Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 193

Buku 193

“Baiklah Ki Gede,” berkata Panembahan Senapati, “sebenarnyalah kami memerlukan Kiai Gringsing dan Ki Gede serta Agung Sedayu untuk memecahkan persoalan yang kami hadapi. Agaknya persoalan yang berkembang di Pajang harus ditanggapi dengan sungguh-sungguh. Bukankah Untara sudah bercerita tentang perjalanannya ke Pajang?”

“Ya Panembahan. Sebagian dari perjalanannya dan apa yang dialaminya telah disampaikannya kepada hamba,” jawab Kiai Gringsing.

“Nah, sekarang bagaimana pertimbangan Kiai tentang hal itu?” bertanya Panembahan Senapati.

Sementara Kiai Gringsing, Ki Gede dan Agung Sedayu merenung maka Panembahan Senapati berkata kepada Ki Juru, “Paman, silahkan Paman menjelaskan sikap kita.”

Ki Juru pun kemudian berkata, “Kiai, kami memerlukan pertimbangan Kiai tentang sikap yang akan kami ambil.”

Kiai Gringsing, Ki Gede dan Untara pun mendengarkannya dengan saksama sikap yang mungkin dapat mereka ambil menghadapi seorang yang bernama Ki Tumenggung Wiladipa.

“Persoalan yang berkembang di Pajang harus segera mendapat tanggapan,” berkata Panembahan Sanapati.

“Hamba sependapat Panembahan,” berkata, Kiai Gringsing, “tanpa sikap yang tegas, maka di Pajang akan berkembang sikap yang kurang baik. Mungkin kadipaten-kadipaten yang lain melihat perkembangan yang terjadi di Pajang. Jika Mataram tidak mengambil tindakan yang tegas, maka mungkin sekali pelanggaran atas paugeran itu akan berkembang. Mungkin kadipaten-kadipaten lain akan dapat juga tidak menghormati lagi utusan Panembahan Senapati. Bukankah perlawanan yang demikian terhadap utusan Panembahan Senapati, akan sama artinya dengan perlawanan atas Panembahan Senapati sendiri?”

“Itulah yang kami pikirkan, Kiai,” desis Ki Juru, “dengan demikian, maka agaknya sikap kita sejalan.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Dengan nada dalam iapun kemudian berkata, “Itu adalah jalan yang jauh lebih baik daripada Panembahan Senapati menyerang Pajang untuk mengambil pusaka-pusaka Pajang yang seharusnya menjadi hak Mataram karena pusat pemerintahan yang telah berpindah pula, sebagaimana dipertimbangkan oleh Ki Juru.”

“Nah,” Ki Juru pun menyahut, “bukankah di banyak hal pikiran kita sejalan? Jika demikian, maka aku usulkan saja kepada Panembahan Senapati untuk mengirimkan utusan ke Pajang menyampaikan persoalan yang menyangkut Ki Tumenggung Wiladipa.”

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti Ki Juru. Aku akan menyiapkan pasukan untuk mengambil Ki Tumenggung Wiladipa.”

“Panembahan,” berkata Kiai Gringsing, “hamba sependapat. Tetapi apakah tidak dicoba dengan cara yang lebih lunak? Panembahan tidak usah mengirimkan beberapa orang untuk mengambil Ki Tumenggung Wiladipa. Jika Ki Tumenggung tidak diserahkan, maka barulah Panembahan mengirimkan pasukan ke Pajang.”

“Aku mengerti Kiai,” jawab Panembahan, “tetapi apakah dengan demikian kita dapat menjamin utusan itu? Utusanku yang terdahulu telah dicegat oleh Ki Tumenggung dan benar-benar akan dibunuh. Untunglah Untara dan Sabungsari mampu mengatasinya.”

“Aku mempunyai jalan tengah,” berkata Ki Juru, “Angger Panembahan mengirimkan utusan. sementara itu pasukan Pajang disiapkan. Jika dengan utusan itu persoalan selesai dan Ki Tumenggung Wiladipa diserahkan. maka kita akan menarik pasukan itu tanpa melakukan tindakan apapun juga. Tetapi jika Pajang tidak mau menyerahkan Ki Tumenggung Wiladipa. maka pasukan Mataram akan memasuki Pajang dan berusaha menangkap Ki Tumenggung Wiladipa. Namun sementara itu, di segenap pintu gerbang keluar harus diamati, agar Ki Tumenggung tidak dapat melarikan diri.”

“Bukankah dengan demikian kita justru mengepung Pajang?” berkata Panembahan Senapati.

“Apa boleh buat,” jawab Ki Juru, “tetapi sekali lagi dengan pengertian, jika Ki Tumenggung sudah diserahkan, maka pasukan Mataram tidak akan berbuat apa-apa.”

Namun nampak kerut di kening Panembahan Senapati. Katanya, “Paman. Tetapi apakah yang harus kita lakukan. apabila Ki Tumenggung itu begitu saja diserahkan? Bukankah kita memang memerlukan pusaka-pusaka yang masih berada di Pajang itu sebagai sipat kandel pusat pemerintahan di Tanah ini?”

Ki Juru mengangguk-angguk. Tetapi katanya, “Panembahan. Tanpa Ki Wiladipa, aku kira Pajang tidak akan menentang kehendak Angger lagi untuk selanjutnya. Mudah-mudahan setelah Ki Wiladipa diserahkan kepada Mataram, segalanya dapat berlangsung dengan baik dan rancak.”

Sementara itu Kiai Gringsing menambahkan, “Alangkah baiknya jika semuanya dapat diselesaikan tanpa kekerasan sedikitpun dan tanpa titiknya darah setetespun.”

“Ya,” sahut Ki Juru, “alangkah baiknya.”

Panembahan Senapati menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian berkata, “Aku berharap, mudah-mudahan Adimas Adipati Pajang dapat mengerti.”

“Nah, jika demikian, maka Panembahan segera dapat mengadakan persiapan. Untuk mengepung Pajang tentu diperlukan prajurit yang jumlahnya sangat banyak. Sebagaimana yang pernah dilakukan pada saat Mataram melawan Pajang pada masa Pajang dibayangi oleh kuasa Kakang Panji,” berkata Ki Juru.

Namun dalam pada itu Untara pun menyela, “Ampun Panembahan, jika hamba diperkenankan untuk mengutarakan sesuatu.”

“Katakan,” jawab Panembahan Senapati.

“Sebelum pasukan Mataram benar-benar bergerak, meskipun hanya sekedar untuk mengepung, maka perkenankanlah hamba menghubungi para prajurit Pajang yang dapat mengerti persoalan yang sebenarnya. Setidak-tidaknya pasukan berkuda dari kesatuan khusus Pajang yang kemudian menjadi prajurit Pajang yang sekarang, akan dapat aku ajak bicara,” berkata Untara.

“Apa yang akan kau lakukan dengan mereka?” bertanya Panembahan Senapati.

“Mereka adalah salah satu unsur kekuatan Pajang. Jika mereka menyatakan diri untuk tidak ikut-ikutan dengan tingkah laku Ki Wiladipa, maka Pajang telah kehilangan sebagian dari kekuatannya. Bahkan mungkin ada kesatuan-kesautan lain dari pasukan Pajang akan dapat mengerti pula, hukuman yang akan diberikan Mataram kepada Ki Wiladipa. sehingga mereka tidak akan dapat digerakkan oleh Ki Wiladipa untuk melindungi dirinya dan bertempur melawan Mataram. Menurut pendapat hamba, mereka sudah jemu berhadapan lagi dengan Mataram sebagaimana pernah terjadi di seberang-menyeberang Kali Opak. Apalagi dalam kedudukan seperti sekarang,” jawab Untara.

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia berkata, “Jika kita dapat mengusahakannya, alangkah baiknya, Tetapi jika kau yang pergi ke Pajang Untara, apakah hal itu tidak akan dapat berbahaya bagimu. Apalagi jika Ki Wiladipa yang merasa telah gagal membunuhmu itu mengetahuinya.”

“Hamba akan berusaha Panembahan, mudah-mudahan hamba berhasil. Sebab dengan demikian, maka pertumpahan darah akan dapat dihindarkan, setidak-tidaknya diperkecil. Tanpa dukungan prajurit-prajurit Pajang, khususnya dari kesatuan pasukan berkuda dan kesatuan-kesatuan khusus yang lain, maka Ki Wiladipa tidak mempunyai kekuatan apapun juga. Meskipun harus diakui, bahwa pengaruh Ki Tumenggung Wiladipa memang sudah agak luas,” sahut Untara kemudian.

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Setiap usaha untuk mengurangi benturan kekerasan dan pertumpahan darah sangat dihargainya. Karena itu, maka katanya, “Kita-akan mencoba Untara. Tetapi segala unsur yang akan terlibat harus bekerja bersama sebaik-baiknya agar tidak terjadi korban yang sia-sia.”

Untara mengangguk hormat. Ia mengerti maksud Panembahan Senapati. Karena itu, maka Untara pun berkata, “Ampun Panembahan. Jika demikian, maka perkenankanlah hamba mengetahui nanti pada saatnya, siapakah yang akan mendapat perintah untuk meminpin pasukan Mataram pergi ke Pajang?”

“Baiklah,” berkata Penembahan Senapati, “aku akan menghimpun beberapa orang senapati yang aku anggap akan dapat menanggapi keadaan dengan cepat. Aku juga tidak ingin seorang senapati yang cepat mengambil keputusan untuk berperang saat seperti ini. Tetapi juga bukan senapati yang tidak mudah tanggap atas keadaan yang dihadapinya.”

“Hamba Panembahan. Namun menurut pendapat hamba, sebaiknya segala sesuatunya diselenggarakan secepatnya,” berkata Untara, “bahkan apabila Panembahan berkenan, maka dalam dua tiga hari ini hamba akan memasuki Pajang, mendahului pasukan dan utusan resmi yang akan menghadap Kanjeng Adipati untuk mengambil Ki Tumenggung Wiladipa.”

“Aku tidak berkeberatan Untara, tetapi berhati-hatilah. Kau termasuk seorang senapati yang terlalu maju berpikir di dalam olah keprajuritan. Dalam satu hal kau adalah prajurit linuwih. Misalnya sebagaimana kau perlihatkan di Prambanan pada saat Mataram berhadapan dengan Pajang. Tetapi kali ini aku minta kau sedikit mengekang diri. Jika kau sudah berada di antara prajurit Pajang, maka kau tidak boleh tergesa-gesa mengambil sikap. Kau harus pandai melihat, siapakah yang kau ajak berbincang. Bukankah menurut pendapatmu pengaruh Wiladipa sudah agak luas?” pesan Panembahan Senapati.

Untara menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Hamba Panembahan. Hamba akan melakukan segala pesan Panembahan.”

Panembahan Senapati tersenyum. Katanya, “Baiklah. Dalam derap selanjutnya, mungkin aku masih akan banyak mohon pertimbangan KiaiGringsing, Ki Gede dan Agung Sedayu. Apalagi apabila saatnya kita akan mengambil Ki Wiiadipa.” “Apapun yang Panembahan tugaskan, akan hamba lakukan” berkata Kiai Gringsing, “namun sebenarnyalah hamba memang sudah tua, semakin tua. Tidak ada orang yang akan mampu melawan merayapnya umur. Karena itu, mungkin yang dapat hamba lakukan kemarin, besok sudah tidak dapat lagi hamba kerjakan.”

“Aku mengerti Kiai,” jawab Panembahan Senapati, “tetapi bagaimanapun juga yang penting adalah pendapat, pikiran dan kemudian pesan-pesan Kiai bagi kami semuanya.”

“Hamba akan melakukannya Panembahan. Tetapi juga seperti kemampuan wadag hamba yang semakin ringkih oleh ketuaan yang tidak dapat hamba cegah dengan jenis ilmu apapun juga, maka kebeningan berpikir pun menjadi semakin susut, sehingga pada suatu saat hampa akan menjadi pikun, betapapun pengalaman dan perbendaharaan ilmu seandainya dapat hamba miliki.”

Panembahan Senapati mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun tersenyum. Dipandanginya Ki Juru sambil berkata, “Satu peringatan bagi kita Paman.”

Ki Juru pun tersenyum, sementara Kiai Gringsing berkata, “Ampun Panembahan. Hamba lebih banyak menperingatkan diri hamba sendiri. Karena kadang-kadang hamba lupa, siapakah hamba sebenarnya.”

“Ya Kiai,” jawab Panembahan Senapati, “aku kira setiap orang memang harus selalu memperingatkan dirinya sendiri. Tetapi jika peringatan bagi dirinya sendiri itu ada artinya bagi orang lain, maka apakah salahnya. Jika Kiai ingin memperingatkan diri Kiai sendiri, siapakah sebenarnya Kiai di hadapan langit dan bumi, dan terutama di hadapan Penciptanya, serta usaha Kiai memberikan kesadaran kepada diri sendiri setiap saat, betapa keterbatasan kuasa seseorang atas dirinya sendiri, maka sebenarnyalah peringatan itu berlaku untuk setiap orang.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jika nyala api itu dapat menerangi kesuraman di sekitarnya, adalah satu kebahagiaan yang sangat besar artinya di dalam hidup ini. Tetapi baiklah Panembahan, hamba akan berbuat apa saja yang dapat hamba lakukan.”

“Terima kasih Kiai,” berkata Panembahan Senapati, “agaknya kalian akan dapat beristirahat sebentar. Tetapi aku mohon, kalian akan bermalam di Mataram. Nanti, setelah kalian beristirahat, membersihkan diri dan makan, maka kita akan berbicara lagi tentang rencana ini. Mungkin pembicaraan kita menjadi agak panjang, tetapi mungkin pula tidak. Tetapi pokok-pokok permasalahannya telah kita pecahkan. Jika kita masih akan berbicara lagi, persoalannya hanyalah sekedar menentukan siapakah yang akan bertanggung jawab terhadap tugas ini. Sudah tentu bukan Untara sendiri, karena Untara akan berada di dalam lingkungan Pajang sendiri. Tetapi tentu usaha itu akan dilakukannya dengan diam-diam.”

“Hamba Panembahan,” berkata Untara, “hamba akan mendahului semua langkah yang diambil.”

“Baiklah. Dengan demikian, maka aku persilahkan semuanya beristirahat, sebagaimana akan aku lakukan juga,” berkata Panembahan Senapati.

Demikianlah, maka mereka pun telah mundur dari penghadapan. Sementara itu Panembahan Senapati yang juga ingin beristirahat serba sedikit, telah berangan-angan tentang satu pekerjaan yang besar yang akan dilakukan oleh Mataram. Sebenarnyalah seperti yang dikatakannya, masalahnya bukan saja masalah Ki Wiladipa itu sendiri, tetapi kesediaan Pajang untuk menyerahkan pusaka-pusaka dan benda-benda berharga dari masa kuasa Sultan Hadiwijaya kepada Mataram, sebagaimana dikehendaki oleh Sultan Hadiwijaya sendiri.

“Ki Tumenggung Wiladipa ternyata termasuk orang besar yang mampu menggerakkan sekian banyak orang,” berkata Panembahan Senapati di dalam dirinya sendiri. Namun, Panembahan Senapati telah memerintahkan beberapa orang untuk menghadapnya malam itu juga.

Demikianlah, maka pada malam hari itu juga Panembahan Senapati telah meletakkan dasar-dasar dari rencananya untuk mengambil Ki Wiladipa dari Pajang, serta kemudian menyelesaikan pemindahan pusaka-pusaka dari Pajang ke Mataram.

Untara yang hadir juga dalam pertemuan itu, memang wajib untuk mengetahui rencana dalam keseluruhan, agar ia mampu menyesuaikan diri. Untara harus dengan teratur mengirimkan laporan-laporan untuk menentukan langkah-langkah yang akan diambil oleh pasukan yang sudah disediakan oleh Mataram.

“Bagaimana pendapatmu jika prajurit yang akan dikirim ke Pajang adalah prajurit dari Jati Anom?” bertanya Panembahan Senapati.

“Hamba kira dapat dilakukan Panembahan,” jawab Untara. Namun ia melanjutkan, “Tetapi apakah pasukan yang berada di Jati Anom sudah cukup?”

“Tentu belum,” berkata Panembahan Senapati, “karena itulah, maka sekarang hadir beberapa orang pimpinan keprajuritan.”

Untara mengangguk-angguk. Katanya, “Semuanya terserah kepada Panembahan.”

Panembahan Senapati pun kemudian berbicara dengan beberapa orang Senapati. Seorang di antara mereka berkata, “Pasukan khusus di Tanah Perdikan Menoreh merupakan pasukan yang akan dapat menjadi pasangan dari pasukan di Jati Anom.”

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Namun pada saat itu, justru tidak hadir pimpinan pasukan khusus di Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun demikian, susunan keprajuritan di Mataram memungkinkan untuk dengan cepat menggerakkan pasukan itu.

Tetapi pasukan Mataram memang tidak tergesa-gesa bergerak. Mataram justru akan menunggu laporan dari Untara yang akan berada di Pajang mendahului semua langkah pasukan Mataram.

Sementara itu Panembahan Senapati bertanya, “Bagaimana dengan pasukan pengawal Kademangan Sangkal Putung, yang menurut laporan yang aku terima telah menjadi semakin kuat dan mempunyai tingkat kemampuan prajurit Mataram?”

Untara termangu-mangu. Hampir di luar sadarnya ia berpaling ke arah Kiai Gringsing.

Sementara itu, seolah-olah terjadi sentuhan di hati Kiai Gringsing. Kiai Gringsing berkata, “Ampun Panembahan. Bukan maksud hamba mengurangi nilai kekuatan pasukan pengawal di Sangkal Putung, justru karena pimpinan pasukan pengawal yang memang sudah mencapai tataran kemampuan prajurit itu adalah murid hamba. Hamba akan ikut bersenang hati jika pasukan pengawal Sangkal Putung itu dapat dipergunakan untuk kepentingan Mataram. Tetapi pasukan itu agaknya tidak sesuai digerakkan untuk kepentingan seperti ini. Hamba mengenal betul sifat dan watak Swandaru, sehingga hamba mohon, bahwa pasukan Sangkal Putung tidak dipergunakan sekarang ini. Justru hamba berpendapat, bahwa prajurit Mataram yang berada di Jati Anom dan pasukan khusus di Tanah Perdikan Menoreh akan cukup banyak untuk kepentingan ini, apabila ada tanda-tanda yang pasti dari Angger Untara tentang pasukan berkuda yang berada di Pajang itu. Namun jika ternyata bahwa pasukan berkuda di Pajang tidak dapat digerakkan seperti yang dimaksud oleh Angger Untara, maka dengan satu isyarat, maka pasukan Sangkal Putung akan dapat digerakkan setiap saat. Agaknya demikian pula pasukan Tanah Perdikan Menoreh, meskipun waktu untuk mencapai Pajang tentu lebih panjang dibanding dengan pasukan Sangkal Putung.”

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Dengan nada dalam Panembahan Senapati berkata, “Aku mengerti. Biarlah pasukan di Jati Anom berangkat ke Pajang bersama pasukan khusus dari Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi semuanya itu akan tergantung kepada semua isyarat yang diberikan oleh Untara. Sedangkan pasukan di Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh diminta untuk bersiaga, sehingga setiap saat diperlukan, dapat digerakkan.”

Untara mengangguk hormat. Katanya, “Hamba akan berusaha sejauh dapat hamba lakukan. Hamba akan menyerahkan pasukan di Jati Anom kepada seorang senapati yang pada saatnya akan menghadap Panembahan. Sedangkan Sabungsari akan pergi bersama hamba ke Pajang sebelumnya.”

“Aku percaya akan kematangan rencanamu Untara. Tetapi akupun menyadari bahwa yang kau lakukan itu adalah tugas yang mempertaruhkan nyawamu dan nyawa Sabungsari,” berkata Panembahan.

“Semoga hamba dapat menyelesaikan tugas ini sebaik-baiknya Panembahan,” jawab Untara.

Dengan demikian, maka Panembahan Senapati pun telah menunjuk satu lingkaran kepemimpinan dari keseluruhan tugas yang akan dilakukan oleh para prajurit Pajang. Seorang harus bertanggung jawab atas tugas ini. Dan orang itu akan ditunjuk di antara beberapa orang di antara para senapati yang akan terlibat. Namun agaknya Panembahan Senapati akan memberikan tugas itu kepada Ki Lurah Branjangan. Meskipun saat itu Ki Lurah tidak hadir karena tugasnya di lingkungan pasukan khusus di Tanah Perdikan Menoreh.

Dalam pertemuan itu beberapa keputusan telah diambil dan menjadi dasar kebijaksanaan. Sehingga dengan demikian, maka setelah malam menjadi sangat larut, pertemuan itu pun dianggap selesai. Salah satu dari beberapa keputusan adalah, bahwa dalam waktu tiga hari lagi Untara akan berada di Pajang. Selanjutnya ia akan selalu membuat hubungan dengan Mataram. Dan orang yang ditunjuk untuk menjadi penghubung itu adalah Agung Sedayu.

Namun dalam pada itu, sebelum pertemuan itu benar-benar diakhiri, Agung Sedayu masih mengajukan satu pertanyaan, “Ampun Panembahan. Mungkin yang ingin hamba tanyakan tidak langsung bersangkutan dengan tugas-tugas ini. Tetapi bagaimanapun juga, hamba ingin mendapat kepastian, bahwa Raden Rangga tidak akan terlibat di dalam persoalan ini.”

Panembahan Senapati mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun tersenyum. Katanya, “Memang satu hal yang akan dapat mengganggu. Tetapi untuk ini aku akan menyerahkannya kepada Paman Juru Martani, sehingga semua rencana ini tidak akan terganggu oleh kenakalannya.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ternyata orang-orang lain pun menganggap bahwa pertanyaan itu memang perlu. Jika dalam masalah yang penting itu Raden Rangga mencampurinya, maka persoalannya akan dapat menjadi lain. Sehingga karena itu, jauh sebelumnya Raden Rangga harus sudah mendapat perhatian.

Kepada Ki Juru Martani, Panembahan Senapati kemudian berkata, “Paman. Terserah kepada Paman. Cara apakah yang akan dapat mengekangnya, agar Rangga tidak ikut campur dalam persoalan ini.”

“Baiklah Angger Panembahan,” jawab Ki Juru, “aku akan berusaha.”

“Menurut pengamatanku, orang yang paling dihormati dan diturut perintah-perintahnya adalah Paman Juru Martani,” berkata Penembahan Senapati kemudian.

Ki Juru Martani mengangguk-angguk. Namun ada juga sedikit kecemasan di hatinya, bahwa pada saatnya Raden Rangga tidak lagi dapat dikendalikan.

Meskipun demikian, dengan pernyataan Panembahan Senapati itu maka menjadi kewajibannya, bahwa ia harus mengamati Raden Rangga. Seorang anak muda yang memiliki kematangan ilmu mendahului kematangan berpikir dan rnengurai persoalan. Sehingga dengan demikian terjadi sedikit persoalan dengan tingkah lakunya yang kadang-kadang terasa mengganggu orang lain.

Demikianlah, maka pembicaraan itupun kemudian telah anggap selesai. Di hari berikutnya, orang-orang yang datang dari luar Kota Raja Mataram akan kembali ke tempat masing-masing. Untara akan kembali ke Jati Anom dan mempersiapkan pasukannya. Ia pun harus menunjuk seorang yang akan menjadi wakilnya, bertanggung jawab atas pasukannya, dengan persetujuan Panembahan Senapati. Sementara Kiai Gringsing, Ki Gede dan Agung Sedayu pun akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh dengan pesan, agar mereka menyampaikan perintah kepada Ki Lurah Branjangan untuk menghadap Panembahan Senapati di Pajang. Sementara itu Ki Gede pun harus menyiapkan para pengawal yang dapat digerakkan sewaktu-waktu diperlukan.

Malam itu mereka masih berada di Mataram. Mereka masih sempat berbicara serba sedikit di bilik penginapan mereka. Namun mereka pun kemudian memasuki bilik masing-masing dan tidur nyenyak.

Pagi-pagi benar mereka telah meninggalkan Kota Raja. Untara dan Sabungsari ke Jati Anom, sementara Kiai Gringsing, Ki Gede Menoreh dan Agung Sedayu menuju ke Tanah Perdikan Menoreh.

Tidak ada persoalan di perjalanan. Sementara itu Kiai Gringsing, Ki Gede dan Agung Sedayu tidak lupa singgah di barak pasukan khusus Mataram di Tanah Perdikan untuk menyampaikan perintah agar Ki Lurah menghadap.

“Ada apa?” bertanya Ki Lurah.

“Nanti Ki Lurah akan mengetahuinya,” jawab Kiai Gringsing. Namun orang tua itu telah memberikan sedikit penjelasan tentang maksud Panembahan Senapati memanggilnya.

Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Meskipun Kiai Gringsing tidak mendahului perintah Panembahan Senapati, namun Ki Lurah sudah menduga, bahwa ia akan mendapat beban, karena ia adalah pimpinan pasukan khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan Menoreh.

Hari itu juga Ki Lurah Branjangan telah meninggalkan barak khususnya bersama dua orang pengawal dari pasukan khusus itu menuju ke Mataram. Ia harus segera menghadap untuk menerima perintah dari Panembahan Senapati.

Namun yang tidak diduganya adalah bahwa Panembahan Senapati justru telah menyerahkan pimpinan tertinggi dan rencana mereka mengambil Ki Tumenggung Wiladipa, pada Ki Lurah Branjangan.

“Lakukanlah dengan sebaik-baiknya,” berkata Panembahan Senapati, “tugas ini adalah tugas yang sulit. Ada dua kemungkinan akan terjadi. Pasukan itu ditarik tanpa berarti apa-apa, atau pasukan itu harus memasuki Pajang dan mengambil Ki Tumenggung Wiladipa untuk dibawa ke Mataram. Bahkan masih ada satu hal lagi yang harus diperhitungkan, yaitu pusaka-pusaka Pajang yang seharusnya dipindahkan ke Mataram sebagai pusat pemerintahan.”

Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Hamba akan menjalankan segala perintah Panembahan.”

“Kau harus sudah bersiap-siap,” berkata Panembahan Senapati, “sebagaimana para prajurit yang berada di Jati Anom juga sudah dipersiapkan oleh Untara.”

“Dan hamba akan memegang kendali bersama Ki Untara?” bertanya Ki Lurah.

“Tidak,” jawab Panembahan Senapati, “Untara mendapat tugas tersendiri. Juga dalam hubungan dengan persoalan ini. Yang akan memegang pimpinan atas para prajurit Jati Anom akan ditentukan kemudian oleh Untara.”

Ada semacam kekecewaan di hati Ki Lurah Branjangan. Baginya Untara adalah seorang yang memiliki kemampuan dalam perang gelar yang sulit dicari imbangannya, meskipun mungkin secara pribadi ilmunya bukannya ilmu yang berada pada tataran tertinggi.

Jika ia berangkat bersama Untara, maka Untara akan menjadi kawan berbicara serta membuat pertimbangan-pertimbangan sebelum diambil satu keputusan.

Namun ia tidak akan dapat merubah keputusan Panembahan Senapati. Jika Untara sudah mendapat tugas yang lain, maka Untara memang harus menjalankan tugas itu.

Karena itu, maka yang dapat dilakukannya kemudian adalah mempersiapkan diri. Pasukan khususnya harus digerakkan untuk menjadi masak menghadapi tugas yang berat itu. Mungkin lebih mudah baginya untuk meneriakkan aba-aba agar pasukannya memecahkan pintu gerbang daripada mengekang pasukannya, dan menariknya kembali tanpa berbuat apa-apa setelah dipersiapkan dalam kesiagaan tertinggi di hadapan mulut gerbang lawan.

Pasukan khusus itu harus dipersiapkan lahir dan batinnya. Juga melatih pasukan itu untuk mengekang diri. Justru latihan yang paling sulit bagi pasukan khususnya itu.

Demikianlah, maka Mataram pun dalam keseluruhan telah bersiap-siap. Selain kesiagaan itu, maka Ki Juru dengan teliti telah mengawasi Raden Rangga yang mungkin akan dapat berbuat sesuatu menurut kehendaknya sendiri, sehingga mengacaukan semua rencana yang sudah diatur sebaik-baiknya.

Seperti yang telah disepakati bersama oleh para pemimpin di Mataram, maka Untara dan Sabungsari telah berangkat lebih dahulu ke Pajang. Setelah ia menghadap Panembahan Senapati untuk mohon restu terhadap seorang perwira yang telah ditunjuknya untuk menjadi penggantinya.

Untara memasuki Pajang tidak dalam kedudukannya sebagai seorang senapati, utusan Panembahan Senapati di Mataram. Karena itu, maka ia sama sekali tidak mengenakan pakaian seorang perwira dalam pasukan terpilih di Mataram. Namun Untara dan Sabungsari memasuki Pajang dengan pakaian orang kebanyakan yang menyatu dengan orang-orang yang hilir mudik memasuki gerbang Kota Raja untuk membawa hasil buminya ke pasar, atau memerlukan untuk membeli sesuatu bagi kepentingan pekerjaan mereka di sawah.

Ternyata Untara, senapati besar dari Mataram yang sudah terlalu banyak dikenal itu masih sempat dan mampu memasuki pintu gerbang Pajang tanpa diketahui oleh para prajurit, yang tidak menduga bahwa Untara dan Sabungsari akan kembali ke Pajang dalam pakaian kusut dan memakai caping yang lebar.

Dalam pada itu, maka Untara dan Sabungsari pun telah langsung menuju ke rumah sahabatnya, seorang prajurit dari kesatuan berkuda yang telah didatanginya pula pada saat ia datang ke Pajang terdahulu.

“Kau datang lagi Untara?” bertanya sahabatnya itu dengan heran. Tetapi ia dapat mengenali Untara ketika Untara dan Sabungsari berdiri berdiri di bawah tangga pendapa rumahnya sambil tersenyum dan melepas caping mereka.

“Apakah aku boleh naik?” bertanya Untara.

“Marilah. Kedatanganmu kali ini membuat aku lebih berdebar-debar daripada saat kedatanganmu dalam pakaian lengkapmu sebagai seorang senapati di Mataram,” sahut sahabatnya itu.

Untara dan Sabungsari pun kemudian telah naik ke pendapa., Sementara itu maka sahabatnya telah menyuruh pembantu rumahnya untuk menyiapkan suguhan sekedarnya.

“Kau di rumah hari ini?” bertanya Untara.

“Semalam aku bertugas meronda di seputar istana,” jawab sahabatnya.

“O, jadi kau juga mendapat tugas untuk menjaga istana?” bertanya Untara.

“Ya. Tetapi di luar dinding istana,” jawab sahabatnya.

Untara tersenyum. Katanya, “Aku sudah menduga. Tentu tidak di dalam istana, karena yang berada di dalam sebagian besar adalah prajurit-prajurit yang berasal dari Demak yang dibawa Ki Tumenggung Wiladipa serta prajurit-prajurit Pajang yang sudah dipengaruhi dan bersikap pasti.”

Sahabatnya itupun tersenyum, Katanya, “Tahu juga kau agaknya, bahwa di Pajang ada beberapa tataran keprajuritan, bukan dilihat dari segi tugas dan kewajibannya, namun dilihat dari segi kesetiaannya.”

Untara mengerutkan keningnya. Dengan bimbang ia bertanya, “Kesetiaannya yang mana?”

Sahabatnya itu tertawa. Katanya, “Kesetiaannya kepada Kanjeng Adipati, tetapi dengan keterangan, sebagaimana dikehendaki oleh orang-orang Demak yang berada di sini.”

Untara pun ikut tertawa juga. Namun kemudian Untara pun sempat menceritakan, apa yang dialaminya pada saat ia kembali ke Mataram beberapa saat yang lampau.

Sahabatnya mengerutkan keningnya. Katanya, “Itu sudah keterlaluan, Itu sudah melanggar paugeran dari para kesatria. Sedangkan utusan yang memasuki lingkungan musuh bebuyutan pun harus dihormati dan dijaga keselamatannya, bukan justru dirampok seperti itu, apalagi utusan Mataran di Pajang. Dengan demikian, maka hal itu sudah dapat dianggap satu pemberontakan.”

“Ya,” jawab Untara, “pemberontakan yang khusus.”

“Apa maksudmu? Apakah Mataram tidak akan datang dengan pasukannya segelar sepapan?” bertanya sahabatnya.

“Jika demikian, bagaimana dengan kalian?” bertanya Untara kemudian:

Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Pertanyaanmu terlalu tiba-tiba, sehingga sulit bagiku untuk menjawabnya.”

Untara tersenyum. Kemudian katanya, “Aku datang dalam hubungannya dengan persoalan itu.”

Sahabatnya menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Tetapi aku tentu tidak akan dapat ingkar jika aku terlibat kedalam persoalan yang rumit ini. Tetapi baiklah. Aku berjanji kepadamu untuk mengetahui bagaimanakah sikap sebagian besar dari para prajurit dari pasukan berkuda,” jawab sahabatnya itu.

“Bukankah Panglimanya masih Pranawangsa?” bertanya Untara.

“Ya,” sahabatnya itu mengangguk, “ia masih panglima sampai saat ini, meskipun ia tidak disukai oleh orang-orang Demak. Tetapi pengaruhnya cukup besar di lingkungan pasukan berkuda, sehingga jika ia diganti maka akan dapat menimbulkan keresahan.”

Untara mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengenal Pranawangsa seperti aku mengenalmu. He, apakah kau mempunyai hubungan dekat dengan Panglimamu itu?”

“Ia sering datang ke rumah ini. Ki Pranawangsa senang sekali kepada jenis burung berkicau. Bukan perkutut. Dan aku mempunyai banyak burung,” jawab sahabatnya itu.

Tetapi Untara tertawa. Katanya, “Omong kosong. Tentu bukan persoalan burung yang kalian bicarakan. Mungkin sekedar pembicaraan untuk mengurangi ketegangan di hati. Tetapi mungkin lebih dari itu.”

Sahabat Untara mengurutkan keningnya. Namun akhirnya iapun tertawa pula.

Keduanya kemudian sepakat untuk bertemu dengan Ki Pranawangsa. Masalahnya memang harus disampaikan kepada orang itu untuk mendapat pertimbangan lebih lanjut.

Bagi Untara, maka ia benar-benar harus mempertaruhkan segala-galanya. Jika hal itu disampaikan kepada Ki Pranawangsa, dan dengan demikian maka Ki Pranawangsa mempunyai tanggapan yang sebaliknya sehingga Untara justru ditangkapnya, maka itu merupakan satu di antara akibat-akibat yang sudah harus diperhitungkan. Dengan demikian, seandainya Untara harus dihukum mati sekalipun, ia harus menerimanya dengan ikhlas sebagai akibat dari pengabdiannya.

Tetapi yang dilakukan Untara bukannya tidak berperhitungan. Ia yakin bahwa sahabatnya bukan seorang yang dungu atau dengan sengaja menjerumuskannya.

Dengan demikian, pada saat yang bersamaan, di Pajang dan di Mataram telah dilakukan persiapan-persiapan untuk mengemban satu tugas yang penting. Tujuan terakhir adalah bahwa pusaka-pusaka Pajang harus dipindahkan ke Mataram.

Namun Mataram tidak dengan terang-terangan akan mengambil pusaka itu dengan kekerasan. Tetapi Mataram akan menyatakan, bahwa seorang utusannya telah diancam untuk dibunuh oleh seorang yang menjabat sebagai seorang pemimpin yang berpengaruh di Pajang, sehingga Mataram merasa berhak untuk menghukum orang itu. Jika orang itu sudah tidak ada di Pajang maka sikap Pajang tentu akan lain. Tetapi akan lebih baik jika sekaligus kedua-duanya dapat dilakukan, sehingga sekaligus tujuan terakhirnya sudah dapat dicapai. 

Di Tanah Perdikan Menoreh. Ki Lurah Branjangan telah menyiapkan pasukan khususnya. Bukan saja kesiagaan wadag. Tetapi mereka mendapat penjelasan kemungkinan yang dapat terjadi.

Sementara itu, Agung Sedayu ternyata mendapat tugas yang paling berat. Ia akan menjadi penghubung antara Untara dan kekuatan yang ada di Jati Anom dan Tanah Perdikan Menoreh.

Namun ternyata Agung Sedayu ingin mendapat seorang kawan yang dapat membantunya. Ia akan menjadi penghubung antara Pajang dan Mataram. Sementara itu, ia memerlukan orang yang dapat membantunya menghubungi Tanah Perdikan Menoreh dengan cepat.

Agung Sedayu tidak segera mengambil keputusan. Tetapi dengan Sekar Mirah ia sempat berbincang, “Apakah aku dapat meminta Glagah Putih melakukannya?” “Tentu. Tentu dapat,” jawab Sekar Mirah, “agaknya guru dan ayahnya tidak akan berkeberatan.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia akan dapat memberikan kesempatan kepada Glagah Putih untuk melakukan tugas yang dibebani dengan tanggung jawab.

“Tetapi tentu ia sebaiknya tidak sendiri,” berkata Agung Sedayu..

“Dengan siapa?” bertanya Sekar Mirah.

“Satu atau dua orang pengawal Tanah Perdikan,” jawab Agung Sedayu. Namun kemudian, “Bagaimana pertimbanganmu jika aku minta Prastawa ikut serta? Dengan demikian ia merasa bahwa tenaganya masih diperlukan olah Tanah Perdikan ini. Selama ini dengan hadirnya Glagah Putih, ia merasa tersisih sekali lagi, sebagaimana saat kehadiranku.”

Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Katanya, “Apakah tidak terjadi sebaliknya? Prastawa akan merasa dirinya sekedar mengawani anak-anak?”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Mungkin memang justru tanggapan Prastawa berbeda, justru berlawanan dengan niatnya, sehingga Prastawa justru merasa terhina karenanya.

Dalam pada itu, maka Sekar Mirah pun berkata, “Ia merasa sudah terlalu banyak melakukan kesalahan. Biarlah ia berada dalam keadaannya, sehingga ia benar-benar menjadi tenang. Mungkin tugas lain dapat diberikan kepadanya atas persetujuan Ki Gede dan atas perintah yang diberikan oleh Ki Gede pula.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia mengerti akan hal itu. Karena itu maka katanya, “Baiklah, aku sependapat. Biarlah Glagah Putih melakukannya bersama dua pengawal terpilih.”

Dengan demikian, maka Glagah Putih telah bertugas untuk menjadi penghubung antara Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh.

Namun ketika hal itu diutarakan kepada Ki Lurah Branjangan, maka Ki Lurah pun menjadi heran.

“Anak muda itu?” bertanya Ki Lurah.,

“Ya. Kenapa?” bertanya Agung Sedayu:

“Ia memang sudah meningkat dewasa sekarang. Tetapi bagaimanapun juga ia adalah seorang yang baru saja menjadi dewasa, sehingga pengalamannya pun masih belum mencukupi untuk dipergunakannya sebagai bekal dalam tugas yang berat ini. Mungkin ilmu kanuragannya mencukupi karena ia adalah muridmu dan sekaligus murid Kiai Jayaraga. Namun bagaimanapun juga harus dibarengi dengan seorang yang memiliki kemampuan menanggapi persoalan secara luas dan mampu mengurai setiap persoalan dengan cepat.” Ki Lurah itu berhenti sejenak, lalu, “Kenapa tidak Sekar Mirah?”

“Biarlah ia beristirahat di rumah dan menyelenggarakan sebagaimana seharusnya seorang perempuan. Hanya dalam keadaan yang penting ia akan menggantikan pakaiannya dengan pakaian tempurnya.”

Ki Lurah tersenyum. Katanya, “Baiklah. Jika demikian, untuk kepentingan bersama, biarlah aku memberikan seorang perwira sebagai kawan Glagah Putih. Perwira yang juga masih muda, meskipun sudah tentu lebih tua dari Glagah Putih, sementara ia sudah memiliki pengalaman yang cukup luas.”

“Baiklah jika demikian,” berkata Agung Sedayu, “kebetulan sekali. Aku sedang memikirkan siapakah yang sebaiknya mengawaninya.”

Bersama dengan Ki Lurah kemudian ditentukan siapa yang akan menjadi penghubung antara Tanah Perdikan Menoreh dan Mataram, sementara bagi Jati Anom, Agung Sedayu sendiri akan dapat singgah di Jati Anom jika ia pergi ke Pajang, menghubungi pemimpin pasukan yang kemudian ditunjuk.

Pada hari yang ditentukan, maka Agung Sedayu telah mengajak Glagah Putih ke Mataram atas ijin guru dan ayahnya. Namun Agung Sedayu dan Glagah Putih telah singgah di barak pasukan khusus Mataram di Tanah Perdikan.

Di barak itu Ki Lurah Branjangan telah menyiapkan pula seorang perwira muda untuk menjadi kawan Glagah Putih.

“Namanya Suradarma,” berkata Ki Lurah Branjangan.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Namun, hampir di luar sadarnya ia bertanya, “Orang itu berasal dari mana?”

Ki Lurah Branjangan mengerutkan keningnya. Namun kemudian jawabnya, “Ia datang dari Pasantenan.”

Agung Sedayu masih mengangguk-angguk. Tetapi ia merasa tidak pantas untuk menolak orang itu dan minta seorang pengawal khusus yang berasal dari Tanah Perdikan Menoreh.

Karena itu, maka siapapun orangnya, Agung Sedayu harus menerimanya.

Hari itu juga, maka Agung Sedayu telah pergi ke Mataram bersama Glagah Putih dan Suradarma. Keduanya harus tetap berada di Mataram untuk menunggu kedatangan Agung Sedayu yang akan pergi ke Pajang.

“Jika ada sesuatu yang penting, maka kau berdua harus segera pergi ke Tanah Perdikan Menoreh,” pesan Agung Sedayu, yang kemudian menyerahkan Glagah Putih dan Suradarma kepada seorang senapati atas perintah Panembahan Senapati sendiri.

Keduanya akan tinggal di barak prajurit yang dipimpin oleh senapati itu.

Demikianlah, maka pada hari berikutnya, Agung Sedayu telah berangkat ke Pajang. Berbeda dengan Untara yang sudah mengenal Pajang sebagaimana ia mengenal kampung halamannya sendiri, maka Agung Sedayu mengenal Pajang berdasarkan atas petunjuk-petunjuk Untara. Karena itu, maka Agung Sedayu tidak memasuki Pajang dengan berkuda. Tetapi Agung Sedayu telah singgah ke Sangkal Putung dan meninggalkan kudanya di kademangan itu.

Swandaru terkejut menerima kedatangan Agung Sedayu sendiri. Tetapi iapun segera mendapat penjelasan apa yang terjadi dan apa yang sedang dilakukannya.

“Apakah aku boleh ikut ke Pajang?” bertanya Swandaru.

Agung Sedayu menggeleng. Katanya, “Tugasku adalah tugas penghubung. Karena itu, untuk sementara biarlah aku sendiri.”

“Bukankah lebih baik ada seorang kawan daripada sendiri?” bertanya Swandaru.

Tetapi Agung Sedayu ragu-ragu. Ia tahu sifat dan watak Swandaru. Karena itu, maka agaknya Swandaru tidak sesuai untuk menjalankan tugas yang mendekati petugas sandi dalam tugas penghubung.

Karena itu, maka katanya, “Pada kesempatan lain aku tentu memerlukan bantuanmu. Jika benar-benar terjadi benturan kekerasan antara Mataram dan Pajang, maka sudah tentu Mataram akan bertumpu pada kekuatan yang pernah mendukungnya sebelumnya. Termasuk Sangkal Putung.”

Swandaru mengangguk-angguk. Ia tidak dapat memaksa Agung Sedayu untuk menyertainya, meskipun di dalam hatinya ia ingin melakukannya.

“Kakang Agung Sedayu tidak membayangkan bahaya yang dapat mencengkamnya di dalam tugas sandi,” berkata Swandaru di dalam hatinya. “Ia memang agak salah menilai kemampuannya sendiri. Mungkin kesalahan itu juga sebagian terletak pada Sekar Mirah yang terlalu mengaguminya, sehingga Agung Sedayu sendiri akhirnya ikut mengagumi dirinya sendiri.”

Namun demikian, Swandaru itupun berkata kepada Agung Sedayu, “Baiklah Kakang. Tetapi jika Kakang berada dalam kesulitan, maka Kakang dapat minta bantuanku, dan jika perlu seluruh kekuatan pasukan pengawal di Sangkal Putung.”

“Terima kasih,” jawab Agung Sedayu, “aku menitipkan kudaku di sini.”

Agung Sedayu pun minta diri kepada Ki Demang dan Pandan Wangi. Dengan sungguh-sungguh ia berpesan, agar mereka menyadari bahwa tugasnya adalah tugas rahasia.

Sepeninggal Agung Sedayu, maka Swandaru pun berkata kepada ayahnya, “Kakang Agung Sedayu memilih berjalan kaki dari Sangkal. Putung ke Pajang daripada memasuki Pajang di atas punggung seekor kuda. Sebenarnya Kakang Agung Sedayu tidak perlu berbuat seperti itu. Ia dapat saja membawa kudanya. Dengan seekor kuda, ia akan dapat berbuat lebih cepat dari sekedar berjalan kaki.”

“Tetapi ia tidak dapat bergerak bebas sebagaimana jika ia tidak membawa kuda,” jawab ayahnya. “Ia dapat menyusup kemana saja. Mungkin ia harus memasuki satu lingkungan dengan tanpa diketahui oleh siapapun. Atau mungkin ia harus berada di tempat-tempat terbuka dengan penyamaran.”

Swandaru mengangguk-angguk. Ia mengerti keterangan ayahnya. Tetapi bagaimanapun juga, ia menganggap bahwa Agung Sedayu masih saja dibayangi oleh sikap ragu-ragu dan sangat berhati-hati. Namun justru ia tidak dapat membayangkan bahaya yang sesungguhnya yang dapat mencelakainya.

“Dalam kebimbangan dan keragu-raguan, Kakang Agung Sedayu ingin mempertahankan nama besarnya yang sudah terlanjur dimilikinya,” berkata Swandaru di dalam hatinya, karena baginya Agung Sedayu tidak lebih dari seorang yang secara kebetulan saja dapat mencapai nama yang kemudian dikagumi oleh banyak orang.

Namun demikian, Swandaru pun kemudian berkata, “Tetapi aku percaya pesannya, bahwa pada suatu ketika, Mataram memerlukan bantuan pasukan pengawal Kademangan ini sebagaimana-pernah terjadi.”

Ki Demang pun menyahut, “Kau dapat membuat persiapan-persiapan tertentu dalam batas kewajaran, agar kegelisahan tidak timbul lagi di antara penghuni Kademangan ini.”

“Ya Ayah,” jawab Swandaru, “aku masih akan merahasiakan apa yang sebenarnya mungkin terjadi sebagaimana dikatakan oleh Kakang Agung Sedayu, yang kebetulan mendapat kepercayaan dari Panembahan Senapati. Namun hal itu wajar, karena kaitannya dengan Untara.” 

Ki Demang. tidak menyahut lagi. Ia tidak mengerti dengan pasti, apakah sebenarnya yang tersirat pada kata-kata Swandaru itu. Namun yang penting baginya, Sangkal Putung dapat mempersiapkan para pengawalnya tanpa membuat Kademangan itu menjadi gelisah.

Dalam pada itu, maka Agung Sedayu pun telah menempuh perjalanan yang panjang ke Pajang. Sebelumnya ia sudah mendapat petunjuk apa yang harus dilakukannya. Kemana ia harus datang dan dengan siapa ia harus berhubungan.

Ternyata bahwa Agung Sedayu memang belum banyak dikenal di Pajang. Tidak seorangpun yang memperhatikannya ketika ia memasuki gerbang kota, sebagaimana orang-orang lain yang memasuki gerbang itu.

Dengan ketajaman nalar seorang yang memiliki pengalaman dalam dunia pengembaraan dan pengamatan, maka Agung Sedayu tidak banyak mengalami kesulitan untuk menemukan tempat yang harus dicarinya.

Sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu harus berada di tempat itu untuk menunggu pesan-pesan yang akan diberikan oleh Untara.

Dalam pada itu, Untara telah berada di rumah seorang yang pernah dikenalnya dengan baik. Bahkan ternyata bahwa Ki Pranawangsa telah minta agar Untara untuk sementara berada di tempatnya. Dengan demikian maka tidak akan ada kecurigaan apapun juga, jika Untara pada suatu saat berbicara dengan para pemimpin dari pasukan berkuda, karena para perwira itu datang ke rumah panglimanya.

Kesempatan itu, telah diterima dengan sebaik-baiknya oleh Untara. Ia telah berkesempatan untuk bertemu dengan para perwira dari pasukan berkuda.

“Ternyata dugaanku adalah benar,” berkata Untara.

“Apa yang benar?” bertanya Pranawangsa.

“Bahwa kami akan dapat bekerja bersama dengan kalian dalam keadaan seperti ini.” jawab Untara. “Baiklah. Keterangan ini merupakan keterangan yang akan disambut baik oleh Panembahan Senapati.”

“Kami memang tidak akan dapat mengingkari kenyataan, bahwa pemerintahan telah berpusat di Mataram. Kami telah mempelajari sikap dan tingkah laku Sultan Hadiwijaya pada saat-saat terakhir. Ternyata bahwa perpindahan kekuasaan ke Mataram itu memang direstuinya, meskipun tidak dalam ujud lahiriah,” berkata Ki Pranawangsa. Lalu, “Karena itu, maka ternyata bahwa kami harus mengikuti langkah-langkah yang pernah kau tempuh meskipun agak terlambat, karena kami sempat diperalat oleh orang yang disebut dengan Kakang Panji, atau setidak-tidaknya kami telah berpikir salah pada saat itu.”

“Tetapi semuanya telah lampau,” berkata Untara, “mudah-mudahan kini kesalahan serupa tidak terjadi lagi.”

“Ya. Kami tidak akan jatuh ke bawah pengaruh Ki Tumenggung Wiladipa, meskipun ia ternyata mampu mempengaruhi Kanjeng Adipati,” jawab Ki Pranawangsa.

“Baiklah. Hal ini harus segera didengar oleh Panembahan Senapati, sehingga dengan demikian langkah-langkah berikutnya akan dapat diambil. Sementara itu, terserah kepada kalian, langkah-langkah apakah yang harus kalian ambil dalam hubungan dengan rencana Panembahan Senapati.”

“Baiklah,” berkata Ki Pranawangsa, “kami akan mempersiapkan diri. Tetapi kau tentu tahu, bahwa langkah-langkah yang akan kami ambil adalah langkah-langkah yang harus sangat berhati-hati.”

“Terima kasih,” berkata Untara, “semula aku mengira bahwa aku akan masuk ke dalam satu jebakan dan kemudian dijadikan tangkapan yang akan diikat di tengah-tengah alun-alun.”

Ki Pranawangsa tertawa. Namun kemudian katanya, “Tetapi kemungkinan itu tetap ada.”

Untara pun tertawa juga. Namun kemudian Untara itupun berkata, “Kesediaan kalian akan kami sampaikan ke Mataram.”

“Apakah kau akan pergi ke Mataram?” bertanya Ki Pranawangsa.

Untara menggeleng. Katanya, “Bukan aku.”

Ki Pranawangsa pun segera mengetahui, tentu ada penghubung yang akan menyampaikan pesan Untara itu ke Mataram, sementara Untara akan tetap berada di Pajang.

Ternyata semuanya berjalan seperti yang direncanakan. Untara dan Sabungsari akan tetap berada di Pajang, sementara Agung Sedayu-lah yang akan pergi ke Mataram untuk menyampaikan kesediaan pasukan berkuda di Pajang untuk membantu Mataram, jika terjadi benturan kekuasaan antara Pajang dan Mataram.

“Panembahan Senapati dapat mempertimbangkan langkah berikutnya,” berkata Untara kepada Agung Sedayu.

“Mengirimkan utusan untuk minta agar Ki Tumenggung diserahkan,” desis Agung Sedayu.

“Ya. Tetapi berhati-hatilah. Jika ada orang yang dapat mengenalimu, mungkin keadaan akan berubah,” berkata Untara.

Agung Sedayu menyadarinya. Karena itu, maka iapun dengan sangat berhati-hati telah meninggalkan Pajang untuk pergi ke Mataram.

Sebagaimana saat ia berangkat, maka pada saat ia kembali ke Mataram, Agung Sedayu pun telah singgah di Sangkal Putung untuk mengambil kudanya.

“Apakah sudah ada pesan dari Untara bagi kami?” bertanya Swandaru.

“Secara khusus belum,” jawab Agung Sedayu, “kita masih harus menunggu. Tetapi mungkin dalam waktu dekat, aku akan dapat memberikan keterangan lebih jauh.”

Swandaru mengangguk-angguk. Sebenarnya ia agak kecewa bahwa ia tidak mendapat kepercayaan berbuat sesuatu sebagaimana Agung Sedayu, meskipun ia mengira bahwa kesempatan yang didapat oleh Agung Sedayu itu adalah karena ia adik Untara.

Dalam pada itu, maka Agung Sedayu tidak singgah terlalu lama di Sangkal Putung. Iapun kemudian segera minta diri untuk melanjutkan perjalanan ke Mataram dengan seekor kuda.

“Diperlukan langkah-langkah cepat sebelum orang-orang Pajang mengetahui apa yang akan terjadi,” berkata Agung Sedayu kepada diri sendiri.

Sementara itu, dengan hati-hati sekali, Ki Pranawangsa telah berbicara dengan semua pemimpin kelompoknya. Berganti-ganti mereka dipanggil untuk datang ke rumahnya. Sebagian-sebagian di antara mereka mendapat penjelasan dari Ki Pranawangsa apa yang harus mereka lakukan.

Namun Ki Pranawangsa berpesan, “Jangan sampai para prajurit mendengar hal ini. Di antara kita masih berlaku paugeran seorang prajurit. Siapa yang berkhianat akan dihukum mati.”

Para pemimpin kelompok itu menyadari. Dan mereka pun mengerti, jika para prajurit mendengarnya pada saat yang masih terlalu pagi seperti itu, mungkin sekali rahasia itu akan jatuh ke tangan orang-orang Pajang yang setia kepada Kanjeng Adipati dan yang telah dipengaruhi oleh angan-angan Ki Tumenggung Wiladipa.

“Jangan sampai terdengar oleh para prajurit, bahkan para perwira yang bertugas di istana dan di lingkungan dalam yang langsung berhubungan dengan istana,” berkata Ki Pranawangsa. Lalu, “Jika sampai demikian, maka mereka tentu akan bertindak lebih dahulu.” 

Para perwira itu mengerti sepenuhnya, sehingga karena itu, maka mereka pun menjadi sangat berhati-hati.

“Kita dapat meningkatkan latihan-latihan untuk membayangi sikap kesiagaan kita,” berkata Ki Pranawangsa, “itupun dengan langkah-langkah yang diperhitungkan dengan saksama, karena jika kita berbuat sesuatu dengan tergesa-gesa, maka tentu akan sangat menarik perhatian.”

Dengan demikian, maka para perwira dari pasukan berkuda itupun kemudian telah melakukan langkah-langkah yang diperlukan tanpa menumbuhkan kecurigaan. Namun dengan cermat para perwira telah berhasil mempersiapkan pasukan mereka dalam keseluruhan tanpa diketahui dan disadari oleh para prajurit itu sendiri.

Sebenarnyalah bahwa ternyata Pajang pun tidak tinggal diam. Ketika Ki Tumenggung Wiladipa mendapat laporan tentang kegagalan orang-orangnya yang mencegat Untara dan agaknya Untara menghubungkan peristiwa itu dengan Ki Tumenggung Wiladipa, maka Ki Tumenggung yang cerdik itupun telah membuat persiapan-persiapan. Mau tidak mau Pajang harus bersiap-siap untuk menghadapi kekerasan.

Karena itulah, maka para prajurit Pajang yang menjadi alas kekuatan Ki Tumenggung Wiladipa pun telah dipersiapkan. Mereka terdiri dari pasukan pengawal khusus, pasukan yang datang dari Demak yang ternyata cukup besar jumlahnya, dan prajurit Pajang sendiri yang setia kepada Adipati Pajang yang berkuasa. Namun demikian, ternyata bahwa Ki Tumenggung Wiladipa telah memanggil Ki Pranawangsa, sebagai Panglima pasukan berkuda yang mempunyai kedudukan khusus di Pajang.

“Ki Pranawangsa,” berkata Ki Tumenggung Wiladipa, “mungkin kau sudah mendengar bahwa Mataram berusaha untuk merampas semua jenis pusaka yang berada di gedung perbendaharaan di Pajang. Dengan tamak Panembahan Senapati menganggap bahwa Pajang sudah tidak wajar lagi untuk tetap tegak. Karena itu, maka Panembahan Senapati benar-benar ingin menghancurkan Pajang sampai benar-benar tidak memiliki apa-apa yang dapat menjadi sipat kandel, apalagi Panembahan Senapati menganggap bahwa di antara pusaka yang terdapat di Pajang itu terdapat pusaka yang dapat menjadi tempat bersemayam wahyu keraton. Jika Panembahan Senapati sampai saat ini masih belum mengangkat dirinya dengan resmi sebagai seorang raja dengan gelarnya, maka sebenarnyalah ia memerlukan alas yang kuat dan dapat mendukung kewibawaannya.”

Ki Pranawangsa tidak menjawab. Ia hanya mengangguk-angguk saja mengiakan.

“Nah,” berkata Ki Tumenggung Wiladipa, “bagaimana menurut pendapatmu? Apakah pusaka-pusaka itu harus kita pertahankan atau harus kita serahkan?”

Ki Pranawangsa termangu-mangu sejenak. Ia tidak menyangka bahwa ia akan mendapat pertanyaan itu. Namun ia berhasil menguasai perasaannya dan menjawab, “Kami adalah prajurit. Kami tidak akan menentukan sikap apapun juga. Terserah kepada Kanjeng Adipati. Apakah pusaka itu akan dipertahankan atau tidak.”

“Tetapi bukankah kau juga dapat memberikan sumbangan pikiran yang barangkali akan dapat menjadi bahan pertimbangan?” bertanya Ki Tumenggung.

“Di lingkungan Kanjeng Adipati telah terdapat banyak orang yang cerdik pandai dan memiliki pandangan ke depan, serta berlandaskan kepada perhitungan yang cermat atas kenyataan tentang Pajang sekarang. Karena itu, biarlah mereka mengambil sikap,” jawab Ki Pranawangsa.

Ki Tumenggung Wiladipa mengerutkan keningnya. Sementara itu Ki Pranawangsa berkata, “Ki Tumenggung. Jangan merubah kebiasaan yang berlaku di Pajang. Kami biasanya tidak pernah mendapat tugas untuk ikut memikirkan langkah-langkah dan kebijaksanaan yang akan ditempuh. Tetapi yang kami lakukan adalah perintah untuk bersiaga dan bertindak.”

“Baiklah,” berkata Ki Tumenggung Wiladipa, “bersiaplah untuk menghadapi segala kemungkinan.”

“Maksud Ki Tumenggung, apakah Mataram akan mengambil pusaka-pusaka itu dengan kekerasan?” bertanya Ki Pranawangsa.

“Ya,” jawab Ki Tumenggung.

“Kami menunggu perintah,” jawab Pranawangsa.

“Aku sudah memberikan perintah,” jawab Ki Tumenggung.

Pranawangsa mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Sejak kapan Kanjeng Adipati mengangkat Ki Tumenggung menjadi Panglima Tertinggi di Pajang? Aku akan menunggu perintah dari Kanjeng Adipati.”

Wajah Ki Tumenggung tiba-tiba saja menjadi merah. Tetapi ia masih menahan diri. Katanya, “Baiklah. Perintah dari Kanjeng Adipati akan segera datang. Tetapi apakah salahnya jika kau mendahului perintah dan bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan?”

“Jika yang diucapkan oleh Ki Tumenggung itu sekedar saran, maka aku justru akan memperhatikan,” jawab Pranawangsa.

Wajah Ki Tumenggung Wiladipa bagaikan membara. Tetapi ia masih tetap berusaha untuk menahan diri, karena ia harus mengingat kepentingan yang lebih besar dari sekedar membiarkan perasaannya bergejolak. la sadar sepenuhnya bahwa untuk menghadapi Mataram yang mungkin akan bertindak, ia memerlukan seluruh kekuatan yang ada di Pajang.

Karena itu, maka Ki Tumenggung itu berusaha untuk tetap pada sikapnya dan berkata, “Baiklah. Segalanya akan diatur oleh Kanjeng Adipati, yang tentu lebih bijaksana dari aku dan setiap orang di Pajang ini.”

Ki Pranawangsa pun berusaha untuk menahan perasaannya pula. Bahkan ia merasa beruntung, bahwa Ki Tumenggung telah menyarankan kepadanya untuk bersiaga. Dengan demikian maka ia akan mendapat alasan untuk menyelenggarakan latihan besar-besaran, tanpa dicurigai oleh Ki Tumenggung Wiladipa.

Sebenarnyalah ketika Ki Pranawangsa telah berada kembali di antara pasukannya, maka iapun telah menceritakan sikap Pajang yang diucapkan lewat lesan Ki Tumenggung Wiladipa kepada Untara, Sabungsari dan perwira-perwiranya yang terbatas.

Bahkan Ki Pranawangsa itupun telah mengatur latihan-latihan yang berat bagi pasukan berkudanya di hari-hari berikutnya, untuk mendapatkan kesiagaan yang tertinggi.

Ternyata bukan hanya pasukan berkuda itu sajalah yang menyelenggarakan latihan-latihan. Ternyata pasukan khusus yang sebagian adalah prajurit-prajurit yang datang dari Demak pun telah menyelenggarakan latihan-latihan yang juga cukup berat. Bahkan Pajang cenderung berusaha untuk memamerkan kekuatannya kepada orang-orang Mataram, yang menurut perhitungan Ki Wiladipa, tentu telah mengirimkan pasukan sandinya ke Pajang.

Sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu beberapa hari kemudian telah berada di Pajang lagi untuk menyampaikan perintah Panembahan Senapati, bahwa Mataram segera akan mengirim utusan untuk mengambil Ki Tumenggung Wiladipa.

“Mataram akan menyertakan pasukan dari Jati Anom dan pasukan khusus yang berada di Tanah Perdikan,” berkata Agung Sedayu. Lalu, “Sementara pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh dan pasukan pengawal Kademangan Sangkal Putung akan berada di perbatasan.”

Untara mengangguk-angguk. Ia sadar bahwa agaknya perang tidak akan dapat dihindarkan lagi.

Namun dalam pada itu, Untara berkata, “Agung Sedayu, cobalah melihat kekuatan Pajang. Tentu di luar perhitungan orang-orang Mataram.”

“Ya. Orang-orang Mataram tidak akan menduga, bahwa Pajang telah menyiapkan sekian banyak prajuritnya,” jawab Agung Sedayu.

“Tetapi sebaiknya kau berada di Pajang satu dua hari. Kau akan melihat lebih jelas lagi, sehingga laporanmu akan mendekati keadaan yang sebenarnya,” berkata Untara. “Dengan dasar itu, maka kau akan dapat memberikan pertimbangan, apakah prajurit dari Jati Anom dan pasukan khusus itu sudah cukup. Mungkin Mataram dapat menarik pasukannya, meskipun hanya sebagian, yang berada di Turi dan di Jurang Jero, atau berhubungan dengan Pasantenan dan Mangir.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi katanya, “Bukankah pasukan berkuda di Pajang ini dapat diajak bekerja bersama?”

Untara mengerutkan keningnya. Namun kemudian jawabnya, “Ya. Aku sudah mendapat kepastian.”

“Jika demikian, untuk sementara pasukan yang berada di Jati Anom, pasukan khusus di Tanah Perdikan Menoreh, serta para pengawal dari Tanah Perdikan dan Sangkal Putung sudah mencukupi.”

Untara mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Agaknya memang demikian. Tetapi kau tunggu satu dua hari. Jika usaha Pajang menghubungi Jipang dan membujuk Pangeran Benawa berhasil, maka kekuatan yang dipersiapkan itu tentu tidak akan mencukupi.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa kakaknya adalah seorang senapati medan yang memiliki kelebihan dari senapati yang lain, sehingga jika Untara berkata demikian, maka keadaan yang sebenarnya tentu tidak akan berbeda terlalu jauh.

Dengan demikian maka seperti yang diminta oleh Untara, maka Agung Sedayu akan berada di Pajang untuk satu dua hari lagi, sekaligus menunggu berita, apakah hubungan antara Pajang dengan Jipang akan tetap berlangsung, sebagaimana didengar oleh Ki Pranawangsa.

Sementara itu, di Tanah Perdikan Menoreh, Glagah Putih dan Suradarma telah menghubungi Ki Lurah dan Ki Gede sesuai dengan berita yang disampaikan oleh Agung Sedayu. Pasukan khusus itu harus benar-benar dalam kesiagaan tertinggi. Sementara pasukan pengawal terpilih dari Tanah Perdikan Menoreh pun akan menjadi pasukan cadangan yang harus siap di medan.

Namun dalam pada itu, hubungan Glagah Putih dengan Suradarma ternyata tidak begitu baik. Ketika mereka menempuh perjalanan dari Mataram ke Tanah Perdikan Menoreh, sikap Suradarma beberapa kali menyinggung perasaan Glagah Putih. Untunglah bahwa Glagah Putih adalah adik dan murid Agung Sedayu, sehingga iapun memiliki kesabaran yang cukup.

Tetapi ketika mereka sudah bersiap-siap untuk pergi ke Mataram lagi dan singgah di barak pasukan khusus, telah terjadi sesuatu yang tidak dikehendaki oleh Glagah Putih.

Atas permintaan Suradarma, maka keduanya bermalam di barak pasukan khusus itu. Tetapi karena Glagah Putih tidak mempunyai tempat tersendiri sebagaimana Suradarma, maka ia telah tidur di serambi ruang khusus para perwira yang bertugas malam, di luar pengetahuan Ki Lurah Branjangan.

Ketika keduanya bangun di pagi hari, maka dengan serta merta Suradarma pun berkata, “Glagah Putih, bersihkan kudaku dan siapkan pelananya. Kita akan berangkat pagi-pagi“

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Beberapa kali Suradarma memang memberikan perintah kepadanya sebagaimana kepada bawahannya. Tetapi sikapnya saat itu sudah keterlaluan bagi Glagah Putih.

Namun demikian Glagah Putih tidak membantah, meskipun ia tidak mengerjakan perintah Suradarma itu.

Setelah mandi dan membenahi diri, Glagah Putih telah membersihkan dan memasang pelana kudanya sendiri. Kemudian ia telah duduk di serambi sambil menunggu.

Beberapa orang perwira yang melihatnya telah mempersilahkannya duduk di dalam sambil minum minuman hangat.

“Kau terpaksa kedinginan semalam he?” bertanya seorang perwira.

“Aku terbiasa tidur di atas batu sungai,” jawab Glagah Putih sambil tersenyum.

Para perwira itupun tersenyum pula. Seorang diantaranya mempersilahkan, “Minumlah, mumpung masih hangat.”

Glagah Putih mengangguk sambil menjawab, “Terima kasih”

Tetapi baru saja ia mengangkat mangkuknya, terdengar suara Suradarma, “He, Glagah Putih, Kenapa kudaku belum kau bersihkan dan pelananya belum kau kenakan?”

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian meletakkan mangkuk di bibirnya. Setelah meneguk minuman hangat itu, barulah ia menjawab, “Aku tidak sempat. Aku sudah membersihkan kudaku sendiri.”

“Apa? Tidak sempat? Dan kau sekarang duduk sambil minum, sementara aku belum selesai membenahi diri?” bertanya Suradarma.

Wajah Glagah Putih menegang. Lalu katanya, “Lakukanlah sendiri.”

“He?” Suradarma itu memandang Glagah Putih dengan tajamnya. “Buat, apa kau diikutsertakan dalam tugas ini jika kau tidak mau melayani kepentinganku? Lebih baik aku pergi dengan seorang pekatik, gamel atau bahkan seorang diri saja daripada bersama seorang pemalas seperti kau.”

Jantung Glagah Putih berdenyut semakin cepat, Namun ia masih berusaha menahan diri. Katanya, “Aku tidak bertugas melayanimu. Aku mengemban tugas Kakang Agung Sedayu.”

“Omong kosong,” jawab Suradarma, “aku mendapat tugas dari Ki Lurah. Dan kau ditugaskan untuk melayani aku dalam tugas ini.”

Tetapi jawab Glagah Putih benar-benar menyinggung perasaan Suradarma, “Aku tidak merasa pernah menerima tugas yang demikian. Aku akan pergi ke Mataram. Dengan atau tidak dengan kau.”

“Gila!” Suradarma menjadi sangat marah. Tiba-tiba saja ia meloncat dan mengibaskan mangkuk di tangan Glagah Putih sehingga minuman panas itu tumpah. Bahkan terpercik di pakaiannya dan pakaian seorang perwira yang duduk di sebelahnya. “Suradarma,” desis beberapa orang perwira hampir bersamaan.

“Anak ini terlalu sombong,” geram Suradarma, “dikiranya ia seorang Senapati Agung yang tidak mau diperintah. Ia tidak lebih anak padesan yang harus pergi untuk melayani aku selama aku menjalankan tugas ini.”

“Seharusnya kau kenal anak ini,” berkata seorang perwira yang sudah separo baya.

“Ya aku kenal. Ia adalah Glagah Putih, anak Tanah Perdikan Menoreh. adik Agung Sedayu yang oleh Ki Gede diperintah untuk ikut bersama aku dalam tugas ini,” berkata Suradarma

“Tidak,” jawab Glagah Putih, “kita bersama-sama menjalankan tugas ini.”

“Tutup mulutmu!” bentak perwira muda yang bernama Suradarma itu, “Aku adalah perwira dari pasukan khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh. Sedang kau adalah anak padesan di Tanah Perdikan Menoreh ini.”

“Tetapi aku bukan pelayanmu,” Glagah Putih sudah kehilangan kesabaran, “aku bukan budakmu. Kita sama-sama menjalankan tugas ini.”

“Kita akan menjalankan tugas ini bersama-sama jika derajad kita sama,” jawab Suradarma.

“Aku tidak peduli derajad dan pangkat. Tetapi yang penting kita mampu menjalankan tugas kita,” jawab Glagah Putih

Suradarma itupun kemudian mendekatinya dengan tangan di pinggang. Namun sementara seorang perwira telah berusaha melerainya, “Sudahlah. Tidak ada gunanya dipertengkarkan. Sekarang, kalian akan menjalankan tugas bersama.”

“Tidak tugas bersama,” jawab Suradarma, “ia harus melayaniku dalam tugas ini. Aku adalah seorang perwira dari pasukan khusus.”

“Tetapi anak itu bukan dari lingkungan kita,” jawab seorang perwira.

“Justru karena itu, maka ia harus membantu aku. Termasuk menyiapkan kuda dan kepentingan-kepentingan lain,” jawab Suradarma.

“Aku tidak mau,” sahut Glagah Putih, “meskipun kau seorang perwira dari pasukan khusus, tetapi aku mendapat tugas langsung dari Kakang Agung Sedayu. Yang penting, apakah kita mampu melakukan tugas kita atau tidak.”

Suradarma menjadi sangat marah. Lalu katanya, “Anak ini perlu diajari untuk mengenal, kedudukannya.”

“Apa yang akan kau lakukan?” bertanya seorang perwira.

Suradarma termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Memaksanya untuk melakukan perintahku.”

“Caranya?” bertanya kawannya pula.

Sekali lagi Suradarma termangu-mangu. Namun iapun kemudian menjawab, “Dengan segala cara, sampai anak itu benar-benar melakukannya.”

“Kekerasan?” bertanya perwira itu pula.

“Jika perlu,” jawab Suradarma

Namun Glagah Putih menyahut, “Aku menolak segala perintahmu. Jika kau ingin memaksaku dengan kekerasan, maka aku akan membela diri.”

“Anak setan,” geram Suradarma, “kau kira kau ini apa he? Jika kau berusaha untuk melawan, maka kau hanya akan membuat dirimu sendiri semakin sulit. Bahkan mungkin aku akan kehilangan kesabaran dan membuatmu menyesal sepanjang hidupmu.”

“Apapun yang akan terjadi. Tetapi aku bukan budakmu,” jawab Glagah Putih.

Para perwira yaang ada di ruang itupun saling berpandangan. Namun mereka tidak segera mengambil sikap.

Sementara itu Suradarma yang benar-benar telah tersinggung itu sekali lagi membentak, “Anak dungu! Cepat lakukan, sebelum aku kehilangan kesabaran. Sikap sombongmu benar-benar membuat aku menjadi muak.”

“Aku tidak peduli,” geram Glagah Putih, “jika kau berteriak membentakku sekali lagi, aku akan menampar mulutmu.”

Kata-kata Glagah Putih itu sudah keterlaluan. Karena itu, maka Suradarma sudah tidak sabar lagi. Ia-lah yang akan mendahului menampar mulut Glagah Putih.

Namun dalam pada itu, seorang di antara para perwira itu tiba-tiba saja telah berdiri di antara kedua orang yang marah itu. Dengan suara yang berat ia berkata, “Suradarma, apakah kau benar-benar akan memaksa anak itu menuruti perintahmu, meskipun ia bukan bawahanmu?”

Perwira itu kemudian berpaling kepada Glagah Putih, “Dan kau berkeras untuk menolaknya?”

“Ya. Aku menolaknya,” jawab Glagah Putih.

“Baiklah. Aku kira kalian berdua adalah laki-laki. Kita selesaikan persoalan kalian dengan jujur dan jantan. Jika Suradarma akan mempergunakan kekerasan, maka biarlah Glagah Putih juga mempertahankan sikapnya dengan kekerasan. Kami menjadi saksi. Tetapi jika salah seorang di antara kalian kalah, maka kekalahan itu harus diakui dengan jantan pula. Untuk seterusnya tidak ada lagi persoalan di antara kalian, karena yang kalah akan melakukan keinginan dari yang menang,” berkata perwira itu.

“Bagus,” geram Suradarma, “aku akan membuatnya menyesal sepanjang hidupnya.”

Para perwira itupun kemudian membawa kedua orang itu ke dalam sanggar tertutup, tempat latihan-latihan olah kanuragan secara pribadi dari para prajurit dari pasukan khusus itu, yang pada langkah-langkah permulaan pernah dibimbing oleh Agung Sedayu. Namun perwira-perwira yang datang menyusul, memang ada yang tidak mengalami tempaan Agung Sedayu seperti beberapa orang yang seakan-akan merupakan pendiri dan cikal bakal dari pasukan khusus itu.

“Apakah kita akan melaporkan kepada Ki Lurah?” desis seorang di antara para perwira itu.

“Tidak usah. Tetapi kita harus berhati-hati. Jangan sampai timbul korban di antara mereka,” jawab kawannya, “karena itu, kita semua akan mengamati perkelahian itu dengan saksama dan berhak menghentikannya setiap saat.”

Yang lain mengangguk-angguk.

Demikianlah, maka keduanya benar-benar telah dihadapkan dalam satu arena. Seorang perwira yang sudah separo baya mengatur perkelahian itu dan minta agar semua orang perwira yang ada di dalam sanggar itu menjadi saksi dan sekaligus pelerai. Mereka berhak menghentikan perkelahian itu jika mereka menganggap salah seorang sudah dikaiahkan.

Dengan pintu tertutup, maka kedua orang itu pun segera bersiap-siap untuk menentukan siapakah di antara mereka yang memiliki kemampuan paling baik.

Seorang perwira telah mengamati keduanya dengan saksama, sehingga ia yakin bahwa keduanya telah melepaskan senjata mereka, karena mereka akan bertempur tanpa mempergunakan senjata apapun juga.

Dua orang perwira muda yang ada di dalam sanggar itu pula tersenyum-senyum. Mereka seakan-akan telah mendapatkan satu tontonan yang tentu mengasyikkan. Tetapi mereka pun menganggap bahwa Glagah Putih itu terlalu sombong meskipun ia adalah adik sepupu Agung Sedayu.

“Anak itu memang harus mendapat teguran, dan sekaligus mengetahui dengan pasti tingkat kemampuan para perwira dari pasukan khusus ini,” desis salah seorang di antara keduanya.

Tetapi seorang perwira yang separuh baya itu berkata di dalam hatinya, “Anak-anak dari pasukan khusus ini harus mengetahui, bahwa mereka bukan orang terbaik di Mataram dalam olah kanuragan secara pribadi. Jika Glagah Putih memiliki kelebihan meskipun hanya sebagian kecil dari Agung Sedayu, maka Suradarma akan mendapat sedikit pelajaran dari sikapnya. Sebenarnya-lah sikap seorang prajurit, apalagi dari pasukan khusus, bukan untuk memperbudak orang-orang yang dianggapnya tidak sederajad dengan dirinya. Bahkan sebaliknya.”

Sejenak kemudian, maka perwira yang separuh baya itu, yang bukan saja tertua umurnya, tetapi juga pangkat dan kedudukannya, telah mengatur perkelahian itu agar berlangsung dengan jujur, karena keduanya adalah laki-laki.

Suradarma menjadi tidak sabar lagi. Namun ia terpaksa menurut perintah perwira yang lebih tua dan lebih tinggi kedudukannya daripada dirinya.

“Bersiaplah,” berkata perwira itu, “kita berada di dalam sanggar. Bukan di arena sabung ayam. Karena itu kita harus menghormati martabat kita masing-masing dengan sikap yang jujur.”

Suradarma dan Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi keduanya telah bersiap untuk bertempur.

Demikianlah, maka Suradarma yang sudah tidak sabar lagi itu mulai bergerak. Ketika ia melangkah mendekati, Glagah Putih bergeser menyamping.

Tiba-tiba saja Suradarma telah meloncat sambil menggerakkan kakinya, sementara Glagah Putih masih saja bergeser. Tetapi dengan serta merta Suradarma telah memutar tubuhnya dan kakinya itupun berputar mendatar. Tumitnya telah menyerang ke arah perut Glagah Putih.

Tetapi Glagah Putih cukup cekatan. Dengan sigapnya ia menghindari serangan itu. Bahkan dengan cepat pula, ia telah meloncat sambil menyerang tengkuk dengan tangannya.

Namun Suradarma cepat mengelak. Tetapi Glagah Putih tidak membiarkannya. Iapun cepat memburu. Kakinyalah yang kemudian terjulur mengarah kepada Suradarma.

Suradarma kemudian harus mengelak lagi, sehingga beberapa saat kemudian pertempuran itupun telah meningkat semakin cepat.

Dengan geram Suradarma ingin dengan cepat membuktikan kepada Glagah Putih, bahwa anak itu tidak akan dapat menolak perintahnya. Selain Glagah Putih bukan apa-apa selain anak pedesan, ternyata bahwa iapun bukan apa-apa dalam olah kanuragan.

Namun Suradarma mulai gelisah ketika untuk beberapa saat kemudian ia tidak segera dapat menundukkan anak muda yang bernama Glagah Putih itu. Bahkan ketika ia meningkatkan ilmunya semakin tinggi, maka Glagah Putih itupun masih saja mampu mengimbanginya.

“Anak iblis,” geram Suradarma. Ia mengerti bahwa Glagah Putih adalah adik sepupu Agung Sedayu. Tetapi yang memiliki kemampuan yang tinggi adalah Agung Sedayu. Seandainya anak ini belajar kepada Agung Sedayu, maka seberapa tinggi ilmu yang sudah dapat disadapnya.

Namun ternyata bahwa Suradarma harus berhadapan dengan satu kenyataan, bahwa anak yang dianggapnya tidak lebih dari anak pedesan yang disertakan dalam tugasnya untuk melayaninya itu memiliki kemampuan yang mampu mengimbanginya.

Perkelahian antara keduanya semakin lama menjadi semakin sengit. Suradarma yang semakin marah, akhirnya tidak mengekang diri lagi. Ia memang memiliki ilmu yang tinggi. Bukan saja yang telah disadapnya selagi ia berada di dalam lingkungan keprajuritan, tetapi sebelumnya ia pernah berguru kepada seseorang yang memiliki ilmu yang tinggi di Pasantenan.

Tetapi ternyata bahwa ia tidak dapat berbuat banyak menghadapi anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh itu.

Bahkan semakin lama semakin ternyata bahwa Glagah Putih memiliki beberapa kelebihan. Anak itu mampu bergerak lebih cepat dari Suradarma, bahkan kecepatan gerak Glagah Putih semakin membuat Suradarma kebingungan.

“Anak iblis,” geram Suradarma. Kemarahannya benar-benar sudah sampai ke puncak, sehingga dengan demikian maka segenap kemampuannya pun telah dikerahkan.

Glagah Putih terkejut ketika pada saat-saat terakhir, benturan-benturan yang terjadi membuatnya terdesak. Kekuatan Suradarma tidak menjadi berlipat. Tetapi pada saat-saat ia menangkis serangannya atau sebaliknya, sentuhan tubuhnya bagaikan menyentuh batu. 

“Ilmu apakah yang dimiliki orang ini?” pertanyaan itu telah tumbuh di hati Glagah Putih.

Namun Glagah Putih berusaha untuk mengerahkan kemampuannya, sehingga meskipun sentuhan-sentuhan dengan tubuh lawannya membuatnya kesakitan, namun Suradarma sekali-sekali telah terdesak oleh kekuatan Glagah Putih. Bahkan dalam benturan yang terjadi kemudian, Suradarma kadang-kadang terlempar satu dua langkah surut, meskipun Glagah Putih harus menyeringai menahan bagian-bagian tubuhnya yang kesakitan, karena tubuh Suradarma bagaikan menjadi batu padas.

Meskipun demikian Suradarma sama sekali tidak merasa terdesak. Ia meloncat menyerang, sambil meningkatkan ilmunya sampai ke puncak.

Glagah Putih termangu-mangu. Ia menjadi semakin sulit menghadapi lawannya, meskipun ia sadar, bahwa yang dihadapi bukannya ilmu kebal. Karena jika serangannya yang kuat mengenai tubuh lawannya yang bagaikan membatu itu, nampak wajah Suradarma pun telah berubah.

Tetapi tubuh Glagah Putih menjadi semakin kesakitan karena sentuhan-sentuhan yang keras dan seolah-olah menghantam batu padas.

Namun Glagah Putih tidak mudah menjadi putus asa. Ia adalah salah seorang yang tidak ada duanya yang pernah berlatih bersama Raden Rangga dengan cara yang keras dan berat.

Karena itu, maka dalam keadaan yang memaksa, Glagah Putih telah mengerahkan segenap kemampuannya. Dengan memusatkan segala nalar budinya, maka gejala kemampuan di dalam dirinya yang masih belum mapan telah terungkap.

Dengan demikian maka pertempuran pun menjadi semakin sengit. Beberapa orang perwira yang menyaksikan pertempuran itu menjadi tegang. Satu dua orang perwira itu telah mengetahui puncak ilmu Suradarma, sehingga para perwira itu menjadi cemas.

“Suradarma benar-benar kehilangan pengamatan diri,” desis salah seorang perwira, “menghadapi anak-anak ia agaknya telah mengungkapkan puncak ilmunya, sehingga setiap sentuhan telah membuat lawannya kesakitan.”

“Itu haknya,” jawab perwira yang lain, “tanpa kemampuan puncaknya, ia mengalami kesulitan.”

“Tetapi apakah pantas, bahwa ilmunya itu dipergunakan untuk mengalahkan anak Tanah Perdikan itu?” bertanya perwira yang pertama.

“Mungkin menurut pertimbangannya, itu lebih baik daripada ia dikalahkan oleh anak-anak,” jawab kawannya.

Perwira yang pertama menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ia tidak dapat membantah lagi. Memang rasa-rasanya akan sangat tersinggung jika ia dikalahkan oleh Glagah Putih.

Namun bagi perwira, itu, bahwa Glagah Putih mampu bertahan sampai saat itu, sudah merupakan satu kelebihan yang sulit dicari bandingnya. Anak yang masih terlalu muda itu dapat memaksa Suradarma mengerahkan ilmu puncaknya.

Beberapa perwira yang lainpun telah bersiap-siap pula untuk melerai pertempuran itu setelah mereka melihat Suradarma benar-benar telah mempergunakan puncak ilmunya. Bagi para perwira itu, akan sangat sulit bagi Glagah Putih untuk dapat keluar dari cengkaman ilmu yang dahsyat itu. Menurut para perwira itu, daya tahan Glagah Putih tidak akan dapat berlangsung lama, karena ternyata Suradarma dengan sengaja selalu membentur tubuh Glagah Putih. Bahkan Suradarma sama sekali tidak mengelak jika ia dikenai serangan Glagah Putih, meskipun kadang-kadang ia harus menyeringai menahan sakit dan terdorong surut.

Namun dalam pada itu, ternyata Glagah Putih telah mengerahkan segenap kemampuan yang ada di dalam dirinya, meskipun masih belum terlalu mapan. Namun apa yang dimilikinya itu merupakan gejala dari sejenis ilmu yang nggegirisi, yang akan menjadi semakin matang bersamaan dengan peningkatan ilmunya. Bahkan gurunya tentu akan mampu mengarahkannya, sehingga kekuatan yang tersimpan di dalam dirinya itu akan benar-benar menjadi dasar kekuatannya, di samping ilmu-ilmunya yang lain yang disadapnya dari cabang ilmu yang berbeda-beda tetapi luluh menjadi satu.

Seperti lawannya, maka Glagah Putih pun kemudian tidak berusaha untuk menghindari benturan-benturan. Meskipun terasa setiap sentuhan membuatnya kesakitan, namun dengan mengerahkan kemampuan daya tahannya, maka Glagah Putih berusaha mengatasi perasaan sakitnya.

Yang kemudian terjadi membuat para perwira yang mengamati perkelahian itu menjadi heran. Mereka memang melihat perubahan-perubahan yang terjadi pada keduanya.

Suradarma dengan sadar berusaha menyakiti tubuh lawannya dengan ilmunya yang dibanggakannya. Namun ternyata bahwa Glagah Putih bukannya tidak meninggalkan rasa sakit pada tubuh lawannya.

Apalagi saat-saat terakhir, setelah Glagah Putih mengerahkan kemampuan yang ada di dalam dirinya, sebagaimana ia berlatih melawan Raden Rangga.

Mula-mula Suradarma tidak begitu memperhatikan sesuatu yang terjadi pada dirinya, karena ia sama sekali tidak menyadari dan bahkan sama sekali tidak menduga bahwa hal itu dapat terjadi. Namun kemudian, Suradarma itupun merasakan sesuatu yang menggetarkan jantungnya.

Dalam benturan-benturan dan sentuhan-sentuhan yang terjadi, ternyata bahwa seakan-akan getaran yang tidak dikenal telah merambat, dan bahkan meloncat lewat sentuhan-sentuhan yang bagaimanapun kecilnya. Getaran-getaran itu seakan-akan telah mengguncang bagian dalam tubuhnya melalui aliran darah dan hubungan urat sarafnya.

Suradarma yang kemudian menyadari akan hal itu, menjadi berdebar-debar. Dalam benturan-benturan yang terjadi kemudian, ia menjadi semakin yakin, bahwa goncangan-goncangan itu langsung mempengaruhi bagian dalam tubuhnya, terutama jantung dan pernafasannya. 

“Gila,” geram Suradarma.

Namun ia tidak segera berkecil hati. Ia masih yakin akan ilmunya. Jika benturan-benturan itu masih saja terjadi, maka ia berharap bahwa keadaan wadag Glagah Putih akan lebih dahulu kehilangan kemampuannya untuk berbuat lebih banyak lagi.

Tetapi ternyata bahwa kemampuan Glagah Putih tidak saja berpengaruh atas tubuh Suradarma dalam benturan-benturan yang terjadi. Tetapi pengaruhnya justru langsung menusuk jantung. Sedangkan benturan itu sendiri masih juga mampu menyakiti kulit daging Suradarma, meskipun Glagah Putih harus juga berusaha menahan sakit karena tubuh Suradarma seolah-olah telah membatu.

Dengan demikian maka para perwira itu melihat perubahan yang terjadi pada keseimbangan pertempuran itu. Glagah Putih tidak lagi menyerang dengan keras dan menahan benturan-benturan kekuatan Suradarma sambil menyeringai kesakitan Tetapi Glagah Putih mulai menghindari benturan-benturan keras. Ia hanya memerlukan sentuhan-sentuhan kecil untuk melontarkan serangan langsung ke dalam bagian dalam lawannya.

Suradarma menjadi semakin heran merasakan getaran-getaran yang mengguncang jantungnya. Rasa-rasanya jantungnya itu berdenyut tidak wajar, sementara pernafasannya pun menjadi terganggu.

Sebagai seorang yang berpengalaman, maka Suradarma pun kemudian mulai mengamati pertempuran itu dengan saksama. Ia mulai merasakan setiap perubahan yang terjadi di dalam dirinya serta mencoba untuk menemukan sebabnya.

Namun ia tidak mempunyai banyak kesempatan. Glagah Putih berusaha untuk mengikat Suradarma dalam perkelahian yang sibuk.

Dengan demikian, maka sentuhan-sentuhan di antara keduanya pun menjadi semakin sering terjadi. Sentuhan-sentuhan itu tidak terlalu menyakiti tubuh Glagah Putih, tetapi cukup memberi kesempatan untuk menyengatkan getaran-getaran yang dapat memperngaruhi bagian dalam tubuh Suradarma.

Suradarma tidak mempunyai kesempatan lagi untuk melepaskan diri dari libatan kecepatan gerak Glagah Putih. Meskipun Suradarma sendiri berusaha untuk melakukan benturan-benturan yang keras, tetapi Glagah Putih mampu menghindarkan diri, dan kemudian menyerang dengan cepat untuk dapat menyentuh tubuh Suradarma. Ternyata bahwa latihan-latihan yang keras dan berat dengan Raden Rangga, serta bimbingan dan pengarahan yang sungguh-sungguh dan tekun serta tidak mengenal lelah dari gurunya dan Agung Sedayu, telah membuat Glagah Putih seorang anak muda yang luar biasa.

Dengan ketahanan tubuhnya yang tinggi serta kecepatan geraknya, maka Glagah Putih akhirnya mampu mengatasi lawannya, mengatasi kesakitan pada tubuhnya dalam benturan-benturan yang terjadi bahkan bagaikan membentur batu padas, kemudian menyusupkan serangan-serangannya yang langsung merayap lewat saluran darah dan urat saraf menusuk jantung.

Semakin lama para perwira yang menyaksikan pertempuran itupun menjadi semakin meyakini apa yang terjadi. Mereka tidak tergesa-gesa melerai perkelahian itu, karena mereka tidak lagi mencemaskan keadaan Glagah Putih. Namun justru sebaliknya, mereka melihat bahwa Glagah Putih menjadi semakin mendesak lawannya.

Dua orang perwira muda yang ingin melihat Glagah Putih mengakui kelebihan Suradarma dan para perwira muda pada khususnya, menjadi gelisah. Tetapi beberapa orang perwira yang lebih tua menarik nafas dalam-dalam melihat perkelahian itu.

Perwira yang sudah separuh baya itu kemudian berkata di dalam hatinya, “Pantaslah jika anak ini adik sepupu Agung Sedayu. Pada umurnya, ia sudah menunjukkan sesuatu yang sulit dicari imbangannya. Para perwira dari pasukan khusus ini pun sulit untuk dapat mencapai tataran tingkat ilmunya, kecuali satu dua orang khusus saja.”

Untuk beberapa saat para perwira itu masih menyaksikan keduanya bertempur. Tetapi Suradarma tidak lagi segarang semula. Kekuatannya perlahan-lahan bagaikan larut ke dalam getaran-getaran yang mengguncang jantungnya, sehingga kemudian terasa tenaganya demikian cepat susut.

Dua orang perwira muda yang melihat bahwa Suradarma akan menjadi semakin terdesak, tiba-tiba saja telah bergeser maju. Seorang di antara mereka berkata, “Cukup. Ternyata kalian memiliki kemampuan yang seimbang. Sampai kapanpun perkelahian ini diteruskan, kalian tidak akan dapat mencapai satu keadaan dimana salah seorang akan menang terhadap yang lain.”

Suradarma yang merasa menjadi semakin terdesak, menganggap bahwa pernyataan itu benar-benar dapat menyelamatkannya. Karena itu maka iapun telah meloncat surut sambil berkata, “Apa yang harus kami lakukan?”

“Berhenti,” jawab perwira muda itu, “dan saling mengakui bahwa kalian memiliki tingkat ilmu yang sama.”

Sebenarnya Glagah Putih menolak keputusan itu. Tetapi karena pengaruh kakak sepupunya dan nasehat-nasehat yang selalu didengarnya dari orang-orang tua, maka iapun terdiam. Ia tidak ingin memperpanjang persoalan, agar ia tidak dijadikan budak oleh Suradarma.

Dalam pada itu, Suradarma-lah yang menyahut pula, “Aku tidak berkeberatan, meskipun sebenarnya perkelahian ini masih dapat diteruskan.”

Dalam pada itu perwira yang sudah separuh baya itu pun memotong, “Syukurlah jika kalian dapat menempatkan diri kalian dengan wajar. Karena kalian tidak ada yang kalah dan tidak ada yang menang, maka kalian akan kembali ke dalam tugas-tugas kalian dalam tingkat yang sejajar. Yang satu bukan pelayan yang lain, dan sebaliknya.”

Tetapi tiba-tiba saja Suradarma memotong, “Dalam olah kanuragan memang mungkin kemampuan kita tidak jauh berbeda. Mungkin anak itu memiliki daya tahan yang dapat memperpanjang waktu perlawanannya. Tetapi ada satu hal yang berbeda. Jika ia menang, memang tidak ada persoalan. Tetapi justru karena kami dianggap memiliki kemampuan yang sama, maka kelebihanku terletak pada martabatku.”

Salah seorang di antara dua orang perwira muda yang ada di dalam sanggar itu pun berkata, “Aku sependapat.”

Namun perwira yang sudah separuh baya itu kemudian berkata dengan nada rendah, “Jika demikian, biarlah perkelahian ini diteruskan. Mungkin memerlukan waktu sehari penuh, atau bahkan lebih. Aku tidak peduli. Bahkan aku rasa, aku wajib melaporkannya kepada Ki Lurah Branjangan.”

Para perwira yang berada di dalam sanggar itu saling berpandangan. Namun mereka menyadari, bahwa jika yang dikatakan oleh perwira yang sudah separuh baya itu dilakukan, maka sudah pasti, bahwa Suradarma akan dapat dikalahkan.

Karena itu, maka salah seorang di antara para perwira itupun berkata, “Sudahlah. Kita jangan terlalu berpijak kepada harga diri yang berlebihan. Tidak ada perbedaan martabat di antara kita dengan anak-anak Tanah Perdikan Menoreh. Mungkin Glagah Putih kerjanya sehari-hari tidak lebih dari seorang gembala lembu atau seorang petani yang berjemur di teriknya matahari dalam kubangan lumpur yang kotor. Tetapi pada hakekatnya memang tidak ada perbedaan di antara kita.”

Suradarma termangu-mangu sejenak. Tetapi iapun menyadari, jika ia harus benar-benar meneruskan perkelahian itu, maka ia tidak akan dapat yakin bahwa ia akan berhasil mengalahkan Glagah Putih. Bahkan akan dapat terjadi sebaliknya.

Karena itu, maka tiba-tiba saja Suradarma itu berkata, “Aku akan menarik diri dari tugas yang menjemukan ini.”

“Apakah kau dapat melakukannya?” bertanya perwira yang sudah separuh baya itu.

“Aku akan menyampaikannya kepada Ki Lurah Branjangan,” jawabnya.

Para perwira itu tidak dapat mencegahnya. Bahkan mereka menganggap bahwa hal itu adalah hal yang paling baik, sehingga mereka tidak akan selalu merasa terganggu di dalam tugas-tugas mereka.

“Terserahlah kepadamu,” berkata perwira yang sudah separuh baya itu.

Suradarma tidak menjawab. Tetapi ia merasa bahwa sebenarnyalah ia tidak akan dapat menyembunyikan diri dari pengakuan bahwa Glagah Putih memang mempunyai kelebihan daripadanya. Karena itu, maka akan lebih baik baginya jika ia tidak bertugas bersama dengan anak itu.

Ketika hal itu disampaikan kepada Ki Lurah Branjangan, maka Ki Lurah menjadi heran. Menurut pengertiannya Glagah Putih adalah seorang anak muda yang baik. Adalah sulit dimengerti bahwa keduanya telah bertengkar, dan bahkan Suradarma merasa tidak lagi dapat bekerja sama dengan Glagah Putih.

“Aku akan melakukan tugas ini sebaik-baiknya Ki Lurah,“ berkata Suradarma, “tetapi tidak dengan anak cengeng itu. Berilah seorang pembantu dari anak muda Tanah Perdikan yang manapun juga, asal bukan Glagah Putih.”

Ki Lurah mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Aku akan mempertimbangkannya. Hari ini aku akan memberikan keputusan.”

“Seharusnya hari ini kami sudah berada di Mataram,” berkata Suradarma, “namun persoalan yang kecil ini akan dapat mengganggu tugas kami dalam keseluruhan.”

Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak menyangka bahwa ia akan menghadapi persoalan yang jarang ditemuinya. Seorang perwira menarik diri dari penugasan yang diberikan.

Tetapi Ki Lurah tidak ingin melakukan satu kekeliruan karena kedua orang petugas itu tidak sesuai. Persoalan yang mereka bawa termasuk persoalan yang penting dan rahasia. Jika dua orang petugas merasa diri mereka tidak sesuai, maka mungkin sekali akan dapat terjadi sesuatu yang merugikan tugas itu sendiri.

Meskipun demikian, Ki Lurah bukannya tidak menaruh perhatian terhadap sikap bawahannya yang aneh itu, meskipun tidak dengan serta merta.

Karena itu maka Ki Lurah pun kemudian berkata, “Tunggulah. Aku akan merenungkan sikapmu itu.”

Suradarma pun kemudian meninggalkan Ki Lurah. Ia sadar, bahwa Ki Lurah tentu akan memanggil Glagah Putih dan bertanya kepadanya, apa yang telah terjadi. Tetapi Suradarma pun mengharap bahwa Ki Lurah sependapat dengan dirinya, bahwa Glagah Putih dalam tugas itu bukannya petugas yang setingkat dengan dirinya.

Tetapi Ki Lurah ternyata tidak memanggil Glagah Putih, Ia memanggil dua orang perwira yang dianggapnya mengetahui persoalan antara Suradarma dan Glagah Putih, karena mereka bertugas pada saat Glagah Putih tidur di barak itu.

Ternyata yang dipanggil adalah perwira yang sudah separuh baya, yang malam itu berada di bilik para perwira.

“Apakah kau tahu sebabnya kenapa tiba-tiba saja Suradarma mengajukan keberatan untuk pergi ke Mataram bersama Glagah Putih?” bertanya Ki Lurah Branjangan.

“Semalam Glagah Putih tidur di serambi barak khusus bagi para perwira yang bertugas,” jawab perwira itu.

“Kenapa di serambi? Apakah tidak ada tempat yang lebih pantas daripada serambi?” bertanya Ki Lurah.

“Ia tidak mau tidur di bilikku atau bilik orang lain yang bukan tempatnya. Menurut Glagah Putih, ia terbiasa tidur dimana-mana,” jawab perwira itu.

“Tetapi bukankah Suradarma yang mengajaknya bermalam di sini?” bertanya Ki Lurah.

“Ya. Tetapi Suradarma menganggap bahwa sudah sepantasnya anak itu tidur di serambi,” jawab perwira itu. Lalu, “Bahkan dalam beberapa hal, Suradarma menganggap bahwa Glagah Putih mempunyai kedudukan yang lebih rendah dari kedudukan Suradarma, sebagai seorang perwira dari pasukan khusus ini.”

“Bagaimana terjadi seperti itu?” bertanya Ki Lurah.

Perwira itupun kemudian menceritakan apa yang telah terjadi. Sikap Suradarma dan sikap Glagah Putih yang lugu tanpa di buat-buat.

Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Jika demikian, maka aku mengijinkan Suradarma menarik diri. Aku akan menugaskan orang lain untuk melakukan tugas yang meskipun tidak terlalu berat, tetapi harus dilakukan dengan sungguh-sungguh.”

Perwira yang sudah separuh baya itu tidak menjawab. Tetapi ia melihat sesuatu yang menggetarkan dadanya pada mata Ki Lurah Branjangan.

“Panggil Glagah Putih,” berkata Ki Lurah. Lalu, “Dan kau juga harus menghadap kembali dengan salah seorang perwira pemimpin kelompok, yang kau anggap akan dapat bekerja sama dengan Glagah Putih.”

“Siapa?” bertanya perwira itu.

“Terserah-kepadamu. Aku merasa bahwa perintahku telah diabaikan oleh Suradarma. Akulah yang mengusulkan kepada Agung Sedayu, bahwa Glagah Putih akan dikawani oleh seorang perwira dari pasukan khusus. Bukan sebagaimana sikap Suradarma itu,” jawab Ki Lurah Branjangan.

Perwira yang sudah separuh baya itupun kemudian minta diri. Ia akan memanggil Glagah Putih dan seorang yang dapat menjadi kawannya dalam tugas. Benar-benar kawannya. Bukan orang yang akan memerintahnya seperti budak.

Sejenak kemudian, Glagah Putih, perwira yang sudah separuh baya itu dan seorang perwira muda telah menghadap. Perwira muda itu ternyata bukan salah seorang yang menyaksikan perkelahian di dalam sanggar. Tetapi perwira yang sudah separuh baya itu telah menceritakan apa yang telah terjadi.

“Orang inikah yang akan kau tugaskan untuk pergi?” bertanya Ki Lurah Branjangan.

“Ya Ki Lurah,” jawab perwira itu, “aku sudah mengatakan tentang beberapa hal mengenai Suradarma. Karena itu, mudah-mudahan ia dapat menempatkan diri sebagaimana Ki Lurah kehendaki.”

“Suradarma terlalu sombong. Ia merasa dirinya mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari anak-anak Tanah Perdikan, meskipun seharusnya ia tahu, bahwa Glagah Putih bukan anak Tanah Perdikan ini yang sebenarnya, karena ia adalah seorang pendatang. Tetapi anak itu, sebagaimana Agung Sedayu dan Sekar Mirah, sudah menempatkan dirinya sebagaimana orang¬orang Tanah Perdikan ini sendiri,” berkata Ki Lurah. “Nah, jika orang ini akan mengawani Glagah Putih, maka ia harus berbuat sebaik-baiknya. Ia harus menyadari, bahwa Glagah Putih mendapat tugas langsung dari Agung Sedayu, dan aku menawarkan salah seorang di antara kita untuk membantu tugas itu. Bukan sebaliknya.”

Perwira muda itu mengangguk-angguk, sementara Glagah Putih hanya menarik nafas panjang. Tetapi ia merasa lebih baik ia tidak bertugas dengan Suradarma daripada memungkinkan untuk timbul persoalan-persoalan baru di antara mereka.

Ki Lurah Branjangan masih memberikan beberapa pesan kepada perwira muda itu dan kepada Glagah Putih. Namun sementara itu, maka ia berkata, “Kalian boleh meninggalkan ruangan ini. Selamat jalan. Mudah-mudahan tugas kalian selalu berhasil baik.”

Sementara itu, perintah Ki Lurah kepada perwira yang sudah separo baya, “Sekarang panggil Suradarma dan para perwira yang bertugas malam tadi. Semuanya.”

Perwira itu menjadi berdebar-debar. Ia tidak segera mengetahui apakah maksud Ki Lurah Branjangan. Namuh perwira itupun kemudian pergi juga memanggil para perwira yang semalam bertugas bersama Suradarma.

Para perwira itu menjadi berdebar-debar. Demikian pula Suradarma. Apalagi ketika iapun kemudian mendengar bahwa ada orang yang telah ditunjuk oleh Ki Lurah.

“Gila,” geram Suradarma, “jadi Ki Lurah lebih memberatkan Glagah Putih daripada aku?”

Namun sebenarnya-lah, bahwa yang kemudian berangkat ke Mataram adalah Glagah Putih bersama seorang perwira muda yang lain.

Ketika mereka sudah menghadap Ki Lurah Branjangan, maka Ki Lurah pun kemudian bertanya, dimana Glagah Putih tidur semalam. Apakah ia mendapatkan ransum makan dan minum, serta keperluan-keperluan lain?

Tetapi para perwira itu saling berpandangan, Akhirnya, Ki Lurah pun mengetahui bahwa Glagah Putih sama sekali tidak mendapatkan apapun juga. Bahkan kemudian ia telah bertengkar dengan Suradarma.

Ki Lurah Branjangan benar-benar menjadi marah. Dengan nada keras iapun kemudian bertanya kepada Suradarma, “Kaulah yang membawanya kemari, sehingga kau harus bertanggungjawab terhadap anak muda itu. Semalam ia tidur di serambi tanpa makan dan minum.”

Wajah Suradarma menjadi tegang. Iapun lupa berbuat sesuatu bagi Glagah Putih agar ia mendapat makan dan minum semalam. Tetapi semuanya sudah terianjur, sehingga karena itu maka yang dapat dilakukannya adalah sekedar menunggu perintah Ki Lurah Branjangan.

Bahkan Ki Lurah itupun berkata, “Apalagi kau telah berusaha memeras anak itu agar mau menurut segala perintahmu, karena kau menganggapnya tidak lebih dari seorang anak pedesaan yang diperintahkan untuk melayani di perjalanan.”

Ki Suradarma hanya menundukkan kepalanya saja. Ia sama sekali tidak mengira, jika akibat dari langkahnya itu telah menimbulkan persoalan yang berlarut-larut.

Bahkan dalam pada itu, Ki Lurah yang marah itu telah menjatuhkan perintah, “Suradarma, hukuman bagi tingkah lakumu yang kasar terhadap Glagah Putih, adik sepupu Agung Sedayu, adalah kau-lah yang harus membersihkan kuda para perwira yang sekarang ini berada di sini, dalam sepekan. Tidak seorangpun diperbolehkan membantu. Kau harus melakukannya sendiri, sejak kau bangun dari tidur.”

Perintah itu memang sangat mengejutkan. Serentak para perwira itu mengangkat wajahnya memandang ke arah Ki Lurah Branjangan. Namun Ki Lurah agaknya sudah mantap dalam keputusannya saat itu.

Karena itu, maka tidak seorangpun yang akan dapat merubah keputusannya. Membersihkan beberapa kuda setiap pagi dalam waktu sepekan.

Betapapun perintah itu sangat menjemukan, tetapi Suradarma tidak berani menolaknya, meskipun ia juga menyesal bahwa ia telah memperlakukan Glagah Putih tidak sewajarnya. Dengan demikian maka Ki Lurah agaknya benar-benar menjadi marah, dan menghukumnya dengan cara yang sama sekali tidak menarik.

Kawan-kawannya menjadi kasihan melihat nasib Suradarma. Tetapi mereka tidak dapat membantunya. Jika Ki Lurah melihat seseorang membantu Suradarma, maka ia tentu akan memberikan hukuman yang lain lagi, yang barangkali semakin tidak menyenangkan bagi Suradarma.

Demikianlah, maka yang telah melakukan tugas bersama Glagah Putih adalah seorang yang lain, yang ternyata memiliki sikap dan sifat tidak seperti Suradarma, sehingga dengan demikian maka ia telah dapat melakukan tugasnya dengan sebaik-baiknya.

Dalam pada itu, maka hubungan antara Mataram dan Pajang telah berkembang ke arah yang tidak dikehendaki, Ternyata Pajang yang merasa bahwa Mataram tentu tidak hanya akan tinggal diam, telah bersiap-siap pula. Sebagaimana dikehendaki oleh Pranawangsa, maka ternyata perintah dari Kanjeng Adipati benar-benar telah turun bagi pasukan berkuda di Pajang untuk bersiaga.

Semua perkembangan Pajang telah ditangkap oleh Untara dan disampaikan kepada Mataram oleh Agung Sedayu, yang kemudian menyebar ke Tanah Perdikan Menoreh. Sehingga akhirnya, sampailah saatnya utusan Panembahan Senapati berangkat ke Pajang, dengan membawa perintah Panembahan Senapati untuk memanggil Ki Tumenggung Wiladipa.

Sebagaimana direncanakan, maka pasukan Mataram yang terdiri dari pasukan khusus di Tanah Perdikan Menoreh dan pasukan yang telah dipersiapkan Jati Anom, telah bergerak ke Pajang. Sementara itu, di belakang pasukan itu telah dipersiapkan pula pasukan Tanah Perdikan Menoreh, para pengawal dari Sangkal Putung dan prajurit-prajurit Mataram yang ditarik dari beberapa tempat di lingkungan Mataram.

Kedatangan sekelompok utusan yang memasuki pintu gerbang Pajang memang telah diduga. Bahkan para petugas sandi Pajang telah mengetahui bahwa Pajang telah dihampiri oleh kekuatan Mataram segelar sepapan, dalam susunan ganda.

Namun sementara itu, Untara pun telah mengetahui pula, serta telah sampai ke Mataram dan panglima pasukan Mataram yang mendekati Pajang, Ki Lurah Branjangan, bahwa Pajang telah bersiap sepenuhnya.

Sekelompok prajurit Mataram itupun langsung menuju ke Istana Pajang dan menyampaikan niat mereka untuk bertemu dengan Kanjeng Adipati.

“Atas nama Panembahan Senapati,” desis salah seorang di antara utusan itu.

Para pengawal di pintu gerbang istana mempersilahkan iring-iringan itu masuk dan menunggu. Seorang perwira yang bertugas berkata, “Silahkan. Kami akan menyampaikannya kepada Kanjeng Adipati, apakah Kanjeng Adipati dapat menerima.”

“Jangan bertanya apakah Kanjeng Adipati dapat menerima. Katakan, bahwa kami utusan Panembahan Senapati, akan menemuinya sekarang,” berkata pemimpin sekelompok utusan dari Mataram itu.

Perwira yang bertugas itu mengerutkan keningnya. Namun ia menjawab, “Segala sesuatunya terserah kepada Kanjeng Adipati.”

“Baiklah. Katakan, bahwa utusan Panembahan Senapati yang dipimpin oleh Ki Mandaraka akan bertemu,” pesan pemimpin dari utusan itu.

“Ki Mandaraka?” perwira itu bertanya, “Tetapi aku tidak melihat Ki Mandaraka di antara kalian.”

“Ki Mandaraka sendiri tidak datang hari ini,” jawab pemimpin kelompok utusan dari Mataram itu.

Perwira itu menjadi tegang. Wajahnya menjadi merah. Dengan suara bergetar menahan gejolak perasaannya ia berkata, “Ki Sanak. Aku menghormati kalian, karena kalian adalah utusan Panembahan Senapati. Tetapi kenapa kalian mempermainkan kami dengan menyebut bahwa pemimpin utusan dari Mataram adalah Ki Mandaraka, sementara Ki Mandaraka tidak ada di antara kalian?”

“Aku mewakilinya,” jawab pemimpin sekelompok utusan itu, “aku adalah Ki Tumenggung Windubaya.”

Jantung perwira Pajang itu berdenyut semakin cepat. Karena itu ia justru menjadi sulit untuk berbicara, karena ia harus menahan diri untuk tidak menunjukkan sikap yang tidak pantas terhadap para utusan dari Mataram itu.

Namun dalam pada itu iapun berkata, “Sebaiknya aku persilahkan kalian menunggu. Segala sesuatunya tergantung kepada Kanjeng Adipati.”

Ki Tumenggung Windubaya tidak menjawab. Setelah menyerahkan kuda-kuda mereka kepada prajurit Pajang yang membantu mereka menambatkan kuda-kuda mereka, maka para utusan dari Mataram itupun dipersilahkan duduk di sebuah amben depan gandok, sebelah kanan.

Sementara itu, maka perwira yang bertugas itupun melalui seorang Pelayan Dalam berusaha untuk menghubungi Kanjeng Adipati Pajang.

“Ada apa?” bertanya Adipati Pajang.

“Beberapa orang utusan dari Mataram,” jawab perwira itu, “mohon menghadap Kanjeng Adipati. Tetapi sikap mereka terlalu sombong, sehingga menimbulkan kesan bahwa mereka datang sebagai seorang penguasa tertinggi.”

Kanjeng Adipati mengerutkan keningnya. Namun ia masih bertanya, “Bagaimana menurut pertimbanganmu? Apakah aku harus menerima mereka?”

“Sebaiknya Kanjeng Adipati memanggil Tumenggung Wiladipa,” berkata perwira itu.

Kanjeng Adipati menarik nafas dalam-dalam. Namun ia memang tidak dapat ingkar. Karena itu maka kemudian katanya, “Panggil Wiladipa. Baru aku akan menerima utusan dari Mataram itu.”

Perwira itupun kemudian meninggalkan Kanjeng Adipati dan kembali ke gardu tugasnya. Diperintahkannya seorang prajurit untuk memanggil Ki Tumenggung Wiladipa, karena kehadiran para tamu utusan dari Mataram yang memang sudah diperhitungkan sebelumnya.

Sementara itu, perwira itupun kemudian menemui Ki Tumenggung Windubaya, yang atas nama Ki Juru Martani yang bergelar Ki Mandaraka, memimpin sekelompok utusan dari Mataram.

“Jadi kami harus menunggu?” bertanya Ki Tumenggung Windubaya.

“Ya. Kanjeng Adipati baru bersiap-siap untuk menerima kalian di Paseban Dalam,” jawab perwira itu.

Ki Tumenggung Windubaya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian iapun mengangguk sambil menjawab, “Apa boleh buat, jika Kanjeng Adipati baru bersiap-siap.”

“Pada saatnya kami akan memberitahukan bahwa Kanjeng Adipati sudah siap menerima kalian,” berkata perwira itu pula.

Ki Tumenggung Windubaya mengangguk kecil sambil menjawab, “Baiklah. Asal saja Kanjeng Adipati mengetahui, kehadiran kami membawa pertanda kuasa Panembahan Senapati berujud tunggul dan sebuah kelebet.”

“Ya. Aku sudah melihatnya,” jawab perwira itu.

Demikianlah, maka Ki Tumenggung Windubaya dan kelompoknya terpaksa menunggu untuk beberapa saat di serambi. Namun mereka pun menyadari., bahwa mereka memang tidak dapat memaksa untuk memasuki Paseban Dalam.

Sejenak kemudian, lewat pintu butulan, Ki Tumenggung Wiladipa bersama beberapa orang telah datang ke istana. Mereka langsung dipersilahkan menemui Kanjeng Adipati di ruang dalam.

Beberapa saat mereka sempat berbincang. Menurut perhitungan mereka, utusan dari Mataram itu tentu akan menuntut pusaka-pusaka yang masih ada di Pajang, dan sekaligus mempersoalkan tingkah laku Ki Tumenggung Wiladipa. Tetapi bagi Ki Tumenggung, persoalan tentang dirinya itu tentu akan dapat diingkarinya, karena tidak ada bukti dan saksi. Mereka memang menganggap Untara dan Sabungsari terlalu bodoh, karena mereka tidak menangkap orang-orang yang tersisa hidup dalam pertempuran itu. Jika demikian, maka Ki Tumenggung akan sulit untuk ingkar meskipun kemungkinan itu tetap ada dengan menolak kesaksian orang-orang itu.

“Bagaimana pendapatmu Wiladipa?” bertanya Kanjeng Adipati.

“Seperti saat-saat sebelumnya. Pusaka itu jangan dipindahkan dari gedung pusaka Istana Pajang,” jawab Ki Tumenggung. “Jika Mataram berkeras, Pajang sudah siap untuk melawan. Kekuatan dari Demak cukup besar untuk menghadapi pasukan Mataram yang bersusun ganda itu. Apalagi pada susunan yang kedua, sebagian terbesar mereka tidak lebih dari para pengawal kademangan dan Tanah Perdikan Menoreh.” Kanjeng Adipati mengangguk-angguk. Namun nampak keragu-raguan di wajahnya. Karena sebenarnya-lah telah terjadi benturan-benturan di perasaannya.

Sementara itu Ki Wiladipa pun berkata, “Kanjeng, ternyata Mataram telah salah menghitung kekuatan Pajang. Yang berada di baris kedua, tidak lebih dari pasukan pengawal hanya dari Tanah Perdikan Menoreh dan Kademangan Sangkal Putung, Tidak lebih. Mataram menganggap bahwa kekuatan itu cukup. Mereka tidak berhubungan dengan Mangir atau Pasantenan, kekuatan yang besar yang dapat membantu Mataram, karena putra Ki Ageng Pasantenan yang memiliki kemampuan yang pilih tanding.”

Kanjeng Adipati Pajang mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Bagaimana jika Mataram yang kali ini dapat kita usir, akan datang kembali dengan kekuatan yang lebih besar, termasuk kekuatan dari Pasantenan dan Mangir?”

“Jangan cemas Kanjeng. Hamba yakin bahwa Jipang tidak akan tinggal diam. Pangeran Benawa tentu akan membantu Kanjeng, karena ia merasa kedudukannya terdesak oleh Panembahan Senapati. Bukankah yang seharusnya menggantikan kedudukan Sultan di Pajang adalah Pangeran Benawa? Hamba pun akan dapat mengambil kekuatan yang lebih besar dari Demak. Para pengikut Ratu Kalinyamat atau keturunannya, yang kini sudah bergabung dengan pengikut Arya Penangsang yang tersisih, merupakan kekuatan yang cukup besar. Meskipun Jepara dan Jipang pada mulanya saling bermusuhan, tetapi kehadiran Benawa di Jipang telah mendesak sebagian dari para pengikut Arya Penangsang untuk bergabung dengan para pengikut Ratu Kalinyamat, yang kecewa atas tingkah laku Panembahan Senapati,” jawab Wiladipa.

Kanjeng Adipati Pajang termangu-mangu. Ia seakan-akan melihat satu permainan yang berbelit-belit. Yang semula lawan, dapat saling mengadakan pendekatan. Yang semula kawan, telah terjebak ke dalam sikap permusuhan. Bahkan saudara yang semula merasakan segarnya susu dari ibu yang sama, pada suatu saat akan dapat menjadi musuh bebuyutan.

Ki Wiladipa yang melihat Kanjeng Adipati masih dibayangi oleh keragu-raguan berkata, “Kanjeng, silahkan ambil keputusan. Hamba tidak akan meninggalkan Kanjeng dalam keadaan ragu. Beberapa orang senapati sekarang sudah berada di hadapan Kanjeng untuk menunggu perintah.”

Kanjeng Adipati memandang berkeliling. Beberapa orang senapati memang sudah siap untuk menjalankan segala perintahnya. Karena itu, maka rasa-rasanya hatinya pun telah mengembang.

“Baiklah. Siapkan prajurit Aku akan menolak permintaan Mataram, meskipun akibatnya adalah perang.”

“Itu adalah keputusan jantan. Hamba yakin bahwa para Adipati Bang Wetan akan lebih dekat dengan Kanjeng daripada dengan Panembahan Senapati. Dengan dernikian, maka jika Mataram masih berniat memaksakan kehendaknya atas Pajang, maka Mataram sendiri akan mengalami kesulitan, bahkan kehancuran. Dengan demikian maka terbuka satu kemungkinan, bahwa tahta Tanah ini akan kembali ke Pajang.”

“Bagaimana kesanmu terhadap Jipang sekarang?” bertanya Kanjeng Adipati.

“Hamba memang telah menghubungi Jipang. Tetapi Jipang belum memberikan tanggapan apapun juga,” jawab Wiladipa. ”Tetapi Kanjeng jangan cemas. Keadaan masih belum menjadi gawat.”

Kanjeng Adipati mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Sekarang biarlah utusan dari Mataram itu menghadap.”

“Baik Kanjeng. Tetapi biarlah sebagian dari para senapati meninggalkan tempat ini,” sahut Ki Tumenggung Wiladipa.

Beberapa orang senapati pun kemudian mohon diri. Namun tiga orang di antara mereka masih tetap berada di Paseban Dalam. Sementara kepada yang lain Ki Wiladipa memerintahkan untuk bersiaga sepenuhnya.

Sejenak kemudian, maka seorang Pelayan Dalam telah memberitahukan kepada para petugas, bahwa utusan dari Mataram sudah diperkenankan masuk.

Sekelompok utusan dari Mataram itupun kemudian telah memasuki Istana Pajang dan langsung ke Paseban Dalam. Mereka diterima oleh Kanjeng Adipati, beberapa orang pemimpin pemerintahan dan senapati perang, termasuk Ki Tumenggung Wiladipa.

Melihat sekilas, Ki Tumenggung Windubaya segera mengenalinya kembali Ki Wiladipa yang memang pernah dikenalnya. Karena itu, maka iapun menjadi berdebar debar. Mungkin akan terjadi perselisihan dalam pembicaraan mendatang, bahkan hampir dapat dipastikan.

Setelah Kanjeng Adipati menanyakan keselamatan perjalanan Ki Tumenggung Windubaya yang juga pernah dilihatnya, maka iapun kemudian bertanya, “Apakah kau mengemban perintah dari Kakangmas Panembahan Senapati?”

“Hamba, Kanjeng Adipati,” jawab Ki Tumenggung Windubaya.

“Apa pertanda bahwa kau adalah utusan Kanjeng Panembahan Senapati?” bertanya Kanjeng Adipati.

Ki Tumenggung Windubaya pun kemudian menunjuk dengan ibu jarinya tunggul dan kelebet yang merupakan pertanda kuasa yang dilimpahkan kepada kelompok utusan itu.

Kanjeng Adipati mengangguk-angguk. Iapun kemudian bertanya, “Perintah apakah yang kalian bawa dan akan kalian sampaikan kepadaku?”

Ki Tumenggung itupun kemudian menjawab, “Hamba, Kanjeng Adipati. Yang pertama adalah salam taklim Panembahan Senapati bagi Kanjeng Adipati di Pajang.”

Kanjeng Adipati mengerutkan keningnya. Namun iapun menjawab, “Terima kasih. Jika kelak kau sempat menghadap, sampaikan baktiku kepada Kakangmas Panembahan Senapati di Mataram. Bakti seorang saudara muda kepada saudara tuanya.”

Ki Tumenggung Windubaya menarik nafas dalam-dalam. Kanjeng Adipati Pajang menyadari sepenuhnya akan kedudukannya, sehingga ia tidak mau menyatakan kesetiaan seorang Adipati kepada Panembahan Senapati di Mataram yang memimpin pemerintahan. Jika demikian maka Adipati Pajang itu mengakui sepenuhnya kekuasaan Mataram atas Pajang. Karena itu, maka Ki Tumenggung itupun menjawab, “Ampun Kanjeng Adipati. Hamba datang sebagai utusan Panembahan Senapati, yang memimpin pemerintahan di Mataram dan atas segala daerah yang menyatu dalam lingkungan keluarga besar. Karena itu, maka segala sesuatunya adalah dalam hubungan pemerintahan Mataram dan Pajang. Bukan dalam hubungan kakak beradik.”

Wajah Adipati Pajang menjadi merah. Dengan suara bergetar ia berkata, “Baiklah. Jika demikian, kau tidak perlu menyampaikan baktiku itu kepada Kakangmas Panembahan Senapati.”

Ki Tumenggung menyadari bahwa Adipati Pajang mulai tersinggung. Tetapi Ki Tumenggung memang sudah bertekad untuk melakukan tugasnya dengan baik, apapun yang akan terjadi.

Dengan demikian maka katanya, “Lalu apakah yang harus hamba sampaikan kepada Panembahan Senapati?”

“Katakan, bahwa salam taklimnya telah aku terima. Itu saja,” geram Adipati Pajang.

“Hamba, Kanjeng Adipati. Hamba akan menyampaikannya,” desis Ki Tumenggung Windubaya.

Sementara itu, Kanjeng Adipati yang telah tersinggung itupun segera bertanya, “Lalu, apakah keperluanmu datang kemari? Apakah sekedar menyampaikan salam taklim itu saja? Atau kau masih juga membawa suara lama yang menjemukan itu, bahwa Kakangmas Panembahan Senapati akan mengambil pusaka-pusaka yang ada di Pajang, seolah-olah Kakangmas Panembahan Senapati berhak berbuat demikian terhadap Pajang?”

Ki Tumenggung Windubaya menarik nafas dalam-dalam. Pembicaraan itu sudah diwarnai dengan goncangan-goncangan perasaan, justru pada permulaannya. Namun Ki Tumenggung sudah bersiap menghadapi keadaan yang demikian

Karena itu, maka Ki Tumenggung itupun dengan tatag menjawab, “Ampun Kanjeng Adipati. Bukan berarti bahwa Panembahan Senapati mengurungkan niatnya untuk mengambil pusaka-pusaka yang dikehendaki. Bukan saja dari Pajang, tetapi dari Demak dan Jipang pun akan diambilnya jika diperlukan.”

“O,” potong Kangjeng Adipati, “kau mulai sesorah. Aku tidak memerlukan sesorahmu.”

“Ampun Kanjeng Adipati,” sahut Ki Tumenggung Windubaya, “hamba baru mulai dengan memberikan sedikit keterangan tentang tugas hamba.”

Ki Tumenggung Wiladipa yang ada di dalam ruang itupun seolah-olah tidak dapat menahan diri lagi. Di luar sadarnya iapun telah beringsut maju. Tetapi ia masih berusaha untuk berdiam diri.

Sementara itu Ki Tumenggung Windubaya melanjutkan, “Kanjeng Adipati. Sebenarnyalah bahwa hamba datang ke Pajang dengan membawa perintah Panembahan Senapati untuk disampaikan kepada Kanjeng Adipati. Menurut laporan yang diterima oleh Panembahan Senapati, Pajang telah melanggar paugeran hubungan yang seharusnya ada antara Pajang dan Mataram. Bahkan seandainya Pajang tidak mengakui kekuasaan Mataram sekalipun, maka yang terjadi itu seharusnya tidak dilakukan oleh Pajang. Hubungan antara dua negara yang setingkat pun menghargai dan menjunjung tinggi perlindungan terhadap utusan dari kedua belah pihak. Apalagi utusan Mataram yang datang ke Pajang.”

“Apa yang kau katakan itu?” bertanya Adipati Pajang, “Aku sama sekali tidak mengerti.”

Ki Tumenggung Windubaya justru berpaling ke arah Ki Tumenggung Wiladipa. Sekilas ia melihat wajah Ki Tumenggung Wiladipa yang menegang.

“Kanjeng Adipati,” berkata Ki Tumenggung Windubaya, “baiklah hamba menyebut peristiwanya dengan jelas dan langsung. Peristiwa yang menimpa Ki Untara sebagai utusan Panembahan Senapati yang datang lebih dahulu dari hamba.”

“Apa yang telah terjadi dengan Untara?” bertanya Kanjeng Adipati.

Ki Windubaya pun kemudian menceritakan apa yang telah terjadi atas Untara. Menurut pengakuan orang-orang yang berusaha membunuhnya itu, mereka telah mendapat perintah dari Ki Tumenggung Wiladipa.

Wajah Ki Tumenggung Wiladipa menjadi merah padam. Ia tidak dapat berdiam diri lagi. Dengan suara lantang ia berkata, “Itu fitnah. Fitnah yang sangat licik dan tidak masuk akal.”

“Tetapi hal itu sudah terjadi,” jawab Ki Tumenggung Windubaya.

“Apakah Untara dapat membuktikannya?” bertanya Ki Tumenggung Wiladipa.

“Untara menganggap hal itu tidak perlu. Untara hanya ingin melihat sifat kesatriamu. Apakah kau berani bertanggung jawab atas segala tingkah lakumu, atau kau akan mengingkarinya dengan licik,” jawab Ki Tumenggung Windubaya. “Seandainya Untara menghadapkan dua atau tiga saksi, maka kau dapat saja ingkar dengan menuduh mereka sebagai saksi palsu. Nah, sekarang Ki Tumenggung Wiladipa, apakah kau berani mengakui perbuatanmu atau tidak?”

“Cukup!” Kanjeng Adipatilah yang membentak. “Di tempat ini ada aku. Kau, orang Mataram, tidak dapat berbuat menurut kehendakmu sendiri. Kau harus menghormati aku.”

“Ampun Kanjeng Adipati,” jawab Ki Tumenggung Windubaya, “orang inilah yang lebih dahulu meninggalkan suba sita, sehingga hamba pun telah terseret pula ke dalam sikap serupa. Namun sebenarnya-lah bahwa Ki Tumenggung Wiladipa telah melakukan kesalahan yang sangat besar terhadap Mataram. Ia sudah berusaha membunuh utusan Panembahan Senapati. Karena itu, kedatangan hamba kali ini mengemban perintah bagi Kanjeng Adipati untuk menangkap Wiladipa dan menyerahkannya kepada hamba.”

Wajah Kanjeng Adipati Pajang menjadi merah padam. Sementara itu jantung Wiladipa sendiri bagaikan meledak. Demikian kemarahan menghentak di dadanya, sehingga justru untuk beberapa saat ia bagaikan terbungkam. Bibirnyalah yang menjadi gemetar seolah-olah ia telah menggigit segenggam cabe rawit.

Sementara itu Ki Tumenggung Windubaya masih saja bersikap tenang. Bahkan ia masih berkata selanjutnya, “Segala sesuatunya terserah kepada Kanjeng Adipati. Bagi Panembahan Senapati, asal Ki Tumenggung Wiladipa sudah diserahkan, maka semua persoalan dianggap selesai, karena Panembahan Senapati pun menyadari, bahwa apa yang dilakukan oleh Wiladipa itu bukannya atas perintah Kanjeng Adipati. Tetapi atas kehendak Ki Tumenggung Wiladipa sendiri, yang memang ingin menyalakan api permusuhan antara Pajang dan Mataram. Sementara itu Panembahan Senapati menyadari, bahwa Pajang dan Mataram selain mempunyai hubungan pemerintahan, maka pemegang kekuasaan yang ada di kedua tempat itu adalah bersaudara.”

Sejenak ruang itu telah dicengkam oleh ketegangan. Rasa-rasanya dada Adipati Pajang menjadi pepat. Sementara itu, Ki Tumenggung Wiladipa berusaha untuk dapat menguasai dirinya sendiri dan berkata, “Omong kosong. Semua kata-katamu itu benar-benar fitnah yang melampaui batas. Jika kau mengaku utusan Panembahan Senapati, maka kau haruslah seorang kesatria. Tetapi sikapmu sama sekali tidak menunjukkan sikap seorang kesatria.”

“Kenapa aku kau anggap tidak bersikap kesatria?” bertanya Windubaya.

“Kau memfitnah dengan licik,” jawab Ki Tumenggung Wiladipa.

“Apakah kau tidak melakukan tindakan yang lebih licik lagi dari yang aku lakukan? Memfitnah, merampok dan membunuh, meskipun ternyata gagal. Dan sekarang kau ingkari,” geram Ki Tumenggung Windubaya. “Bukankah kau telah melakukan tindakan yang licik berlipat ganda?”

Wajah Ki Tumenggung Wiladipa bagaikan telah membara. Telinganya bagaikan telah dipanggang di atas bara api neraka. Dengan suara garang ia berkata, “Ampun Kanjeng Adipati. Kenapa Kanjeng Adipati tidak memerintahkan saja kepada para prajurit untuk menangkapnya? Bahkan menangkap mereka semuanya.”

“Nah,” desis Ki Tumenggung Windubaya, “bukankah ini ciri tingkah lakumu? Kami adalah utusan Panembahan Senapati. Kami mengemban perintah. Kalian tidak dapat menangkap kami. Segala sesuatunya kembali kepada Panembahan Senapati. Apalagi Panembahan Senapati adalah pemimpin dari Tanah ini, yang diakui oleh para adipati.”

“Persetan,” geram Ki Tumenggung Wiladipa. Lalu, “Kami sudah menentukan sikap. Kasar atau halus, kami tidak akan gentar menghadapi Mataram. Karena itu, jika Mataram marah karena kalian kami tangkap di sini, maka Pajang sudah siap untuk mempertahankan diri.”

“Sikap itu pula agaknya yang telah mendorong kalian untuk mencegat Untara dan berusaha membunuhnya. Tetapi kalian telah gagal,” sahut Ki Tumenggung Windubaya, “dan sekarang, kalian akan melakukan hal yang sama atas kami. Tidak lagi bersembunyi-sembunyi, tetapi dengan terang-terangan di hadapan Kanjeng Adipati Pajang, yang tentu masih akan berdiri tegak sebagai kesatria Pajang yang dihormati.”

“Persetan,” geram Ki Tumenggung Wiladipa, “aku dapat memerintahkan para prajurit mengepung paseban dan menangkap kalian semuanya.”

Tetapi Ki Tumenggung Windubaya justru tertawa. Katanya, “Ki Wiladipa, yang kini menjabat sebagai seorang Tumenggung. Apakah Ki Tumenggung lupa bahwa kami adalah prajurit? Apakah Ki Tumenggung menganggap bahwa kami akan berjongkok sambil menyerahkan leher kami untuk dipenggal? Nah, jika Ki Wiladipa mencoba menjatuhkan perintah kepada para prajurit Pajang untuk menangkap kami, maka kita akan mati bersama. Seisi ruangan ini, termasuk Kanjeng Adipati, akan mati, betapapun tinggi ilmu kita masing-masing. Kau, aku, para pengawalku dan Kanjeng Adipati, termasuk senapati-senapatimu itu.”

Wajah Ki Wiladipa menjadi semakin tegang. Sementara itu, maka Ki Tumenggung Windubaya itupun berkata, “Kecuali jika kau akan melakukannya setelah aku keluar dari istana. Mungkin di halaman istana atau di luar regol halaman istana ini. Meskipun demikian, maka kami akan bertahan sampai akhir hidup kami, dan setiap orang di seluruh Tanah ini, setiap adipati, setiap senapati dari seluruh kadipaten, dan orang-orang yang memiliki kebesaran jiwa seorang kesatria, akan berbicara tentang Ki Tumenggung Wiladipa dari Pajang.”

“Aku tidak peduli,” Ki Tumenggung Wiladipa hampir berteriak.

Namun Adipati Pajang-lah yang benar-benar berteriak, “Diam! Semuanya diam! Kalian tidak menghargai kehadiranku di sini. Aku-lah Adipati Pajang. Bukan orang lain.”

Ki Tumenggung Wiladipa terdiam. Namun bibirnya saja gemetar oleh perasaannya yang bergejolak.

Sementara itu, Kanjeng Adipati pun di luar sadarnya telah bangkit dari tempat duduk sambil menghentakkan kakinya oleh kemarahan yang tidak tertahankan. Katanya dengan suara lantang, “Pergi kau orang Mataram. Aku tidak akan melakukan perintah Kakangmas Panembahan Senapati. Orang-orangku tidak akan berbuat selicik itu. Tuduhan itu sama sekali tidak berdasar. Tidak ada bukti dan tidak ada saksi. Karena itu, sebelum kemarahanku tidak dapat aku kendalikan, tinggalkan tempat ini.” Kanjeng Adipati itupun kemudian berpaling kepada Wiladipa, “Wiladipa, jangan kau usik utusan Kakangmas Panembahan. Senapati. Kita bukan pengecut yang akan melakukan tindakan-tindakan iicik seperti itu. Karena itu, biarlah Windubaya pergi dan melaporkan hasil perjalanannya kepada Panembahan Senapati.”

Wajah Ki Tumenggung Wiladipa menjadi merah padam. Sementara itu Ki Tumenggung Windubaya pun berkata, “Baiklah Kanjeng Adipati. Hamba masih tetap menghormati Kanjeng Adipati. Kami akan kembali ke Mataram, melaporkan perjalanan kami. Tetapi satu hal yang perlu hamba sampaikan. Mataram tetap akan menangkap Wiladipa.”

Kemarahan Kanjeng Adipati Pajang benar-benar telah memuncak. Selangkah ia maju mendekati Windubaya yang duduk sambil menundukkan, kepalanya, “Windubaya, kau menantang aku?”

“Tidak Kanjeng Adipati,” jawab Windubaya, “hamba adalah utusan Panembahan Senapati. Hamba menyampaikan perintah Panembahan Senapati. Jika hal itu Kanjeng Adipati artikan sebagai satu tantangan, maka tantangan itu datangnya dari Panembahan Senapati.”

“Cukup! Cukup!” Kanjeng Adipati benar-benar berteriak. “Pergi kau sekarang juga, sebelum aku menjadi mata gelap.”

Windubaya menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Baiklah Kanjeng. Hamba dan kawan-kawan hamba mohon diri.”

“Kau tidak usah banyak berbicara lagi! Kau adalah sekedar utusan. Jika jawabanmu sudah kau sampaikan kepada orang yang mengutusmu, maka tugasmu sudah selesai!” bentak Kanjeng Adipati Pajang.

Windubaya tidak menjawab lagi. Tetapi bersama-sama utusan yang lain ia bergeser mundur. Namun sebelum Ki Windubaya itu meninggaikan ruang itu, ia masih juga berkata, “Ampun Kanjeng Adipati. Hamba memang sekedar utusan. Hamba akan menyampaikan jawaban Kanjeng Adipati yang dengan tidak langsung telah menolak perintah Panembahan Senapati, untuk menyerahkan Ki Tumenggung Wiladipa.”

Kemarahan Kanjeng Adipati benar-benar tidak dapat dikendalikan lagi. Dengan kakinya Kanjeng Adipati telah menendang sebuah bokor kuningan yang berada di samping batu gilang yang dipergunakannya sebagai tempat duduknya. Hampir saja bokor itu menyambar kepala Ki Tumenggung Windubaya. Untunglah, bokor itu menyentuh pun tidak. Namun bokor yang terlempar itu telah menghantam dinding sehingga pecah berserakan, sementara bokor itu masih melenting jatuh di serambi, menghantam sebuah ajug-ajug yang berada di sudut ruangan.

Ki Windubaya menarik nafas dalam-dalam. Di luar sadarnya ia meraba keningnya. Keringat dingin telah mengalir di dahinya, menetes jatuh di lantai Paseban Dalam.

Ki Tumenggung tidak mengucapkan sepatah katapun lagi. Ia pun kemudian beringsut dan meninggalkan tempat itu.

Ketika mereka keluar dari halaman istana sambil menuntun kuda-kuda mereka, maka Ki Windubaya berdesis, “Untunglah, bokor itu tidak mengenai kepalaku.”

“Jika mengenai, bagaimana Ki Tumenggung?” bertanya seorang pengawalnya.

“Bagaimanapun juga aku akan tetap berada dalam kesulitan. Jika aku membiarkan bokor itu meretakkan tulang kepalaku, maka aku tidak akan dapat keluar lagi dari istana ini. Tetapi, jika aku pukul bokor itu sehingga pecah, maka Kanjeng Adipati tentu akan menjadi semakin marah. Mungkin aku benar-benar dibunuhnya di paseban,” jawab Ki Tumenggung.

“Dan Ki Tumenggung tidak melawan?” bertanya pengawalnya.

“Aku sudah mengatakan, bahwa yang berada di Paseban Dalam itu akan mati semuanya. Termasuk Kanjeng Adipati, tetapi juga aku dan kau,” jawab Ki Tumenggung.

Pengawalnya menarik nafas dalam-dalam. Ia percaya, jika terjadi demikian, atau terjadi usaha penangkapan, maka Ki Windubaya akan bertempur sampai mati tanpa beranjak dari paseban itu.

Demikianlah, maka Ki Windubaya pun telah meninggalkan istana. Tetapi, sebagaimana sudah mereka sepakati, maka Ki Windubaya harus menyampaikan hasil pembicaraan mereka dengan Kanjeng Adipati kepada Untara, yang akan segera mengatur kesiagaan para prajurit Pajang yang telah menyatakan diri akan berpihak kepada Mataram jika terjadi benturan kekerasan.

Namun untuk tidak menarik perhatian, maka yang kemudian berdiri di pinggir jalan Kota Pajang adalah Agung Sedayu dalam pakaian penyamarannya.

Ketika Ki Tumenggung melihat seseorang dalam pakaian yang kusut berdiri di pinggir jalan sambil menggerakkan capingnya berputar ke kiri, maka iapun memerintahkan kepada seorang pengawalnya untuk membisikkan kepada orang itu, bahwa pembicaraan gagal. Akan terjadi pertempuran jika Kanjeng Adipati tidak merubah keputusannya.

Pengawal itupun telah melakukan perintah itu dengan baik. Ketika pengawal itu lewat di muka Agung Sedayu, rnaka sesuatu telah jatuh dari tangannya, sehingga pengawal itu telah meloncat turun. Sambil memungut barangnya yang terjatuh di dekat Agung Sedayu, maka pengawal itu telah mengatakan pesan itu kepada Agung Sedayu. Demikian iring-iringan itu menjauh, maka Agung Sedayu pun segera pergi ke rumah sahabat Untara untuk dapat bertemu langsung dengan Untara.

“Jadi pembicaraan itu sudah gagal,” berkata Untara.

“Ya. Sementara ini pasukan Mataram yang berlapis dua sudah siap untuk mengepung Pajang,” berkata Agung Sedayu.

Untara mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Baiklah. Sampaikan kepada para senapati dari pasukan itu, agar mereka segera siap.”

“Ki Lurah Branjangan maksud Kakang?” bertanya Agung Sedayu.

“Ya. Bukankah senapati pasukan Mataram itu Ki Lurah Branjangan?” bertanya Untara.

“Baiklah Kakang. Aku akan menemui Ki Lurah, meskipun agaknya Ki Tumenggung Windubaya akan singgah pula menemui Ki Lurah.”

“Sampaikan kepada Ki Lurah, bahwa pasukan berkuda Pajang sudah siap untuk menyatukan diri dengan pasukan Mataram jika pertempuran itu terjadi. Meskipun demikian, Mataram harus tetap berhati-hati. Ki Lurah harus bersiap dan mampu bergerak cepat. Jika kesediaan pasukan berkuda ini bocor oleh pengkhianatan, dan pasukan Ki Wiladipa mengambil tindakan, maka pasukan Mataram harus cepat membantu mereka,” berkata Untara.

Agung Sedayu pun mengangguk-angguk. Iapun kemudian minta diri untuk segera menemui Ki Lurah Branjangan.

Sementara itu, maka di Pajang pun telah terjadi persiapan-persiapan. Kanjeng Adipati menyadari, bahwa tindakannya itu akan mengundang kemarahan Panembahan Senapati.

Sebenarnya-lah bahwa bagaimanapun juga Adipati Pajang merasa cemas. Ia tahu sifat dan watak Panembahan Senapati. Dan iapun tahu kekuatan apakah yang tersimpan di dalam diri Panembahan Senapati itu.

Namun ia tidak dapat menolak desakan-desakan orang-orang di sekitarnya, terutama Ki Tumenggung Wiladipa, bahwa seharusnya Pajang-lah yang memimpin pemerintahan bagi Tanah ini. Bukan Mataram. Karena Panembahan Senapati bukanlah putra Kangjeng Sultan di Pajang, yang telah meninggal. Bahkan diselubungi dengan pengertian apapun, Panembahan Senapati itu dapat disebut telah memberontak terhadap Kanjeng Sultan Hadiwijaya di Pajang.

“Semua orang tentu akan menerima Kanjeng Adipati sebagai orang yang lebih berhak daripada Panembahan Senapati,” berkata Ki Tumenggung Wiladipa. “Kecuali jika Pangeran Benawa bersedia menerima kedudukan itu. Karena Pangeran Benawa telah menolaknya, maka Kanjeng Adipati-lah orang yang paling berhak untuk duduk di atas tahta Pajang. Dan Mataram-lah yang harus tunduk kepada Pajang. Bukan sebaliknya.”

Namun ketika pertentangan itu menjadi semakin jelas menuju ke arah benturan kekuatan, maka Adipati Pajang itupun telah dibayangi oleh keragu-raguan.

Tetapi Ki Wiladipa telah berbuat semakin jauh. Pasukan Pajang telah siap menghadapi Mataram.

Sementara itu, seorang utusan yang telah menghadap Pangeran Benawa telah kembali ke Pajang, dengan membawa pesan yang sebaliknya dari yang diharapkan.

“Pangeran Benawa justru memperingatkan Kanjeng Adipati Pajang untuk tidak menentang Panembahan Senapati. Pajang harus tunduk kepada Mataram, sebagaimana dilakukan oleh Jipang,” berkata utusan itu.

“Orang yang lemah hati,” desis Ki Tumenggung Wiladipa. Lalu katanya kepada Kanjeng Adipati, “Tetapi hal itu tentu sudah dapat kita duga sebelumnya. Pangeran Benawa adalah seorang laki-laki yang tidak bersikap. la lebih senang menggantungkan diri kepada orang lain daripada tegak di atas kakinya sendiri. Tetapi biarlah ia berada dalam keadaannya. Pajang harus bersikap lain. Pajang harus mampu menunjukkan, bahwa bukan Panembahan Senapati-lah yang berhak atas tahta Pajang yang sebenarnya. Pada saatnya, Pangeran Benawa akan mengerti apa yang sebenarnya harus terjadi di Pajang dan seluruh daerah kuasanya. Dan iapun harus menyadari, bahwa ia telah bersikap salah dan lemah.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar