Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 171

Buku 171

Swandaru mengangguk-angguk. Tetapi rasa-rasanya ada sesuatu yang mendesaknya sehingga katanya, “Guru. Apakah masih ada persoalan lain yang harus kita lakukan, sehingga kita tidak akan dapat segera sampai kepada usaha untuk meningkatkan diri itu?”

“Tidak ada persoalan apa-apa,” jawab Kiai Gringsing, “kita memang dapat melakukannya segera. Tetapi bukankah kita tidak dapat dengan serta merta menguasai sesuatu dalam lingkaran olah kanuragan tanpa laku? Nah, kita harus memperhitungkan saat yang paling baik untuk melakukannya.”

Swandaru mengangguk-angguk. Ketika ia berpaling ke arah Agung Sedayu, maka dilihatnya Agung Sedayu masih tetap menundukkan kepalanya.

“Apa yang dipikirkannya,” bertanya Swandaru di dalam dirinya, “nampaknya Kakang Agung Sedayu tidak lagi berminat untuk menempa dirinya. Yang berbahaya adalah, apabila dengan mengalahkan Tumenggung Prabadaru, Kakang Agung Sedayu sudah merasa dirinya seorang yang tidak terlawan, sehingga dengan demikian, maka ia tidak akan lagi dapat meningkat.”

Dalam pada itu, sebelum mereka melanjutkan pembicaraan mereka, maka seorang pengawal telah mengetuk bilik itu. Ketika Kiai Gringsing membukanya, maka pengawal itupun berkata, “Jika Kiai tidak berkeberatan, Raden Sutawijaya mengharap Kiai hadir di ruang dalam pesanggrahan Raden Sutawijaya.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Jawabnya, “Baiklah. Aku segera akan menghadap.”

Ketika pengawal itu kemudian minta diri dan meninggalkan tempat itu, maka Kiai Gringsing pun segera berkemas. Katanya kepada kedua orang muridnya, “Beristirahatlah. Lebih-lebih Agung Sedayu. Kau harus berusaha memulihkan tenagamu.”

“Baik Guru,” jawab Agung Sedayu.

Demikianlah, maka Kiai Gringsing pun kemudian meninggalkan murid-muridnya, menuju ke pesanggrahan Raden Sutawijaya.

Ternyata di ruang dalam itu telah berkumpul beberapa orang. Ketika Kiai Gringsing memasuki ruang itu, maka iapun dipersilahkan untuk duduk di sebelah Raden Sutawijaya.

“Tidak ada persoalan yang penting Kiai,” berkata Raden Sutawijaya, “yang akan berbicara dengan Kiai sekarang dan saudara-saudara kita yang lain adalah Adimas Pangeran Benawa.”

Semua orang kemudian memandang Pangeran Benawa yang tersenyum. Iapun kemudian beringsut setapak dan mulai berbicara, “Tidak ada yang penting sebagaimana dikatakan oleh Kakangmas Sutawijaya. Aku hanya ingin minta diri. Aku akan kembali ke Pajang. Sementara itu, biarlah para tawanan dibawa oleh Kakangmas Sutawijaya ke Mataram.”

Wajah-wajah pun menjadi berkerut. Meskipun mereka tahu, bahwa Pangeran Benawa adalah putra Sultan Hadiwijaya di Pajang, yang telah memimpin langsung pasukan Pajang di garis pertempuran di Prambanan, namun para pemimpin dari Mataram itupun tahu pasti sikap Pangeran Benawa itu.

Karena itu, kepergian Pangeran Benawa rasa-rasanya menyentuh juga perasaan para pemimpin Mataram.

“Sebenarnya aku masih ingin berada di antara kalian,” berkata Pangeran Benawa selanjutnya, “tetapi Ayahanda Sultan ada dalam keadaan sakit yang agak gawat. Karena itu, aku harus segera kembali dan menghadap, melaporkan apa yang aku lihat di sini.”

Para pemimpin dari Mataram itu mengangguk-angguk. Sementara itu Raden Sutawijaya pun berkata, “Kami, seluruh pasukan Mataram mengucapkan terima kasih kepadamu Adimas.”

“Kenapa?” bertanya Pangeran Benawa, “Aku tidak berbuat apa-apa di sini? Aku hanya menonton.”

“Ya. Tetapi tanpa petunjuk Adimas lewat keheningan budi itu, pasukan Mataram akan menjadi lumat dihancurkan oleh Kakang Panji,” sahut Raden Sutawijaya.

“Tidak Kakangmas. Selagi masih ada Kiai Gringsing, maka Kakang Panji itu tidak akan berarti apa-apa,” jawab Pangeran Benawa.

“Bukan begitu,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “kita sudah melakukan bersama-sama. Sebab dalam perang seperti ini, kita satu-satu tidak akan banyak berarti.”

“Kiai masih saja selalu merendahkan diri,” sahut Pangeran Benawa. “Tetapi baiklah. Aku akan minta diri. Aku merasa ada dorongan untuk segera menghadap Ayahanda yang dalam keadaan gawat itu.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Bagaimanapun juga terasa olehnya, bahwa kemenangan pasukan Mataram atas pasukan Kakang Panji adalah hasil satu kerja sama dari beberapa pihak. Bukan hanya Kiai Gringsing. Bukan hanya Pangeran Benawa, bukan hanya Raden Sutawijaya, bukan Agung Sedayu, Ki Juru atau orang-orang lain seorang demi seorang. Tetapi setiap unsur yang ada telah menyebabkan pasukan Mataram memenangkan pertempuran melawan kekuatan Kakang Panji yang selama itu terselubung, dan baru terbuka pada saat-saat terakhir benturan kekuatan antara Mataram dan pasukan Kakang Panji itu.

Dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa Pangeran Benawa akan meninggalkan Prambanan. Bahkan katanya kemudian, “Kakangmas Sutawijaya, aku akan mohon diri. Aku akan kembali ke Pajang sekarang.”

“Sekarang?” Raden Sutawijaya terkejut. Bahkan orang-orang yang ada di ruang itupun terkejut pula. “Apakah Adimas tidak menunggu sampai esok pagi?”

“Aku merasa sangat gelisah mengingat keadaan Ayahanda. Setelah aku yakin akan keadaan pasukan Mataram sekarang ini, maka biarlah aku meninggalkannya. Agaknya Ayahanda pun menunggu berita tentang pertempuran ini,” jawab Pangeran Benawa.

“Tidak ada yang dapat menahannya,” desis Raden Sutawijaya. Lalu katanya kepada Pangeran Benawa, “Baiklah Adimas. Hati-hatilah di perjalanan.”

“Aku minta diri. Aku mohon restu kepada semua pihak,” berkata Pangeran Benawa. Lalu, “Aku akan berangkat sekarang. Aku ingin singgah untuk minta diri kepada Agung Sedayu dan Swandaru.”

Demikianlah, maka Pangeran Benawa pun meninggalkan tempat itu. Ia masih ingin berbicara dengan Agung Sedayu dan Swandaru. Iapun akan minta diri kepada Ki Gede dan para pemimpin pasukan khusus dari Mataram yang lain. Juga kepada para pemimpin pasukan dari Mangir dan Pasantenan.

Sejenak kemudian, maka Pangeran Benawa itupun telah berada di punggung kudanya. Agung Sedayu dan Swandaru memandanginya dari tangga pendapa. Keduanya masih lemah, terutama Agung Sedayu, meskipun ia memaksa diri untuk keluar dari pondoknya sampai ke pendapa.

Ketika kuda itu kemudian berderap, maka dengan langkah berat Agung Sedayu dengan dibantu oleh Sekar Mirah kembali ke dalam biliknya. Swandaru tidak lagi memerlukan bantuan. Ia sudah dapat berjalan wajar, meskipun kekuatannya belum pulih sepenuhnya

Sementara itu, Pangeran Benawa telah berpacu keluar dari padukuhan yang dipergunakan oleh pasukan Mataram untuk pesanggrahan. Sejenak kemudian kuda itu telah menyeberang Kali Opak dan berpacu dengan kencangnya. Meskipun keadaan masih gawat akibat peperangan yang telah terjadi antara Pajang dan Mataram di Prambanan, namun bagi Pangeran Benawa sama sekali tidak menjadi hambatan.

Sepeninggal Pangeran Benawa, maka orang-orang Mataram yang masih berada di Prambanan itupun segera beristirahat pula. Meskipun demikian mereka sama sekali tidak meninggalkan kewaspadaan.

Namun dalam pada itu, Kiai Gringsing dan Ki Waskita tidak segera berada di dalam bilik mereka. Keduanya masih saja berada di serambi sambil berbincang-bincang. Keduanya duduk di sebuah amben bambu yang panjang.

“Tugasku rasa-rasanya sudah selesai Ki Waskita,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “meskipun aku tidak dengan sengaja menunggu hadirnya seseorang yang mengaku keturunan Majapahit dan bertekad untuk menegakkan kembali kuasa yang besar itu, namun setelah orang itu tidak ada lagi, rasa-rasanya aku tidak mempunyai beban yang dapat mengikatku lagi.”

“Apakah menurut Kiai, tidak ada orang lain yang mempunyai darah Majapahit setelah orang yang menyebut dirinya Kakang Panji itu?” bertanya Ki Waskita.

“Tentu ada. Banyak sekali Ki Waskita, tetapi mereka tidak sangat berbahaya seperti Kakang Panji yang bernama Panji Surapati itu,” jawab Kiai Gringsing.

“Jika ada? Mungkin keturunan perguruan Sari Pati, tetapi juga mungkin keturunan perguruan Windujati sendiri?”desak Ki Waskita.

Tetapi Kiai Gringsing menggeleng. Katanya, “Tidak. Menurut perhitunganku tidak akan terjadi seperti itu.”

“Apakah dengan demikian berarti Kiai Gringsing tidak lagi merasa berkewajiban atas tegaknya Mataram?” bertanya Ki Waskita.

“Tentu Ki Waskita,” jawab Kiai Gringsing, “tetapi aku tidak akan terlibat langsung. Mungkin pada saat-saat tertentu aku harus hadir. Tetapi aku tidak akan lagi melibatkan diri dalam persoalan sehari-hari. Juga dengan Agung Sedayu dan Swandaru yang sudah aku anggap cukup dewasa.”

“Kiai akan meninggalkan mereka?” bertanya Ki Waskita.

“Bukan berarti demikian. Tetapi biarlah keduanya berbuat sebagaimana murid-murid yang sudah dewasa. Aku akan berada di padepokan kecil di Jati Anom itu. Mungkin aku akan mendapat ketenangan,” jawab Kiai Gringsing.

Ki Waskita mengangguk-angguk. Namun katanya kemudian, “Kiai tidak mengangkat murid-murid Kiai sampai tuntas, seperti apa yang dapat Kiai lakukan.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kita sudah saling mengetahui bahwa aku tidak dapat melakukannya.”

“Aku mengerti, biasanya guru memang tidak memberikan seluruhnya. Seandainya seseorang yang menuang air dari dalam kelenthing, maka kelenthing itu tidak akan dikeringkannya sama sekali. Kita sepakat bahwa kita harus mensisakan barang sedikit. Kelebihan itulah yang menjadi pegangan kita jika pada suatu saat murid kita tidak lagi tunduk kepada kebenaran. Tetapi apakah dengan demikian, kita sudah meniti jalan yang keliru Kiai?” bertanya Ki Waskita.

“Maksud Ki Waskita?” Kiai Gringsing ganti bertanya.

“Dengan demikian kita sudah mencurigai murid-murid kita sendiri. Selebihnya, ilmu kita akan menjadi semakin susut pada tataran demi tataran,” jawab Ki Waskita.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Sejenak Kiai Gringsing justru termangu-mangu. Sementara itu Kiai Gringsing pun sadar, bahwa Ki Waskita yang bukan guru Agung Sedayu, telah melakukan lebih dari yang dilakukannya. Tanpa curiga, Ki Waskita telah memberikan kesempatan kepada Agung Sedayu untuk membaca isi kitabnya. Padahal Ki Waskita mengetahui, bahwa Agung Sedayu mempunyai ketajaman ingatan atas penglihatannya, seakan-akan langsung terpahat di dalam hatinya. Setiap saat Agung Sedayu akan dapat membacanya kembali dari ingatannya. Padahal Kiai Gringsing pun mengetahui bahwa isi kitab itu adalah perbendaharaan ilmu yang tiada taranya. Sebenarnyalah bahwa kepesatan Agung Sedayu dalam olah kanuragan sangat mengherankan orang-orang tua.

Tiba-tiba saja telah tumbuh di dalam hatinya satu pertanyaan, “Apakah aku akan dapat berbuat seperti itu?”

Tetapi Kiai Gringsing terbentur pada satu kenyataan, bahwa ia mempunyai dua murid. Agung Sedayu dan Swandaru.

“Aku harus berbuat adil terhadap kedua orang muridku,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya.

Dalam pada itu, tiba-tiba saja Ki Waskita telah bertanya, “Kiai. Setelah perang ini berakhir, maka kami dapat melihat tingkat kemampuan Kiai yang sebenarnya. Karena itu, apakah Kiai akan membiarkan ilmu itu tersimpan di dalam diri Kiai, sampai pada saatnya Kiai kembali kepada asal mula kita? Seandainya Kiai meragukan murid Kiai, lalu apakah ada orang yang lebih terpercaya dari Agung Sedayu?”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Jawabnya, “Aku mengerti kenapa Ki Waskita bertanya seperti itu. Apalagi akupun menyadari, bahwa saat akhir itu dapat datang dengan tiba-tiba. Seandainya saat itu tiba, sementara aku sama sekali belum berbuat sesuatu terhadap Agung Sedayu dan Swandaru dengan ilmu keturunan Windujati ini, maka ilmu itu memang akan dapat punah.”

“Ya Kiai,” jawab Ki Waskita.

“Tetapi apakah Ki Waskita cukup mengenal Swandaru dengan baik?” bertanya Kiai Gringsing.

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk ia menjawab, “Ya Kiai. Aku mengenalnya.”

“Bagaimanakah tanggapan Kiai, seandainya aku tanpa menghiraukan sifat-sifatnya menurunkan ilmu kepadanya sejauh yang aku miliki itu?” bertanya Kiai Gringsing.

Ki Waskita tidak segera menjawab. Namun kemudian sambil mengangguk-angguk iapun berkata, “Aku mengerti Kiai. Tetapi bagaimana dengan Agung Sedayu?”

“Apakah aku boleh berlaku tidak adil terhadap muridku yang hanya dua orang itu?” bertanya Kiai Gringsing. “Mungkin aku akan dapat memberikan ilmu sesuai dengan tataran waktu seorang murid berguru. Tetapi itu dapat terjadi jika muridku cukup banyak dan saat kedatangan mereka yang berbeda-beda dan berjarak cukup lama. Tetapi aku hanya mempunyai dua orang murid yang datang pada waktu yang hampir bersamaan.”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Katanya, “Ya Kiai. Aku mengerti kesulitan perasaan Kiai menghadapi kedua murid itu.” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun untuk sesaat keduanya menjadi terdiam.

Demikianlah, maka kemudian keduanya pun telah pergi beristirahat. Namun pembicaraan mereka masih tetap terngiang di telinga Kiai Gringsing. Kedua muridnya memang membingungkannya. Ia percaya sepenuhnya kepada Agung Sedayu, tetapi ia tidak dapat berlaku demikian terhadap Swandaru. Namun sementara itu ia tidak sampai hati untuk berbuat tidak adil terhadap kedua muridnya itu.

Ternyata teka-teki itu tidak mudah untuk dipecahkannya. Agaknya ia masih akan tetap dibayangi untuk beberapa lamanya. Namun Kiai Gringsing sudah bertekad untuk tidak tergesa-gesa mengambil keputusan. Ia harus berpikir tenang dan akhirnya menemukan satu keyakinan.

Namun dalam pada itu, iapun sadar, bahwa ia tidak dapat membiarkan teka-teki itu menjalar berkepanjangan tanpa ada penyelesaian.

Dalam pada itu, di hari berikutnya, Raden Sutawijaya telah memerintahkan pasukan yang ada untuk berkemas. Dikumpulkannya semua senapati dan para pemimpin dari beberapa daerah yang telah membantunya. Dengan ikhlas Raden Sutawijaya menyatakan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada mereka, bahwa dengan bantuan mereka, Mataram telah dapat memenangkan perang terhadap orang-orang yang membayangi kuasa Kanjeng Sultan di Pajang.

“Untuk sementara tugas kita sudah selesai. Kita masing-masing akan dapat kembali ke tempat kita sendiri. Sementara itu, aku dengan empat puluh orang pengawal terpilih akan melacak perjalanan Ayahanda ke Pajang.”

“Apakah hal itu tidak berbahaya Raden?” bertanya Ki Lurah Branjangan.

“Aku tidak merasa bermusuhan dengan orang-orang Pajang dan apalagi dengan Ayahanda Sultan,” jawab Raden Sutawijaya.

“Jadi Raden akan menghadap Ayahanda Sultan?” bertanya Ki Juru.

Tetapi Ki Juru menjadi kecewa ketika Raden Sutawijaya ternyata menggelengkan kepala. Katanya, “Aku masih belum akan menghadap Ayahanda, Paman, sebelum Mataram menjadi besar.”

“Angger bersumpah untuk tidak menginjakkan kaki di paseban,” jawab Ki Juru Martani, “sedangkan Anakmas akan dapat menghadap Ayahanda tidak dipaseban. Bahkan mungkin di dalam bilik tidur Ayahanda Sultan. Aku pasti, bahwa Ayahanda akan menerima Angger dengan baik. Dimanapun juga.”

“Aku tidak dapat membujuk hatiku seperti itu Paman,” jawab Sutawijaya, “jika aku mengatakan bahwa aku tidak akan menginjakkan kakiku di paseban, bukan berarti aku tidak akan menginjak paseban dalam artinya wantah.”

Wajah Ki Juru pun telah menjadi tegang. Namun sebagai orang tua ia pun kemudian menarik nafas sambil berkata, “Aku akan ikut dengan Raden.”

Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Dipandanginya Ki Juru dengan tajamnya. Namun akhirnya Raden Sutawijaya itupun berkata, “Jadi Paman akan pergi bersamaku ke Pajang?”

“Ya Raden,” jawab Ki Juru.

Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih Paman. Kita akan pergi bersama beberapa orang pengawal. Jangan terlalu banyak, karena kita tidak akan berperang.”

“Tetapi apakah orang-orang Pajang tidak akan berbuat curang Raden?” bertanya Ki Lurah Branjangan.

“Aku yakin bahwa mereka tidak akan berbuat apapun juga sepeninggal orang yang menyebut dirinya Kakang Panji,” jawab Raden Sutawijaya.

Ki Lurah Branjangan tidak dapat mencegahnya, walaupun ia masih juga merasa cemas. Meskipun orang yang bernama Kakang Panji itu sudah tidak ada, tetapi pengaruhnya tentu masih akan terasa di Pajang, dan apalagi di antara para prajurit yang tersisa.

Tetapi Raden Sutawijaya berkeras untuk pergi ke Pajang dengan diiringi oleh hanya sekelompok kecil prajurit.

Dalam pada itu, maka Raden Sutawijaya telah memerintahkan pasukan dari Mataram untuk bersiap-siap dan kembali ke Mataram, sementara sebagian dari pasukan Untara masih akan tetap berada di Prambanan sebelum mereka menentukan, apakah mereka akan kembali ke Jati Anom atau ada perintah lain setelah Raden Sutawijaya kembali dari Pajang. Sementara itu, pasukan dari daerah-daerah di seputar Mataram akan kembali ke daerah masing-masing. Namun mereka tidak akan pernah dilupakan oleh Mataram. “Aku menyadari, bahwa kalian adalah tiang-tiang pokok dari bangunan yang kita dirikan bersama. Mataram.”

Demikianlah, pasukan dari Pasantenan, dari Mangir, dari Sangkal Putung, dari Tanah Perdikan Menoreh, dan dari Mataram sendiri, segera membenahi diri untuk pada saatnya kembali ke daerah masing-masing.

Tetapi Raden Sutawijaya tidak menunggu pasukan-pasukan itu meninggalkan pesanggrahan, karena ada semacam desakan di dalam hatinya untuk mengetahui keadaan ayahanda angkatnya. Betapapun juga hubungan yang ada diantara Kanjeng Sultan dan Sutawijaya tidak akan pernah terhapus dari hati Senapati ing Ngalaga itu.

Dengan demikian, maka telah terjadi kesibukan tersendiri di pesanggrahan pasukan Mataram di Prambanan. Masing-masing bersiap untuk meninggalkan tempat itu. Meskipun mereka tidak dapat memecahkan induk pasukan Pajang di bawah pimpinan Kanjeng Sultan sendiri yang kemudian kembali ke Pajang, apalagi memasuki Pajang itu sendiri, namun mereka merasakan satu kemenangan yang membesarkan hati. Orang yang telah membayangi kekuasaan Pajang dengan kekuasaan lain itu telah terbunuh, sehingga dengan demikian, kabut yang membatasi Mataram dan Pajang itupun telah tersingkap pula karenanya. Apapun ujudnya, hubungan Mataram dan Pajang akan menjadi jelas.

Namun datang juga saatnya, Prambanan itupun akan menjadi lengang karena pasukan-pasukan yang ada di pesanggrahan itu akan meninggalkan tempatnya, kecuali pasukan Untara.

Dalam pada itu, maka Raden Sutawijaya dan Ki Jurupun telah meninggalkan Prambanan menuju ke Pajang. Mereka menyusuri jalan yang dilalui oleh pasukan Pajang yang kembali dari Prambanan.

Sementara itu, padukuhan-padukuhan masih nampak sepi. Penghuninya yang mengungsi menjauh, masih belum berani kembali, karena mereka belum mengetahui dengan pasti apa yang terjadi.

Tetapi Sutawijaya masih harus mengagumi keteguhan paugeran prajurit Pajang yang kembali bersama ayahandanya. Padukuhan-padukuhan itu nampaknya utuh. Tidak ada kerusakan-kerusakan yang berarti yang sengaja ditimbulkan oleh para prajurit Pajang yang mengundurkan diri dari Prambanan.

“Seandainya seluruh pasukan Pajang itu menarik diri, termasuk pasukan yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Prabadaru dan para pengikut Kakang Panji, maka keadaan padukuhan-padukuhan itu tentu akan jauh berbeda. Mungkin orang-orang Kakang Panji itu akan membakari rumah-rumah sebagaimana mereka lakukan di Prambanan. Mungkin merampas segala isi rumah-rumah yang kosong sambil bergerak mundur. Dan bahkan mungkin perbuatan-perbuatan lain yang sangat menyakitkan hati,” berkata Raden Sutawijaya.

“Ya Ngger. Agaknya memang demikian. Ketika pasukan Pajang berangkat, mereka masih berusaha untuk menunjukkan sikap seorang kesatria. Tetapi para pengikut Kakang Panji itu akhirnya tidak dapat menyembunyikan wataknya ketika mereka berada di Prambanan,” jawab Ki Juru.

Namun dalam pada itu, ketika mereka mendekati Pajang, maka mereka menjumpai padukuhan-padukuhan yang tidak dikosongkan. Tetapi ketika mereka melihat sekelompok pasukan berkuda dan yang menurut penglihatan mereka bukan pasukan Pajang, maka pintu-pintupun telah tertutup. Bahkan pintu-pintu regol halamanpun ditutup pula.

Tetapi tidak semua orang menyembunyikan dirinya. Ada juga yang ingin melihat, pasukan siapakah yang lewat kemudian.

Ternyata ada juga kesempatan Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani untuk menanyakan iring-iringan pasukan Pajang yang membawa ayahandanya kembali ke Pajang.

“Ya,” jawab seseorang yang berada di regol, “Kanjeng Sultan memang telah lewat jalan ini pula dengan naik tandu.”

“Naik tandu?“ ulang Raden Sutawijaya.

“Kanjeng Sultan sedang sakit. Apalagi Kanjeng Sultan telah jatuh dari punggung gajah,” jawab orang itu.

Raden Sutawijaya dan Ki Juru mengangguk-angguk. Namun orang itu masih menjelaskan, “Tetapi ada yang lebih menyakitkan hati Kanjeng Sultan sehingga sakitnya menjadi bertambah parah.”

“Kenapa?” bertanya Raden Sutawijaya dengan hati yang berdebar-debar.

Orang itu termangu-mangu. Dipandanginya Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani berganti-ganti. Kemudian iring-iringan kecil dari para pengawal Mataram itu.

Beberapa saat orang itu dicengkam oleh keragu-raguan. Namun kemudian orang itupun bertanya, “Tetapi siapakah kalian ini? Nampaknya kalian bukan orang-orang Pajang.”

“Ya. Kami orang-orang Pajang. Kami adalah prajurit dari Kadipaten Tuban yang ingin menggabungkan diri dengan pasukan Pajang. Tetapi kami tidak menemukan prajurit Pajang di peperangan. Peperangan di Prambanan sudah selesai,” jawab Raden Sutawijaya.

“Tentu kalian tidak menemukan prajurit-prajurit Pajang di peperangan. Kanjeng Sultan telah kembali,” berkata orang itu pula.

“Tetapi kau tadi mengatakan, bahwa ada yang lebih menyakitkan hati Kanjeng Sultan sehingga sakitnya menjadi parah,” desak Raden Sutawijaya.

Orang itu masih juga ragu-ragu. Namun akhirnya ia berkata, “Aku tidak tahu pasti. Aku hanya mendengar kabar yang kabur dibawa angin.”

“Ya. Kabar apa?“ Raden Sutawijaya menjadi tidak sabar.

“Kangjeng Sultan ternyata telah singgah ke makam Tembayat. Tetapi makam itu tidak menerimanya,” jawab orang itu.

“Aku tidak mengerti. Bagaimana mungkin, makam itu tidak menerimanya?” Raden Sutawijaya ragu-ragu.

“Pintu makam itu tidak dapat dibuka. Entahlah karena apa. Tetapi Kanjeng Sultan mengerti arti dari keadaan itu. Makam itu tidak menerimanya. Karena itu, Kanjeng Sultan tidak mau merusakkan pintu makam itu. Dengan hati yang pahit Kanjeng Sultan meninggalkan makam itu dan kembali ke Pajang dengan keadaan yang lebih gawat lagi,” jawab orang itu pula.

Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Terima kasih Ki Sanak. Aku akan memasuki Pajang.”

Orang itu termangu-mangu. Namun ia tidak sempat bertanya lebih banyak. Raden Sutawijaya, Ki Juru dan pengiringnya telah melanjutkan perjalanan menuju ke Pajang.

Tetapi Raden Sutawijaya benar-benar tidak langsung menuju ke istana. Raden Sutawijaya telah singgah di rumah seorang kadangnya.

Di regol Kota Raja, Raden Sutawijaya sama sekali tidak mengalami kesulitan. Ketika Raden Sutawijaya lewat, perwira yang memimpin penjagaan di regol itu justru mengangguk hormat kepadanya sambil berkata, “Silahkan Raden.”

Sejenak Raden Sutawijaya termangu-mangu. Dipandanginya Ki Juru yang menyertainya, seolah-olah ia ingin mendapat pertimbangan.

Perwira itu tahu kalau Raden Sutawijaya menjadi ragu-ragu. Karena itu, maka katanya kemudian, “Semua penjagaan telah mendapat perintah dari Kanjeng Sultan, bahwa jika Raden ingin memasuki Pajang, Kanjeng Sultan sama sekali tidak berkeberatan, asal tidak dengan pasukan segelar sepapan. Sekelompok pengiring Raden sekarang tidak mencerminkan sepasukan prajurit yang pergi ke medan. Tetapi sekedar pengawal di perjalanan.”

Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Ia merasakan sesuatu menyentuh hatinya.

Dalam pada itu, maka ketika mereka meneruskan perjalanan mereka, Ki Juru berbisik di telinga Raden Sutawijaya, “Aku sudah menduga. Kanjeng Sultan memang sangat mengharapkan kau menghadap. Dalam keadaan yang sudah sangat gawat.”

Raden Sutawijaya menundukkan kepalanya. Tetapi ada sesuatu yang menahannya sehingga ia tidak dapat menghadap ayahandanya betapapun perasaannya sendiri telah mendesaknya.

Demikianla,h Raden Sutawijaya yang tinggal di rumah seorang kadangnya benar-benar tidak terganggu, meskipun laporan kehadirannya telah sampai di istana. Tetapi Pangeran Benawa yang mengetahui sifat dan watak Raden Sutawijaya telah melarang setiap orang melaporkannya kepada Kanjeng Sultan, agar ayahandanya tidak terlalu berharap bahwa Raden Sutawijaya akan menghadap.

Sementara Raden Sutawijaya berada di Kota Raja, maka pasukan yang ada di Prambanan sudah berangsur susut. Sebagian dari mereka telah kembali ke rumah mereka masing-masing, dengan harapan, bahwa mereka akan dapat melihat Pajang yang telah rapuh itu akan berpindah ke Mataram dengan sikap dan pandangan bar,u sebagai kelanjutan dari cita-cita yang pernah ditanamkan di Pajang, namun yang masih belum dapat ditinjau.

“Yang muda di Mataram mudah-mudahan akan benar-benar memancarkan kesejahteraan lahir dan batin yang merata,” berkata para pemimpin yang telah mendukung perjuangan Raden Sutawijaya.

Dalam pada itu, pasukan dari Tanah Perdikan Menoreh pun telah bersiap-siap pula. Bersama pasukan khusus Mataram, mereka akan kembali ke Tanah Perdikan Menoreh. Sedangkan Swandaru pun telah mempersiapkan pasukannya pula untuk kembali ke Sangkal Putung.

Namun dalam pada itu, Kiai Gringsing yang merasa dirinya sudah menyelesaikan satu kewajiban yang sangat berarti dalam hidupnya, maka rasa-rasanya ia telah ingin beristirahat dan menikmati ketenangan di sebuah padepokan kecil di Jati Anom.

Tetapi, bagaimanapun juga terasa di hatinya, bahwa murid-muridnya, terutama Swandaru, telah dengan tidak langsung berharap untuk mendapatkan tuntunan ke arah tingkat ilmu yang dimiliki oleh Kiai Gringsing.

“Ini adalah salah satu yang aku cemaskan akan terjadi,” berkata Kiai Gringsing kepada Ki Waskita.

“Apa katanya?” bertanya Ki Waskita.

“Swandaru menganggap bahwa yang dapat dicapainya itu masih terlalu sedikit dibandingkan dengan apa yang aku miliki,” berkata Kiai Gringsing, “jika aku tidak terpaksa sekali mempergunakan ilmu itu, maka aku kira anak itu tidak akan menuntutku demikian.”

“Tetapi bukankah hal itu memang kewajiban Kiai? Adalah wajar sekali bahwa seorang murid memohon kepada gurunya. Dan bukankah Kiai seharusnya berbesar hati, betapa muridnya memiliki niat dan kemauan yang besar untuk maju?” jawab Ki Waskita.

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Ki Waskita benar. Tetapi aku masih ingin menguji kebersihan hati kedua muridku sampai satu tataran tertentu. Selebihnya aku meragukan, apakah tataran ilmu yang aku miliki itu masih diperlukan untuk saat mendatang. Apakah tidak justru akan dapat menimbulkan kesulitan bagi lingkungannya, jika ilmu itu dikuasai oleh Swandaru. Aku tidak sekedar mencurigainya. Tetapi Swandaru adalah satu gejolak yang tidak berbatas. Pada satu segi aku berbangga atas muridku yang seorang ini. Ia memiliki sikap kepemimpinan yang lebih besar dari Agung Sedayu. Sangkal Putung dibinanya sehingga menjadi besar melampaui kemampuan ayahnya yang sudah berpengalaman puluhan tahun dalam jabatannya. Tetapi gejolak di dalam hatinya itu tidak mengenal batas yang memang menjadi haknya. Aku mencemaskannya, bahwa dengan bekal kemampuan yang tidak ada duanya, ia telah berusaha memenuhi gejolak perasaannya tanpa kendali.”

Ki Waskita mengangguk-angguk. Tetapi iapun kemudian bertanya, “Lalu bagaimana dengan Agung Sedayu.”

“Aku mempercayainya. Tetapi aku tidak dapat memberikan ilmu kepada seorang saja dari kedua muridku,” berkata Kiai Gringsing.

Persoalan itulah yang kembali lagi. Persoalan dua orang murid Kiai Gringsing. Persoalan tentang sifat dan watak kedua muridnya yang berbeda, bahkan seolah-olah bertentangan.

“Kiai,” berkata Ki Waskita kemudian, “Kiai memang harus adil terhadap kedua murid Kiai. Agaknya ada cara yang dapat di tempuh. Kiai akan berbuat adil. Tetapi segalanya tergantung kepada kedua murid Kiai itu sendiri.”

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Apakah yang dapat aku lakukan?”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Kiai. Bukankah Kiai pernah mengatakan kepadaku, sengaja atau tidak sengaja, bahwa ada kitab peninggalan perguruan Windujati, sebagaimana kitab yang aku punyai, meskipun barangkali bobot isinya kitab dari perguruan Windujati itu jauh lebih berat dari kitab yang aku miliki?”

“Ah, Ki Waskita terlalu merendahkan diri. Aku kira nilai kitab kita tidak jauh berbeda. Bahkan mungkin dapat terjadi sebaliknya apabila kita menelaahnya dengan saksama,” jawab Kiai Gringsing.

“Kiai,” berkata Ki Waskita, “aku pernah meminjamkan kitab itu kepada Agung Sedayu untuk waktu tertentu.”

Wajah Kiai Gringsing menegang sejenak. Namun tiba-tiba saja sorot matanya menjadi cerah. Katanya, “Ki Waskita, aku mengerti maksud Ki Waskita. Sungguh satu tindakan yang bijaksana.”

“Nah, apakah Kiai dapat menyetujuinya?” bertanya Ki Waskita.

“Aku setuju. Aku benar-benar bersikap adil terhadap kedua muridku,” jawab Kiai Gringsing.

Demikianlah, agaknya Kiai Gringsing telah menemukan satu jalan yang dapat memecahkan kesulitannya. Ia memang benar-benar ingin bersikap adil. Tetapi iapun tidak dapat menutup penglihatannya, tentang sikap dan watak kedua muridnya.

Demikianlah, maka Prambanan pun menjadi semakin lengang. Pasukan Tanah Perdikan Menoreh dan dari Kademangan Sangkal Putung adalah pasukan yang terakhir yang akan meninggalkan Prambanan. Apalagi pasukan Sangkal Putung akan pergi ke arah Pajang, meskipun telah diadakan penjajagan. Namun banyak kemungkinan dapat terjadi, sehingga Untara telah menyertakan sebagian dari prajuritnya untuk mengikuti pasukan Sangkal Putung, dan atas persetujuan Swandaru untuk sementara pasukan yang tidak terlalu besar dari sebagian Prajurit Pajang yang berdiri di sisi Mataram itu berada bersama-sama dengan anak-anak muda Sangkal Putung.

Namun, selagi kedua pasukan itu masih berada di Prambanan, Kiai Gringsing telah berusaha sebaik-baiknya untuk menyembuhkan luka-luka di tubuh dan di bagian dalam tubuh Ki Gede Menoreh, Agung Sedayu dan Swandaru.

Tetapi ternyata ada satu hal yang menggelisahkan Kiai Gringsing. Keadaan Ki Gede yang berangsur baik itu ternyata ditandai dengan satu keadaan yang mendebarkan. Kaki Ki Gede yang cacat, tetapi yang dalam keadaan sehari-hari tidak mengganggunya itu, nampaknya menjadi semakin parah. Bahkan rasa-rasanya wadag Ki Gede Menoreh memang menjadi lemah karena luka-luka di bagian dalam tubuhnya yang cukup parah dan sulit untuk dapat dipulihkan kembali, apalagi di bagian kakinya.

Meskipun demikian, Ki Gede Menoreh sama sekali tidak menjadi kecewa dan cemas akan keadaannya. Ia menerima keadaan itu dengan wajar sebagaimana seorang prajurit. Apalagi Ki Gede masih cukup percaya kepada diri sendiri, bahwa dengan keadaan kakinya yang tidak lagi dapat dipergunakan sebagaimana sewajarnya itu, ia masih akan tetap mampu melindungi dirinya sendiri. Ia harus menyesuaikan ilmunya dengan keadaan wadagnya.

Namun sebenarnyalah, lebih dari itu, Ki Gede sudah merasa dirinya menjadi semakin tua. Ia yakin akan hari depan Tanah Perdikan Menoreh setelah Agung Sedayu berada di Tanah Perdikan itu. Seandainya Swandaru benar-benar tidak bersedia berada di Tanah Perdikan Menoreh, maka Tanah Perdikan itu akan tetap dapat berkembang dengan baik karena Agung Sedayu ada di Tanah itu. Sementara Pandan Wangi sudah cukup mapan berada di Sangkal Putung.

Tetapi masih ada satu hal yang harus diselesaikan Kiai Gringsing, sebelum pergi ke Jati Anom. Ia ingin memberikan sesuatu kepada kedua orang muridnya. Namun keadaan wadag Agung Sedayu nampaknya masih terlalu lemah.

“Kiai,” berkata Ki Gede Menoreh yang tertahan karena keadaan Agung Sedayu, “aku tidak dapat terlalu lama meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh.”

“Tetapi bagaimana dengan Agung Sedayu? Aku bermaksud membuatnya lebih baik. Baru ia akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh,” jawab Kiai Gringsing. Kemudian katanya, “Sebaiknya Agung Sedayu masih tinggal barang sepekan di Prambanan.”

Ki Gede Menoreh mengangguk-angguk. Ia sadar, bahwa ia tidak akan dapat memaksa Agung Sedayu untuk dengan tergesa-gesa kembali ke Tanah Perdikan Menoreh menilik keadaan tubuhnya.

Karena itu, maka katanya, “Baiklah Kiai. Jika Agung Sedayu masih harus tinggal barang satu dua hari atau selama-lamanya sepekan, maka biarlah aku dan pasukan dari Tanah Perdikan Menoreh mendahului meninggalkan Prambanan, bersama dengan pasukan khusus Mataram yang dipimpin oleh Ki Lurah Branjangan. Baru kemudian aku minta Agung Sedayu segera menyusul kami pergi ke Tanah Perdikan.”

“Baiklah Ki Gede,” berkata Kiai Gringsing, “aku akan dengan sungguh-sungguh mengobatinya, agar ia menjadi semakin cepat sembuh dan pulih kembali.”

“Aku akan meninggalkan sekelompok kecil pasukan yang akan mengawaninya kembali ke Tanah Perdikan kelak,” berkata Ki Gede kemudian.

Dengan demikian, maka Ki Gede pun segera mempersiapkan pasukannya, sebagaimana dilakukan oleh Ki Lurah Branjangan. Kedua pasukan itu akan segera kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, sementara sekelompok kecil akan tetap tinggal di Prambanan barang sepekan lagi.

Tetapi pasukan Sangkal Putung tidak segera meninggalkan Prambanan. Mereka menunggu Swandaru yang masih mempunyai kepentingan khusus dengan gurunya.

Dengan demikian maka Prambanan menjadi kian sepi. Tetapi sementara itu, orang-orang yang pergi mengungsi pun telah berangsur kembali. Rumah-rumah yang sudah terbakar telah diperbaiki dengan bantuan para prajurit Pajang di bawah pimpinan Untara. Bukan saja rumah-rumah yang rusak, tetapi bendungan yang sudah dipecahkan oleh pasukan Mataram pun telah mendapat perhatian.

Sementara itu pasukan Sangkal Putung yang masih berada di Prambanan pun telah turun pula membantu orang-orang Prambanan memperbaiki kerusakan-kerusakan yang timbul dalam masa peperangan. Pematang yang pecah, parit-parit dan tanggul yang runtuh.

Namun dalam pada itu, sebenarnyalah bahwa Kiai Gringsing mempunyai kepentingan yang khusus dengan Agung Sedayu dan Swandaru. Ia masih akan membicarakan satu masalah yang sangat penting dengan kedua orang muridnya itu, sehubungan dengan keinginan Swandaru untuk meningkatkan ilmunya lebih tinggi lagi, sesuai dengan tataran yang pernah dicapai oleh gurunya.

Memang satu keinginan yang wajar. Namun yang agaknya sedang dipertimbangkan masak-masak oleh Kiai Gringsing, cara yang paling baik untuk memenuhinya.

Demikianlah, ketika mereka sudah tidak lagi merasa dibebani oleh persoalan-persoalan yang timbul karena pertempuran antara pasukan Pajang dan Mataram di Prambanan, karena sebagian besar kerusakan telah diperbaiki, serta kesediaan pasukan Untara untuk menyelesaikan kekurangannya, maka Kiai Gringsing menganggap bahwa waktunya telah memungkinkannya untuk menyampaikan rencananya kepada kedua muridnya, dan dihari berikutnya, mereka akan dapat meninggalkan Prambanan, kecuali Agung Sedayu yang akan tinggal sampai genap sepekan seperti yang dikatakannya kepada Ki Gede.

Ketika kemudian malam turun, maka Kiai Gringsing telah memanggil Agung Sedayu dan Swandaru, masing-masing dengan istrinya. Sementara itu Ki Waskita pun masih juga bersama orang tua itu untuk menyaksikan, apa yang akan dikatakannya kepada kedua orang muridnya.

“Anak-anakku,” berkata Kiai Gringsing ketika murid-muridnya sudah menghadapnya, “seperti yang sudah aku katakan, bahwa tugasku rasa-rasanya sudah selesai. Aku tidak lagi merasa wajib untuk melibatkan diri ke dalam persoalan yang akan timbul kemudian. Aku akan tinggal untuk sementara di padepokan kecil di Jati Anom. Namun pada suatu saat mungkin aku tidak akan berada lagi di padepokan itu.”

“Guru akan pergi ke mana?” bertanya Swandaru. “Aku belum tahu, Ngger. Tetapi seperti saat aku datang di Sangkal Putung, maka rasa-rasanya akupun akan pergi dengan cara yang sama. Mungkin kalian tidak akan dapat menemui aku lagi. Tetapi mungkin aku justru akan tinggal bersama kalian sampai akhir hayatku.”

Kedua muridnya tidak bertanya lagi tentang rencana gurunya itu, karena mereka pun mengerti bahwa gurunya memang mempunyai sikap yang kadang-kadang kurang dapat dimengerti oleh orang kebanyakan.

Namun demikian, ternyata Swandaru tidak mau melepaskan kesempatan itu. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Guru, bagaimanakah sikap Guru tentang persoalan yang pernah aku tanyakan beberapa hari yang lalu?”

“Yang mana Swandaru?“ justru Kiai Gringsing telah bertanya pula.

“Guru. Ternyata bahwa dunia kanuragan itu jauh lebih dahsyat dari yang aku duga semula. Jika kami semula mengagumi Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa, bahkan kadang-kadang nama lain yang tidak berarti, ternyata kini Guru telah menunjukkan tingkat ilmu yang sulit untuk dimengerti. Sayang aku tidak melihat sendiri, sampai seberapa jauh tingkat ilmu yang mengagumkan itu. Namun aku percaya, bahwa aku masih akan dapat berbuat banyak untuk meningkatkan ilmu dan barangkali jika Kakang Agung Sedayu berminat, juga bagi Kakang Agung Sedayu. Aku akan bersedia untuk berbuat apa saja Guru, jika itu memang merupakan laku bagi peningkatan ilmuku. Aku kurang mengerti, apakah Kakang Agung Sedayu juga bersedia melakuannya.”

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian sambil mengangguk-angguk Kiai Gringsing berkata, “Aku mengerti Swandaru. Akupun sudah memikirkannya. Aku memang akan berusaha agar kalian mampu meningkatkan ilmu kalian sebagaimana kalian inginkan, juga untuk memberikan imbangan kepada dunia kanuragan yang nampaknya mulai berkembang lagi. Yang sudah tiak banyak dikenal, mulai tumbuh lagi di arena. Bahkan mungkin di lingkungan yang tersembunyi, masih terdapat, atau justru sedang berkembang, ilmu yang dahsyat, yang dikenal sejak waktu yang lama. Bahkan sejak masa kejayaan Majapahit.”

Wajah Swandaru menjadi cerah. Sekilas dipandanginya Agung Sedayu yang duduk sambil menunduk. Sementara Pandan Wangi dan Sekar Mirah pun nampak termangu-mangu.

“Nampaknya Kakang Agung Sedayu tidak berminat sama sekali mendengarkan kesediaan Guru memberikan tuntunan lanjutan,” berkata Swandaru di dalam hatinya. Lalu, “Agaknya Kakang Agung Sedayu merasa dirinya sudah cukup berilmu karena ia sudah berhasil membunuh Ki Tumenggung Prabadaru yang dianggapnya merupakan ukuran keberhasilannya. Tetapi pada saatnya ia tentu akan menyesal. Ia pada suatu masa akan datang kepadaku untuk berguru.”

Sementara itu Kiai Gringsing pun melanjutkan, “Angger Agung Sedayu dan Angger Swandaru. Ada semacam keraguan di dalam hatiku, karena untuk mendapatkan ilmu yang lebih tinggi lagi memang diperlukan ketekunan yang luar biasa. Mungkin laku yang harus ditempuh akan menyita sebagian besar dari waktu. Kalian harus bersungguh-sungguh tanpa mengenal lelah. Siang dan malam.”

“Apapun yang harus aku lakukan, Guru,” sahut Swandaru dengan serta merta.

“Selebihnya, kalian harus benar-benar berjanji di dalam diri. Jika kalian telah memiliki ilmu pinunjul, maka kalian harus tetap merupakan seorang hamba yang baik di hadapan Yang Maha Agung, karena betapapun tinggi ilmu seseorang, maka di hadapan Yang Maha Agung, manusia tidak lebih dari butir-butir pasir yang tidak berarti,” berkata Kiai Gringsing kemudian.

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Ia tidak sabar lagi menunggu kesempatan untuk mengetahui sikap gurunya yang sebenarnya. Tetapi ia tidak dapat mendesaknya. Sehingga dengan demikian maka iapun hanya dapat menunggu dengan gelisah.

“Anak-anakku,” berkata Kiai Gringsing kemudian. “aku ingin mendengar dari mulut kalian sendiri, apakah kalian sanggup melakukannya. Bekerja keras, siang dan malam. Dan berjanji untuk tetap menjadi manusia yang baik di hadapan sesama dan di hadapan Yang Maha Kuasa. Sehingga dengan demikian, apa yang kalian miliki benar-benar akan berarti bagi dunia kita ini.”

“Aku sanggup, Guru,” jawab Swandaru tanpa berpikir.

Kiai Gringsing mengerutkan keningnya. Sementara itu Agung Sedayu baru mengangkat wajahnya memandang gurunya.

“Bagaimana dengan kau Kakang?” Swandaru tidak sabar lagi, lalu, “Nampaknya kau terlalu malas untuk berbuat lebih jauh lagi menyongsong masa depan kita. Kita masih terlalu muda untuk merasa puas terhadap apa yang kita miliki sekarang ini.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku mengerti Swandaru. Akupun rasa-rasanya masih ingin untuk meningkatkan ilmu tanpa mengenal batas waktu selama aku masih mempunyai kesempatan. Tetapi aku harus berpikir masak-masak, sejauh mana aku mampu melakukannya, karena laku yang akan kita tempuh tentu laku yang berat dan sulit.”

“Tidak ada keberhasilan yang sebenarnya akan dapat kita peroleh tanpa pengorbanan. Mungkin waktu, mungkin tenaga dan pikiran, mungkin apa saja yang kita punya,” jawab Swandaru.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Iapun kemudian berpaling ke arah gurunya sambil berkata, “Guru. Jika menurut perhitungan Guru, aku masih mungkin untuk dapat meningkatkan ilmuku, maka aku akan sangat berterima kasih untuk menerimanya dengan laku apapun juga.”

Swandaru mengerutkan keningnya. Di dalam hati ia berkata, “Kakang Agung Sedayu hanya dapat menirukan apa yang aku katakan. Tetapi nampaknya ia sudah terlalu malas, atau bahkan terlalu sombong dan salah menilai kemampuan di dalam dirinya. Tetapi jika memang demikian, bukan salahku dan bukan salah Guru, jika pada suatu ketika nanti, ilmunya hanya sekuku ireng di banding dengan ilmuku.”

“Baiklah,” berkata Kiai Gringsing. Lalu, “Tetapi sekali lagi. Apakah kalian berjanji di hadapanku dan di hadapan Yang Maha Agung, bahwa kalian akan tetap menjadi hamba-Nya yang setia?”

“Aku berjanji Guru,” jawab Swandaru cepat.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian iapun berkata pula, “Aku berjanji Guru.”

“Terima kasih,” berkata Kiai Gringsing, “tetapi aku mohon bahwa kata-katamu itu bernilai sebagaimana diucapkan oleh seorang kesatria. Bukan dengan serta merta agar maksud kalian segera dapat terpenuhi.”

“Ya Guru,” jawab Swandaru dan baru kemudian Agung Sedayu, “Ya, Guru.”

“Baiklah,” berkata Kiai Gringsing, “kalian telah berjanji di hadapanku dan di hadapan Yang Maha Agung. Sementara Ki Waskita dan istri-istri kalian menjadi saksi, bahwa kalian akan tetap menjadi seorang titah yang baik, yang setia dan yang patuh terhadap Pencipta-Nya.”

Swandaru dan Agung Sedayu hampir berbareng mengangguk.

“Jika demikian,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “aku akan mulai dengan langkah berikutnya. Langkah yang akan dapat mendorong kalian untuk menjadi semakin maju dalam olah kanuragan. Tetapi aku tidak akan mempergunakan cara sebagaimana pernah aku lakukan. Aku akan mempergunakan cara yang lain. Cara yang lebih sesuai bagi kalian yang sudah cukup dewasa. Bukan saja sebagai seorang laki-laki, tetapi juga sebagai seorang yang menempatkan dirinya dalam gejolak dunia kanuragan. Dengan demikian, maka aku tidak akan menuntun kalian berjalan selangkah demi selangkah, tetapi aku akan menyerahkan segalanya kepada kalian. Jika kalian bersungguh-sungguh dan tekun, maka kalian akan mendapatkan banyak. Tetapi jika kalian malas dan tidak bersungguh-sungguh, maka kalian akan mendapatkan sedikit.”

Swandaru dan Agung Sedayu termangu-mangu. Mereka tidak tahu maksud gurunya, dan mereka sama sekali tidak dapat membayangkan, cara apakah yang akan diambilnya.

Tetapi keduanya tidak menanyakannya. Keduanya hanya dapat menunggu. Sementara itu rasa-rasanya gurunya dengan sengaja telah membuat hati Swandaru menjadi sangat tegang bagaikan akan meledak.

Meskipun demikian ia harus memaksa dirinya untuk bersikap sebaik-baiknya, sebagaimana sikap seorang murid yang patuh.

Dengan demikian, maka ruang itupun menjadi sepi. Anak-anak muda yang sedang menunggu Kiai Gringsing melanjutkan keterangannya itupun duduk sambil menunduk. Namun kegelisahan yang sangat nampak pada sikap Swandaru.

Yang tidak kalah tegangnya adalah Pandan Wangi dan Sekar Mirah. Keduanya juga ingin tahu, apa yang akan dilakukan oleh Kiai Gringsing terhadap suami-suami mereka.

Ki Waskita pun menunggu pula, apa yang akan dikatakan oleh Kiai Gringsing. Nampaknya ada kesengajaan Kiai Gringsing membiarkan jantung kedua muridnya dicengkam oleh ketegangan.

Namun dalam pada itu, Kiai Gringsing kemudian berkata, “Anak-anakku. Baiklah kalian mendengarkannya dengan baik. Mungkin cara yang aku tempuh ini adalah cara yang tidak biasa dipergunakan oleh seorang guru. Tetapi aku justru ingin mempergunakannya, sekaligus ingin mengetahui kesungguhan kalian dalam olah kanuragan.”

Swandaru berkisar sejengkal. Namun iapun kemudian menarik nafas dalam-dalam untuk menahan gejolak di dalam hatinya.

“Agung Sedayu dan Swandaru,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “dengarlah. Untuk selanjutnya aku tidak akan berada di dalam sanggar bersama kalian. Mungkin sekali dalam setahun, atau bahkan lebih dari setahun. Sementara itu segala-galanya akan terserah kepada kalian.”

“Ya. Terserah kepada kami. Tetapi apa?” pertanyaan itu telah menghentak di dada Swandaru.

Sementara itu Kiai Gringsing pun melanjutkan, “Murid-muridku. Ada banyak cara untuk meningkatkan ilmu. Salah satu cara adalah dituntun langsung oleh seorang guru. Tetapi ada cara lain yang pantas bagi mereka yang sudah dewasa. Tuntunan yang akan aku berikan kepada kalian tidak secara langsung, tetapi aku akan meminjamkan sebuah kitab kepada kalian.”

“Kitab?” dengan serta merta Swandaru mengulang.

“Ya. Aku memiliki kitab yang memuat ajaran-ajaran perguruan Empu Windujati,” jawab Kiai Gringsing. “Semua ajaran akan kalian dapatkan pada isi kitab itu. Yang sudah kalian miliki dan yang belum pernah kalian miliki. Yang ada padaku pun tidak lebih dari isi kitab itu.”

Wajah Swandaru yang terangkat itu nampak kemerah-merahan. Namun ia tetap menahan dirinya dan menunggu apa yang akan dikatakan oleh Kiai Gringsing.

“Murid-muridku,” berkata Kiai Gringsing kemudian, “aku akan meminjamkan kitab itu kepada kalian. Tetapi kitab itu hanya satu. Dengan demikian, maka sudah barang tentu aku hanya dapat meminjamkan kitab itu bergantian. Siapa yang akan meminjam lebih dahulu di antara kalian? Namun aku hanya dapat membatasi dalam waktu yang tidak terlalu panjang. Aku akan meminjamkan kitab itu untuk tingkat pertama selama tiga bulan.”

“Tiga bulan,” Swandaru menjadi heran, “apa artinya waktu yang tiga bulan itu bagi seseorang yang mempelajari ilmu kanuragan.”

“Bagi mereka yang baru mulai, tiga bulan itu memang tidak berarti apa-apa. Tetapi bagi mereka yang telah dewasa di dalam ilmu kanuragan, maka waktu yang tiga bulan itu tentu akan sangat berarti. Bahkan waktu yang empat puluh hari empat puluh malam dapat menempa seseorang menjadi seakan-akan orang baru yang memiliki tingkat ilmu yang berlipat ganda dari sebelumnya.”

Swandaru mengangguk-angguk. Ketika ia melihat ke arah Agung Sedayu, Agung Sedayu masih tetap menundukkan kepalanya.

“Kakang Agung Sedayu memang aneh. Agaknya ia bukan tidak berminat. Tetapi ia merasa dirinya sudah terlalu jauh mendalami ilmu kanuragan, bahkan melampaui tingkat isi kitab yang dikatakan oleh Guru itu,” berkata Swandaru di dalam hatinya.

Namun sebenarnyalah Agung Sedayu memang sedang merenungi keterangan gurunya itu. Di luar sadarnya ia membayangkan kitab Ki Waskita yang pernah dipinjamkannya kepadanya. Isi kitab itu sudah dibacanya sampai habis. Dan isi kitab itu ternyata masih tetap terpahat di dalam hatinya, sehingga setiap saat, dengan merenung beberapa saat ia akan dapat mengingat setiap kata yang termuat di dalam kitab itu.

“Aku baru dapat menguasai sebagian kecil saja dari isi kitab itu,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya, “jika aku kemudian membaca kitab Kiai Gringsing, maka aku akan merasa menjadi semakin kecil. Semakin banyak jenis ilmu yang aku kenal dan masih belum dapat aku cerna, maka rasa-rasanya duniaku menjadi semakin tidak berarti.”

Namun dalam pada itu, Agung Sedayu pun merasa, bahwa tidak ada salahnya seandainya ia menyimpan pengenalan itu di dalam dirinya. Katanya kepada diri sendiri, “Mungkin pada suatu saat aku memerlukannya. Aku akan dapat memilih, yang manakah yang akan aku hadirkan lebih dahulu di dalam diriku, sebagai satu kenyataan kemampuan atas ilmu yang aku kenali itu.”

Dalam pada itu, Kiai Gringsing pun berkata selanjutnya, “Demikianlah, aku minta kalian berdua mempertimbangkan. Aku tidak membedakan di antara kalian, meskipun ada tataran di antara kalian. Aku menganggap Agung Sedayu saudara tua Swandaru di dalam perguruan ini. Namun bagiku keduanya sama saja. Siapakah yang akan meminjam lebih dahulu?”

Swandaru memandang Agung Sedayu sekilas. Kemudian katanya, “Guru. Agaknya Kakang Agung Sedayu masih belum sehat benar. Ia masih memerlukan waktu barang dua tiga pekan. Sementara itu, dunia kanuragan telah bergerak dengan cepatnya. Karena itu, apabila Guru dan Kakang Agung Sedayu tidak berkeberatan, maka biarlah aku meminjam kitab itu lebih dahulu. Sementara itu, kekuatan Kakang Agung Sedayu akan menjadi pulih kembali, sehingga Kakang Agung Sedayu sempat mempelajarinya dan mencobanya di dalam sanggar dengan latihan-latihan yang berat.”

Kiai Gringsing memandang Agung Sedayu yang masih menunduk. Kemudian dengan sareh ia bertanya kepada Agung Sedayu, “Bagaimana pendapatmu Agung Sedayu? Kau adalah saudara tua dalam olah kanuragan. Terserah kepadamu, meskipun menurut urutan tataran perguruan, kau berhak lebih dahulu meminjamnya. Tetapi seperti kata Swandaru, kau masih belum pulih sepenuhnya.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia memang belum sehat dan pulih sepenuhnya. Tetapi sudah barang tentu tidak sampai tiga bulan lagi, karena Kiai Gringsing telah mengobatinya sebaik-baiknya.

Namun dalam pada itu, ternyata ia dapat mengerti pikiran Swandaru. Jika ia meminjamnya lebih dahulu, maka itu akan berarti kira-kira sampai tiga pekan mendatang kitab itu masih belum dipergunakannya.

Karena itu, maka akhirnya Agung Sedayu itupun menjawab, “Guru. Sebenarnyalah bahwa aku masih memerlukan waktu yang cukup untuk beristirahat. Karena itu, maka aku memang tidak berkeberatan jika kitab itu lebih dahulu dipinjam oleh Swandaru untuk waktu tiga bulan.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk, sementara Swandaru pun tersenyum karenanya. Namun di dalam hati Swandaru itu berkata, “Agaknya Kakang Agung Sedayu memang sudah tidak berminat untuk tumbuh. Ia tentu lebih senang jika kitab itu aku pinjam untuk waktu yang tidak terbatas, sehingga ia sendiri tidak perlu mengerahkan tenaga dan waktu untuk menekuninya.”

“Swandaru,” berkata Kia Gringsing kemudian, “kau mendengar sendiri, bahwa kakak seperguruanmu tidak berkeberatan jika kitab itu kau pinjam lebih dahulu. Tetapi ingat, aku hanya meminjamkannya untuk waktu tiga bulan. Tidak lebih. Seberapa jauh ilmu yang dapat kalian sadap untuk waktu yang tiga bulan itu, tergantung dari kesungguhan kalian dan daya tangkap kalian. Jika kemudian timbul perbedaan tingkat kemampuan di antara kalian, itu bukan karena aku tidak berlaku adil. Tetapi memang demikianlah seharusrya, sesuai dengan hasrat dan daya serap yang kalian miliki masing-masing.”

“Aku mengerti Guru. Aku akan bekerja dengan sungguh-sungguh,” jawab Swandaru.

“Tetapi jangan sekali-kali memaksa diri. Hasilnya tidak akan terpaut banyak dengan langkah yang wajar, tetapi mapan. Sementara itu dengan memaksa diri, akan dapat timbul akibat yang tidak diharapkan,” berkata Kiai Gringsing.

Swandaru tidak menjawab. Ia seolah-olah tidak sabar lagi untuk menerima kitab seperti yang dikatakan oleh gurunya itu.

Namun ternyata yang dikatakan oleh Kiai Gringsing sangat mengecewakannya. Katanya, “Murid-muridku. Baiklah. Sudah menjadi keputusan, bahwa Swandaru-lah yang akan meminjam kitab itu lebih dahulu. Baru kemudian sesudah tiga bulan, kitab itu akan berada di tangan Agung Sedayu. Namun aku minta dengan sangat, agar kitab itu dijaga sebaik-baiknya. Jika kitab itu hilang, kalian dapat membayangkan akibatnya. Apalagi jika kitab itu jatuh ke tangan orang yang berhati jahat. Maka cermin perguruan Windujati akan berubah warnanya. Ilmu yang tiada taranya yang tersimpan di dalam kitab itu akan berada di tangan orang yang tidak berhak, dan yang barangkali justru akan merusak isi dunia sebagaimana dilakukan oleh Kakang Panji. Bahkan mungkin melampaui, karena arah yang hendak dicapai oleh Kakang Panji adalah satu kekuasaan pemerintahan yang hanya terbayang di dalam mimpinya. Tetapi ia tidak mempergunakan kemampuannya untuk melakukan kejahatan sehari-hari.

Ia tidak melakukan perampokan dan perampasan. Ia tidak menghimpun sekelompok orang jahat dan diajarinya menyamun di jalan-jalan sepi. Atau mencuri pusaka dan harta benda di perbendaharaan istana atau di rumah-rumah para bangsawan. Karena itu Swandaru, aku sendiri kelak akan mengantarkan kitab itu ke Sangkal Putung. Aku akan berada di Sangkal Putung pada saat kitab itu berada di sana. Tetapi seperti yang sudah aku katakan, aku tidak akan lagi mencampuri usahamu meningkatkan ilmumu secara langsung, meskipun aku tidak akan ingkar jika pada suatu saat kau benar-benar memerlukan petunjukku. Tetapi pada dasarnya aku sudah ingin beristirahat.”

Wajah Swandaru menjadi tegang. Dengan ragu-ragu ia bertanya, “Kenapa tidak sekarang saja Guru? Aku membawa pengawal segelar sepapan. Mereka akan dapat membantuku memelihara dan menjaga kitab yang sangat berharga itu.”

Kiai Gringsing tersenyum sambil menjawab, “Kitab itu tidak ada di sini Ngger.”

Swandaru mengerutkan keningnya. Sekali lagi ia bertanya, “Kitab itu berada dimana Guru?”

Kiai Gringsing masih saja tersenyum. Dipandanginya Ki Waskita sejenak. Lalu katanya, “Aku menyimpannya sebaik-baiknya. Tidak ada seorangpun yang mengetahuinya.”

Swandaru tidak bertanya lagi. Tetapi ia sudah tidak dapat mengharap apapun lagi. Ia harus menunggu sampai Kiai Gringsing datang ke Sangkal Putung menyerahkan kitab itu kepadanya.

“Tetapi kapan?“ Swandaru bertanya di dalam hatinya, “Jika sampai saatnya Kakang Agung Sedayu menjadi sembuh dan pulih kembali, maka mungkin sekali ia akan berubah sikap. Ia mungkin dengan tiba-tiba minta untuk meminjam kitab itu lebih dahulu, bukan karena ia berminat untuk mempelajarinya, tetapi semata-mata untuk menghambat kemajuanku saja.”

Namun bagaimanapun juga, ia tidak dapat memaksa gurunya untuk mengambil sikap sebagaimana dikehendakinya.

Demikianlah, maka Kiai Gringsing telah menetapkan, bahwa pada saatnya ia akan datang ke Sangkal Putung untuk menyerahkan kitab yang memuat tuntunan dan laku untuk memahami ilmu perguruan Empu Windujati. Satu perguruan yang besar bukan karena jumlah muridnya, tetapi karena ajaran-ajaran yang disampaikannya kepada mereka yang pernah menghisap ilmu dari perguruan Windujati. Bukan saja ajaran dalam ilmu kanuragan, tetapi juga petunjuk dan tuntunan untuk mendekatkan diri dengan Maha Penciptanya.

Betapapun perasaan kecewa mencengkamnya, namun Swandaru harus menunggu. Ia harus bersabar sampai saat yang ditentukan oleh gurunya itu tiba. Mungkin sehari, tetapi mungkin sepekan. Sementara itu, ketika semua pesan dan harapan telah dikatakan oleh Kiai Gringsing, maka iapun mengakhiri pertemuan itu. Dipersilahkannya murid-muridnya bersama istri-istri mereka untuk beristirahat, sementara ia sendiri masih akan berbincang dengan Ki Waskita.

Sementara itu, Swandaru pun menganggap bahwa saatnya untuk kembali ke Sangkal Putung telah tiba. Agaknya rakyat Sangkal Putung yang mengungsi telah ingin kembali. Jika tidak ada pelindung yang dapat mengamankan mereka, maka orang-orang jahat akan berbuat sekehendak mereka tanpa belas kasihan.

Karena itu, maka di keesokan harinya, maka Swandaru telah membawa pasukannya kembali ke Sangkal Putung. Ki Demang harus menjalankan pemerintahan seperti seharusnya, sementara Swandaru telah ditunggu oleh kademangannya untuk memelihara dan meningkatkan tata kehidupan dalam keseluruhannya.

Dengan demikian, maka seluruh pasukan selain pasukan Untara, telah ditarik dari Prambanan. Yang kemudian mengamati keamanan di tlatah Prambanan adalah Untara dan prajurit-prajuritnya. Sementara itu ia masih harus menjajagi kemungkinan, apakah ia akan kembali ke Jati Anom. Untara masih belum mengerti perkembangan tata pemerintahan di Pajang setelah perang berakhir, sementara Kanjeng Sultan menjadi semakin parah.

Namun dalam pada itu, Agung Sedayu yang terluka yang masih tinggal di Prambanan bersama dengan Sekar Mirah, telah mendapat perawatan yang sungguh-sungguh dari Kiai Gringsing, agar lebih cepat menjadi sembuh sama sekali dan pulih kembali.

Tetapi Kiai Gringsing pun tidak dapat terlalu lama berada di Prambanan. Ia harus segera kembali dan pergi ke Sangkal Putung untuk memenuhi janjinya pada Swandaru. Jika ia terlalu lama, maka Swandaru akan dapat mempunyai dugaan yang salah dan barangkali akan menjadi tidak sabar lagi menunggu.

Agaknya usahanya itupun berhasil. Agung Sedayu dengan cepat berangsur pulih kembali. Lebih cepat dari yang diperhitungkan, karena Agung Sedayu sendiri telah berusaha pula sejauh dapat dilakukan untuk penyembuhan dirinya.

Dengan demikian, maka Kiai Gringsing pun telah memutuskan untuk segera pergi ke Jati Anom dan selanjutnya ke Sangkal Putung. Membawa kitab yang dijanjikan kepada Swandaru dan meminjamkannya untuk waktu tiga bulan sebagaimana dijanjikan. Selama itu, iapun akan selalu berada di Sangkal Putung untuk mengamati kitabnya, karena jika kitab itu jatuh ke tangan orang yang tidak berhak, maka akibatnya akan dapat menjadi parah sekali. Selebihnya, ia tentu tidak akan sampai hati membiarkan Swandaru tidak mempunyai sandaran selama ia menekuni isi kitabnya.

Menurut penilaian Kiai Gringsing, Swandaru tidak akan dapat dilepaskannya sama sekali sebagaimana dapat dilakukan atas Agung Sedayu dalam merambah ilmu dalam tingkatan tertinggi.

Ketika Kiai Gringsing bersiap-siap pula untuk kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, di Prambanan masih ada beberapa orang pengawal yang ditinggalkan oleh Ki Gede, yang pada suatu saat akan kembali ke Tanah Perdikan bersama Agung Sedayu dan Sekar Mirah.

Demikianlah, maka Untara pun merasa bahwa akan datang saatnya, ia merasa sendiri setelah bersama-sama dalam satu perjuangan yang berat di Prambanan. Tetapi ia tidak akan dapat menahan mereka, karena tugas mereka telah menunggu. Hanya Sabungsari-lah yang akan tetap berada di Prambanan, sementara Glagah Putih tentu akan ikut bersama dengan Agung Sedayu dan beberapa orang pengawal yang ditinggalkan oleh Ki Gede.

Namun dalam pada itu, sebelum Kiai Gringsing dan Agung Sedayu meninggalkan Prambanan, mereka telah dikejutkan oleh laporan, bahwa sekelompok orang-orang berkuda tengah menuju ke Prambanan.

Untara-lah yang kemudian bersama beberapa orang pengawalnya bersiap menyongsong iring-iringan yang menjadi semakin dekat.

Tetapi akhirnya Untara menarik nafas dalam-dalam. Yang datang berkuda dengan sekelompok pengawal adalah Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani.

Sementara itu Kiai Gringsing, Ki Waskita dan Untara segera mempersilahkan Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga itu untuk naik ke pendapa di pesanggrahan yang pernah dipergunakannya selama ia berada di Prambanan.

“Apa yang telah terjadi di Pajang, Raden?” bertanya Kiai Gringsing, setelah mereka saling mempertanyakan keselamatan masing-masing.

Wajah Raden Sutawijaya menjadi muram. Sekilas dipandanginya Ki Juru yang termangu-mangu.

Namun nampaknya Ki Juru menyerahkan segalanya kepada Raden Sutawijaya sehingga akhirnya Raden Sutawijaya menjawab, “Kiai. Ternyata bahwa Ayahanda Kanjeng Sultan Hadiwijaya sudah tidak dapat diobati lagi.” “Maksud Raden?” desak Kiai Gringsing yang menjadi tegang.

“Ayahanda telah wafat,” jawab Raden Sutawijaya.

Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam, sementara Ki Waskita dan Untara menundukkan kepalanya. Bagi Untara, Kanjeng Sultan adalah seorang yang tetap menjadi kiblat kekuasaan di Pajang.

“Kami tidak sempat memberikan kabar itu ke Prambanan,” berkata Raden Sutawijaya. Lalu, “Aku-pun tidak terlalu lama menunggu di Pajang. Setelah semua upacara selesai, aku segera meninggalkan Kota Raja meskipun suasana permusuhan sudah tidak terasa lagi.”

“Jadi Raden sempat bertemu dengan Ayahanda?” bertanya Kiai Gringsing.

Raden Sutawijaya termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Tidak Kiai. Aku tidak sempat bertemu dengan Ayahanda.”

“Jadi kedatangan Raden terlambat?” desak Kiai Gringsing.

Raden Sutawijaya menjadi semakin termangu-mangu. Sekali lagi dipandanginya Ki Juru yang masih saja berdiam diri. Tetapi agaknya Ki Juru pun masih saja membiarkan Raden Sutawijaya memberikan jawaban.

Karena itulah maka kemudian Raden Sutawijaya menjawab, “Sebenarnya aku tidak terlambat Kiai. Tetapi aku masih saja merasa segan menghadap Ayahanda di Istana Pajang. Namun agaknya umur Ayahanda sudah tidak terlalu lama dapat bertahan. Ayahanda telah wafat, sementara aku hanya sempat mengirimkan senampan bunga telasih.”

Yang mendengarkan keterangan Raden Sutawijaya itupun mengangguk-angguk. Ternyata Raden Sutawijaya benar-benar seorang yang keras hati, sehingga ia benar-benar tidak mau naik ke paseban dalam pengertian yang dalam.

Namun dalam pada itu, Ki Waskita pun bertanya, “Apakah Kanjeng Sultan mengetahui bahwa Angger berada di Pajang waktu itu?”

“Menurut keterangan yang aku peroleh kemudian, Ayahanda mengetahui bahwa aku berada di Pajang. Ayahanda sendirilah yang telah berkenan menerima senampan bunga telasih yang aku kirimkan,” jawab Raden Sutawijaya. Lalu, “Menurut keterangan yang aku terima dari lingkungan Istana, Ayahanda menerima bunga itu dengan tanggapan yang baik terhadapku. Ayahanda menganggap bahwa aku memang putra angkatnya.”

“Jadi Ayahanda Raden masih belum wafat saat bunga itu Angger kirimkan?” bertanya Kiai Gringsing.

“Ya Kiai. Ayahanda memang sudah berada pada saat-saat terakhir. Tetapi Ayahanda masih dalam kesadarannya sepenuhnya,” jawab Raden Sutawijaya. “Agaknya Ayahanda dapat menerima getaran hatiku saat aku mengirimkan bunga itu. Aku memang mengirimkannya sebagai pertanda hormat dan setiaku sebagai putra Ayahanda.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Rasa-rasanya Kiai Gringsing melihat hubungan yang berbelit antara Raden Sutawijaya dengan Ayahandanya Kanjeng Sultan Hadiwijaya.

Namun dalam pada itu. Kiai Gringsing masih ingin mengetahui apa yang terjadi kemudian menurut pendengaran Raden Sutawijaya. Karena itu, maka iapun kemudian bertanya, “Raden, apakah yang kemudian dilakukan oleh para sentana dan pini sepuh di Pajang, sepeninggal Ayahanda Kanjeng Sultan Hadiwijaya?”

“Aku kurang tahu Kiai. Tetapi nampaknya Adimas Wirabumi akan memerintah di Pajang sebagai seorang Adipati, dan Adimas Pangeran Benawa akan berada di Jipang,” jawab Raden Sutawijaya.

“Dan kedudukan Angger Sutawijaya sendiri?” bertanya Kiai Gringsing.

“Aku tidak akan memilih kedudukan. Sebenarnya aku ingin memberikan pendapatku, mungkin hal ini dapat aku lakukan pada kesempatan yang lain, bahwa yang paling berhak atas tahta Pajang adalah Adimas Pangeran Benawa. Bukan sebagai Adipati, tetapi sebagai seorang raja yang memerintah seperti Ayahanda Kanjeng Sultan,” berkata Raden Sutawijaya, “dengan demikian, maka ia akan dapat banyak berbicara dengan aku dan aku yakin, bahwa Adimas Pangeran akan bersedia menerima pendapat-pendapatku yang mungkin akan dapat ikut membina Pajang di hari kemudian.”

“Bagaimana sikap Pangeran Benawa?” bertanya Ki Waskita.

“Aku kurang tahu Ki Waskita. Aku tidak menunggu sampai perkembangan terakhir. Mungkin dalam waktu sepekan ini, aku akan mendapat penjelasan tentang perkembangan keadaan di Pajang. Namun nampaknya Pangeran Benawa lebih senang menyisihkan diri dan dengan tenang berada di Jipang. Namun menurut pendengaranku, orang-orang Pajang telah mempertimbangkan kehadiran Kiai di Prambanan. Mereka tidak mengabaikan persoalan yang berkembang sepeninggal Kakang Panji, sehubungan dengan sikap Kiai.”

“O,” Kiai Gringsing menarik nafas dalam-dalam. Katanya kemudian, “Katakan kepada orang-orang Pajang, Ngger. Bahwa aku tidak akan ikut mencampuri perkembangan Pajang kemudian. Aku hanya ingin mencegah tingkah laku orang yang menyebut dirinya Kakang Panji, yang telah membayangi kekuasaan Kanjeng Sultan. Maksudku, agar Pajang berkembang sewajarnya, tanpa pengaruh orang-orang yang mempunyai kepentingan bagi dirinya sendiri tanpa menghiraukan kepentingan yang jauh lebih besar.”

“Aku akan mengatakannya Kiai. Dan akupun masih berkepentingan dengan Adimas Pangeran Benawa,” sahut Raden Sutawijaya.

“Apakah masih ada persoalan yang belum selesai?” bertanya Kiai Gringsing kemudian.

“Bukan belum selesai Kiai. Tetapi aku akan memohon agar Pangeran Benawa sudi memperhatikan perkembangan Pajang untuk seterusnya. Aku condong untuk melihat Adimas Pangeran Benawa berbuat sesuatu. Jika ia menginginkan ketenangan, maka ketenangan itu haruslah ketenangan yang hidup. Jika Adimas Pangeran mendambakan perdamaian, maka perdamaian itu haruslah perdamaian yang bergejolak. Bukan kedamaian yang tenang dan mati tanpa gerak apa-pun juga. Yang seharusnya terjadi adalah satu gejolak untuk menemukan satu masa yang jauh lebih baik dari sekarang, tetapi yang tetap di dukung oleh kehidupan yang tenang dan damai. Tanpa permusuhan dan tanpa perasaan iri dan dengki. Semua melakukan setiap gejolak untuk meningkatkan tataran kehidupan dengan ikhlas dan cita-cita bagi kepentingan bersama.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Katanya, “Aku sependapat Ngger. Akupun ingin melihat kehidupan yang meningkat semakin baik bagi rakyat, apakah disebut rakyat Pajang atau rakyat Jipang atau Mataram. Mereka harus mencapai satu tataran kehidupan yang lebih baik. Karena itu, maka akupun sependapat, bahwa tidak seorang pemimpin pun yang ingin hidup tenang, damai dalam kediaman dan menikmati masa ini tanpa memandang ke masa depan. Karena sebenarnyalah jika yang dimaksud hidup tenang dalam satu lingkungan yang diam seperti dikehendaki oleh Pangeran Benawa, adalah satu ketenangan yang mementingkan diri sendiri pula.”

“Mudah-mudahan aku akan mendapat kesempatan untuk melakukan satu usaha bagi Pangeran Benawa,” berkata Raden Sutawijaya. Namun kemudian, “Tetapi aku sudah mengenal Adimas Pangeran sejak kanak-kanak, sehingga akupun dapat menduga, bahwa usaha yang demikian itu akan sangat sulit dilakukan.”

“Tetapi Raden akan mengusahakannya?” bertanya Ki Juru Martani.

“Ya Paman. Aku akan berusaha. Mudah-mudahan aku berhasil, karena dengan demikian, masa depan Pajang, atau seandainya Pangeran Benawa memilih Jipang, akan menjadi lebih cerah, karena gerak yang demikian akan berarti peningkatan bagi tataran kehidupan masyarakat,” jawab Raden Sutawijaya.

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Tetapi sebenarnyalah bahwa serba sedikit Kiai Gringsing pun dapat mengerti sikap Pangeran Benawa yang telah lama memendam perasaan kecewa yang meledak pada sikapmya terhadap pemerintahan. Ia menjadi acuh tidak acuh saja. Bahkan ia condong untuk tidak mau memikirkan sama sekali apa yang akan dapat terjadi atas Pajang, atau Jipang atau Mataram.

Namun menurut Kiai Gringsing, usaha itu sebaiknya dilakukan. Mungkin terjadi satu perkembangan jiwa di dalam diri Pangeran Benawa setelah mengalami peristiwa terakhir, sampai saat meninggalnya Ayahandanya Kanjeng Sultan Hadiwijaya.

Demikianlah, setelah singgah beberapa lama di Prambanan, maka Raden Sutawijaya di hari berikutnya telah melanjutkan perjalanannya kembali ke Mataram. Ia masih akan menunggu perkembangan keadaan di Pajang. Apakah yang akan dilakukan oleh para sentana dan pinisepuh di Pajang. Apakah yang akan mereka putuskan dalam hubungannya dengan tahta yang kosong. Apakah Wirabumi akan tetap disebut Adipati Pajang, atau ia sendiri ingin mengisi kekosongan tahta. Lalu bagaimana dengan sikap terakhir Pangeran Benawa.

“Aku tidak ingin membuat suasana menjadi semakin baur dan tidak menentu,” berkata Raden Sutawijaya, “karena itu, lebih baik aku tidak ikut mengganggu pembicaraan mereka.”

Dalam pada itu, maka hampir bersamaan dengan keberangkatan Raden Sutawijaya dengan sekelompok kecil pengawalnya, maka yang lainpun telah meninggalkan Prambanan pula. Kiai Gringsing telah berangkat ke Jati Anom, sementara Agung Sedayu telah meninggalkan Prambanan pula kembali ke Tanah Perdikan Menoreh, bersama dengan Sekar Mirah dan Ki Waskita. Namun dalam pada itu maka Glagah Putih pun telah berangkat pula.

Namun sementara itu, Kiai Gringsing dan Agung Sedayu tidak dapat melepaskan perhatian mereka terhadap perkembangan Pajang pada saat-saat terakhir. Jika para pemimpin dan pinisepuh Pajang salah langkah, maka akan dapat timbul persoalan-persoalan baru sepeninggal Kanjeng Sultan.

Mereka tidak lagi dikendalikan oleh bayangan kekuasaan orang yang menyebut dirinya Kakang Panji, tetapi mereka benar-benar dihadapkan pada satu keinginan untuk menentukan orang-orang yang paling baik untuk menggantikan Kanjeng Sultan Hadiwijaya. Tetapi yang paling baik bagi seseorang akan dapat lain dengan yang paling baik bagi orang lain. Meskipun baik Kiai Gringsing, maupun Agung Sedayu mengerti, bahwa pemilihan itu hanya berkisar kepada Adipati Wirabumi, Pangeran Benawa atau Raden Sutawijaya yang berkedudukan di Mataram. Namun nampaknya ketiga-tiganya bukan orang yang dilandasi oleh satu keinginan untuk mementingkan diri mereka sendiri atau bahkan oleh ketamakan yang dengki. Bahkan ketiganya cenderung untuk memberi kesempatan kepada yang lain, meskipun bukan berarti tidak mau tahu sama sekali.

Tetapi sebenarnyalah yang agak dicemaskan oleh Raden Sutawijaya terhadap Pangeran Benawa adalah sikapnya yang cenderung untuk berbuat demikian.

Tetapi langkah yang terpenting bagi Kiai Gringsing kemudian adalah menemui Swandaru dengan membawa kitab yang telah dijanjikannya. Sedangkan baru tiga bulan kemudian, kitab itu akan dipinjamkannya pula kepada Agung Sedayu untuk waktu yang sama.

Demikianlah, hari-hari-pun berlalu. Lamban memang, tetapi tidak henti-hentinya membuat lingkaran waktu. Pagi, siang, sore dan malam.

Seperti yang dijanjikan. Kiai Gringsing pun kemudian telah berada di Sangkal Putung. Kitabnya yang disimpannya dengan sangat rahasia, telah dibawanya dan diserahkannya kepada Swandaru. Namun seperti yang dikatakannya, maka Kiai Gringsing pun tetap berada di Sangkal Putung, kecuali untuk mengikuti perkembangan Swandaru yang mungkin memerlukan petunjuk-petunjuknya, iapun merasa wajib untuk tetap mengamati kitab yang dianggapnya sebagai sumber ilmu dari perguruan Windujati. Jika kitab itu jatuh ke tangan orang yang tidak berhak, maka akibatnya akan sangat parah bukan saja bagi Kiai Gringsing, tetapi juga bagi lingkungannya yang luas, karena seseorang akan dapat menyalahgunakan ilmu yang terdapat di dalamnya.

Di hari-hari pertama, Swandaru menekuni kitab itu di dalam sanggarnya. Ia tidak mau salah memulai. Swandaru sadar, bahwa waktu yang tiga bulan itu tentu waktu yang akan terasa sangat sempit. Karena itu, maka ia harus dapat memilih bagian yang tepat. Ia ingin menguasai ilmu yang dipelajarinya itu sampai tuntas. Bukan beberapa bagian tetapi hanya permukaannya saja.

Dalam saat-saat memilih, maka Swandaru telah mengajak istrinya untuk berbincang, karena Swandaru mengerti, Pandan Wangi pun memiliki dasar ilmu yang tinggi, tetapi dari cabang perguruan yang berbeda. Meskipun demikian, mungkin Pandan Wangi akan dapat memberikan pertimbangan-pertimbangan yang sangat diperlukan. Apalagi ternyata bahwa Kiai Gringsing tidak melarangnya membawa istrinya ke dalam sanggar. Justru karena Kiai Gringsing pun mengetahui sifat dan watak Pandan Wangi.

“Tetapi Pandan Wangi hanya akan dapat sekedar memberikan pertimbangan,” berkata Kiai Gringsing. “Ia mempunyai landasan dasar ilmu yang berbeda. Jika ia ingin mengambil manfaat dari penelaahannya atas kitab itu, maka ia harus sangat berhati-hati dan berusaha menemukan sentuhan-sentuhan yang paling mungkin untuk memasukkan kedua jenis ilmu dengan landasan yang berbeda dalam satu susunan yang meningkat.”

“Bukankah hal itu sangat sulit dilakukan?” bertanya Swandaru.

“Memang sulit. Tetapi mungkin. Hal seperti itu kelak akan dialami pula oleh Glagah Putih, Karena Agung Sedayu mengambil dasar ilmu yang diberikan kepada Glagah Putih dari cabang perguruan ayahnya, Ki Sadewa. Padahal, pada puncak kemampuan tertinggi Agung Sedayu bukanlah ilmu yang dilandasi dengan ilmu dari cabang perguruan Ki Sadewa. Tetapi sebagaimana Agung Sedayu sendiri dapat melakukannya, maka Glagah Putih pun tentu akan mampu pula melakukannya kelak. Apalagi dengan bimbingan Agung Sedayu yang menguasai ilmu Ki Sadewa sebaik-baiknya, sebagaimana ia menguasai ilmu yang aku turunkan kepadanya.”

Swandaru mengangguk-angguk. Ia dapat mengerti sepenuhnya apa yang dikatakan oleh gurunya. Agung Sedayu memang mempunyai jalur ilmu dari perguruan yang berbeda.

Demikianlah, maka Swandaru pun menjadi tenggelam di dalam sanggar bersama Pandan Wangi. Keduanya berusaha untuk mengenal isi kitab itu dalam keseluruhan lebih dahulu. Baru kemudian Swandaru akan memilih bagian yang paling sesuai menurut dasar ilmu yang dimilikinya.

Sementara itu, di Tanah Perdikan Menoreh, Ki Gede dengan gembira telah menerima Agung Sedayu kembali bersama istrinya, Ki Waskita, Glagah Putih dan beberapa orang pengawal yang memang ditinggalkan. Tidak ada hambatan apapun di perjalanan. Bahkan terasa jalan masih dibayangi oleh kecemasan terhadap kemungkinan yang ditimbulkan oleh peperangan yang baru berakhir. Karena itu, rasa-rasanya jalan-jalan masih sepi, meskipun sudah ada dua tiga pedati yang mengangkut hasil sawah dan ladang yang dibawa ke Mataram.

Namun dalam pada itu, Ki Gede ternyata telah dihinggapi satu perasaan yang aneh tentang dirinya sendiri. Cacatnya yang menjadi semakin parah seakan akan telah memperingatkannya, bahwa ia memang menjadi semakin tua.

“Aku masih belum setua Kiai Gringsing,” berkata Ki Gede di dalam hatinya, “tetapi Kiai Gringsing memang orang yang luar biasa. Ia memiliki kelebihan atas orang lain, sehingga karena itu maka Kiai Gringsing memang bukan satu ukuran.”

Meskipun belum dikatakannya kepada siapapun juga, namun hatinya bagaikan telah tergerak untuk menyatakan diri menarik diri dari sebagian tugas-tugas yang selama ini dipikulnya.

“Aku sudah merasa sangat letih,” berkata Ki Gede kepada diri sendiri.

Namun Ki Gede telah terbentur dengan keadaan keluarganya. Pandan Wangi, satu-satunya anaknya berada di Sangkal Putung. Sedangkan nampaknya menantunya tidak berminat sama sekali untuk meninggalkan kademangannya yang tumbuh terus menjadi sebuah kademangan yang besar, subur dan kuat.

Dalam pada itu, Ki Gede tidak akan dapat berpaling kepada adiknya atau kemanakannya. Prastawa bukan seorang pemimpin yang baik. Anak muda itu terlalu mementingkan dirinya sendiri. Ia condong kepada memaksakan kehendaknya daripada mendengarkan pendapat orang lain yang mungkin lebih bermanfaat dari pendapatnya sendiri. Sementara itu, Prastawa tidak mudah mengekang keinginan-keinginannya yang kadang-kadang dapat merugikan orang lain.

“Jika ia mempunyai kekuasaan, maka kekuasaan itu akan dapat disalahgunakan,” berkata Ki Gede di dalam hatinya.

Meskipun Prastawa adalah orang yang terdekat menurut jalur keluarganya, tetapi Ki Gede agak segan juga untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada Prastawa. Karena menurut pendirian Ki Gede, yang terpenting baginya adalah perkembangan Tanah Perdikan Menoreh. Jika sepanjang hidupnya ia sudah berbuat apa saja yang mungkin dan yang paling baik bagi Tanah Perdikan Menoreh, maka ia tentu tidak akan rela menyerahkan kekuasaan atas Tanah Perdikan itu kepada seseorang yang sudah diketahuinya, tidak akan dapat melanjutkan kerja yang sudah dimulainya itu. Bahkan yang sudah diketahuinya, akan menyeret Tanah Perdikan itu meluncur ke tataran yang lebih rendah.

Karena itu, satu-satunya kemungkinan yang dapat ditempuhnya, adalah meneruskan rencana yang sudah disusunnya bersama Swandaru, dan sudah disetujui pula oleh Pandan Wangi. Untuk sementara, Tanah Perdikan Menoreh akan dapat diperintah, atau sebagian dari kekuasaan pemerintahan, oleh Agung Sedayu atas nama Swandaru.

Setelah perang antara Mataram dan Pajang berakhir, maka tugas Agung Sedayu dan Sekar Mirah di barak pasukan khusus menjadi jauh berkurang. Meskipun pasukan khusus itu masih akan tetap ada karena banyak kemungkinan masih akan terjadi, tetapi mereka tidak lagi ditempa seberat yang pernah mereka alami sebelumnya. Kedudukan mereka kemudian, tidak akan berbeda dengan kedudukan prajurit pilihan yang kadang-kadang mendapat tugas khusus.

Karena itu, maka Ki Gede pun telah memutuskan di dalam hatinya untuk memanggil Agung Sedayu dan para bebahu Tanah Perdikan Menoreh. Ia ingin menyerahkan sebagian dari tugas-tugasnya kepada Agung Sedayu, meskipun dalam kedudukannya sebagai Kepala Tanah Perdikan, ia masih harus tetap bertanggung jawab.

Dalam hubungannya dengan rencana tersebut, Ki Gede yakin, bahwa terutama anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh tentu akan menerimanya. Mereka tentu akan memilih Agung Sedayu daripada Prastawa, meskipun menurut jalur keluarga, Prastawa memihki kesempatan lebih banyak dari Agung Sedayu.

Namun agaknya Prastawa sendiri sudah memaklumi akan rencana itu. Ia merasa bukan imbangannya untuk diperbandingkan dengan Agung Sedayu. Sehingga karena itu, maka iapun telah menyerahkan segalanya kepada kebijaksanaan pamannya.

Sementara itu, Agung Sedayu sendiri ternyata telah mempunyai rencana tersendiri bagi pribadinya. Ia ingin mengisi waktu luangnya, sambil menunggu kesempatan untuk mempelajari isi kitab gurunya, maka ia ingin menuang kembali pengenalannya atas isi kitab Ki Waskita yang baru di tekuni sebagian kecil daripadanya.

“Tidak akan mungkin seseorang akan dapat memahami seluruh isi kitab itu, apalagi menguasai dan mampu mengetrapkan dengan baik,” berkata Agung Sedayu di dalam dirinya, “namun masih ada kesempatan untuk meningkatkan ilmu yang aku miliki.”

Demikianlah, Agung Sedayu telah mempunyai rencananya sendiri. Tetapi ia tidak akan ingkar, jika Ki Gede memintanya untuk berbuat lebih banyak lagi atas Tanah Perdikan Menoreh, sehubungan dengan keadaan Ki Gede sendiri.

Karena itulah, maka Agung Sedayu telah mempersiapkan diri untuk tugas-tugas yang akan dipikulnya. Tugas bagi dirinya sendiri, dan tugas bagi Tanah Perdikan Menoreh.

Ketika rencana Ki Gede itu diumumkan di antara para bebahu dan para pemimpin pengawal Tanah Perdikan Menoreh, maka tidak seorangpun yang menolaknya. Mereka menerima dengan penuh kegembiraan, limpahan sebagian kekuasaan Ki Gede atas Tanah Perdikan Menoreh kepada Agung Sedayu, meskipun Ki Gede masih tetap bertanggung jawab.

“Aku serahkan sebagian dari tugas-tugasku kepada Agung Sedayu. Aku yang menjadi semakin tua tidak lagi mampu untuk merencanakan dan melaksanakan seluruh beban di Tanah Perdikan ini. Karena itu, Tanah Perdikan ini, yang menyangkut peningkatan kesejahteraan dan kemampuan anak-anak muda, aku serahkan kepadanya,” berkata Ki Gede.

Para bebahu mengangguk-angguk. Sebagian dari mereka justru menganggap bahwa sebelum Ki Gede menyatakan dengan resmi, Agung Sedayu telah melakukannya, meskipun belum sepenuhnya. Dengan pernyataan itu, maka beban itu seakan-akan sepenuhnya telah berada di pundak Agung Sedayu.

Agung Sedayu sendiri tidak berkeberatan. Ia memang sudah sejak semula dengan sengaja menyerahkan tenaganya bagi Tanah Perdikan Menoreh. Jika untuk beberapa lama ia terjerat oleh tugas-tugas di barak pasukan khusus, itu adalah karena keadaan yang memaksa dan tidak dapat ditunda-tunda lagi. Tetapi tugas di barak pasukan khusus itu sudah jauh menyusut, sehingga dengan demikian maka ia kembali mencurahkan tenaga dan pikirannya bagi Tanah Perdikan Menoreh.

Meskipun Tanah itu bukan tanah kelahirannya, dan bukan pula warisan yang menurut jalurnya akan sampai kepadanya, tetapi rasa-rasanya tanah itu adalah tanah warisan yang harus di peliharanya dengan sebaik-baiknya.

Dengan demikian, maka sejak saat ia menerima dengan resmi tugas itu, maka Agung Sedayu bekerja semakin keras. Istrinya, Sekar Mirah membantunya dengan sepenuh minat. Bukan saja untuk kepentingan Agung Sedayu, tetapi Sekar Mirah merasa berbangga juga bila ia dikenal oleh setiap orang di Tanah Perdikan Menoreh.

Di samping suami istri itu, masih terdapat Glagah Putih yang berada di antara anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh sebagaimana ia berada di dalam lingkungan sendiri. Rasa-rasanya Glagah Putih memang bukan orang lain. Ia berada di gardu-gardu sebagaimana anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh. Ia berada di sawah sebagaimana anak-anak muda yang lain. Dan iapun berada di sungai untuk menangkap ikan bersama-sama kawan-kawannya dari Tanah Perdikan Menoreh.

Namun di saat lain, ia telah mengajari anak-anak Tanah Perdikan Menoreh untuk memahami unsur yang masih mendasar bagi olah kanuragan. Terutama mereka yang baru mulai.

Tetapi sementara itu. Agung Sedayu pun telah mempersiapkan dirinya lahir dan batin untuk memasuki sanggar. Pada hari-hari yang pertama, Agung Sedayu berusaha untuk melihat kembali isi kitab yang seakan-akan telah terpahat di dalam hatinya. Perlahan-lahan tetapi pasti. Huruf demi huruf. Kalimat demi kalimat, dan pengertian demi pengertian, sehingga akhirnya Agung Sedayu sampai pada satu bab yang menarik perhatiannya.

“Ki Waskita menguasai satu ilmu yang menarik,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya, “meskipun yang dikuasai oleh Ki Waskita baru sampai taraf bentuk-bentuk semu yang kurang berarti bagi orang-orang berilmu tinggi dan mempunyai ketajaman penglihatan batin. Namun ternyata menurut kitab yang dimilikinya, ilmu itu dapat dikembangkan.”

Dan Agung Sedayu pun mendengar apa yang terjadi di pertempuran yang seru di Prambanan. Saat Ki Juru bertemu dengan orang yang menyebut dirinya Kakang Panji, maka Ki Juru itu mampu menjadikan dirinya menjadi lebih dari satu. Seolah-olah Ki Juru itu dapat berubah menjadi dua yang sulit dibedakan, meskipun oleh mata Kakang Panji sekalipun.

Dengan demikian, maka Agung Sedayu telah memilih untuk mengembangkan ilmu yang baginya sangat menarik itu. Ia akan menekuninya, sehingga jika ia berhasil, maka ia akan dapat memperbanyak ujud wadagnya menjadi dua. Bahkan tiga.

“Mirip dengan ilmu Kakang Pembarep Adi Wuragil,” desis Agung Sedayu di dalam hatinya. “seperti ilmu yang dimiliki Ajar Tal Pitu.”

Semula memang ada keragu-raguan di dalam hatinya. Apakah ilmu itu bukan satu jenis ilmu bagi orang-orang yang telah memilih jalan sesat.

Namun akhirnya Agung Sedayu berkata kepada dirinya sendiri, “Yang penting bukan jenis ilmunya. Tetapi manusianya. Seperti sebilah keris. Keris dapat saja berada di tangan orang yang berhati putih, tetapi dapat juga berada di tangan orang berhati hitam. Sedang keris itu sendiri tidak menentukan sikap apapun juga. Mungkin sebilah keris dapat mempunyai pengaruh terhadap pemiliknya. Tetapi bagi seseorang yang berpribadi kuat, maka kekuatan yang terdapat di dalam pusaka jenis apapun akan dapat dipergunakan untuk tujuan yang sesuai dengan sikap batin pemiliknya.”

Karena itu, maka Agung Sedayu pun telah membulatkan tekadnya. Ia akan mendalami satu jenis ilmu yang sudah dikuasai oleh Ki Waskita, namun dengan perkembangannya yang lebih mendalam, sehingga yang dikuasainya kemudian bukan sekedar pada permukaannya saja. 

Namun demikian, Agung Sedayu tidak melupakan Ki Waskita sendiri. Sebelum ia mulai menekuni ajaran tentang ilmu itu, maka ia telah menghubungi Ki Waskita dan mengatakan niatnya.

“Lakukan Ngger,” berkata Ki Waskita, “kau tentu akan mencapai hasil yang jauh lebih baik dari yang aku miliki. Aku hanya dapat mengelabui anak-anak ingusan. Seseorang yang memiliki kedalaman pandangan tidak akan dapat terseret oleh bayangan-bayangan semu. Tetapi jika kau berhasil mengembangkannya, maka kau akan mampu berbuat seperti yang dilakukan oleh Ki Juru atau bahkan oleh Ajar Tal Pitu. Dengan bekal kemampuanmu yang sekarang, ditambah dengan ilmu menggandakan diri yang tuntas, maka kau akan bertambah disegani. Jika ilmumu itu kau pergunakan bagi satu pengabdian, maka hasilnya tentu akan lebih baik.”

“Terima kasih Ki Waskita,” sahut Agung Sedayu, “mungkin aku memerlukan petunjuk-petunjuk Ki Waskita pada saat-saat aku mulai.”

Demikianlah, orang-orang yang semula disibukkan oleh perkembangan hubungan Pajang dan Mataram yang meledak menjadi perang yang besar di Prambanan itu, kemudian telah tenggelam ke dalam kepentingan yang berbeda-beda. Raden Sutawijaya dengan sungguh-sungguh memperhatikan perkembangan Pajang di saat terakhir, sementara Swandaru membenamkan diri di sanggarnya dengan kitab yang dipinjamnya dari gurunya dan yang sekali-sekali memerlukan petunjuk langsung dari Kiai Gringsing, serta Agung Sedayu yang mengungkap kembali isi kitab Ki Waskita yang seakan-akan telah terpahat di dalam hatinya.

Namun dalam pada itu, orang-orang yang semula berada di satu garis perang itu tidak dapat melepaskan diri dari satu keterikatan menghadapi perkembangan. Pada satu saat, mereka akan mendapat berita dari Mataram, satu perkembangan yang akan menentukan keadaan di masa depan bagi Tanah ini.

Sementara itu, selagi Pajang diliputi oleh suasana yang tegang dalam kediamannya, maka di pesisir utara, sebuah kapal telah merapat di pantai, justru tidak di pelabuhan manapun juga. Sebuah kapal yang tidak terlalu besar, tetapi juga tidak terlalu kecil.

Tiga orang telah meloncat turun ke dalam air dan kemudian berenang ke tepian. Demikian ketiga orang itu mencapai pasir tepian dan berdiri tegak, maka merekapun telah melambaikan tangannya kepada orang-orang yang masih ada di dalam kapal.

Sejenak kemudian, kapal itu telah membongkar sauh dan meninggalkan ketiga orang yang sudah berada di tepian pesisir utara.

Demikian kapal itu menjauh, maka seorang di antara ketiga orang yang masih basah kuyup itupun berdesis, “Sudah beberapa tahun kita tidak menginjakkan kaki di Tanah ini.” “Ya. Sudah hampir tiga tahun,” jawab yang lain.

“Tetapi nampaknya Tanah ini masih belum berubah. Semuanya masih seperti saat kita tinggalkan,” desis yang lain lagi.

Orang yang pertama itu menengadahkan kepalanya sambil berkata, “Kakang Prabadaru tentu akan tercengang melihat kita datang kembali ke Pajang. Ia terlalu sombong pada waktu itu. Ia menganggap kita tidak pantas menjadi saudara seperguruannya.”

“Bahkan ia sudah mengusir kita,” sahut yang lain.

“Bukan hanya mengusir kita,” berkata yang lain lagi, “tetapi kakang Prabadaru yang merasa dirinya orang terhormat dengan kedudukannya sebagai Tumenggung itu telah berusaha membunuh kita.”

“Ya,” berkata orang yang pertama, “sekarang aku akan membuktikan kepadanya, bahwa aku sekarang memiliki ilmu yang tidak akan kalah dari ilmu yang dimilikinya, yang menurut pendapatnya tidak akan dapat disamai oleh siapapun juga.”

Kedua orang kawannya tertawa. Seorang di antaranya berkata, “Kita akan dapat membuat perbandingan.”

Ketiganyapun kemudian tertawa berkepanjangan. Baru sejenak kemudian seorang di antaranya berkata, “Marilah. Kita mulai dengan sebuah perjalanan. Kita akan memasuki Demak, melihat Jipang dan kemudian Pajang. Kita akan berbicara dengan Kakang Prabadaru. Kita akan bertanya kepadanya, apakah ia masih akan membunuh kita, atau kita yang harus membunuhnya.”

Suara tertawa itu terdengar lagi. Tetapi kemudian hilang dihanyutkan angin yang bertiup dari laut.

Ketiga orang itupun kemudian berjalan di teriknya matahari. Pasir di bawah kakinya pun terasa menyengat kulit. Tetapi ketiganya seakan-akan tidak merasakannya sama sekali. Bahkan pakaian mereka yang basah kuyup itupun telah menjadi kering karenanya.

Dengan golok yang besar di lambung, seorang di antaranya berjalan di paling belakang. Yang berjalan di depannya adalah seorang bertubuh tinggi dan bersenjata sebilah pedang dan sebilah badik kecil terselip di ikat pinggangnya. Yang dipaling depan membawa sebilah keris yang panjang dan besar melampaui ukuran keris kebanyakan, yang melekat dipunggungnya. Hulunya mencuat di atas pundaknya yang dihiasi dengan rumbai-rumbai berwarna hitam. Rumbai-rumbai itu dibuat dari rambut seseorang yang pernah dibunuhnya dengan keris itu.

“Kita memerlukan waktu satu dua bulan,” berkata orang yang berjalan di paling depan. “Baru kita akan dapat kembali ke kapal. Aku sudah terlanjur mencintai pekerjaanku sebagai bajak laut.”

“Ya, pekerjaan yang menyenangkan sekali. Pekerjaan yang tidak pernah dibayangkan oleh Kakang Prabadaru,” sahut yang berjalan di tengah.

Sementara itu yang berjalan di paling belakang berkata, “Mungkin Kakang Prabadaru akan jatuh cinta pula pada pekerjaan itu, sehingga ia akan lebih senang mengikuti kita daripada menjadi seorang Tumenggung di Pajang.”

“Kau kira Kakang Prabadaru akan kuat berada di atas kapal jika kapal diamuk oleh badai dan terombang-ambing seperti segumpal sabut yang tidak berdaya? Ia akan menjadi mabuk dan bahkan mati membeku.”

Ketiga orang itu tertawa. Namun dalam pada itu, kaki mereka melangkah terus. Mereka telah memutuskan untuk pergi ke Demak, kemudian Jipang dan baru mereka akan sampai ke Pajang.

Perjalanan ketiga orang itu cukup meninggalkan cerita yang menggetarkan. Setiap jalan yang dilaluinya, rasa-rasanya telah menjadi gemetar melihat sikap mereka. Demak rasa-rasanya telah diguncang oleh peristiwa-peristiwa yang belum pernah terjadi sebelumnya. Jipang pun menjadi gelisah. Sementara Pangeran Benawa yang menjadi Adipati di Jipang masih berada di Pajang, untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang timbul sepeninggal Kanjeng Sultan Hadiwijaya.

Namun akhirnya ketiga orang itu telah berada di Pajang pula. Baru kemudian ketiga orang itu mendengar apa yang telah terjadi. Pajang telah berubah. Terutama susunan pemerintahannya. Dan yang paling mengejutkannya adalah bahwa Ki Tumenggung Prabadaru sudah terbunuh di peperangan.

“Jadi Kakang Tumenggung Prabadaru telah mati,” geram seorang di antara mereka.

“Ya. Dan kita belum sempat menunjukkan kepadanya, bahwa kita mampu mencapai sesuatu dalam perantauan kita,” sahut yang lain.

Kedua orang kawannya mengangguk-angguk. Rasa-rasanya mereka masih mempunyai satu simpanan yang seharusnya diketahui oleh Tumenggung Prabadaru. Tetapi Tumenggung itu sudah terbunuh.

“Seharusnya akulah yang membunuhnya. Bukan orang lain,” geram seorang di antara mereka.

“Rasa-rasanya akulah yang paling pantas untuk membunuhnya. Kakang Tumenggung benar-benar akan membunuhku sekitar tiga tahun yang lalu. Seharusnya ia tahu, bahwa aku telah mendapatkan sesuatu yang berharga bagi olah kanuragan selama perantauanku,” berkata yang lain.

“Kita semua akan dibunuhnya waktu itu. Ia memang merasa dengki atas keberhasilan kita. Ia merasa dirinya senapati prajurit Pajang. Karena itu, ia menjadi sangat malu mempunyai saudara seperguruan yang hidup sebagai perampok dan penyamun. Namun terusir dari Pajang, kita justru mendapat perjalanan yang lebih menarik. Bajak laut, sekaligus mendapatkan seorang guru yang baik bagi olah kanuragan yang akan mencengangkan orang-orang Pajang,” berkata yang lain.

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Ternyata mereka merasa sangat kecewa, karena mereka tidak lagi dapat menemui Ki Tumenggung Prabadaru.

Namun dalam pada itu, salah seorang di antara mereka berkata, “He, bukankah kita masih akan tetap dapat menguji kemampuan kita? Kita cari orang yang membunuh Kakang Tumenggung Prabadaru. Kita akan membunuhnya. Dengan demikian, maka kita akan dapat meyakinkan kita sendiri, bahwa kita akan dapat membunuh Kakang Tumenggung Prabadaru pula seandainya ia masih hidup.”

“Menarik sekali,” desis seorang yang lain, “akulah yang akan menghadapinya.”

“Tidak,” berkata yang lain pula, “bukan yang terbaik di antara kita. Tetapi yang terburuk di antara kita akan menghadapinya. Jika yang terburuk itu sudah dapat membunuhnya, maka yang terbaik telah dapat menilai keadaannya sendiri.”

Ketiga orang itu merenung sejenak. Pendapat itu memang masuk akal. Tetapi ketiganya masing-masing ingin mencoba kemampuannya melawan orang yang telah membunuh Ki Tumenggung Prabadaru.

Dalam pada itu, yang tertua di antara mereka berkata, “Sebenarnya bukan saja karena kita ingin mendapat perbandingan ilmu. Tetapi aku merasa tersinggung juga akan kematian Kakang Prabadaru. Bagaimanapuun juga, aku dan kalian adalah saudara seperguruannya. Kita harus menunjukkan, bahwa kita memiliki landasan yang lebih baik dari perguruan manapun juga. Aku tidak yakin, bahwa seseorang benar-benar dapat membunuh Kakang Prabadaru dalam satu perang tanding yang jujur tanpa bantuan orang lain.”

“Kita akan menemukannya. Tidak sulit mencari seorang pembunuh yang sombong seperti itu,” sahut yang lain.

Demikianlah, ketiga orang saudara seperguruan Ki Tumenggung Prabadaru itupun telah berusaha untuk mendapat keterangan tentang pembunuh Ki Tumenggung Prabadaru.

Namun yang kemudian menjadi pembicaraan orang-orang Pajang bukan saja usaha mereka mencari pembunuh Ki Tumenggung Prabadaru. Tetapi sikap ketiga orang itu telah menimbulkan persoalan bagi orang-orang Pajang.

Justru pada saat-saat Pajang diliputi oleh suasana yang suram sepeninggal Kanjeng Sultan Hadiwijaya, maka tiga orang bajak laut telah mengganggu ketenangan rakyat Pajang dan sekitarnya.

Di pasar-pasar, di kedai-kedai dan di tempat-tempat orang banyak berkumpul, ketiga orang itu selalu menimbulkan keributan. Mereka sama sekali tidak mengenal takut kepada siapapun juga. Bahkan dengan sengaja mereka telah menumbuhkan persoalan dengan orang-orang di sekitarnya.

Namun pada setiap benturan kekerasan, maka mereka telah meninggalkan korbannya yang terluka parah.

“Kami sengaja tidak membunuh,” berkata orang-orang itu, “dengan demikian maka orang-orang yang terluka parah itu akan dapat berbicara tentang diri kami bertiga. Bajak Laut dari Gunung Kendeng. Memang aneh, bahwa kami, orang-orang Gunung Kendeng telah hidup di lautan sebagai bajak laut. Tetapi itu sudah kami lakukan. Dan kami adalah termasuk orang-orang terpenting di lingkungan kami. Orang-orang yang dengan perkasa mengarungi lautan. Menempuh deru gelombang lautan menembus badai dan taufan. Tetapi kami memang orang Gunung Kendeng yang berdiri tegak di tengah-tengah Tanah ini, membujur panjang tanpa menyentuh pantai sama sekali. Karena itu, maka kami adalah orang-orang perkasa di lautan dan di daratan.”

Kata-kata itu memang dapat menimbulkan kecut di hati orang-orang Pajang. Bahkan kecemasan itu mulai merayapi hati beberapa orang prajurit yang memang pernah mendengar tentang ketiga orang itu langsung dari orang-orang yang pernah mengalami benturan dengan mereka.

Namun bagi para prajurit, pendengaran tentang ketiga orang itu telah menjadi laporan kepada senapati mereka.

Tetapi kekalutan yang masih meliputi Istana Pajang agaknya mendapat perhatian yang jauh lebih besar daripada laporan tentang tiga orang yang mengaku bajak laut tetapi dari Gunung Kendeng. Bahkan ada sementara senapati yang menganggap bahwa laporan itu jauh melampaui keadaan yang sebenarnya. Agak berlebih-lebihan dan bahkan ada yang menganggapnya dongeng saja.

Namun tidak semua orang menganggap demikian.

Seorang di antara para pemimpin Pajang menanggapi berita itu dengan sungguh-sungguh. Lebih bersungguh-sungguh daripada perhatiannya terhadap masalah tahta di Pajang, karena ia sendiri tidak banyak menaruh minat terhadap persoalan tahta itu sendiri.

Karena itulah, maka Pangeran Benawa dengan kebiasaannya dalam pakaian orang kebanyakan, setiap kali telah keluar dari istana untuk dapat melihat sendiri, kebenaran cerita tentang tiga orang bajak laut dari pegunungan itu.

Sebenarnyalah bahwa Pangeran Benawa berhasil melihat sendiri apa yang telah terjadi dengan tiga orang yang mengaku bajak laut itu. Tetapi menurut penglihatan Pangeran Benawa orang itu tidak sangat berbahaya bagi orang lain, kecuali orang yang membunuh Tumenggung Prabadaru.

Dalam pengamatannya yang sekilas. Pangeran Benawa memang melihat kelebihan orang-orang itu. Ketika Pangeran Benawa sebagai seorang petani yang sedang menawar doran cangkul yang terbuat dari kayu glugu, telah melihat tiga orang yang berada di sudut sebuah pasar yang mulai ramai.

Tetapi agaknya orang-orang itu bukan yang pertama kali datang ke tempat itu. Demikian orang itu ada di sudut pasar, maka kegelisahannya pun mulai terasa.

“Ada apa?” bertanya Pangeran Benawa kepada penjual tangkai cangkul itu.

“Sst,” desis penjual doran itu, “jangan ribut. Orang itu tidak akan berbuat apa-apa jika kita tidak berbuat apa-apa.”

“Siapa mereka?” bertanya Pangeran Benawa yang sedang menyamar itu.

“Kau belum pernah mendengar? Mereka adalah tiga orang bajak laut yang mengaku berasal dari Gunung Kendeng,” jawab penjual doran itu.

“O,” Pangeran Benawa bergeser. Di mata penjual doran itu. Pangeran Benawa dalam ujud seorang petani itu menjadi ketakutan.

“Jangan berbuat apa-apa. Berbuat wajar sajalah agar justru tidak menarik perhatian,” berkata penjual tangkai cangkul itu.

Pangeran Benawa berusaha untuk bersikap wajar. Tetapi dengan penuh kesungguhan ia mengamati ketiga orang itu.

Ternyata bahwa ketiganya memang tidak berbuat apa-apa. Bagi mereka orang-orang yang ada di pasar itu tidak lebih dari orang-orang lemah yang tidak perlu mendapat perhatian mereka. Yang mereka lakukan kemudian adalah makan di sebuah kedai, dan kemudian tanpa membayar meninggalkan kedai itu.

Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku tidak sempat berpindah dari tempat ini. Rasa-rasanya kakiku tidak mau bergerak.”

“Tidak apa-apa. Aku senang kau berada di sini. Rasa-rasanya aku mendapatkan seorang kawan,” jawab penjual doran itu.

“Apa kerja mereka di sini sebenarnya? Bukankah di sini tidak ada persoalan apa-pun? Dan bukankah daerah ini jauh dari lautan yang menjadi medan para bajak laut?” bertanya Pangeran Benawa.

“Mereka memang tidak berbuat apa-apa di sini. Tetapi jika secara kebetulan ia bertemu dengan orang yang memiliki sedikit ilmu dan tidak senang melihat sikapnya, kadang-kadang memang timbul persoalan. Dalam keadaan yang demikian, maka orang yang tidak senang melihat sikap ketiga orang itu biasanya dilukainya. Bahkan kadang-kadang parah. Tetapi orang itu tidak dibunuhnya kecuali diberinya pertanda pada keningnya.

“Pertanda apa?” bertanya Pangeran Benawa.

“Tanda silang dengan guratan pisau,” jawab penjual doran itu.

Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Sementara itu, penjual doran itu berkata lebih lanjut, “Sampai saat ini tidak ada orang yang dapat mengalahkan mereka. Padahal mereka tidak pernah berkelahi bersama-sama. Mereka berkelahi seorang demi seorang. Yang lain tidak lebih dari penonton saja.”

“Tetapi ketiganya memberikan pertanda yang sama,” lanjut penjual doran itu. Bahkan katanya melanjutkan. “Tetapi yang terpenting bagi ketiga orang itu adalah usaha mereka mencari seseorang.”

“Mencari seseorang? Siapa?” bertanya Pangeran Benawa.

“Hampir setiap orang di daerah ini mendengar pertanyaannya, siapakah yang telah membunuh Tumenggung Prabadaru,“ jawab orang itu

“Pembunuh Tumenggung Prabadaru?” bertanya Pangeran Benawa.

“Ya. Dan iapun sudah mendapat jawaban bahwa Tumenggung Prabadaru terbunuh di peperangan,” jawab orang itu.

“Tetapi apakah orang itu tahu, siapakah yang telah membunuh Tumenggung itu di peperangan?” bertanya Pangeran Benawa.

“Bukankah banyak orang yang telah mendengar, bahwa yang membunuh Ki Tumenggung itu adalah anak Tanah Perdikan Menoreh yang bernama Agung Sedayu?“ jawab orang yang menjajakan dorannya itu.

Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak bertanya lebih jauh. Iapun tahu, bahwa penjual tangkai cangkul itu tentu tidak mengetahui lebih banyak lagi daripada yang telah dikatakannya.

Namun Pangeran Benawa menajdi cemas. Ia belum tahu pasti, hubungan apakah yang ada antara ketiga orang itu dengan Ki Tumenggung Prabadaru. Tetapi bahwa ketiganya mencari pembunuh Ki Tumenggung itu, merupakan bahaya bagi Agung Sedayu. Sementara itu Pangeran Benawa belum tahu pasti, sampai seberapa tinggi tingkat ilmu mereka.

“Agung Sedayu harus mengetahuinya,“ berkata Pangeran Benawa di dalam hatinya.

Ternyata pengenalan itu telah membuat Pangeran Benawa gelisah. Rasa-rasanya ia ingin terbang ke Tanah Perdikan Menoreh untuk memberitahukan persoalan itu kepada Agung Sedayu

Tetapi Pangeran Benawa tidak dapat melakukannya saat itu juga. Ia harus segera kembali ke istana agar kepergiannya yang khusus itu tidak menimbulkan persoalan tersendiri.

Namun sebagaimana biasa pula dilakukan, maka menjelang gelap, Pangeran Benawa telah bersiap untuk pergi. Dan sebagaimana sering dilakukan, maka esok sebelum matahari terbit, ia sudah berada di dalam biliknya lagi, meskipun ia harus menempuh perjalanan yang cukup panjang.

Tetapi dalam perjalanannya yang ditempuh itu, Pangeran Benawa harus singgah di Prambanan untuk memastikan bahwa Agung Sedayu telah kembali ke Tanah Perdikan Menoreh.

Kedatangan Pangeran Benawa di Prambanan memang mengejutkan. Justru pada saat Untara tidak ada di tempat. Untunglah bahwa ada beberapa orang senapati kepercayaan Untara yang mengenalnya.

“Dimana Untara?” bertanya Pangeran Benawa.

“Ke Jati Anom, Pangeran,“ jawab senapati itu, “Senapati Untara merasa perlu untuk menempatkan beberapa barak pengamat untuk daerah yang membentang di daerah Selatan ini. Beberapa kademangan, termasuk Sangkal Putung memang tidak memerlukan perlindungan. Tetapi beberapa kademangan yang lain masih harus selalu dilindungi dari kejahatan. Karena itu, maka Ki Untara untuk beberapa lamanya berada di sekitar Jati Anom. Mungkin Ki Untara minta pamannya, Ki Widura, untuk membantunya dalam tugas-tugas ini.”

Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Iapun tahu, bahwa Untara memang seorang Senapati yang bertanggung jawab. Ia bukan saja menunggu jika ada perintah, tetapi ia memiliki dorongan yang kuat di dalam dirinya untuk berbuat sesuatu.

“Baiklah,“ berkata Pangeran Benawa, “aku akan meneruskan perjalanan, kudaku sudah cukup lama beristirahat.”

“Pangeran tidak bermalam di sini?” bertanya senapati itu.

“Tidak dimana-mana. Aku akan bermalam di perjalanan, selama kaki kudaku masih mampu membawaku,” jawab Pangeran Benawa.

“Pangeran akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh dan kembali ke Pajang malam ini?” bertanya senapati itu.

“Ya, jika mungkin,” jawab Pangeran Benawa.

“Pangeran tidak mengingat kemampuan kuda Pangeran?” bertanya senapati itu pula.

“Aku akan menukarkan kudaku di Tanah Perdikan Menoreh,“ jawab Pangeran Benawa, “aku kira kudaku dan kuda di Tanah Perdikan itu tidak akan banyak bedanya.”

Demikianlah, setelah mendapat beberapa penjelasan tentang Agung Sedayu, maka Pangeran Benawa telah melanjutkan perjalanannya. Dipacunya kudanya di dalam gelapnya malam. Namun Pangeran Benawa yang sudah terbiasa menempuh perjalanan itu sama sekali tidak merasa terganggu oleh kegelapan.

Namun bagaimanapun juga, Pangeran Benawa tidak dapat memaksa kudanya untuk berlari terus tanpa beristirahat. Karena itu, maka sekali-sekali Pangeran Benawa juga harus ikut beristirahat untuk memberi kesempatan kepada kudanya untuk sedikit minum dan makan rerumputan.

Ketika Pangeran Benawa sampai ke daerah Tanah Perdikan Menoreh, maka sulitlah baginya untuk memilih jalan menembus perondan yang ketat di Tanah Perdikan Menoreh. Pangeran Benawa tidak banyak mengenal jalan-jalan simpang. Berbeda dengan daerah yang dilaluinya di sebelah timur Kali Praga. Pangeran Benawa dapat memilih jalan yang agak jauh dari Mataram, sehingga tidak tersentuh oleh pengawasan para peronda.

Karena itu, maka Pangeran Benawa tidak merasa perlu untuk menyembunyikan dirinya lagi. Ketika ia bertemu dengan empat orang peronda berkuda dari Tanah Perdikan Menoreh, maka iapun berkata terus terang tentang dirinya dan maksudnya untuk bertemu dengan Agung Sedayu.

Para peronda itu tidak terlalu banyak bertanya. Meskipun ada keragu-raguan di hati mereka, bahwa yang mereka hadapi itu adalah Pangeran Benawa, namun merekapun telah membawa orang itu ke induk padukuhan Tanah Perdikan Menoreh.

“Rasa-rasanya orang itu memang Pangeran Benawa dalam pakaian orang kebanyakan,“ desis salah seorang di antara keempat orang peronda itu.

Yang lain mengangguk-angguk. Tetapi karena sikap orang itu tidak mencurigakan, maka mereka tidak banyak mempersoalkannya.

“Di hadapan Ki Gede segalanya akan dapat diketahui,” berkata para peronda itu di dalam hatinya.

Demikianlah, kedatangan Pangeran Benawa itupun segera dilaporkan kepada Ki Gede. Laporan itu ternyata mengejutkan Ki Gede yang sudah bersiap-siap untuk masuk ke dalam biliknya.

“Apakah benar-benar Pangeran Benawa yang datang kemari?” bertanya Ki Gede.

“Menurut pengakuannya memang demikian,“ jawab pengawal yang telah melaporkannya.

Sebenarnyalah ketika Ki Gede keluar dari pringgitan dan turun ke pendapa, maka yang duduk di pendapa adalah Pangeran Benawa.

Karena itu, dengan tergesa-gesa Ki Gede pun telah mendapatkannya dan dengan penuh hormat mengucapkan selamat datang di Tanah Perdikan Menoreh.

Setelah saling menanyakan keselamatan masing-masing, maka Ki Gede pun kemudian bertanya, “Pangeran. Kedatangan Pangeran di malam seperti ini sangat mengejutkan kami.”

Pangeran Benawa tersenyum. Katanya, “Tidak ada apa-apa yang penting Paman.”

“Jadi Pangeran sekedar menempuh perjalanan sebagaimana kebiasaan Pangeran tanpa kepentingan tertentu?” bertanya Ki Gede.

“Ya begitulah. Karena itu jangan terkejut dan gelisah,” jawab Pangeran Benawa. Tetapi kemudian, “Namun, ada juga keinginanku untuk dapat bertemu dengan Agung Sedayu.”

“Baiklah, “jawab Ki Gede, “ sekarang Pangeran akan kami persilahkan untuk beristirahat di gandok. Meskipun kotor dan tidak memadai, tetapi aku kira dapat juga sekedar untuk melepaskan lelah.”

Tetapi Pangeran Benawa tersenyum. Katanya, “Terima kasih Ki Gede. Aku hanya mempunyai waktu sedikit. Aku akan segera kembali ke Pajang malam ini juga.”

Ki Gede terkejut. Dengan kerut-merut di dahi ia bertanya, “Pangeran akan segera kembali?”

“Ya Ki Gede,” jawab Pangeran Benawa, “Ki Gede tentu mengetahui bahwa di Pajang sekarang sedang berlangsung pembicaraan-pembicaraan yang akan menentukan masa depan Tanah ini. Karena itu, aku harus segera berada di Pajang lagi.”

Ki Gede Menoreh memandang Pangeran Benawa dengan kerut-merut di kening. Namun Ki Gede bukannya belum pernah mengenal Pangeran Benawa. Karena itu, maka sambil menarik nafas dalam-dalam Ki Gede Berkata, “Pangeran, kami di Tanah Perdikan ini memang tidak akan dapat menahan Pangeran. Namun demikian sebenarnya kami ingin mempersilahkan Pangeran untuk bermalam barang semalam saja.”

“Terima kasih Ki Gede. Barangkali lain kali aku akan berada di sini, bukan saja hanya untuk satu malam. Tetapi lebih dari sepekan, “jawab Pangeran Benawa sambil tertawa.

“Tetapi apakah kuda yang Pangeran pergunakan itu tidak terlalu letih?” bertanya Ki Gede.

“Aku bermaksud meminjam kuda Ki Gede. Biarlah kudaku berada di sini untuk waktu yang tidak ditentukan,“ jawab Pangeran Benawa. “Bukankah Ki Gede tidak berkeberatan?”

“Tentu tidak Pangeran. Tetapi tidak ada kuda yang sebaik kuda Pangeran di sini,” sahut Ki Gede.

“Kudaku juga bukan kuda yang baik,” berkata Pangeran Benawa kemudian. Lalu katanya, “Meskipun demikian, aku ingin bertemu dengan Agung Sedayu barang sejenak.”

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Lalu, “Baiklah Pangeran. Aku akan mengantarkan Pangeran ke rumahnya, atau memanggilnya.”

“Aku dapat pergi sendiri Ki Gede. Jika aku singgah lebih dahulu kemari, karena aku ingin melaporkan diri bahwa aku telah berada di sini. Tetapi aku juga ingin melihat apakah kebetulan malam ini Agung Sedayu berada di sini,” berkata Pangeran Benawa.

“Sebaiknya aku memanggilnya saja. Biarlah ia datang kemari. Mudah-mudahan ia ada di rumah. Jika ia tidak ada, maka kami dapat memanggilnya dengan isyarat kentongan. Dengan memukul irama tertentu, maka Agung Sedayu akan datang kemari,” berkata Ki Cede.

Pangeran Benawa termangu-mangu sejenak. Namun akhirnya ia berkata, “Aku akan datang ke rumahnya saja.

Ki Gede tidak menahannya lagi. Iapun kemudian berkata, “Baiklah. Jika Pangeran tidak berkeberatan, biarlah seseorang mengantar Pangeran, agar para peronda yang belum mengenal Pangeran tidak bertanya-tanya dan mengganggu Pangeran”

“Bukankah rumahnya tidak jauh dari rumah ini?” bertanya Pangeran Benawa.

“Memang tidak jauh Pangeran,“ jawab Ki Gede.

Demikianlah, maka Pangeran Benawa telah pergi ke rumah Agung Sedayu. Sementara itu, ia meninggalkan kudanya di rumah Ki Gede sambil berkata, “Jika aku nanti kembali, maka aku akan meminjam kuda Ki Gede yang masih segar.”

“Silahkan Pangeran. Nanti aku mempersiapkannya,” jawab Ki Gede.

Seperti kedatangan Pangeran di rumah Ki Gede, maka seisi rumah Agung Sedayu pun terkejut pula. Yang pada saat itu ada di ruang dalam rumahnya hanya Sekar Mirah saja. Glagah Putih berada di antara anak muda yang meronda, sementara Agung Sedayu ada di dalam sanggarnya.

“Maaf, Sekar Mirah,“ berkata Pangeran Benawa, “bukan maksudku mengejutkan kalian.”

“Tidak Pengeran,“ jawab Sekar Mirah, “silahkan masuk. Aku akan memanggil Kakang Agung Sedayu.” “Apakah aku mengganggu?” bertanya Pangeran Benawa kemudian.

“Tidak. Tentu tidak. Kakang Agung Sedayu akan senang sekali menerima kunjungan Pangeran,” jawab Sekar Mirah.

Ketika Pangeran Benawa masuk ke rumah Agung Sedayu, maka pengantarnya pun segera kembali ke rumah Ki Gede untuk memberitahukan, bahwa Pangeran Benawa telah sampai di rumah Agung Sedayu.

Agung Sedayu yang berada di dalam sanggarnya, yang dengan tekun sedang memperdalam ilmunya itupun terkejut ketika pintu sanggarnya diketuk perlahan-lahan.

Agung Sedayu pun kemudian mengurai pemusatan nalar budinya dan bertanya, ”Siapa di luar?”

“Aku Kakang,” jawab Sekar Mirah.

Agung Sedayu pun kemudian bangkit. Bukan menjadi kebiasaan Sekar Mirah mengganggu pemusatan nalar budinya. Bahkan dalam beberapa hal kadang-kadang Sekar Mirah berada di sanggar pula menemaninya, dan dalam kesempatan tertentu Sekar Mirah sendiri juga meningkatkan ilmunya pula, meskipun tidak ke kedalaman seperti yang dilakukan oleh Agung Sedayu.

Ketika Agung Sedayu membukakan pintu sanggarnya, maka Sekar Mirah pun kemudian berdesis, ”Kakang, Pangeran Benawa datang kemari.”

“Pangeran Benawa?” Agung Sedayu terkejut.

“Ya. Pangeran Benawa. Aku belum bertanya, apakah kepentingannya,” jawab Sekar Mirah.

Agung Sedayu mengangguk angguk. Iapun kemudian membenahi diri dan langsung menuju ke ruang dalam. Sementara Sekar Mirah berkata, ”Aku akan ke dapur menyiapkan minuman dan makanan.”

Demikianlah, maka Agung Sedayu pun telah menemui Pangeran Benawa di ruang dalam. Nampaknya Pangeran Benawa tidak ingin berputar-putar. Karena itu, setelah mereka saling menanyakan keselamatan masing masing, maka Pangeran Benawa pun langsung memasuki persoalannya.

Agung Sedayu mendengarkan keterangan Pangeran Benawa dengan hati yang berdebar-debar. Perasaan pedih menyengat hatinya sebagaimana pernah dirasakan.

“Aku harus terbenam ke dalam putaran permusuhan seperti ini Pangeran,” berkata Agung Sedayu, ”sungguh satu keadaan yang sama sekali tidak aku inginkan.”

“Kau tidak bersalah seandainya kau berusaha mempertahankan hidupmu. Agaknya ketekunanmu di dalam sanggar itupun ada hubungannya dengan usahamu untuk mempertahankan hidupmu. Sehingga jika kau menghadapi orang-orang itu untuk membela diri, maka itu tidak lebih buruk dengan ketekunanmu berada di dalam sanggar,” berkata Pangeran Benawa.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Ia mengerti maksud Pangeran Benawa. Dan iapun tidak dapat membantahnya. Namun bagaimanapun juga, terasa betapa ia selalu dikejar-kejar oleh dendam.

Dengan nada datar iapun kemudian bertanya, “Pangeran, siapakah ketiga orang yang mencari pembunuh Ki Tumenggung Prabadaru itu? Apakah hubungan mereka dengan Ki Tumenggung?”

Pangeran Benawa menggeleng. Katanya, “Masih kurang jelas Agung Sedayu. Tetapi mereka tentu mempunyai hubungan yang akrab.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Terima kasih Pangeran. Dengan demikian, aku akan dapat menjaga diri sebaik-baiknya. Mudah-mudahan mereka tidak dapat ke Tanah Perdikan ini.”

Pangeran Benawa-pun mengangguk-angguk pula. Katanya kemudian, “Tetapi mereka mencari pembunuh Ki Tumenggung Prabadaru. Tingkah laku merekapun menunjukkan warna hati mereka. Justru karena kesombongan mereka, maka mereka tidak melakukan pembunuhan-pembunuhan. Tetapi jika mereka bertemu dengan orang-orang berilmu tetapi tidak mampu mengimbangi kemampuan mereka, maka orang itu mungkin sekali akan menjadi korban.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Jika demikian, biarlah orang-orang itu segera datang. Dengan demikian tidak akan ada orang yang menjadi korban sia-sia. Karena persoalan orang-orang itu adalah persoalan mereka dengan aku, meskipun belum jelas.”

Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Katanya dengan wajah yang bersungguh-sungguh, “Baiklah Agung Sedayu. Kau memang harus berhati-hati. Di sini ada Sekar Mirah, ada Ki Waskita, Ki Gede dan Glagah Putih. Mudah-mudahan ketiga orang itu tidak terlalu berbahaya bagi kalian.”

“Kami akan berusaha untuk berbuat sebaik-baiknya Pangeran. Mudah-mudahan kami tidak akan menjadi korban mereka di sini. Tetapi saat ini Ki Waskita sedang tidak berada di Tanah Perdikan Menoreh, meskipun hanya untuk dua tiga hari. Agaknya Ki Waskita ingin juga menengok keluarganya.”

“Bukankah Ki Waskita akan segera datang?” bertanya Pangeran Benawa.

“Ya. Besok atau lusa,” jawab Agung Sedayu.

“Baiklah. Jika demikian, aku rasa tugasku sudah selesai. Aku minta diri,“ berkata Pangeran Benawa.

“Pangeran tidak bermalam di sini?” bertanya Agung Sedayu.

“Tidak. Aku akan kembali ke Pajang. Aku menitipkan kuda di rumah Ki Gede. Tetapi aku tidak akan kembali ke Pajang dengan kuda itu. Agaknya kudaku cukup letih,” jawab Pangeran Benawa.

Namun demikian Agung Sedayu masih menahannya sesaat, karena Sekar Mirah sudah terlanjur menyiapkan makanan dan minuman.

Pangeran Benawa tidak ingin mengecewakan Sekar Mirah. Karena itu maka iapun menunggu sejenak untuk makan dan minum minuman hangat.

Sesaat kemudian Pangeran Benawa pun minta diri. Ia masih akan singgah di rumah Ki Gede untuk meminjam seekor kuda yang dapat dipergunakannya untuk kembali ke Pajang.

“Pangeran dapat mempergunakan kudaku,” berkata Agung Sedayu.

“Kuda-kudamu tidak lebih banyak dari penghuni rumah ini. Di tempat Ki Gede aku kira kudanya lebih banyak dari mereka yang membutuhkan. Apalagi kudaku ada di sana pula,” jawab Pangeran Benawa

Demikianlah, Agung Sedayu kemudian mengantar Pangeran Benawa sampai ke rumah Ki Gede. Ternyata Pangeran tidak mau lagi singgah untuk duduk barang sebentar.

Sejenak kemudian kaki kuda telah berderap meninggalkan halaman rumah Ki Gede. Pangeran Benawa diantar oleh dua orang pengawal telah meninggalkan padukuhan induk. Kedua pengawal itu akan mengantar Pangeran Benawa sampai menyeberang sungai Praga agar perjalanannya tidak terhambat oleh para peronda yang mungkin belum mengenalnya dan mencurigainya.

Sepeninggal Pangeran Benawa, Ki Gede menarik nafas sambil berdesis, “Pangeran yang aneh.”

“Sudah menjadi kebiasaannya Ki Gede,” jawab Agung Sedayu.

“Tetapi, apakah ada hal yang sangat penting?” bertanya Ki Gede pula.

Agung Sedayu pun menceriterakan serba singkat apa yang didengarnya dari Pangeran Benawa, sambil berdiri saja di regol halaman.

Ki Gede menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Kita harus berhati-hati. Agung Sedayu. Mungkin besok, mungkin lusa, orang itu akan datang ke Tanah Perdikan ini.”

“Ya Ki Gede,” jawab Agung Sedayu, ”ternyata kehadiranku di Tanah ini justru selalu membuat Tanah ini menjadi gelisah.”

“Bukankah dengan demikian Tanah Perdikan ini akan ikut tertempa oleh keadaan yang demikian? Anak-anak mudanya akan mendapatkan pengalaman,” jawab Ki Gede.

“Mudah-mudahan aku dapat mengatasi,“ suara Agung Sedayu merendah.

“Ya. Mudah-mudahan,“ Ki Gede mengulangi.

“Bukankah kita hanya dapat pasrah?” bertanya Agung Sedayu kemudian.

“Ya. Pasrah dalam permohonan. Bukankah kita juga diperkenankan untuk memohon? Jika permohonan kita sesuai dengan kehendak-Nya, maka permohonan kita tentu akan dikabulkan Nya,” berkata Ki Gede kemudian.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Lalu katanya, “Sudahlah Ki Gede. Hari masih malam. Aku akan pulang. Sekar Mirah sendiri di rumah. Glagah Putih berada di gardu.”

“Tetapi agak berbeda dengan ucapan orang lain, meskipun kalimatnya sama. Bagi orang lain, jika istrinya sendiri di rumah, mungkin sekali akan mendapat gangguan dari para penjahat. Tetapi tentu tidak dengan Sekar Mirah,“ berkata Ki Gede sambil tersenyum.

Agung Sedayu pun tersenyum pula. Tetapi katanya, “Tanah ini memang termasuk daerah yang aman. Kecuali jika tiga orang itu kemudian datang.”

KI Gede mengangguk-angguk. Ketiga orang itu memang dapat membuat Tanah Perdikan ini menjadi gelisah. Namun Tanah Perdikan Menoreh bukannya Tanah Perdikan yang sama sekali tidak memiliki kekuatan dan kemampuan sama sekali. Di Tanah Perdikan ada beberapa orang yang memiliki kemampuan yang dapat meyakinkan, bahwa Tanah Perdikan ini tidak akan gentar seandainya ketiga orang itu datang. Apalagi di Tanah Perdikan ini ada barak pasukan khusus dari Mataram, yang sebagian telah dikembalikan ke barak itu, meskipun sebagian masih harus berada di Mataram dalam keadaan yang masih goyah.

Karena itu, maka Ki Gede pun kemudian berkata, “Agung Sedayu. Kita memang harus berhati-hati. Tetapi kita bukan orang-orang yang terlalu lemah, jika mereka memang hanya bertiga saja.”

Agung Sedayu mengangguk. Katanya, “Benar Ki Gede. Jika mereka hanya bertiga, maka Tanah Perdikan ini tiak akan dapat mereka goncangkan. Apalagi jika Ki Waskita telah berada di Tanah Perdikan ini kembali.”

Demikianlah, maka Agung Sedayu pun kemudian minta diri untuk kembali ke rumahnya. Sementara itu Sekar Mirah masih menunggunya. Bahkan ketika Agung Sedayu datang, Glagah Putih pun telah berada di rumah pula. Ia datang bersama pembantu di rumah itu. Mereka berdua membawa seikat ikan lele yang mereka dapatkan dari sungai di sebelah padukuhan mereka.

Dalam pada itu, Agung Sedayu pun merasa perlu untuk memberitahukan tentang ketiga orang itu kepada Glagah Putih, agar pada saatnya ia tidak terkejut jika terjadi sesuatu.

Glagah Putih mengangguk-angguki. Katanya, “Apakah kita perlu mempersiapkan anak-anak muda di Tanah Perdikan ini?”

“Jangan,“ jawab Agung Sedayu, ”kau tidak perlu memberitahukan hal ini kepada siapapun juga, agar mereka tidak menjadi gelisah karenanya. Tetapi orang-orang terpenting sajalah yang perlu kita beritahu. Aku sudah melaporkan kepada Ki Gede. Besok aku akan menghubungi Ki Lurah Branjangan.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Iapun mengerti, jika hal itu tersebar di antara anak-anak muda, maka mereka akan menjadi gelisah sebelum terjadi sesuatu. Namun demikian, bukan berarti bahwa Tanah Perdikan tidak boleh bersiap-siap menghadapi keadaan itu. Meskipun sasaran utamanya adalah Agung Sedayu, namun mungkin sekali Tanah Perdikan Menoreh pun akan mengalami kesulitan dengan kehadiran ketiga orang itu.

Dalam pada itu, Pangeran Benawa pun telah menempuh perjalanan yang panjang kembali ke Pajang. Sekali dua kali ia beristirahat, jika kudanya menjadi sangat letih. Pangeran Benawa memberi kesempatan kudanya itu minum dan makan rerumputan.

Demikianlah, ketika tiga orang itu masih tetap berada di Pajang, maka orang-orang tua dan para pemimpin di Pajang telah bersepakat, sebagaimana sering disebut-sebut oleh Pangeran Benawa dalam pertemuan-pertemuan, bahwa yang paling dipercaya untuk memimpin Pajang oleh Kanjeng Sultan di saat-saat terakhirnya adalah Raden Sutawijaya.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar