Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 168

Buku 168

Kanjeng Sultan itupun kemudian menepuk pundak Ki Singatama sambil berkata, “Cepat. Berpakaianlah. Kau pun seorang prajurit yang akan turun pula ke medan. Sementara aku menunggumu, beri aku minuman panas dengan gula kelapa. Sesuap nasi tanpa lauk tanpa sayur.”

“Hamba, Tuanku,” desis Ki Singatama.

Sejenak kemudian, Ki Singatama pun telah memerintahkan untuk menyediakan minuman panas dengan gula kelapa dan segenggam nasi tanpa lauk. Bukan saja bagi Kanjeng Sultan, tetapi juga bagi dirinya sendiri.

“Kanjeng Sultan, hamba mohon untuk diperkenankan ikut bersama Tuanku, makan serta minum di dalam bilik ini,” mohon Ki Singatama.

“Silahkan Ki Singatama, aku senang sekali kau bersedia mengawani aku,” jawab Kanjeng Sultan, “ternyata dalam keadaan yang paling pahit ini, masih ada juga orang yang bersedia mengawani aku.”

“Hamba akan tetap setia kepada Tuanku,” jawab Singatama, “dalam keadaan apa pun.”

Demikianlah, keduanya pun telah makan sesuap nasi dan minum seteguk minuman dengan gula kelapa. Alangkah segarnya.

“Nah,” berkata Kanjeng Sultan kemudian, “aku sudah siap. Siapkan titihanku. Aku akan pergi ke medan. Bukankah langit telah menjadi terang?”

“Hamba, Tuanku. Sebentar lagi, tentu akan terdengar suara sangkakala. Dan pertempuran pun akan segera dimulai.”

Kanjeng Sultan mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan mempersiapkan pasukan Pajang sebaik-baiknya.”

Demikianlah, maka Ki Singatama pun telah memerintahkan untuk memanggil srati gajah yang akan dipergunakan oleh Kanjeng Sultan Hadiwijaya. Dengan wajah pucat srati itu pun kemudian berkata kepada Ki Singatama, “Apakah artinya semuanya ini. Malam tadi, aku melihat Kanjeng Sultan telah mandi keramas dengan air abu merang. Sekarang, sebagai pertanda kesenapatian, Kanjeng Sultan telah mengenakan selempang kelebet berwarna putih. Bukankah yang dipergunakan oleh Kanjeng Sultan itu bukan seharusnya, karena kelebet memang bukan selempang?”

Ki Singatama menggelengkan kepalanya sambil menjawab, “Semuanya atas kehendak Kanjeng Sultan sendiri. Aku tidak tahu menahu, apa yang dimaksudkannya.”

Srati itu pun kemudian menyahut, “Rasa-rasanya hati ini telah membeku. Tetapi baiklah. Aku akan memberikan pakaian yang paling baik bagi gajah titihan Kanjeng Sultan itu.”

Sejenak kemudian, Srati itu telah menyiapkan gajah titihan Kanjeng Sultan yang akan dipergunakan maju ke medan perang. Dikenakannya pakaian yang paling baik dan yang paling baru yang dimiliki oleh gajah itu. Dihiasinya dahi, kening dan telinganya sebagaimana akan diarak dalam upacara besar di alun-alun.

Namun dalam pada itu, hati srati gajah itu telah menjadi sangat gelisah karena sikap Kanjeng Sultan. Bahkan hampir di luar sadarnya, maka gajah itu pun lebih banyak mengenakan pakaiannya yang paling baik dalam warna keputih-putihan.

Dalam pada itu, Mataram pun telah mulai mempersiapkan diri. Raden Sutawijaya yang kurang mengerti maksud ayahandanya itu pun telah menyiapkan pasukan yang paling baik melekat pada induk pasukan, sehingga setiap pasukan itu dapat ditarik memasuki induk pasukan. Sebagian dari pasukan khusus telah diperintahkan untuk bersiap bertempur di induk pasukan, sementara pasukan terbaik dari pasukan Pajang di Sangkal Putung, yang berpihak kepada Mataram, sebagian telah dipersiapkan pula. Pasukan yang dipimpin oleh senapati muda, Sabungsari.

Raden Sutawijaya sendiri juga telah mempersiapkan diri di induk pasukannya, meskipun tidak langsung memegang pimpinan yang tetap berada di bawah pimpinan Ki Juru Martani.

Namun demikian, Raden Sutawijaya sudah berpesan kepada setiap senapati, bahwa segala sesuatunya akan dapat terjadi. Karena itu, maka mereka harus memperhatikan segala perintah dengan saksama dengan sungguh-sungguh.

“Kita harus benar-benar dapat menyesuaikan diri dan mengambil keputusan dengan cepat,” berkata Raden Sutawijaya yang memang cemas menghadapi keadaan.

Namun dalam pada itu, sebenarnyalah telah terjadi satu gejolak yang dahsyat di dalam jantung Raden Sutawijaya. Seandainya ayahandanya benar-benar menyerang induk pasukan Mataram, apakah ia akan dapat menjatuhkan perintah kepada pasukan-pasukan yang sudah dipersiapkan untuk melawannya? Apakah Ki Juru Martani akan benar-benar berdiri berhadapan dengan ayahanda angkatnya itu di medan dengan mengadu ilmu dan kemampuan?

“Tidak ada yang mampu mengimbangi ilmu Ayahanda Sultan,” berkata Raden Sutawijaya di dalam hatinya. Kemudian, “Tetapi Paman Juru Martani juga menyimpan ilmu yang hampir sempurna. Dalam keadaan yang lemah karena sakit, Ayahanda tidak akan mampu mengetrapkan ilmunya sampai ke puncak. Dan dalam keadaan yang demikian, Ki Juru Martani akan dapat mengimbanginya.”

Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Namun dalam pada itu, hatinya pun bergejolak, “Apakah aku akan dapat melihat salah seorang dari keduanya dikalahkan dalam peperangan. Apakah itu Ayahanda Sultan atau Paman Juru Martani. Tetapi lebih daripada itu, apakah aku akan benar-benar melawan Ayahanda Sultan dengan tangan Paman Juru Martani?”

Raden Sutawijaya tidak menemukan jawabnya di dalam dirinya. Karena itu, maka ia pun telah menemui Ki Juru Martani untuk mendapatkan pertimbangannya.

“Kita berdiri di antara api dan banjir bandang. Sulit untuk memilih, apa yang akan kita lakukan,” berkata Ki Juru Martani. Lalu, “Apalagi kita telah melihat, di antara orang-orang Pajang dan Mataram terdapat ilmu yang tersembunyi, yang sebenarnya merupakan dua unsur yang memang saling bertentangan. Yang berhadapan di medan ini bukan saja kekuatan Pajang melawan Mataram sebagaimana kita lihat dalam gelar. Tetapi benturan ilmu semalam telah menunjukkan, ada unsur lain yang ikut serta beradu di medan ini.”

Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Aku telah tersudut ke dalam satu keadaan yang sangat sulit. Tetapi baiklah, Paman. Kita akan melihat apa yang terjadi.”

“Baiklah, Raden,” jawab Ki Juru, “kita akan selalu berhubungan. Pada satu saat yang paling sulit, kita harus dapat mengambil satu keputusan. Aku mohon Raden juga selalu berhubungan dengan Kiai Gringsing dan Ki Waskita. Sementara itu, nampaknya Ki Gede masih harus beristirahat karena luka-lukanya bersama Swandaru, selain Agung Sedayu sendiri.”

“Ya, Paman,” jawab Raden Sutawijaya, “tetapi kedua perempuan dari Sangkal Putung dan Tanah Perdikan Menoreh itu berada di medan hari ini.”

Ki Juru mengangguk-angguk. Seperti Raden Sutawijaya, ia pun menghadapi satu keadaan yang sangat pelik.

Dalam pada itu, maka langit pun telah menjadi semakin merah oleh cahaya pagi. Kedua pasukan yang masih berada di pesanggrahan masing-masing pun telah bersiaga sepenuhnya. Mereka tinggal menunggu perintah untuk tampil ke medan.

Dalam pada itu, atas petunjuk Kiai Gringsing, maka Swandaru dan Ki Gede Menoreh pun tidak turun ke medan pada hari itu. Luka-luka mereka perlu mendapat perawatan sebaik-baiknya. Jika mereka memaksa turun ke medan, mungkin keadaan luka itu akan menjadi sangat buruk. Jika pendarahan tidak dapat dicegah lagi, maka kemungkinan yang pahit akan terjadi.

Apalagi Agung Sedayu yang masih harus berbaring di pembaringan, di bawah pengawasan khusus. Namun hari itu, Sekar Mirah dan Pandan Wangi akan berada di medan bersama Ki Waskita dan Kiai Gringsing, di samping Glagah Putih dan para pemimpin pasukan khusus dari Mataram yang dipimpin oleh Ki Lurah Branjangan.

“Aku titipkan Pandan Wangi dan Sekar Mirah kepada Guru,” berkata Swandaru.

“Aku akan berusaha sebaik-baiknya untuk mengamatinya, Swandaru. Tetapi mereka berdua akan turun ke medan perang dengan segala kemungkinannya,” jawab Kiai Gringsing.

Swandaru mengangguk-angguk. Ia pun menyadari, akibat yang dapat terjadi atas keduanya. Namun Swandaru pun mengerti, bahwa baik Pandan Wangi maupun Sekar Mirah memiliki bekal yang cukup untuk turun ke medan.

Meskipun demikian, Swandaru pun berpesan kepada keduanya, “Jika lawan bertempur berpasangan, lakukanlah seperti apa yang mereka lakukan, karena mereka sama sekali tidak mempunyai harga diri lagi. Aku dan Ki Gede Menoreh mengalami kesulitan yang sama. Mereka telah menyerang kami bersama-sama.”

“Baik, Kakang,” jawab Pandan Wangi dan Sekar Mirah hampir bersamaan.

Demikianlah, ketika langit menjadi semakin terang, terdengarlah suara sangkakala yang membelah sepinya langit di pagi hari. Suaranya bergetar, mengumandang menyusur tebing Kali Opak.

Namun di telinga beberapa orang Pajang dan Mataram, yang telah dibelit oleh persoalan di dalam dirinya, suara sangkakala itu tidak lagi menggelorakan darah mereka sehingga bagaikan mendidih. Namun yang terdengar adalah rintihan yang menyeruak dari dasar perasaan yang paling dalam.

Yang terjadi itu sama sekali bukan yang dikehendaki.

Sementara itu, Kanjeng Sultan Hadiwijaya pun telah siap dalam pakaian kebesaran Senapati Agung yang akan turun ke medan. Namun yang tidak dimengerti oleh para pengiringnya kemudian adalah, selempang yang dipakainya.

Atas perintah Sultan Pajang, maka Ki Singatama diperkenankan mendampinginya di sebelah para senapati pengapit, bersama srati gajah yang akan menjadi kendaraan perang Kanjeng Sultan Hadiwijaya.

Dengan pertanda kebesaran Senapati Agung yang langsung di tangan Kanjeng Sultan sendiri, maka iring-iringan pasukan Pajang mulai bergerak meninggalkan pesanggrahan. Di bawah pengaruh sratinya, maka gajah itu pun telah merunduk dan membiarkan Kanjeng Sultan naik ke punggungnya, serta membawanya maju ke medan.

Sejenak kemudian, kedua pasukan dalam gelarnya masing-masing telah mendekati Kali Opak dari arah yang berlawanan. Tetapi seperti hari-hari sebelumnya, pasukan Mataram akan tetap berada di sebelah barat Kali Opak dan menunggu pasukan Pajang menyerang.

Dalam pada itu, seorang senapati Pajang yang tidak begitu dikenal di antara kekuatan Pajang sendiri, mengikuti sikap Kanjeng Sultan dengan saksama. Bahkan dengan ketajaman perhitungannya, ia justru menganggap bahwa sikap Kanjeng Sultan itu akan dapat mengacaukan rencananya.

Karena itu, maka ia pun telah memerintahkan semua orang yang berada di bawah pengaruhnya untuk selalu mendengarkan perintahnya. Termasuk pasukan khusus yang kehilangan Ki Tumenggung Prabadaru. Tetapi senapati-senapati bawahannya, ternyata memiliki sikap dan langkah yang sama dengan Ki Tumenggung Prabadaru. Bahkan nampaknya mereka telah dibumbui pula oleh dendam atas kematian pemimpin mereka.

Seorang senapati muda yang mendapat perintah dari Kanjeng Sultan untuk menggantikan kedudukan Ki Tumenggung Prabadaru, nampaknya tidak begitu disukai oleh Kakang Panji. Karena itu, maka ia pun telah memerintahkan seorang senapati yang dekat dengan Ki Tumenggung Prabadaru, untuk membayanginya. Sementara itu, senapati-senapati yang lain nampaknya cenderung untuk mematuhi perintah Kakang Panji daripada perintah yang dijatuhkan oleh Kanjeng Sultan Hadiwijaya, meskipun mereka tidak dengan terus terang membantahnya.

Dengan demikian, maka orang-orang yang langsung berada di bawah pengaruh Kakang Panji telah mengadakan kesiagaan khusus. Mereka menganggap, bahwa saat yang menentukan telah tiba. Mereka tidak mau kehilangan lebih banyak lagi. Menurut perhitungan Kakang Panji, Kanjeng Sultan sengaja mengulur waktu dengan membekukan pasukan di induk gelar dari seluruh kekuatan Pajang. Dengan demikian, maka pasukan Mataram mendapat kesempatan untuk menempatkan seluruh pasukannya pada sayap-sayap kekuatan mereka.

Demikianlah, semakin langit menjadi terang, kedua pasukan itu pun menjadi semakin dekat. Perlahan-lahan gajah yang menjadi kendaraan perang Kanjeng Sultan itu pun maju mendekati tebing sungai.

Raden Sutawijaya yang berada di induk pasukan yang dipimpin oleh Ki Juru Martani benar-benar menjadi berdebar-debar. Dipandanginya segala macam tanda kebesaran Kerajaan Pajang. Umbul-umbul, rontek, panji-panji, dan kelebet beraneka warna melekat pada tunggul-tunggul yang menggetarkan. Tunggul-tunggul yang berbentuk cakra, trisula, nanggala, bajra, dan ujud-ujud binatang yang perkasa. Turangga, sardula, wanara, dan ujud-ujud yang lain.

Dalam pada itu, dari arah samping, Kiai Gringsing pun menjadi gelisah. Ki Waskita termangu-mangu memandang pertanda kebesaran itu. Sementara Untara menjadi berdebar-debar.

Namun kedua pasukan besar itu telah berhadapan. Pasukan Mataram telah berhenti di sebelah barat tebing, sementara pasukan Pajang telah bersiap-siap untuk menyeberangi Kali Opak.

Dalam pada itu, Raden Sutawijaya benar-benar menjadi gelisah. Kanjeng Sultan sebentar lagi akan menyeberangi sungai dan naik ke tebing di sebelah barat.

Dalam kegelisahan yang memuncak, Raden Sutawijaya itu pun telah bergeser mendekati Ki Juru Martani sambil bertanya, “Apa yang harus aku lakukan sekarang, Paman? Sebentar lagi, Ayahanda Sultan akan turun ke sungai dan menyeberanginya. Jika Ayahanda naik ke tebing di sebelah barat, lalu apa yang harus aku lakukan?”

Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Sebenarnyalah, bahwa ia pun menjadi gelisah. Dengan nada dalam ia berkata, “Sungguh satu keadaan yang paling sulit yang kita hadapi. Sebenarnya aku tidak pernah merasa gentar menghadapi siapa pun juga, apalagi dalam peperangan. Tetapi ketika di hadapanku telah siap Kanjeng Sultan Hadiwijaya, aku menjadi berdebar-debar.”

“Bagaimana sikap Paman dalam keadaan seperti ini?” bertanya Raden Sutawijaya.

Dalam pada itu, putra Ki Gede Pasantenan pun telah mendekati Raden Sutawijaya sambil berdesis, “Apa yang akan kita lakukan?”

Wajah Ki Juru menjadi tegang. Sementara itu, gajah yang menjadi kendaraan perang Kanjeng Sultan telah mulai menuruni tebing. Namun dalam pada itu, beberapa orang menjadi cemas. Kanjeng Sultan Hadiwijaya yang dalam keadaan sakit itu tiba-tiba berdesis sambil memegangi keningnya.

“Ayahanda,” Pangeran Benawa menjadi cemas melihat keadaan ayahandanya yang berada di punggung gajah, justru pada saat gajah itu menuruni tebing.

“Aku tidak apa-apa,” jawab Kanjeng Sultan. “Aku siap untuk bertempur. Bagaimana dengan para senapati di sayap pasukan?”

“Semuanya sudah siap,” jawab Pangeran Benawa.

“Bunyikan sangkakala. Aku akan segera menyerang,” perintah Kanjeng Sultan, “semua senapati pun harus memberikan perintah kepada prajurit-prajuritnya.”

Pangeran Benawa termamangu-mangu sejenak. Namun sekali lagi terdengar perintah Kanjeng Sultan, “Perintahkan untuk membunyikan sangkakala.”

Bagaimanapun juga, Pangeran Benawa tidak dapat membantah. Ia pun segera memerintahkan meniup sangkakala. Perintah yang dijatuhkan oleh Kanjeng Sultan selaku Panglima Agung dalam perang itu, bahwa semua orang di dalam pasukan siap untuk menyerang.

Ketika suara Sangkakala itu bergema, maka jantung setiap prajurit Pajang menjadi berdebar-debar.

“Nampaknya Kanjeng Sultan benar-benar menyerbu,” desis Raden Sutawijaya.

“Ya, sementara itu kita belum dapat mengambil sikap,” gumam putra Ki Gede Pasantenan.

Dalam kegelisahannya, maka tiba-tiba Ki Juru berkata, “Bunyikan bende Kiai Bicak. Sekarang.”

Raden Sutawijaya terkejut. Dengan demikian, Ki Juru benar-benar telah bersikap dalam perang itu. Menang atau kalah.

Namun keragu-raguan yang sangat telah mencengkamnya, sehingga Raden Sutawijaya tidak dapat mencegah seorang pengawal yang kemudian berlari-lari ke tempat bende Kiai Bicak itu disimpan.

Dalam pada itu, ketika Kanjeng Sultan yang berada di atas punggung yang menuruni tebing perlahan-lahan itu, terkejut pula ketika tiba-tiba saja mendengar gema suara bende Kiai Bicak yang bagaikan melengking membentur ujung-ujung candi yang menjulang tinggi dan kemudian menghantam lereng Gunung Baka yang membujur ke arah timur.

Sejenak Kanjeng Sultan menengadahkan kepalanya. Suara itu bergema pula di dalam hatinya. Menurut pengertiannya, jika bende itu berbunyi nyaring, maka pemilik pusaka bende itu akan menang dalam satu peperangan.

Tetapi Kanjeng Sultan ternyata tidak menghiraukan suara bende itu. Perlahan-lahan gajahnya maju terus. Ketika gajah itu sudah turun sampai ke tepian, maka mulailah raksasa itu melangkah dengan kakinya yang berat menyeberangi Kali Opak.

Orang-orang yang berada di sebelah barat Kali Opak menjadi semakin berdebar-debar. Jika sekali lagi Kanjeng Sultan memerintahkan membunyikan sangkakala, maka pasukan Pajang segelar sepapan dengan sayap-sayapnya yang kuat itu akan segera menyerang.

Dalam pada itu, maka seluruh pasukan Pajang telah menuruni tebing. Mereka telah bersiap. Di hari sebelumnya, maka perintah menyerang pun segera datang. Mereka akan berlari ke tebing barat untuk mengambil ancang-ancang dengan pasukan perisai di paling depan, karena pasukan Mataram akan menerima mereka dengan lontaran anak panah dan lembing yang berujung tajam.

Tetapi ternyata sangkakala masih belum terdengar. Ketika satu-satu langkah yang berat kendaraan perang Kanjeng Sultan itu melangkahi bebatuan, memasuki arus Kali Opak yang tidak begitu deras, pasukan Pajang justru menjadi gelisah, karena mereka masih belum menerima perintah untuk menyerang.

“Kita tidak dapat bertempur tanpa ancang-ancang melawan pasukan Mataram yang siap untuk menghujani kita dengan anak panah dan lembing,” desis seorang senapati.

Sebenarnyalah, orang-orang Mataram telah memasang anak panah pada busur-busurnya, sementara yang lain telah mengayun-ayunkan lembing, siap untuk dilontarkan.

Dalam kegelisahan itu, tiba-tiba gajah yang merupakan kendaraan perang Kanjeng Sultan itu pun berhenti. Ketika kakinya melangkah menginjak sebuah batu, rasa-rasanya gajah itu terkejut dan bergeser selangkah surut.

Orang-orang yang berada di sekitar gajah itu pun terkejut pula. Bahkan srati gajah itu pun telah melangkah mendekati dan mencoba untuk menenangkan gajahnya dan membawanya maju ke medan perang.

Sejenak, gajah itu berdiri membeku. Namun atas perintah dan pengaruh sratinya, maka gajah itu pun telah melangkah lagi maju setapak demi setapak.

Pangeran Benawa yang berada di sisi gajah itu pun menjadi tegang. Ketika ia berpaling kepada Ki Singatama, maka nampak wajah Ki Singatama itu membayangkan kegelisahan.

“Kenapa?” bertanya Pangeran Benawa kepada srati gajah itu.

Namun Pangeran Benawa tidak sempat mendapat jawabannya. Tiba-tiba sekali lagi gajah itu seolah-olah terkejut dan bergeser surut sehingga srati pun menjadi cemas. Gajah yang jinak itu tidak pernah menunjukkan sikap yang demikian. Biasanya gajah itu mudah dikuasai dengan sentuhan-sentuhan dan tarikan-tarikan pada telinganya, gajah itu mengerti, apa yang dikehendaki oleh sratinya. Namun dalam pada itu, gajah itu menunjukkan sikap yang gelisah.

Sementara itu, suara bende Kiai Bicak masih saja melengking dengan nyaringnya, seakan-akan telah mengguncang pepohonan di seluruh medan di seberang-menyeberang Kali Opak.

Dalam pada itu, gajah itu pun menjadi semakin gelisah. Beberapa langkah gajah itu bergeser surut. Kemudian dengan sikap yang kurang dimengerti oleh sratinya gajah itu seolah-olah meloncat maju.

Kanjeng Sultan yang berada di punggung gajah itu bagaikan diguncang-guncang. Dalam keadaannya yang lemah, maka Kanjeng Sultan mengalami kesulitan untuk tetap duduk di atas punggung gajah yang gelisah itu.

“Tenangkan gajah itu,” perintah Pangeran Benawa, “kita berhenti di sini. Sebelum gajah itu tenang, kita tidak akan bergerak lagi.”

Pasukan Pajang memang berhenti. Seorang senapati telah meneriakkan perintah itu yang kemudian sambung bersambung sampai ke ujung sayap.

Tetapi agaknya gajah itu sulit sekali untuk ditenangkan. Ketika sratinya mempergunakan cis, maka gajah itu menjadi semakin gelisah. Belalainya mulai terayun-ayun dan terangkat ke atas. Ketika kegelisahan gajah itu memuncak, maka terdengar gajah itu pun melengking tinggi.

Raden Sutawijaya melihat gajah yang tiba-tiba sulit dikuasai itu. Dengan tegang ia mengamati kesulitan yang mulai dialami oleh ayahanda angkatnya, Kanjeng Sultan Hadiwijaya yang dalam keadaannya yang sangat lemah.

Dalam keadaan yang demikian, maka hampir di luar sadarnya, Raden Sutawijaya meneriakkan perintah, “Hentikan bunyi Kiai Bicak. Suara itu membuat gajah Ayahanda menjadi gelisah.”

Ki Juru Martani sama sekali tidak mencegahnya. Seorang senapati Mataram telah berlari-lari, untuk menyampaikan perintah menghentikan suara Kiai Bicak, yang melengking tinggi memecahkan keheningan langit pagi yang digoyang oleh angin yang lembut.

Sementara itu, kegelisahan gajah titihan Kanjeng Sultan itu menjadi semakin sulit untuk dikuasai. Bahkan kemudian gajah itu mulai melonjak, seakan-akan ketakutan menghadapi pasukan Mataram yang sudah siap di tebing sebelah barat.

Semua orang menjadi kebingungan. Srati gajah itu sudah berjuang dengan segenap kemampuannya untuk menenangkan gajah yang gelisah itu. Tetapi nampaknya ia tidak berhasil.

Tidak ada yang dapat menahan apa yang bakal terjadi jika gajah itu benar-benar mengamuk. Namun yang paling menggelisahkan adalah justru karena Kanjeng Sultan ada di punggung gajah itu.

Dalam pada itu, senapati Mataram yang berlari-lari telah mencapai tempat Kiai Bicak yang dibunyikan dengan nyaring. Dengan nafas terengah-engah senapati itu berkata, “Hentikan! Atas perintah Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga.”

Senapati yang memukul bende Kiai Bicak itu merasa heran atas perintah itu. Sehingga ia masih juga bertanya, sementara tangannya masih juga memukul Kiai Bicak, “Kenapa Senapati ing Ngalaga memerintahkan menghentikan bunyi bende ini?”

“Hentikan. Gajah Kanjeng Sultan tidak tahan mendengar lengking suara bende ini, sehingga gajah itu hampir mengamuk karenanya, sementara Kanjeng Sultan ada di punggung gajah itu,” jawab Senapati yang membawa perintah Senapati ing Ngalaga.

Perintah itu masih juga meragukan. Kanjeng Sultan Hadiwijaya adalah Panglima Agung pasukan lawan. Apa sebabnya, maka Raden Sutawijaya justru menjadi cemas karena gajah yang menjadi kendaraan perang Panglima Agung pasukan lawan itu kehilangan kendali.

Namun dalam keragu-raguan itu, ia mendengar senapati yang membawa perintah Senapati ing Ngalaga itu mengulangi, “Dengar. Atas perintah Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga, hentikan bunyi bende Kiai Bicak.”

Perintah itu memang cukup meyakinkan. Karena itu, maka senapati itu pun menarik nafas dalam-dalam sambil menghentikan ayunan tangannya, sehingga suara bende itu pun telah terhenti pula.

Namun senapati itu terlambat. Gajah yang menjadi kendaraan perang Sultan Hadiwijaya yang gelisah itu telah melonjak sekali lagi. Lebih keras, sehingga yang tidak diinginkan itu telah terjadi. Kanjeng Sultan Pajang yang dalam keadaan lemah oleh sakitnya yang parah, telah terlempar dari punggung gajah yang tidak dapat dikendalikannya itu.

Tubuh Kanjeng Sultan Hadiwijaya itu terbanting di atas bebatuan Kali Opak. Tanpa berbuat sesuatu, tubuh itu telah menghantam sebuah batu hitam sebesar kerbau yang banyak bertebaran di Kali Opak.

Memang luar biasa. Benturan yang terjadi antara tubuh Kanjeng Sultan Hadiwijaya dan batu hitam itu telah mengejutkan orang-orang yang menyaksikannya. Batu hitam itu tiba-tiba telah terbelah menjadi beberapa bongkah yang pecah berserakan. Namun dalam pada itu, tubuh Kanjeng Sultan yang sedang sakit itu pun kemudian terbaring dengan lemahnya di antara pecahan-pecahan batu hitam itu. Pangeran Benawa dan beberapa orang senapati termasuk para adipati telah berlari-lari mendekatinya. Dengan serta merta Pangeran Benawa telah mengangkat tubuh ayahandanya dan meletakkan di atas pasir tepian, di antara bebatuan yang berserakan.

“Ayahanda,” desis Pangeran Benawa.

Ternyata Kanjeng Sultan benar-benar menjadi sangat lemah. Namun Kanjeng Sultan masih tersenyum sambil berkata, “Aku tidak berhasil bertahan duduk di atas punggung gajah. Bagaimana dengan gajah itu sekarang?”

Pangeran Benawa berpaling ke arah gajah yang menjadi kendaraan perang Kanjeng Sultan. Sratinya yang telah berjuang dengan segenap kecakapannya menguasai gajah itu, akhirnya berhasil menenangkan gajahnya. Sementara itu suara bende Kiai Bicak telah tidak lagi terdengar.

Tiba-tiba saja tangan Pangeran Benawa menjadi bergetar. Kemarahannya melonjak sampai ke ujung ubun-ubunnya. Gajah itu telah melemparkan ayahandanya yang sedang sakit itu menimpa sebuah batu. Meskipun ayahandanya ternyata masih juga seorang yang memiliki ilmu kanuragan yang luar biasa sehingga batu itu telah pecah, namun keadaan ayahandanya menjadi semakin buruk.

Ketika Pangeran Benawa kemudian berdiri, terdengar suara ayahandanya, “Benawa, apa yang akan kau lakukan?”

“Gajah keparat,” geramnya.

Tetapi Kanjeng Sultan yang lemah itu justru tertawa. Namun betapa lemahnya suara tertawa itu. Katanya di sela-sela tertawanya, “Akan kau apakan gajah itu? Aku percaya bahwa dengan tanganmu, kau akan dapat membunuhnya. Tetapi gajah itu tidak lebih dari seekor binatang. Ia tidak sadar akan apa yang dilakukannya. Ia sama sekali tidak sengaja dan berniat untuk mencelakai aku.”

Jantung Pangeran Benawa yang menggelegar oleh kemarahannya, justru telah tersentuh oleh kata-kata ayahandanya. Gajah itu tidak lebih dari seekor binatang.

Karena itu, maka Pangeran Benawa pun telah menarik nafas dalam-dalam.

Namun dalam pada itu, kecelakaan yang terjadi itu telah menghentikan segala gerak pasukan Pajang. Semua senapati telah memerintahkan pasukan Pajang untuk tetap berada di tempat. Meskipun mereka tidak boleh meninggalkan kewaspadaan, namun mereka pun menjadi berdebar-debar melihat satu kenyataan, bahwa Kanjeng Sultan Hadiwijaya telah jatuh dari punggung gajahnya.

Pada saat yang demikian, Raden Sutawijaya hampir saja meloncat berlari ke arah ayahandanya yang terjatuh dari punggung gajahnya. Namun dengan cepat Ki Juru telah memegang lengannya sambil berkata, “Kau akan ke mana, Ngger?”

Raden Sutawijaya tertegun sejenak. Namun kemudian sambil menarik nafas ia berkata, “Ayahanda Sultan jatuh dari punggung gajah itu, Paman.”

“Ya. Tetapi yang berada di sekitar Ayahanda Angger Senapati ing Ngalaga adalah para senapati Pajang. Sedangkan Angger adalah Panglima pasukan Mataram yang sedang berperang melawan Pajang,” berkata Ki Juru Martani.

Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga itu termangu-mangu. Ia sadar, bahwa ia adalah Panglima pasukan Mataram yang sedang berperang melawan Pajang. Namun di bawah tebing, di Kali Opak, ayahandanya terbaring dalam keadaan yang sulit.

Dalam kebimbangan itu, Ki Juru Martani berkata pula, “Angger Sutawijaya, jika dalam keadaan yang demikian terjadi sesuatu atas Angger, atau justru karena Angger mempertahankan diri telah melakukan sesuatu atas orang Pajang, maka Ayahanda Angger yang dalam keadaan yang parah itu akan menjadi semakin kecewa.”

Raden Sutawijaya memandang orang-orang Pajang yang mengerumuni ayahandanya, Kanjeng Sultan Hadiwijaya dengan jantung yang berdegupan. Bahkan dengan suara sendat ia berkata, “Aku yakin, bahwa Ayahanda tidak jatuh dari punggung gajah itu.”

“Apa yang terjadi menurut penglihatan Angger?” bertanya Ki Juru Martani.

“Ayahanda membiarkan dirinya terjatuh dari punggung gajah itu,” jawab Raden Sutawijaya, “kemudian membiarkan dirinya berada dalam keadaan yang parah.”

“Kenapa Angger berpendapat demikian?” bertanya Ki Juru pula.

“Jika Ayahanda menghendaki, Ayahanda akan dapat menghentikan kegelisahan gajah itu. Jika terpaksa, Ayahanda akan dapat menghentikannya dengan kekerasan,” jawab Raden Sutawijaya pula. Lalu, “Tetapi Ayahanda membiarkan gajah itu dalam keadaan gelisah dan membiarkan dirinya terjatuh dari punggung gajah itu.”

Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Bahkan kemudian ia pun mengangguk-angguk kecil. Memang Kanjeng Sultan dapat memukul kepala gajah itu sehingga gajah itu akan mati, seandainya gajah itu benar-benar tidak dapat ditenangkan. Bahkan Ki Juru itu pun kemudian bertanya di dalam dirinya, “Bagaimana mungkin Kanjeng Sultan Hadiwijaya yang bernama Mas Karebet di masa mudanya itu dapat jatuh dari punggung gajah seperti sepotong balok kayu, meskipun masih juga sempat membuat orang yang melihatnya menjadi tergetar, karena sebongkah batu hitam yang ditimpanya telah pecah.”

Justru karena itu, maka Ki Juru itu pun mulai memperhitungkan keadaan perang itu dalam keseluruhan sebagaimana dihadapinya saat itu, setelah Kanjeng Sultan terjatuh dari punggung gajah.

Untuk beberapa saat kedua pasukan sama sekali tidak bergerak. Pasukan Pajang telah membeku di tempatnya, sementara pasukan Mataram pun berhenti menunggu, meskipun kedua belah pihak tetap bersiaga menghadapi segala kemungkinan.

Dalam pada itu, orang-orang yang mengerumuni Kanjeng Sultan menjadi cemas. Mereka melihat keadaan Sultan Hadiwijaya semakin memburuk. Nafasnya menjadi sesak dan terengah-engah.

“Ayahanda,” berkata Pangeran Benawa kemudian, “ijinkanlah hamba membawa Ayahanda kembali ke pesanggrahan.”

Kanjeng Sultan memandang Pangeran Benawa sekilas. Kemudian memandang beberapa orang senapati yang berjongkok pula di sekitarnya. Baru sejenak kemudian, Kanjeng Sultan itu berkata dengan nada yang dalam, “Baiklah Benawa. Aku akan beristirahat barang sejenak di pesanggrahan.”

Namun dalam pada itu, seorang senapati telah berkata, “Sementara itu Kanjeng Sultan, perkenankanlah Kanjeng Sultan memerintahkan pasukan Pajang untuk menggempur Mataram.”

Jawaban Kanjeng Sultan memang mengecewakan senapati itu. Katanya, “Aku tidak dapat memimpin sendiri pasukan Pajang hari ini. Perintahkan mereka mundur. Aku akan membuat pertimbangan-pertimbangan lebih lanjut.”

Namun ketika beberapa orang termangu-mangu. Pangeran Benawa menegaskan perintah itu, “Kalian telah mendengar. Dan atas nama Ayahanda, aku perintahkan semua pasukan Pajang mengundurkan diri dari medan hari ini. Kita akan berada di pasanggrahan dan menunggu perintah lebih lanjut.”

Tidak ada yang membantah perintah itu. Betapa pun perasaan kecewa menusuk jantung para prajurit Pajang yang sudah dengan sepenuh hati turun ke medan di bawah pimpinan Kanjeng Sultan sendiri, namun perintah itu harus mereka lakukan.

Namun dalam pada itu, seorang senapati yang dikenal oleh beberapa orang bernama Kakang Panji berkata dengan wajah membara menahan perasaannya, “Aku memang sudah menduga, akan terjadi permainan seperti ini.”

“Bagaimana jika Kanjeng Sultan memerintahkan pasukan Pajang nanti atau besok menarik diri dari medan?” bertanya seorang kepercayaannya.

“Apa boleh buat. Beberapa bagian dari pasukan Pajang tentu akan tinggal. Pasukan khusus itu akan tetap kita kuasai. Selain pasukan yang berada di induk gelar, maka semuanya akan tetap berada di tempatnya masing-masing,” jawab Kakang Panji. Bahkan katanya kemudian, “Agaknya lebih baik bagi kita untuk tidak menunggu perintah. Besok, kita akan turun ke medan tanpa menunggu perintah Kanjeng Sultan yang sudah tidak mampu menjaga dirinya sendiri itu.”

“Apakah kepercayaan Kanjeng Sultan tidak akan mencegahnya?” bertanya kepercayaannya.

“Kita akan bergerak cepat. Kita akan turun lebih pagi tanpa tanda dan isyarat apa pun. Kita langsung menyerbu pasukan Mataram seandainya mereka belum bersiaga sekalipun. Tidak ada aturan yang dapat mengikat kita dalam keadaan yang gawat seperti ini. Seandainya mereka menganggap bahwa kita telah melanggar paugeran perang, maka mereka tidak akan dapat menghukum kita. Karena kita memang sudah berada dalam keadaan perang,” berkata Kakang Panji kemudian.

Kepercayaannya itu pun mengangguk-angguk. Ia mengerti, bahwa tidak ada pilihan lain. Bahkan setelah Mataram hancur, kemungkinan lain dapat terjadi. Mungkin pasukan Kakang Panji itu harus juga menggempur pasukan Pajang itu sendiri.

Demikianlah, pada hari itu, akhirnya pasukan Pajang telah bersiap-siap untuk menarik diri. Betapa pun mereka di gigit oleh perasaan kecewa, tetapi mereka harus mematuhi perintah itu.

Dalam pada itu, pasukan Mataram yang termangu-mangu masih berada di tempatnya. Di kedua sayap pasukan itu, para senapati mengamati keadaan dengan jantung yang berdebaran. Untara yang berada di ujung pasukannya, menahan gejolak perasaannya yang bagaikan menghentak-hentak di dadanya. Ia pernah menghadap Kanjeng Sultan itu dengan cara yang khusus, sehingga ia pun sedikit atau banyak, dapat meraba apa yang sebenarnya telah terjadi.

Sementara itu, Kiai Gringsing dan Ki Waskita menyaksikan semua peristiwa itu dengan tegang. Namun kedua orang tua itu pun berusaha untuk menilai peristiwa itu bukan saja menilik dari penglihatan mata wadagnya.

Demikianlah, maka sejenak kemudian, orang-orang Pajang itu telah menyiapkan sebuah usungan. Mereka membawa Kanjeng Sultan Hadiwijaya kembali ke pesanggrahan, sementara itu Pangeran Benawa telah memerintahkan semua orang di dalam pasukan Pajang untuk menarik diri.

Yang terdengar kemudian adalah suara sangkakala. Nadanya terdengar jauh berbeda dengan suara sangkakala di saat pasukan Pajang itu berangkat meninggalkan pesanggrahan. Yang terdengar kemudian bagaikan suara keluh kesah yang ngelangut.

Perlahan-lahan pasukan Pajang menarik diri dari garis perang. Mereka melangkah surut, meskipun mereka tetap dalam kewaspadaan yang tertinggi.

Orang yang menyebut dirinya Kakang Panji itu pun mengumpat dengan kasar. Dua orang kepercayaannya mengikutinya dengan perasaan gelisah.

“Kalian harus menghubungi semua orang yang telah sepakat untuk bekerja bersama kita,” geramnya, “agaknya Kanjeng Sultan masih berusaha untuk memenangkan permainan yang terakhir. Dengan demikian, maka kita tidak akan dapat berharap, bahwa Pajang dan Mataram akan menghancurkan diri mereka sendiri, sementara itu kita akan dapat menari di atas bangkai mereka.”

Kedua orang kepercayaan kakang Panji itu mengangguk-angguk. Agaknya Kanjeng Sultan memang berusaha untuk memenangkan permainan terakhir seperti yang dikatakan oleh Kakang Panji itu, sehingga dengan demikian, Kanjeng Sultan itu berhasil mencegah pertempuran yang lebih besar lagi yang dapat terjadi sebenarnya antara pasukan Pajang dan Mataram. Dengan ketajaman penglihatan batinnya, nyatalah bahwa Kanjeng Sultan telah mengetahui apa yang terjadi, sebagaimana direncanakan oleh seseorang yang telah membayangi kekuasaannya yang menjadi semakin surut.

Di tebing sebelah barat Kali Opak, Raden Sutawijaya benar-benar menjadi cemas. Tetapi seperti yang dinasehatkan oleh Ki Juru Martani maka ia telah menahan diri untuk tidak turun ke tepian Kali Opak untuk mendapatkan ayahandanya yang terbaring di antara para senapati Pajang.

Demikianlah, maka tubuh Kanjeng Sultan Hadiwijaya yang menjadi semakin lemah itu pun telah dibawa ke pesanggrahan. Tabib yang terbaik masih selalu mendampinginya. Namun tabib itu tidak dapat berbuat banyak, sementara Kanjeng Sultan sendiri agaknya tidak membantu lagi kepada tabib yang sedang mengobatinya.

“Aku sangat berterima kasih kepadamu,” berkata Kanjeng Sultan kepada tabib itu, “tetapi yang kau kerjakan itu tidak akan membawa hasil yang kau harapkan. Rasa-rasanya keadaanku sudah demikian parahnya. Meskipun demikian, aku tidak akan menolak kau berusaha, karena itu memang kewajibanmu.”

Tabib itu hanya dapat menarik nafas dalam-dalam. Tetapi sebenarnyalah bahwa tabib itu pun merasa sangat cemas melihat perkembangan keadaan Kanjeng Sultan. Apalagi kadang-kadang Kanjeng Sultan itu merasa dadanya menjadi sangat sesak. Seakan-akan seseorang telah menindih dadanya dengan beban yang sangat berat.

Seorang prajurit yang sedang bertugas, yang dengar keadaan Kanjeng Sultan itu pun berbisik ke telinga kawannya, “Ada yang tidak wajar telah terjadi.”

“Apa?” bertanya kawannya.

“Tentu ada kekuatan yang tidak kasat mata telah membantu Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga,” berkata prajurit itu.

“Apa yang telah terjadi?” bertanya kawannya.

“Pernafasan Kanjeng Sultan seolah-olah telah tersumbat. Dadanya menjadi sesak,” jawab prajurit itu. Lalu, “Hal itu tidak mungkin terjadi, jika tidak ada pihak-pihak yang tidak kasat mata yang telah memban-tunya. Mungkin dengan mengganggu pernafasan Kanjeng Sultan atau dengan menindih dadanya dengan beban yang berat atau sesuatu yang juga dapat menyebabkan jatuh dari punggung gajah.”

Kawannya mengangguk-angguk. Katanya, “Mungkin sekali. Gajah yang jinak itu tiba-tiba saja telah menjadi liar.”

Namun kawannya yang lain berkata, “Suara bende Kiai Bicak itu sangat mengganggu telinga gajah itu.”

“Ah,” jawab prajurit yang pertama, “suara bende itu hanya sekedar isyarat kemenangan. Tetapi tentu ada sebab lain untuk mencapai kemenangan itu bagi orang-orang Mataram.”

Kawan-kawannya tidak menjawab. Namun ternyata ceritera prajurit yang dengar, keadaan Kanjeng Sultan itu telah merambat dari telinga ke telinga, sehingga para prajurit Pajang pun kemudian seakan-akan telah mendapatkan satu penjelasan resmi, bahwa sesuatu yang tidak kasat mata telah terjadi atas Kanjeng Sultan. Dadanya bagaikan dibebani oleh kekuatan yang sangat besar.

“Bahkan mungkin dada Kanjeng Sultan telah dihantam oleh kekuatan yang tidak terlawan oleh perisai ilmu Kanjeng Sultan yang tidak ada duanya itu,” berkata seseorang yang kemudian telah mengembangkan ceritra itu semakin lama semakin besar.

Namun yang sebenarnya terjadi adalah, bahwa keadaan Kanjeng Sultan memang menjadi semakin sulit. Dengan jantung yang berdebaran, Pangeran Benawa menunggui ayahandanya tanpa beringsut. Sementara ia memerintahkan pengawasan yang sangat ketat di sekitar pesanggrahan.

Pangeran Benawa sama sekali tidak mencemaskan, bahwa pasukan Mataram akan mempergunakan saat yang sulit itu dengan menyerang dan mendesak pasukan Pajang mundur. Tetapi Pangeran Benawa justru cemas, bahwa ada pihak-pihak dari Pajang sendiri yang tidak puas melihat keadaan itu dan mengambil sikap yang bertentangan dengan sikap Kanjeng Sultan itu sendiri, justru dalam keadaan yang sulit.

Karena Pangeran Benawa pun telah melihat kemungkinan yang demikian, maka ia telah memerintahkan pasukan khusus pengawal raja untuk bertindak tegas terhadap siapa pun juga yang mengambil sikap sendiri.

Dalam pada itu, para adipati yang menyertai Kanjeng Sultan menjadi sangat cemas melihat keadaan Kanjeng Sultan itu. Sementara itu Pangeran Benawa sedikit demi sedikit berusaha untuk memberikan penjelasan tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi. 

“Kita semua akan tetap melakukan segala perintah Ayahanda,” berkata Pangeran Benawa.

Ternyata bahwa para adipati itu pun tidak mengecewakannya. Mereka memang hanya tunduk kepada segala perintah Kanjeng Sultan, meskipun sebenarnya mereka pun merasa kecewa bahwa mereka tidak melanjutkan rencana mereka pada hari itu, untuk turun ke medan.

Namun dengan penjelasan Pangeran Benawa yang memberikan gambaran tentang seluruh keadaan di medan perang itu, serta sikap Kanjeng Sultan sendiri, maka mereka pun berusaha untuk menyesuaikan sikap mereka masing-masing.

Tetapi sementara itu, di tempat lain di pesanggrahan pasukan Pajang, Kakang Panji tengah membuat rencananya sendiri dengan orang-orang kepercayaannya. Mereka bertekad untuk menghancurkan pasukan Mataran tanpa induk pasukan.

“Selama ini, kekuatan kita tidak terlalu lemah,” berkata Kakang Panji. Lalu, “Bukankah selama ini induk pasukan itu juga tidak berbuat apa-apa? Jika besok kita turun tanpa menunggu kesiapan pasukan Mataram, maka kita akan dapat mematahkan perlawanan mereka dengan memanfaatkan kejutan pada benturan pertama.”

“Aku akan memberikan perintah itu,” berkata kepercayaannya.

“Bodoh kau,” geram Kakang Panji, “jika kau berikan perintah itu sekarang, maka orang-orang Mataram akan mendengarnya. Mungkin ada satu dua orang di antara kita yang berkhianat atau mereka memang petugas-petugas sandi dari Mataram.”

“Jadi?” bertanya kepercayaannya.

“Besok pagi-pagi sebelum fajar. Tidak ada waktu bagi mereka untuk menyampaikan laporan kepada orang-orang Mataram,” jawab Kakang Panji.

Kepercayaannya itu mengangguk angguk. Katanya, “Baiklah.”

“Dengan demikian, sehari ini kita akan beristirahat. Sehari-semalam,” jawab Kakang Panji. Tetapi kemudian katanya, “Namun besok pagi-pagi, kita akan bekerja sangat berat. Kau tahu, bahwa di Mataram ada orang yang mampu mengganggu ilmuku pada saat aku berusaha membantu Ki Tumenggung Prabadaru. Aku tidak yakin, bahwa hal itu dilakukan oleh Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga. Sehingga karena itu, maka ada paling sedikit dua orang yang harus diperhitungkan dengan cermat. Jika besok aku berhadapan dengan Raden Sutawijaya, maka orang itu harus mendapat pengamatan yang ketat. Harus ada orang lain yang untuk sementara menghadapinya sebelum aku menyelesaikan Raden Sutawijaya.”

“Maksud Kakang Panji, apakah satu atau dua orang harus berusaha menemukan dan mencegah orang yang telah mengganggu ilmu Kakang Panji itu untuk mengulanginya lagi?” bertanya kepercayaannya.

“Ya. Mungkin lebih dari dua orang yang harus menghadapinya,” jawab Kakang Panji, “menilik ilmunya, maka kau memerlukan paling sedikit tiga orang untuk mengurungnya dalam putaran pertempuran. Tiga orang yang memiliki ilmu yang matang yang berbeda jenisnya, sehingga ketiganya akan dapat melengkapi menghadapi orang yang jarang ada duanya sekarang ini. Karena sebenarnyalah orang itu benar-benar orang yang sangat berbahaya. Orang yang tentu mempunyai sangkut paut dengan jalur perguruanku sendiri.”

“Jadi siapakah yang akan ditunjuk?” bertanya kepercayaannya.

“Kita mempunyai waktu satu hari satu malam untuk memikirkannya. Besok menjelang dini hari, kita akan berbincang lagi,” jawab Kakang Panji.

Kepercayaannya itu tidak mendesaknya lagi. Namun kemudian katanya, “Baiklah. Sekarang aku akan melihat-lihat keadaan. Ada beberapa orang yang memiliki ilmu yang mapan di medan ini sekarang. Seorang di antara mereka masih belum turun langsung ke medan selama ini.”

“Gila. Masih ada juga yang bermalas-malasan? Jika ia turun kemarin, mungkin ia akan dapat merubah keadaan. Mungkin bukan hanya Ki Gede Menoreh, Swandaru saja yang dapat dilukai. Tetapi juga orang-orang lain. Mungkin orang yang disebut Kiai Gringsing atau yang bernama Ki Waskita. Mungkin kedua perempuan yang memiliki ilmu yang mendebarkan itu pula, yang mampu mengimbangi para senapati pilihan dari Pajang,” geram Kakang Panji.

“Ia baru datang menjelang pagi. Tetapi ia sengaja tidak turut campur ketika ia tahu, bahwa Kanjeng Sultan akan turun ke medan hari ini,” jawab kepercayaannya.

Kakang Panji memandang kepercayaannya itu dengan wajah yang tegang. Namun kemudian katanya, “Apakah yang kau maksud Ki Ajar Jatisrana?”

“Ya,” jawab kepercayaannya.

“Kaulah yang gila,” gumam Kakang Panji, “aku memanggilnya secara khusus. Karena itu, maka baru menjelang pagi hari ini ia datang. Aku mempunyai pembicaraan tersendiri.”

“Tetapi apakah ia tidak dapat menghadapi orang yang Kakang Panji maksudkan itu?” bertanya kepercayaannya.

“Aku akan berbicara dengan orang itu,” jawab Kakang Panji, “mungkin ia akan dapat membantu. Tetapi orang itu tidak akan dapat berdiri sendiri menghadapi orang yang memiliki ilmu yang nggegirisi itu, karena tingkat kemampuannya memang masih berada di bawah kemampuan Senapati Ing Ngalaga.”

Kepercayaannya itu pun mengangguk-angguk. Namun ia pun kemudian meninggalkan orang yang disebut Kakang Panji itu. Ditelusurinya pasanggrahan orang-orang Pajang yang pada hari itu ternyata tidak perlu turun ke medan. Mereka seakan-akan telah mendapatkan waktu untuk beristirahat. Hari itu mereka hanya akan makan dan tidur saja sepanjang hari.

Namun demikian, membayang ketegangan yang mencengkam di induk pasukan. Keadaan Kanjeng Sultan memang menjadi gawat. Sementara itu para pengawal khusus telah berjaga-jaga dengan cermatnya. Setiap orang yang memasuki lingkungan pesanggrahan Kanjeng Sultan mendapat pengamatan yang ketat. Tidak setiap orang, meskipun prajurit Pajang sendiri, diperkenankan memasuki lingkungan pesanggrahan Kanjeng Sultan.

Dalam pada itu, selagi para senapati tertinggi Pajang menunggui tabib yang berusaha mengobati Kanjeng Sultan, maka Kakang Panji telah melakukan kegiatannya sendiri. Dengan orang-orang yang paling dipercaya saja, Kakang Panji menentukan rencananya. Dengan tidak banyak diketahui orang, maka ia sudah berbicara dengan orang-orang terpenting yang berdiri di pihaknya, termasuk beberapa senapati terpenting dari pasukan khusus yang telah terlepas dari kendali para senapati Pajang sendiri.

Demikianlah, seperti yang diinginkan Kakang Panji, maka mereka sepakat untuk di hari berikutnya, turun ke medan pagi-pagi benar, justru sebelum orang-orang Mataram bersiap sepenuhnya. Mereka tidak perlu terlalu setia kepada paugeran peperangan, karena tidak akan ada kekuatan yang akan dapat menghukum mereka.

“Jika kita berhasil memanfaatkan benturan pertama dengan pasukan yang tidak siap itu, maka untuk selanjutnya kita akan dengan mudah dapat menghancurkan mereka. Kita tidak akan mengganggu pasukan induk mereka yang tentu tidak akan segera dapat menyesuaikan diri. Kita akan menyerang dan menyekat batas antara sayap-sayap dengan induk pasukan, sehingga kita akan menutup setiap kemungkinan hubungan antara sayap-sayap pasukan mereka dengan induk pasukan,” berkata Kakang Panji.

“Bukan pekerjaan yang mudah. Kau sangka kekuatan di sayap pasukan itu tidak akan dapat memecahkan sekat itu, apalagi bersama-sama dengan kekuatan di induk pasukan itu sendiri,” jawab salah seorang senapati.

“Maksudku hanya pada saat-saat benturan pertama itu terjadi. Setelah pada benturan pertama itu kita menghancurkan sebagian besar kekuatan mereka, maka kita tidak berkeberatan, seandainya induk pasukan Mataram itu ikut bertempur pula,” berkata Kakang Panji. Lalu, “Tetapi ingat. Ada kekuatan yang harus diperhatikan. Aku tidak dapat berbuat sendiri menghadapi Raden Sutawijaya dan kekuatan yang dapat menumbuhkan kabut itu. Meskipun mungkin orang yang memiliki kemampuan itu, tidak memiliki ilmu kanuragan yang memadai.”

“Apakah mungkin orang yang dapat menumbuhkan kabut itu Ki Juru Martani sendiri?” bertanya salah seorang di antara para pengikut Kakang Panji itu.

“Bukan. Bukan Ki Juru. Pada saat kabut itu melingkari arena pertempuran, seorang di antara kita melihat, Ki Juru sama sekali tidak sedang dalam keadaan yang pantas untuk diduga sedang dalam pemusatan nalar budi, melepaskan ilmu yang dahsyat itu,” jawab Kakang Panji.

“Jadi siapa?” bertanya yang lain.

“Kita belum tahu. Kita akan mencari dan menemukannya,” jawab Kakang Panji. “Karena itu, maka kita harus benar-benar bersiap menghadapi kemungkinan itu. Aku akan berusaha untuk dapat bertemu dengan Raden Sutawijaya, seandainya ia turun ke medan. Dua orang harus menghadapi Ki Juru Martani. Tetapi yang penting kita harus menyiapkan sekelompok kecil orang untuk melawan orang yang memiliki ilmu yang menggetarkan itu. Yang mampu menumbuhkan kabut dan membuat lingkaran yang tidak tembus penglihatan itu.”

“Jangan terlalu ketakutan,” jawab orang yang bernama Ajar Jatisrana, “bukankah kau sendiri sudah mengatakan, bahwa mungkin orang itu justru tidak memiliki ilmu kanuragan yang tinggi. Jika kita dapat memecahkan dinding itu dan menemukan orangnya, maka kita akan dapat membunuhnya.”

Kakang Panji mengangguk-angguk. Namun katanya, “Tetapi kita jangan menganggap persoalannya terlalu mudah. Kita harus benar-benar bersiap menghadapi segala kemungkinan.”

“Aku setuju,” berkata Ajar Jatisrana, “kita memang harus selalu bersiap menghadapi segala kemungkinan. Tetapi jangan terlalu ketakutan seperti itu. Aku setuju dengan rencanamu untuk menyerang pasukan Mataram dengan tiba-tiba. Aku setuju untuk menghancurkan pasukan Mataram dalam benturan pertama. Namun kemudian aku kurang sependapat, bahwa kau terpaksa harus menganjurkan, agar kami membentuk kelompok-kelompok kecil untuk menghadapi Ki Juru Martani, menghadapi orang yang mampu menumbuhkan kabut atau orang yang manapun juga, seolah-olah kami adalah anak-anak yang belum dapat melihat kenyataan tentang olah kanuragan.”

“Aku hanya ingin berhati-hati,” sahut Kakang Panji, “mungkin kalian masih belum mengetahui dengan pasti, kemampuan Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga.” “Aku tahu,” jawab Ajar Jatisrana, “karena itu, kami sependapat bahwa kau akan menghadapinya. Tetapi yang lain tidak akan memiliki ilmu seperti Raden Sutawijaya.”

“Sudah aku sebut. Ki Juru Martani harus diperhitungkan. Tetapi terlebih-lebih lagi orang yang telah menggagalkan usahaku membantu Ki Tumenggung Prabadaru dalam perang tanding melawan Agung Sedayu dengan serangan pada indra penciumannya. Tetapi seseorang mengetahui kelemahan ilmuku, sehingga orang itu dengan sengaja telah menutup penglihatanku atas Agung Sedayu dengan kabut,” jawab Kakang Panji. “Aku tidak mau usahaku kali ini gagal seperti yang sudah berulang kali terjadi. Justru karena kita terlalu menyombongkan diri.”

Para pengikut dan orang-orang yang berpihak kepada Kakang Panji itu tidak menjawab lagi. Mereka mengerti maksud Kakang Panji, meskipun rasa-rasanya Kakang Panji menganggap mereka masih bersifat kekanak-kanakan di medan. Tetapi kegagalan-kegagalan yang pernah dialaminya telah membuatnya terlalu berhati-hati.

Demikianlah, setelah memberikan beberapa pesan, Kakang Panji telah mengakhiri pertemuan itu dengan mengemukakan harapan-harapannya. Katanya, “Kali ini adalah kesempatan yang paling memungkinkan kita mencapai tujuan kita. Jika kali ini gagal, maka kesempatan yang lain akan menjadi semakin buruk. Mataram mungkin akan mendapat kesempatan untuk lebih memperkuat kedudukannya, sehingga kita akan mengalami kesulitan untuk dapat berbuat sesuatu yang berarti.”

Akhirnya pertemuan yang khusus itu pun memberikan beberapa kemungkinan di hari berikutnya. Kakang Panji telah menentukan beberapa langkah yang akan mereka ambil dan mereka pun telah menentukan beberapa jenis isyarat pada saat-saat mereka akan bertindak.

Dengan penuh kesungguhan Kakang Panji berpesan, bahwa yang mereka bicarakan adalah satu rahasia yang sangat besar. Orang-orang Mataram sama sekali tidak boleh mendengar, karena dengan demikian maka Mataram akan sempat bersiap-siap menghadapi benturan yang diharapkan akan dapat menentukan kemungkinan selanjutnya dari pertempuran itu.

Para pengikut dan orang-orang yang berpihak kepada Kakang Panji itu pun mengerti pula. Dan mereka ingin rencana mereka berhasil, sehingga mereka pun memegang rahasia itu dengan sepenuh hati. Bukan saja bagi orang-orang yang jelas berada di pihak Mataram, tetapi juga bagi orang-orang Pajang sendiri yang tidak jelas berdiri di pihak Kakang Panji.

Sebenarnyalah dalam pada itu, rencana itu sama sekali tidak diketahui oleh para pemimpin pasukan Pajang yang berada di induk pasukan. Mereka sama sekali tidak menyangka, bahwa sebagian dari pasukan Pajang itu telah mempersiapkan diri, untuk menyerang Mataram di esok hari mendahului perintah Kanjeng Sultan atau orang yang di kuasakannya, justru karena Kanjeng Sultan itu menderita sakit.

Juga orang-orang Mataram yang meskipun bersiaga sepenuhnya, tetapi mereka sama sekali tidak menyangka, bahwa di pihak pasukan Pajang telah tumbuh satu niat untuk menyerang Mataram dengan tidak menghiraukan paugeran yang berlaku.

Karena itu, maka Mataram sama sekali tidak memikirkan kemungkinan bahwa satu kecurangan akan terjadi.

Usaha orang-orang Mataram pada hari itu adalah menangkap sejauh-jauhnya berita tentang keadaan Kanjeng Sultan. Bahkan Ki Juru Martani terpaksa beberapa kali memperingatkan Raden Sutawijaya agar ia menjaga perasaannya. Kanjeng Sultan Hadiwijaya adalah ayah angkatnya yang mengasihinya. Tetapi keadaan perang antara Pajang dan Mataram harus diperhitungkannya sebaik-baiknya.

“Apakah aku dapat mengirimkan satu dua orang petugas untuk menanyakan hal itu kepada Pangeran Benawa?” bertanya Raden Sutawijaya.

Ki Juru termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Baiklah, Ngger. Kau dapat memerintahkan dua orang dengan resmi menghadap Pangeran Benawa. Dalam kedudukannya, maka orang itu tidak akan diganggu oleh orang-orang Pajang. Hanya persoalannya, apakah Pangeran Benawa bersedia untuk menjawab pertanyaan-pertanyaanmu atau tidak.”

“Baiklah, Paman,” berkata Raden Sutawijaya, “aku akan mencoba.”

Dengan persetujuan Ki Juru Martani, maka Raden Sutawijaya telah memerintahkan dua orang petugas untuk menyeberangi Kali Opak dengan pertanda resmi utusan dari pasukan Mataram, dengan tugas menghadap Pangeran Benawa untuk menanyakan keadaan Kanjeng Sultan Hadiwijaya.

Kedua orang itu memang tidak mendapat gangguan apa pun juga. Mereka berhasil menghadap Pangeran Benawa untuk menanyakan kesehatan Kanjeng Sultan, sebagaimana perintah Senapati ing Ngalaga.

Pangeran Benawa yang menerima kedua orang utusan itu berusaha untuk tidak terlalu menggelisahkan Raden Sutawijaya. Meskipun demikian, Pangeran Benawa pun tidak dapat menyembunyikan keadaan ayahandanya, bahwa kesehatannya semakin lama memang menjadi semakin menurun.

“Kami berusaha untuk dapat mengatasi kesulitan ini,” berkata Pangeran Benawa kepada kedua orang utusan itu.

Dalam pada itu, ketika kedua orang utusan itu kembali ke seberang Kali Opak, maka beberapa pasang mata telah mengamatinya dari kejauhan.

“Pangeran Benawa adalah orang yang paling lemah yang pernah aku kenal,” geram Kakang Panji yang dengan sungguh-sungguh mengamati kedua orang petugas dari Mataram. Bahkan seorang kepercayaannya telah diperintahkannya untuk mengetahui, apa yang dikatakan oleh Pangeran Benawa kepada kedua orang itu.

“Hubungi orang-orang kita yang ada di lingkungan pesanggrahan Kanjeng Sultan itu,” perintah Kakang Panji ketika ia mendapat laporan tentang hadirnya dua orang petugas dari Mataram.

Namun laporan yang kemudian diterima oleh Kakang Panji menyebutkan, bahwa Pangeran Benawa hanya menerima orang itu dalam waktu yang sangat pendek, dan sama sekali tidak dalam pertemuan yang khusus.

“Pangeran Benawa menemui kedua orang itu di antara para senapati Pajang, sehingga apa yang dikatakannya didengar oleh banyak orang yang ada pada saat itu,” berkata seorang pengikutnya.

Kakang Panji mengangguk-angguk. Namun ia dan dua orang kepercayaannya memerlukan untuk mengamati kedua orang utusan itu dari kejauhan, sehingga apabila keduanya melakukan hal-hal yang mencurigakan, maka Kakang Panji akan dapat mengambil sikap tertentu.

Tetapi kedua orang petugas itu memang tidak berbuat sesuatu selain menjalankan tugasnya sebagaimana diperintahkan oleh Raden Sutawijaya.

Dengan demikian, maka orang yang disebut kakang Panji itu tetap menganggap bahwa orang-orang Mataram tidak mengetahui, bahwa mereka akan mengalami serangan yang tiba-tiba di keesokan harinya.

Dalam pada itu, maka dengan sangat rahasia Kakang Panji dan orang-orang kepercayaannya telah menyiapkan segala rencana yang akan mereka lakukan. Namun mereka sama sekali masih belum memberitahukan rencana itu kepada para prajurit dan orang-orang yang berada di dalam pasukan masing-masing. Mereka hanya memerintahkan, agar orang-orang di dalam pasukan mereka beristirahat sebaik-baiknya karena besok mereka akan mengalami pertempuran yang menentukan.

“Tetapi menurut pendengaran kami, keadaan Kanjeng Sultan menjadi semakin buruk,” bertanya salah seorang pemimpin kelompok.

“Ya. Itulah sebabnya, besok kita harus dapat menentukan segala-galanya, agar segala sesuatunya masih dapat disaksikan oleh Kanjeng Sultan,” jawab senapatinya.

Pemimpin kelompok itu mengangguk-angguk. Jawaban itu memang sesuai menurut penalarannya. Karena itu, maka pemimpin kelompok itu tidak bertanya lagi.

Demikianlah, maka hari itu telah diawali dengan ketegangan yang mencengkam. Terutama bagi Kakang Panji dan para pengikutnya yang terpenting, yang jumlahnya tidak terlalu banyak. Namun yang sedikit itu adalah orang-orang yang akan mampu menggerakkan kekuatan yang berada di dalam pasukan Pajang, yang bertekad untuk menghancurkan pasukan Mataram sampai lumat.

Ketika kemudian malam turun, maka Kali Opak itu pun diliputi oleh suasana yang lain dari beberapa malam sebelumnya. Malam itu tidak ada orang yang membawa obor hilir mudik di tebing Kali Opak untuk mencari kawan-kawan mereka yang terluka atau terbunuh di peperangan. Tidak ada kesibukan bagi mereka yang bertugas merawat dan mengobati para prajurit dan pengawal yang terluka.

Yang terdengar malam itu, adalah gemericik aliran Kali Opak yang tidak terlalu deras, menyusup di antara desir angin yang lembut di dedaunan. Di langit bintang gemintang bergayutan berkerdipan memandang bumi yang diam.

Orang-orang Pajang benar-benar mempergunakan hari itu untuk beristirahat. Mereka ingin memulihkan kekuatan mereka, agar besok mereka dapat benar-benar hadir di peperangan dan memenuhi keinginan para pemimpin mereka. Mataram harus dihancurkan, justru pada saat Kanjeng Sultan Hadiwijaya masih akan dapat menyaksikan kemenangan itu.

Dalam pada itu, orang-drang Mataram pun berusaha untuk beristirahat pula sebaik-baiknya. Mereka memang telah memperhitungkan, bahwa pada hari itu tidak akan terjadi sesuatu. Namun orang-orang tidak tahu, apa yang akan terjadi besok, mendahului isyarat dan tanda-tanda bahwa pertempuran akan dimulai.

Namun demikian, para pemimpin Mataram pun selalu memperingatkan, agar para pengawal tidak menjadi lengah.

Karena itu, maka pengawalan di pesangghrahan orang-orang Mataram itu pun sama sekali tidak diabaikan. Para peronda hilir mudik mengamati keadaan di sekitar lingkungan mereka. Satu dua di antara mereka sempat singgah di dapur dan memungut apa saja yang masih tersisa untuk mencegah kantuk.

“Jika pemimpin kelompokmu melihat kau meronda sambil mengunyah makanan, maka kau akan mendapat hukuman,” seorang petugas di dapur memperingatkan.

Namun peronda itu tertawa sambil berkata, “Jika besok aku mendapat hukuman karena akan makan sambil meronda, maka kaulah yang telah melaporkannya.”

“Anak setan,” geram petugas di dapur itu.

Tetapi para peronda itu tertawa di dapur yang sebagian besar telah tertidur nyenyak. Mereka adalah petugas-petugas yang harus bangun lebih dahulu dari para pengawal yang akan bertempur, karena mereka harus menyiapkan makanan dan minuman bagi para pengawal sebelum mereka berangkat ke medan.

Namun dalam pada itu, bukan saja para pengawal yang selalu mengamati lingkungan masing-masing, para pemimpin dari kedua belah pihak pun berusaha untuk dapat melihat langsung apa yang terjadi di pesanggrahan mereka.

Di pesanggrahan pasukan Mataram, Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga sendirilah yang keluar dari pesanggrahan dan mengamati keadaan bersama dengan dua orang senapatinya. Mereka melintasi halaman demi halaman dari rumah-rumah yang dipergunakan untuk berteduh pasukan Mataram dari titik-titik embun di malam hari.

Langkah Raden Sutawijaya tertegun, ketika ia justru telah bertemu dengan Untara dan Sabungsari yang juga tengah mengamati keadaan. Namun akhirnya mereka pun berpisah dan mengambil arah mereka masing-masing.

Dalam pada itu, di sayap yang lain, Ki Lurah Branjangan pun berada di jalan sempit di sebuah padukuhan yang dipergunakan oleh pasukan Mataram. Ki Waskita dan Kiai Gringsing berbincang sesaat di tikungan. Namun Ki Waskita dan Kiai Gringsing itu pun kemudian meninggalkan Ki Lurah dan dua orang pengawalnya termangu-mangu di tikungan itu. Agaknya mereka tidak segera akan meninggalkan tempatnya.

Ketika tiga orang peronda lewat di tikungan itu, maka Ki Lurah pun berpesan, “Hati-hatilah. Jangan lengah. Aku akan beristirahat sejenak.”

“Silahkan, Ki Lurah,” jawab salah seorang peronda itu, “kami akan berbuat sebaik-baiknya.”

“Jika datang giliran kalian beristirahat, kalian harus benar-benar beristirahat. Kita tidak tahu, apa yang akan terjadi besok,” berkata Ki Lurah.

Ketiga orang itu pun kemudian melanjutkan tugasnya, sementara Ki Lurah pun kembali ke pondok yang dipergunakannya.

Sementara itu, di sebuah pondok yang lain, Sekar Mirah masih juga terbangun menunggui Agung Sedayu yang menjadi berangsur baik. Pernafasannya menjadi lancar dan darahnya pun mengalir dengan wajar. Meskipun tubuhnya masih sangat lemah, tetapi tidak lagi sangat mencemaskan.

Di bagian lain, Swandaru yang juga terluka duduk bersandar dinding. Pandan Wangi ternyata masih belum tidur juga. Sekali-sekali Pandan Wangi pergi melihat keadaan ayahnya yang juga sudah bertambah baik. Bahkan Ki Gede nampaknya sudah merasa tidak terganggu lagi oleh luka-lukanya. Meskipun demikian, Kiai Gringsing masih menasehatkan, agar Ki Gede jangan turun dahulu ke medan. Meskipun rasa-rasanya Ki Gede sudah sembuh, tetapi jika ia turun ke medan pertempuran, maka lukanya akan dapat terbuka kembali. Darah akan mengalir lagi.

Ki Lurah Branjangan yang singgah sejenak menjenguk mereka yang terluka pun sempat berkata kepada Sekar Mirah dan Pandan Wangi, “Sebaiknya kalian beristirahat. Tidurlah, agar kalian tidak menjadi sangat letih. Jika besok kalian akan turun ke medan, maka kekuatan kalian masih utuh. Tetapi jika kalian kurang beristirahat malam ini, maka besok tenaga kalian sudah akan susut sejak kalian mulai.”

“Baiklah Ki Lurah,” jawab Sekar Mirah, “tetapi rasa-rasanya aku tidak mengantuk.”

“Cobalah untuk tidur,” berkata Ki Lurah pula. Sepeninggal Ki Lurah, maka Sekar Mirah dan Pandan Wangi pun telah mencoba untuk berbaring. Mereka sependapat dengan Ki Lurah. Jika mereka tidak tidur sama sekali, maka tenaga mereka akan susut sejak mereka mulai ke medan. Sedangkan perang akan berlangsung tanpa mengingat keadaan seseorang. Ujung senjata yang tidak pernah memilih korbannya tidak menghiraukan sama sekali, apakah seseorang sudah kehilangan kemampuan untuk melawan atau tidak. Dan maut pun dengan bengis akan menghampiri siapa saja yang tidak mampu lagi menolaknya.

Agung Sedayu, Swandaru, dan Ki Gede pun telah menganjurkan pula kepada kedua perempuan itu, untuk tidur sejauh dapat dilakukan malam itu.

Demikianlah, ketika kedua pesanggrahan di sebelah menyebelah Kali Opak itu menjadi lengang, maka ketegangan menjadi semakin memuncak pada beberapa orang di antara orang-orang yang berada di dalam lingkungan pasukan Pajang. Mereka menunggu untuk mengambil satu langkah yang tidak menghiraukan lagi hadirnya Kanjeng Sultan Hadiwijaya yang terluka, bersama pasukan yang hanya tunduk kepada perintahnya.

Beberapa orang senapati yang mendapat kepercayaan dari Kakang Panji untuk mengetahui rencananya pun telah mulai bersiap-siap. Pada saat yang tepat ia harus memberikan perintah kepada orang-orangnya untuk bersiap dan kemudian menyerang sebelum waktu yang seharusnya.

Sampai lewat tengah malam, Kakang Panji yakin, bahwa rahasia yang dipercayakan hanya kepada beberapa orang itu dapat disimpan sebaik-baiknya. Karena itu, maka ia pun yakin, bahwa sampai saatnya, orang-orang Mataram akan mengalami satu kejutan yang tidak akan teratasi. Malapetaka akan menimpa mereka dan pasukannya pun akan terkoyak dan hancur berkeping-keping.

Karena itu, maka Kakang Panji pun merasa perlu untuk beristirahat barang sejenak. Tetapi ia masih juga berpesan dengan sungguh-sungguh, agar beberapa orang kepercayaannya selalu mengawasi keadaan. Tidak seorang pun boleh menyeberang Kali Opak. Siapa pun mereka. Jika perlu, maka kepercayaannya itu harus melaporkannya kepada Kakang Panji, jika mereka tidak dapat mengatasinya sendiri. Namun usaha menyusupkan rahasia itu ke pasukan Mataram harus benar-benar dicegah.

Dengan demikian maka kepercayaan Kakang Panji itu pun telah berusaha sebaik-baiknya untuk mencegah kemungkinan yang tidak dikehendaki itu.

Namun dalam pada itu, bagaimanapun juga rapatnya Kakang Panji menyimpan rahasianya, namun ada juga seseorang di antara mereka yang mendapat kesempatan untuk mendengar rencananya itu adalah orang yang tetap setia kepada Kanjeng Sultan Hadiwijaya. Seorang yang atas ijin Pangeran Benawa selalu berusaha untuk mendapat keterangan sejauh-jauhnya tentang orang-orang yang telah membayangi kekuasaan Kanjeng Sultan Hadiwijaya.

Adalah satu kesempatan yang tidak diduganya, ketika ia termasuk salah seorang yang sedikit jumlahnya dari antara para senapati pasukan khusus yang diminta untuk ikut mendengarkan dan berbicara bersama seseorang yang bernama Kakang Panji. Bahkan selama kekuasaan pasukan khusus itu berada di tangan Ki Tumenggung Prabadaru, ia sama sekali belum pernah mendapat kesempatan seperti itu. Namun sejak pimpinan pasukan khusus itu berada pada Ki Tumenggung Prabadaru, ia sudah menjalankan perintah Pangeran Benawa, karena sebenarnyalah bahwa Pangeran Benawa tidak mempercayai Ki Tumenggung itu sepenuhnya. Namun senapati itu tidak terlalu banyak mendapat kesempatan untuk mengetahui rahasia Ki Tumenggung. Hanya di saat-saat terakhir orang itu telah berusaha untuk nampak semakin setia kepada Ki Tumenggung. Bahkan ketika mereka berada di medan, senapati itu seolah-olah tidak memperhitungkan dirinya sendiri karena pengabdiannya kepada Ki Tumenggung. Ketika Ki Tumenggung Prabuda itu terbunuh di peperangan oleh Agung Sedayu, orang itulah yang nampaknya paling bersedih, dan bahkan senapati itu telah mengucapkan sumpah untuk membalaskan dendam kematian Ki Tumenggung Prabadaru.

Ternyata justru setelah Ki Tumenggung terbunuh, ia mendapat kesempatan untuk mengetahui serba sedikit rahasia tentang Ki Tumenggung dengan pasukannya.

Namun demikian, senapati itu merasa mendapat kesulitan yang sulit untuk diatasinya, bagaimana ia dapat menyampaikan rahasia itu kepada Pangeran Benawa.

Tetapi senapati itu tidak menyerah kepada keadaan. Ia sudah mendengar rencana yang curang dari orang yang menyebut dirinya Kakang Panji. Dan ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan itu.

Selama masa Ki Tumenggung memegang kekuasaan atas pasukan khusus, maka ia lebih banyak melaksanakan tugas yang kadang-kadang kurang dimengerti maksudnya. Bahkan kadang-kadang bertentangan dengan penalarannya. Namun sebagai seorang prajurit dari pasukan khusus, maka ketaatan merupakan nilai utama di samping kemampuannya. Tetapi kini tiba-tiba ia tidak sekedar melakukan perintah. Tetapi ia mendengar satu rahasia yang akan dilaksanakan dengan perintah yang harus diberikan kepada para prajurit dari pasukan khusus.

Dengan demikian, maka senapati itu bertekad untuk menyampaikan rahasia itu kepada Pangeran Benawa. Terserah apa yang akan dilakukan oleh Pangeran Benawa. Namun senapati itu tahu pasti sikap Pangeran Benawa terhadap Mataram. Dan bahkan sikap Kanjeng Sultan sendiri terhadap Mataram. Bahkan dengan yakin senapati itu berpegang pada sikap Kanjeng Sultan yang pernah dikatakan oleh Pangeran Benawa, bahwa Mataram akan sanggup meneruskan cita-cita Kanjeng Sultan Hadiwijaya yang belum dapat di capainya bagi kepentingan Pajang, tanpa menghiraukan apakah pencapaian cita-cita itu akan dikendalikan dari Pajang atau dari Mataram. Namun yang penting, rakyat Pajang harus merasakan, betapa negerinya adalah negeri yang gemah ripah lohjinawi, dalam kehidupan yang sejahtera lahir dan batin.

Karena itulah, maka malam itu senapati itu sama sekali tidak bermaksud untuk beristirahat. Bahkan ia pun kemudian membawa dua orang pengawalnya yang paling dipercaya untuk meronda.

Untuk beberapa saat, senapati itu sekedar hilir mudik saja di sekitar pesanggrahan pasukan khususnya. Namun kemudian senapati itu mulai mengamati daerah yang lebih luas. Bahkan kemudian ia berjalan mendekati tebing Kali Opak.

Namun langkahnya terhenti, ketika ia melihat dua orang yang sedang mengawasi medan. Bukan dari pasukan khusus yang sedang bertugas, tetapi mereka adalah orang-orang yang terlibat ke dalam benturan kekuatan itu atas permintaan beberapa orang pemimpin Pajang yang ternyata telah terpengaruh oleh Ki Tumenggung Prabadaru atas nama Kakang Panji, dengan mendapatkan beberapa janji dan kesanggupan.

Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Ia tahu bahwa dalam barisan Pajang terdapat pasukan yang bukan prajurit Pajang yang jumlahnya cukup besar. Beberapa orang pemimpin pasukan Pajang menyatakan, bahwa mereka adalah rakyat Pajang yang dengan suka rela mengabdikan diri untuk menumpas pemberontakan di Mataram. Namun sebenarnya mereka adalah unsur kekuatan Kakang Panji.

“Tetapi hal ini sudah diketahui oleh Pangeran Benawa,” berkata senapati itu di dalam hatinya. Lalu, “Bahkan tidak mustahil, jika Kanjeng Sultan sendiri sudah mengetahuinya. Bukan mustahil pula, bahwa keadaan Kanjeng Sultan yang gawat itu merupakan ujud dari keprihatinan yang sangat, meratapi keadaan yang sedang berlaku.”

Namun akhirnya senapati itu berkata, “Aku harus bertemu dengan Pangeran Benawa. Jika Pangeran Benawa memerintahkan aku tetap memegang rahasia itu agar tidak didengar orang Mataram, aku akan menggenggamnya dengan taruhan nyawaku. Tetapi jika Pangeran Benawa bersikap lain dan memerintahkan aku menyampaikan rahasia ini kepada orang Mataram, maka aku akan menyampaikannya, apa pun yang dapat terjadi.”

Tetapi senapati itu tidak dengan serta merta melangkah kembali untuk menghindarkan kecurigaan. Tetapi ia justru mendekati dua orang itu dan bertanya, “He, apakah tugas kalian di sini?”

Dua orang kepercayaan Kakang Panji itu mengenal senapati itu. Senapati yang termasuk orang-orang yang mendapat kepercayaan pula dari Kakang Panji yang jumlahnya tidak terlalu banyak.

Karena itu, maka ia pun menjawab, “Aku mengamati tebing Kali Opak. Tidak seorang pun boleh menyeberang.”

“Aku tahu,” jawab senapati itu, “tetapi orang yang ingin menyeberang dapat memilih jalan lain, yang berada di luar pengawasanmu.”

“Bukan hanya kami berdua yang mengawasi tebing,” jawab orang itu.

Senapati itu mengangguk-angguk. Bahkan katanya kemudian, “Kalian adalah orang-orang yang mengemban tugas yang sangat menentukan. Jika kalian gagal melakukan tugas kalian, maka gagal pulalah semua impian dan harapan yang pernah kita bangun di dalam angan-angan kita. Bukan saja yang tumbuh dalam satu dua hari ini. Tetapi merupakan harapan bagi seluruh rakyat Pajang yang terpahat di dalam nurani mereka, karena selama ini mereka memang merindukan satu masa sebagaimana pernah hadir di atas bumi kita ini.”

Kedua orang itu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian salah seorang menjawab dengan sungguh-sungguh, “Karena itulah, maka aku telah mempertaruhkan apa saja yang ada padaku. Termasuk jiwa dan ragaku.”

Senapati itu menepuk bahu orang itu sambil berkata, “Lakukan tugasmu sebaik-baiknya. Mataram hanya sempat bernafas di sisa malam ini. Besok, pagi-pagi benar, kita akan mengkoyak-koyak mereka menjadi sayatan-sayatan sampah yang tidak berarti.”

Kedua orang itu tidak menjawab. Mereka melihat senapati itu kemudian melangkah meninggalkan mereka.

“Orang-orang sedungu kerbau itu justru merupakan orang-orang yang berbahaya,” gumam senapati itu.

Kedua orang pengawal terpercayanya tidak menyahut. Tetapi mereka pun sependapat dengan senapatinya.

Dalam pada itu, maka senapati itu pun telah menyusuri tebing Kali Opak. Tetapi ia sama sekali tidak ingin menyeberang. Hanya akan melaporkan kepada Pangeran Benawa. Keputusan terakhir, apakah rahasia itu akan disampaikan kepada orang-orang Mataram atau tidak, tergantung sekali kepada Pangeran Benawa sendiri.

Dengan demikian, maka langkah senapati itu pun kemudian menuju ke pesanggrahan di induk pasukan. Ketika ia merasa tidak lagi diawasi oleh kepercayaan Kakang Panji, maka ia pun telah menyelinap dan hilang di gerumbul-gerumbul yang pekat.

“Perhatian orang-orang itu tertuju kepada jalur Kali Opak,” berkata senapati itu, “karena itu, maka kita tentu tidak terlalu banyak mendapat perhatian mereka. Dan memang kita tidak akan menyeberang.”

Para pengawalnya pun sependapat pula. Dan mereka pun dengan hati-hati mengikuti senapatinya mendekati pesanggrahan Kanjeng Sultan Hadiwijaya dan Pangeran Benawa.

Namun ternyata pesanggrahan itu telah dijaga dengan rapatnya. Senapati itu pun akan menemui kesulitan untuk memasuki pasanggrahan tanpa dilihat oleh para pengawal.

“Tidak ada jalan,” berkata salah seorang kepercayaannya yang dari kejauhan menyadari adanya penjagaan yang rapat. Di bawah obor-obor yang terang di sekitar pesanggrahan itu, nampak para petugas yang sedang berjaga-jaga dan yang sedang nganglang mengelilingi pasanggrahan itu.

“Sulit menurut pertimbanganmu?” bertanya senapati itu kepada pengawalnya.

“Sulit untuk ditembus tanpa mereka ketahui,” jawab salah seorang di antara mereka. Sementara yang lain berkata, “Bagaimana jika kita berterus terang kepada para pengawal, bahwa kita akan pergi menghadap Pangeran Benawa?”

“Mungkin kita akan berhasil,” jawab Senapati itu, “kita akan dapat bertemu dengan Pangeran Benawa. Tetapi apakah kau yakin, bahwa di antara para pengawal tidak terdapat orang-orang Kakang Panji? Orang-orang yang akan dapat melaporkan tentang usaha kita menyampaikan hal ini kepada Pangeran Benawa?”

Kedua pengawalnya mengangguk-angguk. Hal itu bukan hal yang mustahil. Jika salah seorang di antara para pengawal pesanggrahan itu berpihak kepada Kakang Panji dan melaporkan kehadiran mereka, mungkin Kakang Panji akan cepat bertindak. Bukan saja hal itu akan dapat membahayakan jiwa senapati itu, tetapi juga rencananya mungkin akan berubah sehingga sulit untuk diketahui.

Karena itu, maka senapati itu termangu-mangu sejenak. Apa yang sebaiknya dilakukan, agar usahanya untuk menyampaikan rahasia itu tidak diketahui oleh siapa pun juga.

Dalam pada itu, senapati dan kedua pengawalnya itu masih saja berusaha agar kehadirannya tidak diketahui oleh siapa pun juga. Mereka masih berada di gerumbul-gerumbul liar, sementara mereka sibuk untuk mencari jalan keluar. Apakah yang sebaiknya dikerjakan.

Namun akhirnya salah seorang kepercayaannya itu pun berkata, “Biarlah aku saja yang menghadap. Silahkan kembali ke pasukan. Aku tidak akan kembali ke pasukan khusus. Seandainya ada orang yang melihat aku dan melaporkannya kepada Kakang Panji, biarlah aku yang menjadi sasaran kemarahannya sehingga tidak mengganggu rencana keberangkatan pasukan khusus dalam keseluruhan.”

Senapati itu berpikir sejenak. Namun kemudian katanya, “Apakah kau sudah tahu, apa yang akan aku sampaikan?”

“Sudah. Rencana pasukan Pajang menyerang pasukan Mataram mendahului isyarat yang akan diberikan,” jawab pengawal itu. “Bukankah Senapati tadi mengatakan hal itu ?”

“Ya. Aku percaya sepenuhnya kepadamu. Tetapi apakah Pangeran Benawa mempercayaimu?” gumam senapati itu.

“Biarlah aku mencoba meyakinkannya,” jawab pengawalnya itu, “memang mungkin akhirnya Pangeran Benawa tidak percaya. Tetapi kita sudah berusaha. Mungkin sekali rencana Kakang Panji itu jika terlaksana benar-benar membahayakan pasukan Mataram, sementara kita tahu sikap Pangeran Benawa dan mungkin Kanjeng Sultan sendiri.”

Senapati itu mengangguk-angguk. Pengawal itu memang benar-benar seorang yang dapat dipercayanya. Sehingga karena itu, maka senapati itupun berkata, “Baiklah. Pergilah ke barak itu. Kau dapat berterus terang kepada para pengawal, bahwa kau akan menghadap Pangeran Benawa untuk menyampaikan sesuatu yang sangat penting, yang hanya boleh diketahui oleh Pangeran Benawa sendiri. Sementara itu, kau sendiri adalah prajurit Pajang, sehingga kau akan mendapat kesempatan yang cukup.”

“Baiklah,” jawab pengawal itu, “silahkan kembali ke pasanggrahan, agar jika setiap saat Kakang Panji itu menghubungi pasukan kita, Senapati sudah ada di tempat.”

Senapati itu mengangguk. Namun ketika ia melihat bintang di langit yang sudah bergeser semakin jauh, serta memperhatikan lintang Gubug Penceng di ujung selatan, maka ia pun menjadi berdebar-debar. Waktunya semakin mendesak, sehingga dalam waktu yang terhitung singkat, pasukan Mataram akan segera tergilas oleh pasukan Pajang yang datang mendahului saat-saat yang diperhitungkan oleh pasukan Mataram.

“Berhati-hatilah,” berkata senapati itu, “tugasmu sangat berat. Kau akan dapat mempengaruhi peristiwa yang bakal datang sesaat lagi. Namun segalanya tergantung kepada Pangeran Benawa,” berkata senapatinya. “Aku akan kembali ke pasukanku, agar tidak timbul kecurigaan apa pun terhadap seluruh pasukan khusus itu.”

“Silahkan,” jawab pengawal itu sambil memandangi obor-obor di sekitar pasanggrahan itu, “aku akan berusaha untuk dapat bertemu dengan cara apa pun juga dengan Pangeran Benawa.”

Namun dalam pada itu, selagi pengawal itu mempersiapkan diri, terdengar desir lembut di belakang mereka. Bahkan kemudian terdengar suara orang mendeham perlahan.

Senapati dan para pengawalnya terkejut. Tiba-tiba saja mereka berloncatan dan siap menghadapi segala kemungkinan.

Sesaat mereka tercenung. Mereka melihat sesosok dalam bayangan dedaunan gerumbul yang rimbun, berdiri tegak dengan kaki renggang.

“Siapa kau?” bertanya senapati itu. Bayangan itu tidak segera menjawab. Namun senapati itu mendengar orang itu tertawa pendek.

Senapati itu pun bergeser maju setapak mendekati bayangan itu diikuti oleh kedua pengawalnya. Dengan nada dalam senapati itu mengulangi pertanyaannya, “Siapa kau, he?”

Suara tertawa itu pun lenyap. Namun jawaban orang itu telah mengejutkan senapati itu sekali lagi, “Apakah kau tidak mengenal aku?” Senapati itu termangu-mangu. Namun bayangan itulah yang kemudian mendekat.

Senapati itu menarik nafas dalam dalam. Katanya “Pangeran sangat mengejutkan aku.”

Pangeran Benawa tertawa. Sambil mendekat ia menyahut, “Aku melihat kehadiranmu. Dan aku mendengar semua percakapanmu.”

“Jadi Pangeran sudah tahu, apa yang ingin kami sampaikan kepada Pangeran?” bertanya senapati itu.

“Seperti yang kau tanyakan kepada pengawalmu yang akan memasuki pesanggrahan. Dan pengawalmu itu menjawab, bahwa pasukan Pajang besok akan menyerang Mataram mendahului isyarat,” jawab Pangeran Benawa.

“Demikianlah, Pangeran,” berkata senapati itu, “nampaknya Kakang Panji telah bersiap menghadapi kemungkinan yang paling buruk yang akan terjadi. Setelah Mataram, maka mereka tentu akan menghancurkan prajurit Pajang.”

“Bagaimana dengan pasukan khusus?” bertanya Pangeran Benawa.

“Pasukan itu benar-benar telah dikuasai Ki Tumenggung Prabadaru yang berpihak kepada Kakang Panji. Sekarang, semua orang di dalam pasukan itu masih tetap melakukan semua perintah Kakang Panji,” jawab senapati.

“Itu tergantung kepada para Senapatinya. Bahkan senapati tertentu, karena mungkin yang lain tidak tahu arti dari gerakan mereka. Mereka hanya menjalankan perintah yang mereka terima dari atasannya, seperti yang kau lakukan pada saat Ki Tumenggung masih memegang pimpinan. Tetapi kau tidak tahu, apa yang sebenarnya bergejolak di balik semua perintah-perintahnya itu,” berkata Pangeran Benawa.

“Ya, Pangeran. Tetapi pada umumnya, para senapatinya telah terpengaruh. Dan aku tidak berani menentang arus tanpa mengetahui dengan pasti, siapa saja kawan-kawanku di dalam lingkungan pasukan khusus itu.”

“Baiklah. Kau memang harus sangat berhati hati, agar kau sendiri tidak ditelan oleh pasukan khusus itu,” berkata Pangeran Benawa kemudian. Lalu, “Tetapi pokok laporanmu telah aku dengar dari percakapan kalian. Lainnya, apakah yang penting akan kau laporkan lagi?”

“Satu-satunya laporanku kali ini Pangeran,” jawab senapati itu, “sebab yang satu itu akan menentukan segala-galanya. Aku tidak tahu, apakah Pangeran akan memberitahukannya kepada orang-orang Mataram, atau justru akan mempergunakan saat itu pula untuk menghancurkan Mataram, dan sekaligus pasukan Kakang Panji?”

Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Sejenak ia teimangu-mangu. Namun kemudian ia pun berkata, “Apakah kau tahu, sikap sebenarnya dari Ayahanda Sultan terhadap Kakangmas Sutawijaya?”

Senapati itu termangu-mangu. Tetapi kemudian jawabnya, “Belum Pangeran. Tetapi ada satu keheranan yang selama ini menggelitik jantung. Kenapa Kanjeng Sultan tidak segera turun ke medan. Semula kami menganggap, bahwa hal itu disebabkan karena kesehatan Kanjeng Sultan. Namun pertanyaan Pangeran tentang sikap Kanjeng Sultan telah menumbuhkan satu dugaan lain.”

“Baiklah,” berkata Pangeran Benawa, kemudian, “kau sudah menunjukkan kesetiaanmu. Karena itu, tidak ada salahnya jika aku mengatakannya kepadamu.”

Senapati itu mengerutkan keningnya. Sementara Pangeran Benawa berkata selanjutnya, “Ketahuilah, bahwa Ayahanda sudah tidak berpengharapan lagi atas Pajang. Harapannya satu-satunya bagi kelanjutan cita-citanya adalah justru Mataram.”

Senapati itu termangu-mangu. Kemudian katanya, “Keterangan Pangeran sudah jelas. Agaknya Pangeran condong untuk menyampaikan berita kepada Mataram. Tetapi segalanya terserah kepada Pangeran.”

“Ya. Aku akan menyampaikan berita ini kepada Kakangmas Sutawijaya,” jawab Pangeran Benawa.

“Tetapi Pangeran, sepanjang Kali Opak malam ini telah dijaga dan diawasi oleh kepercayaan orang yang menyebut dirinya Kakang Panji, orang yang telah membayangi kekuasaan Kanjeng Sultan. Orang yang mempunyai kuasa lebih besar dari Ki Tumenggung Prabadaru.” 

“Bahkan yang telah menggerakkan Ki Tumenggung,” sahut Pangeran Benawa.

“Ya,” jawab senapati itu, “aku telah mendapat kesempatan di luar dugaanku untuk berbicara dengan orang itu bersama-sama dengan beberapa orang. Hanya beberapa. Orang-orang kepercayaannya menganggap bahwa aku adalah orang yang paling setia kepada Ki Tumenggung Prabadaru.”

“Bagus,” jawab Pangeran Benawa, “ternyata kau tidak hanya membawa kabar penting tentang serangan yang mendahului isyarat itu. Tetapi kau juga membawa keterangan tentang seorang yang selama ini tersembunyi. Namun tentu kau belum tahu, siapa orang itu sebenarnya?”

“Ampun Pangeran,” jawab senapati itu, “aku belum dapat mengenalnya lebih dalam.”

“Baiklah. Sekali lagi aku berterima kasih kepadamu. Kau telah membawa berita yang sangat berarti,” jawab Pangeran Benawa.

“Tetapi Pangeran, waktunya terlalu sempit. Sementara itu, sulit bagi kita untuk menyampaikan berita ke pasukan Mataram. Seperti yang sudah aku katakan, Kali Opak diawasi dari ujung sampai ke ujung sayap oleh orang-orang Kakang Panji itu,” berkata Senapati itu.

Pangeran Benawa tersenyum. Katanya, “Memang sulit untuk menembus pengawasan itu. Seandainya kita dapat mengalahkan kepercayaan Kakang Panji yang akan menghalangi kita, namun dengan demikian, mungkin sekali mereka akan mengambil langkah lain.”

Senapati yang masih tetap setia kepada Pangeran Benawa itu termangu-mangu sejenak. Sementara itu Pangeran Benawa menjelaskan, “Jika seorang saja di antara kepercayaan Kakang Panji itu terdapat terbunuh, maka Kakang Panji tentu menyadari, bahwa rencananya tentu sudah sampai ke telinga orang-orang Mataram, sehingga ia akan mengambil kebijaksanaan lain. Mungkin ia akan mengurungkan serangannya, atau bahkan menarik seluruh kekuatannya. Jika demikian, maka persoalannya akan menjadi berkepanjangan, sementara itu mereka ternyata memang mempunyai kekuatan yang akan dapat mempengaruhi keadaan.”

“Jadi, apa yang terbaik menurut Pangeran?” bertanya senapati itu. Lalu, “Apakah Pangeran akan menugaskan satu dua orang berusaha menembus pengawasan orang-orang Kakang Panji dengan diam-diam? Atau membiarkan orang-orang Mataram dan para pengikut Kakang Panji itu hancur bersama-sama.”

“Sudah aku katakan,“ jawab Pangeran Benawa, “sebenarnyalah bahwa Ayahanda mengharap Mataram akan dapat melanjutkan cita-cita Pajang yang belum dapat diujudkannya sampai saat Ayahanda tidak lagi mampu mengendalikan rakyat Pajang.”

“Jika demikian, lalu bagaimana sikap Pangeran? Menembus pengawasan itu?” desak senapatinya yang menjadi bingung.

“Menurut pendapatmu, apakah mungkin?” Pangeran Benawa justru bertanya.

“Sulit, Pangeran. Pengawasan itu terlalu ketat. Dan kini, waktu menjadi semakin sempit,” berkata senapati itu. “Sebentar lagi, aku tentu sudah mendapat perintah untuk bersiap, dan kami akan menyeberang dengan diam-diam sebelum matahari terbit, langsung menyerang orang-orang Mataram yang mungkin baru bersiap-siap, sementara yang lain masih berbaring di pembaringannya sambil terkantuk-kantuk.”

“Baiklah,” berkata Pangeran Benawa,” segeralah kembali ke pasukanmu. Setiap saat kau akan menjalankan perintah itu. Jika kau terlambat, dan apalagi diketahui menemui aku di sini, maka kau akan dicurigai. Dan kau akan tahu akibat dari kecurigaan itu.”

“Lalu, bagaimana Pangeran akan menyampaikan berita ini ke seberang Kali Opak?” senapati itu masih bertanya.

“Aku akan memikirkannya,” jawab Pangeran Benawa.

“Pangeran masih akan memikirkannya?” bertanya senapati itu, “Sementara malam semakin tipis.”

“Tentu aku tidak dapat bertindak dengan tergesa-gesa,” jawab Pangeran Benawa. “Sudahlah. Serahkan kepadaku. Aku berusaha sejauh dapat aku lakukan. Namun sudah pasti, aku tidak akan berdiam diri.”

Senapati itu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada rendah ia bergumam, “Kapan Pangeran akan bertindak? Tetapi baiklah, Pangeran. Aku akan kembali ke pasukanku. Segalanya terserah kepada Pangeran.”

“Aku akan berusaha. Entah, apa yang dapat aku lakukan. Tetapi hal ini memang harus didengar oleh orang-orang Mataram,” jawab Pangeran Benawa.

Senapati itu tidak mempersoalkannya lagi. Ia pun segera minta diri dan kembali ke pasukannya. Pasukan khusus yang sejak dibentuk dipimpin oleh Ki Tumenggung Prabadaru.

Sepeninggal senapati itu, Pangeran Benawa duduk termangu-mangu. Ia sependapat, bahwa hal itu sangat penting bagi pasukan Mataram. Jika mereka dapat disergap dengan cara yang licik itu, maka pasukan Mataram tentu akan benar-benar hancur. Bahkan mungkin bukan saja pasukan yang ada di kedua sayapnya, tetapi juga yang berada di induk pasukan. Sementara Agung Sedayu masih terbaring karena lukanya, Ki Gede Menoreh dan Swandaru yang juga terluka tidak akan dapat berbuat banyak. Jika orang-orang terpenting dari Mataram dapat disergap pula, maka kekuatan Mataram benar-benar akan runtuh. Betapapun juga orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi berjuang bagi Mataram, mereka tidak akan dapat melawan orang-orang Pajang dalam jumlah yang besar, setelah mereka membantai seluruh pasukan.

Dalam kecemasan, Pangeran Benawa mengendap-endap kembali ke pesanggrahannya. Baru setelah ia berada beberapa langkah dari para penjaga, ia berjalan dengan tenang ke regol halaman.

Beberapa orang penjaga merundukkan tombak mereka. Tetapi ketika mereka melihat Pangeran Benawa, maka mereka pun justru telah menyibak.

Selagi Pangeran Benawa mencari jalan untuk memberitahukan rencana serangan yang licik itu kepada orang-orang Mataram, maka Kakang Panji pun telah memberikan isyarat agar orang-orangnya bersiap-siap. Mereka harus mulai membangunkan setiap pemimpin kelompok dan memerintahkannya untuk menyiapkan pasukan. Tidak ada keterangan yang perlu mereka berikan kepada para pemimpin kelompok, apalagi para prajurit. Pada saatnya mereka harus berangkat menyerang orang-orang Mataram. Penjelasan yang perlu diberikan adalah bahwa orang-orang Mataram harus dihancurkan. Itu saja.

Namun dalam pada itu, orang-orang terpenting dari Pajang dan para pengikut Kakang Panji yang lain telah mengetahui dengan pasti, apa yang akan terjadi.

Karena itu, sebelum waktu yang wajar untuk bersiap, pasukan yang kuat telah bersiap. Para pemimpin kelompok dan orang-orangnya sama sekali tidak mengerti, apa yang akan terjadi. Namun mereka telah mendapat makan pagi mereka lebih pagi, dan kemudian mendapat perintah untuk berangkat ke medan tanpa menunggu isyarat sebagaimana biasa.

Tidak banyak orang yang mengerti. Tetapi mereka berangkat pula dengan hati yang bertanya-tanya. Namun kemudian para pemimpin kelompok pun mendengar juga alasan yang disampaikan kepada mereka. Untuk mencegah perbuatan licik orang-orang Mataram yang selalu mempengaruhi pertempuran dengan suara bende Kiai Bicak. Karena itu, maka tugas mereka yang pertama, sepasukan kecil yang khusus akan menyerang langsung dan merebut Kiai Bicak, sementara yang lain harus dengan cepat memasuki setiap pasanggrahan dan membinasakan semua isinya. Siap atau tidak siap.

Dalam pada itu, ketegangan telah memuncak. Orang-orang Pajang memperhitungkan, bahwa Mataram benar-benar belum siap untuk melawan serangan yang datang dengan tiba-tiba. Karena itu, sesuai dengan perintah yang mereka terima, maka mereka harus bergerak cepat. Mereka harus dengan segera melintasi Kali Opak dan mendaki tebing. Selanjutnya, berlari cepat menuju ke pesanggrahan orang-orang Mataram, langsung memasuki setiap rumah dan membunuh orang-orang yang ada di dalamnya. Namun mereka tidak boleh lepas dari keterikatan. Jika terdengar isyarat-isyarat tertentu, maka mereka harus berusaha menempatkan diri dalam satu kesatuan gelar. Namun menurut perhitungan, maka lawan mereka sudah tidak akan mampu lagi untuk mencegah pasukan Pajang itu menghancurkan mereka.

“Kali ini tidak boleh gagal,” geram Kakang Panji yang ada di antara pasukan itu, “bantai setiap orang yang kalian temukan di dalam pesanggrahan, di regol, atau di mana saja.”

Pasukan yang menyerang itu memang menganggap, bahwa perlawanan orang-orang Mataram tidak akan berarti apa-apa, karena mereka tidak siap.

Sebenarnyalah, ketika pasukan Pajang itu mendekati pesanggrahan orang-orang Mataram, sama sekali tidak ada tanda-tanda, bahwa orang-orang Mataram telah mempersiapkan diri untuk melawan mereka. Pesanggrahan mereka nampak sepi. Tidak ada isyarat bunyi dan tidak ada pasukan yang datang menyongsong.

Dalam pada itu, gerakan pasukan Pajang di bawah pengaruh Kakang Panji itu telah didengar pula oleh Kanjeng Sultan. Ternyata bahwa seorang pengawalnya yang mengamati keadaan melihat keberangkatan orang-orang Pajang, terutama dari kedua belah sayap pasukannya.

Kanjeng Sultan yang menjadi semakin lemah itu telah memanggil Pangeran Benawa. Dengan tanpa didengar orang lain, Kanjeng Sultan telah berbincang dengan Pangeran Benawa tentang berita yang didengarnya.

“Sebenarnyalah yang Ayahanda dengar itu telah terjadi,” jawab Pangeran Benawa.

“Jika demikian,” nafas Kanjeng Sultan terasa sesak, “pasukan Mataram akan dihancurkan pagi ini.”

Pangeran Benawa merenung sejenak. Namun katanya kemudian, “Mudah-mudahan Kakangmas Sutawijaya dapat berbuat sesuatu untuk menyelamatkan pasukannya.”

“Apakah Kakangmasmu mengetahui?” bertanya Kanjeng Sultan.

“Hamba telah berusaha menghubunginya,” jawab Pangeran Benawa.

“Kau menyeberang?” bertanya Kanjeng Sultan pula.

“Tidak, Ayahanda,” jawab Pangeran Benawa.

“Orang lain?” desak ayahandanya.

“Juga tidak,” jawab Pangeran Benawa pula.

Kanjeng Sultan menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia pun tidak bertanya lagi. Namun ia bergumam, “Mudah-mudahan Mataram akan dapat menolong dirinya sendiri, bangkit dan menjadi tumpuan harapan bagi masa datang.”

Pada saat yang demikian, ketika Pangeran Benawa sedang menghadap ayahandanya Kanjeng Sultan Hadiwijaya, maka pasukan Pajang di bawah pengaruh Kakang Panji itu benar-benar telah mencapai pesanggrahan tanpa mendapat perlawanan. Dengan serta merta merekapun telah memasuki setiap regol rumah yang dipergunakan sebagai pesanggrahan oleh orang-orang Mataram.

Dengan pedang terhunus, tombak merunduk dan senjata-senjata lain yang siap terayun memenggal leher orang-orang Mataram yang masih tertidur di pembaringan, maka mereka telah memecahkan pintu dan menghambur ke ruang dalam.

Namun tidak seorang pun di antara mereka yang memperhatikan, bahwa di regol-regol padukuhan yang dipergunakan sebagai pesanggrahan pasukan Mataram itu, tidak ada seorangpun pengawal yang berjaga-jaga.

Demikian pula, ketika pasukan Pajang itu memasuki setiap pintu dan menghambur ke dalam, maka mereka pun telah terkejut melihat satu kenyataan, bahwa tidak ada seorang pun yang mereka jumpai.

Yang terdengar kemudian adalah umpatan-umpatan kasar. Dengan kemarahan yang menghentak-hentak dada mereka telah memecahkan semua pintu. Mencari seseorang di segala sudut, bahkan sampai ke kolong amben di sentong-sentong.

“Gila,” geram seseorang, “apakah orang-orang Mataram terdiri dari hantu-hantu?”

Ternyata pertanyaan itu telah berkembang di hati orang-orang Pajang. Seseorang yang semula sama sekali tidak berpikir tentang hantu, tiba-tiba saja bergumam bagi dirinya sendiri, “Ya. Ternyata pasukan Mataram terdiri dari hantu-hantu Alas Mentaok yang bergabung dengan hantu-hantu dari Lautan Kidul.”

Sementara yang lain pun berkata kepada diri sendiri, “Apakah orang-orang Mataram dapat merubah dirinya menjadi asap, atau terhisap ke dalam tanah, atau mereka mempunyai kemampuan melenyapkan diri dengan ilmu Panglimunan, atau mereka keluarga lelembut dari Alas Mentaok?”

Para prajurit dan orang-orang Pajang menjadi sangat tegang. Berbagai dugaan telah berputar-putar di benak mereka, sehingga seorang yang bagaikan kehilangan akal telah duduk bersandar tiang sambil memukul-mukul kepalanya, “Apakah aku sudah gila?”

Seorang yang agak tenang telah melihat sebuah mangkuk di atas geledeg. Namun jantungnya pun berdebaran, ketika ia di luar sadarnya telah meraba mangkuk itu. Terpekik ia berkata, “Mangkuk ini masih hangat.”

“Gila,” teriak seorang senapati muda, “kau lihat beberapa potong pondoh beras itu? Masih ada beberapa potong yang belum sempat termakan.”

Kegelisahan benar-benar telah mencengkam hati orang-orang Pajang itu. Mereka membuat penafsiran sendiri-sendiri tentang kenyataan yang mereka hadapi. Semua rumah yang dipergunakan oleh orang-orang Mataram telah kosong.

Beberapa orang senapati Pajang dengan tergesa-gesa telah berusaha untuk bertemu dan membicarakan persoalan yang mereka hadapi. Kakang Panji dengan marah telah menghentak-hentak sambil menghancurkan perabot rumah yang dimasukinya.

“Orang-orang Mataram lenyap seperti asap,” geram Kakang Panji, “tetapi itu terjadi baru beberapa saat sebelum kita sampai di sini. Mereka telah dengan tergesa-gesa meninggalkan tempat ini.”

“Tetapi tidak seorang pun yang tertinggal,” berkata seorang senapati, “mereka yang sakit, dan bahkan yang hampir mati sekalipun.”

Kakang Panji yang marah itu pun kemudian berteriak memberikan aba-aba agar para pemimpin segera berkumpul. Hanya orang-orang tertentu. Namun mereka memegang perintah atas pasukan di kedua sayap pasukan Pajang.

“Menurut pengamatan, orang-orang Mataram telah sempat meninggalkan pesanggrahan ini,” berkata Kakang Panji. “Kita jangan kehilangan kesempatan. Meskipun kita tidak dapat menghancurkan mereka selagi mereka masih di pembaringan, namun kita akan mengejar mereka, dan menghancurkan mereka, saat-saat mereka melarikan diri,” berkata Kakang Panji.

Para pemimpin yang lain pun sependapat, bahwa orang-orang Mataram sempat melarikan diri hanya pada saat-saat terakhir. Betapa pun mereka mengumpat-umpat, namun orang-orang Pajang itu harus mengakui kecepatan gerak orang-orang Mataram. Meskipun di dapur masih banyak terdapat makanan dan minuman panas yang belum sempat termakan, namun orang-orang Mataram itu sempat membebaskan diri dari pembantaian di pembaringan mereka.

Kakang Panji pun dengan cepat telah mengatur pasukan yang telah kehilangan sasaran itu. Kemarahan yang menghentak-hentak di dadanya dan di dada para senapati itu agaknya telah membuat mereka kurang cermat menilai keadaan. Mereka menganggap, bahwa orang-orang Mataram telah berlari bercerai berai, sehingga seandainya mereka berusaha menghimpun diri, maka kedudukan mereka tidak akan lagi sekuat saat-saat mereka siap di tebing Kali Opak.

Karena itu, maka perintah yang kemudian dijatuhkan oleh Kakang Panji kepada orang-orang tertentu itu adalah, kejar orang-orang Mataram dalam gelar yang utuh.

Demikianlah, maka orang-orang Pajang itu pun telah berhimpun dalam gelar. Mereka telah mempersiapkan diri untuk bertempur dan menghancurkan pasukan Mataram yang sedang berlari dengan tergesa-gesa meninggalkan pesanggrahan mereka.

Demikianlah, pasukan itu pun dengan segera bergerak. Mereka tidak mau terlambat. Selagi matahari masih belum terbit, maka mereka akan dapat mempergunakan hari itu sebaik-baiknya dan tidak memberi kesempatan orang-orang Mataram menghimpun diri.

Perintah itu diterima dengan hati yang bergejolak. Para senapati dan pemimpin-pemimpin kelompok dari pasukan Pajang telah mendapat perintah. Tetapi kebanyakan dari mereka tidak tahu dengan pasti, siapakah sebenarnya yang memegang perintah itu, karena Kanjeng Sultan tentu tidak ada di dalam pasukan itu. Bahkan mereka juga tidak melihat Pangeran Benawa bersama mereka.

Namun karena senapati langsung di atas mereka telah menjatuhkan perintah, maka mereka tidak sempat dan segan untuk memikirkannya lebih lama lagi. Yang mereka hadapi kemudian adalah satu tugas untuk mengejar dan menghancurkan pasukan Mataram.

Namun demikian, ternyata ada juga bekas keraguan di hati beberapa golongan dari pasukan Pajang itu. Sadar atau tidak sadar, mereka masih juga berbicara tentang lelembut dan hantu dari Alas Mentaok.

Tetapi bagaimanapun juga, pasukan Pajang itu telah maju terus. Dengan cepat mereka berusaha untuk mengejar pasukan Mataram yang menurut perhitungan beberapa orang pemimpin Pajang, telah menarik diri dengan tergesa-gesa.

Dalam gelar yang lengkap, pasukan Pajang itu maju terus. Mereka tidak menghiraukan sawah dan pategalan. Mereka tidak menghiraukan batang-batang padi yang tumbuh dengan suburnya. Mereka juga tidak menghiraukan lumpur dan parit yang melintas gelar mereka. Pagar dan lanjaran tanaman merambat telah mereka terjang dan mereka robohkan.

Menjelang beberapa padukuhan di hadapan mereka, maka para pemimpin Pajang telah memperingatkan, mungkin ada sisa-sisa orang-orang Mataram di padukuhan itu, karena orang-orang yang sakit dan terluka tentu tidak akan dapat mereka bawa sampai jarak yang lebih jauh dengan cepat sebagaimana mereka melarikan diri.

Dalam pada itu, maka langit pun menjadi semakin terang. Pedut pagi yang keputihan telah mulai menipis. Sawah dan ladang nampak semakin jelas dan padukuhan-padukuhan di hadapan mereka, di seberang bulak pun nampak semakin terang menunggu di hadapan mereka. 

Tetapi rasa-rasanya padukuhan-padukuhan itu masih tidur. Mungkin padukuhan-padukuhan di deret pertama dari sebuah medan yang besar itu memang tidak dihuni orang lagi. Mereka telah mengungsi ke padukuhan-padukuhan yang lebih jauh.

Meskipun demikian, orang-orang Pajang itu tidak boleh meninggalkan kewaspadaan. Karena itu, maka setiap senapati pun kemudian telah menjatuhkan aba-aba, agar setiap orang di dalam gelar bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Atas perintah Kakang Panji, maka gelar yang utuh itu pun telah bergeser. Mereka menyesuaikan diri dengan beberapa pedukuhan yang ada di lintasan gelar mereka. Kelompok demi kelompok telah menempatkan diri dalam satu kesatuan memasuki padukuhan-padukuhan yang ada di hadapan mereka, sementara yang tidak melintasi padukuhan harus mengatur diri, sewaktu-waktu mereka akan dapat terhisap dalam pertempuran melawan orang-orang Mataram seandainya mereka berada di dalam padukuhan-padukuhan itu.

Semakin dekat dengan beberapa padukuhan-padukuhan yang seakan-akan sengaja diatur menghadapi kedatangan pasukan Pajang itu, maka pasukan itu pun menjadi semakin bersiaga. Pertempuran itu dapat terjadi setiap saat. Orang-orang Mataram mungkin bersembunyi di balik dinding padukuhan-padukuhan itu.

Dengan demikian, maka orang-orang Pajang itu telah mengurangi laju pasukan mereka. Kelompok-kelompok yang disiapkan untuk memasuki padukuhan-padukuhan pun telah mulai menuju ke sasaran.

Dengan hati-hati pasukan itu bagaikan merunduk. Yang di paling depan dari pasukan yang terbagi itu, terdiri dari mereka yang membawa perisai. Mereka memperhitungkan, bahwa jika benar orang-orang Mataram itu berada di balik dinding-dinding padukuhan, maka mereka tentu akan menyongsong pasukan Pajang itu dengan lontaran-lontaran anak panah, sebagaimana mereka lakukan di tebing Kali Opak.

Tetapi ternyata orang-orang Pajang itu telah menjadi kecewa lagi. Ternyata padukuhan-padukuhan itupun kosong sama sekali. Mereka tidak menjumpai seorangpun. Apakah orang itu termasuk dalam pasukan Mataram, atau penghuni padukuhan itu sendiri.

Kemarahan orang-orang Pajang itu tidak tertahankan lagi. Kakang Panji yang tidak dapat mengekang gejolak perasaannya, tiba-tiba saja bagaikan minyak yang tersentuh api ketika ia mendengar salah seorang kepercayaannya berkata, “Kita hancurkan padukuhan ini.”

“Maksudmu?” bertanya Kakang Panji.

“Kita bakar rumah-rumah yang kosong itu. Biarlah orang-orang Mataram melihat asap yang mengepul dari dalam padukuhan-padukuhan yang mereka tinggalkan,” berkata kepercayaannya itu.

Wajah Kakang Panji menegang. Namun tiba-tiba saja ia menggeram, “Bakar seisi padukuhan ini. Orang-orang yang memasuki padukuhan yang lain tentu akan melakukannya juga.”

Para pengikut Kakang Panji itu bagaikan mendapatkan permainan. Sejenak kemudian, maka rumah yang pertama telah mengepul. Lidah api mulai menjilat dinding dan atap. Kemudian api yang menyala itu pun bagaikan menggapai langit.

Api yang membakar rumah yang pertama itu disusul dengan kobaran api yang menyala membakar rumah yang kedua, ketiga dan rumah-rumah lain di padukuhan itu. Sementara para pengikut Kakang Panji di padukuhan-padukuhan lain yang mereka masuki pun telah melakukan hal yang sama.

Namun dalam pada itu, senapati yang memimpin pasukan khusus itu pun menjadi tegang. Dengan lantang ia berkata, “Jangan lakukan kebiadaban itu. Penghuni padukuhan ini tidak tahu menahu tentang perang yang terjadi antara Pajang dan Mataram.”

“Tetapi mereka telah melindungi orang-orang Mataram,” jawab salah seorang pengikut Kakang Panji.

“Tetapi mungkin justru orang-orang Mataram telah mengancam mereka ketika pasukan Mataram menduduki tempat ini,” jawab senapati itu.

Karena itu, maka para prajurit dari pasukan khusus tidak melakukan hal yang serupa. Meskipun ada di antara mereka yang tangannya menjadi gatal, tetapi mereka harus menahan diri.

Dalam pada itu, beberapa padukuhan telah menjadi lautan api. Meskipun hari menjadi semakin terang, namun api itu masih nampak memerah di atas onggokan hijaunya pepohonan di padukuhan yang kemudian menjadi layu oleh panasnya api.

Padukuhan-padukuhan yang terbakar itu telah melontarkan asap menjulang menyentuh langit.

Asap itu benar-benar telah mengejutkan. Orang-orang yang menyaksikan asap itu tidak menduga sama sekali, bahwa hal itu akan terjadi. Karena itu, maka neraka yang menelan beberapa pedukuhan itu benar-benar telah mengguncangkan hati beberapa pihak.

Ternyata api itu telah terlihat pula oleh orang-orang Pajang yang masih berada di psanggrahan. Beberapa orang telah dengan cemas menyaksikan asap yang naik ke udara. Sementara itu, Pangeran Benawa sendiri memperhatikan kebakaran itu dengan jantung yang bergejolak.

Ternyata kebakaran itu telah sampai pula kepada Kanjeng Sultan, yang dengan tergesa-gesa memanggil Pangeran Benawa.

“Apa yang terjadi?” bertanya Kanjeng Sultan.

Pangeran Benawa tidak dapat lagi mengingkari penglihatannya yang agaknya telah dilaporkan pula kepada Kanjeng Sultan.

Kemarahan bagaikan meledakkan dada Kanjeng Sultan yang sedang dalam keadaan sakit itu. Kejutan yang sangat bagaikan telah mencekiknya. Nafasnya menjadi sesak, dan pandangannya berkunang-kunang.

“Ini perbuatan gila yang tidak dapat dimaafkan,” geram Kanjeng Sultan di antara desah nafasnya yang sesak.

Orang-orang yang menungguinya menjadi semakin gelisah. Tabib yang merawatnya menjadi sibuk. Apalagi ketika tiba-tiba saja Kanjeng Sultan itu menjadi pingsan oleh gejolak yang tidak terkendali.

Namun sesaat kemudian, Kanjeng Sultan itu pun telah sadarkan diri. Dengan suara lirih Kanjeng Sultan berkata, “Benawa, aku kembali ke Pajang. Aku tidak akan menunggui perbuatan-perbuatan gila yang tidak lagi mengenal perikemanusiaan. Betapa garangnya perang, namun masih juga ada batas-batas yang tetap harus di junjung tinggi.”

Pangeran Benawa menjadi gelisah. Jika ia harus meninggalkan medan sebelum mengetahui apa yang terjadi atas orang-orang Mataram, rasa-rasanya masih ada sesuatu yang terasa membebaninya.

Namun perintah Kanjeng Sultan itu tidak dapat ditunda. Para adipati dan senapatinya segera menjadi sibuk. Mereka tidak mengerti apa yang harus mereka lakukan selain mentaati perintah Kanjeng Sultan. Sebagian besar dari mereka pun telah menjadi kecewa terhadap sikap beberapa pihak yang ada di medan. Mereka menyadari, bahwa ada kekuatan lain yang mengambil keuntungan dari pertentangan antara Mataram dan Pajang, sehingga karena itu, maka mereka pun mulai mengerti sikap Kanjeng Sultan yang selama itu mereka anggap terlalu lamban.

Dengan demikian, maka para adipati dan senapati pun telah sepakat untuk meninggalkan Prambanan. Namun dalam pada itu, Pangeran Benawa ternyata telah memberanikan diri untuk minta ijin kepada ayahandanya, “Hamba akan tinggal Ayahanda, untuk beberapa saat, sampai hamba mendapat laporan, apakah yang terjadi dengan orang-orang Mataram.”

Kanjeng Sultan termangu-mangu sejenak. Namun kemudian ia pun bertanya, “Apakah kau sudah memperhitungkan segala kemungkinan?”

“Ya Ayahanda,” jawab Pangeran Benawa, “hamba juga sudah memperhitungkan kemungkinan seandainya pasukan Pajang itu kembali lagi ke pesanggrahan ini.”

Kanjeng Sultan tidak segera menjawab. Dengan wajah yang pucat dan jantung yang berdegupan oleh gejolak perasaannya, serta nafas yang menyesak, Kanjeng Sultan mencoba menilai keadaan. Sementara itu, maka iapun kemudian bertanya, “Apakah kau memerlukan sepasukan pengawal untuk tinggal bersamamu?”

“Tidak, Ayahanda,” jawab Pangeran Benawa, “hamba akan tinggal sendiri. Dengan demikian, maka hamba akan lebih mudah untuk berusaha menghubungi Kakangmas Raden Sutawijaya tanpa dicurigainya, karena hamba hanya seorang diri.”

Kanjeng Sultan mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Terserah kepadamu. Tetapi jika keperluanmu telah selesai, kau harus segera menyusul kami kembali ke Pajang. Pekerjaan kami masih banyak, apalagi rasa-rasanya keadaanku justru menjadi semakin memburuk.”

“Para tabib akan selalu berusaha,” desis Pangeran Benawa.

Tetapi Kanjeng Sultan itu tersenyum sambil berkata, “Para tabib tidak akan mampu melawan kehendak-Nya.”

Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Namun dengan demikian ia melihat bahwa ayahandanya justru telah pasrah. Kanjeng Sultan sama sekali tidak merasa gelisah seandainya saat itu memang hendak menjemputnya. Namun demikian ternyata ia masih juga berpesan, “Beri aku laporan, apa yang terjadi dengan orang-orang Mataram itu.”

“Hamba, Ayahanda,” jawab Pangeran Benawa.

Demikianlah, maka pasukan Pajang itu pun segera bersiap-siap. Dengan sebuah tandu, Kanjeng Sultan telah diusung kembali ke Pajang. Sementara itu keadaannya menjadi semakin lemah. Nafasnya rasa-rasanya menjadi semakin sendat.

Dalam pada itu, cerita tentang lelembutpun menjadi semakin keras menyentuh telinga orang-orang Pajang. Pada saat Kanjeng Sultan terkejut mendengar laporan tentang api yang memusnahkan beberapa padukuhan sehingga pingsan karena kelemahan tubuhnya, ada juga orang yang berbisik, “Raden Sutawijaya telah sampai hati menyerang Ayahandanya dengan tangan para lelembut. Nampaknya para lelembut langsung melakukan pembalasan terhadap Kanjeng Sultan, sehingga menjadi pingsan.”

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Seorang di antaranya berdesis, “Ya. Tanpa kekuatan halus, tidak seorang pun yang akan dapat melawan Kanjeng Sultan. Apalagi membuatnya pingsan tanpa menyentuhnya dengan wadagnya sendiri.”

Dalam pada itu, sejenak kemudian maka iring-iringan pasukan Pajang yang ada di induk pasukan itu telah meninggalkan Prambanan. Sedangkan Pangeran Benawa atas ijin Kanjeng Sultan tetap tinggal untuk mencari keterangan tentang orang-orang Mataram.

Pada saat iring-iringan pasukan Pajang di induk pasukan itu bergerak kembali ke Pajang, Kakang Panji dan para pengikutnya telah menghancurkan padukuhan-padukuhan yang mereka lewati dalam usaha mereka mencari sisa-sisa pasukan Mataram yang mereka anggap melarikan diri.

Kemarahan yang menghentak-hentak jantung mereka, terlontar dalam ujud yang sangat tercela. Padukuhan yang tidak bersalah, telah menjadi neraka yang panasnya menggapai langit.

Api yang menelan beberapa padukuhan itu ternyata sempat dilihat pula oleh Raden Sutawijaya. Dengan wajah yang tegang Raden Sutawijaya itu tidak begitu percaya kepada penglihatannya. Tetapi yang dihadapinya adalah satu kenyataan. Orang-orang Pajang yang berusaha memburunya telah menjadi gila dan membakar beberapa padukuhan.

Karena itu, maka kemarahan telah meledak di dadanya. Sebenarnyalah bahwa pasukan Mataram sama sekali tidak pecah dan lari bercerai berai. Dengan ketangkasan prajurit, maka pasukan Mataram memang menarik diri. Mereka tidak sempat menyusun perlawanan menghadapi orang-orang Pajang yang dengan licik merunduk mereka.

Sejenak Raden Sutawijaya mengenang apa yang telah terjadi. Pada saat yang tepat, Pangeran Benawa, selain keduanya telah dipersaudarakan karena Raden Sutawijaya telah diangkat menjadi putra Kanjeng Sultan Hadiwijaya, keduanya adalah saudara seperguruan, serta keduanya adalah murid Kanjeng Sultan itu sendiri, selain keduanya telah berhasil mengembangkan ilmu mereka dengan cara yang aneh, ternyata telah berbuat sesuatu yang telah menyelamatkan pasukan Mataram.

Dengan semacam aji Pameling, maka Pangeran Benawa telah berhubungan dengan Raden Sutawijaya dalam jarak yang cukup jauh. Seorang di seberang timur Kali Opak, yang lain di seberang barat Kali Opak. Dengan aji Pameling itu, Pangeran Benawa telah memberitahukan, bahwa telah terjadi kecurangan, sehingga dengan licik sebagian dari pasukan Pajang yang kuat akan menyerang pasukan Mataram.

Karena itu, maka dengan tergesa-gesa, namun dengan ketrampilan tinggi, pasukan Mataram memperhitungkan untuk lebih baik menghindar sambil mempersiapkan diri. Namun orang-orang Mataram tidak menarik diri surut. Tetapi mereka telah menebar sebelah menyebelah, kecuali induk pasukan.

Dengan demikian, ketika Raden Sutawijaya melihat akibat kebengisan para pengikut orang yang telah membayangi kuasa Kanjeng Sultan itu, maka ia tidak dapat mengekang diri lagi.

Sejenak kemudian, maka beberapa batang anak panah sendaren telah meraung di udara. Anak panah yang memberikan isyarat kepada pasukan Mataram untuk segera bertindak. Sementara itu beberapa ekor kuda telah melintas melintang, dari selatan ke utara. Demikian kuda itu sampai di bekas pesanggrahan orang-orang Mataram, maka penunggangnya telah melontar panah sendaren pula ke arah utara.

Demikianlah pasukan Mataram yang bagaikan menyibak saat pasukan Pajang lewat, telah mendapat perintah untuk bertindak.

Dalam pada itu, ternyata pasukan Mataram yang tidak menyongsong pasukan Pajang di saat mereka menyerang, telah berhasil menyusun diri sebaik-baiknya. Sambil bergeser dari pesanggrahan, pasukan Mataram telah menyusun diri. Mereka yang terluka dan cacat telah disingkirkan sejauh-jauhnya. Sementara yang lain dengan cepat telah menempatkan diri ke dalam kelompok masing-masing yang siap untuk melakukan perintah.

Ketika panah sendaren terdengar meraung di udara, maka para pemimpin dan senapati pun telah memberikan aba-aba. Para pemimpin kelompokpun telah melanjutkan aba-aba itu kepada pasukan masing-masing.

Dengan demikian, pasukan Mataram itu tidak menunggu lagi. Pasukan yang menyibak itu telah bergerak bagaikan pintu gerbang raksasa yang terbuka, perlahan-lahan telah menutup kembali.

Anak panah sendaren yang meraung di udara itu ternyata telah didengar pula oleh orang-orang Pajang meskipun lamat-lamat. Telinga mereka pun segera dapat menterjemahkan arti raungan anak panah sendaren itu. Mereka pun segera menebak, bahwa sesuatu akan terjadi. Pasukan Mataram yang mereka kira lenyap bagaikan terhisap bumi itu tentu akan mulai bergerak.

Karena itu, maka para senapati dari Pasukan Pajang pun segera memberikan aba-aba kepada pasukannya. Mereka yang masih sibuk dengan permainan api mereka, berlari-lari kembali ke dalam kelompok masing-masing.

“Sisa pasukan Mataram itu nampaknya akan membunuh diri,” berkata Kakang Panji.

“Ya,” sahut kepercayaannya, “ternyata api itu telah memancing mereka. Jika semula mereka merasa lebih baik tetap bersembunyi, ternyata mereka masih saja merasa diri mereka pahlawan yang wajib melindungi rakyatnya.”

Kakang Panji tertawa. Katanya, “Biarlah mereka melihat, apa yang sebenarnya telah terjadi atas mereka. Pasukan yang bercerai-berai itu tentu tidak akan mampu mengumpulkan separo dari kekuatannya. Sayang, mereka merasa diri mereka kesatria Mataram yang perkasa, sehingga mereka terpaksa keluar dari persembunyian mereka. Namun kali ini tentu sekedar untuk membunuh diri.”

Namun dalam pada itu, pasukan Mataram yang telah bertaut itu dengan gemuruh telah bergerak ke arah orang-orang Pajang yang berada justru di belakang garis perang. Pasukan Mataram yang bertaut itu justru telah menghadap ke arah barat, ke arah padukuhan-padukuhan yang menjadi lautan api.

Sementara itu, matahari telah mulai memanjat langit. Merahnya api menjadi suram oleh cahaya matahari yang cerah. Namun asap yang hitam kelabu mengepul semakin tinggi di udara.

Pasukan Mataram yang bergerak itu ternyata tidak sempat membawa tanda-tanda kebesaran pasukan masing-masing. Mereka tidak membawa panji-panji, umbul-umbul dan rontek serta kelebet. Yang ada di tangan mereka tidak lebih dari senjata masing-masing.

Karena itu, maka pasukan Mataram itu tidak segera terlihat oleh orang-orang Pajang yang tidak tahu pasti arah kedatangan orang-orang Mataram yang mendapat isyarat dengan anak panah sendaren yang dilontarkan ke udara. Karena itu, maka para senapati Pajang pun segera memerintahkan para pengamat untuk mengawasi arah. Pasukan Mataram yang mundur itu akan dapat datang dari segala arah.

Kakang Panji mengerutkan keningnya, ketika justru para pengawas yang mengawasi arah Kali Opak-lah yang melihat kehadiran sebuah pasukan. Pasukan tanpa pertanda apa pun juga, sehingga pasukan Mataram itu tidak nampak sebagai satu pasukan yang cukup besar untuk menghadapi pasukan Pajang.

Sebenarnyalah, pasukan Mataram memang tidak ingin memperlihatkan kebesaran mereka. Tidak ingin diketahui, bahwa pasukan Mataram itu masih tetap utuh dan dengan tanpa cacat sama sekali, hadir di medan sebagaimana hari-hari sebelumnya.

Dengan demikian, maka Kakang Panji yang kemudian memperhatikan kehadiran pasukan itu pun menganggap bahwa pasukan Mataram memang sudah terpecah, sehingga dengan susah payah, para senapatinya mampu menghimpun sisa-sisa pasukan mereka. Dengan sombong sisa-sisa pasukan yang merasa dirinya kesatria itu telah maju ke medan untuk membela rakyat yang rumahnya menjadi karang abang.

“Untunglah, bahwa kita telah memancing mereka keluar dari persembunyian mereka dengan cara yang paling baik,” berkata Kakang Panji.

“Tidak dengan sengaja,” jawab kepercayaannya, “yang kita lakukan tidak lebih dari luapan kemarahan. Namun akhirnya kita berhasil menjawab teka-teki tentang lenyapnya pasukan Mataram. Ternyata mereka memang berlari cerai-berai meninggalkan pesanggrahan mereka.”

“Tetapi kita wajib mengagumi kecepatan gerak mereka,” berkata Kakang Panji, “demikian pengawas mereka melihat kedatangan kita, maka dalam waktu yang sekejap, mereka telah lenyap tanpa meninggalkan seorang pun di antara mereka yang sakit dan terluka.”

“Permainan kanak-kanak,” jawab kepercayaannya, “setiap orang dapat lari dengan cepat meninggalkan tempat. Siapa pun dapat.”

“Tidak,” jawab kakang Panji, “jika bukan prajurit pilihan tentu banyak di antara mereka yang terluka parah akan tertinggal.”

Kepercayaannya tidak menjawab. Sementara itu, mereka melihat pasukan Mataram itu menjadi semakin dekat. Ujung-ujung senjata nampak mencuat di antara tanaman yang hijau di sawah dan pategalan.

Namun pasukan Mataram bergerak dalam lapisan yang tebal, sehingga tebaran pasukan itu nampaknya tidak terlalu lebar. Dengan demikian, orang-orang Mataram memang dengan sengaja ingin memberikan kesan, bahwa pasukan mereka tidak sebesar pasukan Mataram seutuhnya.

Dalam pada itu, Kakang Panji pun tersenyum sambil berkata, “Kita sambut kedatangan mereka. Dengan demikian, kita akan berbalik. Berikan perintah. Kita akan keluar dari neraka ini, dan bertempur di tempat terbuka.”

Seperti yang dikehendaki oleh Kakang Panji, maka perintah telah menjalar dari kelompok ke kelompok. Para senapati di dalam pasukan Pajang itu pun telah mendengar perintah, bahwa mereka akan menyongsong pasukan Mataram yang datang justru dari arah timur itu.

Dalam pada itu, matahari telah menjadi semakin tinggi. Orang-orang Pajang-lah yang kemudian menjadi silau karena mereka harus menghadap ke arah timur. Meskipun hal itu tidak diperhitungkan sejak semula oleh orang-orang Mataram, namun ternyata bahwa silaunya cahaya matahari itu dapat membantu menyelubungi ujud keseluruhan pasukan Mataram, sehingga sampai saat terakhir, orang-orang Pajang tetap menganggap bahwa pasukan Mataram bukan pasukan yang utuh sebagaimana mereka hadapi di tebing Kali Opak.

Dengan dada tengadah pasukan Pajang itu pun kemudian meninggalkan padukuhan-padukuhan yang telah mereka jadikan karang abang. Padukuhan yang telah menjadi abu dan berserakan dihembus angin pagi.

Dalam pada itu, kedua pasukan pun menjadi semakin dekat. Pasukan Mataram yang datang dari arah timur, sempat melihat dengan jelas lawan yang menyongsong mereka, sementara pasukan Pajang masih saja dibayangi oleh cahaya yang menyilaukan, yang memantul pada sisa embun di pagi hari yang menyangkut di dedaunan.

Namun yang kemudian mengejutkan dan membuat orang-orang Pajang bagaikan tertusuk duri pada pusat jantungnya, ketika tiba-tiba saja di antara derap suara pasukan yang menjadi semakin dekat, tiba-tiba saja telah terdengar suara mengaum. Bende Kiai Bicak.

“Gila,” teriak Kakang Panji, “suara itu sangat menjemukan. Susun satu pasukan pilihan. Cari tempat bende itu disembunyikan. Hancurkan sama sekali bende itu, sehingga tidak lagi sempat menyakiti telinga.”

Sebenarnyalah, seorang senapati terpilih telah menyusun satu pasukan kecil yang terdiri dari prajurit-prajurit terpilih yang terpercaya, yang bertugas untuk mencari bende Kiai Bicak yang bunyinya terasa sangat mengganggu itu.

Kakang Panji sadar sepenuhnya, bahwa bagaimanapun juga suara bende itu memang sangat berpengaruh. Semacam kepercayaan telah mencengkam hati para prajurit, bahwa pihak yang memiliki bende itu, dan jika bende itu dapat ditabuh dan melontarkan bunyi yang nyaring, maka pihak itu akan menang.

Karena itu, Kakang Panji telah bertekad untuk membungkam bende itu sebagaimana direncanakan sejak semula saat mereka ingin menghancurkan pasukan Mataram di kubunya. Namun yang ternyata pasukan Mataram itu sempat meloloskan diri, tanpa setahu Kakang Panji, bahwa Pangeran Benawa telah berhubungan dengan Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga dengan ilmu yang jarang dimiliki oleh orang lain, Aji Pameling.

Namun dalam pada itu, sadar akan nilai bende yang memberikan pengaruh yang kuat bagi para prajurit Mataram untuk bertempur dan bertekad untuk menang itu, Raden Sutawijaya pun telah memerintahkan sekelompok prajurit pilihan untuk mengawalnya.

Demikianlah, sejenak kemudian kedua pasukan yang besar itu telah saling berhadapan. Keduanya dalam keadaan yang sama. Keduanya bergerak maju untuk menyongsong lawan.

Sikap prajurit Mataram agak berbeda dengan sikap mereka saat-saat mereka menunggu di tebing Kali Opak. Saat pasukan Pajang menyeberang dan menyerang mereka dalam kedudukan yang mantap.

Ketika jarak menjadi semakin dekat, maka terdengar sangkakala yang tiba-tiba saja meraung memecah ketegangan. Orang-orang Mataram sempat membuat orang-orang Pajang terkejut. Mereka tidak menyangka, bahwa perintah untuk menyerang masih juga dilontarkan lewat bunyi sangkakala.

Namun seakan-akan suara sangkakala itu berlaku bagi kedua pasukan yang telah berhadapan itu. Bukan saja pasukan Mataram yang kemudian dengan senjata merunduk menyergap lawan. Tetapi pasukan Pajang pun telah dengan sigap menyerang pula. Bahkan mereka yang tidak terikat dalam kesatuan pasukan prajurit Pajang, telah menyerang menurut selera mereka masing-masing, seolah-olah tanpa ada keterikatan, meskipun mereka tetap berada dalam kelompok-kelompok yang sudah ditentukan, di bawah pimpinan mereka masing-masing. Di antara mereka terdapat para pemimpin padepokan yang telah dihubungi oleh Ki Tumenggung Prabadaru dan Kakang Panji.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar