Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 189

Buku 189

Dengan demikian, maka sikap Ki Tumenggung itu telah membuat prajurit-prajuritnya menjadi bingung. Apa yang sebenarnya telah terjadi.

Tetapi Ki Tumenggung itu telah mengatakannya sendiri, bahwa Agung Sedayu telah memenangkan taruhan itu.

Karena prajuritnya masih nampak kebingungan, maka sekali lagi Ki Tumenggung berkata, “Dengarlah. Kami berdua telah melakukan taruhan ini dengan jujur. Ternyata yang memenangkan taruhan ini adalah Agung Sedayu, sehingga karena itu, maka aku telah dikalahkannya.”

Kiai Gringsing, Kiai Jayaraga dan Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Mereka sebenarnya menjadi cemas, bahwa akhir dari taruhan itu akan berbeda dengan yang terjadi. Mereka mencemaskan bahwa Ki Tumenggung tidak kau melihat kenyataan seandainya Agung Sedayu memenangkannya, dan justru keduanya terlibat dalam persoalan yang baru.

Namun ternyata Ki Turnenggung dengan tulus telah mengakui, menilik sikapnya dan senyum di bibirnya, bahwa Agung Sedayu-lah yang memenangkan taruhan itu, meskipun mereka juga melihat, bahwa agaknya Ki Tumenggung telah mengalami kelelahan yang sangat.

Sementara itu, maka Ki Tumenggung pun berkata, “Nah, dengan demikian, maka permainan kita sudah selesai. Kita akan berpisah dan kembali ke tempat kita masing-masing.”

“Tetapi Ki Tumenggung,” berkata Agung Sedayu, “sudah barang tentu aku tidak akan membawa harimau ini ke Tanah Perdikan Menoreh.”

“Lalu?” bertanya Ki Tumenggung.

“Mungkin Ki Tumenggung memerlukannya, karena kulit harimau di rumah Ki Tumenggung nampaknya telah rusak karena lubang lubang bekas senjata.”

Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak ingkar bahwa ia membunuh harimau di halaman rumahnya dengan mempergunakan senjata, sehingga kulit harimau itu tentu akan cacat karena terkoyak oleh senjatanya.

Tetapi Ki Tumenggung memang tidak dapat berbuat lain terhadap seekor harimau. Jika ia mempergunakan ilmunya yang disadapnya dari api, maka harimau itu tentu akan melarikan diri sebelum ia sempat menyentuhnya.

“Tetapi Agung Sedayu dapat membunuh harimau itu tanpa melukai kulitnya,” berkata Ki Tumenggung itu di dalam hatinya.

Sementara itu Agung Sedayu berkata pula kepada Ki Tumenggung, “Kulit harimau itu akan dapat menjadi perhiasan yang pantas di rumah Ki Tumenggung.”

Ternyata Ki Tumenggung tidak menolak. Katanya, “Baiklah. Terima kasih. Selain perhiasan yang baik, maka kulit harimau itu akan menjadi kenang-kenangan yang sangat berarti bagiku.”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Kenang-kenangan atas satu taruhan yang aneh.”

Demikianlah, maka Ki Tumenggung pun kemudian mempersilahkan Agung Sedayu dan orang-orang yang bersamanya untuk meneruskan perjalanan. Kepada Kiai Gringsing ia berkata, “Maaf Kiai. Aku sudah mengganggu perjalanan Kiai.”

“Mungkin juga merupakan satu pengalaman yang menarik bagi Ki Tumenggung dan bagi Agung Sedayu,” sahut Kiai Gringsing.

“Benar Kiai. Pengalaman yang tidak mudah untuk dilupakan. Tetapi juga satu pelajaran yang sangat berharga. Ternyata pengetahuanku tentang olah kanuragan adalah sangat picik, sehingga banyak sekali yang belum aku ketahui, meskipun aku termasuk seorang senapati dari angkatan tua,” berkata Ki Tumenggung. Lalu, “Ternyata ada yang memiliki pengetahuan dan pengalaman yang jauh lebih dari aku. Aku kira orang-orang yang lebih tua itu tentu memiliki pengalaman yang lebih luas dari yang muda. Tetapi ternyata aku telah salah. Agung Sedayu memiliki pengetahuan dan pengalaman yang jauh berada di atas pengetahuan dan pengalamanku.”

“Ki Tumenggung memuji,” jawab Kiai Gringsing, “menurut penglihatanku, Agung Sedayu adalah seorang yang memang mau berusaha. Tetapi ia belum memiliki kelebihan itu.”

Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Katanya “Aku menjadi malu menghadapi orang-orang yang lebih senang merendahkan diri. Selama ini aku tidak berbuat demikian.”

“Kami sama sekali tidak merendahkan diri,” jawab Kiai Gringsing, “tetapi demikianlah adanya.”

Ki Tumenggung tersenyum. Ternyata pertemuannya dengan Agung Sedayu benar-benar memberikan pengalaman yang berarti baginya tentang watak dan kemampuan seseorang.

Sejenak kemudian maka Kiai Gringsing, Kiai Jayaraga, Ki Widura, Glagah Putih dan Agung Sedayu telah minta diri untuk kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, setelah mereka berada di Mataram dalam satu perjalanan yang terasa agak aneh. Tetapi yang memberikan kesan tersendiri, sehingga sikap Ki Tumenggung itu merupakan satu ujud tersendiri dari watak-watak manusia yang pernah dikenal oleh Agung Sedayu. Seorang yang sama sekali tidak termasuk sikap seorang yang jahat, tetapi sekedar didorong oleh kesombongan dan harga diri.

Sepeninggal Agung Sedayu, maka seorang prajuritnya telah bertanya, “Bagaimanakah kesan Ki Tumenggung tentang mereka?”

“Aku telah membentur satu kenyataan yang jarang terjadi,” berkata Ki Tumenggung. Lalu, “Tetapi kali ini aku benar-benar harus berterima kasih kepada Agung Sedayu.”

“Kenapa?” bertanya prajuritnya. Bahkan prajurit-prajurit yang lainpun telah mengerumuninya pula.

“Aku telah kehilangan pengamatan diri,” berkata Ki Tumenggung, “untunglah, bahwa Agung Sedayu memiliki kemampuan melampaui kemampuanku.”

Prajurit prajuritnya menjadi heran. Salah seorang diantara mereka bertanya, “Kenapa justru menguntungkan, bahwa Agung Sedayu memiliki kelebihan?”

“Jika Agung Sedayu tidak memiliki kelebihan, mungkin aku telah melakukan satu tindakan yang dapat menjeratku kedalam kesulitan. karena aku tentu sudah membunuhnya,” berkata Ki Tumenggung.

Prajurit-prajuritnya menjadi bingung. Bahkan salah seorang yang lain bertanya, “Aku kurang mengerti. Tetapi seandainya Agung Sedayu memiliki kelebihan, apakah Ki Tumenggung tidak dapat bertindak lebih dahulu, karena Ki Tumenggung mengenal medan jauh lebih baik dari Agung Sedayu?”

Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian menceritakan bahwa karena Ki Tumenggung telah kehilangan kendali maka yang terjadi kemudian adalah perkelahian. Namun ternyata bahwa ia tidak dapat mengalahkan Agung Sedayu.

“Ah,” desis salah seorang prajurit, “Ki Tumenggung tentu hanya sekedar bermain-main. Jika Ki Tumenggung mengetrapkan ilmu Ki Tumenggung yang dahsyat itu, maka Agung Sedayu tidak akan dapat keluar lagi dari hutan ini.”

“Karena itulah, maka aku berterima kasih kepada Agung Sedayu. Jika terjadi seperti yang kau katakan, bukankah aku akan mendapat kesulitan karena aku telah membunuh seseorang?” jawab Ki Tumenggung. “Namun ternyata bahwa Agung Sedayu benar-benar orang linuwih. Meskipun aku sudah mengetrapkan ilmuku sampai ke puncak, namun aku tidak dapat mengatasi kemampuannya.”

“Jadi Agung Sedayu benar-benar memiliki ilmu yang lebih tinggi dari Ki Tumenggung dalam arti yang sebenarnya?” bertanya prajuritnya.

“Ya. Memang dalam arti yang sebenarnya,” jawab Ki Tumenggung.

Para prajuritnya mengangguk-angguk. Jika Ki Tumenggung sudah mengatakan demikian, maka mereka memang harus percaya, bahwa Agung Sedayu memang memiliki kelebihan dari Ki Tumenggung.

Sementara itu, salah seorang di antara para prajurit itu justru berdesis, “Kalian belum pernah menyaksikan, apa yang pernah dilakukan oleh Agung Sedayu di Prambanan.”

“Apa kau sempat?” bertanya kawannya.

“Sebelum aku dipindahkan ke dalam kesatuan ini, aku justru mendapat kesempatan untuk melihatnya. Agung Sedayu memang luar biasa, Bahkan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh mempunyai cerita yang aneh-aneh tentang orang itu. Tetapi kadang-kadang cerita itu agak berlebihan. Jika kau ingin mendengar sesuatu tentang Agung Sedayu sesuai dengan apa yang dilakukannya, bertanyalah kepada prajurit-prajurit dari pasukan khusus yang pernah di asuhnya,” berkata prajurit itu.

“Pasukan khusus yang terkenal itu?“ bertanya kawannya pula.

“Ya. Pasukan khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh. Agung Sedayu adalah salah seorang pengasuh. Bahkan istri Agung Sedayu yang bernama Sekar Mirah pun merupakan salah seorang pelatih di lingkungan pasukan khusus itu,” jawab prajurit itu.

“Isterinya?” kawannya menjadi semakin heran.

“Ya. Istrinya,” jawab prajurit itu. “Nah, dengan demikian maka kalian tidak akan heran melihat kenyataan sebagaimana telah diakui oleh Ki Tumenggung.”

“Kau tidak mengatakan sebelumnya,” desis kawannya.

“Aku tidak mau menyinggung perasaan Ki Tumenggung, Apalagi semula aku mengira, bahwa keduanya benar-benar sekedar berebut dahulu berburu harimau. Tetapi jika sampai pada satu permainan olah kanuragan, maka aku pasti, Ki Tumenggung tidak akan mampu mengimbangi Agung Sedayu,“ jawab prajurit itu.

“Untunglah, Ki Tumenggung mampu keluar dalam keadaan hidup dari hutan ini,” gumam kawannya pula.

Tetapi prajurit itu tersenyum. Katanya, “Agung Sedayu bukan seorang pembunuh. Hanya dalam keadaan tertentu, Agung Sedayu membunuh lawannya. Tetapi tentu tidak dalam permainan seperti ini. Baginya permainan ini adalah permainan kanak-kanak. Justru Ki Tumenggung yang umurnya memanjat semakin tinggi, akalnya akan kembali ke dunia kanak-kanak. Mungkin ia masih ingin menunjukkan sesuatu yang tersisa dalam hidupnya.” Prajurit itu berhenti sejenak, lalu “Memang agak berbeda dengan guru Agung Sedayu. Semakin tua ia menjadi semakin yakin akan dirinya.”

Kawannya mengangguk-angguk. la mendapat gambaran semakin banyak tentang Agung Sedayu. Bahkan ia merasa sayang, bahwa sebelumnya ia tidak mendapat kesempatan untuk mengenalnya.

Demikianlah, maka beberapa saat kemudian, Ki Tumenggung pun telah bersiap untuk meninggalkan tempat itu. Sejenak kemudian maka sebuah iring-iringan pasukan berkuda telah meninggalkan hutan perburuan itu. Sebuah iring-iringan kecil.

Adalah kebetulan bahwa demikian Ki Tumenggung turun ke jalan, dua orang prajurit berkuda ke arah yang berlawanan. Salah seorang di antaranya adalah seorang perwira.

“Apakah Ki Tumenggung Wiragiri baru saja keluar dari hutan perburuan?” bertanya perwira itu .

Wajah Ki Tumenggung menegang sejenak. Namun kemudian iapun menjawab, “Ya. Aku baru saja beristirahat di hutan perburuan bersama beberapa orang kawan.”

“Bukan main,” desis perwira itu, “Ki Tumenggung telah mendapatkan seekor harimau yang besar sekali.”

Ki Tumenggung mengerutkan keningnya. Ketika ia berpaling, dilihatnya salah seorang prajuritnya membawa tubuh harimau mati itu di punggung kudanya, sementara prajurit itu sendiri berkuda berdua dengan kawannya.

“Ya. Ya,” Ki Tumenggung tergagap. Sementara itu, untuk memotong pertanyaan-pertanyaan, Ki Tumenggung-lah yang justru bertanya, “Nampaknya Adi dari bepergian?”

“Ya. Aku mendapat tugas mengantarkan seseorang yang sedang menyelesaikan persoalan tanah pelungguhnya yang sedikit ada masalah. Tetapi persoalan itu sudah kami selesaikan,” jawab perwira itu.

“Syukurlah,” jawab Ki Tumenggung Wiragiri.

Dengan demikian. maka keduanya pun telah meneruskan perjalanan masing-masing ke arah yang berlawanan.

Dalam pada itu, maka Ki Tumenggung pun dengan tergesa-gesa telah kembali ke rumahnya. Ia tidak ingin bertemu dengan prajurit-prajurit Mataram yang lain. Mungkin mereka akan bertanya tentang banyak hal yang akan sulit dijawabnya.

Karena itu, maka Ki Tumenggung pun langsung menuju ke rumahnya diiringi oleh beberapa orang prajuritnya

Namun dalam pada itu, Ki Tumenggung menjadi agak sulit untuk melepaskan kesannya atas Agung Sedayu. Orang itu terlalu besar baginya. Bukan saja ilmunya, tetapi juga sikapnya. Sehingga karena itu, maka rasa-rasanya ia ingin mengenal Agung Sedayu lebih banyak.

Keinginannya itu benar-benar dilakukannya. Ia telah menemui beberapa orang perwira Mataram. Dan bahkan ia telah berbicara dengan Ki Lurah Branjangan, pemimpin pasukan khusus Mataram yang ada di Tanah Perdikan Menoreh.

Dari mereka Ki Tumenggung mengetahui bahwa Agung Sedayu memang orang yang luar biasa. Orang yang memiliki kemampuan yang sangat tinggi, tetapi juga seorang yang berjiwa besar, sebagaimana juga gurunya Kiai Gringsing.

Ki Tumenggung mengangguk-angguk ketika seseorang mengatakan bahwa Agung Sedayu adalah adik Untara. Seorang panglima di daerah yang sangat rawan. Baik sebelum Mataram berdiri, maupun setelah Mataram tegak. Justru tugasnya berbalik dari menghadap ke Mataram menjadi menghadap ke Pajang, menghadap kekuasaan yang diserahkan kepada Adipati Wirabumi.

Sementara itu, perjalanan mereka yang menuju ke Tanah Perdikan Menoreh telah hampir sampai ke tepi Kali Praga. Agaknya mereka memerlukan perjalanan yang lama, karena ketika mereka menengadahkan wajah mereka, matahari sudah menjadi sangat rendah tergantung di atas punggung bukit.

Agung Sedayu berkuda di belakang bersama Glagah Putih yang tiba-tiba saja bertanya, “Kakang, apakah yang sebenarnya terjadi di hutan ketika Kakang memburu seekor harimau?”

“Kenapa?” bertanya Agung Sedayu.

“Ki Tumenggung nampak letih sekali,” jawab Glagah Putih, “dan jika Kakang sempat memperhatikan baju Kakang, di beberapa tempat nampak bekas sentuhan api meskipun tidak terlalu jelas. Tetapi di lengan bagian belakang baju Kakang berlubang dalam goresan bekas api yang miring. Di ujung bagian punggung juga nampak bekas api.”

Agung Sedavu mengerutkan keningnya. Ternyata pandangan anak muda itu terlalu tajam, sehingga ia melihat sesuatu yang kurang wajar. Namun dalam pada itu bukan berarti orang-orang tua yang berkuda di depan tidak melihat apa yang terjadi pada dirinya dan pada Ki Tumenggung.

Tetapi agaknya mereka lebih senang berdiam diri saja. Agaknya mereka sudah dapat menduga apa yang telah terjadi, apalagi ketika Ki Tumenggung menyinggung serba sedikit tentang kemampuan olah kanuragan Agung Sedayu.

Namun agaknya Glagah Putih bersikap lain. Ia tidak sekedar berdiam diri, tetapi Glagah Putih langsung bertanya kepadanya tentang sesuatu yang menarik perhatiannya pada pakaian Agung Sedayu.

Untuk beberapa saat Agung Sedayu ragu-ragu. Namun iapun kemudian tidak menyembunyikan lagi kenyataan yang telah terjadi di dalam hutan di sebelah hutan perburuan itu.

“Jadi bekas api itu adalah bekas sentuhan tangan Ki Tumenggung,” bertanya Glagah Putih.

Glagah Putih memandang Agung Sedayu yang tidak segera menjawab. Namun dari pandangan matanya Glagah Putih dapat mengambil kesimpulan bahwa dugaannya itu benar.

Karena itu, Glagah Putih justru mulai memandang dirinya sendiri. Di bawah bimbingan Kiai Jayaraga, Glagah Putih mulai mengenali berbagai jenis kekuatan yang ada di alam sekitarnya. Setapak demi setapak ia merangkak maju di dalam dunia kanuragan. Ia sudah mempelajari dasar ilmu perguruan Ki Sadewa lewat Agung Sedayu, kemudian ia berguru kepada Kiai Jayaraga, meskipun ia tidak terpisah dari Agung Sedayu. Justru pada saat ia sedang menempa diri, ia berkenalan dengan Raden Rangga.

Dengan demikian maka gejolak di hati Glagah Putih pun rasa-rasanya rnenjadi semakin membakar. la ingin segera meloncat ke tataran-tataran berikutnya di dalam olah kanuragan.

“Untuk beberapa lamanya aku tidak akan berlatih bersama Raden Rangga,” berkata Glagah Putih.

Namun bukan berarti bahwa Glagah Putih tidak akan dapat melakukan latihan-latihan. Ia mempunyai banyak cara untuk berlatih di luar sanggar.

Ketika iring-iringan itu sampai ke pinggir kali Praga, maka mereka pun telah berloncatan turun.

“Kita dapat menyeberang,” berkata Kiai Gringsing ketika ia melihat sebuah rakit yang besar siap untuk berangkat.

“Marilah,” berkata Glagah Putih yang kemudian mendahului menuntun kudanya mendekati rakit itu.

Tetapi begitu Glagah Putih siap untuk naik ke atas rakit, tiba-tiba tangan yang kasar telah menariknva dan mendorongnya. Begitu kerasnya sehingga Glagah Putih hampir saja jatuh terjerembab di atas pasir, justru karena ia sama sekali tidak menduga bahwa hal itu akan terjadi.

Ketika ia tegak, dilihatnya dua orang bertubuh tinggi kekar berkumis tebal berdiri sambil memegangi kendali kudanya.

Glagah Putih memang sudah melihat orang itu sebelumnya. Tetapi orang itu berdiri saja di tepian, sehingga Glagah Putih tidak mengetahui maksudnya, kenapa tiba-tiba ia telah didorong demikian kuatnya. “Anak edan,” geram orang itu, “aku sudah menunggu di sini sejak tadi. Tiba-tiba saja kau akan mendahului naik ke atas rakit itu. Kau kira kau siapa he? Kanjeng Sultan atau Panembahan Senapati?”

Glagah Putih termangu-mangu. Namun katanya, “Maaf Ki Sanak. Aku tidak tahu bahwa Ki Sanak akan naik pula ke atas rakit. Tetapi seandainya demikian, bukankah kita dapat naik bersama-sama?”

“Anak dungu!” bentak orang itu, “Mana mungkin kita naik bersama-sama. Apalagi kau datang bersama kakak, ayah dan kakekmu, dan barangkali tetanggamu.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sekilas dipandanginya Agung Sedayu. Namun agaknya Agung Sedayu sama sekali tidak menunjukkan sikap apapun. Bahkan agaknya Agung Sedayu menganggap sikap orang-orang itu adalah sikap yang wajar.

Karena itu, maka Glagah Putih pun kemudian berkata, “Baiklah. Jika demikian silahkan naik lebih dahulu.”

Kedua orang itu tidak menjawab. Tetapi mereka pun kemudian naik ke atas rakit yang memang sudah terisi beberapa orang yang juga ingin menyeberang.

Sejenak kemudian rakit itu sudah bergerak, sementara Glagah Putih masih juga ragu-ragu berdiri di tempatnya. Namun sementara itu Kiai Gringsing pun berkata. “Kembangkanlah kebiasaan mengendalikan perasaaanmu Glagah Putih. Nampaknya orang-orang itu agak tergesa-gesa.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Di luar sadarnya ia memandang rakit yang semakin lama menjadi semakin jauh ke tengah Kali Praga yang airnya berwarna lumpur.

Namun sejenak kemudian, rakit yang lain pun telah menempatkan diri di tempat penyeberangan. Rakit yang masih kosong sama sekali.

Dengan demikian maka Agung Sedayu telah menuntun kudanya, naik ke atas rakit yang kosong itu, diikuti oleh Glagah Putih, Kiai Gringsing, Kiai Jayaraga dan Ki Widura. Tetapi mereka tidak segera menyeberang, karena tukang satang rakit itu masih menunggu beberapa orang lagi untuk diseberangkan bersama-sama.

Sementara itu, Glagah Putih masih memandangi rakit yang menyeberang terdahulu. Meskipun rakit itu menjadi semakin jauh, bahkan hampir mencapai sisi seberang yang lain, namun rasa-rasanya Glagah Putih masih saja melihat kedua orang yang berdiri di atas rakit itu memandangnya dengan wajah yang garang.

“Orang-orang kasar,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya, “sebenarnya ia dapat berbuat lain. Agaknya terhadap orang-orang yang lemah ia juga berbuat demikian.”

Namun dalam pada itu, rakit yang ditumpangi Glagah Putih masih belum bergerak ketika rakit yang terdahulu sudah sampai di seberang dan para penumpangnya sudah mulai berloncatan turun.

Sementara itu, langit pun semakin menjadi suram. Karena itu, maka Kiai Gringsing pun kemudian bertanya kepada tukang satang, “Ki Sanak, apakah rakit ini dapat berangkat lebih dahulu? Bukankah penumpangnya sudah cukup banyak? Kami berlima dengan kuda-kuda kami, agaknya sudah merupakan beban yang berat bagi rakit ini.”

“Kami masih dapat menunggu sejenak, Ki Sanak” jawab tukang satang itu, “masih ada beberapa tempat bagi mereka yang akan menyeberang. Asal mereka tidak membawa kuda.”

Tetapi Kiai Gringsing berkata, “Ki Sanak dapat menghitung jumlah orang yang mungkin masih dapat naik ke rakit ini. Biarlah kami membayar separuh daripadanya asal kita tidak usah menunggu terlalu lama, karena sebentar lagi senja akan turun.”

Tukang satang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian seorang yang tertua di antara mereka berkata, “Baiklah. Marilah. Agaknya jalan juga sudah sepi. Jika kita menunggu, mungkin akan memerlukan waktu beberapa saat lamanya.”

Demikianlah, maka merekapun telah mulai bergerak ketika matahari menjadi semakin rendah.

Demikian mereka turun di seberang, maka orang-orang yang menyeberang lebih dahulu telah hilang di balik padukuhan dan pategalan di seberang Kali Praga. Namun agaknya Glagah Putih masih saja memikirkannya. Karena itu, ketika mereka meninggalkan tepian dan kuda-kuda mereka mulai berpacu, Glagah Putih berkata, “Kakang. Kedua orang kasar itu kini berada di Tanah Perdikan Menoreh. Apa saja yang akan mereka lakukan?”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun kemudian jawabnya, “Jangan terlalu berprasangka. Mungkin mereka hanya sekedar lewat. Satu hal yang perlu kau ketahui, bahwa tidak semua orang-orang kasar itu berkelakuan buruk. Mungkin kedua orang itu memang orang kasar. Tetapi mereka justru mengemban tugas yang bermanfaat bagi Tanah Perdikan Menoreh, siapapun yang memberikan tugas.”

Glagah Putih menarik nafas dalam dalam, Bagaimanapun juga, agaknya ia tidak dapat membantah jawaban Agung Sedayu itu, Bahkan Glagah Putih pun merasa, bahwa ia terlalu cepat mengambii satu kesimpulan terhadap sifat seseorang hanya karena sikap lahiriahnya saja.

Karena itu, Glagah Putih tidak bertanya lagi tentang kedua orang yang sudah tidak nampak lagi itu. Bahkan tiba-tiba saja ia memandang matahari yang sudah mulai berlindung di balik punggung bukit.

“Agaknya kita telah menyempatkan diri melihat wayang beber di Mataram,” Glagah Putih pun tiba-tiba berdesis. “Satu kesempatan yang sangat jarang kita dapatkan. Apalagi bagi Kiai Gringsing.”

Agung Sedayu tersenyum. Namun katanya, “Tetapi akupun sempat digiring menghadap Panembahan Senapati. Raden Rangga mendapatkan kalung cinde. Meskipun ia ditangkap tetapi kalung cinde itu menunjukkan bahwa ia seorang anggota keluarga terdekat Panembahan Senapati.”

“Apakah Kakang diikat dengan tali? Bukankah Kakang justru tidak?” bertanya Glagah Putih.

“Memang tidak. Tetapi aku telah digiring di sepanjang jalan raya di Mataram. Semua orang memandangiku. Untunglah, aku ditangkap bersama Raden Rangga, sehingga orang-orang menyangka bahwa aku telah terlibat ke dalam kenakalan Raden Rangga yang sulit dikendalikan itu. Bukan tersangkut dalam persoalan kejahatan,” jawab Agung Sedayu.

“Tetapi, dari sekian orang yang menyaksikan Kakang Agung Sedayu digiring prajurit, tentu ada yang. sudah mengenal Kakang,” jawab Glagah Putih, “sehingga orang itu tentu akan mentertawakan sikap para prajurit itu.”

“Sudahlah,” berkata Agung Sedayu, “bagaimana menurut pendapatmu wayang beber itu?”

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun ia tidak menjawab.

Sementara itu, senja pun mulai turun. Namun mereka telah berada di Tanah Perdikan Menoreh. Sekali-sekali mereka bertemu beberapa orang petani yang masih berada di sawahnya menunggui air yang mengalir dari parit ke dalam kotak-kotak sawah mereka.

Ketika iring-iringan itu mendekati padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh, malam sudah mulai turun. Di regol padukuhan Glagah Putih menghentikan kudanya, sementara yang lain hanya sekedar berpaling ketika mereka berpapasan dengan anak muda pembantu di rumah Agung Sedayu.

“Kau akan kemana?” bertanya Glagah Putih.

“Membuka pliridan,” jawab anak itu.

“Pergilah dahulu. Nanti aku akan menyusul,” berkata Glagah Putih.

Tetapi anak muda itu tersenyum. Katanya, “Kau tidak bersungguh-sungguh. Kau tentu letih setelah perjalananmu.”

“Tidak. Aku tidak letih. Selama perjalanan aku tidak apa-apa, selain duduk di punggung kuda dan berhenti di kedai-kedai nasi,” jawab Glagah Putih.

Anak itu termangu-mangu sejenak. Namun kernudian katanya, “Senang juga untuk setiap kali ikut bersama dengan orang-orang tua bepergian. Tentu kau mendapat banyak kesempatan untuk singgah di kedai-kedai makanan.”

Glagah Putih tertawa. Katanya, “Lain kali sekali-kali kau akan ikut.”

“Ah,” desah orang itu, “tentu aku tidak. Aku harus tinggal di rumah membelah kayu.”

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Hampir di luar sadarnya ia berkata, “Pada suatu saat kau tentu akan mendapat kesempatan.”

“Kau berkata sebenarnya?” bertanya anak itu.

“Bukannya aku berjanji, tetapi aku akan mengingatkan agar pada suatu saat kau mendapat kesempatan untuk ikut bepergian kepada orang-orang tua, atau kepada Kakang Agung Sedayu,” berkata Glagah Putih.

Anak itu tersenyum. Tetapi ia tidak terlalu mengharapkan. Katanya, “Mudah-mudahan. Tetapi itu tidak penting bagiku.”

“Nah,” berkata Glagah Putih kemudian, “pergilah ke sungai. Aku benar-benar akan menyusul.”

Anak itu mengangguk. Kemudian iapun meninggalkan Glagah Putih dan berjalan cepat menuju ke tebing sungai.

Glagah Putih pun kemudian menyusul orang-orang yang lain yang telah mendahului memasuki padukuhan induk dan langsung menuju ke rumah Agung Sedayu. Namun demikian Glagah Putih mengikat kudanya, maka ia pun berkata kepada Agung Sedayu, “Kakang, aku akan pergi sebentar. Biarlah kuda-kuda itu berada di halaman. Nanti aku akan mengurusnya.”

“Kemana?” bertanya Agung Sedayu.

“Ke sungai. Aku sudah berjanji untuk membuka pliridan,” jawab Glagah Putih.

Agung Sedayu tidak mencegahnya. Karena itu, maka ketika kemudian Glagah Putih meninggalkan halaman, Agung Sedayu hanya dapat menarik nafas panjang.

“Kemana Glagah Putih itu?” terdengar Sekar Mirah-lah yang bertanya.

“Membuka pliridan,” jawab Agung Sedayu.

“Bukan main. Ia belum masuk ke dalam rumah. Tetapi ia langsung pergi ke sungai,” desis Sekar Mirah.

“Biarlah,” berkata Kiai Jayaraga, “agaknya Glagah Putih memang tidak dapat berpisah dengan pliridannya. Namun itu juga merupakan ciri bahwa jiwanya berkembang, dengan wajar, karena ia masih juga terikat dengan kegemarannya.”

Sementara itu, maka Glagah Putih telah berlari-lari menuju ke tebing sungai. Sudah beberapa hari ia tidak ikut membuka pliridan. Tiba-tiba saja malam itu ia ingin berada di sungai.

Ketika Glagah Putih menuruni tebing, maka dilihatnya pliridannya sudah terbuka. Tetapi pembantu di rumah Agung Sedayu itu masih belum selesai membuat tamping di mulut pliridan itu, untuk menggiring air sungai itu mengalir ke dalam pliridan.

“Nah, bukankah aku benar-benar datang,” berkata Glagah Putih.

Anak muda yang sedang sibuk itu mengangkat kepalanya. Ketika ia melihat Glagah Putih maka iapun tersenyum. Katanya, “Tetapi pekerjaanku hampir selesai.”

“Kebetulan sekali,” berkata Glagah Putih, “aku tinggal mandi saja di belik itu.”

“Ah, kau juga harus ikut menyelesaikan tamping ini,” berkata pembantu di rumah Agung Sedayu itu sambil meletakkan cangkulnya.

Glagah Putih tersenyum. Iapun kemudian menyingsingkan kain panjangnya, dan bahkan membuka bajunya dan meletakkan di atas sebuah batu yang besar di tepian.

“Biarlah aku selesaikan tamping itu,” berkata Glagah Putih sambil mengangkat cangkul yang diletakkan oleh pembantu rumah Agung Sedayu itu.

Sejenak kemudian, Glagah Putih telah sibuk dengan kerjanya, sementara pembantu rumah Agung Sedayu itu memperbaiki tambak pliridan di bagaian bawah, yang pada saat menutup pliridan itu menjadi tempat memasang icir.

Namun dalam pada itu, Glagah Putih terkejut ketika ia melihat dua orang berjalan menyusuri sungai itu. Pada saat pekerjaannya hampir selesai, maka kedua orang itu lewat beberapa langkah dari padanya, berjalan di tepian.

Semula Glagah Putih tidak begitu menghiraukan. Ia mengira bahwa kedua orang itu adalah orang-orang yang akan mencari ikan dengan jala. Namun demikian kedua orang itu lewat, meskipun dalam keremangan malam, Glagah Putih dapat segera mengenalinya. Dua orang itu adalah dua orang kasar yang hampir saja melemparkannya di tepian Kali Praga.

“Kedua orang itu,” desis Glagah Putih. Tetapi tidak ada orang lain yang mendengarnya kecuali dirinya sendiri.

Hampir di luar sadarnya, Glagah Putih telah meletakkan cangkulnya. Dipandanginya kedua orang yang berjalan di tepian itu. Semakin lama menjadi semakin jauh.

“Dimanakah kuda-kuda mereka?” bertanya Glagah Putih kepada diri sendiri.

Namun Glagah Putih tidak ingin mengganggu orang itu. Meskipun demikian, ia merasa perlu untuk nanti menyampaikannya kepada Agung Sedayu, bahwa, dua orang yang bertemu di Kali Praga itu lewat menyusuri sungai tanpa membawa kuda mereka.

Tetapi Glagah Putih tidak menjadi tergesa-gesa. Ia telah menyelesaikan pekerjaannya dan kemudian mandi di belik di pinggir sungai, baru kemudian bersama-sama dengan pembantu rumah Agung Sedayu itu ia pulang.

“Kau nanti harus membantu aku,” berkata Glagah Putih.

“Apa? Apa masih ada kerja yang belum selesai?” bertanya anak itu.

“Memasukkan kuda-kuda ke kandang,” jawab Glagah Putih.

Pembantu di rumah Agung Sedayu itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menjawab, “Baiklah. Mudah-mudahan kuda-kuda itu sudah dimasukkan kedalam kandang.”

“Oleh siapa?” bertanya Glagah Putih.

“Setiap penunggang masing-masing,” jawab anak muda itu.

“Kita tidak boleh malas,” berkata Glagah Putih, “semua itu adalah kewajiban kita. Bahkan tentang makanan kuda itu.”

“Aku sudah menyediakan rumput yang barangkali cukup banyak. Sehari ini aku tidak bekerja apa-apa selain menyabit rumput,” berkata anak itu.

Demikianlah, ketika mereka sudah selesai, maka mereka pun segera kembali. Sebenarnyalah, ketika mereka sampai di rumah, kuda-kuda yang mereka pergunakan masih berada di halaman.

“Nah, lihat,” berkata Glagah Putih ketika mereka memasuki regol halaman. Lalu, “Bukankah masih ada tugas yang disisakan bagi kita.”

Anak muda itu hanya menarik nafas saja. Tetapi ia tidak menjawab.

Tanpa masuk ke dalam rumah lebih dahulu, Glagah Putih langsung menuntun kuda-kuda yang berada di halaman itu ke kandang, dibantu oleh anak yang bekerja di rumah Agung Sedayu itu. Sementara itu Agung Sedayu yang berada di dalam rumahnya, menengok sejenak ketika ia mendengar kuda-kuda itu meringkik.

“Minumlah dahulu,” berkata Agung Sedayu kepada Glagah Putih.

“Nanti sajalah Kakang,” jawab Glagah Putih, “aku akan menempatkan kuda-kuda ini lebih dahulu.”

Baru setelah kerja itu selesai, Glagah Putih telah berada di ruang dalam bersama dengan yang lain. Dalam kesempatan itu, maka Glagah Putih telah menceritakan, bahwa ketika ia berada di sungai membuka pliridan, maka ia telah melihat lagi dua orang yang mereka temui di Kali Praga.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Memang perlu mendapat perhatian. Mereka tentu mempunyai kepentingan di Tanah Perdikan ini, sehingga mereka telah menyusuri sungai itu. Mungkin mereka sekedar melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan ini. Tetapi mungkin mereka memang mempunyai maksud yang lain.”

“Apakah aku diperkenankan untuk mengamati mereka?” tiba-tiba saja Glagah Putih bertanya.

“Bukankah kau tidak tahu, kemana saja kedua orang itu pergi?” bertanya Agung Sedayu.

“Aku akan berbicara dengan anak-anak muda di gardu-gardu,” berkata Glagah Putih, “biarlah mereka mengawasi seluruh Tanah Perdikan. Hanya mengawasi saja. Mereka akan dapat membuat laporan serba sedikit tentang tingkah laku kedua orang itu.”

“Tetapi kedua orang itu tidak berada di tempat-tempat terbuka. Mereka berada di sungai dan mungkin di tempat-tempat yang jarang dilalui orang lainnya,” berkata Agung Sedayu.

“Biarlah anak-anak muda meronda berkeliling,” jawab Glagah Putih.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Tetapi makanlah dahulu. Kemudian terserah apa yang baik menurut pendapatmu.”

Glagah Putih mengangguk kecil. Ia memang merasa lapar. Karena itu, maka iapun kemudian pergi ke dapur. Karena agaknya orang-orang lain telah makan lebih dahulu ketika ia sedang berada di sungai untuk membuka pliridan.

Baru setelah makan, maka Glagah Putih pun minta diri untuk menemui anak-anak muda yang ada di gardu-gardu. Glagah Putih menjelaskan apa yang dilihatnya di sungai. Tetapi ia berpesan, “Jangan bertindak sendiri langsung terhadap orang-orang yang kalian curigai. Memang kalian dapat menyapanya. Tetapi jangan memancing tindak kekerasan.”

“Tetapi bukankah jika perlu kami dapat menangkap orang-orang yang kami curigai akan melakukan perbuatan yang mengganggu keamanan Tanah Perdikan ini?” bertanya salah seorang di antara anak-anak muda yang berada di gardu perondan.

“Jika kalian benar-benar merasa curiga. Tetapi aku mempunyai perhitungan khusus terhadap kedua orang ini. Keduanya agaknya memiliki kelebihan. Karena itu, jika kalian anggap perlu menangkap mereka atau bertindak apa pun, hubungilah kami. Maksudku aku atau Kakang Agung Sedayu. Dalam hal yang gawat, kita harus melaporkan kepada Ki Gede. Tetapi selama kita masih dapat mengatasi satu persoalan, kita akan mencoba mengatasinya,” jawab Glagah Putih.

Anak-anak muda itu mengiakannya, sementara Glagah Putih pun berkata, “Kita akan memberitahukan kepada gardu-gardu yang lain. Nah, aku minta dua orang di antara kalian pergi ke gardu di sebelah barat jalan bulak itu, dan secara beranting menyebarkannya di padukuhan-padukuhan di belahan barat. Aku akan pergi ke belahan timur, yang secara beranting pula akan memberitahukan ke setiap padukuhan di belahan timur. Jangan salah memberikan keterangan, agar langkah kita sejalan pula.”

Demikianlah, maka anak-anak muda itupun telah memberitahukan tentang kedua orang itu ke gardu terdekat. Dua di antara mereka telah menyampaikannya dengan pesan pula, agar hal itu di sebarkan secara beranting.

“Jangan salah memberikan keterangan,” anak-anak muda itu berpesan sebagaimana Glagah Putih berpesan, “agar langkah kita sejalan pula.”

Malam itu, berita tentang dua orang yang mencurigakan telah didengar oleh setiap gardu. Mereka pun telah membagi tugas.

Beberapa orang di antara mereka akan meronda di sekitar padukuhan masing-masing. Mungkin mereka menjumpai sesuatu yang mencurigakan, sehingga mereka akan dapat mencegah hal-hal yang mungkin akan terjadi dan mengganggu ketenangan Tanah Perdikan itu.

Glagah Putih sendiri tidak juga langsung kembali. la masih juga berada di antara anak-anak muda yang sedang meronda. Bahkan iapun telah ikut pula nganglang bersama mereka.

Sampai lewat tengah malam, tidak ada sesuatu yang menarik perhatian. Para peronda tidak menjumpai dua orang seperti yang dikatakan oleh Glagah Putih. Juga mereka yang menyusuri jalan-jalan sepi dan bahkan tanggul-tanggul sungai.

Karena itu, maka anak-anak muda itu mulai menjadi jemu. Mereka tidak lagi berpikir tentang dua orang yang mereka anggap tentu telah meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh.

“Hanya orang lewat,” berkata salah seorang di antara mereka.

“Tetapi menurut Glagah Putih, keduanya perlu diamati,” sahut yang lain, ”Glagah Putih sendiri melihat kedua orang itu menyusuri sungai. Mungkin mereka memang bermaksud buruk. Mungkin keduanya adalah orang-orang jahat yang berkeliaran di Tanah Perdikan ini.”

“Jika benar keduanya orang jahat, maka keduanya tidak akan sempat berbuat apa-apa. Di setiap gardu di padukuhan-padukuhan terdapat anak-anak muda yang meronda. Kecuali yang memang sedang bertugas, biasanya seperti di gardu ini, beberapa orang anak muda yang sedang tidak bertugas pun berada pula bersama dengan kita,” jawab anak muda yang pertama.

Kawannya tidak menjawab. Tetapi agaknya memang tidak akan terjadi sesuatu.

Glagah Putih menyadari kejemuan anak-anak muda itu. Tetapi iapun mengerti, bahwa di setiap mulut lorong di padukuhan-padukuhan terdapat gardu-gardu, sehingga sulit bagi orang-orang jahat untuk melakukan kejahatan di Tanah Perdikan Menoreh. Memang sekali dua kali, terjadi juga kerusuhan-kerusuhan kecil, jika ada orang-orang jahat dari luar Tanah Perdikan yang berhasil menyusup di sela-sela kelengahan anak-anak muda di gardu-gardu dan pada saat seorang pemilik rumah tertidur lelap. Tetapi hal itu jarang sekali terjadi. Namun ada juga pencuri yang memiliki kelebihan yang berani melakukannya di Tanah Perdikan. Namun sebagian besar dari mereka yang berani berbuat demikian di Tanah Perdikan telah tertangkap.

Meskipun demikian, Glagah Putih sendiri tidak mau berbuat seperti anak-anak muda itu. Justru ketika anak-anak muda mulai kembali ke gardu mereka masing-masing, Glagah Putih telah berjalan seorang diri menyusuri jalan-jalan kecil. Tetapi seperti juga anak-anak muda yang lain, ia tidak menjumpai kedua orang laki-laki itu.

Tetapi Glagah Putih tidak berhenti. Ia berjalan saja di sepanjang jalan yang menghubungkan padukuhan yang satu dengan padukuhan yang lain, sehingga akhirnya ia memasuki padukuhan terdekat dari barak pasukan khusus Mataram yang ada di Tanah Perdikan Menoreh.

Di mulut lorong Glagah Putih berhenti di muka gardu perondan. Ada beberapa orang anak muda berada di gardu itu. Sebagian di antara mereka duduk-duduk di bibir gardu. Dua orang sedang sibuk bermain macanan, sedangkan ada diantara mereka yang telah tertidur nyenyak.

Beberapa orang di antara mereka yang duduk di bibir gardu pun segera meloncat turun. Seorang di antara mereka langsung memberikan laporan, “Kami tidak menemui seorang pun yang pantas untuk dicurigai Glagah Putih.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Jawabnya, “Memang di gardu-gardu lain pun aku mendapat keterangan yang sama. Mungkin kedua orang itu memang tidak berkeliaran di Tanah Perdikan ini. Tetapi malam ini masih belum habis. Mungkin dapat saja terjadi sesuatu menjelang dini hari. Tetapi mungkin juga tidak.”

“Kami masih juga berjaga-jaga,” jawab anak-anak muda di gardu itu.

“Bagus,” sahut Glagah Putih.

“Tetapi, kau sekarang akan pergi kemana?” bertanya salah seorang di antara anak-anak muda itu.

“Asal saja berjalan. Rasa-rasanya aku tidak lagi dapat tidur di sisa malam ini. Karena itu, aku ingin melihat-lihat keadaan Tanah Perdikan ini di malam hari, sebelum menjelang dini hari aku masih harus turun ke sungai menutup pliridan,” jawab Glagah Putih.

Anak-anak muda itu tidak bertanya lagi. Namun ketika Glagah Putih akan memasuki padukuhan itu, ia telah mengajak salah seorang di antara anak-anak muda itu untuk ikut bersamanya, “Sekedar untuk kawan berbincang-bincang.”

Dengan demikian, maka salah seorang di antara anak-anak muda itu telah menyertai Glagah Putih memasuki padukuhan yang terletak di dekat barak pasukan khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan Menoreh.

Padukuhan itu memang nampak sepi. Pintu-pintu regol halaman telah tertutup. Beberapa di antara regol-regol yang tertutup itu diberi lampu minyak yang berkeredipan. Tetapi ada di antara lampu minyak itu yang sudah padam karena kehabisan minyak.

Namun dalam pada itu, langkah Glagah Putih dan seorang kawannya tertegun ketika mereka melihat salah sebuah di antara pintu regol yang berada di hadapan mereka bergerak. Lampu minyak yang redup di luar regol itu memberikan sedikit cahaya, sehingga Glagah Putih dan kawannya dapat melihat gerak pintu regol yang kemudian perlahan-lahan terbuka.

Dengan sigap Glagah Putih menarik kawannya untuk bergeser melekat dinding dalam bayangan yang gelap dari rimbunnya rumpun bambu di pinggir jalan.

Ketika kawannya ingin bertanya, maka Glagah Putih memberikan isyarat agar kawannya itu tetap diam.

Sejenak mereka termangu-mangu. Namun ternyata kemudian mereka melihat pintu itu benar-benar terbuka.

Glagah Putih menjadi tegang ketika dilihatnya dua orang keluar dari pintu regol yang terbuka itu.

Untuk sesaat kedua orang itu masih berbicara dengan orang yang ada di dalam regol. Tetapi Glagah Putih tidak begitu jelas mendengar.

Sejenak kemudian, dengan tergesa-gesa orang itu meninggalkan regol yang segera terkatup kembali.

Glagah Putih menjadi berdebar-debar ketika menurut penglihatannya kedua orang itu adalah dua orang yang dilihatnya di tepian sungai itu.

Untunglah bahwa kebetulan sekali orang itu tidak pergi ke arah Glagah Putih, tetapi justru ke arah lain. Karena itu, maka dengan hati-hati Glagah Putih beringsut. Kepada kawannya ia berdesis, “Kau kembali ke gardu. Kau beritahukan kawan-kawanmu. Tetapi jangan berbuat apa-apa selain bersiaga. Baru jika kalian mendengar isyarat, kalian segera dapat bertindak.”

“Kau akan kemana?” bertanya kawannya hampir berbisik.

“Aku akan mencoba mengikutinya. Agaknya kedua orang itulah yang aku maksud,” jawab Glagah Putih perlahan-lahan.

Demikianlah, Glagah Putih pun segera bergerak. Dengan hati-hati ia beringsut untuk mengikuti kedua orang yang berjalan ke arah yang berlawanan dari arahnya.

Kedua orang itu ternyata tidak mengikuti jalan padukuhan itu untuk keluar lewat regol di ujung yang lain dari arah tempat Glagah Putih memasuki padukuhan itu. Ternyata seperti yang sudah diduga oleh Glagah Putih kedua orang itu tentu akan menempuh jalan yang lain, melalui lorong Iorong sempit, kemudian meloncati pagar-pagar halaman.

Glagah Putih masih mengikuti keduanya dengan sangat berhati-hati. Sekali-sekali ia terpaksa berhenti dan bersembunyi di balik dinding-dinding halaman atau di belakang gerumbul perdu, jika kedua orang itu berhenti dan melihat-lihat keadaan di sekelilingnya untuk menemukan jalan keluar dari padukuhan itu.

Namun akhirnya, keduanya sampai juga ke dinding padukuhan yang sepi. Tidak ada seorang pengawal pun yang meronda sampai ke tempat itu. Karena itu, maka keduanya pun segera meloncat keluar dari pedukuhan itu.

Glagah Putih tidak mau kehilangan keduanya. Ia pun segera mengikuti pula, meloncat keluar padukuhan di tempat yang terlindung oleh bayangan pepohonan.

Untuk sesaat Glagah Putih mulai diganggu oleh perasaan ragu-ragu. Ia harus mengikuti kedua orang itu di tempat terbuka. Kedua orang itu menjauhi padukuhan dengan menyusuri pematang yang merentang di antara batang-batang padi yang masih terlalu pendek untuk berlindung jika orang-orang itu berpaling.

Karena itu, maka akhirnya Glagah Putih mengambil keputusan untuk mengikuti orang itu dari jarak yang agak jauh, namun tanpa kehilangan mereka.

Ternyata kedua orang itu berjalan cepat sekali. Mereka meloncati parit, dan justru menyeberangi jalan yang menghubungkan padukuhan itu dengan barak pasukan khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh.

Glagah Putih masih tetap mengikuti mereka. Ia tidak mau kehilangan jejak. Ia pun mendekati jalan dan siap untuk meloncat dan berlari menyeberang.

Tetapi untuk sesaat ia termangu-mangu. Ia tidak melihat kedua orang itu lagi. Tiba-tiba saja mereka telah hilang.

“Mungkin mereka berusaha mempercepat langkah mereka, sehingga mereka menjadi terlalu jauh untuk diamati dalam gelap. Tetapi aku pasti, arah mereka adalah arah ini. Agaknya aku pun harus mempercepat langkahku,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya.

Sementara itu, Glagah Putih pun segera berlari untuk berusaha menyusul kedua orang yang diikutinya itu.

Namun tiba-tiba saja, demikian Glagah Putih sampai di seberang jalan, ia terkejut. la melihat sesuatu bergerak di pematang. Karena itu, maka ia pun segera meloncat dan bersiaga.

Pada saat yang demikian, dua orang telah berdiri di hadapannya. Dua orang yang diikutinya.

“Selamat malam Ki Sanak,” berkata salah seorang di antara kedua orang itu. “Aku sudah merasa sejak aku keluar dari padukuhan itu, seseorang telah mengikuti aku dan kawanku. Ternyata kau, he?” Glagah Putih termangu-mangu. Namun kemudian ia pun menjawab, “Ya. Akulah yang mengikuti kalian berdua. Agaknya kita tidak baru pertama kali bertemu. Aku sudah bertemu dengan kalian di Kali Praga.”

Kedua orang itu mengerutkari keningnya. Kemudian seorang diantara mereka berkata, “Ya. Aku ingat. Kau yang berusaha untuk merebut tempat kami di rakit yang membawa kami menyeberang. He, agaknya kau masih mendendam ya, sehingga kau telah mengikuti kami sampai di sini?”

“Ya,” jawab Glagah Putih, “tingkah lakumu sangat menyakitkan hati. Kau dorong aku sampai aku hampir jatuh terjerembab. Untung ada ayahku yang mencegahku berbuat sesuatu waktu itu. Namun aku tidak menyerah. Aku cari kalian sampai ketemu di Tanah Perdikan ini.”

“Kau ternyata seorang pendendam,” jawab salah seorang dari kedua orang itu, “lalu kau mau apa?”

“Aku ingin menangkap kalian dan membawa kalian menghadap Ki Gede. Tingkah laku kalian mencurigakan. Bukan saja kasar dan menyakiti hati, tetapi juga menimbulkan kecurigaan,” jawab Glagah Putih.

Kedua orang itu mengangguk-angguk. Seorang di antara mereka menyahut, “Aku mengerti sekarang. Jadi kau mengikuti aku bukan hanya karena kau sakit hati atas perlakuan kami di tepian Kali Praga. Tetapi agaknya kau mencurigai kami. Siapa kau sebenarnya? Anak Ki Gede Menoreh?”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Akulah yang seharusnya bertanya kepada kalian, siapakah kalian sebenarnya? Dan apakah kepentingan kalian di Tanah Perdikan ini he?”

“Pertanyaan yang bodoh. Seharusnya kau tahu bahwa kami tidak akan mengatakan kepentingan kami yang sebenarnya. Jika kami mengatakan sesuatu, itu justru bukan kepentingan kami yang sebenarnya. Tetapi sebaiknya kaulah yang harus berkata tentang dirimu. Siapakah kau dan apakah kedudukanmu di Tanah Perdikan ini, sehingga kau dengan berani telah melakukan satu pekerjaan yang sangat berbahaya. Hanya orang-orang yang berkedudukan penting di Tanah Perdikan ini sajalah yang mau berbuat demikian,” jawab salah seorang dari kedua orang itu.

“Baiklah. Jika demikian biarlah kita tidak saling mengerti siapakah kita masing-masing. Tetapi satu hal yang harus aku lakukan, menangkap kalian dan membawa kalian menghadap Ki Gede karena tingkah laku kalian yang mencurigakan di Tanah Perdikan ini,” berkata Glagah Putih.

“Kau akan menangkap kami berdua?” bertanya seorang dari kedua orang itu.

“Ya, kenapa?” Glagah Putih ganti bertanya.

“Kau terlalu sombong anak muda,” jawab orang itu, “sebaiknya kau bermimpi di atas pembaringan. Jangan bermimpi di sini.”

“Sebagai seseorang yang merasa dirinya berkewajiban, maka aku tidak dapat mengelak untuk melakukannya, meskipun kau menyebut aku sebagai seseorang yang sombong. Karena itu, marilah. Kita tidak usah saling berkeras. Segala sesuatunya akan segera selesai. Jika kalian memang tidak bersalah, maka kalian akan segera dibebaskan. Tetapi jika terdapat tanda-tanda bahwa kalian memang bersalah, maka kalian harus mempertanggung jawabkan kesalahan kalian,” berkata Glagah Putih.

Kedua orang itu saling berpandangan sejenak. Kemudian seorang di antara mereka berkata, “Anak Muda. Kembalilah kepada ibumu dan tidurlah dengan nyenyak di sisa malam yang tinggal sedikit ini. Biarlah aku meneruskan perjalananku.”

Glagah Putih menggeretakkan giginya. Jawabnya, “Jangan menganggap bahwa kau dapat bebas bertamasya di Tanah Perdikan ini tanpa hambatan di malam begini. Menyerahlah, sebelum aku benar-benar bertindak atas kalian.”

Seorang di antara kedua orang itu menggeram, “Jadi kau benar-benar ingin berkelahi? Kau sadar artinya satu perkelahian.”

“Ya. Aku sadar sepenuhnya, bahwa dengan perkelahian itu, kalian berdua tidak akan dapat meninggalkan Tanah Perdikan ini,” jawab Glagah Putih.

“Marilah kita bungkam mulut anak itu,” desis seorang di antara kedua orang yang kehilangan kesabaran itu.

“Nonton sajalah,” jawab yang lain, “aku akan memilin lehernya.” Lalu katanya kepada Glagah Putih, “Jangan menyesal jika aku terpaksa menyakitimu jika kau tetap berniat ingin membawa kami menghadap Ki Gede.”

Glagah Putih melangkah surut untuk mendapat pijakan yang lebih mapan. Ia merasa, bahwa ia tidak dapat memilih jalan lain kecuali dengan kekerasan. Meskipun ia tidak tahu pasti, tingkat kemampuan kedua orang itu, tetapi ia tidak sempat berbuat lain.

“Jadi kalian akan melawan?” bertanya Glagah Putih.

“Pertanyaan yang sama dungunya dengan pertanyaanmu tentang kami berdua,” jawab orang yang sudah siap untuk berkelahi melawan Glagah Putih. Bahkan katanya kemudian, “Jika aku sudah berani mengemban tugas-tugas seperti ini, maka berarti bahwa aku sudah siap untuk bertempur melawan siapa pun juga. Apalagi melawan anak-anak seperti kau. Bahkan melawan Ki Gede sekalipun harus aku lakukan.”

Glagah Putih menggeram. Katanya, “Jika demikian kalian benar-benar sudah siap dengan tugas kalian. Marilah, akan kita lihat apakah aku dapat memaksa kalian untuk menghadap Ki Gede atau tidak.”

Orang yang siap menghadapinya itu tidak menjawab lagi. Tetapi tiba-tiba saja ia sudah meluncur dengan sebuah serangan. Bukan sekedar memancing perkelahian. Tetapi serangan itu benar-benar serangan yang menentukan. Jika serangan itu berhasil mengenai dada lawannya, maka pada permulaannya, perkelahian itu sudah dapat diselesaikannya.

Tetapi Glagah Putih melihat lawannya itu meluncur dengan kaki terjulur. Karena itu, maka dengan sigap iapun telah mengelak selangkah menyamping, sehingga kaki lawannya meluncur sejengkal di hadapan dadanya.

Glagah Putih pun tidak mau bermain-main lagi. Demikian tubuh lawannya itu meluncur, maka iapun telah menyerang pula. Tangannya telah terayun menghantam lambung lawannya.

Orang yang menyerang Glagah Putih itu terkejut melihat kesigapan Glagah Putih menghindari serangannya. Bahkan kemudian ia sempat melihat Glagah Putih justru menyerangnya.

Dengan cepat pula orang itu telah menangkis serangan Glagah Putih karena ia tidak sempat lagi untuk mengelak. Demikian kakinya menyentuh tanah, maka iapun segera bersiap dengan kedua sikunya melindungi lambungnya.

Ternyata kemudian tetah terjadi satu benturan kekuatan. Serangan Glagah Putih telah mengenai kedua tangan lawannya yang melindungi sasaran serangannya.

Kedua orang itu dalam tahap-tahap pertama masih belum mengerahkan segenap kemampuan mereka. Namun benturan yang terjadi dengan tiba-tiba itu ternyata telah menimbulkan kesan yang mengejutkan bagi kedua belah pihak.

Glagah Putih merasa bahwa serangannya telah membentur satu kekuatan yang tangguh sehingga ia justru telah tergeser surut. Namun lawannya pun harus beringsut pula karena kekuatan Glagah Putih seolah-olah telah mendorongnya.

Dengan, demikian, maka sejenak kemudian kedua orang itu telah bersiap lagi untuk menghadapi benturan kekuatan dan ilmu yang lebih tinggi. Keduanya yang mempunyai kesan bahwa lawan mereka adalah orang yang berbahaya, telah bersiap dan mengerahkan kemampuan mereka lebih besar lagi untuk menghadapi setiap kemungkinan.

Sejenak kemudian keduanya mulai bergerak. Namun lawan Glagah Putih itu tidak berani lagi langsung menyerang. Semula ia mengira bahwa anak Tanah Perdikan itu tidak lebih dari anak-anak muda kebanyakan yang hanya berbekal kesombongan saja. Namun ternyata anak muda yang seorang ini memang memiliki kekuatan.

“Tetapi kekuatannya adalah kekuatan yang mentah. Yang tidak memiliki landasan ilmu yang mapan, sehingga aku akan segera dapat menundukkannya,” berkata lawan Glagah Putih di dalam hatinya.

Demikianlah, maka lawan Glagah Putih itupun telah mulai lagi dengan serangannya. Tetapi ia menjadi lebih berhati-hati. la tidak ingin melakukan kesalahan karena ia menganggap bahwa lawannya masih terlalu kanak-kanak dan tidak mempunyai kemampuan apapun juga.

Glagah Putih melihat perubahan sikap lawannya. Dengan demikian maka iapun menjadi lebih berhati-hati. la mengamati setiap gerak lawannya, sehingga Glagah Putih pun mampu memperhitungkan dengan tepat, kapan ia harus menghindari serangan-serangan yang datang kepadanya.

Tetapi semakin lama gerak lawannya itu menjadi semakin rumit, sehingga kadang-kadang Glagah Putih terkejut, karena yang dilakukan lawannya tidak sesuai sebagaimana diperhitungkan.

Glagah Putih telah menempa diri dalam latihan-latihan yang berat. Ia sudah dilatih menghadapi sikap yang tiba-tiba dan di luar perhitungan. Karena itu, ia sudah terbiasa dituntut untuk dengan serta merta mengambil sikap. Ia harus dapat dengan cepat mengatasi satu keadaan yang tidak diduganya.

Karena itu, maka tata gerak keduanya pun menjadi semakin cepat. Baik Glagah Putih maupun lawannya telah meniti tataran yang lebih tinggi dari ilmu mereka masing-masing. Semakin lama semakin tinggi.

Dalam tingkat-tingkat berikutnya, maka lawan Glagah Putih itu menjadi semakin heran. Setiap kali ia meningkatkan ilmunya, maka anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh itupun mampu mengimbanginya. Bukan saja kekuatan dan kecepatan gerak, namun kematangan ilmunya menjadi semakin jelas.

“Apakah anak ini anak iblis Randu Alas?” geram lawan Glagah Putih di dalam hatinya.

Namun Glagah Putih masih mampu mengimbangi setiap langkahnya dengan mapan.

Akhirnya lawan Glagah Putih itu tidak telaten. Dengan garang ia berkata, “Anak Muda, aku sudah jemu dengan permainan ini. Sekarang menyerah sajalah agar aku sempat memikirkan satu kemungkinan untuk mengampunimu.”

Tetapi orang itu terkejut ketika ia mendengar Glagah Putih justru tertawa. Dengan nada datar ia menjawab, “Jangan bergurau Ki Sanak. Kita sudah berhadapan dalam keadaan seperti ini. Apakah kau melihat satu kemungkinan bahwa aku akan menyerah?”

“Jadi kau tetap berkeras kepala? Apakah kau berpikir bahwa kau akan mampu mengimbangi ilmuku?” bertanya orang itu.

Sekali lagi jawab Glagah Putih mengejutkannya, “Ya. Aku berpikir bahwa aku akan dapat mengimbangi ilmumu. Karena itu, maka aku tidak perlu menyerah.”

“Persetan,” geram orang itu. Katanya, “Jika demikian, aku tidak perlu membuat pertimbangan lain. Tetapi jika kau mengalami nasib yang sangat buruk, itu bukan salahku.”

Glagah Putih tidak menjawab. Iapun segera mempersiapkan diri. Ia sadar, bahwa lawannya tentu akan sampai ke puncak ilmunya. Sehingga karena itu, maka ia harus benar-benar berhati-hati, agar ia tidak benar-benar akan dibantai oleh lawannya.

Kesabaran lawannya memang sudah terkorek habis tuntas sampai ke dasar. Karena itu, maka iapun tidak lagi berusaha untuk membatasi geraknya. Karena itu, maka serangan-serangan berikutnya adalah serangan-serangan yang membadai dialasi dengan kemampuan puncaknya.

Glagah Putih bergeser surut. Ia terpaksa mengambil jarak untuk menghadapi serangan yang datang beruntun bagaikan deru angin topan.

Tetapi Glagah Putih sudah bersiaga sepenuhnya. Ternyata latihan-latihan yang berat di sanggar, dan latihan-latihan yang dilakukan bersama Raden Rangga, telah menempanya menjadi seorang anak muda yang memiliki ilmu yang nggegirisi. Meskipun ia belum menguasai ilmu yang diturunkan oleh Kiai Jayaraga sepenuhnya, namun dengan alas ilmu dari jalur perguruan Ki Sadewa, yang dimatangkan dengan latihan-latihan bersama Raden Rangga dan unsur yang telah didapatnya dari gurunya itu, maka Glagah Putih adalah seorang anak muda yang pilih tanding. Pada masa pembajaan dirinya di bawah bimbingan gurunya, Kiai Jayaraga, maka Glagah Putih ternyata mampu mengimbangi kemampuan lawannya.

Karena itu, maka pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin sengit. Seorang di antara keduanya, yaitu orang yang tidak ikut bertempur itu, memperhatikan perkembangan pertempuran itu dengan cermat. Ternyata ia menjadi sangat heran melihat kemampuan anak muda Tanah Perdikan Menoreh itu. Pada saat kawannya sampai ke puncak kemampuannya ternyata anak muda itu masih mampu mengimbangi. Bukan saja kekuatannya, tetapi juga kecepatannya. Bahkan setelah kawannya mengerahkan segala ilmunya, anak muda itu masih juga melawan dengan serunya.

“Iblis manakah yang merasuk ke dalam diri anak itu,” geram orang yang berdiri di luar arena itu. Hampir-hampir ia tidak percaya bahwa kawannya masih belum mampu mengalahkan dan menguasai anak muda itu.

Namun adalah satu kenyataan, bahwa anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh itu masih mampu bertempur sebagaimana dilakukan oleh kawannya.

Dengan tegang orang itu mengikuti setiap gerak dari kedua orang yang bertempur itu. Semakin lama semakin cepat. Bahkan titik keringat telah mengembun di dahinya ketika ia melihat, bahwa bukan anak muda itu yang kemudian terdesak, tetapi justru kawannya.

“Mana mungkin,” desis orang itu.

Karena itu, iapun masih menunggu beberapa saat. Ia masih ingin meyakinkan, apakah penglihatannya itu bukan sekedar penglihatan yang kabur.

Sementara itu, Glagah Putih yang menyadari bahwa lawannya telah mengerahkan segenap kemampuannya, telah menanggapinya pula dengan tingkat ilmunya yang tertinggi. Ia adalah murid Kiai Jayaraga. Karena itu, maka ilmunya pun telah menggetarkan lawannya yang salah menilainya.

Namun Glagah Putih yang menyadari, bahwa lawannya telah melepaskan segenap kemampuan tanpa kendali sehingga lawannya itu agaknya memang benar-benar ingin melumatkannya, telah menjadi marah pula. Meskipun ia tidak ingin membunuh lawannya karena agaknya masih diperlukan keterangan dari mulutnya, tetapi Glagah Putih tidak pula ingin dirinyalah yang terbunuh. Karena itu, maka dalam keadaan yang terjepit, maka ia telah melepaskan kendali ilmunya pula.

Dengan demikian, maka ternyata bahwa kemampuan Glagah Putih mampu mengatasi ilmu lawannya. Beberapa saat kemudian, lawannya itupun mulai terdesak. Serangan-serangan lawannya tidak mampu mengenai sasarannya, bahkan justru serangan Glagah Putihlah yang telah menyentuh tubuh lawannya itu, sehingga sekali-sekali lawannya telah meloncat surut mengambil jarak.

Sementara itu, jika terjadi benturan-benturan, maka lawan Glagah Putih itulah yang terdorong satu dua langkah surut, sementara Glagah Putih tetap berdiri tegak di tempatnya.

Semakin lama perbedaan kemampuan di antara kedua orang itu menjadi semakin nampak. Glagah Putih semakin mendesak lawannya yang berloncatan menghindar.

“Anak ini benar-benar anak iblis,” geram lawannya di dalam hatinya. Tetapi ia benar-benar tidak mampu mengatasinya, apalagi mengalahkannya.

Kecepatan gerak Glagah Putih membuatnya bagaikan bayangan yang tidak tersentuh tangan. Bayangan itu rasa-rasanya terbang mengitarinya dan sekali-sekali mematuk dengan dahsyatnya, sehingga tubuh lawannya itu bagaikan menjadi memar.

Dalam keadaan yang sulit itu, maka orang yang berdiri di luar arena dan memperhatikan pertempuran itu tidak dapat tinggal diam. Keheranannya telah memuncak melihat kenyataan itu. Tetapi ia tidak dapat sekedar berdiri keheranan. Ia harus berbuat sesuatu.

Karena itu, maka ketika kawannya itu terdorong oleh serangan Glagah Putih sehingga hampir saja jatuh tertelentang, maka iapun telah melangkah maju.

“Anak Muda,” berkata orang itu, “ternyata kau memiliki kemampuan di luar dugaan kami. Ternyata kau memiliki ilmu yang jarang ditemui pada anak-anak muda sebayamu. Namun itu merupakan satu kenyataan. Meskipun demikian, ketahuilah bahwa kami, baik berdua maupun seorang-seorang, tidak akan membiarkan diri kami kau tangkap hidup maupun mati. Karena itu, maka aku tidak akan dapat tinggal diam melihat satu kenyataan, bahwa kawanku telah terdesak oleh ilmumu yang luar biasa.”

Glagah Putih berdiri termangu-mangu. Ia sadar, bahwa sejenak kemudian ia harus melawan kedua orang itu bersama-sama. Karena itu, maka iapun harus mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Ia tidak tahu, apakah yang seorang itu mempunyai ilmu yang sama dengan kawannya atau justru lebih tinggi.

Tetapi ada sepercik kebanggaan di dada Glagah Putih, bahwa ia sempat mencoba ilmunya di dunia pengembaraan olah kanuragan. Bahwa ia sempat bertemu dengan dua orang berilmu tinggi di Tanah Perdikan dan berkesempatan pula menjajagi ilmunya dihadapkan kepada ilmu kedua orang itu.

Dalam pada itu, lawannya yang hampir saja terjatuh itu telah bersiap pula. Katanya, “Anak Muda, kau memang luar biasa. Tetapi sayang bahwa hidupmu akan berakhir malam ini. Ilmu yang kau pelajari dengan segenap kekuatan dan waktu yang ada padamu itu, akan lenyap bersama terbaringnya tubuhmu di tempat ini. Kematianmu tentu akan ditangisi oleh seisi Tanah Perdikan ini, karena agaknya kau adalah harapan masa depan dari padanya.”

“Kalian akan maju berdua?” bertanya Glagah Putih.

“Ya,” jawab lawannya yang hampir saja terjatuh itu, “kami bukan kesatria yang berpegang pada harga diri. Tetapi kami berpegang kepada pelaksanaan tugas kami, apapun yang harus kami lakukan. Karena itu, kami akan bertempur berdua dan kami bersama-sama akan membunuhmu, agar kau tidak akan dapat bercerita kepada siapapun juga tentang dua orang yang berkeliaran di Tanah Perdikan ini. Kau mengerti?”

“Aku mengerti maksudmu,” jawab Glagah Putih, “tetapi kalian tidak akan dapat melakukannya. Karena itu menyerah sajalah. Kalian akan aku bawa menghadap Ki Gede. Aku sama sekali tidak akan mengancam untuk membunuh kalian, sebagaimana kau lakukan atasku.”

Bagaimanapun juga, kata-kata itu merupakan penghinaan bagi kedua orang itu. Karena itu, maka orang yang masih belum bertempur itu berkata, “Mungkin karena kami telah berniat untuk bertempur berpasangan, maka kau menganggap martabat kami terlalu rendah. Tetapi ketahuilah Anak Muda, seperti sudah aku katakan, kami bukan orang-orang yang menengadahkan dada sambil menyebut diri kami kesatria atau laki-laki jantan. Namun demikian, daripada kami harus menyerah, lebih baik kami membunuhmu saja.”

Glagah Putih pun menyadari, bahwa ia memang harus bertempur melawan kedua orang itu. Karena itu, maka iapun segera mempersiapkan diri untuk menghadapi keduanya.

“Baiklah,” berkata Glagah Putih kemudian, “aku sudah siap. Aku yang akan mati disini, atau kalian yang akan aku ikat dengan sulur yang tersangkut di pepohonan itu, untuk aku bawa menghadap Ki Gede di Menoreh.”

Telinga kedua orang itu bagaikan terbakar mendengar kata-kata Glagah Putih itu. Karena itu, maka orang yang masih belum bertempur itupun tiba-tiba saja telah bergeser mendekat, sementara yang lain bergeser pula ke arah yang lain. Dari dua arah yang berbeda kedua orang itu sudah siap untuk menyerang Glagah Putih.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun dengan cermat ia telah membuat perhitungan. Karena itu, maka ialah yang kemudian justru mendahului menyerang lawannya dengan sepenuh kekuatannya.

Serangan Glagah Putih datang begitu cepatnya tanpa diduga. Karena itu, maka lawannya tidak sempat mengelak. Dengan serta merta orang itu telah menyilangkan tangannya di dadanya, sementara kaki Glagah Putih meluncur dengan derasnya.

Sejenak kemudian telah terjadi benturan yang sangat keras antara kekuatan Glagah Putih yang dihentakkan, melawan kekuatan lawannya yang berusaha untuk bertahan.

Kaki Glagah Putih memang merasa bagaikan membentur tanggul batu yang kuat. Karena itu, ia justru terdorong selangkah surut. Namun dalam pada itu, maka lawannya merasa seakan-akan dadanya yang dilambari tangannya yang bersilang itu telah didera oleh seonggok gunung anakan. Karena itu, maka orang itu telah terlempar beberapa langkah dan jatuh terguling di tanah.

Namun dalam pada itu, demikian Glagah Putih tegak di atas kedua kakinya maka serangan yang dahsyat telah datang dari arah yang berbeda. Demikian cepatnya sebagaimana dilakukan oleh Glagah Putih sendiri.

Glagah Putih belum siap untuk membentur kekuatan itu. Sementara itu iapun baru saja tegak berdiri. Karena itu, maka iapun justru telah menjatuhkan badannya dan berguling beberapa kali menjauhi lawannya. Tetapi lawannya tidak melepaskannya. Demikian Glagah Putih melenting berdiri, maka yang seorang pun telah menyerang pula.

Glagah Putih benar-benar tidak sempat berbuat sesuatu. Karena itu, maka ia hanya dapat sedikit merendah dan berusaha melindungi lambungnya yang menjadi sasaran serangan itu dengan sikunya.

Karena itu, demikian serangan itu mengenai sikunya, maka iapun telah terdorong jatuh.

Tetapi Glagah Putih tidak mau diinjak oleh lawannya. Karena itu maka iapun dengan cepat telah berguling pula mengambil jarak, sementara lawannya baru memperbaiki keseimbangannya yang terguncang justru karena serangannya membentur siku Glagah Putih.

Karena itu, maka agaknya Glagah Putih telah mendapat kesempatan untuk berdiri tegak, meskipun sementara itu, lawannya yang lainpun telah melenting berdiri pula.

Dengan demikian, maka kembali Glagah Putih menghadapi dua orang lawan. Namun Glagah Putihlah yang kemudian tidak mau memberi kesempatan lawannya mengatur arah. Dengan serta merta, maka ialah yang kemudian mulai menyerang.

Sekali lagi pertempuran pun telah menyala dengan dahsyatnya Glagah Putih yang sudah beberapa lama menempa diri baik di bawah asuhan Agung Sedayu maupun di bawah bimbingan gurunya Kiai Jayaraga, ternyata memang memiliki ilmu yang membuat kedua orang lawannya berdebar-debar.

Tetapi kedua orang yang mendapat kepercayaan untuk melakukan tugas yang bersifat rahasia itupun bukan orang kebanyakan. Mereka telah dipilih di antara beberapa orang kawan-kawannya, sehingga karena itu, maka keduanya bersama-sama merupakan lawan yang sangat berat bagi Glagah Putih.

Glagah Putih yang mampu mengatasi lawannya ketika lawannya itu bertempur seorang diri, ternyata mengalami tekanan-tekanan yang sangat berat ketika ia harus melawan keduanya bersama-sama.

Tetapi Glagah Putih telah bertekad untuk menangkap keduanya, sehingga karena itu maka dikerahkannya segenap kemampuannya untuk mengatasi kesulitan-kesulitan yang kemudian timbul di dalam perkelahian itu.

Meskipun Glagah Putih bergerak dengan kecepatan yang mengagumkan, namun kedua lawannya yang kadang-kadang berada di arah yang berbeda itu, sekali-sekali telah mendapat kesempatan untuk menyerang dan mengenai tubuh Glagah Putih. Sementara itu, Glagah Putih pun kadang-kadang mendapat kesempatan pula untuk mengenai salah seorang di antara kedua lawannya, namun ternyata bahwa jumlah serangan kedua lawannya yang mengenainya menjadi lebih banyak dari serangan-serangannya yang berhasil.

Dengan demikian, maka beberapa kali Glagah Putih mulai terdesak.

Meskipun demikian, beberapa kali pula Glagah Putih mampu memperbaiki keadaannya. Sehingga dengan demikian maka ia berhasil mencapai keseimbangan pertempuran itu lagi.

Tetapi bagaimanapun juga, ternyata kedua orang itu bersama-sama memiliki kelebihan dari Glagah Putih seorang diri. Bahkan kadang-kadang Glagah Putih yang telah mengerahkan segenap kemampuannya itu bagaikan kehilangan arah perlawanannya. Kedua lawannya rasa-rasanya telah berputaran di sekitarnya dengan kecepatan yang sangat tinggi.

Namun daya tahan tubuh Glagah Putih memang mengagumkan. Dalam keadaan yang semakin terdesak, Glagah Putih masih sempat melawan dengan garangnya. la masih mampu bergerak cepat, menyerang dan menghindari serangan dengan sekali-sekali menyeringai menahan sakit karena serangan lawan-lawannya yang mengenainya. Sekali di punggung, sekali di lengan, dan bahkan serangan lawannya itu telah menyentuh dadanya pula.

Tetapi dengan segenap kemampuan daya tahannya, Glagah Putih seakan-akan mampu meniadakan rasa sakit itu. Sehingga ia masih mampu bertempur dengan sengitnya.

Kedua orang itupun tidak telaten lagi. Apalagi ketika mereka melihat langit menjadi semakin cerah. Cahaya fajar mulai nampak kemerah-merahan.

“Anak setan ini harus segera di hentikan,” geram salah seorang dari kedua orang itu.

Kawannya mengeram. Katanya, “Kita selesaikan saja sekali.”

Yang lain tidak menjawab. Tetapi ia benar-benar ingin menyelesaikan anak muda itu. Karena itu, maka tiba-tiba saja seorang di antara mereka telah rnencabut sebilah pisau belati dari bawah bajunya. Tetapi ternyata bahwa kawannya pun telah melakukan hal yang sama. Ia pun telah mencabut pisaunya pula.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Kedua orang itu justru telah bersenjata. Karena itu, ia harus semakin berhati-hati. Apalagi nampaknya kedua orang itu benar-benar ingin membunuhnya.

Sejenak kemudian pertempuran pun telah menjadi semakin sengit. Glagah Putih yang semakin berhati-hati telah berusaha untuk bertempur pada jarak yang agak jauh. Dengan loncatan-loncatan panjang Glagah Putih menghindari serangan-serangan lawannya. Kedua pisau di tangan dua orang lawannya itu seakan-akan telah berubah menjadi berpuluh-puluh ujung pisau yang memburunya kemana ia pergi, kemana kakinya meloncat dan kemana saja ia menghindar. Sehingga akhirnya ujung-ujung pisau itu mulai menyentuhnya.

Terasa geresan-goresan itu betapa sakitnya. Keringatnya yang mulai membasahi lukanya, terasa membuat luka itu semakin pedih.

Namun Glagah Putih tidak menyerah. Ia telah bertempur dengan segenap kemampuannya dilambari dengan daya tahannya yang sangat tinggi. Bahkan setelah kulitnya digoresi oleh luka-luka, Glagah Putih masih mampu meloncat-loncat dengan tangkasnya.

Kedua orang lawannya justru merasa semakin marah dan semakin bernafsu untuk menyelesaikan pertempuran itu dengan cepat. Dengan menghentak-hentakkan kemampuannya, keduanya berusaha untuk segera melumpuhkan anak muda yang sangat menjengkelkannya itu.

Satu-satunya kelebihan Glagah Putih adalah justru daya tahannya. Karena itu, maka ia dengan perhitungan nalarnya ingin mempergunakan kelebihannya itu. Dengan cepat ia telah berloncatan. Sekali menjauh, namun tiba-tiba saja ia telah meloncat menyerang. Sehingga dengan demikian, kedua lawannya itu selalu memburunya dengan pisau yang terayun-ayun.

Namun semakin lama semakin ternyata, bahwa kedua orang itu telah terganggu oleh kemampuan tenaganya yang mulai susut. Nafas mereka mulai mengalir semakin cepat berdesakan di lubang hidung. Dengan loncatan-loncatan panjang Glagah Putih berhasil memancing kedua orang itu mengerahkan segenap tenaganya, bukan saja untuk bertempur, tetapi juga untuk berloncat-loncatan kian kemari dengan langkah-langkah panjang.

Tetapi bagaimanapun juga, jika Glagah Putih tidak berusaha menghindar dari pertempuran itu, maka ia tidak akan dapat bertahan sampai matahari naik.

“Waktu kita tinggal sedikit,” berkata salah seorang dari kedua orang itu, “agaknya anak itu memanfaatkan kecepatan geraknya untuk memperpanjang waktu. Kita harus mempergunakan perhitungan sebagaimana dilakukannya. Kita akan mengambil jarak dan dengan demikian, kita akan menghadapinya dari dua arah yang berlawanan.”

Sebenarnyalah kedua orang itu telah berpencar. Mereka berusaha untuk menghadapi Glagah Putih dari arah yang lain. Dengan demikian maka mereka berharap akan dapat menyelesaikan pertempuran itu dengan lebih cepat.

Glagah Putih pun menyadari. Sikap kedua orang itu telah membuatnya berdebar-debar. Namun baginya, sawah itu cukup luas untuk bermain kejar-kejaran. Anak muda itu yakin, bahwa ia dapat berlari lebih cepat dari keduanya. Dan Glagah Putih pun yakin, bahwa ia memiliki daya tahan yang lebih besar dari keduanya, sehingga dengan demikian Glagah Putih telah mempergunakan cara tersendiri untuk melawan mereka.

Kedua lawannya menjadi semakin cemas melihat cara Glagah Putih bertempur. Ia lebih banyak berloncatan menghindar daripada bertempur berhadapan. Namun tiba-tiba saja anak muda itu telah menerjang salah seorang di antara kedua orang lawannya itu, orang yang paling dekat daripadanya.

“Kau curang anak muda,” geram salah seorang dari kedua orang itu, “aku tidak mengira, bahwa aku akan berhadapan dengan seorang anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang bertempur dengan cara seekor ayam jantan bergodoh putih. Berlari-lari kemudian kembali memasuki arena. Satu cara yang licik dan memalukan.”

“Mungkin caraku tidak kau sukai Ki Sanak,” jawab Glagah Putih, “tetapi akupun tidak senang melihat seorang laki laki bertempur berpasangan.”

“Sudah beberapa kali aku katakan. Aku mempunyai tugas yang penting. Bukan sekedar ingin disebut laki-laki,” jawab salah seorang dari keduanya.

“Bagaimana jika aku menjawab dengan jawaban yang sama? Aku ingin menangkap kalian jika kalian telah kehabisan nafas. Aku tidak sekedar ingin di sebut laki-laki atau disebut kesatria dari Tanah Perdikan Menoreh,” jawab Glagah Putih.

“Persetan,” geram salah seorang dari kedua lawan Glagah Putih, “aku bunuh kau.”

Glagah Putih telah bersiaga. Ia sudah siap bertempur dengan caranya untuk waktu yang panjang. la harus memancing agar kedua lawannya bertempur dengan jarak, sehingga keduanya lebih banyak memeras tenaga. Jika keduanya menjadi kelelahan, maka keduanya akan dapat dikalahkannya.

Tetapi ternyata keduanya pun kemudian telah mengambil cara yang sangat mengecewakan Glagah Putih.

Sesaat Glagah Putih melihat kedua orang lawannya itu saling berbicara. Namun Glagah Putih tidak mendengar apa yang telah mereka bicarakan.

Sebenarnyalah kedua orang itu telah mengambil satu keputusan untuk menyelesaikan pertempuran. Keduanya merasa bahwa keduanya tidak akan dapat membunuh Glagah Putih yang sudah terluka itu, karana Glagah Putih bertempur dengan memperhitungkan jarak.

Apalagi kedua orang itu menduga, bahwa Glagah Putih telah memancing mereka untuk mendekati sebuah padukuhan.

“Kita tidak boleh terjebak. Jika kita mendekati padukuhan dan padukuhan itu dapat dicapai dengan suara teriakannya, mungkin ia akan sempat memanggil beberapa orang peronda, sehingga kita akan dikeroyok beramai-ramai oleh para pengawal Tanah Perdikan ini,” berkata salah seorang di antara mereka, “karena itu kita harus segera menghindar saja dari tempat ini.”

Kawannya pun tidak dapat mengingkari kenyataan bahwa terlalu sulit bagi keduanya untuk membunuh anak muda yang memiliki daya tahan yang luar biasa itu. Meskipun tubuhnya sudah terluka, tetapi seakan-akan ia masih juga memiliki tenaga segarnya.

Demikianlah, maka sejenak kemudian kedua orang itu tidak lagi bersiap-siap untuk bertempur. Merekapun kemudian bersikap lain sama sekali. Bahkan tiba-tiba saja seorang di antara mereka berkata, “Baiklah. Kau kami ampuni kali ini.”

“Persetan,” geram Glagah Putih, “kalian mau kemana?”

“Apakah kau kira aku akan tinggal di Tanah Perdikan ini?” bertanya orang itu.

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Namun iapun segera melihat kedua orang itu bersiap-siap untuk pergi.

“Gila,” geram Glagah Putih, “kalian akan meninggalkan arena?”

“Buat apa aku bertempur melawan seorang anak muda yang licik seperti kau?” jawab salah seorang di antara keduanya.

“Bukankah kau juga licik,” sahut Glagah Putih.

“Jika demikian, biarlah kami pergi. Tetapi ingat, bahwa kaupun tidak akan dapat mencegah aku. Kau tidak akan dapat melawan kami berdua. Satu-satu kami memang mengakui bahwa kami sulit untuk mengimbangi kemampuanmu. Karena itu, kau berusaha untuk melepaskan kesatuan kami dengan loncatan-loncatan panjangmu dan kemudian kau berusaha menyerang salah seorang dari kami. Tetapi dalam perjalanan pergi, kau tidak akan dapat berbuat demikian atas kami,” jawab orang itu.

Glagah Putih berdiri tegak dengan tegangnya. la mengerti sebagaimana kedua orang itu, bahwa ia tidak akan dapat berbuat banyak atas kedua orang yang pergi itu. Ia tidak akan dapat menyerang keduanya selama keduanya akan sempat bertahan bersama-sama. Apalagi keduanya masih tetap memegang pisau belati mereka di tangan.

Glagah Putih itu termangu-mangu ketika ia melihat kedua orang itu melangkah menjauh. Mereka telah memilih jalan yang jauh dari padukuhan. Semakin lama semakin cepat. Mereka berharap, bahwa sebelum matahari terbit, mereka harus sudah berada di luar Tanah Perdikan Menoreh.

Glagah Putih melangkah maju beberapa langkah. Ia berpikir untuk beberapa saat, apakah yang sebaikrrya dilakukan. Jika ia mengikuti kedua orang itu, maka keduanya akan segera keluar dari Tanah Perdikan. Tetapi jika ia pergi ke padukuhan terdekat untuk membunyikan isyarat, maka iapun akan terlambat.

Dalam keragu-raguan itu, tiba-tiba saja Glagah Putih teringat bahwa kedua orang itu telah keluar dari sebuah regol halaman rumah di padukuhan sebelah. Karena itu, maka perhatiannya pun segera beralih kepada orang itu. Jika ia terpaksa tidak dapat menangkap kedua orang yang menyingkir itu, maka ia akan dapat menghubungi orang yang tinggal di padukuhan terdekat.

Sebenarnyalah Glagah Putih memilih cara kedua. Ia tidak akan dapat berbuat apa-apa atas kedua orang yang tentu akan keluar dari Tanah Perdikan dengan memilih jalan yang tidak akan dijumpai oleh orang lain. Menyusuri galengan, dan bahkan agaknya keduanya akan segera memasuki hutan perdu yang membatasi bagian tepi Tanah Perdikan Menoreh dengan sebuah hutan yang membujur panjang, meskipun tidak begitu tebal.

Dengan demikian maka Glagah Putih tidak mengejar kedua orang itu. Ia menyadari bahwa ia tidak akan dapat berbuat apa-apa atas keduanya sehingga jika ia mengikuti keduanya, maka usaha yang dilakukan itu adalah usaha yang sia-sia saja.

Karena itu, dengan tergesa-gesa Glagah Putih justru telah meninggalkan tempat itu dan kembali ke padukuhan. Ia harus segera bertemu dengan orang yang telah menjadi tempat kedua orang itu singgah.

Kedua orang yang meninggalkan Glagah Putih itu merasa lega ketika mereka tidak melihat anak muda itu mengikutinya. Mereka pun kemudian memang menuju ke padang perdu untuk menghilangkan segala jejak. Namun satu hal yang tidak mereka sadari, bahwa anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh itu tidak mengikutinya sejak mereka keluar dari padukuhan sebelah, tetapi justru sejak mereka keluar dari regol halaman rumah di padukuhan itu. Sehingga dengan demikian mereka tidak menduga sama sekali bahwa Glagah Putih telah mengambil langkah lain yang lebih berarti daripada mengikuti mereka berdua.

Dalam perjalanan kembali Glagah Putih justru telah melupakan luka-luka di tubuhnya. Ia tidak menghiraukan goresan-goresan yang telah menitikkan darah, sehingga pakaiannya pun telah terkena oleh darah pula.

Ketika Glagah Putih memasuki regol halaman rumah yang dikenalinya sebagai tempat kedua orang itu singgah, bersama dua orang peronda, langit benar-benar telah menjadi terang. Sebentar lagi matahari akan segera terbit dan haripun akan menjadi pagi.

Kedatangan Glagah Putih dalam keadaan yang demikian itu memang sangat mengejutkan.

Pemilik rumah itu dengan jantung yang berdebar-debar mempersilahkan Glagah Putih naik ke pendapa rumahnya yang tidak begitu besar.

“Apakah kau terlambat bangun?” bertanya Glagah Putih kepada pemilik rumah itu.

“Tidak. Kenapa?” orang itu justru ganti bertanya.

“Kau kesiangan menyapu halaman,” jawab Glagah Putih.

“Tidak kesiangan. Setiap hari aku melakukan pada saat yang begini,” orang itu menjelaskan.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya kepada kedua peronda yang datang bersamanya, “Duduklah sebentar di sini. Aku akan menumpang ke pakiwan untuk membenahi pakaianku yang barangkali kotor.”

“Kotor dan koyak-koyak, bahkan di beberapa tempat membekas darah,” berkata seorang di antara para peronda itu.

“Tetapi darah itu sudah mengering. Luka-lukaku tidak berdarah lagi,” jawab Glagah Putih. Lalu katanya kepada pemilik rumah itu, “Maaf, apakah aku boleh menumpang ke pakiwan?”

“Marilah, silahkan,” jawab pemilik rumah itu, yang kemudian mengantarkan Glagah Putih pergi ke pakiwan.

Namun sebenarnyalah hati pemilik rumah itu dicengkam oleh kegelisahan. Demikian ia mempersilahkan Glagah Putih masuk ke pakiwan, maka iapun bermaksud untuk meninggalkan rumahnya lewat regol butulan.

Tetapi ketika ia dengan diam-diam melangkah ke regol butulan, seorang di antara kawan Glagah Putih itu telah menyapanya, “He, kau akan pergi ke mana?”

Orang itu terkejut. Ketika ia berpaling dilihatnya orang yang menyapanya itu berdiri sambil bersilang tangan di dada.

“O, tidak kemana-mana,” jawab pemilik rumah itu tergagap.

Peronda yang datang bersama Glagah Putih itu melangkah maju. Sambil memandang buah jambu air yang bergayutan di dahan-dahannya ia berkata, “Pohon jambu airmu ternyata sangat lebat buahnya.”

“O, ya. Apakah kau ingin memetiknya?” bertanya orang itu dengan serta merta.

“Tidak sekarang,” jawab peronda itu, “masih terlalu pagi. Nanti setelah lewat tengah hari.”

“O” orang itu menjadi semakin gelisah. Lewat tengah hari. Apakah ia akan berada di rumahnya sampai lewat tengah hari?

Sejenak kemudian, maka Glagah Putih pun telah selesai membenahi pakaiannya. Tetapi yang terkoyak tetap juga terkoyak, sedangkan yang membekas darah menjadi kehitam-hitaman.

Tetapi luka-luka di tubuh Glagah Putih yang tidak terlalu dalam oleh goresan-goresan pisau belati lawannya telah menjadi pampat dengan sendirinya.

Ketika Glagah Putih keluar dari pakiwan, maka dilihatnya pemilik rumah dan seorang kawannya berada di bawah pohon jambu air. Karena itu maka mereka pun kemudian bersama-sama pergi kembali ke pendapa.

Setelah mereka duduk sejenak, maka pemilik rumah itu berkata, “Silahkan duduk sebentar. Aku akan mengatakan kepada istriku, bahwa di pendapa ada tamu, agar ia dapat menyiapkan minuman panas.”

“Terima kasih,” jawab peronda yang melihat pemilik rumah itu pergi ke regol butulan, “kami sudah minum di gardu tadi.”

Pemilik rumah itu menarik nafas dalam-dalam. Sementara Glagah Putih pun berkata pula, “Kami tidak akan terlalu lama berada di sini. Kami hanya ingin mengajakmu pergi ke rumah Ki Gede.”

“Aku?” orang itu menjadi pucat, “Kenapa? Apakah aku melakukan kesalahan?” “Tidak. Kau tidak melakukan kesalahan apapun juga. Tetapi sebaiknya kau pergi menghadap. Kita akan singgah sebentar mengajak Kakang Agung Sedayu bersama kita,” berkata Glagah Putih.

“Ya, tetapi kenapa?” orang itu menjadi gemetar. Namun tiba-tiba saja ia tidak dapat menahan diri, katanya, “Apakah hal ini ada hubungannya dengan kedatangan Kakang semalam?”

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Lalu jawabnya, “Ya. Tetapi Kakang siapa? Apakah orang-orang itu masih sanak kadangmu?”

“Kedua orang itu adalah orang-orang yang pernah dikenal oleh istriku ketika ia belum ikut aku sebagai suaminya di sini. Istriku berasal dari Kepandak. Keduanya memang masih mempunyai sangkut-paut dengan istriku. Mereka berasal dari Kepandak juga. Tetapi keduanya telah merantau sampai kemana-mana,” jawab orang itu.

“Dan keduanya telah datang ke rumah ini semalam?” berkata Glagah Putih.

“Ya. Keduanya telah datang k erumah ini,” pemilik rumah itu mengulang.

“Apa yang dikatakannya?” desak Glagah Putih.

“Menurut keterangan mereka, mereka mendapat pesan dari paman istriku di Kepandak, agar istriku menengoknya. Paman sedang sakit,” jawab pemilik rumah itu.

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak yakin akan kebenaran jawaban orang itu. Tetapi ia tidak berhak memeriksa orang itu. Karena itu maka katanya, “Marilah. Sebaiknya kita menghadap Ki Gede. Kedatangan kedua orang itu sangat mencurigakan.”

“Kenapa mencurigakan? Apakah karena mereka datang pada malam hari?” bertanya pemilik rumah itu.

“Ya. Apalagi mereka tidak mengambil jalan yang sewajarnya. Mereka telah menelusuri tepian sungai. Bukankah itu mencurigakan? Mungkin sikap mereka tidak ada hubungannya dengan kalian di rumah ini. Tetapi sebaiknya kita pergi ke Ki Gede Menoreh. Aku tidak tahu, apa yang akan dilakukan oleh Ki Gede atas persoalan ini. Tetapi segala sesuatunya, biarlah Ki Gede yang mengambil keputusan,” berkata Glagah Putih.

Pemilik rumah itu menjadi semakin cemas. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tidak akan dapat mengelak lagi. Tiga orang berada di pendapa itu. Jika ia berkeberatan, ketiga orang itu akan dapat memaksanya.

Beberapa saat pemilik rumah itu termangu-mangu. Dipandanginya Glagah Putih dan kedua orang kawannya berganti-ganti. Ia mengenal ketiga anak-anak muda itu, sebagai anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh.

Tetapi agaknya ia memang tidak mempunyai kesempatan lagi untuk mengelak. Karena itu, maka katanya, “Baiklah. Jika aku memang harus menghadap. Tetapi biarlah aku minta diri kepada istriku dan memberitahukan bahwa kedua orang yang masih mempunyai sangkut-paut dengan istriku itu telah menyebabkan aku dicurigai oleh para pengawal Tanah Perdikan.”

“Panggil saja istrimu dari sini,” jawab salah seorang dari kedua orang kawan Glagah Putih itu.

Pemilik rumah itu memang sudah tersudut dan tidak akan dapat berbuat lain. Karena itu, maka dipanggilnya istrinya untuk keluar dari ruang dalam ke pendapa.

“Aku akan pergi sebentar Nyi,” berkata pemilik rumah itu.

“Kemana?” bertanya isterinya.

“Ke rumah Ki Gede,” jawab suaminya.

“Untuk apa sepagi ini?” bertanya istrinya heran.

“Ada sedikit perlu Nyi,” yang menjawab adalah salah seorang dari kedua peronda yang datang bersama Glagah Putih.

Tetapi agaknya pemilik rumah itu memang ingin mengatakan kepada istrinya, bahwa kedua orang itulah yang menyebabkan ia dibawa. Karena itu maka katanya, “Mereka melihat Kakang berdua datang ke rumah ini. Mereka menjadi curiga, dan karena itu maka aku harus menghadap Ki Gede.”

“O,” wajah istrinya menjadi tegang, “tetapi apakah dengan demikian kau akan dihukum?”

“Terserah kepada Ki Gede,” jawab orang itu, “tetapi aku memang harus berterus-terang. Aku tidak akan dapat ingkar lagi.”

Istrinya terdiam sejenak. Namun kemudian dari kedua matanya telah meleleh air mata. Katanya, “Mereka datang atas kehendak mereka sendiri.”

“Semuanya terserah kepada Ki Gede. Mudah-mudahan Ki Gede mengambil keputusan yang lunak, karena memang tidak terjadi sesuatu dengan suamimu dalam hubungannya dengan kedua orang itu,” jawab Glagah Putih.

Perempuan itu tidak menjawab. Tetapi kecemasan yang sangat membayang di matanya.

“Jangan cemas,” berkata Glagah Putih kemudian, “Ki Gede akan melakukan apa yang baik dilakukan. Bukan hanya untuk kepentingannya sendiri, tetapi untuk kepentingan kita semuanya.”

Perempuan itu hanya mengangguk saja, sementara itu, suaminya pun telah pergi bersama Glagah putih dan dua orang peronda yang datang bersama Glagah Putih.

Sebelum mereka sampai ke rumah Ki Gede, maka mereka akan singgah lebih dahulu ke rumah Agung Sedayu untuk mengajaknya pergi ke rumah Ki Gede pula.

Perjalanan mereka sama sekali tidak mencurigakan Orang-orang yang melihat mereka, tidak menduga sama sekali, bahwa orang yang berjalan bersama Glagah Putih itu telah dicurigai dan dibawa menghadap Ki Gede. Tetangga-tetangganya mengira, bahwa orang itu hanya secara kebetulan berjalan searah saja dengan anak-anak muda itu:

Namun demikian, ada juga orang yang sempat melihat baju Glagah Putih yang kotor dan sobek. Tetapi mereka tidak menyadari, bahwa noda kehitam-hitaman itu adalah bekas darah.

Ketika mereka sampai ke rumah Agung Sedayu, maka seisi rumah menjadi terkejut. Pembantu di rumah Agung Sedayu langsung menegurnya, bahwa ia tidak turun ke sungai di saat menutup pliridan.

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Jawabnya, “Aku terlupa, karena aku tertidur di gardu peronda.”

Pembantu rumah Agung Sedayu itu menjawab, “Ada banyak sekali alasanmu. Tetapi jika kau tahu, kau akan menyesal bahwa kau tidak ikut menutup pliridan. Aku mendapat seekor pelus kecil.”

“O, ya? Beruntunglah kau. Tentu disambal mangut,” jawab Glagah Putih.

Namun dalam pada itu, Glagah Putih agaknya tidak ingin singgah. Ia hanya memberitahukan saja kepada Agung Sedayu apa yang telah dilakukannya.

“Aku mohon Kakang membawanya menghadap Ki Gede,” berkata Glagah Putih kemudian.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Aku akan membenahi pakaianku sebentar dan memberikan pesan kepada Sekar Mirah.”

Demikianlah Agung Sedayu pun kemudian ikut pula bersama Glagah Putih dan kedua orang peronda yang membawa orang yang dicurigainya menghadap Ki Gede, sementara Kiai Gringsing, Kiai Jayaraga, Ki Widura dan Sekar Mirah mengikuti mereka sampai ke regol halaman.

“Kau tidak berganti baju?” bertanya Sekar Mirah kepada Glagah Putih.

Glagah Putih menggeleng. Katanya, “Aku ingin menunjukkan kepada Ki Gede, apa yang terjadi.”

Tetapi agaknya Glagah Putih tidak sabar lagi. Katanya pula, “Jaraknya tinggal beberapa langkah.”

Sekar Mirah tidak memaksanya. Agaknya Glagah Putih ingin menunjukkan apa yang telah terjadi atas dirinya.

Ketika mereka sampai di rumah Ki Gede, agaknya Ki Gede terkejut juga. Hari masih pagi. Sementara itu, Agung Sedayu, Glagah Putih dan tiga orang lain datang bersamanya.

Ketika mereka sudah duduk di pendapa, maka Agung Sedayu pun mulai melaporkan apa yang sudah terjadi atas Glagah Putih, sehingga ia telah membawa seseorang menghadap Ki Gede.

Ki Gede menganggung-angguk. Ia memang melihat baju Glagah Putih yang sobek dan membekas noda-noda kehitaman. Ki Gede yang memiliki pengalaman yang luas segera mengenali bahwa noda-noda itu adalah noda-noda darah.

“Jadi kau sudah bertempur melawan kedua orang itu?” bertanya Ki Gede.

Glagah Putih mengangguk-angguk. Kemudian jawabnya, “Ya Ki Gede. Aku telah bertempur melawan mereka. Ketika aku melawan seorang di antara mereka, agaknya aku mempunyai kesempatan untuk mengalahkannya. Tetapi merekapun kemudian bertempur berpasangan, sementara ilmu mereka cukup memadai. Karena itu maka aku harus mengakui, bahwa melawan mereka berdua, kemampuanku masih belum cukup. Sebagaimana mereka katakan, bahwa kedua orang itu ternyata termasuk orang terpilih di antara kawan-kawan mereka.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Ia mengerti bahwa Glagah Putih telah menempa diri dengan laku yang sangat berat. Tetapi kedua orang yang dikatakannya itupun tentu bukan orang kebanyakan, sehingga Glagah Putih yang muda itu masih belum dapat mengatasi keduanya. 

“Agaknya kedua orang itu tentu bukan orang kebanyakan” desis Ki Gede hampir di luar sadarnya.

Agung Sedayu pun mengangguk-angguk. Ia tahu pasti tingkat kemampuan Glagah Putih yang jarang ada bandingnya di antara anak-anak muda. Bahkan ilmunya sudah dapat dibanggakan di lingkungan olah kanuragan. Namun ternyata bahwa ia tidak dapat mengatasi kemampuan dua orang lawannya, sehingga dengan demikian dapat diduga bahwa kedua orang itu tentu orang-orang terpilih untuk tugas tertentu.

Dalam pada itu, maka Ki Gede pun kemudian memandangi orang yang telah didatangi oleh kedua orang itu. Dengan nada datar Ki Gede pun kemudian berkata, “Kau tidak perlu menyembunyikan sesuatu. Jika kau membantu kami dengan sungguh-sungguh, maka kami justru akan berterima kasih kepadamu.”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Bahkan ia sempat berpaling kepada Agung Sedayu. Ia sadar sepenuhnya, siapakah orang yang bernama Agung Sedayu itu. Karena itu, maka iapun kemudian menjawab, “Ampun Ki Gede. Kami tidak tahu apa yang sebenarnya telah kami lakukan. Kedua orang itu datang tanpa kami minta, karena keduanya masih mempunyai sangkut paut dengan istriku.”

“Jangan katakan, bahwa mereka hanya sekedar memanggil istrimu karena pamannya sakit,” desis Glagah Putih.

Agung Sedayu-lah yang menggamitnya sambil berdesis, sehingga Glagah Putih pun kemudian telah terdiam.

Orang yang telah didatangi oleh kedua orang itu menarik nafas dalam-dalam. Agaknya ia memang merasa bahwa ia tidak akan dapat berbuat sesuatu lagi, selain mengatakan apa yang telah terjadi.

“Ampun Ki Gede,” berkata orang itu, “kedua orang itu telah datang ke rumahku. Mereka semula memang mengatakan, bahwa paman istriku sedang sakit. Karena keduanya memang masih mempunyai sangkut paut dengan istriku, maka mereka merasa wajib untuk datang dan memberitahukan hal itu kepada istriku. Tetapi kemudian merekapun telah minta beberapa hal untuk aku lakukan.”

“Apa yang harus kau lakukan?” bertanya Ki Gede.

“Tidak banyak. Aku hanya diminta untuk memberikan keterangan tentang pasukan khusus yang ada di Tanah Perdikan Menoreh. Karena rumahku dekat dengan barak pasukan khusus itu, maka mereka minta aku dapat mengira-irakan jumlahnya. Apa saja yang mereka lakukan sehari-hari dan mengamati tingkah laku mereka.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Lalu ia pun bertanya, “Hanya itu?”

Orang itu termangu-mangu. Namun jawabnya kemudian, “Aku juga diminta untuk memberikan keterangan tentang para pengawal di Tanah Perdikan ini,” ia berhenti sejenak. Lalu, “Tetapi yang terpenting adalah tentang pasukan khusus di dalam barak itu.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Glagah Putih beringsut sejengkal. Tetapi ia tidak sempat mengatakan sesuatu, karena sekali lagi Agung Sedayu menggamitnya.

Dalam pada itu Ki Gede pun bertanya, “Untuk siapa mereka bekerja, dan imbalan apakah yang kau terima?”

“Semula kami, maksudku aku dan istriku, menolak untuk melakukannya. Tetapi ternyata bahwa kami tidak dapat bertahan untuk bersikeras. Ketika orang itu mengatakan bahwa ia akan melakukan apa saja, halus atau kasar terhadap paman istriku yang dikatakannya sakit itu, dan bahkan akan merembet kepada orang-orang lain yang masih mempunyai hubungan keluarga dengan istriku, maka istriku mulai bimbang,” berkata orang itu.

“Hanya dengan ancaman-ancaman seperti itu?” desak Ki Gede.

Suara Ki Gede sama sekali tidak menunjukkan kekerasan atau tekanan yang memaksa orang itu harus mengaku. Tetapi wibawa Ki Gede-lah yang tidak dapat dielakkan sama sekali oleh orang itu, sehingga akhirnya ia menjawab, “Sebenarnyalah Ki Gede, bahwa kedua orang itu telah menyanggupi untuk memberikan imbalan uang, kelak jika aku berhasil.”

“Kelak?” ulang Ki Gede

“Ya Ki Gede. Kelak. Keduanya akan datang lagi dalam waktu sepuluh hari. Waktu yang diberikan kepadaku untuk menyiapkan jawaban-jawaban dari pertanyaan yang mereka berikan itu,” jawab orang itu.

Ki Gede mengangguk-angguk. Tetapi ia masih bertanya, “Ada yang belum kau jawab, untuk siapa orang itu bekerja?”

Orang yang telah didatangi oleh kedua orang itu termangu-mangu. Namun ketika ia melihat sorot mata Ki Gede, maka ia tidak dapat mengelak lagi. Katanya, “Menurut pengetahuanku, mereka telah bekerja untuk Pajang.”

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku sudah menduga, bahwa orang-orang yang bertindak aneh-aneh saat ini telah bekerja untuk Pajang., Agaknya Pajang benar-benar ingin mengukur kekuatan Mataram.”

“Satu perbuatan yang patut disesali,” desis Agung Sedayu, “justru pada saat Mataram memerlukan dukungan dari segala unsur yang ada.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Sebenarnyalah memang pantas disesali. Aku kurang mengerti tujuan akhir dari Adipati Pajang itu.”

Namun dalam pada itu, di luar dugaan Glagah Putih telah bertanya kepada orang itu, “Darimana kau tahu, bahwa mereka bekerja untuk Pajang?”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu Glagah Putih mendesaknya, “Apakah orang-orang itu berkata dengan terus-terang bahwa mereka bekerja untuk Pajang?”

Orang itu memandang Ki Gede sekilas. Namun dengan ragu-ragu ia menjawab, “Mereka memang tidak mengatakannya. Tetapi menilik pembicaraan mereka, setiap kali mereka menyebut Pajang dan hubungan mereka dengan orang-orang Pajang. Sadar atau tidak sadar, sehingga aku dapat mengambil kesimpulan bahwa mereka telah berhubungan dengan Pajang.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Sementara itu, Agung Sedayu-lah yang bertanya, “Menurut keteranganmu, apakah benar mereka akan kembali dalam waktu dekat?”

“Ya. Mereka akan kembali dalam waktu sekitar sepuluh hari,” berkata orang itu, “mereka akan datang untuk mendapat keterangan sebagaimana mereka kehendaki. Mereka ingin mendapat jawaban tentang pasukan khusus dan juga kekuatan para pengawal Tanah Perdikan ini.”

“Kau menyanggupinya?” bertanya Ki Gede.

“Kami tidak dapat berbuat lain. Paman istriku diancamnya,” jawab orang itu.

“Bukan itu,” potong Glagah Putih, “kau telah tertarik kepada janji mereka untuk memberikan imbalan yang cukup banyak bagi keteranganmu tentang kekuatan pasukan khusus itu dan juga tentang kekuatan para pengawal di Tanah Perdikan. Dengan keterangan itu, maka Pajang akan dapat membuat perhitungan, apakah Pajang akan dapat mengimbangi kekuatan Mataram atau tidak. Kau tentu dapat juga membayangkan, bahwa petugas-petugas yang demikian tidak hanya membayangi Tanah Perdikan ini, tetapi tentu juga tempat-tempat lain. Mungkin Sangkal Putung, mungkin Jati Anom, mungkin Jipang yang dipimpin oleh Pangeran Benawa, dan mungkin tempat-tempat lain yang diperhitungkan akan berpihak kepada Mataram.”

Orang itu tidak menjawab. Tetapi kepalanya menunduk dalam-dalam.

Namun Agung Sedayu-lah yang menarik nafas dalam-dalam. Glagah Putih agaknya masih dipengaruhi oleh kegagalannya menangkap kedua orang itu, sehingga lonjakan perasaannya masih terasa.

Sementara itu Ki Gede pun bertanya kepada orang yang telah didatangi oleh kedua orang itu, “Baiklah. Agaknya kau sudah mengatakan apa yang kau alami. Tetapi aku ingin tahu isi hatimu yang sebenarnya. Apakah kau masih merasa dirimu keluarga Tanah Perdikan ini?”

Orang itu terkejut. Namun kemudian dengan suara bergetar ia menjawab, “Tentu Ki Gede. Aku adalah anggota keluarga Tanah Perdikan ini.”

Ki Gede mengangguk-angguk Lalu katanya, “Jika demikian, maka Tanah Perdikan ini akan menuntut kesetiaanmu.”

Wajah orang itu menjadi tegang. Keringat dingin mengalir di seluruh tubuhnya. Ia merasa, bahwa ia telah merambah jalan yang tidak sewajarnya sebagai anggota keluarga Tanah Perdikan, karena kehadiran kedua orang itu.

Karena orang itu masih saja berdiam diri Ki Gede pun bertanya pula, “Apa katamu? Apakah kau masih bersedia melakukan darma bakti bagi Tanah Perdikan ini?”

Orang itu beringsut setapak. Kemudian katanya, “Aku bersedia Ki Gede, karena itu memang menjadi kewajibanku.”

“Baiklah,” berkata Ki Gede, “jika demikian, maka kau harus melakukan sebagaimana aku katakan. Kau tidak boleh berbuat sesuatu yang mencurigakan terhadap kedua orang itu. Biarlah mereka kembali dan menanyakan kembali tentang pasukan khusus dan kekuatan Tanah Perdikan ini. Seperti yang dikatakan oleh Glagah Putih, maka Pajang tentu mencoba untuk menghimpun keterangan tentang kekuatan Mataram. Bahkan Pajang tentu mempertimbangkan apakah para Adipati akan ikut mencampuri persoalannya dengan Mataram atau tidak. Tetapi kita yakin bahwa segala pihak akan mengambil langkah mereka masing-masing sesuai dengan keadaan mereka. Sementara ini, kitapun akan mengambil langkah sesuai dengan keadaan kita di sini.”

Orang itu tidak segera menjawab. Karena itu maka Ki Gedepun berkata selanjutnya, “Untuk itu, maka kau dituntut kesediaanmu untuk bekerja sama dengan kami. Jika kedua orang itu datang lagi ke rumahmu, maka kami akan menjebaknya, dan kami ingin mendapat keterangan yang lebih terperinci dari tugas-tugas mereka.”

Orang itu nampak ragu-ragu. Namun iapun kemudian mengangguk-angguk sambil menjawab, “Kami akan melakukannya Ki Gede, sejauh dalam jangkauan kemampuanku.”

“Kau tidak harus melakukan apa-apa. Kau hanya menerima kedua orang itu sebagaimana pernah kau lakukan,” jawab Ki Gede, “segalanya kamilah yang akan mengatur.”

Orang itu mengangguk sambil menjawab, “Segalanya aku serahkan kepada kebijaksanaan Ki Gede. Sebenarnyalah bukan maksud kami untuk mengkhianati Tanah Perdikan ini.”

“Kau masih harus membuktikan kata-katamu,” berkata Ki Gede, “jika kau ingkar, maka akibatnya tidak akan baik bagimu dan keluargamu. Aku tidak mengancam dan menakut-nakutimu. Tetapi kau harus sadar, bahwa kau hidup di Tanah Perdikan Menoreh. Setiap hari kau menghirup udara Tanah Perdikan ini. Kau makan dari hasil bumi Tanah Perdikan ini. Kau meneguk air dari sumber di Tanah Perdikan ini pula.”

Orang itu mengangguk-angguk. Jawabnya, “Aku mengerti Ki Gede.”

“Nah, jika demikian, maka kau sekarang dapat pulang. Kau dapat mengarang cerita untuk memberikan jawaban terhadap kedua orang yang sepuluh hari lagi akan datang kepadamu. Sementara itu, kami akan mempersiapkan segala sesuatunya untuk kepentingan itu.”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Ia menyadari bahwa dengan demikian ia telah mendapat beban yang sangat berat. Ia teringat kepada paman istrinya. Kepada sanak kadang istrinya yang ada di Kepandak.

Tetapi ia tidak dapat ingkar, bahwa ia adalah orang Tanah Perdikan Menoreh. Ia adalah salah seorang dari keluarga besar Tanah Perdikan itu. Karena itu, ia memang harus menunjukkan baktinya kepada Tanah Perdikan yang hampir saja dikhianatinva. Bukan saja Tanah Perdikan Menoreh, tetapi juga Mataram.

Demikianlah, maka orang itupun telah minta diri. Dengan jantung yang berdebaran, orang itu berjalan menyusuri jalan-jalan Tanah Perdikan sambil memikirkan yang akan dapat terjadi atasnya.

Tetapi ia tidak dapat berbuat lain. Ia harus berbuat sesuatu bagi Tanah Perdikannya. Meskipun ia mencemaskan nasib paman istrinya dan sanak kadangnya yang lain.

“Tetapi jika kedua orang itu dapat ditangkap, maka mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi terhadap paman istriku itu,” berkata orang itu di dalam hatinya.

Ketika ia naik ke tangga rumahnya, maka istrinya telah berlari-lari menyongsongnya. Dengan kecemasan yang menekan dadanya, ia dengan serta merta bertanya, “Apa yang terjadi Kakang?” Suaminya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia melihat lagi air mata di pelupuk mata istrinya.

“Tidak apa-apa. Sebagaimana kau lihat,” suaminya mencoba tersenyum. Tetapi senyumnya adalah senyum yang pahit. Sehingga karena itu, maka istrinya mendesaknya, “Kakang, jangan sembunyikan sesuatu. Beritahu aku apa yang terjadi”

Suaminya termangu-mangu sejenak. Namun katanya kemudian, “Marilah. Kita masuk ke dalam. Aku akan mengatakannya.”

Keduanya pun kemudian duduk di ruang dalam. Suaminya menarik nafas sambil berkata, “Ternyata kita membentur tawang. Kedatangan kedua orang itu tetah menimbulkan kesulitan kepada kita. Aku kira tidak ada orang yang melihatnya, ternyata persoalannya justru telah sampai kepada Ki Gede.”

“Lalu, apakah kita akan dihukum?” bertanya istrinya.

“Ki Gede masih tetap seorang yang bijaksana,” jawab suaminya, “tetapi kita memang berada di simpang jalan yang sulit. Keadaan telah memaksa kita untuk mengalami benturan yang sangat pahit.”

Dengan gamblang iapun kemudian menceritakan apa yang dikehendaki oleh Ki Gede, sehingga dengan demikian maka mereka akan menjadi umpan untuk menjebak kedua orang itu.

“O, ternyata nasibku menjadi sangat buruk,” keluh istrinya.

“Sudahlah. Jangan mengeluh. Kita sudah terperosok ke dalam lubang yang dalam. Kita harus berusaha untuk bangkit dan mengatasinya. Kita memang sudah bersalah. Kita sudah terbius oleh janji kedua orang itu. Bagaimanapun juga, telah pernah terbersit di dalam hati kita untuk menerima upah yang sangat besar yang dijanjikan itu,” berkata suaminya.

“Tetapi bukankah Paman telah diancam jika kita menolak tawaran itu?” bertanya istrinya.

“Itu sebagian saja dorongan atas kita untuk menerima tawarannya. Tetapi sebagian yang lain adalah uang itu,” jawab suaminya. “Kepada diri sendiri kita harus jujur, karena kita tidak akan dapat mengelak. Apa yang terbersit di dalam hati kita, tentu kita ketahui dengan pasti.”

Perempuan itu menundukkan kepalanya. Ia pun tidak dapat ingkar lagi, bahwa sebenarnyalah ia pun pernah disentuh oleh satu keinginan untuk menerirna uang yang sangat banyak yang dijanjikan.

Karena itu, maka kedua orang suami istri itu tidak dapat berbuat lain kecuali mematuhi perintah Ki Gede. Bukan saja karena mereka tidak dapat menolaknya demi keselamatan mereka, namun akhirnya mereka sadar, bahwa mereka memang harus berbuat sesuatu bagi Tanah Perdikannya itu.

“Tetapi kita harus rahasiakan sikap kita ini,” berkata suaminya, “kedua orang itu harus datang dan Ki Gede akan menjebaknya.”

Istrinya mengangguk kecil. Sebenarnya ia merasa ketakutan untuk melakukannya. Tetapi juga ketakutan untuk tidak melakukannya.

Sementara itu di rumah Ki Gede, Agung Sedayu masih duduk bersama Ki Gede untuk membicarakan persoalan kedua orang yang telah memasuki Tanah Perdikan itu. Glagah Putih dengan kedua orang peronda yang datang bersamanya telah diperkenankan untuk meninggalkan rumah Ki Gede. Mungkin Glagah Putih memerlukan pengobatan atas luka-lukanya meskipun sudah tidak berdarah lagi. Tetapi betapa tipisnya goresan-goresan pisau itu, namun memerlukan perhatian agar luka-luka kecil itu tidak justru menjadi besar.

Namun baik Ki Gede maupun Agung Sedayu telah berpesan dengan sungguh-sungguh agar mereka merahasiakan persoalan yang sedang mereka bicarakan itu. Kepada kedua orang peronda yang ikut bersama Glagah Putih, Agung Sedayu perpesan dengan sungguh-sungguh, “Demi kepentingan Tanah Perdikan Menoreh, jangan mengatakan kepada siapapun. Jika rahasia ini bocor dan sampai ke telinga orang-orang Pajang, maka rencana kita untuk menjebak kedua orang itu akan gagal. Akibatnya tidak hanya parah bagi paman perempuan yang pernah didatanginya, tetapi usaha untuk mendapat keterangan lebih banyak lagi dari mereka berdua juga gagal.”

“Kami berjanji,” berkata kedua orang peronda itu, “kami mengerti kepentingannya agar hal ini dirahasiakan.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk, “Terima kasih. Kau dapat membicarakan persoalan apa yang sudah terjadi agar jawab kalian kepada kawan-kawan kalian tidak bersimpang siur. Tetapi sudah tentu bukan jawab yang sebenarnya.”

Dalam pada itu di rumah Ki Gede, Agung Sedayu telah menyusun satu rencana penyergapan. Agung Sedayu sendiri akan melakukannya bersama dengan Glagah Putih.

Tetapi untuk menghindari kemungkinan kedua orang itu melarikan diri, maka Agung Sedayu akan mempergunakan beberapa orang pengawal untuk mengepung tempat itu.

“Tetapi perintah untuk itu dapat diberikan malam itu juga Ki Gede,” berkata Agung Sedayu.

“Ya. Jika tidak, maka ada kemungkinan jebakan itu bocor dan didengar oleh orang-orang Pajang,” berkata Ki Gede.

Demikianlah, maka rencana itu nampaknya telah dibicarakan dengan masak. Karena itu, maka Agung Sedayu pun kemudian minta diri pula.

Namun dalam pada itu, meskipun persoalannya dirahasiakan, tetapi ada juga yang bertanya-tanya kepada Glagah Putih, apa yang telah terjadi malam itu.

“Tidak ada apa-apa,” jawab Glagah Putih.

“Kau mengajak dua orang kawan kami untuk mengamati keadaan. He, bagaimana dengan kedua orang yang kau lihat keluar dari regol rumah itu, dan bukankah kau menyuruh seorang peronda untuk bersiap-siap dan mempersiapkan kawan-kawan?” bertanya seseorang.

Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Ketika ia mengamati kedua orang yang keluar dari regol itu, ia memang bersama seorang peronda yang dibawanya.

Namun akhirnya Glagah Putih berkata, “Tidak ada apa-apa. Aku hanya salah tafsir saja. Sudahlah, jangan dibicarakan lagi.”

Justru karena Glagah Putih menganggap hal itu tidak penting, maka kawan-kawannya pun tidak membicarakannya lagi. Mereka menganggap bahwa yang terjadi itu adalah persoalan yang wajar saja sehingga tidak memerlukan perhatian tersendiri.

Dengan demikian, maka tidak ada lagi orang yang berbicara tentang dua orang yang telah diikuti oleh Glagah Putih itu. Karena itu, maka rahasia yang harus disimpannya itu pun tidak pernah dibocorkannya.

Hanya beberapa orang saja yang tahu, bahwa dalam waktu yang dekat akan terjadi sesuatu. Beberapa orang itu telah menunggu dengan tegang, seakan-akan waktu berjalan sangat lambatnya. Pada waktu yang sudah ditentukan, dua hari sebelum dan dua hari sesudah hitungan kesepuluh dari hari kedatangan kedua orang itu, Agung Sedayu akan memasang jebakan.

Tetapi ketika yang sepuluh hari itu belum datang, maka orang yang didatangi oleh kedua orang sanak istrinya itu terkejut. Ketika ia sedang berada di sawah, maka seorang dari kedua orang itu telah menemuinya.

“Jangan terkejut,” berkata orang itu, “aku datang sebelum waktunya.”

Keringat dingin mengalir di seluruh tubuh orang yang didatanginya. Sesaat ia justru terbungkam. Dengan demikian maka semua rencana akan gagal dilaksanakan.

“Apakah kau sudah berhasil?” bertanya orang itu sambil duduk di pematang.

Sejenak orang yang didatanginya itu termangu-mangu. Namun ia tidak dapat untuk tetap berdiam diri. Karena itu, maka iapun segera menjawab, “Belum. Bukankah Kakang baru akan datang besok lusa? Aku memang sudah mulai dengan pengamatanku. Tetapi aku belum sampai kesimpulan terakhir.”

Orang itu tersenyum. Katanya, “Aku memang akan datang lagi besok lusa. Aku tidak tergesa-gesa. Tetapi aku hanya ingin memberitahukan kepadamu, bahwa besok lusa aku tidak akan datang ke rumahmu.”

Wajah orang yang didatanginya itu menjadi tegang.

“Tidak apa-apa. Aku tidak menarik janjiku untuk memberimu upah yang cukup. Tetapi ada persoalan lain yang harus kau ketahui,” berkata orang itu.

“Apa?”

“Ketika aku kembali dari rumahmu, di luar padukuhanmu aku telah diikuti oleh seorang anak muda. Bahkan telah terjadi sedikit benturan. Tetapi anak itu melarikan diri. Meskipun demikian, bukankah itu berarti bahwa kedatanganku telah diketahui oleh anak-anak muda Tanah Perdikan ini, sehingga mereka akan dapat bersiaga? Mereka tentu mengira bahwa aku akan kembali lagi. Dan bukankah memang demikian rencanaku?” berkata orang itu pula.

Orang yang didatanginya itu mengangguk-angguk. “Lalu apa maksudmu?” ia bertanya.

“Tetapi kau benar-benar belum sampai kesimpulan yang terakhir?” bertanya orang itu.

“Belum. Di barak khusus itu sekarang telah terjadi pembidangan yang agak berbeda dengan sebelumnya. Dahulu mereka dibagi dalam kelompok-kelompok yang berlatih di halaman samping yang luas itu pada saat-saat tertentu, sehingga mudah untuk mengira-irakan. Tetapi sekarang menurut pendengaranku, pasukan khusus itu dibagi sesuai dengan asal anak-anak muda yang berada di dalam barak itu. Mereka berdatangan dari berbagai daerah, yang nampaknya ada perasaan saling mencurigai di antara mereka,” jawab orang yang didatangi.

“Bagus,” orang yang datang itu menepuk bahunya, “ternyata kau memiliki pengamatan yang sangat baik. Aku tidak mengira.”

“Aku hanya menduga-duga dan menangkap pembicaraan beberapa orang yang sering bertemu. Aku memang mengenal beberapa orang perwira yang ada di dalam barak itu. Selain mereka, aku juga bersumber pada orang-orang yang setiap hari memasukkan bahan makanan buat pasukan khusus di dalam barak itu,” jawab orang yang didatanginya. Lalu katanya, “Tetapi yang rumit adalah untuk mengetahui orang-orang yang berilmu tinggi di dalam barak itu. Agung Sedayu dan Sekar Mirah sudah tidak selalu berada di barak itu, meskipun kadang-kadang mereka masih juga datang. Sedangkan yang lain sulit untuk dapat disadap.”

Orang itu tertawa. Katanya, “Baiklah. Tangkap pengertian sebanyak-banyaknya tentang apa saja.”

Orang yang baru berada di sawahnya itu mengangguk-angguk. Ia sudah menyiapkan cerita tentang isi barak itu sebagaimana dinasehatkan oleh Ki Gede. Tetapi ia tidak mau mengatakannya saat itu, karena dengan demikian maka orang itu tentu tidak akan kembali lagi.

Ternyata di dalam dada orang itu telah berkembang satu keinginan untuk berbuat sesuatu atas Tanah Perdikan yang hampir saja disisihkannya dari hatinya.

Sementara itu, maka iapun telah menjawab, “Tetapi dalam batas waktu yang aku sanggupkan, semuanya tentu sudah siap. Juga kekuatan yang ada di Tanah Perdikan ini. Karena kekuatan Pengawal Tanah Perdikan ini sebenarnya berada di induk pasukannya yang sebagian besar bertugas di induk padukuhan Tanah Perdikan.”

Orang yang datang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku memang akan datang pada waktunya. Tetapi seperti yang sudah aku katakan, bahwa aku telah diketahui oleh para pengawal. Karena itu maka biarlah aku akan datang pada saatnya, tetapi tidak di rumahmu. Aku akan datang ke tempat ini, sehingga pada saat yang dijanjikan, kau harus menunggu kami di sini. Di tengah malam.”

Orang Tanah Perdikan Menoreh itu berpikir sejenak. Namun kemudian ia mengangguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan berada di sini pada saatnya di tengah malam. Tetapi kau jangan ingkar. Kau harus membawa uang yang kau janjikan.”

“Aku tidak pernah ingkar. Bukankah aku masih ada hubungan darah dengan istrimu, sehingga seandainya tidak ada persoalan apapun juga, wajar sekali jika aku memberi sesuatu kepada istrimu jika aku mempunyainya. Satu pemberian dari seorang saudara yang lebih tua kepada yang lebih muda,” berkata orang yang datang itu, kemudian, “apalagi dalam persoalan seperti ini. Kau tahu, bahwa dalam tugasku, aku mendapat biaya tanpa batas. Berapapun yang aku minta, aku tentu mendapatkannya.”

Orang Tanah Perdikan itu mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih. Aku akan berusaha untuk mendapatkan keterangan yang lebih pasti. Aku bekerja sama dengan seorang yang selalu menyerahkan bahan makan ke dalam lingkungan barak itu, di samping pengamatanku sendiri pada waktu mereka mengadakan latihan, serta pembicaraanku dengan para perwira yang aku kenal di dalam barak itu.”

“Terserahlah cara yang akan kau tempuh. Tetapi aku yakin bahwa kau akan berhasil dengan baik,” jawab orang yang datang itu. Lalu katanya, “Baiklah. Aku hanya ingin mengatakan, bahwa aku tidak akan ke rumahmu. Aku akan menemuimu di sini. Di tengah malam.”

Orang Tanah Perdikan itu termangu-mangu sejenak. Namun tiba-tiba saja ia berkata, “Tetapi jangan menganggap bahwa di tengah malam itu tidak ada orang yang pergi ke sawah. Apalagi dalam musim seperti ini. Parit mengalir terlalu kecil, sehingga orang yang mendapat giliran mengairi sawahnya di malam hari akan berada di sawahnya.”

“Hanya satu dua orang yang tidak berarti,” jawab orang yang datang itu, lalu, “aku akan berhati-hati.”

Demikian orang itu bangkit dan siap untuk pergi, maka orang Tanah Perdikan itu menarik nafas dalam-dalam. Perubahan itu harus segera diberitahukannya kepada Agung Sedayu atau langsung kepada Ki Gede.

Namun dalam pada itu, orang yang sudah siap untuk pergi itu masih juga bertanya, “He, apakah para pengawal Tanah Perdikan ini memiliki ilmu yang luar biasa?”

“Kenapa?” bertanya orang Tanah Perdikan itu.

“Aku bertemu dengan seorang anak muda yang memiliki ilmu yang cukup. Jika itu ukuran Tanah Perdikan ini, maka pengawal Tanah Perdikan ini tentu sangat kuat,” berkata orang itu.

“Tentu tidak. Kau tentu bertemu dengan Agung Sedayu. Pemimpin pengawal yang juga menjadi pelatih di barak pasukan khusus itu,” jawab orang Tanah Perdikan itu.

“Agung Sedayu yang namanya kawentar? Tetapi apakah ia masih sangat muda?” bertanya orang yang datang itu.

“Tidak sangat muda. Tetapi ia memang masih terhitung muda,” jawab orang Tanah Perdikan itu.

Orang yang datang itu mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Aku juga mengira, bahwa hanya ada satu orang saja yang memiliki ilmu yang cukup seperti yang aku jumpai itu. Sayang ia melarikan diri, sehingga aku tidak berhasil menangkapnya,” orang itu berhenti sejenak, lalu, “tetapi apakah orang-orang Tanah Perdikan ini tahu bahwa aku telah datang ke rumahmu dan menanyakannya kepadamu?”

Orang Tanah Perdikan itu menggeleng. Jawabnya, “Tidak ada orang yang datang ke rumahku untuk berbicara tentang kalian.”

“Syukurlah,” jawab orang itu sambil melangkah, “aku pegi sekarang.”

“Hati-hatilah,” pesan orang Tanah Perdikan itu.

Orang yang dipesan itu mengangguk. Kemudian iapun meninggalkan saudaranya yang telah menyanggupinya untuk memberikan keterangan tentang kekuatan pasukan khusus Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh.

Demikian orang itu pergi, maka orang Tanah Perdikan Menoreh itupun segera mengemasi alat-alatnya. Iapun kemudian meninggalkan sawahnya dan pulang sebelum waktunya.

Ketika ia memasuki regol halaman rumahnya, ia menjadi berdebar-debar. Perubahan ini akan dapat menimbulkan persoalan baru. Jika orang-orang yang akan datang itu mengerti, bahwa mereka akan dijebak, maka persoalannya benar-benar akan rumit. Rumit bagi keluarganya, terutama keluarga istrinya di Kepandak, dan rumit bagi usaha untuk menangkapnya. Agaknya di sawah orang-orang Pajang itu mendapat kesempatan untuk memperhatikan keadaan di sekitarnya, jauh lebih baik daripada jika mereka berada di padukuhan.

“Tetapi segalanya terserah kepada Ki Gede,” berkata orang itu kepada diri sendiri, “asal aku berbuat jujur terhadap Tenah Perdikan ini, apapun yang terjadi biariah terjadi.”

Dengan demikian, setelah ia meletakkan alat-alatnya, maka iapun minta diri kepada istrinya untuk langsung menghadap Ki Gede.

Ki Gede mendengarkan laporan orang itu dengan penuh perhatian. Namun demikian Ki Gede itupun bertanya, “Apakah kau berkata sebenarnya, bukan sekedar untuk membelokkan perhatian kita?”

“Ki Gede, aku sudah menyadari, persoalan apakah yang sebenarnya aku hadapi,” jawab orang itu.

“Baiklah,” berkata Ki Gede, “jika demikian aku akan membicarakannya dengan Agung Sedayu.”

Orang itupun kemudian meninggalkan rumah Ki Gede, sementara Ki Gede akan membicarakan persoalan itu dengan Agung Sedayu.

Namun demikian, orang itupun menjadi cemas. Jika kedua orang Kepandak yang bekerja untuk Pajang itu ternyata mempunyai rencana lain, karena mereka menyadari jebakan yang akan dipasang, maka orang Tanah Perdikan itu akan terpukul pula karenanya. Bahkan mungkin Ki Gede dan Agung Sedayu menyangka, bahwa ia ikut pula dalam permainan yang merugikan Tanah Perdikan itu.

“Apa boleh buat,” desisnya ditujukan kepada diri sendiri, “asal aku ingin berbuat jujur.”

Dalam pada itu, ketika Ki Gede bertemu dengan Agung Sedayu yang memenuhi panggilannya, merekapun telah membicarakan tentang laporan yang diterima dari orang yang pernah berhubungan dengan orang Pajang itu.

“Apa yang sebaiknya kita lakukan Agung Sedayu?” bertanya Ki Gede, “Agaknya mereka pun mempertimbangkan medan. Di tempat terbuka, maka akan lebih mudah bagi mereka untuk mengamati keadaan. Apalagi bagi orang yang berilmu tinggi, dan mempunyai kekuatan untuk mempertajam penglihatannya. Maka agaknya mereka akan dapat melihat kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di sekitar mereka.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berdesis, “Cerdik juga orang itu.”

“Karena itu, kita pun harus menyusun rencana yang sebaik-baiknya,” berkata Ki Gede.

“Tetapi kita menguasai medannya,” berkata Agung Sedayu, “karena itu, maka kita akan mempunyai kesempatan lebih banyak dari orang-orang itu.”

“Ya. Meskipun demikian, kita harus tetap berhati-hati. Mungkin mereka akan berhasil lolos jika mereka memang melarikan diri. Seorang saja di antara mereka lolos, maka keluarga orang yang diancamnya itu di Kepandak akan mengalami nasib buruk,” berkata Ki Gede.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, maka kita benar-benar harus mengepung tempat itu. Kita harus berhubungan dengan para pengawal di padukuhan-padukuhan di sekitar peristiwa itu terjadi. Sore hari mereka supaya berada di gardu-gardu sebagaimana biasa. Baru mendekati tengah malam, kita akan mengatur mereka sebaik-baiknya. Jika hal itu kita lakukan jauh sebelumnya, maka mungkin sekali jebakan kita akan diketahui oleh orang yang akan kita jebak itu.”

“Semuanya terserah kepadamu Agung Sedayu,” berkata Ki Gede.

“Baiklah Ki Gede, aku akan mengaturnya. Namun menilik sikap mereka yang cukup hati-hati, maka aku kira, aku justru tidak memerlukan terlalu banyak orang. Apalagi di bulak yang luas. Aku hanya akan minta para pengawal mengawasi semua jalan yang keluar dari bulak itu, serta pengawasan atas rentangan pematang dari jalan sampai ke jalan, sehingga dengan demikian tidak akan ada seorang pun yang akan dapat lolos. Sementara itu, pengawasan itu dapat dilakukan dari jarak yang cukup jauh,” berkata Agung Sedayu.

“Mudah-mudahan semuanya berjalan baik. Namun jika saatnya tiba, beritahukan kepadaku. Aku akan ikut bergerak pada malam yang sudah di tentukan itu,” berkata Ki Gede

“Aku akan memberikan laporan Ki Gede. Bahkan aku akan mempersilahkan Guru dan Kiai Jayaraga serta Ki Widura untuk keluar juga pada malam itu. Karena jika seorang pun lolos, seperti yang dicemaskan Ki Gede, tentu akan terjadi di Kepandak,” berkata Agung Sedayu.

“Ah,” Ki Gede berdesah, “kau agaknya terlalu merepotkan orang-orang tua itu. Biarlah mereka beristirahat. Sedangkan meskipun sudah tua, aku memang mempunyai kewajiban.”

“Tidak apa-apa Ki Gede,” jawab Agung Sedayu, “aku hanya akan mohon mereka untuk menjadi penonton.”

“Jika demikian, terserahlah. Tetapi jangan terlalu banyak mengganggu tamu-tamumu,” berkata Ki Gede.

“Mereka akan senang, daripada hanya duduk saja berbincang-bincang kesana-kemari dari pagi sampai malam hari,” jawab Agung Sedayu sambil tersenyum.

Demikianlah, maka segala sesuatunya harus disesuaikan dengan perkembangan keadaan. Namun Agung Sedayu menganggap, bahwa persoalannya tentu menjadi persoalan yang sungguh-sungguh, karena Glagah Putih telah pernah berkelahi melawan kedua orang itu.

“Jika kedua orang itu mempunyai kesan bahwa para pengawal Tanah Perdikan Menoreh memiliki kemampuan yang tinggi, maka mereka tentu menjadi lebih berhati-hati.”

“Aku percaya kepadamu,” berkata Ki Gede, “tetapi ingat, bahwa kita sampai saat ini tidak bermusuhan dengan Pajang, meskipun aku kurang mengerti niat Adipati Pajang yang sebenarnya. Jika beberapa saat yang lalu Adipati Pajang itu tidak mencampuri pemberontakan sebagian prajuritnya, yang tidak mau tunduk kepada Mataram, kini Adipati Pajang sendiri telah melakukan sesuatu yang terasa memang agak aneh.”

“Tentu ada masalah yang rumit,” jawab Agung Sedayu. Lalu katanya, “Menurut dugaanku, tetapi sekedar dugaanku Ki Gede, bukankah kekayaan Pajang dan mungkin pusaka-pusaka istana masih tetap berada di gedung perbendaharaan dan di gedung pusaka Pajang? Apakah mungkin persoalan itulah yang menumbuhkan ketegangan antara Pajang dan Mataram? Sebagai pengganti penguasa Tanah ini, mungkin Mataram menganggap perlu untuk memindahkan terutama pusaka-pusaka ke Mataram.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Ia sependapat dengan Agung Sedayu sehingga kemudian katanya, “Mungkin sekali. Agaknya Pajang berkeberatan untuk melepaskan benda-benda berharga dan pusaka-pusaka itu untuk dibawa ke Mataram. Sementara itu, menurut pengamatan Adipati Pajang, Madiun agaknya juga telah menarik batas dengan Mataram, sehingga Pajang tidak akan, setidak-tidaknya untuk sementara, mendapat hambatan dari Madiun.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata perjuangan Panembahan Senapati untuk menegakkan Mataram masih cukup panjang dan berat.

Sementara itu, maka Agung Sedayu pun telah minta diri. Ia ingin berbicara dengan gurunya tentang rencananya untuk menjebak orang-orang Pajang yang sedang berusaha untuk mengetahui kekuatan Mataram yang sebenarnya, sebagaimana pernah dilakukan Pajang ketika Sultan Hadiwijaya masih bertahta.

Kiai Gringsing yang kemudian mendengar keterangan Agung Sedayu itupun mengangguk-angguk. Sebagaimana pendapat Agung Sedayu tentang hubungan Pajang dan Mataram sebagaimana dibicarakannya dengan Ki Gede, Kiai Gringsing pun sependapat pula.

Tentang orang-orang Pajang yang akan mencari keterangan di Tanah Perdikan itu, Kiai Gringsing berkata, “Baiklah, kita akan melihat apa yang mereka lakukan. Memang sebaiknya tidak seorang pun di antara mereka yang boleh lolos. Agaknya mereka tidak sekedar bergurau dengan ancaman-ancaman. Jika mereka gagal, mungkin mereka benar-benar akan berbuat kasar terhadap keluarga istri orang yang didatanginya itu di Kepandak. Tetapi jika semuanya berhasil kita tangkap, maka tidak seorang pun yang akan dapat melepaskan dendamnya. Aku kira orang-orang itu tidak akan berpesan kepada siapapun juga tentang dendamnya itu.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar