Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 179

Buku 179

Karena itu, maka Agung Sedayu pun kemudian minta diri kepada anak-anak muda itu. Pekerjaan mereka di bendungan Itu sudah hampir selesai, sehingga kepergiannya sama sekali tidak akan mengganggu.

Meskipun demikian, Agung Sedayu itu berkata juga kepada Prastawa yang ada di bendungan itu pula, “Terserahlah kepadamu. Aku akan pergi menemui Guru yang datang kemari.”

“Pergilah,” jawab Prastawa, “pekerjaan ini hampir selesai.”

Demikianlah, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih pun telah meninggalkan kerja itu. Tetapi pekerjaan itu memang sudah hampir selesai. Karena itu, maka kepergian mereka sama sekali tidak mengganggu pekerjaan anak-anak muda itu.

Seperti pesan Sekar Mirah, maka Agung Sedayu dan Glagah Putih telah singgah sejenak di rumah mereka. Kemudian bersama-sama dengan Sekar Mirah, mereka telah pergi ke rumah Ki Gede untuk menemui Kiai Gringsing dan beberapa orang yang belum dikenal oleh para pengawal.

Ketika mereka memasuki halaman rumah Ki Gede, maka merekapun segera melihat Kiai Gringsing yang memang sudah berada di pendapa. Sementara itu, Agung Sedayu melihat Kiai Jayaraga bersama dua orang yang belum dikenalnya duduk di pendapa itu pula.

Kehadiran Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih telah membuat suasana menjadi semakin ramai. Mereka saling mempertanyakan keselamatan dan keadaan masing-masing. Sudah beberapa lama mereka tidak bertemu, sehingga pertemuan itu nampak sebagai pertemuan yang sangat akrab antara seorang guru dengan muridnya beserta keluarganya.

Namun dalam pada itu, Agung Sedayu menjadi agak segan menghadapi kedua orang yang belum dikenalnya. Meskipun menurut ujud lahiriahnya keduanya adalah orang kebanyakan tetapi mungkin keduanya adalah orang orang yang memiliki tempat yang terhormat.

Kiai Gringsing yang melihat sikap Agung Sedayu pun kemudian telah memperkenalkan kedua orang itu. Ia mengatakan berterus terang tentang keduanya, agar tidak menimbulkan persoalan di kemudian hari.

“Swandaru berkeberatan jika keduanya tetap berada di Sangkal Putung dan sekitarnya, meskipun keduanya pada dasarnya mencari perlindungan,” berkata Kiai Gringsing, “karena itu, keduanya ikut bersama kami. Mudah-mudahan dapat bersembunyi di sini tanpa menimbulkan keributan. Bukan saja oleh kawan-kawan mereka yang akan mencarinya, tetapi oleh mereka berdua itu sendiri.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk, sementara kedua orang itu hanya menundukkan kepalanya saja.

“Nah terserah kepada kalian di sini. Apakah kalian akan menerima. Tetapi keduanya sudah berjanji untuk tidak berbuat apa-apa lagi di sini,” berkata Kiai Gringsing.

Agung Sedayu berpaling ke arah Ki Gede yang sudah menemui Kiai Gringsing lebih dahulu. Namun Ki Gede itu pun tersenyum sambil berkata, “Apa salahnya keduanya berada di sini. Tetapi sudah tentu dengan permintaan, bahwa keduanya tidak akan berbuat apa-apa. Keduanya akan menjadi penduduk yang baik dan berbuat wajar sebagaimana orang lain.”

“Nah, apakah kalian mendengar Ki Sanak?” berkata Kiai Gringsing kepada kedua orang itu.

Keduanya mengangguk dalam-dalam. Salah seorang di antara mereka berkata, “Kami memang ingin menjalani sisa hidup kami dengan kehidupan yang wajar.”

“Apakah kalian tidak mempunyai sanak keluarga?” bertanya Ki Gede kemudian.

Hampir berbareng keduanya menggeleng. Jawab salah seorang dari mereka, “Kami telah menyesali cara hidup kami. Kami tidak mempunyai sanak keluarga. Karena itulah, maka hidup kamipun akan terbatas sampai sepanjang umur kami, karena kami tidak mempunyai keturunan.”

“Baiklah,” berkata Ki Gede, “jika kalian benar-benar telah menyesal, maka aku akan mengusahakan sekotak tanah untuk dapat kalian kerjakan. Dari tanah itu kalian akan dapat makan, asal kalian mau bekerja keras.”

“Kami akan berbuat sebaik-baiknya bagi masa akhir dari hidup kami. Kami sudah bertekad untuk menempuh jalan yang paling baik yang dapat kami lakukan Sebenarnyalah bahwa apa yang kami lakukan semula memang bukan atas dasar keinginan kami. Kami berdua sudah terlanjur terjerat memasuki lingkungan Ki Sudagar. Tidak ada jalan keluar,” jawah salah seorang dari mereka.

“Dan kalian telah hanyut dengan cara hidup Ki Sudagar itu?” bertanya Agung Sedayu.

”Ya, tetapi semula aku mengira bahwa ia memang seorang saudagar yang bekerja dengan wajar. Namun ternyata di dalam liku-liku usahanya, kami telah terperosok ke dalam satu kehidupan yang suram,” jawab seorang yang lain.

Ki Gedepun agaknya mempercayai kedua orang itu. Karena itu maka iapun tidak berkeberatan sebagaimana Agung Sedayu.

Demikianlah maka pembicaraan merekapun terputus ketika hidangan mulai mengalir. Minuman panas, beberapa jenis makanan, dan bahkan kemudian makanpun telah dihidangkan.

Namun dalam pada itu, dalam satu kesempatan, Ki Gede pun bertanya kepada Kiai Gringsing, bagaimana dengan Kiai Jayaraga.

“Apakah ia akan mengikuti Kiai kemana Kiai pergi?” bertanya Ki Gede.

“Ki Gede,” berkata Kiai Gringsing, “aku memang tidak mempersoalkan Kiai Jayaraga di hadapan kedua orang bekas pengikut Ki Saudagar itu, dan di hadapan Kiai Jayaraga itu sendiri. Sebenarnyalah bahwa Kiai Jayaraga adalah seseorang yang tidak ingin jalur ilmunya terputus. Ia tidak ingin membawa ilmunya ke dalam kuburnya tanpa mewariskannya kepada seseorang. Namun dengan demikian, ia kurang teliti mengambil murid, sehingga akhirnya murid-muridnya telah mengecewakannya.”

Dengan hati-hati Kiai Gringsing memberikan penjelasan tentang Kiai Jayaraga dan niatnya untuk memberikan kesempatan kepada Glagah Putih untuk meningkatkan ilmunya, meskipun masih harus tetap di bawah bimbingan Agung Sedayu.

Ki Gede mengangguk angguk. Namun ia masih juga bertanya, “Bagaimana pendapat Kiai, jika Glagah Putih benar-benar menjadi muridnya. Apakah sifat dan watak Kiai Jayaraga tidak akan terpercik kepada Glagah Putih?”

“Sebenarnya Kiai Jayaraga adalah orang yang baik Ki Gede,” jawab Kiai Gringsing. “Ia justru telah dikecewakan oleh murid-muridnya. Termasuk Ki Tumenggung Prabadaru, yang semula menjadi tumpuan kebanggaannya, bahwa salah seorang muridnya telah mendapat kepercayaan di Pajang. Justru menjadi panglima pasukan khusus yang dianggap memiliki kemampuan terbaik.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Terserahlah kepada Kiai. Tetapi bukankah Kiai sudah membuat pengamatan yang cermat atas sifat dan watak Kiai Jayaraga?”

“Aku sudah berusaha untuk mendalami wataknya Ki Gede. Mudah-mudahan aku tidak keliru. Menung pengenalanku, iapun termasuk seseorang yang taat mengabdi kepada Yang Maha Agung,” jawab Kiai Gringsing.

Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Kita kadang-kadang memang dihadapkan kepada keadan yang kurang kita mengerti. Seorang guru yang baik, kadang-kadang harus melihat satu kenyataan bahwa murid-muridnya menjadi orang tercela. Tetapi seorang guru yang jelek, muridnya dapat menjadi seorang yang baik. Tetapi pada umumnya apa yang tersirat pada watak gurunya akan tercerrnin juga pada muridnya.”

“Ki Gede benar. Bahkan seorang guru akan dapat mempunyai dua orang murid yang wataknya jauh berbeda, bahkan berlawanan,” berkata Kiai Gringsing, “tetapi itu adalah wajar. Itu adalah pertanda hidup. Memang agak berbeda dengan seorang pande besi yang membuat sabit. Kadang-kadang kita dapat melihat ciri dari salah seorang pande besi. Kadang-kadang kita dapat langsung mengenali atas satu hasil kerja, siapakah yang telah membuatnya, karena pada umumnya hasilnya akan sama. Tetapi seseorang tidak akan dapat digarap sebagaimana kita menghasilkan barang, karena mereka memiliki alas sifat dan watak serta kemauan dan kepentingan yang berbeda-beda.”

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Namun demikian ia masih juga berkata, “Kiai, bagaimanapun juga, Agung Sedayu harustetap mengawasinya. Biarlah Kiai Jayaraga memberikan ilmu kanuragan. Tetapi perkembangan sifat dan watak Glagah Putih harus tetap dalam pengawasan.”

“Aku sependapat Ki Gede. Apalagi Glagah Putih agaknya memang sudah mempunyai alas sifat dan watak, karena itu, meskipun masih muda tetapi aku sudah melihat kepribadiannya dengan jelas,” jawab Kiai Gringsing.

Dengan demikian maka Ki Gede itupun tidak menjadi ragu-ragu lagi. Meskipun ia tidak berkepentingan langsung dengan Glagah Putih, tetapi Glagah Putih berada di Tanah Perdikannya. Di daerah kekuasaannya dan langsung ikut menangani perkembangan Tanah Perdikan itu bersama Agung Sedayu.

Demikianlah, sejak berada di Tanah Perdikan Menoreh, maka Kiai Jayaraga telah berada di rumah Agung Sedayu pula bersama Ki Waskita, yang pada saat kedatangannya tidak dapat ikut menerimanya di pendapa rumah Ki Gede, karena Ki Waskita sedang menengok keluarganya. Namun setelah sepekan maka Ki Waskita itu telah berada kembali di Tanah Perdikan Menoreh.

Sebenarnya Ki Waskita tidak akan tinggal lebih dari sepekan di Tanah Perdikan, karena ia ingin beristirahat di rumah. Tetapi atas permintaan Ki Gede, maka ia terpaksa untuk tinggal lebih lama lagi.

“Kiai Jayaraga memerlukan kawan,” desis Ki Gede yang didengar oleh Kiai Gringsing.

“Kawan dan barangkali pengawasan,” sahut Kiai Gringsing sambil tersenyum.

Ki Waskita pun tersenyum juga. Jawabnya, “Baiklah. Aku akan tinggal untuk beberapa lama. Tetapi pada saatnya, aku akan benstirahat dengan keluarga di rumah.”

“Dan tamu Ki Waskita akan berdatangan lagi untuk melihat isyarat bagi masa depan mereka,” berkata Ki Gede.

Ki Waskita tersenyum. Katanya, “Mereka sudah jemu datang ke rumah setelah beberapa kali mereka tidak menjumpai aku. Pada saat terakhir, aku telah terlibat ke dalam satu langkah yang memaksa aku jarang sekali berada di rumah.”

Dengan demikian rumah Agung Sedayu yang tidak terlalu besar itupun telah terisi oleh beberapa orang. Selain keluarga Agung Sedayu sendiri, maka telah hadir di rumah itu Ki Waskita dan Kiai Jayaraga. Sedangkan dua orang yang ikut bersama Kiai Gringsing, bekas pengikut Ki Saudagar, berada di rumah Ki Gede, sehingga dengan demikian mereka telah mendapat pengawasan langsung dari Ki Gede Sendiri. Sementara itu, beberapa orang pengawal telah diberi tahu untuk ikut mengawasi mereka.

“Tetapi jangan semata-mata,” berkata Ki Gede, “dan jangan kau sebarluaskan siapa mereka. Hanya kalian sajalah yang mengetahui. Biarlah mereka mendapat kesempatan, jika mereka menyadari bahwa mereka mendapat pengawasan terlalu ketat, maka mereka akan kecewa. Mungkin mereka akan kehilangan kepercayaan terhadap diri sendiri. Tetapi mungkin dendamnya terhadap orang lain akan semakin menggunung di dalam hatinya, pada saat orang lain akan memberikan sebidang tanah bagi mereka berdua. Sementara ini biarlah mereka ikut bekerja saja di rumah ini seperti orang-orang lain. Mungkin menjemur kayu, mungkin ikut ke sawah membajak dan mencangkul, atau kerja-kerja lainnya seperti kawan-kawannya yang berada di rumah ini. Baru kemudian aku akan mengambil keputusan, kapan tanah itu akan aku berikan kepada mereka. Namun keduanya telah berjanji untuk hidup dengan cara sebagaimana kebanyakan orang lain yang hidup dengan wajar.”

Para pengawal itu terangguk-angguk. Namun untuk menjaga segala sesuatu, para pengawal yang jumlahnya terbatas itu juga diberitahu oleh Ki Gede, bahwa kedua orang itu memiliki kemampuan dalam olah kanuragan.

“Karena itu berhati-hatilah, meskipun kalian tidak perlu terlalu mencurigai mereka,” berkata Ki Gede.

Namun ternyata bahwa kedua orang itu dengan sungguh-sungguh ingin menunjukkan bahwa mereka telah benar-benar berusaha untuk menempuh jalan hidup sewajarnya. Mereka tidak ingin lagi terseret dalam arus yang dapat membuat dunia mereka menjadi kelam dan tidak dapat membayangkan apa yang akan terjadi di hari kemudian.

Sementara itu, Kiai Gringsing pun telah memperkenalkan Ilmu Glagah Putih kepada Kiai Jayaraga. Bersama Agung Sedayu, Glagah Putih menunjukkan tingkat kemampuannya yang tertinggi. Tanpa ragu-ragu ia bertempur melawan Agung Sedayu dalam ilmu puncaknya, karena Glagah Putih sadar, bahwa Agung Sedayu tentu tidak akan mengalami kesulitan apapun juga. Dengan memperhatikan pertempuran itu, maka Kiai Jayaraga pun telah melihat seluruh kemampuan Glagah Putih, dari dasar-dasar ilmunya sampai ke puncaknya.

“Ilmu Ki Sadewa memang luar biasa,” desis Kiai Jayaraga, “seandainya Ki Sadewa masih ada, maka ia adalah orang yang sulit dicari bandingnya pada saat sekarang ini.”

Namun Ki Sadewa itu sudah tidak ada lagi. Agung Sedayu mendapatkan ilmu itu selengkapnya bukan dari ayahnya atau bukan dari Untara, tetapi ia menemukannya di dalam sebuah goa yang tersembunyi.

Dalam pada itu, menurut pengamatan Agung Sedayu, ilmu yang tersirat oleh lukisan pada dinding goa itu telah sepenuhnya dikuasai oleh Glagah Putih. Bahkan yang karena kekhilafan Agung Sedayu, ada bagian yang terhapus dari dinding goa justru bagian puncaknya, dasar-dasarnya telah dikuasai pula oleh Glagah Putih.

Karena itu, maka Kiai Jayaraga yang telah mendapat kepercayan untuk membantu Agung Sedayu membentuk Glagah Putih menjadi seorang yang memiliki kemampuan olah kanuragan yang mumpuni, telah melihat dasar dari mana ia harus mulai.

Atas persetujuan dari semua pihak yang berkepentingan, maka Glagah Putih pun telah dinyatakan menjadi murid Kiai Jayaraga. Namun untuk tidak terjadi salah paham dan salah langkah, maka dengan terus terang Kiai Gringsing memberitahukan kepada Glagah Putih, bahwa Kiai Jayaraga adalah guru dari Ki Tumenggung Prabadaru, dan guru dari tiga orang bajak laut yang terbunuh, serta orang yang terakhir akan membalas dendam dengan menebarkan ilmu sirep yang sangat tajam di atas rumah Ki Gede.

“Semua orang telah memaafkan aku,” berkata kiai Jayaraga, “aku mengucapkan terima kasih. Aku sebenarnya tidak ingin melihat murid-muridku terjerumus ke dalam dunia yang kelam. Semula aku berbangga bahwa ada seorang muridku telah menjadi Tumenggung. Namun ternyata bahwa semuanya telah membuat hatiku terluka. Sekarang aku ingin melihat, bahwa muridku yang terakhir bukan termasuk orang-orang seperti yang pernah berada dalam asuhanku. Apalagi muridku yang terakhir ini bukannya menggantungkan diri semata-rnata dari ilmuku. Glagah Putih telah mempunyai dasar kemampuan yang tinggi, sehingga sebenarnyalah apa yang akan aku berikan hanya sekedar menumpang beberapa unsur dari ilmuku agar tidak punah bersama saat-saat aku dikuburkan kelak.”

Glagah Putih hanya menunduk saja. Ia sadar bahwa ia akan menjadi saudara seperguruan Ki Tumenggung Prabadaru, tiga orang bajak laut dan seorang yang datang dengan licik berusaha untuk membunuh Agung Sedayu. Namun dengan demikian, imannya justru akan teruji. Jika ia berhasil maka ia adalah seorang yang memang memiliki iman yang teguh.

“Aku akan selalu berada bersamamu,” berkata Agung Sedayu, “selama kau berguru, maka kau merupakan bagian dari diriku sendiri. Karena itu, maka jangan merasa dirimu terjerumus ke dalam saluran yang kotor. Kiai Jayaraga sendiri bukan bermaksud menjerumuskan murid-muridnya. Tetapi murid-muridnya itu sendirilah yang telah memilih jalan sesat.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Dengan penuh kesabaran, maka iapun kemudian mulai dengan menempa diri, bukan saja bersama dengan Agung Sedayu, tetapi juga dengan Kiai Jayaraga.

Menghadapi Glagah Putih, Kiai Jayaraga tidak perlu memulainya dari permulaan. Dasar-dasar umum dalam olah kanuragan telah dikuasai dengan baik oleh Glagah Putih, sebelum ia memasuki ilmu dari jalur perguruan Ki Sadewa.

Namun demikian, Kiai Jayaraga-lah yang masih berusaha untuk mengetahui unsur-unsur gerak yang dikuasai oleh Glagah Putih lebih banyak lagi. Kemudian kemampuannya mempergunakan tenaga cadangannya dan menyelipkan kekuatan lain yang mengisi ilmunya.

Dengan pengenalan itu, maka Kiai Jayaraga akan berusaha untuk menyesuaikan diri, dari mana ia harus mulai dan di bagian manakah maka ilmunya akan dapat luluh dengan ilmu yang sudah dimiliki oleh Glagah Putih, agar tidak terjadi sebaliknya, bahwa ilmu yang diberikannya akan Justru saling menolak dan mempengaruhi bagian dalam tubuh Glagah Putih sehingga justru akan merugikannya.

Tetapi sebagaimana Agung Sedayu yang memiliki sumber ilmu dari beberapa jalur perguruan, namun dengan serasi akan dapat saling mengisi dan bahkan luruh menjadi satu.

Sementara itu, ketika Glagah Putih lebih banyak berada di tangan Kiai Jayaraga, bukan saja di dalam sanggar tetapi juga di luar sanggar, bahkan di sepanjang sungai dan hutan-hutan di sekitar Tanah Perdikan Menoreh, maka Agung Sedayu telah mendapat lebih banyak kesempatan bagi dirinya sendiri.

Di mata pembantu keluarga Agung Sedayu, maka ia telah mendapat seorang kawan lagi yang sering berada di sungai di malam hari. Ki Jayaraga kadang-kadang memang ikut bersama Glagah Putih memasang perangkap dan membuka pliridan untuk mencari ikan. Namun Glagah Putih dan Kiai Jayaraga tidak meninggalkan pliridannya dan pulang sambil menunggu dini hari untuk menutup pliridannya dan menangkap ikannya. Tetapi demikian mereka membuka pliridan, maka mereka telah membiarkan pembantunya pulang dan keduanya telah menyusuri sungai sebagai laku untuk memperdalam ilmu Glagah Putih.

Di bagian-bagian yang justru jarang dikunjungi orang, maka Kiai Jayaraga telah menuntun Glagah Putih untuk mengenali ilmunya semakin dalam. Kemudian belajar mengenali watak kekuatan yang ada di sekitarnya.

Glagah Putih pernah mendengar, bahwa baik Ki Tumenggung Prabadaru maupun ketiga bajak laut yang terbunuh itu mempunyai kemampuan untuk menyerap kekuatan bumi, air, api dan udara. Karena itulah maka iapun menyadari, bahwa Kiai Jayaraga akan mulai memperkenalkannya dengan unsur-unsur itu.

Dalam pada itu, maka Kiai Gringsing yang datang ke Tanah Perdikan Menoreh dengan membawa kitabnya, telah menyerahkan kitab itu kepada Agung Sedayu. Sebagaimana Swandaru, maka Agung Sedayu akan menelaah isi kitab itu, kemudian memilih bagian yang paling sesuai baginya dalam usaha peningkatan ilmu di tahap pertama ini.

Demikianlah, maka Agung Sedayu tidak langsung memasuki sanggar untuk menempa diri bersama gurunya. Tetapi ia memperoleh kesempatan untuk mempelajari kitab itu terlebih dahulu.

Sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu mempunyai satu kelebihan dan kebanyakan orang tentang apa yang pernah dikenalnya.

Sesuatu yang diperhatikannya sungguh-sungguh dan dengan segera dipahatkanya pada dinding hatinya, maka untuk seterusnya Agung Sedayu akan dapat mengingatnya, sebagaimana ia selalu teringat seakan-akan membaca kembali isi kitab Ki Waskita.

Karena itu, maka ketika ia mendapat kesempatan untuk mengetahui isi kitab Kiai Gringsing, maka Agung Sedayu pun telah minta diri untuk tetap berada di dalam sanggarnya selama tiga atau empat hari, selama ia membaca isi kitab itu.

Sekar Mirah yang sudah semakin mengenal sifat-sifat suaminya sama sekali tidak berkeberatan. Sebagai seorang istri, ia memang berkewajiban untuk mendorong dan memberikan gairah setiap usaha yang dilakukan suaminya.

Sementara itu Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga segera melihat, alangkah jauh bedanya tanggapan Agung Sedayu atas kitab itu dengan cara Swandaru menanggapinya. Swandaru membaca kitab itu sebagaimana ia membaca. Kemudian menentukan pilihan dan baru memasuki tahap latihan-latihan untuk memperdalam ilmunya atas pengarahan gurunya pada jenis ilmu yang dipilihnya.

Tetapi Agung Sedayu sudah menunjukkan kesungguhannya sejak ia mempelajari isi kitab itu. Ia telah mempergunakan laku tersendiri. Ia akan berada di dalam sanggarnya selama ia membaca kitab gurunya. Meskipun Agung Sedayu tidak melakukan pati geni, namun dengan mengurung diri ia akan dapat melihat isi kitab gurunya lebih ke kedalaman dan menangkap maknanya.

Demikianlah, maka untuk beberapa hari, Agung Sedayu telah berada di dalam sanggarnya. Sementara itu Glagah Putih melakukan latihan-latihan yang berat di bawah bimbingan Kiai Jayaraga yang didera oleh suatu keinginan untuk cepat-cepat mewariskan ilmunya kepada seorang murid yang akan dapat memberikan kebanggaan kepadanya.

Namun dalam pada itu, karena Kiai Gringsing masih harus menunggu Agung Sedayu yang berada di dalam sanggarnya, maka iapun telah ikut mengawasi perkembangan Glagah Putih bersama Ki Waskita. Karena bagaimanapun juga, Kiai Gringsing ikut bertanggung jawab, apabila ada salah langkah yang dilakukan oleh Kiai Jayaraga, sengaja atau tidak sengaja.

Demikianlah, maka dari hari ke hari Agung Sedayu telah menekuni isi kitab gurunya. Ia hanya berhenti pada saat ia meneguk minuman dan makan sesuap makanan. Dengan teliti ia membaca kata demi kata, mendalami isinya dan berusaha menangkap maknanya.

Namun seperti yang pernah dilakukannya, ia telah memahatkan seluruh isi kitab yang dibacanya itu di dinding ingatannya, sehingga pada saatnya kitab itu diminta kembali oleh gurunya, maka ia telah menguasai seluruh isinya, dalam arti dapat mengingatnya kembali sebagaimana isi kitab Ki Waskita.

Di dalam kitab itu ia memang menjumpai laku yang hampir tidak mungkin dapat dijalani, dan kemampuan-kemampuan yang sama sekali tidak masuk akal. Namun Agung Sedayu tidak menutup mata, bahwa Kiai Gringsing telah mampu melakukan sesuatu yang nampaknya memang tidak masuk akal.

Dengan cermat Agung Sedayu membaca tanpa ada yang dilampauinya, karena setiap kata di dalam kitab itu rasa-rasanya sangat penting artinya dalam hubungannya dengan keseluruhan isi kitab itu. Bahkan di dalam kitab itu bukan saja dapat dibaca tentang laku dan kemampuan ilmu, tetapi juga kalimat-kalimat yang terselip yang memberikan bimbingan jiwani kepada siapa saja yang mempelajari isi kitab itu. Dengan demikian, maka setiap kemampuan yang akan dapat diungkapkan dari ilmi yang tercantum di dalam isi kitab itu, tidak akan terlepas dari hubungan antara ilmu itu sebagai satu kurnia, dengan yang memberikan kurnia. Dalam hal yang demikian maka akan tetap terjalinlah hubungan antara mereka yang mempelajari isi kitab itu dengan Yang Maha Agung, yang memiliki kuasa tidak ada batasnya. Sehingga betapapun tingginya ilmu yang dapat dicapai dengan mempelajari isi kitab itu, namun ia akan tetap bagaikan debu di hadapan Yang Maha Agung itu.

Kesadaran yang demikian itu menjadi semakin tertanam di dalam hati Agung Sedayu. Karena itu, yang kemudian terpahat di dalam hatinya, bukan saja laku dan kemampuan ilmu, tetapi juga hubungan yang terasa menjadi lebih dekat antara dirinya dengan Penciptanya.

Sementara Agung Sedayu berada di dalam sanggarnya untuk beberapa hari, maka Tanah Perdikan Menoreh telah kedatangan seorang tamu dari Mataram. Seorang senapati yang diiringi oleh beberapa pengawal, langsung menemui Ki Gede Menoreh.

Ternyata utusan itu telah membawa wara-wara, yang memberitahukan bahwa Senapati ing Ngalaga telah dikukuhkan kedudukannya, memegang kendali pemerintahan atas Pajang, yang berkedudukan di Mataram dengan gelar Panembahan Senapati.

“Terima kasih,” berkata Ki Gede kepada utusan itu. “Kami bergembira sekali atas pengukuhan itu. Memang tidak akan dapat terjadi yang lain kecuali pengukuhan seperti itu.”

“Terima kasih Ki Gede,” berkata utusan itu, “mudah-mudahan kerja sama antara Mataram dan Tanah Perdikan ini menjadi semakin baik.”

“Kami akan bekerja sebaik-baiknya bagi Tanah Perdikan ini, yang berarti bagi Mataram pula,” jawab Ki Gede.

“Semoga Ki Gede berhasil,” berkata utusan itu, yang kemudian segera minta diri.

“Begitu tergesa-gesa?” bertanya Ki Gede.

“Kami masih akan singgah di barak pasukan khusus itu. Meskipun seperti Ki Gede, yang agaknya sudah mendengar tentang persoalan ini, tetapi dengan resmi kami akan menyampaikan wara-wara yang sama,” jawab utusan itu. “Sementara kawan kami yang lain telah pergi ke Mangir, Pasantenan dan Sangkal Putung, serta Jati Anom. Mungkin masih ada utusan-utusan lain yang pergi ke tempat yang lebih jauh lagi, seperti ke Bang Wetan dan pesisir.”

Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk. Namun ia masih sempat bertanya, “Kenapa harus dengan wara-wara? Apakah mereka tidak hadir pada saat pengukuhan itu?”

“Senapati ing Ngalaga tidak mengundang para Adipati dan pemimpin-pemimpin dari daerah-daerah lain, kecuali kadang sentana yang terdekat. Karena itu, maka setelah segalanya selesai, Panembahan Senapati telah menyebarkan wara-wara untuk diketahui oleh para pemimpin di daerah-daerah itu, serta masyarakat seluas-luasnya di daerah Pajang yang kemudian disebut Mataram,” jawab utusan itu.

Ki Gede mengangguk-angguk pula. Katanya, “Baiklah. Segala tugas yang kemudian akan dilimpahkan kepada Tanah Perdikan ini akan kami terima dengan baik.”

“Terima kasih Ki Gede. Kami akan menemui Ki Lurah Branjangan di baraknya,” berkata utusan itu.

Demikianlah, maka wara-wara itupun telah disebarluaskan pula oleh Ki Gede. Sementara itu, Kiai Gringsing telah teringat kepada Swandaru yang merasa kecewa bahwa ia tidak diundang pada saat Senapati ing Ngalaga dikukuhkan memimpin Mataram.

Ketika ia sempat berbincang dengan Ki Gede tentang pengukuhan itu, maka jelas bagi Kiai Gringsing, bahwa memang tidak banyak orang yang hadir pada saat pengukuhan itu. Para Adipati pun tidak diundang. Apalagi para pemimpin kademangan.

“Swandaru mudah sekali merasa tersinggung,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya yang menjadi cemas, “dengan ilmunya yang tinggi, maka ia akan berbahaya. Setiap kali tersinggung, maka ia akan mengandalkan ilmunya yang tinggi itu.”

Namun Kiai Gringsing telah berusaha sejauh-jauhnya untuk mengekang tingkah laku Swandaru. Dalam saat-saat yang memungkinkan, Kiai Gringsing masih selalu memberinya petunjuk-petunjuk yang berarti bagi bekal hidupnya, karena bekal itu bukan saja sekedar ilmu kanuragan, tetapi juga kematangan jiwa dan kemantapan sikap.

Kiai Gringsing pun juga menyadari, bahwa pada saat yang hampir bersamaan Sangkal Putung tentu juga menerima wara-wara seperti itu. Karena itu Kiai Gringsing berharap agar yang menerima wara-wara itu bukan langsung Swandaru, yang akan dapat mengucapkan kata-kata yang kurang mapan, tetapi sebaiknya diterima oleh Ki Demang.

Dalam pada itu, Agung Sedayu masih saja berada di dalam sanggar. Ia masih belum selesai dengan penelaahan isi kitab gurunya. Banyak sekali bagian-bagian yang telah langsung dipahatkannya di dinding hatinya, sehingga Agung Sedayu tidak pernah akan lupa setiap kata yang tertulis dalam kitab itu. Agung Sedayu masih belum mendalami makna isi kitab itu dalam rangkuman peningkatan ilmunya. Ia baru berusaha untuk tetap mengingat bunyi dari kata-kata itu, yang pada kesempatan lain akan dapat didalaminya maknanya.

Sementara itu Glagah Putih pun dengan tekun melakukan latihan-latihan. Tetapi yang dilakukan Glagah Putih tidak akan selesai dalam waktu empat atau lima hari. Tetapi ia akan melakukan latihan-latihan dan juga laku-laku untuk memperdalam ilmunya, dan sebagai pertanda kesungguhannya, bukan hanya beberapa pekan atau beberapa bulan, tetapi ia akan melakukannya bertahun-tahun, meskipun dalam tahap-tahap yang berbeda.

Dalam perkenalan pertama dengan ilmu Kiai Jayaraga, maka dalam waktu satu dua pekan Glagah Putih memang harus benar-benar menempa diri. Dalam saat-saat terjadi usaha untuk menyelaraskan ilmu Kiai Jayaraga dengan dasar ilmu yang telah ada pada Glagah Putih, benar-benar diperlukan suatu pemusatan perhatian, siang dan malam.

Itulah sebabnya, maka Glagah Putih telah lebih banyak berada di luar rumahnya bersama Kiai Jayaraga. Bukan saja di malam hari, menyusuri sungai dan hutan-hutan, tetapi kadang-kadang di siang hari mereka berada di celah-celah pegunungan Menoreh. Dengan pemusatan nalar dan budi, maka Glagah Putih berusaha menerima segala macam petunjuk ujud dan isi dari ilmu Kiai Jayaraga dalam hubungan dengan ilmunya sendiri.

Dalam pada itu, ternyata Agung Sedayu telah memerlukan waktu sepekan untuk berada di dalam sanggar yang tertutup, tanpa beranjak kecuali pada saat-saat khusus. Agung Sedayu mempergunakan segala waktunya untuk kepentingan pengenalan atas isi kitab gurunya dan memahatkannya pada dinding hatinya, sehingga ia tidak akan dapat melupakannya.

Demikianlah, setelah sepekan berakhir, Agung Sedayu pun keluar dari sanggarnya. Wajahnya nampak pucat dan tubuhnya pun terasa lemah, namun sorot matanya nampak lebih cerah dari saat-saat ia memasuki sanggarnya.

Demikian keluar dan sanggarnya, maka Agung Sedayu pun telah mandi dan sekaligus keramas dengan rendaman abu merang. Dengan demikian ia telah mengakhiri satu masa penelaahan isi kitab gurunya yang sangat berharga, sebagaimana isi kitab Ki Waskita.

Namun dengan demikian terasa beban Agung Sedayu menjadi semakin berat. Ia telah memahatkan isi kitab yang belum seluruhnya dipahami itu di dalam hatinya. Dengan demikian, maka seakan-akan ia telah dikejar oleh satu kewajiban untuk mempelajarinya selangkah demi selangkah, namun langkah-langkah itu akan menjadi sangat panjang dan seakan-akan tidak berujung.

Tetapi Agung Sedayu bukannya orang yang tamak, yang ingin terlalu banyak memiliki. Ia akan bekerja keras untuk berusaha memahami makna isi kitab itu. Tetapi dengan kesadaran, bahwa ia memiliki keterbatasan. Karena itu, maka sejauh mana ia dapat mencapai kemampuan ilmu kanuragan, maka ia sudah harus mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya atas kurnia itu.

Namun justru karena itu, Agung Sedayu dapat bekerja keras dan bersungguh-sungguh, tetapi dengan hati yang tenang. Ia tidak merasa dikejar-kejar oleh kekecewaan bahwa ia masih belum mencapai satu tataran tertentu yang dikehendaki.

Sekar Mirah yang melihat bahwa suaminya telah selesai dengan menekuni kitab Kiai Gringsing, telah rnembantu menyiapkan keperluannya. Sekar Mirah sadar, bahwa keadaan Agung Sedayu tentu berbeda dengan keadaannya sehari-hari, karena ia baru saja melakukan satu tugas yang berat. Bukan saja secara lahir, tetapi juga secara jiwani.

Sebenarnyalah bahwa Agung Sedayu yang lemah itu merasa dirinya menjadi segar setelah mandi keramas, minum minuman panas dan kemudian makan seperti kebiasaannya, tidak membatasi diri sebagaimana dilakukan di dalam sanggar.

Ternyata kemudian bahwa Agung Sedayu memerlukan beristirahat dua tiga hari sebelum ia mulai dengan latihan-latihan untuk meningkatkan imunya berlandaskan kepada isi kitab gurunya, yang memuat beberapa jenis laku dan kemampuan ilmu yang pada dasarnya telah dipelajarinya dari Kiai Gringsing.

Untuk melayani Agung Sedayu dan Swandaru agaknya memang memerlukan sikap yang berbeda. Kiai Gringsing yang sudah mengenal watak dan sikap kedua muridnya itu tidak terlalu sulit untuk menyesuaikan dirinya. Jika di Sangkal Putung ia menunggui sikap yang keras dan lebih cenderung dalam penguasaan kewadagan, maka di Tanah Perdikan ia harus bersikap lain. Kiai Gringsing harus lebih tajam menukik ke kedalaman ilmunya, dengan laku berat dan titis. Berhubungan dengan kekuatan yang ada di dalam dirinya serta pemanfaatan kemungkinan yang ada di sekitarnya.

Sementara itu, Glagah Putih masih menempa diri dengan segenap hati di bawah tuntunan Kiai Jayaraga. Siang dan malam, meskipun kadang-kadang Glagah Putih masih juga berada di antara anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh.

Dalam pada itu, setelah Agung Sedayu menyelesaikan penelaahannya atas kitab Kiai Gringsing, maka Sekar Mirah yang tidak mau tertinggal terlalu jauh, telah menyempatkan diri pada saat-saat tertentu untuk berlatih pula di dalam sanggar. Meskipun ia tidak lagi ditunggui gurunya, seakan-akan masih tetap merupakan pendorong yang kuat baginya, sebagaimana gurunya sendiri masih menungguinya.

Sementara murid-murid Kiai Gringsing dan orang-orang di sekitarnya sedang menempa diri, maka wara-wara yang dikeluarkan oleh Mataram telah tersebar semakin luas. Para Adipati di pesisir dan Bang Wetan telah menerima pula. Meskipun pada umumnya mereka telah mendengar, namun merekapun telah mendapat pemberitahuan bahwa pimpinan pemerintahan kemudian berada di tangan Panembahan Senapati yang berkedudukan di Mataram.

Ada berbagai tanggapan terhadap wara-wara itu. Namun di bagian sebelah timur Pajang, agaknya suasana bagaikan disaput oleh mendung. Sementara di Pajang sendiri masih bergejolak beberapa macam sikap terhadap kekuasaan Mataram.

Beberapa orang Adipati mulai berbicara tentang susunan pemerintahan yang baru. Adipati Madura mulai mempersoalkannya bersama kadang-kadangnya. Namun demikian, masih belum nampak ada sikap yang dengan terang-terangan menentang kekuasaan Mataram, meskipun benih-benih yang demikian memang sudah ada.

Sementara itu, sekelompok prajurit Pajang, terutama mereka yang semula berada di antara pasukan khusus yang oleh Mataram diharap tidak akan menimbulkan masalah-masalah baru, namun yang terjadi adalah lain dari yang dimaksudkan itu. Meskipun sebagian dari mereka menyadari bahwa perbuatan-perbuatan tercela berikutnya hanya akan menambah kesulitan bagi mereka sendiri, tetapi sebagian dari mereka masih belum dapat melupakan kesetiaan terhadap Tumenggung Prabadaru.

Adipati Pajang kemudian merasa sangat sulit untuk mengendalikan sekelompok prajurit yang mempunyai sikap yang keras menghadapi Mataram, sehingga karena itu maka Adipati Wirabumipun telah mengambil sikap yang tegas menghadap mereka.

“Lucuti mereka!” perintah Adipati Wirabumi, menantu Kanjeng Sultan Pajang yang telah wafat, yang oleh Panembahan Senapati telah ditunjuk untuk memimpin Pajang, sementara Pangeran Benawa telah mendapatkan tugasnya sebagai Adipati di Jipang.

Benturan kekerasan tidak dapat dihindarkan lagi. Namun ternyata bahwa kekuatan Adipati Wirabumi berhasil memaksa mereka untuk menyerah. Namun tidak semua orang di antara mereka menyerah. Sebagian dari mereka berhasil meloloskan diri dan meninggalkan Pajang dengan membawa dendam di hati.

Seorang perwira yang menyingkir bersama mereka adalah seorang Tumenggung pula. Tumenggung Purbarana yang bersumpah di dalam hati tidak akan tunduk kepada pemerintah Panembahan Senapati, apapun yang akan terjadi atas dirinya.

“Buat apa aku menyembah kepada anak Pemanahan? Seorang keturunan rakyat kecil yang berhasil menjilat kaki Karebet dan kemudian diakui sebagai anaknya,” geram Purbarana. Seorang bekas prajurit yang berusia lanjut berusaha untuk memberinya peringatan, “Anakmas, bagaimanapun juga kau harus menyadari bahwa Panembahan Senapati adalah orang yang memiliki ilmu yang tidak dapat dijajagi. Hampir seperti ayahanda angkatnya Kanjeng Sultan Hadiwijaya.”

“Tidak. Tentu terpaut banyak sekali. Anak dari Tingkir itu memang memiliki kemampuan tidak terbatas. Tetapi Loring Pasar, yang sekarang menyebut dirinya Panembahan Senapati itu bukan imbangannya, bahkan sama sekali tidak akan dapat diperbandingkan,” jawab Purbarana.

“Tetapi apakah sebenarnya yang Anakmas kehendaki? Bukankah sebaiknya Anakmas membantu agar suasana menjadi lebih cepat terasa damai?” berkata bekas prajurit yang tua itu. Lalu, “Bagaimanapun juga Mataram sekarang merupakan satu kekuatan yang sulit untuk dilawan. Karena itu, apa yang akan Anakmas lakukan adalah kerja yang sia sia.”

Dalam pada itu perwira yang telah meninggalkan Pajang itu menjawab, “Aku tidak menginginkan apa-apa. Aku hanya ingin bebas dari kewajiban untuk menyembah kepada Loring Pasar yang menyebut dinnya Panembahan Senapati.”

“Anakmas,” berkata bekas prajurit tua itu, “Kanjeng Sultan Hadiwijaya sendiri agaknya sudah merestui, bahwa Senapati ing Ngalaga-lah yang akan meneruskan tugasnya memimpin Pajang, untuk mencapai cita-cita yang pada masa pemerintahan Kanjeng Sultan Hadiwijaya masih belum dapat diwujudkan.”

“Aku sama sekali tidak terikat kepada segala macam keputusan dan tingkah laku Sultan Hadiwijaya. Aku berhak menentukan niatku sendiri, berlandaskan kepada cita-cita yang lebih mantap dan berarti bagi rakyat Pajang dan bahkan rakyat Majapahit,” jawab perwira itu.

“Tetapi apakah Anakmas merasa, bahwa cita-cita itu pada suatu saat akan tercapai?” bertanya bekas prajurit tua itu.

“Aku akan memperjuangkannya,” jawab perwira itu.

“Dalam keadaan Anakmas sekarang? Ingat Anakmas, semasa Pajang masih tegak, semasa kekuatan orang yang disebut Kakang Panji itu masih dapat membayangi kekuatan Pajang sehingga terjadi benturan kekuatan di Prambanan, Kakang Panji tidak berhasil mengalahkan Mataram. Apalagi Anakmas sekarang,” berkata bekas prajurit itu.

“Aku tidak peduli. Semua orang yang berpihak kepada Panembahan Senapati adalah musuhku. Semua itu harus dihancurkan,” berkata perwira itu.

“Dengan demikian maka Anakmas dan kawan-kawan Anakmas sudah menyimpang dari darma seorang kesatria, bahkan sudah menyimpang dari peradaban manusia,” berkata bekas prajurit tua itu. “Anakmas hanya mendambakan kekisruhan, keributan dan pertentangan. Anakmas hanya ingin melihat korban yang berjatuhan tanpa arti.” Orang tua itu berhenti sejenak, lalu, “Kenapa Anakmas tidak justru berbuat sebaliknya, beralaskan kepada kenyataan sekarang ini? Boleh saja Anakmas tidak sependapat dengan Panembahan Senapati. Aku kira perbedaan pendapat akan justru berguna untuk mengambil langkah-langkah, apabila perbedaan itu dinyatakan dan diungkapkan sebagaimana seharusnya. Tetapi bukan dengan cara yang Anakmas sebutkan. Asal saja terjadi keributan dan kekisruhan. Apalagi sikap Anakmas itu tidak beralaskan pada perbedaan pendapat dan pandangan tentang satu persoalan yang jelas dan bermanfaat, tetapi sekedar penolakan secara mutlak karena Panembahan Senapati adalah keturunan orang kebanyakan. Apakah menurut Anakmas keturunan orang kebanyakan itu tidak akan dapat berbuat sesuatu yang berarti dan bermanfaat bagi kehidupan sesama?”

“Yang dilakukan oleh Panembahan Senapati tidak lebih dari kerakusan pribadi. Ia ingin menjadi orang yang paling berkuasa setelah gurunya sendiri,” jawab perwira itu.

“Memang kita dapat mengambil arti yang berbeda dan peristiwa yang sama. Kita memang dapat mengartikan satu peristiwa menurut sudut pandangan masing-masing, tetapi kita akan dapat memilah manakah yang paling baik bagi kita semuanya. Bukan hanya bagi kita masing-masing,” berkata bekas prajurit tua itu.

“Aku tidak peduli,” jawab perwira itu, “aku sudah melangkah dengan satu ketetapan hati. Aku tidak akan mundur. Aku akan menghancurkan pemerintahan Mataram lewat segala cara. Lewat unsur-unsur kekuatannya, lewat wibawanya, dan menghancurkan kepercayaan orang terhadap Panembahan Senapati yang tamak itu.”

“Anakmas salah memilih jalan,” berkata prajurit tua itu. “Sebenarnya Anakmas akan dapat tetap pada kedudukan Anakmas. Lewat kedudukan Anakmas, maka Anakmas akan dapat menentukan sikap dan mengungkapkan perbedaan sikap itu dengan wajar. Dengan demikian maka pendapat Anakmas tentu akan didengar.”

“Omong kosong,” geram perwira itu. “Pendapatku tentu akan terhenti pada penjilat-penjilat yang tidak ingin melihat satu perubahan apapun terjadi pada saat seperti ini.”

Bekas prajurit tua itu menarik nafas dalam-dalam. Perwira itu agaknya tidak lagi mempergunakan nalarnya, tetapi sekedar perasaannya. Kekecewaan dan penyesalan serta ketidakpuasan bercampur baur di dalam hatinya, sehingga menumbuhkan sikap yang keras dan kasar.

Karena itu, maka bekas prajurit tua itu tidak dapat mencegahnya lagi. Dilepaskannya perwira itu mulai dengan pengembaraannya untuk melakukan sebagaimana dikatakannya.

“Kita akan menghancurkan Mataram dari sedikit,” berkata Tumenggung Purbarana.

“Ki Tumenggung,” bertanya salah seorang pengikutnya, “apakah kita tidak dapat bergeser ke timur? Kita akan menghubungi beberapa Adipati yang nampaknya mempunyai sikap yang ragu pula terhadap Panembahan Senapati.”

“Buat apa kita menghubungi mereka?” geram Tumenggung Purbarana. “Mereka tidak lebih dari orang-orang rakus dan tamak seperti Panembahan Senapati sendiri. Menurut perhitunganku, sebentar lagi akan terjadi benturan kekuatan antara para Adipati dengan Panembahan Senapati. Mereka akan berebut kekuasaan dan berebut kamukten.”

“Dan kita?” bertanya pengikutnya yang lain.

“Kita berdiri pada satu alasan. Kita akan menegakkan satu pemerintahan yang kuat dan besar di atas Tanah ini, sebagaimana pernah terjadi atas Majapahit. Bukan justru untuk mengangkat diri kita masing-masing untuk menjadi penguasa,” jawab perwira itu.

Tetapi penjelasan ini masih tetap kabur di telinga pengikutnya. Beberapa orang pengikutnya masih melihat beberapa pengertian yang saling bertentangan pada keterangan Tumenggung Purbarana. Namun setiap kali mereka berusaha untuk mernbayangi perasaan itu dengan merendahkan diri, “Mungkin aku memang terlalu bodoh untuk mengerti. Tetapi Ki Tumenggung bukannya orang dungu. Sebagaimana dikatakan, lebih baik hancur menjadi debu daripada harus tunduk dan menyembah anak Pemanahan.”

Dengan demikian para pengikutnya tidak lagi mau berpikir. Mereka hanya melakukan saja segala perintah Ki Tumenggung Purbarana, dengan tekad yang membakar jantung mereka. Lebih baik mati daripada harus tunduk kepada Mataram.

Ternyata tekad itu telah mendorong mereka untuk melakukan perbuatan yang kadang-kadang sulit dimengerti oleh orang lain. Namun sesuai dengan garis perjuangan Ki Tumenggung Purbarana, rnereka harus meruntuhkan wibawa Panembahan Senapati, rnemperlemah kedudukannya dan membuat kekisruhan yang terus-menerus.

Tetapi Ki Tumenggung Purbarana tidak mau bergerak ke Timur. Ia memang sudah mendengar mendung yang mulai menghitam di atas Madiun dan Lasem.

“Biarlah api itu menyala di sebelah Timur. Aku akan bergerak ke Barat,” berkata Ki Tumenggung. Sebab Ki Tumenggung itu tidak pula mau ke Jipang, karena di Jipang yang memegang pimpinan sebagai Adipati adalah Pangeran Benavra. Seperti Panernbahan Senapati, maka Pangeran Benawa adalah seorang yang memiliki kemampuan yeng sulit dijajagi.

Dengan bergerak ke Barat, maka yang harus diperhitungkan oleh Ki Tumenggung adalah kekuatan di Sangkal Putung. Tetapi Ki Tumenggung pun tidak dapat mengingkari kekuatan pasukan Untara di Jati Anom yang dapat bergerak dengan cepat. Pasukan berkuda dari Jati Anom akan dapat mencapai Sangkal Pulung dalam waktu pendek.

“Manakah yang lebih kuat,” bertanya Tumenggung Purbarana kepada salah seorang pengikutnya, “pasukan Untara di Jati Anom atau pasukan khusus Mataram yang ada di Tanah Perdikan?”

“Seharusnya pasukan khusus itu lebih kuat,” jawab pengikutnya, “tetapi jumlahya tidak sebanyak jumlah pasukan Untara dan yang telah mendapat latihan-latihan keprajuritan. Di bawah pimpinan senapati muda yang bernama Sabungsari, sebagian dari pasukan Untara mernpunyai kekuatan yang tidak kalah dengan pasukan khusus di Tanah Perdikan itu.”

“Bagaimana pertimbanganmu jika aku bergerak ke Sangkal Putung?” bertanya Ki Tumenggung Purbarana.

Namun pendapat pengikutnya itu sama seperti yang diperhitungkannya. Pasukan Sangkal Putung akan sempat bertahan sampai pasukan berkuda Untara datang membantu.

“Kekuatan para pengawal di Sangkal Putung juga cukup tinggi,” berkata pengikutnya.

“Bagaimana dengan pengawal Tanah Perdikan Menoreh?” bertanya Ki Tumenggung Purbarana.

Pengikutnya itu tidak segera dapat menjawab. Namun akhirnya ia berkata, “Keduanya memiliki kekuatan yang cukup. Keduanya dibayangi oleh kekuatan prajurit Mataram. Jika Sangkal Putung dibayangi oleh kekuatan Untara di Jati Anom, maka di Tanah Perdikan Menoreh ada Ki Lurah Branjangan dengan pasukan khususnya. Karena itu, maka nampaknya kedua daerah itu memiliki kekuatan yang seimbang.”

“Bagaimana dengan para pemimpinnya? Apakah orang orang berilmu tinggi di Tanah Perdikan Menoreh sama atau lebih kuat dari orang-orang berilmu tinggi di Sangkal Putung?” bertanya Ki Purbarana itu pula.

Pengikutnya masih juga merasa bimbang. Katanya, “Di Sangkal Putung pimpinan tertinggi dari pasukan pengawal adalah Swandaru, murid Kiai Gringsing. Sementara itu Kiai Gringsing sendiri lebih banyak berada di Sangkal Putung daripada di Tanah Perdikan Menoreh.”

“Siapa yang berada di Tanah Perdikan Menoreh?” bertanya Ki Tumenggung itu pula.

“Ki Gede Menoreh dan Agung Sedayu. Pemimpin yang disegani,” desis pengikutnya itu.

Ki Tumenggung Purbarana itu mengangguk-angguk. Ia sudah mendengar tentang semuanya itu. Tetapi ia memang ingin meyakinkan pendegarannya. Bahkan Ki Tumenggung itupun telah rnendengar pula bahwa baik di Sangkal Putung maupun di Tanah Perdikan Menoreh, terdapat seorang perempuan yang berilmu tinggi. Di Sangkal Putung ada Pandan Wangi, dan di Tanah Perdikan Menoreh ada Sekar Mirah.

Namun Ki Tumenggung itupun kemudian berkata, “Kita harus mengetahui lebih banyak tentang Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh. Aku akan menghadap Guru. Mudah-mudahan Guru mengerti kesulitanku. Aku kira Guru memiliki kemampuan tidak kalah dengan Kakang Panji yang dapat dibunuh oleh Kiai Gringsing di Prambanan.”

Pengikutnya mengangguk-angguk. Tetapi tiba-tiba ia bertanya, “Apakah Ki Tumenggung tidak memperhatikan satu kemungkinan untuk mengguncang Pasantenan atau Mangir?”

“Pasantenan tidak akan terlalu sulit. Jika hubungannya dengan Mataram diputuskan, maka Pasantenan akan menjadi lemah. Dengan demikian kita akan dengan mudah menundukkannya,” berkata Ki Tumenggung Purbarana.

“Jangan salah menilai kemampuan putra Ki Gede Pasantenan. Putra Ki Gede Pasantenan itu memiliki kemampuan hampir seperti Raden Sutawijaya yang bergelar Panembahan Senapati,” jawah pengikutnya.

“Omong kosong,” geram Purbarana. “Aku tidak percaya. Seperti kata orang, bahwa di Mangir anak Wanabaya itu memiliki kekuatan yang tidak mungkin dipatahkan, karena di Mangir terdapat pusaka sebatang tombak yang bernama Kiai Baru. Tetapi aku tidak akan tergesa-gesa bergerak ke Mangir. Aku akan mulai dari barat, dari Tanah Perdikan Menoreh, jika ternyata kemungkinan itu dapat aku lakukan. Aku memang tidak akan menduduki Tanah Perdikan itu. Tetapi sekedar menghancurkannya. Kemudian merambat ke Bagelen. Jika Bagelen sudah menjadi kisruh, aku akan berputar ke utara.”

Pengikutnya hanya mengangguk-angguk saja. Agaknya Ki Tumenggung Purbarana akan mengadakan pengembaraan yang panjang. Namun demikian, pengikutnya itu tidak dapat menahan diri untuk bertanya, “Jika demikian apakah tujuan akhir dari Ki Tumenggung?”

“Kau memang bodoh,” jawab Ki Tumenggung. “Jika kewibawaan Panembahan Senapati sudah goyah, maka kita akan dapat mulai dengan sungguh-sungguh untuk menghancurkannya dan kemudian memimpin satu pemerintahan yang besar bersama beberapa orang yang akan dapat ditunjuk kemudian.”

“Ki Tumenggung,” berkata pengikutnya, “aku memang orang yang bodoh. Tetapi ada keinginanku untuk mengerti, apakah Ki tumenggung sudah memperhitungkan bahwa kitalah yang menghancurkan kewibawaan Panembahan Senapati. Tetapi tiba-tiba saja Adipati Bang Wetan atau siapapun juga bangkit untuk menghancurkan Mataram dalam arti kewadagan, tanpa menoleh kepada kita.”

“Kekuatan itu akan kita hancurkan pula,” geram Ki Tumenggung Purbarana. “Aku yakin bahwa aku akan dapat menyusun satu kekuatan yang besar dan merata. Sepanjang perjalananku, aku akan meyakinkan kekuatan-kekuatan yang ada, bahwa pada satu saat kita akan bersama-sama bangkit.”

“Apakah kekuatan itu akan dapat rnengimbangi kekuatan Madiun misalnya?” bertanya pengikutnya.

“Kenapa tidak?” jawab Purbarana, “kekuatanku akan berlipat dari kekuatan setiap Adipati yang ada. Mereka hanya mernpercayakan diri pada kekuatan di satu tempat tertentu. Tetapi aku akan mempunyai kekuatan di seluruh tlatah yang aku sentuh dalam pengembaraanku yang memang mungkin memerlukan waktu lama. Tetapi Madiun pun memerlukan waktu yang lama. Juga Adipati pesisir atau Bang Wetan, bila seandainya mereka akan menentang kuasa Panembahan Senapati.”

Pengikutnya mengangguk-angguk. Tetapi Ia sudah tidak bertanya lagi.

Sementara itu Ki Tumenggung Purbarana masih belum bergerak. Dengan para pengikutnya mereka berusaha menjauhi Pajang. Namun perjalanan mereka justru ke utara, menyusup di antara pedukuhan-pedukuhan dan hutan-hutan yang lebat, menuju ke sebuah padepokan terpencil, Randu Pitu. Daerah yang cukup jauh, setelah menyeberangi Kali Regunung, melintasi daerah Ngandong, menyusuri Kali Uter, dan akhirnya sampai ke padepokan Randu Pitu, dekat dengan tempuran antara Kali Uter dan Kali Gandu.

Kedatangan pasukan Tumenggung Purbarana memang mengejutkan seisi padepokan itu. Bahkan beberapa orang cantrik telah berlari-lari mengambil senjata. Meskipun jumlah mereka tidak terlalu banyak, tetapi mereka wajib bersiaga, apabila pasukan yang datang itu memang bermaksud buruk.

Namun ternyata yang berdiri di paling depan adalah Purbarana. Seorang yang pernah menjadi murid di padepokan itu pula beberapa tahun yang lalu. Cantrik-cantrik yang telah cukup lama berada di padepokan itu masih dapat mengenalinya.

Seorang putut yang sudah separo baya kemudian menyongsongnya di regol. Sambil menganguk hormat, putut itupun kemudian bertanya, “Bukankah aku berhadapan dengan Ki Tumenggung Purbarana?”

“Ya, Aku adalah Purbarana. Bukankah kau masih mengenali aku?” jawab Ki Tumenggung Purbarana.

“Tentu Ki Tumenggung,” berkata putut itu pula. Lalu, “Tetapi kali ini kedatangan Ki Tumenggung bersama sepasukan prajurit telah mengejutkan para cantrik.”

Ki Tumenggung tertawa. Katanya, “Apakah Guru ada?”

“Marilah Ki Tumenggung. Guru ada di dalam sanggar,” jawab putut itu.

Ki Tumenggung Purbarana mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Katakan kepada Guru, bahwa aku datang bersama para prajuritku. Hanya sekedar singgah saja.”

“Marilah. Silahkan masuk. Tetapi sebagaimana Ki Tumenggung mengenal padepokan ini, kami tidak akan dapat menerima semuanya sebagaimana seharusnya. Tempatnya terlalu sempit,” putut itu rnempersilahkan.

Ki Tumenggung Purbarana tersenyum. Katanya, “Mereka tidak memerlukan tempat yang baik, mereka adalah prajurit yang dapat saja berada di segala medan. Karena itu, biarlah mereka mencari tempat sendiri.”

Demikianlah, maka Ki Tumenggung telah membawa pasukannya memasuki padepokannya. Sebagaimana dikatakan oleh Ki Tumenggung, maka para pengikutnya itupun kemudian telah tersebar di halaman dan kebun di seluruh padepokan. Mereka duduk-duduk di bawah pepohonan. Perjalanan yang mereka tempuh adalah perjalanan yang melelahkan. Tetapi dua hari pertama dari pengembaraan mereka yang akan memakan waktu tidak terbatas itu bukannya awal yang segar. Mereka harus sudah mulai dengan menahan haus dan lapar. Namua ketika mereka bermalam di hutan yang membentang di seberang Kali Regunung, mereka sempat berburu binatang hutan.

Demikianlah, maka putut yang menerima kedatangan Ki Tumenggung itupun kemudian telah pergi ke sanggar. Dengan hati-hati ia memasuki sanggar yang tidak terlalu terang. Sebagaimana biasanya, maka putut itu duduk di sudut sanggar sambil menunggu. Bukannya putut itu yang harus berbicara lebih dahulu. Tetapi putut itu menunggu gurunya bertanya kepadanya.

Setelah duduk sejenak, barulah terdengar suara gurunya, “Ada apa Pradapa?”

Putut itu mengangkat wajahnya. Dilihatnya gurunya masih duduk di sebuah tonggak. Sepotong kayu glugu.

“Guru,” berkata putut itu, “padepokan kita telah menerima tamu.”

“Siapa?” bertanya gurunya.

“Ki Tumenggung Purbarana,” jawab putut itu.

“Purbarana?” jawab gurunya, “Dengan siapa ia datang kemari? Sudah lama sekali ia tidak pernah menjenguk padepokan ini.”

Putut Pradapa memandang gurunya sejenak. Namun iapun kemudian menundukkan kepalanya kembali sambil menjawab, “Guru, Ki Tumenggung datang bersama pasukannya.”

Gurunya menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara hambar ia bertanya, “Apakah ia sedang bertugas?”

“Aku kurang tahu Guru. Pasukannya memang membawa perbekalan dan senjata selengkapnya,” jawab putut itu.

Gurunya mengangguk-angguk. Tetapi sama sekali tidak terbersit kegembiraan di wajahnya ketika ia mendengar bahwa muridnya yang telah lama tidak berkunjung ke padepokannya itu datang. Muridnya yang telah memanjat dalam jenjang keprajuritan di Pajang dan menjadi seorang Tumenggung.

Namun demikian gurunya itupun berkata, “Katakanlah kepadanya, aku sebentar lagi akan datang”

“Baik Guru,” jawab putut itu.

Putut Pradapa kemudian telah meninggalkan sanggar. Ditemuinya Ki Tumenggung Purbarana yang berada di pendapa padepokan itu. Sementara prajurit-prajuritnya tersebar di bawah pepohonan yang rimbun.

“Bagaimana dengan Guru?” bertanya Ki Tumenggung Purbarana.

“Aku telah menyampaikannya. Sebentar lagi Guru akan datang,” jawab Putut Pradapa.

“Apa yang sedang dilakukan di sanggar?” bertanya Purbarana.

“Semadi,” jawab putut itu.

Tumenggung Purbarana termangu-mangu sebentar. Namun ia tidak bertanya lagi.

Dalam pada itu, sepeninggal Putut Pradapa, gurunya telah kembali ke dalam dunia heningnya. Dipusatkannya nalar budinya, memanjatkan doanya, semoga semuanya diberi jalan terang.

“Jangan lepaskan hamba dari tuntunan Yang Maha Agung, dan jauhkanlah hamba dari segala godaan,” mohon guru Tumenggung Purbarana itu di dalam doanya.

Sejenak kemudian, maka guru Tumenggung Purbarana itu pun telah turun dari tempat duduknya. Perlahan-lahan ia melangkah keluar dari sanggarnya yang remang-remang.

Ketika ia membuka pintu, cahaya matahari mulai menjamah wajahnya. Terasa cahaya itu sangat menyilaukannya.

Demikianlah setelah menutup pintu sanggarnya, maka guru Ki Tumenggung Purbarana itupun melangkah perlahan-lahan menuju ke pendapa. Nampak ada kerisauan di dalam hatinya, justru muridnya yang sudah lama tidak pernah datang berkunjung itu mengunjunginya. Apalagi ketika dilihatnya para pengikut muridnya dengan senjata di tangan bertebaran di halaman dan kebun padepokannya.

“Guru,” Ki Tumenggung Purbarana dengan telah tergesa-gesa menyongsongnya dan turun dari pendapa, ketika ia melihat gurunya selangkah demi selangkah mendekati pendapa itu.

Ki Tumenggung Purbarana itupun kemudian menerima salam gurunya dan mencium tangannya sambil berkata, “ Aku mohon maaf Guru, bahwa sudah terlalu lama aku tidak datang menghadap.” “Tidak apa, anakku. Aku tahu bahwa kau sedang sibuk. Apalagi pada saat-saat terakhir ini,” jawab gurunya.

“Ya guru,” berkata Ki Tumenggung pula, “rasa-rasanya aku tidak mempunyai waktu untuk duduk barang sekejap. Persoalan yang aku hadapi terasa sangat pelik dan memerlukan perhatian yang merampas segala waktuku.”

“Ya, ya,” gurunya mengangguk-angguk, “marilah, duduklah kembali di pendapa.”

Ki Tumenggung pun kemudian mengikuti gurunya naik kembali ke pendapa dan duduk kembali di atas sehelai tikar pandan yang putih.

“Kedatanganmu sangat mengejutkan,” berkata gurunya, “kau diikuti oleh sepasukan yang membawa perbekalan dan senjata lengkap.”

“Ya guru,” jawab Ki Tumenggung, “aku sedang bertugas.”

Gurunya mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sudah menduga bahwa kau sedang bertugas.”

“Ya, dan aku mohon ijin untuk beristirahat di padepokan ini barang satu dua hari,” berkata Ki Tumenggung.

“Silahkan anakku,” jawab gurunya, “padepokan ini adalah padepokanmu pula. Tetapi justru dengan demikian kaupun mengetahui, bahwa yang ada di padepokan ini tentu tidak dapat memadai bagi seluruh pasukan yang datang bersamamu. Mungkin tempatnya tidak mencukupi, mungkin jika dihidangkan, rnakanan dan minuman yang kurang memenuhi selera kalian.”

Ki Tumenggung Purbarana tertawa. Katanya, “Kami adalah orang-orang yang terbiasa berada di segala medan. Karena Itu, apapun yang ada di padepokan ini, sudah terlalu mencukupi bagi kami. Bahkan kamipun akan dapat berusaha untuk mencari dan menyelenggarakan makan kami sendiri. Bukankah di sebelah padepokan ini ada hutan yang lebat, yang menyimpan berbagai jenis binatang buruan? Dengan demikian maka kami tidak akan dengan cepat mengeringkan lumbung padepokan ini.”

Gurunya rnengangguk-angguk. Namun kemudian ia bertanya, “Tugas apakah yang sedang kalian lakukan sekarang ini?”

Ki Tumenggung mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Nanti malam aku akan bercerita panjang. Sekarang, parkenankanlah kami beristirahat.”

Gurunya mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Beristirahatlah. Para cantrik akan menjamu kalian betapapun sederhananya. Sementara itu jika kalian ingin berburu di hutan itu, silahkan. Hutan itu memang masih menyimpan binatang buruan yang berlebihan.”

“Ya, Guru,” jawab Ki Tumenggung, “beberapa orang diantara kami memang sedang berada di hutan itu. Sebentar lagi mereka akan datang, sehingga para cantrik tidak usah bersusah payah menyediakan lauk buat kami. Jika mereka sudah menanak nasi, biarlah lauknya kami membuatnya sendiri.”

Gurunya mengangguk-angguk. Tetapi agaknya Tumenggug Purbarana memang tidak tergesa-gesa ingin menyampaikan sesuatu maksud kepadanya.

Karena itu, gurunya pun tidak menanyakan lagi tugas-tugas apa yang sedang diemban oleh Purbarana

Tetapi gurunya bukannya orang yang tidak memiliki panggraita yang tajam, apalagi ternyata bahwa gurunya itu pun memiliki kemampuan mengurai setiap peristiwa dengan cermat.

Tetapi gurunya memang menunggu sampai saatnya Purbarana itu akan berbicara tentang dirinya.

Beberapa saat kemudian maka Purbarana dan orang-orangnya telah menikmati hidangan yang disuguhkan oleh para cantrik. Sementara itu, beberapa orang yang berburu ke hutan telah kembali membawa beberapa ekor binatang buruan. Dengan demikian maka merekapun segera menyalakan api dan menjadikan binatang buruan itu lauk yang nikmat.

Demikianlah, maka sebagaimana dikatakan oleh Ki Tumenggung Purbarana, maka ketika malam mulai menyelubungi padepokan itu, Ki Tumenggung telah menghadap gurunya untuk menyampaikan suatu yang dianggapnya penting.

Dengan tidak disaksikan oleh siapapun juga, maka di pringgitan Purbarana berkata kepada gurunya, “Guru, aku tidak dapat melihat ketidakadilan yang berkembang di Pajang sekarang ini.”

“Maksudmu kuasa Adipati Wirabumi?” bertanya gurunya.

“Wirabumi hanya wayang yang digerakkan oleh Panembahan Senapati,” jawab Ki Purbarana.

“Jadi maksudmu, ada ketimpangan di dalam kekuasaan Penambahan Senapati, khususnya yang dilaksanakan olah Wirabumi di Pajang?” bertanya gurunya pula.

“Sebenarnya tidak hanya di Pajang, tetapi di mana-mana. Karena itu, maka kuasa Panembahan Senapati memang harus ditentang,” jawab Purbarana.

Gurunya menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Sudah terlalu lama rakyat mengalami ketidakpastian. Karena itu, maka sebenarnya sudah tiba waktunya bagi rakyat Mataram untuk mendapat kesempatan hidup dengan tenang. Membangun negeri dan kehidupan mereka masing-masing.”

“Sikap yang terlalu tergesa-gesa,” desis Purbarana. “Guru, jika kita tidak bergerak sekarang, rnaka kuku kekuasaan Loring Pasar, yang sekarang menyebut dirinya Panembahan Senapati itu, akan semakin mencengkam daerah yang luas di bekas tlatah Majapahit. Karena itu, maka kita harus dengan cepat menghancurkan kekuasaan itu.”

“Purbarana,” berkata gurunya kemudian, “apa yang akan kau pergunakan untuk menentang kekuasaan Mataram? Mataram memiliki kekuatan yang dapat mengalahkan kekuatan Pajang pada waktu kedua pasukan itu berhadapan di pinggir Kali Opak. Apalagi harus diakui, bahwa kekuatan Pajang pada waktu itu didukung oleh kekuatan di luar batas keprajuritan. Ada beberapa puluh padepokan yang terlibat dalam satu janji harapan, bahwa padepokan-padepokan itu akan menjadi Tanah Perdikan jika kekuasaan Majapahit lama itu akan dapat lahir kembali.”

Ki Tumenggung Purbarana mengerutkan keningnya. Namun iapun kemudian berkata, “Guru, hal seperti itu tidak dapat terjadi jika Kanjeng Sultan sendiri memang tidak dengan sengaja menyerahkan kekuasaan Pajang kepada Mataram. Kanjeng Sultan yang memaksa untuk memimpin sendiri peperangan itu, dengan kuasanya telah menahan pasukan yang berada di dalam induk gelar pasukan Pajang sendiri, selain pasukan khusus yang berada di sayap. Pasukan dari Jipang dan Tuban, dan dari kadipaten lain, tidak dapat berbuat apa-apa. Dengan demikian maka hanya sebagian kecil saja dari kekuatan Pajang yang bertempur menghadapi Mataram.”

“Bukankah dengan demikian berarti bahwa Kanjeng Sultan memang sudah melihat, bahwa pulung kraton akan berpindah ke Mataram?” berkata gurunya.

“Tidak,” jawab Ki Tumenggung. “Yang terjadi adalah satu permainan yang licik. Karena itu, maka aku akan menghimpun kekuatan untuk menghadapi Mataram yang sebenarnya sangat ringkih. Namun akupun mengakui bahwa dalam tahap pertama aku tidak akan dapat menghadapi Mataram langsung, sebagaimana Pajang. Tetapi aku mempunyai cara yang sudah aku perhitungkan baik-baik. Aku akan menghancurkan unsur-unsur kekuatan Mataram, baru kemudian Mataram akan runtuh dengan sendirinya. Apalagi jika Madiun benar-benar dibayangi oleh kekecewaan yang tidak terkekang. Maka pertempuran antara Mataram dan Madiun akan membuat Mataram semakin lemah.”

“Lalu apa maksudmu dengan kedatanganmu di padepokan ini?” bertanya gurunya.

“Guru, sebagaimana Guru mengetahui, bahwa baik di Tanah Perdikan Menoreh, maupun di Sangkal Putung, ada kekuatan-kekuatan yang sulit untuk diatasi. Aku tidak silau memandang Agung Sedayu dan Swandaru. Aku juga tidak cemas menghadapi Pasantenan dan Mangir. Bagelen dan Kedu akan aku jadikan landasan kekuatan, mengimbangi kekuatan di sebelah Timur yang berpusat di Madiun,” berkata Ki Tumenggung. “Namun yang membuat aku berprihatin adalah orang yang disebut Kiai Gringsing dan Ki Gede Menoreh itu sendiri.”

Gurunya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku mengerti Purbarana. Kau akan menyerang Tanah Perdikan Menoreh atau Sangkal Putung. Tetapi menurut perhitunganmu di Sangkal Putung ada Kiai Gringsing, sementara di Tanah Perdikan Menoreh terdapat Ki Gede Menoreh. Kau akan minta kepadaku untuk membantumu, melawan Kiai Gringsing di Sangkal Putung, dan membunuh Ki Gede Menoreh di Tanah Perdikan Menoreh. Mungkin juga kau ingin aku menghadapi Ki Gede Pasantenan dan Ki Wanabaya, begitu?”

Purbarana mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun tertawa kecil sambil menjawab, “Ya, begitulah Guru. Sementara aku sendiri akan mampu membunuh Agung Sedayu dan Swandaru.”

Tetapi gurunya menggelengkan kepalanya. Katanya, “Ingat Purbarana. Agung Sedayu mampu membunuh Tumenggung Prabadaru. Apakah kau sudah melupakannya? Menurut pengamatanku, kau tidak memiliki kemampuan setingkat dengan Prabadaru.”

Purbarana memandang gurunya dengan wajah yang tegang. Sambil menarik nafas ia bergumam seakan-akan kepada diri sendiri, “Aku tidak yakin, bahwa Prabadaru memiliki ilmu yang lebih baik dari aku.”

“Jadi kau tidak yakin, Purbarana?” sahut gurunya. “Kau belum memiliki tingkat kemampuan sebagaimana Ki Tumenggung Prabadaru.”

“Guru sengaja membuat hatiku kecil, atau mungkin Guru bermaksud agar aku tidak merasa terlalu besar berhadapan dengan Agung Sedayu, sehingga aku menjadi lengah?” bertanya Purbarana.

“Aku memang ingin mengatakannya. Maksudku jelas, agar kau tidak meneruskan niatmu yang dapat membuat rakyat Pajang menjadi sernakin menderita,” jawab gurunya. “Sebaiknya kita semuanya memberi kesempatan kepada Raden Sutawijaya yang bergelar Panembahan Senapati. Anak siapapun juga orang itu, tetapi ia sekarang memimpin pemerintahan di Mataram yang menggantikan kedudukan Pajang.”

“Guru,” berkata Ki Tumenggung Purbarana, “aku tidak mau membuat kesalahan sekarang ini yang akan dapat menjadi semakin besar, dan akibatnya akan mencekik anak cucu kita. Aku tidak mau dikutuk dalam kuburku kelak oleh anak cucu, bahwa semasa hidupku aku tidak dapat berbuat sesuatu yang berarti bagi mereka, sehingga hidupku adalah sia-sia belaka.”

“Kau memandang masa depan dengan cara yang salah, Anakku. Sebenarnya kau dapat melihat ke masa depan yang panjang dari sudut yang lain,” berkata gurunya. Lalu, “Kau justru akan dianggap sebagai seorang yang tidak memberi kesempatan kepada masa depan untuk dibenahi sekarang. Kau telah rnerampas waktu dan kesempatan yang sebenarnya akan dapat lebih berarti daripada sekedar saling berperang. Saling membunuh, dan dengan demikian maka dendam akan tumbuh tanpa dapat dikendalikan sampai ke anak cucu kita.”

“Guru sekarang menjadi sangat lemah,” berkata Ki Purbarana, “mungkin usia Guru yang semakin tua membuat Guru kehilangan gairah perjuangan,” desis Ki Tumenggung Purbarana.

“Mungkin, Purbarana,” jawab gurunya, “tetapi mungkin kaulah yang terlalu bernafsu menuruti satu sikap yang tidak kau kaji kebenarannya. Kau condong untuk melakukan satu tindak kepahlawanan sebagaimana sifat seorang ksatria. Tetapi tujuan dari sikap kepahlawananmu itu kabur, dan bahkan bertentangan dengan makna kepahlawanan itu sendiri dalam arti yang luas dan merata.”

Wajah Ki Tumenggung menjadi tegang. Katanya dalam nada yang berat, “Nampaknya Guru tidak sependapat dengan rencanaku.”

“Anakku,” berkata gurunya dengan nada yang dalam, “aku memang berusaha untuk memperingatkanmu, bahwa langkah yang kau ambil adalah langkah yang kurang menguntungkan. Baik bagimu sendiri, maupun bagi rakyat Pajang yang kemudian dipimpin oleh Panembahan Senapati di Mataram. Sebaiknya kau melihat dengan sudut pandangan yang lebih luas dari kepentinganmu dan golonganmu.”

Wajah Ki Tumenggung yang tegang menjadi semakin tegang. Bahkan dengan nada yang semakin keras ia bertanya, “Jadi Guru tidak melihat satu gelora perjuangan dari langkah-langkahku sekarang ini?”

Gurunya termenung sejenak. Namun kemudian sambil menarik nafas dalam-dalam ia berkata, “Purbarana, cobalah kau renungkan. Apa yang akan dapat kau lakukan? Seandainya kau akan menempatkan dirimu melawan para senapati di Mataram, apakah kau mengharap bahwa aku akan dapat menghadapi Panembahan Senapati? Mungkin aku memiliki keberanian untuk melakukannya. Tetapi itu akan sia-sia. Aku akan mati sebagai seorang pemberontak, dan namaku akan selalu dicaci oleh keturunan kita di masa datang. Jangankan Panembahan Senapati itu sendiri, sedangkan orang yang mampu membunuh orang yang disebut Kakang Panji di Prambanan itupun tidak akan mungkin dapat aku atasi. Padahal jumlah orang-orang yang berilmu tinggi di antara kita jauh lebih sedikit dari jumlah yang ada di Mataram. Apalagi jika dihitung dengan Sangkal Putung, Tanah Perdikan Menoreh, Pasantenan, Mangir, dan jangan lupa Adipati Wirabumi di Pajang, dan Adipati Jipang, Pangeran Benawa.” Gejolak di dada Ki Tumenggung hampir tidak terkendali. Dengan nada semakin keras ia berkata, “Guru membayangkan kekerdilan diri. Sudah kukatakan, kita tidak akan melawan mereka bersama-sama. Sementara itu, aku akan dapat minta bantuan Paman Warak Ireng, Paman Bagaswara, Paman Linduk dan beberapa pemimpin padepokan lain. Bukankah Paman Bagaswara adalah adik seperguruan Guru, dan Paman Warak Ireng dan Paman Linduk sangat menghormati Guru?”

Wajah gurunyalah yang kemudian menjadi tegang. Katanya, “Aku tidak sependapat bahwa kau berhubungan dengan Warak Ireng dan Linduk . Aku masih hormat kepada adik seperguruanku Bagaswara di Tegal Payung.”

“Guru, segala cara akan aku tempuh untuk memenangkan perjuangan ini,” jawab Purbarana

“Sebagaimana dilakukan oleh Kakang Panji,” desis gurunya.

“Ya,” jawab Purbarana tegas.

“Itulah yang terasa sangat pahit bagiku, Anakku. Dengan mempergunakan segala cara, maka kau sudah keluar dan paugeran hidup seorang kesatria. Karena dengan demikian rnaka kau akan dapat berbuat licik dan palsu. Bahkan kau akan terlempar keluar dari angger-angger hidup dalam hubungan kita dengan yang Maha Agung. Karena itu, aku tidak akan dapat membenarkan segala cara. Memutihkan segala warna sebagaimana warna itu sendiri,” berkata gurunya.

“Aku tidak perduli,” geram Ki Tumenggung Purbarana. Namun kemudian suaranya merendah, “Maafkan aku Guru Tetapi gelora di dalam dada ini rasa-rasanya sudah tidak terkendalikan lagi. Dan aku memang sudah bersumpah untuk tidak akan menyembah Panembahan Senapati, anak dari Sela, keturunan pidak pedarakan yang berhasil menjilat kaki Hadiwijaya.”

Gurunya menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya muridnya dengan sorot mata yang memancarkan belas kasihan. Karena itu, maka katanya kemudian, “Anakku, sebenarnya aku menaruh harapan kepadamu. Kau adalah muridku yang memiliki kesempatan paling baik untuk masa depan. Tetapi kau memang pantas dikasihani. Sebagai seorang Guru aku menjadi sangat prihatin melihat langkah yang kau ambil sekarang ini, karena seolah-olah aku melihatmu bagaikan seorang anak-anak yang bermain di tepi Jurang.”

“Aku bukan orang yang pantas dibelaskasihani,” Ki Tumenggung Purbarana hampir berteriak.

“Jika yang mengatakan hal itu bukan gurumu, kau memang dapat merasa tersinggung. Tetapi selama kau masih menganggap aku gurumu, maka kau akan berusaha untuk mengerti,” jawab gurunya dengan sareh. Lalu katanya, “Anakku, meskipun aku tidak menyaksikan apa yang terjadi di Prambanan yang letaknya cukup jauh dari padepokan ini, tetapi aku sudah mendengar semuanya yang terjadi. Karena itu, jangan kau ulangi kegagalan yang sudah terjadi berpuluh kali. Kau masih mempunyai kesempatan untuk kembali ke dalam lingkunganmu di Pajang. Aku kira Adipati Wirabumi akan dapat mengerti jika kau berkata berterus-terang tentang keadaanmu.”

Wajah Purbarana menjadi merah. Dengan suara yang bergetar olah gejolak perasaannya yang tertahan-tahan ia berkata, “Guru, sudah aku katakan. Aku pantang melangkah surut meskipun aku akan menjadi bangkai sekalipun.”

Dahi gurunya berkerut semakin dalam. Katanya, “Purbarana, kau adalah muridku. Sudah tentu aku mengasihimu seperti anakku sendiri. Aku merasa bahwa sebagaimana murid-muridku yang lain, kau adalah bagian dari hidupku sendiri. Tetapi kali ini aku ternyata bersikap lain. Kau dapat saja bersumpah akan menentang Mataram sampai mati. Tetapi jika benar terjadi pertentangan dengan kekerasan, maka bukan hanya kau yang akan mati. Jika hanya kau saja, tanah ini tidak akan meratap dengan sedih. Tetapi yang mati biasanya adalah justru putra-putra terbaik. Itulah yang pantas ditangisi.”

“Tetapi Guru pernah berkata, bahwa setiap perjuangan tentu akan menaburkan korban,” jawab Purbarana.

“Benar Anakku. Tetapi bukan korban yang sia-sia,” jawab gurunya.

“Itulah kesalahan Guru, karena Guru menganggap bahwa perjuanganku adalah perjuangan yang tak berarti, sehingga korban yang jatuh pun Guru anggap tidak berarti pula,” geram Ki Tumenggung. Namun kemudian suaranya menjadi bernada keras, “Tetapi aku tidak akan mundur Aku minta Guru membantu aku. Aku ingin mendengar jawaban Guru.”

Gurunya termangu-mangu sejenak. Namun sambil bernafas dalam sekali ia berkata, “Kau memang pantas untuk dikasihani.”

“Cukup!” tiba-tiba saja Purbarana membentak, “Ketika aku datang, aku membawa harapan untuk dapat memenangkan perjuangan ini. Tetapi ternyata Guru telah berkhianat.”

Wajah gurunyalah yang menjadi merah. Namun hanya sekilas, karena sejenak kemudian, maka dengan tarikan nafas dalam-dalam, ia bedesis, “Aku maafkan kata-katamu Anakku, karena hal itu kau ucapkan oleh dorongan perasaan yang tidak tertahankan. Tetapi apakah kau tahu arti sebenarnya dari sebuah pengkhianatan?”

Betapapun sabarnya gurunya, tetapi Purbarana benar-benar telah dibakar oleh kekecewaan yang tidak tertahankan. Dengan lantang ia berkata, “Tentu aku tahu pasti Guru. Kau adalah contoh dari seorang pengkhianat yang baik. Karena itu sekali lagi aku bertanya, kau bersedia atau tidak?”

Gurunya menggeleng sambil menjawab, “Jangan memaksa aku, Anakku. Bahkan aku akan selalu berusaha mencegahmu. Aku ingin melihat pembunuhan dan pembantaian di antara sanak kadang sendiri ini diakhiri. Aku ingin melihat kita bersama-sama dalam keadaan tenang dan damai sempat membangun bagi diri kita masing-masing, dan bagi hidup bebrayan.”

“Cukup! Aku tidak perlu sesorahmu. Apakah Guru menyadari, apa yang dapat aku lakukan di sini dengan pasukan segelar sepapan ini?” geram Purbarana.

“Kau mau apa Anakku? Sudah lama aku menunggu kapan kau datang sambil membawa seikat sadak kinang, atau setangkai buah-buahan, sebagai oleh-oleh buat orang tua. Namun yang kau lakukan jauh berbeda dengan yang aku harapkan,” jawab gurunya.

“Segalanya tergantung dari sikap orang tua itu sendiri. Jika kau tahu diri, maka aku tentu akan datang dengan oleh-oleh, tidak hanya seikat sadak kinang atau setangkai buah-buahan. Tetapi aku akan membawa sepedati penuh. Tetapi Guru bukan orang tua yang pantas dihormati. Dengar sekali lagi, aku datang dengan pasukan segelar sepapan. Betapapun tinggi ilmu Guru, tetapi aku dapat memaksa Guru untuk berbuat sebagaimana aku kehendaki,” ancam Ki Tumenggung Purbarana.

Tetapi gurunya justru tersenyum. Katanya, “Kau jangan main-main seperti itu dengan orang tua. Mungkin aku memang akan mati jika kau ingin membunuhku dengan kekuatan seribu tangan dan seribu ujung senjata. Tetapi kau tahu, bahwa aku tidak mudah untuk kau perlakukan seperti itu. Meskipun mungkin ada seseorang yang akan melihat mayatku, para cantrik, cokol, manguyu, jejanggan dan para putut di sini, tetapi merekapun akan menemukan lebih dari separuh orang-orangmu yang terbakar hidup-hidup oleh api yang akan dapat aku pancarkan kepada mereka. Dan kau adalah orang pertama yang akan mati di sini. Aku memang tidak berkeberatan jika kita mati bersama. Kita akan bersama-sama mengarungi alam hening, dalam kekosongan nafas dan denyut nadi, menghadap Tuhan Yang Maha Agung. Tetapi aku tentu tidak akan dapat memohon bagimu, maaf dan pengampunan atas segala dosa-dosamu.”

Wajah Purbarana menjadi merah padam. Tetapi iapun kemudian menyadari, bahwa ia memang tidak akan dapat berbuat apa-apa terhadap gurunya. Bahkan mungkin pasukannyapun tidak akan mampu melakukan tekanan apapun kepada orang tua itu.

Ketika itu maka Purbarana tidak dapat menjawab sama sekali. Wajahnya yang merah oleh gejolak perasaannya justru telah menunduk.

“Purbarana, cobalah untuk memahami kata-kataku. Karena aku akan berbuat seperti yang akan kau lakukan. Jika kau benar-benar ingin rnemaksaku, maka akupun akan benar-benar berbuat seperti yang aku katakan. Bahkan aku akan berusaha dengan cara apapun juga untuk mencegah, agar kau tidak akan membakar tanah yang sudah parah ini dengan api peperangan yang baru. Karena dengan demikian, maka yang akan mengalami penderitaan adalah rakyat kecil yang tidak banyak mengetahui persoalannya.”

Purbarana tidak menjawab lagi. Kepalanya masih saja tunduk. Ia mencoba mendengarkan kata-kata gurunya dangan saksama.

“Nah, renungkanlah. Dan katakan, apakah yang akan kau lakukan selanjutnya,” berkata gurunya.

Purbarana menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa gurunya tidak hanya sekedar menakut-nakutinya. Gurunya adalah orang memiliki ilmu dan keteguhan hati. Karena itu, apapun yang akan dilakukannya, namun ia tidak akan dapat memaksa gurunya berbuat sebagaimana yang dikehendakinya.

Karena itu, maka dengan suara lemah Purbarana menjawab, “Ampun Guru. Aku mengerti semua keterangan Guru.”

“Lalu apa yang akan kau lakukan?” bertanya gurunya.

“Aku akan berusaha untuk menguasai diri sendiri,” jawab Ki Tumenggung Purbarana.

Kening gurunya nampak berkerut. Dengan nada meninggi gurunya bertanya, “Jadi kau akan mengendalikan dirimu dan kemudian mencegah peperangan?”

“Ya Guru. Aku akan berusaha. Aku akan mengendalikan para pengikutku, agar mereka tidak kehilangan kepercayaan kepadaku, dan kemudian sependapat dengan aku mengurungkan peperangan.”

“Bagus. Kau benar-benar anakku, muridku, dan seorang ksatria yang jujur. Jika demikian, maka kau akan merupakan salah satu dari sekian banyak orang yang ikut menciptakan ketenangan di Tanah Ini. Justru dalam keadaan yang sangat memerlukannya,” berkata gurunya.

Ki Tumenggung Purbarana tidak menyahut. Namun kepalanya masih tetap saja menunduk dalam-dalam.

Beberapa saat kemudian gurunya masih memberinya beberapa petunjuk untuk dapat mengendapkan segala gejolak perasaan yang kadang-kadang bagaikan membakar jantung. Namun dengan menyadari dirinya dalam bubungannya dengan sesama dan dengan Tuhannya, maka gejolak perasaan itu akan dapat diatasinya.

Dalam pada itu maka gurunyapun kemudian berkata, “Baiklah Purbarana, sekarang kau sebaiknya beristirahat sajalah. Kau sempat merenungi persoalanmu dan keadaanmu. Bahkan keadaan rakyat yang masih saja dibayangi kepahitan akibat dari peperangan. Meskipun ajang peperangan pada waktu itu berada di Prambanan, tetapi penderitaan yang disebabkan karena peperangan itu justru telah tersebar ke segala penjuru. Karena akibat peperangan tidak hanya sekedar terjadi di arena. Yang terbunuh di peperangan, yang terbanyak justru bukan orang-orang Prambanan. Penyediaan bahan makanan diambil dari daerah-daerah subur yang mungkin jauh dari Prambanan, dengan mengosongkan lumbung-lumbung di tempat-tempat itu. Dengan demikian yang basah oleh air mata karena peperangan, yang telah kehilangan suami, kehilangan anak dan sanak saudara, telah terpencar sampai ke ujung daerah Pajang. Dan yang kemudian mengalami kesulitan pangan pun terpencar di daerah yang luas.”

Ki Tumenggung Purbarana mengangguk-angguk. Sejenak ia termangu-mangu, namun kemudian dari sela-sela bibirnya terdengar suaranya dalam nada rendah, “Baiklah Guru, aku mohon diri untuk beristirahat.”

“Pergilah,” jawab gurunya, “pandai-pandailah memberi penjelasan kepada orang-orangmu. Mudah-mudahan merekapun dapat mengerti.”

Ki Tumenggung itu mengangguk. Kemudian ia pun bergeser meninggalkan ruangan itu.

Namun sekilas ia sempat melihat sebilah keris yang besar terselip di punggung gurunya. Keris yang pernah dikenalnya dahulu sebagai pusaka gurunya yang memiliki tuah yang sangat besar. Dengan keris itu gurunya seakan-akan mampu membelah gunung dan mengeringkan lautan. Ilmu kebal yang betapapun kuatnya, rnaka ujung keris itu akan mampu menembusnya. Ketajaman warangannya membuat setiap sentuhan berarti maut.

“Kiai Santak,” desis Ki Tumenggung Purbarana di dalam hatinya, “keris yang tidak pernah terpisah dari tubuh Guru. Dengan keris itu, pasukanku sama sekali tidak akan berarti. Seperti yang dikatakan Guru, seandainya Guru dapat juga terbunuh karena lawan yang berlipat seribu kali, namun separuh dari lawan-lawannya tentu akan mati juga. Bukan saja karena Guru memiliki ilmu yang mampu membakar lingkungannya, tetapi keris itu adalah perlambang dari keperkasaannya.”

Dalam pada itu, maka sejenak kemudian Ki Tumenggung Purbaranapun telah meninggalkan gurunya dengan kepala tunduk. Berulang kali ia berusaha untuk menelaah nasehat gurunya. Namun setiap kali ia telah kehilangan makna dari kata-kata gurunya itu.

Malam itu Purbarana berbaring dengan sangat gelisah. Dadanya seakan-akan tengah membara. Dinginnya malam serasa bagaikan panasnya uap air yang sedang mendidih.

Malam itu sendiri mengalir dengan lambatnya. Bintang-bintang yang tergantung di langit bergeser perlahan-lahan. Sementara itu jengkerik yang berderik melagukan kegelisahan di keheningan malam.

Sekali-kali di hutan yang tidak terlalu jauh dari padepokan itu masih terdengar aum seekor harimau yang marah karena kehilangan buruannya.

Dan malampun berdenyut dengan nadi kehidupannya sendiri yang terhenti di siang hari, tetapi mulai berputar kembali sesaat setelah matahari terbenam.

Ketika matahari kemudun mulai membayang, maka Ki Tumenggung Purbarana telah terbangun pula. Ketika ia pergi ke pakiwan, dilihatnya gurunyapun baru saja membersihkan dirinya.

Jantung Ki Tumenggung Purbarana terasa berdenyut semakin cepat. Ketika gurunya tersenyum kepadanya, maka iapun mengangguk hormat. Namun kemudian terasa tubuhnya bergetar.

Segalanya telah dipersiapkannya dengan masak. Orang-orang yang ditunjuknya telah melakukan tugas masing-masing. Sehingga dengan demikian maka rencananya tentu akan berlangsung sebagaimana dikendakinya.

Setelah membersihkan diri, maka Ki Tumenggung Purbarana pun telah membenahi pakaiannya, Iapun segera bersiap sebagaimana seorang yang siap untuk turun ke medan. Tetapi Ki Tumenggung tidak segera meninggalkan biliknya.

Dengan gelisah ia berjalan hilir mudik di dalam biliknya yang tidak terlalu luas. Sekali-sekali ia menjengukkan kepalanya ke pintu. Namun pintu itupun kemudian kembali ditutupnya lagi.

Dalam pada itu, tiba-tiba padepokan kecil itu menjadi gempar. Di ruang dalam terdengar beberapa orang cantrik yang berlari-lari sambil berteriak, “Panembahan, Panembahan.”

Ki Tumenggung Purbarana meloncat keluar. Dengan sigapnya ia berlari ke ruang dalam. Dengan kekuatannya yang sangat besar ia menguak beberapa orang cantrik yang berdiri di pintu bilik gurunya.

“Minggir, ada apa?” teriak Ki Turnenggung.

Ketika ia meloncat masuk, maka iapun tiba-tiba telah tertegun. Dilihatnya gurunya terbaring di amben bambu. Dari mulutnya keluar cairan berwarna merah kehitaman. Sementara itu di tangannya masih tergenggam bumbung obat yang belum sempat diminumnya.

“Guru!” Ki Tumenggung Purbarana mengguncang tubuh gurunya. Tetapi tubuh itu telah membeku. Ketika Ki Tumenggung Purbarana melekatkan telinganya ke dada orang itu, maka iapun menggeleng lemah sambil berdesis, “Guru telah meninggal.”

Namun tiba-tiba wajahnya menjadi liar. Dipandanginya para cantrik dan para pengikutnya yang ada di dalam ruangan itu, serta yang berjejal di pintu. Dengan suara bergetar ia berkata, “Siapa yang telah berbuat curang ini? Siapa? Siapa yang telah membunuh Guru dengan cara yang sengat licik?”

Para cantrik menjadi ketakutan. Selangkah demi selangkah mereka mundur. Sementara itu, Ki Tumenggung Purbarana pun segera meloncat ke nampan yang terletak di atas dingklik kayu. Di atasnya terdapat sebuah kendi berisi air panas, dan di sebelahnya terdapat beberapa potong gula kelapa. Sebagaimana biasa, gurunya di pagi hari duduk di amben bambu itu sambil minum minuman panas, sebelum ia turun ke halaman atau ke sawah untuk bekerja.

Sejenak Ki Tumenggung Purbarana mengamati minuman itu. Namun tiba-tiba ia menggeram, “Racun. Tentu racun di dalam minuman ini.”

Adalah di luar dugaan semua orang yang hadir di ruang itu, ketika tiba-tiba saja Ki Tumenggung telah menarik seorang cantrik yang berdiri termangu-mangu. Sambil menyodorkan bumbung minuman panas itu ia membentak, “Minum! Minum!”

Cantrik itu menjadi gemetar. Tetapi tangan Ki Tumenggung bagaikan tarikan kekuatan seekor kerbau liar, sehingga cantrik itu tidak mampu untuk bertahan berdiri di tempatnya.

“Minum!” teriak Ki Tumenggung.

“Tidak,” jawab cantrik itu, “bukankah minuman itu beracun?”

“Dari mana kau tahu? Apakah kau memang telah meracun Guru?” bentak Ki Tumenggung.

Wajah cantrik itu menjadi putih seperti kapas. Namun ketika Purbarana mengguncang tubuhnya, maka cantrik itu tidak dapat melawan.

“Kita akan membuktikan, apakah Guru memang telah dikhianati,” teriak Ki Purbarana. “Jika benar telah terjadi pengkhianatan terhadap Guru, maka semua cantrik akan aku bunuh tanpa ampun.”

“Tidak!” teriak cantrik itu, “Tidak seorangpun yang akan berkhianat.”

“Tetapi Guru telah diracun. Atau buktikan, bahwa Guru tidak meninggal karena racun,” teriak Ki Tumenggung Purbarana.

Cantrik itu sama sekali tidak mampu lagi berbuat apa-apa. Sementara itu kawan-kawannyapun telah menggigil pula melihat kemungkinan yang akan dapat terjadi pada kawannya itu. Sementara di pintu, prajurit pengikut Ki Tumenggung berdiri dengan senjata siap di tangan.

Namun dalam pada itu, ketika Ki Tumenggung hampir saja menuangkan minuman yang tersisa ke dalam mulut cantrik itu, tiba-tiba saja seorang telah berusaha menyibak. Di luar pintu terdengar suara, “Minggir! Aku akan melihat keadaan Guru.”

“Siapa orang itu?” bertanya Ki Purbarana.

Beberapa orang berpaling. Tetapi mereka tidak segera melihat, siapa yang berdiri di luar pintu.

Namun dalam pada itu, para prajurit yang ada di luar pintu melihat Putut Pradapa berdiri tegak dengan wajah yang merah membara.

“Beri aku jalan,” berkata Putut Pradapa, “aku ingin melihat keadaan Guru.”

“Kenapa baru sekarang kau datang?” bertanya seorang prajurit.

“Aku berada di sawah ketika peristiwa ini terjadi. Aku mmendengar laporan bahwa Guru telah meninggal akibat keracunan yang sangat tajam, sehingga Guru tidak sempat minum obat yang tentu akan dapat menyelamatkan jiwanya,” jawab Putut Pradapa. “Bahkan ketika aku langsung menuju ke dapur ternyata juru patehan yang biasa membuat minuman bagi Guru telah meninggal pula. Juga karena keracunan. Sekarang aku mendengar Tumenggung Pubarana memaksa seorang untuk minum sisa minuman Guru. Aku tidak dapat membiarkan hal itu terjadi. Apalagi jika yang akan dipaksa minum itu adalah seorang cantrik.”

“Kau mengigau,” bentak seorang prajurit.

“Aku mendengar Ki Tumenggung berteriak memaksa seseorang untuk minum,” jawab Putut Pradapa.

“Omong kosong,” jawab prajurit itu.

“Beri jalan,” berkata Putut Pradapa.

“Tidak seorangpun boleh masuk,” jawab prajurit itu.

Sorot mata Putut itu bagaikan melontarkan lidah api yang menjilat tatapan mata para prajurit, sehingga para prajurit itupun di luar sadar mereka telah melemparkan pandangan mereka menyamping.

Dalam pada itu, putut itupun tidak lagi menghiraukan para prajurit. Meskipun beberapa ujung senjata teracu, namun putut itu melangkah terus, sehingga di luar sadar, para prajurit itupun telah menyibak.

Para cantrik yang di dalam akhirnya melihat juga putut itu masuk. Rasa-rasanya mereka telah tersiram air dingin dalam panasnya terik matahari yang membakar. Cantrik yang berada di tangan Ki Tumenggung tiba-tiba sa ja telah meronta, sehingga berhasil melepaskan diri dari pegangan Ki Tumenggung yang tidak mengira hal itu akan dilakukan. Dengan serta merta cantrik itupun kemudian berlari dan seakan-akan bersembunyi di belakang putut yang dianggapnya sebagai saudara tuanya.

Sejenak putut itu berdiri berhadapan dengan Ki Tumenggung Purbarana. Dengan tajamnya Ki Tumenggung memandangi wajah putut itu. Namua putut itupun sama sekali tidak menundukkan wajahnya.

“Di rnana kau selama ini?” bertanya Ki Tumenggung.

“Aku berada di sawah,” jawab putut itu.

“Kau pantas dicurigai,” Ki Tumenggung hampir berteriak.

Tetapi putut itu menjawab dengan suara berat, “Jangan mencoba mendahului tuduhanku. Tidak seorangpun dapat diyakinkan bahwa aku telah membunuh Guru.”

“Ia juga guruku. Aku adalah murid yang lebih tua darimu. Aku lebih berhak untuk berusaha memecahkan pengkhianatan ini dan menangkap orang yang dengan licik telah membunuh Guru,” geram Ki Tumenggung Purbarana.

“Minggirlah,” berkata putut itu dengan suara berat, “aku akan melihat Guru.”

“Kau meracunnya. Kemudian kau pergi ke sawah setelah membunuh orang yang menyediakan minuman buat Guru,” suara Ki Tumenggung bergetar. “Sekarang, kaulah yang harus minum sisa minuman Guru unluk meyakinkan, bahwa Guru memang telah diracun.”

“Jangan bodoh,” sahut putut itu, “dari kejauhan aku telah mengetahui bahwa Guru telah diracun. Apalagi yang harus dibuktikan? Kecuali jika kau ingin rnencoba untuk minum racun itu pula.”

“Sekarang beri aku seorang di antara cantrik-cantrikmu. Biarlah ia mencicipi racun itu. Kita akan segera mengetahui, apakah minuman itulah yang membuat Guru dalam keadaan seperti itu,” berkata Ki Tumenggung.

“Jangan mengada-ada Ki Tumenggung,” jawab putut itu pula, “semuanya sudah jelas. Guru memang terbunuh oleh racun. Yang biasa membuat minuman Guru pun telah mati oleh racun. Bukankah semua sudah jelas. Yang perlu diketahui kemudian adalah siapa yang telah membubuhkan racun itu, bukan membuktikan bahwa di dalam minuman itu terdapat racun.”

“Kita harus melangkah setapak demi setapak. Kita akan membuktikan dahulu, apakah minuman itu beracun. Baru melangkah ke pengamatan berikutnya. Karena itu suruhlah cantrik itu untuk minum sisa minuman Guru ini.”

“Jangan kau suruh cantrik ini,” jawab putut itu pula, “semuanya sudah jelas tentang racun itu. Tetapi jika kau masih juga ingin membuktikan, suruhlah seorang prajuritmu melakukannya.”

“Gila!” teriak Ki Tumenggung Purbarana. “Akulah yang sekarang memerintah di sini. Bukan kau.”

“Aku adalah putut di sini,” jawab Putut Pradapa dengan jantung yang berdenyut semakin cepat. “Aku justru mencurigaimu. Seseorang melihat salah seorang prajuritmu berada di dapur. Mula-mula tidak ada kecurigaan atas orang itu. Tetapi setelah peristiwa ini terjadi, maka aku jadi curiga.”

“Jangan mengigau,” geram Ki Tumenggung.

“Sekarang suruh semua prajuritmu berdiri berjajar. Cantrik yang melihat orangmu berada di dapur itu akan dapat mengenalinya. Kemudian orang itu kita usut dengan sungguh-sungguh,” berkata Putut Pradapa.

“Kau jangan mengada-ada. Akulah yang mengarnbil sikap. Semua orang harus tunduk kepadaku,” Ki Tumenggung hampir berteriak.

“Aku mempunyai wewenang. Minggir, aku akan melihat keadaan Guru. Jangan berbuat sesuatu yang dapat mempertebal kecurigaanku. Aku tetap pada pendirianku untuk berusaha mengenali orang yang berada di dapur menjelang dini hari, sebelum juru minuman itu menghidangkan minuman kepada Guru sebagaimana dilakukannya setiap hari. Meskipun orang yang berada di dapur itu berpura-pura minta minum, tetapi yang terjadi kemudian merupakan bukti pengkhianatannya. Agaknya orang itu tidak berdiri sendiri,” berkata Putut Pradapa. “Karena itu menepilah. Aku harus memberikan keterangan kepada para cantrik dan penghuni padepokan ini semuanya. Baik yang ada di ruang ini, maupun yang berada di luar. Karena itu minggirlah.”

Ki Tumenggung Purbarana termangu-mangu sejenak. Namun iapun kemudian berkata, “Cepatlah. Tetapi jangan berbuat sesuatu yang dapat menyeretmu ke dalam malapetaka.”

Putut Pradapa sama sekali tidak menghiraukannya. Ia melangkah maju mendekati gurunya yang terbaring diam. Noda-noda yang biru kehitam-hitaman telah tumbuh di wajah kulitnya. Terutama di lehernya dan di dadanya.

Namun dalam pada itu, di luar pengamatan Ki Tumenggung, Putut Pradapa telah meraba tikar di bawah bantal gurunya. Wajahnya menjadi semakin tegang. Tangannya sama sekali tidak menyentuh pusaka gurunya yang tidak pernah terpisah, yang selain berada di punggungnya, biasanya berada di bawah bantalnya. Bahkan di sisinya pun keris itu tidak ada pula.

Karena itu, maka putut itupun sadar, bahwa selain pembunuhan, maka telah terjadi perampokan atas pusaka gurunya yang sangat tinggi nilainya. Bukan saja karena pendoknya memang terbuat dari emas dan ukirannya bertreteskan intan berlian, namun tuah keris itu benar-benar menggetarkan orang-orang yang berniat buruk kepadanya. Keris itu perlambang keperkasaan gurunya yang luar biasa.

Gejolak jantung Putut Pradapa hampir tidak tertahankan lagi. Namun ia masih berusaha untuk mempergunakan nalarnya. Ia tidak boleh hanyut dalam arus angan-angan saja, sehingga ia kehilangan jalan untuk menemukan yang dicarinya.

“Aku harus menemukannya, apapun yang dapat terjadi atasku,” berkata Pulut Pradapa didorong oleh kesetiaannya kepada gurunya. Kematian gurunya dan hilangnya pusaka yang bernama Kiai Santak itu benar-benar satu malapetaka yang harus dibelanya sampai tarikan nafasnya yang terakhir.

Untuk sejenak Putut Pradapa itu justru bagaikan membeku. Namun iapun kemudian berpaling ketika ia mendengar Ki Tumenggung Purbarana berteriak, “Cukup! Apa katamu tentang Guru?”

Putut Pradapa berdiri tegak menghadap ke arah Ki Tumenggung Purbarana. Dengan wajah yang merah membara ia berkata, “Aku menuntut kematian Guru dan akan mengusutnya sampai tuntas.”

“Jangan banyak bicara. Suruh cantrikmu yang bermata seperti mata burung hantu itu untuk minum sisa minuman Guru. Dengan demikian semua orang yakin bahwa Guru memang telah diracun. Dan aku mencurigaimu, justru pada saat Guru meninggal kau tidak ada di tempat. Agaknya kau sudah merencanakan pengkhianatan ini sejak lama. Kedatanganku telah kau pergunakan sebagai satu kesempatan yang baik sekali untuk menghilangkan jejak,” geram Ki Tumenggung.

Tetapi Putut Pradapa dengan tegas memotong, “Cukup. Perintahkan semua prajuritmu untuk berbaris. Seseorang akan dapat mengenali, siapakah di antara mereka yang berada di dapur sebelum minuman Guru dihidangkan seperti biasa.”

“Tidak perlu,” jawab Ki Tumenggung, “kau tidak berhak mengatur usaha untuk menemukan pembunuh Guru, karena aku sudah menemukannya. Kau.”

“Dengar Ki Tumenggung,” berkata Putut Pradapa, “prajurit-prajuritmu tentu tidak mengenal kebiasaan Guru sebagaimana Guru minum minuman panas di pagi hari di biliknya. Kau tentu mengenal kabiasaan itu. Dan kau perintahkan salah seorang prajuritmu untuk melakukan rencanamu.”

“Tutup mulutmu! Aku dapat memerintahkan prajurit-prajuritku menangkapmu, menyeretmu ke halaman dan menggantungmu,” teriak Ki Tumenggung Purbarana.

“Kau dapat saja mempergunakan kesewenang-wenanganmu dalam kelicikan yang memalukan. Apalagi kau seorang prajurit yang seharusnya mengenal arti kejantanan,” jawab Putut Pradapa. Namun kemarahan yang menghentak jantungnya ternyata tidak tertahankan lagi, sehingga ia berkata, “Ki Tumenggung, kau dengan licik telah menuduh aku. Sementara aku berkeyakinan bahwa kaulah yang telah membunuh Guru, langsung atau tidak langsung, sekaligus merampok pusaka Guru yang paling berharga. Kiai Santak. Karena itu, maka untuk membersihkan nama kita masing-masing, marilah kita berhadapan sebagai dua orang laki-laki. Darah kitalah yang akan menentukan, siapakah di antara kita yang telah membunuh Guru. Meskipun seandainya aku harus mati terbunuh, betapapun aku tidak melakukan pembunuhan, maka biarlah tanggung jawab itu dilimpahkan pada pundakku.”

“Gila!” teriak Ki Tumenggung Purbarana, “Apakah kau sedang mengigau?”

“Tidak. Aku menantangmu berperang tanding,” jawab Putut Pradapa tegas.

“Apakah yang kau katakan itu sudah kau pikirkan?” bertanya Ki Tumenggung.

“Aku tidak perlu memikirkannya,” jawab Putut Pradapa, “demi kesetiaanku kepada Guru.”

“Dengar, Aku dan kau adalah seudara seperguruan. Aku berguru lebih dahulu dan aku mempunyai unsur-unsur pelengkap jauh lebih banyak setelah aku menjadi seorang Tumenggung. Nah, bukankah dengan demikian kau hanya sekedar membunuh diri saja?” geram Ki Tumenggung.

“Apapun yang akan terjadi. Aku sudah bertekad untuk berperang tanding,” berkata Putut Pradapa.

Ki Tumenggung Purbarana menjadi semakin buas. Tiba-tiba saja ia berteriak kepada prajurit-prajuritnya, “Siapkan arena! Putut ini akan membunuh diri.”

Sejenak kemudian, maka di halaman padepokan itupun telah disiapkan sebuah arena untuk berperang tanding. Tidak ada guwar lawe atau patok bambu. Yang ada di seputar arena itu adalah batas lingkaran prajurit pengkut Ki Tumenggung Purbarana. Sekelompok cantrik bertumpul di satu sisi. Namun jumlah mereka terlalu sedikit dibandingkan dengan para prajurit dari Pajang yang sedang mengembara sambil membawa dendam yang membara di jantung mereka.

Tetapi Putut Pradapa tidak menghiraukan lingkaran di seputar arena itu. Siapapun yang berdiri memagari medan, yang menjadi pusat perhatiannya adalah Ki Tumenggung Purbarana.

Sesaat kemudian, kedua orang yang mengambil keputusan untuk berperang tanding itupun telah berdiri berhadapan di arena. Ki Tumenggung Purbarana sekilas memandang berkeliling. Dilihatnya para pengikutnya berdiri tegak rnelingkari arena dengan wajah yang tegang, sementara Putut Pradapa berdiri tegak bagaikan tertancap ke dalam bumi.

Keduanya sama sekali tidak membawa senjata apapun. Mereka mempercayakan diri kepada ilmu masing-masing yang memiliki kemampuan melampaui senjata kebanyakan.

Namun dalam pada itu, Ki Tumenggung masih juga bertanya, “He Putut gila, kenapa kau tidak membawa senjata apapun? Cobalah menggenggam senjata. Ujung senjatamu tidak akan dapat melukai kulitku.”

Putut Pradapa memandang Ki Tumenggung itu dengan tajamnya. Katanya, “Kalau kau ingin membawa senjata, ambillah senjatamu. Aku tidak akan mempergunakan senjata. Aku lebih percaya kepada ilmu yang diberikan Guru kepadaku daripada senjata apapun juga, kecuali Kiai Santak. Tetapi Kiai Santak itu sudah hilang dirampok orang dengan cara pengecut yang licik.”

Ki Tumenggung Purbarana rnanggeretakkan giginya. Ia benar-benar merasa dihina olah seorang Putut padepokan kecil. Sedangkan ia sendiri adalah seorang Tumenggung yang memimpin sepasukan prajurit.

Karena itu, maka iapun kemudian berteriak, “Bersiaplah! Kau merasa dirimu terlalu besar. Tetapi kau akan cepat menyesali kesombonganmu itu. Mayatmu akan segera terkapar dan para cantrik akan meratapimu, karena agaknya kau dianggap sebagai cantrik tertua di padepokan ini.”

“Jika aku harus mati, aku tidak akan menyesal sama sekali,” jawab putut itu.

“Dan seorang demi seorang, cantrik-cantrik yang dungu itu akan aku paksa minum sisa minuman Guru, agar mereka tahu, bahwa pengkhianatan yang telah kalian lakukan harus ditebus dengan mahal sekali.”

“Jika benar kau lakukan, maka kau tidak ubahnya seperti seekor serigala,” geram putut itu.

“Katakanlah bahwa aku menjadi lebih buas dari serigala,” jawab Ki Tumenggung, “tetapi semua itu aku lakukan karena kesetiaanku kepada Guru.”

“Apapun yang kau katakan, tetapi jangan berkata tentang kesetiaan. Aku menjadi muak!” bentak putut itu.

Wajah Ki Tumenggung menjadi semakin membara. Kemarahan di dadanya terasa semakin menghentak-hentak. Karena itu, maka katanya kemudian, “Bersiaplah! Aku tidak akan memberimu peringatan lagi.”

Putut Pradapa tidak menjawab, Iapun segera bersiap menghadapi segala kemungkinan. Ia sadar, bahwa Ki Tumenggung Purbarana adalah saudaranya seperguruan. Bahkan saudara tua yang mungkin memiliki pengalaman yang lebih luas.

“Tetapi aku lebih dekat dengan Guru,” berkata Putut Pradapa, “mudah-mudahan ilmu yang sudah aku terima, akan mampu mengimbangi ilmu Tumenggung yang tamak itu.”

Sejenak kemudian keduanya mulai bergeser. Sesaat kemudian Ki Tumenggung Purbarana mulai meloncat menyerang. Agaknya ia masih ingin menjajagi kemampuan adik seperguruannya yang tiba-tiba telah berani menempatkan dirinya menjadi lawannya.

Putut Pradapa pun menyadari sikap itu. Karena itu maka iapun masih ingin mengetahui pula, apakah ia pada saatnya akan mampu menghadapi ilmu puncak saudara tua seperguruannya itu.

Namun Putut Pradapa tidak lagi merasa cemas apapun yang terjadi. Ia merasa wajib untuk membela kematian gurunya, bahkan seandainya iapun harus mati pula.

Ki Tumenggung ternyata mulai dari tataran yang terlalu rendah. Ia menganggap bahwa Putut Pradapa masih anak ingusan.

Tetapi ternyata dugaan itu keliru. Putut Pradapa bukan lagi sekedar anak ingusan. Dalam kesempatan yang terbuka, ternyata Putut Pradapa sempat mengenai lengan Ki Tumenggung.

“Gila,” geram Ki Tumenggung, “kau berani mengotori tubuhku dengan kekasaran kulitmu, anak padepokan?”

Putut Pradapa tidak menyahut. Tetapi ia sadar bahwa dengan demikian Ki Tumenggung akan manjadi semakin marah dan akan mengerahkan kemampuannya lebih besar lagi.

Sebenarnyalah, sentuhan serangan putut itu telah memanasi darah Ki Tumenggung. Iapun bergerak semakin cepat. Loncatan-loncatannya menjadi semakin panjang dan ayunan tangannyapun menjadi semakin kuat.

Tetapi Putut Pradapa tidak ingin membung waktu terlalu banyak. Apapun yang akan terjadi, biarlah segera terjadi. Jika ia harus mati terkapar di halaman padepokannya karena membela kematian gurunya, maka biarlah hal itu segera terjadi.

Karena itu maka Putut Pradapa-lah yang meningkatkan ilmunya lebih cepat. Serangannya datang membadai. Seakan-akan tangannya telah berkembang dan sanggup menggapai lawannya dari segala arah.

“Anak setan,” geram Ki Tumenggung, “kau kira dengan demikian aku akan mengagumimu?”

Putut Pradapa berdiam diri saja. Serangan-serangannya-lah yang justru menjadi semakin cepat. Tanpa mengucapkan sepatah katapun ia telah memaksa untuk meningkatkan perang tanding itu.

Ki Tumenggung pun akhirnya tidak lagi ragu-ragu. Ia sadar, bahwa anak padepokan itu ternyata merasa memiliki bekal yang cukup. Karena itu, maka iapun kemudian telah bertekad untuk segara sampai ke puncak ilmunya.

Semakin lama maka keduanya pun telah bertempur semakin garang. Benturan-benturan tidak lagi dapat dihindari. Tumenggung Purbarana memang memiliki kemampuan yang tinggi. Ayunan tangannya bagaikan melontarkan badai yang meendera Putut Pradapa. Tetapi Putut Pradapa itu rasa-rasanya mampu menghujamkan diri beralaskan kekuatan bumi. Dorongan kekuatan yang besar dari lawannya seakan-akan sama sekali tidak mengguncangkan tubuhnya.

Namun Ki Tumenggung masih memiliki kekuatan yang dapat melampaui deru badai yang sedang mengamuk. Ketika dengan garangnya Ki Tumenggung itu meloncat, tangannya mengembang dan kemudian berputar dalam ayunan yang mengarah ke kepala lawannya, maka tangan itu seakan-akan bagaikan membara.

Putut Pradapa melihat merahnya bara pada telapak tangan lawannya. Ia menyadari betapa dahsyatnya ilmu itu. Jika tangan itu menyentuh tubuhnya, maka kulitnya akan terbakar dan terkelupas.

Karena tu, dengan cepat ia bergeser sambil memiringkan tubuhnya. Ketika tangan terayun sejengkal di depan tubuhnya, maka Putut itu justru meloncat mundur. Namun tiba-tiba saja iapun telah menyerang dengan dahsyatnya. Sebagaimana dilakukan oleh Ki Tumenggung Purbarana, maka telapak tangan Pulut Pradapa itupun telah membara pula.

“Anak iblis,” geram Ki Tumenggung. Tetapi dengan tangkas ia sempat menghindar. “Kau sempat memiliki ilmu itu pula.”

Putut Pradapa tidak menjawab. Tatapi lapun segera memburu dengan loncatan panjang. Sekali lagi tangannya terayun menyambar kening. Tetapi sekali lagi Ki Tumenggung sempat menghindarinya.

Dengan demikian, maka pertempuran yang terjadi antara Putut Pradapa dan Ki Tumenggung Purbarana itu sudah merambah ke daerah benturan ilmu yang tinggi. Mereka tidak lagi bertempur beradu tenaga dan kemampuan melepaskan tenaga cadangan, tetapi mereka sudah meningkat lebih tinggi lagi.

Dengan ilmu masing-masing, maka pertempuran itu menjadi semakin dahsyat. Tangan-tangan mereka yang berkembang bagaikan empat ekor burung kamamang dengan tubuh dan bulu-bulu yang membara, terbang berputaran. Setiap sentuhan berarti kulit yang terkelupas dan daging yang menghitam hangus.

Sementara itu, para prajurit Pajang yang menjadi pengikut Ki Tumenggung Purbarana rnenyaksikan pertempuran itu dengan hati yang berdebar-debar. Bagi mereka Ki Tumenggung Purbarana adalah lambang dari kekuatan yang tidak ternilai. Seandainya Ki Tumenggung Purbarana mendapat kesempatan yang luas sebagaimana Ki Turnenggung Prabadaru di medan ketika melawan Mataram, maka ia akan dapat menjadi imbangan kekuatan. Ki Tumenggung Purbarana telah ditarik justru berada di induk pasukan, di bawah pimpinan Adipati Wirabumi yang kemudian memerintah Pajang.

Namun demikian, anak padepokan yang sehari-hari dikenal sebagai putut yang hidup di dalam kotornya lumpur persawahan itu, ternyata mampu rnengimbangi kemampuan ilmu Ki Tumenggung Purbarana.

Dalam pada itu, para cantrik pun berdiri termangu-mangu. Mereka mengerti, bahwa Putut Pradapa telah menerima semua dasar ilmu dari gurunya meskipun masih harus dikembangkan. Karena itu, maka merekapun berpengharapan, agar Putut Pradapa mampu mengalahkan senapati dari Pajang, yang menurut dugaan para cantrik, orang itulah yang sudah berkhianat terhadap gurunya sendiri.

Dengan tegang, baik para pengikut Ki Tumenggung Purbarana maupun para cantrik, menyaksikan pertempuran yang menjadi semakin sengit. Dengan nafas yang kadang-kadang tertahan, mereka melihat keduanya saling menyerang dan saling menghindar. Desak-mendesak dan dera-mendera dengan ilmu lasing-masing.

Dalam ketegangan itu, baik Ki Tumenggung Purbarana maupun Putut Pradapa telah merangkaikan ilmu mereka. Kemudian bukan hanya tangan-tangan mereka sajalah yang membara, tetapi tubuh-tubuh merekapun menjadi seakan-akan berasap. Udara di sekitar arena itupun menjadi semakin lama semakin panas, sehingga kedua belah pikah menyaksikan pertempuran itu telah bergeser surut, sehingga lingkaran perternpuran itupun menjadi semakin lebar.

Sementara itu, Ki Tumenggung Purbarana dan Putut Pradapa yang memiliki ilmu dari sumber yang sama itupun benar-benar telah menyentuh puncak ilmu meraka. Lontaran-lontaran pukulan dari jarak tertentu dengan memancarkan kekuatan panasnya api telah menyambar-nyambar. Namun keduanya memang memiliki kecepatan gerak yang mampu melontarkan diri mereka untuk menghindari serangan-serangan itu.

Dengan demikian, maka di arena itu, panasnya api telah saling menyambar seperti pertempuran antara lidah api di udara. Meskipun para prajurit dan para cantrik tidak melihat, tetapi mereka dapat merasakan, bahwa pertempuran yang terjadi di arena itu adalah pertempuran yang sangat dahsyat antara dua orang yang berilmu tinggi.

Karena itu, maka lingkaran arena itupun menjadi semakin lama semakin luas. Mereka yang menyaksikan pertempuran itu sudah bergeser semakin jauh.

Dalam pada itu, Ki Tumenggung Purbarana pun telah merubah cara yang dipergunakannya. Ia tidak lagi mempercayakan diri pada lontaran-lontaran ilmunya. Tetapi ia ingin langsung mengenai lawannya dengan wadagnya yang telah membara. Ki Tumenggung ingin mengelupas kulit lawannya dan membakar dagingnya sehingga menjadi abu.

Karena itu, maka Ki Tumenggung itupun kemudian berusaha untuk bertempur pada jarak yang lebih dekat. Sarangan-serangannya telah diberatkan pada serangan-serangan wadag. Tangannya kembali berputaran menyambar-nyambar.

Sementara itu, kemampuan keduanya melepaskan ilmu yang disadapnya dari panasnya api justru telah membakar mereka berdua, sehingga keringat bagaikan terpearas dari tubuh mereka. Tetapi keduanya memang memiliki daya tahan yang sangat besar, sehingga keduanya masih tetap bertempur dalam tataran ilmu yang tertinggi.

Dengan kamampuan Ki Tumenggung meluluhkan unsur-unsur ilmu yang berhasil disadapnya selama ia menjadi prajurit di Pajang, maka ia memiliki kemampuan lebih baik dalam pertempuran berjarak dekat. Ia memiliki kecepatan gerak dan unsur-unsur yang tidak dikenal oleh Putut Pradapa. Dengan menahan udara yang memanasi tubuhnya, maka Ki Tumenggung itu hampir berhasil menembus benteng pertahanan Putut Pradapa dengan sentuhan tangannya yang hampir mengenai tubuh lawannya.

Putut Pradapa bergeser surut. Namun Ki Tumanggung sama sekali tidak memberinya kesempatan. Dengan tangkasnya ia meloncat memburu. Serangannya datang demikian cepatnya.

Putut Pradapa berusaha untuk menghindari serangan lawannya. Ketika tangan Ki Tumenggung yang membara itu menyambar keningnya, maka iapun berhasil bergeser selangkah ke samping sambil menarik kepalanya, sehingga tangan Ki Tumenggung itu terayun di sisi telinganya tanpa menyentuhnya.

Kegagalan itu telah membuat Ki Tumenggung mempersiapkan serangannya yang baru. Sekali ia berputar, kemudian kakinyalah yang terbang mendatar.

Dengan sadar Putut Pradapa melihat serangan kaki itu. Tetapi ia sama sekali tidak bergeser. Sehingga meskipun Ki Tumenggung merasa bahwa kakinya telah mengenai lawannya, tetapi Putut Pradapa tergetarpun tidak. Bahkan dengan serta merta Putut Pradapa itupun dengan kecepatan yang sangat tinggi telah menyerang Ki Tumenggung yang berusaha untuk menarik serangan kakinya.

Ki Tumanggung tarkejut, dengan gugup ia melontarkan diri menghindar sehingga iapun kemudian telah jatuh berguling di tanah.

Tetapi Ki Tumenggung Purbarana memiliki kecepatan gerak yang mengagumkan. Dengan cepat ia berhasil melenting berdiri. Sehingga ketika Putut Pradapa memburunya, ia sudah siap melawannya.

Putut Pradapa terhenti. Sekilas dipandanginya wajah Ki Tumenggung yang tegang. Namun kemudian terdangar Ki Tumanggung itu berdesis, “Lembu Sekilan.”

Putut Pradapa tidak menjawab. Ternyata Ki Tumenggung menebak dengan tepat. Putut Pradapa memiliki ilmu Lembu Sekilan. Dengan demikian serangan kaki Ki Tumenggung tidak menggetarkannya.

Ki Tumenggung kemudian menyadari, bahwa betapapun tebalnya Lembu Sekilan, namun ilmu itu tidak akan dapat menahan serangan ilmunya. Tangannya yang membara tidak akan dapat ditahan dengan ilmu Lembu Sekilan. Seandainya tangannya itu membentur juga, maka ilmu Lembu Seklan itu akan dapat ditembusnya. Karena tangannya yang membara itu melancarkan serangan ilmunya yang nggegirisi, yang tidak tersalur pada telapak kakinya. Karena itu, maka kakinya tidak mampu rnenembus ilmu Lembu Sekilan itu.

Sejenak kemudian, dengan kemarahan yang menghentak dadanya, Ki Tumenggung telah meloncat menyerang Putut Pradapa. Ia tidak lagi akan mempergunakan kakinya dan bagian-bagian tubuhnya yang lain, karena ia menyadari, serangan yang demikian tidak akan ada gunanya.

Karena itu. maka yang selanjutnya terayun-ayun adalah telapak tangannya yang membara, sekali-sekali diselingi dengan kekuatan ilmunya dari panasnya daya api yang terlontar dan menyambar-nyambar.

Dalam pada itu, ternyata Putut Pradapa yang meskipun masih lebih muda dalam tataran perguruan dari Ki Tumenggung Purbarana, namun masih memiliki kelebihan. Meskipun ia datang lebih akhir tetapi ia selalu dekat dengan gurunya. Ia adalah murid yang tekun, rajin dan setia. Karena itu, maka pada dasarnya Putut Pradapa sudah menguasai semua ilmu dari perguruannya, meskipun masih harus dikembangkannya.

Karena itulah, maka ternyata kemudian bahwa dalam pertarungan ilmu, Putut Pradapa memiliki kelebihan selapis dari Ki tumenggung Purbarana.

Dengan demikian, maka lambat laun Ki Tumenggung itupun menjadi semakin terdesak. Dalam gerak naluriah, kadang-kadang Ki Tumenggung masih juga mempergunakan kakinya. Tetapi serangan kaki itu sama sekali tidak berarti bagi Putut Pradapa yang ternyata memiliki ilmu Lembu Sekilan, yang mempunyai kemampuan mirip dengan ilmu kebal.

Sementara itu, para prajurit dan para cantrik melihat kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di peperangan itu. Mereka melihat, bahwa Ki Tumenggung Purbarana mulai terdesak dalam benturan-benturan ilmu yang mereka sadap dari perguruan yang sama. Bahkan bagi Ki Tumenggung Purbarana, ilmu itu telah dilengkapi dengan pengalaman yang lebih luas dan unsur-unsur dari dasar ilmu yang lain.

Namun satu kenyataan telah terjadi. Ki Tumanggung Purbarana menjadi semakin terdesak. Serangan-serangannya sama sekali tidak berhasil menahan tekanan Putut Pradapa yang marah karena kehilangan gurunya.

Panasnya api dan sentuhan telapak tangan yang membara, membuat Ki Tumenggung kehilangan kesempatan. Betapapun juga ia mampu bergerak dengan kecepatan yang tinggi, namun pada satu saat ternyata telapak tangan Putut Pradapa sempat menyentuh lengannya.

Ki Tumenggung mengumpat keras-keras. Kulit lengannya memang telah terkelupas bagaikan tersentuh baja yang membara.

Meskipun demikian, luka itu sama sekali tidak barpengaruh. Ia masih saja bertempur dengan garangnya. Serangan-serangannya masih tetap berbahaya dan sekali-sekali menahan gerak Putut Pradapa.

Dalam keadaan yang demikian, maha Ki Tumenggung pun akhirnya sampai pada puncak kemampuannya. Ketika ia merasa tidak lagi mampu rnengimbangi kecepatan gerak dan serangan-serangan yang membadai, maka Ki Tumenggung pun justru telah rnengambil satu sikap perlawanan yang menggetarkan.

Dengan satu loncatan panjang maka Ki Tumenggung telah mengambil jarak. Dengan serta merta, maka iapun telah berdiri tegak. Satu kakinya ditariknya sedikit ke belakang, sementara kakinya yang depan ditekuknya sedikit pada lututnya. Kedua telapak tangannyapun kemudian dijulurkannya menghadap ke depan, langsung menghadap ke arah lawannya.

Putut Pradapa terkejut melihat sikap itu. Karena itu, maka dengan, tergesa-gesa iapun segera melakukan hal yang sauna. Dengan sigapnya ia berdiri tegak. Satu kakinya ditariknya agak ke belakang, sementara kakinya yang di depan ditekuknya sebagaimana dilakukan oleh Ki Tumenggung Purbarana. Demikian pula kedua tangannya. Kedua telapak tangannya telah dijulurkan ke depan, menghadap langsung ke arah Ki Tumenggung Purbarana.

Putut Pradapa hampir saja terlambat. Demikian ia sampai ke puncak pengerahan ilmunya, ia mulai merasa serangan lawarnya itu melandanya. Dari kedua telapak tangan Ki Tumenggung Purbarana seakan-akan telah berhembus angin prahara yang membawa arus panas.

Para prajurit dan para cantrik sempat melihat, betapapun tipisnya, semacam kabut yang mengalir dari telapak tangan itu. Kabut yang mengalir tidak terlalu cepat. Tetapi akibat aliran kabut itu, bagaikan prahara yang menyemburkan api dari mulut kepundan Gunung Merapi.

Serangan itu telah menggetarkan pertahanan Putut Pradapa. Tetapi untunglah, bahwa ia tidak terlalu terlambat. Meskipun rasa-rasanya kulitnya bagaikan tersiram air yang mendidih, tetapi ia masih mampu bertahan.

Sekejap kemudian, maka terjadilah satu hal yang sama dari kedua telapak tangan Putut Pradapa. Asap yang mengalir ke arah Ki Tumenggung, sehingga kedua arus itu telah berbenturan.

Namun karena Putut Pradapa rnelontarkan ilmunya kemudian, maka benturan antara dua kekuatan itu terjadi lebih dekat pada kedua telapak tangan Putut Pradapa.

Dalam pada itu, kedua orang saudara seperguruan itu telah mengerahkan segenap kemampuan ilmu yang ada pada mereka. Mereka tidak lagi berusaha mengekang diri. Keduanya benar-benar ingin membinasakan lawan mereka, meskipun lawan itu adalah saudara sendiri, yang menyadap ilmu dari sumber yang sama.

Untuk beberapa saat benturan yang terjadi itu bagaikan mencapai satu titik keseimbangan. Seakan akan kedua kekuatan tu sama kuatnya.

Para prajurit dan para cantrik memperhatikan benturan kekuatan itu dengan jantung yang berdegupan. Mereka menyaksikan satu ujud pertempuran yeng tidak mereka mengerti. Namun mereka melihat seakan-akan benturan kekuatan itu merupakan ujud dari keseimbangan kemampuan kedua orang saudara seperguruan itu.

Untuk beberapa saat lamanya keduanya mengerahkan puncak ilmu masing-masing. Ternyata yang kemudian berasap bukan saja telapak tangan mereka yang seakan-akan mengepulkan kabut tipis yang mengalir dan saling membentur. Namun kemudian tubuh-tubuh merekapun seakan-akan telah berasap pula.

Dalam pada itu, ketika keduanya benar-benar telah sampai ke puncak kemampuan, berturan ilmu itu telah mengalami parubahan. Titik benturan itu seakan-akan telah bergeser perlahan-lahan sekali. Namun kemudian terhenti sejenak. Bahkan surut kembali beberapa lapis.

Namun yang kemudian nampak lebih banyak, benturan itu telah bergeser ke arah Ki Tumenggung Purbarana.

Para prajurit pengikut Ki Tumenggung Purbarana menjadi tegang. Mereka menyadari, bahwa jika benturan itu bergeser ke arah Ki Tumenggung maka berarti bahwa kekuatan Ki Tumenggung telah didesak oleh kekuatan Putut Pradapa.

Meskipun demikian para prajurit itupun masih berpengharapan. Karena setiap kali titik benturan yang bergeser itu telah terhenti, bahkan bergeser ke arah yang berlawanan, ke arah Putut Pradapa.

Tetapi bagaimanapun juga, yang terjadi adalah satu kenyataan. Benturan kekuatan itu bergeser mendekati Ki Tumenggung Purbarana.

Ki Tumenggung Purbarana sendiri telah rnengrahkan segenap tenaga, kemampuan dan ilmunya untuk tetap bertahan. Namun kekuatan Putut Pradapa itu bagaikan mendesak tanpa dapat terlawan.

Putut Pradapa yang darahnya bagaikan mendidih dibakar oleh kemarahannya itupun telah semakin menghentakkan kekuatannya. Baginya. Ki Tumenggung memang harus dihukum karena ia telah membunuh gurunya, langsung atau tidak langsung, bahkan adalah guru Ki Tumenggung itu sendiri.

Karena itu, maka pada saat-saat terakhir, Putut Pradapa benar-benar telah mengambil satu keputusan, untuk segera menyelesaikan perkelahian itu dan menghancurkan Ki Tumenggung Purbarana.

Ki Tumenggung akhirnya tidak dapat mengingkari kenyataan itu. Kekuatan ilmu Putut Pradapa semakin mendesaknya. Meskipun ia masih tetap berdiri di tempatnya, bahkan telapak kakinya perlahan-lahan seakan-akan semakin dalam terbenam di kulit bumi, namun benturan asap yang seakan-akan memancar dari telapak tangannya itu telah bergeser semakin mendekatinya.

Ki Tumenggung yang mengenal ilmu itu dengan baik, mengerti sepenuhnya. Jika benturan itu kemudian menyentuh telapak tangannya, maka kekuatan ilmu itu akan meledak di dalam dirinya, sehingga bagian dalam tubuhnya akan terkoyak menjadi sayatan daging dan tulang.

Karena itu, maka Ki Tumenggung tidak ingin hal itu terjadi.

Sementara itu maka puncak ilmu yang berbenturan itu seakan-akan telah memancarkan panas pula, bukan saja ke arah mereka sedang bertempur tetapi juga mereka yang berada lurus pada garis serangan. Karena itu, maka udara yang panas itu bagaikan berhembus pula menyentuh mereka yang berdiri di luar arena, meskipun mereka sudah menyibak semakin jauh. Apalagi mereka yang berada di garis lurus di belakang Ki Tumenggung dan di belakang Putut Pradapa.

Sementara itu, Ki Tumenggung Purbarana ternyata tidak mungkin lagi bertahan atas desakan kekuatan ilmu Pulut Pradapa. Namun Ki Tumenggung sama sekali tidak ingin membiarkan tubuhnya kemudian meledak dan menjadi sayatan daging dan tulang.

Karena itu, maka di saat terakhir maka Ki Tumenggung itu harus menemukan satu langkah yang akan dapat menyelamatkannya.

Dalam pada itu, benturan itu merambat seperti siput, tetapi pasti, menuju ke arah telapak tangan Ki Tumenggung Purbarana.

Namun, demikian benturan itu kurang sejengkal dari telapak tangannya, tiba-tiba saja Ki Tumenggung itu telah berteriak dengan lantang, “Wiyat, berikan kepadaku, cepat!”

Teriakan Ki Tumenggung itu mengejutkan orang-orang yang mendengarnya. Bahkan Putut Pradapapun terkejut. Nampaknya ada sesuatu yang akan terjadi dalam pertempuran itu.

Kesempatan yang sekaligus itu telah dipergunakan oleh Ki Tumenggung Purbarana. Dengan cepat ia melepaskan serangannya dan berguling justru ke arah prajuritnya yang menyibak.

Putut Pradapa terhentak sejenak kehilangan sasarannya. Kemampuan ilmunya yang terlepas dari benturan dengan ilmu KiTumenggung telah memancar jauh pada garis serangannya. Untunglah bahwa orang-orang yang menyaksikan pertempuran itu telah menyibak.

Sikap Ki Tumenggung itu membuat Putut Pradapa termangu-mangu sejenak. Namun yang sejenak itu telah merubah segala-galanya. Ternyata seorang prajurit yang bernama Wiyat telah rneloncat maju ke arah Ki tumenggung Purbarana. Di tangannya tergenggam sebilah keris yang besar yang kemudian disambar dengan cepatnya oleh Ki Tumenggung. Keris Kiai santak.

Putut Pradapa terkejut bukan buatan. Namun hal itu telah terjadi, bahwa Kiai Santak telah berada di tangan Tumenggung Purbarana.

Segalanya menjadi semakin jelas bagi Putut Pradapa. Ia yakin, bahwa Ki Tumenggung selain membunuh juga telah mencuri pusaka itu. Karena itu, maka Ki Tumenggung itu harus dihancurkannya.

Dalam pada itu, maka dengan serta merta, Putut Pradapa telah kembali ke dalam sikapnya. Dalam sekejap maka ilmunya telah memancar menyambar Ki Tumenggung. Tetapi ternyata Ki Tumenggung sempat meloncat menghindar. Bahkan yang terdengar kemudian adalah teriakan ngeri dari mulut Wiyat. Ia tidak memiliki kemampuan bergerak dan daya tahan seperti Tumenggung Purbarana. Karena itu, maka sentuhan kekuatan ilmu Putut Pradapa telah menghantam tubuh Wiyat yang kemudian bagaikan meledak dan kemudian terkapar di tanah. Mati.

Terasa jantung Pradapa berdesir. Ia tidak sengaja membunuh orang lain kecuali Tumenggung Purbarana. Namun ia tidak dapat menghindari kematian yang mengerikan itu.

Sementara itu, Ki Tumenggung sendiri telah meloncat ke arah Putut Pradapa. Demikian cepat, sehingga Putut Pradapa tiba-tiba saja sudah berhadapan dengan Ki Tumenggung.

Namun Putut Pradapa masih juga melancarkan serangannya dengan mengacukan tangannya dengan telapak tangan menghadap ke arah sasarannya.

Tetapi sekali lagi Ki Tumenggung sempat mengelak. Bahkan tiba-tiba saja Ki Tumenggung telah menyerang Putut Pradapa dengan keris Kiai Santak. Keris gurunya yang mempunyai tuah yang besar bagi pemiliknya. Namun keris itu sendiri memang sebuah senjata yang sangat berbahaya. Setiap sentuhan tajam keris itu akan berarti maut, karena waranganya yang sangat keras.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar