Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 195

Buku 195

Beberapa saat lamanya Agung Sedayu masih sempat memandangi kesombongan orang itu. Bahkan orang itu sempat berteriak-teriak, “He, orang Mataram, kerahkan kemampuanmu. Hujani aku dengan semua anak panah orang-orang Mataram. Tidak seujungpun akan dapat menyentuh tubuhku!”

Namun memang sebenarnyalah demikian. Beberapa orang prajurit Mataram telah membidik orang itu bersama-sama. Bahkan anak panah mereka pun terlepas hampir bersamaan pula. Tetapi tidak sebuah pun yang dapat mengenainya. Dengan tangkasnya orang itu mengibaskan busurnya dan anak panah yang meluncur berurutan ke arahnya itupun telah berjatuhan di sekitarnya.

“Nah, kau lihat?” berkata orang Tanah Perdikan Menoreh itu kepada Agung Sedayu.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Orang itu memang luar biasa. Tetapi ia pun tidak akan dapat membalas dengan anak panahnya terhadap orang-orang Mataram.”

“Kenapa?” bertanya orang Tanah Perdikan itu. Namun kemudian, “Lihat, ia sempat membidik dan melepaskan anak panah.”

“Tetapi jarang sekali. la lebih banyak mempergunakan busurnya untuk menangkis. Tidak untuk melepaskan anak panahnya,” jawab Agung Sedayu.

“Tetapi kawan-kawannyalah yang melontarkan anak panah,” berkata orang Tanah Perdikan itu.

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Ia akan kehilangan bumbung anak panahnya.”

“Bagaimana mungkin?” sahut orang itu.

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia pun telah memasang anak panah pada busurnya. Sementara itu orang yang sombong itu masih saja dengan tangkasnya menangkis setiap serangan.

Namun adalah di luar dugaannya, bahwa tiba-tiba saja sebatang anak panah meluncur dengan kecepatan yang sangat tinggi. Namun orang itu tidak kalah cepatnya. Ia menangkis serangan anak panah itu, sehingga telah terjadi benturan antara anak panah yang meluncur itu dengan busurnya.

Tetapi yang terjadi adalah di luar perhitungannya. Bukan anak panah itu yang berhasil dikibaskannya. Tetapi justru busurnyalah yang terlepas dari tangannya, meskipun anak panah itu tidak mengenai tangannya.

“Gila!” orang itu berteriak. Namun tangannya terasa sakit sekali. Apalagi sebelum ia menyadari keadaan sepenuhnya, sekali lagi seperti lidah api di langit, sebuah anak panah menyambarnya. Tidak pada tubuhnya, tetapi pada tali bumbung anak panahnya yang tersangkut di lambung.

Tali bumbung itu pun terputus. Bumbung yang berisi anak panah itu telah terlepas dan jatuh terguling di tanah. Anak panah yang ada di dalam bumbung itu telah berserakan berhamburan.

“Siapa yang bermain dengan ilmu iblis ini?” orang itu mengumpat geram.

Tetapi ia pun harus dengan serta merta mencabut pedangnya ketika anak panah orang-orang Mataram telah menghujaninya. Bahkan ketika orang-orang Mataram melihat keadaannya, tiba-tiba saja terdengar mereka bersorak, “Pergi, atau kau mau mati?”

Tetapi orang itu tidak mau pergi. Dengan pedangnya ia menangkis serangan-serangan yang masih saja datang berurutan tidak henti-hentinya. Orang-orang Mataram yang melihat orang itu kehilangan busur dan bumbung tempat anak panahnya, menjadi semakin bernafsu untuk mengenainya, atau setidak-tidaknya mengusirnya dari atas dinding dengan memamerkan kesombongannya itu.

Namun ternyata bahwa dengan pedangnya orang itu berhasil menangkis setiap serangan, sehingga sebagaimana ia mempergunakan busur, maka tidak sebatang anak panah pun yang dapat mengenainya.

Dalam pada itu, ternyata Agung Sedayu tidak tinggal diam. Sejenak kemudian, maka ia pun telah menarik lagi sebatang anak panah dan memasangnya pada busurnya.

Orang Tanah Perdikan Menoreh yang berdiri di sampingnya itu pun bergumam, “Sekarang aku yakin bahwa Agung Sedayu memang memiliki apa saja yang tidak dapat dibayangkan oleh orang lain.”

“Ah, jangan begitu,” jawab Agung Sedayu, “semua orang dapat melakukannya.”

“Sekarang apa yang akan kau lakukan? Kenapa kau tidak membidik saja dadanya? Bukankah itu jauh lebih mudah daripada membidik tali bumbung?” bertanya orang itu.

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Aku ingin melemparkan pedangnya.”

“Bagus,” orang itu menjadi gembira, “biarlah ia mengerti, bahwa ia bukan orang yang paling sakti di dunia ini.”

“Tetapi apakah kau untuk seterusnya hanya akan menunggui aku saja, sementara orang-orang lain berusaha untuk menyerang orang-orang Pajang?” bertanya Agung Sedayu.

“Sebentar lagi pertempuran akan diakhiri. Aku ingin melihat bagaimana kau menjatuhkan pedangnya,” jawab orang itu.

Agung Sedayu tersenyum. Namun ia menjawab, “Jangan kau anggap bahwa aku akan selalu berhasil. Tetapi aku akan mencobanya.”

Orang itu tidak menjawab. Ia ingin segera melihat, bagaimana pedang itu terlempar dari tangan oruna yang sombong di atas dinding itu.

Agung Sedayu pun kemudian menarik tali busurnya sambil membidik. Ternyata bahwa kemampuan membidik Agung Sedayu tidak susut. Kurnia yang diterima sejak muda itu menjadi semakin masak.

Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu telah melepaskan tali busurnya. Anak panahnya terbang dengan kecepatan yang hampir tidak dapat diikuti oleh tatapan mata biasa. Namun anak panah itu tidak sekedar didorong oleh kekuatan wajarnya.

Orang yang sombong itu jantungnya sekali lagi bergetar. Tetapi ia masih berusaha untuk menangkis serangan anak panah yang mendebarkan itu.

Sebuah benturan lagi telah terjadi. Pedang orang itu telah menyentuh anak panah Agung Sedayu.

Terdengar orang itu mengaduh perlahan. Tangannya terasa menjadi nyeri dan hampir saja pedangnya itu terlepas. Namun dengan susah payah orang itu masih berhasil menguasai pedangnya yang hampir saja terlepas itu.

Tetapi dalam kesibukannya mempertahankan pedangnya, ia tidak sempat menghindari sebuah anak panah lagi yang meluncur. Cepat dan keras sekali. Tepat mengenai daun pedangnya.

Usahanya sama sekali tidak berhasil untuk mempertahankan pedang itu. Kulit telapak tangannya terasa bagaikan terkelupas ketika pedang itu terloncat dari genggamannya dan jatuh di tanah. Orang itu masih mendengar kawannya yang berdiri di bawahnya mengumpat karena pedang itu hampir saja menghunjam di ubun-ubunnya.

Orang yang sombong yang telah kehilangan busur dan pedangnya itu tidak dapat mempertahankan kesombongannya. Ketika beberapa anak panah meluncur lagi ke arahnya, maka dengan tergesa-gesa orang itu pun segera bergeser dan bersembunyi di balik dinding. Ketika kemudian sambil menyeringai kesakitan ia perlahan-lahan turun, maka kawannya yang hampir saja terkena pedangnya menyambutnya dengan umpatan-umpatan, “Kau tidak berhati-hati. Pedangmu hampir saja membunuhku.”

“Aku tidak sengaja melepaskannya,” jawab orang itu.

“Aku mengerti. Tidak ada seorang pun yang dengan sengaja melepaskan senjatanya. Tetapi itu adalah pertanda bahwa kau tidak berhati-hati,” geram kawannya.

“Kekuatan yang tidak terlawan telah merenggut pedangku setelah mula-mula busur dan bumbung anak panahku,” berkata orang yang kehilangan senjatanya itu.

“Bukankah kau pengawal khusus di Pajang ini? Bagaimana mungkin kau dapat kehilangan semua senjatamu seperti itu?” bertanya kawannya.

“Naiklah. Gantikan tempatku, baru kau akan tahu jawabnya,” berkata orang yang kehilangan senjatanya itu.

Tetapi kawannya itu mengangkat wajahnya. Langit sudah menjadi semakin suram dan matahari sebentar lagi akan tenggelam di bawah cakrawala. Karena itu, maka kawannya itu pun menjawab, “Besok aku akan melakukannya sebagai seorang pengawal khusus di Pajang. Aku ingin membuktikan kepada orang Mataram, bahwa mereka tidak dapat mempermainkan para prajurit dari pasukan pengawal khusus.”

Sebenarnyalah, maka pertempuran itu pun sebentar kemudian telah berakhir. Pasukan Mataram hari itu gagal memperoleh kemenangan dengan memasuki lingkungan halaman istana. Tidak sebuah pun dari empat pintu gerbang di empat penjuru yang mampu dipecahkan oleh unsur-unsur pasukan Mataram.

Ketika terdengar isyarat, maka dengan kecewa Mataram telah menarik pasukannya. Hari itu Mataram hanya menyerahkan korban-korbannya saja. Namun Mataram tidak berhasil memasuki halaman Istana Pajang.

Sementara itu, maka orang-orang Pajang dan Demak dengan bangga melaporkan kepada Kanjeng Adipati, bahwa orang-orang Mataram tidak banyak dapat berbuat menghadapi pasukan Pajang dan Demak, terutama dari pasukan pengawal khusus.

“Terima kasih,” berkata Kanjeng Adipati, “kalian harus dapat berbuat yang sama esok pagi.”

“Jangan cemas Kanjeng Adipati,” berkata Ki Tumenggung Wiladipa, “betapapun tinggi ilmu orang-orang Mataram, bahkan seandainya Panembahan Senapati sendiri yang datang ke Pajang, namun mereka tidak akan dapat menembus pertahanan pasukan pengawal khusus. Betapapun cerdiknya pula akal orang-orang Mataram, tetapi kemampuan dan ilmu para pengawal yang tinggi akan dapat memecahkan kecerdikan mereka.”

Ki: Tumenggung pun sempat pula menceritakan satu gelar yang khusus, bahkan aneh menurut pengertian orang-orang Pajang, terutama orang Demak. Kecerdikan orang-orang Mataram mampu melahirkan sebuah gelar yang mampu melindungi setiap orang di dalam gelar itu dengan perisai.

“Tetapi gelar itu tentu merupakan gelar yang kecil saja,” berkata Adipati Pajang.

“Tidak terlalu kecil,” jawab Ki Tumenggung Wiladipa, “tetapi gelar itu sangat berbahaya. Namun kemampuan para perwira pada pasukan pengawal khusus mampu memecahkan gelar itu dengan ilmu yang seakan-akan dapat menyerap kekuatan api dan memanasi perisai yang dapat dikenai oleh anak panahnya. Sedangkan yang lain bagaikan tertimpa batu-batu hitam yang runtuh dari lereng perbukitan.”

Kanjeng Adipati mengangguk-angguk. Ia percaya kepada keterangan Ki Tumenggung Wiladipa, karena pada suatu saat Kanjeng Adipati memang pernah melihat kelebihan Ki Tumenggung dan para perwira pasukan pengawal.

Namun bagaimanapun juga, sebenarnyalah Kanjeng Adipati tidak dapat sepenuhnya melepaskan kegelisahannya. Meskipun ia percaya bahwa Ki Tumenggung Wiladipa memiliki kelebihan, demikian juga beberapa orang perwira yang lain dari pasukan pengawal khusus, namun Kanjeng Adipati pun tidak dapat mengingkari satu kenyataan bahwa Mataram pun memiliki beberapa orang senapati yang berilmu tinggi, sehingga jika para senapati itu kemudian bersama-sama mengerahkan kemampuan mereka, maka kekuatan itu agaknya tidak akan dapat diabaikan.

Tetapi Kanjeng Adipati tidak ingin mengecewakan Ki Tumenggung Wiladipa. Meskipun demikian, Kanjeng Adipati pun sempat juga memperingatkan agar pasukan pengawal khusus itu selalu berhati-hati.

“Jangan menjadi lengah,” berkata Kanjeng Adipati.

“Hamba, Kanjeng Adipati,” jawab Ki Tumenggung, “kami akan berjuang sejauh dapat kami lakukan untuk mempertahankan kemandirian Pajang.”

Kanjeng Adipati pun kemudian kembali ke ruang dalam, diikuti oleh beberapa pengawal terpilih. Sementara Ki Tumenggung Wiladipa masih mengadakan beberapa pembicaraan penting dengan para senapati.

Sementara itu, para pemimpin prajurit Mataram pun telah mengadakan pembicaraan. Mereka berusaha untuk menemukan jalan, apakah yang sebaiknya dilakukan untuk memecahkan perlawanan orang-orang Pajang dan Demak.

“Mereka adalah orang-orang yang berilmu tinggi,” berkata Ki Lurah Branjangan, “mereka telah memecahkan gelar kebanggaan pasukan khusus Mataram”

“Tetapi itu belum menjadi ukuran bahwa kita sama sekali tidak akan dapat mematahkan perlawanan orang-orang Pajang,” jawab Untara.

“Tentu kita semua berpendapat demikian. Tetapi bagaimana kita dapat melakukannya?” sahut Ki Lurah.

“Kita tentu memiliki beberapa orang yang berilmu,” berkata Untara, “kita yakin bahwa mereka akan dapat membantu memecahkan persoalannya. Orang-orang Pajang dan Demak telah mempergunakan para perwira yang berilmu tinggi untuk memecahkan gelar yang mengejutkan, yang sebenarnya merupakan gelar yang sangat baik untuk dipergunakan. Tetapi para perwira yang berilmu tinggi itu mampu memecahkannya.”

“Kita memang mempunyai beberapa orang yang berilmu tinggi,” berkata Ki Lurah, “tetapi mereka dapat menunjukkan kelebihannya jika mereka telah berhadapan dengan lawan dan bertempur beradu dada.”

Namun dalam pada itu, tiba-tiba seorang senapati berkata, “Agung Sedayu mempunyai kemampuan bidik yang luar biasa.”

Ki Lurah mengerutkan keningnya. Sementara itu, Ki Gede Menoreh pun membenarkan, “Ya. Agung Sedayu memang memiliki kemampuan bidik yang sangat tinggi. Tetapi apa artinya seorang di antara kita.”

“Tentu tidak hanya seorang,” jawab Ki Lurah, “kita akan mengumpulkan orang-orang yang memiliki ilmu bidik yang tinggi. Kita akan menempatkan mereka di depan pintu gerbang utama. Mereka harus melindungi orang-orang yang besok akan memecahkan pintu gerbang.”

“Tetapi yang diperlukan bukan sekedar orang-orang yang mempunyai kemampuan bidik yang tinggi dan pemanah yang tepat, karena Pajang mempunyai orang-orang yang memiliki kemampuan menangkis serangan-serangan anak panah dengan busurnya,” berkata seorang senapati.

“Itu tentu tidak banyak jumlahnya,” berkata Ki Lurah, “meskipun demikian, orang-orang seperti itu dapat diserahkan kepada orang khusus.”

“Kepada Agung Sedayu,” berkata senapati itu.

“Ya. Mungkin Agung Sedayu,” jawab Ki Lurah.

Namun sementara itu Swandaru bergumam di telinga seorang pemimpin pengawal Sangkal Putung, “Kakang Agung Sedayu adalah seorang pembidik yang luar biasa. Ia dapat mengenai sasaran yang bergerak. Tetapi aku tidak tahu, apakah ia dapat mengatasi orang-orang berilmu seperti yang dikatakan itu.”

“Tetapi menurut pendengaranku, Agung Sedayu memiliki ilmu yang sangat tinggi,” jawab pemimpin pengawal itu.

“Aku pun pernah mendengar, tetapi aku belum pernah membuktikan kelebihannya itu,” berkata Swandaru. “Ia adalah saudara seperguruanku. Seharusnya aku tahu lebih banyak tentang dirinya daripada orang lain.”

“Tetapi mungkin akan dapat juga dicoba,” berkata pemimpin pengawal itu.

“Besok, jika keadaan memungkinkan, aku akan melihat apa yang dapat dilakukan oleh Kakang Agung Sedayu,” berkata Swandaru. “Tetapi aku berharap justru pasukan pengawal Sangkal Putunglah yang pertama-tama dapat memecahkan pintu gerbang itu.”

“Mudah-mudahan,” jawab pemimpin pengawal itu, “tetapi sudah tentu bahwa kita tidak akan mengorbankan orang terlalu banyak.”

Dalam pada itu, beberapa orang pemimpin Mataram telah mengemukakan banyak pendapat. Ada yang berpendapat, sebaiknya dipergunakan saja pedati. Pada pedati itu dibuat dinding yang cukup lebar dan tinggi. Pedati itulah yang akan didorong dan dibenturkan pada pintu gerbang.

Sedangkan senapati yang lain menambahkan, “Kita tempatkan sebatang balok kayu yang besar dan panjang yang hari ini gagal kita angkat, dan kita benturkan pada pintu gerbang.”

Beberapa orang sependapat untuk mempergunakan pedati dengan perisai raksasa. Perisai yang dibuat dari anyaman bambu utuh yang rapat. Atau dengan kayu.

“Tetapi bagaimana dengan lembu penarik pedati itu?” bertanya salah seorang di antara para senapati.

“Tidak dipergunakan lembu,” jawab senapati yang mengusulkan penggunaan pedati itu, “pedati itu akan berjalan mundur didorong oleh para prajurit yang dilindungi oleh perisai raksasa itu.”

“Kalau begitu, kita memerlukan waktu,” berkata senapati yang lain.

“Ya. Sehari besok kita siapkan perisai raksasa itu,” jawab senapati yang mempunyai gagasan tentang pedati dan perisai raksasa, yang disetujui oleh banyak di antara kawan-kawannya.

Namun sementara itu, para senapati lawan sudah tentu akan berusaha mengguncang dan menghancurkan perisai yang akan dibuat dari bambu utuh itu dengan kekuatan ilmunya. Karena itu, beberapa orang pemimpin Mataram dimohon untuk melindunginya dengan cara yang sama.

“Ilmu itu harus dilawan dengan ilmu yang seimbang,” berkata senapati itu.

Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Ia akan minta beberapa orang untuk berada di gerbang utama itu. Tetapi pada umumnya, kelebihan para pemimpin pasukan Mataram adalah pada benturan langsung.

Karena rencana mereka dengan perisai-perisai itu, maka Mataram memutuskan bahwa sehari besok mereka tidak akan bersungguh-sungguh untuk bertempur. Karena kegagalan di hari pertama, maka mereka merasa lebih baik menunggu rencana mereka untuk mempergunakan perisai raksasa itu, yang ternyata para senapati itu ingin membuat tidak hanya sebuah.

Tetapi dalam pada itu, Untara berkata, “Baiklah. Batasan waktu yang kita berikan adalah besok lusa. Tetapi bukan berarti bahwa besok kita akan mengendorkan pertempuran. Kita harus memaksakan ketegangan kepada orang-orang Pajang dan Demak. Jadi bukan kita saja yang menjadi tegang dan gelisah.”

Ki Lurah Branjangan menyetujui. Namun dengan pesan, “Jangan mengorbankan orang-orang kita dengan sia-sia. Jika pertempuran itu kita perkirakan akan menjadi pertempuran berjarak dengan panah dan lembing, maka pasukan yang berperisai-lah yang harus berada di paling depan, di antara pasukan panah dan lembing itu sendiri.”

Para senapati mengangguk-angguk. Namun nampaknya Mataram sendiri tidak begitu bergairah untuk bertempur di keesokan harinya, justru setelah mereka melahirkan gagasan untuk membuat perisai-perisai raksasa sehingga akan memungkinkan mereka mendekati gerbang dan dinding istana.

Tetapi ketika pertemuan itu berakhir dan para senapati itu akan kembali ke kesatuan masing-masing, maka sekali lagi Untara masih minta kepada Ki Lurah, agar semua pasukan tetap diperintahkan untuk berada dalam kesiagaan tertinggi.

“Ada dua kemungkinan,” berkata Untara, “anak-anak kita akan kehilangan gairah pertempurannya untuk selanjutnya, atau dalam keadaan yang kurang bersiaga itu, justru pasukan Pajang dan Demak-lah yang ke luar dari pintu gerbang untuk menghancurkan kita.”

“Peringatan itu wajib mendapat perhatian,” berkata Ki Lurah Branjangan. Namun sebenarnyalah Ki Lurah percaya akan kemungkinan itu. Jika yang memimpin pasukan di dalam dinding istana itu Untara, dan melihat kelengahan pada pasukan lawannya, maka dengan pasukan yang kuat dan pilihan ia akan menerobos ke luar dan menghancurkan pasukan lawan, sebelum dalam waktu dekat kembali menghilang ke dalam regol.

Meskipun demikian, tetapi gejolak perjuangan para prajurit Mataram memang berbeda, ketika mereka mengetahui bahwa besok mereka tidak mempunyai rencana untuk memecahkan dinding, karena para senapati ingin mempesiapkan alat yang lebih baik dari sebuah gelar kura-kura yang aneh itu.

Dengan demikian, maka kecuali yang bertugas, para prajurit itu pun kemudian telah berbaring berserakan. Mereka tidak banyak menghiraukan apa yang harus mereka lakukan besok.

Ketika fajar mulai membayang di langit, maka para prajurit itu pun telah bersiap. Beberapa orang senapati memperingatkan, bahwa mereka tidak boleh lengah. Seandainya mereka hari itu tidak berhasil merebut pintu-pintu gerbang, mereka tidak usah menyesal. Tetapi jika pasukan Pajang dan Demak yang keluar dari pintu-pintu gerbang untuk menghancurkan mereka, maka mereka memang harus menyesal sekali.

“Karena itu, daripada kalian harus menyesal, maka lebih baik jika kalian tetap bersiaga sepenuhnya. Bertempur dalam kemampuan tertinggi,” berkata para senapati.

Para prajurit itu tidak menjawab. Tetapi mereka pada umumnya berkata di dalam hati, “Jika pertempuran itu tetap pada jarak jangkau panah dan lembing, lalu apa yang dapat kami lakukan selain menguap?”

Tetapi para prajurit Mataram memang telah menyiapkan segalanya. Senjata mereka pun telah mereka teliti dengan saksama. Yang mereka pikirkan adalah, bagaimana jika justru pasukan Demak dan Pajang itulah yang menyerang mereka.

Setelah semua persiapan selesai, serta matahari telah sampai ke atas cakrawala, maka isyarat pun segera berbunyi. Pasukan Mataram yang mengepung istana itu pun mulai bergerak. Namun ternyata bahwa sebagian kecil dari mereka telah ditinggalkan di barak-barak mereka. Sekelompok kecil itu adalah orang-orang yang harus membuat perisai-perisai raksasa di atas pedati dengan bambu yang tidak di belah.

Namun pasukan Sangkal Putung sama sekali tidak terpengaruh sama sekali oleh rencana pembuatan perisai-perisai raksasa itu. Swandaru masih tetap berusaha untuk dapat memecahkan pintu gerbang pada hari itu, meskipun ia mengakui kesulitan-kesulitan yang dihadapinya.

Ternyata bahwa Swandaru telah memperbanyak para pemanah di dalam pasukannya. Semua busur yang ada telah dibawa ke medan.

“Jika ada beberapa orang pembidik tepat, itu sudah cukup. Sementara yang lain ikut melemparkan anak panah ke arah mereka,” berkata Swandaru. Namun ia sudah mengatur dengan sungguh-sungguh para pengawal yang memiliki kemampuan membidik melampaui kawan-kawannya.

“Kalian jangan asal saja melepaskan anak panah sebagaimana kawan-kawanmu yang lain,” berkata Swandaru, “tetapi kalian harus benar-benar membidik. Ketepatan bidik kalian akan berpengaruh atas para prajurit Pajang dan Demak yang ada di atas dinding, karena mereka merasa bahwa mereka tidak leluasa lagi untuk melakukan serangan-serangan.”

Sementara itu pasukan Tanah Perdikan Menoreh juga berusaha untuk tidak mengurangi gelora perjuangan di dalam dada para pengawal. Namun bagaimanapun juga, memang agak terasa lain bahwa mereka sudah berbekal satu sikap, hari itu mereka tidak bermaksud memecahkan dinding.

Dalam pada itu, maka sejenak kemudian pertempuran antara kedua kekuatan yang dipisahkan oleh dinding istana itu pun mulai berkobar lagi. Mataram mulai mengatur dan menempatkan para pembidik tepatnya di tempat-tempat yang lebih terpilih.

Sementara itu, para prajurit Pajang dan Demak berjaga-jaga dengan kesiagaan penuh sebagaimana sehari sebelumnya. Namun mereka pun menjadi kecewa karena mereka tidak melihat orang-orang Mataram membawa peralatan yang akan mereka pergunakan untuk memecahkan regol dan memasuki dinding istana.

Meskipun demikian, maka para prajurit dari pasukan pengawal khusus, yang merasa bahwa pasukannya tidak akan dapat ditembus, telah berusaha lagi untuk menunjukkan kelebihan mereka. Mereka adalah pembidik-pembidik yang memiliki kemampuan yang tinggi. Selebihnya mereka mampu menangkis serangan anak panah dengan busur mereka.

Namun ternyata pasukan Mataram sudah menjadi lebih teratur. Apalagi pada hari itu mereka memang menempatkan diri dalam pertempuran berjarak.

Karena itu, maka Mataram pun telah menempatkan para prajuritnya yang mampu membidik dengan tepat.

Untuk beberapa saat pertempuran berlangsung dengan tidak menarik sama sekali. Di depan pintu gerbang yang lain, Swandaru masih juga berusaha untuk memecahkan regol itu. Satu-satunya regol yang mendapat serangan paling garang untuk hari itu. Tetapi Swandaru tidak juga dapat mengorbankan orang-orangnya tanpa perhitungan. Karena itu, maka beberapa kali ia harus menarik mundur orang-orangnya. Tetapi Swandaru sendiri telah berusaha menunjukkan kepada orang-orang Pajang dan Demak, juga dari pasukan pengawal yang khusus yang berada di gerbang itu, bahwa ia pun mampu melawan hujan anak panah dengan ujung cambuknya.

Anak-panah yang berterbangan ke arahnya telah dikibaskan dengan juntai cambuknya. Bahkan sekali-sekali Swandaru telah melecut anak panah yang meluncur sehingga berpatahan.

Namun ia tidak dapat bertahan terlalu lama, karena dengan demikian seakan-akan ia telah mengerahkan tenaga tanpa arti.

Sementara itu, Agung Sedayu masih saja memperhatikan pertempuran itu dengan saksama dalam usahanya memecahkan persoalan. Tiba-tiba saja ia melihat Sabungsari beringsut di medan. Karena itu, maka ia pun segera memanggilnya.

“Kita dapat bekerja bersama,” berkata Agung Sedayu.

“Maksudmu?” bertanya Sabungsari.

“Kita pecahkan pintu gerbang. Aku yang memecahkan pintu gerbang, kau melindungiku dari serangan-serangan para perwira Pajang dan Demak, atau sebaliknya,” berkata Agung Sedayu.

Sabungsari menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau mempunyai ilmu kebal.”

“Tetapi para perwira dari Pajang dan Demak adalah orang-orang yang memiliki kelebihan. Mungkin ada satu dua orang di antara mereka yang mampu menembus ilmu kebalku, jika mereka dibiarkan tanpa perlawanan,” jawab Agung Sedayu. Lalu, “Karena itu, kau awasi orang-orang yang ada di atas dinding. Untuk memecahkan dinding itu aku harus mendekat, karena kekuatan ilmuku terpengaruh pula oleh jarak.”

“Baiklah,” berkata Sabungsari, “kita akan mencobanya. Mudah-mudahan dapat berhasil.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Tetapi kita harus melaporkan dahulu kepada Ki Lurah Branjangan, sementara itu pasukan harus benar-benar bersiap. Jika tidak, maka akibatnya akan memukul kita sendiri.”

Sabungsari kemudian berkata, “Baiklah. Marilah. Aku akan minta ijin dahulu kepada Ki Untara.”

“Aku ikut bersamamu,” berkata Agung Sedayu.

Keduanya pun kemudian menemui Untara. Mereka menyatakan keinginan mereka untuk mencoba memecahkan gerbang. Mereka sadar, bahwa pintu gerbang itu adalah pintu gerbang yang kuat sekali. Tetapi mudah-mudahan ilmu dan kemampuan Agung Sedayu dapat memecahkannya.

“Agung Sedayu mampu memecahkan batu hitam,” berkata Sabungsari, “mudah-mudahan kekuatan gerbang itu tidak melampaui kekuatan batu hitam itu.”

Untara mengangguk-angguk. Ia pun sependapat agar Agung Sedayu dan Sabungsari melaporkan lebih dahulu kepada Ki Lurah Branjangan. Setidak-tidaknya pasukan di depan pintu gerbang ini harus bersiaga sepenuhnya. Jika pintu itu benar-benar dapat pecah, maka mereka akan membenturkan kekuatan mereka langsung berhadapan dengan pasukan pengawal khusus Pajang dan Demak, yang menurut kepercayaan mereka tidak akan terkalahkan.

“Biarlah Sekar Mirah dan Glagah Putih dipanggil kemari,” berkata Untara pula, “mereka harus memperkuat unsur dari regol ini. Mudah-mudahan Ki Gede tidak berkeberatan.”

“Bagaimana dengan Swandaru dan Pandan Wangi?” bertanya Sabungsari.

“Biarlah mereka di tempatnya,” Agung Sedayu-lah yang menyahut, “pasukan pengawal kademangan memerlukannya. Sedangkan bagi Tanah Perdikan, masih ada Ki Gede yang memimpinnya.”

Sabungsari mengangguk-angguk. Sementara itu, Untara berkata, “Pergilah menghadap Ki Lurah. Aku akan menghubungi Ki Pranawangsa. Ia harus mempersiapkan pasukannya. Semua unsur dari pasukan khusus harus ada di sini. Juga pasukan berkuda, karena yang akan dihadapi adalah pasukan pengawal khusus. Pasukan yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi.”

Agung Sedayu dan Sabungsari pun kemudian telah pergi menghadap Ki Lurah. Ternyata tanggapan Ki Lurah tidak berbeda dengan sikap Untara. Semua kekuatan serta semua orang yang memiliki kemampuan melampaui prajurit kebanyakan, harus berada di satu sisi, untuk menghadapi kemungkinan jika pintu gerbang itu benar-benar pecah.

Semua pihak pun kemudian mulai bergerak. Sementara itu, maka Ki Lurah pun telah memerintahkan memberitahukan kepada pimpinan pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan Kademangan Sangkal Putung untuk bersiap-siap. Pertempuran mungkin akan meningkat.

“Siapa yang akan memecahkan pintu gerbang?” bertanya Swandaru, “Bukankah alat-alatnya baru dipersiapkan?”

Penghubung yang datang kepada Swandaru itu ragu-ragu sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Pasukan Mataram di pintu gerbang induk. Aku tidak tahu jelas. Perintah Ki Lurah sebagaimana aku sampaikan.”

“Baiklah,” jawab Swandaru, “kami selalu dalam kesiagaan tertinggi. Kami tidak pernah mengendorkan pertempuran.”

Penghubung itu pun kemudian meninggalkan pasukan Sangkal Putung yang memang tengah bertempur dengan gigihnya. Beberapa pemanah yang memiliki kemampuan bidik yang tinggi ternyata telah membuat orang-orang Pajang dan Demak tidak dapat berbuat sekehendak hati. Meskipun mereka memiliki kemampuan menghibaskan dan menangkis anak panah lawan, tetapi karena anak panah itu datang susul-menyusul demikian banyaknya, maka akhirnya orang-orang Pajang dan Demak itu berusaha untuk menyembunyikan sebagian tubuhnya di balik dinding.

Di bagian lain dari pertempuran itu, seorang penghubung telah datang pada Ki Gede. Selain memperingatkan agar pasukannya bersiaga sepenuhnya, karena pasukan di depan pintu gerbang induk akan berusaha memecahkan gerbang hari ini, maka penghubung itu juga membawa pesan, apabila Ki Gede tidak berkeberatan, maka biarlah Sekar Mirah dan Glagah Putih bertempur bersama Agung Sedayu hari ini.

Ki Gede yang tidak melihat perubahan dalam pertempuran di dalam pasukannya tidak berkeberatan. Dilepaskannya Sekar Mirah dan Glagah Putih untuk pergi ke gerbang induk.

Sejenak para pemimpin dan orang-orang yang memiliki kelebihan telah berkumpul. Para perwira dari pasukan berkuda di bawah pimpinan Ki Pranawangsa, kemudian Ki Lurah Branjangan dan beberapa perwira yang memiliki ilmu tertinggi di antara pasukan khusus Mataram, Agung Sedayu sendiri, dan Sabungsari, di samping Untara.

“Aku akan mencoba Kakang. Aku mohon dilindungi. Terutama Sabungsari. Mungkin ada di antara orang-orang Pajang dan Demak yang memiliki kemampuan untuk menembus ilmu kebalku,” berkata Agung Sedayu kepada Untara.

“Mulailah,” berkata Untara, “kami akan melindungimu.”

Dengan demikian maka Agung Sedayu pun telah bergerak. Ketika ia berada di lapisan terdepan, maka Sabungsari pun mengikutinya.

“Kau berhenti di sini,” berkata Agung Sedayu, “awasi orang-orang yang berada di atas dinding. Apakah ilmumu mampu menjangkau jarak sejauh ini?”

“Kita maju beberapa langkah,” jawab Sabungsari, “aku akan membawa perisai.”

Sabungsari itu pun kemudian telah membawa sebuah perisai yang cukup besar. Sementara itu, Sekar Mirah, Glagah Putih dan beberapa orang perwira dari pasukan berkuda Pajang dan pasukan khusus Tanah Perdikan telah ikut serta melepaskan anak panah ke arah orang-orang yang berada di atas pintu gerbang.

Sebenarnyalah beberapa orang yang berdiri di atas pintu gerbang itu pun menjadi heran. Mereka melihat seseorang dengan tanpa perlindungan apapun bergerak mendekati pintu gerbang.

Namun mereka tidak terlalu lama merasa keheranan. Ketika seorang yang lain bergerak pula maju dengan perisai di tangan, maka orang-orang Pajang itu sudah mengira, bahwa akan terjadi sesuatu yang gawat.

Tetapi karena Agung Sedayu dan Sabungsari belum berbuat apa-apa, maka orang-orang Pajang dan Demak di atas dinding itu pun tidak memberitahukan hal itu kepada Ki Tumenggung Wiladipa. Mereka masih mencoba berusaha untuk mengatasinya sendiri.

Karena itu, maka sejenak kemudian Agung Sedayu itu telah dihujani dengan lontaran anak panah dan lembing yang tidak terhitung jumlahnya. Namun tidak sebuah pun di antara anak panah dan lembing itu melukainya. “Kebal,” geram seorang perwira, “kita tidak boleh berdiam diri. Laporkan kepada Ki Tumenggung Wiladipa. Biarlah aku mencoba untuk menahannya.”

Perwira itu adalah orang yang telah mampu bersama Ki Tumenggung Wiladipa memecahkan gelar kura-kura Mataram. Karena itu, maka ia pun telah bergeser ke tengah, dengan isyarat ia memerintahkan agar orang-orang lain menghentikan serangannya.

“Tidak ada gunanya,” berkata orang itu, “aku akan membunuhnya.”

Sementara itu, Agung Sedayu telah berdiri tegak, beberapa langkah lagi dari pintu gerbang utama. Sabungsari berdiri beberapa langkah di belakangnya. Ia merasa heran, bahwa serangan anak panah dan lembing pun menjadi seolah-olah berhenti.

Namun dalam pada itu, ternyata Sabungsari terlambat melihat seorang yang memiliki kemampuan tinggi melepaskan anak panahnya. Anak panah yang didorong oleh kekuatan ilmu yang tinggi, yang telah mampu memecahkan gelar kura-kura karena sentuhan anak panah itu bagaikan reruntuhan bongkah-bongkah batu dari lereng pegunungan.

Anak panah itu meluncur dengan derasnya. Bidikannya yang tepat telah mengarahkan anak panah itu ke dada Agung Sedayu, tepat di atas tangannya yang menyilang.

Kekuatan orang itu memang luar biasa. Namun ternyata bahwa kekuatan itu membentur ilmu kebal yang sangat tinggi, sehingga anak panah itu tidak mampu menembus kulit Agung Sedayu.

Meskipun demikian, terasa kekuatan yang besar telah mengguncang Agung Sedayu, sehingga ia bergeser setapak surut.

“Gila,” geram orang itu, “tetapi aku mampu menggungcangnya. Aku harus mengulangi serangan itu sampai orang gila itu meninggalkan tempatnya.”

Tetapi ketika ia mulai memasang anak panahnya, Sabungsari telah melihatnya. Ia pun melihat Agung Sedayu terguncang. Karena itu ia menyadari bahwa orang itu tentu berilmu tinggi.

Karena itu, maka Sabungsari pun telah membangunkan ilmunya pula. Sambil melindungi sebagian besar tubuhnya dengan perisai, ia memancarkan serangan dari sorot matanya, langsung ke arah orang yang menyerang Agung Sedayu.

Agung Sedayu sendiri berdiri tegang dengan tangan bersilang di dada. Setelah ia berhasil menguasai keseimbangannya kembali, maka ia pun benar-benar telah bersiap. Kekuatan lawannya yang luar biasa itu memang mampu mengguncang keseimbangannya. Tetapi sama sekali tidak berhasil melukainya.

Ketika perwira itu menarik tali busurnya diarahkan sekali lagi kepada Agung Sedayu, maka tiba-tiba dadanya bagaikan disengat oleh hentakan yang sangat kuat. Rasa-rasanya jantungnya bagaikan diremas, sehingga terdengar di luar sadarnya ia mengaduh.

“Kenapa?” bertanya seorang prajurit.

Perwira itu tidak menjawab. Tetapi ia berusaha untuk berlindung di balik dinding.

Sabungsari pun melepaskannya. Tetapi ia tetap mengawasi para prajurit dari pasukan pengawal khusus yang memiliki kelebihan dari para prajurit yang lain, terutama para perwiranya.

Sementara itu, Agung Sedayu sama sekali tidak mendapat serangan dari lawan-lawannya, sehingga dengan demikian, maka seolah-olah ia memang diberi kesempatan untuk melakukan rencananya.

Namun sebelum Agung Sedayu berbuat sesuatu, maka perwira yang kesakitan itu pun telah memerintahkan para prajuritnya untuk menyerang, sekedar mengaburkan pemusatan ilmu orang yang masih belum diketahui dengan jelas, apa yang akan dilakukan.

Tetapi sebagaimana sebelumnya, anak-panah dan lembing itu sama sekali tidak berpengaruh terhadap Agung Sedayu. Meskipun demikian, Sabungsari yang tidak mempunyai ilmu kebal itu pun kemudian justru duduk bersila sambil meletakkan perisainya di depan badannya. Dengan demikian, maka yang nampak oleh lawan-lawannya tidak lebih hanyalah kepalanya saja. Namun dari sanalah serangan-serangan Sabungsari itu dilontarkan lewat kedua sorot matanya.

Agung Sedayu dan Sabungsari ternyata telah menggemparkan para prajurit Pajang dan Demak. Untuk beberapa saat orang-orang Pajang dan Demak kebingungan untuk mengatasi kedua orang yang aneh itu.

“Apakah kita akan membuka pintu gerbang dan menyerang mereka?” bertanya seorang perwira.

“Gila,” geram perwira yang lain, “itulah yang mereka kehendaki. Membuka pintu gerbang.”

“Lalu, apa yang akan kita lakukan?” bertanya perwira yang pertama.

“Biarkan saja. Jika ia betah duduk di sana sampai matahari terbenam, sementara yang seorang ingin memamerkan ilmu kebalnya, berdiri dengan tangan bersilang sehari penuh, bukankah kita tidak usah berbuat apa-apa?” jawab perwira yang lain.

Namun dalam pada itu, sebenarnyalah Agung Sedayu telah memusatkan segenap nalar budi, mengangkat ilmunya sampai ke puncak, sehingga dengan sorot matanya maka Agung Sedayu telah berusaha untuk memecahkan pintu gerbang.

Namun pintu gerbang itu memang terlalu kuat. Bukan saja bahannya adalah keping-keping kayu yang tebal dengan lempengan-lempengan besi sebagai penyekat dan penguat, namun lebih dari itu, ternyata pintu gerbang yang dibuat oleh seorang empu yang memiliki ilmu yang tinggi itu seakan-akan telah dilapisi oleh semacam kekuatan yang tidak kasat mata.

Itulah sebabnya, maka Agung Sedayu harus berjuang untuk menembus kekuatan yang menjadi perisai dari pintu gerbang itu. Kekuatan yang tidak berujud, namun sebagaimana ilmu Agung Sedayu yang bukan unsur dari kewadagan, maka lapisan kekuatan itu mampu menghambat ilmu Agung Sedayu.

Karena itu, maka Agung Sedayu tidak dapat melakukannya dengan serta merta. Dengan mengerahkan kemampuannya, maka ia mencoba untuk menembus kekuatan itu. Ia pun kemudian melandasi perjuangan itu dengan satu keyakinan, jika Yang Maha Agung membenarkan usahanya, maka ia tentu akan berhasil.

Untuk beberapa lama Agung Sedayu berjuang dengan sepenuh kemampuan dan ilmunya.

Sementara itu, seorang penghubung telah menemukan Ki Wiladipa. Dengan gamblang ia telah melaporkan apa yang terjadi di muka pintu gerbang.

“Dan kalian tidak dapat mengusir orang gila itu?” bertanya Ki Wiladipa. “Jika demikian, biarkan saja ia berdiri mematung untuk memamerkan ilmu kebalnya. Ia hanya ingin menakut-nakuti. Namun jika ia dengan ilmu kebalnya itu nekad memanjat dinding, maka bukankah kalian akan dapat mengusirnya?”

“Anak panah seorang perwira telah mampu mengguncangnya. Tetapi ia tidak pergi,” jawab penghubung itu.

“Jika demikian, biarlah orang itu melakukan terus-menerus,” berkata Ki Tumenggung Wiladipa.

Penghubung itu tidak menjawab lagi. Namun sambil mengangguk-angguk ia pun telah mohon diri.

Tetapi sebelum ia pergi, maka penghubung berikutnya telah menemui Ki Wiladipa pula. Katanya, “Orang aneh itu berusaha untuk memecahkan pintu gerbang.”

“Dengan apa?” bertanya Ki Wiladipa.

“Tentu ada kekuatan yang mampu dipancarkannya dari jarak tertentu. Orang itu berdiri saja sambil menyilangkan tangannya di dada. Namun sementara itu terdengar pintu gerbang berguncang,” jawab penghubung itu.

Wajah Ki Tumenggung Wiladipa menjadi tegang, Nampaknya keadaan benar-benar menjadi gawat. Namun kemudian katanya, “Ada sesuatu yang tidak dapat kita lihat pada ke empat pintu gerbang halaman istana ini, ketika seorang empu yang sakti membuatnya.”

“Apakah kita akan mempercayakannya kepada kekuatan gaib itu?” bertanya penghubungnya.

“Baiklah. Aku akan cepat pergi ke pintu gerbang induk itu,” berkata Ki Tumenggung kemudian.

Penghubung itu termangu-mangu. Dengan nada datar ia bertanya, “Ki Tumenggung tidak pergi sekarang? Keadaan telah benar-benar gawat.”

“Suruhlah kawanmu yang mampu mengguncang itu melakukannya berulang kali, sehingga pemusatan pikiran dan ilmunya pecah. Aku akan segera datang setelah aku menghadap Kanjeng Adipati.”

“Aku mendapat pesan, Ki Tumenggung supaya datang sekarang,” berkata penghubung itu.

Ki Tumenggung menyadari, betapa gawatnya keadaan. Karena itu, maka niatnya untuk menghadap Kanjeng Adipati diurungkan. Ia hanya sekedar berpesan kepada seorang pengawal dalam, “Aku mohon, Kanjeng Adipati bersiap-siap menghadapi keadaan yang betapapun gawatnya. Tetapi di lingkungan istana ini terdapat pengawal khusus yang tidak terhitung jumlahnya.”

Sejenak kemudian, maka Ki Tumenggung Wiladipa pun segera pergi ke pintu gerbang utama dari halaman istana Kadipaten Pajang.

Sementara itu, Agung Sedayu memang berhasil mulai menggetarkan pintu gerbang. Tetapi ilmunya masih belum merambah kepada kemungkinan untuk menghancurkan pintu gerbang itu.

Agaknya Sabungsari melihat kesulitan yang dialami oleh Agung Sedayu. Namun ia tidak dapat melepaskan tugasnya untuk melindunginya dari kemungkinan-kemungkinan yang paling buruk. Karena itu, maka ia pun mengawasi orang-orang yang berada di atas dinding. Orang-orang yang agaknya memiliki kelebihan telah disapunya dengan ilmunya, sementara para pengawal khusus yang lain harus memperhitungkan dengan saksama, anak panah yang dilontarkan oleh orang-orang berilmu dari Mataram.

Sementara itu, ternyata sedikit demi sedikit usaha Agung Sedayu mulai berhasil. Ia benar-benar telah mampu menembus perisai yang dibangunkan tanpa kasat mata oleh empu yang sakti yang telah membuat pintu gerbang itu.

Karena itulah, maka pintu gerbang itu benar-benar mulai terguncang. Semakin lama semakin keras.

Ketika orang-orang yang berada di pintu gerbang itu menjadi semakin cemas dan gelisah, maka Ki Tumenggung pun dengan tergesa-gesa telah tiba. Ia langsung menuju ke pintu gerbang dan melihat apa yang telah terjadi.

“Gila,” geram Ki Tumenggung, “aku harus berbuat sesuatu.”

Dengan serta merta maka Ki Tumenggung itu pun segera memanjat dinding istana. Ketika ia berada di atas dinding, maka dilihatnya seseorang berdiri tegak dengan tangan bersilang di dada.

“Tentu orang itu,” katanya di dalam hati.

Sejenak ia mengamati Agung Sedayu. Ia mencoba untuk menilai, apakah lawannya itu benar-benar orang yang memiliki kemampuan luar biasa dan tidak terlawan.

Namun dalam pada itu, selagi ia termangu-mangu, maka Sabungsari telah melihatnya. Karena itu, maka ia pun menjadi berdebar-debar. Ia sadar, bahwa Ki Tumenggung Wiladipa tentu orang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.

Karena itu, maka ia pun telah bersiaga untuk menghadapinya. Jika orang itu akan menyerang Agung Sedayu, maka ia harus berusaha untuk menghalanginya.

“Orang itu berilmu iblis,” berkata Ki Wiladipa. Lalu katanya, “Beri aku anak panah dan busur.”

Seseorang pun kemudian telah menyerahkan anak panah dan busur. Dengan wajah yang tegang, maka Ki Tumenggung Wiladipa itu pun telah melepaskan anak panahnya pada busurnya.

Namun Ki Tumenggung Wiladipa tidak sempat membidik. Selagi ia mulai mengangkat busurnya, maka Ki Tumenggung itu tiba-tiba telah menyeringai menahan sakit di dadanya. Rasa-rasanya isi dadanya telah diremas oleh satu kekuatan yang luar biasa besarnya.

Ki Tumenggung Wiladipa mengumpat. Sementara itu, ia tidak melihat Agung Sedayu merubah sikap dan pandangannya. Karena itu maka Ki Wiladipa pun telah mengambil kesimpulan, tentu ada orang lain yang telah melindungi orang yang berdiri tegak dengan menyilangkan tangannya di dadanya.

Dengan cepat Ki Tumenggung melihat Sabungsari yang duduk di belakang perisai. Karena itu, maka ia pun kemudian bertekad untuk lebih dahulu menyerang Sabungsari.

Tetapi Ki Tumenggung sadar, bahwa Sabungsari pun ternyata mampu menyerangnya dari jarak jauh, sehingga ia harus menjadi sangat berhati-hati.

“Tetapi orang itu tidak kebal. Bidiklah kepalanya. Aku akan mempersiapkan sebuah serangan,” berkata Ki Tumenggung Wiladipa. Dua orang perwira telah berusaha membidik kepala Sabungsari. Namun mereka tidak dapat melakukannya tanpa perlawanan. Ternyata bahwa Glagah Putih dan Sekar Mirah pun berada di antara mereka yang telah mempergunakan anak panah dan busur untuk menyerang orang-orang yang berada di atas dinding. Lontaran anak panah Sekar Mirah memang agak lain dari lontaran anak panah para prajurit kebanyakan. Bagaimanapun juga, dorongan ilmunya berpengaruh pula atas kekuatan anak panah yang diluncurkannya.

Dengan demikian, baik yang menyerang dari atas dinding, maupun yang dari luar dinding, harus berhati-hati menghadapi lawan yang semakin mapan. Pasukan Mataram pun telah menempatkan pemanah-pemanah terbaiknya di samping orang-orang yang memiliki kelebihan. 

Namun akhirnya Ki Wiladipa memang mendapat kesempatan. Ketika ia bergeser dari tempatnya di tempat yang terlindung, ia dapat mengelabui Sabungsari. Dengan cepat ia muncul dengan busur yang telah merentang. la sempat membidik sekilas. Ketika Sabungsari melihatnya, maka Ki Tumenggung Wiladipa telah sempat melepaskan anak panahnya.

Anak panah itu meluncur dengan derasnya. Namun Ki Tumenggung Wiladipa tidak sempat membidik kepala Sabungsari. Karena itu, maka anak panahnya telah meluncur mengenai perisainya.

Akibatnya memang mengejutkan. Rasa-rasanya perisai di tangan Sabungsari itu bagaikan terbakar dan menjadi panas.

Sabungsari menggeretakkan giginya. Ia berusaha untuk mengatasi perasaan sakitnya, sementara orang yang menyerangnya telah hilang di balik dinding.

Sabungsari sadar, bahwa orang itu tentu akan muncul lagi di tempat lain dan akan menyerangnya dengan tiba-tiba. Sebelum Sabungsari sempat melihatnya, maka orang itu tentu sudah melepaskan anak panahnya dan menghilang lagi di balik dinding.

“Licik,” geram Sabungsari. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa.

Karena itu, maka Sabungsari pun tiba-tiba telah menentukan satu langkah lain. la tidak menghiraukan lagi orang yang akan menyerangnya. Jika sekali lagi orang itu mengenainya dan perisainya menjadi semakin panas, maka ia akan membiarkan tangannya mengalami luka bakar.

Tetapi ia sudah mengambil satu keputusan.

Sabungsari tiba-tiba tidak memperhatikan lagi orang-orang yang sedang berdiri di atas dinding dan gerbang. Ia pun telah memusatkan pandangan matanya ke pintu gerbang.

“Aku harus membantu Agung Sedayu mempercepat usahanya memecahkan pintu gerbang itu,” berkata Sabungsari di dalam hatinya.

Sejenak kemudian, maka Sabungsari pun telah bersama-sama dengan Agung Sedayu berusaha memecahkan pintu gerbang dengan cara yang hampir sama. Sementara itu, ilmu Sabungsari sudah tidak dihalangi lagi oleh perisai yang tidak kasat mata yang melindungi pintu gerbang itu, karena telah dikoyakkan oleh Agung Sedayu.

Ternyata dua kekuatan yang dahsyat telah mengguncang pintu gerbang. Meskipun ilmu Sabungsari masih belum setingkat dengan ilmu Agung Sedayu, namun yang dilakukan ternyata benar-benar telah mempercepat usaha Agung Sedayu untuk memecahkan pintu gerbang itu. 

Ketika sebuah anak panah mengenai perisai Sabungsari dan panas perisainya semakin meningkat, Sabungsari tidak menghiraukannya. Ia justru merenggangkan perisai itu dari tubuhnya. Namun lengannya yang menjadi tumpuan perisai itu benar-benar bagaikan terkelupas oleh panasnya perisainya yang bagaikan membara.

Dalam pada itu, dua kekuatan telah bergabung. Agung Sedayu sendiri telah mampu mengguncang pintu gerbang itu. Ketika ia meningkatkan ilmunya, maka Sabungsari pun telah ikut pula bersamanya. Karena itulah, maka pintu gerbang itu pun kemudian bagaikan didera oleh kekuatan yang tidak tertahankan. Jauh di atas kemungkinan sekelompok orang yang, berusaha memecahkan pintu gerbang itu dengan balok kayu yang panjang. Apalagi di bawah hujan anak panah dan lembing.

Perlahan-lahan maka orang-orang yang berada di dalam pintu gerbang itu menyaksikan, bahwa selarak pintu gerbang itu mulai retak.

“Selarak itu retak!” teriak seseorang.

“Tahan! Jangan sampai terbuka!” teriak yang lain.

Beberapa orang telah berusaha untuk menahan agar pintu itu tidak terbuka.

Tetapi mereka tidak menyadari, bahwa kekuatan yang terpancar dari mata Agung Sedayu dan Sabungsari bukanlah terutama kekuatan mendorong pintu gerbang itu. Tetapi kekuatan itu bagaikan menyusup di sela-sela setiap lubang yang betapapun lembutnya dari papan dan keping-keping besi pada pintu gerbang itu. Kemudian meremasnya dan melumatkannya.

Karena itu, maka sejenak kemudian, yang terjadi pada pintu gerbang itu benar-benar mengejutkan. Perlahan-lahan tetapi pasti, maka telah terjadi keretakan, dan kemudian selapis-demi selapis keping kayu yang tebal itu pun mulai geripis, bagaikan dimakan rengat. Semakin lama semakin dalam, sementara goncangan-goncangan telah terjadi pula, karena kekuatan kayu itu sendiri, sehingga terjadi benturan yang keras antara kekuatan kayu itu serta lapisan pelindungnya yang tidak kasat mata, dengan kekuatan sorot mata Agung Sedayu dan yang kemudian dibantu oleh Sabungsari. Goncangan-goncangan itulah yang telah meretakkan selarak pintu gerbang itu.

Sabungsari yang kemudian mengetahui tepat sasaran ilmu Agung Sedayu pun telah menerapkan ilmunya pada sasaran yang sama, sehingga kedua kekuatan ilmu itu telah saling mendorong, sehingga keausan terjadi semakin cepat.

Seperti yang diperhitungkan, maka ketika keping-keping papan yang tebal dan kuat itu telah berlubang, maka di balik pintu itu nampak selarak yang menyilang. Tidak terlalu lama bagi Agung Sedayu dan Sabungsari bersama-sama untuk mematahkan selarak yang sudah retak karena goncangan-goncangan yang dahyat itu.

Sementara di dalam pintu gerbang telah terjadi keributan. Para perwira telah melaporkan hal itu kepada Ki Tumenggung Wiladipa. Ternyata Ki Tumenggung Wiladipa tidak mampu mengusir Agung Sedayu. Ketika Ki Wiladipa menyerang Agung Sedayu maka kekuatan ilmunya memang dapat menembus ilmu kebal Agung Sedayu. Tetapi sudah menjadi demikian lemahnya sehingga sama sekali tidak melukainya. Meskipun demikian, Agung Sedayu sebenarnya juga merasa sakit sengatan rasa panas. Namun tidak berhasil menyakitinya. Perwira yang memiliki kekuatan yang luar biasa itu, tidak mampu lagi mengguncang ketika Agung Sedayu benar-benar sudah sampai ke puncak ilmunya.

Karena itu, maka tidak ada apapun lagi yang dihiraukan oleh Agung Sedayu dan Sabungsari, karena semua pemusatan nalar budinya tertuju pada pintu gerbang itu.

Sementara itu, para prajurit Mataram pun telah melihat apa yang terjadi. Ki Lurah Branjangan yang menjadi yakin, bahwa pintu itu memang akan pecah, segera mempersiapkan pasukannya. Pasukan khusus dan pasukan berkudanya berada di paling depan. Kemudian pasukan Mataram yang lain mengiringinya. Beberapa orang yang memiliki ilmu yang tinggi harus berada di antara mereka, karena mereka akan bertemu dengan para prajurit dan pasukan pengawal khusus Pajang yang dianggap tidak terkalahkan di segala medan.

Bahkan, ternyata Ki Lurah Branjangan juga telah memerintahkan untuk memanggil sekelompok pasukan Mataram yang mendapat tugas untuk menyiapkan pedati dengan perisai-perisai raksasa.

“Pedati-pedati itu tidak kita perlukan lagi,” berkata Ki Lurah Branjangan, “gerbang telah dipecahkan.”

Para penghubung telah menyampaikan perintah itu pula. Seorang prajurit Mataram sempat bertanya, “Bagaimana kita mampu memecahkan pintu gerbang?”

“Agung Sedayu dan Sabungsari,” jawab penghubung itu.

Para prajurit itu pun mengangguk-angguk. Mereka segera meninggalkan pekerjaan mereka dan dengan kesiagaan seorang prajurit mereka telah menuju ke medan.

Dalam pada itu, pintu gerbang yang terbuat dari keping-keping papan yang kuat dan tebal, serta diperkuat oleh batang-batang besi, telah dipecahkan. Sebuah lubang telah terjadi. Semakin lama semakin besar. Bahkan ternyata bahwa kekuatan Agung Sedayu dan Sabungsari telah menembus dan mengenai pula orang-orang yang berada di belakang pintu gerbang yang berlubang itu.

Dengan demikian, maka di belakang pintu gerbang itu benar-benar telah terjadi kegelisahan. Beberapa orang telah mendesak mundur dan menghindarkan diri dari lubang yang telah menganga itu.

Sementara itu, maka Ki Lurah Branjangan telah bersiap pula. Selapis pasukan Mataram telah membalas setiap serangan dengan anak panah dan lembing, untuk melindungi pasukannya yang akan segera membuka pintu gerbang.

Demikianlah, ketika Agung Sedayu sudah meyakini bahwa pintu gerbang itu sudah terbuka, maka ia pun telah mengakhiri serangannya. Perlahan-lahan ia bergeser surut, sementara Sabungsari pun telah selesai pula.

Tetapi ternyata bahwa Sabungsari harus melepas perisai yang ternyata telah membakar tangannya dan membuat bekas luka bakar yang parah.

Dengan cepat seseorang telah merawat tangan Sabungsari yang terluka bakar. Namun setelah dioleskan obat pada luka itu, Sabungsari berkata, “Aku tidak apa-apa. Yang penting tanganku kanan masih mampu menggenggam pedang.”

Namun dalam pada itu, Agung Sedayu yang merasakan bantuan Sabungsari pada serangannya menepuk pundaknya sambil berkata, “Terima kasih. Sekarang terserah kepada Ki Lurah Branjangan.”

Dalam pada itu, maka pasukan berperisai telah bersiap. Ketika Ki Lurah memberikan isyarat, maka pasukan itu pun dengan serta merta telah menyerbu menuju ke pintu gerbang yang telah berhasil ditembus oleh Agung Sedayu dan Sabungsari, di bawah perlindungan anak panah dan lembing yang mengimbangi serangan-serangan dari atas dinding.

Namun pasukan yang ada di dalam halaman istana, tidak lagi berusaha menahan laju pasukan Mataram. Tetapi dengan kebanggaan pasukan pengawal khusus yang tidak terkalahkan, mereka siap menunggu pasukan Mataram di dalam pintu gerbang, bersama prajurit Pajang dan Demak yang lain.

Tetapi prajurit Mataram telah memperhitungkannya. Karena itu, maka yang harus berada di paling depan adalah pasukan khusus Mataram yang ditempa di Tanah Perdikan Menoreh, bersama pasukan berkuda dari Pajang sendiri yang dipimpin oleh Ki Pranawangsa. Sementara itu pasukan Mataram yang ada di Jati Anom yang dipimpin oleh Untara, sebagian telah berada di depan pintu gerbang itu pula. Sekelompok dari pasukan itu yang diserahkan kepada Sabungsari, memiliki kemampuan pasukan khusus yang berpengalaman. Sedangkan Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih telah memperkuat pasukan yang memasuki halaman lewat pintu gerbang utama itu pula.

Berita tentang pecahnya pintu gerbang utama itu telah sampai ke semua pasukan yang mengepung Istana Pajang. Bahkan para penghubung khusus telah pergi ke Mataram untuk menyampaikan berita tentang pecahnya pintu gerbang itu, sebagaimana pernah dipesankan oleh Panembahan Senapati. Bahwa jika pintu gerbang istana itu dapat dibuka, maka persoalannya dengan Pajang akan diselesaikannya sendiri dengan Adipati Pajang, yang sebenarnya adalah keluarga sendiri.

Benturan antara kedua pasukan itu benar-benar merupakan benturan yang dahsyat. Kedua belah pihak memiliki kebanggaan atas kesatuan masing-masing, sehingga dengan demikian maka kedua belah pihak merasa tidak akan terkalahkan. Pasukan berkuda yang dalam benturan itu sama sekali tidak mempergunakan kuda mereka, merupakan satu pasukan yang pernah mengalami latihan-latihan yang sangat berat badani dan jiwani, sebagaimana pasukan khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh. Namun sekelompok prajurit Mataram yang berada di Jati Anom yang berada dibawah pimpinan Sabungsari, merupakan sekelompok pasukan yang memiliki pengalaman khusus pula.

Pertempuran yang terjadi memang merupakan pertempuran yang sangat dahsyat. Pasukan yang memiliki kelebihan dari pasukan-pasukan yang lain telah saling bertemu dan bertempur desak mendesak. sorak yang gemuruh seakan-akan memecahkan dinding-dinding istana yang membeku.

Di dalam istana, Kanjeng Adipati yang dikawani oleh tiga pengawal terpilihnya duduk di atas singgasana Kadipaten dengan tombak siap di tangan. Sementara permaisurinya diperintahkannya berada di dalam biliknya.

“Aku akan mati di atas singgasana ini,” berkata Kanjeng Adipati, “tidak seorang pun akan dapat mengusir aku dari tempat ini.”

Para pengawalnya tidak menjawab. Namun merekapun telah bersiap untuk mati, sebagaimana Kanjeng Adipati.

Namun tiba-tiba saja Kanjeng Adipati bertanya, “Dimana Wiladipa?”

“Hamba kurang tahu Kanjeng,” jawab seorang pengawalnya.

“Ya. Kau tentu tidak mengetahui. Tetapi menurut laporan yang aku terima, Tumenggung Wiladipa sedang mengatur para prajurit yang berada di luar,” desis Kanjeng Adipati.

Para pengawal tidak menjawab. Namun mereka benar-benar dicengkam oleh suasana yang tegang. Sementara sorak yang gemuruh terdengar di halaman istana.

Pertempuran antara dua kekuatan yang memiliki kelebihan dari prajurit kebanyakan itu benar-benar telah mengguncangkan medan. Prajurit dari pasukan khusus Mataram, pasukan berkuda Pajang yang berpihak kepada Mataram, serta sekelompok prajurit pilihan dari Jati Anom yang dipimpin oleh Sabungsari, ternyata merupakan pasukan yang mengejutkan pasukan pengawal khusus dari Pajang dan Demak. Mereka merasa bahwa mereka tidak akan terkalahkan di segala medan. Namun ketika senjata mereka berbenturan dengan pasukan terpilih dari Mataram, maka mereka merasa bahwa ternyata ada juga sepasukan prajurit yang memiliki tataran sebagaimana mereka sendiri.

Karena itu, maka para prajurit dari pasukan pengawal khusus Pajang dan Demak itu harus mengerahkan kemampuan mereka untuk menahan pasukan Mataram yang menyusup.

Namun arus pasukan Mataram benar-benar sulit untuk dibendung. Ketika pasukan khusus sudah berhasil mendorong pertahanan pasukan pengawal khusus Pajang dan Demak, maka para prajurit dari segala unsur yang ada di luar pun telah mendesak masuk pula. Meskipun mereka tidak memiliki kemampuan pasukan khusus, tetapi prajurit-prajurit Mataram adalah prajurit yang berpengalaman. Mereka telah berada di banyak medan yang keras dan bahkan kasar. Karena itu, maka mereka sama sekali tidak gentar melihat benturan pasukan khusus yang saling memiliki kelebihan itu.

Beberapa kelompok pasukan Mataram berusaha untuk dapat mencapai pintu gerbang di sebelah-menyebelah yang di hadapi oleh pasukan dari Tanah Perdikan Menoreh, dan yang lain pasukan pengawal Kademangan Sangkal Putung, sementara di pintu gerbang belakang, pasukan Mataram yang ditarik dari beberapa daerah pengamanan telah siap pula untuk menggempurnya.

Ketika berita bahwa pintu gerbang utama telah dipecahkan, maka semua pasukan pun segera bersiap. Mereka menyerang dengan sengitnya dari luar dinding, dengan harapan bahwa akan datang pasukanMataram yang akan membantu mereka dari dalam dinding dan membuka selarak pintu gerbang.

Namun pasukan pengawal khusus yang memencar itu telah mempertahankan pintu gerbang dari dalam. Karena itu, maka pasukan Mataram yang mengalir ke pintu gerbang samping tidak segera dapat membantu membuka selaraknya dari dalam.

Tetapi kehadiran pasukan Mataram di pintu gerbang itu telah membuat pertahanan pasukan Pajang dan Demak menjadi kisruh. Para prajurit Mataram itu telah mempergunakan anak panah pula untuk menyerang para prajurit Pajang dan Demak yang berada di atas dinding, sehingga dengan demikian maka perhatian pasukan Pajang dan Demak benar-benar telah terbagi.

Dalam pada itu, pasukan dari Kademangan Sangkal Putung yang memang tidak mengendorkan serangannya, masih juga menyediakan peralatan mereka. Ketika mereka menyadari bahwa pasukan Mataram yang memasuki pintu gerbang utama telah mengalir sampai ke balik dinding di hadapan mereka, maka Swandaru memutuskan untuk mempergunakan alat-alat itu kembali.

Sekelompok orang pun kemudian telah mengangkat sebatang balok yang besar dan panjang. Dengan dilindungi oleh selapis pasukan ber-anak panah dan busur serta lembing, maka sekelompok orang itu berusaha untuk membenturkan baloknya ke arah pintu gerbang.

Kekuatan pasukan Pajang dan Demak memang sudah terbagi. Karena itu, maka mereka tidak dapat sepenuhnya berusaha menghambat usaha Swandaru. Mereka harus melawan pasukan Mataram yang telah sampai ke balik pintu gerbang itu pula.

Karena itulah, maka usaha Swandaru tidak banyak lagi mendapat hambatan.

Ketika balok panjangnya itu membentur pintu gerbang, maka terasa sebuah kekuatan justru bagaikan mendera balok itu sehingga memental mundur. Beberapa kali Swandaru mencobanya. Namun beberapa kali pula ia gagal.

Tetapi murid Kiai Gringsing itu tidak pernah berputus asa. Meskipun ia tidak sadar, bahwa ada sesuatu yang tidak dapat dilihatnya, namun kemauannya yang tidak pernah mereda dan justru bagaikan menyala semakin besar di dalam dadanya, ternyata mempunyai pengaruh pula. Kepribadian Swandaru yang sangat kuat telah menumbuhkan kekuatan khusus untuk melawan kekuatan yang tidak kasat mata yang seakan-akan melapisi pintu gerbang itu.

Karena itu, ketika Swandaru menghentakkan kekuatannya dan ia pun kemudian membantu usaha memecahkan pintu gerbang itu dengan ledakan cambuknya yang bagaikan menimbulkan gempa itu, maka selarak pintu gerbang itu mulai retak di bagian dalam.

Karena usaha itu diulang beberapa kali, maka keretakan di selarak pintu itu pun semakin lama menjadi semakin dalam, sehingga akhirnya, Swandaru dan para pengawalnya berhasil memecahkan pintu gerbang samping itu.

Demikian pintu gerbang itu pecah, maka mengalirlah pasukan pengawal Kademangan Sangkal Putung memasuki pintu gerbang. Namun ternyata benturan itu memang sangat mengejutkan. Yang mereka hadapi adalah pasukan pengawal khusus yang sudah siap berada di pintu. 

Swandaru sendiri bersama Pandan Wangi telah memimpin pasukan Kademangan Sangkal Putung. Keduanya memang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan. Dan keduanya pun memiliki kelebihan dari pasukan pengawal khusus sekalipun.

Seorang perwira dari pasukan pengawal khusus itu telah berusaha untuk menahan Swandaru. Namun ia benar-benar telah membentur satu kekuatan yang luar biasa. Ketika cambuk Swandaru meledak, maka perwira itu terkejut. Ia tidak mengira bahwa di lingkungan para pengawal itu terdapat seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Karena menilik pakaian dan kelengkapannya, maka pasukan yang menerobos masuk itu bukan prajurit Mataram yang sebenarnya.

Namun pasukan pengawal Kademangan Sangkal Putung pun telah memiliki pengalaman yang sangat luas. Sejak bagian terakhir dari sisa-sisa pasukan Jipang berada di sekitar kademangannya, maka para pengawal kademangan sudah ditempa dengan keras, meskipun sebagian dari mereka telah disusul dengan tataran anak-anak muda berikutnya. Namun anak-anak muda itu pun telah memiliki pengalaman yang cukup pula.

Karena itu, maka pasukan pengawal Kademangan Sangkal Putung itu pun telah melanda kekuatan pasukan pengawal khusus Pajang dan Demak.

Tetapi bagaimanapun juga, secara pribadi kemampuan pasukan pengawal khusus itu memang lebih baik dari para pengawal dari Kademangan Sangkal Putung, sehingga pasukan pengawal Sangkal Putung itu tidak dapat maju dengan cepat.

Namun jumlah pasukan pengawal Sangkal Putung agaknya memang lebih banyak, sehingga jumlah itu dapat mengisi kelemahan dibandingkan dengan para prajurit dari pasukan pengawal khusus di Pajang. Sementara itu, para prajurit Mataram yang mengalir dari pintu gerbang utama sempat juga membantu para pengawal Kademangan Sangkal Putung sehingga mereka sempat memasuki pintu gerbang.

Kehadiran pasukan pengawal Sangkal Putung itu memang memperberat beban pasukan pengawal khusus di Pajang. Tetapi sebagaimana kepercayaan mereka atas kemampuan mereka, maka para prajurit dari pasukan pengawal itu justru bertempur semakin garang.

Swandaru yang berhadapan dengan seorang perwira dari pasukan khusus itu telah mengerahkan kemampuannya. Ia tidak mau dikalahkan oleh prajurit Pajang, siapa pun mereka.

Namun para perwira dari pasukan khusus memang mempunyai kelebihan, sehingga karena itu, maka Swandaru pun telah bertemu dengan lawan yang mampu menahannya dalam satu pertempuran yang sengit.

Namun usaha Swandaru memperdalam ilmunya dengan kemurahan hati gurunya, yang telah meminjamkan kitabnya berganti-ganti antara Swandaru dan Agung Sedayu, telah membuat ilmu Swandaru menjadi semakin mapan. Meskipun ia cenderung untuk menunjukkan kekuatan wadagnya. Namun bagaimanapun juga, tersirat juga kekuatan cadangan di dalam pancadan ilmunya.

Dengan demikian, maka perwira dari pasukan pengawal khusus itu pun harus mengerahkan segenap ilmunya untuk melawan cambuk Swandaru yang nggegirisi.

Meskipun para prajurit dari pasukan pengawal itu mempunyai kelebihan dari para pengawal Kademangan, namun ternyata bahwa perwira yang memegang pimpinan kelompok pasukan pengawal khusus yang berhadapan dengan Swandaru itu tidak mampu melawan kemampuan ilmu Swandaru. Ledakan cambuknya, benturan ilmu dan kecepatan gerak karena dorongan tenaga cadangan, menyatakan bahwa perwira itu benar-benar berada di bawah tataran kemampuan Swandaru. Karena itulah, maka perwira itu pun kemudian telah bergeser surut. Sementara dua orang prajurit telah berusaha untuk membantunya.

Namun dalam pada itu, para pengawal Kademangan pun telah mendesak pula semakin maju.

Dalam pada itu, Pandan Wangi ternyata tidak langsung terlibat ke dalam pertempuran sebagaimana dialami oleh Swandaru. Karena itu, maka Pandan Wangi sempat memperhatikan para pengawal Kademangan. Dengan suara yang melengking tinggi, Pandan Wangi memberikan aba-aba.

“Berhati-hatilah!” berkata Pandan Wangi dengan nada tinggi, “Jangan salah menilai lawan. Jangan bertempur sendiri-sendiri. Tetapi pasukan ini harus tetap merupakan satu kesatuan.”

Para pengawal menyadari, kemampuan para prajurit Pajang memang luar biasa. Itulah sebabnya, maka mereka berusaha untuk dapat bertempur berpasangan.

Ternyata bahwa pengalaman yang luas para pengawal Kademangan Sangkal Putung telah memberikan arti di dalam pertempuran yang berat itu. Mereka memang tidak menghadapi lawannya seorang dengan seorang. Apalagi jumlah pasukan pengawal Sangkal Putung memungkinkannya, sementara pasukan Mataram yang lain telah ikut bertempur di medan itu pula.

Dengan demikian maka perlahan-lahan sekali pasukan Sangkal Putung itu dapat mendesak maju. Para pemimpin kelompok berusaha agar para pengawal dari Kademangan Sangkal Putung tetap berada dalam satu kesatuan, sementara pasukan Mataram yang lain telah menyesuaikan dirinya. Sebagian dari mereka adalah pasukan khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan, yang mengalir dari pintu gerbang utama.

Namun dalam pada itu, Pandan Wangi tidak terlalu lama dapat membebaskan diri dari pertempuran yang akan dapat mengikatnya. Ketika ia melihat perlawanan para pengawal dikacaukan oleh seorang senapati Pajang, maka dengan penuh tanggung jawab, ia telah menyusup di antara pasukannya dan menghadapi senapati itu.

“Kau seorang perempuan,” desis Senapati itu.

Pandan Wangi memandanginya dengan tajamnya. Terdengar jawabnya singkat, “Ya.”

Senapati itu termangu-mangu sejenak. Namun melihat pedang rangkap yang bersilang di dada Pandan Wangi, maka senapati itu menyadari bahwa perempuan itu bukan perempuan kebanyakan.

Meskipun demikian, namun senapati itu masih juga berkata, “Minggirlah. Aku adalah salah seorang senapati dari pasukan pengawal khusus. Aku datang dari Demak dengan bekal yang tidak akan terguncangkan oleh pasukan Mataram yang manapun juga. Apalagi dengan sekelompok pengawal pembantu prajurit seperti pasukanmu ini. Karena itu, tolonglah aku, jangan kotori tanganku dengan darah seorang perempuan.”

Gigi Pandan Wangi tiba-tiba saja telah gemeretak. Namun ia selalu ingat pesan ayahnya yang juga gurunya. Bahwa ia tidak boleh hanyut ke dalam arus perasaannya jika ia berhadapan dengan lawan.

Karena itu, maka betapapun dadanya bergejolak, namun Pandan Wangi tetap berusaha untuk menguasai perasaannya. Apalagi ia agaknya telah berhadapan dengan seorang perwira dari pasukan pengawal khusus yang memang memiliki kelebihan.

Karena itu, dalam hiruk pikuk pertempuran itu, Pandan Wangi telah mempersiapkan diri menghadapi senapati Pajang itu. Pedangnya masih tetap bersilang di depan dadanya, sementara ia bergeser selangkah maju mendekati Senapati yang telah menghinanya itu.

Senapati itu memang menjadi heran. Perempuan itu sama sekali tidak menunjukkan kecemasannya. Bahkan ia telah melangkah mendekat.

“Agaknya perempuan ini memang harus mendapat sedikit peringatan,” berkata senapati itu di dalam hatinya.

Senapati yang bersenjata tombak pendek itu pun telah mengacukan ujung tombaknya ke lambung Pandan Wangi sambil berkata, “Sebenarnya aku merasa sayang melukaimu perempuan cantik, apalagi secantik kau. Tetapi jika kau tidak menyingkir dari medan, maka kau tetap aku anggap sebagai lawan yang tidak berbeda dengan para pengawalmu.”

“Aku adalah senapati dari pasukanku,” jawab Pandan Wangi, “karena itu maka bersiaplah. Perang senapati kadang-kadang memang sangat menarik. Meskipun tidak berjanji, tetapi senapati yang tahu diri akan berlaku jantan tanpa melibatkan para prajuritnya dalam perang senapati.”

Wajah senapati Pajang itu menjadi tegang. Dengan nada dalam ia bertanya, “Kau menantang perang tanding?”

“Menantang atau tidak menantang, kita akan terlibat dalam perang tanding,” jawab Pandan Wangi.

Senapati Pajang itu menjadi semakin berhati-hati menghadapi Pandan Wangi. Sikapnya yang meyakinkan itu menunjukkan, bahwa perempuan itu memang benar-benar berbekal ilmu.

Namun demikian senapati itu masih bertanya, “Baiklah. Tetapi apakah aku masih diperbolehkan untuk bertanya sekali lagi? Siapapun yang akan mati di pertempuran ini, rasa-rasanya aku ingin mengetahui namamu. Jika kau yang mati, aku masih akan dapat menyebut namamu sebagai seorang perempuan yang sangat cantik. Tetapi jika aku mati, aku tidak akan lagi menyesal, karena aku belum mendengar nama perempuan cantik yang membunuhku.”

Sesuatu telah mencengkam perasaan Pandan Wangi, sehingga ia tidak mampu menolaknya. Karena itu, maka dengan nada ragu ia menjawab, “Namaku Pandan Wangi.

“Nama yang bagus sekali,” desis senapati itu.

Namun dengan serta merta Pandan Wangi menjelaskan, “Aku adalah menantu Ki Demang Sangkal Putung. Aku adalah istri Swandaru yang memimpin pasukan di sayap ini.”

Senapati itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berkata, “Terserah kepadamu, apakah kau akan minggir dari medan, atau kau tetap akan mengorbankan nyawamu.”

“Aku adalah seorang senapati,” jawab Pandan Wangi.

Senapati dari Pajang itu tidak menjawab lagi. Tetapi ia mulai menggerakkan ujung tombak pendeknya. Sementara itu, Pandan Wangi pun mulai bergeser pula. Sepasang pedangnya telah bergetar di tangannya.

Ketika senapati Pajang itu mulai mematuk dengan ujung tombaknya, Pandan Wangi pun mulai bertempur pula. Sambil meloncat ke samping, tangannya telah terjulur sehingga pedangnya hampir saja menyentuh tubuh lawannya.

Senapati itu terkejut. Ia memang sudah mengira bahwa perempuan itu memiliki bekal yang cukup untuk maju ke medan, tetapi ia tidak menduga bahwa perempuan itu memiliki kecepatan gerak yang tinggi sehingga hampir saja ia tergores oleh ujung pedangnya.

Bahkan sekejap kemudian, maka Pandan Wangi-lah yang mulai dengan serangan-serangannya. Perempuan itu memang mampu bergerak cepat sekali. Pedang rangkapnya berputaran dan mematuk berganti-ganti.

“Bukan main,” desis Senapati itu, “berapa jumlahnya perempuan yang memiliki ilmu seperti perempuan ini?”

Namun senapati itu tidak sempat menilai lebih lama, justru karena serangan-serangan Pandan Wangi yang menjadi semakin cepat.

Tetapi senapati itu pun kemudian menyadari, bahwa ia tidak sedang berperang tanding. Ia berada di medan yang hiruk pikuk.

Di sebelah-menyebelahnya, para prajurit dari pasukan pengawal khusus sedang bertempur melawan para pengawal dari Kademangan Sangkal Putung yang jumlahnya memang lebih banyak. Sementara di bagian lain, justru pasukan khusus Mataram-lah yang menghadapi pasukan pengawal yang merasa tidak terkalahkan di segala medan.

Senapati Pajang itu pun memiliki perasaan yang sama dengan para prajuritnya. Ia merasa bahwa ia tidak akan terkalahkan, apalagi melawan seorang perempuan. Namun ketika pertempuran di antara mereka menjadi semakin sengit, senapati itu mulai melihat kenyataan, bahwa perempuan yang bernama Pandan Wangi itu bukannya perempuan kebanyakan. Bahkan ia bukan sekedar memiliki kemampuan seorang prajurit.

Untuk beberapa saat, pertempuran itu nampaknya memang seimbang. Keduanya pun saling mendesak dan saling menyerang. Namun semakin lama semakin ternyata bahwa pedang rangkap Pandan Wangi mempunyai keuntungan lebih besar daripada tombak pendek lawannya, atas landasan kemampuan ilmu Pandan Wangi. Karena itu, maka senapati itu pun mulai menggeram karena kemarahan yang menggelitik jantungnya.

“Perempuan tidak tahu diri,” geramnya, “jadi kau benar-benar ingin mati.”

Pandan Wangi sama sekali tidak menjawab. Tetapi pedangnya bergerak semakin cepat.

“Aku tidak boleh terikat pada seorang ini saja,” berkata senapati itu di dalam hatinya, “tugasku masih sangat luas. Karena itu, apa boleh buat. Aku terpaksa menghancurkannya, betapapun cantiknya perempuan ini.”

Dengan keputusannya itu, maka senapati Pajang itu pun telah meningkatkan kemampuannya, melanda Pandan Wangi dengan dahsyatnya.

Tetapi Pandan Wangi sama sekali tidak menjadi gentar. Ketika perwira itu meningkatkan kemampuannya, maka Pandan Wangi pun telah meniti ke tataran ilmunya yang lebih tinggi.

Dengan demikian, maka pertempuran antara keduanya pun menjadi semakin seru. Namun dengan demikian senapati Pajang itu menjadi semakin gelisah, bahwa ia tidak segera dapat mengalahkan lawannya, seorang perempuan.

Namun adalah satu kenyataan bahwa Pandan Wangi memang mampu mengimbangi kemampuan senapati Pajang yang merasa tidak terkalahkan itu. Sementara itu, pertempuran di halaman seputar istana itu menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak telah mengerahkan segenap kekuatan pasukan mereka. Namun sementara itu, ternyata bahwa pasukan pengawal khusus yang merasa tidak terkalahkan itu perlahan-lahan mampu menahan pasukan Mataram. Meskipun pasukan Sangkal Putung kemudian telah memasuki halaman istana itu pula dan jumlahnya melampaui jumlah pasukan Pajang di pintu gerbang samping, namun sekelompok pasukan pengawal khusus telah datang membantu, sehingga keseimbangan pun kemudian telah berubah.

Dengan demikian, maka Ki Lurah Branjangan telah mengambil kebijaksanaan untuk memusatkan serangannya pada pasukan Pajang yang berada di pintu gerbang yang masih belum dipecahkan. Ki Lurah memperhitungkan, bahwa merebut pintu gerbang itu dan kemudian membukanya akan lebih cepat daripada menarik pasukan dari Tanah Perdikan Menoreh untuk melingkar dan memasuki pintu gerbang utama.

“Tetapi pintu gerbang itu dipertahankan mati-matian,” berkata Agung Sedayu.

“Untuk sementara, semua kekuatan akan kita tarik untuk merebut pintu gerbang itu,” berkata Ki Lurah.

“Korban akan terlalu banyak. Akan lebih baik jika Ki Lurah memerintahkan pasukan itu melingkari dinding istana dan masuk lewat pintu gerbang utama yang sudah kita rebut,” Agung Sedayu mencoba menjelaskan.

Tetapi Ki Lurah Branjangan tetap pada sikapnya. Katanya, “Kita akan bekerja lebih cepat.”

Agung Sedayu tidak membantah. Perintah itu adalah perintah Panglima Pasukan Mataram di medan pertempuran itu.

Untara tidak begitu banyak membuat pertimbangan. Tetapi gejolak jiwa prajuritnya, mendorongnya untuk dengan cepat menguasai medan. Sehingga dengan demikian ia sependapat dengan Ki Lurah Branjangan.

Karena itulah, maka pasukan Mataram pun untuk sementara telah dikerahkan untuk membuka pintu gerbang yang masih tertutup itu. Untara, Ki Pranawangsa, Sabungsari yang terluka bakar di tangan kirinya, Sekar Mirah dan Glagah Putih telah berada di ujung pasukan itu, sehingga dengan demikian maka seakan-akan inti kekuatan pasukan Mataram telah berkumpul, kecuali para pemimpin dari Sangkal Putung yang berada di medan yang lain.

Dengan mengerahkan segenap kekuatan yang ada, maka Ki Lurah berniat untuk memecahkan pintu gerbang itu dengan segera. Sementara ia berharap bahwa sesuatu akan dilakukan oleh Ki Gede yang berada di luar pintu gerbang.

Namun sebenarnyalah yang dapat dilakukan oleh Ki Gede adalah sekedar menyerang para prajurit Pajang dan Demak yang berada di atas dinding. Sekelompok pasukan Tanah Perdikan Menoreh itu masih juga menyerang para prajurit Pajang dan Demak sebagaimana yang mereka lakukan.

Tetapi ketika terasa oleh Ki Gede, bahwa perhatian pasukan itu terpecah, maka Ki Gede pun telah memerintahkan untuk mempertinggi arus serangan-serangan anak panah dan lembing itu.

“Siapkan tangga!” Ki Gede pun kemudian menjatuhkan perintah.

Sebenarnyalah bahwa pasukan Tanah Perdikan itu sebagaimana rencana Ki Lurah, pada hari itu tidak akan berusaha memecahkan pintu gerbang. Karena itu, mereka tidak membawa peralatan secukupnya. Namun tiba-tiba pintu gerbang utama telah dipecahkan oleh pasukan induk, sehingga pasukan Tanah Perdikan itu harus menyesuaikan.

Namun mengambil tangga memerlukan waktu. Sementara itu, pertempuran menjadi semakin meningkat. Rasa-rasanya kekuatan pasukan Mataram di dalam dinding menjadi semakin besar, sehingga para prajurit Pajang dan Demak yang berada di atas dinding pun menjadi susut.

Meskipun pasukan Tanah Perdikan harus menunggu, namun tangga yang pernah dipergunakan dan yang baru akan disiapkan lagi di hari esok, telah dibawa ke medan. Beberapa orang berlari-lari sambil membawa tangga-tangga bambu itu mendekati dinding istana.

Serangan dari atas dinding tidak lagi sederas sebelumnya. Kekuatan pasukan Mataram yang ada di dalam gerbang memang mempengaruhinya, sehingga pasukan Pajang dan Demak tidak dapat memusatkan perhatiannya kepada orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang berusaha untuk memanjat dinding.

Di bawah perlindungan serangan anak panah, maka beberapa tangga pun telah terpasang. Para pengawal yang terbaik telah mengenakan perisainya dan mulai memanjat tangga-tangga yang sudah terpasang.

Beberapa tangga memang berhasil dirobohkan oleh orang-orang Pajang dan Demak, meskipun di antara mereka terpaksa menjadi korban anak panah orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Namun beberapa orang pengawal berhasil mencapai bibir dinding istana dan dengan mengerahkan kemampuannya telah bertempur dengan para prajurit dari pasukan pengawal khusus.

Di dalam dinding istana, Agung Sedayu menyaksikannya dengan cemas. Ia sadar, bahwa pasukan pengawal khusus memiliki beberapa kelebihan, sehingga karena itu maka ia tidak dapat membiarkan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh bertempur tanpa perlindungan.

Karena itu, maka Agung Sedayu pun kemudian telah menggabungkan diri dengan pasukan yang bersenjata panah di dalam dinding halaman. Dengan busur dan anak panah, Agung Sedayu telah membantu orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang memanjat ke atas dinding.

Tanpa bantuan orang lain, maka orang-orang Tanah Perdikan Menoreh secara pribadi tidak akan dapat mengimbangi para prajurit dari pasukan Pengawal Khusus Pajang. Jika mereka bertempur di atas dinding, maka sudah dapat dipastikan, bahwa para pengawal Tanah Perdikan Menoreh-lah yang akan terlempar jatuh. Sedangkan para pemanah di bawah merasa bimbang untuk melepaskan anak panah, karena memungkinkan untuk mengenai kawan sendiri, apabila mereka telah terlibat dalam pertempuran di atas dinding.

Karena itu, maka Agung Sedayu merasa berkewajiban untuk berbuat sesuatu. Jika tidak, maka seorang demi seorang, para pengawal Tanah Perdikan yang tidak mengenal gentar di medan yang manapun juga itu akan membentur kenyataan, bahwa para prajurit dari pasukan Pengawal Khusus memang mempunyai kelebihan.

Dengan busur dan anak panah, maka Agung Sedayu pun telah menyerang para prajurit Pajang di atas dinding. Tidak seperti orang-orang lain yang cemas bahwa ujung anak panahnya akan mengenai sasaran yang salah, maka Agung Sedayu dengan kemampuan bidiknya yang sulit dicari duanya akan dapat mengenai sasarannya dengan tepat.

Karena itu, maka seorang demi seorang, Agung Sedayu telah melukai para prajurit dari Pasukan Khusus itu, sehingga kemampuan mereka tidak berada di puncaknya. Dengan demikian mereka bukan lagi orang yang tidak terkalahkan.

Maka semakin lama, semakin banyak para pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang sempat naik ke atas dinding. Kemudian beberapa di antara mereka telah sempat meloncat turun, menggabungkan diri dengan pasukan Mataram yang telah berada di dalam.

Meskipun tidak terlalu cepat, tetapi aliran pasukan dari luar dinding ke dalam dinding itu berlangsung. Kemampuan bidik Agung Sedayu yang luar biasa itu ternyata dapat dimanfaatkannya untuk melindungi pasukan Tanah Perdikan. Cara yang tidak dapat dilakukan oleh para pemanah yang lain, karena mereka tidak yakin bahwa anak panah mereka akan benar-benar mengenai lawan.

Dengan demikian, maka pasukan Mataram yang berada di dalam dinding itu pun semakin lama menjadi semakin bertambah, sehingga kekuatannya pun telah bertambah-tambah pula.

Dalam pada itu, dengan ujung kekuatan para pemimpin dari Mataram, maka pasukan Mataram pun semakin lama semakin mendesak maju. Meskipun para pengawal khusus Pajang itu juga telah memanggil hampir semua kekuatannya untuk mempertahankan pintu gerbang yang akan dibuka itu, namun karena para pengawal Tanah Perdikan pun mengalir masuk lewat tangga-tangga yang bersandar pada dinding istana, maka keseimbangan pun telah berubah.

Meskipun demikian, pasukan Mataram tidak mampu untuk dengan cepat menembus pertahanan para pengawal dari Pajang dan Demak.

Namun yang di luar perhitungan adalah justru pasukan Mataram yang tidak terlalu kuat, yang berada di pintu gerbang yang lain lagi. Ketika mereka mendapat pemberitahuan bahwa pintu gerbang di hadapan pasukan pengawal Kademangan Sangkal Putung telah terbuka, sementara itu mereka merasa bahwa mereka tidak siap untuk memecahkan pintu gerbang di hadapan mereka, karena memang tidak direncanakan untuk dilakukan pada hari itu, mereka pun telah mengambil sikap.

Karena itu, maka senapati yang memimpin pasukan di hadapan pintu gerbang itu pun telah mengambil satu kebijaksanaan, bahwa sebagian dari pasukannya akan mengitari dinding istana dan memasuki halaman lewat pintu gerbang yang sudah terbuka itu.

“Jangan lebih dari separuh,” perintah senapatinya yang menyerahkan pimpinan pasukan yang akan melingkar masuk itu kepada perwira pembantunya, “cari kesempatan menerobos ke pintu gerbang ini. Atau mungkin ada kebijaksanaan lain.”

“Bagaimana jika sebagian besar dari pasukan ini aku bawa masuk?” bertanya perwira pembantunya itu.

“Kita tidak boleh lengah. Jika sebagian besar dari kita meninggalkan tempat ini, maka pasukan Pengawal Khusus yang memiliki tingkat kemampuan yang tinggi itulah yang akan keluar dari pintu gerbang dan menghancurkan kita semua yang berada di sini.”

Perwira pembantunya itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti. Nah, biarlah aku membawa tidak lebih dari separuh di antara pasukan yang ada di sini.”

Dengan demikian maka para prajurit Mataram yang semula berada di tempat-tempat yang tersebar, yang kemudian ditarik untuk ikut pasukan Mataram mengepung Pajang itu segera mempersiapkan diri. Beberapa kelompok di antara mereka telah melingkari dinding dan mendekati pintu gerbang yang telah dibuka oleh pasukan Sangkal Putung.

Kedatangan pasukan itu ternyata memberikan perubahan keseimbangan di medan yang sulit itu. Pasukan Sangkal Putung merasa sulit untuk bergeser maju. Setiap gerak yang hanya sejengkal harus dilakukannya dengan mengerahkan segenap kemampuan yang ada, meskipun jumlah pasukannya lebih banyak.

Dalam pada itu, pasukan`Mataram yang datang itu, telah memberikan kekuatan baru. Meskipun para prajurit itu bukannya dari pasukan khusus yang mendapat tempaan yang khusus pula, tetapi sebagai seorang prajurit mereka memang memiliki kemampuan dasar dan kemudian telah dibajakan oleh pengalaman mereka yang luas.

Karena itu, maka kekuatan mereka mampu mendorong gerak maju pasukan pengawal dari Kademangan Sangkal Putung.

Perwira yang memimpin pasukan itu ternyata membuat kebijaksanaan yang tidak tergesa-gesa menerobos medan dan menuju ke pintu gerbang yang belum terbuka.

“Tekanan atas pasukan pengawal Sangkal Putung ini harus dikendorkan,” berkata senapati itu di dalam hatinya.

Namun ia pun kemudian tertegun ketika ia melihat seorang senapati dari pasukan pengawal khusus Pajang, bertempur melawan seorang perempuan, Pandan wangi.

“Istri Swandaru itu memang memiliki ilmu yang tinggi,” desis perwira yang menyaksikan pertempuran itu dengan jantung yang berdebar-debar.

Sebenarnyalah bahwa Pandan Wangi tengah bertempur dengan sengitnya melawan perwira Pajang yang keheranan. Betapapun perwira itu meningkatkan ilmunya, namun ternyata bahwa ia tidak dapat dengan segera mengalahkan Pandan Wangi.

“Perempuan ini memang memiliki ilmu yang sangat tinggi. Karena itu, maka tidak ada pilihan lain daripada membinasakannya dengan ilmu puncak yang tidak akan terlawan,” berkata perwira itu.

Dengan demikian, maka tidak ada pilihan lain bagi senapati itu. Untuk sesaat ia justru meloncat surut. Namun ternyata bahwa perwira itu telah mengetrapkan ilmu puncaknya. Ilmu yang mampu meningkatkan kecepatan geraknya sehingga sulit diikuti oleh mata wadag. Bukan saja kecepatannya, tetapi ternyata bahwa ilmu itu mampu meningkatkan kekuatan senapati itu berlipat.

Ketika senapati itu mulai mengetrapkan ilmunya, pertahanan Pandan Wangi benar-benar terguncang karenanya. Ia terdorong beberapa langkah surut ketika ujung tombak lawannya mematuknya beruntun dengan kecepatan yang sangat tinggi. Sedangkan ketika pedangnya membentur landean tombak itu, terasa kekuatan senapati itu telah berlipat, sehingga hampir saja pedang Pandan Wangi yang membentur tombak itu terlempar.

Untunglah bahwa Pandan Wangi masih berhasil menguasai pedangnya dan dirinya. Bahkan ia masih sempat berdesis, “Rog-rog Asem.”

“Kau mengenal ilmuku,” desis perwira itu.

“Salah satu di antara sekian banyak ilmu yang dimiliki oleh Mas Karebet yang kemudian bergelar Sultan Hadiwijaya,” berkata Pandan Wangi.

“Tepat,” jawab perwira itu, “karena itu, maka kau tidak akan mampu melawannya.”

“Tetapi sayang,” berkata Pandan Wangi, “ilmu Rog-rog Asem-mu masih terlalu muda.”

Wajah perwira itu menjadi merah. Dengan geramnya ia telah mengerahkan ilmunya, menyerang Pandan Wangi dengan kecepatan dan kekuatan yang semakin tinggi.

Tetapi Pandan Wangi pun ternyata telah sempat sampai ke puncak ilmunya pula. Setelah menempuh latihan-latihan yang berat, maka Pandan Wangi telah berhasil menguasai yang semula baru merupakan gejala dari satu kekuatan yang kurang dikenalinya. Namun ternyata bahwa akhirnya Pandan Wangi mampu dengan sadar memilikinya, dan mempergunakannya jika diperlukannya.

Ketika ia mendapat tekanan dari perwira Pajang yang ternyata memiliki dasar-dasar ilmu yang luar biasa dan sudah jarang sekali dipelajari, Rog-rog asem, maka Pandan Wangi pun telah membangunkan puncak ilmunya yang semula tidak dikenalinya itu. Dengan demikian, maka ujung pedang Pandan Wangi seakan-akan mampu bergerak lebih cepat dari ujudnya. Sentuhan wadag yang mendahului wadag itu sendiri benar-benar merupakan satu keberhasilan Pandan Wangi menyerap kekuatan yang ada di seputarnya yang tersimpan di dalam alam.

Perwira yang memiliki ilmu Rog-rog Asem itu terkejut ketika tiba-tiba saja terasa ujung pedang Pandan Wangi menyentuhnya. Justru ketika ia sudah mulai mempergunakan ilmunya. Meskipun sentuhan itu tidak terlalu dalam, tetapi ternyata dari goresan tipis itu telah menitik darah.

“Gila,” geram perwira itu, “kau benar-benar tidak tahu diri.”

Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi ia sudah mengerahkan segenap ilmunya. Tenaga cadangannya yang mendukung kekuatannya telah membuatnya menjadi seseorang yang luar biasa, sehingga mampu mengimbangi kekuatan ilmu Rog-rog Asem yang belum sempurna itu. Sementara kemampuannya memainkan pedangnya dengan ilmu yang tidak dapat disebut namanya itu justru melampaui kecepatan gerak perwira yang keheranan itu.

Dengan demikian maka pertempuran itu pun menjadi semakin sengit. Dengan kemarahan yang menghentak-hentak perwira itu telah mengerahkan ilmu Rog-rog Asem yang dikuasainya. Sementara itu, Pandan Wangi pun telah melepaskan ilmunya yang sangat mengejutkan.

Beberapa kali perwira yang melawan ilmu pedang Pandan Wangi itu terkejut. Penglihatannya ternyata telah membingungkannya. Menurut penglihatan mata wadagnya, pedang Pandan Wangi masih sejengkal dari kulitnya ketika ia menangkis serangan itu. Namun tiba-tiba saja ujung pedang itu sudah terasa tergores di kulitnya.

“Perempuan ini mampu memperlambat tangkapan mataku atas senjatanya,” berkata perwira itu, “atau pedangnya yang mendahului ujud sebenarnya yang nampak oleh mataku.”

Dengan demikian perwira itu harus menjadi sangat berhati-hati melawan ilmu pedang Pandan Wangi. Ia tidak dapat mengandalkan ilmu Rog-rog Asemnya. Tetapi di samping ilmunya, ia harus mempunyai perhitungan yang cermat atas serangan-serangan Pandan Wangi. Ia harus menganggap bahwa senjata lawannya itu menjadi lebih panjang atau ayunannya lebih cepat sejengkal dari penglihatannya.

Beberapa kali perwira itu sempat menyelamatkan diri, bahkan menyerang dengan ilmunya yang garang. Namun dalam keadaan yang rumit dan terlalu cepat, maka kadang-kadang ia menjadi salah hitung, sehingga senjata lawannya telah menggores kulitnya pula.

Pertempuran itu merupakan pertempuran yang sangat menegangkan bagi perwira itu. Apalagi di tubuhnya semakin lama semakin banyak goresan-goresan luka yang mengalirkan darah meskipun tidak terlalu dalam.

Dengan demikian, maka perwira itu akhirnya tidak akan dapat ingkar dari satu kenyataan, bahwa ia bukannya prajurit yang tidak terkalahkan di medan itu. Bahkan yang dihadapinya adalah seorang perempuan.

Meskipun demikian, sebagai seorang prajurit pilihan, maka perwira itu tidak menghindar dari arena. Ia masih juga berusaha untuk mengerahkan segenap kemampuannya untuk mengimbangi ilmu pedang Pandan Wangi yang nggegirisi.

Di sisi lain, Swandaru pun bertempur dengan dahsyatnya. Cambuknya meledak-ledak bagaikan meretakkan dada. Namun bukan hanya sekedar suaranya saja yang menggetarkan lawannya, tetapi ketika serambut dari ujung cambuk itu menyentuh kulit lawannya, maka terasa kulit itu bagaikan terkelupas.

Namun sebagaimana lawan Pandang Wangi, maka perwira itu pun menjadi heran, bahwa di luar lingkungan keprajuritan, ia menjumpai seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.

Namun seorang prajurit Pajang yang bertempur di samping perwira dari Demak itu sempat berkata kepada diri sendiri, “Anak Demang Sangkal Putung itu memang luar biasa.”

Sementara itu, sekelompok prajurit Mataram dari sisi yang lain telah memasuki arena pula, sehingga pasukan Pengawal Khusus dari Pajang itu pun merasa bahwa mereka mendapat tekanan yang semakin berat. Meskipun mereka merasa diri mereka adalah prajurit-prajurit yang tidak terkalahkan di segala medan, tetapi mereka tidak dapat mengingkari kenyataan, bahwa perlahan-lahan mereka mulai terdesak. Sementara itu sebagian besar pasukan Pengawal Khusus telah ditarik ke pintu gerbang yang lain untuk bertahan, karena Mataram ingin membuka pintu gerbang itu dan membiarkan pasukan Tanah Perdikan Menoreh masuk ke dalam halaman istana.

Bahkan pasukan Pengawal Khusus yang bertahan agar pintu gerbang yang sebelah itu tidak terbuka, telah mempertaruhkan segenap kemampuan mereka. Namun pasukan Tanah Perdikan justru mengalir melalui tangga dan meloncati dinding.

Di samping pasukan yang bertempur mati-matian di halaman istana, maka sekelompok pasukan Pengawal Khusus terpilih telah bersiap mengelilingi istana itu sendiri.

Pintu-pintu istana telah tertutup, dan di balik pintu itu pun selapis pasukan Pengawal Khusus telah bersiap pula. Sedangkan di ruang dalam istana, Kanjeng Adipati dengan tiga orang pengawal terbaiknya menunggu dengan jantung yang berdegupan.

“Semakin cepat semakin baik,” geram Kanjeng Adipati., “jika aku harus mati, biarlah cepat mati di atas singgasana Kadipaten ini. Tetapi jika aku berhasil membunuh Panembahan Senapati, biarlah darahnya menjadi pupuk dari kesejahtaraan Pajang dan Demak.”

Ketiga pengawalnya itu pun telah siap menghadapi segala kemungkinan.

“Seharusnya Tumenggung Wiladipa memberikan laporan, jika ia tidak mati di medan,” berkata Kanjeng Adiati selanjutnya.

Tidak seorang pun yang menyahut. Sementara itu sorak yang gemuruh terdengar semakin dekat.

Dalam pada itu, pasukan Tanah Perdikan telah semakin banyak mengalir masuk. Sedangkan inti kekuatan Mataram yang berkumpul itu benar-benar merupakan kekuatan yang tidak tertahan. Perlahan-lahan mereka mendesak maju, seakan-akan telah menyibakkan pasukan Pengawal Khusus yang memiliki kekuatan yang luar biasa. Namun menghadapi puncak kekuatan Mataram, ternyata para prajurit dari pasukan khusus itu harus mengakui kelebihan para pemimpin dari Mataram itu.

Namun dalam pada itu, para perwira dari pasukan Pengawal Khusus itu menjadi gelisah. Tidak seorang pun di antara mereka yang melihat Ki Wiladipa, justru pada saat ia sangat dibutuhkan. Seharusnya ia hadir di medan yang sangat berat itu untuk membantu mencegah orang-orang Mataram mencapai selarak pintu.

Tetapi setiap orang berpikir, mungkin Ki Tumenggung memang berada di medan yang lain, atau berada di samping Kanjeng Adipati atas perintah Kanjeng Adipadi itu sendiri.

Dalam pada itu, arus pasukan Tanah Perdikan Menoreh memang tidak dapat dicegah lagi. Agung Sedayu yang memiliki kemampuan bidik yang aneh sejak masa kanak-kanaknya memang menggetarkan hati orang-orang Pajang. Bidikannya tidak pernah meleset dari sasaran. Meskipun dua orang yang sedang bertempur desak-mendesak, namun Agung Sedayu dapat memilih di antara mereka dengan tepat.

Bahkan seandainya dua orang yang sedang bergulat sekalipun, Agung Sedayu akan dapat mengenai sasaran yang dikehendaki.

Dengan demikian, meskipun pintu gerbang itu masih belum terbuka, namun ternyata sebagian dari para pengawal Tanah Perdikan telah berada di dalam halaman. Sementara para pemimpin pasukan dari Mataram telah menjadi semakin dekat dengan selarak pintu.

Untara lah yang pertama-tama menggapai selarak itu. Pada saat perhatiannya terpusat kepada selarak pintu itu, maka sebuah ujung pedang telah mematuk ke arah dadanya.

Untara terkejut. Tetapi ia sudah mengangkat selarak pintu yang berat, sehingga ia tidak sempat berbuat apa-apa.

Untunglah Sabungsari sempat berbuat cepat. Pedangnya terjulur menangkis serangan pengawal khusus yang hampir membelah dada Untara itu.

Sabungsari sempat menyelamatkan nyawa Untara, tetapi ujung pedang itu tidak terlepas sama sekali dari sasarannya. Karena itu, maka pundak Untara-lah yang tergores ujung pedang itu, dan sebuah luka telah menganga.

Sekar Mirah yang tidak jauh pula dari tempat itu telah mengerahkan kemampuannya pula. Tongkat baja putihnya menyambar-nyambar mengerikan. Beberapa orang Pajang dan Demak ternyata sempat mengenali tongkat Sekar Mirah, sehingga bagaimanapun juga mereka menjadi berdebar-debar karenanya.

Meskipun pundak Untara terluka, tetapi ia masih berusaha untuk mengangkat selarak. Glagah Putih dan Ki Pranawangsa-lah yang kemudian datang membantunya.

Sementara Sabungsari dan Sekar Mirah dengan segenap kemampuannya berusaha melindungi mereka. Ki Lurah Branjangan sendiri sibuk mengibaskan serangan-serangan yang datang beruntun, meskipun ia dikelilingi oleh para pengawalnya yang terpilih.

Dengan demikian, maka selarak pintu gerbang itu perlahan-lahan telah terbuka dari dalam.

Beberapa orang prajurit Mataram telah membantu mengangkat selarak itu, sementara yang lain bertempur dengan mengerahkan segenap kemampuan mereka melindungi orang-orang yang tengah mengangkat selarak itu.

Dengan demikian, maka pintu gerbang samping itu pun telah terbuka pula. Pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang dipimpin langsung oleh Ki Gede itu pun telah mendesak maju memasuki pintu gerbang. Namun mereka harus berhati-hati untuk membedakan, kawan yang baru saja membuka pintu gerbang dan lawan yang menunggu mereka pula di balik pintu yang terbuka itu.

Namun kehadiran pasukan pengawal Tanah Perdikan itu dengan cepat telah merubah keseimbangan. Meskipun secara pribadi setiap prajurit Pengawal Khusus dari Pajang memiliki kelebihan dari pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh, namun dalam keadaan yang demikian, pasukan pengawal Tanah Perdikan itu mempunyai arti yang sangat besar.

Karena itu, maka pasukan Pajang pun perlahan-lahan telah terdesak pula.

Namun para pemimpin dari Pajang dan Demak masih berusaha untuk menyusun agar pasukan mereka tidak menjadi bercerai berai. Apalagi mereka masih mempunyai satu garis pertahanan yang dapat menjadi tempat mereka bertumpu. Di sekitar istana pasukan pengawal khusus telah siap menunggu lawan.

Para perwira dari Pajang dan Demak itu memang harus berpikir cepat untuk mengatasi keadaan. Sementara itu, tidak seorang pun yang tahu, kemana Ki Tumenggung Wiladipa pergi. Dengan demikian, maka hanya karena kemampuan para perwiranya sajalah, maka pasukan Pajang dan Demak itu kemudian mampu menyusun diri.

Seorang senapati yang berada di depan pintu istana telah mengambil alih kepemimpinan Ki Tumenggung. Diperintahkannya semua pasukan ditarik dari semua pintu gerbang. Mereka akan bertahan di sekitar istana dan mempertahankan sampai orang yang terakhir.

“Kita adalah prajurit dari Pasukan Pengawal Khusus. Bahkan mereka yang bukan dari Pasukan Pengawal Khusus pun harus menempatkan dirinya sebagaimana kami. Kami baru akan beringsut dari tempat ini setelah tubuh kami diseret karena tak lagi mengandung nyawa kami,” pesan senapati itu.

Dengan demikian, maka pertempuran yang kemudian akan terjadi telah berpusat di sekeliling istana. Semua pasukan Pajang dari segala kesatuan bersama para prajurit Demak telah bertahan di garis pertahanan mereka yang terakhir, mengelilingi istana. Bahkan pintu gerbang yang terakhir yang masih belum terbuka itu pun telah ditinggalkan oleh Pasukan Pengawal Khusus dari Pajang dan para prajurit Demak. Karena itu, maka sekelompok prajurit Mataram yang berada di dalam dinding halaman istana telah membukanya, sehingga para prajurit Mataram yang tersisa di luar pun telah masuk pula.

Dengan demikian, maka kepungan prajurit Mataram menjadi semakin ketat dan menyempit. Para prajurit Pajang dan Demak hanya tinggal berada di dalam dan di sekitar Istana Pajang saja.

Namun dengan demikian, maka kedua belah pihak telah menghadapi suatu keadaan yang sangat menegangkan. Keduanya akan bertempur dalam tahap terakhir.

Agung Sedayu yang kemudian berada di samping Untara yang terluka menjadi termangu-mangu melihat suasana. Ketika kedua belah pihak telah berhasil menyusun kembali pasukan mereka pada garis pertempuran yang telah sempit, maka Agung Sedayu mulai membayangkan, apa yang dapat terjadi dalam pertempuran yang demikian.

Kedua belah pihak tentu akan mengerahkan segenap kemampuan. Para prajurit Pajang dan Demak akan bertahan mati-matian. Dalam keadaan putus asa, maka mereka justru tidak akan pernah sempat berpikir, berapa banyaknya korban yang akan jatuh. Sementara itu, para prajurit Mataram dan pasukan pengawal yang ada di dalam kesatuan pasukan Mataram tentu akan terlalu bernafsu untuk dengan cepat menyelesaikan tugas mereka yang terakhir. Satu langkah lagi tugas mereka akan selesai.

Tetapi yang satu langkah itu ternyata adalah langkah yang sangat berat. Korban akan jatuh tanpa hitungan, karena kedua belah pihak tidak lagi sempat membuat pertimbangan-pertimbangan.

Karena itu, maka Agung Sedayu pun berbisik di telinga Untara, “Kakang, matahari telah menjadi sangat rendah. Jika kita memaksa diri untuk menyelesaikan langkah terakhir, maka aku kira kita akan kurang bijaksana.”

“Kita hanya memerlukan waktu sekejap,” terdengar Ki Pranawangsa yang ada di dekat Untara menyahut.

Namun Untara adalah seorang senapati yang mempunyai pengalaman dan kemampuan menilai medan. Meskipun secara pribadi ia bukan bandingan Agung Sedayu lagi, tetapi dalam perang gelar dan benturan pasukan, ia mempunyai pengamatan yang sangat tajam.

Karena itu, maka ia memang mempertimbangkan pendapat Agung Sedayu, sehingga akhirnya ia berkata, “Kita bicara dengan Ki Lurah.”

Sebenarnyalah Ki Lurah Branjangan hampir saja menjatuhkan perintah. Setelah pasukannya tersusun pada tahap terakhir, maka tidak ada pikiran lain dari Ki Lurah kecuali memecahkan pertahanan Pajang.

Namun Ki Lurah yang mengenal Untara dan Agung Sedayu dengan baik, ternyata mau juga mendengarkan pendapat mereka. Isyarat yang hampir saja dibunyikan untuk melakukan langkah terakhir justru ditundanya. Persiapan untuk menyerang pada langkah terakhir itu justru telah dihambatnya agar tidak lagi bergerak maju.

“Bagaimana pendapatmu?” bertanya Ki Lurah.

“Kita tunda sampai besok,” berkata Untara.

“Apakah ada keuntungannya?” bertanya Ki Lurah.

“Mungkin malam nanti pikiran baru berkembang di dalam hati Kanjeng Adipati Pajang. Mungkin Kanjeng Adipati tidak ingin melihat korban jatuh tanpa hitungan, sebagaimana kita menebas batang ilalang,” Agung Sedayulah yang menyahut.

Ki Lurah termangu-mangu sejenak. Pertempuran yang bagaikan terhenti karena masing-masing mengambil sikap itu, tidak segera meledak lagi.

Sementara itu, pasukan Pajang dan Demak lebih banyak bersikap menunggu pasukan Mataram yang sedang bersiap-siap. Isyarat yang terdengar justru belum perintah menyerang. Tetapi perintah untuk bersiap dalam kesiagaan tertinggi. Bunyi bende dalam irama yang datar, dua kali beruntun justru menahan pasukan Mataram yang sudah siap untuk meloncat.

Beberapa orang senopati Mataram, termasuk dari Tanah Perdikan Menoreh dan Kademangan Sangkal Putung, menjadi bingung menanggapi keadaan. Tetapi Ki Lurah Branjangan memang belum memerintahkan untuk membunyikan isyarat menyerang.

Bahkan akhirnya Ki Lurah Branjangan justru telah memberikan perintah untuk membunyikan isyarat, agar pasukan Mataram tetap berada di tempat.

“Apa yang salah?” desis beberapa orang senapati, “Kemenangan telah di ambang pintu. Matahari masih cukup tinggi untuk mengambil langkah terakhir.”

Tetapi senapati yang lain menyahut, “Menurut perhitunganku, kita tidak cukup waktu untuk memecahkan pertahanan pasukan Pengawal Khusus Pajang dan Demak yang sudah menjadi putus asa itu.”

Kawan-kawannya termangu-mangu. Namun pikiran itu masuk akal juga.

Namun ternyata pasukan Mataram adalah pasukan yang memegang teguh paugeran. Betapapun juga jantung bergejolak, namun mereka telah mentaati perintah.

Ternyata para prajurit dari Pajang dan Demak pun menjadi heran bahwa Mataram tidak mengambil langkah terakhirnya. Bahkan yang terdengar adalah isyarat untuk tetap berada di tempat meskipun tetap dalam kesiagaan tertinggi.

“Apa yang terjadi dengan mereka?” desis senapati yang mengambil alih kepemimpinan Ki Tumenggung Wiladipa.

“Mungkin mereka mengambil ancang-ancang,” sahut seorang senapati yang lain.

“Tetapi agaknya mereka memperhitungkan waktu,” berkata senapati yang mengambil alih pimpinan itu. “Jika mereka tidak dapat memecahkan pertahanan kita sebelum matahari terbenam, maka kedudukan mereka justru akan goyah.”

Senapati yang lain mengangguk-angguk, sementara orang yang mengambil alih pimpinan itu berdesis, “Tetapi sehari besok pun orang-orang Mataram tidak akan mampu memecahkan pertahanan kami.”

Para perwira dari pasukan Pengawal Khusus pun yakin, bahwa pertahanan terakhir mereka tidak akan dapat dipecahkan oleh orang-orang Mataram.

Dalam pada itu, Swandaru yang berada di antara pasukannya mengumpat-umpat tidak habis-habisnya. Ia menganggap sikap Ki Lurah itu sebagai satu sikap yang lemah.

“Kita sudah di ambang pintu,” berkata Swandaru dengan geram.

Namun dengan sareh Pandan Wangi menyahut, “Mungkin ada perhitungan lain di sisi yang tidak kita ketahui.”

“Tentu tidak. Ini tentu satu kelemahan,” jawab Swandaru.

Pandan Wangi tidak menyahut. Tetapi seakan-akan perasaannya dapat menanggapi keadaan itu. Jika pertempuran dilangsungkan, maka korban tentu tidak akan dapat dihitung lagi. Mayat akan bertumpuk dan istana itu akan terendam oleh darah para prajurit terpilih dari kedua belah pihak.

Tetapi ia tidak dapat mengatakannya kepada suaminya, justru karena Pandan Wangi mengenali sifat Swandaru.

Dalam pada itu matahari memang dengan cepat turun. Rasa-rasanya waktu dengan cepat pula melintas, sehingga Ki Lurah yang merenungi medan itu pun mengangguk-angguk sambil bergumam, “Memang kita akan kekurangan waktu jika kita menyerang. Jika pertempuran harus berhenti sebelum kita berhasil memasuki istana, maka korban yang jatuh itu akan menjadi sia-sia. Korban yang sama akan jatuh pula di hari berikutnya, karena kita harus mulai dari permulaan lagi.”

Untara yang masih mendapat perawatan karena luka-lukanya mengangguk-angguk. Katanya, “Malam nanti kita sempat membuat perhitungan-perhitungan baru, atau Kanjeng Adipati-lah yang menilai keadaan dengan sewajarnya.”

Beberapa saat kemudian, maka justru terdengar isyarat yang sambung bersambung, bahwa pasukan Mataram telah menghentikan pertempuran pada hari itu. Namun terdengar pula isyarat, bahwa pasukan Mataram tidak dibenarkan meninggalkan tempat.

Karena itu, maka yang dilakukan oleh para prajurit Mataram kemudian adalah pembagian waktu untuk berbenah diri. Sementara itu, beberapa orang petugas sebagaimana biasa telah berusaha mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terluka dan terbunuh di medan. Bahkan para prajurit Pajang dan Demak pun telah mengirimkan petugas-petugas mereka pula sampai ke belakang garis kepungan pasukan Mataram. Namun para pemimpin dari Mataram tidak mengganggu tugas mereka. Bahkan dalam keadaan yang khusus, orang-orang Mataram telah memberikan bantuan pula.

Sementara itu maka para pemimpin dari Mataram pun telah bertemu dan berbicara tentang langkah terakhir mereka. Sebagian besar dari mereka berpendirian, bahwa pasukan Pajang dan Demak memang harus dihancurkan.

Ki Lurah Branjangan yang mendapat limpahan tugas untuk memimpin pasukan itu pun termangu-mangu. Sebagai seorang prajurit ia memang cenderung untuk menyelesaikan tugas yang tinggal selangkah itu. Namun pendapat Agung Sedayu ternyata telah membelit perasaannya dan sulit untuk dilepaskan.

Jika pasukan Mataram menggempur pasukan Pajang dan Demak, maka kematian benar-benar akan sangat mengerikan.

“Kita adalah prajurit-prajurit yang mengemban beban bagi kebesaran dan wibawa Tanah ini,“ berkata seorang senapati.

“Jadi apakah kita akan melepaskan kesempatan terakhir ini dan menarik pastikan kita kembali ke Mataram?” bertanya Swandaru dengan nada sumbang.

Ki Lurah Branjangan termangu-mangu. Rasa-rasanya ia memang berdiri di simpang jalan yang sulit untuk memilih arah.

Namun dalam pada itu, Untara-lah yang menjawab, “Aku akan bertemu dengan Kanjeng Adipati dalam keadaan seperti ini. Segala sesuatu terserah kepada Kanjeng Adipati. Kita memiliki peluang jauh lebih baik dari Pajang. Karena itu, maka tanggung jawab apakah perang akan berlangsung dengan sangat mengerikan atau urung, terletak pada Kanjeng Adipati. Jika Kanjeng Adipati memenuhi tuntutan Mataram, menyerahkan Ki Tumenggung Wiladipa dan pusaka-pusaka Pajang yang diperlukan oleh Mataram, maka perang tidak akan terjadi. Tidak akan ada kematian yang tidak terhitung jumlahnya, sementara segala sesuatunya dapat dilakukan dengan cara yang baik. Karena sebenarnyalah pusaka-pusaka itu seluruhnya adalah hak Panembahan Senapati yang memegang pimpinan atas Tanah ini setelah Sultan Hadiwijaya.”

Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Agaknya itu satu pemecahan yang baik.

Tetapi sementara itu Swandaru telah bertanya, “Jika Kanjeng Adipati menolak?”

Untara menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Apa boleh buat. Kita sampai pada satu keadaan, bahwa kita tidak dapat memilih.”

“Hanya akan membuang waktu,” berkata Swandaru, “kita sebenarnya sudah tahu, apakah jawab Kanjeng Adipati yang keras hati itu.”

Agung Sedayu-lah yang berusaha untuk menjawab, “Kita wajib mencoba Swandaru. Kita sebaiknya berusaha menempuh jalan yang paling baik. Jika usaha itu gagal, maka kita akan melalui jalan yang keras dan barangkali akan menelan korban yang tidak terhitung jumlahnya.”

Swandaru memandang Agung Sedayu dengan tajamnya. Bahkan di dalam hati ia mulai menduga, bahwa yang mengusulkan cara itu tentu Agung Sedayu.

“Kakang Agung Sedayu memang seorang yang berhati lemah. Tetapi jika Ki Lurah dan Untara tidak lemah hati sebagaimana Kakang Agung Sedayu, maka sebelum gelap, Pajang tentu sudah pecah,” berkata Swandaru di dalam hatinya.

Sementara itu, ternyata Ki Gede kemudian berkata, “Sebaiknya Angger Untara segera berusaha bertemu dengan Kanjeng Adipati. Aku sependapat dengan usaha itu. Tetapi jika usaha itu gagal, maka kita mempunyai cukup waktu untuk mempersiapkan diri menghadapi langkah kita yang terakhir. Bagaimanapun juga, kita memang tidak dapat menutup mata, bahwa korban yang akan jatuh tentu tidak terhitung lagi. Kita akan menghadapi sepasukan prajurit pilihan yang sedang putus asa.”

Untara mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku dan Ki Lurah akan pergi. Satu hal yang perlu kalian ingat, jika sampai menjelang fajar kami belum kembali, maka pasukan Mataram akan bergerak dengan satu tambahan beban, menuntut kematianku dan Ki Lurah Branjangan.”

“Tetapi siapa yang harus memegang pimpinan tertinggi?” bertanya seorang senapati.

Ki Lurah merenung sejenak. Dipandanginya beberapa orang yang berada di dalam ruang pembicaraan itu. Namun Ki Lurah pun kemudian berkata, “Ada dua orang senapati yang dapat melakukannya. Yang tertua dari para senapati dari pasukan khusus, atau senapati muda yang memiliki pengalaman yang cukup. Sabungsari. Meskipun di sini ada orang-orang yang berpengalaman, namun agaknya pimpinan pasukan yang besar ini harus berada di tangan prajurit Mataram. Namun jika perlu, pertimbangan Ki Gede sangat dibutuhkan.”

“Aku kira segalanya sudah jelas. Siapapun yang akan memegang pimpinan akan dapat melanjutkan kebijaksanaan yang sudah diletakkan oleh Ki Lurah,” berkata Untara.

Namun dalam pada itu, Agung Sedayu menyela, “Tetapi satu hal yang harus ditekankan sebelum Ki Lurah Branjangan berangkat. Pengendalian terhadap para prajurit justru dalam pertempuran yang akan sangat dahsyat itu.”

Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, “Aku condong untuk memberikan beban kepemimpinan kepada Sabungsari, yang akan mendapat petunjuk dari Ki Gede Menoreh dan Agung Sedayu.” Ki Lurah itu berhenti sejenak, lalu, “Mudah-mudahan aku dapat kembali ke tengah-tengah kalian, sehingga aku tidak perlu meninggalkan tugasku.”

Tidak ada yang merasa berkeberatan, meskipun Agung Sedayu bagi Swandaru adalah seorang yang lemah hati. Namun jika benturan itu telah terjadi, maka tidak akan ada pilihan lain di medan perang yang garang itu.

Sejenak kemudian, maka Untara dan Ki Lurah pun telah meninggalkan ruangan itu. Meskipun luka Untara masih terasa pedih, tetapi dari luka itu sudah tidak keluar darah. Dengan pengobatan yang baik, maka luka itu tidak lagi terasa banyak mengganggu.

Ketika Untara dan Ki Lurah turun ke daerah bekas pertempuran, masih ada beberapa kelompok petugas yang mengumpulkan kawan-kawan mereka yang terbunuh dan terluka dari kedua belah pihak. Sementara itu Untara langsung menuju ke gerbang Paseban yang dijaga dengan sangat kuat.

Dua orang prajurit Pajang telah mengacukan ujung tombak mereka ketika Untara dan Ki Lurah mendekati pintu gerbang Paseban itu. Dengan nada keras ia bertanya, “Siapakah kalian? Menurut kelengkapan pakaian kalian, maka kalian adalah prajurit Mataram.”

“Aku Panglima pasukan Mataram,” jawab Ki Lurah Branjangan, “aku datang khusus untuk bertemu dengan Kanjeng Adipati.”

Para prajurit Pajang itu termangu-mangu. Namun kemudian seorang perwira telah datang mendekat. Adalah kebetulan sekali bahwa perwira Pajang itu telah mengenali kedua orang yang datang itu.

“Ki Lurah Branjangan dan Ki Untara,” sapa perwira itu.

“Ya,” jawab Ki Lurah, “Panglima pasukan Mataram. Kami ingin bertemu dengan Kanjeng Adipati.”

Perwira itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Segala sesuatunya tergantung kepada Kanjeng Adipati. Biarlah seorang Pengawal Dalam menyampaikannya.”

Ki Lurah Branjangan dan Untara mengangguk-angguk. Mereka mengerti bahwa hal itu tergantung sekali kepada Kanjeng Adipati. Karena itu maka Ki Lurah pun berkata, “Aku akan menunggu.”

Perwira itu pun kemudian telah memerintahkan seorang penghubung untuk menyampaikan pesan Ki Lurah itu kepada seorang perwira yang bertugas sebagai Pengawal Dalam.

Sebenarnyalah bahwa untuk menghadap Kanjeng Adipati dalam keadaan seperti Pajang pada saat itu, harus melalui penjagaan-penjagaan yang sangat ketat. Namun perwira dari pasukan Pengawal Dalam itu akhirnya sampai juga ke luar pintu ruang dalam, ruang yang khusus bagi Kanjeng Adipati dan ketiga pengawal terpilihnya menunggu.

Dengan ketukan sandi, maka Kanjeng Adipati pun telah memerintahkan seorang di antara para pengawalnya untuk membuka pintu.

“Bawa orang itu masuk,” berkata Kanjeng Adipati yang memang sedang menunggu terjadi sesuatu yang tidak dimengertinya sendiri.

Ketika pintu terbuka, maka perwira itu pun kemudian memasuki ruangan yang terasa sangat lengang.

“Ada apa?” bertanya Kanjeng Adipati.

“Ampun Kanjeng Adipati,” jawab perwira itu, “hamba menerima pesan untuk disampaikan kepada Kanjeng Adipati, bahwa Panglima pasukan Mataram ingin menghadap.”

Wajah Kangjeng Adipati menegang sejenak. Ia telah menerima laporan terakhir dari pemimpin pasukannya tentang kedudukan dari kedua belah pihak. Namun para pemimpin Pajang masih membayangkan kemungkinan yang cerah bagi pasukan Pengawal Khusus, yang menganggap bahwa kekuatan Mataram tidak akan dapat mematahkan kekuatan pasukan Pengawal Khusus.

Namun dalam pada itu, Kanjeng Adipati justru telah bertanya, “Dimana Tumenggung Wiladipa?”

Perwira dari pasukan Pengawal Dalam itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Hamba tidak melihatnya Kanjeng Adipati. Hamba dan beberapa orang mengira bahwa Ki Tumenggung ada di dekat Kanjeng Adipati.”

Kanjeng Adipati menarik nafas dalam-dalam. Tetapi yang ditanyakan kemudian adalah, “Siapakah Panglima pasukan Mataram itu?”

“Ki Lurah Branjangan. Panglima pasukan khusus Mataram, Kanjeng Adipati,” jawab perwira itu.

“Lurah Branjangan?” bertanya Kanjeng Adipati dengan wajah tegang karena hatinya yang bergejolak.

“Hamba, Kanjeng Adipati,” jawab perwira itu.

Kanjeng Adipati menggeretakkan giginya. Katanya, “Orang itu telah menghina aku.”

“Bersama Ki Lurah adalah Untara, Kanjeng Adipati,” berkata perwira itu.

“Suruh mereka kembali ke pasukannya. Aku hanya menerima jika yang datang menemui aku adalah Panembahan Senapati sendiri,” geram Adipati Pajang itu.

Perwira itu termangu-mangu. Namun kemudian diberanikannya berkata, “Ampun Kanjeng. Mungkin mereka ingin berbicara tentang perang yang telah hampir mencapai satu titik yang tidak terkendali ini, karena kedua pasukan telah berhadapan pada satu garis yang semakin sempit dan menentukan.”

“Apapun yang akan mereka bicarakan, biarlah Panembahan Senapati sendiri yang datang,” jawab Kanjeng Adipati. “Jika Mataram ingin menarik diri, maka Panembahan Senapati harus membayar semua kerugian yang telah diderita oleh Pajang karena kelancangannya.”

Perwira itu menarik nafas dalam-dalam. Agaknya pasukan Mataram dan Pajang memang harus bertempur dengan menyerahkan korban yang tidak terhitung jumlahnya.

Perwira dari Pengawal Dalam itu adalah seorang perwira dari kesatuan yang termasuk kesatuan terpilih. Ia adalah seorang perwira yang telah ditempa untuk menghadapi keadaan yang bagaimanapun juga dari medan yang paling garang. Karena itu perwira itu sama sekali tidak merasa gentar menghadapi pertempuran yang betapapun kerasnya. Namun agaknya perwira itu juga dibayangi oleh angan-angan tentang mayat yang bertimbun tidak terhitung jumlahnya, hanya karena Kanjeng Adipati tidak mau menyerahkan Ki Tumenggung Wiladipa. Apalagi memang terbukti bahwa Ki Tumenggung Wiladipa telah melakukan kesalahan.

Tetapi perwira itu tidak berani mengatakannya kepada Kanjeng Adipati. Sebagaimana perintah Kanjeng Adipati, maka perwira itu akan melakukannya

Ketika perwira itu sudah keluar, maka pintu ruang itu pun telah ditutup lagi dari dalam. Sementara perwira itu telah menghubungi jalur semula dengan arah yang berkebalikan, sehingga akhirnya pesan Kanjeng Adipati itu disampaikan oleh perwira yang bertugas, “Sayang Ki Lurah. Kanjeng Adipati hanya dapat menerima Panembahan Senapati sendiri.”

“Aku datang dengan limpahan kuasa Panembahan Senapati,” berkata Ki Lurah.

“Hanya Panembahan Senapati secara pribadi,” jawab perwira itu.

Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Apa boleh buat. Tetapi sebenarnya aku ingin berbicara tentang langkah terakhir pasukan Mataram.”

“Sayang sekali,” desis perwira Pajang itu.

“Baiklah. Jika demikian maka segala usaha telah gagal untuk menghindari pertumpahan darah yang tidak ada taranya dalam sejarah perang bagi Mataram dan Pajang. Karena itu, maka Mataram akan mengambil langkah terakhir dengan cara yang paling tidak kita inginkan,” berkata Ki Lurah Branjangan.

Perwira Pajang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun sebenarnyalah ia dapat mengerti niat Ki Lurah sebagai Panglima pasukan Mataram. Betapapun tinggi kebanggaan pasukan Pengawal Khusus Pajang dan Demak, namun jantung mereka pun tergetar membayangkan pertempuran yang akan terjadi esok.

Beberapa orang senapati Pajang yang sempat berpikir, menyesalkan sikap Kanjeng Adipati. Namun mereka pun kemudian mulai menjadi curiga kepada Ki Tumenggung Wiladipa yang seakan-akan telah hilang. Beberapa orang perwira yang berada di tempat yang berbeda tidak ada yang melihat Ki Tumenggung Wiladipa. Bahkan perwira yang menghadap Kanjeng Adipati pun tidak melihat Ki Tumenggung berada di dekat Kanjeng Adipati. Malahan Kanjeng Adipati telah menanyakan dimana Ki Tumenggung Wiladipa berada.

Tetapi mereka adalah prajurit. Ketika mereka menyadari, bahwa tidak ada penyelesaian lain kecuali perang, maka mereka pun telah mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Apapun yang akan terjadi, maka mereka harus menjalani. Mungkin pasukan Pajang dan Mataram akan bersama-sama tumpas di medan itu sampai orang yang terakhir. Mungkin Istana Pajang akan menjadi karang-abang, karena orang-orang terakhir dari Mataram akan membakar istana itu.

Sementara itu, Ki Lurah pun dengan jantung yang berdegup oleh kemarahan, bergegas kembali ke pasukannya. Bahkan ia telah bergumam, “Ternyata Swandaru benar. Hanya membuang waktu saja.”

“Kita sudah berusaha Ki Lurah,” jawab Untara, “tanggung jawab dari kematian yang bertimbun besok tidak ada pada kita. Tetapi ada pada orang-orang Pajang, terutama Kanjeng Adipati.”

“Kanjeng Adipati memang tinggi hati,” berkata Ki Lurah, “ia merasa orang terpenting dan orang yang memiliki kemampuan tertinggi di seluruh bumi ini.”

“Kita terpaksa menghancurkannya,” berkata Untara, “apa boleh buat, meskipun dengan demikian kita sendiri akan terluka parah sekali.”

Untara dan Ki Lurah telah menyeberangi jarak yang tidak begitu jauh antara pasukan Mataram dan Pajang. Tidak seperti malam-malam sebelumnya, hampir semua prajurit tertidur nyenyak kecuali yang bertugas. Tetapi malam itu rasa-rasanya sulit bagi para prajurit untuk memejamkan matanya, meskipun ada juga prajurit yang tidur mendengkur.

Ketika Ki Lurah dan Untara kemudian sampai ke tempat para pimpinan Mataram berkumpul dan menyampaikan hasil usahanya, maka hampir bersamaan para pemimpin itu menggeram. Swandaru-lah yang berkata paling lantang, “Aku sudah menduga. Karena itu, maka tidak ada jalan lain kecuali menghancurkan Pajang dengan korban yang bagaimanapun besarnya.”

Ki Lurah sendiri memang sudah memutuskan demikian. Karena itu maka katanya, “Kita harus bersiap-siap. Besok kita akan memberikan pukulan yang mematikan. Jika kita tidak mempergunakan saat-saat permulaan, maka kitalah yang akan terdesak dan hancur berkeping-keping di lingkungan Istana Pajang ini.”

“Baik,” berkata Swandaru, “kami minta diri untuk mempersiapkan segala sesuatunya.”

Ki Lurah sudah hampir mengiakannya. Tetapi tiba-tiba para penjaga di luar telah menyibak.

Orang-orang yang berada di dalam ruang pembicaraan itu terkejut. Sementara itu seorang petugas telah memasuki ruangan sambil berkata, “Panembahan Senapati telah datang.”

“Panembahan Senapati?” desis beberapa orang hampir bersamaan.

Sebenarnyalah, sejenak kemudian Panembahan Senapati telah berdiri di ambang pintu. Dengan demikian maka semua orang yang ada di dalam ruangan itu pun telah berdiri.

Sejenak kemudian, maka Panembahan Senapati pun telah duduk pula di antara para pemimpin dari Mataram itu.

“Selamat datang Panembahan,” Ki Lurah-lah yang kemudian menyambutnya

“Terima kasih Ki Lurah,” sahut Panembahan Senapati. “Bagaimana dengan kalian di sini, dan dengan pasukan Mataram seluruhnya?”

“Baik, Panembahan, kami dalam keadaan baik sampai hari ini,” jawab Ki Lurah.

Panembahan Senapati itu mengangguk-angguk. Tiba-tiba ia menyahut, “Kau telah mengatakannya dengan tepat. Sampai hari ini keadaan pasukan kita baik-baik saja. Tetapi entahlah besok. Mungkin dalam sehari besok, tidak ada lagi orang yang dapat memberikan laporan.”

Ki Lurah mengerutkan keningnya. Nampaknya Panembahan Senapati sudah mengetahui serba sedikit, apa yang telah terjadi.

Namun dalam pada itu, Swandaru-lah yang menyahut, “Kedudukan kita cukup baik Panembahan. Besok kita akan memberikan pukulan terakhir. Kemudian menyelesaikan semua persoalan dengan tuntas.”

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Tetapi ia berkata, “Ki Lurah, aku minta kau memberikan laporan selengkapnya tentang apa yang pernah kau lakukan di sini, sampai saat ini.”

Ki Lurah pun kemudian telah memberikan laporan terperinci. Semua peristiwa, kejadian dan pikiran-pikiran yang berkembang selama perang terjadi antara Pajang dan Mataram telah dilaporkannya tanpa ada yang terlampaui.

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia kemudian bertanya, “Jadi kedudukan kita sekarang sedikit lebih baik dari pasukan Pajang dan Demak?”

“Ya Panembahan,” jawab Ki Lurah.

Tetapi Swandaru menyahut, “Bukan lebih sedikit. Tetapi kita menguasai mutlak garis pertempuran.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar