Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 181

Buku 181

Untuk beberapa saat Kiai Bagaswara merenung di dalam kesuraman. Kesuraman malam dan kesuraman hati. Sulit sekali bagi Kiai Bagaswara untuk menentukan satu pilihan. Sebenarnya ia merasa sangat keberatan untuk membiarkan saja padepokannya yang sudah dihuninya bertahun tahun itu akan menjadi sasaran kemarahan orang yang berhati gelap. Tetapi ia tidak mempunyai jalan yang paling baik untuk mencegahnya. Usahanya untuk mempengaruhi pengikut Ki Tumenggung sebanyak-banyaknya ternyata gagal. Baru beberapa orang yang meninggalkan Ki Tumenggung, sehingga pengaruhnya masih belum terasa. Apalagi apabila Ki Tumenggung berhasil membujuk Ki Linduk. Salah seorang yang berilmu sangat tinggi. Namun Linduk adalah lambang dari kelemahan ilmu. Semakin tinggi ilmunya, maka orang seperti Linduk itu akan menjadi sangat berbahaya. Apalagi apabila Linduk sempat bekerja sama dengan Ki Tumenggung yang juga telah menjadi budak dari kegelapan hati itu.

Namun akhirnya Kiai Bagaswara itu menarik nafas dalam-dalam sambil berkata kepada diri sendiri, “Apa boleh buat. Aku harus lebih menghargai jiwa manusia daripada padepokanku. Jika padepokan ini harus musnah, maka perlahan-lahan aku akan dapat mendirikan bangunannya kembali. Tetapi jika yang terjadi adalah kematian, maka tidak seorangpun yang akan dapat menghidupkannya lagi.”

Kiai Bagaswara itupun kemudian bangkit dan melangkah mengelilingi padepokannya. Seakan-akan ia masih ingin melihat untuk yang terakhir kalinya. Baru kemudian ia berdesis, “Aku harus pergi ke tempat-tempat yang disebut oleh para pengikut Ki Tumenggung. Mudah-mudahan orang-orang di Tanah Perdikan Menoreh mempercayai aku tentang kemungkinan yang buruk yang dapat terjadi atas Tanah Perdikan itu. Atas tingkah seorang Tumenggung dengan para pengikutnya yang ingin menghadapi Mataram dari arah barat. Karena Tumenggung itu berharap, bahwa di daerah Timur api pun akan menyala dan membakar kuasa Mataram, Jipang dan Pajang tentu akan disibukkan oleh pemberontakan di Madiun, sehingga mereka tidak akan dapat berbuat banyak terhadap api yang menyala dari Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, maka Tanah Perdikan Menoreh pun harus bersiap-siap”.

Namun dalam pada itu, Kiai Bagaswara masih belum dapat membayangkan kekuatan yang ada di Tanah Perdikan Menoreh atau di Mangir dan sekitarnya. Jika Ki Tumenggung Purbarana sambil membawa Kiai Santak dan Ki Linduk bersama para muridnya, serta mungkin satu dua orang kawan Linduk dari dunia yang gelap, maka memang akan terhimpun satu kekuatan hitam yang nggegirisi. Karena itu, maka telah timbul niat Kiai Bagaswara untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Satu daerah yang paling mungkin dibandingkan dengan tempat-tempat lain, yang akan menjadi tujuan Ki Tumenggung Purbarana. Sementara itu dari Tanah Perdikan Menoreh, ia akan dapat pergi ke Mangir yang tidak terlalu jauh letaknya. Namun untuk sampai ke Mangir, maka Ki Tumenggung harus melewati sisi selatan Tanah Perdikan Menoreh.

Niat Kiai Bagaswara pun menjadi bulat. Ia harus pergi meninggalkan padepokannya. Mungkin ia tidak akan dapat menahan diri apabila ia melihat padepokan itu benar-benar menjadi sasaran kemarahan ki Tumenggung Purbarana, seorang yang benar-benar telah terbenam dalam kegelapan, yang sudah sampai hati membunuh gurunya sendiri, dan bahkan sama sekali tidak mencegah pembantaian yang dilakukan oleh para pengikutnya terhadap para cantrik.

Ketika ia sudah melihat sekali lagi bangunan-bangunan yang ada di padepokannya itu, maka iapun kemudian melangkah melintasi halaman. Untuk beberapa saat ia berdiri di regol halaman dan memandang ke arah padepokannya yang diselubungi oleh kegelapan itu.

Sambil menarik nafas dalam dalam, maka Kiai Bagaswara pun kemudian melangkah meninggalkan padepokannya, untuk menempuh satu perjalanan yang jauh.

Belum lagi langkah Kiai Bagaswara melintasi satu bulak panjang, maka rasa-rasanya ia benar-benar sudah terpisah dari sesuatu yang selama ini mengikatnya. Padepokan.

“Aku harus melupakannya,” berkata Kiai Bagaswara.

Dalam pada itu, di hutan di seberang sungai, Ki Tumenggung mengumpat-umpat tidak habis-habisnya. Ia sudah merasa bahwa ia akan gagal. Malam itu, Kiai Bagaswara tentu sudah melarikan diri jauh-jauh. Ia dapat memanfaatkan gelapnya malam sehingga tidak dapat dilihat oleh para prajuritnya.

Tetapi perwiranya yang berambut putih menganggap nalar Ki Tumenggung itu terlalu banyak dipengaruhi oleh perasaannya, sehingga ia tidak lagi berpikir dengan bening.

Namun dengan kegagalan itu, maka Ki Tumenggung pun akhirnya memerintahkan para pengikutnya untuk kembali ke padepokan.

Hampir setiap orang di dalam pasukan itu menarik nafas dalam-dalam. Mereka sudah mulai diganggu oleh perasaan lapar. Padahal hasil buruan yang didapat hari itu, masih belum di kuliti. Dengan demikian, apabila mereka sampai di padepokan, mereka masih belum dapat makan dengan segera, karena beberapa orang di antara meieka masih harus masak lebih dahulu.

Tetapi bagi mereka saat itu, yang paling baik adalah kembali ke padepokan.

Lewat tengah malam mereka baru memasuki regol padepokan. Padepokan yang sangat gelap. Belum ada lampu yang terpasang.

Karena itu, demikian mereka berada di dalam padepokan, pertama-tama beberapa orang telah membuat api dan menyalakan obor. Kemudian mereka mulai memasuki ruang masing-masing, sementara beberapa orang yang lain, setelah meletakkan senjata mereka, langsung pergi ke dapur.

Ki Tumenggung masih saja mengumpat-umpat. Dengan suara geram ia berkata, “Kita akan mencarinya dalam satu hari besok. Jika kita tidak berhasil. maka aku tidak akan menunda-nunda lagi keberangkatanku untuk menemui Ki Linduk. Selanjutnya kita menuju ke Mataram dari arah barat.”

Malam itu, Ki Tumenggung Purbarana hampir tidak dapat tidur sama sekali. Kegelisahan, kemarahan dan dendam menyala di hatinya. Bahkan ia menjadi curiga, bahwa dengan tiba-tiba saja paman gurunya tidak datang menyerang padepokannya, sehingga karena itu, maka Ki Tumenggung Purbarana telah memperingatkan orang-orang untuk tidak menjadi lengah.

Tetapi dugaan itu memang masuk akal. Mungkin saja Kiai Bagaswara dengan cantrik-cantriknya tiba tiba saja menyergap di malam buta. Karena itu, maka para pemimpin kelompok telah memerintahkan orang-orangnya untuk bergantian berjaga-jaga, di samping sekelompok yang memang bertugas di regol dan halaman.

Namun Kiai Bagaswara sama sekali tidak berniat untuk menyerang. Bahkan setiap keinginan unluk menyelesaikan persoalannya dengan kekerasan, ia berusaha untuk mencegahnya.

Yang dilakukan oleh Kiai Bagaswara ternyata hanya berusaha untuk memberitahukan bahaya yang mungkin akan datang mengancam sasaran yang sudah ditentukan oleh Ki Tumenggung yang sangat berbahaya itu, apalagi setelah ia menguasai keris Kiai Santak. Dengan demikian Kiai Bagaswara berusaha untuk mencegah pembantaian yang akan dilakukan oleh Ki Tumenggung atas mereka yang sebenarnya tidak bersalah, karena kesalahan itu ada pada Ki Tumenggung sendiri.

Malam itu, padepokan yang dihuni oleh Ki Tumenggung dan orang-orangnya tidak terganggu oleh apapun juga. Sebagian besar dari para pengikut itu dapat tidur setelah mereka keletihan. Bahkan ada di antara para prajurit itu yang sama sekali tidak membersihkan kaki dan bahkan tidak mengganti pakaiannya yang semula basah oleh air rawa-rawa yang kotor, namun yang kemudian telah menjadi kering dengan sendirinya oleh panas tubuhnya.

Di hari berikutnya, Ki Tumenggung masih memerintahkan beberapa orangnya untuk mencari Kiai Bagaswara. Jika mereka menemukan Kiai Bagaswara di manapun juga, maka mereka harus berusaha untuk membujuknya datang ke padepokan. Jika ia berkeberatan, maka ia harus ditangkap.

“Tetapi kalian harus menyadari, bahwa Paman Bagaswara adalah orang yang memiliki ilmu yang nggegirisi. Karena itu, jika kalian merasa tidak mampu menghadapinya, maka kalian harus mengirimkan isyarat dengan panah sendaren,” pesan Kiai Bagaswara. ”Aku sendiri akan datang menangkapnya. Jika ia melawan, maka Kiai Santak akan segera mengakhiri hidupnya.”

Namun ternyata tidak seorangpun di antara para pengikut Ki Tumenggung yang bergerak dalam kelompok-kelompok itu menjumpai Kiai Bagaswara, karena Kiai Bagaswara sudah ada dalam perjalanan menuju ke Tanah Perdikan Menoreh. Memang satu perjalanan yang jauh. Tetapi Kiai Bagaswara di masa mudanya, sebelum ia menetap di sebuah padepokan, adalah seorang pengembara, sehingga perjalanan yang panjang itu bukan merupakan satu persoalan yang tidak teratasi.

Dalam pada itu, Ki Tumenggung Purbarana benar benar telah kehilangan kesabaran. Hari itu benar-benar merupakan hari terakhir baginya untuk tinggal di padepokan itu. Karena itu, maka iapun kemudian memerintahkan semua pengikutnya berkemas.

“Kita akan segera meninggalkan tempat ini. Persediaan makanan di lumbungpun sudah habis,” berkata Ki Tumenggung kepada para perwira yang menjadi pengikutnya.

“Besok kita akan meninggalkan padepokan ini,” desis seorang perwiranya.

“Semua harus disiapkan,” sahut Ki Tumenggung, “jangan ada yang tertinggal.”

“Jadi malam ini malam yang terakhir kita dapat tidur nyenyak di sebuah padepokan,” gumam pengikutnya yang lain.

“Padepokan ini membuat hatiku semakin terluka terhadap keluarga perguruanku,” berkata Ki Tumenggung. Lalu katanya kemudian, “Nah, sekarang semua harus dipersiapkan. Jangan menunggu sampai kita siap untuk berangkat.”

Demikianlah, maka para perwira itupun segera kembali ke pasukannya masing-masing. Merekapun segera memerintahkan semua prajurit untuk bersiap. Yang membawa sesuatu agar dibenahi sehingga pada saatnya, mereka dapat segera meninggalkan tempat itu. Demikian Ki Tumenggung menjatuhkan perintah, maka mereka segera dapat berangkat.

Memang ada keseganan beberapa orang untuk melanjutkan perjalanan yang terasa akan menjadi sangat panjang. Mereka seakan-akan menempuh perjalanan menyusup ke dalam goa yang gelap, dan tidak mengetahui apa yang terdapat di dalam goa itu.

Tetapi tidak seorangpun yang berani menyatakan pendapatnya. Meskipun ada juga yang kecewa, bahwa mereka tidak bertemu dengan Kiai Bagaswara untuk mendapatkan petunjuk, dan memberikan kekuatan batin bagi mereka, untuk meninggalkan pasukan yang dipimpin oleh Ki Tumenggung itu.

Namun terasa juga kengerian mencengkam jantung. Mereka sadar, bahwa siapapun yang berusaha untuk meninggalkan pasukan itu, maka yang akan dapat pergi hanyalah namanya, karena tubuhnya tentu akan terkapar dengan luka yang tembus sampai ke jantung.

Malam itu, para prajurit berusaha untuk dapat tidur nyenyak. Yang bertugas pun telah mengatur sebaik-baiknya, agar mereka sempat beristirahat sebelum menempuh satu perjalanan yang jauh dan tentu melelahkan.

Tetapi para prajurit itu terkejut ketika tengah malam mereka telah dibangunkan. Ternyata Ki Tumenggung Purbarana tidak mau menunggu sampai pagi.

“Kenapa kita tidak menunggu fajar?” bertanya salah seorang perwiranya.

“Aku ingin melihat api yang membakar semua bangunan. Di malam hari aku akan melihat nyalanya yang menjilat ke udara, lebih jelas dibandingkan dengan cahaya api di siang hari. Aku ingin melihat api itu sepuas-puasnya sampai bambu yang terakhir menjadi abu,” berkata Ki Tumenggung dengan lantang.

Perwira yang berambut putih menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat betapa kelamnya sudah hati Ki Tumenggung Purbarana itu.

Tetapi perwira itu sama sekali tidak menyangkal perintah Ki Tumenggung. Ia hanya melihat dengan jantung yang berdegup semakin keras, apa yang dilakukan oleh Ki Tumenggung.

Tetapi ternyata niat Ki Tumenggung itu membuat sebagian besar dari orang-orangnya menjadi gembira. Ketika Ki Tumenggung menjatuhkan perintah untuk menghancurkan padepokan itu, justru selagi hari masih gelap, maka beberapa orang menyatakan dukungannya.

“Kita akan melihat cahaya kekuatan kita,” berkata seorang perwira muda, ”dalam nyala api yang menjulang ke langit, maka kita akan melihat lambang kemenangan-kemenangan.”

“Bagus!” teriak Ki Tumenggung. “Keluarkan semua barang yang kalian perlukan untuk dibawa. Kemudian kita akan membakar semua bangunan, bersama-sama. Semakin besar api yang menyala, maka akan semaraklah kegembiraaan kita saat ini. Mudah-mudahan Bagaswara yang licik dan pengecut itu sempat melihat api menjadi semerah darah.”

Demikianlah, ketika semua barang-barang yang perlu sudah berada di tempat yang jauh dari bangunan-bangunan di padepokan itu, maka beberapa orang mulai menyebar sambil membawa obor. Ada yang membawa obor minyak, ada yang membawa obor jarak rangkap sepuluh. Namun ternyata banyak di antara para prajurit yang ingin ikut menyalakan setiap bangunan yang ada. Bahkan sampai kandang dan lumbung yang kosong pun telah siap dibakar pula.

Beberapa saat mereka menunggu sebagaimana dipesankan oleh Ki Tumenggung, bahwa mereka akan menyalakan semua bangunan serentak setelah mereka mendengar aba-aba.

Setelah semua siap, maka Ki Tumenggungpun kemudian berteriak menyerukan aba aba, “Bakar sekarang!”

Semua orang mulai melekatkan api obornya pada bangunan-bangunan yang ada. Mereka mulai membakar dinding-dinding bambu dan kayu. Dengan belarak dan ranting-ranting kecil yang ditimbun di sudut sudut bangunan, mereka berharap bahwa api akan lebih cepat menelan bangunan yang ada.

Sebenarnyalah bangunan-bangunan di padepokan itu terdiri dari bahan-bahan yang mudah terbakar. Kayu, bambu, ijuk, bahkan kandang yang besar itu beratap jerami.

Karena itu, maka sejenak kemudian, maka api pun kelihatan mulai tumbuh semakin besar. Rumah-rumah mulai melontarkankan lidah api ke udara. Semakin lama semakin besar, sehingga akhirnya, padepokan itu menjadi lautan api yang mengerikan.

Ki Tumenggung dan para pengikutnya itupun kemudian bergeser menjauh. Api yang semakin besar itu memang memberikan kegembiraan kepada mereka. Ki Tumenggung bahkan bagaikan orang yang kehilangan akal. Dan bahkan berteriak, “Bagus, bertiuplah angin yang kering. Sampai saatnya seisi padepokan ini menjadi debu yang terhambur tidak berarti sama sekali.” Malam itu angin memang bertiup. Meskipun tidak terlalu kencang, tetapi dapat membantu menghembus api yang menyala menggapai-gapai langit. Semakin api menjadi besar, maka kegembiraan pun menjadi semakin meningkat. Mereka yang semula tidak begitu tertarik kepada api yang akan menelan padepokan itu, akhirnya ikut pula bersorak-sorak. Seakan-akan mereka merasa sebagaimana seorang prajurit yang menang di medan perang.

Namun dalam pada itu, seorang perwira yang berambut putih memandang tingkah laku para prajurit itu dengan hati yang terasa sangat pahit. Ia melihat, seakan-akan para prajurit itu sudah kehilangan budi kemanusiaan mereka. Pemusnahan itu ternyata telah memberikan kegembiraan yang sukar dimengerti.

Dalam ketegangan perasaaan yang tidak terkuasai, maka perwira berambut putih itu dengan diam-diam telah bergeser menjauhi api yang menyala semakin besar. Ketika ia berada di bayangan serumpun pring cendani, maka perwira itu justru memperhatikan keadaan di sekitarnya. Akhirnya, justru karena para prajurit itu sedang memperhatikan api yang menyala semakin tinggi, maka perwira berambut putih itu dengan mudah dapat meninggalkan mereka, dan hilang di balik dinding regol.

Namun, demikian ia melangkah beberapa langkah menjauh, tiba tiba saja di luar dugaan, hampir saja ia membentur sesosok tubuh yang juga sedang melingkari sebuah gerumbul perdu. Dengan serta merta perwira berambut putih itu meloncat surut. Dalam waktu yang sekejap, di tangannya telah tergenggam sebilah pedang.

Dadanya menjadi berdebar-debar ketika dalam keremangan malam ia melihat sosok tubuh yang berdiri di hadapannya, yang juga sudah menggenggam pedang pula.

“Kau Kakang,” desis sosok tubuh itu.

Perwira berambut putih itu menjadi tegang. Dengan senjata siap di tangan ia berkata, “Ya. Aku memang sudah mengambil keputusan, apapun yang terjadi. Jika kau menghalangi aku, maka entahlah, bahwa aku tidak akan dapat mengekang diri.”

“Maksudmu, kau akan mencegah aku?” orang itu tiba-tiba menggeram. “Bagiku, lebih baik aku mati daripada aku harus kembali ke padepokan. Kakang, sebaiknya kau tidak usah menjilat kaki Purbarana dengan berusaha menangkap aku. Kita sudah saling mengetahui kemampuan kita masing-masing. Jika kita terlibat dalam pertempuran, maka kita tidak akan dapat mengatakan, siapakah yang akan tetap hidup.”

Perwira berambut putih itu termangu-mangu mendengar jawaban sosok tubuh yang hampir membenturnya itu. Tetapi sebelum ia berkata sesuatu, orang itu mendahului, katanya, “Minggirlah. Tidak ada gunanya kita berselisih. Biarlah aku memilih jalanku sendiri. Dan kau memilih jalanmu.”

“Kau akan berbuat apa?” bertanya perwira berambut putih itu.

“Jika kau datang untuk mencegah aku, kau tentu sudah tahu, bahwa aku akan melarikan diri dari kekuasaan Ki Tumenggung Purbarana yang sudah menjadi gila itu. Jika aku masih terikat kepadanya, maka akupun akan menjadi gila pula.”

Perwira berambut putih itu menarik nafas dalam-dalam. Sejenak kemudian iapun justru menyarungkan pedangnya. Tetapi sebelum ia mengatakan sesuatu, orang yang datang kemudian itu menggeram, “Jangan menghina aku Kakang. Kau sangka kau akan dapat menangkap aku tanpa mempergunakan senjata?”

Tetapi perwira berambut putih itu tersenyum. Katanya, “Tujuan kita sama. Aku juga sudah jemu berada di antara pasukan yang telah kehilangan arah perjuangannya itu. Pada saat Ki Tumenggung Prabadaru masih ada, rasa rasanya kita melihat satu jalan yang panjang yang akan kita tempuh, tetapi rasa-rasanya jelas jalan itu menuju kemana. Tetapi sekarang agaknya sudah menjadi berlainan. Kita melihat jalan ini menuju kegelapan, tanpa mengetahui apa yang ada di dalam kegelapan itu.”

Orang yang datang kemudian itu termangu mangu sejenak. Namun iapun kemudian menyarungkan pedangnya pula sambil berkata, “Jika demkian, marilah. Kita akan pergi jauh dari Ki Tumenggung itu. Mungkin aku ingin kembali saja ke Pajang, menyerahkan diri dan mohon pengampunan.”

Perwira berambut putih itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Marilah, mumpung orang-orang gila itu sedang menikmati mimpi mereka yang mereka cari di antara jilatan lidah api yang menelan seluruh padepokan, yang tidak bersangkut paut dengan dendam yang semula mendorong kita melakukan perjuangan ini.”

Demikianlah, keduanyapun kemudian dengan cepat meninggalkan padepokan itu semakin jauh. Sekali-sekali mereka berpaling. Jantung mereka serasa berdegup semakin keras jika mereka melihat api yang bagaikan menjilat langit.

Dengan cepat, maka seisi padepokanpun menjadi musnah. Api yang mewarnai langit dengan warna darah itu mulai susut. Perlahan-lahan. Namun semuanya sudah menjadi debu. Beberapa orang dipadukuhan yang agak jauh melihat juga api yang menyala itu. Dua orang peronda telah membangunkan kawan-kawannya ketika mereka melihat langit berwarna darah. Namun mereka tidak mengetahui darimana timbulnya warna itu. Apalagi mereka sama sekali tidak mendengar isyarat apapun juga.

Memang ada yang menyangka bahwa api itu berkobar di padepokan yang mereka kenal. Tetapi yang mengherankan bagi mereka, sama sekali tidak ada isyarat kentongan sama sekali.

“Mungkin mereka membakar jerami” berkata salah seorang dari para peronda.

“Sampai langit menjadi merah?” kawannya bertanya.

Yang pertama termenung sejenak. Namun kemudian katanya, “Entahlah. Tetapi sama-sekali tidak ada tanda bahaya. Mungkin mereka sengaja membakar sesuatu yang cukup besar sehingga api bagaikan menjilat langit.”

“Besok kita akan dapat menengoknya,” berkata seorang di antara mereka. Lalu, “Sekarang aku akan tidur.”

Mereka tidak banyak lagi memperhatikan warna merah di langit. Meskipun masih ada juga di antara mereka yang duduk-duduk di sudut padukuhan sambil melihat warna merah itu.

Sementara itu, api yang menelan seisi padepokan itu sudah mulai mereda. Ki Tumenggung Purbarana memandang api yang susut itu dengan kepuasan tersendiri. Sedangkan beberapa orang justru menjadi kecewa bahwa api akan segera padam sebelum matahan membayang.

Tetapi ketika warna merah di langit oleh lidah api itu menjadi surut, maka warna fajarlah yang mulai nampak. Namun ternyata bahwa warna merah yang kemudian merata di langit mempunyai watak yang jauh berbeda dengan warna merah yang sudah susut itu. Warna merah yang dilontarkan oleh cahaya fajar justru memberikan kesegaran menyongsong hari yang akan datang, sedangkan warna merah yang dilontarkan oleh api yang menelan padepokan itu adalah warna maut dan ketamakan.

Dalam pada itu, setelah api menjadi semakin kecil, maka Ki Tumenggung pun telah memerintahkan orang-orangnya untuk bersiap siap. Mereka akan segera meninggalkan onggokan abu yang akan segera lenyap ditiup angin. Beberapa batang pepohonan telah ikut menjadi kering dan bahkan terbakar sebegaimana semua bangunan yang ada.

Tetapi ketika para prajurit itu sudah berkumpul, terjadi pula satu keributan. Para prajurit dan Ki Tumenggung Purbarana tidak lagi menemukan perwira berambut putih dan seorang perwira muda yang lain.

“Cari sampai dapat! Mungkin mereka pergi ke sungai,” teriak Ki Tumenggung Purbarana yang mulai marah.

Beberapa orang telah mencarinya ke sungai. Tetapi mereka tidak menemukan seorangpun. Perwira berambut putih dan perwira yang seorang lagi itu benar-benar telah hilang dari antara mereka, seperti beberapa orang prajurit yang hilang sebelumnya.

Kemarahan Ki Tumenggung rasa-rasanya hampir meretakkan dadanya. Beberapa orang prajurit yang pergi itu telah membuat darahnya bagaikan mendidih. Apalagi kemudian dua orang perwira telah meninggalkannya pula. Perwira berambut putih itu adalah perwira yang memiliki pandangan yang luas. Ia dapat memberikan banyak pertimbangan, dan bahkan ketajaman penggraitannya banyak memberikan arah pada langkah-langkah Ki Tumenggung.

“Gila. Kenapa orang itu mengkhianati aku? Selama ini ia menunjukkan kesetiaannya. Bahkan ia adalah orang yang sangat aku hormati karena sikap dan pendapat-pendapatnya,” geram Ki Tumenggung.

Tidak seorangpun yang menjawab. Namun justru karena itu, Ki Tumenggung itu berteriak, “He, kenapa? Apakah kalian semuanya tuli atau bisu?”

Beberapa orang hanya saling perpandangan. Tetapi tidak seorangpun yang berani menyatakan pendapatnya tentang kedua orang perwira yang meninggalkan kesatuan itu. Kemarahan Ki Tumenggung menjadi semakin menghentak-hentak. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia tidak tahu, kepada siapa ia harus melontarkan kemarahannya.

Namun kepergian perwira berambut putih dan seorang perwira yang lebih muda itu sama sekali tidak meredakan keinginannya untuk membakar Mataram. Bahkan Ki Tumenggung Purbarana menjadi semakin marah. Ia merasa terhina sekali atas tingkah laku kedua orang perwira yang sebelumnya sangat dekat dengannya.

“Seharusnya mereka minta ijin kepadaku” geram Ki Tumenggung Purbarana.

Tetapi setiap orang mengetahui bahwa hal itu tidak akan mungkin dilakukan oleh kedua orang perwira yang menyingkir itu. Jika mereka minta ijin kepada Ki Tumenggung, maka akibatnya adalah maut. Ujung keris Kiai Santak akan dapat tergores di tubuhnya, dan akibatnya, mereka tidak akan sempat melihat lagi matahari terbit di keesokan harinya.

Dengan kemarahan yang menghentak-hentak dada maka Ki Tumenggung itupun segera momerintahkan prajuritnya untuk bersiap. Mereka akan segera meninggalkan padepokan yang sudah menjadi abu itu, menuju ke sebuah padepokan yang lain. Padepokan yang dipimpin oleh Ki Linduk, yang juga disebut Ki Sambijaya.

Jalan yang akan mereka lalui bukannya jalan yang pendek. Mereka akan menempuh perjalanan yang melingkar. Menyusuri sungai, menuruni lembah dan memanjat lereng-lereng perbukitan. Memasuki hutan dan menerobos belukar. Namun merekapun akan melintasi bulak-bulak persawahan dan jalan padukuhan. Ki Tumenggung sudah siap untuk menjawab pertanyaan pertanyaan di perjalanan tentang pasukannya, sebagaimana pernah dilakukan sebelumnya. Ki Tumenggung selalu mengatakan bahwa pasukannya adalah pasukan yang mendapat perintah untuk memburu para prajurit yang sedang memberontak terhadap kekuasaan yang baru. Mataram.

Sebenarnyalah, bahwa perjalanan pasukan itu bukan perjalanan yang menyenangkan. Sekali-sekali mereka merasakan kehausan. Dalam keadaan yang demikian, maka satu-satunya yang mereka harapkan adalah air. Di padang perdu yang luas, mereka memang sulit untuk mendapatkan air. Namun, demikian padang perdu itu mereka lintasi, maka merekapun telah berebut menerkam belik-belik kecil yang terdapat di lereng perbukitan.

Bahkan kadang-kadang para prajurit itu merasa terlalu sulit untuk menahan lapar, sehingga jika mereka melewati ladang, maka apa saja yang mereka ketemukan, akan menjadi makanan mereka. Ketela pohon, ketela pendem, kacang brol dan apa saja. Bahkan di pategalan mereka telah memetik buah apa saja yang mereka dapatkan.

Namun setiap kali Ki Tumenggung telah membesarkan hati mereka. Ki Tumenggung telah menumbuhkan harapan-harapan yang kadang-kadang memang hampir pudar sama sekali.

Tetapi jika mereka sampai di padukuhan, dan atas kelicinan Ki Tumenggung mereka menyatakan diri sebagai pasukan yang sedang mengemban tugas dan memburu orang-orang yang memberontak, maka mereka telah mendapat sambutan yang dapat menumbuhkan kembali harapan-harapan yang sudah memudar itu.

Ternyata perjalanan itu tidak dapat mereka tempuh dalam sehari. Mereka harus bermalam di perjalanan. Bahkan dua malam. Sekali mereka sempat bermalam di sebuah banjar padukuhan. Namun malam berikutnya mereka harus bermalam di pinggir sebuah hutan. Betapa angin malam terasa dingin. Namun mereka sempat mencari binatang buruan. Dari kelinci sampai seekor rusa yang besar telah mereka panggang di atas perapian.

Baru pada hari berikutnya, lewat tengah hari, mereka telah mendekati sebuah padepokan yang besar. Lebih besar dari padepokan Kiai Bagaswara yang telah musnah dimakan api.

Namun agaknya padepokan Ki Linduk yang juga disebut Ki Sambijaya itupun terletak di tempat yang terpencil. Bahkan seakan-akan terkurung oleh sebuah hutan yang lebat, sehingga padepokan itu terpisah dari kehidupan masarakat kebanyakan.

Namun agaknya Ki Tumenggung Purbarana sudah mengenal tempat itu. Sebagai seorang yang berpandangan tajam, maka sekali ia mengenal tempat itu, maka ia tidak akan melupakannya.

Agar tidak menimbulkan salah paham, maka Ki Tumenggung Purbarana telah memerintahkan para pengikutnya untuk tinggal di luar hutan. Ki Tumenggung sendiri bersama lima orang pengawal terpilihnya telah memasuki hutan dan menuju ke padepokan Ki Linduk yang terpencil itu.

Ternyata bahwa di hutan itu memang terdapat sebuah lorong yang sangat sempit. Lorong yang berkelok-kelok, melintasi daerah yang kadang-kadang memang sangat rimbun dan pepat.

Namun akhirnya lorong itu telah membawa Ki Tumenggung muncul di sebuah padang yang luas. Seakan-akan sebuah hamparan dataran yang dilindungi oleh dinding yang hijau kehitam-hitaman. Di tengah hamparan itu terdapat sebuah bukit kecil. Di bawah bukit kecil itulah Ki Linduk membangun padepokannya, sementara hamparan yang luas itu telah dimanfaatkannya untuk membuat tanah persawahan. Adalah belas kasihan alam yang diberikan kepada Ki Linduk, bahwa sebelah bukit kecil itu mengalir sebuah sungai kecil. Meskipun airnya tidak terlalu deras, tetapi cukup untuk diangkat ke tanah persawahan itu.

Sejenak Ki Tumenggung menjadi ragu-ragu. Namun iapun kemudian meneruskan langkahnya. Ki Linduk adalah kawan lama gurunya. Tetapi agaknya jalan mereka memang tidak sejajar, sehingga kadang-kadang justru timbul ketegangan. Namun pada saat-saat Pajang menjadi panas, Ki Tumenggung telah mencoba menghubunginya lagi di luar pengetahuan gurunya. Tetapi agaknya yang dikehendaki oleh Ki Linduk masih belum sesuai dengan yang disanggupkan oleh Ki Tumenggung Prabadaru dan Kakang Panji. Apalagi Kakang Panji saat itu menganggap bahwa kekuatannya sudah cukup besar untuk mengimbangi kekuatan Mataram, sehingga Kakang Panji telah melupakan untuk meneruskan hubungannya dengan Ki Linduk yang disebut Ki Sambijaya.

Ternyata Ki Tumenggung dan lima orang pengawalnya itu telah diketahui kehadirannya oleh para cantrik di padepokan itu, sehingga merekapun telah bersiap-siap untuk menghadapi segala kemungkinan.

Bahkan salah seorang dari merekapun telah melaporkannya pula kepada pemimpin mereka, seorang yang sebenarnya bertubuh tinggi tetapi punggungnya sedikit bongkok dan terdapat semacam sebongkah daging di tengkuknya.

“Siapa orang itu?” bertanya pemimpin padepokan yang tidak lain adalah Ki Linduk itu sendiri.

“Entahlah,” jawab cantrik yang melaporkannya, ”mereka selalu diawasi.”

Namun demikian Ki Linduk itupun kemudian telah membenahi diri. Ia yakin bahwa orang itu tentu akan mencarinya. Karena itu, maka pesannya kepada cantrik itu, “Beritahu aku kemudian jika orang itu memang mencari aku.”

“Baik guru,” jawab cantrik itu.

Dalam pada itu, beberapa orang cantrikpun telah muncul di halaman. Seorang putut yang masih muda telah menyongsong Ki Tumenggung Purbarana, sehingga akhirnya keduanya berhenti pada jarak beberapa langkah.

“Ki Sanak,” bertanya putut itu, seorang yang berwajah keras, bermata tajam. “Siapakah kau dan apakah keperluanmu?”

“Aku akan bertemu dengan Ki Linduk yang juga disebut Ki Sambijaya,” jawab Ki Tumenggung

“Satu pertanyaanku belum kau jawab, siapakah kau?” desak putut itu.

Ki Tumenggung Purbarana tidak senang terhadap sikap itu. Tetapi ia berusaha untuk mengekang diri, sehingga kemudian iapun menjawab, “Aku adalah Purbarana. seorang Tumenggung dari Pajang.”

“Pajang,” ulang putut itu, “jauh sekali.”

“Ya. Karena itu, cepat sampaikan kepada Ki Linduk, bahwa aku Tumenggung Purbarana dari Pajang ingin menemuinya,” berkata Ki Tumenggung.

Tetapi putut itu memang menjengkelkan sekali. Katanya, “Apakah Ki Tumenggung akan melakukan tindakan sesuatu atas Guru? Menurut pengetahuanku, Guru tidak pernah melakukan satu kesalahan terhadap Pajang. Karena itu, Ki Tumenggung jangan mencoba -oba untuk mencurigai guruku.”

“Aku ingin bertemu dengan gurumu,” potong Ki Tumenggung, “persoalannya adalah persoalanku dengan gurumu.”

“Aku adalah putut tertua di sini,” jawab putut itu, “aku memiliki wewenang hampir seperti guruku.”

“Tetapi belum seperti gurumu. Nah, sebelum persoalannya bergeser dari persoalan yang baik menjadi suram, aku ingin bertemu dengan gurumu. Kau cukup mengatakannya, dan jangan mencoba untuk merusak suasana,” geram Ki Tumenggung.

Wajah putut itu menjadi merah. Tetapi sebelum ia berkata sesuatu, tiba-tiba saja terdengar suara di pendapa padepokan, “Ki Tumenggung. Marilah. Adalah satu kehormatan bagiku untuk menerima kedatangan Ki Tumenggung di padepokan yang kecil dan kotor ini.”

Putut itu berpaling. Ia melihat gurunya berdiri di pendapa. Bahkan kemudian gurunya itu melangkah turun dari tangga pendapa.

“Apakah aku berhadapan dengan Ki Tumenggung Purbarana yang pernah datang ke padepokan ini sebelumnya?” bertanya Ki Linduk.

“Ya Ki Linduk. Aku adalah Purbarana yang pernah datang ke tempat ini,” jawab Ki Tumenggung.

“Kau ternyata masih mengingatnya. Bukankah kau datang membawa pesan Panji waktu itu?” bertanya Ki Linduk pula.

“Ya,” jawab Ki Tumenggung.

Ki Linduk mengangguk-angguk. Tiba tiba saja ia bertanya, “Bagaimana kabar gurumu, Ki Tumenggung? Gurumu adalah sahabatku, meskipun kadang-kadang ada perbedaan sikap dan pandangan hidup di antara kami.”

“Guru sudah tidak ada,” jawab Ki Tumenggung.

“O,” wajah Ki Linduk menegang. “Aneh. Begitu cepat ia meninggalkan kita semuanya. Kenapa? Apakah ia terbunuh, atau meninggal karena sakit yang tidak tersembuhkan?”

Sejenak Ki Tumenggung termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Seseorang dengan licik telah membunuhnya. Guru terbunuh oleh racun yang sangat kuat. Menurut keterangan para cantrik, guru berhasil meraih obat penawar racun, tetapi tidak sempat meminumnya.”

“Bukan main. Tentu racun yang kuat sekali,” Ki Linduk mengangguk angguk.

Namun pertanyaan itu tiba tiba saja telah menumbuhkan pikiran baru di hati Ki Tumenggung. Karena itu, katanya, “Salah satu persoalan yang aku bawa adalah persoalan Guru itu pula. Aku tahu, bahwa Ki Linduk dalam beberapa hal mempunyai perbedaan sikap dengan Guru. Tetapi setelah Guru meninggal, maka ada kemungkinan lain yang dapat kita bicarakan.”

Ki Linduk mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Marilah. Naiklah ke pendapa”

“Ki Linduk,” berkata Ki Tumenggung, “sebenarnya aku datang tidak hanya dengan lima orang pengawal terpilih ini. Aku datang dengan pasukanku.”

“Pasukan? Segelar sepapan?” bertanya Ki Linduk.

“Ya. Tetapi aku tidak ingin mengejutkan Ki Linduk, karena itu, maka aku tinggalkan pasukanku di luar hutan,” jawab Ki Tumenggung.

Ki Linduk mengangguk-angguk. Namun ternyata pemimpin padepokan itu cukup berhati-hati. Katanya, “Sikapmu sudah baik Ki Tumenggung. Biarlah mereka berada di tempatnya. Kita akan berbicara. Pembicaraan kita akan menentukan, apakah prajurit-prajuritmu akan dibenarkan untuk memasuki padepokan ini atau tidak.”

Ki Tumenggung itu mengumpat di dalam hatinya. Tetapi ia tidak membantah.

Sejenak kemudian, maka Ki Tumenggung itupun telah dipersilahkan untuk naik ke pendapa bersama lima orang pengawalnya. Sementara itu Ki Linduk memerintahkan kepada cantrik-cantriknya untuk menjamu Ki Tumenggung.

“Wedang jahe, Ki Tumenggung. Di padepokan ini hanya ada sejenis wedang jahe atau wedang sere,” berkata Ki Linduk.

Ki Tumenggung berusaha untuk tersenyum. Katanya dengan suara yang liat, “Terima kasih Ki Linduk. Aku dapat minum segala macam minuman. Sebagai seorang prajurit, minum airpun tidak menjadi persoalan bagiku.”

“Ah, meskipun prajurit, tetapi pangkat Ki Purbarana adalah Tumenggung. Karena itu, Ki Purbarana tentu mempunyai kebiasaan sebagaimana seorang Tumenggung,” berkata Ki Linduk.

Ki Tumenggung tidak membantah. Tetapi sebenarnya ia ingin cepat berbicara, sehingga prajurit-prajuritnya tidak menunggu dengan kesal di luar hutan.

Setelah Ki Tumenggung dijamu minuman panas bersama pengawalnya, maka Ki Lindukpun mulai bertanya tentang kunjungan yang tiba-tiba saja itu.

Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Ketika berpaling kepada para pengawalnya, dilihatnya mereka tidak henti-hentinya meneguk minuman hangat yang menyegarkan itu.

“Biarlah mereka menikmati minuman hangat itu, Ki Tumenggung. Mereka tentu haus di perjalanan,” berkata Ki Linduk.

Ki Tumenggung mengerutkan keningnya. Tetapi sekali lagi ia mengumpat di dalam hatinya. Sementara itu kelima pengawalnya justru tidak menghiraukan sama sekali bahwa Ki Tumenggung memperhatikannya. Seperti dikatakan oleh Ki Linduk, mereka memang haus. Bahkan selama perjalanan dan bahkan ketika mereka di padepokan yang mereka bakar itu, mereka tidak sempat menghirup minuman sesegar itu, dengan gula kelapa yang berbongkah-bongkah.

“Ki Sambijaya” berkata Ki Tumenggung kemudian, tanpa menghiraukan lagi orang-orangnya yang kehausan, “kedatanganku membawa pesan perjuangan yang tidak boleh putus sepeninggal Kakang Panji dan Ki Tumenggung Prabadaru. Perjuangan itu harus diteruskan sampai datang saatnya, tegaknya sebuah kerajaan yang berlandaskan kepada kebesaran sebagaimana Majapahit pada masa jayanya.”

Tetapi Ki Tumenggung menjadi heran, Ki Linduk justru tertawa pendek sambil menyahut, “Ki Tumenggung, apakah Ki Tumenggung masih juga memimpikan kekuasaan sebagaimana pernah diimpikan Kleh kakang Panji?”

“Bukan memimpikan satu kekuasaan,” jawab Ki Tumenggung, “tetapi memimpikan keagungan satu kerajaan di tanah ini. Bukan satu kerajaan kerdil yang semakin lama justru semakin susut, dan bahkan akan sampai saatnya Mataram akan menjadi padam sama sekali.”

“Jangan begitu Ki Tumenggung,” berkata Ki Linduk, “aku adalah kawan gurumu, meskipun kami mempunyai landasan berpikir yang berbeda. Bahkan gurumu menganggap aku orang yang kadang-kadang keluar dari paugeran hidup orang kebanyakan. Dengan demikian aku pernah mendengar serba sedikit tentang Ki Tumenggung. Bukankah pada saat Ki Tumenggung menghubungi aku dalam lingkup perjuangan Kakang Panji, Ki Tumenggung berbuat di luar pengetahuan gurumu? Aku yakin bahwa gurumu tidak akan setuju. Sekarang gurumu sudah tidak ada, dan Kakang Panji pun sudah tidak ada. Lalu apakah yang sebenarnya kau kehendaki? Aku tidak begitu banyak mengenal Kakang Panji. Tetapi menilik ilmunya, maka ia memiliki saluran yang langsung ada hubungannya dengan para penguasa pada masa Majapahit, sehingga aku yakin, bahwa Kakang Panji merasa dirinya keturunan langsung dari Prabu Brawijaya. Karena itu, ia merasa memiliki hak mewarisi kerajaan yang pernah mengalami masa kejayaan, dan meledak justru pada saat yang memegang kekuasaan adalah anak Tingkir, yang kemudian mengarah kepada penyerahan kekuasaan kepada orang yang bernama Sutawijaya dan pernah disebut Mas Ngabehi Loring Pasar, anak Pemanahan, anak rakyat kecil yang sama sekali tidak memiliki darah keturunan yang pantas untuk mewarisi tahta. Nah, sekarang sebutkan tentang dirimu sendiri, bahwa kau merindukan satu kerajaan yang agung sebagaimana pernah dimiliki oleh Tanah ini.”

“Ya. Aku memang merindukan Majapahit. Aku memang tidak mempunyai darah keturunan. Karena itu aku pribadi tidak memimpikan kekuasaan itu,” berkata Ki Tumenggung.

“Lalu apa tujuan perjuanganmu?” bertanya Ki Linduk yang juga disebut Ki Sambijaya.

Ki Tumenggung tercenung sejenak. Namun akhirnya ia menjawab, “Ki Linduk. Jika aku harus merintis berdirinya satu kerajaan yang besar, maka itu sama sekali bukan satu kesalahan meskipun aku bukan darah keturunan Prabu Brawijaya. Yang aku lakukan hanyalah sekedar merintis, sehingga pada satu saat akan datang siapa yang benar-benar berhak atas tahta sebagai keturunan langsung dari Majapahit, sebagaimana Kakang Panji, jika benar ia keturunan langsung Prabu Brawijaya.”

“Jika demikian, apa rencanamu?” bertanya Ki Sambijaya, “Bukankah kau mengetahui bahwa Mataram memiliki kekuatan yang tidak terlawan.”

“Bukan tidak terlawan,” jawab Ki Tumenggung, ”tetapi kita memerlukan satu cara untuk melawannya.”

Ki Linduk tertawa pula. Katanya, “Kau tidak hanya trampil menggerakkan senjata, tetapi kau juga trampil menganyam kata-kata.”

“Aku tidak sedang bergurau, Ki Linduk” desis Ki Tumenggung.

“O,” Ki Linduk masih tertawa. “Maaf. Akupun bersungguh-sungguh. Tetapi bersungguh sungguh bukan berarti harus berbicara dengan tegang. Nah, teruskan, bagaimana rencanamu itu?”

“Saat ini Mataram masih belum tegak benar. Sementara itu, di daerah Timur sudah nampak kabut hitam yang menyelubungi Madiun dan sekitarnya. Karena itu maka aku ingin mempergunakan kesempatan ini, langsung memasuki Mataram. Tetapi dari daerah barat” berkata Ki Tumenggung.

“Apakah Ki Tumenggung telah mempelajari keadaan Mataram di bagian barat?” bertanya Ki Linduk.

“Sebagian dari keadaannya sudah kami ketahui,” jawab Ki Tumenggung.

KI Linduk mengangguk-angguk. Namun rasa-rasanya masih ada beberapa persoalan yang tersangkut di hatinya. Karena itu, maka iapun kemudian bertanya, “Ada beberapa hal yang harus Ki Tumenggung perhatikan. Pertama tentang rencana Ki Tumenggung sendiri. Seakan-akan Ki Tumenggung akan sekedar membuka jalan hingga saatnya orang yang dianggap berwenang itu datang. Apakah benar hati Ki Tumenggung sedemikian bersihnya, sehingga Ki Tumenggung sama sekali tidak mempunyai pamrih apa-apa? Katakan, seandainya Ki Tumenggung benar-benar seorang yang berhati seputih kapas, maka kita akan menilai kemungkinan yang dapat terjadi untuk menerobos pintu sebelah barat. Jika Ki Tumenggung baru mengetahui sebagian saja dari keadaannya, maka Ki Tumenggung akan benar-benar bermain api dalam genangan minyak.”

“Maksud Ki Linduk, bahwa aku sendiril-ah yang ingin duduk di atas tahta Mataram? Dan yang kedua, bahwa aku belum mengetahui dengan pasti keadaan Tanah Perdikan Menoreh atau Mangir?”

“Ya,” jawab Ki Linduk.

“Hal yang demikian memang mungkin. Rara-rasanya senang juga menjadi seorang raja. Apalagi aku sudah di.warisi keris guruku. Agaknya aku memang akan mendapat wahyu keraton,” jawab Ki Tumenggung. ”Tetapi seandainya tidak demikian, maka aku akan berwenang memilih siapakah yang paling pantas untuk duduk di atas tahta. Aku akan melihat, siapakah yang memang memiliki wahyu itu.”

Ki Linduk menarik nafas dalam-dalam. Tetapi di sorot matanya membayangkan keraguan hatinya. Namun dalam pada itu ia berkata, ”Seandainya demikian, lalu bagaimana dengan pintu sebelah barat itu?”

“Apa lagi yang dicemaskan?” bertanya Ki Tumenggung.

“Ki Tumenggung,” berkata Ki Linduk, “Ki Tumenggung adalah seorang prajurit yang memiliki pengamatan yang tentu jauh lebih tajam dari pengamatanku. Tetapi menurut pendapatku, sebelum Ki Tumenggung memasuki satu daerah, maka Ki Tumenggung harus tahu dengan pasti, apakah yang ada di daerah itu. Karena itu aku ingin menasehatkan agar Ki Tumenggung melangkah lebih berhati hati. Bukan sekedar didorong oleh perasaan yang sedang menyala.”

Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Terima kasih Ki Linduk. Aku akan melakukannya. Tetapi aku ingin penjelasan, bagaimana sikap Ki Linduk menanggapi persoalan yang aku katakan itu.”

Ki Linduk mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Maksud Ki Tumenggung, bahwa aku akan terlibat langsung di dalam gerakan Ki Tumenggung itu?”

“Ya,” jawab Ki Tumenggung.

“Lalu apa keuntunganku?” bertanya Ki Linduk, “Bukankah dalam tugas ini akan dapat timbul banyak kemungkinan? Misalnya beberapa orang cantrikku akan terluka dan bahkan terbunuh?” Ki Tumenggung mengerutkan keningnya. Ia memang sudah menduga bahwa hal seperti itu akan ditanyakannya. Karena itu, maka seakan-akan tanpa berpikir Ki Tumenggung menjawab, “Ki Sambijaya. Hal yang wajar sekali. Sebenarnya Ki Linduk pun tentu sudah mengetahui, apa yang paling baik bagi Ki Linduk.”

Ki Linduk mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia masih bertanya, ”Aku tidak mengerti Ki Tumenggung.”

“Ki Sambijaya,” berkata Ki Tumenggung, ”tentu tidak ada yang lebih baik bagi Ki Sambijaya daripada pengesahan bagi satu wilayah yang luas sebagai Tanah Perdikan. Ki Sambijaya tidak hanya sekedar menjadi seorang pemimpin sebuah padepokan kecil seperti ini. Tetapi Ki Sambijaya akan menjadi seorang Kepala Tanah Perdikan.”

Ki Linduk tiba-tiba saja tertawa. Katanya, “Jangan mengajari aku bermimpi Ki Tumenggung. Aku tidak pernah berpikir untuk menjadi seorang Kepala Tanah Perdikan. Tidak ada yang menarik bagiku untuk menjadi Kepala Tanah Perdikan itu.”

Wajah Ki Tumenggung tiba-tiba saja menjadi tegang. Dipandanginya Ki Linduk dengan sorot mata penuh kekhawatiran. Kemudian dengan suara datar ia bertanya, “Apa yang kau kehendaki Ki Linduk?”

“Ki Tumenggung. Aku sudah mengerti sepenuhnya apa yang akan kau lakukan dan apa yang kau perlukan dari aku. Aku tidak berkeberatan, tetapi aku tetap mengajukan syarat seperti yang pernah aku katakan kepada Kakang Panji dan Ki Tumenggung Prabadaru. Namun agaknya tidak mendapat tanggapan sebagaimana wajarnya. Bahkan mereka tidak lagi pernah menghubungi aku, sampai akhirnya keduanya terbunuh di peperangan,” jawab Ki Linduk.

“Apa yang kau kehendaki?” bertanya Ki Tumenggung.

“Tentu sesuatu yang bermanfaat bagiku,” jawab Ki Linduk. “Aku kira Ki Tumenggung juga mendengarnya pada waktu itu.”

“Ki Linduk menghendaki isi seluruh wilayah Mataram?” bertanya Ki Tumenggung dengan tegang.

“Jangan tergesa-gesa,” jawab Ki Linduk sambil tertawa. “Aku waktu itu memang menghendaki isi seluruh kota Mataram. Maksudku, sebagai satu pasukan yang mbedah kutha mboyong putri, maka aku akan mendapatkan harta benda yang ada di Mataram. Aku memang tidak memerlukan seorang putri pun. Sehingga karena itu, maka yang kami inginkan adalah kekayaan yang tersimpan di Mataram. Sementara itu, kalian akan mendapatkan kotanya, yang akan dapat kalian bangun menjadi pusat pemerintahan, atau akan kalian hancurkan sama sekali, untuk kemudian mendirikan satu pusat pemerintahan yang baru di daerah timur, sebagaimana masa kejayaan Majapahit.”

“Dan syarat itu masih tetap?” bertanya Ki Tumenggung.

“Aku memang berpikir seperti itu. Pada waktu Kakang Panji berusaha memecah Mataram, agaknya ia memang berkeberatan untuk memenuhi permintaan ini, karena banyak sekali pihak yang terlibat, sehingga jika semua menuntut hak seperti itu, maka akhirnya justru akan menjadi kacau. Namun sekarang kita tidak akan melibatkan banyak pihak. Karena itu, maka kita dapat membicarakannya lebih baik,” jawab Ki Linduk.

Punggung Ki Tumenggung menjadi semakin basah oleh keringat yang bagaikan terperas dari tubuhnya. Namun untuk sementara Ki Tumenggung masih berdiam diri. Dibiarkannya Ki Sambijaya mengucapkan tuntutannya bagi kerja sama yang sedang mereka persiapkan.

Dalam pada itu, maka Ki Sambijaya itu berkata seterusnya, “Tetapi mungkin Ki Tumenggung berkeberatan untuk mulai membicarakannya tentang Mataram. Karena nampaknya Ki Tumenggung akan mengambil satu tempat sebagai alas untuk menyusun kekuatan menghadapi Mataram. Karena itu, agaknya yang ingin di tundukkan dahulu oleh Ki Tumenggung adalah kekuatan di pintu barat. Tanah Perdikan Menoreh misalnya. Jika demikian, maka tuntutanku pun menyusut sebagaimana sasaran perjuangan Ki Tumenggung. Jika Ki Tumenggung menghendaki Tanah Perdikan Menoreh, maka yang ingin kami miliki adalah isi dari Tanah Perdikan itu. Sementara Ki Tumenggung akan dapat menyusun kekuatan di atas Tanah Perdikan itu dengan mengikutsertakan anak-anak mudanya. Jika mereka menolak, Ki Tumenggung dapat saja mengancam untuk membunuh mereka, atau istrinya, atau ibunya atau siapa saja.”

Wajah Ki Tumenggung menegang. Dengan nada berat ia berkata, ”Ki Linduk, sebenarnya bukan hanya Ki Linduk yang akan aku hubungi. Aku juga akan menghubungi Paman Warak Ireng.”

“He?” kening Ki Linduk berkerut. Namun kemudian katanya, ”Terserah saja kepada Ki Tumenggung.”

“Bagaimana jika Paman Warak Ireng juga menghendaki sebagaimana kau kehendaki?” bertanya Ki Tumenggung.

“Dapat saja dibicarakan. Jika Warak Ireng ikut, maka tugas kamipun menjadi semakin ringan. Adalah wajar jika imbalannyapun susut. Biarlah isi Tanah Perdikan kami bagi berdua, sebagaimana berlaku pula pada daerah-daerah lain yang ingin kita tundukkan. Mungkin Mangir, mungkin daerah-daerah lain. Juga Mataram kelak pada saatnya,” jawab Ki Sambijaya.

“Bagaimana kalian akan membagi?“ bertanya Ki Tumenggung.

“Dasarnya adalah untung-untungan. Kita membagi Tanah Perdikan dan sasaran-sasaran yang lain berdasarkan atas daerah itu. Kita menentukan satu jalan atau jalur yang lain, parit, sungai atau batas-batas yang lain. Di seberang-menyeberang batas itulah daerah kami masing masing,” jawab Ki Linduk.

Jantung Ki Tumenggung berdegup semakin keras. Permintaan itu sebenarnya tidak masuk akal.

Ki Linduk yang melihat keragu-raguan di hati Ki Tumenggung berkata, “Ki Tumenggung, dengan demikian, maka seandainya orang jual beli, kita tidak lagi berhutang atau berpiutang. Tetapi jika Ki Tumenggung menjanjikan untuk memberikan Tanah Perdikan, mengangkat menjadi orang berpangkat atau seorang senapati, atau apapun kelak, maka hal itu hanya akan memancing permusuhan. Berbeda dengan caraku ini. Kita tidak lagi terikat pada perjanjian apapun juga di kemudian hari. Setelah kau menduduki Mataram atau daerah yang lebih kecil, kau dapat berbuat apa saja atas rakyat dan daerah itu, sementara kami hanya akan mengambil kekayaan yang ada, sebagaimana umumnya orang menang perang.”

Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnya kekayaan itu akan dapat dipergunakan sebagai modal untuk meneruskan perjuangan. Tanpa ada kekayaan yang dapat dikumpulkan, maka pasukan yang akan dibentuk tidak akan memiliki kekuatan. Tidak ada bahan makanan, pakaian dan melengkapi peralatan. Karena itu, maka Ki Tumenggung pun berkata, “Ki Linduk. Jika demikian, maka kami tidak akan dapat melangkah lebih lanjut. Kami menduduki satu daerah yang miskin sekali. Bagaimana dengan pasukan yang terbentuk kemudian? Dengan kekayaan yang ada, kami dapat menyiapkan bekal dan peralatan.”

Ki Linduk tersenyum. Sambil mengangguk-angguk kecil ia berkata “Kau benar juga Ki Tumenggung. Jika demikian, maka seluruh kekayaan itu akan kita bagi tiga. Aku, Warak Ireng dan Ki Tumenggung sendiri. Menurut dugaanku, di Tanah Perdikan Menoreh cukup tersimpan kekayaan itu. Di satu rumah saja, mungkin kita akan dapat menemukan dua tiga keris bermata berlian. Timang tretes intan dan perhiasan-perhiasan yang lain dari emas.”

Ki Tumenggung mengangguk-angguk kecil, meskipun sebenarnya dadanya masih berdegupan. Tetapi agaknya ia tidak mempunyai pilihan lain daripada menerima tawaran Ki Linduk. Karena agaknya jika tidak dengan cara itu, sulit baginya untuk membawa Ki Linduk masuk ke dalam perjuangan yang berat itu.

“Pikirkan Ki Tumenggung,” berkata Ki Linduk kemudian, “aku kira pembagian ini adalah pembagian yang cukup adil. Tanpa ada kemungkinan untuk berselisih di kemudian hari, karena kita masing masing akan mendapatkan hak kita. Asal kita benar-benar saling menghormati perjanjian yang kita buat.”

Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak mempunyai pilihan lain. Karena itu maka katanya, “Tetapi apakah aku dapat mengetahui kekuatanmu dan kekuatan Warak Ireng?”

Ki Linduk tertawa. Katanya, ”Kau lihat, bahwa padepokanku agak berbeda dengan padepokan gurumu. Di sini aku mempunyai sepasukan cantrik yang bukan saja trampil bercocok tanam, membuka hutan dan berternak berbagai jenis binatang, tetapi mereka adalah prajurit-prajurit.”

“Apakah dalam keadaan sehari-hari mereka juga mempunyai pengalaman menjarah-rayah sebagaimana prajurit menang perang?” bertanya Ki Tumenggung.

“Dalam kedudukan Ki Tumenggung sebagai seorang senapati, maka Ki Tumenggung mempunyai kewajiban untuk menghancurkan kami,” jawab Ki Linduk sambil tersenyum. ”Tetapi biarlah hal itu kami lakukan. Terus terang, aku memang mempunyai kegemaran menimbun hartai benda, selain aku ingin menyebarkan pengaruh ilmuku, agar ilmuku mempunyai daerah perkembangan yang luas di Tanah Pajang ini.”

Wajah Ki Tumenggung itu memerah sesaat. Padepokan ini bukan lagi padepokan yang murni, tetapi sudah berubah menjadi sarang sekelompok perampok yang kuat dan besar dengan selimut sebuah padepokan. Sejenis dengan beberapa padepokan yang banyak terdapat di daerah terpencil.

Namun sebenarnyalah memang padepokan seperti itulah yang dikehendaki. Dengan demikian ia akan mendapat bantuan kekuatan yang berarti, sehingga bersama sama mereka akan dapat memecahkan pertahanan Tanah Perdikan Menoreh. Karena itu, maka Ki Tumenggung tidak lagi dapat memilih. Jika Warak Ireng juga menerima syarat itu, maka bersama-sama mereka akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh, terutama menghadapi pasukan khusus Mataram yang ada di Tanah Perdikan itu.

Dengan demikian maka Ki Tumenggung pun kemudian berkata, “Ki Sambijaya. Aku sadar, bahwa aku tidak akan mempunyai pilihan Iain. Tetapi bukankah hal ini masih harus dibicarakan pula dengan Ki Warak Ireng?”

Ki Linduk tertawa. Katanya, ”Keadaan dan kedudukan Warak Ireng tidak berselisih banyak dengan keadaan dan kedudukanku. Karena itu, kira-kira iapun tidak akan berkeberatan melakukannya, asal dengan imbalan yang jelas dan pasti. Bukan sekedar janji di kemudian hari.”

Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Katanya, ”Baiklah Ki Linduk. Aku menerima persyaratan itu, tetapi dengan keterangan bahwa sedikitnya kita harus bertiga melakukan rencana ini, agar kita tidak justru dibinasakan oleh pasukan khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh.”

“Bukan hanya itu Ki Tumenggung,” jawab Ki Linduk, ”jika Ki Tumenggung menerima syarat itu, maka kita bersama-sama harus mengirimkan petugas sandi untuk mengamati daerah Tanah Perdikan itu. Dengan pasti kita dapat memperhitungkan kekuatan mereka. Beberapa kekuatan yang ada di barak pasukan khusus, dan berapa pada pasukan pengawal Tanah Perdikan.”

Ki Tumenggung mengangguk-angguk. Ternyata Ki Linduk termasuk seorang yang berhati-hati menentukan langkah. Karena itu maka kemudian jawabnya, “Baiklah Ki Linduk. Aku setuju. Kita bertiga, jika Warak Ireng sependapat, akan mengirimkan tiga orang untuk melihat dan memperhitungkan dengan pasti, seberapa kekuatan yang ada di Tanah Perdikan itu.”

Ki Linduk mengangguk angguk. Lalu katanya, “Kita memang perlu segera menghubungi Warak Ireng.”

“Besok kita dapat menemuinya,” sahut Ki Tumenggung.

“Kita memerlukan perjalanan satu hari satu malam,” jawab Ki Linduk.

“Kita akan menempuhnya,” berkata Ki Tumenggung, ”semakin cepat semakin baik.”

“Aku akan berbicara dengan orang-orangku,” berkata Ki Linduk kemudian.

Namun dalam pada itu, Ki Tumenggung pun berkata, “Bagaimana dengan prajurit-prajuritku.”

Ki Linduk tersenyum. Katanya, “Biarlah para cantrik mengatur tempat lebih dahulu, sebelum prajurit-prajuritmu memasuki padepokan ini.”

Ki Tumenggung tidak menyahut lagi, sementara Ki Linduk pun kemudian meninggalkan tempat itu, masuk ke ruang dalam. Dipanggilnya beberapa orang cantrik di bawah pimpinan pututnya untuk membicarakan kemungkinan menerima para prajurit pengikut Ki Tumenggung Purbarana di padepokan itu.

“Hati-hatilah,” berkata Ki Linduk, “mereka adalah orang-orang kelaparan. Karena itu, mungkin mereka akan berbuat sesuatu yang dapat merugikan kita. Berjaga-jagalah menghadapi setiap kemungkinan. Namun sementara itu, untuk mengurangi kebuasan mereka, biarlah disediakan makan dan minum sekedarnya. Meskipun demikian, kalian jangan lengah menghadapi orang-orang kelaparan itu.”

Dengan demikian, maka putut yang tertua dari padepokan itupun telah mengatur para cantrik demgan cepat dan mapan. Mereka membagi kekuatan para cantrik pada tiga titik pusat yang berbeda letaknya. Sementara itu, mereka menyediakan tempat bagi para prajurit pengikut Ki Tumenggung pada tempat yang berada di antara ketiga titik kekuatan para cantrik. Jika mereka berniat buruk, maka ketiga titik kekuatan para cantrik itu akan dapat menekan mereka dari tiga arah dan mempergunakan alat yang akan dapat mengejutkan para prajurit.

Di tiga titik kekuatan itu terdapat semacam busur-busur raksasa yang ada di dalam dinding rumah, yang tidak nampak dari luar. Tetapi busur busur raksasa itu akan dapat melemparkan anak panah raksasa pula yang besarnya hampir seperti sebatang lembing. Busur-busur raksasa itu dapat diatur menghadap ke arah yang dikehendaki, karena dinding rumah itu berlubang-Iubang di beberapa bagian. Selain lubang untuk meluncurkan anak panah, juga lubang untuk membidik. Rumah-rumah khusus yang sebenarnya adalah tempat penyimpanan harta benda yang dikumpulkan dengan caranya oleh para pengikut Ki Linduk itu, dirangkapi dengan batang-batang kayu yang disusun berjajar sampai ke batas atap. Batang-batang kayu utuh sebesar lengan dan bertulang kayu-kayu yang lebih besar melintang.

Dalam pada itu, ketika para cantrik sudah selesai mengatur diri, maka Ki Linduk pun berkata kepada Ki Tumenggung yang berada di pendapa.

“Maaf Ki Tumenggung. Para cantrik harus menyiapkan barak mereka yang kotor. Mereka harus membersihkannya dan memindahkan barang-barang mereka, sehingga beberapa barak akan dapat dipergunakan oleh para prajurit.”

“Apakah sekarang mereka sudah diperkenankan masuk?” bertanya Ki Tumenggung.

“Silahkan. Tetapi masakan di dapur masih belum siap. Kami mohon mereka sabar menunggu,” berkata Ki Linduk.

Ki Tumenggung tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian memerintahkan pengawal-pengawalnya untuk menjemput para prajurit yang ditinggalkan di luar hutan.

Sebenarnyalah para prajurit itu mulai menjadi gelisah. Mereka sudah terlalu lama menunggu. Namun mereka belum mendapat isyarat apapun juga. Padahal mereka sudah mulai merasa sangat lapar dan haus.

Kedatangan kawan-kawan mereka dari dalam hutan telah menumbuhkan satu harapan di hati para prajurit itu. Sebagaimana yang mereka bayangkan, bahwa mereka akan memasuki sebuah padepokan dan mendapat sambutan dan hidangan yang segar, sebagaimana sepasukan pahlawan dari medan perang.

“Apa yang harus kami lakukan?” bertanya seorang perwira kepada orang-orang yang baru keluar dari padepokan.

“Kita mendapat perintah untuk memasuki padepokan,” jawab salah seorang yang ditugaskan oleh Ki Tumenggung untuk menjemput mereka.

Sesuatu terasa mekar di hati para prajurit itu. Mereka memang sudah menunggu terlalu lama. Lapar, haus dan letih. Jika kemudian mereka memasuki padepokan, maka mereka akan mendapat sambutan yang sangat baik.

Sejenak kemudian barisan itu sudah menyusup masuk ke dalam hutan. Mereka mengikuti jalan sempit yang bahkan kadang-kadang sangat sulit oleh sulur pepohonan dan semak-semak yang berduri.

Tetapi mereka harus menempuh jalan itu meskipun ada di antara mereka yang mengumpat-umpat. Namun tidak ada pilihan, karena jalan yang harus mereka tempuh memang hanya satu jalur itu.

“Setan,” geram salah seorang di antara para prajurit, “aku sudah lapar, haus dan letih. Sementara itu aku masih harus menyusuri jalan laknat ini.”

“Mungkin jalan ini sangat panjang,” geram yang lain.

“Aku bakar hutan ini,” sahut yang pertama.

Mereka tidak berbicara lagi. Tetapi di wajah mereka terbayang keseganan dan bahkan kejengkelan untuk melanjutkan perjalanan. Namun demikian, mereka memang tidak akan dapat berhenti di tengah hutan. Mereka harus berjalan terus, sampai saatnya mereka sampai di padukuhan yang akan mereka tuju.

Dalam pada itu, ketika kesabaran mereka hampir habis, mereka melihat hutan menjadi semakin tipis. Bahkan kemudian mereka muncul di sebuah dataran yang cukup luas, dikelilingi oleh hutan yang lebat.

Hampir bersorak beberapa orang bersama-sama berkata, “Itulah padepokan itu.”

“Ya,” jawab salah seorang di antara mereka yang menjemput pasukan itu, “itulah padepokan itu. Padepokan yang benar-benar terpencil”

Prajurit-prajurit yang kelelahan itu seakan-akan telah mendapatkan kekuatan mereka kembali. Langkah mereka tiba-tiba saja menjadi semakin cepat menuju ke padepokan itu. Seakan-akan di padepokan itu telah tersedia minuman panas dengan gula kelapa dan makanan hangat bagi mereka.

Namun dalam pada itu, ketika mereka mendekati regol padepokan, jantung mereka mulai berdebaran. Mereka melihat kelompok-kelompok cantrik yang berada di luar regol dan kemudian tersebar di seputar padepokan. Cantrik-cantrik itu sama sekali tidak berlari-larian menyambut mereka sambil memuji mereka sebagai pahlawan yang datang dari medan perang. Tetapi para cantrik itu justru memandang mereka dengan penuh curiga. Bahkan para prajurit itu melihat bahwa para cantrik itu ternyata bersenjata.

Para prajurit itu merasa bahwa kedatangan mereka ke padepokan itu agak berbeda dengan saat mereka memasuki padepokan guru Ki Tumenggung Purbarana. Para cantrik yang ramah dan sambutan yang terasa hangat, meskipun akhirnya padepokan itu menjadi neraka, karena para cantrik dan bahkan guru Ki Tumenggung itupun kemudian telah terbunuh dalam pertempuran yang nggegirisi.

Dalam pada itu, ketika para prajurit itu memasuki padepokan, suasananya memang terasa tegang. Para prajurit itu tidak dapat berbuat sebagaimana mereka inginkan. Demikian mereka memasuki regol, maka beberapa orang cantrik telah mempersiapkan mereka menuju ke barak yang sudah disediakan. Barak yang sebenarnya tidak akan dapat menampung mereka seluruhnya. Tetapi dengan helai-helai tikar di antara amben-amben yang besar, maka diharapkan para prajurit itu akan mendapat tempat untuk berbaring. Sebagian dari para prajurit itu terpaksa berada di serambi dan ruang-ruang sempit di barak itu.

Seorang prajurit yang melihat tempat itu mengumpat. Dengan lantang ia berkata, “He, kalian kira kami ini apa? Kalian masukkan kami sebagai sekelompok ternak di dalam kandang. Berjejal-jejal seperti ini.”

Seorang cantrik yang mengantar mereka memandang orang itu sejenak. Namun tiba-tiba saja ia menjawab tidak kalah lantangnya, “Inilah tempat yang dapat kami perbantukan kepada kalian. Terserah apakah kalian mau menerima atau tidak.”

Beberapa orang prajurit yang mendengar jawaban itu serentak berpaling. Namun cantrik itu seakan-akan tidak menghiraukan mereka. Dipandanginya saja prajurit yang telah mengumpatinya itu dengan tajamnya.

“He?“ prajurit itu menjadi marah. “Kalian membantu kami? Apa yang telah kalian lakukan? Seharusnya kalian menyediakan tempat yang lebih baik bagi kami. “

“Ingat,“ jawab cantrik itu, “senapati-lah yang datang ke padepokan ini sambil merengek minta bantuan. Kalian jangan membuat persoalan di sini. Kami adalah tuan rumah pemilik padepokan ini. Kami memberikan tempat kami agar kalian dapat berteduh dari titik-titik embun di malam hari. Jangan salah menilai diri. Kalian bukannya datang untuk menyelamatkan kami. Kami tidak mempunyai persoalan apa-apa. Kalianlah yang memerlukan bantuan kami. Tempat, makan, minum dan pasukan.”

Prajurit itu tidak dapat mengekang diri. Iapun telah meloncat menyerang. Namun ternyata cantrik itu tangkas juga. Ia sempat mengelak dan bahkan dengan kecepatan di luar dugaan, cantrik itu justru telah menyerang. Suasana menjadi panas. Beberapa orang prajurit siap membantu kawannya. Namun ketika mereka melihat keluar pintu, ternyata sekelompok cantrik berdiri dengan tegang memandangi kawannya yang telah mendapat serangan itu.

Nampaknya kedua belah pihak telah bersiap menghadapi segala kemungkinkan. Sementara itu prajurit yang marah itu ternyata telah bergeser pula menghindari serangan cantrik yang marah pula.

Dalam keadaan yang hampir saja membakar itu, seorang perwira telah berteriak, “Hentikan!”

Prajurit yang sudah siap menyerang lagi itu tertegun. Dipandanginya perwira yang mendekatinya sambil memandanginya pula. Justru dengan sorot mata yang menyala.

“Orang dungu!” geram perwira itu. ”Kita sedang membicarakan kemungkinan-kemungkinan untuk bekerja sama. Kenapa kalian justru saling menyerang?”

“Orang itu menghina aku,” jawab prajurit itu.

Tetapi ketika perwira itu berpaling ke arah cantrik itu, maka cantrik itu menyahut, “Orang itulah yang menghina kami. Dikiranya kami ini budaknya atau hambanya. Dengan susah payah kami menyediakan tempat berteduh bagi kalian, karena kami kasihan melihat kalian berkeliaran dan tidur di tempat terbuka, berselimut langit dan embun. Namun tiba-tiba orang itu membentak-bentak seenaknya saja.”

Wajah perwira itupun menegang sesaat. Ternyata iapun tersinggung pula karenanya. Tetapi dengan cepat ia menguasai diri dan berkata, “Kita lupakan semua persoalan yang timbul ini. Kami akan menerima apa yang ada bagi kami.”

Cantrik itu mengerutkan keningnya. Ternyata ada juga orang yang berpikiran di antara para pengikut Ki Tumenggung Purbarana itu. Karena itu, maka cantrik itupun kemudian berkata, “Silahkan. Itulah yang dapat kami sediakan. Terserah penilaian kalian.”

“Terima kasih,” jawab perwira itu.

Cantrik itupun kemudian meninggalkan para prajurit yang hampir saja membuatnya kehilangan kekangan. Bahkan para cantrik yang lainpun hampir saja melibatkan dirinya sebagaimana para prajurit.

“Setan itu harus dibunuh,” geram prajurit yang merasa terhina.

“Jangan membuat persoalan,” potong perwira itu.

“Tetapi ia menghina aku. Bukan hanya aku, tetapi kita semuanya. Apakah dikiranya bahwa kami tidak akan dapat menumpas mereka seperti yang pernah kami lakukan?” geram prajurit itu.

Tetapi prajurit itu terkejut bukan buatan. Ia tidak mengira sama sekali ketika tiba-tiba saja perwira itu telah mengayunkan tangannya menampar wajahnya.

“Kau dengar,” geram perwira itu, ”kita sedang melakukan tugas yang berat. Kita sedang mencari kemungkinan untuk menyelesaikan tugas itu. Sementara itu kau telah merusak suasana.”

Prajurit itu menjadi tegang. Namun perwira itupun agaknya telah benar-benar menjadi marah. Karena itu, maka katanya kemudian, ”Kau tidak menerima perlakuanku? Marilah, kita lepaskan pakaian keprajuritan kita dan kita lupakan susunan kepangkatan kita. Kau kira aku hanya berani bertindak karena pangkatku lebih tinggi dari pangkatmu?”

Bagaimanapun juga prajurit itu merasa segan menghadapi perwiranya, meskipun seandainya mereka benar-benar melepaskan pakaian keprajurit dan melupakan susunan kepangkatan. Karena bagaimanapun juga, bahwa seorang perwira tentu memiliki kelebihan dari prajuritnya.

Karena itu, maka prajurit itupun sama sekali tidak menjawab.

Beberapa saat perwira itu berdiri menegang. Tetapi karena prajurit itu sama sekali tidak menjawab, maka iapun kemudian berkata, “Baiklah. Tetapi jangan kau lakukan lagi. Jika terjadi pertempuran antara isi padepokan ini dengan kita, maka memang akan terjadi pembantaian seperti yang pernah kita lakukan. Tetapi kita tidak tahu, siapakah yang akan dibantai di sini. Isi padepokan ini, atau justru kita. Karena isi padepokan ini jauh berbeda dengan isi padepokan yang telah kita musnahkan itu.”

Prajurit itu tidak menjawab. Sementara itu perwira itupun kemudian meninggalkannya.

Demikian perwira itu pergi, maka prajurit itu mengumpat. Namun ia tidak berbicara apapun juga. Dengan serta merta maka iapun telah merebahkan dirinya di sebuah amben yang besar bersama beberapa orang kawannya.

Para prajurit yang lainpun tidak mengatakan sesuatu. Yang terjadi itu merupakan satu peringatan bagi mereka, bahwa mereka bukannya orang-orang yang harus dihormati oleh siapapun juga.

Dalam pada itu, seorang prajurit yang kemudian masuk ke dalam barak itu juga, duduk di sebelah kawannya sambil berdesi,s “Kita berada dalam penjara.”

“Kenapa?” bertanya kawannya.

“Kita melihat di setiap tempat, para cantrik mengawasi kita. Ada beberapa tempat yang menjadi pusat kekuatan para cantrik seandainya benar-benar terjadi perselisihan,” berkata prajurit itu.

“Kita memang harus menilai tempat ini sebaik-baiknya” berkata kawannya pula.

“Ya. Jauh berbeda dengan padepokan yang sudah kita hancurkan itu. Padepokan ini mempunyai susunan kekuatan yang terpelihara,” berkata prajurit itu.

Kawannya mengangguk-angguk. Ia merasa beruntung bahwa perkelahian itu tidak sempat terjadi, sehingga keadaan mereka tidak menjadi bertambah buruk. Beberapa orang prajurit pun mulai memperhitungkan bahwa belum tentu mereka akan dapat menguasai padepokan itu seandainya teradi pertempuran. Belum tentu Ki Tumenggung Purbarana, meskipun dengan keris Kiai Santak, akan dapat mengalahkan Ki Linduk, yang nampaknya memang memiliki ilmu yang tinggi. Dengan demikian, maka mungkin sekali, sebagaimana dikatakan oleh perwira itu, justru para prajuritlah yang akan dibantai di padepokan itu.

“Tidak,” berkata seorang prajurit di dalam hatinya, “Ki Tumenggung pernah mengatakan, dalam keadaan yang memaksa setelah semuanya berakhir, Ki Linduk dan pasukannya akan dimusnahkan. Dengan demikian menurut perhitungan Ki Tumenggung, maka pasukan Ki Tumenggung tentu lebih kuat dari pasukan Ki Linduk”.

Demikianlah, peristiwa yang terjadi di padepokan antara para prajurit dan para cantrik itu cepat sampai ke pemimpin tertinggi masing-masing. Ternyata Ki Tumenggung Purbarana masih berusaha untuk tidak merusak suasana. Demikian pula Ki Sambijaya. Mereka masih meletakkan satu harapan pada kerja sama yang akan mereka galang bersama orang yang disebut Warak lreng, yang memiliki watak dan tabiat serupa dengan Ki Sambijaya..

Sejak hari itu, maka para prajurit pengikut Ki Tumenggung Purbarana telah berada di padepokan itu. Mereka makan dan minum di padepokan itu pula yang disediakan oleh para cantrik. Betapa tidak ikhlasnya para cantrik memberikan makan dan minum kepada para prajurit yang telah menghina mereka itu, namun Ki Linduk telah memerintahkan kepada mereka agar mereka memberikannya juga.

Sementara itu. Ki Linduk dan Ki Tumenggung Purbarana telah membicarakan rencana mereka untuk pergi ke padepokan Warak Ireng. Mereka akan merencanakan langkah yang akan diambil bersama apabila Ki Warak Ireng sependapat.

“Aku yakin, bahwa Warak Ireng tidak akan berkeberatan,” berkata Ki Linduk.

Namun dalam pada itu, sebelum keduanya benar-benar akan pergi, baik Ki Tumenggung maupun Ki Linduk telah memanggil pemimpin-pemimpin dari para pengikutnya. Mereka mendapat petunjuk, dan bahkan perintah, untuk tetap saling menghormati.

“Jika terjadi sesuatu antara kedua golongan itu, maka kalianlah yang bertanggung jawab,” berkata Ki Linduk.

Sementara itu Ki Tumenggung berkata “Jangan korbankan cita-cita yang besar ini untuk kepentingan diri sendiri”.

Demikianlah, maka akhirnya Ki Sambijaya dan Ki Tumenggung Purbarana telah memutuskan bahwa di keesokan harinya mereka akan pergi ke padepokan Ki Warak Ireng. Mereka memerlukan waktu satu hari satu malam.

Pada saat keduanya sudah siap, dan masing-masing membawa tiga orang pengawal terpilih, maka mereka sekali lagi memberikan pesan kepada para pengikutnya, agar mereka tidak merusak suasana.

Di hari berikutnya, ketika fajar mulai membayang di langit, maka Ki Tumenggung dan Ki Linduk pun telah siap di punggung kuda masing-masing. Enam orang pengawal telah siap pula mengikuti kedua orang pemimpin mereka. Mereka akan menempuh perjalanan yang cukup jauh, yang akan mereka capai dalam jarak waktu sehari semalam. Namun dengan satu keyakinan, bahwa perjalanan itu akan menghasilkan sesuatu yang besar, yang akan sangat berarti bagi semua pihak yang terlibat dalam perjuangan itu.

Ketika iring-iringan kecil itu meninggalkan regol padepokan, beberapa orang telah mengantar mereka dan melepas iring-iringan itu pergi. Namun kemudian, betapapun juga, mereka yang ditinggalkan tidak dapat menyembunyikan perasaan masing-masing. Namun para pemimpin mereka yang diserahi tanggung jawab telah berusaha untuk menjaga agar suasana tetap terpelihara.

“Perjalanan itu akan berlangsung paling sedikit dua hari dua malam,” berkata salah seorang cantrik kepada kawan-kawannya.

“Selama itu kita harus selalu bersiap-siap,” sahut kawannya, “prajurit prajurit yang kelaparan tetapi sombong itu mungkin dapat menjadi gila dan berbuat sesuatu yang berbahaya bagi kita”.

“Apa yang kita takuti?” sahut cantrik yang pertama.

“Bukan takut, tetapi berhati-hati,” jawab kawannya, “bukankah di tiga barak khusus itu tersimpan hartai benda? Jika para prajurit itu mengetahui, mungkin mereka ingin merampok harta benda itu.”

“Tidak mungkin,” jawab cantrik yang pertama, “barak itu dibangun sangat kuat. Ada beberapa jenis senjata yang akan dapat menghancurkan mereka sebelum mereka sempat mencapai barak itu.”

“Senjata-senjata itu tidak akan berarti apa-apa jika kita tidak sempat mempergunakannya,” jawab kawannya.

“Kenapa tidak? Setiap saat senjata-senjata itu siap melontarkan nafas maut,” jawab cantrik yang pertama.

“Siapa yang melontarkan?” bertanya kawannya.

“Para petugas. He, kenapa kau bertanya begitu?” cantrik itu justru bertanya.

“Nah, aku hanya ingin menegaskan, bukankah kita harus berhati-hati dan berjaga-jaga? Bukan senjata-senjata itu yang berjaga-jaga. Tetapi kita yang akan mempergunakan senjata-senjata itu,” jawab kawannya.

“Gila,” geram cantrik itu, “sudah barang tentu.”

“Sudah barang tentu kita harus berhati-hati. Begitulah,” berkata kawannya.

“Ya, ya, Begitulah,” sahut cantrik yang jengkel.

Namun sebenarnyalah para cantrik benar-benar bersiaga sepenuhnya di tiga titik kekuatan mereka, di samping kawan-kawannya yang tersebar dari sudut ke sudut dengan pekerjaan mereka masing-masing. Yang membersihkan halaman melakukannya sebagaimana harus mereka lakukan. Yang mengatur air, mengatur air itu sebagaimana dilakukan sehari-hari. Tidak ada perubahan sikap dan tingkah laku. Namun yang tidak nampak, di dalam barak-barak penyimpanan harta benda segalanya telah disiapkan sebaik-baiknya jika terjadi sesuatu. Senjata-senjata khusus telah terpasang, dan bahkan beberapa tali perangkap yang tidak diketahui oleh orang kecuali para cantrik. Sehingga dengan demikian, maka para prajurit itu tidak akan mampu berbuat apa-apa seandainya mereka ingin berlaku curang.

Tetapi para perwira dari pasukan Ki Tumenggung pun berusaha untuk menjaga orang-orangnya sebaik-baiknya. Mereka berusaha untuk melakukan sebagaimana diperintahkan oleh Ki Tumenggung. Para prajurit tidak boleh merusak suasana. Mereka hanya boleh mempergunakan senjata sekedar untuk membela diri apabila mereka diserang.

Dengan demikian, betapapun tegangnya, namun kedua belah pihak berusaha untuk membatasi diri masing-masing, sehingga kedua belah pihak sama sekali tidak akan bersentuhan.

Dalam pada itu Ki Tumenggung Purbarana dan Ki Linduk tengah memacu kuda mereka menuju ke padepokan Ki Warak Ireng. Padepokan yang sudah dikenal baik-baik oleh Ki Linduk, karena mereka memang sering berhubungan.

Perjalanan kedua orang pemimpin dengan para pengawalnya itu memang merupakan perjalanan yang panjang. Sehari semalam mereka akan menyusuri jalan-jalan yang kadang-kadang terjal berbatu-batu, kadang-kadang licin dan kadang-kadang rawa-rawa berlumpur.

Namun bagi keduanya, perjalanan itu sama sekali bukan merupakan persoalan. Mereka adalah orang-orang yang memiliki pengalaman pengembaraan yang luas, sehingga pada mereka sama sekali tidak nampak kesulitan dan keluhan.

Namun demikian, untuk memberi kesempatan kuda-kuda mereka beristirahat, maka sekali-sekali merekapun beristirahat juga. Bahkan kadang-kadang mereka telah singgah pula di kedai-kedai makan, sementara kuda mereka mereka biarkan makan rerumputan segar di sebelah kedai itu.

Sebagaimana dikatakan oleh Ki Sambijaya, maka mereka benar-benar telah menempuh perjalanan satu hari satu malam, termasuk saat-saat mereka beristirahat dan memberi kesempatan kuda mereka makan dan minum di parit-parit yang berair jernih.

Demikianlah, menjelang dini hari, Ki Tumenggung Purbarana dan Ki Linduk bersama para pengiringnya telah mendekati padepokan Warak Ireng. Seperti padepokan Ki Linduk, padepokan inipun terletak agak terpencil. Tetapi tidak di tengah-tengah hutan yang lebat. Padepokan Warak Ireng terletak di antara bukit-bukit kecil berbatu padas. Nampaknya di tengah-tengah padang yang gersang. Hanya ada beberapa batang pohon yang tumbuh.

Tetapi sebenarnya daerah itu bukannya daerah yang gersang seperti yang nampak pada padepokan Ki Warak Ireng. Di antara bukit padas itu terletak beberapa sumber air yang jernih, yang mengalir lewat parit-parit yang dibuat alam sendiri. Kemudian parit-parit kecil itu bergabung menjadi aliran air yang lebih besar, sehingga akhirnya di luar daerah bukit berpadas itu, terdapat sebuah sungai kecil yang berair jernih sekali.

Dari air itulah, padepokan Ki Warak Ireng dapat menggarap sawah yang cukup luas bagi isi padepokannya yang termasuk besar.

Namun dalam pada itu, beberapa puluh tonggak dari bukit-bukit padas itu, terdapat bukit yang lain, yang diselubungi oleh sebuah hutan yang lebat. Bukit yang lebih besar dari bukit-bukit padas itu merupakan sumber binatang buruan yang tidak kering-keringnya bagi padepokan Ki Warak Ireng, di samping ternak yang mereka pelihara sendiri, di sebuah padang rumput beberapa puluh tonggak dari padepokan mereka, di bawah bukit berhutan, dijaga oleh beberapa orang cantrik bergantian.

Para cantrik itu tidak perlu bersusah payah mencari rumput, karena di padang penggembalaan itu rumput tumbuh dengan suburnya di atas tanah yang lembab.

Sebenarnyalah bahwa hutan yang menyelimuti pegunungan itu bukan saja memberikan binatang buruan, tetapi juga merupakan sebuah tempat penyimpahan air raksasa yang tidak kering-keringnya pada segala musim.

Demikianlah, maka Ki Tumenggung Purbarana dan Ki Linduk bersama para pengiringnya telah memasuki daerah yang demikian.

Kedatangan mereka di saat matahari masih belum terbit memang telah mengejutkan. Beberapa orang cantrik yang bertugas berjaga-jaga pada malam itu, telah bersiap-siap ketika mereka mendengar derap kaki kuda mendekat.

Demikian kuda-kuda itu berhenti, maka beberapa orang cantrik telah berloncatan dengan tombak yang merunduk.

Ki Linduk-lah yang kemudian berada di paling depan. Di bawah cahaya obor yang masih menyala, ia berusaha agar segera dapat dikenal oleh para cantrik itu.

“Apakah kalian telah menjadi buta?” geram Ki Linduk, “Buka mata kalian, siapakah aku?”

Para cantrik itu termangu-mangu. Namun ternyata ada juga di antara mereka yang segera mengenalinya.

Dengan nada tinggi cantrik itu berseru, “Ki Sambijaya?”

“Monyet itu mengenal aku,” berkata Ki Sambijaya kepada Ki Tumenggung.

“Marilah,” berkata cantrik itu tanpa merasa tersinggung, “silahkan masuk.”

“Apakah gurumu ada?” bertanya Ki Linduk.

“Tidak ada. Tetepi menurut pesannya, pagi ini guru akan kembali bersama beberapa orang di antara para cantrik yang lebih tua dari kami,” jawab cantrik itu.

“Kemana?” bertanya Ki Linduk.

Cantrik itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Ada tugas yang harus dilakukannya.”

Tetapi Ki Linduk tertawa. Katanya, “Katakan saja, Ki Warak Ireng sendiri sedang memimpin murid-muridnya untuk merampok. Bukan begitu?”

Cantrik itu menegang sejenak. Tetapi Ki Linduk menyambung, “Jangan sakit hati. Gurumu memang melakukannya sebagaimana aku lakukan. Jika gurumu bukan perampok dan kalian tidak diajarinya merampok, aku tidak akan datang kemari sekarang ini bersama Ki Tumenggung Purbarana.”

“Tumenggung?” ulang cantrik itu.

“Ya, Tumenggung. Kau tahu arti seorang Tumenggung. Ia tentu seorang prajurit. Tetapi Tumenggung Purbarana ini tidak lagi mengakui dirinya sebagai seorang prajurit Pajang, karena ia sudah memberontak. Ia merasa dirinya prajurit Majapahit yang sedang berusaha bangkit kembali setelah tertidur nyenyak untuk beberapa puluh tahun,” berkata Ki Linduk.

“Anak setan,” Ki Tumenggung itu menggeram.

Namun Ki Linduk tidak menghiraukannya. Katanya kemudian, “Karena itu, jangan takut terhadap Tumenggung yang seorang ini. Ia tidak datang kemari untuk menangkap kalian. Tetapi ia justru akan bekerja bersama kalian.”

Cantrik itu mengangguk-angguk, sementara Ki Linduk berkata, “Beri jalan aku masuk. He, apakah kalian sudah merebus air? Kalian harus menjamu kami dengan wedang jahe yang hangat, he?”

Cantrik yang sudah mengenal Ki Linduk dengan baik itupun segera mempersilahkannya masuk, diikuti oleh Ki Tumenggung Purbarana dan para pengiringnya. Mereka telah duduk di pendapa sambil menunggu kedatangan Ki Warak Ireng. Sementara itu, seorang cantrik telah menghidangkan benar-benar wedang jahe dengan gula kelapa.

“Bagus,” desis Ki Linduk, “segarnya wedang jahe. Sehari semalam kami menempuh perjalanan. Malam tadi rasa-rasanya aku kedinginan di atas punggung kuda.”

Ternyata bukan saja Ki Linduk yang merasa tubuhnya menjadi bertambah segar ketika mereka menghirup wedang jahe dengan gula kelapa.

Namun dalam pada itu, seorang cantrik pun telah menemuinya sambil berkata, “Ki Sambijaya. Agaknya Ki Sambijaya telah menempuh perjalanan yang melelahkan. Karena itu, jika Ki Sambijaya ingin beristirahat, kami persilahkan. Kami sudah menyediakan dua buah bilik yang dapat dipergunakan untuk beristirahat, sambil menunggu kedatangan Ki Warak Ireng.”

“Dimana Warak Ireng merampok?” bertanya Ki Linduk.

“Aku tidak tahu,” jawab cantrik itu.

“Bohong. Kau tentu tahu,” geram Ki Linduk.

“Aku tidak tahu,” ulang cantrik itu, “yang aku tahu, Ki Warak Ireng berangkat tiga hari yang lalu. Menurut rencana hari ini ia akan kembali. Selambat-lambatnya malam nanti.”

“Tapi jika ia tertangkap prajurit Mataram, maka ia tidak akan pernah kembali,” berkata Ki Linduk.

Cantrik itu tertawa. Katanya, “Ki Warak Ireng tidak akan mungkin dapat ditangkap oleh siapapun juga”.

“Kau kira aji Welut Putih itu dapat ditrapkan bagi lawan yang manapun juga?” bertanya Ki Linduk.

“Tetapi Ki Sambijaya tahu, bahwa kekuatan Ki Warak Ireng tidak hanya terletak pada aji Welut Putihnya saja, seolah-olah Ki Warak Ireng hanya mampu untuk melepaskan diri dari tangkapan tanpa mampu menyerang dan membinasakan lawan-lawannya.”

Ki Linduk tertawa. Katanya, “Kau tentu membela gurumu. Tetapi baiklah. Dimana kami dapat beristirahat?”

Cantrik itupun kemudian telah mengantar Ki Linduk dan Ki Purbarana untuk beristirahat. Sebuah bilik dipergunakan oleh Ki Linduk dan Ki Purbarana, sementara bilik yang lebih besar dipergunakan bagi para pengiringnya.

“Nampaknya padepokan ini penuh dengan orang-orang yang sombong seperti padepokanmu,” berkata Ki Purbarana kepada Ki Linduk.

“Kenapa?” bertanya bki Linduk.

“Cantrik itu sombong sekali, meskipun nampaknya ia cukup ramah,” jawab Ki Tumenggung.

Ki Linduk tertawa. Katanya, “Jika kau cepat tersinggung, maka sulit bagimu untuk bekerja bersama dengan Warak Ireng. Ia benar-benar orang gila. Tetapi ia termasuk orang yang bertanggung jawab. Jika ia sudah sanggup, maka kesanggupannya akan dilakukan sebaik-baiknya”.

Ki Tumenggung Purbarana tidak menjawab. Tetapi iapun kemudian membaringkan dirinya di sebuah amben bambu tanpa melepaskan kerisnya yang besar dan disebut Kiai Santak. Keris itu hanya diputarnya dan terselip di depan dadanya.

Ki Linduk memperhatikan keris itu sekilas. Tetapi ia tidak tertarik untuk mengamatinya lebih lama, bahkan iapun kemudian telah berbaring pula di amben yang lain di dalam bilik itu juga.

Meskipun keduanya kemudian berbaring, tetapi keduanya ternyata tidak tertidur. Betapapun mereka merasa letih dan kantuk, namun masih ada sepercik kecurigaan di antara mereka, sehingga mereka telah mengerahkan kemampuan daya tahan tubuh mereka untuk tetap tidak tertidur.

Namun dalam pada itu, ternyata Ki Warak Ireng tidak segera datang. Menjelang tengah hari, Ki Tumenggung Purbarana menjadi gelisah. Sejenak kemudian, iapun telah keluar dari biliknya dan bersama para pengiringnya justru pergi ke halaman belakang padepokan Warak Ireng.

Beberapa orang cantrik yang tinggal di padepokan itu hanya mengamati mereka tanpa bertanya sesuatu. Bagi para cantrik, mereka dianggap sebagai tamu yang tidak akan mengganggu ketenangan padepokan itu.

Di halaman belakang, Ki Tumenggung duduk di tepi sebuah kolam yang berair bening. Beberapa jenis ikan nampak berenang hilir mudik. Namun dalam pada itu, Ki Tumenggung yang letih itupun berkata, “Hati hatilah. Jangan berbareng tertidur di bawah bayangan pepohonan yang segar ini.”

Para pengiringnya mengerti maksud Ki Tumenggung. Karena itu, maka ketika Ki Tumenggung kemudian tertidur di bawah sebatang pohon manggis, para pengiringnya yang juga letih dan kantuk itu telah membagi tugas. Seorang di antara mereka harus berjaga-jaga. Bagaimanapun juga, mereka berada di tempat yang asing, yang akan dapat terjadi banyak kemungkinan.

Sementara itu, Ki Linduk yang masih tetap berada di dalam biliknya telah berpindah pula bersama para pengiringnya di bilik yang lain. Baru di dalam bilik itu Ki Linduk sempat tidur, dengan pesan sebagaimana dilakukan oleh Ki Tumenggung Purbarana.

Ketika matahari mulai turun, Ki Tumenggung menjadi semakin gelisah. Ternyata Warak Ireng masih belum datang.

Tetapi sebagaimana dipesankan kepada para cantrik, ia akan datang hari itu atau pada malam harinya.

Pada saat orang-orang yang menunggu itu sudah sampai ke puncak kejemuannya, maka tiba-tiba saja terdengar seorang cantrik yang berdiri di atas sebuah tangga di sudut dinding padepokan itu berteriak, “Lihat, Ki Warak Ireng telah datang.”

Beberapa orang cantrik telah mendekatinya. Seorang di antara mereka berkata, “Turun. Aku ingin melihat.”

Sebenarnyalah, di kejauhan nampak sekelompok orang-orang berkuda berpacu mendekati padepokan itu. Para cantrik dari padepokan itu segera mengenal, bahwa mereka adalah kawan-kawannya. Dalam pada itu, maka Ki Tumenggung Purbarana dan para pengiringnya, demikian pula Ki Sambijaya, telah berkumpul pula di pendapa. Sebentar lagi, orang yang ingin mereka temui itu akan datang dari satu kerja yang keras dan mempertaruhkan nyawanya.

Sebenarnyalah, sejenak kemudian maka debu pun mengepul di halaman. Seorang bertubuh kekar meskipun tidak begitu tinggi, berkuda di paling depan. Wajahnya menunjukkan kekerasan hatinya, ditandai pula dengan beberapa gores luka yang membekas. Di belakangnya beberapa orang pengikutnya segera berloncatan turun dari kuda mereka, sementara para cantrik yang ada di padepokan itupun menjadi sibuk menerima kuda-kuda mereka yang baru datang.

Dalam pada itu, Ki Warak Ireng yang masih duduk di atas kudanya melihat orang-orang yang duduk di pendapa. Tiba tiba saja ia berteriak, ”He, kau Linduk. Apa kerjamu disitu?”

Ki Linduk tersenyum. Ia tidak beranjak dari tempatnya. Sambil memandang ke arah Warak Ireng ia menjawab, “Aku menunggumu. Kau tentu membawa hasil rampokan yang akan kau bagikan pula kepada kami.”

Ki Warak Ireng mengumpat. Tetapi iapun kemudian meloncat turun dari kudanya dan berlari naik ke pendapa. Tetapi langkahnya tertegun. Diamatinya Ki Tumenggung Purbarana dengan seksama.

“Aku pernah melihat orang ini sebelumnya,” gumam Ki Warak Ireng.

Ki Linduk-lah yang menyahut, “Mungkin. Ia adalah Ki Tumenggung Purbarana, seorang senapati Pajang sebagaimana Ki Tumenggung Prabadaru.”

Ki Warak Ireng mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Aku ingat sekarang. Buat apa ia datang kemari?”

“Ada sesuatu yang perlu kita bicarakan,” berkata Ki Linduk.

Tetapi Ki Warak Ireng berkata, “Aku pernah berbicara sebelumnya. Sebelum terjadi perang di Prambanan. Apalagi sekarang yang akan dibicarakan? Pajang telah runtuh, dan Mataram telah berdiri. Apalagi?”

“Itulah yang akan kita bicarakan,” berkata Ki Linduk. “Karena itu, kita memerlukan waktu untuk dapat berbincang-bincang. Jika kau sekarang masih letih atau kau ingin menyimpan barang-barang hasil kerjamu beberapa hari ini, lakukanlah. Kami tidak tergesa-gesa.”

“Tetapi apa yang akan dikatakan oleh Ki Tumenggung? Pembicaraan kita waktu itu tidak pernah mencapai titik temu. Bahkan rasa-rasanya orang yang menyebut dirinya Kakang Panji itu merasa dirinya terlalu besar, sehingga akhirnya ia harus mengakui kekerdilannya dan mati di peperangan,” sahut Ki Warak Ireng.

“Kau terlalu cepat mengambil kesimpulan,” berkata Ki Linduk. “Sekarang lakukan apa yang ingin kau lakukan. Kita akan berbicara kemudian.”

Ki Warak Ireng yang sudah berada di pendapa itu melangkah surut. Katanya, “Baiklah. Tetapi jangan mencoba memperbudak aku.”

Wajah Ki Tumenggung menjadi tegang. Namun ketika ia memandang Ki Linduk, orang itu justru tersenyum. Katanya kepada Ki Tumenggung ketika Ki Warak Ireng sudah turun kembali ke halaman dan mulai mengatur orang-orangnya, “Jangan cepat tersinggung jika kau berbicara dengan dengan Warak Ireng”.

Ki Tumenggung menggeram. Katanya, ”Tidak cepat tersinggung artinya berbeda dengan harga diri. Jika ia menghina aku, aku berhak membungkam mulutnya.”

“Jadi apa maksudmu datang kemari? Mencari musuh? Bukankah kau pernah mengenalnya dahulu, sebagaimana kau pernah mengenal aku? Jika kau menentukan untuk bekerja bersama aku dan Warak Ireng, itu tentu bukannya tanpa sebab. Akupun yakin, bahwa kau telah mempertimbangkannya baik-baik,” berkata Ki Linduk.

Ki Tumenggung termangu-mangu sejenak. Namun ia tidak menjawab. Dalam pada itu, Warak Irengpun justru menjadi sibuk mengatur orang-orangnya serta barang-barang yang didapatkannya dalam pengembaraannya beberapa hari itu. Namun nampaknya Warak Ireng kecewa atas hasil yang didapatkannya. Ia berharap untuk mendapatkan lebih banyak dari itu. Tetapi ternyata ia gagal mencapai sebagaimana direncanakan.

Meskipun demikian, ia berhasil membawa beberapa macam barang berharga. Meskipun dengan demikian ia terpaksa mengotori senjatanya dengan darah.

Warak Ireng baru selesai ketika di pendapa telah dinyalakan lampu. Namun demikian, sebagaimana kebiasaannya, Warak Ireng tidak merasa perlu untuk mandi lebih dahulu. Sambil mengusap keringatnya dengan ujung kainnya, iapun kemudian duduk di pendapa menemui Ki Tumenggung Purbarana dan Ki Linduk yang sudah menjadi jemu menunggunya. Tetapi wedang jahe panas dan beberapa potong makanan telah menahan mereka untuk tetap duduk di pendapa, sampai saatnya Ki Warak Ireng menemui mereka.

“Perjalanan yang sial,” gumam Warak Ireng.

“Kenapa?” bertanya Ki Linduk.

“Tidak ada apa-apa yang berarti. Tetapi aku terpaksa membunuh lagi kali ini,” sahut Warak Ireng.

“Bukankah sudah menjadi kebiasaanmu?” berkata Ki Linduk.

“Tetapi hampir tidak berarti sama sekali,” jawab Warak Ireng. Namun kemudian katanya, “Sekarang, apa keperluan kalian datang kemari?”

“Biarlah Ki Tumenggung menguraikannya. Tetapi aku minta kau mendengarkan baik-baik. Jangan kau jawab atau kau bantah sebelum keterangannya selesai. Mengerti?” berkata Ki Linduk.

“Setan kau,” jawab Warak Ireng, “itu terserah kepadaku. Jika aku menjadi jemu mendengarkan, maka aku akan menghentikannya.”

“Terserah kau memang,” jawab Ki Linduk, “tetapi persoalannya tidak akan jelas bagimu. Dan mungkin kau menangkap sepotong persoalan yang justru tidak menarik. Agaknya itulah sebabnya, maka kadang-kadang kau tidak tahu pasti apa yang kau lakukan.”

“Linduk. Kau berada di rumahku. Kau jangan mengigau seperti itu,” geram Ki Warak Ireng.

Tetapi Ki Linduk hanya tertawa saja. Katanya, “Kita sudah saling mengenal dengan baik. Ki Tumenggung pun pernah mengenalmu sebagaimana kau pernah mengenal Ki Tumenggung. Marilah kita bersikap wajar. Kau dengarkan kata-kata Ki Tumenggung. Kemudian kita bicarakan, apakah ada hal-hal yang bermanfaat kita lakukan bersama atau tidak.”

Ki Warak Ireng tidak menjawab. Namun kepalanya sajalah yang terangguk-angguk.

“Nah, Ki Tumenggung. Katakan maksud kedatanganmu,” berkata Ki Linduk kemudian.

Ki Tumenggung mengerutkan keningnya. Ia mencoba mengatur perasaannya. Ia tahu, bahwa sikap Warak Ireng itu mungkin akan dapat menyakiti hatinya. Tetapi sebagaimana dipesankan oleh Ki Linduk, bahwa ia tidak boleh cepat tersinggung.

Karena itu, maka Ki Tumenggung pun berkata “Ki Warak Ireng. Mungkin kau pernah kecewa dalam hubungan yang pernah kita buat sebelumnya. Tetapi waktu itu segalanya lebih banyak tergantung kepada Kakang Panji, yang ternyata tidak dapat menyelesaikan masalah yang kita hadapi bersama. Bahkan Kakang Panji itu terbunuh di peperangan”.

“Sekarang?” bertanya Ki Warak Ireng.

“Sekarang semua tanggung jawab ada padaku. Aku telah menentukan sikap tersendiri. Meskipun langkah yang diambil Kakang Panji waktu itu lebih menguntungkan, tetapi aku masih tetap berharap bahwa usahaku justru akan berhasil.“

Ki Tumenggung pun kemudian menceritakan rencananya, dihubungkan dengan kemelut di daerah timur. Bahkan seandainya Madiun tidak bergolak sekalipun, Ki Tumenggung berharap akan dapat menyusun landasan perjuangan di sisi barat Mataram.

“Jika kita berhasil menghancurkan pasukan khusus Mataram yang berada di Tanah Perdikan Menoreh, maka semuanya akan berjalan lancar. Aku tidak yakin, bahwa Agung Sedayu yang berhasil membunuh Ki Tumenggung Prabadaru benar-benar seorang yang pantas ditakuti. Aku sendiri akan menghadapinya, selain dengan ilmu yang sudah aku miliki, maka aku telah membawa sebilah keris yang menjadi sipat kandel guruku. Kiai Santak. Keris yang mempunyai watak yang tidak terlawan di peperangan. Bahkan seandainya aku harus berhadapan dengan Raden Sutawijaya sekalipun, aku tidak akan gentar, meskipun Raden Sutawijaya yang sekarang bergelar Panembahan Senopati itu membawa Kanjeng Kiai Pleret.”

“Jangan berbicara tentang dirimu sendiri saja,” potong Ki Warak Ireng, “matangkan rencanamu.”

Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam. Iapun kemudian mengatakan permintaan Ki Linduk jika mereka kelak menduduki Tanah Perdikan Menoreh. Kekayaan yang ada di Tanah Perdikan itu akan dibagi tiga. Sepertiga untuk Ki Linduk, sepertiga untuk Ki Warak Ireng dan sepertiga untuk Ki Tumenggung sendiri, sebagai modal kelanjutan perjuangannya.

Warak Ireng mengerutkan keningnya. Tetapi iapun kemudian berkata, “Kenapa kau juga memerlukan kekayaan yang ada di Tanah Perdikan itu Ki Tumenggung? Bukankah kau memerlukan tenaganya saja. Kau memerlukan anak-anak mudanya untuk memperkuat pasukanmu. Bukan kekayaan.”

“Tetapi perjuangan itu selanjutnya memerlukan biaya,” desis Ki tumenggung.

Ki Warak Ireng termangu-mangu. Katanya kemudian, “Kau memerlukan anak-anak mudanya. Dari Tanah Perdikan Menoreh kau akan pergi ke Mangir, dan memutuskan hubungan Mataram dengan Bagelen. Kau akan membangun kekuatan di Tanah Perdikan itu, di Bagelan dan di Mangir. Mungkin kau akan menyusuri pantai selatan, pergi ke Pegunungan Sewu dan menduduki Pasantenan. Sementara itu kau berharap Madiun sudah menghisap kekuatan Pajang dan Jipang. Sedangkan para Adipati di pesisir kau harap akan tetap tinggal diam, menunggu akhir dari pergolakan itu.”

Wajah Ki Tumenggung menjadi tegang. Sementara itu Ki Linduk pun tertawa. Katanya, “Agaknya kau juga sudah menyusun rencana untuk melakukan hal yang serupa dengan Ki Tumenggung Purbarana.”

“Tidak. Aku tidak bermimpi sejauh itu. Tetapi aku dapat menebak arah perhitungan Ki Tumenggung,” jawab Ki Warak Ireng.

“Jadi bagaimana pendapatmu?” bertanya Ki Linduk.

“Bagaimana dengan kau Linduk?” Warak Ireng ganti bertanya.

“Aku sudah menyanggupinya jika kau bersedia.”

Warak Ireng merenung sejenak. Namun kemudian katanya, “Akupun tidak berkeberatan. Tetapi dengan janji, hanya sampai Tanah Perdikan Menoreh. Kita akan berbicara lagi jika kita akan melangkah selanjutnya. Karena jika Ki Tumenggung menjadi kuat, tidak mustahil kau dan aku akan dibantai di Tanah Perdikan Menoreh, meskipun jika demikian aku akan menantangnya berperang tanding, jika ia berani.”

“Gila,” potong Ki Tumenggung, “kau kira aku tidak berani melakukan perang tanding?”

Tetapi Ki Linduk menengahi, “Itu akan terjadi kelak di Tanah Perdikan Menoreh. Baru satu kemungkinan.”

Ki Tumenggung menarik nafas dalam-dalam, sementara Ki Warak Ireng berkata, “Jika kau sudah setuju Linduk, akupun setuju dengan syarat seperti yang aku katakan. Sementara itu, kita akan melihat apakah kita akan mungkin memasuki Tanah Perdikan Menoreh, dan menggulung pasukan khusus yang ada di Tanah Perdikan itu, sebelum kita menduduki seluruh Tanah Perdikan.”

“Tanah Perdikan itu satu-satunya sasaran yang paling baik. Jauh lebih baik dari Sangkal Putung atau Jati Anom, karena letaknya di antara Mataram dan Pajang, sehingga akan timbul banyak kesulitan kemudian.”

“Kita memang harus memperhitungkan kekuatan yang ada di Tanah Perdikan Menoreh itu. Kecuali pasukan khusus, juga anak yang bernama Agung Sedayu,” berkata Ki Linduk.

Demikianlah, meskipun melalui masa-masa yang tegang, namun akhirnya ketiga orang itupun dapat mencapai satu persesuaian pendapat. Mereka sepakat untuk memasuki Tanah Perdikan Menoreh, dengan membagi Tanah Perdikan Menoreh menjadi daerah yang menentukan pembagian harta benda yang tersimpan di Tanah Perdikan itu.

Untuk itu, maka ketiga orang itu sepakat, untuk menugaskan enam orang yang akan mendahului mereka pergi ke Tanah Perdikan. Masing-masing pihak diwakili oleh dua orang yang mendapat kepercayaan penuh untuk menilai kekuatan yang ada di Tanah Perdikan Menoreh, dan sekaligus membagi Tanah Perdikan Menoreh menjadi tiga bagian, berdasarkan pedukuhan yang ada.

“Kapan orang-orang itu akan berangkat?” bertanya Ki Linduk.

“Secepatnya,” berkata Ki Tumenggung, “aku sudah tidak sabar menunggu.”

“Besok?” bertanya Ki Linduk.

“Ya. Dua orang itu akan mendapat batasan waktu, agar mereka tidak bekerja sekehendak hati mereka,” berkata Ki Tumenggung.

“Tetapi yang dua orang itu belum ada di sini,” berkata Ki Linduk, “dua di antara pengiringku tidak akan dapat melakukan tugas di Tanah Perdikan itu. Mereka harus orang-orang yang benar-benar dapat mewakili aku.”

Ki Tumenggung Purbarana menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau benar Ki Linduk. Kita memang harus kembali dahulu dan menunjuk dua orang yang pantas.”

“Jika demikian, biarlah dua orangku menunggu. Kalian kembali dan mengirimkan dua orang untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Orang-orangmu akan singgah di padepokan ini, untuk kemudian bersama dua orangku yang sudah aku siapkan,” berkata Warak Ireng.

“Baiklah,” berkata Ki Linduk. Lalu katanya kepada Ki Tumenggung, “Jika kau memang tergesa-gesa, kita harus segera kembali.”

Demikianlah, maka di pagi hari berikutnya, maka Ki Linduk dan Ki Tumenggung Purbarana pun telah meninggalkan padepokan itu, kembali ke padepokan Ki Linduk. Mereka akan melaksanakan sebagaimana telah mereka sepakati bersama, memerintahkan enam orang untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.

Sementara itu, di Tanah Perdikan Menoreh, kehidupan terasa menjadi semakin tenang. Tidak lagi pernah terdengar orang-orang yang melakukan kejahatan. Kehidupan pun terasa menjadi semakin meningkat. Agung Sedayu, Prastawa dan Glagah Putih bekerja sebaik-baiknya untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat Tanah Perdikan Menoreh. Mereka banyak memperhatikan kemajuan yang dapat dicapai oleh Sangkal Putung, sehingga mereka berusaha untuk mengetrapkan yang mungkin bagi Tanah Perdikan Menoreh.

Di samping kemajuan wadag yang nampak dan terasa oleh rakyat Tanah Perdikan itu, sebenarnyalah bahwa beberapa orang pimpinan Tanah Perdikan itu sedang menempa diri untuk meningkatkan ilmu mereka masing-masing. Dengan demikian, maka waktu menjadi sangat berharga sekali bagi mereka. Ada kalanya mereka di sawah, di bendungan dan di tempat kerja yang lain. Namun pada waktunya mereka berada di sanggar untuk meningkatkan ilmu mereka.

Namun dalam pada itu, Kiai Gringsing yang mempunyai kepercayaan yang lebih besar terhadap Agung Sedayu daripada kepada Swandaru, baik dari segi kemampuan ilmu maupun dari segi kejernihan dan kebersihan berpikir, ternyata telah memutuskan untuk berada di Sangkal Putung. Ia tidak saja dapat membantu perkembangan ilmu Swandaru. Tetapi yang lebih penting adalah bahwa Swandaru memerlukan pengarahan jiwani yang lebih saksama daripada Agung Sedayu. Swandaru ternyata mempunyai sikap yang terlalu keras, sebaliknya Agung Sedayu justru terlalu ragu untuk menentukan sikap. Namun agaknya dalam saat-saat tertentu Agung Sedayu berhasil mengambil keputusan yang menentukan. Sementara itu, Swandaru benar benar memerlukan kekangan yang terus menerus, sehingga apabila mungkin, akan dapat mempengaruhi sikap dan pandangan hidupnya, bukan sekedar pada satu persoalan tertentu.

“Bukankah kau dapat mengerti maksudku Agung Sedayu?” bertanya Kiai Gringsing pada saat ia siap berangkat ke Sangkal Putung.

“Aku mengerti Guru,” jawab Agung Sedayu, “jika saatnya aku sangat memerlukan, aku akan datang menghadap.”

“Ya,” Kiai Gringsing mengangguk-angguk, “namun akupun tidak akan berada di Sangkal Putung terlalu lama. Aku akan berada di padepokan kecil di Jati Anom. Hanya pada saat-saat tertentu saja aku akan bertemu dengan Swandaru untuk memberinya petunjuk-petunjuk. Namun apabila hal itu diulang-ulang, maka agaknya akan berpengaruh juga atas sikap dan pandangan hidupnya.”

Agung Sedayu mengangguk kecil, sementara Kiai Gringsing berkata selanjutnya, “Sebenarnyalah sejak peristiwa di Prambanan itu, rasa-rasanya aku sudah tidak diperlukan lagi, Aku ingin beristirahat dan tidak lagi melibatkan diri ke dalam persolan-persolanan yang akan dapat menimbulkan kekerasan. Tetapi ternyata bahwa dalam saat-saat tertentu hal seperti itu masih diperlukan. Aku tidak dapat sepenuhnya meninggalkan dunia kekerasan sebagaimana yang telah terjadi. Namun demikian, aku sudah berusaha untuk melakukannya.”

“Ya Guru,” Agung Sedayu mengangguk-angguk.

“Sementara itu, biarlah Kiai Jayaraga berada di sini. Ia masih akan menempa Glagah Putih. Mudah-mudahan ia berhasil. Meskipun demikian, kau harus tetap mengamatinya dengan sungguh-sungguh”.

“Ya Guru,” jawab Agung Sedayu pula.

Demikianlah, maka Kiai Gringsing pun kemudian telah minta diri kepada Ki Gede, kepada Kiai Jayaraga, Sekar Mirah, Glagah Putih dan para pemimpin Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan sempat juga minta diri kepada Ki Lurah Branjangan, yang untuk sementara masih tetap berada di barak Pasukan Khusus Mataram yang berkedudukan di Tanah Perdikan Menoreh.

Sebenarnya Agung Sedayu masih ingin menahan gurunya yang untuk beberapa saat yang tidak terlalu lama berada di Tanah Perdikan Menoreh itu. Namun agaknya Kiai Gringsing memang ingin untuk beberapa saat lagi berada di dekat Swandaru, untuk seterusnya tinggal di padepokan terpencilnya, di Jati Anom. Padepokan kecil yang dapat memberinya ketenangan.

Tetapi agaknya seperti yang dikatakannya, sulit sekali bagi Kiai Gringsing untuk benar benar memisahkan diri dari kericuhan sesamanya yang selalu saja terjadi.

“Apakah perlu satu dua orang mengawani perjalanan Guru?” bertanya Agung Sedayu.

“Ah, tidak,” jawab Kiai Gringsing, “biarlah aku berjalan sendiri. Aku kira tidak akan ada hambatan apapun di perjalanan. Keadaan berangsur baik, dan tidak banyak pula orang yang akan mengenali di perjalanan.”

Kiai Jayaraga yang datang bersama Kiai Gringsing ke Tanah Perdikan itupun bertanya, “Kau tidak ingin membawa aku lagi bersamamu ke Sangkal Putung?”

“Buat apa kau aku bawa sekarang?” sahut Kiai Gringsing, “Besok, jika mendekati saat panen pohung, mungkin tenagamu aku perlukan.”

Kiai Jayaraga tertawa. Katanya, “Pada saat itu aku akan datang mengunjungi Sangkal Putung.”

“Bukan di Sangkal Putung, tetapi di padepokan kecilku di Jati Anom,” jawab Kiai Gringsing sambil tertawa pula.

Demikianlah, maka Kiai Gringsing pun kemudian telah dilepas oleh orang-orang Tanah Perdikan Menoreh kembali ke Sangkal Putung. Namun ia masih berbisik di telinga Agung Sedayu, “Aku percayakan kitab itu padamu, meskipun aku tahu, semua isinya sudah terpahat di hatimu. Pada saatnya baru aku akan datang mengambilnya, dan menyerahkannya lagi kepada Swandaru.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk kecil ia menjawab, “Aku akan menjaga sebaik-baiknya Guru.”

Kiai Gringsing pun mengangguk-angguk. Ia memang mempunyai kepercayaan yang sangat besar terhadap Agung Sedayu, yang pada dasarnya memiliki watak yang berbeda dari Swandaru. Namun sebagai seorang Guru, ia memang harus bertindak adil, namun dalam batas-batas yang dimungkinkan oleh nuraninya.

Sejenak kemudian, maka seekor kuda telah lepas meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Di atas punggung kuda itu, Kiai Gringsing menempuh perjalanan seorang diri menuju ke Sangkal Putung. Perjalanan yang tidak terlalu jauh, tetapi juga bukan perjalanan yang pendek.

Ketika Kiai Gringsing meninggalkan regol padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh, maka di hadapannya terbentang bulak yang panjang. Bulak yang berwarna hijau oleh hijaunya tetanaman yang subur.

“Tanah ini rasa-rasanya menjadi semakin subur,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya. “Ternyata bahwa kerja anak-anak mudanya tidak sia-sia. Sebagaimana Sangkal Putung, maka Tanah Perdikan Menoreh telah memberikan semakin banyak kepada para penghuninya sebagai jerih payah kerja mereka yang sungguh-sungguh”.

Udara di bulak panjang terasa segar menyapu wajahnya yang sudah berkeriput oleh garis-garis umur. Namun demikian, Kiai Gringsing masih tetap seorang yang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan.

Perjalanan Kiai Gringsing itu semakin lama menjadi semakin jauh dari padukuhan induk. Sekali-sekali ia bertemu dengan seseorang yang telah mengenalnya dan menyapanya. Dengan ramah Kiai Gringsing selalu menjawab setiap pertanyaan dari orang-orang itu.

Namun dalam pada itu, maka saat Kiai Gringsing berkuda seorang diri menjauhi Tanah Perdikan Menoreh, mendekati arus Kali Praga, maka seseorang tengah berjalan mendekati Tanah Perdikan Menoreh dari arah yang berbeda. Seorang pejalan kaki yang telah menempuh perjalanan yang jauh. Meskipun orang itu telah meningkat semakin tua, tetapi langkahnya masih tetap. Langkah yang sangat meyakinkan.

“Apakah aku sudah memasuki tlatah Tanah Perdikan Menoreh?” bertanya orang itu kepada diri sendiri.

Namun akhirnya orang itu memang bertanya kepada seorang petani, “Ki Sanak. Daerah ini termasuk kekuasaan mana?”

Petani itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian jawabnya, “Ki Sanak berada di Tanah Perdikan Menoreh.”

Orang yang sedang menempuh perjalanan itu mengangguk-angguk sambil berdesis, “Terima kasih. Ternyata aku masih dapat mengenali arahnya. Tetapi aku kurang mengerti batasnya.”

Ketika orang itu meneruskan perjalanannya, maka iapun menjadi semakin mantap. Ia memang mengenal kembali atas ingatannya tentang Tanah Perdikan Menoreh, meskipun ia baru mengenal dalam satu perjalanan pengembaraan. Yang tidak diketahuinya memang sebagaimana dikatakannya, batas-batas dari Tanah Perdikan itu.

Dengan ketajaman pengamatan seorang pengembara, maka orang itu dapat mengenali arah menuju ke padukuhan induk. Ia melihat jalur jalan yang lebih besar dari jalur jalan yang lain, sehingga orang itu dapat mengambil kesimpulan, arah yang manakah yang harus dianutnya.

Berlawanan dengan Kiai Gringsing yang menjadi semakin jauh, maka orang itupun semakin mendekati padukuhan induk Tanah Perdikan.

“Mudah mudahan kehadiranku tidak menimbulkan persoalan yang sebaliknya. Tetapi memang mungkin sekali orang-orang Tanah Perdikan ini justru mencurigai aku,” berkata orang itu di dalam hatinya.

Tetapi orang itu berjalan terus. Ia sudah bertekad untuk memasuki Tanah Perdikan Menoreh. Diterima atau tidak diterima.

Beberapa saat kemudian, orang itupun telah berdiri di depan sebuah regol yang lebih besar dari regol padukuhan yang lain. Dengan demikian, maka iapun menduga, bahwa ia telah berada di depan regol padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.

Karena itu, maka iapun kemudian dengan hati yang berdebar-debar telah memasuki regol itu. Di sebelah regol terdapat sebuah gardu yang kosong di siang hari.

Orang itupun kemudian berjalan terus menyusuri jalan di padukuhan induk Tanah Perdikan, sehingga akhirnya ia sampai pada sebuah rumah yang berhalaman luas dan berpintu gerbang lebih besar dari rumah-rumah yang lain.

Menilik bentuknya, maka orang itu dapat menduga, bahwa rumah itu adalah rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun demikian, ia memang harus meyakinkannya. Ketika seorang anak muda keluar dari regol, maka orang itupun menghentikannya sambil bertanya.

“Anak Muda! Apakah rumah ini rumah Kepala Tanah Perdikan Menoreh?”

Anak muda itu mengerutkan keningnya. Kemudian dengan ramah ia menjawab, “Ya Ki Sanak. Rumah ini adalah rumah Ki Gede Menoreh.”

“O,” orang itu mengangguk-angguk, “syukurlah. Aku telah sampai kepada alamat yang aku tuju. Apakah Anak Muda mengetahui, apakah Ki Gede ada di rumahnya?”

“Ada Ki Sanak. Aku baru saja menghadap. Marilah, aku antar Ki Sanak menemui Ki Gede,” jawab anak muda itu.

“Terima kasih Anak Muda,” jawab orang itu. Tetapi iapun kemudian bertanya, “Tetapi apakah Anak Muda ini keluarga dari Ki Gede?”

Anak muda itu termangu-mangu. Kemudian jawabnya, “Agaknya memang demikian Ki Sanak. Tetapi rumahku terletak di sebelah.”

Orang itupun mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Mudah-mudahan aku tidak merepotkanmu Anak Muda.”

“O, tidak. Meskipun rumahku terletak di sebelah, tetapi hampir setiap saat aku berada di rumah Ki Gede untuk beberapa macam hal, selain aku memang termasuk keluarganya,” jawab anak muda itu.

Demikianlah, maka anak muda itupun telah membawa orang yang baru datang itu memasuki regol rumah Ki Gede. Dipersilahkannya orang itu duduk di pendapa. Kemudian, sebagaimana di rumahnya sendiri, maka anak muda itupun masuk ke ruang dalam untuk mencari Ki Gede.

Sejenak kemudian, anak muda itu telah keluar mengiringkan seorang yang rambutnya telah mulai memutih.

“Inilah Ki Gede, Ki Sanak. Bukankah Ki Sanak ingin menghadap Ki Gede?” berkata anak muda itu.

Orang yang baru saja datang itupun kemudian membungkuk hormat sambil berkata, “Maafkan aku Ki Gede. Aku telah memberanikan diri datang ke Tanah Perdikan dan langsung menghadap Ki Gede. Untunglah aku bertemu dengan anak muda ini, yang agaknya termasuk keluarga Ki Gede sendiri.”

“Ya Ki Sanak. Anak muda ini adalah anakku sendiri, meskipun bukan anak kandung,” jawab Ki Gede.

“Ki Gede,” berkata orang itu, “perkenankanlah aku memperkenalkan diriku. Namaku Bagaswara. Orang yang sudi memanggilku, Kiai Bagaswara,” berkata orang itu.

“Kiai Bagaswara,” ulang Ki Gede.

“Ya, Ki Gede. Aku datang dari sebuah padepokan yang jauh,” jawab Kiai Bagaswara.

“Terima kasih atas kesediaan Ki Sanak mengunjungi Tanah Perdikan ini. Aku memang yang menjadi Kepala Tanah Perdikan ini,” jawab Ki Gede.

“Jika tidak keberatan, apakah aku boleh mengenal anak muda ini?” bertanya Kiai Bagaswara pula.

Anak muda itu mengangguk hormat pula sambil menjawab, “Namaku Agung Sedayu, Kiai.” “Agung Sedayu,” ulang Kiai Bagaswara dengan nada tinggi, “yang telah membunuh Ki Tumenggung Prabadaru?”

Wajah Agung Sedayu menegang. Terasa sesuatu berdesir di dadanya. Karena itu, maka kepalanyapun telah menunduk dalam-dalam.

“Apakah ada yang keliru Anak Muda?” bertanya Kiai Bagaswara yang menjadi ragu-ragu.

“Tidak Kiai,” jawab Agung Sedayu, “Kiai benar.”

“Tetapi nampaknya ada yang kurang berkenan di hati Anak Muda,” berkata Kiai Bagaswara.

“Tidak apa-apa Kiai. Aku hanya sedang merenungi diriku sendiri. Agaknya namaku memang sudah cacat di seluruh Tanah ini,” berkata Agung Sedayu.

“Kenapa?” Kiai Bagaswara menjadi heran, bahkan Ki Gede pun menjadi heran pula. “Jika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan perasaan Anak Muda, apa salahnya Anak Muda berterus terang. Mungkin aku memang harus mohon maaf untuk satu kesalahan yang tidak aku sadari.”

“Kiai tidak bersalah. Sebenarnyalah bahwa aku sudah dikenal oleh banyak orang sebagai seorang pembunuh. Alangkah senangnya untuk menjadi terkenal sebagai seorang penolong atau sebagai seorang yang menyebarkan kepandaian dan ketentraman hati. Tetapi aku memang banyak dikenal sebagai seorang yang mengotori tanganku dengan pembunuhan-pembunuhan atas sesama,” jawab Agung Sedayu.

Kiai Bagaswara menarik nafas dalam-dalam. “Aku memang harus mohon maaf kepadamu Anak Muda. Ternyata bahwa aku belum mengenal sifat dan watakmu. Jika aku menyebutnya dengan serta merta, sama sekali tidak terkesan di hatiku, bahwa Anak Muda adalah seorang pembunuh. Tetapi semata-mata sebagai ungkapan kekagumanku atas sifat-sifatmu sebagai seorang ksatria, yang telah dengan sungguh-sungguh memerangi kejahatan. Bukankah dengan terrbunuhnya Ki Tumenggung Prabadaru, dan kemudian orang yang disebut Kakang Panji, keadaan menjadi bertambah tenang?”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun justru berkata, “Akulah yang harus minta maaf atas sikapku Kiai. Tetapi aku memang kadang-kadang merasa menyandang cacat atas tingkah lakuku. Sengaja atau tidak sengaja, aku sudah membunuh banyak sekali orang-orang yang mungkin tidak seharusnya dibunuh.”

Namun dalam pada itu, pembicaraan mereka terhenti ketika seorang pembantu Ki Gede menghidangkan minuman dan makanan. Baru kemudian, setelah tamunya dipersilahkan minum dan makan sekedarnya, Ki Gede bertanya, “Kiai Bagaswara. Kehadiran Kiai di Tanah Perdikan ini tentu bukannya tanpa maksud. Jika Kiai berasal dari sebuah padepokan yang jauh, maka kehadiran Kiai tentu membawa satu pesan yang mungkin sangat penting bagi kami di Tanah Perdikan ini, atau keperluan lain yang tentu sama pentingnya.”

Kiai Bagaswara menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Adalah kebetulan bahwa di sini hadir Angger Agung Sedayu. Sebenarnyalah bahwa kedatanganku membawa pesan yang sangat penting. Aku sadar bahwa mungkin sekali ceritaku dapat dianggap sebagai cerita yang ngaya wara. Tetapi aku ingin meyakinkan, bahwa aku datang dengan satu maksud yang baik bagi Tanah Perdikan ini.”

Ki Gede mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun mengangguk-angguk sambil berkata “Apakah pesan itu hanya boleh kami dengar berdua, atau mungkin orang orang lain dapat mendengarnya?”

“Bagiku sama saja Ki Gede. Asal mereka adalah orang-orang terpercaya di Tanah Perdikan ini. Namun jika mereka tidak ada sekarang, maka apa salahnya jika hal ini aku sampaikan lebih dahulu kepada Ki Gede dan Angger Agung Sedayu.”

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Ia memang masih belum ingin melibatkan Kiai Jayaraga terlalu jauh. Sedangkan Ki Waskita belum lama telah meninggalkan tanah Perdikan Menoreh untuk menengok rumahnya yang tidak terlalu jauh dari Tanah Perdikan. Karena itu, maka Ki Gede pun berkata, “Baiklah Kiai. Biarlah pesan itu kami terima berdua. Nanti pada saatnya, pesan itu akan aku bicarakan dengan orang-orang yang aku anggap penting di Tanah Perdikan ini.”

Kiai Bagaswara menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Baiklah Ki Gede. Aku menyampaikan hal ini dengan niat yang baik. Mudah mudahan dapat diterima dengan baik pula.”

Demikianlah, maka Kiai Bagaswara pun mulai menceritakan rencana dan gerakan yang sudah dilakukan oleh seorang Tumenggung yang bernama Tumenggung Purbasana. Seorang Tumenggung yang kecewa, dan yang telah mulai dengan langkah-langkah yang akan dapat menyulitkan kedudukan Tanah Perdikan Menoreh. Apalagi menurut pendengarannya dari beberapa orang pengikut Ki Tumenggung yang berhasil dihubungi, dan bahkan berhasil ditarik dari lingkungan mereka, Ki Tumenggung akan bergerak bersama dua orang yang namanya banyak disebut-sebut di lingkungan orang-orang yang menempuh jalan sesat. Mereka adalah Ki Linduk yang juga disebut Ki Sambijaya, dan Ki Warak Ireng.

Ki Gede dan Agung Sedayu mendengarkan berita itu dengan jantung yang berdebaran. Rasa-rasanya setiap kata yang diucapkan oleh Kiai Bagaswara mengandung kesungguhan, sehingga baik Ki Gede maupun Agung Sedayu langsung dapat mempercayainya.

Namun dalam pada itu, Ki Gede bertanya, “Kiai Bagaswara, apakah Tumenggung itu tahu pasti keadaan Tanah Perdikan ini?”

Kiai Bagaswara mengerutkan keningnya. Namun kemudian jawabnya, “Aku kurang tahu Ki Gede. Namun agaknya Ki Tumenggung itu digerakkan oleh gejolak yang tidak tertahankan di dalam dadanya.”

Dalam pada itu, Kiai Bagaswara pun sempat menceritakan tingkah laku Ki Tumenggung sehingga gurunya sendiri telah dibunuhnya. Tetapi karena Kiai Bagaswara tidak menyaksikan, maka ia tidak dapat bercerita tentang padepokannya yang menjadi abu.

“Kiai”, berkata Ki Gede kemudian, “apakah kita tidak justru menunggunya saja, agar mereka datang ke Tanah Perdikan ini? Sebagaimana yang mungkin Kiai Bagaswara mengetahui, di sini ada pasukan yang merupakan pasukan khusus dari Mataram yang ada di Tanah Perdikan ini. Pasukan khusus yang mempunyai kemampuan yang sudah teruji. Jika Ki Tumenggung itu datang, maka mungkin sekali kita justru akan dapat menangkapnya.”

“Memang mungkin dapat terjadi demikian Ki Gede. Tetapi yang masih belum kita ketahui dengan pasti, seberapa kekuatan pasukan Ki Linduk dan Ki Warak Ireng,” berkata Kiai Bagaswara. “Kedua orang itu tidak mendirikan sebuah padepokan dengan niat yang jujur, untuk mengembangkan pengetahuan dan olah kanuragan dengan tujuan yang baik. Tetapi padepokan mereka tidak lebih dari sarang segerombolan brandal yang berbahaya.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Kami mengucapkan terima kasih atas pemberitahuan ini Kiai. Adalah kewajiban bagi kami untuk bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan. Tetapi apakah Kiai dapat menyebut ancar-ancar waktu yang dapat kita pergunakan untuk mempersiapkan diri?”

“Menurut dugaanku, mereka akan datang dalam waktu yang tidak terlalu lama. Tetapi aku tidak dapat menyebutnya dengan pasti,” jawab Kiai Bagaswara.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar