sementara Kiai Jayaraga itu telah berada di padepokan kecil Kiai Gringsing di Jati Anom. Padepokan kecil yang sering ditinggalkannya. Namun beberapa orang cantrik telah dengan tekun merawat padepokan itu, memelihara sawah dan ladang yang menjadi lumbung makan padepokan kecil itu.

“Kadang-kadang aku merasa bersalah terhadap para cantrik,” berkata Kiai Gringsing.

Kiai Jayaraga mengerutkan keningnya. Kemudian dengan nada datar ia bertanya, “Kenapa Kiai merasa bersalah?”

“Mereka telah menyerahkan segala-galanya yang mereka punya bagi padepokan ini. Karena mereka hanya memiliki kesetiaan, tenaga dan wadag mereka, maka semuanya itulah yang telah diberikan kepada padepokan kecil ini.”

“Kenapa Kiai justru merasa bersalah?” bertanya Kiai Jayaraga.

“Yang aku berikan kepada mereka sama sekali tidak seimbang,” jawab Kiai Gringsing, “aku hanya memberikan sedikit ilmu kepada mereka, baik dalam olah kanuragan maupun ilmu kepandaian. Aku hanya sekedar memperkenalkan mereka dengan huruf dan angka. Tetapi aku kurang mengasah ketajaman nalar mereka untuk mencerdaskan pikiran mereka.”

“Apakah kemampuan mereka untuk menyerap ilmu cukup tinggi?” bertanya Kiai Jayaraga.

“Itulah yang membuat aku prihatin,” jawab Kiai Gringsing, “nampaknya mereka tidak mudah untuk menerima pengetahuan, sehingga kemajuan mereka memang sangat lamban. Tetapi justru karena itu, seharusnya aku lebih tekun menuntun mereka, sehingga mereka dapat menerima lebih banyak dari yang mereka terima sekarang.”

“Apakah Kiai akan membentuk mereka sebagai adik-adik Agung Sedayu dan Swandaru?” bertanya Kiai Jayaraga.

“Tidak Kiai,” jawab Kiai Gringsing, “aku sudah tidak akan mampu melakukannya. Selebihnya, Agung Sedayu dan Swandaru sendiri memang memiliki kemampuan untuk mengangkat dirinya sendiri menjadi orang yang berilmu tinggi. Sementara anak-anak itu sulit untuk dapat berbuat meskipun hanya sekuku ireng. Kurnia yang diterima Agung Sedayu dan Swandaru memang berbeda dengan kurnia yang diterima oleh anak-anak itu. Namun untuk menggarap sawah dan memilih benih padi yang paling baik, Agung Sedayu dan Swandaru tidak akan menang dari mereka.”

Kiai Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Dalam menuntun murid-muridnya Kiai Jayaraga pun memiliki pengalaman. Memang kemampuan menangkap dan mengembangkan ilmu di dalam diri seseorang agak berbeda dan bahkan ada yang jauh berbeda. Sementara itu, ketekunan dan kemauan menempa diri untuk menembangkan yang telah disadapnya itu pun berbeda pula.

Namun sementara itu Kiai Gringsing berkata, “ Tetapi untuk menutup kekurangan-kekurangan itu, aku telah memberikan ilmu yang lain kepada mereka. Mereka mampu menangkap dan mengembangkannya melampaui Agung Sedayu. Sebagai petani mereka adalah pahlawan-pahlawan karena mereka dapat berbuat sangat banyak. Mereka mampu mengembangkan bibit menjadi jenis-jenis yang lebih baik dan telah bekerja keras untuk menyiapkan tanah menjadi sawah, ladang dan pategalan. Namun dengan keseimbangan dengan nafas kehidupan lingkungannya, sehingga mereka tidak berbuat semena-mena atas alam.”

Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Menurut penglihatannya padepokan kecil itu memang berkembang. Para cantrik yang sedikit itu telah bekerja keras tanpa mengenal lelah untuk kepentingan padepokan mereka.

Dalam pada itu, untuk beberapa hari Kiai Jayaraga memang berada di padepokan kecil itu. Ia memang menunggu prajurit Mataram di Jati Anom atau para pengawal di Sangkal Putung kembali, sebelum ia kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.

Ternyata beberapa hari kemudian, yang ditunggu itu pun datang. Untara telah kembali dengan pasukannya ke Jati Anom. Ternyata luka-lukanya telah menjadi baik meskipun masih belum pulih kembali.

“Apakah semua pasukan Mataram telah ditarik?” bertanya Kiai Gringsing ketika bersama Kiai Jayaraga menemui Untara di rumahnya untuk mendengar berita tentang Pajang.

“Sudah Kiai,” jawab Untara, “semua pasukan Mataram dan Jipang telah ditarik. Nampaknya akan ada pergantian pimpinan pemerintahan di Pajang, Jipang dan Demak.”

Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Sementara itu Untara menceritakan keputusan Panembahan Senapati untuk memindahkan Adipati Pajang ke Demak, dan memindahkan Pangeran Benawa ke Pajang, dan dilaksanakan segera.

Kiai Gringsing menarik nafas sambil berkata, “Pangeran Benawa telah mendapat tempat yang paling baik baginya. Seharusnya mereka memang berada di Pajang. Meskipun Adipati Pajang lebih tua daripadanya, tetapi ia hanyalah menantu Kanjeng Sultan Hadiwijaya yang memerintah di Pajang pada waktu itu.”

“Apakah Panembahan Senapati masih berada di Pajang?“ bertanya Kiai Jayaraga.

“Tidak. Panembahan Senopati telah kembali ke Mataram. Pengawasan pelaksanaan perintahnya dilakukan oleh Pangeran Benawa sendiri,” berkata Untara.

“Bagaimana dengan Ki Juru?” bertanya Kiai Gringsing pula.

“Ki Mandaraka telah kembali pula ke Mataram. Ia mempunyai tugas untuk mengawasi Raden Rangga,” jawab Untara.

Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga menarik nafas berbareng. Namun kemudian mereka hanya saling berpandangan, karena mereka berdua tidak mengatakan sesuatu tentang Raden Rangga pada saat itu. Dalam kesempatan lain, Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga ingin berbicara tentang sebuah padukuhan yang memiliki penghuni yang khusus, agar mendapat pengawasan dari para prajurit di Jati Anom. Tetapi keduanya ingin sedikit mendengar berita tentang Raden Rangga lebih dahulu.

Karena itu, Kiai Gringsing itu pun telah bertanya, “Apakah Angger dalam waktu dekat tidak menghadap ke Mataram?”

“Ya. Beberapa hari lagi aku harus memberikan laporan ke Mataram bahwa pasukanku telah selamat sampai ke baraknya,” jawab Untara. Namun ia pun kemudian bertanya, “Apakah ada pesan dari Kiai berdua, atau salah seorang dari Kiai berdua?”

Kiai Gringsing termangu-mangu. Ketika ia memandang Kiai Jayaraga, maka Kiai Jayaraga itu pun sedang memandanginya.

Keduanya menarik nafas dalam-dalam. Namun Kiai Gringsing-lah yang kemudian berkata, “Baiklah Ngger. Jika pada suatu saat kau pergi ke Mataram, maka seandainya ada waktu dan kesempatan, maka usahakan untuk dapat bertemu dengan Ki Juru. Bertanyalah kepadanya tentang anak muda yang bernama Raden Rangga.”

“Putra Panembahan Senapati yang mendapat marah dari Ayahandanya di Pajang itu?” bertanya Untara.

“Ya,” jawab Kiai Gringsing, “apakah ia sudah kembali berada di bawah pengawasannya.”

Untara yang telah mengetahui serba sedikit tentang Raden Rangga itu pun mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan berusaha untuk bertemu dengan Ki Juru.” Ia berhenti sejenak, lalu tiba-tiba, “Tetapi kenapa tiba-tiba saja perhatian Kiai berdua tertuju kepada Raden Rangga?”

“Tidak apa-apa,” jawab Kiai Gringsing, “tetapi aku bertemu dengan anak muda itu ketika kami berdua kembali dari Pajang.”

Untara termangu-mangu sejenak. Namun ia pun tidak bertanya lebih lanjut tentang Raden Rangga.

Dengan demikian, maka Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga itu pun kemudian minta diri. Sekali lagi Kiai Gringsing berpesan, agar di Mataram Untara berusaha untuk dapat bertemu dengan Ki Mandaraka yang mendapat tanggung jawab atas Raden Rangga yang dianggap sangat nakal itu.

Demikianlah, beberapa hari kemudian Untara memang pergi ke Mataram, sementara Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga justru sedang pergi ke Sangkal Putung.

Di Sangkal Putung, Kiai Gringsing disambut dengan gembira oleh Swandaru, Pandan Wangi dan para pemimpin di Sangkal Putung. Setelah duduk sebentar dan saling mempertanyakan keselamatan, maka Kiai Gringsing pun telah bertanya, “Apakah Agung Sedayu dan istrinya langsung pergi ke Tanah Perdikan?”

“Ya, mereka bersama pasukan Tanah Perdikan telah kembali langsung ke Tanah Perdikan,” jawab Swandaru.

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Sementara Swandaru minta agar gurunya untuk sementara berada saja di Sangkal Putung.

Dalam pada itu, Untara yang berada di Mataram telah menghadap Panembahan Senapati untuk melaporkan bahwa pasukannya telah berada kembali dengan selamat di Jati Anom.

Memang tidak ada pesan khusus dari Panembahan Senapati. Namun sebagai pernyataan terima kasih, maka Untara dan pasukannya telah menerima tunggul dan panji-panji yang menjadi pertanda atas jasa-jasa yang pernah diberikan kepada Mataram.

Sementara di Mataram, maka Untara telah mencari kesempatan untuk bertemu dengan Ki Mandaraka. Secara khusus Untara telah bertanya, apakah Raden Rangga telah berada kembali di Mataram.

Ki Mandaraka mengangguk-angguk. Katanya, “Begitu besar perhatianmu atas Raden Rangga, Untara.”

Untara tersenyum. Jawabnya, “Tingkah laku Raden Rangga sangat menarik perhatian. Tetapi sebenarnyalah pertanyaan ini datang dari Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga.”

Ki Juru itu pun tersenyum pula. “Jadi kau mendapat pesan dari Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga untuk mendapat keterangan tentang Raden Rangga?”

“Ya Ki Juru,” jawab Untara.

Ki Mandaraka itu pun kemudian berkata, “Katakan kepada Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga, bahwa Raden Rangga telah kembali kepadaku. Ketika aku sampai di Mataram, ternyata anak itu sudah berada kembali di Kesatrian.” “Syukurlah,” desis Untara, “kedua orang itu mempertanyakan Raden Rangga karena keduanya mengerti, tingkah laku yang aneh dari Raden Rangga.”

“Ya. Aku mengerti. Tetapi sekarang anak itu ada di rumahku. Sejak dua hari lalu ia sudah berada di Kesatrian. Ternyata Raden Rangga kerasan tinggal bersamaku, tanpa merasa disisihkan dari lingkungan keluarga istana.” jawab Ki Juru.

“Baiklah Ki Juru, aku akan menyampaikan kepada Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga. Mudah-mudahan setelah Raden Rangga berada di sini, akan terjadi perubahan atas anak itu,” gumam Untara.

“Perubahan itu tentu akan terjadi. Tetapi apakah perubahan itu mengarah kepada perbaikan tingkah laku sebagaimana kita inginkan, atau justru sebaliknya?” sahut Ki Juru sambil tersenyum.

Untara pun tersenyum pula. Katanya, “Apa kekurangan Ki Juru. Aku yakin bahwa Ki Juru akan berhasil.”

“Mudah-mudahan,” jawab Ki Juru, “agaknya anak itu mulai tertarik kepada peternakan.”

Untara mengangguk-angguk. Katanya, “Syukurlah. Mudah-mudahan kesenangannya itu akan mengurangi kenakalannya.”

Dengan sedikit keterangan tentang Raden Rangga itu, maka Untara meninggalkan Mataram. Tunggul dan panji-panji itu memberikan kebanggaan yang besar bagi pasukan Untara yang telah dianggap berjasa besar dalam perang di Pajang. Namun di samping kebanggaan itu, Jati Anom memang telah berkabung atas gugurnya beberapa orang pahlawannya yang terbaik di Pajang.

Ketika Untara kemudian menemui Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga di Sangkal Putung, maka ia pun telah menceritakan segala sesuatunya tentang Raden Rangga.

“Syukurlah,” berkata Kiai Gringsing, “mudah-mudahan hal itu tidak hanya berlaku untuk satu dua bulan. Jika Raden Rangga memang tertarik pada peternakan, maka satu kemungkinan, bahwa ia akan menekuni kesenangannya itu sehingga tidak lagi mempunyai kesempatan untuk berbuat aneh-aneh.”

Untara mengangguk-angguk. Ia pun berharap demikian. Meskipun ia belum pernah mengalami langsung, namun anak muda seperti Raden Rangga itu akan dapat berbuat sesuatu di luar dugaan.

Namun sementara itu Kiai Gringsing berkata, “Tetapi sebenarnyalah bahwa Raden Rangga bukan seorang yang hatinya buruk. Ia memang nakal seperti kebanyakan anak-anak muda. Tetapi ia memiliki sesuatu yang lain yang di luar kehendaknya sendiri ada padanya, pada mulanya, yaitu kemampuan yang sangat tinggi. Karena itu, kenakalannya yang sebenarnya wajar, didukung oleh ilmu yang tinggi, membuatnya menjadi seorang anak muda yang sulit dikendalikan. Kadang-kadang Raden Rangga hanya ingin sekedar bergurau dengan tingkah lakunya. Namun akibatnya jauh lebih besar dari sebuah kelakar saja.”

Untara mengangguk-angguk. Ia pun mengerti bahwa pembunuhan atas Wiladipa dilandasi dengan niat yang sebenarnya baik. Tetapi anak itu belum dapat mengetrapkan pertimbangan-pertimbangan yang luas dalam memilih langkah-langkah, terutama yang berhubungan dengan soal-soal yang besar, yang memang belum waktunya dipikirkannya. Namun di dalam dirinya ternyata telah terdapat kemampuan ilmu yang sangat tinggi.

Dalam kesempatan itu, maka Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga telah menceritakan apa yang telah terjadi pada saat Raden Rangga kembali dari Pajang.

“Sebenarnya Raden Rangga telah berusaha menghindari kemungkinan yang lebih buruk dengan menyingkir dari padukuhan itu,” berkata Kiai Gringsing, “tetapi kami berdua tidak mengira, bahwa justru kehadiran kami berdua hampir saja membuat padukuhan itu menjadi abu.”

“Syukurlah bahwa hal itu tidak terjadi,” berkata Untara sambil mengangguk-angguk.

Sementara itu Kiai Gringsing pun telah menyerahkan pengawasan padukuhan itu kepada Untara, karena Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga tidak yakin, bahwa tanpa pengawasan, tingkah laku orang-orang padukuhan itu akan tetap baik sebagaimana mereka janjikan.

Namun Kiai Gringsing itu pun berkata lebih jauh, “Tetapi Ngger, persoalannya bukan hanya sekedar mengawasi orang-orang padukuhan itu sendiri. Tetapi petugas yang Angger kirimkan harus juga mengawasi kemungkinan Raden Rangga kembali lagi ke padukuhan itu. Jika pada suatu saat, Raden Rangga tidak mempunyai kesibukan apapun juga, maka mungkin sekali ia akan ingat kepada padukuhan yang pernah diajaknya bergurau itu, namun yang hampir saja benar-benar menyeretnya ke dalam satu gejolak perasaan, sehingga berniat untuk membuat padukuhan itu benar-benar menjadi abu.”

Untara mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kami akan melakukannya. Kami akan mencoba mengawasi lingkungan itu sebaik-baiknya. Namun apakah kami mampu mengawasi Raden Rangga, itulah yang masih merupakan teka-teki bagi kami.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Memang sesuatu yang sulit untuk dilakukan. Tetapi jika benar bahwa Raden Rangga telah mempunyai satu kegemaran sesuai dengan keterangan Ki Juru Martani, maka setidak-tidaknya untuk sementara anak itu tidak akan berkeliaran ke padukuhan itu.”

Untara mengangguk-angguk. Ia memang merasa mempunyai wewenang untuk melakukannya, karena padukuhan itu berada itu di dalam lingkup pengawasannya, Mataram di sisi yang berhadapan dengan Pajang.

Demikianlah, Untara tidak terlalu lama berada di Sangkal Putung. Sejenak kemudian ia pun minta diri pula kepada Swandaru dan Ki Demang Sangkal Putung.

Sepeninggal Untara, maka Swandaru itu pun bergumam, “Kenapa Guru tidak memerintahkan kepadaku untuk menyelesaikan persoalan yang Guru katakan kepada Ki Untara?”

“Tentang apa Swandaru?” bertanya Kiai Gringsing.

“Tentang padukuhan itu. Sebenarnya Guru tidak usah menyerahkan persoalan itu kepada Kakang Untara, karena aku, murid Guru pun dapat menyelesaikannya,” jawab Swandaru.

“Soalnya bukan dapat atau tidak dapat,” berkata Kiai Gringsing, “tetapi Untara mempunyai wewenang untuk melakukannya.”

“Bukan hanya Kakang Untara,” sahut Swandaru, “setiap orang mempunyai hak untuk menghancurkan kejahatan. Meskipun aku bukan prajurit, namun aku juga berhak untuk melindungi orang-orang yang lemah.”

“Kau benar Swandaru,” jawab Kiai Gringsing, “tetapi yang harus dilakukan bukan memerangi kejahatan itu dengan langsung. Tetapi pencegahan. Dan itu lebih baik dilakukan oleh prajurit-prajurit Mataram meskipun mereka harus bertugas sandi. Namun dalam keadaan tertentu mereka dapat bertindak atas nama Mataram, karena mereka memang prajurit-prajurit yang bertugas.”

Swandaru mengerutkan keningnya. Dengan nada rendah ia berkata, “Tetapi itu bukan keharusan. Meskipun aku bukan prajurit, namun jika aku berhasil, justru aku akan mendapat nilai lebih baik dari Kakang Untara yang memang prajurit.”

Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Ketika ia berpaling ke arah Kiai Jayaraga, maka dilihatnya orang tua itu menjadi agak tegang. Tetapi Kiai Jayaraga tidak mengucapkan sepatah kata pun juga.

Namun demikian Kiai Gringsing dapat menangkap perasaan orang tua itu, bahwa ia tidak sependapat dengan Swandaru. Namun orang tua itu merasa tidak berhak untuk menjawab pernyataan murid kepada gurunya itu.

Sejenak kemudian Kiai Gringsing-lah yang memang telah menjawab, “Swandaru. Aku mengerti jalan pikiranmu. Tetapi aku memang mempunyai banyak pertimbangan. Bagiku, tugas itu memang tugas seorang atau sekelompok prajurit. Sementara itu, kau masih letih setelah kau terlibat dalam perang di Pajang. Demikian juga para pengawal. Karena itu, sebaiknya kita tidak usah mempersulit diri. Biarlah hal ini kita serahkan saja kepada prajurit Mataram.”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian ia mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih Guru. Tetapi sebenarnya Guru tidak usah mempertimbangkan bahwa aku masih letih. Seorang prajurit atau orang yang bertugas sebagai prajurit, tidak akan pernah merasakan demikian.”

“Aku mengerti,” jawab gurunya. “Tetapi apa artinya padukuhan itu buatmu? Kau tidak akan mendapatkan apa-apa kecuali permusuhan. Memang kedudukanmu agak berbeda dengan kedudukan seorang prajurit.”

Swandaru tidak membantah lagi meskipun sebenarnya ia tidak begitu puas mendengar keterangan gurunya itu. Namun demikian, ia menempatkan dirinya dalam kedudukan seorang murid.

Sementara Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga untuk satu dua hari masih berada di Sangkal Putung, maka Untara memang telah mempersiapkan sekelompok petugas sandi untuk dibebani tugas mengamati padukuhan itu. Untara mengerti bahwa tugas itu bukan tugas untuk satu dua hari, tetapi justru untuk waktu yang lama. Namun para petugas tidak perlu setiap hari mengamati keadaan padukuhan itu. Mungkin dalam waktu beberapa hari sekali, dua atau tiga orang petugas melihat-lihat keadaan. Bertanya kepada tetangga-tetangga padukuhan dan mengamati para penjahat yang tertangkap justru di daerah lain. Mungkin penjahat itu berasal dari padukuhan yang sedang diamati.

Namun seperti dikatakan oleh Kiai Gringsing, bahwa Untara tidak hanya harus mengawasi padukuhan itu, tetapi juga kemungkinan Raden Rangga datang lagi ke padukuhan itu untuk bermain-main dengan gaya Raden Rangga yang nakal itu.

Tetapi sebenarnyalah pada saat itu Raden Rangga sedang menekuni satu kegemaran baru. Oleh Ki Juru, Raden Rangga didorong untuk bermain-main dengan ternak. Satu hal yang tidak pernah mendapat perhatiannya. Namun yang ternyata kemudian memang menarik perhatiannya.

Karena itu, maka tidak ada minatnya untuk pergi kepadukuhan yang semula memang menarik untuk dikunjungi, karena di padukuhan itu ia merasa mendapat permainan yang dapat diperlakukan sekehendaknya.

“Tidak akan ada seorang pun yang melindungi para penjahat,” berkata Raden Rangga di dalam hatinya.

Namun untunglah bahwa Ki Juru telah mengikatnya dengan sebuah kegemaran baru.

Dalam pada itu, pergeseran di Pajang pun telah terjadi. Pangeran Benawa-lah yang kemudian menjadi adipati di Pajang sesuai dengan keinginan Panembahan Senapati. Dengan demikian maka Pangeran Benawa yang menolak menjadi seorang raja menggantikan ayahandanya Sultan Hadiwijaya, telah berada di istana ayahandanya, meskipun dalam kedudukan seorang adipati.

Sementara itu sebagaimana di kehendaki oleh Panembahan Senapati, beberapa jenis pusaka telah dibawa serta ke Mataram. Pusaka yang dianggap milik pimpinan tertinggi Tanah yang terbentang seluas Mataram yang semakin besar.

Pusaka-pusaka yang kemudian dibawa ke Mataram adalah gong Kiai Sekar Delima, kendang Kiai Macan Guguh, cekatakan Kiai Gatayu, dan beberapa pusaka yang lain pula.

Namun bukan berarti bahwa Gedung Pusaka di Pajang menjadi kosong. Masih banyak pusaka yang ditinggalkan oleh Panembahan Senapati dan diserahkan kepada Adipati Pajang yang baru, Pangeran Benawa.

Dalam saat-saat terakhir, Mataram memang nampak menjadi tenang. Bukan hanya Mataram itu sendiri. Tetapi juga sampai ke daerah kadipaten yang berada di bawah pimpinan Mataram.

Sementara itu, Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga sudah tidak berada di Sangkal Putung lagi. Kiai Gringsing sebagaimana dikehendaki berada di padepokan kecilnya. Sementara Kiai Jayaraga telah berada di Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi Ki Widura telah berada kembali di Banyu Asri, sedangkan Glagah Putih masih tetap berada di Tanah Perdikan Menoreh.

Di bawah bimbingan Kiai Jayaraga, Glagah Putih memang maju pesat. Sementara itu Glagah Putih sendiri mempunyai kemauan yang sangat keras untuk melatih dan menempa diri.

Namun dalam pada itu, ternyata Raden Rangga tidak melupakannya. Di samping kesibukannya menggemari ternak-ternaknya, maka Raden Rangga kadang-kadang masih muncul di Tanah Perdikan Menoreh. Nampaknya anak muda itu memang senang sekali bermain dan berlatih dengan Glagah Putih, meskipun bagi Raden Rangga, Glagah Putih masih berada di tataran di bawahnya. Namun tidak ada anak muda yang dekat sebaya dengan umurnya yang dapat diajak bermain-main seperti Glagah Putih itu.

Sementara Raden Rangga menekuni ternak-ternaknya, akhirnya ia sampai juga kepada satu pilihan. Ternyata Raden Rangga sangat menggemari kuda. Perhatiannya sebagian besar tercurah kepada kuda-kudanya yang dipeliharanya dengan cermat.

Seorang pekatik yang melayani Raden Rangga itu pun berkata kepada kawannya, “Kegemaran berkuda ayahanda Raden Rangga ternyata temurun kepadanya.”

Kawannya mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Panembahan Senapati sejak masih disebut Ngabehi Loring Pasar sudah senang sekali bermain-main dengan kuda. Dalam usianya yang masih muda, Panembahan Senapati telah berhasil mengalahkan Arya Penangsang, meskipun Arya Penangsang adalah seorang adipati yang pilih tanding.”

Pekatik itu menyahut, “Jika Sutawijaya yang bergelar waktu itu Mas Ngabehi Loring Pasar tidak memiliki kemampuan berkuda, maka ia tidak akan mampu mengimbangi ketangkasan Arya Penangsang di atas punggung kudanya yang bernama Gagak Rimang.”

“Itu memang ikut menentukan,” jawab kawannya, “tetapi saat itu Raden Sutawijaya membawa pusaka terbesar Pajang, Kanjeng Kiai Pleret. Dengan Kanjeng Kiai Pleret itu ia mengakhiri perlawanan Arya Penangsang yang jarang ada tandingnya itu.”

Pekatik itu mengangguk-angguk. Memang pada waktu itu, Raden Sutawijaya membawa pusaka Kanjeng Kiai Pleret. Namun demikian pekatik itu berkata, “Aku tahu, betapa dahsyatnya tombak Kangjeng Kiai Pleret. Namun seandainya Raden Sutawijaya itu tidak memiliki kemampuan yang tinggi bermain dengan kuda, maka ia tentu sudah terlempar, dan bahkan mungkin terinjak oleh kuda Arya Penangsang yang bernama Gagak Rimang yang sangat garang itu.”

Kawannya kemudian berdesis, “Ya. Tanpa memiliki kemampuan berkuda maka Raden Sutawijaya tidak akan mampu mempermainkan tombak pusaka terbesar Pajang pada waktu itu.”

Sementara itu, kegemaran Raden Rangga bermain dengan kuda membuat Ki Mandaraka menjadi sedikit tenang. Sehari-hari pekerjaan Raden Rangga menekuni beberapa ekor kuda pilihannya.

“Anak ini memang luar biasa,” berkata Ki Mandaraka di dalam hatinya, “ketajaman penglihatannya atas kuda pun melebihi orang lain. Apalagi seumurnya. Ia mampu menilai seekor kuda dengan cermat sebagaimana Panembahan Senapati sendiri.”

Sehingga dengan demikian, maka Ki Mandaraka mempunyai harapan bahwa Raden Rangga akan menjadi anak muda yang tidak terlalu bergejolak jiwanya, sehingga tidak akan banyak menimbulkan kesulitan bagi orang lain.

Ki Mandaraka pun tahu, bahwa di malam hari Raden Rangga masih sering meninggalkan Kesatrian untuk melihat-lihat keadaan Mataram dan sekitarnya. Bahkan Ki Mandaraka pun pernah dengan diam-diam mengikutinya, kemana anak itu pergi.

Namun pada satu kali Ki Mandaraka melihat, anak itu telah pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.

Dengan heran Ki Mandaraka melihat, kemampuan Raden Rangga untuk berlari dengan kecepatan yang sangat tinggi. Hanya karena dorongan tenaga cadangannya yang tinggi-lah, maka Ki Mandaraka mampu mengikutinya.

Namun Ki Mandaraka itu akhirnya menarik nafas dalam-dalam. Ternyata Raden Rangga telah menemui Glagah Putih yang sedang berlatih di tempuran sebuah sungai yang tidak begitu besar, tetapi terdapat tepian yang agak luas, penuh dengan batu-batu besar dan kecil.

Dengan tekun Ki Mandaraka justru menunggui Raden Rangga yang sedang berlatih bersama Glagah Putih. Sebenarnyalah bahwa Ki Mandaraka juga heran melihat kemampuan anak muda yang bernama Glagah Putih itu. Ia memiliki dasar ilmu yang rumit dan dilandasi oleh unsur gerak yang banyak ragamnya. Meskipun Glagah Putih belum sampai kepada tingkat kemampuan Raden Rangga yang memang termasuk aneh itu, namun ternyata bahwa di hari depannya Glagah Putih tentu akan menjadi seorang yang luar biasa.

Namun dalam pada itu, Ki Mandaraka tiba-tiba saja menjadi berdebar-debar. Ia mendengar desir lembut dedaunan. Namun untuk sementara ia tidak berbuat sesuatu. Ia tetap berada di tempatnya, namun dengan kewaspadaanya yang tinggi.

Untuk beberapa saat tidak terjadi sesuatu. Namun Ki Mandaraka yakin bahwa seseorang berada di antara semak-semak, meskipun Ki Mandaraka tidak mengerti maksudnya. Menilik gerak yang lembut, maka Ki Mandaraka mengetahui bahwa orang itu tentu memiliki ilmu yang sangat tinggi.

Keinginan Ki Mandaraka untuk mengetahui orang itu ternyata sulit untuk dikendalikannya. Karena itu, maka dengan kemampuannya yang jarang ada bandingnya, Ki Mandaraka telah bergeser mendekat.

Sebenarnyalah bahwa yang dilihat dalam gelapnya malam oleh Ki Mandaraka yang memiliki penglihatan lahir dan batin yang sangat tajam itu benar-benar seseorang yang sedang memperhatikan latihan antara Glagah Putih dan Raden Rangga. Demikian asyiknya ia menekuni setiap tata gerak kedua anak muda itu, hampir saja ia kehilangan kewaspadaan. Namun kemudian orang itu pun mendengar langkah yang lembut mendekati tempatnya berlindung.

Orang itu bergeser. Namun kemampuannya yang tinggi membuat geraknya sama sekali tidak menimbulkan bunyi apapun juga.

Untuk sesaat, suasana menjadi beku. Namun akhirnya, kemampuan keduanya pun bersentuhan. Ki Mandaraka merasakan udara yang seakan-akan membawa isyarat, bahwa di dalam gerumbul itu memang bersembunyi seseorang. Melampaui ketajaman hidung seekor binatang di hutan, pendengaran batin Ki Mandaraka bagaikan mendengar detak jantung seseorang yang sedang diamatinya itu.

Sementara itu, di balik gerumbul, ketajaman penglihatan seseorang yang memiliki Aji Sapta Pandulu telah melihat menembus gelapnya malam dan bayangan dedaunan, seseorang bergeser mendekatinya.

Namun akhirnya ketajaman penglihatan itu pun telah menangkap wajah orang yang mendekati itu, sehingga karena itu, maka orang yang berada di balik gerumbul itu pun menarik nafas dalam-dalam.

Dengan hati-hati orang itu justru bergeser ke luar gerumbul. Namun orang itu masih berusaha, agar kehadirannya tidak diketahui oleh Raden Rangga dan Glagah Putih.

Ki Mandaraka terkejut melihat orang itu. Ternyata orang itu adalah Agung Sedayu.

Ki Mandaraka tersenyum. Namun ia pun sadar, bahwa Agung Sedayu masih tidak ingin diketahui kehadirannya. Karena itu, Ki Mandaraka tidak berkata sesuatu.

Meskipun keduanya tetap berdiam diri, namun rasa-rasanya keduanya telah saling memberikan salam. Karena itu, maka keduanya pun kemudian justru bersama-sama menyaksikan apa yang sedang dilakukan oleh Raden Rangga dan Glagah Putih.

Latihan-latihan yang dilakukan oleh kedua anak muda itu memang mendebarkan. Seakan-akan mereka tidak lagi membatasi kemampuan mereka. Yang mereka lakukan seakan-akan benar-benar satu perkelahian yang dahsyat.

Bahkan keduanya telah melepaskan beberapa segi ilmu mereka yang paling berbahaya. Meskipun mereka masih tetap menyadari dan mengendalikan diri, karena bagaimanapun juga, yang mereka lakukan adalah sekedar latihan.

Namun akhirnya latihan itupun sampai juga kepada akhirnya. Ketika Glagah Putih menjadi semakin terdesak, sehingga akhirnya nafasnya menjadi terengah-engah, Raden Rangga mengurangi tekanannya. Tetapi ternyata bahwa Raden Rangga pun telah menjadi sangat letih.

“Luar biasa,” desis Raden Rangga ketika ia justru meloncat mundur, “kau mampu memeras tenagaku sehingga nafasku hampir putus.” Glagah Putih tidak segera menjawab. Beberapa langkah ia berjalan berputar-putar sambil menarik nafas dalam-dalam. Dengan kemampuan yang ada pada dirinya ia berusaha untuk memperbaiki pernafasannya yang berkejaran lewat lubang hidungnya. Sejenak kemudian Glagah Putih itu pun duduk di atas sebongkah batu dengan tangan bersilang di dada.

Raden Rangga tertawa pendek. Tetapi ia pun menjatuhkan dirinya di tepian. Ia sama sekali tidak berbuat sebagaimana dilakukan oleh Glagah Putih meskipun nafasnya juga terengah-engah. Tetapi ia justru membaringkan dirinya di atas pasir.

Untuk beberapa saat keduanya saling berdiam diri. Dengan caranya masing-masing keduanya berusaha untuk memperbaiki pernafasan mereka.

Pada saat yang demikian Agung Sedayu memberi isyarat kepada Ki Mandaraka untuk mendekat. Tetapi Ki Mandaraka menggeleng. Dengan isyarat pula ia menyatakan, bahwa ia tidak akan menampakkan diri. Bahkan akan segera meninggalkan tempat itu.

“Aku akan kembali ke Mataram segera,” desis Ki Mandaraka, “anak itu jangan mengetahui bahwa aku sering mengikutinya.”

Agung Sedayu mengangguk sambil tersenyum.

Demikianlah, maka Ki Mandaraka itu pun segera bergeser menjauh. Kemudian menghilang di balik gerumbul-gerumbul perdu yang bertebaran di tempat itu.

Sepeninggal Ki Mandaraka yang juga disebut Ki Juru Martani, maka Agung Sedayu pun telah bangkit berdiri. Perlahan-lahan ia melangkah ke tebing, dan bahkan ia pun segera menuruni tebing itu pula.

Ternyata kedua anak muda yang berada di tepian mempunyai pendengaran yang sangat tajam. Mereka pun dengan serta merta telah meloncat bangkit dan siap menghadapi segala kemungkinan.

“Aku,” desis Agung Sedayu.

“Kakang Agung Sedayu?” sahut Glagah Putih.

“Ya,” jawab Agung Sedayau.

“Kenapa Kakang berada di sini?” bertanya Glagah Putih pula.

Namun yang terdengar adalah suara tertawa Raden Rangga. Katanya, “Pertanyaan yang bodoh. Kau tentu sudah tahu jawabnya.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia menjawab, “Ya. Aku memang sudah tahu jawabnya.”

Namun dalam pada itu, dari tebing di seberang, mereka telah melihat pula seseorang yang turun perlahan-lahan.

Dengan segera mereka pun mengetahui, bahwa orang itu adalah Kiai Jayaraga.

“Apakah kau juga akan bertanya kenapa ia berada di sini?” bertanya Raden Rangga kepada Glagah Putih.

Glagah Putih tersenyum sambil menggeleng. Jawabnya, “Tidak. Aku sudah tahu jawabnya.”

Sejenak kemudian Kiai Jayaraga telah berada di tepian pula. Raden Rangga yang memiliki ilmu yang luar biasa itu tiba-tiba saja bertanya, “Apa yang kurang, Kiai?”

“Pada Raden tidak ada yang kurang. Tetapi banyak terdapat kekurangan pada Glagah Putih,” jawab Kiai Jayaraga.

“Ia memiliki landasan ilmu yang dapat menyadap kekuatan api, air, udara dan bumi. Tentu Kiai yang memberinya. Bukan Agung Sedayu. Jika Glagah Putih berhasil mengembangkannya, maka ia akan menjadi orang yang tidak ada tandingnya pada umurnya,” berkata Raden Rangga.

“Tentu hal itu tidak berlaku bagi Raden Rangga,” potong Agung Sedayu, “Raden Rangga mempunyai ilmu apa saja. Sentuhan tangan Raden Rangga rasa-rasanya dapat melemahkan kekuatan lawan. Sementara itu, Raden Rangga mampu juga mengendalikan kekuatan api, air, udara dan bumi bagi kepentingan Raden pada saat tertentu.”

“Kadang-kadang aku tidak menyadari apa yang aku miliki. Ia datang begitu saja dalam mimpi-mimpi. Tetapi mimpi itu seakan-akan benar-benar telah terjadi pada satu saat yang tidak aku kenali,” jawab Raden Rangga.

“Asal saja Raden sadari. Kadang-kadang Raden lupa bahwa Raden memiliki ilmu yang dahsyat,” berkata Agung Sedayu kemudian, “sehingga Raden masih saja berada dalam masa kanak-kanak dengan kenakalan-kenakalan yang akibatnya sangat menyulitkan orang lain.”

“Apakah begitu?” bertanya Raden Rangga.

“Sebagian memang begitu,” jawab Agung Sedayu, “namun kadang-kadang ada juga yang mempunyai akibat yang tidak Raden kehendaki, meskipun dengan sengaja Raden berbuat dengan maksud baik. Tetapi pertimbangan Raden-lah yang tidak sesuai dengan kepentingan yang sebenarnya.”

“Aku tidak mengerti,” desis Raden Rangga.

“Satu contoh pada saat Reden membunuh Ki Wiladipa,” jawab Agung Sedayu.

“Aku bermaksud baik,” jawab Raden Rangga.

“Ya. Semua orang percaya bahwa Raden bermaksud baik. Tetapi akibatnya tidak sebagaimana Raden duga,” jawab Agung Sedayu.

Raden Rangga mengangguk-angguk. Tiba-tiba saja ia berkata kepada Glagah Putih, “Kau dengar hal itu? Jangan terjadi atasmu. Aku sadar bahwa ada perbedaan di antara kita.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia melihat Raden Rangga menundukkan kepalanya. Dengan lemah ia duduk di atas sebongkah batu.

“Kenapa Raden?” bertanya Glagah Putih.

“Kau menyadap ilmu dengan laku yang wajar, Perkembangan ilmumu meningkat sejalan dengan peningkatan dan perkembangan nalarmu. Aku tidak. Kadang-kadang aku tidak tahu apa yang terjadi atasku,” desis Raden Rangga.

“Raden,” Agung Sedayu-lah yang menyahut, “ternyata Raden mampu menjangkau penalaran yang jauh. Raden mampu mengurai keadaan Raden sendiri dengan sadar. Raden melihat apa yang terjadi di dalam diri Raden, sehingga dengan demikian maka Raden mengetahui apa yang tidak Raden ketahui.”

“Kadang-kadang,” jawab Raden Rangga, “tetapi kadang-kadang aku tidak melihatnya.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandangi Raden Rangga yang duduk dengan lesu itu, seakan-akan ia melihat seseorang yang hidup dalam dua lingkungan yang berbeda tanpa dikenalinya. Sekali-sekali Raden Rangga mampu berpikir jernih sebagaimana seorang yang dewasa melampaui batas umurnya. Namun pada saat yang lain, kekanak-kanakannya telah timbul kembali sehingga ia berbuat sesuatu yang tidak dipikirkannya lebih dahulu.

Keadaan itulah yang kadang-kadang telah menyulitkan kedudukan Raden Rangga, bahkan kadang-kadang ia berdiri di tengah-tengah dan terombang-ambing tanpa dapat berbuat sesuatu, Kadang-kadang ia didorong oleh satu sikap untuk melakukan sesuatu yang dianggapnya baik, namun yang terjadi justru sebaliknya.

“Raden,” berkata Agung Sedayu kemudian, “yang perlu Raden lakukan kemudian adalah berusaha untuk tetap mengenali diri sendiri.”

“Aku akan berusaha,” jawab Raden Rangga.

Namun tiba-tiba saja Raden Rangga mengangkat wajahnya. Dilihatnya langit yang hitam. Kemudian katanya, “Aku harus segera kembali. Aku tidak boleh terlalu lama berada di sini.”

Raden Rangga pun kemudian segera bangkit dan berkata, “Selamat malam. Pada kesempatan lain, aku akan datang.”

“Aku menunggu Raden,” sahut Glagah Putih.

Raden Rangga tersenyum. Kemudian ia pun melangkah meninggalkan tempat itu. Sambil melambaikan tangannya ia berkata, “Aku harus sampai di rumah sebelum pagi.”

Demikian kata-kata itu lenyap, maka Raden Rangga pun meloncat dan bagaikan terbang memasuki kegelapan.

Glagah Putih berdiri termangu-mangu. Raden Rangga itu tentu lebih muda daripadanya. Namun anak itu memiliki kemampuan yang luar biasa.

Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada berat Kiai Jayaraga berkata, “Tetapi dengan perkembangan umur dan pengalaman, ia akan menemukan keseimbangan.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Pengalaman akan mendorongnya untuk berada di satu daerah yang akan dikenalnya dengan baik, sehingga ia tidak akan terlepas lagi dari kendali nalarnya.”

“Dan nalar itu sendiri akan berkembang,” sahut Kiai Jayaraga pula.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Desisnya, “Tetapi Raden Rangga bersikap baik terhadap Glagah Putih. Ia dengan sengaja telah memberikan pengalaman pada Glagah Putih dalam olah kanuragan. Satu keuntungan bagi Glagah Putih. Sementara itu, Raden Rangga sama sekali tidak membawa Glagah Putih ke dalam arus kekanak-kanakannya. Meskipun Glagah Putih lebih dewasa, tetapi mungkin ia akan dapat terseret ke dalam kenakalan yang menyulitkan orang lain.”

Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Seakan-akan anak itu mengerti, bahwa hal-hal yang kurang disenangi oleh orang lain itu sebaiknya dilakukannya sendiri, tanpa membawa siapa pun ke dalam kesulitan.”

Dalam pada itu, Agung Sedayu pun kemudian menceritakan bahwa sebenarnyalah Ki Mandaraka ada di tepi sungai itu pula. Untuk beberapa saat lamanya Ki Mandaraka menunggui Raden Rangga dan Glagah Putih berlatih. Namun Ki Mandaraka ternyata tidak bersedia untuk diketahui kehadirannya oleh Raden Rangga.

Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Aku tidak melihatnya.”

“Kiai Jayaraga berada di atas tebing di seberang,” berkata Agung Sedayu, “aku justru kebetulan berada tidak terlalu jauh dari tempat Ki Mandaraka menunggui Raden Rangga berlatih dengan Glagah Putih. Meskipun pada saat-saat terakhir Raden Rangga telah menjadi lebih baik karena kegemarannya bermain-main dengan kuda, namun kadang-kadang Ki Mandaraka menjadi cemas, apa saja yang dilakukan anak itu jika ia tidak berada di istana”

“Satu tugas yang berat bagi Ki Mandaraka. Di samping tugasnya mengemban pemerintahan di samping Panembahan Senapati, maka masih ada tugas yang sulit untuk dilakukannya sambil lalu,” gumam Kiai Jayaraga.

“Tetapi tidak ada orang lain yang mempunyai pengaruh yang cukup kuat atas Raden Rangga kecuali Ki Mandaraka,” berkata Agung Sedayu.

Kiai Jayaraga pun mengangguk-angguk. Lalu katanya kepada Glagah Putih, “Glagah Putih. Kau dapat bercermin kepada Raden Rangga. Kau harus memiliki keseimbangan antara nalar dan budimu sesuai dengan bekal yang ada di dalam dirimu. Tingkah lakumu dan sikapmu jangan terlepas dari kendali nalarmu.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara itu Kiai Jayaraga berkata selanjutnya, “Itulah sebabnya kau harus selalu menyadari dirimu dalam hubungan dengan kehadiranmu.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak menjawab sama sekali.

Demikianlah, maka sejenak kemudian mereka pun telah meninggalkan tempat itu dan kembali ke rumah Agung Sedayu. Namun Glagah Putih itu pun kemudian memisahkan diri sambil berkata, “Aku akan singgah memasang wuwu dan menutup pliridan, Kakang.”

“Baiklah,” berkata Agung Sedayu, “besok kami akan ikut makan urip-urip lele.”

Glagah Putih tidak menjawab. Ia hanya tersenyum saja.

Seperti setiap kali dilakukan, maka Glagah Putih pun telah pergi menutup pliridannya. Ketika ia sampai di sungai dimana ia membuat pliridan, maka dilihatnya pembantu Agung Sedayu sudah ada di sana pula.

“He, dari mana kau?” bertanya anak itu, “Aku tidak melihatmu di rumah. Karena itu, aku berangkat sendiri. Kemarin seperti sudah aku katakan, kita agak terlambat. Dan ikan kita telah diambil oleh anak nakal.”

“Tetapi tentu bukan anak Tanah Perdikan ini,” berkata Glagah Putih, “anak-anak Tanah Perdikan ini tentu tahu, bahwa ikan ini adalah milik kita. Dan pliridan ini adalah pliridan yang kita buat.”

“Mungkin bukan,” jawab anak itu, “di sungai ini kadang-kadang terdapat orang-orang yang menelusuri alirannya sambil membawa jala. Bukan orang Tanah Perdikan ini.”

“Kita tidak berkeberatan siapa pun mencari ikan di sungai ini,” jawab Glagah Putih, “tetapi jangan mengambil milik orang lain. Jangan menutup pliridan atau membuka rumpon yang dibuat oleh orang lain.”

Anak itu mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja Glagah Putih berdesis, “Aku dengar orang berjalan di dalam air. Marilah kita bersembunyi.”

“Aku tidak mendengar apa-apa,” jawab anak itu.

“Cepatlah,” ajak Glagah Putih sambil menarik anak itu.

Keduanya pun segera bersembunyi. Beberapa lama keduanya menunggu. Sementara pembantu di rumah Agung Sedayu itu berdesis, “Tidak ada apa-apa.”

“Langkah itu sudah dekat,” jawab Glagah Putih.

Sejenak lagi mereka menunggu. Sebenarnyalah ternyata dua orang anak yang masih sangat muda berjalan menyusuri air sambil membawa sebuah jala. Tetapi mereka jarang sekali menebarkan jalannya. Bahkan sepanjang penglihatan Glagah Putih sekalipun mereka belum pernah menebarkan jala itu.

Tetapi ketika mereka sampai di dekat pliridan Glagah Putih, maka kedua anak itu sudah berhenti.

“Itulah anak nakal itu,” bisik Glagah Putih.

“Aku hajar mereka,” desis pembantu di rumah Agung Sedayu itu.

“Kau berani?” bertanya Glagah Putih.

“Kenapa tidak? Mereka berdua dan kita juga berdua,” jawab anak itu.

“Aku tidak berani berkelahi,” jawab Glagah Putih.

“Jangan membual seperti itu,” jawab pembantu di rumah Agung Sedayu itu, “anak-anak di Tanah Perdikan tahu, kau berani berperang.”

“Tetapi tidak berkelahi,” jawab Glagah Putih.

“Biarlah aku menyelesaikan mereka berdua,” berkata anak itu sambil mengembangkan dadanya.

Glagah Putih tidak menjawab. Kedua orang anak muda itu mulai mengamati pliridan itu dan memandang ke sekelilingnya.

“Sepi,” terdengar salah seorang di antara mereka berdesis.

“Cepat, kita tutup pliridan ini. Seperti kemarin, kita ambil ikan di dalam pliridan itu,” desis yang lain.

Keduanya berdiam diri. Tetapi ternyata di bawah jala mereka telah membawa wuwu.

Glagah Putih dan pembantu di rumah Agung Sedayu itu masih menunggu sejenak. Namun demikian keduanya selesai memasang wuwu dan menutup pliridan itu, maka anak itu pun telah meloncat ke luar dari persembunyiannya.

“Nah,” geram anak itu, “sekarang aku dapat menangkap kalian!”

Kedua orang anak muda itu menjadi tegang. Tetapi sebelum mereka melarikan diri, pembantu di rumah Agung Sedayu itu berkata, “Jangan lari. Aku akan menangkapmu. Aku tidak akan berteriak memanggil kawan-kawanku. Mungkin teriakanku tidak akan didengar orang. Karena itu jika kalian memang laki-laki, maka aku tantang kalian berkelahi.”

Kedua anak muda itu termangu-mangu sejenak. Mereka pun kemudian melihat Glagah Putih berjalan mendekat. Tetapi tiba-tiba saja Glagah Putih berkata, “Aku tidak ikut campur. Pliridan itu memang pliridan kami. Tetapi aku tidak ingin berkelahi.”

Kedua anak muda itu saling berpandangan. Dengan demikian jika mereka harus berkelahi, maka mereka hanya akan berkelahi melawan seorang. Yang seorang itu pun ternyata masih sangat muda.

Dalam keragu-raguan itu pembantu dirumah Agung Sedayu itu membentak, “Nah, jika kalian ketakutan, pergi sekarang! Tetapi kalian harus meninggalkan wuwu dan jala kalian di sini.”

“Ini jala ayahku,” jawab anak itu.

“Aku tidak peduli,” jawab pembantu di rumah Agung Sedayu.

Sejenak kedua orang anak muda itu termangu-mangu. Namun kemudian yang terbesar di antara keduanya berkata, “Jangan. Aku tidak akan memberikan jalaku.”

“Aku akan memaksa,” berkata pembantu di rumah Agung Sedayu.

Glagah Putih tersenyum. Namun kemudian ia pun menghampiri pembantu di rumah Agung Sedayu itu sambil berkata, “Sudahlah. Biarlah mereka pergi membawa jala mereka.”

“O, begitu enaknya. Dan kemarin tentu kalian juga yang telah mengambil ikan di pliridan ini,” geram pembantu di rumah Agung Sedayu.

“Aku kira, pliridan ini sudah tidak pernah diambil ikannya,” jawab anak itu.

Pembantu rumah Agung Sedayu itu menjadi semakin marah. Katanya, “Kau jangan berbicara seenakmu sendiri. Kau tahu, bahwa pliridan ini sudah dibuka. Bagaimana mungkin kau mengira bahwa pliridan ini sudah tidak pernah diambil ikannya?”

Kedua anak muda itu pun kemudian semakin marah juga. Tiba-tiba saja salah seorang di antara keduanya berkata, “Aku memang akan mengambil ikan di pliridanmu. Kau mau apa?”

“Tidak boleh!” bentak pembantu Agung Sedayu itu, “Aku mau merampas jala dan wuwu yang kau bawa.”

“Tidak boleh!” anak muda yang lain dari kedua anak muda yang akan menutup pliridan itu menjawab.

Pembantu rumah Agung Sedayu itu berpaling kepada Glagah Putih. Tetapi Glagah Putih justru duduk di atas sebuah batu yang besar. Nampaknya ia memang tidak berminat untuk berkelahi.

Meskipun demikian, pembantu rumah Agung Sedayu itu sama sekali tidak gentar meskipun ia harus berhadapan dengan dua orang sekaligus.

Bahkan dengan lantang ia membentak, “Letakkan jala itu dan tinggalkan di situ!”

“Tidak!” kedua anak muda itu menjawab hampir berbareng.

Pembantu rumah Agung Sedayu itu maju selangkah. Ia sudah siap untuk berkelahi. Sementara itu kedua anak yang akan mengambil ikan di pliridan itu pun telah siap pula. Mereka telah meletakkan jala bukan karena mereka bersedia meninggalkan jala itu, tetapi mereka bersiap-siap untuk berkelahi.

Pembantu rumah Agung Sedayu itu ternyata memang berani. Tiba-tiba saja ia telah menyerang.

Dengan demikian maka telah terjadi perkelahian yang ramai. Pembantu rumah Agung Sedayu itu telah berkelahi dengan berani. Ia meninju, menendang dan sekali-sekali mempergunakan sisi telapak tangannya.

Glagah Putih tersenyum melihat tingkah laku anak itu. Ia memang pernah mempelajari unsur-unsur gerak dalam tata perkelahian. Ternyata ia dapat mempergunakannya dengan baik, meskipun yang dilakukan oleh anak-anak itu sekedar saling memukul.

Ternyata bahwa untuk melawan kedua orang yang memang agak lebih besar dari dirinya, pembantu rumah tangga Agung Sedayu itu menjadi agak kesulitan. Beberapa kali wajahnya terkena tinju lawannya. Namun anak itu sama sekali tidak berniat untuk mengalah. Semakin lama ia justru menjadi semakin garang.

Namun bagaimanapun juga, pembantu rumah Agung Sedayu itu semakin lama menjadi semakin terdesak. Dua orang lawannya berkelahi dengan keras. Bahkan kasar.

Dalam keadaan terdesak, pembantu rumah tangga Agung Sedayu itu berusaha mengerahkan tenaganya. Namun justru karena itu, maka ia menjadi semakin cepat letih.

Glagah Putih masih memperhatikan perkelahian itu. Namun ketika pembantu rumah Agung Sedayu itu benar-benar telah kehabisan tenaga, maka Glagah Putih pun berdiri dan melangkah mendekat.

“Sudahlah,” berkata Glagah Putih, “kalian menang.”

“Persetan,” geram salah seorang dari kedua orang anak muda itu, “anak itu sudah menghina kami. Ia harus merasakan akibatnya.”

“Bukankah kalian telah menang? Kalian berdua telah memenangkan perkelahian melawan seorang anak,” berkata Glagah Putih, “bukankah begitu?”

“Omong kosong!” bentak seorang yang lain, “Kenapa kau tidak ikut serta?”

“Aku tidak terbiasa berkelahi,” jawab Glagah Putih, “tetapi aku harus menolongnya agar keadaannya tidak menjadi parah.”

“Kau akan menolongnya dan berkelahi melawan kami?” bertanya anak muda itu.

“Bukan,” jawab Glagah Putih, “aku tidak akan berkelahi. Aku hanya akan menolong anak itu. Ia kawanku yang baik. Setiap malam kami berdua turun ke sungai ini untuk membuka pliridan.”

“Aku akan memukulinya sampai puas. Ia telah menghina kami,” berkata anak muda yang lain.

“Itu tidak perlu,” jawab Glagah Putih, “ia sudah kalah. Kalian boleh pergi.”

Kedua anak muda itu termangu-mangu. Namun tiba-tiba seorang di antara mereka berkata, “Kau juga pantas dipukuli karena kau adalah kawannya. Apalagi kalian tentu seorang yang licik. Bahwa kawanmu telah berkelahi, kau sama sekali tidak membantunya.”

“Justru aku tidak ingin ikut campur,” jawab Glagah Putih.

“Kami tidak peduli,” jawab salah seorang di antara mereka, “kami memang ingin memukulimu. Memukuli kalian berdua.”

“Itu tidak pantas,” jawab Glagah Putih, “bukankah aku tidak berbuat apa-apa.”

“Kau pengecut. Seorang pengecut pantas untuk dipukuli sampai pingsan,“ geram yang lain.

Glagah Putih tidak menghiraukannya. Bahkan ia telah melangkah semakin dekat. Pembantu rumah Agung Sedayu yang keletihan dan kesakitan itu sudah terduduk di tanah.

“Bangkit,” ajak Glagah Putih. Ditariknya tangan anak itu untuk berdiri.

Kedua anak muda yang akan mengambil ikan di pliridan itu tidak menunggu lebih lama lagi. Seorang di antara mereka tiba-tiba saja telah menyerang Glagah Putih. Dengan tinjunya ia telah memukul kening Glagah Putih dari samping.

Glagah Putih bukan seorang yang kebal. Tetapi ia telah mengerahkan daya tahannya. Ia telah berlatih menghadapi perkelahian yang jauh lebih keras dan kasar dari yang sedang terjadi itu.

Karena itu, maka pukulan di keningnya itu tidak terlalu menyakitinya. Bahkan Glagah Putih seakan-akan tidak merasakan pukulan itu. Tanpa berpaling ia masih menarik tangan pembantu rumah Agung Sedayu itu. Katanya, “Marilah. Bangkitlah. Kita pulang.”

Anak-anak muda itu merasa heran melihat sikap Glagah Putih. Untuk sesaat mereka termangu-mangu.

Pembantu rumah Agung Sedayu itu berusaha untuk berdiri tegak. Namun dalam pada itu, kedua orang anak muda itu telah mengulangi lagi memukul Glagah Putih. Lebih keras lagi. Bahkan keduanya telah melakukan bersama-sama. Glagah Putih memang mengatupkan giginya rapat-rapat untuk menahan perasaan sakit yang menyengatnya. Tetapi anak itu seakan-akan tidak merasa sesuatu, sehingga karena itu Glagah Putih sama sekali tidak menghiraukannya.

Demikian terjadi beberapa kali, sementara Glagah Putih masih tetap berdiri tegak bahkan membantu pembantu rumah Agung Sedayu itu untuk tegak.

Kedua anak muda itu benar-benar menjadi bingung menghadapi satu kenyataan. Glagah Putih sama sekali tidak mengalami akibat apa pun juga dengan pukulan-pukulan mereka.

Dalam pada itu, ketika pembantu rumah Agung Sedayu itu sudah mampu berdiri sendiri, maka Glagah Putih tiba-tiba saja sudah memutar diri. Tiba-tiba saja ia sudah menghadap ke arah kedua anak muda itu sambil memandangi mereka berganti-ganti.

Ternyata pandangan mata Glagah Putih itu benar-benar telah mengguncang jantung kedua anak muda itu. Tanpa berjanji, maka tiba-tiba saja keduanya telah meloncat berlari secepat dapat mereka lakukan. Jala dan wuwu yang mereka bawa telah mereka tinggalkan, karena mereka tidak sempat memungutnya.

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Sementara pembantu rumah Agung Sedayu itu berteriak-teriak, “Kejar! Kejarlah Glagah Putih! Tangkap mereka!”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Bukankah kau menghendaki jala dan wuwu anak itu? Keduanya telah ditinggalkannya di sini.”

“Tetapi mereka memukuli aku. Kepalaku menjadi pening,” jawab anak itu.

“Bukankah kau tadi berkelahi? Bukankah orang yang berkelahi memang saling memukul? Kau tidak sedang dipukuli. Tetapi kau pun memukul mereka,” berkata Glagah Putih.

“Mereka berdua. Aku lebih banyak dipukul daripada memukul. Dan kau membiarkan saja aku menjadi hampir pingsan. Kau sama sekali tidak mau membantuku,” geram anak itu.

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Aku sudah membantumu berdiri.”

Anak itu terdiam. Ia memang melihat kedua anak itu juga memukul Glagah Putih. Tetapi Glagah Putih sama sekali tidak merasa kesakitan, apalagi mengalami keadaan sebagaimana dialaminya.

“Jika saja kau mau membantu aku,” desis anak itu.

“Sudahlah. Kau sudah menunjukkan keberanianmu,” berkata Glagah Putih.

“Ajari aku berkelahi lebih baik,” berkata anak itu, “kau mengajari aku tidak bersungguh-sungguh.”

“Baiklah,” jawab Glagah Putih, “tetapi nanti, pada saatnya. Dan sudah tentu tidak serta merta. Perlahan-lahan seperti yang aku alami pada permulaan.”

“Tetapi kemampuanku tidak pernah meningkat,” geram anak itu.

Glagah Putih tertawa semakin keras. Tetapi katanya, “Kau sudah bersikap seperti seorang laki-laki. Aku senang melihat kau berani melakukan sesuatu meskipun sendiri, tanpa menunggu bantuan orang lain.”

Anak itu tidak menjawab. Sementara Glagah Putih berkata selanjutnya, “Tetapi kau harus telaten. Tidak mungkin dalam waktu satu dua hari kau mempunyai kemampuan yang dapat mengalahkan dua orang anak muda yang lebih besar darimu sekaligus”

“Aku tidak ingin terlalu cepat menjadi seorang yang berilmu tinggi seperti Agung Sedayu,” jawab anak itu, “tetapi kemampuanku dari hari ke hari nampak meningkat.”

Glagah Putih masih tertawa. Katanya, “Marilah. Kita ambil ikan di pliridan. Sebentar lagi langit akan menjadi terang, dan ikan-ikan akan kembali masuk ke dalam liangnya.”

“Kau kira ikan mempunyai liang?” sahut anak itu, “Kecuali belut.”

“Kau memang bodoh,” desis Glagah Putih. “Tetapi, cepat! Kita tutup pliridan.”

“Pasang wuwu itu,” berkata pembantu rumah Agung Sedayu, “aku simpan di bawah pematang pliridan. Jangan pakai wuwu anak yang akan mencuri itu. Kita pakai wuwu kita sendiri.”

Glagah Putih tertawa lagi. Katanya, “Hamba, Tuanku. Hamba akan memasangnya atas perintah Tuanku.”

Anak itu tidak menjawab. Tetapi terdengar ia menggeremang. Namun ketika ia akan melangkah terasa tubuhnya masih nyeri. Sekali lagi ia menyeringai menahan sakit sambil mengeluh, “Uh, punggungku hampir patah.”

“Tidak apa-apa. Bukankah kau laki-laki?” desis Glagah Putih.

“Ya,” jawab pembantu rumah Agung Sedayu itu.

“Karena itu, marilah. Kita bekerja tanpa menghiraukan perasaan sakit itu,” berkata Glagah Putih.

Anak itu pun kemudian melangkah juga ke pliridan.

Ditutupnya pliridan itu setelah wuwunya dipasang. Kemudian setelah airnya menjadi semakin dangkal dan hampir habis, maka dengan segulung blarak mereka menggiring ikan yang ada di dalam pliridan itu ke arah wuwu yang sudah terpasang. Dengan demikian, maka ikan yang berada di dalam pliridan itu telah masuk ke dalam wuwu dan tidak dapat keluar lagi.

Malam itu Glagah Putih tidak mendapat ikan terlalu banyak. Tetapi kepisnya yang cukup besar itu hampir penuh, meskipun sebagian terbesar adalah ikan wader pari.

“Kakang Agung Sedayu lebih senang ikan lele,” geram Glagah Putih, “ternyata kita hanya mendapat beberapa ekor.”

“Itu sudah cukup,” desis pembantu itu.

Glagah Putih tertawa lagi. Tetapi ia tidak berkata apa-apa lagi. Bahkan anak itulah yang kemudian berkata, “Marilah. Kita pulang. Kita sudah mendapat wuwu dan sebuah jala besar.”

Glagah Putih pun kemudian mengikuti pembantu rumah Agung Sedayu itu meninggalkan pliridannya yang sudah tertutup. Mereka pun kemudian mendaki tebing yang tidak terlalu tinggi.

Ketika mereka sampai di rumah, hari masih cukup gelap. Keduanya masih sempat beristirahat setelah mencuci kaki dan tangan, sementara mereka menyimpan ikan yang mereka peroleh di dalam gledeg bambu.

Dalam pada itu, maka pada hari-hari berikutnya Glagah Putih telah kembali dalam kerja keras yang dilakukannya sebagaimana sebelum peristiwa antara Mataram dan Pajang terjadi. Di samping kerja keras untuk meningkatkan tata kehidupan di Tanah Perdikan Menoreh, maka Glagah Putih pun telah bekerja keras untuk meningkatkan ilmunya. Dengan tekun dan sepenuh hati ia mematuhi segala laku yang diwajibkan oleh gurunya Kiai Jayaraga, di samping kakak sepupunya Agung Sedayu.

Namun dalam kesempatan yang terluang, Agung Sedayu sendiri telah menempa dirinya pula. Isi kitab yang dipinjamnya dari Ki Waskita serta dari gurunya Kiai Gringsing, masih banyak yang harus dipahami dan ditekuninya dengan berbagai laku.

Untuk mengikuti suaminya dalam peningkatan olah kanuragan, maka Sekar Mirah sendiri juga memerlukan waktu khusus untuk memperdalam ilmunya pula. Meskipun gurunya sudah tidak ada, tetapi Sekar Mirah seakan-akan telah mewarisi segala unsur dari ilmu itu, sehingga yang dilakukan kemudian adalah mengembangkannya. Kadang-kadang Sekar Mirah memang mendapat bantuan Agung Sedayu. Namun kadang-kadang Sekar Mirah harus bekerja sendiri, karena Agung Sedayu sedang menekuni ilmunya serta mengembangkannya atas dasar isi kitab yang pernah dibacanya serta menyangkut di dalam ingatannya.

Perlahan-lahan Agung Sedayu memang meningkat. Bahkan ilmu yang sudah jarang diketahui orang, namun terdapat di dalam kitab Ki Waskita dan Kiai Gringsing, mulai dicobanya untuk diketahui sifat-sifat dan ujudnya.

Sementara itu, Glagah Putih telah memperdalam pengenalannya atas kemampuan yang terdapat pada ilmu yang sedang ditekuninya dalam hubungannya dengan kekuatan api, air, udara dan bumi. Di bawah tuntunan Kiai Jayaraga, maka kemajuan Glagah Putih menjadi pesat. Sementara itu, pada saat-saat tertentu, ia masih selalu bertemu dengan Raden Rangga untuk berlatih bersama. Dengan demikian maka Glagah Putih dapat memperluas pengenalannya atas ilmu kanuragan. Bahkan ternyata latihan-latihan yang dilakukannya bersama Raden Rangga bukan saja memaksanya untuk memacu kecepatan peningkatan ilmunya sendiri, tetapi telah memperkaya unsur-unsur yang dapat ditrapkan bagi ilmunya.

Tetapi, meskipun Glagah Putih tekun dengan dirinya sendiri, ia tidak melupakan Tanah Perdikan Menoreh, sebagaimana Agung Sedayu. Di siang hari, pada saat-saat tertentu ia berada di antara anak-anak muda Tanah Perdikan.

Sedangkan sawah dan ladangnya tidak pernah terlambat dikerjakan. Bahkan Kiai Jayaraga yang tua itu pun tidak mau tinggal diam. Pada saat-saat kerja di sawah memerlukan banyak tenaga, ia pun telah turun pula membantu Agung Sedayu dan Glagah Putih, sementara di saat matahari sepenggalah, Sekar Mirah menyusul pula pergi ke sawah sambil membawa kiriman makanan dan minuman.

Demikianlah, di sela-sela kehidupan yang tenang dan seakan-akan sebagai wajah air di belumbang yang tidak tersentuh oleh desir angin yang betapapun lembutnya, terdapat gejolak yang menderu di dalam dada Glagah Putih, Agung Sedayu dan Sekar Mirah dalam mengolah diri menempa jasmani dan rohani, untuk mencapai satu tataran yang lebih baik serta pengetahuan yang lebih luas dalam banyak hal.

Pada saat yang demikian Mataram pun tumbuh semakin besar. Panembahan Senapati berhasil, mengatasi beberapa kesulitan yang timbul sejalan dengan perkembangan Mataram itu sendiri.

Sementara itu, di bawah asuhan Ki Juru Martani yang bergelar Ki Patih Mandaraka, Raden Rangga untuk beberapa saat agak terkekang. Kegemarannya bermain kuda telah mengikatnya pada satu ketekunan tersendiri.

Namun beberapa saat kemudian, telah timbul satu kegemaran baru pada Raden Rangga dengan kudanya. Ia kembali menjelajahi Mataram namun dengan kudanya yang tegar dan kuat.

Tetapi agaknya Raden Rangga tidak banyak lagi menimbulkan kesulitan.

Demikianlah, pada satu saat, ketika Glagah Putih sedang sibuk bekerja di sawah bersama Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga, seorang penunggang kuda telah mendekati mereka. Ternyata orang itu adalah Raden Rangga. Sambil tertawa ia berkata kepada Glagah Putih, “He, Glagah Putih, apakah kau tidak ingin memuji kudaku?”

“Luar biasa,” desis Glagah Putih, “aku tidak sekedar ingin memuji, tetapi kuda itu memang kuda yang sangat bagus.”

“Apakah kau tahu juga menilai seekor kuda?” bertanya Raden Rangga.

“Tidak,” jawab Glagah Putih, “tetapi aku melihat bahwa kuda Raden adalah kuda yang besar dan kuat.”

Raden Rangga tertawa. Katanya, “Apakah kau juga senang dengan kuda?”

“Kakang Agung Sedayu mempunyai beberapa ekor kuda. Aku dapat mempergunakannya. Tetapi bukan kuda sebesar dan setegar kuda Raden itu,” berkata Glagah Putih.

“Besok aku akan memberimu seekor kuda sebesar dan setegar kudaku ini,” berkata Raden Rangga.

Wayah Glagah Putih tiba-tiba menjadi cerah. Di luar sadarnya ia melangkah mendekati Raden Rangga yang berada di jalan di seberang parit. Dengan kagum ia mengamati kuda yang besar dan tegar dengan warna abu-abu itu.

Tanpa turun dari kudanya Raden Rangga tersenyum sambil memandangi sikap Glagah Putih yang mengagumi kudanya. Namun tiba-tiba saja ia bertanya, “Apakah kau akan mencobanya?”

Ternyata Glagah Putih telah digelitik oleh satu keinginan untuk mencoba kuda yang tinggi tegar dan kuat itu. Karena itu, maka ia pun telah mengangguk sambil berdesis, “Jika Raden tidak berkeberatan.”

Raden Rangga telah meloncat turun, sementara Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga pun telah mendekat pula.

“Hati-hatilah,” pesan Agung Sedayu.

“Kudaku terlalu jinak,” Sahut Raden Rangga, “kuda ini adalah kuda penurut.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun ia menjadi berdebar-debar juga melihat Glagah Putih meloncat ke atas punggung kuda itu.

“Bawalah mengelilingi Tanah Perdikan ini,” berkata Raden Rangga, “aku akan mengerjakan pekerjaanmu di sawah.”

“Ah, Raden tentu tidak dapat,” jawab Glagah Putih.

“Kenapa? Aku dapat mengerjakan semua pekerjaan,” berkata Raden Rangga kemudian.

Glagah Putih pun kemudian minta diri kepada Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga untuk mencoba kuda Raden Rangga yang tinggi dan tegar itu.

Sejenak kemudian, maka kuda itu pun telah berlari menyusuri jalan bulak yang panjang. Seperti yang dikatakan oleh Raden Rangga, kuda itu adalah kuda yang baik, yang tahu benar keinginan penumpangnya. Karena itu, maka Glagah Putih merasa aman di atas punggung kuda yang tinggi dan tegar itu.

Ketika Glagah Putih mencoba untuk mempercepat derap kaki kudanya, maka kuda itu pun berlari lebih cepat. Ketika seorang anak muda yang berdiri di pinggir jalan memandanginya dengan kagum, Glagah Putih justru menghentikan kudanya itu.

“Kudamu bagus sekali Glagah Putih. Aku baru melihatnya sekarang,” berkata anak muda itu.

Glagah Putih tersenyum. Jawabnya, “Kau kira ini kuda siapa?”

Anak muda itu berpikir sebentar. Lalu katanya, “Agung Sedayu telah membelinya untukmu.”

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Kau kira Kakang Agung Sedayu mempunyai cukup uang untuk membeli kuda seperti ini? Kuda ini adalah kuda Raden Rangga.”

“Raden Rangga putra Panembahan Senapati itu?” bertanya anak muda di pinggir jalan itu.

“Ya. Aku hanya dipinjaminya sebentar karena aku mengagumi kuda ini,” jawab Glagah Putih.

Demikianlah maka Glagah Putih telah mengelilingi Tanah Perdikan itu. Berulang kali ia harus menjawab pertanyaan tentang kuda yang dipergunakannya itu. Namun sebenarnyalah bahwa di dalam hatinya, Glagah Putih memang berpenghargaan, bahwa Raden Rangga tidak hanya sekedar membual saja dengan janjinya untuk memberinya seekor kuda.

Ternyata bahwa Raden Rangga memang tidak hanya membual saja. Ia benar-benar menyediakan seekor kuda yang tinggi, besar dan tegar untuk diberikannya kepada Glagah Putih.

Ketika Glagah Putih mengembalikan kuda berwarna abu-abu itu, maka Raden Rangga pun berpesan, “Datanglah ke Mataram.”

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun nampaknya ia merasa ragu-ragu.

Raden Rangga melihat keragu-raguan itu. Karena itu, maka ia pun berkata pula, “Aku lebih banyak berada di Mandarakan daripada di Kesatrian. Datanglah ke Mandarakan. Tetapi kita harus berbicara tentang waktu. Kapan kau akan datang. Supaya aku siap menerimamu.”

Glagah Putih itu pun memandang Agung Sedayu untuk mendapatkan pertimbangan. Sementara Agung Sedayu pun kemudian berkata, “Kapan saja kau ingin datang. Besok?”

Glagah Putih mengangguk. Jawabnya, “Ya Kakang. Bagaimana kalau besok?”

“Bagus,” berkata Raden Rangga, “datanglah besok. Aku menunggumu di Mandarakan.”

“Baiklah Raden,” sahut Glagah Putih kemudian, “aku akan datang ke Mataram besok. Aku akan menemui Raden di istana Ki Mandaraka. Tetapi aku belum pernah datang ke tempat itu.”

“Datanglah pada waktu matahari naik sepenggalah di saat pasar temawon. Aku menunggumu di pintu gerbang,” pesan Raden Rangga.

“Jadi aku harus berangkat pagi-pagi benar dari Tanah Perdikan ini,” gumam Glagah Putih.

“Ya. Kau harus berangkat pagi-pagi benar dan kau harus pergi sendiri. Tidak usah mengajak Kakangmu Agung Sedayu seperti anak-anak ingusan yang takut turun ke sungai. Biarlah Kakangmu Agung Sedayu tidak kau ganggu dengan persoalan-persoalanmu. Demikian pula gurumu. Kau sudah pantas untuk melakukan dan menyelesaikan persoalanmu sendiri,” berkata Raden Rangga.

Agung Sedayu tersenyum. Raden Rangga yang muda itu dapat juga memberi nasehat kepada Glagah Putih. Tetapi sebagaimana yang selalu dilakukan. Raden Rangga tidak pernah membawa pengantar untuk melakukan apa pun juga. Apalagi pada saat-saat kenakalannya lagi timbul. Ia melakukan sendiri pada saat ia memindahkan tugu batu sebagai batas dua wilayah. Dan ia juga melakukannya sendiri menangkap seekor harimau untuk menggoda seseorang dan melepaskan di halamannya.

Namun Glagah Putih hanya tersenyum saja mendengar pesan itu. Tetapi sebenarnyalah bahwa ia tidak takut menempuh perjalanan. Tetapi yang diseganinya adalah justru bagaimana ia mengetuk pintu regol dan berbicara dengan para penjaga di regol, karena ia masih saja diganggu oleh pertanyaan, apakah ia akan dipercaya untuk bertemu dengan putra Panembahan Senapati?

Tetapi karena Raden Rangga bersedia untuk menunggunya di regol, maka memang tidak ada lagi persoalan baginya. Dan besok Glagah Putih sudah berketetapan hati untuk pergi ke Mataram.

Hari itu Glagah Putih justru kelihatan gelisah, Raden Rangga yang tidak singgah ke rumah Agung Sedayu itu pun telah membuat Glagah Putih berangan-angan tentang seekor kuda yang besar dan tegar.

Agung Sedayu yang melihat keadaan Glagah Putih hanya tertawa saja. Bahkan Sekar Mirah yang kemudian mengetahuinya juga tentang angan-angan Glagah Putih itu justru sambil tersenyum mengganggunya, “Jangan bermimpi. Besok Raden Rangga telah lupa pada janjinya.”

“Ah”, tetapi Glagah Putih tidak menjawab.

“Karena itulah, maka sampai jauh malam Glagah Putih tidak dapat tidur, sehingga Agung Sedayu memperingatkannya, “Kau akan bangun sebelum dini hari dan menempuh perjalanan yang meskipun tidak sangat jauh, tetapi cukup panjang. Istirahatlah barang sejenak.” 

Lewat tengah malam Glagah Putih baru dapat memejamkan matanya. Hanya sebentar. Karena ia pun segera terbangun dan bersiap-siap untuk berangkat.

“Cepatlah,” berkata pembantu rumah Agung Sedayu.

“Aku baru berpakaian,” jawab Glagah Putih.

“Kenapa berpakaian? He, kau akan kemana?” bertanya anak itu.

“Kau kira aku akan kemana?” Glagah Putih justru bertanya.

“Bukankah kita akan pergi ke sungai menutup pliridan?” sahut anak itu.

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Kali ini aku tidak akan turun ke sungai. Kau sajalah yang menutup pliridan. Mungkin kau mendapat banyak ikan lele. Aku akan pergi ke Mataram.”

“Ke Mataram?” bertanya anak itu, “Untuk apa?”

“Sekedar melihat-lihat,” jawab Glagah Putih.

“Aku ikut. Biar saja pliridan itu kali ini tidak ditutup,” berkata anak itu pula.

Tetapi Glagah Putih menggeleng. Jawabnya, “Kau tinggal di rumah membantu Mbokayu Sekar Mirah. Jika Kakang Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga pergi ke sawah, maka kau tinggal di rumah. Apalagi jika mbokayu pada saat matahari sepenggalah mengirimkan minuman ke sawah.”

Anak itu memberengut. Tetapi ia tidak dapat memaksa Glagah Putih yang nampaknya memang tidak bersedia mengajaknya.

Menjelang dini hari, Glagah Putih telah minta diri kepada Agung Sedayu. Sekar Mirah dan Kiai Jayaraga yang telah terbangun pula. Ia meninggalkan regol bersama pembantu rumah Agung Sedayu yang akan turun ke sungai menutup pliridan.

“Kau akan sampai ke tujuan pagi-pagi,” desis anak itu.

Tetapi Glagah Putih meggeleng. Katanya, “Tidak. Aku akan sampai ke tujuan setelah matahari tinggi. Aku tidak perlu berjalan tergesa-gesa. Kaulah yang justru kesiangan.”

Anak itu menengadahkan wajahnya. Langit masih nampak hitam.

“Belum,” jawab anak itu, “hari masih terlalu pagi. Lebih pagi dari kemarin.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Hari memang masih terlalu pagi. Menjelang dini hari.

Ketika anak yang pergi bersama Glagah Putih itu sudah berbelok dan turun ke sungai, maka Glagah Putih pun dengan tanpa disadarinya telah mempercepat langkahnya. Ia ingin berjalan seenaknya dan tidak tergesa-gesa. Tetapi oleh dorongan yang mendesak satu keinginan untuk segera bertemu dengan Raden Rangga, di luar sadarnya telah membawa langkahnya semakin lama semakin cepat.

Karena itulah, maka jalan yang masih gelap dan menembus bulak-bulak panjang itu dilaluinya dengan cepat pula.

Dengan demikian Glagah Putih telah sampai di pinggir Kali Praga ketika hari masih gelap pula.

“Apakah para tukang satang telah bangun?” bertanya Glagah Putih di dalam hatinya.

Tetapi ia pun kemudian telah turun ke tepian berpasir di pinggir Kali Praga itu.

Namun ternyata Glagah Putih terkejut ketika empat orang tukang satang seakan-akan telah menyambutnya dan mempersilahkannya naik ke rakitnya.

“Silahkan Tuan. Kami memang sudah menunggu,” berkata salah seorang dari tukang rakit itu.

Glagah Putih memang merasa heran. Apakah sebenarnya yang telah terjadi. Namun ia tidak menolak. Ia pun telah naik keatas sebuah rakit yang agaknya memang sudah disediakan.

Glagah Putih yang tidak mengetahui latar belakang sikap keempat tukang satang itu pun menjadi sangat berhati-hati menghadapi keadaan. Mungkin ada niat tersembunyi dalam sikap itu.

Namun ketika mereka sudah sampai ke tengah, barulah Glagah Putih mengerti. Dengan tarikan nafas dalam-dalam, ia berkata di dalam hati, “Tentu pokal Raden Rangga.”

Sebagaimana dikatakan oleh tukang satang itu, bahwa seorang anak muda telah memesan mereka untuk menyediakan sebuah rakit pagi-pagi benar. Seorang anak saudagar yang kaya raya akan lewat menjelang pagi. Menurut pesannya, ciri-ciri anak saudagar itu terdapat pada Glagah Putih.

Glagah Putih pun kemudian menanyakan ciri-ciri anak muda yang memesannya. Dan ia yakin bahwa anak muda itu tentu Raden Rangga dengan kuda berwarna abu-abunya.

“Kami mengira bahwa tuan akan datang berkuda sebagaimana anak muda yang memesan kami” berkata salah seorang tukang satang.

“Aku sudah jemu berkuda. Karena itu, kali ini aku ingin berjalan kaki saja,” jawab Glagah Putih.

Namun permainan Raden Rangga itu membawa akibat. Glagah Putih yang merasa wajib menyesuaikan diri tidak akan memberikan upah sebagaimana biasanya. Karena itu, ia harus menyediakan upah berlipat.

Tetapi akibat lain, ketika tukang-tukang satang itu membicarakannya kemarin, seorang yang sebenarnya tidak berkepentingan telah mendengarnya pula, bahwa anak seorang saudagar kaya akan lewat.

Glagah Putih yang menanggapi tingkah laku Raden Rangga itu sebagai satu kelakar saja dan dengan sengaja tidak membantah meskipun ia harus mengeluarkan biaya yang lebih besar untuk penyeberangan itu, tidak menyangka bahwa ada akibat lain yang ternyata jauh lebih buruk daripada sekedar membayar berlipat.

Tukang satang yang mendapat pesan Raden Rangga itu telah berbicara satu dengan yang lain, bahwa besok mereka tidak boleh terlambat bangun.

“Kita akan mendapat upah lebih banyak,” berkata salah seorang dari tukang-tukang satang itu.

“Paling sedikit lipat dua,” sahut kawannya, “anak saudagar kaya raya itu seorang yang baik hati dan pemurah. Ia selalu membawa uang banyak untuk dibagi-bagikan atau dengan cara lain yang lebih tersamar. Misalnya dengan membayar sesuatu dua kali lipat dari yang seharusnya.”

Tukang-tukang satang itu tertawa. Seorang di antara mereka berkata, “Kita bangun pagi-pagi dan bersiap di tepian.”

“Kita bergantian menunggu. Meskipun uang yang dua kali lipat itu sendiri tidak terlalu besar, tetapi kita akan mengenalnya dan mendapatkan sawabnya. Mudah-mudahan dengan uang itu kita akan mendapat kemujuran bukan saja sehari, tetapi sepekan. Kita akan mendapat banyak uang.”

Kawan-kawannya tertawa. Yang lain menyahut, “Kita tidak terlalu memikirkan uang. Kita akan memberikan pelayanan yang menyenangkan bagi anak saudagar kaya raya itu. Mudah-mudahan pada kesempatan lain ayah dan ibunya menyeberang juga dengan rakit kita.”

Para penumpang rakit yang kebetulan dibawa menyeberang telah mendengar pembicaraan itu. Seorang di antara mereka telah menangkap pembicaraan itu di dalam hatinya.

“Satu kesempatan yang tidak boleh dilewatkan,” berkata orang itu di dalam hatinya, “besok pagi-pagi benar, anak itu harus ditunggu di tempat yang sepi. Ternyata bahwa rejeki itu datang kepada kita meskipun kita tidak usah bersusah payah mencarinya.”

Sebenarnyalah orang itu telah melakukan sebagaimana dikatakannya. Untuk meyakinkan bahwa ia akan berhasil, maka dibawanya seorang kawannya menyertainya.

Namun kawannya itu telah mentertawakannya meskipun ia ikut pula bersamanya sambil berkata, “Sejak kapan kau jadi pengecut? Jika benar yang akan lewat itu sekedar kanak-kanak, kenapa kau bawa aku serta? Jika yang akan lewat dan membawa uang banyak itu seorang senapati perang, barulah kau ajak aku. Atau jika bukan senapati Mataram, mungkin Ki Gede Menoreh atau Agung Sedayu.”

“Persetan,” geram orang yang ingin mencegat Glagah Putih itu, “ikut aku atau tidak?”

“Baiklah. Harta kekayaan anak saudagar yang kaya raya itulah yang sangat menarik. Mungkin setelah kita berhasil, kita akan berkelahi sendiri,” berkata kawannya.

“Tutup mulutmu,” geram yang pertama, “kau sangka aku tidak dapat membunuhmu?”

Kawannya hanya tertawa saja. Namun keduanya telah benar-benar melakukan rencananya. Keduanya  telah berusaha untuk menyamun seorang anak saudagar yang kaya raya.

Dalam pada itu, Glagah Putih sama sekali tidak mengira bahwa dua orang telah mengamatinya dengan niat buruk. Untuk melibatkan diri ke dalam permainan Raden Rangga, maka ia berpura-pura menjadi anak seorang saudagar. Dengan dada tengadah maka ia telah membayar tukang satang itu dengan ongkos yang berlipat.

Tukang-tukang satang itu telah mengucapkan terima kasih. Di samping mereka merasa beruntung bahwa pagi-pagi benar mereka telah mendapat uang dan berlipat pula, mereka pun telah berkenalan dengan seorang anak saudagar kaya yang ternyata sangat ramah. Selama mereka menyeberang, maka banyak yang sudah dibicarakan. Meskipun anak saudagar kaya itu tidak mengaku dimana rumahnya, tetapi ia berjanji untuk kembali pula.

“Mungkin ayah dan ibu Tuan akan menyeberang,” berkata salah seorang tukang satang, “jangan mempergunakan rakit yang lain. Carilah kami yang mempergunakan rakit dengan candik berwarna hitam dan berujung bergaris putih, sedangkan sayap rakit kami telah kami warnai pula dengan warna hitam bergaris merah soga.”

“Baik,” berkata Glagah Putih, “aku telah mengenali rakit kalian. Ternyata rakit kalian sangat menyenangkan aku. Tidak ada goncangan sama sekali. Rasa-rasanya aku tidak sedang menyeberangi sebuah sungai yang besar, tetapi seperti bermain di sebuah telaga yang airnya diam dan tenang.”

“Ah, Tuan memuji,” salah seorang tukang satang itu tertawa.

Namun dalam pada itu, ketika Glagah Putih meninggalkan tepian dan naik ke tanggul, maka dua orang telah mengikutinya. Sementara pagi masih suram dan bahkan berkabut.

“Kita seret anak itu ke gerumbul ilalang. Ia tentu membawa keris berpendok emas bertretes berlian. Timang dan mungkin perhiasan-perhiasan lainnya. Di samping perhiasan itu, ia tentu membawa uang banyak dan bekal yang cukup,” berkata orang yang akan menyamun Glagah Putih itu.

Kawannya mengangguk-angguk. Katanya, “Kita terkam saja anak itu. Ia tidak akan dapat berbuat apa-apa. Yang gila adalah ayah ibunya, membiarkan anaknya yang masih sangat muda untuk menempuh perjalanan panjang.”

“Tetapi pakaiannya tidak menunjukkan bahwa ia adalah seorang anak saudagar yang kaya raya,” berkata orang yang pertama.

“Tentu satu usaha untuk menyamar, agar tidak diketahui orang bahwa ia kaya raya dan membawa bekal banyak,” jawab kawannya.

Orang yang mendengar pembicaraan tukang-tukang satang itu mengangguk-angguk. Memang masuk akal bahwa anak itu telah berusaha untuk menyamar, agar perjalanannya selamat tanpa diganggu oleh orang lain.

Untuk beberapa saat kedua orang itu masih terus mengikuti Glagah Putih. Jalan memang masih sepi. Sementara itu, kabut pun telah menyelimuti pandangan, justru pada saat langit mulai merah oleh cahaya pagi.

“Marilah,” berkata orang yang akan menyamun.

Kawannya mengangguk. Katanya, “Kita tidak usah menerkamnya dan menyeretnya. Kita paksa saja anak itu mengikuti kita di jalan simpang itu. Jika kita sudah memasuki jalan kecil, maka kita bawa anak itu ke gerumbul ilalang.”

Tidak ada jawaban kecuali anggukan kepala.

Dengan demikian, maka kedua orang itu pun telah menyusul Glagah Putih yang berjalan seenaknya. Namun ia pun terkejut ketika dua orang yang berjalan di belakangnya, tiba-tiba saja telah meloncat ke sebelah-menyebelahnya.

“Ikut aku berbelok ke jalan simpang itu,” geram salah seorang dari kedua orang itu.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak sempat berbuat apa-apa. Kedua orang itu telah mendorongnya memasuki jalan simpang yang sempit.

Sebelum Glagah Putih sempat berbuat apa-apa, maka keduanya telah menariknya semakin dalam. Bahkan kemudian kedua orang itu telah meninggalkan jalan sempit dan berusaha menyeret Glagah Putih masuk ke padang ilalang.

Semula Glagah Putih memang berniat untuk melawan. Tetapi kemudian ia pun justru membiarkan dirinya diseret oleh kedua orang itu. Rasa ingin tahunya justru telah mendorongnya untuk berbuat demikian.

Ketika keduanya telah berada di padang ilalang yang terlindung dari jalan sempit itu, maka Glagah Putih pun telah dilepaskannya.

“Nah, anak muda,” berkata salah seorang yang akan menyamun itu, “kita berada di satu tempat yang sepi, yang tidak akan didatangi orang.”

“Apa maksud kalian membawa aku kemari?” bertanya Glagah Putih kepada kedua orang itu.

“Baiklah anak muda. Aku tidak akan berputar-putar. Biarlah urusan kita cepat selesai,” jawab salah seorang dari keduanya. “Aku tahu bahwa kau adalah anak seorang anak muda yang terbiasa membawa uang banyak dan perhiasan yang mahal-mahal. Karena itu, jangan ingkar agar kau dapat cepat meneruskan perjalanan.”

Wajah Glagah Putih menjadi tegang. Ia tidak segera dapat menebak apa yang sebenarnya telah terjadi. Namun ia pun sudah menduga, bahwa persoalan yang dihadapinya itu ada hubungannya dengan kelakar Raden Rangga.

“Nah anak muda,” berkata orang itu pula, “serahkan pendok emasmu, timang bertretes berlian dan semua uang serta bekal yang kau bawa.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun kemudian bertanya, “Siapa yang memberitahukan kepada kalian bahwa aku akan lewat?”

“Tidak ada,” jawab orang itu, “tetapi kami telah mendengar tukang-tukang satang itu membicarakan seorang anak muda yang akan lewat pagi-pagi benar dengan membawa bekal yang banyak.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Ia menjadi lebih jelas persoalanya. Karena itu, maka ia tidak dapat menyalahkan Raden Rangga yang berniat berkelakar dengan tukang-tukang satang itu.

Karena itu Glagah Putih pun harus mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Ia tidak akan dapat mengelak lagi dari tindakan kekerasan.

Sementara itu salah seorang dari kedua orang yang mencegatnya itu pun berkata, “Nah, anak muda. Jangan membuat persoalan agar kami tidak merasa perlu untuk mengambil langkah-langkah yang mungkin tidak kau senangi.”

Glagah Putih memandang kedua orang itu berganti-ganti. Namun kemudian katanya, “Sebagaimana kalian lihat, aku tidak membawa keris. Dengan demikian maka aku sudah barang tentu tidak membawa pendok emas.”

“Persetan,” geram kedua orang itu. Seorang di antaranya menggeram, “berikan timangmu.”

Glagah Putih pun telah menyingkapkan bajunya dan menunjukkan timang pada ikat pinggangnya. Katanya, “Jika kalian telah dapat melihat dalam kekaburan pagi, ini timangku. Bukankah hanya sekedar terbuat dari kuningan dan sama sekali tidak ada sebutir permata pun yang melekat?

Wajah kedua orang itu menjadi tegang. Seorang di antaranya membentak, “Jangan kau sembunyikan kekayaanmu. Sekarang apa yang kau bawa yang dapat menebus nyawamu? Uang atau bekal yang lain?”

“Ki Sanak,” berkata Glagah Putih, “aku memang tidak terbiasa membawa bekal yang banyak. Aku tahu bahwa seorang yang menunjukkan kekayaannya akan menjadi sasaran penyamun seperti kalian itu. Karena itu, maka aku tidak membawa apa-apa yang dapat aku berikan kepadamu. Uang pun aku tidak membawa berlebihan. Hanya cukup untuk membeli makanan dan minuman di perjalanan.”

“Memang tidak ada orang yang dengan suka rela memberikan miliknya kepada orang lain. Tetapi ingat, bahwa aku tidak hanya sekedar minta kepadamu. Tetapi aku dapat memaksamu dengan cara apa pun juga. Seorang penyamun bukan seorang yang dengan baik hati dan belas kasihan membiarkan korbannya lewat begitu saja tanpa menyerahkan miliknya,” geram salah seorang di antara mereka.

“Tetapi Ki Sanak. Aku tidak membawa apa-apa. Silahkan untuk melihat. Silahkan membuka kantong ikat pinggangku. Aku sama sekali tidak membawa kampil uang dan tidak pula membawa perhiasan,” berkata Glagah Putih.

“Buka baju dan ikat pinggangmu dan serahkan kepadaku!” bentak seorang di antara kedua orang itu.

Glagah Putih termangu-mangu. Ia sadar, bahwa kedua orang itu ingin melihat di seluruh badan dan pakaiannya, apakah ia membawa uang banyak.

Glagah Putih memang membawa bekal uang. Tetapi tidak seberapa. Sebagaimana kebiasaannya, serta karena Glagah Putih sebenarnya memang bukan orang kaya. sehingga uang yang dibawanya pun sama sekali tidak sesuai dengan gambaran orang yang akan menyamunnya itu.

“Cepat!” bentak orang itu, “Aku ingin tahu, apakah kau benar-benar anak seorang saudagar yang kaya raya. Jika ternyata kau tidak membawa apa-apa, maka kau akan merasakan akibatnya. Kau telah menipu kami, sehingga tidak ada ampun lagi bagimu. Kau akan mati dan mayatmu akan menjadi makanan burung gagak, karena tempat ini tidak pernah disentuh kaki manusia.”

“Kenapa kau anggap aku telah menipumu?” bertanya Glagah Putih, “Kita belum pernah bertemu, dan aku tidak pernah menyatakan diriku sebagai anak seorang saudagar kaya.”

“Satu permainan yang menjerumuskanmu ke dalam kematian,” berkata salah seorang dari keduanya, “apa maksudmu dengan menyatakan dirimu orang yang kaya raya serta menyuruh seseorang menghubungi tukang satang agar mereka menjemputmu dini hari? Ternyata kau harus menebus kesombonganmu dengan nyawamu.”

“Aku tidak mengerti,” jawab Glagah Putih, “bukankah itu sama sekali tidak menyangkut kalian berdua? Aku hanya bergurau dengan tukang-tukang satang. Dengan mereka aku tidak lagi mempunyai persoalan. Kenapa tiba-tiba saja kalian membuat satu persoalan dengan gurau itu?”

“Tutup mulutmu!” bentak salah seorang di antara keduanya, “Berikan bajumu, ikat pinggangmu dan kampil uangmu.”

“Aku tidak membawa. Seandainya aku membawa kampil uang sekalipun, aku tidak akan memberikan kepada kalian,“ Glagah Putih mulai menunjukkan sikapnya yang sebenarnya.

“He?” orang yang mendengar pembicaraan tukang satang sehingga timbul keinginannya untuk menyamun itu melangkah maju dengan wajah yang garang, “Aku akan membunuhmu. Itu adalah tebusan dari sikap gilamu, sehingga aku melakukan satu perbuatan yang sia-sia. Karena itu, maka jangan menyesal bahwa kau akan mati di sini.”

“Aku tidak mau mati sekarang,” jawab Glagah Putih, “kau kira bahwa begitu mudahnya kau membunuh seseorang. Cacing yang terinjak kaki pun menggeliat untuk berusaha menyelamatkan diri. Apalagi aku.”

“Jangan sombong anak gila,” geram penyamun itu, “semakin kau banyak tingkah, maka jalan kematianmu akan menjadi semakin pahit. Tetapi jika kau pasrah, maka kau akan cepat menyelesaikan batas hidupmu yang terakhir.”

“Ki Sanak,” Glagah Putih menjadi semakin tersinggung, “aku minta kalian pergi jika kalian masih ingin tetap hidup di hari ini. Sebab jika terjadi kekerasan, bukan aku yang akan mati, tetapi kalian berdua. Aku, anak seorang saudagar yang kaya raya, tentu yakin akan diri sendiri, serta berbekal perlindungan ilmu jika aku dilepaskan pergi sendiri seperti sekarang ini. Karena aku dan orang tuaku sadar, bahwa masih berkeliaran sekarang ini penyamun dan perampok seperti kalian ini meskipun nampaknya Mataram sudah aman.”

“Gila,” geram orang yang akan menyamun itu, “tundukkan kepalamu. Aku akan memenggal lahermu.”

“Leherku bernilai tujuh kali lipat dari kepalamu berdua,” suara Glagah Putih menjadi semakin keras, karena darah di dalam tubuhnya menjadi semakin panas.

Tetapi jawaban Glagah Putih itu benar-benar telah membakar jantung kedua orang yang akan menyamunnya. Karena itu, maka keduanya pun segera bersiap. Mereka memencar beberapa langkah untuk mengambil arah.

“Anak gila,” geram penyamun itu. Tetapi dengan sikap Glagah Putih yang meyakinkan itu, maka keduanya memang sudah menduga, bahwa anak itu tentu mempunyai bekal ilmu betapapun kecilnya.

Karena itu, maka keduanya pun menjadi berhati-hati menghadapinya.

“Aku masih memberi kesempatan,” Glagah Putihlah yang berkata, “jika kalian pergi sekarang, aku tidak akan berbuat apa-apa. Tetapi jika kalian berbuat sesuatu, maka aku tidak akan mengekang diri lagi.”

“Uh, anak setan,” geram penyamun itu, “aku tanam tubuhmu dan aku sisakan kepalamu di atas pasir di padang ilalang ini. Tidak akan ada orang yang melihatmu sampai saat matimu di bawah teriknya matahari yang membakar pasir di padang ilalang ini. Seandainya kau berteriak, maka tidak akan ada orang yang mendengarnya.”

“O, satu permainan yang mengasyikkan,” desis Glagah Putih, “aku akan mencoba melakukannya atas kalian.”

Kemarahan kedua orang itu benar-benar telah memuncak. Karena itu, maka keduanya pun mulai bergerak. Tetapi sikap Glagah Putih telah memperingatkan agar mereka berdua tidak dengan serta merta menyerang Glagah Putih.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar