Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 162

Buku 162

“Karena itu, agaknya Raden Sutawijaya sendiri harus menjatuhkan perintah,” berkata Kiai Gringsing di dalam hatinya, “karena dalam perlawanan atas orang-orang Pajang, Swandaru tentu menganggap bahwa senapati tertinggi Mataram adalah Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga. Hanya perintahnyalah yang wajib ditaati.”

“Namun agaknya Untara pun akan menempatkan diri ke dalam satu jalur perintah Raden Sutawijaya itu,” berkata Kiai Gringsing lebih lanjut kepada diri sendiri.

Sementara itu, Kiai Gringsing merasa bahwa ia tidak perlu terlalu lama berada di Jati Anom. Ia harus segera berada di Sangkal Putung untuk sedikit demi sedikit memberikan keterangan kepada Swandaru mengenai sikap Untara setelah ia bertemu langsung dengan Kanjeng Sultan Pajang.

Tetapi agar para cantrik tidak terlalu kecewa, Kiai Gringsing telah bermalam satu malam lagi. Ia sempat bermain-main dengan para cantrik dalam olah kanuragan hampir semalam suntuk.

Di hari berikutnya, sebelum Kiai Gringsing meninggalkan padepokan kecil itu, ternyata Ki Widura telah datang pula. Adalah kebetulan bagi Kiai Gringsing, bahwa dengan demikian ia masih sempat berbincang serba sedikit tentang sikap Untara.

“Aku sudah merencanakan untuk kembali ke Sangkal Putung,” berkata Kiai Gringsing.

“Kiai tidak memerintahkan satu dua orang cantrik untuk pergi ke Banyu Asri,” sahut Ki Widura,

“Tidak ada persoalan yang sangat penting. Jika ada, maka aku kira pada suatu saat Angger Untara tentu akan berbicara dengan Ki Widura,” berkata Kiai Gringsing kemudian.

“Ya,” jawab Ki Widura, “aku sudah singgah di rumah Untara. Semalam Untara menemui aku di Banyu Asri. Pagi ini aku singgah barang sejenak, karena pagi ini Untara telah berangkat ke Mataram.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Ia memang sudah menduga, bahwa Untara sudah pergi ke Mataram untuk menemui Raden Sutawijaya. Ternyata bahwa sebelum berangkat, Untara juga telah berbicara dengan Ki Widura, bukan saja sebagai pamannya, tetapi tentu juga sebagai seorang yang pernah menjadi seorang Senapati Pajang pula.

Untuk beberapa saat, Kiai Gringsing dan Ki Widura sempat berbincang. Meskipun mereka berbicara dengan Untara pada kesempatan yang berbeda, namun ternyata bahwa sikap mereka sejalan sebagaimana sikap Untara sendiri.

“Syukurlah,” berkata Kiai Gringsing, “kita tidak berbeda pendirian dalam hal ini,” berkata Kiai Gringsing, “sehingga dengan demikian, maka langkah-langkah berikutnya pun dapat kita tempuh bersama. Mudah-mudahan di Mataram Angger Untara juga menemukan sikap yang serupa.”

“Bagi Raden Sutawijaya, sikap Untara akan sangat menguntungkan,” berkata Ki Widura.

“Bukan sekedar sikap Untara, karena Untara melandasi sikapnya atas pertemuannya dengan Kanjeng Sultan Pajang,” jawab Kiai Gringsing.

Ki Widura mengangguk-angguk. Katanya “Ya. Kiai benar.”

Namun dalam pada itu, berkata Kiai Gringsing selanjutnya, “Apakah Tanah Perdikan Menoreh perlu diberi tahu langsung, atau dengan sendirinya akan mendengarnya dari Raden Sutawijaya?”

“Aku kira pasukan khusus di Tanah Perdikan Menoreh akan segera mengetahui persoalannya,” jawab Ki Widura, “sementara itu, Agung Sedayu yang ada di dalam pasukan khusus itupun akan menyampaikan persoalan itu kepada Tanah Perdikan Menoreh.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. la sependapat bahwa Tanah Perdikan Menoreh akan mendapat berita yang penting itu dari Mataram. Sehingga karena itu, maka merekapun sependapat, bahwa mereka tidak perlu pergi ke Tanah Perdikan Menoreh.

Dalam pada itu, Kiai Gringsing yang memang sudah siap untuk meninggalkan padepokan kecil itupun telah minta diri. Kepada para cantrik ia berkata, bahwa Ki Widura akan berada di padepokan itu untuk beberapa lama, sehingga merekapun akan mendapat kawan untuk meningkatkan ilmu mereka.

Sepeninggal Kiai Gringsing, maka Ki Widura-lah yang menunggui padepokan itu. Seperti biasa, maka pada saat-saat tertentu ia memberikan tuntunan kepada para cantrik untuk meningkatkan ilmu mereka, karena Ki Widura pun menyadari, dalam keadaan yang gawat, para cantrik itu harus mampu melindungi diri mereka sendiri. Mereka yang pernah menjadi pengikut Sabungsari memang mempunyai tataran yang lebih tinggi dari para cantrik yang lain. Namun setelah mereka merasa hidup dalam satu lingkungan, maka merekapun tidak berkeberatan untuk memberi kesempatan kepada cantrik-cantrik yang lain meningkatkan ilmu kanuragan mereka. Namun dalam pada itu, dengan tuntunan mereka yang berada di padepokan itu, bekas pengikut Sabungsari itu pun harus menyesuaikan dasar-dasar ilmu kanuragan mereka, dengan ilmu yang dipelajari oleh para cantrik di padepokan itu.

Dalam pada itu, sebenarnyalah Untara telah pergi ke Mataram bersama dua orang perwira kepercayaannya. Mereka sama sekali tidak mengenakan pakaian keprajuritan dan ciri-ciri yang lain yang akan dapat menarik perhatian. Mereka pergi ke Mataram dalam pakaian orang kebanyakan, sehingga orang-orang yang berpapasan dengan mereka tidak langsung mengenalinya sebagai Untara, Senapati Pajang di daerah Selatan.

Dengan tanpa hambatan, maka ketiga orang itu telah memasuki pintu gerbang Mataram. Seperti kebanyakan orang, mereka tidak dihalangi untuk pergi kemanapun di dalam kota. Bahkan merekapun mendapat kesempatan untuk mendekati regol rumah Raden Sutawijaya.

“Apakah kita akan berterus terang?” bertanya seorang perwira.

“Ya,” jawab Untara, “itu lebih baik. Kita mohon kesempatan untuk menghadap Raden Sutawijaya.”

“Bagaimana jika para penjaga itu bertanya, siapakah kita?” bertanya perwira yang lain.

“Aku tidak mempunyai cara lain kecuali dengan terus terang mengatakan bahwa aku adalah Untara,” jawab Untara,

Agaknya memang seperti yang dikatakan oleh Untara. Jika mereka pura-pura atau menyebut alasan-alasan lain yang barangkali justru akan menimbulkan kecurigaan, mereka akan mendapatkan kesulitan. Tetapi dengan berterus terang, maka permohonan mereka akan disampaikan langsung kepada Raden Sutawijaya, jika kebetulan Raden Sutawijaya ada di rumahnya.

Dengan kebulatan tekad, maka Untara pun turun dari kudanya dan menuntunnya ke gardu para pengawal yang sedang bertugas. Seperti yang dikatakannya, maka ia pun berterus terang kepada pemimpin pengawal, bahwa ia adalah Untara yang ingin menghadap Raden Sutawijaya, karena satu kepentingan yang khusus dan tidak dapat ditunda.

Para pengawal itu mengerutkan keningnya. Mereka memandang orang yang menyebut dirinya Untara itu dengan hati yang berdebar debar. Karena mereka tahu, bahwa Untara adalah Senapati Pajang di daerah yang langsung berhadapan dengan Mataram.

Tetapi yang berdiri di hadapan mereka bukanlah seseorang yang mengenakan pakaian kebesaran seorang senapati. Apalagi dengan ciri-ciri jabatannya sebagai seorang pemimpin prajurit Pajang.

Yang ada di hadapan mereka adalah seseorang dalam pakaian orang kebanyakan, bersama dua orang kawannya, juga tanpa ciri-ciri seorang prajurit.

Selagi pengawal itu termangu-mangu, maka Untara pun berkata, “Aku akan menghadap Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga. Ia akan dapat mengenali aku sebagai Senapati Pajang di Jati Anom.”

Pemimpin pengawal yang kebetulan belum mengenal Untara itu tidak segera berbuat sesuatu. Ia tidak mau melakukan satu kesalahan yang akan dapat berakibat buruk bagi Raden Sutawijaya. Karena itu maka iapun masih juga bertanya, “Ki Sanak. Kami tidak mengenal Ki Sanak. Sementara itu Ki Sanak sama sekali tidak mengenakan ciri-ciri yang dapat meyakinkan kami.”

“Kami tidak ingin menarik perhatian orang di sepanjang perjalanan, sementara kami ingin segera sampai ke Mataram,” berkata Untara. Lalu, “Tetapi orang yang paling berhak menentukan, apakah kami dapat diterima atau tidak, memang Raden Sutawijaya sendiri yang sudah mengenal aku dengan baik.”

“Ki Sanak,” berkata pengawal itu, “kami hanya dapat menyampaikan permintaanmu. Tetapi segala sesuatu tergantung kepada Senapati ing Ngalaga sendiri. Apakah ia mempunyai kesempatan untuk menerimamu atau tidak, karena kehadiranmu kurang meyakinkan kami.”

“Baiklah. Tetapi tolong, sebut namaku dan jabatanku. Mudah-mudahan Senapati ing Ngalaga akan dapat menerima aku dan kawan-kawanku,” jawab Untara.

Dalam pada itu, selagi pemimpin pengawal itu melangkah untuk melaporkan kehadiran Untara, maka sambil tersenyum seseorang berdiri di tangga pendapa sambil berkata, “Silahkan mereka naik. Aku memang sudah menunggu mereka.”

Semua orang berpaling ke arah suara itu. Ternyata Raden Sutawijaya telah berdiri di tangga pendapa, diiringi oleh Ki Juru Martani.

Untara menjadi berdebar-debar. Sementara itu, pemimpin pengawal itu pun berkata, “Silahkan. Senapati sendiri telah menyatakan untuk menerima kehadiran Ki Sanak.”

Dengan agak ragu-ragu Untara dan pengiringnya pun segera melangkah ke tangga pendapa. Sekali lagi Raden Sutawijaya itu mempersilahkannya naik dengan ramah, “Marilah. Aku sudah memperhitungkan bahwa kau akan datang.”

Untara termangu-mangu. Apakah dengan demikian berarti bahwa Raden Sutawijaya telah mengerti bahwa ia akan datang?

Namun Untara tidak segera bertanya. Bersama pengiringnya iapun kemudian duduk di pendapa bersama Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani.

Sebagaimana biasanya, Raden Sutawijaya dan Ki Juru telah menanyakan keselamatan Untara dan mereka yang ditinggalkan di Jati Anom. Baru kemudian, Raden Sutawijaya bertanya, “Jika tidak ada sesuatu yang sangat penting, Untara tentu tidak akan datang ke tempat ini. Bukankah begitu?”

Untara mengangguk hormat. Katanya, “Benar Raden. Jika tidak ada sesuatu yang sangat penting, aku memang tidak akan menghadap Raden.”

“Nah, sekarang katakan, apakah yang penting itu?” Raden Sutawijaya mempersilahkan.

Untara menarik nafas dalam-dalam. Baru kemudian katanya, “Aku ingin menyampaikan salam Ayahanda Raden Sutawijaya bagi Raden.”

“Ayahanda Sultan, maksudmu?” bertanya Raden Sutawijaya pula.

“Ya Raden.” jawab Untara singkat.

Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Terima kasih Untara. Aku terima salam Ayahanda dengan kedua belah tangan. Tetapi, bukankah ada hal lain yang penting yang ingin kau katakan?”

“Benar Raden,” jawab Untara ragu-ragu. Kemudian, “Tetapi nampaknya ada sesuatu yang kurang aku mengerti. Raden sudah mengatakan bahwa Raden sudah menunggu kedatanganku.”

Wajah Raden Sutawijaya nampak berkerut. Namun kemudian katanya, “Aku hanya menduga.”

“Tetapi Raden sudah yakin,” jawab Untara.

Raden Sutawijaya termangu-mangu. Dipandanginya Ki Juru sekilas. Namun agaknya Ki Juru mengerti perasaan Raden Sutawijaya, sehingga katanya, “Raden memang sudah terlanjur mengatakannya.”

“Ya Paman. Aku sudah terlanjur mengatakannya. Tetapi sebenarnya aku tidak ingin mengecewakan Untara,” jawab Raden Sutawijaya.

“Ia tidak akan kecewa Ngger,” desis Ki Juru kemudian.

Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Sambil memandangi Untara ia berkata, “Baiklah Untara. Tetapi bukan maksudku mendahului keteranganmu. Aku memang tidak sengaja mengatakannya bahwa aku sudah memperhitungkan kehadiranmu.”

Untara menjadi tegang sejenak. Sementara itu Raden Sutawijaya berkata selanjutnya, “Sebenarnyalah aku sudah mengerti apa yang telah terjadi di Pajang. Sekali lagi, bukan maksudku membuat kau kecewa. Sebenarnyalah bahwa aku justru bergembira sekali atas sikap Ayahanda, dan sikapmu yang tidak goyah. Sikap seorang prajurit Pajang yang sejati.”

“Apakah yang Raden maksud?” bertanya Untara.

“Aku sudah mengetahuinya bahwa kau telah menghadap Ayahanda dan menerima pesan langsung dari Ayahanda. Atas dasar itulah, aku memperhitungkan bahwa kau tentu akan datang kemari. Justru karena aku percaya bahwa kau tetap seorang prajurit,” berkata Raden Sutawijaya.

Wajah Untara menjadi semakin tegang. Dengan ragu-ragu pula ia bertanya, “Dari mana Raden mengetahuinya?”

Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Ia melihat ketegangan di hati Untara. Karena itu, ia harus bersikap sebaik-baiknya untuk benar-benar tidak mengecewakan tamunya.

Sejenak Raden Sutawijaya masih termangu-mangu. Namun kemudian ia pun menjawab, “Untara. Tentu bukan maksud Ayahanda Sultan Pajang untuk tidak mempercayaimu. Tetapi aku kira Ayahanda pun telah didesak oleh perasaannya. Kedatanganmu seolah-olah mengingatkan kepada Ayahanda, untuk segera berbuat sesuatu. Karena itu, maka Ayahanda Sultan telah menempuh dua jalur. Partama, Ayahanda memang sudah berpesan kepadamu, meskipun tidak jelas dan tegas. Kedua, Ayahanda telah langsung memerintahkan seorang kepercayaannya datang kepadaku, memberitahukan kehadiranmu dengan diam-diam di ruang pembaringan Ayahanda, dan pesan yang telah disampaikan oleh Ayahanda kepadamu.”

Untara menarik nafas dalam-dalam. Namun iapun kemudian mengangguk-angguk sambil berkata, “Baiklah Raden. Aku mengerti. Tetapi barangkali yang disampaikan kepada Raden jauh lebih jelas dari pesan yang diberikan oleh Kanjeng Sultan kepadaku.”

Tetapi Raden Sutawijaya menggeleng. Katanya, “Yang disampaikan kepadaku pun tidak jelas. Ayahanda hanya menyatakan bahwa kau telah menghadap. Ayahanda telah berpesan kepadamu untuk menyampaikan salamnya kepadaku. Selanjutnya Ayahanda menyatakan, bahwa Ayahanda mempercayakan hari depan dan cita-cita Ayahanda kepadaku sebagai anak angkatnya dan sekaligus muridnya, sehingga ajaran-ajaran Ayahanda akan berkembang di dalam diriku.”

Untara mengangguk-angguk kecil. Tetapi pesan itu baginya lebih jelas dari yang diterimanya. Sementara itu, Untara pun yakin bahwa Raden Sutawijaya telah dapat mengurainya dan mengambil satu kesimpulan. Karena itu, maka iapun bertanya, “Raden. Tentu Raden mengenal Ayahanda Raden jauh lebih baik dari aku mengenalnya secara pribadi. Karena itu, tentu Raden sudah dapat menangkap maksud pesan itu.”

“Untara,” jawab Raden Sutawijaya, “aku memang berusaha untuk dapat mengurai pesan itu dan menentukan satu sikap. Tetapi katakan, apa yang terbersit di dalam hatimu. Aku ingin menguji, apakah tanggapanmu dan tanggapanku mempunyai titik-titik persamaan.”

Untara memandang Raden Sutawijaya dengan tajamnya. Namun ia pun kemudian menganggap bahwa lebih baik segalanya menjadi jelas. Karena itu maka katanya, “Raden. Menurut tanggapanku, maka Kanjeng Sultan telah memilih hari depan yang paling baik bagi Pajang. Menurut pendapatku, Kanjeng Sultan tidak lagi percaya kepada seorangpun di Pajang untuk melanjutkan cita-citanya. Bahkan kepada Pangeran Benawa pun Kanjeng Sultan tidak lagi menaruh harapan, meskipun karena alasan yang lain, sementara Pangeran Benawa sendiri sama sekali tidak lagi berminat untuk berbuat sesuatu bagi Pajang. Nampaknya Kanjeng Sultan lebih mempercayai Raden dari setiap orang yang ada di Pajang sekarang ini.” Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Agaknya jalan pikiranmu sesuai dengan jalan pikiranku. Satu tugas yang sangat berat telah dibebankan di pundakku.”

“Pangeran Benawa tentu tidak akan berkeberatan,” berkata Untara kemudian.

“Ya. Akupun yakin. Tetapi akupun sadar, bahwa di samping tugas yang berat untuk menyelesaikan kemelut yang tumbuh di Pajang sekarang ini, aku harus masih menyandang satu sebutan yang sangat berat pula,” berkata Raden Sutawijaya.

“Sebutan apa Raden?” bertanya Untara.

“Jika Ayahanda benar-benar turun ke medan dengan maksud apapun, maka setiap orang tentu akan mengatakan, bahwa aku telah benar-benar memberontak terhadap Ayahanda, terhadap guru, dan terhadap rajaku,” desis Raden Sutawijaya.

Untara mengerutkan keningnya. Namun iapun mengangguk-angguk.

Sementara itu, Ki Juru yang ikut mendengarkan pembicaraan itu pun kemudian berkata, “Angger Sutawijaya. Maaf bahwa aku ingin mengatakan sesuatu. Aku kira, kehadiran Untara dan orang-orang kepercayaannya tidak akan menimbulkan akibat yang tidak kita kehendaki meskipun mereka mendengarkan sikapku.” Ki Juru berhenti sejenak, lalu, “Sebenarnya aku pun pernah mengatakan sebutan yang demikian itu kepada Angger Sutawijaya. Sebenarnyalah aku menganggap bahwa Raden Sutawijaya dapat bersikap lebih baik dari sikapnya yang tidak akan dapat dihapuskannya kembali. Jika kemudian Kanjeng Sultan Hadiwijaya mempercayakan hari depan Pajang kepada Raden Sutawijaya, maka karena Kanjeng Sultan memang sangat mencintai Raden Sutawijaya. Selebihnya, memang tidak ada orang lain yang memandang hari depan setajam pandangan Raden Sutawijaya, karena pada umumnya mereka telah dibaurkan oleh buramnya kabut pamrih dan kepentingan diri sendiri.”

Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak membantah. Ia mengerti maksud Ki Juru, karena sebenarnyalah bahwa Ki Juru pernah mengatakan kepadanya, bahwa ia telah menentang ayahandanya, gurunya dan rajanya. Tetapi pada saat itu, bahkan sampai saat terakhir, Raden Sutawijaya tidak juga mau datang ke paseban di Pajang.

Namun dalam pada itu, Untara pun kemudian bertanya, “Tetapi Ki Juru, apakah artinya bahwa Kanjeng Sultan sendiri akan turun ke medan? Aku sudah membicarakannya dengan Kiai Gringsing. Tetapi Kiai Gringsing tidak dapat memberikan pemecahan yang pasti.”

“Akupun tidak,” berkata Ki Juru, “tetapi menurut pendapatku, Kanjeng Sultan akan tetap bertindak sebagai seorang senapati dan seorang raja di saat-saat kesehatannya sudah jauh menurun. Kanjeng Sultan tetap menganggap Senapati ing Ngalaga telah melawannya. Tetapi ia memberikan restu atas perlawanan putranya yang sangat dicintainya, muridnya yang menyandang harapan di masa datang, dan salah seorang rakyatnya yang bercita-cita sebagaimana dicita-citakannya.”

Untara menarik nafas dalam-dalam. Sementara Raden Sutawijaya pun menundukkan kepalanya.

Beberapa saat mereka yang berada di pendapa itu dicengkam oleh kediaman yang beku. Masing-masing hanyut dalam arus perasaannya. Raden Sutawijaya tidak dapat mengingkari kata-kata yang diucapkan oleh Ki Juru, pemomongnya yang sangat mengasihinya itu.

Sementara itu, hati Untara pun telah bergejolak. Ia akan sangat sulit menghadapi perkembangan keadaan. Ia adalah prajurit Pajang. Jika ia tidak berpihak kepada Pajang, justru Kanjeng Sultan sendiri telah turun ke medan, maka ia tidak lebih dari seorang pengkhianat. Seorang senapati yang tidak berpegang kepada paugeran seorang prajurit. Tetapi dari Kanjeng Sultan sendiri ia mendengar, bahwa orang yang paling tepat untuk memegang kepemimpinan di masa datang bagi Pajang adalah Raden Sutawijaya.

Ternyata bahwa Untara tidak meredam kebimbangannya itu di dalam hatinya. Dengan terus terang ia mengatakannya kepada Ki Juru Martani dan Raden Sutawijaya.

“Aku tidak tahu, sikap yang manakah yang harus aku pegang,” berkata Untara kemudian.

“Untara,” berkata Ki Juru, “sulit bagiku untuk mengatakannya, karena aku berdiri di satu sisi di dalam persoalan ini. Tetapi seandainya kau mau mendengarkannya, maka aku kira kau akan dapat memilih. Kesetiaanmu kepada Pajang menurut pandangan orang kebanyakan, atau kesetiaanmu kepada jiwa yang sudah diletakkan oleh Kanjeng Sultan, yang masih harus diperjuangkan. Yang menurut katamu, yang kau dengar dari Kanjeng Sultan sendiri, hal itu telah dipercayakan kepada Raden Sutawijaya. Dengan demikian maka kau telah dihadapkan pada satu pilihan, Pajang dalam ujud kewadagannya, atau Pajang dalam ujud jiwani, meskipun akan berganti wadag. Mataram, misalnya.”

Untara menarik nafas dalam-dalam. Meskipun dengan kata-kata yang berbeda, tetapi yang dikatakan itu tidak berbeda jiwanya dengan yang telah dikatakan oleh Kiai Gringsing.

Karena itu, seolah-olah Untara telah mendapatkan pengukuhan atas sikapnya.

Dalam pada itu, Untara itupun kemudian berkata, “Baiklah Ki Juru. Aku mengerti. Aku akan mematangkan sikapku bersama para perwira. Aku yakin, bahwa aku akan bersikap yang paling baik yang dapat aku lakukan sebagai seorang prajurit.”

Raden Sutawijaya dan Ki Juru Martani mengangguk-angguk. Meskipun Untara tidak mengatakannya, tetapi keduanya sudah dapat menangkap sikap Untara, karena sikap itu sebenarnya memang telah ada di dalam diri senapati itu.

Sejenak kemudian, maka Untara pun minta diri. Ia harus segera mengadakan pembicaraan lagi dengan para perwiranya untuk memastikan sikap yang akan mereka tempuh.

Namun dalam pada itu, Untara masih juga berkata, “Raden. Pada suatu saat, Raden harus mengamati sikap orang-orang yang tinggal di kademangan-kademangan di sepanjang jalur antara Pajang dan Mataram. Apakah mereka akan dapat mengikat diri dalam satu sikap, atau mereka akan bertindak sendiri-sendiri meskipun sejalan.”

Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Ia mengerti maksud Untara, justru karena Untara seorang senapati, yang terbiasa bergerak dengan derap di bawah satu perintah.

“Baiklah Untara,” berkata Raden Sutawijaya, “aku akan mengamatinya, dan kemudian menentukan satu sikap yang paling baik bagi semua pihak.”

Demikianlah, Untara dan pengiringnya pun kemudian meninggalkan Mataram, kembali ke Jati Anom dengan sikap yang semakin mantap. Untara telah menemukan arti dari pembicaraannya dengan Kiai Gringsing, setelah ia mendengar keterangan Ki Juru Martani yang sejiwa.

Karena itu, maka di sepanjang jalan ia telah sepakat dengan para perwiranya, bahwa tidak ada lagi keragu-raguan untuk mengambil satu keputusan dan menjatuhkan perintah, meskipun semuanya itu masih harus tersamar dan khusus bagi para prajuritnya yang setia, terutama para perwira yang memegang jalur perintah.

Dalam pada itu, sepeninggal Untara maka Raden Sutawijaya pun memandang perlu untuk segera memberitahukan persoalan yang gawat itu kepada Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun setiap orang di dalam pasukan khusus masih belum perlu mendengar keterangan itu, namun para pemimpin termasuk Agung Sedayu dan Ki Gede Menoreh, perlu untuk mendengarnya, sehingga mereka dapat mengambil langkah-langkah yang perlu untuk menghadapi setiap kemungkinan.

“Dengan demikian, maka perang pasti akan pecah Paman,” berkata Raden Sutawijaya kepada Ki Juru.

Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Agaknya memang demikian. Tetapi tanpa perang agaknya keserakahan, ketamakan dan mementingkan diri sendiri di Pajang tidak akan dapat dihapuskan.”

Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Aku akan pergi ke Tanah Perdikan Menoreh, Paman.”

Seperti biasa, Ki Juru tidak menahannya jika persoalannya benar-benar gawat. Perjalanan yang demikian adalah kebiasaan Raden Sutawijaya kapanpun ia menghendaki.

Karena itu maka katanya, “Terserahlah kepada Raden. Mudah-mudahan tidak ada kesulitan di perjalanan. Demikian pula sikap orang-orang Tanah Perdikan.”

“Aku yakin,” berkata Raden Sutawijaya, “tidak akan ada kesulitan apapun di Tanah Perdikan Menoreh.”

Demikianlah, maka dengan diam-diam sebagaimana sering dilakukannya, Raden Sutawijaya seorang diri pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Ia ingin sampai di Tanah Perdikan justru setelah malam hari, sehingga tidak ada orang yang menaruh perhatian kepadanya, karena orang-orang Tanah Perdikan banyak yang telah mengenalnya.

Sementara itu, kegiatan di Tanah Perdikan Menoreh berlangsung sebagaimana biasa. Tidak ada masalah yang memerlukan sikap yang khusus. Agung Sedayu dan Sekar Mirah telah berhasil melupakan apa yang pernah terjadi atas mereka akibat perbuatan Kiai Tali Jiwa dan Mbah Kanthil. Bahkan mereka pun sama sekali tidak berniat untuk membalas dendam kepada orang yang telah menjadi sumber perbuatan itu, meskipun mereka dapat menduganya. Hubungan mereka dengan Prastawa berlangsung seperti biasa, meskipun Prastawa sendirilah yang menjadi semakin segan kepada kedua orang suami istri itu. Namun ia menganggap bahwa Agung Sedayu dan Sekar Mirah tentu tidak mengetahui bahwa ialah sumber dari perbuatan orang-orang yang telah melarikan diri dari Tanah Perdikan itu.

Karena itu, maka Prastawa pun semakin lama menjadi semakin tenang pula. Bahkan iapun kemudian berhasil bersikap seolah-olah tidak pernah terjadi apapun juga padanya dalam hubungannya dengan Agung Sedayu dan Sekar Mirah.

“Mudah-mudahan dua orang tua itu telah mati,” geram Prastawa di saat-saat kecemasannya itu menyentuh jantungnya. Tetapi tidak terlalu lama, karena sebentar kemudian ia sudah melupakannya lagi.

Dalam pada itu, dalam suasana yang nampaknya tenang, Tanah Perdikan Menoreh selalu sibuk mempersiapkan sebuah pasukan khusus di barak yang langsung ditangani oleh Mataram, tetapi juga latihan-latihan yang keras bagi anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang lain di luar barak, yang diatur oleh Agung Sedayu dan Glagah Putih.

Demikianlah, maka pada suatu ketika, seat gelapnya malam mulai turun, Raden Sutawijaya menyeberangi Kali Opak menuju ke barak pasukan khusus yang berada di Tanah Perdikan Menoreh. Seperti yang dikehendakinya, maka Raden Sutawijaya itu tidak berjumpa dengan seorangpun juga. Seandainya ada juga orang yang berada di sawah untuk membuka pematang, mengalirkan air kotak sawahnya, orang itu tidak akan terlalu menghiraukan orang yang lewat.

Karena itu, maka tidak seorang pun di antara orang-orang Tanah Perdikan Menoreh yang mengetahui bahwa Raden Sutawijaya tengah berada di Tanah Perdikannya, untuk menyampaikan pesan yang penting bagi para pemimpin dan setiap anggota pengawal dari pasukan khusus yang tengah dipersiapkan dengan masak.

Ternyata bahwa Raden Sutawijaya dapat menempuh jarak yang cukup panjang itu dengan cepat meskipun ia hanya berjalan kaki. Tetapi Raden Sutawijaya memang mempunyai kemampuan untuk berjalan lebih cepat dari kebanyakan orang.

Ketika Raden Sutawijaya sampai di regol halaman barak pasukan khusus itu, para penjaga telah menghentikannya. Dengan pendek seorang penjaga di muka regol bertanya, “Siapa?”

Ternyata Raden Sutawijaya tidak merahasiakan dirinya. Dengan pendek pula ia menjawab, “Sutawijaya, yang bergelar Senapati ing Ngalaga.”

Penjaga itu mengerutkan keningnya. Diamatinya orang yang berada di muka regol itu dengan seksama. Nyala obor minyak yang menggapai-gapai akhirnya meyakinkan penjaga itu, bahwa sebenarnyalah orang itu adalah Raden Sutawijaya.

Karena itu, maka dengan tergopoh-gopoh penjaga itu pun telah mengangguk hormat. Kemudian dengan lantang ia berkata kepada para penjaga yang ada di dalam gardu, “Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga telah datang mengunjungi barak ini.”

Para petugas di gardu terkejut. Ada di antara mereka yang menyangka bahwa penjaga itu sedang bergurau. Tetapi adalah tidak wajar, bahwa gurau itu telah menyebut Raden Sutawijaya, apalagi dalam keadaan bertugas pula.

Namun akhirnya para penjaga itu pun yakin. Sebenarnyalah, Raden Sutawijaya telah memasuki barak mereka.

Dengan tergesa-gesa para petugas itu pun berloncatan berdiri tegak, sementara Raden Sutawijaya tersenyum melihat kesigapan para pengawal dari pasukan khusus itu.

“Terima kasih,” berkata Raden Sutawijaya, “aku akan menemui Ki Lurah.”

Dua orang di antara para petugas itu pun kemudian mengantarkannya ke sebuah bilik khusus, sementara yang lain telah memberitahukan kehadiran Raden Sutawijaya itu kepada Ki Lurah Branjangan yang sudah berada di dalam biliknya.

Ki Lurah Branjangan pun terkejut. Ia pun kemudian dengan tergesa-gesa pula membenahi pakaiannya, dan sejenak kemudian, ia pun telah pergi ke bilik khusus itu pula.

Sementara itu, di rumahnya, Agung Sedayu pun dengan tergesa-gesa pergi ke pintu rumahnya yang sudah tertutup ketika ia mendengar ketukan lembut. Sementara itu Sekar Mirah yang juga belum tidur berdiri beberapa langkah sambil memandangi pintu, yang kemudian dengan perlahan-lahan dibuka oleh Agung Sedayu.

Betapa terkejut kedua orang suami istri itu. Yang muncul dari balik pintu adalah orang yang sudah mereka kenal dengan baik. Pangeran Benawa.

“Pangeran,” desis Agung Sedayu.

Pangeran Benawa tersenyum. Katanya, “Apakah aku boleh masuk?”

“Silahkan, silahkan Pangeran,” jawab Agung Sedayu.

Pangeran Benawa pun kemudian duduk di ruang tengah, di sebuah amben yang besar bersama Agung Sedayu. Sementara Sekar Mirah pergi ke dapur untuk merebus air.

“Malam ini aku tidak berkeberatan jika aku mendapat air jahe panas,” berkata Pangeran Benawa sambil tertawa.

“Baik Pangeran,” jawab Sekar Mirah, “aku akan menghidangkannya.”

“Terima kasih. Dinginnya udara malam ini,” desis Pangeran Benawa kemudian.

Sementara Sekar Mirah merebus air, Pangeran Benawa bertanya pula, “Apakah kalian memang hanya berdua saja tinggal di sini?”

“Tidak Pangeran. Kami berempat di rumah ini. Kami berdua, Glagah Putih dan seorang anak tetangga yang membantu membersihkan halaman. Masih sangat muda,” jawab Agung Sedayu.

“Dimana mereka?” bertanya Pangeran Benawa.

“Glagah Putih berada di antara anak-anak muda Tanah Perdikan. Tetapi kadang-kadang bersama dengan anak-anak muda pula, ia menangkap ikan di sungai. Sementara anak tetangga itu pun biasanya berada di sungai sejak matahari terbenam,” jawab Agung Sedayu.

“Juga mencari ikan?” bertanya Pangeran Benawa pula.

“Ya. Dengan membuka pliridan. Tetapi jarang sekali ia mendapat ikan yang cukup. Biasanya ia hanya membawa sebungkus kecil ikan untuk memberi makan seekor kucing,” jawab Agung Sedayu pula.

Pangeran Benawa tertawa pula. Kemudian katanya, “Rasa-rasanya Tanah Perdikan ini masih selalu tenang.”

Agung Sedayu tersenyum sambil mengangguk-angguk. Namun sebenarnyalah terasa bahwa kata-kata Pangeran Benawa itu mengandung arti tersendiri. Rasa-rasanya di luar Tanah Perdikan ini ketenangan telah terganggu,

Agung Sedayu yang mempunyai ketajaman pengamatan itu pun menangkap pengertian, bahwa Pangeran Benawa tentu melihat satu suasana yang semakin kalut di Pajang.

Dalam pada itu, Agung Sedayu itu pun kemudian bertanya, “Pangeran. Meskipun aku sudah terlalu sering bertemu, melihat atau mendengar Pangeran selalu menempuh satu perjalanan, ada atau tidak ada kepentingan yang mendesak, namun perkenankanlah aku bertanya, apakah kali ini Pangeran mempunyai satu kepentingan atau sekedar singgah dari sebuah perjalanan, atau Pangeran ingin menunjukkan lagi kepadaku, sesuatu yang akan sangat berarti bagiku, seperti khasiat air di dalam goa di bawah pohon raksasa yang telah mati itu?”

Pangeran Benawa tersenyum. Katanya, “Aku sedang menunggu air jahe hangat dengan segumpal gula kelapa atau gula aren.”

Agung Sedayu pun tersenyum pula. Tetapi sebelum ia menjawab, terdengar desir kaki Sekar Mirah mendekat, di ruang belakang.

“Aku memang menunggu istrimu,” berkata Pangeran Benawa kemudian. Lalu, “Biarlah ia turut mendengarkan. Ada sesuatu yang ingin aku ceritakan kepadamu.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Sementara itu Sekar Mirah telah mempersiapkan mangkuk dan gula kelapa di ruang belakang. Namun denting mangkuknya telah terdengar dari ruang tengah.

“Istrimu memang orang luar biasa,” desis Pangeran Benawa perlahan-lahan, “ia seorang yang mumpuni di antara mereka yang berada di dalam dunia olah kanuragan. Tetapi ia juga seorang istri yang baik dan mengerti tugasnya sebagai seorang perempuan.”

Agung Sedayu hanya tersenyum saja.

Sejenak kemudian, maka Sekar Mirah pun telah datang sambil menjinjing nampan, untuk menghidangkan minuman panas. Air jahe dengan beberapa potong gula kelapa.

“Gula kelapa, Pangeran,” berkata Agung Sedayu, “bukan gula aren.”

“Sama saja,” jawab Pangeran Benawa sambil tersenyum pula. Lalu katanya, “Nah, setelah air masak, kau duduk pula di sini Sekar Mirah.”

Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Namun ia pun kemudian duduk pula di samping suaminya.

Agung Sedayu mempersilahkan Pangeran Benawa untuk minum. Namun Pangeran itu menjawab, “Masih sangat panas. Nanti sajalah. Biarlah aku bercerita sambil menunggu air itu agak dingin.”

Agung Sedayu memang ingin segera mendengarnya. Karena itu maka jawabnya, “Silahkan Pangeran. Agaknya cerita Pangeran memang sangat menarik.”

Pangeran Benawa menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Sesuatu yang penting memang sedang terjadi. Ayahanda Sultan telah mengambil satu keputusan.”

Wajah Agung Sedayu dan Sekar Mirah telah menegang. Dengan nada datar Agung Sedayu bertanya, “Keputusan tentang apa?”

Pangeran Benawa memandang Agung Sedayu dan Sekar Mirah berganti-ganti. Kemudian katanya, “Untara telah menghadap Ayahanda langsung.”

“Kakang Untara?” bertanya Agung Sedayu.

“Ya. Dengan cara yang sangat khusus. Untara tidak mendapat kesempatan menghadap Ayahanda dengan cara yang wajar. Dengan berbagai macam alasan, maka permohonan Untara untuk menghadap selalu ditolak. Tentu saja di luar pengetahuan Ayahanda sendiri. Orang-orang yang berada di seputar Ayahanda memang telah melakukannya,” berkata Pangeran Benawa kemudian. Lalu, “Namun agaknya Untara tidak berputus asa. Ia mempunyai cara tersendiri untuk menghadap. Ia berhasil menembus para penjaga dan para peronda. Akhirnya ia mendapat kesempatan untuk langsung berbicara kepada Ayahanda.”

“Apakah Kakang Untara telah mengatakannya kepada Pangeran?” bertanya Agung Sedayu.

“Aku belum bertemu dengan Untara. Tetapi aku melihat Untara memasuki halaman istana dengan diam-diam. Dengan memanjat dinding ia menyusup di antara para penjaga,” berkata Pangeran Benawa, “namun aku sudah menduga apa yang akan dilakukannya. Karena itu, aku biarkan saja ia memasuki bilik Ayahanda.”

“Satu pekerjaan yang sangat berbahaya,” gumam Agung Sedayu.

“Ya. Tetapi rasa-rasanya aku mempunyai kewajiban untuk melindunginya. Untunglah bahwa Untara berhasil melakukan rencananya itu dengan selamat,” sambung Pangeran Benawa. Lalu, “Di keesokan harinya aku menghadap Ayahanda. Aku berkata terus terang bahwa aku melihat Untara memasuki bilik Ayahanda. Aku memang tidak berbuat apa-apa, karena aku yakin bahwa Untara tidak akan berkhianat dan melakukan satu tindakan yang dapat membahayakan Ayahanda.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk, sementara Sekar Mirah mendengarkannya dengan tegang.

“Dari Ayahanda aku mendengar, bahwa Ayahanda telah mengatakan kepada Untara, bahwa saatnya hampir tiba. Dan Ayahanda sendiri akan turun ke medan untuk melawan Mataram,” berkata Pangeran Benawa selanjutnya. “Jadi ayahanda Pangeran akan langsung menghadapi Raden Sutawijaya jika terjadi perang?” bertanya Agung Sedayu dengan cemas.

“Ya. Tetapi Ayahanda juga berpesan kepada Untara, untuk menyampaikan salam Ayahanda kepada Kakangmas Senapati ing Ngalaga. Bahkan Ayahanda telah mengatakan, tidak ada orang lain yang akan dapat melanjutkan cita-citanya selain Kakangmas Senapati ing Ngalaga,” Pangeran Benawa melanjutkan.

Agung Sedayu dan Sekar Mirah menjadi termangu-mangu. Dengan ragu-ragu Agung Sedayu bertanya, “Apakah maksud ayahanda Pangeran?”

“Sudah jelas,” berkata Pangeran Benawa, “Kakangmas Senapati ing Ngalaga adalah murid Ayahanda yang paling dipercaya. Putra yang sangat dikasihinya seperti putranya sendiri, dan seorang di antara rakyatnya yang mengerti jangkauan masa depan seperti yang dikehendaki oleh Ayahanda.”

Agung Sedayu dan Sekar Mirah termangu-mangu. Ia seolah-olah melihat dua arti yang saling bertentangan dari sikap Kanjeng Sultan.

Pangeran Benawa yang melihat keragu-raguan itu di sorot mata Agung Sedayu berkata, “Kau harus dapat melihat ke kedalaman sikap Ayahanda. Kau jangan membaca sikap Ayahanda dari gelar kewadagannya. Bukan sekedar melihat Ayahanda yang akan turun ke medan.”

Agung Sedayu dan Sekar Mirah mengangguk-angguk kecil. Mereka mengerti maksud Pangeran Benawa, sehingga mereka dapat serba sedikit menangkap arti sikap Kanjeng Sultan.

Dalam pada itu, Pangeran Benawa itu pun berkata, “Nah, barangkali minumanmu itu sudah agak dingin Sekar Mirah.”

“O,” Sekar Mirah tergagap karena tiba-tiba saja Pangeran Benawa berkisar dari pokok pembicaraannya. Lalu, “Silahkan Pangeran.”

Pangeran Benawa pun kemudian menggapai mangkok yang masih hangat.

Dalam pada itu, di saat yang sama di barak pasukan khusus yang dibentuk oleh Mataram di Tanah Perdikan Menoreh. Raden Sutawijaya sedang berbincang dengan Ki Lurah Branjangan. Dengan sungguh-sungguh keduanya berbicara tentang kemungkinan-kemungkinan yang dapat terjadi.

“Pasukan ini harus siap dalam waktu beberapa hari saja,” berkata Raden Sutawijaya.

“Ya Raden,” jawab Ki Lurah. “Selebihnya, apakah pasukan ini akan segera dipindahkan?”

“Mereka harus bersiap berangkat ke medan,” berkata Raden Sutawijaya, “yang penting adalah kesiapan jiwani. Secara wadag nampaknya pasukan ini sudah cukup. Mereka sudah memiliki kemampuan yang pantas bagi sebuah pasukan khusus. Di hari-hari terakhir Ki Lurah sudah bekerja keras, sehingga mereka telah menempatkan diri pada tataran pasukan khusus Pajang. Sesuai dengan laporan Ki Lurah itu, maka yang penting kemudian adalah menempa mereka, sehingga dengan sikap seorang pengawal dari pasukan khusus secara jiwani, mereka akan berada di peperangan yang benar-benar akan pecah.”

Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Jawabnya, “Baiklah Raden. Sejak malam ini mereka akan kami arahkan. Kami para pembimbing di sini akan bekerja keras agar mereka dalam satu dua hari siap untuk berada di medan.”

“Setiap saat mereka akan bergerak,” berkata Raden Sutawijaya, “sementara ini aku masih harus menterjemahkan sikap Pajang dengan sebaik-baiknya. Beberapa orang yang berada di Pajang, kadang-kadang sulit untuk mendapat keterangan tentang perkembangan yang tidak terduga-duga seperti yang dilakukan Untara itu. Seandainya Ayahanda tidak dengan kebesaran jiwa memerintahkan seseorang menghubungi aku, maka aku sudah tertinggal selangkah. Jika tiba-tiba saja aku bertemu dengan Ayahanda di peperangan, maka aku tidak mempunyai kesempatan untuk bersiap secara jiwani.”

Ki Lurah Branjangan mengangguk-angguk. Katanya, “Segalanya akan kami siapkan sebaik-baiknya Raden.”

“Besok aku akan melihat, apa yang dapat dilakukan oleh pasukan khusus ini.”

“Silahkan Raden, besok Raden akan dapat bertemu pula dengan Agung Sedayu dan Sekar Mirah,” berkata Ki Lurah Branjangan.

Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Ia masih mengadakan beberapa pembicaraan berikutnya dengan Ki Lurah Branjangan sampai larut malam. Sementara Pangeran Benawa masih juga berbincang dengan Agung Sedayu dan Sekar Mirah, sambil meneguk air jahe dengan gula kelapa.

Ternyata bukan hanya mereka sajalah yang sedang berbicara malam itu tentang perkembangan hubungan antara Pajang dan Mataram.

Di Sangkal Putung, Kiai Gringsing pun mulai mengarahkan sikap Swandaru atas perkembangan keadaan. Meskipun Kiai Gringsing agak ragu-ragu atas tanggapan Swandaru, tetapi ia harus mengatakannya. Jika benar-benar perang terjadi, maka Sangkal Putung tentu akan mengalaminya pula.

Swandaru yang duduk bersama Pandan Wangi dan Ki Demang Sangkal Putung mendengarkan keterangan Kiai Gringsing mengenai perkembangan keadaan terakhir dengan saksama. Meskipun Kiai Gringsing tidak dengan sepenuhnya mengatakan apa yang diketahuinya, tetapi sedikit demi sedikit dengan berhati-hati, karena ia mengerti sifat muridnya, namun Swandaru, Pandan Wangi dan Ki Demang pun telah dapat membayangkan apa yang akan terjadi.

“Kita harus memperhatikan kademangan ini,” geram Swandaru.

“Kita akan menyesuaikan diri dengan rencana Raden Sutawijaya dalam keseluruhan,” berkata Kiai Gringsing.

“Ya. Tetapi yang paling berkewajiban memperhatikan kademangan kita, adalah kita sendiri. Pada saat Tohpati berada di hadapan hidung kita, maka kita jugalah yang harus berjuang untuk mempertahankan kademangan yang subur ini dari terkaman Macan Kepatihan itu,” berkata Swandaru dengan lantang.

“Tetapi pada saat itu Ki Widura, dan kemudian Untara, berada di kademangan ini dengan pasukannya,” berkata Kiai Gringsing.

“Kekuatan mereka tidak seberapa pada waktu itu,” jawab Swandaru, “jika kita sendiri tidak mempertaruhkan apa saja yang kita punyai pada waktu itu, maka pasukan Pajang tidak akan dapat berbuat apa-apa.”

“Itulah yang disebut bekerja bersama,” berkata Kiai Gringsing, “pasukan Pajang saja mungkin memang tidak akan dapat bertahan menghadapi kekuatan Tohpati yang kehilangan sasaran perjuangannya, sehingga mereka seolah-olah telah bertempur asal saja tanpa tujuan. Tetapi sebaliknya, para pengawal kademangan ini saja juga tidak akan mampu melakukannya sendiri pada waktu itu.”

Swandaru mengerutkan keningnya, sementara Ki Demang-lah yang menjawab, “Benar, Kiai. Kita pada waktu itu memang bertempur bersama-sama. Saling membantu.”

Swandaru menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian katanya, “Kita akan menyesuaikan dengan rencana besar Raden Sutawijaya, berlandaskan kepentingan kita sendiri.”

Kiai Gringsing mengangguk-angguk. Dipandanginya mata Swandaru yang memancarkan ketegangan hatinya. Namun dalam pada itu, Kiai Gringsing itu pun berkata, “Baik Swandaru. Tetapi aku condong mengatakan, kita akan memperhatikan kepentingan kita di sini, disesuaikan dengan rencana besar Raden Sutawijaya. Adalah wajar jika yang besar itulah yang akan mencakup bagian-bagiannya dengan keseimbangan yang wajar pula.”

Swandaru tidak menjawab. Tetapi Ki Demang Sangkal Putung mengangguk-angguk sambil berdesis, “Ya. Kami di sini harus mengerti.”

Kiai Gringsing pun tidak segera menyahut. Dengan demikian maka merekapun untuk sejenak saling berdiam diri. Tetapi ternyata bahwa di dalam dada, mereka masing-masing telah menekan gejolak debar jantung mereka.

Namun dalam pada itu, saat itu merupakan permulaan dari persiapan sungguh-sungguh Mataram untuk menghadapi Pajang. Raden Sutawijaya di barak pasukan khusus beberapa kali menjelaskan kepada Ki Lurah, meskipun Ayahandanya akan turun ke medan, tetapi jika ia mengerahkan kekuatan, bukan berarti bahwa ia akan melawan Ayahandanya. Karena sebenarnyalah Raden Sutawijaya tahu, sesuai dengan pesan yang diterimanya, Ayahandanya telah memberikan restu atas perkembangan Mataram selanjutnya.

Di Tanah Perdikan Menoreh, Pangeran Benawa masih menghirup minuman hangat yang dihidangkan oleh Sekar Mirah. Namun beberapa saat kemudian, ia pun minta diri meninggalkan Tanah Perdikan.

“Apakah Pangeran tidak akan bermalam?” bertanya Agung Sedayu.

Pangeran Benawa tersenyum. Katanya, “Aku lebih senang berjalan di malam hari. Udara terasa segar, sementara jalan-jalan sudah menjadi lengang. Rasa-rasanya perjalanan menjadi tenang. Jika langit bersih, aku sempat pula melihat gemerlapnya bintang yang bergayutan di langit.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia sadar, bahwa ia tidak akan dapat menahan Pangeran Benawa. Apa yang ingin dilakukan, akan dilakukannya.

Demikian juga saat itu. Pangeran Benawa pun benar-benar meninggalkan rumah Agung Sedayu. Tetapi di regol ia masih berpesan, “Kakangmas Sutawijaya sudah mengetahui hal ini. Ia tentu akan segera menghubungi pasukan khususnya. Dan kau pun akan mendengar untuk kedua kalinya.”

“Apakah Pangeran Benawa tahu sikap Raden Sutawijaya?” bertanya Agung Sedayu.

“Aku tidak tahu pasti. Tetapi menurut perhitunganku, Kakangmas akan mengemban tugas yang dibebankan kepadanya. Menyongsong hari depan sebagaimana dicita-citakan oleh Ayahanda,” jawab Pangeran Benawa.

“Dan perang itu akan terjadi seperti perang-perang yang pernah terjadi. Perang di antara kita. Perang di antara saudara sendiri,” desis Agung Sedayu.

Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Namun kemudian katanya, “Memang menyedihkan. Sekat-sekat kehidupan pemerintahan di tanah ini harus ditandai dengan darah. Tetapi aku yakin, bahwa pada suatu saat kita akan lebih banyak mempergunakan dasar-dasar pertimbangan nalar daripada membiarkan perasaan kita bergejolak. Kita akan lebih banyak mengurai dan memperhitungkan langkah-langkah kita dalam satu musyawarah. Jika kita masih tetap berpegang kepada alas tempat kita berpijak menurut kepentingan masing-masing tanpa mengingat kehidupan kita dalam satu lingkungan keluarga besar, maka kita tentu masih akan selalu tergelincir ke dalam satu pertentangan ke pertentangan yang lain.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Dengan nada dalam ia berkata, “Adakah kemungkinan Pajang sekarang ini untuk lebih banyak berbincang daripada mempersiapkan kekuatan dan senjata?”

Terdengar desah nafas Pangeran Benawa. Sambil menggeleng ia berkata, “Aku tidak melihat kemungkinan itu. Agaknya keadaan sudah menjadi semakin parah. Ketamakan dan nafsu untuk memanjakan diri sendiri sudah demikian besarnya.”

Agung Sedayu menahan dirinya ketika satu dorongan keinginannya hampir saja mengucapkan satu pertanyaan, apakah yang dimaksud oleh Pangeran Benawa itu termasuk Ayahanda Pangeran itu sendiri.

Tetapi di luar dugaan, meskipun ia tidak mengucapkan pertanyaan itu, Pangeran Benawa berkata, “Aku menyesal, bahwa Ayahanda pun telah terdorong untuk melakukannya. Kecintaanku kepada ibundaku telah membuat aku kehilangan gairah seorang Pangeran. Akupun telah melakukan satu kesalahan yang besar, karena aku tidak berjuang untuk mencegah kemunduran yang kini menyelubungi Pajang. Sementara pada saat terakhir, Pamanda Ki Gede Pemanahan telah terlepas pula dari kendali nalarnya saat ia meninggalkan Pajang, karena ia menganggap Ayahanda Sultan tidak akan memenuhi janjinya. Sikap itulah yang menjadi dasar sikap Kakangmas Raden Sutawijaya, yang juga lebih banyak dikuasai oleh perasaannya. Ia merasa terhina ketika para pemimpin di Pajang menganggap bahwa ia tidak akan berhasil membuka Mataram, sehingga ia bersumpah untuk tidak lagi menginjak paseban di Pajang, sebelum Mataram bangkit menjadi satu negeri yang ramai. Ternyata bahwa kebangkitan Mataram telah menumbuhkan persoalan yang semakin berlarut-larut di Pajang.” Pangeran Benawa berhenti sejenak, lalu, “Ah, mungkin penilaianku salah. Aku memang tidak banyak mengetahui. Tetapi rasa-rasanya perang memang tidak akan dapat dihindari.”

“Jika perang itu terjadi, dimana Pangeran akan berdiri?” tiba-tiba saja Agung Sedayu bertanya.

Pangeran Benawa terkejut mendengar pertanyaan yang tidak diduganya itu. Karena itu untuk beberapa saat ia justru berdiam diri sambil memandangi wajah Agung Sedayu dalam kesuraman malam.

Baru sejenak kemudian Pangeran Benawa berkata, “Aku adalah seorang yang tidak memiliki landasan berpijak. Aku adalah orang yang paling buruk dari semua orang yang cacat itu.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya, “Aku mohon maaf Pangeran. Mungkin pertanyaanku tidak Pangeran kehendaki.”

“Tidak. Bukan begitu,” jawab Pangeran Benawa. “Aku berkata sebenarnya. Aku adalah orang yang seakan-akan tidak harus mengikuti ikatan yang mana pun juga. Sudah aku katakan, bahwa aku telah melakukan satu kesalahan yang sangat besar. Aku tidak berbuat sesuatu untuk mencegah kemunduran yang akhirnya menyeret Pajang ke dalam jurang keruntuhan, karena aku terlalu condong kepada perasaanku. Perasaan seorang anak yang sangat mencintai ibunya.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia tidak menyahut.

Dalam pada itu, maka Pangeran Benawa itupun berkata, “Sudahlah Agung Sedayu. Aku hanya ingin menyampaikan kabar itu kepadamu, meskipun kau akan mendengarnya juga. Agak berbeda dengan Kakangmas Senapati ing Ngalaga, bahwa ia mempunyai sasaran untuk menyampaikan perintahnya, maka aku hanya ingin sekedar mengatakan hal ini kepadamu. Ada yang mendesak untuk mengatakan kepada seseorang. Karena aku tidak mengenal orang lain yang pantas aku beritahu, maka aku telah datang kepadamu.”

“Terima kasih Pangeran,” jawab Agung Sedayu, “berita ini sangat bermanfaat bagiku. Dengan demikian aku dapat mempersiapkan diri untuk menghadapi tugas yang tentu akan sangat berat.”

Pangeran Benawa mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Aku sudah terlalu lama berdiri di sini. Di dalam aku sudah menghabiskan beberapa mangkuk air jahe hangat. Aku minta diri.”

Agung Sedayu tersenyum. Jawabnya, “Sebenarnya aku ingin mempersilahkan Pangeran untuk tinggal lebih lama lagi.”

“Lain kali aku akan datang lagi,” berkata Pangeran Benawa.

Sebenarnyalah bahwa Pangeran Benawa pun meninggalkan rumah Agung Sedayu. Sejenak kemudian bayangan tubuhnya telah hilang ditelan gelapnya malam.

Agung Sedayu termangu-mangu. Namun kemudian ia pun telah melangkah masuk kembali ke dalam rumahnya.

Untuk beberapa saat Agung Sedayu dan Sekar Mirah masih berbincang. Mereka memang sudah memperhitungkan, bahwa saat-saat yang demikian itu tidak akan lama lagi terjadi. Orang-orang Pajang melihat perkembangan Mataram sebagai bertumbuhnya seekor harimau di halaman rumahnya. Mereka menganggap bahwa lebih baik membunuh harimau itu selagi belum menjadi dewasa, sebelum taring dan kuku-kukunya tumbuh dan menjadi tajam.

“Raden Sutawijaya tentu akan segera memberikan perintah kepada pasukan khusus,” berkata Sekar Mirah.

“Ya. Mungkin besok kita sudah dapat melihat perkembangan keadaan itu di barak pasukan khusus,” jawab Agung Sedayu.

“Tetapi apakah Raden Sutawijaya akan menarik pasukan itu ke Mataram segera?” bertanya Sekar Mirah.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sambil menggeleng ia menjawab, “Aku tidak tahu, Mirah. Tetapi jika terjadi demikian, maka kita pun harus meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh.”

“Apaboleh buat,” jawab Sekar Mirah, “bahkan mungkin kita harus berada di Sangkal Putung. Aku kira kekuatan yang dapat dipercaya di paling depan bagi Mataram adalah Kademangan Sangkal Putung, yang sudah mempunyai pengalaman melawan pasukan Macan Kepatihan.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ia berkata, “Sangkal Putung memang mempunyai pengalaman. Tetapi menghadapi Tohpati yang bergelar Macan Kepatihan dengan pasukan Pajang sekarang ini, jauh berbeda. Pasukan Tohpati adalah pasukan yang sudah terpecah-belah. Dengan kekuatan yang jumlahnya tidak terlalu besar serta landasan yang rapuh.”

“Apa kelebihan pasukan Pajang sekarang dari pasukan Tohpati?” bertanya Sekar Mirah.

“Pasukan Pajang adalah pasukan yang utuh. Pasukan yang kuat dan jumlahnya terlalu banyak untuk dilawan oleh Sangkal Putung. Apalagi Pajang menyiapkan sebuah pasukan khusus di bawah Ki Tumenggung Prabadaru,” jawab Agung Sedayu. Lalu, “Selebihnya, kekuatan Pajang akan didukung oleh kekuatan para adipati dari berbagai daerah. Mungkin ada di antara mereka yang sudah dapat melihat kelemahan pimpinan Pajang sekarang, sehingga mereka lebih baik untuk tidak terlibat dalam benturan antara Pajang dan Mataram. Bahkan mungkin ada yang akan mempergunakan kesempatan ini untuk kepentingan mereka sendiri. Jika Pajang dan Mataram hancur, maka mereka akan dapat tegak bukan sebagai seorang adipati yang tunduk kepada seorang raja, tetapi mereka dapat mengangkat diri mereka sendiri menjadi seorang raja pula. Tetapi tentu ada pula yang karena kesetiaannya sama sekali tidak mengetahui, apa yang sebenarnya telah terjadi dan berkembang di Pajang.”

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Namun demikian ia bertanya, “Meskipun kekuatan Pajang berlimpah, tetapi Mataram dapat juga menempatkan kekuatannya di Sangkal Putung. Dengan demikian maka Mataram akan menahan pasukan Pajang sebelum mereka memasuki Kademangan Sangkal Putung yang subur, yang diharapkan oleh Tohpati pada saat ia masih memimpin pasukannya untuk menjadi landasan perbekalan.”

“Aku kurang tahu Mirah. Tetapi segala perhitungan tentu akan dibuat oleh Raden Sutawijaya. Kita akan melakukan tugas sebaik-baiknya sesuai dengan keputusan Raden Sutawijaya.” Agung Sedayu berhenti sejenak, lalu, “Tetapi kita akan dapat melihat pula sikap Kakang Untara.”

“Bagaimana sikap Kakang Untara?” bertanya Sekar Mirah.

“Menilik keterangan Pangeran Benawa, Kakang Untara dapat melihat kenyataan yang berkembang di Pajang. Mudah-mudahan kita dapat mengharapkannya,” jawab Agung Sedayu.

Sekar Mirah mengangguk-angguk. Namun segalanya masih harus diyakinkan. Sebenarnyalah untuk mengambil satu sikap, diperlukan perhitungan dan pertimbangan yang masak.

Karena itu, maka Agung Sedayu berkata, “Mudah-mudahan besok kita dapat mendengarnya pula di barak, apa yang sudah berkembang di Mataram sekarang ini”

Sekar Mirah tidak bertanya lagi. Ia pun sependapat, bahwa besok mudah-mudahan mereka akan mendengar hal yang baru saja dikatakan oleh Pangeran Benawa, menurut sudut pandangan Mataram.

Namun dalam pada itu, selagi keduanya bangkit dari tempat duduk mereka, sementara Sekar Mirah mengangkat mangkuk-mangkuk untuk di bawa keruang belakang, terdengar pintu butulan diketuk perlahan-lahan.

“Siapa?” bertanya Agung Sedayu.

“Aku Kakang,” terdengar jawaban.

Agung Sedayu dan Sekar Mirah mengenal suara itu. Suara Glagah Putih. Sehingga karena itu, maka Agung Sedayu pun melangkah ke pintu butulan dan membukanya.

“Aku mendapat seekor pelus,” desis Glagah Putih sebelum ia melangkah masuk.

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dilihatnya Glagah Putih membawa seekor pelus yang cukup besar. Sementara anak laki-laki pembantu di rumah itu berdiri termangu-mangu di belakangnya.

“Kau dapat apa?” bertanya Agung Sedayu kepada anak itu.

“Malam ini aku pun mendapat serenteng ikan lele,” jawab anak itu dengan bangga.

Agung Sedayu tersenyum. Kemudian katanya, “Masuklah.”

“Nampaknya Kakang belum tidur,” desis Glagah Putih.

“Belum. Baru sekarang aku mulai mengantuk,” berkata Agung Sedayu.

“Tidurlah. Aku akan membersihkan ikan pelus ini,” berkata Glagah Putih.

“Aku juga akan membersihkan serenteng ikan lele ini,” berkata anak laki-laki pembantu rumah itu.

Sementara itu Sekar Mirah pun datang pula. Dilihatnya seekor ikan pelus yang besar dan cukup panjang, sementara pembantunya yang nakal itu membawa serenteng ikan lele.

“Jadi kau tidak berada di gardu malam ini Glagah Putih?” bertanya Sekar Mirah.

“Aku berada di gardu bersama anak-anak muda Tanah Perdikan. Tetapi ketika aku akan pulang, aku telah diajak menangkap pelus. Ada tiga ekor pelus yang tertangkap malam ini di bendungan. Aku mendapat seekor di antaranya. Dan ini bukan yang terbesar dari tiga ekor yang dapat kami tangkap,” berkata Glagah Putih.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi katanya, “Bersihkan ikan-ikan itu. Aku akan tidur. Jangan lupa menyelarak pintu jika kau sudah selesai. Biar besok Mbakayumu memasak urip-urip yang tidak terlalu pedas.”

Demikianlah, ketika Agung Sedayu dan Sekar Mirah pergi ke bilik mereka, Glagah Putih dan pembantu yang nakal itu justru membawa sebuah lampu minyak ke sumur untuk membersihkan ikan yang mereka tangkap.

“Bagaimanapun juga, Glagah Putih tidak dapat melepaskan diri dari sifat-sifat anak-anak muda kebanyakan,” berkata Agung Sedayu.

“Umurnya memang masih sangat muda,” sahut Sekar Mirah.

“Biarlah jiwanya berkembang secara wajar, meskipun ia sudah memiliki landasan ilmu kanuragan yang cukup,” desis Agung Sedayu kemudian.

Sebenarnyalah, Glagah Putih di Tanah Perdikan Menoreh justru mendapat kawan bukan saja dalam kewajiban mereka terhadap Tanah Perdikan, tetapi juga kawan bermain-main yang baik. Dalam saat-saat tertentu Glagah Putih merupakan seorang pembimbing dalam olah kanuragan. Namun jika mereka sudah berbaur dalam lingkungan anak-anak muda, maka tidak ada batas lagi antara Glagah Putih dan anak-anak muda di Tanah Perdikan. Juga di saat-saat mereka berada di sungai atau di hutan kecil untuk berburu kijang.

Demikianlah, di larut malam itu Glagah Putih masih saja sibuk dengan ikan pelusnya. Baru setelah ikan pelus dan ikan-ikan lele itu bersih, mereka pun masuk ke ruang dalam lewat pintu butulan. Pembantu rumah itu pun kemudian menyelarak pintu dan meletakkan ikan yang sudah bersih itu di ruang belakang, di dalam sebuah belanga yang ditutup rapat, agar tidak dicuri kucing.

Di keesokan harinya, Sekar Mirah bangun pagi-pagi untuk memasak ikan-ikan itu. Baru kemudian, maka bersama Agung Sedayu, keduanya pergi ke barak sebagaimana biasa. Keduanya terkejut ketika di sebuah bilik khusus di dalam barak itu yang disediakan bagi para perwira dan pembimbing, Raden Sutawijaya sudah menunggu. Demikian mereka datang, maka Raden Sutawijaya itu pun telah mempersilahkan keduanya untuk duduk bersama para perwira Mataram yang ada di barak itu.

“Kapan Raden datang ke barak ini?” bertanya Agung Sedayu.

“Malam tadi,” jawab Raden Sutawijaya.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Agaknya Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa telah bersama-sama datang ke Tanah Perdikan Menoreh, meskipun mereka tidak berjanji. Tetapi agaknya merekapun tidak saling bertemu, karena arah mereka yang berbeda. Raden Sutawijaya langsung pergi ke barak pasukan khusus, sedangkan Pangeran Benawa pergi ke rumah Agung Sedayu.

Ketika Agung Sedayu dan Sekar Mirah telah duduk di antara mereka, maka Raden Sutawijaya pun berkata, “Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan dengan kalian semuanya yang bertanggung jawab atas pasukan khusus ini.”

Agung Sedayu dan Sekar Mirah saling berpandangan sejenak. Mereka sudah dapat menduga, apa yang akan dikatakan oleh Raden Sutawijaya. Tetapi keduanya sama sekali tidak memberikan kesan, bahwa mereka sudah mendengar persoalan yang akan di sampaikan oleh Raden Sutawijaya. Mungkin memang ada beberapa perbedaan, karena sudut pandangan yang berbeda antara Raden Sutawijaya dan Pangeran Benawa. Tetapi mungkin karena keduanya mengatakan apa yang ada, maka keterangan mereka pun akan sama.

Demikian, maka para perwira dan para pembimbing pasukan khusus itu pun mendengarkan penjelasan Raden Sutawijaya yang diberikan secara singkat pada pokok-pokok persoalannya saja.

Ki Lurah Branjangan yang telah banyak mendengar penjelasan Raden Sutawijaya semalam, mengangguk-angguk dengan kerut-merut di dahinya. Sementara itu perwira-perwira yang lain pun mendengarkannya dengan sungguh-sungguh.

Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Sekar Mirah pun kadang-kadang saling berpandangan. Memang tidak ada bedanya dengan keterangan yang diberikan oleh Pangeran Benawa. Meskipun ada beberapa tanggapan yang agak lain, tetapi pada dasarnya yang mereka katakan adalah sama.

“Jika Untara tidak mengambil jalan khusus untuk menghadap Ayahanda, maka aku kira persoalannya tidak segera menjadi jelas bagi kita,” berkata Raden Sutawijaya kemudian, “apalagi jika tiba-tiba saja kita melihat satu kenyataan bahwa Ayahanda Kanjeng Sultan ternyata berada di medan.”

Para perwira mengangguk-angguk. Sementara itu, Agung Sedayu dan Sekar Mirah menjadi semakin jelas, bahwa Untara agaknya telah menyatakan sikapnya pula.

Dengan sikap Untara itu, maka ternyata Kanjeng Sultan telah memberikan pesan khusus kepada Raden Sutawijaya, sehingga Raden Sutawijaya pun dapat menentukan sikap pula.

“Jadi tegasnya,” bertanya seorang perwira, “kita akan menghadapi Pajang di garis perang?”

“Ya,” jawab Raden Sutawijaya, “dengan seluruh kekuatan yang ada pada kita.”

“Lalu, bagaimana sikap kita terhadap Kanjeng Sultan di peperangan itu? Apakah kita akan mengaggapnya sebagai lawan?” bertanya seorang perwira yang lain pula.

“Tidak,” jawab Raden Sutawijaya, “kita akan membiarkan saja Ayahanda yang akan turun ke medan. Apapun yang akan dilakukannya, kita tidak akan menghiraukannya. Kita akan menghadapi setiap prajurit Pajang.”

“Jika Kanjeng Sultan memberikan perintahnya kepada Raden? Misalnya untuk menyerah?” bertanya yang lain pula.

“Aku akan bersikap seolah-olah aku tidak bertemu dengan Ayahanda. Seolah-olah Ayahanda tidak ada di medan. Aku percaya kepada pesan yang diberikan sebelumnya lewat utusan khususnya,” jawab Raden Sutawijya.

Para perwira itu pun mengangguk-angguk. Mereka mengerti apa yang dimaksud Raden Sutawijaya, dan mereka pun tahu apa yang harus mereka lakukan di peperangan. Mungkin peperangan itu memang akan menjadi satu peperangan yang dahsyat. Tumenggung Prabadaru dengan pasukan khususnya yang menjadi alat utama bagi orang-orang yang memang ingin menghancurkan Pajang dan Mataram, serta berniat untuk membangun satu lingkungan baru yang menguntungkan mereka dan orang-orang yang berpihak kepada mereka, dengan menyebutnya sebagai kelanjutan dari kekuasaan Majapahit lama. Orang-orang yang mengaku keturunan dalam garis lurus dari para raja di Majapahit telah menempuh satu cara yang khusus untuk memenuhi keinginan mereka bagi kepentingan mereka sendiri.

Dalam pada itu, maka Raden Sutawijaya pun berkata, “Karena itu, maka pasukan khusus ini harus benar-benar bersiap. Setiap saat pasukan ini akan bergerak. Meskipun pasukan ini untuk waktu dekat tidak akan ditarik dari barak ini, namun apabila perkembangan keadaan tidak dapat dikekang lagi, maka pasukan ini memang akan bergerak. Sementara ini masih ada kesempatan dalam hitungan hari untuk mematangkan semua yang pernah diberikan kepada setiap orang di dalam pasukan khusus ini.”

“Hitungan hari,” desis Ki Lurah Branjangan.

“Ya,” sahut Raden Sutawijaya, “dalam hitungan hari. Nampaknya Pajang benar-benar telah siap. Bahkan pasukan dari beberapa daerah menurut pendengaranku telah ditarik ke Pajang untuk menghadapi keadaan yang khusus dengan Mataram. Mungkin beberapa orang adipati telah menerima penjelasan yang sengaja diputar-balikkan dari kenyataan yang terjadi di Pajang. Tetapi mungkin ada juga yang memang telah sepakat dengan mereka untuk menumbuhkan angan-angan dan mimpi tentang masa lampau, tetapi semata-mata sekedar sebagai satu alat untuk mengelabui pendapat orang banyak, agar niat mereka yang sebenarnya dapat terselubung karenanya. Seolah-olah mereka adalah pewaris yang setia kepada kegemilangan dan kebesaran masa lampau. Namun yang semata-mata berbuat bagi kepentingan sekelompok kecil rakyat, dari daerah yang mereka sebut daerah kekuasaan Majapahit lama itu.”

“Jika demikian,” tiba-tiba seorang perwira bertanya, “apakah kita akan membangun satu garis pertempuran? Mungkin kita akan menetapkan satu daerah yang akan menjadi alas pertahanan kita jika pasukan Pajang itu menyerang.”

Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Namun kemudian jawabnya, “Ya. Kita memang akan membangun satu landasan pertahanan untuk membendung pasukan Pajang.”

“Tentu tidak di pintu gerbang Mataram sendiri” berkata perwira yang lain. Lalu, “Apakah Raden sudah menentukan garis pertahanan itu?”

Raden Sutawijaya menggeleng. Katanya, “Belum Aku akan menentukan kemudian.”

“Sebaiknya Raden menentukan secepatnya. Pasukan khusus ini akan segera berada di garis pertahanan itu. Dengan demikian maka kita tidak akan terlambat jika pasukan Pajang itu dengan tiba-tiba saja telah bergerak. Sementara sambil menunggu, pasukan itu masih akan dapat mematangkan diri sebagaimana dilakukan di sini,” berkata perwira yang lain.

Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya, “Memang baik sekali. Tetapi aku pun menunggu tanda-tanda yang masih akan aku terima. Seandainya Ayahanda tidak memberikan pesan di tempat-tempat yang memungkinkan untuk memberikan keterangan tentang gerak pasukan Pajang.”

Para perwira itu mengangguk-angguk pula. Bagaimanapun juga Raden Sutawijaya masih segan untuk mendahului gerak pasukan Pajang, meskipun dengan demikian ada kemungkinan untuk terlambat bertindak.

Namun dalam pada itu, ternyata Raden Sutawijaya pun kemudian memberikan keterangan yang mendebarkan, terutama bagi Agung Sedayu dan Sekar Mirah, karena Raden Sutawijaya telah menyinggung nama Untara, Senapati Pajang di Jati Anom.

“Untara telah menemui aku langsung,” berkata Raden Sutawijaya, “karena Untara pun mendapat pesan dari Ayahanda Sultan, agar ia menyampaikan salam Ayahanda kepadaku. Dan Untara pun memenuhinya. Karena bagi Untara, seorang senapati yang teguh hati, masih tetap menganggap bahwa Sultan adalah pusat kekuasaan di Pajang. Dalam keadaan yang kemelut itu, Untara berusaha untuk dapat langsung menghadap Ayahanda Sultan. Dari hasil pertemuan itulah maka Untara telah menentukan satu sikap menghadapi kemelut keadaan. Untara tidak lagi berpaut kepada jalur kepemimpinan di Pajang, sesuai dengan tanggapannya atas pembicaraannya dengan Ayahanda.”

Para perwira sudah mendengar pada permulaan keterangan Raden Sutawijaya tentang cara yang dipergunakan oleh Untara untuk bertemu dengan Sultan.

Namun baru kemudian Raden Sutawijaya mengatakan sikap yang akan diambil oleh Untara menghadapi perkembangan keadaan.

Sementara itu Raden Sutawijaya berkata selanjutnya, “Dan sikap yang kemudian diambil oleh Untara adalah tegas, sebagaimana dikatakan oleh Ayahanda, bahwa Ayahanda mempercayakan hari depan Pajang kepada Mataram.”

Agung Sedayu dan Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Meskipun mereka sudah mengira bahwa demikianlah sikap Untara sesuai dengan pembicaraan mereka dengan Pangeran Benawa, tetapi keterangan Raden Sutawijaya telah membuat hati mereka menjadi semakin tenang.

“Jika Kakang Untara tetap berpegang kepada sikap seorang senapati yang patuh kepada jalur kepemimpinannya, maka sikapnya tentu akan lain,” berkata Agung Sedayu di dalam hatinya. “Namun Kakang Untara telah mengambil sikap khusus dengan menghadap langsung Kanjeng Sultan di Pajang, sehingga ia dapat mengambil satu langkah yang paling baik menghadapi orang-orang yang mementingkan diri sendiri di Pajang.”

Dengan singkat Raden Sutawijaya pun menjelaskan, bahwa ia harus selalu berhubungan dengan Untara untuk menentukan garis pertahanan Mataram terhadap pasukan Pajang, karena bagaimanapun juga kekuatan Untara di Jati Anom akan ikut menentukan kekuatan Mataram.

“Aku tidak mempunyai penjelasan lain kali ini,” berkata Raden Sutawijaya selanjutnya. Lalu, “Kalian dapat pergi ke tugas kalian masing-masing. Kalian dapat memanggil para pemimpin tataran tertentu untuk memberikan perintah kesiagaan tertinggi. Hari ini aku akan melihat, apa yang telah dicapai oleh pasukan ini.”

Demikianlah, maka para perwira itu pun segera kembali ke tugas mereka. Terutama yang memimpin langsung pasukan khusus pada tataran tertentu. Sebagaimana di katakan oleh Raden Sutawijaya, mereka harus mematangkan kesiagaan pasukan khusus itu sebaik-baiknya.

Dalam pada itu, Agung Sedayu dan Sekar Mirah yang tidak langsung memegang pasukan, tidak segera terjun ke dalam tugas, karena pasukan khusus itu masih berkumpul dalam kelompok-kelompok besar untuk mendapat penjelasan singkat. Bukan seluruh masalah diberitahukan, tetapi para perwira yang memimpin kelompok-kelompok besar itu memberikan perintah-perintah yang langsung berhubungan dengan ke siap-siagaan pasukan khusus itu.

Dalam pada itu, maka Raden Sutawijaya masih sempat berbicara beberapa saat tentang sikap Untara.

“Aku sudah menjadi cemas,” berkata Agung Sedayu, “namun agaknya Kakang Untara tidak mengabaikan kenyataan, sebagaimana dialaminya sendiri. Apalagi sikap Tumenggung Prabadaru yang sudah berkisar dari sikap seorang senapati.”

Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya, “Syukurlah bahwa Untara mengambil satu sikap yang terpuji. Ia langsung menilai keterangan Ayahanda Kanjeng Sultan. Tanpa berbuat demikian, maka Untara akan tetap terombang-ambing oleh sikap para pemimpin Pajang yang condong kepada mementingkan kepentingan mereka sendiri tanpa menghiraukan kepentingan Pajang dalam keseluruhan.” Raden Sutawijaya berhenti sejenak, lalu, “Namun dengan demikian tanggung jawabku menjadi sangat berat. Aku harus berjuang untuk melaksanakan segala usaha untuk mencapai cita-cita ayahanda, tetapi sekaligus guruku dan pemimpinku.”

“Memang harus ada orang yang dapat berbuat demikian,” berkata Agung Sedayu, “tanpa orang yang dapat berbuat demikian, maka hari depan akan menjadi sangat suram. Bahkan mungkin perjalanan kita semuanya tidak ubahnya dengan perjalanan sekelompok orang buta di dalam gelapnya malam.”

Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Kau dapat menyampaikan persoalan ini kepada Ki Gede.”

“Apakah Raden tidak akan bertemu dengan Ki Gede? Tanggapan Ki Gede tentu akan berbeda jika Raden sendiri sempat menemuinya.”

Raden Sutawijaya berpikir sejenak. Kemudian sambil mengangguk-angguk kecil ia berkata, “Baiklah. Aku akan menemuinya. Siang nanti kita akan pergi menghadap Ki Gede.”

Agung Sedayu dan Sekar Mirah mengerti, bahwa Raden Sutawijaya minta untuk datang bersama mereka berdua menemui Ki Gede. Karena itu, maka Agung Sedayu pun menjawab, “Baiklah Raden. Ki Waskita saat ini juga berada di rumah Ki Gede.”

“Kebetulan sekali,” jawab Raden Sutawijaya, “aku akan berbicara dengan orang-orang tua. Untara sudah berbicara dengan Kiai Gringsing. Nampaknya tanggapan Kiai Gringsing tidak jauh berbeda dengan tanggapan Pamanda Ki Juru Martani. Mudah-mudahan aku tidak menemui perbedaan yang penting dengan sikap Ki Gede dan Ki Waskita.”

“Aku kira perbedaan itu tidak akan ada,” berkata Agung Sedayu, “semuanya sudah jelas. Tetapi sebaiknya Raden dapat bertemu.”

Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan melihat anak-anak di pasukan khusus ini. Baru kemudian aku akan bertemu dengan Ki Gede dan Ki Waskita.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Nampaknya Raden Sutawijaya tidak terlalu tergesa-gesa. Biasanya Raden Sutawijaya tidak mempunyai banyak waktu. Tetapi karena persoalannya adalah persoalan yang sangat penting, maka agaknya Raden Sutawijaya telah menyediakan waktu secara khusus.

Demikianlah, maka sejenak kemudian Raden Sutawijaya pun telah berada di tempat terbuka. Dengan para perwira yang memimpin barak itu, termasuk Ki Lurah Branjangan diikuti pula oleh Agung Sedayu dan Sekar Mirah, Raden Sutawijaya menyaksikan latihan-latihan yang berat oleh anak-anak muda yang sudah berada di dalam lingkungan pasukan khusus itu. Latihan kelompok, gelar perang, dan ketrampilan olah kanuragan.

Sambil mengangguk-angguk Raden Sutawijaya berkata kepada Ki Lurah, “Nampaknya mereka sudah berada pada tataran yang cukup sebagai pengawal dalam lingkungan pasukan khusus. Meskipun kemampuan ini masih dapat ditingkatkan, tetapi seandainya setiap saat mereka harus mempergunakan ilmu mereka, maka mereka akan dapat menyesuaikan diri dengan pasukan khusus yang manapun juga. Juga dengan pasukan khusus yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Prabadaru itu.”

Ki Lurah mengangguk-angguk. Iapun merasa berbangga bahwa pasukan khusus yang dipimpinnya itu memenuhi keinginan Raden Sutawijaya. Dengan demikian, maka kerjanya itu bukannya kerja yang sia-sia.

Ternyata Raden Sutawijaya menyaksikan hampir segala jenis latihan dan tingkat kemampuan para pengawal dalam pasukan khusus itu. Bahkan bersama pasukan itu, Raden Sutawijaya pergi ke lereng bukit untuk menunjukkan kemampuan pasukan itu dalam perang gelar. Demikian juga mempergunakan senjata lontar. Lembing, bandil, busur dan panah, dan sebagainya.

Raden Sutawijaya yang sudah mempunyai gambaran tentang kemampuan para prajurit dalam pasukan khusus di Pajang, merasa bahwa pasukannya yang terdiri seluruhnya dari anak-anak muda itu, dalam beberapa hal tidak berada di bawah tataran pasukan khusus yang dipimpin oleh Tumenggung Prabadaru. Namun yang pasti, pasukan khusus di Tanah Perdikan Menoreh itu kalah dalam pengalaman, karena anggota pasukan khusus Pajang pada mulanya memang sudah seorang prajurit.

Dengan hati yang puas, Raden Sutawijaya mengakhiri pengamatannya atas pasukan khusus yang dibentuknya dan diserahkan kepimpinannya kepada Ki Lurah Branjangan. Bagaimanapun juga, ia harus mengucapkan terima kasih secara khusus kepada Agung Sedayu dan Sekar Mirah yang telah dengan sungguh-sungguh membantu perkembangan pasukan khusus itu, terutama dalam kemampuan mereka secara pribadi.

“Kami masih tetap mengharapkan bantuan kalian,” berkata Raden Sutawijaya, yang kemudian minta kepada Agung Sedayu dan Sekar Mirah untuk mengantarkannya ke rumah Ki Gede.

Karena Raden Sutawijaya tidak mengenakan kelengkapan kebesarannya, justru dalam pakaian orang kebanyakan, maka kepergiannya ke rumah Ki Gede bersama Agung Sedayu dan Sekar Mirah sama sekali tidak menarik perhatian. Orang-orang yang berada di sawah sudah terbiasa melihat Agung Sedayu dan Sekar Mirah lewat. Jika hari itu keduanya lewat bersama seorang anak muda, maka orang-orang itu mengira, bahwa anak muda itu adalah salah seorang anggota pasukan khusus di barak.

Namun dalam pada itu, kedatangan Raden Sutawijaya di rumah Ki Gede sudah mengejutkan seisi rumah itu.

Ki Gede dan Ki Waskita dengan tergopoh-gopoh telah menyambutnya dan mempersilahkan Raden Sutawijaya itu naik ke pendapa.

“Selamat datang di Tanah Perdikan ini Raden,” sapa Ki Gede.

Raden Sutawijaya tersenyum sambil mengangguk. Jawabnya, “Selamat Ki Gede. Mudah-mudahan keluarga di Tanah Perdikan ini pun seluruhnya dalam keadaan selamat.”

“Agaknya demikian Raden,” jawab Ki Gede, lalu “sebenarnyalah kehadiran Raden yang tiba-tiba ini sangat mengejutkan kami. Mudah-mudahan tidak ada masalah yang sangat penting selain sekedar keinginan untuk berkunjung.”

“Memang Ki Gede,” jawab Raden Sutawijaya, “tidak ada yang penting. Aku memang hanya sekedar berkunjung.”

“Syukurlah. Mungkin Raden ingin melihat-lihat perkembangan pasukan khusus itu?” berkata Ki Gede kemudian.

Raden Sutawijaya mengangguk-angguk. Ia pun kemudian menanyakan keselamatan Ki Waskita dan keluarganya, sebagaimana kebiasaan yang berlaku.

“Semuanya sangat menggembirakan,” berkata Raden Sutawijaya kemudian, “pasukan khusus itu telah memenuhi keinginanku. Semuanya itu dapat terjadi karena bantuan Ki Gede dan Ki Waskita.”

“Apa yang dapat kami lakukan,” sahut Ki Gede, “kecuali sekedar tempat.”

“Jauh lebih dari itu,” berkata Raden Sutawijaya, “sehingga ternyata segala bantuan itu sangat terasa dalam saat-saat sekarang ini.”

Ki Gede dan Ki Waskita menangkap satu permulaan dari pembicaraan yang akan menjadi lebih bersungguh-sungguh. Meskipun Raden Sutawijaya mengatakan bahwa kedatangannya itu tidak membawa persoalan yang penting, namun Ki Gede dan Ki Waskita sudah menduga, bahwa tentu ada masalah yang akan disampaikannya.

Ternyata bahwa kemudian, setelah mendapat hidangan air sere hangat dengan gula kelapa, maka mulailah Raden Sutawijaya menceritakan kepentingannya yang sebenarnya datang ke Tanah Perdikan, meskipun tidak sampai ke bagian yang sekecil-kecilnya.

Tetapi baik Ki Gede maupun Ki Waskita segera dapat menangkap maksud pembicaraan itu, sehingga keduanya mengangguk-angguk. Bagaimanapun juga keadaan yang demikian memang sudah mereka perhitungkan.

Namun yang masih belum mereka mengerti adalah sikap Kanjeng Sultan. Meskipun demikian, keduanya dapat pula melihat hubungan yang akan berkelanjutan dengan sikap Raden Sutawijaya, meskipun Kanjeng Sultan akan menghadapinya sebagai lawan di peperangan.

Dalam pada itu, maka Ki Gede dan Ki Waskita pun menyadari, bahwa perkembangan keadaan telah benar-benar mengarah pada satu ledakan yang akan membakar Pajang dan Mataram dalam satu arena peperangan yang mendebarkan.

Ki Gede pun mengerti bahwa pemberitahuan itu tentu akan menuntut kesiagaan bagi Tanah Perdikan Menoreh, karena ia tidak akan dapat ingkar, bahwa jika perang itu meledak, maka Tanah Perdikan Menoreh akan langsung terlibat ke dalamnya. Bahkan sebenarnyalah Tanah Perdikan Menoreh sudah terlibat sebelumnya. Dengan memberikan tempat bagi Kesatuan Khusus Mataram di Tanah Perdikan Menoreh, maka Tanah Perdikan Menoreh sudah menempatkan dirinya dengan pasti.

“Raden,” berkata Ki Gede kemudian, “nampaknya perang memang sudah di ambang pintu. Karena itu, agaknya Raden akan memberikan perintah kepada kami.”

Tetapi Raden Sutawijaya tersenyum. Jawabnya, “Belum sekarang Ki Gede.. Tetapi aku mohon Ki Gede mempersiapkan diri. Memang setiap saat, aku akan mengajukan beberapa permohonan kepada Ki Gede. Sama sekali bukan perintah.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya, “Kami akan selalu siap setiap saat. Meningkatnya hubungan yang gawat berarti aba-aba kepada kami untuk mempersiapkan diri.”

“Terima kasih Ki Gede,” sahut Raden Sutawijaya, “sudah barang tentu, Mataram pun akan berterima kasih kepada Ki Gede dan Ki Waskita.”

“Kami akan mencoba berbuat sebaik-baiknya Raden. Bukan saja sebaik-baiknya bagi kita sekarang, tetapi sebaik-baiknya bagi anak cucu kita kelak,” berkata Ki Gede kemudian.

“Sungguh satu sikap yang besar,” desis Raden Sutawijaya, “mudah-mudahan hari-hari mendatang akan merupakan hari-hari yang jauh lebih cerah dari sekarang.”

Ki Gede pun kemudian menyatakan kesiagaannya. Namun ia tidak akan dapat berbuat sesuatu tanpa perintah Raden Sutawijaya.

Pembicaraan itu masih berlangsung beberapa lama. Namun akhirnya Raden Sutawijaya itu pun minta diri.

“Apakah Raden tidak akan bermalam saja?” bertanya Ki Gede.

“Aku akan bermalam di barak Ki Gede. Aku akan melihat isi barak itu lebih dekat lagi,” jawab Raden Sutawijaya.

Dalam pada itu, Raden Sutawijaya pun kemudian meninggalkan rumah Ki Gede. Agung Sedayu akan mengantarkannya sampai ke barak, sementara Sekar Mirah akan kembali ke rumahnya.

Di sepanjang jalan kembali ke barak, Raden Sutawijaya berkata, “Agung Sedayu. Dalam keadaan yang semakin gawat, kau tidak akan dapat berdiri di tempatmu sekarang ini. Kau harus menempatkan dirimu di dalam satu lingkungan. Agaknya yang paling tepat adalah dalam Kesatuan Khusus yang sudah menjadi semakin mantap itu.”

“Aku tidak akan berkeberatan Raden. Tetapi aku akan menjadi salah seorang di antara mereka di dalam lingkungan Pasukan Khusus itu,” jawab Agung Sedayu.

Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Ia sudah mengenal Agung Sedayu sejak lama. Dan ia pun tahu bahwa Agung Sedayu akan berkata demikian.

Karena itu, maka Raden Sutawijaya tidak mengatakan apa-apa lagi tentang kedudukan Agung Sedayu di dalam lingkungan pasukan khusus itu. Yang dikatakannya kemudian adalah kemampuan anak-anak muda di dalam lingkungan pasukan khusus itu, yang ternyata cukup memberikan kebanggaan bagi Mataram.

Sementara itu, Ki Gede dan Ki Waskita yang kemudian berbincang di pendapa bersama Prastawa, telah mengambil satu kesimpulan, bahwa anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh harus segera tersusun. Selain para pengawal, maka setiap orang yang menyatakan diri untuk ikut serta akan diberi kesempatan sesuai dengan tingkat kemampuan mereka masing-masing.

“Kita dapat memanfaatkan Glagah Putih,” berkata Ki Waskita.

“Ya,” Ki Gede mengangguk-angguk. Namun dalam pada itu, wajah Prastawa pun segera menjadi pudar.

“Bagaimana dengan Angger Agung Sedayu dan Sekar Mirah?” bertanya Ki Gede.

“Nampaknya mereka akan berada di dalam lingkungan pasukan khusus yang akan menjadi kekuatan pokok dari pasukan Mataram, di samping para pengawal yang telah ada dan terlatih baik di Mataram yang jumlahnya tentu kurang memadai,” berkata Ki Waskita. “Di samping itu, agaknya akan ikut pula anak-anak muda dari berbagai daerah yang telah dengan pasti menempatkan dirinya di pihak Mataram.”

Ki Gede mengangguk-angguk. Katanya kemudian, “Nampaknya waktunya tidak akan terlalu banyak. Kita harus segera membenahi diri. Sejak esok pagi kita harus sudah bersiap menghadapi segala kemungkinan.”

“Apakah Ki Gede bermaksud mengumumkan persoalan yang sebenarnya sedang dihadapi?” bertanya Ki Waskita.

Ki Gede mengerutkan keningnya. Namun kemudian katanya, “Belum perlu. Menurut pendapatku, kita tidak akan dengan tergesa-gesa menyebut kemungkinan pecahnya perang dengan terus-terang. Mungkin kita akan menyinggungnya sepintas.”

Ki Waskita pun mengangguk-angguk. Sementara itu Ki Gede berkata kepada Prastawa, “Kau akan mempunyai tugas yang berat. Tetapi agaknya Glagah Putih akan dapat membantumu. Ia memiliki kemauan bekerja yang sangat besar, seperti Agung Sedayu. Namun watak anak ini agak berbeda. Ia lebih terbuka, mantap dan tidak ragu-ragu, meskipun karena umurnya yang masih sangat muda kadang-kadang kurang pertimbangan. Ini justru terbalik dengan sifat Agung Sedayu yang lebih tertutup dan diam.” Prastawa mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak begitu senang atas keterlibatan Glagah Putih meskipun anak itu akan dapat membantunya. Namun ia tidak ingin kehilangan pengaruh sehingga seolah-olah ia tidak berarti apa-apa lagi di Tanah Perdikan Menoreh. Kehadiran Agung Sedayu telah mendesaknya menepi. Dan agaknya Glagah Putih pun mempunyai beberapa kelebihan yang akan dapat semakin mendorongnya menepi.

Tetapi Prastawa tidak dapat menolak pesan pamannya. Bagaimanapun juga ia sadar, bahwa baik dirinya maupun Agung Sedayu dan Sekar Mirah, akan tetap menjadi orang-orang terpenting di Tanah Perdikan Menoreh.

Dalam pada itu, di barak pasukan khusus, Raden Sutawijaya masih sempat mengadakan pengamatan yang lebih mendalam atas anak-anak muda dari Kesatuan Khusus itu. Namun agaknya Raden Sutawijaya tidak akan tinggal terlalu lama. Malam itu, Raden Sutawijaya masih akan berbicara dengan para pemimpin barak itu termasuk Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Tetapi malam itu juga Raden Sutawijaya akan kembali ke Mataram seorang diri sebagaimana ia datang ke Tanah Perdikan Menoreh.

“Kenapa begitu tergesa-gesa?” bertanya Ki Lurah Branjangan.

“Aku masih harus membenahi Mataram dalam keseluruhan. Aku masih harus bertemu lagi dengan Untara untuk mengatur pertahanan di jalur lurus antara Pajang dan Mataram. Untara adalah seorang Senapati yang berpengalaman. Ia adalah seorang yang mengenal daerah kelahirannya dan sekitarnya dengan sebaik-baiknya. Karena itu, maka aku akan dapat menyadap pengenalannya itu sebanyak-banyaknya. Apalagi setelah ia bertemu dengan Ayahanda Kanjeng Sultan di Pajang, sikapnya menjadi semakin jelas,” berkata Raden Sutawijaya kemudian.

“Baiklah Raden,” jawab Ki Lurah Branjangan, “kami akan menunggu perintah berikutnya. Kami akan bersiaga sepenuhnya, sehingga setiap saat kami siap menjalankan perintah.”

Seperti yang dikehendaki, maka malam itu juga Raden Sutawijaya telah meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh. Tetapi justru karena ia hanya berjalan seorang diri, maka perjalanannya sama sekali tidak menarik perhatian. Juga ketika ia menyeberang Kali Praga. Meskipun ia harus membangunkan tukang satang yang sudah tertidur nyenyak, namun ia berhasil menyeberang juga.

“Malam-malam begini, apakah ada keperluan yang sangat mendesak Ki Sanak?” bertanya tukang satang yang masih mengantuk itu.

“Isteriku akan melahirkan. Aku harus mengundang seorang dukun bayi ke seberang Praga,” jawab Raden Sutawijaya

“Kenapa harus ke seberang Kali Praga Bukankah di sebelah Kali Praga ada berpuluh dukun bayi?” bertanya tukang satang itu.

“Dukun bayi itu adalah nenek sendiri. Istriku tidak mau ditolong oleh dukun yang manapun jika tidak oleh nenek sendiri,” jawab Raden Sutawijaya pula.

“Salah sendiri,” gumam tukang satang.

“Kenapa?” bertanya Raden Sutawijaya.

“Bukankah dengan demikian justru akan mempersulit diri sendiri? Untung aku tertidur di tepian. Jika tidak seorang pun tukang satang yang ada, apakah kelahiran anakmu itu dapat kau tunda sampai esok?” bertanya tukang satang itu pula.

“Aku akan berenang” jawab Raden Sutawijaya.

“Tetapi saat kau kembali bersama nenekmu? Apakah nenekmu akan kau dukung sambil berenang?” desak tukang satang itu.

Raden Sutawijaya mengerutkan keningnya. Ia telah terlibat dalam satu perdebatan yang tidak menentu. Karena itu, maka jawabnya, “Aku ternyata telah bersyukur, bahwa Ki Sanak masih tetap berada di tepian.”

“O,” tukang satang itu mengangguk-angguk. Sementara itu Raden Sutawijaya berkata di dalam hatinya, “Kau kira aku tidak dapat menyeberangi sungai ini tanpa rakit? Tetapi aku baru segan menjadi basah.”

Ketika kemudian Raden Sutawijaya sampai ke tepian dan meloncat turun, setelah ia memberikan upah yang lebih besar dari biasanya di siang hari bagi tukang satang itu, maka tukang satang itu pun bertanya, “Ki Sanak, apakah aku harus menunggumu di sini sampai saatnya kau datang bersama nenekmu?”

Raden Sutawijaya menggeleng. Jawabnya, “Tidak perlu Ki Sanak. Jika kebetulan nenek tidak ada di rumahnya, maka aku tentu tidak akan segera menyeberang.”

“Dimana rumah nenekmu?” bertanya tukang satang itu.

“Agak jauh. Sapu Angin,” jawab Raden Sutawijaya

“Tetapi jika tidak ada seorang pun yang dapat menolongmu menyeberang ke barat, bukan salahku, karena kau menolak tawaranku,” gumam tukang satang itu.

“Terima kasih. Jika terpaksa sekali, aku akan memberimu isyarat agar kau jemput aku ke sebelah timur. Aku akan bersuit memanggilmu jika tidak ada tukang satang yang dapat menolongku dari seberang timur,” berkata Raden Sutawijaya.

“Tetapi kau harus membayar lipat,” tukang satang itu bersungut.

Raden Sutawijaya tersenyum. Tetapi ia tidak sampai hati melihat tukang satang itu kecewa. Karena itu, maka katanya, “Baiklah. Sekarang aku akan memberi upah yang lipat itu.”

Tukang satang itu menjadi heran ketika Raden Sutawijaya benar-benar memberinya upah sebesar upah yang telah diberikannya sebelumnya.

“Apa maksud Ki Sanak?” bertanya tukang satang itu.

“Karena kau tidak mempunyai penumpang untuk kembali ke seberang, ambillah,” berkata Raden Sutawijaya.

Raden Sutawijaya tidak menunggu jawaban. Iapun segera melangkah pergi meneruskan perjalanannya, sementara tukang satang itu termangu-mangu. Upah yang diberikan semula sudah lebih besar dari upah sewajarnya. Apalagi kemudian upah itu menjadi lipat.

Namun dalam pada itu, Raden Sutawijaya masih juga berpaling sambil berkata, “Doakan agar istriku selamat.”

Tukang satang itu tidak menjawab. Tetapi ia hanya mengangguk saja meskipun ia tahu, bahwa Raden Sutawijaya yang tidak dikenalnya itu tidak melihatnya lagi.

Namun akhirnya tukang satang itu ragu-ragu. Ia pernah mendengar sesosok hantu perempuan yang akan beranak.

“Apakah laki-laki ini suami sesosok hantu perempuan?” desisnya, sehingga bulu-bulunya meremang. Tetapi karena uang yang digenggamnya tidak menjadi daun, maka ia pun kemudian yakin, bahwa laki-laki itu adalah orang kebanyakan.

Dalam pada itu, maka Raden Sutawijaya pun telah melanjutkan perjalanannya. Namun di sepanjang jalan ia sudah melupakan tukang satang itu, karena angan-angannya diliputi oleh persoalan yang besar. Hubungan antara Pajang dan Mataram.

Demikianlah, maka sejak saat itu, di beberapa daerah telah terjadi persiapan-persiapan yang lebih bersungguh-sungguh. Di Tanah Perdikan Menoreh, bukan saja anak-anak muda yang berada di barak yang telah mempergunakan kesempatan yang semakin sempit untuk mematangkan diri. Tetapi anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh yang berada di luar barak pun telah bekerja keras untuk meningkatkan kemampuan mereka. Ternyata bukan saja Agung Sedayu, Sekar Mirah dan Glagah Putih yang mempergunakan saat-saat yang ada untuk berlatih bersama anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh, tetapi ternyata Ki Waskita dan Ki Gede sendiri telah turun ke padukuhan-padukuhan.

Mereka mulai membentuk kelompok-kelompok yang dapat digerakkan dengan cepat, dengan tataran umur dan kemampuan. Dalam keadaan yang gawat, bukan saja anak-anak muda yang belum berkeluarga yang ikut serta menyatakan dirinya bersedia berjuang bagi Mataram. Tetapi juga mereka yang telah hidup berumah tangga, namun masih memiliki gejolak perjuangan dan kemampuan yang cukup untuk ikut serta dalam perjuangan yang berat.

Tetapi Ki Gede pun telah menentukan tahap-tahap kewajiban bagi kelompok-kelompok yang berbeda tingkat kemampuan dan umurnya.

Meskipun demikian, mereka telah mempergunakan kesempatan yang ada untuk berlatih sebaik-baiknya, agar mereka setidak-tidaknya mengenal bagaimana harus berusaha melindungi diri mereka sendiri.

Dengan demikian, maka kesibukan telah mencengkam Tanah Perdikan Menoreh. Meskipun Ki Gede selalu memperingatkan, agar anak-anak muda itu tidak membuat seisi Tanah Perdikan menjadi gelisah, namun yang terjadi itu tidak lepas dari perhatian setiap penghuni Tanah Perdikan Menoreh. Apalagi yang di antara keluarga mereka telah menyatakan ikut pula di dalam pasukan yang disusun oleh Tanah Perdikan Menoreh itu, yang hampir setiap saat telah berlatih dengan sungguh-sungguh sehingga tidak mengenal waktu.

Prastawa pun sibuk melakukan perintah-perintah Ki Gede. Ia pun tampil pula sebagai pemimpin anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh, meskipun ia tidak dapat menyingkirkan perasaan tidak senangnya terhadap Glagah Putih yang lebih banyak mendapat perhatian anak-anak muda di Tanah Perdikan Menoreh daripada Prastawa sendiri.

Dalam pada itu, bukan saja Tanah Perdikan Menoreh yang telah mempersiapkan diri. Ternyata Sangkal Putung pun telah menyusun pula kelompok-kelompok dengan tataran sebagaimana dilakukan di Tanah Perdikan Menoreh. Sebuah kelompok yang terpilih telah tersusun pula, sebagaimana sebuah Kesatuan Khusus di Pajang dan Mataram yang terdiri dari anak-anak muda yang memiliki kelebihan dari kawan-kawannya.

Kesiagaan Sangkal Putung memang berpengaruh pula atas kademangan-kademangan di sekitarnya. Bahkan Swandaru telah berhasil mempengaruhi anak-anak muda di kademangan-kademangan itu untuk bersikap. Meskipun yang diberitahukan kepada anak-anak muda di kademangan-kademangan di sekitarnya itu tidak sebagaimana yang diketahuinya, namun dengan telaten dan lambat laun, maka anak-anak muda di kademangan-kademangan itu pun telah berpihak sebagaimana sikap Sangkal Putung.

Karena itulah, maka meskipun tidak seberat anak-anak muda Sangkal Putung, anak-anak muda di kademangan-kademangan di sekitarnya itu pun telah melatih diri. Mereka merasa ikut bertanggung jawab sebagaimana pernah terjadi di saat pasukan Tohpati ada di sekitar kademangan mereka. Tanpa Sangkal Putung, agaknya mereka tidak akan dapat bertahan terhadap pasukan Tohpati.

Tidak terlalu jauh dari Sangkal Putung, Untara pun telah menempa pasukannya. Dengan tanpa mengenal lelah, maka sebagian besar pasukan Untara tidak jauh berbeda dengan pasukan khusus Pajang yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Prabadaru.

Dalam keadan yang gawat itu, Untara telah melakukan satu keputusan yang jarang terjadi dalam keadaan yang wajar. Meskipun Sabungsari termasuk seorang prajurit biasa, namun tiba-tiba ia mendapat perintah untuk memimpin satu kelompok pasukan pilihan yang mempunyai kewajiban terberat dalam setiap keadaan. Khususnya menghadapi kemelut antara Pajang dan Mataram.

“Memang agak kurang sesuai dengan paugeran,” berkata Untara, “tetapi aku memerlukanmu. Aku percaya kepadamu, bahwa kau akan dapat melakukannya. Aku tidak minta seorang perwira untuk memimpin kelompok itu. Tetapi aku minta seorang yang memiliki kemampuan yang memadai. Terutama kemampuan olah kanuragan.”

Sabungsari tidak dapat membantah. Ia merasa wajib menerima tugas itu betapapun beratnya, karena di dalam kelompok itu terdapat pemimpin-pemimpin kelompok-kelompok kecil bagian dari kelompoknya dalam keseluruhan, yang memiliki jenjang kepangkatan yang lebih tinggi.

Tetapi dengan penjelasan yang wajar dari Untara, maka para perwira itu sama sekali tidak merasa iri hati. Mereka telah pernah mendengar betapa Sabungsari memiliki kemampuan yang luar biasa. Bahkan beberapa di antara mereka tahu pula, bahwa Sabungsari memiliki senjata yang tidak dimiliki oleh orang kebanyakan. Bahkan di masa ia masih mendendam Agung Sedayu, ia pernah mempertunjukkan dengan sengaja kemampuannya itu kepada seorang prajurit yang sudah barang tentu hal itu akan segera tersebar, bahwa Sabungsari mampu membunuh seekor kambing hanya dengan sorot matanya, yang dilontarkan dari kejauhan. Dan yang ternyata kemudian, bukan saja seekor kambing, tetapi juga orang-orang yang memiliki ilmu yang tinggi, sulit untuk dapat mengimbangi ilmu anak muda itu.

Namun yang kemudian ternyata menggembirakan Sabungsari adalah, bahwa prajurit yang kemudian disatukan di dalam kelompoknya adalah prajurit-prajurit muda yang memiliki gairah perjuangan yang sangat tinggi. Sehingga dengan demikian, maka ia akan dapat berangkat dengan pasukannya itu.

Pasukan yang dipimpin oleh Sabungsari itulah yang kemudian setelah dipertimbangkan dari segala segi oleh Untara dan para perwira yang sejalan dengan sikapnya, seakan-akan telah dijadikan sebuah kesatuan khusus yang mempunyai kemampuan gerak dan kemampuan tempur yang lebih tinggi dari kesatuan-kesatuan yang lain yang ada di dalam lingkungan pasukan Untara.

Pasukan ini akan mempunyai bobot yang tidak kalah dari pasukan khusus yang dipimpin oleh Ki Tumenggung Prabadaru di Pajang dan pasukan yang disiapkan oleh Mataram di Tanah Perdikan Menoreh, meskipun jumlahnya tidak sebanyak pasukan-pasukan itu.

Namun bukan berarti bahwa para prajurit Pajang di Jati Anom yang lain tidak memiliki kemampuan tempur yang tinggi. Hampir setiap orang di dalam lingkungan prajurit Pajang di bawah pimpinan Untara telah menempa diri menghadapi saat-saat yang paling gawat itu.

Selain daerah-daerah yang dengan pasti telah menempatkan diri dalam pergolakan yang terjadi itu, maka Raden Sutawijaya juga telah menghubungi Pasantenan, Mangir dan beberapa daerah yang menurut pendapatnya telah hampir pasti akan dapat bekerja bersama dalam kemelut yang terjadi. Dalam waktu dekat, Raden Sutawijaya telah mengirim utusan untuk mengundang pemimpin-pemimpin dari daerah-daerah itu untuk berbincang menghadapi keadaan yang semakin panas.

Ternyata daerah-daerah itupun telah menyatakan diri bersiap menghadapi setiap kemungkinan. Bukan saja dengan mengirimkan anak-anak muda ke barak pasukan khusus di Tanah Perdikan Menoreh, tetapi mereka telah bersiap untuk memasuki satu masa perang yang menentukan. Bukan sekedar didorong oleh perasaan semata-mata. Tetapi mereka telah memperhitungkan dengan cermat, lumbung-lumbung yang ada dan persediaan yang lain apabila di dalam masa perang para petani tidak sempat turun ke sawah, tetapi mereka terpaksa meletakkan cangkul mereka dan menggantikannya dengan tombak dan pedang.

Dalam pada itu, persiapan-persiapan yang meningkat itu ternyata tidak terlepas dari pengamatan orang-orang Pajang. Mereka menganggap bahwa semakin lama Mataram tentu akan menjadi semakin kuat. Sehingga karena itu, maka tidak ada pertimbangan lain kecuali mempercepat benturan yang harus terjadi antara Pajang dan Mataram.

“Jika Mataram menjadi sangat kuat, maka mereka akan memenangkan perang ini,” berkata salah seorang di antara mereka yang ikut menentukan jalan pikiran para pemimpin di Pajang.

“Kita harus mempunyai kesempatan untuk berdiri di atas reruntuhan Pajang dan Mataram. Karena itu, maka Mataram tidak boleh terlalu kuat. Tetapi juga jangan terlalu lemah. Jika Pajang menang dengan mudah, maka orang-orang Pajang yang tidak berpijak pada jalan pikiran yang sama akan sempat menghimpun diri, dan membentuk Pajang yang lain. Bukan Pajang yang kita cita-citakan.” berkata yang lain.

Tetapi kawannya tertawa. Jawabnya, “Kau terlalu cemas menghadapi orang-orang yang kebingungan menghadapi keadaan ini. Mereka tidak banyak jumlahnya, dan mereka tidak akan sempat menyusun satu kerangka pemikiran yang mantap untuk menentukan satu sikap setelah perang berakhir. Karena itu, jangan cemas seperti itu. Mataram sekarang justru sudah menjadi terlalu kuat. Karena itu, kita harus segera bertindak. Harus ada penjelasan yang meyakinkan bagi Kangjeng Sultan, bahwa Mataram benar-benar telah memberontak. Karena itu, maka Kangjeng Sultan harus, mau tidak mau, menjatuhkan perintah untuk menyerang Mataram segera. Rencana kita untuk menghancurkan sebagian orang-orang yang akan dapat membuat Mataram terlalu kuat selalu saja mengalami kegagalan. Tetapi Mataram belum terlalu berbahaya jika kita bertindak sekarang.”

Kawan-kawannya mengangguk-angguk. Salah seorang berdesis, “Kakang Panji harus mengambil sikap segera.”

Demikianlah, maka para pemimpin di Pajang yang menjadi bayangan kekuasaan Kangjeng Sultan itu telah mengambil satu keputusan. Dengan demikian, maka keputusan itulah yang kemudian dihadapkan kepada Kanjeng Sultan Hadiwijaya yang lebih banyak terbaring di pembaringannya.

Dengan berbagai cara, beberapa orang berusaha untuk meyakinkan Kanjeng Sultan, bahwa putra angkat kinasih Kanjeng Sultan yang berada di Mataram dengan gelar Senapati ing Ngalaga itu telah dengan terang-terangan memberontak.

Kanjeng Sultan yang berbaring dengan lemah, tiba-tiba bangkit dan duduk di bibir pembaringannya. Wajahnya menjadi merah mengatasi kepucatannya selama masa sakitnya.

“Kalian yakin bahwa Sutawijaya telah benar-benar memberontak? Bukankah kalian telah mengatakannya kepadaku seribu kali. Tetapi kalian tidak dapat membuktikannya. Aku pernah memerintahkan Benawa untuk melihat sendiri, langsung memasuki Mataram. Ternyata bahwa di Mataram tidak ada persiapan apapun juga,” berkata Kanjeng Sultan.

“Tetapi kali ini, benar-benar telah terbukti,” jawab salah seorang di antara mereka yang menghadap, “Kanjeng Sultan dapat bertanya kepada setiap orang yang pernah melewati daerah Sangkal Putung, Mataram dan persiapan yang mantap di Tanah Perdikan Menoreh. Semuanya akan meyakinkan Kanjeng Sultan, bahwa Raden Sutawijaya, putra yang sangat Tuanku kasihi itu, telah memberontak.

Sejenak Kanjeng Sultan justru terdiam. Wajahnya menjadi semakin tegang. Nafasnya terasa berdesakan di dada. Sementara tubuhnya menjadi gemetar.

“Kalian tidak sekedar berkicau seperti masa-masa sebelumnya?” suara Kanjeng Sultan menjadi sangat dalam.

“Ampun Tuanku,” jawab orang itu, “hamba sendiri telah menyaksikannya.”

“Jika demikian, jika demikian,” nafas Kanjeng Sultan itu menjadi terengah-engah, “Sutawijaya benar-benar tidak tahu diri. Aku memeliharanya sejak kanak-kanaknya. Aku kasihi ia seperti aku mengasihi anakku sendiri. Tetapi tiba-tiba ia sudah berkhianat terhadap ayah angkatnya, terhadap gurunya, terhadap rajanya. Jika aku tahu, maka aku tidak akan memberikan ilmu apapun juga kepadanya sebagaimana aku berikan kepada Benawa.”

Orang-orang yang menghadap Kanjeng Sultan itu menjadi berdebar-debar. Mereka berharap, bahwa usaha mereka akan berhasil. Kanjeng Sultan akan menjatuhkan perintah untuk menyerang Mataram dan menghancurkannya. Dengan perintah Kanjeng Sultan, maka semua kekuatan yang ada dapat dikerahkan. Mereka yang tidak terlibat dalam kegiatan orang-orang yang mempunyai rencana tersendiri itu, tidak akan bertanya-tanya. Apapun perintah Kanjeng Sultan, adalah kewajiban setiap prajurit, bahkan setiap orang yang tidak ingin disebut memberontak. Meskipun ada beberapa pihak yang tidak mengerti persoalan yang sebenarnya, namun dengan perintah Sultan, mereka akan melakukannya.

“Merekalah yang harus menjadi umpan benturan kekuatan antara Pajang dan Mataram,” berkata orang-orang itu di dalam hatinya.

Dengan demikian, maka rencana mereka pun akan berjalan. Di atas mayat para prajurit dan rakyat Pajang yang setia kepada Kanjeng Sultan, dan bertempur tanpa menghiraukan gejolak yang terjadi di Pajang, serta rakyat Mataram yang setia kepada Sutawijaya, akan tumbuh satu kelompok orang yang mempunyai angan-angan tersendiri atas citra Pajang di masa depan, dengan apa yang mereka sebut Majapahit lama yang akan bangkit kembali.

Karena itu, maka dengan berdebar-debar mereka menunggu. Kanjeng Sultan nampaknya sudah berhasil mereka jebak dan bahkan menjadi marah sekali. Perintah itu tentu sudah berada di ujung bibirnya, sehingga sekejap kemudian perintah itu akan jatuh.

Dengan jantung yang berdebar-debar mereka pun kemudian mendengar perintah itu diucapkan, “Para Senapati Pajang yang setia. Jika benar demikian, maka akupun tidak mempunyai pilihan lain. Mataram harus digempur.”

Orang-orang yang menghadap Kanjeng Sultan itu bersorak di dalam hati. Kanjeng Sultan tentu akan memberikan pertanda perintahnya. Mungkin dengan tunggul kerajaan, atau dengan perintah yang tercantum di dalam pernyataan yang dibubuhi dengan pertanda Sultan di Pajang, atau dengan ganti pribadi Kanjeng Sultan sendiri yang berujud pusaka yang paling dekat dengan Kanjeng Sultan.

Dengan pertanda itu, maka seluruh Pajang akan bergerak menggempur Mataram, dan perang besarpun tidak akan dapat dihindarkan. Korban akan berjatuhan dan harus diperhitungkan, yang akan mati adalah orang-orang Mataram dan mereka yang tidak berdiri di dalam barisan mereka untuk mendukung berdirinya Majapahit lama yang akan bangkit kembali.

Meskipun sebenarnyalah yang membayang di mata hati mereka bukannya watak dari Majapahit lama yang merangkum persatuan dan kesatuan seluruh Nusantara, tetapi sekedar sebuah mimpi tentang kemukten para pemimpin dari sebuah kerajaan besar yang disebut Majapahit, yang akan disembah oleh rakyat yang bertebaran di beribu pulau besar dan kecil yang berhamburan di katulistiwa.

Namun dalam pada itu, ternyata perintah Kanjeng Sultan di Pajang itu belum selesai. Betapa terkejut orang-orang yang menghadap itu ketika kemarahan Kanjeng Sultan itu tidak terkekang lagi, yang justru melampaui perhitungan mereka.

“Para Senapati,” suara Kanjeng Sultan menggelegar sebagaimana suaranya di masa muda, “aku adalah Sultan Pajang yang memiliki kewibawaan seorang Senapati Agung. Karena itu, maka untuk menggempur Mataram, aku sendiri akan memimpin seluruh kekuatan yang ada di Pajang.” Perintah itu bukan saja bagaikan suara guruh yang menggelegar, tetapi seperti suara petir yang meledak di atas kepala mereka. Sehingga dengan demikian, maka orang-orang itu beberapa saat menjadi bingung. Mereka sama sekali tidak mengharap bahwa Kanjeng Sultan akan turun ke medan, apalagi akan memimpin seluruh kekuatan yang ada di Pajang. Dengan demikian, maka tidak ada orang lain yang akan dapat mengatur kekuatan itu sesuai dengan rencana mereka. Siapa yang harus menjadi banten dan mati, sebagai landasan keinginan mereka yang bercita-cita untuk dapat menjadi orang yang berkuasa, sebagaimana para pemimpin pada masa Kerajaan Majapahit.

Dalam pada itu, Kanjeng Sultan itu pun melanjutkan, “Dalam keadaan seperti ini, maka aku tidak akan merasa terganggu oleh keadaan tubuhku. Aku merasa akan dapat melakukan tugas ini sebaik-baiknya.”

Dalam pada itu, satu dua orang yang menghadap itu sudah berhasil mengatur gejolak perasaan mereka, sehingga seorang di antara mereka berkata, “Ampun Tuanku. Sebenarnyalah Tuanku dalam keadaan sakit. Biarlah hamba dan para senapati sajalah yang akan menyelesaikan persoalan ini tanpa menyentuh ujung kain Kanjeng Sultan. Mataram akan dapat kami tundukkan. Kami berjanji sepenuhnya bahwa hal itu akan terjadi, tanpa mengurangi hormat hamba kepada putra angkat Tuanku. Bahkan jika mungkin, kami akan memohon kepada Raden Sutawijaya yang bergelar Senapati ing Ngalaga untuk tunduk tanpa mengorbankan satu orangpun di antara kita di Pajang dan Mataram.”

Orang-orang itu menjadi tegang. Apalagi ketika Kanjeng Sultan berkata, “Aku akan menentukan, siapa yang akan menjadi perwira dan senapati pengapitku, karena akulah panglima dari gelar yang akan aku pasang di medan. Kita akan menyerang pasukan Mataram dimanapun mereka membangunkan pertahanan. Siapkan kendaraan kinasih pertanda kebesaran Pajang.”

Jantung orang-orang yang menghadap itu berdentang semakin cepat. Seorang di antara mereka berdesis, “Kendaraan apakah yang Tuanku maksud?”

“Aku bukan orang cengeng,” jawab Kanjeng Sultan, “aku sekarang sudah sehat, dan bahkan aku merasa menjadi muda kembali sebagaimana Sutawijaya. Aku yakin, bahwa Karebet tidak akan kalah dalam segala hal dari Sutawijaya, karena akupun telah menempa diri jauh lebih dalam dari yang dilakukan oleh Sutawijaya yang terlalu banyak bermanja-manja. Karena itu, jangan cegah aku. Aku akan turun ke medan sebagaimana aku katakan. Sekarang, dengar perintahku. Setiap kekuatan di Pajang harus dikerahkan. Yang melawan perintahku, akan aku ikut sertakan dalam kesalahan Sutawijaya.”

Wajah-wajah menjadi tegang ketika Kanjeng Sultan itu memandang orang-orang yang menghadapnya. Dengan suara datar Kanjeng Sultan justru bertanya, “Kenapa kau masih bertanya tentang kendaraan? Kau kira aku akan naik kereta, atau pedati, ataupun berkuda?”

Orang-orang yang menghadap menjadi semakin tegang. Sementara itu Kanjeng Sultan pun berkata, “Aku akan berada di atas gajah. Aku adalah Kanjeng Sultan Pajang yang berkuasa atas Tanah ini.”

Sejenak ruangan itu menjadi senyap. Ketegangan terasa mencengkam setiap jantung. Mereka sama sekali tidak menyangka, bahwa Kanjeng Sultan justru telah mengambil satu sikap yang tidak terduga-duga.

Bahkan beberapa orang telah menyesal, bahwa mereka telah terdorong terlalu jauh untuk membuat Kanjeng Sultan marah, sehingga justru kemarahan yang tidak terkendali itu telah mengacaukan rencana mereka.

Mereka memang menghendaki Kanjeng Sultan marah. Tetapi tidak sedemikian jauh, sehingga Kanjeng Sultan sendiri akan maju ke medan perang dalam puncak kebesaran seorang panglima, berkendaraan seekor gajah.

Tetapi Kanjeng Sultan telah terlanjur menjatuhkan perintah. Tidak seorang pun di antara mereka yang menghadap dapat merubah keputusan itu. Bagaimanapun juga, mereka mengerti, Kanjeng Sultan yang masa mudanya bernama Mas Karebet dan yang juga disebut Jaka Tingkir itu adalah seorang yang keras hati.

Dalam kebekuan itu terdengar perintah Kanjeng Sultan, “Mundurlah. Persiapkan segala sesuatunya. Aku memerlukan waktu dua hari dua malam untuk mesu diri menghadapi peperangan besar ini. Pada hari yang ketiga, aku akan turun ke medan. Sementara itu, aku ingin mendengar keterangan. Selama dua hari dua malam itu, kalian harus sudah mengetahui, dimana garis pertahanan yang akan di bangun oleh Sutawijaya. Apakah ia akan bertahan di Sangkal Putung, di Prambanan atau di Tambak Baya.”

Para Senapati yang menghadap itu tidak membantah. Mereka pun kemudian beringsut surut dan kemudian meninggalkan bilik itu.

Demikian orang yang terakhir keluar dan pintu kemudian ditutup, Kangjeng Sultan itu pun menarik nafas dalam-dalam. Perlahan-lahan ia membaringkan dirinya. Terasa nafasnya menjadi terengah-engah, sementara jantungnya serasa berhenti berdetak.

“O,” Kangjeng Sultan berdesah. Ia sadar, bahwa sebenarnyalah ia tengah dicengkam oleh keadaan sakitnya. Tetapi ia tidak dapat berbuat lain, kecuali melakukan rencananya, sebagaimana pihak-pihak lain melakukan rencana mereka pula. Karena bagaimanapun juga, Kangjeng Sultan bukannya tidak tahu sama sekali apa yang sedang bergejolak di Istana Pajang itu.

Dalam pada itu, orang-orang yang keluar dari ruang peraduan Kanjeng Sultan itu pun telah saling bergeremang. Mereka menyesal bahwa mereka telah membuat Kanjeng Sultan terlalu marah, sehingga kemarahan Kanjeng Sultan itu telah membuat rencana mereka menjadi kabur.

“Tetapi kita tidak akan kekurangan akal,” berkata salah seorang dari mereka. Lalu, “Kita akan menunggu perintah, siapakah yang akan mendapat perintah untuk menjadi Senapati Pengapit. Kemudian siapa pula yang akan menjadi Panglima di sayap gelar.”

“Kita belum tahu, jika perang ini akan menjadi perang gelar dengan mengerahkan pasukan yang besar, maka gelar apakah yang akan dipergunakan. Dan apakah Kanjeng Sultan akan menyerang Mataram hanya dari satu jurusan, atau Kanjeng Sultan akan mengambil siasat yang lain,” sahut senapati yang lain.

Dalam pada itu seorang di antara mereka berkata, “Sekarang segalanya tergantung kepada Kanjeng Sultan, karena Kanjeng Sultan sendiri telah menentukan dirinya sendiri menjadi Panglima.”

Kawan-kawannya hanya dapat menggeleng-gelengkan kepala. Tetapi keputusan Sultan itu benar-benar telah mengecewakan.

Dalam pada itu, lewat jalurnya sendiri, Kanjeng Sultan telah memberitahukan yang akan terjadi itu kepada Raden Sutawijaya. Dua hari lagi, Pajang akan mempersiapkan diri menyerang Mataram.

Kepada Raden Sutawijaya ternyata Sultan telah memberitahukan, bahwa Kanjeng Sultan akan menghadapi pasukan Mataram di Prambanan. Kangjeng Sultan memerintahkan agar pasukan Mataram benar-benar bersiap untuk berperang.

“Aku akan memerintahkan para senapati dan prajurit yang setia kepadaku menurut penilaianku, untuk berada dekat dengan aku di medan. Sementara itu, mereka yang selama ini telah membayangi kekuasaanku di Pajang, akan bertempur jauh dari pusat gelar yang akan aku tentukan kemudian. Mereka akan berada di ujung-ujung sayap. Tetapi kekuatan mereka terlalu besar, sehingga Mataram benar-benar harus bersiap. Aku akan menyerang Mataram dalam perang gelar di satu arah, sehingga akan terbangun satu garis perang yang panjang. Aku akan menghindari serangan dari beberapa arah untuk menuju ke Mataram. Karena itu, menurut pendapatku, garis pertahanan yang paling baik bagi Mataram adalah jalur Kali Opak. Kelemahan sepasukan prajurit, di antaranya adalah yang pada saat-saat pasukan itu sedang menyeberangi sungai.”

Ketika Raden Sutawijaya membaca nawala dari Kanjeng Sultan yang disampaikan kepadanya, terasa jantungnya berdentang dan serasa matanya menjadi panas. Terasa betapa dalam pandangan masa depan Kanjeng Sultan dan betapa besar kasihnya kepada putra angkatnya itu.

“Betapa besar dosaku,” desis Raden Sutawijaya di dalam hatinya.

Namun semuanya sudah terlanjur. Dan Kanjeng Sultan sendiri sudah menentukan satu cara bagi hari depan Pajang dengan mempercayakannya kepada Raden Sutawijaya.

Tetapi Raden Sutawijaya sadar, bahwa tidak seharusnya ia tenggelam dalam perasaannya. Ia harus menghadapi kenyataan yang tidak dapat diputar kembali ke masa lampau. Sehingga karena itu, ia harus segera bertindak dan mengambil sikap.

Namun Raden Sutawijaya masih juga membayangkan, apakah kira-kira sikap yang akan diambil oleh Ayahandanya Ki Gede Pemanahan, seandainya Ayahandanya masih hidup, menghadapi Ayahanda angkatnya.

“Ayahanda Ki Gede tidak akan menghadapi Kanjeng Sultan Pajang di medan perang,” berkata Raden Sutawijaya. Namun kemudian, “Tetapi, jika aku mengelak, maka berarti aku tidak memenuhi perintah Ayahanda Kanjeng Sultan di Pajang untuk membangunkan masa depan Pajang dengan citra sebagaimana diharapkan oleh Ayahanda Kanjeng Sultan, karena Pajang akan menjadi satu negara yang lain dari yang di cita-citakan oleh Ayahanda Sultan. Dengan landasan mimpi masa kejayaan Majapahit hanya pada kulitnya saja, maka sekelompok pemimpin di Pajang akan merubah citra masa depan Pajang dari yang dikehendaki oleh Kanjeng Sultan Hadiwijaya, beralaskan pengamatannya atas kehendak rakyat Demak pada masa mudanya, selagi ia masih berkeliaran di padepokan-padepokan, di padukuhan-padukuhan, dan hidup di antara para petani dan gembala di padang rumput yang luas.”

Karena itulah maka Raden Sutawijaya pun kemudian berketetapan hati untuk menyiapkan pasukan yang kuat sebagaimana dipesankan oleh Ayahanda Sultan.

Tetapi, Raden Sutawijaya tidak meninggalkan nasehat dari orang tua yang banyak memberikan petunjuk kepadanya, Ki Juru Martani.

Namun, terasa betapa beratnya hati Ki Juru menghadapi peristiwa yang bakal terjadi. Meskipun Raden Sutawijaya sudah memberikan penjelasan, namun Ki Juru itu masih juga berkata, “Dalam keadaan yang bagaimanapun juga, pertempuran selamanya akan berakibat buruk bagi rakyat. Seandainya Angger Senapati ing Ngalaga mau melunakkan sedikit kekerasan hatimu, maka persoalannya akan berbeda.”

Raden Sutawijaya menundukkan kepalanya. Dengan suara parau ia berkata, “Aku merasa bersalah Paman. Tetapi yang aku pikirkan sekarang, bagaimana aku dapat memperbaiki kesalahan itu.”

Ki Juru menarik nafas dalam-dalam. Kemudian katanya, “Angger. Jika Kanjeng Sultan mengatakan bahwa orang-orang yang sebenarnya musuh di dalam selimut itu akan bertempur melawan Mataram di ujung-ujung gelar, tentu bukannya tanpa maksud. Ayahanda ingin mengatakan bahwa merekalah yang harus kalian hadapi dengan sungguh-sungguh.”

Raden Sutawijaya menarik nafas dalam-dalam. Sambil mengangguk-angguk ia berkata, “Aku mengerti Paman. Karena itu, maka aku akan berada di sayap kiri atau kanan. Sementara itu, aku mohon Paman berada di ujung gelar, memegang perintah tertinggi sebagai Panglima pasukan Mataram dalam keseluruhan.”

Tetapi Ki Juru menggelengkan kepalanya. Katanya, “Bagaimana mungkin aku akan berhadapan dengan Kanjeng Sultan, meskipun dalam keadaan yang kita sadari sepenuhnya arah penyelesaiannya.”

“Jadi, maksud Paman?” bertanya Raden Sutawijaya.

Ki Juru termangu-mangu sejenak. Kemudian katanya, “Angger, aku adalah seorang prajurit. Setidak-tidaknya aku menganggap diriku sendiri seorang prajurit Mataram. Karena itu, biarlah aku bertempur menghadapi lawan yang sebenarnya. Menurut pendapatku, tidak ada orang lain yang sebaiknya berada di pusat gelar, selain Raden Sutawijaya sendiri.”

“Bagaimana mungkin Paman,” jawab Raden Sutawijaya, “apa yang harus aku lakukan di hadapan Ayahanda Kanjeng Sultan di medan perang. Apakah aku akan berani menengadahkan kepala? Jika seorang saja di antara para senapati yang berada di seputar Ayahanda kurang dapat menanggapi keadaan, maka persoalannya akan menjadi sangat sulit bagiku.”

Ki Juru mengangguk-angguk. Ia mengerti kesulitan Raden Sutawijaya. Namun ia sendiri, sama sekali tidak bermimpi untuk berhadapan dengan Kanjeng Sultan di medan perang, dengan persetujuan apapun yang telah dibuat sebelumnya.

Namun dalam keragu-raguan itu, Ki Juru pun berkata, “Angger Senapati ing Ngalaga. Baiklah, kita akan berbicara kemudian tentang Panglima yang akan berada di pusat gelar. Yang penting Angger harus memberikan perintah dan memberitahukan kepada segala pihak, bahwa perang akan terjadi dua hari mendatang. Semua kekuatan harus sudah berada di sepanjang sungai Opak, sebagaimana dikehendaki oleh Ayahanda Kanjeng Sultan.”

“Baiklah Paman,” jawab Raden Sutawijaya, “aku akan mengirimkan utusan ke segala arah dalam waktu yang bersamaan.”

Ternyata bahwa waktu Raden Sutawijaya memang sudah terlalu sempit. Karena itulah, maka iapun segera memanggil beberapa orang senapati kepercayaan. Mereka serentak harus pergi ke beberapa arah untuk menyampaikan perintah yang sama dan pemberitahuan yang sama pula.

“Dua hari dua malam,” desis Raden Sutawijaya. “Menjelang hari ketiga, sebelum ayam jantan berkokok untuk ketiga kalinya, maka semua kekuatan harus sudah siap di sepanjang jalur Kali Opak. Di sore hari di akhir hari kedua, semua pemimpin dan senapati harus sudah berkumpul di bayangan candi. Kita akan berbicara dan menentukan langkah-langkah yang paling baik menghadapi keadaan. Selanjutnya, malam itu gelar akan dipasang dalam garis yang memanjang di sepanjang Kali Opak.”

Para senapati yang terpercaya itupun segera meninggalkan Mataram dengan segala macam pesan yang harus mereka sampaikan kepada para pemimpin di beberapa daerah, menghadapi perkembangan keadaan sebagaimana diberitahukan oleh Kanjeng Sultan sendiri.

Di antara para senapati itu, dua di antaranya telah pergi ke Jati Anom untuk menghubungi Untara, seorang Senapati Pajang yang disegani. Bukan karena Untara memiliki kemampuan olah kanuragan yang tidak terkalahkan, tetapi ia adalah seorang senapati yang mempunyai perhitungan yang cermat, sehingga gerak pasukannya sangat menentukan.

Sementara dua orang senapati yang lain telah pergi ke Tanah Perdikan Menoreh. Mereka bertugas untuk menghubungi Ki Lurah Branjangan, dan sekaligus menghadap Ki Gede di Tanah Perdikan Menoreh.

Perintah Raden Sutawijaya itu memang sudah ditunggu oleh Ki Lurah Branjangan. Menilik keadaan yang berkembang, serta kehadiran Raden Sutawijaya di Tanah Perdikan Menoreh beberapa saat lewat, maka suasana memang sudah menjadi semakin panas.

Karena itu, maka Kesatuan Khusus yang dipimpin oleh Ki Lurah itu pun telah berada dalam kesiagaan tertinggi. Demikian perintah itu datang, maka mereka pun siap untuk berangkat.

Sementara itu, dua orang senapati dari Mataram itu langsung menuju ke rumah Ki Gede Menoreh setelah mereka berada di barak pasukan khusus itu beberapa lama. Dengan pesan yang sama, kedua senapati itu menghadap Ki Gede Menoreh, yang juga sudah menduga bahwa keadaan akan cepat menjadi semakin gawat.

Sementara kedua senapati itu berada di rumah Ki Gede, maka Ki Lurah Branjangan telah berbicara dengan Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Bagaimanapun juga, dalam keadaan yang paling gawat, mereka wajib menyatukan diri di dalam pasukan khusus itu.

“Bagaimana dengan anak-anak muda dari Tanah Perdikan Menoreh?” bertanya Agung Sedayu.

“Mereka akan dipimpin oleh Ki Gede sendiri,” jawab Ki Lurah.

“Ki Gede sudah terlalu tua,” sahut Agung Sedayu. Kemudian, “Apalagi Ki Gede mempunyai cacat kaki. Dalam keadaan tertentu, maka cacat kakinya akan kambuh.”

“Bukankah di Tanah Perdikan Menoreh ada kemenakan Ki Gede yang bernama Prastawa?” bertanya Ki Lurah Branjangan.

“Tetapi anak muda itu masih belum dapat dilepaskan di medan. Apalagi menghadapi pasukan Pajang,” jawab Agung Sedayu. Lalu, “Sebenarnyalah di Tanah Perdikan Menoreh harus ada seseorang yang dapat memimpin pasukan yang terdiri dari anak-anak muda dan sebagian para pengawal Tanah Perdikan, karena bagaimanapun juga Tanah Perdikan ini tidak boleh dikosongkan sama sekali.”

“Agung Sedayu,” berkata Ki Lurah, “kau tidak usah merisaukan pasukan-pasukan lain di luar Kesatuan Khusus ini. Biarlah orang-orang yang berkepentingan dengan daerah masing-masing mempertanggung-jawabkannya. Kau adalah salah seorang di antara warga pasukan khusus ini, sehingga dengan demikian kau terikat di dalamnya.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Katanya, “Ki Lurah memandang persoalannya dengan sudut pandangan yang terlalu khusus. Dimanapun aku berdiri, maka aku sudah berbuat bagi Mataram. Apakah Ki Lurah tidak akan berpaling, seandainya pasukan khusus ini berhasil mendesak pasukan lawan, tetapi pasukan dari Tanah Perdikan Menoreh mengalami kesulitan yang parah? Jika pasukan Pajang berhasil memasuki garis pertahanan Tanah Perdikan Menoreh, akan berarti satu kelemahan dari seluruh garis pertahanan Mataram, yang akan menghadapi Pajang dalam satu garis perang yang panjang. Bukankah pada garis perang yang panjang itu diperlukan kekuatan yang rampak dari ujung sampai ke ujung?”

Ki Lurah Branjangan termangu-mangu sejenak. Dipandanginya Agung Sedayu dengan tajamnya. Rasa-rasanya ia sulit untuk mengerti sikap Agung Sedayu itu menghadapi perkembangan keadaan.

Namun dalam pada itu, Sekar Mirah ternyata telah berkata kepada Agung Sedayu, “Kakang, nampaknya Kakang tidak sependapat dengan Ki Lurah. Kakang sebaiknya berada di dalam lingkungan pasukan khusus ini. Tidak berada di dalam pasukan yang akan disusun oleh Tanah Perdikan Menoreh. Hal itu merupakan keterikatan kita dengan pasukan khusus ini. Sementara itu, di medan pertempuran, maka setiap pasukan akan saling membantu dan mengisi.”

Jantung Agung Sedayu merasa menjadi berdebar-debar. Nampaknya Sekar Mirah lebih senang berada di dalam lingkungan Kesatuan Khusus itu daripada berada di antara anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh. Sebagaimana Sekar Mirah, Agung Sedayu pun mengerti, bahwa pasukan di peperangan tentu akan saling mengisi. Tetapi bagaimanapun juga, ketahanan setiap pasukan akan berpengaruh.

Tetapi akhirnya Ki Lurah berkata, “Agung Sedayu. Aku mencoba mengerti apa yang kau maksudkan. Tetapi seperti yang dikatakan oleh Sekar Mirah, maka Kesatuan Khusus ini akan dapat mengisi semua pasukan yang ada di peperangan. Kelemahan lain tentu terdapat pula di antara pasukan-pasukan yang akan berkumpul dari beberapa daerah. Mungkin dari Mangir, mungkin dari Pasantenan, atau daerah-daerah lain. Tetapi Mataram dalam keseluruhan tidak akan dapat saling melepaskan di dalam pertempuran yang gawat. Dan agaknya pasukan khusus ini memang akan diperlukan di sepanjang garis peperangan.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi ia akan berusaha untuk menyesuaikan diri. Katanya, “Baiklah Ki Lurah. Tetapi aku mohon bahwa susunan pasukan harus diusahakan, agar aku dapat berada di antara pasukan Tanah Perdikan Menoreh. Jika aku berada di antara pasukan khusus, maka pasukan khusus itu akan mengisi kekosongan yang tentu terdapat pada pasukan Tanah Perdikan Menoreh. Dengan demikian, maka aku akan dapat langsung ikut mengamati keadaan pasukan Tanah Perdikan Menoreh.”

Ki Lurah mengangguk-angguk. Namun katanya, “Segala sesuatunya akan diputuskan malam sebelum hari yang ditentukan itu. Tetapi hal itu akan dapat aku sampaikan kepada Senapati ing Ngalaga, yang akan memimpin semua kekuatan dari Mataram menghadapi pasukan Pajang. Namun Senapati ing Ngalaga masih akan berbicara dengan para pemimpin dari daerah-daerah dan pemimpin pasukan-pasukan yang akan berada di bawah kelebet perang Mataram.” Ki Lurah berhenti sejenak, lalu, “Agung Sedayu, selain Prastawa, bukankah di Tanah Perdikan ada Ki Waskita, sebagaimana di Sangkal Putung akan ada Kiai Gringsing?”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Ya. Mudah-mudahan Ki Waskita akan langsung berada di antara pasukan Tanah Perdikan Menoreh bersama Ki Gede, yang kadang-kadang terganggu oleh cacat kakinya yang kambuh.”

Sementara itu, di rumah Ki Gede Menoreh, dua orang senapati dari Mataram tengah berbincang dengan Ki Gede dan Ki Waskita. Seperti Ki Lurah Branjangan, maka Ki Gede menerima semua pesan Raden Sutawijaya dengan baik. Tanah Perdikan Menoreh sudah siap untuk ikut serta menegakkan Mataram, sebagaimana kesediaan Tanah Perdikan untuk melibatkan diri sejak semula.

“Para pengawal dan anak-anak muda di Tanah Perdikan sudah siap,” berkata Ki Gede. Lalu, “Tetapi sudah tentu bahwa kemampuan anak-anak muda Tanah Perdikan tidak dapat disejajarkan dengan anak-anak muda yang berada di Kesatuan Khusus itu.”

“Tetapi tekad anak-anak muda Tanah Perdikan Menoreh yang besar untuk ikut berjuang bagi masa depan Tanah ini dalam keseluruhan adalah modal utama,” jawab senapati itu.
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar