Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 197

Buku 197

Beberapa saat anak-anak yang sedang mandi itu termangu-mangu. Namun tiba-tiba seorang di antaranya telah meluncur memasuki lubang itu. Beberapa saat ia berendam di dalam lubang mata air itu, sehingga Raden Rangga menjadi berdebar-debar. Jika terjadi sesuatu dengan anak itu, maka ia akan dipersalahkan.

Namun sejenak kemudian, maka anak itu pun telah muncul ke permukaan sambil mengangkat tangannya yang memegang keping uang itu., “Aku mendapatkannya!” berkata anak itu.

Raden Rangga tersenyum. Katanya, “Ambillah. Itu sudah menjadi hakmu.”

Anak itu menjadi gembira sekali. Ia telah mendapatkan sekeping uang.

Dengan demikian, maka anak-anak yang lain pun telah berkerumun pula. Seorang di antara mereka berteriak, “Lemparkan lagi jika kau punya.”

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun telah melempar lagi sekeping uang.

Seorang anak yang lain telah meluncur pula ke dalam lubang mata air yang besar itu. Untuk beberapa saat Raden Rangga menunggu dengan tenang. Namun kemudian, anak itu telah muncul pula dengan uang di tangannya.

“Bagus, bagus!” Raden Rangga mengacukan ibu jarinya.

Namun dalam pada itu, anak yang paling besar itu pun berbisik, “Anak itu mempunyai uang banyak. Marilah, saat anak itu mandi. Kita akan memaksanya untuk menyerahkan semua uangnya, tidak usah dengan cara yang melelahkan itu.”

Karena itulah, maka anak-anak itu pun kemudian berteriak, “Marilah. Kita akan berenang bersama-sama. Apakah kau dapat berenang?”

Raden Rangga berpikir sejenak. Namun kemudian ia pun setuju. Ia pun mulai melepaskan pakaiannya. Ternyata bahwa keletihan dan kekecewaannya seakan-akan telah dilupakannya.

Sejenak kemudian Raden Rangga pun telah meloncat ke dalam air. Ia memang mampu berenang sebagaimana anak-anak yang agaknya sudah setiap hari berada di belumbang itu. Untuk beberapa saat Raden Rangga berenang hilir mudik. Sementara ia terendam di air yang sejuk, maka tubuhnya memang terasa menjadi segar. Urat-uratnya rasa-rasanya telah berkembang lagi dan darahnya mengalir dengan lancar.

Untuk beberapa saat Raden Rangga menikmati kegembiraan bersama dengan anak-anak yang belum dikenalnya. Namun suasana segera berubah ketika anak yang paling besar di antara mereka memberikan isyarat.

“Ada apa?” bertanya Raden Ranga ketika ia melihat anak-anak itu justru mengepungnya. Anak yang paling besar itu mendekatinya sambil berkata, “He, kau membawa banyak uang ya?”

Raden Rangga mengerutkan keningnya Namun kemudian ia menjawab, “Ya. Aku membawa banyak uang. Satu jumlah yang tentu tidak pernah kau ketahui sebelumnya. Kenapa? Apakah kalian ingin membeli makanan atau minuman atau apa? Marilah, aku akan membayar untuk kalian.”

Anak yang terbesar itu tiba-tiba membentak, “Cukup! Berikan semua uangmu kepadaku.”

Raden Rangga terkejut. Dengan nada ragu ia bertanya, “Apakah benar pendengaranku, bahwa kau ingin mengambil semua uangku?”

“Ya,” jawab anak yang terbesar itu, “jika tidak, maka kau akan kami benamkan ke dalam air. Kemudian jika kau tetap berkeras kepala, maka kau akan kami masukkan ke dalam lubang dan kami tindih dengan batu. Kau tidak akan dapat keluar dari lubang mata air itu.”

“Kau tahu, bahwa dengan demikian aku dapat mati di dalam?” jawab Raden Rangga.

“Aku tidak peduli,” jawab anak terbesar itu.

“Dan kau harus tahu bahwa mayat yang tersumbat itu akan mengakibatkan persoalan yang gawat bagi belumbang ini. Agaknya belumbang ini akan menjadi cemar. Bukanlah belumbang ini selama ini dipergunakan untuk mengairi sawah, memandikan dan minum ternak serta keperluan-keperluan yang lain, karena air yang mengalir dari belumbang ini cukup deras. Mata airnya sangat besar dan memberikan banyak air,” berkata Raden Rangga.

Anak yang paling besar itu termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian, “Karena itu, berikan uangmu semuanya agar kau tidak menjadi penyebab kesulitan yang dapat timbul di sekitar belumbang ini.”

Namun anak-anak itu terkejut ketika Raden Rangga justru tertawa. Katanya, “Itu lucu sekali. Kalian membujuk aku. Tetapi akulah yang kalian anggap akan menjadi penyebab kesulitan yang timbul di sekitar belumbang ini karena airnya tidak lagi dapat dipergunakan untuk waktu yang lama.”

“Aku tidak peduli,” geram anak yang terbesar. “Jangan membuang waktu. Jika kau diketahui oleh orang tua kami, maka tidak akan ada ampun lagi. Uangmu akan dirampas, dan kau akan dilempar ke dalam pereng itu.”

“He, apa kerja orang tua kalian?” bertanya Raden Rangga.

“Jangan bertanya aneh-aneh,” jawab anak yang terbesar, “tetapi baiklah, aku berterus terang agar kau memilih jalan terbaik. Ayah-ayah kami yang tinggal di padukuhan sebelah adalah perampok-perampok. Satu desa telah dihuni oleh perampok-perampok dan penyamun-penyamun. Mereka adalah orang tua kami, yang pada umumnya masih mempunyai hubungan darah yang satu dengan yang lain. Nah, jika kau tidak mau memberikan uang itu kepada kami, maka kalian akan berurusan dengan orang tua kami. Orang tua kami tidak akan mau berbuat sebaik kami. Membiarkan kau lolos jika kau sudah memberikan uangmu kepada kami.”

Raden Ranga mengangguk-angguk. Namun jawabnya memang mengejutkan. Katanya, “Orang tua kalianlah yang benar. Jika kalian memberi kesempatan kepadaku untuk pergi setelah uangku kalian rampas, maka ada kesempatan padaku untuk melaporkan peristiwa ini kepada para prajurit. Mereka pada satu saat akan datang dan akan menghancurkan padukuhan kalian.”

“Para prajurit tidak akan dapat menuduh kami dengan semena-mena tanpa bukti,” jawab anak yang paling besar, ”karena itu, serahkan saja uangmu. Persoalannya akan selesai. Jika kau akan melapor, laporkanlah. Para prajurit akan datang dengan tangan hampa, karena kau tidak akan dapat membuktikan bahwa uangmu telah dirampas. Bahkan kau akan dapat dituduh telah memfitnah kami.”

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Anak yang paling besar itu agaknya sebaya dengan Raden Rangga sendiri, atau bahkan mungkin lebih tua. Yang lain agak lebih muda meskipun tidak terpaut banyak. Tetapi agaknya anak yang mengancamnya itu adalah anak muda yang paling disegani di antara kawan-kawannya.

“Kau cukup cerdik,” berkata Raden Rangga, “siapa yang mengajarimu untuk berpendapat, bahwa laporanku akan dapat dianggap fitnah?”

“Jangan banyak bicara,” berkata anak yang tertua itu. “Seorang di antara kami akan naik dan mengambil uangmu, serta apapun yang kau bawa di dalam kampilmu itu.”

“Aku menyimpan uang di kantong ikat pinggang,” berkata Raden Rangga, “kampilku hanya berisi sepotong jenang alot yang aku beli kemarin. Tetapi barangkali masih enak juga dimakan.”

“Tutup mulutmu!” anak itu membentak. “Kami tidak bergurau. Kami benar-benar akan melakukan sebagaimana aku katakan. Seorang di antara kami akan naik dan mengambil uangmu dimanapun kau simpan.”

“Marilah, aku akan menunjukkan,” berkata Raden Rangga.

“Kau tetap disini. Jika kau melakukan sesuatu yang tidak kami kehendaki, maka kau akan kami benamkan ke dalam air, kami masukkan ke dalam lubang mata air yang besar itu, atau ke samping belumbang di bawah akar preh yang garang itu. Di bawah itu terdapat banyak ular air yang dapat membunuhmu,” anak yang terbesar itu mengancam lagi.

“Kau selalu menakut-nakuti untuk membunuhku,” berkata Raden Rangga, “jangan berbuat begitu. Kau menggelitik hatiku, karena yang mungkin akan melakukannya bukan kau, justru aku. Aku baru saja dimarahi oleh ayahku. Dengan susah payah aku harus mengekang diri.”

“Jangan mengigau!” bentak anak yang terbesar itu, “Jika kau dimarahi ayahmu karena uangmu kami rampas, kami tidak peduli.”

Raden Rangga termangu-mangu. Namun kemudian sekali lagi ia berkata, “Aku minta jangan sebut lagi usaha untuk membunuhku itu. Aku benar-benar minta pengertianmu. Karena sebenarnyalah darahku mulai panas meskipun aku berendam. Sementara itu aku berusaha untuk selalu mengingat wajah ayahku yang seram ketika ia marah.”

“Apakah kau orang gila?” tiba-tiba seorang di antara anak-anak yang terhitung besar bertanya, “Hanya orang gila sajalah yang mengigau seperti itu.”

“Mungkin aku memang orang gila,” jawab Raden Rangga, “tetapi marilah kita mandi. Aku senang berenang dan berendam di sini. Nanti ambillah uang yang ada di kantong ikat pinggangku.”

Raden Rangga sudah siap untuk berenang meninggalkan anak-anak itu. Tetapi mereka mengepung dengan ketat. Seorang di antara mereka membentak, “Dengar kata-kata kami!”

Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kegelisahan nampak di wajahnya.

Anak-anak yang mengepungnya di dalam air itu melihat kegelisahan itu. Mereka menyangka bahwa Raden Rangga menjadi ketakutan. Karena itu, maka mereka pun menjadi semakin mendekat.

Anak yang terbesar di antara mereka pun kemudian berkata kepada salah seorang kawannya, “Ambil apa yang ada. Naiklah.”

Anak itu tidak menjawab. Tetapi ia pun segera berenang ke tepi dan segera meloncat naik.

Darah Raden Rangga benar-benar menjadi panas. Tetapi ia berusaha untuk menahan diri. Terbayang olehnya wajah ayahnya yang menggetarkan jantungnya pada saat ayahnya itu marah.

Namun anak yang sudah naik itu benar-benar mendekati barang-barangnya.

“Biar saja,” berkata Raden Rangga di dalam hatinya, “jika uang itu diambil, besok aku akan mendapat gantinya di Mataram. Tetapi jika aku membunuh lagi, mungkin Ayahanda tidak mengampuni aku.”

Karena itu, maka Raden Rangga sama sekali tidak berbuat apa-apa ketika anak yang naik itu membuka kantong ikat pinggangnya. Di dalamnya memang diketemukan beberapa keping uang yang dibawa oleh Raden Rangga.

“Aku mendapatkannya!” berkata anak yang mengambil uang itu.

“Ambil ikat pinggangnya pula,” berkata anak terbesar itu.

Raden Rangga tidak berbuat apa-apa. Dibiarkannya apa saja yang diingini diambil oleh anak-anak itu. Yang tinggal padanya adalah celana yang dipakainya untuk mandi itu saja.

Ketika anak yang ada di atas itu kemudian mengangkat ikat pinggang Raden Rangga yang di dalam kantongnya berisi uang itu, maka kawan-kawannya yang ada di dalam air bersorak. Dengan lantang anak yang terbesar di antara mereka itu pun berkata, “Kita mempunyai uang sekarang. Kita akan membeli makanan apa saja yang kita ingini. Kita membeli sebanyak-banyaknya sehingga kawan-kawan kita yang tidak hadir di sini pun akan ikut menikmatinya.”

Raden Rangga hanya berdiam diri saja. Dipandanginya tingkah laku anak-anak itu. Di dalam hati ia berkata, “Mereka jarang sekali mempunyai kesempatan memiliki uang meskipun hanya sekeping dua keping. Ayah mereka adalah perampok dan penyamun yang agaknya tidak pernah menghiraukan keadaan anak-anak mereka, seperti juga Ayahanda. Meskipun Ayahanda sekarang tidak kurang dan tidak lebih dari seorang raja, tetapi kesibukannya tidak memungkinkannya untuk dapat memperhatikan anak-anaknya yang lahir dari ibu yang berbeda-beda terus-menerus tidak henti-hentinya.”

Namun dalam pada itu, ternyata anak yang terbesar itu tidak merasa puas dengan uang yang sudah didapatkannya. Karena itu, maka katanya, “Marilah sekarang kita bermain-main dengan anak ini. Ternyata ia memang pandai berenang. Tetapi apakah kepandaiannya dapat menyamai kepandaian kita?”

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Terasa oleh firasatnya, bahwa sesuatu memang akan terjadi. Sementara anak terbesar itu berkata, “Jika salah seorang di antara kita dapat menangkapnya, maka ia berhak untuk membenamkan anak itu sekali untuk beberapa kejap.”

Beberapa orang anak yang berada di sekitar Raden Rangga itu termangu-mangu. Namun anak yang terbesar itu berkata, “Beri jalan agar anak itu keluar dari lingkaran. Kemudian kita akan mengejarnya beramai-ramai.”

Anak-anak itu pun menangkap maksud kawannya yang paling besar dan paling berpengaruh di antara mereka. Karena itu, maka kepungan itu pun kemudian terbuka.

“Nah, kau mendapat kesempatan,” berkata anak terbesar itu kepada Raden Rangga, “kami akan mengejarmu. Kau harus berenang menghindari tangkapan kami di sekeliling belumbang ini. Tetapi kau tidak boleh naik ke darat. Ingat, jika seorang di antara kami menangkapmu, ia akan membenamkanmu beberapa kejap. Kemudian melepaskanmu dan yang lain berusaha menangkapmu lagi. Demikian seterusnya. Terserah kepada kawan-kawanku, kapan permainan ini akan berakhir. Mudah-mudahan kau tidak mati karenanya.”

“Tunggu Ki Sanak,” berkata Raden Rangga, “apakah sudah menjadi kebiasaan kalian, bahwa dalam bermain seorang di antaranya dapat mati terbunuh dalam permainan itu?”

“Bukan menjadi kebiasaan kami jika kami bermain di antara kawan-kawan kami sendiri,” jawab anak terbesar itu.

“Jadi kehadiran orang lain dapat menumbuhkan nafsu membunuh pada kalian?” bertanya Raden Rangga.

“Aku sependapat dengan kau,” jawab anak terbesar itu, “kau akan dapat memfitnah kami jika kau sempat meninggalkan tempat ini. Daripada kami harus menjawab berbagai pertanyaan dan membuktikan bahwa kau memang memfitnah kami, lebih baik jika kau tidak keluar dari belumbang ini.”

Raden Rangga menjadi pening. Bukan karena ia takut dibunuh oleh anak-anak yang hidup dalam satu lingkungan yang terasa asing itu, tetapi justru karena ia berusaha untuk menghindari pembunuhan yang mungkin dapat dilakukannya jika darahnya mulai panas.

Tetapi anak-anak itu tetap pada sikapnya. Anak yang terbesar itu pun kemudian membentaknya, “Cepat! Jika kau tidak ingin segera terbunuh. Kami akan mengejarmu beramai-ramai.”

Raden Rangga memandang berkeliling. Belumbang itu memang cukup luas. Bahkan ada bagian yang dalam, di samping sebagian yang dangkal dan berbatu-batu.

Karena itu, maka Raden Rangga pun berkata, “Baiklah. Kejar aku.”

Ia pun segera menelusur dengan cepat melalui kepungan yang memang sudah terbuka, langsung menuju ke tempat yang dalam.

Anak-anak itu pun langsung mengejarnya sambil berenang. Mereka memencar dan berusaha mengepung kembali agar buruan mereka tidak terlepas. Tetapi ternyata bahwa Raden Rangga mampu berenang dengan cepat, sehingga jarak di antara merekapun menjadi semakin jauh.

Tetapi anak-anak itu pun telah menebar dan menggiringnya ke tepi pada satu sisi. Kepungan yang semakin lama menjadi semakin sempit pula untuk menyudutkan Raden Rangga.

Tetapi Raden Rangga justru menjadi gembira. Tiba-tiba saja Raden Rangga itu telah lenyap. Ternyata dengan tangkas Raden Rangga telah membenam di kedalaman. Dengan cepat ia meluncur di bawah kepungan anak-anak itu dan muncul kembali di luar kepungan.

“Aku di sini,” panggil Raden Rangga.

Anak-anak itu serentak memutar diri. Mereka memang melihat di dalam air yang bening, Raden Rangga meluncur dengan cepat di luar perhitungan mereka.

Namun mereka adalah anak-anak yang terbiasa bermain di belumbang itu. Setiap hari mereka bermain dan berenang. Karena itu, maka mereka pun dengan cepat telah menyusul. Dengan tangkas pula mereka menebar dan kembali mereka berusaha mengurung Raden Rangga dan menggiringnya ke tempat yang tidak terlalu dalam.

Tetapi Raden Rangga menyadari. Karena itu, maka ia pun berusaha untuk tetap berada di tempat yang dalam, sehingga jika kepungan merapat, ia mampu mencari jalan keluar di kedalaman air belumbang itu.

Beberapa kali Raden Rangga mampu meloloskan diri, sehingga anak-anak yang mengejarnya menjadi heran. Namun pada satu kesempatan Raden Rangga telah tergiring ke tempat yang dangkal.

“Gila,” geram Raden Rangga yang kemudian menyadari kelengahannya.

Tetapi ia tidak lagi dapat melepaskan diri dengan menyelam dalam-dalam.

“Anak-anak ini ternyata pandai juga bermain di dalam air,” berkata Raden Rangga yang semakin lama menjadi semakin terjepit.

“Nah,” berkata anak yang paling besar, “kau tidak akan dapat lari lagi sekarang. Kami akan menangkapmu dan berganti-ganti membenamkanmu ke dalam air, sehingga mungkin kau akan meneguk air belumbang ini agak banyak.”

Raden Rangga tidak segera menjawab. Tetapi ia justru didorong untuk bermain terus, meskipun permainannya sudah mulai merambah kepada kemampuannya yang tersimpan di dalam dirinya.

Itulah sebabnya, maka ia justru tertawa sambil berkata, “Kalian belum menangkap aku. Lakukanlah jika kalian mampu. Aku tidak akan ingkar jika kalian akan membenamkan aku berganti-ganti.”

“Jangan mengigau lagi,” berkata anak yang terbesar di antara mereka, “sebutlah nama ibu bapamu sebelum perutmu mekar karena air yang kau minum dari belumbang ini.”

“Air belumbang ini telah menyegarkan tubuhku. Semakin banyak aku minum, tubuhku terasa semakin segar,” jawab Raden Rangga.

Anak-anak itu mulai menjadi marah melihat sikap anak yang mereka anggap asing itu. Karena itu, maka mereka pun dengan tangkas dan cepat telah menyergapnya.

Raden Rangga memang tidak akan mungkin menghindar dengan menyelam dalam-dalam. Ia sudah terdesak ke bagian yang dangkal, sehingga tidak mungkin lagi menyusup betapapun cepatnya di bawah kaki anak-anak yang berusaha menangkapnya untuk membenamkannya berganti-ganti ke dalam air belumbang itu.

Namun demikian, yang dilakukan kemudian memang mengejutkan. Anak-anak yang menyergapnya itu tidak tahu apa yang dilakukan oleh anak yang dikepungnya itu. Namun tiba-tiba anak itu sudah berada di atas sebuah batu hitam yang besar.

Sambil tertawa Raden Rangga berkata, “Ayo, tangkap aku.”

Untuk sesaat anak-anak itu bagaikan membeku. Dengan mata yang tidak berkedip mereka memandang Raden Rangga yang berdiri bertolak pinggang di atas batu hitam itu.

“Ayo, siapa yang akan menyusul aku?” bertanya Raden Rangga.

Anak-anak itu termangu-mangu. Namun mereka pun kemudian telah mencoba menggapai kaki Raden Rangga yang berdiri di atas batu yang terlalu besar bagi anak-anak itu, sehingga mereka tidak dapat menggapai dan menangkap kaki Raden Rangga.

Untuk beberapa saat, anak-anak itu kebingungan. Namun anak yang terbesar di antara mereka berkata, “Kita paksa anak itu untuk turun. Kita lempari saja dengan batu.”

Anak-anak itu pun kemudian mengambil batu sebesar genggaman tangan mereka. Sambil mengancam anak yang terbesar itu berteriak, “Turun! Atau kepalamu akan pecah karena batu-batu ini.”

Raden Rangga termangu-mangu sejenak. Namun kemudian dipandanginya bagian yang dalam dari belumbang itu. Katanya, “Aku akan turun ke tempat yang dalam itu.”

“Terbanglah ke sana jika kau mampu,” geram anak yang terbesar itu

Raden Rangga tertegun sejenak. Jaraknya memang agak jauh. Namun Raden Rangga mempunyai perhitungan bahwa ia akan dapat mencapai tempat di belakang anak-anak yang mengepungnya dan siap melemparinya dengan batu. Dengan cepat ia dapat meluncur ke tempat yang cukup dalam itu.

“Cepat turun!” teriak anak-anak yang mengepungnya.

“Tanganku sudah gatal,” salah seorang di antara mereka berteriak lebih keras.

Raden Rangga tidak menjawab. Namun tiba-tiba saja ia merendah dan dengan satu hentakan. Maka Raden Rangga itu benar-benar bagaikan terbang dengan tangan yang mengembang. Namun ketika Raden Rangga hampir menyentuh air, maka tangannya telah tertelakup rapat dan teracu lurus di atas kepalanya.

Raden Rangga ternyata telah meluncur menyusup ke dalam air seperti lidi saja. Demikian tubuhnya mencebur ke dalam air, maka tubuh itu telah meluncur cepat sekali menuju ke tempat yang dalam.

Anak-anak itu terkejut. Raden Ranga mampu meloncat keluar dari kepungan dan meluncur menuju ke tempat yang dalam.

Beberapa orang anak mengumpat sejadi-jadinya. Merekapun kemudian menghambur memburu, sementara terdengar Raden Rangga tertawa.

“Ayo kejar aku! Ternyata kalian adalah kawan bermain yang menyenangkan!” teriak Raden Rangga.

Anak-anak itu benar-benar menjadi marah. Sekali lagi mereka menghambur dan berusaha mengepungnya.

Raden Rangga tidak berusaha menghindar. Dibiarkannya anak-anak itu mengepungnya meskipun ia juga bergeser beberapa depa, seolah-olah ia tidak dengan sengaja membiarkan dirinya terkepung.

“Jangan biarkan anak ini terlepas lagi,” geram anak yang terbesar di antara mereka, “ia akan mempergunakan kedalaman air di tempat ini untuk menghindar. Karena itu, jika ia menyelam, maka kitapun akan menyelam mengejarnya. Kita harus lebih mampu menyelam dari pada anak itu.”

Perlahan-lahan kepungan itu hampir merapat, Raden Rangga benar-benar telah menyelam. Dengan demikian maka beberapa orang di antara anak-anak itu pun telah menyelam pula.

Tetapi mereka menjadi heran. Raden Rangga menyelam semakin lama semakin dalam. Bahkan dalam beningnya air, tubuhnya hanya nampak lamat-lamat. Tidak seorang pun di antara anak-anak itu yang mampu menyelam sedalam Raden Rangga.

Di dalam air tubuh itu meluncur dengan cepat. Demikian cepatnya sehingga anak-anak itu tidak mampu mengikutinya. Apalagi karena kedalamannya, maka tubuh itu tidak begitu nampak jelas dalam air yang bergejolak.

Namun, tiba-tiba saja tubuh itu muncul di permukaan, beberapa depa dari kepungan. Sambil mengibaskan rambutnya, maka Raden Rangga tertawa semakin keras.

“Tangkap aku, anak-anak. Jika benar kalian anak-anak tepi belumbang ini, kalian tentu memiliki kemampuan berenang dan menyelam melampaui aku,” berkata Raden Rangga di antara derai tertawanya.

“Anak setan,” geram anak terbesar itu. Dengan geram ia berteriak, “Lemparkan saja batu di tangan kalian. Kita tidak usah segan-segan lagi.”

“Batuku sudah aku lepaskan,” jawab seorang di antara mereka.

“Ambil di tempat dangkal itu!” perintah anak yang paling besar.

Namun selagi anak-anak itu siap untuk mengambil batu, maka terdengar suara dari atas dinding batu belumbang itu, “Siapakah anak berilmu iblis itu?”

Anak-anak itu pun menengadahkan wajah mereka. Yang mereka lihat adalah seorang yang bertubuh tinggi kekar berkumis dan berjambang lebat.

“Paman Sura Wedung,” desis anak yang terbesar di antara mereka.

“Aku melihat kalian memburu anak itu tetapi tidak berhasil,” berkata orang yang disebut Sura Wedung itu. “Hal itu wajar sekali, karena anak yang kau buru itu memiliki ilmu iblis. Kalian tidak akan dapat berbuat apa-apa atasnya. Jika kalian benar-benar terlibat dalam perkelahian, maka kalian yang sekian banyaknya itulah yang akan dibenamkannya ke dalam air. Bukan kalian yang akan dapat membenamkan anak itu.”

Anak-anak itu termangu-mangu. Dengan tegang mereka memandangi anak yang membingungkan mereka itu.

Sementara itu. Raden Rangga pun termangu-mangu pula seperti anak-anak yang tidak berhasil menangkapnya. Dipandanginya orang yang bertubuh tinggi kekar berkumis dan berjambang lebat itu.

“He, anak iblis,” berkata orang itu, “kemarilah. Aku ingin tahu serba sedikit tentang kau.”

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun berenang ke tempat yang dangkal. Sambil berdiri di dalam air ia menjawab, “Apa yang ingin kau ketahui tentang aku?”

“Kemarilah,” geram orang itu, “jangan menjengkelkan.”

Raden Rangga pun kemudian naik ke tepi. Celana yang dipakainya kuyup. Namun dengan calana yang basah itu ia naik dan keluar dari dinding rendah yang mengelilingi belumbang itu.

Orang yang bertubuh tinggi tegap itu memang merasa heran melihat sikap anak itu. Nampaknya ia sama sekali tidak merasa takut menghadapinya, karena seharusnya anak itu merasa, bahwa sikapnya bukan sikap yang bersahabat.

Ketika Raden Rangga sudah berdiri beberapa langkah dari orang bertubuh tinggi itu, maka ia pun bertanya, “Apa yang ingin kau ketahui tentang aku?”

“Siapa namamu?” bertanya Sura Wedung.

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun kemudian dengan nada rendah ia menjawab, “Demung. Namaku Demung.”

“Rumahmu?” bertanya Sura Wedung itu pula.

“Aku tidak mempunyai rumah. Aku memang seorang pengembara,” jawab Raden Rangga.

“Apakah kau juga tidak mempunyai ayah dan biyung?” bertanya orang bertubuh tinggi itu selanjutnya.

“Aku sudah diusirnya,” jawab Raden Rangga, “mungkin karena aku sering mencuri uangnya. Dan sekarang aku mempunyai bekal uang dalam pengembaraanku.”

“Aku tahu. Uang itu telah diminta dan dirampas oleh anak-anak. Kenapa kau tidak mempertahankannya? Di mukaku kau tidak usah ingkar, bahwa kau tentu dapat mengalahkan anak-anak itu,” berkata Sura Wedung itu.

Raden Rangga termangu-mangu. Ia menjadi heran pula, bahwa ia tidak mempertahankan uangnya. Namun terbayang kembali wajah Ayahandanya yang marah. Sehingga karena itu, maka hampir di luar sadarnya Raden Rangga berkata, “Aku tidak mau bertengkar.”

“Ternyata kau benar-benar iblis,” berkata Sura Wedung, “kau tentu tidak berkata sebenarnya. Kau memiliki ilmu yang tinggi. Kau tentu sedang memikirkan, bagaimana membunuh anak-anak itu tanpa meninggalkan kesan yang demikian. Kau pancing mereka untuk memburumu. Berenang di tempat yang dalam. Menyusup dan menyelam sehingga mereka kelelahan. Dengan demikian, maka mereka akan terbenam dengan sendirinya tanpa kau sentuh sekalipun.”

“Kau terlalu berprasangka buruk,” jawab Raden Rangga, “aku benar-benar menghindari pertengkaran.”

“Jangan membohongi aku. Iblis seperti kau tidak akan dapat dipercaya,” jawab Sura Wedung.

Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Dengan kerut di dahinya ia berkata, “Lalu, apa yang kau kehendaki sebenarnya?”

“Aku sependapat dengan anak-anak itu, bahwa sebaiknya kau dibenamkan di dalam air. Sementara uang dan apa saja yang kau bawa akan kami rampas,” berkata Sura Wedung.

Raden Rangga menjadi berdebar-debar. Ia mendengar dari mulut anak-anak itu, bahwa orang tua mereka dapat berlaku lebih keras dan kasar daripada mereka. Karena itu, maka agaknya Sura Wedung itu pun tidak bermain-main. Ia dapat berlaku lebih kasar terhadapnya. Apalagi menilik sikap dan ujud wadagnya. Sura Wedung tentu memiliki kemampuan yang cukup pula.

“He, apakah kau mulai meratapi nasibmu?” Sura Wedung itu tiba-tiba membentak.

Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kalian adalah orang-orang yang aneh. Jika kalian sekedar ingin merampas uangku, aku tidak berkeberatan. Bahkan apa saja yang kau kehendaki. Tetapi aku minta bajuku kalian kembalikan, agar aku tidak berjalan dalam pengembaraanku tanpa baju, kain panjang dan ikat kepala.”

“Kau agaknya memang anak yang keras kepala. Kau sama sekali tidak menunjukkan kecemasan. Agaknya kau akan menjadi sangat menarik jika orang-orang padukuhan mengetahui serba sedikit tentang kau. Karena itu, maka aku tidak akan membenamkanmu ke dalam air belumbang itu. Tetapi nyawamu akan dapat diperpanjang beberapa saat, karena aku ingin membawamu kembali ke padukuhan untuk aku pertemukan dengan kawan-kawanku,” berkata Sura Wedung, “mereka tentu merasa mendapat permainan yang menyenangkan, atau mereka akan menunggui anak-anak mereka bermain-main denganmu.”

Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Rasa-rasanya ia tidak akan dapat ingkar dari peristiwa yang dapat menjeratnya ke dalam langkah yang dapat membuat Ayahandanya menjadi semakin marah.

Meskipun demikian Raden Rangga akan berusaha. Ia tidak akan berbuat sesuatu sebelum ia pasti, bahwa ia memang tidak akan dapat mengelak lagi.

Karena itu, maka apapun yang dikehendaki oleh orang yang bernama Sura Wedung itu, sama sekali tidak akan ditolaknya.

“Marilah anak-anak,” tiba-tiba saja Sura Wedung itu berkata, “kita akan pulang. Kita bawa anak ini. Mungkin anak ini akan dapat menjadi permainan yang mengasyikkan. Jangan takut, orang-orang tua akan menunggui kalian bermain. Dengan demikian maka anak-anak ini tidak akan berbahaya lagi bagi kalian.”

Anak-anak yang masih termangu-mangu di dalam air bagaikan menjadi sadar akan diri mereka. Karena itu, maka tiba-tiba anak terbesar itu bertanya, “Apakah kita akan membawanya ke padukuhan?”

“Ya,” jawab Sura Wedung, “aku akan membawanya. Ia tidak akan menolak, karena dengan demikian nyawanya akan menjadi bertambah panjang. Lebih baik ia mengikuti kita ke padukuhan daripada aku membenamkannya di belumbang ini.”

Beramai-ramai anak-anak itu pun segera naik. Merekapun dengan tergesa-gesa mengenakan baju mereka meskipun celana mereka masih basah kuyup. Tetapi ada juga yang tidak mengenakan bajunya, tetapi dibawanya saja bersama kain panjangnya. Bahkan ada di antara anak-anak itu yang memang tidak berbaju dan tidak berkain panjang, sehingga dengan pakaian yang basah ia siap untuk kembali ke padukuhan.

Biasanya anak-anak itu berendam di air sambil mencuci dan kemudian menjemur celananya di atas bebatuan sampai kering. Baru kemudian mereka naik ke darat, mengenakan pakaian mereka dan pulang.

Tetapi sekali itu mereka tidak mencuci pakaian, karena mereka ingin tergesa-gesa kembali bersama Sura Wedung.

Raden Rangga tidak membantah. Sura Wedung-lah yang kemudian menyuruh mereka menyerahkan kembali baju dan kain panjang Raden Rangga yang menyebut namanya Demung itu.

Diiringi oleh anak-anak itu, maka Raden Rangga telah dibawa ke padukuhan yang tidak begitu jauh dari belumbang yang mata airnya sangat deras itu. Ketika mereka lewat di dekat sebuah padukuhan lain, maka orang-orang di padukuhan itu memandanginya dengan iba.

Seorang laki-laki separuh baya bergumam, “Anak itu akan menjadi mangsa serigala-serigala di padukuhan sebelah.”

“Tidak ada yang berani mencegah,” sahut laki-laki yang berdiri di sebelahnya. Meskipun umurnya agaknya sebaya, tetapi laki-laki itu nampaknya masih lebih kuat.

“Siapa yang berani menentang keinginan Sura Wedung,” jawab laki-laki yang pertama.

“Tetapi korban itu masih terlalu muda. Apakah yang diingini oleh Sura Wedung dari anak muda itu? Agaknya ia tidak membawa apapun juga. Atau barangkali tumbuh dan berkembang sebagaimana orang tua mereka,” berkata laki-laki yang berdiri di sebelahnya.

Laki-laki yang pertama menggeleng. Tetapi ia tidak menjawab.

Dengan jantung yang berdebar-debar mereka menyaksikan dari balik dedaunan, Sura Wedung dan anak-anak dari padukuhan sebelah menggiring Raden Rangga yang berjalan di paling depan. Tetapi ternyata bahwa anak yang menyebut dirinya bernama Demung itu sama sekali tidak menundukkan kepalanya. Ia berjalan dengan wajah tengadah tanpa menunjukkan kecemasan bahwa sesuatu akan terjadi atasnya. Jika ada bayangan kecemasan pada dirinya, adalah justru karena anak itu membayangkan wajah ayahandanya yang marah kepadanya. Beberapa ratus patok, setelah menyeberangi sebuah bulak kecil, maka mereka telah memasuki sebuah desa. Desa yang dihuni oleh beberapa keluarga yang ternyata masih mempunyai hubungan keluarga yang satu dengan yang lain.

Desa itu memang tidak begitu besar. Tetapi ternyata desa itu banyak disebut-sebut orang, karena di dalamnya tinggal beberapa orang yang masih berhubungan keluarga itu dan mempunyai pekerjaan yang agak kurang terpuji. Bahkan anak-anak mereka pun telah melakukan hal-hal yang dapat merugikan orang lain di padukuhan-padukuhan sebelah-menyebelah.

Sebenarnya orang tua mereka, yang biasa melakukan perampokan dan kejahatan-kejahatan lain di tempat yang tidak terlalu dekat dengan tempat tinggal mereka, tidak mau mengganggu tetangga-tetangga padukuhan. Apalagi orang-orang di padukuhan tetangga adalah orang-orang yang tidak termasuk berada. Tetapi anak-anak mereka-lah yang justru menyulitkan, karena anak-anak itu kadang-kadang tanpa dapat dicegah telah mengambil buah-buahan di halaman rumah orang.

Dengan demikian anak-anak dari pedukuhan kecil itu tidak banyak bergaul dengan anak-anak di padukuhan sebelah-menyebelah. Jika mereka berada di belumbang, maka anak-anak dari padukuhan sebelah lebih baik menunggu sehingga anak-anak itu pulang. Baru mereka terjun ke dalam air untuk mandi dan mencuci pakaian.

Demikianlah, maka akhirnya Raden Rangga itu telah dibawa ke halaman banjar yang agak luas. Beberapa orang laki-laki telah dipanggil, sehingga sejenak kemudian beberapa orang telah berkumpul di halaman banjar.

Ada satu dua orang yang mengumpat dan meninggalkan halaman itu, karena bagi mereka anak muda itu sama sekali tidak menarik. Tetapi ada juga yang tinggal dan ingin tahu apa yang akan dilakukan oleh Sura Wedung.

“Buat apa kau bawa anak itu?” bertanya seorang laki-laki bertubuh pendek dan berkepala botak.

“Anak ini sangat menarik,” berkata Sura Wedung, “ia memiliki kemampuan melampaui anak-anak kebanyakan. Aku ingin melihat apakah anak itu memang mampu menunjukkan sesuatu yang lain dari kebanyakan anak-anak.”

“Lalu apa yang akan kau lakukan?” bertanya orang berkepala botak itu.

“Aku ingin mengadu anak itu dengan anak-anak kita yang sebaya atau sedikit lebih besar daripadanya,” berkata Sura Wedung, “jika ia menang atas seorang, maka ia akan dikerubut oleh dua orang.”

“Jika kalah?” bertanya yang botak.

“Hak atas anak itu ada pada yang menang,” jawab Sura Wedung, “anak yang menang itu dapat berbuat apa saja atas anak itu.”

“Atau beri kesempatan yang lain bermain-main,” potong seorang yang wajahnya cacat melintang di bawah mata kirinya, “yang menang biarlah menang. Anak itu akan berkelahi dengan yang lain.”

“Terserahlah, apa saja,” jawab Sura Wedung.

“Bagus,” seorang anak muda yang lebih besar dari Raden Rangga menyahut. Ia bukan termasuk anak-anak yang ikut mandi di belumbang. Karena itu anak yang terbesar yang mandi di belumbang itu pun berkata, “Aku harus mendapat kesempatan pertama.”

“Aku sudah memperingatkanmu,” berkata Sura Wedung, “biarlah anak-anak yang lebih besar saja yang mencobanya, meskipun anak itu nampaknya tidak lebih besar daripadamu.”

Anak yang terbesar yang ikut mandi di belumbang itu menjadi sangat kecewa. Tetapi di dalam hati kecilnya ia memang merasa, bahwa anak yang menyebut dirinya bernama Demung itu memiliki sesuatu yang menggetarkan hatinya.

Karena itu, maka ia dapat berlindung di balik pendapat Sura Wedung, bahwa bukan karena ia tidak berani, tetapi ia telah dicegah untuk turun ke arena menghadapi anak itu.

Yang kemudian melangkah maju mendekati Raden Rangga adalah seorang anak muda yang sedikit lebih besar dari Raden Rangga, yang sejak semula memang sudah tertarik untuk berbuat sesuatu atasnya. Sejenak ia mengamati Raden Rangga yang berdiri termangu-mangu.

“Kita akan berkelahi,” berkata anak muda itu.

“Kenapa kita harus berkelahi?” bertanya Raden Rangga.

“Tidak apa-apa. Tetapi kau dibawa ke tempat ini memang untuk diadu dengan kami. Bukankah kau sudah mendengar? Jika kau menang, maka kau akan melawan dua orang, tiga, empat dan selanjutnya. Jika kau kalah, maka kau akan menjadi pengab dan merah biru, karena kau akan aku pukuli,” jawab anak muda itu.

Raden Rangga merasa tidak mungkin dapat menghindar lagi. Bahkan ia sadar, bahwa ia mungkin akan terlibat lebih jauh lagi daripada berkelahi dengan anak-anak.

“Bersiaplah,” berkata anak muda itu yang kemudian melepas bajunya.

Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Celananya masih belum kering, sementara kain panjangnya justru telah menjadi basah pula.

Karena itu, maka Raden Rangga pun telah membuka baju dan kain panjangnya pula. Hanya dengan celananya yang basah kemudian ia pun telah bersiap. Tetapi Raden Rangga sendiri menjadi bingung. Sebenarnya ia bersiap untuk apa?

“Aku harus berusaha untuk tidak membunuh lagi,” berkata Raden Rangga di dalam hatinya, “jika hal itu terjadi, maka Ayahanda akan menjadi lebih marah lagi.”

Dengan demikian maka Raden Rangga tidak ingin berbuat lebih banyak daripada mempergunakan tenaga wajarnya, meskipun yang disebut tenaga wajar Raden Rangga itu adalah tenaga yang tidak wajar bagi orang lain.

Sejenak kemudian, maka anak yang sedikit lebih besar dari Raden Rangga itu telah mulai bergeser. Menilik sikapnya, maka Raden Rangga pun mengetahui bahwa anak itu pernah belajar olah kanuragan.

Sementara itu Raden Rangga masih tetap berdiri tegak di tempatnya. Ia hanya berputar saja ke arah anak yang menjadi lawannya itu bergerak.

Beberapa saat kemudian, tiba-tiba saja lawan Raden Rangga telah meloncat menyerang dengan kakinya yang mengarah ke dada.

Raden Rangga tahu benar bahwa hal itu akan dilaksanakan. Tetapi ia tidak menunjukkan sama sekali penglihatannya itu. Karena itu, maka kaki lawannya itu pun benar-benar telah mengenai dadanya.

Raden Rangga telah terlempar dan jatuh berguling. Sementara terdengar anak-anak yang mengerumuni arena itu bersorak dan berteriak riuh sekali.

Lawan Raden Rangga itu tersenyum bangga. Sambil bertolak pinggang ia pun kemudian berdiri di sebelah Raden Rangga yang masih menggeliat. Bahkan kemudian dengan kakinya ia menyentuh Raden Rangga sambil berkata, “Cepat bangun, sebelum tubuhmu menjadi lumat dipukuli anak-anak kecil.”

Raden Rangga termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba saja ia menangkap kaki lawannya dan menariknya.

Hentakan itu telah membuat lawannya kehilangan keseimbangan dan jatuh pula di samping Raden Rangga. Namun Raden Rangga tidak ingin menunjukkan sesuatu yang dapat menjadikan persoalan itu semakin parah. Karena itu, maka ia pun telah berkelahi dengan cara anak-anak. Ia pun kemudian melingkarkan tangannya ke leher lawannya dan menekannya sebagaimana anak-anak berkelahi.

Lawannya terkejut. Tetapi himpitan tangan Raden Rangga tidak mudah dilepaskannya, sehingga ia pun kemudian terpaksa melakukan cara yang sama.

Kedua anak muda itu pun telah berkelahi dengan saling melilit leher lawannya dengan lengannya. Keduanya berguling-guling di halaman banjar itu. Sekali di atas dan sekali di bawah.

Anak-anak yang mengelilingi arena bersorak semakin keras. Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Namun karena keduanya masih saja berguling-guling, maka anak-anak itu masih saja bersorak-sorak. Lawan Raden Rangga itu mengumpat tidak habis-habisnya. Ia berusaha untuk melepaskan diri dan berkelahi dengan jarak, sehingga dengan demikian, ia akan mampu untuk mengembangkan kemampuannya dalam olah kanuragan. Namun ternyata tangan Raden Rangga itu bagaikan telah melekat dan tidak dapat diurai lagi.

Tetapi perkelahian dengan cara itu ternyata membuat orang-orang yang menyaksikan menjadi gembira. Orang-orang tuapun tertarik untuk bertepuk tangan dan bahkan ada juga yang ikut berteriak.

Sura Wedung sendiri tersenyum sambil berjongkok di pinggir arena, “Sudah lama aku tidak melihat perkelahian semacam ini. Perkelahian yang biasa dilakukan oleh anak-anak kecil.”

“Bagaimana pengamatanmu terhadap anak itu?” bertanya orang yang berambut keriting dan tidak mengenakan ikat kepala, “Aku tadi mengatakan bahwa anak itu agaknya memiliki kemampuan melampaui kemampuan anak-anak sebayanya.”

“Aku kira begitu,” berkata Sura Wedung, “ia memiliki kemampuan yang sangat mengagumkan di belumbang. Kemampuannya berenang agak mengherankan.”

“Ada bedanya antara berenang dan berkelahi,” sahut orang berambut keriting itu.

Sementara itu kedua anak muda itu masih saja berkelahi berguling-guling. Sekali di atas, sekali dibawah. Kadang-kadang keduanya berusaha untuk saling menekan leher lawan. Tetapi dengan menggeliat biasanya tekanan itu dapat mengendor. Bahkan pada saat-saat keduanya berguling-guling, rasa-rasanya terdapat kesempatan-kesempatan untuk mengurai perkelahian itu.

Namun ternyata setiap usaha lawan Raden Rangga untuk mengurai cara perkelahian itu tidak berhasil. Dengan demikian, maka ia pun harus menyesuaikan diri dengan perkelahian yang memang pernah dilakukan pada saat ia masih kanak-kanak dahulu.

Tetapi bagi orang-orang tua, perkelahian itu segera menjemukan. Karena itu, maka Sura Wedung telah berteriak, “Berhenti! Aku tidak senang melihat kalian berkelahi dengan cara itu. Kalian harus berkelahi sebagaimana anak-anak muda berkelahi.”

Raden Rangga seakan-akan tidak mendengar kata-kata Sura Wedung. Ia masih saja melingkarkan tangannya di leher lawannya tanpa dapat diurai lagi.

Karena itu, Sura Wedung menjadi jengkel. Ia pun kemudian berdiri dan mendekati kedua orang anak yang berkelahi itu. Dengan garang ia membentak, “Berhenti! Kalian mendengar atau tidak?”

Bentakan itu ternyata memang berpengaruh. Kedua orang anak muda itu berhenti berkelahi. Keduanya kemudian berdiri tegak dengan pakaian dan tubuh yang kotor. Apalagi pakaian Raden Rangga yang semula masih basah.

Ketika keduanya telah berdiri tegak dalam jarak selangkah, maka Sura Wedung pun berkata, “Kalah atau menang, kalian harus berkelahi seperti anak-anak muda. Jangan berkelahi seperti anak-anak kecil. Mula-mula memang menarik, tetapi kemudian menjadi memuakkan.”

Raden Rangga sama sekali tidak menjawab. Namun lawannya-lah yang menggerak-gerakkan lehernya yang terasa agak sakit sambil berkata, “Aku akan menghentikan perlawanannya dan memberikan kesempatan kepada anak-anak kecil untuk memukulinya.”

“Menarik. Tetapi lakukanlah dan buktikan bahwa kau dapat menghentikan perlawanannya,” berkata Sura Wedung.

Anak itu mengangguk-angguk. Namun ia pun segera bersiap. Wajahnya yang merah memancarkan keinginannya yang membara untuk melumpuhkan Raden Rangga dan memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk memukulinya.

“Nah, mulailah,” berkata Sura Wedung kemudian. Anak muda itu memandang Raden Rangga yang menyebut namanya Demung itu dengan tajamnya. Seakan-akan anak muda itu ingin menelan Raden Rangga bulat-bulat.

Sejenak kemudian, maka Sura Wedung pun melangkah ke tepi. Raden Rangga tidak dapat lagi mempergunakan caranya yang terdahulu. Namun karena itu, darah Raden Rangga pun mulai menjadi panas. Meskipun demikian ia masih tetap dibayangi oleh wajah Ayahandanya yang marah.

Karena Raden Rangga tidak berbuat sesuatu, maka tiba-tiba saja lawannya-lah yang mendahuluinya menyerang dengan sepenuh tenaga. Kakinya lagi yang terjulur ke dadanya, sebagaimana pernah dilakukannya, karena ia merasa bahwa kakinya memiliki kekuatan yang lebih besar dari tangannya.

Namun pada saat itu Raden Rangga sama sekali tidak siap untuk melakukan sesuatu. Ia sedang dibayangi oleh wajah Ayahanda yang marah, bahkan telah menghukumnya dengan hukuman yang lebih berat dari yang pernah diterimanya sebelumnya.

Tetapi justru karena itu, yang terjadi adalah sangat mengejutkan. Karena Raden Rangga tidak sedang memperhatikan lawannya dan serangannya, maka ia tidak dapat berpura-pura terlempar dan jatuh. Meskipun kaki lawannya dengan keras mengenainya, namun benar-benar sangat mengejutkan bagi lawannya dan orang-orang yang menyaksikannya. Bahkan kemudian mengejutkan Raden Rangga sendiri.

Anak muda itulah yang justru kemudian terdorong oleh hentakan serangannya sendiri. Karena Raden Rangga hanya beringsut setapak maka anak muda itu sendiri-lah yang terlempar beberapa langkah sambil menjerit kesakitan. Kakinya yang mengenai dada Raden Rangga itu seakan-akan telah patah. Ketika ia terbanting di tanah, maka ia masih menggeliat. Tetapi kemudian anak itu merintih kesakitan dan kehilangan segenap kekuatannya. Meskipun ia tidak pingsan, namun matanya menjadi berkunang-kunang, dan ia tidak mampu lagi untuk bangkit dan bertempur lagi.

Seperti orang-orang lain yang menyaksikannya, Raden Rangga telah terkejut. Ia tidak sengaja memamerkan kekuatannya terhadap anak itu, justru pada saat ia berusaha menahan diri sejauh-jauh dapat dilakukan, karena ia merasa baru saja dimarahi oleh Ayahandanya.

Ketika orang-orang yang berkerumun itu melihat keadaan anak muda itu, maka beberapa orang telah mendekatinya. Sura Wedung pun kemudian berjongkok pula di sampingnya. Dirabanya kakinya yang membentur tubuh Raden Rangga. Namun demikian ia menyentuh kaki itu, maka anak itu pun telah merintih kesakitan.

Sura Wedung itu pun kemudian berdiri tegak dengan sorot mata yang bagaikan menyala. Dengan lantang ia berkata, “Nah, lihat. Bukankah sudah aku katakan, bahwa anak itu memiliki satu kelebihan. Tetapi sikapnya yang sombong telah membuatnya untuk berpura-pura. Tetapi kini ia tidak akan dapat lepas lagi dari tangan kami.”

“Anak iblis,” desis orang yang berkepala botak.

“Biarlah anak itu berkelahi melawan lima orang yang pernah mempelajari olah kanuragan,” berkata Sura Wedung, “jika ia masih menang atas lima orang anak-anak muda. maka ia akan melawan orang-orang tua.”

Wajah Raden Rangga menegang. Namun kemudian katanya, “Tolong jangan lakukan hal itu.”

“Pengecut. Setelah kau melukai anak muda itu, kau mohon perlindungan,” geram Sura Wedung.

“Bukan begitu. Tetapi aku baru saja dimarahi oleh ayahku karena membunuh,” jawab Raden Rangga.

Jawab Raden Rangga benar-benar mengejutkan. Jantung Sura Wedung rasa-rasanya menjadi semakin cepat bergetar. Dengan sorot mata menyala ia membentak keras, “Kau jangan mencoba membohongi aku. Jika benar kau membunuh, siapa yang kau bunuh dan kenapa kau membunuh?”

Raden Rangga termangu-mangu. Tetapi ia tidak akan dapat mengatakan bahwa ia telah membunuh seorang Tumenggung yang bernama Wiladipa karena ia ingin membantu ayahnya yang sedang mengepung Pajang.

Karena Raden Rangga tidak menjawab, maka Sura Wedung itu membentak semakin keras, “Cepat! Sebut siapakah yang telah kau bunuh!”

“Ki Sanak,” berkata Raden Rangga, “sulit bagiku untuk menyebut namanya. Tetapi sebenarnya aku hari ini tidak ingin membunuh lagi. Karena itu, jangan dorong aku untuk melakukannya. Jika aku harus berkelahi di sini sehingga aku menjadi kehilangan pengamatan diri, maka mungkin sekali akan terjadi pembunuhan itu lagi.”

Tetapi ternyata Sura Wedung salah mengartikan kata-kata Raden Rangga. Ia merasa anak itu justru telah menghinanya dan seluruh isi padukuhan itu. Karena itu, maka ia pun segera berteriak, “He! Siapakah yang berani malawan anak ini? Lima orang bersama-sama. Jangan takut. Jika ia masih menunjukkan kesombongannya, maka aku akan melumatkan kepalanya.”

Sejenak suasana menjadi tegang. Namun kemudian seorang anak muda yang bertubuh tegap melangkah maju.

Dengan suara berat ia berkata, “Sebenarnya aku merasa malu untuk melawan anak yang besar kepala itu. Tetapi jika tidak seorangpun yang mau sedikit memberinya peringatan atas kesombongannya, maka ia akan semakin besar kepala.”

“Bagus,” berkata Sura Wedung, “tetapi aku minta lima orang.”

“Kenapa harus lima?” berkata anak muda yang bertubuh tegap itu.

“Jangan bertanya lagi,” jawab Sura Wedung, yang kemudian hampir berteriak ia memanggil, “empat orang lagi. Cepat!”

Seorang lagi muncul ke arena. Kemudian seorang yang lain dan akhirnya memang ada lima orang anak muda yang tegap dan nampak bertulang kuat.

“Sebenarnya aku juga merasa segan,” berkata seorang anak muda yang lain, “kenapa harus berlima? Aku merasa agak terpaksa. Karena itu aku ragu-ragu.”

“Anak ini dapat mentafsirkan lain,” berkata Sura Wedung, “kalian tentu dikira telah menjadi ketakutan mendengar ceritanya, bahwa ia telah membunuh.”

“Beri kesempatan aku sendiri membunuhnya,” berkata anak muda yang pertama.

Tetapi Sura Wedung membentak, “Sudah aku katakan! Majulah berlima!”

Anak-anak muda itu tidak menjawab lagi. Mereka pun kemudian bergerak mendekati Raden Rangga yang masih berdiri termangu-mangu.

Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada menyesal ia berkata, “Aku sudah mencoba memperingatkanmu. Tetapi terserah kepada kalian, anak-anak dungu.”

Kata-kata Raden Rangga itu memang mengejutkan. Kemarahan anak-anak muda yang lima itu telah terungkat. Hampir berbareng mereka bergeser memencar.

“Berhati-hatilah,” berkata Sura Wedung, “anak itu berbahaya. Memang mungkin ia baru saja membunuh, meskipun barangkali yang dibunuh seorang yang tidak mampu berbuat apa-apa untuk menghadapinya. Namun bahwa ternyata ia pernah membunuh itu harus kalian perhitungkan.”

“Kami akan mencincangnya sampai lumat di sini,” berkata salah seorang di antara kelima orang itu, “ia bukan saja sombong, tetapi ia benar-benar tidak tahu diri.”

Raden Rangga yang mulai dipanasi oleh darahnya telah bergeser pula menghadapi kelima orang itu. Ia memandang berkeliling. Seorang demi seorang, seolah-olah ia ingin melihat tembus sampai jantung dari kelima lawannya itu.

“Ingat,” berkata Raden Rangga, “aku sudah memperingatkan kalian, bahwa aku kadang-kadang kehilangan kendali jika darahku sudah mendidih. Tetapi percayalah, bahwa aku sama sekali tidak bermaksud membunuh. Jika ada yang mati di antara kalian, itu adalah karena nasibku yang sangat buruk. Karena dengan demikian aku akan dimarahi lagi dan barangkali aku akan dihukum oleh ayahku yang keras itu.”

“Aku akan membungkam mulutmu,” geram salah seorang dari kelima orang itu, “jika kau masih saja mengigau, maka kau akan menjadi semakin cepat mati.”

Tetapi anak itu seakan-akan tidak dapat menyelesaikan kalimatnya seutuhnya. Tiba-tiba saja Raden Rangga telah berada dekat di hadapannya. Dua tangannya terangkat demikian cepatnya dan dengan sisi telapak tangannya ia telah menghantam bahu anak itu. Hanya satu kali. Tetapi anak itu kemudian terhuyung-huyung dan kehilangan keseimbangannya. Namun akhirnya ia pun telah jatuh di tanah.

Sejenak Raden Rangga berdiri termangu-mangu. Namun ketika ia melihat anak itu tidak bergerak, maka keringat dingin mulai mengembun membasahi tubuhnya.

Namun ternyata bahwa anak itu tidak mati. Raden Rangga kemudian melihat anak itu bergerak dan merintih kesakitan.

Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya keempat anak yang lain, yang justru membeku melihat peristiwa yang tidak dimengertinya itu.

“Satu peringatan” berkata Raden Rangga, “aku belum mempergunakan seluruh kekuatan wajar wadagku. Mudah-mudahan ia tidak mati.” Raden Rangga berhenti sejenak. Namun kemudian ia berjongkok di samping anak yang kesakitan itu sambil berdesis, “Tolonglah anak ini. Ia memerlukan pertolongan segera.”

Ketika Raden Rangga kemudian berdiri dan bergeser dari anak yang kesakitan itu, maka beberapa orang telah mendekatinya. Mereka segera mengangkat anak itu dan membawanya menyingkir.

Namun sementara itu, Sura Wedung telah berkata dengan suara lantang, “Anak itu memang anak iblis.”

Sementara itu, seorang yang berwajah kasar, berkumis jarang telah bergerak mendekat sambil berkata, “Jangan anakku yang harus melawannya.”

Sura Wedung mengangguk. Katanya, “Aku sependapat.”

Orang berwajah kasar itu berpaling kepada salah seorang di antara anak-anak muda yang siap berkelahi melawan Raden Rangga bersama beberapa orang kawannya.

“Kenapa Ayah?” bertanya anak muda itu.

“Aku melihat bahwa ada kekuatan iblis di dalam dirinya. Biarlah aku mengusir kekuatan iblis itu lebih dahulu. Baru kemudian kalian akan dapat berkelahi dengan anak berilmu iblis ini dalam keadaan wajar,” berkata orang berwajah kasar itu.

Anak-anak muda itu tidak menjawab. Tetapi mereka memang merasa ngeri melihat sikap anak muda yang menyebut dirinya bernama Demung itu. Ia melihat bagaimana dengan satu ayunan tangan, kawannya tidak mampu lagi untuk bangun, apalagi melanjutkan perlawanannya menghadapi anak yang menyebut dirinya Demung itu.

Karena itu, maka mereka justru merasa terbebas dari satu pekerjaan yang berat dan yang mungkin akan dapat mencelakai mereka. Jika benar orang berwajah kasar itu mampu mengusir kemampuan iblis yang ada di dalam diri anak yang menyebut dirinya Demung itu, maka kemudian mereka akan dengan gembira bersama-sama memperlakukan anak itu sesuka hati.

Sementara itu, orang berwajah kasar itu telah berada di hadapan Raden Rangga yang termangu-mangu. Dengan kasar orang berwajah kasar itu pun membentak, “Anak iblis! Kau harus menebus kesombonganmu itu. Kau sudah menyakiti salah seorang anak kami. Karena itu, maka kau akan mendapat hukuman yang setimpal dengan kesombonganmu itu.”

“Bukan aku yang bersalah,” jawab Raden Rangga, “aku sudah berusaha untuk mencegah peristiwa seperti itu terjadi. Untunglah bahwa aku masih mampu mengekang diri sehingga anak itu tidak mati. Tetapi orang lain yang masih saja memperlakukan aku dengan kasar dan dengan kata-kata yang menyakitkan hati, maka aku akan bertindak lebih keras lagi. Mungkin aku akan terpaksa membunuh meskipun aku tidak berniat melakukan pembunuhan. Tetapi sudah aku katakan, kadang-kadang aku tidak mampu mengekang diriku dan pembunuhan seperti itu telah terjadi.”

“Diam!” bentak orang berwajah kasar. Lalu, “Ulangi lagi kesombonganmu itu. Kau dapat memukul anak itu tanpa melawan, karena ia tidak mengira bahwa kau akan melakukannya. Tetapi kau tidak akan dapat mengulangi untuk untuk kedua kalinya.”

Raden Rangga menggeram. Darahnya menjadi semakin panas. Tetapi ia masih sempat berkata, “Jangan memaksa aku untuk membunuh lagi.”

Orang berwajah kasar itulah yang kemudian mendahului menyerang. Ternyata ia memang memiliki kecepatan gerak yang mengagumkan. Dalam lingkungan orang-orang garang di padukuhan itu, orang berwajah kasar itu termasuk seorang yang disegani disamping Sura Wedung sendiri dan beberapa orang lainnya yang jumlahnya hanya sedikit.

Namun ternyata bahwa ia tidak dapat berbuat sebagaimana dilakukan oleh Raden Rangga. Ia tidak dapat memukul anak yang masih terlalu muda itu dengan sekali ayun dan melumpuhkannya.

Bahkan serangannya itu sama sekali tidak dapat menyentuh tubuh anak yang masih terlalu muda itu.

Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam, ia masih berusaha dengan susah payah menahan diri. Namun tingkah laku orang berwajah kasar itu benar-benar memuakkan.

Sebenarnya Raden Rangga masih mengharap orang-orang tua itu tidak turut campur. Tetapi agaknya ia sudah terdorong melakukan satu langkah yang terlalu keras, sehingga seorang di antara anak-anak muda itu hampir saja menjadi pingsan dengan sekali ayunan tangannya. Dan langkahnya itulah yang telah mendorong orang-orang tua di padukuhan itu mulai turun ke gelanggang.

Tetapi Raden Rangga memang tidak dapat berbuat lain. Orang berwajah kasar itu pun dengan tangkasnya telah menyerangnya kembali. Ayunan tangannya yang mengarah ke kening menimbulkan desing angin yang mengusap wajah Raden Rangga itu.

“Kekuatan orang ini cukup besar,” desis Raden Rangga.

Tetapi kekuatan itu tidak lebih dari kekuatan tubuh wantah tanpa dilambari dengan dorongan ilmu apapun juga, selain ketrampilan olah kanuragan serta latihan-latihan kewadagan.

Meskipun demikian, kekuatan itu cukup berbahaya bagi orang-orang yang hanya bertumpu pada kekuatan wadagnya saja.

Untuk beberapa saat Raden Rangga masih menahan diri karena bayangan kemarahan ayahandanya. Namun semakin lama ia menjadi semakin muak melihat tingkah laku orang berwajah kasar itu. Jika sekali dua kali ia menghindar, maka orang berwajah kasar itu merasa mampu mendesaknya, sehingga ia menyerang lebih garang lagi.

“Aku harus menghentikannya,” geram Raden Rangga, “tetapi bagaimana dapat aku lakukan tanpa membunuhnya?”

Raden Rangga mencoba mengingat apa yang telah dilakukannya atas anak muda yang tidak mati oleh pukulannya itu.

Tetapi orang berwajah kasar ini agak berbeda. Ia sudah berada pada tataran yang lebih tinggi serta sudah berada dalam keadaan benturan kekerasan. Karena itu, sulit bagi Raden Rangga yang darahnya telah menjadi panas itu untuk menentukan takaran kekuatannya untuk melumpuhkan lawannya, tetapi tidak membunuhnya.

Sementara itu orang berwajah kasar itu telah menyerangnya terus. Namun tiba-tiba saja Raden Rangga telah mencoba untuk tidak mengelak. Dibiarkannya serangan orang itu mengenai dirinya tanpa dihindarinya.

Tetapi Raden Rangga yang menyadari bahwa orang berwajah kasar itu memiliki kekuatan yang sangat besar, tidak ingin dirinya terlempar. Karena itu, maka dalam keadaannya. Raden Rangga telah mengungkapkan ilmunya untuk mendukung kekuatan wadagnya.

Dengan demikian, maka yang terjadi sama sekali tidak diduga oleh orang berwajah kasar itu, serta orang-orang yang menyaksikannya.

Ketika orang-orang di seputar arena, termasuk Sura Wedung, melihat orang berwajah kasar itu meloncat dengan kaki terjulur lurus mengarah ke dada anak muda itu, maka merekapun mengira, bahwa pertempuran akan segera berakhir. Anak muda itu akan segera terlempar dan jatuh terlentang di halaman banjar. Selanjutnya, orang-orang tua yang bukan saja berwajah kasar, tetapi juga berhati kasar itu akan memberikan kesempatan kepada anak-anak untuk memukulinya beramai-ramai.

Tetapi yang terjadi ternyata sama sekali tidak sebagaimana mereka duga.

Ketika kaki orang berwajah kasar itu benar-benar mengenai dada anak muda yang menyebut dirinya Demung itu, karena anak muda itu memang tidak berusaha mengelak, maka terjadi satu benturan yang seru. Raden Rangga memang terdorong selangkah surut. Namun yang mengejutkan semua orang adalah orang berwajah kasar itu. Ternyata ketika ia sudah mengerahkan segenap kekuatannya, maka kakinya seakan-akan telah menghantam bukit karang. Dengan demikian maka kekuatannya yang dilontarkan sepenuhnya itu seakan-akan telah menghantam bagian dalam tubuhnya sendiri.

Orang itulah yang justru telah terlempar beberapa langkah surut. Ketika ia jatuh terbanting di tanah, keadaannya justru lebih parah dari anak-anak muda yang mengalami kesulitan sebelumnya, justru karena kekuatan orang berwajah kasar itu berlipat ganda dari kekuatan anak-anak muda itu. Dengan demikian maka kekuatan yang berbalik menghantam bagian dalam tubuhnya sendiri merupakan kekuatan yang sangat besar pula, sehingga bagian dalam tubuhnya rasa-rasanya telah runtuh dari tangkainya.

Orang berwajah kasar itu masih sempat mengeluh. Namun kemudian ia justru tidak bergerak sama sekali. Wajahnya menjadi sangat pucat dan tubuhnya bagaikan membeku.

Ternyata bahwa orang itu telah menjadi pingsan. Semua mata menjadi terbelalak karenanya. Semua ketakutan.

“Anak ini benar-benar anak iblis,” berkata mereka di dalam hati.

Namun Sura Wedung-lah yang pertama-tama menyadari keadaannya. Dengan suara lantang ia berteriak, “Kepung anak iblis it!. Ia tentu anak tukang tenung. Karena itu, maka anak itu harus kita bunuh beramai-ramai.”

Beberapa saat orang-orang yang ada di seputar arena itu masih membeku. Namun sekali lagi Sura Wedung berteriak, “Cepat! Jangan biarkan anak itu lari!”

Orang-orang yang ada di tempat itu bagaikan terbangun dari sebuah mimpi yang sangat buruk. Tiba-tiba saja mereka telah bergerak dan mengepung anak muda yang menyebut dirinya bernama Demung itu.

Bahkan tiba-tiba saja seseorang di antara mereka telah memukul suara kentongan dengan nada titir. Satu isyarat yang jarang sekali terdengar di padukuhan itu.

Orang-orang padukuhan itu dalam kerja mereka telah terbiasa mendengar isyarat suara kentongan bernada titir. Namun ketika mereka mendengar suara titir itu di padukuhan mereka sendiri, maka rasa-rasanya jantung mereka menjadi berdebar-debar juga.

Raden Rangga memang menjadi bingung. Apalagi ketika ia mendengar suara titir. Keadaan itu demikian tiba-tiba, sehingga Raden Rangga itu tidak sempat untuk berpikir panjang.

Yang menghantuinya adalah justru wajah ayahandanya saja. Jika orang-orang padukuhan itu nanti mengeroyoknya, maka akibatnya akan dapat terjadi pembunuhan yang hendak disingkirinya itu.

Karena itu, maka tiba-tiba saja Raden Rangga telah meloncat berlari meninggalkan arena itu.

Namun Sura Wedung menjadi salah paham. Ia mengira bahwa Raden Rangga menjadi ketakutan. Karena itu, maka ia pun telah berteriak lebih keras., “Kejar anak itu! Jangan beri kesempatan berlari!”

Orang-orang tua yang ada di halaman banjar itu pun mempunyai dugaan yang sama dengan Sura Wedung. Karena itu, maka mereka pun serentak telah mengejar dan berusaha mengepung Raden Rangga.

Sejenak kemudian maka padukuhan itu menjadi ramai. Orang-orang yang sudah terbiasa dikejar-kejar itu justru telah mengejar seorang anak yang masih sangat muda. Polah mereka bagaikan anak-anak yang sedang mengejar bajing yang berloncatan di antara pelepah kelapa.

Padukuhan itu benar-benar menjadi ramai. Di setiap sudut dan tikungan orang-orang berteriak-teriak dengan suara parau. Bahkan ada di antara mereka yang tiba-tiba telah memegang senjata di tangannya.

Yang aneh adalah justru Raden Rangga sendiri. Tiba-tiba saja ia menjadi gembira sebagaimana pada saat anak-anak mengejarnya sambil berenang di belumbang. Ia merasa mendapat kawan bermain yang cukup banyak, bukan hanya anak-anak, tetapi juga orang-orang tua.

Karena itu, maka Raden Rangga pun telah berlari-larian di dalam batas dinding padukuhan. Ia berlari berputar-putar menyusuri jalan-jalan yang sebelumnya tidak dikenalnya. Jika tiba-tiba saja ia berpapasan dengan orang-orang yang memburunya dan tersebar di seluruh penjuru padukuhan, maka tiba-tiba saja ia meloncati dinding halaman.

Semakin lama orang yang mengejar Raden Rangga pun menjadi semakin banyak. Orang-orang tua, anak-anak muda, remaja dan bahkan hampir setiap laki-laki di padukuhan itu. Suaranya menjadi riuh dan gemuruh. Seluruh padukuhan rasa-rasanya telah terguncang oleh tingkah Raden Rangga.

Sebenarnyalah orang-orang padukuhan itu telah dicengkam oleh perasaan aneh. Mereka yang terdiri dari sekian banyak orang, yang di luar padukuhan ditakuti sebagai perampok, penyamun dan perompak, tiba-tiba di padukuhan sendiri telah dipermainkan oleh seorang anak yang masih terlalu muda.

Namun adalah satu kenyataan, bahwa mereka tidak segera dapat menangkap anak muda itu. Dalam keadaan yang terjepit, seolah-olah anak itu telah menjadi lenyap seperti asap. Bahkan ketika Raden Rangga terkepung di halaman, maka beberapa orang telah melihatnya menyusup ke dalam gerumbul. Namun tiba-tiba saja orang-orang itu mendengar suara tertawa di bumbungan atap sebuah rumah.

“Ayo, tangkap aku,” berkata raden Rangga, “semula aku cemas, bahwa aku harus membunuh lagi. Tetapi ternyata bahwa kalian telah memberi kegembiraan bermain hari ini. Aku jarang sekali bergembira seperti hari ini setelah aku sempat bermain di belumbang. Dan kini aku sempat bermain dengan paman-paman, kakang-kakang dan kakek-kakek di padukuhan ini.”

“Persetan anak tukang tenung!” geram Sura Wedung yang hanya dapat menggeram di muka sebuah rumah yang bumbungan atapnya menjadi alas berpijak Raden Rangga., “Jangan licik seperti anak tikus celurut. Jika kau benar laki-laki, turun dan kita berkelahi di halaman ini!”

“Tidak mau,” berkata Raden Rangga, “jika kau memaksa aku untuk berkelahi, aku akan mendapat marah lagi, karena aku tentu akan membunuh. Bahkan mungkin tidak hanya seorang di antara kalian. Mungkin dua, mungkin lima atau bahkan sepuluh. Mungkin kau yang akan terbunuh paling dahulu.”

“Turun!” Ki Sura Wedung berteriak dengan penuh kemarahan, “Jika tidak, akan aku bakar rumah itu.”

“O, jangan!” tiba-tiba seorang bertubuh kurus mencegah, “Kau tahu rumah ini adalah rumahku.”

Sura Wedung berpaling. Namun katanya kemudian, “Bagaimana memaksa anak itu turun?”

“Beberapa orang di antara kita naik,” berkata orang bertubuh kurus itu.

Sura Wedung mengangguk-angguk. Ia pun kemudian bersama beberapa orang telah bersiap untuk naik dari beberapa arah.

“Hati-hati, jangan kalian rusakkan rumahku,” berkata orang bertubuh kurus itu.

Namun anak muda yang menyebut namanya Demung itu tertawa sambil berkata, “Marilah, silahkan naik. Kita akan bermain di atap rumah ini. Kita akan menunjukkan, siapakah di antara kita yang paling trampil berkejaran di atas alas yang miring. Tetapi jika rusuk-rusuk rumah ini rontok, bukan salahku.”

“Persetan!” geram Sura Wedung. Bahkan pemilik rumah itu pun akhirnya berkata, “Biar saja atap rumah ini runtuh. Tetapi monyet itu harus tertangkap.”

“O, begitu?” sahut Raden Rangga, “Jadi kau tidak berkeberatan atap rumahmu runtuh?”

Orang bertubuh kecil itu tidak menjawab. Tetapi orang-orang yang mengepung Raden Rangga dengan hati-hati bergerak maju di atas atap rumah itu. Perlahan-lahan mereka merangkak. Namun di antara mereka telah siap dengan senjata di tangan

Namun adalah di luar dugaan. Dengan gembira Raden Rangga menyaksikan orang-orang yang merangkak itu. Tetapi ketika orang-orang itu menjadi semakin dekat dan senjata-senjata mulai teracu, maka Raden Rangga melonjak-lonjak sambil tertawa. Katanya di sela-sela derai tertawanya, “Marilah. Kalian mirip dengan anjing-anjing kelaparan yang merangkak mendekati potongan tulang-tulang.”

“Tutup mulutmu!” teriak Sura Wedung.

Tetapi suara tertawa Raden Rangga berderai semakin keras.

Namun yang terjadi kemudian sangat mengejutkan. Tiba-tiba Raden Rangga itu seakan-akan telah menghentakkan kakinya. Demikian kerasnya sehingga terdengar gemeretak kayu yang patah.

Ternyata bahwa kayu yang membujur di bumbungan atap rumah itu benar-benar telah patah. Di antara derak suara kayu yang berpatahan, maka Raden Rangga pun seakan-akan telah meluncur ke bawah. Beberapa orang yang menyaksikan mengira bahwa anak itu tentu akan terluka karena ujung-ujung kayu di bumbungan dan rusuk-rusuk yang patah itu mengenai tubuhnya.

Tetapi tidak hanya Raden Rangga saja yang kemudian meluncur ke bawah. Beberapa orang yang hampir saja mencapainya pun telah terguncang dan satu dua di antara mereka pun meluncur pula meskipun mereka berusaha berpegangan.

Terdengar beberapa orang berteriak. Sura Wedung masih sempat mencari pegangan sehingga ia tidak terjatuh. Namun ia pun kemudian telah bergeser turun meskipun harus sangat perlahan-lahan, agar kayu yang menyangga berat tubuhnya tidak patah pula.

Orang-orang yang berada di atas rumah itu mengumpat sejadi-jadinya. Atap rumah itu benar-benar menjadi rusak, sementara anak yang ingin mereka tangkap telah meluncur ke bawah.

Tetapi orang-orang yang di atas atap dan berusaha untuk turun itu berharap bahwa orang-orang yang berada di bawah sempat menangkap anak yang sedang mereka kejar-kejar itu. Bahkan mungkin anak itu sudah terluka, sehingga tidak akan terlalu sulit lagi untuk menangkapnya.

Ketika beberapa orang, termasuk Sura Wedung telah berada di atas tanah, maka yang pertama-tama mereka tanyakan adalah anak yang mereka buru itu, “Dimana anak itu?”

Orang-orang yang berada di bawah menjadi bingung. Mereka memang melihat beberapa orang meluncur jatuh. Bahkan di antara kawan-kawan mereka justru telah terluka oleh ujung-ujung kayu yang berpatahan. Namun mereka tidak melihat anak muda yang sedang diburu itu.

“Kami tidak melihatnya,” berkata salah seorang di antara mereka yang berada di bawah.

“Kalian tertidur?” geram Sura Wedung, “Anak itu meluncur ke bawah.”

“Mungkin anak itu masih berada di bawah timbunan kayu-kayu yang patah itu,” berkata orang lain.

Beberapa orang telah menyerbu dan menyibakkan kayu-kayu yang berpatahan. Tetapi mereka tidak menemukan seseorang di antara reruntuhan itu.

Beberapa saat orang-orang itu menjadi bingung. Seorang yang berdiri di luar rumah itu berkata, “Kami mengepung rumah itu. Jika ia meluncur jatuh, ia tidak akan dapat keluar dari rumah ini.”

“Kita cari di semua ruangan di rumah ini,” perintah Sura Wedung.

Orang-orang itu pun menjadi sibuk. Mereka mencari Raden Rangga di setiap sudut dan ruangan. Namun mereka tidak menemukannya.

Hilangnya Raden Rangga itu membuat beberapa orang menjadi marah. Mereka ingin menghukum anak muda yang dianggap telah mencemarkan nama padukuhan mereka. Padukuhan dari orang-orang yang memiliki kelebihan dari orang lain. Namun ternyata bahwa mereka dapat dipermainkan oleh anak yang masih terlalu muda.

“Kita cari anak itu sampai ketemu!” Sura Wedung berteriak, “Jika benar rumah ini dikepung rapat, maka anak itu tentu berada di sekitar tempat ini. Mungkin ia bersembunyi di kolong amben, mungkin di atap, atau di celah-celah dinding, atau di mana saja.”

Orang-orang yang mencarinya pun seakan-akan telah menjadi gila, karena mereka tidak dapat menemukan anak yang mereka anggap pasti berada di rumah itu.

Namun sejenak kemudian, tiba-tiba saja mereka telah dikejutkan oleh kehadiran seorang anak muda yang berlari-lari sambil terengah-engah. Dengan kata-kata yang patah ia memberikan laporan, “Anak yang kita buru itu sudah berada di tikungan.”

“Tikungan mana?” bertanya Sura Wedung dengan mata terbelalak.

“Tikungan di ujung jalan itu,” jawab anak muda yang melaporkan itu, “beberapa orang kawan sedang mengejarnya.”

“Gila!” Sura Wedung pun berteriak, “Tangkap anak iblis itu! Ia harus dicincang di halaman banjar.”

Beberapa orang pun segera berlari-larian menuju ke tikungan. Mereka menyebar dan bermaksud untuk menyergap dari beberapa arah. Namun ternyata Raden Rangga sudah berlari lebih jauh lagi, sehingga kembali terjadi kejar-kejaran di padukuhan tu.

Kegemparan pun menjadi semakin mengguncang padukuhan itu ketika diketemukan beberapa orang yang terluka di beberapa tempat. Seorang yang bercambang dan berkumis tebal, terbaring di sudut gardu, sementara seorang bertubuh gemuk, pingsan di simpang empat. Seorang yang lain merintih di bawah rumpun bambu yang lebat.

“Apa yang telah terjadi dengan mereka?” bertanya Sura Wedung yang mendapat laporan tentang peristiwa itu.

“Anak itu,” jawab seseorang, “tidak seorang pun mampu menahannya.”

“Apakah ada di antara mereka yang terbunuh?” bertanya Sura Wedung.

“Tidak. Untunglah bahwa tidak seorang pun di antara korban yang terbunuh. Tetapi ada di antara mereka yang mengalami luka cukup berat.”

Kemarahan Sura Wedung dan beberapa orang padukuhan itu tidak dapat ditahan lagi Namun mereka tidak segera dapat menangkap anak muda yang menyebut dirinya bernama Demung itu.

Karena itu, maka Sura Wedung pun telah mengerahkan tenaga lebih banyak lagi. Semua laki-laki telah dimintanya keluar dari rumahnya. Bahkan seorang gegedug yang paling disegani telah didatangi oleh Sura Wedung.

Tetapi, gegedug itu tertawa berkepanjangan. Katanya, “Apakah kalian sudah gila?”

“Aku minta Kakang keluar dan melihat apa yang terjadi,” minta Sura Wedung, “sekian banyak orang menjadi saksi. Beberapa orang telah terluka, dan sampai saat ini kami belum dapat menangkap anak itu.”

“Ah, kalian mengganggu orang yang sedang tidur saja,” geram gegedug itu. “Aku memang mendengar ramai-ramai seperti orang yang sedang mengejar tupai. Tetapi bukankah hal itu sangat memalukan? Dan apakah aku, gegedug padukuhan ini, harus keluar untuk ikut menangkap tupai?” “Aku akan mohon tidak hanya Kakang, tetapi dua orang gegedug yang lain pun akan aku minta untuk menangkap anak itu bersama Kakang,” berkata Sura Wedung.

“Kau ini memang senang bergurau,” gegedug itu masih tertawa, “sudahlah. Aku akan tidur,” tiba-tiba wajahnya menjadi gelap.

Sura Wedung termangu-mangu. Namun ia tidak dapat berbuat lain kecuali memaksanya, “Kakang, Kakang harus ikut menyelamatkan nama padukuhan ini. Jika anak itu benar-benar tidak tertangkap, maka ia akan bercerita kemana-mana, bahwa kita penghuni padukuhan ini, tidak mampu menangkap hanya seorang anak kecil.”

“Tetapi jangan aku!” gegedug itu tiba-tiba membentak, “Aku tidak mau dihina seperti ini.”

Sura Wedung tidak dapat berbuat lain kecuali mendesaknya terus, “Setidak-tidaknya aku mohon Kakang melihat apa yang terjadi. Nanti Kakang akan mengambil kesimpulan, apakah yang sebaiknya harus Kakang lakukan.”

“Ah,” orang itu menggeram. Namun karena beberapa orang telah datang ke rumahnya dengan permintaan yang sungguh-sungguh, maka akhirnya gegedug itu berkata, “Baiklah. Tetapi aku hanya akan melihat di halaman rumahku sendiri, apa yang terjadi di padukuhan ini.”

Sura Wedung tidak membantah lagi. Apa saja yang dilakukan oleh gegedug itu, asal ia mau keluar dari rumahnya dan melihat keadaan yang kisruh di padukuhan itu. Suara kentongan ternyata tidak dihiraukannya. Bahkan ia justru merasa terhina, bahwa hanya karena seorang anak saja, seorang gegedug harus keluar dari rumahnya.

Ketika gegedug itu berada di halaman, maka ia mulai melihat kesibukan di jalan-jalan. Ia melihat beberapa orang berlari-lari hilir mudik.

“Kenapa mereka itu?” bertanya gegedug itu.

“Mereka mengejar anak itu,” jawab Sura Wedung, “tetapi anak itu kadang-kadang hilang dari pengamatan mereka.”

Gegedug itu tiba-tiba saja tertawa. Katanya, “Lucu sekali. Aku tidak dapat mengerti, mengapa untuk menangkap seorang anak, seisi padukuhan harus keluar, termasuk seorang gegedug? Apakah orang-orang lain sudah kehilangan kemampuannya, seperti Sura Wedung ini misalnya?”

“Aku tidak mengerti Kakang,” jawab Sura Wedung, “tetapi ternyata beberapa orang telah terluka parah. Seorang terbaring di sudut gardu, yang lain di simpang empat, di bawah rumpun bambu, dan mungkin di tempat-tempat lain.”

“Aku belum pernah melihat lelucon seperti ini,” berkata gegedug itu.

“Seisi padukuhan inipun baru melihat kali ini,” jawab Sura Wedung, “karena itu, marilah, silahkan turun ke jalan.”

Gegedug itu akhirnya tertarik juga untuk turun ke jalan. Untuk beberapa saat ia tidak melihat orang berlari-lari. Namun sejenak kemudian, seorang anak muda berlari bagaikan dikejar hantu.

Di hadapan Sura Wedung ia berhenti. Nafasnya hampir terputus oleh desakan kegelisahan dan oleh keletihan setelah berlari sekencang-kencangnya mencari Sura Wedung. “Aku mencari Paman,” suaranya terengah-engah dan tidak begitu jelas.

“Tenanglah,” berkata gegedug itu, “berbicaralah perlahan-lahan tetapi jelas. Jangan takut, aku ada di sini.”

Anak muda itu mencoba menenangkan perasaannya. Sejenak kemudian katanya, “Paman Wira Bangkong diketemukan tidak sadarkan diri.”

“Wira Bangkong?” hampir berbareng beberapa orang mengulang nama itu. Wira Bangkong adalah seorang gegedug yang hanya sedikit sekali jumlahnya di padukuhan itu.

“Coba ulangi,” berkata gegedug itu, “yang tidak sadarkan diri itu pamanmu Wira Bangkong?”

“Ya. Paman Wira Bangkong diketemukan tidak sadarkan diri di mulut gerbang. Beberapa orang menyaksikan, Paman Wira Bangkong bertempur melawan anak yang sedang kita kejar-kejar ini. Namun Paman Wira Bangkong ternyata dapat dikalahkan dan bahkan menjadi pingsan. Beberapa orang tidak ada yang berani membantunya, sementara anak itu pun kemudian telah lari lagi.”

“Apakah ia lari keluar padukuhan?” bertanya Sura Wedung.

“Tidak. Ia masih berada di padukuhan,” jawab anak muda itu.

“Bukankah ia sudah di pintu gerbang? Seandainya ia ingin keluar, bukankah tidak ada orang yang berani mencegahnya lagi?” bertanya Sura Wedung.

“Ya. Tetapi ia tidak keluar dari padukuhan,” jawab anak muda itu.

Sura Wedung menggeram. Katanya, “Bukankah anak itu dengan sengaja telah menghina seisi padukuhan ini? Tetapi ternyata ia memang memiliki ilmu iblis. Ternyata Kakang Wira Bangkong telah dikalahkannya.”

Gegedug itu menggeram. Katanya, “Aku akan mencari anak itu sampai ketemu.”

Gegedug itu pun kemudian kembali masuk ke dalam rumahnya. Setelah ia mendengar bahwa Wira Bangkong pingsan karena pokal anak itu. maka ia benar-benar menjadi marah. Bahkan agaknya ia tidak tanggung-tanggung lagi untuk bertindak, Ia telah mengambil senjata andalannya, sebuah bindi yang cukup besar dengan karah-karah besi yang melingkar dari pangkal sampai ke ujung.

Sejenak kemudian maka gegedug itu telah turun ke jalan diiringi oleh beberapa orang, termasuk Sura Wedung. Mereka telah menyilang jalan, sesuai dengan keterangan anak muda itu, kemana kira-kira anak yang menyebut dirinya bernama Demung itu pergi.

Sebenarnyalah bahwa sejenak kemudian, mereka telah mendengar suara riuh. Tepat seperti orang yang sedang mengejar tupai. Beberapa orang berteriak-teriak sambil berlari-lari. Sementara itu seorang anak muda dengan tangkasnya berloncatan mendahului orang-orang yang mengejarnya itu.

“Itulah!” tiba-tiba Sura Wedung menunjuk. Seorang anak muda yang berdiri di atas dinding batu sebuah halaman.

Gegedug itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku akan membunuhnya.”

Gegedug itu pun langsung menuju ke tempat Raden Rangga berdiri. Namun tiba-tiba saja Raden Rangga telah meloncat turun dan berlari menyusuri jalan-jalan padukuhan.

Beberapa orang berlari mengejarnya. Gegedug itu pun akhirnya ikut juga berlari mengejarnya.

Untuk beberapa saat mereka bekejaran. Namun tiba-tiba saja orang-orang yang mengejar, termasuk gegedug itu, telah kehilangan jejak, sehingga anak muda yang menjadi buruan orang sepadukuhan itu telah hilang begitu saja.

Orang-orang padukuhan itu menjadi bingung. Mereka mulai berlarian dan berteriak-teriak. Tetapi tidak seorang-pun yang melihat kemana anak itu pergi. Bahkan setelah seisi padukuhan itu mencari, mereka tetap tidak menemukan anak yang mereka buru itu.

“Apakah ia memang anak hantu?” geram gegedug itu, “Tidak mungkin anak itu hilang begitu saja.”

“Ia pasti masih ada di sini,” berkata Sura Wedung, “kita harus mencarinya. Kita pasti akan menemukannya.”

Dengan demikian maka semua orang di padukuhan itu telah dikerahkan untuk menemukan anak yang menyebut dirinya bernama Demung itu. Dari kanak-kanak yang baru saja mampu berlari-lari sampai kakek-kakek yang masih mungkin berjalan untuk menelusuri halaman rumah masing-masing, mereka mencari di semua sudut, di semak-semak, di rumpun-rumpun bambu, dan bahkan di pakiwan-pakiwan. Namun tidak seorang pun yang menemukannya.

Orang-orang padukuhan itu benar-benar kebingungan. Namun mereka tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa mereka tidak dapat menemukan anak muda yang mereka kejar-kejar seperti tupai itu.

Sura Wedung dan gegedug yang dianggap terbaik di antara gegedug yang lain, yang jumlahnya hanya sedikit sekali itu, benar-benar tidak tahu apa yang harus mereka lakukan untuk menemukan anak itu. Anak yang mengaku bernama Demung itu telah hilang lenyap seperti asap tertiup angin.

Akhirnya setelah orang-orang padukuhan itu bagaikan menjadi gila, gegedug itu pun berkata, “Apa boleh buat. Kita tidak dapat menolak kenyataan. Anak itu telah hilang.”

Sura Wedung mengangguk-angguk. Meskipun demikian mereka berdua diikuti oleh beberapa orang telah berada di pintu gerbang padukuhan. Meskipun mereka tidak tahu, apakah ada gunanya mereka menunggu beberapa saat lamanya di pintu gerbang itu.

Namun pada saat yang demikian, tiba-tiba saja mereka mendengar beberapa orang berteriak, “He, apakah kalian tidak melihat itu?”

“Itu apa?” bertanya Sura Wedung yang marah.

Beberapa orang telah mengangkat wajahnya dan melihat ke udara. Ternyata bahwa jantung mereka bagaikan berhenti. Mereka melihat pelepah kelapa yang terbang meluncur melintas di atas pintu gerbang. Sementara mereka mendengar suara tertawa, dan bahkan kemudian terdengar seseorang berkata lantang, “Ayo, kejar aku. Aku adalah Demung, anak iblis yang telah berhasil memasuki sarang perampok dan penyamun. Ternyata kemampuan kalian tidak lebih dari kemampuan tikus-tikus kecil dibandingkan dengan kemampuanku, anak iblis ini. Lain kali aku akan datang dan menghancurkan padukuhan ini.”

Semua orang bagaikan membeku. Mereka melihat pelepah itu bagaikan seekor burung raksasa yang terbang mendukung anak yang sedang mereka kejar-kejar itu.

Baru sejenak kemudian mereka bagaikan sadar dari sebuah mimpi yang sangat buruk. Gegedug itulah yang mula-mula berteriak, “Kita akan mengejarnya!”

Berlari-lari mereka pergi ke gerbang. Namun burung raksasa itu telah terbang jauh sekali melintasi bulak.

Meskipun demikian orang-orang dari padukuhan itu bertekad untuk melacaknya.

“Kita akan mencoba, Jika kita berhasil, kita akan menebus penghinaan ini,” berkata gegedug itu.

Sementara itu, Raden Rangga telah memusatkan kemampuan ilmunya untuk mengendalikan pelepah kelapa itu, sehingga akhirnya mendarat di sebuah kebun jagung yang kebetulan tidak ditunggui oleh pemiliknya. Namun ternyata bahwa ia terbanting agak keras, sehingga Raden Rangga terpaksa mempergunakan kemampuan daya tahan tubuhnya untuk melawan kesakitan yang terasa pada tulang-tulangnya.

Sambil menarik nafas dalam-dalam Raden Rangga berdesis, “Menyenangkan juga ternyata naik pelepah kelapa. Tetapi aku tanpa sengaja telah merusakkan kebun jagung ini. Meskipun tidak seberapa, tetapi sayang juga beberapa batang jagung berpatahan.”

Raden Rangga termangu-mangu sejenak. Tetapi ia tidak tahu apa yang dapat diperbuatnya dengan kerusakan itu.

“Jika aku masih membawa uang, aku dapat meninggalkan beberapa keping di sini” berkata Raden Rangga kepada diri sendiri.

Namun Raden Rangga terkejut ketika tiba-tiba saja terdengar seseorang bertanya, “Dimana uangmu ?”

Ketika ia berpaling, dilihatnya Kiai Gringsing berdiri beberapa langkah di belakangnya. Di sebelahnya berdiri seorang laki-laki lain. Kiai Jayaraga.

“Kiai,” desis Raden Rangga.

“Apa yang sebenarnya Raden lakukan?” bertanya Kiai Gringsing.

Tiba-tiba saja Raden Rangga tertawa. Katanya, “Aku tertarik melihat permainan Ki Tumenggung Wiladipa meskipun aku terpaksa membunuhnya, sehingga aku telah dimarahi oleh Ayahanda. Tiba-tiba saja aku ingin mencobanya, meskipun ketika aku mendarat, ternyata aku masih terbanting terlalu keras, tidak sebagaimana dilakukan oleh Ki Tumenggung Wiladipa.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Aku melihat Raden meluncur. Karena itu, maka akupun segera mengikuti, dan ternyata bahwa benar sebagaimana yang aku duga.”

“Tetapi aku harus segera meninggalkan tempat ini Kiai,” berkata Raden Rangga.

“Kenapa?” bertanya Kiai Gringsing.

Dengan singkat Raden Rangga pun telah menceritakan apa yang telah terjadi. Lalu katanya, “Bagaimana pertimbangan Kiai? Apakah aku harus membunuh lagi atau lebih baik aku melarikan diri?”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Silahkan bersembunyi. Memang lebih baik jika Raden tidak membunuh lagi.”

“Baiklah Kiai,” jawab Raden Rangga. Namun kemudian ia masih sempat bertanya, “Kenapa Kiai berada di sini?”

“Selama ini kami tidak melibatkan diri dengan pertempuran di Pajang. Tetapi kami memang berkeliaran di sekitar arena pertempuran. Jika kami berada di sini, adalah karena kami tertarik cerita orang-orang padukuhan sebelah, bahwa seorang anak telah diarak memasuki padukuhan ini. Namun kami sempat menyusul iring-iringan itu dan melihat Raden-lah yang telah dibawa oleh orang-orang padukuhan terasing itu.”

Raden Rangga termenung sejenak. Namun kemudian ia masih bertanya, “Tetapi bagaimana mungkin Kiai dapat berhubungan dengan orang-orang yang bercerita kepada Kiai itu.”

Kiai Gringsing tersenyum. Akhirnya ia pun berkata, “Sebenarnyalah bahwa kami telah melihat Raden meninggalkan kota. Kami memang tertarik untuk mengikuti Raden, sehingga akhirnya aku bertemu dengan Raden sekarang ini.”

Raden Rangga mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Tetapi Kiai, hampir saja aku dibantai di dalam padukuhan itu. Seandainya demikian, maka akan sia-sialah Kiai berdua menunggu aku keluar dari padukuhan itu.”

“Kami yakin bahwa Angger akan mampu keluar dari padukuhan itu. Dan ternyata bahwa dugaan kami benar,” jawab Kiai Gringsing.

“Tetapi hampir saja aku membunuh lagi. Ayahanda marah kepadaku ketika aku membunuh Ki Tumenggung Wiladipa. Sungguh-sungguh marah dan mengancam aku,” berkata Raden Rangga.

Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Baiklah. Sekarang aku persilahkan Raden meninggalkan tempat ini. Mungkin ada orang-orang padukuhan itu yang mencari Angger sampai ke tempat ini. Yang aku cemaskan justru sebagaimana yang Angger cemaskan, bahwa mungkin Angger dapat terjerumus ke dalam satu langkah yang tidak disukai oleh Ayahanda itu. Membunuh.”

“Terima kasih Kiai,” berkata Raden Rangga, “aku akan segera melanjutkan perjalanan. Sebelum Eyang Juru sampai ke Mataram, aku harus sudah berada di Mataram lebih dahulu.”

Raden Rangga pun kemudian minta diri. Dengan tergesa-gesa ia meninggalkan tempat itu. Kemampuan ilmunya telah membawanya menghindar dengan cepat dan hilang ke dalam sebuah padukuhan lain.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Kemudian bersama Kiai Jayaraga keduanya mulai bergeser meninggalkan tempat itu.

Namun, tiba-tiba saja mereka terkejut mendengar hiruk pikuk. Ketika Kiai Gringsing berpaling ke arah suara itu, dilihatnya beberapa orang sedang mendatangi tempat itu. Seorang laki-laki yang berjalan di paling depan telah didorong-dorong oleh beberapa orang yang lain yang nampaknya berwajah garang.

“Dimana kau lihat pelepah kelapa itu jatuh?” terdengar salah seorang dari orang-orang berwajah garang itu bertanya.

“Di sini,” jawab orang yang didorong-dorong itu.

Orang-orang itu pun kemudian berpencar. Yang mereka dapatkan di tempat itu adalah Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga.

“Setan,” geram orang-orang berwajah kasar itu, “jangan main-main. Aku menanyakan seorang anak muda yang naik pelepah kelapa seperti seekor burung garuda.”

“Ya. Ia jatuh di tempat ini,” berkata orang itu.

Terdengar di antara orang-orang berwajah garang itu berkata, “Adi Sura Wedung. Bertanyalah kepada orang-orang tua itu.”

Orang yang disebut Sura Wedung itu pun kemudian mendekati Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga sambil bertanya, “Ki Sanak. Apakah kalian melihat seorang anak muda yang terjun dengan pelepah kelapa dari sebatang pohon kelapa yang tinggi di padukuhan sebelah?”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Ya Ki Sanak. Aku memang melihatnya. Bahkan dengan tergesa-gesa aku mendatangi tempat ini untuk bertemu dengan orang yang telah terjun itu, karena aku menganggap peristiwa itu merupakan peristiwa yang aneh. Namun yang aku ketemukan tidak lebih hanya pelepah kelapa itu saja. Penunggangnya sama sekali tidak aku ketemukan. Mungkin anak itu sudah melarikan diri.”

Sura Wedung mengerutkan keningnya. Katanya, “Peristiwa itu baru saja terjadi. Kami melihat pelepah itu meluncur sebelum hilang di balik pepohonan. Sejenak kemudian kami telah menemukan orang ini, yang melihat sendiri pelepah kelapa itu jatuh di tanah.”

“Itulah pelepah kelapa yang barangkali Ki Sanak maksudkan,” berkata Kiai Gringsing sambil menunjuk pelepah kelapa yang ditinggalkan oleh Raden Rangga.

“Aku sudah melihatnya!” bentak Sura Wedung, “Tetapi di mana anak itu? Kau tentu salah seorang keluarganya, atau gurunya dalam ilmu iblisnya, atau siapa?” “Jangan membentak-bentak,” berkata Kiai Gringsing, “tetapi percayalah bahwa kami tidak berbuat sesuatu atas anak itu. Juga tidak menyembunyikannya. Aku baru saja sampai ke tempat ini sesaat saja sebelum kalian datang.”

Sura Wedung melangkah mendekati Kiai Gringsing. Wajahnya telah menjadi semakin menyala. Katanya, “Anak itu telah menghina kami. Karena itu, serahkan anak itu, atau tunjukkan kemana ia bersembunyi.”

“Aku tidak bertemu dengan anak itu,” berkata Kiai Gringsing, “aku hanya menemukan pelepah kelapa itu saja.”

Ternyata orang-orang yang sedang dibakar oleh kemarahan itu tidak percaya kepada alasan Kiai Gringsing. Justru karena Raden Rangga telah hilang, maka kejengkelan dan kemarahan orang-orang itu telah tertuju kepada Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga.

“Aku tidak mengerti apapun alasan yang kalian kemukakan,” berkata Sura Wedung, “sekarang tunjukkan, dimana anak itu bersembunyi.”

“Aku tidak akan mengulangi keteranganku,” berkata Kiai Gringsing. “Aku tidak melihatnya,” jawab Kiai Gringsing

Sementara itu, orang yang dipaksa untuk menunjukkan tempat itu telah lari dengan sekuat tenaganya ketika orang-orang berwajah garang itu melepaskannya.

Namun yang kemudian menjadi tawanan orang-orang yang marah itu adalah Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga.

“Jika kalian tidak mengaku, maka kalian akan mengalami nasib yang buruk. Karena itu, mengaku sajalah,” berkata Ki Sura Wedung.

Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga sama sekali tidak menjawab, apapun yang kemudian dilakukan oleh Sura Wedung.

Dengan kasar Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga telah diseret oleh orang-orang berwajah garang itu. Gegedug yang datang bersama Sura Wedung itu pun ternyata telah ikut bertindak kasar. Dengan nada garang ia berkata, “Jika kau tidak mempunyai hubungan apapun dengan anak itu, kau tentu tidak akan berani mendekat ke tempat ini. Yang terjadi itu sesuatu yang jarang sekali ditemui. Jika kau benar-benar orang lain, maka kau akan menjadi ketakutan.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Jalan pikiran orang itu memang benar. Seandainya ia orang kebanyakan, maka ia tentu tidak akan berani dengan serta merta, apalagi hanya berdua untuk datang ke tempat itu.

Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga semakin tidak dapat mengelak lagi ketika Sura Wedung berkata, “Aku belum pernah melihat tampang kalian. Kalian tentu bukan penghuni padukuhan-padukuhan di dekat tempat ini.”

Karena itulah maka Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga hanya menurut saja ketika mereka dibawa ke padukuhan orang-orang yang berwajah garang itu.

Ketika keduanya telah berada di banjar, maka kepada mereka ditunjukkan, beberapa orang yang terluka yang memang dikumpulkan di banjar untuk mendapatkan perawatan dan pengobatan yang sebaik-baiknya.

“Lihat,” berkata Sura Wedung, “ini semua adalah karena tingkah anak itu. Kalian harus dapat mengatakan ke mana anak itu lari? Atau katakan dimana rumahmu atau padepokanmu. Kami mempunyai hak untuk menuntut anak itu.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia bertanya, “Kenapa anak itu berbuat demikian di sini?”

Pertanyaan itu memang agak menyentuh perasaan orang-orang padukuhan itu. Anak itu agaknya memang tidak akan berbuat sesuatu, jika mereka isi padukuhan ini tidak mengganggunya.

Namun demikian, Sura Wedung ternyata menjawab lain. Katanya, “Anak itu berusaha mencuri di sini. Karena itu, kami akan menangkapnya berami-ramai.”

“Siapakah yang mencuri? Anak itu atau kalian?” bertanya Ki Jayaraga tiba-tiba.

Kemarahan Sura Wedung sampai ke puncak. Tiba-tiba saja tangannya menyambar kening Kiai Jayaraga sehingga kepala orang itu seakan-akan telah terputar ke samping

“Aku akan mematahkan lehermu jika kau berani menghina kami lagi,” geram Ki Sura Wedung.

Kiai Jayaraga tidak menjawab. Dirabanya keningnya. Namun ia diam saja.

“Baiklah,” berkata Sura Wedung, “jika kalian tidak mau menunjukkan dimana anak itu bersembunyi, atau kemana ia lari, maka kalian berdua akan kami serahkan kepada isi padukuhan ini. Terserah apa yang akan mereka lakukan atas kalian berdua.”

Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga saling berpandangan sejenak. Namun keduanya tidak menjawab sama sekali.

Bahkan keduanya tidak melawan ketika dengan kasar Sura Wedung bersama beberapa orang telah mengikat tangan Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga. Mereka saling beradu punggung, sementara kedua tangan mereka telah diikat menjadi satu.

Namun Sura Wedung berkata, “Kalian masih belum akan kami serahkan kepada rakyat padukuhan ini sekarang. Kalian akan kami ikat pada sebatang tonggak yang akan ditancapkan di halaman. Jika sampai esok pagi anak itu tidak kembali menyelamatkan kalian, maka kalian besok benar-benar akan kami serahkan kepada rakyat padukuhan ini. Dan terjadilah apa yang akan mereka kehendaki atas kalian dan tubuh kalian yang sudah mulai berkeriput oleh ketuaan itu.”

Namun dalam pada itu Kiai Jayaraga berkata, “Apakah kalian berhak memperlakukan kami seperti ini? Bukankah ada kekuasaan di sini? Pajang, atau barangkali Mataram?”

“Persetan,” geram Sura Wedung, “tidak ada orang yang akan melaporkan peristiwa ini sampai ke Mataram atau Pajang. Kalian akan menjadi bahan tontonan yang paling menarik.”

“Ada dua kesempatan,” teriak gegedug yang marah itu, “kalian mengaku dan memberikan jalan sehingga kami dapat menangkap anak itu, atau anak itu datang dengan sendirinya kemari.”

Kiai Jayaraga tidak menjawab lagi. Namun terasa ketegangan mulai meraba jantungnya. Ia sama sekali tidak senang diperlakukan seperti itu. Tetapi karena Kiai Gringsing tidak berbuat apa-apa, maka Kiai Jayaraga pun tidak berbuat apa-apa pula.

Sementara itu, Sura Wedung telah memerintahkan untuk menancapkan sebatang patok yang kuat di halaman. Sebatang kayu yang ditanam hampir sepengadeg di halaman itu, sehingga tidak mungkin akan dapat tercabut hanya oleh dua orang saja.

Setelah patok itu siap, maka Kiai Jayaraga dan Kiai Gringsing telah diikat pada patok itu. Mereka saling beradu punggung. Dengan tali ijuk yang kuat, tangan mereka yang terikat itu telah diikat pula pada patok yang kuat itu.

“Awasi orang-orang tua yang malang ini,” berkata Sura Wedung kepada beberapa orang anak muda. Lalu, “Sambil menunggui saudara-saudara kita yang terluka, maka kalian harus menjaga agar kedua orang ini tidak lari, atau mendapat pertolongan dari siapapun juga, sehingga keduanya dapat melarikan diri dari halaman banjar ini.”

Anak-anak muda itu mengangguk. Merekapun menjadi geram kepada anak muda yang menyebut dirinya Demung itu. Sementara itu, merekapun rasa-rasanya telah gatal untuk melakukan sesuatu atas kedua orang yang terikat itu.

“Aku ingin memilin lehernya,” geram seorang anak muda.

“Jangan melakukan sesuatu yang dapat membuat mereka cepat mati,” jawab yang lain, “mungkin kau dapat memilin rambutnya atau barangkali tangan atau kakinya saja. Tetapi jangan lehernya. Jika mereka mati, maka permainan kita akan berakhir.”

Sementara itu Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga yang ditilik dari ujudnya adalah orang-orang tua, berdiri dengan tangan terikat pada sebuah patok.

Ketika orang-orang yang mengawasi sudah menjauh, maka terdengar Kiai Jayaraga berdesis, “Kenapa Kiai membiarkan saja kita diperlakukan seperti ini?”

“Satu pengalaman di hari tua,” sahut Kiai Gringsing sambil tersenyum. Meskipun Kiai Jayaraga tidak melihat, tetapi Kiai Jayaraga mengerti bahwa Kiai Gringsing itu sedang tersenyum. Bahkan berkata Kiai Gringsing lebih lanjut, “Bukankah Kiai Jayaraga selama hidup belum pernah mengalami diikat seperti ini ?”

“Ya, ya,” sahut Kiai Jayaraga, “ini adalah pengalaman pertama yang sangat berharga sebelum hari-hari terakhir dalam hidup kita.”

“Nah, bukankah menyenangkan sekali,” berkata Kiai Gringsing.

“Tetapi aku mulai jemu,” berkata Kiai Jayaraga.

“Ah, jangan Kiai,” jawab Kiai Gringsing, “kita akan berdiri di sini beberapa saat lamanya untuk menikmati pengalaman yang sulit dicari. Mungkin untuk selanjutnya kita tidak akan pernah mendapat pengalaman seperti ini.”

“Tetapi nyamuknya banyak sekali Kiai. Dan aku tidak dapat menggaruk dengan tanganku jika kulit terasa gatal karena gigitan nyamuk,” berkata Kiai Jayaraga.

“Trapkan ilmu kebal, Tameng Waja dan Lembu Sekilan sekaligus untuk melawan serangan nyamuk-nyamuk itu,” jawab Kiai Gringsing.

Kiai Jayaraga justru tertawa. Tetapi ia pun segera berusaha menahan suara tertawanya itu.

Sementara itu di pendapa banjar, beberapa orang tengah merawat orang-orang yang telah dilukai oleh Raden Rangga. Tetapi tidak seorang pun di antara mereka yang mati karenanya, meskipun ada yang lukanya cukup parah.

Di antara mereka yang berada di banjar itu, beberapa orang bergantian telah mengawasi dua orang yang terikat pada tiang di tengah-tengah halaman itu. Nampaknya kedua orang tua itu tidak akan berdaya berbuat apa-apa, karena tangan mereka terikat kuat-kuat pada patok yang menurut perhitungan mereka tidak akan dapat tercabut itu.

Ketika kemudian malam turun dan gelap menjadi semakin pekat, banjar itu pun semakin sepi. Beberapa orang anak muda masih berjaga-jaga. Dua orang bertugas di pintu gerbang, sedang beberapa orang duduk di pendapa sambil berkelakar tidak menentu. Sekali-sekali terdengar suara mereka tertawa. Dengan demikian mereka tidak cepat dicengkam oleh perasaan kantuk.

Namun kadang-kadang terdengar orang yang sedang terluka itu merintih. Seorang di antara anak-anak muda itu mendekatinya dan memberikan beberapa teguk minum kepada orang yang terluka itu.

Dalam pada itu, Kiai Jayaraga yang terikat di halaman semakin sering mengeluh dan bergumam, “Ternyata nyamuk di sini memiliki ilmu yang tinggi. Gigitannya menembus ilmu Tameng Waja sekaligus ilmu Lembu Sekilanku.”

“Uh,” Kiai Gringsing-lah yang kemudian harus menahan tertawanya.

Tetapi sementara itu, anak-anak muda yang mulai diganggu oleh perasaan kantuk telah jemu berkelakar, mereka berusaha untuk mendapatkan sasaran baru untuk mencegah kantuk mereka.

“Kita bermain bas-basan,” desis seseorang.

Tetapi yang lain menggeleng. Tiba-tiba saja ia berdesis, “Ada permainan yang menyenangkan.”

“Mana?” bertanya kawannya.

“Itu,” jawab yang pertama sambil menunjuk dua orang tua yang terikat di patok di tengah-tengah halaman banjar.

Semua orang memandang ke arah kedua orang tua itu terikat. Tiba-tiba saja seorang di antaranya berkata, “Bagus. Kita akan mendapatkan permainan yang menyenangkan sekali.”

“Apakah Ki Sura Wedung tidak akan marah?” bertanya seorang yang bertubuh kurus.

“Asal keduanya tidak terlepas, Ki Sura Wedung tidak akan marah. Juga sudah barang tentu keduanya tidak mati, karena Ki Sura Wedung masih akan bertanya beberapa hal kepada keduanya,” jawab yang pertama. Lalu, “Marilah. Kita juga akan bertanya, dimanakah anak iblis itu. Kita dapat memperlakukan keduanya sekehendak hati kita, asal tidak mati dan tidak terlepas.”

Anak-anak muda itu tiba-tiba menjadi gembira. Mereka pun kemudian telah turun dari pendapa dan menuju ke tiang yang terpancang di tengah-tengah halaman itu.

Seorang yang paling berpengaruh di antara mereka berdiri dengan bertolak pinggang di hadapan Kiai Gringsing, sementara seorang yang lain, yang bertubuh tinggi kekar berdiri di hadapan Kiai Jayaraga.

“Nah, Ki Sanak,” berkata yang berdiri dihadapan Kiai Gringsing, “kau sudah cukup lama terikat. Apakah kau ingin ikatanmu dilepaskan?”

“O, sudah tentu Ngger,” jawab Kiai Gringsing, “terimakasih atas kebaikan hati Angger.”

“Tetapi begini Ki Sanak,” berkata anak muda itu, “aku akan mengulangi pertanyaan Ki Sura Wedung. Dimana anak iblis itu?”

“O,” Kiai Gringsing mengeluh, “sesungguhnya Ngger, aku tidak tahu. Jika aku tahu, aku tentu akan memberitahukan kepada kalian. Buat apa aku berahasia, namun diriku sendiri terjerat dalam kesulitan seperti ini?”

“Jangan berbohong!” bentak anak muda itu, “Kau melindungi anak iblis itu, he?”

“Tidak, Ngger. Tidak. Aku memang tidak mengetahuinya,” jawab Kiai Gringsing ketakutan.

“Baiklah,” berkata anak muda itu, “besok kalian akan diserahkan kepada orang-orang padukuhan ini. Sebelumnya kami akan berusaha memperingan penderitaanmu, asal kalian mau menjawab pertanyaanku.”

Kiai Gringsing manarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tetap menjawab, “Aku tidak tahu Ngger. Benar-benar tidak tahu. Apapun yang akan kalian lakukan atasku, maka aku tidak akan dapat mengatakan apapun juga tentang anak itu.”

“Aku masih mempunyai belas kasihan sekarang ini. Karena itu jangan menganggap bahwa kami tidak akan dapat berbuat apa-apa atas kalian. Jika kalian mengatakannya, maka besok aku akan mencegah semua perlakuan kasar terhadap kalian. Dan hal itu tentu akan didengarkan, karena aku dianggap telah berjasa karena aku mampu menyadap keterangan dari kalian. Tetapi jika kalian besok sudah berada di tangan orang-orang tua kami, maka aku kira kau akan mengalami nasib yang sangat buruk,” berkata anak muda itu.

“Terima kasih Ngger,” jawab Kiai Gringsing, “aku mengerti kebaikan hatimu. Mungkin kau menaruh belas kasihan kepada orang tua seperti aku. Tetapi apa yang akan dapat aku katakan sekarang ini, karena aku memang tidak mengetahuinya?”

Tiba-tiba anak muda itu menggeram. Dipandanginya Kiai Gringsing dengan sorot mata yang menyala. Namun tiba-tiba seorang anak muda di sebelahnya yang mendengar anak muda itu menggeram menggamitnya sambil berkata, “Bukankah kita hanya ingin bermain-main? Jangan terlibat dalam kemarahan yang tidak terkendali. Paman Sura Wedung masih memerlukan orang-orang itu.”

Anak muda yang marah itu menarik nafas dalam-dalam.

Katanya, “Ya. Aku hampir lupa. Sikapnya, kata-katanya dan jawaban-jawaban atas pertanyaanku membuat telingaku menjadi panas. Untunglah bahwa kita memang berdarah dingin. Jika tidak, maka lehernya mungkin akan patah malam ini.” Lalu katanya kepada Kiai Gringsing, “Kalian berdua masih untung bahwa ada kawan kami yang sempat mengendalikan perasaan kami yang bergejolak. Karena itu, kami akan kembali kepada niat kami semula. Kami hanya akan mencari cara untuk mencegah kantuk. Tidak ada permainan lain di sini yang menarik daripada kalian.”

Kiai Jayaraga yang sudah tidak tahan lagi, tiba-tiba saja menyahut, “Bagus. Kami akan berterima kasih jika kalian sudi bermain-main dengan kami.”

“Tutup mulutmu!” anak muda itu membentak, “Aku tidak akan bermain-main dengan kalian. Tetapi kalianlah yang akan menjadi alat permainan kami.”

“Bagaimana mungkin?” sahut Kiai Jayaraga, “Kami berdua adalah manusia seperti kalian. Bagaimana kami dapat menjadi alat permainan kalian ?”

“O,” anak muda itu menjawab, “tentu saja kalian dapat menjadi alat permainan kami. Misalnya leher kalian diikat dengan tali dan menariknya dari sebelah menyebelah. Kami dapat melakukannya sampai pada batas kalian hanya sekedar setengah mati, karena kematian kalian yang sebenarnya besok akan diserahkan kepada rakyat padukuhan ini.”

“Itu bukan satu permainan,” berkata Kiai Jayaraga, “tetapi itu adalah satu penyiksaan. Adalah tidak wajar bahwa kalian akan mempergunakan kami sebagai alat untuk bermain.”

“Aku dapat mengoyak mulutmu sekarang,” jawab anak muda yang bertubuh tinggi kekar itu, “karena itu jangan banyak bicara. Paman Sura Wedung tidak akan marah kepadaku, jika kau besok tidak dapat berbicara karena mulutmu koyak. Sementara orang tua yang satu lagi itu dapat saja kami patahkan tulang-tulangnya, asal mulutnya masih dapat berbicara, sehingga ia akan dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan Paman Sura Wedung.”

Adalah di luar dugaan, bahwa tiba-tiba saja Kiai Jayaraga itu tertawa. Suara tertawanya meninggi, dan bagi anak-anak muda itu terdengar sangat menyakitkan hati.

“Kenapa kau tertawa, he?” orang bertubuh tinggi kekar itu membentaknya, “Apakah kau benar benar ingin mati?”

“Kalian memang lucu. Kalian agaknya ingin berkelakar saja untuk menghilangkan kejemuan dan mengusir rasa kantuk,” berkata Kiai Jayaraga.

Wajah-wajah anak muda itu menjadi tegang. Mereka tidak menyangka bahwa salah seorang dari kedua orang tua itu menganggap bahwa mereka sedang berkelakar.

Anak muda yang bertubuh tinggi kekar itu tidak dapat menahan dirinya lagi. Tiba-tiba saja ia sudah melangkah maju dan tangannya terayun tepat di wajah Kiai Jayaraga.

“Kau harus yakin, bahwa aku tidak hanya sekedar ingin berkelakar,” berkata anak muda bertubuh tinggi kekar itu.

“Ah,” desak Kiai Jayaraga, “kau menyakiti aku anak muda.”

“Aku memang ingin menyakiti kalian berdua. Bukan hanya aku. Tetapi semua kawan-kawanku yang malam ini ada di sini. Kami mempunyai upet yang menyala. Kami mempunyai duri-duri ikan yang tajam. Duri kemarung yang besar, dan kami juga mempunyai beberapa ekor lembu yang dapat menyeret tubuh kalian yang terikat di dalam lumpur sawah.”

Namun Kiai Jayaraga masih tertawa. Bahkan semakin keras. Katanya, “Menyenangkan sekali berkelakar dengan kalian. Angan-angan kalian memang hidup. Kalian mampu membayangkan sesuatu yang sangat mengerikan.”

Kemarahan benar-benar telah menghentak jantung anak-anak muda itu. Karena itu, maka anak muda yang paling berpengaruh di antara mereka itu pun berkata, “Kita dapat mulai dengan permainan kita. Apa yang pertama-tama ingin kita lakukan?”

“Siapakah di antara kita yang akan mulai” bertanya anak muda yang bertubuh tinggi kekar itu.

Beberapa orang anak muda yang kebetulan malam itu bertugas di banjar telah beringsut maju, kecuali dua orang yang bertugas di regol. Menurut anak muda yang paling berpengaruh itu, keduanya diminta untuk tetap pada tugasnya mengawasi keadaan.

“Siapa tahu, kawan-kawannya akan datang untuk menolongnya,” berkata anak muda itu. “Nanti kalian akan mendapat kesempatan tersendiri.”

Namun dalam pada itu, seorang anak muda yang bertubuh kurus menjadi gemetar melihat Kiai Jayaraga. Tidak seorangpun yang semula memperhatikan, apa yang telah dilakukan oleh orang tua itu.

Dengan jari-jari gemetar anak muda bertubuh kurus itu menggamit kawannya yang bertubuh kekar itu sambil berbisik di telinganya, “He, apakah kau memperhatikan orang tua itu?”

Anak muda yang bertubuh kekar itu mengerutkan keningnya. Sementara itu, anak muda yang bertubuh kurus itu menariknya mundur.

“Ada apa?” bertanya anak muda yang bertubuh kekar.

“Bukankah orang tua itu keduanya terikat tangannya?” bertanya anak muda bertubuh kurus.

“Ya, kenapa?” bertanya kawannya yang bertubuh kekar.

“Perhatikan tangan itu,” berkata yang bertubuh kurus.

Untuk beberapa saat anak muda yang bertubuh tinggi kekar itu memperhatikan Kiai Jayaraga. Sebenarnyalah ia melihat tangan Kiai Jayaraga kadang-kadang telah mengusap bagian-bagian tubuhnya yang lain. Kemudian tangan itu kembali diletakkannya di belakang punggungnya.

“Gila,” geram yang bertubuh tinggi kekar itu, “jadi tali itu sebenarnya sudah terlepas.”

“Ya. Tetapi soalnya, bagaimana tali itu dapat terlepas,” sahut yang bertubuh kurus, “bukankah ketika orang-orang tua kita mengikat tangan mereka, ikatan itu cukup kuat? Bahkan kemudian tangan itu telah diikat pula dengan tiang di halaman.”

Sejenak keduanya termangu-mangu. Namun orang bertubuh tinggi kekar itu berteriak, “He, orang tua berilmu iblis. Apakah kau berhasil melepaskan ikatan tanganmu?”

Kiai Jayaraga termangu-mangu. Namun kemudian ia berbisik, “Bagaimana jawabnya Kiai?”

“Terserahlah kepadamu. Bukankah kau sudah memutuskan tali pengikat itu?” sahut Kiai Gringsing.

“Jangan begitu Kiai,” berkata Kiai Jayaraga, “aku sebenarnya memang tidak tahan mengalami perlakuan seperti ini.”

“Bukankah sudah aku katakan, dengan demikian kita telah mendapatkan satu pengalaman yang sangat menarik?” jawab Kiai Gringsing.

“Tetapi bagaimana aku menjawab sekarang?” bertanya Kiai Jayaraga.

Kiai Gringsing pun menarik nafas dalam-dalam. Namun sejenak kemudian terdengar suara lembut di tiang itu. Ternyata Kiai Gringsing perlahan-lahan juga telah memutuskan tali pengikatnya tanpa mendapat kesulitan sama sekali.

“Baiklah,” berkata Kiai Gringsing, “marilah, kita akan bergerak.”

Sementara itu anak muda yang paling berpengaruh itu pun menjadi heran. Ia tidak melihat sesuatu. Namun anak muda yang bertubuh kekar itu berkata, “Cepat bergerak jika ikatan kalian memang sudah lepas.”

“Apa yang terjadi?” bertanya anak muda yang paling berpengaruh itu.

“Orang tua itu sudah tidak terikat lagi tangannya,” berkata orang bertubuh kekar itu.

“Omong kosong,” berkata kawannya yang paling berpengaruh.

Namun kemudian beberapa orang memang telah melihat, Kiai Jayaraga yang dengan sengaja menunjukkan tangannya yang terikat.

“Ya. Tangannya sudah terlepas,” desis beberapa orang anak muda.

“Bagaimana mungkin?” geram yang lain.

Tetapi Kiai Jayaraga memang sudah menunjukkan dengan sengaja kepada anak-anak itu.

Dengan demikian, maka anak-anak muda itu justru telah bersiaga mengepungnya. Mereka telah mencabut senjata mereka dan anak muda yang paling berpengaruh itu pun telah meneriakkan aba-aba, “Jangan sampai lolos. Pukul kentongan, agar orang-orang tua kita datang secepatnya.”

Sejenak kemudian telah terdengar suara kentongan dipukul. Namun sementara itu, seorang anak muda berkata, ”Kita bakar saja mereka. Itu lebih baik daripada mereka melarikan diri. Kita akan mempertanggung jawabkannya kepada orang-orang tua kita.”

“Ya. Bakar mereka hidup-hidup!” teriak yang lain.

“Ambil kayu bakar. Mereka tidak mempunyai pilihan. Jika mereka bergeser dari tempatnya, maka ujung senjata kita akan mengoyak kulit mereka arang kranjang,” teriak anak yang lain.

Beberapa orang tiba-tiba telah berlari-larian. Mereka pergi ke bagian belakang banjar dan mengambil setumpuk kayu bakar yang memang tersedia di banjar itu, yang dipergunakan untuk kepentingan tertentu.

“Anak-anak itu memang gila,” desis Kiai Jayaraga, “kita akan dibakar hidup-hidup.”

“Dinginnya malam ini,” sahut Kiai Gringsing, “agaknya anak-anak itu tahu bahwa kita kedinginan di sini.”

“Kiai,” tiba-tiba saja Kiai Jayaraga bertanya, “apakah Kiai pernah nonton wayang dengan cerita Anoman Obong?”

Kiai Gringsing tertawa. Katanya, “Ya. Aku memang pernah melihatnya. Menyenangkan sekali.”

“Dan kita akan membakar seisi padukuhan ini?” bertanya Kiai Jayaraga.

“Ah, bukankah kita bukan Anoman?” sahut Kiai Gringsing. “Itu tidak perlu. Marilah kita tinggalkan saja halaman ini sebelum anak-anak itu bermain-main dengan api.”

“Bukankah dengan demikian kita akan mendapat pengalaman yang menarik? Kiai, bukankah kita belum pernah dibakar? Agaknya Kiai menyenangi pengalaman-pengalaman baru seperti itu,” berkata Kiai Jayaraga.

Kiai Gringsing tertawa. Namun katanya, “Marilah, sebentar lagi di halaman ini akan berkerumun seisi padukuhan.”

Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Namun sebenarnyalah, bahwa isi padukuhan itu mulai berdatangan.

Beberapa orang yang mendengar suara kentongan itu telah dengan tergesa-gesa pergi ke banjar. Mereka memang sudah menduga, bahwa tentu karena kedua orang yang terikat di tiang itulah maka para penjaga telah membunyikan kentongan.

Pada saat yang demikian, maka Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga mulai melangkah. Namun anak-anak yang bersenjata berusaha menahan mereka dengan ujung-ujung senjata. Bahkan sejenak kemudian beberapa orang telah datang pula dengan kayu bakar di pundak mereka.

“Lemparkan ke tengah-tengah arena,” teriak anak muda yang bertubuh tinggi kekar.

Beberapa onggok kayu bakar dan ranting-ranting yang kering telah dilemparkan ke arah Kiai Jayaraga dan Kiai Gringsing. Bahkan beberapa orang yang lain telah menyusul pula.

“Jangan meninggalkan tempat itu,” ancam anak-anak muda yang bersenjata telanjang.

Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya ujung-ujung senjata yang berkilat-kilat memantulkan cahaya lampu minyak dan obor di regol.

Sementara itu, beberapa orang anak muda telah membawa beberapa onggok blarak kering. Bahkan dua tiga di antara mereka telah membawa obor blarak untuk menyalakan onggokan kayu bakar, ranting-ranting kering dan beberapa ikat belarak di sekitar Kiai Jayaraga dan Kiai Gringsing.

Namun Kiai Gringsing itu telah melangkahi onggokan kayu dan ranting-ranting kering itu. Seakan-akan ia tidak melihat ujung senjata yang siap mematuknya.

“Jangan bergerak!” teriak anak-anak muda itu.

Tetapi Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga melangkah maju, sementara anak-anak muda itu justru melangkah surut meskipun senjata mereka tetap teracu.

Beberapa orang dari orang-orang tua di padukuhan itu telah berdatangan pula. Sura Wedung pun telah berada di halaman itu. Ia mengerti niat anak-anak muda untuk membakar kedua orang itu, karena kedua orang tua itu mampu melepaskan ikatan tangan mereka yang sangat kuat.

Tetapi ketika kedua orang itu maju lagi selangkah, maka anak-anak muda yang membawa senjata itu pun telah melangkah pula surut, meskipun mereka berteriak-teriak, “Jangan bergerak! Jangan bergerak!”

Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga sama sekali tidak menghiraukannya. Karena itu. maka mereka masih saja melangkah maju.

Namun dalam pada itu tiba-tiba halaman itu telah digetarkan oleh suara yang lain. Kiai Jayaraga dan Kiai Gringsing yang mula-mula mendengar desir dedaunan telah berpaling.

Alangkah terkejut mereka, ketika mereka melihat seseorang bertengger di atas dinding halaman banjar. Bahkan dengan suara lantang ia berkata, “Jangan pergi Kiai. Aku sudah sejak lama menunggu tontonan yang tentu mengasyikkan. Kiai berdua akan dibakar, dan Kiai berdua tentu akan marah dan api pun akan bertebaran.”

Kiai Gringsing menggeleng-gelengkan kepalanya. Katanya, “Kenapa Raden masih di situ?”

“Aku ingin melihat bukan Anoman Obong, tetapi Kiai berdua obong. Tentu lebih menarik,” berkata Raden Rangga yang masih berada di atas dinding itu.

Dalam pada itu, justru karena perhatian Kiai Jayaraga dan Kiai Gringsing tertuju kepada Raden Rangga, maka kesempatan itu dipergunakan oleh beberapa orang anak muda yang membawa obor untuk melemparkan obor mereka, termasuk obor blarak, ke onggokan kayu bakar, ranting-ranting kering dan bahkan beberapa ikat blarak kering pula.

Dengan cepat blarak kering itu pun telah terbakar. Apinya menjilat pula ranting-ranting kering yang bertumpuk di sekitar Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga.

Namun kedua orang tua itu ternyata mampu bergerak cepat. Mereka tiba-tiba saja sudah melangkahi kayu bakar dan ranting-ranting. Dengan demikian maka mereka telah berada di luar kemungkinan untuk terbakar di tengah-tengah nyala api.

Meskipun demikian, orang-orang padukuhan itu tergetar hatinya ketika mereka melihat api yang meryala itu bagaikan dihembus angin kencang dari arah kedua orang itu, sehingga nyala apinya justru menjilat ke arah yang berlawanan. Bahkan api itu seakan-akan tidak mampu menjalar ke arah onggokan kayu dan ranting-ranting kering yang berada di paling dekat dengan Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga.

“Permainan yang kurang baik,” berkata Kiai Gringsing, “marilah kita pergi saja,”

Kedua orang itu telah siap untuk meninggalkan api yang menyala semakin besar, sementara orang-orang yang mengepung justru bagaikan membeku. Mereka menyadari, bahwa kedua orang itu bukan orang kebanyakan, yang menurut perhitungan mereka akan mempunyai kemampuan dan ilmu melampaui anak yang mereka kejar-kejar dan yang ternyata telah bertengger di atas dinding halaman itu.

Karena itulah, maka orang-orang padukuhan itu menjadi bingung. Bahkan Sura Wedung dan gegedug yang paling ditakuti itu pun tidak segera berbuat sesuatu.

Namun dalam pada itu, yang menjadi sangat kecewa adalah justru Raden Rangga. Dari atas dinding ia berteriak, “Kiai berdua mengecewakan aku. Aku ingin tontonan yang paling menarik malam ini.”

“Raden,” berkata Kiai Gringsing, “sampai kemarin Raden mampu mengendalikan diri. Jangan terjerumus ke dalam kenakalan lagi.”

Tetapi ternyata Raden Rangga tidak mau lagi mendengarkan nasehat itu. Ia benar-benar kecewa karena Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga tidak berbuat apa-apa.

“Jika Kiai berdua berbuat sesuatu, aku tidak akan nakal lagi,” berkata Raden Rangga itu.

Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga menjadi bingung sesaat. Namun kemudian Kiai Gringsing berkata, “Bukankah Raden telah meninggalkan padukuhan ini, dan berhasil lolos dari bujukan keinginan Raden untuk berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kehendak Ayahanda?”

Raden Rangga termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba saja ia menjawab, “Ayahanda melarang aku membunuh. Aku tidak ingin membunuh. Aku hanya ingin bermain-main saja.”

Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga tidak sempat mencegah, ketika tiba-tiba saja Raden Rangga telah meloncat turun. Dengan mempergunakan kekuatan tenaga ilmunya, maka tiba-tiba saja Raden Rangga itu telah menendang onggokan api di halaman ke arah banjar. Kekuatan Raden Rangga memang luar biasa. Api itu pun telah memercik dan melontar ke arah banjar, ketika onggokan-onggokan kayu, ranting-ranting kering yang terbakar yang ditendang oleh Raden Rangga, terlempar bertebaran ke arah banjar padukuhan itu.

Lidah api yang menjilat-jilat itu berloncatan di udara. Orang-orang yang menyaksikan hatinya tergetar. Bahkan beberapa orang telah berlari-larian karena api itu terbang di atas kepala mereka. Percikan-percikan baranya telah jauh ke tubuh mereka dan melubangi pakaian mereka.

“Raden,” cegah Kiai Gringsing.

Tetapi yang terdengar adalah suara Raden Rangga, “Permainan yang menyenangkan. Banjar itu akan terbakar.”

“Raden tidak hanya membakar banjar itu,” sahut Kiai Gringsing, “tetapi Raden dapat membunuh orang orang yang ada di dalamnya, terutama orang-orang yang sedang terluka itu.”

“Itu bukan salahku Kiai,” jawab Raden Rangga, “itu adalah salah mereka sendiri.”

Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya kepada Kiai Jayaraga, “Mereka harus diselamatkan.”

“Kita usahakan untuk memadamkan apinya,” berkata Kiai Jayaraga.

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan mengusahakan, tetapi baa orang-orang padukuhan itu untuk menyelamatkan kawan-kawan mereka.”

Kiai Jayaraga yang tua itu pun kemudian dengan tangkasnya meloncat mendekati banjar sambil berteriak, “Tolonglah kawan-kawan kalian. Jangan biarkan mereka mati terbakar.”

Beberapa orang termangu-mangu. Namun ketika mereka melihat Kiai Jayaraga memasuki pendapa yang memang sudah mulai terbakar, maka beberapa orang pun telah menyusulnya, termasuk Sura Wedung. Mereka telah berusaha mengangkat orang-orang yang terluka itu di atas pundak mereka.

Sementara itu, Kiai Gringsing tengah berusaha untuk mengurangi kobaran api yang telah membakar banjar itu. Dengan kekuatan ilmunya, maka udara yang dingin telah berhembus ke arah api yang menyala semakin lama semakin besar. Beberapa onggok kayu dan ranting-ranting kering yang menyala telah jatuh, justru di atas pendapa banjar itu.

Sementara itu, di samping menyelamatkan orang-orang yang terluka, maka Ki Jayaraga pun telah meneriakkan isyarat, agar orang-orang yang berada di halaman itu berusaha ikut memadamkan api., “Air dan batang-batang pisang! Cepat, kerjakan apa saja!”

Orang-orang yang ada di tempat itu pun kemudian telah berlari-larian untuk mencari air. Sebagian dari mereka telah menebangi batang-batang pisang dan melemparkannya ke dalam api.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar