Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 176

Buku 176

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam.

Namun Sekar Mirah-lah yang menyahut, “Pangeran Benawa menghadapi musuhnya sendiri. Ada tiga orang bajak laut waktu itu.”

Swandaru memandang adiknya sekilas. Namun ia hanya menarik nafas dalam-dalam.

Tetapi Agung Sedayu sendiri saat itu mengangguk-angguk sambil bergumam, “Bajak laut itu memiliki kemampuan yang nggegirisi. Aku memang mengalami kesulitan melawannya. Untunglah, bahwa aku masih mendapat perlindungan dari Yang Maha Agung, sehingga aku masih dapat tetap hidup sampai saat ini, meskipun aku mengalami luka parah Tetapi bajak laut itu terpaksa harus dibinasakan jika kami sendiri saat itu tidak ingin terbunuh.”

“Kakang,” berkata Swandaru, “orang yang aku bunuh tanpa kesulitan itu adalah saudara seperguruannya. Ia juga memiliki kemampuan seperti saudara-saudaranya itu. Menghembuskan api dan uap air serta angin pusaran. Tetapi aku dapat memecahkan serangan-serangan itu dengan ujung cambukku. Aku tidak tahu, apa yang dilakukan Kakang Agung Sedayu menghadapi lawan-lawannya pada saat ia bertempur di Watu Lawang itu. Tetapi seandainya Kakang Agung Sedayu melakukan seperti yang aku lakukan, mungkin Kakang tidak akan mengalami keadaan seperti sekarang. Mungkin Kakang tidak akan terluka parah sehingga untuk beberapa lama Kakang harus tetap berada di pembaringan. Meskipun barangkali kemampuan tenaga Kakang dalam olah kanuragan masih belum menyamai kemampuan tenagaku, bukan karena Kakang tidak mampu atau tidak memiliki kemungkinan untuk itu, tetapi karena aku mendapat kesempatan lebih dahulu untuk memperdalam ilmu berdasarkan isi kitab Guru, serta cara mengembangkan ilmu yang berbeda, tetapi agaknya keadaan Kakang Agung Sedayu akan lebih baik dari keadaannya yang sekarang. Apalagi kelak jika Kakang sudah sembuh dan mendapat kesempatan mengembangkan ilmu serta mempelajari isi kitab Guru itu.”

Agung Sedayu hanya mengangguk-angguk saja. Tidak ada kesan apapun di wajahnya. Sementara itu, Sekar Mirah-lah yang menjadi tegang. Ia merasa, meskipun tidak dapat menguraikan dengan terperinci, bahwa bajak laut itu memiliki kemampuan lebih besar dari orang yang telah dibunuh oleh Swandaru, sehingga jika kemampuan Swandaru diperbandingkan dengan orang yang telah dibunuhnya itu, tidak akan sama dengan perbandingan ilmu antara Agung Sedayu dan bajak laut yang telah dibunuhnya.

Tetapi Sekar Mirah mengurungkan niatnya untuk membantah. Ia tidak mau bertengkar dengan kakaknya. Apalagi di hadapan suaminya dan di hadapan kakak iparnya, Pandan Wangi.

Sementara itu, Ki Waskita pun hanya menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak dapat memberikan pendapat apapun juga tentang lawan Swandaru yang terbunuh itu, karena ia tidak dapat melihatnya. Meskipun sebenarnya ia pun yakin, bahwa dalam olah kanuragan Agung Sedayu masih lebih baik dari Swandaru.

Dalam pada itu, di pendapa, Kiai Gringsing dan Ki Gede duduk menemui tamunya yang khusus, yang menyebut dirinya Kiai Jayaraga. Setelah minum beberapa teguk minuman hangat, maka keadaan tubuh Kiai Jayaraga menjadi semakin baik. Meskipun demikian, masih terasa dadanya yang terluka di dalam itu sangat pedih. Ia sadar, bahwa luka-luka di dadanya itu tidak akan dapat sembuh dengan serta merta. Ia memerlukan beberapa hari untuk menunggu kesembuhan itu.

Namun sementara itu, Kiai Gringsing dan Ki Gede telah berbicara beberapa hal tentang Kiai Jayaraga yang aneh itu. Seorang yang terombang-ambing antara dua wajah dalam kehidupan ini. Antara yang putih dan yang hitam. Antara yang baik dan yang buruk.

“Tidak seorang guru pun yang menginginkan murid-muridnya menjadi orang-orang jahat, kecuali guru itu sendiri adalah seorang yang berpijak pada sikap yang serupa,” berkata Kiai Jayaraga.

“Apakah dengan demikian, kau bermaksud mengatakan bahwa kau tidak menghendaki kenyataan yang telah terjadi atas murid-muridmu?” bertanya Kiai Gringsing.

“Aku memang bermimpi murid-muridku menjadi Tumenggung seperti Prabadaru. Tetapi ternyata semuanya mengecewakan aku,” jawabnya.

Kiai Gringsing mendengarkan kata-kata Kiai Jayaraga itu dengan sungguh-sungguh Ia merasakan kekecewaan yang mencengkam jantung orang tua itu. Namun demikian iapun telah berkata, “Tetapi, bukankah muridmu yang seorang itu benar-benar telah menjadi seorang Tumenggung?”

“Itulah permulaan dari segala malapetaka ini,” berkata orang itu, “kedudukan yang aku harapkan akan dapat memberikan kebanggaan itu ternyata justru sebaliknya. Meskipun sebenarnya aku tidak ingin mendapatkan terlalu banyak dari kedudukan muridku kecuali kepuasan. Namun ternyata Prabadaru telah terdorong oleh keberhasilannya dalam tatanan keprajuritan itu sehingga membuatnya menjadi sombong dan tamak. Ia tidak mau lagi mengingat sumbernya dan sikapnya kepada adik-adik seperguruannya, yang aku pungut dari lingkungan kejahatan itu, akan dapat mengotori namanya sebagai seorang Tumenggung. Sehingga dengan demikian, maka mulailah ada jarak antara murid-muridku itu.”

“Tetapi kenapa kau ambil orang-orang jahat itu menjadi muridmu?” bertanya Ki Gede.

“Ada semacam kesombongan di dalam hatiku. Akupun pernah menjalani kehidupan yang gelap. Aku juga seorang yang menjadi buruan pada satu masa. Tetapi akhirnya aku menemukan satu pengalaman yang dapat membuatku sadar, bahwa dunia itu harus aku tinggalkan. Aku menemukan kesadaran itu ketika dalam keadaan yang sangat parah, bahkan seakan-akan tidak ada lagi harapan untuk hidup setelah aku melarikan diri dari pertempuran yang hampir saja merenggut nyawaku, aku telah mendapat pertolongan seseorang. Seorang yang hidup dalam kemiskinan. Seorang yang hanya sempat makan di saat-saat tertentu karena belas kasihan orang yang mau membeli tenaganya.” Suara Kiai Jayaraga itu menurun, “Namun ternyata orang itu masih sempat berbuat sesuatu yang tidak pernah aku kenal sebelumnya. Menolong sesama atas dasar kemanusiaan. Yang bahkan telah mengorbankan sebagian kepentingannya sendiri, sementara aku yang ditolongnya adalah orang yang sama sekali tidak menghiraukan kepentingan orang lain.”

Kiai Gringsing dan Ki Gede mengangguk-angguk. Mereka mengikuti cerita itu dengan saksama. Mereka mendengarkan setiap kata dan mereka menangkap makna yang tersirat dari kata-kata itu.

“Ketika aku kemudian sembuh,” berkata orang itu, “suatu keadaan yang sudah hampir tidak dapat aku harapkan lagi, maka aku berjanji kepada diri sendiri, bahwa aku akan meninggalkan kehidupan dengan cara yang telah aku tempuh selama itu. Dengan demikian, maka aku pun telah membangun satu padepokan kecil yang jauh dari kesibukan manusia yang akan dapat memancing aku kembali ke dalam dunia yang hitam itu. Di padepokan itulah aku mendapatkan seorang murid yang dapat memberikan kebanggaan itu. Prabadaru, yang kemudian menjadi seorang Tumenggung dalam jajaran keprajuritan di Pajang. Sementara itu, aku pun telah memungut tiga orang yang dalam keadaan yang paling sulit sebagaimana pernah aku alami. Ketiganya mengalami luka parah dalam satu pertempuran untuk memperebutkan daerah jelajah di antara para penjahat. Ketiganya ternyata tidak mampu melawan lawan yang jumlahnya jauh lebih besar. Sehingga akhirnya ketiganya mengalami satu keadaan yang sangat parah.” Orang itu berhenti sejenak, lalu katanya melanjutkan, “Dengan harapan sebagaimana terjadi pada diriku sendiri, maka aku telah mengambil ketiganya. Aku berusaha mengobati mereka dengan pengetahuan yang ada, sehingga akhirnya merekapun sembuh. Ternyata seperti yang aku harapkan, perlahan-lahan mereka menyadari untuk mencari ketenangan dalam hidup mereka. Dengan beberapa pengarahan, akhirnya mereka seakan-akan dapat meyakinkan aku, bahwa mereka benar-benar telah meninggalkan cara hidup yang pernah mereka hayati.”

“Tetapi, akhirnya, mereka kembali ke dunianya itu. Bukanlah begitu?” bertanya Ki Gede.

“Seperti yang pernah aku katakan, keberhasilan Prabadaru justru merupakan satu malapetaka. Ketika ia sudah menjadi seorang perwira, meskipun belum seorang Tumenggung, ia mulai menunjukkan sikap yang tidak aku harapkan. Ia menjadi sombong dan ia mulai menjauhi adik-adik seperguruannya. Karena Prabadaru mengetahui, bahwa adik-adik seperguruannya itu berasal dari dunia kejahatan, maka Prabadaru justru mengancam akan bertindak atas mereka dalam satu kesempatan. Prabadaru merasa malu bahwa ia merupakan murid seperguruan bersama tiga orang penjahat yang pernah menjadi buruan. Bahkan mulai terasa oleh ketiga orang saudara seperguruannya, bahwa Prabadaru berusaha untuk menyingkirkan mereka dari padepokan yang telah mereka anggap sebagai satu-satunya tempat tinggal mereka. Dengan demikian, maka jurang di antara merekapun semakin lama menjadi semakin lebar. Aku, guru mereka, tidak berhasil menghubungkan mereka lagi sebagaimana saudara seperguruan. Apalagi ketika Prabadaru menjadi Tumenggung. Sehingga akhirnya ketiga orang saudara seperguruannya itu benar-benar tidak betah lagi tinggal di padepokan dan menyingkir ke tempat yang semula tidak aku ketahui. Baru kemudian aku tahu bahwa ternyata ketiganya telah terseret oleh arus yang tidak dapat mereka lawan. Mereka kembali ke dunia hitam dan bahkan ketiganya mulai menjelajahi lautan lewat pesisir utara. Mereka menjadi bajak laut.”

Kiai Gringsing dan Ki Gede mengangguk-angguk. Nampak kepahitan hidup terpencar dari tatapan mata orang tua itu. Meskipun ia memiliki ilmu yang sulit dicari bandingnya, namun ia tidak berhasil menemukan saluran ilmu yang sesuai dengan keinginannya.

Bahkan kemudian orang itu berkata, “Apalagi ketika Tumenggung Prabadaru kemudian berhubungan dengan orang yang menyebut dirinya Kakang Panji. Maka lenyaplah semua harapanku untuk memandang satu masa depan yang baik, yang cerah sesuai dengan keinginanku Bahkan dalam keadaan yang sepi dan mencengkam, rasa-rasanya aku telah digelitik untuk melakukan satu langkah yang akan dapat menghisap aku kembali ke dunia yang kelam sebagaimana ketiga muridku. Untunglah bahwa aku dapat bertahan untuk tidak turun bersama muridku yang menjadi Tumenggung itu dan membantunya.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Ternyata orang itu mengetahui beberapa hal tentang orang yang menyebut dirinya Kakang Panji sehingga dengan demikian, maka orang itupun tentu dapat mengukur kemampuan Kiai Gringsing sebelum mereka terlibat dalam satu pertempuran, karena orang itupun tahu bahwa Kiai Gringsing mampu mengalahkan orang yang menyebut dirinya Kakang Panji itu.

Namun dalam pada itu, Kiai Gringsing masih bertanya, “Lalu, bagaimana dengan muridmu yang baru saja terbunuh itu?”

“Aku tidak dapat membiarkannya mati ketika aku menemukannya,” jawab orang yang menyebut dirinya Kiai Jayaraga, “seperti yang terdahulu, aku ambil orang itu untuk dapat membantuku, apalagi sepeninggal ketiga orang muridku yang menjadi bajak laut itu. Tetapi nampaknya orang yang terakhir itupun tidak memenuhi sebagaimana aku inginkan Ada tanda-tanda bahwa ia sulit meninggalkan dunia yang dirambahnya. Justru karena itu, aku tidak dengan sepenuh hati memberikan ilmuku kepadanya. Meskipun demikian aku tidak berputus-asa. Aku masih tetap berusaha untuk membuatnya menjadi orang yang setidak-tidaknya tidak lagi sangat terpengaruh oleh gemerlapnya wajah dunia ini. Ketika usahaku hampir berhasil, maka ia mendengar kematian saudara-saudara seperguruannya. Meskipun ia tidak mengenal betul orang-orang yang terbunuh itu, ternyata ia memiliki kesetiaan yang tinggi. Muridku yang terakhir itu mengenal saudara-saudara seperguruannya hanya dalam beberapa saat. Bahkan dengan Prabadaru ia hampir tidak mengenalnya sama sekali.”

“Kenapa kau tidak mencegahnya?” bertanya Ki Gede.

“Aku sudah berusaha mencegahnya,” jawab Kiai Jayaraga, “tetapi aku tidak berhasil. Anak itu tetap pada pendiriannya. Bahkan aku sudah memberitahukan kepadanya, bahwa kemampuannya masih belum cukup untuk bekal melakukan pembalasan dendam itu. Tetapi ia tetap pergi. Ia menganggap bahwa sirepnya akan dapat menolongnya. Namun ternyata ia gagal. Ia mati seperti saudara-saudaranya.”

“Kau melihat kematiannya?” berkata Ki Gede “Tetapi kau sama sekali tidak berbuat apa-apa. Kau biarkan muridmu mati di hadapan hidungmu.”

“Mereka berperang tanding,” jawab Kiai Jayaraga, “apakah aku akan menodai perguruanku dengan kelicikan itu. Selebihnya, anak itu telah mengecewakan aku. Ia ingin membunuh lawannya dengan licik. Ia tidak mau mendengar nasehatku lagi ketika aku mencegahnya dan aku tidak akan dapat merubah sikapnya itu di kemudian hari jika penyakitnya kambuh lagi, lebih lama tentu akan lebih parah. Sementara itu, ia sudah memiliki sebagian ilmuku yang akan dapat dipergunakannya untuk melakukan kejahatan. Ia akan dapat menakut-nakuti para pengawal kademangan-kademangan kecil selain Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh. Mungkin Mangir dan Pasantenan. Tetapi yang lain akan dapat menjadi sasarannya. ”

Kiai Gringsing dan Ki Gede mengangguk-angguk. Mereka melihat lebih jelas lagi, gejolak yang terjadi di dalam hati orang tua itu. Benturan-benturan dari tata nilai dan kenyataan yang ada di perguruannya.

Namun akhirnya orang tua itu terhempas ke dalam satu kenyataan yang paling pahit. Semua muridnya telah terbunuh. Tidak seorang pun yang tinggal.

Agaknya kenyataan itu telah memberikan satu pengalaman yang sangat berharga. Ia gagal merubah sikap dan pandangan hidup beberapa orang muridnya. Ia mencoba bercermin pada dirinya sendiri. Ia berhasil bergeser dari jalan hidupnya yang gelap, berbelok menyusuri jalan yang lebih baik. Tetapi tidak demikian dengan murid-muridnya.

“Tetapi bukannya tanpa sebab, ” berkata orang itu perlahan-lahan. “Jika tiga orang yang kemudian menjadi bajak laut itu dapat diterima dengan wajar oleh Tumenggung Prabadaru, mungkin ia tidak akan terseret kembali ke dalam kehidupan yang penuh dengan noda-noda darah sesama. Tetapi bayangan mereka menjadi jenuh. Ternyata jalan menuju ke tata kehidupan yang baik terlalu jauh bagi mereka dan hambatannya pun akhirnya tidak teratasi lagi.”

Kiai Gringsing dan Ki Gede pun mengangguk-angguk. Mereka percaya bahwa orang itu berkata dengan jujur. Bukan satu sikap pura-pura atau satu usaha yang licik untuk mengelabuhi orang lain. Bahkan Kiai Gringsing pun sejak semula telah menduga, bahwa orang ini memiliki sifat yang jauh dari satu kemungkinan membentuk murid-muridnya menjadi orang-orang jahat dan tamak.

Tetapi yang terjadi adalah seperti yang telah terjadi. Tidak seorang pun dari kelima muridnya yang mencerminkan sifat dan wataknya.

“Aku merasa iri kepadamu,” berkata orang itu kepada Kiai Gringsing, “kau mempunyai dua orang murid yang luar biasa. Seorang yang tidak dapat diragukan lagi, Agung Sedayu, sementara yang seorang adalah seorang anak muda yang tidak memiliki rasa takut. Meskipun agak berlebihan dan mempunyai harga diri yang terlalu tinggi.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau terjebak oleh keberhasilanmu sendiri. Memang sulit untuk mencapai satu hasil sebagaimana terjadi atas dirimu Ki sanak. Bukan berarti bahwa tidak ada kemungkinan seseorang yang pernah hidup di daerah hitam itu tidak akan dapat menemukan jalan yang lebih cerah. Satu dari contoh yang pernah terjadi adalah kau sendiri. Tetapi setelah kau mengalami kegagalan, apakah kau masih akan mencobanya lagi?”

“Pada satu ketika orang yang berhasil mengendalikan dirinya itupun akan aku temui. Tetapi aku tidak akan mencari-cari. Biarlah kemungkinan itu datang padaku,” jawab Kiai Jayaraga.

“Apakah kau tidak mungkin mengambil jalan lain, sambil menunggu kemungkinan itu datang atau tidak datang?” bertanya Kiai Gringsing. Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Dipandanginya orang yang menyebut dirinya Kiai Jayaraga itu. Baru kemudian ia berkata “Ki sanak. Bukankah kau dapat mengambil seseorang yang tidak usah kau pungut dari bayangan dunia hitam?”

“Apa bedanya?” bertanya Kiai Jayaraga. “Aku mula-mula berharap bahwa Prabadaru akan dapat menjadi seorang yang akan mengangkat nama baik perguruan ini. Tetapi ternyata ia telah terjerumus ke dalam jebakan ketamakan dan nafsu. Justru karena ia mempunyai kekuasaan, maka ia merupakan orang yang lebih berbahaya dari ketiga bajak laut itu. Dengan kekuasaan dan kemampuan yang ada padanya, Prabadaru akan dapat merubah wajah Pajang bersama dengan orang yang menyebut dirinya kKakang Panji itu. Dan Prabadaru sama sekali bukan seorang yang aku pungut dari bayangan dunia hitam seperti yang kau maksudkan.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia mengerti sepenuhnya maksud Kiai Jayaraga itu. Karena itu, maka iapun kemudian bertanya, “Jadi, apakah yang akan kau lakukan selama menunggu? Menyepi atau mengasingkan diri dari pergaulan manusia?”

“Apakah aku masih sempat untuk menyepi atau mengasingkan diri? Yang aku lakukan di Tanah Perdikan ini adalah pelanggaran tatanan kehidupan. Mungkin Ki Gede telah menentukan satu keputusan untuk menghukum aku. Atau bahkan menyerahkan aku kepada kekuasaan di Mataram, karena Ki Gede mengakui kekuasaan Mataram sekarang ini,” berkata orang itu.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun ketika ia memandang Ki Gede, ternyata Ki Gede justru menundukkan kepalanya. Ada semacam kerisauan di hati Ki Gede sebagai pemimpin tertinggi di Tanah Perdikan Menoreh. Orang tua itu memang bersalah. Muridnya telah terbunuh. Karena itu, ia memang wajar sekali untuk menerima hukumannya. Tetapi rasa-rasanya ada sesuatu yang membuat hatinya ragu-ragu untuk melakukannya. Meskipun orang itu telah menantang Kiai Gringsing dan bahkan benar-benar telah melakukan perang tanding, tetapi seakan-akan keduanya hanya sekedar ingin menjajagi kemampuan masing-masing. Tidak ada nafas pembunuhan yang akan mereka lakukan, sehingga yang dilakukan oleh orang tua yang bernama Kiai Jayaraga itu berbeda dengan niat dari muridnya yang telah terbunuh.

“Orang itu sama sekali tidak mencelakai Swandaru meskipun ia dapat melakukannya jika ia mau,” berkata Ki Gede di dalam hatinya.

Karena itu, Kiai Gringsing-lah yang kemudian berkata “Ki Sanak. Kau benar. Ki Gede adalah orang yang memiliki kekuasaan tertinggi di sini. Ki Gede akan dapat memutuskan untuk menangkapmu dan menghukummu atau menyerahkanmu kepada kekuasaan di Mataram lewat pasukan khususnya yang ada di barak itu. Tetapi Ki Gede pun akan dapat memilih kebijaksanaan lain yang sesuai dengan nuraninya.”

Orang yang menyebut dirinya Kiai Jayaraga itu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya “Memang, Ki Gede dapat mengambil satu keputusan berdasarkan belas kasihan. Setelah Ki Gede mendengar aku mengeluh dengan memelas, maka runtuhlah hatinya dan memberikan keringanan hukuman atas kesalahanku.” Ia berhenti sejenak. Lalu, “Kiai, jika hal ini diperlakukan terhadap murid Kiai yang gemuk itu, aku kira ia akan menolak.”

“Apakah aku juga akan menolak? ” bertanya Kiai Gringsing.

“Aku tidak tahu, apakah Ki Gede akan dapat memberikan pengampunan dengan memperingan hukuman yang pantas diberikan kepadaku. Seandainya demikian, maka aku tidak akan menolak. Aku memang seorang yang tidak berharga, sehingga karena itu, aku tidak akan terlalu berpijak kepada harga diri dengan menolak belas kasihan orang lain,” jawab Kiai Jayaraga.

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Memang pantas untuk mempertimbangkan satu pengampunan. Bukan karena belas kasihan setelah kau menuturkan kepahitan hidupmu. Tetapi berdasarkan atas kenyataan yang kau lakukan di sini. Aku sependapat dengan Kiai Gringsing, bahwa kau datang tidak untuk melakukan satu kejahatan. Aku pun mengerti, meskipun aku jauh tertinggal dari tataran ilmu kalian, bahwa dengan mengambil jarak yang cukup, kau sengaja tidak akan melakukan satu pembunuhan di sini.”

Orang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih. Bagaimanapun juga aku sudah bersalah. Tetapi pengampunan itu akan sangat berarti bagiku. Pengampunan itu akan memperteguh keyakinanku, bahwa masih ada orang yang dapat mengerti tentang keadaanku. Masih ada orang yang mempercayai dongengku tentang diriku dan murid-muridku. Dan masih ada orang yang dapat melihat tembus bayangan-bayangan hitam dari kehidupan sesama.”

“Sudahlah,” berkata Ki Gede, “yang akan aku lakukan itu bukannya apa-apa. Namun aku pun minta kau membantuku, agar keputusanku itu tidak dipersalahkan oleh siapapun.”

“Maksud Ki Gede agar aku tidak berbuat sesuatu yang dapat memberikan arti yang berlawanan dari pengampunan itu?” bertanya Kiai Jayaraga.

Ki Gede termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia mengangguk sambil berkata, “Begitulah Ki Sanak. Aku memang harus mempertanggungjawabkan keputusanku ini kepada semua orang di Tanah Perdikan Menoreh, dan kepada Ki Lurah Branjangan.”

Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya dengan kepala tunduk, “Aku ternyata masih juga bertemu dengan orang-orang yang mempunyai wawasan yang lembut sehingga melihat persoalan ini dari segi yang sangat berarti bagiku, setelah aku benar-benar terasing dan hidup di sepinya hutan perdu bersama muridku yang terakhir dan yang terbunuh di Tanah Perdikan ini. Dengan demikian, maka aku akan dapat menilai kembali perasaan kecewaku terhadap murid-muridku dan terhadap dunia dan pergaulan manusia ini.”

“Kau memandang masa depan dengan kepahitan perasaanmu,” berkata Kiai Gringsing.

Kiai Jayagara tidak menjawab. Tetapi justru telah tumbuh di dalam hatinya, harapan untuk melakukan sesuatu yang berarti bagi masa depan telah tumbuh kembali di dalam hatinya.

Dalam pada itu, maka Tanah Perdikan benar-benar telah menjadi gempar sebagaimana di saat terjadi perang tanding di Watu Lawang. Para pengawal telah menyelenggarakan penguburan dengan cara yang sewajarnya atas murid Kiai Jayaraga yang terbunuh.

Hampir setiap orang memperbincangkan peristiwa yang tidak mereka lihat karena hampir semua orang di padukuhan induk telah terbius oleh ilmu sirep yang sangat tajam. Dan bahkan sirep itu sendiri menjadi bahan pembicaraan yang mengasyikkan. Para pengawal justru mendapat satu saat, mereka tidak dapat berbuat sesuatu karena satu ilmu yang kurang mereka kenal sebelumnya.

“Dengan cara itu, seseorang akan berbuat sesuatu yang sangat mengerikan,” berkata salah seorang pengawal.

“Ya. Seseorang yang mempunyai ilmu sirep akan dapat berbuat apa saja atas korban-korbannya,“ jawab yang lain.

“Seandainya di medan perang seperti di Prambanan itu, beberapa orang lawan bersama-sama melontarkan ilmu sirep, apakah bukan berarti malapetaka bagi Mataram? Dengan licik orang-orang Pajang yang menjadi pengikut Ki Tumenggung Prabadaru akan dapat menyeberang Kali Opak tanpa diketahui oleh siapapun. Mereka dapat membunuh orang-orang Mataram yang sedang tidur nyenyak,” berkata salah seorang pengawal yang ikut di dalam perang besar di Prambanan.

“Tentu hal semacam itu tidak akan terjadi,” jawab kawannya, “di Mataram pun ada orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Orang-orang berilmu tinggi itu akan dapat membuat penangkal ilmu sirep atau setidak-tidaknya tidak terpengaruh karenanya. Dengan demikian maka ia akan dapat membuat kejutan-kejutan yang akan membangunkan orang-orang lain yang terpengaruh oleh ilmu itu. Dalam kesadaran, maka seseorang akan dapat berusaha untuk melawan.”

“Tetapi kita ternyata tertidur semuanya semalam,” berkata pengawal yang pertama.

“Kita tidak menyadari bahwa hal seperti itu akan terjadi disini. Tidak pula ada orang yang membangunkan kita dan memaksa kita untuk melawan ilmu itu. Bahkan di saat-saat mata ini terkantuk-kantuk, ilmu sirep itu menyerang kita. Hasilnya, alangkah nikmatnya tidur kita semalam,” jawab kawannya sambil tertawa.

Yang lain-lain pun tertawa betapa masamnya. Namun di dalam diri masing-masing telah tumbuh satu kesadaran bahwa mereka perlu mempersiapkan diri menghadapi persoalan seperti yang telah terjadi di Tanah Perdikan itu di hari kemudian. Peristiwa itu bukan sekedar satu peristiwa yang hanya dapat dibicarakan dengan penuh kekaguman dan keheranan. Bukan sekedar ditertawakan karena melihat diri tidak mampu berbuat apa-apa. Tetapi, peristiwa itu bagaikan ledakan cambuk yang telah melecut kulit mereka sehingga menimbulkan kepedihan yang menyengat. Namun sulit untuk dapat mereka lupakan.

Swandaru yang kemudian mendengar bahwa Kiai Jayaraga oleh Ki Gede Menoreh telah dibebaskan dari segala tuntutan, merasa heran juga. Pada satu kesempatan ia telah bertanya kepada Kiai Gringsing, “Apakah dasar pertimbangan Ki Gede, bahwa Ki Gede menganggap Kiai Jayaraga tidak bersalah?”

“Bukan tidak bersalah, Swandaru. Kiai Jayaraga tetap dianggap bersalah. Tetapi kesalahan itu dapat dimaafkan. Dan Ki Gede telah memaafkannya,” jawab Kiai Gringsing.

“Tetapi itu tidak adil Guru. Setiap kesalahan harus dihukum,” berkata Swandaru kemudian.

“Tetapi, seseorang akan dapat mempertimbangkan ujud dan alasan terjadinya kesalahan itu, kemudian sikap pelaku setelah kesalahan itu terjadi,” jawab Kiai Gringsing.

“Pengampunan yang demikian akan memberikan kesan yang kurang baik bagi kewibawaan Ki Gede,” berkata Swandaru lebih lanjut.

“Tetapi apakah artinya hukuman itu bagi Kiai Jayaraga?” bertanya Kiai Gringsing.

“Dengan hukuman yang pantas, seseorang akan menjadi jera untuk melakukan kesalahan-kesalahan,” berkata Swandaru.

“Jadi, hukuman itu antara lain dimaksudkan untuk merubah tata kehidupan seseorang, mungkin pandangan hidupnya, mungkin tingkah lakunya. Bukankah begitu?” bertanya Kiai Gringsing lebih lanjut.

“Ya Guru. Antara lain demikian” jawab Swandaru

“Nah, menurut keyakinan Ki Gede, hal itu sudah dapat terjadi tanpa dilakukan hukuman badan atas Kiai Jayaraga. Ia menyesal segala perbuatan dan bahkan bukan saja perbuatan lahiriah, tetapi ia menyesali sikap jiwani yang selama ini telah memisahkannya dari pergaulan sesama,” berkata Kiai Gringsing kemudian. “Namun, jika Kiai Jayaraga yang telah menemukan dirinya dalam ujud yang lebih baik itu harus mengalami hukuman, maka hukuman itu akan dapat membuatnya kehilangan kepercayaan kepada sesama. Dan ia akan lebih terpisah lagi dari pergaulan hidup, sehingga perasaan kecewa yang saling menindih itu akan dapat meledak dalam ujud yang sangat dahsyat. Ilmunya yang sangat tinggi, akan menjadi bencana yang sulit diatasi.”

Swandaru mengerutkan keningnya. Ia mencoba mengerti keterangan gurunya. Namun ia telah bertanya, “Tetapi apakah dengan demikian Ki Gede dapat disebut adil? Seseorang yang melakukan kejahatan kecil dihukum. Tetapi seorang Kiai Jayaraga dibebaskan sama sekali dari segala hukuman.”

“Hukuman harus berarti bagi seseorang,” berkata Kiai Gringsing, “jika hukuman itu tidak berarti dan seseorang tidak berubah karenanya, maka orang yang demikian memang memerlukan satu perlakuan yang khusus, karena ia akan dapat berbahaya bagi orang lain. Itupun masih dengan maksud agar orang itu menjadi jera dan tidak melakukan perbuatan serupa. Karena betapa hitamnya hati seseorang, tentu masih ada sepercik terang yang akan dapat berkembang di dalam dadanya.”

Swandaru mengangguk-angguk. Tetapi masih ada satu hal yang ingin dikatakannya.

“Guru,” katanya, “seandainya hal itu berlaku bagi pelakunya, tetapi kesalahan yang tidak dihukum itu akan memberikan pengaruh yang kurang baik bagi orang lain. Bukan bagi pelaku itu sendiri. Orang lain akan mengamatinya dan mendorongnya untuk melakukan kesalahan, karena kesalahan itu tidak dihukum.”

“Kesalahan yang bersifat umum memang dapat diamati oleh orang lain Swandaru. Tetapi kesalahan yang dilakukan oleh Kiai Jayaraga harus dilihat secara bijaksana. Katakan bahwa sasaran dari kesalahan yang dilakukan oleh orang itu mengalami akibat yang tidak gawat. Bahkan tidak mempengaruhinya lahir dan batin. Apalagi hal itu dilakukan bukannya dengan niat yang jahat, tetapi semata-mata terdorong oleh kekosongan kepercayaan pada diri pelaku itu. Karena itu, maka seandainya kesalahan orang itu diampuni, maka tidak akan banyak berpengaruh terhadap sikap orang lain apalagi mendorong untuk melakukan kejahatan, karena pada dasarnya Kiai Jayaraga melakukan satu kesalahan bukannya dalam niat kejahatan,” jawab Kiai Gringsing.

Swandaru mencoba merenungi kata-kata Kiai Gringsing. Sementara itu Kiai Gringsing pun berkata “Kesalahan Kiai Jayaraga tertuju terutama kepadaku. Bukti dari sikapnya itu, ia tidak mencelakakanmu, meskipun mampu melakukannya jika ia mau.”

Swandaru mengangguk-angguk pula. Dan Kiai Gringsing pun melanjutkan, “Selebihnya, kita memang sebaiknya memaafkan kesalahan orang lain dalam batas-batas kemungkinan, karena siapa yang memaafkan kesalahan orang lain, maka iapun akan dimaafkan kesalahannya di hadapan Yang Maha Agung.”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia bergumam “Ya Guru. Aku mengerti.”

“Mudah-mudahan kita tidak melihat wajah semu dari Kiai Jayaraga, sehingga ia akan dapat menjadi seorang yang sangat berguna karena ilmunya yang tinggi. Dengan ilmu itu ia akan dapat menjadikan suasana di sekitarnya menjadi sejuk seperti titik-titik embun, tetapi juga mampu membakar seperti bara,” desis Kiai Gringsing.

Swandaru tidak menjawab. Tetapi ia sependapat dengan gurunya, bahwa dengan ilmu yang tinggi, maka seseorang akan dapat berpengaruh sekali terhadap keadaan lingkungannya.

Dengan demikian, maka kehadiran Kiai Jayaraga di Tanah Perdikan Menoreh untuk selanjutnya tidak menimbulkan persoalan. Tidak banyak orang yang tahu, apa yang telah dilakukannya pada malam di saat muridnya terbunuh. Beberapa orang menganggap bahwa Kiai Jayaraga memang tidak berbuat apa-apa kecuali menyaksikan kematian muridnya.

“Ia sudah mengikhlaskannya,” berkata salah seorang pengawal.

“Kematian itu justru telah dikehendakinya,” jawab yang lain, “muridnya itu ternyata tidak lagi dapat dikendalikannya lagi, sementara ilmunya telah melambung sangat tinggi.”

Kawannya mengangguk-angguk. Dengan dahi yang berkerut ia berkata, “Adik seperguruan Agung Sedayu itupun memang luar biasa. Sebagaimana Agung Sedayu mampu membunuh Ki Tumenggung Prabandaru dan salah seorang dari bajak laut itu, maka adik seperguruannya pun mampu membunuh saudara seperguruan mereka. Bekas pertempurannya pun benar-benar mengerikan. Daun menjadi berguguran. Bahkan pepohonan menjadi kering. Nampak di dahan-dahan kayu, bekas-bekas sentuhan ilmu yang membakar.”

Kawan-kawannya yang lain pun mengangguk-angguk. Tetapi tidak seorang pun di antara mereka yang membayangkan benturan ilmu antara Kiai Gringsing degan Kiai Jayaraga. Yang mereka bicarakan adalah benturan antara Swandaru dengan murid Kiai Jayaraga yang bertubuh kecil agak terbongkok-bongkok, dan yang senang menyebut dirinya bernama Lodra.

Demikianlah, maka pada hari-hari berikutnya, keadaan Agung Sedayu pun menjadi berangsur baik, sementara Swandaru merasa sudah terlalu lama berada di Tanah Perdikan Menoreh.

Karena itu, maka ia pun kemudian berkata kepada gurunya, “Guru, aku sudah terhenti beberapa hari dalam mendalami ilmu dari kitab yang Guru berikan kesempatan kepadaku dalam waktu terbatas. Karena itu, jika sekiranya sudah tidak ada persoalan lagi di Tanah Perdikan ini, maka apakah bukan sebaiknya kita kembali ke Sangkal Putung? Kecuali jika Guru masih ingin menunggui Agung Sedayu untuk beberapa saat, sehingga aku akan kembali berdua saja dengan Pandan Wangi.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Setelah termenung sejenak, maka katanya, “Baiklah Swandaru. Aku pun merasa bahwa aku sudah cukup lama berada di Tanah Perdikan ini. Karena itu, maka biarlah aku pergi bersamamu kembali ke Sangkal Putung.”

“Bagaimana dengan Kiai Jayaraga, Guru? Apakah Guru benar-benar sudah percaya sepenuhnya? Jika ia berada disini tanpa pengawasan Guru, sementara Kakang Agung Sedayu dan Ki Waskita masih belum sembuh benar, apakah tidak ada satu kemungkinan, meskipun satu di antara seratus, orang itu dijangkiti perasaan dendamnya.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk pula, sementara Swandaru melanjutkan “Kecuali jika Kakang Agung Sedayu dan Ki Waskita sudah sembuh benar. Jika orang itu berniat buruk, maka Kakang Agung Sedayu, Ki Waskita, Ki Gede, Sekar Mirah dan Glagah Putih bersama-sama akan dapat mencegahnya. Tetapi tanpa Kakang Agung Sedayu dan Ki Waskita, nampaknya tidak akan ada kekuatan yang dapat menghalanginya .”

Kiai Gringsing merenungi kata-kata Swandaru. Agaknya iapun sependapat. Ia memang tidak dapat mempercayai orang itu sepenuhnya, sehingga karena itu maka katanya, “Baiklah Swandaru. Aku akan berbicara dengan Ki Gede. Aku akan membawa Kiai Jayaraga untuk pergi bersama kita ke Sangkal Putung. Dengan demikian, maka kemungkinan yang sangat buruk itu tidak akan terjadi atas Agung Sedayu dan Ki Waskita, meskipun seperti yang kau katakan, kemungkinan itu adalah satu di antara seratus.”

Tetapi Kiai Gringsing memang tidak ingin menyesal jika terjadi sesuatu atas Agung Sedayu. Karena itu, maka ia telah memerlukan berbicara dengan Ki Gede, bahwa ia berniat mengajak Kiai Jayaraga untuk pergi ke Sangkal Putung.

Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Agaknya rencana itu baik juga Kiai. Kita memang tidak berprasangka buruk. Tetapi tidak ada salahnya juga jika kita berhati-hati menghadapi setiap persoalan, termasuk persoalan yang menyangkut Ki Jayaraga ini.”

“Jika demikian, maka malam nanti aku akan berbicara. Besok kami akan minta diri untuk kembali ke Sangkal Putung,” berkata Kiai Gringsing kemudian.

“Demikian tergesa-gesa?” bertanya Ki Gede.

“Kami sudah cukup lama meninggalkan Sangkal Putung. Saat yang sebenarnya sangat berharga bagi Swandaru. Ia sedang mendalami ilmunya untuk waktu yang terbatas,” berkata Kiai Gringsing.

“Kitab Kiai?” bertanya Ki Gede.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kitab yang sebenarnya tidak ada harganya. Tetapi mungkin bermanfaat bagi Swandaru.”

Ki Gede tidak menahannya lagi. Kecuali mendalami isi kitab gurunya, Swandaru juga mempunyai kewajiban di kademangannya.

Demikianlah seperti yang direncanakan, maka pada malam harinya, Kiai Gringsing, Ki Gede dan Kiai Jayaraga duduk di pendapa setelah mereka makan malam. Tidak ada orang lain yang duduk bersama mereka. Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah berada di bilik Agung Sedayu. Mereka telah minta diri, bahwa di keesokan harinya mereka akan kembali ke Sangkal Putung.

“Begitu cepat,” desis Sekar Mirah.

“Kau tahu, bahwa aku tidak dapat meninggalkan Sangkal Putung terlalu lama Mirah,” berkata Swandaru, “Ayah menjadi semakin tua, sehingga sebagian dari tugas-tugasnya sudah harus aku ambil alih. Sudah tentu bukan tugas-tugas terpenting. Tetapi tugas-tugas yang menyangkut kegiatan rakyat Sangkal Putung termasuk anak-anak mudanya.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Ia mengerti kesibukan kakaknya di Sangkal Putung, karena sebagian tugas ayahnya sebenarnya memang sudah dilakukan oleh Swandaru. Dan ternyata bahwa Swandaru berhasil menjadikan Sangkal Putung satu daerah yang memiliki beberapa kelebihan dari kademangan di sekitarnya. Bahkan kademangan-kademangan tetangga berusaha untuk dapat menyerap hal-hal yang menguntungkan dari Kademangan Sangkal Putung, sementara Swandaru pun nampaknya dengan senang hati membantu perkembangan kademangan-kademangan tetangganya juga, karena dengan demikian Sangkal Putung akan mendapat keuntungan timbal balik, baik dari segi pengamanan maupun dari segi kesejahteraan hidup rakyatnya.

Dalam pada itu, Swandaru masih sempat memberikan beberapa pesan kepada Glagah Putih selama Agung Sedayu dalam keadaan sakit. Selain melayaninya, maka Glagah Putih harus selalu berhati-hati. Ternyata dendam telah tersebar di mana-mana. Banyak orang yang menginginkan Agung Sedayu terbunuh dengan cara apapun juga.

“Ya Kakang,” Glagah Putih mengangguk-angguk, “aku akan berusaha untuk dapat berbuat sebaik-baiknya. ”

“Di samping itu, kau masih mempunyai kemungkinan yang sangat luas. Meskipun Kakang Agung Sedayu sedang sakit, kau mempunyai kesempatan untuk menempa dirimu sendiri dalam setiap kesempatan. Dengan demikian, ilmumu akan tetap meningkat, tidak terhenti pada satu tataran yang masih belum cukup bagi bekal di hari kemudian,” pesan Swandaru pula. “Ya Kakang. Aku akan berusaha mempergunakan waktu sebaik-baiknya,” jawab Glagah Putih pula.

Swandaru mengangguk-angguk. Sementara itu, sambil meraba pergelangan tangan Agung Sedayu yang duduk di bibir pembaringannya, ia berkata, “Kau akan cepat sembuh Kakang. Obat yang diberikan Guru adalah obat yang memiliki daya penyembuhan yang luar biasa. Kemudian pada saatnya kau akan mendapat kesempatan mendalami kitab Guru yang sekarang ada padaku.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Rasa-rasanya keadaanku menjadi berangsur baik. Mudah-mudahan aku cepat sembuh, sehingga aku akan segera dapat berbuat sesuatu. Mungkin bagi diriku sendiri, mungkin bagi Tanah Perdikan ini.”

“Kau tentu akan cepat sembuh,” sahut Swandaru, “kemudian kau akan memasuki tugas-tugasmu lagi. Tetapi satu hal yang barangkali dapat kau pertimbangkan, adalah pengalamanmu selama ini menghadapi lawan-lawanmu. Meskipun kau dapat mengalahkan mereka, tetapi hampir dapat dipastikan, menghadapi lawan-lawanmu yang berat, kau mengalami keadaan yang sama. Terakhir, kau mengalami luka-luka yang cukup parah melawan Ki Tumenggung Prabadaru, murid Kiai Jayaraga. Kemudian kau mengalami keadaan yang sama melawan bajak laut yang juga murid Kiai Jayaraga. Jika kau sempat mempelajarinya, mungkin kau akan mengambil langkah-langkah yang lebih baik. Bukan aku ingin mengatakan bahwa aku lebih baik dari padamu Kakang, tetapi mungkin seperti yang sudah pernah aku katakan, bahwa aku telah mendapat kesempatan mempelajari dan mendalami isi kitab yang Guru pinjamkan kepadaku, sehingga ternyata aku tidak mengalami sesuatu yang berarti, meskipun aku juga harus bertempur dan kemudian membunuh seseorang yang juga murid Kiai Jayaraga. Bahkan agaknya murid terdekatnya. Selain kesempatan itu, mungkin juga cara Kakang memperkembangkan ilmu Guru agak berbeda dari yang aku lakukan. Kakang berusaha menukik ke kedalaman, tetapi Kakang melupakan kemampuan wadag yang kasat mata. Ternyata kemampuan wadag yang mapan akan dapat melawan ilmu yang bagaimanapun lembutnya. Mungkin Kakang akan mempergunakan cara yang berbeda dari yang aku pergunakan menghadapi pusaran angin yang membara dari murid Kiai Jayaraga. Namun akhirnya ternyata bahwa aku keluar dalam keadaan yang tidak cedera sama sekali. Ternyata bahwa ledakan cambukku mampu memecahkan pusaran ilmu murid Kiai Jayaraga itu.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia sama sekali tidak merasa tersinggung mendengar nasehat Swandaru. Tetapi ia justru menjadi agak cemas atas perkembangan adik seperguruannya itu. Bagaimanapun juga rendah hatinya Agung Sedayu, tetapi kadang-kadang ia mendengar dari gurunya atau orang lain, bahwa Swandaru agak khilaf menilai dirinya sendiri. Ilmu dan kemampuan Agung Sedayu masih agak lebih baik dari Swandaru. Tetapi agaknya Swandaru tidak menyadarinya.

Karena itu, maka di dalam dada Agung Sedayu telah terjadi satu gejolak yang mendebarkan. Sebagai saudara tua ia mempunyai kewajiban untuk mengatakan dengan jujur tentang keadaan Swandaru itu. Tetapi menilik watak dan sifat Swandaru, hal itu akan dapat menumbuhkan salah paham.

Namun bagaimanapun juga Agung Sedayu merasa dibebani oleh satu kesalahan, apabila terjadi sesuatu atas Swandaru karena kesalahannya menilai tentang ilmunya sendiri.

Dalam pada itu, jantung Sekar Mirah pun terasa semakin cepat berdetak. Tetapi iapun tidak ingin berbantah dengan kakaknya, apalagi di hadapan Pandan Wangi dan Ki Waskita.

Dalam pada itu, Swandaru pun kemudian masih memberikan beberapa pesan kepada Sekar Mirah sepeninggalnya, agar ia dapat membantu Glagah Putih menjaga Agung Sedayu.

“Sebelum keadaan Kakang Agung Sedayu pulih kembali, sebaiknya kalian tetap di sini. Biarlah rumah kalian ditunggui orang lain untuk sekedar membersihkan halamannya, karena jika kalian berada di rumah itu tanpa pengawalan seketat di rumah Ki Gede ini, keadaannya akan dapat membahayakan jiwa kalian,“ berkata Swandaru.

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Jawabnya, “Ya Kakang. Ki Gede pun tidak mengijinkan kami kembali ke rumah kami meskipun tidak terlalu jauh.”

“Sebaiknya memang demikian,” berkata Swandaru kemudian.

Demikianlah, ketika Swandaru masih juga memberikan beberapa pesan dan berbincang dengan Agung Sedayu dan Ki Waskita, maka di pendapa pun telah terjadi pembicaraan antara Kiai Gringsing, Ki Gede dan Kiai Jayaraga.

Kiai Jayaraga mendengarkan keinginan Kiai Gringsing untuk mengajaknya ke Sangkal Putung sambil mengangguk-angguk. Katanya, “Kiai tidak usah memikirkan aku. Aku akan dapat berada dimana saja. Mungkin di sini, atau kembali ke padepokan kecilku.”

“Memang Kiai,” jawab Kiai Gringsing, “tetapi aku ingin mempersilahkan Kiai Jayaraga untuk pergi ke Sangkal Putung. Kemudian melihat sebuah padepokan kecil di sebelah Jati Anom yang telah dibangun oleh Agung Sedayu di atas tanah pemberian kakaknya.”

Kiai Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Pada suatu saat, aku akan sampai juga di Sangkal Putung dan padepokan terpencilmu itu, Kiai. Tetapi padepokanmu masih berada di antara pergaulan sesama. Agak berbeda ,dengan padepokanku yang ada di pinggir hutan. Yang selain aku dan muridku yang terbunuh itu, hanya kera dan anjing hutan sajalah yang sering mengunjunginya.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Tetapi ia berkata, “Aku mohon Ki Sanak. Jangan menunggu kapan pun. Aku akan mengajak Ki Sanak bersama aku dan Swandaru serta istrinya. Jangan Kiai menolak undangan kami.”

Kiai Jayaraga mengerutkan keningnya. Namun kemudian ia bertanya, “Apakah Kiai menganggap waktu yang terbaik bagiku untuk mengunjungi Kiai adalah sekarang?”

“Ya Kiai,” jawab Kiai Gringsing.

Ternyata Kiai Jayaraga adalah seorang yang memiliki pengamatan naluriah yang sangat tajam. Tiba-tiba saja ia menarik nafas dalam-dalam sambil mengangguk-angguk. “Kiai,” berkata Kiai Jayaraga itu dengan nada dalam, “baiklah. Aku memang seorang yang sangat dungu. Baru kemudian aku sadar, bahwa aku seharusnya tidak menolak sejak semula. Meskipun Kiai tidak mengatakannya, tetapi aku mengerti bahwa Kiai tidak dapat meninggalkan aku di sini, selagi Agung Sedayu masih dalam keadaaanya. Aku mengerti Kiai, dan Kiai pun berbuat sangat wajar. Meskipun Kiai tidak pernah menganggap aku sebagai tawanan, tetapi Kiai ingin mengamankan murid Kiai yang terluka itu.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk kecil sambil berkata, “Aku minta maaf Kiai, bahwa aku masih saja dibayangi oleh prasangka buruk.”

“Kiai justru berbuat wajar sekali. Tidak berpura-pura, dan dengan demikian aku semakin menyadari, bahwa Kiai adalah seorang yang jujur. Sikap Kiai terhadapku pun jujur sekali. Bukan sekedar sebagaimana seseorang yang ingin mendapat pujian sebagai seorang yang murah hati dan pengampun. Tetapi apa yang Kiai lakukan atasku, benar-benar satu gambaran tentang seseorang yang memiliki dada seluas permukaan lautan,” berkata Kiai Jayaraga.

“Kau tidak usah memuji. Apa yang aku lakukan adalah apa yang tersirat di hati. Itu saja. Tidak ada kelebihannya apa-apa dari apa yang dilakukan oleh orang lain,” jawab Kiai Gringsing.

“Aku mengerti Kiai. Kiai memang berbuat seperti apa yang Kiai katakan itu. Tetapi ada orang lain yang tidak berbuat atas dasar kata nuraninya. Ada orang yang bermurah hati justru karena kedengkiannya. Orang yang sekedar ingin mendapatkan pujian sebagai seorang yang bermurah hati,” berkata Kiai Jayaraga.

“Kiai tidak usah mendasari anggapan Kiai dengan prasangka yang begitu buruk terhadap orang lain. Dengan demikian Kiai masih akan dibelenggu oleh ketiadaan percaya kepada sesama. Setiap perbuatan akan dapat diartikan tidak jujur dalam pandangan Kiai, karena perbuatan yang baik pun dapat dianggap sekedar sikap pura-pura untuk mendapat pujian atas kebaikannya itu,” jawab Kiai Gringsing pula.

Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Dengan nada rendah ia bergumam, “Ya. Aku mengerti Kiai. Agaknya aku benar-benar hampir kehilangan kepercayaan kepada sesama.”

Demikianlah, akhirnya Kiai Jayaraga sama sekali tidak merasa berkeberatan untuk ikut ke Sangkal Putung, justru karena ia sadar sepenuhnya. Jika ia tetap berada di Tanah Perdikan Menoreh atau di tempat lain, di luar pengawasan Kiai Gringsing, maka Kiai Gringsing akan selalu mencemaskan nasib muridnya yang sedang terluka.

Karena itu, maka iapun kemudian dengan ikhlas telah menyatakan kesediaannya untuk ikut ke Sangkal Putung, dan kemudian jika Kiai Gringsing mengundangnya, ia akan mengunjungi padepokan kecil yang telah dibangun oleh Agung Sedayu di Jati Anom.

Di hari berikutnya, maka pagi-pagi sekali, beberapa orang telah menyiapkan diri untuk meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Setelah makan pagi dan minum-minuman panas, maka mereka telah minta diri untuk berangkat ke Sangkal Putung.

Kiai Gringsing meninggalkan sebumbung obat bagi Agung Sedayu dan Ki Waskita. Menurut pengamatan Kiai Gringsing, maka dalam waktu yang tidak terlalu lama, maka merekapun akan segera sembuh.

“Apakah Kakang Agung Sedayu akan dapat mempelajari isi kitab Guru pada saatnya?” bertanya Swandaru.

“Kenapa?” Kiai Gringsing justru bertanya.

“Maksudku, apakah keadaan Kakang Agung Sedayu sudah baik?” Swandaru menjelaskan.

Kiai Gringsing tersenyum Katanya, “Tentu Agung Sedayu hanya memerlukan waktu beberapa hari saja untuk memulihkan keadaannya.”

Swandaru hanya mengangguk-angguk. Bukan maksudnya berharap agar Agung Sedayu tidak segera sembuh. Tetapi jika Agung Sedayu tertunda kesempatannya untuk mendalami isi kitab gurunya, maka Swandaru akan mendapat kesempatan lebih lama lagi. Mungkin sebulan atau lebih.

Dalam pada itu, setelah Kiai Gringsing memberikan pesan-pesannya kepada Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih, dan setelah minta diri kepada Ki Waskita dan keluarga di Tanah Perdikan Menoreh, maka iring-iringan kecil itupun segera meninggalkan rumah Ki Gede. Mereka berangkat selagi matahari belum terlalu tinggi. Dengan demikian, maka udara masih cukup segar oleh basahnya embun yang sedang menguap.

Sejenak kemudian beberapa ekor kuda berlari tidak terlalu kencang menyusuri bulak-bulak persawahan. Swandaru dan Pandan Wangi berkuda di belakang, sementara Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga berada di depan.

Di sepanjang perjalanan, Swandaru masih membicarakan beberapa persoalan yang dihadapinya di Tanah Perdikan Menoreh. Ia masih menyebut-nyebut tentang lawannya yang telah dibunuhnya dan tubuhnya yang serasa terbakar. Namun yang oleh sejenis minuman yang berwarna gelap yang diberikan oleh gurunya, maka keadaan tubuhnya telah pulih kembali.

“Sayang,” berkata Swandaru, “agaknya perkembangan ilmu Kakang Agung Sedayu terlalu lambat, sehingga keadaannya menjadi jauh lebih buruk dari keadaanku menghadapi lawan dalam tataran yang dapat disebut sama. Bahkan mungkin muridnya yang terakhir itu adalah muridnya yang paling dikasihinya dan satu-satunya yang masih ada, sehingga ia memiliki modal ilmu yang paling lengkap di antara saudara-saudaranya.”

Pandan Wangi mengangguk-angguk. Tetapi ada sesuatu yang kurang sesuai di dalam hatinya. Meskipun demikian, Pandan Wangi sama sekali tidak menjawab.

Namun, akhirnya ketajaman penggraita Pandan Wangi dapat menangkap maksud Swandaru yang beberapa kali mengatakan hal seperti itu kepadanya. Pandan Wangi merasa bahwa dirinya pun sedang mengembangkan ilmunya dengan cara yang berbeda dari yang ditempuh oleh suaminya. Pandan Wangi berusaha untuk menukik ke kedalaman ilmunya. Menyerap kekuatan yang ada di seputarnya. Bahkan ia sudah mulai dengan satu kemungkinan yang mula-mula kurang dimengertinya sendiri. Namun yang kemudian perlahan-lahan dikembangkannya sendiri dalam sanggar. Kemampuannya melepaskan pukulan tanpa menyentuh dengan wadagnya merupakan satu kekuatan ilmu yang akan sangat bermanfaat baginya, justru kemampuan wadagnya sebagai seorang perempuan agak berbeda dengan kemampuan wadag seorang laki-laki menurut kodratnya.

Karena itulah, maka Pandan Wangi telah condong untuk memperdalam ilmunya pada segi kedalamannya, melepaskan dari jarak tertentu. Kemudian kemampuannya bergerak dengan cepat dan ketrampilannya menggerakkan pedang rangkapnya.

Tetapi agaknya Swandaru tidak begitu sependapat dengan caranya memperdalam ilmunya. Swandaru ingin mengarahkan kepadanya, agar Pandan Wangi lebih mempelajari watak wadagnya serta kemampuan puncak yang akan dapat dicapainya. Kemampuan melepaskan kekuatan cadangan dan daya tahan bagi benturan kekuatan.

Karena Pandan Wangi tidak memberikan tanggapan, maka Swandaru pun kemudian mengalihkan pembicaraannya. Ia berbicara tentang orang yang berkuda di hadapannya. Kiai Jayaraga.

“Orang itu memang luar biasa,” berkata Swandaru, “untunglah bahwa ia bertemu dengan Guru di Tanah Perdikan Menoreh.”

Pandan Wangi mengangguk. Baru kemudian ia menyahut, “Tanpa hadirnya Kiai Gringsing di Tanah Perdikan ini, keadaan akan menjadi sangat gawat. Mungkin kita semuanya tidak akan mampu menguasainya.”

“Ya,” Swandaru mengangguk, “kita memang harus mengakui. Aku terjebak ke dalam tantangannya. Untunglah kemudian ternyata bahwa orang itu memiliki ilmu yang sangat tinggi, sehingga aku tidak mengalami penghinaan atas kekalahanku. Aku dikalahkannya dengan mudahnya, bahkan tanpa menggerakkan ujung jari kakinya sekalipun.”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Satu pelajaran yang berharga bagi Swandaru untuk dapat menghargai orang lain. Tanpa terbentur oleh keadaan yang demikian, maka Swandaru sulit mengakui bahwa orang lain memiliki ilmu yang luar biasa. Untunglah seperti yang dikatakan oleh Kiai Gringsing, orang itu tidak ingin membunuh.

Demikianlah, mak, iring-iringan kecil itupun telah menyeberangi Kali Praga. Selain mereka berempat, maka beberapa getek tampak hilir mudik membawa penumpangnya.

Nampaknya keadaan di Tanah Perdikan Menoreh dan sekitarnya sudah tidak lagi dipengaruhi oleh keadaan yang panas dalam hubungan antara Mataram dan Pajang. Semuanya seakan-akan sudah selesai. Sehingga dengan demikian maka kehidupan pun berjalan dengan sewajarnya. Orang-orang yang memperdagangkan hasil kerjanya melintasi Kali Praga dari sebelah timur ke sebelah barat dan sebaliknya.

Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga masih berkuda di depan, sementara Swandaru dan Pandan Wangi mengikuti mereka di belakang. Sesuai dengan kesepakatan mereka, maka iring-iringan itu tidak akan singgah di Mataram. Mereka akan langsung menuju ke Sangkal Putung.

Keempat orang itu tidak banyak mengalami hambatan di perjalanan. Agaknya jalan-jalan pun sudah menjadi semakin aman. Namun demikian, sekali-sekali mereka masih juga bertemu dengan dua tiga orang pengawal Mataram yang meronda.

“Glagah Putih terlambat karena ia harus berurusan dengan para pengawal,” berkata Kiai Gringsing kepada Kiai Jayaraga, “sehingga karena itu, maka aku tidak sempat melihat perang tanding antara Agung Sedayu dan ketiga orang muridmu yang menjadi bajak laut itu Kiai.”

Kiai Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Murid-muridku yang telah mendahului berbuat curang. Tetapi itu tidak mengherankan. Bagi mereka, tidak ada paugeran yang dapat mengikat mereka. Apapun dapat mereka lakukan untuk mencapai maksudnya. Sehingga bagi mereka dan mungkin juga beberapa orang lain akan membenarkan segala cara untuk mencapai tujuannya.”

“Semuanya itu sudah terjadi,” berkata Kiai Gringsing, “mudah-mudahan bayangan-bayangan yang kelam itu tidak akan datang lagi bagi Kiai di kemudian hari.”

Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba iapun bertanya, “Bagaimana caramu mendapatkan dua orang murid yang di kemudian hari dapat kau banggakan seperti itu Kiai?”

“Aku tidak sengaja mencari mereka. Mereka datang sebagaimana aku datang kepada mereka. Mungkin satu kebetulan. Tetapi aku mengenal ayah Agung Sedayu dengan baik, meskipun waktu itu aku bukan sebagai pengembara, tetapi sebagai seorang dukun di padukuhan kecil,” jawab Kiai Gringsing.

“Siapakah ayah anak itu?” bertanya Kiai Jayaraga.

“Ki Sadewa,” jawab Kiai Gringsing, “dari Jati Anom.”

“Ki Sadewa. Aku pernah mendengar nama itu. Apakah orang itu masih berada di Jati Anom?” bertanya Kiai Jayaraga pula.

“Ki Sadewa sudah agak lama meninggal” jawab Kiai Gringsing.

Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Aku belum pernah melihat bagaimana Agung Sedayu berada di medan. Menilik sikap dan pembicaraannya, ia mempunyai sedikit perbedaan dengan Swandaru dalam sifat dan watak. Apakah dugaanku itu benar?”

Kiai Gringsing mengangguk kecil. Katanya, “Keduanya mendapat bahan dan tuntunan yang sama. Tetapi bekal yang mereka bawa berbeda. Watak dan sifat keduanya memang tidak sama. Tetapi aku bangga dengan kedua-duanya”.

Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Di luar sadarnya ia berpaling. Namun agaknya Swandaru sedang asyik berbincang dengan istrinya.

Dalam pada itu, tiba-tiba saja Kiai Jayaraga itu berkata, “Bagaimana dengan Pandan Wangi?”

“Ia seorang perempuan yang luar biasa. Anak perempuan Ki Gede itu memiliki bekal kemampuan yang menggetarkan. Perempuan itu sedang berjuang untuk mengembangkannya. Sendiri, tanpa tuntunan orang lain, sebagaimana sebagian besar ilmu yang diperoleh Agung Sedayu,” jawab Kiai Gringsing.

Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Kau dikeliiingi oleh anak-anak muda yang memberikan kebanggaan kepadamu. Jika aku juga mendapat kesempatan seperti itu, alangkah nikmatnya hidup ini.”

“Kau akan mendapatkannya pada suatu saat,” berkata Kiai Gringsing

Kiai Jayaraga tidak menjawab. Dipandanginya jalan yang membujur panjang. Jalan yang membelah bulak persawahan di atas cakrawala nampak sebuah padukuhan yang hijau kehitaman di terik matahari.

Di sisi jalan itu terdapat sebuah parit yang mengalirkan air yang jernih. Suaranya gemericik di antara desah angin yang lembut.

Kiai Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Jalan yang panjang itu bagaikan jalan hidup yang sedang dijalaninya. Panjang dan seakan-akan tidak sampai ke satu batas yang dapat memberikan tempat beristirahat kepadanya.

Dalam pada itu, ketika kemudian mereka menyilang sebuah sungai kecil, maka merekapun memberikan kesempatan kepada kuda mereka untuk minum dan sekedar beristirahat. Matahari yang terik rasa-rasanya bagaikan membakar kulit. Sementara kuda mereka makan rerumputan segar, maka merekapun duduk di bawah sebatang pohon yang rimbun.

“Jalan ini sepi sekali meskipun di siang hari,” berkata Swandaru ,“agak berbeda dengan jalan di sebelah padukuhan yang baru kita lewati.”

“Orang merasa malas untuk berjalan di bawah panasnya matahari melalui bulak sepanjang ini,” sahut Pandan Wangi, “kecuali itu agaknya tidak ada lagi padukuhan yang penting di hadapan kita menjelang hutan kecil yang akan kita lewati. Agak berbeda dengan jalur jalan jika kita melewati Mataram.”

“Jalan ini tidak disentuh oleh para peronda,” jawab Swandaru, “mungkin karena jalan ini terlalu sepi di setiap hari karena seperti yang kau katakan, tidak ada lagi padukuhan yang penting menjelang hutan kecil itu.”

Pandan Wangi mengangguk-angguk. Sementara itu terasa angin yang segar telah menerpa wajahnya.

Untuk beberapa saat mereka duduk beristirahat. Agaknya kuda-kuda mereka mempergunakan waktu itu sebaik-baiknya. Rumput yang subur di tepi sungai kecil itu nampaknya merupakan makanan yang digemari.

Namun dalam pada itu, Kiai Jayaraga menjadi agak gelisah. Ketika ia berpaling kepada Kiai Gringsing, maka dilihatnya Kiai Gringsing itu tersenyum.

“Akibat dari perang yang pernah terjadi di Prambanan,” berkata Kiai Gringsing, “nampaknya pengaruhnya masih terasa. Mungkin mereka termasuk orang yang kehilangan tempat tinggalnya, atau sawahnya yang rusak dan belum sempat digarap sementara kebutuhan terasa semakin mendesak. Tetapi mungkin juga mereka memang penjahat-penjahat kecil yang memanfatakan keadaan ini.”

“Itulah sebabnya maka Mataram mengadakan pengamatan yang teliti. Peronda yang sedikit garang dan keras untuk mencegah hal-hal yang tidak dikehendaki. Sehingga Glagah Putih pun telah mengalami akibatnya sehingga Kiai terlambat datang ke Tanah Perdikan Menoreh,” sahut Kiai Jayaraga.

“Ya. Sementara itu, agaknya jalan inilah yang menurut perhitungan orang-orang itu jarang sekali dilalui peronda, sehingga mereka telah mempergunakan kesempatan itu untuk melakukan pekerjaannya di jalan ini,” berkata Kiai Gringsing kemudian.

Kiai Jayaraga menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Apakah mungkin aku dapat mengambil salah seorang daripadanya untuk aku jadikan muridku?”

“Tunggu,” jawab Kiai Gringsing, “kenapa kau masih saja terpancang kepada orang-orang yang demikian untuk kau angkat menjadi seorang murid? Kau belum dapat menyelami kemungkinan itu hanya sekali bertemu. Jika hal itu terjadi atasmu sendiri, itu adalah karena di dalam dirimu terdapat sumber yang kemudian memancarkan kebeningan budi. Sumber itu cukup besar untuk menenggelamkan kekelaman di dalam dirimu. Sekali lagi aku ingin mengatakan, tidak mudah untuk berbuat demikian. Kau sudah mengalami kegagalan. Karena itu, kau wajib berhati-hati.”

Kiai Jayaraga mengangguk-angguk kecil. Ia sudah memperoleh pengalaman yang sangat berharga. Tetapi justru karena ia sendiri terangkat dari dunia yang kelam, maka rasa-rasanya ia merasa berbelas kasihan melihat orang-orang yang masih terbelenggu di dalamnya.

Namun ia tidak dapat mengabaikan pendapat Kiai Gringsing. Bukan berarti bahwa ia harus memusnahkan mereka yang terlibat dalam kejahatan, karena bagaimanapun juga, ada kemungkinan-kemungkinan lain yang dapat memberikan arti yang lebih baik bagi mereka. Tetapi bukan untuk memberikan bekal kemampuan yang akan dapat disalah-gunakan oleh orang-orang yang hidup dalam dunia kekelaman.

Karena itu, maka Kiai Jayaraga itupun mengangguk-angguk. Sementara itu Kiai Gringsing telah memberikan isyarat kepada Swandaru dan Pandan Wangi untuk mendekat.

Swandaru dan Pandan Wangi pun kemudian bergeser mendekati Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga. Mereka menjadi berdebar-debar ketika mereka melihat Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga itu bersungguh-sungguh.

“Perhatikan, apakah kau menangkap pertanda sesuatu di sekitar tempat ini?” bertanya Kiai Gringsing.

Swandaru dan Pandan Wangi mengerutkan keningnya. Baru kemudian mereka mengangguk kecil setelah mereka menebarkan pandangannya ke sekitarnya.

Sambil berdiri Swandaru pun kemudian berdesis, “Aku melihat sesuatu Guru. Di dalam gerumbul perdu itu.”

“Ya. Tetapi biar sajalah. Biarlah mereka datang kemari. Kita akan berbicara,” berkata Kiai Gringsing.

“Apakah mereka tidak akan berbuat sesuatu?” bertanya Swandaru.

“Kita akan melihat,” jawab Kiai Gringsing.

Swandaru itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian Pandan Wangi-lah yang berkata, “Silahkan duduk Kakang.”

Swandaru itupun kemudian duduk kembali di sebelah Pandan Wangi. Berhadapan dengan Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga. Mereka seolah-olah sama sekali tidak memperhatikan gerumbul yang bergerak-gerak tanpa didorong oleh angin.

Sebenarnyalah pada saat itu, tiga orang sedang memperhatikan mereka yang beristirahat di bawah pohon yang rimbun itu dari balik gerumbul. Dengan wajah yang geram dan deru nafas yang bagaikan memburu oleh kegilaan.

“Bagaimana?” bertanya seorang di antara mereka

“Yang duduk di bawah pohon adalah empat orang. Seorang di antaranya menurut pengamatanku adalah seorang perempuan meskipun ia berpakaian seperti laki-laki.”

“Mungkin orang-orang itu memang bermaksud mengelabui orang lain agar perjalanan mereka menjadi aman. Bukankah dengan demikian jumlah hitungan mereka menjadi empat?” sahut yang lain.

“Jadi, apakah kita akan datang kepada mereka?“ bertanya yang pertama.

“Tentu. Seandainya mereka melawan, maka kita pun berjumlah tiga orang. Kita akan melumpuhkan ketiga orang laki-laki itu, dan menurut penglihatanku, perempuan itu cantik,” berkata kawannya.

“Ah, kau. Kau selalu berbicara tentang perempuan,” berkata yang lain, lalu, “menurut pengamatanku, mereka tentu membawa bekal cukup. Agaknya mereka menempuh perjalanan jauh. Mereka membawa seikat pakaian dalam bungkusan di belakang kuda masing-masing.”

“Marilah. Kita akan melakukan pekerjaan kita dengan sebaik-baiknya. Jika kau ingin mengambil perempuan itu, aku tidak peduli,” berkata orang yang pertama.

Sejenak kemudian merekapun segera mempersiapkan diri. Kemudian dengan tiba-tiba mereka bertiga meloncat dari persembunyian mereka dengan senjata di tangan. Namun orang-orang yang beristirahat itu sama sekali tidak terkejut karenanya. Yang justru terkejut adalah ketiga orang yang berloncatan dari gerumbul itu. Keempat orang yang duduk di bawah pohon yang rimbun itu sama sekali tidak menghiraukan kedatangan mereka. Bahkan beringsut pun tidak. Hanya seorang di antara mereka, yang gemuk, telah berpaling memandang kepada ketiga orang yang datang dengan senjata di tangan mereka.

“Gila,” geram seorang di antara ketiga orang itu.

Sikap keempat orang itu benar-benar membuat mereka bertiga menjadi berdebar-debar.

Dalam pada itu terdengar Kiai Gringsing berkata “Marilah Ki Sanak. Apakah kalian ingin berbicara dengan kami?”

Wajah ketiga orang itu menjadi semakin tegang. Orang yang tertua di antara ketiga orang itupun kemudian berkata dengan garangnya, “Jangan berusaha untuk mempengaruhi sikap kami dengan leluconmu.”

“Aku tidak mengerti,” jawab Kiai Gringsing, “marilah. Silahkan duduk.”

“Tidak,” orang yang datang dengan senjata di tangan itu berteriak, “aku tidak sedang bergurau. Aku bersungguh-sungguh. Serahkan semua milikmu, termasuk keempat ekor kuda itu.”

“Apa maksudmu?” bertanya Kiai Gringsing.

“Orang-orang dungu,” geram seorang yang bertubuh tinggi, “mereka tidak tahu apa yang mereka hadapi, Kakang. Sebaiknya kita berterus terang agar mereka menyadari, dengan siapa mereka berbicara.”

Orang tertua di antara mereka itupun mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Agaknya mereka memang tidak mengerti apa yang sedang mereka hadapi.”

“Karena itu, katakan dengan bahasa yang jelas,” berkata orang yang bertubuh tinggi.

Orang tertua di antara ketiganya itupun kemudian bergeser selangkah maju. Katanya, “Kami adalah penyamun-penyamun di bulak ini. Kami ingin merampas semua harta yang kalian bawa. Pakaian dan apa saja, termasuk kuda-kuda kalian.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi orang tua itu, serta ketiga orang lainnya tidak menunjukkan perubahan sikap, meskipun orang-orang bersenjata itu telah berkata terus terang.

Bahkan Kiai Gringsing masih juga bertanya “Kenapa kalian menyamun di siang hari?”

Orang-orang itu menggeram. Tetapi salah seorang masih juga sempat menjawab, “Di malam hari, jalan ini tidak pernah dilalui orang.”

“Kenapa tidak memilih jalan lain?” bertanya Kiai Gringsing pula.

Ketiganya terdiam sejenak. Tetapi orang itu kemudian masih juga menjawab, “Kami tidak ingin terjebak para peronda.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun sikapnya sama sekali tidak berubah. Dengan nada datar ia berkata “Marilah, silahkan duduk. Kita dapat berbicara dengan baik sebagaimana kita berbicara di antara sesama. Bukankah kita bukan orang-orang yang pernah saling bermusuhan?”

Tetapi orang tertua di antara ketiga orang itu menjawab, “Seorang perampok tidak perlu menunggu seorang musuhnya lewat. Semua orang yang memasuki daerah kuasanya akan dapat diperlakukan sebagaimana kehendaknya.”

Sementara itu, seorang di antara para perampok itu menyambung, “Dan kali ini aku tidak hanya merampok uang. Tetapi perempuan cantik itu sangat menarik hatiku.”

Wajah Pandan Wangi menjadi merah. Tetapi ia melihat Kiai Gringsing justru tersenyum. Katanya, “Kami tidak akan mempersoalkan kebiasaan yang kau lakukan. Tetapi mungkin hasilnya akan lebih baik jika kita berbicara dengan baik pula.”

“Gila,,” geram orang bertubuh tinggi “kami harus menakut-nakuti korban kami agar mereka tidak menolak memberikan apa saja yang kami minta. Jika kami berbuat ramah seperti seorang sahabat, maka niat kami untuk merampas barang-barangmu akan urung karena hubungan di antara kita tidak terasa tajam.”

Kiai. Jayaraga yang mendengar jawaban itu tertawa pendek. Katanya, “Benar Ki Sanak. Seorang perampok harus menakut-nakuti korbannya. Dengan demikian maka ia baru akan berhasil.”

Jawaban itu justru membuat ketiga perampok itu menjadi berdebar-debar. Agaknya orang-orang itu sama sekali tidak gentar menghadapi mereka. Apapun yang mereka lakukan. Bahkan sikap mereka menunjukkan keyakinan mereka atas diri mereka masing-masing. Perempuan cantik yang ada di antara mereka itu pun sama sekali tidak menjadi gelisah. Apalagi ketika mereka melihat, bahwa senjata di lambung perempuan itu bukan sekedar alat untuk mengelabui orang lain. Namun pedang rangkap itu benar-benar senjata yang dapat dipergunakannya.

Ketiga orang itu termangu-mangu sejenak. Namun orang tertua di antara mereka tidak mau terpengaruh oleh perasaannya yang belum ternyata kebenarannya. Karena itu, maka tiba-tiba saja ia membentak, “Jangan mencoba melunakkan hati kami dengan guraumu yang tidak mapan itu. Aku tidak mempunyai banyak waktu. Aku ingin merampas semua milik yang kalian bawa bersama kudamu. Jika kalian ingin melawan, marilah, bersiaplah untuk melawan. Kami memang merasa lebih puas untuk memiliki barang-barang yang kami rampas dengan mencucurkan keringat dan barangkali darah.”

“Ki sanak,” berkata Kiai Gringsing, “jangan menjadi garang begitu. Marilah. Duduklah. Tidak ada persoalan yang harus kita pertengkarkan di sini. Kami tahu, bahwa kalian bukan orang-orang yang pada dasarnya garang den kejam. Kalian adalah orang-orang yang dipaksa oleh keadaan untuk melakukan perbuatan seperti itu. Karena itu, maka kami persilahkan kalian kembali untuk satu dua saat saja kepada kepribadian kalian yang sebenarnya. Sebagai seorang laki-laki. Mungkin sebagai seorang ayah dari beberapa orang anak kecil yang manis, Mungkin seorang suami yang dikagumi di dalam lingkungan keluarga karena mereka tidak-tahu apa yang kalian lakukan.”

Wajah-wajah yang garang itu menjadi tegang. Sejenak mereka termangu-mangu. Namun dalam pada itu, orang yang tertua di antara mereka menjawab, “Jangan berusaha melemahkan hati kami. Hati kami sudah menjadi sekeras batu karang.”

“Jangan memaksa diri,” sahut Kiai Gringsing, “aku tahu, bahwa hatimu lunak seperti jeladren dalam arti yang baik. Mungkin lembut. Yang ada di dalam dirimu adalah jiwa yang bagaikan daun sirih. Warna yang berbeda pada punggung dan wajah daun sirih tidak mampu merubah rasanya dari arah manapun daun itu digigit.”

Orang tertua itu menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba orang yang bertubuh tinggi itupun termangu-mangu sejenak. Sekilas teringat keluarga yang ditinggalkannya. Keluarga yang nampaknya damai dan sejahtera. Jika ia pulang dengan membawa sedikit uang, maka kegembiraan di lingkungan keluarganya itupun melonjak. Anak-anak mereka menjadi cerah. Istrinya tersenyum dengan pipit di pipinya. Mereka rasa sangat berterima kasih kepadanya meskipun tidak diucapkannya.

“Tetapi apakah kata mereka jika mereka mengetahui bahwa uang yang aku berikan kepada mereka itu berasal dari tingkah lakuku yang begini?” pertanyaan itu tiba-tiba saja telah timbul di dalam dirinya.

Anak-anaknya yang menganggapnya sebagai seorang ayah yang baik, yang dengan kasih yang tulus bekerja bagi kepentingan keluarganya, memberi mereka makan dan pakaian, sedikit kesenangan dan wibawa, tentu akan kehilangan harga dirinya di hadapan kawan-kawannya meskipun kawan-kawannya tidak mengetahuinya, apabila anak anaknya itu mengerti apa yang telah dilakukannya. Istrinya akan menangisinya seperti menangisi sebuah kematian. Dan semua kedamaian itupun akan lenyaplah.

Namun dalam pada itu, selagi kedua orang itu menjadi ragu-ragu, maka orang yang ketiga, seorang yang bermata juling telah berteriak, “Jangan pedulikan igauan itu. Jangan menjadi lemah sebagaimana mereka katakan, seperti jeladren. Hati kita keras seperti batu karang. Kita akan merampas semua harga benda yang mereka bawa termasuk kuda-kuda mereka. Dan aku akan membawa perempuan itu pula, karena aku ternyata sampai kini masih tetap seorang jejaka.”

Sekali lagi terbersit warna merah di pipi Pandan Wangi. Tetapi ia masih tetap berdiam diri. Sementara Swandaru menahan geramnya meskipun dengan demikian dadanya terasa menjadi sesak.

Kedua orang penyamun itupun menjadi ragu-ragu. Sementara itu Kiai Jayaraga tersenyum pula sambil berkata, “Lihatlah, siapa kami berempat. Kami adalah pengembara yang tidak mempunyai apapun yang akan dapat kalian rampas kecuali kuda-kuda kami. Itupun hanya beberapa ekor kuda kurus dan kecil. Namun agaknya ada sesuatu yang lebih berharga dari harta benda yang kami bawa. Karena itu duduklah. Dengarkanlah saudaraku ini berbicara tentang kita. Tentang kami dan tentang kalian. Maka kita akan menentukan sesuatu yang berarti lebih dari harta benda yang ada pada kami.”

“Persetan,” orang yang bermata juling itu berteriak, “kalian tentu akan membujuk kami.”

“Tidak. Sama sekali bukan satu bujukan. Tetapi kami ingin memperkenalkan kalian dengan diri kalian masing-masing. Meskipun sebelumnya kalian telah mengenalnya, tetapi dalam keadaan yang memaksa, kalian telah melupakan siapakah diri kalian,” berkata Kiai Jayaraga. “Dengarlah. Aku pun pernah mengalami seperti yang kalian alami sekarang ini. Beruntunglah bahwa aku akhirnya dapat melihat diriku kembali. He, bukankah kalian tidak dilahirkan untuk menjadi seorang penyamun? Dan bukankah kekudangan ayah dan biyungmu juga tidak menghendaki kalian menjadi penyamun? Dan bukankah sesama kita juga tidak menginginkan kalian menjadi penyamun?”

“Cukup!” teriak orang yang bermata juling itu, “Berikan semua harta bendamu. Kudamu dan perempuan itu.”

Kiai Jayaraga termangu-mangu sejenak. Kemudian dipandanginya wajah Kiai Gringsing yang tidak berubah. Tetapi wajah Swandaru menjadi tegang dan wajah Pandan Wangi menjadi kemerah-merahan.

“Baiklah,” berkata orang yang menyebut dirinya Kia Jayaraga, “jika kalian berkeras, biarlah aku memberikan sesuatu yang berharga untuk kalian. Mungkin kalian akan heran bahwa aku mempunyai barang berharga. Tetapi sebenarnyalah aku memang mempunyainya.”

Kiai Jayaraga itupun kemudian membuka bajunya. Masih sambil duduk diperlihatkannya timang ikat pinggangnya.

Emas bermata berlian.

Bukan hanya para perampok itu saja yang terkejut. Tetapi orang-orang yang bersamanya pun terkejut pula.

“Nah,” geram orang bermata juling, “bukankah kau mempunyai barang berharga? Baiklah. Berikan barang-barangmu sebelum kalian kami penggal kepala kalian. Kau tentu mempunyai bukan hanya timang bermata berlian. Tetapi kalian tentu masih, mempunyai yang lain.”

“Tidak Ki Sanak,” jawab Kiai Jayaraga, “aku hanya mempunyai timang ini saja. Ini adalah satu satunya barang berharga yang aku miliki di samping kuda itu.”

“Bohong. Berikan yang lain. Timang itu, dan kalian tentu membawa pendok emas dengan tretes berlian juga. Mungkin cincin bermata permata sebesar klungsu-klungsu atau benda-benda lain yang kau sembunyikan,” teriak orang bermata juling itu.

Kiai Jayaraga termenung sejenak. Namun kemudian ia menggeleng lemah, “Maaf Ki Sanak. Aku tidak mempunyai barang lain yang berharga yang dapat aku berikan kepada kalian.”

“Bohong,” tiba-tiba orang itu bergeser mendekat sambil mengacungkan senjatanya. “Berdiri. Cepat! Aku ingin melihat, apakah kau tidak membawa barang-barang berharga yang lain.”

“Jadi kau tidak percaya kepadaku? Aku sudah dengan jujur menunjukkan apa yang aku punya, meskipun sebelumnya tidak kau ketahui. Namun ternyata kau tidak percaya,” jawab Kiai Jayaraga.

Orang bermata juling itu termenung sejenak. Namun kemudian iapun membentak, “Aku memang tidak percaya. Kau tentu mempunyai lebih dari yang kau tunjukkan itu.”

“Aku sudah menduga Ki Sanak,” berkata Kiai Jayaraga.

“Menduga apa?” bertanya penyamun itu.

“Kau tentu tidak akan percaya. Seandainya aku dapat menunjukkan yang lain, maka kau tentu masih juga bertanya. Bahkan seandainya aku memberikan emas berlian sepedati pun kau tentu masih akan mencari yang lain,” jawab Kiai Jayaraga.

Orang itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian iapun membentak lagi, “Cepat!”

“Ki Sanak,” berkata Kiai Jayaraga, “aku memang hanya mempunyai timang ini saja. Timang ini adalah hadiah dari muridku. Muridku yang telah meninggalkan jalan lurus seperti yang kalian lakukan. Tetapi muridku tidak melakukannya di daratan. Tetapi di lautan. Murid-muridku itu menjadi bajak laut. Kau tahu bajak laut? Semacam penyamun tetapi dilakukan di laut. Dengan kapal dan layar yang terkembang, mengejar kapal-kapal lain untuk dirampoknya.”

Orang bermata juling itu tercenung sejenak. Ketika ia melihat kedua orang kawannya, nampaknya keduanya sudah berubah sikap. Apalagi ketika keduanya mendengar bahwa orang yang dicegatnya itu adalah seorang yang berilmu, ternyata karena ia mempunyai murid dalam olah kanuragan dan bahkan menjadi bajak laut yang ditakuti oleh kapal-kapal yang berlayar di lautan.

“Tetapi ketiga muridku yang menjadi bajak taut itu sudah terbunuh semuanya. Memang tidak ada tempat lain bagi orang-orang yang menempuh jalan hitam selain kematian yang pahit. Dan itu sudah terjadi atas murid-muridku,” berkata Kiai Jayaraga. “Karena itu, apakah kau masih juga berkeras untuk merampas timangku? Aku akan memberikannya, tetapi aku sudah berkata sejujurnya, bahwa aku tidak mempunyai yang lain.”

Kiai Jayaraga benar-benar telah membuka timangnya. Emas tretes berlian. Timang yang tentu sangat mahal harganya.

Namun penyamun yang bermata juling itu masih membentak keras, “Berikan yang lain! Aku yakin, bahwa kau masih mempunyai yang lain. Terutama perempuan itu. Aku memerlukan perhiasannya dan sekaligus orangnya.”

“Jangan berkata begitu,” sahut Kiai Jayaraga, “kedua orang itu adalah anak-anakku Keduanya adalah suami istri. Karena itu jangan kau ganggu perempuan itu.”

“Cepat!” orang itu berteriak, “berikan perhiasan itu dan perempuan itu akan aku bawa pula. Aku akan menghitung sampai tiga. Perempuan itu harus berdiri sambil membawa perhiasan yang ada padanya. Kemudian berkuda bersamaku dan kawan-kawanku.”

Tetapi tiba-tiba Kiai Gringsing memotong, “Cobalah kau bertanya kepada kedua kawanmu. Apakah mereka masih akan meneruskan rencananya menyamun kami?”

Orang bermata juling itu memandang kepada kedua orang kawannya yang berdiri termangu-mangu.

Orang bermata juling itu menjadi tegang. Dengan nada tinggi ia berteriak, “He, kenapa kalian diam saja?

Orang yang tertua itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian Katanya, “Aku menjadi ragu-ragu.”

“Pengecut. Kita sudah terjun ke dalam tata kehidupan seperti ini,” berkata orang bermata juling itu, “kita tidak boleh berhenti.”

“Aku menjadi ragu-ragu menghadapi keempat orang ini. Agaknya mereka adalah orang-orang yang telah matang jiwanya, sehingga kita tidak akan dapat berbuat apa-apa. Bahkan rasa-rasanya aku terpengaruh oleh kata-kata mereka. Apalagi ketika orang tua itu mengatakan bahwa murid-muridnya telah menjadi orang sesat seperti kita. Menjadi bajak laut. Tetapi semuanya sudah terbunuh,” berkata orang yang tertua itu. Lalu, “Rasa-rasanya aku telah bercermin di air yang jernih untuk melihat wajah sendiri.”

“Kau sudah gila,” geram kawannya itu. Lalu katanya kepada orang yang bertubuh tinggi, “Apakah kau juga sudah menjadi seorang pengecut?”

Orang bertubuh tinggi itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku belum terlalu lama memilih jalan seperti ini, sehingga aku belum terperosok terlalu jauh ke dalamnya. Tiba-tiba saja aku dihempaskan kembali ke dalam satu kepercayaan tentang diriku sendiri. Aku percaya kepada kata-kata orang-orang tua itu.”

“Gila!” orang itu berteriak. “Jika demikian, minggirlah. Aku sendiri akan melakukannya. Kau sangka aku tidak dapat menyelesaikan keempat orang itu? Jika mereka melawan, aku sanggup membunuh mereka semuanya.”

“Tidak ada gunanya,” desis orang tertua di antara mereka, “mata hatiku melihat, bahwa kita tidak akan dapat berbuat apa-apa terhadap mereka.”

“Aku tidak peduli. Aku akan merampas semua milik mereka dan perempuan cantik itu,” geram orang bermata juling itu, “tetapi jangan ganggu aku. Jika kalian takut, pergilah.”

Kedua orang kawannya masih saja termangu-mangu. Yang tertua di antara mereka berkata, ”Sudahlah. Aku tahu, bahwa kau telah berada di dalam lingkungan kehidupan yang demikian sejak kau dilahirkan. Sedangkan kami berdua baru mulai di saat kehidupan mencekik leher kami dan anak-anak kami. Tetapi perang itu sudah berakhir, sehingga kami akan dapat menempuh cara hidup yang lain. Bahkan mungkin kau pun akan dapat melakukannya seperti yang akan kami lakukan.”

“Tidak. Seperti yang kau katakan. Dunia ini adalah duniaku sejak aku masih dalam kandungan,” Lalu katanya kepada keempat orang yang masih tetap duduk itu, “Sekarang sudah tidak ada waktu.”

Kiai Gringsing lah yang kemudian menyahut, “Baiklah. Jika kau menghendaki perempuan itu, biarlah perempuan itu menjawabnya sendiri. Jika kau mempergunakan kekerasan, biarlah ia berusaha menyelamatkan dirinya sendiri pula. Kami masih ingin beristirahat.”

Wajah orang bermata juling itu menjadi semakin tegang. Kata-kata orang tua itu benar-benar satu penghinaan.

Karena itulah maka orang itupun tidak ingin menelan penghinaan itu begitu saja. Setelah sejenak ia termangu-mangu, maka tiba-tiba saja di luar dugaan semua orang, orang bermata juling itu benar-benar telah meloncat menerkam Pandan Wangi. Dengan serta merta orang itu menangkap tangan Pandan Wangi dan menariknya dengan kasar.

Pandan Wangi benar-benar terkejut mengalami perlakuan itu. Dalam pada itu, orang bermata juling itu berteriak, “Kalian telah menghina aku. Kalian kira aku tidak dapat menghina kalian?”

Swandaru-lah yang kemudian meloncat dengan tangkasnya. Namun dalam pada itu ujung pedang orang bermata juling itu sudah melekat di lambung Pandan Wangi.

“Gila,” geram Swandaru, “kau licik. Jika kau jantan, kita akan berhadapan sebagai laki-laki.”

“Persetan,” jawab orang itu, “sebagai penyamun aku tidak memerlukan pujian. Aku tidak peduli, apakah aku jantan atau tidak. Yang penting bagiku adalah harta benda. Timang itu dan semua perhiasan yang ada pada kalian. Aku akan pergi bersama perempuan ini.” 

Swandaru benar-benar menjadi tegang. Namun Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga masih tetap tenang, meskipun merekapun kemudian bangkit pula berdiri.

“Jangan main-main seperti itu,” berkata Kiai Gringsing, “kau sangka hal itu tidak berbahaya bagi dirimu sendiri?”

“Jangan kehilangan nalar. Lakukan yang aku katakan jika kalian menghendaki perempuan ini tetap hidup,” geram orang bermata juling itu.

Tetapi jawaban Kiai Gringsing memang mendebarkan. Bahkan Swandaru pun menjadi berdebar-debar pula. Katanya, “Tidak ada gunanya untuk menyelamatkan perempuan itu. Bukankah kau akan membawanya? Bukankah dengan demikian ia akan mengalami perlakuan yang lebih buruk daripada mati?”

“Gila!” orang bermata juling itu hampir berteriak. “Jadi kau biarkan perempuan ini mati?”

“Sudah aku katakan, biarlah perempuan itu berusaha menyelamatkan dirinya sendiri,” jawab Kiai Gringsing. “Nah, cobalah berbuat sesuatu atasnya. Pedangmu tidak akan berarti apa-apa.”

Orang bermata juling itu ternyata terpengaruh juga oleh sikap yang tenang dan kata-kata yang nampaknya meyakinkan.

Ternyata Pandan Wangi benar-benar seorang perempuan yang lantip. la menangkap perkembangan suasana. Ia mengerti maksud Kiai Gringsing. Sehingga karena itu, maka Pandan Wangi itu telah mempergunakan kesempatan sebaik-baiknya.

Pada saat orang bermata juling itu termangu-mangu, Pandan Wangi telah memanfaatkan kesempatan itu sebaik-baiknya. Dengan tangkasnya ia mendorong tangan orang bermata juling yang memegang pedang itu menyamping. Kemudian dengan cepat ia meloncat dan jatuh berguling.

Orang bermata juling itulah yang kemudian terkejut. Ia merasa hentakkan Pandan Wangi. Dengan serta merta ia telah berusaha menguasai senjata. Namun ketika senjatanya itu menebas mendatar, maka Pandan Wangi sudah berguling di tanah sehingga pedang itu tidak menyentuhnya.

Kemarahan yang tidak terkira telah membakar jantung orang itu. Dengan serta merta ia meloncat memburu. Namun tiba-tiba saja langkahnya terhenti ketika dua ujung pedang tipis teracu ke dadanya.

“Setan betina,” geram orang itu.

Ternyata Pandan Wangi telah melenting berdiri dengan kaki renggang dan sepasang pedang di tangannya.

Orang bermata juling itu tidak melihat, kapan Pandan Wangi melakukan gerak sehingga sampai pada sikapnya yang terakhir. Namun satu kenyataan, bahwa perempuan itu telah menggenggam sepasang pedangnya di kedua tangannya.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Bahkan orang tua itu tersenyum sambil berkata, “Apa katamu sekarang Ki Sanak?”

“Persetan,” geram orang itu, “aku tetap pada pendirianku.”

“Kau tinggal seorang diri,” berkata Kiai Gringsing, “kedua orang kawanmu telah melihat jalan kembali kepada pergaulan manusia sewajarnya.”

“Aku tidak peduli!” orang itu berteriak. “Aku memerlukan timang dan pendok emas. Perhiasan-perhiasan keris kalian. Aku memerlukannya. Apa saja yang ada pada kalian.”

Swandaru tidak lagi dicengkam oleh ketegangan. Iapun yakin sebagaimana gurunya, bahwa ternyata Pandan Wangi dapat mengatasi kesulitannya sendiri.

Karena itu, maka iapun kemudian bergeser mendekati Kiai Gringsing sambil bergumam, “Hampir saja aku bertindak.”

Kiai Gringsing tersenyum. Katanya, “Aku melihat kemampuan orang itu. Tetapi biarlah ia mendapat satu pengalaman yang mungkin berharga bagi hidupnya.”

Swandaru mengangguk-angguk. Sementara itu orang bermata juling itu berteriak, “Jangan memaksa aku melakukan kekerasan lagi! Lakukan apa yang aku perintahkan.”

Pandan Wangi termangu-mangu sejenak. Ketika ia memandang sekilas kedua orang kawan penyamun itu, maka ia tidak melihat tanda-tanda bahwa mereka akan membantu orang bermata juling itu, apalagi di belakangnya ada suaminya dan kedua orang tua yang memiliki ilmu yang luar biasa itu. Karena itu, maka perhatiannya pun ditujukan pada orang yang telah menangkapnya itu.

Dalam pada itu, kedua orang penyamun yang lain merasa betapa jantungnya terlepas dari cengkeraman ketegangan. Bahkan merekapun menggeleng lemah, ketika mereka melihat satu kenyataan, perempuan itu mampu melepaskan dirinya dari tangan orang bermata juling, orang yang sama sekali tidak memiliki perhitungan kemanusiaan itu.

Dengan demikian maka kedua orang itu menjadi semakin yakin, bahwa keempat orang itu tentu bukan orang kebanyakan yang akan dapat menjadi sasaran mereka. Apalagi beberapa pesan yang dikatakan oleh dua orang tua di antara mereka itu benar-benar telah menyentuh hati mereka.

Karena itu, maka sudah tidak ada minat sama sekali dari kedua orang penyamun itu untuk melibatkan diri. Mereka tidak akan berbuat apapun juga. Bukan saja saat itu, tetapi rasa-rasanya merekapun telah jemu untuk tetap hidup dalam suasana yang penuh ketegangan, bernoda darah dan bernafaskan maut.

Sementara itu, penyamun yang seorang itu sama sekali tidak terpengaruh oleh sikap kawan-kawannya. Bahkan seakan-akan ia tidak melihat kenyataan tentang perempuan yang berhasil melepaskan diri dari tangannya, dan yang kemudian telah menggenggam pedang rangkap berdiri di hadapannya.

Dengan nada kasar orang itu masih berkata, “Jangan kau kira bahwa aku akan takut menghadapi pedang rangkapmu. Aku memang ingin membawamu. Tetapi jika kau keras kepala, maka aku tidak akan segan untuk membunuhmu. Kau kira bagiku kau lebih berharga dari emas dan berlian?”

Pandan Wangi sama sekali tidak menjawab. Tetapi ia juga tidak bergerak. Kedua pedangnya masih teracu, sementara tatapan matanya yang tajam menghunjam ke wajah lawannya yang kasar itu.

Sejenak keduanya berdiri tegak dalam ketegangan. Namun sejenak kemudian penyamun yang marah itu telah meloncat menyerang Pandan Wangi dengan garangnya.

Tetapi Pandan Wangi sudah bersiap. Karena itu, maka serangan itu sama sekali tidak menggetarkannya. Dengan tangkasnya ia telah meloncat menghindar dan dengan pedangnya ia menangkis serangan itu.

Lawannya yang kehilangan sasaran segera berputar. Pedangnya menyambar mendatar mengarah lambung, tetapi sekali lagi pedangnya terayun tanpa menyentuh perempuan yang tangkas itu. Bahkan ketika sekali lagi ia memburu dengan loncatan panjang dan pedang terjulur, maka justru lawannyalah yang telah mendahuluinya menyerang lambung.

Dengan cepat orang itu menarik serangannya. Sambil menggeliat ia menangkis serangan Pandan Wangi.

Serangan Pandan Wangi memang tidak mengenainya. Tetapi serangan itu bukan serangan yang sungguh-sungguh. Karena itu, ketika orang itu melenting surut, maka Pandan Wangi justru tersenyum. Tetapi ia tidak mengejarnya.

Lawannya yang kasar itu mengumpat. Tetapi iapun segera bersiap untuk bertempur dengan segenap kemampuan yang ada padanya.

Orang tertua di antara para penyamun itu dan orang yang bertubuh tinggi itupun menyaksikan perkelahian itu dengan tegangnya. Tetapi mereka menjadi heran, bahwa kedua orang tua di antara orang-orang yang menjadi sasaran penyamun itu nampaknya masih tetap tenang saja. Bahkan seakan-akan mereka tidak banyak tertarik perkelahian yang semakin lama menjadi semakin cepat. Hanya anak muda yang bertubuh gemuk, yang disebut sebagai suami perempuan yang berkelahi itu sajalah yang dengan penuh perhatian mengikuti pertempuran bersenjata itu.

Tetapi Swandaru itu pun sejenak kemudian segera menjadi tenang. Penyamun itu memang tidak memiliki kemampuan yang memadai untuk berkelahi melawan Pandan Wangi dalam arti sesungguhnya. Sebenarnyalah, yang terjadi kemudian bukanlah satu pertempuran yang telah menyerap terlalu banyak tenaga Pandan Wangi. Yang dilakukan kemudian adalah sekedar mengimbangi lawannya. Bahkan yang dilakukan oleh Pandan Wangi kemudian seakan-akan sekedar membawa seorang anak untuk bermain-main.

Para penyamun, termasuk yang sedang bertempur itu sendiri, kurang menyadari akan hal itu. Lawannya yang bertempur dengan keras itu menganggap bahwa lawannya pun telah mengerahkan segenap kemampuannya pula.

Sementara itu, Kiai Jayaraga yang menyaksikan pertempuran itu bergumam, “Orang itu sudah mengerahkan segenap kemampuannya. Tetapi bekalnya memang terlalu sedikit. Bahkan menurut pengamatanku, bukan saja karena ia tidak mendapat tuntunan dalam olah kanuragan, tetapi agaknya ia memang tidak memiliki kecerdasan untuk melakukannya. Seandainya aku mengambilnya menjadi muridku, maka sepanjang sisa hidupku aku tidak akan dapat membentuknya menjadi seorang yang memiliki ilmu yang memadai.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun sebelum ia menjawab, Kiai Jayaraga telah berkata pula “Nampaknya orang bertubuh tinggi itu justru memiliki dasar badani yang memungkinkan. Tetapi aku tidak tahu, apakah otaknya sebaik bentuk tubuhnya.”

“Apakah kau masih saja berminat untuk mengambil murid dari lingkungan mereka?” bertanya Kiai Gringsing. “Kita memang berkewajiban untuk mengarahkan mereka ke jalan yang baik. Tetapi, kita tidak dapat dengan serta merta memungut mereka untuk kita beri satu kepercayaan menerima ilmu yang akan dapat membuat mereka menjadi orang-orang yang berkemampuan tinggi,” berkata Kiai Gringsing.

“Ya, ya. Aku mengerti. Jika nalar mereka menjadi gelap kembali, maka ilmu yang ada pada mereka itu akan sangat berbahaya. Bukankah begitu?” bertanya Kiai Jayaraga.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia mengerti, perasaan yang tersirat di hati Kiai Jayaraga. Sebagai seorang yang pernah hidup dalam lingkungan yang kelam, maka ia masih tetap ingin menyelamatkan orang-orang seperti dirinya dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk hidup dalam suasana yang baik, wajar dan tidak memusuhi sesama. Tetapi usaha yang pernah dilakukan telah gagal. Tiga muridnya menjadi bajak laut. Yang seorang, yang menjadi Tumenggung ternyata terperosok ke dalam kegelapan nalar juga. Bahkan menjadi lebih berbahaya dari ketiga bajak laut itu sendiri, karena Tumenggung Prabadaru mempunyai kekuasaan dan mempunyai pasukan segelar sepapan.

Dalam pada itu, Pandan Wangi masih bertempur melawan penyamun yang menjadi semakin marah. Semua serangannya sama sekali tidak berhasil menyentuh lawannya. Apalagi melumpuhkannya. Bahkan ketika ia sempat melihat kawan-kawan perempuan itu masih saja menanggapi peristiwa itu dengan tenang, hatinya bagaikan menjadi terbakar.

Namun dalam pada itu, Swandaru-lah yang menjadi jemu. Karena itu maka ia pun kemudian berkata kepada Kiai Gringsing, “Guru, bukankah sebaiknya Pandan Wangi mengakhiri permainan yang menjemukan itu? Kita tidak mempunyai terlalu banyak waktu untuk melayaninya.”

Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Biarlah ia menjadi letih dan berhenti dengan sendirinya. Bukankah Pandan Wangi juga bermaksud demikian?”

“Tetapi kita akan terhenti terlalu lama,” jawab Swandaru.

“Orang itu tidak akan dapat bertahan lebih lama lagi,” berkata Kiai Jayaraga.

Swandaru tidak menjawab. Sebenarnyalah ia melihat penyamun itu sudah menjadi letih. Serangan-serangannya menjadi semakin tidak terarah. Bahkan sekali-sekali langkahnya telah terseret oleh ayunan pedangnya sendiri.

Pandan Wangi masih juga meloncat-loncat dengan lincahnya. Dengan sengaja ia memancing agar lawannya bergerak lebih banyak sehingga pertempuran itu akan menjadi semakin cepat selesai.

Dua orang di antara penyamun yang memilih sikap mereka sendiri itu mengamati pertempuran yang menjadi semakin lamban dengan hati yang berdebar-debar. Ternyata mereka mempunyai pengenalan yang lebih baik tentang pertempuran itu daripada orang yang terlibat langsung di dalamnya. Karena itu, maka merekapun segera mengetahui bahwa pertempuran itu akan segera selesai. Kawannya telah menjadi sangat lelah dan tidak mampu bertempur dalam tataran sewajarnya.

Dengan jantung yang berdebar-debar kedua orang yang tidak ikut terlibat dalam pertempuran itu menunggu. Apa yang dilakukan oleh perempuan itu setelah pertempuran selesai.

“Apakah sikap perempuan itu sesuai dengan pesan yang telah dikatakan oleh kedua orang tua itu?” pertanyaan itu tumbuh di hati kedua orang penyamun yang berdiri termangu-mangu itu.

Jika perempuan itu mempunyai sikap yang berbeda dengan orang tua-tua itu, maka nasib kawannya yang seorang itu akan menjadi sangat buruk. Perempuan itu dapat menunggu sampai kawannya itu menjadi sangat letih dan kehilangan kemampuan untuk melawan. Dalam keadaan yang demikian, maka perempuan itu akan dapat berbuat apa saja terhadap laki-laki yang telah menghinanya, karena laki-laki yang dikalahkannya itu telah menyatakan niatnya untuk membawanya. Jika dikehendaki, maka dalam keadaan yang sangat letih, perempuan itu akan dengan mudah dapat menghunjamkan ujung pedangnya di dada laki-laki itu dengan penuh penglihatan. Bahkan kedua-dua ujung pedang rangkapnya.

Demikianlah, maka akhirnya penyamun itu benar-benar telah kehilangan segenap tenaganya. Ia memang masih mampu mengayunkan pedangnya, tetapi tubuhnya sendiri terseret ayunan pedangnya sehingga hampir saja orang itu jatuh terjerembab.

Dalam keadaan yang gawat itu Pandan Wangi bergeser surut. Sambil berdiri tegak ia berkata, “Apakah kau masih berniat untuk membawa harta benda kami?”

“Persetan. Kau akan menyesali sikapmu,” geram penyamun yang kelelahan itu. Dengan nafas terengah-engah ia berkata selanjutnya, “Berikan timang emas itu.”

“Kau tidak dapat berbuat apa-apa lagi,” berkata Pandan Wangi.

“Baiklah. Aku tidak akan mengambil kuda yang kalian bawa. Aku hanya akan membawa timang emas tretes berlian itu serta kau,” jawab penyamun yang kelelahan itu.

“Gila,” Pandan Wangi berdesah. Wajahnya menjadi merah. Namun justru untuk menyembunyikan perasaannya ia telah membentak, “Kau sangka kau masih akan dapat hidup?”

“Kenapa?” bertanya penyamun itu

“Dalam keadaanmu itu, aku akan dapat melubangi perutmu sampai tembus ke punggung,” jawab Pandan Wangi.

“Jangan, jangan bunuh aku,” minta orang itu.

“Karena itu, jangan mengigau lagi tentang keinginanmu itu,” geram Pandan Wangi kemudian.

“Baiklah. Jika kau tidak mau, apa boleh buat. Aku tidak akan membawanya. Aku hanya memerlukan timang itu dan semua perhiasan yang kalian bawa,” jawab orang itu.

“Kau memang sudah gila,” Pandan Wangi hampir menjerit oleh kejengkelannya, “semua itu tidak ada gunanya bagimu, karena kau akan mati.”

“Jangan bunuh aku. Aku mengaku kalah.” gumam orang itu. “Baiklah. Biarlah aku mendapat timang itu saja.”

“Tidak. Tidak. Tidak!” Pandan Wangi tidak dapat menahan gelora perasaannya. “Kau tidak akan mendapat apa-apa. Coba sebut lagi satu saja di antara barang-barang yang kau kehendaki. Aku akan mengoyak mulutmu.”

Pandan Wangi itupun melangkah mendekat. Pedangnya teracu ke wajah laki-laki yang kelelahan itu.

Laki-laki itu surut selangkah. Hampir saja ia kehilangan keseimbangannya.

“Katakan, apa maumu sekarang? Pedang ini siap menyobek bibirmu,” suara Pandan Wangi gemetar oleh kemarahannya.

Orang itu termangu-mangu. Namun ia tidak menjawab.

Dalam pada itu, Kiai Gringsing pun mendekati Pandan Wangi sambil tertawa pendek. Katanya, “Itulah gambaran dari keinginan seseorang, Pandan Wangi. Ketika Kiai Jayaraga menunjukkan timang, ia menuntut lebih banyak. Jauh lebih banyak. Tetapi ketika ia sadar bahwa yang banyak itu tidak mungkin, maka keinginannya pun surut sedikit demi sedikit pula. Bahkan menjadi lebih kecil dari yang seharusnya dapat dimiliki sebelumnya.”

Pandan Wangi menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti maksud Kiai Gringsing. Bahwa yang dilakukan oleh orang itu adalah hal yang banyak dilakukan oleh orang lain, namun dalam ujud yang berbeda. Tetapi cara yang dipergunakan oleh orang itu benar-benar sangat menjengkelkan.

Dalam pada itu Kiai Gringsing kemudian berkata “Jangan kau tangkap sikap orang itu dengan perasaanmu. Kau akan menjadi marah dan mungkin kehilangan pengamatan diri.”

Pandan Wangi mengangguk-angguk. Sementara itu Kiai Gringsing-lah yang mendekati orang itu sambil bertanya, “Nah Ki Sanak. Kau sekarang tahu, bahwa kau tidak akan mendapat apa-apa, karena sebentar lagi akan mati.”

“Tidak. Jangan bunuh aku,” berkata orang itu.

Kiai Gringsing tersenyum. Lalu katanya, “Seandainya kau masih mendapat kesempatan untuk mengajukan satu permohonan sebelum kau dipenggal kepalamu, apakah kira-kira yang akan kau minta?”

“Aku minta ampun. Aku minta untuk dihidupi,” jawab orang itu.

Kiai Jayaraga-lah yang tertawa. Katanya, “Kau menyindir aku, Kiai? Aku berpengharapan atas murid-muridku. Yang sedikit menjadi semakin banyak, akhirnya yang banyak itu susut lagi, meskipun baru dalam ujud keinginan. Belum dalam ujud kenyataan. Akhirnya semuanya tidak pernah ada.”

“Aku tidak bermaksud demikian,” jawab Kiai Gringsing, “aku ingin menunjukkan kepada mereka sendiri. Bahkan kita harus berbuat wajar. Keinginan kita juga harus wajar.”

Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Sementara itu Kiai Gringsing berkata kepada Pandan Wangi, “Biarlah permintaannya yang terakhir itu sajalah yang didapatkannya.” Lalu katanya kepada Kiai Jayaraga, “Ia tidak memerlukan timang itu lagi Kiai. Jika kau berikan timang itu, maka ia tentu menginginkan yang lain lagi.”

“Ya, ya Kiai, aku mengerti,” jawab Kiai Jayaraga yang mengkaitkan ikat pinggangnya lagi dengan timang emas tretes berliannya. Namun ia kemudian berkata, “Timang ini sebenarnya bukan dari muridku yang menjadi bajak laut itu. Tetapi timang ini adalah peninggalan orang tuaku. Dan aku tahu, bahwa orang itu tidak akan memilikinya sebagaimana yang terjadi.”

Kiai Gringsing pun tertawa. Katanya, “Baiklah. Kita akan berbicara dengan mereka.”

Ketiga orang penyamun itupun kemudian dimintanya untuk duduk. Sementara Pandan Wangi berusaha untuk memenangkan hatinya yang bergelora. Sementara Swandaru pun duduk di sampingnya sambil berdesis, “Sudahlah. Kau sebaiknya berusaha menyesuaikan diri dengan tingkah laku Guru.”

“Aku sudah mengenalnya,” jawab Pandan Wangi, “tetapi kadang-kadang aku masih juga harus belajar untuk mengenal lebih banyak lagi. Tetapi penyamun itu memang menjengkelkan sekali.”

Swandaru pun tersenyum pula. Ia sendiri telah diombang-ambingkan oleh satu ketegangan menghadapi permainan gurunya itu.

Namun satu hal yang luput dari perhatian Swandaru. Justru yang dikehendaki oleh gurunya.

Tetapi, Pandan Wangi meskipun sedang dicengkam oleh kejengkelan, ia menangkap betapapun tipisnya, maksud Kiai Gringsing. Bahkan seseorang tidak boleh dikuasai oleh satu keinginan yang tidak terkendali sehingga akan menyulitkan dirinya sendiri. Apalagi dengan cara yang paling buruk seperti dilakukan oleh ketiga orang penyamun itu, meskipun dua di antara mereka kemudian melepaskan niatnya.

Meskipun pada dasarnya keinginan seseorang itu tidak terbatas, yang pada satu saat berkembang menggelembung melampaui bulatan bumi, sedangkan kemudian dapat berkerut mengecil sebesar biji kapuk randu yang ikut terbawa tiupan angin, namun dengan penalaran maka keinginan-keinginan itu akan dapat dikendalikan, sehingga akan menjadi wajar bagi seseorang.

Demikianlah, akhirnya ketiga orang menyamun itu harus duduk bersama dengan empat orang yang seharusnya menjadi sasaran mereka. Namun ternyata mereka bertiga tidak mampu berbuat apa-apa.

Untuk beberapa saat, mereka sempat berbicara tentang keadaan dan latar belakang kehidupan ketiga penyamun itu. Memang ada beberapa perbedaan. Terutama seorang di antara mereka, memang terbentuk dalam satu kehidupan yang membuatnya benar-benar menjadi seorang penyamun.

“Tetapi kali ini aku terbentur pada satu kenyataan,” katanya, “aku dikalahkan oleh seorang perempuan.”

“Ingat. Kali ini kau terbentur pada kemampuan seorang perempuan yang mempunyai kesabaran seluas lautan,” berkata Kiai Jayaraga, “seandainya kau membentur satu kekuatan apakah ia seorang laki-laki atau seorang perempuan, tetapi tidak memiliki kesabaran, maka kau tentu sudah dicincang di sini.”

Orang itu mengangguk-angguk.

“Nah, sekarang aku akan mengajukan satu permintaan kepada kalian,” berkata Kiai Gringsing, “apakah kalian akan dapat menghentikan perbuatan ini?”

“Ya,” hampir berbareng dua orang di antara mereka telah menjawab. Seorang yang tertua di antara mereka, dan seorang yang bertubuh tinggi. Tetapi seorang tidak memberikan jawaban apapun juga.

“Bagaimana dengan kau Ki Sanak?” bertanya Kiai Gringsing, “Apakah kau masih akan tetap mengeraskan hatimu atas kehidupan baru yang lebih baik bagimu? Bukan saja sekarang tetapi juga masa depan?”

“Ki Sanak,” jawab orang itu, ”aku memang seorang yang tidak mengenal diriku sendiri. Aku sekarang melihat, bahwa ada jalan yang lebih baik yang dapat aku lalui. Tetapi aku tidak yakin, bahwa aku akan dapat bertahan. Aku tidak yakin tentang diriku sendiri bahwa pada satu saat aku tidak akan terjun kembali ke duniaku yang terbentuk sejak aku masih di dalam kandungan biyungku. Karena ayahku memang seorang penyamun.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Tetapi ketika ia memandang wajah Kiai Jayaraga ia mengerutkan keningnya. Nampak wajah Kiai Jayaraga menjadi gelisah.

Namun Kiai Gringsing segera menangkap arti dari pertanda itu. Kiai Jayaraga adalah seorang yang hatinya memang mudah sekali tersentuh. Ia melihat kejujuran penyamun itu, sehingga ia menjadi sangat kasihan. Jika tidak ada Kiai Gringsing bersamanya, orang itu tentu dibawanya dan dianggapnya sebagai muridnya.

Namun dalam pada itu, agaknya Kiai Jayaraga telah menahan diri. Ia masih tetap sadar akan pesan Kiai Gringsing. Betapapun juga hatinya bergejolak, tetapi ia masih tetap menghormati orang yang pernah mengalahkannya itu.

Dalam pada itu, maka Kiai Gringsing kemudian berkata, “Ki Sanak. Kau ternyata seorang yang sangat jujur. Kau mengakui dengan terus terang dan ikhlas, cacat di dalam dirimu. Itu adalah satu pertanda bahwa jika kau berusaha, kau akan dapat mengenal dirimu lebih banyak lagi. Dengan sadar kau akan dapat berjuang untuk mengatasi gejolak di dalam dirimu sendiri.”

Orang itu mengangguk-angguk. Namun masih saja terbayang keragu-raguan di wajahnya.

“Baiklah Ki Sanak,” berkata Kiai Gringsing, “segalanya akan kami serahkan kepada kalian masing-masing. Kami hanya dapat memberikan beberapa pesan yang sudah kami katakan. Mudah mudahan kalian masing-masing berhasil memerangi diri sendiri, sehingga kalian akan dapat berdiri di atas satu pribadi yang oleh sesama tidak dianggap sebagai satu cacat.”

Ketiga orang itu tidak menjawab. Sementara itu Kiai Gringsing berkata selanjutnya, “Jika pada satu saat kau ingin menemui kami, maka datanglah ke sebuah padepokan kecil di pinggir Kademangan Jati Anom. Aku akan berada di sana, atau di Kademangan Sangkal Putung.”

“Apakah Ki Sanak demang di Sangkal Putung?” bertanya orang yang bertubuh tinggi.

“Bukan Ki Sanak. Aku bukan demang. Aku adalah penghuni sebuah padepokan. Tetapi kadang-kadang aku berada di Sangkal Putung. Anak ini adalah anak Demang Sangkal Putung, dan perempuan ini adalah istrinya.”

“Anak Ki Demang Sangkal Putung?” ulang yang tertua.

“Ya. Apakah kau sudah mengenalnya?” bertanya Kiai Jayaraga.

“Yang bernama Swandaru Geni?” bertanya orang itu pula.

“Ya,” jawab Kiai Jayaraga.

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Untunglah bahwa ia menyadari kekeliruannya sebelum anak muda yang gemuk itu bertindak. Menurut pendengarannya, anak Demang Sangkal Putung yang bernama Swandaru Geni adalah seorang yang memiliki ilmu petir yang dapat dilontarkan lewat ujung cambuknya.

Dalam pada itu, maka Kia Gringsing pun kemudian berkata, “Nah, sudahlah. Kita sudah cukup berbicara di sini. Kami harus segera melanjutkan perjalanan kami. Kami sama sekali tidak berniat untuk menangkap kalian dan menyerahkannya kepada siapapun. Tetapi dengan satu perjanjian, bahwa sekali lagi kita berjumpa dalam suasana seperti ini, maka kami pun tidak akan menangkap kalian. Tetapi kami akan langsung menghukum kalian.” Ketiga orang itu tidak menjawab. Ada semacam perasaan asing di dalam diri mereka setelah untuk beberapa lamanya mereka bertualang dalam dunia yang kelam itu.

Demikianlah, maka sejenak kemudian Kiai Gringsing, Kiai Jayaraga, Swandaru dan Pandan Wangi telah mengemasi diri dan membenahi kudanya. Sejenak kemudian mereka telah meloncat ke punggung kuda masing-masing.

“Renungkan,” desis Kiai Gringsing, “sekarang kami minta diri.”

Ketiga orang itu berdiri termangu-mangu. Mereka melihat keempat ekor kuda itu kemudian meninggalkan mereka, berpacu menuju ke Sangkal Putung.

Demikian kuda itu hilang di balik debu yang terlontar dari belakang kaki mereka, maka ketiga orang itu bagaikan terbangun dari sebuah mimpi. Mimpi yang masih saja terasa asing.

“Aku tidak menyangka bahwa yang gemuk itu adalah Swandaru Geni,” desis orang tua di antara ketiga orang yang termangu-mangu itu.

“Untunglah, orang-orang tua itu agaknya cukup sabar menghadapi orang-orang seperti kita ini,” berkata orang yang bertubuh tinggi.

Yang seorang lagi ternyata lebih banyak merenungi dirinya sendiri. Peristiwa yang baru saja terjadi itu merupakan satu pengalaman yang aneh baginya. Ia sendiri hampir tidak pernah memaafkan seseorang yang pernah bersalah kepadanya.

“Marilah,” tiba-tiba orang tertua di antara mereka itu mengajak. “Kita akan kembali dengan satu persoalan hati. Namun agaknya aku harus mengambil keputusan yang sesuai dengan pesan orang-orang tua itu.”

Kawan-kawannya menarik nafas dalam-dalam. Namun merekapun kemudian dengan kepala tunduk berjalan menyusuri jalan yang sepi, yang jarang dilalui orang. Sikap lahiriah ketiganya telah menunjukkan keletihan hati mereka.

Dalam pada itu, Swandaru telah berpacu bersama Pandan Wangi justru mendahului gurunya. Ada semacam kekesalan di hati Swandaru. Bahkan dengan nada datar akhirnya terdengar ia bergumam, “Apa yang kita dapatkan dari permainan Guru ini?”

Pandan Wangi tidak segera menjawab. Iapun tidak melihat manfaat yang langsung bagi mereka. Namun bagi Pandan Wangi, ternyata Kiai Gringsing telah berusaha menunjukkan satu jalan yang lebih baik bagi kehidupan seseorang.

“Agaknya Kiai Gringsing ingin berbuat sesuatu bagi kepentingan mereka,” berkata Pandan Wangi kemudian.

“Kau sangka orang-orang itu besok, tidak akan menyamun lagi?” bertanya Swandaru, “Hanya barangkali mereka menjadi lebih berhati-hati.”

Pandan Wangi tidak menjawab. Tetapi ia mempunyai pendapat yang agak berbeda. Memang pada suatu saat mungkin pula orang itu kehilangan pengekangan diri karena satu sebab, sehingga akhirnya ia kembali ke dalam dunia yang dijauhi oleh sesama itu. Namun tidak besok. Tidak lusa dan tidak dalam waktu dekat. Bahkan mungkin mereka benar-benar akan dapat memilih jalan hidup yang lain yang memberikan arti yang sebenarnya bagi seseorang.

Dalam pada itu, maka iring-iringan itu semakin lama menjadi semakin jauh dari ketiga orang penyamun yang telah tersentuh hatinya untuk merenungi jalan hidupnya itu. Ketika kemudian mereka memasuki daerah Prambanan dan menyeberang Kali Opak, mereka tidak berhenti sebagaimana yang sering mereka lakukan.

Swandaru yang berkuda di depan bersama Pandan, Wangi rasa-rasanya menjadi tergesa-gesa. Meskipun demikian, sekali-sekali keduanya telah memperlambat lari kudanya untuk menunggu Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga.

Dalam perjalanan itu, meskipun hanya sekilas Kiai Jayaraga dapat melihat sifat dan watak Swandaru. Ada semacam gejolak yang melonjak-lonjak di hati anak itu. Tetapi ada sesuatu yang agak berlebihan sehingga kadang-kadang sifatnya menjadi keras dan kurang menghargai orang lain. Meskipun harus diakui bahwa ia memiliki kemampuan yang cukup tinggi, namun anak muda itu sendiri kurang dapat menilai, sehingga perlu diperbandingkan dengan ilmu orang lain.

Dalam perjalanan itu, Kiai Gringsing pun telah menceritakan keberhasilan Swandaru membuat Sangkal Putung menjadi satu kademangan yang menonjol di antara kademangan-kademangan lain. Bahkan Kademangan Jati Anom sekalipun. Namun keberhasilannya itu memang dapat menumbuhkan kebanggaan yang agak berlebihan. Kebanggaan tentang kademangannya dan kebanggaan tentang diri sendiri.

Tentang murid Kiai Gringsing yang seorang, yang sedang dalam keadaan sakit, Kiai Jayaraga tidak dapat membayangkan. Ia hanya mendengar serba sedikit tentang anak muda itu. Agung Sedayu termasuk murid yang tekun dan mempunyai sikap yang berbeda dengan Swandaru.

Tetapi, semuanya itu baru didengarnya. Ia sama sekali belum melihat sikap itu dalam kehidupannya sehari-hari. Tetapi menilik kata-kata yang diucapkan dalam hubungannya yang pendek dengan anak muda itu, Kiai Jayaraga memang merasakan perbedaan itu. Agaknya Agung Sedayu termasuk salah seorang dari anak-anak muda yang rendah hati.

Demikianlah, maka iring-iringan itupun kemudian telah memasuki Kademangan Sangkal Putung. Beberapa orang yang melihat kedatangan dan iring-iringannya telah memberikan salam keselamatan.

“Swandaru dikenal dengan akrab oleh orang-orang Sangkal Putung,” desis Kiai Jayaraga.

“Sudah aku katakan, bahwa tugasnya di Sangkal Putung agaknya cukup berhasil dilakukannya,” jawab Kiai Gringsing, “dari anak-anak yang baru dapat merangkak, sampai orang-orang tua yang sudah pikun mengenalnya dengan baik. Para petani, para pedagang, pande besi dan gembala, merasa mendapat perlindungannya.”

Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Katanya, “Bukan main. Jarang sekali anak muda dapat berbuat demikian. Biasanya mereka lebih mementingkan kesenangan diri tanpa menghiraukan persoalan-persoalan yang lebih besar.”

“Yang penting adalah satu petunjuk untuk sedikit mengekang kebanggaan atas hasil pekerjaannya dan kebanggaan akan dirinya sendiri,” desis Kiai Gringsing, “namun ternyata sulit sekali melakukannya.”

Kiai Jayaraga mengangguk-angguk. Menurut pengamatannya sekilas, yang dikatakan oleh Kiai Gringsing itu memang sesuai. Terasa di dalam nada kata-kata Kiai Gringsing, bahwa Kiai Gringsing menjadi prihatin atas sifat muridnya yang tidak sesuai dengan keinginannya. Namun juga terasa kasih yang besar seorang guru terhadap muridnya yang arah langkahnya tidak tepat seperti kehendaknya, sehingga menimbulkan kecemasan yang sangat bagi hari depannya.

Sekilas Kiai Jayaraga teringat kepada murid-muridnya. Semua murid-muridnya menjadi jauh lebih buruk dari Swandaru. Rasa-rasanya ia menjadi patah dan sama sekali tidak lagi ingin mengangkat seorang murid. Namun kadang-kadang tumbuh juga satu keinginan untuk mencobanya lagi.

“Agaknya Kiai Gringsing benar,” berkata Kiai Jayaraga di dalam hatinya, “aku harus lebih memilih. Bukan sekedar berdasarkan belas kasihan saja kepada seseorang.”

Dalam pada itu, maka Swandaru dan Pandan Wangi pun telah memasuki padukuhan induk. Beberapa orang anak muda menegur mereka dengan ramah. Sementara itu, ketika mereka sampai ke gerbang halaman, suasana di halaman rumah itu menjadi meriah.

Ki Demang yang diberi tahu atas kedatangan Swandaru segera menyongsongnya. Ternyata Swandaru datang bersama istrinya, Kiai Gringsing dan seorang tamu.

Setelah mengikat kuda mereka di patok-patok yang tersedia, maka merekapun segera dipersilahkan naik ke pendapa.

Kiai Gringsing, Kiai Jayaraga dan Swandaru pun langsung naik ke pendapa. Hanya Pandan Wangi-lah yang lewat longkangan, pergi ke pakiwan dan langsung masuk ke ruang dalam.

Orang-orang di dapur pun kemudian menjadi ribut juga melihat kehadiran Pandan Wangi. Berebut mereka mengucapkan selamat datang dan bahkan kemudian bertanya-tanya tentang perjalanan mereka yang agak lama itu. “Di pendapa ada tamu,” berkata Pandan Wangi, “siapkan minuman. Dan kami pun belum makan.”

“Baiklah,” jawab perempuan-perempuan di dapur.

Demikianlah, ketika Pandan Wangi berganti pakaian dengan pakaian seorang perempuan yang utuh, maka di dapur telah terjadi kesibukan untuk mempersiapkan minum dan makan bagi tamu serta mereka yang baru datang.

Kiai Gringsing pun kemudian memperkenalkan Kiai Jayaraga kepada Ki Demang, tanpa menyebut asal-usulnya sama sekali.

Dengan tanpa kecurigaan sama sekali, maka Ki Demang telah mempersilahkan Kiai Jayaraga untuk berada di Kademangan itu, sebagaimana dikatakan oleh Kiai Gringsing.

Dalam pada itu, maka sejenak kemudian Pandan Wangi pun telah keluar dari ruang dalam sambil membawa beberapa mangkuk minuman panas dan beberapa potong makanan.

“Begitu cepatnya,” desis Kiai Jayaraga, “kapan kau buat makanan itu?”

“Makanan ini sudah ada,” jawab Pandan Wangi, “marilah. Silahkan minum, mumpung masih hangat.”

Sambil minum, merekapun masih juga berbincang. Ki Demang masih saja selalu bertanya tentang keadaan Agung Sedayu.

“Ia akan segera menjadi baik,” berkata Kiai Gringsing, “aku sudah meninggalkan obat untuknya.”

“Syukurlah. Aku sudah rindu kepada anak itu. Suami istri. Mudah-mudahan ia mendapat kesempatan untuk datang ke kademangan ini,” desis Ki Demang.

“Aku kira, setelah ia sembuh, tidak terlalu banyak lagi yang harus ditangani di Tanah Perdikan Menoreh. Semuanya sudah berjalan sebagaimana di Kademangan Sangkal Putung. Mungkin masih ada yang harus ditingkatkan. Tetapi tidak akan terlalu banyak memerlukan tenaga,“ jawab Kiai Gringsing.

Demikianlah, maka Kiai Jayaraga itupun sejak saat itu berada di Kademangan Sangkal Putung. Memang tidak ada niatnya untuk kembali ke padepokannya yang terpencil dan terpisah. Tidak ada gunanya lagi baginya untuk memisahkan diri. Bagaimanapun juga ia masih saja terlibat dalam persoalan dengan sesamanya.

Karena itu, maka ia merasa lebih baik berada di antara sesamanya itu lagi sebagaimana dilakukan sebelum ia memisahkan diri. Menyepi di tempat yang terpencil bukan satu-satunya jalan untuk menemukan ketenangan.

Di Kademangan Sangkal Putung, Kiai Jayaraga mendapat kesempatan untuk mengikuti pertumbuhan ilmu Swandaru yang kembali menekuni kitab Kiai Gringsing. Nampaknya setelah bergaul beberapa lama, Kiai Gringsing benar-benar tidak mencurigainya lagi. Rasa-rasanya ia dapat mengenali isi hati Kiai Jayaraga itu sebagaimana ia menerawang bintang-bintang di langit yang cerah.

Sebenarnya Kiai Jayaraga telah mempercayakan semua isi dadanya kepada Kiai Gringsing. Ia tahu, bahwa Kiai Gringsing adalah seorang yang memiliki ilmu seakan-akan tiada batasnya. Namun orang itu dengan cermat menempatkan dirinya dalam tataran hidup sewajarnya. Setiap pagi pergi ke sungai. Di siang hari duduk di bawah pohon yang rindang sambil menganyam icir. Kadang-kadang Kiai Gringsing itu turun juga ke sungai sambil membawa jala, meskipun ia tidak pernah mendapat ikan sampai sekepis penuh. Bahkan Kiai Gringsing itu tidak segan-segan pula pergi ke sawah untuk membantu mengerjakan pekerjaan di sawah Ki Demang.

“Ternyata aku telah menempuh satu jalan kehidupan yang pantas ditertawakan. Menyepi. Seakan-akan aku adalah orang yang paling dekat dengan Yang Maha Agung. Menyimpan ilmu yang aku kira tidak ada bandingnya. Sehingga aku merasa tidak pantas berhubungan dengan orang-orang lain sesamaku yang mempunyai tataran hidup lebih rendah dari aku. Namun yang ternyata di padepokan itu telah tumbuh benih kegelapan hati yang meledak pada diri murid-muridku,” berkata Kiai Jayaraga di dalam hatinya.

Karena itu, maka iapun kemudian belajar hidup sewajarnya sebagaimana orang-orang Sangkal Putung, tanpa menunjukkan kemampuan yang tersimpan di dalam dirinya sebagaimana dilakukan oleh Kiai Gringsing.

Dengan demikian. maka banyak yang dilakukan oleh Kiai Jayaraga selama ia berada di kademangan. Ia mempunyai kemampuan untuk mengajari beberapa orang pande besi untuk membuat peralatan pertanian yang lebih baik dari yang sudah dibuat di kademangan itu. Karena itu, maka Kiai Jayaraga itu lebih banyak pergi ke sudut pasar di tempat para pande besi membuat peralatan itu. Karena itulah maka Kiai Jayaraga pun lebih banyak dikenal di antara mereka yang berhubungan dengan alat-alat pertanian dan para pande besi.

Pada kesempatan lain, Kiai Jayaraga telah berada pula di dalam sanggar bersama Swandaru dan Kiai Gringsing. Semula nampaknya Swandaru kurang menyetujui hadirnya Kiai Jayaraga itu di sanggarnya. Tetapi setelah Kiai Gringsing memberikan beberapa penjelasan tentang pribadi orang itu menurut pengamatannya, maka Swandaru pun tidak lagi merasa berkeberatan.

Dalam memperkembangkan ilmunya, Swandaru merambah juga ke kedalaman sebagaimana seharusnya dilakukan. Tetapi perhatian Swandaru memang lebih besar pada ujud kewadagan. Karena itu, maka yang nampak pada kedalaman ilmunya adalah kelebihan getar suara cambuknya. Swandaru lebih senang jika suara cambuknya itu bagaikan dapat membelah langit. Apalagi dengan kedalaman ilmunya yang mampu disalurkan lewat ujung cambuknya. Maka getaran suara maupun udara pada ledakan itu mampu menghentakkan jantung orang-orang yang mendengarnya. Dalam pemusatan kemampuannya, getaran ujung cambuk Swandaru yang mengoyak udara akan mampu menggelepar, menghantam dan mengguncang benda-benda di seputarnya.

Daun-daun di pepohonan yang kurang kuat berpegangan pada tangkainya akan berguguran di tanah. Apalagi jika ujung cambuk itu menyentuh seseorang yang tidak mempunyai daya tahan yang dilambari ilmu yang tinggi. Maka, tubuh itupun seakan-akan menjadi lumat dan tulang pun berpatahan

Ternyata Swandaru telah mempergunakan waktu yang singkat itu dengan sebaik-baiknya. Sementara itu Kiai Gringsing pun telah memberikan tuntunan yang dapat membuat kemajuan ilmu Swandaru semakin pesat.

Pada saat yang demikian, Agung Sedayu dan Ki Waskita sedang berjuang untuk menyembuhkan luka-lukanya. Namun perlahan-lahan keadaan merekapun menjadi semakin baik, sehingga mereka telah dapat bangkit dan melakukan pekerjaan yang tidak terlalu berat.

Namun dari hari ke hari, tubuh Agung Sedayu dan Ki Waskita telah mendapatkan kekuatannya kembali. Sehingga akhirnya, merekapun telah menjadi sembuh.

Tetapi mereka masih harus menjaga diri untuk tidak melakukan pekerjaan yang terlalu berat. Dada Agung Sedayu masih terasa terganggu jika ia mengerahkan terlalu banyak tenaga. Meskipun sekedar tenaga wajarnya saja.

Dengan tekun dan sabar, Sekar Mirah dan Glagah Putih melayani kedua orang yang sedang berusaha memulihkan kekuatan tubuhnya itu. Seperti orang-orang yang terluka itu sendiri, maka merekapun merasa bagaikan terlepas dari belenggu yang telah mengikat mereka dengan kuatnya.

Demikianlah, sedikit demi sedikit, Agung Sedayu dan Ki Waskita mulai melakukan latihan-latihan kecil untuk membiasakan tubuhnya melakukan gerak untuk dipersiapkan bagi gerakan-gerakan yang lebih banyak di hari berikutnya.

Akhirnya, ketika Agung Sedayu sudah merasa dirinya semakin baik, maka iapun mulai membicarakan rencana untuk kembali ke rumahnya sendiri.

“Apakah kau merasa sudah mampu melakukan pekerjaanmu sehari-hari sepenuhnya?” bertanya Ki Waskita.

“Sudah Paman, agaknya aku sudah benar-benar sembuh. Memang mungkin kemampuan tenagaku masih belum utuh, tetapi dalam satu dua pekan, aku akan pulih sepenuhnya,” jawab Agung Sedayu. Lalu, “Bukankah sejak dua tiga hari yang lalu, aku makan terlalu banyak? Aku memang ingin segera tubuhku wadagku ini menjadi pulih. Baru kemudian yang lain akan segera menyusul.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar