Api Di Bukit Menoreh Seri 2 Buku 160

Buku 160

“Kakang,” berkata Sekar Mirah kemudian, “aku mohon maaf, bahwa mungkin yang akan aku katakan kurang kau sepakati. Tetapi aku ingin kau mengetahui perasaanku. Dengan demikian, maka kita akan dapat saling mengerti dasar pikiran kita masing-masing, jika kita kemudian melihat sikap dan langkah-langkah yang barangkali tidak pernah kita lakukan sebelumnya.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Tetapi ia pun tidak kalah gelisahnya dari Glagah Putih.

“Kakang. Selama ini, aku merasa bahwa hari-hari permulaan rumah tangga kita adalah menyenangkan. Rasa-rasanya kita benar-benar meniti satu kehidupan yang kita inginkan sebelumnya. Apalagi setelah aku mendapat kesempatan ikut serta menjalankan tugas bersamamu di barak pasukan khusus itu. Rasa-rasanya hidup pun menjadi semakin berarti.” Sekar Mirah berhenti sejenak, lalu, “Tetapi akhir-akhir ini aku merasakan sesuatu yang asing, yang kurang aku kenal dan kurang aku mengerti. Aku merasa sangat sepi dan kadang-kadang aku merasa rumah ini tidak memberikan ketenangan kepadaku.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ia masih belum mengerti, kemana arah pembicaraan Sekar Mirah. Tetapi bahwa ada sesuatu yang asing, yang tidak dimengerti, rasa-rasanya ia juga mengalami. Meskipun perasaan itu baginya lebih langsung menyentuh wadagnya, membuat sendi-sendi tubuhnya bagaikan sangat letih dan lemah. Namun dalam saat-saat tertentu, jika ia menguji kemampuannya, maka kemampuannya itu sama sekali tidak berubah.

Tetapi Agung Sedayu tidak segera mengatakannya. Ia masih mendengar Sekar Mirah melanjutkan, ”Kakang. Aku tidak mengerti, apakah sebabnya bahwa aku merasa demikian. Tetapi mungkin aku dapat menyebut satu dugaan. Aku mohon maaf, bahwa yang akan aku katakan itu tidak sesuai dengan jalan pikiranmu.”

Agung Sedayu termangu-mangu. Namun kemudian katanya, “Katakan Mirah.”

“Kakang. Mungkin akhir-akhir ini aku merasa kesepian. Kau terlalu sering meninggalkan aku sendiri di rumah,” suara Sekar Mirah merendah. Bagaimanapun juga terasa keseganan telah bergejolak di dalam hatinya Tetapi ia tidak mau menyimpan perasaan itu di dalam dadanya. Ia merasa lebih baik mengatakannya langsung kepada Agung Sedayu.

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Sekilas ia mencoba memandang ke dirinya sendiri. Sebenarnyalah ia mengakui, bahwa ia memang terlalu banyak meninggalkan Sekar Mirah sendiri di rumah, bahkan kadang-kadang Glagah Putih telah dibawanya pula. Sementara di saat lain, ternyata Glagah Putih masih senang juga pergi ke sungai, menutup pliridan untuk mencari ikan bersama pembantu rumahnya dan kawan-kawannya.

Karena itu, maka Agung Sedayu pun kemudian mengangguk-angguk sambil berkata, “Aku dapat mengerti perasaanmu, Sekar Mirah. Agaknya aku memang terlalu banyak meninggalkan kau di rumah.”

“Kakang, bukan maksudku menghambat tugas-tugas Kakang,” berkata Sekar Mirah lebih lanjut. Lalu, ”Tetapi agaknya akan berbeda, jika Kakang justru mau mengajak aku pergi bersama Kakang. Kakang tahu, bahwa aku bukan anak ingusan yang masih sering merengek. Aku bahkan akan dapat membantu tugas-tugas Kakang.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk pula. Ia mengerti kemampuan istrinya. Karena itu, Sekar Mirah justru telah menemukan pemecahan yang agaknya dapat ditempuhnya.

Karena itu, maka katanya, “Baiklah Mirah. Kita memang dapat pergi bersama-sama. Mungkin sekaligus dengan Glagah Putih. Mungkin kita berdua saja, karena Glagah Putih ingin berada di sanggar.”

“Terima kasih, Kakang. Aku akan melihat, apakah perasaan asing yang tidak aku kenal itu akan dapat berubah,” berkata Sekar Mirah kemudian.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Lalu katanya, “Sebaiknya kita akan mengamati bersama. Keasingan di dalam dirimu itu memang dapat ditimbulkan oleh berbagai sebab. Namun yang kau katakan itu memang mungkin sekali salah satu sebab dari kesepian yang kau rasakan.” Agung Sedayu itu pun berhenti sejenak, lalu tiba-tiba saja ia pun terdorong untuk mengatakan, “Mirah. Sebenarnya aku pun merasakan sesuatu yang asing di dalam diriku. Tetapi tidak pada perasaanku, namun pada wadagku. Aku merasakan satu perasaan yang selama ini tidak pernah aku alami. Keletihan, dan kadang-kadang seolah-olah tubuhku kehilangan kekuatan oleh satu kerja yang keras. Namun pada saat-saat tertentu, jika aku mengujinya, maka segenap kemampuanku masih tetap berada pada tataran yang seharusnya.”

Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Kemudian katanya, “Kita sama-sama mengalami satu hal yang perlu mendapat perhatian kita. Tetapi gejala-gejala yang kau rasakan itu mungkin sekali karena kelelahan. Benar-benar kelelahan, karena seakan-akan kau tak pernah berhenti bekerja. Kau selalu berbuat sesuatu dari matahari terbit, sampai jauh malam. Setiap hari. Bagaimanapun juga, kekuatan seseorang mempunyai keterbatasan.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Mungkin sekali. Karena itu, aku akan mendengarkan pendapatmu.”

Sekar Mirah memandang Agung Sedayu sekilas. Tetapi seolah-olah Agung Sedayu itu pun menjadi asing seperti sesuatu yang bergejolak di hatinya. Perasaannya terhadap Agung Sedayu yang duduk itu lain dengan perasaannya kepada Agung Sedayu beberapa waktu yang lampau.

“Aku tidak boleh mengikuti arus perasaan yang tidak aku kenal ini,” berkata Sekar Mirah di dalam hatinya, “bahwa aku menjadi kecewa karena kesepian yang mencengkam bukan satu alasan untuk memandang Kakang Agung Sedayu dengan sikap yang berbeda.”

Sementara itu, Agung Sedayu masih tetap duduk di tempatnya. Kepalanya menunduk, sementara perasaannyapun mulai menelusuri sikapnya pada saat-saat terakhir. Ia memang merasa, bahwa ia terlalu sering meninggalkan Sekar Mirah seorang diri.

Dalam pada itu, Glagah Putih hampir tidak dapat menahan kegelisahannya yang bergejolak. Ia melihat sesuatu yang kurang serasi pada kedua orang yang belum terlalu lama menginjakkan kaki mereka ke dalam satu lingkungan keluarga baru. Namun yang mulai disentuh oleh satu keadaan yang mendebarkan.

“Untunglah bahwa Kakang Agung Sedayu mau mendengarkan pendapat Mbokayu,” berkata Glagah Putih, “sementara itu Mbokayu pun dengan terbuka mengatakan perasaannya. Jika masing-masing memendam perasaan itu di dalam hati, maka akibatnya tentu akan lebih parah lagi.”

Sementara itu, Glagah Putih merasa bahwa dirinya tidak seharusnya hadir dalam pembicaraan-pembicaraan yang mungkin akan menjadi semakin mendalam. Karena itu, maka ia pun kemudian beringsut sambil berkata, “”Kakang, apakah aku diperkenankan pergi ke sungai?”

“Untuk apa?” berkata Agung Sedayu.

“Membuka pliridan. Aku membuat sebuah pliridan yang besar,” jawab Glagah Putih.

Agung Sedayu termenung sejenak. Namun katanya kemudian, “Jangan terlalu lama. Dan berhati-hatilah, karena kadang-kadang ular air berkeliaran di malam hari.”

“Baik Kakang,” jawab Glagah Putih. Sambil beringsut ia pun kemudian minta diri pula kepada Sekar Mirah, “Mudah-mudahan aku mendapat bader yang Mbokayu inginkan.”

Sekar Mirah memandang anak muda itu. Kemudian sambil tersenyum ia berkata, “Pergilah Glagah Putih. Tetapi kau tidak perlu merisaukan keadaanku dan kakangmu. Tidak ada persoalan apa-apa. Kau yang sudah dewasa tentu dapat menangkap isi pembicaraan kami dengan sikap dewasa pula.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih Mbokayu.”

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya Glagah Putih yang kemudian meninggalkan rumah itu. Sekar Mirah pun kemudian pergi juga ke pintu yang ditinggalkan oleh Glagah Putih.

Sejenak Sekar Mirah masih berdiri di muka pintu. Ia melihat Glagah Putih melintasi halaman dan hilang di balik regol. Sementara itu malam pun menjadi semakin gelap.

Namun Sekar Mirah itu tertegun ketika ia melihat seleret sinar yang berwarna kemerah-merahan meluncur di halaman. Sinar kemerah-merahan itu jatuh tepat di regol halaman, sementara Glagah Putih baru saja melintas.

Cahaya kemerah-merahan itu telah mengejutkan Sekar Mirah. Hampir di luar sadarnya Sekar Mirah yang terkejut itu berteriak memanggil, “”Glagah Putih!”

Sementara itu suara itu sendiri telah mengejutkan Agung Sedayu, sehingga iapun telah meloncat ke pintu. Dari sebelah Sekar Mirah ia melihat pendapa dan halaman yang sepi.

“Ada apa Mirah?” bertanya Agung Sedayu.

Sekar Mirah tidak segera menjawab. Namun suaranya ternyata telah didengar oleh Glagah Putih. Karena itu, maka ia pun telah berbalik dan masuk kembali ke dalam regol. Berlari-lari kecil ia melintasi halaman dan naik ke pendapa. Ketika ia sampai ke pintu, ia melihat Sekar Mirah berdiri tegang. Di sebelahnya Agung Sedayu termangu-mangu.

“Kau tidak apa-apa?” bertanya Sekar Mirah kepada Glagah Putih.

“Kenapa?” justru Glagah Putih-lah yang bertanya.

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Adalah mengherankan bagi Agung Sedayu dan Glagah Putih sendiri ketika Sekar Mirah membimbing anak muda itu masuk kembali ke ruang dalam, seperti membimbing kanak-kanak.

“Apa yang terjadi?” bertanya Agung Sedayu.

Wajah Sekar Mirah masih nampak tegang. Sementara Agung Sedayu-lah yang kemudian menutup pintu yang masih terbuka.

Setelah Glagah Putih duduk di amben, Sekar Mirah duduk pula di sampingnya sambil berdesis, ”Kau tidak merasa apa-apa?”

Glagah Putih menggeleng. Jawabnya, “Tidak, Mbokayu. Ada apa sebenarnya?”

Kecemasan masih nampak membayang di wajah Sekar Mirah. Ketika Agung Sedayu kemudian duduk pula di sebelahnya, maka Sekar Mirah pun mengatakan apa yang dilihatnya.

“Aku cemas tentang keadaanmu. Aku tidak mengerti, apakah yang telah aku lihat itu. Tetapi ada kesan yang mendebarkan. Cahaya yang kemerah-merahan itu seolah-olah jatuh menimpamu, atau satu dua langkah di belakangmu,” berkata Sekar Mirah.

“Aku tidak merasa apa-apa. Aku juga tidak melihat apa-apa,” jawab Glagah Putih.

Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam. Dengan suara bergetar ia berdesis, “Tentu bukan sebangsa tatit.”

“Selain langit tidak mendung, cahaya tatit memancar dengan kecepatan yang tidak kasat mata. Tetapi aku melihat cahaya itu meluncur. Cepat, tetapi tidak secepat tatit atau petir.”

Pada malam itu, Kiai Tali Jiwa di rumah Mbah Kanthil duduk dengan tegang menghadapi jambangannya. Sementara itu asap kemenyan telah memenuhi bilik yang sempit itu.

Menjelang pagi, Kiai Tali Jiwa itu berkata kepada Mbah Kanthil, “Aku telah mulai. Aku telah mengisi halaman rumah Sekar Mirah dengan suasana yang berbeda. Rumah itu akan terasa sangat sepi dan asing bagi Sekar Mirah. Apalagi Agung Sedayu akan mengalami keadaan yang tidak diinginkannya. Perlahan-lahan ia akan mengalami penderitaan, karena wadagnya yang tidak lagi dapat mendukung kemampuan ilmunya yang sangat tinggi.”

“Apakah Guru yakin, bahwa Guru akan dapat menembus kedua orang yang memiliki kelebihan dari orang kebanyakan itu?” bertanya Mbah Kanthil.

“Kau tetap dungu sampai sekarang, Kanthil,” jawab Kiai Tali Jiwa, “bukankah ilmu yang dimiliki oleh Agung Sedayu itu ilmu dalam olah kanuragan? Bukan ilmu seperti yang kita pelajari selama ini?”

Mbah Kanthil itu mengangguk-angguk. Ia percaya kepada gurunya karena ia sudah terlalu sering membuktikan, bahwa gurunya memang dapat melakukan seperti apa yang dikatakannya.

Malam itu Glagah Putih tidak jadi pergi ke sungai. Lewat tengah malam, pembantu rumah Agung Sedayu kembali seorang diri. Perlahan-lahan ia mengetuk dinding arah bilik tidur Glagah Putih.

“Siapa?” desis Glagah Putih yang terbangun.

“Aku. He, kenapa kau tidak turun?” bertanya pembantu itu.

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi ia pun kemudian bangkit dari pembaringannya dan melangkah ke pintu butulan.

Langkahnya tertegun, ketika dilihatnya Agung Sedayu masih duduk di ruang tengah seorang diri. Sementara itu, Agung Sedayu itu pun bertanya, “Kau akan ke mana?”

“Membuka pintu. Anak itu pulang dari sungai. Agaknya ia menunggu aku terlalu lama,” jawab Glagah Putih.

Agung Sedayu tidak bertanya lagi. Dipandanginya saja Glagah Putih yang pergi ke pintu butulan.

Ketika pintu itu terbuka, dan pembantu Agung Sedayu itu melangkah masuk, maka langkahnya terhenti ketika ia melihat Agung Sedayu masih duduk.

“Kakang tidak apa-apa,” desis Glagah Putih, “cepat tidur.”

“Tetapi kau tidak jadi turun malam ini. Gatra mendapat seekor uling, meskipun belum begitu besar, memasuki pliridannya di bawah bendungan,” berkata anak itu.

“Pliridan kita agak jauh dari bendungan,” desis Glagah Putih. Lalu, “Sudahlah, tidurlah. Masih ada waktu sampai dini hari.”

Anak itu tidak menjawab lagi. Ia pun kemudian pergi ke biliknya dan menjatuhkan diri di pembaringannya.

Glagah Putih tidak langsung kembali ke dalam biliknya. Ia pun kemudian duduk di sebelah Agung Sedayu.

“Kakang,” berkata Glagah Putih, “nampaknya ada sesuatu yang kurang wajar telah terjadi. Jika benar Mbokayu Sekar Mirah seperti yang telah dikatakan, maka hal itu harus mendapat perhatian yang sungguh-sungguh.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dipandanginya wajah Glagah Putih dengan tatapan mata yang heran.

“Kenapa tiba-tiba saja kau berkata demikian?” bertanya Agung Sedayu.

Glagah Putih beringsut setapak. Ia menjadi gelisah oleh pertanyaan Agung Sedayu itu. Namun akhirnya ia menjawab, “Kakang, pembicaraan Kakang dan Mbokayu seakan-akan selalu terngiang di telingaku. Sementara itu, aku pernah mendengar cerita Sabungsari dari dunia hitam. Ia sendiri pernah hidup dekat dengan dunia yang demikian. Sabungsari pernah bercerita tentang kemampuan seseorang yang beralaskan ilmu hitam itu melampaui jangkauan nalar kita. Ia pun dapat bercerita tentang cahaya yang kemerah-merahan seperti yang aku dengar dari Mbokayu Sekar Mirah. Semula aku tidak berpikir sejauh itu. Namun sambil berbaring aku mulai memikirkannya. Bahkan dalam tidur aku bermimpi bertemu dengan Sabungsari. Ia mengulangi ceritanya tentang cahaya yang kemerah-merahan. Cahaya itu dapat mendatangkan penyakit.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Cerita yang demikian memang pernah aku dengar, Glagah Putih. Mungkin Mbokayumu pun pernah mendengarnya meskipun agak berbeda.”

“Karena itu, Kakang harus menilainya sebagai satu persoalan yang gawat,” berkata Glagah Putih.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Aku akan memperhatikannya. Tetapi aku sependapat dengan Mbokayumu, bahwa aku harus membagi waktu. Bukan saja agar Mbokayumu tidak merasa terlalu sepi. Tetapi aku memang perlu beristirahat. Seperti kata Mbokayumu, kemampuan seseorang ada batasnya. Dan aku telah berbuat melampaui batas kemampuan itu.”

Glagah Putih mengangguk-angguk. Tetapi ia tidak mengatakan sesuatu lagi.

Untuk beberapa saat keduanya saling berdiam. Baru kemudian Agung Sedayu berkata, “Masih terlalu malam untuk bangun, Glagah Putih. Pergilah ke bilikmu.”

Glagah Putih pun kemudian meninggalkan Agung Sedayu, pergi ke biliknya. Namun ia tetap memikirkan persoalan yang terjadi di dalam keluarga kecil itu. Ia tidak dapat menyingkirkan angan-angannya tentang cahaya kemerah-merahan seperti yang dikatakan oleh Sekar Mirah. Meskipun ia tidak menjadi takut karenanya, tetapi seperti yang pernah didengarnya, cahaya yang demikian akan dapat menimbulkan malapetaka.

“Tentu bukan aku sasarannya,” berkata Glagah Putih di dalam dirinya, “tentu salah satu, Mbokayu Sekar Mirah atau Kakang Agung Sedayu, atau kedua-duanya.”

Namun kemudian Glagah Putih itu bertanya kepada diri sendiri, “Tetapi untuk apa? Keduanya sudah kawin. Atau mungkin ada orang yang menjadi iri atau perasaan lain semacam itu?”

Tetapi Glagah Putih tidak dapat menemukan jawabnya. Semuanya masih diselubungi oleh ketidak-tentuan. Bahkan mungkin sekali yang sebenarnya terjadi tidak sejauh yang diduganya.

Namun dalam pada itu, suasana di rumah itu memang terasa semakin asing bagi Sekar Mirah. Ketika ia bangun dari tidurnya, ia merasa seolah-olah biliknya itu terlalu sepi bagaikan sebuah bilik di rumah yang sudah bertahun-tahun tidak dihuni orang.

Perlahan-lahan Sekar Mirah turun dari pembaringannya. Derit amben bambunya terdengar bagaikan keluhan panjang.

Ketika Sekar Mirah melangkah keluar dari pintu biliknya, ia melihat Agung Sedayu masih duduk di ruang tengah. Langkah Sekar Mirah telah membuat Agung Sedayu itu berpaling.

Sekar Mirah memandang wajah Agung Sedayu sekilas. Tetapi Sekar Mirah merasa aneh atas penglihatannya sendiri. Rasa-rasanya wajah Agung Sedayu menjadi beku dan kehilangan cahaya.

“Semalam suntuk kau duduk di situ, Kakang?” bertanya Sekar Mirah.

“Ya,” jawab Agung Sedayu singkat.

Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Jawaban itu tidak menyenangkannya. Seolah-olah Agung Sedayu telah mengabaikannya. Keseganannya menjawab pertanyaan Sekar Mirah, membuat perempuan itu merasa tidak mendapat perhatiannya.

Tetapi Sekar Mirah masih menahan diri. Ia pun kemudian meninggalkan ruangan itu. Sebagaimana biasa maka ia pun langsung pergi ke pakiwan sebelum memasuki dapur.

Tetapi suasana rumah itu telah benar-benar berubah menurut perasaan Sekar Mirah. Agung Sedayu tidak saja berwajah pucat dan beku.Tetapi sikapnya pun telah berubah pula.

Dalam pada itu, Agung Sedayu yang ternyata semalam suntuk tidak beranjak dari tempatnya, beringsut menepi. Tetapi ketika ia turun dari amben di ruang tengah itu, hampir saja ia terjatuh. Kakinya terasa semutan yang sangat.

“Aneh,” pikir Agung Sedayu, “aku tidak pernah merasakan kakiku seperti ini.”

Namun setelah ia menjulurkan kakinya beberapa saat, perasaan itu pun telah berangsur hilang.

Yang nampak di lingkungan rumah Agung Sedayu itu memang tidak ada perubahan. Yang biasanya menyapu halaman masih juga menyapu halaman. Yang di dapur juga menyalakan api untuk menjerang air. Sementara yang membersihkan ruang-ruang di dalam rumah pun telah melakukannya pula.

Tetapi ternyata yang tidak kasat mata, telah tersentuh oleh perubahan suasana. Perubahan suasana yang tidak di mengerti oleh yang mengalaminya. Terutama Sekar Mirah dan Agung Sedayu.

Namun ternyata bahwa Sekar Mirah benar-benar seorang yang berhati terbuka seperti Swandaru. Perasaan itu sangat mengganggunya, sehingga ia berniat untuk mengatakannya langsung kepada suaminya seperti yang sudah dilakukannya. Namun perasaan yang semakin lama menjadi semakin tidak dimengertinya itu harus mendapat pemecahan.

“Aku tidak mau diganggu oleh perasaan seperti ini tanpa berkesudahan. Jika Kakang Agung Sedayu memang tidak mau memperhatikan aku lagi, ia harus mengatakannya sekarang, sebelum segalanya terlambat,” berkata Sekar Mirah kepada diri sendiri.

Hari itu, keduanya pergi ke barak seperti biasanya. Anak-anak muda di dalam barak pasukan khusus itu pun tidak melihat perubahan apa pun pada kedua orang suami istri itu. Mereka berlatih seperti yang harus mereka lakukan sehari-hari. Menempa diri agar mereka benar-benar menjadi seorang pengawal dalam pasukan khusus yang mumpuni.

Seperti biasanya pula, setelah tugas kedua orang suami istri itu selesai, maka mereka pun pulang dengan berjalan kaki menyusuri jalan-jalan bulak di Tanah Perdikan Menoreh.

Namun dalam pada itu, ketika mereka sampai di sebuah simpang empat, Agung Sedayu telah berkata, “Aku akan singgah di padukuhan itu sebentar, Sekar Mirah. Menurut pedengaranku, semalam padukuhan itu telah diganggu oleh sepasang harimau yang tiba-tiba saja dilihat oleh para peronda. Tetapi para peronda tidak berhasil menemukan harimau itu. Mudah-mudahan harimau itu telah kembali ke dalam hutan dan tidak akan mengganggu penduduk padukuhan itu.”

“Dan aku pulang sendiri?” bertanya Sekar Mirah.

“Ya. Aku tidak lama. Segera aku menyusul,” jawab Agung Sedayu.

Sekar Mirah tidak menjawab lagi. Ia pun kemudian melangkah sendiri menyusuri bulak menuju ke padukuhan induk.

Namun ketika ia melihat matahari yang condong, kemudian melihat pegunungan yang membujur panjang, seterusnya jalan panjang di depan langkah kakinya, terasa kembali betapa kesepian mencengkam perasaannya.

Di luar sadarnya ia berpaling. Dilihatnya lamat-lamat di kejauhan Agung Sedayu menjadi demikian kecilnya bergerak menuju ke padukuhan di hadapannya.

“Ia memang tidak menghiraukan aku lagi,” desis Sekar Mirah sambil melangkah terus.

Sementara Agung Sedayu memasuki padukuhan sebelah untuk menemui anak-anak muda yang dapat mengatakan tentang harimau yang memasuki padukuhan itu semalam, maka Sekar Mirah telah berbelok menuju ke padukuhan induk yang menjadi semakin dekat.

Namun langkahnya bagaikan tertegun sejenak. Dari kejauhan ia melihat seekor kuda yang berlari kencang menuju ke arahnya.

Sekar Mirah menjadi berdebar-debar. Yang berada di punggung kuda itu adalah Prastawa.

Ketika kemudian mereka berpapasan, Prastawa sama sekali tidak memperlambat derap kudanya. Ia hanya mengangguk saja sambil tersenyum dan bertanya, “Kau sendiri Mirah?”

Sekar Mirah tidak sempat menjawab. Prastawa sudah melarikan kudanya menjauhinya. Ketika Sekar Mirah berpaling, Prastawa sama sekali tidak menghiraukannya lagi.

Terasa sesuatu bergejolak di hati Sekar Mirah. Prastawa itu sangat menarik perhatiannya. Jauh berbeda dengan beberapa saat yang lalu. Ia menganggap anak muda itu memang pantas dihormati, karena ia kemenakan Ki Gede Menoreh. Tidak lebih. Namun tiba-tiba perasaan itu telah berubah di dalam dirinya.

“Salah Kakang Agung Sedayu,” geram Sekar Mirah, “jika sikapnya tidak berubah, maka perasaanku tidak akan dicengkam oleh sikap yang asing ini.”

Sekar Mirah menggeretakkan giginya. Namun iapun kemudian melanjutkan langkahnya menuju ke rumahnya.

Tetapi perasaan itu telah terungkap kembali ketika ia memasuki regol rumahnya. Ketika ia melangkahi pintu regol, terasa tengkuknya bagaikan meremang. Namun perasaan itu kemudian berubah ketika ia memandang pintu rumahnya. Rumahnya itu sama sekali tidak lagi menarik baginya. Rumah itu rasa-rasanya menjadi sepi lengang. Namun juga mendebarkan.

Meskipun demikian, Sekar Mirah melangkah terus. Ketika ia naik ke pendapa, dilihatnya Glagah Putih sibuk menyiram pepohonan di halaman. Anak muda itu menanam sebatang bunga soka putih, kembang ceplok piring dan beberapa batang kembang melati di dekat dinding pagar, melengkapi pohon-pohon bunga yang sudah ditanam oleh Sekar Mirah. Sementara itu, beberapa pohon buah-buahan pun telah tumbuh dengan suburnya pula.

Sekar Mirah terhenti sejenak. Menurut pengamatannya, anak itu benar-benar anak yang rajin. Perasaannya terhadap Glagah Putih tidak pernah berubah. Bahkan rasa-rasanya anak muda itu adalah adiknya sendiri. Betapa inginnya ia mempunyai seorang adik. Perempuan atau laki-laki. Sehingga kehadiran Glagah Putih itu serasa telah sedikit memenuhi kerinduannya terhadap seorang adik, justru karena sikap Glagah Putih yang sesuai dengan keinginan Sekar Mirah. Gembira, rajin dan kadang-kadang bergurau, tetapi kadang-kadang bersungguh-sungguh sesuai dengan keadaan yang di hadapinya, apalagi berilmu tinggi.

Karena itu, ketika ia melihat Glagah Putih menjinjing kelenting berisi air, Sekar Mirah menarik nafas dalam-dalam.

Namun sejenak kemudian Sekar Mirah telah masuk ke ruang dalam dan langsung ke biliknya. Sejenak kemudian ia sudah berada di pakiwan. Baru setelah mandi, maka ia pun kemudian menyiapkan minum dan makan malam bagi Agung Sedayu. Ia memanasi sayur dan menjerang air sambil menanak nasi.

Dalam kesibukan itu, Glagah Putih masuk ke dalam dapur. Ia berhenti di muka pintu sambil bertanya, “Mbokayu pulang sendiri?”

“Ya,” jawab Sekar Mirah, “kakangmu singgah di padukuhan yang melaporkan bahwa ada sepasang harimau yang semalam memasuki padukuhan itu.”

“O,” Glagah Putih mengangguk-angguk

“Tetapi entahlah,” berkata Sekar Mirah lebih lanjut, “aku tidak tahu, apakah ia benar-benar mengurus sepasang harimau itu.”

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Tetapi ia tidak bertanya lebih jauh. Bahkan ia pun kemudian bergeser dan melangkah keluar.

Namun ternyata bahwa panggraita anak itu benar-benar tajam. Ia memang mencemaskan hubungan antara Agung Sedayu dan Sekar Mirah. Dan kini ia melihat ungkapan perasaan Sekar Mirah yang menurut pengamatannya cenderung menumbuhkan suasana yang semakin buruk.

“Kakang Agung Sedayu harus menanggapi keadaan ini dan berusaha dengan sungguh-sungguh untuk memecahkannya. Jika tidak, maka keadaan ini akan menjadi semakin buruk,” berkata Glagah Putih di dalam hatinya.

Dengan perasaan yang bergejolak, Glagah Putih pergi ke pendapa. Sejenak ia duduk merenung. Namun kemudian iapun bangkit ketika ia melihat Agung Sedayu memasuki halaman dan kemudian naik ke pendapa.

Ketika Glagah Putih mendekatinya, maka Agung Sedayu justru berhenti sambil berdesis, “Ada yang kurang wajar pada kakiku.”

“Kenapa?” bertanya Glagah Putih.

“Aku serasa letih sekali. Kakiku menjadi berat dan sendi-sendinya serasa sangat letih,” desis Agung Sedayu. Glagah Putih memandang Agung Sedayu sekilas. Kemudian katanya, “Sebaiknya Kakang membersihkan diri dahulu. Baru kemudian kita akan berbicara.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Ia pun bertanya, “Berbicara apa? Kau bersikap aneh. Seolah-olah kau sudah menjadi seorang kakek yang ingin memberi sedikit petunjuk kepada cucunya.”

“Ah,” desah Glagah Putih, “bukan begitu. Aku hanya ingin melapor saja.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Ia pun kemudian langsung memasuki ruang dalam. Setelah melepaskan bajunya, maka ia pun pergi ke pakiwan.

Perhatian Agung Sedayu sepenuhnya ditujukan kepada keadaan dirinya yang tidak wajar itu. Dengan demikian, maka ia tidak teringat lagi untuk menyapa Sekar Mirah yang berdiri di pintu dapur memandanginya ketika ia pergi ke pakiwan.

Tetapi Sekar Mirah juga merasa segan untuk menyapanya. Sehingga karena itu, maka ia pun berdiam diri saja sambil berputar kembali masuk ke dalam dapur.

Tetapi ia sudah bertekad menyelesaikan persoalannya dengan Agung Sedayu.

“Malam ini,” katanya di dalam hati, “aku tidak ingin berkepanjangan. Perasaan-perasaan asing yang bermain di dalam diri sehingga rasa-rasanya sulit untuk dapat dikenali. Apa pun yang terjadi, biarlah segera terjadi. Bagiku lebih baik segalanya cepat mendapat pemecahan daripada saling menyimpan perasaan tanpa diketahui ujung dan pangkalnya.”

Dengan demikian, maka Sekar Mirah itu pun telah menyiapkan beberapa persoalan di dalam hatinya. Setelah makan malam, ia akan mengemukakannya kepada Agung Sedayu. Dikehendaki atau tidak dikehendaki.

Dalam pada itu, setelah Agung Sedayu mandi dan berganti pakaian, ia pun duduk di pendapa bersama Glagah Putih. Dengan hati-hati, Glagah Putih telah menyampaikan tangkapan perasaannya atas ungkapan Sekar Mirah, yang bagi Glagah Putih perlu mendapat perhatian.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Terima kasih Glagah Putih. Aku mengerti maksudmu. Aku akan memperhatikannya. Sikap Sekar Mirah pada saat-saat terakhir memang agak aneh. Aku kurang mengerti apa sebabnya, sebagaimana aku juga kurang mengerti kenapa aku pun merasakan sesuatu yang asing dalam diriku sendiri.”

“Kakang,” berkata Glagah Putih, “aku sadar, bahwa aku tidak lebih dari seorang anak-anak bagi Kakang Agung Sedayu. Tetapi karena aku pernah mendengar cerita Sabungsari, maka aku mohon Kakang menghubungkan keadaan ini dengan cahaya yang pernah dilihat oleh Mbokayu. Mungkin tidak hanya sekali itu saja. Mungkin dua kali, tiga kali dan bahkan mungkin lebih dari itu. Siapa tahu, bahwa ada orang yang dengki atau iri melihat keadaan Kakang sekarang ini.”

“Ah,” desis Agung Sedayu, “jangan berprasangka buruk begitu, Glagah Putih. Bukan berarti aku tidak memperhatikan sebagaimana kau usulkan itu. Tetapi seandainya kita harus mencari sebab dari kekalutan ini, sebaiknya kita tidak mencari kambing hitam. Kita sendirilah yang harus melihat ke dalam diri kita dan mencari cara untuk mengatasinya.”

Glagah Putih menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Maaf, Kakang. Aku bukan orang yang berhati sebersih Kakang. Karena itu, mungkin aku mempunyai pikiran buruk terhadap orang lain. Tetapi itu hanya satu akibat dari keadaan yang terjadi di dalam diri kita. Mudah-mudahan aku keliru.”

Agung Sedayu mengangguk angguk. Katanya, “Baiklah. Aku akan memperhatikannya.”

Glagah Putih pun kemudian meninggalkan Agung Sedayu duduk seorang diri di pendapa. Direnunginya kata-kata anak muda itu. Sambil duduk bersilang tangan, Agung Sedayu memandang halaman rumahnya yang semakin suram karena matahari pun menjadi semakin dekat dengan garis cakrawala.

Sejenak kemudian Glagah Putih pun telah menyalakan lampu. Ketika anak itu pergi ke regol untuk menyalakan lampu minyak yang tergantung di regol, hati Agung Sedayu menjadi berdebar-debar. Ia tidak mengerti kenapa tiba-tiba saja ia merasa bahwa halaman rumahnya itu nampak gersang dan lengang.

Tetapi Agung Sedayu tidak dengan cepat memanjakan perasaannya itu. Ia berusaha untuk melihat ke dalam dirinya lebih dalam lagi, sebagaimana dikatakan oleh Glagah Putih. Perubahan-perubahan yang terjadi di dalam dirinya itu memang tidak wajar.

Demikianlah, setelah malam menjadi gelap, maka dengan singkat dan datar, Sekar Mirah mempersiapkan Agung Sedayu untuk makan malam. Sebelum Agung Sedayu bangkit berdiri, Sekar Mirah telah hilang di balik pintu. Sejenak kemudian terdengar suara Sekar Mirah itu memanggil Glagah Putih untuk makan bersama pula.

Nasi hangat, sayur, dan lauk pauk rasa-rasanya begitu saja meluncur lewat kerongkongan. Masing-masing makan sambil menundukkan kepalanya. Tidak seorang pun di antara mereka yang berbicara.

Justru karena itu, maka rasa-rasanya mereka menyelesaikan makan malam itu dengan cepat. Tidak seperti biasanya. Mungkin karena mereka cepat menjadi kenyang, atau selera makan mereka yang jauh menurun karena keadaan mereka masing-masing.

Dalam pada itu, seperti yang sudah direncanakan, maka Sekar Mirah benar-benar ingin berbicara dengan Agung Sedayu. Ia ingin segala-galanya menjadi jelas. Apa pun yang terjadi.

Karena itu, setelah ia membenahi mangkuk dan sisa makanan mereka, maka ia pun kemudian menuang minuman panas di mangkuk masing-masing sambil berkata, “Aku masih akan berbicara, Kakang.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Tetapi agak berbeda dengan kebiasaannya yang lebih senang berdiam diri. Saat itu, ia justru merasa bahwa niat Sekar Mirah untuk berbicara itu merupakan kesempatan yang baik baginya. Setelah menimbang-nimbang, maka apa yang dikatakan oleh Glagah Putih di pendapa itu agaknya memang benar. Ia harus memperhatikan perkembangan keadaan terakhir dengan bersungguh-sungguh.

Sejenak kemudian, Sekar Mirah telah duduk pula bersama Agung Sedayu dan Glagah Putih. Yang mula-mula dikatakan adalah, “Kau duduk saja di situ, Glagah Putih.”

Glagah Putih tidak menjawab. Tetapi kepalanya menunduk dalam-dalam.

“Kakang,” berkata Sekar Mirah, “aku pernah berbicara tentang keadaan kita, beberapa hal yang aku anggap asing di dalam diriku, dan mungkin di dalam dirimu. Tetapi pembicaraan itu rasa-rasanya tidak ada gunanya sama sekali Kakang, karena justru setelah itu perasaanku menjadi semakin baur. Aku tidak lagi mengerti sikap Kakang sekarang ini terhadapku. Apakah sebenarnya Kakang memang sudah berubah, sehingga kehadiranku di sini sama sekali tidak berarti lagi.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Tetapi seolah-olah ia telah didorong untuk berbicara lebih terbuka dari sifatnya yang sebenarnya. Karena itu, maka jawabnya, “Mirah. Aku cenderung untuk melihat keadaan ini dari beberapa sudut. Seandainya benar anggapan bahwa kau tidak berarti lagi bagiku, maka hal itu terlalu cepat terjadi. Memang mungkin sekali pada suatu saat perasaan seseorang dapat berubah. Kita tidak usah menutup mata, bahwa ada perkawinan yang gagal di tengah jalan. Tetapi yang asing bagiku, justru perasaan yang demikian itu datangnya terlalu cepat. Selebihnya, kau pun harus mengetahui perasaan yang aneh pada diriku, meskipun sebagian terasa pada wadagku. Tetapi dengan demikian, maka aku mulai curiga, bahwa sebenarnya bukan karena aku terlalu banyak bekerja. Bukan karena aku terlalu letih.”

“Jika demikian, coba katakan Kakang, apakah yang sebenarnya sedang terjadi di antara kita?” bertanya Sekar Mirah.

“Itulah yang harus kita cari. Tetapi bahwa kita masing-masing merasa ada sesuatu yang tidak kita kenal di dalam diri kita, adalah satu kurnia. Marilah kita memperhatikannya dengan seksama.”

Sekar Mirah mengerutkan keningnya. Kata-kata suaminya itu berhasil menyentuh perasaannya.

Dalam pada itu Agung Sedayu melanjutkannya, “Sekar Mirah. Dalam beberapa hal kita telah dihanyutkan oleh arus perasaan kita. Kita terombang-ambing oleh satu pengaruh yang tidak kita kenal. Tentu dari luar diri kita sendiri, sehingga kita menjadi terasa asing terhadap diri kita masing-masing.”

Sekar Mirah menjadi tegang. Ia mulai berpikir. Betapa pun juga pikirannya terasa membeku, namun ia berusaha dengan sekuat tenaganya untuk mempergunakan penalaran menanggapi persoalan yang sedang dihadapinya.

“Kakang,” berkata Sekar Mirah kemudian, “apakah Kakang bermaksud, bahwa perasaan kita telah terkena pengaruh dari luar lingkungan kita?”

“Kita harus mencoba untuk menilainya, Mirah,” jawab Agung Sedayu.

“Maksud Kakang, bahwa sesuatu sebab telah dengan sengaja memacu perasaan kita ke arah yang sebenarnya tidak kita kehendaki?”

“Aku tidak pasti. Tetapi kemungkinan itu ada, Mirah. Dengan demikian, maka kita telah berbuat sesuatu di luar pengamatan nalar kita. Demikian pula yang terjadi dengan keadaanku, terutama wadagku. Aku tidak menutup kemungkinan pertimbangan, bahwa yang kau lihat itu bukannya tidak mungkin merupakan salah satu sebab,” berkata Agung Sedayu.

“Yang aku lihat yang mana yang Kakang maksud?” bertanya Sekar Mirah pula.

“Cahaya kemerah-merahan itu,” jawab Agung Sedayu.

Tiba-tiba saja tubuh Sekar Mirah meremang. Ia memang pernah mendengar dongeng tentang cahaya yang demikian. Apalagi ketika Agung Sedayu berkata, “Cahaya yang demikian, mungkin tidak hanya sekali turun di sekitar dan bahkan mungkin atas rumah kita.”

Sekar Mirah pun kemudian mengangguk-angguk. Katanya, “Memang mungkin, Kakang. Aku akan mencoba menghubungkannya.”

“Kemudian kita merenunginya dengan perasaan, tetapi juga dengan nalar. Apa yang telah terjadi dan apa yang sedang kita lakukan,” berkata Agung Sedayu.

“Ya. Perasaanku telah mencengkamku. Aku merasa asing di dalam rumah ini. Kau telah berubah sama sekali,” desis Sekar Mirah.

“Katakan,” desak Agung Sedayu.

Sekar Mirah berusaha untuk dapat melihat ke dalam dirinya. Melihat pengaruh yang tidak dikenalnya, dan mencoba menyebutnya sambil memejamkan matanya, “Kau menjadi dingin dan tidak memperhatikan aku lagi. Yang kau lakukan itu telah mendorong aku untuk membencimu. Bahkan aku telah berniat untuk meninggalkanmu.”

“Kau akan pergi ke mana, jika kau berniat untuk meninggalkan aku? Kembali ke Sangkal Putung?” desak Agung Sedayu.

“Tidak. Aku akan pergi ke tempat yang tidak aku ketahui. Tetapi tidak ada niatku untuk kembali ke Sangkal Putung.” Sekar Mirah berhenti sejenak. Kemudian dengan suara sendat ia berkata selanjutnya sambil memejamkan matanya, “Bahkan jika perlu, aku akan mengusirmu. Kau-lah yang harus pergi, jika kau memang tidak mempedulikan aku lagi.”

“Mirah. Menurut perhitungan nalarmu, apakah mungkin aku berbuat demikian? Apakah mungkin aku tidak mempedulikanmu lagi setelah kita kawin dalam waktu yang terhitung sangat singkat?” bertanya Agung Sedayu.

“Aku merasa demikian,” jawab Sekar Mirah.

“Bukan sekedar perasaanmu. Selama ini kau banyak mempergunakan nalarmu. Perhitungan dan pertimbangan. Justru lebih banyak dari aku sendiri,” desak Agung Sedayu.

“Aku akan mencoba,” jawab Sekar Mirah.

“Ingat. Aku sudah mengenalmu lama sekali sebelum kita kawin. Aku sudah mengerti tabiatmu dan kau sudah mengerti tabiatku. Mungkin ada hal yang tidak sesuai di antara kita. Tetapi akhirnya kita sampai ke jenjang perkawinan. Itu berarti bahwa kita sudah berusaha untuk mengesampingkan ketidak-sesuaian itu Apakah masuk akal, bahwa setelah sekian lama, ternyata dalam waktu yang singkat, kita sudah tidak saling memerlukan lagi?” bertanya Agung Sedayu. Sekar Mirah terdiam sejenak. Keringat dingin telah membasahi seluruh tubuhnya. Namun ia masih tetap berusaha untuk bertahan pada pertimbangan nalarnya. Lalu katanya, “Memang tidak masuk akal. Tetapi apakah memang demikian halnya?”

“Tidak. Coba katakan, tidak,” jawab Agung Sedayu tegas. Sikap yang tidak pernah nampak pada Agung Sedayu dalam hidupnya sehari-hari.

“Ya,” Sekar Mirah mengulangi. “Tidak. Kau benar, Kakang, Tidak.”

“Mulailah dengan sikapmu sendiri. Perasaanmu yang seimbang dengan penalaranmu. Kau usahakan merebut kembali pribadimu sendiri dari pengaruh yang asing itu, Mirah. Sementara aku akan berjuang untuk mengatasi kesulitan pada wadagku,” berkata Agung Sedayu.

“Ya. Aku akan melakukannya. Tetapi tolong aku, Kakang. Katakan, apakah kau tidak memerlukan aku lagi?” bertanya Sekar Mirah.

“Sikapku kepadamu tidak pernah berubah, Mirah. Seperti saat kita memasuki jenjang perkawinan,” jawab Agung Sedayu.

“Benar demikian?” bertanya Sekar Mirah pula.

Glagah Putih menjadi semakin menunduk. Namun ia mendengar Sekar Mirah terisak semakin keras.

Untuk beberapa saat Agung Sedayu membiarkan istrinya menangis. Istrinya yang kadang-kadang dapat menjadi garang, apalagi dengan tongkat baja putihnya. Namun ternyata bahwa ia tetap seorang perempuan.

Baru sejenak kemudian Agung Sedayu berkata, “Sudahlah Mirah. Duduklah yang baik. Kita masih akan berbicara panjang.”

Sekar Mirah pun kemudian beringsut. Sambil membenahi sanggulnya ia pun kemudian duduk beringsut sejengkal dari Agung Sedayu.

“Sekarang kita bersama-sama menyadari sepenuhnya. Bahwa ada pengaruh dari luar lingkungan kita yang telah menyusup ke dalam diri kita masing-masing, meskipun akibat yang tumbuh agak berbeda,” berkata Agung Sedayu.

“Ya, Kakang. Aku sekarang yakin. Meskipun perasaan yang asing itu masih ada di dalam diriku, tetapi aku sudah tahu sebabnya, sehingga aku harus melawannya,” berkata Sekar Mirah.

“Kita harus melawannya. Jika kita yakin akan pegangan kita, maka kita akan dapat membebaskan diri,” berkata Agung Sedayu kemudian. Lalu, “Sudah barang tentu bahwa seperti yang aku katakan, kita tidak akan dapat membanggakan kekuatan kita sendiri, lahir maupun batin. Karena itu, kita harus bersandar kepada pertolongan Tuhan Yang Maha Agung. Tidak ada kekuatan dari pihak yang manapun yang akan dapat mengimbangi kekuasaan Tuhan Yang Maha Kasih itu.”

“Ya, Kakang. Aku sudah merasakan betapa besar kuasa-Nya,” jawab Sekar Mirah.

“Karena itu, sejak sekarang, marilah kita selalu menyebut nama-Nya, mohon pertolongan dan perlindungan-Nya. Dengan memusatkan nalar budi kita, maka kita akan mendekatkan diri kepada-Nya,” berkata Agung Sedayu.

Sekar Mirah mengangguk kecil.

“Biarlah malam ini aku tetap berada di sini. Aku akan selalu berdoa bagi keselamatan kita sekeluarga. Keluarga kecil ini,” berkata Agung Sedayu, “sementara itu, kau dapat beristirahat, Mirah. Kau dapat merenung lebih dalam di dalam bilik kita. Kau dapat menukik ke dalam pusat persoalan yang sedang kita hadapi. Kau dapat mencari dengan ketajaman nalarmu, pengaruh apakah yang sebenarnya sedang menyusup ke dalam diri kita masing-masing.”

“Aku tetap di sini Kakang. Marilah semuanya kita lakukan bersama-sama,” jawab Sekar Mirah.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Baiklah. Jika kau bertekad untuk bersamaku menghadapi masalah yang sama-sama kita alami sekarang ini.” Agung Sedayu berhenti sejenak, lalu, “Kau sajalah Glagah Putih. Jika kau ingin beristirahat, beristirahatlah. Atau jika kau ingin turun ke sungai, turunlah. Mungkin kau akan membuka pliridan. Jika kau mendapat ikan sekepis malam ini, besok pagi-pagi kita tidak usah mencari lauk bagi makan pagi kita.”

Glagah Putih mengangkat wajahnya. Namun katanya kemudian, “Aku akan tetap berada di sini pula Kakang. Meskipun barangkali kehadiranku tidak berarti apa-apa. Tetapi setidak-tidaknya aku dapat membantu, jika Kakang memerlukan. Mungkin Kakang memerlukan mengambil sesuatu, atau berbuat sesuatu yang akan dapat aku lakukan.”

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya, “Jika demikian, baiklah. Malam ini kita bertiga akan duduk di sini. Kita akan dengan cermat mengamati perkembangan keadaan di dalam diri kita masing-masing. Kita akan melawan segala macam pengaruh yang dapat merusak sikap kita, dengan bersandar kepada keyakinan kita bahwa Tuhan akan menolong kita.”

“Ya, Kakang,” jawab Sekar Mirah dan Glagah Putih hampir berbareng.

“Tetapi itu tidak berarti bahwa kita semalam suntuk tidak akan tidur. Kita dapat tidur barang sejenak bergantian. Jika salah seorang dari kita tetap jaga, maka kita tidak melepaskan kewaspadaan dan dengan demikian, kita akan tetap mempertautkan diri dengan permohonan perlindungan kepada Tuhan,” berkata Agung Sedayu.

Sekar Mirah dan Glagah Putih tidak menyahut. Tetapi mereka telah mengangguk kecil.

Demikianlah, maka bertiga mereka tetap duduk bersama-sama di ruang tengah. Mereka duduk bersila sambil menyilangkan tangan mereka di dada. Untuk beberapa lamanya mereka duduk tanpa berbicara sepatah kata pun. Mereka memusatkan nalar dan budi sebagaimana dikatakan oleh Agung Sedayu untuk menghadapi keadaan yang sebelumnya tidak mereka kenal dengan pasti, meskipun mereka dapat menduganya.

Malam itu, Kiai Tali Jiwa terkejut melihat nyala lampu minyaknya di dalam bilik khusus itu padam. Dengan tergesa-gesa ia berusaha untuk menyalakannya kembali. Namun terasa angin yang kencang bagaikan berputar di dalam bilik itu.

“Kanthil,” berkata Kiai Tali Jiwa, “bukan main. Kedua orang itu benar-benar bukan orang kebanyakan.”

“Bukankah sudah aku katakan, Guru,” berkata Mbah Kanthil.

“Tetapi aku bukan anak-anak lagi, Kanthil. Hari ini belum hari keempat puluh. Aku masih mempunyai kesempatan. Aku akan mempertajamkan ilmuku, sehingga mereka benar-benar akan tunduk di bawah pengaruhku, sebagaimana aku kehendaki.”

Mbah Kanthil tidak menjawab. Ia melihat Kiai Tali Jiwa malam itu duduk tepekur menghadapi bejana yang berisi air kembang dan reramuan lain. Sementara itu, api lampunya telah menyala lagi, meskipun kadang-kadang berguncang bagaikan ditiup angin yang kencang.

Menjelang dini hari, terdengar Kiai Tali Jiwa mengeluh. Mbah Kanthil yang sudah tertidur terkejut mendengar Kiai Tali Jiwa mengumpat keras-keras.

“Apa apa?” bertanya Mbah Kanthil.

“Ada dinding yang membentengi halaman itu,” berkata Kiai Tali Jiwa. Lalu, “Tetapi itu tidak berarti. Pengaruh ilmuku sudah masuk malam kemarin. Meskipun agaknya malam ini agak terganggu. Aku tidak tahu, apakah suami istri itu menyadari keadaannya, sehingga mereka minta pertolongan seseorang.”

Mbah Kanthil duduk di pintu bilik itu. Dilihatnya wajah Kiai Tali Jiwa menjadi tegang. Sambil memandangi bejana yang diterangi oleh lampu minyak yang berkeredipan, Kiai Tali Jiwa berkata, “Sebentar lagi hari menjadi pagi. Kesempatanku tinggal sedikit malam ini. Biarlah aku menghimpun tenaga sehari ini. Malam nanti aku akan melontarkan puncak ilmuku. Aku masih mempunyai waktu beberapa hari lagi. Sebelum hari keempat puluh aku harus sudah siap seluruhnya. Pada malam terakhir, semuanya harus terjadi seperti yang kita kehendaki. Meskipun ada benteng berlapis sembilan yang dipasang oleh sembilan orang yang memiliki ilmu mumpuni, maka aku tentu akan dapat menembusnya.”

Mbah Kanthil mengangguk-angguk. Namun ia pun memperingatkan, “Guru, mereka memang orang-orang yang luar biasa. Meskipun hanya ilmu kanuragan, tetapi mereka tentu memiliki daya tahan melampaui orang kebanyakan.”

“Daya tahan kewadagan mereka tidak akan berarti apa-apa bagiku,” jawab Kiai Tali Jiwa.

Mbah Kanthil tidak menjawab lagi. Tetapi ia sudah melihat, bahwa gurunya mengalami kesulitan.

Sisa malam itu tidak lagi dipergunakan oleh Kiai Tali Jiwa. Ia justru beristirahat dari kelelahan batinnya setelah berusaha menembus selapis pertahanan yang tidak dikenal pada Agung Sedayu dan Sekar Mirah.

Di hari-hari menjelang hari keempat puluh, Kiai Tali Jiwa menjadi semakin tekun. Siang hari ia seakan-akan mengumpulkan tenaga dan kekuatan yang akan dilontarkannya malam hari berikutnya. Bahkan ia semakin ketat berpuasa. Pada saat matahari terbit dan terbenam, ia masih tetap hanya minum beberapa teguk dan makan beberapa suap nasi tanpa lauk sama sekali. Bahkan semakin lama semakin sedikit.

Dalam pada itu, di siang hari Sekar Mirah dan Agung Sedayu tetap menjalankan kewajibannya seperti biasa. Sekar Mirah masih saja dicengkam oleh perasaan asing, sebagaimana Agung Sedayu menjadi cemas menghadapi keadaan tubuhnya. Tetapi keduanya menyadari sepenuhnya, bahwa perasaan mereka telah dipengaruhi oleh kekuatan di luar diri mereka. Sekar Mirah menyadari, bahwa sebenarnya ia tidak membenci Agung Sedayu. Tidak ada alasan untuk berbuat demikian. Apa yang dilakukan oleh Agung Sedayu menurut pengamatannya dengan nalar, tidak lebih buruk dari yang dilakukan sebelumnya. Bahkan Agung Sedayu yang merasa tubuhnya kadang-kadang sangat letih itu sudah menjadi lebih sering tinggal di rumah. Dengan demikian Sekar Mirah justru menjadi semakin menyadari, bahwa perasaan yang bergejolak di dalam dirinya, tentu bukan perasaannya yang sewajarnya.

Kesadaran itu telah menolong Sekar Mirah dan Agung Sedayu mengatasi keadaannya. Bersandar kepada kepercayaan mereka kepada Tuhan Yang Maha Kasih, mereka telah berusaha untuk melawan perasaan yang tidak mereka kenal itu.

Karena itu, setelah mereka kembali dari barak pasukan khusus yang mereka tangani sebagaimana kebiasaan mereka sehingga sama sekali tidak menimbulkan kesan apa pun, maka mereka mulai menempatkan diri mereka dalam kesiagaan menghadapi pengaruh yang tidak mereka kenal itu.

Setelah makan malam dan setelah kewajiban mereka dalam hubungan mereka dengan Tuhan mereka tunaikan, maka Agung Sedayu dan Sekar Mirah disertai Glagah Putih telah duduk bersama di amben bambu di ruang dalam. Kadang-kadang mereka memang merasa cemas. Tetapi kepercayaan mereka terhadap Tuhan telah memantapkan sikap mereka.

“Kau tidak pergi Glagah Putih?” bertanya Agung Sedayu yang sudah duduk sambil menyilangkan tangannya di dadanya.

“Malam ini tidak, Kakang. Aku akan duduk di sini bersama Kakang dan Mbokayu,” jawab Glagah Putih.

Agung Sedayu mengangguk. Katanya, “Baiklah. Tetapi jika kau merasa letih dan mengantuk, pergilah ke bilikmu. Biarlah aku dan Mbokayumu duduk sambil berusaha mengenali apa yang sebenarnya terjadi.”

Glagah Putih mengangguk. Tetapi ia tidak menjawab.

Dalam pada itu, maka mereka bertigapun mulai memusatkan nalar budi mereka untuk mengenali apa yang sebenarnya terjadi. Kesadaran mereka terhadap pengaruh yang tidak mereka kenal, telah mereka kembangkan di dalam diri mereka untuk melawan pengaruh itu sendiri. Sementara itu Agung Sedayu pun telah mengerahkan kemampuan daya tahannya untuk melenyapkan perasaan letih yang kadang-kadang datang menyengat sendi-sendi tulangnya.

“Aku tidak tahu sebabnya. Tetapi kekuatan di dalam diriku, kekuatan cadangan dan daya tahan dilandasi dengan keyakinan yang teguh serta bersandar kepada perlindungan Tuhan, maka aku yakin segalanya akan dapat aku atasi,” berkata Agung Sedayu di dalam dirinya.

Ternyata bahwa keyakinan itulah yang memang telah memberikan kekuatan kepadanya sehingga perasaan letih dan kadang-kadang nyeri pada sendi-sendi tulangnya itu tidak berkembang. Namun juga karena keyakinan itu, maka ia benar-benar siap melawan segala macam pengaruh yang tidak diketahuinya itu.

Demikianlah, dari malam ke malam, seolah-olah telah terjadi benturan kekuatan. Kiai Tali Jiwa yang semakin mempertajam ilmunya untuk memberikan pengaruh untuk mematangkan suasana di malam keempat puluh memang merasa heran. Rasa-rasanya ilmunya memang membentur kekuatan yang melapisi perasaan Agung Sedayu dan Sekar Mirah.

“Gila,” geram Kiai Tali Jiwa, “apakah yang sebenarnya aku hadapi? Suasana yang aku ciptakan itu tidak berhasil memasuki lingkungan hidup Sekar Mirah dan Agung Sedayu.”

Mbah Kanthil pun menjadi tegang. Ketika ia mendekati gurunya yang sedang tepekur, tiba-tiba ia terkejut, sebagaimana juga Kiai Tali Jiwa. Air di dalam jambangan itu tiba-tiba saja bergejolak. Keduanya melihat getaran yang mengguncangnya. Namun hanya sesaat. Sesaat kemudian air itu pun menjadi tenang kembali.

“Kanthil,” geram Kiai Tali Jiwa, ”ternyata lontaran kekuatanku itu telah membentur dan berbalik.”

Mbah Kanthil termangu-mangu. Namun kemudian katanya, ”Lalu, apakah yang akan Guru lakukan?”

Kiai Tali Jiwa menjadi tegang. Dipandanginya air di dalam jambangan di hadapannya. Nampaknya sudah menjadi tenang, dan seolah-olah tidak pernah terjadi sesuatu.

“Kanthil,” berkata Kiai Tali Jiwa, ”ternyata aku benar-benar berhadapan dengan orang yang memiliki kelebihan. Aku sama sekali tidak menduga, bahwa orang-orang yang hanya mengenal olah kanuragan itu mampu membentengi dirinya, sehingga malam ini aku gagal lagi memasuki lingkungan kehidupan mereka, bahkan benteng itu mampu melontarkan kembali serangan yang aku tujukan kepada mereka.”

“Ya. Aku salah hitung,” jawab Kiai Tali Jiwa, ”justru karena itu, aku telah menganggap mereka lawan yang harus aku hadapi dengan sungguh-sungguh.”

“Apa yang akan Guru lakukan?” ulang Mbah Kanthil.

“Aku akan menghadapi mereka seorang demi seorang,” berkata Kiai Tali Jiwa, “aku harus melepaskan Sekar Mirah lebih dahulu, meskipun aku sudah berhasil menanamkan kegelisahan di dalam jiwanya. Biarlah ia dalam keadaannya. Sementara itu, aku harus menghadapi Agung Sedayu lebih dahulu. Aku akan menusuknya dengan kekuatan Tunda Bantala.”

“Guru,” potong mBah Kanthil dengan serta merta, “jika Guru mempergunakan kekuatan ilmu Tunda Bantala, apakah orang muda itu akan mampu mempertahankan hidupnya?”

“Tidak ada orang yang dapat bertahan atas ilmu Tunda Bantala. Orang yang bernama Agung Sedayu itu pun akan binasa. Hanya mereka yang memiliki kekuatan yang luar biasa, di luar perhitungan nalar manusia sajalah yang mungkin masih akan tetap hidup dalam keadaan yang paling pahit,” berkata Kiai Tali Jiwa.

“Tetapi bukankah Angger Prastawa menghendaki agar Agung Sedayu tetap hidup?” bertanya Mbah Kanthil.

“Bukan persoalan yang harus direntang terlalu panjang. Jika aku mengatakannya, bahwa ternyata Agung Sedayu terlalu lemah, sehingga serangan yang paling ringan pun telah membunuhnya, aku kira tidak akan ada persoalan lagi. Yang penting, aku akan dapat menguasai perasaan Sekar Mirah sepenuhnya sepeninggal Agung Sedayu,” jawab Kiai Tali Jiwa.

Mbah Kanthil termangu-mangu. Namun kemudian ia tersentak, ketika Kiai Tali Jiwa membentaknya, ”Jangan dungu, perempuan tua! Keragu-raguan di dalam langkah kita adalah bencana. Jika kau mulai ragu-ragu, sebaiknya kita batalkan saja seluruh rencana ini.”

“Tidak,” jawabnya hampir berteriak, “aku tidak ragu-ragu, Guru. Jika aku nampak ragu-ragu bukan karena sasaran kita. Tetapi justru jika Angger Prastawa menolak untuk mengakui kerja kita, justru karena tidak sesuai dengan yang dikehendakinya.”

“Itu sama artinya dengan membunuh diri,” berkata Kiai Tali Jiwa, “kau sangka aku tidak akan dapat mengendalikannya?”

Mbah Kanthil mengangguk-angguk. Ia mengerti sifat gurunya. Karena itu ia tidak berbicara lebih panjang lagi.

Sementara itu, Kiai Tali Jiwa-lah yang berkata selanjutnya, “Kanthil. Aku tinggal mempunyai waktu tiga malam lagi. Aku harus mempergunakannya sebaik-baiknya. Jika aku gagal, maka aku harus mulai lagi dari permulaan. Dan itu tentu akan menghisap tenagaku semakin banyak.”

“Ya, Guru,” jawab Mbah Kanthil.

“Karena itu,” berkata Kiai Tali Jiwa pula, “yang pertama aku menyelesaikan Agung Sedayu. Kemudian empat puluh hari empat puluh malam lagi, Sekar Mirah akan aku tundukkan sepeninggal Agung Sedayu. Dalam keadaannya kini, kematian Agung Sedayu tentu tidak akan menyusahkan Sekar Mirah yang sudah berhasil aku susupi suasana yang menjauhkannya dari Agjung Sedayu, meskipun kemudian terjadi keanehan ini. Serasa ada benteng yang memagari kedua orang itu, sehingga suasana yang lebih dalam tidak berhasil aku trapkan.”

Mbah Kanthil mengangguk-angguk. Tetapi ia pun kemudian bertanya, “Tetapi apakah mungkin ada kekuatan orang lain yang membantunya?”

“Mungkin sekali,” jawab Kiai Tali Jiwa, “aku tidak percaya, bahwa keduanya akan mampu bertahan. Apalagi justru pada bagian pertama seranganku berhasil menyusup masuk.”

“Dengan demikian, Guru berhadapan dengan pihak ketiga,” berkata Mbah Kanthil.

“Yang pasti, aku menghadapi keadaan yang sulit aku tebak. Aku tidak merasa ada perlawanan yang hidup. Yang aku rasakan, adalah sekedar benteng yang menjadi perisai dari kehidupan keduanya,” jawab Kiai Tali Jiwa. ”Aku tidak tahu, apakah keduanya mempunyai sarana untuk berbuat demikian. Tetapi bagaimanapun juga, bukan berarti bahwa aku tidak akan berhasil. Meskipun juga bukan berarti bahwa aku akan berhasil. Meskipun dengan demikian, keberhasilanku memerlukan waktu yang lebih panjang.”

Mbah Kanthil mengangguk-angguk. Ia merasa gejolak perasaan gurunya. Gurunya bukan saja sekedar memenuhi keinginan Prastawa. Tetapi gurunya sudah di sentuh oleh kemarahan yang membakar jantungnya, sehingga dengan demikian maka ia tentu akan menjadi semakin garang.

Dalam pada itu, Sekar Mirah dan Agung Sedayu masih tetap dalam sikapnya. Di siang hari memang tidak nampak perubahan sama sekali, meskipun keduanya tetap berhati-hati dan menyadari perasaan masing-masing. Sekar Mirah berusaha dengan sekuat tenaga, mempergunakan nalarnya untuk menguasai perasaan bencinya kepada Agung Sedayu. Sementara Agung Sedayu telah mengerahkan segenap daya tahannya untuk menolak perasaan yang mengganggu wadagnya, meskipun tidak seluruhnya berhasil.

Pada malam-malam berikutnya, Agung Sedayu justru telah mengetrapkan ilmu kebalnya ketika ia duduk bersama Sekar Mirah setelah makan malam di kawani oleh Glagah Putih. Sementara mereka bertiga berusaha untuk menyandarkan diri dalam kuasa Yang Maha Agung.

Namun dalam pada itu, Glagah Putih telah bertanya pula, “Kakang, apakah Kakang tidak berniat mengatakan hal ini kepada orang-orang tua? Ki Waskita misalnya.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Memang terasa di hatinya.

Glagah Putih memandang Sekar Mirah sekilas. Tetapi ia tidak menangkap sesuatu kesan wajah istri Agung Sedayu itu.

Karena itu, maka katanya, “Kakang dan Mbokayu dapat mengatakan apa yang telah Kakang alami selama ini.”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Mungkin Ki Waskita akan menganggap kami terlalu cengeng. Mungkin memang tidak terjadi sesuatu atas diri kami, kecuali gejolak perasaan kami sendiri. Karena itu, biarlah kami mencoba mengatasinya. Jika ternyata bahwa kami tidak mampu lagi berbuat sesuatu, biarlah kami akan mengatakan kepadanya dan kepada orang-orang tua yang lain.”

Glagah Putih mengerutkan keningnya. Namun dalam pada itu, Sekar Mirah pun berkata, “Ya, Glagah Putih. Kami akan menunggu perkembangan keadaan dalam beberapa hari ini.”

Glagah Putih kemudian hanya dapat mengangguk-anggukkan kepalanya. Namun sebenarnyalah Agung Sedayu dan Sekar Mirah tidak tahu, bahwa batas yang diletakkan oleh Kiai Tali Jiwa untuk melontarkan puncak ilmunya, Tunda Bantala, sudah menjadi semakin dekat.

Dalam pada itu, sebenarnyalah telah terjadi benturan ilmu yang nggegirisi dari Kiai Tali Jiwa dengan benteng yang ternyata telah memutari kehidupan Agung Sedayu, yang justru tersusun karena sikap pasrahnya kepada kekuasaan Tuhan Yang Maha Agung. Dengan sepenuh nalar budi, Agung Sedayu dan Sekar Mirah, di sertai Glagah Putih, telah memohon perlindungan kepada Tuhan bagi keselamatan mereka.

Untuk melawan ilmu Tunda Bantala, ilmu kebal Agung Sedayu sebenarnya sama sekali tidak berarti. Kiai Tali Jiwa tidak menyerang Agung Sedayu lewat ujud kewadagannya. Namun sebenarnyalah bahwa perlindungan Tuhan sajalah yang sampai pada saat-saat terakhir telah menyelamatkannya.

Tetapi dalam pada itu, Kiai Tali Jiwa pun telah mengerahkan segenap kemampuannya. Ia melepaskan serangannya terhadap Sekar Mirah untuk sementara, agar ia dapat memusatkan serangannya atas Agung Sedayu. Sehingga dengan demikian, maka perjuangan Agung Sedayu pun menjadi semakin berat. Sedikit saja keragu-raguannya terhadap perlindungan Tuhan, maka ia telah menyediakan lubang bagi ilmu Tunda Bantala untuk menyusup ke dalam dirinya menempatkan senjata Kiai Tali Jiwa di dalam tubuhnya.

Dua malam terakhir, perjuangan kedua belah pihak menjadi semakin seru. Tubuh Agung Sedayu memang merasa semakin letih. Bahkan di hari berikutnya, ia seolah-olah tidak sanggup lagi pergi ke barak untuk menunaikan tugasnya. Hanya karena kemauannya yang besar sajalah yang telah memberi kekuatan kepadanya untuk dapat melakukan tugas-tugasnya bersama Sekar Mirah.

Pada malam terakhir, menurut perhitungan Kiai Tali Jiwa adalah malam keempat puluh, maka perjuangan keduanya mencapai puncaknya. Agung Sedayu dan Sekar Mirah yang tidak mengetahui hitungan hari itu, masih tetap belum memberitahukan keadaannya kepada orang-orang tua. Mereka masih berusaha untuk mengatasi perasaan yang asing itu tanpa memberitahukannya kepada Ki Waskita, agar Ki Waskita tidak justru mempunyai tanggapan lain atas persoalan itu. Mungkin Ki Waskita menganggap bahwa Agung Sedayu dan Sekar Mirah telah berselisih dan mengarah kepada saling menyalahkan dan saling menyatakan kekecewaan atas perkawinan yang telah mereka langsungkan.

Namun pada saat yang demikian, Kiai Tali Jiwa telah siap melepaskan serangan terakhirnya dengan segenap ilmu dan kemampuan yang ada padanya tanpa ampun sama sekali.

Malam itu Kiai Tali Jiwa duduk tepekur dengan segenap daya kekuatannya yang terpusat kepada ilmu Tunda Bantala. Di hadapannya, jambangan berisi air bunga dan beberapa reramuan yang lain masih tetap diterangi dengan nyala lampu minyak yang berkeredip. Kiai Tali Jiwa telah meletakkan tiga batang jarum emas di dalam jambe yang telah dibelah, dan direndamkannya di dalam air jambangan itu. Ia telah mengesampingkan ilmu pemikatnya terhadap Sekar Mirah, sehingga dengan demikian, ia memusatkan segenap kemampuannya pada serangannya terhadap Agung Sedayu. Dengan ilmunya Tunda Bantala, Kiai Tali Jiwa berusaha untuk memasukkan tiga batang jarum emas itu langsung ke dalam jantung Agung Sedayu. Ia tidak lagi ingin menyakiti tubuh anak muda itu sebagaimana dikehendaki oleh Prastawa dengan menempatkan jarum-jarum emas itu pada sendi-sendi Agung Sedayu. Tetapi serangan itu akan langsung menusuk jantungnya dan membunuhnya.

Demikianlah, telah terjadi perjuangan yang sangat dahsyatnya. Kiai Tali Jiwa masih merasakan perisai yang rapat memagari kehidupan Agung Sedayu . Namun Kiai Tali Jiwa tidak jemu-jemu menyerang dengan ilmunya. Menghantam perisai yang seolah-olah tidak tertembus itu. Bertubi-tubi, susul menyusul tanpa ada henti-hentinya. Sejak matahari terbenam Kiai Tali Jiwa telah mengerahkan segenap ilmunya, setelah sehari semalam Kiai Tali Jiwa telah berpuasa pati geni. Tanpa minum seteguk air pun dan tanpa makan sesuap nasi pun.

Menjelang tengah malam keringat Kiai Tali Jiwa telah membasahi segenap tubuhnya. Wajahnya menegang. Dengan tatapan mata membara ia memandang jambangannya serta ketiga batang jarum di dalam jambe yang dibelah dan direndam di dalam air di jambangan itu.

Gerak-gerak bibirnya menyebut kata-kata manteranya. Semakin lama semakin cepat. Namun dalam pada itu, keringatnya pun menjadi semakin banyak terperas dari dalam dirinya.

Namun tiba-tiba di tengah malam terdengar Kiai Tali Jiwa hampir berteriak, ”Kanthil, Kanthil.”

Mbah Kanthil berlari-lari mendekat.

“Aku hampir berhasil,” geram Kiai Tali Jiwa, “tetapi dinding itu terlalu keras. Cepat, duduk di belakangku. Pegang punggungku dan kita bersama-sama menyerang anak muda gila itu.”

Mbah Kanthil tidak bertanya lebih lanjut. Ia pun langsung duduk bersimpuh di belakang Kiai Tali Jiwa. Serba sedikit, Mbah Kanthil memiliki pula ilmu Tunda Bantala yang dalam hubungannya dengan orang-orang tertentu telah dapat dipergunakanya pula.

Sambil memusatkan kemampuannya, Mbah Kanthil telah memegangi punggung Kiai Tali Jiwa, seolah-olah ia telah menyalurkan segenap kemampuan ilmunya untuk membantu kekuatan daya lontar ilmu Kiai Tali Jiwa itu.

Dengan demikian, maka sebenarnyalah bahwa kekuatan ilmu Kiai Tali Jiwa dan Mbah Kanthil telah menumbuhkan satu kekuatan yang luar biasa. Kekuatan yang sulit di jajagi dengan nalar.

Tetapi Agung Sedayu dan Sekar Mirah tidak melawan ilmu Kiai Tali Jiwa dan Mbah Kanthil dengan kemampuan nalarnya. Namun mereka justru dengan pasrah mengakui betapa lemahnya daya tahan mereka. Meskipun demikian, mereka yakin dengan sebulat hatinya, bahwa betapa pun lemahnya mereka, namun mereka tidak melawan kekuatan ilmu yang telah menumbuhkan keadaan yang asing pada diri mereka itu sendiri. Tetapi mereka telah bersandar kepada kekuasaan yang Maha Kuasa.

Demikianlah, telah terjadi satu benturan kekuatan yang dahsyat sekali. Kekuatan Kiai Tali Jiwa yang bergabung dengan kekuatan muridnya, berusaha untuk menembus pertahanan Agung Sedayu dan Sekar Mirah yang dibantu oleh Glagah Putih, yang berlindung di balik perisai keyakinan dan kepercayaannya.

Namun betapa kuatnya ilmu Kiai Tali Jiwa dan Mbah Kanthil itu. Apalagi mereka telah memusatkan serangannya tidak kepada dua orang bersama-sama, tetapi hanya ditujukan kepada Agung Sedayu.

Terasa betapa perasaan Agung Sedayu tengah bergejolak. Tetapi ia tidak berkisar dari keyakinannya. Betapa tubuhnya terasa sangat letih dan kadang-kadang sendi-sendinya serasa akan lepas satu dengan yang lain, bahkan jantungnya serasa bagaikan ditusuk-tusuk dengan duri, tetapi ia tidak beringsut seujung rambut pun dari keyakinannya.

Dalam pada itu, keringat bagaikan terperas dari tubuh Agung Sedayu. Dahinya menjadi basah seperti terguyur air. Demikian pula pakaiannya. Sekali-sekali nampak bibirnya bergetar, bahkan terdengar desis perlahan. Perasaan sakit yang menusuk jantungnya, semakin lama menjadi semakin terasa.

Di rumah Mbah Kanthil, asap dupa telah memenuhi seluruh bilik, sehingga cahaya lampu minyak yang berkeredipan seakan-akan menjadi kian buram. Namun kedua orang itu dengan sekuat kemampuan mereka tengah berusaha menghancurkan sasarannya tanpa ampun lagi.

Pada saat dupa menipis, maka Kiai Tali Jiwa yang sedang memusatkan nalar budinya, telah menaburkan beberapa gumpal kemenyan sebagai hentakkan terakhir. Ia harus dapat menghancurkan Agung Sedayu.

Ketika dupa itu menyala menggapai-gapai, ruangan yang penuh dengan asap itu seolah-olah telah berguncang. Kiai Tali Jiwa dan Mbah Kanthil telah memejamkan matanya, memusatkan segenap ilmunya pada hentakan yang menentukan.

Pada saat yang demikian, benturan ilmu yang berusaha menembus perisai di seputar kehidupan Agung Sedayu, telah menimbulkan angin pusaran yang menggebu. Glagah Putih yang duduk bersama Sekar Mirah dan Agung Sedayu mendengar seolah-olah rumah itu telah dilanda oleh prahara yang mengamuk.

Terasa tengkuk Glagah Putih meremang. Tetapi ia masih melihat Sekar Mirah dan Agung Sedayu duduk sambil menyilangkan kedua tangan mereka di dada. Sementara itu, Glagah Putih sempat melihat, wajah Agung Sedayu yang kadang-kadang menjadi tegang, seolah-olah sedang menahan sakit yang mencengkamnya.

Tetapi ketika Glagah Putih melihat nyala api lampu minyak di ajug-ajug, ia sama sekali tidak melihat kesan, bahwa nyala lampu itu telah tersentuh angin yang betapa pun lembutnya. Nyala api itu tegak seperti biasa, meskipun seolah-olah di luar rumah, bertiup badai dan angin ribut.

“Suasananya sangat aneh,” berkata Glagah Putih di dalam dirinya.

Namun dengan demikian, meskipun tidak sedalam Sekar Mirah dan Agung Sedayu, Glagah Putih pun berusaha untuk memusatkan nalar budinya. Ia pun yakin, bahwa ia akan dapat membantu, memohon kepada Tuhan agar mereka diselamatkan dari keadaan yang sangat asing itu.

Ketika angin prahara itu berputaran, seolah-olah sedang mengitari benteng baja yang tidak tertembus, kadang-kadang terdengar seolah-olah ledakan-ledakan seperti suara petir di langit. Kadang-kadang mengejutkan, kadang-kadang perlahan-lahan.

Pada saat yang demikian, sebuah kejutan telah mengguncang amben pembaringan Ki Waskita. Betapa terkejutnya orang tua itu, sehingga ia terlonjak dari ambennya dan berdiri tegak dengan penuh kewaspadaan.

Namun ia tidak melihat sesuatu. Ia tidak melihat apa pun juga. Ketika ia memusatkan pengamatannya pada pendengarannya, ia pun tidak mendengar sesuatu.

“Aneh,” desis Ki Waskita. Namun Ki Waskita tidak berteka-teki terlalu lama. Ia pun kemudian duduk sambil memusatkan indranya pada jangkau yang melampaui kemampuan orang kebanyakan.

Tiba-tiba Ki Waskita menjadi tegang. Dengan serta merta, ia pun bangkit berdiri. Sambil mengemasi pakaiannya yang tidak sempat ditukarnya, ia pun segera keluar dari biliknya. Ketika ia turun ke gandok, maka seorang penjaga telah menyapanya.

“Aku ingin menghirup udara malam,” katanya sambil tersenyum. “Di dalam, udara terasa panas sekali.”

Para penjaga tidak mencurigainya. Dibiarkannya Ki Waskita keluar regol halaman rumah Ki Gede. Namun demikian ia sampai di kegelapan, maka ia pun segera berlari seperti angin menuju ke rumah Agung Sedayu yang tidak begitu jauh.

Ki Waskita memang bukan orang kebanyakan. Ia pun mampu berlari lebih cepat dari orang kebanyakan, meskipun tidak secepat Agung Sedayu. Justru karena kegelisahan yang menghentak-hentak jantungnya, setelah ia melihat isyarat yang mendebarkan jantung. Ki Waskita telah melihat asap yang kehitaman dan nyala api kemenyan telah membakarnya.

Dengan demikian, maka Ki Waskita dapat meraba satu kesimpulan, bahwa Agung Sedayu sedang mengalami satu keadaan yang tidak sewajarnya, meskipun ia tidak tahu pasti apa yang terjadi.

Jarak yang tidak jauh itu ditempuhnya dalam waktu singkat. Namun ketika ia memasuki regol halaman rumah Agung Sedayu, terasa bulu tengkuknya meremang.

“Suasana yang aneh,” berkata Ki Waskita di dalam hatinya. Namun ia tidak beranjak surut. Ia melangkah terus ke pendapa rumah Agung Sedayu. Betapa perasaan asing menerpa jantungnya, namun Ki Waskita maju dengan langkah yang pasti.

Pada saat ia mengangkat tangannya untuk mengetuk pintu, tiba-tiba ia telah terkejut. Seperti yang dirasakan oleh Glagah Putih, maka seolah-olah di seputar halaman rumah itu telah terjadi angin prahara. Suaranya bagaikan gelombang laut yang susul menyusul menghantam pantai.

Jantung Ki Waskita menjadi berdebar-debar. Tetapi seperti Glagah Putih, ketika ia melihat lampu minyak di pendapa, nyalanya sama sekali tidak bergerak.

“Tentu ada yang tidak wajar,” berkata Ki Waskita. Pengalaman dan pengetahuannya yang luas, justru membuatnya semakin gelisah.

Perlahan-lahan Ki Waskita mengetuk pintu rumah Agung Sedayu. Ketika sekali dua kali tidak seorang pun yang menyahut, maka ia pun mengetuk semakin keras. Bahkan hampir saja ia memecah daun pintu itu karena kegelisahan yang menghentak-hentak.

Di ruang dalam, Glagah Putih mendengar ketukan pintu itu. Ia menjadi ragu-ragu. Tetapi ia tidak dapat bertanya kepada Agung Sedayu dan Sekar Mirah yang agaknya sedang berjuang dengan sekuat tenaganya. Berjuang dalam kepasrahannya, memohon kepada Yang Maha Kuasa untuk memberikan perlindungan kepada-Nya.

Karena itu, Glagah Putih harus mengambil sikap. Ia tidak mau mengganggu pemusatan nalar dan budi Agung Sedayu dan Sekar Mirah.

Karena ketukan pintu itu menjadi semakin keras, maka Glagah Putih pun kemudian turun dari amben. Dengan tangkas ia meloncat. Tetapi ia tidak langsung membuka pintu. Ia curiga karena suasana yang asing. Sehingga karena itu, maka ia sempat menyambar pedangnya di biliknya dan langsung berlari ke pintu yang menghentak-hentak.

“Siapa?” bertanya Glagah Putih sambil mengacukan pedangnya.

“Aku, Waskita,” jawab di luar.

,

“O, Ki Waskita,” ulang Glagah Putih.

“Ya,” jawab Ki Waskita.

Dengan tergesa-gesa Glagah Putih telah membuka pintu. Ketika ia melihat benar-benar Ki Waskita berdiri di luar, maka ia pun menarik nafas dalam-dalam.

Ki Waskita pun segera beringsut masuk. Demikian ia melangkahi tlundak pintu, maka ia pun segera menutup pintu itu kembali.

“Apa yang terjadi?” bertanya Ki Waskita.

“Aku tidak tahu. Suasana yang asing telah mencengkam rumah ini. Mula-mula tidak terlalu terasa. Tetapi di hari-hari terakhir ini, keadaan menjadi semakin buruk.”

“Ceritakan,” minta Ki Waskita.

Dengan singkat Glagah Putih menceriterakan apa yang telah terjadi. Cahaya yang kemerah-merahan, sikap Sekar Mirah dan keadaan wadag Agung Sedayu.

Wajah Ki Waskita menjadi tegang. Ia pun langsung dapat menebak apa yang telah terjadi.

“Apa yang dilakukan Agung Sedayu dan Sekar Mirah sekarang?” bertanya Ki Waskita.

“Mereka duduk di ruang dalam. Mereka sedang memusatkan akal budi mereka, mengadukan keadaan mereka kepada Tuhan,” jawab Glagah Putih.

“Bagus. Bagus. Mereka telah melakukan hal yang tepat. Di mana mereka sekarang?” bertanya Ki Waskita.

Glagh Putih pun kemudian mengajak Ki Waskita ke ruang dalam. Ketika Ki Waskita memasuki ruang itu, jantungnya bagaikan berhenti berdetak. Ia melihat Agung Sedayu duduk dengan keringat yang membasahi segenap tubuhnya. Wajahnya menjadi pucat seperti kapas. Namun Ki Waskita melihat betapa nafas orang muda itu tersengal-sengal. Sementara Sekar Mirah bersandar pada dinding rumahnya. Matanya terpejam rapat sebagaimana Agung Sedayu. Tubuhnya nampak gemetar seperti orang kedinginan.

Ki Waskita berdiri tegak. Namun kemudian, ia pun beringsut mendekat. Tetapi ia tidak duduk di amben itu pula. Ia tidak mau mengganggu pemusatan pikiran kedua suami isteri itu. Namun adalah kewajibannya untuk bersama dengan mereka memohon kepada Tuhan, perlindungan atas bencana yang akan dapat menimpa kedua orang suami istri itu.

Namun sebelum Ki Waskita sempat berbuat demikian, hampir saja ia berdesah. Untunglah ia masih dapat menahan diri ketika ia melihat darah meleleh di bibir Agung Sedayu.

Sejenak Ki Waskita termangu-mangu, dan ia menyadari sepenuhnya segala apa yang ditempuh oleh Agung Sedayu, karena ia pun yakin, bahwa kuasa yang paling tinggi adalah di tangan Yang Maha Kuasa.

Kemarahan yang membakar jantungnya, telah mengerahkan segenap daya dan kekuatannya untuk mendorongnya menghadap kepada Tuhan Yang Maha Agung. Dengan permohonan yang mantap dan sepenuh hati, sebagaimana dilakukan oleh Agung Sedayu dan Sekar Mirah.

Namun ternyata tidak banyak yang dapat dilakukan oleh Ki Waskita. Selagi ia mulai menyilangkan tangannya, tiba-tiba saja ia mendengar suara mangkuk yang retak, dan bahkan pecah tanpa sebab. Mangkuk yang terletak di amben di hadapan Glagah Putih semula duduk.

Ki Waskita terkejut. Ia mengurungkan niatnya. Tetapi ia cepat memeriksa mangkuk yang pecah itu bersama Glagah Putih. Di dalam mangkuk yang pecah dan yang airnya berserakan itu, terdapat buah jambe yang terbelah. Pada saat yang bersamaan, jambangan Kiai Tali Jiwa telah bergejolak. Airnya bagaikan diaduk, bahkan kemudian seolah-olah telah mendidih.

Kiai Tali Jiwa dan Mbah Kanthil menjadi tegang. Jantung mereka berdegup makin keras. Sementara diperhatikan gejolak air di dalam jambangan. Namun sesaat kemudian, mereka menghentakkan kemampuan mereka sampai ke puncaknya.

Ketika air di dalam jambangan itu bercahaya, maka tiba-tiba saja Kiai Tali Jiwa berteriak, “Kanthil, Jambe itu sudah tidak ada.”

Mbah Kanthil bergeser setapak. Oleh pengerahan puncak ilmunya, maka tubuhnya hampir tidak mampu lagi bergeser oleh kelelahan. Nafasnya tersengal-sengal meluncur lewat lubang hidungnya.

“Cepat, perempuan cengeng!” bentak Kiai Tali Jiwa.

“Aku hampir mati kelelahan, Guru,” jawabnya di antara desah nafasnya.

“Lihat, kita menang. Jambe itu sudah tidak ada. Aku berhasil menyusupkan jarum emas itu ke dalam jantung Agung Sedayu. Ia akan mati dan kita akan merayakan kemenangan kita.”

“O,” mata Mbah Kanthil menjadi melotot, “jambe itu memang sudah tidak ada.”

“Bagus. Kita menang,” Kiai Tali Jiwa menjadi kegirangan.

Namun dalam pada itu, Mbah Kanthil justru beringsut menepi. Sambil bersandar dinding ia berkata, “”Besok kita rayakan kemenangan ini.”

Kiai Tali Jiwa pun menarik nafas dalam-dalam. Ternyata bahwa kemudian ia pun merasakan keletihan yang sangat. Karena itu, maka ia kemudian beringsut keluar dari bilik yang pengap oleh asap kemenyan itu. Tertatih-tatih ia melangkah ke amben di ruang dalam. Sambil menjatuhkan dirinya ia berkata, “Aku masih Kiai Tali Jiwa yang sakti. Semua penunggu langit, penunggu lautan dan bumi telah membantuku. Aku berhasil. Mereka telah mengirimkan api, air dan udara ke dalam diriku, sehingga kekuatanku jadi berlipat. Dengan demikian, aku berhasil menembus benteng yang paling tebal yang pernah aku jumpai.”

“Aku ikut membantu, Guru,” desis mBah Kanthil yang hampir pingsan.

“Ya, kau memang telah membantu. Tetapi sumber ilmumu juga dari aku pula asalnya,” jawab Kiai Tali Jiwa.

Mbah Kanthil mengangguk-angguk. Namun ia tidak beringsut dari tempat duduknya. Untuk beberapa saat ia pun berusaha untuk memulihkan kekuatannya yang datang sangat perlahan. Demikian pula dengan Kiai Tali Jiwa. Bahkan seolah-olah kedua orang yang dicengkam oleh kepuasan jiwa itu pun seolah-olah justru telah tertidur.

Namun dalam pada itu, sesosok tubuh telah merayap mendekati dinding rumah perempuan tua itu. Sejenak orang itu menunggu. Namun hampir terlonjak ia terkejut ketika tiba-tiba saja ia mendengar seorang laki-laki tua dalam rumah itu berkata, “He, Kanthil. Kau tidur, he?”

“Tidak Guru. Aku tidak tidur,” jawab Mbah Kanthil dari dalam biliknya.

“Persetan. Tetapi marilah kita merayakan kemenangan kita. He, bukankah kau bilang, bahwa kita akan merayakan kemenangan kita ini?” bertanya Kiai Tali Jiwa.

“Ya, Guru,” jawab mBah Kanthil tanpa beringsut.

“Nah, bukankah kau memelihara beberapa ekor ayam. Tangkap satu atau dua ekor. Kau dapat menyembelihnya, dan kita akan merayakan kemenangan kita dengan sepasang ingkung ayam kemanggang,” terdengar Kiai Tali Jiwa berkata sambil masih tetap duduk bersandar tiang.

“Besok aku akan menangkap dua ekor,” jawab Mbah Kanthil.

“Sekarang, hari sudah hampir pagi. Jika ayammu sempat keluar kandang, kau akan mengatami kesulitan untuk menangkapnya. Kau sudah tidak mampu berlari secepat langkah kaki ayam,” berkata Kiai Tali Jiwa.

“Masih belum pagi,” jawab mBah Kanthil.

“Sebentar lagi akan pagi,” teriak Kiai Tali Jiwa.

Mbah Kanthil mengumpat di dalam hati. Namun ia pun berusaha untuk bangkit dan melangkah terhuyung-huyung ke pintu sambil berkata, “”Aku letih sekali, Guru. Aku belum mampu menangkap ayam.”

“Perempuan cengeng. Kau mulai merajuk. Baiklah. Kita tunggu sampai kau dapat melangkah ke kandang dan menangkap dua ekor ayam kemanggang. Jangan yang sudah tua. Aku tidak akan dapat ikut makan dagingnya,” Kiai Tali Jiwa tertawa. Tetapi ia masih tetap duduk bersandar tiang.

Sementara itu, sesosok tubuh yang ada di luar pun beringsut menjauh. Dengan wajah tegang ia pun kemudian meninggalkan halaman rumah itu. Sejenak kemudian, maka orang itu pun telah mengambil kudanya yang disembunyikannya di dalam gerumbul.

“Benar dugaan Ki Waskita,” geram orang di punggung kuda itu, “”yang telah berusaha membunuh Kakang Agung Sedayu tentu orang-orang yang berilmu jahat dan dari jarak yang tidak terlalu jauh. Karena menurut pendengaran Ki Waskita, satu-satunya juru tenung di Tanah Perdikan ini adalah perempuan tua itu, maka besar dugaannya, bahwa sumber bencana itu berasal dari rumah itu.”

Dengan demkian, maka orang yang tidak lain adalah Glagah Putih itu telah memacu kudanya seperti angin. Ia dapat meyakinkan dirinya, bahwa orang yang telah berbuat jahat dan mencelakai Agung Sedayu itu adalah dua orang yang berada di dalam rumah itu. Seorang dikenal dengan nama Mbah Kanthil, tetapi laki-laki yang ada di rumah itu tidak dapat dikenalnya, namun menurut tangkapannya, agaknya justru laki-laki itulah yang mempunyai kekuatan yang lebih besar dalam ilmu tenung itu.

“Keduanya akan merayakan kemenangannya,” Glagah Putih menggeretakkan giginya.

Sementara itu, langitpun menjadi semakin terang. Mbah Kanthil yang sudah menjadi semakin pulih kembali kekuatannya telah bangkit sambil berkata, “Aku sekarang akan menangkap dua ekor ayam itu.”

“Cepat,” berkata Kiai Tali Jiwa, “aku sudah berpuasa empat puluh hari empat puluh malam dan pati geni di hari terakhir. Karena itu, daging ayam kemanggang akan memberikan kesegaran pada wadagku.”

Tertatih-tatih perempuan tua itu pergi keluar rumah. Di muka kandang ayamnya ia terhenti sejenak. Diamatinya beberapa ekor ayam yang sudah gelisah di dalam kandangnya.

Mbah Kanthil tiba-tiba tertawa. Katanya kepada diri sendiri, “Dua ekor ayamku tentu akan mendapat ganti jauh lebih banyak lagi. Tetapi kerja ini belum selesai. Guru masih harus menggarap Sekar Mirah. Mudah-mudahan Angger Prastawa tidak mengelak, justru karena Agung Sedayu terbunuh.”

Sejenak kemudian, terdengar dua ekor ayam menjerit-jerit di tangan Mbah Kanthil. Tetapi Mbah Kanthil hanya tertawa saja. Namun sejenak kemudian, suara ayam itu pun tiba-tiba terhenti, ketika Mbah Kanthil memutar lehernya.

“Kenapa kalian berteriak-teriak,” geram mBah Kanthil.

Sambil menjinjing dua ekor ayam yang sudah mati itu, Mbah Kanthil pergi ke dapur. Ia tidak menghiraukan cara yang paling baik untuk menyembelih seekor ayam sebagaimana seharusnya. Baginya tidak ada bedanya, apakah darah ayam itu akan tuntas mengalir lewat bekas luka di leher, atau membeku di dalam dagingnya. Baginya ayam itu asal saja mati dan dibersihkan setelah dicabut bulunya, akan sama saja artinya.

Namun dalam pada itu, ketika ia mengambil pisau yang ada di ruang dalam untuk membersihkan ayamnya, ia melihat Kiai Tali Jiwa merenungi air jambangannya. Ternyata lampu minyak di dalam bilik itu masih belum padam.

“Ada apa lagi, Guru?” bertanya mBah Kanthil.

“Tidak apa-apa,” jawab Kiai Tali Jiwa. Namun kemudian katanya, “Agaknya kematian Agung Sedayu telah menyiksanya. Darah di dalam jambangan itu tidak terlalu banyak. Kematian Agung Sedayu tentu berlangsung lebih lama dari yang seharusnya.”

Tetapi Mbah Kanthil tertawa. Katanya, “Ayam-ayam itu mati tanpa menitikkan darah. Aku putar lehernya sehingga tulang-tulangnya menjadi patah.”

“Persetan,” geram Kiai Tali Jiwa, “kita akan melihat, bahwa air di dalam jambangan itu akan menjadi semakin lama semakin memerah, sehingga akhirnya benar-benar seperti darah. Dalam jarak waktu itulah, Agung Sedayu mengalami siksaan menjelang matinya. Siksaan yang dibuatnya sendiri, karena ia telah mencoba bertahan.”

Mbah Kanthil tertawa semakin keras. Katanya, “Aku tidak peduli. Yang penting Angger Prastawa mengakui hasil kerja keras kita berdua dan memberikan imbalan seperti yang dikatakannya. Tetapi kerja kita masih harus kita teruskan. Menundukkan Sekar Mirah.”

Kiai Tali Jiwa-lah yang kemudian tertawa. Katanya, “Perempuan itu tidak sekeras Agung Sedayu. Ia akan tunduk di bawah pengaruhku, dan pada saat Agung Sedayu dikuburkan, ia sudah melupakannya.”

Mbah Kanthil tertawa pula. Katanya, “Kita akan merayakannya dengan dua ekor ayam kemanggang.”

Sambil menjinjing pisaunya, Mbah Kanthil keluar rumahnya menuju ke dapur.

Tetapi ia terkejut ketika ia mendengar derap kaki kuda. Dengan serta merta ia telah ke ruang dalam. Dilihatnya Kiai Tali Jiwa pun memperhatikan suara derap kaki kuda itu.

Tetapi Mbah Kanthil pun kemudian berkata, “Agaknya Angger Prastawa segera ingin mengetahui hasilnya. Tetapi bukankah lebih dekat jika ia langsung datang ke rumah Agung Sedayu?”

“Itu perbuatan bodoh,” geram Kiai Tali Jiwa, “jika ia pergi ke rumah Agung Sedayu, maka di rumah itu sekarang tentu sedang ribut dengan orang-orang yang kebingungan. Agung Sedayu sedang diletakkan orang membujur ke utara. Beberapa orang sedang menyiapkan air untuk memandikannya. Kehadirannya tentu akan menarik perhatian orang.”

“Tentu tidak. Ia datang atas nama Ki Gede,” jawab Mbah Kanthil.

Tetapi keduanya tidak sempat membantah. Derap kaki kuda itu memang berhenti di depan rumahnya.

“Buka pintu,” berkata Kiai Tali Jiwa, “aku akan menunjukkan kepada Angger Prastawa, bahwa air di dalam jambangan itu sudah menjadi merah. Semakin lama akan menjadi semakin merah. Tetapi Agung Sedayu tentu sudah mati.”

“Bahkan mungkin Angger Prastawa justru ingin memberitahukan kematian Agung Sedayu itu,” desis Mbah Kanthil.

Dalam pada itu, dengar pintu rumah Mbah Kanthil itu diketuk orang. Dengan tergesa-gesa Mbah Kanthil pergi ke pintu rumahnya yang tertutup.

Dengan tergesa-gesa pula Mbah Kanthil mendorong daun pintu leregnya ke samping, sehingga sejenak kemudian pintu itu pun telah terbuka.

“Agung Sedayu,” Mbah Kanthil hampir berteriak.

Betapa terkejutnya perempuan tua itu. Bahkan Kiai Tali Jiwa yang berada di dalam rumah itu pun terlonjak dengan mata yang terbelalak. Yang berdiri di muka pintu itu adalah Agung Sedayu dan Sekar Mirah.

“Selamat pagi, Mbah Kanthil,” desis Agung Sedayu sambil membungkuk hormat.

Mbah Kanthil berdiri mematung dengan mulut ternganga. Sementara itu Kiai Tali Jiwa memandanginya dengan degup jantung yang menjadi semakin cepat. Ia melihat Agung Sedayu berdiri tegak, meskipun wajahnya masih nampak pucat.

“Apakah aku diperbolehkan masuk?” berkata Agung Sedayu.

Mbah Kanthil menjadi kebingungan. Tetapi Agung Sedayu tidak menunggu jawabnya. Ia pun kemudian membimbing Sekar Mirah masuk ke dalam rumah Mbah Kanthil yang kotor itu. Tanpa dipersilahkan, maka keduanya pun kemudian duduk di amben yang ada di dalam rumah Mbah Kanthil itu.

“Kenapa kalian seperti sedang kebingungan?” bertanya Sekar Mirah kepada Mbah Kanthil.

Mbah Kanthil masih belum dapat menjawab. Seolah-olah ia sedang berhadapan dengan dua sosok mayat yang bangkit dari kuburan.

“Apa yang aneh pada kami berdua?” bertanya Sekar Mirah.

Mbah Kanthil masih belum dapat menjawab. Namun Kiai Tali Jiwa agaknya telah berhasil menguasai goncangan perasaannya. Katanya, “Maaf, Ngger. Aku tercengkam oleh kehadiran kedua Anak Muda yang belum aku kenal ini?”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dipandanginya Mbah Kanthil yang masih berdiri membeku. Katanya, “Bukankah Mbah Kanthil tadi sudah menyebut namaku? Tentu Mbah Kanthil mengenal aku. Aku selalu berkeliaran di Tanah Perdikan Menoreh. Sekali-sekali Mbah Kanthil tentu pernah bertemu dengan aku.”

“Ya. Ya. Aku mendengar ia menyebut sebuah nama. Tetapi aku tidak jelas. Dan bukankah Anakmas datang berdua?” jawab Kiai Tali Jiwa.

Agung Sedayu mengangguk-angguk. Katanya kemudian, ”Jadi Kiai belum mengenal aku? Aku adalah Agung Sedayu dan ini istriku, Sekar Mirah.”

“O. Jadi aku tadi memang mendengar Kanthil menyebut nama Agung Sedayu,” berkata Kiai Tali Jiwa, “nama yang sudah sering aku dengar. Nama seorang anak muda yang luar biasa. Yang pilih tanding dan yang memiliki perbendaharaan ilmu tanpa hitungan.”

“Ah, tentu berlebih-lebihan, Kiai,” jawab Agung Sedayu, “aku adalah kebanyakan anak muda Tanah Perdikan Menoreh. Tidak ada lebihnya apa pun juga.”

Kiai Tali Jiwa mengangguk-angguk. Namun terasa jantungnya berdegup semakin cepat. Sikap Agung Sedayu nampak benar-benar meyakinkan. Meskipun ia nampak agak pucat, namun ia tetap berwibawa.

“Angger berdua,” bertanya Kiai Tali Jiwa kemudian, “setelah aku mengerti siapakah Anakmas berdua ini, maka perkenankanlah aku bertanya, apakah kepentingan Anakmas berdua datang ke pondokku di pagi-pagi hari ini?”

Agung Sedayu menarik nafas dalam-dalam. Namun kemudian jawabnya, “Kiai, sebenarnyalah kami berdua ingin mohon pertolongan kepada Mbah Kanthil. Namun agaknya di rumah ini sedang ada seorang tamu. Apakah aku diperkenankan untuk mengetahui, siapakah nama Kiai dan sekaligus asal usulnya?”

Wajah Kiai Tali Jiwa menegang. Dipandanginya Mbah Kanthil yang mematung. Namun jawaban Agung Sedayu itu rasa-rasanya dapat memberinya sedikit harapan.

“Angger berdua,” jawab Kia Tali Jiwa, “sudah tentu aku tidak akan berkeberatan. Namaku Tali Jiwa. Aku berasal dari tempat yang jauh. Aku datang dari Gunung Sumawana.”

“Ya, ya Ngger,” berkata mBah Kanthil, “orang tua itu adalah guruku.”

“Guru, atau saudara seperguruan?” Agung Sedayu menjelaskan.

“Guru. Meskipun umur kami hampir sebaya, tetapi ia adalah guruku,” jawab Mbah Kanthil. Lalu, ”Tetapi pertolongan apakah yang Angger kehendaki?”

Mbah Kanthil menjadi tegang ketika Agung Sedayu menjawab, “Mbah Kanthil. Aku telah mengalami satu peristiwa yang tidak kukenal. Menurut pendengaranku, Mbah Kanthil mempunyai ilmu yang dapat dipergunakan untuk menyerang dari jarak jauh. Apakah benar demikian?”

“O,” mBah Kanthil telah beringsut dari tempatnya. Kemudian ia pun bertanya, “peristiwa apakah yang Angger maksud?”

“Aku tidak tahu dengan pasti, Mbah Kanthil, tetapi menurut ciri-cirinya, agaknya aku telah kena tenung,” jawab Agung Sedayu.

“Lalu, maksud kedatangan Angger berdua?” Mbah Kanthil mulai berharap. Agaknya Agung Sedayu dan Sekar Mirah tidak mengetahui apa yang telah terjadi atas mereka, sehingga mereka telah datang kepadanya untuk minta pertolongan.

Karena itu maka ia pun menjadi semakin berani untuk bergeser mendekat.

“Mbah Kanthil,” berkata Agung Sedayu kemudian, “malam tadi, di rumahku, tiba-tiba saja telah aku ketemukan benda yang sangat asing bagiku. Mungkin Mbah Kanthil mengetahuinya. Jika itu merupakan alat tenung, maka Mbah Kanthil aku harap dapat menunjukkan, siapakah yang telah melakukannya, dan apakah ia telah berbuat atas kehendaknya sendiri atau karena permintaan orang lain.”

“O begitu,” Kiai Tali Jiwa-lah yang menjawab, “Kanthil memang dapat berbuat demikian. Jika ia mengalami kesulitan, biarlah aku membantunya. Aku adalah gurunya yang kebetulan sedang mengunjunginya.”

“Terima kasih Kiai,” berkata Agung Sedayu. Sambil berpaling kepada Sekar Mirah ia berkata, “”Mirah. Berikan benda itu kepadaku.”

Sekar Mirah pun kemudian mengambil sesuatu yang dibungkus dengan sehelai kain dari ikatan ujung bajunya. Kemudian memberikan benda itu kepada Agung Sedayu.

“Ini Mbah Kanthil, aku persilahkan untuk membukanya dan melihat isinya,” berkata Agung Sedayu.

Mbah Kanthil menjadi termangu-mangu. Namun Kiai Tali Jiwa pun kemudian berkata, ”Lihatlah.”

Mbah Kanthil pun kemudian membuka bungkusan kain itu perlahan-lahan dengan jantung yang berdebaran.

Tangannya terasa gemetar, ketika kemudian ia melihat bungkusan itu pada gurunya sambil berdesis, “Jambe, Guru.”

“Berikan,” desis Kiai Tali Jiwa tidak sabar.

Mbah Kanthil pun kemudian menyerahkan jambe itu kepada Kiai Tali Jiwa. Dengan tangan yang bergetar pula, Kiai Tali Jiwa menerima jambe itu dan langsung diamatinya, apakah jambe itu utuh atau terbelah dua.

Ternyata bahwa jambe itu sudah terbelah dua. Dengan hati-hati ia pun telah membuka jambe yang terbelah itu. Betapa hatinya terguncang ketika ia melihat, tiga batang jarum emas masih utuh terletak di dalam jambe itu.

“Gila,” geram Kiai Tali Jiwa di dalam hatinya. “Inilah sebabnya mengapa iblis itu masih tetap hidup.”

Namun demikian, Kiai Tali Jiwa berusaha menguasai perasaannya. Ia masih berharap sebagaimana Mbah Kanthil berharap. Jika Agung Sedayu benar-benar tidak mengerti apa yang terjadi dan minta pertolongan kepada Mbah Kanthil, maka mereka masih mempunyai harapan untuk dapat melepaskan diri dari tanggung jawab mereka atas usaha mereka untuk membunuh Agung Sedayu.

Untuk beberapa saat Kiai Tali Jiwa masih mengamati jarum yang masih berada di dalam jambe yang terbelah itu. Namun kemudian ia pun bertanya kepada Agung Sedayu, “Angger, apakah yang sebenarnya Angger maksud? Apakah Angger hanya sekedar ingin tahu, atau barangkali Angger ingin agar benda-benda ini kami lontarkan kembali kepada orang yang telah menyerang Angger?”

“Kiai,” berkata Agung Sedayu, “tetapi apakah Kiai dapat mengatakan kepada kami berdua, siapakah yang telah memasang tenung itu dan atas permintaan siapa dengan alasan apa?”

Kiai Tali Jiwa berpikir sejenak. Namun ia kemudian mendapat satu akal. Setidak-tidaknya ia mendapat kesempatan untuk meninggalkan Tanah Perdikan Menoreh.

Karena itu maka katanya, “”Angger Agung Sedayu. Aku tentu akan dapat membantumu. Aku tentu akan dapat menemukan, siapakah yang telah menyerang Angger Agung Sedayu dengan cara itu. Tetapi aku mohon agar Angger Agung Sedayu memberikan waktu aku barang tiga hari. Aku harus melihat dengan cermat, agar aku dapat menemukan orang yang sebenarnya.”

Agung Sedayu mengerutkan keningnya. Dipandanginya wajah Kiai Tali Jiwa sejenak. Lalu, ”Kiai, tiga hari terlalu lama bagiku. Aku mohon Kiai dapat memberitahukan kepadaku saat ini. Dengan demikian aku akan segera dapat berbuat sesuatu.”

Wajah Kiai Tali Jiwa menjadi semakin tegang. Namun katanya, ”Tentu tidak mungkin Ngger. Kerja itu bukan dapat dilakukan dengan serta merta. Aku harus mempunyai waktu untuk memusatkan indraku selama tiga hari tiga malam untuk melihat jauh ke seberang penglihatan kewadaganku.”

“Kiai tentu orang yang mumpuni,” jawab Agung Sedayu, “jika Mbah Kanthil, murid Kiai itu mampu melakukan sesuatu yang tidak dapat dijangkau dengan nalar, tentu Kiai akan dapat berbuat jauh lebih banyak.”

“Dalam hal yang biasa aku lakukan, aku memang dapat melakukannya,” jawab Kiai Tali Jiwa, “tetapi yang ingin Angger ketahui itu adalah satu pekerjaan yang sangat berat bagiku. Apalagi bagi Kanthil.”

Agung Sedayu termangu-mangu sejenak. Namun ia pun kemudian berdiri sambil berkata, “Aku yakin kalau Kiai dapat melakukan sekarang. Aku masih mencium bau kemenyan. Tentu Kiai baru saja memusatkan ilmu Kiai untuk satu tujuan. He, apakah aku boleh masuk ke dalam bilik itu.”

Mbah Kanthil menjadi bingung, sementara Kiai Tali Jiwa menjawab dengan terbata-bata, “Jangan Ngger. Bilik sederhana itu adalah sanggar kami. Hanya kami berdua sajalah yang boleh masuk ke dalamnya. Jika Angger menghendaki agar aku melihat siapa yang telah melontarkan tenung itu, aku akan berada di dalam bilik itu selama tiga hari tiga malam. Sedangkan bila Angger menghendaki agar benda-benda ini kami lontarkan kembali kepada orang yang telah memasang atau yang telah meminta untuk memasang pada Angger Agung Sedayu, maka aku memerlukan empat puluh hari empat puluh malam.”

Agung Sedayu yang sudah berdiri di muka bilik berpintu leregan itu terhenti. Namun katanya, “Sanggar ini tentu baru saja kalian pergunakan. Bau ini memberikan pertanda. He, Kiai. Apa yang baru saja kau lakukan?”

“Kami selalu membakar dupa setiap malam selama kami bersemedi. Angger, kami sudah tidak mempunyai pekerjaan lain kecuali mendekatkan diri kepada Yang Maha Pencipta di dalam sanggar. Itulah sebabnya, kami selalu berada di dalam sanggar itu setiap hari,” jawab Kiai Tali Jiwa.

“Bagus sekali Kiai,” jawab Agung Sedayu, “dengan demikian, Kiai akan dapat merasakan betapa damainya hati yang dekat dengan Penciptanya. Tetapi Kiai, jika Kiai memang sudah mendekatkan diri kepada Yang Maha Pencipta, kenapa Kiai masih juga bersedia untuk melontarkan kembali benda-benda itu kepada orang yang melontarkannya atau orang yang memintanya berbuat demikian?”

“O,” wajah Kiai Tali Jiwa semakin menegang. Katanya, “Ah, maksudku, bukankah yang bersalah harus mendapat hukuman.”

Agung Sedayu tersenyum. Katanya, “Kau cerdik juga, Kiai. Tetapi aku mohon maaf, bahwa aku akan melihat bilikmu ini.”

“Jangan,” minta Kiai Tali Jiwa.

“Jangan cemas. Aku tidak akan mengambil apa pun yang terdapat di dalam bilikmu,” jawab Agung Sedayu.

“Tetapi tempat itu merupakan tempat suci bagiku,” jawab Kiai Tali Jiwa.

“Alangkah senangnya aku berkesempatan untuk berada di dalam satu bilik yang suci, bersih tanpa ada cacat celanya. Mudah-mudahan akan dapat memberikan pengaruh yang damai di dalam hatiku,” berkata Agung Sedayu.

Tanpa menghiraukan permintaan Kiai Tali Jiwa dan Mbah Kanthil yang kecemasan, maka Agung Sedayu pun telah mendorong pintu bilik lereg itu ke samping. Dengan sekali sentuh, pintu itu telah terbuka.

“O, inikah peralatanmu bersemadi Kiai?” desis Agung Sedayu yang segera melangkah masuk.

Dengan kerut di dahinya ia memperhatikan jambangan yang berisi reramuan yang dipergunakan oleh Kiai Tali Jiwa. Ia memang melihat air di dalam jambangan itu agak kemerahan.

“Kiai,” berkata Agung Sedayu tiba-tiba. “Masukkan jambe itu ke dalam jambangan ini, lengkap dengan tiga jarum emas itu. Aku akan melihat apa yang terjadi.” “Jangan, jangan,” desis Kiai Tali Jiwa.

“Aku akan melakukan sendiri. Aku akan menyerang kembali orang yang telah berusaha membunuh aku dengan tenung. Bukan orang yang menyuruhnya, tetapi orang yang melakukannya. Orang yang telah menjual ilmunya dengan mengorbankan jiwa orang lain meskipun orang itu tidak pernah dikenalnya, apalagi bersalah kepadanya,” berkata Agung Sedayu. “Aku sudah berhasil melawannya. Aku tentu akan berhasil membalasnya, karena ilmuku ternyata lebih kuat.”

Wajah Mbah Kanthil menjadi pucat, sementara Kiai Tali Jiwa berdiri tegak dengan jantung yang berdatangan. Di tangannya masih tergenggam sebuah jambe yang sudah terbelah dengan tiga batang jarum emas di dalamnya.

Dalam pada itu, Agung Sedayu pun mengulangi kata-katanya, “Cepat, Kiai. Berikan jambe itu. Air di dalam jambangan itu sudah mulai memerah. Segalanya akan berjalan lebih cepat. Lampu minyak itu pun masih menyala, sedang api pun masih berasap.”

Kiai Tali Jiwa masih tetap membeku. Ketika ia melihat Agung Sedayu menggapai segumpal kemenyan dan memasukkannya ke dalam perapian yang masih berasap, maka kegelisahannya menjadi semakin memuncak.

Dalam kebekuan itu, Kiai Tali Jiwa berpikir keras. Ternyata iapun kemudian sampai pada satu dugaan, bahwa sebenarnya Agung Sedayu sudah mengetahui, apakah yang sebenarnya terjadi. Jika ia bertanya tentang orang-orang yang telah melakukan serangan atas dirinya dan orang yang menyuruhnya, itu adalah pura-pura belaka. Satu cara untuk mempermainkannya.

Sementara itu Agung Sedayu masih berkata, “Kiai. Bagiku, orang yang ingin mencelekaiku karena satu alasan masih lebih baik dari orang yang melakukannya. Yang ingin mencelakaiku, tentu ada sebab dan alasannya. Sementara orang yang melakukannya, adalah orang yang telah mempergunakan kemampuan dan ilmunya untuk melawan kuasa Yang Maha Agung, sementara sasarannya tidak pernah berbuat kesalahan kepadanya, semata-mata karena ia akan mendapat uang.”

Kiai Tali Jiwa tidak menjawab. Namun dalam pada itu, tangannya masih tetap memegang buah jambe yang terbelah itu dengan gemetar.

Sekar Mirah Masih tetap duduk di tempatnya. Ia mengawasi saja, apa yang sedang dilakukan oleh Kiai Tali Jiwa dan Mbah Kanthil yang pucat.

Tetapi dalam keadaan yang demikian, Kiai Tali Jiwa tidak mau menyerah. Ia masih mempunyai senjata yang akan dapat dipergunakannya untuk melawan Agung Sedayu. Jika ternyata bahwa ilmunya yang terlontar dari jarak jauh itu tidak dapat berhasil membunuhnya, dan kini Agung Sedayu sudah ada di hadapannya, maka ia akan mempergunakan cara lain.

Dalam pada itu, selagi Agung Sedayu sedang sibuk mengamati jambangan dan perapian yang mulai mengepul semakin banyak oleh segumpal dupa yang di masukkannya ke dalam perapian yang memang belum padam, maka Kiai Tali Jiwa itu telah mengambil sesuatu dari kantong ikat pinggangnya. Dengan cepat, ia mendorong pintu bilik itu sehingga tertutup rapat. Dengan cepat pula ia memasang selarak pintu itu sambil menaburkan sesuatu ke dalamnya.

“Kiai,” terdengar suara Sekar Mirah memekik. Tetapi segalanya telah terjadi. Pintu bilik itu sudah tertutup dan selarak telah terpasang. Sementara itu sebangsa serbuk berwarna coklat kehitaman telah terhambur di dalam bilik itu.

Sekar Mirah sudah meloncat dan berdiri tegak di depan Kiai Tali Jiwa yang berdiri di depan pintu yang sudah tertutup itu.

Namun dalam pada itu, Kiai Tali Jiwa itu pun tertawa dengan suara yang memanjang. Katanya, “Sayang, Ngger. Aku harus membela diri. Angger Agung Sedayu terjebak oleh pokalnya sendiri. Aku sudah melarangnya, agar ia tidak memasuki ruangan itu. Tetapi ia tidak mendengarkannya.”

“Apa yang akan terjadi dengan Kakang Agung Sedayu?” bertanya Sekar Mirah.

“Aku tidak tahu, Ngger. Tetapi serbuk itu akan dapat melumpuhkannya. Racun itu terlalu kuat untuk dilawan,” berkata Kiai Tali Jiwa.

“Kiai berusaha membunuhnya?” bertanya Sekar Mirah.

“Aku hanya membela diri. Angger Agung Sedayu telah menodai kesucian sanggarku. Aku memang seorang miskin sehingga ujud sanggarku pun hanya terlalu sederhana. Tetapi kesederhanaan itu bukan mengurangi kesuciannya,” berkata Kiai Tali Jiwa.

Wajah Sekar Mirah menjadi merah. Sementara itu, Mbah Kanthil yang pucat itu pun mulai menarik nafas dalam-dalam sambil berkata, “”Karena itu, kalian harus berhati-hati. Rumah ini rumahku, sementara Angger Agung Sedayu sama sekali tidak menghiraukan aku.”

“Kiai,” geram Sekar Mirah, “bukalah pintu itu. Kemudian Kiai tentu mempunyai obat penawar racun tabur itu.”

Tetapi Kiai Tali Jiwa hanya tertawa saja. Katanya, “Jika Angger Agung Sedayu memang orang yang pilih tanding, ia tidak akan terlalu cepat mati. Mungkin ia akan pingsan. Tetapi ia benar-benar sudah ada di bawah kekuasaanku.”

“Jika Kiai membunuhnya, berarti Kiai telah melawan paugeran yang berlaku di Tanah Perdikan Menoreh. Ki Gede akan dapat bertindak tegas terhadap Kiai dan Mbah Kanthil sekaligus,” berkata Sekar Mirah selanjutnya.

“Sayang sekali, bahwa tidak ada orang yang mengetahuinya,” berkata Kiai Tali Jiwa. Lalu, “Seandainya hal ini diketahui oleh orang-orang Tanah Perdikan Menoreh, maka aku tidak usah cemas. Aku mempunyai seorang pelindung yang baik”

“Siapa?” bertanya Sekar Mirah.

Kiai Tali Jiwa tertawa. Katanya, “Sudahlah, Ngger. Biarlah Angger Agung Sedayu mengalami nasib yang buruk. Tetapi tentu tidak dengan kau, Nngger. Kau justru akan mengalami nasib yang lebih baik. Pada saat mendatang, perasaanmu akan berubah menghadapi peristiwa ini. Kau akan merasakan akibat yang sebenarnya dari laku yang aku jalani.”

“Buka, Kiai,” bentak Sekar Mirah, “atau aku akan membukanya.”

Tetapi Kiai Tali Jiwa tertawa, “”Kau seorang perempuan. Apa yang akan kau lakukan, tidak akan banyak berarti, Ngger. Apalagi beberapa saat mendatang, aku akan menundukkanmu dengan caraku.”

Sekar Mirah maju selangkah. Tetapi Kiai Tali Jiwa menghalanginya sambil berkata, “Sudahlah. Jangan hiraukan Agung Sedayu. Ia memang akan mati di dalam bilik itu. Tetapi aku akan dapat menyembunyikannya dan menyingkirkannya tanpa diketahui oleh orang lain.”

Sekar Mirah menjadi tegang. Dipandanginya pintu yang menyekat ruang yang tidak begitu besar itu. Pintu itu terbuat dari bambu lereg. Jika Agung Sedayu menghendaki, biarpun pintu itu diselarak rangkap tujuh, tentu ia akan dapat keluar dengan mudah. Namun ternyata bahwa Agung Sedayu tidak membuka pintu itu dengan cara apa pun.

“Apakah serbuk racun itu benar-benar mencelakainya?” bertanya Sekar Mirah di dalam hatinya.

Tetapi bagaimanapun juga, ia harus berhati-hati menghadapi orang yang licik itu. Apalagi Sekar Mirah belum mengetahui, apakah ia memiliki ilmu kanuragan pula.

Meskipun demikian, ia tidak dapat membiarkan Agung Sedayu berada di dalam bilik yang telah ditaburi dengan racun yang benar-benar akan dapat mencelakainya.

Karena itu, maka Sekar Mirah itu pun kemudian berkata, “Kiai. Sekali lagi aku minta, buka pintu itu sekarang.”

Tetapi Kiai Tali Jiwa masih saja tertawa. Katanya, “Sudahlah. Jangan hiraukan.”

“Aku dapat memaksamu Kiai,” bentak Sekar Mirah.

“Apakah yang dapat dilakukan oleh seorang perempuan,” jawab Kiai Tali Jiwa.

Sekar Mirah menggeram. Agaknya ada satu hal yang kurang dimengerti oleh Kiai Tali Jiwa, bahwa Sekar Mirah memiliki kemampuan olah kanuragan melampaui orang kebanyakan.

Karena itu, ketika Sekar Mirah benar-benar bersiap untuk menyerangnya, Mbah Kanthil-lah yang memperingatkannya hampir berteriak, “Guru. Parempuan itu adalah salah seorang pembimbing dalam pasuan khusus yang berada di barak di ujung Tanah Perdikan ini.”

Kiai Tali Jiwa terkejut. Kanthil memang belum pernah mengatakannya sebelumnya tentang hal itu, meskipun pernah juga disinggung beberapa hal tentang perempuan yang akan menjadi korbannya itu. Mbah Kanthil hanya mengatakan, bahwa Sekar Mirah memiliki kelainan dari perempuan-perempuan kebanyakan karena ia mempelajari olah kanuragan.

Meskipun demikian, bagaimanapun juga Kiai Tali Jiwa juga merasa memiliki kemampuan olah kanuragan, meskipun ia merasa tidak akan dapat mengimbangi kemampuan Agung Sedayu. Tetapi karena ia tidak dapat membayangkan kemampuan Sekar Mirah yang sebenarnya, maka ia pun telah bersiap pula untuk melawannya.

“Betapa tinggi ilmumu perempuan manis, kau adalah seorang perempuan. Sementara Agung Sedayu telah terbaring diam di dalam bilik itu karena pengaruh racun taburku,” berkata Kiai Tali Jiwa.

Gejolak perasaan Sekar Mirah tidak dapat dikekangnya lagi. Tiba-tiba saja ia pun telah meloncat menyerang dengan garangnya.

Kiai Tali Jiwa yang juga memiliki ilmu kanuragan itu pun berusaha untuk mengelak. Ia berhasil menghindari serangan pertama Sekar Mirah. Namun ia tidak menyangka, bahwa Sekar Mirah mampu bergerak secepat tatit, sehingga tidak diduganya, maka serangan keduapun telah memburunya.

Sebenarnyalah, bahwa Kiai Tali Jiwa tidak mampu mengimbangi kecepatan gerak Sekar Mirah. Apalagi Sekar Mirah sedang dalam kecemasan tentang nasib Agung Sedayu. Karena itu, maka ia tidak lagi berusaha mengekang dirinya.

Sentuhan serangan Sekar Mirah tidak dapat dielakkannya. Ketika serangan itu mengenainya, maka Kiai Tali Jiwa telah terlempar menghantam pagar bambu sehingga berderak patah.

Sekar Mirah tidak menghiraukan lagi. Kiai Tali Jiwa yang kemudian terkapar. Dengan tergesa-gesa ia membuka selarak pintu bilik yang diselarak oleh Kiai Tali Jiwa itu.

Ketika pintu itu terbuka, dilihatnya Agung Sedayu berdiri tegak sambil tersenyum kepadanya. Dengan langkah yang tetap ia keluar dari dalam bilik itu sambil berkata, “Aku memang ingin mendapat kepastian tentang Kiai Tali Jiwa. Dengan perbuatannya dan kata-katanya ia tidak akan dapat mengelakkan tuduhan lagi.”

“Kau tidak apa-apa?” bertanya Sekar Mirah.

“Tidak. Agaknya Kiai Tali Jiwa salah menaburkan racunnya. Aku hanya merasa serak sedikit,” jawab Agung Sedayu yang sebenarnya memang telah kebal racun itu.

Kiai Tali Jiwa yang dengan susah payah berusaha untuk bangkit menjadi heran. Ia melihat Agung Sedayu masih tetap berdiri tegak. Racun yang ditaburkannya sama sekali tidak berpengaruh terhadap anak muda itu.

“Benar-benar anak iblis,” geram Kiai Tali Jiwa di dalam hatinya, “Ilmu Tunda Bantala tidak dapat menembus benteng pertahanannya. Kini racun tabur itu tidak dapat melumpuhkannya. Bahkan menyakitinya pun tidak.”

Kiai Tali Jiwa yang telah berdiri dengan kaki bergetar oleh gejolak perasaannya, melangkah surut ketika Agung Sedayu mendekatinya. Katanya, “Aku sudah mendengar, bahwa kau mendapat seorang pelindung di Tanah Perdikan ini. Aku pun mendengar, apa yang kau lakukan terhadap istriku dengan ilmumu yang sesat itu. Nah, Kiai Tali Jiwa, apakah Kiai masih akan mengelak lagi, atau aku akan benar-benar menghancurkanmu lewat jambemu itu sendiri?”

“Jangan, jangan Ngger,” minta Kiai Tali Jiwa yang mulai benar-benar dicengkam oleh ketakutan. Menurut tanggapannya, Agung Sedayu benar-benar seorang manusia yang luar biasa.

“Kiai,” berkata Agung Sedayu, “sebenarnyalah aku sudah pasti, bahwa kau dan Mbah Kanthil telah memusuhiku tanpa sebab. Aku dan istriku tidak pernah mempunyai persoalan dengan kalian. Tetapi kalian telah benar-benar berusaha membunuh kami. Mungkin aku sasaran utama dari pembunuhan itu, sementara kau akan merampas kepribadian isteriku untuk kau bentuk sesuai dengan kehendakmu.”

Kiai Tali Jiwa benar-benar menjadi gemetar, sementara Agung Sedayu melanjutkan, “Kiai, ketahuilah, aku dapat membalasmu dengan cara agal, atau halus. Dengan jambanganmu, atau dengan tanganku langsung mencekik lehermu.”

Wajah Kiai Tali Jiwa menjadi pucat. Apalagi Mbah Kanthil yang semula mulai ditumbuhi harapan. Ternyata bahwa yang dihadapinya adalah dua orang suami istri yang benar-benar memiliki kelebihan dari orang kebanyakan, sehingga Kiai Tali Jiwa, orang yang tidak pernah gagal itu, terpaksa menyerah dengan gemetar.

“Angger Agung Sedayu,” berkata Kiai Tali Jiwa, “aku menyerah. Aku merasa, bahwa aku tidak akan dapat melawan dengan cara apapun. Aku mohon ampun.”

“Kau sudah tua, Kiai,” berkata Agung Sedayu, “umurmu tinggal seumur jagung. Apa bedanya bagimu, jika kau mati sekarang atau menunggu beberapa saat lagi.”

“Angger Agung Sedayu,” Kiai Tali Jiwa berjongkok di hadapan Agung Sedayu, “berilah kesempatan kepadaku untuk melihat kesalahanku.”

Agung Sedayu tertawa. Katanya, “Kau terlalu licik untuk dipercaya, Kiai. Sekarang kau berjongkok di hadapanku, besok kau mulai mengeram di dalam bilikmu dengan jambangan dan pelita minyak di bawah asap kemenyan.”

“Tidak, Ngger. Aku bersumpah,” jawab Kiai Tali Jiwa.

“O, apakah kau masih menghargai kata-katamu sendiri? Apa artinya sumpah bagimu, Kiai?” jawab Agung Sedayu. Lalu, “Lihat, air di dalam jambanganmu sudah mulai menjadi merah. Kau memang hampir berhasil, Kiai. Darahku mulai meleleh dari sela-sela bibirku. Namun tidak ada kuasa yang melampaui kuasa Yang Maha Agung. Ternyata bahwa aku masih diselamatkan-Nya.”

“Ya, ya Ngger. Aku memang mengaku kalah,” berkata Kiai Tali Jiwa, “aku mohon ampun.”

Agung Sedayu menggelengkan kepalanya. Dengan suara parau ia berkata, “Tidak sepantasnya kesalahanmu dimaafkan. Mungkin aku seorang yang baik hati, yang dapat memaafkan kesalahanmu. Tetapi itu tidak adil. Berapa orang yang sudah kau kenai dengan ilmumu yang kau jual tanpa belas kasihan. Kau korbankan nyawa seseorang karena kau ingin mendapat imbalan.”

“Aku bersumpah. Aku bersumpah demi langit dan bumi. Demi air dan api atau apa saja yang akan dapat merampas nyawaku,” berkata Kiai Tali Jiwa.

“Tidak ada yang lebih berkuasa dari Yang Maha Agung. Bukankah aku sudah mengatakannya?” potong Agung Sedayu.

“Ya. Aku bersumpah demi Yang Maha Agung itu,” berkata Kiai Tali Jiwa.

“Kata-katamu mengambang tanpa jiwa. Kau tidak tahu arti dari kata-kata yang kau ucapkan,” sahut Agung Sedayu, “karena itu, maka kau tidak dapat dimaafkan.”

“Ampunkan aku anak muda. Ampunkan aku,” minta Kiai Tali Jiwa sambil merangkak di bawah kaki Agung Sedayu, sementara Mbah Kanthil pun telah terduduk dengan lemahnya pula.

“Kiai,” berkata Agung Sedayu, “”air di jambangan itu sudah menjadi merah, sementara kau sudah menaburkan serbuk racun untuk membunuhku tanpa ampun.”

“Bukan kehendakku sendiri,” jawab Kiai Tali Jiwa.

“Itulah yang paling jahat. Jika kau berkepentingan dengan aku, karena dendam atau persoalan yang memaksamu berbuat demikian, maka masih dapat dipertimbangkan untuk mengampunimu. Tetapi justru karena kau tidak mempunyai persoalan dengan aku, tetapi kau telah berusaha membunuh untuk kepentingan orang lain, itulah yang memaksa aku untuk tidak memaafkanmu,” berkata Agung Sedayu.

Wajah Kiai Tali Jiwa benar-benar telah menjadi semakin putih. Tubuhnya menjadi gemetar dan kata-katanya menjadi gagap, “”Kami berdua mohon ampun. Kami akan mengatakan siapa yang telah menyuruh kami. Dan kami pun akan bersedia untuk melontarkan kembali tenung itu kepada orang yang menyuruh kami.”

“Tidak,” jawab Agung Sedayu, “aku tidak memerlukanmu. Aku dapat melakukan sendiri. Dengan caramu, atau aku cegat ia di tengah bulak panjang. Aku dapat membunuhnya dengan pedang, karena dengan demikian aku telah bersikap lebih jantan dari cara yang kau tempuh dari dalam bilik pengab itu.”

Kiai Tali Jiwa menjadi semakin gemetar. Agaknya Agung Sedayu sudah tidak lagi dapat dibujuknya untuk mengampuninya. Kesalahannya memang sudah terlalu besar. Dua kali ia berusaha membunuh Agung Sedayu. Tetapi keduanya telah gagal.

Dalam pada itu, Agung Sedayu pun berkata, “Kiai. Yang manakah yang lebih penting bagi Kiai. Nyawa Kiai, atau ilmu yang kelam itu.”

“Apakah maksud Angger?” bertanya Kiai Tali Jiwa dengan terbata-bata.

“Jika Kiai masih ingin hidup, aku minta Kiai melepaskan ilmu Tunda Bantala,” berkata Agung Sedayu tegas.

Darah Kiai Tali Jiwa serasa terhenti. Dengan suara yang bergetar ia bertanya, “Darimana Angger tahu, bahwa aku mempergunakan ilmu Tunda Bantala?”

“Aku melihat cara yang kau pergunakan. Aku melihat jambangan dan reramuan, dan aku lihat jambe terbelah dan jarum di dalamnya. Semuanya menyatakan kepadaku, bahwa kau mempergunakan ilmu hitam,” berkata Agung Sedayu, “karena itu, kau harus melepaskannya. Kau harus meletakkan Akik Pawenang di dalam dirimu.”

“O,” wajah Kiai Tali Jiwa menjadi semakin pucat. Akik Pawenang adalah salah satu sarana yang harus dimiliki oleh mereka yang mempelajari dan kemudian menguasai ilmu Tunda Bantala. Jika ia harus meletakkan Akik Pawenang, maka ia tidak akan mampu lagi berbuat sesuatu atas kekuatan ilmunya.

“Cepat Kiai!” bentak Agung Sedayu, “Atau aku akan membunuhmu.” “Bagaimana aku dapat meletakkan Akik Pawenang, Ngger? Akik itu berada di dalam diriku,” berkata Kiai Tali Jiwa.

“Aku dapat membantumu Kiai,” jawab Agung Sedayu, “atau kau tentu dapat melakukannya sendiri, meskipun dengan demikian kau akan memuntahkan bersama Akik itu segumpal darah. Tetapi kau akan tetap hidup, meskipun kau tidak lagi memiliki ilmu itu. Sementara itu, aku pun minta Mbah Kanthil berbuat serupa.”

Kiai Tali Jiwa benar-benar telah tersudut ke dalam satu keadaan yang tidak dapat dielakkannya. Jika ia menolak, maka Agung Sedayu memang akan dapat membunuhnya, karena dalam olah kanuragan, ia memang tidak mempunyai arti sama sekali di hadapan Agung Sedayu.

Karena itu, maka ia memang tidak mempunyai pilihan lain.

Meskipun demikian, Kiai Tali Jiwa itu masih juga bertanya, “Anakmas. Kau benar-benar seorang yang mengagumkan. Namun satu hal yang aku tidak dapat mengerti sama sekali, bagaimana kau dapat mengetahui beberapa hal tentang diriku. Tentang ilmuku dan tentang Akik di dalam diriku itu pula.”

“Sudahlah,” berkata Agung Sedayu, ”lakukan perintahku. Kau dan Mbah Kanthil harus melepaskan Akik itu dari dalam dirimu. Aku tidak tahu, siapa sajakah muridmu yang telah kau beri kemampuan dengan ilmumu itu. Tetapi yang sekarang ada di hadapanku adalah kalian berdua.”

“Pilihan itu sangat berat bagiku,” desis Kiai Tali Jiwa.

“Jika begitu kau memilih mati,” sahut Agung Sedayu.

“Aku sudah bersumpah,” berkata Kiai Tali Jiwa pula.

“Pertanda dari sumpahmu, lakukanlah. Jika kau dengan juiur ingin menghentikan perbuatanmu itu, maka kau tidak akan segan melepaskan Akik itu dari dalam dirimu,” berkata Agung Sedayu, ”buat apa ilmu itu bagimu, jika kau memang dengan jujur ingin menghentikan pekertimu.”

Kiai Tali Jiwa menarik nafas dalam-dalam. Dipandanginya mBah Kanthil yang gemetar. Kemudian katanya, “Kita tidak mempunyai pilihan lain, Kanthil. Marilah, meskipun kau masih belum menguasai ilmu itu dengan sempurna, tetapi biarlah mereka tahu, bahwa kita berdua benar-benar tidak akan berbuat sesuatu seperti apa yang pernah kita lakukan.”

Mbah Kanthil semula terlihat sangat tegang dan merasa sangat berat untuk melaksanakannya. Tetapi akhirnya ia berpendapat, jika gurunya saja tidak lagi mempunyai pilihan lain, maka apa lagi ia sendiri.

“Masuklah ke dalam bilikmu,” berkata Agung Sedayu, ”jangan kau tutup pintunya. Aku akan mengikuti laku kalian dengan saksama. Jika kalian berbuat curang, maka aku akan dapat membinasakan kalian.”

Kedua orang itu benar-benar tidak dapat berbuat apa-apa. Kiai Tali Jiwa dan Mbah Kanthil kemudian masuk ke dalam bilik mereka. Tetapi pintu bilik itu tidak ditutup sebagaimana dikehendaki oleh Agung Sedayu.

Keduanya pun kemudian duduk membelakangi Agung Sedayu dan Sekar Mirah yang kemudian berdiri beberapa langkah dari bilik itu.

“Apakah kita benar-benar akan melakukannya?” bertanya Mbah Kanthil sambil berbisik, ketika ia sudah duduk di sisi Kiai Tali Jiwa.

“Anak itu tahu segala-galanya, meskipun ada yang tidak tepat benar. Tetapi aku tidak berani menentangnya. Nampaknya ia benar-benar dapat membunuh,” jawab Kiai Tali Jiwa.

Mbah kanthil menarik nafas dalam-dalam. Dilihatnya sekilas jambangan di hadapan mereka. Sekali lagi Mbah Kanthil berbisik, “”Apakah kita tidak dapat mempergunakan kesempatan ini?”

“Tidak mungkin, Kanthil. Anak itu benar-benar anak luar biasa. Biarlah kita terima nasib kita, asal kita tidak dibunuhnya,” jawab Kiai Tali Jiwa.

Mbah Kanthil tidak bertanya lagi. Keduanya pun kemudian duduk tepekur. Meskipun ada juga keseganan didalam diri, tetapi ternyata mereka masih memilih hidup mereka daripada ilmu mereka.

Sejenak kemudian keduanya telah sampai pada satu laku yang sebenarnya tidak mereka kehendaki. Mereka tengah memusatkan nalar budi mereka untuk melepaskan Akik Pawenang dari dalam diri mereka. Meskipun Akik itu sudah menyatu di dalam diri, tetapi dengan laku yang mereka kenal, maka mereka akan dapat melepaskannya betapa pun beratnya.

Sejenak kemudian tubuh kedua orang itu menjadi gemetar. Sementara Agung Sedayu dan Sekar Mirah memperhatikan keduanya dengan saksama.

“Apa yang mereka lakukan,” bisik Sekar Mirah.

“Aku kira mereka benar-benar akan melepaskan ilmu mereka,” jawab Agung Sedayu.

“Kau yakin?” bertanya Sekar Mirah pula.

“Ya. Mereka sudah tidak mempunyai keberanian untuk melawan,” jawab Agung Sedayu pula.

Sebenarnyalah, mereka menyaksikan dari arah belakang, apa yang telah terjadi atas keduanya. Tubuh Kiai Tali Jiwa dan Mbah Kanthil benar-benar telah menggigil. Sejenak kemudian, keduanya bagaikan menjadi kejang.

Agung Sedayu dan Sekar Mirah menyaksikan laku itu dengan hati yang berdebar-debar. Mereka dapat merasakan, bahwa laku itu sungguh sangat tidak menyenangkan. Tetapi keduanya harus menempuhnya, karena keduanya masih ingin hidup.

Dalam pada itu, maka dari ubun-ubun kedua orang itu seolah-olah telah keluar cahaya yang berwarna kemerah-merahan. Namun kemudian disusul oleh cahaya yang kebiruan. Meskipun terang cahaya yang keluar dari Kiai Tali Jiwa jauh lebih tajam dari cahaya yang keluar dari Mbah Kanthil.

Sebenarnyalah, keduanya benar-benar telah kehilangan kemampuan mereka untuk mengetrapkan ilmu mereka yang untuk beberapa lamanya telah mereka pergunakan untuk melakukan tindakan yang tercela.

Namun dalam pada itu, Agung Sedayu merasa heran, bahwa ada dua jenis cahaya yang keluar dari diri kedua orang itu. Ia tidak tahu, apakah arti kedua jenis cahaya itu. Namun menurut pengenalannya, cahaya yang kebiru-biruan adalah cahaya yang mempunyai sifat yang baik, sementara yang kemerah-merahan memang mempunyai sifat yang kurang terpuji.

Tetapi Agung Sedayu tidak mau menunjukkan kekurangannya. Karena itu, maka ia sama sekali tidak menunjukkan keheranannya.

Untuk beberapa saat Agung Sedayu menyaksikan Kiai Tali Jiwa dan mBah Kanthil duduk diam. Namun sejenak kemudian, Kiai Tali Jiwa berusaha menggeliat, sementara mBah Kanthil telah jatuh terkulai dengan lemahnya.

“Kakang,” desis Sekar Mirah, “apa yang telah terjadi dengan mereka?”

Agung Sedayu menjadi tegang. Tetapi menurut pengertiannya, kedua orang itu tidak akan mati meskipun untuk sesaat mereka seolah-olah telah kehilangan seluruh tenaganya bersama dengan lenyapnya kemampuan mereka.

Kiai Tali Jiwa dan mBah Kanthil tidak berani berbuat pura-pura. Menurut anggapan mereka, Agung Sedayu benar-benar memiliki segala-galanya. Karena itu, maka mereka pun benar-benar telah melepaskan segenap ilmu mereka untuk mempertahankan hidup.

Agung Sedayu kemudian melangkah maju mendekati kedua orang yang menjadi sangat lemah. Namun Kiai Tali Jiwa masih mampu memutar diri dan menghadap ke arah Agung Sedayu.

Agung Sedayu mengerutkan keningnya, sementara Sekar Mirah telah berpaling. Agaknya memang benar bahwa kedua orang itu telah memuntahkan darah bersamaan dengan lepasnya ilmu mereka.

Tetapi seperti yang diperhitungkan Agung Sedayu sesuai dengan pengenalannya atas ilmu itu, bahwa keduanya memang tidak mati karenanya.

“Benahi dirimu,” berkata Agung Sedayu, yang kemudian membawa Sekar Mirah duduk di amben bambu diruang itu.

Kiai Tali Jiwa tidak menjawab. Ketika kekuatannya sedikit demi sedikit mulai pulih kembali, maka ia pun telah menolong Mbah Kanthil yang hampir tidak tahan lagi karena keringkihan wadagnya di dalam usia tuanya. Namun sejenak kemudian keduanya telah membersihkan diri dan duduk bersama Agung Sedayu dan Sekar Mirah, meskipun Mbah Kanthil masih harus bersandar dinding.

“Aku percaya bahwa kalian telah melakukan dengan sungguh-sungguh,” berkata Agung Sedayu.

“Ya Ngger. Bagaimanapun juga, aku masih berharap untuk dapat berumur lebih panjang lagi, meskipun sisa hidupku tidak lagi akan berarti apa-apa,” jawab Kiai Tali Jiwa.

“Kau keliru Kiai,” jawab Agung Sedayu, ”justru hidupmu akan mulai berarti jika kau kehendaki. Selama ini kau telah menghantui orang-orang yang sebenarnya tidak mempunyai persoalan dengan kau dan murid-muridmu. Tetapi orang-orang itu harus mengalami nasib yang buruk jika mereka gagal bertahan, atau karena kepercayaan mereka kepada kekuasaan Yang Maha Agung terasa goyah. Tetapi hidupmu kemudian adalah hidup yang cerah justru di saat hari-hari terakhirmu. Kau adalah keluarga sesama yang baik dan tidak akan lagi melakukan perbuatan yang tercela tanpa belas kasihan.”

Kiai Tali Jiwa menarik nafas dalam-dalam. Katanya, “Aku mengerti, Ngger. Tetapi tanganku yang kotor dan bernoda darah ini, apakah masih akan mendapat kesempatan untuk dapat hidup bersama dalam keluarga sesama.”

“Kau telah mencucinya, Kiai. Bukan saja tanganmu, tetapi untuk selanjutnya kau harus mencuci hatimu. Jika kau mandi untuk membersihkan tubuhmu, maka kau pun harus mandi untuk membersihkan hatimu dengan sikap yang baru,” berkata Agung Sedayu.

Kiai Tali Jiwa dan Mbah Kanthil hanya dapat mengangguk-angguk. Sementara itu Agung Sedayu berkata selanjutnya, “Dengan sikap yang baru maka kau akan menjadi orang baru dalam keluarga sesama, Kiai.”

“Mudah-mudahan aku masih dapat diterima, Ngger. Tetapi aku akan berusaha untuk melakukannya,” jawab Kiai Tali Jiwa. Dalam pada itu maka katanya pula, “Untuk terakhir kalinya Ngger, aku ingin membersihkan diri dari perbuatanku. Sebenarnyalan bahwa bukan atas kehendakku sendiri aku telah menyerang Angger. Jika Angger menghendaki aku akan mengatakan, siapakah yang telah menyuruh aku berbuat demikian.”

Tetapi Agung Sedayu menggeleng. Katanya, “Kami berdua sudah dapat menduga. Tetapi kami memang tidak ingin satu kepastian. Jika kau menyebut sebuah nama, kami akan tahu pasti, siapakah yang telah bersalah. Dengan demikian akan dapat merangsang hati kami untuk melakukan pembalasan dendam. Karena itu, biarlah kami tidak yakin siapakah yang telah memusuhi kami, agar kami tidak terdorong untuk melakukan pembalasan dengan cara apa pun juga. Mudah-mudahan kegagalan-kegagalan yang pernah terjadi, akan dapat memberikan petunjuk kepadanya, bahwa yang dilakukan itu keliru.”

Wajah Mbah Kanthil dan Kiai Tali Jiwa menjadi tegang. Sementara itu Kiai Tali Jiwa berkata, “Aku benar-benar tidak pernah membayangkan, bahwa ada seseorang yang memiliki sifat seperti ini. Karena itu, dalam kesempatan terakhir aku memperbandingkan diriku dengan Angger berdua, maka alangkah kotornya hidup yang pernah aku jalani.”

“Yang sudah itu dapat Kiai jadikan cermin,” berkata Agung Sedayu, “hati-hatilah di masa mendatang. Meskipun kau telah melepaskan ilmumu, tetapi selama hatimu masih hitam, kau akan dapat mempergunakan cara apa pun juga.”
DONASI VIA TRAKTEER Bagi para cianpwe yang mau donasi untuk biaya operasional Cerita Silat IndoMandarin dipersilahkan klik tombol hati merah disamping :)

Posting Komentar