Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 186

Buku 186

“Menarik sekali,” berkata Kiai Gringsing, “dengan demikian aku tidak hanyketa pergi seorang diri. Ada kawan berbincang di perjalanan. Karena perjalanan ke Tanah Perdikan Menoreh harus ditempuh dalam waktu agak panjang.”

”Bagaimana dengan Swandaru?” bertanya Widura.

“Swandaru masih sibuk dengan latihan-latihannya. Ia berusaha untuk memahami satu lagi dari sekian segi yang dijumpainya dalam kitab yang aku berikan kepadanya,” berkata Kiai Gringsing, “agaknya ia lebih senang berada di rumah.”

“Ilmunya dengan cepat meningkat,” berkata Ki Widura.

“Tetapi gelembung niat di dalam diri Swandaru kadang-kadang berkembang terlalu besar, sehingga aku justru menjadi cemas, bahwa apabila gelembung itu tidak mampu dikendalikannya, maka pada suatu saat justru akan pecah,” berkata Kiai Gringsing, “namun aku sudah berusaha sejauh dapat aku lakukan. Pada saat-saat aku memberikan petunjuk tentang ilmu yang sedang dipelajarinya, aku selalu menekankan agar nalar budinya menjadi lebih mengendap menghadapi dunia di sekitarnya.”

Meskipun demikian, Kiai Gringsing dan Ki Widura berniat untuk singgah di Sangkal Putung dan memberitahukan kepergiannya kepada Swandaru, agar Swandaru mengetahui bahwa Kiai Gringsing tidak berada di padepokan, Dengan demikian, maka pada satu saat Swandaru tidak kecewa jika ia datang ke padepokan tanpa dapat menemui gurunya yang sedang pergi ke Tanah Perdikan Menoreh tanpa setahunya.

Ketika keduanya berada di Sangkal Putung, maka Swandaru pun berkata, “Sayang sekali aku tidak dapat ikut Guru. Sebenarnya aku sudah terlalu lama tidak melihat Tanah Perdikan itu. Demikian pula Pandan Wangi. Tetapi di hari-hari ini aku sedang memanfaalkan waktu yang hanya sedikit yang diberikan Guru kepadaku, untuk mendalami isi kitab Guru.”

“Kamipun tidak akan terlalu lama berada di Tanah Perdikan Menoreh, “berkata Kiai Gringsing, “kepentingan kami justru untuk melihat perkembangan Glagah Putih.”

“Tentunya juga Kakang Agung Sedayu,” sahut Swandaru.

“Ya. Kami ingin juga melihat perkembangan ilmu Agung Sedayu,” jawab Kiai Gringsing.

“Mudah-mudahan Kakang Agung Sedayu berminat dengan kitab Guru yang mungkin bagi Kakang Agung Sedayu dianggap menjemukan,” berkata Swandaru kemudian.

“Ia mempelajarinya dengan tekun. Ketika anak itu datang kepadaku yang terakhir, maka aku telah melihat apakah ada sesuatu yang baru pada Kakangmu,” berkata Kiai Gringsing.

“Dan Guru menemukannya?” bertanya Swandaru.

“Ya. Aku menemukannya. Ada perkembangan yang menggembirakan. Seperti juga padamu,” jawab Kiai Gringsing.

Swandaru mengangguk-angguk. Namun ia tidak yakin, bahwa Agung Sedayu akan sempat mencapai puncak kemampuan ilmu yang pernah dimiliki oleh gurunya. Apalagi Agung Sedayu yang menurut Swandaru masih harus tekun berlatih itu telah membagi waktunya bagi Glagah Putih.

“Kakang sendiri masih harus menghisap ilmu dari seorang guru. Bukan ia sudah merasa dirinya cukup mampu untuk menuangkan ilmu sebagai seorang guru,” berkata Swandaru di dalam dirinya. Tetapi ia tidak mengatakannya kepada gurunya.

Dalam kesempatan yang pendek, karena Kiai Gringsing hanya bermalam semalam di Sangkal Putung, disempatkannya unluk menilai kemajuan ilmu Swandaru. Namun di samping itu, sebenarnyalah bahwa Kiai Gringsing juga memperhatikan kemajuan ilmu Pandan Wangi. Dengan caranya sendiri yang justru sebagian besar adalah karena petunjuk Kiai Gringsing juga, Pandan Wangi telah memasuki latihan yang berat untuk mengenal lebih dalam terhadap gejala yang timbul pada dirinya. Semakin lama menjadi semakin akrab, sehingga akhirnya ilmu itu telah menjadi bagian dari seluruh kemampuannya.

Pandan Wangi semakin memahami kemampuan dirinya, dengan lontaran ilmu mendahului ujud wadagnya, bahkan senjatanya, yang berkembang menjadi kemampuan untuk menyerang dari jarak tertentu dengan gerak wadagnya, sebagaimana ia menyerang langsung dengan benturan wadagnya itu.

Meskipun Pandan Wangi tidak mendapat kesempatan untuk mempelajari isi kitab Kiai Grigsing, namun dari Kiai Gringsing ia telah mendapat petunjuk langsung, berdasarkan atas gejala yang terdapat dalam perkembangan ilmunya. Dengan demikian, maka jika ilmu Swandaru berkembang, maka ilmu Pandan Wangi pun telah berkembang pula. Tetapi agaknya keduanya terlalu tekun pada perkembangan ilmunya masing-masing, sehingga yang satu kurang memperhatikan yang lain. Sementara Pandan Wangi yang kadang-kadang dibawa untuk latihan bersama suaminya, lebih banyak menyesuaikan dirinya. Ia tidak mau mengejutkan dan apalagi menunjukkan satu kelebihan ilmu dari suaminya, meskipun di sudut yang lain suaminya juga mempunyai banyak kelebihan dari padanya. Terutama di dalam pengembangan kekuatan tenaga cadangan. Sementara Pandan Wangi lebih melihat ilmunya ke kedalamannya.

Yang semalam di Sangkal Putung itu ternyata telah dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Swandaru maupun Pandan Wangi. Di hari berikutnya, maka Kiai Gringsing dan Ki Widura pun telah melanjutkan perjalanan mereka menuju ke Tanah Perdikan Menoreh.

Meskipun mereka tidak ingin singgah di Mataram, tetapi tidak seperti beberapa saat yang lampau bahwa mereka harus memilih jalan yang agak jauh, agar mereka tidak dikenali oleh para pengawal yang dapat memaksa mereka untuk singgah,

Kini Mataram sudah menjadi besar. Jika keduanya lewat, maka keduanya tidak lebih sebagaimana orang-orang lain yang lewat. Tidak akan banyak dikenal dan tidak akan ada yang memaksa untuk singgah, seandainya mereka bertemu dengan prajurit yang sudah mengenal mereka, justru karena perubahan kedudukan Raden Sutawijaya yang bergelar Panembahan Senapati.

Tetapi ketika mereka melewati Mataram, ternyata mereka tidak bertemu dengan orang yang pernah dikenalnya di kota yang berkembang pesat itu. Mereka melihat daerah yang semakin pepat dan ramai. Kota yang kemudian dilengkapi dengan semua unsur yang diperlukan. Pasar yang tidak hanya terdapat di satu tempat. Pande besi yang tersebar di sudut-sudut kota. Kerajinan tangan yang lain untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari di dalam lingkungan rumah tangga.

Ketika kedua orang tua itu berada di pinggir kota, justru pada saat mereka akan keluar menuju ke Tanah Perdikan Menoreh, maka keduanya telah singgah di sebuah warung. Keduanya sama sekali tidak didorong oleh satu keinginan untuk makan dan minum, tetapi keduanya justru tertarik melihat pada saat dua orang berkuda berhenti di depan warung itu dan meloncat turun, maka tiba-tiba saja beberapa orang yang sudah berada di dalamnya seakan-akan telah dipaksa untuk menghambur keluar.

“Ada yang aneh,” desis Kiai Gringsing.

Ki Widurapun kemudian meloncat turun. Kepada salah seorang yang diketahuinya keluar dengan tergesa-gesa dari warung itu dan kebetulan berjalan ke arahnya, ia bertanya, “Ada apa? Kenapa orang-orang yang ada di dalam warung itu berhamburan keluar?”

Orang itu termangu-mangu sejenak. Namun ketika ia berpaling dan melihat dua orang itu telah berada di dalam warung, maka iapun berkata, “Dua orang gegedug yang besar kepala.”

“Apa saja yang dilakukan di sini?” bertanya Kiai Gringsing kemudian.

“Mereka belum lama berada di sini. Baru tiga empat hari. Tetapi keduanya telah menakut-nakuti orang,” jawab orang itu.

“Bagaimana dengan prajurit Mataram? Apakah mereka tidak bertindak?” bertanya Ki Widura,

“Nampaknya mereka belum bertemu dengan para prajurit. Justru karena keadaan yang sudah terasa aman, maka jarang sekali kami lihat prajurit yang meronda,” jawab orang itu

“Tidak ada yang melaporkannya?” bertanya Ki Widura pula

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mungkin kami berharap bahwa kedua orang itu segera meninggalkan tempat ini sehingga kami tidak perlu membuat laporan tentang kehadiran mereka. Namun ternyata juga karena sebab lain. Kami takut untuk melaporkan mereka, karena beberapa orang telah diancamnya, siapa yang berani melaporkan kehadirannya, orang itu akan dibunuh sampai ke anak cucu. Orang itu selalu mengatakan bahwa ia mempunyai sanak kadang di lingkungan para perwira, sehingga mungkin laporan itu akan jatuh kepada sanak kadangnya,” jawab orang itu.

Kiai Gringsing dan Ki Widura mengangguk-angguk. Kemudian Ki Widura pun berkata, “Aku mengucapkan banyak terima kasih atas keteranganmu. Dengan demikian aku dapat menyesuaikan diri.”

Orang itupun termangu-mangu sejenak. Sekali ia berpaling, kemudian dengan tergesa-gesa iapun telah meninggalkan Ki Widura yang kemudian meloncat kembali ke atas punggung kudanya.

Perlahan-lahan keduanya maju justru mendekati warung itu. Dan karena dorongan keinginan mereka untuk mengetahui kedua orang yang berada di warung itulah maka keduanyapun telah singgah.

Ketika Kiai Gringsing dan Ki Widura turun dari kuda mereka, dan berjalan memasuki warung itu, maka dua orang yang sudah ada di dalam sama sekali tidak mengacuhkan mereka. Keduanya adalah orang-orang yang bertubuh tinggi tegap dan kekar.

Kiai Gringsing dan Ki Widura pun telah mengambil tempat di sudut warung itu. Ketika keduanya kemudian memperhatikan pemilik warung itu, ternyata orang itu duduk dengan wajah yang pucat. Sementara seorang pembantunya telah menyiapkan dua mangkuk minuman untuk kedua orang itu.

Baru sejenak kemudian salah seorang dari kedua orang itu berpaling dan memandang kepada Kiai Gringsing dan Ki Widura. Sambil mengerutkan keningnya salah seorang dari kedua orang itu berkata seolah-olah kepada diri sendiri, “Kedua orang ini agaknya orang asing di sini.”

Kiai Gringsing dan Ki Widura sama sekali tidak menanggapinya. Orang itu tidak bertanya kepada mereka. Karena itu, maka merekapun seolah-olah sama sekali tidak mendengarnya.

Bahkan Ki Widura berkata kepada pemilik warung yang duduk dengan wajah pucat, “Ki Sanak. Kami berdua memerlukan minuman hangat. Apakah Ki Sanak dapat membuat dua mangkuk wedang jahe buat kami berdua?”

Wajah orang itu menjadi tegang. Dengan sudut matanya ia memandang kepada kedua orang yang sudah berada di dalam warung itu. Kemudian sambil menarik nafas dalam dalam ia berkata, “Baiklah Ki Sanak.”

Tetapi sebelum orang itu beringsut, maka salah seorang dari kedua orang yang sudah berada di warung itu berkata, “Kami memerlukan makan. Layani kami. Jangan hiraukan orang lain. Jika kau masih melayani orang lain, maka kepalamu akan aku pecahkan disini. He, kau mendengar?”

Pemilik warung itu menjadi gemetar. namun ia tidak berani serbuat sesuatu. lapun tidak dapat mengatakan apa-apa kepada Kiai Gringsing dan Ki Widura. Tetapi ia terpaksa berdiri untuk menyediakan makan sebagaimana dikehendaki oleh kedua orang itu.

“Berikan daging ayam yang lunak. Jika kau menyakiti gigiku lagi dengan daging ayammu, maka warung ini akan aku bakar,” geram salah seorang dari keduanya.

Pemilik warung itu tidak menjawab. Tetapi dengan tangan gemetar ia menyediakan makan dua mangkuk. Kemudian pembantunya-lah yang menghidangkan makan itu kepada kedua orang tamunya.

Kiai Gringsing dan Widura pun segera mengetahui siapakah kedua orang itu. Tentu kedua orang itu sudah sering membuat onar. Karena itu, maka pemilik warung itu menjadi sangat ketakutan.

Dengan demikian maka Kiai Gringsing dan Ki Widura tidak mau membuat pemilik warung itu menjadi semakin bingung. Karena itu keduanyapun untuk beberapa saat hanya berdiam diri saja menunggu sampai kedua orang ilu menyelesaikan kepentingan mereka dan meninggalkan warung itu.

Tetapi tiba-tiba saja selagi mereka masih sibuk makan nasi dengan daging ayam, salah seorang di antara mereka berkata, “He, suruh salah seorang dari kedua orang asing itu nanti membayar makanan dan minuman yang kami makan dan minum. Jika keduanya atau salah seorang dari keduanya berkeberatan, katakan kepadaku. Aku akan memilin lehernya sampai patah.”

Pemilik warung itu termangu-mangu. Sementara Kiai Gringsing dan Ki Widura saling berpandangan. Meskipun keduanya tidak saling mengucapkan, namun agaknya keduanya terpaksa tidak berkeberatan untuk membayarnya, karena jika terjadi sesuatu maka yang akan mengalami kerugian, justru pemilik warung yang tidak bersalah itu.

Karena itu, maka Kiai Gringsing dan Ki Widura hanya berdiam diri saja, meskipun di dalam hati keduanya bertanya-tanya, “Apakah tingkah laku yang demikian itu harus dibiarkan saja? Hari ini mereka merampas tidak lebih dari harga makanan. Tetapi pada kesempatan lain, keduanya akan dapat berbuat lebih banyak lagi.”

Tetapi baik Kiai Gringsing maupun Ki Widura tidak mengatakan sesuatu. Sementara itu kedua orang itu makan terus dengan lahapnya. Keduanya seakan-akan benar-benar sedang kelaparan.

Sedangkan di luar, jika ada orang yang ingin singgah ke warung itu, ternyata mereka mengurungkan niat mereka jika mereka melihat kedua orang itu ada di dalam. Dengan demikian maka Kiai Gringsing dan Ki Widura mendapat kesan, bahwa kedua orang itu benar-benar telah berhasil menakut-nakuti banyak orang.

Tetapi Kiai Gringsing tidak ingin berbuat dengan tergesa-gesa. Mungkin memang ada langkah-langkah yang perlu diambil. Jika orang-orang di sekitar tempat itu tidak berani melaporkannya kepada para prajurit, maka Kiai Gringsing dan Ki Widura akan dapat melakukannya sehingga dengan demikian, maka para prajurit akan dapat menghentikan tingkah laku kedua orang itu,

Namun dalam pada itu, selagi Kiai Gringsing dan Ki Widura menunggu, mereka sempat mendengar kedua orang itu berbincang. Ternyata bahwa yang dibicarakan cukup menarik.

“Pusaka-pusaka itu harus dipertahankan,” berkata yang seorang, “Panembahan Senapati merebut kekuasaan dengan kekerasan, meskipun kemudian para sesepuh merestuinya memegang pimpinan pemerintahan dengan memakai gelar Panembahan. Bukan Sultan.”

“Tetapi agaknya Adipati Wirabumi juga akan mempertahankan pusaka-pusaka yang masih berada di Pajang. la masih waras, dan nalarnya masih utuh, sehingga ia tidak akan menyembah kepada anak angkat Sultan itu, sementara ada orang lain yang sebenarnya lebih berhak,” berkata yang lain.

“Kita harus menakut-nakuti orang-orang Mataram. Mereka harus mengerti, bahwa bukan hanya orang-orang Mataram saja yang memiliki ilmu yang sangat tinggi,” desis yang lain. Namun tiba-tiba ia berpaling kepada Kiai Gringsing dan bertanya,” He, apakah kalian petugas sandi dari Mataram?”

Dengan serta mena Kiai Gringsing menyahut, “Tidak Ki Sanak. Kami tidak mempunyai sangkut paut.”

“O,” orang itu mengangguk-angguk, “jika kalian petugas sandi dari Mataram, maka biarlah kami selesaikan saja kalian di sini.“

Kiai Gringsing tidak menjawab. Namun tiba-tiba saja seorang yang lain dari kedua orang itu telah mengaduh sambil membanting mangkuknya. “Gila! Daging ayammu telah membuat gigiku sakit lagi. He, apakah kau tidak dapat berbuat lain daripada menyakiti aku sejak kemarin?”

Pemilik warung itu terkejut. Kiai Gringsing dan Ki Widura pun terkejut. Namun pemilik warung itulah yang menjadi ketakutan.

“Sudah aku katakan, jika sekali lagi kau menyakiti gigiku, maka aku akan membakar warungmu ini, he,“geram orang itu.

“Jangan Ki Sanak,“ minta pemilik warung yang ketakutan itu, “bukan maksudku.”

Tetapi orang itu sama sekali tidak menghiraukannya. Ia pun kemudian berdiri sambil mendorong lincak bambunya dan dengan demikian maka ia mulai menghamburkan makanan yang dijajakan.

Pemilik warung itu menjadi semakin pucat. Tetapi ia tidak dapat mencegahnya, karena ia tahu, akibat yang akan dapat menimpa dirinya. Jika ia berani menentang kedua orang itu, maka akibatnya akan dapat menyentuh nyawanya.

Karena itu, pemilik warung yang pucat itu hanya dapat menyaksikan tingkah kedua orang itu dengan jantung yang hampir terlepas dari tangkainya, karena kawan orang yang giginya sakit itupun telah ikut pula merusakkan barang-barangnya.

Ketika kekisruhan itu terjadi, maka Kiai Gringsing dan Ki Widura pun telah bangkit berdiri. Sejenak mereka memandangi tingkah laku kedua orang itu. Namun hati mereka mulai tergelitik untuk berbuat sesuatu.

Apalagi ketika orang yang giginya sakit itu benar-benar ingin membakar warung itu. Dengan loncatan panjang orang itu menggapai api yang menyala diperapian. Dengan lantang ia berkata, “Aku ingin membakar warungmu ini untuk memuaskan hatiku dan sekedar mengurangi rasa sakit yang bagaikan memecahkan kepalaku.”

“Tetapi jangan Tuan, jangan,” pemilik warung itu memohon.

Namun orang itu tidak menghiraukannya. Ketika pemilik warung itu mendekatinya dan berjongkok di hadapan orang yang telah memegang segenggam kayu bakar yang menyala dan siap menyulut dinding, maka pemilik warung itu telah didorong dengan kakinya dan jatuh tertentang. Sementara pembantunya berdiri dengan tubuh yang menggigil tanpa dapat berbuat apa-apa.

“Kita tidak dapat tinggal diam,“ berkata Ki Widura.

Kiai Gringsing mengangguk. Katanya sambil menarik nafas dalam-dalam, “Satu hal yang tidak kita duga sebelumnya. Tetapi kita harus berbuat dengan cepat dan dengan cepat pula meninggalkan tempat ini. Kita hanya akan mencegah orang itu membakar warung itu. Selebihnya kita akan melaporkan kepada prajurit Mataram.”

Ki Widura mengangguk. Keduanyapun kemudian bersiap-siap untuk berbuat sesuatu. Mencegah agar warung itu tidak terbakar habis.

Namun sebelum mereka berbuat sesuatu, tiba-tiba saja terdengar suara tertawa di luar. Suara tertawa yang berkepanjangan. Ketika mereka berpaling, mereka melihat seorang anak yang masih sangat muda berdiri bertolak pinggang.

“Jadi benar cerita yang pernah aku dengar,” berkata anak muda itu.

Orang yang sudah siap membakar warung itupun termangu-mangu. Sejenak ia justru berdiri mematung memandang anak muda yang berdiri di luar sambil bertolak pinggang itu.

“He cucurut kerdil,” berkata anak muda itu, “marilah. Sebaiknya kita membuat perhitungan sebagaimana setiap laki-laki. Agaknya kalian bukan hanya berdua, tetapi berempat. Meskipun demikian aku tidak berkeberatan. Jika kalian mengacaukan Mataram yang baru mulai tenang ini, rnaka sudah sewajarnya jika kalian harus ditangkap.”

Orang yang sudah siap membakar warung itu menjadi semakin heran menghadapi anak muda itu. Namun kemudian didorong oleh kekalutan pikirannya oleh perasaan sakit giginya yang semakin menggigit, iapun melangkah keluar dari warung yang berserakan itu. Dipandanginya anak muda yang berdiri di luar warung sambil bertolak pinggang.

“He, apakah kau orang gila?” bertanya orang yang sakit giginya itu

“Kalaian-lah yang gila. Buat apa kalian menakut-nakuti rakyat kecil yang tidak dapat berbuat apa-apa terhadap orang-orang seperti kalian ini? Marilah. Keluarlah semuanya, Aku ingin membuat perhitungan dengan kalian. Jangan seorang demi seorang. Sekaligus kalian berempat, “ berkata anak muda itu.

Kiai Gringsing dan Ki Widura pun telah berdiri di luar warung itu pula. Dengan nada berat Ki Widura berkata, “Kami bukan kawan-kawan mereka, Anak Muda.”

“O.” anak muda itu mengerutkan keningnya, “jadi siapakah kalian?”

“Kami adalah orang-orang lewat yang sekedar singgah di warung ini. Tetapi ternyata telah terjadi sesuatu yang mendebarkan di sini. Namun kami agaknya telah terjebak dalam satu keadaan yang sulit untuk kami hindari. Kami tidak mendapat kesempatan untuk menyingkir,” jawab Ki Widura.

Anak muda itu mengangguk-angguk. Namun sebelum anak muda itu berkata lebih Ianjut, orang yang sakit giginya itu telah membentaknya, “Anak gila! Apakah kau ingin aku remukkan kepalamu? Jangan ganggu aku. Gigiku sedang sakit, sementara pemilik warung yang ceroboh ini telah membuat gigiku semakin sakit. Aku ingin membakar warungnya. Jika ia keberatan, biarlah ia terbakar bersama warungnya ini.”

Tetapi anak muda itu tertawa saja. Katanya, “Jadi aku berhadapan dengan dua pihak yang berlainan. Baiklah. Jika kalian berdua bukan kawan orang-orang gila ini, menyingkirlah.”

Kiai Gringsing dan Ki Widura termangu-mangu. Anak itu masih terlalu muda. Tetapi sikapnya sangat meyakinkan. Anak muda itu sama sekali tidak menunjukkan kesan apapun juga ketika ia melihat kedua orang yang bertubuh tinggi kekar itu melangkah mendekatinya. Orang yang membawa segenggam kayu yang menyala itu sudah dilemparkannya. Sementara dengan sorot mata yang kemerahan ia mendekati anak muda yang masih saja bertolak pinggang.

“He, siapa kau anak gila?” geram orang yang sakit gigi itu.

“Buat apa kau bertanya tentang aku?“jawab anak muda itu, “yang penting, acungkan kedua tanganmu. Aku akan mengikatnya dan membawamu bersama kawanmu menghadap para prajurit Mataram, karena kalian ternyata telah membuat daerah ini menjadi kacau.”

“Jangan mengigau,” geram orang yang sakit gigi itu, “agaknya kau benar-benar gila. Kau masih terlalu muda untuk mengidap penyakit itu. Tetapi agaknya kau mendapat penyakit keturunan. ”

Anak muda itu justru tertawa berkepanjangan. Kata-kata orang yang sakit gigi itu seakan-akan sangat menyenangkannya. Bahkan katanya, “Kau memang lucu sekali. Agaknya orang-orang yang sedang sakit gigi memang menjadi kebingungan dan tidak tahu apa yang sebaiknya dikatakan. Orang yang sakit gigi hanya dapat mengumpat-umpat tanpa arti. ”

“Diam!” teriak orang yang sakit gigi itu. Namun kawannya pun kemudian berkata lantang, “Anak ini memang perlu dibungkam.”

Lalu katanya kepada kawannya yang sakit gigi, “Jika kau ingin membakar warung itu lakukan. Biarlah aku mengurus anak gila ini.”

Kawannya tidak segera menjawab, tetapi ia sempat melihat orang bertubuh tinggi kekar yang lain mendekati anak muda yang masih saja berdiri bertolak pinggang sambil tertawa.

“Jika kau memang gila, maka kau berhak untuk diampuni. Tetapi jika tidak, maka kau akan menjadi korban sikapmu yang kegila-gilaan itu. Agaknya kau terlalu muda menuntut ilmu, sehingga dengan demikian maka kau tidak mampu lagi mengendalikan dirimu ketika kau sudah menguasai setitik ilmu yang tidak berarti apa-apa,” berkata orang yang bertubuh tinggi kekar itu.

Anak muda itu berhenti tertawa. Namun ia justru menjawab, “Kau ternyata terlalu banyak mulut. He, apakah kau tidak dapat berbuat apa-apa selain berteriak-teriak?”

Orang bertubuh tinggi itu benar-benar merasa tersinggung. Ia sama sekali tidak menjawab lagi. Tetapi tiba-tiba saja tangannya melayang menampar pipi anak muda yang dianggapnya tidak tahu diri itu.

Anak itu tidak mengelak sama sekali. Tangan orang itu benar-benar telah mengenai pipinya, sehingga suaranya bagaikan ledakan cambuk.

Tetapi yang terjadi kemudian benar-benar membuat jantung orang-orang yang menyaksikan menjadi berdebar-debar. Jika semula Kiai Gringsing dan Ki Widura menjadi cemas atas nasib anak muda itu, namun kemudian mereka benar-benar telah dicengkam oleh keheranan.

Anak muda itu masih tetap berdiri tegak. Bahkan kemudian terdengar ia tertawa lagi. Justru lebih keras. Tidak ada bekas apapun juga dari pukuian orang yang bertubuh tinggi kekar itu, meskipun pukulan itu terlalu keras. Bagi orang kebanyakan, maka anak muda itu tentu sudah terlempar dan jatuh terbanting di tanah, pingsan. Bahkan mungkin mati karena tulang kepalanya menjadi retak, atau tuli, atau bisu.

Tetapi anak muda itu sama sekali tidak menunjukkan perasaan apa-apa. Bahkan dengan lantang ia kemudian berkat,a “Ah, jangan seperti perempuan cengeng begitu. Jika kau ingin berkelahi, marilah kita berkelahi. Akupun ingin berkelahi, jika kalian tidak mau menyerah dan aku bawa kepada para prajurir Mataram ”

Wajah orang bertubuh tinggi itu menjadi cemas. kawannya yang sakit gigi itupun menjadi tegang pula, sehingga sakit giginya rasa-rasanya justru sembuh dengan sendirinya.

Namun sikap anak muda itu benar-benar tidak lagi dapat dibiarkan saja. Orang yang bertubuh kekar itupun kemudian menggeram, “Jika kau mati karena pokalmu sendiri, maka tidak akan ada orang yang akan menyesalimu. ”

Anak muda itu masih tertawa. Tetapi iapun kemudian mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan, karena ia melihat bahwa orang yang menamparnya itu benar-benar akan menyerangnya bukan sekedar berusaha untuk memaksanya berhenti berbicara, tetapi orang itu benar-benar akan membunuhnya.

Sebenarnyalah, maka sejenak kemudian orang yang menampar pipi anak muda itu berteriak lantang, “Bersiaplah untuk mati!”

Anak muda itu segera bersiap. Sebenarnyalah orang itu telah meloncat menyerangnya dengan sekuat tenaganya. Berbeda dengan saat orang itu menampar pipinya, maka serangan itu tidak dapat diabaikan oleh anak muda itu. Karena itu, maka anak muda itupun dengan tangkasnya pula telah mengelak, Bahkan kemudian dengan kecepatan yang hampir tidak kasat mata, anak muda itu telah menyerang lawannya pula.

Ternyata bahwa anak muda itu mampu bergerak lebih cepat dari lawannya. Karena itu, maka serangannya itupun tidak mampu dielakkannya. Yang dapat diakukan oleh orang yang bertubuh tinggi kekar itu adalah berusaha untuk menangkis serangan anak muda itu. Sehingga dengan demikian telah terjadi satu benturan yang kuat antara kedua orang yang sedang berkeiahi itu.

Akibatnya benar-benar mengejutkan. Anak muda itu memang terdorong selangkah surut. Tetapi ia masih tetap berdiri tegak di atas kedua kakinya. Sementara itu, lawannya telah terlempar beberapa langkah dan jatuh terguling di tanah,

Orang bertubuh tinggi kekar itu berusaha untuk dapat segera bangkit. Tetapi ternyata bahwa ia tidak dapat memulihkan keseimbangannya dengan cepat. Hampir saja ia terjatuh kembali. Untunglah bahwa dengan susah payah ia dapat berdiri tegak. Tetapi ia tidak mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu.

Demikian ia tegak maka serangan anak muda itu telah menyambarnya langsung mengenai dada. Sekali lagi orang itu terlempar dan jatuh berguling. Bahkan ketika ia berusaha untuk bangkit, maka ia sudah berada di hadapan kawannya yang sakit gigi.

Dengan serta merta kawannya yang sakit gigi itupun telah berusaha untuk membantu kawannya. Ketika orang itu sudah berdiri, maka nampak ia menyeringai kesakitan.

Sementara itu anak yang masih sangat muda itu tertawa. Katanya, “Sudah aku katakan, jangan maju seorang demi seorang. Tetapi majulah bersama-sama. Bahkan aku kira kalian tadi datang berempat di warung ini. ”

Kedua orang itu bersama-sama menggeram. Anak muda itu benar-benar telah menghina mereka. Namun setelah salah seorang di antara mereka bertempur, maka ternyata bahwa anak itu memang bukan anak muda kebanyakan, yang apalagi anak muda yang berpenyakit gila.

Dengan demikian maka kedua orang itupun segera mempersiapkan diri. Pada saat sehat kedua orang itu sudah bersikap kasar. Apalagi pada saat orang itu sakit gigi.

Sejenak kemudian, tanpa malu-malu lagi meskipun lawan mereka masih sangat muda, namun keduanya telah bertempur berpasangan. Kedua orang itu mengambil jarak yang satu dari yang lain. Kemudian selangkah demi selangkah keduanya maju mendekat.

Anak muda itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun tersenyum gembira. Katanya, “Bagus. Aku akan mendapat kawan berlatih yang bagus sekali. Sayang, wajah kalian nampak gelap seperti langit yang mendung. Namun demikian, agaknya kalian berdua akan dapat memberi kegembiraan kepadaku. ”

Kedua orang itu mengumpat hampir berbareng. Namun ternyata bahwa keduanya tidak lagi berusaha mengekang diri. Anak muda itu sudah sangat menyakiti hati mereka, sehingga karena itu, maka anak itu memang harus dihukum.

“Jika kau mati anak gila,“geram salah seorang dari kedua orang bertubuh tinggi kekar itu, “maka seisi Mataram akan menyorakimu. Kau teryata terlalu sombong melampaui orang yang pernah aku bunuh beberapa hari yang lalu. ”

Anak itu tertawa. Katanya, “Agaknya sudah menjadi caramu. Bertempur sambil omong tanpa ada habis-habisnya.”

Orang yang sakit gigi itu benar-benar tersinggung. Dengan serta merta ia pun telah meloncat menyerang,

Anak muda itu dengan cepat menghindar. Bahkan dengan cepat pula ia sudah siap untuk menyerang kembali. Tetapi sebelum ia sempat meakukannya, maka serangan yang lainpun telah datang pula, sehingga ia harus dengan cepat menghindar,

Anak muda itu mengerutkan keningnya. Ternyata melawan kedua orang itu memerlukan kecepatan gerak yang luar biasa. Apalagi untuk seterusnya keduanya telah menyerangnya berganti-ganti dari arah yang berbeda.

“Uh,“anak muda itu menghindar. Hampir saja keningnya tersentuh serangan lawan. Namun ternyata dengan memiringkan kepalanya, ia masih sempat menghindarkan diri,

Dengan demikian perkelahian antara anak muda itu melawan dua orang yang bertubuh tinggi kekar, semakin lama menjadi semakin cepat. Anak muda itu tidak dapat lagi tertawa berkepanjangan, karena dua orang lawannya benar-benar telah mengerahkan kemampuan mereka. Meskipun serangan-serangan keduanya tidak banyak berarti bagi anak muda itu, tetapi berdua mereka merupakan lawan yang cukup berat. Sebenarnyalah kedua orang itu memang memiliki kemampuan yang cukup tinggi. Karena itu, maka semakin cepat mereka bergerak, maka mereka semakin menekan anak muda yang aneh itu.

Kiai Gringsing dan Ki Widura menyaksikan pertempuran itu dengan jantung yang berdebar-debar. Anak muda itu benar-benar seorang anak muda yang luar biasa. Pada umurnya yang masih sangat muda itu, ia telah meminjukkan tanda-tanda yang luar biasa.

Namun demikian, melawan dua orang yang berilmu tinggi, maka anak muda itu semakin lama justru semakin terdesak. Kedua orang itu menyerangnya bagaikan gelombang laut yang datang susul menyusul tanpa henti-hentinya. Menghantam dari arah yang berbeda, saling mengisi dan berganti-ganti.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Jika bukan anak muda itu, maka ia tentu sudah menjadi lumat melawan kedua orang raksasa di dalam olah kanuragan yang menyerangnya tanpa kendali sama sekali. Bahkan dengan sepenuh hati kedua orang itu benar-benar berniat untuk menghancurkan anak muda itu tanpa ampun.

Untuk beberapa saat Kiai Gringsing justru menjadi gelisah. Jika keadaan Itu berkelanjutan, maka apakah ia akan dapat berdiam diri? Dua orang raksasa di dalam olah kanuragan dengan semena-mena telah berusaha untuk menghancurkan seorang anak yang masih sangat muda, betapapun sombongnya anak muda itu.

Meskipun demikian Kiai Gringsing tidak berbuat dengan tergesa-gesa. la masih menunggu perkembangan keadaan. Mungkin sesuatu yang tidak diketahui akan terjadi. Meskiputi demikian, ia sudah bersiaga sepenuhnya untuk menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi atas anak yang masih sangat muda itu.

Dalam pada itu, perkelahian itu memang menarik perhatian banyak orang. Orang-orang yang mengenal kedua orang bertubuh tinggi kekar itu menjadi cemas melihat keadaan anak muda itu. Namun mereka tidak berani berbuat apa-apa. Mungkin kedua orang itu akan mendendamnya dan akan berbuat jahat atas mereka setelah anak muda itu dikalahkannya.

Tetapi tanpa berbuat apa-apa, maka rasa-rasanya merekapun telah bersalah. Anak muda itu akan dapat kehilangan kesempatan untuk mempertahankan hidupnya.

Orang-orang yang hanya berani melihat perkelahian itu dari kejauhan menjadi bingung. Seorang diantara mereka berkata, “Bagaimana kalau kita menyampaikan hal ini kepada prajurit Mataram?”

“Dimana mereka? Jika kita harus pergi ke gerbang, tentu terlalu jauh. Sementara itu, siapakah yang berani melaporkan tentang kedua orang itu. Kedua orang itu mempunyai banyak kawan di lingkungan prajurit Mataram. Jika tempat kita melaporkan justru kawan mereka, maka kita akan dapat terjerumus kedalam kesulitan,“ berkata yang lain.

“Tetapi apakah kita sampai hati membiarkan anak muda itu mengalami kesulitan?” desis yang lain.

“Jika demikian, kau sajalah yang pergi,“ sahut kawannya.

Tetapi orang itu juga tidak beranjak dari tempatnya. Ada semacam ketakutan yang menahannya, meskipun jantungnya terasa bergejolak menyaksikan perkelahian itu. Perkelahian antara seorang anak yang masih sangat muda melawan dua orang raksasa di dalam olah kanuragan. Dua orang yang dengan mantap memiliki ilmu yang tinggi dan pengalaman yang luas.

Demikianlah, orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu dari kejauhan telah tercengkam karenanya. Bahkan darah mereka rasa-rasanya telah berhenti mengalir, sementara jantung mereka bagaikan terhenti berdetak. Namun yang mereka lihat, anak muda itu memang telah terdesak.

Yang kemudian agaknya tidak dapat tinggal diam adalah Kiai Gringsing. la tidak dibayangi oleh perasaan takut terhadap kedua orang itu jika keduanya mendendamnya. la juga tidak merasa cemas seandainya prajurit Mataram yang kemudian mengetahui persoalan itu adalah sanak kadang kedua orang itu.

Tetapi ternyata bahwa Kiai Gringsing masih tetap ragu-ragu. Ketika sekilas ia melihat kecemasan di wajah anak muda itu, maka kemudian anak muda itu tiba-tiba saja tertawa sambil berkata, “Jadi kalian ingin bersungguh-sungguh ya?”

“Aku benar-benar ingin membunuhmu,” geram orang yang sakit gigi itu.

“Jika demikian, maka akupun akan bersungguh-sungguh juga. Jika kau benar benar ingin membunuhku, maka akupun ingin benar-benar membunuhmu,“ berkata anak muda itu disela-sela suara tertawanya.

Namun demikian, kedua orang raksasa itu masih tetap menguasai arena. Keduanya berhasil mendesak dan bahkan ketika anak muda itu sedang sibuk menghindarkan diri dari serangan orang yang sakit gigi, kawannya telah berhasil menyerangnya dan mengenai pundaknya dari arah belakang.

Anak muda itu hampir saja jatuh terjerembab. Tetapi ia justru telah menjatuhkan dirinya berguling melingkar dengan putaran di atas kepalanya.

Dengan sigapnya anak itu melenting berdiri dan berloncatan menjauhi lawannya untuk mengambil jarak.

“Gila,” geram anak muda itu, “kalian sudah menyakiti tubuhku. Tulangku hampir saja kau retakkan.”

“Aku akan meremukkan tulangmu. Aku akan mematahkan lehermu,“ geram orang yang sakit gigi itu.

Anak muda itu tidak menjawab. Namun ia tetap berdiri tegak sambil memandangi kedua orang lawannya berganti-ganti. Keduanya melangkah setapak demi setapak maju dari jarak beberapa langkah di antara mereka.

Dengan garangnya keduanyapun telah bersiap untuk menyerang. Mereka memang benar-benar ingin membunuh, Karena itu, maka sorot mata merekapun seakan-akan telah memancarkan cahaya maut itu.

Cahaya dari sorot mata kedua orang itu ditanggapi oleh anak muda itu. Karena itu, maka anak muda itupun tidak lagi mengekang ilmunya pula. Pada saat kedua orang lawannya siap untuk menyerang dari kedua arah, maka seakan-akan dari tubuh anak muda itu telah mengepul asap. Semakin lama semakin tebal, sehingga anak muda itu menjadi semakin samar. “Permainan iblis,“ geram orang yang sakit gigi itu.

Kawannya tidak menyahut. Tetapi selagi anak muda itu masih nampak, maka orang itupun dengan serta merta telah meloncat menyerangnya. Namun serangannya sama sekali tidak menyentuh apapun juga. Bahkan orang itu telah terjerumus ke dalam gelapnya kabut yang seakan-akan telah menyelubungi arena pertempuran itu.

Yang terdengar kemudian orang itu justru mengeluh tertahan. Telah terjadi satu benturan yang melemparkan orang itu keluar dari daerah kabut. Namun sejenak kemudian maka kabut itupun bagaikan telah memburunya dan menelannya. Kawannya yang sakit gigi itupun berlari-lari mendapatkannya. Tetapi iapun kemudian telah hilang pula di dalam kabut.

Ternyata ada usaha kedua orang itu keluar dari kabut. Tetapi setiap kali salah seorang dari mereka beranjak keluar dari putaran kabut itu, maka sebuah serangan telah menghantam mereka, sehingga mereka telah jatuh terguling. Sebelum mereka siap berbuat sesuatu, maka kabut itu telah menutup mereka pula.

Kedua orang itu menjadi bingung. Serangan datang beruntun tidak ada henti-hentinya. Ternyata kekuatan tangan anak muda itu sangat luar biasa. Pukulan-pukulan yang mengenai tubuh kedua orang itu seakan-akan bagaikan memecahkan tulang. Tetapi kedua orang itu tidak sempat berbuat apa-apa. Mereka hanya sekedar menjadi sasaran anak muda itu. Sehingga akhirnya keduanya menjadi bagaikan gila.

Dengan serta merta, maka kedua orang itu telah menarik senjatanya. Mereka memutar pedangnya membabi buta. Ketika ujung pedang itu menyentuh sesuatu, maka serangan itupun diulanginya. Tetapi dalam pada ituu tubuhnya sendiripun telah tertusuk pula oleh tajamnya pedang. Yang terdengar kemudian adalah keluhan-keluhan dan sesambat.

Sejenak kemudian maka kabut itupun berangsur-angsur menjadi tipis dan hilang ditiup angin. Namun yang nampak kemudian adalah sangat mengejutkan. Dua orang raksasa itu terbaring diam dengan luka di seluruh tubuhnya.

Kiai Gringsing yang berdiri di samping Ki Widura berdesis di luar sadarnya, “Raden Rangga.”

Ki Widura menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ya, menilik segalanya, ia adalah anak muda yang dikatakan oleh Agung Sedayu.”

Namun dalam pada itu, anak muda itupun melangkah mendekati kedua orang yang terbaring diam. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian iapun mengalihkan pandangan matanya kepada Kiai Gringsing dan Ki Widura yang berdiri di sebelah warung yang hampir saja dibakar itu, sambil berkata, “Kalian menjadi saksi. Aku tidak membunuh keduanya. Keduanya telah saling berbunuhan. Sebenarnya keduanya sekarang masih belum mati. Tetapi aku kira tidak akan ada tabib yang dapat mengobatinya.”

Kiai Gringsing termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Apa aku boleh melihat keduanya?”

Anak muda itu memandang Kiai Gringsing dan Ki Widura berganti-ganti. Kemudian anak muda itupun berkata, ”Terserah kepadamu. Tetapi apa yang akan kau lakukan?”

“Hanya sekedar melihat,” jawab Kiai Gringsing.

Anak muda itu tidak mencegahnya ketika Kiai Gringsing dan Ki Widura mendekati kedua orang hu. Ternyata keduanya memang belum mati. Tetapi seperti dikatakan oleh anak muda itu, bahwa keduanya terluka sangat parah, sehingga sulit untuk dapat ditolong lagi, apapun yang dapat di usahakan oleh Kiai Gringsing.

Ketika Kiai Gringsing memegang pergelangan tangan salah seorang di antara mereka, maka orang itu berusaha untuk membuka matanya. Dilihatnya Kiai Gringsing berjongkok di sebelahnya meskipun samar-samar.

Tiba-tiba saja orang itu membelalakkan matanya. Dengan suara sendat ia berkata, ”Kau harus membayar makanan yang kami makan di warung itu.”

“Ya, ya Ki Sanak,” jawab Kiai Gringsing.

Orang itu mengeluh tertahan. Namun kemudian ia tidak lagi dapat bertahan untuk tetap hidup. Nafasnyapun kemudian terputus di kerongkongan.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ketika ia memandang Ki Widura yang berjongkok di sebelah tubuh yang lain, ternyata Ki Widura itupun menggeleng sambil berdesis, ”la sudah pergi.”

Kiai Gringsing pun kemudian bangkit berdiri. Sementara itu anak muda itu bertanya, ”Apakah mereka telah mati?”

“Ya,” jawab Kiai Gringsing.

“Dan kau akan membelanya?” bertanya anak muda itupula.

“Tidak, Anak Muda,” jawab Kiai Gringsing, ”aku tidak mempunyai hubungan apa-apa dengan orang itu.”

Anak muda itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian diedarkannya pandangan matanya ke arah orang-orang padukuhan yang melihat pertempuran itu dari jarak yang cukup jauh. Dengan suara lantang ia berkata, “Ki Sanak, sekarang kalian tidak akan diganggu lagi oleh orang-orang ini. Tetapi kalianpun dapat juga menjadi saksi, bahwa aku tidak membunuh mereka. Meskipun demikian, kematian mereka akan memberikan suasana baru didalam kehidupan kalian di sini.”

Orang-orang yang berada di tempat yang agak jauh itu termangu-inangu. Namun sebenarnyalah bahwa dengan terbunuhnya kedua orang itu, mereka tidak akan merasa terganggu lagi. Sementara itu, jika kedua orang itu mempunyai kawan-kawan di kalangan para prajurit seperti yang dikatakannya, maka kawan-kawannya itu akan berhadapan dengan anak muda itu. Tidak dengan orang-orang padukuhan.

Dalam pada itu, maka anak muda itupun kemudian berkata, ”Nah, kalian akan mempunyai tugas. Kalian harus menguburkan kedua orang itu dengan cara yang sebaik-baiknya.”

Anak muda itu tidak menunggu lagi. lapun kemudian melangkah pergi meninggalkan kedua mayat yang terbaring itu.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. lapun kemudian bergeser menjauh ketika orang-orang padukuhan itu telah mendekati kedua tubuh yang terbaring itu.

“Kita dapat meninggalkan tempat ini,” berkata Kiai Gringsing.

Ki Widura mengangguk. lapun kemudian bergeser pula mendekati kedai yang hampir saja dibakar itu. ”Kita akan memenuhi pesan itu,” berkata Kiai Gringsing.

Ki Widura menarik nafas dalam-dalam. Katanya, ”Ya, Kita akan membayar semua kerugian yang di derita oleh pemilik warung tu. Makanan dan barang-barang yang pecah.”

Demikianlah, maka Kiai Gringsing masih sempat meninggalkan beberapa keping uang kepada pemilik kedai yang gemetar ketakutan. Tetapi uang itu di terima juga.

Sejenak kemudian, maka kedua orang itupun telah meninggalkan kedai itu meneruskar perjalanan menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Keduanya yakin bahwa anak muda itulah yang di maksud oleh Agung Sedayu dengan Raden Rangga. la mampu melepaskan ilmu sebagaimana ilmu yang dimiliki oleh Kiai Gringsing, meskipun belum cukup mapan, karena agaknya anak muda itu belum mampu mengatur kabut itu sesuai sepenuhnya dengan keinginannya.

Karena itu maka yang dilakukan dengan kabut itu adalah pelepasan dan penggunaan yang termasuk sederhana menurut tingkat ukuran ilmu itu, yang bagi orang lain merupakan ilmu yang sangat tinggi.

“Darimana anak itu mempelajari ilmu itu?” desis Kiai Gringsing .

“Bukankah ilmu itu jarang sekali dikenal saat ini Kiai?” bertanya Ki Widura.

“Ya. Karena itu, bahwa anak muda itu memilikinya adalah satu hal yang luar biasa,” jawab Kiai Gringsing. Lalu, “Sementara itu olah kanuragan yang tampak pada tata gerak dan ketrampilannyapun menunjukkan tataran yang sangat tinggi. Kedua orang itu adalah orang berilmu tinggi, namun anak muda itu hampir dapat mengimbangi melawan kedua orang itu, meskipun akhirnya ia harus rnelindungj dirinya dengan ilmu yang nggegirisi itu.”

“Namun agaknya kemampuan yang sangat tinggi itu cukup berbahaya bagi anak muda itu Kiai,” berkata Ki Widura, ”ia bisa membunuh orang-orang yang tidak disenanginya tanpa ampun. Meskipun kedua orang itu memang tidak dibunuh oleh tangannya, tetapi ia telah menjerumuskan kedua orang itu ke dalam satu kemungkinan seperti apa yang terjadi itu.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, ”la memang belum cukup dewasa untuk menguasai kemampuan yang demikian tinggi. Bukan saja umurnya, tetapi juga nalarnya.”

“Bukankah dengan demikian akan dapat terjadi malapetaka Kiai? Jika terjadi salah paham, maka anak muda itu cepat mengambil sikap. Meskipun maksudnya balk, tetapi jika ia salah langkah, maka orang yang terlanjur dibunuhnya itu tidak akan dapat hidup kembali dengan cara apapun juga. Tidak ada kesaktian manusia yang mampu mengatasi kematian yang sudah terjadi.”

Kiai Gringsing menarik nafas. Ia sependapat dengan pikiran Ki Widura itu.

“Tetapi kedua orang itu tidak dapat berbuat apa-apa. Mereka tidak akan dapat melarang putra Panembahan Senapati itu untuk berbuat apa saja. Yang dapat melarang dan menghentikan tingkah lakunya haruslah Panembahan Senapati itu sendiri.”

Karena itu, maka peristiwa itu bagi keduanya hanyalah semacam cerita yang akan mereka ceritakan kepada orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Terutama Agung Sedayu dan Glagah Putih sendiri.

Sebenarnyalah cerita itu merupakan cerita yang sangat menarik bagi keduanya, dan juga bagi Kiai Jayaraga. Dengan sareh Kiai Jayaraga menekankan kepada Glagah Putih, bahwa ia harus memperhatikan cerita itu. Penguasaan ilmu yang kurang mapan, justru akan dapat menumbuhkan persoalan yang mengguncang suasana.

“Kita harus dapat mempergunakan kurnia yang kita terima itu dengan sebaik-baiknya,” berkata Kiai Gringsing, ”dengan demikian maka hidup kita akan membenkan arti bagi sesama. Bukan justru sebaliknya. Karena itu, Glagah Putih, kau yang masih muda, sebaiknya kau memperhitungkan setiap langkah dengan sebaik-baiknya. Mungkin ada sesuatu yang bagimu tidak sesuai lagi sekarang ini, karena yang kita lakukan sekarang adalah sebagaimana dikerjakan oleh orang-orang terdahulu di dalam banyak bidang. Namun kaupun harus mengingat, bahwa yang terjadi sekarang ini bukannya terjadi dalam satu dua hari. Sikap dan pandangan hidup yang sekarang ini sudah terbentuk dalam perkembangan keadaan yang cukup panjang dan beraneka. Karena itu, maka setiap pembaharuan yang mungkin kau inginkan harus dipertimbangkan masak-masak, agar kita tidak terlepas dari alas kita yang hakiki.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. la mengerti maksud Kiai Gringsing. Bahkan meskipun agak berbeda bunyinya, tetapi ia sudah menangkap makna pesan itu dari Agung Sedayu, justru karena Agung Sedayu juga murid Kiai Gringsing.

Dengan demikian, maka sebelum Kiai Gringsing memerlukan melihat antara Glagah Putih dan Raden Rangga, maka Kiai Gringsing justru telah melihat sendiri kemampuan Raden Rangga. Tidak sekedar didalam sebuah latihan, tetapi dalam pertempuran yang sebenarnya, dan yang bahkan telah menelan korban dua jiwa.

“Mudah-mudahan Panembahan Senapati menaruh perhatian atas putranya yang satu itu,” berkata Kiai Gringsing.

Sebenarnyalah, ketika Panembahan Senapati menerima laporan tentang tingkah laku putranya, maka Raden Rangga itupun telah dipanggil menghadap.

Sambil menunduk dalam-dalam Raden Rangga duduk bersilang kaki dengan sangat tertib. Pandangan matanya seakan-akan tidak bergerak dari ujung ibu jari ayahandanya yang duduk di atas tempat duduknya, sebuah batu hitam yang di alasi dengan selembar kulit harimau loreng.

“Apa lagi yang telah kau lakukan Rangga?” bertanya ayahandanya.

Raden Rangga sama sekali tidak berani mengangkat wajahnya. Dengan nada rendah ia menjawab masih dalam sikapnya, “Ampun Ayahanda. Hamba hanya sekedar mencoba untuk membantu para prajurit Mataram untuk menertibkan keadaan.”

“Sudah aku katakan sebelumnya, bahwa kau tidak boleh bertindak sendiri dan langsung,” berkata ayahandanya, ”kau boleh mencegah kejahatan, tetapi kau jangan membunuh menurut kesenanganmu sendiri.”

“Bukan hamba yang membunuh, Ayahanda,” jawab Raden Rangga, ”mereka saling berbunuhan.”

“Kau menganggap aku kanak-kanak yang mempercayai semua kata-katamu begitu saja?” berkata ayahandanya. ”Mungkin benar keduanya saling berbunuhan seperti yang kau katakan. Tetapi menurut laporan itu, kau telah melibat mereka ke dalam satu keadaan yang sulit dimengerti. Seakan-akan telah turun semacam kabut yang tebal sehingga kedua orang itu tidak saling melihat, justru pada saat mereka dibakar oleh kemarahan. Aku tahu, bahwa kau sudah memperhitungkannya. Dengan demikian, maka keduanya akan mungkin terjerumus ke dalam satu kemungkinan untuk sating membunuh. Kau tidak dapat menunjuk sekedar kenyataan lahiriah saja Rangga. Tetapi kau harus mengakui perhitungan yang tersirat di balik kenyataan lahiriah itu. Dengan demikian menurut pendapatku, kau sudah membunuh, meskipun kau ajukan seribu orarig saksi. Sebab saksi itu tidak akan dapat mengatakan selain yang dilihatnya. Bahkan sesuai dengan laporan mereka, saksi-saksi itupun tidak melihat kenyataan itu sendiri sebagaimana kau katakan, bahwa mereka saling berbunuhan, karena tidak seorangpun yang dapat melihat kedalam gelapnya kabut itu.”

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun kepalanya masih tetap menunduk, Bahkan kemudian sepatah katapun ia tidak menjawab.

Sementara itu, ayahandanyapun telah berkata pula, “Kau harus menyadari Rangga, bahwa tingkah lakumu akan dapat membuat persoalan. Untunglah bahwa kau lakukan hal itu di lingkungan pengamanan prajurit Mataram. Jika tidak, maka peristiwa dengan Ki Gede Wanabaya di Mangir itu akan terulang. Bukankah Mangir pernah marah kepadamu karena kau membunuh seorang penjahat di daerah Mangir? Mungkin maksudmu baik. Tetapi kau sudah menghina alat-alat pengamanan di Mangir. Bukan saja karena wewenangnya yang kau Ianggar, tetapi seakan-akan di Mangir tidak ada kekuatan yang dapat melakukannya. Seakan-akan hanya anak Panembahan Senapati sajalah yang memiliki kemampuan yang tinggi.”

Raden Rangga tidak menjawab. Sementara itu ayahandanya melanjutkan, “Lain kali, kau harus berhubungan dengan pimpinan prajurit di daerah keributan itu terjadi. Kau mengerti?”

“Hamba, Ayahanda,” jawab Raden Rangga.

“Selebihnya kau tidak boleh kongas. Kau tidak boleh menunjukkan bahwa kau memiliki ilmu yang tidak terlawan,” berkata ayahandanya.

Raden Rangga masih tetap menunduk. Pandangan matanya masih tetap melekat pada ujung jari kaki ayahandanya. Namun demikian, tiba-tiba saja anak muda itu bertanya, “Ayahanda, jika pada satu saat terjadi satu peristiwa yang membahayakan jiwa seseorang, yang manakah yang harus hamba lakukan lehih dahulu, menyelamatkan orang itu, atau mencari prajurit Mataram untuk melaporkannya?”

Pertanyaan itu mengejutkan Panembahan Senopati. Sejenak ia termenung. Namun kemudian Panembahan Senopati itu rnenarik nafas dalam-dalam. Pertanyaan itu wajar sekali.

“Rangga,” berkata Panembahan Senapati, “kau memang harus menolong seseorang yang dalam keadaan yang sulit yang tersinggung keadilannya. Tetapi kau tidak perlu membunuh.”

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun ia masih tetap menunduk. Tetapi ketika ia siap untuk melontarkan pertanyaan, Panembahan Senapati telah mendahuluinya, “Kau tentu akan bertanya, bagaimana jika orang itu tidak dapat ditundukkan dan ditangkap.”

Raden Rangga terdiam. Panembahan Senapati telah menebak pertanyaannya. Sementara itu Panembahan Senapati berkata selanjutnya, “Memang mungkin kau harus mempergunakan kekerasan sehingga kau tidak dapat menghindari pertumpahan darah dan pembunuhan. Tetapi laporan yang aku terima mengatakan, bahwa yang pernah kau lakukan seolah-olah merupakan satu permainan saja bagimu. Seorang yang pada satu saat terpaksa membunuh orang lain, tentu akan menyesal, siapapun yang telah dibunuhnya. Membunuh dilakukan oleh seseorang hanya karena terpaksa dan terutama untuk membela dirinya sendiri. Bukan sebagaimana seseorang yang sedang bermain-main melihat lawannya bermain kelelahan.”

Raden Rangga mengangkat wajahnya. Hanya sekilas. lapun kemudian menunduk kembali dan memandang ujung jari kaki ayahandanya. Namun iapun mencoba mengingat-ingat, ketika ia melihat orang-orang yang pernah dibunuhnya mati, apakah ia tidak menyesal?

Tetapi Raden Rangga tidak menjawab, Dalam pada itu Panembahan Senapati telah berkata selanjutnya, “Rangga, aku memperingatkan kau sekali lagi, Kau harus dapat menempatkan dirimu sebagai putra Panembahan Senapati. Dengan kemampuan yang kau miliki, kau sudah mengangkat namamu sesuai dengan martabatmu. Bahkan setiap orang, termasuk aku sendiri, heran melihat kemampuan yang tumbuh di dalam dirimu, yang menurut katamu tidak kau ketahui sendiri asal usulnya, kecuali kau peroleh dalam mimpi-mimpimu yang tidak henti-hentinya di setiap malam. Menurut perhitunganku, melawan para perampok, penyamun dan penjahat lain-lainnya dengan ilmumu itu, mereka akan dapat kau tangkap tanpa membunuh mereka.”

Raden Rangga masih tetap duduk dengan kepala tunduk.

“Nah,” berkata ayahandanya, “kau boleh meninggalkan tempat ini sekarang. Tetapi kau harus membuktikan kata-kata yang baru saja aku pesankan kepadamu, bahwa kau akan mentaatinya.”

“Hamba, Ayahanda,” jawab Raden Rangga itu. Kemudian dengan ragu anak muda itu bertanya, “Jadi hamba sudah boleh meninggalkan bilik penghadapan ini, Ayahanda?”

“Ya,” jawab ayahandanya.

Raden Rangga pun kemudian meninggalkan bilik itu dengan membawa beban pesan ayahandanya.

Di luar, Raden Rangga melihat para prajurit yang bertugas berjaga-jaga. Ketika seorang perwira yang mengenalnya menyapanya, maka sambil tersenyum Raden Rangga berkata, “Ayahanda minta kepadaku, agar aku mengawasi tugas para perwira yang malas seperti kalian.”

Perwira itu tertawa saja. la sudah mengenai Raden Rangga dengan baik. la senang kepada anak muda itu, tetapi seperti para perwira yang lain, ia selalu cemas melihat apa saja yang dilakukannya. Bersama beberapa orang perwira, ia sudah pernah berurusan dengan anak muda itu, ketika anak muda itu memindahkan sebuah tugu batas wilayah Kademangan Turi, atas dasar laporan Demang Turi.

“Tugu itu tidak pantas berada di situ,” berkata Raden Rangga.

“Tetapi tugu itu satu pertanda Raden,” berkata perwira itu.

“Biar batasnyapun berubah. Aku tidak senang melihat tugu itu berada di dekat kuburan. Tugu itu sepantasnya berada di tempat yang lapang, yang dapat dilihat dari banyak arah,” berkata Raden Rangga.

“Tetapi tugu itu bukan sekedar ujud untuk dinikmati,” berkata perwira itu, ”batas antara Kademangan Turi dan Kademangan tetangganya itu ada lebih dahulu, kemudian diberinya tanda, dibuatnya sebuah tugu batu hitam.”

“Jika demikian kembalikan sendiri,” berkata Raden Rangga.

“Kami tidak dapat melakukannya,” jawab perwira itu.

“Jika kau tidak dapat mengangkatnya sendiri, ajak prajurit-prajuritmu yang lain,” berkata Raden Rangga.

“Tetapi jangan dipindahkan lagi Raden. Kami mohon,” berkata perwira itu.

Raden Rangga hanya tersenyum saja, Bahkan ia tertawa berkepanjangan ketika ia melihat beberapa orang mengangkat tugu itu dan mengembalikannya di tempatnya semula, dengan menanam alas dari tugu itu setinggi lutut.

Tidak seorangpun tahu, dengan kekuatan apakah Raden Rangga mampu memindahkan tugu yang diangkat oleh empat orang itu. Namun ternyata Raden Rangga dapat melakukannya sendiri.

“Mungkin Raden Rangga memelihara mahluk halus yang dapat membantunya setiap saat diperlukan,” berkata salah seorang kawannya.

“Entahlah,” jawab yang lain.

Pengalaman itu membuat perwira yang berada di halaman itu bersama beberapa orang kawannya berusaha mengawasi tingkah laku anak muda itu meskipun tidak semata-mata. Ada saja yang dilakukan yang kadang-kadang merepotkan orang lain, meskipun ia hanya sekedar bermain-main.

Dalam pada itu, Raden Rangga ternyata memang berkesan atas pesan ayahandanya. la tidak boleh membunuh orang tanpa sebab dan tanpa penyesalan.

“Aku boleh membunuh hanya kalau terpaksa sekali, terutama untuk membela diri,” berkata Raden Rangga kemudian.

Pesan itu terngiang-ngiang di telinganya. Bahkan rasa-rasanya ia ingin menyampaikan pesan itu kepada orang lain. la ingin memberitahukan hal itu kepada seseorang.

“Anak Tanah Perdikan Menoreh itupun harus tahu,” berkata Raden Rangga kepada diri sendiri, “ia juga memiliki ilinu yang tinggi.”

Sementara itu, maka di Tanah Perdikan Menoreh Glagah Putih masih tetap melakukan latihan-latihan yang berat. Rasa-rasanya sudah menjadi kebiasaannya untuk menunggu kedatangan anak muda putra Panembahan Senapati yang memiliki ilmu yang tinggi itu. Bagaimanapun juga, latihan-latihan yang dilakukan keduanya memberikan keuntungan bagi anak-anak muda itu. Glagah Putih merasa perkembangannya seperti dipacu. la sulit untuk dapat memaksa dirinya sendiri mengerahkan segenap tenaga dan kemampuannya dalam latihan-latihan yang biasa. Tetapi bersamaan anak muda yang nakal itu, rasa-rasanya ia benar-benar sebagaimana dalam keadaan berkelahi,

Ketika Kiai Gringsing dan Ki Widura berada di Tanah Perdikan Menoreh, maka keduanya memerlukan mengikuti Kiai Jayaraga dan Agung Sedayu melihat latihan yang dilakukan oleh Glagah Putih di tepian itu. Di tempat itu, kadang-kadang Raden Rangga datang untuk berlatih bersama.

Pada suatu malam, sebenarnya-lah Kiai gringsing sempat melihat Raden Rangga datang. Pada saat Glagah Putih masih latihan sendiri, tiba-tiba saja anak muda itu duduk di atas sebuah batu padas sambil berkata lantang, “Buruk sekali. Baru beberapa hari aku tidak datang, kemampuanmu sudah menurun hampir sepertiga.” Glagah Putih menghentikan latihannya. Sambil tertawa pendek ia menyahut, “Marilah, Raden. Turunlah.”

“Siapa saja yang menungguimu malam ini, anak cengeng? Nampaknya semakin lama membawa kawan semakin banyak,” berkata Raden Rangga. “He, apakah kau belum cukup dewasa untuk berbuat sesuatu tanpa bantuan orang-orang tua itu he?”

“Mereka tidak akan membantu aku,” berkata Glagah Putih, ”tetapi mereka ingin berkenalan dengan Raden, terutama dua orang tamuku dari Jati Anorn. Seorang adalah ayahku sendiri, dan yang seorang adalah kawannya.”

Raden Rangga mengerutkan keningnya, Sernentara itu, Kiai Gringsing dan Ki Widura telah melangkah mendekat diikuti oleh Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga.

Sejenak Raden Rangga mengamati kedua orang itu. Meskipun malam gelap tetapi ketajaman penglihatan Raden Rangga serta ketajaman ingatannya, dengan cepat membuat Raden Rangga berdesis, ”He, bukankah kalian yang aku jumpai di warung itu, di tempat dua orang gila yang mati saling berbunuhan?”

Kiai Gringsing mengangguk hormat. Katanya, “Ya Raden. Kami berdua telah pernah bertemu dengan Raden di luar dinding Kota Raja.”

“Jadi kau Ayah Glagah Putih?” bertanya Raden Rangga.

“Akulah ayah anak itu Raden,” jawab Ki Widura.

“Luar biasa,” gumam Raden Rangga, “anakmu ternyata seorang yang jarang ada duanya di Mataram. Tentu kaulah yang telah menempanya pada saat ia masih kanak-kanak, sehingga kemudian ia menjadi seorang anak yang memiliki ilmu yang tinggi.”

“Aku tidak pernah dapat berbuat apa-apa atas anak itu,” berkata Ki Widura, “bahkan aku sendiri tidak berilmu apapun juga.”

“Ha,” sahut Raden Rangga, “sudah menjadi kebiasaan orang-orang berilmu untuk merendahkan dirinya. Tetapi siapakah namamu?”

“Widura,” jawab Ki Widura.

“Yang seorang?” bertanya Raden Rangga

“Kiai Gringsing, Raden” yang menjawab masih Ki Widura.

“Kiai Gringsing?” Raden Rangga terkejut, “Jadi orang inilah yang bernama Kiai Gringsing?”

“Apakah Raden pernah mengenalnya?” bertanya Ki Widura.

“Belum, baru di warung itu. Tetapi namanya aku pernah mendengarnya. Kiai Gringsing adalah lambang tataran ilmu yang tinggi. Peninggalan masa lampau yang sampai kini jarang ada bandingnya. Orang-orang tertinggi di Mataram, Pajang dan Jipang tidak ada yang dapat mengimbangi kemampuannya. Orang-orang Pati, Madiun dan Bang Wetan tidak lagi ada yang memiliki ilmu sebagaimana dimiliki oleh Kiai Gringsing,” berkata anak muda itu.

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Kata-kata itu bukannya kata-kata yang wajar diucapkan oleh anak yang masih sangat muda sebagaimana Raden Rangga. Namun sebenarnyalah Raden Rangga adalah anak yang aneh.

“Raden jangan terlalu memuji,” berkata KiaiGringsing, “sebenarnya akulah yang pantas memuji kemampuan Raden yang luar biasa. Diluar jangkauan nalar seseorang bahwa anak yang masih semuda Raden memiliki ilmu yang sekarang sudah jarang sekali dimiliki oleh siapapun juga.”

“Kecuali Kiai Gringsing,” berkata Raden Rangga, “aku jadi malu sekali. He, Kiai, bagaimana menurut penilaian Kiai atas ilmu yang aku pergunakan untuk melindungi diriku pada saat itu, namun ternyata dengan demikian kedua orang itu telah menjadi saling berbunuhan?”

“Sekedar melindungi diri?” bertanya Kiai Gringsing.

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun tertawa, “Kiai agaknya suka bergurau. Tetapi katakanlah bahwa saat itu aku memang sedang melindungi diriku. Bukankah Kiai melihat?”

Kiai Gringsing-lah yang kemudian tersenyum. Katanya, “Tetapi yang paling tahu adalah Raden sendiri. Mungkin aku dapat menebak. Namun tebakanku dapat keliru. Nah, karena itu, maka silahkan Raden bertanya kepada diri sendiri. ”

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Dipandanginya Kiai Gringsing dengan tatapan mata yang tajam. Namun kemudian anak muda itu tertawa sambil berkata, “Kiai memang seorang yang jenaka. Tetapi kata-kata Kiai telah menyudutkan aku ke dalam penilaian diri sendiri. He, apakah benar aku saat itu sekedar melindungi diriku? Jika demikian maka aku sudah berpijak kepada pesan Ayahanda meskipun baru aku dengar kemudian. Tetapi pernyataan Kiai membuat aku jadi ragu-ragu. Memang ada keinginanku untuk berbuat sebagaimana yang terjadi.”

“Nah, bukankah Raden sudah memperhitungkan bahwa hal itu akan terjadi?” berkata Kiai Gringsing kemudian.

“Jika demikian apakah itu berarti bahwa aku telah membunuh mereka?” bertanya Raden Rangga.

“Raden memang aneh, Pertanyaan itu dapat Raden jawab sendiri. Adakah niat itu di dalam hati Raden?” Kiai Gringsing justru bertanya.

Raden Rangga termenung sejenak. Namun jawabnya kemudian memang mengejutkan, ”Memang ada Kiai. Aku memang berharap sebagaimana yang terjadi. Tentu aku menyesal. Sebagaimana pesan Ayahanda, bahwa seseorang yang membunuh sesamanya harus menyesali perbuatannya.”

“Raden tahu maksud Ayahanda?” bertanya Kiai Gringsing.

“Tentu. Bukankah maksudnya jelas? Jika aku membunuh seseorang karena mempertahankan diri, maka aku harus menyesali perbuatan itu. Aku tidak boleh menganggap peristiwa kematian itu sebagaimana peristiwa biasa. Menghilangkan jiwa seseorang adalah satu perbuatan yang tidak biasa. Satu perbuatan yang memang harus disesali,” jawab Raden Rangga.

“Bagaimana Raden mengartikan penyesalan itu?” bertanya Kiai Gringsing.

“Ah, jangan terlalu menganggap aku bodoh begitu Kiai,” jawab Raden Rangga, ”mungkin dibanding dengan Kiai, aku memang sangat bodoh. Tetapi sudah tentu untuk mengartikan penyesalan itu, aku akan dapat melakukannya.”

“Maaf Raden,” berkata Kiai Gringsing, “bukan maksudku untuk menganggap Raden terlalu bodoh. Tetapi aku hanya sekedar ingin memperbandingkan pengertian Raden dengan pengertianku tentang penyesaian, sebagaimana dimaksud oleh Ayahanda Raden itu.”

“Baiklah. Tetapi Kiai memang menganggap aku terlalu bodoh,” jawab Raden Rangga, ”sudah barang tentu aku akan mengatakan sesuai dengan tangkapanku yang mungkin masih terlalu picik. Bagiku penyesalan adalah satu ungkapan perasaan yang menganggap bahwa sesuatu yang pernah terjadi itu tidak seharusnya terjadi. Sedangkan dalam hubungannya dengan tingkah laku dan perbuatan, maka perbuatan itu sebaiknya tidak dilakukan. Dengan demikian, maka penyesalan yang tulus akan menuntut agar perbuatan serupa tidak akan terulang.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. la tidak menyangka bahwa jawaban Raden Rangga demikian runtut. Sama sekali bukan jawaban seorang anak yang masih sangat muda.

Karena Kiai Gringsing tidak segera menjawab, maka Raden Rangga pun kemudian berkata,”Kenapa Kiai nampaknya tidak sesuai dengan pendapatku. Apa ada yang salah?”

“Sama sekali tidak Raden,” jawab Kiai Gringsing, “aku sependapat dengan Raden. Akulah yang memang salah menilai Raden, seolah-olah Raden adalah anak-anak yang masih belum sempat mempergunakan nalar selain menuruti perasaan. Aku kira, bahwa penyesalan bagi Raden adalah sekedar permainan. Membunuh lalu menyesal, tetapi hal yang serupa dilakukan lagi, karena Raden sudah memenuhi sebagaimana di kehendaki oleh Ayahanda Raden. Menyesal setelah membunuh. Sehingga jika Raden membunuh sepuluh orang berurutan, maka Raden akan menyesal sepuluh kali.”

“Ah. kau benar-benar seorang yang bijaksana Kiai,” berkata Raden Rangga, ”Kiai tidak dengan terus terang menguji kebenaran sikapku. Kiai ingin mengetahui, apakah yang aku katakan itu juga sikap hatiku. Yang aku katakan apakah juga aku lakukan.”

Kiai Gringsing hanya dapat mengangguk-angguk, Anak muda itu benar-benar berpanggraita tajam.

“Nah, Kiai, apakah masih ada yang ingin Kiai tanyakan?” bertanya Raden Rangga.

“Tidak Raden,” jawab Kiai Gringsing, “aku datang untuk melihat Raden berlatih bersama Glagah Putih sebagaimana sering Raden lakukan.”

“Satu kebetulan bahwa Kiai ada di sini,” berkata Raden Rangga, “ada gejala ilmu yang nampak padaku. Agaknya ilmu itu tadi datang di dalam mimpiku. Tetapi ilmu itu masih sangat mentah. llmu yang pernah Kiai lihat di warung itu. Aku tahu bahwa Kiai menguasai ilmu itu dengan sempurna. Nah, apakah Kiai bersedia memberi aku petunjuk, agar aku dapat mempelajarinya dan menguasai ilmu dengan sempurna seperti Kiai?”

Kiai Gringsing menjadi berdebar-debar. la tidak menyangka bahwa anak muda itu akan langsung minta kepadanya untuk mengajarinya menyempurnakan ilmunya. Sudah barang tentu Kiai Gringsing tidak akan dapat memenuhinya. la akan dapat dianggap bersalah jika hal itu tidak disetujui oleh Panembahan Senapati.

Karena itu, maka Kiai Gringsing pun kemudian menjawab, “Raden, segala sesuatu akan dapat saja aku lakukan. Tetapi sudah barang tentu sepengetahuan Ayahanda Raden. Seperti Raden sadari, bahwa Raden masih belum dewasa penuh, sehingga semua sikap dan tingkah laku masih harus selalu mendapat persetujuan dari Ayahanda Raden.”

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Tentu tidak akan pernah terjadi. Ayahanda tentu tidak akan setuju. Baiklah, jika demikian aku akan menunggu. Mimpi itu tentu akan kembali dan aku akan mendapatkan kesempurnaan ilmu.”

Kiai Gringsing hanya dapat menarik nafas dalam-dalam, Anak muda itu memang anak muda yang aneh. Namun ternyata bahwa Kiai Gringsing tidak mendapat kesempatan untuk berbincang lebih lama lagi. Sejenak kemudian, Raden Rangga itu sudah mendekati Glagah Putih sambil berkata, ”Marilah, Kita pergunakan waktu kita sebaik-baiknya. Agaknya berlatih malam ini bagiku lebih bermanfaat daripada sekedar berbincang-bincang.”

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Di luar sadarnya ia memandang Kiai Jayaraga dan Agung Sedayu berganti-ganti. Seakan-akan ia ingin minta pendapatnya, apakah ia dibenarkan untuk mengadakan latihan.

Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga hampir berbarengan mengangguk. Namun dalam pada itu Raden Rangga tertawa sambil berkata, ”He, kau masih perlu juga minta ijin?”

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia mengikuti Raden Rangga ke tempat yang agak luas untuk mulai dengan latihan-latihan. Seperti kebiasaan mereka, maka latihan-latihan yang mereka lakukan merupakan latihan yang sangat berat. Seakan-akan keduanya benar-benar telah terlibat dalam perkelahian yang sungguh-sungguh.

Keduanya tidak membatasi serangan-serangannya, sehingga jika seseorang lengah, maka serangan itu benar-benar mengenai tubuhnya. Bahkan sekali-sekali keduanya telah terlempar dan jatuh berguling di pasir tepian sambil menyeringai menahan sakit.

Sementara itu, empat orang telah mengamati latihan yang berat itu dengan saksama. Kiai Gringsing dan Ki Widura yang belum pernah melihat sebelumnya, benar-benar merasa heran. Ternyata bahwa dua orang anak muda telah tenggelam dalam satu peningkatan ilmu yang luar biasa.

Meskipun demikian ada beberapa perbedaan di antara keduanya. Glagah Putih mendapatkan ilmunya dengan laku yang berat dan kerja yang tekun dan tidak mengenai telah. Ilmunya tumbuh dengan wajar, meskipun jarang sekali terjadi atas orang lain. Sedangkan pada Raden Rangga, telah terjadi ketidak wajaran dengan hadirnya ilmunya di dalam dirinya serta perkembangannya.

Dengan kagum Kiai Gringsing dan Ki Widura rnenyaksikan latihan itu. Terlebih-lebih Ki Widura yang semula tidak mengira bahwa perkembangan anaknya sudah begitu pesat.

“Nampaknya anak muda itu tidak mempunyai landasan ilmu kebal,” desis Kiai Gringsing.

Ki Widura tidak segera menjawab. Ia belum dapat mengambil kesimpulan seperti itu. Namun hampir berbareng Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga bergumam, ”Ya. Agaknya belum.” Sementara Agung Sedayu meneruskan, ”Dengan keterangan tambahan, hari ini. Siapa tahu nanti malam Raden Rangga bermimpi dan besok ia sudah memiliki ilmu kebal itu.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Tetapi tiba-tiba ia bertanya, “Apakah ia pernah menceritakan mimpinya? Dengan siapa ia berlatih, atau siapakah di dalam mimpi itu, orang yang telah menempa Raden Rangga sehingga ia menjadi seorang yang memiliki ilmu yang sangat tinggi?”

Agung Sedayu menggeleng. Katanya, “Belum Kiai. Ia tidak pernah mengatakan siapakah yang pernah datang kepadanya di dalam mimpinya itu. Atau mungkin ia tidak mengatakan yang sebenarnya. Mungkin yang terjadi sebenarnya sama sekali bukan mimpi. Tetapi ia berguru kepada seorang yang tidak kita kenal lagi tingkat ketinggian ilmunya sekarang ini.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, ”Hal yang demikian memang mungkin terjadi. Tetapi orang yang demikian sekarang ini agaknya tidak mungkin dicari lagi. Orang yang dapat menempa orang lain dengan mempercepat perputaran kejadian. Yang seharusnya di pelajarinya dalam waktu satu tahun, dapat dikuasainya dalam tiga atau empat hari. Dengan bantuan apapun juga, agaknya saat ini sulit dilakukannya. Meskipun demikian kita tahu, bahwa ada Yang Maha Besar yang tidak mengenal kemustahilan.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Memang banyak kemungkinan dapat terjadi atas Raden Rangga. Namun yang jelas, anak muda itu kini memiliki kemampuan yang luar biasa.

Sementara itu, Raden Rangga masih juga berlatih dengan keras melawan Glagah Putih. Tata gerak mereka menjadi semakin lama semakin cepat. Dalam olah kanuragan Glagah Putih mampu mengimbangi ketrampilan Raden Rangga. Namun jika Raden Rangga mulai merambah ke dalam kekuatan ilmunya yang hadir di dalam dirinya dengan cara yang aneh itu, barulah Glagah Putih mengalami banyak kesulitan.

Tetapi keduanya masih bertempur dengan ilmu kanuragan mereka. Mereka telah mengerahkan tenaga cadangan sehingga kekuatan mereka seolah-olah kian bertambah. Kecepatan gerak merekapun rasa-rasanya sudah melampaui kecepatan loncatan petir di udara.

Benturan demi benturan yang keras telah terjadi. Sekali-sekali keduanya terlempar dan terbanting jatuh, namun kadang-kadang salah seorang di antara mereka yang dikenai serangan-lah yang jatuh berguling.

Dalam perkelahian yang semakin keras dan berat, Glagah Putih mengira bahwa pada suatu saat Raden Rangga akan melepaskan ilmunya yang aneh. Jika demikian, maka ia tidak akan mampu mengimbanginya lagi. Tetapi rasa-rasanya ada yang bermanfaat baginya. Ia akan dapat meningkatkan ketajaman indra pendengarannya dan mempertajam penggraitannya atas peristiwa-peristiwa yang terjadi di sekitarnya.

Namun ternyata Raden Rangga tidak melepaskan ilmunya yang aneh. Tetapi tiba-tiba saja ia tertawa sambil berkata, “Glagah Putih. Aku mempunyai permainan baru. He, apakah kau dapat mengikuti permainanku? Bukankah kau di masa kecil sering bermain jamuran?”

Glagah Putih tidak menyahut. Namun tiba-tiba saja Raden Rangga itu telah berlari mengitarinya. Semakin lama semakin cepat. Sementara itu, ia tidak berhenti-hentinya menyerang dari jurusan yang kadang-kadang tidak diduga oleh Glagah Putih.

“Permainan apa lagi yang diperlihatkan Raden Rangga ini?” bertanya Glagah Putih di dalam hatinya.

Glagah Putih tidak segera dapat menjawab teka-teki itu. Raden Rangga masih saja berlari melingkari Glagah Putih, semakin lama semakin cepat. Namun setiap kali Raden Rangga telah menyerang Glagah Putih dengan tiba-tiba dari arah yang membingungkan.

Untuk beberapa saat Glagah Putih kehilangan pegangan untuk melawan cara yang dipergunakan oleh Raden Rangga. Ia hanya dapat mengikuti putaran anak muda itu dengan berputar pula. Namun beberapa lama kemudian, rasa-rasanya ia menjadi pening.

Raden Rangga tertawa. Katanya, “Aku masih belum melepaskan kemampuan dari kedalaman ilmuku. Tetapi agaknya kau sudah mulai menjadi pening dengan permainanku yang baru ini.”

Glagah Putih mengumpat. Raden Rangga bukannya sekedar mempergunakan ilmu kewadagannya. la mampu berlari secepat putaran baling-baling. Kemudian hampir tidak dapat diikuti dengan penglihatan indra wadag, anak muda itu menyerang langsung ke pusat lingkaran putarannya.

Namun serangan Raden Rangga memang terasa sangat berat. Glagah Putih tidak dapat bergerak keluar putaran yang mengelilinginya. Dalam perkelahian seperti yang dilakukan sebelumnya, dalam keadaan sulit ia dapat meloncat surut untuk mengambil jarak dan memperbaiki kedudukannya. Namun melawan cara yang dipergunakan Raden Rangga, jika ia meloncat mundur, maka ia akan menyilang garis putaran. Rasa-rasanya putaran anak muda itu sudah bukan lagi putaran seseorang yang berlari melingkar, tetapi seperti gelang yang tidak berkeputusan.

Ketika sekali Glagah Putih mencoba keluar dari lingkaran, maka ia telah terlempar ke dalam, seakan-akan ia telah membentur dinding yang mampat. Glagah Putih menggeram. Untuk beberapa saat ia tidak dapat memecahkan cara yang dipergunakan oleh lawannya.

Namun dalam pada itu, yang ditrapkan oleh Glagah Putih kemudian adalah kemampuannya untuk menyalurkan serangan dari getaran di dalam dirinya, lewat sentuhan-sentuhan yang terjadi antara dirinya dengan anak muda itu.

Justru pada saat lawannya menyerang yang menyentuh tubuhnya, maka seakan-akan sebuah getaran telah mengalir dan menyerang langsung ke dalam tubuh lawannya.

Raden Rangga terkejut. Tetapi ia segera menyadari, bahwa bukan hanya sekali itu Glagah Putih mempergunakannya. Pada latihan-latihan sebelumnya, Raden Rangga sudah merasakannya.

Karena itu, maka iapun segera mengetrapkan seluruh daya tahannya untuk mengatasi serangan Glagah Putih. Meskipun Raden Rangga tidak mempunyai ilmu kebal, namun kekuatan daya tahannya ternyata mampu membatasi perasaan sakit di dalam tubuhnya karena getaran kekuatan Glagah Putih pada sentuhan-sentuhan yang terjadi, justru pada saat Raden Rangga itu sendiri sedang menyerang.

Dengan demikian maka latihan yang keras itu semakin lama menjadi semakin sengit. Glagah Putih berusaha untuk memecahkan cara yang dipergunakan oleh Raden Rangga, di samping serangannya dengan kekuatan getaran dari dalam dirinya pada setiap sentuhan. Namun agaknya serangan Glagah Putih itu tidak begitu berpengaruh atas Raden Rangga, meskipun kadang-kadang anak muda itu juga menyeringai menahan pedih di dalam tubuhnya.

Sementara itu, Kiai Gringsing yang berada di pinggir arena itu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku tidak menyangka, bahwa anak itu sudah demikian majunya. Maksudku Glagah Putih. Sedangkan kita tidak akan dapat membicarakan anak muda yang bernama Raden Rangga itu.”

Ki Widura merasa seakan-akan jantungnya telah mengembang. Anak itu telah memberikan kebanggaan kepadanya. Namun demikian, Ki Widura juga dibayangi oleh kecemasan, bahwa anaknya akan kehilangan pengendalian diri jika ia merasa memiliki ilmu yang tinggi.

Sedangkan Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga yang hampir setiap hari mengikuti perkembangan Glagah Putih itupun masih juga merasakan kebanggaan di dalam diri mereka, karena mereka telah ikut serta membina anak muda itu sampai ketataran yang mengagumkan.

Meskipun demikian, seperti Ki Widura, keduanyapun disentuh oleh kekhawatiran bahwa anak itu akan kehilangan pengendalian diri dan menjadi sombong. Lebih-lebih adalah Kiai Jayaraga. Ia sudah pernah merasakan kehilangan muridnya beberapa kali. Ia berharap bahwa Glagah Putih adalah muridnya yang terakhir, yang tidak akan terjerumus ke dalam keadaan sebagaimana murid-muridnya yang lain.

Namun dalam pada itu, tubuh Glagah Putih telah merasakan sentuhan tangan Raden Rangga berpuluh kali, sehingga rasa-rasanya seluruh dagingnya sudah menjadi lunak, sementara tulang-tulangnya menjadi retak.

Tetapi dalam keadaan yang paling sulit, maka tiba-tiba saja, hampir di luar sadarnya, Glagah Putih telah melakukan satu langkah yang mengejutkan bagi Raden Rangga. Selagi kepalanya masih belum menjadi sangat pening dan kehilangan kemampuan pengendalian keseimbangannya, maka Glagah Putih justru telah melakukan hal yang sama tetapi ke arah yang berbeda. Bahkan Glagah Putih beberapa kali dengan sengaja telah berusaha membenturkan diri pada lingkaran yang terbentuk oleh putaran Raden Rangga yang berlari mengelilingi secepat angin.

Agaknya anak muda yang bernama Raden Rangga itupun ingin juga sesekali mencobanya. Beberapa kali ia berhasil menghindari benturan yang terjadi. Namun ternyata Glagah Putih ingin mengambil kesempatan itu untuk keluar dari lingkaran. Karena itu, maka akhirnya benturan yang dahsyat pun telah terjadi dari dua kekuatan yang berputar berlawanan arah. Tetapi karena Glagah Putih tidak terbiasa, maka agaknya ia telah diganggu pula oleh perasaan pening, sehingga ketika benturan itu terjadi, maka Glagah Putih telah terlempar beberapa langkah surut. Terbanting di pasir tepian dan ternyata Glagah Putih telah menjadi pingsan.

Sementara itu, Raden Rangga pun telah terlempar pula. Anak muda itu juga terbanting di pasir. Tetapi ternyata bahwa keadaannya masih lebih baik dari Glagah Putih, sehingga karena itu, masih terdengar anak itu mengerang kesakitan.

Kiai Gringsing dengan tergesa-gesa telah mendekati anak muda itu, sementara Kiai Jayaraga berlari-lari mendapatkan Glagah Putih.

“Bagaimana Raden?” bertanya Kiai Gringsing.

Anak muda yang kesakitan itu mencoba untuk bangkit. Namun punggungnya serasa telah patah. Meskipun demikian ia mencoba tersenyum sambil berdesis, “Punggungku sakit sekali. Anak itu memang anak yang luar biasa. Bagaimana dengan anak itu?”

Agung Sedayu yang termangu-mangu telah melihat keadaan Glagah Putih pula bersama Ki Widura. Namun kemudian ia mendekati Kiai Gringsing sambil berkata, “Glagah Putih telah pingsan.”

Raden Rangga yang juga mendengar kata-kata Agung Sedayu itupun kemudian berkata kepada Kiai Gringsing, “Tolong anak itu Kiai. Aku tidak apa-apa, meskipun rasa-rasanya tulang- tulangku berpatahan. “

Kiai Gringsing beringsut sambil berkata, “Baiklah Raden. Aku akan melihat keadaan Glagah Putih.”

Agung Sedayu-lah yang kemudian menunggui Raden Rangga, sementara Kiai Gringsing berjongkok di sisi Glagah Putih yang pingsan.

Ki Widura menjadi cemas melihat keadaan anaknya. Namun Kiai Gringsing berkata, “Mudah-mudahan ia akan lekas menjadi baik.”

Sambil meraba tubuh Glagah Putih, maka Kiai Gringsing pun berkata pula, “Tidak ada luka di dalam tubuhnya yang berbahaya.”

Ki Widura tidak menyahut, meskipun keringatnya masih mengalir di seluruh lubang kulitnya.

Dengan obat yang dibawanya maka Kiai Gringsing pun telah berusaha untuk mengobati Glagah Putih. Dengan air dari belik di tepi sungai itu Kiai Gringsing mencairkan serbuk obatnya, dan kemudian setitik demi setiik obat itu diusahakan dapat melampaui kerongkongan Glagah Tutih.

Ternyata udara malam yang dingin, pengaruh obat yang diminumnya serta angin yang semilir, maka lambat laun Glagah Putihpun telah mulai sadar akan dirinya. Perlahan-lahan matanya mulaj terbuka. Meskipun agak kabur, namun ia mulai dapat melihat orang-orang yang berada disekitarnya.

Ki Widura menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat bahwa anaknya telah menjadi sadar kembali. Dirabanya kening anak itu dan dengan suara parau ia memanggil, “Glagah Putih.”

Glagah Putih mendengar panggilan itu. Dan iapun menyadari bahwa suara itu adalah suara ayahnya. Karena itu, maka iapun kemudian berdesis, “Ya Ayah.”

“Syukurlah. Agaknya kau telah pingsan,” berkata Ki Widura.

Glagah Putih mencoba untuk menghirup udara malam yang segar. Tetapi terasa tulang-tulang rusuknya masih sakit, Dadanya terasa bagaikan terhimpit batu padas sebesar gumuk sungai itu.

Namun ia sudah dapat menjawab pula, “Ya Ayah.”

Ayahnya tidak bertanya lagi. la sadar, bahwa keadaan anaknya masih belum baik. la masih harus mengatur pernafasannya dan meningkatkan daya tahan tubuhnya dengan kekuatan yang tersisa.

Sementara ilu, Raden Rangga justru telah dapat bangkit dan duduk di atas pasir. sekali-sekali ia masih menyeringai. Tetapi ia sudah dapat tersenyum sambil berkata kepada Agung Sedayu, “Glagah Putih agaknya sudah sadar.”

“Ya Raden. Mudah-mudahan ia tidak mengalami suatu yang gawat,” berkata Agung Sedayu.

“Ia bukan anak yang cengeng,” berkata Raden Rangga, “seharusnya anak itu tidak mengalami apa-apa. Kecuali jika ia hanya sekedar ingin merajuk.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia menyadari, agaknya Raden Rangga adalah seorang anak muda yang seakan-akan berdiri sendiri sejak kanak-kanak. Agaknya ia memang tidak tergantung kepada siapapun meskipun ia anak Panembahan Senapati.

Bahkan sejenak kemudian Raden Rangga itu telah duduk sambil bersilang kaki dan tangan. Sambil menundukkan kepalanya ia memusatkan nalar budinya. Dengan sepenuh kemampuannya ia mengatur pemafasannya dan meningkatkan daya tahan tubuhnya

Dengan demikian maka perasaan sesak di dadanya berangsur menjadi hilang. Perasaan sakit di seluruh tubuhnya kemudian tidak lagi terasa sangat mencengkam.

Agung Sedayu yang mengetahui bahwa Raden Rangga baru berusaha untuk memperbaiki keadaan dirinya, tidak mengganggunya. Bahkan iapun telah duduk pula di sebelah anak muda itu untuk beberapa saat.

Sejenak kemudian, maka Raden Rangga telah mengangkat wajahnya. Kemudian iapun dengan serta merta bangkit berdiri. Dikibaskannya kedua tangan dan kakinya. Kemudian sambil tersenyum ia berkata, “Aku sudah tidak apa-apa lagi Agung Sedayu.”

Agung Sedayu memandangi anak muda itu. Meskipun masih ada bekas perasaan sakit serba sedikit, namun nampaknya Raden Rangga sudah menjadi baik kembali.

“Anak ini memang aneh,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya.

Raden Rangga yang telah hampir pulih kembali itupun melangkah mendekati Glagah Putih yang masih terbaring. Namun dibantu oleh obat Kiai Gringsing, keadaannyapun telah berangsur baik. Perlahan-lahan ia mencoba untuk bangkit dan duduk di atas pasir.

“He, biarkan saja anak itu menolong dirinya sendiri,” berkata Raden Rangga kepada orang-orang yang berada di sekitar Glagah Putih yang baru saja menjadi sadar. Lalu katanya pula, “Biar ia berusaha sebagaimana aku lakukan.”

Orang-orang yang sedang menolong Glagah Putih itupun memandangi Raden Rangga yang berdiri tegak sambil tersenyum. Namun Kiai Gringsing-lah yang kemudian menjawab, “Bukankah Raden tadi yang meminta aku menolong Glagah Putih?”

Raden Rangga tertawa. Katanya, “Aku tadi merasa cemas bahwa terjadi sesuatu dengan Glagah Putih. Tetapi ternyata tidak terjadi apa-apa.”

“Ia pingsan,” desis Kiai Jayaraga.

“Ada baiknya ia mengalami latihan yang keras, agar dalam perkelahian yang sesungguhnya ia tidak menjadi canggung. Orang-orang yang terbiasa rnelakukan latihan yang lunak dan terlalu terarah, tidak akan cepat berkembang. Bahkan dalam perkelahian yang sebenarnya ia akan bingung, karena lawannya tidak melakukan sebagaimana kebiasaannya dalam latihan-latihan,” berkata Raden Rangga.

Tidak ada yang menjawab. Tetapi mereka sependapat, bahwa latihan yang keras akan memberikan arti yang lebih baik bagi Glagah Putih, asal latihan-latihan itu masih terbatas pada tingkat kemampuan dan daya tahan tubuhnya.

Glagah Putih sendiri yang kesakitan pun kemudian berusaha untuk bangkit. Tetapi ternyata bahwa ia masih memerlukan pertolongan untuk dapat berdiri tegak.

Raden Rangga masih tertawa. Tetapi kemudian katanya, “Beristirahatlah. Kita akan bertemu pada kesempatan lain. “

“Tetapi Raden,” berkata Glagah Putih sendat, “permainan jamuran yang Raden lakukan itu membuat aku bingung.”

“Kau telah berhasil memecahkannya,” jawab Raden Rangga, “hanya karena kau tidak terbiasa berlatih berlari dalam putaran, maka kau menjadi pering. Tetapi caramu mengatasi kebingungan sangat mengagumkan, meskipun kau kemudian harus menjadi pingsan karenanya.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Jika ia mengingat permainan Raden Rangga, rasa-rasanya kepalanya masih saja menjadi pening. Namun demikian, terungkap niat di dalam dirinya untuk melakukan latihan sebagaimana dilakukan oleh Raden Rangga itu,

Namun sejenak kemudian maka Raden Raiigga itupun berkata, “Sudahlah. Aku kira sudah cukup untuk hari ini. Aku akan kembali. Pada kesempatan lain aku akan datang lagi.”

“Silahkan Raden,” berkata Glagah Putih.

Setelah minta diri, maka Raden Rangga itupun kemudian meloncat dari batu ke batu menyeberangi sungai itu dan hilang di dalam kegelapan.

“Biasanya ia pergi begitu saja tanpa minta diri,” berkata Kiai Jayaraga.

“Agaknya ia merasa cemas melihat keadaan Glagah Putih,” sahut Agung Sedayu, “baru setelah ia yakin bahwa Glagah Putih tidak mengalami kesulitan, anak itu meninggalkan tepian ini.”

Yang lain mengangguk-angguk. Sementara itu Kiai Gringsing dan Ki Widura melihat semakin jelas, sifat dan watak anak muda yang bernama Raden Rangga itu.

Namun agaknya Kiai Gringsing merasa perlu untuk mengetahui, apakah yang telah terjadi di dalam mimpi Raden Rangga, atau keadaan lain yang terjadi sebagaimana di dalam mimpi.

“Jika anak itu tidak membual, maka mimpi-mimpi yang dikatakannya itu tentu akan sangat menarik untuk diketahui,” berkata Kiai Gringsing.

“Tetapi apakah ia akan bersedia menceritakannya?” sahut Kiai Jayaraga.

“Memang mungkin tidak,” jawab Kiai Gringsing. Lalu, “Tetapi kita dapat mencobanya. Biarlah Glagah putih pada satu kesempatan menanyakan kepada Raden Rangga. Mungkin ia sekedar membual atau bergurau, tetapi mungkin ia mengatakan yang sebenarnya.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk sambil menyahut, “Mungkin Glagah Putih akan dapat mencobanya.”

Semua orang memandang Glagah Putih yang sudah berusaha untuk berdiri tegak tanpa bantuan orang lain,

“Marilah,” berkata Agung Sedayu kemudian, “kita akan pulang.”

Dengan langkah yang masih terasa berat, maka Glagah Putih bersama beberapa orang lainnya melangkah menuju ke tebing. Kemudian dengan hati-hati Glagah Putih memanjat naik. Tetapi ternyata bahwa ia masih memerlukan bantuan Agung Sedayu, karena tubuhnya masih terasa sakit.

Demikian mereka sampai di rumah Agung Sedayu, maka Kiai Gringsing pun telah mengoleskan obat yang telah dicairkannya di seluruh tubuh Glagah Putih. Cairan itu terasa hangat di tubuhnya dan seakan-akan telah memberikan kekuatannya kembali. Perasaan sakit berangsur berkurang, bahkan Glagah Putih pun merasakan bahwa darahnya telah mengalir dengan wajar.

Tetapi dengan demikian maka untuk satu dua hari Glagah Putili memang harus berjstirahat. Kiai Jayaraga tidak dapat memaksanya untuk berlatih, karena keadaan tubuhnya yang masih belum pulih kembali. Namun justru karena Kiai Gringsing ada di Tanah Perdikan, maka keadaan Glagah Putih memang menjadi lebih cepat pulih kembali.

Namun, latihan yang disaksikan oleh Kiai Grinding di tepian itu benar-benar menunjukkan satu kemampuan yang tinggi dari Raden Rangga, di samping ilmunya yang jarang ada duanya yang dilihatnya pada saat Raden Rangga bertempur melawan dua orang di warung sehingga kedua orang itu terbunuh.

Dengan demikian, maka keinginannya untuk mengetahui cerita tentang mimpi Raden Rangga itu semakin mendesaknya, sehingga iapun kemudian telah berpesan sekali lagi dengan sungguh-sungguh kepada Glagah Putih untuk pada satu kesempatan bertanya kepadanya.

“Agaknya ia terbuka kepadamu,” berkata Kiai Gringsing.

“Nampaknya memang begitu Kiai,” jawab Glagah Putih, “tetapi aku belum tahu, apakah hal ini dianggapnya sebagai rahasia yang harus disimpannya, atau ia akan menceritakannya sebagaimana ia bercerita tentang persoalan yang lain.”

“Tetapi sebaiknya kau mencobanya Glagah Putih,” berkata Agung Sedayu.

Glagah Putih mengangguk-angguk. la sendiri tertarik juga untuk mendengar cerita tentang mimpi atau apapun juga yang mirip dengan mimpi, sehingga Raden Rangga mampu menguasai ilmu yang luar biasa itu.

Namun untuk memulihkan kekuatan tubuhnya Glagah Putih memerlukan waktu untuk beristirahat. Karena itu, maka beberapa malam ia tidak berada di tepian.

Baru ketika ia merasa bahwa kekuatannya telah pulih kembali, maka Glagah Putih telah berada di sungai. la telah ikut menutup pliridan di sore hari dan membuka pliridan menjelang dini hari.

Sementara menunggu waktu membuka, Glagah Putih telah berada di tepian, tempat ia sering melakukan latihan bersama Raden Rangga.

Namun Glagah Putih untuk malam-malam berikutnya tidak lagi datang ke tepian bersama dengan gurunya dan Agung Sedayu, apalagi dengan Kiai Gringsing dan Ki Widura. Rasa-rasanya tidak enak setiap kali ia mendengar Raden Rangga mengganggunya, seolah-olah ia masih saja anak cengeng yang harus diantar oleh ayahnya, gurunya, kakaknya dan orang-orang tua lainnya.

Sebagaimana diharapkan, maka akhirnya Raden Rangga-pun datang juga pada suatu malam. Namun anak muda itu merasa heran, bahwa ia tidak menemukan Glagah Putih sedang berlatih. Tetapi ia melihat Glagah Putih itu duduk merenungi aliran sungai yang tidak begitu besar itu.

Perlahan-lahan Raden Rangga melangkah mendekatinya dan agar tidak mengejuikan Glagah Putih, maka sebelum ia menjadi dekat benar, Raden Rangga itu sudah menyapa, ”He, apa yang kau renungi? Apakah kau sedang menangis mengenangkan masa lampaumu, atau meratapi masa depanmu yang suram?”

Glagah Putih mengangkat wajahnya. Dipandanginya Raden Rangga yang berjalan perlahan-lahan, melangkahi batu demi batu mendekati Glagah Putih.

Namun Glagah Putih pun ketnudian tersenyum. Katanya, “Darimana Raden tahu?”

“Kau anak muda yang cengeng, yang barangkali umurmu lebih tua dari aku, tetapi agaknya sikap dan langkahmu masih sangat tergantung kepada orang-orang yang kau anggap mempunyai pengaruh di dalam hidupmu.” berkata Raden Rangga.

“Raden benar,” jawab Glagah Putih, “agaknya aku masih belum dapat melepaskan diri dari mereka. Baik untuk menentukan sikap maupun langkah-langkah dalam kehidupan ini. Apalagi dalam menyelusuri ilmu.”

“Aku dapat melakukannya sendiri tanpa siapapun,” berkata Raden Rangga.

“Tentu tidak Raden,” jawab Glagah Putih, seakan-akan tiba-tiba saja ia telah mendapat kesempatan sebelum ia bersusah payah mencarinya, “Raden tentu tidak akan dapat melakukannya sendiri.”

“He, jangan asal membantah. Akulah yang melakukannya, bukan kau,” berkata Raden Rangga.

“Tetapi Raden pernah mengatakannya, bahwa Raden berhubungan dengan tokoh-tokoh di dalam mimpi,” berkata Glagah Putih.

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Dengan heran ia bertanya, “Apakah aku pernah mengatakannya?”

“Ya. Raden pernah mengatakannya.” jawab Glagah Putih, “bahwa Raden mendapatkan ilmu Raden di dalam mimpi.”

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia berdesis, “Jika aku memang pernah mengatakan demikian, maka agaknya memang benar.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Marilah Raden, duduklah. Hari ini kita tidak usah berlatih apapun juga. Kita dapat berbicara tentang mimpi Raden yang menarik itu.”

“Ah, aku tidak ingin berbicara tentang mimpi. Aku ingin mempergunakan segala waktuku dengan sebaik-baiknya,” berkata Raden Rangga.

“Apakah hari-hari Raden tinggal hari ini?” bertanya Glagah Putih, “kita masih mempunyai banyak waktu. Tetapi sekarang, tubuhku masih belum pulih benar.”

“Omong kosong,” Raden Rangga tiba-tiba saja berdiri bertolak pinggang di hadapan Glagah Putih. “Berdirilah, atau aku akan menyeretmu.”

“Raden jangan bergurau pada saat-saat aku bersungguh-sungguh,” berkata Glagah Putih, “tubuhku masih terasa sangat letih. Jika aku memaksanya untuk berlatih hari ini, maka aku akan memerlukan waktu beristirahat berlipat lagi, sehingga dengan demikian maka aku justru akan lebih banyak kehilangan waktu.”

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Jangan merajuk. Aku tidak berniat untuk mengganggumu.”

“Tetapi sebaiknya Raden duduk dan bercerita. Siapa tahu, cerita Raden akan menumbuhkan satu peristiwa baru di dalam perjalananku mencari ilmu,” berkata Glagah Putih.

Raden Rangga pun kemudian duduk di sebelah Glagah Putih. Namun kemudian ia bergumam kepada diri sendiri, “Tetapi aku tidak tahu, apakah peristiwa di dalam mimpi itu harus aku rahasiakan atau tidak.”

“Apakah ada semacam pesan di dalam mimpi itu, bahwa Raden harus merahasiakannya?” bertanya Glagah Putih.

“Kau memang dungu,” jawab Raden Rangga, “tentu pesan wantah begitu tidak perlu. Kita sendiri-lah yang harus mengetahui. Dan selama ini aku merahasiakannya terhadap siapapun.”

“Raden akan merahasiakan juga kepadaku?” bertanya Glagah Putih.

“Bagiku kau agak lain dari orang-orang lain yang aku kenal. Tetapi aku tahu, jika aku mengatakan kepadamu, maka kau tentu akan mengatakan kepada Kiai Gringsing, ayahmu, Agung Sedayu dan gurumu,” berkata Raden Rangga.

“Ya. Aku tidak akan mengelak,” jawab Glagah Putih.

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Dipandanginya Glagah Putih dengan tajamnya. Namun kemudian anak muda itu tertawa. Katanya, “Kau jujur. Kau tidak berpura-pura untuk merahasiakannya kepada orang-orang yang terdekat denganmu itu.”

“Buat apa aku berbohong atau mencoba berpura-pura? Bukankah sudah pasti bahwa aku akan mengatakan kepada mereka. Tetapi kepada orang lain mungkin aku tidak akan mengatakannya,” berkata Glagah Putih.

“Baiklah,” jawab Raden Rangga, “aku akan bercerita kepadamu. Kau dapat menceritakan kepada Kiai Gringsing, mungkin ia dapat mengenali tokoh-tokoh di dalam mimpiku itu. Jika mereka adalah sahabat-sahabat Kiai Gringsing, mungkin Kiai Gringsing akan bersedia melanjutkan pekerjaan mereka di dalam diriku dalam penguasaan ilmu. Sudah tentu tanpa setahu Ayahanda, karena tokoh-tokoh di dalam mimpiku itu melakukannya tanpa membicarakannya dengan Ayahanda pula.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Raden Rangga telah berdiri dan berjalan mondar-mandir di hadapan Glagah Putih.

“Glagah Putih,” berkata Raden Rangga kemudian, “adalah di luar kehendakku sendiri, bahwa pada suatu hari aku bertemu dengan seseorang yang tidak aku kenal sama sekali. Malam itu aku tidak tidur di rumah ibuku, karena waktu itu aku belum berada di Mataram. Seperti kebiasaanku, maka aku selalu berada di tempat terbuka. Rasa-rasanya udara menjadi jauh lebih segar daripada aku berada di ruang yang lembab di sebuah bilik sempit. Meskipun mula-mula ibundaku berkeberatan, tetapi akhimya Ibunda tidak melarangnya. Ibunda hanya selalu berpesan, agar aku tidak melakukan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan kewajiban hidup bebrayan. Dan aku melakukannya sampai sekarang. Juga pesan Ibunda agar aku selalu menolong orang lain. Tetapi kadang-kadang aku menjadi bingung, bahwa langkah untuk menolong orang lain kadang-kadang telah menimbulkan persoalan tersendiri, seperti yang terjadi dan dilihat oleh Kiai Gringsing itu. Justru pada saat aku menolong, maka sengaja atau tidak sengaja aku telah membunuh. Dan membunuh itu merupakan satu persoalan, sebagaimana aku lakukan di Mangir dan kemarin di lingkungan prajurit Mataram sendiri.”

“Apa yang Raden lakukan kemarin?” bertanya Glagah Putih.

“Dua orang prajurit yang mabuk kemudian bertengkar. Aku sama sekali tidak mengetahui bahwa kepala mereka begitu lunak. Justru karena pertengkaran mereka telah merusakkan sebuah kedai dan tindakan mereka bukan saja saling membahayakan bagj mereka berdua, tetapi bagi orang-orang di sekitarnya, ternyata seorang di antara mereka tiba-tiba saja telah menyerang seorang gadis yang sedang membeli gula kelapa, sehingga gadis itu terluka parah. Pemilik kedai itu telah ditusuknya pula. Dan jika perbuatan mereka tidak dicegah, maka akibatnya akan sangat parah,” berkata Raden Rangga.

“Lalu apa yang Raden lakukan?” bertanya GlagahPutih.

“Sebenarnya tidak apa-apa. Aku hanya ingin membuat mereka jera. Aku tangkap mereka berdua meskipun agak sulit karena keduanya melawan dengan senjata. Tetapi dalam keadaan yang agak pusing, kedua kepala dari dua orang yang mabuk itu aku benturkan. Hanya perlahan-lahan saja. Tetapi ternyata keduanya mati,” jawab Raden Rangga. “Sekali lagi aku dipanggil Ayahanda. Sekali lagi aku dimarahi. Dan agaknya Ayahanda mulai mengancam,” jawab Raden Rangga kemudian. “Tetapi ketika aku berbincang dengan orang-orang yang menyaksikan hal itu, mereka justru rnengucapkan terima kasih kepadaku.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Raden Rangga berkata, “Aku bukannya tidak ingat yang dipertanyakan Kiai Gringsing dengan cara yang paling sulit untuk ditanggapi, apakah arti bagiku pernyataan menyesal itu. Tetapi aku memang tidak bermaksud membunuhnya.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Raden harus lebih menyadari tentang kemampuan Raden sendiri. Dengan demikian maka tidak akan terjadi hal yang sama seperti yang beberapa kali Raden lakukan. Mungkin Raden benar-benar tidak sengaja. Tetapi akibatnya memang sulit dibedakan antara yang tidak disengaja dengan yang disengaja.”

“Aku mengerti,” desis Raden Rangga.

“Tetapi Raden, Raden belum mulai bercerita tentang mimpi itu,” berkata Glagah Putih.

“Sudah,” potong Raden Rangga cepat-cepat, “aku sudah mulai. Tetapi kemudian sedikit menyimpang.”

“O,” Glagah Putih mengangguk-angguk.

“Baiklah. Aku ingin meneruskan ceritaku tentang mimpi itu. Tetapi aku ingin bertanya kepadamu, apakah menurut pendapatmu aku sudah melakukan pembunuhan?” bertanya Raden Rangga.

“Sengaja atau tidak, tetapi akibatnya sulit dibedakan. Bukankah Raden sudah mengatakannya sendiri?” sahut Glagah Putih.

“Aku ingin juga membenturkan kepalamu dengan batu hitam itu,” jawab Raden Rangga. “Aku bertanya pendapatmu. Bukan pendapatku.”

Glagah Putih tersenyum. Katanya, ”Aku ingin sekali mendengar cerita mimpi. Bukan dua orang yang meninggal itu.”

“Tetapi aku bertanya kepadamu. Jika kau tidak menjawab, aku urungkan kesediaanku bercerita,” gumam Raden Rangga.

“Baiklah Raden,” jawab Glagah Putih, “menurut pendapatku, Raden memang membunuh. Tetapi tidak sengaja.”

“Persetan,” geram Raden Rangga. Tetapi iapun kemudian menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ya. Begitulah kira-kira, meskipun aku masih tetap ingin membenturkan kepalamu.”

“Sekarang bagaimana dengan mimpi itu?” bertanya Glagah Putih.

“Ya. Mimpi itu datang kepadaku. Hampir tidak seperti mimpi,” jawab Raden Rangga.

“Hampir tidak seperti mimpi,” ulang Glagah Putih, “lalu seperti apa? Seperti peristiwa yang sungguh-sungguh terjadi?”

Raden Rangga nampak merenung. Tiba-tiba saja ia berdiri tegak dengan tangan bersilang di dada. Di pandanginya langit yang bersih. Selembar awan kelabu hanyut ke ujung langit.

Namun kemudian hilang tenggelam di cakrawala. Yang tinggal hanyalah bintang-bintang yang bergayutan berkeredipan beradu cahaya.

“Pada saat pertama-tama ia datang, aku kira aku tidak bermimpi,” berkata Raden Rangga.

“Raden menyadarinya?” bertanya Glagah Putih.

“Antara sadar dan tidak sadar,” jawab Raden Rangga. “Sebelumnya aku tidak lebih dari anak-anak sebayaku. Sebagaimana kami bermain di antara para gembala dengan kerbau-kerbau kami. Meskipun aku putra Panembahan Senapati, tetapi aku hidup di kediaman Ibunda dalam suasana sepi dan sederhana. Akupun berada di antara anak-anak yang hidup dalam kesederhanaan. Aku tidak tahu, apakah yang mendorongku untuk merasa berprihatin melihat Ibunda adalah istri Panembahan Senapati, meskipun pada waktu itu Ayahanda masih bergelar Senapati Ing Ngalaga, yang oleh beberapa pihak dianggap telah memberontak melawan Pajang.”

Raden Rangga terdiam sejenak. Sambil menarik nafas dalam-dalam, maka dilanjutkannya ceritanya, “Ada semacam perasaan menuntut di dalam hati tentang satu kehidupan yang lebih baik bagi Ibunda. Karena itu, maka aku lebih banyak berada di luar rurnah. Di siang hari aku berada di antara kawan-kawan, menggembala dan menyabit rumput. Sedang di malam hari aku berada di tempat-tempat terbuka untuk sekedar mencari ketenangan. Justru pada saat demikian itulah seseorang hadir di dalam hidupku. Mungkin di dalam mimpi, tetapi mungkin tidak.”

“Siapa?” bertanya Glagah Putih.

Raden Rangga menarik nafas dalam-dalam. Kemudian anak muda itu duduk kembali di sebelah Glagah Putih sambil berkata, “Aku rasa yang datang itu adalah Ibunda.”

“Ibunda Raden sendiri?” bertanya Glagah Putih.

“Seperti. Ujudnya seperti ibunda. Seperti aku katakan, karena dalam persamaannya itu aku merasakan perbedaannya,” jawab Raden Rangga, “bukan saja dalam ujud, tetapi dalam mengenakan pakaian dan perhiasan. Yang datang, yang mirip dengan Ibunda itu, mengenakan pakaian yang sangat indah. Sejenis kain yang belum pernah aku lihat sebelumnya membungkus tubuhnya, berjuntai sampai ke tanah. Lembaran-lembaran pakaian yang berwarna cerah bergetar ditiup angin. Sementara itu, yang mirip dengan Ibunda itu mengenakan perhiasan yang sangat cantik. Gemerlapan bagaikan cahaya matahari. Di dalam mimpi, atau bukan di dalam mimpi, aku menjadi ketakutan melihat ujud Ibunda dalam pakaian dan perhiasan yang menyilaukan mataku. Tetapi ujud itu berkata kepadaku dengan suara yang mirip sekali dengan suara ibundaku, ‘Jangan takut. Aku datang karena aku mendengar suara hatimu.’”

Raden Rangga itupun kemudian bangkit lagi dan berjalan mondar-mandir dengan gelisah. Tetapi nampak wajahnya, suaranya dan sikapnya yang bersungguh-sungguh. Sebelumnya Glagah Putih belum pernah melihat Raden Rangga demikian bersungguh-sungguh seperti pada saat itu.

“Glagah Putih,” berkata Raden Rangga kemudian, “aku ternyata tidak tahu, apakah ujud itu ibuku atau bukan ibuku.”

“Apakah Raden tidak bertanya, siapakah sebenarnya yang mirip dengan ibunda Raden?” bertanya Glagah Putih.

“Pada pertemuan yang pertama itu aku sama sekali tidak berani. Tetapi kemudian aku memang bertanya. Jawabnya semakin membingungkan aku. Ujud itu berkata, ‘Aku ada pada ibundamu, dan ibundamu ada padaku, dalam kesatuan dengan Penambahan Senapati.’”

“Apakah maknanya?” bertanya Glagah Putih.

“Aku tidak tahu. Sampai sekarang aku tidak tahu. Beberapa kali aku bertanya, tetapi aku tidak pernah mendapat jawaban,” berkata Raden Rangga sambil memandang kekejauhan.

“Tetapi bagaimana dengan ilmu yang Raden kuasai?” bertanya Glagah Putih.

“Mimpiku panjang,” berkata Raden Rangga, “sekali aku melihat ujud yang mirip dengan ibundaku itu datang bagaikan dihanyutkan oleh angin. Pada kesempatan lain ujud itu datang di atas pedut dan ampak-ampak yang gelap. Namun suatu ketika, aku menjadi ngeri ketika aku melihat ujud itu datang dengan cara yang lain sekali. Malam itu aku berada di pantai. Sebagaimana kebiasaanku, aku tidur dimana saja. Tiba-tiba saja aku mendengar gemuruh ombak yang sangat dahsyat. Dalam mimpiku aku terbangun. Aku masih berdiri di atas batu karang. Tetapi ombak itu semakin lama semakin besar. Akhirnya muncullah ujud seperti ibundaku itu dari derunya ombak.”

“O,” Glagah Putih termangu-mangu. Sementara itu Raden Rangga bercerita terus, “malam itu aku diperkenalkan dengan tokoh lain di dalam mimpiku itu. Seorang tua yang buta. Tetapi dapat mengetahui keadaan di sekitarnya. Aku benar-benar berada dalam suasana mimpi. Orang yang mirip dengan ibundaku itu telah menyerahkan aku kepada orang buta itu yang dipanggilnya sebagai ayahanda. Tetapi kemudian aku mengetahuinya, bahwa panggilan itupun panggilan dalam suasana yang membingungkan. Aku melihat bagaimana orang yang buta itu menghormati ujud yang mirip dengan ibundaku, sebagaimana sebaliknya. Sama sekali tidak mirip hubungan antara ayah dan anak.”

“Raden,” tiba-tiba saja Glagah Putih memotong, “apakah Raden tidak pernah menanyakannya kepada ibunda Raden sendiri? Apakah ibunda Raden dapat memecahkan teka-teki itu?”

Raden Rangga menggeleng. Katanya, “Aku sama sekali tidak menanyakannya kepada Ibunda, karena menurut pengamatanku, Ibunda sama sekali tidak mengetahui peristiwa itu. Sikap Ibunda sarna sekali tidak berubah sebagaimana sikapnya sehari-hari.”

“Mimpi yang sangat menarik,” berkata Glagah Putih, ”tetapi apakah yang terjadi kemudian dengan tokoh yang diperkenalkan oleh ujud yang mirip dengan ibunda Raden itu?”

Raden Rangga termangu-mangu sejenak. Sekali lagi menengadahkan wajahnya ke langit. Dengan suara datar anak muda itu berkata, “Aku kemudian menjadi muridnya. Orang yang buta tetapi dapat mengetahui keadaan di sekelilingnya itu memanggilku cucu, dan aku memanggilnya kakek, atas permintaannya sendiri.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Dengan suara merendah ia berkata, “Mimpi yang sangat menarik. Tetapi agaknya Raden tidak dapat membedakan peristiwa-peristiwa itu sebagai peristiwa mimpi atau yang sebenarnya telah terjadi.”

“Tetapi yang terjadi rasa-rasanya hanya dapat terjadi di dalam mimpi,” berkata Raden Rangga.

“Namun demikian, maka ternyata ilmu yang Raden miliki bukan terbatas di dalam sebuah mimpi saja,” berkata Glagah Putih.

“Aku sendiri tidak mengerti, apa yang terjadi atas diriku,” berkata Raden Rangga, “namun yang menjadi kenyataan sekarang, aku memang memiliki ilmu itu.”

“Apakah sampai sekarang, yang Raden sebutkan sebagai seorang yaang buta tetapi mengetahui keadaan di sekitarnya itu masih selalu datang kepada Raden?” bertanya Glagah Putih.

“Tidak,” jawab Raden Rangga, “semuanya terjadi beberapa waktu yang lalu. Ternyata bahwa mimpi-mimpi yang datang hampir di setiap dua tiga malam sekali itu terputus. Ilmu yang aku milikipun masih belum sempurna.”

“Kenapa hal itu terjadi?” bertanya Glagah Putih.

“Aku tidak tahu,” jawab Raden Rangga, ”tetapi kakek yang buta di dalam mimpi itu berkata kepadaku, bahwa untuk sementara yang aku miliki sudah cukup. Kakek akan melihat apakah ilmu itu bermanfaat bagiku atau tidak, sebelum semuanya berkelanjutan.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi Raden harus membuktikan. Apakah dituntut satu cara untuk membuktikan apakah ilmu Raden itu bermanfaat atau tidak?”

“Tidak,” jawab Raden Rangga, “tidak ada tuntutan apa-apa. Tetapi aku berusaha untuk melakukannya. Aku berusaha untuk menolong orang-orang yang lemah dan mengalami satu keadaan yang sulit. Tetapi cara ini ternyata telah menyulitkan aku. Sengaja atau tidak, aku telah menumbuhkan keadaan yang tidak dikehendaki. Sengaja atau tidak, aku telah membunuh. Dan membunuh itu ternyata tidak dikehendaki oleh Ayahanda.”

“Memang tidak dikehendaki,” jawab Glagah Putih, “menurut cerita Raden sendiri, bukankah Ayahanda Raden menghendaki, bahwa Raden dapat mempergunakan ilmu Raden dalam pengendalian diri, sehingga tidak akan menimbulkan keresahan?“

Raden Rangga mengangguk. Tetapi kalanya kemudian, “Itulah yang sulit, Aku kadang-kadang kurang menyadari apa yang telah aku lakukan. Jika hal ini juga tidak dikehendaki oleh kakek di dalam mimpi, maka sulit bagiku untuk memohon kepadanya agar ilmuku disempurnakan. Padahal agak berbeda dengan Ayahanda yang langsung menunjukkan kepadaku, mana yang dikehendaki dan mana yang tidak, maka kakek di dalam mimpi itu tidak mengatakan apa-apa. Sehingga aku tidak dapat mengerti yang manakah yang sesuai dengan pesannya, dan yang mana yang tidak. Namun aku sampai sekarang masih juga berpegangan pesan ibundaku, bahwa aku harus menolong orang lain. Mudah-mudahan dengan demikian ilmu itu dianggap bermanfaat bagiku oleh kakek yang menjadi guruku di dalam mimpi itu.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Baginya peristiwa-peristiwa itu memang merupakan peristiwa yang aneh. Tetapi satu kenyataan, bahwa Raden Rangga telah memiliki ilmu yang demikian dahsyatnya,

Hampir di luar sadarnya Glagah Putih bertanya, “Peristiwa-peristiwa di dalam mimpi itu terjadi dalam jarak waktu berapa lama Raden?”

“Kau bertanya sebagai seorang yang sedang menyelidiki satu perkara,” berkata Raden Rangga.

“Aku hanya ingin tahu. Bukankah peristiwa mimpi Raden itu satu peristiwa yang aneh?” sahut Glagah Putih.

Raden Rangga mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia pun menjawab, “Aku tidak ingat pasti. Mungkin dalam waktu satu tahun atau lebih.“

Glagah Putih mengangguk-angguk lagi. Namun sebelum ia bertanya Raden Rangga telah mendahului, “Kau akan bertanya apa lagi? Mungkin kau ingin tahu, siapa saja yang pernah aku beritahu tentang mimpi itu?”

Glagah Putih tersenyum. Ia memang akan bertanya, apakah Raden Rangga sudah pernah bercerita kepada ayahandanya. Katanya, “Raden tahu apa yang ingin aku tanyakan.”

“Aku telah memberitahukan mimpiku kepada Ayahanda. Hanya kepada Ayahanda. Dan sekarang kepadamu, karena kau aku anggap kawan yang paling dekat. Kau juga yang memberi kesempatan kepadaku untuk melakukan latihan agak baik dibandingkan dengan yang pernah aku lakukan sebelumnya, dengan satu kesadaran bahwa Kiai Gringsing, Agung Sedayu, gurumu dan ayahmu akan ikut mendengar. Tetapi dengan satu pengharapan, bahwa hal ini tidak perlu diketahui oleh orang lain lagi. Aku percaya jika orang-orang yang akan kau beritahu itu akan dapat menyimpannya sebagai satu rahasia. Sehingga dengan demikian, maka apabila cerita ini tersebar, maka satu-satunya sumber adalah kau sendiri. Bukan Ayahanda, bukan Kiai Gringsing, bukan Agung Sedayu, bukan pula guru dan ayahmu. Karena itu,maka yang harus bertanggung jawab dan membuat perhitungan dengan aku adalah kau sendiri.” “Bagaimana jika Raden kemudian menceritakan kepada orang lain tetapi Raden tidak mengingatnya lagi?” bertanya Glagah Putih.

“Aku tidak pernah melupakan persoalan-persoalan yang penting di dalam hidupku, Jika mungkin terjadi satu dua kali, itu wajar sekali,” jawab Raden Rangga sambil tersenyum.

“Raden,” berkata Glagah Putih kemudian, “ternyata cerita tentang mimpi itu menarik sekali.”

Raden Rangga tidak menyahut. Bahkan seakan-akan ia tidak mendengar kata-kata Glagah Putih itu. Sambil berdiri tegak dan menyilangkan kedua tangannya di dadanya, raden Rangga rnemandang pebukitan yang membujur ke utara. Kemudian langit yang menjadi semakin buram karena lembaran-lembaran awan kelabu mulai mengalir selapis demi selapis.

“Langit akan menjadi mendung sebentar lagi,” berkata Raden Rangga, “tetapi masih ada waktu untuk berlatih.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam, Katanya, “Aku sudah mengatakan sebelumnya Raden, bahwa aku masih dalam keadaan yang kurang mapan. Malam ini aku masih belum ingin berlatih.”

“Anak malas,” geram Raden Rangga, “jika caramu menuntut ilmu seperti itu, sampai setua Kiai Gringsing kau tidak akan mampu berbuat apa-apa. Tetapi baiklah. Dua tiga hari lagi aku akan datang kemari. Kita akan melakukan latihan-latihan, Aku menjamin bahwa kau tidak akan menjadi pingsan lagi.”

Glagah Putih pun kemudian bangkit pula. Katanya, “Baiklah Raden. Aku akan menunggu dalam dua tiga hari ini. Keadaanku tentu sudah menjadi baik.”

“Jika dalam dua tiga hari lagi kau masih memakai alasan yang sama, itu berarti bahwa kau benar-benar tidak akan dapat maju sampai hari tuamu,” sahut Raden Rangga.

Glagah Putih tidak menyahut. Tetapi ia hanya tersenyum saja. Namun tiba-tiba saja Raden Rangga mendekatinya sambil bertanya, “Apakah kau mau ikut aku bermain-main?”

“Bermain apa?” bertanya Glagah Putih pula.

“Besok seorang Tumenggung akan memperingati dan merayakan hari kelahirannya, ia genap berumur lima puluh tahun,” berkata Raden Rangga, “namanya Tumenggung Wiragiri. Tumenggung yang agak sombong dan merasa dirinya tidak terkalahkan.”

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Tetapi sekali lagi ia bertanya, “Bermain apa?”

“Kita tangkap seekor harimau. Besok kita lepaskan harimau itu di halaman rumah Tumenggung yang sombong itu. Biarlah kita melihat apakah orang itu mampu mengusir atau membunuh harimau itu,” berkata Raden Rangga.

“Ah, Raden ini masih saja selalu berbuat aneh-aneh,” berkata Glagah Putih, “apakah manfaatnya kita berbuat demikian?”

“O, kau memang bodoh sekali,” berkata Raden Rangga, “aku merasa perlu untuk sedikit memberi peringatan kepada Tumenggung itu, agar ia tidak lagi menjadi terlalu sombong. Jika ia tidak mampu menangkap atau membunuh harimau itu, cobalah lakukan. Orang itu akan merasa bahwa kemampuannya tidak melampaui kemampuan seorang anak-anak. Jika kau tidak mau, biarlah aku saja yang justru lebih muda darimu.”

“Ah,” Glagah Putih berdesah, “aku kira permainan itu sangat berbahaya Raden. Bagaimana jika terjadi, sebelum harimau itu diketahui oleh Ki Tumenggung, harimau itu sudah menyakiti anak-anak. Atau barangkali perempuan yang sedang membantu bekerja di rumah Ki Tumenggung untuk menyiapkan hidangan.”

“Kau bodoh,” jawab Raden Rangga, “kita lepaskan harimau itu sesudah peralatan selesai di malam hari. Dan kita akan selalu mengawasi. Jika itu akan menyakiti orang lain kecuali Ki Tumenggung, kita akan mencegahnya.”

Glagah Putih menggeleng. Katanya, “Jangan Raden. Permainan Raden sangat berbahaya. Dan aku tidak tahu, bagaimana caranya Raden membawa seekor harimau kehalaman rumah itu.”

Raden Rangga menggeram. Katanya, “Kenapa kau menjadi seorang anak muda yang sangat dungu begitu? Seandainya kau mendapat tugas untuk melakukannya, apa yang akan kau perbuat?”

“Mudah-mudahan aku tidak akan mendapat tugas untuk berbuat demikian,” jawabGlagah Putih.

“Apakah kau tidak dapat menangkap seekor harimau?” bertanya Raden Rangga.

“Aku kira, aku akan sanggup untuk membunuh seekor harimau dengan pisau misalnya. Tetapi untuk menangkapnya hidup-hidup aku rasa agak sulit,” jawab Glagah Putih.

“Pantas kau tidak akan dapat melakukannya. Kau memang terlalu malas berpikir. Malam ini kau tidak mau latihan. Dan agaknya kau masih akan selalu berbuat kebodohan dan bermalas-malasan,” berkata Raden Rangga. Lalu, ”Nah, karena itu ikut aku. Besok kita bertemu di luar gerbang Kota Raja sebelah barat. Aku akan menunjukkan kepadamu bagaimana caranya menangkap hidup-hidup seekor harimau. Membuat harimau itu pingsan dan mendukungnya ke rumah Ki Tumenggung di malam hari setelah sepi. Jika harimau itu sadar, kita akan melihat permainan yang mengasyikkan.”

Tetapi Glagah Putih menggeleng. Katanya, “Tidak Raden. Dan aku mohon jangan lakukan. Mungkin akan menimbulkan kesulitan bagi Raden sendiri jika ayahanda Raden mengetahui.”

“Ayahanda tidak akan tahu, kecuali jika dengan sengaja kau melaporkannya,” jawab Raden Rangga.

“Tetapi seharusnya Raden sudah meninggalkan masa-masa kenakalan kanak-kanak seperti itu. Raden sudah memiliki kemampuan melampaui orang dewasa dan kadang-kadang Raden mampu berpikir dan bersikap seperti orang yang dewasa pula. Namun dalam saat-saat tertentu, Raden masih melakukan kenakalan kanak-kanak dengan kemampuan seorang yang pilih tanding,” jawab Glagah Putih.

Raden Rangga tertawa. Katanya, “Sekarang kaulah yang menjadi seorang kakek-kakek yang memberi nasehat kepada orang lain. Baiklah, jika kau tidak mau ikut, terserah. Permainan ini tentu akan menarik. Tetapi jangan laporkan kepada Ayahanda. Aku gigit telingamu besok.”

Glagah Putih masih akan mencegahnya. Tetapi tiba-tiba saja Raden Rangga telah meloncat meninggalkannya. Yang terdengar adalah suaranya nyaring, “Kau akan kehilangan masa remajamu tanpa sempat bermain apapun juga.”

Glagah Putih termangu-mangu sekejap. Namun kemudian iapun menjawab sambil berteriak, “Tetapi bukankah Raden sudah menyatakan menyesal?”

Raden Rangga masih mendengar suara Glagah Putih, ternyata ia masih menjawab, “Bukankah aku tidak membunuh?”

Glagah Putih tidak menjawab lagi. Suara Raden Rangga kedengarannya sudah jauh sekali, meskipun masih jelas terdengar maksudnya.

Sejenak Glagah Putih termangu-mangu. Raden Rangga memang seorang anak yang nakal. Permainannya itu akan dapat membahayakan orang lain. Bahkan mungkin kanak-kanak dan perempuan. Di dalam rumah seorang yang sedang mempunyai keperluan untuk merayakan sesuatu, tentu akan banyak juga berkeliaran sanak kadang yang terdiri dari perempuan dan kanak-kanak.

“Mungkin Raden Rangga memang akan mengawasinya. Tetapi kemungkinan yang buruk itu masih saja selalu ada,” berkata Glagah Putih kemudian.

Tetapi Glagah Putih tidak tahu, bagaimana cara untuk mencegahnya. Karena itu, maka langkah satu-satunya yang akan dapat diambilnya adalah kembali dan menemui orang-orangtua yang ada di rumah.

Ketika Glagah Putih menceritakan rencana itu kepada orang-orang tua di rumah, merekapun menjadi berdebar-debar pula. Mungkin harimau itu berbahaya bagi orang banyak, tetapi seandainya Ki Tumenggung sendiri mengalami kesulitan dan cedera karenanya, maka hal itu akan sangat menyulitkan kedudukan Raden Rangga sendiri, jika ayahandanya mengetahuinya.

“Sebenarnya aku ingin mendengar tentang mimpinya,” berkata Kiai Gringsing, “tetapi rencana permainannya itu tidak kalah menariknya.”

“Bagaimana jika hal ini disampaikan kepada ayahanda Raden Rangga sebelum terjadi?” berkata Agung Sedayu.

“Raden Rangga akan marah kepadaku. Mungkin ia berbuat sesuatu. Atau yang paling tidak menyenangkan jika ia tidak mau datang lagi berlatih bersama-sama,” jawab Glagah Putih.

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Baiklah. Kita akan berusaha untuk melihat keadaan dan membantu Raden Rangga mencegah kemungkinan harimau itu menyakiti seseorang, siapapun juga, termasuk Ki Tumenggung Wiragiri pula.”

“Kiai sudah melihat rumah Tumenggung itu?” bertanya Kiai Jayaraga.

“Belum. Tetapi bukankah ada sedikit petunjuk sebagaimana dikatakan oleh Raden Rangga? Kita akan dapat mencarinya. Apalagi kita akan melihat rumah itu dalam keadaan yang lain selama perayaan itu berlangsung,” jawab Kiai Gringsing. “<ungkin ada janur. Jika tidak, tentu halaman rumah itu terang benderang.”

Kiai Jayaraga menganguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Aku bersedia untuk ikut bersamamu.”

“Kita pergi bersama-sama,” berkata Ki Widura, “mungkin ada baiknya. Setidak-tidaknya aku ikut melihat keramaian itu.”

Ternyata orang-orang tua itu termasuk Agung Sedayu mengambil keputusan untuk melihat apa yang akan dilakukan oleh Raden Rangga dengan permainannya yang mendebarkan itu.

Dengan demikian, maka Kiai Gringsing pun kemudian berkata, “Yang ingin segera aku ketahui pula, bagaimana cerita Raden Rangga tentang mimpinya itu.”

Glagah Putihpun kemudian menarik nafas dalam-dalam. la mengingat-ingat apa saja yang diceritakan oleh Raden Rangga.

Kemudian berurutan sebagaimana Raden Rangga bercerita, maka Glagah Putih pun telah menceriterakannya pula kepada orang-orang yang ada di ruang dalam rumah Agung Sedayu itu, termasuk Sekar Mirah yang sudah duduk pula di antara mereka. Sementara lampu minyak berkeredipan disentuh angin yang menyusup dari celah-celah dinding.

Mereka yang mendengarkan cerita itu mengangguk-angguk. Mimpi itu rasa-rasanya memang sangat menarik. Demikian Glagah Putih mengakhiri ceritanya, maka orang-orang yang mendengarkannya mengangguk-angguk, sedangkan Kiai Gringsing menarik nafas sambil berdesis, “Kita dapat memberikan banyak tafsiran tentang mimpi itu. Tetapi satu hal yang menurut pendapatku, semuanya itu benar-benar telah terjadi atas Raden Rangga. Jadi Raden Rangga bukan sekedar membual, atau membuat cerita-cerita aneh saja. Raden Rangga pun menurut pendapatku, benar-benar tidak dapat menyebut, apakah yang terjadi itu hanya di dalam mimpi, atau bukan di dalam mimpi namun dalam dunia yang lebih lembut daripada dunia kewadagan ini. Tetapi yang bagiku sangat menarik perhatian itu adalah justru Raden Rangga telah diserahkan kepada seseorang yang buta tetapi rnengerti keadaan di sekitarnya. Sebagaimana pernah aku dengar, bahwa ayahanda dari ibunda Raden Rangga adalah seorang putra Demak yang cacat penglihatannya karena buta. Dengan demikian maka tokoh yang hadir di dalam mimpi atau sebagaimana telah terjadi atas Raden Rangga itu, adalah ujud dari kakeknya sendiri. Sementara ujud yang mirip dengan ibundanya itu dalam mimpi Raden Rangga, hadir di hadapan dirinya dengan banyak cara. Kadang-kadang dihanyutkan angin, kadang-kadang bagaikan berdiri diatas lembaran-lembaran awan dan pada suatu saat muncul dari dalam lautan yang ombaknya berhamburan di tebing pantai yang berbatu karang, pada saat Raden Rangga berada di tepi Samudra Kidul.”

Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi sulit untuk mengatakan apakah yang sebenarnya telah terjadi di dalam mimpi itu. Tetapi biarlah kita mengurai menurut pengalaman jiwa kita masing-masing. Mungkin Raden Rangga memang benar-benar seorang manusia yang dibayangi oleh banyak keanehan-keanehan yang sulit dipecahkan. Namun bahwa ia masih saja menyenangi permainan-permainan yang berbahaya itulah yang perlu mendapat perhatian.”

“Kiai benar,” berkata Kiai Gringsing, “tetapi latar belakang dari hadirnya ilmu di dalam diri Raden Rangga itu sangat menarik. Apakah mungkin hal itu dapat terjadi atas orang lain?”

Orang-orang yang berada di ruang itupun kemudian termenung untuk sejenak. Memang Raden Rangga adalah seorang anak muda yang menyimpan seribu teka-teki yang sulit untuk dipecahkan. Meskipun kepada Glagah Putih dan orang-orang yang ada di sekitarnya Raden Rangga berterus terang tentang mimpinya, namun mimpi itu sendiri adalah teka-teki.

Tetapi orang-orang tua seakan-akan dapat melihat tokoh-tokoh di dalam mimpi Raden Rangga itu sebagaimana pernah mereka kenali. Meskipun demikian, orang-orang tua itu tidak dapat menyebut dengan yakin, apakah benar bahwa ujud yang mirip dengan ibunda Raden Rangga itu memang ada hubungannya dengan ibundanya sendiri. Namun ujud itu telah menyebut bahwa iapun merasa satu dengan ibunda Raden Rangga dan Panembahan Senapati. Sementara orang yang buta tetapi dapat mengenali keadaan sekelilingnya itu, apakah benar-benar putra Demak, yang sebenarnya adalah kakek Raden Rangga sendiri.

Namun demikian, tingkah laku Raden Rangga sendiri memang sangat menarik perhatian pula. Ada-ada saja yang dilakukan, yang dapat membuat orang lain bingung dan kadang-kadang cemas, bahkan membahayakan.

Sejenak kemudian, maka Kiai Gringsing pun berkata, “Memang agaknya kita memerlukan waktu. Mungkin pengalaman-pengalaman Raden Rangga yang akan datang di dalam dunia mimpinya, akan dapat memberikan petunjuk-petunjuk yang lebih jelas. Atau sebaliknya, pengalaman itu tidak akan datang lagi kepadanya.”

“Ya Kiai,” desis Kiai Jayaraga, “sementara itu kita mendapat kesempatan untuk memperhatikan tingkah lakunya yang masih terlalu kekanak-kanakan. Sebagaimana dikatakan kepada Glagah Putih, bahwa Raden Rangga akan bermain-main dengan seekor harimau yang akan dilepaskan di halaman rumah Ki Tumenggung Wiragiri.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Baiklah. Seperti sudah kita sepakati, kita akan melihat besok malam, apa saja yang akan terjadi. Kenakalan itu perlu diawasi.”

“Agaknya ayahanda Raden Rangga pun merasa sulit untuk mengendalikan,” berkata Kiai Jayaraga.

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Sementara itu, maka sisa malam pun menjadi semakin menipis, sehingga akhirnya maka Kiai Gringsing pun berkata, “Baiklah. Kita masih mempunyai sisa waktu untuk beristirahat. Besok kita membicarakan cara kita mengawasi permainan yang berbahaya dari Raden Rangga itu.”

Dengan demikian maka orang-orang yang ada di ruang dalam itupun kemudian telah pergi ke pembaringannya masing-masing.

Hanya Glagah Putih sajalah yang justru keluar lagi lewat pintu butulan dan mencari pembantu rumah itu yang agaknya sudah berada di sungai. Karena itu, maka Glagah Putih tidak segera pergi beristirahat karena iapun kemudian telah menyusul pergi ke sungai. Meskipun waktu membuka pliridan sudah lewat, tetapi Glagah Putih masih mengharap pembantu rumah itu masih berada di sungai.

Sebenarnyalah ketika ia menuruni tebing, langit sudah menjadi semakin terang, Namun ternyata yang dicari oleh Glagah Putih memang masih berada di pinggir sungai.

“Belum selesai?” bertanya Glagah Putih,

“Kau terlambat lagi,” jawab anak itu, “untung aku tidak menunggumu, sehingga meskipun agak lambat aku masih dapat menangkap ikan cukup banyak. Lebih banyak dari yang kita dapatkan kemarin.”

Glagah Putih mengangguk-angguk ketika ia menengok ikan yang didapat oleh anak itu. Seperti yang dikatakannya, ikan itu memang lebih banyak dari yang mereka dapatkan di hari sebelumnya.

“Ternyata kau memang lebih beruntung dari aku,” berkata Glagah Putih, “jika kau melakukannya sendiri, biasanya hasilnya lebih baik jika kita lakukan bersama.”

“Ah. Alasanmu untuk bermalas-malas,” berkata anak itu.

Glagah Putih tersenyum. Namun merekapun kemudian meninggalkan tepian dan kembali pulang. Anak itu langsung menuju ke dapur untuk membuat perapian, sementara Sekar Mirah pun telah bangun pula meskipun ia baru sekejap tertidur. Agung Sedayu pun telah membersihkan halaman depan, sedangkan yang Iainpun telah berada di pakiwan untuk mandi. Tetapi adalah menjadi kebiasaan mereka, bahwa mereka yang telah mandi mengisi jambangan kembali, sehingga jambangannya selalu terisi hampir penuh.

Glagah Putih langsung pergi ke kandang. Ia harus membersihkan kandang kuda. Namun karena matanya belum terpejam sama sekali, maka iapun telah naik ke bagian atas yang sering dipergunakan untuk menyimpan jerami. Sejenak ia duduk sambil menjelujurkan kakinya. Di luar sadarnya, Glagah Putih telah tertidur untuk beberapa saat. Namun demikian ia terbangun, maka rasa-rasanya tubuhnya telah menjadi segar kembali, dan iapun dapat bekerja dengan baik.

Sebagaimana dilakukan oleh Glagah Putih sehari-hari, maka ia selalu menyediakan waktu bagi kepentingan Tanah Perdikan Menoreh di samping kerja keras untuk meningkatkan ilmunya, seperti yang dilakukan oleh Agung Sedayu. Karena itu, maka baik Agung Sedayu maupun Glagah Putih rasa-rasanya menjadi semakin lekat dengan Tanah Perdikan itu.

Namun pada hari itu, mereka bersama dengan orang-orang tua yang tinggal di rumah Agung Sedayu, telah merencanakan untuk pergi ke Mataram. Mereka ingin mencari rumah Ki Tumenggung Wiragiri yang kali ini akan menjadi sasaran permainan aneh Raden Rangga.

“Aku akan minta diri kepada Ki Gede,” berkata Agung Sedayu, “agar tidak timbul dugaan yang menggelisahkannya,” berkata Agung Sedayu.

“Baiklah, Katakan bahwa kita hanya akan pergi untuk semalam saja. Sehingga aku masih belum akan minta diri dari Tanah Perdikan Menoreh,” berkata Kiai Gringsing.

Demikianlah, setelah Agung Sedayu memberitahukan kepada Ki Gede, maka merekapun telah bersiap-siap untuk pergi ke Mataram. Mereka akan berangkat pada saat matahari hampir terbenam dan tidak bersama-sama mengikuti satu jalur jalan.

Ki Gede tidak menahan mereka, justru sebaliknya. Mendengar laporan Agung Sedayu tentang seorang anak rnuda yang bernama Raden Rangga dengan tingkah lakunya, serta rencana anak muda itu untuk melepaskan seekor harimau di halaman seseorang, maka katanya, “Aku sependapat dengan gurumu, Sebaiknya kalian ikut mengawasi dan mencegah kemungkinan buruk yang telah terjadi. Tetapi apakah perlu berlima ? Apakah dengan demikian kalian tidak justru menarik perhatian orang-orang Mataram?”

“Kami tidak akan bersama-sama mendekati rumah itu Ki Gede,” berkata Agung Sedayu, “kami akan datang dalam keadaan terpisah-pisah. Tetapi agaknya kami semuanya tertarik untuk melihat kenakalan Raden Rangga itu.”

“Baiklah,” berkata Ki Gede, “tetapi hati-hatilah. Mudah-mudahan tidak timbul persoalan-persoalan lain akibat dari sikap kalian itu.”

“Kami akan berhati-hati Ki Gede,” jawab Agung Sedayu.

Dalam pada itu, ketika matahari turun di punggung bukit, maka orang-orang yang tinggal dirumah Agung Sedayu itupun telah bersiap. Yang tinggal di rumah hanyalah Sekar Mirah saja, dengan pembantu yang selalu saja pergi ke sungai di malam hari.

“Kalau ada sesuatu yang penting, sampaikan kepada Ki Gede, Mirah,“ berkata Agung Sedayu.

“Mudah-mudahan tidak ada sesuatu yang mengganggu,“ jawab Sekar Mirah, “bukankah keadaan sudah menjadi semakin tenang sekarang ini?”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Iapun yakin bahwa jika terjadi sesuatu, Sekar Mirah akan dapat mengatasinya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar