Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 184

Buku 184

Keduanya telah saling mendorong dengan kekuatan yang sangat besar, sehingga kaki-kaki mereka telah semakin membenam ke dalam tanah. Asap pun telah mengepul dan wajah-wajah mereka telah menjadi semakin pucat. Titik-titik keringat yang mengembun di kening dan dahi mulai mengalir dan membasahi wajah-wajah mereka.

Bahkan kemudian di seluruh tubuh mereka telah mengembun keringat yang kemudian mengalir membasahi kulit dan pakaian mereka.

Warak Ireng sama sekali tidak dapat mengharapkan bantuan gurunya. Jika saja Ki Punta Gembong dapat memenangkan pertempuran itu, maka ia akan dapat menggulung pasukan lawan. Dengan kemampuan ilmunya ia akan dapat dengan cepat menyusut jumlah para prajurit dari pasukan khusus Mataram dan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh.

Tetapi ternyata Punta Gembong masih belum berhasil mengalahkan Kiai Jayaraga. Bahkan justru keadaannya semakin lama menjadi semakin berat menghadapi tekanan ilmu Kiai Jayaraga.

Karena itu, maka Warak Ireng hanya dapat mengumpat-umpat. Apalagi ketika kemudian ia mengetahui apa yang dilakukan oleh Ki Gede. Ternyata Ki Gede-lah yang telah menghisap orang-orang Warak Ireng dengan cepat. Satu demi satu orang-orang yang menyerangnya telah dilumpuhkannya. Bahkan usaha mereka untuk bertempur dalam kelompok-kelompok kecil pun tidak berhasil mengurung Ki Gede. Selain Ki Gede sendiri memang memiliki ilmu yang tinggi, orang-orang Tanah Perdikan Menoreh tidak membiarkan pemimpinnya itu terkepung dan apalagi mengalami kesulitan.

Dengan demikian maka usaha orang-orang Warak Ireng selalu sia-sia. Sedangkan Warak Ireng sendiri masih terbelenggu pertempuran melawan anak-anak yang menurut dugaan Warak Ireng masih pantas untuk ikut biyungnya berbelanja ke pasar.

Tetapi ternyata anak itu memiliki kemampuan yang dapat mengimbangi kemampuannya.

Bahkan karena orang-orangnya semakin lama menjadi semakin tipis dan tidak lagi mampu mengimbangi desakan lawan, Warak Ireng selalu terdesak sejalan dengan susutnya pasukan induk.

Di sayap yang lain, maka kesulitan yang serupa telah terjadi pula. Bahkan keadaan Ki Linduk menjadi lebih parah, Sekar Mirah ternyata lebih keras dari Glagah Putih menghadapi orang-orang kasar seperti Ki Linduk. Sekar Merah dengan mempercayakan kepada kemampuannya bergerak cepat telah menyerang Ki Linduk seperti angin pusaran yang memutar bagaikan lingkaran kekuatan yang mengitari dirinya.Tongkat baja putihnya itupun terayun-ayun dengan dahsyatnya. Bahkan ternyata sekali-sekali tongkat baja putih itu telah menyentuh tubuh lawannya.

Ki Linduk memang benar-benar berada dalam kesulitan. Senjata keras kedua orang itu setiap kali telah berbenturan. Tetapi setiap kali Ki Linduk merasakan betapa tangannya menjadi pedih.

Agaknya Sekar Mirah tidak ingin melepaskan lawannya. Ketika ia menyadari bahwa induk pasukan lawan telah kehilangan sandaran kekuatan dan selalu terdesak mundur, maka iapun benar-benar berniat mengakhiri lawannya.

Karena itulah, maka tongkat baja putihnya semakin lama menjadi semakin cepat berputaran. ketika sekali tongkat baja putihnya berhasil menyusup di antara senjata Ki Linduk, maka kepala senjata itu, yang berupa tengkorak berwarna kekuning-kuningan telah menyentuh lengan Ki Linduk.

Terasa tulang lengannya pecah karenanya. Sambil mengerang iapun meloncat surut. Namun Sekar Mirah tidak rnemberikannya kesempatan. Dengan serta merta iapun telah memburunya. Bahkan dengan dahsyatnya tongkatnya telah terayun mengarah ke kepala.

“Setan,” geram Ki Linduk yang berusaha menangkis serangan itu dengan senjatanya.

Karena itu, menurut perhitungan Sekar Mirah maka pertempuran itu harus diselesaikan pada hari itu juga, karena lawan yang dihadapi oleh Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh bukannya sepasukan prajurit yang menyadari paugeran perang.

Dengan demikian, maka Ki Linduk sama sekali tidak mendapat kesempatan. Sekar Mirah dengan tangkasnya telah memburunya. Tongkat baja putih peninggalan gurunya telah berputaran dengan dahsyatnya melibat lawannya dalam pertempuran yang semakin cepat. Dengan demikian maka senjata kedua orang itu menjadi semakin sering berbenturan. Keduanya mempergunakan jenis senjata keras yang mendebarkan. Tetapi dalam benturan-benturan yang dahsyat, maka gerigi bindi Ki Linduk sama sekali tidak berarti apa-apa bagi tongkat Sekar Mirah. Apalagi, gerigi itu tidak mampu menembus putaran tongkat baja putih untuk menyentuh kulit lawannya.

Tongkat Sekar Mirah-lah yang kemudian berhasil menyentuh lawannya. Sekali lagi Sekar Mirah berhasil menyusup di antara putaran-putaran bindi Ki Linduk. TidaK dengan tengkorak kuningnya, tetapi justru dengan ujung yang lain dari tongkat baja putihnya, mengenai pundaknya.

Ki Linduk terdorong surut. Ketika Sekar Mirah masih memburunya, justru sebelum Ki Linduk sempat memperbaiki keseimbangan, maka Ki Linduk itu telah melemparkan dirinya dan berguling beberapa kali. Namun kemudian dengan sigapnya ia telah melenting berdiri dengan kedua bindinya bersilang di muka dadanya.

Sekar Mirah tertegun sejenak. Dibiarkannya lawannya mempersiapkan diri. Namun dengan demikian Sekar Mirah ingin melihat akibat sentuhan tongkatnya pada pundak lawannya.

Sebenarnyalah, Ki Linduk merasa tangannya bagaikan menjadi lumpuh. Namun tekadnya yang membakar jantungnya telah membuatnya masih mungkin untuk menggerakkan senjatanya, betapapun pundaknya itu terasa sakit.

Namun dengan demikian, maka pertempuran selanjutnya bukan lagi merupakan kesulitan bagi Sekar Mirah. la mengerti bahwa pundak lawannya telah terluka dalam sebagaimana lengannya, dan tulangnya bagaikan menjadi pecah.

Dengan demikian, maka Sekar Mirah benar-benar telah bersiap-siap untuk mengakhiri pertempuran.

Sementara itu, Agung Sedayu masih juga bertempur dengan sengitnya Meskipun ia sendiri tidak terpengaruh oleh aji Gelap Ngampar lawannya yang masih belum matang dan belum mampu mencegahnya, karena pengaruhnya justru akan menikam jantung para prajurit Mataram dan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh, meskipun akan berpengaruh juga bagi orang-orangnya sendiri.

Namun seperti juga Sekar Mirah, Agung Sedayu tidak lagi mendapat terlalu banyak kesulitan menghadapi lawannya. Meskipun setiap kali lawannya masih juga mampu melepaskan paser-paser kecil mengarah ke matanya.

Tetapi Agung Sedayu tidak membiarkan dirinya selalu dibayangi oleh kemampuan paser-paser kecil itu. Ketika sekali lagi lawannya melemparkan ke arah matanya, maka dengan sengaja Agung Sedayu telah mengembangkan telapak tangannya untuk menahan paser-paser itu.

Yang terjadi memang sangat mendebarkan hati bagi lawannya. Paser itu sama sekali tidak mampu menembus ilmu kebal Agung Sedayu, sehingga paser-paser itu bagaikan telah mengenai keping-keping baja yang tidak dapat tertembus oleh tajamnya ujung paser-paser itu.

“Gila,” geram Kumbang Talangkas.

Agung Sedayu sama sekali tidak menjawab. Tetapi ia pun kemudian menjadi yakin, bahwa kekuatan ilmu Kumbang Talangkas tidak mampu menembus ilmu kebalnya.

Namun demikian, Kumbang Talangkas masih tetap memiliki satu kekuatan yang luar biasa. kekuatan badai yang dapat melemparkan Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu sama sekali tidak merasa keberatan untuk terlempar dan jatuh berguling di tanah. Keadaan itu sama sekali tidak dapat melukai kulitnya.

Bahkan setiap kali hal itu terjadi, maka rasa-rasanya jantung Kumbang Talangkas menjadi semakin berdebaran. Seakan-akan ia tidak lagi sedang bertempur melawan seseorang. Tetapi rasa-rasanya ia sedang berhadapan dengan sesosok iblis.

Sebenarnyalah bahwa Kumbang Talangkas tidak dapat mengingkari satu kenyataan tentang kemampuan lawannya. Ternyata bahwa Agung Sedayu benar-benar seorang yang luar biasa. Namun rasa-rasanya Kumbang Talangkas tidak dapat mengerti tentang imbangan kekuatan yang telah terjadi antara dirinya dengan Agung Sedayu. Agung Sedayu menurut pendengarannya, meskipun berhasil membunuh Prabandaru, namun Agung Sedayu sendiri telah terluka parah.

Dengan demikian, maka menurut keadaan itu, tingkat ilmu Agung Sedayu dan Ki Tumenggung Purbarana tentu tidak akan terpaut banyak. Sementara itu Kumbang Talangkas yakin, bahwa ia memiliki kelebihan dari Ki Tumenggung Prabadaru.

Namun ternyata menghadapi Agung Sedayu ia tidak mendapat kesempatan sama sekali.

Sebenarnyalah bahwa Kumbang Talangkas sama sekali tidak mengerti apa yang terjadi di dalam diri Agung Sedayu. Semisal pintu, maka perbendaharaan ilmu Agung Sedayu sudah terbuka, sehingga dalam keadaan yang demikian, tidak sulit lagi baginya untuk menerima unsur-unsur baru yang akan menambah kesempurnaan ilmunya sebelumnya. Dalam keadaan seperti Agung Sedayu itu, seseorang tidak akan lagi dicemaskan oleh kemungkinan benturan dua kekuatan ilmu di dalam dirinya, karena orang itu tentu akan dapat menyaring dan menyesuaikan ilmu-ilmu yang diserapnya yang satu dengan yang lain.

Demikian juga dengan Agung Sedayu. la menyerap ilmu dari beberapa sumber. la pernah menyadap ilmu dari dinding goa di tempat yang tersembunyi di tebing sungai yang curam. la pernah membaca isi kitab Ki Waskita, dan kemudian kitab gurunya sendiri. Sehingga dengan demikian, maka di dalam dirinya telah bertemu berbagai macam unsur yang justru saling memperkokoh dan saling mengisi.

Itulah yang sebenarnya dijumpai oleh Kumbang Talangkas. Satu perbendaharaan ilmu yang mencakup banyak unsur yang mampu luluh menjadi satu kekuatan yang nggegirisi.

Kemampuan ilmu andalan Kumbang TaIangkas dengan deru badainya seolah-oIah justru menjadi sasaran permainan Agung Sedayu. Ia membiarkan dirinya terlempar, terbanting dan kemudian berguling-guling. Tetapi yang terjadi itu sama sekali tidak berpengaruh apa-apa. Apalagi melukainya.

Karena itu, maka Kumbang Talangkas seakan-akan telah kehabisan akal untuk mengatasi keadaan Iawannya. Apalagi setiap kali terasa dadanya bagaikan terkorek oleh kekuatan ilmu yang langsung menembus sampai jantung, yang dipancarkan dari tatapan mata anak muda itu. Untuk beberapa saat Kumbang Talangkas masih bertahan. Ia merasa dirinya seorang yang tidak ada tandinganya. Karena itu kenyataan yang dihadapinya adalah kenyataan yang terlalu pahit. Anak yang mampu mengatasi ilmunya itu adalah anak yang baginya masih terlalu muda.

Yang terasa di hati muridnya adalah sebagaimana yang terasa di hati gurunya. Ki Linduk pun merasakan betapa pahitnya dikalahkan oleh seorang perempuan. Namun ia tidak dapat mengingkari. lapun tidak dapat menghindar atau melarikan diri. Sekar Mirah membayanginya sangat ketat dan serangan-serangannya datang bagaikan banjir bandang. Susul menyusul tidak ada henti-hentinya. Sentuhan demi sentuhan telah membuat tubuhnya menjadi semakin sakit, sehingga kemampuannya untuk bergerak pun menjadi semakin susut.

Tetapi kenyataan itu sulit untuk diterima oleh Ki Linduk. Sebagai seorang laki-laki yang sudah menjelajahi petualangan yang keras dan berat, maka iapun menganggap bahwa ia tidak akan mungkin dikalahkan oleh seorang perempuan.

“Aku terlalu berperasaan menghadapi seorang perempuan,” katanya di dalam hati, “aku harus melepaskan diri dari perasaan belas kasihan itu. la benar-benar ingin membunuhku, sehingga akupun harus benar-benar berusaha membunuhnya.”

Dengan demikian, maka Ki Linduk itu pun justru telah menghentakkan sisa tenaganya. Dengan kasar ia meloncat menyerang dengan bindinya. Namun ia masih sempat memutar senjatanya menghindari benturan dengan senjata Sekar Mirah. Namun bindi itu pun telah terayun mendatar susul menyusul.

Sekar Mirah meloncat mundur. Bindi di kedua tangan lawannya rasa-rasanya bergerak semakin cepat. Tetapi Sekar Mirah sama sekali tidak gentar menghadapinya. Putaran bindi itu bukannya tidak dapat ditembus oleh kecepatan gerak tongkat baja putihnya.

Ketika untuk beberapa saat, Sekar Mirah tidak juga sempat menusuk di sela-sela putaran bindi lawannya, maka ia menjadi tidak sabar lagi. Tiba-tiba saja ia telah mengayunkan tongkat baja putihnya menghantam lingkaran putaran bindi lawannya.

Sekar Mirah yang yakin akan kekuatan tenaga ilmunya, dengan sengaja berusaha membenturkan tongkat baja putihnya, sehingga karena itu ia sama ekali tidak memperhitungkan lubang-lubang yang akan dapat ditembus.

Satu serangan yang tidak terduga. Karena itu, maka lawannya memang tidak menghindari benturan. Putaran bindinya yang menjadi perisai di sekitarnya, namun yang setiap saat dapat berubah menjadi kekuatan penyerang yang dahsyat itu, justru dipercepat untuk menanggapi benturan yang bakal terjadi.

Tetapi, ternyata kekuatan ilmu Sekar Mirah memang melampaui kekuatan yang dapat dibangunkan oleh ilmu Ki Linduk. Karena itu, ketika ayunan tongkat baja putih Sekar Mirah membentur putaran senjata Ki Linduk, maka telah terjadi satu benturan yang sangat keras. Satu benturan yang tidak mampu lagi diatasi oleh Ki Linduk.

Demikian kerasnya benturan itu, maka tangan Ki Linduk terasa bagaikan menyentuh bara api. Satu hentakan yang luar biasa telah merenggut sebuah bindinya dan terlempar beberapa langkah dari padanya.

Ki Linduk berteriak mengumpat keras sekali. Namun dengan serta merta iapun telah meloncat menjauh.

Tetapi Sekar Mirah sama sekali tidak memburunya. Dibiarkannya Ki Linduk melihat kenyataan tentang dirinya. Luka-luka di bagian dalam tubuhnya dan senjatanya yang sudah terlepas dari tangannya.

Untuk sesaat keduanya berdiri berhadapan dan saling memandang. Namun kemudian Sekar Mirah pun berkata, “Menyerahlah. Mungkin kau masih akan mendapat kesempatan untuk hidup.”

Wajah Ki Linduk menjadi tegang sekali. Sorot matanya bagaikan membara memandang sikap Sekar Mirah, yang di dalam penglihatannya benar-benar bagai sesosok iblis betina.

Karena itu, maka Ki Linduk itupun tidak menjawab sama sekali. Bahkan dengan serta merta iapun telah menyerang sambil mengumpat, “Gila. Kau harus dibantai disini setan betina!”

Sekar Mirah memang sudah menduga, bahwa Ki Linduk tidak akan bersedia menyerah. Karena itu, demikian Ki Linduk menyerang, Sekar Mirah telah bersiap untuk menghadapinya.

Namun ternyata Sekar Mirah sudah mengambil keputusan. la harus segera menyelesaikan pertempuran itu sebelum matahari hilang di balik bukit.

Karena itu, maka tongkat baja putihnya segera berputar lagi. Dengan nada melengking ia berkata, “Ki Sanak. Aku sudah cukup memberimu peringatan. Tetapi kau sama sekali tidak mau mendengarkan. Karena itu apa boleh buat.”

Ki Linduk tidak menghiraukannya. Bahkan iapun menerkam lawannya sambil mengumpat.

Tetapi Sekar Mirah sudah siap untuk menyelesaikan pertempuran itu. Demikian lawannya menyergapnya, ia mengelak dengan loncatan panjang menyamping. Demikian Ki Linduk meluncur di sisinya, maka Sekar Mirah telah mengayunkan tongkat baja putihnya. Tidak dengan sepenuh kemampuannya, karena ia menyadari sepenuhnya, bahwa benturan antara tongkat baja putihnya dengan kepala orang itu akan dapat berakibat sangat buruk bagi lawannya jika ia mengayunkannya dengan segenap kemampuannya.

Karena itu, Sekar Mirah hanya mempergunakan sebagian tenaganya saja, memukul tengkuk Ki Linduk yang terseret oleh kekuatannya sendiri di sisi Sekar Mirah.

Meskipun demikian, ternyata bahwa benturan antara tongkat baja putih Sekar Mirah dengan tengkuk Ki Linduk telah menimbulkan akibat yang sangat gawat bagi Ki Linduk. Ayunan pukulan itu telah mendorong Ki Linduk sehingga jatuh tertelungkup, tanpa mampu menguasai tubuhnya. Wajahnya telah terjerembab ke tanah berbatu padas. Sementara itu, benturan benda keras pada tengkuknya telah membuatnya tidak lagi menyadari apa yang telah terjadi. Sekar Mirah yang menyaksikan lawannya terdorong dan jatuh terjerembab itu justru menjadi berdebar-debar. Untuk beberapa saat Sekar Mirah berdiri mematung memandangi tubuh yang kemudian diam menelungkup tanpa bergerak sama sekali.

“O,” Sekar Mirah melangkah maju. Tetapi ternyata Sekar Mirah sama sekali tidak menyentuh lawannya. Bahkan ia pun kemudian melangkah selangkah-selangkah menjauh.

Sekar Mirah terkejut ketika ia mendengar sorak yang bagaikan mengoyak langit. Anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang melihat Sekar Mirah mengalahkan lawannya, tiba-tiba saja telah bersorak. Bagi mereka, pengaruh gemuruh sorak sorai itu akan memberikan arti tersendiri. Bukan saja lontaran kegembiraan, tetapi semacam isyarat, bahwa satu kemenangan telah dicapai dalam pertempuran itu.

Isyarat yang demikian akan dapat berpengaruh pula atas lawan-lawan mereka. Apalagi apabila lawan mereka menyadari, bahwa pemimpin mereka yang bernama Ki Linduk yang juga disebut Ki Sambijaya telah dikalahkan oleh seorang perempuan yang bernama Sekar Mirah.

Demikianlah, maka para pengikut Ki Linduk itu hatinya tiba-tiba telah menyusut. Mereka telah kehilangan pemimpin yang selama itu mereka anggap sebagai orang yang paling mumpuni. Tiba-tiba mereka dihadapkan pada satu kenyataan bahwa orang itu telah dikalahkan, justru oleh seorang perempuan.

Namun dalam pada itu, ternyata bahwa kematian Ki Linduk itu sempat di dengar pula oleh gurunya, Kumbang Talangkas. Beberapa orang Tanah Perdikan Menoreh memang dengan sengaja meneriakkan kematian itu, agar hati orang-orang yang bertempur di pihak Ki Linduk menjadi semakin kecut.

Tetapi yang kemudian terjadi, sangat mengejutkan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh. Kumbang Talangkas yang mendengar tentang kematian muridnya menjadi sangat marah. Karena itu, maka iapun telah bertekad untuk membalas dendam meskipun dengan cara apapun juga.

Justru pada saat Sekar Mirah merenungi tubuh Ki Linduk dan kemudian menebarkan tatapan matanya ke sekitarnya, karena orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang bersorak-sorak, telah terjadi sesuatu yang tidak disangka-sangka. Kembang Talangkas tanpa menghiraukan harga dirinya, tiba-tiba telah menyerang Sekar Mirah dari jarak yang semakin dekat, setelah ia berusaha bergeser dari arena.

Kumbang Talangkas yang sedang bertempur melawan Agung Sedayu itu dengan serta merta telah meninggalkan lawannya dan berlari mendekati Sekar Mirah. Dengan kemampuan ilmu praharanya, maka Kumbang Talangkas telah menyerang Sekar Mirah yang sama sekali tidak menyadari bahwa hal itu akan terjadi.

Agung Sedayu melihat apa yang bakal terjadi. Karena itu, maka ia berusaha untuk berteriak, “Sekar Mirah! Menghindarlah! Serangan itu akan menggapaimu dari jarak jauh!”

Sekar Mirah berpaling. la melihat sikap Kumbang Talangkas yang menghadap kepadanya. Karena itu, dengan cepat ia menangkap maksud Agung Sedayu.

Karena itu, maka Sekar Mirah pun segera berusaha untuk meloncat. Dengan kecepatan yang mungkin dapat dilakukan, maka iapun telah menghindar dari garis serangan Kumbang Talangkas.

Tetapi Sekar Mirah terlambat; Meskipun ia sempat bergeser, namun garis serangan itu masih menyentuhnya. Sehingga karena itu hembusan badai yang kuat yang dilontarkan atas dasar kekuatan ilmu Kumbang Talangkas itu telah menerpanya sehingga tubuh Sekar Mirah itu telah terlempar beberapa langkah dan jatuh terguling di tanah.

Agung Sedayu mendengar pekik Sekar Mirah tertahan. Karena itu, maka jantungnya bagaikan pecah karenanya. Ternyata Kumbang Talangkas-lah yang berbuat sangat curang dan licik.

Melihat Sekar Mirah terlempar dan terbanting di tanah, darah Agung Sedayu tiba-tiba saja bagaikan mendidih. Sekar Mirah bukan saja salah seorang senapati dari pasukan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh, tetapi Sekar Mirah itu adalah istrinya.

Karena itu, maka Agung Sedayu tidak lagi dapat mengekang dirinya. Tiba-tiba saja ia telah berdiri tegak sambil menyilangkan tangannya di dadanya. Dipandanginya tubuh Kumbang Talangkas yang sedang menikmati kemenangan karena kelicikannya. la melihat Sekar Mirah terbaring diam. Karena itu, maka tiba-tiba saja suara tertawanya yang dilambari dengan Aji Gelap Ngamparnya telah meledak dan menggetarkan udara menekan dada anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh.

Tetapi Kumbang Talangkas tidak dapat berbuat demikian untuk waktu yang lama. la tidak sempat menikmati kemenangannya atas Sekar Mirah dengan caranya yang sangat licik, karena tiba-tiba ia mendengar suara Agung Sedayu, “He, setan yang licik. Hadapi aku.”

Kumbang Talangkas berpaling ke arah Agung Sedayu. Namun tiba-tiba saja jantungnya bergetar. la sadar, apa yang akan dilakukan Agung Sedayu atasnya.

Sebenarnyalah pada saat itu mulai terasa, dadanya bagaikan diremas. Sorot mata Agung Sedayu mulai menukik menusuk langsung ke pusat jantungnya. Tidak lagi dengan ragu-ragu sebagaimana sering dilakukannya. Tetapi peristiwa yang menimpa Sekar Mirah benar-benar telah membuat Agung Sedayu tidak lagi rnengekang diri.

Kumbang Talangkas rnengeluh perlahan-lahan. Serangan itu jauh lebih kuat dari yang pernah dilakukan Agung Sedayu sebelumnya. Bahkan rasa-rasanya sorot mata Agung Sedayu itu tidak saja mengorek jantungnya, tetapi mengalirkan udara yang mampu membakar seluruh isi dadanya.

Dengan sisa tenaganya Kumbang Talangkas itu menggapai paser-paser kecilnya. Tetapi ketika ia melontarkannya, maka paser-paser itu jatuh beberapa langkah di hadapan Agung Sedayu. Selain jarak di antara mereka memang di luar jangkauan lemparan paser-paser kecil itu, juga karena tenaga Kumbang Talangkas bagaikan sudah terserap habis oleh perasaan sakit yang menggigit jantungnya.

“Gila!” teriak Kumbang Telangkas. la mencoba melontarkan kekuatan badainya menghantam Agung Sedayu. Tetapi Agung Sedayu sama sekali tidak bergeser dari tempatnya. la tidak lagi terlempar dan jatuh berguling-guling. Tetapi ia tetap tegak dengan tangan bersilang di dadanya dan memandanginya dengan sorot mata yang memancarkan kekuatan ilmunya yang luar biasa.

Untuk sesaat Telangkas masih bertahan, berdiri tegak sambil mengumpat-umpat. Tetapi ternyata kekuatannya tidak mampu mendukung gejolak perasaannya menghadapi Agung Sedayu yang menjadi sangat marah. Sejenak kemudian orang itu terhuyung-huyung dan kehilangan keseimbangannya.

Agung Sedayu melepaskan serangannya ketika orang itu kemudian jatuh tertelungkup di tanah yang sudah dibasahi oleh keringat dan darah mereka yang bertempur dengan sepenuh kemampuan menentang maut dari kedua belah pihak.

Namun Agung Sedayu tidak sempat memperhatikan orang itu terlalu lama. la pun kemudian berlari-lari menuju ke tempat Sekar Mirah terbaring. Ternyata dua orang anak muda Tanah Perdikan telah berdiri di sebelah menyebelah menjaga agar tubuh Sekar Mirah tidak diusik oleh lawan.

Dalam pada itu, para pengikut Ki Linduk tidak sempat menyorakkan kemenangan Kumbang Telangkas atas Sekar Mirah, karena sejenak kemudian, Kumbang Telangkas itu sendiri telah jatuh terjerembab di tanah.

Sesaat kemudian pertempuran masih berlangsung. Agung Sedayu kemudian telah mengangkat tubuh istrinya dan membawanya menepi. Ternyata serangan Kumbang Telangkas benar-benar sangat dahsyat, sehingga Sekar Mirah telah mengalami luka-luka. Bukan saja kulitnya yang membentur tanah berbatu padas, tetapi juga bagian dalam tubuhnya.

Sebagai murid Kiai Gringsing, maka Agung Sedayu memang mempunyai beberapa jenis obat. Karena itu dengan tergesa-gesa ia menyiapkan obat yang terutama untuk memberikan kekuatan yang dapat menambah daya tahan tubuh istrinya.

“Tolong, cari air,” minta Agung Sedayu kepada seorang anak muda Tanah Perdikan yang ada di dekatnya.

Anak itupun kemudian berlari-lari. la mengenal daerah itu, karena ia hampir setiap hari bermain-main dan berkeliaran di pategalan itu. Sehingga karena itu, maka ia pun dapat langsung pergi ke tempat yang dikehendaki, sebuah belik kecil di bawah sebatang pohon beringin yang besar di sebelah medan pertempuran yang keras itu.

Dengan daun talas ia membawa air yang diperlukan oleh Agung Sedayu untuk mencairkan obat untuk luka-luka dalam yang dibawanya dengan bumbung kecil, dan untuk mencairkan obat yang akan dapat dipergunakan untuk mengobati luka-luka di tubuh Sekar Mirah, yang ternyata mengalirkan darah cukup banyak.

Dengan hati-hati Agung Sedayu pun kemudian menitikkan cairan obat di bibirnya. Setitik demi setitik. Namun ketika ternyata bahwa titik-titik itu dapat melampaui kerongkongan Sekar Mirah, gejolak perasaan Agung Sedayu menjadi agak tenang.

Ketika kemudian Sekar Mirah mulai menggerakkan bibirnya dan berdesis, maka Agung Sedayu-menarik nafas dalam-dalam. lapun kemudian mulai mengoleskan obat pada luka-luka di kulitnya. Luka-luka yang ditimbulkan oleh sentuhan antara kulit Sekar Mirah dengan tanah dan batu-batu padas. Meskipun luka itu tidak terlalu dalam, tetapi terdapat di beberapa tempat dengan goresan-goresan memanjang.

Ternyata bahwa titik-titik obat yang dicairkan yang berhasil masuk kerongkongan Sekar Mirah itu memberikan pengaruh kepada perempuan itu. Sejenak kemudian terdengar Sekar Mirah itu merintih perlahan-lahan. Tubuhnya memang terasa sakit di semua sendi-sendinya.

Agung Sedayu menjadi semakin berpengharapan. Meskipun Sekar Mirah kemudian merintih perlahan-lahan, tetapi dengan demikian pertanda bahwa kesadaran Sekar Mirah telah mulai tumbuh kembali setelah beberapa saat ia menjadi pingsan.

“Mirah,” panggil Agung Sedayu

Sekar Mirah mendengar panggilan itu. Dengan menahan sakit di seluruh tubuhnya, iapun berusaha membuka matanya. Mula-mula yang nampak padanya tidak lebih dari bayangan yang sangat kabur. Namun kemudian ia mulai melihat bentuk yang hitam seolah-olah dalam keremangan malam.

“Mirah,” sekali lagi Agung Sedayu memanggil. Suara itu menjadi semakin jelas bagi Sekar Mirah. Meskipun ia tidak melihat dengan jelas ujud Agung Sedayu, tetapi Sekar Mirah mengenal dengan pasti, bahwa suara itu adalah suara Agung Sedayu.

“Kakang,” desis Sekar Mirah.

“Bagaimana dengan keadaanmu?” bertanya Agung Sedayu.

“Aku terluka di dalam Kakang,” jawab Sekar Mirah

“Kau sudah minum obat, meskipun baru sedikit sekali Mirah,” jawab Agung Sedayu, “aku berhasil menitikkan obat itu lewat kerongkongan.”

“O,” Sekar Mirah berdesis.

“Sekarang, sebaiknya kau minum lagi meskipun hanya sedikit sekali,” berkata Agung Sedayu pula.

Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi ketika Agung Sedayu menitikkan obat di bibirnya, maka iapun berusaha untuk menelannya.

Obat itu memang berpengaruh atas luka-luka di dalam tubuh Sekar Mirah. Obat itu dapat mengurangi rasa sakit, tetapi juga dapat membantu memperkuat daya tahan tubuhnya.

“Beristirahatlah sebaik-baiknya Sekar Mirah,” berkata Agung Sedayu, “kau aman disini. Kita berada di luar arena.”

“Lalu bagaimana dengan orang yang licik itu?” bertanya Sekar Mirah.

“Aku sudah menyelesaikannya Sekar Mirah,” jawab Agung Sedayu.

“O,” Sekar Mirah berusaha menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ternyata dadanya masih terasa sakit. Meskipun demikian, perasaan sakit di seluruh tubuhnya sudah menjadi jauh berkurang.

“Beristirahatlah. Jangan hiraukan lagi pertempuran yang sudah hampir selesai itu,” berkata Agung Sedayu.

“Kakang,” desis Sekar Mirah, “jika kau masih harus berada di medan, tinggalkan aku. Aku tidak apa-apa.”

“Biarlah anak-anak menyelesaikan yang tersisa Sekar Mirah,” berkata Agung Sedayu.

“Tetapi korban akan menjadi terlalu banyak. Jika kau berada di medan Kakang, mungkin kau akan dapat mengurangi korban. Bukan saja jumlah korban yang jatuh, tetapi kau akan dapat mempercepat penyelesaian.”

Agung Sedayu merenungi kata-kata Sekar Mirah. Sementara itu, pandangan mata Sekar Mirah menjadi semakin jelas. la mulai melihat ujud Agung Sedayu. Langitpun rasa-rasanya menjadi semakin cerah.

Dalam pada itu, Agung Sedayu pun mengangkat wajahnya. Dilihatnya matahari yang semakin rendah di atas bukit. Karena itu, maka iapun mulai mempertimbangkan pendapat Sekar Mirah.

“Tetapi bagaimana dengan Sekar Mirah?” bertanya Agung Sedayu di dalam hatinya.

Sekar Mirah seakan-akan melihat karagu-raguan di dalam hati suaminya. Karena itu, maka iapun berkata pula, “Tinggalkan aku kakang. Aku tidak apa-apa.”

Tetapi tubuh Sekar Mirah masih sangat lemah. Ia mengalami luka di tubuhnya dan luka di dalam. Karena itu, sebenarnyalah bahwa keadaan Sekar Mirah itu cukup gawat.

Namun Sekar Mirah adalah seorang perempuan yang memiliki jiwa seorang prajurit. Karena itu, ia melihat kepentingan seluruh pasukan melampaui kepentingannya sendiri.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun telah memanggil seorang anak muda Tanah Perdikan yang berada tidak terlalu jauh dari padanya.

“Panggil kawan yang dapat melepaskan diri dari pertempuran untuk menjaga Sekar Mirah. Bukankah keadaan kita menjadi lebih baik?” bertanya Agung Sedayu. “Aku akan melihat medan.”

“Ya,” jawab anak muda itu, “pasukan khusus Mataram dan pasukan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh sudah berhasil mendesak lawan dan mengurangi jumlah mereka. Tetapi mereka masih tetap mengadakan perlawanan.”

“Apakah mereka tahu bahwa kedua pemimpin mereka sudah mati?” bertanya Agung Sedayu.

“Tentu sudah,” jawab anak muda itu, ”bukankah anak-anak Tanah Perdikan bersorak ketika mereka terbunuh, dan demikian pula lawanmu yang memiliki ilmu yang luar biasa itu.”

“Aku memang mendengar sorak itu,” jawab Agung Sedayu, “tetapi aku justru tidak mendengar sorak itu ketika lawanku jatuh terjerembab, karena perhatianku terpusat kepada Sekar Mirah.”

“Orang-orang liar itu sudah mengetahui. .Agaknya pengaruhnya memang besar sekali. Mereka semakin terdesak, dan perlawanan merekapun menjadi tidak berarti lagi. Sebentar lagi pasukan mereka tentu akan pecah. Mudah-mudahan mereka menyerah dan tidak berusaha melarikan diri.”

“Bagaimana jika mereka melarikan diri?” bertanya Agung Sedayu.

“Senapati pasukan khusus itu telah membuat perhitungan-perhitungan. Sebagian di antara mereka justru berada di ujung sayap. Mereka harus memotong jika ada gerakan mengundurkan diri. Meskipun tentu tidak akan mungkin dapat dijaring semuanya.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Jika demikian aku tidak perlu lagi pergi ke arena. Sebentar lagi pertempuran itu memang sudah akan selesai.”

“Ya. Sebentar lagi tentu akan selesai. Nampaknya di induk pasukan pun, kekuatan lawan tidak akan berarti lagi sepeninggal Ki Tumenggung Purbarana,” berkata anak muda itu.

Dengan, demikian maka Agung Sedayu tidak memerlukan lagi empat orang yang harus menjaga Sekar Mirah. la sendiri akan menungguinya dan melihat perkembangannya setelah ia memberikan obat kepadanya.

Sementara itu, medan perang pun telah banyak sekali berubah. Keseimbangan di antara kedua belah pihak telah jauh bergeser, sehingga akhirnya seperti yang sudah diduga, para pengikut Ki Linduk yang kehilangan kendali itupun tanpa aba-aba telah saling berlarian mencari hidup masing-masing, sebagaimana sering mereka lakukan, apabila mereka gagal melakukan kejahatan.

Karena itu, maka sejenak kemudian, telah terjadi kejar-mengejar antara para pengikut Ki Linduk dengan para prajurit Mataram bersama-sama anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh.

Ternyata tidak hanya di sayap yang telah kehilangan pimpinannya saja itulah yang menjadi kacau. Tetapi di induk pasukan pun telah terjadi hal yang serupa. Para prajurit yang menjadi pengikut Ki Tumenggung Purbarana pun ternyata telah kehilangan sifat-sifat keprajuritan mereka. Setelah mereka mengalami satu kehidupan yang berat di sepanjang perjalanan mereka sejak mereka meninggalkan Pajang, menyusuri daerah yang sulit dan keras, menghadapi keadaan yang kadang-kadang sulit untuk dimengerti, semuanya itu berpengaruh atas sikap dan cara hidup mereka. Perlahan-lahan mereka melepaskan sifat-sifat keprajuritan mereka dan dihinggapi oleh sifat-sifat yang tidak mereka mengerti sendiri.

Kematian Ki Tumenggung Purbarana benar-benar telah menghancurkan harapan mereka untuk mencapai satu tujuan yang selama ini mereka tempuh dengan perjalanan yang berat dan keras. Sehingga karena itu, maka sebagian mereka telah benar-benar kehilangan pegangan.

Beberapa orang senapati masih tetap dalam sikap mereka. Namun ketika mereka berteriak-teriak memberikan aba-aba, maka para prajurit yang menjadi pendukung mereka selama ini telah kehilangan diri.

Karena itulah, maka para senapati tidak lagi mampu mengendalikan prajurit-prajurit para pengikut Ki Tumenggung yang tidak lagi mengerti apa yang harus mereka kerjakan. Sebagian besar dari mereka telah dipengaruhi oleh keadaan. Ketika mereka melihat orang-orang Ki Linduk melarikan diri, maka merekapun telah mengikut pula.

Mereka berlari bercerai berai meninggalkan medan. Dengan kebingungan mereka mendaki bukit berbatu padas. Satu dua kehilangan keseimbangan dan bahkan jatuh di lereng bukit menghantam batu-batu padas yang runcing.

Namun dalam pada itu, dalam keadaan yang kisruh, selagi para prajurit dari pasukan khusus Mataram dan para pengawal Tanah Perdikan Menoreh berusaha mengejar lawan mereka yang melarikan diri, maka di satu sayap yang lain, keadaannya agak berbeda. Meskipun sebagian dari mereka yang berada di sayap itu juga telah melarikan diri, namun masih terjadi satu benturan ilmu yang sangat dahsyat. Kiai Jayaraga masih bertempur melawan Ki Punta Gembong dengan cara yang tidak banyak dimengerti oleh orang lain.

Keduanya agaknya saling menolak, tetapi pada tempat masing-masing yang dipisahkan oleh jarak. Keduanya bertahan dan berusaha untuk mendorong lawannya sehingga kaki-kaki mereka telah mulai membenam ke dalam tanah.

Namun dalam keadaan terakhir, maka Kiai Jayaraga telah mengerahkan segenap kekuatan yang dapat diserapnya. Api, air, udara, dan dengan mantap bertahan dengan kekuatan yang dapat diserapnya dari bumi.

Meskipun Punta Gembong mampu juga melontarkan serangan hawa panas, tetapi ternyata Kiai Jayaraga memiliki beberapa kelebihan. Dalam keadaan yang semakin berat, dan wajah-wajah mereka menjadi semakin pucat, sementara pada sentuhan kaki mereka yang membenam ke dalam bumi nampak mengepulkan asap, maka Kiai Jayaraga benar-benar telah mengerahkan segenap kemampuannya. Yang kemudian seakan-akan rnenyerang lawannya bukan sekedar kekuatan dorongan ilmunya, tetapi panasnya api dan uap air yang mendidih telah melanda Punta Gembong.

“Gila!” Punta Gembong mengumpat. la sudah merasa betapa beratnya tekanan ilmu lawannya. Bahkan tiba-tiba saja pada tanah tempat ia berpijak seakan-akan telah terjadi ledakan yang mengejutkan.

Terasa ilmu Kiai Jayaraga itu semakin menyakiti tubuhnya. Ledakan itu terasa bagaikan mengoyak kulitnya, sementara udara yang panas menghembusnya semakin keras. Bahkan kemudian seakan-akan angin prahara telah menghembus dengan sangat dahsyatnya.

Ki Punta Gembong adalah orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Karena itu, iapun dengan tepat mengetahui, bahwa lawannya memiliki ilmu yang tidak dapat dilawannya.

Namun demikian, ternyata bahwa Ki Punta Gembong bukan seorang pengecut. la tetap bertahan dengan kemampuan yang ada di dalam dirinya, meskipun ia menyadari, bahwa ia tidak akan mampu bertahan melawan ilmu lawannya itu.

Tetapi Ki Punta Gembong tidak akan dapat mengambil cara lain. Jika ia melepaskan diri dari benturan kekuatan itu, dan berusaha menghindar, juga menghindari ledakan-ledakan yang terjadi di bawah kakinya, maka ia akan sekedar menjadi sasaran tanpa dapat menyerang sama sekali. Dan ia pun akan menjadi semakin lemah dan mati dalam kejaran ilmu lawannya. Tetapi dengan keadaan sebagaimana dilakukan, maka ia pun telah mampu menyakiti lawannya, meskipun ia sendiri pada akhirnya akan kehilangan kemampuan untuk melawannya.

Dengan demikian, maka sesaat Punta Gembong menghentakkan ilmunya. Tangannya bagaikan mendorong ke arah Kiai Jayaraga untuk memberikan tekanan pada lontaran ilmunya.

Terasa sesuatu menekan di dada Kiai Jayaraga di samping perasaan panas yang menyengat. Karena itu, maka Kiai Jayaraga itupun menyeringai menahan sakit.

Ki. Punta Gembong, berusaha untuk memeras segenap kemampuan dan kekuatan yang ada padanya. Namun ternyata bahwa sisa kekuatan dan kemampuannya memang sangat terbatas.

Karena itu, Kiai Jayaraga yang kemudian dengan menghentakkan ilmunya sebagaimana dilakukan oleh Ki Punta Gembong, menyerang lawannya dengan segala macam kekuatan yg terserap dalam ilmunya itu, maka berakhirlah pertempuran yang dahsyat itu. Punta Gembong yang bertahan dengan sisa kekuatannya, ternyata tidak mampu melawan hentakan kekuatan ilmu Kiai Jayaraga.

Karena itu, maka dengan segenap kemarahan, dendam dan kebencian, Punta Gembong pun kemudian jatuh tertelungkup di tanah. Dari sela-sela bibirnya mengalir darah yang merah kehitaman, sementara tubuhnya diwarnai dengan noda-noda yang kemerah-biruan bagaikan tersentuh api. Namun dalam pada itu, Kiai Jayaraga yang telah mengerahkan segenap kekuatan ilmunya pun mengalami kesulitan di dalam dirinya. Pernafasannya menjadi sesak dan darahnya bagaikan tersendat-sendat.

Karena itu, demikian ia melihat lawannya jatuh tertelungkup, maka rasa-rasanya semua kekuatan yang ada di dalam dirinya telah tercurah habis.

Dengan demikian, maka tiba-tiba saja Kiai Jayaraga itupun terhuyung-huyung. Dengan susah payah ia berusaha untuk mempertahankan keseimbangan.

Dalam keadaan yang demikian, pengikut Warak Ireng yang melihatnya, berusaha mempergunakan kesempatan itu. Kematian Punta Gembong telah menumbuhkan kemarahan yang tiada taranya.

Dengan serta merta maka salah seorang dari mereka telah meloncat berlari dengan tombak merunduk, siap untuk menusuk tubuh Ki Jayaraga yang lemah.

Namun langkahnya tiba-tiba terhenti. Anak-anak Tanah Perdikan Menoreh tidak membiarkan kecurangan itu terjadi. Karena itu, maka merekapun telah berlari-lari pula menyongsong para pengikut Warak Ireng itu.

Dengan demikian, maka arena yang semula tersibak karena kedua belah pihak saling menjauh itu, tiba tiba telah dipenuhi oleh debu yang mengepul. Dibisingkan oleh teriakan-teriakan dan juga kemudian jerit kesakitan.

Ki Gede yang melihat keadaan Ki Jayaraga itupun segera mendekatinya. Dibantunya Kiai Jayaraga itu menepi. Dan kemudian duduk bersandar sebatang pohon.

“Bagaimana Kiai?” bertanya Ki Gede.

“Punta Gembong agaknya telah berhasil melukai bagian dalam tubuhku,” jawab Kiai Jayaraga.

“Tetapi Kiai telah membunuhnya,” berkata Ki Gede kemudian.

“Apakah orang itu mati?” bertanya Kiai Jayaraga.

“Aku belum melihat dengan teliti Kiai,” jawab Ki Gede, “tetapi ia tertelungkup dan tidak bergerak. Beberapa pengikutnya sedang berusaha menyingkirkannya dari arena. Tetapi keadaannya agaknya tidak lagi dapat diharapkan.”

Kiai Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Ki Gede, aku mohon kesempatan uuntuk memperbaiki keadaanku yang sulit ini.”

“Silahkan Kiai. Aku akan berada di sini,” jawab Ki Gede.

“Sebenarnya tidak perlu Ki Gede sendiri. Mungkin pertempuran itu memerlukan Ki Gede,” jawab Kiai Jayaraga.

“Tidak Kiai,” jawab Ki Gede, “pertempuran itu sudah hampir selesai. Sebagian dari mereka telah melarikan diri. Meskipun ada juga satu dua orang yang setia dan tidak beranjak dari pertempuran selama Warak Ireng masih bertempur, tetapi jumlah mereka tidak terlalu banyak.”

Kiai Jayaraga menarik nafas dalam dalam. Namun kemudian katanya, “Aku mohon dua atau tiga orang berada di sini Ki Gede, mungkin untuk menghalau lalat yang hinggap di tubuhku. Tetapi agaknya Glagah Putih memerlukan Ki Gede menungguinya untuk beberapa saat.”

Ki Gede mengerutkan keningnya. Ia hampir saja lupa terhadap Glagah Putih. Karena itu, maka katanya, “Baiklah. Aku akan menengoknya.”

Demikianlah, maka Ki Gede pun telah memanggil tiga orang pengawal anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang dipercayainya. Lalu katanya, “Kau di sini. Jaga Kiai Jayaraga yang akan memusatkan nalar budinya untuk memperbaiki luka-luka di dalam tubuhnya.”

Sejenak kemudian, Ki Gede pun meninggalkan Kiai Jayaraga yang duduk dengan menyilangkan tangannya di dadanya. Matanya dipejamkan, sedangkan kepalanya pun menunduk dalam sikap mapan. Dengan dasar ilmunya, maka Kiai Jayaraga pun mengatur jalur pernafasannya yang terganggu, kemudian mengerahkan daya tahan tubuhnya untuk melawan luka di dalam dirinya.

Dalam pada itu, maka Ki Gede pun kemudian memasuki arena pertempuran yang sudah tidak berbentuk lagi. Para pengikut Warak Ireng tidak lagi bertahan terlalu lama. Mereka pun telah kehilangan gairah sama sekali untuk bertempur, setelah Punta Gembong terbunuh di medan melawan Kiai Jayaraga.

Karena itu, maka sebagian dari para prajurit Mataram dan anak anak muda Tanah Perdikan Menoreh sedang berusaha mengurung orang-orang yang berusaha untuk melarikan diri. Namun agaknya mereka mengalami kesulitan. Pepohonan di lereng bukit dan tanaman keras di batas pategalan yang berpetak-petak, memberikan kesempatan kepada para pengikut Warak Ireng untuk melarikan diri sebagaimana kawan-kawan mereka di induk pasukan dan di sayap yang lain.

Namun dalam pada itu, ternyata Warak Ireng sendiri masih juga bertempur melawan Glagah Putih. Ketika sekelompok anak-anak muda akan mencampuri pertempuran itu, Glagah Putih telah berteriak, “Jangan ganggu aku!”

Anak-anak muda itupun termangu-mangu Tetapi merekapun telah bergeser surut.

Dengan demikian maka tidak seorang pun yang mengganggu pertempuran antara Glagah Putih dan Warak Ireng. Keduanya telah sampai pada puncak kemampuan ilmu masing-masing.

Sementara itu, pertempuran di seluruh medan benar-benar sudah hampir selesai. Ternyata selain yang berhasil melarikan diri, para prajurit dari pasukan khusus Mataram dan anak-anak muda Tanah Perdikan dapat juga menawan sebagian di antara mereka.

Dengan demikian, maka para tawanan itu pun kemudian ditempatkan di satu tempat yang mudah mendapat pengawasan. Mereka diperintahkan untuk duduk di tanah setelah senjata mereka dikumpulkan. Sementara itu, para prajurit dari pasukan khusus dan anak-anak muda Tanah Perdikan mengawasi dengan penuh kesiagaan di sekeliling mereka dengan senjata teracu.

Namun dalam pada itu, Ki Gede dengan jantung yang berdebaran menunggui Glagah Putih sedang bertempur.

Bahkan kemudian Ki Lurah Branjangan pun telah hadir pula dari induk pasukan yang sudah kehilangan lawan.

“Kenapa mereka tidak dihentikan?” bertanya Ki Lurah.

“Glagah Putih menghendaki demikian,” jawab Ki Gede.

“Kita tidak perlu menuruti keinginan seorang demi seorang di dalam pertempuran ini. Ki Gede dapat menjatuhkan perintah sebagai pimpinan di sayap ini. Atau aku dapat juga memerintahkan mereka untuk berhenti bertempur dan memerintahkan lawan Glagah Putih itu menyerah,” berkata Ki Lurah.

“Glagah Putih menghendaki pertempuran itu selesai dengan tuntas,“ jawab Ki Gede.

“Kita akan kehilangan waktu,” berkata Ki Lurah, “aku akan memerintahkan orang itu menyerah atau membunuhnya sama sekali.”

“Glagah Putih akan kecewa,” jawab Ki Gede.

“Aku tidak peduli. Kita masih mempunyai banyak tugas. Kita masih harus mengumpulkan kawan-kawan kita yang terluka. Bahkan lawan-lawan kita. Kita harus mengumpulkan pula mereka yang gugur dan kemudian membawa mereka kembali ke barak atau ke banjar-banjar di Tanah Perdikan. Kita masih harus menyelenggarakan mayat lawan-lawan kita yang terbunuh dan kita pun masih harus mengurusi tawanan. Sementara itu kita hanya menonton saja di sini tanpa berbuat apa-apa,” berkata Ki Lurah.

“Ki Lurah,” berkata Ki Gede, “silahkan. Ki Lurah dapat memerintahkan pasukan Ki Lurah untuk mulai dengan tugas-tugas mereka. Akupun akan memerintahkan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh untuk melakukan hal yang sama tanpa mengganggu Glagah Putih yang sedang bertempur untuk menjajagi tingkat kemampuannya. Kesempatan seperti ini agaknya memang penting bagi Glagah Putih. Karena dengan demikian ia benar-benar mendapatkan satu pengalaman yang berharga.”

“Tetapi bagaimana kalau anak itu mati?” bertanya Ki Lurah.

Ki Gede mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Memang hal itu mungkin sekali terjadi. Tetapi kita dapat menilai kemampuan mereka berdua, Ki Lurah. Bukankah kita tidak menganggap bahwa Glagah Putih berada di bawah lawannya?”

“Tetapi kemungkinan yang pahit itu selalu ada,” sahut Ki Lurah, “sementara ini langit sudah menjadi semakin suram. Matahari menjadi semakin rendah. Sebentar lagi senja akan turun, sementara kita masih harus melakukan banyak sekali tugas.”

“Marilah,” berkata Ki Gede, “kita akan melakukan tugas-tugas itu sebaik-baiknya, tanpa mengganggu pertempuran ini.”

Ki Lurah tidak menjawab. Diperhatikannya pertempuran antara Glagah Putih dan Warak Ireng. Menurut pengamatan Ki Lurah, Glagah Putih yang muda itu memang memiliki beberapa kesempatan yang lebih baik dari lawannya, setelah secara jiwani Glagah Putih meyakini dirinya sendiri, serta menilai lawannya yang mempunyai bekal ilmu yang lain dari ilmunya sendiri, sehingga Glagah Putih tidak terlalu banyak berusaha menebak langkah-langkah yang akan diambil oleh lawannya. Tetapi dengan cermat ia mengikuti setiap gerakan dan dengan cepat mengambil keputusan untuk menentukan sikap.

Ki Lurah kemudian menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah bahwa iapun mengagumi kemampuan Glagah Putih. Anak yang masih sangat muda, namun telah memiliki kemampuan yang mampu mengimbangi lawannya yang garang itu.

Ki Lurah yang mengetahui bahwa Glagah Putih telah berguru kepada Kiai Jayaraga setelah ia menyadap ilmu yang temurun dari Ki Sadewa dan ayahnya atas bimbingan Agung Sedayu, akhirnya berkata, “Baiklah. Biarlah Glagah Putih menemukan kepercayaan kepada dirinya bahwa ia secara pribadi dapat mengatasi lawannya tanpa memerlukan bantuan orang lain.”

Dengan demikian, maka Ki Lurah pun telah memerintahkan para perwiranya untuk mengatur penyelesaian dari pertempuran yang terjadi di Tanah Perdikan Menoreh itu. Mereka masih mempunyai banyak tugas, sementara langit sudah menjadi buram.

Namun dalam pada itu, ternyata beberapa orang tanpa mendapat perintah telah berusaha mengambil obor dari barak pasukan khusus yang menjadi sasaran pertama serangan pasukan Ki Purbarana. Obor yang kemudian dinyalakannya untuk menerangi bekas arena yang masih diayangi oleh korban yang terbujur lintang. Keluh dan erang mereka yang terluka.

Dalam pada itu, Ki Lurah Branjangan pun telah terkejut ketika ia mendapat laporan bahwa di sayap yang lain, Sekar Mirah telah terluka di dalam.

“Apa yang terjadi?” bertanya Ki Lurah.

“Sekar Mirah telah mendapatkan serangan yang licik,” jawab prajurit yang memberikan laporan itu.

“Bagaimana dengan Agung Sedayu?” bertanya Ki Lurah.

“Agung Sedayu tidak apa-apa,” jawab prajurit yang memberikan laporan itu, “ia sedang merawat istrinya.”

“Bagaimana keadaan Sekar Mirah?” bertanya Ki Lurah pula.

“Nampaknya cukup gawat. Agung Sedayu sedang berusaha untuk mengobatinya.”

KI Lurah Branjangan pun kemudian dengan tergesa-gesa telah pergi ke arena pertempuran di sayap yang dipimpin oleh Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Dari beberapa orang anak muda Tanah Perdikan Ki Lurah mendapat petunjuk, bahwa Agung Sedayu telah membawa istrinya ke belakang garis pertempuran.

“Tunjukkan aku dimana mereka,” berkata Ki Lurah.

Dengan mengikuti anak muda itu, maka akhirnya Ki Lurah sampai juga kepada Sekar Mirah yang sedang terluka.

“Bagaimana dengan Sekar Mirah?“ bertanya Ks Lurah.

Agung Sedayu menarik nafas. Katanya, “Mudah-mudahan ia dapat bertahan. Tetapi agaknya pernafasannya telah dapat diatasinya, sementara peredaran darahnya berjalan wajar.”

Ki Lurah mengangguk-angguk. Katanya, “Syukurlah. Mudah-mudahan luka-lukanya tidak berbahaya bagi keselamatannya.”

“Aku sudah memberikan obat yang aku dapatkan dari Guru,” berkata Agung Sedayu.

Ki Lurah pun kemudian berjongkok di samping Sekar Mirah. Di bawah cahaya obor, maka Ki Lurah melihat wajah Sekar Mirah yang pucat. Namun nampaknya seperti yang dikatakan oleh Agung Sedayu, Sekar Mirah sudah mampu mengatasi kesulitan pernafasannya, sementara peredaran darahnya berjalan dengan teratur.

Sekar Mirah membuka matanya ketika ia mendengar suara Ki Lurah Branjangan. Ketika matanya itu terbuka maka dilihatnya wajah Ki Lurah yang tegang.

Sekar Mirah berusaha untuk tersenyum. Katanya, “Aku tidak apa-apa Ki Lurah.”

“Syukurlah” jawab Ki Lurah, “sementara ini beristirahatlah. Pertempuran sudah selesai, meskipun kami masih harus membenahi keadaan. Sebagian dari para penyerang telah dapat kami tawan, sementara yang lain berhasil melarikan diri. Mudah-mudahan dengan demikian persoalan yang timbul karena ulah Tumenggung Purbarana dapat diselesaikan sampai di sini.”

Sekar Mirah tidak menjawab. Tetapi nampak ia mengangguk kecil.

Sementara itu, Ki Lurah pun telah minta diri untuk melihat para prajurit yang sedang melakukan tugas mereka. Namun demikian ia masih juga sempat berkata, “Yang masih tidak mau melepaskan lawannya adalah Glagah Putih.”

“O,” wajah Agung Sedayu berkerut, “bagaimana dengan anak itu?”

“la ingin menyelesaikan lawannya secara pribadi. la tidak mau diganggu meskipun anak-anak muda Tanah Perdikan, bahkan Ki Gede Menoreh sudah siap di pinggir arena.”

“Kenapa?” bertanya Agung Sedayu pula.

“la ingin meyakinkan dirinya sendiri, bahwa ia memiliki ilmu yang memadai,” berkata Ki Lurah, “aku sudah mencoba untuk menghentikan pertempuran itu, tetapi Ki Gede tidak setuju. Ki Gede ingin memberikan kesempatan kepada anak itu untuk menilai dirinya serta mendapatkan pengalaman yang akan sangat berharga.”

“Tetapi bagaimana jika anak itu tidak berhasil melindungi dirinya sendiri?” desis Agung sedayu dalam nada kecemasan.

Ki Lurah mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Menurut pengamatanku dan Ki Gede, agaknya Glagah Putih akan dapat keluar dengan selamat dari pertempuran itu.”

Tetapi Agung Sedayu agaknya masih tetap cemas tentang anak muda itu. Namun demikian, Agung Sedayu rasa-rasanya terikat untuk tetap berada di tempat, karena keadaan Sekar Mirah.

Sekar Mirah yang terluka itu seakan-akan dapat mengerti kebimbangan di hati Agung Sedayu. Bahkan sebenarnya Sekar Mirah sendiri juga merasa cemas akan keadaan Glagah Putih. Karena itu, maka katanya, “Kakang Agung Sedayu. Kakang dapat meninggalkan aku. Agaknya arena sudah menjadi tenang dan biarlah anak-anak muda Tanah Perdikan mengawani aku disini. Rasa-rasanya akupun menjadi cemas tentang anak yang bengal itu.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah Mirah. Aku akan melihat apa yang dilakukan Glagah Putih. Malam menjadi semakin gelap, dan apakah ia masih tetap dapat menjaga ketahanan dirinya menghadapi orang yang mungkin telah cukup berpengalaman.”

Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu pun telah rneninggalkan Sekar Mirah yang ditunggui oleh beberapa orang anak muda Tanah Perdikan. Sementara Ki Lurah Branjangan pun telah kembali ke dalam tugasnya bersama para prajurit dari pasukan khusus dan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh, untuk membersihkan medan yang telah menjadi sepi itu.

Namun dalam pada itu, Glagah Putih ternyata masih bertempur dengan sengitnya. Warak Ireng yang merasa dirinya memiliki pengalaman yang luas dalam petualangan olah kanuragan, merasa dirinya direndahkan oleh anak muda yang berternpur bagaikan burung sikatan itu.

Tetapi ia tidak dapat ingkar dari kenyataan. Glagah Putih memang memiliki kelebihan daripadanya.

Dengan demikian maka Warak Ireng itu semakin lama menjadi semakin terdesak. Keringatnya telah membasahi seluruh tubuhnya. Bahkan kemudian ketika ujung pedang Glagah Putih menyentuh kulitnya, maka darah pun telah meleleh bersama keringatnya yang bagaikan terperas dari tubuhnya.

Warak Ireng berteriak mengumpat-umpat. Meskipun ia murid terdekat dari Punta Gembong, namun Warak Ireng masih belum mampu melepaskan ilmu sebagaimana dilakukan oleh gurunya. Warak Ireng yang banyak bertualang itu, kurang memperhatikan perkembangan ilmunya, apalagi ketika ia merasa bahwa ilmunya telah mencukupi untuk melakukan pekerjaannya yang garang itu. Sehingga ketika ia mulai dengan ilmu yang bertataran tinggi, maka perkembangannya menjadi sangat lamban.

Dalam keadaan yang sulit itu, baru ia merasal menyesal, bahwa ia kurang menyediakan waktu untuk menekuni ilmunya, sehingga ia mengalami kesulitan berhadapan dengan kanak-kanak yang baru mulai pandai berjalan.

Ketika Agung Sedayu kemudian sampai ke pinggir arena pertempuran yang tersisa itu, maka iapun menarik nafas dalam-dalam.

Dengan dada yang berdebaran, Agung Sedayu kemudian menyaksikan bagaimana Glagah Putih bertempur melawan Warak Ireng yang garang dan memiliki pengalaman yang sangat luas.

Di luar sadarnya, Agung Sedayu pun kemudian mengangguk-angguk. Ternyata bahwa Glagah Putih memiliki ilmu dan kemampuan yang sanggup melawan kemampuan dan ilmu Warak Ireng. Bahkan kemudian iapun melihat sebagaimana Ki Gede dan sebelumnya Ki Lurah Branjangan, bahwa Glagah Putih akan dapat menyelesaikan tugasnya.

Dari pertempuran itu, Agung Sedayu ternyata menangkap sesuatu yang lebih dalam dari yang dapat ditangkap oleh Ki Gede atau Ki Lurah Branjangan.

Meskipun dalam ujud yang kasat mata, Glagah Putih memang mampu rnengimbangi kemampuan lawannya, namun Agung Sedayu menangkap getaran kekuatan Glagah Putih yang memancar dari ilmunya lewat ujud wadag yang dipergunakan. Ternyata getar senjatanya bagaikan mengalirkan arus yang kuat untuk mempengaruhi ketahanan tubuh lawannya. Yang tidak disadari oleh Warak Ireng adalah, bahwa dalam benturan dan sentuhan senjata, maka rasa-rasanya tangan Warak Ireng menjadi gemetar.

Hal itu bukan saja disebabkan karena kekuatan tenaga cadangan Glagah Putih, tetapi seakan-akan ada kekuatan yang merambat lewat benturan senjata keduanya, kemudian kekuatan itu bagaikan menusuk ke dalam tubuh lawannya lewat genggaman senjatanya itu.

“Luar biasa,” desis Agung Sedayu.

Ia menyadari, bahwa Glagah Putih kecuali menyadap ilmu dari dirinya dengan alas cabang perguruan Ki Sadewa, maka Glagah Putih juga murid Kiai Jayaraga yang perkasa.

“Jika ia mampu menampung kemampuan ilmu Kiai Jayaraga, maka anak ini akan dapat menyalurkan kekuatan yang dapat disadapnya dari api, air, angin dan bumi lewat sentuhan-sentuhan kewadagan,” berkata Agung Sedayu di dalam hati. Sehingga dengan demikian, menurut pengamatan Agung Sedayu meskipun Glagah Putih tidak memiliki ilmu kebal, namun serangan-serangan lawannya yang menyentuhnya, jika tidak melukainya, justru akan merupakan serangan balik bagi lawannya, karena kekuatan ilmu Glagah Putih yang merambat lewat sentuhan itu.

Demikianlah, maka pertempuran itu semakin lama menjadi semakin meyakinkan, bahwa Glagah Putih yang rnuda itu akan mampu memenangkan pertempuran. Setiap sentuhan berarti penyusutan daya tahan lawannya. Karena itulah, maka akhirnya tenaga Warak Ireng itu pun bagaikan terperas habis.

Dalam keadaan yang demikian, maka Agung Sedayu pun telah berkata lantang mendahului Glagah Putih, “Ki Sanak. Apakah kau tidak akan menyerah?”

Glagah Putih sendiri terkejut mendengar tawaran itu. Tetapi karena suara itu adalah suara Agung Sedayu, maka Glagah Putih sama sekali tidak menyahut.

Namun dalam pada itu, Warak Irenglah yang menjawab, “Anak Iblis! Kau kira aku cucurut yang dapat kalian takut-takuti? Aku bunuh kalian!”

Agung Sedayu melangkah selangkah maju. Dengan nada dalam ia berkata, “Jangan berpura-pura. Aku tahu bahwa kau berilmu tinggi, sehingga dengan demikian, maka kau tahu apa yang sedang kau hadapi sekarang.”

“Tutup mulutmu!” bentak Warak Ireng.

Agung Sedayu terdiam sejenak. Ketika ia memandang keliling, dilihatnya beberapa orang berdiri termangu-mangu. Ketika ia memandang Ki Gede yang kemudian kembali memasuki arena setelah memberikan beberapa perintah terhadap anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh untuk membantu para prajurit dari pasukan khusus Mataram, maka Ki Gede itupun mendekatinya.

“Glagah Putih juga tidak ingin pertempuran itu terputus. Ki Lurah juga berusaha untuk menghentikannya. Tetapi pertempuran ini masih tetap berlangsung,” berkata Ki Gede. Lalu, “Aku kira, pertempuran ini akan bermanfaat bagi Glagah Putih. Jika ia bisa mengalahkan lawannya, maka ia akan mendapatkan satu pengalaman yang sangat berarti bagi kepercayaannya terhadap diri sendiri.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun katanya, “Tetapi aku juga ingin mengajarkan padanya agar ia memberi kesempatan kepada lawannya untuk mengakui kekalahannya. Jika hal itu tidak mungkin, maka apaboleh buat. Sebagaimana aku sendiri, bagaimanapun juga aku berusaha menghindarkan diri dari pembunuhan, namun ternyata bahwa aku memang seorang pembunuh.”

Ki Gede tidak menjawab. Sementara itu, Agung Sedayu bergeser semakin dekat. Sekali lagi ia berkata kepada lawan Glagah Putih, “Ki Sanak, menyerahlah. Kau lihat satu kenyataan tentang dirimu. Jangan berpura-pura dan jangan keras kepala.”

Warak Ireng menggeram. Tiba-tiba saja ia telah meloncat menyerang Agung 5edayu yang berdiri di pinggir arena. Namun Agung Sedayu sudah memperhitungkan bahwa kemungkinan yang demikian dapat terjadi. Karena itu, maka Agung Sedayu telah mengetrapkan ilmu kebalnya, sehingga ketika senjata Warak Ireng menyentuhnya, maka senjata itu sama sekali tidak melukainya. Justru tangan Warak Ireng sendirilah menjadi bagaikan terbakar oleh panasnya bara api tempurung kelapa.

Dalam sekejap Warak Ireng meloncat surut. Sementara Glagah Putih terkejut juga melihat serangan yang tiba-tiba dan di luar dugaan. Namun Glagah Putih mengerti, bahwa yang terjadi adalah benturan senjata lawannya dengan ilmu kebal Agung Sedayu.

Sejenak Warak Ireng termangu-mangu. Ia mengerti, bahwa orang yang baru datang dan sama sekali tidak dapat dilukainya itu tentu memiliki ilmu kebal. Bahkan hampir di luar sadarnya Warak Ireng itu bertanya, “Siapa kau?”

Sejenak Agung Sedayu termangu-mangu. Namun kemudian jawabnya, “Aku Agung Sedayu.”

“Agung Sedayu?” Warak Ireng itu mengulang. Nama itu pernah didengarnya, dan ternyata telah menggetarkan hatinya.

Agung Sedayu masih berdiri tegak di tempatnya. Glagah Putih pun seakan-akan memberi kesempatan kepada lawannya untuk mengagumi seorang yang bernama Agung Sedayu itu.

Dalam pada itu Agung Sedayu pun menjawab “Ya, Agung Sedayu.”

Warak Ireng menjadi tegang. la kemudian menyadari, bahwa orang itulah yang pernah membunuh Ki Tumenggung Prabadaru.

Untuk sesaat Warak Ireng termangu-mangu. Ketika ia memandang berkeliling, ia sudah dikepung oleh anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh. Di bawah cahaya obor ia melihat wajah-wajah yang tegang dan senjata yang masih ada di genggaman.

“Ki Sanak,” berkata Agung Sedayu kemudian sambil melangkah mendekat, “apakah artinya perlawanan Ki Sanak kemudian. Seharusnya Ki Sanak menyadari, bahwa Ki Sanak tidak akan menang melawan Glagah Putih. Apalagi Ki Sanak sudah dikepung oleh anak-anak muda Tanah perdikan Menoreh. Di sini ada pula Ki Gede yang memiliki ilmu yang tidak ada duanya. Jadi apakah sebenarnya arti perlawanan Ki Sanak itu? Apakah Ki Sanak memang dengan sengaja ingin membunuh diri?”

Warak Ireng menggeram. Tetapi ia tidak menjawab.

“Karena itu menyerahlah,” berkata Agung Sedayu.

“Kau tidak mempunyai kawan seorang pun lagi,” berkata Ki Gede kemudian. “Lawan Kiai Jayaraga yang disebutnya Punta Gembong itu pun telah mati.”

Warak Ireng pun menyadari, bahwa gurunya memang sudah terbunuh di medan itu. Karena itu, sebenarnyalah ia memang tinggal sendiri. Apalagi seperti dikatakan oleh Agung Sedayu, ia memang tidak akan dapat mengingkari satu kenyataan, bahwa ia tidak akan dapat mengalahkan anak ingusan yang menjadi lawannya itu. Tenaganya sudah menjadi jauh susut, sementara anak itu masih bertempur dengan.garangnya. Ujung pedangnya yang sudah menyentuhnya, telah menitikkan darahnya di bumi Menoreh.

Sejenak Warak Ireng termangu-mangu. Ketika terpandang olehnya Ki Gede Menoreh, Agung Sedayu, anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh dan wajah Glagah Putih di bawah cahaya obor yang tidak terlalu terang, maka Warak Ireng pun kemudian tidak mempunyai pilihan lain.

Dilemparkannya senjatanya sambil berkata, “Aku menyerah. Aku memang tidak mempunyai pilihan lain. Seandainya aku akan dihukum mati, maka aku masih mendapat kesempatan untuk melihat cahaya matahari barang satu dua hari lagi, daripada aku harus mati sekarang dicincang anak-anak Tanah Perdikan Menoreh.” “Satu keputusan yang bijaksana,” berkata Agung Sedayu. “Dengan demikian maka pertempuran ini benar-benar telah selesai. Sebenarnyalah Ki Tumenggung Purbarana dan kedua orang pemimpin di sayap yang lainpun telah terbunuh pula.”

Warak Ireng tidak menjawab. lapun kemudian membiarkan tangannya diikat dengan janget yang disiapkan oleh seorang senapati dari pasukan khusus Mataram, yang kemudian akan membawa Warak Ireng itu ke baraknya dengan pengawalan yang lebih kuat dari tawanan-tawanan yang lain.

Glagah Putih memang menjadi kecewa. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Sebenarnya ia ingin bertempur sampai dengan satu keyakinan bahwa ia menang.

Namun dalam pada itu, Agung Sedayu yang mengerti perasaan anak itu mendekatinya sambil berkata, “Kau tinggal memerlukan waktu yang sangat pendek untuk menyelesaikannya.”

“Tetapi Kakang menghentikan pertempuran itu,“ berkata Glagah Putih.

“Tidak ada gunanya untuk memaksanya bertempur sampai mati,” jawab Agung Sedayu. “Jika ia menyerah, mungkin tenaganya akan dapat dimanfaatkan di kemudian hari.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Namun demikian, ia sudah mendapat sedikit perbandingan tentang ilmu yang dimilikinya. Meskipun mungkin Warak Ireng belum termasuk orang yang dianggap memiliki ilmu yang tinggi, namun ia sudah dapat menempatkan dirinya pada satu tataran yang tidak terlalu rendah, karena Warak Ireng adalah seorang pemimpin padepokan yang disegani.

Dengan demikian, maka para pemimpin Tanah Perdikan menoreh itu pun kemudian sempat membenahi diri. Agung Sedayu segera kembali kepada istrinya, sementara Ki Gede telah menemui Kiai Jayaraga yang telah berhasil mengatasi kesulitan di dalam dirinya, sehingga ketika Ki Gede mendekatinya, maka Kiai Jayaraga telah berdiri sambil tersenyum.

“Bagaimana Kiai?” bertanya Ki Gede.

“Aku sudah pulih kembali. Dimana Glagah Putih?“ bertanya Kiai Jayaraga.

Ki Gede mengedarkan pendangan matanya. Namun kemudian katanya, “Mungkin ia pergi bersama Agung Sedayu. Sekar Mirah ternyata juga terluka.”

“Sekar Mirah?” bertanya Kiai Jayaraga.

“Ya. Tetapi Agung Sedayu sudah mengatasinya dengan obat yang didapatnya dari gurunya,” jawab Ki Gede.

“Marilah, kita akan melihatnya,” berkata Kiai Jayaraga.

Ki Gede pun kemudian bersama Kiai Jayaraga yang sudah hampir pulih telah menyusuri bekas medan yang masih disibukkan oleh para prajurit dan anak-anak muda Tanah perdikan Yang mengumpulkan dan merawat kawan-kawan mereka yang terluka. Beberapa orang yang memang mempunyai tugas pengobatan pun telah menjadi sangat sibuk. Sedangkan yang lain telah mengumpulkan pula kawan-kawan mereka yang gugur. Sedangkan beberapa orang tawanan di bawah pengawalan yang kuat, telah diminta untuk mengumpulkan kawan-kawan mereka pula.

Ketika kemudian Kiai Jayaraga dan Ki Gede sampai di tempat Sekar Mirah dibaringkan, maka Agung Sedayu telah berada di tempat itu pula bersama Glagah Putih. Bahkan ternyata Kiai Bagaswara pun telah berada di situ pula.

“Bagaimana dengan Sekar Mirah?” bertanya Ki Gede.

Sekar Mirah berusaha untuk tersenyum. Katanya, “Keadaanku sudah berangsur baik Ki Gede. Keadaan yang paling sulit telah teratasi.”

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “ Syukurlah. Tetapi kau harus segera dibawa kembali.”

Agung Sedayu pun kemudian minta kepada anak-anak muda Tanah Perdikan untuk menyiapkan semacam tandu yang dapat dipergunakan untuk membawa Sekar Mirah pulang ke rumahnya.

Dari barak, anak-anak muda itu telah meminjam sebuah lincak. Dengan dua batang bambu yang diikat pada lincak itu, maka jadilah lincak itu sebuah tandu yang sederhana.

Dengan tandu itu, maka Sekar Mirah akan dibawa kembali.

Perlahan-lahan Sekar Mirah telah diangkat dan diletakkan ke atas lincak itu. Beberapa anak muda akan membawanya kembali ke rumah, diikuti oleh Agung Sedayu, Kiai Jayaraga, Kiai Bagaswara dan dengan sedikit pengawalan.

Sementara itu, Ki Gede, Glagah Putih dan dibantu oleh Prastawa telah bekerja keras bersama-sama dengan Ki Lurah untuk membenahi bekas medan pertempuran. Satu pekerjaan yang memerlukan ketelitian dan kesabaran, karena tubuh-tubuh yang parah dan bahkan telah menjadi mayat, bertebaran di daerah yang luas. Bahkan ada di antara mereka yang telah berada jauh di luar arena. Mungkin mereka yang sudah terluka parah dan berusaha untuk menyingkir, tetapi karena darah yang mengalir tidak terbendung, maka hidupnya tidak tertolong lagi, sehingga tubuhnya terbaring di balik semak-semak dan belukar.

Dengan demikian, maka cahaya obor masih saja hilir mudik di antara pepohonan di pategalan. Bahkan sampai ke lereng pegunungan, di antara batu-batu padas dan pohon-pohon perdu. Karena ternyata ada juga satu dua tubuh yang terbaring membeku.

Baru lewat tengah malam pekerjaan mereka dapat diselesaikan, meskipun ternyata masih ada juga satu dua yang terlampaui.

Tawanan yang membantu pekerjaan itupun telah dibawa ke barak dan disatukan kembali dengan kawan-kawan mereka yang lain, sementara di dapur beberapa orang juru masak pun bekerja keras untuk menyediakan makan bagi mereka yang bekerja sampai hampir pagi.

Dalam pada itu, maka di rumah Agung Sedayu, Sekar Mirah telah dibaringkan di pembaringannya. Keadaannya memang sudah menjadi bertambah baik. Tetapi ternyata bahwa akibat pukulan badai yang telah membantingnya, benar benar membuat bagian dalarn tubuhnya terluka. Dengan demikian maka Sekar Mirah memerlukan waktu untuk menunggu luka itu benar-benar sembuh.

Pertempuran yang terjadi di Tanah Perdikan Menoreh itu ternyata mempunyai manfaat pula bagi Tanah Perdikan Menoreh, meskipun harus ditebus dengan beberapa orang korban. Pertempuran itu telah membuat anak; anak muda Tanah Perdikan Menoreh semakin matang. Mereka telah menjadi pengawal Tanah Perdikan yang memiliki tataran seorang prajurit, meskipun setelah bertempur dengan memeras tenaga dan kernampuan, di esok harinya mereka akan turun kembali ke sawah dengan cangkul. Menyusuri parit-parit dan membelah kayu bakar dengan parang.

Namun suasana yang tegang masih tetap mencengkam Tanah Perdikan Menoreh di satu dua hari kemudian. Meskipun pertempuran itu terjadi di daerah yang tidak berpenghuni, karena arena pertempuran itu terjadi di pategalan, namun para petani yang memiliki pategalan itu sempat melihat akibat dari pertempuran itu.

“Bukan main,” terasa tengkuknya meremang. la membayangkan, anak anak Tanah Perdikan sendiri terlibat dalam pertempuran itu. Sehingga karena itu, maka rasa-rasanya benar-benar telah terjadi perang di Tanah mereka.

Bahkan ternyata masih juga ada para petani yang membenahi ladang mereka, dikejutkan oleh sesosok mayat yang tertinggal di dalam rimbunnya pohon perdu di sudut pategalan. Sehingga orang itu harus dengan tergesa-gesa melaporkannya kepada Ki Lurah Branjangan.

Sementara itu, sebagaimana dikatakan, maka Ki Gede tidak membiarkan para petani pemilik pategalan yang menjadi ajang pertempuran itu digelisahkan oleh tanaman mereka yang rusak sehingga mereka tidak akan dapat memetik hasilnya. Karena itu, maka Ki Gede telah memberikan bibit kepada mereka untuk dapat ditanam, bahkan dengan bantuan Ki Lurah Branjangan yang telah melaporkan segala-galanya kepada Mataram, dapat memberi sedikit keringanan biaya bagi para petani itu.

Dengan demikian maka pertempuran itu telah menjadi satu peringatan bagi Mataram, bahwa keadaan Mataram yang baru itu masih belum tenang benar. Masih ada gejolak-gejolak kecil atau bahkan pada suatu saat, gejolak yang besar terjadi. Memang Mataram pun menyadari bahwa tidak semua orang Pajang dengan serta merta akan dapat menerima kehadiran Mataram, sebagaimana sebagian orang-orang Demak juga tidak dengan serta merta menerima Pajang. Bahkan perang besar antara Jipang dan Pajang, rasa-rasanya baru saja kemarin selesai. Sementara itu, sisa-sisa kekuatan Majapahit yang agung dengan membabi buta telah dibayangi oleh nafsu ketamakan yang tidak terkendali, sehingga mendorong mereka untuk berusaha menegakkan kembali keagungan itu dengan citra sesuai dengan keinginan mereka sendiri. Sehingga dengan demikian, maka dua kekuatan yang tersisa dari kebesaran Majapahit yang tercermin dalam ketinggian ilmu kanuragan, telah saling berbenturan. Dua kekuatan yang melampaui setiap kekuatan yang ada di Mataram. Bahkan kekuatan yang tersimpan pada orang-orang terbesar di Mataram itu sendiri.

Ketika Tanah Perdikan Menoreh membenahi diri, sementara Ki Lurah sibuk mengurusi para tawanan yang sebagian akan dikirim ke Mataram, maka Sekar Mirah mendapat perawatan sebaik-baiknya dari Agung Sedayu sendiri, yang mempunyai beberapa jenis obat peninggalan gurunya yang pergi ke Sangkal Putung. Dengan obat itu, Agung Sedayu berusaha untuk dengan cepat menyembuhkan luka di dalam diri Sekar Mirah.

Tetapi ketika Agung Sedayu ingin menyampaikan persoalan itu kepada Kiai Gringsing untuk mempercepat kesembuhannya, maka Sekar Mirah berkata, “Tidak usah Kakang. Jangan mengejutkan keluarga Sangkal Putung. Kita akan memberitahukan hal ini justru setelah aku menjadi sembuh benar”

Agung Sedayu menarik nafas dalam dalam. Ia mengerti jalan pikiran Sekar Mirah. la memang tidak mau mengejutkan ayah dan keluarganya di Sangkal Putung. Tetapi sesuai dengan sifat Sekar Mirah, maka sebenarnyalah bahwa ia tidak ingin keluarganya itu melihat satu titik kelemahan padanya. la tidak mau keluarganya melihat seseorang telah berhasil melukainya, bahkan cukup parah.

Karena itulah, maka Agung Sedayu pun kemudian memutuskan untuk tidak memberitahukan keadaan Sekar Mirah kepada gurunya dan juga kepada Ki Demang di Sangkal Putung.

Ketika Ki Gede menanyakan hal itu, maka Agung Sedayu pun menjawab sebagaimana dikatakan oleh Sekar Mirah, bahwa ia tidak ingin mengejutkan dan mungkin merepotkan ayahnya.

Dengan demikian, maka obat yang kemudian diberikan kepada Sekar Mirah adalah obat yang sudah ada pada Agung Sedayu. Namun ternyata bahwa obat itu pun telah memadai, sehingga Sekar Mirah tidak memerlukan pertolongan para tabib yang ada di Tanah Perdikan Menoreh.

Dalam pada itu, Kiai Bagaswara yang telah membunuh murid saudara seperguruannya meskipun ia tidak bermaksud melakukannya itu, masih juga berada di rumah Agung Sedayu bersama Kiai Jayaraga. Rumah yang tidak terlalu luas, namun cukup untuk menempatkan orang-orang tua itu di dalam bilik yang sempit.

Tetapi agaknya kematian Tumenggung Purbarana itu berpengaruh juga atas perasaan Kiai Bagaswara. Untuk beberapa lama ia menjadi perenung. la lebih senang duduk menyendiri sambil membayangkan peristiwa yang telah terjadi atas saudara seperguruannya, dan atas murid saudara seperguruannya itu, yang telah dibunuh dengan tangannya.

“Kematian yang pahit,” setiap kali Kiai Bagaswara itu bergumam bagi dirinya sendiri.

Bahkan setiap kali Kiai Bagaswara itu menimang keris Kiai Santak yang kemudian disimpannya. Seaakan tidak ada orang yang akan berhak menerima warisan itu. Murid saudara seperguruannya yang lain yang pantas untuk menerima warisan itu telah terbunuh pula oleh Purbarana dan orang orangnya. Bahkan seakan-akan seisi padepokan itu telah dimusnahkannya.

Dalam kekeruhan nalar itu, Kiai Bagaswara berusaha membayangkan orang-orang yang pernah dikenalnya. Yang ada di rumah itu adalah Kiai Jayaraga, Agung Sedayu, Sekar Mirah yang sedang sakit, dan Glagah Putih.

Menurut pendapatnya, Kiai Jayaraga adalah seorang yang sudah seusia dengan dirinya, serta memiliki ilmu yang tinggi, sehingga ia tidak memerlukan apapun lagi. Agung Sedayu pun ternyata seorang yang luar biasa. Tanpa senjata apapun Agung Sedayu akan terlalu sulit untuk dapat dikalahkan. Apalagi ternyata kemudian Kiai Bagaswara mengetahui, bahwa Agung Sedayu sebenarnya telah memiliki sejenis senjata yang jarang dipergunakan oleh orang lain. Cambuk yang nggegirisi. Apalagi di tangan anak muda yang berilmu tinggi sekali itu. Sementara itu, Kiai Bagaswara pun mengetahui, bahwa Sekar Mirah telah memiliki pula pusaka peninggalan gurunya, sebatang tongkat baja putih yang memiliki kemampuan yang luar biasa. Meskipun sifat dan watak tongkat baja putih Sekar Mirah berbeda dengan sifat dan watak keris Kiai Santak yang garang, namun dengan kemampuan yang mendasar dari ilmu perguruan Kedung Jati, maka Sekar Mirah merupakan orang yang jarang ada duanya. Putaran tongkat baja putih yang mampu rnelindungi dirinya bagaikan putihnya kabut yang menyelubungi seluruh tubuh, serta kepala tengkorak yang kekuning-kuningan itu merupakan pertanda akan keperkasaan ilmu yang dimiliki oleh pewaris perguruan Kedung Jati, sehingga dalam kejayaannya, Mantahun, saudara seperguruan Sumangkar, pernah dianggap memiliki nyawa rangkap, sebagaimana para pewaris yang lain.

Orang yang lain, adalah seorang anak muda yang bernama Glagah Putih. Seorang anak muda yang ternyata telah tumbuh dengan mengherankan sekali di dalam dunia kanuragan. Anak itu telah dapat mengimbangi kemampuan Warak Ireng.

Kiai Bagaswara yang sedang merenung itu menarik nafas dalam-dalam.

“Anak itu bukan murid saudara seperguruanku,” berkata Kiai Bagaswara.

Tetapi rasa-rasanya Kiai Bagaswara tidak mempunyai keinginan untuk mewarisi keris itu dan memberikannya kepada murid-muridnya sendiri. Keris itu rasa-rasanya terlalu garang, sehingga orang yang tidak memiliki ketebalan dan keteguhan budi, maka keris itu akan dapat menyeret pemiliknya ke dalam pilihan yang salah. Agak berbeda dengan sifat senjata yang dimilikinya, yang juga diterimanya dari gurunya sebagaimana Kiai Santak. Luwuknya memiliki watak yang lebih halus, meskipun kekuatan yang tersimpan di dalamnya tidak kalah garangnya dari keris Kiai Santak.

“Apakah aku berhak memikirkan kemana Kiai Santak akan diwariskan?” pertanyaan itu tiba tiba timbul di dalam dirinya.

Namun memang tidak ada orang lain yang lebih berhak daripada dirinya untuk merawat dan mendapatkan keris yang bernama Kiai Santak itu.

Di luar, sadarnya, ingatan Bagaswara selalu terkait kepada anak muda yang bernama Glagah Putih itu. Tetapi ia tidak dapat dengan serta merta menyerahkan keris itu kepadanya, karena hal itu mungkin justru akan menyesatkannya. la harus berbicara dengan Kiai Jayaraga, guru anak itu, dan Agung Sedayu, yang juga pernah menjadi saluran pewarisan ilmu kepadanya.

Keragu-raguan yang sangat ternyata telah mencengkam jantung Kiai Bagaswara. Bahkan kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Seandainya aku mendapat kesempatan untuk membawa anak itu ke padepokan barang satu dua tahun, agaknya aku akan dapat melihat kemungkinan-kemungkinan yang ada di dalam diri anak itu.”

Namun Kiai Bagaswara menyadari, bahwa hal itu tidak akan mungkin dapat dilakukannya. Glagah Putih agaknya telah lekat benar dengan Agung Sedayu, meskipun ia kemudian berguru kepada Kiai Jayaraga.

Meskipun demikian, Kiai Bagaswara tidak melepaskan keinginannya untuk mengetahui lebih banyak tentang Glagah Putih. Tetapi ia pun menyadari, bahwa ia tidak akan dapat terlalu lama berada di Tanah Perdikan Menoreh. la harus segera kembali ke padepokannya, karena ia mempunyai beberapa orang murid yang tentu menunggunya.

Setelah persoalannya dengan Tumenggung Purbarana selesai, maka sudah seharusnya ia kembali padepokan dan memanggil para cantrik yang pernah dimintanya untuk meninggalkan padepokan.

Tetapi waktu yang singkat selama ia berada di Tanah Perdikan Menoreh itu dipergunakannya untuk mengenal Glagah Putih sebaik-baiknya. la mencoba untuk banyak berbicara dengan anak muda itu. Dengan demikian, ia mendapatkan sedikit gambaran tentang sikap anak itu menghadapi perkembangan dan tantangan keadaan. Bahkan atas ijin Kiai Jayaraga, maka Kiai Bagaswara sekali-sekali ikut hadir di dalam sanggar dan kadang-kadang juga di lingkungan alam terbuka yang tersendiri untuk melihat hubungan antara guru dan muridnya, serta untuk mengetahui tingkat ilmu Glagah Putih yang sebenarnya.

Kiai Bagaswara benar-benar kagum atas anak muda itu. Tetapi pengenalannya yang pendek belum menentukan penilaian yang benar atas anak itu.

“Anak itu memang luar biasa,” desisnya setiap kali. Anak yang masih sangat muda, yang bahkan di malam hari dalam keadaan yang senggang, anak itu masih juga pergi ke sungai untuk menangkap ikan dengan membuka pliridan. Jika ia pulang dari gardu-gardu perondan, maka ia singgah di sungai dan bersama pembantu Agung Sedayu yang kadang-kadang sudah menunggu, ia telah menutup pliridan dan menangkap ikannya. Kadang-kadang Glagah Putih memang membawa ikan hampir sekepis penuh, sehingga ikan itu dapat dipergunakannya untuk lauk pada saat ia makan pagi.

Namun ternyata kegemaran Glagah Putih menangkap ikan itu mempunyai perkembangan tersendiri. la bukan saja senang membuka dan kemudian menutup pliridan. Tetapi kadang-kadang ia meninggalkan gardu peronda dan berjalan menyusuri sungai tanpa tujuan, selain mengikuti aliran air ke hilir. Baru kemudian setelah ia berjalan jauh sekali, maka ia kembali lagi ke udik, sehingga kadang-kadang pembantu Agung Sedayu marah kepadanya, karena ia terlambat datang.

“Besok kau tidak perlu menunggu aku,” berkata Glagah Putih, “aku dapat ikut membuka. Tetapi mungkin aku akan datang terlambat waktu menutupnya.”

“Kemana saja kau perg? Aku mencarimu di gardu, ternyata kau tidak ada,” berkata pembantu Agung Sedayu.

“Tidak hanya ada satu gardu di sini” berkata Glagah Putih, “tetapi kadang-kadang aku harus berlatih bersama Guru.”

“Kiai Jayaraga ada di rumah semalam. Tetapi kau tidak,” bantah pembantu Agung Sedayu itu.

Glagah Putih hanya tersenyum saja. Ditepuknya punda anak itu sambil berkata, “Aku berusaha untuk datang tidak terlambat besok.”

Anak itu masih saja memberengut. Tetapi ia tidak menjawab.

Kebiasaan itu pun tidak luput dari pengamatan Kiai Bagaswara. Gurunya, Kiai Jayaraga sengaja memberikan kesempatan kepada Glagah Putih untuk melakukannya. Meskipun Kiai Jayaraga belum pernah menanyakan hal itu langsung kepada Glagah Putih, tetapi Kiai Jayaraga telah dengan sengaja mengurangi waktu-waktu latihan di malam hari.

Agung Sedayu yang juga mengetahui perkembangan kegemaran Glagah Putih untuk berada di sungai itu pun mengikutinya dengan berbagai harapan, meskipun juga ada sedikit kecemasan. Namun ia sendiri dan guru Glagah Putih pada saatnya tentu akan memberikan pengarahan.

Namun laku yang ditempuh Glagah Putih itu memang memberikan kedalaman pada ilmunya, sebagaimana pernah dilihat oleh Agung Sedayu. Kadang-kadang tanpa disadari, seseorang memang mendapatkan satu kekuatan yang melampaui kekuatan orang kebanyakan. Kurnia itu akan cepat dikembangkan menjadi kekuatan yang luar biasa.

Soalnya kemudian, apakah kekuatan jiwani orang itu teguh atau tidak, justru setelah ia merasa memiliki sesuatu, sehingga ia dapat mempergunakan kurnia itu sebagaimana seharusnya.

Sementara itu, Agung Sedayu masih juga merawat Sekar Mirah yang terluka di bagian dalam tubuhnya. Tetapi dari hari ke hari, keadaannya telah berangsur baik. Sekar Mirah sudah tidak lagi harus selalu berbaring di pembaringan. Bahkan pada saat-saat tertentu ia sudah berada di sanggar, mengatur pernafasannya untuk membantu mempercepat kesembuhan luka di dalam dirinya. Dengan demikian maka sedikit demi sedikit, perasaan sakit dan nyeri itu pun telah berkurang. Bahkan untuk melakukan tugasnya sehari-hari sebagai perempuan, luka di dalam dirinya itu sudah tidak terasa lagi.

Dengan demikian, maka Sekar Mirah sudah mulai sibuk lagi di dapur. Bahkan kadang-kadang ia sudah melatih diri untuk menimba air dan membawa kelenting ke dapur.

Jika Glagah Putih dengan tergesa-gesa ingin membantunya, maka Sekar Mirah itupun berkata, “Jika aku memanjakan tubuhku, maka luka di dalam ini tidak akan segera sembuh. Biarlah aku melatih diri sehingga dengan demikian justru akan dapat mengatasi kesulitan pada tubuhku.”

Glagah Putih hanya dapat menarik nafas. Tetapi hal itu merupakan petunjuk baginya, bahwa ia tidak boleh pula bermanja-manja, agar tubuhnya menjadi terlatih dan trampil.

Dalam pada itu, Kiai Bagaswara yang masih saja sering merenung, kecuali jika ia berhadapan dengan Glagah Putih, tidak dapat mencegah keinginannya untuk ikut serta membantu perkembangan anak muda yang sangat menarik perhatiannya itu. Setiap kali ia selalu berbantah dengan dirinya sendiri tentang keris Kiai Santak.

“Apakah jika keris Kiai Santak itu aku serahkan kepada anak itu, akan dapat berakibat baik baginya atau justru sebaliknya?” pertanyaan itu selalu membayanginya, sehingga sulit baginya untuk menentukan langkah yang paling baik yang pantas dilakukan terhadap keris itu dan terhadap Glagah Putih.

Keragu-raguannya itulah yang telah membuat Ki Bagaswara untuk berada di Tanah Perdikan lebih lama lagi. Sehingga dengan demikian maka ia mendapat kesempatan lebih banyak untuk semakin mengenal Glagah Putih.

Ternyata menurut penilaian Kiai Bagaswara, Glagah Putih bukan saja lekat kepada Agung Sedayu, tetapi anak itu benar-benar patuh. Sehingga dengan demikian, maka menurut perhitungan Kiai Bagaswara, mana yang baik bagi Agung Sedayu, akan menjadi baik juga bagi Glagah Putih.

Dari beberapa orang terdekat, maka Kiai Bagaswara mendapat beberapa keterangan tentang sifat-sifat Agung Sedayu dan sifat-sifat Glagah Putih. Sebagaimana diperhitungkan, bahwa sifat kedua orang anak muda itu mempunyai beberapa persamaan, meskipun bukan berarti bahwa Glagah Putih telah kehilangan satu pribadi yang seharusnya ia miliki.

Di samping persamaan itu, ternyata ada juga beberapa perbedaannya. Justru pada saat-saat keduanya dihadapkan kepada satu persoalan yang harus dengan cepat mengambil keputusan. Agung Sedayu biasanya terlalu lambat, sabaliknya Glagah Putih kadang-kadang terlalu cepat mengambil sikap, sehingga dengan demikian, tidak jarang Glagah Putih telah mengambil sikap yang salah.

Namun hal itu sangat dipengaruhi oleh gelombang perasaan masing-masing, serta Glagah Putih yang masih sangat muda, sehingga ia masih kurang menimbang atas persoalan-persoalan yang dihadapinya.

Tetapi secara utuh, Kiai Bagaswara menilai Glagah Putih adalah anak muda yang jujur, berani mengambil sikap dan menyadari bahwa dirinya adalah sebutir debu yang amat kecil di antara alam semesta yang terbentang tanpa batas, yang diciptakan atas Kuasa yang tidak dapat dijangkau oleh nalar, karena Kuasa itu adalah Yang Maha Kuasa.

Meskipun demikian Kiai Bagaswara tidak segera mengambil keputusan untuk berbicara dengan Kiai Jayaraga dan Agung Sedayu tentang niatnya untuk menyerahkan pusaka keris Kiai Santak yang sudah menjadi tidak bertuan itu. Namun Kiai Bagaswara masih akan menunggu beberapa saat, sementara ia akan kembali ke padepokannya lebih dahulu.

“Mungkin aku akan mendapat terang di hati, sehingga aku akan dapat mengambil keputusan yang paling baik bagi segala pihak,” berkata Kiai Bagaswara di dalam hatinya.

Dengan demikian, maka Kiai Bagaswara itupun telah mengambil keputusan untuk minta diri kepada Ki Gede, untuk meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh.

“Kami mengucapkan terima kasih,” berkata Ki Gede, “dengan keterangan dan petunjuk Kiai, maka Tanah Perdikan ini telah terlepas dari malapetaka yang sangat mengerikan.”

“Ternyata kita dapat saling menolong di dalam hal ini,” sahut Kiai Bagaswara, “tanpa Tanah Perdikan Menoreh, aku tidak akan dapat membuat perhitungan dengan Purbarana. Meskipun sebenarnya aku tidak ingin membunuhnya, namun kematiannya akan berarti bagi ketenangan Mataram.”

“Mudah-mudahan untuk seterusnya, kita akan dapat selalu saling menolong,” berkata Ki Gede.

Demikianlah maka Kiai Bagaswara itu pun telah minta diri pula kepada para pemimpin Tanah Perdikan yang lain. Kepada Kiai Jayaraga, Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih. Juga kepada Ki Lurah Branjangan di barak pasukan khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan Menoreh.

“Begitu tergesa-gesa?” bertanya Ki Lurah Branjangan.

“Segala sesuatunya telah selesai di sini. Bukankah persoalannya telah menjadi persoalan Mataram?” sahut Kiai Bagaswara.

“Ya,” jawab Ki Lurah, “namun demikian, bukankah Kiai dapat beristirahat di Tanah Perdikan ini untuk melihat-lihat kesibukannya di saat-saat tenang.?”

Kiai Bagaswara hanya dapat tersenyum sambil berkata, “Terima kasih Ki Lurah. Pada satu saat, aku tentu akan datang lagi ke Tanah Perdikan ini.”

Orang-orang Tanah Perdikan memang tidak dapat menahannya lagi. Kiai Bagaswara itu pun kemudian meninggalkan Tanah Perdikan itu di pagi hari berikutnya, pada saat matahari mulai naik.

Sebagaimana saat ia datang, maka iapun pergi seorang diri menyusuri jalan-jalan di Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan kemudian dengan mendaki lereng bukit di ujung utara Tanah Perdikan, Kiai Bagaswara pun telah keluar dari tlatah Perdikan Menoreh.

Sebagaimana para perantau yang lain, maka tempat bermalam sama sekali tidak menjadi persoalan bagi Kiai Bagaswara. Dimanapun ia dapat berhenti untuk beristirahat.

Kepergian Kiai Bagaswara terasa meninggalkan kesan yang aneh bagi Glagah Putih. Orang tua itu banyak merenung. Tetapi jika ia berhadapan dengan Glagah Putih, maka orang itu menjadi banyak berbicara, berbincang dan kadang-kadang menanyakan beberapa hal yang bagi Glagah Putih agak sulit untuk dijangkau dengan pengertiannya. Namun sejauh-jauh dapat dilakukan, maka ia mencoba untuk mengerti pernbicaraan dengan Kiai Bagaswara itu.

“Orang itu sangat baik,” berkata Glagah Putih kepada diri sendiri. Lalu katanya pula di dalam hati menarik juga ajakannya untuk tinggal di padepokannya. Tetapi aku harus menyelesaikan pelajaranku dari Kiai Jayaraga. Baru kemudian, pada saat-saat aku mengembangkannya, aku akan dapat keluar dari rumah ini untuk mencari pengalaman.”

Sementara itu, Kiai Bagaswara telah menempuh perjalanan yang sangat panjang. Bukan hanya sekali ia bermalam di jalan. Sehingga perjalanan itu akan sangat melelahkan bagi orang kebanyakan. Tetapi agak berbeda bagi Kiai Bagaswara yang telah mengalami tempaan wadag dan jiwanya menghadapi keadaan yang paling sulit sekalipun, sehingga ia tidak merasa lelah sama sekali.

Namun satu pukulan telah terjadi atas perasaannya, Ketika ia mendekati padepokannya, maka hatinya menjadi berdebar-debar. la tidak melihat bangunan-bangunan yang ditinggalkannya. Namun yang ada tidak lebih dari ladang ilalang dan belukar.

“Apa yang telah terjadi dengan padepokanku?” bertanya Kiai Bagaswara di dalam hatinya.

Namun Kiai Bagaswara yang kemudian melihat-lihat bekas padepokannya itu menemukan jawaban. Padepokannya telah menjadi abu.

Kiai Bagaswara menarik nafas dalam-dalam. la tidak dapat menyalahkan siapapun juga. la tahu bahwa Purbarana yang kecewa pada saat ia datang dengan pasukannya, serta usaha Kiai Bagaswara mempengaruhi beberapa orang di antara mereka, telah menjadikan Tumenggung itu kehilangan pengekangan diri.

Karena itulah, maka Ki Tumenggung Purbarana telah membakar habis semua bangunan yang ada di padepokan itu.

Tetapi akhirnya Kiai Bagaswara berkata kepada diri sendiri, “Tidak ada gunanya disesali. Biarlah yang terjadi itu terjadi. Sengaja atau tidak sengaja, Purbarana telah memetik buah dari pohon yang ditanamnya sendiri.”

Karena itulah, maka Kiai Bagaswara tidak lagi merenungi semak-semak yang tumbuh di atas abu rumahnya yang berserakan di antara keping-keping batu yang bertaburan.

Ketika kemudian malam tiba, maka seperti yang dilakukan selama di perjalanannya, maka iapun bermalam di udara terbuka. Berselimut embun yang dingin. Namun justru terasa segar di tubuh orang tua itu.

“Besok aku harus mencari salah seorang cantrik yang terdekat,” berkata Kiai Bagaswara.

la mulai mengingat rumah cantrik-cantriknya seorang demi seorang. Sebagaimana seorang bapa, maka Kiai Bagaswara mengenal anak-anaknya dengan baik. Juga tempat tinggal mereka, hingga setiap saat ia akan dapat menemuinya.

Ketika fajar di keesokan harinya, maka Kiai Bagaswara itupun telah membenahi dirinya. la masih harus menempuh perjalanan lagi ke rumah salah seorang cantriknya yang paling dekat.

Namun orang tua itu tidak lagi mengeluh. la berjalan di dalam segarnya udara pagi. Matahari yang tersembul di atas cakrawala telah melontarkan cahayanya yang cerah.

Kiai Bagaswara mengangkat wajahnya ketika ia mendengar seekor burung liar bernyanyi. Gembira sekali, sehingga Kiai Bagaswara pun tersenyum pula karenanya.

Namun matahari itupun memanjat langit semakin tinggi. Ketika matahari hampir mencapai puncaknya, maka terasa keringat membasahi tubuh orang tua itu. Tetapi ia berjalan terus.

Kedatangannya di rumah seorang cantriknya telah mengejutkan cantrik itu. Dengan tergesa-gesa ia mempersilahkan Kiai Bagaswara untuk naik ke pendapa.

“Semuanya telah lewat,” berkata Kiai Bagaswara kepada cantrik itu.

“Apakah Ki Tumenggung Purbarana tidak akan kembali?” bertanya cantrik itu.

“Tidak. la tidak akan kembali. Untuk selama-lamanya,” jawab Kiai Bagaswara.

Cantrik itu mengerutkan keningnya. Dengan penuh pertanyaan ia menatap wajah Kiai Bagaswara, yang kemudian berkata, “Anak itu telah terbunuh di peperangan.”

“Telah terjadi pertempuran?” bertanya cantrik itu pula.

“Ya. Di Tanah Perdikan Menoreh,” jawab Kiai Bagaswara. “Ki Tumenggung Purbarana terbunuh. Dua orang kawannya tak dapat berbuat banyak. Seorang terbunuh dan yang lain menyerah. Sedangkan dua orang yang memiliki kemampuan di luar jangkauan nalar telah terbunuh pula oleh Kiai Jayaraga dan Agung Sedayu.”

“O,” cantrik itu menarik nafas dalam-dalam. Apalagi ketika kemudian Kiai Bagaswara menceritakan pertempuran itu dengan singkat.

“Ki Tumenggung yang mempunyai banyak kelebihan itu akhirnya mati dengan tanpa arti sama sekali,“ desis cantrik itu, “sayang sekali.”

Kiai Bagaswara mengangguk-angguk. Katanya, “Jika saja tenaganya dapat dipergunakan sebaik-baiknya, maka ia tidak akan mengalami peristiwa yang sangat pahit itu. Bahkan mungkin ia akan dapat disebut namanya di setiap hari pasewakan di Mataram untuk mengenang jasa yang pernah dibuatnya. Tetapi yang terjadi adalah sebaliknya,” berkata Kiai Bagaswara.

Cantrik itu mengangguk-angguk. Namun kemudian ia bertanya, “Jadi, apakah Kiai menghendaki kami kembali ke padepokan?”

“Ya,” jawab Kiai Bagaswara, “tetapi kerja yang berat telah menanti kita.”

“Kenapa?” bertanya cantrik itu.

Kiai Bagaswara pun kemudian memberitahukan apa yang telah terjadi dengan padepokannya.

Cantrik itu menjadi tegang. Dengan wajah yang merah ia berkata, “O, ternyata Ki Tumenggung adalah orang yang berhati iblis.”

“Sudahlah. Jangan mengumpat orang yang telah tidak ada lagi. Adalah menjadi tugas kita untuk bekerja, dan kita memang akan bekerja keras untuk membangun padepokan itu kembali,” berkata Kiai Bagaswara.

Cantrik itu mengangguk-angguk, sementara Kiai Bagaswara selanjutnya, “Pergilah kepada kadang-kadangmu. Panggil mereka kembali ke padepokan Kita akan membangun sebuah padepokan yang lebih manis dari yang telah menjadi abu itu.”

“Baik Kiai. Silahkan Kiai tinggal di rumah ini barang satu dua malam. Aku akan memanggil saudara-saudaraku untuk bersama-sama membangun padepokan itu kembali,” berkata cantrik itu.

Kiai Bagaswara termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia berkata, “Aku akan berada di padepokan. Jika dalam waktu dua atau tiga hari kadang-kadangmu sudah berkumpul, maka kita akan segera mulai.”

“Tetapi, bagaimana dengan Kiai? Dua atau tiga hari di halaman terbuka padepokan kita yang sudah hancur?” bertanya cantrik itu. Lalu katanya, “Tetapi, jika Kiai berada di sini maka Kiai akan tinggal bersama keluargaku. Baru setelah saudara-saudara berkumpul, maka aku akan memberitahukan hal itu kepada Kiai.”

Tetapi Kiai Bagaswara tersenyum. Katanya, “Apa salahnya aku ada di halaman terbuka di padepokan, karena aku memang merupakan bagian dari padepokan itu.”

Cantrik itu menarik nafas dalam-dalam. la mengerti, bahwa ia tidak akan dapat mencegah Kiai Bagaswara. Karena itu, maka ia pun hanya dapat mengiakan perintah yang harus dilakukannya, memanggil para cantrik yang lain.

Namun demikian, Kiai Bagaswara itu bermalam juga semalam di rumah cantrik itu, karena di pagi berikutnya, keduanya akan berangkat bersama-sama, tetapi ke arah yang berbeda. Kiai Bagaswara akan kembali ke padepokan, sementara cantrik itu akan memanggil saudara-saudaranya.

Di pagi hari berikutnya, keduanya telah berangkat. Kiai Bagaswara mengucapkan terima kasih kepada keluarga cantrik itu, karena ia sudah diperkenankan untuk berada di rumah itu semalam.

Demikianlah cantrik itu pun telah dengan tergesa-gesa berjalan secepat dapat dilakukan untuk pergi ke rumah para cantrik yang lain. Bukan satu perjalanan yang dekat. la harus menempuh perjalanan setengah hari untuk mencapai rumah saudaranya yang paling dekat. Namun setelah ia mencapai cantrik yang kedua, maka ia akan dapat segera pergi ke padepokan, sementara kadangnya itu akan meneruskan menghubungi para cantrik yang lain, beruntun, sehingga dengan demikian maka berita tentang padepokan itu akan menjadi lebih cepat sampai.

Perjalanan Kiai Bagaswara agak lebih panjang dari perjalanan cantrik itu. Tetapi hari itu juga, Kiai Bagaswara telah berada di padepokannya lagi, yang telah berubah menjadi lapangan ilalang dan perdu.

Dengan wajah yang suram Kiai Bagaswara mengamati keadaan padepokannya itu berkeliling. Ia mulai mereka-reka, apa yang akan mula-mula dilakukannya. la tidak perlu menunggu para cantrik itu datang. Besok pagi-pagi ia sudah dapat mulai menebangi pohon-pohon bambu dan mungkin membersihkan pepohonan perdu. Jika kemudian para cantrik datang, maka kerjapun akan segera dimulai.

Malam itu, Kiai Bagaswara berbaring di bawah sebatang pohon jambu air yang rimbun. Setelah membersihkan rerumputan di bawah pohon itu, maka iapun menganyam sebuah ketepe dengan belarak yang di ambilnya dari sebatang pohon nyiur.

Namun lewat tengah malam Kiai Bagasrawa terkejut. Dalam tidur, ia sempat mendengar desir langkah di ladang ilalang itu, bahkan suara-suara ranting perdu yang berpatahan.

Perlahan-lahan Kiai Bagaswara bangkit. Dilihatnya sesosok tubuh yang berdiri tegak di tengah-tengah padepokan yang sudah menjadi abu itu. Bahkan Kiai Bagaswara telah mendengar isak yang memelas.

Barulah Kiai Bagaswara mengerti. Yang berdiri di dalam keremangan malam itu adalah cantriknya. Demikian cepat ia menyusul, sehingga Kiai Bagaswara mengerti, bahwa cantrik itu setelah mencapai saudaranya yang pertama, dengan tergesa-gesa telah kembali menuju langsung ke padepokan tanpa beristirahat sama sekali.

Kiai Bagaswara menarik nafas dalam-dalam. Kemudian iapun mendehem sambil melangkah mendekat.

Cantrik itu terkejut. Dengan serta merta ia pun telah mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan.

“Inilah aku,” berkata Kiai Bagaswara, “jika kau tidak mengenal aku dalam kegelapan, maka kau tentu mengenali suaraku.”

“Kiai,” desis cantrik itu.

“Ya. Kemarilah. Tetapi kau tidak perlu menangis. Apakah ada gunanya? Apalagi kau adalah seorang laki-laki,” berkata Kiai Bagaswara.

“Aku tidak dapat menahan gejolak perasaanku,” berkata cantrik itu, “betapa memelasnya padepokan ini.”

“Apakah dengan menyesali segala peristiwa ini kita akan dapat menyelesaikan persoalan? Aku mengerti, bahwa setiap orang dapat menyesal, kecewa dan perasaan lain seperti itu. Tetapi yang penting kemudian adalah, bagaimana kita mengatasinya.”

Cantrik itu mengangguk. la pun berusaha untuk menahan diri. Namun ia tidak berhasil menyembunyikan isaknya yang satu-satu masih terdengar.

“Beristirahatlah,” berkata Kiai Bagaswara, “aku mengerti, bahwa kau sudah menempuh satu perjalanan yang teramat panjang. Kau tentu letih, dan barangkali justru setelah kau beristirahat kau akan merasa lapar. Tetapi kau harus bertahan sampai esok. Baru kita akan mendapatkan makanan. Mungkin kita masih menemukan beberapa batang pohon ketela pohon di bagian belakang padepokan ini. Besok kita akan dapat memanggangnya.”

Cantrik itu mengangguk. Kemudian berkata Kiai Bagaswara, “Beristirahatlah di atas ketepe yang aku anyam sore tadi. Aku memanjat sendiri pohon nyiur yang paling rendah itu, dan mengambil satu pelepah untuk aku jadikan ketepe itu.”

“Sudahlah Kiai. Biarlah Kiai mempergunakannya. Aku dapat tidur di mana saja. Di bawah pohon nangka itupun aku dapat tidur. Apalagi aku memang lelah sekali,” jawab cantrik itu.

“Ada dua kemungkinan,” berkata Kiai Bagaswara, “kau akan segera tidur nyenyak, atau justru tidak dapat tidur sama sekali.”

Cantrik itu mengangguk. Jawabnya, “Ya Kiai. Tetapi agaknya aku akan dapat tidur dengan nyenyak malam ini. Mudah-mudahan besok ada di antara saudara-saudaraku yang datang, untuk mulai dengan kerja apapun yang dapat kita lakukan.”

Kiai Bagaswara mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Baiklah. Mudah-mudahan kau benar-benar dapat beristirahat.”

Ketika kemudian Kiai Bagaswara kembali ke pembaringannya, sehelai ketepe anyaman belarak, maka cantrik itu pun telah pergi ke belumbang. Tetapi ia mengurungkan untuk mencelupkan kakinya yang rasa-rasanya telah membengkak oleh kelelahan. Belumbang itu nampaknya telah menjadi sangat kotor, sehingga mungkin ada semacam binatang yang berbisa.

Karena itu, maka ia pun telah pergi ke sumur. Tetapi senggot sumur itu sudah rusak, sehingga tidak lagi dapat dipergunakan untuk menimba air.

Dengan demikian, maka cantrik itu tidak lagi berusaha untuk membasahi kakinya. Rasa-rasanya kakinya tidak lagi dapat dibawanya ke sungai yang berjarak beberapa puluh patok. Sehingga cantrik itu pun kemudian telah duduk bersandar sebatang pohon tidak terlalu jauh dari Kiai Bagaswara yang berbaring.

“Sumur itu bagaikan sumur mati,” berkata Kiai Bagaswara.

“O,” cantrik itu berdesis, “Kiai belum tidur?”

“Belum. Agaknya aku memang tidak mengantuk,” berkata Kiai Bagaswara.

“Akulah yang mengantuk sekali,” berkata cantrik itu.

“Tidurlah,” jawab Kiai Bagaswara.

Cantrik itu tidak berbicara lagi. la benar-benar ingin tidur untuk mengurangi perasaan letih yang menggigit.

Ternyata seperti yang dikatakannya, sejenak kemudian cantrik itu memang sudah tertidur sambil bersandar sebatang pohon. Terdengar nafasnya menjadi semakin teratur.

Kiai Bagaswara menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa para cantrik padepokan itu masih merasa mempunyai ikatan yang kuat dengan padepokannya. Ketika cantrik itu melihat, betapa padepokannya telah menjadi debu, maka ia tidak dapat menahan gejolak perasaannya.

Namun dalam pada itu, ketika suasana malam menjadi semakin sepi, hampir di luar sadarnya Kiai Bagaswara telah meraba keris yang dibawanya, Kiai Santak Keris yang mempunyai watak yang garang dan kuat. Jika pemiliknya tidak memiliki kepribadian yang kuat melampaui watak keris itu, maka pemiliknyalah yang telah hanyut dalam kegarangan keris itu tanpa kendali. Tetapi sebaliknya, bagi seorang yang berpribadi kuat dan watak yang mantap, maka keris itu akan memberikan arti yang sangat besar baginya. Keris itu akan dapat merupakan senjata yang nggegirisi.

Setiap kali Kiai Bagaswara menyentuh keris itu, maka ia selalu teringat kepada Glagah Putih. Seorang anak muda yang tumbuh menjadi dewasa dengan kemampuan yang luar biasa. Sekilas Kiai Bagaswara sempat memperhatikan padepokannya yang sudah menjadi rata. Baru kemudian ia berkata kepada dirinya sendiri, “Aku akan minta Kiai Jayaraga tinggal beberapa lama di sini sambil membawa Glagah Patih bersamanya. Mudah-mudahan keduanya dan Agung Sedayu tidak berkeberatan. Aku harus mencobanya, sehingga aku tidak dihambat oleh sekedar dugaan-dugaan saja. Bahkan mungkin keduanya akan merasa gembira dengan rencanaku itu.”

Kiai Bagaswara menarik nafas dalam-dalam. la benar-benar ingin datang kembali ke Tanah Perdikan Menoreh jika padepokannya telah siap, untuk meminta agar Kiai Jayaraga bersedia tinggal untuk sementara di padepokannya bersama Glagah Putih.

Dengan demikian, maka Kiai Bagaswara pun kemudian dapat melepaskan diri dari angan-angannya yang bergejolak tentang keris Kiai Santak. Meskipun masih belum pasti, tetapi rasa-rasanya ia sudah melihat jalan yang akan dilaluinya.

Sejenak kemudian maka Kiai Bagaswara itupun telah memejamkan matanya. Setelah terbangun karena kedatangan seorang cantriknya, maka iapun telah tidur kembali untuk beberapa saat di ujung malam yang tersisa.

Ketika Kiai Bagaswara kemudian terbangun, maka langitpun telah menjadi merah. Seekor burung kecil bersiul di cabang pohon jambu air di atasnya.

Perlahan-lahan Kiai Bagaswara bangkit. Suasana pagi telah mulai terasa. Sejuk sekali.

Ketika ia berpaling kepada cantrik yang tidur bersandar sebatang pohon, maka dilihatnya cantrik itu masih tidur nyenyak sekali. Agaknya ia merasa terlalu letih.

“Biar saja ia memuaskan istirahatnya,” berkata Kiai Bagaswara kemudian.

Kiai Bagaswara pun kemudian meninggalkan cantrik yang masih tertidur nyenyak itu untuk pergi ke sungai. Beberapa lama ia berada di sungai itu. Namun ketika ia kembali ke padepokannya yang sudah rata dengan tanah, cantrik itu masih tertidur di tempatnya.

Kiai Bagaswara tersenyum. Tetapi ia tidak ingin mengganggunya. Demikian lelapnya cantrik itu tertidur, sehingga cahaya matahari yang kemudian jatuh ke wajahnya tidak kuasa membangunkannya.

Namun akhirnya cantrik itu menggeliat juga. Bahkan kemudian ia terkejut dan dengan tergesa-gesa meloncat bangun. Ternyata matahari sudah tinggi.

Dengan gelisah cantrik itu memandang berkeliling. la menjadi berdebar-debar ketika ia melihat, Kiai Bagaswara telah mulai melihat-lihat rumpun bambu untuk memilih bambu yang sudah tua yang sudah pantas untuk ditebang.

“Maaf Kiai,” berkata cantrik itu sambil berlari-lari mendekati Kiai Bagaswara, “tidurku terlalu nyenyak.”

“Aku tahu, kau terlalu letih. Karena itu, aku tidak mengganggumu,” berkata Kiai Bagaswara.

“Tetapi, aku minta diri untuk pergi ke sungai sebentar,” minta cantrik itu.

“Pergilah,” jawab Kiai Bagaswara.

Berlari-lari cantrik itu pergi ke sungai. Dan kemudian berlari-lari pula ia kembali ke padepokan, sementara itu Kiai Bagaswara telah memberikan tanda-tanda pada beberapa batang pring petung yag sudah pantas untuk ditebang.

Tetapi keduanya belum mulai dengan menebang pring petung itu. Mereka masih memilih yang manakah yang cukup tua untuk membangun satu padepokan yang baru, sambil menunggu beberapa orang cantrik yang lain, yang akan segera datang pula.

Sebenarnyalah, maka pada hari itu telah datang dua orang cantrik yang lain. Seterusnya mendekati tengah malam telah datang lagi dua orang. Demikian berturut-turut di hari berikutnya sehingga padepokan itu telah menjadi ramai kembali oleh para cantrik. Meskipun pada umumnya mereka terkejut melihat padepokan mereka yang telah menjadi abu, namun Kiai Bagaswara telah memberikan beberapa nasehat kepada para cantrik itu, agar mereka tidak menjadi kehilangan pegangan dan mengeluh berkepanjangan.

Di hari-hari berikutnya, maka padepokan itu menjadi sibuk. Kiai Bagaswara sendiri telah memimpin para cantrik untuk membangun kembali padepokan mereka yang telah hancur. Dengan menilik bekas dari padepokan mereka yang lama, maka mereka berusaha untuk dapat membangun padepokan seperti yang telah hangus itu.

Dengan penuh gairah maka para cantrik itu bekerja menurut ketrampilan mereka masing-masing. Ada yang menganyam kepang, gedheg, dan ada yang memiliki kecakapan lebih baik dari kawan-kawannya sehingga bersama dengan Kiai Bagaswara, mereka telah merencanakan tulang-tulang setiap bangunan dari pring petung yang besar dan kokoh.

Sementara para cantrik di padepokan itu bekerja keras, maka di Tanah Perdikan Menoreh, Glagah Putih pun telah bekerja keras pula untuk meningkatkan ilmunya. Tetapi Glagah Putih juga tidak melupakan tugas-tugasnya di Tanah Perdikan di antara anak-anak muda yang bekerja keras meningkatkan kesejahteraan Tanah Perdikannya.

Namun di malam hari, Glagah Putih masih juga mengikuti kegemarannya selain mencari ikan. Menelusuri sungai dan kadang-kadang berendam sampai menjelang saat menutup pliridan di dini hari.

Beberapa puluh malam telah dilakukannya hal seperti itu tanpa jemu. Memang kadang-kadang ada juga malam-malam yang dipergunakannya untuk kepentingan yang lain. Tetapi sebagian besar malam-malamnya telah dihabiskannya di sepanjang sungai.

Dalam saat-saat terakhir, ternyata Kiai Jayaraga telah mulai mencampuri hubungan antara Glagah Putih dan sungai itu. Sekali-sekali Kiai Jayaraga telah menanyakan, apa saja yang dilakukannya jika ia berada di sungai di malam hari.

Glagah Putih bercerita terus terang. Baik kepada Kiai Jayaraga maupun kepada Agung Sedayu, bahwa sekali-sekali ia berendam di kedung kecil di tikungan sungai. Sekali-sekali ia berlari-lari di tebing dan sekali-sekali berloncatan di antara bebatuan.

“Tetapi menarik sekali bermain-main di sungai itu Kakang” berkata Glagah Putih kepada Agung Sedayu, “rasa-rasanya aku mendapatkan satu cara yang dapat membantu perkembangan ilmuku, sehingga rasa-rasanya di saat-saat aku berlatih di tepian, di atas pasir yang basah, dengan mudah aku dapat mengembangkan ilmu yang sudah aku kuasai.

Agung Sedayu dan Kiai Jayaraga mengangguk-angguk, sementara Glagah Putih bercerita selanjutnya, “Tebing sungai, bebatuan dan arus sungai itu rasa-rasanya telah membantu aku.”

“Apa hubungannya dengan tebing sungai dan bebatuan?” bertanya Agung Sedayu.

“Lereng yang sangat miring dan bebatuan itu memberi aku banyak kesempatan untuk berlatih menguasai keseimbangan, kecekatan dan ketrampilan, sehingga rasa-rasanya aku mendapat kawan berlatih yang sangat baik. Batu-batu padas yang tidak begitu keras di lereng sungai itu memberi kesempatan kepadaku untuk melatih kekuatan tanganku, sementara gemericik air yang mengalir di sela-sela bebatuan memberikan beberapa petunjuk dan gagasan-gagasan untuk mengolah dan mengembangkan ilmu yang telah aku kuasai, mengalir seperti air sungai yang mampu menyusup di antara bebatuan dan slangkrah-slangkrah yang menghalangi jalannya, namun dalam keadaan yang paling gawat, maka puncak kekuatan air itu benar-benar nggegrisi. Banjir bandang akan dapat menghanyutkan rintangan yang tidak diperkirakan sebelumnya.”

Kiai Jayaraga dan Agung Sedayu mengangguk-angguk. Glagah Putih telah melihat kekuatan yang tersembunyi dalam alam itu dan mengungkapkan bagi kepentingan perkembangan ilmunya.

“Baiklah Glagah Putih,” berkata Kiai Jayaraga, “aku tidak berkeberatan sama sekali dengan usahamu meningkatkan ilmumu dengan cara itu. Tetapi hati-hatilah. Kau harus dapat menyaring, gagasan-gagasan yang tumbuh setelah kau melihat keadaan di sekitarmu tidak boleh dipengaruhi oleh gambaran-gambaran hitam yang akan dapat timbul. Kau harus tetap berpegangan kepada petunjukku dan nasehat kakangmu Agung Sedayu. Pada suatu saat, aku akan melihat, apa yang kau lakukan di pinggir sungai itu, selain berendam diri.” 

“Aku akan senang sekali jika Guru bersedia bersama Kakang Agung Sedayu menelusuri sungai itu,” berkata Glagah Putih.

“Hal itu tentu pernah juga dilakukan oleh kakangmu Agung Sedayu,” berkata Kiai Jayaraga.

Glagah Putih berpaling kepada Agung Sedayu. Namun Agung Sedayu hanya tersenyum saja tanpa memberikan jawaban apapun juga.

Namun dalam pada itu, di malam-malam berikutnya Glagah Putih masih juga melakukan sebagaimana pernah dilakukannya. Tetapi tanpa disadarinya, dua orang ternyata telah mengamatinya. Kiai Jayaraga dan Agung Sedayu. Mereka melihat bagaimana Glagah Putih bermain-main dengan alam. Bagaimana ia memanfaatkan alam untuk mengembangkan ilmunya. Tetapi ia masih belum mampu menyadap kekuatan yang ada di sekitarnya untuk memperkuat tenaga cadangan yang memang sudah ada di dalam dirinya.

“Luar biasa,” desis Agung Sedayu pada suatu saat, “ternyata anak itu mampu menguasai kemungkinan-kemungkinan yang sulit untuk dibayangkan sebelumnya.”

Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Tetapi sampai saat ini ia berlatih dengan wajar sekali. Perkembangan ilmunyapun ternyata wajar, dalam ketidakwajarannya.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. la masih belum menangkap maksud Kiai Jayaraga. Namun Kiai Jayaraga yang sudah berambut putih itu berkata, “Agung Sedayu. Glagah Putih telah bekerja keras untuk mengembangkan ilmunya. Karena itu, maka perkembangan ilmunya seakan-akan meloncat terlampau cepat dari kewajaran seseorang menuntut ilmu. Dialasi dengan kecerdasan dan kemampuannya menangkap sesuatu, maka Glagah Putih benar-benar seorang anak muda yang aneh dalam perkembangan ilmunya. Tetapi perkembangan ilmunya itu sendiri berlangsung dengan wajar menurut tataran-tataran yang seharusnya. Glagah Putih tidak mendapatkan kemampuannya dengan alas kekuatan yang tidak wajar.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. la mengerti dengan gamblang apakah yang dimaksudakan oleh Kiai Jayaraga. Karena itu maka iapun kemudian berkata, “Mudah-mudahan ia tetap pada pribadinya.”

“Aku akan berjuang,” berkata Kiai Jayaraga, “kali ini aku tidak mau gagal. Murid-muridku yang terdahulu telah mengambil jalan sesat. Kali ini muridku harus memenuhi keinginanku. Bukan sekedar karena aku memaksakannya, tetapi aku harapkan kepribadian yang sesuai dengan keinginanku itu tumbuh dari dalam dirinya sendiri. Adalah wajar sekali jika aku dan orang-orang tua lainnya berusaha mengarahkannya. Bukan memaksakannya, sehingga akan menjadi beban bagi anak muda itu, yang pada suatu saat akan mungkin diletakannya.”

“Ya Kiai,” berkata Agung Sedayu. “Kita akan berbuat sejauh dapat kita lakukan.”

Kiai Jayaraga tidak menjawab. la sempat memperhatikan bagaimana Glagah Putih memanfaatkan bebatuan, pasir dan batu padas di lereng tebing sungai untuk mengembangkan kemampuannya.

Namun dalam pada itu, selagi Glagah Putih berloncatan di tepian di antara bebatuan dan sekali-sekali meloncat ke karang tebing yang hampir tegak itu, tiba-tiba saja ia merasa terganggu. Firasatnya mengatakan kepadanya, bahwa seseorang sedang mengamatinya dengan saksama.

Tetapi orang itu bukan Kiai Jayaraga dan Agung Sedayu. Bahkan ternyata Kiai Jayaraga dan Agung Sedayu juga terkejut ketika ia melihat seorang anak yang masih terlalu muda berdiri bertolak pinggang di atas sebongkah batu besar, di tengah-tengah sungai yang tidak begitu besar itu.

Glagah Putih terkejut. Ia tidak tahu kapan anak muda itu datang. Karena itu, maka ia pun kemudian berdiri tegak dengan kesiapsiagaan sepenuhnya. Mungkin anak yang masih terlalu muda itu mempunyai maksud yang kurang baik, atau mungkin ia bukan orang kebanyakan, yang dapat mengganggunya.

“Apakah ia anak yang masih terlalu muda, atau barangkali seorang yang bertubuh kerdil?” bertanya Glagah Putih di dalam hatinya.

Ternyata pertanyaan itu tumbuh pula di hati Kiai Jayaraga dan Agung Sedayu, yang mengamati kehadiran orang itu dari jarak yang lebih jauh dari Glagah Putih.

Namun ketajaman penglihatan Agung Sedayu kemudian dipusatkannya kepada orang yang berdiri di atas batu itu. Ternyata menurut penglihatan Agung Sedayu, bayangan itu benar-benar seorang anak yang masih sangat muda. Lebih muda dari Glagah Putih.

“Anak itu masih sangat muda,” bisik Agung Sedayu.

“Siapa?“ bertanya Kiai Jayaraga.

“Aku belum begitu mengenalnya. Tetapi rasa-rasanya aku memang pernah melihatnya,” jawab Agung Sedayu.

“Kau mempunyai ketajaman ingatan melampaui setiap orang,” berkata Kiai Jayaraga, “kau tidak akan pernah melupakan sesuatu yang pernah kau lihat.”

“Jika aku berbuat untuk itu, maka aku memang akan dapat mengingatnya. Tetapi tidak semua yang pernah tersentuh oleh pandanganku akan terpahat di hatiku. Mungkin aku pernah melihat sesuatu yang tidak dengan sengaja aku simpan di dalam ingatan. Maka seperti orang lain, maka aku akan melupakannya,” jawab Agung Sedayu, “tetapi agaknya terhadap anak ini aku memang pernah melihatnya.”

Keduanya pun kemudian saling berdiam diri. Mereka menunggu apa yang akan terjadi.

Glagah Putih yang melihat seseorang berdiri mengawasinya itupun kemudian melangkah mendekat sambil bertanya, “Siapa kau?”

Anak yang memang masih sangat muda itu tertawa. Katanya, “Kau tidak perlu tahu siapa aku. Aku hanya sedang mengagumimu. Ternyata kau memiliki ilmu yang sangat tinggi.”

“Jangan memuji,” jawab Glagah Putih, “aku tidak mempunyai kelebihan apa pun dari orang lain. Tetapi siapa kau?”

Anak muda itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Aku adalah keluarga Panembahan Senapati. Jika kau ingin tahu tentang aku, pergilah ke Mataram. Kau akan mengenali aku di antara para kadang sentana.”

Glagah Putih termangu-mangu. Namun ia bertanya, “Jika kau keluarga Istana Mataram, kenapa kau berada di sini pada malam hari seperti ini?”

“He, kau bertanya begitu? Satu pertanyaan yang bodoh sekali,” sahut orang itu, “apakah kau tidak pernah mendengar apa yang pernah dilakukan oleh Panembahan Senapati itu sendiri? la adalah putra, meskipun angkat, dari Sultan Hadiwijaya. Dan di waktu mudanya ia berada di segala tempat.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau benar. Tetapi apakah dengan demikian berarti bahwa kau adalah putra atau keluarga terdekat dari Panembahan Senapati?”

“Aku adalah keluarganya terdekat. Tetapi aku berada di tempat yang jauh. Baru beberapa saat aku berada di Mataram, karena ibuku memang tidak berada di Mataram sejak semula,” jawab anak muda itu.

“Siapa ibumu?” bertanya Glagah Putih.

“Juga pertanyaan yang bodoh,” berkata anak itu. Lalu, “Sudahlah, teruskan latihanmu. Kau akan mendapat kemajuan yang sangat pesat.”

Glagah Putih termangu-mangu. Anak itu masih terlalu muda. Lebih muda dari dirinya sendiri. Tetapi ucapannya bukan ucapan anak-anak sebagaimana ujudnya.

Oleh gejolak perasaannya menghadapi anak muda yang aneh itu, maka Glagah Putih justru termangu-mangu. Untuk beberapa saat ia berdiri mematung memandangi anak muda yang masih berdiri tegak di atas sebongkah batu.

“He, kenapa kau memandangi aku seperti itu?” bertanya anak muda itu.

Glagah Putih bagaikan terbangun dari satu lamunan yang mencengkam. Dengan serta merta ia menjawab, “Sikapmu aneh.”

“Apa yang aneh?” bertanya anak muda itu.

“Nampaknya kau masih terlalu muda dan sedang tumbuh menjelang dewasa. Tetapi sikapmu, kata-katamu dan barangkali juga ilmumu sama sekali tidak mencerminkan kemudaanmu. Atau barangkali kau sudah berumur tua, tetapi masih berujud sebagaimana ujudmu, karena kau mempunyai sesuatu yang dapat membuatmu bertahan pada ujud di satu tataran usia?” bertanya Glagah Putih.

“Jangan berbicara macam-macam,” jawab anak muda itu, “sebagaimana kau lihat, maka aku memang sedang menginjak masa dewasa. Tetapi tidak terasa ada satu kelainan padaku. Ilmuku pun bukan ilmu yang pantas dipamerkan, karena aku tidak memiliki kemampuan apapun juga.”

“Baiklah. Katakan kau memang masih terlalu muda. Masih sentana dekat dari Panembahan Senapati. Kemudian, apalagi yang kau kehendaki?“ bertanya Glagah Putih.

“Kau memang pemimpi yang bingung. Aku tidak menghendaki apa-apa. Kau dengar. Aku tak menghendaki sesuatu yang mungkin dapat mengganggumu,” jawab anak muda itu, “aku tidak apa-apa. Aku sedang berjalan-jalan dan menemukan kau sedang berlatih. Apalagi?”

“Jika demikian, maka tidak ada persoalan di antara kita,” berkata Glagah Putih, “silahkan, jika kau ingin meneruskan perjalanan.”

“Sudah aku katakan. Aku akan berhenti di sini melihat kau berlatih,” berkata anak muda itu.

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Lalu katanya, “Aku tidak akan berlatih lagi. Aku ingin beristirahat.”

“Ah, jangan begitu. Kau tidak usah malu. Bukankah kita tidak saling mengenal secara pribadi. Besok kita sudah tidak akan saling bertemu lagi, atau mungkin secara kebetulan seperti ini. Tetapi kita mempunyai daerah sendiri-sendiri sehingga kita akan tidak selalu dapat berhubungan,” berkata anak muda itu.

Tetapi seperti sikap anak muda itu, maka Glagah Putih pun menjawab, “Aku tidak mau. Jangan memaksa. Kau tidak berkepentingan dengan latihan-latihanku.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar