Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 185

Buku 185

Anak muda itu tertawa. Katanya, “Kau memang sangat menarik. Ayolah. Berlatihlah. Kita tidak usah merasa segan. Kau tidak tahu namaku, dan aku tidak bertanya siapa namamu.”

Tetapi Glagah Putih tetap menggeleng. Katanya, “Tidak mau. Aku tidak akan meneruskan latihan. Aku akan pulang. Sebelumnya aku masih harus membuka pliridan.”

“Waktunya masih lama,” jawab anak muda itu, “Kau membuka pliridan menjelang dini hari. Atau barangkali kau mempergunakan cara seperti yang pernah juga kau lihat, membuka pliridan dua kali dalam semalam. Tengah malam dan menjelang dini hari. Memang kadang-kadang hasilnya lebih baik, tetapi dapat juga hanya membuang-buang waktu saja karena hasilnya tidak lebih baik dari hasil yang didapat dengan cara sekali saja membuka pliridan itu.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Ternyata anak muda itu mengerti juga serba sedikit tentang pliridan.

Namun dalam pada itu, sebelum Glagah Putih menjawab, anak muda itu sudah mendahului, “Tetapi lupakan pliridan itu. Sekali lagi aku minta, berlatihlah.”

“Tidak,” jawab Glagah Putih, “aku sudah letih.”

“Jangan keras kepala. aku dapat menjatuhkan perintah kepadamu, karena aku keluarga dekat Panembahan Senapati,” berkata anak muda itu.

“Mungkin kau memang keluarga dekat Panembahan Senapati,” jawab Glagah Putih, “tetapi bukan kewajibanku untuk menjalankan perintahmu.”

Anak itu tertawa. Tiba-tiba saja ia bergerak. Sulit untuk dimengerti, karena tiba-tiba saja ia sudah berdiri beberapa langkah di hadapan Glagah Putih, di tepian sungai yang berpasir dan berbatu-batu, meskipun kakinya masih terendam di air sungai yang tidak begitu besar itu.

“Ki sanak,” berkata anak muda yang agaknya memang masih lebih muda dari Glagah Putih, “jika kau tidak mau melakukan perintahku, maka aku akan memaksamu. Kau mengerti?”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. la tahu apa yang akan dilakukan oleh anak muda itu.

Tetapi Glagah Putih merasa bahwa ia sudah memiliki bekal yang cukup. la telah berhasil menempatkan dirinya pada tataran seorang pemimpin padepokan dari golongan hitam yang ditakuti, Warak Ireng.

Karena itu, maka dengan tatag dan tidak gentar Glagah Putih berkata, “Jangan melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan perselisihan. Jika kau ingin melihat aku berlatih, maka biar aku lakukan lain kali. Aku sering berada di tempat ini. Tetapi sekarang aku tidak mau, apa pun yang akan kau lakukan.”

“Ah, kau memang terlalu bodoh,” berkata anak muda itu, “jika aku menyerangmu dan menyakitimu, maka kau tentu akan membela diri. Bukankah dengan demikian kau sudah melakukan apa yang aku kehendaki untuk melakukan latihan itu?”

“Tetapi kau terlibat di dalamnya, sehingga kau bukan sekedar menonton. Kita akan berkelahi. Itulah artinya,” jawab Glagah Putih.

“O, kau memang aneh. Sekali waktu kau nampaknya sangat dungu, tetapi tiba-tiba kau menjadi cerdik,” anak muda itu tertawa. “Baiklah. Meskipun aku terlibat tetapi aku akan sempat melihat kemampuanmu. Setidak-tidaknya dengan ukuran ilmuku yang tidak banyak berarti.”

Glagah Putih mengumpat di dalam hati. Tetapi ia sadar sepenuhnya, bahwa anak muda itu bukan orang kebanyakan menilik sikapnya, kata-katanya dan tingkah lakunya.

Justru karena itu, maka ia pun telah bersiap. Meskipun sebenarnya ia tidak ingin berkelahi, tetapi agaknya anak muda itu benar-benar ingin memaksanya. Bahkan sebenarnyalah bahwa dengan demikian Glagah Putih merasa akan mendapat kesempatan untuk mencari perbandingan ilmu.

Anak muda itupun kemudian telah bersiap-siap pula. la ingin memancing perkelahian untuk mengetahui tataran kemampuan Glagah Putih. Sementara itu Glagah Putih pun telah dapat memperkirakan, bahwa anak muda itu memiliki ilmu yang pantas disejajarkan dengan ilmunya atau bahkan melampauinya, karena sebelumnya anak muda itu telah menyaksikan ia berlatih.

Sejenak kemudian anak muda itu melangkah maju sambil berkata, “Nah, sekali lagi aku minta kau meneruskan latihan. Jika tidak, maka kita akan berkelahi.”

Tetapi jawab Glagah Putih ternyata adalah jawaban anak muda pula. Katanya, “Aku lebih senang berkelahi, karena dengan demikian aku tidak sekedar menjadi letih sendiri, sedangkan kau hanya sekedar menonton saja.”

Namun adalah di luar dugaan bahwa anak muda itu justru tertawa berkapanjangan. Katanya, “Kau memang menarik. Aku tidak mempunyai kawan yang menyenangkan seperti kau. Tetapi kita memang harus berkelahi. Baru kita menentukan apakah kita akan berkawan atau justru untuk selanjutnya kita akan saling mendendam.”

“Aku tidak diajari mendendam oleh guruku,” berkata Glagah Putih.

“O, kau kambuh lagi menjadi dungu,” geram anak muda itu. “Kau kira mendendam harus diajari oleh orang lain? Anak-anak kecilpun sudah pandai mendendam karena dendam adalah sifat manusia.”

“Terserahlah,” berkata Glagah Putih, “aku tidak sempat mengurai kebenaran kata-katamu. Tetapi aku memang lebih senang untuk berkelahi. Bersiaplah.”

“O. Justru kau yang mendesak,” desis anak muda itu.

Glagah Putih tidak menghiraukan lagi. Anak muda itu tidak akan memberinya kesempatan untuk memilih. Karena itu, maka dengan demikian Glagah Putih ingin mempercepat benturan ilmu itu, apa pun yang akan terjadi.

Sejenak kemudian kedua orang anak muda itu sudah bersiap. Anak muda yang tidak mau disebut namanya itu telah meloncat semakin dekat. Namun Glagah Putih yang kemudian mulai bergeser menyamping sambil menggerakkan tangannya menggapai lawannya.

Bukan satu serangan. Tetapi Glagah Putih hanya sekedar memancing gerak anak yang mesih terlalu muda itu.

Anak muda itu bergeser pula selangkah. Namun tiba-tiba saja ia telah meloncat maju sambil mengulurkan tangannya. Agaknya anak itu telah benar-benar mulai dengan satu serangan, meskipun serangan itu sama sekali tidak berbahaya.

Dengan demikian maka kedua orang anak muda itu sudah mulai terlibat dalam satu perkelahian. Nampaknya mereka memang belum bersungguh-sungguh. Tetapi semakin lama ilmu mereka pun menjadi semakin meningkat. Gerak mereka menjadi semakin cepat sedangkan tenaga merekapun menjadi semakin kuat.

Keduanya adalah anak-anak muda. Karena itu, maka keduanya masih banyak dipengaruhi oleh gejolak perasaan mereka masing-masing.

Di atas tebing, Kiai Jayaraga dan Agung Sedayu menyaksikan perkelahian itu dengan jantung yang berdebar-debar. Mereka langsung dapat melihat bahwa keduanya memiliki gerak dan sikap yang mantap. Merekapun mampu bergerak dengan kecepatan yang semakin lama semakin tinggi melampaui kecepatan gerak orang-orang kebanyakan, karena kemampuan landasan ilmu mereka masing-masing.

“Mereka menjadi semakin keras,” desis kiai Jayaraga.

“Kita harus bersiap untuk melerainya,” sahut Agung Sedayu, “jika anak-anak muda itu menjadi kehilangan pengekangan diri, maka mungkin sekali akan menjadi sangat berbahaya bagi mereka.”

Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Namun iapun menjadi cemas. Justru karena itu, maka ia pun kemudian mengikuti perkelahian itu dengan sungguh-sungguh.

Anak muda yang datang kemudian itupun telah berusaha dengan kecepatan yang sangat tinggi untuk menyentuh tubuh Glagah Putih, sebagaimana dilakukan oleh Glagah Putih. Namun usaha mereka masih belum berhasil. Keduanya masih belum dapat menyentuh tubuh lawan, apalagi menyakitinya.

Namun dengan demikian maka keduanya selalu berusaha untuk meningkatkan ilmu mereka, semakin lama menjadi semakin tinggi. Gerak kaki mereka menjadi semakin cepat, sementara tenaga merekapun menjadi semakin kuat pula. Dengan demikian maka benturan-benturan kekuatanpun menjadi sering terjadi. Bahkan kedua anak muda itu justru ingin saling menjajagi.

Tetapi ketika perkelahian itu masih juga belum menunjukkan perubahan keseimbangan, maka keduanya seakan-akan menjadi tidak sabar lagi. Mereka tidak ingin perkelahian itu melampaui dini hari. Apalagi sampai matahari terbit dan hari menjadi siang.

Karena itu, maka keduanya pun semakin meningkatkan ilmu mereka. Dengan demikian maka Kiai Jayaraga dan Agung Sedayu pun menjadi semakin cemas. Keduanya tidak lagi sekedar saling menjajagi, namun keduanya agaknya telah menjadi benar-benar berkelahi.

Karena itulah, maka keduanya pun kemudian saling menyambar, saling menyerang dan mendesak. Dalam kecepatan gerak yang semakin meningkat, maka serangan-serangan mereka pun telah mulai menyentuh tubuh lawan meskipun baru sekedar pada kulitnya. Tetapi semakin lama sentuhan-sentuhan itupun terasa menjadi semakin keras.

“Kau memang luar biasa,” desis anak muda yang ingin menilai kemampuan Glagah Putih itu.

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian menyerang seperti sikatan.

Kecepatan gerak Glagah Putih ternyata tidak mengejutkan lawannya yang sejenak kemudian telah mengimbangi dengan kecepatan yang sama pula.

Dengan demikian maka perkelahian itupun menjadi semakin seru. Kedua belah pihak telah mulai merambah ke dalam puncak ilmu masing-masing.

Glagah Putih mencoba untuk mengurung lawannya dengan loncatan-loncatan panjang, namun dengan tiba-tiba saja ia telah memotong gerak dan langsung menyerang ke arah dada.

Tetapi lawannya sempat menggeliat. Dengan gerak yang pendek ia menghindar. Tetapi tiba-tiba saja kakinya berputar dengan cepat mendatar, bertumpu pada tumit kakinya yang lain.

Glagah Putih-lah yang kemudian harus menghindar. Tetapi tenaga cadangannya yang telah dikerahkannya sempat melontarkan tubuhnya selangkah, sehingga putaran kaki lawannya tidak menyentuhnya.

Lawannya itu mengerutkan keningnya. Ternyata Glagah Putih memiliki kemampuan yang dapat mengimbangi saranganya.

Tetapi ternyata bahwa lawannya masih belum sampai ke puncak kemampuannya yang sebenarnya. Ketika keduanya terlibat dalam perkelahian yang cepat, maka lawannya telah menunjukkan kemampuan yang sulit diimbangi oleh Glagah Putih hanya dengan kecepatan geraknya.

Karena itu, meskipun Glagah Putih tidak berniat buruk, maka iapun telah menghentakkan ilmunya untuk melindungi dirinya.

Glagah Putih terkejut ketika ujung jari lawannya sempat mengenai pundaknya. Hanya ujung jari. Tetapi rasa-rasanya pundaknya telah tersentuh oleh sepotong besi baja, sehingga untuk sesaat tangannya bagaikan menjadi lumpuh. Dengan loncatan panjang Glagah Putih mengambil jarak. Namun dengan demikian Glagah Putih telah mengerahkan ilmunya pula. Tubuhnya serasa rnengembang, sementara darahnya bagaikan bergejolak. Terasa sesuatu bergetar di dalam dirinya, mengalir sampai ke ujung kukunya.

Dengan demikian, maka Glagah Putih benar-benar telah sampai ke puncaknya ilmunya. Sebuah kekuatan yang tumbuh di dalam dirinya bagaikan desakan air yang ditahan oleh bendungan. Semakin keras arus air itu, maka bendungan pun menjadi semakin terdesak, sehingga jika bendungan itu pecah, arus kekuatan air yang terbendung itu akan melanda dengan dahsyatnya.

Sejenak kemudian keduanya berloncatan kembali. Serangan Glagah Putih bagaikan arus banjir yang datang menyapu apa saja yang menghalanginya.

Dengan segenap kekuatan dan kemampuan ilmunya, Glagah Putih telah menyerang lawannya mengarah ke lambung dengan kakinya. Tetapi ketika lawannya bergeser rnenyamping, kaki Glagah Putih telah berputar setengah lingkaran. Demikian telapak kakinya itu menyentuh tanah, maka kakinya yang lain telah terangkat lurus menyamping. Demikian cepatnya sehingga lawannya tidak sempat mengelak.

Anak muda yang tidak sempat mengelak itu telah melindungi lambungnya dengan sikunya menyamping pula sambil sedikit merendah.

Yang terjadi kemudian adalah satu benturan yang dahsyat. Kekuatan Glagah Putih yang bagaikan arus air bah dari bendungan yang pecah itu telah menghantam lawannya dengan kekuatan yang luar biasa.

Namun ternyata bahwa kekuatan arus air yang sangat besar itu telah membentur seonggok batu karang yang bagaikan berakar sampai ke pusat bumi.

Dua kekuatan yang sangat besar telah berbenturan dan saling mendorong. Keduanya telah tergeser selangkah surut. Namun ternyata bahwa anak yang masih terlalu muda itu memiliki kelebihan dari Glagah Putih. Kaki Glagah Putih yang membentur siku lawannya yang melindungi lambung itu terasa bagaikan patah.

Untuk sesaat Glagah Putih berusaha menguasai keseimbangannya. Dengan segenap kemampuan yang ada, ia mengerahkan daya tahan tubuhnya untuk mengatasi rasa sakit pada kakinya itu. Namun demikian Glagah Putih masih menyeringai oleh sengatan rasa sakit.

Dalam pada itu, lawannya justru tertawa berkepanjangan. Meskipun menurut imbangan kekuatan, wajar seharusnya kaki Glagah Putih memiliki tenaga yang lebih besar dari siku lawannya, tetapi yang terjadi adalah sebaliknya. Glagah Putih yang menjadi kesakitan, sementara lawannya sama sekali tidak merasakan sesuatu meskipun ia juga terdorong selangkah surut.

“Gila,” geram Glagah Putih.

Anak yang masih terlalu muda ita kemudian berkata, “Kau memang luar biasa. Kekuatanmu hampir sebesar kekuatan seekor kerbau jantan yang paling liar. Kau berhasil menggoyahkan pertahananku sehingga aku terdorong selangkah surut. Aku belum pernah mendapat serangan dengan kekuatan sebesar itu.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Dengan demikian ia menyadari bahwa lawannya memang memiliki kekuatan yang melampaui kekuatannya.

Jika demikian, maka untuk selanjutnya, Glagah Putih tidak dapat berusaha menguasai lawannya dengan mengandalkan kepada kekuatannya. la harus mempergunakan kelebihannya yang, lain. la harus memusatkan ilmunya untuk mendorong kecepatan gerakrrya, sementara itu dengan getaran di dalam dirinya ia harus berusaha melemahkan pertahanan lawan. Jika ia berhasil mengenai lawannya dengan mengerahkan getaran yang terdapat di dalam dirinya, yang mengalir sampai ke ujung kukunya, maka getaran itu akan menyusup dan memperlemah ketahanan tubuh lawannya. Meskipun kekuatan ilmu itu belum dikenal sepenuhnya oleh Glagah Putih sendiri, tetapi secara naluriah ia merasakan bahwa ia dapat melakukannya.

Namun ketika Glagah Putih sudah siap untuk menyerang, terdengar anak muda itu berkata, “Cukup. Latihan kita sudah cukup lama. Aku sudah berhasil memancingmu untuk berlatih karena kau tidak mau melakukannya sendiri.”

Wajah Glagah Putih menjadi tegang. la merasa bahwa sekat dari latihan itu tidak menguntungkannya, seakan-akan ia jauh lebih buruk dari lawannya.

Karena itu, maka katanya, “Kita sudah terlanjur mulai. Aku belum merasa lelah. Kita akan dapat meneruskannya.”

“Tidak perlu, “jawab anak muda itu “aku tahu, kau luar biasa.”

Tetapi yang kemudian sulit untuk mengendalikan diri adalah justru Glagah Putih. Karena itu, maka dengan suara lantang ia berkata, “Anak Muda. Semula aku sudah menyatakan berkeberatan. Tetapi kau telah memaksa aku untuk memberikan perlawanan, karena kau telah menyerang aku. Sekarang kau berusaha untuk menghindar. Tetapi berlakulah yang jantan. Aku akan memaksamu untuk berkelahi terus. Melawan atau tidak melawan, aku akan menyerangmu.”

“Jangan begitu Ki Sanak,” jawab anak muda itu, “yang kita lakukan sudah cukup. Karena itu, maka kita tidak perlu meneruskannya, agar kau tidak akan menyesal. Aku senang melihat ilmumu yang tinggi. Pada suatu saat kita akan dapat bertemu lagi. Sebenarnyalah aku tidak mempunyai kawan yang sebaya, atau katakanlah agak lebih besar seperti Ki Sanak, yang dapat aku ajak bermain-main seperti ini.”

“Terserah kepadamu Anak Muda,” jawab Glagah Putih, “akulah yang akan menyerangmu, kemudian.”

Anak muda itu termangu-mangu sejenak. Namun Glagah Putih sudah bersiap sepenuhnya untuk meryerangnya.

“Tunggu,” berkata anak muda itu, “seharusnya kau tidak kehilangan pengamatan diri. Jika kau kehilangan pengendalian diri, maka kita akan benar-benar berkelahi. Padahal aku ingin kita akan berkawan untuk seterusnya, karena aku memang tidak mempunyai kawan.”

Tetapi Glagah Putih tidak menghiraukannya. Iapun dengan langkah panjang meloncat menyerang anak muda itu.

Anak muda itu terkejut. Glagah Putih benar-benar menyerangnya. Sebagaimana anak muda itu memulai tanpa menghiraukan Glagah Putih, maka yang terjadi kemudian adalah Glagah Putih pun menyerangnya tanpa menghiraukannya.

Tetapi Glagah Putih terkejut ketika anak muda itu tiba-tiba saja sudah tidak berada di tempatnya. Ia pun mampu meloncat dengan loncatan yang panjang sebagaimana dilakukan oleh Glagah Putih, sehingga dengan demikian, maka ketika Glagah Putih merasa kehilangan lawannya, kemudian mengedarkan pandangannya, maka dilihatnya anak muda itu berdiri beberapa langkah daripadanya. Dalam jarak yang sama sebagaimana saat sebelum ia menyerang.

“Sudah aku katakan,” berkata anak muda itu, “kita akhiri permainan kita. Aku sudah mengetahui tingkat kemampuanmu. Luar biasa. Aku senang sekali, sehingga kita akan dapat berkawan. Kau dengar? Sebelum aku bertemu denganmu, aku tidak pernah mempunyai seorang kawan, anak muda yang meskipun agak lebih tua sedikit dari aku, yang dapat aku ajak bermain seperti ini.”

“Persetan,” potong Glagah Putih sambil menyerang.

Tetapi sekali lagi, anak muda itu sudah tidak berada di tempatnya. Bahkan ia sudah berdiri di atas sebongkah batu, di tempat yang agak ke tengah dari sebuah sungai yang tidak begitu besar itu.

Tetapi agaknya Glagah Putih benar-benar telah kehilangan pengendalian diri, sehingga ia pun kemudian berusaha untuk mendekati anak muda itu sambil bersiap-siap untuk menyerangnya.

Dalam pada itu, ternyata Kiai Jayaraga dan Agung Sedayu menjadi cemas melihat sikap Glagah Putih. Anak muda itu menurut pengamatan keduanya bukan anak muda yang terlalu lembut. Ketika anak muda itu memaksa Glagah Putih untuk berkelahi, Kiai Jayaraga dan Agung Sedayu dapat menduga, bahwa anak muda itu memiliki sifat yang agak condong menuruti kehendaknya sendiri. Agaknya anak muda itu benar-benar senang mendapat seorang kawan bermain, sehingga ia masih menahan diri. Tetapi jika anak itu menjadi marah, mungkin akibatnya akan pahit bagi Glagah Putih.

Agung Sedayu pun kemudian berdesis, “Kiai, agaknya sudah saatnya kita melerai. Kita harus mengekang Glagah Putih yang benar-benar merasa tersinggung oleh sikap anak muda itu. Tetapi jika ia terus mendesaknya, mungkin anak muda itu akan berbuat sesuatu yang tidak diduga oleh Glagah Putih.”

Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sependapat. Karena itu, marilah kita berusaha untuk menarik perhatian mereka, terutama anak muda itu.”

Agung Sedayu mengangguk. Namun ia sadar, bahwa ia harus segera berbuat sesuatu sebelum terlanjur.

Ketika Glagah Putih melangkah semakin dekat dari anak muda itu, maka Agung Sedayu telah melangkah menuruni tebing. Bukan sebagai seorang yang berilmu tinggi, tetapi ia benar-benar sebagaimana orang kebanyakan menuruni tebing sungai yang curam.

Kaki Agung Sedayu yang berdesir di batu padas telah menarik perhatian anak muda itu dan Glagah Putih. Karena malam yang gelap, maka Glagah Putih tidak segera mengenali siapakah yang telah menuruni tebing. Namun menilik sikapnya, maka orang itu adalah orang kebanyakan.

Sementara itu, anak muda yang baru saja berkelahi melawan Glagah Putih itupun berdiri termangu-mangu. Untuk sesaat ia hanya berdiri saja mematung.

“Siapa?” bertanya Glagah Putih.

Agung Sedayu tidak segera menjawab. Namun sementara itu, seorang lagi telah menuruni tebing dengan cara yang sama sebagaimana dilakukan oleh Agung Sedayu.

Glagah Putih bergeser selangkah. la tidak mau membelakangi anak muda yang berdiri di atas batu, namun ia harus memperhatikan kedua orang yang dilihatnya menuruni tebing dalam keremangan malam itu.

Namun ketika kedua orang itu sudah berdiri di atas pasir, maka Glagah Putih pun segera mengenali mereka.

Karena itu, hampir di luar sadarnya ia berdesis, “Kakang Agung Sedayu dan Guru.”

Agung Sedayu masih belum menyahut. Namun tiba-tiba terdengar suara tertawa yang memanjang, “Jadi di sini hadir pula Agung Sedayu? Seorang anak muda yang namanya melonjak sampai menggapai langit”

“Aku bukan anak muda lagi,” sahut Agung Sedayu

“Kau masih muda meskipun kau sudah kawin Sudah tentu aku Iebih muda dari umurmu dan aku memang belum kawin,” berkata anak muda yang berdiri di atas batu itu.

Agung Sedayu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian perhatiannya tertuju kepada Glagah Putih. Katanya, “Glagah Putih. Aku sependapat dengan anak muda ini. Aku kira permainan kalian sudah cukup lama. Masing-masing telah mendapat kesempatan untuk menjajagi kemampuannya. Dan ternyata bahwa kemampuanmu masih berada di tataran yang lebih rendah dari ilmu anak muda ini.”

Wajah Glagah Putih menjadi merah. Untunglah malam yang gelap telah melindungi sehingga wajahnya yang merah itu tidak nampak oleh anak muda yang mengalahkannya. Tetapi Agung Sedayu yang berdiri dekat dengan kemampuan pandangan mata yang tajam, dapat melihat kegelisahan di wajah Glagah Putih.

Sementara itu Agung Sedayu berkata lanjut, “Adalah satu keberanian jika seseorang melihat kelemahannya sendiri, Mereka yang tidak berani melakukannya, maka ia telah menginjak ke jalan yang salah dalam pengembangan ilmunya selanjutnya.”

Glagah Putih menundukkan wajahnya. la memang tidak dapat ingkar bahwa ia tidak akan mampu mengimbangi ilmu lawannya yang masih lebih muda daripadanya itu. Dalam pada itu, anak muda yang berdiri di atas batu itupun berkata, “Satu ajaran yang luar biasa. Aku menjadi semakin yakin bahwa kau akan menjadi seorang yang luar biasa.” Anak muda itu berhenti sejenak, lalu, “He, siapa namamu? Glagah Putih? Bukankah Agung Sedayu memanggilmu demikian?”

Glagah Putih menjadi ragu-ragu. Namun kemudian iapun menjawab, “Ya, namaku Glagah Putih.”

“Terima kasih. Pertemuan kita sampai di sini hari ini. Aku berniat untuk bertemu lagi pada kesempatan lain. Aku memerlukan seorang kawan yang dapat diajak bergurau tetapi juga dapat diajak berkelahi. Dan agaknya aku akan mendapatkannya di Tanah Perdikan Menoreh. Bukankah kau juga senang mencari ikan dan berjalan menyusuri arus sungai?” Anak muda itu berhenti sejenak, lalu, “Nah, kita akan berpisah.”

Anak muda itu tidak menunggu jawaban. Tetapi ia mulai bergerak meloncati bebatuan,.

“He, siapa namamu?” bertanya Glagah Putih.

“Cari aku di Mataram,” jawab anak muda itu. Tubuhnya sudah tidak kelihatan, tetapi suaranya masih bergema, “Aku adalah tunas dari sekuntum bunga yang dipetiknya dari Kalinyamat.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun anak muda itu benar-benar sudah hilang.

Agung Sedayu bergeser selangkah, sementara Kiai Jayaraga hanya berdiri termangu-mangu.

“Anak itu tentu tumbuh dalam ketidakwajaran,” berkata Kiai Jayaraga, “ia memiliki sesuatu yang mungkin hadir ke dalam dirinya tanpa dikehendakinya. Aku belum pernah melihat tata gerak dan sikap yang demikian meyakinkan dan mengagumkan. Meskipun nampaknya ia sudah mengerahkan segenap kemampuannya, tetapi agaknya masih ada yang tersembunyi di dalam dirinya.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ia mulai mengingat apa yang pernah dikenalinya tentang Raden Sutawijaya.

Agung Sedayu itu pun menarik nafas dalam-dalam. la memang pernah mendengar apa yang terjadi atas Raden Sutawijaya itu sebelum ia diangkat menjadi Senapati Ing Ngalaga di Mataram. Raden Sutawijaya telah berhubungan dengan salah seorang dari dua orang gadis kemenakan Ratu Kalinyamat.

“Jika demikian, maka anak muda itu adalah putra Panembahan Senapati,” tiba-tiba saja Agung Sedayu berdesis.

“Dari mana kau mendapat kesimpulan itu?” bertanya Kiai Jayaraga.

“Salah seorang kemenakan Ratu Kalinyamat yang diambil istri oleh Panembahan Senapati yang waktu itu masih bernama Mas Ngabehi Loring Pasar, agaknya telah berputra seorang atau lebih. Tetapi anak muda ini adalah anak dari putri itu,” jawab Agung Sedayu.

Kiai Jayaraga mengangguk-angguk, sementara Glagah Putih bertanya dengan gelisah, “Jadi, anak muda itu benar-benar putra Panembahan Senapati?”

“Ya,” jawab Agung Sedayu, “menilik sikapnya aku percaya.”

“Apakah hal itu dapat berakibat buruk bagiku?” “bertanya Glagah Putih pula.

“Aku kira tidak,” jawab Agung Sedayu, “anak itu bukan anak yang cengeng, yang hanya dapat mengadu kepada ayahandanya, atau justru mendendam dan ingin membalas. Dalam permainan ini ia menunjukkan kelebihannya, sehingga karena itu, maka ia tidak akan berbuat sesuatu yang dapat menyulitkanmu.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Namun hatinya yang panas karena ternyata ia tidak mampu mengimbangi kemampuan lawannya, telah menjadi dingin. Ia merasa bahwa wajar sekali jika ia dapat dikalahkan oleh putra Panembahan Senapati, meskipun anak itu masih lebih muda daripadanya.

Selagi Glagah Putih merenungi peristiwa itu yang baru saja terjadi, maka Kiai Jayaraga pun berkata, “Ambillah manfaat dari permainanmu dengan anak muda itu. Kau dapat melihat kelebihan yang ada padanya. Kau dapat mempelajarinya dan dapat kau sesuaikan dengan bekal yang memang sudah ada di dalam dirimu.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Aku tidak melihat sesuatu yang rumit. Tetapi sebagian tidak dapat aku mengerti, apa yang telah dilakukannya. Namun anak muda itu memang luar biasa.”

“Ia tentu akan menemuimu kembali,” berkata Agung Sedayu, “jangan kau sia-siakan. Kau dapat berlatih bersamanya. Agaknya latihan-latihan yang demikian akan banyak memberikan arti bagimu.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Mudah-mudahan ia benar-benar kembali Kakang. Aku akan sangat berterima kasih. Aku sekarang sudah mengetahui siapakah anak muda itu, sehingga aku akan dapat menyesuaikan diriku menghadapinya.”

“Baiklah,” berkata Agung Sedayu kemudian, “kita dapat meninggalkan tempat ini. Kita akan kembali dan membicarakan kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi kemudian. Mudah-mudahan untuk seterusnya akan dapat bermanfaat bagi Glagah Putih.”

“Tetapi,” potong Glagah Putih kemudian, “aku akan singgah untuk menutup pliridanku.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak dapat mencegahnya. Glagah Putih masih saja terikat dengan pliridannya. Meskipun kesenangannya bermain di sungai itu telah memberikan banyak manfaat baginya.

Karena itu, maka Kiai Jayaraga dan Agung Sedayu-lah yang kemudian mendahului kembali pulang, sementara Glagah Putih masih saja menelusuri sungai itu untuk pergi ke pliridannya.

Ketika ia sampai kepliridannya itu, maka seorang anak yang lain telah menunggunya. Pembantu di rumah Agung Sedayu.

“Aku kira kau tidak datang lagi,” berkata pembantu itu.

Glagah Putih tersenyum. Katanya, “Sudah aku katakan. Jika aku tidak datang sementara fajar sudah mendekat, maka kau dapat menutupnya sendiri. Bukankah kau dapat melakukannya?”

“Tentu saja aku dapat melakukannya. Tetapi aku ingin kau ikut serta menutup dan kemudian menangkap ikannya?” jawab anak muda itu.

Glagah Putih tertawa. Tetapi iapun kemudian mengambil cangkul yang dibawa oleh anak muda itu. Dengan tangkasnya, maka Glagah Putih pun telah menutup pliridannya, sementara pembantunya sibuk memasang icir.

Ternyata malam itu, mereka telah beruntung. Ada beberapa puluh ekor ikan telah memasuki icir yang mereka pasang. Ada enam ekor ikan lele yang besar, sementara di dalam icir itu terdapat pula beberapa ekor belut.

Ketika mereka membuka icir dan menuangkan isinya, pembantu Glagah Putih itu berteriak, “He, ada beberapa ekor belut. Aku senang sekali makan belut.”

“Kakang Agung Sedayu tentu akan memilih ikan lele. Kita memang bernasib baik hari ini. Lebih banyak dari kemarin,” berkata Glagah Putih.

“Jauh lebih banyak,” jawab pembantunya.

“Kita memang sedang beruntung. Kita akan makan besar hari ini. Beras padi bulu itu sudah ditumbuk kemarin oleh Mbokayu Sekar Mirah. Tentu hari ini sudah ditanak. Kita akan makan nasi hangat padi bulu dan ikan lele serta belut,” berkata Glagah Putih.

“Kita akan menutup rumpon,“ tiba-tiba pembantunya itu memotong, “sekaligus kita akan berbujana hari ini.”

“Ah, biarlah kita ambil lain kali. Hari ini kita sudah cukup mendapat lauk. Mungkin Mbokayu Sekar Mirah yang kemarin memetik mlandingan itu akan membuat bothok hari ini,” jawab Glagah Putih.

Pembantunya tidak menjawab lagi. Keduanya pun kemudian membenahi alat-alatnya dan kemudian meninggalkan tepian sebelum matahari terbit.

Namun dalam pada itu, di luar pengetahuan pembantunya, sungai itu telah memberikan arti yang lain bagi Glagah Putih. Bukan sekedar pliridan dan rumpon yang menghasilkan ikan. Tetapi di sepanjang sungai itu, ia dapat menemukan sesuatu yang lebih berarti bagi masa depannya.

Glagah Putih menyadari, bahwa anak muda itu tidak akan setiap malam berada di sungai itu. Tetapi Glagah Putih masih tetap berharap bahwa pada suatu ketika ia akan dapat menemuinya lagi.

Ketika matahari kemudian terbit, Glagah Putih dan pembantunya itu telah berada di rumah. Setelah meletakkan kepis ikannya yang hampir penuh, maka Glagah Putih dan pembantunya pun dengan tergesa-gesa telah mengerjakan tugas mereka. Mengisi jambangan di pakiwan, membersihkan halaman dan kandang serta pekerjaan-pekerjaannya sehari-hari.

Tidak ada perubahan apapun yang terjadi pada Glagah Putih. Ia melakukan tugas-tugasnya seperti biasa. Namun pada saat-saat tertentu ia sempat juga merenungi anak muda yang menjumpainya di tepian.

Malam-malam berikutnya mendorong Glagah Putih untuk lebih banyak berkeliaran di sepanjang sungai. Ia. berlatih semakin tekun bersama alam di sekitarnya. Bebatuan, tebing sungai, pasir dan batu padas.

Meskipun sudah beberapa malam Glagah Putih bermain di sungai, tetapi anak muda itu tidak juga datang. Glagah Putih tidak menjadi jemu. Baginya, ada atau tidak ada kawannya, maka ia akan berlatih terus. Demikian dilakukannya di tepian itu, sebagaimana dilakukannya pula di sanggar bersama Kiai Jayaraga. Bahkan kadang-kadang Kiai Jayaraga pun telah membawa Agung Sedayu mendaki bukit, sebagaimana memang sering dilakukannya.

Seperti ia bermain-main di tepian, maka demikian pula Glagah Putih bermain-main di atas bukit bersama dengan gurunya.

Dalam banyak hal, Glagah Putih benar-benar telah mendapat kemajuan, Gurunya yang menjadi yakin, bahwa muridnya yang seorang ini tidak akan dengan mudah terguncang dan tersesat ke dalam dunia yang tidak dikehendaki, maka ia tidak terlalu berhati-hati untuk mewariskan ilmunya kepada Glagah Putih.

“Guru bukan satu-satunya jalur yang mempengaruhi kehidupan seseorang,” berkata Kiai Jayaraga di dalam dirinya, “orang tuanya, lingkungannya akan sangat berpengaruh juga. Menurut pengamatanku, Agung Sedayu suami istri yang menjadi ganti orang tua Glagah Putih, serta pada pergaulan Glagah Putih sehari-hari, tidak nampak bayangan yang akan dapat menjadi buram di dalam hidupnya. Sedangkan anak muda yang menemuinya di sungai itupun tentu bukan anak muda yang akan menyeretnya melakukan tindakan yang tercela. Apalagi Agung Sedayu meyakini bahwa anak itu memang putra Penembahan Senapati.”

Karena itu, maka tataran demi tataran telah dituangkannya ke dalam perbendaharaan ilmu Glagah Putih. Namun demikian, Kiai Jayaraga tidak kehilangan perhitungannya, bahwa ia tidak boleh menuangkan melampaui ruang yang tersedia, sehingga jika demikian maka mungkin yang dituangkannya itu akan menjadi tumpah.

Dengan kesungguhan dan ketekunan, Glalah Putih menempa diri. Ternyata hasilnya cukup menggembirakan gurunya. Pada saat-saat tertentu maka gurunya berhasil melihat kemajuan yang dicapai oleh satu-satunya muridnya.

Sementara itu, kebiasaan Glagah Putih untuk bermain di pinggir sungai masih saja dilakukannya. Meskipun tidak dinyatakannya, namun setiap kali ia memang mengharap kehadiran seseorang. Anak muda yang memiliki ilmu yang sangat tinggi.

Ketika langit mendung dan bintang-bintang bersembunyi di balik awan yang kelabu, Glagah Putih berjalan bersama pembantunya turun ke sungai dalam kegelapan malam. Dengan cangkul di pundak dan sebuah icir, mereka berjalan menuruni tebing.

Sejenak kemudian, keduanya sibuk membuka pliridan dan memasang icir. Namun ketika Glagah Putih menengadahkan kepalanya, iapun berkata, “Langit gelap. He, apakah kita juga membuka pliridan pada malam begini?”

“Icir itu sudah terlanjur kita pasang,” berkata pembantunya.

“Tetapi jika banjir datang, maka icir itu akan hanyut. Kita akan kehilangan icir dan isinya sekaligus,” jawab Glagah Putih.

Tetapi pembantunya menggeleng. Katanya, “Lihat, dedaunan bergoyang semakin cepat. Belum tentu hujan turun.”

“Ya. Jika mendung itu tersapu oleh angin. Tetapi jika angin ini bertiup rendah, maka hujan yang akan turun justru hujan yang sangat lebat,” jawab Glagah Putih.

“Tetapi hujan itu bukan hujan di daerah pegunungan. Sungai ini tidak akan banjir. Meskipun hujannya lebat sekali diiringi oleh angin dan prahara. Aku berani bertaruh, bahwa sungai tidak akan banjir malam ini, meskipun di sini ada hujan betapapun lebatnya,” berkata pembantunya.

“Kau mau bertaruh apa?” bertanya Glagah Putih.

“Ujung rambut,” jawab pembantunya itu.

Glagah Putih mendorong kening anak itu sambil berdesis, “Jika nanti banjir terjadi, maka kau akan aku cukur gundul.”

Namun demikian, Glagah Putih masih tetap bekerja membuka pliridannya.

Ketika kerja itu selesai, maka Glagah Putih berkata, “Pulanglah. Aku akan mandi sebentar.”

Anak muda itu memandang Glagah Putih dengan penuh pertanyaan. Namun agaknya ia tidak mau seIalu berteki-teki. Karena itu, maka iapun bertanya, “Sebenarnya apa saja yang kau kerjakan di sungai ini di hampir setiap malam? Kau selalu tidak pulang sebelum membuka pliridan.”

“Aku tidak selalu berada di sungai ini,” jawab Glagah Putih, “kadang-kadang aku naik dan berada di gardu-gardu bersama anak-anak muda Tanah Perdikan. Tetapi kadang-kadang aku memang berjalan-jalan menelusuri sungai.”

Pembantunya itu tidak bertanya lagi. Ia tetap tidak mengerti apa yang dikatakan, dan apalagi yang dilakukan, oleh Glagah Putih.

Dengan demikian, maka Glagah Putih telah meninggalkan pliridannya dan berjalan ke arah hilir, menyusuri sungai.

Ketika ia sampai di tikungan, maka iapun berhenti. Di tempat yang sepi, yang tidak banyak di kunjungi orang apalagi di malam hari, Glagah Putih mulai berlatih sebagaimana sering dilakukannya.

Tetapi ketika ia mulai dengan meningkat kepada pengerahan tenaga cadangannya, terasa air mulai menitik. Angin masih juga berhembus. Bahkan rasa-rasanya semakin cepat. Tetapi titik-titik hujan pun turun semakin deras pula.

Meskipun demikian Glagah Putih lidak menghentikan latihannya. Ia justru mengerahkan kemampuannya semakin tinggi. Loncatan-loncatannya semakin panjang. dan sekali-sekali kakinya melekat pada tebing yang miring.. Dengan tangkas kakinya terlontar melintasi tepian berpasir, kemudian berpijak pada batu-batu yang basah dan licin. Namun Glagah Putih mampu mempertahankan keseimbangannya, di samping kemampuannya bergerak dengan cepat.

Ketika kemudian hujan bagaikan ditumpahkan dari langit, maka Glagah Putih sampai kepada puncak latihannya. Namun dalam pada itu, pasir tepian menjadi basah

Meskipun demikian, justru karena itu, maka daerah itu menjadi arena latihan yang semakin baik bagi Glagah Putih. Lereng tebing yang licin itu memberikan satu pengalaman baru bagi kemungkinan gerak kakinya. Berbeda dengan bebatuan yang licin oleh lumut yang kehijau-hijauan.

Namun selagi Glagah Putih tenggelam dalam latihan di dalam hujan yang lebat di gelapnya malam, maka lamat-lamat di sela-sela suara hujan yang gemuruh, ia mendengar seseorang tertawa nyaring.

GIagah Putih mendengar suara tertawa itu. Tetapi dalam gelapnya malam dan hujan yang lebat sekali, ia tidak melihat sesuatu yang agak jauh dari dirinya. Meskipun ia sudah berlatih mengamati sesuatu di dalam gelapnya malam, namun ternyata bahwa ia tidak melihat seseorang.

Namun baru kemudian ketika kilat memancar di langit, ia melihat di atas sebuah batu di tengah-tengah sungai yang tidak begitu besar itu, seseorang berdiri tegak sambil bertolak pinggang.

Seorang anak muda, yang ia yakin bahwa anak muda itu adalah anak muda yang pernah datang kepadanya beberapa hari yang lalu. Justru karena itu, maka Glagah Putih telah berhenti. la berdiri di atas pasir tepian, di lebatnya hujan yang bagaikan tercurah dari langit.

“Luar biasa. Latihanmu menunjukkan, bahwa kau adalah anak muda yang sangat tekun. Dalam waktu dekat maka ilmumu sudah nampak meningkat,” berkata anak muda yang berdiri di atas batu itu.

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Kau dapat melihat, bagaimana aku berlatih?”

“Ya, kenapa?” bertanya anak muda itu.

“Dalam hujan yang lebat di gelapnya malam begini?” bertanya Glagah Putih pula.

“He, apakah kau tidak melihat aku?” bertanya anak muda itu.

“Aku melihatmu ketika kilat memancar. Sesudah itu tidak lagi, selain gelapnya malam, juga curahan air hujan di depan pelupuk mataku,” jawab Glagah Putih.

“Omong kosong,” jawab anak muda itu “kau tepat menghadap kepadaku.”

Glagah Putih termangu-mangu sejenak. Yang terdengar kemudian adalah gemuruhnya air hujan dan angin yang menjadi semakin besar. Pepohonan berguncang bagaikan diputar oleh kekuatan raksasa. Dedaunan yang tidak lagi dapat berpegangan pada tangkainya telah berhamburan dibawa arus angin yang kencang.

Baru sejenak kemudian Glagah Putih menjawab, “Aku mendengar suaramu. Dan ketika cahaya kilat memancar, aku melihatmu.”

Anak muda itu tertawa. Tetapi ketika langit menjadi benderang oleh oleh cahaya kilat, ternyata anak muda itu sudah berpindah tempat.

“Gila,” geram Glagah Putih. Namun demikian ia masih tetap berdiri di atas pasir tepian.

Sekilas Glagah Putih teringat akan satu kemungkinan bahwa sungai itu akan banjir. Tetapi sebenarnya ia sependapat dengan pembantunya, bahwa mendung tidak sampai memanjat lereng pegunungan, sehingga seandainya terjadi hujan prahara sekalipun, maka sungai kecil itu tidak akan banjir, meskipun mungkin airnya akan naik.

Karena itu, maka Glagah Putih masih saja berdiri di tepian, sementara anak muda itu berkata sambil tertawa, “He, bukankah kau lihat aku di sini?”

“Ya,” Jawab Glagah Putih, “ketika kilat memancar.”

Suara tertawa anak muda itu semakin berkepanjangan. Namun tiba-tiba terdengar suaranya, “Glagah Putih, bersiaplah. Aku akan menyerangmu.”

Glagah Putih bergeser mundur. Tetapi ia benar-benar tidak melihat apa-apa. Dalam kelamnya malam yang bagaimanapun juga, Glagah Putih masih dapat melihat meskipun lamat-lamat.

Tetapi ketika hujan lebat turun di kelamnya malam, maka ia benar-benar tidak melihat sesuatu pada jarak selangkah.

Glagah Putih memang bersiap. Tetapi ia tidak melihat anak muda itu meloncat dengan cepat dan kemudian dengan ujung jarinya menyentuh dada Glagah Putih.

Glagah Putih terkejut. Tetapi ia terlambat. Ketika ia melihat bayangan yang bergerak di lebatnya hujan, maka dadanya telah terasa tersentuh ujung jari.

Glagah Putih menyadari, bahwa jika yang dilakukan oleh anak muda itu serangan yang sebenarnya, maka ia tentu sudah terlempar dan terbanting jatuh. Mungkin lebih parah dari sekedar jatuh di pasir tepian.

“Bersiaplah!” terdengar suara itu, “Kenapa kau diam saja? Aku masih menyentuhmu dengan ujung jari. Tetapi nanti aku akan benar-benar menyerangmu dengan tinju.”

Glagah Putih menjadi berdebar-debar. Tetapi ia benar-benar telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. la tidak saja mempergunakan penglihatannya yang tidak dapat menjangkau pada jarak selangkah, tetapi ia pun mempergunakan pendengarannya sebaik-baiknya. 

Dengan demikian ketika serangan yang berikutnya datang, Glagah Putih dapat menangkap desir di pasir tepian yang basah di sela-sela bunyi hujan. Bunyi yang tiba-tiba terdengar asing itu diartikan langkah anak muda yang menyerangnya itu.

Dengan tanpa melihat orangnya, maka Glagah Putih masih belum dapat mengambil arah untuk menghindari serangan itu. Namun demikian bayangan itu mulai nampak, maka dengan cepat Glagah Putih berusaha menghindar.

Tetapi jaraknya sudah terlalu pendek, sehingga Glagah Putih tidak mempunyai kesempatan. Karena itu, ia menahan serangan anak muda itu dengan menangkisnya.

Ternyata serangan itu datang terlalu keras. Glagah Putih yang dengan sengaja dan sedikit kebingungan berusaha melindungi dirinya dengan menyilangkan tangannya di dadanya, ia tidak sempat memperhatikan kemungkinan bahwa satu kekuatan yang sangat besar telah melandanya.

Tubuh Glagah Putih bagaikan terdorong oleh kekuatan raksasa yang m =elemparkannya dari tempatnya berdiri. Untunglah bahwa mereka berada di tepian yang beralaskan pasir. Sebagaimana Glagah Putih terlempar dan terbanting jatuh, maka tulang iganya telah terasa terlepas dari dadanya.

Namun Glagah Putih yang kemudian berguling beberapa kali, dengan tangkasnya telah meloncat berdiri. Kali ini Glagah Putih tidak mau sekedar menjadi sasaran. Karena itu, maka iapun telah merendah dan siap untuk bergerak. Bahkan ia telah melakukan ancang-ancang yang dalam sekejap dapat melepaskan kekuatan cadangannya yang besarnya berlipat ganda dari kekuatannya sendiri.

Namun gelapnya malam dan hujan yang tercurah itu benar-benar telah mengganggu pandangannya. Meskipun demikian sekali lagi ia berusaha melengkapi kekurangannya itu dengan pendengarannya.

Demikianlah, sejenak kemudian terdengar desir itu lagi dari sisi kanan. Karena itu, maka Glagah Putih tidak lagi menunggu lawannya itu menyerangnya. Tetapi dengan serta merta, Glagah Putih-lah yang mendahului menyerang anak muda itu.

Anak muda itu memang terkejut. la tidak menduga bahwa Glagah Putih akan sempat mempunyai perhitungan yang cermat, justru saat ia tidak bisa melihat dalam jarak selangkah.

Ternyata bahwa serangannya itu dapat mengenai sasarannya. Kaki Glagah Putih telah mengenai lambung anak muda itu. Anak muda yang lengah karena kelebihannya.

Sejenak anak muda itu terhuyung-huyung oleh dorongan yang sangat besar yang mengenai lambungnya, sehingga anak muda itu menyeringai menahan sakit. Namun sayang sekali, bahwa Glagah Putih tidak dapat melihat apa yang terjadi itu. Meskipun ia mengerti, bahwa anak muda itu akan terlempar jatuh, tetapi ia tidak segera tahu apa yang dilakukan oleh lawannya itu.

Anak muda itu memang terjatuh. Tetapi seperti saat Glagah Putih terjatuh beralaskan pasir tepian, rasa-rasanya pasir itu tidak menyakitinya. Tetapi hentakan kaki lawannya pada lambung itulah yang terasa menyakitinya.

Tetapi anak muda itu mengerti, bahwa hal itu dilakukan oleh Glagah Putih karena Glagah Putih tidak sempat melihat lawannya di lebatnya hujan dan gelapnya malam berbaur.

Sementara itu Galagah Putih sendiri menjadi termangu-mangu. la tidak mendengar apa-apa lagi kecuali bunyi hujan yang gemuruh. la tidak mendengar suara anak muda yang telah dikenainya, sehingga justru karena itu telah timbul kecemasan di dalam dirinya, bahwa serangannya itu akan melukai bagian dalam tubuh anak muda itu.

Karena itu, maka Glagah Putih pun telah bergeser ke arah kakinya menyentuh anak muda itu. Beberapa langkah ia bergerak.

Tetapi ternyata bahwa ia tidak menemukan sesuatu. Anak muda itu tidak terbaring di atas pasir yang basah, disiram oleh air hujan yang deras bagaikan ditumpahkan dari langit.

“Anak itu sudah pergi,” desis Glagah Putih.

Untuk beberapa saat Glagah Putih termangu-mangu. Namun sejenak kemudian ia mulai mendengar suara tertawanya lagi. Di sela-sela suara tertawanya ia berkata, “Kau memang luar biasa. Aku tidak mengira bahwa kau sempat menyerang aku. Agaknya di samping mempergunakan penglihatanmu, kau juga memanfaatkan pendengaranmu. Suara yang lain dari gemuruhnya hujan dan angin, telah memberitahukan kepadamu, bahwa aku ada di sana.”

Glagah Putih tidak segera menjawab. Namun ia menyadari sepenuhnya bahwa anak muda itu akan dapat menyerangnya setiap saat.

Satu kelebihan yang menentukan, bahwa anak muda itu mampu melihatnya meskipun mungkin juga hanya sekedar bayangan yang samar-samar. Tetapi ia sama sekali tidak dapat melihatnya.

“Glagah Putih,” terdengar suara anak muda itu, “hati-hatilah. Aku akan segera mulai lagi. Lambungku yang terasa sangat sakit kini telah berkurang, sehingga aku akan dapat mulai lagi dengan permainan ini.”

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia harus berhati-hati. la harus benar-benar mempergunakan segala indra yang dapat dipergunakannya di dalam kelamnya malam dan hujan angin yang keras.

Sejenak kemudian, maka kedua anak muda itu telah mulai lagi dengan latihan mereka, yang mereka sebut sebagai satu permainan.

Ternyata dengan pertolongan pendengarannya yang tajam, Glagah Putih dapat mengurangi tekanan lawannya, meskipun setiap kali ia dapat dikenainya. Namun sekali-sekali Glagah Putih pun mampu menyongsong anak muda itu dengan serangan yang tiba-tiba, yang dapat mengenai dan mendorong anak muda itu surut ke belakang.

Demikianlah latihan itu berlangsung dalam keadaan yang khusus.

Namun ternyata bahwa keadaan itu telah menjadi satu arena latihan yang baru bagi Glagah Putih. Dalam keadaan yang demikian, Glagah Putih lebih banyak mempergunakan telinganya untuk mengetahui arah kedatangan anak muda itu.

Semakin lama, maka Glagah Putih menjadi semakin mengenali cara-cara yang semula dilakukannya karena keadaan yang memaksa. Tetapi lambat laun, maka ia merasa bahwa pendengarannya merupakan satu alat yang sangat berguna baginya untuk mengenali keadaan di sekitarnya pada saat-saat yang khusus. Bahkan dengan latihan-latihan yang tekun, maka di samping alat penglihatannya, maka dalam keadaan yang bagaimana pun juga, pendengarannya akan dapat dipergunakan sebaik-baiknya.

Sementara itu, hujanpun menjadi semakin lebat dan angin menjadi semakin kencang. Pepohonan diguncang bagaikan batang-batang ilalang.

Sementara itu, kedua anak muda itupun masih saja bertempur dengan cepat dan sama sekali tidak menghiraukan hujan dan prahara itu. Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Glagah Putih terkejut. la mendengar suara yang lain lagi. Gemuruh itu bukan gemuruhnya hujan.

“Banjir!” tiba-tiba saja Glagah Putih berteriak.ana

“Ya, banjir. He, apakah kau baru tahu? Cepat, naik ke atas tebing!” terdengar suara anak muda itu.

Sekali kilat memancar, maka Glagah Putih melihat anak muda itu telah berdiri di atas tebing.

Dengan tergesa-gesa Glagah Putih meloncat ke tebing sungai. Dalam gelapnya malam dan hujan, Glagah Putih berusaha untuk mendaki lereng yang licin.

Jantungnya berdenyut ketika ia merasa tubuhnya disentuh air. Namun dengan cepat ia berhasil bergeser dan merangkak semakin tinggi. Sehingga akhirnya ia pun berhasil mencapai tanggul.

Namun iapun terkejut ketika tiba-tiba saja tangannya telah menyentuh sepasang kaki. Dalam kegelapan iapun kemudian melihat lamat-lamat anak muda itu telah berdiri di atas tanggul itu pula. Bergeser beberapa langkah dari tempatnya semula.

“Kau terlambat mengetahui bahwa banjir itu datang,” desis anak muda yang berdiri di atas tanggul sambil bertolak pinggang itu.

Glagah Putih pun kemudian berdiri di atas tanggul pula. Suara gemuruhnya banjir di bawah kakinya mernbuatnya meremang. Jika ia terlambat sekejap saja, maka satu kemungkinan yang pahit dapat terjadi. Mungkin ia akan hanyut dibawa arus. Betapapun tinggi ilmunya, namun sudah pasti bahwa ilmu itu tidak akan dapat dipergunakannya untuk melawan arus, selain untuk mendorong kemampuannya berenang. Tetapi banjir yang besar mempunyai tenaga yang tidak terbatas. Bahkan melampaui kekuatan yang manapun juga yang pernah dikenalnya.

“Aku tidak menduga bahwa sungai ini akan hanjir,” desis Glagah Putih.

“Kenapa kau mempunyai dugaan begitu?” bertanya anak muda itu.

“Mendung itu tidak sampai ke lereng perhukitan. Hujan ini aku sangka hanya yang turun di daerah ini saja meskipun lebat sekali. Ternyata bahwa hujan ini tentu turun pula di Iereng bukit, sehingga dapat menumbuhkan banjir,” berkata Glagah Putih.

“Ya. Banjir yang cukup besar,” berkata anak muda itu, “tetapi lain kali aku ingin menjajagi kekuatan banjir.”

Glagah Putih termangu-mangu. Katanya, “Bukankah hal itu akan sangat berbahaya?”

“Kita harus berhati-hati,” jawab anak muda itu, “dalam segala hal kita memang harus berhati-hati.”

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi dalam kegelapan itu ia merenungi banjir yang semakin lama menjadi semakin besar. Meskipun dalam penglihatan Glagah Putih yang nampak hanyalah kegelapan melulu, tetapi suara banjir itu telah membuat gambaran di dalam angan-angannya. Banjir yang cukup besar.

Meskipun ia masih berdiri di dekat anak muda yang baru saja mengajaknya berlatih, namun Glagah Putih masih juga teringat kepada pliridannya.

Selagi Glagah Putih merenung, tiba-tiba saja anak muda yang berdiri di sampingnya itu bertanya, seakan-akan ia mengetahui apa yang direnungkannya, “Bagaimana dengan pliridanmu?”

“Tentu hanyut bersama dengan tambaknya. Besok aku harus memperbaikinya,” berkata Glagah Putih.

“Memperbaiki pliridan yang rusak oleh banjir akan sama saja dengan membuat baru,” berkata anak muda itu.

“Ya. Aku memang akan membuat yang baru,” jawab Glagah Putih.

Dalam pada itu, maka kedua anak muda itu masih saja berdiri di atas tanggul. Baru sejenak kemudian anak itu berkata, “Aku akan pulang. Besok pagi menjelang fajar aku harus berada di rumah.”

Glagah Putih termangu-mangu. Namun hampir di luar sadarnya iapun bertanya, “Bagaimana jika Kali Praga juga banjir? Apakah para tukang satang berani membawamu menyeberang?”

“Tentu,” jawab anak muda itu, “tukang satang menggantungkan penghidupannya pada sungai, banjir atau tidak banjir.”

“Tetapi jika banjir deras, aku kira mereka tidak akan berani menyeberang. Apalagi membawa penumpang, karena para tukang satang itu harus mempertanggungjawabkan keselamatan para penumpang itu.”

“Ya. Tetapi mereka sudah terbiasa melakukannya, betapapun besar air Kali Praga,” jawab anak muda itu.

Ternyata anak muda itu benar-benar meninggalkan Glagah Putih yang kemudian berdiri seorang diri di atas tanggul. Banjir di bawah kakinya masih terdengar gemuruh, melampaui gemuruhnya hutan dan angin.

Untuk beberapa saat Glagah Putih termangu-mangu. Namun iapun kemudian telah meninggalkan tebing sungai itu dan kembali ke rumah Agung Sedayu.

Kepada Agung Sedayu dikatakannya, bahwa ia baru saja bertemu dengan anak muda yang pernah mereka kenal, yang menjumpai mereka di pinggir sungai.

“Yang mengaku keluarga dekat Panembahan Senapati?” bertanya Agung Sedayu.

“Ya,” jawab Glagah Putih, “yang masih terlalu muda.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk, ia teringat kepada anak muda yang pernah datang menemui Glagah Putih di sungai itu. Anak muda yang memiliki ilmu yang tinggi.

Sementara itu Glagah Putih pun telah bercerita pula, apa yang terjadi di pinggir sungai, sampai saatnya banjir yang besar telah menghentikan mereka.

Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Mereka mengerti, Glagah Putih mulai tertarik pada latihan-latihan untuk mempertajam pengamatan indranya. Penglihatannya, pendengarannya, mungkin juga pada satu saat penciumannya.

“la akan mengarah kepada satu kemungkinan untuk menekuni ilmu Sapta Pangrungu, Sapta Pandulu dan Sapta Pangganda,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. Namun ternyata bukan hanya Agung Sedayu yang berpikir demikian, Kiai Jayaraga pun berpendapat bahwa Glagah Putih akan sampai kepada ilmu itu di suatu saat.

Namun keduanya masih berdiam diri tentang kemungkinan itu, meskipun Agung Sedayu sendiri telah menguasainya.

Latihan yang dilakukan oleh Glagah Putih dalam hujan yang lebat sehingga kakinya berpijak pada pasir yang basah dan lereng yang licin, memang telah memberikan satu tanggapan tersendiri dari gurunya.

“Satu latihan yang sangat baik,” berkata Kiai Jayaraga.

Namun dalam pada itu, Kiai Jayaraga telah memperbincangkan dengan Agung Sedayu tentang kehadiran anak muda itu. Nampaknya ia merasa mempunyai satu kesesuaian dengan Glagah Putih, sehingga pada suatu saat ia datang lagi. Pada saat lain, maka anak muda itu tentu akan datang pula menemui Glagah Putih.

“Nampaknya anak itu tidak berpengaruh buruk atas Glagah Putih sampai saat ini,” berkata Kiai Jayaraga yang menjadi jera karena tingkah laku murid-muridnya yang terdahulu. Karena itu, maka ia menjadi sangat berhati-hati mengamati tingkah laku muridnya yang satu itu.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sependapat Kiai. Tetapi kita tidak boleh melepaskannya. Kadang-kadang kita harus juga melihat apa yang mereka lakukan. Sementara itu, aku ingin pergi kepada Ki Lurah Branjangan. Mungkin ia tahu, siapakah putra salah seorang gadis dari Kalinyamat, yang kemudian menjadi istri Mas Ngabehi Loring Pasar itu.”

Kiai Jayaraga agaknya sependapat. Katanya, “Mungkin Ki Lurah memang mengetahuinya. la sering pergi ke Mataram dalam tugasnya sebagai Panglima Pasukan Khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh. Barangkali ia pernah mendengar seorang putra Panembahan Senapati yang memiliki kesenangan mirip dengan ayahnya, mengembara dari satu tempat ke tempat yang lain untuk menempa dirinya, dengan laku yang jarang ditempuh oleh orang lain.”

“Jika demikian,” berkata Agung Sedayu, “semakin cepat semakin baik. Besok aku akan bertemu dengan Ki Lurah Branjangan di baraknya.”

Demikianlah sebagaimana dikatakan oleh Agung Sedayu, maka di hari berikutnya ia telah minta diri kepada istrinya dan kepada Kiai Jayaraga untuk pergi ke barak pasukan khusus, sementara Glagah Putih menyempatkan diri pergi ke sawah.

“Mudah-mudahan kau mendapat keterangan tentang anak itu,” berkata Kiai Jayaraga.

Agung Sedayu yang sudah tidak lagi selalu datang di barak itu setiap hari, ternyata mendapat sambutan yang baik dari mereka yang tinggal di barak itu. Beberapa orang perwira telah menyongsongnya dan mempersilahkan untuk masuk ke ruang khusus bagi mereka. Sejak pertempuran yang terjadi di Tanah Perdikan itu melawan pasukan Ki Tumenggung Purbarana, rasa-rasanya mereka belum mendapat kesempatan untuk berbicara dan berkelakar seperti yang pernah mereka lakukan.

“Kau sendiri saja Agung Sedayu?” bertanya Ki Lurah.

“Ya. Aku hanya sekedar singgah,” jawab Agung Sedayu.

“Nampaknya kau sibuk sekali akhir-akhir ini. Kau jarang sekali melihat-lihat Tanah Perdikan di sisi ini,” berkata salah seorang perwira.

“Di sini sudah ada kalian,” jawab Agung Sedayu, “pengaruh kalian cukup besar bagi para petani. Bukankah kalian sering juga memberikan beberapa petunjuk kepada mereka?”

“Tetapi hanya kadang-kadang saja,” jawab perwira itu.

“Anak-anak Menoreh yang tinggal di barak ini tentu akan berbuat demikian bagi Tanah ini,” berkata Agung Sedayu.

“Yang sering kami lihat justru Glagah Putih,” berkata seorang perwira yang lain, ”ia sering berada di antara anak-anak muda di sekitar barak itu.”

“la mewakili aku,” sahut Agung Sedayu.

Dengan demikian maka merekapun sempat berbicara tentang perkembangan Tanah Perdikan Menoreh pada saat-saat terakhir.

Namun kemudian Agung Sedayu pun sampai kepada pokok persoalannya bahwa ia datang menemui Ki Lurah Branjangan.

Dengan singkat Agung Sedayu bercerita tentang anak muda yang masih agak lebih muda dari Glagah Putih, namun memiliki ilmu yang luar hiasa. Anak itu mengaku salah seorang tunas dari bunga yang di petik di taman Kanjeng Ratu Kalinyamat.

“Apakah Ki Lurah mengenalnya?” bertanya Agung Sedayu.

Ki Lurah mengerutkan keningnya. Katanya kemudian, “Mungkin aku pernah mendengarnya, seorang anak muda yang sebelumnya jarang berada di Mataram. Ibundanya pun jarang sekali nampak di Mataram. Mungkin yang dimaksudkan adalah salah seorang dari kemenakan Kanjeng Ratu Kalinyamat, yang berputra seorang anak laki-laki dengan Raden Sutawijaya yang bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar, yang kini bergelar Panembahan Senapati.”

“Apakah Ki Lurah mengenal anak itu? Kiai Jayaraga adalah seorang tua yang selalu kecewa terhadap murid-muridnya. Ia tidak ingin hal yang serupa terulang lagi. Karena itu, ia ingin meyakinkan dirinya, bahwa anak laki-laki muda itu tidak akan berpengaruh buruk terhadap sifat dan watak Glagah Putih,” sahut Agung Sedayu.

Ki Lurah termangu-mangu sejenak. Nampaknya ia sedang merenungi kata-kata Agung Sedayu. Namun kemudian iapun menjawab, “Aku belum dapat mengatakan apa-apa tentang anak muda itu. Aku belum mengenalnya. Tetapi aku bersedia untuk membantumu. Jika aku menghadap ke Mataram, maka aku akan berusaha untuk mengetahui, siapakah anak muda yang kau maksudkan.”

“Terima kasih Ki Lurah. Aku memang memerlukan keterangan itu. Bukan sekedar namanya. Tetapi juga sesuatu yang dapat menjadi ciri-cirinya.” Berkata Agung Sedayu kemudian, “Aku berkepentingan untuk meyakinkan diriku sendiri, dan terutama Kiai Jayaraga, bahwa kehadirannya tidak akan berpengaruh buruk terhadap Glagah Putih.”

“Dalam waktu dekat aku memang merencanakan untuk pergi ke Mataram. Aku akan memerlukan untuk memenuhi keinginanmu itu,” jawab Ki Lurah Branjangan.

Demikianlah, Agung Sedayu benar-benar mengharap agar Ki Lurah Branjangan mendapatkan satu keterangan yang dapat memberikan satu kepastian, apakah Glagah Putih dapat bermain-main terus dengan anak muda itu, atau sebaliknya.

Namun sementara itu, ternyata di hari-hari berikutnya anak muda itu lebih sering lagi berada di tempat Glagah Putih berlatih. Glagah Putih pun kemudian juga tidak pernah mengosongkan hari-harinya untuk menelusuri sungai itu, dan kemudian berlatih bersama dengan anak muda yang aneh, namun yang masih belum mau menyebut namanya.

Meskipun sekali-sekali anak muda itu menyebut satu nama, tetapi Glagah Putih yakin bahwa nama itu tentu bukan namanya, karena setiap kali ia mengucapkan nama yang berbeda.

Tetapi itu tidak penting bagi Glagah Putih. Latihan-latihan yang dilakukan bersama dengan anak muda itu telah memberikan banyak kemajuan bagi ilmunya. Bahkan latihan dalam hujan yang lebat di gelapnya malam yang terulang dua tiga kali, benar-benar memberikan satu pengalaman yang sangat berarti.

Dalam pada itu, maka Ki Lurah Branjangan pun berusaha untuk memenuhi permintaan Agung Sedayu. Tetapi agaknya tidak mudah baginya untuk mendapatkan keterangan tentang seorang anak muda yang mengaku keturunan gadis dari Kalinyamat itu.

Ki Lurah tidak dapat dengan serta merta bertanya tentang anak muda itu, agar tidak menarik perhatian, dan justru dapat menumbuhkan pertanyaan balik, kenapa ia mencari keterangan tentang anak muda itu.

Karena itu, maka usaha Ki Lurah tidak segera dapat diselesaikannya. Tetapi Ki Lurah menyadari, bahwa ia tidak boleh tergesa-gesa. Dan iapun mengerti bahwa Agung Sedayu akan memahami kesulitan yang dialaminya.

Dengan demikian, maka ketika ia kembali ke Tanah Perdikan dan belum berhasil mengetahui dengan pasti tentang anak muda itu, Agung Sedayu pun memakluminya.

“Tetapi menurut pendengaranku, memang ada seorang anak muda di dalam istana Panembahan Senapati, yang sebelumnya jarang nampak di istana itu,” berkata Ki Lurah Branjangan. “Mungkin ia adalah salah seorang putra Panembahan Senapati di antara putra-putranya yang lain, yang belum lama berada di Mataram.”

“Kami sudah memperkirakannya demikian,” berkata Agung Sedayu.

Namun hal itu justru mendorong Agung Sedayu untuk lebih cepat mengetahui siapakah anak muda itu. Karena itu, maka ia pun kemudian berkata kepada Ki Lurah Branjangan, “Ki Lurah. Jika pada kesempatan yang pendek Ki Lurah akan pergi ke Mataram, Apakah aku boleh ikut serta?”

Ki Lurah mengerutkan keningnya. Sebenarnya ia tidak berkeberatan untuk membawa Agung Sedayu. Tetapi agar kehadiran Agung Sedayu di Mataram bukan hanya sekedar seperti orang yang melihat-lihat keadaan, maka Ki Lurah itupun kemudian berkata, “Agung Sedayu. Aku setuju dengan rencanamu. Tetapi coba pikirkan apa yang akan kau lakukan di Mataram, agar kehadiranmu di Mataram mempunyai alasan yang kuat.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. la mengerti maksud Ki Lurah Branjangan. Karena itu, maka katanya, “Baiklah Ki Lurah. Mungkin tidak pantas bagiku jika aku datang ke Mataram sekedar untuk menengok keselamatan Panembahan Senapati. Bahkan mungkin akan terasa bahwa sikapku sangat deksura, karena Panembahan Senapati sekarang berbeda dengan Raden Sutawijaya beberapa saat yang lampau, bahkan saat ia masih bergelar Senapati Ing Ngalaga.”

“Tetapi aku kira Panembahan Senapati tidak bermaksud demikian,” berkata Ki Lurah Branjangan.

“Aku mengerti, bahwa Panembahan Senapati masih tetap sebagaimana nampak pada Senapati ing Ngalaga waktu itu,” berkata Agung Sedayu, “tetapi soalnya adalah bahwa kedudukannya telah menempatkannya pada tempat yang khusus sekarang ini.”

Ki Lurah mengangguk-angguk, sementara Agung Sedayu pun berkata, “Ki Lurah. Dalam kesempatan yang akan datang, aku akan pergi bersama Ki Lurah, karena aku akan pergi ke Sangkal Putung untuk menemui Guru, atau Swandaru, jika Guru berada di Jati Anom.”

Ki Lurah mengangguk-anggukkan. Katanya, “Baik. Kau sekedar singgah dan barangkali bermalam satu malam di Mataram.”

Dengan demikian, maka Agung Sedayu harus menunggu lagi beberapa lama. Sementara itu anak muda yang aneh itu telah hadir beberapa kali di tempat Glagah Putih berlatih.

Namun perkembangan ilmu Glagah Putih selalu diamati oleh gurunya. Di saat-saat tertentu, Glagah Putih harus berlatih dengan gurunya. Bukan saja untuk meningkatkan ilmunya dan menambah dasar-dasar ilmu yang masih belum disadapnya, tetapi dengan demikian Kiai Jayaraga dapat mengamati gerak ilmu muridnya setelah ia terlibat dalam latihan-latihan bersama dengan anak muda yang aneh itu.

Menurut pengamatan Kiai Jayaraga, Glagah Putih sama sekali tidak mendapat sisipan unsur ilmu apapun juga. Yang terjadi padanya adalah pengembangan ilmu Glagah Putih sendiri, sesuai dengan keadaan dan waktu latihan yang diadakan di pinggir kali, yang kadang-kadang dalam keadaan hujan yang sangat lebat dan angin yang kencang.

Dengan demikian maka Kiai Jayaraga menjadi semakin yakin, bahwa kehadiran anak muda itu tidak berpengaruh buruk terhadap ilmu Glagah Putih, serta tidak akan mengganggu perkembangan dan pertumbuhan wadagnya.

Namun demikian Kiai Jayaraga tidak tahu, apakah dalam pergaulan itu tidak akan terjadi pengaruh yang buruk terhadap kejiwaan Glagah Putih, karena Kiai Jayaraga tidak mengetahui dengan pasti sifat dan watak anak muda itu, meskipun sampai saat terakhir, masih tidak nampak gejala-gejala pengaruh buruk itu.

Sementara itu, ketika Ki Lurah Branjangan memberitahukan untuk pergi ke Mataram, maka Agung Sedayu pun telah bersiap-siap pula. Meskipun ia tidak berniat untuk pergi ke Sangkal Putung, maka iapun telah merencanakan untuk pergi pula. la ingin berbicara dengan Kiai Gringsing tentang perkembangan Glagah Putih. Terutama dengan ayah anak muda itu, Ki Widura.

Demikianlah, maka Agung Sedayu pun pada saatnya telah meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Ia sengaja tidak pergi bersama Sekar Mirah atau Kiai Jayaraga, agar ia mendapat lebih banyak kesempatan untuk bergerak di Mataram, sehingga memungkinkannya untuk mengetahui serba sedikit tentang anak muda yang aneh itu.

Perjalanan ke Mataram memang bukan perjalanan yang panjang. Ketika mereka menyeberangi Kali Praga, maka air Kali Praga itu masih juga berwarna lumpur, meskipun sudah tidak lagi mengalir terlalu besar. Agaknya Kali Praga itu baru saja banjir, meskipun tidak terlalu besar.

Di Mataram, Agung Sedayu berniat untuk bermalam semalam jika keadaan memungkinkan, karena ia masih belum tahu, bagaimanakah tanggapan orang-orang Mataram, terutama Panembahan Senapati sendiri.

Ternyata sambutan orang Mataram cukup baik terhadap Agung Sedayu. Mereka menyadari, apa saja yang telah dilakukan oleh Agung Sedayu bagi Mataram. Sehingga dengan demikian maka bagi Mataram, Agung Sedayu adalah termasuk orang yang telah memberikan jasa-jasanya sehingga Mataram kemudian menjadi kokoh, setelah Pajang kehilangan kedudukannya sebagai pusat pemerintahan. Karena Pajang kemudian adalah satu wilayah yang diperintah oleh seorang Adipati yang berada di bawah pemerintahan Mataram.

Bahkan Panembahan Senapati yang kemudian mendapat laporan tentang kehadiran Agung Sedayu yang singgah hanya semalam dalam perjalanannya, telah memanggilnya untuk menghadap dan berbincang-bincang tentang kemajuan Tanah Perdikan Menoreh.

Dalam kesempatan itulah, maka Agung Sedayu dan Ki Lurah Branjangan melihat seorang anak muda yang sekedar lewat, sebelum keduanya memasuki ruang dalam yang dipergunakan oleh Panembahan Senapati untuk menerima Agung Sedayu dan Ki Lurah Branjangan.

Bagaimanapun juga, telah terjadi perubahan pada Panembahan Senapati. Sikapnya, kata-katanya dan bahkan batasan-batasan yang tidak dapat diabaikan, sebagaimana seseorang yang menghadap seorang pemimpin pemerintahan tertinggi. Meskipun Panembahan Senapati tidak menyebut dirinya sebagai seorang Raja, tetapi kedudukannya adalah kedudukan seorang raja yang memerintah satu daerah luas.

Namun ternyata bahwa Panembahan Senapati sendiri sebagai pribadi tidak banyak berubah. la masih berbicara dengan lancar dan menyebut berbagai peristiwa yang pernah dialami. Bahkan Panembahan Senapati masih juga mengucapkan terima kasih kepada Agung Sedayu tentang jasa-jasanya yang pernah diberikannya kepada Mataram.

“Tanpa kau, pasukan khusus di Tanah Perdikan Menoreh itu tidak akan terbentuk sebagaimana yang kita lihat di Prambanan,” berkata Panembahan Senapati.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam, sementara Panembahan Senapati berkata selanjutnya, “Juga kepada istrimu Agung Sedayu, aku mengucapkan terima kasih. Kepada Swandaru dan Pandan Wangi. Terutama kepada Kiai Gringsing. Ternyata Kiai Gringsing adalah salah seorang yang masih memiliki ilmu yang jarang ada duanya sekarang ini, karena Kiai Gringsing adalah kekuatan yang masih tinggal dari masa kejayaan Majapahit, meskipun berjarak tataran.”

“Semuanya adalah kewajiban yang harus hamba lakukan,” berkata Agung Sedayu, “sebagaimana yang harus dilakukan oleh istri, saudara-saudara hamba dan juga guru hamba itu.”

Panembahan Senapati tersenyum. Katanya kemudian, “Sampaikan salamku kepada istrimu, saudara seperguruanmu suami istri, gurumu dan sanak kadang semuanya.”

“Hamba, Panembahan,” jawab Agung Sedayu.

Ternyata masih banyak yang dibicarakan oleh Panembahan Senapati tentang masa-masa yang paling berat bagi Mataram. Namun kemudian katanya, “Tetapi tugas kita sekarang tidak kalah beratnya. Kita harus membangun Mataram. Mengatasi segala masalah yang tumbuh kemudian, dan tetap berpijak pada azas yang mendasar dari perjuangan kita.”

Agung Sedayu hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya. Memang terasa ada jarak antara dirinya dengan Panembahan Senapati. Bagaimanapun juga, di kehendaki atau tidak di kehendaki.

Ternyata Agung Sedayu tidak dapat lama menghadap, karena Panembahan Senapati sudah ditunggu oleh tugas yang lain, yang harus diselesaikannya juga.

Namun Agung Sedayu sudah melihat anak muda yang di kehendakinya itu berada di Mataram.

Ketika Agung Sedayu keluar dari ruang penghadapan, maka sekali lagi ia melihat anak muda itu. Tidak sekedar lewat. Tetapi anak muda itu telah melihatnya pula, sehingga anak muda itu terhenti sejenak.

Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Mungkin kedatangannya tidak dikehendaki oleh anak muda itu, karena anak muda itu dapat saja menyangka, bahwa kedatangannya sengaja untuk melaporkan tingkah-lakunya.

Tetapi ternyata anak muda itu sama sekali tidak berkeberatan atas kehadirannya. Bahkan ketika anak muda itu metihatnya, maka iapun mendekatinya sambil berdesis, “Bukankah kita pernah berkenalan?”

“Ya,” jawab Agung Sedayu, “kita memang pernah berkenalan.”

“Selamat datang,” berkata anak muda itu selanjutnya, “aku belum sempat mengucapkannya sebelumnya, karena baru sekarang aku melihatmu.”

“Aku sudah melihatmu tadi,” berkata Agung Sedayu, “tetapi agaknya kau tidak memperhatikanku.”

“Ya. Mungkin sekali. Silahkan. Apakah kau mempunyai kepentingan dengan Panembahan Senapati, atau dengan aku?” bertanya anak muda itu.

“Aku baru saja menghadap Panembahan Senapati,” jawab Agung Sedayu.

“O,” anak muda itu mengangguk-angguk, “jadi persoalanmu datang ke Mataram sudah selesai?”

“Ya. Aku hanya sekedar singgah dalam perjalananku ke Sangkal Putung,” jawab Agung Sedayu.

“Singgah untuk apa? Atau barangkali karena Ki Lurah akan membuat laporan tentang pasukan khususnya, dan kau membuat laporan tentang yang lain?” bertanya anak muda itu.

“Aku tidak melaporkan apa-apa. Aku hanya singgah saja. Sudah lama aku tidak menghadap Panembahan Senapati,” berkata Agung Sedayu.

“Hanya menghadap tanpa maksud apa-apa? He, apakah Panembahan Senapati mempunyai waktu untuk menerimamu jika kedatanganmu sekedar untuk singgah?“ bertanya anak muda itu pula.

“Ya. Ternyata Panembahan Senapati berkenan menerima aku,” jawab Agung Sedayu.

Anak muda itu tersenyum. Katanya, “Kau tentu orang penting. Aku memang sudah menduga. Jika tidak, tidak akan mungkin kau dapat di terima secara khusus.” Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Anak muda itu memang belum terlalu lama berada di Mataram, sehingga ia masih belum banyak mengenal orang-orang yang telah lama berhubungan dengan Panembahan Senapati.

Namun dalam pada itu, pembicaraan yang disaksikan oleh beberapa orang Mataram itu merupakan kesempatan baik bagi Agung Sedayu untuk mengetahui serba sedikit tentang anak muda itu. Karena ketika anak muda itu kemudian meninggalkannya, Agung Sedayu sempat bertanya kepada beberapa orang tentang anak muda itu.

Tetapi sebagaimana dengan sikap Ki Lurah, maka Agung Sedayu pun tidak melakukannya dengan serta merta. Untuk beberapa saat ia sempat berbincang dengan beberapa orang perwira yang sudah dikenalnya baik-baik. Para perwira yang pernah berada bersama dalam satu medan pertempuran.

Namun akhirnya Agung Sedayu pun mendapatkan kesempatan pula untuk mempertanyakan seorang anak muda yang belum cukup lama berada di Mataram.

Tanpa menarik perhatian secara khusus, maka Agung Sedayu sempat bertanya kepada seorang perwira yang pernah dikenalnya dengan baik, “Aku belum pernah melihat anak muda itu sebelumnya. Tetapi nampaknya anak itu ramah sekali.”

Perwira itu mengangguk-angguk. Katanya, “la belum lama berada di istana. Sebelumnya ia berada di Kalinyamat. Pernah tinggal untuk beberapa lama di Pajang. Namun akhirnya ia berada di istana ayahandanya.”

“la benar putra Panembahan Senapati dari gadis Kalinyamat itu?“ bertanya Agung Sedayu.

“Ya. Salah seorang kemenakan Ratu Kalinyamat. Puteri Semangkin yang mempunyai cerita berbelit-belit dalam hubungannya dengan keluarga Istana Pajang, dan kemudian dengan Raden Sutawijaya yang waktu itu bergelar Mas Ngabehi Loring Pasar,” jawab perwira itu. Tetapi dengan tergesa-gesa ia berkata selanjutnya, “Tetapi aku tidak tahu kebenaran dari cerita yang berloncatan dari mulut ke mulut. Jangan anggap bahwa yang aku katakan itu adalah satu kebenaran, atau kau anggap bahwa aku telah mengatakan sesuatu yang dapat menimbulkan salah paham.”

“Aku mengerti,” jawab Agung Sedayu, “mungkin cerita itu benar, tetapi mungkin pula tidak. Tetapi bukankah yang penting anak muda itu sekarang telah diterima dan berada di istana ayahandanya di Mataram?“ sahut Agung Sedayu.

“Ya,” jawab perwira itu, “apapun cerita yang pernah kita dengar sebelumnya, namun kita akan melihat apa yang kita saksikan sekarang ini.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Seakan-akan tanpa disengaja ia bertanya, “Siapakah nama putra Panembahan Senapati itu?”

Perwira itu memang tidak menaruh curiga. Dengan ringan ia menjawab, “Raden Rangga.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada datar ia mengulang, “Raden Rangga. Nama yang pantas untuk anak muda yang perkasa itu.”

Perwira itu mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Kau tahu bahwa anak muda itu adalah anak muda yang perkasa?”

Agung Sedayu menegang sejenak. Tetapi ia pun kemudian tersenyum sambil menjawab, “Aku hanya mendengar dari beberapa orang, bahwa anak muda yang baru saja berada di istana ini, putra Panembahan Senapati dari putri Kalinyamat, adalah seorang anak muda yang perkasa.”

“Kau benar,” jawab perwira itu, “tetapi nakalnya bukan main. Kau pernah mendengar cerita tentang Jaka Tingkir di masa mudanya? Yang mampu memukul kepala seekor kerbau yang sedang mengamuk dan tidak dapat dikuasai sekelompok prajurit yang sedang berburu di hutan?”

“Ya, aku memang pernah mendengarnya,” jawab Agung Sedayu, “anak muda yang kemudian menjadi Sultan di Pajang itu telah memukul kepala kerbau yang sedang mengamuk itu sehingga pecah.”

Perwira itu mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Anak itu juga telah melakukannya. Ketika anak muda itu berada di sebuah padukuhan, seekor kerbau yang lepas dari ikatannya sesaat sebelum disembelih telah mengamuk. Tidak seorangpun yang berani menangkap kerbau yang sedang mengamuk itu. Tetapi, ternyata Raden Rangga dengan tenang telah menyongsong kerbau yang mengamuk itu. Ketika kerbau itu menyerangnya dengan tanduknya yang runcing, maka dengan kedua tangannya, sepasang tanduk itu telah ditangkapnya. Kepala kerbau itu dipuntirnya, dan dengan sekali pukul, kerbau itu telah jatuh terguling di tanah. Mati.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. la sama sekali tidak menyangkal. Melihat latihan yang dilakukan oleh anak muda itu bersama dengan Glagah Putih, maka hal seperti yang dikatakan oleh perwira itu memang mungkin sekali terjadi.

Dengan demikian, maka Agung Sedayu telah mendapatkan beberapa keterangan tentang anak muda itu. Perwira itupun mengatakan, bahwa Raden Rangga bukan termasuk anak muda yang bertabiat buruk.

“Tetapi anak muda itu terlalu mudah menuruti perasaannya,” berkata perwira itu, “ia kadang-kadang tanpa berpikir panjang telah melakukan sesuatu yang ingin dilakukan. la tidak mau membuat pertimbangan yang cukup, apalagi minta pendapat orang lain. Dengan demikian maka kadang-kadang tingkah lakunya telah mengejutkan orang lain.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Dengan nada dalam ia menjawab, “Agaknya demikian sifat anak-anak muda. Apalagi anak itu masih terlalu muda.”

“Tetapi sifat itu agak berlebihan,” berkata perwira itu.

“Jika umurnya bertambah, maka pertimbangannya pun akan bertambah pula,” berkata Agung Sedayu.

“Mudah-mudahan,” jawab perwira itu, “tetapi dalam waktu yang pendek selama ia berada di Mataram, sifatnya telah membuat ayahandanya beberapa kali marah. Selain membunuh seekor kerbau, maka anak itu telah membunuh pula seorang gembong perampok yang tidak terkalahkan di tlatah Kepandak.”

“Kepandak di daerah Mangir?” bertanya Agung Sedayu.

“Ya. Dan hal itu telah menyebabkan Kiai Ageng Mangir agak kecewa. Kiai Ageng Mangir merasa dikecilkan, seolah-olah Kiai Ageng Mangir tidak dapat mengatasinya sendiri Padahal kita tahu, bahwa Kiai Ageng Mangir adalah seorang yang mumpuni,” berkata perwira itu.

“Lalu?” bertanya Agung Sedayu.

“Untunglah bahwa Panembahan Senapati dapat memaksa Raden Rangga untuk menemui Kiai Ageng Mangir untuk menjelaskan kenapa ia telah membunuh gembong perampok di daerah Kepandak itu,” berkata perwira itu. “Dan ternyata alasan Raden Rangga yang muda itu dapat dimengerti oleh Ki Ageng Mangir.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia mempunyai gambaran yang semakin jelas tentang anak muda itu.

Ternyata bahwa sesuai dengan cerita-cerita yang didengarnya tentang Raden Rangga, tidak ada persoalan yang dapat dianggap bahwa Raden Rangga mempunyai tabiat yang kurang baik. Namun satu hal yang harus diperhatikan, Raden Rangga terlalu menuruti kehendaknya sendiri. Sulit sekali bagi keluarganya untuk mengaturnya, apalagi dengan ikatan-ikatan yang ketat sebagaimana seharusnya bagi seorang putra pemimpin tertinggi dari satu pemerintahan yang besar, meskipun tidak disebut sebagai seorang Raja.

“Glagah Putih harus mengetahui sifat-sifat Raden Rangga,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya, “supaya ia tidak terseret ke dalam arus perasaannya saja sebagaimana Raden Rangga itu sendiri. Mungkin tingkah lakunya tidak menimbulkan persoalan, tetapi sebaliknya akan mungkin memerlukan satu perhatian yang khusus.”

Tetapi untuk sementara ia dapat membiarkan Glagah Putih bergaul dengan anak muda itu, karena latihan-Iatihan yang mereka adakan memberikan manfaat bagi Glagah Putih.

Ketika Agung Sedayu sudah merasa cukup berada di Mataram, meskipun hanya semalam, maka ia pun mohon diri. Sebagaimana dikatakan, meskipun tidak penting sekali, maka iapun melanjutkan perjalanannya ke Sangkal Putung.

Sambil tersenyum Ki Lurah Branjangan berkata, “Jadi kau terpaksa menempuh perjalanan itu.”

“Ya,” Agung Sedayu pun tersenyum, “tetapi bukan perjalanan yang terlalu panjang. Jarak ke Sangkal Putung adalah jarak yang pendek. Apalagi keadaan sekarang sudah tenang, sehingga perjalanan ini akan dapat aku tempuh sambil duduk terkantuk-kantuk di punggung kuda.”

“Tetapi trapkan ilmu kebalmu di sepanjang perjalanan,” berkata Ki Lurah Branjangan.

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Kenapa?”

“Apakah kau dapat mengetrapkan ilmumu sambil mengantuk? Tetapi aku kira hal itu perlu sekali. Jika kau terjatuh dari kudamu karena mengantuk, kau tidak akan terluka,” jawab Ki Lurah.

Agung Sedayu tertawa. Namun kemudian jawahnya, “Baiklah aku akan mencobanya.”

Demikianlah, setelah minta diri kepada Panembahan Senapati, maka Agung Sedayu pun telah meninggalkan Mataram. Tetapi seperti yang dikatakannya, ia memang pergi ke Sangkal Putung. Tidak ada maksud yang khusus, kecuali sekedar melihat keselamatan keluarga Sangkal Putung dan keterlanjurannya mengatakan hal itu kepada orang-orang Mataram.

Perjalanan ke Sangkal Putung ternyata benar-benar merupakan perjalanan yang tenang. Di sepanjang jalan Agung Sedayu bertemu dengan beberapa pedati yang memuat bahan-bahan makanan hasil sawah yang akan dibawa ke kota. Beberapa orang pejalan kaki yang hilir mudik dan beberapa orang yang melintasi jalan-jalan di atas punggung kuda seperti dirinya sendiri.

Warung-warung di pinggir jalan pun nampaknya banyak dikunjungi orang, sehingga suasana di sepanjang jalan nampak betapa Mataram menjadi semakin subur.

Ketika Agung Sedayu menjadi semakin jauh dari Kota Raja, maka ia melihat hijaunya sawah yang terbentang seakan-akan tidak bertepi. Padukuhan-padukuhan yang nampak di tengah-tengah lautan batang padi muncul bagaikan pulau-pulau yang hijau kehitaman.

Hembusan angin yang menyentuh daun padi telah mengguncang bagaikan ombak yang lembut mengalir dari ujung sampai ke ujung.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Jika Mataram dapat mempertahankan keadaan yang tenang dan damai itu untuk waktu yang lama, maka rakyatnya akan mendapat kesempatan untuk menikmati suburnya Tanah ini.

Sejak Majapahit yang diperintah oleh Rajanya yang terakhir jatuh, maka setiap kali di atas Tanah ini telah timbul peperangan yang menghancurkan sendi-sendi kehidupan. Demak yang menggantikan Majapahit, telah dihancurkan oleh perang saudara. Kemudian Pajang bahkan hanya diperintah oleh satu tataran, sementara pemerintahan berikutnya telah berpindah ke Mataram.

“Apakah Mataram juga akan mengalami nasib seperti Pajang?” pertanyaan itu telah mengusik hati Agung Sedayu.

Tetapi ia tidak ingin tenggelam dalam angan-angannya. Maka yang diperhatikan oleh Agung Sedayu kemudian adalah kilatan cahaya Matahari yang jatuh di dedaunan yang bergerak disentuh angin.

Sangkal Putung memang tidak terlalu jauh. Namun Agung Sedayu harus berhenti untuk memberi kesempatan kudanya beristirahat. Seperti yang biasa dilakukannya, maka Agung Sedayu telah berhenti di pinggir Kali Opak. Ia sempat duduk bersandar sebatang pohon yang rindang, sambil membiarkan kudanya makan rerumputan segar di pinggir sungai dan minum sepuas-puasnya.

Namun selagi Agung Sedayu merenung, maka tiba-tiba saja ia teringat pada perang besar yang telah terjadi di pinggir Kali Opak itu. Dua kekuatan yang besar bersiap-siap di seberang-menyeberang sungai. Dua kekuatan dari satu keluarga yang besar yang saling bermusuhan.

“Air itu mengalirkan darah,” berkata Agung Sedayu. Bahkan terbayang di angan-angannya, bagaimana sebagian dari prajurit Pajang menjadi bingung dan putus asa ketika orang-orang Mataram memecah bendungan di beberapa tataran sehingga banjir yang besar tidak tercegah lagi. Para prajurit Pajang yang kehilangan kesempatan untuk menghindari banjir itu telah hanyut sambil berteriak tinggi. Tangannya yang semula menggenggam senjata, telah menggapai-gapai. Tetapi tangan itu tidak menangkap pegangan apapun yang dapat menyelamatkan nyawanya.

Agung Sedayu tersadar ketika ia mendengar beberapa orang anak-anak kecil yang saling bekerjaran dan berteriak-teriak nyaring. Merekapun kemudian dengan serta merta telah melepaskan pakaiannya dan terjun ke bagian yang dangkal dari Kali Opak.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Masa kecilnya pun sebagaimana anak-anak itu, ia juga sering mandi di sebuah sungai yang tidak terlalu besar, tetapi bertebing tinggi, berbatu-batu besar. Dan bahkan kemudian ternyata bahwa di tebing sungai itu terdapat sebuah goa yang memuat tuntunan ilmu keturunan Ki Sadewa.

Agung Sedayu itupun kemudian justru bangkit. Kudanya sudah cukup lama beristirahat, sehingga ia pun siap untuk meneruskan perjalanan ke Sangkal Putung.

Karena Kali Opak yang kebetulan tidak sedang banjir, maka Agung Sedayu tidak memerlukan sebuah rakit untuk menyeberang, bahkan orang yang berjalan kaki pun dapat menyeberang tanpa membahayakan dirinya.

Perjalanan berikutnya adalah perjalanan yang tenang meskipun matahari bagaikan menyengat kepala. Panasnya bukan main. Tetapi rasa-rasanya perjalanan Agung Sedayu adalah perjalanan tamasya yang segar. Pepohonan yang rindang tumbuh di sebelah-menyebelah jalan. Daunnya tumelung ke atas jalan yang dilaluinya, sehingga melindunginya dari panas matahari yang semakin tajam.

Sebuah hutan kecil telah dilaluinya. Kemudian beberapa sungai kecil diseberangi, sehingga akhirnya maka Agung Sedayu pun telah memasuki Sangkal Putung tanpa hambatan, meskipun lehernya merasa sangat haus.

Kedatangannya di Sangkal Putung memang mengejutkan. Tetapi wajahnya yang cerah dan sikapnya yang wajar, telah membuat orang-orang Sangkal Putung menjadi tenang.

Dengan serta merta Ki Demang dan Swandaru suami istri yang kebetulan berada di rumah telah menyongsongnya dan mempersilahkannya untuk naik ke pendapa.

Setelah mengucapkan selamat dan berita keselamatan dari Tanah Perdikan, maka Agung Sedayu pun kemudian bertanya tentang gurunya, “Apakah Guru berada di sini?”

Swandaru menggelengkan kepalanya. Katanya, “Tidak. Sudah lama Guru berada di Jati Anom. Hanya kadang-kadang saja Guru datang. Tetapi hanya sejenak. Kemudian kembali lagi ke padepokan kecilnya.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. la memang sudah mengira bahwa gurunya memang berada di padepokan kecilnya.

Sementara hidangan di persiapkan, maka mereka yang berada di pendapa telah terlibat dalam pembicaraan yang riuh. Sekali-sekali terdengar Swandaru tertawa. Namun kemudian ia menjadi agak bersungguh-sungguh ketika Agung Sedayu mulai menceritakan kehadiran pasukan Purbarana.

Cerita itu memang sangat menarik, Namun sekali lagi Swandaru membuat gambaran yang salah tentang kemampuan Agung Sedayu. Baginya lawan Agung Sedayu itu tidak lebih dari berandal-berandal yang membuat sarangnya seperti padepokan-padepokan. Karena itu, maka kemampuan merekapun tidak lebih dari kemampuan seorang gegedug brandal.

Agung Sedayu pun merasakan tanggapan Swandaru itu. Tetapi Agung Sedayu tidak mempersoalkannya. Bahkan ia tidak menyebut-nyebut lagi apa yang telah dilakukan di peperangan itu.

“Tetapi bagaimana dengan Sekar Mirah sekarang?” bertanya Ki Demang.

“Sekar Mirah sudah baik,” jawab Agung Sedayu, “ia sudah sering berada di sanggar lagi untuk meningkatkan ilmunya.”

“Syukurlah,” desis Ki Demang. Lalu, “Tetapi kenapa kau tidak memberitahukan kepada kami pada saat itu, atau kepada gurumu, agar dapat diberikan pengobatan yang lebih baik.”

“Persoalannya tidak terlalu gawat,” jawab Agung Sedayu, “dan semuanya sudah dapat diatasi dengan baik.”

Ki Demang mengangguk-angguk. Namun rasa-rasanya kerinduannya kepada anak perempuannya telah menggelitik hatinya. Meskipun demikian Ki Demang tidak mengatakannya kepada siapapun juga.

Agung Sedayu yang ingin segera bertemu dengan gurunya, terpaksa bermalam di Sangkal Putung semalam atas permintaan Ki Demang. Baru di pagi hari berikutnya Agung Sedayu pergi ke Jati Anom.

“Aku juga ingin bertemu dengan Ki Widura,” berkata Agung Sedayu, “aku ingin menyampaikan kesan tentang anak laki-lakinya yang nakal itu.”

Seperti waktu Agung Sedayu datang di Sangkal Putung, maka ia pun pergi ke Jati Anom seorang diri untuk menemui gurunya. Meskipun tidak ada hal yang memaksa untuk menemuinya, tetapi ia perlu berbicara tentang beberapa hal. Juga tentang Glagah Putih.

Kedatangan Agung Sedayu membuat gurunya menjadi gembira sekali. Rasa-rasanya sudah lama sekali Kiai Gringsing tidak bertemu dengan Agung Sedayu. Karena itu, maka kedatangannya benar-benar sesuatu yang sangat diharapkan. Apalagi ketika kemudian Kiai Gringsing mengetahur bahwa kedatangan Agung Sedayu tidak membawa persoalan apapun juga, kecuali sekedar menengok keselamatan keluarga di Sangkal Putung dan gurunya di Jati Anom, serta keluarga Ki Widura di Banyu Asri.

“Kau tidak menemui kakakmu?” bertanya Kiai Gringsing

“Kakang Untara masih tetap pada kedudukannya yang lama sebagaimana masa pengabdiannya kepada Pajang?”

“Ya. Tetapi dalam kedudukan yang sebaliknya,” jawab gurunya.

“Aku kurang tahu maksud Guru,” berkata Agung Sedayu.

“Sekarang Untara bukan lagi prajurit Pajang yang menghadap ke Mataram. Tetapi prajurit Mataram yang menghadap ke Pajang,” jawab Kiai Gringsing pula.

“Maksud guru, Kakang Untara dihadapkan kepada Adipati Wirabumi di Pajang? Apakah benar sebagaimana desas-desus yang pernah aku dengar, ada sedikit mendung di atas Pajang? Justru pada saat kita memandang langit di atas Madiun dengan buram,” desak Agung Sedayu.

Tetapi Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Para cantrik telah menyiapkan hidangan. Marilah. Minumlah selagi masih hangat. Sebaiknya kau menemui kakangmu Untara. Anaknya kini sudah pintar berkelahi.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tiba-tiba saja ia teringat bahwa anak Untara memang seharusnya sudah lahir, dan bahkan seperti yang dikatakan oleh Kiai Gringsing, sudah pintar berkelahi.

Karena itu, maka tiba-tiba saja telah timbul keinginannya untuk segera mengunjungi kakaknya.

Namun Agung Sedayu tidak ingin mengecewakan para cantrik yang tidak seberapa jumlahnya, yang telah menyediakan hidangan baginya, Karena itu, maka Agung Sedayu pun kemudian telah meneguk minuman hangat dan beberapa potong makanan.

“Apakah kau ingin makan?” bertanya Kiai Gringsing.

“Tidak Guru. Terima kasih. Aku masih kenyang,” jawab Agung Sedayu.

“Jika kau ingin makan, aku kira para cantrik baru saja membuat belubus daun lumbu. Mereka baru membersihkan pinggir belumbang dan menebangi pohon lumbu itu,” berkata Kiai Gringsing.

“Nanti siang aku akan makan nasi hangat dengan belubus daun lumbu itu Guru. Aku memang gemar sekali belubus lumbu, asal tidak kebetulan daun lumbu yang menggatalkan leher,” jawab Agung Sedayu.

Namun dalam pada itu, setelah minum dan makan makanan beberapa potong, maka Agung Sedayu pun berkata, “Guru, sebenarnya aku tidak mempunyai rencana khusus untuk menemui Kakang Untara, meskipun aku memang akan sekedar singgah. Tetapi Guru mengatakan, bahwa anak Kakang Untara sudah pandai berkelahi, maka rasa-rasanya aku ingin datang Iebih cepat.”

“Pergilah,” berkata Kiai Gringsing, “bukankah kau tidak mempunyai persoalan yang khusus dan penting sekali dengan aku?”

“Tidak Guru. Hanya ada beberapa cerita yang mungkin lebih mapan jika aku ceritakan sesudah makam malam nanti, menjelang tidur,” berkata Agung Sedayu.

Dengan demikian, maka Agung pun telah minta diri untuk pergi ke rumah kakaknya. Agaknya Agung Sedayu tidak ingin mempergunakan kudanya, sehingga ditinggalkannya kudanya di padepokan kecil itu. la lebih senang berjalan sambil mengenali jalan-jalan yang hampir setiap hari dilaluinya di masa kanak-kanaknya.

Dengan berjalan kaki, Agung Sedayu menuju ke rumah kakaknya. Rasa-rasanya masih belum ada perubahan sebagaimana Untara masih menjadi prajurit Pajang. Rumah kakaknya itu masih juga untuk kepentingan keprajuritan, sehingga seakan-akan memang tidak terjadi perubahan apapun secara wadag di Jati Anom.

Namun seperti kata gurunya, Untara tidak lagi prajurit Pajang yang menghadap ke Mataram, tetapi prajurit Mataram yang menghadap ke Pajang.

Ketika ia memasuki padukuhan induk, maka beberapa orang yang sudah pernah mengenalnya, segera menyapanya. Kawan-kawan di masa kanak-kanak telah mengguncang tubuhnya dengan penuh kegembiraan.

Meskipun sebelumnya Agung Sedayu sudah sering datang ke padukuhan itu, tetapi setelah perang berakhir, rasa-rasanya mereka belum mendapat kesempatan untuk bertemu.

Beberapa kali Agung Sedayu terpaksa berhenti untuk saling berbincang dengan kawan-kawan lamanya. Sebagian dari mereka memang pernah mendengar tentang kebesaran nama Agung Sedayu. Tetapi ketika mereka bertemu dengan orangnya, maka orangnya masih saja seperti di saat-saat namanya belum disebut oleh setiap prajurit. Agung Sedayu masih sama saja seperti dahulu. Bahkan rasa-rasanya masih belum berubah seperti Agung Sedayu yang penakut, selain kerut umurnya yang bertambah semakin tua.

“Aku sudah lama tidak bertemu dengan Kakang Untara,” berkata Agung Sedayu.

“Kakangmu ada di rumah. la tidak terlalu sibuk seperti menjelang perang. Prajurit-prajuritnya pun kini mempunyai lebih banyak waktu, sehingga mereka dapat bekerja bersama para petani di sawah, membuat jalan-jalan dan memperbaiki bendungan,” berkata seorang kawannya.

Agung Sedayu tersenyum, Katanya kemudian, “Menurut pendengaranku, anak Kakang Untara sudah tumbuh semakin besar.”

“O, ya” jawab kawannya, “anak itu memang sudah menjadi besar. la sudah sering bermain-main dengan naik kuda.”

“Naik kuda? He, apa aku tidak salah dengar?” bertanya Agung Sedayu.

“Memang, naik kuda kepang. Anak itu senang bermain kuda kepang,” jawab kawannya.

Agung Sedayu tertawa. Kawannya itu pun tertawa.

Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu pun telah memasuki regol rumah kakaknya yang dijaga oleh seorang prajurit. Tetapi karena prajurit itu sudah mengenal Agung Sedayu, maka sambil mengangguk hormat ia mempersilahkan Agung Sedayu masuk.

Kedatangan Agung Sedayu diterima oleh kakaknya suami istri dengan gembira. Dipersilahkannya Agung Sedayu masuk ke serambi samping, karena bagian dalam rumahnya masih dipergunakan untuk kepentingan para prajurit.

“Kau sudah lama sekali tidak berkunjung kemari,” berkata istri Untara, “kau sekarang benar-benar seorang laki-laki. Beberapa waktu yang lalu, kau rasa-rasanya masih seorang anak yang sedang tumbuh.”

Agung Sedayu tersenyum. la ingat benar, bahwa Mbokayunya itu terlalu memanjakannya. Melampaui Untara sendiri, yang bahkan lebih banyak marah kepadanya.

Namun dalam pada itu Untara menyahut, “Aku tidak berani lagi memarahinya sekarang, meskipun aku masih saja kecewa terhadapnya.”

“Ah kau,” desis istrinya.

Tetapi Untara tersenyum. Katanya, “la masih anak malas. Tanyakan kepadanya, apa kerjanya sekarang? Bukankah ia masih seorang penganggur meskipun ia memiliki nama besar?” “Jangan begitu,” potong istrinya, “ia orang penting di Tanah Perdikan Menoreh. Bukankah begitu?”

“Ah, tidak, Mbokayu,” sahut Agung Sedayu sambil menunduk.

Namun dalam pada itu, meskipun Agung Sedayu mengerti bahwa kakaknya hanya sekedar bergurau saja tentang kedudukannya, tetapi tentu bukannya tanpa maksud. Sejak semula kakaknya ingin Agung Sedayu mempunyai kedudukan yang jelas. Sedangkan di Tanah Perdikan Menoreh Agung Sedayu tidak lebih dari sekedar orang yang mendapat kepercayaan dari Swandaru dan istrinya, Pandan Wangi. Pandan Wangi-lah yang sebenarnya berhak untuk memerintah Tanah Perdikan Menoreh pada saat-saat Ki Gede Menoreh berhalangan, atau suaminya. Tetapi karena Swandaru tidak dapat melakukannya, maka ia telah mempercayakan tugas-tugas itu kepada Agung Sedayu, adik iparnya.

Tetapi Agung Sedayu tidak mau memikirkannya terlalu lama. la masih mempunyai kesempatan untuk menilai dirinya sendiri dan tugas-tugas yang harus dilakukannya.

Sementara itu, hidangan pun mulai disuguhkan. Tetapi Agung Sedayu masih belum melihat kemanakannya, anak Untara.

Karena itu, maka akhirnya Agung Sedayu pun bertanya, “Kakang, di mana anak Kakang? He siapakah namanya? Bukankah anak itu sudah pandai berkelahi sekarang?”

“O,” istri Untara tersenyum. Kemudian katanya, “la baru bermain-main. Siapa yang mengatakan bahwa anak itu sudah pandai berkelahi?”

“Ya. Bahkan sudah pandai naik kuda,” jawab Agung Sedayu.

Istri Untara tertawa berkepanjangan, sementara sambil tersenyum Untara berkata, “Sudah berapa tahun kau tidak datang kemari? Menjelang perang di Prambanan barangkali? Kau sibuk dengan pasukan khusus di Tanah Perdikan Menoreh dan persoalan di Sangkal Putung. Tetapi sudah tentu bahwa waktu yang sekian itu tidak dengan serta merta membuat anakku dapat bermain dengan kuda.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. la memang sudah lama tidak datang ke rumah kakaknya. Setiap kali ia bertemu dengan Untara, maka ia tidak pernah mendapat kesempatan untuk bertanya tentang istri Untara dan apalagi anak yang dilahirkannya.

Namun demikian akhirnya Agung Sedayu tersenyum pula sambil menjawab, “Anak yang tinggal di sebelah simpang empat itu mengatakan, anak Kakang Untara sudah pandai naik kuda. Tetapi kuda kepang.”

Akhirnya Untara pun tertawa.

Sementara itu, istrinya telah bangkit dan pergi ke belakang. Sejenak kemudian, ia pun telah kembali sambil menggendong seorang bayi laki-laki yang gemuk dan sehat. Bayi yang sudah tumbuh dan mampu berdiri dan berjalan tertatih-tatih.

“O, manisnya,” Agung Sedayu dengan serta merta telah meraih anak itu dari tangan ibunya.

Anak itu memandanginya sejenak, sementara Agung Sedayu bertanya dengan kata-kata lembut, “Siapa namamu anak manis? He, siapa?”

Anak itu diam saja. Namun tiba-tiba saja tangannya menggapai wajah Agung Sedayu dan meremas kupingnya.

“O. Jangan nakal,” ibunya melarangnya.

“Tidak apa-apa,” potong Untara, “bukankah Agung Sedayu sendiri mengatakan, bahwa anak itu sudah pandai berkelahi? Ia tahu, bahwa pamannya mempunyai ilmu kebal.”

“Ah,” desah Agung Sedayu. Namun kemudian dipangkunya anak itu dan dibawanya duduk di amben.

Tetapi ternyata bahwa anak itu bukan anak yang betah untuk duduk dan berbincang-bincang. Ternyata anak itu lebih senang meluncur turun dan berlari terhuyung-huyung menghambur ke luar.

“Putut, Putut,” panggil ibunya yang menyusulnya berlari keluar pula.

Agung Sedayu memandang sambil tersenyum. Sementara itu Untara berkata, “Namanya Putut Pratama.”

“Nama yang bagus,” desis Agung Sedayu.

“Pada saatnya kau akan mempunyai anak pula. Mungkin juga seorang laki-laki. Tetapi mungkin seorang perempuan,” berkata Untara.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Jika ia melihat seorang anak yang masih bersih, rasa-rasanya hidup itu penuh dengan kedamaian. Namun jika anak itu mulai tumbuh menjadi remaja, maka seperti Glagah Putih, ia akan dijamah oleh kemungkinan-kemungkinan yang lain, yang sulit untuk dihindari dalam geseran kehidupan ini.

Di luar sadarnya, Agung Sedayu teringat kepada anak Ki Waskita. Seorang anak muda yang berusaha untuk berdiri di satu sisi yang lain dari kemungkinan-kemungkinan kehidupan kewadagan ini.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia seakan-akan terbangun dari lamunannya ketika ia mendengar Untara berkata, “Anak bagi sebuah keluarga merupakan mustika yang tidak ternilai harganya.”

Agung Sedayu mengangguk kecil. Jawabnya, “Mudah-mudahan aku pun akan segera mendapatkan karunia itu.”

Untara tersenyum. Katanya, “Tentu. Tetapi bagaimana dengan Swandaru?”

Agung Sedayu menggeleng. Katanya, “Entahlah. Tetapi nampaknya keduanya masih lebih banyak tenggelam di dalam sanggar mereka.”

“Demikian juga kau berdua,” sahut Untara.

Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi iapun tersenyum pula.

Hari itu Agung Sedayu menghabiskan waktunya dengan kemenakannya yang memang nakal sekali. Tetapi bagi Agung Sedayu, kenakalan anak itu memberikan gambaran sikap dan tingkah lakunya kemudian. Menurut cerita yang pernah didengarnya, dirinya sendiri bukanlah anak yang nakal. la lebih banyak diam, termenung, berpegangan baju Untara dan merengek ketakutan. Hanya karena karunia yang ajaib sajalah yang dapat merubahnya menjadi seorang laki-laki yang pantas, seperti keadaannya saat itu.

Namun di saat menjelang sore hari, Agung Sedayu telah minta diri untuk pergi ke Banyu Asri, mengunjungi pamannya Widura, untuk memberi tahukan perkembangan keadaan Glagah Putih.

“Kapan kau kembali ke Tanah Perdikan Menoreh?” bertanya Untara.

“Mungkin besok,” jawab Agung Sedayu.

“Begitu tergesa-gesa? Bukankah tidak ada persoalan yang harus cepat kau tangani?” bertanya Untara pula.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia merenung. Namun kemudian iapun menjawab, “Memang tidak ada persoalan khusus yang harus aku selesaikan di sini. Tetapi aku ingin melaporkan perkembangan Glagah Putih kepada Paman Widura.”

“Apakah kau melihat satu perkembangan yang lain dari satu perkembangan yang wajar?” bertanya Untara pula.

“Tidak. la memang berkembang dengan wajar. Tetapi pesat. Mungkin Paman Widura akan berbangga dengan anak laki-lakinya itu,” berkata Agung Sedayu kemudian. Lalu, “Namun akupun perlu melaporkan bahwa ia telah berhubungan dengan putra Panembahan Senapati yang bernama Raden Rangga. Seorang anak muda yang luar biasa. Yang barangkali dapat disebut melampaui kewajaran seorang anak muda.”

Agung Sedayu sempat bercerita serba sedikit tentang niatnya pergi ke Mataram, namun akhirnya terdorong sampai ke Sangkal Putung.

“Tetapi kebetulan sekali, bahwa aku sempat melihat Putut yang benar-benar sudah pandai berkelahi,” berkata Agung Sedayu.

Untara tertawa. Katanya, “Apakah kelak kau akan mengajarinya juga untuk benar-benar berkelahi?” bertanya Untara.

Agung Sedayu-lah yang kemudian tertawa.

Demikianlah, maka Agung Sedayu pun telah meninggalkan Jati Anom dan pergi ke Banyu Asri untuk menemui pamannya. Waktu Agung Sedayu memang tidak terlalu banyak, karena menjelang makan malam ia harus sudah kembali ke padepokannya, dan berceritera tentang Tanah Perdikan Menoreh dan tentang Glagah Putih, serta perjalanannya dari Tanah Perdikan Menoreh sampai di padepokan kecilnya, dan singgah sebentar di Mataram.

Di Banyu Asri, Agung Sedayu memang tidak terlalu lama. Tetapi laporannya kepada pamannya telah membuat pamannya menjadi gembira. la sangat berterima kasih kepada Agung Sedayu, bahwa dengan tuntunannya, Glagah Putih berkesempatan untuk mempelajari berbagai macam ilmu.

Tentang Kiai Jayaraga, Ki Widura berkata, “Segala sesuatunya terserah kepada pertimbanganmu. Jika menurut pendapatmu hal itu akan bermanfaat bagi Glagah Putih, maka aku sama sekali tidak berkeberatan. Demikian juga kehadiran putra Panembahan Senapati yang bernama Raden Rangga itu.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. la merasa bahwa dengan demikian tanggung jawabnya menjadi bertambah ringan. la telah memberikan laporan tentang Glagah Putih kepada ayah anak muda itu, sehingga dalam beberapa hal ia tidak akan dipersalahkan jika terjadi sesuatu yang kurang baik kelak.

Menjelang malam, Agung Sedayu pun telah minta diri kepada pamannya dan kembali ke padepokannya, meskipun pamannya menahannya. Tetapi malam itu Agung Sedayu ingin berada di padepokan kecilnya yang sudah lama ditinggalkannya, bersama gurunya. Bukan saja karena keinginannya untuk berada di lingkungan padepokan yang pernah menjadi tempat menempa diri, tetapi ia memang ingin banyak berbicara dengan gurunya.

Demikianlah, setelah makan malam maka Agung Sedayu pun telah duduk di ruang dalam bersama gurunya. Seperti yang di inginkan, maka Agung Sedayu pun dapat menceritakan banyak masalah tentang Tanah Perdikan Menoreh. Tentang Kiai Jayaraga yang dengan sungguh-sungguh telah berusaha membentuk Glagah Putih menjadi seorang yang linuwih. Tentang Raden Rangga, dan tentang sepasukan orang-orang yang tidak puas dan menumpahkan ketidak puasannya kepada Tanah Perdikan Menoreh.

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun dengan demikian ia merasa gembira, bahwa orang-orang yang dikenalnya sejak masa kanak-kanak temurun sampai ke Glagah Putih, telah mampu berkembang dengan baik.

Dalam kesempatan itu, Kiai Gringsing masih sempat memberikan beberapa pesan jiwani. Pesan yang sangat penting bagi hidup Agung Sedayu kelak.

“Hidupmu tidak hanya bertumpu kepada kekuatan jasmanimu, tetapi juga pada keteguhan jiwamu, berpegang pada dasar keyakinanmu sebagai hamba dari Yang Maha Agung,” berkata gurunya.

Agung Sedayu sudah sering mendengar berbagai pesan gurunya. Tetapi ia tidak pernah merasa jemu. Bahkan apa yang pernah dikatakan gurunya terdahulu dan diulanginya sampai dua tiga kali, rasa-rasanya masih merupakan sesuatu yang baru dan segar ditelinganya, karena Agung Sedayu sadar bahwa jiwanya pun selalu memerlukan makanan, sebagaimana tubuhnya untuk kesegaran keyakinannya. Itulah maka setiap kali ia sengaja mendengarkan pesan-pesan apa saja yang bermanfaat baginya. Sudah ataupun belum pernah didengarnya sebelumnya.

Terhadap perkembangan tubuh dan jiwa Glagah Putih, Kiai Gringsing pun menganggap masih dalam batas kewajaran. Katanya, “Aku tidak melihat sendiri Agung Sedayu. Tetapi ceritamu rasa-rasanya telah memberikan gambaran yang lengkap, seakan-akan aku telah melihatnya.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Setiap kata gurunya terasa telah memantapkan sikap dan keyakinannya, sehingga karena itu maka katanya, “Mudah-mudahan aku dapat mengemban semua tugas dengan sewajarnya. Kehadiranku di Tanah Perdikan Menoreh semoga tidak sia-sia. Meskipun Tanah Perdikan Menoreh masih belum dapat menyamai perkembangan Sangkal Putung, tetapi rasa-rasanya Tanah Perdikan Menoreh menjadi bertambah maju. Memang perang yang terjadi karena kegilaan Purbarana itu berpengaruh atas tata kehidupan Tanah Perdikan Menoreh, karena telah terjadi beberapa kematian, kerusakan pada pategalan dan jalan-jalan. Namun akibat itu dapat segera diatasi.”

“Kau memang harus bekerja keras. Semakin lama semakin keras. Tetapi agaknya Glagah Putih telah membantumu dengan cara yang pernah kau letakkan di atas Tanah Perdikan itu.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Glagah Putih memang, telah melakukan sebagaimana dilakukannya. Anak itu adalah anak yang rajin, trampil dan rendah hati. Memang ada beberapa persamaan dengan Agung Sedayu sendiri. Tetapi terdapat pula beberapa perbedaan. Glagah Putih berdiri di atas pribadinya sendiri. Ia bukan bayangan dari Agung Sedayu. Apalagi setelah ia berguru pula kepada Kiai Jayaraga. Maka ilmu yang diserapnya dari Agung Sedayu dan dari Kiai Jayaraga telah mempertegas ujud pribadinya. Semakin tinggi umurnya, maka semakin jelas bahwa Glagah Putih adalah Glagah Putih itu sendiri.

Dengan demikian, maka pertemuannya dengan gurunya telah membekalinya dengan beberapa pesan. Karena itu, maka rasa-rasanya Agung Sedayu menjadi semakin jelas melihat ke masa depan yang lebih cerah.

Kedua orang guru dan murid itu rasa-rasanya tidak menyadari waktu lagi. Pembicaraan mereka terlalu mengikat kedua belah pihak, sehingga tiba-tiba mereka telah mendengar ayam jantan berkokok. Bukan di tengah malam, tetapi menjelang fajar.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Agung Sedayu. Masih ada waktu untuk sedikit beristirahat. Kau dapat mempergunakannya. Besok, kau tidak perlu berangkat terlalu pagi.”

Agung Sedayu mengangguk. Jawabnya “Ya Guru. Besok aku masih akan minta diri ke rumah Kakang Untara dan Paman Widura, setelah meninggalkan padepokan ini.”

“Kau masih singgah di Sangkal Putung?” bertanya Kiai Gringsing.

“Ya Guru. Mungkin hanya sekedar minta diri. Tetapi mungkin aku harus bermalam lagi di kademangan itu,” jawab Agung Sedayu.

Dengan wajah yang sejuk Kiai Gringsing kemudian memberi kesempatan Agung Sedayu untuk pergi ke biliknya dengan pesan lembut. “Kau masih sempat tidur Agung Sedayu. Atau barangkali kau masih dapat merenung barang sekejap. Merenungi hari-harimu yang penuh dengan kurnia sejahtera.”

“Ya Guru,” berkata Agung Sedayu, “mungkin aku perlu mengucapkan terima kasih secara khusus.”

“Tingkah lakumu dapat menjadi ungkapan pernyataan terima kasihmu itu Agung Sedayu,” berkata gurunya, “justru lebih tulus dari cara yang manapun.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. la mengerti maksud gurunya.

Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu pun telah berada di dalam biliknya. Seperti kata gurunya ia masih sempat merenungi keadaan dirinya, lingkungannya dan terutama kurnia yang pernah diterimanya. Baru kemudian Agung Sedayu sempat memejamkan matanya, beristirahat pada malam yang masih tersisa.

Meskipun Agung Sedayu baru tertidur sesaat menjelang fajar, tetapi ia tidak dapat meninggalkan kebiasaannya untuk bangun pagi-pagi benar. Setelah mandi dan berbenah diri, maka Agung Sedayu pun kemudian minta diri kepada gurunya untuk kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.

“Kau masih singgah di rumah kakakmu dan pamanmu?” bertanya gurunya.

“Ya Guru,” jawab Agung Sedayu.

“Baiklah. Meskipun kita hanya bertemu semalam saja, tetapi agaknya cukup banyak pesan-pesanku kepadamu. Jika aku masih memberinya lebih banyak lagi, mungkin kau akan merasa jenuh,” berkata gurunya.

“Aku akan berusaha untuk setiap kali dapat bertemu,” berkata Agung Sedayu.

“Jika kau tidak mempunyai kesempatan, maka biarlah aku yang pergi ke Tanah Perdikan Menoreh,” berkata Kiai Gringsing.

Demikianlah maka Agung Sedayu pun meninggalkan padepokan kecilnya. la singgah sejenak di rumah Untara dan Ki Widura, sekedar untuk minta diri. Namun kemudian ia masih akan singgah di Sangkal Putung. Jika tidak ada sesuatu yang memaksanya, maka Agung Sedayu tidak lagi berniat untuk bermalam.

Karena itulah, maka ketika kemudian setelah ia minta diri kepada kakaknya dan pamannya, serta singgah di Sangkal Putung, ia mengelak ketika Ki Demang memintanya untuk bermalam lagi.

Demikianlah, maka Agung Sedayu pun telah menempuh perjalanannya kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Perjalanan yang sebenarnya tidak ingin dilakukannya, karena kepentingannya yang sebenarnya sekedar ingin berada di Mataram barang satu malam.

Dalam perjalanan kembali, Agung Sedayu sama sekali tidak menemui hambatan apapun juga, sebagaimana ketika ia berangkat. Jalan-jalan telah menjadi semakin ramai. Dan para petani yang bekerja di sawah pun merasa tidak terganggu sama sekali oleh gejolak kekerasan yang kurang mereka mengerti maknanya.

Dengan keterangan yang kemudian dibawa oleh Agung Sedayu tentang Raden Rangga, maka orang-orang di Tanah Perdikan Menoreh menjadi semakin tenang menghadapi anak muda yang semula tidak banyak mereka kenal itu.

Sehingga dengan demikian, maka Kiai Jayaraga pun telah memberikan banyak kesempatan kepada Glagah Putih untuk dapat berlatih bersama anak muda itu.

Meskipun demikian, baik Agung Sedayu maupun Kiai Jayaraga tidak melepaskannya sepenuhnya. Kadang-kadang keduanya telah mengamati dengan saksama perkembangan ilmu Glagah Putih. Pengaruh yang di dapatkannya dari anak muda yang bernama Raden Rangga itu.

Agung Sedayu yang banyak bergaul dengan Raden Sutawijaya sebelum berkedudukan di Mataram sebagai Senapati Ing Ngalaga, sempat melihat beberapa unsur dari ilmunya. Namun ketika ia melihat unsur-unsur yang terdapat pada anak muda yang disebut Raden Rangga itu, ia melihat beberapa perbedaan yang agak jauh. Nampaknya ilmu anak muda itu bukanlah tetesan dari ilmu ayahandanya, Panembahan Senapati.

Tetapi tidak seorang pun yang akan dapat mengatakan, dari mana Raden Rangga itu menyadap ilmu. Bahkan ada beberapa unsur ilmu yang sangat mengejutkan. Pada saat-saat Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga menyaksikan latihan di antara kedua orang anak muda itu, maka tiba-tiba saja keduanya melihat sesuatu yang mendebarkan jantung.

Dalam latihan yang keras dan berat, pada saat-saat Glagah Putih mengerahkan segenap kemampuannya, hampir di luar sadarnya Glagah Putih telah melepaskan unsur ilmunya yang masih harus dipelajari perkembangannya serta kemungkinan-kemungkinannya. Dalam pemusatan kekuatannya, maka seakan-akan ada getaran dari pusat kekuatan Glagah Putih yang mengalir lewat jaringan tubuhnya, bahkan mampu merambat Iewat jenis-jenis senjata yang di genggam tangannya. Getaran itu mula-mula telah menyusup dan menusuk langsung ke bagian dalam tubuh lawannya, sehingga lawannya merasakan serangan kekuatan yang menghentaknya langsung di bagian dalam tubuhnya, lewat segala jenis sentuhan. Juga lewat benturan senjata apabila hal itu terjadi. Apalagi benturan kekuatan dengan sentuhan bagian tubuh masing-masing, maka kekuatan itu akan dengan serta merta menyusup lewat sentuhan itu.

Kekuatan Glagah Putih yang masih belum jelas ujudnya itu, telah membuat Raden Rangga terkejut. Ketika ia menangkis serangan Glagah Putih dengan kakinya yang mengarah lambung, maka terasa sesuatu menyusup lewat benturan tubuhnya. Rasa-rasanya sebuah getaran menelusuri jaringan darahnya mengguncang isi jantungnya.

Untunglah, bahwa Raden Rangga adalah anak muda yang perkasa, sehingga daya tahan tubuhnya dengan serta merta telah mampu mengatasi perasaan sakit itu.

Namun Glagah Putih tidak melepaskannya. lapun segera memburu lawannya dengan serangan-serangan beruntun.

Raden Rangga yang memiliki kemampuan yang mengherankan itu, tiba-tiba saja tertawa. la menjadi gembira sekali mendapat kawan yang dapat memaksanya untuk mengerahkan kemampuannya. Tanpa kawan berlatih yang demikian, maka latihan-latihan yang dilakukannya tidak akan banyak berarti. Serangan-serangan Glagah Putih itu memaksa Raden Rangga untuk meningkatkan kemampuannya pula. Bahkan terasa ilmu lawannya yang semakin garang itu telah menyakitinya.

“Menyenangkan sekali!” teriak Raden Rangga, “Kau ternyata memang luar biasa. Tetapi kemampuanmu ini masih belum kau sadari sepenuhnya. He, bagaimana dengan gurumu keduanya itu? Apakah mereka tidak mampu mengurai gejala yang ada pada muridnya? Karena sebenarnyalah yang hadir di dalam dirimu adalah hasil latihan-latihanmu berlandaskan kedua jenis ilmu yang kau terima dari gurumu itu.”

Glagah Putih tidak menjawab. Tiba-tiba gairahnya semakin meningkat. la berhasil mendesak Raden Rangga yang luar biasa itu.

Sementara itu Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga memperhatikan latihan itu dengan saksama. Jantung mereka tersentuh oleh kata-kata Raden Rangga yang muda itu. Memang keduanya masih belum berusaha mengurai gejala kemampuan yang nampak pada Glagah Putih, meskipun keduanya sering mengamatinya. Tetapi pengamatan mereka lebih banyak ditujukan untuk melihat pengaruh ilmu Raden Rangga itu, sehingga gejala ilmu yang tumbuh di dalam diri Glagah Putih sendiri sebagai akibat luluhnya berbagai ilmu di dalam dirinya, belum mendapat perhatian mereka.

Namun sementara itu, latihan antara kedua orang anak muda itu berlangsung semakin keras. Glagah Putih memang lebih besar dan lebih tua dari Raden Rangga, tetapi nampaknya Raden Rangga memiliki kemantapan yang lebih berat dari Glagah Putih.

Meskipun demikian, dalam puncak kemampuannya, ternyata bahwa Glagah Putih mampu mendesak Raden Rangga. Meskipun Raden Rangga justru menjadi sangat gembira karenanya, namun ternyata bahwa Raden Rangga pun telah berusaha dengan sepenuh hati untuk membebaskan diri dari kemungkinan yang lebih buruk. Jika getaran di dalam diri Glagah Putih itu selalu menusuk jaringan urat darahnya, maka semakin lama kemampuannya pun akan menjadi semakin susut.

Karena itu, maka Raden Rangga pun kemudian berusaha untuk tidak membenturkan, bahkan tidak bersentuhan dengan tubuh Glagah Putih. Dengan kemampuan kecepatan geraknya, maka Raden Rangga selalu menghindarkan diri dari serangan-serangan lawannya.

Tetapi ternyata getaran di dalam tubuh Glagah Putih seakan-akan mampu pula berpengaruh atas sentuhan wadagnya dengan bumi. Rasa-rasanya tubuhnya dapat dilemparkannya lebih jauh dari kemampuan wajarnya. sehingga kecepatan geraknyapun seakan-akan telah meningkat.

“O,” teriak Raden Rangga, “kau memang luar biasa. Kau mampu mengimbangi kecepatan gerakku, he?”

Glagah Putih tidak menjawab. la tidak mau kehilangan pegangan pada jenis kekuatan yang sudah dirambahnya. Bahkan dengan kesadaran yang tinggi, ia menghayati kemampuannya itu.

Dengan demikian maka Glagah Putih telah memanfaatkan kemampuannya itu untuk mendesak Raden Rangga. Jika ia mampu mengimbangi anak muda yang aneh itu, maka iapun akan mampu berbuat lebih banyak lagi di masa depannya.

Perkelahian di antara dua orang anak muda yang sedang berlatih itu menjadi semakin cepat dan keras. Keduanya masih muda, dan gelora darah mereka masih mampu memanasi isi dada mereka.

Karena itulah, maka latihan di antara keduanyapun rasa-rasanya tidak akan kunjung berakhir, justru semakin lama menjadi semakin meningkat.

Namun dalam pada itu, Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga menjadi berdebar-debar justru ketika mereka melihat Raden Rangga agak terdesak oleh kemampuan Glagah Putih yang masih harus mereka urai lebih jauh, karena yang nampak dalam latihan itu bukanlah sepenuhnya yang dirasakan oleh Raden Rangga di setiap sentuhan, meskipun gejala yang aneh itu dapat ditangkapnya pula serba sedikit.

Pada saat kedua orang itu menjadi semakin berdebar-debar, ternyata Raden Rangga yang terdesak itu masih sempat tertawa. Sambil berloncatan menghindar ia berkata, “Ayo, sentuh aku. Daya sentuhanmu bagaikan meruntuhkan kekuatan lawan. Ini baru sebuah ilmu yang nggegirisi, yang masih belum terungkap oleh gurumu sekalipun.”

Glagah Putih tidak menjawab. la memburu terus. la ingin melepaskan kemampuan yang masih belum mapan itu sampai ke puncak, untuk menjajagi kemampuan diri sendiri.

Raden Rangga benar-benar telah terdesak. Beberapa kali ia harus berloncatan surut.

Tetapi ternyata bahwa Raden Rangga masih mempunyai ilmu yang lain. Ilmu yang sangat mengejutkan itu. Seakan-akan Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga tidak dapat mempercayainya, bahwa ia telah melihat Raden Rangga melepaskan sejenis ilmu yang mengagumkan.

Pada saat Raden Rangga semakin terdesak, maka tiba-tiba saja perlahan-lahan telah mengepul, seolah-olah dari dirinya, kabut yang tipis. Semakin lama semakin tebal, sehingga akhirnya kabut itu telah menyelimuti dirinya dan sekaligus lawannya. Karena latihan yang sering mereka adakan adalah di malam hari, maka rasa-rasanya malampun menjadi semakin gelap bagi Glagah Putih, sebagaimana malam yang gelap dalam hujan yang lebat. Bahkan semakin lama menjadi semakin gelap.

Dalam keadaan yang demikian, maka Glagah Putih agak menjadi bingung. la sudah berlatih untuk mempergunakan bukan saja penglihatannya, tetapi dalam latihan-latihan di hujan yang lebat ia telah berhasil mempertajam pendengarannya.

Karena itu, di dalam gelapnya kabut di malam hari itu, Glagah Putih pun telah mempergunakan indra pendengarannya lebih banyak dari indra penglihatannya.

Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga bagaikan membeku menyaksikan permainan anak muda yang bernama Raden Rangga itu. Meskipun Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga mengerti bahwa ilmu itu masih belum mapan, tetapi sudah nampak betapa tingginya kemampuan anak muda itu. 

Di luar sadarnya, Agung Sedayu telah teringat kepada gurunya, Kiai Gringsing, dan kepada kitab yang pernah dibacanya. Ilmu itu adalah sejenis ilmu yang ada di masa lampau dan sempat berkembang. Tetapi karena laku yang harus ditempuh ternyata terlalu berat untuk menguasainya, maka ilmu itu semakin lama menjadi semakin susut.

Meskipun demikian, ternyata bahwa Raden Rangga, anak yang masih sangat muda itupun ternyata telah memilikinya, meskipun masih kasar dan belum mapan.

Untuk beberapa saat kedua anak muda itu masih berkelahi. Glagah Putih yang telah melatih pendengarannya, mampu mengamati arah lawannya, sehingga dengan demikian, maka Raden Rangga tidak dapat dengan sekehendak hatinya menyerangnya dari arah yang manapun juga.

Tetapi anak muda yang nakal itu memang banyak akal, di samping kemampuan ilmunya. Dengan cerdik anak muda itu telah melepaskan ilmunya yang lain, semacam ilmu Gelap Ngampar. Meskipun sebagaimana ilmunya yang terdahulu, masih nampak baru dalam tataran permulaan, tetapi bagi Glagah Putih, Gelap Ngampar itu telah dapat membuatnya kebingungan.

Demikianlah, Raden Rangga itu telah tertawa berkepanjangan. Suara tertawanya bagaikan melingkar-lingkar di lereng-lereng perbukitan. Sehingga dengan demikian, maka Glagah Putih pun menjadi bingung. Pendengarannya yang sudah terlatih itu, masih sulit untuk mengatasi getaran suara ilmu Gelap Ngampar yang melingkar-lingkar seakan-akan datang dari segala penjuru.

Karena itulah, maka Glagah Putih pun kemudian menjadi bingung. Penglihatannya telah dikaburkan oleh kabut yang seakan-akan menjadi semakin pekat, meskipun kadang-kadang bagaikan hanyut oleh angin dan menguak di luar kehendak Raden Rangga. Tetapi pengaruhnya bagi Glagah Putih cukup membingungkan. Sedangkan kemudian pendengarannya pun telah dikacaukan oleh semacam ilmu yang disebut Gelap Ngampar, yang dapat membaurkan arah suara dan bahkan mampu mengetuk langsung ke dalam isi dada.

Glagah Putih benar-benar menjadi bingung. la tidak tahu, ke arah mana ia harus menghadap dan menyerang. Karena itu, maka ialah yang kemudian berkali-kali telah dikenai oleh serangan Raden Rangga, justru diiringi oleh suara tertawanya yang berkepanjangan. Bagaimanapun juga Glagah Putih mengerahkan ilmunya, tetapi ia benar-benar tidak mampu mengimbangi kemampuan yang dimiliki oleh anak yang masih lebih muda dari dirinya, meskipun ilmu itu belum mapan.

“Luar biasa,” desis Agung Sedayu.

“Dari mana anak itu memperoleh ilmu yang dahsyat itu? Ilmu yang dikenal oleh satu masa yang telah lewat. Yang barangkali tidak dikenal oleh ayahandanya sendiri, atau seandainya ayahandanya mengenalinya, namun tentu masih belum diturunkannya kepada anak yang masih sangat muda itu. Karena bagaimanapun juga, ilmu itu akan sangat berbahaya. Anak yang semuda Raden Rangga dengan ilmu yang demikian tinggi, akan dapat mendorongnya melakukan sesuatu yang aneh-aneh. Yang mungkin sama sekali tidak bermaksud buruk, tetapi terdorong oleh jiwa kekanakannya, maka ilmu itu akan dapat menjadi berbahaya,” berkata Kiai Jayaraga.

Agung Sedayu termangu-mangu. Namun suara Raden Rangga itu semakin lama menjadi semakin perlahan-lahan dan terdengar semakin jauh, seolah-olah dilontarkan dari punggung-punggung bukit yang memanjang di Tanah Perdikan Menoreh.

Sejenak kemudian, mereka baru menyadari, bahwa ternyata Raden Rangga telah menghentikan latihannya. Bahkan anak muda itu telah meninggalkan Glagah Putih dalam kebingungan dan kesakitan, karena serangan-serangannya yang mengenai tubuh anak muda itu tanpa dapat menghindar dan membalas sama sekali.

“Anak itu telah pergi,” desis Kiai Jayaraga

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berdesis, “Anak itu memang anak yang luar biasa. Aku perlu menyampaikannya kepada Guru.”

Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. la melihat Glagah Putih berdiri termangu-mangu. Sekali-sekali anak muda itu masih menyeringai menahan sakit-sakit di tubuhnya.

“Angger Agung Sedayu,” berkata Kiai Jayaraga, “apakah yang dapat kau katakan tentang Raden Rangga? Maksudku jenis ilmunya?”

“Sungguh luar biasa,” berkata Agung Sedayu, “aku sependapat dengan Kiai, bahwa ilmu itu akan dapat berbahaya di dalam dirinya. Melihat kabut yang seolah-olah mengepul dari tubuh Raden Rangga, meskipun masih kasar dan kadang-kadang menguak dengan sendirinya atau hanyut oleh angin, maka aku teringat kepada jenis ilmu yang dikuasai oleh Guru, dan yang tersebut di dalam kitabnya.”

“Aku sependapat,” jawab Kiai Jayaraga, “ilmu itu adalah sejenis ilmu yang jarang sekali kita jumpai sekarang. Tiba-tiba kita melihat seorang kanak-kanak mampu mengungkapkannya.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku harus melaporkannya kepada Guru. Bagaimanapun juga, Guru adalah salah seorang dari pemilik ilmu di masa lampau itu, karena Guru adalah keturunan langsung dari penguasa Majapahit, yang dengan sengaja menyisihkan diri.”

Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Memang ada baiknya kau temui gurumu sekali lagi. Mungkin gurumu mendapat kesempatan untuk melihat sendiri, seandainya anak itu masih mau bermain-main dengan Glagah Putih.”

Agung Sedayu tidak menjawab. la melihat Glagah Putih tertatih-tatih mendekatinya.

“Anak itu memang luar biasa,” desis Glagah Putih ketika ia sudah berada di antara kedua orang yang menjadi gurunya itu.

“Ya,” jawab Agung Sedayu, “ia memiliki sesuatu yang sulit dicari imbangannya pada saat ini.”

“Aku tidak mengerti bagaimana mengatasi ilmunya,” berkata Glagah Putih. “Ketika kabut itu membuat malam semakin gelap, aku berusaha mempergunakan indra pendengaranku. Tetapi aku gagal. Anak itu mampu melepaskan semacam ilmu yang mengacaukan indra pendengaranku, sehingga aku tidak tahu lagi apa yang harus aku lakukan, kecuali menyeringai menahan sakit karena serangan-serangannya tidak dapat aku hindari.”

“Ilmumu memang masih jauh ketinggalan,” berkata Kiai Jayaraga, “betapapun kau mengerahkan segenap kemampuanmu, tetapi kau tidak akan dapat mengimbanginya. Tetapi latihan-latihan seperti itu penting sekali bagimu Glagah Putih. Kau dapat menilai kemampuanmu dibandingkan dengan ilmu yang lain. Namun demikian, kau harus selalu membatasi diri dalam hubunganmu dengan anak itu. Ia berada dalam tataran derajad yang jauh berbeda dengan kita. Anak itu adalah putra Panembahan Senapati, sehingga seandainya ia melakukan sesuatu, maka ia tidak dianggap melakukan satu kesalahan, meskipun bagi orang kebanyakan yang dilakukan itu sudah dapat menyeretnya ke bilik tahanan.”

Glagah Putih mengangguk kecil. Jawabnya, “Aku mengerti Guru.”

“Tetapi bukan berarti bahwa kau harus menolak kesempatan seperti ini,” berkata gurunya kemudian.

Glagah Putih mengangguk-angguk. la dapat membayangkan kemungkinan-kemungkinan yang akan dapat diperolehnya dengan latihan-latihan seperti itu. Tetapi segalanya masih tergantung sekali kepada Raden Rangga. Mungkin suatu ketika ia membiarkan dirinya terdesak dan tidak memberikan perlawanan dengan ilmu yang aneh seperti yang telah ditunjukkannya.

Demikianlah, maka malam itu Glagah Putih telah mendapatkan satu pengalaman baru, sementara Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga pun telah mengenal Raden Rangga lebih banyak lagi. Seorang anak yang masih sangat muda, tetapi yang memiliki kemampuan di luar batas jangkauan kewajaran menurut umurnya.

Di hari-hari berikutnya, ternyata kesempatan seperti itu datang beberapa kali pada Glagah Putih. Tidak terlalu sering. Namun cukup memberikan pengaruh kepadanya untuk lebih memanfaatkan segala macam indranya. Bukan saja penglihatannya, tetapi juga pendengarannya. Bahkan dengan latihan-latihan seperti itu, Glagah Putih telah mampu meningkatkan ketajaman panggraitanya, sehingga seakan-akan telah mulai tumbuh di dalam diri Glagah Putih kemampuan menangkap keadaan di sekitarnya dengan tanggapan indranya yang lain dari kelima indranya, untuk mengenali sasmita yang tidak dapat dijelaskannya.

Glagah Putih tidak terlalu banyak bergaul dengan Ki Waskita. Bahkan pada saat terakhir, Ki Waskita lebih banyak berada di rumahnya. Namun pengenalannya atas sasmita yang meskipun masih harus diurai, kadang-kadang memberikan penglihatan batin melampaui kemampuan jangkau kelima indranya.

Demikianlah, dengan tekun dan bersungguh-sungguh Glagah Putih telah menempa diri. Anak muda itu berlatih dengan tidak mengenal lelah sama sekali. Namun demikian, ia masih juga sempat berada diantara anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh dan berada di antara tambak-tambak pliridannya bersama pembantunya.

Ketika hari-hari berlalu, bahkan bulan demi bulan, maka perubahan-perubahan pun telah terjadi. Agaknya semuanya telah meningkat menjadi semakin baik. Tanah Perdikan Menoreh nampak menjadi semakin subur. Parit-parit menjadi semakin banyak menyelusuri tanah yang mula-mula hanya menunggu curahnya air hujan untuk dapat bertanam padi. Namun kemudian, dengan parit-parit yang mengalir tanpa henti, tanah itu menjadi subur dan dapat ditanami padi dua kali dalam setahun.

Namun dalam pada itu, maka pribadi-pribadi pun telah menjadi semakin berkembang pula. Ternyata bahwa kitab Kiai Gringsing telah beralih tangan pula. Swandaru telah mendapat kesempatan lagi untuk mendalami isinya, sementara Agung Sedayu telah melaporkan apa yang dilihatnya pada Raden Rangga. Ilmu yang mirip sekali dengan ilmu Kiai Gringsing yang mampu melingkari arena dengan semacam kabut yang tebal, yang sama sekali tidak dapat ditembus oleh penglihatan indra wadag, betapapun tajamnya.

Keterangan Agung Sedayu itu semakin mendesak Kiai Gringsing untuk pada satu saat melihat ilmu Raden Rangga itu. Memang sangat menarik baginya, bahwa seorang yang masih terlalu muda, mampu melepaskan ilmu sebagaimana dikenal oleh Kiai Gringsing pada waktu mudanya pula. la memerlukan satu masa yang panjang dan laku yang berat untuk menguasai ilmu yang kini sudah menjadi sangat jarang dikenal.

Karena itu, maka ketika Kiai Gringsing mempunyai sedikit kesempatan di saat lewat musim tanam padi, maka ia berkata kepada para cantrik di padepokannya, untuk meninggalkan mereka dalam waktu satu dua pekan.

“Aku ingin pergi ke Tanah Perdikan Menoreh,” berkata Kiai Gringsing.

“Sendiri atau dengan Ki Swandaru?” bertanya salah seorang cantriknya.

“Sendiri,” jawab Kiai Gringsing, “Swandaru sedang sibuk menghadapi tugasnya.”

Cantrik itu mengangguk-angguk. Namun Kiai Gringsing tidak mengatakan kepada para cantrik. bahwa Swandaru sedang tekun tenggelam dalam masa menempa diri yang berat, selagi kitab gurunya ada padanya.

Namun Kiai Gringsing tidak langsung saja pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Ia telah menghubungi Untara dan mengatakan maksudnya. Sementara ia juga pergi ke Banyu Asri untuk mengatakan niatnya itu kepada Widura.

Berbeda dengan Untara yang hanya menyampaikan beberapa pesan saja bagi adiknya. maka Widura dengan serta merta telah menyatakan keinginannya untuk ikut pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar