Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 178

Buku 178

Tidak seorangpun yang menyahut. Semuanya terdiam dengan ketegangan yang menghimpit dada.

Dalam pada itu, maka terdengar suara Ki Saudagar, “Nah, marilah. Aku minta orang yang telah membunuh guruku untuk maju beberapa langkah.”

“Aku yang membunuh gurumu,” geram Swandaru.

Tetapi Ki Saudagar itu tertawa. Katanya, “Jangan mengigau. Guruku akan mampu memecahkan kepalamu dengan ujung jarinya. Kau sangka aku terlalu bodoh untuk mempercayai kata-katamu itu?”

Kiai Gringsing menggamit Swandaru yang hampir tidak mampu menahan diri. Sementara itu, maka gurunya itu pun melangkah mendekati sambil berkata, “Baiklah. Aku tidak akan ingkar. Jika benar gurumu terbunuh di peperangan, maka akulah yang telah membunuhnya.” 

“Bagus,” desis Ki Saudagar, “aku akan minta kau maju lagi beberapa langkah Kiai.”

Kiai Gringsing tidak mau melakukan kesalahan yang akan dapat mencelakakan Pandan Wangi. Karena itu, maka ia pun telah melangkah maju beberapa langkah mendekati Ki Saudagar. Tetapi Ki Saudagar justru menarik Pandan Wangi untuk mundur beberapa langkah sambil berkata, “Berhenti di situ.”

Kiai Gringsing pun berhenti di tempatnya. Dengan ragu-ragu ia memandang Ki Saudagar yang memegangi lengan Pandan Wangi sambil mengancam punggungnya dengan pedang.

“Apa maumu Ki Sanak?” bertanya Kiai Gringsing.

“Kiai,” berkata Ki Saudagar, “sayang, bahwa pertemuan kita kali ini bukannya satu pertemuan yang ramah. Tetapi aku akan mohon agar Kiai sudi menunduk sebentar. Aku ingin memenggal kepala Kiai dengan pedangku ini.”

Wajah Kiai Gringsing dengan serta merta telah berubah. Bahkan Swandaru telah mengumpat sambil berkata, “Kau sudah gila.”

“Ya. Aku memang sudah gila. Sejak guruku meninggal, aku memang menjadi gila. Tetapi setelah aku membunuh orang yang telah membunuh guruku, maka aku akan segera sembuh,” jawab orang itu.

Swandaru menghentakkan tangannya. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa ketika Ki Saudagar itu berkata, “Jangan menyebabkan istrimu ini terbunuh di sini.”

Swandaru terdiam. Tetapi giginya gemeretak dan dadanya bagaikan meledak.

Tetapi Kiai Gringsing sendiri menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “Kau aneh Ki Sanak. Apakah kau kira seseorang akan dengan begitu mudahnya menyerahkan kepalanya?”

“Aku tahu Kiai. Tetapi terserahlah kepada Kiai. Jika Kiai berkeberatan, maka biarlah Pandan Wangi sajalah yang akan mati di sini. Aku akan dapat membunuhnya, atau barangkali ada cara lain. Aku bawa saja Pandan Wangi kemana aku suka. Jika kalian menghalangi, maka apaboleh buat. Perempuan ini terpaksa mati di tepian ini.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Swandaru rasa-rasanya ingin meloncat menerkam orang yang telah mengancam Pandan Wangi dengan pedangnya itu.

Namun dalam pada itu, Kiai Gringsing itu pun berkata, “Jika kau tidak memberikan pilihan lain, apaboleh buat Ki Sanak. Kau dapat membunuh aku. Tetapi jangan berbuat sesuatu atas Pandan Wangi.”

“Jangan Kiai,” Pandan Wangi-lah yang menjawab, “biarkan saja aku dibunuh di sini. Tetapi Kiai jangan menyerah.”

“Pandan Wangi,” potong Swandaru yang dalam kebimbangan. Ia benar-benar menjadi bingung. Ia tidak ingin kehilangan gurunya atau Pandan Wangi. Tetapi orang yang mengancam Pandan Wangi itu tidak mau memberikan pilihan lain. Gurunya atau Pandan Wangi.

Namun dalam pada itu, Kiai Gringsing-lah yang berkata, “Biarlah orang itu membunuhnya. Aku tidak akan melawan.”

“Jangan,” geram Swandaru.

“Tidak ada pilihan lain Swandaru. Aku sudah tua. Aku sudah terlalu lama hidup dan makan pahit asamnya kehidupan. Sedangkan Pandan Wangi masih muda. Ia masih akan menikmati kehidupan yang panjang,” berkata Kiai Gringsing.

“Jangan percaya kepada orang ini,” berkata Pandan Wangi, “seandainya ia membunuh Kiai, ia masih juga dapat berbuat curang.”

“Tentu tidak Pandan Wangi,” berkata Kiai Gringsing, “kita akan minta jaminannya. Ia akan melepaskan kau lebih dahulu sebelum ia memenggal leherku. Dengan demikian, maka keselamatanmu akan terjamin.”

Tetapi Ki Saudagar itu tertawa. Katanya, “Aku bukan anak yang dungu. Begitu aku melepaskan Pandan Wangi, maka begitu ia menyerangku dengan tenaga gandanya. Disusul dengan lontaran suaminya dan gurunya.”

“Jadi, bagaimana menurut kehendakmu?” bertanya Kiai Gringsing.

Tiba-tiba saja orang itu mengerutkan keningnya. Sejenak ia merenung. Sementara itu Kiai Gringsing berkata, “Apakah kau akan memerintahkan salah seorang pembantumu itu untuk memenggal leherku?”

“Tidak. Aku ingin membalas dendam dengan tanganku sendiri,” jawab orang itu dengan serta merta.

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Jadi kau akan melepaskan Pandan Wangi sebelum kau melakukannya?”

Ki Saudagar termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Kedua orang pengawalku akan mengawasi Pandan Wangi. Akulah yang akan memenggal kepala Kiai Gringsing yang namanya menggetarkan bumi Pajang dan Mataram. Aku akan dapat bercerita kepada anak cucuku kelak, bahwa yang telah membunuh Kiai Gringsing adalah Ki Saudagar Branawangsa.”

“Satu kelicikan yang paling gila,” geram Swandaru.

“Jangan berbicara tentang kelicikan. Aku tidak akan ingkar jika kau mengatakan bahwa aku orang yang sangat licik, pengecut dan cacat apa lagi. Tetapi nyatanya, akulah, Ki Saudagar Branawangsa, yang telah membunuh gurumu.”

Kemarahan yang memuncak rasa-rasanya justru telah menyumbat kerongkongannya. Swandaru rasa-rasanya tidak dapat berbicara apa-apa lagi, selain gemeretak giginya sajalah yang terdengar.

Namun sementara itu, Kiai Gringsing berkata, “Ki Sanak. Sudah aku katakan, bahwa aku tidak berkeberatan untuk menggantikan Pandan Wangi yang sekarang sudah kau kuasai. Tetapi aku memerlukan jaminan bahwa Pandan Wangi tidak akan mengalami kesulitan lagi sepeninggalku.”

“Aku akan memenggal lehermu. Kemudian, aku akan melepaskan Pandan Wangi,” sahut Ki Saudagar.

“Tidak!” Pandan Wangi-lah yang menyahut. “Jangan percaya. Sebaiknya Kiai jangan mengorbankan diri. Apa pun yang terjadi, aku tidak akan dilepaskannya.”

“Diam kau!” bentak Ki Saudagar sambil menekankan ujung pedangnya. “Jangan membuat aku semakin marah, sehingga aku akan dapat berbuat apa saja yang semakin menyulitkanmu.”

Pandan Wangi tidak menyahut. Tetapi ketegangan menjadi semakin menekan.

Namun dalam pada itu, Kiai Gringsing-lah yang berkata, “Sudahlah. Biarlah aku terima keputusannya. Aku masih percaya bahwa orang itu masih mempunyai sedikit kejujuran di dalam hatinya. Seandainya ia benar-benar memenggal leherku, maka ia tentu akan melepaskan Pandan Wangi.”

“Tidak mungkin!” teriak Swandaru. “Ia justru akan menuntut yang lain lagi. Ia tidak akan berani menyerahkan Pandan Wangi, karena aku masih akan dapat membunuhnya. Ia tentu masih akan mempergunakannya sebagai perisai.”

“Nah, jika demikian terserah kepada kalian. Apa yang akan kalian lakukan? Sudah aku katakan, jika kalian tidak menurut perintahku, maka Pandan Wangi akan aku bunuh, meskipun aku sadar bahwa akibatnya aku pun akan mati. Tetapi sudah aku katakan, mati bersama perempuan cantik adalah menyenangkan sekali,” jawab saudagar itu.

“Tutup mulutmu!” Swandaru berteriak semakin keras.

Tetapi saudagar itu pun tertawa semakin keras, “Kau dapat menjadi gila karenanya.”

Swandaru benar-benar tidak tahu apa yang sebaiknya dilakukan. Namun sementara itu sekali lagi Kiai Gringsing berkata, “Jika kita tetap pada sikap kita masing-masing, maka persoalan ini tidak akan berkesudahan. Karena itu, biarlah ia membunuh aku. Mungkin dengan demikian akan dapat dicapai satu penyelesaian yang baik dengan sepeninggalku.”

Swandaru masih akan menjawab. Tetapi Kiai Jayaraga yang sejak semula hanya berdiri membeku saja, telah menggamit Swandaru sambil berkata, “Memang tidak ada pilihan lain.”

Swandaru memandang Kiai Jayaraga dengan sorot mata yang bagaikan membakar. Sepercik perasaan yang asing telah melonjak di dalam hatinya. “Jangan-jangan Kiai Jayaraga ini juga berharap agar Kiai Gringsing tersingkir. Dengan demikian tidak akan ada lagi orang yang dapat mengalahkannya.”

Tetapi Swandaru memang tidak melihat kemungkinan lain yang dapat dilakukan. Pandan Wangi benar-benar telah dikuasai oleh orang-orang yang dibakar oleh dendam karena kematian guru Ki Saudagar itu.

Dalam keragu-raguan itu, maka sekali lagi Kiai Gringsing berkata, “Silahkan Ki Sanak. Lakukan apa yang ingin kau lakukan. Aku akan menundukkan kepalaku, dan pedangmu akan dapat memenggalnya.”

“Jangan!” teriak Pandan Wangi. Namun ujung pedang Ki Saudagar justru menekannya. Demikian tiba-tiba sehingga Ki Saudagar itu kurang dapat memperhitungkannya. Karena itulah, maka ternyata bahwa punggung Pandan Wangi telah tergores oleh ujung pedang itu, sehingga darah pun mulai mengalir.

Pandan Wangi mengatupkan giginya rapat-rapat. Ia merasa punggungnya menjadi pedih. Bahkan kemudian di luar sadarnya, tangannya meraba sesuatu yang hangat meleleh di punggungnya itu.

“Bukan salahku,” geram Ki Saudagar, “sudah aku katakan. Jangan melakukan sesuatu yang dapat menyakiti dirimu sendiri.”

Betapa pun kemarahan membakar setiap dada, tetapi mereka memang harus menahan diri. Apalagi ketika mereka melihat, dari punggung Pandan Wangi benar-benar telah meleleh darah.

“Sekarang, jangan membuang waktu lagi,” berkata Kiai Gringsing, “siapa yang akan memenggal leherku, lakukan. Aku sudah tidak mempunyai pertimbangan apa-apa lagi.”

Ki Saudagar memandang Kiai Gringsing itu sejenak. Namun kemudian terdengar ia tertawa, “Alangkah senangnya jika Guru melihat kebingungan orang tua yang putus-asa ini. Cepat, berjongkoklah.”

Kiai Gringsing pun segera berjongkok sambil mengatupkan telapak tangannya di dadanya.

Ki Saudagar itu pun kemudian berkata kepada kedua pembantunya, “Cepat, kemarilah. Jaga perempuan ini baik-baik. Lekatkan ujung pedang kalian di punggung perempuan ini. Jika ia melakukan sesuatu yang dapat menimbulkan keributan, maka kalian dapat menghentikannya dengan ujung pedang kalian. Tetapi……,” Ki Saudagar itu menjadi ragu-ragu. Lalu katanya, “Jangan sampai perempuan itu mati. Aku masih memerlukannya untuk menyelesaikan suaminya dan dengan demikian aku akan selamat keluar dari lembah ini.”

“Licik! Gila!” Swandaru mengumpat-umpat.

Tetapi Ki Saudagar itu hanya tertawa saja. Bahkan ditariknya lengan Pandan Wangi dan melekatkan pedangnya di leher perempuan itu, “Aku dapat menyembelihnya seperti ayam.”

Swandaru menggeram. Rasa-rasanya ia menjadi gila menghadapi persoalan itu.

Demikianlah, maka kedua orang pengawal Ki Saudagar itu pun kemudian telah berdiri di belakang Pandan Wangi. Keduanya telah mengacungkan ujung senjata mereka melekat di punggung Pandan Wangi sebagaimana dilakukan oleh Ki Saudagar, sebelum Ki Saudagar meletakkan tajam pedangnya di leher Pandan Wangi.

Dalam pada itu, maka Kiai Gringsing pun telah menempatkan dirinya. Dengan sikap pasrah ia menunggu apa yang dilakukan oleh Ki Saudagar yang licik itu.

Dalam pada itu, maka Ki Saudagar itu pun berkata kepada kedua pengawalnya, “Jagalah dengan hati-hati perempuan itu. Ia dapat menjadi binal jika kalian lengah. Jika perempuan itu lepas dari tangan kalian, maka leher kalian aku penggal seperti leher Kiai Gringsing yang sudah menjadi putus asa ini.“

Kedua pengawalnya tidak menjawab. Tetapi mereka dengan sungguh-sungguh memperhatikan pesan itu. Karena itu, maka ujung pedangnya pun sama sekali tidak renggang dari tubuh Pandan Wangi.

Dalam pada itu, Ki Saudagar pun mulai melangkah mendekati Kiai Gringsing yang sudah berjongkok. Sambil tertawa ia berkata, “Nah, bukankah Ki Saudagar Branawangsa benar-benar telah mampu melepaskan dendamnya atas kematian gurunya? Ternyata yang membunuh Kiai Gringsing, orang bercambuk yang paling disegani di seluruh Pajang, adalah Ki Saudagar Branawangsa.”

Tidak ada seorang pun yang menyahut, selain yang terdengar hanyalah gemertaknya gigi.

Namun dalam pada itu, tiba-tiba saja panasnya udara oleh terik sinar matahari mulai dibayangi oleh kabut yang turun perlahan-lahan. Adalah tidak terbiasa, bahwa di panasnya matahari kabut turun di daerah Sangkal Putung. Namun pada saat itu, kabut benar-benar turun.

Kiai Jayaraga mengerutkan keningnya. Di luar sadarnya ia melihat Kiai Gringsing yang semula mengatupkan tangannya, ternyata tengah meraba pergelangan tangan kirinya dengan tangan kanannya.

Kiai Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menunjukkan sikap apa pun juga, selain berdiri tegak.

Ki Saudagar memperhatikan kabut yang turun di sekitarnya itu sejenak. Namun kemudian ia tidak memperhatikannya lagi. Diamatinya Kiai Gringsing yang berjongkok itu sejenak. Kemudian ia masih sempat berpaling kepada Swandaru dan Kiai Jayaraga, “He, lihatlah. Gurumu akan mati.” Lalu katanya kepada Kiai Jayaraga, “He, apakah kau juga murid Kiai Gringsing, atau saudara seperguruannya?”

Kiai Jayaraga menggeleng. Katanya, “Bukan. Aku bukan apa-apanya. Aku tamu di rumah Angger Swandaru. Aku adalah pamannya.”

“Bagus. Kau juga harus menyaksikan, bagaimana aku memenggal leher Kiai Gringsing,” Ki Saudagar itu tertawa.

Namun dalam pada itu, rasa-rasanya kabut di sekitarnya itu telah berputar mengitarinya. Namun kabut itu pun menjadi semakin tebal pula, sehingga jarak pandangan mereka yang ada di sungai itu pun menjadi semakin terbatas.

Dalam keadaan itu, tiba-tiba saja Kiai Gringsing berdiri sambil berkata, “Tunggu Ki Sanak. Apakah aku boleh memberikan pesan terakhirku kepada muridku?”

Ki Saudagar termangu-mangu sejenak. Kabut itu membuatnya heran. Tetapi ia masih belum memperhatikan kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat terjadi karena kabut itu. Semula ia menyangka, bahwa di Sangkal Putung, kabut memang sering turun meskipun di teriknya matahari.

Karena itu, maka ia pun masih membentak, “Cepat, katakan!”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun ternyata ia tidak mengatakan apa pun juga.

“Gila! Kau masih akan mempermainkan aku? Cepat berjongkok, sebelum aku memberikan aba-aba untuk memenggal leher Pandan Wangi!” teriak Ki Saudagar.

Namun Kiai Gringsing kemudian tersenyum. Katanya, “Kau tidak dapat melihat Pandan Wangi lagi.”

Ki Saudagar itu terkejut. Sebenarnyalah ketika ia berpaling, kabut yang tebal telah mengelilinginya. Bahkan Swandaru dan Kiai Jayaraga itu pun rasa-rasanya telah lenyap dari penglihatannya.

“Yang ada di dalam lingkaran ini hanyalah kau dan aku,” desis Kiai Gringsing. Dalam pada itu, kedua orang yang melekatkan pedangnya di punggung Pandan Wangi menjadi heran. Kabut itu bukan kabut sewajarnya. Kabut itu kemudian bagaikan putaran tirai, yang membatasi mereka dengan Ki Saudagar yang berada di belakang kabut itu bersama Kiai Gringsing.

Sejenak mereka termangu-mangu. Sehingga mereka kehilangan waktu sekejap pada tugas mereka mengamati Pandan Wangi.

Sebenarnyalah Pandan Wangi pernah melihat kabut seperti yang turun saat itu. Ia pernah melihat Agung Sedayu yang sedang bertempur dilingkari oleh kabut seperti itu, sehingga tidak seorang pun yang dapat melihat, apa yang terjadi di dalamnya.

Karena itu, pada saat gawat itu Pandan Wangi mengerti, bahwa kabut itu turun atas kemampuan ilmu Kiai Gringsing yang sangat tinggi.

Karena itu, maka Pandan Wangi tidak menyia-nyiakan kesempatan itu. Selagi kedua orang yang menjaganya itu termangu-mangu, maka tiba-tiba saja Pandan Wangi telah berguling dengan kecepatan yang tinggi.

Kedua orang itu terkejut. Tetapi ketika mereka menyadari keadaannya, Pandan Wangi telah melenting berdiri di atas sebuah batu.

Terasa luka di punggungnya itu menjadi sangat pedih. Tetapi ia tidak mau dibantai oleh kedua pengawal Ki Saudagar itu, sehingga dengan demikian, maka ia pun kemudian sempat berloncatan menghindari serangan kedua orang yang menjadi ketakutan kehilangan Pandan Wangi.

Dengan demikian, maka loncatan-loncatan Pandan Wangi itu telah memancing kedua orang pengawal itu mengitari lingkaran kabut itu, sehingga akhirnya terlihat oleh Swandaru dan Kiai Jayaraga.

“Aku di sini Kakang!” panggil Pandan Wangi.

Darah Swandaru bagaikan menghentak ke kepala. Tanpa berpikir lagi maka ia pun telah meloncat memburu Pandan Wangi yang telah berhasil melepaskan diri dari ancaman ujung pedang kedua pengawal Ki Saudagar itu. Namun oleh kemarahan yang memang sudah membakar jantungnya, Swandaru tidak sempat mengekang dirinya. Demikian ia turun ke arena, maka cambuknya pun telah berada di tangannya.

Ketika cambuknya itu meledak, maka terdengar keluh tertahan. Salah seorang pengawal Ki Saudagar itu sama sekali tidak sempat menghindarinya. Meskipun ia . berusaha menangkis dengan pedangnya, tetapi ujung cambuk itu sempat menggeliat dan mengoyak kulit dagingnya.

Pengawal Ki Saudagar itu tidak menduga sama sekali, bahwa akibat sentuhan ujung cambuk Swandaru itu akan dapat meninggalkan bekas luka yang dalam pada kulit di lengannya.

Namun dalam pada itu, maka pengawal yang lain pun telah meloncat pula. Dengan garangnya ia mulai menyerang Swandaru. Sementara kawannya berusaha memperbaiki keadaannya. Meskipun lengannya telah terluka, namun ia sama sekali tidak ingin menyerahkan lehernya untuk dipenggal oleh Ki Saudagar, karena ia kehilangan Pandan Wangi.

Tetapi yang terjadi benar-benar di luar dugaan. Cambuk Swandaru itu meledak-ledak dengan sangat dahsyatnya, sehingga rasa-rasanya kedua orang itu sama sekali tidak mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu.

Dengan demikian maka kemarahan Swandaru yang tertumpah kepadanya, telah membuat keduanya dalam keadaan yang sangat gawat.

Sementara itu kabut yang rapat telah menutupi Ki Saudagar yang ada di dalamnya bersama Kiai Gringsing

Tidak seorang pun yang melihat apa yang telah terjadi, sementara di luar putaran kabut itu, Swandaru bertempur dengan garangnya. Cambuknya meledak-ledak bagaikan petir yang menyambar-nyambar, sementara ujung cambuknya berputaran dan menyambar dari segala arah.

Di dalam lingkaran kabut, Kiai Gringsing berdiri sambil tersenyum memandang Ki Saudagar yang kebingungan. Ia merasa seakan-akan terkurung dalam satu tempat yang tertutup. Bahkan ketika ia menengadahkan wajahnya ke langit, seakan-akan langit itu pun telah tertutup pula oleh kabut.

“Kiai, apa yang telah terjadi?” bertanya Ki Saudagar yang gelisah.

“Kita telah berada di dalam satu tempurung raksasa yang terbuat dari kabut yang putih pekat seperti ini,” jawab Kiai Gringsing.

“Jadi apa artinya ini?” bertanya Ki Saudagar.

“Tidak apa-apa,” jawab Kiai Gringsing pula, “sekarang lakukanlah apa yang akan kau lakukan. Kita akan segera lenyap bersama kabut putih ini. Tempurung ini akan segera berubah menjadi semacam gelembung kabut yang akan membawa kita terbang dan hanyut oleh arus angin yang kuat. Mungkin kita akan sampai ke pesisir selatan, tetapi mungkin arah angin akan membawa kita ke lereng Gunung Merapi. Atau ke tempat-tempat lain yang tidak kita ketahui.”

Wajah Ki Saudagar itu menjadi tegang. Namun kemudian katanya, “Persetan. Aku tidak peduli. Kabut ini akan segera lenyap. Karena itu, sekarang menunduklah. Aku akan memenggal lehermu.”

Kiai Gringsing tertawa. Katanya, “Kau sudah kehilangan kesempatan. Pandan Wangi sudah tidak lagi dikuasai oleh kedua orang pengawalmu itu.“

“Persetan. Mereka akan membunuh perempuan binal itu,“ Ki Saudagar hampir berteriak.

Tetapi Kiai Gringsing menggeleng. Katanya, “Dengarlah. Suara cambuk yang terdengar itu adalah suara cambuk Swandaru. Karena itu, maka ia tentu baru bertempur sekarang. Memang ada dua kemungkinan. Pandan Wangi sudah berhasil membebaskan diri dari ancaman kedua orang pengawalmu itu, atau Pandan Wangi sekarang sudah mati. Bagiku keduanya telah membawa akibat yang sama. Aku tidak akan menundukkan kepalaku dan membiarkan kau membunuhku.”

“Licik. Kau sudah membohongi aku? Kau sudah berjanji untuk bersedia mati!” teriak Ki Saudagar.

Tetapi Kiai Gringsing masih saja tertawa. Katanya, “Aku bersedia mati demi keselamatan Pandan Wangi. Bagaimana jika Pandan Wangi sekarang sudah mati dan dengan demikian maka suaminya menjadi sangat marah? Sebentar lagi kedua orang pengawalmu itu pun akan mati pula.”

“Gila,” geram Ki Saudagar, “kau sangka aku tidak dapat membunuhmu?”

“Jangan menjadi kehilangan akal,” berkata Kiai Gringsing, “gurumu tidak dapat membunuh aku. Apalagi kau. Karena itu, menyerah sajalah.”

“Aku bukan betina yang mudah berputus asa menghadapi orang setua kau sekarang ini. Bagaimanapun juga tinggi ilmumu, tetapi ketuaanmu tidak akan mampu lagi mendukung ilmumu.”

“Baiklah,” berkata Kiai Gringsing, “sekarang, sebaiknya kita melihat, apa yang telah terjadi dengan Pandan Wangi.”

Wajah Ki Saudagar itu menjadi tegang. Sementara itu Kiai Gringsing berkata, “Kita tidak usah keluar dari lingkaran kabut ini. Biarlah kabutnya saja yang menyingkir dari kita.”

Ki Saudagar tidak begitu mengerti maksud kata-kata Kiai Gringsing. Namun sejenak kemudian, ternyata kabut itu memang menjadi semakin tipis, sehingga perlahan-lahan pandangan mata Ki Saudagar dapat menembus dan melihat apa yang terjadi di luar putaran kabut itu.

Yang nampak kemudian olehnya adalah bahwa Pandan Wangi telah berdiri di atas sebuah batu. Beberapa langkah daripadanya Kiai Jayaraga berdiri termangu-mangu. Ternyata luka Pandan Wangi telah mendapat pengobatan dari Kiai Jayaraga sehingga telah menjadi pampat, sementara Swandaru masih bertempur dengan garangnya.

Namun kedua orang pengawal Ki Saudagar itu sama sekali sudah tidak mampu berbuat apa-apa lagi. Keduanya ternyata telah terluka, sehingga tubuh mereka tidak saja menjadi basah oleh keringat, tetapi juga oleh darah.

Agaknya kemarahan Swandaru benar-benar tidak tertahankan, sehingga kedua orang yang bertempur melawannya itu tidak lagi mendapat kesempatan. Tubuh mereka terluka silang melintang oleh ujung cambuk Swandaru yang meledak-ledak.

“Gila!” geram Ki Saudagar, “Keduanya memang harus dipenggal kepalanya. Mereka telah melepaskan Pandan Wangi.”

Kiai Gringsing tidak menjawab. Tetapi yang terdengar kemudian adalah suara Pandan Wangi, “Kakang, sudahlah Kakang. Keduanya akan mati jika Kakang masih saja menyakiti tubuhnya yang sudah menjadi arang kranjang itu.”

“Aku akan membunuh mereka,” geram Swandaru.

“Mereka hanya melakukan perintah,” teriak Pandan Wangi kemudian.

Swandaru tertegun. Diamatinya kedua orang yang tubuhnya telah menjadi merah oleh darah. Bahkan keduanya seakan-akan sudah tidak memiliki kekuatan lagi untuk dapat melawan, sehingga apabila Swandaru benar-benar ingin membunuh, maka keduanya tidak akan dapat mengelak lagi.

Namun dalam pada itu, sekali lagi Pandan Wangi berkata, ”Keduanya hanya orang-orang yang melakukan apa yang diperintahkan oleh tuannya.”

Swandaru menggeram. Tiba-tiba saja ia berpaling. Dilihatnya Ki Saudagar yang sudah tidak lagi tertutup oleh kabut berdiri termangu-mangu.

“Nah, apa katamu?” desis Kiai Gringsing kemudian.

Ki Saudagar itulah yang kemudian menggeram. Bahkan dengan garangnya ia telah meloncat menyerang Kiai Gringsing.

Tetapi serangannya, sama sekali tidak menyentuh sasaran. Meskipun nampaknya Kiai Gringsing tidak meloncat menghindar, tetapi dengan gerak yang sederhana ia telah berhasil luput dari ujung pedang Ki Saudagar.

Ki Saudagar itu mengumpat. Tetapi tiba-tiba saja ia berpaling kepada Swandaru sambil berkata, “Swandaru, kau telah menuduh bahwa aku adalah seorang pengecut. Tetapi sekarang bagaimana dengan kau sendiri. Kau telah menantang aku untuk berperang tanding. Nah, jika kau benar-benar laki-laki seperti yang kau katakan, maka marilah, kita lanjutkan. Aku terima tantanganmu.”

“Persetan,” geram Swandaru, “kau benar-benar tikus yang licik dan pengecut. Ketika kau sudah tidak mempunyai harapan lagi untuk melepaskan diri, maka kau mencoba mencari kemungkinan dan harapan. Tetapi aku tidak berkeberatan. Aku tetap menantangmu berperang tanding sebagaimana seorang laki-laki.”

“Bagus!” teriak Ki Saudagar, “Kesombonganmu akan membuatmu menyesal. Aku akan membunuhmu. Membunuh gurumu, dan sekaligus orang tua yang menyebut dirinya tamumu itu. Baru kemudian aku akan membawa Pandan Wangi ke rumahku.”

Swandaru berdiri tegak dengan dada tengadah di antara aliran air di sela-sela bebatuan. Ketika ia berpaling ke arah dua orang yang baru saja dilepaskannya, maka keduanya benar-benar sudah tidak berdaya lagi. Dengan lemahnya keduanya duduk melekat tebing bersandar batu padas.

“Kau akan mengalami nasib seperti kedua orang itu,” berkata Swandaru sambil menunjukkan keduanya.

“Persetan. Keduanya memang sudah sepantasnya mati. Aku tidak memerlukan mereka lagi,” geram Ki Saudagar.

Pandan Wangi yang berdiri di atas sebuah batu berkata, “Ki Saudagar, menyerahlah. Mungkin kau akan mendapat perlakuan yang lebih baik dari yang kau perkirakan.”

“Persetan,” geram Ki Saudagar, “kalian tidak boleh curang. Kalian telah membenci sifat licik dan pengecut. Karena itu, kalian tidak boleh menjadi licik dan pengecut. Aku dan Swandaru akan bertempur sebagaimana dalam perang tanding.”

“Sudah aku katakan, aku terima tantangan itu, meskipun kau ucapkan dalam keadaan yang tidak kau kehendaki sendiri. Seandainya kau mempunyai kesempatan lain, kau tidak akan melakukannya. Tetapi sekarang, marilah. Bersiaplah,” jawab Swandaru.

Ki Saudagar itu pun kemudian segera bersiap. Ia memang merasa tidak mempunyai pilihan lain. Daripada ia mati dicekik oleh Kiai Gringsing dengan tanpa dapat melawan, karena gurunya pun tidak mampu menghadapinya, maka lebih baik baginya untuk menerima tantangan Swandaru berperang tanding. Dengan demikian maka ia masih mempunyai harapan.

Jika ia dapat mengalahkan Swandaru, maka ia akan keluar dari tempat itu dengan aman, sebagaimana yang dijanjikan oleh Swandaru, bahkan bersama Pandan Wangi. Kiai Gringsing tentu tidak akan melanggar perjanjian itu, menilik sifat-sifatnya sebagai seorang yang berilmu tinggi.

“Tetapi entahlah dengan Pandan Wangi sendiri,” berkata Ki Saudagar itu di dalam hatinya.

Dalam pada itu, baik Swandaru maupun Ki Saudagar sudah mempersiapkan dirinya. Di tangan Ki Saudagar tergenggam sebilah pedang, sementara Swandaru sudah bersiap dengan cambuknya.

Sejenak keduanya berdiri berhadapan, sementara Kiai Gringsing dan Pandan Wangi justru bergeser menjauh. Mereka benar-benar tidak ingin mencampuri perang tanding itu dengan cara apa pun juga, meskipun mereka sadar, bahwa Ki Saudagar itu adalah orang yang sangat licik.

“Jika orang itu berbuat licik, barulah aku dapat turut campur,” berkata Pandan Wangi di dalam hatinya.

Demikianlah keduanya telah bersiap. Sekilas Ki Saudagar itu berpaling kepada kedua orang pengawalnya. Namun saat itu, Ki Saudagar sudah tidak dapat mengharapkan apa-apa lagi daripadanya. Kedua orang itu tidak akan dapat dalam waktu singkat memperbaiki keadaannya. Luka-luka mereka cukup parah, sehingga keduanya benar-benar tidak dapat berbuat apa-apa lagi.

“Nah,” geram Ki Saudagar, “akhirnya aku akan dapat juga berhadapan dengan murid orang yang telah membunuh guruku, seorang suami dari perempuan yang sangat cantik yang telah dipergunakan sebagai taruhan. Jika aku menang, maka akan mendapat imbalan yang mahal sekali. Seorang perempuan yang sangat cantik.”

“Kau gila,” potong Swandaru, “kita akan bertempur.”

“Ya. Kita memang akan bertempur,” jawab Ki Saudagar. Lalu “Tetapi taruhannya cukup menarik bagiku. Karena itu, bersiaplah. Kau akan segera mati.”

Swandaru tidak menjawab. Tetapi ia mulai menggerakkan ujung cambuknya. Sementara itu, Ki Saudagar pun telah memutar pedangnya pula.

Sejenak kemudian keduanya mulai bergeser. Ki Saudagar yang menyadari kemampuan ilmu Swandaru dengan melihat akibat pada kedua orang pengawalnya, menjadi sangat berhati-hati.

Ketika tiba-tiba saja cambuk Swandaru meledak, maka Ki Saudagar itu terkejut. Suaranya bagaikan memecahkan selaput telinganya. Namun memang tidak ada pilihan yang lebih baik baginya daripada melawan cambuk itu.

Swandaru yang dibakar oleh kemarahan dan kebenciannya kepada Ki Saudagar itu memang tidak mempunyai bayangan lain kecuali menghancurkannya sampai lumat.

Tetapi Ki Saudagar memang mempunyai kelebihan pada kekuatan kakinya. Dengan mempergunakan tenaga cadangannya, maka Ki Saudagar mampu melenting seperti belalang. Bahkan jika serangan kakinya itu sempat menyentuh lawannya, maka serangan itu merupakan serangan yang sangat berbahaya.

Pandan Wangi termangu-mangu melihat keduanya mulai bertempur. Ia tidak sempat memberitahukan kepada Swandaru tentang kemampuan kaki lawannya. Namun kemudian Pandan Wangi pun berharap, bahwa Swandaru yang memiliki ketajaman pengamatan tentang lawannya pun akan dapat mengetahui dengan sendirinya.

Demikianlah, maka pertempuran antara kedua orang yang masing-masing dilambari dengan dendam dan kebencian itu telah terjadi dengan sengitnya di sebuah sungai yang tidak begitu besar. Keduanya berloncatan menyerang dan menghindar. Cambuk Swandaru berputar dan meledak bagaikan petir di udara. Namun dalam pada itu, lawannya ternyata memiliki kemampuan menghindar dengan kecepatan yang tidak diduga oleh Swandaru.

Namun sebagaimana diharapkan oleh Pandan Wangi, akhirnya Swandaru sempat melihat kelebihan dari lawannya. Setiap kali lawannya mampu menyerang demikian cepatnya namun kemudian menghindar demikian cepatnya pula. Ternyata lawannya itu mampu melangkah dengan loncatan-loncatan yang sangat panjang. Berlipat dengan kemampuan loncatan orang kebanyakan.

Karena itulah, maka Swandaru pun harus menyesuaikan diri dengan kemampuan lawannya, agar ujung cambuknya dapat menjangkau tubuh lawannya.

Tetapi lawannya pun bukannya tidak berperhitungan. Ketika ia menyadari, bahwa Swandaru melihat kelebihannya, maka Ki Saudagar itu pun menjadi semakin berhati-hati. Namun dengan demikian, serangan-serangannya justru menjadi kian berbahaya. Tiba-tiba saja ia melenting dengan pedang terjulur, namun demikian ujung cambuk Swandaru meledak, maka Ki Saudagar itu dengan cermat memperhitungkan ledakan ujung cambuk lawannya. Demikian cambuk itu meledak, maka demikian cepatnya ia melenting menyerang.

Swandaru mula-mula tidak menyangka bahwa lawannya akan mempergunakan kesempatan yang demikian. Ketika ia mendapat serangan dengan ujung pedang, Swandaru sempat merendahkan dirinya, justru sambil mengayunkan cambuknya mendatar. Tetapi lawannya sempat pula melenting tinggi-tinggi. Swandaru tidak mau kehilangan kesempatan. Ketika lawannya menjejakkan kakinya, Swandaru telah menyerangnya pula. Tetapi ketika cambuknya meledak, lawannya telah meloncat mundur. Swandaru yang marah itu berusaha untuk meloncat memburunya, tetapi yang terjadi benar-benar sangat mengejutkannya.

Demikian Swandaru meloncat, maka Ki Saudagar itu pun telah melenting menyerang. Dengan demikian maka keduanya seolah-olah telah berloncatan untuk saling berbenturan.

Swandaru melihat ujung pedang lawannya mengarah ke dadanya selagi ia meloncat, maka ia pun harus dengan cepat berbuat sesuatu. Lawannya yang bagaikan terbang itu meluncur dengan cepat dan dengan kekuatan yang luar biasa.

Yang diperhatikan oleh Swandaru adalah justru ujung pedang itu. Karena itu, maka ia pun telah memutar cambuknya dan berusaha untuk membelit ujung pedang lawannya dengan pukulan sendal pancing.

Usahanya tidak seluruhnya berhasil. Tetapi sentuhan ujung cambuknya berhasil merubah arah pedang lawannya. Tetapi loncatan yang mendorong Ki Saudagar itu masih tetap membentur Swandaru dengan kekuatan yang luar biasa.

Demikian besarnya kekuatan benturan itu, sehingga Swandaru ternyata telah terlempar beberapa langkah surut. Demikian ia jatuh di tanah, maka ia pun segera berguling dan melenting berdiri. Namun rasa-rasanya kepalanya menjadi pening.

Untunglah, bahwa oleh benturan itu, Ki Saudagar pun telah terdorong selangkah surut. Meskipun ia tidak terjatuh, namun Ki Saudagar itu pun harus mempertahankan keseimbangannya agar ia dapat tetap tegak berdiri.

Swandaru mengumpat di dalam hatinya. Ia menjadi semakin yakin akan kekuatan kaki lawannya. Sehingga karena itu, maka Swandaru pun harus memperhatikannya dengan sungguh-sungguh, setiap kemungkinan yang dapat terjadi karena kaki lawannya yang luar biasa itu.

Tetapi kemampuan mempergunakan cambuk bagi Swandaru telah benar-benar meyakinkan. Kemarahan yang menghentak-hentak di dadanya telah membuatnya tidak mengekang diri. Dengan demikian, maka sejenak kemudian, Swandaru pun telah mulai dengan serangan serangannya kembali.

Dalam puncak kekuatannya, cambuk Swandaru benar-benar membuat lawannya menjadi berdebar-debar. Serangan Swandaru yang berhasil dihindari lawannya telah mengenai tebing sungai. Akibatnya benar-benar dahsyat. Batu-batu padas di tebing sungai itu telah rontok berguguran. Demikianlah, maka pertempuran itu semakin lama menjadi semakin sengit. Kekuatan Swandaru yang tersalur di ujung cambuknya benar-benar mendebarkan. Bukan saja tebing sungai yang menjadi berguguran, tetapi batu-batu hitam pun telah pecah terbelah oleh ujung cambuk Swandaru yang berkarah baja.

Ki Saudagar yang melihat kemampuan cambuk Swandaru itu menjadi semakin berdebaran. Meskipun ia mempunyai kemampuan melenting melampaui kecepatan gerak Swandaru, tetapi ujung cambuk Swandaru itu bagaikan selalu memburunya. Putaran ujung cambuk itu rasa-rasanya menjadi semakin lama semakin mengerikan.

Beberapa saat kemudian, maka ruang gerak Ki Saudagar itu pun seakan akan menjadi semakin sempit. Dengan dahsyatnya ujung cambuk Swandaru itu memburunya kemana pun Ki Saudagar berloncatan dengan kekuatan kakinya yang luar biasa. Namun dalam pada itu, kemampuan Swandaru pun benar-benar mengagumkan.

Meskipun Swandaru tidak mempunyai kemampuan sebagaimana dimiliki oleh Pandan Wangi, dengan melontarkan pukulan dari jarak tertentu serta sentuhan serangan mendahului ujung wadagnya, tetapi dengan cambuk di tangan dan kekuatan raksasa yang tersalur pada senjatanya, Swandaru benar-benar seorang yang sangat berbahaya bagi lawannya.

Sejenak kemudian, maka Ki Saudagar itu pun merasa, bahwa tidak ada tempat lagi baginya. Ia tidak dapat menyerang Swandaru dengan pedangnya yang lebih pendek dari juntai cambuk Swandaru. Kemampuan kakinya yang sudah diketahui oleh Swandaru itu pun ternyata telah diperhitungkan oleh lawannya dengan sebaik-baiknya.

Karena itu, maka semakin lama maka Ki Saudagar itu pun menjadi semakin terdesak. Dalam keadaan yang sulit, maka tiba-tiba saja serangan Swandaru memburunya. Meskipun ia berusaha melenting dengan kemampuan kakinya yang sangat besar, namun Swandaru sempat meloncat mengejarnya dengan ujung cambuknya.

Bahkan dengan perhitungan yang cermat, Swandaru justru berhasil memotong loncatan Ki Saudagar, sehingga seakan-akan justru ia meloncat membentur lecutan cambuk Swandaru.

“Gila,” geram Ki Saudagar yang terkejut. Dengan pedangnya ia berusaha menangkis serangan lawannya. Namun ternyata bahwa ujung cambuk Swandaru itu sempat mengenainya pula, sehingga sebuah goresan telah mengoyak kulitnya.

Ki Saudagar mengeluh tertahan. Kemarahannya menyala membakar jantungnya. Namun darahnya ternyata telah mulai meleleh dari lukanya.

Swandaru melihat lawannya telah terluka. Dengan demikian ia justru menjadi semakin garang. Sikap Ki Saudagar terhadap Pandan Wangi benar-benar tidak dapat dimaafkan lagi oleh Swandaru. Satu penghinaan yang bukan saja menyangkut namanya sebagai seorang pemimpin pengawal, tetapi telah menyinggungnya sebagai seorang suami.

“Seandainya Pandan Wangi sendiri tidak memiliki kemampuan dalam olah kanuragan, apa jadinya dengan perempuan itu,” geram Swandaru di dalam hatinya. Lalu, “Karena itu, maka orang itu benar-benar harus dihancurkan tanpa ampun lagi.”

Dengan demikian maka Swandaru pun menjadi semakin garang pula. Cambuknya meledak-ledak bagaikan meretakkan tulang-tulang iga.

Ki Saudagar yang sudah terluka itu hatinya menjadi semakin kuncup. Kekuatan kakinya tidak banyak bermanfaat lagi. Swandaru dengan ilmunya yang tinggi telah mampu mengatasi segala macam kemampuan yang ada padanya.

Ki Saudagar itu telah berusaha mengerahkan segenap kemampuannya. Yang kemudian diperhatikan adalah jalur-jalur yang mungkin dapat ditembus.

Namun Ki Saudagar itu mengumpat di dalam hati.

Tiba-tiba saja orang-orang yang semula berdiri berdekatan itu telah memencar. Kiai Gringsing, orang yang mengaku tamu di rumah Swandaru, dan Pandan Wangi, telah berdiri di tempat yang berbeda arahnya.

Bahkan, sambil mengumpat-umpat, Ki Saudagar itu melihat beberapa orang pengawal telah merayap di atas tebing.

Sebenarnyalah para pengawal yang terpaksa tinggal itu, tidak membiarkan malapetaka terjadi atas para pemimpinnya. Beberapa orang yang dianggap terbaik di antara mereka telah merayap di atas tebing, di balik gerumbul-gerumbul, mengikuti arah kepergian Pandan Wangi yang dibawa oleh Ki Saudagar Branawangsa itu. Namun ketika mereka mendengar suara cambuk Swandaru meledak, maka mereka pun tahu pasti bahwa telah terjadi satu pertempuran. Mungkin Pandan Wangi berhasil melepaskan diri, tetapi mungkin Pandan Wangi justru telah terbunuh. Karena itu, maka mereka pun dengan tergesa-gesa telah berada di atas tanggul di pinggir sungai.

Namun yang kemudian mereka lihat adalah pertempuran yang sengit antara Swandaru dan Ki Saudagar. Sementara itu, mereka pun telah melihat bahwa darah telah mengalir dari tubuh Ki Saudagar.

Beberapa orang di antara mereka telah meluncur turun. Kemudian seperti Kiai Gringsing, Kiai Jayaraga dan Pandan Wangi, maka mereka pun telah berpencar pula.

Ternyata tidak ada jalan lagi bagi Ki Saudagar. Ia tidak melihat jalan untuk melepaskan diri. Karena itu, maka yang dapat dilakukannya adalah melakukan perlawanan sampai kemungkinan yang terakhir.

Swandaru pun ternyata benar-benar dikuasai oleh kemarahan dan kebenciannya kepada orang yang menyebut Ki Saudagar, yang telah memaksa istrinya untuk mengikutinya. Yang telah mengancam Pandan Wangi dengan pedang dan bahkan telah melukai punggung Pandan Wangi pula.

Karena itu, maka serangan-serangan berikutnya bagaikan badai yang mengamuk, menerkam Ki Saudagar. Betapa pun ia berusaha menghindari, tetapi sekali lagi ujung cambuk yang berkarah baja itu telah mengoyak kulitnya.

Luka telah menganga di pahanya. Justru ketika ia melenting tinggi, Swandaru sempat memutar ujung cambuknya dan mengenai paha Ki Saudagar.

Karena luka-lukanya, serta darah yang sudah semakin banyak mengalir, maka perlawanan Ki Saudagar pun semakin lama justru menjadi semakin lemah. Namun demikian, ia masih berusaha memperhatikan keadaan di sekitarnya. Ia merasa mempunyai kemampuan melenting lebih baik dari setiap orang yang ada di pinggir sungai dan di atas tebing. Bahkan ia pun merasa mempunyai kecepatan dan langkah yang lebih panjang dari Swandaru sendiri, apabila ia benar-benar ingin melarikan diri.

“Tidak ada kemungkinan untuk bertahan,” berkata Ki Saudagar di dalam hatinya.

Namun rasa-rasanya segala macam cara untuk menyelamatkan diri sudah sulit untuk ditempuh. Arena itu sudah terkepung, sementara serangan Swandaru datang bagaikan badai yang mengamuk.

Karena itu, sekali lagi Ki Saudagar harus mencari kemungkinan yang paling baik. Kemungkinan yang masih memungkinkan adanya harapan.

Dengan demikian, maka ternyata Ki Saudagar telah memilih untuk melarikan diri saja daripada menghadapi ujung cambuk Swandaru yang menggila itu. Meksipun seandainya ia tidak berhasil, tetapi agaknya harapannya masih lebih besar untuk menghindar daripada menjadi umpan ujung cambuk Swandaru.

Karena itu, maka sejenak kemudian, Ki Saudagar telah dengan cermat memperhitungkan kemungkinan. Dengan satu loncatan panjang Ki Saudagar menghindari ujung cambuk Swandaru. Namun dengan tiba-tiba saja ia meloncat menyerang. Tetapi ketika Swandaru memutar ujung cambuknya menyongsong serangan itu, maka Ki Saudagar itu pun segera melenting dengan kemampuan puncaknya. Kakinya yang bagaikan kaki belalang itu telah mendorong tubuhnya bagaikan terbang meloncat lewat di atas kepala orang-orang yang mengepungnya.

Beberapa orang telah terkejut menyaksikan kemampuan tenaga kaki Ki Saudagar itu. Ketika kemudian Ki Saudagar turun di belakang orang-orang yang mengepungnya, maka sekali lagi ia telah melenting ke atas tanggul.

“Gila,” geram Swandaru “jangan licik, pengecut!”

Tetapi Ki Saudagar tidak menghiraukannya. Bahkan dengan suara tinggi ia masih berteriak, “Marilah orang dungu. Jika kau dapat menangkap aku, maka kau akan mampu juga menangkap angin.”

Tetapi Swandaru memang tidak mungkin dapat melenting sejauh Ki Saudagar itu. Tetapi ia tidak ingin kehilangan orang yang telah menghinakannya itu.

“Jangankan hanya kau kerbau gemuk,” teriak orang itu setelah bediri di atas tanggul. “Semua orang yang ada, biarlah berusaha menangkapku.”

“Curang, licik!” Swandaru hanya dapat mengumpat-umpat saja.

Namun yang terjadi benar-benar mengejutkan. Orang yang masih berdiri di bibir tanggul itu sama sekali tidak menjadi cemas, bahwa beberapa orang pengawal yang masih ada di atas tanggul akan dapat mengejar dan menangkapnya. Tetapi ketika ia akan beranjak dari tempatnya, tiba-tiba saja batu padas di bawah kakinya itu bagaikan meledak. Api dan uap air panas seakan telah berhembus dari dalam bumi, sehingga dengan demikian, maka batu-batu padas di bawah kakinya itu bagaikan berguguran.

Ternyata tebing itu memang runtuh. Ki Saudagar telah terseret turun kembali ke sungai yang tidak begitu besar itu.

Ki Saudagar itu mengumpat dengan kasarnya. Dengan serta merta ia melenting berdiri. Sekali lagi ia meloncat dengan kemampuan kakinya yang luar biasa ke atas tebing. Namun sekali lagi batu-batu padas itu pun berguguran.

Api dan uap, bahkan batu-batu kerikil bagaikan meledak dan menyembur dari antara batu-batu padas yang kemudian berguguran itu.

Sekali lagi Ki Saudagar terseret dan terbanting jatuh.

Yang kemudian terdengar adalah suara Kiai Jayaraga, “Jangan melarikan diri begitu Ki Sanak. Kau harus bersikap jantan setelah kau tantang Angger Swandaru melakukan perang tanding. Jika kau kalah, maka kau harus mengakui kekalahanmu. Kemudian kau akan diperlakukan sebagaimana seharusnya.”

Ki Saudagar itu kemudian berdiri tegak dengan wajah yang tegang. Namun wajah itu menjadi pucat ketika ia melihat Swandaru berlari ke arahnya dengan ujung cambuk yang perputaran.

“Jika kau ingin menyerah, menyerahlah,” berkata Kiai Jayaraga.

Ki Saudagar tidak sempat berbuat banyak. Sejenak kemudian cambuk Swandaru telah terayun menghantam ke arah lambungnya. Dengan sisa tenaganya Ki Saudagar itu meloncat menghindar. Ternyata ia masih mampu menyelamatkan dirinya dari ujung cambuk Swandaru yang garang itu.

Karena ujung cambuk itu tidak mengenai sasarannya, maka batu-batu padas tebing yang terhantam ujung cambuk itulah yang pecah berserakan.

Tetapi Swandaru tidak mau melepaskan lawannya. Sekali lagi ia menyerang dengan garangnya. Dan sekali lagi Ki Saudagar terpaksa meloncat jauh-jauh.

Namun ketika sekali lagi Swandaru memburunya, maka tiba-tiba saja orang itu melemparkan pedangnya sambil berteriak, “Aku menyerah.”

Tetapi Swandaru tidak sempat mengekang cambuknya. Bahkan tidak sempat mengekang dirinya. Sekali lagi cambuknya meledak. Yang terdengar adalah jerit kesakitan Ki Saudagar. Cambuk Swandaru itu ternyata telah mengenai tubuhnya. Membelit lengannya dan menghantam punggung.

“Swandaru!” teriak Kiai Gringsing.

Namun kemarahan Swandaru sudah tidak terkekang lagi. Ketika ia menarik ujung cambuknya dan melihat Ki Saudagar itu terjatuh di air sungai, maka ia masih juga mengangkat cambuknya siap untuk menghancurkan tubuh Ki Saudagar yang sudah tidak berdaya.

“Swandaru!” sekali lagi Kiai Gringsing berteriak, dan hampir bersamaan Pandan. Wangi telah memalingkan wajahnya.

Tetapi yang terjadi adalah lain. Swandaru itu justru terlempar beberapa langkah surut, ketika tanah sejengkal di depannya-lah yang kemudian telah meledak, menyemburkan air dan batu-batu kerikil.

Swandaru terjatuh ke dalam air, di antara bebatuan. Ketika ia kemudian bangkit berdiri, maka dilihatnya Kiai Jayaraga dan Kiai Gringsing hampir berbareng dari arah yang berbeda telah meloncat mendekatinya.

Ki Saudagar itu masih menggeliat. Lukanya yang terbenam ke dalam air terasa betapa pedihnya. Ternyata kemarahan Swandaru tidak dapat dikekangnya. Meskipun ia melihat Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga telah berdiri di sebelah Ki Saudagar yang berbaring, namun Swandaru masih berkata, “Guru, silahkan bergeser. Orang itu tidak pantas untuk dimaafkan dengan alasan apa pun juga. la sudah menghinakan Pandan Wangi dan menghinakan aku pula. Bahkan ia sudah melukai Pandan Wangi dan berusaha dengan sungguh-sungguh membunuh aku, dan terutama Guru.”

“Sudahlah,” berkata Kiai Gringsing, “kau harus berusaha untuk mengekang dirimu sendiri. Bukankah kita mencoba untuk menjunjung tinggi harga diri dan martabat kita sebagai pengawal yang baik? Dengan demikian, kita tidak akan berbuat apa-apa terhadap orang yang sudah tidak berdaya.”

Swandaru menggertakkan giginya. Namun ia tidak dapat berbuat apa-apa ketika ia melihat Kiai Jayaraga mengangkat tubuh yang terluka parah itu dan meletakkan di bawah tebing, di tepian berpasir yang sempit.

Kiai Gringsing pun kemudian mendekatinya pula, dan berjongkok di sisinya.

Ki Saudagar itu menggeram. Namun kemudian ia pun berdesis menahan kesakitan yang sangat pada tubuhnya. Lengan dan punggungnya benar-benar telah terkoyak, sehingga tubuhnya telah menjadi merah oleh darah.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sebagai seorang yang memahami tentang obat-obatan, maka ia pun melihat kemungkinan yang tipis sekali untuk dapat berbuat sesuatu atas Ki Saudagar. Lecutan cambuk Swandaru yang terakhir, yang dilambari dengan kemarahan yang membakar jantungnya, benar-benar telah berakibat sangat gawat.

Namun demikian, Kiai Gringsing kemudian dengan tergesa-gesa telah berusaha mencari obat-obatan yang dibawanya. Ia telah mencairkan semacam serbuk yang berwarna kehitam-hitaman yang akan diusapkan pada luka-luka Ki Saudagar, di samping obat yang lain yang harus diminumkannya.

Tetapi demikian ramuan obat itu siap, maka wajah Ki Saudagar itu pun menjadi semakin pucat.

Meskipun demikian masih terdengar suaranya lambat, “Katakan kepada Wuni, aku tidak dapat memenuhi janjiku.”

“Siapa?” bertanya Kiai Jayaraga.

“Wuni. Aku berjanji untuk membawanya. Membeli rumah untuknya dan menjadikannya istriku yang ke-lima,” jawab Ki Saudagar itu. “Baik Ki Sanak,” jawab Kiai Jayaraga, “aku akan mengatakannya.”

Ki Saudagar itu berusaha untuk memandang orang-orang yang berada di sekitarnya. Kemudian dengan suaranya yang sendat ia berkata, “Aku gagal, Kiai. Aku tidak berhasil membunuh Kiai Gringsing.”

Kiai Gringsing hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada itu, Kiai Gringsing itu tidak sempat memberikan obat yang sudah diramunya. Darah mengalir bagaikan terperas dari tubuh Ki Saudagar. Lukanya benar-benar telah mengakibatkan kematiannya, sebelum Ki Saudagar itu dapat melakukan niatnya, melepaskan dendamnya kepada orang yang telah membunuh gurunya.

Kiai Jayaraga memandang tubuh yang terbujur itu dengan wajah yang bagaikan membeku. Ada semacam penyesalan di dalam hatinya, bahwa ia telah mencegah orang itu melarikan diri. Namun ia pun merasa kecewa atas sikap Swandaru yang tidak terkendali.

Meskipun demikian Kiai Jayaraga mencoba untuk mengerti, betapa darah Swandaru telah mendidih melihat istrinya diperlakukan dengan semena-mena. Seandainya Swandaru gagal menyelamatkan istrinya dalam perang tanding, maka rasa-rasanya Ki Saudagar itu pun benar-benar akan membawa Pandan Wangi, dan bahkan Swandaru pun tentu akan terbunuh pula. Bahkan mungkin tuntutan-tuntutan yang lain yang harus dipenuhinya.

Sementara itu, Kiai Gringsing pun kemudian berpaling kepada dua orang pengikut Ki Saudagar yang sudah tidak berdaya lagi. Wajah mereka membayangkan ketakutan yang sangat. Bahkan nyeri di tubuh mereka rasa-rasanya bagaikan menggigit.

Sejenak Kiai Gringsing memandangi mereka. Namun kemudian katanya, “Kemarilah.”

Betapa pun lemahnya tubuh kedua orang itu, namun mereka pun kemudian bangkit dan berusaha untuk mendekati Kiai Gringsing, yang masih memegang obat yang diramunya dan dicairkannya dengan air belik di pinggir sungai itu.

Sambil memberi obat itu kepada kedua orang yang terluka di tubuhnya silang melintang itu Kiai Gringsing berkata, “Kalian dapat saling mengobati. Ini, sapukan kepada luka-luka kalian. Kemudian cairkan pula obat ini dengan air belik itu. Kalian dapat mengambil selembar daun pisang yang tumbuh di lereng itu.”

Salah seorang dari mereka pun telah menerima bumbung yang berisi cairan obat dari Kiai Gringsing itu, sementara yang seorang lagi telah menerima sebungkus obat yang lain, yang harus dicairkan pula untuk diminumnya.

“Keadaan kalian akan menjadi baik. Kemudian kalian dapat singgah di Sangkal Putung barang satu dua hari. Kami ingin berbicara dengan kalian,” berkata Kiai Gringsing kemudian.

Kedua orang itu justru menjadi termangu-mangu. Tetapi mereka pun sadar bahwa mereka tidak akan dapat berbuat apa-apa selain menurut saja segala perintah bagi mereka.

Dalam pada itu, Kiai Gringsing pun kemudian berkata kepada Swandaru, “Swandaru, kau dapat memerintahkan orang-orangmu untuk menyelenggarakan mayat orang yang terbunuh itu, selanjutnya biarlah yang lain membantu kedua orang yang terluka itu dan membawanya ke Kademangan.”

Swandaru juga tidak membantah. Ia pun segera memerintahkan orang-orangnya yang ada di sekitar arena pertempuran itu untuk mengurus mayat Ki Saudagar, dan dua orang pengawalnya yang terluka parah itu.

Demikianlah, maka sejenak kemudian orang-orang yang ada di arena yang menegangkan itu telah menyusuri sungai, menuju kembali ke padukuhan induk. Kecuali Pandan Wangi yang masih akan mengambil beberapa helai pakaiannya yang ditinggalkannya sebelum sempat mencuci seluruhnya.

“Aku antar kau,” desis Swandaru.

“Hanya mengambil pakaian,” jawab Pandan Wangi.

“Siapa tahu, ada orang lain yang berniat buruk. Kau tidak membawa senjatamu,” desis Swandaru.

Pandan Wangi tidak menjawab. Karena itu, maka bersama Swandaru mereka menyusuri sungai itu, sementara yang lain pun mulai memanjat tebing.

Namun demikian, masih ada beberapa orang pengawal yang tinggal, yang menyiapkan penyelenggarakan mayat Ki Saudagar yang kehilangan kesempatan untuk mempertahankan hidupnya berhadapan dengan Swandaru. Sehingga dengan demikian, maka dendamnya telah dibawanya memasuki liang kuburnya.

Ketika Pandan Wangi memungut beberapa lembar pakaiannya yang tertinggal, maka dari atas tebing terdengar seseorang memanggilnya, Ternyata orang itu adalah salah seorang pembantu di rumah Ki Demang, yang kebetulan adalah ayah Wuni.

“Kenapa kau di situ?” bertanya Pandan Wangi.

Orang itu berusaha untuk turun. Tetapi tiba-tiba saja ia tergelincir dan terjatuh di tepian, yang untungnya berpasir.

“Dimana orang-orang gila itu?” bertanya ayah Wuni

“Kau yang membawa mereka kemari,” sahut Pandan Wangi.

“Aku tidak mengira, bahwa hal itu akan terjadi,” jawab orang itu.

“Sementara ini kau berada dimana?” bertanya Pandan Wangi pula.

“Aku bagaikan menjadi lumpuh. Aku tidak tahu apa sebabnya. Tetapi perlahan-lahan aku dapat bergerak kembali, meskipun rasa-rasanya tubuhku masih terlalu lemah, sehingga aku tidak mampu turun dengan baik dari atas tebing,” jawab orang itu.

Pandan Wangi dan Swandaru segera mengerti, apa yang telah terjadi dengan orang itu. Namun sementara itu Pandan Wangi pun berkata, “Sadar atau tidak sadar, kau sudah membuat keributan ini. Lihat, punggungku telah terluka. Untunglah Kiai Jayaraga sempat mengobatinya.”

“Aku tidak tahu bahwa persoalannya akan menjadi rumit,” jawab orang itu.

“Tetapi seandainya tidak, kau pun telah melakukan satu kesalahan yang gawat bagi anak perempuanmu. Bukankah kau telah menjual Wuni kepada Ki Saudagar itu? Apakah kau tahu bahwa Wuni akan dijadikan istrinya yang kelima?” bertanya Pandan Wangi.

Ayah Wuni itu hanya menundukkan kepalanya saja.

“Jadi kau sudah tahu, he? Sudah tahu, bahwa Ki Saudagar itu sudah mempunyai empat orang istri?” desak Pandan Wangi.

Ayah Wuni menarik nafas dalam-dalam. Tetapi kemudian ia menjawab, “Ki Saudagar berjanji akan menceraikan salah seorang dari istrinya.”

“Kau benar-benar orang tua yang tamak. Apa pamrihmu he? Uang, perhiasan atau apa? Mungkin Ki Saudagar menjanjikan untuk memberimu rumah dan sawah. Tetapi kau paksa anak gadismu menderita seumur hidupnya,” wajah Pandan Wangi menjadi merah.

Dalam pada itu, ternyata sikap Swandaru agak berbeda menghadapi ayah Wuni daripada Ki Saudagar. Didekatinya istrinya sambil berdesis, “Sudahlah. Marilah kita pulang.”

“Tetapi orang itu adalah orang tua yang tidak pantas dihormati. Ia telah menjual anaknya. Aku tidak mempersoalkan hal ini karena akan menyangkut aku dan bahkan beberapa orang lain. Tetapi sikapnya terhadap anaknya itu benar-benar menyakiti hati bukan saja anaknya. Tetapi hati perempuan,” berkata Pandan Wangi yang kata-katanya bagaikan mengalirnya air dari bendungan yang pecah.

Orang tua itu sama sekali tidak menjawab. Sementara itu sekali lagi Swandaru berkata, “Marilah sebaiknya kau memakai rangkapan pakaian.”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam, seakan-akan ia ingin menghisap kejengkelannya kembali ke dalam jantungnya.

Namun didesak oleh suaminya, maka Pandan Wangi pun kemudian memungut kembali pakaian-pakaiannya dan mengenakan sebuah kain panjang di luar pakaian khususnya dan mengenakan baju panjang pula.

Sejenak kemudian, maka Pandan Wangi dan Swandaru pun telah meninggalkan tepian. Selain pakaiannya sendiri, Pandan Wangi juga membawa pakaian Wuni yang tertinggal yang masih belum selesai dicucinya.

Demikian keduanya sampai di rumah, maka Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga telah duduk di pendapa. Swandaru yang kemudian juga naik ke pendapa, membiarkan Pandan Wangi langsung pergi ke sumur untuk menyelesaikan pekerjaannya.

Tetapi langkah Pandan Wangi tertegun ketika ia mendengar seseorang memanggilnya. Wuni. “Wuni,” desis Pandan Wangi sambil berpaling.

Gadis itu pun kemudian berlari memeluknya sambil menangis. Katanya, “Kata orang kau terluka?”

“Tidak apa-apa,” jawab Pandan Wangi, “sebagaimana kau lihat. Aku selamat. “

Wuni melepaskan pelukannya. Dipandanginya Pandan Wangi yang masih berdiri tegak tanpa cidera. Namun Wuni tidak melihat, bahwa punggung Pandan Wangi memang tergores ujung pedang. Namun oleh obat Kiai Jayaraga, luka itu seakan-akan telah sembuh. Meskipun Pandan Wangi masih harus berhati-hati.

“Marilah, berikan cucian itu kepadaku,” minta Wuni kemudian.

Pandan Wangi memandang gadis itu sejenak. Hatinya menjadi iba melihat ketulusan wajahnya. Tanpa bersalah, Wuni sudah dijebak ke dalam satu keadaan yang sangat pahit.

Demikianlah, maka Pandan Wangi pun kemudian telah memberikan cucian itu kepada Wuni, sementara Wuni masih juga bertanya, “Bagaimana dengan Ayah?”

“Aku kira ia menyadari kesalahannya,” jawab Pandan Wangi. Lalu, “Ki Saudagar itu tidak akan mengganggumu lagi.”

Wuni menundukkan kepalanya. Titik-titik air matanya telah kembali meleleh di pipinya yang kemerah-merahan. Katanya, “Apakah aku yang menyebabkan kematiannya?”

“Tidak. Tidak Wuni. Bukan kau. Jika ia tidak ingin melepaskan dendamnya kepada Kiai Gringsing, maka tidak akan mengalami nasib yang sangat buruk,” sahut Pandan Wangi dengan serta merta.

“Dan aku akan menjadi istrinya,” desis Wuni.

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti, betapa sakit perasaan gadis itu, apa pun yang terjadi. Agaknya ayahnya memang sudah disilaukan oleh janji-janji yang menarik.

“Sudahlah Wuni,” berkata Pandan Wangi kemudian, “jangan kau pikirkan lagi apa yang telah terjadi. Aku juga merasa terhina oleh peristiwa ini. Tetapi peristiwa itu sudah berlalu.”

Wuni mengangguk. Kemudian ia pun pergi ke sumur untuk melanjutkan mencuci pakaiannya dan pakaian Pandan Wangi.

Sementara itu, Pandan Wangi pun telah memasuki biliknya. Ketika ia melihat sepasang pedangnya, maka ia pun menarik nafas dalam-dalam.

Agak berbeda dengan senjata Swandaru yang dapat dibawanya kemana saja dan kapan saja tanpa menarik perhatian orang lain, karena cambuk itu dapat disembunyikan di bawah bajunya. Tetapi sepasang pedang itu harus tergantung di pinggang.

“Tidaklah wajar, jika untuk mencuci pakaian aku harus membawa sepasang pedang,” berkata Pandan Wangi kepada diri sendiri.

Namun dengan demikian, maka telah berkembang di dalam hati Pandan Wangi untuk mendapatkan satu cara melindungi dirinya sendiri tanpa mempergunakan senjata.

Sambil berganti pakaian Pandan Wangi sempat merenung. Seperti dikatakan oleh Kiai Jayaraga, bahwa ia akan dapat memanfaatkan kemampuannya untuk menjadi alas perkembangan ilmunya lebih lanjut. Ia akan dapat mempelajari watak udara, air dan api. Kemudian watak bumi yang menyimpan kekuatan tiada taranya.

“Aku tidak berguru kepada Kiai Jayaraga. Aku bukan saudara seperguruan Ki Tumenggung Prabadaru. Tetapi udara, air, api dan bumi pada hakekatnya diperuntukkan bagi semua orang. Persoalannya kemudian adalah, apakah kekuatan yang mungkin dapat disadap itu diperuntukkan bagi kebaikan atau sebaliknya,” berkata Pandan Wangi di dalam hatinya.

Namun Pandan Wangi tidak merenung terlalu lama. Ia pun kemudian ke luar dari biliknya setelah berganti pakaian dan pergi ke dapur.

Dalam pada itu, di pendapa Kiai Gringsing, Ki Jayaraga dan kemudian Ki Demang masih berbicara tentang dua orang yang telah mereka bawa. Dua orang pengawal Ki Saudagar yang terluka parah. Namun keadaan mereka telah menjadi semakin baik.

Swandaru ternyata tidak lama duduk bersama Kiai Gringsing di pendapa. Sementara itu Ki Demang pun kemudian juga meninggalkan mereka, karena satu tugas yang harus diselesaikannya.

Sehingga kemudian yang duduk di pendapa itu tinggallah Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga. Dengan nada dalam Kiai Jayaraga pun berkata, “Kedua muridmu memang mempunyai watak yang sangat berbeda.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Jawabnya, “Sudah aku sadari sejak semula. Sementara aku masih berusaha untuk mendekatkan watak Swandaru kepada watak Agung Sedayu.”

“Rasa-rasanya memang sulit,” jawab Kiai Jayaraga, “aku pernah berputus-asa karena sifat-sifat muridku.”

“Betapa pun sulitnya,” berkata Kiai Gringsing, “bukankah itu kewajiban seorang guru?”

Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja ia berkata, “Bagaimana dengan dua orang yang terluka parah itu?”

“Untuk apa?” bertanya Kiai Gringsing.

Kiai Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu Kiai Gringsing berkata, “Kau masih bermimpi mendapatkan murid yang demikian.”

Kiai Jayaraga termenung sejenak. Katanya, “Tidak. Aku sudah mendapat petunjukmu. Jika aku berkesempatan dan mendapat persetujuan Agung Sedayu dan Ki Gede Menoreh, aku ingin membina Glagah Putih. Namun sayang sekali jika justru karena aku, ia terperosok ke dalam dunia yang kelam.”

“Apa maksudmu?” bertanya Kiai Gringsing.

“Semua muridku telah tersesat,” jawab Kiai Jayaraga. “Jika hal itu merupakan satu ketentuan akan terjadi, maka sayang sekali dengan Glagah Putih. Ia adalah seorang anak yang baik.”

“Jangan berpikir begitu,” berkata Kiai Gringsing, “yang salah adalah pada saat kau mengambil mereka menjadi muridmu.”

Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. ia mulai membayangkan, seorang anak muda akan menerima warisan ilmunya yang kemudian akan dapat berkembang dan tidak punah bersama tubuhnya yang pada satu saat akan turun ke liang kubur.

“Kapan aku boleh ke Tanah Perdikan Menoreh?” bertanya Kiai Jayaraga tiba-tiba.

Kiai Gringsing memandangnya dengan heran. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Kenapa kau bertanya begitu? Apakah ada kemungkinan bahwa aku tidak memperbolehkan kau pergi ke Tanah Perdikan Menoreh?”

“Bukankah kau membawa aku kemari dengan prasangka?” bertanya Kiai Jayaraga.

“Jangan seperti kanak-kanak,” jawab Kiai Gringsing, “jika aku masih tetap berprasangka, maka kau akan aku masukkan ke dalam satu bilik tertutup, dipagari dengan kemampuan ilmu yang tinggi, sehingga kau tidak akan dapat keluar.”

Kiai Jayaraga mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian tersenyum. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Ya. Mungkin memang begitu. Namun tiba-tiba saja aku ingin menemui Agung Sedayu untuk berbicara tentang Glagah Putih.”

“Kau dapat mendahului aku ke Tanah Perdikan Menoreh,” berkata Kiai Gringsing, “aku masih harus menunggui Swandaru untuk menyelesaikan waktu yang aku berikan kepadanya beberapa saat lagi. Ilmunya memang nampak berkembang. Cambuknya benar-benar berbahaya. Orang yang menyebut dirinya Ki Saudagar itu dengan tidak banyak menemui kesulitan telah dihancurkannya.”

Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Pada suatu saat aku akan pergi. Tetapi apakah tidak lebih baik aku menunggumu sampai kau selesai?”

“Kiai,” jawab Kiai Gringsing, “jika demikian, maka aku akan menjadi tergesa-gesa. Dan kau akan menganggap waktu berjalan terlalu lamban. Karena itu, pergilah mendahului aku. Katakan kepada Agung Sedayu, bahwa aku setuju jika Agung Sedayu tidak berkeberatan, agar Glagah Putih mendapat ilmu dari kau pula. Tetapi jika Agung Sedayu tidak setuju, kau jangan memaksa.”

Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Kapan-kapan aku akan menentukan waktu yang paling baik untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia merasa, bahwa ada keseganan Kiai Jayaraga untuk mendahului Kiai Gringsing pergi ke Tanah Perdikan, justru karena orang pernah berprasangka kepadanya, seakan-akan ia pun akan ikut membalas dendam pula sebagaimana dilakukan oleh murid-muridnya.

Tetapi Kiai Gringsing tidak mengatakannya. Dibiarkannya Kiai Jayaraga mencari saat yang paling baik menurut pertimbangannya.

Dalam pada itu, di Sangkal Putung, Swandaru masih tetap mempergunakan kesempatannya sebaik-baiknya. Kehadiran Ki Saudagar telah mendorongnya untuk berbuat lebih banyak lagi. Kemungkinan yang demikian, masih akan dapat terjadi. Orang-orang yang mendendam karena gurunya, sanak kadangnya atau orang tuanya terbunuh di peperangan.

Namun dalam pada itu, dalam satu kesempatan Swandaru itu pun berkata kepada Kiai Gringsing “Guru, rasa-rasanya aku menjadi cemas. Bagaimana jika peristiwa seperti yang baru saja terjadi atas Pandan Wangi itu terjadi pada Sekar Mirah. Mungkin karena peristiwa yang baru saja terjadi itu justru mendorong orang-orang yang mendendam untuk mengalihkan sasaran mereka. Jika mereka gagal melepaskan dendamnya kepadaku, mereka akan mencobakannya pada Kakang Agung Sedayu.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kakangmu tentu sudah sembuh sepenuhnya.”

“Benar Guru. Tetapi apakah ia akan dapat menghadapi berbagai macam ilmu yang mungkin belum pernah dikenalnya sama sekali?” bertanya Swandaru.

Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Di Tanah Perdikan Menoreh ada Ki Waskita dan Ki Gede. Seandainya Ki Waskita sedang pulang ke rumahnya. Maka Ki Gede akan dapat ikut membantu jika Agung Sedayu mengalami kesulitan. Dan kau tahu, bahwa Sekar Mirah pun memiliki kemampuan yang cukup tinggi untuk ikut mengatasi masalah-masalah yang dapat timbul pada Agung Sedayu.”

“Tetapi Guru,” berkata Swandaru, “Kakang Agung Sedayu terlalu berpijak pada harga dirinya yang terlalu tinggi. Ia cepat merasa tersinggung jika ia ditantang untuk berperang tanding. Padahal setiap kali ia berperang tanding, maka akibatnya dapat diramalkan. Luka parah. Bahkan hampir saja nyawanya tidak tertolong lagi. Keadaan itu sangat mendebarkan hati, Guru. Apakah Guru tidak merasakannya? Aku menyesal, bahwa akulah yang lebih dahulu mendapat kesempatan untuk meningkatkan ilmuku, sementara Kakang Agung Sedayu baru kemudian. Dengan demikian, aku telah mencemaskan keadaannya.”

“Swandaru,” berkata Kiai Gringsing dengan nada berat, “Agung Sedayu sudah cukup dewasa. Bukan saja umurnya. Tetapi juga ilmunya. Ketika aku memutuskan untuk menerima permintaanmu memberimu kesempatan lebih dahulu dari Agung Sedayu, bukankah saat itu Agung Sedayu sedang dalam keadaan penyembuhan luka-luka yang dideritanya? Tetapi sebenarnya kau tidak usah terlalu berprihatin atas Agung Sedayu. Seperti sudah aku katakan, di sana ada Ki Waskita dan Ki Gede, di samping Sekar Mirah sendiri.”

Swandaru mengangguk angguk. Akhirnya ia bergumam, “Mudah mudahan tidak ada dendam yang tertuju kepadanya. Aku akan menampung segala perasaan dendam dan mengatasinya di sini. Apalagi jika sudah selesai dengan batasan waktu yang diberikan oleh Guru.”

Sekali lagi Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Hampir saja terloncat dari bibirnya, apa yang sebenarnya ada pada Agung Sedayu. Tetapi Kiai Gringsing menjadi cemas, bahwa justru dengan demikian Swandaru sendiri ingin menjajagi kemampuan Agung Sedayu itu. Jika terjadi demikian, maka terbayang angan-angannya, apa yang telah terjadi atas murid-murid Kiai Jayaraga. Ki Tumenggung Prabadaru yang memusuhi ketiga saudara seperguruannya, yang mendorong ketiganya untuk kembali ke dunianya yang lama. Dunia yang kelam.

“Alangkah sedihnya melihat anak-anaknya saling bermusuhan,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya. Karena itu, maka niatnya itu pun diurungkannya.

“Biarlah ada kesempatan yang paling baik kelak untuk menyampaikan kepada Swandaru, siapa sebenarnya Agung Sedayu dalam dunia olah kanuragan.”

Demikianlah, Kiai Gringsing justru telah menganjurkan kepada Swandaru untuk semakin bersungguh-sungguh. Katanya, “Jika kau berhasil, maka aku pun berharap Agung Sedayu akan berhasil.”

“Mudah-mudahan, Guru,” jawab Swandaru, “aku pun berharap.”

Kiai Gringsing tidak menyahut. Tetapi ia telah berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya sebagai seorang guru dari dua orang anak muda yang telah tumbuh dengan pesatnya.

Dalam pada itu, Kiai Jayaraga ternyata merasa semakin kesepian di Kademangan Sangkal Putung. Meskipun kadang-kadang ia ikut juga berada di dalam sanggar bersama Swandaru dan Kiai Gringsing, tetapi pada dasarnya ia merasa sendiri.

Untuk menghilangkan kesepiannya, kadang-kadang Kiai Jayaraga telah berada di serambi, menunggui dua orang pengawal Ki Saudagar yang masih belum sembuh benar dari luka-lukanya. Berbicara dengan mereka tentang banyak hal yang kadang-kadang sekedar untuk menghilangkan kejemuan saja.

Namun Kiai Gringsing selalu memperingatkan, jangan tergoda untuk memberikan ilmu setitik pun kepada kedua orang itu sebelum Kiai Jayaraga tahu pasti, bahwa keduanya tidak akan mengecewakannya seperti murid-muridnya yang terdahulu.

Kiai Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku pernah tinggal di tengah-tengah hutan tanpa orang lain kecuali muridku yang terbunuh di Tanah Perdikan Menoreh itu. Tetapi aku tidak pernah merasa sendiri, justru di tengah-tengah banyak orang seperti sekarang ini.”

“Bukankah sudah aku katakan,” berkata Kiai Gringsing, “pergilah, ke Tanah Perdikan Menoreh. Kau akan mendapatkan kesibukan baru yang membuatmu tidak merasa kesepian seperti sekarang ini.”

“Ya,” Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Tetapi ia pun bertanya, “Kapan Kiai sendiri akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh?”

“Kau jangan terikat kepadaku. Dan kau jangan merajuk seperti itu. Dahulu aku memang berprasangka. Tetapi bukankah itu wajar? Cobalah mengenangkan peristiwa itu. Dan katakan, apakah sikapku waktu itu berlebihan?” sahut Kiai Gringsing.

Kiai Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Baiklah Kiai. Aku akan mendahului pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi sebenarnya bukan hanya kau sajalah yang telah menghambatku. Aku juga berpikir tentang Agung Sedayu. Apakah ia dapat mempercayaiku. Juga Ki Waskita dan Ki Gede. Jika mereka bersikap dingin terhadapku, apakah itu bukan berarti bahwa aku hanya sekedar berpindah tempat dalam kesepianku? Dan apakah hal itu tidak akan mendorongku untuk kembali tinggal di hutan tidak berpenghuni? Di sini mungkin kau mendapatkan satu keyakinan untuk mempercayaiku. Tetapi orang-orang di Tanah Perdikan Menoreh mungkin masih bersikap sama terhadapku seperti saat aku meninggalkan Tanah Perdikan itu.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. la pun dapat mengerti perasaan itu. Karena itu, maka katanya “Jika demikian, terserahlah kepadamu. Mungkin kau memang perlu menunggu aku. Sementara itu, kau akan dapat mengisi waktumu dengan kerja di sawah atau di ladang sebagaimana kebiasaan orang-orang Sangkal Putung. Kebiasaanmu menyendiri itulah yang membuatmu kesepian, justru di tempat yang ramai. Tetapi jika kau mencoba dan mencoba, akhirnya kau akan menemukan satu kebiasaan lain daripada hidup dalam kesepian itu.”

Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah Kiai. Aku akan melihat kemungkinan yang paling baik. Untuk sementara biarlah aku berusaha menyesuaikan diri, jika aku mampu.”

Kiai Gringsing mengangguk. Katanya, “Kau mempunyai kesempatan itu.”

Dengan demikian, maka di hari-hari berikutnya, Kiai Jayaraga benar-benar berusaha untuk menyesuaikan dirinya dengan kehidupan orang-orang Sangkal Putung. Bahkan pada saat-saat Kiai Gringsing sibuk dengan Swandaru di sanggar, Kiai Jayaraga kadang-kadang berada di sawah atau di ladang, bersama para pembantu Ki Demang.

“Kiai aneh,” berkata salah seorang pembantu Ki Demang, “sebaiknya Kiai tetap saja duduk di Kademangan sambil mendengarkan burung perkutut dan minum air sere dengan gula kelapa.”

Kiai Jayaraga tersenyum. Katanya “Ternyata hidup dengan cara seperti ini adalah sangat menyenangkan. Kerja adalah sesuatu yang bukan saja menghasilkan, tetapi memberikan kepuasan tersendiri. Jika sawah kita berhasil, maka kita mendapatkan hasil ganda. Keuntungan kebendaan dan kepuasan batin atas keberhasilan itu.”

“Ya,” jawab salah seorang pembantu Ki Demang, “tetapi kerja kasar adalah tugas kami yang hanya mampu menjual tenaga. Bukankah berbeda dengan Kiai yang memiliki banyak kemampuan?”

“Aku pun hanya mampu menjual tenaga seperti kalian, karena aku sejak semula tidak pernah berusaha untuk bersawah. Baru sekarang aku merasa betapa aku menyesal,” jawab Kiai Jayaraga.

Para pembantu Ki Demang pun mengangguk-angguk. Sikap Kiai Jayaraga memang sangat meyakinkan bahwa ia memang ingin berbuat sesuatu sebagaimana dilakukan oleh orang-orang kebanyakan.

Namun dalam pada itu, hatinya masih selalu tergelitik oleh satu keinginan untuk berbuat sesuatu di dalam dunia kanuragan. Hampir di luar sadarnya, bahwa sasarannya yang kemudian adalah Pandan Wangi. Kiai Jayaraga sendiri tidak dengan sengaja melakukannya. Tetapi setiap kali ia berbicara dengan Pandan Wangi di mana pun juga, kadang-kadang di tempat Pandan Wangi menumbuk padi, kadang-kadang di pendapa, atau di tangga serambi, atau bahkan di luar sanggar, selagi Swandaru dan Kiai Gringsing berada di dalamnya, maka yang disebut-sebutnya adalah kemampuan yang sudah dimiliki oleh Pandan Wangi yang akan dapat menjadi alas peningkatannya lebih jauh.

“Kau mempunyai kesempatan yang sama dengan Swandaru,” berkata Kiai Jayaraga, “bukan maksudku untuk membuatmu menyaingi kemampuan Swandaru, tetapi dengan kemampuanmu kau akan dapat membantu tugas-tugasnya. Bahkan dalam kesulitan seperti yang kau alami di tepian, maka kau akan dapat mengatasinya sendiri.”

“Aku sudah berusaha Kiai,” jawab Pandan Wangi.

“Kau memang telah berusaha,” berkata Kiai Jayaraga, “tetapi untuk memberikan tekanan atas usahamu itu, maka kau dapat menempuhnya dengan laku.”

“Laku?” ulang Pandan Wangi.

“Ya. Selama ini kau belum mencobanya,” berkata Kiai Jayaraga. “Misalnya, kau harus mengurangi makan makanan pokokmu sehari-hari.”

Pandan Wangi mengangguk-angguk. Namun kemudian dengan nada rendah ia berkata, “Apakah latihan-latihan, pemusatan nalar budi dan kerja keras yang selama ini aku lakukan dalam peningkatan kemampuanku, bukannya satu laku?”

“Benar,” jawab Kiai Jayaraga, “tetapi selama ini, kau belum pernah melakukannya dengan bersungguh-sungguh. Pandan Wangi, cobalah memperhitungkan hasil kerjamu selama ini. Segalanya seakan-akan kau lakukan sambil lalu. Hanya dalam waktu senggang. Meskipun bukan berarti bahwa dalam waktu senggang itu kau tidak dapat melakukannya dengan bersungguh-sungguh.”

“Jadi, apa yang harus kau lakukan?” bertanya Pandan Wangi.

“Pandan Wangi, memang sulit bagimu untuk dapat melaksanakan. Soalnya Swandaru mempunyai sikap yang berbeda dengan laku yang kau katakan. Swandaru meningkatkan kemampuannya dengan cara yang wantah dan lebih condong pada penggarapan ujud kewadagan, meskipun bukan berarti tidak merambah ke kedalaman sama sekali. Namun titik berat garapannya adalah pada yang nampak di hadapannya,” jawab Kiai Jayaraga. “Ia mampu meningkatkan kekuatan tubuhnya dan tenaga cadangan yang mungkin diungkapkannya berlipat. Ia menjadi sangat trampil mempermainkan cambuknya, dan bahkan kekuatannya yang tersalur pada ujung cambuknya itu benar-benar nggegirisi. Bahkan mungkin akan mampu menembus perisai ilmu kebal yang masih belum masak dan sampai ke puncak kemampuan. Ia pun mampu meningkatkan kecepatan geraknya, sehingga tubuhnya yang gemuk itu seakan-akan telah kehilangan bobotnya.”

“Jadi apa yang kurang?” bertanya Pandan Wangi.

“Tetapi Swandaru tidak memiliki kemampuan untuk melepaskan serangan dari jarak tertentu, meskipun hanya setapak tangan sekali pun. Sementara itu, dalam kesungguhanmu mendalami ilmumu, maka kau telah sampai pada satu daerah, yang boleh dikatakan tersesat, ke kedalaman untuk menyadap tenaga selain dari dalam dirimu, sendiri juga yang ada di sekitarmu,” berkata Kiai Jayaraga. “Kenapa Kiai menganggap bahwa aku telah tersesat?” bertanya Pandan Wangi.

“Bukan dalam pengertian yang tidak baik. Bukankah semula kau tidak menyadari, bahwa kemampuan itu datang kepadamu, seperti yang kau katakan? Bukankah kau menjadi bimbang ketika kau mulai melihat gejalanya?” bertanya Kiai Jayaraga pula.

“Ya, Kiai. Agaknya memang demikian,” jawab Pandan Wangi.

“Nah, jika demikian, maka segalanya yang pernah kau lakukan adalah semacam kerja sambilan saja. Sekali lagi aku katakan, bahwa kau tentu akan mengalami kesulitan jika kau ingin bersungguh-sungguh, karena kau seorang istri. Apalagi suamimu tidak sependapat dengan laku yang sebaiknya kau tempuh,” berkata Kiai Jayaraga.

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Namun yang dikatakan oleh Kiai Jayaraga itu selalu dipikirkannya. Bahkan dari hari ke hari keinginan itu terasa justru semakin mendesaknya, sehingga Pandan Wangi bagaikan terbelenggu oleh satu pikiran yang tidak dapat dilakukannya dan bahkan dikatakan pun tidak kepada suaminya.

Namun oleh kegelisahan itu, maka pada suatu saat, ketika Pandan Wangi dan Kiai Jayaraga berada di depan sanggar yang tertutup karena Kiai Gringsing dan Swandaru sedang berada di dalamnya, menjelang matahari menyusup di balik bukit, maka Pandan Wangi pun telah bertanya, “Kiai, laku apakah sebenarnya yang harus aku lakukan jika aku memang ingin bersungguh-sungguh?”

Kiai Jayaraga mengerutkan keningnya. Namun kemudian sambil tersenyum ia berkata, “Sudahlah. Lakukan saja seperti yang selalu kau lakukan sekarang di waktu senggang, bukan saja dari pekerjaanmu sebagai seorang istri, tetapi juga jika sanggarmu tidak sedang dipergunakan oleh suamimu, maka kau dapat memperdalam latihan-latihan yang sudah kau lakukan sebelumnya.”

“Aku mengerti Kiai,” jawab Pandan Wangi, “karena aku adalah seorang istri, maka aku terikat oleh tugas-tugasku sebagai seorang istri. Tetapi aku ingin mengetahui, laku apakah yang sebaiknya aku lakukan untuk memperdalam ilmuku dengan sungguh-sungguh. Sudah tentu dengan satu pengertian, bahwa aku tidak akan melakukannya jika hal itu tidak sesuai dengan kedudukanku sebagai seorang istri.”

Kiai Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Ada keragu-raguan di dalam hatinya. Namun akhirnya ia berkata, “Pandan Wangi. Jika aku mengatakan, itu hanya sekedar contoh dari sekian banyak laku yang dapat kau jalani. Sudah tentu berbeda dengan cara aku mengatakannya kepada murid-muridku. Kepada murid-muridku aku menentukan cara yang paling tepat bagi mereka. Mereka harus tunduk. Berat atau ringan, aku tidak pernah mempersoalkan. Yang penting, mereka dapat melakukannya, sehingga akhirnya mereka dapat mencapai satu tataran ilmu sebagaimana aku kehendaki. Tetapi kau bukan muridku. Aku tidak akan dapat mengatakan sesuatu yang harus kau lakukan. Apalagi tanpa aku, kau sudah mulai, meskipun semula hal itu kurang kau sadari sendiri.”

“Benar Kiai,” jawab Pandan Wangi, “karena itu, Kiai hanya aku mohon untuk mengatakannya. Segala sesuatu tergantung kepadaku sendirii. Tidak kepada Kiai. Memang tidak ada ikatan antara aku dan Kiai sebagaimana guru dan murid.”

Kiai Jayaraga termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Pandan Wangi. Baiklah aku akan mengatakan salah satu laku yang dapat kau tempuh. Mungkin yang aku katakan ini tidak begitu sesuai menurut tinjauan nalarmu. Tetapi tentu ada laku lain yang lebih baik dari yang dapat aku katakan kepadamu itu.”

“Apa yang Kiai maksudkan?” bertanya Pandan Wangi.

“Seperti sudah aku katakan. Satu saja di antara seribu laku yang memungkinkan,” jawab Kiai Jayaraga.

Pandan Wangi mengangguk-angguk. Katanya, “Katakan Kiai. Segalanya akan tergantung kepada keadaan.”

Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Salah satu dari banyak laku itu adalah mengurangi makan sebagaimana selalu kau makan setiap hari, seperti yang sudah aku katakan. Kau dapat menentukan jangka waktu tertentu, sesuai dengan niat di dalam hatimu.”

Pandan Wangi mendengarkan keterangan Kiai Jayaraga itu dengan sungguh-sungguh. Dalam pada itu, Kiai Jayaraga pun berkata selanjutnya, “Sementara itu, kau dengan segenap hati mohon kepada Yang Menitahkan Bumi Dan Langit, agar menolongmu untuk melaksanakan satu usaha yang ingin kau lakukan itu. Namun dalam olah kanuragan, kau tidak dapat sekedar melakukan hal seperti itu. Tetapi kau pun harus berada dalam sanggar. Sambil memusatkan nalar budi dalam laku yang kau tempuh, serta permohonan yang tulus dan percaya, maka kau akan meningkatkan ilmumu setapak demi setapak. Sehingga akhirnya pada akhir jangka waktumu, kau akan berpacu antara kesungguhan hatimu, dengan yang menentukan, apakah permohonanmu untuk mencapai sesuatu itu di perkenankan. Jika di perkenankan, maka pada saat-saat kau menutup laku yang kau tempuh itu, pertanda dikabulkannya permohonanmu itu, sebagian kecil, sebagian besar atau bahkan seluruhnya tentu sudah akan nampak. Namun kau tidak akan berbuat sesuatu yang berada di luar lingkaran kemurahannya. Kau tidak dapat menyadap kekuatan bukan yang memang dilimpahkan bagimu. Jika kau menyebut isi alam ini dalam kewajarannya, maka hal itu memang disediakan bagi kita semuanya.”

“Apakah yang Kiai maksudkan dengan kekuatan di luar lingkaran kewajaran itu?”

Berkata Kiai Jayaraga, “Di dalam alam ini ada kekuatan yang disebut kekuatan putih dan sebaliknya ada kekuatan hitam. Kau tentu sudah mendengarnya. Dan kau pun tentu sudah memakluminya, bahwa kekuatan di luar kewajaran alam yang dikurniakan kepada kita adalah kekuatan hitam. Namun jangan salah menilai. Ada semacam kekuatan yang sebenarnya adalah kekuatan putih, namun dalam jantung pemilik kekuatan itu bersemayam iblis yang telah menguasai dirinya, sehingga kekuatan putih itu pun kemudian dipergunakan untuk kepentingan yang bertentangan dengan kasih sumbernya. Sehingga dengan demikian, maka kekuatan itu pun akan menjadi kekuatan hitam pula.”

Pandang Wangi mengangguk-angguk. Ia memang sudah mendengar tentang hal seperti yang dikatakan oleh Kiai Jayaraga itu. Ayahnya yang juga sebagai gurunya pernah mengatakannya seperti itu juga. Namun tentang laku yang dapat ditempuhnya, Pandan Wangi masih mengenalinya sebagai sesuatu yang harus dipelajari. Ia memang pernah mendengar Pangeran Benawa, Senapati ing Ngalaga di Mataram, dan orang-orang yang memiliki kemampuan yang seakan-akan tidak terbatas itu telah memperdalam ilmunya dengan laku. Bahkan ia pun pernah mendengar tentang kekuatan yang mencapai puncaknya pada saat bulan purnama., Atau kekuatan-kekuatan lain yang wajar dan tidak wajar.

Namun dalam pada itu, Jayaraga pun berkata, “Tetapi jangan terlalu kau renungi. Kau sendiri sudah mengatakannya, bahwa jika ada yang sesuai dapat kau lakukan, jika tidak, apaboleh buat. Sebenarnyalah bahwa laku itu adalah hanya penekanan niat yang tumbuh di dalam hati, dan yang dengan sungguh-sungguh dilakukan satu usaha untuk mencapainya dalam pasrah.”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Petunjuk itu sangat berharga baginya. Rasa-rasanya ia tiba-tiba saja telah berdiri di ujung sebuah jalan yang sangat panjang. Ia mengenali jalan itu dan arah yang dituju. Tetapi ia tidak tahu dengan pasti, apakah ia akan dapat turun ke jalan itu dan menempuh satu perjalanan sampai ke ujung.

“Segalanya tergantung pada keadaan” berkata Pandan Wangi di dalam hatinya.

Hampir di luar sadarnya ia pun telah memandang pintu sanggarnya. Pintu yang jarang-jarang terbuka. Namun yang pada saat-saat terakhir, suaminya menjadi semakin tekun. Sudah beberapa lama, Swandaru lebih banyak berada di sanggarnya daripada berada di padukuhan-padukuhan dan gardu-gardu. Meskipun Swandaru tidak melupakan tugas-tugasnya, tetapi ia menjadi lebih tekun berada di dalam sanggar.

Namun dalam pada itu, Pandan Wangi berkata di dalam hatinya, “Tetapi yang lebih mendekati pencapaian tingkat ilmu yang dikehendaki memerlukan laku yang jauh lebih berat. Berendam di dalam air sampai tiga hari tiga malam. Mengurung diri dalam satu goa untuk waktu yang cukup lama sambil memperdalam ilmunya. Atau berada di tempat terpisah dari kesibukan duniawi, menekuni ilmu yang ingin dicapainya. Namun kesemuanya dengan menerawang ke dalam kekuatan yang disadapnya.

Selebihnya, segala sesuatu memang kurnia semata-mata. Betapapun seseorang mengusahakan, jika Yang Menitahkan Bumi Dan Langit tidak memperkenankan, maka semuanya akan gagal. Tetapi pada saatnya kurnia itu datang, maka Pandan Wangi telah tersesat menyentuh gejala ilmu yang belum dikenal sebelumnya, tanpa dimohonnya.

Tetapi seperti yang dikatakannya, jika ada yang dapat dilakukannya, maka hal itu akan dilakukannya. Jika tidak, maka biarlah tidak, karena ia akan tetap berbangga jika suaminya kelak memiliki ilmu yang tiada taranya.

Demikianlah, Swandaru sendiri memang mengalami satu kemajuan yang pesat. Dengan sepenuh hati ia berusaha meningkatkan kekuatannya yang sudah sulit untuk dicari bandingnya. Ungkapan kekuatan cadangannya yang bagaikan tanpa tanding. Sementara itu, kakinya menjadi semakin cekatan meloncat-loncat seakan-akan tubuhnya yang gemuk itu tidak memiliki bobot lagi.

Dalam pada itu, maka dari hari kehari, waktu pun merayap terus. Kiai Jayaraga ternyata masih juga belum meninggalkan Sangkal Putung. Sementara dua orang pengawal Ki Saudagar yang sudah sembuh itu pun telah dilepaskannya kembali setelah keduanya sembuh benar.

Bagi keduanya, yang terjadi atasnya itu benar-benar, satu peristiwa yang tidak masuk akal. Keduanya sudah mengira, bahwa hukuman yang paling baik bagi mereka adalah hukuman mati. Namun orang-orang Yang berkuasa atas dirinya masih tetap membiarkannya hidup.

Namun agaknya kedua orang itu tidak beranjak jauh dari Sangkal Putung. Mungkin mereka justru takut kepada orang-orang lain yang bekerja bagi Ki Saudagar itu dengan sebenarnya.

Bahkan, kedua orang itu kadang-kadang masih datang ke rumah Ki Demang dan tinggal hampir sehari-harian.

Kiai Gringsing yang melihat sikap kedua orang itu pun menjadi heran. Kedua orang itu nampaknya mempunyai hubungan yang semakin rapat dengan Kiai Jayaraga.

Namun dalam pada itu, Kiai Jayaraga pun kemudian memanggil keduanya duduk berbicara bersama Kiai Gringsing.

“Kiai,” berkata Kiai Jayaraga, “aku merasa sangat kasihan kepada keduanya.”

“Kenapa?” bertanya Kiai Gringsing.

“Bertanyalah langsung kepada keduanya,” jawab Kiai Jayaraga.

Kiai Gringsing memandang keduanya berganti-ganti. Lalu ia pun bertanya, “Kenapa Kiai Jayaraga merasa sangat kasihan kepadamu? Bukankah kalian telah mendapat perlakukan yang sangat baik selama kalian berada di Sangkal Putung? Apalagi kalian telah mendapat kebebasan kalian setelah sembuh dari luka-luka kalian. Satu kesempatan yang sulit kau dapatkan di tempat lain.”

“Kami merasa sangat berterima kasih Kiai,” jawab salah seorang dari keduanya, “tetapi justru karena itu, kami merasa terikat oleh kademangan ini. Kami telah berhutang budi dan kami sebenarnyalah merasa takut kepada para pengikut Ki Saudagar yang kaya itu. Mungkin mereka justru mempunyai prasangka buruk terhadapku dan kemudian mereka berusaha untuk menangkap aku. Dengan demikian maka cara yang sudah aku kenal. Cara yang sangat mengerikan.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Tetapi ia pun kemudian bertanya, “Kenapa Ki Saudagar memerlukan orang-orang itu? Orang-orang yang menjadi pengikutnya dan melakukan apa yang diperintahkannya? Dan apakah kalian berdua juga menjadi garang sebagaimana kau katakan jika kalian berada di antara kawan-kawan kalian?”

“Ya, Kiai. Kami memang menjadi buas,” jawab salah seorang dari keduanya, “tetapi Ki Saudagar memang menghendaki demikian.”

“Apakah sebenarnya yang diperdagangkan Ki Saudagar?” bertanya Kiai Jayaraga.

“Nampaknya Ki Saudagar adalah saudagar yang berdagang ternak. Tetapi sebenarnya ia sering mengelabuhi langganannya, bahkan kadang-kadang menipu dan merampas. Ia memang seorang yang kaya raya. Dan yang membuatnya sangat kaya adalah, bahwa ia memperdagangkan alat-alat untuk mendapatkan kekayaan.” jawab salah seorang dari mereka.

“Apakah yang dimaksud dengan alat alat untuk mencari kekayaan itu?” bertanya Kiai Gringsing.

“Beberapa jenis jimat yang dapat membuat pemiliknya menjadi kaya. Kepala orang yang mati pada hari-hari tertentu. Tulang belulang, dan benda benda lain,” jawab salah seorang dari bekas pengawalnya itu.

Kiai Gringsing dan Ki Jayaraga mengangguk-angguk. Memang mendebarkan sekali. Yang paling mengerikan adalah, bahwa Ki Saudagar itu telah memperdagangkan kepala orang yang mati pada hari-hari tertentu.

“Apakah Ki Saudagar selalu mendapatkan kepala orang yang mati pada hari-hari tertentu itu?” tiba tiba saja Kiai Jayaraga bertanya.

“Tentu tidak. Kepala siapa saja dipenggalnya dan dijualnya setelah dijadikan tengkorak. Ia tidak peduli apakah pemiliknya akan menjadi kaya atau tidak,”jawab salah seorang dari keduanya. “Tetapi yang mengherankan, ada saja orang yang mempercayainya, bahwa barang barang yang dijual Ki Saudagar itu dapat membuat seseorang kaya raya. Dan yang paling gila adalah bahwa diri Ki Saudagar sendiri dijadikannya sebagai contoh. Disebutnya bahwa barang-barang yang dijualnya itulah yang membuatnya menjadi kaya. Dan orang yang membeli itu percaya saja, sehingga telah membelinya dengan harga yang sangat tinggi. Mereka sama sekali tidak berpikir, bahwa Ki Saudagar menjadi kaya raya bukan karena benda-benda yang dikeramatkannya itu, tetapi justru karena kebodohan orang-orang yang mempercayainya itu sendiri.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam dalam. Ternyata bahwa pekerjaannya sebagai seorang saudagar itu adalah sekedar untuk menutupi noda-noda yang ada pada dirinya. Di balik usaha dagangnya, ternyata Ki Saudagar adalah seorang penipu dan bahkan pembunuh.

Sementara itu, Kiai Gringsing pun telah bertanya pula, “Jadi, bagaimana dengan niatmu sendiri?” Keduanya termangu-mangu. Baru sejenak kemudian salah seorang dari mereka menjawab, “Kiai, apabila Kiai mengijinkan, apakah kami berdua boleh tinggal di sini? Kami akan bersedia untuk bekerja apa saja. Di sini kami akan menemukan satu kehidupan sebagaimana orang hidup sewajarnya. Makan dari hasil kerja. Mungkin diperlukan orang untuk bekerja di sawah atau pekerjaan-pekerjaan lain yang mungkin dapat kami lakukan.” 

Kiai Gringsing termangu-mangu. Kedua orang itu bukan orang kebanyakan. Keduanya memiliki ilmu kanuragan meskipun tidak setinggi Ki Saudagar itu sendiri. Ilmu yang mereka miliki itu mungkin dapat dimanfaatkan. Tetapi mungkin akan dapat mengganggu.

Karena itu, maka Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga tidak dapat mengambil keputusan. Semuanya akan tergantung kepada Swandaru. Namun keduanya meragukan, apakah Swandaru akan dapat menerima mereka.

Sebenarnyalah ketika hal itu disampaikan kepada Swandaru, dengan serta merta ia berkata “Mana mungkin guru. Kedua orang itu telah melakukan kesalahan yang besar terhadap Sangkal Putung. Bahkan keduanya pantas dihukum mati. Jika mereka mendapat kesempatan yang terlalu baik, maka orang-orang Sangkal Putung sendiri tidak akan mentaati paugeran. Setiap orang yang bersalah, yang mengaku bertobat, akan mendapat tempat. Apakah itu adil? Mungkin atas dasar pertimbangan tertentu hal itu dapat dimengerti. Tetapi tidak semua orang Sangkal Putung akan dapat mengerti.”

Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Tetapi mereka memang tidak terlalu terkejut akan hal itu. Memang kedudukan Swandaru sebagai pemimpin di Kademangan Sangkal Putung jauh berbeda dengan kedudukan seorang pemimpin dari sebuah padepokan.

Dalam pada itu, maka Swandaru pun berkata pula, “Guru. Aku pun mohon pengertian dari Guru dan Kiai Jayaraga. Kita dapat saja menjadi seorang pengampun. Tetapi kita tidak dapat meninggalkan langkah-langkah yang dianggap adil.”

Kiai Gringsing masih mengangguk-angguk. Katanya, “Aku mengerti Swandaru. Memang kedudukanmu lain dengan kedudukanku atau Kiai Jayaraga. Aku dan Kiai Jayaraga lebih bebas menentukan sikap. Tetapi sikapmu harus kau pertanggung jawabkan terhadap rakyat Kademangan Sangkal Putung.”

“Agaknya memang demikian Guru,” jawab Swandaru.

“Baiklah. Jika demikian, biarlah aku mengambil sikap lain. Aku mengerti keberatanmu. Tetapi aku juga mengerti perasaan kedua orang yang selalu dibayangi oleh kecemasan, bahwa pada suatu saat akan datang kawan kawan atau mungkin saudara seperguruan Ki Saudagar untuk membunuh keduanya. Jika mereka tidak dapat melepaskan dendamnya kepada sasaran yang dikehendaki, maka mereka akan berbuat terhadap siapa saja yang dapat mereka jadikan sasaran, sekedar melepaskan luapan dendam yang tidak dapat mereka lakukan,” berkata Kiai Gringsing.

“Jadi apa yang akan Guru lakukan?” bertanya Swandaru.

“Biarlah keduanya mengikuti Kiai Jayaraga ke Tanah Perdikan Menoreh kelak pada saatnya,” berkata Kiai Gringsing.

Swandaru mengerutkan keningnya. Dengan cemas ia bertanya, “Apakah Guru tidak memikirkan keadaan Kakang Agung Sedayu?”

“Maksudmu?” bertanya Kiai Gringsing.

“Kedua orang itu akan dapat melepaskan dendamnya di Tanah Perdikan Menoreh. Di sini keduanya tidak dapat mengalahkan aku. Tetapi apakah Guru yakin, bahwa Kakang Agung Sedayu akan dapat melindungi dirinya sendiri terhadap kedua orang itu?” bertanya Swandaru.

“Ah,” desah Kiai Gringsing, “bukankah keduanya bukan termasuk orang yang berbahaya? Ingat, Agung Sedayu pernah mengalahkan Ki Tumenggung Prabadaru.”

“Ya, ya,” Swandaru mengangguk-angguk, “aku mengerti. Kedua pengikut Ki Saudagar itu memang tidak berarti,” jawab Swandaru. Hampir di luar sadarnya, Swandaru pun telah berpaling kepada Kiai Jayaraga. Hanya sekejap, tanpa disadari oleh Kiai Jayaraga sendiri. Tetapi yang sekejap itu tertangkap pada penglihatan Kiai Gringsing. Sehingga dengan demikian maka Kiai Gringsing pun mengetahui, bahwa yang dicemaskan oleh Swandaru bukannya kedua orang itu. Tetapi adalah Kiai Jayaraga. Guru Ki Tumenggung Prabadaru itu. Karena pada saat-saat terakhir, Kiai Jayaraga itu nampaknya terlalu akrab dengan kedua orang pengikut Ki Saudagar itu. Mungkin kedua orang itu mampu mempengaruhi, sehingga Kiai Jayaraga yang sudah hampir melupakan segala peristiwa yang terjadi, akan terungkit lagi hatinya. Sehingga orang tua itu akan dapat mengambil langkah-langkah yang menyulitkan Agung Sedayu. Mungkin tidak dengan tangannya sendiri, tetapi dengan mempergunakan kedua orang itu.

Tetapi Kiai Gringsing benar-benar telah mempercayai Kiai Jayaraga. Karena itu, maka Kiai Gringsing tidak mencemaskannya lagi. Apalagi di Tanah Perdikan Menoreh ada Ki Waskita. Sekar Mirah dan Ki Gede. Bersama-sama, maka mereka akan dapat menghadapi Kiai Jayaraga seandainya orang itu akan melakukan satu langkah yang kurang baik atas Agung Sedayu. Sementara itu, ilmu Agung Sedayu sendiri sudah menjadi semakin meningkat, sehingga ia akan dapat berusaha untuk melindungi dirinya sendiri.

Dalam pada itu, maka agaknya Swandaru tidak mempunyai alasan apa pun lagi untuk menolak kedua orang itu ikut pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Namun demikian ia masih berharap, bahwa Kiai Jayaraga tidak akan mendahului gurunya pergi ke Tanah Perdikan itu. Jika waktu yang diberikan kepada Swandaru sudah selesai, maka Swandaru tidak berkeberatan, justru berharap, bahwa gurunya pun akan pergi ke Tanah Perdikan pula untuk memberikan kitab dan sekaligus memberikan bimbingan kepada Agung Sedayu.

“Tanpa bimbingan guru, Kakang Agung Sedayu tidak akan mencapai hasil yang diharapkan,” berkata Swandaru di dalam hatinya.

Agaknya pada kesempatan lain, tanpa dihadiri oleh Kiai Jayaraga, hal itu telah dikemukakan kepada Kiai Gringsing.

Kiai Gringsing mengangguk-angguk dengan penuh pengertian. Bukan saja mengerti akan maksud Swandaru, tetapi juga satu pengertian tentang penilaian Swandaru atas Agung Sedayu yang masih saja keliru.

Namun seperti yang sudah terjadi, Kiai Gringsing tidak segera dapat memberikan pengertian yang segera diperlukan oleh Swandaru, karena Kiai Gringsing mencemaskan bahwa justru karena itu Swandaru ingin menjajagi kemampuan Agung Sedayu.

Karena itu, maka kegelisahan pun telah mencengkam jantung Kiai Gringsing semakin dalam. Namun ia berusaha untuk menguasainya.

“Pada saatnya aku harus memberitahukan kepada Swandaru keadaan yang sebenarnya, atau memberinya kesempatan menyaksikan kemampuan Agung Sedayu itu secara langsung,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya. Dengan menyesal ia berkata kepada diri sendiri, “Adalah kebetulan sekali, bahwa pada saat-saat yang gawat, yang dengan demikian Agung Sedayu harus mengerahkan segenap kemampuannya, Swandaru tidak dapat menyaksikannya, sehingga Swandaru tidak mempunyai penilaian yang benar terhadap Agung Sedayu.”

Kiai Gringsing pun merasa gelisah pula, bahwa pada suatu saat ia dianggap bersalah oleh Swandaru, seakan akan dengan sembunyi-sembunyi ia memberikan kesempatan lebih baik bagi Agung Sedayu.

Karena itulah, maka persoalan itu menjadi perhatian yang sungguh-sungguh bagi Kiai Gringsing, untuk pada suatu saat ditemukan satu pemecahan yang tidak mengganggu segala pihak.

Dalam pada itu, maka Swandaru pun masih saja dengan sangat tekun memperdalam ilmunya sesuai dengan petunjuk gurunya.

Sehingga dengan demikian, maka kemampuan Swandaru pun telah menjadi semakin meningkat. Kekuatannya menjadi semakin berlipat, ketrampilannya mempermainkan cambuknya pun menjadi semakin nggegirisi, sementara kecepatannya bergerak menjadi semakin mengagumkan, sehingga tubuhnya yang gemuk itu seakan akan tidak mempunyai bobot.

Dalam pada itu, selagi Swandaru tenggelam kedalam peningkatan ilmunya, maka Pandan Wangi pun telah menekuni kemampuannya pula. Ia tidak mau mengganggu suaminya, sehingga karena itu, maka Pandan Wangi tidak minta untuk dapat mempergunakan sanggar secara khusus. Hanya jika Swandaru tidak mempergunakan, dan ia mempunyai waktu senggang, maka ia pun telah berada di dalam sanggar. Terutama pada saat-saat Swandaru sedang menunaikan tugasnya bagi kademangannya di padukuhan-padukuhan.

Namun dalam pada itu, Pandan Wangi telah mencoba untuk melakukan usahanya dengan laku yang dapat memperdalam usahanya itu menempa diri. Pandan Wangi pada hari-hari pertama telah mengurangi makan nasi. Ia dengan sengaja dan sadar, mempergunakan jenis makanan lain untuk mengganti nasi sebagai makanan pokoknya. Mula-mula ia mempergunakan krowodan dan buah-buahan. Namun semakin lama menjadi semakin sedikit. Ia mulai makan boros dedaunan serta akar-akaran.

Swandaru bukannya tidak memperhatikan perubahan itu. Ketika mereka makan bersama, maka Swandaru langsung menebak, “Kau berusaha memperdalam ilmumu dengan cara yang cengeng itu?”

Pandan Wangi menundukkan kepalanya. Tetapi ia menjawab, “Aku tidak mempunyai kemampuan tenaga sebagaimana Kakang Swandaru. Aku mencoba mengembangkan cara lain yang dapat membantuku, meskipun tidak akan banyak berarti.”

Swandaru mengangguk-angguk. Katanya, “Terserahlah kepadamu. Tetapi kau jangan menyiksa wadagmu. Makan dan minum justru memberikan kekuatan kepada tubuhmu. Betapa pun tinggi ilmu seseorang, jika keadaan tubuhnya lemah, maka kemampuannya itu pun akan terganggu. Bukankah kita bersama-sama menyaksikan, bahwa Kanjeng Sultan Hadiwijaya yang memiliki ilmu tidak terlawan itu, pada saat wadagnya sakit, tidak banyak yang dapat dilakukan di Prambanan?”

Pandan Wangi mengangguk. Tetapi ia masih menjawab, “Aku masih tetap memperhatikan wadagku Kakang. Aku bukannya tidak makan. Tetapi aku hanya menukar jenis makananku. Bukankah boros laos, kencur dan jejampian yang lain akan memberikan manfaat bagi tubuh kita. Akar-akaran yang tidak kalah nilainya bagi tubuh dengan beras, dan buah-buahan yang memberikan kesegaran.”

“Jika hal itu sudah kau kehendaki, maka hal itu tidak akan mengganggumu. Aku sependapat. Namun aku kurang memahami gunanya. Meskipun demikian, kau dapat mencobanya untuk satu waktu,” berkata Swandaru kemudian.

Pandan Wangi merasa bersyukur. Meskipun suaminya tidak membantunya, tetapi ia tidak melarangnya. Karena itu, maka ia pun telah meneruskan laku yang telah dimulainya. Bahkan semakin lama ia menjalani laku yang semakin berat.. Di malam hari Pandan Wangi telah keluar dan turun ke halaman. Diamatinya bintang di langit, seakan-akan bintang itu telah dihitungnya. Ia berjalan mengelilingi rumahnya dengan tidak mengenal lelah. Sejak tengah malam, sampai ayam jantan berkokok di pagi hari.

Para peronda mula-mula merasa heran melihat sikap Pandan Wangi. Disangkanya ia sedang marah terhadap suaminya. Tetapi karena Pandan Wangi melakukannya hampir setiap malam, maka para peronda dan anak-anak muda Sangkal Putung mengetahui, bahwa yang dilakukan oleh Pandan Wangi adalah salah satu laku dari pendalaman ilmunya. Bahkan kemudian, di setiap tengah malam Pandan Wangi berada di pakiwan dan mandi dengan air dingin.

Swandaru yang baru menekuni ilmunya pula, tidak mencegah laku istrinya itu. Sebagaimana Pandan Wangi berusaha untuk mendorong Swandaru dalam menempa diri, maka Swandaru pun setidak-tidaknya tidak ingin menghambatnya.

Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga yang melihat kesungguhan Pandan Wangi pun menjadi kagum pula. Ternyata Pandan Wangi benar-benar pewaris darah Kepala Tanah Perdikan Menoreh yang tidak mengecewakan. Sebagaimana Ki Gede yang tidak jemu-jemunya menyesuaikan dirinya dengan perkembangan ilmu, meskipun tubuhnya telah menjadi cacat.

Ternyata bahwa usaha Pandan Wangi tidak sia-sia. Dalam kesungguhannya, maka ia telah memperdalam kemampuannya yang semula kurang dikenalnya. Lewat tengah malam, hampir, setiap malam, sebelum berjalan mengelilingi rumahnya, untuk beberapa saat, Pandan Wangi telah berada di halaman belakang yang sepi. Ia berusaha untuk lebih mengenali ilmunya sampai ke intinya. Kemudian mengungkapkannya dengan lebih mapan, sadar dan benar-benar terlontar dari dalam dirinya sesuai dengan keinginannya. Dengan demikian, maka ilmunya itu pun bukan saja menjadi semakin dahsyat, tetapi Pandan Wangi mampu menguasainya dan mengendalikannya sepenuhnya, karena ia telah dengan sadar memilikinya.

Dengan tidak diketahui oleh orang lain, maka Pandan Wangi telah meningkatkan ilmunya dalam segala unsurnya. Untuk menyesuaikan bentuk ilmunya, maka Pandan Wangi pun kemudian tidak lagi mempergunakan sanggar meskipun sanggar itu sedang kosong. Pukulan-pukulannya berjarak telah ditrapkannya dengan kendali yang mantap. Karena itu, maka setiap kali Pandan Wangi telah berlatih dengan pepohonan. Ia mampu mengguncang pepohonan dengan angin prahara tanpa menyentuhnya. Tetapi ia pun mampu mengelus batang-batang perdu dengan sentuhan bagaikan sentuhan angin semilir.

Ternyata laku yang telah dijalaninya, benar-benar memberikan pengaruh terhadap ilmunya. Pada saat yang termasuk pendek, maka peningkatan ilmunya telah dapat dilihat dengan jelas, sebagaimana peningkatan ilmu pada Swandaru.

Sementara itu, Kiai Jayaraga pun menjadi semakin kagum terhadap perempuan itu. Agaknya Pandan Wangi benar-benar telah memanfaatkan petunjuknya. Ia telah menjalani laku, sesuai dengan kedudukannya.

Tanpa meninggalkan tugas-tugasnya, tanpa meninggalkan kampung halaman dan tempat tinggalnya dan tanpa memberikan kesan perubahan apa pun juga dalam tata kehidupannya sehari-hari, Pandan Wangi benar-benar telah menjalani laku sebagai seorang yang mendalami olah kanuragan dengan sungguh-sungguh.

Karena itu, maka dari hari ke hari, kedua orang suami istri itu telah berhasil mengembangkan ilmu mereka dengan cara yang berbeda. Swandaru lebih banyak memperhatikan dan menggarap yang bersifat kewadagan. Tetapi bukan berarti bahwa Swandaru tidak menggarap laku batiniah. Sebaliknya Pandan Wangi lebih condong untuk mendalami ilmunya dengan caranya, meskipun Pandan Wangi pun tidak mengabaikan kemampuan dan kekuatan.

Dalam pada itu, selagi Sangkal Putung diwarnai oleh kegiatan Swandaru dan Pandan Wangi untuk meningkatkan kemampuannya, maka di Tanah Perdikan Menoreh, keadaannya hampir serupa. Agung Sedayu yang sudah menjadi pulih kembali, setiap hari meskipun hanya dalam waktu yang singkat, diperlukannya menilik tingkat ilmunya. Yang paling banyak memerlukan waktu untuk berada di dalam sanggar adalah justru Glagah Putih. Dengan sungguh-sungguh Glagah Putih mesu diri dalam olah kanuragan. Bukan saja mengandalkan kemampuan wadagnya, tetapi ia mempunyai perhatian sebagaimana Agung Sedayu. Jika malam hari ia pergi ke sungai sebagaimana masih saja dilakukan bersama pembantu rumahnya, maka kadang-kadang Glagah Putih sempat menyusuri sungai, meloncat dari batu ke batu, kemudian berendam dalam air yang dalam, sehingga kadang-kadang pembantu rumahnya itu tidak telaten dan mendahuluinya pulang.

Agung Sedayu melihat cara Glagah Putih mengembangkan ilmu yang diterima daripadanya, atas ilmu dalam jalur perguruan Ki Sadewa. namun yang telah saling melengkapi dengan ilmu dari jalur perguruan lain yang dikuasai oleh Agung Sedayu.

Dengan demikian, maka perkembangan ilmu Glagah Putih perlahan-lahan telah memasuki jalur perkembangan ilmu sebagaimana terjadi atas Agung Sedayu. Bahkan karena sifat pribadi yang berbeda pada langkah-langkah pertamanya. Glagah Putih memiliki ketegasan yang lebih pasti dari Agung Sedayu. Anak itu tidak terlalu banyak diganggu oleh keragu-raguan dan seribu macam pertimbangan. Meskipun atas petunjuk dan tuntunan Agung Sedayu, Glagah Putih agaknya telah terarah kepada tata cara, sikap dan pandangan hidup yang sesuai dengan keinginan Agung Sedayu.

Yang tidak kalah tekunnya dalam meningkatkan ilmunya adalah Sekar Mirah. Dengan bekal ilmu yang diterima dari Ki Sumangkar, maka Sekar Mirah adalah seorang perempuan yang luar biasa. Dalam saat-saat tertentu, Agung Sedayu telah meluangkan waktu untuk berlatih bersama dalam usahanya untuk meningkatkan ilmu Sekar Mirah. Namun seperti Swandaru, maka Sekar Mirah lebih berat pada peningkatan kemampuan kewadagan. Tetapi karena sekali-kali ia berada di dalam bimbingan Agung Sedayu, maka ia pun telah memasuki ke kedalaman ilmunya pula.

Dalam pada itu, ternyata waktu telah berjalan terus tanpa berhenti barang sesaat pun. Dari hari ke hari, baik di Sangkal Putung, maupun di Tanah Perdikan Menoreh, ilmu mereka yang dengan tekun berlatih itu telah semakin meningkat. Sehingga akhirnya waktu yang semula dijanjikan oleh Kiai Gringsing kepada Swandaru telah sampai pada akhirnya.

Dengan berat hati Swandaru menerima kenyataan itu meskipun sebenarnya ia masih ingin mempelajari beberapa bagian lagi. Namun Kiai Gringsing itu pun berkata, “Kesempatanmu tidak hanya kali ini Swandaru. Pada saat lain kau akan mendapat kesempatan lagi setelah Agung Sedayu. Demikian berturut-turut. Maksudku, agar kalian mendapat kesempatan yang adil dan bersama-sama meningkat.”

“Aku mengerti Guru,” jawab Swandaru.

“Karena itu, maka untuk sementara, selagi kitab ini ada pada Kakangmu Agung Sedayu, kau dapat memperdalam apa yang telah kau kuasai. Agaknya kau akan menjadi seorang anak muda yang memiliki ilmu yang luar biasa. Kekuatanmu tentu akan jarang mendapat tandingan,” berkata Kiai Gringsing.

“Baiklah Guru,” berkata Swandaru, “agaknya kakang Agung Sedayu juga sangat memerlukan kehadiran Guru. Selama itu aku akan dapat berlatih sendiri. Mungkin dengan Pandan Wangi pada tataran-tataran tertentu, yang akan dapat memberikan peningkatan kepada kedua belah pihak.”

“Ya,” Kiai Gringsing mengangguk-angguk, “kau dapat berlatih bersama istrimu, asal kalian berdua mencari kemungkinan dalam usaha saling menyesuaikan diri. Tidak mustahil bahwa ilmu dan kemampuan kalian akan saling mengisi dan bersama-sama akan semakin meningkat.”

Namun dalam pada itu, sebelum Kiai Gringsing benar-benar meninggalkan Sangkal Putung, telah terbetik satu berita yang menggelisahkan. Seseorang telah memberitahukan, bahwa telah didengar berita bahwa Senapati ing Ngalaga telah diwisuda, memegang kekuasaan mengganti Kanjeng Sultan Hadiwijaya.

“Benar katamu?” bertanya Swandaru kepada orang itu.

“Ya. Kami mendengar. Para ulama telah menyatakan dan melantik Raden Sutawijaya yang bergelar Panembahan Senapati di Mataram,” jawab orang itu.

“Tidak mungkin,” jawab Swandaru, ”mungkin itu baru rencana, atau semacam latihan wisuda. Jika benar wisuda itu dilakukan, kenapa Senapati ing Ngalaga tidak mengundang kami?”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Katanya, “Swandaru. Mungkin wisuda itu dilakukan dengan sederhana, sesuai dengan keadaan yang sedang kita jalani sekarang. Mereka masih belum meninggalkan masa berkabung atas wafatnya Kanjeng Sultan Hadiwijaya di Pajang, sehingga segala-galanya disesuaikan dengan keadaan itu. Bukankah saat wafatnya itu seolah-olah baru terjadi kemarin?”

“Tetapi Guru, tanpa aku, tanpa Kakang Agung Sedayu dan tanpa Guru sendiri, Mataram tidak akan mampu berbuat banyak. Pasukan Tanah Perdikan Menoreh, pasukan Sangkal Putung dan orang-orang berilmu tinggi itu, merupakan dukungan yang tidak dimiliki oleh Mataram sendiri.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ia mengakui kebenaran keterangan Swandaru. Tanpa pasukan dari Tanah Perdikan Menoreh, Sangkal Putung dan lain-lainnya, maka Mataram tentu akan banyak mengalami kesulitan. Tetapi bahwa Tanah Perdikan Menoreh, Sangkal Putung dan lain lainnya telah menentukan pilihan itu, bukan sekedar karena mereka adalah kawan-kawan Senapati ing Ngalaga.

Karena itu, maka Kiai Gringsing itu pun kemudian berkata, “Swandaru. Apa yang kita lakukan itu adalah karena satu keyakinan bahwa Mataram akan dapat mengangkat martabat kita di masa datang, sehingga keadaan kita akan menjadi lebih baik lahiriah dan batiniah. Bukankah tujuan itu yang harus kita pegang teguh untuk seterusnya? Jika kita tidak diundang dalam satu upacara wisuda, maka itu tidak akan menjadi persoalan bagi kita. Mungkin yang hadir dalam wisuda itu memang hanya beberapa orang kadang sentana saja. Sehingga dengan demikian, maka kita tidak dianggap perlu untuk diundang.”

“Guru,” jawab Swandaru, “yang penting bagi kita bukannya kesempatan untuk ikut bujana andrawina. Bagi kita, Sangkal Putung dan mungkin juga Tanah Perdikan Menoreh tidak akan kekurangan makanan jenis apa pun juga. Makanan yang paling enak yang dapat dibuat di Mataram akan dapat dibuat juga di Sangkal Putung. Tetapi yang penting bagiku adalah, bahwa setelah perang selesai, maka kita dengan begitu saja telah dilupakan. Kita menjadi tidak berarti sama sekali di hadapan Senapati ing Ngalaga.”

“Kau menanggapinya terlalu dalam,” berkata Kiai Gringsing, “tentu tidak akan ada maksud yang demikian. Seperti yang sudah aku katakan, bahwa wisuda itu tentu hanya dilakukan dengan sederhana. Hanya kadang sentana terdekat sajalah yang diundang untuk menghadirinya, menyaksikan dan mereka yang tua-tua, memberikan restunya dan yang muda mendoakannya.”

“Tetapi langkah ini sangat menyinggung perasaan. Berapa orang anak Sangkal Putung yang terbaik sudah dikorbankan? Seandainya upacara wisuda itu dilakukan dengan sangat sederhana sekali pun, namun untuk menambah tamu dengan sepuluh atau lima belas orang di antara kita yang ikut berperang di Prambanan, tentu tidak akan mengganggu. Mungkin dua orang dari Sangkal Putung, Tanah Perdikan Menoreh, Mangir, Pasantenan dan barangkali Jati Anom, dan tempat-tempat lain yang terlibat,” sahut Swandaru.

Kiai Gringsing hanya dapat menarik nafas panjang. la tidak dapat berbuat banyak untuk mengatasi perasaan Swandaru yang bergejolak. Bahkan kemudian katanya di dalam hati, “Biarlah ia mendapat kesempatan merenungi peristiwa itu. Pada saatnya, ia tentu akan mengerti. Jika hatinya tidak lagi bergejolak, maka biarlah aku memberikan sedikit ulasan tentang peristiwa yang sudah terjadi itu. Atau barangkali aku akan mendapat kesempatan untuk meyakinkan, apakah berita itu benar.”

Karena itu, maka Kiai Gringsing pun tidak membicarakan lagi persoalan wisuda di Mataram, meskipun agaknya Swandaru benar-benar merasa tersinggung.

Yang dibicarakannya kemudian adalah rencananya untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Menyampaikan kitab yang berisi ilmu yang perlu dipelajari oleh Agung Sedayu, bersama Kiai Jayaraga dan dua orang pengawal Ki Saudagar yang tidak berani kembali ke dalam lingkungannya.

Dengan demikian, maka ketika sudah sampai saatnya, maka Kiai Gringsing pun telah minta diri kepada Ki Demang dan seluruh keluarga di Sangkal Putung untuk pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.

“Mungkin aku tidak akan terlalu lama,” berkata Kiai Gringsing.

Tetapi Swandaru-lah yang menyahut, “Kakang Agung Sedayu tentu sangat memerlukan Guru. Meskipun mungkin hanya sekedar perasaanku saja, tetapi Kakang Agung Sedayu akan dapat merasa iri jika pada suatu saat diketahui, kemajuan ilmuku melampaui kemajuan ilmunya. Seakan akan Guru tidak begitu memperhatikannya, dan karena itu Guru lebih sering berada di Sangkal Putung.”

“Swandaru,” berkata Kiai Gringsing, “bukankah di sini pun aku tidak banyak berbuat apa-apa? Aku memang sering menunggui kau berlatih. Memberikan sedikit petunjuk dan barangkali laku yang paling baik. Tetapi tanpa aku pun sebenarnya kau dapat melakukannya. Aku berharap, demikian pula dengan Agung Sedayu. Seharusnya kau dan Agung Sedayu itu sudah harus dapat melangkah sendiri tanpa aku. Bukankah aku pernah berkata, bahwa sudah sampai waktunya bagiku untuk beristirahat? Aku sudah terlalu tua untuk berbuat terlalu banyak.”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mungkin Guru dapat bersikap demikian terhadapku. Mungkin Guru dapat melepaskan aku di dalam sanggar tanpa membantu sama sekali. Tetapi Guru harus mempertimbangkan, apakah demikian juga dengan Kakang Agung Sedayu? Meskipun isi kitab itu pada dasarnya semua beralaskan ilmu yang telah Guru berikan, tetapi mungkin seseorang masih memerlukan petunjuk hubungan antara alas dan bangunan yang akan dibuat di atasnya. Mungkin Guru masih perlu membuka pintu, yang kemudian akan dapat ditelusuri oleh Kakang Agung Sedayu.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah Swandaru. Tetapi seharusnya, Agung Sedayu sudah harus dapat berjalan sendiri tanpa dibimbing lagi. Meskipun demikian, seperti yang kau katakan, aku akan melihat kemungkinannya.”

Dengan demikian, maka datanglah saatnya Kiai Gringsing, Kiai Jayaraga dan dua orang pengikut Ki Saudagar meninggalkan Sangkal Putung. Swandaru, Sekar Mirah, dan Ki Demang telah melepas mereka sampai ke regol.

Namun dalam pada itu, ketika mereka siap untuk berangkat, Swandaru pun berpesan, “Pada saatnya, Guru akan membawa kitab itu kembali kepadaku.”

“Ya Swandaru. Berganti-ganti,” jawab gurunya. “Pada saatnya aku akan kembali membawa kitab itu. Tetapi mungkin aku akan melepas kalian untuk menelaah isinya dan mencari artinya. Aku benar-benar ingin beristirahat.”

Swandaru tidak menyahut lagi. Sementara itu, maka Kiai Gringsing, Kiai Jayaraga dan dua orang bekas pengikut Ki Saudagar itu pun mulai bergerak. Mereka telah mempergunakan kuda dari Sangkal Putung, langsung menuju ke Tanah Perdikan Menoreh.

Dalam pada itu, mereka telah sepakat untuk langsung menuju ke tujuan tanpa singgah di Mataram. Namun mereka ingin mendapatkan satu kepastian, apakah benar Senapati ing Ngalaga sudah di wisuda dan kemudian bergelar Panembahan Senapati.

Perjalanan mereka sama sekali tidak mengalami hambatan apa pun juga. Mereka memang mengambil jalan yang tidak terlalu dekat dengan pusat pemerintahan di Mataram, sehingga kemungkinan untuk bertemu dengan peronda yang dapat mencurigai mereka menjadi kecil. 

Namun demikian, dalam satu kesempatan, mereka berempat telah berhenti di sebuah warung. Di dalam warung itulah mereka mendapatkan satu kepastian, bahwa memang Senapati ing Ngalaga telah dinobatkan dan bergelar Panembahan Senapati dan berkedudukan di Mataram, serta memegang kekuasaan atas daerah Pajang seluruhnya.

“Kita ikut bergembira,” berkata Kiai Gringsing, “mudah-mudahan di bawah pimpinan Panembahan Senapati, semuanya akan berjalan lebih baik dari saat kekuasaan masih berada di Pajang.

Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Tetapi akhirnya ia pun bergumam, “Ya. Mudah-mudahan semuanya akan menjadi semakin baik. Aku telah ikut serta membuat pemerintahan di Pajang retak dan kehilangan wibawanya.”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Dengan ragu ia bertanya, “Apa yang pernah kau lakukan?”

“Prabadaru,” jawab Kiai Jayaraga.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Agaknya Kiai Jayaraga merasa bersalah karena ia telah menempa Ki Tumenggung Prabadaru menjadi seorang yang memiliki ilmu yang luar biasa. Namun untunglah bahwa di peperangan, Prabadaru bertemu dengan lawan yang sebanding, yang justru telah dapat mengalahkannya.

Demikianlah, maka mereka pun kemudian telah meneruskan perjalanan tanpa ada hambatan apapun juga di sepanjang jalan. Sekali-sekali mereka berhenti untuk memberi kesempatan kepada kuda-kuda mereka untuk meneguk air bening dari parit di pinggir jalan, atau sungai-sungai kecil yang menyilang perjalanan mereka. Memberi kesempatan kuda-kuda itu untuk sekedar merenggut rerumputan segar yang tumbuh di pinggir-pinggir parit, sementara penunggangnya dapat duduk beristirahat di bawah rimbunnya pepohonan.

Akhirnya, iring-iringan itu pun memasuki Tanah Perdikan dengan selamat. Mereka menyeberangi Kali Praga dengan rakit yang semakin banyak hilir mudik membawa orang-orang yang menyeberang dan beberapa macam barang dagangan yang dibawa oleh para pedagang.

Kedatangan Kiai Gringsing ke Tanah Perdikan Menoreh telah disambut dengan gembira oleh para pemimpin Tanah Perdikan itu. Ketika dua orang pengawal berkuda Tanah Perdikan itu mendahului perjalanan Kiai Gringsing untuk melaporkan kedatangannya, maka dengan tergopoh-gopoh Ki Gede menyiapkan menyambutan yang sebaik-baiknya bagi tamunya.

“Panggil Agung Sedayu dan istrinya,” berkata Ki Gede kepada kedua orang itu.

Sejenak kemudian, maka kedua orang pengawal berkuda itu telah berpacu menuju ke rumah Agung Sedayu. Namun yang ada di rumah ternyata hanya Sekar Mirah saja, karena Agung Sedayu dan Glagah Putih sedang berada di padukuhan sebelah, menunggui usaha anak-anak muda yang sedang memperbaiki bendungan.

“Sebentar lagi mereka tentu akan datang,” berkata Sekar Mirah kepada anak-anak muda itu, “sebelum matahari terbenam pekerjaan itu tentu susah selesai. Tetapi jika perlu sekali, pergilah ke bendungan yang sedang diperbaiki itu.”

“Bagaimana menurut pertimbanganmu?” bertanya pengawal itu.

Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Pergilah ke bendungan. Katakan kepada Kakang Agung Sedayu bahwa Kiai Gringsing datang. Agaknya anak-anak muda yang memperbaiki bendungan itu sudah dapat ditinggalkannya, karena tentu sudah sampai pada kerja terakhir. Katakan bahwa aku menunggu di rumah. Kita akan pergi bersama-sama.”

Kedua orang pengawal berkuda itu pun langsung pergi ke bendungan untuk menyampaikan pesan Sekar Mirah kepada Agung Sedayu.

“Jadi Guru berada di sini sekarang?” bertanya Agung Sedayu.

“Ya, bersama beberapa orang yang kurang kami kenal,” jawab pengawal itu.

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ia tidak tahu, siapakah yang dimaksud dengan beberapa orang yang kurang dikenal itu.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar