Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 175

Buku 175

“Meskipun mungkin orang itu juga tidak terkena sirepku, tetapi di malam hari, ia juga akan tidur sebagaimana kebiasaan seseorang. Dalam keadaan tidur, maka sirep itu akan mencekiknya semakin dalam sehingga tidak seorangpun akan dapat melawan. Para peronda adalah anak-anak muda yang akan segera kehilangan kesadarannya.”

Demikianlah, maka orang bertubuh kecil dan berjalan terbongkok-bongkok itu pada malam hari berikutnya telah menyiapkan segala sesuatunya yang akan dipergunakannya untuk memasuki gandok kanan rumah Ki Gede Menoreh. Ia akan berada di belakang gandok itu, dan kemudian menggali lubang di bawah dinding setelah memasang ilmu sirep. Ia berharap bahwa dalam keadaan tidur, ilmu sirepnya akan semakin menyenyakkan tidur seseorang.

Ketika malam menjadi semakin dalam, dan rumah Ki Gede itupun telah menjadi sepi, maka orang itu pun mulai melakukan tugasnya. Ia merayap dari satu halaman, ke halaman yang lain. Tanpa kesulitan apa pun juga, maka ia berhasil mendekati gandok kanan rumah Ki Gede. Untuk beberapa saat lamanya, orang itu menunggu dengan sabarnya di belakang gandok rumah itu.

Sambil duduk bersandar sebatang pohon mlinjo, orang itu kemudian tersenyum dan berkata kepada diri sendiri, “Semuanya akan berlangsung dengan mudahnya. Semua orang sudah tertidur. Sirepku hanya akan menekankan kesenyapan di dalam diri, memperdalam mimpi yang pahit.”

Tetapi, orang bertubuh kecil itu tidak tergesa-gesa. Ia tahu ada beberapa orang berilmu di rumah itu. Tetapi, semuanya itu tidak mencegahnya untuk melakukan tugasnya.

“Tugasku sekarang, menunggu orang-orang itu tidur,” katanya di dalam hati. ”Mereka akan tidur nyenyak, karena mereka tidak akan menyangka sesuatu akan terjadi. Dalam tidur sirepku menindihnya dalam kelelapan, alangkah mudahnya. Para peronda itupun akan tidur di gardu silang melintang.”

Orang bertubuh kecil itu tersenyum sendiri. Sementara itu untuk beberapa saat ia tetap masih duduk di bawah sebatang pohon mlinjo.

Sebenarnyalah rumah Ki Gede menjadi semakin sepi. Tidak terdengar lagi suara seseorang di dalam gandok itu. Glagah Putih yang menunggui Agung Sedayu dan Ki Waskita, ternyata sudah tertidur pula. Sementara Agung Sedayu sendiri sebagaimana juga Ki Waskita yang memerlukan istirahat sebanyak-banyaknya, telah berusaha pula untuk dapat tidur sebanyak-banyaknya.

Lewat tengah malam, rasa-rasanya tidur pun menjadi semakin nyenyak. Agung Sedayu dan Ki Waskita yang masih saja digelitik oleh perasaan sakit dan berusaha melupakannya dalam tidurnya, merasa betapa nyenyaknya ia tidur malam itu. Rasa-rasanya angin malam telah menyusup di antara dinding-dinding gandok, menyapu wajah mereka dan luka-luka mereka, sehingga rasa-rasanya mereka bagaikan dibuai oleh segarnya udara malam hari.

Tidak seorang pun yang menyangka bahwa sesuatu akan terjadi. Semua orang yang ada di rumah Ki Gede itu tidak bersedia menghadapi lontaran ilmu sirep yang kuat. Mereka pergi ke pembaringan dan sebagaimana kebiasaan seseorang di malam hari, maka mereka pun telah tidur dengan lelap.

Dalam keadaan yang demikian itu, maka ilmu sirep orang bertubuh kecil itu benar-benar telah membenamkan mereka yang tidur nyenyak itu semakin dalam ke dunia mimpi mereka tanpa berprasangka apapun juga.

Sedangkan mereka yang meronda di gardu di depan rumah Ki Gede itu pun sama sekali tidak mampu melawan kekuatan sirep itu, sehingga mereka pun telah tertidur nyenyak.

Orang bertubuh kecil itu menarik nafas dalam-dalam. Namun sebelum bertindak, ia pun masih sempat meyakinkan, apakah sirepnya telah mencengkam semua orang -orang berilmu.

Orang itu pun tersenyum kecil. Pendengarannya yang tajam meyakinkannya, bahwa semua orang telah tertidur. Tidak ada satu suara tarikan nafas yang mencurigakannya.

Demikianlah, maka ilmu sirep yang ternyata telah dilontarkan oleh orang bertubuh kecil itu pun telah mencengkam seisi rumah Ki Gede Menoreh. Bahkan rumah-rumah di sebelah-menyebelah pun telah terpercik oleh ilmu sirep itu pula.

Baru ketika ia sudah yakin bahwa semua orang telah tertidur, maka ia pun mulai bergeser dari satu tempat ke tempat lain. Sekali lagi ia meyakinkan diri. Dengan hati-hati ia memasuki longkangan dan menyusuri dinding-dinding bilik dalam sebelah longkangan itu. Ternyata semuanya memang sudah tertidur nyenyak.

Ketika orang itu pergi ke halaman depan, maka dilihatnya para peronda pun terbaring silang melintang. Bahkan dua orang anak muda telah tertidur dengan nyenyaknya di belakang gardu. Nampaknya mereka sedang duduk beristirahat sambil menguliti kacang. Namun akhirnya mereka telah tertidur, sementara kacang sudah dikulitinya.

Orang bertubuh kecil dan berjalan terbongkok-bongkok itu tersenyun. Katanya, “Semuanya berlangsung jauh lebih mudah dan yang aku perkirakan.”

Akhirnya orang itu pun kembali ke belakang gandok sebelah kanan. Ia sudah menyiapkan sebatang linggis dan alat pencukil. Ia harus mencungkil sebuah lubang dan masuk ke dalamnya.

Orang itu meraba sebilah pisau belati di pinggangnya. Katanya, “Aku tidak memerlukan banyak sekali pisau-pisau kecil untuk membunuh lawanku, sebagaimana harus terjadi di dalam satu perkelahian. Aku hanya memerlukan sebilah pisau belati. Dan pisau ini akan menembus jantung Agung Sedayu dan Ki Waskita.”

Demikianlah, maka sesaat kemudian, orang itupun mulai dengan pekerjaannya. Cepat sekali, seperti mencungkil gula kelapa madon dari tawonan, sebangsa makanan yang banyak digemari.

Sekali-sekali orang itu tersenyum kepada diri sendiri. Seolah-olah ia sudah berhasil dengan satu tugas yang berat, yang tidak dapat dilakukan oleh orang lain.

Namun dalam pada itu, yang terjadi adalah di luar dugaan orang bertubuh kecil itu. Ketika ia sedang sibuk mencungkil batu-batu pada padon gandok Ki Gede, maka tiba-tiba saja ia mendengar suara tertawa lirih. Tidak jauh dari tempatnya.

Orang bertubuh kecil itu terkejut bukan buatan. Menurut perhitungannya, maka semua orang tentu sudah tertidur nyenyak. Tiba-tiba saja ia masih mendengar suara orang tertawa.

Dengan tangkasnya orang itu pun segera meloncat berbalik. Diedarkannya pandangan matanya ke sekitarnya. Menembus kegelapan malam dan menyusuri dinding halaman rumah Ki Gede. Tetapi orang itu tidak melihat seorang pun.

Wajah orang bertubuh kecil itu menjadi tegang. Selangkah ia maju. Diamatinya gerumbul di sebelah pohon mlinjo tempat ia bersandar. Bahkan kemudian orang bertubuh kecil itu dengan tangkasnya telah meloncat menerkam gerumbul itu. Tetap ia tidak menemukan seseorang.

Sejenak suasana menjadi bening. Suara tertawa itu tidak terdengar lagi. Bahkan tidak ada suara apapun. Desir angin pun rasa-rasanya telah berhenti sama sekali.

“Gila, “ geram orang itu, “apakah aku mendengar suara hantu?”

Untuk beberapa saat orang itu menunggu. Namun tidak terdengar suara apapun juga. sehingga akhirnya orang itu berkata kepada diri sendiri, “Aku tidak peduli. Aku akan segera masuk ke dalam gandok. Membunuh Agung Sedayu dan kemudian apapun yang terjadi, akan kuhadapi.”

Karena itu, maka orang bertubuh kecil itu pun telah melanjutkan usahanya untuk melubangi padon gandok itu sebagaimana sering dilakukan oleh seorang pencuri.

Namun telinganya telah tergelitik lagi oleh suara tertawa. Perlahan-lahan saja. Namun tidak jelas dari mana arah suara itu.

Orang bertubuh kecil itu benar-benar tidak menghiraukannya. Ia justru bekerja lebih keras. Ia harus segera dapat membuat sebuah lubang. Kemudian masuk ke dalamnya untuk membunuh Agung Sedayu dan Ki Waskita. Atau jika ia tidak sempat membunuh keduanya, maka sasaran utamanya adalah Agung Sedayu.

Demikianlah, orang bertubuh kecil itu sama sekali tidak menghiraukan suara tertawa yang mengganggunya. Bahkan akhirnya orang itu menggeram, “Aku tidak sempat bermain-main dengan hantu dalam keadaan seperti ini.”

Karena itulah, maka ia pun telah bekerja semakin sibuk.

Namun dalam pada itu, suara tertawa itu semakin lama menjadi semakin dekat, sehingga akhirnya suara itu benar-benar berada di belakangnya. Bahkan rasa-rasanya suara itu berdesah menyentuh tengkuknya.

Dengan tangkasnya orang itupun telah meloncat. Bahkan dengan garangnya ia telah mengayunkan linggisnya mendatar, menyambar sumber suara di belakangnya itu.

Namun ayunan linggisnya itu sama sekali tidak menyentuh sesuatu. Bahkan oleh kekuatannya sendiri, orang itu telah terseret sehingga hampir saja ia kehilangan keseimbangannya.

“Iblis, setan alas,” orang itu mengumpat, “jangan bersembunyi, pengecut.”

Tetapi belum melihat sesuatu.

Namun dalam pada itu, dari balik dinding halaman, tiba-tiba saja terdengar suara seseorang, “Aku tidak telaten, Guru. Aku akan membinasakannya.”

Suara itu terdiam. Namun ternyata orang itu tidak menunggu lebih lama. Sebelum orang yang diajak berbicara itu menjawab, maka tiba-tiba saja sesosok tubuh telah hinggap di atas dinding halaman.

“Gila,” geram orang bertubuh kecil, “ternyata kau berada di belakang dinding.”

“Kami melihat tingkah lakumu lewat dari atas dinding,” jawab bayangan di atas dinding halaman itu

Orang bertubuh kecil itu menjadi semakin tegang. Ia sadar, bahwa orang yang mampu melepaskan diri dari pengaruh sirepnya itu tentu orang yang memiliki ilmu yang tinggi.

“Ada juga orang-orang gila yang ternyata melihat kerja yang sedang aku lakukan,” berkata orang bertubuh kecil itu di dalam hatinya.

Namun orang itu tidak gentar. Orang yang berdiri di atas dinding halaman itu tentu bukan orang terbaik. Bukan Agung Sedayu dan bukan pula Ki Waskita.

Namun ketika terbersit satu pertanyaan di dalam hatinya, ia menjadi gelisah. Bagaimana jika justru gurunya.

Tetapi orang yang berdiri di atas dinding itu masih muda meskipun ia belum melihat wajahnya dengan jelas. Tubuhnya agak gemuk dan tidak terlalu tinggi.

“Guru Agung Sedayu tentu sudah tua,” berkata orang bertubuh kecil itu di dalam hatinya.

Sementara itu, orang yang berada di atas dinding halaman itupun segera meloncat turun. Dengan tangkasnya ia melenting langsung berdiri di hadapan orang bertubuh kecil dan agak terbongkok-bongkok itu.

“Siapa kau?” bertanya orang bertubuh kecil itu.

“Aku Swandaru Geni,” jawab orang yang turun dari atas dinding halaman. “Apa kerjamu disini, dan siapakah kau sebenarnya?”

“Aku tidak akan ingkar. Aku datang untuk membunuh Agung Sedayu dan Ki Waskita. Mereka telah membunuh saudara-saudara seperguruanku,” jawab orang bertubuh kecil itu.”

Swandaru menggeram. Dengan nada tinggi ia bertanya, “Jadi kau saudara seperguruan bajak laut itu, dan jika demikian kau juga saudara seperguruan Ki Tumenggung Prabadaru?”

“Tepat,” jawab orang itu. “Namaku Lodra.”

“Uh,” Swandaru mengerutkan keningnya, “nama itu memberikan kesan besar dan kekar. Tetapi ternyata kau bertubuh kecil dan bahkan terbongkok-bongkok.”

“Apa hubungannya nama dengan tubuhku. Aku memang besar. Aku mempunyai ilmu yang tidak ada bandingnya. Karena itu, menyingkirlah. Aku akan membunuh Agung Sedayu dan Ki Waskita. Jika kau tidak mau menyingkir, maka kau akan aku binasakan,” jawab orang bertubuh kecil yang bernama Lodra itu.

“Jangan mengigau. Kau berhadapan dengan Swandaru Geni. Saudara seperguruan Agung Sedayu. Jika benar kau saudara seperguruan bajak laut yang terbunuh itu, maka kau akan berhadapan dengan aku. Perguruanmu dan perguruanku akan sekali lagi bertemu dalam arena perang tanding.”

“Bagus, “orang bertubuh kecil itu hampir berteriak, “kita akan melihat, siapakah yang sebenarnya akan menjunjung tinggi nama perguruan. Kau atau aku. Kita tidak akan dapat mengambil ukuran pertempuran antara Agung Sedayu dan saudara-saudaraku. Agung Sedayu bertempur di medan perang. Mungkin Agung Sedayu curang atau orang lain dengan curang membantunya sehingga saudaraku itu terbunuh. Sedangkan para bajak laut itu pun tidak akan dapat dinilai dengan murni dalam pertempurannya melawan Agung Sedayu. Agung Sedayu telah dibantu oleh orang-orang Tanah Perdikan Menoreh sehingga akhirnya ketiga saudaraku itu terbunuh. Nah, sekarang kau berhadapan dengan aku. Kita masing-masing akan menunjukkan sikap seorang laki-laki.”

“Jangan mengigau. Bersiaplah. Kita akan bertempur. Jangan takut ada orang yang akan membantuku. Semua orang sudah tidur nyenyak. Sedangkan yang tidak tertidur akan dapat menghargai sikapku sebagai seorang laki-laki, sehingga mereka tidak akan menggangguku,” jawab Swandaru.

Orang bertubuh kecil yang bernama Lodra itu pun segera bersiap. Ternyata bahwa linggis di tangannya itu adalah senjatanya. Karena itu, maka ia pun telah bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Dalam pada itu, di belakang dinding. Kiai Gringsing mendengarkan pembicaraan itu dengan jantung yang berdebar-debar. Jika orang yang sedang berusaha untuk mencungkil alas padon gandok itu benar-benar saudara seperguruan para bajak laut dan Ki Tumenggung Prabadaru dan memiliki ilmu yang setingkat dengan mereka, maka Swandaru akan mengalami kesulitan.

Karena itu, maka Kiai Gringsing pun tidak akan dapat meninggalkan Swandaru, tetapi ia pun tidak ingin mempengaruhi pertempuran itu dengan kehadirannya. Karena itu, maka seperti yang telah dikerjakannya selama ia menunggui Lodra yang sedang sibuk dengan usahanya memasuki gandok itu dengan duduk di sebatang dahan di belakang dinding halaman. Dari tempatnya Kiai Gringsing akan dapat melihat apa yang terjadi.

Sementara itu, sebenarnyalah orang-orang di Tanah Perdikan Menoreh memang sedang tidur nyenyak. Mereka yang tidak menduga sama sekali akan kedatangan seseorang yang mampu melontarkan ilmu sirep yang tajam, telah tertidur nyenyak sejak sebelumnya. Apalagi ketika mereka terkena pengaruh sirep. Maka tidur pun rasa-rasanya menjadi semakin nyenyak, karena di dalam tidur, mereka tidak sempat melawan pengaruh sirep itu.

Hanya Kiai Gringsing sajalah yang mula-mula mengenali sentuhan pengaruh sirep itu pada dirinya. Perlahan-lahan ia membangunkan Swandaru, dan membawanya ke luar dari gandok sebelah kiri. Akhirnya dengan ketajaman pengenalan Kiai Gringsing atas sumber ilmu itu, akhirnya mereka menemukan Lodra di belakang gandok sebelah kanan sedang sibuk dengan usahanya memasuki gandok itu.

Demikianlah, maka dengan jantung yang berdebaran, Kiai Gringsing menyaksikan dua orang di belakang gandok kanan itu sudah bersiap. Karena Lodra telah menggenggam linggisnya, maka Swandaru pun segera mengurai cambuknya pula.

“Murid orang bercambuk,” geram Lodra, “sebagaimana Agung Sedayu bersenjata cambuk.”

“Seperti kau lihat,” sahut Swandaru, “aku memang saudara seperguruannya.”

Orang bersenjata linggis itu mengangguk-angguk. Dipandanginya cambuk di tangan Swandaru itu. Ada juga terbersit debar di jantungnya. Jika orang yang bernama Swandaru ini memiliki ilmu setingkat dengan Agung Sedayu, maka ia akan mengalami kesulitan untuk melawannya, sebagaimana Ki Tumenggung Prabadaru dapat dikalahkan oleh Agung Sedayu. Padahal orang bertubuh kecil itu tidak dapat ingkar bahwa kemampuannya masih jauh dari kemampuan Ki Tumenggung Prabadaru.

“Tetapi kecurangan itu tidak mustahil memang terjadi,” berkata Lodra itu di dalam hatinya, “sehingga dengan demikian Agung Sedayu tidak mengalahkannya dengan jujur.”

Karena itu, maka Lodra pun kemudian benar-benar telah bersiap untuk bertempur melawan saudara seperguruan Agung Sedayu yang bersenjata cambuk itu. Bahkan orang bertubuh kecil itu pun menganggap bahwa tingkat kemampuan Swandaru tentu berada di bawah kemampuan Agung Sedayu.

Dengan demikian, maka sejenak kemudian, keduanya pun telah bersiap sepenuhnya. Ketika Swandaru mulai menggerakkan ujung cambuknya maka orang bertubuh kecil itu pun telah bergeser.

Kiai Gringsing menjadi semakin berdebar-debar. Tetapi ia tidak dapat berbuat banyak. Ia hanya dapat menyaksikan Swandaru bertempur melawan saudara seperguruan Ki Tumenggung Prabadaru dan ketiga orang bajak laut, yang menurut keterangan Agung Sedayu sendiri memang memiliki ilmu yang luar biasa.

Demikianlah, maka keduanya pun kemudian mulai dengan serangan-serangan mereka. Meskipun keduanya belum melepaskan segenap ilmu mereka, namun Kiai Gringsing sudah dapat melihat bahwa orang bertubuh kecil itu memang memiliki dasar-dasar ilmu yang sangat dahsyat.

Untuk beberapa saat keduanya masih saling menjajagi. Orang bertubuh kecil itu berloncatan dengan tangkasnya. Sementara Swandaru yang bertubuh gemuk itu, bergerak dengan mantap. Cambuknya masih terayun-ayun. Namun cambuk itu masih belum meledak.

Demikian pula orang bertubuh kecil itu. Ia baru menjajagi lawannya dengan serangan-serangan yang sederhana. Linggisnya terayun mendatar menyambar tubuh lawannya. Namun serangan itu masih belum merupakan serangan yang dapat membahayakan.

Namun demikian, tataran demi tataran keduanya telah meningkatkan ilmu mereka. Keduanya bergerak semakin cepat, sementara senjata mereka pun telah berputaran semakin cepat pula.

Meskipun Swandaru mempergunakan senjata yang lebih panjang dari senjata lawannya, tetapi kaki orang bertubuh kecil itu, bagaikan tidak melekat di atas tanah. Loncatan-loncatannya semakin lama menjadi semakin cepat. Jika ujung cambuk Swandaru menyambar leher, maka dengan kecepatan yang mendahului ayunan ujung cambuk Swandaru orang itu merendah. Namun jika ujung cambuk Swandaru terayun menyerang kakinya, maka Lodra pun telah melenting. Tetapi jika ujung cambuk itu menghentak mematuk perutnya, Lodra dengan tangkasnya meloncat surut.

Namun, demikian kakinya menyentuh tanah serta ujung cambuk Swandaru berdesing di depan tubuhnya, maka dengan kecepatan yang tinggi, Lodra telah meloncat sambil menyerang dengan ayunan linggisnya.

“Gila,” geram Swandaru, “orang ini cukup tangkas. Ia mampu bergerak terlalu cepat.”

Tetapi Swandaru memang belum sampai ke puncak kemampuannya. Ia masih meningkatkan ilmunya selapis demi selapis. Namun dalam pada itu, Lodra pun masih belum pula sampai pada batas kemampuannya. Jika Swandaru meningkatkan serangan-serangannya, maka Lodra pun mampu mengimbanginya dengan meningkatkan ilmunya pula.

Dengan demikian maka pertempuran antara kedua orang itu pun semakin lama menjadi semakin seru. Keduanya menjadi semakin cepat bergerak. Bahkan serangan-serangan mereka pun menjadi semakin berbahaya.

Dalam pada itu, maka ujung cambuk Swandaru pun telah mulai meledak. Hentakan-hentakan yang keras mulai menggetarkan udara malam di padukuhan yang sepi oleh kekuatan sirep orang bertubuh kecil itu.

Karena itu, meskipun cambuk Swandaru meledak semakin lama semakin keras, namun para peronda di depan pintu gerbang halaman Ki Gede itu sama sekali tidak terganggu kenyenyakan tidur mereka. Sehingga dengan demikian, maka pertempuran antara kedua orang itu memang tidak akan terganggu.

Tetapi ledakan cambuk Swandaru ternyata semakin lama menjadi semakin keras dan semakin sering. Udara malam pun seakan-akan telah terkoyak-koyak oleh ledakan-ledakan yang dahsyat itu.

Sementara itu, ternyata ledakan cambuk Swandaru itu bukan saja telah menggetarkan jantung lawannya, namun juga telah menghentak dada mereka yang sedang tertidur nyenyak. Meskipun sebagian besar dari mereka yang sedang tertidur oleh pengaruh sirep, atau mereka yang memang sedang tertidur namun yang kemudian telah ditindih pula oleh pengaruh sirep yang tajam itu, tidak terpengaruh oleh hentakan-hentakan cambuk Swandaru, namun ada juga di antara mereka yang mulai menggeliat. Betapapun Juga, mereka yang memiliki ilmu yang tinggi, sempat berusaha untuk mengatasi perasaan kantuk mereka, justru karena mereka telah terbangun oleh ledakan-ledakan cambuk itu.

Ki Gede menjadi curiga terhadap perasaannya sendiri. Bagaikan sedang bermimpi ia mendengar cambuk meledak-ledak. Seolah-olah ia sedang berada di tengah sawah menunggui seorang yang sedang membajak. Demikian malasnya dua ekor lembu yang menarik bajak itu sehingga orang yang sedang membajak itu menjadi marah dan mengayunkan berkali-kali.

Namun, akhirnya Ki Gede itu pun terbangun. Ia sadar bahwa ia sedang bermimpi. Namun matanya rasa-rasanya tidak mau terbuka.

Pengalaman yang mengendap di dalam dadanya, telah mendorong Ki Gede justru untuk mengenali keadaan yang demikian. Ia telah memaksa diri untuk mengerti apa yang sedang terjadi atas dirinya itu.

Kecurigaan Ki Gede atas keadaannya itu justru telah mendorongnya untuk melawan perasaan kantuknya yang mencengkamnya.

Ketika cambuk Swandaru sekali lagi meledak, maka Ki Gede pun telah menyadari keadaan sepenuhnya. Dan Ki Gede pun telah menyadari bahwa padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh itu telah terkena oleh sirep yang tajam, terutama di rumahnya dan di sekitarnya.

Ki Gede pun kemudian telah mempersiapkan diri. Setelah membenahi pakaiannya, maka ia pun telah menggapai senjatanya. Perlahan-lahan ia keluar dari biliknya. Ketika ia melihat bilik yang dipergunakan oleh Pandan Wangi dan Sekar Mirah masih tertutup rapat, maka ia pun menarik nafas dalam-dalam.

“Apakah keduanya masih tertidur nyenyak?” bertanya Ki Gede di dalam hatinya.

Tiba-tiba saja Ki Gede teringat tamu-tamunya yang ada di gandok. Kiai Gringsing dan Swandaru. Bahkan tiba-tiba saja ia menjadi berdebar-debar ketika ia teringat kepada Agung Sedayu dan Ki Waskita di gandok kanan, yang hanya ditunggui oleh Glagah Putih.

Karena itu, maka Ki Gede pun kemudian telah mengetuk pintu bilik Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Semakin lama semakin keras sebagaimana suara ledakan cambuk Swandaru.

“Pandan Wangi, Sekar Mirah,” panggil Ki Gede.

Ternyata bahwa Pandan Wangi dan Sekar Mirah terbangun pula oleh suara cambuk Swandaru. Tetapi setiap kali matanya menjadi bagaikan terpejam lagi.

Namun ketika terdengar nama mereka dipanggil, maka rasa-rasanya mereka benar-benar telah terbangun.

“Pandan Wangi, Sekar Mirah,” sekali lagi terdengar nama mereka disebut.

“Siapa?” bertanya Pandan Wangi yang memaksa diri untuk bangkit.

“Aku,” terdengar suara di luar bilik, “bangunlah. Ada sesuatu yang penting.”

Pandan Wangi mengusap matanya. Tetapi ledakan cambuk itu telah terdengar lagi.

Sekar Mirah pun telah bangkit pula. Sementara itu Pandan Wangi telah bertanya pula, “Apakah Ayah di luar?”

“Ya, aku. Bukalah,” jawab Ki Gede.

Pandan Wangi dan Sekar Mirah pun telah membenahi pakaian mereka sebentar. Kemudian seolah-olah telah menjadi gerak naluri, keduanya telah mengambil senjata masing-masing. Pandan Wangi telah mengenakan pedang rangkapnya, sementara Sekar Mirah telah menjinjing tongkat baja putihnya.

Keduanya pun kemudian telah membukakan pintu perlahan-lahan. Yang berdiri di depan pintu memang Ki Gede Menoreh yang telah menggenggam tombaknya pula.

“Apakah kalian merasakan sesuatu yang lain?” bertanya Ki Gede.

“Ya, Ayah,” jawab Pandan Wangi, “rasa-rasanya mataku tidak dapat terbuka.”

“Sadarilah hal itu sepenuhnya. Kemudian kau berdua harus melawannya. Kita sudah dicengkam oleh ilmu sirep yang tajam,” jawab Ki Gede.

Pandan Wangi dan Sekar Mirah mengangguk-angguk. Mereka pun sependapat, bahwa mereka telah terkena sirep, sehingga dengan demikian maka mereka harus berusaha melawannya.

Namun dalam pada itu, cambuk yang mereka dengar masih saja meledak-ledak.

Dalam ketegangan itu terdengar suara Pandan Wangi, “Suara itu agaknya suara cambuk Kakang Swandaru. Agaknya Kakang Swandaru telah terlibat dalam pertempuran.”

“Ya,” jawab KI Gede, “karena itu, marilah, Kita akan melihat, apa yang terjadi.”

Ketiganya pun kemudian mempersiapkan diri. Dengan hati-hati mereka keluar dari dalam rumah Ki Gede lewat pintu butulan. Sementara itu, suara cambuk itu pun telah menuntun mereka, bahwa pertempuran telah terjadi di belakang gandok sebelah kanan.

“Di gandok itu Agung Sedayu dan Ki Waskita beristirahat,” berkata Ki Gede.

“Hanya ditunggui oleh Glagah Putih,” desis Sekar Mirah.

“Kita percaya kepada anak itu. Ia memiliki ilmu yang cukup. Menurut penilaian kita, jika terjadi sesuatu, anak itu dapat berbuat sesuatu sambil menunggu kehadiran para peronda. Tetapi kita melupakan ilmu sirep,” berkata Ki Gede kemudian.

Dengan tergesa-gesa mereka pun kemudian telah pergi ke belakang gandok kanan. Namun dalam pada itu. Sekar Mirah telah tertegun sejenak. Dipandangnya pintu gandok yang masih tertutup rapat.

Ada niatnya untuk menengok ke dalam gandok itu. Namun niatnya diurungkan. Ia akan melihat lebih dahulu apa yang terjadi di belakang gandok itu.

Ketiga orang itu pun kemudian terhenti beberapa langkah dari arena pertempuran. Dengan jantung yang berdebaran mereka menyaksikan pertempuran yang sengit antara Swandaru dengan seseorang yang bertubuh kecil agak kebongkok-bongkokan.

Namun dalam pada itu, selagi mereka bergeser mendekat, maka terdengar orang bertubuh kecil itu berkata, “Marilah. Ternyata dengan ledakan cambukmu kau telah memanggil beberapa orang kawanmu atau saudaramu atau siapa pun mereka. Majulah bersama-sama. Aku ingin melihat apakah kalian akan dapat mengimbangi ilmuku.”

Tetapi suara Swandaru tidak kalah garangnya, “Mereka tidak akan mengganggu perang tanding ini. Aku akan bertempur sendiri sampai aku berhasil membunuhmu.”

Orang bertubuh kecil itu tertawa. Katanya, “Jangan bermimpi sambil bertempur. Itu hanya akan mempercepat kematianmu saja.”

Tetapi orang bertubuh kecil itu tidak dapat melanjutkan kata-katanya. Serangan Swandaru datang melandanya, sehingga orang itu harus meloncat surut.

Ki Gede Menoreh, Pandan Wangi dan Sekar Mirah menyaksikan pertempuran itu dengan jantung yang berdebaran.

Dalam pada itu, pertempuran itu pun semakin lama menjadi semakin seru. Cambuk Swandaru meledak-ledak bagaikan petir di mangsa kesanga. Beruntun, susul menyusul tidak henti-hentinya.

“Gila,” geram lawannya, “cambukmu tidak menyentuh kulitku. Tetapi suaranya memekakkan telinga.”

Swandaru menggeram. Ia memutar cambuknya semakin cepat.

Namun dalam pada itu, Swandaru yang telah mempelajari berbagai ilmu dengan matang, sementara itu dengan tekun ia meningkatkan kekuatan tenaganya dan membuat tenaga cadangannya semakin mapan, maka hentakan cambuknya pun menjadi semakin nggegirisi. Pada saat-saat terakhir. Swandaru telah menekuni isi kitab gurunya meskipun baru untuk waktu yang singkat. Namun dalam waktu yang singkat itu. Swandaru berhasil menempatkan jalur-jalur kekuatan tenaga cadangannya semakin mapan, sehingga seakan-akan kekuatan jasmaniahnya dalam saat-saat tertentu sebagaimana dikehendaki menjadi semakin berlipat.

Sementara itu, lawannya pun telah meningkatkan ilmunya pula. Ternyata lawannya mampu bergerak terlalu cepat. Bagaikan bayangan dalam keremangan malam, orang bertubuh kecil itu berterbangan di sekitar Swandaru. Namun cambuk Swandaru seakan-akan selalu memburunya.

Ketika cambuk itu meledak dan tidak menyentuh sasaran, tetapi mengenai dahan-dahan pepohonan, maka dahan-dahan itulah yang berpatahan. Tanah pun berhamburan dan pepohonan telah terguncang.

“Gila” geram orang bertubuh kecil itu. Namun ia mempercayakan diri pada kecepatan geraknya. Bahkan dalam keadaan yang sulit, ia pun masih mampu menyerang. Linggis di tangannya menjadi seakan-akan seringan lidi. Sekali-sekali linggis itu terayun mendatar mengarah lambung. Namun kemudian mematuk ke arah dahi dan kadang-kadang menyambar kening.

Dengan demikian, maka pertempuran itu benar-benar merupakan pertempuran yang dahsyat. Keduanya memiliki tenaga yang besar dan kemampuan yang tinggi.

Ki Gede Menoreh, Pandan Wangi dan Sekar Mirah menyaksikan pertempuran itu dengan tegang. Ki Gede dan Sekar Mirah yang melihat perang tanding di Watu Lawang, memang melihat lawan Swandaru itu memiliki beberapa unsur yang bersamaan dengan bajak laut yang bertempur melawan Agung Sedayu.

Karena itu, maka Sekar Mirah pun menjadi cemas. Jika orang itu mampu mencapai puncak kemampuannya sebagaimana dilakukan oleh bajak laut itu, maka Sekar Mirah mencemaskan keadaan kakaknya.

Meskipun Sekar Mirah kurang mendalami cara Agung Sedayu meningkatkan ilmunya, namun ia melihat bahwa ada perbedaan antara suaminya itu dan kakaknya meskipun keduanya berguru kepada orang yang sama. Agung Sedayu lebih menukik ke kedalaman ilmunya. Namun Swandaru lebih condong untuk memperbesar kemampuan wadagnya. Karena itulah, maka Swandaru condong untuk membuat tenaga cadangannya semakin mapan.

Demikianlah pertempuran itu berlangsung semakin sengit.

Keduanya telah meningkatkan kemampuan mereka, sehingga benturan-benturan ilmu keduanya pun tidak lagi dapat dihindari.

Orang bertubuh kecil yang mampu bergerak dengan kecepatan yang luar biasa itu merasakan, bahwa kekuatan Swandaru terasa lebih besar dari kekuatannya. Karena itu, maka ia harus berbuat sesuatu yang dapat mengisi kekurangannya itu.

Namun, Swandaru yang menyadari bahwa kekuatannya melampaui kekuatan lawannya telah berusaha untuk tidak ragu-ragu membenturkan ilmunya.

Jika sekali-sekali ujung linggis Lodra itu menyentuh jurai cambuk Swandaru, terasa tangannya menjadi bergetar. Namun ia masih selalu mampu mempertahankan senjatanya sehingga tidak terlepas dari tangannya.

Dalam pertempuran yang semakin meningkat itu, Kiai Gringsing masih tetap berada di tempatnya. Ia melihat Ki Gede, Pandan Wangi dan Sekar Mirah mendekati arena. Tetapi ia masih tetap mengamati pertempuran itu dari tempat yang tersembunyi.

Namun dalam pada itu, ternyata yang mendengar ledakan cambuk Swandaru bukan hanya orang-orang yang tinggal di rumah Ki Gede itu saja. Di luar pedukuhan induk, suara itu pun telah memanggil seseorang yang sedang duduk dalam kegelapan.

Ketika ia mulai mendengar suara cambuk Swandaru, maka hatinya menjadi berdebar-debar. Untuk beberapa saat orang itu berusaha untuk mengetahui dari arah manakah suara itu meledak-ledak.

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian perlahan-lahan ia berjalan memasuki pedukuhan induk. Ternyata anak-anak muda yang berada di gardu-gardu di regol pun telah tertidur. Ilmu sirep orang yang bertempur melawan Swandaru itu tidak cukup kuat untuk menguasai seluruh pedukuhan, namun ternyata ada kekuatan lain yang telah membantunya, sehingga seisi pedukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh itu pun telah terkena sirep pula.

Dengan pasti orang itu menuju ke rumah Ki Gede, karena ketajaman telinganya telah membawanya ke arah suara ledakan cambuk Swandaru. Tanpa ragu-ragu ia berjalan di sepanjang jalan pedukuhan. Sehingga, akhirnya ia pun telah berhenti di regol rumah Ki Gede.

Dilihatnya beberapa orang terbaring di gardu, selebihnya ada pula yang tertidur di belakang gardu, sementara di tangannya masih tergenggam kacang yang sedang dikulitinya.

Baru kemudian orang itu menjadi berhati-hati. Ia tidak memasuki halaman rumah Ki Gede lewat regol halaman. Tetapi ia pun telah menelusuri dinding. Sebelum sampai ke sudut halaman, maka dengan tangkasnya ia pun telah meloncat masuk. Dari balik gerumbul di bawah bayangan kegelapan, orang itu berusaha untuk dapat mengamati pertempuran di belakang gandok. Namun dari tempatnya, ia melihat beberapa orang yang menunggui pertempuran itu. Seorang laki-laki dan dua orang perempuan.

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak berbuat apa-apa.

Sementara itu di tempat yang tersembunyi, ternyata Kiai Gringsing tidak saja memperhatikan mereka yang sedang bertempur. Ketika pertempuran itu sudah berlangsung cukup lama, namun anak-anak muda di gardu masih juga belum terbangun, maka Kiai Gringsing pun berusaha untuk memperhatikan suasana.

Jika ilmu sirep itu hanya dilontarkan oleh orang bertubuh kecil dan terbongkok-bongkok itu, maka setelah sekian lama ia terlibat dalam pemusatan perhatiannya terhadap pertempuran yang sedang dilakukan, maka lambat laun ilmu sirep itu tentu akan mengendor. Ledakan cambuk Swandaru itu tentu akan segera membangunkan anak-anak muda yang sedang tertidur lelap, namun ternyata bahwa anak-anak itu masih belum juga terbangun.

“Tentu ada pengaruh lain kecuali yang dilontarkan oleh orang bertubuh kecil itu,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.

Namun dalam pada itu, sebenarnyalah di dalam gandok, Agung Sedayu, Ki Waskita dan bahkan Glagah Putih telah terbangun. Tetapi Agung Sedayu dan Ki Waskita masih tetap berada di pembaringannya. Tubuh mereka yang terluka masih belum memungkinkan untuk melakukan sesuatu. Yang dapat mereka lakukan hanyalah sekedar bangkit dan duduk dengan hati-hati di bibir pembaringan.

“Beristirahatlah. Jangan bangkit,” Glagah Putih berusaha untuk mencegah.

Tetapi Agung Sedayu menjawab, “Tidak apa-apa. Keadaanku sudah bertambah baik hari ini.”

Glagah Putih tidak memaksanya. Namun perhatiannya tertuju sepenuhnya kepada suara cambuk yang meledak-ledak.

“Kakang Swandaru,” desis Glagah Putih.

Agung Sedayu dan Ki Waskita mengangguk berbareng. Sementara itu Glagah Putih pun berkata, “Apakah aku sebaiknya melihatnya?”

Agung Sedayu ragu-ragu sejenak. Namun Glagah Putih telah menjawabnya sendiri, “Aku d isini saja menunggui Kakang Agung Sedayu dan Ki Waskita. Mungkin ada orang-orang yang curang memasuki bilik ini.”

Agung Sedayu tidak menjawab. Namun ia pun sependapat bahwa Glagah Putih sebaiknya ada di dalam bilik itu saja. Mungkin di luar keadaannya sangat berbahaya. Agaknya pertempuran antara Swandaru dan lawannya itu pun telah mencapai puncak kemampuan masing-masing.

Sebenarnyalah bahwa pertempuran antara Swandaru dan lawannya yang bertubuh kecil agak terbongkok-bongkok itu berlangsung semakin seru. Cambuk Swandaru meledak semakin sering dan semakin keras. Dengan puncak kemampuannya Swandaru telah melecutkan cambuknya sehingga udara pun bagaikan terguncang karenanya. Rasa-rasanya pepohonan bergoyang dan bahkan gandok kanan itupun bagaikan tergetar oleh ledakan cambuknya.

Dengan demikian, maka orang bertubuh kecil itu semakin lama nampaknya menjadi semakin terdesak.

Karena cambuk itu berputar semakin cepat, maka seakan-akan orang bertubuh kecil itu tidak lagi mampu menembus untuk menyerang, sehingga dengan demikian maka yang dapat dilakukannya kemudian hanyalah sekedar meloncat menghindar. Orang itu pun tidak mau membenturkan kekuatannya langsung melawan ujung cambuk Swandaru, karena ia merasa bahwa kekuatan Swandaru ternyata lebih besar dari kekuatannya.

Swandaru tidak mau kehilangan waktu. Ketika lawannya meloncat surut maka ia pun telah memburunya. Ledakan cambuknya membuat lawannya meloncat ke samping. Namun dengan tiba-tiba saja cambuk Swandaru mengejarnya dengan ayunan mendatar.

Orang bertubuh kecil itu tidak sempat mengelak sepenuhnya. Meskipun ia sudah berusaha menghindari ujung cambuk itu, namun ternyata bahwa kulitnya masih tersentuh juga.

Terdengar orang itu mengumpat kasar. Sentuhan ujung cambuk Swandaru itu telah mengoyak kulitnya. sehingga sebuah luka telah menganga di lengannya.

“Anak iblis,” geram orang bertubuh kecil itu, “kau telah melukai tubuhku.”

“Persetan,” jawab Swandaru, “kau harus mati di sini.”

Swandaru sama sekali tidak mengendorkan serangannya. Bahkan cambuknya telah berputar semakin cepat.

Orang bertubuh kecil itu benar-benar telah dibakar oleh kemarahan yang memuncak. Maka tiba-tiba saja ia bergumam di dalam dirinya, “Apa boleh buat. Kekuatan air, udara dan api itu masih baru aku mulai. Tetapi dalam keadaan seperti ini, aku akan mempergunakannya meskipun belum sempurna.”

Dalam pada itu, tiba-tiba saja orang bertubuh kecil itu meloncat menjauh. Hampir mendekati Ki Gede, Pandan Wangi dan Sekar Mirah, yang kemudian telah bersiaga. Namun ternyata orang itu tidak mengganggu ketiganya. Untuk beberapa saat orang itu justru terdiam dengan wajah tegang.

Namun dalam pada itu, sesuatu telah terjadi. Ilmu yang masih dalam ujud yang kasar itu telah menyerang Swandaru dengan kasar pula. Seakan-akan udara pun kemudian berputar seperti angin pusaran. Namun angin pusaran itu ternyata mengandung uap air yang panas.

Swandaru terkejut. Ketika angin pusaran itu memburunya, maka ia pun meloncat surut. Tetapi sentuhan angin pusaran itu rasa-rasanya membuat kulitnya menjadi bagaikan terbakar.

“Ilmu iblis yang mana lagi yang dipergunakan orang ini?” geram Swandaru.

Namun, angin pusaran itu masih saja melingkar-lingkar mendekatinya.

Swandaru menjadi berdebar-debar. Tetapi ia tidak menjadi gentar. Ketika angin pusaran itu mendekatinya maka tiba-tiba saja Swandaru telah menyerang angin pusaran itu dengan cambuknya.

Cambuknya meledak dengan kerasnya bagaikan petir yang meledak di langit. Udara pun tergetar karenanya dan gandok itu bagaikan terguncang.

Ternyata ledakan cambuk Swandaru itu berpengaruh juga. Udara bergulung-gulung itu bagaikan tergetar pula. Tetapi hanya untuk sesaat.

Angin yang bergulung yang tergetar oleh ledakan cambuk Swandaru itu bagaikan pecah dan memencar. Namun sejenak kemudian seolah-olah telah terhisap kembali dalam satu pusaran yang berputaran memburu Swandaru.

Setiap kali Swandaru meledakkan cambuk dengan sepenuh kemampuannya, angin pusaran itu memang bagaikan menyibak.

Dengan demikian, maka Swandaru pun kemudian berusaha untuk memecah sama sekali gumpalan angin pusaran itu.

Karena itu, maka ia pun tidak sekedar meledakkan cambuknya sekali dua kali. Tetapi berkali-kali.

Usaha Swandaru itu nampaknya akan berhasil. Tetapi, tiba-tiba saja ia telah tersengat udara panas di sekitarnya. Tidak lagi dalam gulungan angin pusaran. Namun udara di sekitarnya memang menjadi panas.

Tetapi Swandaru cepat berpikir. Ia sadar, bahwa sumber dari panasnya udara itu adalah orang bertubuh kecil itu. Ia teringat apa yang pernah dikatakan tentang lawan-lawan Agung Sedayu. Bahkan ada yang pernah mengatakan, bahwa randu alas di Tanah Perdikan Menoreh yang di bawahnya terjadi perang tanding antara Agung Sedayu dan Ajar Tal Pitu telah mati mengering.

Dengan demikian, maka Swandaru telah bertindak cepat. Ia berusaha bertahan atas serangan panas yang bagaikan membakar kulitnya. Namun dalam pada itu, dengan loncatan panjang ia telah menyerang orang bertubuh kecil itu

Ternyata orang bertubuh kecil itu menjadi lengah. Ia melihat sambil tersenyum kesulitan yang dialami oleh Swandaru menghadapi ilmunya yang bagaikan angin pusaran. Bahkan ketika angin pusaran itu pecah, maka ia masih sempat menghembuskan kekuatan apinya sehingga udara menjadi bagaikan terbakar.

Tetapi, bahwa Swandaru telah dengan serta merta menerobos perisai panasnya itu benar-benar di luar dugaan. Karena itu, maka ketika tiba-tiba cambuk Swandaru terayun ke arahnya, maka ia terlambat untuk menghindar. Sekali lagi ujung cambuk Swandaru itu mengenainya, justru pada saat ia berusaha meloncat.

Karena itu, maka pahanyalah yang kemudian bagaikan terkoyak. Namun demikian, ternyata bahwa ia masih sempat meloncat menjauh sambil menghembuskan ilmunya. Sekali lagi udara yang bergulung-gulung bagaikan angin pusaran telah melanda Swandaru. Udara yang bagaikan mengandung uap air mendidih.

Swandaru terkejut. Dengan cepat ia berusaha menghindar. Meskipun demikian terdengar juga ia mengeluh. Panas udara itu tidak tertahankan.

Sekali lagi Swandaru harus bertahan. Cambuknya segera meledak-ledak. Dan sekali lagi Swandaru memecahkan pusaran angin yang mengandung uap panas itu. Namun yang seperti pernah terjadi, udara panaslah yang kemudian melandanya.

Dalam pada itu, Ki Gede, Pandan Wangi dan Sekar Mirah pun merasakan sentuhan udara panas itu. Bagi Ki Gede, maka segera ia mengetahui, bahwa tingkat ilmu orang itu masih berada di bawah kemampuan para bajak laut yang bertempur di Watu Lawang. Pengaruh udara panas itu tidak sedahsyat hembusan udara panas bajak laut yang di Watu Lawang. Pada jarak yang lebih jauh, maka udara panas itu terasa menggigit kulitnya. Apalagi serangan kabut yang hampir tidak kasat mata itu benar-benar sangat berbahaya. Sementara pusaran yang dihembuskan oleh orang bertubuh kecil itu adalah serangan yang kasar. Menurut pengamatan Ki Gede, jika Swandaru menghindar dan mengambil jarak semakin jauh. maka pusaran itu menjadi semakin lemah, sehingga pada jarak tertentu serangan itu sudah tidak berarti lagi.

Namun Ki Gede mengagumi kecepatan berpikir dan bertindak Swandaru yang memasuki lingkungan serangan panas lawannya dan langsung menyerangnya.

Yang menjadi berdebar-debar adalah Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Meskipun Sekar Mirah merasakan juga bahwa ilmu orang itu masih belum seganas bajak laut yang bertempur melawan Agung Sedayu, namun ia sadar bahwa kakaknya tidak memiliki perisai ilmu kebal seperti Agung Sedayu. Perisai yang ternyata masih mampu ditembus oleh lawan-lawannya yang memiliki ilmu yang sangat dahsyat itu.

Tetapi Swandaru tidak menghiraukan udara panas yang membakar tubuhnya. Meskipun sambil berdesah, namun ia telah meloncat dengan loncatan-loncatan panjang menyerang lawannya

Meskipun lawannya tidak menjadi lengah, tetapi serangan Swandaru yang tidak kalah dahsyatnya dengan badai yang dilontarkannya itu, telah membuatnya terdesak pula. Ketika serangan Swandaru melibatnya pada jarak pendek tanpa menghiraukan panas di kulitnya, maka sekali lagi, cambuk Swandaru mengenai tubuh orang itu. Meskipun Swandaru menghentakkan cambuk dari arah dada, tetapi juntainya justru telah mengoyak lawannya pada punggungnya.

Orang bertubuh kecil itu mengaduh. Luka itu terasa betapa pedihnya. Namun Swandaru pun telah mengaduh pula, karena kulitnya yang bagaikan terbakar oleh panasnya udara di sekitarnya.

Orang bertubuh kecil itu berusaha untuk mengambil jarak. Tetapi Swandaru tidak melepaskannya. Kakinya yang melenting-lenting karena tanah tempat ia berpijak pun bagaikan menjadi bara, namun ia masih tetap melibat lawannya pada jarak yang paling dekat yang dapat dicapainya.

Dalam pada itu, di belakang gerumbul di dalam kegelapan, seseorang memperhatihan pertempuran itu dengan jantung yang berdebaran. Ia melihat orang bertubuh kecil dan terbongkok-bongkok itu mula-mula mampu mendesak lawannya. Tetapi ternyata lawannya memiliki ketahanan tubuh yang luar biasa, sehingga tanpa menghiraukan ilmu yang mampu membakar udara di sekitarnya itu.

Namun orang itupun berdesis, “Ilmu itu baru pada permulaan.”

Bersamaan dengan itu, Kiai Gringsing yang masih berada di tempat yang tersembunyi pun berdesis pula, “Ilmu itu masih pada tataran pertama. Mudah-mudahan Swandaru dapat mengatasinya.”

Meskipun demikian Kiai Gringsing pun menjadi berdebar-debar pula.

Udara panas yang terpancar di sekitar orang bertubuh kecil itu memang menjadi hambatan utama dari serangan Swandaru. Tetapi ia mempunyai perhitungan tersendiri. Ia harus segera mampu menghancurkan lawannya, sehingga dengan demikian ia telah memadamkan sumber ilmu yang bagaikan membakar dirinya.

Ternyata, perhitungan Swandaru itu pun mengenai pada sasarannya. Ketika cambuknya sekali lagi mengenai dada, maka darah pun telah memancar dari dada orang bertubuh kecil itu, sehingga dengan demikian lukanya pun benar-benar telah mengganggunya. Bahkan, Swandaru yang meloncat-loncat karena serangan panas itu masih sempat sekali lagi melecutkan cambuknya sendal pancing. Serangan yang justru telah menentukan akhir dari pertempuran itu. Serangan terakhir Swandaru itu telah mengenai leher lawannya. Ketika ujung cambuk itu menghentak, maka karah-karah baja di juntai cambuk itu telah menyobek kulit dan daging di leher lawannya.

Terdengar keluhan melengking. Sejenak orang bertubuh kecil itu masih tertahan berdiri tegak dengan mata yang memancarkan kemarahan yang tidak ada taranya, namun sejenak kemudian, maka tubuh itu pun telah roboh terguling di tanah.

Bersamaan dengan itu, maka ilmu yang terpancar dari orang bertubuh kecil itupun lambat laun telah mengendor dan akhirnya lenyap pula.

Namun dalam pada itu, rasa-rasanya Swandaru sudah tidak dapat bertahan lagi. Dengan keringat yang membasahi seluruh tubuhnya, serta perasaan panas yang membuat kulitnya bagaikan hangus, Swandaru terhuyung-huyung sejenak. Namun kemudian ia pun telah jatuh terduduk.

“Kakang Swandaru,” Pandan Wangi dan Sekar Mirah memekik hampir bersamaan. Keduanya pun kemudian telah berlari bersama mendapatkan Swandaru yang terduduk itu.

Ketika mereka berjongkok di sebelah Swandaru, mereka melihat wajah Swandaru yang tegang. Dengan gigi yang terkatub rapat, Swandaru berusaha untuk bertahan terhadap perasaan sakit yang mencengkam seluruh tubuhnya.

Namun, ketika Pandan Wangi dan Sekar Mirah memandanginya dengan cemas, Swandaru itu pun berusaha untuk tersenyum, “Aku tidak apa-apa.”

Kedua orang perempuan itu menarik nafas dalam-dalam. Terdengar Pandan Wangi berdesis, “Syukurlah Kakang Swandaru. Namun nampaknya sesuatu telah menyakiti Kakang pada saat pertempuran itu berlangsung.”

“Orang itu memang gila. Ia adalah saudara seperguruan bajak laut yang telah melukai Kakang Agung Sedayu. Ia memiliki kemampuan untuk memanasi udara di sekitarnya. Rasa-rasanya aku memang berada di neraka. Untunglah, aku mampu mengatasinya, langsung menghancurkan sumber ilmu itu, sehingga akhirnya maka seperti kau lihat, aku telah mengalahkan saudara seperguruan bajak laut itu.”

Pandan Wangi mengangguk-angguk. Sementara Sekar Mirah pun menyahut, “Udara panas itu terasa dari luar arena pertempuran.”

“Ternyata bahwa kebesaran nama perguruan Ki Tumenggung Prabadaru dan ketiga bajak laut itu tidak seimbang dengan kenyataan yang aku alami sekarang ini,” berkata Swandaru.

Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Meskipun ia tidak dapat menyebut dengan terperinci, tetapi ia merasakan tingkat ilmu orang yang bertempur melawan Swandaru itu berada di bawah tataran lawan Agung Sedayu.

Ki Gede Menoreh yang kemudian mendekat pula, hanya dapat mengerutkan dahinya. Tetapi tidak ingin menyakiti perasaan Swandaru.

Dalam pada itu, Ki Gede yang kemudian mendekati orang bertubuh kecil dan terbaring diam itu dengan hati-hati telah meraba tubuhnya. Namun tubuh itu rasa-rasanya telah menjadi beku. Ternyata luka-lukanya yang parah telah merenggut jiwanya. Luka pada leher orang itu telah menentukan segala-galanya.

Kiai Gringsing yang masih saja berada di tempat yang tersembunyi menarik nafas dalam-dalam. Namun, ia masih tetap berada di tempatnya. Rasa-rasanya ada sesuatu yang tidak wajar. Orang bertubuh kecil itu sudah dilumpuhkan, bahkan menurut pengamatan Kiai Gringsing dari tempatnya, orang itu agaknya telah terbunuh di peperangan. Namun rasa-rasanya pengaruh sirep itu masih saja mencengkam Tanah Perdikan Menoreh.

Dalam pada itu, maka Ki Gede pun kemudian berkata kepada Swandaru, “Marilah Ngger. Kita naik ke pendapa. Mungkin Angger memerlukan pertolongan.”

Swandaru mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Aku tidak apa-apa Ki Gede. Hanya terasa panas yang telah menggigit tubuhku itu masih sedikit berpengaruh.”

“Karena itu, marilah. Angger memerlukan istirahat,” berkata Ki Gede.

Namun agaknya Ki Gede pun sedang mencari seseorang. Dalam keadaan yang demikian, ia tidak melihat Kiai Gringsing.

Tetapi, sebelum Ki Gede bertanya, Swandaru telah berkata, “Guru berada di balik dinding. Agaknya aku memang memerlukan bantuan Guru untuk perasaan sakit karena sentuhah udara dan uap panas itu.”

“O,” Ki Gede mengangguk-angguk. Namun tiba-tiba saja mereka mendengar suara Kiai Gringsing lambat saja tanpa melihat orangnya, “Hati-hatilah. Dan biarlah aku di sini.”

Ki Gede mengerutkan keningnya. Ternyata bukan saja Ki Gede yang mendengar. Tetapi juga Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Swandaru.

Karena itu, maka Swandaru pun tidak menunggu pertolongan Kiai Gringsing. Pandan Wangi-lah yang kemudian menolongnya berdiri dan memapahnya mendekati dinding gandok.

“Duduklah bersandar dinding,” berkata Ki Gede, “kita sedang menunggu sesuatu.”

Swandaru pun kemudian duduk bersandar dinding. Namun katanya kemudian, “Aku hanya memerlukan waktu beristirahat sebentar. Kemudian aku akan dapat berbuat sesuatu lagi menghadapi lawan.”

Dalam pada itu, di dalam gandok, Glagah Putih mendengar pula percakapan itu, karena Swandaru berada dekat pada dinding gandok. Bahkan ia pun mendengar saat Swandaru meletakkan punggungnya pada dinding gandok itu.

Glagah Putih tidak dapat menahan diri untuk mengetahui apa yang terjadi. Hampir di luar sadarnya ia melekatkan mulutnya pada dinding gandok sambil bertanya, “Apakah kau tidak apa-apa Kakang Swandaru?”

Swandaru dan orang-orang yang ada di luar gandok mendengar pertanyaan itu. Sementara itu Swandaru pun menjawab, “Tidak Glagah Putih. Aku tidak apa-apa.”

“Syukurlah. Aku tetap di sini menunggui Kakang Agung Sedayu dan Ki Waskita. Mungkin ada orang yang dengan curang ingin berbuat jahat dengan memasuki bilik ini,” berkata Glagah Putih kemudian.

“Tepat,” berkata Swandaru, “kau tetap di situ menjaga mereka yang sedang terluka.”

Glagah Putih tidak bertanya lagi. Sementara Swandaru pun berusaha untuk mengusir perasaan sakit yang masih terasa di tubuhnya.

Tetapi usaha itu tidak segera berhasil. Perasaan sakit dan panas itu masih saja terasa menggigit kulit. Seakan-akan kulitnya benar-benar telah tersiram uap air yang sangat panas, sehingga kulitnya itu bagaikan terkelupas.

Namun dalam pada itu, ternyata Kiai Gringsing tidak ‘segera datang kepadanya untuk memberikan obat yang dapat mengurangi rasa sakit itu. Sehingga karena itu, maka untuk sesaat ia harus berusaha mengatasi perasaannya itu tanpa pertolongan obat apa pun juga.

Ki Gede, Pandan Wangi dan Sekar Mirah masih saja berdebar-debar. Jika tidak ada sesuatu, maka Kiai Gringsing tentu sudah berlari-lari mendapatkan muridnya yang terluka itu.

Sebenarnyalah, saat itu seseorang sedang bergerak mendekati orang-orang yang berada di belakang gandok itu. Beberapa langkah dari mereka orang itu berhenti.

Ki Gede, Pandan Wangi, Sekar Mirah bahkan Swandaru pun melihat orang itu pula. Karena itu, maka mereka pun segera bersiaga. Tombak pendek di tangan Ki Gede pun telah merunduk, sementara tangan Pandan Wangi telah berada di hulu pedangnya. Dekat di sisi Swandaru, Sekar Mirah menggenggam tongkat baja putihnya semakin erat.

“Luar biasa,” terdengar orang itu berdesis, “kalian telah berhasil membunuh muridku.”

“Aku melawannya seorang diri,” tiba-tiba saja Swandaru menyahut. Ia berusaha berdiri tegak meskipun perasaan sakit di tubuhnya masih mencengkamnya. Namun dengan sekuat-kuatnya ia menahannya seakan-akan perasaan sakit itu telah lenyap sama sekali.

“O,” orang yang baru datang itu mengangguk, “kau benar. Aku salah ucap. Aku memang melihat kau bertempur seorang diri.”

“Jadi kau adalah gurunya?” bertanya Swandaru kemudian.

“Ya. Aku adalah gurunya. Aku juga guru ketiga bajak laut yang terbunuh itu, dan aku jugalah guru Tumenggung Prabadaru,” jawab orang itu.

“Bagus,” sahut Swandaru, “aku sudah siap. Jika kau merasa kehilangan kelima orang muridmu dan ingin menuntut balas, maka kini sudah tiba waktunya.”

Tantangan Swandaru itu telah mengejutkan Ki Gede, Sekar Mirah dan apalagi Pandan Wangi. Bagaimanapun juga, mereka mengetahui keadaan Swandaru. Apalagi jika ia harus bertempur melawan guru orang yang dibunuhnya itu.

Namun tanggapan orang yang baru datang itu ternyata sangat mengejutkan pula, “Anak Muda. Jangan memaksa diri untuk melakukan sesuatu yang tidak kau mengerti. Jangan kau sangka aku tidak melihat apa yang terjadi. Kau memang berhasil membunuh muridku yang terakhir. Tetapi bahwa kau kemudian ingin menempatkan diri melawanku adalah suatu mimpi yang sangat buruk. Seharusnya kau mampu menilai dirimu sendiri. Kau hampir saja kehilangan kesempatan untuk menyelamatkan diri melawan muridku yang terakhir. Bagaimana mungkin kau menantangku untuk bertempur.”

“Kaulah yang tidak mampu menilai tingkat ilmu seseorang,” jawab Swandaru, “muridmu terbunuh tanpa dapat berbuat apa pun juga. Apakah kau kira, meskipun kau gurunya, memiliki ilmu dan kemampuan yang berlipat dari muridmu itu?”

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya dengan nada rendah, “Aku hormat kepadamu Anak Muda. Kau memiliki keberanian yang luar biasa. Tetapi aku ingin menasehatimu. Mungkin gurumu tidak pernah melakukannya.” Orang itu berhenti sejenak, lalu, “Sebaiknya kau setiap kali membuat penilaian atas ilmu yang kau miliki. Tangga-tangga kemampuan yang pernah kau injak sampai tingkat kemampuan yang sekarang.”

Kemarahan Swandaru tiba-tiba saja meledak. Ia merasa terhina oleh kata-kata orang itu. Seakan-akan melupakan perasaan sakitnya, Swandaru melangkah menyibak orang-orang yang berdiri di sekitarnya.

“Kau lihat Ki Sanak,” geram Swandaru, “aku dapat membunuh muridmu tanpa cedera sama sekali.”

Orang itu mengerutkan keningnya. Ki Gede Menoreh menggamit Swandaru agar ia dapat mengekang dirinya sedikit. Tetapi Swandaru sama sekali tidak menghiraukannya.

Orang yang datang kemudian itu berdiri tegak dengan sikap yang ragu. Namun kemudian orang itu bertanya, “Apakah kau ingin melihat, apakah kau akan mampu berbuat sesuatu atasku?”

“Persetan,” geram Swandaru.

“Kau memang berani. Menyenangkan mempunyai murid seperti kau. Tetapi gurumu masih harus memberimu beberapa pengarahan,” berkata orang itu. “Baiklah. Jika kau memang ingin mencoba, marilah. Mendekatlah. Aku berjanji untuk tidak bergerak sama sekali. Pergunakan cambukmu yang dahsyat itu. Sekali lagi aku berjanji, aku tidak akan menggerakkan ujung jari kakiku sekalipun.”

Kata-kata itu benar-benar satu penghinaan yang membuat darah Swandaru mendidih. Tiba-tiba saja Swandaru telah memutar cambuknya, dan sejenak kemudian cambuk itupun telah meledak.

Sikap Swandaru itu benar-benar mencemaskan orang-orang yang menyaksikannya. Pandan Wangi berusaha untuk menenangkannya. Tetapi Swandaru justru mendorongnya menjauh sambil berkata, “Aku ingin membungkam kesombongannya dengan cambukku sebagaimana telah terjadi atas muridnya.”

Pandan Wangi yang terdorong beberapa langkah, benar-benar menjadi cemas. Tetapi ia tidak dapat berbuat apa-apa. Meskipun ia tidak menganggap bahwa guru orang yang telah melawan dan terbunuh oleh Swandaru itu melampaui kemampuan setiap orang, tetapi keadaan Swandaru masih belum mengijinkan. Swandaru masih dicengkam oleh perasaan sakit. Hanya karena darahnya yang telah mendidih sajalah maka rasa sakit itu telah dilupakannya.

Dalam pada itu, Ki Gede dan Sekar Mirah sama sekali tidak juga dapat mencegahnya. Jika Pandan Wangi, istrinya tidak didengarnya, maka apalagi orang lain.

Sementara itu, Swandaru pun telah melangkah semakin dekat. Orang yang menyebut dirinya guru lawannya yang sudah terbunuh itu benar-benar masih tetap berdiri tegak dan tidak bergerak. Satu sikap yang sangat menyakitkan hati.

Demikianlah, ketika Swandaru sudah siap untuk bertempur melawan orang yang berdiri tegak itu, Kiai Gringsing pun dicengkam oleh keragu-raguan. Ada niatnya untuk mencegah Swandaru, karena ia yakin bahwa orang yang datang itu benar-benar memiliki kemampuan yang tinggi. Sikapnya, kata-katanya dan sirep yang masih terasa mencengkam padukuhan induk Tanah Perdikan Menoreh.

Namun, ternyata Kiai Gringsing tidak berbuat sesuatu. Tiba-tiba saja timbul niatnya untuk sedikit memberi peringatan kepada Swandaru, bahwa ilmunya bukanlah ilmu terbaik yang pernah dimiliki oleh semua orang. Ia berharap bahwa dengan demikian Swandaru mengerti, bahwa yang dicapainya itu masih belum terlalu tinggi.

Karena itu, maka Kiai Gringsing pun kemudian mengurungkan niatnya untuk mencegah Swandaru. Bahkan mungkin dalam keadaan yang demikian Swandaru pun tidak akan mendengarkannya. Biarlah ia mendapat sedikit pengalaman yang, mungkin akan berguna baginya.

Namun dengan demikian, Kiai Gringsing tidak ingin mengorbankan Swandaru. Ia sudah bersiap mencegah malapetaka yang dapat terjadi atas Swandaru jika lawannya benar-benar menyerangnya.

Untuk menjaga segala kemungkinan, maka Kiai Gringsing pun telah siap dengan ilmunya yang nggegirisi, yang akan dapat menjadi tabir yang akan melindungi Swandaru tanpa melakukan kecurangan dengan menyerang lawannya dari tempat yang tersembunyi.

Tetapi untuk selanjutnya, Kiai Gringsing menjadi berdebar debar. Ia sadar, bahwa dalam keadaan yang memaksa, maka ia harus berbuat sesuatu.

“Sebenarnya aku sudah ingin menjauhi dunia kekerasan seperti ini,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya, “sudah waktunya untuk menyepi, merenungi hidup yang sudah dijalani.”

Tetapi Kiai Gringsing tidak akan sampai hati melepaskan muridnya dalam keadaan yang paling sulit seperti itu.

Dalam pada itu, Swandaru pun melangkah semakin dekat. Cambuknya berputaran dan meledak-ledak. Namun ia masih belum sampai pada satu pijakan yang dapat menjangkau lawannya dengan ujung cambuknya.

Kiai Gringsing menjadi semakin berdebar-debar ketika Swandaru melangkah lebih dekat lagi. Ia tahu apa yang akan dilakukan oleh orang yang baru datang itu. Karena itu, maka Kiai Gringsing pun telah bersiap sepenuhnya.

Namun menilik sikapnya, maka orang itu tidak akan melakukan serangan yang dapat menentukan keadaan Swandaru. Agaknya orang itu pun hanya ingin sekedar menunjukkan kepada Swandaru, bahwa anak muda yang gemuk itu bukan lawannya yang seimbang.

Dalam pada itu, ketika Swandaru maju selangkah lagi, tangannya sudah mengayunkan cambuknya. Dari tempatnya jika ia maju selangkah maka ujung cambuknya akan dapat menjangkau lawannya.

“Aku akan melihat, apakah kulitnya kebal dan tidak akan terluka oleh ujung cambukku,” geram Swandaru di dalam hatinya.

Namun ketika Swandaru mengangkat kakinya untuk melangkah maju, tiba-tiba saja ia terkejut. Di luar sadarnya ia pun telah meloncat beberapa langkah surut.

Demikian ia siap untuk melangkah maju, tiba-tiba saja tanah di hadapannya seakan-akan telah meledak, meskipun tidak terlalu keras. Dari dalam tanah seakan akan telah menyembur asap dan api yang menjilat.

“Gila,” geram Swandaru. Tetapi api yang hampir menjilatnya itu sudah terasa panasnya bagaikan membakar kulitnya.

Sejenak Swandaru termangu-mangu. Ketika ia melihat orang itu masih tetap berdiri di tempatnya, bahkan terdengar suara tertawanya meskipun tertahan, darah Swandaru menjadi semakin panas.

Tiba-tiba saja ia ingin melakukannya lagi dengan serta merta, sebagaimana dilakukan atas lawannya yang terbunuh itu.

“Aku harus berbuat dengan cepat. Aku harus meloncat dan dengan serta merta melecutnya. Jika cambukku mengenai tubuhnya, apalagi di tempat yang paling gawat, maka ia tidak akan mampu lagi melontarkan ilmu iblisnya itu.”

Sejenak Swandaru membuat ancang-ancang. Tetapi sebenarnyalah bahwa tubuhnya masih terasa sakit. Namun hatinya yang sakit oleh penghinaan telah mendorongnya untuk melakukan sesuatu yang justru sangat berbahaya baginya.

Sejenak kemudian maka Swandaru pun telah siap. Dengan menghentakkan kekuatannya, maka ia pun telah siap meloncat. Tangannya pun telah terangkat untuk mengayunkan cambuknya dilambari dengan segenap kekuatan ilmu yang ada padanya.

Namun demikian Swandaru meloncat, maka sekali lagi setapak di hadapannya telah menyembur asap dan api dari dalam tanah.

Bagaimanapun juga, asap dan api yang panas itu telah menghentikan langkah Swandaru. Bahkan ia pun telah meloncat surut pula karena panas yang menyentuh tubuhnya.

Swandaru menggeram. Kemarahannya telah menghentak-hentak dadanya. Namun ia tidak dapat mengingkari kenyataan itu. Ternyata bahwa ia tidak dapat menembus panas yang dilontarkan oleh orang itu sebagaimana ia menembus udara yang panas di sekitar lawannya yang telah terbunuh. Guru dari lawannya yang telah terbunuh itu benar-benar dapat menghembuskan api. Bukan sekedar udara panas di sekitarnya.

Namun Swandaru tidak dengan cepat menyerah. Ia masih berusaha beberapa kali. Namun akhirnya Swandaru itu pun menjadi letih. Apalagi tubuhnya yang masih terlalu lemah.

Ketika usaha Swandaru menjadi mengendor, maka orang itu pun kemudian berkata, “Nah, Anak Muda. Nampaknya kau sudah menjadi letih. Baiklah. Kita hentikan permainan ini. Aku ingin bermain-main dengan orang-orang yang sebayaku. Mungkin sebaya umurnya. Atau mungkin sebaya ilmunya.”

“Persetan,” geram Swandaru. Namun sebenarnyalah bahwa ia sudah benar-benar kehabisan tenaga. Perasaan sakit di tubuhnya justru menjadi semakin terasa.

Hanya karena harga dirinya yang sama sekali tidak mau tersentuh sajalah, maka Swandaru berusaha untuk tetap berdiri.

Dalam pada itu, orang yang telah memberikan satu kenyataan yang sangat pahit bagi Swandaru itupun kemudian berkata, “Anak Muda. Aku sudah memenuhi janjiku. Aku sama sekali tidak bergerak. Meskipun hanya ujung jari kakiku. Sekarang, jangan ganggu aku lagi. Aku ingin mengundang orang yang kini memperhatikan permainan kita. Orang yang agaknya sudah ada di sini sejak terjadi perkelahian antara anak muda itu dengan muridku.”

Orang-orang yang ada di sekitar arena itu menjadi berdebar-debar. Mereka belum tahu pasti, siapakah yang dimaksud oleh orang itu. Mungkin salah seorang dari kedua orang perempuan yang ada di tempat itu, atau mungkin Ki Gede Menoreh.

Namun ternyata bukanlah mereka yang dikehendaki. Dengan jantung yang berdebaran, maka ketiga orang itu melihat guru orang yang sudah terbunuh itu memutar tubuhnya. Berpaling ke kegelapan, ke arah sebatang dahan pohon yang tumbuh di belakang dinding halaman.

“Ki Sanak,” berkata orang itu, “nampaknya kau sama sekali tidak mengacuhkan peristiwa yang terjadi di tempat ini. Marilah. Mungkin kita dapat berbicara serba sedikit. Menurut dugaanku, maka kau adalah salah seorang dari kawan anak muda yang berani ini, meskipun kau membiarkan saja apa yang telah terjadi sebagaimana ketiga orang yang menungguinya di sini.”

Dalam pada itu, Kiai Gringsing yang berada di sebatang dahan dalam kegelapan itupun menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah menduga bahwa orang itu tentu orang yang memiliki ilmu yang tinggi. Dan ia pun sama sekali tidak berusaha untuk melepaskan diri dari kemungkinan pengamatan orang itu, karena memang tidak ada orang lain yang pantas untuk menemuinya kecuali Kiai Gringsing sendiri.

Karena itu, maka Kiai Gringsing pun kemudian meloncat turun. Sejenak kemudian maka ia pun telah muncul ketika ia meloncati dinding halaman dan memasuki halaman rumah Ki Gede di belakang gandok sebelah kanan.

“Aku menghargai sikapmu Ki Sanak,” berkata Kiai Gringsing, “kau tidak bersungguh-sungguh ketika kau berusaha meyakinkan muridku, bahwa kau memang orang yang memiliki ilmu yang luar biasa.”

“O, jadi kau adalah guru anak muda bercambuk itu?” bertanya orang itu.

“Ya Ki Sanak. Akulah yang menuntunnya sekedar mengenal bagaimana caranya menggembala dengan cambuk,” jawab Kiai Gringsing.

“Kau agaknya suka merendahkan diri. Tetapi aku pun menghargai sikapmu dan sikap ketiga orang yang menunggui pertempuran ini. Kau dan ketiga orang ini sama sekali tidak berbuat sesuatu betapa pun muridmu itu mengalami kesulitan. Agaknya mereka terbiasa bersikap jantan sebagaimana muridmu itu sendiri,” berkata orang itu pula.

“Mungkin memang begitu Ki Sanak. Namun dengan menyesal sekali, bahwa akhir dari pertempuran antara muridku dan muridmu itu bukanlah maksud kami,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “tetapi dalam pertempuran yang sengit dan dalam keadaan yang sulit, maka muridku merasa perlu untuk membela dirinya dengan menghentikan serangan-serangan muridmu.”

“Ah, jangan begitu Ki Sanak. Aku menganggapmu seorang yang rendah hati. Tetapi jika kau mengulangi kata-katamu itu, maka kau justru akan memberikan kesan seorang yang sombong, seolah-olah kebetulan saja muridku mati tanpa perjuangan yang sewajarnya dari muridmu. Hanya karena kesalahan kecil, maka muridku pun terpaksa terbunuh.”

“Maaf Ki Sanak,” jawab Kiai Gringsing, “sama sekali bukan maksudku untuk mengatakan demikian. Aku hanya ingin mengatakan bahwa bukan kebiasaan kami untuk membunuh, Barangkali kau juga melihat dalam pertempuran itu, muridku telah terdesak. Cara satu-satunya yang dapat ditempuh adalah cara sebagaimana telah dilakukannya itu.”

Orang itu mengangguk-angguk. Namun katanya, “Muridmu memang lebih baik dari muridku. Ia memiliki segalanya. Kemampuan, keberanian dan kekuatan. Harga dirinya memang agak terlalu tinggi. Tetapi dengan itu ia mampu mengatasi perasaan sakitnya yang mencengkam.”

“Aku tidak apa-apa!” Swandaru tiba-tiba saja berteriak.

Orang itu tersenyum, sementara Kiai Gringsing berkata, “Beristirahatlah Swandaru. Kau memerlukan itu.”

Wajah Swandaru menjadi semakin tegang. Ia tidak tahu maksud gurunya. Tetapi kemudian ia menangkap arti kata itu sebagaimana dikatakannya. Ia memang memerlukan istirahat. Tetapi Swandaru tidak ingin menunjukkan kelemahannya kepada guru orang yang telah dibunuhnya. Juga kepada Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Ki Gede. Ia ingin mengatakan bahwa ia tidak mengalami sesuatu, sementara Agung Sedayu terluka.

Karena itu, maka Swandaru masih tetap berdiri tegak. Ia sama sekali tidak berdesah, meskipun perasaan sakit dan panas masih tetap menggigit tubuhnya.

Namun adalah di luar dugaan Swandaru ketika orang yang telah berhadapan dengan Kiai Gringsing itu berkata, “Muridmu tidak akan mau beristirahat Ki Sanak. Agaknya ia tidak ingin menunjukkan kelemahannya kepada gurunya.”

Kiai Gringsing tidak menjawab, meskipun ia sependapat dengan orang itu. Tetapi dalam pada itu, Swandaru-lah yang menggeram, “Kau terlalu sombong. Kau menganggap orang lain terlalu kecil.”

Tetapi orang itu tersenyum. Jawabnya, “Maaf Anak Muda. Aku tidak menganggap kau terlalu kecil. Kau adalah orang yang mempunyai kelebihan dari mereka yang sebayamu dalam olah kanuragan. Seandainya kau melihat sesuatu yang tidak dapat kau atasi pada orang lain, misalnya aku, maka kau tidak perlu terlalu berkecil hati. Aku adalah orang yang jauh lebih tua berada di lingkungan olah kanuragan. Mungkin sebaya dengan gurumu. Karena itu, maka sulit bagimu untuk dapat mengimbangi kemampuanku. Bukan karena kekurangan padamu, tetapi adalah satu yang sangat wajar saja.”

Swandaru menggeretakkan giginya. Tetapi ia tidak dapat menjawab. Ia mengakui kebenaran kata-kata itu. Dan bahkan terasa pada Swandaru bahwa orang itu memang tidak menganggapnya kecil sesuai dengan tingkatnya dalam masa berguru. Dan menurut tanggapan Swandaru dan bahkan orang-orang yang berada di belakang gandok itu, orang itu berkata dengan jujur.

Dalam pada itu, karena Swandaru tidak menjawab, maka orang itu pun berkata kepada Kiai Gringsing, “Ki Sanak. Kau sudah melihat, bahwa muridku tidak dapat mengalahkan muridmu. Tetapi apakah itu ukuran, bahwa gurunya tidak akan dapat mengalahkan Ki sanak?”

“Tidak,” jawab Kiai Gringsing, “aku tidak berpendapat demikian. Aku memiliki tataran ilmu yang sama. Karena itu, kekalahan seorang murid dari satu perguruan, bukan ukuran bagi guru mereka.”

“Kau benar-benar seorang yang rendah hati,” berkata orang itu. Namun orang itu merasa heran, bahwa murid dari orang yang rendah hati itu mempunyai harga diri yang agak berlebihan.

“Ki Sanak,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “kehadiran Ki Sanak sekarang ini tentu bukannya tanpa maksud. Mungkin Ki Sanak hanya sekedar mengikuti murid Ki sanak. Tetapi mungkin ada maksud-maksud yang lain.”

“Aku mohon kau dapat membayangkan perasaanku,” jawab orang itu, “sudah lima orang muridku terbunuh. Tumenggung Prabadaru terbunuh oleh Agung Sedayu yang ternyata adalah murid Ki Sanak. Seorang dari muridku yang menjadi bajak laut itu dibunuh juga oleh Agung Sedayu. Sekarang, satu lagi muridku terbunuh oleh muridmu yang lain.”

“Kau mendendam?” bertanya Kiai Gringsing.

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Hidupku menjadi gersang setelah murid-muridku terbunuh. Aku kira tidak ada gunanya lagi aku hidup lebih lama. Namun demikian, sebelum aku mati aku ingin menguji, apakah aku memang tidak memiliki kemampuan untuk mengajari muridku sebagaimana Ki Sanak mengajari Agung Sedayu, sehingga ia mampu membunuh Ki Tumenggung Prabadaru, membunuh muridku yang menjadi bajak laut dan bahkan memiliki sisipan ilmu orang lain. Dan yang terakhir, muridmu yang lain telah membunuh muridku yang terakhir. Aku tidak ingin berbicara tentang Pangeran Benawa atau murid Hadiwijaya yang lain, karena aku merasa bahwa aku memang tidak akan dapat mengimbanginya seandainya ia masih hidup sekarang ini.”

“Ki Sanak,” berkata Kiai Gringsing, “apakah keuntunganmu jika mengetahui tingkat kemampuanmu dibandingkan dengan kemampuanku? Jika kau kalah, maka kau akan mati sebagaimana kau inginkan. Tetapi jika kau menang dan berhasil membunuh aku, lalu apa yang akan kau perbuat? Membunuh diri?”

“Tidak. Aku tidak akan membunuh diri,” berkata orang itu. Lalu, “Jika aku menang dan berhasil membunuhmu, maka aku justru berharap bahwa aku akan mempunyai pijakan kepercayaan baru atas diriku sendiri. Mungkin hidupku tidak lagi terasa gersang. Mungkin aku akan mengambil murid-murid baru di dalam padepokanku yang terpencil. Atau mungkin aku ingin mengambil muridmu yang luar biasa itu dan menempanya menjadi seorang yang memiliki ilmu yang melampaui kemampuanku.”

“Persetan,” geram Swandaru.

Orang itu berpaling kepada Swandaru sambil tersenyum. Katanya, “Jika kau mendapat bimbingan yang sungguh-sungguh, maka kau akan dapat menjadi seorang yang luar biasa.”

“Aku tidak memerlukan kau,” jawab Swandaru.

Orang itu tidak menyahut lagi. Tetapi ia masih tersenyum.

“Ki Sanak,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “aku pun mengerti bahwa yang kau lakukan adalah wajar. Kau merasa kehilangan karena murid-muridmu terbunuh. Tetapi apakah kau tidak mempunyai pertimbangan lain yang dapat merubah niatmu?”

“Ki Sanak,” berkata orang itu, “jangan bersikap terlalu baik. Seharusnya kau dengan kasar menantangku dan mengharuskan aku mati di sini. Aku sudah siap untuk mati. Tetapi jika sikapmu terlalu baik, maka aku akan dapat berubah pikiran. Mungkin aku akan mengurungkan niatku untuk berkelahi. Namun dengan demikian, kau akan menyiksa aku seumur hidupku, atau yang urung hari ini itu sekedar menunda waktu, karena akhirnya aku pun tidak akan dapat menahan siksaan yang demikian dan pada satu saat aku pun akan datang kepada Ki Sanak untuk bertempur.”

“Sikapmu memang masuk akal Ki sanak. Baiklah. Jika kau tidak dapat mencari jalan lain, maka aku pun seharusnya tidak ingkar. Dua orang muridku telah menyakiti hatimu, karena mereka telah membunuh tiga orang muridmu. Tetapi kau pun harus menyadari, bahwa muridku melakukan pembunuhan itu dalam keadaan tanpa pilihan. Mereka dipaksa untuk melakukannya, justru untuk membela dirinya.”

Orang itupun menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Kiai Gringsing dengan pandangan yang suram. Katanya kemudian dengan nada yang dalam, “Jangan sebut itu lagi Ki Sanak. Aku tahu bahwa murid-muridkulah yang telah mendesak murid-muridmu untuk membunuh mereka sendiri. Aku mengerti. Dan sudah tentu aku sama sekali tidak mengajari mereka untuk melakukan hal-hal yang ternyata telah mereka lakukan. Aku sama sekali tidak bermimpi bahwa murid-muridku akan menjadi bajak laut. Aku berbangga bahwa seorang dari muridku telah mengabdikan diri dan bahkan menjadi seorang Tumenggung. Tetapi ternyata bahwa jalan yang ditempuhnya juga sesat, tidak jauh berbeda dengan ketiga saudara seperguruannya yang menjadi bajak laut. Bahkan di antara murid-muridku telah timbul permusuhan yang membuat hatiku menjadi sakit. Aku tidak tahu, siapakah yang bersalah. Apakah murid-muridku, atau gurunya yang telah bersalah. Dan yang terakhir, aku mengambil muridku yang baru saja terbunuh itu dari dunia yang hitam pula. Aku menemukannya dalam keadaan yang sangat parah. Aku obati orang itu sehingga sembuh meskipun kemudian ia menjadi bongkok. Aku berharap ia akan dapat menjadi orang yang baik. Tetapi ketika ia mendengar keempat saudara seperguruannya terbunuh, maka aku tidak dapat mencegahnya untuk membalas dendam. Tetapi akhirnya, sebagaimana telah terjadi, orang bongkok itu telah mati.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Namun iapun masih bertanya, “Tetapi kenapa kau sendiri sekarang melakukan?”

“Aku sudah kehilangan segala-galanya. Buat apa aku tetap hidup di padepokan terpencil itu? Nampaknya sudah jelas, bahwa semua muridku akan menjadi orang-orang terbuang menurut penilaian sewajarnya. Seandainya aku bertahan untuk hidup terus dan mengambil murid lagi, maka agaknya ia juga akan menjadi orang-orang yang menempuh jalan salah seperti murid-muridku yang terdahulu,” berkata orang itu.

Kiai Gringsing mengerutkan dahinya. Dipandanginya orang itu dengan tajamnya. Dalam keremangan malam ia tidak dapat melihat dengan pasti, kesan apakah yang tersirat pada wajahnya selagi ia bercerita tentang murid-muridnya. Namun nampaknya ia benar-benar menyesali dirinya sendiri. Sebagai seorang guru, maka ia telah kehilangan harapannya untuk melihat hasil dari bimbingannya. Bahkan seandainya murid-muridnya masih hidup, maka ia pun selalu dibayangi oleh perasaan kecewa, karena sikap murid-muridnya itu.

“Nah, sudahlah Ki Sanak,” berkata orang itu kemudian, “kita sudah berbicara panjang lebar. Semakin panjang kita berbicara maka nafsuku untuk bertempur menjadi semakin susut. Karena itu, kita sudahi pembicaraan kita. Kita akan mulai dengan satu pertempuran yang akan memaksa kita masing-masing untuk menguras kemampuan kita.”

“Baiklah Ki Sanak. Kita akan mengerahkan segenap kemampuan. Tetapi pada satu saat tertentu, kita akan berhenti,” berkata Kiai Gringsing.

Orang itu mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apa maksudmu, bahwa pada suatu saat kita akan berhenti?”

“Bukankah pada satu saat pertempuran di antara kita akan berhenti?” jawab Kiai Gringsing, “Pada saat salah seorang di antara kita sudah tidak mampu lagi untuk melawan, maka itu akan berarti pertempuran berhenti.”

“Aku akan berhenti kalau kita sudah sampai pada batas mati Ki Sanak. Aku akan membunuhmu. Aku tidak akan berhenti sebelum kau mati. Entahlah apa yang akan kau lakukan atasku jika kau menang. Apakah kau akan membunuh aku atau tidak, itu adalah persoalanmu.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku melihat sesuatu yang kau paksakan. Kau ingin kelihatan garang. Kau ingin menunjukkan bahwa kau adalah orang yang memiliki ketegasan bertindak. Tetapi, sebenarnya kau adalah seorang yang berhati lembut. Kau tidak berbuat atas dasar nuranimu. Tetapi kau justru ingin menunjukkan bahwa kau dengan sikap seorang guru telah membela kematian murid-muridnya. Dan celakanya sikap itu adalah sikap yang kurang mapan bagi seorang guru yang baik. Yang justru sesuai dengan nuranimu.”

“Cukup!” bentak orang itu. “Apakah aku kurang garang? Dan apakah aku belum menunjukkan sikap seorang yang kasar, yang tidak menghiraukan paugeran baik dan buruk, yang tidak mau mengerti persoalan orang lain dan yang menyimpan segala macam keburukan di dalam dirinya.”

“Ki Sanak,” berkata Kiai Gringsing, “jangan paksa dirimu.”

“Persetan,” geram orang itu, “kau coba untuk melunakkan hatiku dengan cara yang licik itu, anak setan.”

“Umpatanmu tidak meyakinkan,” jawab Kiai Gringsing.

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba saja ia berpaling kepada Ki Gede Menoreh, Swandaru, Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Katanya, “Kalian menjadi saksi. Aku tantang orang ini untuk berperang tanding.”

Kiai Gringsing melihat orang-orang yang berdiri dekat di sebelah gandok itu termangu-mangu. Agaknya mereka pun bingung melihat sikap orang itu. Sikap yang sulit untuk dimengerti.

Namun dalam pada itu, Kiai Gringsing merasa bahwa ia tidak akan dapat mengelak lagi. Memaksa atau tidak memaksa diri, orang itu telah menantangnya. Dan ia harus melayaninya.

Demikianlah, maka orang itu pun kemudian bergeser agak menjauhi gandok itu. Ketika Kiai Gringsing pun bergeser pula, maka orang itu pun berkata, “Biarlah orang-orang di sekitar rumah ini tetap terkena pengaruh sirep. Aku tidak mau membuat mereka menjadi gelisah karena perkelahian ini.”

“Aku sependapat Ki Sanak,” jawab Kiai Gringsing.

“Nah, kalau kau ingin mempergunakan cambukmu seperti muridmu, aku tidak berkeberatan,” berkata orang itu.

“Mungkin nanti. Tetapi sekarang belum,” sahut Kiai Gringsing.

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Namun ia pun kemudian bersiap untuk benar-benar bertempur melawan Kiai Gringsing.

Sejenak kemudian, kedua orang itu pun sudah saling berhadapan dalam kesiagaan penuh. Untuk beberapa saat mereka masih belum berbuat sesuatu. Agaknya mereka sedang melihat kemungkinan-kemungkinan yang dapat mereka lakukan.

Namun dalam pada itu, maka orang itu pun kemudian berkata, “Bersiaplah Kiai. Aku akan mulai.”

“Aku sudah bersiap. Tetapi sebelum pertempuran ini terjadi, apakah kau dapat menyebut namamu?” tiba-tiba saja Kiai Gringsing bertanya.

“Baiklah,” jawab orang itu, “namaku tidak banyak dikenal orang. Yang mau menyebutnya, namaku adalah Kiai Jayaraga.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Nama itu tidak akan banyak artinya, karena orang itu akan dapat menyebut nama yang manapun juga. Bahkan orang itu akan dapat menyebut dirinya bernama Kiai Gringsing sekalipun.

Namun demikian Kiai Gringsing itu pun kemudian berkata, “Baiklah Kiai Jayaraga. Kita akan mulai dengan perang tanding seperti yang kau kehendaki.”

Kiai Jayaraga tidak menjawab. Tetapi tiba-tiba saja di hadapan Kiai Gringsing telah meledak sebagaimana terjadi pada saat Swandaru bersiap untuk menyerang orang itu.

Seperti Swandaru, Kiai Gringsing pun meloncat surut. Sementara itu, orang yang menyebut dirinya Kiai Jayaraga itu pun telah menyerangnya pula. Beberapa kali, setiap Kiai Gringsing meloncat menghindar, maka tiba-tiba saja di sebelahnya, bahkan kadang-kadang terlalu dekat, telah berhembus seolah-olah dari dalam tanah, uap dan api yang panas.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Agaknya orang itu tidak ingin menjajagi kemampuan lawannya dari awal. Ia langsung mempergunakan ilmunya yang dahsyat itu untuk menyerang.

Dalam pada itu, karena Kiai Gringsing masih saja berloncatan menghindar, maka orang itupun berkata, “Kau tidak bersungguh-sungguh Ki Sanak?”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kau memang aneh. Kau tidak mulai dari permulaan. Kau langsung menusuk ke ujung kemampuan kita. Baiklah. Jika demikian, maka kita akan langsung mempergunakan puncak-puncak kemampuan kita.”

“Kita tidak perlu berbasa-basi,” jawab orang itu, “aku tahu, bahwa kau memiliki ilmu yang luar biasa. Nah, sekarang saatnya kau mempergunakannya. Jika benar pendengaranku, maka yang telah membunuh orang yang menyebut dirinya Kakang Panji di medan perang Prambanan adalah guru Agung Sedayu. Agaknya kaulah yang telah melakukannya.”

Wajah Kiai Gringsing menegang sejenak. Orang itu ternyata mengetahui tentang kematian orang yang menyebut dirinya Kakang Panji.

“Aku tidak ingkar Ki Sanak,” jawab Kiai Gringsing.

“Nah, bukankah aku tidak perlu menjajagi ilmumu dari tataran permulaan? Kecuali jika orang yang membunuh Kakang Panji itu guru Agung Sedayu yang lalu.”

“Tidak ada gurunya yang lain Ki Sanak,” sahut Kiai Gringsing, “tetapi ia tidak terpancang kepada unsur-unsur ilmu yang aku berikan saja. Ia mencari sendiri dan mengembangkannya.”

Orang yang menyebut dirinya Kiai Jayaraga itu tidak menjawab. Tetapi serangannya menjadi semakin sering sehingga Kiai Gringsing menjadi semakin cepat berloncatan.

Namun ketika serangan itu menjadi semakin cepat, maka Kiai Gringsing tidak lagi menghindarinya. Dibiarkannya saja tubuhnya terjilat oleh uap dan api yang bagaikan memancar dari dalam tanah. Namun setiap kali nampak seolah-olah dari tubuh Kiai Gringsing itu berguguran tepung yang berwarna kekuning-kuningan.

“Bukan main,” desis orang itu. Namun dalam pada itu, orang itu pun melihat guru Agung Sedayu itu mengusap pergelangan tangannya. “Ia mempunyai penangkal yang tidak tertembus oleh ilmuku.” Namun dalam pada itu, orang itu pun tidak terhenti oleh kegagalan itu. Dengan tangkasnya ia telah meloncat mendekati lawannya. Dengan telapak tangan terbuka ia menyerang. Tetapi tidak untuk mempergunakan sisi telapak tangannya. Tetapi benar-benar mempergunakan telapak tangannya.

Kiai Gringsing tidak membiarkan tubuhnya disentuh. Agaknya kemampuan yang terpancar dari telapak tangannya itu lebih ganas dari uap dan api yang seolah-olah menyembur dari dalam tanah.

Karena itu, maka Kiai Gringsing terpaksa meloncat menghindar. Ia sadar, sentuhan telapak tangan itu akan mempunyai arti yang gawat bagi tubuhnya.

Dalam serangan-serangan berikutnya, maka gerak orang yang menyebut dirinya Kiai Jayaraga itu menjadi semakin cepat. Jika tangannya yang menyambar Kiai Gringsing itu tidak mengenai sasaran, tetapi menyentuh batang pepohonan, maka nampak asap yang mengepul. Telapak tangan itu akan membekas pada batang-batang pepohonan, sebagaimana tersentuh bara.

Ki Gede, Pandan Wangi dan Sekar Mirah menyaksikan pertempuran itu dengan hati yang berdebar-debar. Sementara itu Swandaru berdiri tegak dengan jantung yang berdenyut semakin keras.

Dalam pada itu, yang berada di gandok pun menjadi berdebar-debar pula. Agung Sedayu menjadi gelisah dan Ki Waskita pun menjadi tegang.

“Aku ingin menyaksikan pertempuran itu,” berkata Agung Sedayu.

“Jangan,” Ki Waskitalah yang mencegahnya, “kau masih terlalu lemah, Agung Sedayu. Jika kau berada di pinggir arena itu, maka dapat terjadi sesuatu yang tidak kita kehendaki atasmu. Menurut pendengaranku, kau adalah sasaran utama dari kehadiran orang-orang itu. Jika kau nampak oleh orang yang menyebut dirinya Jayaraga itu, maka ia akan dapat berbuat curang dengan menyerangmu dari jarak jauh, sementara kau masih belum cukup kuat untuk melawan atau menghindarkan diri.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Ki Waskita. Karena itu, maka iapun mengurungkan niatnya untuk melihat.

Swandaru menyaksikan pertempuran itu dengan perasaan yang bergejolak. Ada semacam kebanggaan di dalam dirinya tentang gurunya. Namun di samping itu terbersit pula kebanggaannya terhadap dirinya sendiri. Dengan tidak sadar, Swandaru berharap, bahwa pada suatu saat nanti, ia akan memiliki kemampuan seperti gurunya. Yang tidak terbakar oleh panasnya uap dan api yang terpancar dari ilmu orang yang menyebut dirinya Jayaraga itu.

“Apakah yang dapat dilakukan oleh lawannya, jika tubuh Guru tidak dapat disengat oleh perasaan panas?” berkata Swandaru di dalam hatinya.

Namun ia pun kemudian melihat, bahwa Kiai Gringsing, telah berusaha untuk menghindari serangan-serangan telapak tangan lawannya. Agaknya Kiai Gringsing benar-benar tidak mau disentuh oleh tangan itu.

Dalam pada itu, pertempuran antara kedua orang yang berilmu tinggi itu pun menjadi semakin seru. Kiai Gringsing masih saja menghindari sentuhan telapak tangan lawannya. Namun ia bukan sekedar menghindari, tetapi dengan tangkasnya pula Kiai Gringsing telah menyerang lawannya pula.

Telapak tangan Kiai Gringsing pun ternyata terbuka seperti lawannya. Tetapi jari-jarinya benar-benar merapat. Dengan jari-jarinya yang merapat itu Kiai Gringsing menyerang lawannya.

Dalam serangan yang semakin cepat, maka sulitlah kedua belah pihak untuk benar-benar menghindarkan diri dari sentuhan serangan lawannya. Karena keduanya mampu bergerak secepat pusaran angin.

Karena itu, maka tangan kedua orang itu sekali-sekali dapat menyentuh lawannya pula.

Jika telapak tangan orang yang menyebut dirinya Kiai Jayaraga itu menyentuh tubuh Kiai Gringsing, maka rasa-rasanya kulitnya bagaikan terkelupas. Bahkan terlihat asap yang mengepul sekilas dan bau pakaian Kiai Gringsing yang bagaikan tersentuh api.

“Pakaian Kiai Gringsing termakan oleh panasnya telapak tangan lawannya,” desis Swandaru dan orang-orang yang berdiri di pinggir arena itu. “Itu tidak terjadi oleh uap dan api yang menyembur dari dalam tanah.”

“Kulitnya pun telah terbakar,” gumam Ki Gede.

Namun mereka menjadi semakin tegang ketika mereka melihat akibat sentuhan tangan Kiai Gringsing. Meskipun tangan Kiai Gringsing tidak membakar seperti tangan lawannya, tetapi tubuh Kiai Jayaraga yang tersentuh tangan Kiai Gringsing telah terkoyak karenanya. Tubuh itu bagaikan tergores oleh tajamnya pusaka setipis daun ilalang.

Terdengar kedua orang itu berdesis. Tetapi mereka masih bertempur semakin dahsyat. Keduanya mampu bergerak seperti putaran baling-baling ditiup badai.

“Luar biasa,” desis Ki Gede.

Sementara itu, Pandan Wangi dan Sekar Mirah hanya dapat menarik nafas dalam-dalam, sementara Swandaru mulai berangan-angan tentang dirinya sendiri.

Dalam pada itu, maka pertempuran itu pun semakin lama semakin cepat sehingga seakan-akan telah kehilangan bentuknya. Keduanya hanya bagaikan bayangan di kelamnya malam. Terbang menyambar-nyambar dengan tangan yang mengembang. Bahkan tangan-tangan mereka pun seakan-akan telah berubah menjadi berpasang-pasang mengelilingi seluruh tubuh mereka masing-masing.

Namun, akhirnya keduanya menjadi jemu dengan cara yang menguras tenaga itu. Ternyata Kiai Jayaraga itu pun berkata, “He, apakah kita akan melanjutkan permainan ini? Luka-luka di tubuhku menjadi berdarah. Sementara luka-luka di tubuhmu telah mengelupas kulit dan daging. Tetapi cara begini tidak akan dapat mengakhiri pertempuran ini dengan cepat.”

“Jadi bagaimana yang kau inginkan? Bukankah kita masing-masing telah dapat saling melukai? Siapa yang lukanya menjadi lebih banyak dan memenuhi tubuhnya, maka ia akan kehilangan kesempatan untuk menang dalam pertempuran ini, karena orang itu akan kehabisan tenaga,” sahut Kai Gringsing.

“Tetapi aku menjadi jemu. Pertempuran begini tidak menarik,” berkata Kiai Jayaraga, “tetapi terserah kepadamu jika kau memang ingin bertempur seperti ini. Tubuhku sudah cukup kau lukai. Aku tidak mau lagi tergores oleh tanganmu.”

“Mau atau tidak mau aku akan melakukannya. Kecuali jika kau menyerah,” berkata Kiai Gringsing.

“Jangan seperti anak kecil,” berkata Kiai Jayaraga, “betapa pun kau merendahkan dirimu, tetapi aku kira kau akan berusaha untuk tetap hidup. Kecuali jika terpaksa karena kau tidak mampu lagi bertahan.”

“Aku masih mampu mengimbangi kecepatan gerakmu. Aku memang terluka oleh apimu. Tetapi kau pun terluka oleh tusukan tanganku. Ternyata kekebalanku terhadap uap dan apimu yang menyembur dari dalam tanah itu tidak mampu menahan panas di telapak tanganmu,” jawab Kiai Gringsing sambil mengelak ketika lawannya menyerangnya dengan telapak tangannya mengarah keningnya.

“Jangan keningku,” desis Kiai Gringsing.

“Persetan,” geram orang itu, “aku akan bersungguh-sungguh. Terserah kepadamu, apakah kau akan bersungguh-sungguh atau tidak.”

“Kau terlalu baik. Kau selalu memperingatkan lawanmu jika kau akan melakukan sesuatu yang berbahaya bagi lawanmu itu,” berkata Kiai Gringsing.

Tetapi orang itu menggeram. Katanya, “Jangan merajuk. Bersiaplah. Aku tidak mau bertempur seperti kanak-kanak ingusan. Jika kita mempergunakan cara ini, maka tiga hari tiga malam kita tidak akan selesai.”

“Apakah kau tidak tahan bertempur tiga hari tiga malam?” bertanya Kiai Gringsing.

“Mungkin aku tahan lima hari lima malam tanpa berhenti jika kau kehendaki. Tetapi kemampuan ilmu sirep itu akan lebih cepat berakhir. Bahkan tidak akan sampai ujung pagi ini. Kecuali jika kita memang ingin memamerkan kemampuan ini kepada banyak orang.”

Kiai Gringsing menarik nafas. Namun tiba-tiba saja ia menjadi tegang. Ia melihat lawannya itu benar-benar tidak lagi menyerang dengan telapak tangannya. Tetapi orang yang menyebut dirinya Jayaraga itu justru bergeser menjauh,

“Apa yang akan kau lakukan?” bertanya Kiai Gringsing.

“Aku akan mengambil jarak yang cukup,” jawab orang itu, “aku akan menyerangmu dengan caraku. Terserah kepadamu, apakah kau akan melawan atau tidak. Jika kemudian kau mati, itu bukan salahku.”

Kiai Gringsing termangu-mangu. Tetapi ia tidak boleh bermain-main dengan lawannya. Agaknya lawannya memang memiliki ilmu yang sangat dahsyat.

Tetapi sesuatu telah bergejolak di dalam dada Kiai Gringsing. Ternyata ia masih terpaksa untuk melepaskan ilmunya yang sudah lama sekali tersimpan. Baru kemudian karena ia harus berhadapan dengan orang yang bernama Kakang Panji, maka ilmu yang tersimpan itu terpaksa diungkapkan. Namun kini, ia tidak dapat membiarkan dirinya hancur oleh ilmu lawannya. Karena itu, maka dengan terpaksa sekali iapun harus mempergunakannya.

“Justru puncak ilmu itu,” gumam Kiai Gringsing.

Perlahan-lahan dirabanya pergelangan tangannya. Ia harus memusatkan nalar budinya. Ia harus melawan ilmu lawannya yang belum diketahui tingkat dan tatarannya.

“Mungkin puncak ilmuku ini pun tidak akan mampu melawannya,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.

Namun dalam pada itu, ia menjadi gelisah pula tentang muridnya, Swandaru. Jika ia melihat, bagaimana Kiai Gringsing mampu mengungkapkan ilmunya yang nggegirisi, maka bagaimanapun juga anak itu tentu mengharapkan, bahwa pada satu saat iapun akan dapat melakukannya.

“Tetapi masih harus dipertanyakan, untuk apa?” Keragu-raguan itu sudah timbul sejak lama di hati Kiai Gringsing terhadap muridnya yang gemuk itu.

Tetapi Kiai Gringsing tidak mempunyai banyak waktu untuk merenung. Karena sejenak kemudian, orang yang menyebut dirinya Jayaraga itu sudah berdiri tegak dengan tangan teracu ke depan, sementara kedua telapak tangannya masih saja terbuka.

“Ki Sanak,” berkata Ki Jayaraga, “cepatlah sedikit. Jangan mati sebelum melawan, karena dengan demikian seakan-akan aku sudah berbuat licik, menyerang lawan sebelum bersiap.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun ia memang harus menghadapinya. Karena itu, maka Kiai Gringsing pun kemudian berdiri tegak dengan tangannya bersilang di dadanya.

Meskipun demikian, Kiai Gringsing itu masih juga sempat bertanya, “Kenapa kau mengambil jarak yang demikian jauhnya Ki Sanak. Apakah dengan demikian, kau ingin membatasi kemampuan ilmumu agar tidak menghancurkan tubuhku?”

“Bukan ilmuku. Tetapi aku sadar, bahwa kau pun akan membentur seranganku. Jika seranganku gagal, maka aku berharap ilmumulah yang tidak akan melumatkan tubuhku. Meskipun seandainya aku harus mati, biarlah tubuhku masih utuh sebagaimana masa hidupku.”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Orang itu memang aneh. Nampaknya ia bukan orang-orang kejam sebagaimana para bajak laut yang diceritakan oleh orang-orang yang menyaksikan pertempuran mereka di Watu Lawang. Dan nampaknya orang ini pun tidak segarang Ki Tumenggung Prabadaru sendiri.

Meskipun demikian, Kiai Gringsing harus bersiap-siap menghadapi segala kemungkinan yang dapat terjadi. Mungkin orang ini justru sedang mengatur satu perangkap yang licik.

Sesaat suasana benar-benar menjadi tegang. Kiai Gringsing pun telah berdiri tanpa bergerak. Dipandanginya kedua tangan lawannya yang teracu ke depan dengan telapak tangan yang mengembang.

“Beberapa saat kemudian, dalam keremangan malam itu, nampak semacam kabut yang putih kemerahan seolah-olah memancar dari kedua belah tangan orang yang menyebut dirinya Kiai Jayaraga itu. Kabut itu perlahan-lahan mengalir mengarah ke tubuh Kiai Gringsing yang berdiri tegak dengan tangan bersilang di dada. Ia sadar, bahwa lawannya benar-benar ingin mengadu kemampuan ilmu mereka yang paling dalam.

Untuk beberapa lamanya, kabut itu mengalir semakin mendekati tubuh Kiai Gringsing. Ujung dari kabut yang putih kemerah-merahan itu bagaikan kepala seekor ular yang siap mematuk tubuh Kiai Gringsing yang berdiri diam.

Orang-orang yang menyaksikan pertempuran yang aneh itu menjadi tegang. Ki Gede berdiri tegak dengan wajah yang berkerut. Sementara Pandan Wangi dan Sekar Mirah di luar sadar mereka telah saling merapat. Sedangkan Swandaru berdiri tegak dengan tanpa bergerak sama sekali. Bahkan nafasnya pun rasa-rasanya telah berhenti mengalir.

Di dalam gandok, Agung Sedayu dan Ki Waskita benar-benar menjadi, berdebar-debar. Mereka tidak melihat apa, yang terjadi. Tetapi mereka merasakan ketegangan yang sedang mencengkam. Seakan-akan di belakang gandok itu sedang terjadi dua kekuatan ilmu yang saling mendorong untuk saling menghancurkan.

Dalam pada itu, Glagah Putih yang hampir, tidak dapat menahan diri lagi itu pun telah berdiri merapat dinding. Tetapi dinding kayu itu ternyata cukup rapat, sehingga tidak ada lubang yang dapat dipergunakannya untuk melihat keluar.

“Rasa-rasanya aku ingin memecahkan dinding ini,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya. Tetapi ia tidak berani melakukannya, karena dengan demikian kakaknya akan dapat menjadi marah kepadanya, karena ia telah merusak sebagian dari rumah Ki Gede. Tetapi keinginannya untuk melihat apa yang terjadi, telah membuatnya bagaikan berdiri di atas api.

Untuk beberapa saat lamanya, orang-orang yang berada di dalam gandok itu tidak mendengar sesuatu. Namun kemudian yang mereka dengar adalah suara berdesis, seakan-akan berpuluh-puluh ekor ular telah berdesis bersama-sama.

Dalam pada itu, ujung kabut yang berwarna putih kemerah-merahan itupun menjalar terus perlahan-lahan mengarah ke tubuh Kiai Gringsing. Semakin lama semakin dekat. Sementara itu, Kiai Gringsing masih tetap berdiri tegak dengan tangan bersilang di dada.

Ketika ujung kabut itu hanya tinggal selangkah saja dari tubuh Kiai Gringsing, Ki Gede, Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Swandaru menjadi sangat cemas. Mereka sadar, bahwa kabut itu tentu merupakan sejenis senjata yang sangat berbahaya. Mungkin kabut itu akan membakar sasarannya, tetapi mungkin juga kabut itu adalah uap beracun yang sangat keras, yang membuat tubuh lawannya menjadi beku dan kejang, karena darahnya mengental di saluran-salurannya.

Namun dalam pada itu, ternyata ujung dari kabut itu tiba-tiba saja terhenti. Meskipun tidak nampak oleh mata wadag, namun rasa-rasanya serangan Kiai Jayaraga itu telah membentur sebuah perisai tepat di hadapan Kiai Gringsing.

Benturan itu telah menimbulkan satu kesan yang dahsyat. Seakan akan dua kekuatan saling mendesak. Ujung serangan yang aneh dari Kiai Jayaraga itu mendesak perisai yang agaknya telah dipasang oleh Kiai Gringsing, namun tidak nampak oleh mata wadag. Tetapi agaknya tidak terlalu mudah untuk menembus perisai yang tidak kasat mata itu.

Untuk beberapa lamanya, kedua macam ilmu itu saling mendesak dan saling mendorong. Sekali-sekali benturan itu bergeser mendekati Kiai Gringsing. Tetapi tidak sampai sejengkal kemudian, maka kekuatan Kiai Gringsing telah mendesaknya kembali, sehingga jaraknya menjadi bergeser menjauh.

Dalam pada itu, Kiai Gringsing yang berdiri tegak dengan menyilangkan tangannya di dadanya itu pun nampaknya telah mengerahkan segenap kemampuannya, sementara lawannya pun menjadi semakin tegang. Tangan yang terjulur ke depan itu menjadi bergetar. Dan kabut yang berwarna putih kemerahan itu pun seakan-akan menjadi semakin lama semakin tebal. Namun kabut itu ternyata masih belum mampu menembus satu jenis perisai yang tidak nampak yang mengurung tubuh Kiai Gringsing.

Ketegangan benar-benar telah mencengkam halaman rumah Ki Gede yang berada di belakang gandok itu. Semua orang yang menyaksikannya bagaikan menjadi beku. Bukan saja darah seakan-akan telah berhenti mengalir, tetapi mereka pun rasa-rasanya tidak sempat lagi menarik nafas.

Demikianlah dua kekuatan ilmu telah berbenturan dengan dahsyatnya., Saling mendesak, saling mendorong sehingga benturan kedua ilmu itu setiap kali bergeser.

Sebenarnyalah pada saat yang demikian, baik Kai Jayaraga maupun Kiai Gringsing telah mengerahkan segenap kemampuan ilmu mereka. Keduanya memang memiliki kemampuan yang luar biasa. Meskipun Kiai Gringsing sebelumnya merasa, bahwa waktunya telah tiba untuk menyepikan diri dan menghindari benturan ilmu kanuragan dalam upayanya untuk menemukan ketenangan di hari tuanya, namun dalam keadaan yang demikian, ia tidak akan dapat ingkar lagi. Ia harus melepaskan puncak kemampuannya jika ia sendiri tidak ingin lumat. 

Ternyata bahwa benturan dua jenis ilmu itu telah menggetarkan udara di sekitarnya. Meskipun seakan-akan benturan itu tidak menimbulkan angin dan badai serta tidak memancarkan panas seperti ilmu Kiai Jayaraga sebelumnya, namun pengaruhnya terasa bukan saja langsung menggetarkan isi dada orang-orang yang ada di sekitar arena. Bahkan mereka yang berada di dalam gandok itu pun merasakan, udara seakan akan telah bergetar dengan gelombang getaran yang semakin lama semakin cepat.

Dalam pada itu, baik Kiai Gringsing maupun Kiai Jayaraga telah mengerahkan segenap ilmu mereka. Ilmu yang saling mendesak dan mendorong. Jika ujung kabut yang seakan-akan menjadi semakin pekat itu berhasil menyentuh tubuh sasarannya, maka akan dapat menumbuhkan pengaruh yang sangat buruk pada tubuh dan bahkan berpengaruh kepada jaringan nalarnya.

Namun Kiai Gringsing agaknya telah mampu menahan dorongan kabut yang semakin pekat itu. Pada saat-saat tangan Kiai Jayaraga menjadi semakin gemetar, maka tubuh Kiai Gringsing yang berdiri tegak dengan tangan bersilang di dada itu justru seakan-akan telah mengepulkan asap. Tipis sekali, berwarna putih kebiruan.

Dalam ketegangan yang memuncak, mereka yang berdiri di pinggir arena itu melihat daun-daun pepohonan yang berguguran. Bukan saja daun yang sudah berwarna kekuningan. Tetapi daun-daun yang hijau pun menjadi layu dan runtuh sehelai-sehelai bagaikan hujan yang menjadi semakin deras.

Dalam pada itu, dalam kegelisahan yang sangat, Ki Gede, Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Swandaru melihat, bahwa ujung kabut yang memancar dari tangan Kiai Jayaraga itu bagaikan mendidih. Seolah-olah dengan menghentakkan kekuatan, ujung kabut itu ingin menembus pertahanan Kiai Gringsing yang rapat.

Namun ketika asap di tubuh Kiai Gringsing menjadi semakin tebal maka ujung kekuatan ilmu Kiai Jayaraga itu justru bagaikan terdesak. Perlahan-lahan benturan dan kekuatan itu mulai bergeser. Justru menjauhi tubuh Kiai Gringsing. Semakin lama semakin jauh.

Gejolak yang dahsyat telah terjadi pada benturan dua kekuatan raksasa yang sulit dimengerti itu. Kabut yang putih kemerahan itu menjadi semakin pekat. Warna kemerahan itu rasa-rasanya bagaikan semakin membara. Tetapi, tidak ada pancaran panas dari kekuatan ilmu keduanya.

Ki Gede benar-benar menahan nafas ketika ia merasakan bahwa benturan kekuatan ilmu itu benar-benar telah sampai ke puncak. Kedua orang yang bertempur itu telah menjadi basah oleh keringat. Bahkan tubuh Kiai Jayaraga telah bergetar pula, bukan saja kedua tangannya yang teracu ke depan, sementara asap yang mengepul dari tubuh Kiai Gringsing pun menjadi semakin menebal.

Dalam puncak benturan kekuatan ilmu itu, garis benturan yang bagaikan bayangan gejolak pengerahan nalar budi dalam ungkapan ilmu dari dua orang pinunjul itu menjadi semakin dahsyat pula.

Ki Gede yang melihat benturan antara dua kekuatan ilmu itu menjadi semakin tegang. Seakan-akan ia melihat gejolak yang dahsyat dari dua kekuatan raksasa yang tidak ada bandingnya. Yang satu ingin mendesak dan mendorong yang lain, sementara yang lain bertahan dengan segenap kekuatan yang tidak ada taranya.

Kabut yang terjulur dari kedua telapak tangan Kiai Jayaraga itu pun telah menjadi semakin pekat. Ujungnya bergejolak semakin dahsyat. Namun dalam pada itu, kekuatan ilmu Kiai Gringsing ternyata telah mendorong ujung kabut itu perlahan-lahan ke arah Kiai Jayaraga sendiri.

Tangan dan tubuh Kiai Jayaraga menjadi semakin bergetar. Bahkan kabut yang terjulur itu pun telah menjadi bergetar pula. Dengan segenap kemampuan yang ada, maka Kiai Jayaraga benar-benar telah berusaha untuk mendesak kekuatan Kiai Gringsing ke arah orang tua itu. Tetapi Kiai Gringsing pun telah mengerahkan segenap ilmunya pula, sehingga mendorong benturan antara dua kekuatan itu justru ke arah Kiai Jayaraga.

Pada puncak kemampuan masing-masing, maka batas benturan kedua ilmu itu benar-benar telah bergeser ke arah Kiai Jayaraga. Meskipun kekuatan ilmu Kiai Gringsing tidak nampak sebagaimana kekuatan ilmu Kiai Jayaraga, tetapi yang tidak nampak itu jelas terasa adanya.

Namun betapa pun juga, benturan ilmu itu sampai juga kepada akhirnya. Keduanya telah mengerahkan segenap kemampuan dan ilmu. Mengerahkan tenaga yang ada di dalam diri masing-masing.

Pada saat-saat terakhir, maka batas benturan ilmu itu menjadi semakin bergeser mendekat kepada Kiai Jayaraga yang berdiri dengan tubuh yang bergetar. Wajahnya menjadi tegang, namun semakin lama menjadi semakin pucat. Tangannya yang gemetar itu nampaknya tidak lagi mampu bertahan oleh desakan kekuatan lawannya:

Pada saat-saat yang menegangkan itu, tiba-tiba dari bibirnya meleleh darahnya yang merah.

Ki Gede menjadi semakin tegang pula. Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Swandaru pun memperhatikan keadaan keduanya. Mereka pun sempat melihat dengan ketajaman penglihatan mereka, sesuatu meleleh dari bibir Kiai Jayaraga.

Dengan demikian, maka tubuh itupun semakin lama menjadi semakin bergetar. Bahkan kemudian terjadilah sesuatu yang menentukan. Dalam keadaan yang terakhir itu, Kiai Jayaraga telah terdorong setapak surut.

Tidak ada lagi harapan bagi Kiai Jayaraga. Sejenak kemudian, tekanan Kiai Gringsing pun menjadi semakin menentukan. Batas benturan itu pun menjadi semakin dekat. Sejengkal saja dari ujung kedua tangan Kiai Jayaraga.

Namun tiba-tiba saja Ki Gede terkejut. Batas benturan itu perlahan-lahan justru telah bergeser pula. Menjauh dari kedua ujung tangan Kiai Jayaraga yang terjulur ke depan.

“Apa yang telah terjadi?” bertanya Ki Gede di dalam hatinya.

Ketegangan di hatinya pun memuncak. Rasa-rasanya dadanya bagaikan meledak.

“Apakah dengan demikian berarti bahwa kekuatan ilmu Kiai Gringsing mulai terdesak?” pertanyaan itu telah mencengkam jantungnya.

Namun dalam pada itu, Ki Gede melihat kabut yang menjalar dari kedua tangan Kiai Jayaraga yang mengembang itu menjadi semakin menipis. Warna yang membara itu bagaikan pudar, sehingga akhirnya, kabut itu bagaikan lenyap sama sekali.

Tetapi dalam pada itu, sesuatu telah terjadi pada Kiai Jayaraga. Ia ternyata tidak lagi mampu berdiri tegak. Tubuhnya yang gemetar itu seolah-olah kehilangan keseimbangannya, sehingga akhirnya ia pun telah jatuh terduduk pada lututnya.

Sejenak Ki Gede termangu-mangu. Demikian pula Pandan Wangi, Sekar Mirah dan Swandaru. Dalam ketegangan itu mereka berpaling ke arah Kiai Gringsing.

Ternyata Kiai Gringsing masih berdiri tegak dengan tangan bersilang di dada. Asap yang mengepul dari tubuhnya, perlahan-lahan menjadi semakin tipis, sehingga akhirnya lenyap sama sekali.

Namun sementara itu, orang-orang yang berada di pinggir arena itu pun masih belum beranjak dari tempatnya. Mereka masih belum mengetahui perkembangan terakhir dari pertempuran ilmu yang mendebarkan itu.

Baru sejenak kemudian, Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Tangannya yang bersilang di dadanya itu pun telah diurainya.

Perlahan-lahan Kiai Gringsing melangkah ke depan. Kakinya seakan-akan menjadi sangat berat. Bahkan langkahnya pun nampak seakan-akan Kiai Gringsing itu mengalami kelelahan yang sangat.

Sebenarnyalah Kiai Gringsing telah mengerahkan segenap kemampuan dan tenaganya. Karena itu, iapun mengalami keletihan yang luar biasa. Namun ia berhasil bertahan dari serangan lawannya, sehingga ia tidak mengalami luka di bagian dalam tubuhnya, meskipun untuk melangkah beberapa langkah saja, kakinya terasa terlalu berat dibebani oleh tubuhnya yang letih.

Dengan langkah yang letih, Kiai Gringsing berusaha mendekati lawannya yang kemudian telah terduduk lesu. Kepalanya menunduk dan kedua tangannya berusaha untuk menopang tubuhnya yang lemah.

Dua langkah di hadapan lawannya, Kiai Gringsing berhenti. Dengan suara bergetar ia bertanya, “Bagaimana keadaanmu Ki Sanak?”

Orang itu mengangkat wajahnya sejenak. Namun kemudian dengan suara yang kurang jelas ia menjawab, “Kau menang Ki Sanak. Aku terluka di dalam.” “Apakah kau mempunyai obatnya?” bertanya Kiai Gringsing pula.

“Aku memerlukan air,” desisnya.

Kiai Gringsing pun kemudian berpaling kepada Swandaru. Katanya, “Swandaru. Tolong, ambilkan air bagi Kiai Jayaraga.”

Swandaru termangu-mangu. Namun ia tidak dapat menolak perintah gurunya. Bersama Pandan Wangi iapun kemudian meninggalkan tempat itu untuk mengambil air.

Meskipun pada tubuh Swandaru sendiri masih terasa sengatan rasa sakit dan pedih, namun ia pergi juga ke sumur. Dengan mangkuk yang diambil oleh Pandan Wangi di dapur, maka mereka pun kemudian membawa air yang diminta oleh Kiai Jayaraga.

“Terima kasih,” desis Kiai Gringsing yang menerima mangkuk itu. Lalu katanya kepada Kiai Jayaraga, “Kau memerlukan air?”

Ternyata keadaan Kiai Jayaraga menjadi semakin lemah. Dengan susah payah ia berhasil mengambil sebuah bumbung kecil dari kantong ikat pinggangnya yang lebar. Kemudian menaburkan isinya ke dalam mangkuk yang berisi air itu.

“Tolong,” desis Kiai Jayaraga.

Kiai Gringsing mengerti, bahwa ia harus mengaduk air di dalam mangkuk itu. Karena itu, maka ia pun melakukannya. Setelah campuran itu menjadi rata, maka Kiai Gringsing telah memberikan obat itu kepada Kiai Jayaraga.

Seteguk demi seteguk Kiai Jayaraga telah minum obatnya sendiri. Hampir seluruh isi mangkuk itu dihabiskannya.

“Terima kasih,” desisnya, “mudah-mudahan aku tidak terlambat. Aku telah terluka oleh kekuatanku sendiri.”

Kiai Gringsing tidak menjawab. Tetapi ia pun berusaha untuk membantu Kiai Jayaraga duduk dengan baik.

“Kiai,” berkata Kiai Jayaraga, “ilmumu luar biasa. Aku tahu, bahwa kau tidak ingin membunuhku. Tetapi dorongan kekuatanku sendiri yang terdorong oleh perisaimu yang tidak dapat aku tembus itu, membuat dadaku menjadi bagaikan retak.”

“Tenanglah,” berkata Kiai Gringsing, “kau dapat menyembuhkannya. Aku juga memerlukan waktu untuk memulihkan keadaanku. Aku menjadi sangat letih.”

Kiai Jayaraga tidak menjawab lagi. Iapun kemudian duduk sambil menyilangkan tangannya di dadanya. Dengan segenap kemampuan nalar budinya, maka Kiai Jayaraga itu berusaha untuk mengurangi keparahan luka-luka di dalam dirinya.

Sementara itu, ternyata Kiai Gringsing pun telah berbuat serupa. Ia pun telah duduk bersila, beberapa langkah dari Kiai Jayaraga.

“Aku harus mengatur pernafasan dan aliran darahku,” gumam Kiai Gringsing, “mungkin susunan urat-uratku yang telah bekerja terlalu keras juga memerlukan penataan sehingga dapat bekerja sewajarnya.”

Kiai Gringsing kemudian sebagaimana dilakukan oleh Kiai Jayaraga, telah memusatkan segenap daya kemampuan batinnya untuk melihat ke dalam dirinya sendiri.

Demikianlah untuk beberapa saat kedua orang tua itu telah duduk diam sambil menundukkan kepala mereka. Agaknya keduanya memang memerlukan waktu untuk melakukannya, agar mereka tidak mengalami kesulitan di dalam diri mereka untuk selanjutnya.

Ki Gede, Sekar Mirah, Swandaru dan Pandan Wangi pun kemudian memperhatikan keduanya dengan ketegangan yang masih mencengkam jantung. Rasa-rasanya mereka pun telah hanyut pula ke dalam satu keadaan sebagaimana dilakukan oleh Kiai Gringsing dan Kiai Jayaraga.

Swandaru yang tidak dapat mengingkari perasaan sakitnya, telah terpengaruh pula oleh sikap kedua orang tua itu. Karena itu, maka iapun kemudian telah duduk bersandar dinding gandok.

Pandan Wangi membiarkan saja Swandaru dalam sikapnya. Dengan demikian keadaannya tentu akan menjadi lebih baik daripada ia berusaha untuk tidak mengakui keadaannya yang sebenarnya.

Namun dalam pada itu, rasa-rasanya Ki Gede, Sekar Mirah dan Pandan Wangi telah mendapat tugas untuk mengawasi keadaan, sehingga orang-orang yang sedang berusaha untuk menolong dirinya sendiri itu tidak akan terganggu.

Sementara itu, bintang-bintang di langit pun beredar semakin ke barat. Bahkan di langit pun telah mulai membayang warna fajar. Meskipun demikian, masih belum seorangpun di rumah itu telah terbangun. Cengkaman ilmu sirep yang dilontarkan oleh murid Kiai Jayaraga yang menyebut dirinya bernama Lodra, kemudian dikuatkan oleh Kiai Jayaraga itu sendiri, ternyata mempunyai kekuatan yang luar biasa, sehingga pengaruhnya masih terasa sampai saat menjelang dini hari.

Ketika di kejauhan terdengar ayam jantan berkokok, maka yang pertama-tama menyelesaikan pemusatan nalar budinya adalah Kiai Gringsing. Beberapa kali ia menarik nafas dalam-dalam. Kemudian perlahan-lahan ia telah mengurai tangannya.

Ki Gede mendekatinya ketika Kiai Gringsing kemudian bangkit berdiri.

“Bagaimana dengan keadaan Kiai?” bertanya Ki Gede.

Kiai Gringsing mengulangi tarikan nafasnya dua tiga kali. Lalu katanya, “Aku sudah merasa segar kembali Ki Gede.”

“Swandaru juga berusaha untuk mengurangi rasa sakitnya,” berkata Ki Gede.

“Seharusnya ia melakukan sejak beberapa saat yang lalu. Tetapi anak itu kurang menyadari keadaan dirinya,” desis Kiai Gringsing hampir berbisik.

Ki Gede mengangguk-anggukkan kepalanya, sementara Kiai Gringsing pun berkata, “Mudah-mudahan pengalamannya hari ini memberinya peringatan, bahwa kemampuannya masih jauh dari pantas untuk hadir di antara orang-orang seperti Kiai Jayaraga itu.”

Ki Gede berpaling sejenak. Swandaru masih duduk bersandar dinding, sementara Pandan Wangi berdiri beberapa langkah di sampingnya.

Untuk beberapa saat orang-orang yang berada di belakang gandok itu masih menunggu. Namun dalam pada itu, Glagah Putih telah duduk di amben sambil menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu apa yang telah terjadi, sebagaimana Agung Sedayu dan Ki Waskita. Meskipun mereka tidak melihat, tetapi mereka dapat membayangkan, apakah yang kira-kira telah terjadi dan apa yang telah dilakukan oleh orang-orang yang berada di belakang gandok itu.

Dalam pada itu, Kiai Gringsing pun kemudian berkata kepada Ki Gede, “Kita masih menunggu Ki Jayaraga. Aku ingin berbicara dengan orang itu.”

Perlahan-lahan, maka cahaya yang kemerahan pun telah mulai meraba langit. Semakin lama menjadi semakin jelas. Bintang-bintang seakan-akan menjadi semakin redup.

Kiai Gringsing pun kemudian bangkit berdiri perlahan-lahan. Tubuhnya memang terasa menjadi semakin segar. Tetapi keletihan masih saja menjalari urat-urat nadinya.

Sementara itu, Kiai Jayaraga pun telah menyelesaikan usahanya untuk menolong dirinya sendiri. Terpengaruh oleh obat yang telah diminumnya, serta pemusatan nalar budinya, maka terasa luka-luka di dalam tubuhnya menjadi berkurang. Dengan demikian, Kiai Jayaraga masih dapat berharap bahwa ia akan terbebas dari keadaan yang paling gawat bagi jiwanya.

“Kau sudah selesai?” bertanya Kiai Gringsing.

Kiai Jayaraga menggerakkan kedua tangannya. Direntangkannya tangannya itu perlahan-lahan. Ternyata dadanya masih terasa sakit meskipun sudah tidak meremas jantung.

“Marilah,” Kiai Gringsing mempersilahkan, “atas nama Ki Gede aku persilahkan Ki Sanak naik ke pendapa.”

Ki Jayaraga menarik nafas panjang, sebagaimana dilakukan oleh Kiai Gringsing ketika ia menyelesaikan usahanya untuk memperbaiki keadaan dirinya. Beberapa kali. Baru kemudian ia pun berusaha untuk bangkit perlahan-lahan.

Tetapi ternyata keadaan wadagnya tidak memungkinkannya. Hampir saja Kiai Jayaraga itu terjatuh. Untunglah bahwa Kiai Gringsing betapa pun lemahnya, masih mampu menolong Kiai Jayaraga itu.

“Marilah,” Kiai Gringsing berusaha membimbingnya.

Keduanya pun kemudian melangkah perlahan-lahan meninggalkan halaman di belakang gandok itu. Dengan melingkari sudut gandok kanan, mereka pun menuju ke halaman depan dan selanjutnya dengan hati-hati naik ke pendapa.

Ki Gede pun kemudian mengikuti keduanya, sementara Pandan Wangi dan Sekar Mirah masih menunggu beberapa saat. Baru ketika kemudian Swandaru pun menarik nafas sambil menggeliat, maka Pandan Wangi dan Sekar Mirah itu pun mengulurkan tangan mereka untuk menolongnya berdiri.

Tetapi Swandaru justru berdesis, “Apakah kalian mengira bahwa aku tidak dapat bangkit berdiri karena hanya sekedar tersentuh api titikan?”

Pandan Wangi dan Sekar Mirah saling berpandangan. Namun mereka tidak menyahut sama sekali.

Akhirnya Swandaru pun bangkit berdiri tanpa pertolongan siapa pun juga. Ia pun merasa bahwa keadaan tubuhnya menjadi lebih baik. Meskipun ia masih merasakan panas dan pedih pada tubuhnya, tetapi keadaan itu sama sekali tidak membahayakannya.

Namun baru kemudian Swandaru menyadari, bahwa ia tidak dapat mengabaikan gangguan di dalam tubuhnya itu. Meskipun tidak nampak luka pada kulitnya, tetapi rasa-rasanya api lawannya itu pun telah membakar isi dadanya.

Sesaat kemudian, Swandaru diikuti oleh Pandan Wangi dan Sekar Mirah pun telah pergi ke pendapa pula. Tetapi agaknya Sekar Mirah telah berhenti di depan gandok kanan.

“Aku akan menengok Kakang Agung Sedayu,” desis Sekar Mirah.

Swandaru pun terhenti pula. Bahkan akhirnya iapun berkata, “Aku akan pergi saja ke gandok. Aku tidak ingin menemui orang gila itu.”

Dengan demikian, maka ketiga orang itupun langsung memasuki gandok kanan untuk melihat keadaan Agung Sedayu dan Ki Waskita.

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam ketika ia melihat Agung Sedayu dan Ki Waskita justru sudah duduk di bibir pembaringannya, sementara Glagah Putih telah membuka pintu lereg gandok kanan itu.

“Marilah,” Ki Waskita mempersilahkan.

Ketiganya pun kemudian telah masuk ke gandok itu. Swandaru nampaknya memang tidak ingin pergi ke pendapa, sehingga karena itu, maka ia pun telah duduk di amben di sudut gandok itu pula.

“Semuanya telah selesai,” desis Swandaru, “namun nampaknya Guru tidak sampai hati menyelesaikan sampai tuntas. Orang tua yang gila itu tidak dibunuhnya sekali.”

Agung Sedayu hanya menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Waskita berkata, “Agaknya Kiai Gringsing benar-benar telah menundukkannya.”

“Ya. Guru dapat saja membunuhnya pada saat benturan kekuatan itu terjadi,” jawab Swandaru.

“Tentu tidak bijaksana untuk membunuh seseorang yang sudah tidak berdaya,” sahut Ki Waskita.

“Tidak. Tetapi pada saat perang tanding itu terjadi. Benturan ilmu di antara keduanya akan dapat membunuh orang itu jika Guru memang menghendaki. Tetapi agaknya Guru tidak bermaksud demikian,” Swandaru seolah-olah bergumam saja bagi dirinya sendiri dengan penyesalan diri.

Ki Waskita tidak menanggapinya. Tetapi ia bertanya yang lain, “Bukankah kau telah membunuh lawanmu?”

“Ya. Tubuhnya masih berada di belakang gandok ini,” jawab Swandaru, “belum ada orang yang terbangun dari tidurnya untuk mengangkatnya, karena kemampuan sirep yang sangat tajam ini.”

Namun dalam pada itu, ternyata satu dua orang peronda telah mulai menggeliat dan bangkit dari tidurnya yang sangat nyenyak. Mereka terkejut ketika Ki Gede kemudian memanggil mereka dan memberitahukan apa yang terjadi.

“Ada sesosok mayat di belakang gandok. Ambillah dan selenggarakan dengan baik sebagaimana seharusnya, siapa pun orang itu,” berkata Ki Gede.

Demikianlah maka anak-anak muda yang terbangun itu pun menjadi sibuk. Mereka segera mengambil sesosok mayat di belakang gandok, untuk diselenggarakan.

Namun dalam pada itu, orang-orang di dapur ternyata telah terlambat pula bangun, sehingga air pun terlambat dijerang.

Sementara itu, ketika Kiai Gringsing, Ki Gede dan orang yang menyebut dirinya Kiai Jayaraga itu masih berada di pendapa, Swandaru masih belum kembali ke biliknya. Ia masih berada di bilik Agung Sedayu bersama Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Sementara itu, justru karena Agung Sedayu sudah ada yang menungguinya, maka Glagah Putih pun telah pergi ke pakiwan. Agaknya anak itu masih mencemaskan kemungkinan adanya orang-orang yang licik yang memasuki gandok untuk mencelakai Agung Sedayu dan Ki Waskita.

Di gandok, Swandaru masih saja menyesali gurunya yang tidak menyelesaikan lawannya sampai tuntas, meskipun kadang-kadang terbersit juga pengertiannya tentang sikap gurunya itu.

Namun karena setiap kali Ki Waskita berusaha untuk meyakinkan akan kebenaran sikap Kiai Gringsing itu, maka Swandaru pun kemudian mengalihkan pembicaraannya tentang dirinya sendiri dan tentang Agung Sedayu.

“Dengan keadaan ini, maka kemungkinan Kakang Agung Sedayu untuk menekuni isi kitab Guru agaknya harus ditunda,” berkata Swandaru.

“Aku tidak akan terlalu lama mengalami keadaan seperti ini,” jawab Agung Sedayu, “dengan obat yang diberikan oleh Guru, maka dalam waktu yang pendek, aku akan sembuh, sehingga aku akan dapat melakukannya sesuai dengan rencana, setelah kau menyelesaikan waktu yang diberikan oleh Guru.”

“Tetapi keadaan ini seharusnya dapat menjadi pengalaman bagi Kakang Agung Sedayu,” berkata Swandaru kemudian, “ternyata jalan yang ditempuh oleh Kakang Agung Sedayu selama ini bukanlah jalan yang paling baik. Kakang berusaha untuk mencapai kedalaman ilmu namun melupakan pengolahan kemampuan jasmaniah. Dengan demikian maka Kakang mengalami satu keadaan yang sulit pada saat terakhir. Untunglah bahwa di pertempuran itu hadir Pangeran Benawa, sehingga dengan kemampuannya maka pertempuran itu berakhir dengan keadaan yang lebih baik bagi Kakang.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar