Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 187

Buku 187

Demikianlah, maka orang-orang yang tinggal di rumah Agung Sedayu itupun segera berangkat meninggalkan padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi mereka tidak berangkat berbareng dan rnengambil arah jalan yang sama. Mereka tidak ingin menarik perhatian, bukan saja di Mataram, tetapi juga sejak mereka berada di Tanah Perdikan Menoreh.

Kiai Gringsing pergi bersama Ki Widura, sementara Kiai Jayaraga pergi bersama Agung Sedayu dan Glagah Putih. Namun mereka sepakat, jika mereka mendekati dinding Kota Mataram, mereka akan meninggalkan kuda-kuda mereka di tempat yang tersembunyi dan memasuki Kota Raja dengan berjalan kaki saja.

Sebenarnyalah bahwa maIam itu, seorang Tumenggung sedang mengadakan keramaian. Keramaian yang merayakan hari kelahirannya yang ke-limapuluh. Ketika ia menginjak umur lima puluh tahun dalam keadaan yang sehat dan sejahtera, maka ia merasa sepantasnya untuk merayakannya.

Tetapi ternyata seorang anak muda telah menilai Ki Tumenggung itu sebagai seorang Tumenggung yang sombong, yang angkuh dan merasa dirinya memiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga menimbulkan niatnya untuk melakukan satu permainan yang berbahaya.

Bagi Raden Rangga, Ki Tumenggung Wiragiri memang seorang Tumenggung yang sombong. Raden Rangga pernah mendengar kesediaan Tumenggung itu untuk menangkap Raden Rangga jika ia melakukan kenakalan lagi di Mataram, di hadapan ayahandanya Panembahan Senapati.

Ketika itu, ayahandanya Pembahan Senapati sedang marah kepada Raden Rangga, sehingga ia memerintahkan kepada para Tumenggung yang melihat kenakalan anak itu untuk menangkapnya dan membawanya menghadap.

“Jangan takut,” berkata Panembahan Senapati, “jika Rangga sekali lagi berani memindahkan sasak penyeberangan itu ke tempat lain, maka ia harus dihukum. Aku minta kalian menangkapnya dan membawanya menghadap. Aku tidak akan mempersalahkan kalian yang menangkap Rangga. Aku justru berterima kasih.”

Tidak ada seorangpun yang menjawab. Tetapi Tumenggung Wiragiri itu, dengan sombong menurut pendengaran Raden Rangga, berkata, “Hamba akan melakukannya, Panembahan.” Sejak itu, Raden Rangga tidak menyenangi Tumenggung Wiragiri. Apalagi ketika Raden Rangga melihat cara hidup Tumenggung itu di rumahnya. Meskipun ia tidak terlalu jelas, tetapi berdasarkan pendengarannya, maka Tumenggung itu terlalu keras sikapnya terhadap orang-orangnya. Terhadap bawahannya dan apalagi para pelayannya. Bahkan sekali-sekali Tumenggung itu telah memukul pelayannya yang hanya melakukan kesalahan-kesalahan kecil.

Hal itulah yang mendorong Raden Rangga untuk merencanakan sebuah permainan yang baginya akan sangat menarik. Ia akan mengadu Ki Tumenggung Wiragiri dengan seekor harimau.

Malam itu, rumah Ki Tumenggung menjadi terang benderang. Semua sudut halaman diterangi dengan obor yang menyala terikat pada patok-patok bambu.

Seperangkat wayang beber sudah disiapkan. Malam itu di pendapa rumah Ki Tumenggung akan diselenggarakan pertunjukan wayang beber.

“Gila,” geram Raden Rangga, “wayang beber itu baru akan selesai menjelang dini hari. Jadi, apakah aku harus melepaskan harimau itu menjelang pagi?”

Raden Rangga tidak mengira bahwa Ki Tumenggung Wiragiri akan mengundang seorang dalang wayang beber yang akan mempertunjukkan sebuah pergelaran wayang beber dengan lakon Panji Asmarabangun.

Namun demikian Raden Rangga tidak ingin membatalkan niatnya. la akan melepaskan seekor harimau menjelang dini hari.

“Biar saja rumah ini menjadi gempar menjelang pagi,” berkata Raden Rangga, “justru agaknya akan menjadi semakin ramai. Orang-orang yang baru saja tidur lelap akan terkejut dan berlari beramai-ramai. Saling berbenturan dan saling bekejaran. Sampai saatnya Ki Tumenggung keluar dari rumahnya dan ia harus berkelahi menghadapi harimau itu.”

Raden Rangga pun kemudian justru merasa mendapat permainan yang lebih baik. Katanya, “Aku harus menangkap harimau yang paling besar di hutan perburuan itu.”

Sejenak kemudian, maka Raden Rangga pun telah pergi ke hutan perburuan. Ia harus menemukan harimau itu. Jika tidak, maka rencana permainannya tentu akan batal.

Sementara itu, maka Kiai Gringsing dan Ki Widura telah berjalan menyusuri jalan yang menuju ke rumah Ki Tumenggung, setelah mereka menyimpan kuda mereka agak jauh di tempat yang tersembunyi. Keduanya tidak banyak menemui kesulitan karena ternyata jalan-jalan menuju ke rumah Ki Tumenggung menjadi ramai. Banyak orang yang pergi ke rumah itu untuk melihat pegelaran wayang beber.

“Kita mengikuti orang-orang ini,” berkata Kiai Gringsing, “agaknya mereka juga akan pergi ke rumah Ki Tumenggung.”

“Ya,” sahut Ki Widura, “menurut pendengaranku dari percakapan mereka, agaknya akan ada pertunjukan wayang beber.”

“Aku juga mendengarnya. Karena itu, agaknya kita harus menunggu sampai menjelang pagi. Biasanya pergelaran wayang beber itu sampai menjelang dini hari baru selesai,” sahut Kiai Gringsing. “Jika Raden Rangga masih tetap ingin melanjutkan permainannya, maka ia akan melepaskan harimau itu setelah wayang beber ini selesai.”

Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya, “Sekali-sekali kita menonton pertunjukan sampai selesai. Aku jarang sekali mendapat kesempatan yang demikian. Jika di padukuhan kita terdapat orang yang menyelenggarakan keramaian, biasanya kita ikut sibuk membantu sehingga kita tidak sempat untuk menonton tanpa terganggu.”

“Kiai Gringsing tersenyum. Jawabnya, “Aku senang menonton lakon yang biasa dipertunjukan dengan wayang beber. Biasanya cerita Panji.”

“Aku senang segala macam cerita,” jawab Ki Widura.

Kiai Gringsing tidak menjawab. Tetapi ia tertawa saja.

Sementara itu. orang-orang semakin ramai menuju ke tempat pertunjukan, Sementara itu gamelan telah mulai berbunyi.

“Bukankah tidak sulit mencari rumah Ki Tumenggung?” berkata Kiai Gringsing ketika mereka melihat dari kejauhan regol halaman rumah yang besar dan diterangi oleh beberapa buah obor.

Dalam pada itu, dari arah lain, Kiai Jayaraga pun berkata sebagaimana dikatakan oleh Kiai Gringsing, “Kita tidak perlu mencari dengan susah payah. Kita anut saja arus orang-orang yang tentu akan melihat tontonan di rumah Ki Tumenggung Wiragiri.”

“Ya,” jawab Agung Sedayu, “nampaknya kita akan dengan segera sampai. Kita akan bertemu dengan Kiai Gringsing dan Paman Widura di sebelah kanan regol halaman.”

Ketika mereka kemudian sampai ke sebuah tikungan, maka demikian mereka melampaui tikungan itu, mereka segera melihat regol yang dipenuhi oleh orang-orang yang berurutan untuk masuk kedalamnya. Sementara anak-anak masih juga berlari-lari berkejaran di luar regal. Sedangkan yang lain ternyata sibuk dengan jajanan. Mereka berjongkok di muka orang-orang yang berjualan, bertebaran di pinggir jalan yang membujur di luar regol.

Sebagaimana dibicarakan, maka Kiai Gringsing dan Ki Widura tetah berada di sebelah kanan regol sebagaimana mereka rencanakan Tetapi pertemuan itu hanya sebentar saja. Mereka berpisah lagi untuk mengadakan pengamatan dari tempat yang berbeda.

“Kita akan mendapat kesempatan untuk menonton dengan tenang. Persoalan yang harus kita hadapi baru akan terjadi besok setelah pertunjukan ini selesai,” berkata Kiai Gringsing.

“Itu jika Raden Rangga tidak merubah rencananya dan kemudian membuat permainan yang lain,” sahut Agung Sedayu.

Kiai Gringsing tertawa. Demikian pula yang lain. Namun sejenak kemudian, Kiai Grigsing dan Ki Widura telah berada di antara para penonton di dalam halaman rumah Ki Tumenggung. Nampaknya pertunjukan sudah siap untuk dimulai. Ki Dalang telah duduk di pendapa. Beberapa gulung layar yang memuat gambar-gambar yang merupakan urutan cerita yang akan dipergelarkan telah diatur.

Keadaan menjadi hening ketika seseorang kemudian atas nama Ki Tumenggung mengadakan sesorah pendek. Orang itu mengatakan kepentingan Ki Tumenggung mengadakan keramaian. Kemudian sejenak lagi pertunjukan pun segera dimulai.

Halaman rumah Ki Tumenggung semakin lama menjadi semakin ramai. Tidak hanya orang-orang yang ingin menyaksikan pertunjukan sajalah yang berada di halaman, tetapi anak-anak yang lebih senang berlari-larian, bermain sembunyi-sembunyian di antara para penonton dan duduk di muka orang-orang yang berjualan, menambah kesibukan di halaman itu.

Kiai Gringsing dan Ki Widura berdiri di antara beberapa orang tua yang menyaksikan pertunjukan itu di halaman. Sementara Agung Sedayu, Kiai Jayaraga dan Glagah Putih berada di sisi yang lain.

Tenyata karena tidak terlalu sering diselenggarakan pertunjukan seperti itu, maka penonton pun datang berduyun-duyun, melimpah sehingga dengan demikian mereka tidak sempat memperhatikan penonton yang satu dengan yang lain. Bahkan penonton yang datang bukan saja penonton dari padukuhan itu. Tetapi penonton dari padukuhan lainpun telah berdatangan. Karena itu, maka Kiai Gringsing dan mereka yang datang dari Tanah Perdikan Menoreh merasa tenang bahwa mereka tidak akan menarik perhatian.

Dalam keramaian itu, beberapa anak muda pun berjejal-jejal pula di halaman. Namun ada di antara mereka yang sebenarnya tidak ingin nonton pertunjukan wayang beber, tetapi sekedar ikut beramai-ramai di antara penonton yang banyak itu. Bahkan sekelompok anak-anak muda telah melakukan permainan yang dapat mengganggu orang-orang lain yang sedang menyaksikan pertunjukan yang baru saja dimulai. Beberapa orang anak muda telah berjalan berurutan saling berpegangan pundak. sehingga merupakan sebuah ular-ularan yang cukup panjang. Mereka berjalan menerobos para penonton sambil bergurau sesuka hati mereka sendiri.

Tidak ada yang menegurnya. Apalagi orang-orang tua. Demikian ular-ularan itu lewat, maka mereka telah terpancang kembali ke arah wayang beber yang dipergelarkan.

Dalam pada itu, Glagah Putih pun sama sekali tidak menghiraukan ketika anak-anak muda yang bermain ular-ularan itu telah mendorongnya hampir jatuh karena perhatiannya tertuju kepada pertunjukan wayang beber. Seperti orang lain, demikian anak-anak muda itu lewat, maka iapun telah melupakannya.

Namun demikian permainan itu semakin lama terasa semakin mengganggu, sehingga akhirnya beberapa orang dengan marah telah memaki anak-anak muda yang tidak menghiraukan keadaan orang lain itu.

Tetapi anak-anak muda itu justru tertawa berkepanjangan. Seorang di antaranya justru berkata, “Mari ikut, biar ular-ularan kami tambah panjang.”

“Persetan,” jawab seseorang, “jika kalian ingin bermain, jangan di sini.”

Anak-anak muda itu justru tertawa berbareng. Namun ular-ularan itu akhirnya berlalu juga menjauh.

“Anak-anak gila,” geram orang yang memaki itu, “mereka sama sekaii tidak tahu adat, Apakah pantas mereka berbuat demikian justru pada saat orang lain memperhatikan sebuah pertunjukan ?”

Orang yang berdiri di sampingnya pun menyahut, “Mereka nampaknya memang anak ugal-ugalan. Mereka tidak merasa terikat pada paugeran bebrayan. Mereka berbuat menurut kehendak mereka sendiri.”

“Sayang sekali,” seorang yang berdiri di belakang keduanya itu menyambung, “pada saat seperti ini, tenaga dan pikiran mereka sangat dibutuhkan.”

Kedua orang yang berbicara sebelumnya berpaling. Seorang di antaranya berdesis, “O, kau Kakang, Nampaknya kau merasa terganggu juga oleh anak-anak itu.”

“Tetapi jika mereka ditegur, apalagi dicegah, maka mereka tentu akan marah. Mungkin mereka dapat berbuat sesuatu yang tebih kasar lagi,” berkata salah seorang di antara mereka yang berdiri di depan.

Ketiganya tidak berbicara lagi. Perhatian mereka tertuju kembali kepada wayang beber di pendapa. Sementara itu anak-anak muda yang memang ugal-ugalan itu telah berkisar menjauh. Mamun pada suatu saat mereka tentu akan kembali lagi dengan sikap yang semakin mengganggu.

Agung Sedayu yang tidak berdesakan di depan melihat dengan jelas permainan anak-anak itu. Bahkan ketika Glagah Putih terdorong oleh permainan itu, Agung Sedayu sempat memperhatikan anak-anak muda itu. Nampaknya mereka juga anak-anak muda yang bukan dari tataran rendahan di lingkungan orang-orang padukuhan itu. Menilik cara dan ujud pakaian mereka. Tetapi sikap mereka benar-benar mengganggu orang banyak.

Ketika anak-anak muda itu berbelok di sudut halaman dan kembali ke tengah, tiba-tiba sa}a mereka terkejut. Seseorang yang bertubuh tinggi, berbadan kekar dengan kumis melintang, tiba-tiba saja telah menangkap salah seorang dari anak muda itu. Dengan sebelah tangan anak muda itu di tarik dan kemudian diayun-ayunkan pada tangannya. Sejenak kemudian maka anak itupun telah dilepaskannya.

Anak muda itu terhempas dan jatuh terbanting. Untunglah bahwa kepalanya tidak membentur dinding. Meskipun orang bertubuh tinggi itu telah berusaha untuk melontarkannya ke arah yang tidak banyak orang di sudut halaman, namun ada juga beberapa orang terdorong dan ikut jatuh pula.

“O, maaf. Aku tidak sengaja,” berkata orang berkumis lebat itu kepada beberapa orang yang merangkak bangun. Lalu katanya, “Aku hanya ingin membuat anak itu jera.”

Sementara itu, anak-anak muda yang saling berpegang bahu itu telah berlari ke segala arah menurut kesempatan mereka masing-masing. Sementara seorang di antara mereka yang terjatuh itu, berusaha bangkit dengan tubuh gemetar.

Demikian anak muda itu bangun, maka baju di bagian dadanya telah berada di dalam genggaman orang bertubuh kekar itu sambil membentak, ”Kau akan mengganggu ketenangan pertunjukan ini he?”

Anak muda itu tidak menjawab. tetapi ia menjadi semakin gemetar.

Dalam pada itu, semua perhatian orang-orang yang ada di halaman telah berpaling kepada orang itu, Agung Sedayu dan Glagah Putih pun memperhatikannya dengan wajah tegang.

Namun orang yang berdiri di sebelahnya berdesis, “Biarlah anak-anak muda itu mendapat pelajaran.”

“Siapa orang berkumis itu?” bertanya Agung Sedayu.

“Ki Tumenggung Wiragiri sendiri,” jawab orang itu, “he, apakah kau belum mengenal Ki Tumenggung Wiragiri?”

“Tentu,” jawab Agung Sedayu cepat, “maksudku siapa anak muda itu, anak muda yang telah ditangkap oleh Ki Tumenggung?”

Orang itu menggeleng. Jawabnya, “Aku tidak tahu. Tetapi sekarang ada di antara anak-anak muda yang sering bertingkah laku seperti itu. Sama sekali tidak menghargai kepentingan orang lain.”

“Semua anak muda di padukuhan ini?” bertanya Glagah Putih.

“Tentu tidak,” jawab orang itu, “hanya sebagian kecil. Tetapi yang lain biasanya tidak mau terlibat dalam persoalan yang kasar dengan mereka, sehingga karena itu, anak-anak muda yang lain biasanya tidak menghiraukan mereka. Hanya jika sudah terdorong oleh keadaan yang sangat memaksa, barulah mereka bertindak,” jawab orang itu. Lalu, “Namun agaknya kali ini Ki Tumenggung sendiri yang kehilangan kesabaran.”

“Apakah biasanya Ki Tumenggung itu sabar?” tiba-tiba saja Aguung Sedayu bertanya.

Orang itu terdiam. Namun akhirnya orang itu menggeleng, “Tidak. Apalagi menghadapi anak-anak seperti itu. Jika bukan Ki Tumenggung Wiragiri. mungkin ia akan memerintahkan saja beberapa orangnya untuk mengatasi kenakalan yang sebenarnya tidak terlalu sulit itu.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Berita tentang sifat dan watak Ki Tumenggung itu juga merupakan satu hal yang penting bagi Agung Sedayu. Apalagi ketika ternyata kemudian sikapnya terhadap anak muda itu.

Dalam pengamatannya yang singkat, Agung Sedayu memang melihat bahwa Ki Tumenggung agaknya bukan orang yang sabar. Agaknya ia memang seorang pemarah. Oleh karena sifat-sifatnya itulah maka Raden Rangga menjadi tidak begitu senang kepada Ki Tumenggung itu. Apalagi jika Agung Sedayu mengetahui selengkapnya persoalan yang terjadi antara Ki Tumenggung dengan Raden Rangga, disengaja atau tidak disengaja.

Kemarahan Ki Tumenggung terhadap anak-anak muda itu telah membuat anak muda yang ditangkap itu menjadi benar-benar ketakutan. Ketika Ki Tumenggung melepaskan genggaman tangannya pada baju anak muda itu, maka anak muda itu tidak lagi mampu untuk berdiri. Kakinya bagaikan tidak bertulang lagi dan darahnya seakan-akan telah berhenti mengalir. Karena itu, maka anak muda itupun telah terduduk di tanah dengan tubuh yang lemas.

“Awas,” ancam Ki Tumenggung, “jika sekali lagi kau mengganggu ketenangan keramaian ini, maka aku tidak akan mengampunimu lagi. Aku akan memukulmu sampai gigimu rontok semuanya.”

Anak muda itu sama sekali tidak menjawab. Namun kedua tangannya sudah menutupi mulutnya, seakan-akan Ki sudah mengayunkan tangannya untuk memukul mulutnya.

Tetapi Ki Tumenggung kemudian melangkah meninggalkannya sambil bergeremang, “Anak tidak tahu adat. Aku menangkap kalian semuanya.“

Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam ketika Ki Tumenggung kemudian hilang di antara para penonton. Dengan tubuh yang masih gemetar iapun kemudian berdiri sambil memandang orang-orang yang ada di sekitarnya. Rasa-rasanya semua orang itu memandangnya dengan pandangan kebencian,

Terhuyung-huyung anak muda itu melangkah. Beberapa langkah kemudian, dua orang kawannya mendekatinya sambil bertanya, “Bagaimana dengan kau ?”

“Tumenggung gila,” geramnya, “aku diayun-ayunkannya, kemudian dilepaskannya sehingga aku terhempas, Untung kepalaku tidak membentur dinding halaman. Tetapi aku telah metanggar beberapa orang yang berdiri di sekitarku. Dua orang di antara mereka terjatuh juga. Tetapi Tumenggung itu minta maaf kepada mereka.”

“Apakah ia minta maaf juga kepadamu?” bertanya kawannya yang lain.

“Persetan,” geramnya, “jangankan minta maaf. Tumenggung itu memakiku. Bahkan ia mengancam untuk menangkap kita semuanya.”

Kedua anak muda itu mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Mari kita pergi.”

Anak-anak muda itupun kemudian meninggalkan halaman itu. Sementara itu pertunjukan berjaian terus. Gamelan di pendapa terdengar suaranya rampak, sementara itu Ki Dalang membawakan ceritanya dengan suara yang berat dan mantap.

Pertunjukan itu berlangsung dari satu adegan ke adegan yang lain. Satu-satu lembaran wayang beber itupun direntangkan perlahan-lahan diiringi oleh cerita Ki Dalang. Berurutan sebagaimana nampak pada lukisan di atas lembaran yang memanjang.

Untuk beberapa lama penonton terpukau. Namun anak-anak mulai gelisah ketika mereka menjadi mengantuk dan uang saku mereka telah habis. Yang masih mempunyai uang tersisa masih sempat membeli gelali atau lotis buah-buahan yang masih muda dan asam. Tetapi yang sudah tidak mempunyai uang Iagi telah berusaha mendapat tempat untuk tidur.

“Nanti, jika sampai pada adegan perang, tolong bangunkan aku,” pesan seorang anak kepada kawannya.

Tetapi yang dipesan menjawab, “Aku juga mau tidur.”

Yang berpesan itupun tidak menyahut lagi. Tetapi ia mulai berbaring di tangga gandok tanpa menghiraukan pakaiannya menjadi kotor atau mungkin terinjak orang yang lewat. Tetapi karena beberapa orang kawannya kemudian juga berbaring di tangga itu, maka mereka justru menjadi aman.

Orang-orang tuapun semakin lama menjadi semakin berkurang. Tetapi karena pertunjukan wayang beber termasuk pertunjukkan yang jarang, maka yang menontonpun masih cukup banyak meskipun telah lewat tengah malam.

Sementara itu Kiai Gringsing dan Ki Widura yang ada di sebelah sisi dari pendapa Ki Tumenggung mendapat tempat yang cukup baik. Mereka dapat berdiri sambil bersandar tiang. Sedangkan Agung Sedayu, Kiai Jayaraga dan Glagah Putih justru telah bergeser semakin maju karena penontonnya sudah menjadi semakin berkurang.

Cerita di lembaran-lembaran wayang beber itupun semakin mendekati pada bagian-bagian terakhir. Perang demi perang terjadi dan mereka yang melakukan kejahatan pun mulai terdesak.

Dalam pada itu, Raden Rangga yang berada di hutan perburuan menjadi gelisah. la telah mendapatkan seekor harimau tutul yang besar. Tetapi ketika ia sempat memukul tengkuk harimau itu dengan sepotong kayu, maka harimau itu terjatuh, dan Raden Rangga tidak tahu apakah harimau itu sekedar pingsan, atau sudah menjadi sangat parah dan justru hampir mati.

Karena itu, maka Raden Rangga pun berusaha untuk mendapatkan air dari sebuah belik yang biasa menjadi tempat binatang di hutan itu mencari minum. Beberapa teguk Raden Rangga menuangkan air dari daun talas. Sejenak kemudian ia tersenyum. Nampaknya harimau itu tidak mati.

Dengan sabar Raden Rangga menunggu sejenak, harimau itu mulai bergerak.

“Binatang ini akan hidup,” berkata Raden Rangga mengguyurkan sisa air yang masih ada.

Sebenarnyalah harimau itu menjadi sadar. Perlahan-lahan harimau itu mulai bergerak. Ekornyapun mulai menggelepar dan suaranya yang berat mulai terdengar.

Raden Rangga menjadi gembira. Ketika harimau itu mulai menggeram, maka Raden Rangga pun mengangguk-angguk.

Raden Rangga kemudian melangkah beberapa langkah surut sambil menunggu keadaan harimau yang nampaknya menjadi semakin baik ilu. Ternyata sejenak kemudian harimau itu sudah mulai berusaha bangkit berdiri.

“Bagus,” berkata Raden Rangga, “harimau itu tidak mati.”

Namun Raden Rangga tidak mau terlambat. Jika harimau itu keadaannya menjadi pulih kembali, maka ia harus bertempur lagi melawan harimau itu. Sebelum ia berhasil memukul tengkuk harimau itu dengan sepotong kayu, beberapa gores luka telah membekas di kulitnya, karena kuku-kuku harimau yang tajam itu. Bajunyapun telah terkoyak, dan meskipun tidak banyak, tetapi dari tubuhnya telah menitik darah.

Memang Raden Rangga menemui kesulitan karena keinginannya menangkap harimau itu hidup-hidup. Jika ia ingin membunuh saja seekor harimau, maka ia akan dapat lebih mudah melakukannya. Namun ternyata bahwa akhirnya ia berhasil juga. Karena itu, maka ia tidak ingin menemui kesulitan lagi. Demikian harimau itu berdiri tegak, maka Raden Rangga pun telah menyergapnya.

Harimau itu memang belum menemukan kekuatannya seperti sediakala. Karena itu, maka ketika Raden Rangga menekan lehernya dengan kekuatan yang dilambari kekuatan cadangannya, maka harimau itu tidak melawan.

Dengan segera Raden Rangga telah menaburkan biji kecubung kering ke dalam mulut harimau itu. Harimau itu masih kebingungan. Masih belum tahu apa yang harus dilakukannya. Karena itu, maka biji kecubung yang ditaburkan di mulutnyapun sebagian telah tertelan pula.

Perlahan-lahan Raden Rangga melepaskan harimau itu. Namun harimau itu sudah tidak terhuyung-huyung lagi. Bahkan nampaknya harimau itu telah mampu berdiri tegak.

Tetapi sejenak kemudian harimau itu telah mengaum keras sekali. Kemudian meronta dengan garangnya. Bahkan kemudian berguling-guling sambil mengaum tanpa henti-hentinya. Meloncat dan jatuh seperti durian runtuh.

Raden Rangga memandang harimau itu sambil tersenyum. Ternyata harimau itu telah mabuk. Kecubung kering yang dibawanya benar-benar dapat membuat seekor harimau mabuk dan kemudian pingsan.

“Tetapi aku tidak tahu, berapa lama harimau ini akan mabuk dan pingsan,” berkata Raden Rangga kepada diri sendiri.

Namun Raden Rangga masih mempunyai persediaan biji kecubung. Katanya di dalam hati, “Jika harimau itu sadar sebelum waktunya, aku dapat menaburkan biji kecubung lagi ke dalam mulutnya. Tetapi jika justru halaman itu sudah sepi dan matahari terbit harimau itu belum sadar, maka ia akan dibantai dengan mudah oleh anak-anak sekalipun.“

Meskipun demikian Raden Rangga ingin mencobanya. Didukungnya harimau yang pingsan itu dipunggungnya dengan kedua kaki depannya terjulur di atas pundaknya.

“Jika harimau ini tiba-tiba menjadi sadar, maka dengan mudah ia akan mengunyah kepalaku,” berkata Raden Rangga kepada diri sendiri.

Namun harimau yang besar itu terlalu panjang bagi Raden Rangga, sehingga kaki belakangnya masih terseret di atas tanah.

Tetapi Raden Rangga memang mempunyai kekuatan yang luar biasa. Kekuatan yang hadir di dalam dirinya dengan cara yang tidak sewajarnya. Dengan mudah Raden Rangga dapat mengangkat tugu yang terasa berat bagi empat orang. Dan bahkan Raden Rangga yang nakal itu pernah memindahkan sebuah jembatan sasak, betapa kecilnya jembatan itu. Namun bagi orang kebanyakan, tidak akan mungkin dapat melakukan sebagaimana dilakukan Raden Rangga.

Ketika Raden Rangga mendekati padukuhan, maka regol padukuhan masih diterangi oleh nyala obor, tetapi agaknya anak-anak muda yang seharusnya meronda, masih berada di halaman rumah Ki Tumenggung.

Meskipun demikian, Raden Rangga tidak memasuki padukuhan lewat regol, agar tidak dilihat oleh siapapun juga. Karena meskipun regol itu nampaknya sepi, tetapi mungkin di dalam regol ada juga satu dua orang yang berjaga-jaga.

Karena itu, maka Raden Rangga memasuki padukuhan lewat jalan lain. Sambil mendukung seekor harimau, maka Raden Rangga telah melontar ke atas dinding padukuhan yang memang tidak terlalu tinggi. Kemudian dengan sangat berhati-hati meloncat masuk.

Ternyata telinganya yang tajam masih mendengar suara gamelan di rumah Ki Tumenggung, sehingga Raden Rangga tahu bahwa pertunjukan itu masih belum selesai.

Karena itu, maka Raden Rangga pun telah mendekati rumah Ki Tumenggung dengan sangat berhati-hati. Dengan pendengaran dan penglihatannya yang tajam, maka Raden Rangga dapat mengetahui bahwa jalan sempit yang dilaluinya itu adalah jalan yang sepi.

Tetapi Raden Rangga yang menyadari bahwa pertunjukan di rumah Ki Tumenggung itu masih berlangsung, maka Raden Rangga pun berusaha mendekati rumah itu dari arah belakang.

Sebagaimana diduganya, maka di bagian belakang rumah Ki Tumenggung itu justru sangat sepi. Untuk melihat keadaan, maka Raden Rangga telah meletakkan harimau yang didukungnya itu, dan meloncat ke atas dinding halaman. Dari tempatnya ia melihat sebuah pintu di bagian belakang rumah Ki Tumenggungng yang terbuka dan di dalamnya cahaya lampu tampak terang benderang. Beberapa orang perempuan berada di dalam ruang itu.

“Agaknya ruang itu adalah dapur yang masih sibuk,” berkata Raden Rangga di dalam hatinya

Namun demiikian, dengan sangat hati-hati ia meloncat masuk. Dicarinya pintu butulan yang biasanya terdapat pada dinding halaman belakang dan kebun.

Ketika Raden Rangga mendapatkan pintu itu, maka iapun telah membukanya dari dalam. Kemudian dibawanya harimaunya yang masih pingsan karena mabuk ke dalam dinding halaman belakang. Tetapi Raden Rangga sendiri tidak mengetahuinya, sampai kapan harimau itu akan pingsan. Karena itu, maka katanya di dalam hati, “Aku harus menungguinya. Mudah-mudahan harimau itu tidak sadarkan diri sampai pertunjukan selesai.”

Dengan hati-hati maka Raden Rangga telah meletakkan harimau itu di belakang kandang. Sementara itu, iapun kemudian menyingkir ke tempat yang gelap untuk mengamati harimau itu agar tidak mencelakai orang yang tidak menjadi sasarannya.

Raden Rangga yang duduk di dalam kegelapan kemudian bangkit berdiri ketika ternyata ia mendengar bunyi gamelan yang membawakan irama penutup. Dengan demikian maka Raden Rangga pun tahu, bahwa pertunjukan wayang beber itu sudah berakhir.

Karena itu Raden Rangga menjadi gembira. Harimaunya masih terbaring diam. Karena itu ia berharap bahwa harimau itu akan sadar, pada saat halaman rumah itu sudah sepi. Orang-orang di dapurpun sudah membenahi perabot dan sisa-sisa makanan, dan apabila sempat, merekapun akan tidur barang sejenak.

“Mudah-mudahan pintu itu ditutup dan diselarak, sehingga harimau itu jika menjadi sadar. tidak tersesat memasuki dapur dan menakut-nakuti perempuan,” berkata Raden Rangga di dalam hatinya.

Dalam pada itu, maka pertunjukan wayann beber itu memang sudah selesai. Para penonton pun kemudian mengalir meninggalkan halaman. Anak-anak kecil yang tertidur telah dibangunkan oleh kawan-kawannya yang lebih besar dan diajak pulang. Sementara orang-orang yang berjualan pun telah menyimpan sisa dagangannya dan kemudian membawanya pulang. Namun agaknya hanya sedikit saja barang-barang dagangan yang tersisa itu.

Ketika halaman rumah Ki Tumenggung sudah menjadi kosong, maka tinggal beberapa orang sajalah yang tinggal untuk mengumpulkan beberapa macam perabot yang dipergunakan untuk menjamu para tamu. Sementara wayang bebernya telah digulung dan dimasukkan ke dalam sebuah peti kayu yang panjang.

“Barang-barang itu akan kami ambil besok jika hari sudah menjadi agak siang,” berkata Ki Dalang, “sekarang kami mohon diri.”

Ki Tumenggung mengucapkan terima kasih kepada Ki Dalang. Kemudian setelah menerima imbalan yang disepakati sebelumnya, maka Ki Dalang pun meninggalkan rumah Ki Tumenggung, sementara alat-alatnya masih ditinggalkannya dan akan diambil di siang harinya, bersama gamelannya sama sekali.

Sejenak kemudian, halaman rumah Ki Tumenggung itupun menjadi sepi. Ki Tumenggung sendiri, setelah tamu-tamunya pulang seluruhnya, telah memerintahkan kepada beberapa orang pengawal untuk menjaga barang-barang yang tertinggal. Sementara Ki Tumenggung sendiri akan beristirahat.

Pada saat yang demikian, Raden Rangga menjadi gelisah. Ketika ia menengadahkan wajahnya, maka dilihatnya cahaya kemerah-merahan mulai menyentuh Iangit. Sementara itu, di antara mereka yang telah meninggalkan halaman rumah Ki Tumenggung adalah Kiai Gringsing, Ki Widura, Agung Sedayu. Kiai Jayaraga dan Glagah Putih. Tetapi mereka tidak segera pergi jauh. Tetapi mereka hanya melingkar saja di sisi dinding halaman rumah Ki Tumenggung.

“Agaknya sebentar lagi Raden Rangga akan datang,” berkata Agung Sedayu.

Mereka menunggu dengan gelisah. Bahkan merekapun kemudian memencar untuk melihat apakah Raden Rangga benar datang dengan membawa seekor harimau.

Namun ketika mereka bertemu kembali setelah mengelilingi dinding halaman, mereka tidak menemukan siapapun juga.

“Mungkin Raden Rangga justru sudah ada di dalam,” berkata Glagah Putih.

“Mungkin sekali,” jawab Agung Sedayu, “tetapi tidak mengapa. Kita akan mengawasi halaman dan kebun di belakang. Yang penting bahwa tidak akan ada seekor harimau yang dapat mencelakai orang-orang yang tidak tahu menahu tentang persoalan Raden Rangga dengan Ki Tumenggung.”

“Mungkin perempuan-perempuan di dapur. Tetapi mungkin juga para peronda yang menunggui gamelan dan wayang beber di pendapa, atau justru orang yang mulai turun di halaman untuk menyapu, karena sebentar lagi maka fajarpun akan datang.”

Dengan demikian, maka sekali lagi mereka berpencar. Mereka harus mengawasi halaman depan, samping dan kebun di belakang. Jika harimau yang mungkin dibawa Raden Rangga sebagaimana dikatakan, maka harimau itu akan dapat diawasi.

Dalam pada itu, maka langitpun menjadi semakin terang. Rumah Ki Tumenggung justru menjadi sepi. Mereka yang merasa letih telah mempergunakan sisa-sisa malam untuk sekedar beristirahat, meskipun hanya sekejap.

Namun sementara itu yang terjadi adalah di luar dugaan Raden Rangga sendiri. Beberapa saat kemudian, maka cengkaman mabuk dari biji-biji kecubung pun menjadi semakin mengendor, Bahkan beberapa saat kemudian harimau itupun mulai bergerak.

Raden Rangga yang mengamatinya dari kejauhan menjadi gembira. Ternyata harimau itu tidak terlambat terlalu lama. Agaknya harimau itu akan sadar sebelum matahari terbit.

Sejenak kemudian, maka harimau itupun telah menggelepar. Nampaknya bekas-bekas mabuk kecubung telah membuat seluruh tubuhnya merasa sakit. Karena itu, maka ketika kekuatannya sudah menjadi semakin mapan, harimau itu telah meronta sambil mengaum.

Yang terkejut terutama ternyata adalah kuda-kuda yang berada di kandang, yang semula tidak diperhitungkan oleh Raden Rangga ketika ia meletakkan harimau. Karena harimau yang sedang menggelepar , maka kuda-kuda itupun menjadi ketakutan. Bersama kuda-kuda yang ada di dalam kandang itu melonjak-lonjak dan berteriak-teriak sekeras-kerasnya.

Raden Rangga terkejut mendengar lengking dan derap kuda yang berada di dalam kandang itu. Kuda yang ketakutan itu melonjak-lonjak menyepak-nyepak selarak dan dinding kandang itu.

Harimau yang baru saja sadar dan masih dalam keadaan yang belum mapan itupun terkejut pula. Dengan marah harimau itu menggeram. Kegelisahan kuda-kuda itu telah mengejutkan beberapa orang pula yang sedang berusaha untuk tidur barang sejenak. Orang orang yang semula sibuk melayani tamu dan membantu perempuan-perempuan yang sedang memasak di dapur. Dalam kesempatan yang sedikit mereka telah membaringkan diri di serambi samping, di sebelah longkangan.

“Kenapa kuda-kuda itu?” bertanya seseorang sambil mengusap matanya yang sudah hampir terpejam,

Kawannya justru mengumpat. Katanya, “Anak setan itu mengganggu saja. Aku ingin tidur barang sekejap.”

Tetapi kegelisahan kuda-kuda itu tidak berkurang. justru semakin ribut. Sehingga karena itu, maka orang-orang yang sedang mengantuk itupun terpaksa terbangun lagi.

Gamel yang kebiasaannya sehari-hari memelihara kuda Ki Tumenggung itupun terbangun pula mendengar keributan di kandang kuda. Justru dengan tergesa-gesa tanpa menghiraukan apapun ia berlari-lari menuju ke kandang.

Raden Rangga yang menjadi agak bingung dengan keadaan yang tiba-tiba itu tidak segera dapat mencegahnya. Sedangkan orang itu sendiri mula-mula tidak menghiraukan sama sekali, apa yang terdapat di samping kandang.

Baru ketika ia mendengar aum yang lantang dan berbeda dengan suara kuda-kuda yang gelisah, gamel itu terkejut. Beberapa langkah dari kandang ia berhenti. Dalam keremangan dini hari ia mencoba memperhatikan, apa yang ada di hadapannya.

Ternyata yang dilihatnya di samping kandang itu adalah seekor harimau yang besar yang berdiri tegak memandanginya dengan sorot mata yang meskipun dalam kegelapan, justru nampak bercahaya kebiru-biruan.

Ketakutan yang amat sangat telah mencengkam jantung orang itu. Tiba-tiba saja tubuhnya menjadi gemetar. Dengan mulut yang terbuka tetapi tidak dapat melontarkan suara apapun, gamel itu bergeser selangkah demi selangkah surut. Ketika harimau itu bergerak selangkah, maka tiba-tiba saja gamel itu berloncat berlari kembali ke longkangan.

Beberapa orang yang mendengar keributan itu pula dan berusaha melihat apa yang terjadi, terkejut ketika mereka hampir saja dilanggar oleh gamel yang ketakutan itu.

“Ada apa?” bertanya orang-orang itu hampir berbareng.

Gamel yang ketakutan itu masih gemetar. Mulutnya sudah bergerak tetapi suaranya tidak keluar sama sekali.

“Apa? Apakah kau melihai hantu?” bertanya seseorang sambil mengguncang-guncang tubuh Gamel itu.

Orang itu menggeleng sambil menunjuk ke arah kandang kuda.

“Tenanglah. Ada apa?” bertanya kawannya yang lain, “Jangan takut. Kita tidak sendiri. Di sini ada banyak orang. Jika ada hantu biarlah kita menangkapnya.”

Gamel itu belum berhasil menenangkan diri dan menjawab pertanyaan itu. Namun orang-orang itupun kemudian terkejut ketika tiba-tiba mereka mendengar aum seekor harimau Iebih keras dari semula.

“He, suara itu lagi? Suara apa itu? Tadi suara itu sudah kita dengar pula. Tetapi tidak terlalu keras seperti ini,” bertanya salah seorang di antara mereka.

Orang yang ketakutan itu menjadi semakin gemetar. Namun akhirnya terdengar juga suara di sela-sela bibirnya yang gemetar, “Harimau.”

“Harimau,” kawan-kawannya mengulang hampir berbareng, “apakah kau yakin? Darimana seekor harimau tiba-tiba saja berada di halaman rumah ini?”

Tidak ada jawaban. Namun keributan di kandang kuda itu justru menjadi semakin menggelisahkan. Beberapa orang yang memiliki keberanian, bersama-sama telah berusaha mendekati kandang. Namun merekapun kemudian berhenti ketika mereka memang melihat seekor harimau yang besar.

Meskipun mereka tidak hanya seorang, tetapi tubuh merekapun mulai gemetar juga, sementara harimau yang masih merasa kepalanya pening itu, masih berdiri saja termangu-mangu. Namun sekali-sekali harimau itu menggeliat dan kemudian mengaum semakin keras.

Dengan demikian maka keributanpun kemudian tidak hanya terjadi di kandang kuda. Orang-orang di halaman rumah Ki Tumenggung pun menjadi ribut. Mereka berlari-larian memberitahukan kepada orang-orang lain di rumah itu, bahwa di sebelah kandang ada seekor harimau yang besar.

Orang-orang yang belum melihat harimau itu, termasuk para peronda, tidak segera percaya. Bagairnana mungkin ada seekor harimau di halaman rumah itu. Namun orang-orang yang melihat sendiri harimau itu berusaha meyakinkan mereka.

“Kau mendengar kuda-kuda yang ribut di kandang? Dan kau dengar harimau itu mengaum?” bertanya seseorang.

“Kami mendengar. Tetapi kami tidak berpikir sedemikian jauh, bahwa ada seekor harimau di halaman rumah ini.”

Dengan demikian, maka orang-orang yang ada di halaman itupun segera mempersiapkan diri. Beberapa orang telah berlari-lari ke dapur untuk menutup pintu agar harimau itu tidak memasuki dapur yang berisi beberapa orang perempuan. Para perondapun telah bersiap-siap dengan senjata mereka masing-masing. Bahkan orang-orang yang tidak memiliki senjata, telah mencari apa saja yang dapat mereka pergunakan. Ada yang mengambil parang pembelah kayu, ada yang memungut linggis di sudut dapur yang biasanya dipergunakan untuk mengelupas kelapa, dan apa saja yang dapat mereka jangkau.

Seisi halaman rumah Ki Tumenggung itu benar-benar menjadi kacau. Orang-orang laki-laki yang bersenjata apa saja telah berusaha untuk mengepung harimau itu dari jarak yang tidak terlalu dekat. Sementara para peronda di paling depan dengan senjata mereka di tangan.

Dalam pada itu, langitpun menjadi semakin terang. Di luar dinding halaman, beberapa orang dengan termangu-mangu memperhatikan peristiwa itu. Namun akhirnya mereka menjadi bimbang. Jika hari menjadi terang, apakah mereka akan dapat tetap berada di tempat itu.

Kiai Gringsing dan orang-orang yang bersamanya dari Tanah Perdikan Menoreh telah berkumpul sejak mereka mendengar keributan dan kemudian aum harimau. Sementara itu Raden Rangga ternyata telah meloncat pula keluar dinding,

“He agaknya seisi Tanah Perdikan ada di sini,” desisnya ketika ia melihat orang-orang Tanah Perdikan itu.

“Permainan Raden sangat berbahaya,” berkata Kiai Gringsing.

“Tidak apa-apa. Ternyata tidak menimbulkan kesulitan atau menyakiti seseorang,” jawab Raden Rangga.

“Tetapi harimau itu belum berbuat apa-apa,” berkata Agung Sedayu.

“Bukankah harimau itu sudah dikepung oleh banyak orang? Dengan demikian, maka harimau itu tidak akan menerkam anak-anak atau perempuan. Jika salah seorang dari mereka yang mengepung itu kemudian diterkamnya, itu adalah salahnya sendiri,” jawab Raden Rangga pula.

“Kenapa salahnya sendiri?” bertanya Ki Widura.

“Aku sendiri dapat menangkap harimau itu. Jika sekian banyak orang masih ada yang dapat dilukai oleh harimau itu, bukankah itu salah sendiri. Sementara itu, aku lakukan sendiri tidak seberapa,” jawab Raden Rangga.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, ”Lalu apa rencana Raden jika kemudian harimau itu akan dibunuh beramai-ramai? Bukankah dengan demikian berarti bukan Ki Tumenggung yang akan dengan susah payah menangkap harimau itu, atau membunuhnya?”

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Lalu katanya, ”Mungkin. Tetapi permainan itu mengasikkan. Aku akan melihat orang beramai-ramai membunuh seekor harimau. Tetapi setidak-tidaknya hadirnya seekor harimau di halaman rumah Ki Tumenggung ini akan membuat Ki Tumenggung berpikir. Jika nalarnya berjalan, ia akan bertanya-tanya , siapakah yang telah membawa harimau itu masuk ke dalam halamannya.”

“Tetapi apakah ia akan sampai kepada jawaban bahwa Raden yang membawanya?” bertanya Agung Sedayu.

Raden Rangga berpikir sejenak. Lalu katanya dengan jujur, “Sebenarnya aku ingin ia mengetahuinya. Tetapi jika dengan demikian ia melapor kepada Ayahanda, maka aku tentu akan dimarahi lagi. Apalagi Ayahanda pernah mengancam akan mengurung aku dalam waktu sepekan jika aku masih menganggu orang lain.”

“Tetapi kenapa masih juga Raden lakukan?” bertanya Glagah Putih.

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Kemudian iapun tertawa sambil berkata, “Senang juga agaknya dikurung dalam sepekan. Makan, tidur dan membaca kidung.”

Glagah Putih masih akan menjawab. Tetapi Raden Rangga mendahului, “Sudahlah. Jangan bertanya bermacam-macam. Aku tidak mau ketinggalan melihat tontonan yang menarik itu. Aku akan memanjat dinding.”

Raden Rangga tidak menunggu jawaban. Iapun kemudian berlari meninggalkan orang-orang Tanah Perdikan itu sambil berkata, “ Aku akan nonton Mereka sudah akan mulai. Jika ingin nonton, nontonlah. Tetapi jika kalian takut kesiangan, kalian lebih baik pergj saja.“

Orang-orang yang ditinggalkan hanya dapat menarik nafas.

Sementara itu Raden Rangga telah meloncati dinding, justru di halaman seberang lorong dari halaman rumah Ki Tumenggung. Namun sejenak kemudian, Raden Rangga telah berada di sebuah dahan sebatang pohon gayam di halaman itu.

Kiai Gringsing dan orang-orang yang bersamanya termangu-mangu sejenak. Rasa-rasanya mereka telah kehilangan tujuannya, untuk apa mereka berada di Mataram, justru karena langit menjadi semakin terang. Jika mereka masih tetap berada di tempat itu, maka mungkin sekali orang yang melihat mereka akan menjadi curiga.

Dalam pada itu, Agung Sedayu yang merasakan suasana yang kurang menguntungkan itu berkata, “Apa yang akan kita lakukan sekarang?”

“Kita memang tidak akan dapat berada di tempat ini. Tetapi rasa-rasanya aku masih belum ingin kembali ke Tanah Perdikan,” sahut Kiai Gringsing.

“Jadi, apa yang sebaiknya kita lakukan?” bertanya Ki Widura yang menjadi gelisah pula.

Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak, Lalu katanya, “Menurut pendapatku, harimau yang sudah terkepung itu memang tidak akan menyakiti orang yang tidak dikehendaki Raden Rangga. Karena itu maka biarlah kita pergi ke tempat yang banyak dikunjungi orang, sehingga kehadiran kita tidak akan menarik perhatian, sebagaimana orang-orang lain yang datang ke tempat itu, meskipun kita masih belum sempat membersihkan diri.”

“Kemana?” bertanya Kiai Jayaraga.

“Ke pasar yang terdekat,” jawab Kiai Gringsing. “Sementara itu kita menunggu cerita tentang apa yang terjadi di dalam halaman rumah ini.”

Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sependapat. Marilah.”

Ki Widura pun mengangguk-angguk. Ketika ia memandang ke arah Raden Rangga. maka dilihatnya perhatian Raden Rangga sepenuhnya tertuju kepada harimaunya di dalam halaman.

Demikianlah, maka Kiai Gringsing dan orang-orang lain yang bersama datang dari tanah Perdikan Menoreh telah meninggalkan tempat itu, setelah mereka yakin bahwa harimau itu tidak akan menyakiti orang yang sama sekali tidak mampu menyelamatkan dirinya, karena harimau itu justru telah dikepung oleh banyak orang.

Seperti yang dikatakan oleh Kiai Gringsing, maka merekapun telah pergi ke pasar selagi hari masih belum pagi. Di pasar mereka tidak akan menarik perhatian, karena kesibukan yang terjadi setiap saat, serta orang-orang yang datang dari manapun juga. Sementara itu mereka berharap, bahwa mereka akan dapat mendengar cerita tentang harimau itu, karena mereka percaya bahwa cerita itu akan dengan cepat tersebar. Tentu juga akan sampai ke pasar.

Meskipun menjelang matahari terbit pasar masih agak sepi, tetapi telah banyak orang yang datang, terutama dari tempat-tempat yang jauh untuk menjual hasil bumi atau hasil kerajinan tangan mereka. Dengan rajin mereka sudah mengatur barang-barang dagangan mereka, sehingga jika matahari terbit dan para pembeli mulai berdatangan, mereka sudah siap untuk melayaninya.

Dengan demikian maka kehadiran orang-orang Tanah Perdikan Menoreh itu sama sekali bukan merupakan sesuatu yang pantas untuk menarik perhatian.

Sementara itu, di halaman rumah Ki Tumenggung Wiragiri, seekor harimau yang mulai menyadari keadaan sepenuhnya, memperhatikan orang-orang yang mengepungnya. Harimau itu sekali-sekali masih mengibaskan kepalanya yang masih terasa sedikit pening. Namun kemudian harimau itu mulai melangkah maju. Kegelisahan kuda-kuda di kandang membuat suasana menjadi semakin gaduh, sementara orang-orang yang bersenjata dan mengepung harimau itupun menjadi berdebar-debar. Namun agaknya orang-orang yang mengepungnya itu lebih menarik perhatian harimau itu daripada kuda-kuda yang bagaikan gila di dalam kandang.

Namun jika harimau itu maju beberapa langkah, maka orang-orang yang kebetulan ada di hadapan harimau itu telah bergeser beberapa langkah surut.

Tingkah laku orang-orang yang mengepungnya itu semakin lama membuat harimau itu semakin marah. Kepalanya yang masih sedikit terasa pening dan orang-orang yang dianggapnya mengganggunya itu membuat harimau itu menyeringai. Kemudian mengaum keras sekali.

Jantung orang-orang yang mengepung harimau itu bagaikan terlepas dari tangkainya. Orang-orang yang hatinya lemah, hampir saja meloncat berlari. Tetapi ketika ia melihat kawan-kawannya masih juga berdiri di tempatnya meskipun dengan gemetar, orang-orang itupun telah mengurungkan niatnya.

Keributan yang terjadi di halaman itu ternyata telah mengundang perhatian Ki Tumenggung Wiragiri yang ingin beristirahat. Semula iapun heran dan ragu-ragu. la seakan-akan memang mendengar aum seekor harimau. Tetapi Ki Tumenggung sama sekali tidak menyangka bahwa harimau itu berada di halaman rumahnya.

Namun keributan yang terjadi di halaman belakang dan kuda-kudanya yang menjadi seperti gila, telah memaksanya untuk bangkit dari pembaringan dan melangkah keluar,

Ternyata bahwa keributan itu adalah beberapa orang pembantu di rumahnya serta para peronda yang sedang mengepung seekor harimau.

“Gila,” geram Ki Tumenggung, ”darimana datangnya seekor harimau sebesar itu.”

Dengan tergesa-gesa iapun telah mendekati orang-orangnya yang sedang mengepung harirnau itu sambil berkata lantang, “lni tentu pokal seseorang. Tidak mungkin seekor harimau dengan sendirinya dapat memasuki halaman rumah ini. Seandainya harimau itu tersesat memasuki padukuhan ini, maka harimau itu tentu tidak akan dapat memasuki halaman tanpa diketahui para peronda.”

Namun hampir di luar sadarnya Ki Tumenggung memperhatikan pintu butulan, sehingga katanya, “Pintu butulan itu terbuka.”

Orang-orang lainpun telah berpaling ke arah pintu butulan yang terbuka itu. Semula mereka memang tidak begitu memperhatikannya. namun akhirnya orang-orang yang mengepung harimau itupun mengerti, bahwa harimau itu tentu masuk lewat pintu butulan itu.

Tetapi merekapun sadar bahwa harimau itu tidak akan dapat sampai ke pintu butulan itu dengan sendirinya. Pedukuhan itu tidak terletak di pinggir hutan, sehingga kemungkinan seekor harimau tersesat sampai memasuki padukuhan itu adalah sangat kecil, karena dengan demikian harimau itu harus melewati beberapa bulak dan padukuhan yang lain.

Hadirnya seekor harimau di halaman rumah itu benar-benar merupakan satu persoalan yang harus ditanggapi dengan sungguh-sungguh. Sebagai seorang Tumenggung yang memiliki kemampuan yang tinggi, Ki Tumenggung Wiragiri segera mengira bahwa seseorang dengan sengaja telah berusaha untuk mengukur kejantanannya.

“Bahwa seseorang telah memasukkan harimau ke dalam halaman ini tentu bukannya tanpa maksud,” berkata Ki Tumenggung Wiragiri, “agaknya orang itu ingin tahu, apakah yang dapat dilakukan oleh Tumenggung Wiragiri atas seekor harimau.”

Orang-orangnyapun menjadi termangu-mangu. Ki Tumenggung yang baru saja bangun dari pembaringannya itupun kemudian melangkah maju sambil berkata, “He, marilah kalian lihat, apakah Tumenggung Wiragiri mampu membunuh seekor harimau atau tidak.”

“Marilah kita bunuh bersama-sama, Ki Tumenggung,” berkata para pengikutnya.

“Tidak,” jawab Ki Tumenggung, “orang yang memasukkan harimau ke halaman ini tentu ingin menghina Tumenggung Wiragiri, bahwa Tumenggung Wiragiri menjadi ketakutan dan menggigil melihat seekor harimau memasuki halaman rumahnya.”

“Jadi maksud Ki Tumenggung?” bertanya pemimpin peronda.

“Aku membunuhnya sendiri,” jawab Ki Tumenggung. Orang-orangnya dan para peronda termangu-mangu sejenak. Mereka tidak dapat berbuat apa-apa ketika mereka melihat Ki Tumenggung menyingsingkan kain panjangnya dan lengan bajunya, kemudian berdiri tegak menghadap ke arah harimau itu.

Dalam pada itu, Nyai Tumenggung yang juga terbangun tiba-tiba saja telah berteriak dan berusaha untuk mencegahnya, “Kakangmas, jangan lakukan! Biarlah orang-orang kita beramai-ramai membunuh harimau itu.”

Ki Tumenggung berpaling sejenak. Namun kemudian iapun berkata, “Aku akan melakukannya demi kewibawaan namaku.”

“Kakangmas!” panggil Nyai Tumenggung.

Tetapi Ki Tumenggung sama sekali tidak menghiraukannya.

Sementara itu, Raden Rangga yang duduk di atas sebatang dahan di halaman rumah sebelah menjadi gembira. la akan melihat pertarungan Ki Tumenggung dengan seekor harimau tanpa bantuan orang lain.

“Ternyata Ki Tumenggung seorang yang jantan juga,” berkata Raden Rangga itu kepada diri sendiri.

Untuk beberapa saat ia memang harus menunggu. Sementara itu Ki Tumenggung berkata, “Beri aku sebilah pisau. Aku akan mengoyak leher harimau itu.”

Seorang peronda telah mendekatinya sambil mengulurkan sebuah tombak pendek. Namun Ki Tumenggung justru membentak, “Sebilah pisau belati! Kau dengar?”

Orang yang memberikan tombak itu terpaksa bergeser surut, sementara seorang yang lain telah memberikan sebuah pisau belati.

“Terima kasih,” berkata Ki Tumenggung.

Semua orang menjadi tegang. Sementara Raden Rangga menjadi semakin gembira. Sementara itu, Agung Sedayu yang berada di pasar bersama Kiai Gringsing dan yang Iain-Iain yang datang dari Tanah Perdikan Menoreh, menjadi gelisah. Bahkan kemudian katanya kepada Kiai Gringsing yang duduk di sudut pasar, di sebelah pande besi yang sedang bersiap-siap untuk menyalakan perapian, “Guru. Apakah Guru sependapat jika aku kembali ke rumah Ki Tumenggung?“

“Untuk apa?” bertanya gurunya.

“Aku ingin melihat apa yang terjadi. Aku akan pergi sendiri supaya tidak menarik perhatian orang-orang di sekitar rumah Ki Tumenggung,” berkata Agung Sedayu.

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Akupun merasakan kegelisahan sebagaimana kau rasakan. Tetapi baiklah jika kau akan pergi ke rumah Ki Tumenggung. Berhati-hatilah.”

“Aku ikut bersama kakang Agung Sedayu,” minta Glagah Putih.

Tetapi Agung Sedayu menjawab, “Jangan, Glagah Putih. Kau tunggu di sini. Mungkin akupun tidak akan dapat mencapai rumah Ki Tumenggung.”

Glagah Putih memang merasa kecewa. Tetapi ia tidak dapat memaksa untuk ikut bersama Agung Sedayu ke rumah Ki Tumenggung Wiragiri.

Dengan demikian, maka menjelang pagi hari Agung Sedayu telah dengan tergesa-gesa kembali ke rumah Ki Tumenggung. Ketika ia mendekati rumah itu, ia tidak melihat sesuatu yang mencurigakan di luar rumah itu. Dengan demikian menurut dugaan Agung Sedayu, seandainya benar-benar terjadi keributan di dalam halaman ruimah Ki Tumenggung karena orang-orangnya beramai-ramai membunuh harimau yang masuk ke dalam halaman itu, maka keributan itu tidak sampai diketahui oleh orang-orang di luar dinding halaman.

Namun demikian, Agung Sedayu masih berharap untuk dapat bertemu dengan Raden Rangga di belakang rumah Ki Tumenggung itu, sehingga dengan demikian maka iapun telah kembali ke tempat orang-orang dari Tanah Perdikan Menoreh berdiri di saat terakhir, sebelum mereka memutuskan untuk meninggalkan tempat itu.

Ketika Agung Sedayu sampai di tempat itu, ia ternyata masih melihat Raden Rangga berada di atas dahan pohon gayam di halaman di seberang lorong sempit di belakang rumah Ki Tumenggung. Tetapi Raden Rangga itu terlalu asyik sehingga ia sama sekali tidak berpaling ke arah Agung Sedayu.

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak, Namun kemudian diambilnya sebuah kerikil. Dengan hati-hati ia melempar Raden Rangga dengan kerikil itu.

Raden Rangga merasa sentuhan kerikil itu di tubuhnya. Karena itu, maka iapun segera berpaling. Ketika ia melihat Agung Sedayu, maka iapun kemudian dengan serta merta telah memberikan isyarat agar Agung Sedayu segera memanjat untuk dapat melihat ke dalam.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sernentara itu, cahaya pagipun mulai nampak di atas batas langit di ujung timur.

Tetapi akhirnya Agung Sedayu pun telah berusaha untuk melihat apa yang terjadi di dalam halaman. Iapun kemudian telah memanjat sebatang pohon yang lain, sebatang pohon sawo yang juga ada di halaman rumah sebelah

Ketika Agung Sedayu telah sampai pada batas penglihatan ke dalam halaman belakang rumah Ki Tumenggung, maka iapun menarik nafas dalam-dalam. la melihat sebagaimana dikehendaki oleh Raden Rangga, bahwa Ki Tumenggung Wiragiri sendirilah yang berusaha untuk mernbunuh harimau itu.

Pada saat Agung Sedayu berada di atas dahan sawo, ia melihat Ki Tumenggung itu tanpa gentar, berdiri berhadapan dengan harimau yang besar dan garang itu, Beberapa kali Ki Tumenggung berusaha untuk memancing harimau, yang masih sedikit kebingungan karena pengaruh biji kecubung itu, agar bangkit dan menyerangnya.

Ternyata Ki Tumenggung memerlukan waklu yang lama. Bahkan Ki Tumenggung kemudian meloncat ke sisi harimau itu dan mulai menyerang. Tetapi tidak dengan pisaunya. Sekedar dengan ujung kakinya agar harimau yang bagaikan mimpi itu terbangun.

Harimau itu memang meronta dan mengaum keras sekali Tetapi kemudian harimau itu kembali termangu-mangu sejenak.

Dalam pada itu Agung Sedayupun merasa gelisah. Jika pemilik rumah itu terbangun dan kemudian menyapu halaman, maka mungkin sekali orang itu akan melihatnya dan melihat Raden Rangga yang ada di atas pohon gayam. Meskipun pohon sawo dan pohon gayam itu cukup rimbun tetapi daun-daunnya itu tidak akan dapat menyembunyikan mereka sepenuhnya, apabila seseorang dengan sungguh-sungguh memperhatikannya.

Namun agaknya seisi rumah itu telah menonton wayang beber semalam suntuk di rumah Ki Tumenggung, sehingga meskipun hari menjadi pagi, namun belum seorangpun yang kemudian terbangun dan turun ke halaman.

Sementara itu, Ki Tumenggung masih berusaha membangunkan harimau itu dari mabuknya. Sekali-sekali ia memukul harimau itu dengan tangannya. Tetapi pukulan yang memang tidak terlalu keras itu tidak segera dapat membangunkan harimau itu.

Akhirnya Ki Tumenggung menjadi tidak sabar. Iapun kemudian telah menyentuh lambung harimau itu dengan ujung pisaunya. Tidak terlalu kuat, sehingga pisaunya hanya sekedar melukai kulitnya.

Tetapi usaha Ki Tumenggung itu ternyata berhasil, Luka di kulit harimau karena sentuhan ujung pisau itu telah membuat harimau itu marah.

Sekali lagi harimau itu mengaum. Namun kemudian ia mulai rnenjadi garang. Dipandanginya Ki Tumenggung yang kemudian berdiri di hadapannya dengan pisau belati di tangan. Mulut harimau itu menyeringai sambil menggeram. Taringnya yang tajam nampak mengerikan sekali. Perasaan pening yang semakin larut membuatnya semakin sadar atas apa yang dihadapinya.

Dengan sorot mata yang tajam harimau itu memandang ke sekelilingnya. Kemudian dipandanginya orang yang berdiri di hadapannya, dengan kemarahan yang semakin mencengkam. Tiba-tiba saja harimau yang besar itu mulai merunduk. Namun dengan demikian, maka Ki Tumenggung pun justru bergeser surut. la sadar, bahwa harimau itu sudah siap untuk menerkamnya.

Sisa-sisa mabuknya serta sakit pada lambungnya yang terluka oleh ujung pisau itu telah membuat harimau itu marah dan siap untuk menyerang.

Ki Tumenggung telah bersiap sepenuhnya. Orang-orangnya yang mengepung harimau itu menjadi berdebar-debar, sementara Nyai Tumenggung menjadi semakin cemas. Dengan suara bergetar ia berkata lantang, “Cepat, bunuh harimau itu! Jangan biarkan Ki Tumenggung melawannya sendiri.”

Tetapi terdengar Ki Tumenggung itu menjawab tidak kalah kerasnya, “Jangan ganggu aku! Biarlah orang yang dengan sengaja memasukkan harimau itu di halaman mengerti, bahwa Tumenggung Wiragiri bukannya pengecut. Bukan pula orang yang hanya dapat berbicara tanpa menunjukkan kenyataan tentang kemampuannya. Nyai, jangan cemas. Tentu ada orang yang sedang mengujiku.”

Nyai Tumenggung menjadi semakin tegang. Sementara itu, harimau yang marah itu mulai bergerak.

Semua jantung rasa-rasanya telah berhenti berdegup. Ki Tumenggung pun menyadari, bahwa saat pertarungan antara hidup dan mati dengan harimau itu akan segera dimulai. Sejenak kemudian maka terdengar harimau itu mengaum dengan kerasnya. Kemudian dengan loncatan panjang harimau itu telah menerkam Ki tumenggung yang memang sudah siap menunggunya dengan pisau belati.

Dengan tangkas Ki Tumenggung telah meloncat menghindar, sehingga kuku-kuku harimau yang tajam itu tidak menyentuhnya. Namun Ki Tumenggung ternyata tidak menunggu. lalah yang kemudian menyerang harimau itu. Dengan cepat Ki Tumenggung meloncat ke punggung harimau itu dan dengan sepenuh kekuatannya, bahkan dilambari dengan kekuatan tenaga cadangannya, Ki Tumenggung telah mengayunkan dengan kemudian menghunjamkan pisau belatinya.

Harimau itu mengaum sambil meronta. la merasa sesuatu telah melekat dipunggungnya, bahkan kemudian terasa kulit dan dagingnya telah dikoyak. Karena itu, maka harimau itupun telah meloncat dan kemudian menjatuhkan diri sambil berguling-guling.

Ki Tumenggung tidak memberikan kesempatan kepada harimau itu. Tangannya berpegangan semakin erat. Namun karena harimau itu berguling-guling di atas tanah, maka tubuh Ki Tumenggung pun telah bergeseran dengan tanah yang keras. Bahkan karena tenaga harimau yang sangat besar, maka tangan Ki Tumenggung yang berpegangan pada leher harimau telah terlepas.

Harimau itupun kemudian sempat bangkit. Tetapi Ki Tumenggung pun dengan cepat melenting berdiri. Namun demikian, ternyata bahwa tangan harimau itu sempat menyentuhnya.

Luka-luka yang panjang menyilang di dada Ki Tumenggung. Tetapi Ki Tumenggung tidak membiarkan harimau itu sempat menggapai dirinya lagi. Ketika harimau itu dengan kedua kaki depannya berusaha untuk menerkam Ki Tumenggung, maka Ki Tumenggung telah meloncat menyamping. Dengan sepenuh tenaganya maka Ki Tumenggung telah mengayunkan dan menghunjamkan pisaunya ke perut harimau itu.

Harimau itu menjadi semakin kesakitan. Namun dengan demikian iapun menjadi semakin garang. Dengan auman yang keras harimau itu bagaikan menggeliat. Dengan mulut menganga ia berusaha menerkam dan menggigit korbannya. Tetapi korbannya benar-benar bergerak sangat cepat. Ki Tumenggung sempat meloncat surut. Bahkan kemudian sekali lagi ia meloncat ke samping harimau itu untuk menghunjamkan pisaunya.

Tetapi ternyata kaki depan harimau itu sempat pula menyentuhnya. Lagi sederet luka karena kuku-kuku harimau itu mengoyak kulit di lengan Ki Tumenggung.

Namun Ki Tumenggung tidak menjadi gentar. Sekali lagi ia justru berhasil meloncat ke punggung harimau itu dan ia tidak mau kehilangan waktu lagi. Tangannya kemudian terayun dengan derasnya, dan pisaunyapun telah menukik menembus leher harimau yang meronta sambil mengaum dengan dahsyatnya.

Pisau Ki Tumenggung memang berhasil mengoyak kulit leher harimau itu. Tetapi ternyata ujung pisau itu tidak memutuskan tenggorokannya, justru menyusup di sisi tenggorokan dan tembus pada wajah kulit di bagian yang lain.

Harimau itu menjadi sangat kesakitan. Namun dengan demikian harimau itu menjadi semakin marah. Bahkan kemudian bagaikan menjadi gila harimau itu meronta-ronta, meloncat dan berguling. Kaki depannya menggapai-gapai dengan kukunya yang runcing tajam.

Sekali-sekali kulit Ki Tumenggung masih juga tersentuh kuku harimau itu. Namun dalam keadaan yang lebih baik, maka Ki Tumenggung sekali lagi mengayunkan pisau belatinya. Kali ini ia tidak boleh gagal. Ia harus dapat memotong tenggorokan harimau yang mengamuk itu.

Tetapi harimau yang meronta-ronta dengan kekuatan yang sangat besar itu justru telah berusaha melemparkannya dari punggungnya. Karena itu, maka usaha Ki Tumenggung untuk segera mengakhiri pertarungan itu dengan memotong kerongkongan harimau itu tidak segera dapat dilakukannya. Bahkan kadang-kadang kedua tangannya harus berusaha untuk berpegangan agar tubuhnya sendiri tidak terlempar dari punggung harimau itu.

Namun dalam pada itu, darah telah membasahi seluruh wajah kulit harimau dan pakaian Ki Tumenggung. Bagi mereka yang menyaksikan pertempuran itu menjadi sulit untuk membedakan, darah siapakah yang lebih banyak mengalir. Darah harimau atau darah Ki Tumenggung, karena geseran tubuh Ki Tumenggung dengan tanah yang keras juga menimbulkan luka-luka pada kulit Ki Tumenggung,

Namun Ki Tumenggung masih beberapa kali berhasil menghunjamkan pisaunya, meskipun masih belum menghentikan kemarahan harimau yang garang itu.

Dalam pada itu, wajah Raden Rangga menjadi tegang. la menjadi cemas, bahkan menyesal akan permainannya Jika Ki Tumenggung kemudian mengalami bencana karena permainan itu, maka ia akan mendapat hukuman bukan saja dikurung untuk waktu sepekan. Apalagi jika Ki Tumenggung nanti terbunuh, langsung atau tidak langsung, yang akan dapat terjadi dua atau tiga hari lagi karena luka-lukanya menjadi sangat parah.

Tetapi semuanya sudah terlanjur. Raden Rangga tidak akan berbuat apa-apa lagi. Jika ia berusaha membantu Ki Tumenggung, maka Ki Tumenggung akan menjadi sangat tersinggung. Dan itu ternyata ketika beberapa orang-orangnya bergeser maju, Ki Tumenggung itu berteriak, “Menyingkir! Atau kau juga aku binasakan bersama harimau ini?”

Tidak seorangpun yang kemudian berani mengganggu. Bagaimanapun juga mereka menjadi cemas, namun mereka tetap berdiri saja di pinggir arena pertarungan yang mendebarkan itu.

Nyai Tumenggung tidak lagi dapat menyaksikan perkelahian selanjutnya. Ketika ia melihat darah yang membasahi seluruh pakaian Ki Tumenggung tanpa dapat membedakan, apakah darah itu darah Ki Tumenggung sendiri atau darah harimau yang sudah terluka parah itu, maka pandangannya tiba-tiba menjadi semakin lama semakin kekuning-kuningan. Akhirnya menjadi gelap sekali.

Untunglah beberapa orang yang berdiri di sekharnya dengan cepat menangkapnya sehingga Nyai Tumenggung itu tidak terjatuh karenanya. Dengan serta merta beberapa orangpun telah mengusungnya dan membawanya masuk ke ruang tengah. Beberapa orang perempuan kemudian berusaha untuk menyadarkannya dengan berbagai cara sebagaimana sering mereka lakukan.

Yang tidak kalah cemasnya adalah Agung Sedayu. la duduk dengan jantung yang berdegupan di atas dahan sebatang pohon sawo. Permainan Raden Rangga memang sangat mencemaskan. Nampaknya usaha Ki Tumenggung untuk membunuh harimau itu tidak dengan mudah dapat berhasil.

Namun menilik tenaga Ki Tumenggung, maka Agung Sedayu masih merasa agak tenang. Ia masih tetap berpengharapan, bahwa Ki Tumenggung akan dapat menyelesaikan pertempuran itu.

Meskipun demikian Agung Sedayu telah menyiapkan diri, Meskipun jaraknya dari arena itu tidak terlalu dekat, namun ia yakin, bahwa jika ia melibatkan diri dengan sorot matanya, maka ia akan dapat membantu Ki Tumenggung tanpa diketahuinya. Tetapi ia hanya akan melakukan jika keadaan memang sangat memaksa.

Sementara itu, orang-orang Ki Tumenggung sendiripun menjadi sangat gelisah. Mereka tidak sampai hati membiarkan Ki Tumenggung berjuang dengan mengerahkan segenap kemampuannya untuk mengalahkan harimau itu tanpa senjata selain sebuah pisau belati. Seandainya Ki Tumenggung mau mempergunakan tombak pendek yang semula sudah diserahkan kepadanya, agaknya ia tentu sudah dapat mengatasi harimau itu. Dengan kecepatan geraknya, Ki Tumenggung akan lebih mudah menguasai lawannya dengan tombak pendek daripada dengan sekedar sebuah pisau belati.

Tetapi tidak seorangpun yang dapat berbuat sesuatu. Mereka hanya dapat menyaksikan tubuh Ki Tumenggung dan tubuh harimau itu menjadi merah oleh darah.

Raden Rangga benar-benar menjadi gelisah. Tetapi ia masih menunggu. Sebagaimana Agung Sedayu juga masih menunggu.

Sementara itu, perkelahian antara Ki Tumenggung dengan harimau yang bagaikan menjadi gila itu menjadi semakin seru. Harimau yang kesakitan itu seakan-akan menjadi berputus-asa, sehingga yang dilakukan kemudian adalah sekedar meronta-ronta. mengamuk dan meggapai-gapai. Namun sentuhan keempat kakinya ternyata mampu mengoyak bukan sekedar pakaian, tetapi juga kulit daging.

Dalam pada itu, Ki Tumenggung pun masih juga berusaha untuk menghunjamkan pisau belatinya. Jika ia sulit menemukan sasaran yang diperhitungkan, maka iapun mengenainya dimana saja di tubuh harimau itu. Namun oleh darah yang mengalir serta gerak harimau yang garang itu ternyata telah merampas kekuatan Ki Tumenggung perlahan-lahan, sehingga kekuatan Ki Tumenggung pun mulai nampak semakin susut.

Raden Rangga dan Agung Sedayu menjadi semakin gelisah. Ketika dengan ketajaman pengetahuan mereka tentang olah kanuragan, mereka melihat kemampuan Ki Tumenggung yang susut itu, maka mereka mulai memikirkan kemungkinan untuk melibatkan diri. Agung Sedayu pun telah menempatkan dirinya sebaik-baiknya sehingga ia akan dapat memandang tubuh harimau yang besar dan garang itu. Namun ia harus berusaha bahwa serangannya dengan sorot matanya tidak justru akan mengenai Ki Tumenggung yang bergulat antara hidup dan mati itu.

Namun pada saat demikian, maka Ki Tumenggung sendiri berusaha untuk dapat melakukan pekerjaannya dengan sebaik-baiknya. Iapun menyadari bahwa kekuatannya sudah menjadi berkurang karena darah yang mengalir dan pengerahan tenaga yang berlebihan. Namun ia bertekad sebelum sampai saatnya kekuatannya terhisap habis, ia harus sudah berhasil membunuh hariamau itu.

Dengan demikian maka Ki Tumenggung pun mulai menghemat tenaganya. Bahkan dibiarkannya harimau itu meronta-ronta dan berguling-guling. Ki Tumenggung hanya mempergunakan tenaganya untuk tetap melekat pada punggung harimau itu.

Menurut perhitungannya, harimau itu akan dengan sendirinya kehabisan tenaga apabila darahnya sudah terperas habis oleh tingkahnya sendiri.

Sebenarnyalah perhitungan Ki Tumenggung itu tidak terlalu jauh meleset. Harimau yang mengerahkan segenap tenaganya itu memang telah memeras darahnya sendiri dari tubuhnya, sehingga demikian maka tenaganyapun mulai menjadi susut, sebagaimana Ki Tumenggung. 

Tetapi ternyata harimau itu tidak mampu membuat perhitungan-perhitungan seperti Ki Tumenggung. Harimau itu tidak tahu bagaimana ia harus menghemat tenaganya yang tersisa. Karena itu, maka tenaganya ternyata lebih cepat susut daripada tenaga Ki Tumenggung sendiri.

Dengan demikian maka pada saat-saat terakhir, Ki Tumenggung mendapat kesempatan untuk berbuat lebih banyak dari harimau itu. Bahkan ketika tenaga harimau itu menjadi semakin lemah, Ki Tumenggung mendapat kesempatan untuk menusuk dengan pisau belatinya di leher harimau itu, tepat memotong jalur pernafasannya.

Harimau itu mengaum. Tetapi suaranya bagaikan terputus. Sekali ia meloncat tinggi-tinggi sambil menggeliat. Demikian menghentak sehingga tangan Ki Tumenggung tiba-tiba telah terlepas dan Ki Tumenggung pun telah terlempar beberapa langkah. Ki Tumenggung yang menjadi semakin lemah itupun telah terjatuh di tanah. Punggungnya rasa-rasarya bagaikan menjadi patah. Ketika ia berusaha untuk bangkit, maka terasa tulang-tulangnya bagaikan menjadi retak.

Tetapi Ki Tumenggung tidak mau terbaring diam untuk diterkam oleh harimau yang gila. Karena itu, betapapun sakitnya, ia telah berusaha untuk bangkit, berdiri meskipun tertatih-tatih. Dengan sisa tenaganya yang ada serta mengerahkan kemampuan daya tahannya maka Ki Tumenggung akhirnya masih juga mampu berdiri tegak. Pisau belatinya ternyata bagaikan lekat pada telapak tangannya.

Sementara itu harimau yang meronta dan meloncat tinggi-tinggi itupun telah terjatuh di tanah. Dengan garangnya harimau itu meloncat bangkit. Ketika ia melihat lawannya berdiri tegak di hadapannya, maka harimau itupun telah merunduk.

Ki Tumenggung pun kemudian siap menghadapi segala kemungkinan meskipun tubuhnya menjadi semakin lemah. Namun temyata bahwa ia kemudian menjadi heran, Harimau yang merunduk itu tidak segera meloncat dan menerkam. Tetapi harimau itu justru kemudian sekali lagi berguling dan berusaha untuk mengaum. Namun suaranya tidak lagi lerdengar jelas karena tenggorokannya yang telah terputus bersama jalan pernafasannya di lehemya.

Harimau itu kemudian jatuh terguling. Menggeliat sekali. Namun kemudian harimau itu tidak bergerak lagi. Mati.

Ki Tumenggung berdiri dengan sisa tenaganya. Darahnya masih juga mengalir di tubuhnya. Namun harimau yang garang itu telah dibunuhnya.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalarn. Namun belum lagi ia menjadi tenang oleh kegelisahannya, tiba-tiba saja telah tumbuh kegelisahannya yang lain. Tiba-tiba saja Ki Tumenggung yang masih berlumuran darah itu berdiri bertolak pinggang sambil menghadap ke arah Raden Rangga sambil berkata lantang, “Raden, jangan dikira aku tidak mengetahui bahwa segalanya adalah karena pokal Raden. Sekarang, agaknya memang sudah sampai saatnya aku menjalankan perintah Ayahnda Raden, bahwa Raden harus ditangkap, Seandainya yang Raden perlakukan bukan Ki Tumenggung Wiragiri, maka agaknya harimau itu tentu sudah mengambil korban. Tetapi kali ini yang Raden jadikan sasaran adalah aku, Tumenggung Wiragiri, sehingga Raden lihat, bahwa harimau itu telah mati. Karena itu turunlah dan menyerahlah, sebelum aku mengambil tindakan yang lebih keras lerhadap Raden atas ijin ayahanda Raden. Panembahan Senapati.”

Raden Rangga menjadi tegang. Namun ia berusaha untuk tidak berpaling ke arah Agung Sedayu. Agaknya perhatian Ki Tumenggung hanya tertuju kepadanya saja, sehingga ia tidak memperhatikan, bahwa ada juga orang lain yang berada di dahan sebatang pohon.

Dalam pada itu maka Raden Rangga itupun kemudian menjawab, “Sudahlah Ki Tumenggung, aku akan pergi.”

“Begitu mudahnya Raden akan pergi, setelah kulit dagingku dikoyak oleh harimau itu?” jawab Ki Tumenggung, “Karena itu jangan pergi, Aku akan menangkap Raden, dan Raden tidak akan mungkin melawan atau melarikan diri. Apalagi Raden sudah melihat apa yang telah aku lakukan.”

“Membunuh harimau itu?” bertanya Raden Rangga.

“Ya. Aku ternyata mampu membunuh harimau itu,” jawab Ki Tumenggung Wiragiri.

Tetapi sikap Raden Rangga ternyata mengejutkan. la sama sekali tidak menjadi terkejut, kagum atau apalagi ketakutan mendengar ancaman Ki Tumenggung Wiragiri. Bahkan Raden Rangga kemudian menjadi lebih berani mengganggu lagi setelah Ki Tumenggung membunuh harimau itu. Katanya, “Ki Tumenggung. Bukankah bukan suatu hal yang dapat dibanggakan jika seseorang dapat membunuh seekor harimau?”

Wajah Ki Tumenggung menjadi tegang. Lalu katanya, “Raden dapat berkata apa saja. Tetapi satu kenyataan telah terjadi. Dan dengan kemampuanku yang dapat mengatasi kekuatan seekor harimau itu aku akan menangkap Raden.”

Raden Rangga kemudian justru tertawa katanya, “Jadi setelah kau berhasil membunuh harimau itu dengan pisau belati, itupun dengan mengerahkan segenap kemampuan dan tenagamu sehingga sekarang kau benar-benar sudah kehabisan tenaga serta luka-luka yang cukup minta perhatian itu, kau merasa dapat menangkap aku? Ki Tumenggung, membunuh seekor harimau adalah kerja anak kecil. Tetapi aku kira Ki Tumenggung tidak akan dapat menangkap seekor harimau dalam keadaan hidup dan segar bugar. Nah, coba bayangkan. Manakah yang lebih sulit. Membunuh seekor harimau dengan pisau belati, atau menangkap harimau itu hidup-hidup dan membawanya kemari.”

Wajah Ki Tumenggung menjadi tegang. Sementara itu Raden Rangga berkata, “Ki Tumenggung. Jika dapat menangkap seekor harimau hidup-hidup dalam keadaan utuh tanpa cacat dan membawa sampai ke tempat ini, maka biarlah aku menyerah jika kau akan menangkapku. Tetapi sebelum hal itu dapat kau lakukan, maka aku tidak akan bersedia kau tangkap, karena kau masih belum akan mampu melakukannya.”

Jantung Ki Tumenggung rasa-rasanya bergejolak semakin keras di dalam dadanya. Tetapi ia tidak dapat ingkar bahwa menangkap harimau dalam keadaan hidup dan tidak cedera tentu merupakan satu pekerjaan yang lebih sulit dari pada membunuh harimau itu. Sedangkan agaknya Raden Rangga telah dapat melakukannya. Meskipun demikian Ki Tumenggung itu masih juga berkata, “Raden, tentu Raden tidak melakukannya sendiri. Mungkin ada dua tiga orang yang Raden perintahkan untuk membantu Raden, Atau mungkin sebelumnya Raden telah memasang perangkap, sehingga harimau itu telah masuk kedalam perangkap.”

Wajah Raden Rangga-lah yang kemudian menjadi tegang, Anak yang masih sangat muda itu telah tersinggung. Karena itu, maka katanya, “Apakah kita harus membuktikan? Marilah Ki Tumenggung, jika Ki Tumenggung ingin berlomba dengan aku. Kita akan sama-sama menangkap harimau dalam keadaan hidup di hadapan saksi-saksi, bahwa kita tidak mempergunakan perangkap. Siapakah yang dapat menangkap lebih dahulu, maka ialah yang menang dan berhak mendapat taruhan. He, apakah taruhannya yang paling baik? Pangkat Tumenggung?” 

Ki Tumenggung hampir tidak dapat menguasai dirinya. Untunglah bahwa anak muda yang berada di atas sebatang dahan itu adalah Raden Rangga, putra Panembahan Senapati. Betapapun nakalnya, tetapi ia adalah putra sesembahannya. Yang diberikan wewenang kepadanya adalah menangkap anak muda itu. Tetapi jika anak muda itu melawan, maka tentu akan terjadi benturan kekerasan.

Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. la melihat ada dua kemungkinan yang dapat terjadi, jika ia memaksa untuk menangkap anak muda itu. Mungkin ia berhasil, tetapi kemungkinan yang lain akan membuat perasaan semakin pahit jika ia gagal menangkapnya.

Karena itu, maka Ki Tumenggung pun berusaha untuk menguasai diri dan mengambil sikap sebaik-baiknya. Namun kemudian katanya, “Raden. Bukankah dengan perbuatan Raden ini aku dapat melaksanakan perintah ayahanda Raden, untuk menangkap Raden? Tetapi seandainya Raden tidak mau menyerah, maka akupun tidak akan memaksa, karena Raden Rangga adalah putra Panembahan Senapati. Tetapi sudah tentu bahwa hal ini akan aku sampaikan kepada ayahanda Raden. Bukankah ayahanda Raden sudah menitahkan, bahwa jika Raden melakukan satu tindakan yang dapat mengganggu orang lain, maka Raden akan dikurung?”

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Ki Tumenggung, sebaiknya Ki Tumenggung tidak usah melaporkannya kepada Ayahanda. Kita selesaikan persoalan ini di antara kita saja.”

“Maksud Raden?” bertanya Ki Tumenggung.

“Kita berlomba. Jika Ki Tumenggung menang, aku akan menyerah untuk ditangkap. Tetapi jika Ki Tumenggung kalah, maka Ki Tumenggung harus menyerahkan kembali kalenggahan Tumenggung kepada Ayahanda,” jawab Raden Rangga.

“Raden benar-benar telah menyinggung perasaanku,” berkata Ki Tumenggung, “tetapi sekali lagi aku katakan, bahwa aku tidak akan mengambil langkah lain daripada melaporkan perbuatan Raden kepada ayahanda.”

Raden Rangga menjadi semakin tegang. Katanya, “Jangan menjadi cengeng begitu Ki Tumenggung. Jangan seperti anak kecil yang hanya dapat lapor. Kita berusaha menyelesaikan persoalan kita sendiri.”

“Justru karena aku ingin menghormati Raden sebagai putra Panembahan Senapati,” jawab Ki Tumeggung.

“Jangan berpura-pura begitu,” jawab Raden Rangga, “jika Ki Tumenggung merasa tidak mampu melakukannya, katakan dengan jujur. Tetapi jangan melapor seperti gadis yang diganggu anak-anak di jalanan.”

Ki Tumenggung menjadi gemetar menahan perasaannya. Tetapi akhirnya ia memutuskan akan menghadap Panembahan Senapati dan melaporkan apa yang sudah terjadi. Karena itu maka katanya, “Sudahlah Raden. Aku tidak akan dapat kau gelitik dengan cara apapun juga. Aku akan melaporkan persoalan ini kepada ayahanda, karena aku memang merasa bahwa dalam keadaan ini aku tidak akan dapat menangkapmu langsung.”

Ki Tumenggung tidak menunggu tanggapan Raden Rangga. Iapun kemudian melangkah menuju ke pintu butulan rumahnya sambil berkata kepada para pengikutnya, “Uruslah harimau itu. Mungkin dapat kalian ambil kulitnya yang sudah berlubang-lubang arang keranjang karena pisauku.”

Orang-orangnya tidak menjawab. Tetapi merekapun segera menyibak memberikan jalan kepada Ki Tumenggung yang menuju ke pintu butulan.

Namun ketika ia hampir sampai di pintu butulan ia berkata, “Siapkan pakiwan dengan air hangat. Aku akan mandi dan membersihkan luka-lukaku.”

Ketika Ki Tumenggung melangkah lagi menuju ke pintu butulan, Raden Rangga nampak gelisah. Hampir saja ia meloncat ke atas dinding halaman belakang rumah Ki Tumenggung. Tetapi Agung Sedayu yang dengan tergesa-gesa meloncat turun setelah Ki Tumenggung hilang dari penglihatanya berusaha untuk mencegahnya.

“Apa yang akan Raden lakukan?” bertanya Agung Sedayu.

“Aku akan mencegahnya melaporkan hal ini kepada Ayahanda,” jawab Raden Rangga.

“Ya. Tetapi apa yang akan Raden lakukan?” desak AgungSedayu.

Raden Rangga ragu-ragu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku akan mengadakan taruhan. “

“Dengan adu kekerasan seperti yang Raden usulkan itu?” bertanya Agung Sedayu pula.

“Ya,” jawab Raden Rangga.

“Jangan Raden. Aku mohon,” berkata Agung Sedayu kemudian.

Raden Rangga termangu-mangu. Ki Tumenggung telah tidak nampak lagi di halaman, sementara beberapa orang yang ada di halaman itu menjadi termangu-mangu. Ada di antara mereka yang mulai melangkah mendekati harimau itu. Namun mereka tertegun ketika mereka mendengar Raden Rangga itu bercakap-cakap. Namun ternyata dengan seseorang yang berada di luar dinding halaman.

“Marilah Raden, tinggalkan tempat ini,” berkata Agung Sedayu

“Jadi, bagaimana jika Ki Tumenggung mengatakannya kepada Ayahanda?” bertanya Raden Rangga seakan-akan kepada diri sendiri.

“Bukankah Raden sudah menyadari kemungkinan itu sejak sebelum Raden melakukannya?” bertanya Agung Sedayu.

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Apakah aku harus menjalani hukuman sepekan di dalam kurungan ?”

“Jika Ayahanda Raden yang mengambil keputusan, maka hal itu harus Raden lakukan. Semua orang yang menjadi kawula Mataram yang baik harus menerima keputusan yang diambil oleh Panembahan Senapati. Tidak terkecuali Raden Rangga. Apalagi Raden adalah putranya sendiri. Seandainya ayahanda Raden bukan Panembahan Senapati sekalipun, maka Raden wajib menurut segala perintah ayahanda Raden itu,” berkata Agung Sedayu.

Raden Rangga termangu-mangu sejenak. Orang-orang di dalam halaman itu sudah mulai mengerumuni bangkai harimau yang mati itu. Satu dua di antara mereka masih ada yang berpaling ke arah Raden Rangga. Tetapi sebagian besar dari mereka tidak lagi menghiraukannya.

Sementara itu Raden Rangga pun telah meluncur turun. la berdiri termangu-mangu, sementara Agung Sedayu mendekatinya.

“Sudahlah Raden,” berkata Agung Sedayu, “peristiwa ini merupakan pengalaman yang kesekian kalinya bagi Raden menghadapi sikap ayahanda. Sebelum Raden melakukan sesuatu, agaknya Raden segan untuk membuat pertimbangan-pertimbangan. Baru setelah Raden melakukannya, Raden menjadi bingung karenanya.”

“Aku menyesal sekali, tetapi seperti katamu, aku akan mempertanggung jawabkannya.”

“Baiklah Raden,” berkata Agung Sedayu, “jika demikian, maka biarlah Ki Tumenggung melaporkannya kepada ayahanda dan Raden tidak perlu mengingkarinya.”

Raden Rangga mengangguk.

“Nah, sekarang silahkan Raden kembali ke istana,” berkata Agung Sedayu.

“Kau mau kemana?” bertanya Raden Rangga.

“Ke pasar,” jawab Agung Sedayu, “orang-orang yang datang bersamaku telah menunggu aku di pasar. Tempat yang agaknya paling aman.”

“Marilah,” berkata Raden Rangga, “aku juga akan pergi ke pasar.”

Raden Rangga dan Agung Sedayu pun kemudian meninggalkan tempatnya menuju ke pasar seperti yang dikatakan. Sementara itu orang orang yang kesiangan di rumah di belakang rumah Ki Tumenggung ternyata satu-satu baru bangun dan sambil mengusap matanya keluar dari pintu samping, berjongkok di bawah undak-undakan sambil memandangi halaman rumahnya yang kotor, yang masih belum terjamah sapu.

Sementara itu, Agung Sedayu dan Raden Rangga pun telah berada di pasar. Mereka mencoba mencari Kiai Gringsing dan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang lain.

Ternyata mereka telah berada di dalam sebuah warung yang baru saja dibuka. Tetapi di dalam warung itu terdapat beberapa orang yang lain. Agaknya warung itu adalah warung yang paling besar dan paling lengkap menyediakan jenis makanan dan minuman. Karena itu, orang-orang yang telah menyerahkan barang barang dagangannya kepada para tengkulak, telah singgah untuk makan di warung itu.

Agung Sedayu dan Raden Rangga pun duduk pula di antara orang-orang yang datang dari Tanah Perdikan Menoreh itu. Merekapun memesan makanan dan minuman panas untuk menghangatkan tubuh mereka yang mengalami kegelisahan beberapa saat lamanya.

Namun agaknya mereka yang datang dari Tanah Perdikan Menoreh itu sama sekali tidak ingin menyinggung di hadapan orang banyak niat kedatangan mereka. Karena itu, maka merekapun tidak dengan serta merta bertanya tentang harimau di halaman Ki Tumenggung Wiragiri.

Untuk beberapa saat mereka yang ada di warung itu telah meneguk minuman dan makan tanpa berbicara kecuali saling mempersilahkan. Raden Rangga sendiri masih berpikir, apa yang sebaiknya dilakukan. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, maka memang tidak ada lain daripada melakukan perintah apa saja yang akan diberikan oleh ayahandanya, Panembahan Senapati.

Satu-satu orang-orang yang ada di daJam warung itu telah keluar. Meskipun ada juga yang kemudian memasukinya. tetapi yang datang kemudian tidak begitu memperhatikan orang-orang yang sudah duduk di dalamnya, sehingga Kiai Gringsing pun kemudian mulai bertanya perlahan-lahan tentang harimau di halaman rumah Ki Tumenggung Wiragiri.

Agung Sedayu-lah yang kemudian bercerita dengan singkat. Dan iapun mengatakan bahwa Ki Tumenggung sudah mengambil keputusan untuk melaporkannya.

Kiai Gringsing ternyata sependapat dengan Agung Sedayu. Iapun menasehatkan agar Raden Rangga menyerah saja, dan tidak perlu berbuat sesuatu yang akan dapat membuat ayahandanya semakin marah.

“Baiklah,” berkata Raden Rangga, “aku akan menjalani semua perintah Ayahanda, karena aku memang harus bertanggung jawab atas permainan itu. Tetapi aku sudah membuat Ki Tumenggung itu berpikir, apakah ia dalam keadaan yang sewajarnya akan dapat menangkap aku, karena ia hanya mampu membunuh binatang itu. Itupun dengan keadaan yang sangat parah.”

“Tetapi Ki Tumenggung adalah orang yang luar biasa. Ia memiliki daya tahan yang sangat besar,” berkata Agung Sedayu, “dalam keadaan yang demikian, ia masih mampu berdiri tegak sambil bertolak pinggang. Kemudian berjalan tegap seperti tidak terjadi sesuatu sebelum ia akan mandi dengan air hangat.”

“Ya,” Raden Rangga mengangguk, “memang harus diakui, bagaimanapun juga Ki Tumenggung adalah orang yang memiliki kekuatan dan ketahanan tubuh yang luar biasa. Namun aku yakin, bahwa dalam keadaannya itu, ia harus mengakui, bahwa menangkap harimau dalam keadaan hidup tentu lebih sulit daripada membunuhnya.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam Namun kemudian iapun mengangguk-angguk. Katanya, “Ya Raden. Ki Tumenggung tentu akan memikirkannya.”

Raden Ranggapun kemudian diam sejenak. Tetapi nampaknya ia masih memikirkan akibat dari perbuatannya.

Namun tiba-tiba saja Raden Rangga itu tersenyum sambil berkata kepada Kiai Gringsing, “Kiai, bagaimana menurut pertimbanganmu, jika dalam keadaan seperti ini aku berusaha untuk berbuat sesuatu yang akan dapat membuat Ayahanda tidak marah kepadaku?”

“Apa yang dapat Raden lakukan?” bertanya Kiai Gringsing.

“Aku tidak akan ingkar seandainya aku harus dihukum kurungan selama sepekan,” jawab Raden Rangga, “tetapi setelah itu, agar Ayahanda tidak selalu marah saja kepadaku untuk seterusnya, aku akan membantu Ayahanda dalam kemelut yang terjadi sekarang ini.”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Kemelut yang mana?”

“Aku akan membantu Ayahanda menyelesaikan persoalan yang timbul antara Pajangdan Mataram.”

“Raden,” wajah Kiai Gringsing menjadi tegang.

Demikian pula orang-orang lain di sekitarnya. Untunglah mereka masih tetap dapat memelihara suasana sehingga orang-orang lain yang ada di warung itu tidak ikut tertarik perhatian mereka kepada Raden Rangga.

“Ya,“ jawab Raden Rangga, “bukankah antara Pajang dan Mataram sekarang sedang timbul ketegangan? Pamanda Adipati Wirabumi nampaknya segan menyerahkan beberapa jenis pusaka yang dikehendaki oleh Ayahanda, dan yang akan mengambil pusaka-pusaka itu dari Pajang untuk dibawa ke Mataram.”

“Raden,” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam, “hal itu adalah persoalan ayahanda Raden dan pamanda Adipati Pajang Wirabumi. Raden masih terlalu muda untuk ikut memikirkannya, apalagi mengambil tindakan-tindakan tertentu. Sebaiknya Raden menunggu saja jika ayahanda memberikan perintah kepada Raden.”

“Tetapi Ayahanda sudah memerintahkan pasukan Untara untuk bersiap-siap,“ berkata Raden Rangga.

“Mungkin saja,” jawab Kiai Gringsing, “tetapi ayahanda Raden, Panembahan Senapati, tentu tidak akan bertindak dengan tergesa-gesa. Semuanya masih kadang sendiri, sehingga jika terjadi salah langkah, maka akan terjadi benturan di antara keluarga sendiri. Peristiwa yang sudah terulang seribu kali di atas Tanah ini. Sementara itu akibatnya hanya melemahkan kedudukan kita semuanya. Karena itu yang paling baik bagi Raden adalah menunggu perintah ayahanda.”

“Tetapi dengan menunggu, aku tidak akan mendapat kesempatan apapun juga, karena Ayahanda selalu menganggap bahwa aku masih terlalu kanak-kanak. Meskipun aku sudah berbuat sesuatu yang dapat menarik perhatian Ayahanda, namun Ayahanda sama sekali tidak menghiraukannya, bahkan Ayahanda menjadi semakin marah saja kepadaku. Tetapi jika aku tiba tiba saja dapat melakukan sebagaimana dikehendaki oleh Ayahanda, maka mungkin Ayahanda tidak akan marah lagi kepadaku, dan Ayahanda akan menganggapku sudah cukup dewasa,” berkata Raden Rangga.

Namun dengan cermat Kiai Gringsing berkata, “Jika Raden mau mendengarkan pertimbanganku, jangan Raden lakukan. Hal itu tidak akan meredakan marah ayahanda Raden, tetapi justru sebaliknya. Ayahanda akan menjadi semakin marah, rnelampaui kemarahan kepada Raden dengan permainan Raden yang berbahaya selama ini, termasuk memindahkan sasak jembatan dan melepaskan seekor harimau di halaman Ki Tumenggung Wiragiri.”

Raden Rangga tidak menjawab. Namun iapun kemudian menyuapi mulutnya dengan beberapa potong makanan, kemudian meneguk minuman hangat dengan gula kelapa.

Suasanapun menjadi hening. Orang-orang di dalam warung itu sibuk dengan makanan dan minuman sendiri-sendiri. Glagah Putih merasa seakan-akan ia sama sekali tidak dapat ikut berbicara, karena ia merasa dirinya masih terlalu muda untuk ikut memberikan pendapatnya kepada Raden Rangga, yang meskipun umurnya agaknya masih lebih muda daripadanya, namun sikap dan tingkah lakunya kadang-kadang menunjukkan bahwa ia sudah dewasa. Namun kadang-kadang ia masih juga dihinggapi oleh kenakalan kanak-kanak, justru dalam kemampuannya yang terlalu tinggi.

Karena itu, Glagah Putih pun kemudian sebagaimana orang-orang lain di dalam warung itu, telah sibuk pula dengan makanan dan minumannya.

Ketika Agung Sedayu sekali-sekali sempat melihat kepada Raden Rangga, maka rasa-rasanya ia ikut serta menikmati makanan dan minuman dengan sangat lahapnya. Ternyata anak nakal itu sempat makan dan minum seakan-akan seseorang yang baru saja bekerja sangat berat.

Raden Rangga yang nampaknya tidak memperhatikan Agung Sedayu itu tiba-tiba berkata, “Jangan heran melihat aku makan, Aku makan dua kali lipat dari orang lain Tetapi aku betah tidak makan dan minum selama tiga hari penuh kecuali menyerap titik-titik embun di malam hari. “

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia percaya kepada kata-kata Raden Rangga itu bahwa anak itu dapat tidak makan dan minum selama tiga hari, karena anak muda itu memiliki ketahanan tubuh dan kemampuan di luar kewajaran. Bagi Agung Sedayu sendiri, untuk melakukan pati geni selama tiga hari tiga malam diperlukan persiapan badani dan jiwani yang sebaik-baiknya. Tetapi agaknya bagi Raden Rangga hal itu dilakukannya begitu saja seperti melakukan permainan-permainannya yang kadang-kadang membuat orang lain kebingungan.

Namun yang tidak diduga oleh mereka yang sedang sibuk di warung itu adalah langkah cepat Ki Tumenggung Wiragiri sebagai seorang prajurit. Pada saat-saat Raden Rangga menikmati hidangannya dengan tanpa berprasangka apapun, sehingga yang dilakukan cukup lama, maka Ki Tumenggung pun telah melakukan langkah-langkah untuk berusaha melakukan tugasnya sebaik-baiknya dan mendapat pujian dari Panembahan Senapati.

Sementara itu, Kiai Gringsing dan orang-orang lain yang datang bersamanya yang telah berada di warung itu lebih dahulu, merasa bahwa mereka telah terlalu lama duduk. Karena itu, maka merekapun mendahului Raden Rangga yang ditemani oleh Agung Sedayu keluar dari warung itu.

“Kaulah yang membayar,” berkata Kiai Gringsing kepada Agung Sedayu, “aku akan melihat-lihat isi pasar ini. Jika kau sudah selesai, cari aku di tempat pande besi. Aku senang melihat mereka bekerja dengan tekun dan bersungguh-sungguh.”

“Ya Kiai,” jawab Agung Sedayu, “aku akan segera menyusul,”

Tetapi Raden Rangga-lah yang menyahut, “Tidak segera. Aku masih lama.“

Kiai Gringsing tersenyum. Bahkan Glagah Putih sempat juga berkata, “Seisi warung ini akan Raden habiskan.”

Raden Rangga pun tertawa pula. Tetapi ia masih sibuk menyuapi mulutnya dengan jenis-jenis makanan yang disukainya. Kemudian meneguk minuman hangat dari mangkuknya.

“Apakah kau juga tergesa-gesa?” bertanya Raden kepada Agung Sedayu.

“Tidak Raden,” jawab Agung Sedayu, “silahkan. Aku akan menemani Raden.”

Kiai Gringsing dan beberapa orang yang datang dari Tanah Perdikan Menoreh itupun kemudian meninggalkan warung itu setetah mereka menghitung makanan dan minuman yang telah mereka makan dan mereka minum, dan yang kemudian akan dibayar oleh Agung Sedayu.

Namun dalam pada itu, pada saat Ki Tumenggung Wiragiri mandi dan membersihkan tubuhnya dari darah yang memerah, baik darahnya sendiri maupun darah harimau yang dibunuhnya, ia sudah memerintahkan untuk mencari arah kepergian Raden Rangga.

Dua orang pengawalnya telah berusaha menyusuri jalan di belakang rumah Ki Tumenggung dan bertanya-tanya apakah orang-orang di sekitar tempat itu melihat Raden Rangga.

Hampir semua orang Mataram pernah mendengar nama Raden Rangga. Dan ternyata bahwa cukup banyak orang telah pernah mengenalnya pula, karena Raden Rangga berada dimana-mana. Jika orang yang ditanya oleh pengawal Ki Tumenggung Wiragiri itu belum pernah melihat, maka dengan mudah pengawal itu menyebut ciri-cirinya, dan yang dengan mudah pula dikenali oleh orang-orang yang melihatnya.

“Ia memang berpakaian sebagaimana putra Panembahan Senapati, meskipun sering nampak kotor dan tidak dipakai dengan tertib Tetapi bahan-bahan pakaiannya adalah pakaian seorang keluarga terdekat di istana,” berkata pengawal Ki Tumenggung tentang ciri-ciri Raden Rangga.

“la masih terlalu muda?” bertanya seseorang.

“Ya. la selalu menyangkutkan kain panjangnya di lambungnya la tidak pernah mempergunakan ikat kepalanya dengan baik, Bahkan kadang-kadang disangkutkannya saja di lehernya,” berkata pengawal Ki Tumenggung.

“Ya, aku melihatnya,” jawab seseorang, “berdua dengan seorang yang telah cukup dewasa. Bahkan nampaknya sudah melampaui masa mudanya.”

“Berdua?” bertanya pengawal itu.

“Ya. Mereka berjalan ke arah pasar,” jawab orang yang melihatnya.

Beberapa orang memang memberikan petunjuk bahwa Raden Rangga telah pergi ke pasar. Dengan demikian maka salah seorang dari kedua orang pengawal Ki Tumenggung itupun kemudian kembali dan memberikan laporan tentang Raden Rangga, sedang yang lain langsung menuju ke pasar untuk mengetahui apakah Raden Rangga benar-benar berada di pasar.

Semua itu berlangsung dengan cepat. Demikian Ki Tumenggung menerima laporan, maka iapun segera memacu kudanya menghadapi Panembahan Senapati. Sementara itu ia sudah memerintahkan mempersiapkan sepasukan yang akan dipergunakannya jika perintah Panembahan Senapati jatuh.

Sebenarnyalah Ki Tumenggung berhasil menghadap Panembahan Senapati, meskipun semula para petugas menganggap bahwa kedatangannya ke istana Panembahan Senapati masih terlalu pagi.

Dengan singkat Ki Tumenggung melaporkan tentang putranya yang nakal, Raden Rangga.

“Tangkap anak itu atas perintahku,” berkata Panembahan Senapati yang kemudian menyerahkan tunggul kerajaan sebagai pertanda bahwa Ki Tumenggung Wiragiri menjalankan perintahnya.

Ki Tumenggung tidak mau terlambat. Dengan cepat ia bergerak dengan pasukan berkuda yang memang sudah siap.

Sejenak kemudian pasarpun menjadi gempar. Sekelompok prajurit berkuda tiba-tiba saja telah mengepung pasar yang tidak terlalu besar itu.

Sementara itu, seorang petugas yang mendahului ke pasar, memang telah menemukan Raden Rangga yang baru saja keluar dari sebuah warung. Bersama Agung Sedayu, Raden Rangga ingin mencari Kiai Gringsing dan orang-orang lain yang datang bersama dari Tanah Perdikan Menoreh di sebuah sudut pasar, tempat para pande besi bekerja.

Namun ternyata Raden Rangga dan Agung Sedayu terkejut. Orang-orang di pasar itu menjadi ribut. Beberapa orang berusaha untuk tetap tenang di tempat masing-masing. Tetapi beberapa orang yang lain telah berusaha untuk menghindar.

Sementara itu terdengar suara di luar pintu gerbang berteriak, “Jangan ribut! Tidak ada apa-apa. Tetaplah berada di tempat masing-masing.”

Tetapi kegelisahan itu tidak dapat disembunyikan lagi. Orang-orang yang hatinya mudah berguncang menjadi ketakutan dan gemetar. Mereka berusaha untuk menghindar meskipun ternyata pasar itu sudah terkepung oleh pasukan berkuda.

Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa tentu dirinya yang dicari. Karena itu, maka iapun kemudian berkata kepada Agung Sedayu, “Tentu tingkah Ki Tumenggung. Biarlah aku menemuinya.”

“Tetapi Raden tidak akan dapat melawan,” berkata Agung Sedayu.

“Aku tidak akan melawan. Tetapi aku berani bertaruh bahwa ia dan orang-orangnya betapapun banyaknya, tidak akan dapat menangkap aku. Bukankah aku tidak melawan?” berkata Raden Rangga.

“Tetapi Ki Tumenggung akan dapat berbuat lebih banyak lagi daripada sekedar mengepung pasar ini,” berkata Agung Sedayu kemudian.

“Katakan, ia mau berbuat apa? Kekerasan?” bertanya Raden Rangga.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.

“Apapun yang akan dilakukan, ia tidak akan dapat menangkap aku. Sudah aku katakan, bahwa aku tidak akan melawan. Aku hanya akan melarikan diri. Nah, bukankah istilah itu adaiah istilah yang paling baik aku pergunakan?” berkata Raden Rangga kemudian.

Tetapi Agung Sedayu menyahut, “Jika Raden mau mendengar pendapatku, jangan menghindar.”

“Aku harus membiarkan leherku diberi kalung cinde dan diarak sepanjang pasar oleh seorang Tumenggung yang tidak mampu menangkap seekor harimau hidup-hidup?” bantah Raden Rangga.

Agung Sedayu masih akan berbicara lebih banyak lagi untuk meyakinkan Raden Rangga. Namun ia justru terdiam. Beberapa orang prajurit berjalan ke arah mereka menyusup di antara orang-orang yang kecemasan di dalam pasar itu.

“Mereka datang,“ desis Agung Sedayu.

Raden Rangga tersenyum. Katanya, “Kenapa bukan Ki Tumenggung Wiragiri sendiri? He, Agung Sedayu, apakah aku harus menyerahkan diri kepada orang-orang itu dan yang kemudian akan membawaku sebagai tawanannya?”

Agung Sedayu termangu-mangu, Namun ia tidak sempat menjawab, karena Raden Rangga telah berteriak, “Tinggal di tempatmu berdiri! Jangan mendekat, atau aku bakar kalian dengan asap Dasa Dahana?”

“Apakah Raden mempunyai Aji Dasa Dahana?” bertanya Agung Sedayu dengan cemas.

“Tidak,” jawab Raden Rangga, “aku asal saja menyebut. Aku tidak tahu kekuatan aji itu.“

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun ia menjadi semakin cemas, bahwa Raden Rangga memiliki ilmu Dasa Dahana yang sudah tidak pernah disebut orang lagi. Tetapi bahwa Raden Rangga mengucapkan nama ilmu itu, jantung Agung Sedayu sudah menjadi berdebar-debar.

Para prajurit yang melangkah mendekatinya itupun tiba-tiba saja telah berhenti. Nampaknya mereka memang ragu-ragu untuk melangkah maju.

“Pergi!” bentak Raden Rangga, “Atau aku benar-benar harus marah?”

Para prajurit itu saling berpandangan sejenak. Tetapi mereka tidak juga melangkah mendekat.

Raden Rangga tiba tiba saja telah tertawa pendek. Katanya, “Aku berhasil menakut-nakuti mereka. Nah, bukankah dengan mudah aku akan dapat melepaskan diri?”

Jantung Agung Sedayu menjadi semakin berdebar-debar. Memang mungkin Raden Rangga akan dapat melepaskan diri. Tetapi jika para prajurit itu benar-benar mempergunakan kekerasan, apakah hal itu tidak akan menimbulkan persoalan yang gawat.

Apalagi ketika ternyata para prajurit itu tidak pergi. Mereka memang tidak bergerak maju. Namun ternyata bahwa sikap mereka benar-benar sikap seorang prajurit.

“Raden,” berkata salah seorang dari prajurit-prajurit itu, “sebaiknya Raden jangan melakukan sebagaimana Raden katakan. Kami mendapat perintah untuk membawa Raden menghadap ayahanda Raden. Jika Raden melawan, maka akibatnya akan tidak baik bagi Raden sendiri.”

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tersenyum sambil berdesis, “O, temyata aku keliru. Mereka tidak menjadi ketakutan.”

Bahkan prajurit itu berkata selanjutnya, “Jika Raden mempergunakan kemampuan Raden yang kami tidak tahu seberapa jauh kemungkinannya untuk melindungi Raden sendiri, tetapi ilmu itu akan mengakibatkan bencana bagi banyak orang di pasar ini. Kami rnohon Raden mempertimbangkannya. Mungkin bagi kami tidak ada persoalan, karena apapun yang terjadi atas kami adalah akibat dari kesediaan kami mengabdi bagi Mataram. Tetapi orang-orang di pasar ini yang tidak bersalah, jangan ikut mendapat kesulitan.“

Raden Rangga menggamit Agung Sedayu sambil tertawa, “Bagaimana menurut pertimbanganmu?”

“Aku sependapat dengan mereka Raden,“ jawab Agung Sedayu.

“Aku setuju. Karena itu, aku tidak akan menyakiti siapapun juga. Aku akan melarikan diri,” jawab Raden Rangga.

“Jangan,” cegah Agung Sedayu. Namun Raden Rangga tertawa semakin keras. Bahkan iapun mulai beranjak dari tempatnya.

Tetapi sebelum Raden Rangga beringsut, rnaka tiba-tiba saja jantungnya bagaikan berhenti berdetak. Tiba-tiba saja ia melihat Ki Tumenggung Wiragiri muncul di antara para prajuritnya sambil membawa tunggul kerajaan.

“Raden,” berkata Ki Tumenggung, “atas nama ayahanda Raden, Panembahan Senapati, maka Raden diperintahkan untuk menghadap.”

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Dipandanginya tunggul yang menyatakan limpahan kuasa ayahandanya.

Sejenak Raden Rangga termangu-mangu. Dipandanginya Ki Tumenggung dengan tajamnya. Namun yang keluar dari mulutnya justru satu pertanyaan aneh, “Ki Tumenggung. Kau apakan luka-lukamu, he? Begitu cepat sembuh dan tidak membekas. Apakah kau memiliki ilmu yang dapat menghapus luka-kuka?”

Ki Tumenggung mengerutkan keningnya. Namun kemudian sambil menarik nafas ia berkata, “Tidak Raden. Aku baru membersihkannya. Tetapi luka-luka itu masihi tetap menganga pada kulitku.”

“Tetapi kau adalah orang yang luar biasa,” berkata Raden Rangga, ”apakah kau tidak merasa sakit?”

“Tentu Raden, aku masih merasa betapa pedihnya kuku-kuku harimau itu. Tetapi atas nama Panembahan Senapati, maka aku datang untuk menjemput Raden,” desis Ki Tumenggung.

Raden Rangga justru tertawa. Katanya, “Aku tidak dapat menolak, Ki Tumenggung. Bukan karena Ki Tumenggung dapat menakut-nakuti aku. Tetapi aku tunduk kepada tunggul yang kau bawa itu. Karena dengan demikian kau ternyata tengah menjalankan kewajibanmu atas nama Panembahan Senapati.”

Wajah Ki Tumenggung menjadi tegang. Sementara itu Raden Rangga berkata selanjutnya, “Ternyata bahwa Ki Tumenggung benar-benar seorang prajurit cengeng. Kenapa kita tidak berusaha menyelesaikan persoalan kita sendiri?”

“Justru karena aku seorang prajurit Raden. Aku terikat pada paugeran seorang prajurit. Aku tidak dapat bertindak atas kemauan dan kesenanganku sendiri. Seandainya tantangan Raden untuk menyelesaikan persoalan kita itu dapat menarik hatiku, namun aku tidak akan dapat melakukannya,” jawab Ki Tumenggung.

Raden Rangga mengangguk-angguk. Katanya, “Bagus. Jika demikian maka kau adalah seorang prajurit sejati Ki Tumenggung, meskipun sebenarnya kau memang tidak akan mampu berbuat sesuatu di luar kemungkinan yang kau lakukan sekarang.”

Wajah Ki Tumenggung menjadi merah. la bukannya orang yang cukup sabar. Namun menghadapi Raden Rangga ia merasa bahwa ia harus berhati-hati. Raden Rangga selain putra Panembahan Senapati, anak itu memang seorang anak yang memiliki kemampuan di luar kewajaran.

Karena itu, maka katanya, “Raden, apapun yang Raden katakan, aku mengemban perintah ayahanda Raden.”

Raden Rangga mengangguk-angguk. Ia pun kemudian melangkah maju sambil berkata, “Aku akan mengikutimu.”

Tetapi wajah Raden Rangga menegang ketika Ki Tumenggung itupun kemudian melangkah maju sambil mengacungkan kain cinde sambil berkata, “Raden adalah seorang tawanan.”

Raden Rangga termangu-mangu. Dengan nada marah ia bertanya, “Apakah Ayahanda memang memerintahkan demikian?”

“Ya. Ayahanda Raden memerintahkan aku untuk menangkap Raden,” jawab Ki Tumenggung.

Raden Rangga tidak dapat menolak ketika Ki Tumenggung itupun kemudian menyangkutkan kain cinde itu di leher Raden Rangga sebagai pertanda bahwa Raden Rangga adalah seorang tawanan.

Betapa sakit hati anak muda itu. Tetapi ia masih berpaling ke arah Agung Sedayu sambil berkata, “Kau lihat cara seorang putra Panembahan Senapati menyerahkan diri kepada seorang Tumenggung?”

Agung Sedayu tidak menjawab. Namun iapun terkejut ketika Ki Tumenggung itupun berkata, “Kau pun harus ditangkap.”

Raden Rangga pun terkejut. Dengan serta merta ia bertanya, “Kenapa ia harus ditangkap?”

“la membantu Raden mengganggu ketenangan. Tentu orang itu ikut menangkap harimau yang Raden lepaskan di halaman rumahku,” jawab Ki Tumenggung.

“Tidak,” jawab Raden Rangga, “aku melakukannya sendiri.”

Ki Tumenggung Wiragiri-lah yang kemudian tertawa. Katanya, “Sejak semula aku memang sudah meragukan kebenaran cerita Raden, bahwa Raden menangkap harimau itu sendiri tanpa bantuan orang lain, dalam keadaan hidup dan utuh. Memang satu pekerjaan yang sangat sulit dilakukan.”

“Ki Tumenggung,” geram Raden Rangga, “apakah kita akan mencoba melakukannya sebagai taruhan?”

“Sayang,” jawab Ki Tumenggung, “Raden sudah berkalung cinde. Raden adalah seorang tawanan.”

“Jika saja kau tidak membawa tunggul pertanda limpahan kuasa Ayahanda, kau tidak akan mampu menangkap aku, meskipun kau bawa pasukan segelar sepapan,” geram Raden Rangga pula.

“Tetapi ternyata aku membawa tunggul ini,” jawab Ki Tumenggung, “karena itu, akupun berwenang menangkap orang itu.”

“Sekali lagi aku peringatkan,” berkata Raden Rangga, “orang itu tidak terlibat dalam persoalan kita.”

“Biarlah ayahanda Raden nanti mengambil keputusan,” jawab Ki Tumenggung Wiragiri.

Raden Rangga masih akan berbicara lagi. Tetapi Agung Sedayu sendiri berkata, “Baiklah. Biarlah aku ditangkap pula jika hal itu memang diperintahkan.”

“Dengan tunggul ini, kebijaksanaanku adalah kebijaksanaan Panembahan Senapati,” berkata Ki Tumenggung.

“Itu satu pertanda, bahwa sebenarnya kau belum saatnya memegang tunggul itu apapun alasannya,” berkata Raden Rangga, “agaknya karena Ayahanda dapat kau bujuk dengan licik, akhirnya Ayahanda menyerahkan tunggul itu.”

“Sudahlah Raden, marilah,” berkata Ki Tumenggung kemudian. Lalu diperintahkannya kepada prajuritnya, “Tangkap pula orang itu dan kita akan membawanya menghadap bersama dengan Raden Rangga.”

Agung Sedayu sama sekali tidak melawan ketika para prajurit menangkapnya dan menggiringnya di belakang Ki Tumenggung, yang dengan tunggul di tangan membawa Raden Rangga menghadap.

Glagah Putih yang kemudian melihat iring-iringan itu terkejut. la melihat bukan saja Raden Rangga yang ditangkap, tetapi juga Agung Sedayu. Karena itu, tiba-tiba saja ia meloncat berlari mendekati iring-iringan itu.

Kiai Gringsing terlambat mencegahnya. Karena itu, iapun menjadi berdebar-debar. Dengan cemas iapun melangkah mendekati diikuti oleh Kiai Jayaraga dan Ki Widura.

Beberapa langkah dari Agung Sedayu, Glagah Putih berhenti. Sementara itu, Agung Sedayu tersenyum kepadanya seakan-akan tidak ada persoalan yang gawat akan terjadi padanya. Bahkan kemudian ketika Glagah Putih menyusup di antara orang-orang yang menyibak, Agung Sedayu sempat berdesis, “Jangan lupa kuda-kuda kita.”

Glagah Putih tidak sempat menjawab, karena Agung Sedayu telah di dorong untuk berjalan terus. Namun seorang prajurit bertanya kepadanya, “Kau berbicara dengan siapa?”

Agung Sedayu berpaling ke arah prajurit itu sambil menjawab, “Aku tidak berbicara dengan siapa-siapa”

“Kau menyebut kuda-kuda kita,” desak prajurit itu.

“Aku hanya bergumam, bahwa prajurit-prajurit ini dari pasukan berkuda,” jawab Agung Sedayu.

Prajurit itu tidak percaya. Tetapi ia tidak bertanya terus.

Sementara itu, Glagah Putih masih akan mengikuti Agung Sedayu dan bertanya tentang pesannya. Tetapi Kiai Gringsing sudah menyusulnya dan menggamitnya.

“Jangan melibatkan diri,” berkata Kiai Gringsing.

“Bagaimana dengan Kakang Agung Sedayu?” bertanya Glagah Putih.

“Mungkin sekali ia akan dihadapkan kepada Panembahan Senapati,” jawab Kiai Gringsing, “bukankah Panembahan Senapati akan dapat mendengarkan penjelasannya? Kita tidak perlu gelisah. Agung Sedayu tidak bersalah.”

Tetapi Glagah Putih agaknya tidak dapat menjadi tenang. Meskipun demikian, karena kemudian Kiai Jayaraga dan Ki Widura mencegahnya,maka anak muda itu tidak mengikutinya lebih lama lagi.

Namun demikian Glagah Putih pun kemudian menyadari, bahwa Agung Sedayu berpesan kepadanya, agar mereka tidak melupakan kuda-kuda mereka yang disembunyikan di tempat yang tersisih.

Sementara itu, Raden Rangga dan Agung Sedayu telah dibawa oleh pasukan berkuda itu ke istana. Dua ekor kuda kemudian disediakan untuk mereka. Namun dengan demikian, maka ada sekelompok kecil prajurit yang harus berkuda perlahan-lahan bersama dua orang prajurit yang menyediakan kuda mereka untuk Raden Rangga dan Agung Sedayu. Justru karena Raden Rangga adalah putra Panembahan Senapati, sehingga keduanya harus berjalan kaki.

Bagaimanapun juga, Agung Sedayu merasa tersinggung atas perlakuan itu. Tetapi ia berusaha untuk menahan diri dan tidak berbuat sesuatu, sebagaimana Raden Rangga yang betapapun nakalnya, tetapi ia merasa harus patuh terhadap kuasa ayahandanya atau limpahan kuasanya.

Ketika iring-iringan itu melewati jalan raya yang menuju ke istana, beberapa orang berdiri berderet di pinggir jalan dengan heran melihat Raden Rangga yang dikawal oleh sepasukan prajurit, serta dikenakan kalung cinde di lehernya.

“Akhirnya putra Panembahan Senapati itu ditangkap atas perintah ayahandanya sendiri,” gumam beberapa orang.

“Panembahan Senapati memang harus bertindak adil terhadap siapapun. Raden Rangga memang nakal,” sekali desis yang lain.

Namun sementara itu, orang-orangpun heran melihat seseorang yang agaknya juga menjadi tawanan, berkuda di belakang Ki Tumenggung. Seseorang dengan kepala tunduk. Menilik ujud dan wajahnya, agaknya orang itu bukan seorang yang pantas untuk ditangkap.

“Agaknya ia bukan seorang penjahat. Tetapi ia agaknya berbuat aneh-aneh seperti, bahkan mungkin bersama, Raden Rangga,” berkata seseorang.

Kawannya mengangguk-angguk. Memang tidak ada kesan kejahatan di wajah Agung Sedayu.

Dalam pada itu, Ki Tumenggung Wiragiri yang berkuda di belakang Raden Rangga merasa bahwa tugasnya dapat berhasil dengan baik. la dapat menangkap Raden Rangga tanpa banyak kesulitan. Bahkan dengan seseorang yang agaknya telah melakukan banyak kenakalan bersamanya, meskipun menilik umurnya orang itu sudah tidak pantas berbuat aneh-aneh seperti Raden Rangga.

“Mungkin orang itu justru telah mengambil banyak keuntungan dari sikap Raden Rangga,” berkata Ki Tumenggung di dalam hatinya.

Semakin banyak orang yang berdiri di pinggir jalan, Ki Tumenggung itu semakin menengadahkan kepalanya. Seolah-olah ia ingin berkata kepada setiap orang, “Ini aku, Tumenggung Wiragiri, telah berhasil melakukan tugas yang berat yang dibebankan ke pundakku dengan pertanda kuasa Panembahan Senapati.”

Namun dalam pada itu, ketika Ki Tumenggung mendekati pintu gerbang istana, ia mulai terganggu oleh sikap beberapa orang prajurit. Mereka memandang dengan heran sikap Ki Tumenggung. Bahkan ketika ia sampai di muka pintu gerbang, seorang Tumenggung yang lebih tua daripadanya bertanya, “Apa yang kau lakukan Adi Wiragiri?”

“Melaksanakan tugas yang dibebankan oleh Panembahan Senapati, langsung kepadaku,” jawab Ki Tumenggung dengan bangga.

“Untuk apa?” bertanya Tumenggung yang lebih tua itu.

“Menangkap Raden Rangga,” jawab Ki Tumenggung Wiragiri.

“Dan yang seorang itu?” bertanya Tumenggung yang berada di gerbang istana.

“la sudah bekerja bersama Raden Rangga,” jawab Ki Tumenggung Wiragiri.

Tumenggung yang lebih tua itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia mendekati Agung Sedayu. Dengan hormat ia menganggukkan kepalanya. la sengaja berbuat demikian di hadapan Ki Tumenggung Wiragiri.

“Apa yang sudah terjadi?” bertanya Tumenggung itu.

“Aku tidak dapat menolaknya,” jawab Agung Sedayu, “Ki Tumenggung Wiragiri membawa tunggul kerajaan.”

Ki Tumenggung Wiragiri mengerutkan keningnya. Ia menyadari, bahwa Ki Tumenggung yang lebih tua daripadanya itu dengan sengaja telah melakukan satu langkah untuk mencela tindakannya menangkap orang yang dianggapnya telah bekerja bersama Raden Rangga itu.

“Kesalahan apa yang telah dituduhkan kepadamu?” bertanya Tumenggung itu pula.

“Bekerja sama dengan Raden Rangga, menangkap harimau dan melepaskannya di halaman Ki Tumenggung Wiragiri,” jawab Agung Sedayu.

Tumenggung yang lebih tua itu mengerutkan keningnya. Sementara Raden Rangga yang mendengarnya tidak dapat menahan tertawanya. Katanya, “Padahal aku menangkapnya sendiri tanpa bantuannya.”

Tumenggung yang lebih tua itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Bagaimana pendapatmu?”

“Aku menurut saja apa yang akan dilakukan. Bukankah Ki Tumenggung Wiragiri membawa tunggul kerajaan?” jawab Agung Sedayu.

Tumenggung yang lebih tua itu mengerutkan keningnya. Sementara itu Ki Tumenggung Wiragiri memandanginya dengan heran. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apakah kau sudah mengenalnya?”

Tumenggung yang lebih tua itu termenung sejenak. Namun kemudian katanya, “Hadapkan kepada Panembahan Senapati jika kau yakin ia bersalah.”

Ki Tumenggung Wiragiri kurang mengerti maksud Tumenggung yang lebih tua itu, namun Tumenggung itu tidak menunggu lebih lama lagi. Iapun kemudian melangkah meninggalkan iring-iringan yang terhenti sejenak itu.

Ki Tumenggung Wiragiri memandang beberapa orang prajurit yang sedang bertugas. Namun iapun kemudian melanjutkan perjalanannya memasuki halaman istana.

Sejenak kemudian, maka Ki Tumenggung yang membawa pertanda kuasa Panembahan Senapati itupun telah membawa Raden Rangga dan Agung Sedayu memasuki ruang dalam lewat seketheng sebelah kiri.

Ki Tumenggung itu sama sekali tidak menghiraukan, ketika seorang senapati yang berada di halaman itu berdesis, “Kenapa dengan Tumenggung itu?”

“Ki Tumenggung mendapat perintah untuk menangkap Raden Rangga” jawab seorang prajurit.

“Kenapa?” bertanya senapati itu pula.

“Raden Rangga telah mengganggu ketenangan keluarga Ki Tumenggung. Raden Rangga telah melepaskan seekor harimau di halaman Ki Tumenggung itu,” jawab prajurit yang sudah mendengar persoalan yang terjadi di rumah Ki Tumenggung.

Senapati itu mengerutkan keningnya. Namun iapun justru telah tertawa tertahan. Katanya, “Dan Ki Tumenggung melaporkannya kepada ayahanda Raden Rangga?”

“Ya. Dan Panembahan Senapati telah memerintahkan Ki Tumenggung untuk menangkap, bahkan dengan pertanda kuasanya,” jawab prajurit itu.

Senapati itu tertawa semakin keras. Tetapi iapun kemudian bertanya, “Tetapi apakah benar penglihatanku, bahwa yang dibawa bersama Raden Rangga adalah Agung Sedayu?”

“Aku belum mengenal dengan jelas, yang manakah yang bernama Agung Sedayu, selain mendengar namanya,” jawab prajurit itu.

“Kau tidak berada di Prambanan saat Mataram berperang melawan Pajang?” bertanya senapati itu.

“Aku berada di Prambanan. Tetapi aku tidak berada di sayap yang sama,” jawab prajurit itu.

“Agung Sedayu telah menunjukkan kelebihannya dalam perang tanding,” berkata senapati itu.

“Aku hanya mendengar, tetapi aku tidak melihatnya,” jawab prajurit itu.

“Mungkin Ki Tumenggung Wiragiri yang diangkat dari tugasnya di daerah Pengrantunan itu tentu belum mengenalnya juga. Meskipun ia pernah berada di Mataram, namun secara pribadi agaknya ia belum mengenal Agung Sedayu,” berkata senapati itu

Prajurit itu tidak menjawab. Sementara itu senapati itu pun telah meninggalkannya.

Dalam pada itu, setelah melaporkan kepada seorang pengawal dalam yang menyampaikannya kepada Panembahan Senapati, maka Ki Tumenggung dan orang-orang yang menjadi tawanannya dipersilahkannya masuk ke ruang dalam.

Beberapa saat lamanya Ki Tumenggung itu menunggu. Dengan dada tengadah sekali-sekali ia memandangi Raden Rangga yang duduk dengan kepala tunduk. Di lehernya masih tersangkut kain cinde, pertanda bahwa ia adalah seorang tahanan yang menunggu keputusan, namun yang berasal dari keluarga terdekat Panembahan Senapati sendiri. Sedangkan di sisi lain Agung Sedayu duduk tepekur. Di belakangnya dua orang prajurit mengawalnya dengan kebanggaan sebagaimana Ki Tumenggung, bahwa mereka telah berhasil menjalankan tugas mereka dengan baik.

Mereka menjadi berdebar-debar ketika seorang pelayan dalam memberitahukan bahwa Panembahan Senapati akan memasuki ruang dalam.

Agung Sedayu merasakan satu perbedaan yang tajam dari pengenalannya atas Panembahan Senapati sebelum ia memegang kepemimpinan atas Tanah ini. la dapat datang dan bertemu setiap saat. la merasa tidak ada batas antara dirinya dengan Raden Sutawijaya, bahkan setelah ia diangkat menjadi Senapati ing Ngalaga. Namun setelah ia bergelar Panembahan Senapati, maka segala macam tata cara dan paugeran seakan-akan telah memagarinya.

Sejenak kemudian, maka Panembahan Senapati itu pun memasuki ruangan yang menjadi hening. Semua orang menundukkan kepalanya, termasuk Agung Sedayu. Bahkan ia menundukkan wajahnya dalam-dalam, seakan-akan tidak ingin dilihat oleh Panembahan Senapati yang kemudian duduk di atas sebongkah batu hitam yang dibentuk persegi, yang dialasi dengan kulit harimau Ioreng yang garang.

Sejenak kemudian setelah suasana hening mencengkam ruangan itu, terdengar Panembahan Senapati bertanya kepada Ki Tumenggung, “Agaknya kau berhasil menangkap Rangga, Ki Tumenggung?”

“Hamba Panembahan,” jawab Ki Tumenggung, “sebagaimana Panembahan ketahui, hamba telah menghadapkan putranda, Raden Rangga, yang sebagaimana Panembahan perintahkan.”

Panembahan Senapati mengangguk-angguk. Namun kemudian iapun mengerutkan keningnya sambil bertanya, “Siapa lagi yang kau hadapkan bersama dengan Rangga?”

“Seorang kawannya, Panembahan, yang membantu Raden Rangga bermain-main dengan seekor harimau di halaman rumah hamba,” jawab Ki Tumenggung.

Wajah Raden Rangga menjadi tegang. Tetapi ia tidak berani mengatakan sesuatu.

Namun dalam pada itu Panembahan Senapati terkejut melihat seseorang yang kemudian mengangkat wajahnya dan memandanginya dengan sorot mata yang dikenalnya dengan baik.

“Agung Sedayu?” desis Panembahan Senapati.

“Hamba Panembahan,” jawab Agung Sedayu.

Wajah Panembahan Senapati menjadi tegang. Katanya, “Bagaimana mungkin kau dapat dituduh membantu Rangga bermain-main dengan seekor harimau? Apakah kau sudah kehabisan permainan yang lebih berarti, Agung Sedayu?”

“Hamba kurang mengerti Panembahan, kenapa hamba mendapat tuduhan seperti itu. Tetapi agaknya hamba telah melakukan satu langkah yang dapat ditarik ke arah satu arti sebagaimana dituduhkan kepada hamba,” jawab Agung Sedayu.

Panembahan Senapati termangu-mangu sejenak. Ketika Panembahan itu kemudian memandang ke arah Ki Tumenggung, nampak betapa wajah Ki Tumenggung menjadi tegang. Agaknya Panembahan Senapati telah mengenal dengan baik orang yang dituduhnya telah bekerja bersama Raden Rangga dalam permainan yang berbahaya itu, yang telah mengoyak kulit dan dagingnya.

“Ki Tumenggung,” tiba-tiba saja Panembahan itu memanggil, “apa yang telah dilakukan orang ini sehingga kau telah membawanya menghadap dari menyangkutkannya dengan kelakuan Rangga?”

Ki Tumenggung semakin menjadi tegang. Namun iapun menceritakan apa yang telah terjadi. Bahwa orang yang ternyata bernama Agung Sedayu itu berada di belakang rumahnya bersama Raden Rangga, dan yang kemudian pergi ke pasar bersama-sama, sehingga akhirnya keduanya telah ditangkap pula bersama-sama

“Dengan demikian kau sudah dapat mengambil kesimpulan, bahwa orang itu bersalah karena membantu Rangga?” bertanya Panembahan Senapati.

Ki Tumenggung menjadi bingung. la sama sekali tidak menduga, bahwa orang yang dibawanya itu mempunyai pengaruh tersendiri atas peristiwa yang baru saja terjadi, dalam pandangan Panembahan Senapati.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar