Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 165

Buku 165

Ki Tumenggung Prabadaru memandang orang itu sejenak. Namun iapun kemudian meninggalkan kepercayaannya sambil bergumam yang hanya dapat didengarnya sendiri.

Namun sejenak kemudian, Ki Tumenggung itu sudah berbaring di atas sehelai ketepe blarak di antara para prajuritnya. Sebenarnyalah mereka memang sudah tertidur, selain yang sedang bertugas.

Namun ada di antara orang-orang Pajang yang masih mengumpat-umpat. Orang itu duduk sambil bersandar sebatang pohon sukun yang besar.

“Kau dengar sendiri Prabadaru berkata demikian?“ bertanya orang itu. “Ya, “jawab kawannya.

“Biar saja. Tetapi aku harus menilai kembali kesetiaannya itu. Pada saatnya aku memang harus membuat perhitungan,“ jawab orang yang bersandar pohon sukun itu.

Keduanya kemudian tidak berbicara lagi. Malam menjadi bertambah sepi. Namun orang-orang yang bertugas untuk melayani orang-orang yang terluka masih sibuk dengan tugas mereka. Beberapa orang yang parah mengerang kesakitan, meskipun sudah diusahakan untuk memperingan penderitaannya.

Sementara itu, di seberang Kali Opak, Raden Sutawijaya berbincang dengan Ki Juru Martani dengan wajah yang bersungguh-sungguh. Dengan nada cemas, Raden Sutawijaya bertanya, “Jadi menurut pendapat Paman Juru Martani, keadaan Ayahanda menjadi semakin parah?“

“Ya Ngger. Seorang petugas sandi mengatakan, bahwa hampir saja Kanjeng Sultan jatuh dari punggung gajahnya. Sehingga dengan demikian, maka niat Kanjeng Sultan untuk turun ke medan hari ini telah ditangguhkan,“ jawab Ki Juru.

Raden Sutawijaya menunduk dalam-dalam. Berbagai persoalan telah bergejolak di dalam hatinya. Bagaimanapun juga ia tidak dapat melupakan kasih sayang ayahanda angkatnya itu kepadanya. Tidak ubahnya dengan kasih sayang Kanjeng Sultan itu kepada putranya sendiri.

Terbayang di angan-angan Raden Sutawijaya, saat ia mengikuti ayahandanya Ki Gede Pemanahan untuk menundukkan perlawanan Arya Penangsang. Kanjeng Sultan itu tidak sampai hati melepaskannya tanpa perlindungan. Karena itulah, maka senjata yang paling baik yang ada di perbendaharaan pusaka Pajang telah diberikan oleh ayahanda angkatnya itu kepadanya. Kanjeng Kiai Pleret.

Memang kadang-kadang terbersit penyesalan, bahwa pada suatu saat akan terjadi benturan kekuatan antara Pajang dan Mataram. Seandainya, ya, seandainya ia tidak melakukan satu tindakan yang sekedar beralas pada harga diri, maka keadaannya memang akan berbeda. Tidak akan ada kesempatan bagi orang-orang yang sekedar mementingkan diri sendiri untuk justru telah menjadi penggerak dari pertentangan yang memuncak, dan yang kemudian telah terungkap dalam satu medan yang dahsyat, yang telah mengorbankan anak-anak terbaik dari Pajang dan Mataram.

“Paman,“ berkata Raden Sutawijaya kemudian, “sehubungan dengan keadaan Ayahanda, apakah yang sebaiknya aku lakukan?”

“Anakmas Senapati ing Ngalaga. Perang telah pecah. Sebenarnyalah justru kita sekarang melihat, bahwa perang ini meskipun menurut ujud lahiriahnya, Anakmas melawan kekuasaan Ayahanda Sultan Pajang, tetapi dalam kenyataannya, Anakmas telah berperang melawan orang-orang yang justru ingin menundukkan kekuasaan Ayahanda Sultan untuk menyusun satu kekuasaan yang sesuai dengan keinginan mereka. Perang ini telah diketahui dengan pasti oleh Ayahanda Sultan dan bahkan Ayahanda Sultan telah menentukan hari esok bagi Pajang. Karena itu, hal ini merupakan pertimbangan-pertimbangan baru bagi Anakmas Sutawijaya.”

Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Tiba-tiba darah yang hampir membeku di dalam jantungnya, telah bergejolak kembali. Dengan pasti ia kemudian berkata, “Benar Paman. Aku harus menghancurkan kekuatan yang membayangi kekuasaan Ayahanda Sultan Pajang sekarang ini. Aku harus dapat menghancurkan kekuatan pasukan Pajang yang ada di sayap sebelah-menyebelah, karena demikianlah isyarat yang aku terima dari Ayahanda Sultan.”

Ki Juru Martani mengangguk-angguk. Kemudian katanya, “Bagus. Itu adalah tugasmu sekarang.”

Raden Sutawijaya pun kemudian kembali ke tempatnya. Ketika ia bertemu dengan Untara, maka iapun berkata, “Bagaimanapun keadaan Ayahanda, kita bertempur terus. Kita telah berbuat sesuatu, justru untuk menegakkan kuasa Ayahanda Sultan Pajang. Kita harus dapat menghancurkan kekuatan yang membayangi kekuasaan Ayahanda Sultan itu sampai tuntas.”

Untara mengangguk kecil. Katanya, “Baiklah Raden. Besok kita akan berbuat lebih baik lagi. Hari ini kita sudah berhasil mengurangi kekuatan lawan dalam jumlah yang cukup besar. Mungkin besok mereka akan menurunkan pasukan cadangannya.”

“Apakah kita juga akan menurunkan pasukan cadangan?“ bertanya Raden Sutawijaya.

“Belum. Aku masih berharap dengan kekuatan yang ada akan mendesak, dan jika mungkin memecahkan pasukan lawan,“ jawab Untara.

“Orang-orang Pajang tentu tidak akan melakukan kebodohan itu sekali lagi,“ berkata Raden Sutawijaya.

“Kita akan menghadapinya langsung. Pasukan Sabungsari yang tangguh itu akan turun ke tepian. Pasukan Pasantenan yang ada di bagian sayap ini akan justru berusaha menyerang pasukan Pajang besok dari belakang. Mereka akan melintas Kali Opak dan menunggu di belakang gerumbul-gerumbul perdu.”

“Itu sangat berbahaya,“ berkata Senapati ing Ngalaga, “jika pasukan cadangan Pajang yang tersisa kemudian dikerahkan, maka orang-orang Pasantenan itu akan terjepit antara dua kekuatan Pajang.”

“Sudah diperhitungkan oleh Sabungsari,“ jawab Untara, “mereka akan menusuk kekuatan lawan dan memasuki daerah pertahanan mereka. Dengan demikian, apabila pasukan Sabungsari dapat berhubungan dengan orang-orang Pasantenan, maka pasukan Pajang akan terbelah.”

Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Ia sejak semula memang percaya bahwa Untara memiliki kemampuan seorang senapati yang mumpuni, meskipun secara pribadi ia bukan seorang yang memiliki kemampuan kanuragan yang pinunjul.

“Baiklah,“ berkata Raden Sutawijaya kemudian, “sekarang beristirahatlah. Kita semua memerlukan beristirahat. Mudah-mudahan di sayap yang lain besok akan dapat berhasil pula. Aku memang menunggu laporan jika terjadi perubahan. Jika tidak, maka Ki Lurah Branjangan masih tetap akan mempergunakan caranya yang semula. Bertempur langsung beradu dada. Nampaknya kekuatan kedua belah pihak masih tetap berimbang.”

“Ya, dan agaknya pasukan khusus dari Mataram memang sudah benar-benar siap,“ berkata Untara.

“Tetapi nampaknya di sayap sebelah, perang senapati akan segera terjadi. Para senapati dari Pajang sudah turun ke medan dan langsung berada di garis pertempuran,“ berkata Raden Sutawijaya kemudian.

Untara menarik nafas dalam. Ia sadar, bahwa adiknya berada di sayap yang lain itu. Meskipun Untara tahu benar, bahwa kemampuan adiknya justru lebih baik dari kemampuannya, namun rasa-rasanya kebiasaannya melindungi adiknya sejak masa kanak-kanaknya, masih tetap berpengaruh atas perasaannya. Rasa-rasanya ia ingin minta kepada Senapati ing Ngalaga agar memerintahkan adiknya untuk berada di satu sayap, agar ia dapat mengawasinya.

Tetapi Untara tidak mengatakan niatnya itu. Ia berusaha untuk mempergunakan nalarnya, bahwa adiknya akan dapat menjaga dirinya sendiri. Bahkan lebih baik dari Untara sendiri.

Dalam pada itu, maka Senapati ing Ngalaga kemudian memasuki pesanggrahannya. Ternyata seorang utusan Ki Lurah Branjangan telah menunggunya.

“Ada sesuatu yang penting?“ bertanya Raden Sutawijaya.

“Tidak Raden. Ki Lurah masih akan tetap mempergunakan cara yang ditempuh sebelumnya. Kita masih akan mampu menghadapi pasukan Pajang yang menurut penilaian kami menjadi semakin susut kekuatannya. Mereka sudah menurunkan pasukan cadangan, dan mereka sudah mulai dengan mengerahkan para senapati,“ berkata utusan itu.

“Aku sudah menduga bahwa perang senapati akan segera terjadi. Apa para pemimpin pasukan Mataram sudah siap?“ bertanya Raden Sutawijaya.

“Semuanya sudah siap. Jika pada hari-hari ini para pemimpin itu berada di antara pasukan Mataram, maka mereka akan segera tampil di paling depan menghadapi para senapati. Sementara Pandan Wangi dan Sekar Mirah masih berada di antara pasukan cadangan yang di hari-hari pertama ini membantu kegiatan di dapur. Tetapi pada saatnya, apabila keadaan memaksa, mereka tentu akan segera turun ke medan.”

“Bagaimana dengan Kiai Gringsing, Ki Waskita, Ki Gede dan para senapati yang lain?“ bertanya Raden Sutawijaya.

Utusan itu menjawab, “Mereka selalu berada di medan. Sekali-sekali mereka terlibat dalam pertempuran. Tetapi mereka belum benar-benar bertempur. Baru Ki Gede dan Swandaru yang pada hari ini mendapatkan lawan yang harus dilayaninya sampai saatnya pertempuran berhenti menjelang senja.”

“Perang senapati itu benar-benar sudah mulai di sayapmu,” berkata Raden Sutawijaya. “Baiklah. Aku berharap bahwa Agung Sedayu bersikap hati-hati.”

“Ya Raden. Aku akan menyampaikannya,“ jawab utusan itu. Lalu iapun bertanya, “Apakah ada pesan khusus bagi Ki Lurah Branjangan ?”

“Tidak ada, selain harapan-harapan bagi kita semuanya. Besok Kiai Bicak masih akan mengumandang,“ berkata Raden Sutawijaya.

Demikianlah, maka utusan itupun segera kembali ke sayap yang lain dan langsung menghadap Ki Lurah Branjangan. Semua pesan Raden Sutawijaya telah diberitahukan, sehingga dengan demikian Ki Lurah pun mendapat gambaran, apa yang akan dilakukannya esok.

“Perang di sayap ini masih akan berlanjut seperti hari ini,“ berkata Ki Lurah, “kita akan mengerahkan segenap kemampuan.”

Ki Lurah itupun kemudian menyampaikan kepada semua pemimpin dan senapati Mataram untuk langsung menghadapi setiap lawan yang memiliki pengaruh yang besar di lingkungannya pada benturan pasukan di keesokan harinya.

Demikianlah, pasukan khusus yang kuat dari Mataram pun telah dipersiapkan benar-benar. Mereka dapat kesempatan untuk sepenuhnya beristirahat. Sekelompok pasukan cadanganlah yang malam itu harus berjaga-jaga di setiap sudut garis peperangan. Sehingga dengan demikian maka setiap orang di dalam pasukan Mataram itu sempat memulihkan tenaganya. Bahkan mereka yang terluka ringanpun enggan untuk tinggal di pesanggrahan. Mereka telah menyatakan, bahwa mereka akan turun ke garis perang seperti hari-hari sebelumnya. 

“Lukamu akan dapat berdarah lagi,“ berkata seorang yang merawat orang-orang yang terluka.

“Tidak apa-apa. Hanya segores kecil di pundak. Aku masih mampu menggerakkan pedang dengan baik. Lukaku di pundak kanan. Sementara aku hanya dapat bermain pedang dengan tangan kiri. Aku memang kidal,“ berkata orang yang terluka itu.

Orang-orang yang merawatnya mencoba untuk mencegahnya bersama beberapa orang yang lain. Tetapi mereka justru menemui pemimpin mereka masing-masing, untuk menyatakan diri, maju ke medan perang di keesokan harinya.

“Aku mengenali orang yang melukai aku,“ berkata seorang di antara mereka.

“Kau tidak akan menemukannya di peperangan,“ jawab pemimpinnya.

“Tetapi aku akan maju besok,“ desaknya.

“Baiklah. Tetapi jika pendarahan itu terjadi lagi. Kau aku perintahkan untuk menarik diri,“ berkata pemimpinnya.

Demikianlah, maka pasukan Mataram pun benar-benar telah bersiap menghadapi hari-hari yang semakin gawat. Merekapun beristirahat di tempat yang bertebar. Ada di antara mereka yang tidur di pendapa-pendapa, tetapi ada juga yang memilih tidur di bawah pepohonan di halaman.

Seperti hari-hari yang lewat, maka menjelang dini hari, orang-orang yang bekerja di dapur sudah menjadi sibuk. Mereka menyiapkan makan dan minum sebaik-baiknya. Sementara itu, para prajurit dan orang-orang yang berada di dalam pasukan yang akan bertempur, masih mendapat kesempatan untuk beristirahat beberapa saat lamanya.

Namun dalam pada itu, Untara sudah berbuat sesuatu. Ia telah menghubungi orang-orang Pasantenan. Dengan diam-diam merekapun telah mempersiapkan diri. Bahkan secara khusus mereka telah makan dan minum mendahului kawan-kawannya.

“Berhati-hatilah,“ pesan Untara kepada senapati pasukan yang langsung dipegang oleh putra Ki Gede Pasantenan sendiri.

“Kami akan berbuat sebaik-baiknya. Mudah-mudahan rencana ini dapat berlangsung sebaik-baiknya,“ jawab putra Ki Gede Pasantenan.

“Jika kau mengalami kesulitan, berilah isyarat dengan panah sendaren. Aku akan mengambil satu sikap,” berkata Untara.

“Baiklah. Mudah-mudahan segalanya berhasil baik,“ jawab senapati dari Pasantenan itu.

Sementara itu, Untara pun telah memanggil Sabungsari pula. Keduanyapun kemudian dipertemukan untuk membuat pembicaraan yang terakhir.

“Ingat. Aku memakai pohon benda itu sebagai patokan,“ berkata Sabungsari, “jangan bergeser. Atau jika perlu, berilah isyarat sebagaimana sudah disepakati.”

Putra Ki Gede Pasantenan itupun mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan tetap berpegangan kepada patokan itu.”

Demikianlah, maka pasukan dari Pasantenan itupun kemudian meninggalkan sayap mereka dengan hati-hati.

Mereka tidak langsung menyeberangi Kali Opak. Tetapi mereka bergeser dan melingkar. Untuk beberapa saat mereka akan menunggu di tikungan. Jika pertempuran yang terjadi, maka mereka akan dengan cepat melintasi Kali Opak di sebelah tikungan dan menyusup di antara gerumbul-gerumbul perdu. Mereka akan menikam pasukan Pajang dari punggung, sementara pasukan Sabungsari akan turun ke tepian dan menusuk dari dada. Kedua pasukan itu akan bertemu, dan pasukan Pajang itupun akan terbelah.

“Pengaruh dari sudut kekuatan pasukan Pajang memang tidak begitu besar,” berkata Untara kepada Raden Sutawijaya, “tetapi dengan demikian akan terjadi pengaruh lain. Orang-orang Pajang akan merasa kekuatan Mataram melampaui kekuatan mereka, sehingga dapat memecah pasukan Pajang dalam gelar di peperangan.”

Demikianlah, maka segalanya telah dipersiapkan sebaik-baiknya. Pasukan Mataram yang terdiri dari para prajurit Pajang di Jati Anom selain yang dipimpin oleh Sabungsari, serta orang-orang Mangir yang memiliki ketahanan tubuh yang luar biasa terhadap teriknya matahari, akan menghadapi langsung pasukan Pajang yang akan memanjat tebing.

Demikianlah, maka setelah semuanya siap, maka pasukan sayap itupun telah menempatkan diri mereka dengan cermat sambil menunggu aba-aba lebih lanjut.

Ketika sangkakala berbunyi, maka kedua pasukanpun telah mengatur diri sebaik-baiknya. Pertanda kebesaran telah dipasang, sehingga kedua pasukan itupun benar-benar telah siap untuk bertempur.

Demikianlah, ketika pertanda berikutnya bergema di sepanjang tebing Kali Opak, maka kedua pasukan itupun telah mulai bergerak maju.

Seperti di hari-hari sebelumnya, pasukan Mataram telah menghentikan pasukannya di sebelah barat Kali Opak, sementara pasukan Pajang yang ingin menghancurkan pertahanan Mataram itupun telah menuruni tebing dan merambat ke arah pasukan Mataram.

Pasukan khusus yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Prabadaru pun telah berada di paling depan. Dengan sangat berani mereka mendekati lontaran anak panah dan lembing pasukan Mataram yang berada di atas tebing. Dengan gelar yang mapan, berlindung di balik perisai, mereka menembus hujan panah dan lembing yang dilontarkan oleh pasukan Mataram.

Seperti yang terjadi di hari sebelumnya, kedua pasukan itu telah saling berbenturan. Pasukan khusus yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Prabadaru langsung dihadapi oleh pasukan khusus dari Mataram yang dipimpin oleh Ki Lurah Branjangan, yang dibayangi oleh Agung Sedayu.

Benturan yang terjadi, benar-benar merupakan benturan dua pasukan yang memiliki kekuatan baja. Pasukan yang telah ditempa untuk satu tugas yang sangat gawat dan menentukan.

Sementara itu, pasukan Pajang di sayap yang lain telah menyerang pasukan Mataram pula. Dengan keberanian yang mengagumkan, merekapun telah melintasi sungai dan berusaha memanjat tebing. Namun ternyata bahwa pasukan Mataram telah menahan mereka dengan segenap kemampuan.

Namun yang terjadi kemudian adalah jenis gelar yang lain yang dilakukan oleh Untara. Meskipun pimpinan sayap pasukan Pajang itu telah memperhitungkan segala kemungkinan, namun ketika tiba-tiba saja mereka melihat pasukan Mataram yang muncul dari balik gerumbul, mereka menjadi berdebar-debar.

Demikianlah, maka pasukan dari Pasantenan itu telah mulai dengan serangannya. Mereka menghantam punggung pasukan Pajang yang sedang berusaha memanjat tebing, sehingga serangan itu, benar-benar terasa sangat mengganggu.

“Hancurkan pasukan itu!“ terdengar perintah dari pimpinan pasukan Pajang.

Demikianlah, maka bagian belakang pasukan Pajang itu telah menahan diri dan berbalik menghadapi pasukan Pasantenan yang telah menyerang mereka dari punggung.

Namun dalam pada itu, selagi pertempuran berkobar semakin sengit, maka bende Kiai Bicak pun mulai terdengar lagi mengumandang.

Meskipun suara bende itu telah terdengar bukan saja pagi itu, namun suaranya masih tetap mempunyai pengaruh bagi kedua pasukan yang sedang bertempur itu. Namun yang lebih penting bagi Untara, suara bende itu adalah perintah bagi Sabungsari untuk mulai dengan tugasnya yang berat.

Namun Sabungsari sudah bertekad untuk berbuat sebaik-baiknya sebagai seorang prajurit. Meskipun ia sebenarnya adalah prajurit Pajang, tetapi ia tahu benar persoalan yang dihadapinya. Ia bukan saja bergerak karena perintah Untara. Tetapi ia sudah mendapat penjelasan dari semua peristiwa yang dihadapinya.

Dengan hentakkan yang sangat mengejutkan, Sabungsari memimpin pasukannya justru menuruni tebing, pada saat pasukan Pajang berusaha naik. Namun pergolakan di punggung sayap pasukan Pajang itu terasa juga pengaruhnya di seluruh sayap pasukan itu. Apalagi ketika tiba-tiba saja pasukan yang dipimpin Sabungsari itu bagaikan tajamnya ujung tombak menusuk langsung ke jantung sayap pasukan Pajang.

Garak pasukan yang dipimpin Untara itu memang merupakan satu usaha yang sangat berani. Tetapi justru karena gerak itu di luar dugaan, maka benar-benar menggoyahkan perlawanan pasukan Pajang.

Namun dalam pada itu, Untara tidak membiarkan Sabungsari dijepit dari sebelah menyebelah. Pasukan yang berada di atas tebingpun kemudian telah bertempur dengan dahsyatnya. Mereka bukan saja menghujani lawan dengan senjata, tetapi ujung sayap itu telah berusaha pula untuk mendesak pasukan lawan. Perlahan-lahan mereka justru mulai bergeser menepi dan ujung sayap itupun akhirnya berusaha untuk mendesak sehingga mereka menuruni tebing.

Orang-orang Mangir yang tidak mengenal terik matahari, memiliki ketahanan tersendiri. Mereka seakan-akan tidak merasa perlu untuk berhemat tenaga. Tenaga mereka bagaikan tidak pernah susut, meskipun mereka sudah bertempur sehari penuh.

Dengan demikian, maka pertempuran di sayap itu menjadi sengit. Pasukan Pasantenan benar-benar menggetarkan pasukan Pajang, justru karena serangannya yang tiba-tiba. Sementara itu, prajurit Pajang terpilih yang dipimpin oleh Sabungsari yang bertempur di pihak Mataram, telah menusuk semakin dalam. Di ujung sayap orang-orang Mangir mulai menuruni tebing.

Dalam pada itu, di sayap yang lain, pertempuran pun telah berlangsung dengan cara yang berbeda. Kedua pasukan berbenturan dengan dahsyatnya. Sementara orang-orang Pajang berusaha naik ke atas tebing dan mendesak pasukan Mataram.

Tetapi pasukan Mataram bertahan dengan gigihnya. Setiap jengkal tanah dipertahankannya dengan sepenuh kemampuan.

Dalam pada itu, Swandaru yang belum berhasil menyelesaikan lawannya di hari sebelumnya, seolah-olah telah mencari lawannya itu di antara pasukan lawannya. Ketika ia mulai menjadi jemu, maka tiba-tiba saja cambuknyalah yang telah meledak dengan dahsyatnya. 

“Jika orang itu jantan, dengan mendengar cambuk ini, ia akan datang mencariku,“ berkata Swandaru di dalam hatinya.

Sebenarnyalah, suara cambuk Swandaru telah menggelitik seorang Senapati Pajang untuk mencarinya. Dengan jantung yang bergejolak ia menggeram, ”Aku harus membunuhnya hari ini.”

Dengan tuntunan arah suara cambuk Swandaru, maka orang itupun segera dapat menemukannya. Dengan marah orang itu langsung menyerang Swandaru sambil berteriak, “Kau kira kau laki-laki sendiri di peperangan ini.”

Swandaru tidak menjawab. Tetapi ia memutar cambuknya dan kemudian menghentakkannya dengan kerasnya, sehingga suaranya bagaikan meledaknya petir di udara.

Lawannya meloncat mundur. Tetapi iapun segera bersiap meloncat menyerang. Seperti Swandaru, maka kemarahannya tidak lagi dapat dikekangnya.

Sejenak kemudian keduanya telah bertempur dengan dahsyatnya. Masing-masing memiliki kelebihan yang sulit dicari tandingannya.

Yang juga bertemu dengan lawannya adalah Ki Gede Menoreh. Kedua pasukan yang dipimpin oleh kedua orang yang pernah terlibat dalam pertempuran itu telah bertemu lagi. Dengan demikian, maka kedua orang senapatinya pun telah bertemu pula dan mengulangi pertempuran yang pernah terjadi dihari sebelumnya.

Namun dalam pada itu, ternyata Ki Tumenggung Prabadaru yang merasa dirinya mendapat penilaian yang kurang baik dari orang yang disebut Kakang Panji itu berusaha juga memperbaiki keadaannya. Ia telah memerintahkan orang-orangnya dari pasukan khusus yang tangguh itu untuk mengerahkan kekuatan mereka melampaui hari-hari sebelumnya.

“Kita harus berhasil hari ini,“ berkata Ki Tumenggung, “aku akan membuktikan kepada Kakang Panji, bahwa pasukanku adalah pasukan yang terbaik yang ada di medan ini. Tidak ada pasukan dari manapun juga di antara pasukan Pajang dan Mataram yang dapat mengimbangi kemampuan orang-orangku.”

Para senapati yang ada di dalam pasukan itupun telah berusaha dengan sekuat kemampuan mereka untuk mewujudkan keinginan Ki Tumenggung itu. Tetapi merekapun harus melihat satu kenyataan, bahwa mereka telah dihadapkan kepada satu pasukan khusus yang juga memiliki kelebihan dari pasukan-pasukan yang lain.

Dalam kegelisahannya, maka Ki Tumenggung Prabadaru itupun tidak lagi mengekang dirinya sendiri. Dengan tangkasnya ia bertempur di antara prajurit-prajuritnya, sehingga pasukan lawannya menjadi ngeri melihat sikapnya. Beberapa orang telah bertempur dalam satu kelompok untuk membatasi gerak Ki Tumenggung Prabadaru. Namun setiap kali ia berhasil memecahkan lingkaran orang-orang Mataram yang ingin menghambatnya.

Dalam pada itu, pasukan Pajang telah hampir seluruhnya berada di atas tebing. Bahkan beberapa langkah mereka berhasil mendesak pasukan Mataram. Pasukan khusus dari Pajang telah bertempur dengan kemampuan yang mendebarkan. Senjata mereka berputaran, terayun dan menyambar dengan dahsyatnya. Sementara Ki Tumenggung Prabadaru sendiri telah ikut langsung bertempur di antara mereka.

Dengan demikian, maka pasukan khusus dari Pajang itu benar-benar merupakan satu pasukan yang menggetarkan. Bukan saja karena kemampuan setiap orang di dalam pasukan itu, tetapi pimpinan pasukan itu sendiri telah dengan langsung bertempur di antara pasukannya.

Orang-orang yang berani mendekati Ki Tumenggung Prabadaru, akan segera terdorong menjauh. Yang mencoba untuk tetap bertahan, akan segera terlempar dengan luka di tubuhnya. Bahkan dua tiga orang yang menyerang bersama-sama akan mengaduh bersama-sama pula karena kulitnya terkoyak oleh senjata Ki Tumenggung Prabadaru. “Orang lain tidak boleh menilai pasukanku sebagai pasukan yang tidak berarti,“ geram Ki Tumenggung yang merasa tersinggung oleh penilaian Kakang Panji.

Dengan hadirnya Ki Tumenggung langsung di pasukannya dan dengan tanpa ragu-ragu menghadapi setiap lawan sebagaimana harus dihadapi di peperangan, maka pasukan khusus dari Mataram itupun menjadi terdesak. Apalagi ketika para senapati di dalam pasukan itupun telah berbuat sebagaimana dilakukan oleh Ki Tumenggung Prabadaru.

Dalam pada itu, Ki Lurah Branjangan telah merasakan tekanan yang sangat berat pada pasukannya. Karena itu, maka iapun bergeser di sepanjang garis pertempuran sambil melihat, apakah yang telah membuat pasukannya mengalami tekanan yang terasa melampaui hari-hari yang lewat.

Ki Lurah Branjangan itu menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ia melihat Ki Tumenggung bertempur seperti seekor harimau kelaparan.

“Bukan main,“ geram Ki Lurah Branjangan, “jika tidak dicegah, maka orang-orang akan benar-benar terdesak pada hari ini.”

Karena itu, maka Ki Lurah itupun kemudian telah mendekati Ki Tumenggung Prabadaru dengan niat untuk menghentikan pembantaian yang telah dilakukannya.

Namun ketika Ki Tumenggung Prabadaru melihat kehadiran Ki Lurah Branjangan, maka iapun tiba-tiba tertawa sambil berkata, “Nah, inilah pemimpin teringgi pasukan khusus dari Mataram. Aku ingin melihat, apakah kau benar-benar seorang senapati pinunjul. Adalah satu kehormatan bagi kita berdua, bahwa kita dapat bertemu di medan sebagai dua orang panglima dari satu pasukan yang disegani.”

Ki Lurah Branjangan menarik nafas dalam-dalam. Ia sadar, bahwa Ki Tumenggung Prabadaru adalah seorang yang memiliki ilmu yang sangat dahsyat. Tetapi adalah tanggung jawabnya untuk menghadapi Ki Tumenggung itu, apapun yang akan terjadi.

Sejenak kemudian keduanya sudah berhadapan. Dengan sigapnya Ki Tumenggung langsung menyerang Ki Lurah Branjangan dengan senjatanya. Senjata Ki Tumenggung bukan senjata yang aneh. Yang digenggamnya adalah sebilah pedang yang khusus, terbuat dari baja yang kehitam-hitaman, ditaburi dengan pamor yang bagaikan menyala.

Ki Lurah Branjangan yang bersenjata tombak pendek itupun berkisar selangkah. Dengan tombaknya Ki Lurah langsung mematuk lambung. Tetapi Ki Tumenggung berputar. Dengan pedangnya ia menangkis senjata Ki Lurah Branjangan.

Ki Lurah terkejut ketika tombaknya membentur pedang Ki Tumenggung Prabadaru. Hampir saja tombaknya terlepas dari genggaman. Namun untunglah, bahwa ia masih mampu memperbaiki keadaan.

“Aku kurang berhati hati,“ berkata Ki Lurah Branjangan.

Namun ketika keduanya bertempur semakin cepat, maka ternyata bahwa Ki Lurah Branjangan bukannya lawan yang seimbang dari Ki Tumenggung Prabadaru. Serangan-serangan Ki Tumenggung yang semakin cepat, menjadi semakin sulit untuk dilawan.

Untunglah bahwa beberapa orang dari pasukan khusus Ki Lurah tanggap akan keadaan itu. Dua orang di antara mereka telah menempatkan diri untuk bersama-sama Ki Lurah Branjangan melawan Ki Tumenggung Prabadaru.

“Jangan hanya bertiga,“ berkata Ki Tumenggung Prabadaru, “semua senapati dari Mataram aku persilahkan untuk menempatkan diri melawan Prabadaru.”

Ki Lurah Branjangan menggeram. Ujung tombaknya langsung mematuk dada, sementara dua orang yang lain bersama-sama pula menyerang dengan cepatnya.

Tetapi serangan-serangan itu tidak menggetarkan jantung Ki Tumenggung Prabadaru. Ia mampu mengelakkan semua serangan itu dengan gerak yang hampir tidak dapat diikuti oleh lawan-lawannya.

Yang terjadi kemudian, benar-benar mengejutkan Ki Lurah Branjangan. Ki Tumenggung itu mampu bergerak terlalu cepat, sehingga pedangnya yang berputar dan dirinya sendiri, seakan-akan telah berubah menjadi segumpal awan yang dengan cepatnya telah melibat kedua orang kawannya. Ketika lawan itu bergeser, maka kedua orang itupun telah terkapar di tanah. Tubuhnya yang koyak memancarkan darah yang merah membasahi bumi Prambanan. Bahkan luka yang terdapat pada setiap orang yang terkapar itu bukan hanya segores, tetapi silang melintang.

“Bukan main,“ geram Ki Lurah di dalam hatinya. Tetapi sebagai seorang senapati ia sama sekali tidak menunjukkan kelemahannya. Ia sadar, bahwa kemampuan Ki Tumenggung itu tidak akan dapat diimbanginya. Namun ia harus memimpin pasukannya menghadapi pasukan khusus dari Pajang, termasuk panglimanya.

Karena itu, Ki Lurah justru menjadi marah. Iapun menghentakkan segenap kemampuannya menghadapi Ki Tumenggung Prabadaru.

Ketika dua orang kawannya telah tidak berdaya, maka dua orang lain telah tampil pula. Ki Lurah kembali bertiga menghadapi Ki Tumenggung Prabadaru yang memiliki ilmu yang nggegirisi itu.

“Anak iblis,“ geram Ki Tumenggung, “sudah aku katakan. Jangan hanya bertiga. Semakin banyak, semakin baik. Dengan demikian, tugasku akan menjadi semakin cepat selesai. Pasukan yang disebut pasukan khusus dari Mataram ini akan cepat menjadi habis. Meskipun aku masih ingin membiarkan penglimanya untuk hidup, agar ia dapat menyaksikan kehancuran pasukannya.”

Ki Lurah Branjangan menggeram. Dengan tombak pendeknya ia meloncat menyerang dengan garangnya.

Tetapi serangannya itu sama sekali tidak menyentuh Ki Tumenggung Prabadaru. Dengan tangkasnya ia mengelak. Bahkan ketika dua orang kawan Ki Lurah menyerangnya pula beruntun, maka iapun dapat mengelakkan diriya tanpa kesulitan.

Sejenak kemudian, pertempuran itupun menjadi bertambah cepat. Sekali lagi pedang Ki Tumenggung berputar bergulung-gulung.

Ki Lurah Branjangan yang telah mengalami satu akibat yang mengerikan dari libatan putaran pedang Ki Tumenggung itupun menjadi bersiaga. Dengan lantang ia memberi peringatan kepada kedua orang kawannya.

Kedua kawannya itupun mengetahui pula akibat yang telah terjadi atas dua orang kawannya yang terdahulu. Karena itu, maka merekapun telah merapat untuk melawan bersama-sama. Sementara Ki Lurah Branjangan dengan mempergunakan segenap kemampuan berusaha untuk menahan libatan gumpalan putaran pedang yang mengerikan itu.

Usaha ketiga orang itu untuk sementara berhasil. Ki Tumenggung mengumpat pendek. Tetapi dengan cepat putaran pedang itu berkisar. Dengan tiba-tiba saja, Ki Tumenggung telah meloncat untuk mengambil jarak.

Tetapi ketika ia meloncat lagi mendekat, maka ia telah menyerang, dengan cara yang berbeda. Pedangnya menyambar dengan cepat mengarah ke lambung seorang lawannya. Ketika lawannya itu menghindar, dan lawannya yang lain menyerangnya, maka ia cepat memutar pedangnya untuk langsung membentur senjata yang mematuk dadanya. Dengan sekuat tenaga ia mengungkit senjata lawannya dan kemudian memutarnya dengan cepat.

Ternyata lawannya itu tidak berhasil mempertahankan senjatanya. Senjatanya itu bagaikan dihisap oleh satu kekuatan yang sangat besar, sehingga ketika sekali lagi Ki Tumenggung menghentakkan pedangnya, maka senjata lawannya itupun terlepas.

Hampir saja jantung lawannya itu dikoyaknya. Namun Ki Lurah Branjangan cepat datang menolongnya. Ujung tombaknya dengan cepat menukik mengarah ke perut Ki Tumenggung, sehingga ia harus memperhitungkan serangan yang datang dengan tiba-tiba itu.

Ki Tumenggung bergeser surut. Dengan sekuat tenaganya ia memukul landean tombak Ki Lurah. Tetapi ternyata Ki Lurah cepat bergerak pula. Ia berhasil menarik serangannya, sebelum pedang Ki Tumenggung merenggut tombaknya.

Dalam pada itu, kawan Ki Lurah yang kehilangan senjatanya berhasil membebaskan diri dari maut. Dengan serta merta ia meloncat meraih senjatanya yang terjatuh.

Hampir saja, pada saat yang gawat itu, ia disentuh oleh pedang Ki Tumenggung. Namun kawannya yang seorang lagi dengan cepat menyerang Ki Tumenggung, sehingga Ki Tumenggung harus menghindarinya.

Demikianlah pertempuran itupun menjadi semakin sengit. Sementara Ki Tumenggung terikat pada pertempuran melawan ketiga orang lawannya, maka pasukan khusus Mataram harus berusaha sekuat-kuatnya agar mereka tidak terdesak mundur. Bahkan, dengan mengerahkan segenap kekuatan yang ada pada pasukan itu, maka pasukan Mataram berhasil bertahan pada garis pertempuran beberapa langkah dari tebing.

Pasukan dari Tanah Perdikan Menoreh pun bertempur dengan gigihnya pula, sementara para pengawal dari Sangkal Putung justru telah berhasil membuat lawannya menjadi gelisah.

Swandaru sendiri masih bertempur dengan garangnya. Cambuknya meledak-ledak dengan dahsyatnya, seakan-akan memecahkan tebing Kali Opak.

Dalam pada itu, selagi kedua pasukan di sepanjang tebing Kali Opak itu bertempur dengan sengitnya, seorang di antara para senapati Pajang yang kurang dikenal namanya, justru tengah mengadakan pengamatan dengan seksama. Karena ia belum berhasil bertemu dengan Senapati Ing Ngalaga yang dicari-carinya, maka ia sempat mengamati seluruh pasukannya dari sayap yang satu ke sayap yang lain.

Dengan jantung yang berdebar-debar ia melihat Ki Tumenggung Prabadaru menguasai lawannya dengan mantap. Iapun mengerti, bahwa sebentar lagi, lawan Ki Tumenggung itu harus berganti orang lagi.

Orang itupun tidak begitu cemas melihat seorang Senapati Pajang bertempur melawan Swandaru dan yang lain bertempur melawan Ki Gede Menoreh. Namun ia melihat sesuatu yang menarik perhatiannya. Ia melihat kelemahan yang akan dapat membahayakan sayap pasukan Pajang yang menghadapi pasukan khusus dari Mataram, meskipun Ki Tumenggung Prabadaru sendiri akan berhasil menguasai lawannya beruntun, setiap kelompok yang melawannya.

Karena itu, maka orang itupun kemudian justru meninggalkan sayap itu. Ditemuinya seorang yang berada justru di belakang garis pertempuran.

“Kau masih juga tidur di situ,“ berkata orang itu.

“Apa perintahmu?“ bertanya orang yang disapanya, seorang kepercayaannya.

“Kau lihat, ada dua orang tua di sayap sebelah yang memerlukan lawan yang tangguh. Lawan yang memiliki kelebihan dari setiap orang,” berkata orang itu.

“Kau sendiri?“ bertanya orang itu.

“Gila,“ geram orang itu, “aku mencari Senapati Ing Ngalaga.”

“Jadi siapa yang akan kau perintahkan?“ bertanya orang itu.

“Cari pemalas itu. Jika ia berani, lawan salah seorang dari kedua orang itu. Yang lain serahkan kepada orang hutan dungu dari Alas Roban itu,“ berkata senapati itu.

“Aku akan mencarinya. Tetapi apakah aku dapat mengatakan, perintah ini datangnya dari Kakang Panji?“ bertanya orang itu.

“Gila. Perintah itu memang dari aku. Katakan, perintahku. Aku tidak dapat mengganggu Prabadaru sekarang. Ia sedang bertempur. Tetapi pasukannya ternyata tidak sebagaimana aku harapkan. Kekuatan yang dibanggakan itu tertahan oleh pasukan khusus dari Mataram, yang dipimpin tidak lebih dari Ki Lurah Branjangan. Dan sekarang Ki Tumenggung baru menunjukkan kepada Ki Lurah, bahwa pimpinan pasukan khusus dari Mataram itu tidak seimbang dengan pimpinan pasukan khusus dari Pajang.”

Kepercayaan orang yang disebut Kakang Panji itupun kemudian memberikan beberapa keterangan tentang orang-orang yang disebut itu, bahwa mereka masih ada di pesanggrahan dan seolah-olah sama sekali tidak menghiraukan apa yang sudah terjadi di peperangan.

“Aku memang minta agar mereka menunggu perintahku,“ berkata orang yang disebut Kakang Panji itu. Lalu, “Menurut pendapatku, mereka memang harus diberitahu sebagaimana akan kau lakukan, siapakah yang harus mereka lawan, agar mereka tidak melakukan sesuatu yang dapat mengacaukan segala rencana yang sudah tersusun sebaik-baiknya.”

“Baiklah,” jawab kepercayaannya, “aku akan menemui mereka.”

“Cepat. Mereka harus segera berada di medan,“ berkata orang yang disebut Kakang Panji itu.

Sejenak kemudian, orang yang mendapat perintah dari Kakang Panji itupun segera berlari-lari ke pesanggrahan. Dengan isyarat sandi, maka ia tidak dicurigai oleh para pengawal dan beberapa orang dari pasukan cadangan yang masih berada di pasanggrahan.

Ketika orang itu memasuki sebuah rumah yang kecil di ujung padukuhan, maka ditemuinya beberapa orang berbaring di sebuah amben yang besar. Seorang di antara mereka masih juga sempat berdendang, meskipun lagunya tidak menitik nada yang seharusnya.

“Ki Lasem Sanga,“ terdengar kepercayaan Kakang Panji itu menyebut sebuah nama.

Orang-orang yang sedang berbaring itu terkejut. Merekapun kemudian bangkit dan duduk termangu-mangu.

“Kau cari siapa?“ bertanya orang yang berdendang.

“Ki Lasem Sanga,“ jawab orang itu.

“Ia ada di serambi,“ jawab orang yang duduk sambil menguap.

Kepercayaan Kakang Panji itupun segera pergi ke serambi. Ditemuinya seseorang yang duduk di sebuah lincak bambu sambil memandang ke kejauhan.

“Ki Lasem Sanga,“ desis orang yang baru datang itu.

Orang yang duduk di amben itu berpaling. Ketika ia melihat orang kepercayaan Kakang Panji itu, maka iapun berkisar sambil bertanya, “Apakah ada satu kepentingan?”

“Kakang Panji telah memerintahkan Ki Lasem untuk tampil sekarang ke medan,“ jawab orang kepercayaan Kakang Panji itu.

Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian dengan segan ia bertanya, “Baru beberapa hari kita di sini. Tetapi nampaknya Pajang sudah kehabisan senapati.”

“Bukan kehabisan. Tetapi ada orang-orang yang memerlukan lawan yang dapat membatasi tata geraknya di peperangan,“ jawab kepercayaan Kakang Panji itu.

“Apakah para senapati sudah mati?“ bertanya Ki Lasem Sanga.

“Tidak. Tetapi kau harus tahu jumlah Senapati Mataram,“ jawab kepercayaan Kakang Panji.

“Meskipun jumlahnya dapat menyamai, tetapi bukankah Senapati Pajang jauh lebih baik dari Senapati Mataram?” berkata orang itu.

Kepercayaan Kakang Panji itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Kau jangan berpura-pura. Kau tentu pernah mendengar apa yang berulang kali terjadi. Kau tentu pernah mendengar, bagaimana orang yang bernama Ajar Tal Pitu terbunuh. Kemudian kaupun pernah mendengar juga, Ki Mahoni yang tidak berhasil menyelamatkan dirinya sendiri. Juga Ki Sabdadadi yang terbunuh oleh salah seorang yang berpihak kepada Mataram, yang sekarang tentu ada di medan itu juga. Kaupun tahu, apa yang terjadi atas Pringgajaya. Berapa kali ia menghadapi orang-orang yang berpihak kepada Mataram, dan berapa kali ia harus melarikan diri. Bahkan iapun pernah melindungi dirinya dengan kabar kematiannya.”

Orang yang disebut Ki Lasem Sanga itu menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Sudah begitu lemahkah ketahanan batinmu, sehingga kau perlu merajuk? Kematian-kematian yang kau sebutkan itu, kurang menguntungkan bagi pasukan Pajang dalam keseluruhan. Mungkin aku justru menjadi gentar dan tidak berani maju ke medan.”

Kepercayaan Kakang Panji itu memandang Ki Lasem Sanga dengan tajamnya. Namun kemudian katanya, “Apakah begitu?”

“Memang dapat berakibat begitu,“ jawab orang itu.

Kepercayaan orang yang disebut Kakang Panji itu mengangguk-angguk. Katanya, “Memang itulah yang dimaksud dengan Kakang Panji. Semua orang harus tahu pasti apa yang akan dihadapinya. Sebaiknya seseorang memang harus jujur. Jika ia takut, sebaiknya ia memang tidak perlu turun ke medan. Cita-cita yang akan dicapai memang memerlukan keberanian. Yang ingin dicapai itupun satu citra kehidupan yang membayangkan kebesaran Majapahit, sehingga taruhannya pun memang harus besar, antara lain Pajang dan Mataram yang harus dimusnahkan. Dan setiap orang yang melibatkan diripun harus menyadari kemungkinan yang paling buruk yang dapat terjadi atas diri mereka. Karena itu, berkatalah terus terang. Apakah kau bersedia ikut serta atau tidak.”

“Gila,“ geram orang itu, “kau harus sadar, bahwa aku akan dapat mengkoyak mulutmu. Kau sangka aku tidak berani melakukannya, karena kau budak Kakang Panji? Kau sangka bahwa aku gentar menghadapi Kakang Panji sendiri?”

“Yang aku maksud bukan menghadapi Kakang Panji. Tetapi menghadapi orang-orang Mataram,“ jawab kepercayaan Kakang Panji itu.

“Kau memang gila,“ geram Ki Lasem Sanga, “sebenarnya kau tidak usah mempergunakan cara yang memuakkan itu untuk mendorongku ke medan.”

“Aku sudah mencoba untuk mempergunakan cara yang wajar. Tetapi nampaknya kau masih terlalu malas untuk bangkit dan maju ke medan hari ini. Bahkan sekarang,“ jawab kepercayaan Kakang Panji itu.

Orang yang disebut Ki Lasem Sanga itu mengumpat kasar. Tetapi iapun kemudian bangkit sambil berkata, “Aku akan membunuh orang yang kau maksud dalam waktu sepenginang. Kemudian aku akan istirahat lagi, sampai saatnya aku harus menghadapi Senapati ing Ngalaga sendiri.”

Kepercayaan orang yang disebut Kakang Panji itu mengerutkan keningnya. Hampir saja ia mengumpat, karena orang yang bernama Ki Lasem Sanga itu merasa dirinya berkepentingan untuk melawan Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati Ing Ngalaga.

Tetapi niatnya diurungkan. Bahkan iapun kemudian berkata, “Baiklah. Silahkan pergi ke medan. Lawanmu sudah menunggu. Di sayap kanan ada dua orang tua yang memerlukan pelayanan.”

“Siapa?“ bertanya Ki Lasem Sanga.

“Aku tidak tahu,” jawab orang itu.

“Kau suruh aku melawan orang yang tidak punya nama di dunia kanuragan? Kau mulai menghina aku lagi?” berkata Ki Lasem Sanga.

“Kakang Panji yang tahu pasti, apa yang harus kau lakukan,” jawab kepercayaan Kakang Panji itu. “Pergilah. Aku ingin berbicara dengan Kebo Watang.”

“Buat apa kau berbicara dengan orang dungu itu ?“ bertanya Ki Lasem Sanga.

“Ia salah seorang yang ditunjuk oleh Kakang Panji untuk melawan salah seorang dari kedua orang itu,“ jawab kepercayaan Kakang Panji.

“Kakang Panjimu itupun dungu. Aku akan membunuh kedua orang tua itu,“ jawab Ki Lasem Sanga.

“Sebaiknya kau menghemat tenaga jika kau benar-benar ingin bertemu dengan Senapati ing Ngalaga,“ berkata kepercayaan Kakang Panji itu. Lalu, “Karena itu, biarlah Kebo Watang membantumu.”

“Orang hutan itu tidak pantas ditempatkan di medan perang seperti yang terjadi. Tetapi jika itu yang dikehendaki oleh Kakang Panji, apa boleh buat.“ Orang itu berhenti sejenak, lalu, “Kenapa tidak Pringgajaya saja ?“

“Ia berbaur di medan. Ia bukan orang yang dapat dipercaya lagi untuk melawan orang-orang Sangkal Putung, Jati Anom dan Tanah Perdikan Menoreh. Bahkan jika ia bertemu dengan putra Ki Gede Pasantenan agaknya iapun akan mengalami kesulitan.”

“Orang itu tidak lebih dari anak-anak ingusan yang merasa dirinya mumpuni. Biarkan saja orang itu menepuk dada karena ia dapat membunuh pengawal-pengawal Kademangan atau para petani dari Mangir yang salah langkah, karena mereka meletakkan cangkul mereka dan memanggul tombak,“ berkata Ki Lasem Sanga.

“Nah, dimana Kebo dungu itu?“ bertanya kepercayaan Kakang Panji.

“Cari di dapur. Biasanya ia berada di dapur,“ jawab Ki Lasem Sanga.

“Tunggulah. Sebaiknya kalian berangkat berdua,“ berkata kepercayaan Kakang Panji itu.

“Persetan. Aku akan pergi dahulu ke sayap sebelah kanan. Aku tidak peduli, apakah orang itu akan pergi atau tidak,“ jawab Ki Lasem Sanga.

“Sebaiknya kau menunggu,“ berkata kepercayaan Kakang Panji.

“Jangan mengatur aku,“ jawab Ki Lasem Sanga.

Dan tanpa menghiraukan apapun lagi ia masuk ke ruang dalam. Dari dalam biliknya, ia mengambil senjatanya. Senjata yang dalam petualangannya telah banyak memberikan kebanggaan kepadanya. Sebuah kapak bermata dua bertangkai sepanjang tombak pendek.

Tanpa mengatakan sepatah katapun kepada orang-orang yang ada di ruangan rumah itu, maka Ki Lasem Sanga langsung keluar dan turun ke halaman.

“Kemana pemimpi itu? “ bertanya seseorang kepada kawannya.

“Entahlah. Mungkin ia mendapat satu tugas yang khusus,“ jawab kawannya.

Yang lain tidak membicarakannya lagi. Sementara itu, kepercayaan Kakang Panji telah pergi ke dapur untuk mencari Kebo Watang.

Seperti yang dikatakan oleh Ki Lasem Sanga, Kebo Watang memang ada di dapur. Tetapi ia baru tidur mendekur di sebuah amben kecil. Di dekatnya, sebuah tenong berisi makanan masih terbuka. Namun demikian di dapur itu tidak ada orang lain, meskipun perapiannya masih menyala dan sebuah belanga sedang dipanasi.

Kepercayaan Kakang Panji itu menarik nafas dalam-dalam. Yang disebut pemalas adalah Ki Lasem Sanga. Tetapi orang dari Alas Roban itu ternyata juga seorang pemalas.

“He, apakah kerjamu hanya tidur melulu?“ bentak kepercayaan Kakang Panji.

Orang itu tidak segera bangun. Beberapa kali kepercayaan Kakang Panji itu memanggilnya. Tetapi ia masih tetap tidur dengan nyenyaknya.

“Gila,“ geram kepercayaan Kakang Panji itu. Diambilnya sebuah kendi di atas paga bambu. Kemudian dilemparkannya ke dinding di sebelah amben tempat Kebo Watang itu tertidur.

Ketika kendi itu pecah, maka Kebo Watang itu terkejut. Dengan tangkasnya ia meloncat bangkit dan tegak di atas kedua kakinya.

“Kau mendekur pada saat begini?“ geram kepercayaan Kakang Panji.

“Iblis!“ bentak orang itu, “Kau mengejutkan aku.”

“Orang Mataram sudah menginjak hidungmu, kau masih tertidur nyenyak, “sahut kepercayaan Kakang Panji tidak kalah lantangnya.

“Apa maumu membangunkan aku?“ bertanya Kebo Watang.

“Kakang Panji menunjukmu, agar kau tampil sekarang di sayap sebelah kanan. Ada seorang yang telah menunggumu. Kau dipanggil bersama Ki Lasem Sanga,“ jawab kepercayaan Kakang Panji.

“Dimana pemalas itu sekarang?“ bertanya Kebo Watang.

“Ia sudah mendahului,“ jawab kepercayaan Kakang Panji itu, “tetapi siapakah yang sebenarnya pemalas? Kau atau Ki Lasem Sanga? Atau orang lain.”

“Aku tidak peduli,“ jawab Kebo Watang. Lalu, “Aku sudah jemu menunggu di sini. Sukurlah, bahwa hari ini aku mendapat lawan. Hampir saja aku pulang ke Alas Roban. Ada beberapa kawan sedang menunggu aku di sana. Aku mempunyai kepentingan tersendiri di samping kerjasama yang belum aku ketahui pasti, apa keuntunganku kelak, kecuali janji bahwa tanah tempat aku tinggal, tidak akan diganggu gugat oleh kerajaan yang bakal berdiri.”

Kepercayaan orang yang disebut Kakang Panji itu mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Tentu kau sudah tahu, apa yang akan kau dapatkan kelak. Tetapi itu tidak penting. Sekarang, pergilah ke medan.”

Orang yang disebut Kebo Watang itupun mengangguk-angguk. Tetapi ia masih bergumam, “Aku memang akan pergi ke medan sekarang. Aku akan membunuh Senapati ing Ngalaga yang telah membuka Alas Mentaok dan merusak lingkungan hidup kawan-kawanku.”

Kepercayaan Kakang Panji itu mengumpat di dalam hati. Orang inipun merasa dirinya mampu membunuh Senapati ing Ngalaga.

Namun ia tidak menghiraukannya. Katanya, “Cepatlah. Meskipun barangkali kau harus bekerja jauh lebih lama dari yang kau duga.”

Kebo Watang itu tertawa. Katanya, “Aku akan membunuh lawanku dengan cepat. Perintah ini memang sudah terlambat. Jika sejak semula aku tampil di medan, barangkali pertempuran ini sudah selesai.”

“Kau terlalu besar kepala,“ kepercayaan Kakang Panji itu tidak dapat menahan bibirnya lagi, “kau sangka kau seorang diri dapat menentukan akhir dari pertempuran ini?”

“Aku dapat membunuh Senapati ing Alaga dengan cepat. Jika Senapati ing Ngalaga itu mati, orang-orangnya tidak akan dapat berbuat apa-apa lagi,“ jawab Kebo Watang.

Kepercayaan Kakang Panji itu menggeram. Tetapi katanya kemudian, “Sudahlah, berangkatlah. Lawanmu sudah menunggu. Lawanmu adalah seorang yang tua, tetapi memiliki ilmu yang mumpuni.” “Jadi lawanku kali ini bukan Senapati ing Ngalaga itu sendiri?“ bertanya Kebo Watang.

“Setelah kau bunuh lawanmu di sayap kanan itu. Carilah,“ berkata kepercayaan Kakang Panji yang menjadi pening mendengar kata-kata Kebo Watang.

Kebo Watang tertawa. Kemudian iapun melangkah mengambil senjatanya. Sebuah bulatan besi agak lebih besar dari kepalan tangan yang tergantung pada seutas rantai baja.

Tanpa mengatakan sesuatu lagi, maka orang itupun kemudian keluar dari dapur dan langsung menuju ke medan.

Ketika seorang yang berwajah kasar, berjambang lebat melihatnya, maka berlari-lari kecil ia menyusulnya sambil bertanya, “Guru, apakah guru akan pergi ke medan?”

“Ya,“ jawab Kebo Watang.

“Aku ikut bersama guru sekarang. Aku sudah jemu menunggu di gubug itu,” berkata orang berjambang lebat itu.

“Dimana kawan-kawanmu?” bertanya Kebo Watang.

“Ada di rumah itu. Apakah mereka harus juga pergi ke medan?“ bertanya orang berjambang.

Kebo Watang menggeleng. Katanya, “Tunggu. Kalian akan mendapat perintah khusus. Jumlah kita memang tidak banyak bagi satu pertempuran besar seperti ini. Karena itu, kawan-kawan kita yang hanya lima orang itu tentu tidak terhitung, kecuali aku sendiri, karena aku memiliki kemampuan untuk melawan para senapati dari Mataram.”

Tetapi orang berwajah kasar berjambang lebat itu berkata, “Orang-orang padepokan Gunung Kapur sudah mendapat kesempatan turun ke medan.”

“Jumlah mereka cukup banyak,“ jawab Kebo Watang, “lebih dari dua puluh lima orang. Karena itu, mereka mendapat kesempatan pertama. Sementara itu, pemimpin padepokan itu sendiri tidak mempunyai arti yang khusus, sehingga mereka berada di antara para prajurit Pajang dalam perang brubuh itu. Tetapi sebagian dari mereka telah ditelan oleh gelar yang mengejutkan dari sayap pasukan Mataram yang dipimpin oleh Untara itu.”

Orang berwajah kasar dan berjambang lebat itu tidak menjawab. Namun ia mengikuti saja Kebo Watang yang menuju ke medan.

Yang kemudian sudah sampai di medan adalah Ki Lasem Sanga. Untuk sesaat ia memperhatikan pertempuran yang terjadi di atas tebing sebelah barat Kali Opak. Namun pasukan Pajang ternyata tidak dapat mendesak pasukan Mataram lebih jauh.

Sejenak kemudian Ki Lasem Sanga itupun telah memanjat tebing. Ia tertegun ketika seseorang mendekatinya sambil berkata, ”Lawanmu berada agak ke kanan.”

“Siapa kau?“ bertanya Ki Lasem Sanga.

“Aku salah seorang pengawal Kakang Panji,“ jawab orang itu, “aku memang mendapat perintah untuk menunggumu.”

“Persetan,“ geram Ki Lasem Sanga, “dimana orang yang menyebut dirinya Kakang Panji itu?”

“Sedang bertempur diantara para prajurit,“ jawab orang itu.

“Aku mengenal kepercayaannya yang mendapat perintah memanggil aku. Tetapi aku belum mengenalmu,“ jawab Ki Lasem Sanga.

Orang itupun kemudian berkata, “Dengar perintahku. Atas nama kuningnya cahaya lintang johar. Nah, pergilah sedikit ke kanan, kau akan bertemu dengan orang yang disebut orang bercambuk. Anak Sangkal Putung itu sedang bertempur. Kau dengar ledakan cambuknya? Kau harus melawan gurunya,“ jawab orang itu.

“Lawanku Senapati ing Ngalaga. Tetapi sebelumnya, aku tidak berkeberatan untuk membunuh orang bercambuk itu. Apakah yang kau maksud guru dari anak Sangkal Putung dan Agung Siedayu?“ bertanya Ki Lasem Sanga.

“Ya. Kiai Gringsing,” jawab orang itu.

Ki Lasem Sanga melangkah menuju ke garis pertempuran meninggalkan orang yang menemuinya itu. Di wajahnya sama sekali tidak menunjukkan kesan apapun juga. Seolah-olah ia tidak sedang berjalan ke medan perang yang gawat, yang dibayangi oleh maut yang setiap saat dapat menerkamnya.

Dalam hiruk pikuk pertempuran yang sekali-sekali terdengar hentakan teriakan dan sorak yang gemuruh, Ki Lasem Sanga memasuki arena pertempuran. Namun ia masih sempat berpikir, “Apakah Senapati ing Ngalaga tidak berada di sayap ini?”

Dalam pada itu, Ki Tumenggung Prabadaru masih bertempur dengan garangnya, sementara Ki Lurah Branjangan seolah-olah tidak mampu lagi untuk menahannya.

Bersama beberapa orang Ki Lurah Branjangan masih tetap mengalami kesulitan. Bahkan beberapa orang itupun telah berganti dengan orang-orang baru, apabila yang terdahulu telah terkapar tidak bernyawa lagi, atau terluka parah dan tidak mungkin untuk bangkit dan melawan amukan senjata Ki Tumenggung yang menggetarkan itu.

Dalam keadaan yang demikian, maka Ki Lurah Branjangan pun merasa, bahwa kemampuannya memang belum mendekati kemampuan Ki Tumenggung Prabadaru, sehingga jika pasukan khusus dari Mataram itu mampu mengimbangi pasukan khusus dari Pajang, maka kemampuan pasukan itu sebagian terbesar tentu bukan dari dirinya. Namun demikian ia adalah orang yang mengatur dan menentukan langkah-langkah bagi perkembangan kemampuan pasukan khusus itu.

Namun dalam pada itu, di medan yang gawat, Ki Lurah merasa dirinya menjadi terlalu kecil berhadapan dengan Ki Tumenggung Prabadaru, sehingga beberapa orang dari antara pasukannya telah menjadi korban.

Kemarahan Ki Lurah Branjangan yang tidak tertahankan lagi telah membuatnya tidak menghiraukan lagi dirinya sendiri. Tetapi agaknya Ki Tumenggung Prabadaru memang menganggapnya terlalu tidak berarti, sehingga dengan sengaja Ki Tumenggung itu tidak membunuhnya. Setiap kali Ki Tumenggung itu berkata, “Kau akan mati yang terakhir Ki Lurah, agar kau tahu nilai dari pasukan yang kau pimpin dan kau banggakan itu. Memang agak berbeda dengan aku. Aku justru melindungi orang-orangku. Tetapi kau masih harus berlindung kepada orang-orangmu.”

“Persetan,“ geram Ki Lurah dengan marah.

Dengan sepenuh kemampuan ia menyerang Ki Tumenggung Prabadaru tanpa menghiraukan keselamatannya. Tetapi Ki Tumenggung itu justru tertawa sambil mengelak. Bahkan kemudian dengan garangnya Ki Tumenggung telah menyerang orang-orang lain yang bertempur bersama Ki Lurah Branjangan itu.

Sementara itu, Ki Lasem Sanga telah berada di dekat arena pertempuran antara Ki Tumenggung Prabadaru melawan Ki Lurah Branjangan. Sambil tersenyum iapun kemudian bergeser menjauh. Namun demikian ia sempat juga berkata di dalam hati, “Sempat juga Ki Tumenggung Prabadaru bermain-main dengan kelinci kecil itu.”

Sejenak kemudian Ki Lasem Sanga itupun telah berkisar semakin jauh. Tetapi ia tidak menghiraukan hiruk-pikuk pertempuran yang terjadi di sekitarnya. Dicarinya orang tua yang dimaksud oleh orang yang ditugaskan Kakang Panji menemuinya.

“Kiai Gringsing,“ desis Ki Lasem Sanga, “nampaknya orang itu memiliki kemampuan yang tinggi.”

Sejenak Ki Lasem Sanga tertegun ketika ia melihat seorang yang berambut keputih-putihan bertempur di antara pasukan yang tentu bukan pasukan khusus dari Mataram. Namun ia mengumpat ketika ia melihat orang itu dengan cara yang kurang meyakinkan mempermainkan senjatanya. Sebilah pedang.

“Kiai Gringsing tidak bersenjata pedang,“ berkata orang itu di dalam hatinya.

Orang yang disebut Ki Lasem Sanga itupun kemudian bergeser lagi. Ia memang sudah tidak berada di garis pertempuran antara pasukan khusus Pajang melawan pasukan khusus Mataram yang mendebarkan itu.

Namun tiba-tiba langkahnya tertegun. Orang tua yang bertempur dengan pedang itu, memang sangat menarik. Karena itu, ia justru melangkah kembali. Diperhatikannya orang itu dengan saksama.

“Orang ini memiliki kelebihan dari orang kebanyakan,“ berkata orang itu di dalam hatinya. Jika semula ia menganggap bahwa permainan pedang orang itu tidak meyakinkan, maka kemudian ia baru sadar, bahwa orang itu memang tidak sedang bersungguh-sungguh.

Bahkan Ki Lasem Sanga itu terkejut ketika orang yang rambutnya terurai sehelai-sehelai di bawah ikat kepalanya sudah keputih-putihan itu bertanya kepadanya, “Ki Sanak memperhatikan aku.”

Ki Lasem Sanga menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Ya. Nampaknya kau memiliki sikap khusus di medan yang gawat ini.”

“Memang Ki Sanak,“ jawab orang itu, “aku memang berbuat sesuatu yang mungkin aku lakukan tanpa memaksa diri. He, apakah kau sudah melihat pertempuran ini dalam keseluruhan?”

“Sudah,“ jawab Ki Lasem Sanga, “aku melihat bagaimana Ki Tumenggung Prabadaru membantai lawan-lawannya. Nampaknya pemimpin pasukan khusus dari Mataram itu tidak lebih dari seekor kelinci kecil. Ia menjadi permainan seekor serigala yang garang dari Pajang. Jika anak-anak kelinci itu berusaha membantunya, maka dengan gigi-giginya yang tajam, serigala itu membunuh kelinci-kelinci itu tanpa ampun.”

“Benar begitu?“ bertanya orang yang rambutnya sudah keputih-putihan itu.

“Aku sudah melihat sendiri,“ jawab Ki Lasem Sanga.

Orang tua di hadapan Ki Lasem Sanga itu termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya, “Aku akan melihatnya.”

Tetapi Ki Lasem Sanga tertawa. Katanya, “Tidak perlu Ki Sanak. He, apakah kau yang bernama Kiai Gringsing. Guru Agung Sedayu dan Swandaru?”

Orang itu menggeleng. Katanya, “Aku bukan Kiai Gringsing. Karena itu, jika kau mencari orang yang bernama Kiai Gringsing, bukanlah di sini tempatnya.”

Ia menggeleng. Katanya, “Itu tidak perlu. Aku ada di sini. Sebelum aku menemukan Kiai Gringsing, sebaiknya aku membunuhmu dahulu. Bukankah aku dapat berbuat demikian karena kita berada di peperangan? Bukankah aku boleh membunuh siapa saja yang berdiri di pihak lawan?”

Orang tua itu mengangguk-angguk. Katanya, “Tentu boleh. Jadi kau akan membunuh aku dahulu ?”

Pertanyaan itu terdengar aneh. Apalagi orang tua yang mengucapkannya itu sama sekali tidak memberikan kesan kebimbangan atau kecemasan.

Karena itu, Ki Lasem Sanga justru menjadi semakin tertarik kepada orang yang rambutnya sudah keputih-putihan itu. Orang itu tentu bukan pengawal kebanyakan. Apalagi para pengawal dan orang-orang yang berada di dalam lingkungan pasukan Mataram biasanya adalah orang-orang muda, meskipun ada juga diantara mereka yang sudah agak lebih tua.

“Ki Sanak,“ berkata Ki Lasem Sanga kemudian, “agaknya kau memang sudah bersiap menghadapi orang-orang terpenting dari pasukan Pajang. Ketika kau mendengar tingkah laku Tumenggung Prabadaru, kau berniat untuk melibatkan diri. Bukankah dengan demikian berarti bahwa kau sudah siap menghadapi Ki Tumenggung Prabadaru?”

“Mungkin aku dapat membantu Ki Lurah Branjangan, Ki Sanak,“ jawab orang itu.

“Baiklah. Jika demikian, aku harus benar-benar membunuhmu agar kau tidak membantu Ki Lurah Branjangan. Tetapi siapa namamu? Barangkali aku dapat menceritakan kepada orang-orang yang kelak akan bertanya kepadaku tentang orang-orang yang aku bunuh di peperangan ini,“ bertanya Ki Lasem Sanga.

Orang tua itu mengangguk-angguk. Namun kemudian jawabnya, “Namaku Waskita. Ki Waskita.”

“Ki Waskita,“ Ki Lasem Sanga mengerutkan keningnya, “he, aku pernah mendengar namamu. Tetapi tidak sebagai seseorang yang memiliki kemampuan dalam olah kanuragan. Apakah kau juga yang disebut Ki Waskita, seorang dukun yang tahu apa yang akan terjadi ?”

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Jawabnya, “Orang-orang itu mempunyai tanggapan yang salah. Aku bukan orang yang tahu tentang apa yang akan terjadi. Tetapi aku hanya berusaha untuk mengurai isyarat yang aku lihat. Itupun dengan penuh keragu-raguan, karena tidak selalu mendekati kebenaran.“

“Nampaknya kau orang yang senang merendahkan dirimu. Tetapi baiklah. Jika kali ini kau hadir dalam dunia kekerasan, maka adalah salahmu jika kau akan mati. Coba, lihatlah dalam isyarat, apakah kau akan mati hari ini?” bertanya Ki Lasem Sanga.

“Ternyata aku tidak dapat menemukan isyarat tentang hari kematianku,“ jawab Ki Waskita, “tetapi siapakah kau yang pernah mendengar namaku?”

“Aku memang petualang di dunia kanuragan. Aku adalah Ki Lasem Sanga. Mungkin kau pernah mendengar namaku. Tetapi apa boleh buat, aku memang harus membunuhmu sebelum aku membunuh Kiai Gringsing,“ jawab Ki Lasem Sanga pula.

Ki Waskita menarik nafas dalam-dalam. Ia pernah mendengar nama itu. Tetapi ia lupa, dari mana asal orang yang disebut Ki Lasem Sanga.

Tetapi Ki Waskita tidak bertanya lebih lanjut. Orang itu sudah mulai merundukkan senjatanya, sehingga Ki Waskitapun harus bersiap-siap menghadapi setiap kemungkinan. Namun karena di tangannya sudah tergenggam sebilah pedang, maka iapun telah mempersiapkan pedangnya untuk melawan senjata Ki Lasem Sanga yang mendebarkan itu.

“Bersiaplah Ki Sanak,“ desis Ki Lasem Sanga, “jika kau belum mengenal senjata seperti ini, barangkali ada baiknya aku memberitahukan, bahwa senjata ini dapat aku pergunakan untuk menusuk, tetapi juga untuk menebas. Jika aku berhasil menyentuh lehermu dalam ayunan yang keras, maka lehermu akan terpotong dalam sekali tebas.”

“O,“ Ki Waskita mengangguk-angguk, “mengerikan sekali.”

Namun kesan di wajah Ki Waskita sama sekali tidak seperti kata-kata yang diucapkan. Orang tua itu sama sekali tidak menjadi cemas, apalagi merasa ngeri melihat senjata itu.

“Gila,“ geram Ki Lasem Sanga. Apalagi ketika kemudian Ki Waskita berkata, “Ki Sanak, apakah kau tidak mengerti, bahwa pedangku pun mampu menusuk dan menebas lehermu sampai putus dalam satu kali ayunan?”

Ki Lasem Sanga mengumpat. Tetapi ia mulai menggerakkan kapaknya yang bermata dua, bertangkai sepanjang tangkai tombak pendek.

Ki Waskita berkisar selangkah. Hiruk-pikuk pertempuran di sekitarnya tidak dihiraukannya lagi. Para pengawal dari Sangkal Putung bertempur dengan sepenuh kemampuan mereka. Bahkan kemudian, Ki Waskita seolah-olah telah memisahkan diri untuk menghadapi Ki Lasem Sanga seorang melawan seorang.

Sejenak kemudian, Ki Lasem Sanga telah mulai mengayunkan kapaknya. Masih perlahan-lahan. Namun Ki Waskita benar-benar harus berhati-hati menghadapi senjata itu.

Sebenarnyalah, senjata itu memang sangat berbahaya. Ketika Ki Waskita bergeser surut, maka senjata itupun telah berputar, seakan-akan menggeliat. Tiba-tiba saja senjata itu mematuk dengan cepat mengarah ke dada.

Ki Waskita tidak menangkis serangan itu. Tetapi ia meloncat menghindar.

Tetapi agaknya ruang geraknya tidak terlalu leluasa. Meskipun kedua pasukan yang bertempur itu telah menebar, tetapi Ki Waskita tidak dapat berloncatan dengan langkah-langkah panjang, karena ia akan dapat terperosok ke dalam benturan senjata dari orang-orang yang bertempur di sekitarnya.

Ki Lasem Sanga melihat keadaan itu. Karena itu. maka ia bermaksud untuk mendesak Ki Waskita dengan ayunan senjatanya, sehingga Ki Waskita akan kehilangan ruang gerak dan tidak lagi mampu menghindari serangan-serangannya.

Tetapi dugaan Ki Lusem Sanga tidak tepat dalam kenyataannya. Ki Waskita tidak mengalami kesulitan meskipun ruang geraknya sangat terbatas. Ketika senjata Ki Lasem Sanga itu terayun, Ki Waskita memang meloncat menghindar. Tetapi demikian mata kapak itu lewat di depan perutnya. Ki Waskita-lah yang tiba-tiba saja meloncat maju sambil menjulurkan pedangnya.

Ki Lasem Sanga terkejut. Serangan itu begitu tiba-tiba. Namun demikian, iapun masih sempat mengelakkan diri, sementara itu senjatanya yang panjang itu berputar. Ki Lasem Sanga tidak menyerang dengan mata kapaknya, tetapi landean senjatanya itulah yang mematuk perut Ki Waskita.

Dalam pada itu, agaknya orang-orang Pajang dan orang-orang Mataram dapat melihat, bahwa yang akan bertempur itu adalah orang-orang yang memiliki kelebihan dari prajurit dan pengawal kebanyakan. Merekapun mengerti, seorang dari mereka adalah orang Pajang dan seorang lagi adalah orang Mataram, sehingga dengan demikian, maka mereka yang bertempur di sekitarnya saling berusaha, agar kedua orang itu tidak diserang dengan licik oleh orang lain yang bukan lawannya, justru dari arah belakang.

Bahkan ketika Ki Lasem Sanga mulai mengayun-ayunkan kapaknya, maka orang-orang di sekitarnya seolah-olah justru telah menyibak.

Keadaan itu menguntungkan Ki Waskita yang dapat bergerak lebih leluasa. Tetapi iapun menyadari, untuk melawan senjata bertangkai ia harus mengambil jarak yang cukup jauh, atau justru dekat sama sekali, sehingga ayunan senjata lawannya itu akan menjadi terbatas.

Tetapi nampaknya Ki Waskita melakukan keduanya. Kadang-kadang ia bergerak menjauh, namun tiba-tiba ia telah meloncat semakin dekat.

Namun dalam pada itu, ternyata ada orang lain yang mendengarkan pembicaraan Ki Waskita dan Ki Lasem Sanga sebelum mereka terlibat langsung dalam pertempuran.

Orang itu mendengar kesulitan yang dialami oleh Ki Lurah Branjangan dengan pasukan khususnya, karena Ki Tumenggung Prabadaru ternyata telah langsung melibatkan diri dan bahkan berhadapan dengan Ki Lurah.

Demikian orang itu mendengar kesulitan itu, bahkan menurut orang bersenjata kapak bermata dua itu, Ki Lurah tidak lebih dari seekor kelinci di hadapan seekor serigala yang garang, maka iapun langsung meninggalkan tempatnya, menyusup di antara pertempuran itu menuju ke tempat Ki Lurah dan pasukan khususnya, di sebelah.

“Kenapa aku telah meninggalkannya,“ desis orang itu. Lalu, “Mudah-mudahan aku tidak terlambat.”

Dengan menyibakkan senjata yang berbenturan maka orang itu telah menyusup dengan tergesa-gesa, meskipun ia tetap berhati-hati.

Namun dalam pada itu, dua orang lagi telah memasuki arena. Seperti saat Ki Lasem Sanga memanjat tebing, maka kedua orang itupun telah ditemui oleh seseorang yang tidak dikenalnya.

“Ki Lasem Sanga telah salah memilih lawan,“ berkata orang itu kepada Kebo Watang dengan seorang muridnya yang baru memasuki arena itu, “tetapi tidak banyak bedanya. Seharusnya kau akan berhadapan dengan Ki Waskita. Tetapi Ki Waskita sudah bertempur melawan Ki Lasem Sanga.”

“Jadi, aku harus berhadapan dengan Senapati ing Ngalaga itu sendiri?“ bertanya Kebo Watang.

“Tidak. Ada orang lain yang harus diselesaikan. Kiai Gringsing,“ berkata orang yang belum dikenal itu.

Kebo Watang mengerutkan keningnya. Kemudian iapun bertanya, “Tunjukkan aku orangnya, supaya aku tidak salah menghadapi lawan seperti pemalas itu. Ia tentu memilih orang yang tidak memiliki ilmu kanuragan, agar orang lain menyebutnya, sebagai seorang pahlawan yang berhasil membunuh lawannya di peperangan.”

“Aku tidak mempersoalkan Ki Lasem Sanga. Jika kau ingin melihat lawannya, marilah. Aku akan menunjukannya,“ jawab orang itu.

Kebo Watang menggeram. Katanya, “Baiklah. Siapapun lawanku, aku akan membuktikan, bahwa aku akan dapat menyelesaikan pekerjaan ini dengan baik, sehingga orang-orang Pajang akan mengerti, bahwa Kebo Watang tidak akan dapat dipermainkan. Kemenangan Pajang dalam pertempuran ini, berarti satu tanggung jawab yang besar, karena orang-orang Pajang harus memenuhi janjinya.”

“Jangan bimbang,“ jawab orang yang menemuinya itu. Lalu, “Tetapi siapa kawanmu itu?”

“Muridku,“ jawab Kebo Watang, “ia sudah menyadap ilmuku sampai tuntas, meskipun masih diperlukan pengalaman untuk mengembangkannya. Tetapi ia pantas untuk bertempur melawan siapa saja.”

“Baiklah, biarlah ia memilih lawan,“ berkata orang itu, “di medan pertempuran yang seru ini, ia tidak akan kekurangan lawan.”

Kebo Watang berpaling kepada muridnya sambil berkata, “Kesempatan bagimu untuk menunjukkan bahwa kau memiliki banyak kelebihan dari orang-orang yang disebut pasukan khusus itu.”

Murid Kebo Watang itu mengangguk-angguk. Katanya, “Baik guru. Aku akan berada di antara mereka.”

“Kau harus memakai ciri pasukan Pajang. Kau lihat, bahwa mereka memakai tanda pengenal. Apalagi kau seorang diri,“ berkata orang yang menemui mereka di tebing.

“Aku tidak memakai tanda pengenenal,“ berkata Kebo Watang.

“Tetapi kau memiliki kekhususan. Orang-orang Pajang sudah mengenalmu, seperti mereka mengenal Ki Lasem Sanga. Atau setidak-tidaknya penampilanmu akan memberikan keyakinan itu,“ jawab orang itu.

“Muridku juga akan menunjukkan kelebihannya. Ia akan segera diakui sebagai salah satu kekuatan yang sangat diperlukan Pajang seperti aku sendiri,“ jawab Kebo Watang.

“Tetapi sebaiknya ia mempergunakan tanda itu, selain pengenalan atas sebutan sandi,“ berkata orang itu.

Kebo Watang memberi isyarat kepada muridnya, agar ia memakai saja tanda yang diberikan oleh orang itu kepadanya. Sehelai kain hitam yang dilingkarkan pada pinggang mereka, sebagaimana mengenakan ikat pinggang.

“Namun mereka yang ada di dalam satu pasukan tidak memerlukannya,“ berkata orang yang menemuinya di tebing itu. “Mereka sudah saling mengenal, dan pakaian mereka memberikan ciri tersendiri.”

Murid Kebo Watang itu tidak menjawab. Sambil mengenakan tanda itu pada pinggangnya, maka iapun melangkah memasuki arena.

“Guru, aku sudah siap,“ katanya.

“Pergilah. Aku akan mencari lawanku sendiri,“ jawab Kebo Watang.

Demikianlah, maka Kebo Watang itupun kemudian mengikuti orang yang menemuinya di tebing, yang membawanya memasuki daerah pertempuran untuk mempertemukannya dengan Kiai Gringsing.

Kebo Watang. memang tidak banyak menaruh perhatian terhadap pertempuran itu sendiri. Ia memang ingin segera bertemu dengan lawan yang disebut oleh orang yang menemuinya di tebing.

Beberapa saat kemudian, maka orang yang membawa Kebo Watang itupun berhenti. Dengan isyarat ia menunjuk seorang tua yang sedang bertempur di antara orang-orang Mataram.

“Orang itulah yang disebut Kiai Gringsing,“ berkata orang yang mengajak Kebo Watang.

Kebo Watang mengangguk-angguk. Tetapi ia berdesis, “Orang yang disebut Kakang Panji itu agaknya sengaja telah menghinaku.”

“Kenapa?“ bertanya orang yang menunjukkannya.

“Apakah ia menilai aku setingkat dengan orang itu? Orang yang pikun dan tidak berarti sama sekali?“ bertanya Kebo Watang.

“Jangan berkata begitu,“ jawab orang yang menunjukkannya, ”cobalah menjajagi ilmunya. Ia memiliki senjata yang aneh.”

“Apa?“ bertanya Kebo Watang.

“Cambuk,“ jawab orang itu.

Kebo Watang mengerutkan keningnya. Nampaknya orang tua itu masih belum menganggap perlu untuk mempergunakan senjatanya, sehingga karena itu, maka ia mempergunakan senjata yang lain sekali dengan yang disebutkan oleh orang yang menunjukkannya. Orang tua itu mempergunakan sebatang tombak pendek untuk melayani lawan-lawannya.

Kebo Watang mengangguk-angguk. Dengan demikian ia memang dapat menilai, bahwa orang tua itu tentu mempunyai kemampuan yang dapat mengatasi lawan-lawannya, karena ia masih belum mempergunakan cambuknya. Jika ia mulai mengalami kesulitan, maka ia tidak akan mempergunakan senjata lain kecuali senjata yang paling dipercayanya.

“Nah, bagaimana tanggapanmu?“ bertanya orang yang membawa Kebo Watang itu ke arena.

“Jika tugas itu yang diberikan kepadaku, akan aku lakukan dengan sebaik-baiknya. Tetapi jika aku sudah membunuh orang tua itu, sementara matahari masih belum turun ke barat, maka aku terpaksa membunuh terlalu banyak orang,“ berkata Kebo Watang.

“Kau berada di peperangan,“ jawab orang yang mengatakannya, “semua lawanmu dapat kau bunuh jika kau mampu.”

“Ya. Mudah-mudahan aku bertemu dan mendapat kesempatan untuk membunuh Senapati ing Ngalaga,” berkata Kebo Watang.

“Apa untungmu?“ bertanya orang yang mengantarnya.

Orang itu mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Kau memang tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu?”

Orang yang mengantar Kebo Watang itu termangu-mangu. Namun kemudian jawabnya, “Aku memang tidak tahu.”

“Baiklah,“ berkata Kebo Watang, “ternyata kau adalah orang yang paling dungu yang pernah aku kenal. Membunuh Senapati ing Ngalaga mempunyai arti tersendiri. Senapati ing Ngalaga sampai sekarang dianggap orang yang memiliki ilmu paling tinggi. Jika kau berhasil membunuhnya, maka semua orang akan mengetahui, siapakah yang memiliki ilmu tertinggi di antara orang-orang Pajang. Dan kau tentu tahu, arti dari peristiwa itu.”

Orang yang mengantarnya itu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi katanya kemudian, “Silahkan. Jangan menunggu terlalu lama.”

Kebo Watang memandang hiruk pikuk pertempuran sejenak. Kemudian iapun melangkah memasuki arena, langsung mendekati seorang tua yang sedang bertempur dalam batas benturan antara pasukan Pajang dan Mataram.

Dengan suara yang dalam orang itu bertanya langsung kepada orang yang disebut Kiai Gringsing itu, “Kau yang bernama Kiai Gringsing?”

Kiai Gringsing bergeser surut. Tetapi ia masih harus menghindar beberapa langkah, ketika lawannya memburunya.

“Lepaskan orang tua itu,“ berkata Kebo Watang kepada lawan Kiai Gringsing.

Orang itu termangu-mangu. Namun kemudian iapun bergeser menghindar. Wajah dan sikap Kebo Watang memang cukup meyakinkan.

Selagi Kebo Watang bertanya, “Kaukah yang bernama Kiai Gringsing?”

Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun kemudian jawabnya, “Ya. Akulah yang disebut Kiai Gringsing.”

“Bagus,“ berkata Kebo Watang, “bersiaplah untuk mati. Aku mendapat tugas untuk membunuhmu.”

Kiai Gringsing tidak sempat menjawab. Ternyata orang itu segera memutar senjatanya yang mengerikan. Suaranya berdesing semakin lama menjadi semakin keras.

Kiai Gringsing menjadi berdebar-debar. Ia sadar akan kekuatan dan ilmu lawannya. Desing senjatanya bagaikan siulan maut yang memanggilnya.

“Luar biasa,” desis Kiai Gringsing.

Dalam benturan pertama Kiai Gringsing memang terdesak beberapa langkah surut. Kekuatan orang yang bernama Kebo Watang itu memang nggegirisi. Putaran senjata bukan saja berdesing semakin keras, tetapi seolah-olah telah menebarkan pusaran angin yang semakin keras.

Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Ia sadar, bahwa, orang itu dengan langsung ingin membenturkan ilmunya yang tertinggi. Karena itu, maka ia harus benar-benar berhati-hati. Kiai Gringsing belum sempat menjajagi kemampuan lawannya, ketika lawannya benar-benar melibatnya dalam pertempuran yang sengit.

Namun justru karena itu, maka Kiai Gringsing tidak lagi ingin tergelincir dalam satu kesalahan, sehingga karena itu, maka yang paling baik baginya adalah mempergunakan tingkat kemampuan dan senjata yang terpercaya yang ada padanya.

Karena itu, maka Kiai Gringsing itupun kemudian telah mengurai senjata khususnya. Cambuk.

Dengan demikian, maka pertempuran itupun dengan cepat telah mencapai tingkat yang kurang dapat dimengerti oleh orang-orang yang bertempur di sekitarnya. Kebo Watang tidak mau membuang waktu sama sekali, sehingga ia telah bertempur tanpa ancang-ancang.

Pertempuran antara Kebo Watang dan Kiai Gringsing benar-benar merupakan pertempuran yang sangat dahsyat. Keduanya mempergunakan senjata yang lain dari senjata kebanyakan prajurit dan pengawal. Senjata Kebo Watang yang berputaran itu berdesing-desing semakin keras, sedangkan cambuk Kiai Gringsing mulai terdengar meledak-ledak. Meskipun senjata itu tidak memekik terlalu keras, tetapi setiap ledakan telah menimbulkan getaran yang menyesakkan dada.

Dengan demikian, maka para prajurit dan pengawal yang bertempur disekitarnyapun segera merasakan, betapa dahsyatnya ilmu kedua orang itu. Mereka tidak saja melihat dua jenis senjata yang berputaran dan meledak dengan dahsyatnya, namun mereka merasakan bahwa putaran dan ledakan senjata itu bagaikan mengguncang udara di tebing Kali Opak, sehingga dengan demikian mereka menyadari, betapa besar kekuatan cadangan yang terlontar dalam benturan ilmu yang tinggi itu.

Sebenarnyalah ketika ujung cambuk Kiai Gringsing menyentuh putaran senjata Kebo Watang, maka Kiai Gringsing pun segera menyadari bahwa Kebo Watang telah mempergunakan kekuatan cadangan di dalam dirinya. Karena itu, maka Kiai Gringsing pun segera melakukan hal yang sama.

Ketika para pengawal dan prajurit yang bertempur di sekitarnya menyadari, betapa dahsyatnya pertempuran antara dua orang itu, maka merekapun mulai menyibak pula, sebagaimana orang-orang yang bertempur di sekitar Ki Lasem Sanga melawan Ki Waskita.

Ki Lasem Sanga yang mulai merasakan betapa beratnya perlawanan Ki Waskita, maka iapun mulai meyadari, bahwa orang yang semula dikiranya kurang menguasai pedang di tangannya itu memiliki ilmu yang sangat dahsyat. Karena itulah, maka kapaknya yang bertangkai sepanjang tangkai tombak pendek itupun telah terayun-ayun dengan sangat mengerikan.

Sentuhan senjata Ki Lasem Sanga dan Ki Waskita, telah membuat Ki Waskita menjadi berdebar-debar. Meskipun demikian, ia masih tetap mempergunakan pedangnya.

Namun ketika ia menjadi semakin sibuk mengatasi sambaran kapak bermata dua itu, maka tiba-tiba saja ia telah meloncat mengambil jarak untuk mendapat kesempatan melepas ikat kepalanya dan membelitkannya di tagannya sampai ke bawah sikunya.

Ki Lasem Sanga termangu-mangu. Ia tidak segera mengetahui arti ikat kepala itu. Bahkan baginya ikat kepala itu tidak akan memberikan pengaruh sesuatu.

Tetapi baru kemudian ia mengetahui dengan jantung yang berdebaran ketika Ki Waskita kemudian telah mempergunakan ikat kepalanya itu sebagai perisai.

Ketika kapak itu dengan cepat meluncur menghantam tengkuk Ki Waskita, maka ia justru melangkah maju. Dengan tangannya yang dililiti ikat kepalanya, ia menangkis senjata lawannya pada landeannya. Terasa satu benturan yang tidak terduga-duga oleh Ki Lasem Sanga. Seakan-akan tangkai kapaknya itu telah membentur perisai baja yang kokoh kuat.

Ki Lasem Sanga itu meloncat beberapa langkah surut. Diamatinya tangan Ki Waskita yang membentur tangkai kapaknya yang bermata dua. Sama sekali tidak nampak pada lawannya, bahwa tangannya menjadi kesakitan dan apalagi tulang tangan itu menjadi patah atau retak.

“Tangan itu memiliki kekuatan iblis,“ geram Ki Lasem Sanga.

Namun kemudian Ki Lasem Sanga pun sadar, bahwa pada tangan itu terbelitkan ikat kepala.

“Kekuatan iblis itu tentu terletak pada ikat kepala itu,“ berkata Ki Lasem Sanga di dalam hatinya.

Karena itu, maka Ki Lasem Sanga pun harus melihat satu kenyataan, bahwa orang yang dihadapinya itu bukan orang yang hanya akan merampas waktunya satu dua saat, sebelum ia melakukan tugasnya yang lain, yang menurut orang yang menemuinya di tebing, harus bertemu dengan Kiai Gringsing,

“Persetan,“ geramnya di dalam hatinya, “aku harus dapat membunuhnya.”

Dengan demikian maka Ki Lasem Sanga itupun bertempur lebih cepat dengan mengerahkan segenap kemampuan yang ada padanya. Namun dalam pada itu, Ki Waskita pun telah menyesuaikan dirinya, meskipun iapun harus mengerahkan segenap kemampuannya pula.

Sebenarnyalah dalam pada itu, kedua orang itu telah bertempur dengan kekuatan yang tidak dapat dijajagi oleh para prajurit dan para pengawal. Mereka tidak saja mengadu kekuatan dan kecepatan gerak sebagaimana yang nampak. Tetapi ternyata bahwa pada ayunan senjata mereka, pada tikaman dan pada benturan-benturan yang terjadi, telah mengalir pula kekuatan cadangan yang tidak terhingga besarnya.

Dalam pada itu, selagi pertempuran di Kali Opak itu berlangsung dengan dahsyatnya, maka pemimpin pasukan khusus dari Mataram benar-benar telah mengalami kesulitan. Kecemasan telah terjadi di antara pasukan kusus itu. Mereka melihat, pemimpin mereka tidak dapat mengimbangi ilmu dari Ki Tumenggung Prabadaru, pemimpin pasukan khusus dari Pajang.

Setiap kali, Ki Lurah Branjangan harus berloncatan menjauhi lawannya, sementara tiga atau empat orang berusaha untuk mencegah Ki Tumenggung memburunya. Namun dalam pada itu, pasukan Pajang pun tidak membiarkan hal seperti itu selalu terjadi. Merekapun berusaha untuk tidak memberi kesempatan kepada orang-orang Mataram untuk membantu Ki Lurah Branjangan.

Pada saat-saat yang mendebarkan itu, rasa-rasanya pasukan khusus Mataram tidak akan mampu lagi untuk bertahan sampai senja turun. Jika Ki Lurah Branjangan berhasil di binasakan, maka Ki Tumenggung Prabadaru tentu akan menjadi semakin garang. Bahkan seluruh pasukannya akan menjadi semakin garang pula.

“Hari ini kita hancurkan pasukan khusus Mataram sampai lumat. Kita pecahkan pertahanan pasukan Mataram dan kita koyak sayap ini sebelum kita hancurkan seluruh pertahanan di tebing Kali Opak ini,“ teriak Ki Tumenggung Prabadaru lantang.

Suara Ki Tumenggung Prabadaru itu memang berpengaruh. Orang-orang Pajang yang mendengar teriakan itu, seolah-olah telah mendapatkan kekuatan baru untuk mematahkan perlawanan orang-orang Mataram.

Sementara itu, masih terdengar teriakan Ki Tumenggung, “Kekuatan pokok Mataram bertumpu kepada pasukan khususnya ini. Sedangkan sebelum matahari turun di sisi barat, pasukan ini sudah akan kita hancurkan. Besok tebing ini sudah kita bersihkan dari sisa-sisa pasukan Mataram yang akan berlari bercerai berai malam nanti. Di hari berikutnya kita akan menyusul pasukan Mataram yang akan bertahan di belakang dinding kotanya. Hari itu juga Mataram akan menjadi karang abang.”

Terdengar sorak gemuruh. Pasukan khusus Pajang yang merasa mendapat kesempatan lebih baik dari pasukan khusus dari Mataram karena tingkat kemampuan pemimpinnya, justru menjadi lebih keras menekan lawannya.

Sementara itu, keadaan Ki Lurah Branjangan memang menjadi semakin sulit. Jika semula Ki Tumenggung Prabadaru dengan sengaja membiarkan Ki Lurah melihat kekalahan demi kekalahan yang dideritanya, bukan saja dirinya sendiri, tetapi juga pasukan khususnya, maka Ki Tumenggung itu sudah mulai menjadi jemu.

“Aku sudah cukup lama memberimu kesempatan menikmati kekalahanmu. Kau harus mengakui, sesuai dengan kenyataan yang kau hadapi, bahwa kau dan Mataram bukan apa-apa bagi kami,“ berkata Ki Tumenggung Prabadaru.

Ki Lurah Branjangan menggeretakkan giginya. Tetapi sebenarnyalah ia tidak dapat ingkar dari satu kenyataan yang dihadapinya. Meskipun demikian, Ki Lurah adalah seorang prajurit. Apapun yang terjadi, ia tidak bergeser dari tugas yang dibebankan kepadanya.

Namun dalam pada itu, ketika Ki Lurah Branjangan benar-benar dalam keadaan yang paling gawat, seseorang telah mendekati arena pertempuran di antara kedua pemimpin pasukan khusus itu.

Sejenak orang itu termangu-mangu. Namun kemudian dengan hati-hati ia bergeser semakin dekat sambil berkata, “Ki Lurah. Biarlah aku menghadapi pemimpin pasukan khusus dari Pajang ini.”

Ki Lurah yang terdesak justru meloncat semakin jauh, sementara suara itu memang sangat menarik perhatian Ki Tumenggung Prabadaru sehingga langkah Ki Tumenggung menjadi terhambat.

Namun demikian Ki Tumenggung berpaling, maka jantungnya seakan-akan menjadi semakin cepat berdetak. Orang itu adalah Agung Sedayu.

“Agung Sedayu,“ terdengar Ki Lurah berdesis.

“Ya Ki Lurah. Nampaknya Ki Lurah diperlukan oleh seluruh pasukan. Biar aku saja yang melayani Ki Tumenggung Prabadaru,“ sahut Agung Sedayu.

Ada sesuatu bergejolak di dalam hati Ki Lurah. Rasa-rasanya ia tidak akan beranjak dari tempat itu sampai kemungkinan yang penghabisan. Meskipun ia akan dapat kembali pulang hanya namanya saja, karena tubuhnya akan terkapar di tanah yang sudah basah oleh darah itu.

Tetapi Agung Sedayu yang agaknya mengetahui perasaan yang bergolak di dalam dada Ki Lurah itupun berkata, “Ki Lurah. Ada kewajiban yang lebih besar yang harus mendapat perhatian dari Ki Lurah daripada pertempuran ini.”

Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Ia memang melihat satu persoalan yang besar yang dihadapinya di samping harga dirinya sebagai seorang senapati. Ia memang dapat memilih. Bertempur sampai mati sebagai seorang prajurit, atau mempergunakan kesempatan yang terbuka itu untuk mengatasi kesulitan bagi seluruh pasukan khususnya. Pasukan yang diharapkan oleh Mataram untuk menjadi landasan kekuatan pokok yang akan dapat mengimbangi pasukan khusus yang sudah disiapkan oleh Pajang.

Dalam keragu-raguan itu terdengar suara Ki Tumenggung Prabadaru, “Ki Lurah Branjangan. Selain seorang senapati besar dari satu pasukan khusus dari Mataram, kau pernah juga menjadi salah seorang senapati prajurit Pajang. Adalah bukan kebiasaan seorang prajurit untuk meninggalkan lawannya di medan peperangan.”

Perasaan Ki Lurah memang tersentuh. Rasa-rasanya ia memang ingin bertempur sampai mati.

Namun dalam pada itu Agung Sedayu berkata, “Kita berada di medan perang. Lawan kita berpencar dari ujung sayap yang satu sampai ke ujung sayap yang lain. Sebelum kau bertempur melawan Ki Lurah Branjangan, kau tentu sudah mempunyai lawan. Dan sekarang, akupun telah meninggalkan lawanku untuk menemukan lawan yang lain, sementara Ki Lurah akan meninggalkan lawannya untuk satu rangkaian kewajiban yang lebih penting. Perang di medan ini isinya bukan hanya Ki Tumenggung Prabadaru dan Ki Lurah Branjangan tanpa pengaruh lain. Kaupun tentu akan meninggalkan lawanmu dalam keadaan tertentu, sebagaimana saat kau hadir berhadapan dengan Ki Lurah Branjangan.”

“Tutup mulutmu anak setan,“ geram Ki Tumenggung Prabadaru, “jika kau ingin bertempur berdua, aku akan membunuh kalian bersama-sama.”

“Aku akan melawanmu sendiri Ki Tumenggung, meskipun aku tidak dapat membayangkan, bagaimana akhir dari pertempuran ini,“ jawab Agung Sedayu.

Ki Tumenggung menggeram. Tetapi ia tidak melupakan satu kenyataan bahwa Agung Sedayu pernah membunuh Ajar Tal Pitu, orang yang memiliki ilmu yang dahsyat dengan kedua ujud sebagaimana dirinya sendiri. Juga telah membunuh orang yang disebut Ki Mahoni. Orang yang memiliki kekuatan prahara yang nggegirisi.

Selagi Ki Tumenggung merenung sejenak. Agung Sedayu itupun berkata kepada Ki Lurah, “Silahkan Ki Lurah. Jangan hiraukan lagi orang ini.”

Ki Lurah Branjangan pun ragu-ragu untuk sesaat. Tetapi ketika ia melihat kesulitan pada pasukan khususnya, maka iapun kemudian berkata, “Lakukanlah. Mungkin perubahan ini akan memberikan manfaat bagi pasukan kita dalam keseluruhan.”

Agung Sedayu mengangguk kecil. Sambil melangkah maju ia berkata, “Terima kasih atas kesempatan ini. Silahkan Ki Lurah menangani persoalan yang lebih besar.”

“Kau tidak usah bermain dengan istilah-istilah yang tidak berarti itu. Jangan kau kira bahwa aku tidak tahu. Alasan itu sekedar usaha untuk menyelamatkan Ki Lurah Branjangan. Tetapi baiklah. Pada saatnya ia akan mati juga oleh tanganku. Jika sekarang aku harus membunuh Agung Sedayu lebih dahulu, maka aku akan melakukannya. Atau barangkali seperti yang aku tawarkan, kalian akan maju bersama-sama.”

“Tidak Ki Tumenggung,“ berkata Agung Sedayu, “kami akan bergantian melawan Ki Tumenggung. Sekarang aku. Mungkin nanti aku akan menyerahkannya lagi kepada Ki Lurah Branjangan.”

“Sudah aku katakan. Kita semua mengetahui alasan yang sebenarnya. Kau tidak usah mempergunakan kata-kata yang berbelit-belit. Katakan, bahwa kau merasa dirimu lebih baik dalam olah kanuragan dari Ki Lurah Branjangan. Karena itu, maka kau merasa akan dapat melawan aku dengan cara yang lebih baik pula,“ berkata Ki Tumenggung Prabadaru.

Alangkah pahitnya untuk menelan kata-kata itu bagi Ki Lurah Branjangan. Tetapi ia tidak dapat ingkar. Justru karena itu jawaban yang diberikan mengejutkan lawannya, “Baiklah Ki Tumenggung. Aku memang merasa bahwa Agung Sedayu memiliki kemampuan yang lebih tinggi dari aku. Karena itu, maka aku menyerahkan perlawanan atasmu kepadanya. Tidak ada seorangpun yang tidak mengetahui akan hal itu. Juga pasukanku seluruhnya. Apalagi setelah Agung Sedayu berhasil membunuh Ajar Tal Pitu dan Ki Mahoni.”

“Persetan,“ geram Ki Tumenggung, ”kau berusaha untuk mempengaruhi aku dengan menyebut dua nama orang yang kau anggap besar yang terbunuh oleh anak itu.”

“Tidak,“ jawab Ki Lurah Branjangan, “aku hanya akan menunjukkan kelebihannya dari aku sendiri.”

“Apapun yang kau katakan, anak itu akan aku bunuh di tebing Kali Opak ini,“ sahut Ki Tumenggung sambil menggeretakkan giginya.

Ki Lurah tidak menjawab lagi. Ia melihat Agung Sedayu menjadi semakin bergeser mendekat.

“Aku akan pergi,“ desis Ki Lurah Branjangan.

“Pergilah dan matilah di tempat lain,“ Ki Tumenggung hampir berteriak.

Ki Lurah Branjangan sambil menggeram bergeser mundur. Ia harus menelan kepahitan itu untuk satu kepentingan yang lebih besar. Untuk sesaat ia masih sempat memperhatikan Agung Sedayu yang kemudian berdiri berhadapan dengan Ki Tumenggung Prabadaru. Namun sesaat kemudian Ki Lurah itupun segera menenggelamkan diri di antara pasukan khususnya, meskipun terasa jantungnya masih tergetar oleh harga dirinya yang telah dikorbankan. Dengan penuh curiga ia sekali-sekali memandangi orang-orangnya yang mungkin akan menganggapnya terlalu licik sehingga ia telah menyerahkan lawan yang tidak dapat dikalahkannya kepada orang lain.

Tetapi agaknya orang-orangnya sama sekali tidak menghiraukannya. Mereka sedang tenggelam dalam pertempuran dan berjuang untuk mempertahankan hidupnya,

Ki Lurah menarik nafas dalam-dalam. Namun sejenak kemudian ia berhasil menghalau gejolak perasaannya dan mulai merundukkan senjatanya menghadapi lawan-lawannya.

Dalam pada itu, agaknya Ki Tumenggung Prabadaru benar-benar telah dicengkam oleh kemarahan. Ia menyaksikan, bagaimana Agung Sedayu berhasil membunuh Ki Mahoni di tepian Kali Praga. Saat itu ia memang tidak dapat berbuat apa-apa, karena di sampingnya berdiri Senapati ing Ngalaga.

Namun tiba-tiba saja timbul satu pertanyaan di hatinya, “Apakah benar aku tidak dapat mengimbangi kemampuan Senapati ing Ngalaga?“ Bahkan kemudian, “Seandainya saat itu aku mau mencobanya.”

Tetapi yang kini berdiri di hadapannya adalah seorang anak muda yang bernama Agung Sedayu.

Namun dalam pada itu, gelora di dalam dada Ki Tumenggung Prabadaru bagaikan tidak terbendung lagi. Ia benar-benar ingin menimbang bobot ilmu Agung Sedayu. Karena itu, maka adalah di luar dugaan, bahwa Ki Tumenggung itupun kemudian menyarungkan senjatanya sambil berkata, “Agung Sedayu. Kau adalah seorang anak muda yang luar biasa. Aku pernah mendengar bagaimana kau membunuh Ajar Tal Pitu dalam puncak ilmunya di saat bulan terang di langit. Pada saat tingkat kemampuan ilmu Ki Ajar Tal Pitu ada di puncaknya. Kemudian aku melihat sendiri, bagaimana kau membunuh Ki Mahoni dengan ilmu praharanya. Tetapi sekarang, kau berhadapan dengan Tumenggung Prabadaru. Aku tidak menghiraukan lagi, apakah kita sedang berhadapan di satu medan perang. Tetapi keangkuhanmu telah menggelitik aku untuk bertempur berhadapan sebagai dua orang laki-laki. Marilah kita berjanji, bahwa kau tidak akan berbuat seperti yang dilakukan oleh Ki Lurah Branjangan, meskipun kita berada di medan perang yang memungkinkan untuk berbuat demikian.”

“Kau maksud, kita bersetuju untuk bertempur sebagaimana dilakukan dalam perang tanding?“ bertanya Agung Sedayu.

“Ya. Salah seorang di antara kita harus mati,“ jawab Ki Tumenggung Prabadaru.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah Ki Tumenggung, aku terima tawaranmu.”

“Aku tidak peduli meskipun kau belum terlalu lama kawin, sehingga kematianmu akan dapat menyeret istrimu untuk membunuh diri,“ berkata Ki Tumenggung.

“Apapun yang akan terjadi. Aku sudah siap,“ jawab Agung Sedayu.

Ki Tumenggung Prabadaru memandang Agung Sedayu dengan tajamnya. Namun terasa jantungnya berdebaran. Tatapan mata Agung Sedayu bagaikan memancarkan kekuatan yang menggetarkan dadanya.

“Mata itu,“ berkata Ki Tumenggung di dalam hatinya. Lalu katanya kepada dirinya sendiri, “Mata itu tidak boleh mendapat kesempatan untuk berbuat sesuatu.”

Demikianlah, Ki Tumenggung Prabadaru benar-benar telah melupakan pertempuran itu dalam keseluruhan. Seolah-olah ia berdiri seorang diri di satu medan perang tanding menghadapi Agung Sedayu.

Dengan nada datar iapun kemudian berkata, “Bersiaplah. Aku sudah tidak sabar lagi.”

Tetapi jawab Agung Sedayu, “Aku sudah siap sejak aku mendekati tempat ini.”

“Persetan,“ geram Ki Tumenggung Prabadaru. Agung Sedayu tidak menjawab. Tetapi ia benar-benar telah bersiap. Agung Sedayu sadar, bahwa Ki Tumenggung benar-benar ingin beradu ilmu. Bukan saja sebagai senapati dalam peperangan, tetapi sebagai dua orang laki-laki yang memiliki ilmu kanuragan. Apalagi justru karena Tumengung Prabadaru ternyata tidak akan mempergunakan senjatanya. Bagi Agung Sedayu, hal itu adalah satu pertanda bahwa Tumenggung Prabadaru merasa bahwa ilmunya memiliki kemampuan yang tidak kalah dengan ujung senjatanya.

Bahkan Agung Sedayu itu berkata di dalam hatinya, “Mungkin ia memiliki satu kemampuan menyerang dari jarak jauh sebagaimana aku dapat mempergunakan sorot mataku.”

Namun agaknya Ki Tumenggung tidak ingin langsung mempergunakan ilmunya yang tertinggi. Agaknya ia benar-benar ingin mengetahui dengan lengkap, tingkat kemampuan anak muda yang telah berhasil membunuh orang-orang yang memiliki nama yang menggetarkan.

Karena itu, maka Ki Tumenggung itupun kemudian meloncat menyerang Agung Sedayu dengan kemampuan wadagnya yang sewajarnya. Tangannya terjulur berbareng dengan loncatan kakinya.

Agung Sedayu melihat sikap lawannya. Karena itu, maka iapun tidak ingin tergesa-gesa. Namun demikian, ia sadar, bahwa Ki Tumenggung Prabadaru adalah orang yang mumpuni. Ia adalah seorang senapati besar yang mendapat kehormatan untuk’memimpin satu kesatuan khusus dari Pajang, dalam kedudukan yang agak berbeda dengan Ki Lurah Branjangan. Karena bagi Ki Lurah Branjangan, selain kedudukan itu bukan semata-mata karena kemampuan ilmunya, maka ia sebenarnya tidak lebih dari seorang yang memiliki kemampuan mengatur kesatuan khusus yang di pimpinnya.

Karena itu, maka agar Agung Sedayu tidak terjebak dalam satu kesalahan menghadapi Ki Tumenggung Prabadaru yang belum diketahuinya dengan pasti tingkat kemampuannya, iapun telah mulai mengetrapkan ilmu kebalnya.

Dengan demikian jika terjadi satu benturan yang tidak diduganya, atau karena Agung Sedayu salah hitung, ia tidak akan mengalami kesulitan yang parah dan menentukan.

Sejenak kemudian, maka Agung Sedayu dan Ki Tumenggung Prabadaru itupun telah mulai dengan satu pertempuran yang mendebarkan. Keduanya adalah orang-orang yang memiliki kemampuan yang jarang ada bandingnya.

Tetapi pertempuran itu dimulai dengan gerak dan langkah-langkah yang kurang berarti. Gerak dan langkah yang bagaikan sekedar untuk memanaskan tubuh mereka. Seperti yang mereka lakukan menghadapi latihan-latihan olah kanuragan.

Namun pemanasan itu meningkat semakin lama menjadi semakin bersungguh-sungguh. Seperti nyala api yang tertiup angin. Semakin lama menjadi semakin berkobar.

Ki Tumenggung Prabadaru yang sadar akan kemampuan Agung Sedayu dengan tidak ragu-ragu telah meningkatkan ilmunya. Ia tahu pasti, bahwa tingkat kemampuan Agung Sedayu masih jauh berada diatas tataran ilmu yang dilepaskan. Tetapi ternyata bahwa Ki Tumenggung tak ingin meloncat-loncat. Sehingga karena itu, maka ia meningkatkan kemampuannya dari satu tataran ketataran berikutnya.

Dengan demikian, maka orang-orang yang bertempur di sekitarnyapun segera menyadari, bahwa kedua orang itu adalah orang-orang yang akan bertempur dalam tingkat yang tidak akan dapat mereka jangkau. Orang-orang Pajang yang sebagian besar adalah para prajurit dari pasukan khusus, sebagaimana orang-orang Mataram pun terdiri dari mereka yang tergabung dalam pasukan khusus, mengetahui bahwa Ki Tumenggung Prabadaru adalah orang yang memiliki ilmu bagaikan ilmu dalam dongeng. Sementara Agung Sedayu telah memberikan kesan tersendiri dalam dunia olah kanuragan.

Dengan cepat, keduanya meningkatkan ilmu mereka. Tataran demi tataran, sehingga akhirnya mereka mulai merambah ke dalam tataran tenaga cadangan mereka.

Tidak ada kesan apapun baik pada Agung Sedayu maupun Ki Tumenggung Prabadaru. Benturan demi benturan terjadi sebagaimana mereka duga sebelumnya. Seolah-olah kekuatan mereka benar-benar seimbang tanpa kelebihan. Tetapi mereka tidak berhenti pada kekuatan cadangan mereka yang tersalur pada unsur-unsur gerak mereka yang cepat dan mantap. Ketika mereka menyadari, bahwa benturan-benturan tenaga cadangan itu tidak akan berkesudahan, maka mulailah mereka mempergunakan kekuatan getaran ilmu mereka masing-masing. Ilmu yang mampu menyadap getaran kekuatan tidak saja di dalam diri mereka, tetapi satu himpunan kekuatan yang menyelubungi diri mereka.

Karena itulah, maka pertempuran antara kedua orang itupun kemudian tidak lagi dapat dimengerti oleh orang-orang yang bertempur di sekitarnya.

Dalam pada itu Ki Lurah Branjangan yang terlepas dari ikatan pertempuran melawan Ki Tumenggung Prabadaru telah mempergunakan waktunya sebaik-baiknya. Ia berusaha agar hari itu, pasukan khusus Mataram yang bertempur berdampingan dengan pasukan dari Tanah Perdikan Menoreh dan dari Sangkal Putung, tidak terdesak semakin jauh. Dan apalagi berhasil dipecahkan oleh para prajurit dan pasukan khusus dari Pajang yang bertempur bersama beberapa pihak di luar lingkungan keprajuritan Pajang.

Karena itu, maka iapun telah berusaha untuk mempengaruhi gairah pasukan Mataram yang sebelumnya terasa agak terdesak.

Di sebelah pasukan khusus itu, pasukan dari Tanah Perdikan Menoreh bertempur dengan mantap. Ki Gede sendiri masih terlibat dalam pertempuran yang sengit. Sementara itu, cambuk Swandaru masih tetap meledak-ledak dengan dahsyatnya.

Demikianlah, maka seluruh arena pertempuran itu masih tetap bergemuruh. Dentang senjata beradu. Teriakan-teriakan dan sorak yang bagaikan membelah langit. Namun kadang kadang terdengar juga keluhan tertahan dan rintih kesakitan.

Dalam pertempuran yang seru dari ujung sampai ke ujung sayap itu, ada beberapa lingkaran pertempuran yang menegangkan, sehingga orang-orang yang ada di sekitarnya justru menyibak.

Ki Gede Menoreh yang bertempur melawan seorang senapati yang mumpuni, menjadi semakin cepat pula. Namun ketika kaki Ki Gede terasa mulai mengganggu, maka ia telah mempergunakan cara yang dikembangkannya kemudian. Dengan tombak yang siap di tangan, Ki Gede berdiri menghadapi lawannya dengan tidak banyak bergerak. Ki Gede hanya bergeser dan berputar. Sementara ia mempercayakan diri kepada kecepatan tangannya untuk mempermainkan ujung tombaknya.

Dengan demikian, maka Ki Gede telah banyak menghemat gerak kakinya yang terasa mulai kambuh. Namun demikian, bukan berarti bahwa Ki Gede akan segera di kalahkan oleh lawannya. Bahkan dalam sikapnya itu, Ki Gede terasa menjadi semakin garang.

Karena itu, maka pertempuran itu menjadi semaki dahsyat. Meskipun menurut penglihatan mata wadag, Ki Gede justru tidak terlalu banyak bergerak selain berputar-putar. Tetapi setiap kali tombaknya terjulur mematuk lawannya dengan cepat, dan kemudian berputar terayun menyambar dengan dahsyatnya.

Senapati Pajang yang melawannya menjadi semakin marah melihat sikap Ki Gede. Dengan garang ia berkata, “Jangan licik. Kau hanya berputar-putar dengan sumbu tumit kakimu.”

“Tombakku akan menyongsongmu jika kau berani menyerang.” sahut Ki Gede.

Lawannya mengumpat. Namun senapati itu tidak terlalu bodoh untuk mengitari Ki Gede sambil memeras tenaganya. Sekali-sekali iapun berusaha memancing Ki Gede untuk berloncatan. Namun Ki Gede memperhitungkan setiap keadaan dengan cermat, sehingga bagaimanapun juga, ia masih tetap mampu menguasai diri dengan baik. Meskipun demikian bukan berarti bahwa Ki Gede itu tidak pernah menyerang lawannya. Kadang-kadang dengan tidak terduga-duga sama sekali, justru Ki Gede-lah yang meloncat menyerang dengan tombak terjulur mengarah jantung.

Sementara itu, di sebelah pasukan Tanah Perdikan Menoreh, para pengawal dari Sangkal Putung bertempur dengan tekad yang membara di dalam dada mereka. Apalagi ketika mereka mendengar ledakan cambuk Swandaru yang bagaikan memecahkan selaput telinga. Rasa-rasanya udara di atas pertempuran itupun tergetar oleh ledakan cambuk itu.

Lawannya kadang-kadang memang menjadi bingung menghadapi anak rnuda bertubuh gemuk itu. Namun demikian, lawannya itupun telah berusaha sekuat-kuatnya untuk mengimbangi ujung cambuk Swandaru yang menggeliat dengan cepat. Menyambar seperti petir dan melecut sendal pancing.

Di bagian lain, di sayap itu pula, Ki Lasem Sanga menghadapi Ki Waskita dengan jantung yang berdegup semakin cepat. Ternyata Ki Waskita memiliki banyak kelebihan. Jauh lebih banyak dari yang diduganya. Sehingga dengan demikian, maka tidak ada pilihan lain dari Ki Lasem Sanga untuk mempergunakan ilmunya sampai tuntas ke puncaknya.

Dalam tingkat tertinggi ilmunya, maka kapak Ki Lasem Sanga itu menjadi seolah-olah seringan lidi, di tangannya, sehingga karena itu, maka kapak bertangkai dan bermata dua itu dapat bergerak menyambar-nyambar dengan kecepatan yang tidak terduga dan arah yang membingungkan.

Namun Ki Waskita sama sekali tidak menjadi bingung. Ia mempunyai kecepatan panggraita menangkap gerak senjata lawannya dengan tepat. Sehingga dengan demikian, maka seolah-olah Ki Waskita dapat menebak apa yang akan dilakukan oleh lawannya.

Meskipun demikian, kapak bermata dua itu tetap merupakan senjata yang sangat berbahaya, sehingga Ki Waskita tidak boleh lengah barang sedikitpun.

Ditempat lain. Kebo Watang benar-benar telah sampai ke puncak ilmunya. Senjatanya berputar dengan cepatnya, sehingga bagaikan gumpalan awan yang kehitam-hitaman menyelubunginya. Sekali-sekali awan itu bergulung-gulung melibat lawannya dengan suara yang berdesing memekakkan telinga.

Namun Kiai Gringsing adalah orang yang memiliki ilmu yang jarang ada duanya. Iapun bersenjata lentur dan panjang, sehingga meskipun lawannya berada di dalam gumpalan putaran senjatanya yang mengerikan, namun ujung cambuk Kiai Gringsing, kadang-kadang mampu pula menerobos putaran senjata yang nggegirisi itu. Bahkan sekali Kebo Watang itu harus mengumpat, karena ujung cambuk Kiai Gringsing telah menyentuh lengannya.

“Orang gila ini benar-benar berbahaya,“ berkata Kebo Watang itu di dalam hatinya. Namun adalah satu kenyataan, bahwa lawannya yang bernama Kiai Gringsing itu memiliki kemampuan bergerak yang ketrampilan mempermainkan senjatanya, bukan saja dapat dilihatnya dengan mata wadagnya. Namun sebenarnyalah kekuatan yang tidak terduga akan dapat melibatnya lewat ujung cambuk orang tua itu.

Dengan demikian, Kebo Watang memang harus menghadapi Kiai Gringsing dengan segenap ilmu dan kemampuan yang ada padanya. Ia tidak saja mengandalkan kepada putaran senjatanya yang bagaikan melindungi tubuhnya. Tetapi Kebo Watang juga memanfaatkan ilmunya lewat desing senjatanya.

Desing senjatanya itu semakin lama terdengar semakin keras dalam nada yang semakin tinggi. Bahkan kemudian, seolah-olah suara itu menyusup ke setiap telinga, menyengat perasaan dan menimbulkan pengaruh yang dapat membingungkan.

Bahkan suara itu tidak saja mempengaruhi lawan langsung dari Kebo Watang. Tetapi orang-orang yang bertempur di sekitarnyapun telah terpengaruh pula, meski pun tidak setajam lawannya langsung.

Namun demikian. Kiai Gringsing tidak menjadi terlalu cemas, karena ia mengerti, yang terpengaruh itu bukan saja orang-orang Mataram. Tetapi juga orang-orang Pajang sendiri. Sementara itu, ia sendiri harus berusaha untuk melenyapkan pengaruh itu atas dirinya.

Tetapi ternyata tidak terlalu sulit bagi Kiai Gringsing untuk mengatasi pengaruh suara itu. Dengan kemampuan ilmunya. Kiai Gringsing tidak saja mampu menyumbat telinga wadagnya. Tetapi karena serangan suara berdesing itu juga menyentuh langsung telinga hatinya, maka Kiai Gringsingpun harus berusaha menyumbatnya pula.

Namun dalam pada itu, orang-orang yang bertempur di sekitar Kiai Gringsing dan Kebo Watang itu dengan sendirinya telah menyibak semakin jauh. Mereka merasakan telinga mereka bagaikan melekat pada sebuah sendaren yang sedang mengaung. Bukan saja telinga mereka terasa sakit, tetapi rasa-rasanya merekapun menjadi kebingungan dan kehilangan akal.

Tetapi dengan bergeser menjauh, maka suara yang menyakitkan telinga dan membuat mereka kebingungan itu terdengar menjadi semakin lemah, sehingga mereka mampu memusatkan kembali perhatian mereka kepada lawan-lawan mereka.

“Tidak ada gunanya Ki Sanak,” berkata Kiai Gringsing.

“Persetan,“ geram Kebo Watang yang memutar senjatanya semakin keras.

“Jika kau bermaksud mempengaruhi perlawanan orang-orang Mataram, maka hal itu tidak akan berarti, karena orang orang Pajang sendiri akan menjadi kebingungan,” berkata Kiai Gringsing pula.

“Kau mencari cara untuk menyelamatkan dirimu. Jangan berharap. Semakin lama kau akan semakin kehilangan atas pengamatanmu terhadap dirimu sendiri. Terhadap perasaan dan nalarmu. Terhadap kesadaranmu. Dalam keadaan yang demikian, maka kau akan menjadi lumat oleh senjataku.”

Kiai Gringsing bergeser surut ketika serangan orang itu melibatnya semakin cepat. Namun dalam pada itu, suara berdesing itupun seakan-akan menjadi semakin keras pula.

“Bukan main,“ geram Kiai Gringsing.

Sementara itu, orang-orang Mataram dan orang-orang Pajang pun telah bergeser semakin jauh, sehingga Kiai Gringsing dan Kebo Watang itu mendapat tempat yang cukup luas untuk bertempur dengan senjata yang agak lain dengan senjata-senjata yang kebanyakan dipergunakan di peperangan.

Namun dengan demikian, maka kedua orang itu seakan-akan telah mendapat kesempatan yang semakin luas untuk menunjukkan tingkat kemampuan ilmu mereka masing-masing. Tidak seorangpun yang akan berani mengganggu. Suara berdesing dari senjata Kebo Watang yang di putar semakin cepat itu telah memagari arena pertempuran antara Kiai Gringsing dan Kebo Watang itu.

Sehingga dengan demikian maka keduanya seolah-olah telah memasuki satu arena perang tanding.

Dalam pada itu, Kebo Watang yang ingin menunjukkan kelebihannya dari setiap orang Pajang yang hadir di arena itupun telah mengerahkan segenap kemampuannya. Ia merasa wajib untuk dengan cepat membinasakan orang yang bernama Kiai Gringsing itu. Kemudian iapun berharap akan dapat bertemu dengan Sutawijaya dan kemudian membunuhnya.

Tetapi yang dihadapinya adalah Kiai Gringsing. Seorang yang memiliki tataran ilmu yang sangat tinggi.

Pada saat-saat Kebo Watang meningkatkan putaran senjatanya, sehingga desing yang bagaikan menggetarkan udara di sekitarnya dan menyusup langsung ke jantung lawan itupun menusuk-nusuk semakin tajam, maka Kiai Gringsing pun mulai melawan bunyi itu dengan caranya pula.

Demikian Kiai Gringsing mulai jemu mendengar bunyi yang menggelitiknya itu, maka iapun telah melecutkan senjatanya. Melecutkan cambuknya sendal pancing. Namun bukan saja getaran udara yang teresa menyentuh lawannya, tetapi ledakan suaranya yang bagi telinga wadag terdengar tidak begitu keras, namun ledakan itu mempunyai pengaruh yang khusus bagi lawannya. Gelombang getaran udara rasa-rasanya telah menghentak-hentak dada Kebo Watang. Setiap kali cambuk itu meledak, maka jantung Kebo Watang terasa terhimpit semakin pepat.

“Gila,“ geram Kebo Watang, “apa yang telah terjadi dengan suara cambuk itu?”

Namun dalam pada itu, getar ledakan cambuk yang tidak begitu keras bagi telinga wadag itu menjadi semakin cepat dan semakin sering. Bahkan terasa dadanya semakin terganggu oleh ledakan-ledakan suara cambuk itu.

Karena itu, maka Kebo Watang itupun memutar senjatanya semakin cepat. Ia tidak lagi menumpukan serangannya pada desing putaran senjatanya. Tetapi ia mulai berusaha benar-benar untuk mengenai tubuh lawannya dengan bulatan besinya.

Tetapi Kiai Gringsing cukup tangkas. Setiap kali putaran bulatan besi yang bagaikan awan yang kehitam-hitaman bergulung-gulung membayangi tubuh Kebo Watang itu melibatnya, maka iapun dengan cepat menghindar. Bahkan ledakan-ledakan cambuk Kiai Gringsing yang semakin cepat dan semakin tajam menyentuh perasaan lawannya itupun menjadi semakin terasa mengganggu.

Bahkan ketika Kebo Watang benar-benar telah berusaha mengenainya. Kiai Gringsing pun telah melakukan hal yang sama. Ketika bulatan bola itu menyambar kepalanya, maka dengan tangkasnya Kiai Gringsing itu merendah, namun sekaligus tangannya bergerak sendal pancing. Sehingga dengan demikian, maka ujung cambuknyapun telah menyambar tubuh Kebo Watang.

Kebo Watang sempat meloncat surut. Ayunan bulatan besi baja tiba-tiba saja berubah. Putaran itu dengan sambaran ombak banyu telah mengarah ke kening lawannya.

Tetapi Kiai Gringsing cepat bergeser. Bulatan besi itu terbang kurang dari setapak tangan dari kening kiai Gringsing. Namun pada saat itu sekali lagi Kiai Gringsing mengayunkan cambuknya. Mendatar langsung menyambar lambung.

Demikian cepatnya sehingga Kebo Watang yang masih berusaha menguasai bulatan besinya terlambat menghindar. Meskipun ia meloncat, tetapi ujung cambuk itu telah mengenai pahanya.

Terdengar Kebo Watang mengeluh tertahan. Terasa perasaan pedih telah menyengat kulitnya. Ujung cambuk Kiai Gringsing telah mengkoyak kain panjangnya dan melukai pahanya, meskipun sentuhan itu tidak lebih dari ujungnya saja dari juntai cambuk yang berkarah baja itu.

“Anak iblis,“ Kebo Watang itu kemudian mengumpat sambil meloncat surut. Dirabanya pahanya yang terluka. Ternyata tangannya telah menjadi merah oleh darah.

Kiai Gringsing berdiri tegak sambil menggenggam tangkai cambuknya dengan tangan kanannya dan memegangi ujungnya dengan tangan kirinya. Dengan tajamnya Kiai Gringsing memandang wajah Kebo Watang yang menjadi merah membara. Kemarahan yang tidak terlukiskan telah menghentak-hentak dadanya.

“Orang yang tidak tahu diri,“ geram Kebo Watang, “aku masih berbelas kasihan untuk membunuhmu. Tetapi dengan sombong kau telah melukai pahaku. Kau sangka bahwa yang kau lakukan itu akan berakibat baik bagimu?”

Kiai Gringsing termangu-mangu sejenak. Namun iapun justru telah bersiap sepenuhnya menghadapi orang yang sedang dibakar oleh kemarahan yang memuncak itu.

Sebenarnyalah, sejenak kemudian bulatan besi Kebo Watang itu telah berputaran lagi. Semakin lama semakin cepat. Suara berdesingpun menjadi semakin keras, sehingga Kiai Gringsing harus mempergunakan ketahanannya untuk melawan suara yang bagaikan menghunjam ke pusat jantungnya itu. Ia harus menutup lubang telinga wadagnya, sekaligus telinga hatinya, agar suara berdesing itu tidak mempengaruhinya.

Namun dalam pada itu, putaran senjata Kebo Watang dalam puncak ilmunya dilambari dengan kemarahan yang membara itu, bagaikan menjadi sebuah bulatan besi yang besar menyelubungi tubuhnya. Bulatan besi yang siap menghantam dan menghancurkan setiap sasaran yang disentuhnya.

Kiai Gringsing menjadi berdebar-debar. Pertahanan orang itu menjadi semakin rapat. Dengan demikian, maka akan semakin sulitlah baginya untuk dapat menyerang dan apalagi melukai orang itu. Meskipun paha orang itu sudah menitikkan darah, tetapi agaknya sama sekali tidak berpengaruh bagi kegarangannya.

Untuk sesaat Kiai Gringsing hanya dapat bergeser surut. Jika bulatan besi yang bergulung-gulung menjadi bulatan raksasa itu mendekatinya, maka yang dapat dilakukan oleh Kiai Gringsing hanyalah sekedar menghindar, karena ia sadar, bahwa sentuhan bulatan bola besi itu akan dapat meremukkan tulang-tulangnya, meskipun ia mempunyai ketahanan tubuh yang tinggi.

Namun dalam pada itu. Kiai Gringsing akhirnya tidak dapat terus-menerus berkisar dan bergeser surut. Ia harus berbuat sesuatu untuk mencoba memecahkan gumpalan bulatan besi baja yang bergulung-gulung itu.

Sambil berkisar menghindarkan diri. Kiai Gringsing memusatkan kekuatannya pada cambuknya. Bukan saja kekuatan wadagnya. Tetapi kekuatan ilmunya telah berhimpun pada tangan kanannya, menelusuri cambuknya.

Sejenak kemudian, maka Kiai Gringsing telah berdiri tegak memandang bulatan bola besi yang berputaran mendekatinya. Semakin dekat bulatan besi yang bergulung-gulung mengerikan itu, tangan Kiai Gringsing pun menjadi semakin bergetar. Ia bertekad untuk membenturkan kekuatan ilmunya dengan kekuatan ilmu Kebo Watang. Jika ia tidak berhasil, maka untuk selanjutnya, ia hanya akan mampu bergeser dan berloncatan menghindar tanpa mendapat kesempatan untuk menyerang.

“Tentu tidak pantas untuk melarikan diri dari medan dalam keadaan apapun,” berkata Kiai Gringsing kepada diri sendiri.

Sejenak kemudian, maka senjata Kebo Watang yang berputaran itu menjadi semakin dekat. Tetapi Kiai Gringsing tidak bergeser menjauh. Namun tiba-tiba saja, ia telah mengangkat cambuknya dengan mengerahkan segenap kemampuan ilmunya.

Demikian senjata Kebo Watang itu menyerangnya, maka Kiai Gringsing telah menghentakkan cambuknya menghantam putaran senjata Kebo Watang itu.

Sekejap kemudian, terjadilah benturan ilmu yang sangat dahsyat. Ujung cambuk Kiai Gringsing yang dihentakkan dengan puncak ilmunya, telah menghantam bulatan besi Kebo Watang yang berputar mengerikan.

Ternyata bahwa Kiai Gringsing memiliki selapis kelebihan dari Kebo Watang. Hentakkan cambuknya telah memecahkan putaran senjata Kebo Watang itu, sehingga untuk sesaat, bulatan besi itu bagaikan kehilangan kendali putaran. Bahkan hampir saja bulatan besi yang membentur ilmu Kiai Gringsing pada hentakkan cambuknya itu melenting menyambar kepala Kebo Watang sendiri.

Kebo Watang terkejut bukan buatan. Dengan jantung yang berdegupan, ia berusaha untuk menguasai senjatanya yang melenting.

Namun dalam pada itu, Kiai Gringsing tidak membiarkan kesempatan itu. Dengan serta merta iapun telah meloncat menyerang. Sekali lagi cambuknya menghentak. Tidak membentur putaran senjata Kebo Watang, tetapi langsung mengarah ke tubuhnya.

Kebo Watang masih berusaha untuk menghindar. Dengan loncatan panjang ia bergeser ke samping. Namun dalam pada itu, Kiai Gringsing telah memburunya. Jika ia tidak dapat mempergunakan kesempatan itu, mungkin untuk selanjutnya ia akan sulit mendapatkan kesempatan lagi.

Karena itu, maka sekali lagi ujung cambuk Kiai Gringsing mengejarnya. Satu lecutan yang keras menyambarnya.

Serangan itu demikian cepatnya, sehingga Kebo Watang tidak lagi mendapat kesempatan yang cukup untuk membebaskan dirinya sepenuhnya. Meskipun ia meloncat sekali lagi, tetapi ujung cambuk Kiai Gringsing itu telah mengenai lambungnya. Lebih keras dari sentuhan cambuknya yang pertama. Bahkan ternyata bahwa kulit Kebo Watang yang tebal itu telah koyak karenanya.

Sekali lagi Kebo Watang mengeluh. Luka di lambungnya itu ternyata lebih parah dari luka di pahanya. Meskipun demikian, Kebo Watang itu seakan-akan tidak terpengaruh karenanya. Terdengar Kebo Watang itu berteriak keras-keras, sambil memandang Kiai Gringsing dengan api kemarahan yang membakar isi dadanya.

Mieskipun darah kemudian meleleh juga dari luka di lambungnya itu, namun Kebo Watang sama sekali tidak terpengaruh, ia masih tetap garang, dan bahkan bulatan besinya itu berputaran lebih cepat, sehingga suara berdesing itupun lebih tajam menusuk telinga. Telinga wadag dan telinga hati. Bahkan didorong oleh kemarahan yang semakin membakar jantung, desing itu bagaikan ujung-ujung jarum yang menusuk dinding perasaan Kiai Gringsing.

Tetapi dengan segenap kemampuan ilmunya. Kiai Gringsing berusaha untuk setidak-tidaknya mengurangi pengaruh desing bulatan besi Kebo Watang yang berputar semakin cepat.

“Bukan main,“ desis Kiai Gringsing, “dalam keadaan luka itu ia masih seperti kerasukan iblis.”

Namun Kiai Gringsing telah menjadi semakin mapan. Ia sadar, bahwa benturan kekuatan ilmu di antara mereka, akan menguntungkan bagi Kiai Gringsing. Karena itu, ketika gumpalan putaran senjata Kebo Watang datang bergulung menghampirinya, maka Kiai Gringsing pun telah mempersiapkan diri. Ia ingin sekali lagi membenturkan ilmunya. Dengan cambuknya ia ingin memecahkan putaran senjata lawannya.

Dalam pada itu, di tempat lain, Ki Waskita bertempur dengan segenap kemampuannya pula. Dalam keadaan yang terdesak, maka Ki Waskita harus mengambil sikap. Ternyata bahwa pedangnya tidak dapat dipergunakan sebagaimana ia mempergunakan ikat pinggangnya. Meskipun pedang itu dalam ujud lahiriahnya memiliki kelebihan dari sekedar ikat pinggang kulit. Tetapi ikat pinggang Ki Waskita bukan kebanyakan ikat pinggang.

Karena itu, ketika kapak bermata dua Ki Lasem Sanga memburunya, serta pedangnya tidak lagi sanggup dengan mantap menahan serangan-serangan yang dilambari ilmu yang tinggi itu, maka Ki Waskita justru telah bergeser dan kemudian meloncat surut.

Dengan cepat ia melepaskan ikat pinggangnya dan justru melemparkan pedangnya.

“He, kau menyerah?“ bertanya Ki Lasem Sanga.

“Tidak,“ jawab Ki Waskita. “Kenapa?”

“Kau melepaskan senjatamu?” bertanya Ki Lasem Sanga pula.

Ki Waskita menggeleng. Jawabnya, “Kau salah menafsirkan sikapku. Tetapi itu wajar, karena aku memang melemparkan pedang itu. Tetapi bagiku pedang itu memang tidak berarti apa-apa. Jika aku berkeras bertempur dengan pedang itu. maka pada suatu saat pedangku tentu akan patah. Kapakmu adalah senjata yang luar biasa, terbuat dari baja yang pilihan. Sedang pedang yang aku pergunakan adalah pedang yang tidak berarti apa-apa.”

“Lalu kau akan mempergunakan senjata yang mana?” bertanya Ki Lasem Sanga melihat Ki Waskita memegangi ikat pinggangnya.

“Ini adalah senjataku yang terbiasa aku pakai,” berkata Ki Waskita.

Ki Lasem Sanga memandang lawannya dengan tatapan mata yang memancarkan berbagai pertanyaan. Ia sudah melihat ikat kepala lawannya yang membelit di pergelangan tangannya, yang ternyata memiliki kekuatan seperti perisai baja.

“Ikat pinggang kulit itu tentu juga mempunyai kekuatan iblis,” berkata Ki Lasem Sanga di dalam hatinya.

Kesadaran itu membuatnya menjadi sangat berhati-hati. Baginya pedang yang dipergunakan oleh lawannya sama sekali tidak menggetarkan jantungnya. Namun ketika ia melihat ikat pinggang yang menurut penglihatan mata wadagnya hanya terbuat dari kulit itu, ia menjadi berdebar-debar. Ikat pinggang itu tentu memiliki kekuatan seperti yang terdapat dalam ikat kepalanya. Kekuatan asing yang tidak mudah untuk dimengerti.

Dalam pada itu, Ki Waskita pun segera mempersiapkan diri. Dengan ikat pinggang di tangannya, maka sikapnya menjadi lebih mantap.

“Marilah Ki Sanak,“ berkata Ki Waskita, “kita akan melanjutkan permainan kita.”

Ki Lasem Sanga menggeram. Namun kemudian kapaknya yang bertangkai sepanjang tangkai tombak pendek itupun mulai terayun-ayun. Dengan nada datar ia menjawab, “Baiklah. Aku ingin melihat, apa yang dapat kau lakukan dengan ikat pinggangmu itu.”

Ki Waskita tidak menjawab. Tetapi ia benar-benar sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan.

Sejenak kemudian, maka keduanya telah terlibat lagi kedalam satu pertempuran yang sengit. Kapak Ki Lasem Sanga terayun-ayun dengan dahsyatnya. Sekali menyambar mendatar, namun tiba-tiba berputar dan menghantam ke arah kepala lawannya tegak lurus dari atas.

Namun Ki Waskita telah berada dalam puncak kemampuannya, serta senjatanya yang sebenarnya telah dipergunakannya pula.

Tetapi Ki Waskita sama sekali tidak berniat untuk melontarkan bentuk-bentuk semu yang akan dapat mempengaruhi lawannya, karena Ki Waskita tahu benar bahwa lawannya tidak akan terpengaruh karenanya. Lawannya akan dengan mudah dapat membedakan, yang manakah bentuk semu dan yang manakah yang sebenarnya.

Sekali-sekali memang timbul niatnya untuk mempengaruhi seluruh medan dengan bentuk-bentuk semu. Seandainya beberapa orang pemimpin dan senapati Pajang mampu melihat bentuk-bentuk itu, namun prajurit kebanyakan akan sulit membedakannya.

Tetapi niat itu diurungkannya. Katanya di dalam hati, “Aku tidak akan melakukan kesombongan itu di hadapan Kanjeng Sultan sendiri, yang meskipun belum langsung turun ke medan. Bahkan mungkin aku akan memancing persoalan yang sebenarnya tidak perlu terjadi.“

Dengan demikian, maka Ki Waskita memusatkan segenap ilmunya untuk menghadapi lawannya yang bersenjata kapak bermata rangkap dan bertangkai itu.

Ternyata dengan ikat pinggangnya, Ki Waskita mampu memberikan perlawanan yang lebih baik dari sebelumnya. Ikat pinggangnya yang lentur memiliki kecepatan lebih baik menghadapi kapak bermata dua. Dengan ikat kepalanya ia menangkis serangan lawannya, kemudian dengan ikat pinggangnya ia menghentak menyerang lawannya. Meskipun ikat pinggang itu nampaknya terbuat dari kulit, tetapi dengan dialiri kekuatan ilmunya, maka ikat pinggang itu merupakan senjata yang sangat berbahaya.

Dengan demikian, maka beberapa saat kemudian, ternyata bahwa Ki Waskita telah berhasil merubah keseimbangan pertempuran itu. Ia tidak lagi harus bergeser dan berloncatan menghindar, tetapi dengan ikat pinggangnya, ia justru lebih banyak menyerang.

Bahkan pada suatu saat, Ki Lasem Sanga yang kehilangan kesempatan untuk menghindari serangan Ki Waskita, telah terkejut bukan buatan. Ketika ikat pinggang Ki Waskita menyentuh lengannya, ternyata lengannya telah tergores oleh sisi ikat pinggang itu. Dan goresan itu telah menimbulkan luka pada kulitnya sebagaimana kulitnya tersentuh pedang.

“Gila,“ geram Ki Lasem Sanga sambil meloncat surut.

Ki Waskita tidak mengejarnya. Sambil berdiri tegak beberapa langkah dari Ki Lasem Sanga dipandanginya orang yang bersenjata kapak bermata dua dan bertangkai sepanjang tangkai tombak pendek itu.

“Kau memang mempunyai kekuatan iblis,“ geram Ki Lasem Sanga, “ternyata bahwa kau mampu mempergunakan ikat pinggangmu melampaui pedang yang telah kau lemparkan itu.”

“Ki Sanak. Jika pedang itu tentu akan patah membentur mata kapakmu yang terbuat dari baja pilihan itu, maka ikat pinggangku tidak akan demikian,“ jawab Ki Waskita.

“Tetapi ilmu iblismu dapat menjadikan ikat pinggangmu itu menjadi setajam pedang,“ geram Ki Lasem Sanga.

“Jangankan ikat pinggang,“ jawab Ki Waskita, “sedangkan daun ilalangpun kadang-kadang dapat melukai jari anak-anak yang sedang bermain-main.”

Ki Lasem Sanga mengangguk-angguk. Katanya, ”Bagus. Kau benar. Dedaunan yang lemah dan tidak bertenaga itu dapat melukai kulit. Apalagi ikat pinggang kulitmu yang dialiri oleh ilmumu yang nggegirisi.”

“Kita memang sedang membenturkan ilmu,“ jawab Ki Waskita.

Ki Lasem Sanga mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak berbicara lagi. Ia mulai menggerakkan kapak bermata duanya.

Ki Waskita pun mulai mapan. Namun ia menjadi heran, luka di lengan Ki Lasem Sanga itu seakan-akan telah terhapus begitu saja. Sekali dua kali, Ki Waskita memang melihat, telapak tangan lawannya itu mengusap lukanya. Tetapi Ki Waskita tidak melihat, kapan luka itu bagaikan terhapus dari lengannya.

“Ilmu apa lagi yang dimiliki oleh Ki Lasem Sanga ini?“ bertanya Ki Waskita kepada diri sendiri.

Namun dengan demikian, maka Ki Waskita menyadari, bahwa ia harus benar-benar berhati-hati menghadapi lawannya itu. Lawan yang memiliki kemampuan yang mengagumkan, sebagaimana lawannya mengagumi ilmunya yang tersalur ke dalam ikat kepala yang dililitkan di pergelangan tangannya yang dipergunakannya sebagai perisai, dan pada ikat pinggangnya yang dapat menjadi senjata yang lebih berbahaya dari pedang.

Demikianlah, maka sejenak kemudian, pertempuran diantara keduanyapun telah terjadi lagi. Semakin lama semakin dahsyat dan menegangkan.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar