Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 183

Buku 183

Warak Ireng mengerutkan keningnya. Dengan sorot mata yang bagaikan menyala ia bertanya, “He, apakah kau bermimpi atau mengigau?”

Glagah Putih bergeser mendekat. Tetapi ia tetap berhati-hati menghadapi orang yang besar itu. Setiap saat orang itu akan dapat berbuat sesuatu di luar dugaannya.

“Siapa kau?” tiba-tiba saja Glagah Putih bertanya tanpa menghiraukan pertanyaan Warak Ireng.

“Ada baiknya kau mendengar namaku,” jawab Warak lreng, “namaku Warak Ireng.”

“O, jadi aku berhadapan dengan Warak Ireng, bukan yang bernama Linduk,” desis Glagah Putih.

“He, apakah kau ini anak yang gila dan tersesat memasuki arena?” bertanya Warak Ireng.

“Tidak. Namaku Glagah Putih,” jawab Glagah Putih, “aku mendapat tugas menghadapi senapati di sayap ini, seperti yang sudah aku katakan. Apakah ia bernama Warak Ireng, atau bernama Linduk yang juga disebut Sambijaya.”

“O, kau agaknya memang anak gila,” geram Warak Ireng, “tetapi karena kau sudah terlanjur memasuki arena ini, maka biarlah aku menyempatkan waktu sejenak membunuhmu.”

Glagah Putih tidak menjawab, Tetapi iapun telah mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Meskipun ia menyadari akan kemampuan Iawannya yang memiliki pengalaman jauh lebih luas dari padanya dalam dunia kanuragan dan petualangan, namun Glagah Putih tidak merasa gentar menghadapinya.

Selangkah ia bergeser maju. Sementara itu, di sebelah-menyebelah pertempuran masih berlangsung dengan sengitnya. Para prajurit dari pasukan khusus Mataram yang bertempur pada garis pertama ternyata tidak mampu menutup semua lubang penyusupan, sehingga beberapa orang lawan yang berhasil melampaui baris pertama telah bertemu dengan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang berada di sayap pasukan. Tetapi anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh ternyata telah memiliki bekal kemampuan dan pengalaman untuk bertempur di medan yang keras. Karena itu, maka merekapun dengan tangkasnya telah menghadapi senjata lawan yang terayun-ayun dan berputaran.

Glagah Putih mulai mengacukan pedangnya ke arah Warak Ireng yang masih termangu-mangu. Seolah-olah ia tidak percaya bahwa ia harus bertempur menghadapi anak semuda itu. Tetapi Glagah Putih mulai menggerakkan pedangnya. Sambil bergeser ia berkata, “Warak Ireng, aku akan membunuhmu. Jika kau terlalu lama kebingungan, maka kau akan mati tanpa arti.”

“Jadi kau benar-benar ingin bertempur?” geram Warak Ireng.

“Sebagaimana kau lihat, aku sudah siap,” sahut Glagah Putih.

Warak Ireng bukannya jenis orang yang sempat membuat pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan. la menjadi heran. Namun ia sama sekali tidak mempunyai niat untuk menghindari lawannya yang dinilainya masih sangat muda itu.

Karena itu, maka ia pun kemudian menggeram, “Baiklah. Marilah. Aku antarkan nyawamu ke neraka.”

Glagah Putih bergeser setapak surut. la melihat Warak Ireng sudah mengambil ancang-ancang. Karena itu, maka ia pun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Dengan bekal ilmu yang dikuasainya atas dasar ilmu keturunan Ki Sadewa, serta kemampuan yang dipelajarinya dari Kiai Jayaraga dengan tekun dan bersungguh-sungguh, maka Glagah Putih telah siap menghadapi orang yang bernama Warak Ireng itu.

Sejenak kemudian Warak Ireng telah menyerang Glagah Putih dengan garangnya. la benar-benar ingin membunuh anak itu dalam sekejap agar anak itu tidak mengganggunya.

Tetapi Warak Ireng benar-benar telah terkejut. Dengan tangkasnya Glagah Putih mampu mengelakkan serangan lawannya, bahkan dengan cepat pula ia justru telah menyerang dengan patukan ujung pedangnya.

Karena Warak Ireng sama sekali tidak menduga, bahwa Glagah Putih mampu bergerak secepat itu, maka ia pun terkejut bukan buatan. Hampir saja ujung pedang Glagah Putih menyentuh kulit Warak Ireng, Untunglah bahwa Warak Ireng masih sempat menggeliat dan membebaskan diri dari sambaran pedang Glagah Putih yang mengejutkan itu.

“Anak iblis,” geram Warak Ireng, “karena kau mampu bergerak cepat, maka kau mengira bahwa kau sudah berhak menempatkan dirimu untuk melawan aku, he?”

Glagah Putih tidak menyahut. Tetapi ia bersiap dengan penuh kewaspadaan. Warak Ireng akan dapat berbuat apa saja untuk mencapai maksudnya.

Sebenarnyalah Warak Ireng pun kemudian berteriak nyaring sambil meloncat menyerang. Ternyata Warak Ireng yang marah itu telah mengerahkan kemampuan cadangannya. Bahkan dengan ilmuanya yang keras ia menggerakkan senjatanya.

Glagah Putih menyadari, bahwa yang dilakukan oleh Warak Ireng bukan lagi unsur kekuatan wajarnya. Karena itu, maka Glagah Putih pun telah melepaskan tenaga cadangannya pula, sehingga dengan alas kekuatan cadangannya, ia mampu bergerak lebih cepat.

Dengan demikian, maka pertempuran antara Warak Ireng yang garang itu dengan Glagah Putih menjadi semakin sengit. Namun karena itu pulalah, maka Warak Ireng telah mengumpat-umpat. Rasa-rasanya tidak masuk akal bahwa Glagah Putih mampu melawannya untuk beberapa lama. Bahkan masih belum ada tanda-tanda bahwa anak itu mulai terdesak.

“Anak ini memang kepanjingan iblis,” Warak Ireng mengumpat.

Glagah Putih sama sekali tidak menyahut. Tetapi, ia bertempur semakin mapan menghadapi lawannya yang sangat garang itu.

Pada saat Glagah Putih bertempur menghadapi lawannya dalam pengawasan Ki Gede Menoreh, maka Kiai Jayaraga benar-benar telah menghadapi orang yang bernama Punta Gembong. Dengan suara lunak Kiai Jayaraga menyapa, “He, Punta Gembong. Apakah kau lupa kepadaku?”

Punta Gembong mengerutkan keningnya. Sejenak ia termangu-mangu. Namun iapun kemudian menggeram, Kau ada di sini setan alas. Untuk apa kau datang kemari? Apakah kau ingin membalas sakit hati muridmu yang dibunuh oleh Agung Sedayu? Seandainya demikian, kau benar-benar orang yang licik. Kau memanfaatkan pasukan muridku sekarang ini untuk mengikat orang-orang Tanah Perdikan dalam satu pertempuran, agar kau sempat berhadapan dengan Agung Sedayu. Tetapi agaknya Agung Sedayu tidak ada di sini. Bahkan aku pun sebenarnya ingin berhadapan dengan orang yang telah menggemparkan Pajang itu, selain Panembahan Senapati dan Pangeran Benawa sendiri.”

Kiai Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jangan salah mengerti Punta Gembong. Aku berada di sini justru berdiri di pihak Agung Sedayu.”

“He?” Punta Gembong menjadi heran, “Apakah kiblatmu sudah berputar?”

“Ya,” jawab Jayaraga, “ternyata aku sudah kehilangan segala-galanya. Hatiku menjadi sakit bukan karena murid-muridku terbunuh. Tetapi hatiku menjadi sakit justru karena murid-muridku tidak lagi mau mengikuti jalan yang baik. Prabadaru sudah kehilangan sifat ksatrianya dan memilih bermimpi bersama Kakang Panji yang ternyata juga terbunuh itu. Muridku yang lain menjadi penjahat yang sangat ditakuti orang. He, apakah kau berbangga seandainya kau mempunyai seorang murid yang ditakuti orang seperti Warak Ireng itu?”

Punta Gembong mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia tertawa. Katanya, “Jangan berputus asa seperti itu. Sejak kapan kau mempunyai penilaian yang demikian terhadap murid-muridmu sendiri?”

“Sejak semula,” jawab Kiai Jayaraga, “karena itu aku lebih senang mengasingkan diriku.”

“Dan sekarang kau justru berada di tempat ini? Untuk apa sebenarnya? Bukankah kita tidak mempunyai persoalan apapun juga? Aku tidak mengerti jalan pikiranmu, bahwa tiba-tiba saja kau berdiri di pihak Agung Sedayu,” geram Punta Gembong.

“Jalan pikiranku memang sulit dimengerti oleh orang lain,” berkata Kiai Jayaraga, “tetapi sebaiknya kau tidak perlu bersusah payah berusaha untuk mengerti. Yang jelas bagimu sekarang, aku adalah salah seorang yang berdiri di antara orang-orang Tanah Perdikan Menoreh dan pasukan khusus Mataram yang ada di Tanah Perdikan ini.”

“Jadi, tegasnya kau ingin menghadapi aku?” bertanya Punta Gembong.

“Ya. Karena aku tahu, bahwa tidak banyak orang yang dapat mengimbangi ilmumu. Aku percaya bahwa seisi barak pasukan khusus itu tidak akan ada yang dapat mengimbangi kemampuanmu.”

“Dan kau telah menyerahkan dirimu untuk kepentingan itu, atau sebenarnya kau ingin membunuh diri karena kau telah dikecewakan oleh murid-muridmu?” bertanya Punta Gembong.

Kiai Jayaraga memandang Punta Gembong dengan tajamnya. Seakan-akan ia ingin meyakinkan, apakah lawannya benar-benar seorang yang memiliki ilmu yang tidak terlawan sebagaimana dikatakan orang.

“Kenapa kau jadi bimbang, he?” berkata Punta Gembong selanjutnya, “Jika kau memang ingin membunuh diri, katakanlah. Aku akan dengan senang hati membantumu.”

Kiai Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau memang sombong seperti yang pernah aku dengar. Baiklah, kita akan membuktikan, siapakah di antara kita yang akan mati di peperangan ini. Nampaknya memang tidak ada lagi jalan keluar bagi salah seorang di antara kita. Kau atau aku.”

“Kau sajalah yang mati,” berkata Punta Uembong, “bukankah kau sudah terlalu banyak merasa tersiksa batinmu?”

Kiai Jayaraga tidak menjawab. Namun kemudian katanya, “Kita sudah cukup lama berbicara.”

“Ya,” jawab Punta Gembong.

Kiai Jayaraga pun kemudian bergeser. Dipandanginya wajah lawannya yang menegang. Sementara itu, maka pertempuran antara pasukan Warak Ireng dan para prajurit dari pasukan khusus dan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh menjadi semakin sengit. Dengan senjata masing-masing mereka saling menghentak, saling menyerang dengan teriakan-teriakan yang memekakkan telinga dan tanpa segan-segan berusaha membunuh lawan sebanyak-banyaknya.

Sementara itu, di sayap yang lain, Sekar Mirah telah menemukan pemimpin pasukan yang berada di sayap itu. Ki Linduk yang juga disebut Ki Sambijaya.

Dengan heran Ki Linduk mengamati lawannya yang berdiri di hadapannya sambil bertanya, “Bukankah kau pemimpin dari pasukan ini?”

Ki Linduk termangu-mangu. Tetapi ia tidak salah. Yang berdiri di hadapannya adalah seorang perempuan.

“Inilah perempuan-perempuan Tanah Perdikan Menoreh yang pernah disebut-sebut namanya,” desis Ki Linduk. Lalu dengan nada datar ia bertanya, “Siapa namamu anak manis?”

“Sekar Mirah,” jawab Sekar Mirah dengan wajah yang tegas.

“Apakah kau anak Ki Gede Menoreh?” bertanya Ki Linduk pula.

“Bukan,” jawab Sekar Mirah, “aku adalah anak Ki Demang Sangkal Putung,” jawab Sekar Mirah.

“O,” Ki Linduk mengangguk-angguk. Tetapi ia masih bertanya, “Dimana anak Ki Gede yang dikatakan sebagai seorang perempuan senapati dari Tanah Perdikan.?”

“la berada di Sangkal Putung,” jawab Sekar Mirah. “Tetapi kenapa kau cari perempuan itu. Yang ada di sini aku. Sekar Mirah.”

Ki Linduk mengerutkan keningnya. Dengan suara tinggi ia berdesis, “Kenapa harus bertukar tempat? Kau, anak Sangkal Putung berada di sini, sementara anak Tanah Perdikan ini berada di Sangkal Putung?”

“ltu bukan urusanmu!” bentak Sekar Mirah yang menjadi jemu. “Kau lihat, pertempuran sudah berkobar di mana-mana. Apakah kau masih saja ingin berbicara panjang lebar?”

Ki Linduk termangu-mangu. Namun ketika ia melihat Sekar Mirah mulai menggerakkan tongkat baja putihnya, ia menjadi berdebar-debar. Tongkat itu menurut pendengarannya, mempunyai arti yang besar bagi dunia olah kanuragan.

“He, anak manis,” berkata Ki Linduk, “kenapa kau bermain-main dengan tongkat seperti itu? Tongkat baja putih dengan kepala tengkorak yang berwarna kekuning-kuningan.”

“Ini milikku,” jawab Sekar Mirah, “apakah kau mengenal senjata jenis ini?”

“Senjata itu pertanda dari satu perguruan yang pernah menggemparkan Jipang. Bahkan orang-orang tua percaya bahwa pemilik tongkat itu, serta ilmu yang dikuasainya, membuat mereka seakan-akan bernyawa rangkap. Apakah dengan demikian, karena kau bernyawa rangkap, maka kau berani berdiri di medan?”

“Persetan dengan nyawa rangkap,” geram Sekar Mirah.

“Aku masih memperingatkanmu. Menyingkirlah. Aku adalah Ki Linduk, juga disebut Ki Sambijaya. Meskipun lawanku bernyawa rangkap lima, namun aku akan sanggup membunuhnya lima kali berturut-turut.”

Wajah Sekar Mirah menjadi merah. la mulai memutar tongkat baja putihnya sambil bergeser, “Aku sudah cukup lama berbicara.”

Ki Linduk pun tidak berbicara lagi. Ia pun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Ia pun sadar, bahwa tanpa bekal ilmu yang meyakinkan, maka perempuan itu tidak akan berani berada di medan. Para pemimpin pasukan khusus dan Tanah Perdikan tentu akan mencegahnya.

Tetapi jika perempuan itu hadir di peperangan, maka berarti bahwa ia memang pantas untuk berada di medan.

Sejenak kemudian keduanya seakan-akan sedang menilai sikap lawan, sementara itu di sekitar mereka, pertempuran menjadi semakin riuh. Namun tidak ada seorang pun yang berniat mengganggu kedua orang senapati yang sudah saling berhadapan itu, karena mereka yakin, keduanya tentu memiliki ilmu yang tinggi.

Ketika Ki Linduk kemudian menjulurkan senjatanya, maka Sekar Mirah pun bergeser surut. Tetapi tongkat baja putihnya berputar semakin cepat.

Sesaat kemudian, maka keduanya telah terlibat dalam pertempuran. Tetapi nampaknya keduanya tidak tergesa-gesa. Keduanya masih berusaha menjajagi kemampuan lawan yang belum pernah saling mengenal. Namun bagi Ki Linduk, tongkat baja putih di tangan Sekar Mirah itu mempunyai arti tersendiri.

Ki Linduk yang melihat bagaimana Sekar Mirah menggerakkan tongkatnya itu pun kemudian yakin, bahwa tongkat itu memang senjata andalan perempuan itu. Bukan sekedar senjata yang aneh, yang diketemukannya di sembarang tempat dan yang karena menarik, maka senjata itu dipergunakannya. Tetapi nampaknya perempuan yang bernama Sekar Mirah itu memang menguasai senjatanya sebagaimana ia menguasai tubuhnya sendiri.

Dengan demikian, maka Ki Linduk pun harus berhati-hati. Pada pengamatannya kemudian, sikap perempuan itu memang meyakinkan, bahwa ia memang seorang senapati.

Dalam pada itu, tidak terlalu jauh dari Sekar Mirah, Agung Sedayu berusaha mengamatinya sambil bertempur di antara anak-anak muda Tanah Perdikan. Para pengikut Ki Linduk yang tersesat menyerang Agung Sedayu, tiba-tiba saja harus rnenggeram menahan gejolak perasaan. Anak muda itu seakan-akan tidak berbuat apa-apa. Tetapi ternyata bahwa setiap serangan mereka selalu gagal. Bahkan tiba-tiba saja senjata mereka telah terlempar jatuh.

“Apakah aku berhadapan dengan iblis?” geram seorang yang bertubuh tinggi tegap dan berjambang kasar.

Beberapa kali ia berusaha menyerang, bahkan kemudian bersama-sama dengan dua orang kawannya. Tetapi serangan mereka seolah-olah tidak berarti apa-apa. Anak muda itu dengan tangkasnya mengelak. Dan sekali menggerakkan tangannya, maka senjata lawannya telah terlempar.

Sebenarnyalah, Agung Sedayu telah mempergunakan senjata yang tidak terbiasa dipergunakannya. la sama sekali tidak mempergunakan cambuknya. Tetapi Agung Sedayu mempergunakan sebilah pedang.

Dengan demikian, maka lawan-lawannya menjadi heran. Tetapi mereka tidak sempat berbuat banyak, karena anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh dan prajurit dari pasukan khusus yang berada di sayap pun telah bertempur dengan cepat dan tangkas, meskipun karena pengaruh lawan-lawan mereka, maka mereka pun kemudian telah bertempur dengan keras pula.

Namun dalam pada itu, di bagian lain di sayap itu pula, seseorang telah bertempur dengan garangnya pula. Jika Agung Sedayu sekedar melemparkan senjata lawannya, sehingga mereka terpaksa bergeser mundur untuk mengambil senjata mereka sementara lawannya yang lain berusaha melindunginya, maka seorang yang menjelang usia tua telah memungut beberapa korban. Ternyata orang itu tidak sekedar ingin bertahan dan mendesak lawannya surut, tetapi ia benar-benar telah berusaha membunuh beberapa orang prajurit dari pasukan khusus. Untunglah bahwa para prajurit itu telah mendepat tempaan yang berat dan bersungguh-sungguh, sehingga mereka tidak menjadi gentar menghadapi lawan yang nggegirisi.

Tetapi ketika seorang pengawal Tanah Perdikan Menoreh menyaksikannya, maka telah timbul satu dorongan di dalam hatinya untuk melaporkannya kepada Agung Sedayu, karena di sayap itu tidak ada orang lain yang dianggap lebih baik dari Agung Sedayu.

Ketika Agung Sedayu mendengarnya, maka hatinya menjadi berdebar-debar. Ia pun segera meninggalkan tempatnya untuk melihat, apa yang telah terjadi, sebagaimana dilaporkan oleh salah seorang pengawal Tanah Perdikan Menoreh. Apalagi ketika ia kemudian yakin, bahwa lawan Sekar Mirah bukan orang yang sangat berbahaya bagi Sekar Mirah. Jika Sekar Mirah tidak melakukan satu kesalahan, maka ia akan dapat bertahan untuk waktu yang lama. Bahkan mungkin ia akan mampu mengimbangi kekuatan dan ilmu lawannya yang garang itu.

Dengan demikian, maka Agung Sedayu pun telah bergeser di sela-sela hiruk pikuknya pertempuran. Dengan cepat ia mendekati medan yang ditunjukkan oleh anak muda Tanah Perdikan itu.

“Tidak ada orang yang dapat membendung kemarahannya” berkata pengawal itu.

“Apakah kalian tidak menghadapinya dengan kelompok-kelompok kecil?” bertanya Agung Sedayu.

“Ya. Tetapi orang itu seakan-akan tidak dapat ditahan oleh kekuatan apapun,” jawab pengawal itu ”beberapa orang prajurit telah terluka, bahkan mungkin ada yang telah terbunuh di antara mereka.”

“Jadi para prajurit dari pasukan khusus gagal menahan orang itu?” bertanya Agung Sedayu dengan cemas.

“Ya,” jawab anak muda yang memberikan laporan itu.

Agung Sedayu bergerak semakin cepat, sehingga akhirnya ia sampai pada sebuah lingkaran prajurit dari pasukan khusus yang sedang mengepung seseorang. Sementara itu, di sekitarnya pertempuran pun berlangsung dengan sengitnya pula.

Ketika Agung Sedayu mendekati arena itu, maka dua orang yang telah terluka sedang dibawa menyingkir dari arena, sementara yang lain tengah mengacungkan senjata mereka pada seseorang yang sudah menjelang hari-hari tuanya.

“Luar biasa,” desis Agung Sedayu yang mendekat.

Ketika ia berada di luar arena, maka ia telah menggamit seorang prajurit sambil bertanya, “Apa yang telah dilakukannya?”

Prajurit itu berpaling. Ketika ia melihat Agung Sedayu, maka tiba-tiba wajahnya menjadi cerah.

“Agung Sedayu,” desisnya, “orang ini mengamuk tanpa dapat dikuasai. Lebih dari lima orang sudah dilukai, dan dua kawan kami agaknya telah gugur.”

“Oleh orang ini?” bertanya Agung Sedayu.

“Ya. Oleh orang ini,” jawab prajurit itu.

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Namun, kemudian ia pun segera dapat mengenali orang itu. Orang itu adalah salah seorang dari dua orang yang dijumpainya semalam. Dengan melipatgandakan ketajaman penglihatannya dengan lambaran ilmunya, maka ia dapat melihat ujud dari wajah orang itu.

“Baiklah,” berkata Agung Sedayu, “biarlah aku yang akan menghadapinya.”

Prajurit itupun kemudian menggamit kawannya pula sambil berkata, “Agung Sedayu telah datang.”

Nama itupun kemudian telah menjalar di seputar arena, sehingga karena itu, maka beberapa orang telah menyibak memberi jalan kepada Agung Sedayu, yang melangkah mendekati orang yang sudah menjelang umur tuanya itu.

“Siapa kau?” bertanya orang itu, “Apakah kau tahu arti dari sikapmu itu?”

“Aku mengerti Ki Sanak. Kau akan marah, dan kau akan berusaha untuk membunuh aku, sebagaimana sudah kau lakukan terhadap beberapa orang,” desis Agung Sedayu.

Wajah orang itu menjadi tegang. Ketenangan sikap Agung Sedayu membuat orang itu sangat tersinggung. Karena itu, maka katanya kemudian, “Anak Muda, agaknya kau belum tahu siapa aku”

“Ya. Aku memang belum mengenalmu. Tetapi aku tahu, bahwa kau memiliki ilmu yang tinggi, yang ternyata akan mampu mengacaukan sayap ini, apabila tidak segera mendapat perlawanan yang memadai. Mungkin dengan kelompok-kelompok kecil, tetapi mungkin memang diperlukan seseorang yang berani menghadapimu,” jawab Agung Sedayu.

Orang itu menjadi semakin marah. Katanya, “Kau sudah melihat, kelompok-kelompok kecil yang berusaha untuk menahanku selalu pecah dengan korban yang jatuh tanpa hitungan. Nah, Anak Muda. Ternyata bahwa kau adalah anak muda yang paling sombong yang pernah aku jumpai. Bukan saja di medan ini, tetapi sepanjang umurku aku belum pernah bertemu dengan anak muda seperti kau ini.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Bahkan ia sempat bertanya kepada diri sendiri, “Apakah aku sekarang sudah benar-benar menjadi seorang yang sombong?”

Tetapi Agung Sedayu tidak sempat merenungi dirinya sendiri. Orang yang di hadapannya itu kemudian berkata, “Dengar, Anak Muda. Aku adalah Kumbang Talangkas. Aku adalah guru dari Ki Linduk yang juga disebut Ki Sambijaya. Jika kau tahu, apa yang dilakukan Ki Linduk sekarang, maka kau aka dapat menilai, apakah yang kira-kira dapat aku lakukan.”

“O,” Agung Sedayu mengangguk-angguk, “maksudmu apa Ki Linduk itu yang memimpin sayap pasukan ini?”

“Ya. Ia adalah muridku,” jawab orangitu.

Agung Sedayu masih mengangguk-angguk. Katanya, “Jika yang kau maksud itu pemimpin dari sayap ini, maka ia kini sedang bertempur dengan istriku. Sekar Mirah. Aku memang sudah melihatnya. la memiliki kelebihan dari kebanyakan orang.”

Jawabnya itu ternyata membuat jantung Kumbang Talangkas berdebar-debar. Anak muda itu sama sekali tidak menunjukkan kesan apa pun meskipun ia menyebut pemimpin dari sayap gelar yang sederhana itu. Bahkan Ki Linduk itu sedang bertempur melawan istri anak muda itu.

Dengan suara bergetar Kumbang Talangkas itu bertanya, “Anak muda, apakah kau sedang ngelindur? Siapakah istrimu itu he, sehingga ia berani melawan muridku?”

“Istriku bernama Sekar Mirah, anak Ki Demang Sangkal Putung,” jawab Agung Sedayu.

“Gila. Siapa kau sebenarnya?” Kumbang Talangkas tidak sabar lagi menunggu jawaban-jawaban Agung Sedayu yang dianggapnya berkepanjangan.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mamaku Agung Sedayu.”

“O,” Kumbang Talangkas menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ternyata kau adalah Agung Sedayu. Pantas kau bersikap dingin menghadapi orang yang bernama Kumbang Talangkas. Pantas kau tidak tergetar sama sekali meskipun aku mengatakan bahwa aku adalah guru Ki Linduk. Tetapi bagaimanapun juga, sikap itu adalah sikap yang sangat sombong. Apakah dengan membunuh Ki Tumenggung Prabandaru, kau merasa dirimu tidak terkalahkan? Padahal menurut penilaianku, Prabadaru tidak lebih dari muridku. Bahkan seandainya mendapat kesempatan, sebagaimana kau dapatkan, maka Sambijaya tentu akan dapat membunuh Prabadaru sebagaimana dapat kau lakukan.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Maaf jika kau rasa aku bersikap sombong. Tetapi bukan maksudku. Aku hanya ingin menghentikan tingkahmu. Kau sudah membunuh prajurit Mataram dengan semena-mena. Sementara aku pun tidak pernah merasa tidak terkalahkan, sehingga karena itu mungkin aku masih memerlukan sekelompok prajurit untuk membantuku menghentikan usahamu membunuh tanpa ampun.”

“Apakah membunuh di peperangan itu salah?” bertanya Kumbang Talangkas.

“Tidak, sama sekali tidak, bagi orang-orang yang memang kehilangan pertimbangan kemanusiaannya,” jawab Agung Sedayu. “Tetapi bagi orang lain, membunuh di mana pun juga harus dihindari sejauh-jauhnya. Lawan yang sudah tidak berdaya di peperangan, sesuai dengan paugeran perang, tidak dibenarkan untuk dibunuh.”

“Omong kosong dengan paugeran perang,” geram Kumbang Talangkas. “Sekarang bersiaplah Agung Sedayu. Ingat, aku sama sekali tidak akan menghiraukan paugeran perang. Karena itu, jika kau merasa tidak mampu melawan aku, kau harus berusaha secepatnya melarikan diri dan berlindung di belakang prajurit-prajurit Mataram. Mungkin kau akan selamat. Tetapi prajurit Mataram dan anak-anak Perdikan Menoreh akan tumpas tapis. Tidak seorang pun akan tinggal hidup dan kembali ke keluarganya.”

Agung Sedayu tidak menjawab lagi. Tetapi ia pun segera mempersiapkan diri menghadapi segala kemungkinan. Namun ternyata pedang Agung Sedayu itu justru telah dilepaskannya. Melawan seorang yang berilmu mumpuni, maka Agung Sedayu tidak akan dapat mempergunakan sebilah pedang biasa, yang akan dengan mudah patah membentur ilmu lawannya.

Sejenak kemudian keduanya telah berhadapan dalam kesiagaan tertinggi. Keduanya tidak mau lengah pada benturan pertama, meskipun rasa-rasanya mereka masih ingin menjajagi kemampuan lawannya. Tetapi jika lawannya langsung mengerahkan segenap ilmunya, maka yang lain harus melakukan hal yang sama.

Tetapi Kumbang Talangkas tidak dengan serta merta mengerahkan ilmu puncak. Yang mula-mula ingin diketahui adalah kecepatan gerak Agung Sedayu, sehingga karena itu, maka iapun telah berloncatan menyerang.

Namun ternyata bahwa kecepatan gerak Kumbang Talangkas tidak melampaui kemampuan gerak anak muda yang bernama Agung Sedayu itu. Serangan-serangan yang datang beruntun dapat dihindarinya, sehingga sama sekali tidak menyentuh kulitnya.

Tetapi Kumbang Talangkas tidak segera mengaguminya, karena yang dilakukan baru tataran pertama dari iImunya, la masih akan mampu meningkatkan ilmunya sampai satu batas yang berlipat ganda.

Perlahan-lahan Kumbang Talangkas meningkatkan ilmunya sambil mengamati lawannya. Apakah anak muda itu mampu mengikuti perkembangan tingkat ilmunya itu sebagaimana dilakukannya. Selanjutnya Kumbang Talangkas ingin tahu, sampai dimana batas tertinggi kemampuan Agung Sedayu, sehingga ia mampu membunuh Ki Tumenggung Prabadaru yang dianggap sebagai salah seorang senapati yang sangat ditakuti di Pajang.

Dalam pada itu, murid Kumbang Talangkas tengah bertempur dengan sengitnya melawan Sekar Mirah. Tongkat baja putih Sekar Mirah berputaran dengan cepatnya, berdesing di telinga Sambijaya, namun kadang-kadang desir angin ayunannya terasa nenyentuh kulit lengannya.

“Perempuan ini memang perempuan yang luar biasa,” berkata Sambijaya di dalam hatinya. Sebenarnyalah, bahwa semakin lama tata gerak Sekar Mirah pun menjadi semakin cepat, sehingga dengan demikian maka Sekar Mirah telah mampu mengimbangi kemampuan lawannya. 

Tetapi, Ki Linduk yang merasa tersinggung sejak semula, karena lawannya hanya seorang perempuan betapapun tinggi ilmunya, telah mengerahkan kemampuannya. Adalah satu aib yang besar, bahwa seorang petualang yang bernama besar sebagaimana Ki Linduk akan dikalahkan oleh seorang perempuan. Karena itu, semakin lama ujud dari ilmu Ki Linduk yang sebenarnya menjadi semakin jelas. Gerak dan sikapnya menjadi semakin keras dan kasar. Bahkan sekali-sekali terdengar orang itu berteriak dengan kerasnya sambil meloncat bagaikan hendak menerkam.

Tetapi Sekar Mirah yang mempunyai pengalaman yang cukup luas, berusaha untuk menyesuaikan diri. Meskipun ia adalah seorang perempuan, namun iapun pernah menjumpai lawan yang keras dan kasar sebagaimana, yang dihadapinya pada waktu itu.

Ki Linduk yang kemudian menjadi tidak sabar menghadapi lawannya, telah menghentakkan segenap ilmunya. Senjatanya pun berputaran sebagaimana tongkat baja putih Sekar Mirah. Namun, senjata Ki Linduk yang dipergunakan untuk menghadapi tongkat baja putih itu adalah senjata yang selalu dipergunakan. la lebih senang memergunakan pedang sebagaimana pedang para pengikutnya.

Namun dalam keadaan yang sulit, maka pedang itu pun dilepaskannya. la menarik sepasang bindi besi kecil yang menurut pendapatnya lebih sesuai untuk menghadapi tongkat baja putih Sekar Mirah.

Dengan demikian, maka sejenak kemudian, kedua tangan Ki Linduk itu sudah berputaran sepasang bindi yang berwarna kehitam-hitaman. Bindi yang bergerigi memanjang hampir sepanjang tubuh bindi itu, kecuali pada tangkainya.

Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Bindi itu merupakan senjata keras sebagaimana senjatanya. Karena itu, maka Sekar Mirah sudah dapat menduga, bahwa Ki Linduk benar-benar ingin bertempur dengan mengerahkan segenap kekuatannya. Ki Linduk ingin membenturkan senjata mereka masing-masing dengan sepenuh tenaga yang ada, dilambari dengan kekuatan ilmu yang jarang ada bandingannya.

Karena itu, Sekar Mirah pun telah bersiap sepenuhnya. la mengerti jalan pikiran Ki Linduk. Orang itu menduga, bahwa karena ia seorang perempuan, maka ia mempercayakan kemampuannya kepada kecepatan geraknya.

Tetapi Sekar Mirah pun percaya akan kekuatan diri. Latihan-latihan yang berat telah menempanya. Pada saat-saat ia akan memasuki barak dan kemudian secara tetap memberikan latihan-latihan kepada para pengawal dalam pasukan khusus, telah mendorongnya untuk mempersiapkan diri sebaik-baiknya. Dengan teratur dan terus-menerus, ia meningkatkan ilmunya dan kekuatan tubuhnya, memperbesar tenaga cadangan yang ada pada dirinya, serta membentuk kemungkinan-kemungkinan yang sulit dijajagi orang lain dalam benturan ilmu.

Karena itu, aka Sekar Mirah pun telah siap sepenuhnya menghadapi senjata keras lawannya yang berputar semakin lama semakin keras itu.

Ternyata perhitungan Sekar Mirah benar. Bagi Ki Linduk, betapa pun kuatnya seorang perempuan, namun akan sulit baginya untuk mengimbangi kekuatan seorang laki-laki, apalagi seorang laki-laki yang berilmu tinggi.

Dengan perhitungan itulah, maka seperti yang diduga oleh Sekar Mirah, maka Ki Linduk pun kemudian menyerang dengan kedua bindinya tanpa menghiraukan apakah sikapnya pantas dilakukan di hadapan seorang perempuan meskipun di medan perang. Dengan kasarnya Ki Linduk meloncat-loncat sambil berteriak. Sepasang bindi terayun-ayun mengerikan. Sekali-sekali bindi itu menyerang dalam ayunan mendatar, namun tiba-tiba bindi itu berubah arah, berputar dengan dahsyatnya melibat lawannya.

Tetapi Sekar Mirah cukup cepat bergerak. Namun sekali terjadi, ayunan bindi lawannya hampir saja menyentuh pelipisnya. Dengan cepat Sekar Mirah memiringkan tubuhnya sambil menarik kepalanya. Namun dengan cepat pula bindi yang lain telah terayun mendatar menyambar dada.

Sekar Mirah sempat meloncat surut. Tetapi agaknya hal itu sudah diperhitungkan oleh Ki Linduk. Karena itu, demikian Sekar Mirah terlontar dari tempatnya, Ki Linduk pun telah meloncat memburu dengan cepat sekali. Justru pada saat kaki Sekar Mirah menyentuh tanah, maka bindi yang berada di tangan kanan Ki Linduk telah terayun langsung ke arah dahi.

Tidak ada kesempatan untuk menghindar. Karena itu, maka dengan lambaran kekuatan cadangan yang ada pada dirinya dalam hentakkan ilmunya, Sekar Mirah telah memukul bindi itu dengan tongkat baja putihnya.

Yang terjadi adalah benturan yang dahsyat sekali. Benturan yang tidak diduga sebelumnya oleh orang yang bernama Ki Linduk, seorang petualang yang memiliki ilmu yang tinggi.

Bindi yang bergerigi membujur sepanjang tubuh bindi itu selain pada tangkainya, yang telah membentur tongkat baja putih Sekar Mirah yang diterimanya dari gurunya Ki Sumangkar, telah menggetarkan jantung kedua belah pihak. Bunga-bunga api yang memercik dari titik benturan itu berloncatan di udara, sementara terasa telapak tangan kedua orang yang saling membenturkan senjatanya itu menjadi pedih. Hampir saja bindi Ki Linduk itu terloncat dari genggaman. Namun untunglah, betapapun pedihnya tangannya, namun Ki Linduk berhasil menyelamatkan senjatanya. Sementara Sekar Mirah berdesis menahan sakit pada telapak tangannya.

Dengan serta merta, keduanya telah berloncatan surut. Sejenak keduanya berdiri menegang, sementara telapak tangan mereka masih saja terasa sakit.

“Iblis betina,” geram Ki Linduk, “ternyata kau memiliki kekuatan jauh di atas dugaanku.”

Sekar Mirah tidak menjawab Dipandanginya wajah Ki Linduk dengan tajamnya. Namun dengan demikian Sekar Mirah pun menyadari bahwa lawannya adalah seorang yang memiliki ilmu yang tinggi. Sehingga dengan demikian, maka untuk selanjutnya, maka Sekar Mirah pun harus mempersiapkan ilmu puncaknya untuk menghadapi lawannya yang tentu akan mengerahkan ilmunya pula.

Dalam pada itu, pertempuran di seluruh medan menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak telah mulai dibasahi oleh keringat, bahkan beberapa orang telah menjadi basah oleh darah.

Di induk pasukan, para prajurit yang terseret oleh mimpi Ki Tumenggung Purbarana telah bertempur dengan segenap kemampuan mereka. Sebagai prajurit, maka mereka mempunyai pengalaman bertempur dalam gelar, meskipun gelar yang sederhana. Tetapi ternyata bahwa para pengikut Ki Tumenggung Purbarana itu mampu menunjukkan kepada lawannya bahwa mereka benar-benar prajurit yang terlatih. Dengan mantap mereka bertempur dalam kerja sama yang saling mengisi dan saling membantu, sebagaimana prajurit bertempur dalam gelar.

Namun lawan mereka pun adalah prajurit-prajurit Mataram dari pasukan khusus yang ditempa dengan sungguh-sungguh untuk dapat melaksanakan tugasnya dengan sebaik-baiknya. Mereka pun mempunyai pengalaman yang cukup untuk menghadapi pertempuran yang keras dan garang. Karena itu, maka mereka sama sekali tidak tergetar menghadapi para prajurit Pajang yang menjadi pengikut Ki Tumenggung Purbarana.

(dalam cetakan buku asli terdapat bagian yang hilang di sini)

itu menjadi semakin sengit. Anak-anak muda terpilih dari Tanah Perdikan Menoreh pun berusaha untuk menyesuaikan diri dengan kerasnya pertempuran, sehingga karena itu, maka mereka yang merasa dirinya kurang berpengalaman telah bertempur berpasangan.

Agak berbeda dengan di induk pasukan, maka di sayap pasukan, pertempuran benar-benar menjadi keras dan kasar. Seakan-akan tidak ada batas lagi antara kawan dan lawan.

Para pengikut Ki Linduk dan Ki Warak Ireng sama sekali tidak terbiasa bertempur dengan gelar. Yang biasa mereka lakukan dalam kelompok-kelompok yang besar atau kecil adalah bertempur campur baur antara kawan dan lawan. Karena itu, maka di kedua sayap telah terjadi perang brubuh yang kisruh.

Mula-mula para prajurit muda Mataram dari pasukan khusus dan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh merasa agak canggung menghadapi lawan yang kasar dan bahkan liar. Tetapi mereka juga mendapat latihan perang dalam gelar dan bertempur secara pribadi, maka dengan cepat merekapun segera menyesuaikan diri. Para prajurit dari pasukan khusus itu telah ditempa pula dalam keadaan yang paling sulit yang mungkin mereka hadapi. Latihan-latihan untuk membentuk tubuh mereka dan meningkatkan kekuatan mereka telah mereka lakukan dengan sebaik-baiknya, sebelum pasukan khusus itu harus turun di medan pertempuran melawan Pajang di Prambanan.

Karena itu, maka merekapun tidak lagi merasa terlalu terikat dalam kerja sama dengan seluruh pasukan dalam gelar. Tetapi mereka menempatkan diri dalam pertempuran seorang melawan seorang.

Seperti di induk pasukan, maka anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh pun berusaha untuk menyesuaikan diri mereka dengan keadaan di sekitar mereka. Pertempuran yang menjadi semakin luas, dan sama sekali tidak mengingat paugeran apapun yang pernah ada bagi pertempuran yang terjadi antara dua pasukan.

Di dalam hiruk pikuk pertempuran itu, Glagah Putih telah mengerahkan segenap ilmu yang pernah diterimanya untuk menghadapi Ki Warak Ireng. Ternyata Ki Warak Ireng tidak ingin kehilangan terlalu banyak waktu untuk menghadapi anak-anak yang menurut perhitungannya masih terlalu muda untuk menempatkan diri menjadi lawannya. Karena itu, Warak Ireng yang merasa terhina oleh sikap yang dianggapnya terlalu sombong itu, telah berusaha secepatnya mengakhiri perlawanan anak itu.

Tetapi ternyata Warak Ireng telah salah menilai. Anak muda itu tidak terlalu mudah untuk di selesaikannya. Anak muda itu memiliki kecepatan gerak yang mengagumkan. Bahkan dalam benturan-benturan senjata, anak itu memiliki kekuatan yang luar biasa.

“Apakah anak ini demit,” geram Ki Warak Ireng.

Namun sebenarnyalah, Glagah Putih mampu bergerak secepat burung sikatan. Warak Ireng yang berusaha menerkamnya sama sekali tidak berhasil menyentuhnya. Glagah Putih dengan tangkasnya berloncatan mengintari lawannya. Menyerang dari arah yang tidak terduga-duga. Kemudian melejit menghindar beberapa langkah surut. Namun yang dengan tiba-tiba saja telah terbang menyambarnya seperti seekor burung elang.

Warak Ireng yang marah itu sekali-sekali berteriak untuk melepaskan sesak di dadanya oleh kemarahan yang menghentak-hentak. Rasa-rasanya ia tidak menghadapi seorang anak muda dalam benturan ilmu, tetapi rasa-rasanya bagaikan seorang pemburu yang tidak mempunyai kemampuan untuk menguasai buruannya, yang kadang-kadang justru telah menyerangnya.

Namun, lambat laun Warak Ireng tidak dapat untuk tetap menganggap bahwa lawannya adalah sekedar seekor kelinci yang lincah yang sempat menghindari terkaman tangannya yang kuat. Tetapi anak muda itu adalah benar-benar seekor burung rajawali yang kuat dan kuku-kukunya yang tajam, menyambarnya dari segala penjuru.

“Anak setan ini harus dibunuh,” geram Warak Ireng. “Jika tidak, kelak ia akan menjadi orang yang sangat berbahaya.”

Dengan demikian, maka Warak Ireng benar-benar telah mengarahkan segenap kemampuannya untuk membinasakan anak muda yang baginya bagaikan harimau yang besar dan garang. Karena itu, sebelum anak itu sempat menakuti orang-orang dari lingkungan sebagaimana lingkungannya, maka anak itu harus dibunuhnya.

Tetapi, membunuh Glagah Putih bukan satu pekerjaan yang mudah. Meskipun serangan-serangan Warak Ireng kemudian datang bagaikan badai, namun Glagah Putih masih sempat menghindarkan dirinya dari sentuhan kekuatan lawannya.

Tetapi sebenarnyalah, Warak Ireng mempunyai pengalaman yang jauh lebih banyak dari Glagah Putih. Sementara itu, tempaan selama hidup petualangannya telah membuatnya menjadi orang yang luar biasa. Tenaganya menjadi sangat kuat, dialasi dengan tenaga cadangannya. Kemampuan bergerak cepat seakan-akan melampaui kemampuan pengamatan mata wadag.

Glagah Putih memang mampu mengimbangi kecepatan gerak Warak Ireng. lapun memiliki kekuatan yang sangat besar, karena Glagah Putih dalam latihan-latihannya yang berat, berhasil membangun kekuatan cadangannya sebaik-baiknya jika diperlukan. Tetapi pengenalannya atas jenis ilmu lawannya dan pengalamannya menghadapi ilmu yang kasar dan buas itu masih belum mencukupi.

Dengan demikian, perlahan-lahan Glagah Putih telah terdesak. Sekali-sekali ia menjadi bingung melihat sikap lawannya yang sama sekali tidak diduganya. Bahkan sama sekali di luar perhitungan nalarnya.

Sementara itu, pertempuran di sekitarnya semakin lama menjadi semakin dahsyat pula. Para pengikut Warak Ireng memang bertempur sebagaimana dilakukan oleh pemimpinnya. Kasar, buas dan liar. Namun para prajurit dari pasukan khusus berusaha untuk dapat mengimbangi tingkah laku lawannya, bahkan mereka mempunyai kemampuan berpikir dan membuat perhitungan lebih baik dari lawan-lawan mereka.

Di bagian lain dari arena pertempuran yang ribut, Kiai Jayaraga bertempur melawan guru Warak Ireng yang pernah dikenalnya sebelumnya. Keduanya memang orang-orang yang berilmu tinggi. Sehingga dengan demikian, maka pertempuran di antara mereka sulit untuk dapat dimengerti oleh para pengikut Warak Ireng dan oleh anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan oleh para prajurit dari pasukan khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh.

Kedua orang itu tidak berloncatan sambil mengayunkan senjata. Tidak pula membenturkan pukulan-pukulan mereka secara wadag. Namun ternyata keduanya telah memasuki pertempuran dalam benturan ilmu yang sulit dijajagi dengan indra kewadagan.

Kedua orang itu memang tidak terlalu banyak bergerak. Keduanya bergeser selangkah-selanglah. Namun tiba-tiba dari tubuh mereka bagaikan terlontar kekuatan yang kurang dapat dipahami ujudnya. Namun yang tiba-tiba mempunyai kekuatan bagaikan sergapan segumpal api yang dapat membakar.

Tetapi lawannya dengan tangkasnya dapat menghindarkan diri. Hampir tidak nampak gerak apa pun juga dari ujung jari kakinya sampai ke ujung rambut. Tetapi tiba-tiba saja ia sudah tidak lagi berada di tempatnya.

Kiai Jayaraga memang memiliki kekuatan yang dapat disadapnya dari kekuatan yang ada di bentangan alam ini. Kekuatan air, api, udara dan yang tersimpan di dalam bumi. Lontaran-lonteran kekuatan serta ungkapan-ungkapan tenaganya kadang-kadang sulit untuk dimengerti.

Namun Punta Gembong adalah seorang yang jarang ada duanya. Lontaran serangannya kadang-kadang diungkapkan lewat suaranya. Orang itu seakan menggeram dan mengaum bagaikan seekor singa. Namun dari getar suaranya seolah-olah udara menjadi bergelombang melanda lawannya. Gelombang yang dahsyat itu mempunyai kekuatan yang luar biasa. Kekuatan yang dapat melemparkan sasarannya sampai berpuluh-puluh langkah.

Tetapi Kiai Jayaraga kakinya bagaikan berpegang pada kekuatan bumi. Meskipun tubuhnya seakan-akan terguncang dan terdorong oleh gelombang ungkapan kekuatan Punta Gembong, tetapi kakinya seolah-olah telah melekat pada bumi, sehingga dengan demikian, maka Kiai Jayaraga itu tidak tergeser sejengkal pun dari tempatnya.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja Kiai Jayaraga seakan-akan telah menghembuskan sesuatu dari celah-celah bibirnya. Tiba-tiba saja tanah tempat Punta Gembong berpijak itu bagaikan meledak. Batu-batu padas berserakan berterbangan di sekitar ledakan itu.

Tetapi ternyata bahwa Punta Gembong sudah tidak berdiri di tempatnya. Tidak terlihat oleh mata wadag, kapan ia telah meloncat menyingkir dari ledakan yang akan dapat meremukkan tubuhnya itu.

Dengan demikian maka pertempuran antara kedua orang itu telah menyibukkan para pengikut Warak Ireng dan para prajurit dari Mataram dan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang sedang bertempur. Mereka tidak mau terpercik ilmu yang dahsyat itu yang akan dapat meremukkan tubuh mereka menjadi berkeping-keping.

Bahkan kadang-kadang satu dua orang di antara mereka yang sedang bertempur itu justru membeku menyaksikan pertempuran yang aneh antara kedua orang tua yang memiliki ilmu yang luar biasa itu. Kadang-kadang dua orang yang bertempur, seakan-akan saling memberikan kesempatan kepada lawannya untuk melihat satu keajaiban yang terjadi di arena itu.

Namun apabila mereka menyadari keadaan masing-masing, dengan tiba-tiba saja keduanya telah berloncatan saling menyerang, sehingga pertempuran telah terjadi dengan sengitnya.

Dengan demikian, maka telah terjadi satu arena yang seakan-akan memang disediakan khusus bagi Kiai Jayaraga dan Ki Punta Gembong. Pertempuran diantara para pengikut Ki Warak Ireng dengan para prajurit Mataram serta anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh telah menyibak beberapa puluh langkah.

Sementara itu, di induk pasukan, Ki Bagaswara telah berhadapan dengan murid saudara seperguruannya. Dengan Kiai Santak ditangan, maka Ki Tumenggung Purbarana memang menjadi sangat garang. Jika keris itu di ayunkan, maka rasa-rasanya udara yang mengandung api telah menerpa tubuh Kiai Bagaswara, sehingga karena itu, maka setiap kali Kiai Bagaswara harus berusaha untuk meloncat menghindari garis serangan keris Kiai Santak.

“Luar biasa,” desis Kiai Bagaswara, “keris Kiai Santak memang luar biasa.”

Sebenarnyalah bahwa Kiai Bagaswara mengenal pusaka pemberian gurunya itu memang merupakan pusaka yang luar biasa. Apalagi Purbarana memang sudah memiliki seluruh dasar ilmu perguruannya, meskipun masih harus dikembangkan di dalam dirinya. Dengan modal itulah, maka ia benar-benar merupakan orang yang sangat berbahaya di medan pertempuran.

Untunglah bahwa yang menghadapinya adalah paman gurunya yang mengenal ilmu Ki Tumenggung Purbarana sebagaimana gurunya sendiri mengenalinya. Karena itu, maka betapapun juga Ki Tumenggung Purbarana mengerahkan ilmunya, namun paman gurunya mampu mengatasinya.

Meskipun demikian, pangaruh keris Kiai Santak memang terasa sulit diatasi oleh Kiai Bagaswara. Keris itu rasa-rasanya mampu memancarkan kekuatan yang dapat mempengaruhinya. Jika pengaruh keris itu menyentuhnya, maka rasa-rasanya kekuatannya menjadi susut. 

Karena itulah, maka Kiai Bagaswara harus berusaha untuk menghindari garis pengaruh keris lawannya. Sebagai saudara seperguruan dari pemilik keris itu, maka Kiai Bagaswara serba sedikit dapat mengenali pula watak keris yang bernama Kiai Santak itu.

Di sayap yang sebelah, Sekar Mirah bertempur dengan dahsyatnya. Sementara itu, di bagian lain dari sayap itu, Agung Sedayu berhadapan langsung dengan Kumbang Talangkas yang dengan hati-hati menghadapi anak muda yang telah mampu membunuh Ki Tumenggung Prabadaru itu.

Tetapi Ki Tumenggung Prabadaru bukan orang yang menakutkan bagi Kumbang Talangkas. Bahkan ia merasa, bahwa muridnya Ki Sambijaya akan dapat mengalahkan Tumenggung itu apabila ia mendapat kesempatan.

Karena itu, meskipun ia bertempur dengan sangat hati-hati, namun ada sepercik kebanggaan di dalam dirinya, bahwa pada akhirnya ia akan dapat membunuh anak muda yang bernama Agung Sedayu, yang telah mampu membunuh Ki Tumenggung Prabadaru, namun yang dalam pertempuran itu, Agung Sedayu sendiri telah mengalami luka-luka yang cukup berat di dalam tubuhnya.

Tetapi sebenarnyalah bahwa kemampuan Agung Sedayu telah semakin meningkat. Setelah ia sembuh dari luka-luka di bagian dalam tubuhnya, sambil menunggu kitab yang saat itu sedang berada di tangan Swandaru, Agung Sedayu telah mematangkan ilmunya berlandaskan pada ilmu yang sudah ada di dalam dirinya, serta isi kitab Ki Waskita yang seakan-akan sudah terpahat di dinding jantungnya. Apalagi ketika ia sudah mendapat kesempatan mengamati dan kemudian mematrikan dalam ingatannya, isi kitab gurunya. Kiai Gringsing

Saat-saat itu, ternyata telah menempa Agung Sedayu lahir dan batin, sehingga ilmunya telah melesat semakin tinggi.

Dalam keadaan yang demikian itulah, Agung Sedayu berhadapan dengan Ki Kumbang Talangkas, yang merasa dirinya memiliki kelebihan dari lawannya.

Namun dalam pada itu, ternyata Kumbang Talangkas menjadi berdebar-debar. Ia sudah meningkatkan ilmunya hampir sampai ke batas puncaknya. Namun ternyata bahwa Agung Sedayu masih mampu mengimbanginya. Bahkan ketika Kumbang Talangkas ingin menunjukkan kepada Agung Sedayu satu jenis ilmu yang tentu akan sangat mengherankannya, ilmu yang menjadikannya mampu bergerak secepat sikatan menyambar bilalang, justru Kumbang Talangkas sendiri yang menjadi kecewa.

Ternyata bahwa lawannya yang muda itu, mampu mengimbangi kecepatan geraknya. Agung Sedayu telah menghindari serangan Kumbang Talangkas yang datang melandanya bagaikan angin prahara. Bahkan Agung Sedayu mampu bergerak bagaikan tubuhnya telah kehilangan bobot. Kakinya dengan tangkas melontarkan tubuhnya berloncatan seakan-akan kakinya tidak menyentuh tanah. Bahkan yang dilihat oleh Kumbang Talangkas adalah satu hal yang tidak dapat dimengertinya. Agung Sedayu kecuali mampu bergerak cepat sekali, maka iapun mampu melemparkan tubuhnya melampaui kemampuan jangkau Kumbang Talangkas.

“Apakah anak ini dapat terbang?” pertanyaan itu tiba-tiba telah menggelitik hati Kumbang Talangkas. Ternyata bahwa ilmu Kumbang Talangkas yang dapat mendorongnya untuk bergerak dengan kecepatan yang sulit untuk diikuti dengan pandangan mata wadag, sama sekali tidak menyulitkan kedudukan Agung Sedayu. Kumbang Talangkas sama sekali tidak menduga, bahwa Agung Sedayu mempunyai kemampuan untuk membuat dirinya seakan-akan kehilangan bobot sehingga berlandaskan ilmunya yang lain, maka pemanfaatan dari ilmunya untuk meringankan tubuhnya itu menjadi sangat berarti.

Dengan demikian, maka pertempuran antara Kumbang Talangkas dan Agung Sedayu itu semakin lama menjadi semakin dahsyat. Namun mereka masih berada dalam batas pertempuran yang melibatkan seluruh kewadagannya.

Karena itu maka keduanya masih nampak saling menyerang dan menghindar, meskipun gerakan mereka semakin sulit dan aneh.

Tetapi, orang-orang yang bertempur di antara mereka di sayap itu, masih melihat keduanya berloncatan, meskipun kadang-kadang dengan kecepatan yang tidak masuk akal.

Namun, kemampuan mereka pun semakin lama semakin berkembang. Kumbang Talangkas yang menjumpai perlawanan yang tidak terduga itu akhirnya menggeram, “Kau memang luar biasa anak muda. Inilah agaknya Agung Sedayu yang mampu membunuh Ki Tumenggung Prabadaru. Tetapi sayang, bahwa aku bukan Prabadaru yang kehilangan akal melihat kau meloncat melampaui jangkauan tanganku.”

Jawaban Agung Sedayu membuatnya semakin marah, seakan-akan Agung Sedayu sengaja mengejeknya. Katanya, “Aku mengerti bahwa kau tidak menjadi bingung dan kehilangan akal. Dan karena itu aku tidak boleh menjadi lengah.”

“Persetan!” Kumbang Talangkas berteriak. Namun terasa oleh Agung Sedayu, bahwa teriakan lawannya bukan lagi teriakan yang biasa. Suaranya mengandung satu getaran yang seakan-akan menghentak jantungnya.

Dengan cepat Agung Sedayu mengatur dirinya, membangunkan kekuatan untuk melawan serangan Kumbang Talangkas yang mulai merambah pada lontaran ilmunya yang jarang ada duanya.

Ternyata bahwa serangan itu tidak berpengaruh sama sekali atas Agung Sedayu. Ia masih mampu bertempur sebagaimana sebelumnya. Tidak ada tanda-tanda bahwa dadanya mengalami guncangan oleh serangan ilmunya lewat suaranya.

Maka Kumbang Talangkas pun menjadi semakin berhati-hati. Lawannya ternyata benar-benar seorang anak muda yang memiliki ilmu yang tinggi.

Dengan demikian, maka Kumbang Talangkas tidak lagi mempercayakan serangan pada unsur kewadagannya, betapapun dilambari dengan kekuatan cadangan. Karena ia yakin, bahwa lawannya akan selalu dapat mengimbanginya. Perlahan-lahan ia mulai merambah ke ilmunya yang sulit dimengerti oleh orang-orang kebanyakan.

Agung Sedayu yang untuk beberapa saat terakhir selalu menekuni ilmunya di dalam sanggar, apalagi setelah ia mendapat kesempatan untuk membaca kitab gurunya, ternyata telah membentuknya menjadi seorang yang semakin matang. Ilmunya seakan-akan dipergunakan sesuai dengan keinginannya. la menguasai ilmu dari gurunya, ilmu dari ayahnya yang dipelajarinya di dinding goa meskipun ia kehilangan bagian terakhir, namun oleh ketajaman penglihatan hatinya, maka bagian yang hilang itu akhirnya dapat diketemukannya di dalam ketekunan pencariannya lewat ketajaman nalar budinya. Sementara itu, ia telah mendapat kesempatan untuk mempelajari isi kitab Ki Waskita yang rumit namun memiliki daya kekuatan yang sangat tinggi, sebelum ia sempat menelaah isi kitab gurunya sendiri.

Dengan demikian, maka Agung Sedayu benar-benar telah siap untuk melawan orang yang bernama Kumbang Talangkas itu, yang ternyata memiliki ilmu yang sangat tinggi pula.

Semakin lama Kumbang Talangkas semakin sedikit bergerak. Tetapi serangan-serangannya terlontar lewat ilmunya yang sulit bandingannya. Ketika ia dengan kecepatan yang tinggi menyerang, maka dengan kecepatan yang sama Agung Sedayu telah meloncat mengelak.

Namun, demikian Kumbang Talangkas meluncur lewat di sisinya tanpa berhasil menyentuhnya, terasa kekuatan yang luar biasa telah menolaknya.

Agung Sedayu terkejut mengalami tolakan kekuatan yang sangat besar itu. Sementara itu ia masih belum siap membenturkan kekuatannya. Karena itu, maka dibiarkannya dirinya terdorong oleh kekuatan itu, sementara ia sempat meningkatkan pengetrapan ilmu kebalnya, sehingga ketika ia terbanting jatuh, tubuhnya sama sekali tidak mengalami sesuatu.

Kumbang Talangkas melihat Agung Sedayu terlempar ke samping. Ia pun melihat anak muda itu terbanting jatuh.

Sesaat Kumbang Talangkas melihat kemenangan kekuatan ilmunya atas ilmu anak muda itu. Dengan bangga ia melihat Agung Sedayu terguling beberapa kali. Dengan kecepatan yang tinggi, ia sempat meloncat mendekat dan berdiri bertolak pinggang sambil berteriak, “O, itukah yang disebut senapati besar yang menggetarkan Mataram?”

Tidak terdengar jawaban. Agung Sedayu yang terguling beberapa kali, perlahan-lahan bangkit berdiri. la sempat melihat pertempuran di sekitarnya. la sadar, bahwa beberapa orang prajurit dari pasukan khusus dan anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh sempat memperhatikannya dengan cemas.

Namun Agung Sedayu tidak ingin mengecewakan mereka, agar mereka tidak menjadi berkecil hati. Karena itu, maka Agung Sedayu itupun kemudian menggeliat sambil berkata, “Satu permainan yang mengasikkan. He, Kiai. Darimana Kiai menyerap kekuatan aneh itu. Serangan Kiai sama sekali tidak menyentuh sasaran. Tetapi ternyata Kiai masih mempunyai kekuatan yang luar biasa yang mampu mendorong dan bahkan melemparkan aku sejauh ini.”

Kumbang Talangkas mengerutkan keningnya. la melihat Agung Sedayu berdiri tegak. Sama sekali tidak menunjukkan bahwa ia mengalami sesuatu pada tubuhnya meskipun ia terbanting jatuh dan berguling beberapa kali.

“Anak Muda,” geramnya, “kau memang seorang yang luar biasa. Kau sama sekali tidak terluka meskipun kau terbanting jatuh karena kau telah terlempar oleh kekuatan ilmuku.”

“Karena justru aku tidak melawan kekuatan ilmumu itu Kiai,” jawab Agung Sedayu, “aku terbebas dari benturan yang dapat melukai bagian dalam tubuhku.”

Kumbang Talangkas mengangguk-angguk. Diamatinya orang yang bernama Agung Sedayu itu dengan saksama. Kemudian dengan nada dalam ia berkata, “Ternyata kau bukan orang yang sekedar menyombongkan diri. Mungkin kau berhasil menghindari benturan ilmu karena kau belum siap, sehingga dengan demikian justru kau tidak mengalami luka di bagian dalam tubuhmu. Tetapi ternyata bahwa kulitmupun sama sekali tidak tergores oleh batu padas yang runcing. Kulitmu tetap utuh seperti semula.”

“Aku berusaha untuk jatuh dengan mapan,” jawab Agung Sedayu.

Kumbang Talangkas mengangguk-angguk. Katanya, “Mungkin kau mempunyai kemampuan untuk menempatkan diri selagi kau terjatuh oleh lontaran ilmuku. Tetapi ada kemungkinan lain. Mungkin kau memang memiliki satu lapis ilmu yang dapat melindungi dirimu.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi bahwa Kumbang Talangkas dapat melihat kemungkinan itu adalah wajar sekali. Penglihatan batin orang itu tentu sangat tajam sebagaimana orang-orang berilmu tinggi lainnya.

Namun dengan demikian Agung Sedayu harus menjadi lebih berhati-hati. Jika orang itu yakin bahwa Agung Sedayu memiliki ilmu kebal, maka ia akan mempergunakan puncak ilmunya, karena ia merasa tidak akan dapat menembus ilmu kebal itu jika ia tidak merambah sampai ke puncak ilmunya itu.

Demikianlah, maka sebenarnya sebagaimana diduga oleh Agung Sedayu. Kumbang Talangkas tidak lagi bernafsu untuk bertempur mempergunakan wadagnya. Tetapi ia benar-benar ingin membenturkan ilmunya. Seberapa jauh orang yang disebut Agung Sedayu itu mampu mengimbangi ilmunya.

Meskipun demikian, bukan berarti bahwa Kumbang Talangkas sama sekali tidak mempergunakan tubuhnya. Ketika ia melihat Agung Sedayu sudah bersiap, maka tiba-tiba saja Kumbang Talangkas itu menjulurkan tangannya.

Demikian tiba-tiba. Namun Agung Sedayu sempat melihatnva. Karena itu maka iapun segera meloncat dari garis serangan. la sadar bahwa serangan yang demikian tentu akan mempunyai akibat yang gawat bagi dirinya.

Tetapi ternyata bahwa pengaruh serangan itu benar-benar luar biasa. Meskipun Agung Sedayu sudah berhasil meloncat menyingkir dari garis senangan, namun terasa angin yang sangat kuat telah mendorongnya.

Sekali lagi Agung Sedayu tidak membentur kuatan itu dengan kekuatannya yang manapun juga. la membiarkan diri terlempar dan jatuh terbanting di tanah. Namun dengan lambaran ilmu kebalnya Agung Sedayu sama sekali tidak terluka.

Tetapi ternyata bahwa Agung Sedayu tidak mendapat kesempatan lebih banyak lagi. Belum lagi ia sempat melenting berdiri, maka serangan itupun telah datang lagi. Demikian cepatnya, sehingga Agung Sedayu tidak sempat rnengelakkan diri dari garis serangan Kumbang Talangkas.

Ternyata akibatnya terasa dahsyat sekali. Sekali lagi Agung Sedayu bagaikan dilemparkan oleh kekuatan angin. Tetapi ternyata bahwa kekuatan itu tidak hanya melemparkannya. Tetapi rasa-rasanya tubuh Agung Sedayu bagaikan dihimpit oleh kekuatan yang sangat besar.

Dengan kemampuan ilmunya Agung Sedayu bertahan, sehingga dadanya tidak retak karenanya. Namun untuk sesaat, nafasnya memang terasa sesak.

Namun Agung Sedayu masih sempat berikir. la sadar, bahwa lawanya tentu akan melontarkan serangan lagi demikian ia terbanting jatuh di tanah. Lawannya tidak akan menunggu ia berguling beberapa kali, agar ia tidak sempat melenting meghindari serangan berikutnya.

Karena itu, selagi Agung Sedayu masih terayun di udara, maka iapun sempat menggeliat. Demikian cepat kakinya menggapai menyentuh tanah.

Ternyata sentuhan itu mempunyai akibat yang besar sekali baginya. Sentuhan itu telah berhasil melontarkan tubuhnya yang seakan-akan tidak lagi mempunyai bobot.

Karena itu, ketika Kumbang Talankas melancarkan serangannya, sesuai dengan perhitungannya tepat di tempat Agung Sedayu akan jatuh, maka ternyata Kumbang Talangkas tidak mengenai sasarannya. Agung Sedayu sudah melenting dan kemudian tegak beberapa langkah dari sasaran serangan Kumbang Talangkas.

Tapi Agung Sedayu tidak mau menjadi sasaran serangan tanpa berbuat sesuatu. la mampu memanfaatkan waktu yang sejenak, ketika untuk sekejap Kumbang Talangkas merenungi kegagalannya.

Namun yang sekejap itu telah dipergunakan oleh A gung Sedayu sebaik-baiknya. Demikian. ia tegak di atas tanah, maka iapun segera melontarkan serangannya lewat sorot matanya.

Serangan itu telah mengenai lawannya seakan-akan langsung mengorek sampai ke pusat jantung. Terasa sakit yang amat sangat telah meremas di dada Kumbang Talangkas. “Setan,” geramnya sambil meloncat menghindar. Tetapi ia tidak mampu mengimbangi kecepatan mata Agung Sedayu. Selagi Agung Sedayu masih mampu melihat geraknya, maka serangannya masih belum terlepas dari tubuhnya.

Tetapi Kumbang Talangkas tidak menyerah. Dalam keadaan yang sulit, karena ia tidak mendapat kesempatan untuk melontarkan ilmunya, maka tiba-tiba saja Kumbang Talangkas kembali mempergunakan unsur kewadagannya. Tiba-tiba saja tangannya telah bergerak sambil menyeringai menahan sakit.

Agung Sedayu sempat melihat. Ketajaman matanya yang memancarkan serangan itu sempat melihat beberapa benda meluncur ke arah matanya itu. Paser-paser kecil. Agung Sedayu terkejut. Tetapi gerak naluriahnya-lah yang telah mendorongnya untuk bergeser menyamping, meskipun ia sudah mengetrapkan ilmu kebalnya. Tetapi jika kemampuan lawannya mampu menembus ilmu kebal justru di arah mata, akibatnya akan sangat pahit.

Dua buah paser kecil meluncur dekat di sisi telinga Agung Sedayu. Namun sama sekali tidak menyentuhnya.

Kumbang Talangkas mengumpat. Anak muda itu ternyata mampu mengimbangi ilmunya. Bahkan kecepatan geraknya sampai membuatnya kagum.

Sesaat kemudian kedua orang itu telah tegak berdiri, saling berhadapan. Wajah mereka membayangkan ketegangan hati mereka. Namun keduanya agaknya selalu bersiap setiap saat menghadapi segala kemungkinan.

Namun dalam pada itu, ketika kedua orang itu sempat memperhatikan medan di sekitarnya, maka rasa-rasanya, keduanya justru telah terpencil. Mereka telah berada di luar medan yang seru, yang dengan sendirinya bergeser menjauhi kedua orang yang bertempur dengan cara yang jauh di luar jangkauan kemampuan mereka.

Beberapa saat mereka saling berpandangan. Namun terasa oleh Kumbang Talangkas, bahwa ia benar-benar menghadapi lawan yang luar biasa.

Tetapi ia selalu berusaha untuk membesarkan hatinya sendiri, “Aku tentu bukan Prabadaru yang menurut perhitunganku ilmunya tidak lebih dari muridku.”

Tetapi sebenarnyalah, bahwa menghadapi Agung Sedayu, Kumbang Talangkas benar-benar merasa membentur satu kemampuan yang sulit diimbangi. la sadar sepenuhnya, bahwa lawannya ternyata memiliki ilmu kebal. Setiap kali Agung Sedayu seakan-akan tidak pernah membentur kekuatannya. Dibiarkannya dirinya terlempar dan terbanting jatuh bahkan berguling-guling di atas batu padas. Tetapi hal itu sama sekali tidak berpengaruh, bahkan seakan-akan tak terasa sama sekali. Kulitnya tidak terluka dan tenaganya sama sekali tidak menjadi susut karenanya. Apalagi ketika terasa pandangan mata Agung Sedayu seakan-akan mengorek masuk menembus jantung. Maka Kumbang Talangkas itu semakin menyadari, bahwa di samping ilmu kebal, maka orang itu mempunyai ilmu pandangan matanya. Ketika kemudian ia mempergunakan semacam senjata rahasia dengan kecepatan tertinggi dapat yang dilakukannya, lawannya itu masih mampu menghindari.

Tetapi Kumbang Talangkas memiliki pengalaman yang sangat luas dalam petualangannya di dalam kelamnya dunia yang dirambahnya. Namun, betapapun tidak disukainya, Agung Sedayu ternyata memiliki pula pengalaman yang telah menempa dirinya menjadi semakin masak, di samping latihan-latihannya yang tekun.

Demikianlah, maka sejenak kemudian keduanya telah terlibat lagi dalam pertempuran yang dahsyat. Kumbang Talangkas telah melontarkan serangan badainya yang mampu melemparkan Agung Sedayu dan membantingnya di atas batu-batu padas, tetapi tanpa dapat melukainya. Sementara sekali-kali Agung Sedayu sempat juga menyerang dengan sorot matanya yang tajam, yang langsung menusuk sampai ke pusat jantung. Namun setiap kali lawannya masih mampu membebaskan dirinya dengan lontaran-lontaran kecil ke arah matanya.

Agung Sedayu menyadari, bahwa paser-paser kecil tidak dilontarkan dengan tenaga wajarnya. Dan ia pun yakin. bahwa paser itu mengandung racun. Meskipun Agung Sedayu mampu membebaskan dirinya dari pengaruh racun, tetapi ia masih belum dapat menjajagi apakah kekuatan lontar lawannya mampu menembus ilmu kebalnya, sehingga akan melukai matanya.

Tetapi ketika untuk menekan Agung Sedayu Kumbang Talangkas melontarkan ilmu semacam kekuatan ilmu Gelap Ngampar, Agung Sedayu sama sekali tidak terpengaruh olehnya, karena ilmu itu sama sekali tidak dapat menyusuip menyerang ke dalam indra batin Agung Sedayu yang dilindungi oleh kekuatan ilmunya pula.

“Jangan berteriak-teriak begitu,” desis Agung Sedayu ketika lawannya mencoba menggertaknya dengan ilmu yang dilontarkan lewat suaranya itu. Lalu, “Urat-urat di lehermu akan dapat putus karenanya.”

“Anak iblis!” Kumbang Talangkas berteriak lebih keras. Bahkan mengumpat. Tetapi ilmunya sama sekali tidak mempengaruhi Agung Sedayu.

“Bukan aku yang akan terpengaruh oleh teriakan-teriakanmu itu, tetapi justru orang-orangmu sendiri,” sahut Agung Sedayu.

Kumbang Talangkas benar-benar tersinggung karenanya. Namun ia tidak dapat berbuat banyak. Ia sudah mengerahkan segenap kemampuannya. Namu ia masih belum berhasil mengatasi anak muda yang bernama Agung Sedayu itu.

Dalam pada itu di induk pasukan, Ki Tumenggung sedang berjuang membinasakan paman gurunya, dengan Kiai Santak di tangannya, ia benar-benar seorang

(dalam cetakan buku asli terdapat bagian yang hilang di sini)

Seperti yang terjadi di sayap pasukan, maka orang-orang yang bertempur di sebelah-menyebelah telah menyibak. Sementara itu, kekuatan yang memancar dari Kiai Santak benar-benar telah mendesak Kiai Bagaswara.

Ketika Kiai Bagaswara terpaksa berloncatan dengan langkah-langkah panjang karena sentuhan udara panas yang seolah-olah dilontarkan oleh keris yang bernama Kiai Santak itu, maka rasa-rasanya ia memang tidak akan dapat berbuat terlalu banyak tanpa sipat kandel yang dapat mengimbangi kemampuan Kiai Santak. Ketika ia mencoba melontarkan serangan yang dapat mengguncang tubuh lawannya, ternyata bagaikan membentur perisai yang melindungi tubuh Ki Tumenggung Purbarana.

“Tentu karena kekuatan keris Kiai Santak,” desis Kiai Bagaswara.

Karena itu, maka Kiai Bagaswara tidak menunda lebih lama lagi. Kemudian maka untuk mengatasi kelebihan keris Kiai Santak, maka ia telah menarik sebilah senjata sejenis pedang yang disebut luwuk. Senjata yang juga diterima dari gurunya,` sebagaimana guru Purbarana menerimanya.

Di bagian lain di sayap pertempuran itu, Glagah Putih mulai mengalami kesulitan dengan lawannya. Warak Ireng bertempur dengan kasar dan buas. la sama sekali tidak mengekang dirinya sesuai dengan sifat dan wataknya, meskipun lawannya tidak lebih dari seorang anak yang masih muda sekali dibandingkan dengan dirinya sendiri.

Glagah Putih yang mulai terdesak itu menjadi bingung. la merasa bahwa ia memiliki kemampuan bergerak sebagaimana dimiliki oleh lawannya. la mampu meloncat bergeser dan menyerang secepat lawannya. Bahkan ia mampu menghindari serangan lawannya dengan kecepatan yang lebih tinggi dari kecepatan lawannya. Sementara itu dalam benturan kekuatan, Glagah Putih merasa bahwa kekuatannya tidak kalah dari kekuatan lawannya. Kekuatan cadangannya yang mendukung kekuatan wadagnya tidak kalah dari orang yang bernama Warak Ireng itu. Ketrampilannya menggerakkan senjatapun dapat diperbandingkan dengan lawannya. Bahkan kadang-kadang Glagah Putih menunjukkan ketangkasannya sehingga mengejutkan orang yang bernama Warak Ireng. Nafas juga tidak menjadi terengah-engah sebagaimana lawannya, karena Glagah Putih telah berlatih dengan tekun, bagaimana ia harus mengatur pernafasannya.

Meskipun secara terperinci Glagah Putih tidak kalah dari lawannya, tetapi ternyata dalam pertempuran itu ia telah terdesak. Rasa-rasanya ia mengalami kesulitan dengan sikap dan tandang lawannya yang kasar. Yang kadang-kadang berteriak-teriak mengejutkan. Mengumpat dengan kotor dan mengucapkan kata-kata yang tidak pantas didengar.

Karena itu, maka Glagah Putih berusaha untuk menemukan kekurangan dalam dirinya. Kenapa ia justru terdesak, sedangkan hampir dalam setiap unsur ia memiliki kemampuan yang dapat dianggap seimbang.

Namun ternyata bahwa sulit bagi Glagah Putih untuk menilai dirinya sendiri. Ada semacam kekuatan yang tidak dapat disebutkan yang terdapat pada lawannya.

Untuk beberapa saat Glagah Putih mencoba untuk bertahan. Dikerahkannya segenap kemampuannya untuk melawan Warak Ireng yang menyerangnya bagaikan badai yang datang beruntun susul menyusul.

Dalam pada itu, Ki Gede Menoreh yang bertempur beberapa langkah daripadanya masih saja selalu mengamatinya. la tidak mengerahkan segenap kemampuannya untuk melawan orang-orang yang menghadapinya langsung. Ki Gede berusaha untuk mengurangi kekuatan lawan dengan perhitungan seorang prajurit. la tidak asal saja membunuh tanpa pertimbangan. Tetapi lawan-lawannya yang sudah tidak berdaya dibiarkannya berusaha untuk menepi dan menyelamatkan diri. Bagi Ki Gede orang itu sudah tidak akan berarti apa-apa lagi, meskipun seandainya pertempuran itu akan berlangsung dua atau tiga hari, karena luka-luka orang itu tidak akan segera dapat disembuhkan.

Karena itu, maka dalam menghadapi lawan-lawannya, Ki Gede masih sempat memenuhi permintaan Kiai Jayaraga untuk mengamati Glagah Putih.

Dalam pengamatan yang sekilas-sekilas, Ki Gede memang melihat bahwa Glagah Putih mulai terdesak. Serangan Warak Ireng benar-benar mengerikan. Teriakan-teriakannya mendirikan bulu tengkuk. sementara kata-katanya yang kotor terasa menggelitik jantung.

“Orang itu memang gila,” desis Ki Gede kepada dirinya sendiri.

Karena itu, maka ia mulai memperhatikan pertempuran itu semakin cermat. Dengan kemampuannya Ki Gede berhasil mengusir lawan-lawannya. Yang tidak mau melihat kenyataan atas kemampuan Ki Gede terpaksa harus merangkak keluar dari arena pertempuran dengan darah yang menitik dari luka-lukanya.

Dalam keadaan yang gawat bagi Glagah Putih itu Ki Gede berusaha untuk mendapat kesempatan lebih banyak lagi, sehingga karena itu maka katanya kepada seorang pemimpin kelompok pengawal Tanah Perdikan Menoreh yang bertempur di dekatnya, “Lindungi aku.”

Pemimpin pengawal itu terkejut. Tetapi iapun kemudian mengerti ketika Ki Gede berkata, “Aku akan memperhatikan pertempuran antara Glagah Putih dan lawannya yang garang itu.”

Dengan demikian, maka beberapa orang pengawal pun kemudian telah berada semakin dekat dengan Ki Gede. Mereka berusaha untuk memberi kesempatan kepada Ki Gede, memperhatikan lebih cermat lagi keadaan Glagah Putih.

Meskipun sekali-sekali KI Gede masih harus menangkis serangan dari lawan-lawannya yang berhasil menyusup di antara para pengawal Tanah Perdikan, namun Ki Gede memang mendapat lebih banyak kesempatan untuk melihat apa yang terjadi dengan Glaggah Putih.

Dalam pengamatannya, ternyata Ki Gede juga melihat bahwa kemampuan Glagah Putih tidak kalah dari lawannya. Kecepatan geraknya, kekuatannya dalam benturan-benturan senjata, pernafasannya dan hampir setiap unsur dari pertempuran itu. Namun ternyata bahwa Glagah Putih telah terdesak.

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Ada satu hal yang dimiliki Warak Ireng jauh lebih banyak dari Glagah Putih. Pengalaman dan kekasarannya. Warak Ireng mampu mempergunakan pengalamannya yang luar biasa untuk menembus pertahanan lawannya, sementara dengan kekasarannya ia dapat mempengaruhi ketabahan hati Glagah Putih. Bukan karena Glagah Putih menjadi gentar. Tetapi rasa-rasanya teriakan-teriakan, umpatan dan kata-kata kotor itu sangat mengganggu dan membingungkan.

Ki Gede mengangguk-angguk. Ia telah menemukan letak kelemahan Glagah Putih yang masih muda itu. Namun kekurangan itu tidak akan dapat di pelajarinya dengan serta merta. Ia memerlukan waktu untuk mendapatkan pengalaman. Namun bukan berarti bahwa pengalaman tidak akan dapat dicari, tetapi sekedar di tunggu. Pengalaman tidak selalu diartikan, pernah mengalami perkelahian dan pertempuran dalam jumlah yang banyak dimana-mana dengan lawan yang mempunyai ilmu yang berbeda-beda.

Tetapi Ki Gede tidak segera mencampuri pertempuran itu. Meskipun Glagah Putih ternyata telah terdesak, tetapi Ki Gede memperhitungkan, bahwa Glagah Putih masih akan mampu melindungi dirinya. la hanya kehilangan saat-saat yang kurang diperhitungkan dalam kekasaran perkelahian. Tetapi ia mampu mengatasinya dengan kecepatan geraknya.

“Justru pada saat yang demikian anak itu akan mendapatkan pengalaman,” berkata Ki Gede dalam hatinya.

Namun sebenarnyalah bahwa Ki Gede sendiri sangat mengagumi kemampuan Glagah Putih. Sekilas, di luar sadarnya Ki Gede membayangkan kemanakannya sendiri yang tidak mempunyai kemampuan sebagaimana dimiliki oleh Glagah Putih. Apalagi Agung Sedayu. Sejak Ki Gede mengetahui sifat-sifat kemanakannya, maka seakan-akan ia memang menghentikan tuntunan yang sebelumnya diberikannya kepada kemanakannya itu. Ki Gede tidak ingin bahwa ilmu yang diturunkannya kepada muridnya, siapa pun orang itu, akan dapat disalah gunakan.

Ki Gede menyadari keadaannya ketika seorang pengawal meloncat dekat di sampingnya, untuk menahan seorang yang berusaha untuk menyerang Ki Gede yang sedang merenung. Namun Ki Gede hanya berpaling sekilas. Ternyata orang yang menyerang itu telah terdorong beberapa langkah surut oleh serangan pengawal Tanah Perdikan.

Sesaat kemudian, kembali Ki Gede memperhatikan Glagah Putih. la memang masih berloncatan surut. Namun sekali-sekali ia masih juga berusaha untuk menyerang lawannya.

Sejenak kemudian, maka Ki Gede itupun melangkah maju, semakin dekat dengan arena pertempuran antara Glagah Putih dan Warak Ireng. Bahkan tiba-tiba saja ia ingin membantu Glagah Putih untuk menyadap pengalaman dari pertempuran itu.

Karena itu, maka ia semakin memperhatikan pertempuran itu. Pada saat-saat tertentu ia melihat kelemahan Glagah Putih sehingga ia terpaksa meloncat surut. Justru karena anak muda itu tidak menduga langkah-langkah yang diambil oleh lawannya.

Karena itu, maka Ki Gede pun kemudian berkata, “Ilmu lawanmu bukan ilmu yang kau kuasai, Glagah Putih.”

Glagah Putih mendengar suara Ki Gede. Sekilas iapun melihat Ki Gede berdiri di sebelah medan yang dipergunakannya melawan Warak Ireng di antara hiruk pikuk pertempuran.

Tetapi Glagah Putih tidak segera mengerti maksud Ki Gede. Meskipun demikian ia tidak sempat bertanya, karena lawannya telah mendesaknya. Bahkan lawannyalah yang mengumpat dan berteriak, “Masuklah dalam pertempuran. Hadapi aku bersama-sama. Aku akan membunuh kalian. Justru semakin cepat.”

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Lawan Glagah Putih itu memang orang yang sangat kasar.

“Marilah keledai tua!” teriak Warang Ireng, “Jangan biarkan tikus kecil ini mati terlalu cepat.”

Ki Gede justru tersenyum. Jawabnya, “Jangan berteriak-teriak begitu Ki Sanak. Kau dapat menakut-nakuti lawanmu. Jika kau menang dalam pertempuran itu, bukan karena ilmumu lebih baik dari lawanmu, tetapi hanya karena kau berteriak-teriak terlalu kasar dengan kata-kata kotor yang dapat memuakkan di pendengaran orang lain.”

“Persetan!” geram Warak Ireng. Tiba-tiba saja ia meninggalkan Glagah Putih. Dengan loncatan panjang ia menyerang dengan senjatanya mengarah kepada Ki Gede Menoreh.

Tetatapi hal itu sudah diperhitungkan oleh Ki Gede. Karena itu, maka ia sudah mempersiapkan dirinya. Dengan gerak yang sederhana, maka Ki Gede berhasil menghindari serangan itu. “Jangan kehilangan akal,” berkata Ki Gede, “kau masih mempunyai lawan.”

“Kau memang harus dibunuh lebih dahulu!” teriak Warak Ireng.

Ki Gede telah bersiap menghadapi segala kemungkinan. Namun Glagah Putih-lah yang tidak membiarkan lawannya bertempur melawan Ki Gede. Karena itu, maka iapun segera memburunya dan dengan garangnya mengayunkan pedangnya menebas leher.

“Anak demit!” geram Warak Ireng. Dengan langkah panjang ia mengelakkan serangan anak muda itu. Namun ia tidak ingin menjadi sasaran berikutnya. Karena itu, maka Warak Ireng justru telah meloncat menyerang sambil berteriak nyaring.

Jantung Glagah Putih berdegup keras. Serangan Warak Ireng itu datangnya terlalu cepat. Tetapi ternyata bahwa Glagah Putih masih mampu mengimbangi kecepatan itu, sehingga dengan demikian maka serangan lawannya itu pun dapat dielakkannya.

Sekali lagi Warak Ireng mengumpat. Namun yang terdengar kemudian adalah suara tertawa Ki Gede. Katanya, “Nah, bukankah kau lihat, bahwa kemampuan anak itu mampu mengimbangi kemampuanmu.”

“Setan. Tetapi aku sudah hampir sampai pada batas kesabaranku. Sebentar lagi, aku akan memenggal kepalanya. Namun justru anak itu bertempur dengan licik. Ia hanya dapat berloncatan dan berlari-larian.”

“Sama sekali tidak,” jawab Ki Gede, “ia tidak terdesak karena ilmumu. Tetapi ia muak mendengar suaramu, umpatanmu dan kata-katamu yang kotor. Memang berbeda dengan seseorang yang memiliki ilmu Gelap Ngampar atau Braja Sewu atau sejenisnya. Suaranya memiliki kekuatan daya lontar yang luar biasa dan sanggup menggetarkan dada, menghantam bagian dalam dada lawannya. Berbeda dengan yang kau lakukan. Suaramu yang parau itu bukan menggetarkan dan melukai bagian dalam dada lawanmu, tetapi sekedar memuakkan dan membuat perut menjadi mual.”

“Gila. Tutup mulutmu!” bentak Warak Ireng sambil bertempur.

“Aku akan menutup mulutku jika aku sudah letih berbicara,” jawab Ki Gede “ tetapi satu hal yang perlu diperhatikan, bahwa dengan sedikit ketabahan untuk tidak muntah, maka lawanmu akan dapat mengimbangi seluruh kemampuanmu, termasuk kekasaran dan keliaranmu.”

“Tutup mulutmu iblis tua!” teriak Warang Ireng.

Ki Gede tertawa. Ia melihat Warak Ireng itu menjadi sangat marah. Mulutnya tidak berhenti-hentinya mengumpat dengan kotor. Sementara serangannya masih saja membadai dengan kasarnya.

Namun dalam pada itu, Ki Gede pun meneruskan, “Nah, cobalah kau hadapi lawanmu dengan tabah, Glagah Putih. Sekali lagi aku peringatkan, bahwa lawanmu tidak mempergunakan ilmu seperti ilmumu. Sehingga yang diIakukan akan berbeda dengan yang kau lakukan, apabila lawanmu harus mengambil sikap.”

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Ketika lawannya menyerang dengan garangnya, maka iapun meloncat menghindar dengan loncatan panjang.

“Amati gerak lawanmu sebagaimana dilakukannya,” berkata Ki Gede, “jangan mencoba menebak, apa yang akan dilakukan oleh lawanmu. Dengan demikian kau tidak menjadi bingung, bahwa ternyata lawanmu tidak berbuat sebagaimana kau perbuat, jika kau berada dalam keadaan yang sama.”

“Diam! Aku bunuh kau!” Warak Ireng itu berteriak pula. Dengan kecepatan yang sulit dilihat oleh penglihatan wadag iapun telah menyerang Ki Gede. Namun seperti yang terdahulu, Ki Gede mampu mengelakkan serangan itu sambil berkata, “Musuhmu bukan aku.”

Warak Ireng yang marah itu benar-benar menjadi buas. Tetapi Glagah Putih telah memburunya pula dengan pedangnya yang terjulur mengarah ke dada lawannya.

Warak Ireng mengumpat. la berkisar dan dengan serta merta telah meloncat kembali menghadapi Glagah Putih.

Namun satu pengalaman telah disadap oleh Glagah Putih sebagaimana dikatakan oleh Ki Gede. Ada dua hal yang harus diperhatikan. la tidak boleh terlalu banyak terpengaruh oleh sikap kasar lawannya, dan ia pun tidak boleh menebak apa yang akan dilakukan oleh lawannya, sebagaimana dirinya sendiri mengalami.

“Lawanmu memiliki dasar ilmu yang berbeda,” kata-kata itu selalu terngiang ditelinganya.

Demikianlah dalam pertempuran berikutnya, Glagah Putih berusaha untuk tidak terlalu terpengaruh oleh kekasaran dan kebuasan lawannya. Apapun yang dilakukan oleh Warak Ireng, dianggapnya wajar sebagaimana orang-orang lain dari lingkungannya itu melakukannya. Sehingga dengan demikian, ia tidak menjadi terlalu gelisah. Sementara ia berusaha untuk melihat apa yang akan dilakukan oleh lawannya. Bukan berpikir, apa yang akan dilakukan oleh lawannya sebagaimana dilakukannya apabila ia sendiri mengalami.

Karena itu, maka sikap Glagah Putih memang terasa berubah. Ia menjadi semakin tabah menghadapi lawannya. Sementara ia pun tidak lagi menjadi bingung, kenapa lawannya tidak berbuat seperti yang dipikirkannya. Meskipun dengan demikian, rasa-rasanya ia menjadi lebih tenang.

Dengan perubahan sikap itu, maka Glagah Putih menjadi lebih mapan. Bahkan perlahan-lahan ia dapat memperbaiki keadaannya, sehingga ia tidak lagi terdesak oleh Warak Ireng.

Warak Ireng menjadi semakin marah melihat sikap lawannya. Anak muda itu rasa-rasanya menjadi semakin liat. Bahkan anak muda itu sempat menyerangnya semakin garang.

Glagah Putih memang berusaha seakan-akan ia tidak mendengar umpatan-umpatan dan teriakan-teriakan kasar dan kotor. la tidak peduli lagi apapun yang dikatakan oleh Warak Ireng itu. Namun pedangnya seakan-akan berputar semakin cepat dalam permainan ilmu yang lebih mapan.

Pertempuran antara Warak Ireng dan Glagah Putih itupun kemudian menjadi seimbang. Glagah Putih tidak lagi selalu terdesak dan harus berloncatan surut. Perlahan-lahan ia menyesuaikan diri dan menangkap gerak dan sikap lawannya sebagaimana adanya.

Ki Gede yang melihat keseimbangan yang berubah itu menarik nafas dalam-dalam. la berhasil menempatkan Glagah Putih pada tataran yang seimbang dengan Warak Ireng di medan pertempuran itu.

Karena itu, maka Ki Gede pun kemudian mulai memperhatikan lagi pertempuran yang terjadi di sekitarnya. la melihat para pengawal Tanah Perdikan bertempur dengan sengitnya bersama para prajurit dari pasukan khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh. Namun prajurit dan pasukan khusus itu memang tidak terlalu banyak, sehingga para pengawal Tanah Perdikan itu harus mengisi kekurangan itu di medan yang garang dan kasar.

Tetapi para pengawal telah memiliki pengalaman yang memadai. Meskipun tidak seluruhnya di antara mereka yang terlibat dalam pertempuran itu ikut serta bertempur di Prambanan, namun terasa oleh lawan-lawan mereka, bahwa pasukan pengawal Tanah Perdikan Menoreh itu memang memiliki kekuatan sebagai satu kesatuan pengawal.

Di bagian lain, Punta Gembong bertempur dengan caranya sendiri melawan Kiai Jayaraga. Tidak banyak orang yang tahu, apa yang mereka lakukan. Namun pada satu saat keduanya berdiri tegak sambil saling memandang. Namun seakan-akan keduanya telah saling menolak dengan kekuatan yang tidak mereka lontarkan dengan sentuhan kewadagan.

Punta Gembong berdiri memandang langsung ke mata Kiai Jayaraga sambil menjulurkan tangannya ke depan. Sementara itu ia mulai berusaha untuk tidak terdorong surut. Perlahan-lahan ia menarik sebelah kakinya dan menekuk lutut dari kaki yang lain, sementara Kiai Jayaraga pun mulai memiringkan tubuhnya sehingga kedua kakinya menjadi renggang menyamping. Namun agaknya keduanya berusaha untuk bertahan sekuat-kuat tenaga mereka.

Untuk beberapa saat mereka menyerang dan bertahan, maka kaki-kaki mereka seakan-akan menjadi semakin dalam menyusup ke dalam tanah. Bahkan pada sentuhan antara kaki mereka dengan bumi seolah-olah telah mengepulkan asap yang putih kebiru-biruan.

Pertempuran yang aneh itu berlangsung beberapa saat tanpa menghiraukan apa yang terjadi di sekitar mereka, sementara orang-orang lainpun sama sekali tidak mengganggunya. Mereka sibuk dengan lawan mereka masing-masing. Mereka saling menyerang dan bertahan. Desak-mendesak dengan serunya.

Dalam pada itu, pertempuran yang terjadi di Tanah Perdikan Menoreh itu semakin lama menjadi semakin sengit. Kedua belah pihak telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Korbanpun telah berjatuhan dan darahpun membasahi tanah pategalan. Menyiram tanaman yang menjadi rusak.

Ki Gede Menoreh yang melihat kerusakan yang semakin lama semakin besar itu menjadi gelisah. Jika pertempuran itu masih akan berkelanjutan, maka kerusakanpun tentu akan menjadi semakin luas.

Rasa-rasanya usaha menarik pasukan yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Purbarana itu akan menyelamatkan beberapa pihak yang kelak akan menjadi sasarannya, karena diperhitungkan bahwa pasukan Ki Tumenggung Purbarana itu akan dapat di selesaikan oleh pasukan khusus Mataram dan kekuatan Tanah Perdikan Menoreh.

Tetapi menjadi ajang pertempuran agaknya memang harus mengorbankan bukan saja jiwa, tetapi juga harta benda, dalam hal yang sedang berlangsung itu adalah hasil pategalan yang menjadi rusak.

Tetapi semuanya itu sudah diperhitungkan sebelumnya.

Namun demikian, rasa-rasanya korban itu akan menjadi semakin lama semakin besar. Tanaman yang rusak menjadi semakin banyak, karena pertempuran itu menebar semakin luas, sementara jiwa yang jatuh pun semakin bertambah pula.

Ki Gede menjadi gelisah. Ketika mereka merencanakan untuk memancing agar Ki Tumenggung Purbarana benar-benar mengambil sasaran pertama Tanah Perdikan Menoreh, ia idak membayangkan bahwa korban akan sedemikian besarnya. la tidak membayangkan bahwa di antara mereka terdapat orang-orang kasar dan bahkan liar. Meskipun Ki Gede sudah membayangkan, bahwa akan datang ke Tanah Perdikan itu gerombolan brandal yang akan membantu pasukan Ki Tumenggung Purbarana, namun Ki Gede tidak membayangkan bahwa mereka ternyata orang, orang yang sama sekali tidak berperasaan.

Karena itu, maka semakin lama perasaan Ki Gede pun semakin tergelitik untuk bertindak lebih tegas menghadapi orang-orang itu. Apalagi ketika ia sudah yakin, bahwa Glagah Putih sudah menemukan tataran kemampuannya yang sebenarnya, sehingga ia tidak lagi terdesak oleh Warak Ireng. Meskipun Glagah Putih tidak memiliki pengalaman sebagaimana dimiliki oleh Warak Ireng, namun karena mapan, maka iapun berhasil menutup kekurangannya.

Untuk beberapa saat Ki Gede masih sempat meyakinkan keadaan Glagah Putih. Setelah ia menjadi yakin, maka iapun mulai melakukan satu langkah yang lain, terdorong oleh kecemasannya melihat kerusakan yang semakin menjadi-jadi serta korban yang semakin banyak, yang juga terjadi atas anak-anak Tanah Perdikan Menoreh.

“Aku berhak melindungi mereka,” berkata Ki Gede di dalam hatinya.

Dengan demikian, maka Ki Gede pun telah bertekad untuk menyelamatkan anak-anak Tanah Perdikan sejauh dapat dilakukan.

Karena itu, maka tombak Ki Gede pun mulai bergetar. Sejenak ia menebarkan pandangan matanya ke sekitarnya. Pertempuran yang memang menjadi semakin garang. Ketika ia memandang tanah yang merah, rasa-rasanya jantungnya berdegup semakin keras.

Namun darah Ki Gede tersirap ketika ia melihat seseorang merangkak dengan darah yang membasahi seluruh pakaiannya. Perlahan-lahan orang itu mendekatinya. Kemudian memeluk kakinya sambil berdesis, “Tolong aku Ki Gede.”

Ki Gede menjadi tegang. Orang itu adalah salah seorang di antara anak-anak Tanah Perdikan Menoreh yang terluka parah.

Karena itu dengan tergesa-gesa Ki Gede melihat keadaan anak muda itu. Ada beberapa buah luka di tubuhnya.

Ki Gede sempat memanggil seorang anak muda Tanah Perdikan yang lain yang sedang bertempur di dekatnya. Anak muda yang kehilangan lawannya itu mendekat.

“Obati anak itu,” desis Ki Gede.

Tetapi Ki Gede menyadari, bahwa bukan hanya seorang anak muda itu saja yang mengalami kesulitan seperti anak muda itu.

Namun agaknya keadaan anak muda yang langsung disaksikannya itu membuat darah Ki Gede benar-benar bagaikan mendidih. Meskipun Ki Gede masih tetap berpegang pada paugeran perang, namun ia tidak akan membiarkan korban akan berjatuhan tanpa dapat dibatasi.

Dengan demikian maka Ki Gede itu pun telah kembali melibatkan diri ke dalam pertempuran. Tombaknya mulai berputaran dengan dahsyatnya. Setiap sentuhan ujung tombaknya telah melemparkan seorang lawannya keluar arena. Ki Gede memang tidak bernafsu untuk membunuh orang sebanyak-banyaknya meskipun di peperangan. Tetapi ia memang berniat melumpuhkan lawannya untuk mengurangi korban di pihak anak-anak Tanah Perdikan.

Dengan demikian, maka anak-anak muda Tanah Perdikan yang ada di sekitar Ki Gede menjadi semakin berbesar hati. Apa yang dilakukan Ki Gede itu ternyata memang sangat berpengaruh. Ki Gede seakan-akan telah menghisap lawan dengan cepat dan melemparkan mereka keluar arena dalam keadaan yang tidak berdaya.

Anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang cukup berpengalaman tidak memberi kesempatan kepada lawannya untuk menyusun kelompok-kelompok kecil menghadapi Ki Gede. Anak-anak muda itu telah berusaha untuk memecah setiap kelompok yang tersusun. Mereka memancing setiap orang dalam kelompok itu untuk bertempur seorang melawan seorang. Atau bahkan kelompok melawan kelompok dalam satu lingkaran.

Warak Ireng yang melihat kesulitan di antara orang-orangnya karena sikap Ki Gede itu tidak dapat berbuat banyak. Anak muda yang bernama Glagah Putih itu ternyata sangat menjengkelkannya. Namun ia tidak dapat berbuat banyak, karena Glagah Putih itu mampu melawannya dan mengimbangi kemampuannya.

Karena itu, maka yang dapat dilakukan oleh Warak Ireng hanyalah berteriak-teriak saja memberikan aba-aba. Mengumpat dan memaki. Namun ia masih tetap terikat dalam pertempuran melawan Glagah Putih.

Sementara itu, yang akan lebih menentukan dari pertempuran itu adalah pertempuran di induk pasukan antara para prajurit yang menjadi pengikut Ki Tumenggung Purbarana melawan pasukan khusus Mataram di Tanah Perdikan, dibantu oleh para pengawal Tanah Perdikan itu sendiri.

Ki Lurah Branjangan yang terbebas dari pertempuran melawan Tumenggung Purbarana sempat mengamati seluruh medan. la sempat memberikan aba-aba dan mengatur pasukannya. Bahkan Ki Lurah sendiri sempat mengoyak sekelompok pasukan lawan yang berusaha mendesak sekelompok pengawal dari Tanah Perdikan Menoreh.

Dengan demikian, maka para pengikut Ki Tumenggung di induk pasukan itu telah membentur perlawanan yang sangat berat. Sementara itu pimpinan pasukan berada di senapati pengapitnya, karena Tumenggung Purbarana sendiri terikat pertempuran dengan paman gurunya, Kiai Bagaswara. Meskipun Ki Tumenggung sekali-sekali sempat meneriakkan aba-aba, tetapi pimpinan seakan-akan memang berada di tangan senapati pengapitnya.

Dalam pada itu, Ki Tumenggung yang mempergunakan keris pusaka gurunya yang diambilnya dengan paksa setelah ia membunuh gurunya itu, benar-benar mempengaruhi kemampuannya. Garis serangan keris itu bagaikan garis amukan badai yang dapat melemparkan sasarannya beberapa langkah dan membantingnya jatuh di tanah. Bahkan dalam puncak kemarahannya, maka keris itu seolah-olah dapat bukan saja melontarkan sasaran; tetapi seakan-akan mampu juga menyemburkan api yang panasnya bagaikan lidah petir di langit.

Namun dalam pada itu, Kiai Bagaswara yang merasa mengalami kesulitan menghadapi keris saudara seperguruannya yang bernama Kiai Santak itu, telah mempergunakan pusakanya pula. Sebilah luwuk yang juga memiliki pengaruh yang nggegirisi.

Tetapi pengaruh kekuatan luwuk itu justru bertolak belakang dari pengaruh kekuatan keris Kiai Santak. Jika Kiai Santak mampu menghembuskan badai dengan panasnya bara api, maka luwuk itu justru melontarkan prahara yang mampu membekukan darah. Arus dingin yang tiada taranya akan melibat sasarannya, sehingga kehilangan kemampuan untuk dapat bergerak karena darah mereka akan membeku.

Itulah sebabnya, maka Kiai Bagaswara yang mengalami kesulitan oleh serangan panasnya bara api yang terlontar dari keris Kiai Santak, telah menyilangkan luwuknya di muka dadanya.

Dengan demikian, maka panasnya api yang mengembus Kiai Bagaswara itu seolah-olah telah menyejuk. Tidak terasa lagi sentuhan bara yang dapat membuat darahnya menjadi mendidih.

“Gila,” geram Tumenggung Purbarana ketika ia melihat Kiai Bagaswara seakan-akan tidak terpengaruh oleh kekuatan keris lawannya. Karena itu, maka Ki Tumenggung itupun telah menghentakkan ilmunya membantu hembusan badai dari keris Kiai Santak.

Kiai Bagaswara sama sekali tidak merasa terbakar oleh panasnya api. Namun dengan demikian ia hanya melindungi dirinya sendiri. Tetapi dedaunan dan ranting-ranting pepohonan yang tersentuh oleh arus prahara itupun telah mengering dan menjadi hangus karenanya.

Tetapi Kiai Bagaswara tidak perlu mencemaskan para prajurit dari pasukan khusus Mataram dan para pengawal. Karena Kiai Bagaswara sudah mengenal watak keris Kiai Santak, maka ia telah berusaha untuk menyingkir dari arena yang padat. Pertempuran yang kemudian terjadi antara dirinya dan Ki Tumenggung Purbarana telah mendesak para prajurit dan pengawal untuk mengambil jarak dari mereka.

Meskipun demikian, Kiai Bagaswara tidak ingin untuk sekedar menjadi sasaran dan sekedar melindungi dirinya sendiri. Karena itu, maka ia tidak saja menyilangkan luwuknya di dada untuk menghalau udara panas yang melandanya, tetapi Kiai Bagaswara pun kemudian mulai menyerang lawannya pula. Perlahan-lahan ia mulai menggerakkan luwuknya dan mengacungkannya ke arah Ki Tumenggung Purbarana.

Yang terjadi kemudian adalah benturan yang sangat dahsyat. Lontaran badai yang dihembuskan oleh kekuatan keris Kiai Santak dengan membawa panasnya bara api, telah membentur amuk prahara yang datang dari arah luwuk Kiai Bagaswara yang teracu ke arah lawannya dengan membawa udara dingin membeku.

Untuk beberapa saat dua kekuatan itu berbenturan di tengah. Karena sifat mereka yang berbeda, maka keduanya tidak saling menolak. Tetapi keduanya justru saling menghisap. Udara panas dari keris Kiai Santak berusaha untuk menghisap kebekuan udara yang menahannya dan membakarnya. Tetapi sebaliknya, panasnya udara yang dihembuskan keris Kiai Santak telah terhisap ke dalam kebekuan, sehingga tidak lagi berpengaruh atas sasarannya.

Namun demikian, kedua orang itu telah menghentakkan kekuatan mereka masing-masing untuk menghisap sampai kekuatan terakhir dari pusaka lawan-lawannya.

Meskipun pada dasarnya pusaka-pusaka itu bertuah dan mempunyai kekuatan, namun sebenarnyalah kekuatan itu saling mempengaruhi pula dengan kekuatan ilmu dari orang yang menggenggamnya. Meskipun kedua pusaka itu mempunyai kekuatan dalam jenisnya masing-masing yang seimbang, namun dorongan kekuatan ilmu dari mereka yang menggenggamnyalah yang kemudian akan menentukan.

Betapapun juga, maka Kiai Bagaswara memiliki banyak kelebihan dari Ki Tumenggung Purbarana. Meskipun Purbarana telah mempelajari segala unsur ilmu gurunya, tetapi ia masih belum sempat mengembangkan dan mematangkannya. Karena itu, maka bagaimanapun juga, Ki Tumenggung tidak akan mampu mengimbangi kemampuan paman gurunya.

Itulah sebabnya, maka Ki Tumenggung terpaksa mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya, agar kekuatan keris Kiai Santak tidak justru terhisap oleh kekuatan pusaka pamannya.

“Setan itu ternyata mempunyai penawarnya,” geram Ki Tumenggung Purbarana.

Namun bagaimanapun juga, Tumenggung Purbarana tidak akan mampu melawan kekuatan pusaka dan lambaran ilmu pamannya. Itulah sebabnya, maka kekuatan keris Kiai Santak yang jarang ada bandingnya itu semakin lama menjadi semakin surut. Panas yang dipancarkan bagaikan panasnya lidah api di langit, telah terhisap oleh dinginnya udara yang memancar dari pusaka Kiai Bagaswara, sehingga akhirnya panas api itu bagaikan membeku.

Kekuatan udara dingin itu bukan saja menghisap panas yang memancar dari kekuatan keris Kiai Santak, tetapi rasa-rasanya semakin lama semakin menghimpit Tumenggung Purbarana, sehingga betapapun ia menghentakkan kekuatannya, rasa-rasanya darahnya menjadi bagaikan membeku, sehingga segenap kekuatan ilmunya bagaikan larut sama sekali.

Ki Tumenggung Purbarana berdiri dengan tubuh menggigil. Hampir saja ia tidak lagi mampu menggenggam kerisnya. Namun karena ia tidak ingin melepaskannya, maka seakan-akan Purbarana itu telah mengerahkan sisa kekuatan yang ada padanya untuk tetap mempertahankan keris itu.

Namun tiba-tiba tubuhnya yang membeku itu tidak lagi mampu bertahan untuk tetap berdiri tegak. Perlahan-lahan Tumenggung itu bergoyang, sehingga akhirnya Tumenggung Purbarana pun telah terjatuh dan berdiri pada lututnya, meskipun ia masih tetap menggenggam keris Kiai Santak.

Kiai Bagaswara melihat akibat dari pusakanya yang didorong oleh kemampuannya. Ia melihat Ki Tumenggung Purbarana itu jatuh pada lututnya. Tubuhnya menggigil dan giginya pun gemeretak oleh himpitan rasa dingin yang tidak tertahankan.

Namun bagaimanapun juga, ternyata Kiai Bagaswara tidak sampai hati melihat keadaan Ki Tumenggung Purbarana. Meskipun Kiai Bagaswara mengerti, bahwa orang itu telah dengan licik membunuh gurunya sendiri, namun ketika ia melihat orang itu sudah tidak berdaya, maka Kiai Bagaswarapun telah mengendorkan tingkat ilmunya.

Perasaan dingin itupun perlahan-lahan menjadi berkurang. Meskipun rasa-rasanya tangan, kaki dan seluruh tubuh Ki Tumenggung masih juga menggigil, namun tajamnya sengatan udara dingin itu memang terasa berkurang, sehingga dengan demikian, maka Ki Tumenggung tidak lagi merasa tercekik oleh deru prahara yang membawa udara beku.

Kiai Bagaswara menarik nafas dalam-dalam. la tidak lagi mengacukan luwuknya ke arah Ki Tumenggung Purbarana. Bahkan kemudian tumbuh perasaan ibanya melihat Purbarana yang membeku di tempatnya, berdiri pada lututnya yang sudah menjadi sangat lemah.

Perlahan-lahan Kiai Bagaswara melangkah mendekati murid saudara seperguruannya itu. Beberapa langkah ia berhenti sambil memandang keadaan Ki Tumenggung itu.

Purbarana menggeram. Namun terasa tubuhnya sudah sangat lemah oleh kebekuan yang menekannya.

“Apa katamu Purbarana?” bertanya Kiai Bagaswara.

Purbarana mencoba mengangkat kepalanya. Dipandanginya Kiai Bagaswara yang berdiri beberapa langkah di hadapannya.

“Bunuh aku,” geram Ki Tumenggung.

“Purbarana,” berkata Kiai Bagaswara, “masih ada kesempatan bagimu.”

“Kesempatan apa?” bertanya Purbarana.

“Kau dapat menyesali perbuatanmu. Kau dapat memperbaiki sikapmu,” berkata Kiai Bagaswara.

“Menyerah maksudmu?” bertanya Ki Tumenggung.

“Itu tidak penting. Apakah kau akan menyerah atau melarikan diri. Yang penting kau menyesali perbuatanmu. Bertobat dan berjanji untuk tidak melakukannya lagi,” jawab Kiai Bagaswara.

“Omong kosong,” geram Purbarana, “jika kau akan membunuh aku, bunuhlah. Jangan berpura-pura memberi aku kesempatan melarikan diri, kemudian kau membunuh aku dari arah punggung, dengan alasan bahwa aku akan melarikan diri.”

Kiai Bagaswara menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Jangan berprasangka terlalu buruk kepadaku. Aku memang sangat kecewa atas sikapmu. Apalagi ketika aku mendengar, bahwa kau telah membunuh gurumu sendiri. Tidak ada hukuman lain yang lebih pantas dari hukuman mati. Tetapi hukuman mati tidak harus dilakukan oleh orang lain.”

“Maksudmu, kau suruh aku membunuh diri?” bertanya Purbarana

“Ya. Tetapi tidak secara kewadagan. Bunuh jiwamu yang lama, dan biarlah lahir jiwa baru di dalam tubuhmu,” berkata Kiai Bagaswara.

“Persetan dengan sesorah itu,” jawab Ki Tumenggung Purbarana, “jika kau ingin membunuh, membunuhlah. Aku membencimu sebagaimana aku membenci guru. Kaupun harus membenci aku dan membunuhku.”

“Mungkin jalan pikiranmu memang begitu Purbarana. Tetapi ketahuilah, bahwa tidak harus orang yang dibenci itu kemudian membenci pula,“ jawab Kiai Bagaswara.

“Omong kosong,” geram Ki Tumenggung.

“Orang dapat bersikap baik kepada orang yang membencinya. Orang dapat mendoakan keselamatan bagi orang yang mengancamnya,” jawab Kiai Bagaswara, “siapa yang mengasihi orang lain yang juga mengasihinya, ia adalah orang kebanyakan. Tetapi siapa yang mengasihi orang yang membencinya, ia adalah orang pilihan.”

“Dan kau ingin disebut orang pilihan?” Ki Tumenggung itu menjadi terengah-engah, meskipun tubuhnya sudah tidak menggigil lagi, “Jangan berpura-pura hanya karena kau ingin disebut orang pilihan.”

“Tidak Purbarana,” jawab Kiai Bagaswara, “aku berkata sebenarnya. Meskipun aku bukan orang pilihan, dan aku tidak akan sempat melakukan sebagaimana dilakukan orang pilihan, tetapi sebaiknya kau bertobat. Memang lebih baik untuk menyerah dan berusaha memperbaiki tingkah laku. Kau masih belum tua. Kau masih akan mempunyai kesempatan.”

Purbarana tidak menjawab. Sekilas dipandanginya Kiai Bagaswara dengan tatapan mata yang menyala. Namun kemudian Ki Tumenggung yang garang itu menundukkan kepalanya.

Sementara itu pertempuran masih berlangsung. Beberapa orang memang melihat Ki Tumenggung jatuh di atas lututnya. Beberapa orang prajurit dari pasukan khusus Mataram yang melihat itu pun bersorak.

Tetapi para pengikut Ki Tumenggung tidak segera menyerahkan diri atau kehilangan akal. Senapati pengapit yang memimpin pasukan itu justru meneriakkan aba aba, “Kita binasakan semua orang Mataram dan orang-orang Tanah Perdikan ini, justru sebelum setan tua itu berhasil mengalahkan Ki Tumenggung dengan licik.”

Dengan demikian maka pertempuran pun terjadi semakin sengit. Kedua belah pihak telah mengerahkan segenap kemampuan mereka. Namun karena di antara mereka adalah prajurit prajurit, maka pertempuran itu lebih banyak berlangsung dalam ikatan kelompok-kelompok, meskipun tidak berarti bahwa di antara mereka terdapat juga seorang-seorang yang terlepas dari ikatan dan bertempur atas kemampuan mereka secara pribadi.

Dalam pada itu, Kiai Bagaswara melihat perubahan sikap Ki Tumenggung yang menundukkan kepalanya. Bahkan tiba-tiba saja Ki Tumenggung itu bertanya, “Apa keuntunganku jika aku bertobat, Paman Bagaswara?”

Kiai Bagaswara menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Ada banyak keuntunganmu Ngger. Kau sempat memperbaiki kesalahan-kesalahan yang pernah kau lakukan. Kau sempat lahir kembali dengan sifat-sifatmu yang baru, sehingga dengan demikian, maka kau akan menjadi orang lain bukan saja dihadapan sesama, tetapi juga di hadapan Yang Maha Agung.”

Ki Tumenggung masih menundukkan kepalanya. Dengan suara bergetar ia bertanya, “Apakah dengan demikian berarti dosaku diampuni?”

“Purbarana,” berkata Kiai Bagaswara, “jangan hiraukan sikap orang-orang Mataram atau orang orang Tanah Perdikan Menoreh. Seandainya mereka tidak mengampunimu, maka kau tidak usah cemas. Hukuman yang harus kau jalani adalah hukuman badani. Jika waktunya sudah habis, maka kau akan bebas dari hukuman itu. Tetapi yang harus kau perhatikan adalah pengampunan jiwani. Jika kau bertobat dan menyesal sampai ke pusat jantung, maka dosamu secara jiwani memang akan diampuni. Kau akan mendapat kesempatan kembali menyatu dengan Yang Maha Agung, sehingga kau akan mendapat tempat yang baik dalam kehidupan yang kekal.”

Ki Tumenggung mengangguk-angguk kecil. Katanya, “Apakah paman bertanggung jawab?”

“Persoalannya adalah persoalanmu dengan Sumber Hidupmu,” jawab Kiai Bagaswara.

“Aku percaya Paman,” berkata Ki Tumenggung kemudian, “tetapi apakah masih ada kesempatan bagiku?”

“Kenapa tidak?” jawab Kiai Bagaswara, “Tidak ada keterlambatan selagi masih ada kesempatan untuk menyatakan dari dasar hati.”

Ki Tumenggung tidak menjawab. Kepalanya menjadi semakin tunduk.

Kiai Bagaswara maju selangkah mendekati Ki Tumenggung yang berdiri pada lututnya dengan kepala tunduk. Tetapi Ki Tumenggung itu sudah tidak menggigil lagi. Kiai Bagaswara sudah melepaskan semua serangannya. Ki Tumenggung tidak lagi dicengkam oleh perasaan dingin yang membuat darahnya menjadi beku.

Sejenak Ki Tumenggung berdiam diri, sementara Kiai Bagaswara berkata, “Lakukan apa yang aku katakan jika kau benar-benar ingin bertobat.”

“Apa yang harus aku lakukan Paman?” bertanya Ki Tumenggung.

“Perintahkan semua pemimpin kelompok, para senapati dan perwira, demikian juga pemimpin-pemimpin padepokan yang berpihak kepadamu, untuk menghentikan pertempuran.”

Ki Tumenggung mengangkat wajahnya sejenak. Tetapi ia bertanya, “Apakah tidak akan terjadi pembantaian atas orang-orangku? Jika mereka menghentikan pertempuran, tetapi tidak demikian halnya dengan orang-orang Mataram dan orang-orang Tanah Perdikan Menoreh, apakah bukan berarti bahwa orang-orangku tidak dapat membela dirinya?”

“Jangan cemas. Jika kau setuju, aku akan menghubungi Ki Lurah Branjangan, yang memimpin seluruh pasukan Mataram dan Tanah Perdikan Menoreh,” berkata Kiai Bagaswara.

Ki Tumenggung ragu-ragu sejenak. Sementara itu Kiai Bagaswara berkata, “Berdirilah. Bukankah kau sudah mendapatkan kekuatanmu kembali.”

Purbarana menjadi ragu-ragu. Tetapi iapun kemudian bangkit berdiri sambil menebarkan pandangannya ke sekelilingnya. Ke arah pasukan lawan yang semakin mendesak orang-orangnya.

Untuk beberapa saat keduanya saling berdiam diri. Kiai Bagaswara agaknya masih menunggu perkembangan perasaan Ki Tumenggung yang menurut pendapatnya mulai luluh. Sementara itu Ki Tumenggung masih mengamati seluruh medan yang menebar.

Namun adalah di luar dugaan Kiai Bagaswara. Ki Tumenggung Purbarana yang telah menunjukkan tanda-tanda yang cerah bagi jiwanya, ternyata adalah sekedar ungkapan semu.

Ketika Kiai Bagaswara memberinya kesempatan untuk berpikir, maka Ki Tumenggung Purbarana yang sudah tegak berdiri itu telah meloncat sambil mengayunkan kerisnya Kiai Santak. Demikian tiba-tiba sambil berteriak nyaring, “Mati kau pengkhianat tua!”

Serangan itu benar-benar mengejutkan. Kiai Bagaswara sama sekali tidak menduga, bahwa Ki Tumenggung Purbarana yang dianggapnya telah menemukan titik-titik terang itu adalah sekedar langkah-langkah liciknya, sebagaimana ia berhasil membunuh gurunya dan sekaligus mengambil pusakanya. Justru pada saat gurunya menjadi lengah karena sikapnya yang pura-pura.

Sikap itu pulalah yang telah dilakukannya menghadapi Kiai Bagaswara.

Kiai Bagaswara benar-benar terkejut mendapat serangan itu. Serangan yang tidak diduganya sama sekali. Karena itu, Kiai Bagaswara tidak mendapat banyak kesempatan untuk berpikir. la tahu benar kemampuan keris Kiai Santak yang memiliki ketajaman bukan saja mata keris yang mampu membelah kulit daging, tetapi racun warangan pada keris itu pun akan dapat membunuh seseorang yang hanya tergores seujung rambut.

Karena itu, maka dengan gerak naluriah Kiai Bagaswara meloncat menghindar. Namun juga di luar sadarnya, bahwa sambil meloncat Kiai Bagaswara telah siap dengan luwuknya. Karena itu, Kiai Tumenggung Purbarana yang tidak menyentuh sasarannya, telah mengulangi serangannya menebas mendatar ke arah leher orang tua itu.

Kiai Bagaswara benar-benar tidak sempat lagi mengekang perasaannya. Segalanya berlangsung demikian cepatnya. Demikian pula sikap Kiai Bagaswara itu telah merendahkan dirinya. Namun seakan-akan di luar kemauan sendiri, tangannya telah terjulur lurus.

Yang terjadi kemudian benar-benar mendebarkan jantung. Ki Tumenggung yang dengan segenap kemampuannya mengayunkan keris Kiai Santak itu tidak sempat mengekang diri. Demikian ia meloncat maju, maka demikian tiba-tiba ujung luwuk Kiai Bagaswara bagaikan menyongsongnya.

Yang terdengar kemudian adalah keluhan tertahan. Atas kekuatan dorong tubuh Ki Tumenggung sendiri, maka luwuk Kiai Bagaswara itu telah menghunjam ke dadanya. “Purbarana!” suara Kiai Bagaswara melengking tinggi.

Adalah di luar kehendaknya sendiri, namun memang sulit untuk dihindari bahwa hal itu terjadi, luwuknya telah menembus tubuh orang yang tiba-tiba justru telah mengejutkannya.

Kiai Bagaswara kemudian berusaha untuk menahan tubuh Ki Tumenggung yang terjatuh. Dengan hati-hati tubuh itu dibaringkannya, sementara luwuknya masih tetap menghujam di dadanya.

Ki Tumenggung menyeringai menahan sakit. Tetapi tangannya sudah tidak mampu digerakkannya. la memang masih berniat untuk menggoreskan kerisnya. Tetapi keris itu justru terlepas dari tangannya dan jatuh di tanah. Keris lambang kebesaran nama gurunya.

Kiai Bagaswara yang kemudian meletakkan Ki Tumenggung itupun segera memungut keris Kiai Santak. keris yang luar biasa dan jarang ada duanya.

“Purbarana,” panggil Kiai Bagaswara.

Tetapi Ki Tumenggung Purbarana sudah tidak menyahut. Nafasnya pun sama sekali sudah tidak mengalir lagi. Ki Tumenggung itu sudah terbunuh oleh paman gurunya, yang sedang berusaha untuk memberikan petunjuk agar ia dapat menemukan jalan kembali.

Kiai Bagaswara menarik nafas dalam-dalam. Agaknya memang sudah menjadi garis hidup Ki Tumenggung Purbarana, bahwa ia harus mati karena tangan paman gurunya sendiri.

“Tidak ada niatku membalas dendam,” berkata Kiai Bagaswara kepada diri sendiri, “seandainya ia mengerti maksudnya, maka aku akan melupakan segala kesalahan yang pernah dilakukan. Juga karena ia telah membunuh gurunya sendiri.”

Tetapi pembunuhan itu sudah terjadi. Kiai Bagaswara telah membunuh murid saudara seperguruannya. Dengan jantung yang berdegup semakin cepat, Kiai Bagaswara telah mengambil wrangka keris yang terselip di ikat pinggang Ki Tumenggung. Kemudian menyarungkan Kiai Santak dan juga luwuknya sendiri.

Kiai Bagaswara baru menyadari bahwa ia masih berada di medan perang ketika ia kemudian mendengar sorak gemuruh. Ternyata para prajurit Mataram dan anak-anak muda Tanah Perdikan menoreh telah bersorak dengan serta merta, ketika mereka melihat Ki Tumenggung Pubarana terbunuh.

Ki Lurah Branjangan pun menarik nafas dalam-dalam.

Namun dalam pada itu, ternyata senapati pengapitnya masih tetap berkeras kepala, sebagaimana juga Ki Tumenggung Purbarana yang berhati keras. Senapati itu justru meneriakkan aba-aba untuk menuntut balas kematian Ki Tumenggung Purbarana.

Ternyata bahwa para prajurit pengikut Ki Tumenggung itu adalah prajurit-prajurit yang setia. Mereka tidak dengan serta merta melarikan diri sepeninggalnya. Namun seperti yang diteriakkan oleh senapati penggapit yang mengambil alih pimpinan, bahwamereka harus menuntut dendam atas kematian Ki Tumenggung Purbarana.

Dengan demikian maka pertempuran yang menjadi semakin dibakar oleh dendam itu lambat laun telah kehilangan kesadaran mereka atas paugeran perang, sehingga mereka cenderung untuk melakukan apa saja yang ingin mereka laukan.

“Kita sudah terlibat dalam perang. Apa saja yang akan aku lakukan, tidak ada yang dapat melarangnya. Seandainya aku melanggar paugeran perang, siapa yang akan dapat menghukum aku?” geram seorang pengikut Ki Tumenggung yang hampir kehilangan akal, “Jika ada yang ingin menuntut dan menghukum aku, maka ia adalah orang yang pertama aku bunuh.”

Karena itu, maka pertempuran di induk pasukan pun mulai dibayangi oleh kekerasan tanpa menghiraukan paugeran. Dengan demikian maka pertempuran itupun semakin lama menjadi semakin kasar dan kisruh, sebagaimana terjadi di sayap pasukan itu.

Kematian Ki Tumenggung ternyata berpengaruh pula atas sayap-sayap pasukan. Mereka memperhitungkan, bahwa orang yang telah membunuh Ki Tumenggung Purbarana yang bertempur dengan membawa keris Kiai Santak itu tentu akan dapat membunuh tanpa hitungan, sebagaimana dilakukan oleh senapati yang lain di peperangan.

Karena itu, maka sebagian dari mereka pun telah memberikan aba-aba untuk bergerak lebih cepat. sebagaimana para senapati pengapit di induk pasukan.

Dengan demikian, maka pertempuran yang keras itu semakin bertambah keras. Namun dalam pada itu, peristiwa-peristiwa penting yang lainpun telah terjadi dipeperangan.

Glagah Putih ternyata benar-benar telah mapan. Meskipun Warak Ireng telah sampai ke puncak ilmunya, namun ia tidak segera dapat mengalahkan Glagah Putih yang telah menempa diri di bawah pemomongnya Agung Sedayu, dan yang kemudian mendapat seorang guru yang bernama Kiai Jayaraga, seorang yang memiliki ilmu yang nggegirisi.

Warak Ireng yang dibakar oleh kemarahan yang memuncak itu bagaikan menjadi gila. la tidak mempunyai cara untuk dapat mengalahkan lawanya yang masih sangat muda. Segala kemampuan, pengalaman dan ilmu yang ada padanya telah diperasnya.

Namun Glagah Putih dengan gigih mampu mempertahankan dirinya. Bahkan sekali-kali serangannya justru membahayakan lawannya.

Dengan geram Warak Ireng mengumpat-umpat. Ingin ia segera meremas kepala anak itu. Tetapi ia harus membentur pada satu kenyataan bahwa ia tidak mampu melakukannya.

Karena itu, maka pertempuran antara Glagah Putih dan Warak Ireng itupun menjadi semakin sengit. Sementara itu para pengikut Warak Ireng ternyata susut dengan cepat. Mereka yang tersesat mendekati Ki Gede, maka iapun akan terlempar dengan luka di tubuhnya. Meskipun Ki Gede tidak berniat untuk membunuh mereka, namun ujung tombaknya telah mengoyak lawannya tanpa memilih arah. Mungkin dada, mungkin pundak atau lengan, tetapi mungkin pula punggung. Bahkan ada yang hanya koyak kain panjangnya, namun rasa-rasanya ia telah mati dan jatuh terbaring di tanah tanpa bergerak sampai saatnya seorang kawannya menyeretnya menepi, sehingga luka-luka di tubuhnya tidak ditimbulkan oleh senjata lawannya, tetapi oleh batu-batu padas di arena pertempuran itu, pada saat tubuhnya diseret keluar arena.

Di sayap yang lain, Sekar Mirah benar-benar menggetarkan jantung lawannya. Ki Linduk yang juga bernama Sambijaya itu tidak mengira sama sekali sebelumnya, bahwa perempuan dari Tanah Perdikan Menoreh yang berasal dari Sangkal Putung itu memiliki ilmu yang mampu mengimbangi ilmunya. Bahkan kadang-kadang loncatan-loncatan yang cepat dan sama sekali tidak terduga telah mengejutkannya.

Sementara itu, orang-orang linuwih yang ada di medan itu masih terikat dengan lawannya masing-masing. Kiai Jayaraga masih beradu ilmu dengan Punta Gembong, sementara itu, Agung Sedayu masih bertempur dengan Kumbang Talangkas.

Dalam pada itu, di induk pasukan, ternyata para pengikut Ki Tumenggung Purbarana telah salah duga. Sepeninggal Ki Tumenggung, Kiai Bagaswara sama sekali tidak melakukan sebagaimana yang mereka cemaskan. Kiai Bagaswara tidak mengamuk dan membunuh sebanyak-banyaknya, tetapi ia justru merenungi tubuh Ki Tumenggung yang membeku.

Berbagai macam pertanyaan telah membelit di hati Kiai Bagaswara. la sulit untuk dapat mengerti, bagaimana mungkin orang yang terbaring diam itu benar-benar terperosok ke dalam dunia yang yang kelam sampai saat terakhirnya. Sama sekali tidak ada titik-titik terang yang dapat menuntunnya menghadap kepada Sumber Hidupnya yang telah memanggilnya. Bahkan hampir saja Kiai Bagaswara kehilangan kewaspadaan, justru pada saat ia mengira Ki Tumenggung itu mulai menyadari kesalahannya.

“Ada juga hati yang sekeras batu,” desisnya.

Seolah-olah berbicara kepada diri sendiri ia bergumam, “Tidak. Sikapnya sama sekali bukan sikap seorang jantan, seolah-olah orang yang memegang keyakinannya sampai mati adalah orang yang berhati baja. Jika ia mengeraskan hati dalam kesesatan, maka ia sama sekali bukan orang yang dapat disebut jantan. Justru orang yang melihat kesalahannya dan berani melakukan langkah-langkah pembetulan, barulah ia disebut jantan.”

Namun Ki Tumenggung telah mati. Apapun kata orang, tetapi Ki Tumenggung telah menggenggam tekad yang tidak dilepaskannya sampai akhir hayatnya. Namun agaknya Ki Tumenggung telah memilih jalan apa saja yang dapat dilakukan, tanpa mengingat nilai-nilai dan martabat kemanusiaan untuk mencapai maksudnya.

Dalam pada itu, meskipun Kiai Bagaswara tidak berbuat apa-apa lagi, tetapi di induk pasukan itu ada Ki Lurah Branjangan. Ki Lurah Branjangan memiliki sifat yang agak berbeda dengan Kiai Bagaswara. Ki Lurah adalah seorang prajurit yang berada di medan perang. Itulah sebabnya. maka Ki Lurah telah bertempur sebagaimana seorang prajurit.

Ternyata salah seorang senapati pengapit Ki Tumenggung Purbarana berusaha untuk menghambat gerak Ki Lurah. Dengan demikian maka keduanya telah terlibat dalam pertempuran yang sengit.

Namun Ki Lurah Branjangan adalah seorang senapati yang memiliki pengalaman yang sangat luas. la adalah panglima pasukan khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh. Sehingga karena itu, maka iapun telah menunjukkan kelebihannya dari lawannya.

Namun dalam pada itu, bagaimanapun juga garangnya para senapati pengapi memberikan aba-aba, namun sepeninggal Ki Tumenggung Purbarana, hati para prajurit yang menjadi pengikutnya telah menjadi semakin hambar. Rasa-rasanya tidak ada lagi sandaran kekuatan bagi pasukan itu. Ki Tumenggung dengan Kiai Santak yang nggegirisi itu telah dikalahkan.

Karena itu, maka semakin lama para pengikut Ki Tumenggung itupun semakin kehilangan gairah perjuangannya. Satu demi satu mereka jatuh terbaring di tanah. Darah menjadi semakin banyak mengalir, sementara harapan untuk, menang menjadi semakin kabur.

Dengan demikian, maka kedudukan pasukan di induk pasukan itu justru menjadi goyah. Ki Lurah yang berhasil mendesak lawannya mempunyai pengaruh yang sangat besar kepada seluruh pasukan. Sejenak kemudian, maka pasukan para pengikut Ki Tumenggung itu telah terdesak mundur.

Kiai Bagaswara yang merenungi tubuh Ki Tumenggung Purbarana itupun kemudian menyadari keadaan. Pasukan Ki Tumenggung itu tidak mampu lagi untuk mempertahankan garis perang

Ternyata keadaan induk pasukan itu sangat berpengaruh atas sayap-sayap pasukan. Karena induk pasukannya bergeser, maka sayap-sayapnyapun ikut bergeser pula.

Dalam waktu yang tidak terlalu lama, maka Ki Linduk serta gurunya, dan Warak Ireng dan Ki Punta Gembong di sayap yang lain, telah mendapat laporan tentang kernatian Ki Tumenggung Purbarana serta keadaan di induk pasukan. Dengan kasar merekapun telah mengumpat-umpat. Mereka menganggap bahwa Ki Tumenggung tidak lebih dari seorang yang hanya mampu berteriak sesumbar. Namun tidak mampu berbuat apa-apa. Kematian Ki Tumenggung serta keadaan pasukan induk itu, akan menentukan keadaan pasukan di sayap. Kekalahan akan berarti satu bencana.

Tetapi mereka tidak dapat mengingkari kenyataan yang mereka hadapi. Sebenarnyalah Tanah Perdkan Menoreh memiliki kekuatan di luar perhitungan mereka.

Warak Ireng tidak bermimpi bahwa ia akan membentur kekuatan anak-anak yang dapat mengimbanginya. Kekuatan dan kecepatan gerak anak itu benar-benar bagaikan anak iblis.

“Jika kami harus meninggalkan Tanah Perdikan ini tanpa hasil, biarlah aku membunuh anak ini lebih dahulu,” geram Warak Ireng itu di dalam hatinya.

Tetapi Warak Ireng tidak melihat tanda-tanda bahwa ia akan dapat melakukannya.

Sementara itu gurunya pun telah terikat dalam satu pertempuran melawan seseorang yang juga memiliki ilmu yang sangat tinggi. Seakan-akan mereka berdiri tegang dan saling memandang dengan tangan terjulur. Namun yang terjadi adalah benturan ilmu yang sangat dahsyat.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar